-------------------------------
----------------------------
067 Halilintar Di Singosari
1
ARUS Kali Brantas mengalun
tenang di pagi yang cerah itu. Sebuah perahu kecil meluncur perlahan melawan
arus dari arah Trowulan. Di atasnya Ada dua orang penumspang berpakaian seperti
petani. Yang satu berusia hampir setengah abad. Rambutnya yang disanggul di
sebelah atas sebaglan nampak putih. Raut wajahnya yang terlindung oleh caping
lebar jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Kumis dan janggutnya lebat. Tetapi
jika orang berada dekat-dekat padanya dan memperhatikan wajahnya dengan
seksama akan ketahuan bahwa kumis dan janggut lebat itu adalah palsu.
Orang bercaping itu duduk di
sebelah depan perahu. Kedua matanya memandang luruslurus ke muka. Sesekali
tangan kanannya meraba sebilah keris yang terselip di pinggang, tersembunyi di
balik pakaian hitamnya. Orang kedua adalah pemuda berbadan kekar. Pakaiannya
lecek dan basah oleh keringat. Sehelai kain putih terikat di keningnya.
Rambutnya yang panjang tidak disanggul di atas kepala, tapi dibiarkan terlepas
menjela pundak.
"Gandita, aku sudah dapat
melihat pohon cempedak miring di tepi kali di ujung sana," berkata lelaki
yang lebih tua.
Gandita, pemuda yang mendayung
perahu, meninggikan lehernya sedikit dan memandang jauh ke muka, Memang diapun
dapat melihat pohon cempedak yang dikatakan orang itu tadi. Pohon cempedak itu
tumbuh di tepi kali dalam keadaan miring. Lebih dari separuh batangnya sampai
ke puncak pohon membelintang di atas Kali Brantas.
"Saya juga dapat
melihatnya dari sini Adipati," ujar Gandita. "Sebentar lagi kita akan
sampai. Menurut Adipati apakah orang-orang Kedri itu akan datang?"
"Manusia bernama
Adikatwang itu tidak pernah tidak menepati janji. Dia pasti datang. Kalau dia
tidak datang berarti dia telah bertindak tolol. Kesempatan hanya ada satu kali.
Sekali lewat jangan harap bakal muncul lagi."
Gandita mendayung, perahu
meluncur perlahan. Da1am hati dia berkata. Kalau orang-orang Kediri tidak
muncul, sungguh gila jauh-jauh datang dari Madura seperti ini!
Saat demi saat perahu semakin
dekat ke pohon cempedak miring. Tepat di bawah batangnya yang membelintang di
atas kali Gandita merapatkan perahu ke tebing.
"Tidak kelihatan
siapapun," kata orang yang dipanggil dengan sebutan Adipati. Dia bernama
Wira Seta dan dia memang adalah seorang Adipati dari Madura.
"Saatnya kita
mengeluarkan tanda rahasia," kata Wira Seta.
Gandita mengangguk. Dia
bangkit dan berdiri di atas perahu. Sesaat pemuda ini memandang berkeliling.
Lalu kedua tangannya dibulatkan dan diletakkan di depan bibir. Dari mulut Gandita
keluar suara seperti bunyi burung tekukur. Lalu sunyi. Kedua orang dalam perahu
menunggu dengan air muka tampak tegang.
"Aneh, tak ada
sahutan…" kata Wira Seta. "Mungkin mereka belum sampai di sini?"
Gandita tidak menyahut.
"Coba sekali lagi,"
kata Wira Seta.
Kembali pemuda itu menirukan
suara burung tekukur. Lalu sunyi lagi. Tiba-tiba ada suara suitan merobek
kesunyian. Disusul oleh suara burung tekukur.
Wira Seta tampak lega.
"Mereka sudah ada di sini. Sebaiknya kita naik ke darat."
Kedua orang itu keluar dari
perahu, melompat ke tebing kali lalu naik ke darat. Pada saat itu rerumpunan
semak belukar di sebelah kanan nampak tersibak. Dua orang berpakaian perajurit
Kediri muncul. Keduanya membawa panah dan saat itu keduanya telah merentang
busur, membidikkan anak panah ke arah Wira Seta dan Gandita.
Panah beracun, kata Gandita
dalam hati begitu melihat ujung panah yang terbuat dari besi berwarna sangat
hitam. Baik dia maupun Wira Seta tetap berlaku tenang.
"Prajurit-prajurit
Kediri, mana pemimpin kalian?" tanya Wira Seta.
Salah seorang perajurit
menjawab. "Kami dipesan agar melihat benda tanda jatidiri lebih dahulu
sebelum membawa pada pemimpin kami."
Gandita berpaling pada Wira
Seta. Adipati ini keluarkan keris yang terselip di pinggangnya lalu memperlihatkannya
pada perajurit yang masih tegak dengan membidikkan panah beracun tepat ke arah
jantungnya. Keris ini gagang dan sarungnya terbuat dari perak murni. Pada
bagian-bagian tertentu dilapisi emas serta beberapa buah permata. Pada badan
sarung dan gagang keris terdapat ukiran kepala singa dengan badan berbentuk
manusia. Inilah keris Narasinga, salah satu senjata pusaka Keraton Kediri yang
berasal dari sesepuh dan pendiri Kerajaan yaitu Sang Prabu Kameswara.
Kedua perajurit Kediri itu
segera mengenali keris Narasinga. Mereka mengangguk lalu menurunkan busur
masing-masing. Yang satu berkata, "Ikuti kami."
Setelah melewati beberapa
kelompok rerumpunan semak belukar, di satu tempat yang agak terbuka kelihatan
sepuluh orang perajurit berkuda. Salah seorang dari mereka, yang bertindak
sebagai pemimpin segera turun dari kuda. Beberapa saat dia memandangi lelaki
bercaping, berkumis dan berjanggut tebal itu seperti tengah meneliti. Kemudian
cepat dia memberi penghormatan seraya berkata,
"Harap maafkan, saya
tidak mengenali Adipati dalam penyamaran ini!" perajurit-perajurit lainnya
segera pula memberi penghormatan.
Wira Seta membalas
penghormatan itu dan memandang berkeliling lalu bertanya, "Mana pemimpin
kalian?"
"Beliau segera datang.
Harap Adipati suka bersabar sesaat." Jawab perajurit yang ditanya.
Tak lama kemudian seekor kuda
nitam besar muncul ditunggangi seorang lelaki berusia hampir enam puluh tahun,
berpakaian sederhana. Rambutnya hitam tebal disanggul di atas kepala. Orang ini
turun dari kudanya, berjalan mendekati Wira Seta lalu tersenyum.
"Penyamaran Adimas Wira
Seta rapi sekali. Bertemu di tempat lain sulit bagiku mengenali."
Di antara kedua orang sahabat
itu Wira Seta memang beberapa tahun lebih muda. Karena itulah orang
dihadapannya memanggilnya dengan sebutan Adimas.
Wira Seta membuka capingnya.
Kedua orang itu lalu saling berpelukan.
"Jauh-jauh dari Sumenep
Dimas tentu letih sekali. Aku ingin membawa Dimas ke Gelanggelang. Tetapi
keadaan kurang mengizinkan. Harap Dimas maklum."
Adipati Wira Seta mengangguk.
"Suatu ketika akan tiba saatnya kita dapat berkumpul bersama-sama secara
terbuka, tanpa rasa takut. Kangmas Adikatwang, apakah kau ada baikbaik
saja?"
"Para Dewa memberkahi
serta melindungiku dan keluarga. Walau hidup di bawah Singosari penuh tekanan
tapi kita terpaksa pasrah. Sudah untung Sang Prabu masih mau memberikan daerah
Gelang-Gelang kepadaku."
Adipati Wira Seta mernegang
bahu Adikatwang, putera Sri Baginda Kertajaya yang pemah berkuasa di Kediri
sebelum Kerajaan itu diserbu dan ditunduk kan oleh Singosari dibawah pimpinan
Ken Arok yang bergelar Ranggah Rajasa belasan tahun yang silam,
"Siapa yang bisa hidup
tenang dan leluasa saat ini Kangmas Adi," kata Adipati Wira Seta pula.
"Lihat saja dengan diri saya. pengabdian dan jasa apa yang tidak saya
lakukan untuk Kerajaan. Saya tidak mengharapkan dianggap sebagai pahlawan
besar. Jalan pikiran saya dicurigai, perlakuan terhadap diri saya sungguh
menyakitkan. Saya dipaksa menerima nasib ditendang dari Kotaraja. Dikucilkan
jadi Adipati di Madura yang gersang! Dengan kata lain saya disuruh makan garam
banyak-banyak agar cepat mati!" Wira Seta masih bisa tertawa dalam
mengutarakan uneg-unegnya.
"Aku mengerti kekecewaan
Dimas Wira Seta," kata Adikatwang.
"Kekecewaan, tekanan dan
penghinaan yang kita terima tidak akan berjalan lama. Saya percaya waktunya
untuk Kangmas memegang tampok kekuasaan akan segera datang."
Adikatwang memandang sejurus
pada pemuda yang berdiri di samping Wira Seta lalu bertanya, "Dimas,
siapakah pemuda yang tampan ini?"
"Namanya Gandita. Dia
murid seorang sakti di puncak Gunung Kelud. Dia orang kepercayaan saya yang
bakal banyak memberikan bantuan dalam rencana kita."
Gandita memberi penghormatan
pana Adikatwang lalu kembali tegak dengan sikap siap seorang perajurit.
"Aku senang kau membantu
Adipati Wira Seta. Pemuda-pemuda gagah sepertimu memang bakal banyak
diperlukan."
"Terima kasih
Adipati," kata Gandita seraya membungkuk.
"Kangmas Adi, sekarang
kita perlu bicara empat mata. Mari kita cari tempat yang baik."
Raden Adikatwang mengangguk.
"Kalian tetap di sini," katanya pada para pengawalnya.
Lalu kedua sahabat ini
melangkah ke arah tepian Kali Brantas. Di balik serumpunan semak belukar tak
berapa jauh dari pohon cempedak hutan yang tumbuh miring, mereka memilih tempat
yang baik dan duduk di tanah meneruskan pembicaraan.
"Saya dan beberapa kawan
telah siap menjalankan apa yang jadi rencana. Kami hanya menunggu keputusan
Kangmas saja."
"Berapa kekuatan orang
Adimas keseluruhannya?" tanya Adikatwang.
"Sekitar dua ribu orang.
Semua mereka merupakan perajurit-perajurit terlatih dan berpengalaman. Semangat
mereka tinggi. Mereka rela mengorbankan darah dan nyawa demi berdirinya kembali
Kerajaan Kediri."
Untuk beberapa lamanya
Adikatwang berdiam diri seperti merenung. Dalam dirinya terjadi pergolakan.
Hati kecilnya menyuarakan hal yang berbeda dengan otaknya. Sebenarnya aku sudah
cukup pasrah menerima keadaan. Jika pecah lagi peperangan yang jadi korban dan
banyak menderita pastilah rakyat.
"Apa Yang Kangmas
pikirkan?" bertanya Adipati Wira Seta.
"Kekuatan kita agaknya
memang meyakinkan," berkata Adikatwang,
"Belum terhitung
orang-orang seperti Gandita. Lalu orang-orang dari dunia persilatan. Para
pemuka agamapun menyokong perjuangan kita mendirikan Kediri kembali."
"Apakah aku harus memberi
keputusan sekarang Dimas Wira Seta?"
"Bukankah untuk maksud
itu saya datang jauh-jauh dari Madura?" sahut Wira Seta. Kembali
Adikatwang tampak termenung.
Melihat hal ini Wira Seta
berusaha membakar hati sahabatnya itu dengan mengungkit peristiwa lama.
"Kangmas, apakah kau akan
melupakan begitu saja perbuatan jahat orang-orang Singosari? Mereka menyerbu
dan menghancurluluhkan negeri kita. Merampas harta kekayaan rakyat kita.
Membunuh ratusan rakyat. Salah satu korban mereka yang terbesar adalah Sang
Prabu Kertajaya, ayahanda Kangmas sendiri. Apakah perkiraan Kangmas arwah
ayahanda Kangmas akan berada dalam keadaan tenteram di swarga loka sebelum dia
melihat kita menuntut balas atas kejahatan dan kekejaman musuh? Mohon maafmu
Kangmas, sebagai seorang sahabat saya akan terpaksa berkata. Kalau Kangmas
mundur dengan rencana ini, saya dan kawan-kawan akan tetap melaksanakannya.
Kediri harus bangun kembali. Tugas dan tanggung jawab itu ada di pundak
orang-orang seperti kita. Apalagi mengingat Kangmas adalah pewaris tunggal dan
syah dari tahta Kerajaan Kediril"
Raden Adikatwang menarik nafas
panjang. Setelah berdiam diri sesaat akhirnya dia berkata. "Kita tetap
sama-sama menjalankan rencana besar ini Dimas. Bagaimana persiapan
pasukan?"
"Mereka sudah lama siap.
Tindakan saya yang pertama dalam waktu dekat ini ialah membawa mereka ke
Canggu. Dari sini pasukan akan disebar dalam dua arah. Yang pertama ke Utara
Singosari, sebagian lagi ke arah Selatan sekitar Badud dan Jago."
"Kalau begitu kita
tentukan saja sekarang hari dan saat penyerangan agar pasukan dari
Gelang-Gelang bisa bergabung dalam waktu yang tepat," kata Adikatwang.
"Itu satu hal yang sangat
bagus. Saya mengusulkan agar pasukan Kangmas memperkuat pasukan yang di
Selatan. Saya sudah menyusun satu tipuan yang bakal menghancurkan Singosari
dalam waktu singkat."
Lalu Adipati Wira Seta memberi
tahu rencananya itu.
"Aku sangat setuju Dimas.
Kau memang seorang Panglima Perang yang cerdik. Sang Prabu kelak akan menyesal
seumur hidup telah menyia-nyiakan dirimu."
Wira Seta tersenyum. Tapi
tiba-tiba Adikatwang melihat air muka sahabatnya itu berubah.
"Ada apa Dimas?"
tanya Adikatwang.
"Saya mencium bau yang
sangat tajam. Bau apa ini?" Wira Seta memandang berkeliling.
Adikatwang mendongak dan
menghirup udara dalam-dalam. Dia mengenali bau yang diciumnya itu. "Bau
buah cempedak," katanya. "Cempedak hutan!"
Wira Seta cepat berdiri lalu
melangkah ke arah ka1i. Adikatwang mengikuti dari belakang. Mereka bergerak ke
jurusan pohon cempedak yang tumbang melintang di atas kali. Di satu tempat Wira
Seta yang berada di sebelah depan hentikan langkah, memberi tanda pada
Adikatwang lalu menunjuk ke arah pohon cempedak.
"Lihat…" bisiknya.
"Ada orang di atas sana."
Adikatwang memandang ke atas
pohon. "Bukankah itu Gandita, pemuda kepercayaanmu?" kata Adikatwang
pula.
"Warna pakaiannya dan
ikat kepalanya memang sama. Rambutnya juga sama panjang. Tapi itu bukan
Gandita," jawab Adipati Wira Seta.
"Jangan-jangan kita telah
kecolongan, Dimas. Bukan mustahil pemuda gondrong di atas pohon itu adalah
mata-mata Singosari. Celaka kita kalau dia telah mendengar semua pembicaraan
kita!"
"Saya meragukan hal itu
Kangmas. Lihat caranya duduk berjuntai di batang pohon. Makan cempedak sambil
menggoyang-goyangkan kaki. Seorang mata-mata tidak akan melakukan hal
itu."
"Siapapun dia kita harus
menyelidiki. Aku akan memberi tahu para pengawal. Tempat ini harus segera
dikurung. Jangan orang itu sampai melarikan diri. Kau tunggu di sini. Awasi
dia.
"Cepatlah!" kata
Wira Seta. "Suruh Gandita kemari!"
***
Kapak Maut Naga Geni 2122
ORANG yang duduk di batang
pohon sambil memangku buah cempedak matang dan harum sepertinya tidak tahu
kalau dirinya diawasi. Dia terus saja menyantap buah itu sambil duduk berjuntai
goyang-goyangkan kedua kakinya. Kulit cempedak dan juga biji buah itu
dibuangnya seenaknya ke bawah. Beberapa potongan kulit dan biji malah ada yang
jatuh ke dalam perahu milik Wira Seta yang ditambatkan di tepi kali. Jengkelnya
Adipati Sumenep itu bukan kepalang. Namun dia tidak mau bertindak gegabah. Dia
maklum, hanya orangberkepandaian tinggi yang kehadirannya tidak diduga seperti
itu. Lalu bukan sembarang orang bisa duduk berjuntai di batang pohon sambil
menyantap buah dengan cara begitu.
Sambil menikmati buah cempedak
yang harum itu si pemuda berambut gondrong sesekali terdengar menyanyi-nyanyi
kecil. Kadang-kadang tangan kirinya tampak mengusap-usap perut seolah
mengukur-ukur apakah dia sudah cukup kenyang. Sesekali tangannya yang lengket
oleh getah buah itu enak saja dipakai untuk menggaruk-garuk kepalanya yang
berambut gondrong.
Adikatwang dan para pengawal
muncul di tempat itu bersama Gandita. Tanpa suara mereka segera mengurung
tempat tersebut. Di atas pohon si pemuda masih terus saja enakenakan menyantap
buah cempedak. Wira Seta memberi isyarat pada Gandita. Pemuda ini melangkah
mendekati pohon cempedak lalu berseru.
"Ki sanak di atas pohon!
Turunlah sebentar! Kami ingin bertanya!"
Pemuda di atas pohon menoleh
ke bawah.
Wira Seta berbisik pada
Adikatwang. "Lihat, dia tidak terkejut ketika diteriaki. Berarti secara
diam-diam sebenarnya dia sudah mengetahui kehadiran kita di sini. Tapi bersikap
tidak perduli."
Setelah memandang ke arah
Gandita sesaat, orang di atas pohon kembali meneruskan makan buah cempedaknya
tanpa menjawab seruan orang.
Gandita berteriak sekall lagi.
Lebih keras. "Ki sanak! Aku yakin kau mendengar seruanku. Harap turun
sebentar. Kami ingin bertanya!"
Pemuda di atas cabang pohon
muntahkan biji cempedak dari mulutnya. Biji cempedak ini jatuh dan masuk ke
dalam perahu. Gandita melirik. Ternyata perahu itu sudah penuh dikotori biji
dan kulit buah cempedak.
"Ki sanak!" teriak
Gandita mulai berang. "Apa kau tuli? Tidak mendengar orang
memanggil?!"
"Tidak! Aku tidak
tuli!" tiba-tiba orang di atas pohon menjawab. Suaranya parau karena dia
menjawab sambil mengunyah cempedak. Waktu menjawab kepalanya tidak dipalingkan
ke arah Gandita, membuat pembantu Wira Seta ini menjadi tambah jengkel.
"Kalau tidak tuli mengapa
orang bertanya kau tidak menjawab?!" Teriak Gandita.
"Soalnya aku ingin tahu
dulu siapa yang bertanya!"
Gandita hendak menyahuti.
Tetapi Adikatwang cepat memegang bahunya dan mendahului menjawab.
"Kami penguasa Kediri!
Kau berada di wilayah kekuasaan kami! Jadi kami berhak menyelidik siapa
dirimu!"
"Yang jelas aku bukan
penjahat! Tapi aku memang mencuri cempedak ini. Cempedak dalam hutan tak
bertuan, jika kuambil apakah itu namanya mencuri?"
"Ki sanak kami minta kau
turun dulu baru bicara! Sikapmu seperti orang tidak tahu aturan!" Gandita
berteriak.
"Ki sanak, apakah kau
orang yang tahu aturan? Mengganggu orang yang sedang makan? Jika kau sedang
enak-enakan makan apakah kau mau diganggu?"
Adikatwang memegang bahu Wira
Seta. "Jangan-jangan pemuda di atas sana seorang yang kurang waras. Lebih
baik kita tinggalkan saja dia."
"Tidak Kangmas. Saya
berkeyaklnan pemuda itu bukan orang gila. Kita akan lihat!" Wira Seta lalu
ganti berteriak. "Orang muda, jika kau tidak mau turun untuk kami tanyai,
jangan menyesal kalau kami terpaksa menurunkan tangan keras!"
"Jika memang ada hal
penting yang kalian ingin tanyakan, berteriak saja dari bawah. Apa
susahnya?"
Jawaban itu membuat marah Wira
Seta. Dia memberi isyarat pada Gandita.
"Beri dia
pelajaran!"
Gandita melangkah lebih dekat
ke pohon yang lumbuh di tebing kali itu. Sekali dia berkelebat tubuhnya
melayang ke atas pohon dan kedua kakinya menjejak pada cabang, tepat di mana
pemuda berambut gondrong duduk uncang-uncang kaki sambil menikmati buah cempedak.
"Hai! Kau mau
cempedak?!" si gondrong menawari.
Plaaak!
Satu tamparan keras
dilayangkan Gandita. Tepat mendarat di pipi kanan pemuda yang tengah mengunyah
cempedak. Buah berikut biji yang ada di dalam mulutnya menyembur keluar bersama
ludah ke muka Gandita!
"Kurang ajar!"
Gandita marah sekali. Kalau tadi tamparan yang dilayangkannya kini satu jotosan
segera dihantamkannya. Saat si pemuda telah terbanting akibat tamparan keras
tadi. Tubuhnya tersentak dan jatuh ke belakang. Tapi kedua kakinya dengan
cekatan menggelung batang pohon hingga tubuhnya tidak jatuh ke bawah melainkan
hanya berputar satu kali pada batang cempedak. Meskipun pipinya sakit dan
bertanda merah namun si gondrong itu memandang menyeringai kepada Gandita.
Merasa seperti dipermainkan
pembantu kepercayaan Adipati Wira Seta ini lepaskan satu jotosan.
Bukk!
Jotosan keras itu mendarat di
dada membuat tak ampun lagi yang dijotos terjengkang. Buah cempedak besar yang
tinggal setengah terlepas dari tangannya jatuh ke bawah. Tubuhnya sendiri
menyusul melayang jatuh!
Anehnya setelah ditunggu
sekian lama tidak ada suara tubuh yang jatuh bergedebuk di tebing sungai atau
suara orang jatuh ke dalam air kali. Gandita memandang ke bawah. Wira Seta dan
Adikatwang serta beberapa orang perajurit melompat ke tepi kali. Apa yang
mereka saksikan?
Pemuda gondrong yang tadi kena
jotosan Gandita enak-enak duduk setengah berbaring di dalam perahu milik Wira
Seta. Di atas perutnya dia memegang buah cempedak dan mulutnya saat itu sudah
mengunyah buah itu kembali!
Tentu saja semua orang
terkejut melihat hal itu. Bagaimana tubuh seseorang bisa jatuh ke atas perahu
tanpa mengeluarkan suara, bahkan kelihatannya perahu itu hampir tidak
bergoyang. Air Kali Brantaspun tidak tampak beriak!
Di atas pohon Gandita marah
bukan main. Dia benar-benar merasa dipermainkan di hadapan orang banyak. Segera
dia melompat ke bawah ke arah perahu. Sambil melayang turun kaki kanannya
ditendangkan ke kepala pemuda yang duduk di dalam perahu itu.
Sekali ini si gondrong rupanya
jadi merasa jengkel juga diserang terus-terusan begitu rupa. Kaki kanannya
diinjakkan ke kayu pendayung di lantai perahu. Pendayung ini melesat ke atas,
melayang ke arah Gandita.
Gandita menggeram marah.
Tendangannya yang seharusnya mengenai kepala pemuda itu, kini terhalang oleh
kayu pendayung.
Praakk!
Kayu pendayung patah dua,
mencelat ke udara lalu jatuh ke dalam Kali Brantas. Gandita membuat gerakan
jungkir balik agar tubuhnya tidak salah jatuh ke dalam air. Sesaat kemudian
kedua kakinya sudah menginjak tepian kali. Ketika dia kembali hendak menyerang
pemuda yang masih duduk di atas perahu itu, Wira Seta cepat memegang bahunya.
"Gandita, kau mundurlah. Biar aku yang mengurus pemuda ini," kata
Adipati Sumenep itu. Sekali dia bergerak tubuhnya melayang dan masuk ke dalam
perahu, duduk berhadap-hadapan dengan si pemuda.
"Anak muda, maafkan kalau
orangku tadi bertindak tidak pada tempatnya. Ternyata kau bukan pemuda
biasa."
Pemuda di hadapan Wira Seta
angkat kepala. Dia menatap lelaki itu sesaat. "Ah, kau ternyata lebih
sopan sedikit dari sobat mudamu itu. Kau mau kubagi buah cempedak ini?"
"Terima kasih. Aku
berpantang makan yang nnanis-manis," jawab Wira Seta. "Kepandaian
seperti yang kau miliki membuat aku kagum. Pemuda sepertimu sangat dibutuhkan
oleh Kerajaan. Apakah kau mau berbakti pada Kerajaan?" Tanya Wira Seta
kemudian.
"Kerajaan yang mana?
Kediri atau Singosari?"
Wira Seta sesaat terkesiap
oleh pertanyaan itu. "Bukan Kediri bukan Singosari. Tapi satu Kerajaan
baru yang kelak akan muncul. Namanya Kediri baru."
"Maafkan aku orang tua.
Aku tidak tertarik," jawab si pemuda lalu kelihatan dia senyumsenyum.
"Kenapa kau
tertawa?" tanya Adipati Sumenep itu kurang senang.
"Orang tua, apakah kau
ini anggota wayang orang atau pemain sandiwara keliling?"
Paras Wira Seta menjadi merah.
"Aku jauh lebih tua
darimu. Tidak pantas kau ajak bergurau!"
"Siapa bergurau? Aku
tanya yang wajar-wajar saja. Kalau kau bukan seorang pemain sandiwara mengapa
memakai kumis dan janggut palsu?"
"Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu.
Tapi kau harus menjawab pertanyaanku! Katakan siapa dirimu dan apa yang kau
kerjakan di tempat ini."
"Pertanyaan mudah.
Jawabnya juga mudah. Namaku Wiro. Aku di sini tengah makan cempedak. Nah, kau
puas orang tua?"
"Tidak, aku tidak
puas." Jawab Wira Seta. "Aku punya kecurigaan kau adalah seorang
mata-mata yang tengah mengintai kami."
Si gondrong yang adalah Wiro
Sableng murid nenek sakti Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede yang dalam dunia
persilatan dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
menyeringai.
"Tuduhanmu tidak
beralasan orang tua, tapi apa yang barusan kau ucapkan justru menimbulkan
kecurigaan dalam hatiku!"
"Adipati, biar saya
menghajar orang ini. Mulutnya terlalu lancang dan sikapnya sangat kurang
ajar!" terdengar suara Gandita.
Wira Seta mengangkat tangan
memberi tanda agar pembantunya itu tetap berada di tempatnya. Lalu dia
berpaling pada pemuda yang duduk dalam perahu di hadapannya.
"Apa maksudmu? Apa yang
kau curigai dan siapa yang kau curigai?" suara Wira Seta menyentak.
"Jika kau tidak menyimpan
satu rahasia mengapa harus mencurigai orang dan menuduh aku mata-mata!?"
"Lalu mengapa kau
tahu-tahu muncul di tempat ini. Kau pasti sengaja mencuri dengar apa yang kami
bicarakan di sini!" sergah Wira Seta.
"Orang tua, kau memang
kelewatan. Sebelum kau dan orang-orang itu muncul, aku sudah sejak pagi berada
di tempat ini. Bagaimana kalau kubalik. Justru kaulah sebenarnya yang tengah
memata-matai diriku!"
Raden Adiatwang maju ke tepi
kali. "Dimas, pemuda ini membuat aku mual. Aku akan perintahkan pengawal
menangkapnya. Aku akan bawa dia ke Gelang-Gelang dan diperiksa di sana! Kalau
dia ternyata memang seorang pemuda kurang waras, aku akan lepaskan dia."
"Aku punya dugaan dia
sengaja bersikap dan bicara konyol seperti orang tidak waras untuk menutupi
sesuatu." Wira Seta melompat keluar dari dalam perahu seraya berseru,
"Para pengawal! Tangkap orang ini!"
"Hajar kalau
melawan!" menimpali Adikatwang.
Enam orang perajurit Kediri
melompat ke dalam perahu. Dua lainnya turun ke dalam air, mencegat di samping
kiri perahu untuk mencegah si pemuda yang hendak ditangkap agar jangan sampai
melarikan diri.
Perahu kecil dijejali enam
orang pengawal, tujuh dengan Wiro tentu saja tidak dapat menampung orang
sebanyak itu. Perahu ini langsung amblas terbalik. Semua orang yang ada
diatasnya jatuh masuk ke dalam air, tidak terkecuali Wiro.
Semua orang di tepi kali
kemudian terkejut ketika mereka mendengar suara teriakanteriakan delapan
perajurit yang ada di dalam kali. Satu demi satu tubuh mereka seperti ditarik
ke dalam air. Ketika mereka akhimya muncul kembali suasana di tepi Kali Brantas
itu menjadi heboh. Tidak satupun lagi dari ke delapan perajurit Kediri yang
keluar dari kali itu kini mengenakan celana! Dalam keadaan tubuh setengah
telanjang pada bagian yang paling rawan itu, mereka kalang kabut berusaha
menutupi aurat!
Dalam keadaan seperti itu di
seberang kali terdengar suara tertawa mengakak. Semua orang di tepi Barat kali
memandang ke seberang. Di tepi Timur Kali Brantas kelihatan pemuda berambut
gondrong itu tegak sambil tertawa terpingkal-pingkal. Di kedua tangannya dia
memegang delapan helai celana panjang yang sebelumnya dikenakan oleh delapan
perajurit. Satu demi satu celana itu dilemparkannya ke dalam kali, hanyut
dibawa arus ke hilir.
"Penghinaannya sudah
keterlaluan!" geram Adikatwang sambil mengepalkan tinju. "Lepaskan
panah beracun!" teriaknya. Tiga orang anak buahnya segera menyiapkan busur
dan panah beracun. Tetapi ketika tiga panah itu melesat ke seberang kali,
Pendekar 212 Wiro Sableng sudah lenyap. Hanya suara tertawanya yang masih
kedengaran di kejauhan.
"Manasia itu tidak
gila!" kata Adikatwang.
"Kalau dia memang sempat
mendengar pembicaraan kita, keadaan bisa sangat berbahaya," ujar Wira Seta
pula. Air mukanya tampak jadi gelisah.
"Aku akan sebar orang
untuk mencari jejaknya." Adikatwang juga tampak tidak tenang.
Yang paling terpukul adalah
Gandita. Pemuda itu berulang kali kelihatan mengepalkan kedua tinjunya bahkan
membanting-banting kaki. Dia memisahkan diri dari orang-orang di tepi kali itu.
Dalam hatinya dia tidak habis pikir. Tamparanku seharusnya sudah cukup membuat
pemuda itu cedera berat. Tapi bahkan jotosanku seperti tidak ada apa-apanya!
Aku malu sekali! Dimana mukaku hendak kuletakkan. Apa kata Adipati Wira Seta
nantinya. Juga bagaimana pula pandangan Raden Adikatwang. Padahal dia baru saja
memujiku. Aku murid orang sakti dari Gunung Kelud. Digembleng selama
bertahun-tahun. Tapi ternyata tidak mampu menghadapi anak desa tadi. Wiro…
Namanya Wiro. Belum pernah aku mendengar seorang pendekar dengan nama itu.
Siapa dia sebenarnya? Aku harus mencarinya. Aku harus menantangnya. Berkelahi
sampai seratus bahkan seribu jurus kalau perlu. Aku harus menghajarnya dan
membuatnya bertekuk lutut! Hanya itu satu-satunya cara untuk mengembalikan
kepercayaan Adipati Wira Seta dan Raden Adikatwang.
Untuk melepaskan rasa geram
dan amarah yang seperti membakar dadanya Gandita memukul batang pohon yang ada
di depannya.
Braaak!
Kulit pohon pecah, bagian
dalamnya hancur. Terdengar suara bergemuruh ketika pohon itu patah dan tumbang.
Satu tangan memegang bahu
Gandita. Pemuda ini mengira orang itu adalah pemuda gondrong yang telah
mempermalukannya. Cepat dia membalik seraya menghantamkan tinju dengan kekuatan
tenaga dalam penuh! Angin pukulannya terdengar menggidikkan.
Tapi Gandita cepat menarik
pulang tangannya ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Pemuda ini
jatuhkan diri dan berkata.
"Adipati, maafkan saya.
Saya kira…."
Adipati Wira Seta mengangguk.
"Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini Gandita."
"Saya tidak berguna jadi
pembantu Adipati," berterus terang pemuda itu.
"Jangan berkata begitu
anak muda. Hidup ini penuh cobaan dan tantangan. Apapun yang telah terjadi
hanya satu pengalaman agar dimasa mendatang kita harus belajar lebih banyak.
Aku tetap percaya kau adalah pembantuku yang terbaik. Berdirilah. Kita akan
segera kembali ke Sumenep."
Sambil mengusap mukanya
Gandita bangkit berdiri. Apapun yang dikatakan oleh sang Adipati tidak membuat
rasa sakit hatinya terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng jadi berkurang.
***
Kapak Maut Naga Geni 2123
SEBATANG panah beracun yang
dibidikkan dari seberang Kali Brantas menancap di batang pohon. Kulit pohon ini
kelihatan menghitam pertanda betapa jahat dan berbahayanya racun panah.
Pendekar 212 sendiri saat itu sudah jauh meninggalkan tepi Timur Kali Brantas
tapi dia masih saja tertawa terpingkal-pingkal. Ketika dadanya terasa agak
sesak dan perutnya sakit karena terus-terusan tertawa akhirnya dia duduk di
gundukan akar sebuah pohon besar.
Tawanya sesaat berhenti.
Dibukanya bajunya yang basah lalu diperasnya sampai sekering mungkin. Ketika
dia ingat lagi akan apa yang dilakukannya terhadap prajurit-prajurit Kediri
itu, Wiro tak dapat menahan diri. Kembali dia tertawa gelak-gelak. Tetapi saat
itu ternyata dia tidak tertawa sendirian. Ada orang lain yang ikut tertawa
bersamanya.
Tertawa itu demikian keras dan
hebatnya sehingga murid Eyang Sinto Gendeng merasakan akar pohon yang
didudukinya ikut bergetar. Wiro hentikan tawanya. Orang lain itu masih terus
tertawa. Akhirnya Wiro juga ikut-ikutan tertawa kembali.
Sambil tertawa dan garuk-garuk
kepala dia memandang berkeliling. Mencari dimana dan siapa gerangan orang yang
tertawa itu. Suara tawanya keras tanda pasti orangnya berada di dekat-dekat
situ. Tiba-tiba ada air mengucur dari atas. Air yang terasa agak hangat ini
jatuh di pundak Wiro. Wiro mengusapnya lalu hidungnya membaui sesuatu.
"Kurang ajar! Air
kencing!" teriak Pendekar 212 sewaktu dia membaui pesingnya air yang jatuh
di badannya. Dia melompat dari duduknya dan mendongak ke atas pohon. Mata Wiro
Sableng jadi mendelik.
Di atas pohon itu pada sebuah
cabang yang tidak seberapa besar dilihatnya duduk seorang lelaki bertubuh luar
biasa gemuknya. Dia duduk sambil tertawa-tawa yang membuat tubuhnya
terguncang-guncang. Orang ini mengenakan celana hitam dan sehelai baju putih
yang tak bisa dikancingkan karena kesempitan. Rambutnya disanggul ke atas.
Dadanya yang gembrot dan perutnya yang berlemak tersembul.
Kedua matanya yang sangat
sipit sampal basah karena tertawa. Tapi bukan matanya saja yang basah. Ternyata
bagian bawah perutnya juga ikut basah lalu tiris ke bawah. Air kencingnya
inilah yang mengucur jatuh menimpa Pendekar 212 yang saat itu duduk dibawah
pohon!
Wiro usap bahunya yang terkena
air kencing dengan baju yang barusan diperasnya. Dia hendak memaki
habis-habisan, tetapi otaknya bekerja cepat.
Dalam hatinya dia berkata.
Kerbau bunting di atas pohon itu bukan manusia sembarangan. Beratnya pasti
lebih dari dua ratus kati. Tapi lihat, dia bisa duduk di cabang pohon yang
begitu kecil! aku lngat pada sahabatku Raja Penidur yang luar biasa gemuknya.
Tapi kerbau bunting di atas pohon ini jauh lebih gemuk!
Wiro menunggu sampal orang itu
berhenti tertawa. Tapi nyatanya si gemuk ini tawanya semakin menjadi-jadi. Air
kencingnya juga maslh terus tiris ke bawah membuat Wiro terpaksa menjauh dari
pohon.
Setelah ditunggu-tunggu dan
tawanya tidak juga berhenti, Wiro jadi kesal. Dia berteriak.
"Kerbau Bunting di atas
pohon! Berhenti tertawa! Kau telah mengencingiku!"
Suara tawa sirap. Di atas
pohon orang gemuk itu tampak berpaling ke kiri dan ke kanan. "Kerbau
Bunting? Ada yang menyebut aku Kerbau Bunting? Lucu sekali! Hidup seratus lima
puluh tahun baru hari ini ada yang memanggil diriku Kerbau Bunting!
Ha…ha…ha…ha…haaaa!" Tubuh si gemuk berguncang-guncang dan suara tawanya
kembali menguncang.
"Sialan!" maki Wiro.
Dia memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya melihat seekor Ular Keket hijau
besar menempel di atas sehelai daun dekat rumpunan semak belukar.
"Hemmmm…." Wiro
garuk-garuk kepalanya.
"Aku mau lihat apakah kau
masih bisa tertawa kalau mulutmu kujejali binatang ini!"
Meskipun agak geli-geli Wiro
mengangkat Ular Keket dari atas daun lalu dilemparkannya ke atas pohon.
Si gemuk di atas pohon yang
masih terus tertawa gelak-gelak tampak kaget ketika sebuah benda hijau
bergelung melesat ke arah mulutnya yang terbuka lebar. Cepat dia meniup ke
bawah. Ular Keket itu mental tetapi kini justru jatuh dan menempel di perutnya
yang tersembul di sela baju yang tidak terkancing!
"Wadauuuuw….! Ular! Ular
Keket…! Tolong..!"
"Tolong!"
Sekujur tubuh si gemuk
menggigil. Mukanya yang tadi merah karena tertawa terusterusan kini menjadi
pucat pasi.
Ternyata dia takut sekali pada
Ular Keket yang kini menempel di perutnya yang gendut berlemak itu. Kedua
kakinya digoyang-goyangkan. Kedua tangannya bergerak kian kemari kalang kabut.
Dia coba pergunakan tangan untuk menjentik binatang itu tepi tak jadi karena
merasa sangat jijik. Saking bingungnya dia melompat ke cabang pohon yang lain.
Bergelantungan sambil melejang-lejangkan kedua kakinya.
"Tolong! Wadauwww….
Ular…. Tolong!" teriak si gendut lagi.
Di bawah pohon Pendekar 212
Wiro Sableng tertawa terpingkal- pingkal.
"Rasakan olehmu sekarang!
Masih untung binatang itu tidak nyemplung ke dalam mulutmu!
"Tolong! Aduh! Bagaimana
ini! Tolongggg…. !" Dari atas pohon kini kelihatan makin deras air kencing
yang mengucur ke bawah.
"Gila! Berapa gentong air
yang tersimpan dalam perut Kerbau Bunting itu. Kencingnya tak
habis-habis!"
"Tolong…! Aduh…!
Ampunnnn! Tolong! Ada Ular Keket di perutku! Batara Dewa Tolong diriku….
!" Lama-lama Wiro jadi kasihan juga melihat si gemuk itu.
Dia patahkan sebuah ranting
lalu melompat melesat ke atas pohon tempat di mana si gemuk bergelantung
ketakutan setengah mati.
Dengan ujung ranting
disingkirkannya Ular Kaket hijau besar yang menempel di perut si gendut lalu
dia melayang turun ke tanah kembali.
Di atas pohon jeritan
ketakutan si gemuk langsung berhenti. Tubuhnya mandi keringat.
"Terima kasih…! Terima
kasih! Heh, siapa yang menolongku?!" Si gendut memandang ke kanan dan ke
kiri.
"Hai! Aku di bawah
sini!" terlak Wiro. "Kerbau Bunting itu pasti sudah tahu aku berada
di sini. Tapi dia berpura-pura saja!"
Si gendut memandang ke bawah.
Dagunya tertahan oleh dadanya yang gembrot. Tapi dia bias melihat Wiro di bawah
sana.
"Ah, kau di situ
rupanya!" Lalu si gendut lepaskan pegangannya pada cabang pohon. Tubuhnya
melayang jatuh ke bawah. Sebuah batu kecil saja kalau jatuh ke tanah pasti akan
mengeluarkan suara berdebuk. Tapi ketika kedua kaki si gendut yang beratnya
lebih dari dua ratus kali itu menginjak tanah Wiro memperhatikan dan tidak
mendengar ada sedikit suarapun! Kerbau Bunting ini benar-benar manusia luar
biasa, kata Wiro dalam hati.
Di hadapan Wiro si gemuk
menjura lucu seraya berkata, "Sobatku Muda. Terima kasih. Kau telah
menolong aku dari binatang celaka itu!"
Wiro tertawa gelak-gelak. Si
gemuk ikut-ikutan tertawa. Tapi tiba-tiba dia hentikan tawanya dan bertanya.
"Eh, Sobatku Muda.
Mengapa kau tertawa? Apa Ada yang lucu pada diriku?"
"Jelas tubuhmu dari ujung
rambut sampal ujung jempol sangat lucu!"
"Apakah kau tadi yang
memanggil aku dengan sebutan Kerbau Bunting?"
"Betul." sahut Wiro
dan menyangka si gendut itu akan marah. Tapi justru orang di depannya malah
tertawa gelak-gelak sampai sekujur tubuhnya berguncang-guncang.
"Lucu… Lucu sekali
sebutan itu. Seratus lima puluh tahun hidup malang-melintang dimuka bumi, baru
sekali ini ada yang memberikan nama lucu begitu padaku. Terima kasih sobatku
muda!"
Wiro jadi melongo mendengar
kata-kata itu.
"Heh, tadi aku bertanya
kenapa kau tertawa waktu aku bilang terima kasih. Bukankah kau yang telah
menolongku menyingkirkan Ular Keket celaka itu?"
"Benar Sobatku
Gendut."
"Sobatku Gendut? Ah,
sekarang kau menyebut aku dengan nama itu! Kau seorang sahabat yang benar-benar
lucu!" Si gendut lalu tertawa gelak-gelak sampai ke dua matanya basah.
"Terima kasih. Kau telah
menolongku. Aku benar-benar takut pada binatang seperti itu. Cuma kenapa kau
belum menjawab pertanyaanku. Mengapa kau tertawa waktu aku bilang terima
kasih?"
"Kau tidak tahu!
Sebetulnya akulah yang tadi melemparkan binatang itu ke padamu!" jawab
Wiro polos.
Si gemuk tampak terkejut.
"Kau… Kau yang melemparkannya?" tanyanya.
Wah, kali ini Kerbau Bunting
ini pasti marah besar! Membatin Pendekar 212. Lalu dia mengangguk. "Ya,
aku yang melemparkannya!" Wiro lalu berjaga-jaga kalau-kalau si gendut itu
menjadi marah dan menghantamnya.
"Kau…?" Kening si
gendut tampak mengerenyit.
Matanya yang sangat sipit
seperti mau mendelik tapi tidak bisa dan tetap saja sipit. Tibatiba dari
mulutnya meledak keluar suara tawa mengakak.
Lucu, aku sangka dia bakalan
marah. Ternyata tidak. Malah tertawa gelak-gelak. Mahluk aneh macam apa dia ini
sebenarnya!
Seperti tahu apa yang
dipikirkan Wiro si gemuk hentikan tawanya dan berkata. "Aku tertawa dan
aku tidak marah. Karena kau orang jujur dan bicara polos!" Si gendut
pegang kedua bahu Wiro lalu mengguncang-guncangnya dengan keras hingga Pendekar
212 merasa tubuhnya seperti diguncang gempa yang dahsyat. Tapi diam-diam dia
merasakan ada hawa aneh yang mengalir lewat kedua bahunya. lubuhnya mendadak
terasa enteng!
Astaga! Orang ini seperti
sengaja mengalirkan semoga aneh ke dalam tubuhku! Kata Wiro dalam hati begitu
menyadari tubuhnya menjadi lebih enteng.
"Sobatku muda, aku mau
tanya," berkata si gendut. "Mengapa kau tadi melemparkan Ular Keket
itu padaku?"
"Karena kau mengencingi
aku!" jawab Wiro.
"Hah?! Aku
mengencingimu?!" Si gendut bermata sipit itu seperti terkejut.
"Bagaimana mungkin?" Lalu dia memperhatikan bagian bawah celana
hitamnya. Dipegangnya selangkangan-nya. Terasa basah. Lalu tangannya yang tadi
memegang celananya yang basah disapukan di depan hidung. Bau pesing.
"Gila! Aku memang kencing rupanya!" kata si gendut ini. Dia diam
sebentar lalu tertawa gelak-gelak.
"Kalau aku mengencingi
itu bukan disengaja Sobatku Muda!" kata si gemuk itu sambil mengusap kedua
matanya yang basah. "Ada sebab yang membuatku terkencing-kencing. Aku tadi
tertawa terpingkal-pingkal dan kau kebetulan ada dibawah pohon! Walaupun begitu
kuharap kau sudi memaafkan diriku!"
Wiro diam saja. Sesaat
kemudian dia bertanya.
"Apa yang membuatmu
tertawa terpingkal-pingkal?" "Aku melihat satu kejadian lucu di tepi
Kali Brantas!"
"Kejadian apa?" Wiro
menyambung pertanyaannya.
"Aku
melihat…ha…ha…ha…" Si gendut belum sempat meneruskan ucapannya dia sudah
keburu tertawa. "Aku melihat… Ha… ha.., ha… ha… Ada…ada… ada delapan orang
prajurit Kediri dipreteli orang celananya hingga waktu mereka keluar darl air
dalam keadaan bugil! Anunya pada bergelantungan kemana-mana….! He…ha…ha! Apakah
itu menurutmu tidak lucu? Mereka kelabakan! Berusaha menutupi anu mereka!
Lucu….! Ha…. he …ha…" Tiba-tiba suara tawanya berhenti. Kedua matanya yang
sipit memandang lekat-lekat kepada Wiro Sableng.
Apa yang ada dalam pikiran si
gendut ini, Wiro bertanya dalam hati.
"Heh?" Bukankah…
Bukankah kau orangnya yang menelanjangi delapan perajurit Kediri itu?!"
Wiro tertawa lebar. Sambil garuk-garuk kepalanya dia mengangguk dan berkata.
"Memang. Aku yang menelanjangi mereka. Mereka hendak menangkapku!"
Si gemuk tertawa mengekeh.
"Kau ternyata pemuda jahil! Lain kali kalau mau menelanjangi orang, jangan
orang lelaki, tapi cari orang perempuan! Ha… ha… ha… ha…!"
Wiro jadi ikut-ikutan tertawa.
"Mengapa mereka hendak
menangkapmu?"
"Karena aku makan
cempedak." Jawab Wiro.
Lalu dia bertanya.
"Apakah seseorang bisa ditangkap karena makan cempedak?"
"Mana ada pasalnya orang
ditangkap makan cempedak. Kecuali kalau cempedak itu buah curian. Atau kau
makan sambil berpelukan dengan bini orang! Ha…ha…ha…ha…!"
Wiro geleng-geleng kepala.
Seumur hidup belum pernah dia bertemu dengan orang seperti ini. Gemuk luar
biasa dan juga lucu luar biasa.
"Hari sudah siang! Aku
masih punya keperluan lain. Sobatku Muda, aku mau pergi sekarang." berkata
si gendut.
"Ke mana tujuanmu
sebenarnya?"
"Ah, hal itu tidak bisa
kukatakan padamu. Jangan marah. Ha…ha…ha…"
"Aku mengucapkan terima
kasih padamu. Kau telah menanam budi baik padaku."
"Eh, kau ini bicara apa
Sobatku Muda?" tanya si gendut.
"Kau berpura-pura Sobatku
Gendut. Waktu memegang kedua bahuku tadi, kau diam-diam mengalirkan hawa aneh
ke dalam tubuhku. Lalu aku merasa tubuhku lebih ringan dari sebelumnya."
Si gendut tertawa gelak-gelak.
"Anggap saja itu sebagai pembayar dosaku mengencingimu! Ha…. ha…
ha…!" Habis berkata begitu dia masukkannya dua jari tangan kanannya ke
mulut. Lalu terdengar suara suitan. Dari balik semak belukar menyeruak keluar
seekor keledai, kecil pendek
dan kurus.
"Tungganganku sudah
datang menjemput. Aku pergi. Selamat tinggal Sobatku Muda!"
Wiro terkejut. "Kau… Kau
hendak menunggangi keledai sekecil itu?" tanya Wiro heran.
"Memangnya kenapa?"
balik bertanya si gendut.
"Tubuhmu besar dan berat!
Baru berjalan lima langkah keledai itu akan jadi mejret!"
Si gendut tertawa gelak-gelak.
"Kau saksikan saja nanti apakah binatang ini mejret atau tidak!" Si
gendut melompat. Sekali lompat saja dia sudah duduk di punggung keledai kurus
itu. "Ayo jalan!" seru si gendut seraya menepuk pinggul binatang
tunggangannya. Keledai itu melangkah. Ternyata jalannya cepat sekali. Setelah
lewat sepuluh langkah si gendut berpaling. "Apakah kau lihat keledai ini
mejret?!" teriaknya. Lalu dia tertawa mengekeh.
Wiro garuk-garuk kepala. Kedua
matanya memperhatikan. Lalu. Astaga! Keledai itu ternyata berkaki enam. Yang
dua adalah kaki si gendut sendiri! Kedua kakinya ternyata menjejak tanah dana
berjalan seperti biasa. Hanya pantatnya saja rupanya yang menumpang duduk di
punggung si keledai. Itupun tidak sampai menekan tubuh tunggangannya karena
sebenarnya dia berjalan kaki seperti biasa!
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Hai Sobat!" teriak Wiro. "Sebelum pergi kau mau memberi tahu
siapa namamu?!"
"Selama seratus lima
puluh tahun hidup, aku tidak pernah memakai namaku. Kini aku jadi lupa apakah
aku punya nama atau tidak. Tapi orang- orang menggelariku Dewa Ketawa! Gelaran
lucu! Ha…ha..ha…! Tapi mungkin mereka betul! Mungkin gelar itu cocok
bagiku!" Si gendut lalu menepuk pinggul keledai kurusnya. Binatang ini
melangkah lebih cepat. Kedua kaki si gendut juga bergerak lebih cepat. Sesaat
kemudian orang dan tunggangannya itu lenyap di balik kerapatan pepohonan dan semak
belukar.
Wiro masih tertegak di
tempatnya semula. Dewa Ketawa. Belum pernah aku mendengar nama itu sebelumnya.
Dia mungkin seumur dengan Dewa Tuak. Aku tidak mengerti mengapa dia mengalirkan
hawa aneh ke dalam tubuhku. Sayang aku menyelidiki apakah dia orang Kediri atau
orang Singosari. Dia sendiri rupanya tidak kepingin tahu namaku. Kerbau Bunting
yang aneh… Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya lalu tinggalkan tempat itu.
***
Kapak Maut Naga Geni 2124
SETELAH Adipati Wira Seta dan
Gandita meninggalkan tempat pertemuan rahasia di tepi Kali Brantas itu, Raden
Adikatwang dan rombongannya segera kembali ke Gelang-gelang yang dijadikan
pusat Kerajaan Kediri pada masa itu. Rombongan ini sengaja menempuh rimba
belantara untuk menghindari pertemuan dengan pihak-pihak yang tidak diinginkan
dan bisa membocorkan rahasia.
Dalam perjalanan kembali ini
Adikatwang lebih banyak berdiam diri. Suara hatinya berkata tiada henti. Apakah
memang dia harus mengangkat senjata bersama Wira Seta, memberontak terhadap
kekuasaan Singosari. Mustikah Sang Prabu dihabisi riwayatnya? Haruskah semua
itu dicapai dengan pertumpahan darah? Bukankah nantinya bakal banyak rakyat
yang menderita? Kalau aku menang apakah aku memang layak memegang tampuk
kekuasaan? Memerintah dikelilingi oleh orang-orang Singosari yang tentunya akan
menanam dendam sakit hati pula atas kekalahan mereka, atas kematian teman dan
keluarga mereka?
Ketika suara hati Adikatwang
berkata begitu, telinganya seperti mengiang suara jawaban yang lebih keras dan
menggetarkan.
Adikatwang kau adalah turunan
dan pewaris syah singgasana Kediri. Dulu orang-orang Singosari merebut
kekuasaan dan merampas tahta Kerajaan Kediri dari moyangmu! Sekarang saatnya
untuk membalaskan segala sakit hati! Sekarang saatnya untuk mengangkat senjata.
Kau tidak sendirian. Dimana-mana orang akan mendukung perjuanganmu. Ada ribuan
perajurit yang bersedia mengorbankan darah dan jiwa raganya demi berdirinya
kembali Kerajaan Kediri. Kesempatan hanya datang satu kali. Kalau kau
mengabaikannya kau akan tetap menjadi hamba sahaya di bawah tekanan Singosari!
Adikativang mengusap wajahnya.
Sikapnya yang berdiam diri Itu bukan tidak diperhatikan oleh para perajurit
yang mengawalnya. Namun tak ada satu orangpun dari mereka yang berani
mengatakan resuatu. Rombongan itu bergerak dalam kesunyian lanpa ada yang
bicara.
Di satu tempat telinga
Adikatwang mendengar sesuatu. Dia hentikan kudanya dan memandang berkeliling.
"Ada apakah Sri
Baginda?" tanya seorang pengawal. Para pengikut Adikatwang yang setia
selalu memanggil Adikatwang dengan sebutan Sri Baginda. Walaupun pemimpin
mereka itu tidak lebih dari seorang raja kecil yang tiada berdaya di satu
wilayah yang kecil pula, namun mereka tetap menganggap Adikatwang adalah raja
mereka, Raja Kediri.
"Aku mendengar sesuatu…"
Jawab Adikatwang.
Sepuluh pengawal memasang
telinga. Mereka saling pandang. Beberapa saat kemudian salah seorang dari
mereka" berkata. "Kami tidak, mendengar suara apa-apa."
Tentu saja para perajurit itu
tidak atau belum mampu mendengar suara yang datangnya sangat sayup-sayup di
kejauhan di dalam rimba belantar itu. Karena kesaktiannya Adikatwang bisa
mendengar suara itu yang tidak mampu didengar oleh para pengikutnya.
"Ikuti aku… Tapi harap
kalian waspada. Tangan kalian jangan jauh di senjata." kata Adikatwang.
Maka sepuluh perajurit itu segera menempelkan tangan pada senjata
masingmasing. Mereka bergerak mengikuti Adikatwang.
Tak selang berapa lama
Adikatwang kembali hentikan kudanya dan berkata. "Suara itu semakin jelas.
Apakah kalian bisa mendengarnya sekarang?"
"Ya… Kami dapat
mendengarnya sekarang," jawab beberapa perajurit bersamaan.
"Apa yang kalian
dengar?" Adikatwang mengulangi.
"Itu… suara…suara orang
sesenggukan. Suara orang menangis." jawab perajurit di samping Adikatwang.
Adikatwang mengangguk.
"Tidakkah aneh ada ingin menangis di dalam rimba belantara seperti? Mari
kita bergerak ke arah suara. Kita akan lihat siapa adanya orang yang menangis
itu."
Kembali sepuluh perajurit
mengikuti pimpinan mereka bergerak ke arah kanan yaitu dari mana datangnya
suara orang menangis terisak-isak. Berapa puluh langkah menunggangi kuda, di
suatu tempat yang agak terbuka, duduk di atas sebatang kayu yang sudah lapuk
tampak seorang kakek berkulit hitam tengah menangis. Tangisnya sedih sekali dan
setiap saat dia mengusap kedua matanya yang basah dengan ujung kaln putih yang
diselempangkan di dada. Melihat kepada rambutnya yang digelung di atas kepala
serta pakaiannya, tampaknya kakek hitam ini adalah seorang Resi. Tetapi
Adikatwang yang mengenali orang tua itu tahu betul kalau kakek itu bukanlah
seorang Resi atau Brahmana.
"Dewa Sedih! Sungguh
suatu rahmat dari para dewa kalau saat ini aku bisa menemuimu! Aku memang sudah
lama mencarimu. Dicari-cari tidak ketemu tahu-tahu muncul sendiri!"
Kakek yang dipanggil dengan
julukan Dewa Sedih itu turunkan kedua tangannya. Melihat wajahnya, sekalipun
dia tidak menangis, orang akan menyaksikan satu wajah yang selalu membayangkan
kesedihan. Kedua alis matanya yang hitam menjulai bawah. Mulutnya mengkerut.
Sekalipun dia tersenyum maka mimik wajah itu tetap saja menunjukkan kesedihan.
Begitu melihat Adikatwang,
orang tua ini berkata perlahan, "Raden…" Lalu kembali dia menangis
terisak-isak. Siapa yang mendengarkan pasti akan merasa sedih.
Adikatwang yang sudah tahu
sifat orang tua ini hanya bisa tersenyum. "Dewa Sedih, kau berada jauh
dalam hutan begini. Menangis sedih sekali. Apakah pasal sebabnya?"
Dewa Sedih geleng-geleng
kepala. Dia mengusap muka dan wajahnya berulang kali. "Aku… Aku melihat
sesuatu di telapak tangan kiriku…" katanya lalu kemball menggerung seperti
anak kecil.
"Mana coba kulihat
telapak tangan kirimu…" kata Adikatwang pula.
Orang tua itu kembangkan
telapak tangan kirinya di hadapan Adikatwang.
"Lihat sendiri,"
katanya. "Lihat, sesuatu akan terjadi sesuatu peristiwa besar yang sangat
menyedihkan…" Dewa Sedih meneruskan tangisnya.
"Aku tidak melihat
apa-apa," kata Adikatwang sambil tersenyum. Tapi diam-diam hatinya
berdetak. Walaupun bersifat aneh dan terkadang menjengkelkan, setiap ucapan
orang tua ini tidak boleh dianggap sepi. Dia mengatakan satu peristiwa besar
yang sangat menyedihkan akan terjadi. Apakah dia sudah punya firasat kalau…?
"Mata Raden buta
rupanya!" terdengar Dewa Sedih berkata setengah memaki. "Masakan
gambar yang begini jelas di telapak tanganku Raden tidak melihat?"
"Kau betul Dewa Sedih.
Mata orang tolol sepertiku mana punya kemampuan melihat sehebat kedua mata yang
kau miliki. Coba kau ceritakan dengan jelas, apa yang kau lihat di telapak
tanganmu."
Sambil sesenggukan Dewa Sedih
kembangkan talapak tangannya dan memperhatikan lekat-lekat. Sesenggukannya
berubah menjadi tangisan keras. Di antara tangisnya terdengar ucapannya.
"Perang… ada perang. Darah di mana-mana… Mayat di mana-mana. Sedih…
menyedihkan sekali. Dewa Batara kasihani mereka. Tolong mereka… Jauhkan
malapetaka itu. Hik…hik…hik…"
Paras Adikatwang jadi berubah.
Begitu juga sepuluh orang prajurit yang ada di tempat itu. Mereka saling
pandaug bahkan ada yang mulai berbisik-bisik Orang tua ini sungguh luar biasa
kesaktiannya. Dia mampu melihat apa yang bakal terjadi dalam waktu dekat ini.
Kalau apa yang ditetahuinya itu diberitahukannya pada orang iain, bisa celaka…
"Dewa Sedih, dari pada
kau menangis di rimba belantara ini, lebih baik ikut bersamaku ke Gelang-gelang.
Aku memerlukan bantuanmu. Ada pekerjaan besar menunggumu. Imbalannya tentu saja
besar pula."
"Aku tak mau hidup
terikat ikut dengan orang lain. Biarkan aku sendirian di sini. Tangisku belum
selesai." Lalu kembali Dewa Sedih menangis tersedu-sedu.
"Dewa Sedih, jangan kau
salah kira. Aku atau siapapun tidak ada yang akan mengikatmu. Di Gelang-gelang
kau bebas mau pergi kemana, mau melakukan apa. Bahkan menangis di sana akan
lebih nikmat…"
"Maksudmu?" tanya
Dewa Sedih. Tangisnya terhenti.
"Di sana kau bisa
menangis dengan diiringi gamelan. Apa tidak hebat?!"
"Menangis diiringi
gamelan?"
"Betul." Jawab
Adikatwang sungguh-sungguh.
"Ah… Aku jadi lebih
sedih. Kasihan pemain-pemain gamelan itu nantinya. Mereka tidak akan mampu
mengikuti suara orang menangis… Pergilah kalian. Aku mau menangis sampai
mati."
"Kalau kau memang mau
mati, tidak usah menunggu lama. Di hutan ini banyak binatang buas dan binatang
berbisa. Kau tinggal memilih mati cara bagaimana. Diterkam harimau. Atau
dipagut ular berbisa!"
Mendengar kata-kata Adikatwang
itu paras Dewa Sedih berubah. Dia seperti ketakutan tetapi anehnya air mukanya
justru kelihatan kuyu sedih.
"Kalau begitu biar aku
ikut bersama Raden," kata Dewa Sedih dan cepat bangkit berdiri.
"Ikut aku itu sudah pasti
Dewa Sedih. Tapi aku mau tahu di mana saudara mudamu yang berjuluk Dewa Ketawa
itu? Sebenarnya aku ingin dia ikut bergabung bersama kami."
"Ah si kentut gendut Dewa
Ketawa itu aku tidak mengaku saudara padanya. Aku selalu diejeknya, dihina dan
ditertawai."
"Itu urusanku nanti kalau
dia masih begitu terhadapmu. Yang penting kau tahu di mana kita bias
menemukannya?" tanya Adikatwang.
Dewa Sedih Menggeleng.
"Coba lihat di telapak
tanganmu," kata Adikatwang pula.
"Ah, kau betul Raden. Aku
baru ingat…" Masih sesenggukan dan wajah menunjukkan kesedihan mendalam
Dewa Sedih kembangkan lebar-lebar telapak tangan kirinya. Lalu memperhatikan
tanpa berkesip. Beberapa saat kemudian dia mengangkat kepalanya, memandang
kepada Adikatwang.
"Gajah buduk itu sebelumnya
berada di tepi Kali Brantas sebelah Tenggara. Kini kulihat dia menunggangi
keledai bobroknya menuju ke Barat. Jangan-jangan dia dalam perjalanan menuju
Tumapel di Singosari."
Adikatwang merasa tidak enak
mendengar ramalan Dewa Sedih itu. "Dewa Sedih, apakah kau bisa memanggil
adikmu itu lalu sama-sama membantu di Kediri."
Dewa Sedih menggelengkan
kepala. "Orang sedih dia mana bisa disatukan dengan orang ketawa. Raden
harus memilih. Percaya padaku atau lebih suka padanya. Yang jelas kami berdua
tidak bisa seiring sejalan."
Adikatwang mengusap dagunya.
"Baiklah," katanya.
"Kalau begitu kau yang
akan kuambil. Hentikan tangismu dan jangan terlalu cengeng."
"Aku tidak cengeng! Aku
hanya sedih!" kata Dewa Sedih hampir berteriak. Marah dia rupanya. Tapi walaupun
begitu tampangnya tetap saja murung.
"Aku tahu… Aku
tahu…" kata Adikatwang. "Aku juga sedih."
"Raden juga sedih? Jadi
kita sama-sama sedih. Kalau begitu mari kita sama-sama menangis!"
Manusia geblek! Maki
Adikatwang dalam hati. Kalau bukan karena kesaktianmu jangan harap aku mau
membawa manusia gila sepertimu.
***
Kapak Maut Naga Geni 2125
SIANG itu langit cerah.
Diiringi oleh para pengawal, bersama-sama Patih Raganatha, beberapa orang
Pendeta dan Panglima Perang Kerajaan Aruajaya, Sang Prabu melangkah menuruni
tangga Candi Jago yang terletak di sebelah Selatan Tumapel. Raja Singosari itu
baru saja melakukan upacara keagamaan. Candi Jago sengaja didirikan oleh Sang
Prabu sebagai tempat pemujaan terhadap ayahandanya yaitu mendiang Wisnu Wardhana.
Seorang hamba sahaya membawa payung kuning berumbai-umbai merah untuk
melindungi Sri Baginda dari sengatan matahari.
Ketika kaki kiri Sang Prabu
Singosari menginjak anak tangga terakhir di bagian depan Candi, tiba-tiba di
langit petir menyambar terang benderang. Bersamaan dengan itu menggelegar suara
guntur. Bumi berguncang, Langit laksana terbelah. Semua orang yang ada di depan
Candi Jago tampak terhuyung. Getaran yang dahsyat terasa sampai ke jantung
mereka. Wajah mereka termasuk Sang Prabu tampak berubah pucat oleh rasa kejut
yang bukan alang kepalang.
"Petir di tengah
hari…" desis Sri Baginda seraya memandang pada Patih Raganatha sementara
para Pendeta tampak menundukkan kepala sambil merapal bacaan-bacaan suci.
"Apakah artinya ini Mamanda Patih?"
"Saya tidak dapat
menjawabnya saat ini Sang Prabu. Sebaiknya kita kembali cepat-cepat ke
Tumapel." Menjawab Patih Raganatha. "Memang kita perlu mengkaji apa
arti petunjuk para Dewa yang diberikan melalui kejadian tadi."
Sri Baginda mengangguk.
Wajahnya agak murung. Dia maklum petir dan guntur tadi merupakan suatu pertanda
yang tidak baik. Mungkin tidak baik bagi dirinya, mungkin sekali bagi Kerajaan.
Ya Dewa Bhatara, hal apakah yang akan terjadi di Singosari ini? Berucap Sri
Baginda dalam hatinya.
Sang Prabu naik ke atas
kereta. Rombongan yang baru saja melakukan upacara keagamaan itu bergerak cepat
menuju Keraton Tumapel. Di tengah jalan, Patih Raganatha yang duduk di samping
Sri Baginda berkata. "Sang Prabu, jika saya boleh mengusulkan, begitu
sampai di Keraton sebaiknya kita mengadakan pertemuan. Sebenarnya hal ini sudah
agak lama kami inginkan. Pertanda di Candi Jago tadi membuat saya merasakan
pertemuan itu sebagai suatu yang mendesak."
Sang Prabu termenung mendengar
kata-kata patihnya itu. Namun akhirnya dia menganggukkan kepala. "Beritahu
yang lain-lain," katanya.
Begitu sampai di Keraton Sang
Prabu langsung masuk ke sebuah ruangan yang biasa dipergunakan untuk
pertemuan-pertemuan penting dan mendadak.
Patih dan Panglima serta
beberapa Pendeta mengikuti.
Setelah semua orang duduk di
tempat masing-masing berkatalah Sang Prabu.
"Mamanda Patih, sekarang
coba Mamanda memberikan penjelasan, apakah kejadian di Candi Jago siang tadi
merupakan suatu pertanda? Jika benar pertanda apakah? Buruk atau baik?"
Patih Rapanatha menghaturkan
sembah terlebih dahulu baru menjawab.
"Daulat Sang Prabu. Saya
hanya tahu sedikit soal tanda-tanda ciptaan para Dewa. Saya takut
mengemukakannya kalau-kalau keliru. Saya merasa sebaiknya kita meminta orang
tertua di antara kita saja yang bicara. Yaitu Pendeta Mayana."
Semua orang menyetujui ucapan
Patih KerajaaniItu. Sang Prabu berpaling pada orang tua berambut sangat putih
seperti kapas, bermata bening yang duduk di samping Panglima Argajaya. Dialah
Pendeta Mayana.
"Terima kasih kalau Sang
Prabu mempercayai dan mau mendengar petunjuk dari kami," kata sang Pendeta
pula setelah membungkuk terlebih dahulu. "Petir dan guntur di siang hari
ketika tidak ada hujan adalah suatu petunjuk jelas akan terjadi sesuatu besar
di bumi Singosari. Sesuatu itu mungkin mendatangkan kebaikan, namun sebaliknya
bisa juga membawa malapetaka…"
"Saya tidak percaya kalau
kejadian tadi merupakan pertanda akan datangnya malapetaka," berkata Sang
Prabu. "Kita orang-orang Singosari saat ini berada dalam keadaan
berkecukupan. Hasil sawah ladang dan ternak melimpah ruah. Keadaan Kerajaan
aman tenteram. Semua karena, perlindungan dan anugerah para Dewa. Kita
orang-orang Singosari selalu taat pada agama. Selalu mengingat dan menghaturkan
doa sembah kepada para leluhur. Jadi tidak mungkin Para Dewa akan menjatuhkan
malapetaka di Kerajaan ini. Sulit bagi saya menerima begitu saja artian yang
Pendeta Mayana barusan sampaikan."
"Mohon dimaafkan kalau
ucapan kami tidak berkenan di hati Sang Prabu. Kita semua di sini tentu saja
memohon pada Dewata agar negeri kita dijauhi dari segala malapetaka maupun
bencana dalam bentuk apapun. Kami hanya sekedar mengingatkan bahwa yang buruk
dan yang baik itu bisa saja terjadi tanpa terduga. Namun apakah Sang Prabu
berkenan mendengarkan beberapa petunjuk lainnya yang berkaitan dengan kejadian
siang tadi di Candi Jago?"
"Beberapa petunjuk apa
maksud Pendeta Mayana?" tanya Raja pula.
"Untuk itu biarlah kami
minta Panglima Argajaya atau Patih Raganatha yang memberikan penjelasan,"
kata Pendeta Mayana.
Sang Prabu menganggukkan
kepalanya ke arah Patih Raganatha. Sang Patih lalu membuka mulut. "Orang
kita di Madura melaporkan ada tanda-tanda hahwa Adipati Wira Seta telah
menambah kekuatan pasukan Kadipaten. Berkali-kali terlihat adanya latihan
perangperangan. Setahu saya, kita tidak pernah meminta Sumenep untuk melakukan
hal itu. Lalu mengapa Adipati Wira Seta berbuat demikhian? Jawabnya hanya satu
yaitu bahwa dia mempunyai suatu rencana. Dan rencana itu tidak sulit untuk diterka.
Dia tengah menyusun kekuatan untuk memberontak pada Singosari."
Alis mata Sang Prabu nampak
naik ke atas. Keningnya berkerut. "Wira Seta hendak memberontak? Tak masuk
akal! Bukankah dia sekarang inenjadi Raja Kecil di Madura? Lebih tinggi
kedudukannya dari pada di Tumapel ini. Sikapnya selama ini tidak menunjukkan
perubahan sedikitpun. Dia mensyukuri jabatan dan tugas yang diberikan.
Bagaimana sekarang tahu-tahu Mamanda Patih mengatakan dia menyusun kekuatan
hendak berontak? Bukankah latihan perang-perangan suatu hal biasa saja bagi
suatu Kerajaan sebesar Singosari ini? Apalagi Madura dipisahkan oleh laut
dengan tanah Jawa. Patut dia memperkuat diri untuk berjaga-jaga terhadap
hal-hal yang tidak diinginkan. Sesungguhnya apakah yang terjadi di Keraton Tumapel
ini? Saya mencium ada orang-orang yang tidak suka terhadap Adipati Wira
Seta."
Paras Patih Raganatha tampak
berubah merah. Dalam hati dia merasa sangat menyesal telah mengeluarkan
kata-kata tadi.
Padahal apa yang diucapkannya
adalah sejujurnya tidak ada niatan memburukkan orang lain apa lagi
mengkhianati. Diam-diam sang patih menjadi sangat sedih.
Karenanya dia memutuskan untuk
tidak membuka mulut lagi.
Sang Prabu berpaling pada
Argajaya. "Panglima, apakah kau tidak akan mengatakan sesuatu?"
Panglima Pasukan Kerajaan ini
sesaat tampak meragu.
Dia melirik pada Patih
Ragantha. Dia merasa hiba terhadap orang tua itu. Dengan maksud hendak
membelanya maka diapun berkata.
"Memang ada yang hendak
saya laporkan, Sang Prabu. Itu jika Sang Prabu berkenan mendengarnya…"
"Apakah ada sangkut
pautnya dengan kejadian siang tadi?" tanya Raja pula.
"Saya tidak berani
mengatakan begitu," sahut Argajaya karena dia kawatir dirinya akan
ditempelak seperti Patih Raganatha "Yang ingin saya sampaikan ialah
menyangkut keadaan dan keamanan negeri. Sesuai dengan tugas dan kewajiban saya
menjaga Kerajaan."
"Kalau begitu
katakanlah," perintah Sang Prabu.
"Daulat Sang Prabu. Sang
Prabu ingat sewaktu utusan Raja Cina keturunan Mongol Kubilai Khan datang ke
Singosari beberapa waktu lalu?"
"Saya ingat. Semua kita
di sini pasti ingat hal itu." jawab Sang Prabu pula.
"Kejadian dimana kita
mengusir utusan itu setelah terlebih dahulu membuat cacat muka pemimpin mereka
tidak dapat tidak akan membuat murka Raja Cina. Saya kawatir kalau Raja Cina
sewaktu-waktu memerintahkan balatentaranya untuk menyerbu kemari."
Sri Baginda tertawa
gelak-gelak mendengar ucapan Panglima Pasukannya itu.
"Orang asing kalau diberi
hati, mereka akan menginjak kita. Apalagi kalau kita memperlihatkan sikap
takut! Ingat hal itu baik-baik bagi semua yang ada di sini!" Sri Baginda
memandang satu persatu wajah-wajah di hadapannya. "Mengenai penghinaan
yang kita lakukan terhadap pimpinan utusan Raja Cina itu, apakah kalian tidak
melihat bahwa itu adalah lebih ringan dibanding dengan penghinaan yang mereka
lemparkan pada kita. Mereka meminta agar kita tunduk kepada Kerajaan
Cina!" Pelipis Sang prabu tampak bergerak-gerak tanda dia menahan
kemarahan besar. "Kubilai Khan boleh mengirim serdadunya kemari. Raja Cina
itu boleh menyerbu Singosari. Kita akan memukul mereka sampai hancur. Tidak ada
satu Kerajaanpun mampu menundukkan Kerajaan lain yang terpisah jauh. Mereka
mungkin bisa menang, tapi hanya sesaat. Begitu jalur perbekalan mereka putus,
mereka akan jadi sasaran hantu kelaparan atau senjata lawan!"
Panglima Argajaya dalam hati
mengagumi kecerdikan jalan pikiran Sang Prabu.Tetapi bagaimana kalau Adipati
Wira Seta mempergunakan kesempatan. Bergabung dengan pasukan Cina untuk
menyerbu Singosari? Rasa-rasanya Singosari hanya akan sanggup bertahan satu
hari satu malam. Setelah itu…
Hal itulah yang dikawatirkan
oleh Argajaya dan juga diketahui oleh Patih Raganatha. Bahkan para Pendeta yang
hadir di situ saat itu juga dapat meraba jalan pikiran kedua orang tokoh
Kerajaan tersebut. Namun tidak satupun yang berani mengemukakannya karena takut
dituduh yang bukan-bukan.
Melihat Argajaya diam saja
Sang Prabu lantas bertanya.
"Masih ada lagi yang
hendak mengemukakan sesuatu? Kalau tidak pertemuan ditutup sampai di sini."
Patih Raganatha melirik kepada
Argajaya. Panglima Pasukan Singosari yang mengerti arti lirikan ini membungkuk
dalam-dalam dan berkata.
"Izinkan saya
menyampaikan sesuatu Sang Prabu."
Sang Prabu mengangguk.
"Ada seorang pelapor
memberi tahu tentang pertemuan rahasia antara Adipati Wira Seta dengan penguasa
di Kediri."
"Maksudmu Raden
Adikatwang?"
"Betul sekali Sang
Prabu."
"Apa yang dilaporkan
orang itu?" tanya Sang Prabu.
Lalu panglima Argajaya
menceritakan pertemuan rahasia antara Adipati Wira Seta dengan Adikatwang
beberapa waktu lalu di sebuah hutan tak berapa jauh dari Kali Brantas.
"Ini cerita baru yang
sungguh tidak enak didengar. Bahkan mengejutkan!" kata Raja pula.
"Tetapi saya lagi-lagi sulit mempercayainya. "Saya tahu betul selama
ini Adikatwang menghambakan dirinya penuh kejujuran dan kesetiaan pada
Singosari. Itu sebabnya kita memberikan kekuasaan di Gelang-gelang kepadanya.
Upetinya tidak pernah putus. Apakah orang sebaik itu bisa dipercaya akan
melakukan pemberontakan? Dan kawan pemberontaknya adalah Wira Seta yang juga
mengabdi begitu baik terhadap Kerajaan?"
Orang-orang yang ada di tempat
itu, terutama Patih Raganatha dan Panglima Argajaya merasa putus asa dan sangat
kecewa atas tanggapan yang diberikan oleh Raja mereka. Sang Prabu rupanya
memaklumi hal ini. Maka diapun bertanya.
"Siapa pelapor yang kau
katakan itu Panglima?"
"Seorang pemuda bernama
Wiro."
"Dia orang
Singosari?"
"Dia mengaku dari Barat.
Dari Gunung Gede." Jawab Argajaya.
"Ahhhh…Orang dari
Barat!" ajar Sang Prabu sambil menarik napas panjang. "Bukan mustahil
dia adalah sisa-sisa turunan orang-orang Tarumanegara atau Pajajaran yang kita
semua tahu bahwa mereka tidak punya hubungan baik dengan Singosari sejak jaman
nenek moyang kita."
Mendengar ucapan Raja mereka
itu Argajaya apalagi Patih Raganatha tidak bisa berbuat apa-apa selain berdiam
diri.
"Orang bernama Wiro itu,
di mana dia sekarang? Apakah kita bisa menanyainya secara lebih seksama?"
Mendengar pertanyaan Sang
Prabu itu Argajaya segera menjawab. "Jika Sang Prabu berkenan menemuinya,
saya bisa menyuruhnya panggil saat ini juga."
"Bawa dia ke mari,"
kata Sri Baginda.
Argajaya berdiri dan
meninggalkan ruangan itu dengan cepat. Dia menemui dua orang pengawal. Kedua
pengawal itu lalu bergegas menuruni tangga Keraton, berjalan menuju ke tembok
bagian Timur di mana terletak sebuah bangunan yang dipergunakan sebagai tempat
bermalam para pengawal. Tak lama kemudian kedua pengawal itu muncul kembali
bersama sebrang pemuda berpakaian putih-putih dan berambut gondrong. Dia
melangkah diapit dua pengawal sambil senyum-senyum.
Ketika pemuda itu sampai di
hadapan Sang Prabu, dia segera menjura memberi penghormatan tetapi masih tetap
sambil senyum-senyum. Hal ini mendatangkan rasa tidak enak di hati Sang Prabu.
Sikapnya cukup hormat tapi
rasanya ada sesuatu yang tidak beres dengan pemuda ini, kata Sri Baginda dalam
hati.
"Orang muda, namamu
Wiro?" tanya Raja.
"Betul Sang Prabu."
"Kau keturunan
orang-orang Tarumanegara atau Pajajaran?"
Wiro garuk-garuk kepalanya, kurang
mengerti maksud pertanyaan itu. "Kalau soal keturunan, saya kurang jelas.
Saya dibesarkan di puncak Gunung Gede. Hanya itu yang saya tahu."
"Panglimaku melaporkan
bahwa kau mengetahui adanya pertemuan rahasia antara Raden Adikatwang dari
Kediri dengan Adipati Wira Seta di Sumenep. Betul?"
"Betul sekali Sang
Prabu," jawab Wiro.
"Di mana pertemuan itu
diadakan. Kapan?"
"Tiga hari lalu. Dekat
Kali Brantas. Tak jauh dari pohon cempedak yang batangnya melintang di atas
kali. Waktu itu saya sedang enak-enak makan cempedak di atas pohon. Lalu…"
"Hal itu tidak perlu
diceritakan," memotong Argajaya yang jadi risih mendengar Wiro
menccritakan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan Raja.
Sang Prabu melirik pada
Panglima Argajaya lalu geleng-gelengkan kepala. Argajaya seperti tak bisa
bernafas melihat sikap dan cara Wiro memberi keterangan. Seolah-olah Sang Prabu
adalah temannya, bukan dianggap sebagai Raja.
"Laporanmu tidak bisa
dipercaya. Kecuali kalau bisa memberikan bukti-bukti. Kau bisa menunjukkan
bukti-bukti tentang adanya pertemuan itu?" tanya Raja Sri Baginda.
Wiro jadi garuk-garuk kepala
mendengar perfanyaan itu. Lalu dia ingat akan peristiwa di kali. "Saya
bisa memberikan bukti yang Sang Prabu minta," berkata Wiro. "Bisa
ditanyakan pada delapan orang perajurit Kediri yang sempat saya telanjangi di
sungai!"
Patih Raganatha dan Panglima
Argajaya jadi berubah paras mereka. Para Pendeta tundukkan kepala, beberapa di
antaranya senyum-senyum.
"Cukup!" Sri Baginda
berdiri dad duduknya. "Kau tidak bisa memberikan bukti. Malah bicara
ngawur!"
Wiro jadi jengkel.
"Sang Prabu, kewajiban
saya hanya melapor. Karena saya merasa Singosari dalam bahaya. Bukan tugas saya
memberikan bukti-bukti. Itu adalah tugas orang-orang Singosari sendiri untuk
menyelidiki kebenarannya. Saya bicara apa adanya. Jika saya berkata dusta saya
bersedia dihukum!"
"Orang muda!" bentak
Argajaya. "Kau tidak layak mengajari Sang Prabu!"
Wiro menatap wajah Panglima
Singosari itu, sesaat lalu berkata, "Saya yang tolol mana berani mengajari
Raja. Jika tidak dipercaya sebaiknya saya pergi saja dari sini."
Wiro hendak memutar tubuhnya.
"Kau kutuduh memberi
keterangan palsu dan fitnah! Siapa dirimu harus diselidiki!"
Ucapan Raja Singosari itu
membuat Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan langkahnya.
"Tangkap pemuda gondrong
ini!" perintah Sang Prabu.
Wiro terkejut karena tak
menyangka akan diperlakukan seperti itu. Enam perajurit berbadan kukuh segera
melompat dan mencekal kedua tangannya lalu ditelikungkan ke punggung.
Wiro sampai mengerenyit karena
kesakitan. Sebuah belenggu besi segera hendak dikatupkan pada kedua
pergelangannya.
Murid nenek sakti Sinto
Gendeng dari Gunung Gede ini menjadi kalap. Kaki kanan dan kedua tangannya
bergerak dengan cepat.
Tiga perajurit terpekik lalu
terjengkang di lantai di hadapan Sang Prabu. Tiga lainnya tegak memaing kaku
dalam keadaan tertotok!
***
Kapak Maut Naga Geni 2126
SEMUA orang yang ada di
ruangan pertemuan terkejut sekali menyaksikan kejadian itu. Tidak sembarang
orang mampu melumpuhkan enam orang penyerang sekaligus dalam satu gerakan kilat
yang hampir tidak terlihat. Panglima Argajaya dalam hati harus mengakui bahwa
dia bahkan Patih Raganatha, mungkin tidak bakal mampu melakukan hal itu. Pemuda
yang mengaku bernama Wiro ini memiliki ilmu silat tinggi. Apakah dia juga
mempunyai tenaga dalam dan kesaktian yang hebat? Berpikir Argajaya dan juga
Raganatha. Sementara para Pendeta yang duduk tidak bergerak di tempat
masing-masing dan tidak dapat menyembunyikan air muka rasa kagum mereka.
Sri Baginda tidak ingin
orang-orang yang ada di situ sempat terpengaruh oleh kehebatan yang barusan
diperlihatkan pemuda berambut gondrong itu. Maka diapun berkata dengan suara
keras.
"Kalian saksikan sendiri!
Dia muncul dengan sikap berpura-pura seperti orang dungu. Tapi nyatanya
memiliki kepandaian tinggi. Jelas dia membekal maksud yang tidak baik. Apa
kalian masih be1um percaya kalau dia sebenarnya seorang mata-mata pihak yang
mempunyai maksud jahat terhadap Singosari?!"
Tidak ada yang membuka suara.
Panglima Argaraya melangkah mendekati Sang Prabu lalu berbisik. "Maafkan
saya Sang Prabu. Jika dia memang nemiliki ilmu tinggi, bukankah lebih baik
memanfaatkannya untuk kepentingan Kerajaan?"
Sri Baginda memandang pada
Panglimanya dengan wajah beringas. "Kenapa kau bicara tolol Panglima? Kau
ingin kita memelihara anak harimau. Kalau pada suatu hari dia akan menerkam
kita?!"
Argajaya terdiam, tak bisa
berkata apa-apa lagi. Saat itu terdengar suara Raja keras sekali.
"Panglima Argajaya! Aku
perintahkan kau meringkus pemuda itu!"
"Tapi Sang Prabu…"
"Kau berani menolak
perintahku, Panglima?" Kedua mata Sri Baginda membelalak.
"Siap Sang Prabu!"
jawab Argajaya. Lalu Panglima Kerajaan ini melompat ke hadapan
Wiro. "`Serahkan dirimu
secara baik-baik. Kecuali kalau kau ingin kugasak sampai remuk!"
Wiro menatap wajah Panglima
itu dengan sinis. "Panglima," katanya. "Saya tahu kau hanya
menjalankan perintah walau hati kecilmu menentangnya.
Tetapi jika kau sampai
menangkap diriku, itu adalah kesalahan yang keterlaluan. Kau tahu aku tidak
punya salah apa-apa…"
"Tutup mulutmu! Aku tidak
segan-segan membunuhmu di hadapan Sang Prabu!" hardik Panglima Argajaya.
Dada murid Eyang Sinto Gendeng
seperti terbakar mendengar ucapan Argajaya itu. Sebelumnya dia percaya penuh
pada keterangan tentang pertemuan rahasia antar Raden Adikatwang dan Wira Seta.
Itu sebabnya aku mau disuruhnya menunggu sampai ada kesempatan untuk menemui
Raja. Kini dia berubah. Jangankan membela, membunuhpun dia mau! Panglima tak
bisa dipercaya. Panglima ular kepala dua!
"Kalau kau hendak
menangkapku silakan. Aku, orang Gunung yang tidak punya daya!" kata Wiro.
Lalu dia tegak dengan kaki dikembangkan dan bahu merunduk. Tangan kanannya
bergetar karena ada tenaga dalam yang dialirkan ke situ.
Saat itu Wiro tiba-tiba
mendengar ada suara mengiang di kedua telinganya.
"Anak muda, walau hatimu
terbakar tapi jangan unjukkan kekuatan di tempat ini. Aku percaya kau bisa
merobohkan Panglima Argajaya dalam dua tiga kali gerakan. Tapi apakah itu perlu?
Serahkan saja dirimu baik-baik. Mengalah secara kesatria tidak ada celanya. Ada
saatnya kau bisa membebaskan diri. Itu harus kau lakukan pada saat yang tepat.
Jika kau melawan dan mempergunakan kekerasan semakin kuat dugaan Sang Prabu
bahwa kau adalah mata-mata musuh. Lagi pula betapapun kepandaian yang kau
miliki, jika Raja mengerahkan seluruh orang pandai dalam Istana kau pasti akan
mengalami kesulitan."
Wiro memandang pada
orang-orang yang ada di ruangan itu. Sulit baginya untuk menduga siapa yang barusan
mengeluarkan ucapan itu dengan nempergunakan ilmu mengirimkan suara yang tidak
terdengar oleh orang lain, kecuali orang yang dituju. Yang bicara pasti bukan
Argajaya atau Patih Raganatha, apalagi Sang Prabu. Wiro memandang ke jurusan
para Pendeta. Mereka duduk dengan sikap tenang dan balas memandang dengan air
muka yang agak berubah.
Aku yakin salah seorang dari
mereka yang barusan mengirimkan ucapan jarak jauh itu.
Tapi yang mana …? Wiro menatap
wajah Pendeta Mayana. Pandangannya dipusatkan pada kedua mata sang pendeta yang
sangat bening. Hatinya berdetak, Pendeta satu inilah yang diduganya
mengeluarkan peringatan itu. Memikir bahwa petunjuk yang disampaikan lewat
suara tadi benar adanya maka Wiro batalkan niatnya untuk melakukan perlawanan.
Dia berpaling pada Panglima Argajaya.
"Saya tidak punya salah,
tidak punya dosa. Jika setetes kebajikan yang hendak saya berikan pada
Singosari dianggap satu kesalahan besar, Panglima boleh saja menangkap saya.
Namun kelak Panglima in melihat kenyataan bahwa apa yang dilakukan adalah
keliru. Saat ini saya yakin ada beberapa orang dari yang hadir di sini
mempunyai pendapat yang sama dengan apa yang saya katakan. Tetapi mereka tidak
bersedia mengatakan secara terus terang."
Wiro tersenyum ketika melihat
para Pendeta yang ada di ruangan itu sama menundukkan kepala. Murid Sinto
Gendeng itu lalu ulurkan kedua tangannya. Seorang perajurit cepat membelenggu
kedua pergelangan tangan Wiro dengan belenggu besi sementara beberapa orang
perajurit lainnya sibuk menolong enam kawan mereka yang cidera.
"Bawa tawanan ini ke
penjara di tembok Timur Keraton. Jangan lepaskan belenggunya. Dua orang harus
selalu mengawal pintu penjara siang malam." Kata Panglima Argajaya pada
bawahannya.
Sepuluh orang perajurit segera
menggiring Wiro meninggalkan ruangan itu. Sebelum melangkah pergi, Pendekar 212
berhenti di depan Argajaya. Dia keluarkan suara bersiul lalu berkata,
"Terimakasih atas perlakuan yang sangat mengesankan ini. Saya merasa
sebagai tahanan terhormat. Bukan maling bukan pencuri, juga bukan perampok. Kau
tak usah kawatir saya akan melarikan diri. Karena itu saya tidak memerlukan
belenggu besi ini!"
Wiro salurkan tenaga dalam dan
hawa panas dari perutnya. Kedua tangannya bergetar dan tampak berubah warna
menjadi putih seperti perak. Sang pendekar telah merapal aji kesaktian ilmu
pukulan matahari.
Belenggu besi tampak seperti
leleh. Lalu traakk!
Belenggu itu terbelah dua.
Selagi semua orang terkesiap menyaksikan kejadian itu Wiro berpaling ke arah
Sang Prabu. Dia menjura dengan sikap mengejek lalu melangkah ke arah pintu.
Ketika melewati Pendeta Mayana murid Sinto Gendeng ini tersenyum polos.
Kedipkan matanya dan berbisik, "Terima kasih atas petunjuk tadi…"
Pendeta Mayana hanya diam
saja. Tidak mau memberikan reaksi apa-apa karena kawatir sikapnya akan
menimbulkan rasa curiga dalam diri Sang Prabu dan dapat memperburuk suasana.
Pada saat Wiro mencapai pintu
ruangan digiring oleh para pengawal tiba-tiba terdengar satu suitan nyaring
yang membuat semua orang terkesiap. Wiro hentikan langkahnya. Dia mendengar
suara berdering.
Entah dari mana munculnya
sebuah benda melesat dan menancap di tiang kayu jati besar di tengah ruangan.
Ketika semua orang memperhatikan benda itu ternyata adalah sebuah tusuk kundai
yang terbuat dari perak. Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut etika dia mengenali
benda itu. Tusuk kundai tersebut adalah perhiasan yang biasa dipakai gurunya di
kepala. Eyang, katanya dalam hati. Kau ada di sini…
Pada ujung tusuk konde yang
berbentuk gelungan, tersisip segulungan daun lontar kering. Semua orang yang
ada di situ memandang pada Sang Prabu, seolah menunggu isyarat atau perintah
apa yang harus mereka lakukan.
"Ada orang berkepandaian
tinggi mengirimkan pesan. Punya ilmu tapi tidak punya nyali untuk unjukkan
diri!" kata Sang Prabu pula. Dia memandang berkeliling. Semua orang,
termasuk Wiro melakukan hal yang sama. Namun tidak satupun melihat orang yang
melemparkan tusuk kundai itu tadi. Bahkan bayangannya pun tidak.
Sang Prabu akhirnva memandang
Panglima Argaraja.
"Panglima, ambil tusuk
kindai itu!" perintah sang Prabu.
Panglima Argajaya segera
melangkah ke tiang besar lalu mencabut tusuk kundai yang menancap di situ.
Tusuk kundai serta daun lontar yang tersisip diperhatikannya seketika lalu
diserahkannya pada Raja. Sri Baginda membuka gulungan daun lontar. Di situ
ternyata ada sederetan tulisan berbunyi :
Jika seseorang membuat muridku
menderita tanpa salah, maka penderitaan akan menimpa orang itu lebih parah.
Wiro merasa tidak enak ketika
Sri Baginda memandang dengan wajah membesi ke arahnya. Dilihatnya Sang Prabu
menyerahkan daun lontar pada Panglima Argajaya. Argajaya membaca apa yang
tertulis di situ lalu memberikan daun itu pada Patih Raganatha.
"Kecurigaanku tidak
melesetl Orang yang mengaku guru pemuda itu ternyata ada di sini. Apa lagi yang
mereka lakukan kalau bukan sama-sama berkomplot dengan musuh Singosari! Murid
dan guru sama saja kurang ajarnya. Berani dia memberi teguran dengan cara
seperti itu!" Sehabis berkata begitu Sri Baginda bantingkan tusuk kundai
perak yang dipegangnya ke lantai. Benda ini menancap sampai setengahnya ke
dalam lantai batu yang keras. Lalu Raja Singosari ini berpaling pada Patih
Raganatha.
"Besok siapkan sidang
pengadilan kilat bagi pemuda itu. Tapi satu hal sudah jelas. Dia harus dijatuhi
hukuman mati!"
"Daulat Sang Prabu,"
jawab Patih Raganatha.
Paras Wiro jadi berubah
mendengarkan kata-kata dari Baginda itu. Tak ada jalan 1ain. Dia harus
melarikan diri saat itu juga. Ketika dia siap hendak melakukan hal itu
tiba-tiba ada sambaran angin di belakangnya. Murid Eyang Sinto Gendeng cepat
memutar tubuh seraya menghantamkan tangan kanannya.
Bukk!
Jotosannya tepat menghantam
dada orang. Orang yang menyerang ini terpental tiga langkah dan jatuh
tergelimpang di lantai. Dari mulutnya terdengar suara erang kesakitan. Di saat
yang sama ketika jotosannya mengenai orang Wiro sendiri merasakan satu totokan
melanda dadanya dengan telak hingga saat itu juga sekujur tubuhnya menjadi kaku
tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Di dapannya Panglima Argajaya berusaha
bangkit dengan tubuh terhuyung-huyung. Di sela bibirnya ada lelehan darah.
Pukulan Wiro telah membuat Panglima Singosari ini terluka dalam yang cukup
parah!
Wiro digotong empat orang
prajurit menuju halaman belakang Keraton. Di tembok sebelah Timur rombongan ini
membelok ke kanan melewati arah pintu. Dari sini mereka akan menyeberangi
sebuah jalan besar yang mengelilingi Keraton. Di seberang jalan ada sebuah
bangunan batu berbentuk panjang. Ke bangunan inilah Pendekar 212 akan dibawa.
Ketika rombongan itu baru saja
hendak menyeberangi jalan seorang penunggang kuda melintas dengan cepat. Di
belakangnya ada dua orang pengawal mengikuti. Tiba-tiba penunggang kuda di
sebelah depan membalik ke arah rombongan yang tengah menyeberang. Orang di atas
kuda itu ternyata adalah seorang gadis remaja berparas cantik sekali. Dia
mengenakan pakaian ringkas. Rambutnya yang panjang hitam dijalin satu lalu
digelung di atas kepala. Dua orang penunggang kuda yang bertindak sebagai
pengawal segera bertanya.
"Raden Ayu Gayatri,
mengapa kita berhenti?"
Gadis di atas kuda tidak
perdulikan pertanyaan pengawalnya. Dia membawa kudanya ke depan rombongan yang
tengah menggotong Wiro. Empat orang perajurit yang menggotong langsung
meletakkan Wiro begitu saja di tanah. Bersama enam oran perajurit lainnya
mereka membungkuk menghatur sembah.
Dalam keadaan tertelentang di
tanah Pendek. 212 Wiro Sableng jadi tercengang ketika melihat semua perajurit
yang mengawalnya memberi penghormatan seperti itu terhadap si gadis. Dalam hati
dia berkata. Ah, dia rupanya. Siapa gadis sebenarnya? Mengapa semua perajurit
menghormat seperti sikap menghormat seorang Raja? Dulu waktu kutanya dia tidak
mau memberi tahu nama, juga tidak di mana dia tinggal
Gadis cantik berpakaian
ringkas tidak perdulikan pertanyaan pengawalnya tadi. Dia memperhatikan Wiro
yang tertelentang di tanah, tidak bergerak tidak bersuara. Hanya bola matanya
saja yang berputar-putar.
Apa yang terjadi dengan
dirinya? Tangan dan kakinya tidak bergerak. Sekujur tubuhnya seperti kaku.
Bersuarapun dia tidak bisa. Keadaannya seperti orang ditotok. Gadis itu
melompat turun dari kudanya.
"Siapa pimpinan dalam
rombongan ini?" Si gadis ajukan pertanyaan.
Seorang perajurit maju ke
depan. "Hamba Den Ayu…"
"Mau dibawa kemana orang
ini?"
"Atas perintah Sang Prabu
tawanan ini hendak dijebloskan ke dalam penjara."
"Tawanan? Hendak
dijebloskan ke dalam penjara?!" Paras si gadis tampak berubah. Dia
memandang pada Wiro. Lalu kembali bertanya pada si pengawal. "Apa
kesalahannya?"
Pengawal menjawab. "Dia
mata-mata musuh."
Si gadis kembali memandang ke
arah Wiro. Dia mata-mata musuh? Benarkah? Tidak mungkin. Aku tak percaya. Kalau
bukan karena dia diriku…
"Dia bukan mata-mata. Aku
tahu betul hal itu. Harap kalian segera melepaskan dirinya. Biarkan dia pergi
dari sini!"
Semua orang yang ada di
jalanan itu tentu saja sangat terkejut mendengar ucapan si gadis sementara
Pendekar 212 hanya bisa menatap.
"Kami menghormati Raden
Ayu dengan segala ucapannya," kata perajurit yang jadi pimpinan.
"Tetapi mana mungkin kami menyalahi perintah Sang Prabu. Mohon Raden Ayu
mengerti dan memaafkan."
"Katakan di mana Sang
Prabu berada saat ini?" tanya gadis yang dipanggil dengan sebutan Raden
Ayu Gayatri itu.
"Sang Prabu ada di
ruangan pertemuan Keraton bersama Patih dan Panglima serta para Pendeta."
Gadis cantik itu berpaling
pada dua orang yang mengawalnya dan berkata. "Latihan menunggang kuda
cukup sampai di sini dulu." Lalu gadis ini melompat ke atas kudanya dan
membedal binatang ini memasuki halaman Timur Keraton. Empat orang perajurit
meneruskan menyeberangi jalan, menggotong Wiro menuju bangunan penjara.
Pertemuan di dalam keraron
segera akan berakhir ketika Raden Ayu Gayatri memasuki ruangan. Kecuali Sang
Prabu semua orang yang ada di situ menjura memberikan penghormatan.
"Gayatri, kau tidak
berlatih menunggang kud hari ini?" tanya Sri Baginda.
"Sudah tapi tidak sampai
selesai. Ananda harap kedatangan Ananda tidak mengganggu Ayahanda." kata
Gayatti pu1a. Ternyata dia adalah anak Sang Prabu. Gayatri bungsu dari empat
orang puteri bersaudara.
"Kau tidak mengganggu.
Pertemuan baru saja selesai," jawab Sang Prabu. Dia menatap pada puterinya
sesaat, lalu bertanya, "Ada apa Gayatri. Agaknya ada sesuatu yang
penting?"
Gayatri menggangguk.
"Katakanlah. Atau kau
ingin hanya kita berdua saj di ruangan ini? Jika itu maumu, Ayahada akan minta
semua orang yang ada di sini untuk pergi…"
"Tidak perlu. Biarkan
semuanya tetap di sini agar bisa ikut mendengar," jawab Puteri Raja pula.
Sang Prabu Singosari menjadi agak heran mendengar kata-kata puterinya itu.
"Ada apakah sebenarnya Gayatri?"
"Di jalan saya berpapasan
depgan perajurit yang tengah menggotong seorang pemuda ke penjara."
"Hemmm, kau melihat
rombongan itu rupanya."
"Ananda minta agar pemuda
itu dilepaskan." Kalau ada ledakan keras yang menghancurkan ruangan itu
mungkin tidak sedemikian terkejutnya Sang Prabu, Patih dan Panglima Singosari
sementara para Pendeta tegak tak bergerak tanpa dapat menyembunyikan air muka
mereka yang menunjukkan rasa heran.
"Kau minta tawanan itu
dilepaskan, Gayatri?" tanya Sang Prabu. Ketika puterinya mengangguk, Raja
Singosari ini lanjutkan pertanyaannya. "Katakan apa sebabnya."
"Dia bukan mata-mata
musuh. Bukan orang jahat."
"Rupanya kau sudah
mengenal pemuda asing itu sebelumnya. Anakku, katakan apa hubunganmu dengani
pemuda itu. Jangan kau berani memberi malu keluarga Istana Singosari!"
"Kalau bukan karena dia
ananda saat ini sudah tidak ada lagi."
"Apa maksudmu
Gayatri?" kejut Sang Prabu Singosari. "Apa yang telah terjadi dengan
dirimu?!"
"Tadinya Ananda sengaja
merahasiakan apa yang telah terjadi sekitar sepuluh hari lalu. Tapi saat ini
Ananda harus memutuskan untuk rnenceritakannya. Agar Ayahanda bersedia memenuhi
permintaan Ananda membebaskan pemuda itu." Lalu Raden Ayu Gayatri
menuturkan suatu peristiwa yang selama ini tidak diketahui oleh Sang Prabu
maupun Permaisuri.
***
Kapak Maut Naga Geni 2127
PAGI itu ketika seorang
pengasuh di Kaputren memberi tahu bahwa dua orang pengawal yang biasa melatihnya
menunggang kuda siap menunggu, puteri bungsu Sang Prabu mengatakan bahwa
dirinya kurang sehat. Latihan hari itu ditunda saja sampai besok. Sebenarnya
Gayatri punya rencana sendiri yang sudah sejak lama ingin dilakukannya.
Di sebuah hutan kecil di Timur
Laut Singosari, tak berapa jauh dari Gunung Bromo sejak lama diketahui orang
banyak terdapat kupu-kupu dari berbagai jenis ukuran dan bentuk. Warnanya juga
macam-macam dan sangat menarik hati. Raden Ayu Ciayatri ingin sekali pergi ke
sana untuk melihat dan menangkap binatang-binatang itu lalu mengawetkannya dan
menjadikannya benda pajangan. Namun sebagai seorang puteri Raja hal itu tidak
mungkin dilakukannya. Paling tidak harus ada pengawal mendampinginya. Hal
inilah yang tidak disukai sang puteri. Dia merasa seperti terkekang dan dibatas
gerak-geriknya kalau ke manamana selalu dikawal, Karena itu secara diam-diam
dia mempersiapkan tangguk dan kantong besar untuk menangkap kupu kupu itu. Dia
akan pergi seorang diri dengan menunggang kuda. Dia merasa sudah cukup mahir
menunggang kuda tanpa pengawal atau pelatih. Kini tinggal menunggu kesempatan
saja. Dan hari itu dirasakannya adalah hari yang paling tepat karena
diketahuinya Sang Prabu bersama Patih dan Panglima Kerajaan akan melakukan
perjalanan ke Selatan.
Setelah dua orang pelatih yang
merangkap pengawal meninggalkan Kaputeran dan pengasuh berlalu, Gayatri segera
mengganti pakaiannya dengan celana dan baju ringkas. Rambutnya diikat dengan
sehelai sapu tangan kuning. Jaring dan tangguk penangkap kupukupu diambilnya
dari balik sebuah lemari besar. Sebilah golok pendek diselipkannya di pinggang.
Lalu tanpa setahu siapapun dia menyelinap ke kandang kuda di belakang Kaputren.
Tak lama kemudian puteri bungsu Raja Singosari ini tampak membalap kudanya
meninggalkan Tumapel ke arah Timur Laut.
Sebagai seorang Puteri Raja
Gayatri tidak pernah pergi jauh meninggalkan Keraton. Kalaupun pergi dia selalu
dikawal. Hal ini menyebabkan dia tidak banyak tahu seluk beluk di luar Keraton
dan akibatnya dalam perjalanan menuju hutan yang banyak kupu-kupunya itu gadis
ini tersesat ke sebuah hutan lain yang juga terletak di Timur Laut, dipisahkan
dengan hutan kupu-kupu oleh sebuah kali dangkal.
Setelah cukup lama berada
dalam hutan yang salah itu, Gayatri merasa heran karena dia sama sekali tidak
menemukan seekor kupu-kupupun. Keadaan hutan dilihatnya aneh. Pepohonannya
lebat dan tua tetapi di mana-mana terdapat bebatuan dan jurang-jurang kecil.
"Jangan-jangan kupu-kupu
itu hanya cerita dusta aja," membatin Gayatri. Dalam keadaan letih gadis
ini akhirnya memutuskan untuk kembali pulang saja. Malangnya dia tidak berhasil
mencari jalan pulang ialah berputar-putar dalam rimba itu sampai akhirnya
matahari condong ke Barat. Rasa takut dan menyesal telah melakukan perjalanan
itu seorang itu mulai muncul dalam dirinya. Sementara itu yang membuatnya
tambah gelisah ialah karena kuda tunggangannya sebentar-sebentar mengeluarkan
suara meringkik. Seolah-olah ada sesuatu yang ditakutkan binatang ini.
"Tenang…. Tenanglah
Grudo," kata Gayatri sambil mengelus kuduk kudanya. "Aku tahu kau
tentu letih. Tapi kita harus segera keluar dari hutan ini. Kita harus dapat
mencari jalan pulang. Ayo Grudo, jalan terus, kita harus pulang sebelum malam
tiba…"
Tapi binatang dan tuannya itu
tidak mampu keluar dari rimba belantara itu. Di sebuah mata air kecil Gayatri
membiarkan kudanya minum. Dia sendiri tidak berani meneguk mata air itu.
Tiba-tiba Grudo mengangkat kepalanya lalu meringkik keras-keras sambil
menaikkan kaki tinggi-tinggi, membuat Gayatri hampir jatuh terbanting ke tanah.
Kuda itu kelihatan seperti ketakutan.
"Grudo, tenang. Tak ada
apa-apa…" kata Gayatri coba menenangkan kuda dan juga dirinya sendiri.
Baru saja gadis ini berkata begitu tiba-tiba di belakangnya terdengar suara
menggereng. Gayatri berpaling. Nyawanya seperti lepas ketika hanya sepuluh
langkah di belakangnya, dekat sebatang pohon besar tegak merunduk seekor
harimau besar hitam belang kuning.
Harimau sebesar anak sapi itu
tiba-tiba mengaum. Aumannya laksana guntur. Jantung Gayatri seperti mau copot.
Grudo, kuda tunggangannya meringkik keras lalu menghambur lari
sekencang-kencangnya. Gayatri jatuhkan diri sama rata di atas punggung binatang
itu, memagut leher kudanya kuat-kuat. Sekali dia berpaling ke belakang. Wajah
gadis ini menjadi pucat pasi ketika ternyata dilihatnya harimau besar itu
mengejar dan sangat dekat di belakangnya.
"Lari yang kencang Grudo!
Lari yang kencang!" teriak Gayatri sambil memukul terus menerus pinggul
kudanya dengan tangan kanan. Tiba-tiba di sebelah depan tidak terduga, di
antara kerapatan pepohonan menghadang sebuah batu besar Grudo coba menghindari
dengan membelok ke kiri. Tapi di belokan yang tajam dan sangat tiba-tiba itu
membuat tubuh Gayatri terbanting keras ke kanan. Pegangannya pada leher kuda
terlepas. Tubuh gadis itu terlempar. Masih untung dia jatuh di atas rerumpunan
semak belukar hingga tidak mengalami cidera berat. Hanya pakaiannya saja yang
robek dan kulitnya tergurat di beberapa tempat.
Gayatri cepat turun dari
semak-semak itu. Namun baru saja kakinya menginjak tanah harimau besar itu
tahu-tahu sudah berada tujuh langkah di hadapannya! Binatang ini rundukkan
tengkuknya tanda dia siap menerkam mangsanya. Ketakutan setengah mati Gayatri
gerakan tangan ke pinggang. Maksudnya hendak mengambil golok yang
diselipkannya. Tapi senjata itu tak ada lagi di pinggangnya. Telah mencelat
mental entah ke mana sewaktu tadi dia jatuh dari kuda.
Untuk melarikan did tidak
mungkin. Melawanpun tebih tidak mungkin. Dalam keadaan tidak berdaya begitu
rupa yang bisa dilakukan Gayatri hanyalah berteriak minta tolong. Tapi siapakah
yang akan menolongnya dalam rimba belantara yang sunyi itu?
Harimau besar itu mengaum
dahsyat. Tubuhnya menerkam ke depan. Dua kaki depannya siap membeset ke arah
dada sedang mulutnya yang terbuka lebar mencari sasaran di leher Gayatri!
Hanya sesaat lagi binatang
buas itu akan melahap mangsanya, tiba-tiba dari balik sebatang pohon menderu
satu sambaran angin yang sangat deras. Angin ini menghantam tubuh harimau itu
hingga terpental beberapa tombak, terkapar di tanah, bangun terhuyung-huyung.
Kepalanya digelenggelengkan. Lalu terdengar aumannya yang menggetarkan rimba
belantara. Untuk beberapa saat lamanya binatang ini hanya mengaum saja. Rupanya
hantaman angin keras tadi walau tidak mendatangkan cidera tapi cukup membuatnya
nanar. Saat itu Gayatri terduduk di tanah dengan muka pucat. Dia tidak mampu
lagi berteriak, apalagi beranjak menyelamatkan diri. Di saat gadis ini seperti
pasrah menerima kematian di tangan harimau itu, tiba-tiba sesosok tubuh
berkelebat di depannya. Lalu dia melihat seorang pemuda berambut gondrong tegak
membelakangi antara dia dan harimau.
"Raja hutan!"
terdengar pemuda itu berkata. "Aku tidak ingin membunuhmu. Tapi aku juga
tidak suka kau membunuh gadis ini. Lekas tinggalkan tempat ini!"
Harimau besar seperti mengerti
ucapan orang keluarkan suara menggereng marah. Tubuhnya merunduk tanda dia siap
menerkam pemuda berambut gondrong itu.
"Ah, jadi kau tak mau
diajak berunding…." Ucapan si pemuda terputus ketika harimau di depannya
melompat menerkam. Dengan cepat pemuda itu merunduk. Sambil merunduk tangan
kanannya menjotos ke atas.
Bukk!
Harimau besar itu terpental
satu tombak ke kiri. Raungannya menggetarkan hutan. Dua tulang iganya patah.
Tapi begitu menjejakkan kaki di tanah binatang ini cepat berputar dan kembali
menerkam si pemuda.
"Binatang tolol!
Dikasihani malah minta digebuk!" Dengan gerakan cepat pemuda itu melompat
ke samping menghindari serangan harimau. Begitu serangan lewat tangan kirinya
menghantam ke depan. Kembali terdengar suara bergedebuk. Harimau besar itu
melintir di udara lalu jatuh tergelimpang tanah. Pipinya remuk. Mata kanannya
mengeluarkan darah. Binatang ini meraung keras dan menggapai-gapaikan kedua
kaki depannya lalu dengan tubuh huyung dia mencoba berdiri. Si pemuda
menghantam kalau binatang ini menyerang kembali. Tapi ternyata harimau itu
melangkah mundur lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan tempat itu.
Sadar kalau dirinya baru raja
terlepas bahaya maut Gayatri sandarkan diri ke batang pohon lalu menangis keras
sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Pemuda berambut gondrong
melangkah mendekati seraya berkata.
"Gadis berani, harimau
itu sudah kabur. Bahaya sudah berlalu…."
Gadis berani? Aku dikatakannya
gadis berani, membatin Gayatri. Aku ketakutan setengah mati, malah bilang aku
gadis berani!
Perlahan-lahan gadis itu
turunkan kedua tangan. Si pemuda terkesiap ketika melihat wajah sang dara.
Wajahnya cantik sekali.
Sepasang matanya bening kaca.
"Saya… saya bukan gadis
berani. Tadi saya ketakutan setengah mati…" kata Gayatri polos. "Ah,
ternyata kau bukan saja pemberani tapi juga jujur. Kau tahu hanya gadis yang
berani
yang mau masuk ke dalam hutan
seorang diri sepertimu." "Sebenarnya saya tersesat. Tujuan saya bukan
hutan ini." "Apapun tujuanmu adalah sangat berbahaya mengadakan
perjalanan seorang did. Apalagi
memasuki hutan. Apa yang kau
lakukan dalam hutan ini?" "Saya mencari kupu-kupu," jawab
Gayatri. "Kupu-kupu? Ah, di sini mana ada kupu-kupu. Hutan yang banyak kupu-kupunya
terletak
di sebelah Timur."
"Itu sebabnya saya katakan saya tersesat. Kau tinggal di sekitar
sini?" "Agak jauh dari sini…." "Saya Wiro. Kau siapa?"
"Saya…." Gayatri sadar dia tak mungkin memberi tahu namanya.
"Maaf…. saya tidak bisa
memberi tahu nama." Wiro
tersenyum. Berani masuk hutan tapi takut memberi tahu nama. Pasti ada satu
rahasia
yang coba disembunyikannya.
"Saya berhutang nyawa padamu. Kau telah menyelamatkan saya dari raja hutan
tadi…" Wiro garuk-garuk kepala. "Hutang uang memang ada. Kalau hutang
nyawa mana ada?"
katanya. "Ucapan itu
lebih pantas dari pada menyebut segala hutang nyawa," kata Wiro pula.
"Sebentar lagi matahari
akan tenggelam. Kita harus meninggalkan hutan ini." "Ya, saya harus
segera pulang. Tapi saya tak mungkin pulang tanpa Grudo." "Grudo?
Siapa Grudo?" tanya Wiro. "Kuda saya. Saya kehilangan binatang itu.
Dia lenyap entah ke mana ketika dikejar
harimau." "Apakah
kudamu seekor kuda betina. Berwarna coklat, ada warna putih di atas
mulutnya?" "Benar,
bagaimana kau tahu?" "Saya sempat melihatnya. Saya akan memanggilnya
agar datang kemari." "Kau bisa memanggil kuda? Kau bergurau…"
"Lihat saja!"
Wiro lalu mendongak ke atas.
Dia mengerahkan sedikit tenaga dalamnya ke dada lalu ke leher. Kedua iangannya
diletakkan di samping kepala. Masing-masing ibu jari menutupi liang telinga dan
empat jari lainnya digerak-gerakkan. Gayatri hampir tak dapat menahan ketawa
melihat sikap pemuda ini. Dari mulut Wiro kemudian, terdengar suara keras
seperti ringkikan kuda jantan. Si gadis sampai menekap telinganya saking
kerasnya ringkikan itu. Wiro membuat suara meringkik itu tiga kali lalu diam
sebentar. Sesaat kemudian dia mengulangnya lagi. Begitu sampai empat kali
berturut-turut.
Tiba-tiba di kejauhan
terdengar suara ringkikan kuda seolah membalas ringkikan yang dibuat Wiro.
"Itu suara Grudo!"
seru Gayatri. Dia memandang ke arah kejauhan dari arah mana kemudian terdengar
suara langkah-langkah kaki kuda mendatangi.
Wiro kembali meringkik.
Tak selang beberapa lama
seekor kuda betina oklat muncul dari balik pepohonan.
"Grudo!" pekik
Gayatri lalu lari dan memeluk kuda betina itu. Ketika Wiro datang mendekat
Gayatri bertanya. "Saya belum pernah bertemu dengan orang sepertimu. Mampu
berkelahi dengan harimau. Menyelamatkan nyawa saya dari bahaya naut. Lalu
pandai memanggil kuda…."
Wiro tertawa lebar mendengar
kata-kata Gayatri itu. "Tidak ada yang hebat," katanya. "Aku
hanya menirukan suara ringkikan kuda jantan. Kuda betinamu mendengar lalu
mendatangi. Kuda begitu rupanya. Betina mencari jantan. Manusia pemuda mencari
gadis. Ha… ha… ha…."
Diam-diam dalam hatinya
Gayatri suka sekali pada pemuda ini. Tapi saat itu dia harus segera pulang. Dia
memandang pada Wiro lalu berkata. "Saya tidak tahu bagaimana membalas budi
baikmu. Saya benar-benar berterima kasih. Saya harus pergi sekarang…."
Wiro mengangguk. "Saya
akan mengantar kanmu sampai ke tepi hutan."
"Kau baik sekali. Tapi
kita tidak bisa menunggangi kuda ini berdua."
"Asal kau tidak memacu
binatang itu secepat kau membedalnya sewaktu dikejar harimau, saya pasti dapat
mengikutimu," kata Wiro pula.
Gayatri tertawa lepas.
Ditepuknya pinggang Grudo. Kuda ini mulai bergerak. Mula-mula perlahan. Wiro
berlari mengikuti dari belakang sambil sekali-sekali memberi tahu arah mana
yang harus diambil. Gayatri mempercepat lari kudanya sambil sesekali melirik ke
belakang. Setiap dia berpaling dilihatnya pemuda itu tetap berada dalam jarak
yang sama dari kudanya. Dicobanya lebih mempercepat lari Grudo lalu dia melirik
lagi. Tetap saja Wiro dilihatnya berada dalam jarak yang sama.
Pemuda ini bukan orang
sembarangan. Dia pasti murid seorang sakti. Ah, kalau dia mau membaktikan diri
di Keraton, niscaya Ayahanda mau memberikan jabatan cukup tinggi padanya.
Begitu Gayatri berpikir sambil menunggangi kudanya.
Di tepi hutan gadis itu
hentikan kudanya.
"Wiro, terima kasih kau
telah mengantarkan saya sampai di sini. Saya akan pulang. Kita berpisah di
sini. Saya berharap bisa bertemu denganmu lagi!"
Wiro seka keringat yang
membasahi keningnya.
"Saya juga berharap
begitu. Hanya sayang kau tidak memberi tahu nama. Rumahmupun saya tidak
ahu."
"Jangan berkecil hati
Wiro. Kelak kau akan kuberi tahu. Atau ada orang yang akan memberi tahu."
Gadis itu terdiam sesaat. Lalu tangannya bergerak menanggalkan sebuah peniti di
dada pakaiannya. Benda itu diserahkannya pada Wiro seraya berkata. "Saya
berikan dengan hati tulus. Terimalah Wiro tak berani menyambuti. Tapi si gadis
nemaksa. Begitu peniti berpindah tangan Gayatri segera memacu Grudo
meninggalkan tempat Itu. Wiro memperhatikan sampai si gadis lenyap di kejauhan.
Lalu diperhatikannya benda yang ada dalam genggamannya.
"Astaga, ini peniti emas.
Pasti mahal sekali harganya!" kata Wiro. Pada bagian atas peniti yang agak
lebar terdapat tulisan dalam bahasa Jawa kuna yang tidak dimengerti Wiro.
Sambil memandang ke arah lenyapnya Gayatri tadi, Wiro masukkan peniti emas itu
ke dalam saku pakaiannya.
***
Kapak Maut Naga Geni 2128
SEMUA orang yang ada di ruang
pertemuan itu termasuk Sang Prabu terdiam mendengar penuturan Raden Ayu
Gayatri.
"Ada yang ingin
menyampaikan sesuatu?" Sang Prabu akhirnya membuka mulut bertanya.
"Kalau diperkenankan,
saya ingin mengatakan sesuatu," Patih Raganatha berkata. Ketika Sang Prabu
mengangguk diapun meneruskan bicaranya. Mohon maaf Sang Prabu, mungkin saya
salah. Turut apa yang diceritakan Puteri Sang Prabu saya menaruh kesimpulan
bahwa mungkin sekali pemuda dari Gunung Gede itu memang bukan mata-mata."
"Hemm…" Raja
bergumam. "Ada alasan kuat Mamanda Patih mengatakan begitu?"
"Jika dia berada di pihak
yang menyeterui Singosari pasti dia telah menculik Puteri Gayatri waktu di
hutan itu," jawab Patih Raganatha.
"Dia tidak melakukan itu
karena saat berada di hutan dia tidak tahu siapa sebenarnya Puteriku,"
kata Sang Prabu pula mementahkan pendapat Sang Patih. Patih Kerajaan terdiam.
Tak ada yang bicara. Sang Prabu kemudian bertanya, "Ada lagi yang ingin
menyampaikan sesuatu? Saran, permintaan?"
Tak ada yang menjawab. Sang
Prabu berpaling pada puterinya. "Ananda Gayatri, kau tetap pada pendirianmu
agar pemuda itu dibebaskan?"
Gayatri mengangguk. Maka Sang
Prabupun berkata. "Gayatri, sesungguhnya kau telah membuat beberapa
kesalahan yang bisa mencemarkan nama baik keluarga Keraton Singosari."
Puteri bungsu terkejut dan
memandang tak mengerti pada Ayahandanya.
"Pertama, kau
meninggalkan Keraton tanpa meminta izin atau memberi tahu siapapun. Kedua kau
pergi ke tempat yang berbahaya tanpa pengiring atau pengawal sama sekali.
Ketiga kau berada di hutan berdua-duaan dengan seorang pemuda asing yang
dicurigai mempunyai maksud jahat terhadap Singosari. Kesalahan keempat, kau
malah meminta agar pemuda asing itu dilepaskan!"
Untuk beberapa saat lamanya
Gayatri tidak dapat berkata apa-apa mendengar ucapan Ayahandanya itu. Semua
orang memandang padanya. Para Pendeta diam-diam merasa hiba.
Sebetulnya Gayatri ingin
segera berlalu dari tempat itu. Dia tahu kalau Ayahandanya punya sifat tidak
suka dibantah. Namun hati kecilnya merasa tidak enak kalau semua kesalahan
harus dituduhkan pada dirinya. Maka puteri bungsu ini akhirnya memutuskan untuk
bicara.
"Ayahanda, untuk hal
pertama dan kedua Ananda mengaku salah dan bersedia menerima hukuman. Namun
untuk hal ketiga dan keempat sulit bagi Ananda menerimanya. Pertemuan itu sama
seka tidak direncanakan. Pemuda asing itu seolah-olah dimunculkan oleh Bathara
Agung ketika Ananda berada dalam bahaya maut. Siapapun dia adanya dia telah
menyelamatkan Ananda. Karena dia orang kebanyakan mungkin kita tidak perlu
ingat apalagi membalas budi jasanya itu. Tetapi jika kemudian kita menuduhnya
sebagai orang yang punya niat jahat terhadap Singosari, mata-mata musuh… entah
tuduhan apa lagi, Ananda rasa itu sungguh sangat bertentangan dengan pikiran
bijaksana dan peri keadilan. Semoga para Dewa mengampuni kekeliruan kita."
Habis berkata begitu Gayatri
haturkan sembah lalu melangkah cepat ke pintu.
Paras Sang Prabu tampak merah
padam. "Gayatri!" teriaknya.
Puteri bungsu itu hentikan
langkah dan berpaling.
"Sebagai anak kau tidak
layak berkata seperti itu! Urusan Kerajaan aku yang mengendalikan bersama tiga
orang Maha Menteri yaitu Patih, Panglima dan Pendeta! Aku terpaksa menjatuhkan
hukuman padamu. Mulai saat ini kau tidak diperkenankan meninggalkan Kaputeran.
Berapa lamanya sampa ada keputusan lebih lanjut!"
Kedua mata Gayatri membesar.
Ada air mata merebak di kedua matanya. Gadis ini cepat menggigit bibirnya
keras-keras hingga berdarah. Rasa sakit membuat dia mampu menahan tangis. Dia
melangkah meninggalkan ruangan itu dengan menguatkan diri, membusungkan dada
menegakkan kepala. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahan jiwa pada orang-orang
yang ada di situ, terutama Ayahandanya. Tapi di ambang pintu tiba-tiba Gayatri
hentikan langkahnya dan berpaling. Lalu terdengar gadis ini berkata.
"Saya ingat pada kisah
yang ditulis dalam sebuah kitab kuna. Seekor pelanduk yang lari ketakutan di
tengah hutan ditangkap oleh Penguasa Rimba. Dituduh mencuri makanan. Ternyata
tuduhan itu kemudian tidak pernah terbukti. Karena tidak pernah diperiksa apa
yang sebenarnya menyebabkan si pelanduk melarikan diri. Padahal dia melarikan
diri karena ketakutan dikejar babi hutan dan srigala yang berlomba hendak
memangsanya. Seorang pemuda yang tidak diketahui kesalahannya ditangkap.
Dijebloskan ke dalam penjara. Mengapa tidak seorangpun yang memikirkan untuk
menyelidiki Raden Adikatwang dan Adipati Wira Seta? Saya tidak memerlukan
jawaban karena karena saya tahu semua orang yang ada disini adalah orang-orang
pandai yang tidak layak diajari…"
"Gayatri!" hardik
Sang Prabu dengan muka anerah padam dan marah sekali. "Keluar kau dari
ruangan ini!"
Puteri Sang Prabu haturkan
sembah lalu membalik dan berlalu dari ambang pintu dengan cepat.
Pendeta Mayana menarik nafas
lalu berkata. "Sang Prabu, mohon maafmu. "Mungkin kita memang perlu
untuk mengusut langsung dua orang yang tadi disebutkan Puteri Gayatri yaitu
Raden Adikatwang dan Adipati Wira Seta."
Kalau saja yang bicara itu
bukan Pendeta Mayana orang tertua yang paling dihormati Paduka, pastilah Raja
Singosari ini akan membentaknya. Sang Prabu duduk kembali ke tempatnya. Sambil
mengusap-usap dagunya dia berkata perlahan.
"Saya akan pikirkan hal
itu Mamanda Patih."
Namun nyatanya Sang Prabu
tidak pernah memikirkan hal itu, apalagi memerintahkan melakukan penyelidikan.
Kelak hal ini akan menjadikan penyesalan harus dibawanya bersama ajalnya.
***
RUANGAN di mana Pendekar 212
Wiro Sableng dikurung adalah sebuah ruangan batu yang terletak di bagian bawah
bangunan panjang. Pintunya terbuat dari besi yang bagian atasnya berbentuk
jeruji-jeruji sebesar pergelangan tangan.
Di luar pintu yang digembok
itu, dua orang pengawal melakukan penjagaan di bawah penerangan sebuah obor
yang dikaitkan di dinding. Ketika malam tiba keadaan di dalam dan di luar
bangunan sepi sekali. Angin malam sesekali bertiup dingin.
Dari arah tembok Keraton
sebelah Utara kelihatan sesosok tubuh berjalan cepat dalam kegelapan malam.
Orang ini ternyata menuju ke arah bangunan berbentuk panjang. Dia mengenakan
jubah ahu-abu yang bagian lehernya di lengkapi sebuah topi berbentuk kerudung.
Bentuk kerudung ini menyembunyikan hampir keseluruhan wajahnya hingga mukanya
tidak dapat dilihat dan sulit dikenall.
Di pintu depan bangunan dua
orang pengawal segera mendatangi. Orang berjubah mengeluarkan secarik kertas.
Begitu melihat kertas tersebut dua pengawal tampak menjura lalu memberi jalan
bagi orang berkerudung untuk masuk ke dalam bangunan.
Orang ini langsung menuju
tangga yang membawanya ke sebuah lorong batu pendek. Di ujung lorong ada sebuah
pintu besi dijaga oleh dua orang pengawal. Seperti tadi orang berkerudung ini
keluarkan kertas dan memperlihatkannya pada kedua pengawal. Namun kali ini dia
mendapat kesulitan.
"Kami mendapat pesan,
kalau bukan Patih atau Panglima Kerajaan yang datang, kami tidak boleh membuka
pintu ini." berkata salah seorang pengawal.
Orang berkerudung tampak
kurang senang mendengar ucapan pengawal pintu penjara. Tapi dengan sabar dia
berkata, "Kau lihat sendiri. Surat itu dibubuhi Cap Kerajaan. Berarti
adalah perintah Prabu Singosari."
"Kami memang melihatnya,
namun kami tetap berpegang pada perintah yang telah diberikan."
"Berarti kalian berani
menyanggah perintah Raja?" orang berkerudung menggertak.
Tapi dua pengawal itu tidak
mempan digertak. Yang satu berkata, "Mana kami berani membangkang perintah
Raja. Asalkan Panglima atau Patih Kerajaan bisa hadir di sini, kami tentu akan
membuka pintu penjara."
Pengawal yang satu lagi malah
menyambung dengan berucap, "Harap dimaatkan. Siapa di situ sebenarnya
kamipun tidak mengenali. Mengapa menutupi wajah dengan kerudung?"
"Kalian berdua telah
melihat Cap Kerajaan. Tapi masih berani menolak perintah. Kalian berdua akan
mendapat hukuman berat!"
Baru saja orang berkerudung
berkata begitu tiba-tiba di ujung lorong terdengar suara orang berkata.
"Aku datang membawa Surat
Perintah dengan Cap Kerajaan yang asli! Kalian harus membebaskan tahanan
itu!"
Dua pengawal dan orang
berkerudung sama-sama terkejut. Ketiganya berpaling ke arah ujung lorong.
Semuanya lebih terkejut lagi ketika mengenali siapa yang datang.
***
Kapak Maut Naga Geni 2129
BEGITU orang yang barusan
bicara sampai di depan pintu ketiga orang itu segera membungkuk memberi
penghormatan. Lalu salah seorang pengawal cepat bertanya.
"Raden Ayu Gayatri, Putri
Prabu Singosari, ada keperluan apakah hingga menyempatkan diri dan sudi datang
ke tempat ini?"
"Saya datang membawa
Surat Perintah dari Sang Prabu untuk membebaskan tawanan bernama Wiro,"
jawab orang yang barusan datang yang ternyata adalah puteri bungsu Raja
Singosari sendiri yaitu Gayatri. Gadis ini mengenakan pakaian ringkas sderhana
seperti pakaian berlatih menunggang kua. Dengan tangan kirinya dia menyodorkan
sehelai kertas yang dibubuhi Stempel Kerajaan. Surat itu berisi atas perintah
Raja Singosari, tahanan bernama Wiro harus segera dibebaskan.
Pengawal pintu yang membaca
surat tersebut membungkuk dua kali lalu berkata. "Raden Ayu, mohon
dimaafkan. Kami tidak bisa membebaskan tahanan. Tadipun orang ini menunjukkan
surat yang sama…"
"Aneh!" kata Gayatri
sambil memandang tajam pada orang berkerudung. Dia tidak mengenali siapa adanya
orang ini. "Coba tunjukkan surat yang kau bawa!"
Orang berkerudung menyerahkan
surat yang dipegangnya. Gayatri memperhatikannya sebentar lalu berkata.
"Palsu! Surat ini palsu! Yang aku bawa adalah yang asli! Lepaskan tahanan
itu, cepat!"
"Maaf Raden Ayu, asli
atau tidaknya surat itu kami tidak bisa memenuhi permintaan Raden Ayu.. Kecuali
jika Panglima atau Patih Kerajaan sendiri ada di sini. Mohon maaf dari Raden
Ayu…."
Mendengar ucapan si pengawal
puteri Raja Singosari itu menjadi marah. "Lalu apa kau menganggap aku ini
lebih rendah dari Panglima atau Patih Kerajaan?!" Gayatri membentak.
Dua perajurit tampak pucat dan
cepat-cepat membungkuk.
"Maafkan kami Raden Ayu.
Kami hanya perajurit-perajurit rendah yang menjalankan perintah…."
"Kalian
perajurit-perajurit dungu!"
Dua perajurit tundukkan kepala
tidak berani menatap wajah puteri raja itu. Gayatri berpaling pada orang
berkerudung di sebelahnya.
"Siapa kau? Mengapa
mereyeinbunyikan rupa di balik kerudung?"
Pertanyaan si gadis membuat
orang berkerudung menjadi gugup dan tidak segera menjawab. Dalam hati dia
berkata. Aku tak perlu takut. Maksudku dan maksudnya sama. Maka orang inipun
segera membuka mulut untuk mengatakan siapa dirinya. Tapi tiba-tiba saat itu
ada satu bayangan berkelebat. Tahu-tahu seorang nenek bungkuk telah berdiri di
depan ke empat orang itu. Bentuk tubuh dan tampangnya yang angker membuat semua
orang ada di situ jadi terkesiap dan kecut.
Si nenek bertubuh tinggi
kurus. Kulitnya sangat hitam, tipis keriputan seolah hanya tinggal kulit
pembalut tulang. Kedua pipi dan rongga matanya cekung hingga jika memandang
kelihatan menggidikkan. Sepasang alis dan rambutnya yang jarang berwarna putih.
Pada kepalanya ada lima buah tusuk kundai perak berkilat. Rambutnya yang jarang
tidak memungkinkan tusuk kundai itu disisipkan. Dan nyatanya kelima tusuk
kundai itu disisipkan pada kulit kepalanya! Nenek seram ini mengenakan kebaya
lusuh gombrong dan sehelai kain panjang dekil sebatas betis. Mulutnya yang
perot kelihatan menyeringai.
"Orang-orang tolol
meributkan Surat dan Cap Kerajaan. Padahal aku yang datang membawa Cap yang
asli! Ini!" Si nenek berkata sambil acungkan tinjunya.
"Nenek, kau siapa?"
tanya salah seorang pengawal pintu memberanikan diri.
Sementara itu orang
berkerudung memperhatikan perempuan tua ini dengan mata tidak berkesiap.
Melihat kepada tusuk kundainya, tak salah lagi pasti dia. Tapi apakah
keadaannya benar-benar sudah setua ini? Ah, apakah dia masih mengenaliku?
Orang berkerudung ini sesaat
membayangkan masa beberapa puluh tahun yang silam. Namun bayangan itu menjadi
buyar ketika si nenek membentak perajurit di hadapannya.
"Kacoak macammu tidak
perlu bertanya siapa diriku!" Lalu nenek ini melangkah ke depan, pintu
besi. Sekali tangannya mengantam gembok besar dari besi yang ada di pintu
tanggal berantakan.
Dua perajurit sampai tersurut
mundur saking kagetnya. Gayatri dan orang berkerudung terperangah. Tidak dapat
dipercaya tangan yang kurus kering seperti tangan jerangkong itu mampu memukul
hancur gembok besi begitu rupa.
Dewa Bathara, kata orang
berkerudung dalam hati. Aku yakin kini memang dia. Hanya dia yang punya
kesaktian melakukan hal itu!
Dua pengawal pintu yang
tiba-tiba sadar akan tugas dan kewajiban mereka segera melompat ke hadapan si
nenek sambil menghunus senjata.
"Nenek tua! Kau berani
melakukan perusakan! Kami terpaksa menangkapmu!"
"Baik!" jawab si
nenek. Lalu, dia tertawa mengekeh. "Tapi kau coba dulu Cap Kerajaan
ini!"
Dua tangan si nenek melesat ke
depan.
Bukk!
Bukk!
Dua pengawal jatuh ke lantai
tak sadarkan diri lagi. Di kening masing-masing kelihatan benjut sebesar telor
ayam!
Nenek angker itu kembali
perdengarkan suara tertawa menggidikkan. Lalu sekali kakinya bergerak pintu
besi ruangan penjara jebol terpentang lebar.
Di dalam ruangan batu itu
tampak sosok Pendekar 212 Wiro Sableng terbujur menelentang di lantai dalam
keadaan tidak bergerak karena masih di bawah pengaruh totokan yang dibuat oleh
Argajaya.
"Anak bandel! Ini akibat
kau tidak menuruti petunjukku! Di suruh ke Barat malah ngeluyur ke Timur!"
si nenek terdengar mengumpat. Lalu enak saja kakinya menendang.
Bukk!
Tubuh Wiro terpental. Ternyata
tendangan itu bukan tendangan sembarangan. Karena begitu ditendang totokan yang
menguasai Wiro serta-merta buyar terlepas!
Dapatkan dirinya bebas dari
totokan, bisa bergerak dan bicara kembali, Wiro Sableng segera menjura
menghormat pada si nenek lalu berkata.
"Eyang, murid mohon
maafmu karena tidak mengikuti petunjuk. Murid tersesat ke Singosari karena
maksud baik hendak berbakti memberi tahu adanya bahaya yang mengancam Kerajaan.
Tapi…."
"Itulah ketololanmu!
Berbakti bukan pada orang-orang yang tidak tahu berterima kasih. Aku tahu kau
tidak mengharapkan imbalan atau menyimpan rasa pamrih. Tapi apakah bukan sialan
namanya kalau maksudmu menolong malah kau kini yang digolong? Lekas keluar dari
tempat celaka ini. Ikuti aku!"
Jadi pemuda itu ternyata
adalah muridnya. Berarti benar guru dan murid ini berada di Singosari. Orang
berkerudung hendak maju mendekati tapi Gayatri lebih cepat mendatangi.
"Pemuda itu tidak boleh
kemana-mana. Dia harus ikut bersama saya!"
Si nenek menatap wajah Gayatri
sejurus lalu menyeringai. "Kau rupanya naksir pada muridku. Sampai-sampai
membuat Surat Perintah palsu. Dari mana kau dapat Cap Kerajaan itu, gadis
jelita?"
Paras Gayatri tampak
kemerahan.
Di saat yang sama orang
berkerudung berkata. "Pemuda itu tidak akan ikut satupun di antara kalian.
Aku yang akan membawanya keluar dari tempat ini. Anak muda, ayo ikut aku!"
Si nenek tertawa cekikikan.
"Muridku laris rupanya.
Banyak orang yang menginginkan dirinya. Manusia-manusia keblinger! Aku gurunya
lebih berhak dari pada kalian! Menyingkir dari sini atau terpaksa kalian
kugebuk satu persatu!
Gayatri menjadi bimbang. Kalau
nenek ini memang guru pemuda yang hendak dilepaskannya berarti maksudnya untuk
menolong sudah kesampaian walau orang lain yang melakukan. Lain halnya dengan
lelaki berjubah dan berkerudung. Dia melangkah cepat mendekati Wiro seraya
berkata. "Sekarang bukan saatnya kau harus mengikuti gurumu. Cepat ikuti
aku! Apa kalian tidak tahu kalau diri kalian dalam bahaya?!"
Si nenek cepat bergerak
memotong jalan orang berkerudung. Sepasang mata mereka saling bentrokan. Ada
satu perasaan aneh yang membuat kedua orang ini jadi bergetar hati
masing-masing.
"Orang berkerudung siapa
kau ini? Harap buka kerudungmu. Perlihatkan wajahmu agar kukenali, "kata
Wiro.
"Waktu kita singkat
sekali. Sebentar lagi pengawal-pengawal pengganti akan datang. Kalau sampai ada
yang melihat apa yang terjadi di sini, kau bias menemui kesulitan lebih besar.
Mungkin sebelum matahari terbit kau sudah digantung!"
"Aku mau lihat siapa yang
berani menggantung muridku!" kata si nenek. Lalu ujung jari telunjuk
tangan kanannya diluruskan dan didorongkan ke arah dada orang berkerudung.
"Menyingkir dari
hadapanku!"
Orang berkerudung terkejut
ketika merasakan bagaimana jari yang kurus kecil si nenek laksana sepotong besi
mendorong dadanya dengan kuat. Dia berusaha bertahan tapi dadanya jadi
mendenyut sakit dan perlahan-lahan tubuhnya terdorong. Dia akan segera
terjengkang kalau tidak cepat mengerahkan tenaga dalam ke bagian dada. Tenaga
dalam yang dikerahkannya berbentuk satu tenaga lembut tetapi yang punya
kesanggupan menahan tekanan berat.
Si nenek terkesiap ketika
merasakan bagaimana daya dorongnya yang kuat seolah-olah amblas masuk ke dalam
permukaan selembut kapas. Matanya cepat menatap mata orang berkerudung di
depannya. Aku seperti pernah melihat mata ini. Tapi lupa di mana dan kapan. Aku
tak punya waktu untuk memikirkannya saat ini. Si nenek tarik pulang tangannya
dan berpaling pada muridnya. Namun sebelum dia sempat mengatakan sesuatu pada
Wiro tiba-tiba di dengarnya orang berkerudung di depannya berkata perlahan
hingga hanya dia saja yang mendengar.
"Sinto Weni, lekas
tinggalkan tempat ini. Aku tunggu kau di sebuah pondok di Lembah Bulan
Sabit…." Habis berkata begitu orang berkerudung putar tubuhnya dan cepat
sekali dia sudah berada di ujung lorong lalu lenyap di balik tembok batu.
Nenek kurus jangkung tampak
berubah wajahnya yang angker. Kedua matanya seperti hendak melompat oleh rasa
terkejut. Selama puluhan tahun hidup hanya beberapa orang saja yang tahu nama
aslinya itu. Dia dikenal dengan sebutan nenek angker Sinto Gendeng dari Gunung
Gede.
Orang berkerudung itu! Siapa
dia?! Bagaimana dia bisa tahu nama asliku?! Hanya ada satu jawaban. Dia pasti
salah satu dari orang-orang yang kukenal di masa muda! Aku harus mengejarnya!
Aku harus mencari tahu siapa dia adanya!
Sinto Gendeng berpaling pada
muridnya "Anak gendeng, lekas kau pergi dari sini. Aku tidak melarang kau
melakukan kebaikan dan kebajikan. Tapi jika itu hanya akan menyulitkan dirimu,
jangan harap aku bakal menolongmu lagi!"
"Eyang, saya… " Wiro
tidak teruskan ucapannya. Sang guru sudah berkelebat dan lenyap dari ,
hadapannya. Wiro garuk-garuk kepala lalu berpaling pada gadis di sebelahnya.
"Saya tidak menduga kalau
kau adalah puteri Raja Singosari." Lalu Wiro membungkuk.
Halilintar di Singosari
memberi penghormatan.
"Saya tidak perlu segala
macam peradatan seperti itu."
"Kau telah
menolongku…."
"Bukan saya, tapi gurumu
sendiri." Jawab Gayatri.
"Paling tidak kau telah
berusaha melakukan sesuatu untuk mengeluarkan diri saya dari sini. Saya sangat
berterima kasih…"
Gayatri tersenyum. "Budi
pertolonganmu tempo hari belum dapat saya balas, Wiro…"
"Ah, hal itu tidak perlu
disebut-sebut," jawab murid Sinto Gendeng.
"Dengar, kita tidak bisa
berada lama-lama di tempat ini. Saya harus pergi. Sebelum matahari terbit
pergilah ke Lembah Bulan Sabit di sebelah Selatan Kotaraja. Di situ ada sebuah
pondok papan. Tunggu sampai saya datang."
Wiro hendak menanyakan
sesuatu. Tetapi Gayatri sudah membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu.
***
Kapak Maut Naga Geni 21210
LEMBAH Bulan Sabit terletak di
sebelah Selatan Tumapel, di satu daerah yang jarang di datangi orang karena
kawasan ini sering dipergunakan oleh Prabu Singosari dan para petinggi Kerajaan
untuk berburu. Malam itu udara dingin sekali dan kesunyian yang mencekam
sesekali ditandai oleh suara siuran angin.
Di lembah yang berbentuk bulan
sabit itu terdapat sebuah pondok papan. Pondok ini biasanya dipakal sebagal
tempat beristirahat oleh orang-orang Keraton Singosari yang berburu di kawasan
itu.
Di dalam gelap dan dinginnya
malam menjelang dini hari itu seseorang tampak berkelebat cepat dari arah
Timur. Inilah sosok di nenek Sinto Gendeng, guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Wiro Sableng.
Aku tidak melihat bayangan
orang berkerudung itu. Kalau dia menempuh jalan memintas itu tidak mengherankan.
Tapi bilamana dia mengambil jalan yang sama yang aku tempuh. Sungguh luar biasa
kepandaiannya. Sinto Gendeng membatin sambil berlari menuruni lembah. Di satu
bagian lembah, dikelilingi oleh beberapa pohon besar pondok papan itu dengan
mudah terlihat walaupun malam gelap.
Si nenek berlari cepat ke arah
bangunan ini. Tinggal beberapa belas langkah lagi dari pondok itu, Sinto
Gendeng telah dapat melihat sosok tubuh orang berkerudung tegak di bagian depan
bangunan. Pondok ini ternyata sebuah bangunan yang diberi dinding papan pada
bagian kiri kanan dan belakang sedang bagian depan dibiarkan terbuka. Sebuah
balai-balai kayu terletak di bagian kiri.
Ah, ternyata dia sudah sampai
duluan, kata Sinto Gendeng ketika dia melihat orang itu. Nenek ini naik ke
baglan depan pondok papan. Untuk beberapa saat kedua orang ini hanya saling
pandang dari jarak tiga langkah.
Kegelapan tidak memungkinkan
bagi Sinto Gendeng untuk melihat jelas apalagi mengenali orang itu. Maka diapun
berkata.
"Kau tahu namaku. Siapa
kau sebenarnya? Kau menyuruh aku datang ke sini. Apa perlunya?"
Wajah di balik kerudung
tersenyum.
"Kau tidak mengenaliku?
"
"Kau menyembunyikan
wajahmu di balik kerudung. Mana mungkin aku mengenali. Tetapi suaramu… suaramu
mengingatkan aku pada seseorang yang aku pernah kenal sekitar empat puluh tahun
yang silam…" Sinto Gendeng hentikan ucapannya. Tiba-tiba saja dia
merasakan jantungnya berdebar keras.
"Empat puluh tahun bukan
waktu yang singkat," kata orang berkerudung disertai tarikan nafas dalam. "Tapi
perubahan kulihat sangat menyolok pada dirimu." masih tegak membelakangi
Sinto Gendeng perlahan-lahan orang itu membuka jubahnya. Di balik jubah itu dia
mengenakan pakaian putih.
"Kau seorang Pendeta
Tantrayana…" kata Sinto Gendeng.
"Kau… Katakan siapa
dirimu sebenarnya. Apakah kau bukannya…. Ah, mustahil. Orang yang pernah
kukenal itu sudah meninggal empat puluh tahun yang lalu."
Orang berpakaian pendeta
membuka kerudungnya dan mencampakkannya ke lantai pondok. Perlahan-lahan dia
memutar tubuh menghadap ke ar. si nenek. Kedua mata Sinto Gendeng terbuka lebar
Merasa masih belum jelas dia melangkah mendekati tiba-tiba langkahnya tertahan.
Malah kini dia surut sampai dua langkah. Dia melihat wajah itu kini dengan
jelas. Dia mengenali orang itu.
"Ananta… Jadi benar kau
rupanya!" Nenek itu merasakan sekujur tubuhnya bergetar. "Atau aku
salah lihat?"
Karena terlalu asyik dalam
percakapan ke dua orang itu tidak mengetahui kalau sesosok bayangan berkelebat
di dekat pondok papan lalu mendekam di tempat gelap. Orang ini bukan lain
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng. Sesuai dengan
pesan Gayatri malam itu sekeluarnya dari penjara Wiro segera menuju pondok di
Lembah Bulan Sabit itu. Baik Wiro maupun Gayatri tidak mengetahui kalau sebelumnya
orang berkerudung telah membuat janji pula dengan Sinto Gendeng untuk bertemu
di tempat itu. Walaupun hatinya jadi tidak enak namun diam-diam Wiro
mendengarkan percakapan ke dua orang itu.
"Tidak, kau tidak salah
lihat Sinto. Yang berdiri di hadapanmu ini memang Ananta Wirajaya. Sahabatmu
empat puluh tahun lalu! Sahabat yang pernah mencintaimu dan yang juga pernah
kau cinta! Hanya sayang perjalanan nasib tidak dapat menyatukan kita
sebagai…"
Wiro jadi melongo mendengar
kata-kata orang yang bicara dengan gurunya itu. Dari tempatnya bersembunyi Wiro
mengenali orang berpakaian Pendeta bukan lain adalah Pendeta Mayana, salah
seorang dari tiga Maha Menteri yang menjadi pembantu utama Prabu Singosari.
Kemudian kembali terdengar suara sang pendeta.
"Ananta…" kata Sinto
Gendeng dengan suara sengaja dikeraskan untuk menyembunyikan getaran hatinya.
Namun tetap saja suara itu terdengar bergetar. "Masa empat puluh tahun
lalu tidak mungkin akan kembali. Apa yang terjadi dulu tidak perlu diungkit
apalagi disesalkan. Dulu kita orang-orang muda yang keras hati, sombong, tidak
mau mengalah, terlalu menyanjung ilmu dan kesaktian. Apa vang akhirnya kita
dapat? Kini kita hanya jadi orang-orang tua yang tidak lebih dari sebatang kayu
yang sudah dimakan rayap!"
"Sinto Weni, apakah kau
menyembunyikan sesuatu di balik keadaan tubuh dan wajahmu?"
Sinto Gendeng tersentak.
"Apa maksudmu Ananta?"
"Aku setuju kata-katamu
tadi. Kita adalah orang-orang tua yang sudah jadi kayu dimakan rayap, sudah bau
tanah karena hampir masuk liang kubur. Tapi aku merasa pasti tidak seharusnya
kau seperti ini. Wajahmu tidak mungkin seperti yang aku lihat. Juga keadaan
tubuhmu…"
"Apa yang kau lihat
adalah kenyataan Ananta. Tidak ada yang tidak berubah di dunia ini."
"Aku tidak yakin,"
jawab Ananta Wirajaya alias Pendeta Mayana. "Boleh aku melihat wajahmu
yang asli, Sinto?"
"Eh, kau kira apakah saat
ini kepalaku adalah kepala palsu? Terbuat dari kayu?!" Sinto Gendeng coba
bergurau.
"Kepalamu tidak palsu.
Hanya saja kau…Maafkan kalau dugaanku salah. Kau menyembunyikan seluruh kepala
dan wajahmu di balik sebuah topeng. Mungkin juga kau mengenakan topeng tipis
yang menutupi sekujur tubuhmu…"
Sinto Gendeng tertawa panjang.
Dia menatap ke mata Sang Pendeta yang bening itu. Nenek sakti yang keras hati
ini tidak sanggup menatap kedua mata Ananta Wirajaya. Kekerasan hatinya seperti
mencari oleh kenangan masa lalu. Dadanya berdebar. Perlahan terdengar Sinto
Gendeng berkata. ‘"Aku tidak bisa berdusta padamu. Memang aku menutupi
kepala, wajah dan tubuhku dengan sesuatu."
"Ah…" Pendeta Mayana
berdesah.
Di dalam kegelapan Wiro
Sableng jadi terkesiap mendengar pembicaraan gurunya dengan Pendeta Mayana itu.
Jika dia tidak mendengar sendiri rasanya tak akan pernah dia percaya kalau
wajah yang bertahun-tahun dilihatnya itu ternyata adalah bukan wajah asli si
nenek. Lalu didengarnya suara Sinto Gendeng.
"Aku tidak mungkin
memperlihatkan wajahku yang asli padamu, Ananta. Tidak pada siapapun. Bahkan
muridku yang hidup bersamaku lebih dari sepuluh tahun tidak pernah
mengetahuinya. Aku merasa lebih tenteram dengan wajah dan tubuh seperti
ini…"
"Ketenteraman hidup tidak
terletak pada wajah, Sinto," kata Ananta Wirajaya yang di Keraton
Singosari dikenal sebagai Pendeta Mayana itu. "Tapi di sini,"
sambungnya sambil menekapkan telapak tangan kirinya ke dada.
Untuk beberapa lamanya Sinto
Gendeng tidak bisa berkata apa-apa. Pendeta Mayana maju mendekatinya hingga
jubah pendetanya hampir menyentuh pakaian si nenek.
Berada sangat dekat begitu
rupa membuat Sinto Gendeng merasakan darahnya mengalir lebih cepat dan
jantungnya berdetak lebih keras.
"Ananta, aku harus pergi
sekarang. Aku merasa senang setelah sekian puluh tahun bisa bertemu denganmu
lagi."
"Sinto…" kata Ananta
Wirajaya. Suaranya tercekat seperti lidahnya menjadi kelu saat itu. "Aku
tidak tahu kapan bisa bertemu denganmu lagi. Mungkin tidak akan pernah lagi.
Selama perpisahan empat puluh tahun lalu aku tidak pernah melupakan berjumpa
mengapa kau ingin berlalu secepat ini. Apakah kau masih menanam rasa sakit hati
terhadapku…?"
Sinto Gendeng menggeleng.
"Tidak, tidak ada rasa sakit hati. Semua yang terjadi di masa lalu biarlah
berlalu."
Ananta Wirajaya menarik nafas
panjang.
"Kalau kau memang ingin
pergi aku tak dapat mencegah. Aku pasrah." kata Ananta Wirajaya.
"Cuma aku mohon untuk terakhir kali, izinkan aku melihat wajahmu.
Sekejappun sudah cukup menjadi obat bagi penderitaan dan pelepas rindu selama
empat puluh tahun. Mungkin perlu kau ketahui. Aku merubah jalan hidup,
meninggalkan dunia persilatan dan menjadi seorang Pendeta Tantrayana sejak aku
menyadari kesalahanku, mengecewakanmu."
Jadi dia telah menjadi Pendeta
sejak empa puluh tahu silam, kata Sinto Gendeng dalam hati.
"Aku meminta Sinto,
Bolehkah…?"
Hati nenek sakti dari Gunung
Gede itu seperti leleh. Perlahan-lahan kedua tangannya diangkat ke bagian bawah
lehernya. Jari-jarinya menarik satu lapisan sangat tipis yang selama ini
menutupi wajahnya. Ketika lapisan itu tersingkap kelihatan satu wajah berkulit
halus putih. Wajah itu memang sudah tua dan ada keriputnya tetapi bekas-bekas
kecantikan masih membayang sangat menonjol.
Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya. Dalam hati dia berkata. Gila! Tidak pernah aku menyangka dia
menyembunyikan wajahnya yang asli. Ternyata meskipun tua tapi cantik. Di waktu
muda pasti wajahnya membuat setiap lelaki blingsatan melihatnya!
Pendeta Mayana yang aslinya
bernama Ananta Wirajaya untuk beberapa lamanya menatap wajah di depannya dengan
pandangan mesra. Semua yang pernah dialaminya empat puluh tahun silam bersama
perempuan yang dikenalnya dengan nama Sinto Weni itu seolah terbayang kembali.
Perlahan-lahan dia mengangkat tangan kanannya. Jari-jari tangannya membelai
pipi Sinto Weni.
Diperlakukan mesra seperti itu
Sinto Weni merasakan dirinya tergetar. Sesaat dia tenggelam dalam rasa bahagia.
Tapi nenek sakti ini cepat sadar diri. Dia mundur dua langkah sambil
cepat-cepat menutup kembali lapisan tipis ke wajahnya yang asli,
"Aku harus pergi Ananta.
Maafkan aku…"
Walau sedih Ananta Wirajaya
tampaknya pasrah. Dia menganggukkan kepala. "Kau tak ingin meninggalkan
pesan apa-apa?" tanyanya.
"Ya, memang ada
pesanku," jawab Sinto Gendeng. "Jaga dirimu baik-baik. Aku mendapat
firasat ada sesuatu peristiwa besar akan terjadi di Singosari…"
"Firasatmu sama dengan
firasatku," sahut Ananta Wirajaya. "Hanya saja sayang aku dalam
posisi yang lemah untuk memberi ingat Sang Prabu."
"Suatu ketika kiranya
kita bisa bertemu lagi, Ananta."
"Memang itu yang jadi
harapanku."
"Tolong kau perhatikan
muridku yang bernama Wiro Sableng itu…"
"Sableng? Mengapa kau
berikan nama aneh itu pada muridmu?" tanya Ananta Wirajaya heran. Sampai
saat itu dia mengira pemuda yang muncul di Keraton Tumapel itu bernama Wiro
saja. Ternyata ada Sablengnya!"
Sinto Gendeng tersenyum.
"Dia anak baik, polos. Dia memang suka bicara ceplas-ceplos. Tapi hatinya
putih dan jujur. Ilmunya memang tinggi, tapi lebih suka mengikuti kemauan hati
dari pada kehendak otak. Tolong kau lihat-lihat dia dan beri teguran jika
tindak tanduknya salah. Aku menduga dia sedang berkeliaran di Singosari ini.
Entah apa yang dicarinya…"
Di tempatnya bersembunyi di
kegelapan Pendekar 212 Wiro Sableng kembali garukgaruk kepala mendengar ucapan
gurunya itu.
Setelah memegang lengan Ananta
Wirajaya sesaat yang membuat sang pendeta merasa seribu bahagia Sinto Gendeng
berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Wiro menarik nafas lega. Dia
berpikir-pikir apakah akan terus mendekam di situ atau keluar saja. Sementara
Gayatri masih juga belum kelihatan. Bagaimana kalau gadis itu muncul selagi Pendeta
Mayana masih berada di tempat itu? Selagi dia berpikir-pikir begitu tahu-tahu
sang pendeta sudah berdiri di hadapannya.
Wiro jadi kaget. Sambil
garuk-garuk kepala dia berdiri dan membungkuk memberi hormat pada orang tua di
hadapannya.
Pendeta Mayana tersenyum.
"Orang yang kau tunggu
rupanya belum datang?"
Pertanyaan itu membuat Wiro
terkejut besar.
Dari mana dia tahu? Pikir
Wiro.
Pendeta Mayana tersenyum.
"Hidup ini terkadang aneh. Kita manusia tidak bisa menentukan karena
semuanya berada di tangan Yang Kuasa. Kau telah mendengar sendiri bagaimana
jalan hidupku bersama gurumu. Namun sebagai manusia kita perlu mawas diri. Ini
membuat kita paling tidak bisa menjadi tabah menghadapi apa yang bakal
terjadi…"
"Saya tidak mengerti
maksud Pendeta," kata Wiro pula.
Kembali orang tua itu
tersenyum.
"Gadis itu mencintaimu
Wiro…."
"Hah?!" Pendekar 212
terkesiap kaget. Wajahnya tentu saja menunjukkan rasa tidak percaya.
"Pendeta pastilah bergurau…" katanya.
"Aku tidak bergurau atau
mengada-ada, anak muda. Pertolongan dan budi baikmu, sikap jujur polosmu
membuat dia merasakan satu perasaan yang selama ini tidak pernah dirasakannya.
Kehidupannya selama ini terkungkung dalam Keraton. Kau adalah satu-satunya
pemuda yang datang dalam kehidupannya pada saat dia membutuhkan seseorang.
Kemunculanmu juga membuat dia melihat sesuatu yang selama ini tidak dilihat
atau didapatkannya didalam Keraton…."
"Taruh kata apa yang
Pendeta katakan itu betul, lalu apa yang akan saya lakukan? Apa yang musti saya
perbuat?"
"Kau mencintai gadis
itu?"
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi
garuk-garuk kepala.
"Pendeta tahu siapa
adanya Raden Ayu Gayatri. Saya tahu siapa saya. Saya tak lebih dari seekor
kodok di bawah tempurung atau pungguk merindukan bulan… Jurang pemisah
perbedaan antara kami sangat luas. Saya lebih banyak menaruh hormat padanya
dari pada memendam perasaan yang bukan-bukan."
"Anak muda, tahukah kau
bahwa cinta melenyapkan segala perbedaan? Bahwa cinta menyingkirkan segala
pembatasan…"
"Di mata pendeta Mayana
mungkin begitu. Tapi di mata Sang Prabu pasti lain. Kita orang Jawa selalu akan
melihat kepada bibit, bebet dan bobot. Saya tahu siapa bibit saya, apa bebet
dan bobot saya"
"Bibit, bebet dan bobot.
Memang tiga hal itu harus menjadi bahan pertimbangan. Namun terkadang di balik
pengagungan terhadap tiga hal itu, manusia sering kali khilaf sehingga karena
terlalu mengharapkan akhirnya mendapatkan sesuatu yang lain dari yang
diinginkan Katakanlah bahwa kau tidak punya bibit, bebet ataupun bobot. Namun
dengan pribadimu apa adanya saat ini ditambah dengan apa yang kau miliki
sekarang ini kau mempunyai peluang untuk mendapatkan satu kedudukan dalam
Keraton. Mengapa kau tidak mengabdikan diri pada Kerajaan? Dengan kepandaianmu
kau bisa mendapatkan kedudukan tinggi dalam jajaran pasukan Kerajaan atau
pengawal Keraton. Aku menaruh keyakinan, kepandaian yang kau miliki saat ini
tidak berada di bawah apa yang dimiliki Panglima Pasukan Kerajaan yang
sekarang. Bukan maksudku merendahkannya."
"Lalu apa yang harus saya
lakukan Pendeta Mayana?" tanya Wiro yang jadi pusing mendengar tutur cakap
Pendeta Mayana yang begitu panjang lebar.
"Aku tidak bisa memberi
tahu apa yang harus kau lakukan, apalagi kalau sampai menyuruhmu. Kau kajilah
sendiri. Jika kau mencintai Gayatri dan menginginkannya sebagai pendamping
hidupmu, pergunakan kemampuanmu sebagai batu loncatan. Bilamana kau sudah
menduduki satu jabatan penting dalam Istana, rasanya tak ada alasan bagi Sang
Prabu untuk tidak memikirkan kau sebagai menantunya…"
"Pendeta Maya, saya
dilahirkan sebagai orang persilatan, hidup saya selama ini dalam rimba
persilatan. Istana atau Keraton bukan tempat saya "
Orang tua itu tersenyum dan
geleng-gelengkan kepala. "Orang banyak berlomba-lomba bahkan mungkin
saling sikut untuk bisa mendapatkan satu kedudukan rendah saja. Kau justru
mempunyai peluang. Mengapa kau sia-siakan anak muda? Apa akan kau tunggu
setelah kau tua renta seperti aku ini?"
"Saya sangat menghargai
semua ucapan dan dorongan yang kau berikan Pendeta Mayana. Hanya mungkin saya
terlalu bodoh untuk mampu berpikir ke arah itu. Terus terang saya sudah cukup
bahagia bisa jadi sahabat Raden Ayu Gayatri " kata murid Eyang Sinto
Gendeng pula.
‘Pendeta Mayana memegang bahu
Pendekar 212 lalu berkata. "Dia sudah datang. Aku harus pergi. Tidak
pantas orang tua ikut mendengar pembicaraan orang-orang muda…."
Di kejauhan terdengar suara
derap kaki kuda.
Pendeta Mayana yang di masa
mudanya dikenal dengan nama Ananta Wirajaya itu mengambil jubah dan kerudungnya
yang tercampak di lantai pondok lalu bergerak pergi.
"Pendeta, tunggu
dulu!" seru Wiro.
Tapi sekali berkelebat orang
tua berambut putih itu sudah lenyap. Wiro hanya bisa garukgaruk kepala. Wiro
berpaling ketika derap kaki kuda terdengar muncul di samping kanannya. Seorang
pemuda berpakaian ringkas warna biru gelap dengan kepala ditutup sehelai sapu
tangan lebar muncul menunggang kuda dari arah kegelapan. Di bawah hidungnya ada
sebaris kumis tipis. Jika sebelumnya tidak pernah bertemu, Pendekar 212 tentu
tidak akan mengenali orang ini. Dia bukan lain adalah Gayatri, puteri Prabu
Singosari yang dalam keadaan menyamar.
Pendekar 212 cepat menyongsong
kedatangan gadis itu.
"Kau sudah lama berada di
sini?" tanya Gayatri.
Wiro mengangguk. Gadis itu
turun dari kudanya lalu melangkah ke pondok dan duduk di atas balai-balai kayu.
"Maafkan kalau sebelumnya
saya bersikap tidak pantas. Saya tidak tahu kalau Raden Ayu adalah puteri Raja
Singosari."
Gayatri tersenyum mendengar
ucapan Pendekar 212 itu.
Ah, gadis ini cantik sekali.
Ada apa dia meminta aku datang ketempat ini.
"Bagaimana samaran
saya?" bertanya Gayatri.
"Sangat bagus. Sukar
orang lain mengenali Raden Ayu."
"Ah! Tidak usah memanggil
saya dengan sebutan itu, Wiro," kata Gayatri.
"Saya tidak berani
berlaku lancang. Bagaimana pun Raden Ayu harus saya hormati." Gayatri
hendak membantah. Tapi Wiro cepat berkata dengan mengalihkan pada hal lain.
"Walau menyamar seperti ini tetapi keselamatan Raden Ayu tetap saja
terancam. Apa lagi tanpa pengiring atau pengawal sama sekali."
"Saya mengerti. Kabarnya
mata-mata musuh bertebaran di mana-mana."
"Kalau saya boleh
bertanya, mengapa Raden Ayu meminta saya datang ke pondok ini?"
"Tidak ada satu orangpun
percaya pada keteranganmu. Saya telah berusaha meyakini Ayahanda akan bahaya
yang akan mengancam Singosari. Tapi percuma. Bagaimanapun dia adalah ayah saya.
Bila Kerajaan terancam berarti keselamatannya juga terancam. Saya ingin kau
melakukan sesuatu untuk saya. Untuk Kerajaan…"
"Kemampuan apa yang saya
miliki hingga Raden Ayu mempercayai?" tanya Wiro.
"Saya kagum akan
kesaktian gurumu. Dia sanggup menghancurkan gembok besi dengan tangan kbsong.
Jika gurunya sehebat itu muridnya tentu tidak seberapa beda."
"Raden Ayu keliwat
memuji. Saya cuma orang gunung "
"Gadis itu tertawa lebar.
Kemudian tampak wajahnya bersungguh-sungguh. "Wiro, saya ingin kau
menyelidiki gerak-gerik Adikatwang. Saya yakin dia sumber malapetaka yang akan
menghancurkan Singosari." Ketika diperhatikannya Wiro masih saja berdiri,
Gayatri berkata. "Duduklah di sini, di samping saya "
Wiro duduk di sebelah si
gadis. Duduk berdekatan seperti itu sang pendekar dapat mencium harumnya bau
tubuh dan pakaian sang dara.
"Maafkan saya Raden Ayu.
Saya tidak mungkin mencampuri urusan Kerajaan. Singosari mempunyal seorang
Patih, seorang Panglima. Bukankah mereka lebih punya kewajiban dan tanggung
jawab untuk menjaga keamanan Kerajaan?"
"Mereka sudah jadi dungu
karena terlalu patuh pada Ayahanda. Saya yakin sebenarnya mereka pasti sadar
akan bahaya yang mengancam." Gayatri tampak gelisah. Murid Eyang Sinto
Gendeng serasa terbang ketika Gayatri memegang tangannya seraya berkata.
"Wiro, saya tidak punya kakak laki-1aki. Saya menganggapmu sebagai kakak
sendiri. Bahkan lebih dari kakak. Itu sebabnya saya mempercayaimu!.."
Dia menganggap aku sebagai
kakak, lebih dari kakak. Mengapa dia tidak terus terang mengatakan aku sebagai
kekasih? Gila! Wiro memaki sendiri dalam hati. Masakan aku si sableng ini punya
kekasih puteri Keraton Singosari? Bercinta dengan Puteri Raja?! Sudah gila aku
ini agaknya!
"Wiro," Gayatri
masih memegang tangan pemuda itu. "Kau tadi bilang tidak mungkin
mencampuri urusan Kerajaan. Karena Singosari punya Patih, punya Panglima. Saya
tambahkan juga punya Raja. Saya mengerti. Salah-salah kau bisa dituduh lagi sebagai
orang jahat yang bersekutu dengan kelompok yang ingin menumbangkan Sang Prabu.
Tapi bagaimana kalau ada orang-orang dari dunia persilatan ikut campur membela
orang-orang jahat itu. Apakah itu tidak bisa dipakal alasan bagimu untuk turun
tangan membantu Singosari?"
Gadis ini benar-benar cerdik!
"Raden Ayu, kau ternyata cerdik sekali. Alasan itu mungkin mengena."
Gayatri tersenyum manis
sekali. Kini tangannya bergerak menggenggam jari-jari pemuda itu. "Hidup
harus cerdik Wiro. Sebelum orang lain mempergunakan kecerdikannya untuk
menindas kita."
Wiro mengangguk. "Raden
Ayu," katanya. "Jika suatu ketika kelak keturunan Raja Singosari
mempunyai Ratu maka saya yakin kaulah orangnya."
Gayatri tertawa berderai.
"Jangan dulu ingat-ingat Singosari di masa tahunan mendatang. Kita bicara
saja dulu bahwa kau mau membantu. Demi Singosari dan juga demi saya…"
"Apa yang Raden Ayu ingin
saya lakukan?"
"Selidiki gerak-gerik
Adikatwang di Gelang-Gelang. Usahakan mendapatkan bukti-bukti nyata dan saksi
atas maksud jahatnya yaitu bersekongkol dengan Adipati Wira Seta dari Sumenep.
Jika itu sudah kau dapat, hubungi saya. Kita bersama-sama akan menghadap
Ayahanda. Masakan nanti Ayahanda tidak akan mau percaya?"
"Saya mengenal sifat
orang seperti Sang Prabu. Sulit diubah. Apa lagi saat ini saya tak lebih dari
seorang buronan. Bagaimana Sang Prabu bisa percaya?"
"Lupakan dulu sifat Sang
Prabu. Kau bersedia mengabulkan permintaan saya Wiro?"
Wiro diam sesaat. Terbayang
wajah gurunya. Apakah Eyang Sinto Gendeng tidak akan mendampratnya
habis-habisan, mungkin menggebuknya sampai babak belur jika nenek sakti itu
nanti mengetahui dia telah melanggar larangannya untuk tidak ikut campur urusan
Kerajaan?
"Baiklah. Saya akan
melakukan apa yang saya bisa." Meluncur ucapan itu dari mulut Pendekar
212.
"Saya mengucapkan terima
kasih yang sangat dalam Wiro." Nada suara Gayatri jelas terharu.
"Yang Kuasa akan menolong dan memberkatimu Saya harus pergi sekarang.
Takut kesiangan. Apakah kau masih menyimpan peniti emas yang saya berikan tempo
hari?"
Wiro mengangguk. "Apakah
Raden Ayu hendak memintanya kembali?" Wiro meraba pinggangnya di mana dia
menyimpan peniti emas itu baik-balk.
Gayatrl tertawa lebar lalu
menggeleng. "Tentu saja tidak," kata puteri bungsu Prabu Singosari
itu. "Saya hanya ingin kau menyimpannya baik-baik…"
"Saya selalu menjaganya
baik-baik. Jangan Raden Ayu kawatir." Lalu enak saja murid Sinto Gendeng
meneruskan ucapannya begini. "Kalau saya rindu pada Raden Ayu saya akan
mengeluarkan peniti emas itu, memandanginya, membelainya dan menciumnya."
Wiro melirik. Dalam gelap dilihatnya wajah gadis di sampingnya bersemu merah
tapi bibirnya tersenyum. "Saya tidak punya apa-apa yang dapat saya berikan
sebagai pengganti peniti emas itu. Kalau Raden Ayu sudi menerima hanya ini yang
bisa saya berikan. "Lalu Wiro membuka kain putih pengikat kepalanya dan
menyerahkan benda ini pada Gayatri.
"Ah… Terima kasih,"
kata Gayatri seraya mengambil kain pengikat kepala itu lalu mengikatkannya ke
kepalanya sendiri.
Hati Pendekar 212
berbunga-bunga. Gadis baik, katanya dalam hati. Kain ikat kepala jelek begitu
mau saja dia menerima. Malah langsung diikatkan ke kepalanya.
"Saya senang memakal ikat
kepala ini," kata Gayatri pula. "Kalau tidur, kain ini akan saya
letakkan di samping bantal saya "
Ala Mak! Jangan-jangan betul
kata Pendeta Mayana bahwa dia mencintaiku!
Gayatri berdiri tapi jari-jari
tangannya masih memegang dan saling bersilang dengan jarijari tangan Wiro.
Wiro ikut berdiri. Keduanya
tegak berhadap-hadapan dekat sekali. Wiro dapat merasakan hembusan nafas dan
keharuman tubuh puteri Raja itu.
"Saya pergi sekarang
Wiro…."
"Terima kasih atas semua
yang telah Raden Ayu lakukan untuk saya," ujar Wiro. Dilihatnya gadis itu
mengangkat kepalanya dan tersenyum padanya. Kedua matanya yang sebening kaca
tampak bercahaya. Wiro menundukkan kepalanya mencium kening Gayatri?. Mencium
kedua matanya yang indah itu. Kedua pipinya. Ketika Pendekar 212 mengecup bibir
Gayatri terasa kehangatan menjalari seluruh tubuhnya. Lalu dirasakannya kedua
tangan gadis itu merangkul.erat-erat seperti tidak akan dilepaskan lagi. Wiro
balas memeluk. Dada mereka bersatu erat. Wiro dapat merasakan detak jantung
Gayatri. Kemudian pelukan gadis itu lepas.
"Aneh…" bisik Wiro
sambil membelai pipi Gayatri.
"Aneh? Apa yang aneh?"
tanya si gadis.
"Aku bermesraan dengan
seorang gadis cantik tapi mempunyai kumis "
Gayatri memekik kecil. Tangan
kanannya meraba kumis palsunya lalu tiba-tiba tangan itu bergerak ke dada Wiro
dan habislah dada pendekar ini dicubitinya hingga Wiro terlonjaklonjak
kesakitan.
"Sudah…. sudah!"
kata Wiro sambil menjauhi dadanya.
"Saya harus pergi
sekarang,.,," kata Gayatri kemudian.
"Saya tahu.
Hati-hati…." berbisik Pendekar 212.
"Kau juga
hati-hati…." kata si gadis seraya tersenyum. Dia mundur beberapa langkah
lalu membalikkan tubuh dan berjalan ke arah kudanya.
Namun langkah gadis ini
tertahan.
***
Kapak Maut Naga Geni 21211
SATU bentakan menggeledek
dalam kegelapan malam.
"Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212! Kita bertemu kembali! Apakah kau sudah siap untuk menyambung
peristiwa di tepi Kali Brantas tempo hari?!"
Murid Eyang Sinto Gendeng
terkejut besar. Dia mengenali suara itu dan juga mengenali siapa adanya
orangnya. Bukan lain Gandita, pemuda kepercayaan pembantu Adipati Wira Seta
dari Sumenep.
Hemm, rupanya kadal satu ini
masih menyimpan dendam terhadapku. Bagaimana dia tahu gelarku. Jangan-jangan
dia memang telah melakukan penyelidikan dan merencanakan balas dendam.
Pendekar 212 sama sekali tidak
takut apapun alasan kemunculan Gandita. Sudah pasti untuk membalaskan sakit
hati dipermainkan dan dipermalukan dulu itu. Yang dikawatirkan Wiro saat itu
justru adalah keselamatan Raden Ayu Gayatri, puteri bungsu Sang Prabu
Singosari. Kalau Gandita tahu siapa sebenarnya pemuda berkumis itu, urusan bisa
jadi celaka.
Tadi aku seperti melihat ada
bayangan di sebelah sana. Apakah pengkhianat ini datang bersama seorang lain?
Berpikir sampai di situ Wiro cepat melangkah mendekati gadis yang menyamar itu.
Dengan suara perlahan dia berkata. "Lekas naik ke atas kuda. Tinggalkan
tempat ini segera."
"Siapa orang itu?"
Gayatri bukannya pergi malah ajukan pertanyaan.
"Nanti saja saya
terangkan. Sekarang lekas pergi…!"
Melihat air muka Wiro dan
mendengar nada suaranya Gayatri segera melangkah menuju kudanya. Pada saat yang
bersamaan Gandita melompat ke hadapan Wiro, tegak bertolak pinggang dengan
seringai buruk tersungging di mulutnya.
"Penghinaan yang kau
lakukan dulu, hari ini harus kau bayar dengan bunganya, Pendekar 212!"
Wiro tertawa lebar.
"Sebagai orang persilatan
kau rupanya tidak berpikiran cerdas. Otakmu perlu diasah.
Hatimu perlu dikikir. Rupanya
pelajaranku tempo hari tidak cukup, tidak membuatmu kapok dan tahu diri. Itu
sebabnya kau mencariku. Datang untuk minta pelajaran atau hajaran tambahan!
Katakan saja apa maumu pendekar sombong. Apa kau tidak sadar kau telah salah
jalan sesat?!"
"Keparat bermulut besar!
Biar hari ini aku Gandita merobek mulutmu!" teriak Gandita marah sekali.
Tangan kanannya berkelebat. Lima jari tangannya menyambar ke mulut Wiro.
Pendekar 212 terkejut dan juga
heran ketika menyaksikan gerakan lawan yang sangat cepat. Padahal dulu ketika
pertama kali berhadapan meskipun kepandaiannya tidak rendah tapi gerakan
Gandita termasuk lamban.
Murid Sinto Gendeng tentu saja
tidak tinggal diam. Dari gerak bahu lawan dia sudah dapat membaca apa yang
hendak dilakukan orang. Dia menggeser kaki ke kiri sambil memiringkan kepala.
Barsamaan dengan itu tinju kanannya dihantamkan ke arah muka lawan dalam
kecepatan luar biasa.
Gandita menyadari bahwa
serangan Wiro akan mengenai kepalanya sebelum dia sempat merobek mulut lawannya
itu. Dengan cepat dia tarik pulang serangannya lalu melompat mundur dua
langkah. Dari tempat dia berdiri dengan kuda-kuda baru Gandita lepaskan satu
pukulan tangan kosong yang mengeluarkan angin keras. Selagi angin pukulan yang
disertai tenaga dalam cukup tinggi itu menyambar pemuda ini gerakkan tangan
kanannya ke pinggang lalu dia melompat ke arah lawan. Tahu-tahu tangan kanannya
sudah mencekal sebilah golok. Senjata ini dibabatkannya ke perut Pendekar 212.
Wiro merasakan adanya sambaran angin dingin keluar dari golok pertanda golok
itu bukan senjata biasa.
"Ha…. ha! Kau ternyata
bukan saja sombong dalam ketidakcerdasanmu, tapi juga berlaku pengecut. Adat
seorang persilatan tangan kosong dilawan tangan kosong. Ternyata kau berlaku
licik memakai golok!"
"Jangan banyak cakap!
Kalau kau punya senjata silahkan keluarkan!" bentak Gandita menantang.
"Untuk menghadapi anak
masih bau air tetek macammu buat apa pakai senjata segala! Cukup nanti aku
menjewer telingamu dengan tangan kosong saja!" sahut Wiro sambil
menyeringai mengejek.
Tampang Gandita tampak merah
diejek seperti itu. Kemarahannya menggelegak. Terlebih ketika serangan goloknya
tadi tidak berhasil mencapai sasaran karena dengan cepat lawan
melompat ke belakang. Dia
menyergap kembali dengan geram. Goloknya menderu ganas.
"Ganditai Tunggu
dulu!" Wiro tiba-tiba berseru.
"Bangsat! Apa
maumu?!" bentak Gandita.
"Hai! Di tempat angker
seperti ini jangan bermulut kotor. Salah-salah kau bisa dicekik dedemit!"
"Lekas katakan apa
maumu!"
"Aku mau bicara…"
kata Wiro.
"Kau mencari dalih karena
takut?!"
Wiro tertawa bergelak.
"Sekalipun kau punya delapan tangan, delapan kaki dan empat kepala aku
tidak bakal takut! Aku hanya ingin agar kau sadar. Apa untungnya jadi
pengkhianat jadi pemberontak. Bukan mustahil kau hanya dijadikan alat oleh
Adikatwang dan Adipati Wira Seta. Jika tujuan mereka sudah tercapai mungkin
saja kau nanti akan ditendangnya!"
"Mulutmu keji, memfitnah
dan menghasut!" tukas Gandita. "Aku mengenal mereka dari kecil.
Mereka tidak sejahat yang kau katakana!"
"Kalau mereka bukan orang
jahat lalu mengapa menyusun rencana gila, berkomplot hendak menumbangkan
singgasana Prabu Singosari?!"
"Kau orang kampong! Mana
tahu segala urusan orang-orang besar!" jawab Gandita sombong.
Wiro ganda tertawa.
"Walau aku orang kampung, jelek jelek begini aku tidak pernah berkhianat
pada Kerajaan. Tidak seperti kau jadi puntung pemberontak! Harap kau mau
berpikir sekali lagi. Belum terlambat untuk insyaf. Apalagi kalau kau bisa
menyadarkan Adikatwang dan Wira Seta."
"Jadi hanya itu yang
hendak kau katakan?!" tanya Gandita.
"Masih ada," jawab
Wiro. "Kau lebih suka berbuat dosa dad pada mencari pahala!"
"Eh, apa pula maksudmu?!"
tanya Gandita agak heran.
"Memberontak adalah
pekerjaan sesat dan dosa besar. Berbakti pada Kerajaan adalah pahala
besar…"
"Siapa sudi berbakti pada
Prabu Singosari anak cucu pembunuh Raja Kediri! Kau saja yang sana pergi
mencari pahala!"
"Dengar dulu Gandita. Kau
bisa berbuat pahala pada Kerajaan dan sebagal imbalan pasti kau akan
mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi…"
"Hemmm… rupanya kau
cecunguk Keraton Singosari yang dibayar untuk membujukku!"
"Tidak ada yang
membayarku. Aku juga tidak membujukmu. Aku ingin agar kau sadar! Jangan
pergunakan kepandaianmu yang secuil untuk pekerjaan gila jadi
pemberontak!"
"Setan! Aku tidak gila!
Semua yang aku lakukan sudah kupikirkan masak-masak."
"Mungkin keliwat masak
hingga jadi busuk!" kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak.
"Setan! Kalau tidak
kucincang kau belum puas rasanya!"
Gandita gerakkan tangan
kanannya. Goloknya kembali berkelebat. Serangannya kali ini adalah kepala
lawan. Wiro cepat rundukkan kepala sambil melompat mundur satu langkah. Begitu
golok menyambar lewat murid Eyang Sinto Gendeng ini mencoba menyergap ke depan
dan kirimkan satu jotosan ke perut Gandita. Namun tiba-tiba golok pendekar dari
Gunung Kelud itu menyambar ke bawah. Jika Wiro tidak lekas menarik pulang
serangannya, lengannya pasti dibabat putus!
"Hebat juga kampret
sialan ini!" maki Wiro dalam hati. Tengkuknya terasa dingin. Ilmu golok
Gandita memang tidak bisa dibuat main-main. Serangan-serangannya selain ganas
juga bisa berubah atau susul menyusul secara tidak terduga.
Memasuki jurus ke delapan
Gandita berada di atas angin. Serangan goloknya datang bergulung-gulung, bukan
cuma dari satu penjuru, tetapi seolah-olah bertebar dari berbagai arah dan
semua itu dalam gerakan yang luar biasa cepatnya.
Raden Ayu Gayatri yang tegak
di dekat kudanya merasa cemas melihat Pendekar 212 mulai terdesak hebat. Hendak
membantu dia tidak punya kepandaian apa-apa. Diam-diam dia berusaha mencari
akal bagaimana caranya agar dapat menolong Wiro, pemuda kepada siapa dia
menaruh rasa suka kalau belum mau dikatakan cinta.
Sebaliknya Wiro yang semakin
mengawatirkan keselamatan si gadis berulang kali memberikan isyarat agar
Gayatri segera pergi dari tempat itu. Gandita bukannya tidak melihat isyarat
yang diberikan Wiro itu namun karena perhatiannya ditujukan pada Wiro dan ingin
membunuh lawannya itu secepat yang bisa dilakukannya maka dia tidak begitu
memperdulikan Gayatri.
Setelah terdesak hebat terus
menerus, murid Eyang Sinto Gendeng kerahkan ilmu meringankan tubuhnya, merubah
gerakan-gerakan ilmu silatnya dan dia sengaja berkelebat lebih cepat. Sampai
dua jurus di muka Wiro sepertinya kini sanggup mengimbangi serangan lawan dan
mulai melancarkan serangan-serangan balasan. Namun dua jurus selanjutnya
didahului oleh satu bentakan keras Gandita robah total permainan goloknya dan
kini Pendekar 212 kembali terdesak hebat. Dalam satu gebrakan keras menegangkan
golok di tangan Gandita berkiblat membuat silangan-silangan aneh.
Breettt…brettt…brettt!
Pakaian Wiro robek di tiga
tempat di makan ujung golok Gandita!
Kalau Wiro sempat keluarkan
seruan tertahan dan tengkuknya menjadi dingin, maka Gayatri tak dapat lagi
menahan kecemasannya gadis ini terpekik. Habis memekik baru dia sadar dan
cepat-cepat menekap mulutnya. Tapi suaranya sudah kepalang terdengar oleh
Gandita.
Pemuda dari Gunung Kelud itu
melintangkan goloknya di depan dada dan memandang ke arah Gayatri. Untuk
beberapa saat lamanya dia memperhatikan dengan tajam lalu tampak sering di
mulutnya.
"Pemuda berkumis! Jadi
kau seorang perempuan rupanya! Melihat potongan tubuh dan raut mukamu pasti kau
seorang gadis yang cantik jelita. Kau berdiri saja di sana. Jangan ke
mana-mana! Sehabis membereskan manusia satu ini kita bakal punya kesempatan
untuk berbincang-bincang! Bermesraan kalau perlu!"
Karena tidak dapat menahan
marahnya mendengar ucapan Gandita, Gayatri membuka mulut dan mendamprat dengan
suara keras. "Pemberontak busuk! Hatimu bukan saja jahat tapi mulutmu juga
kotor!"
Gandita tertawa. Dia berpaling
pada Wiro dan berkata. "Ha …ha…! Rupanya Pendekar 212 habis berbuat mesum
dalam pondok itu dengan seorang gadis yang sengaja menyamar sebagai laki-laki.
Hebat! Menyuruh orang berbuat pahala dirinya sendiri melakukan dosanya!"
"Setan alas! Kau kira aku
ini manusia cabul!" teriak Wiro marah. Dia menerjang ke depan. Gandita
menyongsong dengan goloknya. Kembali terjadi perkelahian seru. Dan kembali pula
dalam waktu dekat murid Eyang Sinto Gendeng itu terdesak oleh serangan golok
yang benar-benar luar biasa. Belum pernah Wiro melihat ilmu golok sehebat itu.
Dia mulai berpikir-pikir apakah akan mengeluarkan pukulan-pukulan sakti atau
mulai menghadapi lawannya dengan ilmu silat orang gila yang didapatnya dari Tua
Gila di Pulau Andalas atau segera saja mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212.
Selagi dia menimbang-nimbang begitu rupa, sekali lagi golok lawan berkelebat
dan kali ini leher bajunya yang kena disambar robek. Ujung golok bahkan sempat
mengiris samping kiri lehernya hingga terluka dan mengeluarkan darah. Paras
Gayatri menjadi pucat. Wiro keluarkan keringat dingin.
"Wiro! Lakukan sesuatu!
Keluarkan senjatamu!" teriak Gayatri.
Murid Eyang Sinto Gendeng kini
sadar dia memang harus melakukan sesuatu. Mungkin juga mengeluarkan senjata
seperti yang diteriakkan Gayatri tadi. Maka dia segera gerakkan tangan kanannya
ke pinggang di mana terselip senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212.
Namun belum sempat dia
mencabut senjata itu tiba-tiba dari dalam gelap terdengar suara tertawa
gelak-gelak. Suatukan suara tawa biasa. Tanah terasa bergetar dan telinga
mengiang sakit.
Itu suara tawa si gendut
Kerbau Bunting! Ada apa dia muncul di tempat ini. Hendak menolongku? Pikir
Wiro. Gandita sendiri yang kembali hendak menyerbu sesaat jadi tertegun. Dari
arah kegelapan di sebelah kirinya kelihatan muncul satu kepala yang aneh.
Astaga! Ternyata kepala seekor keledai!
Tak mungkin binatang ini yang
tadi tertawa! Membatin Gandita. Dia tak menunggu lama. Sesaat kemudian sosok
keledai itu semakin jelas. Lalu tampak seorang bertubuh gemuk luar biasa yang
menjadi penunggang keledai kurus kecil itu.
Gila! Bagaimana mungkin
keledai kecil kerempeng itu sanggup ditunggangi manusia yang beratnya lebih
dari dua ratus kati! Gandita semakin heran. Lalu dia melihat ternyata si gendut
itu hanya menempelkan pantatnya saja di atas punggung keledai karena kedua
kakinya menjejak tanah seperti orang berjalan biasa! Gandita mulai menduga-duga
siapa adanya manusia gemuk ini.
Si penunggang keledai masih
tertawa-tawa sampai keluar air mata dari sepasang matanya yang sipit. Baju dan
celana hitamnya jelas kesempitan. Dadanya yang gembrot dan perutnya yang
melendung kelihatan berguncang-guncang kalau dia tertawa. Orang ini memandang
pada Wiro, berpaling pada Gandita lalu menoleh pada Gayatri. Setelah itu dia
kembali tertawa gelak-gelak.
"Hai! Kenapa kalian
berhenti berkelahi! Padahal aku datang ke sini untuk menonton!" kata si
gendut. Dia melirik pada Gayatri lalu tertawa mengekeh hingga dia terpaksa
mengusut air mata yang keluar dari kedua matanya.
Manusia aneh. Pikir Gayatri.
Apakah dia teman atau musuh Wiro. Kalau dia kelak membantu pemuda pemberontak
itu Wiro bisa celaka. Aku juga! Walaupun hatinya cemas tapi sampai saat itu dia
tetap saja tegak di tempat itu.
"Gendut gila!"
tiba-tiba Gandita berteriak. "Hentikan tawamu! Pergi dari sini! Jangan
mengganggu urusanku!"
Dibentak seperti itu si Gendut
tampak terkesiap. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian kembali terdengar suara
tawanya menggelegar.
"Mana ada aturannya orang
tidak boleh ketawa! Ha… ha… ha! Tempat ini bukan milik nenek moyangmu mengapa
berani menyuruh aku pergi! Siapa yang mengganggu urusanmu?! Jangan coba
membanyol. Nanti aku bisa ketawa sampai ngompol! Kalau aku ngompol apakah kau
mau mencebokkan?! Ha… ha… ha …!"
Gandita marah sekali mendengar
kata-kata si gendut itu. "Gendut gila! Kalau kau tidak berhenti tertawa,
kusumpal mulutmu dengan golok ini!"
"Eh!" si gendut
tampak terkejut. Matanya yang sipit dicobanya membuka lebar-lebar tapi tetap
saja sipit! "Astaga! Benaran kau hendak menyumpal mulutku dengan golok
itu?! Jangan! Kalau kau mau menyumpal jangan dengan golok. Tapi dengan pisang
goreng atau ubi rebus! Baru sedap!"
Pendekar 212 garuk-garuk
kepala melihat tingkah si gendut yang dikenalnya sebagai Dewa Ketawa dan yang
dulu biasa dipanggilnya dengan sebutan Kerbau Bunting!
Kalau menurutkan kemarahannya
mau rasanya Gandita menyerang si Gendut di atas keledai dengan goloknya saat
itu juga. Namun dia berlaku cerdik. Mengapa menambah musuh baru sedangkan
urusan dengan Wiro belum terselesaikan? Di samping itu Gandita merasa bahwa si
gendut ini tidak berada di pihaknya. Dugaan Gandita tidak salah karena saat itu
didengarnya si gendut. berkata pada Wiro.
"Sobatku Muda, aku
gembira bisa ketemu kau lagi! Ha.., ha… ha …!"
"Dewa Ketawa, aku juga
gembira!" sahut Wiro. "Cuma sayang aku sedang ada urusan dengan
pemuda pemberontak ini!"
"Ah, dia pemberontak
rupanya! Ha… ha…ha…!" Dewa Ketawa lalu berpaling pada Gandita.
"Masih bau kencur sudah
berani memberontak. Hal anak muda! Kau minum dulu kencingku! Kalau sudah mampu
minum kencingku baru boleh memberontak! Ha… ha… ha…!"
Rahang Gandita menggembung
tanda amarahnya menggelegak. Tapi dia pandai membaca keadaan. Apalagi tadi dia
mendengar Wiro menyebut nama si gendut ini. Siapa tidak kenal dengan orang
sakti bergelar Dewa Ketawa? Otak cerdiknya bekerja. Lalu mulutnya berkata.
"Orang tua gemuk, kalau
kau betul Dewa Ketawa, aku minta maaf tadi tidak berlaku hormat terhadapmu.
Ketahuilah kakakmu si Dewa Sedih sudah bergabung dengan kami untuk menumbangkan
kekuasaan tidak syah Prabu Singosari! Sebagai adik tentu tidak ada salahnya kau
juga ikut kami!"
Wiro terkejut mendengar ucapan
Gandita itu. Sebaliknya Dewa Ketawa tenang-tenang saja, malah dia kembali
perdengarkan suara tawanya. Mula-mula perlahan lalu makin keras dan makin keras!
Tiba-tiba clep! Tawanya dihentikan. Dewa Ketawa membentak.
"Siapa sudi mengaku kakak
pada manusia sesat bernama Dewa Sedih itu! Dan kau mau, kasih hadiah apa kalau
aku bersedia bergabung dengan kalian kaum pemberontak?!"
"Dewa Ketawa! Kau
hendak…"
Orang tua bertubuh gemuk itu
memandang pada Wiro sambil memalangkan jari telunjuknya di depan mulut.
"Diam, jangan bersuara. Biar monyet ini memberi tahu apa hadiah
untukku!"
"Dengar Dewa Ketawa, Raja
yang baru pasti akan memberimu harta dan uang berlimpah. Kau pasti akan
diberikannya jabatan tinggi di Istana!"
Dewa Ketawa tertawa
gelak-gelak mendengar kata-kata Gandita itu. "Bocah geblek! Aku Tanya
hadiah apa yang bisa kau berikan padaku. Bukan hadiah dari Raja. Lagi pula
siapa Raja barumu itu?!"
Wajah Gandita tampak menjadi
merah.
"Dengar anak muda,"
kata Dewa Ketawa pula.
"Jika kau mau mengorek
jantungmu sendiri lalu memberikannya padaku, baru aku mau bergabung dengan
kalian!"
Jika diturutkannya hawa
amarahnya mau rasanya Gandita menyerang orang tua gendut itu dengan goloknya.
Tapi lagi-lagi dia berlaku cerdik. Jika dia melibatkan Dewa Ketawa dalam
perkelahian, berarti dia akan menghadapi dua lawan sekaligus yaitu Wiro dan
Dewa Ketawa. Maka dia berusaha menekan amarahnya terhadap si gemuk itu dan kini
segala kemarahannya ditumpahkan pada Pendekar 212 dalam bentuk serangan ganas.
Kedua pendekar muda itu kembali berkelahi.
Dewa Ketawa tertawa mengekeh
melihat perkelahian itu tapi lama-lama dia tampak seperti jemu.
"Perkelahian membosankan!
Buat apa ditonton! Lebih baik aku pergi saja! Ha… ha… ha….!" Dewa Ketawa
putar keledainya.
"Orang tua, kau mau ke
mana?" tiba-tiba satu suara menegurnya.
Dewa Ketawa berpaling ke arah
datangnya suara itu. Dilihatnya yang barusan bicara adalah pemuda berkumis
tipis berwajah klimis. Sesaat dipandanginya wajah dan tubuh orang itu lalu
meledaklah ketawanya.
"Biasanya lelaki yang
suka jadi banci! Baru hari ini aku lihat ada gadis yang mau jadi banci! Ha… ha…
ha!" Dewa Ketawa lambaikan tangannya dan mengedipkan matanya yang sipit
pada Gayatri.
"Orang tua! Tunggu!"
kembali Gayatri berseru. "Apa kau tidak mau menolong sahabatmu Wiro?"
"Ah! Siapa sudi menolong
orang tolol! Ilmunya segudang kepandaiannya selangit. Mengapa tidak
dipergunakan?! Dia bisa menghadapi cecunguk pemberontak itu seorang diri. Dia
tidak butuh pertolonganku!" Habis berkata begitu Dewa Ketawa mengekeh.
Lalu kedua kakinya bergerak mengiringi empat kaki keledai kurus pendek itu.
Wiro hendak berseru memanggil namun saat itu Gandita kembali menyerbu dengan goloknya
sedang si kakek gendut telah lenyap dalam kegelapan malam.
Pendekar 212 sambut serangan
Gandita dengan jurus dan pukulan "Kilat menyambar puncak gunung."
Pukulan ini berupa satu tabasan tepi telapak tangan yang dahsyat, yang
dipelajarinya dari Tua Gila, seorang sakti di Pulau Andalas beberapa tahun
lalu.
Mendengar deru pukulan lawan
serta ada hawa panas yang menyambar, mau tak mau Gandita berpikir dua kali
untuk meneruskan serangannya. Tangan kanan Wiro menyambar di samping golok
terus melesat ke arah pergelangan tangannya. Gandita terpaksa tarik pulang
serangannya sambil. Tapi begitu tubuhnya terlontar ke kanan tiba-tiba sekali
dia membuat gerakan aneh. Lalu tangan kirinya menyambar dan berhasil menjambak
rambut Wiro Sableng yang gondrong. Sekali dia menjentakkan tangan kirinya maka
tubuh Pendekar 212 dan terbanting jatuh punggung ke tanah. Wiro merasakan
tulang punggungnya seolah remuk. Sedang kepalanya yang tadi sempat dijambak
lawan masih mendenyut sakit. Meski pemandangannya sedikit berkunang dia masih
sempat berpikir. Gerakan orang ini jauh lebih cepat dari dulu. Agaknya dia
telah menimba ilmu baru. Aku harus berhati-hati pada kampret satu ini! Selagi
Pendekar 212 berusaha bangkit berdiri, tiba-tiba dari depan Gandita sudah
menyerbu kembali dengan goloknya!
Murid Sinto Gendeng dari
gunung Gede ini menggeram. Dengan cepat dia alirkan tenaga dalamnya ke tangan
kanan lalu memukulkannya ke arah lawan.
Wuttt!
Segulung angin menggempur ke
depan mengeluarkan suara menderu seperti ombak mengamuk di tepi pantai. Inilah
pukulan sakti bernama "Segulung ombak menerpa karang."
Gandita merasakan serangannya
tertahan oleh satu tembok yang tidak kelihatan. Tangannya yang memegang senjata
bergoyang-goyang sedang sekujur tubuhnya bergetar. Semakin dia mengerahkan
tenaga luar dalam untuk menerjang tembok gaib itu semakin sulit keadaannya
karena kekuatannya seperti membalik menggempur dirinya sendiri.
Wiro maklum walau gerakan
lawan kini jauh lebih cepat dan tadi sempat menghajarnya namun dalam kekuatan tenaga
dia jauh lebih unggul dari Gandita.
Wiro maklum walau gerakan
lawan kini jauh lebih cepat dan tadi sempat menghajarnya namun dalam kekuatan
tenaga dia jauh lebih unggul dari Gandita.
Wiro cepat tambah kekuatan
tenaga dalam ke telapak tangan kanan. Tiba-tiba dia dorongkan telapak tangan
itu dan sekaligus membalikkannya.
Di saat itu pula ketika merasa
datangnya tekanan tenaga dalam lawan, Gandita kerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Justru disinilah kesalahannya. Tenaga dalamnya terhimpit telak di bawah tenaga
dalam Wiro!
Begitu dua kekuatan tenaga
dalam saling bentrokan, tubuh Gandita tampak terpuntir keras seperti ditabrak
angin punting beliung, lalu terpental sampai enam langkah. Golok di tangannya
terlepas jatuh.
"Jahanam!" maki
Gandita dalam hati. "Bangsat ini harus segera kubunuh!" Murid orang
sakti dari Gunung Kelud ini cepat berdiri. Namun dadanya terasa sakit sekali.
Gerakannya yang sudah setengah berdiri jatuh kembali. Dia jatuh berlutut sambil
pegangi dada. Marah dan sangat penasaran membuat pemuda ini berusaha bangkit
kembali.
Karena dipaksakan sedang tubuh
di bagian dalam terluka parah dia jadi terbatuk-batuk beberapa kali. Tiba-tiba
ada darah segar menyembur keluar dari mulutnya!
Tadinya murid Eyang Sinto
Gendeng kembali hendak menyerbu. Tapi begitu lawan dilihatnya terluka dalam
cukup parah dia hanya berdiri berkacak pinggang.
"Syukur-syukur kau sudah
kapok! Kalau belum silahkan menyerang lagi!" ejek Wiro.
Gandita meludah ke tanah.
Ludahnya bercampur darah.
"Manusia keparat! Kau
jangan merasa cepat-cepat menang. Aku punya niat untuk menghabisi nyawamu malam
ini juga. Niat itu harus terlaksana! Lihat keris!"
Tangan kanan Gandita bergerak
ke balik pinggang pakaiannya. Lalu kelihatan pancaran sinar kuning bercampur
putih dalam kegelapan. Memandang ke depan Wiro melihat Gandita telah
menggenggam sebilah keris besar di tangan kanan dan sarungnya di tangan kiri.
Senjata ini terbuat dari perak murni bercampur paduan emas. Gagang dan
sarungnya berhlas beberapa butir batu permata. Inilah keris Narasinga yang
merupakan salah satu senjata pusaka Keraton Kediri dan berasal dari sesepuh
serta pendiri Kerajaan yaitu Sang Prabu Kameswara. Senjata yang sudah berusia
puluhan tahun ini tentu saja merupakan senjata sakti mandraguna. Dari sinarnya
saja Wiro sudah maklum kalau Keris itu bukan merupakan senjata sembarangan dan
dia harus berhati-hati.
Sebagai puteri raja tentu saja
Gayatri mengenali senjata itu. Gadis ini tidak mengerti mengapa senjata pusaka
Keraton bisa berada di tangan seorang pemberontak seperti Gandita.
Saat itu Gandita sendiri sudah
menyerbu seraya menusukkan keris Narasinga. Wiro cepat berkelit. Ujung keris
lewat hanya setengah jengkal dari keningnya. Matanya terasa perih oleh sambaran
angin keris sakti itu. Ketika lawan menyerbu kembali Pendekar 212 kerahkan ilmu
meringankan tubuhnya dan siapkan did dengan melipatgandakan tenaga dalam.
Untung saja saat itu Gandita mengalami luka dalam yang cukup parah hingga
gerakannya menjadi lamban dan kadang-kadang rasa sakit pada dadanya membuat
serangannya seperti tertahan-tahan.
Kalau tidak akan sulitlah bagi
Wiro untuk menghadapinya dengan mengandalkan pukulanpukulan tangan kosong
walaupun mengandung tenaga dalam dan aji kesaktian.
Setelah menggempur
terus-terusan tanpa hasil sedang dadanya sendiri terasa semakin sakit Gandita
mulai berpikir sebaiknya dia tinggalkan saja tempat itu.
Justru saat itu terdengar
Gayatri berteriak. "Wiro! Keris itu senjata pusaka milik Kerajaan! Tidak
layak berada di tangan seorang pengkhianat? Usahakan untuk merampasnya!"
Gandita terkejut mendengar
seruan Gayatri. Perempuan yang menyamar dua tahu senjata di tanganku ini. Siapa
dia sebenarnya. Jangan-jangan… Gandita tak sempat berpikir lebih jauh karena
saat itu Wiro tiba-tiba menyergap dengan satu jotosan tangan kirinya menyambar
berusaha merampas keris.
Gandita yang mulai mencium
bahaya dan takut kalau-kalau Wiro sempat merampas keris Narasinga yang selama
ini dipercayakan padanya untuk di simpan meloncat mundur beberapa langkah.
"Pendekar 212! Sayang aku
masih ada keperluan lalu yang lebih penting. Kalau saat ini aku pergi jangan
kira kau sudah merasa menang. Aku akan datang kembali untuk membedol nyawa
anjingmu! Kau tunggu saja saat kematianmu!" Habis berkata begitu Gandita
sarungkan keris Narasinga dan menyimpannya kembali di balik pinggang
pakaiannya.
Wiro menyeringai. "Yang
aku kawatir yang muncul nanti bukan tubuh kasarmu sungguhan, tapi setanmu atau
roh halusmu! Luka dalam yang kau derita tidak bisa dianggap enteng! Mungkin kau
duluan yang menemul ajal dari pada aku!"
Gandita meludah ke tanah
sekali lagi. Dia lalu berputar seperti hendak meninggalkan tempat itu. Namun
tiba-tiba sekali dia membalik. Tangan kanannya bergerak. Lima buah benda hitam
yang merupakan senjata rahasia berupa paku-paku kecil halus beracun melesat di
udara, menyambar ke arah Pendekar 212.
"Laknat keparatI"
teriak Wiro marah. Tangan kanannya bergerak menghantam dengan pukulan
"benteng topan melanda samudera." Segulung angin dahsyat menyambar
membuat semua senjata rahasia yang dilepaskan Gandita mencelat mental. Pukulan
sakti itu selanjutnya menerpa ke arah Gandita. Namun pemuda ini sudah lebih
dahulu berkelebat ke balik sebatang pohon besar lalu menghilang ditelan
kegelapan malam.
Braakkk!
Batang pohon kayu berderak
keras dilanda pukulan sakti yang dilepaskan Wiro.
"Wiro! Kau tak
apa-apa?!" terdengar Gayatri berseru lalu gadis ini setengah berlari
menghampiri Pendekar 212.
"Saya tak kurang suatu
apa. Terima kasih," jawab Wiro. "Seharusnya Raden Ayu cepatcepat
pergi tadi…"
"Mana mungkin saya pergi
sewaktu dirimu terancam bahaya."
Ah, dia mengawatirkan
keselamatanku, Pikir Wiro. Lalu dia teringat pada Pendeta Mayana yang
mengatakan bahwa gadis itu mencintainya.
"Kalau saja saya
mempunyai kepandaian hebat, sudah saya bunuh pemuda pemberontak itu tadi,"
kata Gayatri pula.
"Dia akan menerima
hukumannya. Luka dalam yang dideritanya cukup parah. Kalau dia tidak segera
mendapatkan obat nyawanya tak akan tertolong."
"Saya menyumpah biar dia
menemui ajal!" kata Gayatri.
"Sekarang saatnya Raden
Ayu meninggalkan tempat ini."
"Ya, cuma… Saya ingin kau
mengantarkan saya sampai di pinggir Timur Kotaraja."
"Saya tidak membawa
kuda," ujar Wiro walau sebenarnya dia bisa mengikuti kuda gadis itu dengan
berlari.
"Apa susahnya menunggang kuda
berduaan. Kalau kau suka," jawab Gayatri.
Pendekar 212 merasakan dadanya
berdebar. Sambil senyum dan garuk-garuk kepala dipeganginya pinggang puteri
Prabu Singosari itu dengan kedua tangannya lalu dinaikkannya ke atas kuda. Wiro
sendiri kemudian hendak duduk di belakang si gadis.
"Eh, kau seharusnya duduk
di sebelah depan Wiro!" ujar Gayatri pula.
"Di sebelah manapun tak
jadi soal!" sahut Wiro seraya melompat ke atas punggung kuda, duduk di
depan Gayatri. Lalu perlahan-lahan kuda bernama Grudo itu mulai bergerak.
Setelah lewat beberapa lama Gayatri berkata.
"Kuda ini seperti sakit
pinggang. Mengapa tidak kau pacu agar kita lekas sampai?"
"Maafkan saya Raden Ayu.
Seumur hidup baru sekali ini saya menunggang kuda dengan seorang gadis yang
sangat cantik, puteri Raja pula. Mana saya mau menyia-nyiakan kesempatan?"
"Eh, kau mulai bicara
melantur. Apa maksudmu?"
Wiro tertawa lebar.
"Maksud saya, biar lebih lama sampainya ke Kotaraja. Berarti saya bisa
lebih lama berdua-dua seperti ini dengan Raden Ayu…!"
"Tidak saya sangka kau
ternyata seorang pemuda ceriwis!" kata Gayatri pula. Lalu cubitannya
mendarat berulang-ulang di punggung Pendekar 212 hingga pemuda ini
tersentaksentak antara geli dan kesakitan.
"Kalau Raden Ayu terus
mencubit, saya akan memacu kuda ini ke jurusan lain. Saya akan menculik dan
menyekap Raden Ayu di satu tempat!"
"Iih! Jika kau lakukan
itu, aku bukan cuma mencubitmu Wiro. Tapi akan menggigitmu!" kata Gayatri
pula. Lalu dia membuat gerakan seperti hendak menggigit bahu kanan Pendekar
212. "Digigit mungkin
sakit. Tapi terus terang saya ingin juga merasakan gigitan Raden Ayu,"
sahut Wiro.
Karena gertakannya tidak
mempan Gayatri jadi kehabisan akal. Digelungkannya kedua tangannya ke pinggang
Wiro. Sambil memeluk jari jari tangannya menggelitiki pinggang pemuda itu
hingga Wiro terpekik-pekik kegelian dan terpaksa memacu kudanya lebih cepat.
***
TAMAT