Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
085 Wasiat Sang Ratu
SATU
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
garuk garuk kepala. Lalu pada Dewa Ketawa yang duduk di hadapannya dia berkata.
“Aku tetap tidak bisa percaya kalau saat ini kita berada di awang awang. Kau
lihat sendiri Sobatku Gendut. Bangunan, taman, pedataran, lalu di sebelah sana
malah ada bukit! Mana mungkin semua ini menggantung di udara. Mana mungkin ada
dunia di atas dunia?!”
Kakek gendut berbobot 200 kati
itu elus elus dadanya yang gemberot. Lalu penyakitnya kambuh. Dia mulai
tertawa. Mula mula perlahan. Tambah lama makin keras hingga Wiro terpaksa tekap
kedua telinganya.
“Anak tolol! Aku sudah bilang
mengapa meributi segala hal yang tidak bisa sampai dalam akal kita manusia
biasa? Tempat ini, termasuk para penghuninya, jadi termasuk Ratu Duyung
bukanlah makhluk biasa. Mereka mampu hidup di dua alam.
Darat dan air….”
“Berarti mereka sebangsa
kodok?” ujar Wiro sambil menyengir. Membuat tawa si gendut semakin keras. “Ada
satu hal lagi yang aku tidak mengerti. Kulihat Sang Ratu maupun gadis gadis
yang ada di sini tidak ada bedanya dengan manusia biasa. Mengapa Sang Ratu
disebut Ratu Duyung? Bukankah duyung sejenis makhluk bertubuh sebagian manusia
sebagian lagi ikan?”
“Memang begitulah keadaan asli
tubuh mereka…” jawab Dewa Ketawa. “Kau tidak percaya? Ha…ha…ha…?!
“Kau sendiri melihat. Mereka
bicara seperti kita. Memiliki kecantikan seperti bidadari. Berjalan dengan dua
kaki yang mulus mulus. Bukan dengan ekor ikan….”
“Jika kau suka, kau bisa
membuktikan sendiri!” kata Dewa Ketawa pula sambil senyum senyum. “Eh,
membuktikan bagaimana maksudmu? Kau tahu caranya? Atau punya ajian yang bisa
dirapal hingga mampu melihat bentuk asli mereka?!”
“Tak perlu ajian. Tak perlu
segala macam rapalan. Cukup dengan mata telanjang.
Asal tahu rahasianya….”
“Kalau begitu tunjukkan padaku
rahasia itu!” ujar Wiro.
Dewa Ketawa tak segera
memberitahu tapi seperti biasanya dia tertawa dulu, membuat murid Sinto Gendeng
jadi tidak sabaran.
“Kau lihat pohon besar itu,
Sobatku Muda?!” tanya si kakek gendut sambil menunjuk pada sebatang pohon besar
yang tumbuh miring di kejauhan. Wiro mengangguk. “Di balik pohon itu ada satu
jalan kecil menurun. Di ujung penurunan ada sebuah telaga berair biru. Nah
telaga ini tempat mandi gadis gadis anak buah Ratu Duyung. Terkadang mereka
pergi ke sana untuk istirahat sambil bercengkrama….”
“Jadi kau menyuruh aku
mengintip anak gadis mandi?”
“Terserah padamu. Kau bilang
mau melihat bentuk asli gadis gadis itu….”
Wiro garuk garuk kepala.
“Kalau ketahuan aku mengintip bagaimana??”
“Wah, akibatnya memang berat.
Tapi itu urusanmulah!” jawab Dewa Ketawa dan orang tua bertubuh gemuk luar
biasa ini kembali tertawa. Setelah tawanya reda dia berkata. “Kau tahu, cuma
itu satu satunya cara kalau mau mengetahui keadaan sebenarnya para gadis di
sini. Ujud asli mereka akan kelihatan bila tubuh mereka basah atau mereka masuk
ke dalam air. Baik air tawar maupun air laut….”
“Bagaimana kalau mereka
misalnya terguyur air hujan?” tanya Wiro pula.
“Anak setan! Macam macam saja
pertanyaanmu! Mengapa tidak kau tanya bagaimana kalau terguyur air kencing?!
Ha… ha… ha…! sambil usap usap dua matanya yang sipit kakek gemuk ini kemudian
berkata dengan suara sengaja diperlahan lahankan. “Ada satu hal yang mau
kubilang padamu….”
“Hemmm…. Apa? Kelihatannya seperti
kau mau menceritakan satu rahasia besar saja!”
“Betul! Kau rupanya punya
firasat!” jawab si kakek. Wiro cepat menekap mulut orang tua ini ketika dia
mulai menunjukkan hendak tertawa kembali.
“Ayo cepat, kau mau bilang
apa?” tanya Wiro.
“Ratu Duyung itu sebenarnya
suka padamu…” bisik Dewa Ketawa.
“Jangan ngaco! Kau mengada ada
saja!”
“Sobatku Muda, aku tidak
bicara bohong…!”
“Bagaimana kau bisa tahu?
Memangnya dia bilang padamu?!”
“Aku segera tahu pada pertama
kali bertemu dengannya. Beberapa hari lalu.
Memang dia tidak mengatakan
terus terang. Tapi dari sikap dan ucapannya cukup tersirat dia menyukai
dirimu….”
Wiro memandang dengan mata
membesar pada si gendut tua itu.
“Agaknya dia sudah lama
mendengar tentang kau. Dia menjadi salah seorang dari banyak gadis yang
mengagumi dirimu. Namun….” “Namun apa?”
“Rasa sukanya kurasa serta
merta lenyap ketika melihat keadaan dirimu.
Ternyata kau seorang pemuda
hitam gosong bermuka macam pantat kuali! Ha… ha… ha…”
“Orang tua sialan…! Maki Wiro
dalam hati.
Si kakek gendut geleng
gelengkan kepala. “Memang aku suka bergurau Sobatku Muda. Tapi percayalah, aku
yakin betul Ratu Duyung diam diam jatuh hati padamu!”
Wiro memandang ke arah pohon
besar. Di sampingnya Dewa Ketawa berkata.
“Tadi kulihat ada serombongan
gadis menuju ke sana. Pasti mereka pergi mandi.
Sebaiknya kau lekas
menyelidik….”
“Kau tak mau ikut mengintip?!”
tanya Wiro.
“Aku sudah terlalu tua untuk
pekerjaan macam begini. Itu bagian yang muda muda sepertimu….”
Wiro menyeringai. “Aku tidak
percaya pada tua bangka berminyak sepertimu ini.
Jangan jangan kau sudah duluan
mengintip. Kalau tidak dari mana kau bisa tahu.” “Ha… ha… ha…! tawa si kakek
gendut membahak lepas.
Wiro tinggalkan orang tua itu.
Dengan cepat dia melangkah menuju pohon besar. Seperti yang dikatakan Dewa
Ketawa, di balik pohon itu memang ada sebuah jalan kecil. Jalan ini terbuat
dari batu batu hitam, berupa tangga tangga kecil menurun.
Keadaan di tempat itu sunyi.
Angin bertiup sepoi sepoi. Wiro menuruni jalan kecil dengan hati hati. Setengah
panjangnya jalan yang menurun Wiro menangkap suara gelak tawa di bawah sana.
“Si gendut tidak dusta. Memang
ada serombongan gadis di bawah sana…” kata Wiro dalam hati. Dia belum dapat
melihat apa yang ada di bawahnya karena tertutup oleh rerumpunan pohon pohon
setinggi kepala. Dengan dada berdebar murid Sinto Gendeng melangkah terus
menuruni jalan batu. Debaran dadanya mencapai puncak sewaktu dia sampai di
ujung jalan. “Pemandangan luar biasa…” kata sang pendekar dalam hati. Dia cepat
menyelinap ke balik sebuah batu besar dan mengintai di balik kerapatan semak
belukar berbunga aneh.
Di bawah sana kelihatan sebuah
telaga berair biru. Di salah satu tepiannya, terdapat gundukan batu batu hitam
tersusun rapi seolah ditata oleh tangan manusia.
Dari celah susunan batu batu
hitam itu mengucur air jernih yang kemudian jatuh masuk ke dalam telaga.
Mata Pendekar 212 Wiro Sableng
tidak berkesip memperhatikan empat orang gadis yang ada di dalam telaga,
berenang sambil bercanda satu sama lain. Dari tempatnya mengintai jelas empat
gadis itu mandi bertelanjang dada. Di tepi telaga tiga orang gadis lainnya
duduk bermalas malas. Yang satu menyisir nyisir rambutnya dengan sebuah sisir
berbentuk tulang ikan. Dua lainnya asyik mengobrol.
Salah seorang dari gadis yang
mandi keluar dari telaga lalu bergabung dengan tiga temannya.
“Astaga!” murid Sinto Gendeng
keluarkan seruan kaget ketika melihat keadaan tubuh gadis yang barusan keluar
dari dalam telaga itu. Bagian atas auratnya berada dalam keadaan polos tanpa
penutup sama sekali. Lalu tubuh sebelah bawah, inilah yang membuat Wiro jadi
tercengang, mata melotot mulut ternganga. Tubuh bagian bawah gadis itu
berbentuk ekor ikan besar berwarna perak berkilat. Ujungnya bergerak gerak kian
kemari. Masih tak percaya Wiro gosok gosok kedua matanya. “Tak bisa kupercaya
kalau tidak kulihat sendiri. Berarti keadaan Ratu Duyung tidak beda dengan
keadaan anak buahnya itu…” kata Wiro dalam hati.
Selagi gadis yang barusan
keluar dari telaga bercakap cakap dengan teman temannya, salah seorang gadis di
tepi telaga tampak bangkit. Sesaat dia berdiri di atas sebuah batu lalu
“byurrr”! Gadis itu terjun ke dalam telaga.
“Aneh, dia masuk ke dalam
telaga. Kenapa tidak membuka pakaian hitamnya dulu…? pikir Wiro. Dia terus
memperhatikan. Lalu pemuda ini kembali melengak keheranan. Ternyata begitu
tubuhnya masuk ke dalam air, pakaian hitam yang melekat di tubuhnya lenyap
secara aneh. Di saat yang sama sepasang kakinya berubah menjadi ekor ikan
besar, bergerak gerak kian kemari.
“Baru sekali ini aku melihat
keanehan gila macam begini!” ujar Wiro seraya geleng geleng kepala.
Baru saja dia berkata seperti
itu tiba tiba terdengar suara suitan suitan keras dari beberapa penjuru. Tujuh
gadis di telaga kelihatan kaget. Wiro sendiri tak kalah kejutnya karena tahu
tahu tempat dimana dia berada telah dikurung oleh enam orang gadis lain anak
buah Ratu Duyung. Keenam gadis ini menunjukkan wajah galak. Masing masing
mengangkat tangan kanan seraya tudingkan jari telunjuk mereka lurus lurus
kearah Wiro. Ujung ujung jari mereka memancarkan sinar biru pertanda mengandung
satu kekuatan dahsyat.
Sadar kalau dirinya tertangkap
basah Wiro jadi salah tingkah. Dia melangkah mundur namun cepat kembali ke
tempat semula ketika dari ujung jari salah seorang gadis melesat keluar sinar
biru yang menghancurkan batu di belakang kaki Wiro.
“Tetap di tempatmu! Jangan
berani bergerak sampai Ratu datang!” salah seorang dari enam gadis membentak.
Rerumputan pohon bunga di
sebelah kiri tiba tiba tersibak. Ratu Duyung muncul diiringi dua orang anak
buahnya. Sesaat dia menatap pada Wiro dengan pandangan dingin. Lalu dia memberi
isyarat. Empat orang anak buahnya segera mendekati Wiro.
Dua orang menarik tangan Wiro
ke depan.
“Ratu, tunggu dulu!” seru
Wiro. “Jangan salah mengerti. Aku tidak bermaksud jahat….”
“Kau sudah tertangkap basah
melakukan perbuatan kurang ajar. Masih hendak mengelak?!” bentak Ratu Duyung.
“Ikat tangannya!”
Dua gadis anak buah Ratu
Duyung kembali menarik tangan Wiro ke depan.
Lengannya disilang satu sama
lain lalu gadis ketiga maju mendekat. Ujung jarinya yang memancarkan sinar biru
digerakkan.
“Rrrttttttt!”
Terjadilah satu hal luar
biasa. Larikan sinar biru yang keluar dari ujung jari si gadis berputar
menjerat kedua pergelangan tangan Wiro, tidak beda seperti ikatan seutas tali.
Hanya saja tali yang mengikat
erat Wiro saat itu berbentuk aneh yaitu berupa lingkaran mengeluarkan sinar
biru. Ketika Wiro berusaha melepaskan ikatan itu ternyata dia tak mampu
menggerakkan tangannya sedikit pun.
“Bawa dia ke bukit Batu
Putih!” Ratu Duyung berikan perintah.
Dua orang anak buahnya segera
mendorong tubuh Pendekar 212.
“Ratu,” kata Wiro begitu dia
sampai di hadapan Ratu Duyung. “Aku tidak bermaksud berbuat yang bukan bukan.
Apa lagi berani berlaku kurang ajar. Apa yang kulakukan terdorong dari rasa
ingin tahu. Apa yang ada di sini di luar kemampuan akalku untuk mencerna. Aku…”
Ratu Duyung goyangkan
kepalanya. Empat orang gadis dengan cepat membawa Wiro meninggalkan tempat itu.
Setelah melalui jalan cukup jauh dan berliku liku mereka sampai di satu
pedataran batu. Semua batu yang menumpuk di sini berwarna putih. Di langit sang
surya bersinar sangat terik seolah hanya beberapa jengkal saja di atas kepala.
Wiro merasa tubunya seperti dipanggang.
Dia ditarik kebalik sebuah batu besar. Ketika sampai di balik batu itu
terkejutlah Wiro. tersandar pada batu besar itu terpentang sosok tubuh gendut
Dewa Ketawa. Dua larik sinar biru membentuk tali mengikat tubuhnya ke batu
besar itu hingga dia tidak mampu bergerak sedikit pun. Keringat membasahi
sekujur tubuhnya. Kulitnya kelihatan merah oleh teriknya sinar matahari.
“Walah…! Sobatku gendut! Kau
sudah duluan rupanya!” ujar Wiro.
“Hemmmm….” Dewa Ketawa
menyahut dengan gumaman. Sesaat kemudian dia mulai tertawa tawa.
“Dasar manusia kurang waras.
Dalam keadaan seperti ini masih bisa ketawa dia!” kata Wiro dalam hati setengah
merutuk.
Wiro sandarkan pada sebuah
batu besar di samping Dewa Ketawa diikat.
Seorang gadis tudingkan ujung
jarinya ke tubuh Pendekar 212. Ketika jari itu digerakkan maka larikan sinar
biru berubah menjadi tali berkilauan, mengikat Wiro ke batu di belakangnya.
Keadaan ini tidak beda dengan si Dewa Ketawa. Bedanya dua tangannya masih tetap
terikat tali bersinar biru.
“Ratu, kami menunggu
perintahmu selanjutnya!” Seorang gadis anak buah Ratu Duyung berkata.
*
* *
DUA
BARU saja salah sorang gadis
berkata begitu sosok Ratu Duyung muncul dan tegak sepuluh langkah di hadapan
Wiro dan Dewa Ketawa. Dia memandang pada kedua orang itu beganti ganti lalu
berkata.
“Menyesal aku telah menganggap
kalian sebagai tamu tamu terhormat.
Ternyata kalian sama tak dapat
dipercaya!”
Wiro menatap wajah cantik Ratu
Duyung sesaat lalu berpaling pada Dewa Ketawa dan berbisik. “Sobatku Kerbau Bunting!
Kau bilang dia menaruh hati padaku.
Kau lihat sendiri! Buktinya
aku diikatnya seperti ini!”
Dewa Ketawa balas memandang
Wiro lalu mukanya berubah. Sesaat kemudian dia tertawa gelak gelak.
“Gendut gila! Bagaimana dalam
keadaan seperti ini kau masih bisa tertawa?!” damprat Wiro.
“Sssst…. Jangan memaki bicara
tak karuan. Umur mungkin tak bakal lama. Kita tidak tahu hukuman apa yang bakal
dijatuhkan orang orang itu. Yang jelas kalau aku mati pasti masuk sorga, kau
jelas minggat ke neraka! Ha… ha… ha!”
“Enak saja kau bicara!” tukas
Wiro lalu dia berpaling pada Ratu Duyung. “Ratu kalau aku memang bersalah, aku
minta maaf. Tapi sobatku si gendut ini mengapa harus ikut menerima hukuman?
Yang salah cuma aku sendirian. Harap kau suka membebaskannya….”
Para gadis anak buah Ratu
Duyung menatap pimpinan mereka menunggu apa yang harus mereka lakukan
selanjutnya. Sebaliknya Sang Ratu memandang pada Pendekar 212. Dalam hati dia
berkata. “Aku melihat jiwa kesatria dalam dirinya. Tapi jika aku tidak
menjatuhkan hukuman bagaimana wibawaku di mata para gadis ini….”
“Ratu, kami menunggu
perintahmu!” seorang gadis berkata ketika dilihatnya Ratu Duyung hanya tegak
tak bergerak, menatap ke arah Wiro. “Hukuman apa yang harus kami jatuhkan
terhadap dua orang ini?!”
Ratu Duyung mendehem beberapa
kali. Lalu berucap. “Orang bernama Dewa Ketawa telah berbuat dosa, melakukan
kesalahan. Kalau bukan karena mulutnya maka kawannya ini tidak akan berbuat
dosa kesalahan! Hukuman baginya adalah hukuman cabut lidah selama tiga hari!”
Dewa Ketawa…!” Wiro keluarkan
seruan saking terkejutnya mendengar apa yang dikatakan Ratu Duyung. Dia berkata
dengan suara keras pada Sang Ratu. “Ratu Duyung!
Sudah kubilang kawanku ini
tidak bersalah. Aku yang jadi biang kerok! Bebaskan dirinya biar aku yang
menerima semua hukuman. Kau boleh membunuhku agar puas! Seumur hidup belum
pernah aku melihat perempuan sepertimu. Cantik selangit tapi kejam selangit
tembus!”
Ucapan Pendekar 212 itu
membuat wajah Ratu Duyung menjadi merah. Namun sikapnya tetap tenang.
Sebaliknya di samping terdengar suara Dewa Ketawa tertawa gelak gelak.
“Kerbau Bunting!” teriak Wiro.
“Orang hendak mencabut lidahmu, kau malah tertawa gelak gelak!” Kau benar benar
sudah gila!”
“Ah, hukuman cabut lidah itu
Cuma tiga hari mengapa harus ditakutkan?!” jawab Dewa Ketawa lalu kembali
tertawa terbahak bahak.
“Lakukan hukuman!” Ratu Duyung
memberi perintah.
Seorang gadis maju mendekati
Dewa Ketawa yang seolah tidak peduli dan masih saja terus tertawa.
“Dewa Ketawa! Selamatkan dirimu!
Lekas lari dari tempat ini!” Wiro kembali berteriak.
Kakek gendut itu berpaling
padanya. “Kau sendiri apa sudah mencoba untuk bebaskan diri?!” balik bertanya
Dewa Ketawa.
Wiro jadi penasaran. Dia
kerahkan tenaga untuk melepaskan diri. Sampai tubuhnya basah oleh keringat
ternyata dia tidak mampu melepaskan diri dari ikatan tali aneh yang
mengeluarkan cahaya biru itu. Malah makin dipaksa tubuhnya terasa menjadi
lemah.
“He… he…! Bagaimana? Apa kau
mampu?” Tanya Dewa Ketawa sambil tertawa dan pencongkan hidungnya mengejek
Wiro. “Sebelumnya aku sudah mencoba, tapi tak ada gunanya. Mereka memiliki ilmu
aneh. Aku yang tua tidak mampu apalagi kau yang masih bau pesing! Ha…ha…ha!”
“Gendut sialan!” maki Wiro.
“Lakukan hukuman!” Tiba tiba
Ratu Duyung berseru, memberi perintah untuk kedua kalinya.
Dua orang gadis maju ke
hadapan Dewa Ketawa.
“Dewa Ketawa, sebelum hukuman
dijatuhkan, kau kami beri kesempatan untuk tertawa sepuasmu!” kata Ratu Duyung
pula.
Kakek gendut itu pandangi sang
Ratu sesaat. “Kau mau berbaik hati memberi kesempatan. Aku berterima kasih
untuk itu,” kata Dewa Ketawa pula. Lalu dia mulai tertawa. Mulutnya makin lebar
dan suara tawanya semakin keras. Gadis di samping kanan tiba tiba jentikkan
jarinya. Saat itu juga tubuh Dewa Ketawa menjadi kaku. Suara tawanya lenyap dan
mulutnya dalam keadaan terbuka lebar.
“Cabut lidahnya!” perintah
Ratu Duyung.
Gadis di sebelah kiri kini
yang maju. Tangannya bergerak cepat ke arah mulut Dewa Ketawa yang terbuka
lebar. Wiro merasa ngeri untuk menyaksikan. Dia membuang muka.
“Kreeeeekk!”
Tenguk Pendekar 212 merinding
dingin mendengar suara itu. “Pasti lidahnya sudah dicabut….! Manusia manusia
ganas!” Perlahan lahan Wiro palingkan kepalanya.
Dilihatnya Dewa Ketawa masih
dalam keadaan kaku ternganga. Mulutnya penuh darah.
Wiro memperhatikan. Ternyata
dalam mulut kakek gendut itu tak ada lagi lidah!
Sewaktu Wiro berpaling ke
kanan dia melihat seorang gadis anak buah Ratu Duyung tengah meletakkan sebuah
benda merah panjang bergerak gerak di atas baki kecil terbuat dari kerang.
Lidah Dewa Ketawa! Wiro merasa kepalanya pening dan seperti mau muntah.
“Sekarang giliran pemuda
berkulit hitam!” Tiba tiba terdengar suara Ratu Duyung. Murid Sinto Gendeng
tersentak.
“Ratu…!” serunya.
“Kesalahan ada pada kedua
matanya yang berani mengintip orang mandi.
Butakan dua mata itu selama
tiga hari!”
“Ratu! Apa yang hendak kau
lakukan?! Aku mohon!”
Teriakan Wiro itu tak ada
gunanya. Saat itu seorang gadis anak buah Ratu Duyung yang bertubuh jangkung
mendatanginya lalu menjentikkan tangannya. Serta merta sekujur tubuh Wiro
menjadi kaku. Mulutnya pun tak mampu bersuara lagi! Gadis yang barusan menotok
Wiro secara aneh maju lebih dekat. Dua tangannya bergerak cepat sekali ke arah
matanya kiri kanan. Wiro merasa sepasang matanya dingin sekali.
Tapi hanya sesaat. Di lain
kejap rasa dingin itu berubah dengan sengatan panas yang sakitnya bukan main.
Wiro hendak berteriak namun mulutnya terkancing gagu! Pada saat itu juga dia
tidak melihat apa apa lagi selain gelap mengelam dan menggidikkan.
“Ya Tuhan! Apa yang dilakukan
mereka padaku?! Aku tak bisa melihat! Mereka mencungkil kedua mataku! Aku benar
benar buta!”
Darah mengucur dari kedua mata
Pendekar 212 yang kini hanya merupakan rongga dalam dan besar mengerikan. Darah
mengucur membasahi pipi. Dewa Ketawa yang menyaksikan kejadian itu cuma mampu
kerenyitkan mata, tak bisa bergerak tak bisa keluarkan suara. Kalau saja dia
tidak dalam keadaan tertotok, setelah menyaksikan kengerian itu sudah pasti dia
akan tertawa gelak gelak. Ketika berpaling ke samping dilihatnya gadis jangkung
tadi tengah meletakkan dua buah benda bulat putih hitam di atas sebuah baki
kecil dari kerang laut.
“Gila! Apa betul dua benda itu
sepasang mata anak setan itu…?” pikir Dewa Ketawa. Perutnya terasa mual.
Tenggorokkannya seperti mau muntah. Tengkuk orang tua gendut ini jadi
merinding. “Benar benar gila! Seumur hidup rasa rasanya baru sekali ini aku
merinding ngeri!” Lebih lebih ketika dia coba melirik memperhatikan ke samping,
melihat bagaimana keadaan muka Pendekar 212 sekarang! Muka pemuda ini kini
terpentang tanpa sepasang mata!
“Dunia aneh…Bagaimana mereka
bisa melakukan keganasan ini?! Tapi…eh, apakah aku merasa sakit sewaktu lidahku
dicabut? Memang aku melihat ada darah mengucur dari mulut. Tapi mengapa aku
taidak merasa sakit sama sekali? Kuharap Sobatku Muda itu juga tidak merasa
sakit walau kedua matanya dicungkil begitu rupa!
Hukuman gila macam apa ini!
Aku kepingin tertawa, tapi mengapa tidak bisa? Celaka!
Kalau aku nanti tak mampu
tertawa lagi selama lamanya akan kuobrak abrik tempat ini!
Akan kuhajar mereka semua!
Tapi apakah aku tega melakukan itu terhadap para gadis yang cantik cantik itu?
Ratu Duyung kau membuat aku betul betul sengsara. Hidup tanpa tawa…. Rasanya
lebih baik mati saja!”
*
* *
TIGA
Malam terasa lebih dingin dari
malam malam sebelumnya. Ini adalah malam ketiga atau malam terakhir Pendekar
212 Wiro Sableng dan kakek gendut berjuluk Dewa Ketawa menjalani hukuman,
diikat secara aneh ke batu putih besar. Wiro dalam keadaan tanpa mata dan
dilanda sakit terus menerus. Dewa Ketawa masih untung. Walau lidahnya dicabut
namun tidak mengalami rasa sakit sedikitpun. Malah saat itu dia tengah tertidur
nyenyak. Dari tenggorokkannya terdengar suara mengorok aneh padahal dia dalam keadaan
tertotok hingga tak mampu bergerak dan seharusnya juga tak mampu bersuara.
Sepasang telinga murid Sinto
Gendeng dari Gunung Gede tiba tiba mendengar sesuatu. Bersamaan dengan itu dia
merasakan adanya tekanan tekanan halus yang menggetarkan batu yang dipijaknya.
“Dewa Ketawa, bangunlah!” ujar
Wiro. Tapi suaranya tidak keluar. Pemuda ini lupa kalau dirinya berada dalam
keadaan tertotok hingga tak mampu bersuara. Ketika dia tidak mampu mendengar
suaranya sendiri baru dia sadar. Dalam hati dia berkata.
“Ada seseorang mendekati
tempat ini. Pasti Ratu Duyung…Hemmm… Mau apa dia kemari? Menambah siksaan
lagi?! Sialan! Kalau saja mereka tidak mencungkil mataku pasti aku dapat
melihat tampang makhluk cantik tapi kejam itu! Kalau saja mulutku bisa berucap
pasti sudah kusemprot dia saat ini!”
Langkah langkah orang yang
mendatangi lenyap. Namun Wiro dapat menduga kalau orang itu berhenti dan tegak
sekitar beberapa langkah di hadapannya. Dia dapat mendengar hembusan napas
orang ini dan hidungnya mencium bau tubuhnya yang harum.
“Saudara…” satu suara
perempuan menegur.
“Hemmm… bukan Ratu Duyung,”
membatin Pendekar 212.
Lalu ada jari jari tangan
mengelus pangkal lehernya. Serta merta jalan suara Wiro terbuka dan dia mampu
berbicara namun yang keluar saat itu adalah suara mengeluh setengah mengerang.
“Kau pasti tersiksa dalam
hukumanmu…” perempuan di hadapan Wiro kembali berkata.
“Namanya saja dihukum. Siang
dipanggang sinar matahari, malam diguyur embun dan udara dingin! Dan kedua
mataku yang dicungkil sakitnya bukan kepalang.
Uh…! Katakan siapa kau
adanya?! Kau bukan Ratu Duyung. Apa kau disuruh perempuan itu datang tanpa
setahunya…”
“Uh…” Wiro mengeluh lagi.
“Lalu apa maksud kedatanganmu diam diam kemari?”
“Kami…Maksudku anak buah sang
Ratu yang melakukan hukuman telah kesalahan tangan. Sebelum dia menjatuhkan
hukuman, dia lupa mematikan indera perasaan luarmu hingga selama ini kau pasti
sangat tersiksa….”
“Kau ini bicara gila atau
bagaimana? Setelah dua hari dua malam dipentang di sini kau datang dan bicara
segala hal yang membuat aku jengkel! Dengar baik baik… Kalau aku nanti dilepas
aku akan membalas semua ini! Bilang sama Ratumu dan pergi dari sini!”
“Jangan salah sangka. Aku
datang untuk menolongmu…”
Wiro menyeringai. “Kau mampu
membebaskanku?!”
“Tidak….”
“Kalau begitu lekas minggat
dari hadapanku!” bentak Pendekar 212.
“Dengar dulu. Sebenarnya aku
memang bisa membebaskanmu. Tapi aku tak akan melakukan ketololan itu!”
“Mengapa tidak mau? Ketololan
apa maksudmu?!”
“Kami di sini hidup di bawah
perintah Ratu Duyung dan kami semua harus patuh.
Jika sampai salah dan dijatuhi
hukuman, nasib kami akan celaka seumur hidup. Tak ada jalan kembali….”
“Tak ada jalan kembali? Apa
maksudmu?” bertanya murid Sinto Gendeng.
“Aku tak bisa memberi
penjelasan. Kuharap saja kelak kau bisa tahu sendiri.
Sekalipun aku mendorong
membebaskan dirimu…”
“Dan mengembalikan dua
mataku!” ujar Wiro pula.
“Ya…. Ya… membebaskan dan
mengembalikan dua matamu….”
“Tunggu dulu… Jika dua mataku
dikembalikan apa penglihatanku bisa wajar seperti semula? Kau tahu bola mata
itu punya ribuan urat kecil kecil. Apa bisa bertaut lagi ke asalnya?”
“Jika dua matamu dipasang
kembali penglihatanmu akan wajar seperti semula.
Malah…” Anak buah Ratu Duyung
hentikan ucaapannya.
“Malah apa….?”
“Maafkan aku. Aku tak bisa
memberi keterangan lebih jauh…. Seperti kataku tadi sekalipun kau bebaskan dan
dua matamu kupasang lagi kau tak mungkin lolos dari tempat ini. Jangankan
manusia biasa, setan atau jin pun tidak bisa keluar dari tempat ini jika tidak
dikehendaki oleh Ratu Duyung….”
“Tobat, tempat celaka macam
apa ini!” kata Wiro mengumpat dan memaki.
“Dengar, aku hanya bisa
menolong melenyapkan rasa sakit yang kau rasakan saat ini…”
“Percuma….! Setelah dua hari
dua malam aku dipentang tersiksa seperti ini kau baru datang! Aku yakin kau
hanya hendak menyiasati diriku….”
“Kau salah sangka….” Kata anak
buah Ratu Duyung lalu ujung jari tangan kirinya ditusukkan ke dada Wiro. Saat
itu juga segala rasa sakit yang diderita Pendekar 212 serta merta lenyap.
“Hmmm….”Murid Sinto Gendeng
bergumam.”Ternyata kau tidak dusta….Aku menghaturkan terima kasih.”
“Sekarang aklu harus pergi.
Sebelum pergi aku terpaksa menutup jalan suaramu kembali…”
“Tunggu!” ujar Wiro. “Dua
mataku itu, kau tahu dimana disimpannya?”
“Sang Ratu sendiri yang
menyimpan. Kurasa di kamar tidurnya….”
“Sudah….Aku pergi sekarang…..”
“Sebentar, katakan siapa
namamu….”
“Di tempat ini tidak satu pun
dari kami mempunyai nama….”
“Benar benar edan! Masakan
orang tidak punya nama….?!”
”Aku tidak bisa menerangkan .
Aku harus pergi….”
“Wiro berpikir, mengingat
ingat. “Aku tahu…. Kau pasti gadis jangkung yang menotok dan mencungkil kedua
mataku….” Si gadis tercekat.
“Gadis jangkung, aku ingin
tahu mengapa kau mau menolongku?” bertanya Wiro.
“Mengapa kau mau bersusah
susah menolongku?”
“Sebenarnya aku akan menolong
sejak hari pertama kau dibawa dan diikat di tempat ini. Tapi penjagaan ketat
sekali. Temanmu si gemuk itu lebih beruntung karena perasaannya dihilangkan
lebih dulu hingga walau lidahnya dicopot dia tidak merasa apa apa…”
“Kau belum menjawab mengapa
kau menolongku!” kata Wiro kembali.
“Tak bosa kuterangkan. Aku
mendengar ada yang datang….” Lalu cepat sekali gadis di hadapan Wiro pergunakan
telunjuk tangan kanannya menggurat leher pemuda itu. Saat itu juga Pendekar 212
tak bisa bicara lagi.
*
* *
SIANG hari ketiga. Matahari
bersinar terik. Panasnya bukan kepalang seolah
berada tepat di atas kepala.
Baik Dewa Ketawa maupun Wiro saat itu tiba tiba mendengar langkah langkah kaki
mendatangi. Lebih dari satu orang. Lalu terdengar suara seseorang yang
dikenalinya bukan lain suara Ratu Duyung.
“Hukuman telah berakhir.
Kembalikan lidah tamu bernama Dewa Ketawa itu ke dalam mulutnya!”
Sepi sesaat. Lalu Wiro
mendengar langkah langkah kaki mendekati sosok Dewa Ketawa yang terpentang
dalam keadaan terikat di batu putih. Sepasang mata kakek sakti ini perhatikan
gadis jangkung melangkah ke hadapannya. Di sebelahnya ada gadis lain yang
melangkah sambil membawa baki dari kerang. Di atas baki kelihatan sebuah benda
merah berdarah bergerak gerak.
“Gila! Itu lidahku sendiri!”
Dia merasa ngeri melihat lidahnya sendiri yang lenyap selama tiga hari.
Gadis jangkung ambil benda di
atas baki kerang. Tangannya bergerak cepat.
“Cleeppp!”
Wiro sempat mendengar suara
itu. Sunyi sesaat . Dewa Ketawa berusaha menggerakkan mulutnya tapi tak mampu
karena masih dalam keadaan tertotok.
“Lidah sudah dipasang kembali
Ratu. Kami menunggu perintah lebih lanjut!” anak buah sang Ratu yang bertubuh
jangkung memberi tahu.
“Lepaskan ikatan tali sakti
biru!” Ratu Duyung menjawab.
Gadis jangkung acungkan jari
telunjuk tangan kanannya. Ujung jari membersitkan sinar biru. Ketika ujung jari
itu diarahkan pada tali yang melibat tubuh Dewa Ketawa, terdengar suara letupan
berkepanjangan. Tali itu serta merta lenyap tanpa bekas. Dewa Ketawa merasa
lega namun dia masih tak mampu bersuara dan bergerak.
“Lepaskan totokannya. Buka
jalan darah dan pengunci uratnya!” Terdengar kembali suara Ratu Duyung.
Anak buah Sang Ratu yang
bertubuh jangkung usapkan tangan kanannya di atas leher Dewa Ketawa lalu
menekan bagian dada orang tua itu dengan ujung jarinya.
“Eh…eh…eh!” terdengar suara
Dewa Ketawa. Dia gerakkan kedua tangannya.
Mulutnya dubuka lebar lebar.
Lalu terdengar suara tawanya menggelegar. “Tiga hari tiga malam tak bisa
ketawa! Sekarang aku mau tertawa sepuas puasnya!” katanya sambil pukul pukulkan
tangan kanannya ke dada!
Semua orang yang ada di tempat
itu, termasuk Ratu Duyung yang berkepandaian paling tinggi diantara mereka
getaran hebat pada gendang telinga masing masing.
Mereka terpaksa tutup jalan
pendengaran dengan telapak tangan. Malang bagi Penekar 212 karena dia masih
dalam keadaan terikat dan tertotok tak bisa pergunakan dua tangan untuk menekap
telinga. Dua lobang telinganya seperti ditusuk paku! Kepalanya seperti meledak
ledak.
“Kalau setan alas Kerbau
Bunting ini tidak hentikan tawanya, telingaku bisa pecah!” ujar Wiro dalam
hati.
Mendadak Dewa Ketawa memang
hentikan tawanya. Sambil menatap kearah Ratu Duyung dalam hati dia berkata.
“Aneh, mengapa suara tertawaku jadi begitu dahsyat? Seolah olah ada satu
kekuatan hebat dalam tubuhku. Bukan… bukan di tubuhku, tapi di mulutku!
Tepatnya di lidahku! Hemmm…. Apa sebenarnya yang telah dilakukan perempuan
cantik ini padaku? Ada satu keanehan, satu rahasia dibalik hukuman yang
dijatuhkannya padaku. Jangan jangan…
Setelah menatap sejurus lagi
pada Ratu Duyung Dewa Ketawa lalu berkata. “Ratu… Aku yang tua ingin
bertanya….”
Ratu Duyung angkat tangan
kanannya dan memotong ucapan Dewa Ketawa.
“Hukumanmu sudah diakhiri. Kau
kini bebas pergi. Sebenarnya sesuai undangan masih ada dua hari waktu tersisa
bagimu di tempat kami. Namun dengan berat hati aku terpaksa memintamu untuk
pergi sekarang juga… Di lain waktu mungkin kami akan melayangkan undangan lagi
untukmu berkunjung ke sini….”
Ratu Duyung berpaling pada
empat orang anak buah yang ada di dekatnya lalu berkata. “Antarkan tamu kita ke
Pintu Gerbang Perbatasan….”
Dewa Ketawa hendak mengatakan
sesuatu namun sadar kalau tak ada kemungkinan lagi baginya untuk membuka mulut,
apalagi membantah putusan sang Ratu maka diapun menjura lalu berkata. “Ratu
Duyung, aku mengucapkan terima kasih atas segala kebaikanmu…” habis berkata
begitu Dewa Ketawa berpaling pada Wiro.
“anak ini… kalau aku pergi
nasib apa yang bakal menimpanya. Mudah mudahan saja dia mendapatkan sesuatu
yang tidak lebih buruk dari aku…” Sekali lagi Dewa Ketawa menjura pada Ratu
Duyung lalu dia melangkah mengikuti empat orang anak buah Ratu Duyung yang
mengapitnya meninggalkan tempat itu.
“Heran tua Bangka gendut itu!”
Pendekar 212 berkata dalam hati. “Sudah dijatuhi hukuman malah masih mau bilang
terima kasih. Dasar gendut geblek!”
“Ratu, kami siap menjalankan
perintah selanjutnya!” Gadis jangkung anak buah Ratu Duyung memberi tahu sesaat
kemudian.
Sang Ratu mengangguk. Seorang
anak buahnya yang lain muncul sambil membawa sebuah baki kerang. Di atas baki
itu terletak dua buah benda yang bukan lain adalah sepasang mata Pendekar 212.
“Kembalikan kedua matanya!”
ujar sang Ratu.
Gadis bertubuh jangkung
melangkah ke hadapan Wiro. Gadis yang membawa baki kerang juga ikut mendekat.
Saat itu Wiro mencium bau harum memasuki jalan pernapasannya. “Hemmm….pasti dia
ini gadis yang kemarin mendatangiku….” Selagi Wiro berpikir seperti itu tiba
tiba dia mendengar suara “Cleppp! Clepp!” Bersamaan dengan itu dia merasa ada
dua benda berhawa sejuk masuk ke dalam rongga matanya kiri kanan. Di saat yang
sama kegelapan selama tiga hari tiga malam menyungkup pemandangannya kini
lenyap.
“Astaga! Aku bisa melihat
lagi!” Wiro berteriak dalam hati. Yang pertama sekali dilihatnya adalah satu
wajah cantik berada dekat di depannya. Wajah gadis jangkung anak buah Ratu
Duyung. “Ah, si penolongku ternyata berwajah paling cantik diantara semua gadis
di tempat ini…” ujar Wiro. Walau tidak mengerti bagaimana semua ini bisa
terjadi, namun disamping bersyukur sifat usilnya kembali muncul. Wiro kedipkan
mata kirinya pada gadis jangkung di hadapannya, membuat gadis ini menjadi merah
wajahnya dan cepat cepat melangkah mundur. Tapi langkahnya tertahan ketika sang
Ratu memberi perintah.
“Lepaskan ikatan. Bebaskan
dirinya dari totokan!”
Gadis jangkung kembali maju
mendekati Wiro. Tangan kanannya diangkat.
Telunjuk diacungkan. Begitu
ujung jarinya mengeluarkan sinar biru segera dia arahkan ujung jari itu pada
tali biru sakti yang mengikat sekujur tubuh Wiro ke batu putih.
Seperti waktu tadi membebaskan
Dewa Ketawa tali sakti itu keluarkan suara letupan berkepanjangan dan baru
berhenti setelah seluruh tali gaib secara aneh.
Dengan ujung jari yang sama
gadis jangkung itu kemudian mengusap leher Wiro dan menotok dadanya. Serta
merta jalan suara yang membuat sang pendekar menjadi gagu musnah. Begitu dia
bisa kedipkan mata kirinya pada si gadis jangkung seraya berkata. “Terima
kasih…”
Wiro usap kedua matanya dan
memandang berkeliling. Pemandanganku benar benar pulih seperti semula. Malah…
eh… Apa benar ini? Dua mataku malah lebih tajam dari sebelumnya. Aku seperti
mampu melihat…. Pendekar 212 berpaling pada Ratu Duyung dan menatap perempuan
cantik jelita ini lekat lekat.
“Ratu, kami menunggu
perintahmu selanjutnya. Apakah tamu yang satu ini akan kami antar juga ke Pintu
Gerbang Perbatasan?”
“Dia tidak akan meninggalkan
tempat ini!” jawab sang Ratu yang membuat Pendekar 212 jadi terkejut.
“Ratu, menurutmu hukumanku
telah berakhir. Kau telah membebaskan kawanku si gendut Dewa Ketawa itu.
Mengapa kau masih menahan diriku di sini…?” Tanya Murid Sinto Gendeng.
Ratu Duyung tidak menjawab.
Menolehpun tidak pada Wiro. Sebaliknya sambil memutar tubuh meniggalkan tempat
itu dia berkata pada anak buahnya. “Antarkan tamu ini ke Ruang Penantian!”
*
* *
EMPAT
Yang disebut Ruang Penantian
ternyata sebuah ruangan kecil berbentuk segitiga.
Dua dinding terbuat dari batu
berwarna merah sedang bagian depan terbuka merupakan jalan masuk. Empat orang
anak buah Ratu Duyung memberi isyarat agar Wiro duduk di sebuah batu rata pada
sudut segi tiga sebelah dalam. Setelah Wiro duduk di atas batu itu salah
seorang anak buah Ratu Duyung berkata.
“Tetap di tempatmu sampai Ratu
kami datang. Jangan coba coba meninggalkan ruangan ini walau satu langkahpun!”
Pendekar 212 garuk garuk
kepala. “Rupanya aku masih sebagai tawanan di tempat ini…” katanya.
Gadis yang tadi berkata menjawab.
“Hanya Ratu yang layak memberi tahu peri keadaan dirimu di tempat ini1”
Wiro melirik pada belahan baju
hitam di bagian dada si gadis yang begitu lebar hingga buah dadanya tersembul
menantang. “Kalau kau bersedia menemaniku di ruangan ini sampai seribu haripun
aku bisa betah berada di sini…”
“Plakkk!”
Satu tamparan mendarat di pipi
Wiro. Tidak terasa tapi cukup membuat Murid Sinto Gendeng ini jadi tersentak.
Ketika dia bangkit berdiri hendak memegang tangan si gadis yang menampar,
sambil mundur dua langkah gadis itu acungkan jari telunjuk tangan kanannya
kearah Wiro. Melihat ujung jari yang memancarkan cahaya biru itu Pendekar 212
menjadi bimbang dan perlahan lahan dia duduk kembali ke atas batu rata di sudut
ruangan.
Gadis yang barusan menampar
putar tubuhnya. Tiga temannya mengikuti. Wiro hanya bisa usap usap pipi. Namun
mendadak dia terlonjak karena dari atas bagian yang terbuka dari mana dia
digiring masuk tiba tiba tujuh buah tiang besi sebesar betis menderu turun.
Tujuh tiang ini berwarna merah membara dan memancarkan hawa panas! Sadarlah
kini Wiro kalau dia memang masih tetap menjadi tawanan!
“Kurang ajar!” maki murid
Sinto Gendeng. Dia melangkah ke arah tujuh besi tapi terpaksa mundur oleh hawa
panas tang membersit. “Aku punya dugaan diriku akan diperlakukan semena mena.
Sebaiknya aku mencari jalan lolos!” Maka murid Sinto Gendeng segera siapkan
satu pukulan sakti. Setelah mengerahkan tenaga dalam dia hantamkan tangan
kanannya ke arah deretan besi besi panas membara.
“Wutttt!”
Pukulan “segulung ombak
menerpa karang” menghantam empat jeruji besi dengan telak. Empat tiang besi itu
memancarkan sinar merah menyilaukan dan panas luar biasa hingga Wiro melompat
mundur ke sudut ruangan. Ketika dia memandang ke depan ternyata empat tiang
besi itu jangankan ambrol, cacat sedikit pun tidak!
Penasaran Pendekar 212 segera
siapkan pukulan “sinar matahari” Tangan kanannya serta merta berubah menjadi
putih laksana perak berkilauan. Pada saat dia hendak menghantam ke depan tiba
tiba sesosok tubuh muncul diseberang tiang tiang besi itu. Satu suara menggema
di Ruang Penantian.
“Mengapa menghabiskan tenaga?
Tidak ada satu pukulan saktipun yang sanggup menembus pagar besi panas itu!”
Wiro turunkan tangannya.
Memandang ke depan dilihatnya Ratu Duyung tegak seorang diri di seberang
ruangan.
“Ratu, apa maksudmu menahan
diriku di sini?!” tanya Wiro.
Sang Ratu tidak segera
menjawab tapi melangkah mendekati tiang tiang besi.
Lalu enak saja kedua tangannya
memegang dua tiang yang panas dan merah membara itu. Padahal jangankan tangan
manusia, sepotong besipun jika ditempelkan ke tiang yang membara itu pasti akan
leleh! Sebaliknya sang Ratu tenang tenang saja seolah memegang tiang besi yang
dingin!
“Aku tidak menahanmu. Aku
hanya ingin kepastian!” Rati Duyung menjawab.
Wiro megerenyit tak mengerti.
“Kepastian apa?”
“Bahwa kau dan kawanmu Dewa
Ketawa itu tidak menipuku!”
“Eh, memangnya aku sudah
berbuat apa? Aku memang mengaku salah telah mengintip anak anak gadismu mandi
di telaga. Tapi aku sudah menerima hukuman!
Sekarang sepertinya kau
sengaja mencari cari kesalahan lain…Apa sebenarnya yang ada dalam pikiranmu
Ratu? Mengapa kau tidak membebaskan diriku seperti kau membebaskan Dewa
Ketawa?”
Ratu Duyung menjawab. “Pada
saatnya kaupun akan kubebaskan. Tapi aku perlu membuktikan satu hal bahwa kau
benar benar Pendekar 212 dan bahwa kulitmu yang hitam itu benar benar akibat
sejenis obat…”
“Astaga! Bukankah Dewa Ketawa
sudah meyakinimu bahwa aku adalah Pendekar 212 dan kau telah mempercayainya….”
“Betul, tapi dalam hidup
keyakinan itu bisa berubah. Karenanya aku perlu membuktikan. Kau berkata bahwa
kulitmu yang hitam akibat obat yang kau telan.
Diberikan oleh seseorang untuk
menyelamatkan nyawamu. Kau juga menerangkan warna kulitmu yang hitam itu bisa
hilang bila tersentuh sinar bulan purnama. Nah itu yang harus kita buktikan.
Jika ternyata kelak sentuhan sinar rembulan tidak merubah kulitmu, berarti kau
telah menipuku. Kau bukan Pendekar 212 Wiro Sableng!”
Sesaat Wiro jadi terdiam. “Apa
yang aku lakukan padamu adalah sesuai dengan yang diucapkan penolongku. Kalau
dia berdusta apakah aku bisa disalahkan?”
“Mungkin si penolong yang
berdusta, mungkin juga kau!” Kita akan buktikan.
Dua malam lagi bulan purnama
empat belas akan muncul. Itu saatnya kau akan membuktikan siapa dirimu…”
“Dua malam lagi….?” Mengulang
Wiro. “Menurut perhitunganku bulan purnama baru muncul di langit sekitar dua
belas hari lagi!”
Ratu Duyung tertawa. “Di
tempat ini waktu berputar sepuluh hari lebih cepat dari duniamu sana. Kau tenang
tenang saja menunggu di ruangan ini. Jika memang kau Pendekar 212 sejati dan
apa yang dikatakan penolongmu benar, mengapa harus takut…?”
“Siapa bilang aku takut?!”
tukas Wiro yang tidak dapat lagi menahan jengkelnya.
Ratu Duyung membalikkan
tubuhnya. Waktu membalik belahan bajunya di bagian pinggul tersingkap lebar.
Jantung Wiro jadi berdegup keras malihat paha, pinggul dan bahkan bagian
pinggul sebelah atas sang Ratu. Sesaat kemarahannya menjadi kendur. Tanpa
banyak bicara dia duduk di atas batu datar.
“Kau tentu lapar. Aku akan
suruh anak buahku mengantarkan buah buahan,” kata Ratu Duyung pula sebelum
berlalu dari tempat itu. Murid Sinto Gendeng tak menjawab. Matanya masih
memandangi sosok tubuh bagian bawah sang Ratu sampai akhirnya perempuan cantik
itu lenyap di balik kelokan lorong batu.
Berada sendirian karena tak
tahu apa yang harus dilakukannya Wiro duduk bersandar ke dinding batu merah.
Dia ingat pada gurunya Eyang Sinto Gendeng. Lalu pada si Raja Penidur dan Kakek
Segala Tahu. Dia seperti menyesali karena menganggap gara gara tiga orang sakti
itulah dia sampai tersesat dan kini mendekam di ruangan ini.
Dia ingat pula pada kitab
Putih Wasiat Dewa yang sampai saat ini masih belum jelas dimana beradanya. Lalu
muncul tampang buruk orang bercaping dan berpenyakit cacar dengan perahu
putihnya itu. Wiro menarik napas panjang. Tiba tiba dia ingat pada Bidadari
Angin Timur. Sejak peristiwa mereka mencebur masuk ke dalam telaga beberapa
waktu lalu dia merasa ingin selalu dekat dengan gadis itu. “Di mana dia
sekarang…? Ah, waktu di atas perahu putih…Kalau saja dia melihatku…Lalu bila
aku bisa selamat keluar dari sini kurasa lebih baik mencari gadis itu lebih
dulu dari pada mencari Kitab Putih Wasiat Dewa. Aku merindukannya! Gila! Apa
ini yang dinamakan jatuh cinta?!” Murid Sinto Gendeng garuk garuk kepala.
Ketika ingatannya sampai pada senjata mustikanya, Wiro jadi menarik napas dalam
lagi. “Tiga Bayangan Setan, Elang Setan…. Dua bangsat itu akan kupecahkan
kepala mereka!”
Wiro bangkit berdiri lalu
melangkah mundar mandir di ruangan yang tak seberapa besar itu. Tiba tiba dia
mendengar langkah langkah kaki di ujung lorong. Tak Lama kemudian muncul
seorang gadis berpakaian hitam. Di tangannya dia membawa sebuah baki berisi beberapa
macam buah buahan. Pada pinggangnya tergantung sebuah kendi kecil. Sesaat
kemudian gadis ini sampai di depan tujuh tiang besi merah panas. Dia menatap
Wiro sebentar lalu baki dimiringkannya. Aneh!” Walau baki dimiringkan, buah
buahan yang ada di atasnya sama sekali tidak berjatuhan! Lewat celah kecil
antara dua buah tiang besi si gadis meloloskan baki berikut buah buahan itu.
Baik baju hitam maupun
tangannya sama sekali tidak cedera ketika bersentuhan dengan dua tiang besi.
“Lekas ambil…” kata si gadis
pada Wiro.
“Aku tidak lapar.!” Jawab
Pendekar 212.
“Jangan tolol!” si gadis
membentak halus. Karena Wiro tak mau mengulurkan tangan untuk mengambil baki
berisi buah buahan itu si gadis lalu melemparkan baki ke dalam ruangan. Baki
jatuh tepat di atas batu datar, tidak bersuara dan tak satupun buah buahan di
atasnya menggelinding jatuh!
“Ini…!” si gadis ulurkan kendi
kecil.
“Apa isi kendi itu?” tanya
Wiro.
“Air!” jawab si gadis. “Itu
diberikan atas perintah Ratu. Dan aku menambahkan sejenis bubuk ke dalamnya
agar kau mampu bertahan selama dua hari…”
“Hemmm…. Kau bermaksud baik
padaku. Aku mengucapkan terima kasih,” kata Wiro seraya ulurkan tangan kirinya
untuk menerima kendi kecil itu. Begitu Wiro memegang kendi, si gadis cepat
ulurkan jari jarinya memegang lengan Pendekar 212 dan berbisik.
“Dengar, aku bisa menolongmu
keluar dari tempat ini. Kau bisa bebas kembali ke duniamu. Tapi dengan satu
perjanjian…”
Wiro pandangi wajah si gadis.
Dia memang cantik namun dibandingkan dengan gadis jangkung serta sang Ratu
kecantikannya belum bisa menyamai.
“Perjanjian apa?” tanya
Pendekar 212.
“Kau harus ganti menolongku.”
Wiro garuk garuk kepalanya.”
Setahuku tak seorangpun di tempat ini bisa membebaskan diriku. Ratumu sangat
sakti dan para pengawaknya, teman temanmu itu menjaga setiap sudut dengan
ketat.”
Gadis itu tersenyum. “Mereka
semua memang tidak bisa berbuat apa apa karena mereka tidak tahu apa yang aku
tahu.”
Eh, apa yang kau ketahui!”
“Aku tahu rahasia membuka
tujuh tiang besi panas itu. Aku juga tahu rahasia yang mereka tidak tahu…”
Wiro tersenyum. “Kau gadis
baik. Tapi pertolonganmu mungkin akan sia sia belaka. Kau bisa celaka kalau
sang Ratu mengetahui pengkhianatanmu…”
“Aku tidak berkhianat pada
siapapun, juga terhadap sang Ratu. Aku hanya ingin membebaskan diri keluar dari
tempat ini. Dan cuma kau yang bisa menolongku!”
“Aku tak mampu menolong diriku
sendiri. Bagaimana aku bisa menolongmu?” tanya Wiro.
“Kau pasti bisa. Dengar, aku
akan segera membuka tujuh tiang besi panas ini.
Setelah itu kau akan
menyebadaniku di situ…”
“A…Apa?!” tanya Wiro dengan
bola mata membesar lalu melirik ke belahan dada si gadis dengan jantung
berdebar. “Mengapa aku harus menyebadanimu?!”
“Itu satu satunya jalan.
Dengar, kita tidak punya waktu banyak. Nanti akan kuterangkan…”
Wiro geleng gelengkan kepala.
Dalam hati dia berkata. “Waktu aku ketahuan mengintip mereka mandi, mataku
dicopot tiga hari. Kalau aku tertangkap basah menyebadani gadis satu ini pasti
anuku akan ditanggalkan. Bukan cuma tiga hari! Bisa bisa selama lamanya! Celaka
diriku!”
Selagi Wiro berpikir begitu
tiba tiba dia mendengar suara berdesir. Astaga! Wiro melihat tujuh jalur tiang
besi panas membara perlahan lahan naik ke atas! Makin lama makin tinggi. Pada
saat ketinggian mencapai sepinggul tiba tiba satu bayangan berkelebat menyusul
bentakan keras.
“Tidak kusangka! Ada
pengkhianat di tempat ini!”
Gadis di depan Wiro menjadi
pucat pasi. Keluarkan suara tertahan lalu jatuhkan diri ketakutan setengah
mati!
*
* *
LIMA
Ratu Duyung tegak dengan
tangan kiri diletakkan di pinggang. Dia lambaikan tangan kanannya. Tujuh tiang
besi yang tida naik ke atas perlahan lahan kembali turun menutup ruangan segi
tiga itu.
“Berdiri!” bentak sang Ratu.
Gadis baju hitam yang mendekam
di lantai perlahan lahan berdiri. Tubuhnya bergetar hebat dan wajahnya seputih
kain kafan.
“Kau tahu kesalahanmu?!”
bentak sang Ratu.
“Sa…Saya tahu Ratu….”
“Katakan!”
“Saya …. Saya berkhianat. Saya
hendak membebaskan pemuda ini. Saya tahu saya salah…”
“Itu kesalahan pertama dan
bisa kuanggap kecil. Tapi lekas katakan kesalahanmu yang kedua yang sangat
besar dan tak ada ampunannya!”
“Saya….. saya hendak membuka
satu rahasia pada pemuda ini. Saya mengajaknya……”
“Cukup!” bentak sang Ratu.
“Kau tahu apa hukuman yang bakal kau terima?!”
Si gadis mengangguk dan
jatuhkan diri ke lantai. Kelihatannya dia pasrah menerima hukuman karena tak
mungkin mengelak tak mungkin minta ampun.
Ratu Duyung angkat tangan
kanannya. Jari telunjuk tiba tiba mengeluarkan cahaya biru angker. Perlahan
lahan jari itu ditudingkan, turun ke arah sosok tubuh anak buahnya yang
berlutut di lantai.
Ujung jari bergerak tiga kali
berturut turut. “Wuttt! Wuttt! Wuttt!”
Cahaya biru berkiblat. Gadis
di lantai keluarkan pekikan panjang. Lalu terputus!
Ketika Wiro menatap ke depan,
dinginlah tengkuk murid Sinto Gendeng ini!
Diantara kepulan asap yang
menebar bau sangit seperti daging dipanggang Wiro melihat sisa tubuh si gadis
kini hanya tinggal jerangkong alias tulang belulang berwarna biru!
“Ilmu kesaktian apa yang
barusan dilancarkan perempuan ini hingga dalam sekejapan bukan saja membunuh
anak buahnya tapi juga merubahnya menjadi jerangkong!” Murid Sinto Gendeng
membatin. Lalu pandangannya dialihkan pada wajah Ratu Duyung yang tampak
dingin, tenang seolah tak ada terjadi apa apa di tempat itu.
Dia membunuh gadis cantik anak
buahnya seperti membalikan telapak tangan saja! Saat dia memandangi Ratu Duyung
seperti itu, sang Ratu tiba tiba palingkan mukanya ke arahnya. Pandangan mereka
saling beradu. Untuk beberapa lamanya tak ada yang mau menghindar ataupun
berkesip. Pendekar 212 tak mau menghindar ataupun berkesip.
Pendekar 212 tak mau mengalah.
Dia memandang terus hingga diam diam Ratu Duyung merasa getaran aneh menjalari
tubuhnya. Perempuan ini masih berusaha terus menantang pandangan Wiro namun
akhirnya sambil menjentikan dua jari tangan kanannya dia memandang ke langit
langit di atasnya. Tak lama setelah suara jentikannya menggema di sepanjang
lorong batu, empat orang gadis berpakaian hitam muncul.
“Singkirkan sampah tak berguna
ini!” kata sang Ratu sambil menggoyangkan kepalanya ke arah tulang belulang
yang bergeletakan di lantai.
Empat anak buah Ratu Duyung
segera melakukan apa yang diperintahkan. Tak lama setelah jerangkong biru
diangkat dari tempat itu Ratu Duyung balikkan tubuhnya Sebelum mengerling ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
*
* *
Berselang dua hari empat orang
anak buah Ratu Duyung muncul di depan Ruang Penantian. Keempatnya langsung
menekap hidung karena penciuman mereka disengat oleh bau pesing.
Wiro Sableng tertawa lebar.
“Masih untung aku hanya kencing di tempat ini. Kalau aku buang air besar baru
kalian rasa! Dua hari disekap tanpa diperkenankan keluar apa tidak gila?!”
“Tak usah banyak bicara. Lekas
keluar dan ikuti kami!”kata salah seorang dari empat gadis.
Kawannya menambahkan. “Jangan
coba coba melarikan diri. Selain tak bakal bisa lolos dari tempat ini, salah
salah kau bisa menemui ajal seperti gadis yang coba berkhianat dua hari lalu!”
Wiro keluar dari Ruang
Penantian. Sambil melangkah dia menjawab. “Empat orang gadis cantik minta aku
mengikuti. Tolol kalau aku melarikan diri. Mau kalian bawa kemana aku ini?!”
“Pertama kau harus
membersihkan diri di Pancuran Putih. Setelah itu kau akan kami bawa ke Bukit
Awan Putih…” menerangkan salah seorang gadis.
Sesuai keterangan yang
dikatakan tadi Wiro di bawa ke sebuah tempat dimana terdapat sebuah pancuran
yang airnya berwarna aneh yaitu bening putih. Di tempat itu telah tersedia
seperangkat pakaian hitam bersih lengkap dengan destar hitam.
Wiro memandang pada empat
gadis pengawalnya lalu bertanya. “Kalian mau ikut mandi sama sama?”
“Jangan berani bicara kurang
ajar!” sentak gadis di sebelah kanan. Dia memberi isyarat pada tiga kawannya
lalu Wiro selesai mandi dan berpakaian ke empat gadis tadi tahu tahu sudah
muncul lagi di tempat itu.
“Kalian pengawal pengawalku
yang setia!” memuji Wiro sambil tersenyum.
“Cuma aku sangsi jangan jangan
ketika aku mandi ada di antara kalian yang mengintip!”
“Pemuda bermulut lancang!
Kalau tidak ingat perintah Ratu membawamu segera ke Bukit Awan Putih mau
rasanya kami menghajarmu lebih dulu di tempat in!”
Wiro tertawa gelak gelak.
“Sobatku cantik, aku hanya bergurau. Jangan diambil hati. Setiap hari kalian
selalu menghadapi suasana yang mencengkam. Apa salahnya sekali sekali
bergurau?!”
Empat orang gadis itu tidak
menjawab. Mereka membawa Wiro memasuki sebuah lorong. Ketika keluar dari lorong
itu Murid Sinto Gendeng jadi terheran heran. Di depannya dia melihat sebuah
dataran tinggi. Ada empat jalur tangga batu menuju ke puncak pedataran di atas
mana terdapat sebuah batu besar bulat berwarna hitam legam. Sekitar sepuluh
tombak di atas batu kelihatan seperti ada awan putih menggantung. Memandang
berkeliling yang membuat Wiro merasa heran ialah tempat itu berada dalam
keadaan malam hari. Padahal sebelumnya, ketika dia mandi di pancuran hari masih
siang!
Agak jauh di sebelah kanan
batu hitam budar dan rata tampak di sebelah kanan batu hitam. Meskipun agak
jauh namun Wiro segera bisa mengenali. Orang itu bukan lain adalah Ratu Duyung.
“Naiki tangga sebelah kanan,
langsung tegak di atas batu batu bundar hitam.” Seorang gadis berpakaian hitam
bicara pada Wiro.
Wiro memandang sekali lagi ke
puncak pedataran tinggi.”Malam hari… Apa benar ucapan Ratu Duyung bahwa malam
ini bulan purnama empat belas hari akan muncul? Aku sama sekali tidak melihat
langit malam. Tak ada bintang bintang. Tempat apa sebenarnya ini…?!”
Satu tangan mendorong punggung
Wiro seolah memaksanya agar segera menaiki anak tangga batu yang berundak undak
sebanyak 77 buah itu. Kakinya terasa pegal dan napasnya agak memburu ketika dia
akhirnya sampai di puncak pedataran tinggi dan naik ke atas batu rata hitam.
Dari tempatnya berdiri dia memandang berkeliling. Di bawah sana semuanya kelihatan
serba hitam. Di sebelah atas pemandangan tertutup oleh awan putih aneh. Wiro
palingkan kepalanya ke kiri, ke tempat dimana Ratu Duyung berdiri sambil
rangkapkan dua tangan di depan dada.
Angin malam bertiup kencang
dan dingin menyibakkan belahan bajunya di bagian pinggul hingga auratnya tampak
lebih putih dalam gelapnya udara.
“Ratu Duyung, aku tak tahu apa
rencanamu! Apakah bulan purnama benar benar akan muncul di tempat ini?!” Wiro
berseru pada Ratu Duyung.
Perempuan cantik itu diam tak
bergerak seperti patung, juga tidak menjawab pertanyaan Wiro tadi.
“Ratu Duyung! Sebelum sampai
di tempat ini hari masih siang! Bagaimana bisa tahu tahu kini hari berubah
malam?!”
Ratu Duyung tetap tidak mau
memberi dan tidak mau menjawab. Wiro lalu mengancam.
“Kalau sang Ratu masih tidak
bergerak maupun menjawab Wiro segera gerakkan kakinya untuk melompat turun dari
atas batu hitam. Namun gerakkannya tertahan ketika mendadak ada hembusan angin
luar biasa kencangnya sehingga tubuhnya seperti mau terseret mental dari atas
batu hitam. Di sebelah sana dilihatnya pakaian dan rambut Ratu Duyung berkibar
kibar tapi tubuhnya tidak bergeming sedikitpun padahal Wiro setengah mati
mempertahankan diri agar tidak diseret hembusan angin. Sadar tenaga luar tak
mungkin membuatnya bertahan terhadap hembusan angin maka murid Eyang Sinto
Gendeng ini segera kerahkan tenaga dalam, salurkan pada ke dua kakinya hingga
sepasang telapak kaki Wiro laksana di pantek ke atas batu hitam itu!
Perlahan lahan angin keras
surut. Bersamaan dengan itu keadaan di tempat itu berubah dari gelap menjadi
terang temaram. Ketika dia mengangkat kepalanya Wiro jadi tertegun. Awan putih
setinggi sepuluh tombak di atasnya perlahan lahan bergerak ke arah timur. Dari
bagian yang tidak terhalang lagi merambas cahaya putih redup.
Makin jauh awan bergerak ke
timur makin terang cahaya putih itu. Sepasang mata pendekar 212 mulai melihat
langit jauh tinggi di atasnya. Bintang bintang bertaburan.
“Astaga! Itu langit betulan…”
kata Wiro hampir tak percaya.
Lalu Pendekar 212 berdegup
keras. Sedikit demi sedikit, dari balik sekelompok awan kelabu menyeruak
mnuncul bulan purnama empat belas hari. Wiro melirik ke arah Ratu Duyung.
“Perempuan itu tidak berdusta…” katanya. Langit dan pedataran tinggi bertambah
terang begitu bulan purnama muncul semakin besar dan bulat. Cahayanya yang
putih jernih jatuh di setiap benda di pedataran tinggi itu termasuk sosok tubuh
Pendekar 212 yang tegak di atas batu hitam. Tiba tiba Wiro merasa sekujur
permukaan kulit tubuhnya menjadi panas. Demikian panasnya hingga bukan saja
mandi keringat tapi badannya bergetar keras. Kedua kakinya menjadi goyah. Dia
kumpulkan seluruh tenaga agar tidak roboh.
Lalu entah apa yang terjadi
tiba tiba ada letupan letupan kecil disertai kilatan kilatan cahaya putih di
sekujur muka dan tubuhnya. Begitu letupan sirna hawa panas lenyap berganti
dengan hawa dingin. Demikian dinginya hingga gerahamnya bergemeletukan. Tak
sengaja Wiro memperhatikan ke dua tangannya. Dia hampir tak percaya. Kulit
tangannya yang selama ini berwarna hitam pekat perlahan lahan berubah menjadi
putih.
“Kulitku berubah… kembali ke
warna semula…!” ujar Wiro gembira. Meskipun tubuhnya saat itu di selimuti rasa
dingin luar biasa tapi kegembiraan membuat dia membuka baju hitamnya agar
auratnya lebih sempurna terkena siraman cahaya bulan purnama!
“Aku sembuh! Aku sembuh!
Terima kasih Tuhan…!”kata Wiro angkat kedua tangannya tinggi tinggi.Saat itu
terbayang wajah Puti Andini, gadis baju merah berkepandaian tinggi yang muncul
dengan payung tujuhnya. “Puti, dimanapun kau berada aku juga menghaturkan
terima kasih padamu. Kau tidak berdusta. Kalau tidak berkat obat yang kau
berikan aku sudah lama menjadi kerak tanah!”
Udara dingin berangsur angsur
lenyap. Pada saat itulah empat sosok tubuh berkelebat di sampingnya. Mereka
ternyata empat orang anak buah Ratu Duyung.
“Ratu meminta kami membawamu
ke Ruang Pertemuan… Beliau siap memberikan wasiatnya padamu…” memberi tahu
salah seorang dari empat gadis.
“Wasiat…Wasiat apa….?” Tanya
Wiro. “Maksudmu Kitab Wasiat…?”
“Kau akan bertemu langsung
dengan Ratu. Tanyakan saja secara langsung….”
Gadis di sebelah kanan
mengambil baju hitam yang tercampak di atas batu lalu menyerahkannya pada Wiro
sambil memberi isyarat agar dia segera mengenakan pakaian itu.
Sambil mengenakan pakaiannya
Wiro perhatikan dadanya. Rajah tiga angka 212 yang selama ini lenyap tertindih
warna hitam kulitnya kini muncul jelas kembali. Wiro tersenyum sambil usap usap
dadanya. Dia melirik ke arah kiri tempat Ratu Duyung sebelumnya berdiri. Ternyata
perempuan itu tak ada lagi di situ.
“Hai! Kenapa belum berjalan?!
Tunggu apa lagi?!” Gadis di belakang Wiro bertanya sementara tiga kawannya di
sebelah depan tampak tak sabaran ketika mereka melihat Wiro tegak di atas batu
hitam datar.
“Tunggu dulu… Mengapa terburu
buru? Aku tak akan kabur…!” jawab Pendekar 212. Lalu seperti dia hanya seorang
diri saja saat itu murid Sinto Gendeng ini bukan ikat pinggang celana hitamnya.
Empat gadis anak buah Ratu Duyung jadi berubah wajah mereka dan ada yang melangkah
mundur.
“Apa yang hendak kau
lakukan?!” salah seorang membentak.
“Jangan berani buat kurang
ajar di hadapan kami!” satunya lagi menghardik.
“Siapa mau berbuat kurang
ajar!” jawab Wiro tidak acuh. Begitu ikat pinggang terbuka dan celananya
menjadi longgar, dia meneliti ke bagian aurat di balik celana. Lalu sambil
mengangkat kepala dan merapikan ikat pinggangnya kembali pemuda ini senyum
senyum sendiri.
“Pemuda aneh, dia seperti
orang kurang waras tertawa sendiri!” bisik gadis sebelah kanan pada kawannya.
“Apa sebenarnya yang dilakukan
orang ini?” balik bertanya kawannya.
Pertanyaan itu sempat
terdengar oleh murid Sinto Gendeng. Tenang saja dia menjawab. “Kalian lihat
sendiri keajaiban kulitku tadi. Cahaya bulan purnama membuat kulitku yang hitam
kembali ke warna aslinya. Tapi aku masih meragu apakah aurat yang terlindung di
balik celana ikut berubah warna. Makanya aku perlu menyelidik. Aku tidak mau
jadi manusia belang. Putih di atas hitam di bawah. Ternyata….”
Wiro tidak teruskan ucapannya
malah memandang pada empat gadis itu sambil tertawa lebar. Tentu saja mereka
sama ingin tahu apa yang terjadi. Apakah perubahan warna kulit Wiro memang
menyeluruh atau hanya setengah setengah. Tapi untuk bertanya tentu saja mereka
tidak berani. Sebaliknya Wiro malah menggantung keterangan hingga empat orang
anak buah Ratu Duyung itu menunggu sambil saling pandang.
“Ternyata…” kata Wiro pula.
“Ternyata memang seluruh kulit tubuhku kembali ke warna asal. Termasuk…” Wiro
tidak teruskan ucapannya tapi keluarkan suara tawa bergelak.
Empat gadis berpakaian hitam
ketat tampak bersemu merah wajah masing masing.
*
* *
ENAM
Kita tinggalkan dulu Pendekar
212 Wiro Sableng yang tengah diantar menuju Ruang Pertemuan guna menemui Ratu
Duyung. Kita ikuti perjalanan Tiga Bayangan Setan dan kawannya yang bernama
Elang Setan. Seperti dituturkan dalam Episode II (Wasiat Dewa) dua orang
manusia berhati setan itu setelah merasa berhasil membunuh Pendekar 212 di
bukit dekat sumur batu di luar Kartosuro lalu berangkat menuju puncak Gunung
Merapi tempat salah satu kediaman Pangeran Matahari. Kapak Maut Naga Geni 212
serta batu sakti hitam pasangan senjata sakti itu mereka rampas. Di puncak
Gunung Merapi dua senjata mustika itu mereka serahkan pada Pangeran Matahari.
Tentu saja sang Pangeran
gembira bukan main. Selain sudah memiliki Kitab Iblis kini dia juga menguasai
dua senjata sakti milik musuh bebuyutannya itu. Dengan Kitab Iblis berada di
tangannya dia merasa yakin walau dua senjata mustika itu masih berada di tangan
Wiro dia akan sanggup menamatkan riwayat Pendekar 212. Apalagi kini Wiro tanpa
dua senjata yang diandalkan itu!
Pertemuan dengan Pangeran
Matahari, apalagi dapat menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 serta batu sakti
hitam di pihak lain juga menggembirakan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan.
Mereka bukan saja menyenangkan hati Pangeran Matahari, tapi sekaligus juga
bermaksud menagih janji mendapatkan obat penawar racun seratus hari yang dulu
dicekokan sang Pangeran pada mereka.
Celakanya Pangeran Matahari
tidak percaya begitu saja bahwa dua orang itu benar benar telah membunuh
Pendekar 212. Karena itu dia menyuruh Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan untuk
membawa potongan kepala murid Sinto Gendeng itu. Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan tidak bisa berbuat apa apa karena kembali Pangeran Matahari menipunya
dengan berpura pura memberikan obat penawar racun padahal yang mereka telan
adalah racun tiga ratus hari!
Melewati perjalanan yang jauh
dan sulit akhirnya Tiga Bayangan Setan dan Elang Setang sampai di bukit di mana
terletak sumur batu itu. Namun mereka sama sekali tidak menemukan mayat
Pendekar 212. Tulang belulang atau jerangkongnya pun tidak!
“Celaka! Mayat pemuda itu
tidak ada lagi di sini! Bekasnya pun tidak kelihatan!” kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan memandang
berkeliling. “Bangkai bangkai lainnya masih berserakan di sekitar sini…”
katanya memperhatikan tulang belulang beberapa tokoh silat yang menemui ajalnya
di tempat itu beberapa waktu lalu.
“Jangan janganwaktu kita
tinggalkan manusia itu belum benar benar mati…” kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan jadi tak
enak mendengar kata kata sahabatnya itu.
“Pukulan Raksasa Tiga Bayangan
yang keluar dari batok kepalaku bukan pukulan sembarangan! Sekalipun dia punya
tiga nyawa, kematian tak bakal lolos dari dirinya!
Aku menduga mayatnya dilarikan
binatang buas yang menemukannya masih dalam keadaan segar…”
“Mudah mudahan saja
begitu,”kata Elang Setan, lalu menambahkan, “Tapi jika dilihat mayat mayat lain
yang ada di sini, tak satu pun ada yang disentuh binatang buas…” Elang Setan
menepuk nepuk baju tebal dekilnya hingga debu yang menempel beterbangan ke
udara.
“Kita harus mencari akal.
Kalau kepala Pendekar 212 tidak bisa kita serahkan pada Pangeran Matahari,
berarti nyawa kita berdua tidak ketolongan!” kata Tiga Bayangan Setan pula.
Untuk beberapa lamanya dua
orang itu duduk di lereng bukit saling berdiam diri.
“Kau ingat kejadian waktu kita
baru saja membunuh Pendekar 212…..?” Elang Setan tiba tiba membuka mulut.
“Kejadian yang mana?” tanya
Tiga Bayangan Setan seraya coba mengingat ingat.
“Waktu itu di langit ada tujuh
buah payung melayang. Seorang perempuan bergantung pada salah satu payung itu…”
“Aku ingat sekarang!” kata
Tiga Bayangan Setan seraya bangkit berdiri.
“Siapapun makhluk yang terbang
memakai payung itu pastilah dia seorang berkepandaian sangat tinggi. Pasti dia
yang telah mengambil mayat Pendekar 212.
“Kita harus menyelidik!
Mencari tahu siapa adanya perempuan berpayung itu!”
kata Elang Setan pula.
“Setahuku tak pernah mendengar tentang seorang sakti berpayung. Kita harus
menyebar orang untuk menyirap berita. Bagaimanapun mahalnya urusan ini nyawa
kita jauh lebih mahal!”
“Apa rencanamu…? Mendatangi
Kotaraja mencari berita?” tanya Tiga Bayangan Setan.
Elang Setan menggeleng. “Orang
berkepandaian tinggi jarang mau berada di tempat ramai seperti Kotaraja. Aku
yakin orang berpayung itu bukan tokoh silat berasal dari tanah Jawa ini. Besar
kemungkinan dia datang dari seberang. Jika dia orang seberang kemunculannya di
sini pastilah membawa satu maksud atau keperluan besar.
Mungkin dia juga mencari Kitab
Iblis itu!”
Tiga Bayangan Setan angguk
anggukkan kepala tanda setuju dengan jalan pikiran sahabat atau saudara
angkatnya itu. “Kalau dia mencari Kitab Iblis berarti dia akan berhadapan dengan
Pangeran Matahari! Tapi mungkin dugaan kita salah. Mungkin dia bukan mencari
Kitab Iblis….”
“Sebaiknya kita membicarakan
persoalan ini sambil meneruskan perjalanan…”
“Aku setuju. Tapi kemana
tujuan kita dari sini?” tanya Tiga Bayangan Setan pula.
“Di Sleman ada dua orang yang
perlu kita temui. Pertama seorang bekas juru ramal Kraton berasal dari
Blambangan. Orang ini bisa diminta bantuan untuk melihat lihat secara gaib.
Orang kedua seorang bekas gembong penjahat bernama Warok Timbul Ireng. Ratusan
anak buahnya bertebaran di mana mana. Jika kita bayar cukup tinggi dia bisa
mengerahkan orang untuk mencari tahu perempuan berpayung tujuh itu…”
Tiga Bayangan Setan tepuk bahu
saudara Elang Setan seraya berkata. “Tidak percuma aku punya saudara sepertimu!
Otakmu ternyata encer juga! Ha…ha….! Kita akan mengadakan perjalanan jauh. Kita
harus mencari kuda tunggangan!”
Kedua orang bermuka seram itu
segera tinggalkan lereng bukit, berlari cepat menuju ke arah timur.
*
* *
ORANG mengenakan blangkon
kuning itu mendera kudanya bertubi tubi agar tunggangannya berlari lebih
kencang. Saat itu tempat tengah hari dan sang surya bersinar sangat terik.
Disatu persimpangan dia membelok ke kiri memasuki jalan menuju Wates. Dia
merasa lega ketika akhirnya sampai di tempat tujuannya, yaitu sebuah rumah
minum yang merangkap tempat perjudian gelap. Kabarnya banyak orang orang
penting dari Kotaraja yang datang ke tempat ini untuk berjudi. Setelah
menambatkan kudanya lelaki berblangkon kuning ini cepat masuk ke dalam rumah minum,
langsung menuju ke belakang, terus menaiki tangga ke tingkat atas di mana
terletak dua buah ruangan besar perjudian.
Bau minuman keras bercampur
asap rokok menyambut hidung orang ini begitu dia menyelinap masuk ke dalam
ruangan judi di sebelah kiri. Seorang lelaki berbadan tinggi besar, berewokan
serta membekal sebilah golok cepat mendatanginya dan mendorong dadanya. Dia
adalah salah satu dari empat orang yang bertugas sebagai penjaga di rumah judi
itu.
“Blangkon kuning, aku tak
pernah melihat kowe sebelumnya. Dari tampangmu aku tahu kowe kemari bukan untuk
berjudi! Apa mau kowe datang ke sini….?!”
“Aku mencari seseorang….”
“Ini bukan tempat mencari
orang. Tapi tempat judi. Lekas minggat dari sini atau kupuntir rupanya tidak
mau tinggalkan tempat itu. Dia segera bertindak masuk kembali.
“Manusia sompret! Memang kau
minta digebuk!” Pengawal rumah judi itu lalu hantamkan tinju kanannya ke muka
si blangkon kuning. Sesaat lagi tinju itu akan meremukkan rahangnya tiba tiba
satu tangan berbulu menahan tinjunya. Pengawal ini hendak berteriak marah. Tapi
begitu dia berpaling dan melihat siapa adanya orang yang menahan tinjunya cepat
cepat melangkah mundur lalu membungkuk.
“Dia memang mencariku, kau
boleh pergi…”
Pengawal tinggi besar itu
menyeringai, membungkuk sekali lagi ketika orang yang barusan bicara
menyelipkan sekeping uang ke dalam genggamannya. Orang yang memberikan uang ini
kepalanya sulah alias botak di sebelah kiri sedang bagian kanan ditumbuhi
rambut sangat lebat dan awut awutan. Tampangnya tampak angker karena selain
ditutupi kumis dan brewok lebat, mata kanannya mendelik besar sedang mata kiri
senantiasa seperti terpejam. Di keningnya ada tiga buah guratan aneh. Orang ini
bukan lain adalah Tiga Bayangan Setan.
“Kau membawa kabar bagus…?”
tanya Tiga Bayangan Setan sambil memegang bahu si blangkon kuning. Orang yang
ditanya mengangguk. “Kau berhasil mengetahui dimana perempuan itu berada….?”
Yang ditanya kembali mengangguk. Tiga Bayangan Setan berpaling lalu mengangkat
tangannya pada Elang Setan yang sedang asyik berjudi.
Melihat tanda yang diberikan
Tiga Bayangan Setan, Elang Setan segera teguk habis minuman keras dalam kendi
kecil lalu tinggalkan meja judi. Ketiga orang itu turun ke bawah. Di satu
tempat si blangkon kuning berikan keterangan.
“Perempuan itu ada di pesisir
selatan. Di sekitar muara Kali Opak… Beberapa kali dia terlihat di pantai.
Sepertinya dia tengah mencari atau menunggu kedatangan seseorang…”
“Berpakaian merah….?” Tanya
Elang Setan.
Si Blangkon Kuning mengangguk.
“Membawa tujuh payung?” ujar
Elang Setan.
“Saya melihat dia membawa
bungkusan besar pada punggungnya. Ada gagang gagang menyembul. Bukan gagang
senjata. Mungkin sekali memang gagang payung….”
“Bagus! Ini bagian yang
kujanjikan!” kata Tiga Bayangan Setan seraya mengeruk saku jubah hitamnya.
Ketika si Blangkon kuning hendak menerima, Tiga Bayangan Setan tidak segera
melepaskan uang dalam genggamannya tapi mencekal tangan orang.”
Kalau kau memberi keterangan
dusta, ingat baik baik!Kami berdua akan datang mencarimu. Kau akan mampus
dengan kepala terbelah! Mengerti?!”
Orang itu mengangguk. Begitu
tangannya dilepaskan dia cepat cepat tinggalkan tempat itu. Tiga Bayangan Setan
berpaling pada Elang Setan. “Baiknya kita berangkat sekarang juga!” katanya.
*
* *
TUJUH
MENJELANG matahari terbenam,
di balik sebuah bukit terkembang melayang di udara. Pada gagang payung berwarna
merah kelihatan bergantung seorang gadis berpakaian merah. Dia bukan lain
adalah Puti Andini, gadis dari tanah seberang yang telah menolong Wiro dari
bahaya maut akibat pukulan makhluk raksasa jejadian yang keluar kepala Tiga
Bayangan Setan.
Begitu mendarat di lereng
bukit gadis itu tancapkan payung merahnya di tanah sementara payung payung lain
melayang turun lalu menancap sendiri sendiri di tanah bukit itu. Wajahnya
tampak napas panjang seolah ada yang disesalinya.
Sejak beberapa waktu lalu
sebenarnya dia telah menguntit Pendekar 212 Wiro Sableng terus menerus secara
diam diam. Sesuai tugas yang diberikan guru gurunya dia harus mendapatkan Kitab
Putih Wasiat Dewa. Menurut sang guru hanya Wiro yang akan mengetahui dimana
beradanya kitab sakti itu. Begitu kitab berada di tangan Wito dia harus
merampasnya, bahkan sesuai perintah sang guru dia harus membunuh pemuda itu
jika Wiro tidak mau menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Ketika Wiro mendapat
celaka dihantam Tiga Bayangan Setan di bukit di luar Kartosuro itu sebabnya dia
tolong menyelamatkan sang pendekar agar kelak Wiro bisa membawanya ke tempat
dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu. Namun pertemuan dengan Wiro
Sableng telah membawa kesan mendalam pada diri si gadis ini. Dia memang harus
mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa itu, tapi apakah dia harus membunuh Wiro?
Hati kecilnya secara jujur mengatakan bahwa dia tidak akan memiliki rasa tega
untuk melaksanakan hal itu.
Penguntitan yang dilakukan
Puti Andini membawanya ke muara Kali Opak.
Namun dia tidak segera dapat
mengikuti Wiro ketika pemuda ini memasuki perahu putih bersama nelayan aneh
bercaping dan mengenakan cadar penutup wajah. Dia mengalami kesulitan
mendapatkan perahu. Untuk terbang di laut terbuka seperti itu tidak bisa
dilakukannya karena pasti Wiro akan melihatnya. Dia menunggu sampai perahu
putih tumpangan Wiro berada agak jauh di tengah laut. Ketika akhirnya dia meninggalkan
pantai bersama payung payungnya di tengah laut hanya ditemuinya pecahan papan
perahu putih, terombang ambing kian kemari dipermainkan ombak.
Wiro dan juga pemilik perahu
putih itu tidak kelihatan sama sekali.
“Apa yang terjadi dengan
dirinya?” membatin Puti Andini. “Perahunya
tenggelam? Tapi tak ada badai
di laut. Atau hancur dihantam ikan buas….? Mungkin ditelan pusaran ombak
seperti yang pernah dijelaskan seorang nelayan itu?” Puti Andini menarik napas
panjang. “Aku harus berkemah di sini. Aku akan menunggunya sampai dia muncul
lagi. Aku tidak yakin dia telah menemui ajal. Pendekar cerdik seperti dia punya
seribu satu akal untuk menyelamatkan diri….”
Lebih dari seminggu menunggu
Wiro tak kunjung muncul. Puti Andini kini benar benar gelisah. “Kalau aku
sampai kehilangan jejaknya berarti aku tak bakal mendapatkan Kitab Putih Wasiat
Dewa itu untuk selama lamanya…..Lebih baik aku bersiap menyelidik. Aku harus
mencari perahu sewaan. Kalau tak ada yang mau menyewakan terpaksa aku mencuri.
Di tengah laut aku bisa menyelidik lebih seksama dengan menggunakan payung
terbang….”
Berpikir sampai disitu si
gadis segera melipat tujuh payungnya. Ketika dia hendak memasukkan payung
payung itu ke dalam kantong perbekalan besar tiba tiba dia mendengar suara
derap kaki kuda mendatangi.
“Ada dua penunggang kuda…”
kata Puti Andini dalam hati yang bertelinga tajam dan segera tahu berapa orang
yang mendatanginya. Dia tak menunggu lama. Dua penunggang kuda itu segera
muncul dari balik lereng bukit di depannya. Kejut si gadis bukan alang
kepalang. Dia memang belum pernah bertemu muka dengan kedua orang itu. Tapi
dari tampang dan dandanan keduanya dia segera tahu tengah berhadapan dengan
siapa. Puti Andini bersikap tenang namun penuh waspada.
“Amboi! Dara cantik yang kita
cari rupanya tengah bersiap pergi. Sobatku, untung kita tidak terlambat!” kata
penunggang kuda di sebelah kanan. Dia bukan lain adalah Tiga Bayangan Setan
tang begitu selesai bicara terus malompat turun dari punggung kudanya. Saudara
angkatnya yaitu Elang Setan menyusul turun dari kuda.
Begitu menjejak tanah Elang
Setan cepat mendekati Tiga Bayangan Setan dan berbisik.
“Aku tidak menyangka orang
yang kita cari ini ternyata seorang gadis cantik rupawan! Dengar Tiga Bayangan
Setan kalau urusan dengan dia selesai aku tidak akan melepaskannya begitu saja.
Dia perlu menghibur diriku barang dua tiga hari!”
“Pikiran kotormu sama dengan
otak iblisku!” jawab Tiga Bayangan Setan dengan berbisik pula. “Malah aku ada
rencana. Kalau kita tidak dapatkan kepala Pendekar 212, gadis ini kita bawa dan
serahkan pada Pangeran Matahari. Dia pasti senang dan syukur syukur mau
menganggap gadis ini sebagai pengganti kepala Pendekar 212!”
“Rencana bagus…!” kata Elang
Setan lalu mendahului melangkah mendekati Puti Andini.
“Kalian siapa dan ada
keperluan apa?” menegur Puti Andini dengan sikap tenang walau hatinya berdebar.
Sebagai gadis persilatan yang belum lama dilepas turun gunung oleh gurunya
tampang tampang angker dua manusia di depannya mau tak mau membuat hatinya
berdebar juga. Apalagi dia sudah tahu sebelumnya tentang tindak tanduk dan
segala keganasan mereka.
“Dengan senang hati kami
memperkenalkan diri,” kata Elang Setan pula. “ Aku yang buruk rupa tapi berhati
emas ini biasa disebut dengan panggilan Elang Setan!”
Habis berkata begitu Elang
Setan membungkuk seraya melambaikan tangan kanannya dari kiri ke kanan. Sinar
hitam kemerahan membersit keluar dari kuku kuku jarinya yang panjang panjang.
Lalu dia menuding dengan ibu jarinya ke arah Tiga Bayangan Setan.
Tiga Bayangan Setan tertawa
lebar. Setelah kedip kedipkan mata kanannya yang besar dia pun membungkuk
sambil berkata. “Aku yang jelek ini dikenal dengan julukan Tiga Bayangan Setan!
Kami berdua adalah saudara angkat. Kalau kami boleh bersombong diri seantero
daratan sekitar sini dari utara sampai selatan adalah dibawah kekuasaan dan
pengawasan kami. Itu sebabnya begitu tahu ada seorang dara cantik berkepandaian
tinggi berada di tempat ini, sebagai tuan rumah yang baik kami layak menyambut
mengucapkan selamat datang….”
“Hemmmm… pasti mereka melihat
aku waktu turun di bukit di luar Kartosuro tempo hari. Kalau dulu mereka
sengaja melarikan diri dan kini sengaja mendatangi berarti mereka mengandung
maksud tertentu…” kata Puti Andini dalam hati.
“Terima kasih atas budi baik
kalian yang mau mencariku. Terima kasih untuk ucapan selamat datang…” kata si
gadis seraya tersenyum manis yang membuat Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan
jadi blingsatan mabuk kepayang.
“Kami lihat kau tengah bersiap
untuk pergi. Kami harap tak usah terburu buru.
Kami ingin menanyakan sesuatu
padamu. Jika urusan bisa selesai dengan cepat kami akan mengundangmu ke puncak
Gunung Merapi,” ujar Elang Setan pula dan dia maju lagi dua langkah hingga
jaraknya dengan Puti Andini hanya terpisah lima langkah kini.
“Ah, kalian benar benar tuan
rumah yang baik. Pertanyaan apa yang hendak kalian ajukan?” bertanya Puti
Andini seraya menyusun tujuh buah payung yang ada dalam kantong perbekalan
sebelum dipikulnya di punggung.
“Beberapa waktu lalu terjadi
satu peristiwa besar di satu lereng bukit di luar Kartosuro. Pendekar kawakan
dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng menemui
kematian di tempat itu…”
Puti Andini menunjukkan wajah
pura pura terkejut. “Pasti matinya bukan karena sakit. Seseorang telah
membunuhnya!”
Elang Setan anggukan kepala.
“Jika seseorang sehebat
Pendekar 212 dibunuh orang, pasti yang membunuhnya seorang berkepandaian sangat
tinggi. Kalian tahu siapa yang membunuh tokoh silat muda itu?”
“Itulah yang kami ingin tahu!”
jawab Elang Setan.
“Selain itu,” menyambung Tiga
Bayangan Setan, “Kami mendapat tugas dari seorang yang sangant dekat dengan
Pendekar 212 untuk mencari jenazahnya guna diurus lalu disemayamkan sebaik
baiknya.”
Puti Andini angguk anggukkan
kepalanya beberapa kali lalu bertanya.”Lantas hal apa yang kalian harapkan
dariku?”
“Kalau kami tidak salah, pada
waktu kejadian itu kau terlihat berada di sekitar bukit. Mungkin bisa memberi
keterangan apa yang terjadi dengan mayat Pendekar 212…”
“Hemm… Aku memang turun ke
bukit itu. Memang kulihat banyak mayat bertebaran di sekitar sumur batu.
Kebanyakan sudah pada busuk. Namun aku tidak melihat mayat Pendekar 212 atau
yang punya ciri ciri seperti dia. Mungkin…Hemmm…” Puti Andini pura pura
berpikir pikir.
“Mungkin apa?” tanya Tiga
Bayangan Setan.
“Waktu masih melayang di
udara, aku melihat ada dua orang terburu buru meninggalkan lereng bukit. Salah
satu diantara mereka memanggul sesosok tubuh.
Mungkin sekali dua orang itu
yang membawa mayat Pendekar 212. Sayang aku tidak menyelidik lebih jauh…”
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan jadi saling pandang mendengar kata kata Puti Andini itu. Tentu saja
mereka tidak mau menceritakan bahwa dua orang yang terlihat lari itu adalah
mereka sendiri yang tengah membawa sosok Bidadari Angin Timur.
“Baiklah, kalau kau memang
tidak tahu apa apa menyangkut mayat Pendekar 212,” kata Tiga Bayangan Setan
pula. “Sekarang bagaimana dengan undangan kami untuk membawamu ke puncak Gunung
Merapi?”
“Gunung Merapi cukup jauh dari
sini. Memangnya ada pesta apa di sana hingga mengundang segala?”
Elang Setan dan Tiga Bayangan
Setan tertawa gelak gelak. “Sama sekali tidak ada pesta atau hajat apa pun di
sana!” jawab Elang Setan. “Kami membawamu ke sana karena ingin memperkenalkan
dirimu dengan seorang tokoh luar biasa dunia persilatan!” Sambil bicara Elang
Setan maju dua langkah.
“Hemmm… siapakah gerangan
tokoh luar biasa yang kau maksudkan itu?” tanya Puti Andini.
“Pernah mendengar nama
Pangeran Matahari?” ujar Tiga Bayangan Setan.
“Pangeran Matahari!” seru Puti
Andini. “Siapa tidak kenal dengan raja diraja dunia persilatan itu! Namanya
tembus sampai ke pulau kediamanku di tanah seberang!”
“Nah kepadanyalah kami akan
mempertemukan dirimu….”
“Sungguh menyenangkan dapat
bertemu denga tokoh seperti Pangeran Matahari. Tapi apakah rencana itu tidak
bisa ditunda dulu? Untuk bertemu dengan orang sehebat dia aku yang tolol ini
tentu perlu persiapan agar tidak kikuk jika berhadapan!”
Tiga Bayangan Setan mengulum
senyum. “Pangeran Matahari orangnya sangat baik. Dia tidak pernah memandang
rendah siapa pun. Sekali kau bertemu dia pasti akan tertarik. Dia mudah
bersahabat dengan siapa saja. Disamping itu wajahnya sangat gagah. Dia gagah
kau cantik. Sungguh cocok!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan tertawa gelak gelak. Puti Andini tersipu sipu lalu berkata, “Harap
dimaafkan, saat ini aku punya tugas yang harus dijalankan.
Bagaimana kalau kita bertemu
lagi di sini selang tiga puluh hari di muka. Aku pasti akan mengikuti kalian.
Jangankan ke puncak Gunung Merapi, ke Puncak Mahameru pun aku mau pergi.
Apalagi bersama orang orang gagah seperti kalian berdua….”
“Ah, sayang sekali….” Kata
Tiga Bayangan Setan.
“Ya… sayang sekali kalau kami
terpaksa memaksa!” ujar Elang Setan pula seraya maju lagi dua langkah. Pada
jarak hanya tinggal satu langkah dari hadapan Puti Andini orang ini melompat
sambil susupkan satu totokan ke dada si gadis!
*
* *
DELAPAN
Puti Andini yang sejak tadi
tadi memang telah berwaspada begitu melihat gerakan orang cepat segera berkelit
ke samping sambil angkat kantong perbekalannya dan meletakkannya di punggung.
Melihat gerakan si gadis mau tak mau Tiga Bayangan Setan jadi terkesiap.
Mengelakkan serangan saudara angkatnya saja merupakan satu hal yang tidak
mudah. Tapi si gadis melakukannya sambil mengangkat barang yang kelihatannya
cukup berat. Dan dia jadi lebih terkejut sewaktu Puti Andini membuat gerakan
berputar dan tahu tahu kaki kanannya menyambar ke muka Elang Setan. Kalau
lelaki ini tidak lekas mengelak pasti rahangnya sudah dimakan tendangan Putiu
Andini!
Tiga Bayangan Setan cepat
melompat pegangi pundak saudara angkatnya yang saat itu hendak kembali
menyerang. Bukan hanya sekedar menotok tapi akan pergunakan jari jari tangannya
yang berkuku panjang.
“Sabar sedikit Elang Setan.
Sobat cantik ini masih bisa kita atur…” Lalu sambil berdehem dan cengar cengir
Tiga Bayangan Setan berkata. “Harap maafkan saudaraku yang memang punya sifat
tidak sabaran dan lekas naik pitam….”
Puti Andini tertawa. “Aku
sudah tahu sandiwara kalian. Mengapa musti berpura pura…?!”
“Gadis cantik, kami tidak
berpura pura. Kami memang ingin mempertemukanmu dengan Pangeran Matahari untuk
maksud baik! Kalau kalian berjodoh dengan dia, kami tentu dapat pahala juga.
Ha…ha….ha…!”
“Kalian tidak lebih daripada
iblis bermuka setan! Pangeranmu itu tidak lebih baik dari kalian! Dengar…. Aku
melihat warna aneh pada bibir kalian! Di dalam tubuh kalian pasti ada sejenis
racun jahat yang perlahan lahan tetapi pasti akan membunuh kalian berdua.
Mungkin ada hubungannya dengan maksud kalian mencari mayat Pendekar 212 dan
mengajakku ke puncak Gunung Merapi?!”
Dua orang di hadapan Puti
Andini sama sama terkesiap mendengar ucapan si gadis. Keduanya tak habis pikir
bagaimana gadis itu bisa mengetahui keadaan diri dan maksud mereka.
“Selagi hari masih siang
sebaiknya kalian lekas angkat kaki dari hadapanku!”
“Ah, gadis cantik ini rupanya
tak bisa diatur!” kata Tiga Bayangan Setan.
“Kalau begitu biar kita gebuk
dan pegangi di tempat ini juga!” ujar Elang Setan sambil menyeringai lebar.
“Kau betul, tapi jangan
terlalu keras memberi pelajaran padanya. Bagaimana kalau kau pergunakan kuku
kuku jarimu untuk merobek pakaian dan menelanjangi tubuhnya terlebih dulu! Aku
ingin menyaksikan satu pemandangan bagus agar mataku tidak keburu lamur!
Ha…ha…ha…!”
Puti Andini sudah lama
mendengar riwayat dua manusia jahat ini. Karenanya selain berhati hati dia tak
mau memberi kesempatan. Sebelum Elang Setan menyerbu gadis ini berkelebat
hantamkan tangan kanannya ke arah dada lawan. Selarik angin dingin menyambar.
Elang Setan terkejut besar sewaktu tubuhnya menjadi huyung.
Cepat dia dorongkan tangan
kanannya ke depan. Lima larik sinar hitam kemerahan bertabur dari kuku
kukujarinya membuat angin serangan Puti Andini bersibak ke samping. Selagi
gadis ini memasang kuda kuda menyiapkan serangan baru, Elang Setan mendahului.
Puti Andini melihat sepuluh
sinar hitam kemerahan berkiblat di depan matanya. Si Gadis tak berani menangkis
ataupun membalas. Kedua kakinya dijejakkan ke tanah.
Seperti anak panah tubuhnya
melesat ke udara. Elang Setan yang tak mau melepaskan lawan begitu saja cepat
memburu. Kembali sepuluh sinar hitam merah melesat ke arah Puti Andini.
Sambil melompat tadi Puti
Andini gerakkan tangan kanannya ke punggung mencabut satu dari tujuh payung
yang ada dalam buntalan perbekalannya. Lalu terdengar suara “blepp!”
Elang Setan dan Tiga Bayangan
Setan terkejut ketika melihat di udara, di depan tubuh gadis berbaju merah itu
berputar sebuah benda bulat berwarna hijau. Ternyata Puti Andini telah
mengambil payung hijau dan sekaligus mengembangkannya. Begitu payung terkembang
jari jaritangannya disentakkan. Payung hijau berputar deras mengeluarkan deru
dahsyat.
Elang Setan berseru kaget
ketika melihat bagaimana putaran payung hijau menggulung serangan sepuluh
kukunya dan ketika si gadis mendorongkan payungnya ke depan sepuluh cahaya
hitam yang keluar dari kukunya itu membalik menghantam arahnya!
Sambil berteriak keras Elang
Setan jatuhkan diri ke tanah, berguling selamatkan diri. Begitu dia berguling
di bawah sosok Puti Andini secepat kilat dia melompat seraya lepaskan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Pada saat Elang Setan jatuhkan
diri Puti Andini lepaskan payung hijaunya.
Payung itu kini melayang
berputar putar du udara. Payung itu kini melayang berputar putar di udara.
Ketika lawan lewat di bawahnya si gadis cabut payung kedua yakni payung putih.
Begitu Elang Setan menyerang, payung putih menukik laksana kilat.
Payung mengembang dengan
bagian runcing menusuk ke arah bahu Elang Setan. Dalam keadaan marah karena
kedua kalinya serangannya gagal Elang Setan menjadi nekad. Dia kerahkan tenaga
dalam lebih banyak lalu menggebuk ke arah payung putih. Jotosannya yang laksana
palu godam masakan tidak sanggup menjebol payung putih yang hanya terbuat dari
kertas pikirnya. Tapi alangkah kagetnya Elang Setan ketika satu gelombang angin
yang keluar dari putaran payung putih membuat tangan kanannya seperti dipuntir.
Sebelum dia sempat melakukan sesuatu, pinggiran payung putih yang berputar
laksana gerinda raksasa itu menyambar ke arah pergelangan tangannya.
“Craaasss!”
“Breett!”
Elang Setan berteriak
kesakitan. Lengan pakaiannya yanga terbuat dari kain tebal robek besar. Pada
ujung robekan kelihatan cairan merah tanda daging lengannya ikut tersambar.
Sakitnya bukan main. Dengan muka sepucat mayat Elang Setan melompat mundur.
Melihat lawan terluka Puti Andini tidak mau memberi kesempatan. Gadis ini putar
payung putihnya dengan sebat. Bagian runcing di pertengahan payung laksana
ujung tombak yang berputar menusuk ke arah kening Elang Setan. Yang diserang
cepat menghindar. Tapi dia kecele. Serangan berupa tusukan itu ternyata hanya
tipuan belaka karena begitu Puti Andini menyentakkan gagang payung, laksana
kilat pinggiran payung putih menderu ke arah bahu tepat di pangkal leher Elang
Setan!
“Celaka!” jerit Elang Setan.
Seumur hidup manusia satu ini membunuh lawan lawannya yang berkepandaian tinggi
dengan cepat dan mudah. Tapi hari ini dia berhadapan dengan seorang gadis cantik
jelita, bersenjatakan payung dan dia tak mampu menghadapinya! Dalam keadaan
seperti itu tiba tiba datang lagi serangan Puti Andini. Si gadis pergunakan
payung hijaunya seolah tali gantungan. Tubuhnya diayun ke bawah. Kakinya
menyambar. “Bukkk!”
Elang Setan terhempas ke
tanah. Darah menyembur dari mulutnya akibat tendangan telak yang mendarat di
dadanya.
“Saatnya aku menghabisi
manusia setan satu ini!” ujar Puti Andini. Dengan kertakan rahang si gadis
sentakkan tangannya yang memegang payung hijau. Tubuhnya berputar membal. Lalu
dia membuat gerakan menukik. Ujung payung hijau dihujamkan ke batok kepala
Elang Setan.
“Tiga Bayangan! Tolong!”
teriak Elang Setan karena saat diserang dia tak mampu berbuat apa apa!
Tiga Bayangan Setan yang
memang sejak tadi memperhatikan jalannya mperkelahian dan tahu saudara
angkatnya berada dalam bahaya besar secepat kilat melompat. Dua tangannya
diulurkan untuk mencekal sepasang kaki Puti Andini yang masih mengapung di
udara. Serangan Tiga Bayangan Setan bukan serangan biasa. Sekali dia sempat
mencekal salah satu kaki si gadis, dia mampu menanggalkan kaki itu dari
persendiannya! Puti Andini bukan tidak maklum bahayanya serangan lawan kedua
itu. Dia terpaksa mencari selamat lebih dahulu. Serangan maut yang ditujukan pada
Elang Setan hanya merobek leher baju tebal lawan dan menggurat sedikit daging
bahunya.
Masih berada di udara Puti
Andini lipat ke dua kakinya lalu mencekal gagang payung hijau. Bersamaan dengan
itu payung putih dihantamkan ke arah kepala Tiga Bayangan Setan. Lawan yang
diserang keluarkan suara mendengus lalu menyusup ke balik putaran payung putih.
Puti Andini tersentak kaget
ketika melihat tahu tahu Tiga Bayangan Setan berada di balik putaran payung
putihnya dan menggempurnya dengan dua jotosan sekaligus!
Puti Andini tersentak tangan
kanannya.
“Cleeppp!”
Payung putih menguncup
kencang. Karena kepala Tiga Bayangan Setan berada di belakang payung tak ampun
lagi kepalanya amblas dalam kuncupan payung. Seperti diketahui manusia ini
memiliki kesaktian kebal segala macam pukulan sakti dan senjata tajam. Tapi
saat itu dia sama sekali tidak menerima pukulan ataupun tusukan senjata.
Yang mendapat serangan adalah
jalan pernapasannya karena kepalanya tersangkup payung. Dalam waktu singkat
kakinya melejang lejang kian kemari. Tangannya menggapai gapai coba memukul.
Namun saat itu Puti Andini telah melepaskan pegangannya pada payung hingga
sosok Tiga Bayangan Setan melayang berputar putar di udara.
“Jahanam! Kurang ajar! “
teriak Tiga Bayangan Setan terpengap pengap. Saat itu dia telah merapal aji
kesaktian ilmu paling diandalkannya yakni mengeluarkan tiga raksasa jejadian
dari batok kepalanya. Bersamaan dengan itu dia adukan tinjunya kiri kanan satu
sama lain seraya berteriak. “Hancurkan payung!”
Tiga guratan di kening Tiga
Bayangan Setan mengeluarkan sinar berkilauan.
Bersamaan dengan itu dari
kepalanya keluar kepulan asap!
Sebelumnya Puti Andini tidak
pernah berhadapan dengan Tiga Bayangan Setan.
Namun dia banyak tahu mengenai
ilmu iblis yang dimiliki manusia ini berdasarkan keterangan guru dan beberapa
tokoh silat di pulau Andalas. Dia sendiri tidak dapat memastikan apakah payung
yang menjadi senjata andalannya mampu menghadapi kesaktian lawan. Karenanya
begitu melihat ada kepulan asap keluar dari bawah payung serta merta dia
gerakkan tangan menarik gagang payung. Bersamaan dengan itu payung hijau
tempatnya bergantung digerakkan demikian rupa. “Clepp!” begitu payung hijau
menguncup si gadis tusukkan benda itu ke arah perut lawan. Sementara tangan
kirinya bergerak mengembangkan payung putih! Semua dilakukan dengan gerakan
secepat kilat.
Ketika tiga kepulan asap di
kepala Tiga Bayangan Setan mulai membentuk sosok tiga raksasa bermuka seram,
rambut riap riapan, taring mencuat sedang dada yang telanjang penuh bulu, Puti
Andini lipat gandakan tenaga dalam di tangan kanan dalam menusukkan payung.
“Wuttt!”
“Bukkk!”
“Kraaak!”
Ujung runcing payung hijau
mendarat di ulu hati Tiga Bayangan Setan dengan telak. Jubah hitamnya robek
besar. Tubuhnya terbanting ke tanah. Tapi tusukan payung itu tak mampu menembus
perutnya. Sebaliknya ujung runcing payung hijau patah, membuat Puti Andini
terbeliak kaget!
“Setan alas ini benar benar
memiliki ilmu kebal luar biasa! Terpaksa aku menghindari perkelahian lebih
jauh. Aku harus cepat cepat memperbaiki ujung payung yang patah. Urusan besar
menghadang di depanku!” Puti Andini cepat tarik tangan kanannya yang memegang
payung hijau. Lalu tangan kirinya disentakkan. Payung hijau berputar deras.
Tubuhnya melesat ke atas.
Di bawah sana Tiga Bayangan
Setan berteriak marah. “Kejar! Bunuh!”
Tiga sosok raksasa jejadian
melesat ke atas. Tiga pasang tangan mereka menghantam. Namun Puti Andini yang
bergantungan pada payung putih sudah terlalu tinggi untuk dikejar. Apalagi saat
itu dia telah sempat membuka tiga payung lagi untuk melindungi dirinya. Ilmu
kesaktian tiga raksasa angker yang keluar dari batok kepala Tiga Bayangan Setan
walaupun hebat luar biasa tapi mempunyai keterbatasan untuk menjangkau sasaran
yang terlalu jauh.
Tiga Bayangan Setan usap usap
perutnya yang tadi kena tusukan ujung payung hijau. Memandang ke udara dia
menggeram dan memaki pajang pendek. Saat itu dilihatnya Puti Andini tengah
mengembangkan payung merah lalu berpindah ke payung itu melayang makin jauh.
“Kita gagal besar!” kata Elang
Setan yang tegak di samping saudara angkatnya itu sambil mengepalkan tinju.
“Kita tak dapat mencari tahu apa yang terjadi atas mayat Pendekar 212. Kita
juga tak berhasil mendapatkan gadis itu! Apa akal sekarang?!”
Tiga Bayangan Setan usap bagian
kepalanya yang sulah. Mata kanannya yang besar dipejamkan. Dari lereng bukit
itu dia memandang ke tengah lautan. “Hanya ada satu cara untuk cari selamat.
Kau ingat Ki Ageng Unggulmulyo bekas juru rias Istana yang ahli membuat topeng
di Bantul itu…?”
Elang Setan tidak mengerti.
“Apa hubungan orang tua itu dengan urusan kita…?” tanyanya.
“Justru erat sekali!” jawab
Tiga Bayangan Setan. “Ayo kita ke sana sekarang juga!”
Ke dua orang itu segera
melangkah ke tempat mereka meninggalkan kuda masing masing.
*
* *
SEMBILAN
Dalam ruangan pertemuan yang
besar itu hanya terdapat dua buah kursi dari batu, terletak berhadapa hadapan
mengapit sebuah meja batu pualam yang di atasnya ada jambangan bunga. Baik
jambangan maupun bunganya terbuat dari sejenis kerang. Yang membuat bunga dari
kerang kelihatan menyerupai bunga hidup sungguhan.
Kursi batu sebelah kanan
selain lebih besar dan tinggi juga sebelah kanan selain besar dan tinggi juga
memiliki ukiran bagus berupa ikan lumba lumba besar yang tegak agak melengkung.
Bila seseorang duduk di atas kursi batu ini maka kepalanya seolah ditudungi
oleh kepala ikan. Wiro telah melihat kursi seperti itu di ruangan besar pada
pertama kali dia memasuki tempat itu. Kursi satunya yang di sebelah kiri
memiliki bentuk sama dengan sebelah kanan hanya saja kecil dan lebih rendah.
Seluruh ruangan tertutup tirai
tebal berwarna biru. Di langit langit ruangan sebelah tengah ada sebuah batu
putih aneh yang memancarkan cahaya berkilau. Cahaya dari batu inilah yang
menerangi seantero ruangan besar itu. Wiro menghirup napas dalam dalam. Ruangan
itu berbau wangi semerbak. Udaranya pun sejuk nyaman.
“Silahkan mengambil tempat
duduk di kursi sebelah kiri,” memberi tahu salah seorang dari empat gadis
berpakaian hitam ketat yang membawa Wiro ke ruangan itu.
“Ratu akan segera datang ke
tempat ini.”
Pendekar 212 anggukan kepala.
Emapt gadis kemudian menyelinap ke balik tirai biru dan lenyap. Wiro memandang
berkeliling lalu melangkah seputar ruangan. Setiap sudut diperiksanya. “Aneh,
dari mana jalan aku masuk tadi? Di mana pula bagian tempat empat gadis tadi
menyelinap pergi?” Setiap bagian tirai dibaliknya tapi dia hanya menemukan
dinding batu hitam. “Jangan janganaku telah kena jebak! Dijebloskan dalam
penjara yang keadaannya lebih lumayan dari Ruang Penantian terkutuk itu!
Hemmm…. Kalau benar aku
dipenjarakan lagi di tempat ini aku tak segan segan mengencinginya. Kalau perlu
aku akan buang hajat besar di sini! Biar tahu rasa!” Begitu murid Sinto Gendeng
berkata dalam hati sambil senyum senyum sendiri. Lalu dia berusaha mengingat
ingat telah berapa lama dia berada di tempat itu. Namun otaknya tak mampu
menduga. “Tempat celaka ini punya hitungan hari aneh dengan dunia luar sana….”
Lalu tiba tiba saja murid Sinto Gendeng menjadi kecut. “Bagaimana kalau aku
tidak pernah keluar selama lamanya dari tempat ini?” Wiro garuk garukkepalanya
berulang kali. Teringat dia pada tugas penting mendapatkan Kitab Putih Wasiat
Dewa yang sampai saat ini masih gelap dimana beradanya. “Nelayan berpenyakit
cacar sialan itu…” maki Wiro. “Hampir putus tanganku disambar ikan hiu!” Wiro
perhatikan lengan kanannya yang pernah luka. Tiba tiba terbayang wajah cantik
Bidadari Angin Timur di pelupuk matanya. “Gadis itu…Akutak dapat melupakannya.
Waktu berdua duaan di dalam telaga…. Bidadari, dimana kau saat ini? Aku kangen
sekali padamu….”
Tiba tiba tirai biru di
dinding sebelah kanan tersingkap.
“Bidadari Angin Timur, kaukah
itu….?” Karena tengah mengenang gadis yang dirindukannya itu, ucapan itu lepas
begitu saja tanpa disadari Pendekar 212. Ketika dia berpaling ke kanan yang
tegak di tempat itu memang seorang perempuan secantik bidadari. Mengenakan
pakaian sangat ketat terbuat dari manik manik berwarna merah berkilauan yang
pada bagian dada serta pinggulnya terbelah. Di tangan kanannya dia mendadak
bertambah harum oleh bau Ratu Duyung yang baru masuk.
“Kau menyebut nama
seseorang….” Ujar Ratu Duyung.
“Ah, maafkan aku…” kata Wiro
garuk garuk kepala.
“Kau tengah melamuni
seseorang….”
Wiro tertawa lebar. Kembali
dia garuk garuk kepala.
Ratu Duyung melangkah mundar
mandir di hadapan Wiro beberapa lamanya.
Sesekali dia melirik ke arah
pemuda itu dan diam diam mengakui walau sepintas pemuda ini seperti orang tolol
suka cengengesan tapi wajahnya ternyata tampan.
Apalagi kini kulitnya telah
kembali ke bentuk asli. Wiro sendiri diam diam memperhatikan kebagusan tubuh
sang Ratu dengan mata tak berkesip.
Walau mengagumi Pendekar 212,
Ratu Duyung tidak menyembunyikan rasa sukanya melihat sikap seenaknya murid
Sinto Gendeng. Dalam hati dia menggerendeng.
“Pemuda satu ini benar benar
kurang ajar. Dia duduk di kursi batu dimana seharusnya aku duduk. Aku harus
menegurnya. Mengingat dia sekarang merupakan sebagai tamu yang kuhormati,
bagaimana caranya menyuruhnya berdiri dari kursi itu tanpa merasa tersinggung.
Hemmm….”
Sambil terus melangkah Ratu
Duyung bertanya. “Mungkin anak buahku yang mengantar kau ke sini lupa memberi
tahu dimana kau harus duduk….”
“Astaga!” Wiro pura pura
terkejut. “Maafkan aku! Anak buahmu memang memberi tahu. Tapi aku sedang kacau
pikiran hingga lupa….”
Wiro berdiri dari kursi batu
besar. Sandaran dan bagian kursi yang barusan didudukinya dibersihkannya dengan
tangan. Lalu dia membungkuk mempersilahkan sang Ratu duduk. Ratu Duyung jengkel
ada geli juga ada melihat kelakuan pemuda itu.
Wiro menunggu sampai sang Ratu
duduk di kursi batu besar dia kemudian ddudk di kursai batu yang kecil.
“Kau mengatakan sedang kacau
pikiran….” Ratu Duyung membuka pembicaraan.
“Betul sekali….” Jawab Wiro
polos.
“Pikiran kacau adalah salah
satu sumber kelemahan manusia yang bisa membawa kelengahan, mengundang
datangnya malapetaka….”
“Aku memang telah berlaku
lengah dan menghadapi malapetaka…. Aku tidak tahu apa artinya aku berada di
ruangan ini. Mungkin ini salah satu bentuk lain dari penjaramu….?”
Ratu Duyung tersenyum. “Kau
pernah berbuat salah, ditawan dan dihukum. Tapi sekarang kau kembali sebagai
tamu yang kami hormati…..”
“Kalau begitu aku mengucapkan
terima kasih. Terima kasihku banyak sekali untukmu Ratu. Kau telah
menyelamatkan aku waktu tenggelam di laut. Mengobati luka sambaran ikan hiu di
lenganku. Mengembalikan sepasang mataku. Entah kebaikan apa lagi yang akan
kuterima darimu. Jangan terlalu banyak membagi kebaikan padaku Ratu Duyung. Aku
khawatir tak dapat membalas semua budi baikmu itu…”
Ratu Duyung berpura pura
mengusap hidung dan mulutnya. Padahal dia tengah berusaha menyembunyikan tawa
mendengar semua ucapan Wiro tadi.
“Ratu, aku mendapat penjelasan
dari anak buahmu bahwa kau hendak memberikan wasiat padaku. Jika ini benar
tentu saja aku ingin tahu wasiat apa. Namun jika itu tidak betul, aku mohon
bisa meninggalkan tempat ini secepatnya. Selama berada di sini banyak pelajaran
baik yang telah kudapat. Aku sekali lagi mengucapkan terima kasih….”
Ratu Duyung letakkan cermin
bulatnya di pangkuan lalu berkata. “Sewaktu sobatmu Dewa Ketawa berada di sini,
kami sudah mengetahui kalau kau membekal satu tugas besar dan berat. Mencari
sebuah kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa….”
Wiro mengangguk. “Bagaimana
Ratu bisa mengetahui. Padahal Ratu jarang sekali meninggalkan tempat ini….”
Ratu Duyung mengambil cermin
bundar di pangkuannya. “Hampir semua yang terjadi di luaran, dalam kejauhan
tertentu bisa kupantau lewat cermin sakti ini. Waktu kau masih di pantai, sibuk
mencari perahu tumpangan, aku dan Dewa Ketawa sudah melihat gerak gerikmu lewat
cermin ini….”
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi
ternganga saking herannya mendengar keterangan itu. Matanya memandang tak
berkesip pada cermin yang ada di tangan sang Ratu.
“Kalau begitu….” Wiro garuk
garuk kepalanya.
“Aku tahu apa lanjutan
ucapanmu Pendekar 212. Kau pasti menduga aku mengetahui dimana beradanya Kitab
Putih Wasiat Dewa itu…..”
“Betul sekali! Dapatkah kau
melihat ke dalam cermin dan memberi tahu padaku?”
“Banyak hal bisa dilihat lewat
cermin ini. Tapi betapapun hebatnya sebagai benda fana cermin ini tetap
memiliki keterbatasan. Cermin ini tidak mampu mengetahui dimana beradanya Kitab
Putih Wasiat Dewa….”
Wiro Sableng menarik napas
dalam. Wajahnya tampak kecewa.
“Jangan lekas putus asa
Pendekar 212. Cerminku memang tidak bisa mengetahui langsung. Ini disebabkan
karena Kitab Putih Wasiat Dewa itu bukan sembarangan.
Kekuatannya yang dahsyat
membuat cermin saktiku tidak mampu melakukan sambung getar secara sempurna.
Namun secara tersamar dimana kemungkinan beradanya kitab itu. Selain itu jauh
sebelum kau dan kawanmu Dewa Ketawa datang kemari aku sudah mengetahui sedikit
cerita tentang asal muasal kitab itu….”
Wiro ingat pada penjelasan
Ratu Duyung pada hari pertama dia berada di tempat itu. “Aku ingat, pada hari
pertama aku di sini Dewa Ketawa mengatakan kalau Kitab Putih Wasiat Dewa itu
berasal dari daratan Tiongkok. Apa betul….?” Ratu Duyung mengangguk.
“Berarti apapun yang tertulis
dalam kitab itu dalm huruf cina? Wah… Bagaimana mungkin aku bisa membacanya!”
ujar Wiro seraya garuk garuk kepala.
“Pendekar 212, melihat kitab
itu saja kau belum. Tahupun beradanya dimana kau belum! Mengapa sudah memikir
segala macam isinya?” ujar Ratu Duyung pula.
“Kalau tidak dipikirkan dari
sekarang, seandainya aku nanti dapatkan kitab itu percuma saja. Atau kau
mungkin bisa membaca menjadi juru bahasaku?” Ratu Duyung tersenyum.
“Hemmm…senyum itu membuat
wajahnya tambah cantik. Tapi menurutku Bidadari Angin Timur jauh lebih
cantik….”
“Pendekar 212, agar jelas
bagimu biar aku ceritakan asal usul yang kuketahui mengenai buku itu,” kata
Ratu Duyung. Lalu sang Ratu menuturkan.
Sekitar satu abad yang silam
seorang sakti di tanah Jawa diundang oleh Raja Tiongkok untuk berkunjung ke
daratan Cina. Selain menjalin persahabatan juga direncanakan untuk saling tukar
ilmu kepandaian. Orang sakti itu konon dipanggil dengan sebutan Kanjeng Sri
Ageng Musalamat. Entah apa sebabnya Sri Ageng Musalamat dan rombongan tak pernah
ke tanah Jawa. Kabarnya dia bermukim di Tiongkok, kawin dengan penduduk
setempat dan menjadi salah seorang tokoh silat sangat disegani.
Karena ilmunya yang tinggi
maka Kaisar sering meminta bantuan Sri Ageng Musalamat termasuk para anak buah
perguruannya, terutama dalam menumpas gerombolan penjahat yang bertebaran
hampir di setiap pelosok pada masa itu.
Hubungannya yang dekat dengan
Kaisar membuat banyak pejabat tinggi merasa iri dengki terhadap Sri Ageng
Musalamat. Maka disusunlah satu rencana busuk. Dengan menggunakan surat surat
palsu Sri Ageng Musalamat difitnah berkomplot membantu kaum pemberontak bangsa
Mongol untuk menumbangkan Kaisar Tiongkok yang berkuasa. Kaisar marah besar.
Sri Ageng Musalamat ditangkap dan dijatuhi hukuman pancung. Anak buah dan murid
muridnya ditumpas habis.
“Namun ada seorang yang
selamat,” kata Ratu Duyung melanjutkan penuturannya. “Orang ini bernama Ki Hok
Kui. Pada waktu itu meski baru berusia sekitar tiga puluh tapi boleh dikatakan
dia sudah mewarisi hampir seluruh kepandaian Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Rimba
persilatan Tiongkok memberinya gelar hebat yaitu Tiat Thow Houw yang berarti
Harimau Kepala Besi. Pada waktu Sri Ageng Musalamat dan para murid serta anak
buahnya yang ratusan jumlahnya dibantai, Ki Kok Kui sedang mengadakan
perjalanan di daratan timur Tiongkok. Ketika orang orang yang dengki itu
mengetahui Ki Kok Kui masih hidup, mereka merasa sangat khawatir kalau kalau
satu satunya anak murid Sri Ageng Musalamat ini akan melakukan balas dendam.
Selain itu orang orang tersebut juga kasak kusuk mencari sebuah kitab sakti
milik Sri Ageng Musalamat yang tidak berhasil ditemukan. Kitab itu adalah Kitab
Putih Wasiat Dewa, sebuah kitab berisi ilmu langka hampir tanpa tandingan.
Orang orang itu sama memastikan bahwa kitab itu berada di tangan Ki Hok Kui.
Maka satu rombongan besar dikirim ke timur untuk mencarinya. Ki Hok Kui alias
Harimau Kepala Besi dihadang di dekat Nanchang. Namun berkat pertolongan
seorang sahabat dia berhasil meloloskan diri lewat anak sungai Yang Tse Kiang
dan menghilang di pantai timur Tiongkok sekitar Seochow….”
“Berarti kitab ilmu sakti
masih berada di daratan Tiongkok,” ujar Wiro sambil manatap tajam pada Ratu
Duyung.
Sang Ratu menggeleng.
“Seperti aku ceritakan tadi
Harimau Kepala Besi Ki Hok Kui adalah murid kesayangan Sri Ageng Musalamat,
merupakan murid paling pandai dan mewarisi hampir semua ilmunya. Disamping itu
dari sang guru di juga belajar bahasa Jawa kuno. Karena itu dia mampu membaca
isi Kitab Putih Wasiat Dewa….”
“Jadi, kitab sakti itu ditulis
dalam bahasa Jawa kuno?” tanya Wiro ingin menegaskan.
“Betul sekali,” jawab Ratu
Duyung.
“Lalu apa betul kitab itu ada
di tangan si Harimau Kepala besi?” tanya Wiro lagi.
“Rupanya Kanjeng Sri Ageng
Musalamat seolah punya firasat bahwa satu malapetaka besar akan terjadi atas
dirinya, keluarga serta anak buah dan anak murid perguruannya. Maka tanpa ada
orang lain yang tahu Kitab Putih Wasiat Dewa diserahkannya pada Tiat Thow Houw
alias Harimau Kepala Besi….”
“Berarti orang ini sudah
membaca isinya dan mempelajarinya!” ujar Wiro.
“Hal itu tidak bisa
dipastikan. Yang jelas selama dia memegang kitab sakti itu dia selalu diburu
oleh orang orang Kaisar yang jahat….” jawab Ratu Duyung, lalu meneruskan .
“Suatu hari sahabat yang pernah menolong Ki Hok Kui melarikan diri tertangkap.
Setelah disiksa akhirnya dia memberi tahu dimana bersembunyinya murid Sri Ageng
Musalamat itu. Si sahabat kemudian dibunuh secara keji. Tempat persembunyian Ki
Hok Kui digerebek. Terjadi pertempuran hebat. Kabarnya sebelum berhasil
meloloskan diri Harimau Kepala Besi berhasil membunuh perwira tinggi pemimpin
pasukan pengejar itu. Ikut tewas dua orang tokoh silat serta beberapa orang
prajurit. Orang orang Kaisar marah besar. Bala bantuan didatangkan. Sementara
Ki Hok Kui melarikan diri menuju muara sungai. Dari sini dengan sebuah jukung
dia mengarungi lautan luas. Tujuannya hanya satu menuju tanah Jawa. Sulit
dipercaya hanya dengan sebuah perahu kecil Ki Hok Kui mampu mengarungi samudera
luas dengan membawa satu benda sangat berharga. Rupanya orang orang Kaisar
berhati culas masih belum puas. Mereka terus menyelidik. Beberapa hari kemudian
mereka berhasil mengetahui bahwa Ki Hok Kui telah kabur dengan sebuah jukung.
Satu kapal kayu besar disiapkan untuk mengejar. Karena dia bukan seorang pelaut
maka Ki Hok Kui tidak pernah mencapai pantai utara pulau Jawa tempat kelahiran
gurunya tapi justru tersesat ke pantai selatan. Dekat sebuah pulau orang orang
Kaisar berhasil mengejarnya. Setelah terjadi perkelahian hebat dan perahu kecilnya
tenggelam Ki Hok Kui berenang ke daratan pulau terdekat. Orang orang Kaisar
terus memburu. Entah apa yang terjadi Ki Hok Kui kemudian lenyap di pulau
itu….”
Mungkin dia terbunuh dan Kitab
Wasiat itu dirampas oleh orang orang Kaisar?” ujar Wiro.
“Tidak ada petunjuk yang
menunjang dugaan itu. Kabarnya orang orang Kaisar kembali dengan kecewa besar.
Mereka tidak menemukan Ki Hok Kui, juga kitab sakti yang diburu buru. Ki Hok
Kui sendiri tidak pernah terdengar kabar beritanya lagi….” Wiro termenung sesaat.
Dia ingat pada buku lilin yang ada di ruangan besar.
“Lalu apa hubungan buku lilin
yang ada di tempatmu ini dengan kitab yang asli?” bertanya Wiro.
“Aku pernah mendapat mimpi,
melihat kitab itu. Walaupun samar samar aku berusaha membuatnya. Siapa tahu aku
berjodoh dengan kitab itu walau aku tidak menginginkannya….”
“Susah juga mencari kitab
wasiat itu…” kata Wiro sambil garuk garuk kepala.
“Ratu, apa kau tidak punya
petunjuk lain yang bisa menolong? Aku ditugaskan oleh tiga tokoh silat tanah
Jawa untuk mendapatkan buku itu karena kabarnya ada satu kitab tandingan
bernama Kitab Wasiat iblis yang jika jatuh ke tangan orang jahat pasti dia akan
menguasai dunia persilatan dengan semena mena. Hanya Kitab Putih Wasiat Dewa
yang agaknya mampu menghadapi Kitab Wasiat Iblis itu….”
“Aku akan coba melihat mundur
pada hari hari sebelum kau muncul dan menjelang kedatanganmu ke sini,” jawab
Ratu Duyung. Lalu diambilnya cermin sakti yang ada di pangkuannya.
*
* *
SEPULUH
Ratu Duyung menatap paras
Pnedekar 212 sesaat lalu berkata. “Aku akan melihat ke dalam kaca sakti dan
mengatakan apa yang aku lihat. Selama aku melakukan itu jangan sekali kali
mengeluarkan suara atau bertanya. Kau mengerti Pendekar 212?” Wiro anggukkan
kepala.
Sang Ratu memandang ke dalam
cermin bulat. Perlahan lahan sepasang matanya yang biru bagus dipejamkan.
“Ini aneh lagi…” membatin Wiro
yang memperhatikan. “Yang namanya melihat itu dua mata mustinya dibuka lebar
lebar, dia justru pejamkan ke dua matanya!”
“Aku melihat sebuah bukit di luar
Kartosuro…” mulut sang Ratu terbuka dan ucapan itu meluncur dari mulutnya. “Ada
dua orang bermuka iblis di dekat sumur.
Tampaknya mereka sengaja
berjaga jaga….”
“Itu pasti Tiga Bayangan Setan
dan Elang Setan!” kata Wiro dalam hati.
“Orang ke tiga muncul. Tinggi
tegap, berwajah gagah tapi congkak. Dia mengenakan mantel hitam. Mereka
bercakap cakap…. Ah, terjadi perkelahian. Dua lawan satu….”
“Orang tinggi tegap… berwajah
congkak. Mengenakan mantel hitam…. Siapa lagi kalau bukan….”
“Orang yang barusan datang
menyibakkan bagian depan mantelnya. Aku melihat… aku melihat ada gambar gunung
dan matahari pada bagian dada bajunya….”
Dugaanku tidak meleset!
Manusia itu ternyata memang benar anjing jahanam berjuluk Pangeran Matahari!”
Wiro kepalkan ke dua tinjunya lalu pasang telinga mendengarkan kelanjutan
keterangan Ratu Duyung.
“Ada kepulan asap. Ada tiga
sosok raksasa keluar dari kepala salah seorang pengeroyok. Orang bermantel
terdesak hebat. Hampir celaka…. Tapi tidak. Dia berhasil menotok tubuh lawan.
Lalu…. Orang bermantel masuk ke dalam sumur….” Sampai di sini Ratu Duyung
berhenti berucap. Lama Wiro menunggu hampir hampir dia tak sabaran membuka
mulut hendak bertanya. Namun sesaat kemudian tampak bibir merah sang Ratu
membuka.
“Muncul seorang nenek berjubah
kuning yang mukanya dirias tak karuan.
Perempuan ini melepaskan
totokan dua orang di tepi sumur. Sekarang muncul kembali orang bermantel. Dia
keluar dari dalam sumur. Terjadi keributan. Si nenek menyerang orang bermantel.
Dari dada orang bermantel melesat satu cahaya angker berwarna hitam. Tubuh si
nenek mencelat. Tergelimpang di tanah. Tewas mengerikan dengan tubuh jadi
tulang belulang hangus gosong!”
“Tidak salah dugaan para
tokoh!” kata Pendekar 212 dalam hati. “Kitab Wasiat Iblis telah dikuasai oleh
Pangeran Matahari!” Wiro menarik napas dalam dan melihat sepasang mata biru
Ratu Duyung terbuka. Wajahnya yang cantik keringatan. Dia mengeluarkan sehelai
sapu tangan lalu menyeka keringat pada bagian kening bawah mata serta dagu.
“Ratu, turut keteranganmu
Kitab Wasiat Iblis sudah dikuasai oleh Pangeran Matahari dari Gunung Merapi….”
Ratu Duyung mengangguk. “Apa
yang bisa kulihat dalam cermin sakti masih berlanjut. Kau masih ingin
mendengarkan?”
“Tentu saja Ratu. Tapi jika
kau merasa capai silahkan istirahat. Aku akan menunggu….”
Ratu Dutung tersenyum. Dia
pejamkan ke dua matanya kembali. “Tampak sebuah telaga. Ada seorang dara
berpakaian biru. Aku juga melihat kau berada di tempat itu Pendekar 212….”
Murid Sinto Gendeng sampai
bangkit dari kursinya saking terkejutnya. “Celaka….
Jika dia melihat semuanya dan
membeberkan….” Wajah murid Sinto Gendeng ini berubah dan tangannya menggaruk
kepala berkali kali!
“Ada yang tidak beres…. Cermin
sakti mengalami kesulitan. Keadaan sekitar telaga terlihat sangat samar….”
Wiro merasa lega dan duduk
kembali ke kursi batu. Ratu Duyung membuka ke dua matanya, menatap ke arah
Wiro. Sepertinya ada seberkas cahaya keluar dari dua bola mata biru perempuan
muda yang cantik jelita itu. “Gadis berbaju biru di telaga….’ ujar sang Ratu.
“Apakah dia yang kau panggil dengan sebutan Bidadari Angin Timur waktu kau
melamun tadi…?”
Wiro tak menjawab. Kalau sang
Ratu sudah tahu apa gunanya menjawab, begitu murid Sinto Gendeng berfikir.
“Apa hubunganmu dengan gadis
itu Pendekar 212?” bertanya Ratu Duyung.
“Eh nada suaranya seperti
cemburu…” membatin Pendekar 212.
“Kalau kau tak mau menjawab
tak jadi apa. Aku akan meneruskan melihat ke dalam cermin sakti.” Ratu Duyung
arahkan pandangannya pada cermin yang dipegangnya. Begitu dia memejamkan mata
maka kembali mulutnya menutur.
“Pendekar 212, kau terlihat di
dekat sumur di lereng bukit bersama gadis cantik berpakaian biru itu.. Seseuatu
terjadi. Dalam keadaan tertotok….”
Apa yang dikatakan Ratu Duyung
selanjutnya tidak begitu diperhatikan Wiro karena dia yang mengalami dan tahu
sendiri apa yang terjadi selanjutnya. Dia baru tersentak ketike mendengar
ucapan sang Ratu selanjutnya. “Aku melihat puncak sebuah gunung. Ada bayangan
seseorang di pintu sebuah bangunan. Ternyata lelaki bermantel itu. Dua orang
mendatanginya. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Dua orang ini menyerahkan
sesuatu pada orang bermantel. Yang satu berbentuk hitam pekat, tak jelas apa
adanya. Namun yang satu lagi sebuah senjata bermata dua yang memancarkan sinar
berkilauan. Ah…. Sebuah kapak…….”
Pendekar 212 setengah
terlompat dari duduknya. Kalau tidak lekas menguasai dirinya hampir saja dia
memukul lengan kursi batu yang didudukinya. Sambil mengepalkan tinju murid
Sinto Gendeng menyumpah dengan suara ditekan. “Jahanam!
Dua senjata mustika milikku
diserahkannya pada manusia keparat itu! Kapak Maut Naga Geni 212 dan
pasangannya batu hitam ternyata berada di tangan Pangeran Matahari musuh
besarku! Benar benar kurang ajar!” Wiro melangkah mundar mandir di ruangan itu
sampai dia mendengar suara Ratu Duyung menegur.
“Pendekar 212, apakah kau
masih ingin mengetahui kelanjutan penglihatanku lewat cermin atau kita sudahi
saja semua ini?”
“Maafkan aku Ratu Duyung! Aku
sangat terkejut dan tidak mnenyangka kalau dua senjata mustika milikku kini
jatuh ke tangan Pangeran Matahari musuh besarku sejak bertahun tahun silam… Dua
manusia setan alas itu ternyata adalah kaki tangan Pangeran Matahari!” Wiro
mengusap wajahnya. Setelah dia duduk ke kursi batu baru Ratu Duyung pejamkan
mata dan melihat kembali ke dalam cermin saktinya.
“Gadis berbaju biru tawanan
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berhasil meloloskan diri setelah menghajar
Elang Setan sampai babak belur….Hemmmm….. cerminku kehilangan sambungan getar.
Aku tak dapat melihat apa apa. Tunggu dulu…. Aku melihat laut. Ada sebuah
perahu putih. Kau berada di atasnya bersama seorang lelaki korengan, pakai
caping dan mukanya ditutup dengan cadar. Kurasa tak perlu kulanjutkan karena
kau tahu sendiri apa yang kemudian terjadi. Tapi tunggu….Aku melihat ada sebuah
perahu lagi. Melesat mendampingi perahu putihmu. Kau dalam keadaan tak berdaya,
terjepit tangan kanan pada lantai perahu. Hemmm….. Penumpang perahu yang satu
itu ternyata adalah gadismu si baju biru itu. Dia seperti mencari carimu. Tapi
wajahnya menunjukkan kegelisahan. Sayang dia tidak sempat mengetahui kalau kau
berada di perahu putih itu. Perahunya membelok dan menghilang di kejauhan…”
Ratu Duyung membuka kedua
matanya. Menatap Pendekar 212 sesaat lalu berkata. “Hanya itu yang bisa kulihat
melalui cermin saktiku……”
“Ratu… Apa yang kau lihat sama
sekali tidak memberi petunjuk dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu.”
Kata Wiro pula.
“Pendekar 212, perlu kau
ketahui apa yang terlihat di dalam cermin bisa saja keliru karena betapapun
saktinya benda ini selalu ada keterbatasan. Karenanya kita perlu mengkaji ulang
apa apa yang terlihat. Apakah kau mengenal oarang bercaping yang berpenyakit
kulit itu?”
“Orang itu berkepandaian
sangat tinggi. Sikapnya aneh penuh rahasia tapi jahat sekali. Nelayan di pantai
menyebutnya dengan panggilan Makhluk Pembawa Bala. Sulit kuduga siapa dia
adanya. Jangan jangan salah seorang kaki tangan Pangeran Matahari pula. Tadinya
aku mengharapkan dia akan membawa aku ke pulau tujuan dimana aku bisa bertemu
dengan seorang sakti bergelar Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Ternyata dia
mencelakai diriku di tengah laut. Aku berterima kasih padamu yang telah
menolong…”
“Selama ini sering terlihat di
cermin manusia itu malang melintang di lautan.
Anak buahku berulang kali
melakukan penyelidikan namun masih belum bisa mengetahui siapa adanya makhluk
satu itu. Katamu kau mencari Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Mengapa…?”
“Menurut para tokoh yang
memberi tugas padaku, dia mengetahui dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa
itu…. Dia diam di salah satu pulau sekitar sini.”
“Dugaan itu mungkin betul. Aku
pernah bertemu satu kali dengannya. Singkat sekali. Dia berusaha mengobatiku
tapi tidak mampu….”
“Hemmm…. Memangnya kau punya
penyakit apa?” tanya Wiro.
Lama Ratu Duyung berdiam diri,
tidak menjawab.
“Kalau kau tak mau menjawab
tak apa. Tapi apa kau bisa memberi petunjuk dimana kira kira letak pulau
kediaman Raja Obat itu…?”
Ratu Duyung memandang ke
langit langit ruangan. Lalu dia berpaling pada cermin yang dipegangnya. “Akan
kucoba…” katanya seraya memejamkan mata. Lama sekali baru perempuan bermata
biru ini berkata.
“Aku melihat samudera luas.
Kosong… Ada satu titik hitam di sebelah tenggara…” Ratu Duyung membayangkan
wajah Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Titik hitam dalam cermin berkedap kedip.
Matanya dipejamkan lebih rapat. “Ada warna merah. Buki… gunung… batu… batu….”
Dada sang Ratu kelihatan berguncang. Dia seperti berusaha menahan satu kekuatan
yang menghadang pandangannya. Tapi tak sanggup. Perlahan lahan perempuan ini
buka sepasang matanya dan menatap Wiro.
“Tak bisa kulihat lebih
rinci…. Ada satu daya tolak yang hebat. Bukan berasal dari si Raja Obat, tapi
dari beberapa kekuatan yang datang dari luar. Ada kekuatan yang tak ingin aku
mengetahui letak pasti pulau itu. Namun dari penglihatan yang terbatas aku bisa
menduga duga. Pulau itu terletak jauh di sebelah tenggara muara Kali Opak.
Berarti di sebelah timur dari tempat kita berada saat ini. Pulau itu tidak
berpenghuni karena tak ada yang tumbuh di sana kecuali bukit dan gunung batu
berwarna merah…..Hanya itu yang bisa kuberi tahu…..”
“Terima kasih Ratu Duyung.
Terima kasih banyak. Apa yang kau jelaskan bisa kujadikan pegangan untuk
mengarungi laut selatan mencari pulau tempat kediaman Raja Obat itu….” Wiro
diam sebentar.
“Apa yang ada dalam pikiranmu
Pendekar 212?” tanya sang Ratu.
“Sebenarnya ada beberapa
pertanyaan ingin aku sampaikan. Entah apakah kau mau menjawab atau tidak…”
“Katakanlah…” ujar Ratu Duyung
pula.
“Walau kau memberi penuturan
tadi, sebagian tidak begitu kuperhatikan, mohon dimaafkan. Kau pasti menuturkan
tentang seorang gadis berpayung merah….”
“Ya, apa yang ingin kau
ketahui…”
“Gadis itu berasal dari tanah
seberang. Punya tugas yang sama dengan tugasku yakni mencari Kitab Putih Wasiat
Dewa…”
“Kau merasa bersahabat dengan
dia?” tanya Ratu Duyung.
“Aku berhutang budi dan
berhutang nyawa padanya. Tapi cepat atau lambat dia akan membunuhku…”
“Bagaimana kau tahu?” tanya
Ratu Duyung.
Wiro lalu ceritakan tentang
surat aneh yang dibawa Puti Andini. Mendengar itu Ratu Duyung termenung. Lalu
dengan suara perlahan dia berkata. “Dia bisa jadi sahabat sejati tapi juga bisa
jadi musuhmu paling berbahaya kelak. Yang jelas saat ini aku punya firasat dia
salah satu yang menimbulkan kekuatan penolak hingga tadi aku tidak mampu
melihat lebih jelas dalam cermin sakti…. Tapi sekali lagi kukatakan apa yang
kuberitahu bisa saja salah….Karena….” Ratu Duyung tidak meneruskan ucapannya.
“Karena apa Ratu?” tanya Wiro.
“Karena aku juga punya firasat
dia telah jatuh cinta padamu pada pandangan pertama…. Tapi kau kurang perhatian
karena hatimu telah direbut oleh gadis bernama Bidadari Angin Timur itu….”
*
* *
SEBELAS
Wajah murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede menjadi merah seperti saga.
Dalam duduk diam di atas kursi
batu dan memandang dengan mata besar pada wajah cantik Ratu Duyung di
hadapannya.
“Apakah ada pertanyaan lain
yang ingin kau ajukan?” Ratu Duyung tiba tiba bertanya..
Wiro merasa lega sedikit. Sang
Ratu rupanya tidak ingin memperpanjang pembicaraan tadi. “Memang ada Ratu,”
jawab Wiro. “Seperti kau ketahui Tiga Bayangan Setan memiliki ilmu kebal yang
tak memungkinkan dia dibunuh dengan cara apa pun…”
“Dia memang tidak mempan
pukulan sakti dan senjata tajam. Semua itu datang dari luar. Tapi kematian yang
datang dari dalam tetap tak bisa diledakkannya. Dia tidak kebal terhadap racun.
Turut penglihatanku lewat cermin tadi, baik Tiga Bayangan Setan maupun temannya
Elang Setan mengidap sejenis racun mematikan secara perlahan dalam tubuh masing
masing. Mereka akan menemui ajal sekitar dua ratus hari dimuka jika tak
berhasil mendapatkan obat penawar…”
“Ratu, aku benar benar kagum
dengan kemampuanmu melihat sejauh itu,”
memuji Wiro. “Tapi rasanya aku
tak bisa menunggu sampai sekian lama, membiarkan mereka mati sendiri. Mereka
merampas dua senjata mustikaku. Mereka diketahui pula kai tangan Pengeran
Matahari. Mereka akan membunuhku begitu bertemu! Elang Setan tidak aku
khawatirkan,. Tapi Tiga Bayangan Setan jadi momok nomor satu saat ini. Aku
harus mengetahui kelemahan ilmunya. Gadis berpayung tujuh itu pernah memberi
tahu bahwa seorang pemabuk bernama Iblis Pemabuk mengetahui pasti kelemahan
Tiga Bayangan Setan….. Apakah kau bisa melihat ke dalam cermin untuk mengetahui
dimana aku bisa menemui orang ini?”
“Kau percaya begitu saja pada
keterangan gadis itu?” tanya Ratu Duyung.
Pendekar 212 tidak bisa
menjawab.
Ratu Duyung tersenyum lalu
jentikkan jari telunjuk tangan kanannya ke ibu jari.
Suara jentikan menggema keras dalam
ruangan itu. Tirai biru di sebelah kanan tersingkap. Seorang anak buah Ratu
Duyung muncul.
“Aneh, tadi aku setangh mati
mencari jalan atau pintu keluar ruangan ini.
Ternyata ada di sebelah
sana….”
“Saya menunggu perintah…” kata
gadis yang baru muncul seraya membungkuk.
“Bawa kemari tamu kita yang
datang malam tadi…” berkata Ratu Duyung.
Gadis berpakaian hitam
mengangguk lalu menyelinap ke balik tirai biru kembali.
Saking percayanya Wiro berdiri
dari kursi batu lalu membuka tirai di bagian tadi si gadis menghilang. Tembok
batu! Dia sama sekali tidak melihat pintu atau apa kecuali tembok batu! Wiro
kembali ke kursinya sambil garuk garuk kepala.
Ratu Duyung tertawa perlahan.
“Apa yang kau lihat, Wiro?” tanya sang Ratu.
“Dinding batu!” jawab murid
Sinto Gendeng.
“Kau pernah mendengar ujar
ujaratau petuah yang mengatakan bahwa apa yang terlihat mata telanjang belum
tentu seperti itu kenyataannya?”
“Ya, aku pernah mendengar
orang pandai berkata seperti itu…”
“Kau melihat batu tapi apakah
kau pernah membuktikan kalau itu pernah membuktikan kalau itu benar benar batu?
Coba kau singkapkan lagi tirai biru di bagian mana saja kau suka. Jika kau
melihat batu coba kau sorongkan tubuhmu ke depan. Lihat nanti apa yang
terjadi….”
Wiro pandangi wajah sang Ratu
dengan mimik tak percaya. Lalu dia berdiri, melangkah ke dinding ruangan
sebelah kiri. Dengan tangan kanannya dia menyingkapkan tirai biru tebal.
Dinding batu kelihatan di depannya. Seperti dikatakan Ratu Duyung Wiro selalu
maju menabrak dinding batu itu.
Astaga! Ternyata tubuhnya
lewat begitu saja seperti menerobos udara kosong.
Sesaat kemudian tahu tahu dia
sudah berada di depan satu pedataran berumput.
“Aneh! Benar benar aneh!” kata
Wiro sambil memutar tubuh. Kembali dia melangkah menabrakkan diri ke dinding
batu. Tubuhnya lewat dan kini dia sampai kembali ke dalam rauang semula!
“Bagaimana…?” tanya Ratu
Duyung.
“Aku banyak mendapat pelajaran
bagus darimu Ratu Duyung…” jawab Wiro seraya duduk kembali ke kurai batu. Tiba
tiba dia mendongakkan kepala. Hidungnya bergerak gerak.
“Ada apa?” tanya Ratu Duyung.
“Aku mencium bau minuman
keras. Keras Sekali. Mungkin tuak atau air ketan….”
Ratu Duyung cuma tersenyum
mendengar kata kata itu. Sesaat kemudian tirai biru di samping kanan terbuka.
Empat orang gadis berpakaian ketat hitam muncul mendampingi seorang laki
lakigemuk pendek berwajah seperti dedemit. Pada cuping hidungnya sebelah kiri
melingkar sebuah anting bulat terbuat dari akar bahar. Orang ini hanya
mengenakan celana komprang hitam. Muka dan tubuhnya berwarna merah.
Sekujur badannya mulai dari
kepala sampai ke kaki yang tak berkasut menghamparkan bau minuman keras. Pada
ikat pinggang besarnya tergantung selusin kendi. Di tangan kanan dia memegang
sebuah kendi yang setiap saat disorongkannya ke mulutnya.
“Gluk…gluk… gluk!” Dia meneguk
lahap minuman keras yang ada dalam kendi itu. Lalu dari mulutnya keluar suara
antara orang menyanyi dan orang meracau. Tubuhnya bergoyang goyang seperti mau
rubuh! Wiro memperhatikan empat gadis yang datang bersama si gemuk muka setan
ini membawa masing masing enam buah kendi berisi tuak.
“Sobatku tamuku agung, coba
terangkan siapa dirimu pada tamu muda ini…” berkata Ratu Duyung.
Seolah sadar si gemuk itu
turunkan kendi dari mulutnya.”Astaga, kukira aku masih berada di sorga! Rupanya
sudah turun ke bumi! Ha..ha..ha…!” Sepasang mata si gemuk berputar putar.
Tubuhnya oleng ke kiri, menghuyung ke kanan.
“Tuan rumah Ratu Duyung, siapa
yang kepingin tahu diriku yang jelek ini?” Ratu Duyung anggukan kepala pada
Wiro.
Murid Sinto Gendeng segera
membuka mulut.”Namaku Wiro Sableng. Aku yang ingin tahu siapa adanya dirimu
kalau kau tidak keberatan…”
“Ha… ha… ha….! Wiro Sableng!
Tak pernah ku dengar nama itu sebelumnya.
Kalau Cuma pada seorang
kurcaci jalek mengapa aku harus menyembunyikan siapa diriku. Tapi tunggu dulu!
Aku mau mabok dulu!” Si gemuk lalu tenggak lagi minuman keras dalam kendi yang
dipegangnya sampai habis. Begitu habis dia memaki. “Sialan!
Bagaimana aku bisa mabok kalau
Cuma minum sedikit?!” Lalu! Wiro ternganga. Seperti menyantap kerupuk enak saja
si gendut itu melahap kendi tanah itu, mengunyah dan menelannya sampai habis!
Wiro jadi leletkan lidah dibuatnya.
Selesai menghabiskan kendi
tanah itu si gemuk bermuka setan ambil sebuah kendi yang tergantung di
pinggangnya lalu meneguk isinya sampai setengah.”Nah, ini baru sedap. Aku sudah
mabok! Ha… ha… ha….!” Tubuhnya kembali menghuyung tak karuan.
“Ratu Duyung, apakah kurcaci
jelek yang tadi menanyakan siapa diriku masih ada di tempat ini?” Sepasang mata
si gemuk pendek berputar putar liar. Tangan kirinya mengusap usap perutnya yang
buncit.
“Benar tamuku agung! Kurcaci
jelek itu masih ada di sini!” menjawab Ratu Duyung.
Wiro pencongkan mulutnya
karena dari tadi dia disebut sebagai kurcaci jelek.
“Kalau dia masih ada di sini
tanyakan padanya apakah dia membawa nyawa cadangan karena aku ingin meminta
satu dari dua nyawanya itu. Aku tidak ingin meminta satu dari dua nyawanya itu.
Aku tidak serakah! Aku hanya minta satu saja… Biar enak mabokku! Ha… ha… ha!”
Berubah paras Pendekar 212.
Dia memandang pada Ratu Duyung tapi perempuan cantik itu diam saja.
“Ratu Duyung, tuan rumahku
mengapa kau tidak menjawab?!” Si gemuk bertanya lalu teguk minuman keras dalam
kendi.
Ratu Duyung memandang pada
Wiro dan berkata. “Jawab pertanyaannya.
Nyawamu tergantung pada
bagaimana jawabanmu! Salah menjawab berarti mati!
Jangan berharap bisa lolos!”
Wiro merasa tengkuknya
sedingin es. Keringat memercik di keningnya. Dalam hati dia berkata. “Orang
gila harus dilayani gila. Orang mabok harus dilayani secara mabok!”
Wiro melompat, menyambar
sebuah kendi minuman keras yang dipegang salah seorang anak buah Ratu Duyung
lalu meneguknya hingga mengeluarkan suara keras.
Minuman keras itu menyengat
mulut membakar tenggorokkannya.
“Tuanku besar raja kurcaci!
Aku kurcaci jelek menemanimu mabok bersama!
Mabok barengan lebih asyik
dari sendirian! Ha… ha… ha…!” teriak Wiro seraya acungkan kendi minuman keras
lalu huyungkan dirinya ke kiri dan ke kanan.
“Ah…. Apa aku yak salah
dengar? Ada kurcaci jelek yang memanggilku tuan besar raja kurcaci! Asyikk! Ayo
teguk! Tenggak sampai ludas! Mabok bersama memang bagus!
Tapi mana nyawa cadanganmu
yang aku minta!” teriak si gendut pendek bermuka seram!
Wiro jadi tercekat. Tapi dasar
gendeng dia tak kurang akal. Sambil tertawa haha hihi kendi di tangan kanan
dikocok hingga minuman keras muncrat ke udara. Begitu minuman itu melayang
jatuh Wiro buka mulutnya lebar lebar. “Gluk…gluk…gluk!”
Minuman keras amblas masuk ke
dalam tenggorokannya. Melihat apa yang dilakukan Wiro itu si gemuk pendek
tertawa bergelak. Tapi sesaat kemudian tetap saja dia berkata. “Ayo, jangan
berani menipuku! Mana nyawa cadanganmu!”
“Tuanku besar raja kurcaci!
Kau mabok asyik. Pasti lupa. Bukankah nyawa cadanganku sudah kuberikan padamu
malam tadi di pintu gerbang. Kau menyimpannya di dalam kantong kulit ikat
pinggang besar.”Mungkin benar aku lupa. Mungkin benar sudah kusimpan….Eh,
kurcaci jelek. Coba kau ambil dan perlihatkan nyawa cadanganmu itu padaku!”
“Mampus aku!” ujar Wiro. “Apa
yang harus aku lakukan?” Dia melirik pada Ratu Duyung. Sang Ratu angkat bahu
tak bisa menolong. Wiro garuk garuk kepalanya. Sambil berpura pura terhuyung
huyung Wiromelangkah mendekati si gemuk pendek. Dengan tangan kirinya
dibukakannya kantong kulit besar di ikat pinggang lalu tangan kiri itu
dikepalkan dan dimasukkan ke dalam kantong. Ketika tangan dikeluarkan masih
dalam keadaan terkepal.
“Tuanku besar raja diraja
kurcaci! Nyawa cadangan sudah kuambil, ada dalam genggamanku! Silahkan kau
melihat sendiri!” Wiro lalu acungkan tangannya yang mengepal seperti
menggenggam sesuatu.
Dengan kepala bergoyang goyang
tak karuan si gemuk ini perhatikan kepalan tangan Wiro yang menggenggam. Lalu
dia tertawa gelak gelak.
“Kurcaci jelek! Kau Betul! Aku
sudah lihat nyawa itu. Hai! Lekas kau masukkan kembali ke dalam kantong kulit!
Aku khawatir nyawa itu nanti terbang!”
“Perintah tuanku besar raja
diraja kurcaci aku ikuti!” kata Wiro lalu kepalannya dimasukkan ke dalam
kantong kulit.
“Bagus… bagus! Sekarang mari
kita mabok lagi sama sama!” kata si gemuk sambil teguk sisa minuman keras yang
ada dalam kendi. Lalu seperti tadi kendi kosong dari tanah itu dilahapnya
seperti melahap krupuk garing!
Wiro menunggu sampai si pendek
gemuk ini meneguk kendi ke tiga. Lalu diapun bertanya. “Tuanku besar raja
diraja kurcaci, aku kurcaci jelek minta budi baikmu untuk memberi tahu siapa
kau adanya!”
“Tentu… tentu, bukankah kita
sekarang sudah jadi teman satu pemabokan?!
Ha…. Ha…. Ha…! Dengar baik
baik, dekatkan ditelingamu padaku! Aku akan memberi tahu siapa aku adanya!”
Wiro cepat cepat angsurkan
kepalanya dan dekatkan telinga kanannya ke mulut si gemuk pendek. Dia mendengar
suara mendesis halus.
“Sudah kau dengar kurcaci
jelek?!” tanya si gemuk lalu meneguk minuman dalam kendi sampai berlelehan di
dagu dan jatuh ke perutnya yang telanjang.
“Aku tidak mendengar apa apa!”
kata Wiro.
“Kurcaci tolol! Aku memang
belum mengatakan apa apa!” kata si gemuk lalu tertawa mengekeh.
“Sial dangkalan!” maki Wiro
dalam hati tapi terus pula tertawa gelak gelak.
“Kurcaci jelek, mari dekatkan
lagi telingamu. Yang sebelah kiri saja. Yang kanan baunya membuat aku mau
muntah! Ha… ha… ha!” kata si gemuk pendek. “Setan! Maki Wiro. Tapi dia
angsurkan juga telinga kirinya.
“Namaku Iblis Pemabuk!” teriak
si gemuk pendek.
Teriakan itu bukanj teriakan
biasa. Demikian kerasnya hingga Wiro terpental dua tombak. Kepalanya seperti
meledak dan dari liang telinganya kelihatan darah mengucur.
Untuk beberapa lamanya Wiro
terkapar di lantai ruangan, tak mampu bergerak.
Pendengarannya seolah tuli,
bukan saja pada telinga kiri tapi juga pada telinga kanan!
“Eh, kurcaci jelek! Kau
dimana…?!” teriak si gemuk pendek yang ternyata adalah Iblis Pemabuk.
Walau pendegarannya terganggu
tapi dari gerak mulut si gemuk Wiro dapat menduga apa yang diucapkannya. Maka
diapun menyahut. “Tuanku besar raja diraja kurcaci! Aku kurcaci jelek ada di
sini, mengeletak di lantai!”
“Walah! Lagi apa kau di
sana?!” teriak Iblis Pemabuk.
“Lagi mabok!” teriak Wiro.
Iblis Pemabuk tertawa gelak
gelak mendengar jawaban itu. Lalu dia melompat ke hadapan Wiro. Minuman keras
di dalam kendi diguyurkannya ke telinga kiri murid Sinto Dendeng. “Minumlah
yang banyak biar tambah asyik mabokmu!” katanya.
Wiro merasa telinganya sperti
disengat kalajengking. Dia cepat berdiri. Karena berdiri minuman keras yang
masuk ke dalam telinga kiri kini mengalir keuar. Dan terjadilah hal yang aneh.
Telinga yang sakit tuli itu sembuh kembali! Darahnyapun lenyap tidak berbekas.
Pendegaran Wiro pulih kiri kanan.
“Manusia gila aneh tapi punya
kepandaian yang sulit kujajagi!” kata Wiro memaki dalam hati tapi juga kagum.
“Ratu Duyung tuan rumahku,
panas sekali udara di sini. Apa aku bisa minta tolong agar anak buahmu
mengantarkan aku keluar?” tiba tiba Iblis Pemabuk berkata setelah meneguk
sampai sepertiga isi kendi yang dipegangnya.
“Tuanku besar raja diraja
kurcaci, tunggu dulu! Aku kurcaci jelek masih ada satu pertanyaan. Kalau kau
tak menjawab besok besok aku tak akan menemanimu mabok mabokan lagi!”
“Dasar kurcaci geblek! Lekas
bilang apa kau mau tanya!” bentak Iblis Pemabuk lalu bantingkan kendi yang
masih banyak isinya itu ke lantai hingga pecah dan minuman keras di dalamnya
membasahi lantai.” Astaga! Apa yang aku lakukan?!” seru Iblis Pemabuk seolah sadar
dan menyesal. Lalu dia membuka mulutnya lebar lebar.
Minuman keras yang tergenang
di lantai laksana disedot melesat ke dalam mulutnya hingga lantai menjadi
kering!
Wiro leletkan lidah melihat
kejadian itu.
“Tuanku besar raja diraja
kurcaci! Aku mau tanya begini! Ada manusia jahat berjuluk Tiga Bayangan Setan.
Kebal pukulan sakti kebal senjata tajam! Dia memiliki ilmu hitam yang dapat
mengeluarkan tiga raksasa jejadian! Kalau dia dibiarkan hidup dunia persilatan
bisa kacau balau! Aku minta petunjukmu. Tolong beri tahu aku dimana letak
kelemahannya!”
“Tiga Bayangan Setan….?”
Sepasang mata Iblis Pemabuk berputar liar. Lalu dia tertawa gelak gelak. “Gelas
angker tapi tak masuk akal. Yang ada bayangannya itu cuma manusia! Setan mana
ada bayangannya! Tiga sekaligus! Buset sompret! Tidak masuk akal!” Iblis
Pemabuk tertawa mengekeh sampai kedua matanya basah. “Tapi dengar, aku akan
menjawab pertanyaanmu. Dengar baik baik apa yang aku ucapkan. Tepat tengah hari
bolong! Pilih yang di tengah!”
Habis berkata begitu Iblis
Pemabuk membungkuk di hadapan Ratu Duyung yang dibalas dengan menjura dalam
oleh Ratu Duyung. Anak buah sang Ratu menyibakkan tirai biru. Iblis Pemabuk
melangkah terhuyung huyung. Tiba tiba dia berbalik pada Wiro dan tudingkan jari
telunjuk tangan kanannya ke arah murid Sinto Gendeng itu.
Astaga! Wiro sampai tergagau.
Jarak antara dia dan si gemuk Iblis Pemabuk terpisah sekitar tiga tombak. Tapi
saat itu Wiro merasa ujung jari telunjuk itu telah menyentuh dan menekan
hidungnya!
“Kurcaci jelek! Dengar baik
baik! Aku tunggu kau pada matahari terbit hari
sepuluh bulan sepuluh di
Pangandaran!
Wiro terkejut dan tak mengerti
maksud ucapan Iblis Pemabuk itu. Namun waktu dia hendak bertanya si gemuk
pendek ini telah lenyap di balik tirai biru.
“Pangandaran…” desis Wiro.
“Teka teki apa pula ini? Ada apa di sana? Mau mengajak aku mabokan?!” Murid
Eyang Sinto Gendeng berpaling pada Ratu Duyung. Dia tidak menemukan jawaban di
wajah yang cantik jelita itu. Akhirnya sambil menggaruk kepala Wiro bertanya. “Ratu
Duyung lewat cermin saktimu apakah kau bisa mengetahui apa yang akan terjadi
pada hari sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran pada saat matahari terbit
seperti dikatakan Iblis Pemabuk tadi?”
Perlahan lahan Ratu Duyung
ambil cermin sakti di pangkuannya lalu memandang ke dalam kaca dengan sepasang
mata terpejam.
Wiro melihat paras cantik itu
berubah. Ketika kedua matanya dibuka Ratu Duyung berucap dengan suara bergetar.
“Aku melihat darah di seluruh pantai Pangandaran….”
*
* *
DUA BELAS
Pendekar 212, apakah masih ada
sesuatu yang ingin kau tanyakan?” ujar Ratu Duyung. “Kurasa semua sudah
kutanyakan. Banyak yang belum sempat kutanyakan kau sudah memberi penjelasan….
Hanya ada satu hal, kalau aku memang bukan lagi sebagai tawanan apakah aku bisa
meninggalkan tempat ini?
Ratu Duyung mengangguk. “Pada
saatnya kau bisa pergi dari sini dan pada saat yang kau suka kau bisa kembali
ke sini…”
Wiro hendak berdiri tapi Ratu
Duyung memberi tanda dengan mengangkat tangan.
“Sebelum kau pergi, jika
memang tak ada pertanyaan lain, kini giliranku untuk mengajukan satu
pertanyaan. Hanya satu, tak lebih dan tak kurang….”
“Silahkan saja Ratu,” jawab
Wiro Sableng seraya kembali duduk di kursi batu di hadapan sang Ratu.
“Apakah kau masih perjaka?”
Pertanyaaan itu diucapkan Ratu
Duyung dengan tenang, wajah lembut dan perlahan. Tapi sampainya ke telinga Wiro
seperti satu ledakan keras. Dipandanginya wajah sang Ratu. Lalu dia tertawa
gelak gelak. Namun ketika dilihatnya paras sang Ratu tidak berubah menandakan
bahwa dia memang tidak ada maksud bersenda gurau dengan ucapannya itu maka Wiro
serta merta hentikan tawanya.
“Ratu Duyung, kau barusan
menanyakan apa….?”
“Kau mendengar dengan jelas,
aku tak akan mengulang pertanyaanku…” jawab Ratu Duyung.
“Ah, mungkin dia merasa tersinggung,”
pikir Wiro. Dia mendehem beberapa kali.
Lalu dengan polos dia berkata.
“Ratu Duyung, mengingat apa yang telah kau perbuat padaku aku menghormatimu…”
“Betul?” Wiro mengangguk.
“Tak ada dendam mengingat
hukuman yang telah aku jatuhkan padamu?”
Wiro menggeleng. “Kuharap kau
jangan tersinggung dengan sikapku barusan.
Pertanyaanmu sangat
mengejutkan. Kau mau menerangkan apa maksudmu…?”
“Aku akan terangkan setelah
kau menjawab pertanyaanku…” jawab Ratu Duyung pula.
Wiro garuk kepalanya. Lalu dia
berucap.”Sampai saat ini aku memang belum pernah kawin. Maksudku menikah….”
“Bukan itu yang aku tanyakan.
Kau masih perjaka artinya apakah kau pernah melakukan hubungan badan dengan
perempuan?”
Wiro merasa kulit mukanya
menjadi panas. “Aku tak pernah berzina…” katanya perlahan.
“Berzina ada beberapa macam.
Zina mata, zina telinga, zina tangan dan zina badaniah…”
“Hemmm…Anu…Zina mata atau
tangan atau telinga mungkin sudah pernah aku lakukan. Aku bukan manusia tanpa
rasa. Aku pernah melihat wajah wajah cantik, aku pernah melihat hal hal yang
dianggap terlarang, aku juga pernah mendengar sesuatu yang kotor, aku pernah
memeluk dan mencium gadis gadis. Tapi jika zina yang kau maksudkan, itu belum
pernah melakukan. Tuhan masih memeliharakanku dari yang satu itu….”
“Aku melihat di cermin sakti.
Kau dan Bidadari Angin Timur bersatu badan berpeluk pelukan di dalam telaga.
Hanya sayang yang terlihat di cermin tidak begitu jelas. Apakah kau tidak mau
mengakui bahwa kau telah melakukan…”
Wiro bangkit dari kursi batu.
Dia geleng gelengkan kepalanya. “Waktu itu keadaan memang benar benar penuh
kesempatan. Kalau aku mau mungkin gadis itu pasrah saja mengikuti nafsuku. Tapi
aku tidak melakukan hal yang satu itu. Bukan karena aku pemuda baik baik, tapi
karena aku sadar aku mencintainya dan tak akan merusak dirinya….”
“Apakah hal itu akan kau
lakukan pada gadis yang tidak kau cintai…?”
“Ratu Duyung, kau lebih baik
memberikan seribu teka teki padaku.
Pertanyaanmu sulit kujawab…”
kata Wiro pula.
Ratu Duyung terdiam sesaat.
“Kalau ada seseorang menderita sakit. Tak ada obat penyembuhannya kecuali
melakukan hubungan badan. Jika diminta apakah kau akan melakukannya?”
“Ratu, bagaimana aku bisa
menjawab pertanyaanmu…” kata Wiro pula lalu dia memandang lekat lekat pada
perempuan cantik bermata biru itu. “Ratu”… kata Wiro setengah berbisik. “Apakah
kau menderita sakit? Apakah pertanyaanmu ada sangkut pautnya dengan dirimu?”
“Aku tidak menderita sakit.
Tapi hidupku dalam kutukan. Kutukan itu hanya bisa dimusnahkan jika ada
seseorang melakukan hubungan badan denganku dan dengan cinta kasih yang murni,
semata mata tulus untuk menolong…”
“Kutukan…. Kutukan bagaimana
Ratu…?” tanya Wiro.
“Aku akan coba menerangkan
walau kau mungkin tidak mengerti… Aku dan juga semua anak buahku yang ada di
sini dulunya adalah para gadis kepercayaan seorang sakti penguasa laut selatan.
Hidup kami penuh bahagia walau dalam alam yang tidak sama dengan alam manusia.
Namun dalam kehidupan iut terdapat larangan larangan yang tak boleh dilanggar.
Satu ketika kami tertipu oleh serombongan pemuda gagah yang tengah mengadakan
pesta di pantai. Kami tergoda turun mengikuti pesta itu. Tidak sampai di sana
saja. Kami sampai melakukan hubungan badan walau sebenarnya tidak ada bagian
tubuh kami yang cacat. Namun kami telah melanggar larangan. Penguasa mengusir
kami, mengutuk kami menjadi setengah manusia setengah ikan. Jika badan kami
tersentuh air tawar atau air laut bagian sebelah bawah tubuh kami akan menjadi
ikan. Kami tidak akan bisa kembali ke dalam keadaan semula kecuali ada seorang
pemuda yang mengasihiku, melakukan hubungan badan dengan tulus semata mata mau
menolong…”
Wiro ternganga mendengar
keterangan Ratu Duyung itu. “Jumlah kalian belasan mungkin puluhan. Apakah aku
harus melakukan hubungan itu dengan semua kalian?”
tanya Wiro lalu dia
menggerendeng sendiri karena merasa pertanyaannya itu adalah pertanyaan tolol.
Tapi Ratu Duyung mau menjawab.
“Waktu hukuman dijatuhkan dan disumpahkan, aku mengatakan pada penguasa laut
selatan bahwa aku yang bertanggung jawab atas semua kejadian itu. Karenanya
jika ada yang menolong diriku dari beban kutukan maka semua gadis di sini akan
terbebas dari kutukan yang sama….”
“Aku ingat anak buah yang kau
bunuh di Ruang Penantian. Agaknya dia bermaksud hendak mengatakan hal yang sama
padaku. Tapi kau membunuhnya…”
“Aku menyesal melakukan hal
itu. Tapi tak bisa kuhindari karena bahaya yang menghadang kepada Wiro selama
ini Ratu Duyung selalu memandang kepada Wiro dengan mata tak berkesip dan sikap
gagah maka kini dia duduk dengan menundukkan kepala. Diam diam Wiro merasa iba
terhadap perempuan cantik bermata biru ini. Tapi bagaimana mungkin dia bisa
menolong?” Aku bukan orang alim. Melakukan hal itu pasti hemm…” Wiro garuk
garuk kepala.
“Ratu, aku yakin ada cara lain
untuk menghilangkan kutukan itu…”
“Kalau kau tahu katakanlah…”
Murid Sinto Gendeng kembali
garuk garuk kepala.
“Ratu, maafkan pertanyaanku
ini. Apakah pernah meminta hal yang sama pada pemuda lain…?”
Paras sang Ratu berubah merah.
Bola matanya yang biru menyorotkan sinar aneh walau tak kehilangan pesonanya.
Dia seperti hendak meledak marah namun perlahan akhirnya dia tundukkan kepala.
Kepala itu kemudian digelengkan.
“Betapapun dosa dan kesalahan
telah kubuat, tapi aku dan semua anak buahku bukanlah gadis gadis rendah, bukan
perempuanp perempuan nakal. Aku tak pernah meminta pada siapapun. Aku tak akan
pernah melakukannya kecuali jika aku menyadari bahwa aku menyukai dan merasa
cinta terhadap orang itu….”
Wiro mengusap wajahnya. Dalam
hati dia berkata. “Jadi… dia mencintaiku… Ah, bagaimana ini! Aku ingin
menolongnya tapi…” Dipandanginya wajah sang ratu dengan perasaan semakin iba.
Perlahan lahan dia berdiri menghampiri. “Ratu… Kalau ada cara lain yang bisa
kulakukan, aku pasti akan menolongmu. Maafkan diriku….”
Sambil menundukkan kepala
menyembunyikan sepasang matanya yang berkaca kaca Ratu Duyung mengangguk. “Aku
kecewa besar. Bukan terhadap dirimu, tapi terhadap nasib diriku dan kawan
kawan. Namun walaupun kecewa ada rasa bahagia.
Bahagia bahwa aku pernah
bertemu dengan seorang pemuda berhati jujur, berjiwa besar. Hanya satu kupinta,
jika kelak kau berubah pikiran hendak menolongku, datanglah kemari. Kayuhlah
perahu dari muara Kali Opak. Kayuh ke tengah lautan. Di satu tempat orang
orangku akan menjemputmu…”
“Mudah mudahan kita akan
mendapat satu petunjuk memecahkan persoalan ini…” kata Wiro.
“Kalau tidak aku akan terjerat
di tempat ini. Untuk masa yang tidak satu makhlukpun dapat menghitungnya!”
sahut Ratu Duyung. Lalu ditanggalkannya cincin kerang warna biru di jari manis
tangan kirinya. “Ambillah benda tak berharga ini.
Mudah mudahan ada gunanya….”
Wiro tak berani menolak.
Khawatir Ratu Duyung akan tambah berduka. “Terima kasih,” katanya seraya
menerima cincin itu. “Aku akan menyimpannya baik baik….”
“Terima kasihku untuk itu,”
ujar Ratu Duyung pula. Lalu dia menatap dalam dalam ke arah sepasang mata
Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro merasa satu getaran aneh masuk ke dalam dua
rongga matanya, terus menjalar ke rongga dada. “Pendekar 212, aku minta maaf
atas hukuman yang aku jatuhkan terhadapmu tempo hari. Tapi percayalah semua itu
dengan maksud baik….”
“Terus terang aku sudah
melupakan hal itu. Lagi pula aku memang pantas menerima hukuman. Lalu kaupun
telah mengembalikan kedua mataku.”
“Apakah kau merasakan suatu
kelainan setelah matamu dimasukkan kembali ke rongganya?”
Wiro usap usap dagunya. Dia
ingat lalu menjawab.”Aku merasa penglihatanku lebih terang, lebih bersih….”
“Coba atur jalan darahmu
menuju kepala. Lalu salurkan tenaga dalammu pada kedua mata. Setelah itu
kedipkan matamu dua kali. Dan lihat apa yang terjadi….”
Wiro pandangi paras Ratu
Duyung sesaat. Lalu diikutinya apa yang dikatakan.
Begitu dia selesai mengedipkan
kedua matanya murid Sinto Gendeng tersurut beberapa langkah. Matanya diusap
berulang kali. Lalu memandang ke kiri, ke kanan, berkeliling.
“Ratu Duyung…” kata Wiro
tersendat. “Walau samar samar aku mampu melihat benda benda di luar ruangan
ini….”
“Katakan apa saja yang kau
lihat…” kata Ratu Duyung.
“Aku melihat beberapa orang
anak buahmu di sebuah taman. Lalu di sebelah sana ada pedataran rumput. Di
kejauhan aku lihat Bukit Batu Putih…. Bagaimana ini bisa terjadi…?!”
“Kedipkan lagi kedua matamu
dua kali,” kata Ratu Duyung.
Wiro mengikut. Penglihatannya
kembali seperti semula. Penuh rasa tak percaya dia kerahkan lagi tenaga dalam
dan kedipkan dua matanya dua kali. Seperti tadi dia mampu melihat benda benda
di luar ruangan.
“Ratu…”
“Pendekar 212, kini kau
mempunyai ilmu baru. Kau mampu melihat satu benda yang terhalang oleh benda
lain. Ilmu itu bernama Menembus Pandang…Mudah mudahan saja ada manfaat bagi
dirimu.”
Terkejutlah Wiro mendengar
kata kata Ratu Duyung. Dia melangkah mendekat.
“Ratu….. Jadi hukuman mencabut
mata tempo hari itu sebenarnya….. Aku telah kesalahan menilai…. Sekarang aku
sadar betapa tololnya diriku1”
Ratu Duyung tersenyum. “Aku
punya sedikit ilmu yang bisa kubagi. Siapa tahu ada gunanya…”
Wiro Sableng geleng geleng
kepala. Kedua tangannya diulurkan memegang bahu Ratu Duyung. Lalu dengan
setulus hati diciumnya kening perempuan itu seraya berbisik.
“Aku banyak menerima budimu.
Aku tak akan melupakan….” Lalu Wiro memeluk sang ratu erat erat.
Ratu Duyung hanyut dalam
kebahagaiaan yang belum pernah dirasakannya.
Namun dia cepat sadar diri.
Pelahan lahan dia melangkah mundur. Jari jari tangan kirinya dijentikkannya.
Tirai biru di sebelah kanan bergerak.
Empat orang gadis berpakaian
hitam ketat memasuki ruangan. Salah seorang di antaranya adalah gadis bertubuh
jangkung yang tempo hari menemui Wiro sewaktu diikat ke batu putih dalam
menjalani hukuman.
“Antarkan tamu kita ke Pintu
Gerbang Perbatasan.”
Empat gadis menjura lalu
memberi isyarat pada Pendekar 212 untuk mengikuti.
Namun sebelum berlalu Wiro
berkata. “Ratu waktu pertama datang kemari aku mengenakan pakaian lain. Walau
jelek dan dekil aku mohon pakaian itu dikembalikan padaku.”
“Kau akan mendapatkannya.
Seorang anak buahku akan memberikan padamu sebelum meninggalkan tempat ini. Aku
tahu pakaian itu kotor namun yang sangat berarti bagimu adalah sekuntum bunga
kenanga sakti yang tak pernah layu di salah satu kantongnya, bukan begitu?”
Selagi Wiro terkejut mendengar
ucapan Ratu Duyung, perempuan ini berkata lagi. “Jika kau bertemu dengan gadis
dari alam gaib bernama Suci berjuluk Dewi Bunga Mayat itu, sampaikan salam
hormatku padanya…”
Wiro hanya bis mengangguk.
Dalam hati dia mengagumi betapa luasnya ilmu pengetahuan Ratu Duyung sampai
sampai dia juga mengenal Dewi Bunga Mayat. (Untuk jelasnya siapa adanya Suci
atau Dewi Bunga Mayat silahkan baca serial Wiro Sableng berjudul “Dewi Bunga
Mayat”)
“Satu lagi Ratu, pakaian hitam
yang melekat di tubuhku saat ini apakah aku boleh memakainya terus. Atau harus
kutanggalkan di hadapan anak buahmu seperti kejadian dulu…?”
Empat orang anak buah Ratu
Duyung tampak terkesiap mendengar kata kata Wiro itu. Mereka khawatir mendengar
kata kata Wiro itu. Mereka khawatir sang Ratu marah. Tapi ternyata Ratu Duyung
tersenyum. “Kau boleh memakainya selama kau suka…”
“Terima kasih, aku minta diri sekarang.”
Wiro membungkuk dalam dalam lalu melangkah mengikuti empat gadis anak buah sang
Ratu.
*
* *
HANYAsesaat setelah Pendekar
212 meninggalkan ruangan itu, Ratu Duyung duduk terhenyak di atas kursi batu.
Dia tak sanggup lagi menahan runtuhnya air mata.
Dia menangis hampir tanpa
suara. Sambil bersandar tangannya bergerak menekan sebuah tombol di lengan
kanan kursi batu. Terdengar suara berdesing. Tirai biru di hadapannya
menggulung ke atas. Lalu tampak sebuah celah yang merupakan pintu sebuah lorong
pendek. Ratu Duyung bangkit dari kursi batunya. Setengah berlari dia memasuki
lorong itu hingga sebuah ruangan berbentuk bundar. Di bagian tengah ruangan ini
ada sebuah benda setinggi manusia tertutup kain beluderu merah muda.
Ratu Duyung menarik lepas kain
beluderu itu. Begitu kain tersingkap kelihatan sebuah patung seukuran tinggi
manusia yang sangat halus buatannya. Patung itu memiliki wajah dan sosok tubuh
menyerupai Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di hadapan patung Ratu Duyung
jatuhkan diri. Bahunya kelihatan berguncang. Kedua tangannya memegangi bagian
kaki patung. Tangis yang sejak tadi ditahan dan disembunyikannya kali ini tak
dapat dibendung lagi. Ratapannya terdengar mengharukan.
“Wiro… Lima tahun aku
menunggumu. Setelah kau hadir di sini ternyata aku tak mampu berharap dan
meminta…. Kalau saja hidup di tempat ini mengenal mati, aku lebih rela
menghembuskan napas penghabisan saat ini juga….”
Tekanan batin dan keputusasaan
membuat Ratu Duyung tak sadar lagi apa yang diperbuatnya. Patung batu Pendekar
212 Wiro Sableng dipeluk diciumnya dengan berurai air mata.
*
* *
TIGA BELAS
Yang disebut Pintu Gerbang
Perbatasan adalah tumpukan batu batu besar berbagai bentuk yang disusun
demikian rupa membentuk sebuah pintu gerbang. Saat itu udara terasa dingin dan
malam sangat gelap karena bulan purnama dan bintang bintang tak satupun
menghiasi langit.
Tiga orang gadis berpakaian
hitam ketat berjalan di depan Wiro. Mereka melangkah cepat menuju pintu gerbang
batu. Wiro mengikuti dengan buntalan kecil berisi pakaiannya tergantung di
punggung. Di samping kanannya berjalan anak buah Ratu Duyung, gadis cantik
bertubuh jangkung.
Sejarak sepuluh tombak sebelum
mencapai pintu gerbang gadis ini berbisik pada Wiro.
“Pada saat mencapai pintu
gerbang batu, aku akan melompat melewatinya. Jika aku selamat maukah kau
mengantarkan aku ke satu tempat….?”
Tentu saja Wiro terkejut
mendengar kata kata gadis itu. Dia ingat pada gadis yang menemui ajalnya di
tangan Ratu Duyung di Ruang Penantian.
“Aku tidak bisa memastikan. Tapi
apakah rencanamu itu tidak akan mencelakai dirimu sendiri?”
“Hidupku dan kawan kawan sudah
lama dirundung celaka. Kalaupun muncul celaka besar yang bisa membunuh diriku,
aku malah akan merasa lebih tenteram…” jawab si gadis.
“Kau masih muda, mengapa
sengaja mencari bencana?” mengingatkan Wiro.
“Aku tahu masalah yang kalian
hadapi. Suatu ketika semua akan mencapai akhirnya.
Kalian bisa kembali ke alam
sebelum kalian berada di tempat ini…”
“Hemmmm…Kau pasti tahu itu
dari Ratu kami. Tapi akhir yang kau katakan itu datangnya mungkin lama sekali.
Bahkan bisa saja tak pernah terjadi.” Jawab si gadis. Air mukanya agak berubah.
Lalu dia berkata setengah menyesali.
“Tadinya aku mengira bisa
menggantungkan secuil harapan padamu. Ternyata aku keliru. Jika kau tidak
bersedia menolong tak jadi apa. Tapi ketahuilah apapun yang terjadi aku tetap
akan berusaha menembus keluar dari kungkungan kehidupan penuh tekanan batin
ini. Sejak lama aku sudah tak tahan. Kurasa kawan kawan yang lain begitu juga.
Termasuk Ratu kami sendiri….”
Pintu Gerbang Perbatasan
semakin dekat juga. Satu tombak dari hadapan pintu batu ini tiga gadis di depan
Wiro hentikan pintu batu ini tiga gadis di depan Wiro hentikan langkahnya.
Mereka berpaling pada Pendekar 212. Wiro sendiri coba meneliti apa sebenarnya
yang ada di seberang pintu gerbang batu itu. Dia hanya melihat tebaran awan
putih bercampur kelabu.
“Kami hanya mengantar sampai
di sini,” kata gadis yang di tengah. Dia kawan kawannya tidak memperhatikan
kawan mereka yang satu si jangkung.
Wiro yang sudah tahu gelagat
cepat melangkah ke bagian tengah pintu gerbang batu, maksudnya hendak
menghadang perbuatan nekat yang hendak dilakukan gadis jangkung itu. Tapi dia
lupa kalau saat itu dia masih berada di alam aneh kekuasaan Ratu Duyung. Lebih
cepat dari langkah yang dibuat Pendekar 212 si gadis jangkung berkelebat.
Murid Sinto Gendeng hanya
merasa ada sambaran angin. Ketika dia berpaling ke kiri gadis jangkung itu
telah melesat di atas kepalanya!
Tiga anak buah Ratu Duyung
berseru kaget melihat kejadian itu. Mereka memburu tapi sadar lalu cepat
bersurut.
Di depan sana mereka semua
melihat gadis jangkung yang tadi melesat di udara kini melayang turun. Lalu
terjadilah hal yang membuat tiga gadis terpekik sedang Wiro keluarkan seruan
tertahan.
Begitu tubuh gadis jangkung
menyentuh tebaran awan, terdengar letupan keras lalu wusss! Satu kobaran api
yang besar dan garang tahu tahu menyelimuti tubuh gadis jangkung itu. Si gadis
menggeliat kian kemari. Tanpa jeritan sama sekali tubuhnya musnah tanpa bekas.
Bersamaan dengan itu kobaran apipun padam.
“Kalau aku melewati pintu
gerbang batu ini, lalu tubuhku bersentuhan dengan awan putih kelabu, apakah
nasibku bakalan sama dengan gadis nekat tadi….”
Apa yang ada dalam pikiran
Pendekar 212 rupanya diketahui oleh tiga gadis di dekatnya. Salah seorang dari
mereka lalu berkata.
“Keadaan dirimu tidak sama
dengan kami. Tak usah ragu. Lewati Pintu Gerbang Perbatasan tanpa rasa takut
tanpa ragu. Kau akan kembali ke duniamu dengan aman….”
Wiro pandangi tiga gadis di
hadapannya sambil garuk garuk kepala. Hatinya meragu dan kebimbangan terlihat
di wajahnya. Tiga gadis di hadapannya anggukkan kepala satu persatu untuk
pertama kalinya mereka tersenyum pada pemuda itu.
“Selamat jalan….” Kata ketiga
gadis hampir bersamaan.
Wiro lambaikan tangan
kanannya. Dia melangkah menaiki tangga Pintu Gerbang Perbatasan sebelah dalam.
Pada pertengahan tangga batu, tepat di bawah pintu gerbang dia berpaling pada
tiga gadis itu. Yang dipandangi kembali mengucapkan selamat jalan. Wiro geleng
geleng kepala. Kakinya kini menuruni tangga batu sebelah luar pintu gerbang.
Dia melangkah lagi. Sesaat dia merasa seperti melayang di udara.
Lalu kaki dan tubuhnya
menyentuh awan putih kelabu. Pada saat itu juga terjadi satu hal yang tidak
bisa dipercayainya. Memandang ke bawah dia melihat kedua kakinya kini menginjak
pasir pantai. Memandang ke depan dia dapatkan laut luas terbentang ditebari
pulau pulau di kejauhan. Ombak berdebur tiada henti di tepi pantai. Dua buah
perahu lengkap dengan pendayung terapung apung dipermainkan ombak.
“Aneh, bagaimana ini bisa
terjadi…?” pikir Pendekar 212. Dia menoleh ke belakang.
Astaga! Pintu Gerbang
Perbatasan lenyap. Tiga gadis anak buah Ratu Duyung tak kelihatan lagi.
Selagi Wiro tercengang cengan
seperti itu tiba tiba satu tangan besar memegang pundaknya. Murid Sinto Gendeng
tergagau keras saking kagetnya. Dia cepat membalik sambil bersiap menghantam.
Saat itu juga meledak suara tawa keras sekali.
“Kerbau Bunting sialan!” maki
Wiro lalu tarik pulang tangan kanannya yang siap menjotos.
“Selamat datang di dunia kita
Sobatku Muda!” kata Dewa Ketawa. “Betapapun bagusnya dunia orang lain, jauh
masih lebih bagus dunia kita yang serba gila ini! Ha… ha… ha…..”
Mau tak mau Wiro jadi ikut
ikutan tertawa.
Mendadak Dewa Ketawa hentikan
gelaknya. “Eh, apakah kau sempat diajak tidur oleh Ratu Duyung bermata biru
itu…?” Dewa Ketawa bertanya.
“Bagaimana kau tahu….?” Balik
bertanya Wiro dengan mata mendelik.
“Ha…ha…Sebelumnya dia pernah
minta pendapatku. Kukatakan padanya agar menanyakan sendiri. Jadi sudah
ya…?”Wiro gelengkan kepala.
Dewa Ketawa pukul jidatnya
sendiri. “Sayang aku sudah tua! Kalau saja masih muda dan segagahmu pasti aku
yang duluan diminta sang Ratu untuk masuk ke kamarnya! Ha…ha…ha!”
Dewa Ketawa menunjuk pada dua
buah perahu yang ada di pasir pantai. “Pasti Ratu Duyung yang mengatur. Aku
ambil satu kau ambil satu. Kita tinggalkan tempat ini dan berpisah di sini.
Kalau umur sama panjang pasti bisa bertemu lagi….”
Tubuh Dewa Ketawa melesat di udara
lalu mendarat masuk ke dalam salah satu perahu. Walau nyata nyata tubuhnya yang
gendut itu berbobot lebih dari dua ratus kati perahu sama sekali tidak
bergoyang!
Wiro juga tak mau menunggu
lebih lama. Sekali berkelebat tubuhnya melayang di udara, berputar putar
seperti bola. Di lain kejap kedua kakinya menyentuh lantai perahu. Salah satu
kakinya sengaja dipakai menginjak ujung kayu pendayung.
Pendayung melesat ke udara,
sebelum jatuh murid Sinto Gendeng cepat melompat dan menyambar gagang pendayung
selagi masih berada di udara. Ketika turun lagi ke dalam perahu, perahu itu
tetap tidak bergoyang!
“Ha…ha….ha! Pertunjukan
hebat!” memuji Dewa Ketawa.
“Sobatku Gendut!” teriak Wiro.
“Kalau ada undangan besar apakah kau mau datang ke satu tempat?”
“Tergantung siapa yang
mengundang, kapan dan dimana!” jawab Dewa Ketawa seraya mulai mengayuh
perahunya.
“Yang mengundang Iblis
Pemabuk! Waktunya hari sepuluh bulan sepuluh! Saat matahari terbit. Tempatnya
Pengandaran” jawab Wiro.
“Waktunya cocok! Tempatnya sesuai!
Si Pengundang tepat! Kita bisa mabuk sama sama di sana nanti!” Dewa Ketawa
tertawa panjang. Sekali dia menggerakkan tangan mengayuh, perahu yang
ditumpanginya melesat menembus ombak.
TAMAT