Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
069 Ki Ageng Tunggul Keparat
1
LAKSANA terbang kuda coklat
berlari kencang di bawah panas teriknya matahari. Dalam waktu yang singkat
bersama penunggangnya dia sudah sampai di kaki bukit untuk selanjutnya lari
terus memasuki lembah subur yang terhampar di kaki bukit. Si penunggang kuda
mendongak ke langit. Matahari dilihatnya tepat di ubunubun kepalanya. Parasnya
kontan berubah.
"Celaka!" keluhnya
dalam hati. "Celaka! Aku hanya punya waktu dua belas jam lagi! Kalau apa
yang kucari tak dapat kutemui mampuslah aku!" Dia memandang lagi ke
matahari di atasnya lalu menyentakkan tali kekang agar kuda tunggangannya lari
lebih cepat.
Orang itu berpakaian biru
gelap. Kulitnya yang hitam liat menjadi lebih hitam karena warna pakaiannya
itu. Dibawah blangkon yang menutupi kepalanya, wajahnya tidak sedap untuk
dipandang kalau tak mau dikatakan mengerikan.
Pada pipinya sebelah kiri
mulai dari ujung bibir sampai ke tepi mata terdapat parut bekas luka yang
lebar. Cacat ini membuat daging pipinya tertarik sedemikian rupa sehingga
matanya terbujur keluar, kelopak sebelah bawah membeliak merah dan selalu
berair sedang mulutnya tertarik pecong.
Di satu pedataran tinggi yang
ditumbuhi pohon-pohon kapas, dihentikannya kudanya dan memandang berkeliling.
Pada wajahnya yang buruk itu
kelihatan bayangan harapan sewaktu sepasang matanya melihat puncak atap-atap
rumah penduduk di sebelah tenggara pedataran.
"Aku harus ke desa
itu," kata lelaki itu pada dirinya sendiri. "Mungkin di situ bakal
kutemukan apa yang kucari.
Kalau tidak…" kata
hatinya itu tidak diteruskan. Dipukulnya pinggul kuda tunggangannya dan
binatang itu melompat ke muka, lari kembali menuju ke tenggara.
Sewaktu angin dari timur
bertiup keras, sewaktu daundaun pepohonan mengeluarkan suara berdesir kencang,
maka penunggang kuda itu telah memasuki sebuah jalan teduh di mulut desa.
Diperlambatnya lari kudanya. Kedua matanya menyapu ke setiap penjuru. Jalan
yang ditempuhnya sunyi sepi. Pintu-pintu rumah penduduk tampak tertutup.
Melewati suatu pengkolan dilihatnya beberapa orang anak kecil tengah
bermain-main. Nafasnya terasa sesak seketika. Lalu dekat sebuah kandang kuda,
seorang tua berjanggut putih duduk merokok memperhatikannya.
Tanpa memperdulikan orang tua
itu laki-laki ini terus berlalu.
Kemudian dipapasinya beberapa
penduduk desa yang agaknya baru kembali dari sawah atau ladang mereka.
Meski orang-orang itu
mengangguk hormat kepadanya tapi lelaki penunggang kuda itu tahu bahwa dalam
sikap hormat itu dilihatnya bayangan rasa ngeri di wajah mereka sewaktu melihat
parasnya. Dalam hati masing-masing mungkin mengutuk habis-habisan.
Harapan yang sebelumnya ada di
hati lelaki ini menjadi semakin kecil dan hampir padam bertukar dengan
kemangkelan dan kekecewaan sewaktu dia mencapai ujung jalan dan hanya tinggal
beberapa buah rumah saja yang harus dilewatinya.
"Apakah harus kutanyai
orang-orang di sini?" tanya lelaki itu dalam hati. Tiba-tiba sepasang
matanya menyipit.
Dia memutar kepala berkeliling
dan mendengar baik-baik.
"Hah, inilah yang kucari!
Pasti…! Pasti itu suara tangisan bayi."
Segera diputarnya kuda
coklatnya dan menuju ke rumah yang terletak di antara pohon-pohon pisang yaitu
dari arah mana tadi didengarnya suara tangisan bayi.
Pintu dan jendela rumah itu
tertutup. Dia turun dari kudanya dan mengitari rumah satu kali lalu melangkah
ke pintu depan. Dia memandang dulu kian kemari baru mengetuk pintu. Suara
tangisan bayi di dalam rumah terdengar semakin keras dan laki-laki itu mengetuk
lagi lebih kencang.
Terdengar langkah-langkah
mendatangi pintu. Suara tangis bayi juga terdengar mendekati pintu itu. Sesaat
sesudah itu pintu terbuka. Seorang perempuan muda memunculkan diri sambil
membadung seorang bayi yang baru berusia kurang dari dua minggu dan masih
merah.
Begitu melihat tampang lelaki
yang mengerikan di ambang pintu, perempuan itu menyurut. Jelas kelihatan pada
wajahnya rasa takut amat sangat.
Lelaki tak dikenal memandang
si bayi dalam dukungan beberapa lama. Diteguknya liurnya lalu berkata,
"Aku mencari suamimu…"
"Dia belum kembali dari
sawah," jawab perempuan yang mendukung anak.
Lelaki bermuka setan kembali
memandang bayi merah dalam dukungan.
"Ini anakmu…?"
Perempuan itu mengangguk dan
memandang ke jurusan lain karena takut melihat wajah tamunya.
"Kemarin aku telah bicara
dengan suamimu," kata orang bermuka cacat, "Dia bersedia menjual anak
ini."
"A… apa?!" kaget
perempuan yang mendukung anak bukan kepalang.
Sang tamu tampak acuh tak
acuh. Dan dalam sabuknya dikeluarkannya sebuah kantong kecil yang mengeluarkan
suara berdering tanda berisi uang.
"Ini ambillah,"
katanya. "Dan serahkan anakmu padaku."
Perempuan yang mendukung bayi
surut beberapa langkah. Digelengkannya kepalanya dan berkata, "Tidak!
Suamiku tak pernah mengatakan
bahwa dia hendak menjual anak ini. Sekalipun dia mungkin bermaksud demikian,
saya tidak akan menjual anak ini dengan harga berapapun. Ini anak kami yang
pertama…"
Air muka sang tamu tampak
berobah mengelam. Tenggorokannya turun naik dan sepasang bola matanya
berputar-putar liar.
"Kalau kau tak mau tak
jadi apa," katanya. Lalu kantong uang dimasukkannya kembali ke dalam
sabuknya. "Aku akan datang kembali kalau suamimu sudah pulang,"
katanya.
Perempuan mendukung anak tidak
menyahuti malah buru-buru hendak menutupkan pintu rumah. Tapi baru saja
jari-jari tangannya menempel di pinggiran pintu tiba-tiba tamu bermuka cacat
itu mengulurkan kedua tangannya, menyentak kain pembadung bayi hingga terlepas
sedang sang ibu jatuh tersungkur di ambang pintu. Secepat dia bangun secepat
itu pula perempuan ini berteriak, "Anakku!
Tolong…! Anakku dilarikan
orang! Culik…!"
Beberapa pintu rumah tetangga
kelihatan terbuka.
Empat orang lelaki dan seorang
perempuan datang berlarian untuk melihat apa yang terjadi. Namun si penculik
bayi telah melompat ke atas kuda coklatnya dan meninggalkan tempat itu dengan
cepat sebelum orangorang tersebut sempat melakukan sesuatu.
***
HARI Kamis malam Jum’at
Kliwon… Hujan gerimis turun menambah dingin dan seramnya suasana malam. Kuda
coklat yang ditunggangi lelaki bermuka cacat tampak mendaki di lereng bukit
berbatu-batu, terus menuju ke puncaknya. Sesosok binatang serta penunggangnya
yang hitam pekat dalam kegelapan malam tak ubahnya seperti setan yang tengah
gentayangan!
Puncak bukit batu itu tinggi
sekali dan jalan menuju ke situ sukar bukan main. Beberapa kali kuda coklat
tersebut terserandung. Lidahnya menjulur ke luar bersama busahan ludah.
Meskipun udara malam dingin namun tubuhnya berselimutkan keringat yang telah
bercampur baur dengan air hujan. Untuk kesekian kalinya binatang ini tersandung
dan akhirnya tegak mematung tak mau melangkah lagi.
Setengah mengomel lelaki
bermuka cacat turun dari kudanya. Di dalam dukungan tangan kirinya saat itu ada
bungkusan kain yang isinya bukan lain adalah bayi yang tadi siang diculiknya.
"Kudaku, tunggu di sini
sampai aku kembali," kata orang tersebut pada kuda tunggangannya. Lalu
sambil mendukung bayi dia melanjutkan perjalanan ke puncak bukit dengan
melompat dari satu batu ke batu yang lain.
Gerakan lelaki ini gesit luar
biasa tanda dia memiliki ilmu meringankan dan mengimbangi tubuh yang sempurna.
Dalam tempo yang tidak begitu
lama akhirnya dia sampai di puncak bukit batu yang paling tinggi.
Setelah memandang berkeliling
dia mendongak ke langit. Sesaat itu kilat menyambar. Keadaan terang seketika
untuk kemudian kembali kegelapan menyelimut.
Bayi dalam bungkusan kain
terdengar menangis. Si muka cacat menyeringai. Dibukanya kain pembungkus.
Udara malam yang dingin dan
siraman hujan rintik-rintik membuat si bayi menangis tambah keras.
Dari balik pinggangnya
laki-laki ini mengeluarkan sebilah pisau yang besarnya hampir menyerupai
sebilah
golok. Sekali lagi dia
mendongak ke langit. Kali ini seraya mengacungkan pisau besar di tangan kanan
tinggi-tinggi ke udara dan sambil berseru lantang,
"Guru!
Demi sumpah yang harus
dipatuhi
Bersaksi pada langit di atas
kepala
Bersaksi pada batu di bawah
kaki
Saat ini murid siap untuk
mandi!"
Habis berseru demikian manusia
bermuka cacat yang seperti kemasukan setan ini menggerakkan tangan kanannya.
Dan, cras! Sungguh mengerikan. Suara tangisan bayi lenyap seketika. Darah
mengucur dari luka besar pada lehernya yang kini hanya tinggal kutungan, sedang
kepalanya menggelinding jatuh entah ke mana.
Lelaki itu menyirami kepalanya
dengan darah yang mancur dari leher bayi. Gerahamnya terdengar bergemeletakan.
Matanya berputar-putar liar. Sekujur tubuhnya bergetar.
Pada saat darah berhenti
memancur maka kembali manusia bermuka iblis ini berteriak,
"Guru!
Sumpah sudah dilaksanakan
Murid mohon diri
Dan akan datang lagi malam
Jum’at Kliwon
Bulan depan!"
Tanpa perikemanusiaan sama
sekali, dilemparkannya tubuh bayi di tangan kirinya. Dalam keadaan tubuh basah
kuyup oleh keringat, air hujan, dan darah, dia melompat dari atas batu, terus
berlari turun ke tempat di mana dia sebelumnya meninggalkan kudanya.
2
DI BEKAS reruntuhan kuil tua
yang terletak di puncak Bukit Mangatas, empat orang laki-laki yang rata-rata
bertubuh kekar dan bertampang buas berdiri dengan tidak sabar.
Sebentar-sebentar mereka melayangkan pandangan ke jalan kecil yang berliku-liku
di lereng bukit.
Sementara itu di ufuk barat
matahari penerang jagat hampir tenggelam masuk ke peraduannya.
"Kalau sampai maghrib si
Gundara itu tidak juga muncul, kita tinggalkan saja tempat ini!" kata
salah seorang dari mereka. Namanya Rah Gludak.
Lelaki yang tegak sambil
rangkapkan tangan tanpa menoleh pada Rah Gludak berkata, "Aku yang jadi
pemimpin di sini Gludak. Tindakan apapun yang dilakukan adalah atas
keputusanku!"
"Jika begitu kau mau jadi
patung terus-terusan di sini Parereg," tukas Rah Gludak.
"Jadi setan sekalipun aku
tidak perduli!"
Lelaki bernama Bayana ikut
bicara, "Memang rencana kita ini bukan rencana sembarangan. Untuk itu
sudah patut kita melakukannya dengan hati penuh sabar…"
"Diam semua!" sentak
Lor Parereg. "Aku mendengar derap kaki kuda di kejauhan!"
Di antara keempat orang itu
memang Lor Parereglah yang memiliki ilmu paling tinggi. Karena itu dia lebih
dulu mendengar suara derap kaki-kaki kuda di bawah bukit.
Kemudian berturut-turut yang
mendengar suara derap kuda itu adalah Kunto Handoko, Rah Gludak dan Tunggul
Bayana.
Semuanya berdiam diri.
Masing-masing menunggu penuh tegang. Selama mereka malang melintang menjadi
empat rampok yang ditakuti di selatan Hutan Roban, belum pernah mereka
mempunyai rencana besar seperti yang akan mereka lakukan saat itu.
Derap kaki-kaki kuda semakin
keras tanda binatang dan penunggangnya tambah dekat. Di bawah pantulan sinar
kuning emas matahari yang hendak tenggelam, dari mulut jalan tak lama kemudian
muncullah seeker kuda hitam ditunggangi oleh seorang laki-laki bertubuh kurus
tinggi berpipi cekung. Begitu sampai di hadapan ke empat laki-laki di depan
kuil, penunggang kuda ini melompat turun dan menjura.
"Lekas terangkan apa yang
sudah kau ketahui!" kata Lor Parereg seraya menurunkan tangan kirinya yang
sejak tadi memuntir-muntir kumisnya yang tebal melintang.
Gundara, orang yang barusan
datang menyeka peluhnya. Setelah memandang berkeliling pada keempat orang di
depannya baru dia membuka mulut, "Karena sesuatu halangan rombongan itu
tak jadi berangkat besok…"
"Hah?!" sepasang
mata Lor Parereg melotot besar.
"Keberangkatan mereka
dibatalkan?" bertanya Tunggul Bayana.
Gundara menggeleng.
"Rombongan itu akan meninggalkan kotaraja pagi-pagi lusa. Terdiri dari dua
buah kereta.
Satu kereta membawa uang dan
peti-peti perhiasan, kereta lainnya membawa Ning Larasati, anak Sri Baginda
dari selir yang ke enam."
Lor Parereg memandang pada
ketiga kambratnya.
"Bunga jelita itu,
sobatku…," katanya dengan menyeringai penuh arti.
"Besar betul rejeki kita
sekali ini," kata Rah Gludak seraya membasahi bibirnya dengan ujung lidah.
"Menurutku sebaiknya
kalian jangan ganggu gadis itu," berkata Gundara.
"Heh, apa urusanmu?"
tanya Lor Parereg.
"Perampokan uang dan
harta benda bagi Sri Baginda bukan apa-apa. Tapi kehilangan Ning Larasati
benar-benar bisa membuat Sri Baginda murka. Kalian tahu, Larasati adalah puteri
yang paling disayangi Sri Baginda. Jika terjadi apa-apa dengan dirinya bukan
mustahil Baginda akan mengerahkan seluruh balatentara Demak. Dan kalian bisa
berabe."
Lor Parereg tertawa bergelak.
"Tak ada satu orangpun
yang bakal tahu siapa yang menghadang rombongan itu. Tak ada satu orangpun yang
bisa mengetahui siapa yang merampok barang-barang itu serta siapa yang menculik
Larasati. Kecuali jika ada di antara kita yang berkhianat!"
"Tak akan ada yang
berkhianat Parereg," kata Tunggul Bayana. "Rejeki yang sudah
ditakdirkan buat kita walau bagaimanapun harus kita ambil. Ning Larasati harus
jadi milik kita!"
"Betul sekali
Bayana," kata Lor Parereg. Lalu laki-laki itu berpaling pada Gundara dan
berkata, "Apapun yang kami lakukan adalah urusan kami! Kau mesti tahu
bahwa kau cuma seorang yang kami mintakan keterangan. Kau mengerti
Gundara?"
"Mengerti Parereg.
Nasehat itu kusampaikan untuk kebaikan kalian. Mau diperhatikan atau tidak
terserah."
"Berapa prajurit yang
bakal mengawal rombongan itu?" tanya Parereg pula.
"Duapuluh. Mereka
dipimpin oleh Raden Mas Panawa…"
"Aku belum pernah dengar
nama itu," kata Lor Parereg.
Dia berpaling pada
kawan-kawannya dan bertanya, "Kalian tahu siapa dia?"
Yang menjawab adalah Kunto
Handoko. "Umurnya sekitar tigapuluhan. Tadinya orang desa biasa. Karena
berbuat jasa diberi gelar Raden Mas dan diangkat jadi perwira kerajaan. Ilmunya
tinggi. Sendiri-sendiri mungkin sukar menghadapinya. Tapi berempat dia tak
perlu dipandang sebelah mata!"
Lor Parereg
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya satu
kantong berisi uang.
Benda itu dilemparkannya dan
segera disambut oleh Gundara.
"Tugasmu selesai,
Gundara. Cepat tinggalkan tempat ini. Kalau sampai rencana penghadangan ini
bocor, aku cuma tahu satu orang untuk digorok batang lehernya. Kau!"
"Saya tak bakal membuka
rahasia Parereg!" kata Gundara pula. Dia menjura, memutar tubuh dan
melompat ke punggung kuda. Sekali dia menyentakkan tali kekang maka binatang
itupun bergerak ke muka.
Namun untuk selanjutnya kuda
hitam itu hanya lari sendirian karena dengan amat tiba-tiba sebuah pisau
melayang dan menancap tepat di punggung Gundara.
Lelaki ini terdorong ke depan.
Tubuhnya hilang keseimbangan. Dan jatuh dari punggung kuda. Susah payah dia
coba bangkit. Memandang ke arah Lor Parereg dengan pandangan penuh amarah. Dari
mulutnya keluar suara yang tak jelas. Setelah merintih panjang Gundara akhirnya
rubuh ke tanah dan tak bergerak lagi.
Lor Parereg tertawa mengekeh.
"Aku tak percaya pada kunyuk ini," katanya sambil pelintir kumis.
"Sebelum kasip sebaiknya dihabiskan riwayatnya!"
"Tindakanmu tepat sekali
Parereg," ujar Tunggul Bayana.
"Kita kembali ke
goa," kata Parereg pada kawankawannya.
Keempatnya kemudian
meninggalkan tempat tersebut. Sementara matahari telah tenggelam dan siang
berganti dengan malam.
Hari Kamis Paing adalah hari
di mana menurut keterangan Gundara yang telah dibunuh itu, rombongan yang bakal
dihadang akan meninggalkan Kotaraja. Kirakira dua jam perjalanan di luar
kotaraja sebelah timur, di satu daerah yang berbukit-bukit, di balik kelebatan
semak belukar yang tumbuh sepanjang jalan kecil berdebu, sejak pagi tadi empat
orang berpakaian serba hitam sudah berada di sana. Mereka bukan lain Lor
Parereg dan kawankawannya.
"Kurasa terlalu jauh kita
melakukan penghadangan di sini, Parereg," kata Tunggul Bayana memecah
kesunyian.
Lor Parereg mendehem beberapa
kali. "Bukan saatnya membicarakan hal itu," sahutnya tak acuh.
"Aku khawatir kalau-kalau
rombongan itu membelok mengambil jalan lain."
"Menghadang lebih dekat
ke kotaraja berarti menambah besarnya bahaya. Apa kau mau tanggung jawab jika
salah seorang dari mereka nanti sempat menjemput balabantuan? Apa kau mau
tanggung jawab jika tokoh-tokoh silat istana turun tangan? Kita menghadang di
sini. Itu sesuai dengan rencanaku. Tak perlu diributkan lagi!"
Sunyi beberapa lamanya.
Sementara itu matahari pagi mulai naik dan terasa bertambah panas sinarnya. Lor
Parereg mengeluarkan tembakau serta daun kawung dan mulai menggulung sebatang
rokok. Setelah beberapa kali dihisapnya rokok itu dia membuka mulut, "Bila
penghadangan ini berhasil, ingat baik-baik rencana kita selan jutnya. Kau Rah
Gludak lari ke timur. Ini untuk mengelabuhi orang-orang kerajaan. Satu hari
kemudian kau harus datang, selambat-lambatnya tengah hari di kuil tua Bukit
Mangatas. Kau Kunto Handoko dan Tunggul Bayana larikan seluruh barang rampokan ke
jurusan barat. Ambil jalan memutar lalu segera menuju Bukit Mangatas dan tanam
semua harta rampokan itu di lobang yang telah kita gali. Tunggu di sana sampai
aku datang."
"Kau sendiri ke
mana?"
Lor Parereg menyeringai.
"Ingat Ning Larasati?" tanyanya. "Aku akan bersenang-senang dulu
dengan dia di satu tempat. Dan kalian tak usah tahu di mana!"
Beberapa waktu berlalu tanpa
ada satu orangpun yang bicara. Tiba-tiba Lor Parereg mengangkat tangan memberi
isyarat. "Aku mendengar sesuatu," katanya. "Mungkin rombongan
itu!" Lalu dengan satu gerakan enteng dia melompat ke cabang sebatang
pohon. Dari tempat ketinggian ini dia memandang jauh ke depan. Wajahnya nampak
tegang ketika dia melompat turun kembali.
"Mereka datang!"
katanya. "Lekas menyebar seperti yang sudah diatur!"
Kunto Handoko, Rah Gludak, dan
Bayana segera menyebar bersembunyi.
Mereka menunggu kira-kira
sepeminuman teh. Tak lama kemudian dari arah depan muncullah rombongan itu.
Pada kepala rombongan
kelihatan seorang lelaki muda keren menunggang kuda. Di pinggangnya tergantung
sebilah pedang. Di sebelah belakang terdapat dua puluh prajurit yang juga
menunggang kuda, bergerak maju mengapit dua buah kereta. Dilihat dari bentuk
kendaraan, kereta sebelah depan jelas kereta barang sedang yang di belakang
merupakan kereta penumpang yang bagus.
Penunggang kuda di sebelah
depan tampak heran ketika melihat ada seorang lelaki berpakaian hitam, berkumis
melintang tegak menghadang di tengah jalan. Dia memberi isyarat pada rombongan
untuk berhenti lalu maju mendekati orang di tengah jalan dan dengan sikap sopan
tapi juga waspada.
"Bapak, rombonganku
hendak lewat. Harap kau suka menepi memberi jalan."
Lor Parereg tertawa.
"Anak muda, bukankah kau perwira kerajaan yang bernama Panawa?"
"Bapak tidak keliru. Memang
saya Panawa. Sekarang silahkan Bapak menepi…"
"Aku kenal kau tapi
apakah kau kenal aku, perwira?"
Raden Mas Panawa sudah
mengetahui jelas orang tak dikenal di hadapannya mempunyai maksud tidak baik.
Tapi melakukan hal itu seorang diri terlalu berani. Pasti dia mengandalkan
sesuatu. Maka perwira muda yang cerdik ini memandang berkeliling. Dia segera
mengetahui ada tiga orang lainnya bersembunyi di balik semak belukar.
"Bapak, jika kau sudah
tahu kami adalah rombongan kerajaan harap jangan mengganggu lebih lama…"
"Eh, siapa mengganggu
siapa?" tanya Lor Parereg sambil puntir kumis. "Kehadiranku di sini
justru dengan maksud baik. Yaitu serahkan dua kereta itu padaku dan kalian
boleh kembali ke kotaraja dengan aman…"
"Bapak, kau jangan berani
main-main dengan pasukan kerajaan." Raden Mas Panawa memperingatkan. Dia
masih berusaha menyabarkan diri.
Akan tetapi seorang anak buah
di samping kanannya maju seraya berkata, "Raden, biar saya beri pelajaran
pada orang ini!"
"Nah, kau dengar
sendiri," kata Panawa. "Jangan sampai kami menurunkan tangan
kasar!"
"Jadi kau tidak mau
menyerahkan dua kereta itu?" tanya Lor Parereg sambil bertolak pinggang.
Panawa berpaling pada anak
buahnya. Kesabarannya telah hilang. "Singkirkan manusia itu,"
perintahnya.
Sret!
Pembantu yang diberi perintah
cabut pedang dan memajukan kudanya mendekati Lor Parereg. Pedang berdesing
diayunkan ke arah kepalanya. Dengan satu gerakan gesit kepala rampok ini
merunduk lalu dari samping memukul lengan lawan.
Krak!
Terdengar patahnya tulang
lengan pengawal itu.
Tubuhnya yang hilang
keseimbangan langsung jatuh dan sebelum mencium tanah disambut oleh Lor Parereg
dengan tendangan kaki kanan.
Melihat gerakan Lor Parereg
yang sebat itu maklumlah Raden Mas Panawa bahwa rombongannya berhadapan dengan
seorang berkepandaian tinggi. Tanpa tunggu lebih lama dia melompat turun dari
punggung kuda. Begitu menjejak tanah dia langsung menyerbu Parereg dengan
tangan kosong.
3
LOR PAREREG yang sengaja
hendak mengetahui kehebatan perwira muda ini segera menyongsong serangan lawan,
menyambut dengan balas memukul. Akibatnya dua lengan saling bentrok.
Kepala rampok Hutan Roban ini
berubah parasnya ketika dapatkan dirinya terjajar ke belakang akibat saling
bentrokan lengan itu. Nyatalah bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki
keampuhan tenaga dalam melebihi yang dimilikinya. Maka dia bersuit memberi
isyarat. Tiga anak buahnya melompat keluar dari tempat persembunyian
masing-masing dan langsung mengurung Raden Mas Panawa.
"Bagus! Kalian sudah keluar
semua! Aku masih berikan kesempatan terakhir pada kalian agar meninggalkan
tempat ini!"
Lor Parereg tertawa keras.
"Perwira muda! Aku Lor Parereg dan kawan-kawan baru akan pergi setelah
mendapatkan apa yang kami ingini. Sebaliknya justru aku menawarkan agar kau dan
para pengawal berlalu saja dari sini…"
"Rampok-rampok bodoh!
Bersiaplah untuk menerima hukuman!" bentak Panawa. Karena tiga pengeroyok
dilihatnya sudah memegang senjata maka dia segera pula cabut pedang panjangnya.
Pertempuran empat lawan satu segera berkecamuk. Meskipun Panawa memiliki ilmu
silat tinggi namun karena yang mengeroyok adalah rampokrampok kawakan maka tiga
jurus saja dia sudah terkurung rapat dan terdesak.
Dalam satu bentrokan senjata,
pedang di tangan perwira muda itu terpukul lepas. Melihat pimpinan mereka
berada dalam keadaan bahaya maka sepuluh pengawal segera maju membantu.
Pertempuran menjadi makin seru.
Panawa kini pergunakan sebilah
keris. Senjata ini merupakan senjata pemberian gurunya dan dengan senjata ini
di tangan dia mengamuk. Satu kali dia berhasil melukai bahu kanan Kunto
Handoko.
Walaupun pengawal-pengawal itu
berjumlah banyak.
Namun mereka bukanlah
tandingan rampok-rampok Hutan Roban yang bertempur penuh kebuasan karena
mengharapkan barang rampokan yang tidak sedikit jumlahnya.
Satu demi satu mereka roboh
bahkan Panawa sendiri tubuhnya telah penuh dengan luka-luka dan agaknya tak
bakal dapat bertahan lama.
"Selesaikan dia!"
kata Lor Parereg. Dia melompat keluar dari kalangan pertempuran. Sudah saatnya
dia turun tangan melakukan sesuatu sesuai dengan rencana–nya.
Dia bergerak cepat ke arah
kereta sebelah belakang.
Raden Mas Panawa yang dapat
menduga apa yang hendak dilakukan oleh kepala rampok itu cepat berteriak,
"Lindungi puteri!"
Sepuluh pengawal yang sejak
tadi tidak ikut bertempur mendengar perintah itu menjadi bingung. Semula mereka
hendak membantu Panawa dan pengawal-pengawal lain yang jelas kelihatan dalam
keadaan kepepet. Namun kini mereka malah diperintahkan mengamankan Ning
Larasati.
Lalu siapa pula yang akan
menjaga kereta pertama yang membawa uang dan harta benda berharga itu?
Akhirnya lima pengawal
bergerak ke arah kereta yang ditumpangi Ning Larasati dan pengasuhnya sedang
lima lagi memasuki kalangan pertempuran untuk menyelamatkan kawan-kawan dan
pimpinan mereka. Namun usaha mereka ini sia-sia saja.
Lima prajurit yang menjaga
kereta sebelah belakang bukan apa-apa bagi Lor Parereg. Satu demi satu mereka
dihantam roboh. Lalu dia mendobrak pintu kereta dan sepasang matanya melotot
melihat wajah cantik yang ketakutan di dalam kereta itu. Pengasuhnya yang
memeluk dan berusaha melindunginya berkata, "Jangan ganggu dia! Dia puteri
Sultan!"
Lor Parereg menyeringai.
Hidungnya kembang kempis membayangkan apa yang bakal dinikmatinya. "Aku
tidak akan menyakitimu Larasati. Asalkan kau mau keluar baikbaik dan ikut
aku…"
"Tidak… pergi! Aku tidak
mau ikut kau…!" jerit Ning Larasati beringsut ke sudut kereta.
"Gadis manis kau tak
seharusnya menolak begitu…" ujar Lor Parereg. Lalu sekali sentak saja dia
berhasil menarik Ning Larasati keluar dari kereta. Pengasuhnya yang berusaha
mencegah ditendang hingga roboh tak sadarkan diri.
Ning Larasati menjerit dan
meronta-ronta dari panggulan Lor Parereg. Namun tak berhasil melepaskan diri.
Di bagian lain Panawa yang
berusaha berjuang matimatian akhirnya tak sanggup lagi bertahan. Dia roboh
dengan tubuh mandi darah penuh bacokan. Dua pengawal yang masih hidup putus
nyali mereka dan ambil langkah seribu.
Sesuai dengan yang telah
diatur, Rah Gludak kemudian memacu kudanya ke arah timur. Kunto Handoko dan
Tunggul Bayana melarikan kereta berisi uang dan harta ke arah barat.
"Beres!" kata Lor
Parereg puas. Ning Larasati dinaikkannya ke atas kuda lalu kepala rampok ini
memacu binatang ini memasuki rimba belantara dan lenyap dari pemandangan.
***
TEPAT tengah hari Kunto
Handoko dan Tunggul Bayana sampai di kuil tua yang terletak di Bukit Mangatas.
Tunggul Bayana turun dari kereta yang dikemudikannya itu dan membuka pintu. Ada
empat buah peti besi di dalam kendaraan ini. Setelah diperiksa ternyata dua
peti berisi uang emas dan dua lainnya penuh perhiasan berbagai bentuk.
"Kita akan kaya raya
Bayana!" kata Kunto Handoko tertawa gembira.
Tunggul Bayana memutar kepala.
Wajahnya tidak menunjukkan kegembiraan.
"Ada apa dengan
kau?" tanya Kunto Handoko agak heran. "Apa tidak senang mendapat
barang rampokan sebanyak ini? Tujuh turunan kurasa kita bisa ongkangongkang
kaki!" Tunggul Bayana tersenyum kecil.
"Yang aku khawatirkan
adalah luka di bahumu yang membengkak, Kunto," kata Tunggul Bayana.
Kunto Handoko baru ingat luka
bekas tusukan keris Panawa pada bahunya.
"Luka biasa, tak perlu
dikhawatirkan," kata Kunto Handoko pula.
"Aku yakin keris itu
mengandung racun. Kalau tidak kenapa lukamu cepat sekali membengkak dan berwarna
biru begini?"
Kunto Handoko memperhatikan
luka di bahunya. "Ah tak apa-apa," katanya kemudian.
"Sebaiknya kau telan
obatku ini. Mujarab sekali untuk menolak segala macam racun. Sementara itu aku
akan ke belakang kuil memeriksa lobang tempat penimbunan petipeti itu."
Kunto Handoko mengambil
sebutir obat berwarna hitam yang diberikan Tunggul Bayana, lalu tanpa ragu-ragu
menelannya. Ketika Tunggul Bayana lenyap di balik reruntuhan tembok kuil
sebelah belakang, cepat-cepat Kunto Handoko mendekati empat peti besi dalam
kereta.
Salah satu peti dibukanya lalu
dimasukkannya tangannya mengeruk uang emas yang terdapat dalam peti itu.
Sewaktu uang tersebut hendak
dimasukkannya ke dalam sebuah kantong di balik pakaiannya, tiba-tiba
dirasakannya dadanya amat sakit. Begitu sakitnya hingga uang yang ada dalam
genggamannya terlepas dan kepalanya terasa berat sedang pemandangannya
berkunang-kunang. Kedua tangannya kini memegangi dada yang terasa sesak.
Tibatiba dia membuka mulut hendak batuk tapi yang keluar adalah semburan darah!
"Jahanam!" maki
Kunto Handoko. "Tunggul Bayana pasti telah memberikan racun padaku!"
Dihunusnya pedangnya lalu melangkah ke bagian belakang kuil namun setengah
jalan lututnya goyah. Sebelum terguling pingsan ke tanah Kunto Handoko masih sempat
menotok urat besar di pangkal lehernya. Tunggul Bayana muncul.
Menyaksikan Kunto Handoko
menggeletak tak bergerak dia tertawa gelak-gelak.
"Dasar manusia
tolol!" katanya. "Sekarang semua uang dan harta itu menjadi milikku!
Semuanya! Aku akan jadi kaya raya! Ha… ha… ha!" Laksana orang gila Tunggul
Bayana membuka peti-peti itu satu demi satu dan mengaduk-aduk isinya. Hatinya
gembira setinggi langit. Dia puas sekali karena rencana yang diam–diam
diaturnya sejak lama kini menjadi kenyataan.
Kuda tunggangannya diikatkan
di belakang kereta.
Sebelum meninggalkan tempat
itu sekali lagi dia memandang pada sosok tubuh Kunto Handoko "Sobatku yang
tolol, sayang kau tak sempat menikmati hasil rampokan ini. Selamat tinggal,
selamat jalan ke akherat!" Dia tertawa panjang-panjang lalu menyentakkan
tali kekang.
Tunggul Bayana tidak
mengetahui sama sekali kalau saat itu Kunto Handoko cuma menggeletak pingsan,
bukan mati.
4
LOR PAREREG menunggang kudanya
memasuki rimba belantara. Meskipun pohon-pohon di situ tumbuh rapat tapi karena
sudah tahu betul seluk beluk daerah tersebut, dia dapat memacu kudanya dalam
kecepatan tinggi.
Kira-kira dua kali peminuman
teh berlalu. Lor Parereg sudah berada di pertengahan Hutan Roban. Di satu
tempat dia menyeruak memasuki semak belukar lebat. Di belakang semak belukar
itu ternyata terdapat sebuah goa besar dan tinggi. Lor Parereg melompat dari
kudanya dan memanggul tubuh Ning Larasati memasuki goa. Bagian dalam goa itu
tak beda dengan sebuah ruangan dalam satu bangunan yang bagus. Di sebelah depan
terdapat seperangkat kursi dan meja terbuat dari rotan. Ruangan itu dipisah dua
oleh sebuah tirai bambu yang tipis.
Lor Parereg menyibakkan tirai
bambu. Ruangan yang dimasukinya bagus sekali dan di situ terdapat tiga buah
pembaringan rotan. Pemimpin rampok ini melangkah ke pembaringan di ujung kanan
yaitu yang paling besar dan bagus. Ning Larasati yang berada dalam keadaan
pingsan dibujurkannya di atas pembaringan itu. Dari dalam sebuah lemari Lor
Parereg mengeluarkan sebuah kendi berisi tuak.
Sambil meneguk minuman itu dia
duduk di tepi pembaringan memperhatikan wajah Ning Larasati.
"Cantik sekali… cantik
sekali," kata Lor Parereg dalam hati berulang kali. Hawa hangat dari
minuman yang diteguknya memanasi jalan darahnya. Butir-butir keringat memercik
di keningnya. Hidungnya kembang kempis. Nafsu mesum mulai membakar tubuhnya.
Lor Parereg beringsut. Dielusnya betis putih mulus gadis itu. Betapa lembutnya.
Setelah puas memijit-mijit betis Larasati tangannya menjalar ke atas lebih ingin
tahu, makin ke atas, membuat Lor Parereg menggeram panas dingin.
Tiba-tiba Ning Larasati siuman
dari pingsannya dan menggeliat. Begitu sadar akan dirinya puteri Sultan Demak
ini menjerit dan melompat dari atas pembaringan rotan.
Dia memekik tiada henti, meronta
dan menerjang.
Melakukan apa saja terhadap
Lor Parereg yang coba mendekapnya. Namun kepala rampok itu terlalu kuat bagi
gadis sehalus Larasati. Pakaiannya robek-robek dan tubuh Lor Parereg
menghimpitnya dari atas. Karena tak tahu apa lagi yang dapat dilakukannya untuk
melepaskan diri, akhirnya Larasati hanya bisa menangis. Seumur hidup tak pernah
terpikir olehnya bakal mengalami nasib yang mengerikan begini rupa. Dia
menangis sambil memejamkan matanya. Lalu dirasakannya tangan-tangan Lor Parereg
melepas pakaiannya secara paksa. Nafas lelaki itu yang berbau minuman keras
menghembushembus di wajahnya. Kemudian terasa bulu-bulu dada Lor Parereg
menggamangi dadanya yang kini tiada tertutup lagi. Kemudian… kemudian… Suara
raungan laksana harimau lapar meledak keluar dari mulut Lor Parereg. Ning
Larasati terkejut. Dibukanya kedua matanya. Apa yang telah terjadi?
Dilihatnya Lor Parereg dalam
keadaan setengah telanjang terhampar di sudut ruangan. Di hadapannya berdiri
seorang perempuan amat tua berambut panjang terurai awut-awutan dan berwarna
putih. Perempuan tua ini mengenakan sehelai jubah panjang menyentuh lantai
berwarna putih polos. Kaki dan tangannya yang tersembul dari balik pakaian itu
juga berwarna putih seputih parasnya yang keriputan.
"Nenek tua berwajah putih
ini apakah dia manusia atau setan?" pikir Larasati. Untuk sesaat dia lupa
akan keadaan dirinya. Begitu sadar cepat-cepat disambarnya pakaiannya.
"Bangsat tua! Siapa
kau?!" teriak Lor Parereg seraya melompat.
Perempuan tua itu tertawa tawar.
Barisan gigi-giginya ternyata masih utuh dan berwarna putih bersih.
"Siapa aku…?"
ujarnya. "Itulah yang aku sendiri tidak tahu!"
"Bedebah gila! Kalau
tidak lekas angkat kaki dari sini kupatahkan batang lehermu!"
"Kau mau patahkan batang
leherku? Lucu… lucu," kata si nenek sambil tertawa geli. "Rupanya
tendanganku tadi masih belum cukup?"
"Tua bangka keparat!
Sampai ke liang kubur kau akan menyesali diri!" bentak Lor Parereg. Lalu
dia melompat ke muka. Kedua tangannya bergerak cepat hendak menangkap leher
perempuan tua itu.
Plak!
Lor Parereg terhuyung ke
belakang. Tamparan nenek muka putih itu keras sekali membuat pemandangannya
berkunang-kunang. Amarahnya makin memuncak. Untuk kedua kalinya dia menerjang
ke muka namun sekali inipun tamparan lawan menghantam parasnya lebih dulu.
Membuat Lor Parereg untuk kedua kalinya berdiri nanar kesakitan!
"Anjing tua!
Mampuslah!"
Lor Parereg lepaskan satu
pukulan tangan kosong. Angin deras menggebu. Itu adalah satu pukulan tangan
kosong yang hebat. Tapi si perempuan tua muka putih hanya ganda melambaikan
lengan jubahnya maka serangan Lor Parereg menjadi musnah. Tubuhnya lalu
berkelebat lenyap dan kemudian plak… plak… plak… tamparan keras bertubi-tubi
mendarat di muka Lor Parereg. Kepala rampok ini terpelanting ke lantai. Mukanya
sembab biru, bibirnya pecah, salah satu giginya tanggal.
Dalam merintih menahan sakit
Lor Parereg menyambar pedangnya dari atas tempat tidur lalu untuk kesekian
kalinya menyerbu lagi.
"Bajingan edan! Kau
pantas dihajar setengah hidup setengah mampus!" nenek tua itu berseru.
Jengkel sekali dia kelihatannya, Selagi senjata lawan berkelebat ganas siap
membuat celaka tubuhnya, dengan satu gerakan aneh luar biasa perempuan muka
putih itu malah menyusup ke depan dan tahu-tahu tubuh Lor Parereg terbetot
sedang pedangnya sudah berpindah tangan!
Keringat dingin mengucur di
tengkuk Lor Parereg. Kini dia sadar kalau sedang berhadapan dengan manusia
berilmu tinggi luar biasa. Namun dia rasa-rasa masih kurang percaya. Dia masih
belum yakin lawannya benarbenar dapat bertindak begitu cepat. Ilmu silat apakah
yang telah dipergunakan oleh nenek tua bermuka putih itu?
Meskipun hatinya kecut namun
kemarahannya melebihi segala-galanya. Dengan dua tangan terpentang dan
rahang-rahang bertonjolan Lor Parereg maju mendekati si nenek.
"Makan ini!" bentak
Lor Parereg seraya memukulkan kedua tangannya dengan serentak. Empat rangkum
angin yang berlainan warna menderu. Goa itu laksana mau runtuh. Empat larik
angin pukulan itu dengan hebatnya melabrak tubuh si muka putih dari empat
jurusan yang sukar untuk dikelit!
"Manusia bajingan!
Pukulan Angin Empat Racun inikah yang hendak kau andalkan? Belajarlah dulu
sampai becus baru nanti dipergunakan lagi!" Habis berkata begitu perempuan
tua itu mendorongkan kedua telapak tangannya ke muka. Serangan Lor Parereg
kontan tertahan dan kemudian membalik sebat ke arah pemiliknya sendiri!
Lor Parereg berseru kaget.
Jika saja dia tidak lekas menjatuhkan diri dan berguling menjauh niscaya
dirinya dilanda maut!
Melihat kenyataan ini kepala
rampok Hutan Roban itu kini benar-benar sadar dan putus nyalinya. Sekalipun dia
punya lima kepala sepuluh tangan tak bakal dia bisa mengalahkan perempuan tua
yang muncul secara aneh itu.
Tanpa tunggu lebih lama dia
segera putar tubuh dan lari pontang-panting keluar goa. Di mulut goa masih
sempat didengarnya suara perempuan tua itu berkata, "Kalau saja pantangan
membunuhku sudah habis waktunya, niscaya sudah tadi-tadi kupecahkan batok
kepalamu!"
Lalu orang tua ini berpaling
pada Ning Larasati dan menarik nafas dalam. Saat itu Larasati berdiri di sudut
ruangan dengan wajah pucat pasi.
"Kau tak usah takut. Mari
ikut denganku," kata si nenek.
Larasati tak bergerak di
tempatnya. Dia sadar telah ditolong oleh si nenek tapi dia sendiri tidak tahu
siapa orang tua ini. Apakah benar-benar bakal menolongnya atau lebih jahat dari
Lor Parereg.
Si orang tua mendatangi dan
tersenyum. "Ayo kita keluar dari tempat ini."
"Nenek… terima kasih kau
telah menolongku. Tapi kau siapa sebenarnya?" tanya Larasati.
Perempuan tua itu tertawa,
"Siapa aku itulah yang aku sendiri tidak tahu. Namun mimpiku semalam kini
betulbetul menjadi kenyataan. Kau berjodoh denganku, anak." Lalu tanpa
banyak bicara lagi perempuan tua itu memegang pinggang Larasati. Sekali lompat
saja dia sudah berada di mulut goa!
***
KERETA itu bergerak cepat
sekali menyusuri kali kecil berair kuning lalu membelok memasuki jalan yang
berbatubatu.
Di jalan seburuk itu tak
mungkin kereta bergerak secepat sebelumnya. Namun Tunggul Bayana mencambuki
terus punggung kedua kuda penarik kereta hingga binatang ini lari seperti
kesetanan. Kereta meluncur miring, kadang-kadang terhempas dan mental ke atas.
Ketika matahari mulai condong
ke barat baru Tunggul Bayana memperlambat lari dua ekor kuda itu. Dia kemudian
memasuki sebuah lembah yang tak pernah didatangi manusia dan menghentikan
kereta di bawah sebuah pohon besar.
Setelah memandang dulu
berkeliling baru dia melompat turun dari atas kereta. Disibakkannya serumpunan
semak belukar. Di balik semak-semak itu terdapat sebuah lobang besar. Lobang
ini memang telah disiapkannya sejak tiga hari lalu. Dia kembali ke kereta lalu
satu demi satu dengan susah payah keempat peti itu diseretnya dan dimasukkannya
ke dalam lobang. Dari salah satu peti diambilnya sejumlah uang emas dan
dimasukkannya dalam kantong.
Lobang itu kemudian
ditimbunnya dengan tanah. Di atas timbunan ditutupnya dengan potongan semak
belukar sehingga tak kentara sama sekali kalau di tempat itu ada bekas galian.
Setelah meneliti dan memastikan segala sesuatunya, Tunggul Bayana membawa
kereta ke sebuah danau. Kendaraan ini ditenggelamkannya sedang dua ekor kuda
dilepaskannya. Lalu dengan menunggangi kudanya sendiri dia meninggalkan lembah
liar itu menuju ke utara yaitu ke jurusan Kotaraja.
***
SEWAKTU senja memasuki malam,
dua orang prajurit kerajaan tampak memacu kuda masing-masing memasuki Kotaraja.
Salah seorang di antaranya membawa sesosok tubuh perempuan di depan
pangkuannya. Mereka langsung menuju istana dan sama sekali tidak melayani
pertanyaan-pertanyaan para pengawal.
Di hadapan pintu gerbang besar
sebelah dalam yang menuju ke tempat persemayaman Sultan Trenggono, salah
seorang dari prajurit itu berkata, "Beri tahu pada Sultan bahwa kami ingin
menghadap."
"Malam-malam begini, ada
apa…?"
"Sesuatu telah terjadi
dengan rombongan Gusti Ayu Ning Larasati. Kuharap kau jangan banyak tanya dulu.
Aku harus memberikan laporan!"
Mendengar itu
prajurit-prajurit yang mengawal pintu gerbang tersebut segera masuk ke dalam.
Beberapa saat kemudian dia keluar lagi dan menerangkan bahwa Sultan telah siap
menunggu di ruangan dalam. Dengan masih membawa sosok tubuh perempuan, kedua
prajurit tadi bertindak masuk.
Air muka Sultan Trenggono
tampak berobah melihat masuknya dua prajurit itu. Sementara kedua prajurit menjura,
mata Sultan memandang lekat-lekat pada perempuan yang ada di bahu kiri salah
seorang dari prajurit yang datang menghadap.
"Kalau aku tidak salah
itu adalah pengasuh Larasati.
Apa yang terjadi? Dan mana
puteriku?" tanya Sultan Trenggono.
"Kami dalam perjalanan
pulang dari Leces. Perempuan ini kami temui di tengan jalan di antara
mayat-mayat prajurit kerajaan. Sebuah kereta istana juga kami temui di situ
dalam keadaan kosong."
Sultan Trenggono berdiri dari
kursinya. Untuk beberapa lamanya dia hanya bisa tegak mematung dengan mulut
menganga dan kedua mata terbuka lebar.
"Pasti rombongan puteriku
telah dihadang orang-orang jahat. Semua prajurit pengawal mati katamu?"
"Betul Sultan. Bahkan
mayat Raden Mas Panawa kami dapati di antara korban yang tewas. Kami belum
sempat mengurus mayat-mayat itu karena ingin cepat-cepat melapor."
"Celaka…," desis
Sultan Trenggono. Dia maju beberapa langkah. Ditelitinya sosok tubuh perempuan
yang dipanggul. "Masih hidup?"
Prajurit yang ditanya
mengangguk. "Bawa dia ke salah satu kamar di belakang. Panggil tabib dan
usahakan agar dia siuman secepat mungkin agar bisa ditanyai."
Sebelum menjalankan perintah
dua prajurit itu menjura lebih dulu. Pengasuh yang pingsan dimasukkan ke dalam
sebuah kamar. Tabib dipanggil dan segera datang. Begitu perempuan itu siuman
Sultan Trenggono segera diberitahu dan segera datang.
"Kau ikut bersama
rombongan Larasati bukan?" "Betul Sultan…"
"Kau ditemui dalam
keadaan pingsan. Katakan apa yang terjadi."
Pengasuh Ning Larasati itu menyeka
peluh di keningnya lebih dulu baru menjawab dengan muka yang masih pucat.
"Waktu itu kami baru saja
meninggalkan desa Kalicamat. Tiba-tiba hamba dengar ringkikan-ringkikan kuda
dan suara bentakan. Ternyata rombongan kami telah dihadang orang jahat. Mereka
berjumlah empat orang, berpakaian serba hitam. Raden Mas Panawa turun dari
kuda, bertempur dengan salah satu orang jahat itu. Lalu perkelahian terjadi.
Walau mereka berjumlah cuma empat tapi ternyata mereka memiliki kepandaian
tinggi. Perwira muda itu dan seluruh pengawal menemui ajal. Gusti Ayu dipaksa
keluar dari kereta dan dilarikan. Hamba…, hamba tak kuasa melindunginya karena
hamba ditendang dan tak ingat apa-apa lagi…"
Sultan berpaling pada
prajurit-prajurit yang telah menemukan pengasuh itu. "Apa kalian sudah
meneliti tempat kejadian itu dan tidak menemukan puteriku?"
"Sudah Sultan dan Gusti
Ayu tidak ada di situ."
Sultan merasakan dadanya
sesak. "Panggil Brajaseta kemari!" perintahnya.
5
RAJASETA adalah Perwira Tinggi
di Demak yang memegang jabatan sebagai Kepala Pasukan Kerajaan. Orangnya tinggi
kekar. Dia amat disegani dan dihormati karena ilmu silat dan kesaktiannya yang
tinggi.
Begitu Brajaseta memasuki
kamar Sultan Trenggono segera menerangkan apa yang telah terjadi dan memberi
perintah agar saat itu juga Brajaseta bersama beberapa perwira kerajaan dan
seratus prajurit melakukan penyelidikan dan pengejaran.
"Selambat-lambatnya besok
pagi aku harus sudah mendapat kabar tentang puteriku itu!" Lalu dengan
hati masygul Sultan meninggalkan tempat tersebut. Baginya kehilangan empat peti
uang dan perhiasan bukan menjadi apa dibandingkan dengan keselamatan puteri
yang sangat disayanginya itu meski cuma puteri dari seorang selir.
Sultan Trenggono baru saja
masuk ke dalam kamarnya sewaktu tiba-tiba pintu diketuk dan Brajaseta muncul di
ambang pintu.
"Ada apa Brajaseta?
Bukankah kau seharusnya sudah berangkat?"
Perwira Tinggi itu menjura.
"Harap dimaafkan Sultan.
Ketika saya menemui
tokoh-tokoh silat istana untuk berunding, seorang pengawal mengatakan ada
seorang lelaki ingin menghadap Sultan. Ketika ditanya maksud kedatangannya dia
tidak mau menerangkan. Katanya dia hanya mau bicara dengan Sultan dan katanya
ada sangkutpautnya dengan malapetaka yang barusan dilaporkan."
"Bawa orang itu
kemari!" kata Sultan seraya mendudukkan diri di kursi.
Sultan tak menunggu lama.
Pintu ruangan terbuka dan Brajaseta bersama dua prajurit masuk membawa seorang
laki-laki berpakaian kumal, bermuka lusuh. Di hadapan Sultan orang ini menjura
dalam-dalam.
"Terangkan siapa kau dan
jelaskan maksud kedatanganmu," kata Sultan setelah lebih dulu meneliti
orang itu beberapa saat lamanya.
"Nama hamba Wiku
Tembereng. Hamba seorang petani miskin dari desa Kalicamat. Pagi tadi hamba
dalam perjalanan ke hutan untuk mencari kayu jati. Tiba-tiba di balik semak
belukar hamba lihat empat orang laki-laki berpakaian serba hitam. Mereka
membicarakan sesuatu.
Karena sikap mereka
mencurigakan maka diam-diam hamba mencuri dengar apa yang dibicarakan. Rupanya
mereka adalah perampok-perampok Hutan Roban yang hendak melakukan penghadangan.
Nama-nama mereka adalah Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko. Orang keempat
tak tahu jelas siapa namanya. Keempatnya menyebut nama Gusti Ayu Ning
Larasati…"
"Tunggu dulu!"
potong Sultan Trenggono. "Bagaimana kau bisa tahu nama ketiga orang
itu?"
Si petani menelan ludahnya dan
menjawab, "Mereka bicara saling memanggil nama…"
"Teruskan
keteranganmu!"
"Yang bernama Parereg
rupanya yang menjadi pimpinan di antara mereka. Hamba dengar dia mengatur
rencana penghadangan dan pelarian. Begitu penghadangan berhasil, salah seorang
kawannya disuruhnya lari ke timur. Dua orang membawa lari barang rampokan ke
sebuan kuil di Bukit Mangatas dan menanamnya dalam lobang. Parereg sendiri
hamba dengar mengatakan bahwa dia akan menculik Gusti Ayu dan menyembunyikannya
di satu tempat lalu akan melakukan pemerasan terhadap Sultan…"
"Bedebah!" maki
Sultan sambil kepalkan tinju.
"Apa kau tahu ke mana
Gusti Ayu dibawa?" tanya Brajaseta pada si petani.
"Hamba tidak tahu,
perwira," jawab si petani, "Namun menurut Parereg besok mereka akan
bertemu di Bukit Mangatas itu dan kemungkinan Parereg akan membawa Gusti Ayu ke
situ."
Sunyi seketika.
"Coba kau terangkan
ciri-ciri orang bernama Parereg itu," kata Brajaseta.
Wiku Tembereng menerangkan
ciri-ciri Lor Parereg.
"Kemudian apa yang
terjadi?" tanya sang perwira.
"Sebelum hamba ketahuan
berada di situ, hamba cepat-cepat pergi dan pulang ke rumah. Hamba ceritakan
kejadian itu pada istri hamba dan dia mengusulkan agar hamba cepat-cepat
memberi tahu istana. Hamba seorang petani miskin, tak punya kuda. Hamba jalan
kaki untuk datang kemari. Itu sebabnya malam-malam begini baru sampai."
Sultan berpikir sejenak. Lalu
berpaling pada Brajaseta.
"Bagaimana pendapatmu
Dimas Brajaseta?"
"Ada baiknya jika saya
melakukan penyelidikan dulu ke Bukit Mangatas."
"Bolehkah hamba
mengemukakan pendapat?" tiba-tiba si petani menyeletuk.
Semua mata ditujukan pada Wiku
Tembereng.
"Bicaralah," kata
Sultan pula.
"Rampok-rampok Hutan
Roban rata-rata licik dan amat cerdik dalam melakukan segala tindakan. Hamba
khawatir penyelidikan pendahuluan yang akan diadakan diketahui oleh mereka.
Mungkin Sultan bisa mendapatkan semua harta yang ditanam di kuil itu kembali.
Tapi Parereg tentu bakal diberi laporan sehingga dia tak jadi datang ke situ.
Ini berarti Gusti Ayu tak bakal bisa diselamatkan. Menurut pendapat hamba yang
tolol ini sebaiknya dilakukan penyergapan pada tengah hari besok. Yaitu pada
saat keempat penjahat itu melakukan pertemuan di Bukit Mangatas di mana Parereg
akan datang membawa Gusti Ayu…"
Apa yang dikatakan petani ini
memang ada benarnya.
Untuk beberapa lamanya semua
orang berdiam diri. Akhirnya Sultan Trenggono memecah kesunyian.
"Apa yang kau katakan itu
pantas untuk dipikirkan." Lalu Sultan berpaling pada salah seorang
pembantu.
"Berikan lima keping uang
perak dan seekor kuda padanya untuk pulang ke rumah."
"Sultan," si petani
berkata seraya menjura, "apa yang hamba lakukan ini sama sekali tidak
mengharap pamrih balas jasa. Itu adalah kewajiban."
Sultan tersenyum. Dia memberi
isyarat. Si petani dibawa keluar ruangan.
"Sultan," kata
Brajaseta begitu si petani pergi, "Hamba merasakan ada hal-hal yang tidak
wajar pada diri petani yang mengaku bernama Wiku Tembereng itu."
"Hem, apa maksudmu
Brajaseta?"
"Sikap hormat dan
bicaranya seperti dibuat-buat…"
Sultan tersenyum "Lebih
tepat kalau dikatakan petani itu agak gugup berhadapan dengan kita. Tapi itu
bukan alasan untuk curiga. Seorang rakyat biasa yang tak pernah masuk istana
dan berhadapan dengan rajanya, biasanya gugup macam begitu."
"Hal lain yang
mencurigakan hamba…," kata Kepala Pasukan Demak itu, "ialah jalan
pikirannya yang cerdik.
Seorang petani biasa tak
mungkin bisa mengemukakan pendapat secerdik dia…"
Sultan melambaikan tangannya.
"Lenyapkan segala kecurigaanmu. Tidak selamanya rakyat jelata atau orang
dari kalangan rendah itu berotak tolol. Banyak dari mereka yang pandai dan
cerdik."
"Satu lagi Sultan,"
kata Brajaseta masih belum mau mengalah. "Wiku Tembereng menerangkan bahwa
dia telah berjalan kaki dari desanya kemari. Tadi saya perhatikan.
Boleh dikata hampir tak ada
debu yang melekat di kedua kakinya. Mana mungkin…"
"Sudahlah. Yang penting
sekarang siapkan orangmu dan besok siang tepat tengah hari sudah harus ada di
Bukit Mangatas." Habis berkata begitu Sultan Trenggono berdiri. Brajaseta
tak bisa berbuat apa-apa lagi padahal tadi dia sudah punya rencana untuk
memanggil petani itu kembali. Dalam hatinya dia tetap menaruh syak wasangka.
Sementara itu si petani yang
mengaku bernama Wiku Tembereng memacu kuda hadiahnya keluar dari Kotaraja.
Sepanjang jalan lima keping
uang perak yang dimasukkannya ke dalam saku pakaian berdering-dering. Sepanjang
jalan itu pula di mulut Wiku Tembereng tersungging senyum.
"Kukira cuma si Kunto
Handoko saja manusia tolol di dunia ini! Kiranya Sultan dan Kepala Pasukan
Demak itupun bisa kutipu! Ha… ha! Dan si Parereg itu pasti akan terjebak kalau
dia betul-betul datang ke Bukit Mangatas besok!"
Sekali lagi Wiku Tembereng tertawa
terbahak-bahak.
Memang cukup lucu karena
namanya sebenarnya bukanlah Wiku Tembereng melainkan Tunggul Bayana.
6
KETIKA pada tengah hari itu
Rah Gludak sampai di Bukit Mangatas, terkejutlah dia. Kunto Handoko ditemuinya
menggeletak tak bergerak di tanah. Rah Gludak melompat dari punggung kuda dan
langsung menghampiri sosok tubuh kawannya. Hatinya lega sedikit ketika
mengetahui bahwa Kunto Handoko masih bernafas meskipun satu-satu seperti orang
siap sekarat "Apa yang terjadi dengan dirinya," pikir Rah Gludak. Dia
memandang berkeliling. "Di mana pula si Tunggul Bayana.
Seharusnya dia ada di sini
saat ini."
Selintas pikiran muncul di
benak Rah Gludak. Dia cepat berdiri dan setengah berlari menuju ke bagian
belakang kuil. Sepasang matanya jadi melotot. Lobang yang tempo hari digalinya
bersama teman-temannya kosong melompong, tak beda dengan keadaan sebelumnya.
"Apa yang terjadi!
Mungkinkah Tunggul Bayana berkhianat?!"
Rah Gludak cepat berpaling
ketika didengarnya suara kaki-kaki kuda dari arah belakang. Semula disangkanya
Tunggul Bayana. Yang muncul ternyata Lor Parereg.
"Apa yang terjadi dengan
Kunto Handoko?" tanya Lor Parereg.
Rah Gludak melihat bibir Lor
Parereg pecah. Dia menjawab, "Ada yang tak beres di sini Parereg. Tunggul
Bayana tidak kelihatan mata hidungnya! Harta-harta rampokan juga tidak ada.
Lobang yang kita gali tempo hari ternyata kosong melompong!"
Berobahlah paras Lor Parereg.
Sekali lompat saja dia sudah berada di tepi lobang.
"Keparat!" kata Lor
Parereg sambil mengepalkan tinju.
"Pasti si Tunggul Bayana
itu berkhianat!" Dia kelihatan marah sekali. Pelipisnya bergerak-gerak.
Lalu dia pergi ke bagian depan kuil dan memeriksa tubuh Kunto Handoko.
"Dia telah
diracuni!" kata Lor Parereg setelah meneliti keadaan Kunto Handoko. Bibirnya
jelas kelihatan membiru.
Kemudian dilihatnya bekas
totokan pada pangkal leher anak buahnya itu. "Untung dia masih bisa
menotok jalan darahnya. Kalau tidak pasti dia sudah mati saat ini!"
Dari balik pakaiannya Lor
Parereg mengeluarkan satu lipatan kertas berisi sejenis bubuk berwarna putih.
Bubuk ini dimasukkannya ke dalam mulut Kunto Handoko.
Setelah menunggu beberapa lama
dilepaskannya totokan pada pangkal leher laki-laki itu. Tak selang berapa lama
Kunto Handoko membuka kedua matanya perlahan-lahan.
Lor Parereg yang sudah tak
sabaran menepuk-nepuk muka anak buahnya itu.
"Hai! Ayo bangun! Bangun!
Sadar, jangan mimpi!"
Lor Parereg menyandarkan
kepala Kunto Handoko pada reruntuhan tembok kuil. Sepasang mata Kunto Handoko
memandang berkeliling. Dia berusaha mengumpulkan ingatannya kembali.
"Ceritakan apa yang
terjadi," kata Lor Parereg.
Yang ditanya masih berdiam
diri macam orang bingung.
"Ayo ceritakan! Kau
kutemui menggeletak pingsan. Apa yang terjadi? Siapa yang punya pekerjaan?
Ayo!" Kembali Lor Parareg menepuk-nepuk pipi Kunto Handoko.
Rasa sakit pada mukanya
memulihkan ingatan Kunto Handoko. Tapi yang dilakukan laki-laki ini bukannya
menjawab pertanyaan Lor Parereg melainkan duduk bersila mengatur jalan nafas
dan darahnya. Lor Parereg menggerutu habis-habisan. Tapi dia memaklumi apa yang
dilakukan Kunto Handoko itu adalah satu keharusan yaitu untuk menghindarkan
luka dalam akibat keracunan.
Selesai mengatur jalan nafas
dan peredaran darahnya Kunto Handoko muntah-muntah. Dadanya yang tadi sesak
perlahan-lahan terasa lega. Kepalanya yang berat kini menjadi enteng.
"Sekarang cepat terangkan
apa yang terjadi!" kata Lor Parereg tak sabar lagi.
Kunto Handoko lalu menerangkan
bahwa dia dan Tunggul Bayana sampai di tempat itu sekitar tengah hari kemarin.
Diceritakannya bagaimana Tunggul Bayana mengkhawatirkan luka di bahunya lalu
memberikan sebutir obat. Tak lama sesudah obat itu ditelannya kepalanya terasa
berat. Dadanya sakit, lalu dia muntah-muntah dan tak ingat apa-apa lagi.
"Tunggul Bayana keparat
haram jadah!" Suara Lor Parereg menggeram bergetar. "Berani dia
mengkhianati kita! Kita harus cari dia dan cincang sampai lumat!"
"Dia pantas digantung
kaki ke atas kepala ke bawah.
Lalu dihukum picis!" kata
Rah Gludak yang sejak tadi diam saja.
Ketiga orang itu melangkah
menuju ke kuda masingmasing.
Namun langkah mereka serta-
merta terhenti.
Sepasang kaki mereka laksana
dipantek ke tanah. Mata mereka membeliak dan memandang berkeliling.
Sesaat itu dari balik semak
belukar muncul puluhan prajurit bersenjata lengkap, mengurung puncak bukit itu
dalam dua lapor berbentuk lingkaran. Seorang lelaki berpakaian perwira dan
bertubuh tinggi kekar diiringi oleh dua orang pemuda yang juga mengenakan
seragam perwira kerajaan melangkah kehadapan Lor Parereg dan dua kawannya.
"Kalian bertiga sudah
terkurung!" kata perwira yang paling depan dan bukan lain adalah
Brajaseta. "Tidak ada guna melawan. Menyerah lebih baik!"
"Apa-apaan ini?!"
tanya Lor Parereg membentak.
"Kau dan dua kawanmu kami
tangkap Parereg! Dan jangan banyak mulut!" kata Brajaseta pula.
"Ditangkap?"
Sepasang mata Lor Parereg melotot dan berputar liar "Bah! Kami tidak ada
urusan dengan kalian kecoak-kecoak kerajaan!"
Brajaseta menyeringai
mendengar dirinya dan anak buahnya disebut kecoak kerajaan. Dengan kedua tangan
diletakkan di pinggang Brajaseta kembali membuka mulut, "Kau dan
kawan-kawanmu telah menghadang rombongan Gusti Ayu Ning Larasati. Merampok
barang-barang kerajaan dan menculik puteri Sultan!"
Lor Parereg orangnya memang
pandai dan licik. Dia memandang pada Kunto Handoko dan Rah Gludak. Ketiga orang
itu lalu tertawa gelak-gelak. Dua perwira muda yang turut bersama Brajaseta
kelihatan sudah tidak sabar untuk buru-buru turun tangan. Namun tanpa mendapat
isyarat atau perintah mereka tidak berani bertindak mendahului.
Sambil balas berkacak pinggang
Lor Parereg berkata, "Perwira, kau lihatkah matahari bersinar terik di
atas batok kepalamu? Ini satu pertanda bahwa saat ini tengah hari bolong! Dan
adalah aneh kalau kau bicara melantur macam orang mimpi mengigau! Jangan
menuduh yang bukan-bukan! Jangan mimpi di siang bolong!"
Dengan tenang malah sambil
tertawa Brajaseta menjawab, "Mungkin kau yang mimpi Lor Parereg!"
"Hem, tunggu dulu! Dari
mana kau tahu namaku Lor Parereg?!"
"Tanya jawab ini bisa
kita lanjutkan nanti di Kotaraja!"
jawab Brajaseta. Dia memandang
berkeliling. "Setahuku kalian berjumlah empat orang. Mana kunyuk yang satu
lagi?!"
Lor Parereg geleng-gelengkan
kepala.
"Sebaiknya jangan
teruskan mimpi anehmu itu. Sekali aku bilang tak ada urusan dengan kalian,
tetap tak ada urusan. Sekarang minggir! Beri jalan!"
"Hem kau mau ke mana
Parereg? Jika hendak pergi ke Kotaraja kami akan mengantarkan kau dan
kawan-kawanmu ke sana!" kata Brajaseta pula. Lalu dia goyangkan kepala
pada dua perwira muda di sampingnya. Ketiganya maju bersamaan.
"Gila! Kalian hendak
turun tangan terhadap orang yang tidak punya salah apa-apa?!" teriak Lor
Parereg.
"Kejahatan kalian telah
jelas. Segala apa yang kalian bicarakan sudah kami dengar. Jika kau dan
teman-temanmu tidak mau menyerahkan diri dengan damai, kekerasan mungkin lebih
baik!"
"Cara kekerasan dan
mengeroyok! Pengecut! Kau mengandalkan puluhan prajurit!" kata Lor
Parereg.
"Jangan khawatir.
Prajurit-prajurit itu hanya menjadi penonton. Kecuali kalau kau coba melarikan
diri!"
"Perwira tolol! Kau
mencari mati!" bentak Lor Parereg lalu hunus kerisnya. Kunto Handoko dan
Rah Gludak mencabut pedang. Brajaseta serta dua perwira muda segera pula
mengeluarkan senjata masing-masing yakni sebatang pedang berukuran pendek.
Sesaat kemudian pertempuran satu lawan satu berkecamuk hebat.
Dalam memainkan keris Lor
Parereg tidak kalah hebat jika dibandingkan dengan cara dia memainkan pedang.
Tubuhnya berkelebat gesit
sekali. Kerisnya seolah-olah lenyap dan senjata itu menderu-deru sebat menusuk
dan membabat kian kemari secara tidak terduga dan ganas.
Selama malang melintang
menjadi kepala rampok Hutan Roban betapapun tangguh lawan yang dihadapinya,
paling lama si lawan hanya sanggup bertahan sampai duapuluh jurus. Tapi kali
ini setelah berkelahi sepuluh jurus saja Lor Parereg segara menyadari bahwa
lawan yang dihadapinya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Dalam waktu
dekat dia pasti akan roboh di tangan lawan! Meskipun demikian Lor Parereg tidak
mau menyerah mentahmentah.
Segala tipu daya dan
jurus-jurus ilmu silat simpanannya dikeluarkan. Permainan kerisnya sekali-kali
diseling dengan pukulan tangan kosong yang hebat. Bahkan dia berulang kali
melepaskan pukulan sakti Angin Empat Racun. Tapi kesemuanya itu sia-sia belaka.
Kalau dengan bersenjata Lor
Parereg tidak sanggup mempertahankan diri lama-lama maka tanpa senjata dua
jurus kemudian dia tidak dapat berbuat apa-apa ketika hulu pedang pendek di
tangan Brajaseta membalik dan menghantam ganas keningnya. Lor Parereg
menggeletak pingsan. Dua orang prajurit atas perintah Brajaseta dengan cepat
meringkusnya, mengikat tangan serta kakinya.
Sementara itu perkelahian
antara Kunto Handoko dan Rah Gludak melawan dua perwira muda kerajaan tak kalah
serunya. Sampai duapuluh jurus suasana kelihatan seim bang. Namun setelah dua
perwira itu merobah permainan silat mereka maka dua anak buah Lor Parereg itu
jadi dibikin sibuk. Di samping itu tertangkapnya Lor Parereg sedikit banyak
mempengaruhi nyali mereka. Sehingga meskipun bertahan mati-matian akhirnya
keduanya kena dirobohkan juga. Mula-mula Kunto Handoko terdengar menjerit. Bahu
kirinya luka parah disambar pedang lawan.
Lalu satu tendangan pada
dadanya membuat tubuhnya mencelat dan roboh tak sadarkan diri.
Rah Gludak mengalami nasib
sama. Masih untung dia tidak mendapat luka-luka. Tubuhnya kena ditotok pada
bagian bawah ketiak. Dia tergelimpang di tanah dalam keadaan kaku.
Brajaseta dan orang-orangnya
memeriksa seluruh puncak Bukit Mangatas. Tak satupun yang dapat mereka temui
untuk dijadikan bahan pelacakan empat peti harta dan Ning Larasati. Bersama
ketiga tawanan itu akhirnya mereka kembali ke Kotaraja. Tapi Brajaseta tak lupa
untuk menempatkan beberapa prajurit di situ guna mengawasi daerah tersebut.
7
SETELAH dihadapkan pada Sultan
Trenggono ketiga tawanan dimasukkan ke sebuah ruangan di bawah tanah. Di situ
terdapat berbagai macam alat-alat aneh untuk menyiksa manusia. Masih dalam
keadaan terikat Lor Parereg dan kawan-kawannya dibaringkan di lantai kotor yang
ada bekas-bekas darahnya. Dekat kaki dan kepala mereka terdapat sebuah roda
besar dari kayu yang dicanteli rantai besar. Setiap roda kayu ditangani oleh
seorang juru penyiksa.
"Parereg," menegur
Brajaseta. "Kau tidak terlalu tolol untuk mengetahui di mana kau berada
bukan?"
Sesaat Lor Parereg memandang
berkeliling. Lalu dia berpaling pada Brajaseta dan dua perwira muda yang
berdiri disamping Kepala Pasukan Demak itu. Tiba-tiba dia menyeringai aneh.
"Manusia-manusia tak
berdaya dijebloskan ke dalam ruang penyiksaan. Apakah ini tindakan manusia yang
mengaku beradab?"
Brajaseta keluarkan suara
mendengus. "Terhadap manusia-manusia macammu dan kawan-kawanmu tak perlu
diributkan soal peradaban. Peradaban tak ada kamusnya untuk manusia-manusia
biadab macam kalian!
Duapuluh prajurit Demak kalian
bunuh. Bahkan juga seorany perwira Kerajaan. Apakah itu beradab?"
"Mereka sudah ditakdirkan
mati! Aku muak bicara tentang manusia-manusia yang sudah mati!"
"Sebentar lagi kaupun
akan mati Parereg. Juga dua kawanmu ini!"
"Oh begitu?"
"Ya!"
"Berarti Sultan Trenggono
akan kehilangan empat peti uang serta barang-barang berharga. Akan kehilangan
puteri yang paling dikasihinya untuk selama-lamanya!" ujar Lor Parereg
lalu tertawa gelak-gelak,
"Bagus!" ujar
Brajaseta. "Kau rupanya bukan seekor tikus yang takut mati. Tapi ingat
kematian itu bukan apaapa.
Hanya beberapa detik saja.
Tapi saat-saat menjelang kematian itu yang justru amat mengerikan. Lebih
menyiksa dan lebih kejam dari kematian itu sendiri!"
Lor Parereg tertawa dingin.
"Hari ini kau boleh gembira dengan kematianku. Hari ini kau boleh berpesta
pora dengan kematian kami bertiga. Tapi jangan lupa sobat, pesta kematianmu-pun
kelak bakal tiba. Lebih meriah dari kematian kami!"
Brajaseta mengangkat tangan
memberi isyarat. Prajuritprajurit yang berada di samping roda-roda besar
mengikat kedua tangan dan kaki tiga rampok Hutan Roban itu. Lalu roda-roda itu
mulai diputar hingga tubuh Lor Parereg, Kunto Handoko dan Rah Gludak terangkat
ke atas. Setiap kali roda itu diputar, kaki dan tangan meraka tambah meregang
hingga akhirnya ketiganya terpental di atas lantai!
"Kita mulai lagi bicara,
Parereg!" kata Brajaseta.
"Sekarang kau tentu lebih
sedap untuk berbincangbincang.
Nah di mana kau sembunyikan
Gusti Ayu Ning Larasati?"
Lor Parereg menyeringai.
Antara dendam dan kesakitan. "Tanyakan pada roh manusia-manusia yang
pernah kau siksa sampai mati di ruangan ini!" katanya.
"Di mana kau simpan
barang-barang rampokan?"
"Tanyakan pada setan nereka!"
"Di mana kawanmu yang
seorang lagi?" tanya Brajaseta lagi.
"Tanya pada dedemit Hutan
Roban," sahut Lor Parereg.
Rahang Brajaseta menggembung.
Dia memberi tanda pada juru putar yang ada di dekat Kunto Handoko. Dua prajurit
ini segera memutar roda-roda kayu itu. Makin kencang, makin kencang hingga
tubuh Kunto Handoko tambah meregang. Keringat memercik di muka dan seluruh
tubuh perampok ini. Dia mengernyit tanda menahan sakit yang amat sangat. Dan
roda-roda penyiksa itu masih terus diputar. Kunto Handoko merasa sepasang kaki
dan tangannya seperti mau tanggal berserabutan. Sakitnya bukan kepalang. Dia
menjerit mengerikan. Untuk beberapa lamanya suara jeritannya masih menggema di
ruangan penyiksaan itu!
"Kau dengar jeritan itu
Parereg!" kata Brajaseta seraya menyeringai.
Lor Parereg tak menjawab.
Matanya memandang ke langit-langit ruangan.
Brajaseta memberi isyarat.
Kini pada dua prajurit yang menjaga roda-roda kayu penyiksa Rah Gludak. Salah
seorang dari mereka mendekati Rah Gludak lalu merobek bajunya. Kawannya
mengeluarkan segulung cambuk.
Benda ini diputar-putarnya di
udara hingga mengeluarkan suara menderu-deru. Tiba-tiba cambuk itu melesat ke
bawah dan menghantam dada Rah Gludak yang terbuka.
Rah Gludak memekik kesakitan.
Lalu mulutnya terkancing menahan rasa sakit. Di saat itu kembali cambuk melanda
tubuhnya. Lagi dan lagi hingga Rah Gludak berteriak tiada henti macam orang
gila. Dadanya penuh dengan guratan-guratan luka yang dalam. Darah membasah.
Dari dalam sakunya salah
seorang prajurit mengeluarkan sebuah jeruk nipis. Dia menggigit buah ini lalu
memerasnya di atas dada Rah Gludak yang berlumuran darah. Rah Gludak melolong
setinggi langit sewaktu air perasan jeruk itu membasahi luka-luka di dadanya!
"Kau dengar lolongan itu
Parereg?" tanya Brajaseta dekat-dekat ke telinga Lor Parereg. Yang ditanya
masih tetap memandang ke langit-langit ruangan.
"Kau mendengar. Pasti
mendengar. Tapi kau pura-pura mempertuli telingamu. Pura-pura tak mendengar.
Kau tak mungkin lari dari kengerian itu. Karena kau juga bakal mengalaminya.
Bakal merasakannya! Kecuali kalau kau mau buka mulut!"
"Buka mulut soal
apa?!" tanya Lor Parereg. Meski dia sudah tahu keterangan apa yang
diinginkan Brajaseta tapi dia pura-pura bertanya mengulur waktu.
"Tentang Gusti Ayu
Larasati. Tentang barang-barang kerajaan yang kau rampok. Juga tentang kawanmu
yang seorang lagi!" jawab Brajaseta.
"Dua pertanyaanmu yang
pertama tak bisa kujawab!" kata Lor Parereg.
"Aneh!" sahut
Brajaseta sambil rangkapkan lengan di muka dada.
"Aku tidak tahu di mana
Gusti Ayu Larasati. Juga barang-barang itu!"
Brajaseta manggut-manggut.
"Lalu pertanyaan yang ketiga?"
"Aku juga tidak tahu di
mana dia berada sekarang.
Namanya Tunggul Bayana. Dia
pengkhianat busuk! Kelak akan kucincang tubuhnya sampai lumat!"
"Aku tak percaya padamu
Parereg. Lekas katakan di mana Gusti Ayu dan empat peti itu berada!"
"Sekalipun kau korek biji
mataku, aku tak bakal dapat memberi keterangan karena aku betul-betul tidak
tahu!"
"Pengasuh Gusti Ayu
mengatakan kaulah yang telah menculik Gusti Ayu!"
"Perempuan itu tentu
sudah miring otaknya akibat tendanganku!" kata Lor Parereg. "Ada satu
hal yang ingin kutanyakan. Bagaimana kau tahu bahwa aku dan kawankawan ada di
Bukit Mangatas?"
"Dedemit Hutan Roban yang
mengatakan padaku!" jawab Kepala Pasukan Demak.
Lor Parereg tertawa.
"Rupanya kau juga bisa bergurau sobat! Apakah kau juga bersedia melepaskan
ikatan rantai besi pada tangan dan kakiku?"
"Itu soal gampang saja.
Asal kau mau memberi keterangan!" sahut Brajaseta.
"Aku benar-benar tidak
tahu!"
"Kalau begitu biar alat
penyiksa itu yang akan menanyakannya padamu!" Brajaseta mulai jengkel. Dia
melambaikan tangannya pada dua prajurit. Keduanya segera memutar roda-roda
kayu. Kaki dan tangan Lor Parereg terpentang makin tegang. Lor Parereg merasa
ajalnya segera akan sampai. Bagaimanapun dia tak mau mati.
"Tunggu dulu!"
teriak Lor Parereg.
"Ah, kau mau bicara
Parereg?!" tanya Brajaseta.
"Ya."
"Bicaralah! Itu lebih
bagus daripada tangan dan kakimu tanggal satu demi satu!"
"Dekatkan telingamu
Brajaseta. Apa yang hendak kukatakan ini rahasia sekali!"
Brajaseta mendekatkan
telinganya ke muka Lor Parereg. Saat itu pula Lor Parereg berteriak, "Kau
keparat gila!"
"Bangsat kurang
ajar!" teriak Brajaseta. Kedua tangannya kiri kanan meninju muka Lor
Parereg hingga babak belur. Kedua matanya menggembung bengkak.
Bibirnya pecah dan hidung
melelehkan darah kental.
"Kepala Pasukan Demak
ternyata saorang manusia pengecut! Hanya berani pada orang yang tidak
berdaya!"
Brajaseta jadi panas.
"Lepaskan
ikatannya."
Dua prajurit segera melakukan
perintah itu. Ikatan rantai besi pada kaki dan tangannya dicopot. Dia berdiri
dengan sempoyongan, bersandar ke salah satu roda kayu.
Sepasang matanya menyorotkan
dendam kesumat.
"Lor Parereg! Akan
kubuktikan bahwa aku bukan pengecut! Mulailah!" kata Brajaseta.
Lor Parereg maju selangkah.
Tiba-tiba dia menerjang ganas. Kedua tangannya dipukulkan serentak. Delapan
larik asap menggebu ke arah Kepala Pasukan Demak itu.
Brajaseta melompat ke atas.
Pukulan Angin Empat Racun yang dilepaskan Lor Parereg menghantam sebuah rak
yang berisi seperangkat alat-alat penyiksa. Benda-benda itu hancur berantakan
berikut raknya.
"Keluarkan semua
kesaktianmu Parereg!" kata Brajaseta yang tetap tenang sambil memasang
kuda-kuda.
Keduanya berputar-putar
mengintai kelemahan dan kelengahan lawan.
Tiba-tiba Lor Parereg
menyambar sepotong besi dan dengan benda itu dia menyerang Brajaseta dalam
jurusjurus ilmu pedang yang ganas.
Untuk beberapa jurus lamanya
Brajaseta harus berlaku hati-hati karena Lor Parereg kelihatan sangat kalap.
Potongan besi di tangannya
yang cukup berat itu menderuderu lenyap menjadi sinar hitam dan mengurung
Brajaseta.
"Ciaat!"
Kepala Pasukan Demak itu
membentak nyaring.
Tubuhnya berkelebat lenyap.
Lor Parereg merasakan sambaran angin di punggungnya. Dengan cepat dia memutar
batangan besi ke belakang lalu membalik sambil melancarkan satu pukulan tangan
kosong dengan tangan kiri.
Sekali lagi Brajaseta
membentak dan sekali lagi pula tubuhnya berkelebat lenyap. Kembali Lor Parereg
merasakan ada sambaran angin serangan di belakangnya. Seperti tadi kembali dia
membalik seraya hantamkan potongan besi. Tapi kali ini dia hanya sempat membuat
gerakan setengah memutar karena saat itu satu pukulan keras menghantam
lengannya. Lor Parereg mengeluh kesakitan.
Tulang lengannya seperti
patah. Potongan besi terlepas dan jatuh ke lantai ruangan.
Lor Parereg masih belum
melihat di mana saat itu lawannya berada. Tahu-tahu satu jotosan keras melanda
mukanya. Kepalanya serasa meledak. Sesaat dia tertegak nanar lalu roboh pingsan
dengan muka matang biru babak belur.
"Ikat dia kembali!"
perintah Brajaseta. Bersama dua perwira muda itu dia lalu meninggalkan ruang
penyiksaan.
8
HARI ITU adalah hari yang
kedua Lor Parereg dan kawan-kawannya disekap di ruang penyiksaan.
Ketiganya masih dipentang di
atas roda kayu.
Mereka sama sekali tidak
diberi makan, hanya diberi minum sedikit. Keadaan ketiganya seperti setengah
sekarat.
Kunto Handoko membuka kedua
matanya yang bengkak. Dengan lemah dia berpaling pada Lor Parereg.
Dilihatnya kedua mata Lor
Parereg tertutup. Tubuhnya tak bergerak. Sudah matikah dia, pikir Handoko.
"Kau tidur atau pingsan
atau mati Parereg?" tanya Kunto Handoko.
"Sialan! Kau kira di
sorgakah kita saat ini hingga aku bisa tidur?!" terdengar suara Lor
Parereg. Suaranya masih keras tapi kedua matanya yang gembung tetap tertutup.
"Ajal kita tak lama lagi
tamat di tempat terkutuk ini!"
bicara lagi Kunto Handoko
sementara Rah Gludak diamdiam ikut mendengarkan pembicaraan itu.
"Kita tak bakal dibunuh.
Aku yakin!" kata Lor Parereg.
"Yakin?" ujar
Handoko. "Bagaimana kau bisa yakin?"
"Selama mereka belum tahu
di mana puteri Sultan berada, selama itu pula mereka akan membiarkan kita hidup."
"Tapi aku tak tahan
siksaan-siksaan yang mereka lakukan. Cepat atau lambat kita bakal mati!"
Kali ini Rah Gludak ikut bicara.
Sunyi sejenak.
Kemudian terdengar Kunto
Handoko bertanya, "Sebenarnya di mana kau sembunyikan puteri Sultan
Trenggono?"
Lor Parereg berpaling dan
memandang pada kawannya.
Dia hendak mengatakan sesuatu
tapi saat itu didengarnya pintu ruangan terbuka. Brajaseta masuk diiringi dua
orang pengawal. Setelah diberi isyarat dua pengawal itu meninggalkan ruangan.
Pintu ditutup kembali. Brajaseta melangkah mengelilingi ketiga tawanan itu,
akhirnya dia berhenti di samping sosok tubuh Lor Parereg.
"Setelah dua hari di sini
tentunya sekarang kalian merasa kerasan bukan?" tegur Brajaseta mengejek.
"Memang betul. Seperti di
rumah sendiri!" sahut Lor Parereg balas mengejek.
"Syukur. Syukur. Sayang
kami tidak bisa memberikan makanan yang enak-enak untuk kalian. Minumanmu cuma
air comberan!"
"Keparat!" Rutuk Lor
Parereg.
"Paling lambat sampai
tengah malam nanti kalian bertiga sudah harus mati!" kata. Brajaseta.
"Hem… Rupanya Sultanmu
lebih suka kehilangan puterinya," tukas Lor Parereg.
"Semua sudah
dipertimbangkan. Tak ada jalan lain.
Kalian harus mati tapi…"
"Tapi apa…?"
"Harus disiksa lebih
dulu!" Brajaseta bertepuk dua kali.
Pintu terbuka. Dua prajurit
masuk menggotong sebuah anglo tanah berisi api yang berkobar-kobar. Di dalam
anglo itu terdapat sebuah besi panjang yang gagangnya diberi lapisan karat.
Besi ini ujungnya berbentuk bulat. "Dirangket, dicambuk dan dipukuli memang
bukan apa-apa bagi kalian. Tapi pernahkah kalian melihat kerbau atau sapi yang
dicap tubuhnya dengan besi panas?" tanya Brajaseta.
Lor Parereg mendengus. Rah
Gludak dan Kunto Handoko menjadi pucat wajah masing-masing.
"Parereg!" kata
Handoko dengan suara bergetar. "Tak ada gunanya. Sebaiknya terangkan saja
di mana puteri Sultan kau sembunyikan!"
"Bangsat! Tutup
mulutmu!" sentak Lor Parereg. Dia marah sekali. "Kunyuk-kunyuk
Kerajaan ini tetap akan membunuh kita sekalipun kita memberi keterangan!"
Kunto Handoko menggerutu dalam
hati. Kalau saja dia tahu di mana puteri itu berada pasti sudah dikatakannya.
"Aku heran mengapa kau
jadi orang begini tolol Parereg!" kata Brajaseta seraya melangkah ke anglo
besar dan mengeluarkan besi merah panas itu. Lalu dia melangkah mendekati Rah
Gludak. Tentu saja orang ini ketakutan setengah mati!
"Parereg!" teriak
Rah Gludak. "Lekas kau katakan!
Bicaralah! Bicaralah Parereg!
Jangan tolol!"
Tapi Lor Parereg tenang-tenang
saja. Seperti tidak mendengar teriakan temannya itu.
Brajaseta menempelkan besi
merah yang dipegangnya ke pinggul Rah Gludak. Terdengar suara mendesis seperti
bara kena air. Detik itu pula meledak jeritan Rah Gludak.
Bau sangitnya daging yang
terpanggang memenuhi ruangan itu. Brajaseta sekali lagi menempelkan besi panas
itu ke tubuh Rah Gludak. Sekali lagi pula Rah Gludak berteriak setinggi langit.
"Kau lihat Parereg? Kau
dengar?!" ujar Brajaseta.
"Kenapa masih berlaku
tolol?!"
"Demi setan aku tidak
tahu di mana puteri Sultan berada!" Lor Parereg akhirnya memberi tahu.
"Kalau begitu
berteriaklah memanggil setan!" kata Brajaseta pula. Ujung besi panas itu
lalu ditempelkannya di kening Lor Parereg.
Cess!
Kulit dan daging kening itu
terpanggang merah. Tulang keningnya kelihatan jelas. Jeritan Lor Parereg
menggelegar.
Tubuhnya yang terpentang
bergoncang-goncang padahal keempat anggota badannya sudah terentang tegang.
Beberapa lamanya ruang
penyiksaan itu digelegari oleh jeritan-jeritan Lor Parereg, Rah Gludak dan
Kunto Handoko.
Daging tubuh dan muka mereka
kelihatan berlobanglobang hangus. Teriakan mereka baru berhenti setelah
ketiganya jatuh pingsan.
Brajaseta melemparkan besi
panas ke dalam Anglo. Dia berdiri bertolak pinggang. Pelipisnya bergerak-gerak.
"Keparat-keparat tolol
semua!" maki Kepala Pasukan Demak ini. Lalu ditinggalkannya ruangan itu.
Malam harinya Brajaseta masuk
kembali ke ruangan itu seorang diri. Pintu dikuncinya dari dalam. Ketiga
tawanan terpentang tak bergerak di atas roda-roda kayu, entah tidur entah masih
pingsan. Brajaseta mendekati Lor Parereg.
Matanya menyipit melihat
keadaan tubuh serta muka kepala rampok Hutan Roban itu. Penuh luka-luka,
bekasbekas hangus serta darah yang membeku.
Brajaseta menjambak rambut Lor
Parereg. "Bangun!" sentaknya.
Lor Parereg tidak bergerak.
Kedua matanya yang gembung terus menutup. Kepala Pasukan Demak itu berteriak
lebih keras. Terdengar erangan panjang keluar dari sela bibir Lor Parereg.
Perlahan-lahan kedua matanya membuka walau hanya sedikit. Mata itu berkaca-kaca
oleh cairan kuning sedang di kedua sudut mata mengental bekuan darah.
"Manusia iblis!"
desis Lor Parereg. "Siksaan apa lagi yang bakal kau lakukan?!"
"Dengar Parereg, aku mau
bicara!"
"Bicara nanti dengan
rohku!"
Brajaseta mendekatkan mukanya
ke wajah tawanan itu.
"Dengar, semua harta yang
kau rampok itu kau boleh ambil. Aku tidak perduli. Tapi beritahu di mana
Larasati berada…"
"Heh… untuk pertama kali
kudengar kau menyebut nama puteri itu tanpa gelaran Gusti Ayu."
"Itu bukan
urusanmu," kata Brajaseta. "Aku punya kepentingan sendiri. Jika kau
beri keterangan aku bersumpah untuk melepaskanmu."
Ini satu hal yang aneh bagi
Lor Parereg.
"Apa kepentinganmu
itu?" dia bertanya.
"Akan kukatakan setelah
kau memberi keterangan!"
"Heh, begitu?"
"Ya!"
Lor Parereg menyeringai.
"Goroklah batang lehermu!
Dan kau akan tahu di mana
puteri itu berada!"
"Rupanya kau tak
menginginkan kehidupan lagi? Sudah bosan hidup? Kau tak ingin membalaskan sakit
hatimu pada Tunggul Bayana yang telah mengkhianatimu?!"
"Yang aku inginkan saat
ini," sahut Lor Parereg pula, "ialah memuntir lehermu dan menghisap
darahmu!
Bangsat terkutuk!"
Brajaseta melepaskan
jambakannya. Dia melangkah mondar mandir.
"Kau tolol Parereg. Atau
mungkin kau tak percaya padaku?!"
"Aku lebih percaya pada setan
dari kau!"
Brajaseta berpikir sejenak.
"Dengar, kalau kukatakan padamu apa kepentinganku tadi apakah kau mau
memberi keterangan?"
Lor Parereg tidak menjawab.
Kedua matanya kembali dipejamkan.
"Dengar Parereg, ini satu
rahasia. Tapi aku akan terangkan padamu. Aku percaya kau akan memberi tahu di
mana Larasati berada." Sesaat Kepala Pasukan Demak itu memperhatikan wajah
Lor Parereg, baru meneruskan katakatanya, "Aku sejak lama mencintai puteri
Sultan itu.
Secara diam-diam. Aku bahkan
telah mengajukan lamaran pada Sultan. Entah mengapa lamaranku ditolak. Nah aku
sudah jelaskan kepentinganku. Sekarang lekas kau beritahu di mana Larasati
berada. Hidupku akan tersiksa kalau sampai dia celaka, apalagi kalau sampai
mati!"
Dalam hatinya Lor Parereg tertawa
mendengar katakata Brajaseta itu. Diam-diam otaknya berputar mencari akal.
"Kau akan kulepaskan
Parereg. Aku bersumpah!"
"Hanya aku sendiri?"
tanya kepala rampok itu.
"Kau dan kedua
kawanmu!" jawab Brajaseta.
"Aku tidak percaya."
"Sekali ini kau harus
percaya!"
Lor Parereg berpikir sebentar
lalu berkata, "Aku juga bersumpah bahwa aku benar-benar tidak tahu di mana
puteri Sultan itu berada. Tapi aku bisa menghubungkan kau dengan seseorang yang
mengetahui tentang puteri itu."
"Katakan siapa orang itu
dan di mana tempatnya," ujar Brajaseta cepat.
"Aku akan katakan dengan
satu syarat. Yaitu keluarkan dulu aku bersama kedua temanku dan bawa ke satu
tempat yang kuingini."
"Itu satu hal yang tak
mungkin. Kau bisa menipuku!" kata Brajaseta.
Lor Parereg terdiam. Dia
berpikir lalu, "Aku akan menulis sepucuk surat. Seseorang yang kau percaya
bisa disuruh membawa surat itu kepadanya."
Brajaseta mempertimbangkan
usul Lor Parereg itu.
Kemudian dia membuka pintu.
Dua orang prajurit disuruhnya melepaskan rantai yang mengikat tangan serta kaki
Lor Parereg. Karena tubuhnya lemah sekali dan tak sanggup berdiri Lor Parereg
digotong ke sudut ruangan, didudukkan di atas sebuah kursi besar. Sehelai
kertas dan sebuah pena bulu ayam lengkap dengan tintanya diberikan padanya.
Dengan susah payah Lor Parereg menulis.
Tulisannya buruk sekali,
apalagi saat itu dia memang tidak dapat menulis secara wajar.
Setelah surat selesai
Brajaseta memeriksanya. "Tak sebaris katapun dalam suratmu itu
kumengerti!" kata Kepala Pasukan Demak itu.
Lor Parereg tersenyum.
"Terus terang aku tidak yakin kau akan memenuhi sumpahmu, Brajaseta. Surat
itu sengaja kubuat dalam tulisan rahasia. Jika kau tidak menipuku segala
sesuatunya akan berjalan beres…"
Brajaseta menjadi gusar. Tapi
dia berlagak tenang. "Ke mana surat ini harus diantar?" tanyanya.
"Ke selatan. Ke Bukit
Tuntang," jawab Lor Parereg. "Di puncak bukit itu diam seorang kakek
bermata satu.
Berikan surat itu padanya dan
dia pasti akan membalas dan memberi tahu di mana puteri Sultan berada."
"Siapa adanya kakek
itu?" tanya Brajaseta. "Itu kau tak perlu tahu. Namanya tidak
penting. Yang penting bagimu bukankah untuk mengetahui di mana kekasihmu itu
berada?" sahut Lor Parereg.
Brajaseta melipat surat itu.
Dia berpaling pada dua prajurit tadi dan memerintahkan untuk merejang Lor
Parereg kembali di antara dua roda penyiksa.
"Kenapa kau melakukan
ini?!" tanya Lor Parereg ketika mendapatkan dirinya diseret kembali ke
tempat penyiksaan. "Bukankah kau harus membebaskan aku dan
kawankawan?!"
Brajaseta tersenyum. "Kau
baru bebas bila Larasati sudah ditemui dan dalam keadaan selamat."
"Bukan begitu perjanjian
kita tadi!" Brajaseta hanya ganda tertawa dan tinggalkan tempat itu.
"Keparat penipu! Kau akan
rasakan pembalasanku!" teriak Lor Parereg.
9
DARI PINTU gerbang selatan
Kotaraja kelihatan seorang perwira muda menunggangi seekor kuda berbulu kelabu.
Perwira ini bernama Aria Galing dan merupakan salah seorang bawahan paling
dipercaya oleh Kepala Pasukan Demak Brajaseta. Kepadanya telah diserahkan
sepucuk surat yang dibuat oleh Lor Parereg untuk diantarkan pada kakek bermata
satu yang menurut keterangan Lor Parereg tinggal di puncak Bukit Tuntang.
Aria Galing sengaja
diperintahkan berangkat pada sore hari agar bisa sampai esok sorenya di tempat
yang dituju.
Perjalanan Aria Galing tidak
mendapat kesukaran. Dia hanya membutuhkan waktu untuk tidur dan istirahat di
sebuah desa. Sebagai seorang perwira, kepala desa menyambut kedatangannya
dengan pelayanan yang baik.
Pagi harinya Aria Galing
meneruskan perjalanan. Lewat rembang petang dari kejauhan mulai terlihat Bukit
Tuntang, sebuah bukit besar yang tidak ubahnya seperti gunung. Dari kaki bukit
menuju ke puncak perjalanan agak sukar. Namun demikian sebelum matahari
tenggelam Aria Galing sudah sampai di puncak bukit yang menjadi tujuannya.
Di satu pedataran sempit dan
tinggi Aria Galing menghentikan kudanya. Dia memandang berkeliling.
Hatinya lega karena begitu
memandang ke jurusan timur terlihat sebuah pondok. Pondok ini terletak di
tengah sebuah danau yang luas. Tak ada satu jembatan atau titianpun yang
kelihatan. Aria Galing segera menuju ke danau.
Di bawah siraman sinar kuning
emas sang surya yang hendak tenggelam, pondok dan danau serta sekelilingnya
diselimuti kesunyian. Perwira ini turun dari kudanya dan melangkah ke tepi
danau. Tak sebuah perahupun atau rakit kelihatan di sekitar situ. Sesaat dia
tegak berpikir, bagaimana dia bisa sampai ke pondok di tengah danau itu.
Apakah dia harus berenang?
Dilihatnya danau itu airnya tidak seberapa dalam karena dia dapat melihat jelas
dasar danau.
Selagi dia berpikir-pikir
begitu tiba-tiba dia dikejutkan oleh belasan potongan bambu yang melesat ke
udara dan jatuh bertebaran, mengapung di atas air danau. Belum habis kejutnya,
satu bayangan hitam yang amat tinggi, laksana seekor burung terbang dari tepi
danau sebelah tenggara dan mempergunakan potongan-potongan bambu yang mengapung
sebagai peniti kaki hingga akhirnya sampai di daratan sempit di tengah danau
dan lenyap masuk ke dalam pondok.
"Pasti orang itulah kakek
yang harus kutemui," pikir Aria Galing. Diam-diam dia merasa kagum melihat
bagai–mana si bayangan hitam mempergunakan potongan-potongan bambu yang
mengapung di air sebagai jembatan penyeberang. Meskipun dia tidak sempat melihat
jelas sosok tubuhnya namun Aria Galing menyaksikan bagaimana tidak satupun
potongan bambu itu terbenam ke dalam air sewaktu orang itu menginjaknya! Dia
membatin apakah dia mampu berbuat yang sama, karena hanya potongan-potongan
bambu itulah satu-satunya jembatan penyeberang baginya.
Setelah menguatkan hati Aria
Galing melompat ke tengah danau. Potongan bambu pertama yang dipijaknya
tenggelam ke dalam air danau, namun tubuhnya masih tertahan dan masih sanggup
meneruskan lompatan ke bambu yang kedua, demikian seterusnya. Sampai di depan
pondok kakinya basah kuyup. Dia melangkah menuju pintu yang tertutup lalu
mengetuk. Sampai berulang kali dilaku kannya, tak ada yang menjawab.
"Mustahil orang itu tidak
mendengar. Atau mungkin dia tuli?" pikir Aria Galing. Dia mengetuk lebih
keras. Tetap tak ada sahutan. "Biar kucoba masuk saja!" kata perwira
itu dalam hati mengambil keputusan. Tangannya sudah siap untuk mendorong daun
pintu. Semangatnya serasa terbang sewaktu tahu-tahu di belakangnya terdengar
satu bentakan keras dan garang.
"Perwira bedebah! Ada
urusan apa kowe nyasar kemari?!"
Aria Galing membalik. Hatinya
bergetar. Sosok tubuh manusia yang berdiri di hadapannya jika memang manusia
memiliki tinggi luar biasa. Tinggi dan juga kurus sekali.
Seumur hidupnya baru sekali
itu Aria Galing melihat manusia bertubuh demikian tinggi dan demikian kurusnya.
Dia terpaksa mendongak untuk
melihat wajah orang itu.
Dan kembali hatinya berdebar.
Orang itu bermuka panjang cekung. Kulit mukanya hitam sekali dan berminyak.
Matanya yang sebelah kiri hanya merupakan sebuah rongga kosong. Sebaliknya mata
kanannya besar sekali dan membeliak merah. Manusia ini sama sekali tidak
memiliki alis. Rambutnya pendek kasar, kaku dan tegak macam bulu landak!
"Aku utusan Kepala Pasukan
Demak," Aria Galing perkenalkan diri sementara si tinggi hitam menelitinya
dari atas sampai ke bawah dengan matanya yang cuma satu.
"Aku datang membawa
surat."
Perwira itu lalu mengeluarkan
surat Lor Parereg yang diterimanya dari Brajaseta dan menyerahkannya pada si
tinggi itu.
Kakek tinggi hitam mengambil
surat itu dengan kasar.
Lalu membacanya dengan matanya
yang satu. Dalam membaca mata itu kelihatan seperti berputar-putar.
Selesai membaca dia memandang
tepat-tepat pada Aria Galing.
"Kepala Pasukan Demak dan
orang yang menulis surat itu meminta balasan," berkata Aria Galing.
"Baik… baik, aku akan
berikan balasannya Padamu," jawab si tinggi hitam. Tidak terduga tahu-tahu
laksana kilat tangannya bergerak menyambar leher Aria Galing dan, krak! Patahlah
tulang leher perwira kerajaan itu. Dia roboh dan mati detik itu juga!
Sebagai seorang perwira Aria
Galing memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. Namun apa yang dilakukan si
tinggi hitam selain amat cepat juga tidak disangkasangka sama sekali hingga
akhirnya perwira itu menemui ajalnya hanya dalam satu kejapan mata saja!
Seperti tak ada kejadian
apa-apa si tinggi hitam untuk kedua kalinya membaca surat yang diterimanya.
Paduka guru, Supit Ireng
Akibat pengkhianatan keparat
Tunggul Bayana,
aku, Rah Gludak dan Kunto
Handoko
telah dijebloskan dan disiksa
setengah mati
dalam ruang penyiksaan istana
Demak.
Kalau Paduka guru tidak segera
turun tangan,
kami bertiga akan segera
menjadi umpan cacing-cacing
tanah, alias mampus!
Muridmu, Lor Parereg
"Wong edan! Wong
edan!" Si tinggi hitam bernama Supit Ireng itu berkata berulang kali. Dia
membungkuk, mencengkeram kedua kaki Aria Galing. Tubuh tak bernyawa itu
diputarnya di atas kepala beberapa kali.
"Kowe pergilah!"
bentaknya. Lalu mayat Aria Galing dilemparkannya jauh-jauh dan jatuh di tepi
danau sebelah selatan.
Supit Ireng kemudian
berkelebat ke tengah danau.
Melompat dari satu potongan
bambu ke potongan lainnya hingga akhirnya sampai di tepi danau di mana kuda
milik Aria Galing tertambat. Supit Ireng melompat ke punggung binatang ini dan
memacunya ke jurusan timur yaitu menuju Kotaraja.
***
KEHENINGAN dinihari yang
dingin itu dihantui oleh derap kaki-kaki kuda dan kerontang roda kereta.
Kendaraan ini menderu cepat di atas jalanan tanah. Pengemudi nya bertubuh
tinggi bermuka hitam. Pakaiannya yang hitam menambah angker tampangnya yang
memang sudah mengerikan. Dia duduk di bagian depan kereta laksana setan. Di
satu lereng jalan dia dapat melihat kelap-kelip lampu-lampu Kotaraja. Kereta dipercepatnya.
Dia harus sampai di Kotaraja secepatnya dan pergi sebelum fajar menyingsing.
Sepeminuman teh akan mencapai
pintu gerbang selatan Kotaraja, orang ini memutar keretanya memasuki hutan
kapas hingga akhirnya sampai di tembok Kotaraja sebelah timur. Kereta
ditinggalkannya dalam hutan kapas yang gelap, kemudian dengan cepat dia
mendekati tembok. Sekali lompat saja dia sudah berada di atas tembok yang
tinggi itu. Setelah meneliti keadaan di bawah sana dan dirasakannya aman, orang
ini melompat ke wuwungan bangunan istana. Gelapnya hari, pakaian hitam yang
dikenakannya serta gerakannya yang cepat membuat dirinya tiada beda dengan
hembusan angin dinihari yang tidak kelihatan.
Siapakah manusia ini? Dia
bukan lain adalah Supit Ireng. Di lain saat dia sudah sampai di wuwungan istana
sebelah timur. Sekali lagi dia meneliti suasana lalu bergerak ke jurusan barat
dan akhirnya melompat turun memasuki halaman istana. Begitu kedua kakinya
menginjak rumput taman, seorang pengawal yang kebetulan berada di situ membentak
curiga, "Siapa itu?!"
Supit Ireng memaki. Dia cepat
merunduk dan sembunyi di balik sebuah pot bunga besar. Pengawal tadi dengan
tangan kanan siap di hulu pedang cepat mengejar. Di depan pot bunga dia
berhenti.
"Heran, manusia atau
setan? Kalau manusia kenapa bisa lenyap secepat itu?" membatin si
pengawal. Dia berpikir dan memutuskan untuk memberitahu kepala pengawal. Namun
sebelum dia melangkah, lima jari membuat lidahnya terjulur keluar dan tak dapat
bernafas!
Sekujur tubuh pengawal ini
gemetar, tengkuknya dingin ketika dia berhasil melihat tampang makhluk yang
mencekiknya. Dia hendak berteriak tapi tak bisa. Dicobanya mencabut pedangnya
namun tenaganya seperti lenyap.
"Kalau kowe tidak mau
mampus, lekas tunjukkan di mana letak ruang penyiksaan tawanan!" Supit
Ireng mengancam.
Pengawal itu
menggelepar-geleparkan kedua tangannya lalu menunjuk ke kiri. Dari mulutnya
hanya keluar suara uh… uh… uuuh.
"Jalan, bawa aku ke
sana!" kata Supit Ireng. Cekikannya dilepaskan tapi terlebih dulu urat di
pangkal leher pengawal itu ditotoknya hingga si pengawal tidak bisa bersuara
lagi. Mereka memasuki sebuah pintu, melewati beberapa gang dan ruangan. Agar
tidak berpapasan dengan pengawal-pengawal lainnya kerap kali Supit Ireng harus
menarik pengawal itu ke tempat gelap atau yang kelindungan. Mereka sampai pada
mulut sebuah gang di mana dua orang pengawal kelihatan berjaga-jaga.
"Kau jalan duluan,"
desis Supit Ireng. "Lewati kedua pengawal itu!"
Supit Ireng kemudian
merapatkan diri ke balik tembok.
Pengawal yang diperintahkan
melangkah ke mulut gang.
Dua pengawal yang tegak
berjaga-jaga mula-mula tidak menunjukkan kecurigaan. Namun sesudah pengawal
satu itu lebih mendekat, mereka melihat adanya kelainan pada tindak-tanduk
teman mereka ini. Serta merta mereka melintangkan tombak dan menyuruhnya
berhenti.
Pada saat itulah Supit Ireng
keluar dari balik dinding dan dengan cepat mengirimkan totokan jarak jauh yang
lihai! Kedua pengawal di mulut lorong hanya bisa mengeluarkan seruan pelan,
lalu keduanya tegak laksana patung, tak bisa bersuara tak bisa bergerak!
Di ujung gang terdapat sebuah
ruangan. Di sini terletak sebuah meja panjang dan empat buah kursi. Ruangan ini
merupakan ruang pengawalan yang ketat karena di ujung ruangan inilah terletak
tangga yang menuju ke bagian bawah istana di mana terdapat ruangan tahanan dan
ruang penyiksaan. Saat itu di sana kelihatan empat orang berjaga-jaga. Tiga
pengawal tingkat rendah dan seorang berpakaian perwira.
Dari kejauhan Supit Ireng
meneliti keadaan. Dia tak mau bertindak ceroboh. Bukan mustahil ruangan itu
dilengkapi alat-alat rahasia. Tiba-tiba Supit Ireng menangkap pinggang pengawal
yang tadi dipaksanya menjadi penunjuk jalan. Sesaat kemudian pengawal itu
dilemparkannya ke arah empat orang yang berada di ruangan penjagaan. Jatuhnya
tepat di atas meja!
Sudah barang tentu orang-orang
yang ada di situ kaget bukan main. Selagi mereka terkejut inilah Supit Ireng
bertindak cepat. Tubuhnya berkelebat. Pengawal di sebelah kanan terjengkang dan
melingkar di lantai tanpa bisa berkutik karena tulang dada dan tulang-tulang
iganya melesak ke dalam akibat tendangan kaki kanan Supit Ireng.
"Kurang ajar! Setan alas
dari mana yang berani masuk mengacau?!" bentak perwira yang ada di tempat
itu. Sekali dia bergerak pedangnya sudah berada di tangan dan di lain kejap
senjata itu menderu memapas ke pinggang Supit Ireng.
Dua pengawal yang ada di situ
begitu hilang kagetnya kini tampak ngeri memandang wajah manusia hitam yang
datang menyerbu itu. Karenanya tanpa tunggu lebih lama mereka segera mengikuti
jejak atasannya dan mencabut pedang masing-masing, lalu menyerang.
10
SUPIT IRENG bergerak gesit.
Tangan kanannya berkelebat dan prak! Kepala pengawal yang kedua pecah. Nyawanya
lepas sebelum tubuhnya mencium lantai. Hal ini membuat kemarahan membara di
hati perwira muda sedang pengawal yang satu lagi sebenarnya sudah lumer
nyalinya. Karenanya gerakan pedangnya tidak tetap. Dalam satu gebrakan cepat
Supit Ireng lepaskan pukulan tangan kosong yang keras dan tepat menghantam dada
si pengawal. Orang ini terhuyung-huyung sambil pegangi dada. Nafasnya sesak,
dia coba menghirup udara dalam-dalam tapi dari mulutnya melompat muntahan
darah. Dia terkapar di lantai, berkelojotan beberapa ketika lalu diam tak
bergerak lagi.
Satu-satunya yang tinggal,
yakni perwira tadi boleh dikatakan kini sudah dingin tengkuknya. Dia bertahan
matimatian dengan pedang di tangan. Namun bagaimanapun Supit Ireng bukanlah
tandingannya. Setelah mengelakkan satu sambaran pedang, si tinggi hitam ini
menubruk ke depan. Sang perwira coba menusukkan pedangnya, tapi lawan lebih
cepat menyodok ulu hatinya dengan satu jotosan. Selagi dia melintir kesakitan
Supit Ireng kepruk kepalanya.
Di saat yang sama kaki perwira
itu terpeleset. Tubuhnya terjungkal dan disambut oleh tendangan kaki kiri Supit
Ireng. Perwira ini mencelat, terguling di lantai. Sebelum ajalnya sampai dia
masih sempat menjangkau sebuah tombol rahasia di dinding dan menekan tombol ini
kuatkuat.
Hal ini tidak diperhatikan
lagi oleh Supit Ireng karena saat itu dia melangkah ke pintu dan dengan satu
tendangan keras pintu ruangan penyiksaan itu berhasil dibobolnya hingga ambruk!
Dalam hidupnya Supit Ireng
telah banyak menyaksikan kematian manusia dalam cara yang mengerikan dan
mengenaskan. Namun seumur hidupnya belum pernah dia melihat manusia direjang
pada roda-roda kayu, diikat dengan rantai besi dalam keadaan tubuh bergelimang
luka dan darah. Amarahnya meluap ketika menyaksikan muridnya Lor Parereg
terpentang dalam keadaan sangat mengerikan itu. Sekujur tubuh muridnya itu
penuh lukaluka bekas cambukan. Lalu luka-luka hangus bekas sentuhan besi panas,
ditambah gelimangan darah yang sebagian telah membeku. Rah Gludak serta Kunto
Handoko tidak lebih baik keadaan mereka.
"Benar-benar biadab!
Keparat! Pembalasanku segera akan tiba!" kata Supit Ireng dengan rahang
menggembung dan geraham bergemeletakan.
Dari atas rak diambilnya
sebuah kapak besar. Dengan senjata ini disertai kerahan tenaga dalam tentunya,
diputuskannya rantai-rantai besi yang mengikat kaki tangan Lor Parereg, Rah
Gludak dan Kunto Handoko.
Ketiga orang itu terbanting ke
lantai. Dengan kapak masih di tangan, seperti menggendong boneka saja, Supit
Ireng menumpuk tubuh Lor Parereg dan dua kawannya di bahu kiri lalu cepat-cepat
menuju pintu. Namun pada saat yang sama di mulut gang telah menyerbu masuk
sepuluh pengawal kelas satu!
"Lekas menyerah dan
kembalikan tahanan!" teriak salah seorang pengawal.
Supit Ireng mendengus. Bola
matanya yang cuma satu berputar. Kapak di tangan kanannya digenggamnya
eraterat.
"Baik, aku akan
menyerah!" katanya menyeringai. "Tapi makan dulu ini!"
Kapak itu menderu. Tiga orang
pengawal di sebelah depan menjerit dan roboh mandi darah. Tujuh kawannya meski
terkesima tapi cuma seketika, lalu serentak menyerbu. Supit Ireng kembali putar
kapak di tangan kanannya. Pekik kematian kembali menggema di tempat itu.
Dua pengawal yang masih hidup
tak berani melakukan pengejaran ketika Supit Ireng meninggalkan gang di tingkat
bawah itu. Di tangga yang menuju tingkat atas sepuluh pengawal tingkat satu
kembali menghadang. Kali ini mereka malah dibantu oleh dua perwira tinggi.
"Keparat! Kalian bikin
repot aku saja!" rutuk Supit Ireng.
Dia sama sekali tidak takut
melihat lawan yang berjumlah banyak itu. Malah dia yang mendahului menye–rang.
Kapak di tangannya berkelebat
ganas kian kemari, menyebar maut. Kakinya kiri dan kanan bergantian mengirimkan
tendangan. Korban demi korban berjatuhan termasuk satu dari dua perwira tinggi.
Pada satu kesempatan Supit Ireng menerobos meninggalkan lawan-lawannya yang
masih hidup dan sesaat kemudian telah berada di taman istana, siap untuk
melompati tembok halaman.
Akan tetapi pada saat itu
seluruh penjuru sudah dikurung. Puluhan prajurit muncul dari mana-mana ditambah
pengawal-pengawal kelas satu dan perwira perwira tinggi Kerajaan.
Memandang ke jurusan kanan
Supit Ireng melihat seseorang berpakaian kebesaran mendatangi dengan cepat,
diiringi dua orang tua berselempang kain putih.
Ketiganya melangkah enteng dan
dalam waktu singkat sudah berdiri lima langkah dari hadapan Supit Ireng. Guru
Lor Parereg ini segera mengenali ketiganya. Sesaat hatinya tercekat tetapi dia
sama sekali tidak takut.
Yang termuda dari ketiga orang
itu, yang berpakaian kebesaran adalah Brajaseta, Kepala Pasukan Demak.
Orang tua di samping kanan
dikenalnya dengan julukan Si Cakar Malaikat. Lalu yang di sebelah kiri terkenal
dengan gelaran Si Kipas Besi. Kedua orang ini adalah tokoh-tokoh silat istana
yang tinggi ilmu silatnya.
Adapun tombol rahasia yang
ditekan oleh perwira di ruangan penjagaan sebelumnya, berhubungan langsung
dengan sebuah genta tanda bahaya di dalam kamar tidur Brajaseta. Ketika genta
itu berbunyi Brajaseta segera melompat dari tempat tidur, mengenakan pakaian
dan sengaja menghubungi Si Cakar Malaikat dan Si Kipas Besi.
Ketiganya maklum sesuatu telah
terjadi di ruangan penyiksaan bawah tanah. Brajaseta memerintahkan menutup
semua jalan keluar. Sewaktu Supit Ireng muncul di taman istana maka dia sudah
terkurung rapat!
"Supit Ireng!" tegur
Si Kipas Besi. Rupanya tokoh silat istana ini juga mengenali siapa adanya
manusia tinggi hitam bermata satu di hadapannya itu. "Kau sudah terkurung.
Tunggu apa lagi? Lekas berlutut dan serahkan diri!"
Supit Ireng tertawa hambar.
"Bagus sekali omonganmu Kipas Besi. Berapa kowe dibayar untuk jadi
cecunguk istana?!"
Panaslah Si Kipas Besi.
"Manusia tidak tahu diri! Nyawa sudah di depan mata masih bicara ngaco!
Jangan jadi orang tolol Supit Ireng!"
"Jangan kira aku takut
pada kalian!" dengus Supit Ireng.
"Majulah, satu-satu atau berbarengan
sekaligus biar cepat aku membereskan kalian!"
Brajaseta yang sudah tidak
dapat menahan amarah, apalagi setelah menyadari kalau dia telah ditipu Lor
Parereg, segera berteriak, "Supit Ireng! Serahkan nyawa anjingmu!"
Lalu Kepala Pasukan Demak ini cabut pedangnya dan langsung menyerang.
Trang!
Pedang dan kapak saling
bentrokan. Bunga api memercik. Kagetlah Brajaseta. Tangan kanannya tergetar
keras. Tidak disangkanya tenaga dalam lawan begitu tinggi.
Perubahan air muka Brajaseta
terlihat jelas oleh dua tokoh silat istana. Keduanya tidak menunggu lebih lama.
Dengan sepuluh jari tangan
yang berkuku panjang dipentang ke depan Si Cakar Malaikat terjun ke kalangan
pertempuran. Di lain pihak Si Kipas Besi telah keluarkan pula senjatanya yakni
sebuah kipas terbuat dari besi yang jika dikembang lebarnya hampir setengah
tetampah (nyiru)! Sekali dia menggerakkan kipas ini maka menderulah angin
kencang laksana hembusan topan.
Ketika dia masuk ke dalam
pertempuran, Supit Ireng maklum bahwa keadaannya amat berbahaya. Apalagi saat
itu dia tidak bisa bergerak leluasa akibat beban tiga manusia yang masih berada
di atas panggulannya di bahu kiri. Otak licinnya segera mencari akal.
"Tunggu! Aku mau
bicara!" teriak Supit Ireng tiba-tiba.
Ketiga lawannya hentikan serangan
tapi masih dalam sikap mengurung dan waspada.
"Kau mau bicara
apa?!" bentak Brajaseta.
"Dengar…," kata
Supit Ireng sambil matanya yang satu itu berputar-putar. Tiba-tiba secepat
kilat tangan kanannya diayunkan!
Brajaseta kaget dan gerakkan pedangnya
untuk menangkis. Demikian juga Si Kipas Besi serta Si Cakar Malaikat. Tapi
terlambat!
Terdengar pekik Si Cakar
Malaikat sewaktu kapak besar itu menancap di pangkal lehernya. Darah muncrat.
Sepasang matanya memandang
mendelik ke arah Supit Ireng. Kedua tangannya menggapai ke udara. Tubuhnya lalu
roboh dan terkapar di taman istana tanpa nyawa lagi!
"Setan alas!
Mampuslah!" teriak Brajaseta dan kirim kan satu bacokan kilat.
Tapi Kepala Pasukan Demak ini
masih kalah cepat dengan Supit Ireng yang licik itu.
Sebelum bacokan pedang sampai
Supit Ireng melemparkan sebuah benda bulat ke hadapan Brajaseta dan Si Kipas
Besi. Detik itu juga terdengar suara letusan dan sesaat kemudian tempat itu
sampai sejauh empat tombak telah tertutup oleh asap hitam yang memerihkan mata.
Selagi semua orang berkedap-kedip dan gosokgosok matanya maka kesempatan ini
dipergunakan Supit Ireng untuk meloloskan diri, melompat ke tembok istana dan
lenyap dalam udara pagi yang masih gelap itu.
"Siapkan kuda! Buka pintu
gerbang!" teriak Brajaseta ketika menyadari kalau lawan telah melarikan
diri.
Meskipun dua ekor kuda penarik
kereta itu telah berlari dalam kecepatan tinggi namun Supit Ireng masih terus
mencambukinya agar mereka berlari lebih cepat.
Kira-kira dua kali peminuman teh
dia meninggalkan tapal batas Kotaraja lapat-lapat telinganya yang tajam
mendengar derap kaki kuda banyak sekali dari arah belakang. Supit Ireng
berpaling. Di kejauhan dilihatnya serombongan orang-orang Kerajaan melakukan
pengejaran. Dia kertakkan rahang. Di depan sekali tampak Brajaseta dan Si Kipas
Besi. Supit Ireng cambuk lagi kuda-kuda penarik kereta bertubi-tubi.
Jalan yang buruk, penuh lobang
serta bebatuan yang bertonjolan membuat kereta itu tidak bisa berlari kencang.
Sementara itu para pengejar
semakin lama semakin dekat juga dan hari mulai terang tanah. Dari arah belakang
Si Kipas Besi mulai lepaskan serangan-serangan kipas yang menghembuskan angin
kencang hingga kuda-kuda penarik kereta terganggu larinya. Brajaseta sendiri
juga tidak tinggal diam. Puluhan jarum beracun dilepaskannya ke arah Supit
Ireng.
Sambil memacu kereta Supit
Ireng terpaksa berulang kali memukulkan tangannya ke belakang untuk menangkis
serangan angin puyuh Si Kipas Besi dan hujan jarum maut Brajaseta!
Di satu tebing tinggi
Brajaseta dan rombongan berhasil mengejar kereta itu.
"Supit Ireng! Kalau tak
mau mampus percuma hentikan kereta lekas!" memperingatkan Si Kipas Besi.
"Tak usah diberi
peringatan lagi paman!" ujar Brajaseta dan lemparkan lagi selusin jarum
maut.
Kuda penarik kereta meringkik
lalu rubuh. Binatangbinatang ini bersama kereta terguling beberapa kali.
Sekejap saja tempat itu sudah
dikurung belasan perwira tinggi dan puluhan prajurit. Brajaseta dan Si Kipas
Besi melompat cepat dari kuda masing-masing dan mendekati kereta. Mereka
terkejut ketika di situ mereka tidak menemukan Supit Ireng ataupun tawanan yang
tiga orang itu. Kereta yang berantakan itu kosong!
"Kurang ajar! Kita kena
ditipu!" rutuk Brajaseta sambil bantingkan kaki ke tanah sampai tanah itu
melesak dalam!
"Apa yang kita lakukan
sekarang?" bertanya salah seorang perwira.
"Dia pasti tidak lari
jauh! Jelajahi seluruh daerah berbukit-bukit ini! Tangkap dia hidup atau mati!
Juga ketiga tawanan itu!" sahut Brajaseta.
Hampir seratus prajurit,
belasan perwira tinggi bersama-sama Si Kipas Besi serta Brajaseta menjelajahi
seluruh daerah itu. Namun sampai tengah hari Supit Ireng dan tiga tawanan tak
berhasil ditemukan. Mereka laksana lenyap ditelan bumi!
"Kita cari di Bukit
Tuntang!" kata Brajaseta setelah berunding dengan Si Kipas Besi.
Maka rombongan segera menuju
ke Bukit Tuntang yaitu tempat kediaman Supit Ireng. Tapi tempat itu sunyi
senyap.
Tak ada Supit Ireng dan
tawanan itu di sana. Yang mereka temui hanyalah mayat Aria Galing yang
membusuk. Dengan penuh geram Brajaseta menyuruh anak buahnya membakar habis
tempat kediaman Supit Ireng.
11
SAAT ITU memasuki rembang
petang. Di lereng sebuah bukit, dua orang penunggang kuda kelihatan memacu kuda
masing-masing menuju sebuah jalan kecil di kaki bukit. Sesaat kemudian keduanya
sudah menempuh jalan itu terus menuju ke utara. Ternyata mereka adalah sepasang
muda-mudi. Yang pemuda bertampang cakap gagah sedang si pemudi berparas jelita
dengan kedua pipinya kemerah-merahan disengat oleh matahari petang.
Di satu persimpangan keduanya
berhenti.
"Guru menyuruh kita
menunggu di sini," kata si pemuda lalu turun dari kudanya dan melangkah ke
tempat yang rindang. Sementara kuda mereka merumput mengisi perut, kedua
muda-mudi ini duduk bercakap-cakap.
"Jaka, aku tidak
mengerti. Mengapa guru membawa kita ke puncak Gunung Karang. Bukankah di tempat
kediamannya sekarang cukup bagus untuk melatih dan mendidik kita?"
Si pemuda tersenyum.
"Satu hal harus kau ketahui.
Setiap orang sakti mempunyai
sifat-sifat aneh. Kalau guru mengajak kita ke Gunung Karang pasti dia tahu
bahwa di tempat itu jauh lebih bagus baginya untuk menggembleng kita."
"Kalau aku sudah pandai
silat nanti," kata si pemudi, "akan kucari bangsat bernama Lor
Parereg itu dan kucincang sampai lumat!"
"Pembalasan memang sudah
wajar," sahut si pemuda yang bernama Jakawulung. "Namun aku sangsi
apakah kau akan betah tinggal di puncak Gunung Karang."
"Kalau tidak betah
mengapa aku bersedia ikut?"
"Jangan lupa Larasati.
Kau adalah puteri Sultan Trenggono yang tinggal di istana dan terbiasa dengan
alam kehidupan serba mewah. Di mana segala yang kau ingini telah tersedia. Di
puncak Gunung Karang kau tidak bakal menemukan itu, bahkan kesulitan yang kau
hadapi. Di samping itu sewaktu-waktu kau tentu rindu pada orang tuamu
atau…"
"Atau apa Jaka?"
"Atau kekasihmu…"
Si pemudi yang ternyata adalah
Gusti Ayu Ning Larasati tersenyum. "Setiap manusia tentu merasa kangen
pada orang tuanya jika berpisah jauh. Tapi aku bisa menguasai kerinduan itu,
Jaka. Dan soal kekasih… aku tidak punya."
"Kalaupun tak punya tentu
kau pernah mengagumi atau memuja atau menaksir seorang pemuda dalam
hidupmu…" kata Jakawulung pula.
Larasati menggeleng.
"Atau sebaliknya ada
pemuda yang memujamu?"
"Itu urusan dia. Aku
bukan dewi yang pantas dipujapuji!"
"Tapi bagi seorang pemuda
yang jatuh cinta, kekasih pujaannya lebih cantik dari dewi manapun."
"Itu namanya
sinting!"
"Lho, orang jatuh cinta
itu memang seperti sinting. Apa kau tidak tahu?" kata Jakawulung lalu
kedua muda-mudi itu tertawa gelak gelak.
"Guru tetap tak
mengizinkan kau menemui kedua orang tuamu lebih dulu sebelum dia
menggemblengmu?" tanya Jaka.
Ning Larasati menggeleng.
"Guru yakin, jika aku minta izin dulu, orang tuaku pasti tidak membiarkan.
Sekalipun guru telah menyelamatkan nyawa dan kehormatanku dari tangan Lor
Parereg. Di samping itu…"
Larasati tidak meneruskan
kata-katanya karena saat itu dilihatnya Jaka memberi isyarat dengan menempelkan
jari telunjuk di atas bibir.
"Aku mendengar suara
kaki-kaki kuda. Banyak sekali…"
menerangkan Jaka.
Perlahan-lahan dia berdiri dan memandang berkeliling. Larasati mengikuti
gerakannya.
"Lihat!" kata Jaka
tiba-tiba seraya menunjuk ke depan.
Larasati menoleh ke arah yang
ditunjuk. Berubahlah paras gadis ini. Puluhan prajurit bersenjata lengkap
dilihatnya muncul dari ujung jalan sebelah kiri, lalu juga dari arah kanan.
Menyusul dari dalam rimba belantara.
"Pasti mereka telah tahu
bahwa kau berada di sini," kata Jaka.
"Jika mereka memang
pasukan Kerajaan kau tak usah khawatir. Aku akan suruh mereka pergi,"
sahut Larasati.
Namun hati Jakawulung tetap
tidak enak. Dia melang kah ke tempat kudanya merumput dan memberi isyarat pada
Larasati agar mereka segera meninggalkan tempat itu. Namun justru saat itu
terdengar suara memerintah, "Jangan bergerak! Tetap di tempat
kalian!"
Jakawulung dan Larasati
berpaling.
Seorang berpakaian kebesaran
tentara dan bertubuh tinggi kekar melompat dari punggung kudanya. Gerakannya
enteng sekali. Jakawulung maklum kalau orang ini memiliki ilmu tinggi. Ning
Larasati segera mengenali Kepala Pasukan Demak ini dan membisikkannya pada
Jaka.
"Gusti Ayu
Larasati," kata Brajaseta sambil menjura, "syukur kami akhirnya
menemui Gusti Ayu di sini. Sultan dan seisi istana sangat cemas atas lenyapnya
Gusti Ayu!"
Ning Larasati tidak menjawab
apa-apa. Dia tahu kalau lagak sikap menghormat yang ditunjukkan Kepala Pasukan
Demak itu lebih banyak bersifat pura-pura belaka dan gadis ini tahu bahwa
Brajaseta menyukainya dan pernah melamar pada Sultan tetapi ditolak.
Melihat tanggapan si gadis
ayem-ayem saja, Brajaseta lalu berpaling pada Jakawulung dan bertanya,
"Siapa pemuda ini?!"
"Dia sahabatku, Paman
Brajaseta!" jawab Larasati.
Sebenarnya Brajaseta tidak
suka dipanggil dengan sebutan paman. Dia lebih suka Larasati memanggilnya
dengan se butan mas atau kangmas. Namun melihat perbedaan umur mereka
sebetulnya panggilan itu sudah cukup pantas.
"Sahabatmu Gusti Ayu? Ini
adalah aneh!" kata Kepala Pasukan Demak itu. Dan rasa cemburu memanasi
dadanya. "Gusti Ayu lenyap diculik gerombolan rampok Lor Parereg.
Tahu-tahu kini ditemui di sini bersama seorang sahabat! Gusti Ayu, kami tak
ingin mendapat dampratan dari Sultan. Harap Gusti Ayu menjelaskan dengan
jujur."
"Apa yang saya katakan
adalah jujur, Paman. Apa paman tidak percaya?"
Brajaseta menggelengkan
kepalanya. "Tentu, tentu paman percaya padamu Gusti Ayu. Tapi terhadap
pemuda ini paman menaruh curiga." Brajaseta berpaling pada beberapa
perwira dan lalu memerintahkan, "Tangkap pemuda ini!"
Lima perwira kerajaan segera
melangkah maju.
"Hai!" seru
Larasati. "Jangan kalian bertindak sambarangan!"
Langkah lima perwira tertahan.
Brajaseta maju dan berkata,
"Gusti Ayu, apakah benar pemuda ini sahabatmu atau bukan, bisa kita urus
kemudian. Yang jelas saat ini dia harus diamankan dulu dan dibawa ke
Kotaraja!" Lalu sekali lagi Brajaseta memerintahkan orang-orangnya untuk
menangkap Jakawulung.
"Tunggu!" seru
Larasati kembali. "Saya bicara atas nama ayah, Sultan Demak! Jika kalian
berani menangkapnya akan berhadapan dengan Sultan!"
"Perbolehkan aku
bicara!" Jakawulung buka mulut.
"Manusia hina dina,"
memotong Brajaseta, "Kau tidak layak bicara!"
"Layak atau tidak itu
bukan persoalan!" tukas Jakawulung. Sebagai manusia tentu saja dia merasa
amat di rendahkan. "Aku tidak punya kesalahan apapun. Mengapa
ditangkap?!"
"Kau telah menculik
puteri Sultan, merayu dan
membujuknya hingga Gusti Ayu
membelamu dan berani
menantang kami orang-orang
Kerajaan!"
"Tidak! Dia sama sekali
tidak menculik saya!" Yang menjawab Ning Larasati sendiri.
Brajaseta berpaling pada gadis
itu dan berkata, "Gusti Ayu, paman lihat kau selalu membelanya. Agaknya
ada sesuatu di antara kalian?"
"Paman Brajaseta! Mulutmu
keliwat lancang. Bawa orang-orangmu pergi dari sini!"
"Memang kami akan
membawamu kembali ke Kotaraja Gusti Ayu!"
"Siapa sudi ikut dengan
kalian!"
"Sudi atau tidak kami
hanya menjalankan tugas dari Sultan Demak!" jawab Brajaseta. Lalu dia
memberi isyarat pada lima perwira tadi. Kelima perwira ini bergerak cepat.
Jakawulung mundur beberapa
langkah seraya berkata memberi ingat, "Jika kalian berani menyentuh
tubuhku, jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan kasar!"
"Kurang ajar! Berani dia
menantang perwira Kerajaan.
Lekas ringkus dia!"
teriak Brajaseta marah.
Lima perwira bergerak kembali.
Tapi yang paling depan kemudian terhuyung dan terduduk di tanah kesakitan.
Tinju kanan Jakawulung
mendarat tak terduga di ulu hatinya. Melihat ini empat kawannya jadi gusar dan
menyerbu. Kiranya Jakawulung meskipun masih muda bukanlah seorang yang tidak
mempunyai isi. Empat perwira itu dibuat kewalahan kalang kabut tak berhasil
meringkusnya, malah satu demi satu mereka kena dihajar! Tidak siasia tokoh
silat Malaikat Tak Bernama menggemblengnya selama lima tahun!
Setelah lima jurus berlalu
perwira-perwira itu masih belum mampu menangkap si pemuda, Brajaseta membentak
marah, "Pergunakan senjata!" Empat pedang dicabut secara serentak.
"Pengecut! Curang!"
teriak Ning Larasati.
Jakawulung mengeluh karena
saat itu dia tidak memiliki senjata untuk dapat melayani keroyokan empat pedang
lawan yang ganas. Dia berusaha bertahan sambil sekalisekali kirimkan serangan
balasan. Namun keadaannya cukup sulit kini. Selagi dia dipepet demikian rupa
tiba-tiba dari belakang sepasang tangan yang kokoh merangkulnya.
Brajaseta!
"Lekas selesaikan
dia!" teriak Brajaseta pada empat perwira di depannya. Sesaat
perwira-perwira itu tertegun karena bagaimanapun mereka merasa sungkan membunuh
lawan yang tidak berdaya dan disaksikan sekian puluh mata. Namun mereka juga
harus menjalankan perintah Kepala Pasukan Demak itu. Maka keempatnya lalu
tusukkan pedang masing-masing ke tubuh Jakawulung.
Ning Larasati menjerit!
12
PADA SAAT empat pedang hendak
menembus tubuh Jakawulung pada detik itu pula terlihat berkelebat satu bayangan
putih, disusul terdengarnya jeritan empat perwira kerajaan. Mereka
terhuyung-huyung sambil
pegangi bahu masing-masing.
Ternyata bahu mereka telah ditancapi oleh sebuah panah putih yang panjangnya
tak lebih dari sejengkal!
"Itu pembalasan bagi
siapa yang berani menurunkan tangan jahat terhadap murid-muridku! Siapa lagi
yang hendak melakukan hal itu?!" Terdengar suara menghardik.
Brajaseta merasakan ada yang
mendorong tubuhnya dan rangkulannya terhadap tubuh Jakawulung lepas. Dia
terjajar beberapa langkah. Memandang ke depan dilihatnya seorang nenek bermuka
putih dan berpakaian serba putih tegak di samping kanan Jakawulung. Rambut
nenek inipun keseluruhannya berwarna putih. Bahkan kedua tangan serta kakinya
yang tersembul dari balik jubah putih juga berwarna putih.
Si Kipas Besi yang saat itu
masih duduk tenang-tenang di punggung kudanya begitu melihat si nenek muka
putih jadi menyipit sepasang matanya lalu membentak, "Malaikat Tak
Bernama, apa-apaan kau berani mencampuri urusan orang lain?!"
"Mmmm…" si nenek
bergumam dan melirik ke arah Si Kipas Besi. "Sejak jadi kaki tangan istana
mulutmu sudah tambah besar, Kipas Besi. Apa perlu kurobek agar lebih
lebar?!"
Muka si Kipas Besi jadi
mengelam merah. Dia hendak membentak tapi Brajaseta sudah mendahului,
"Orang tua, apa yang terjadi di sini tak ada sangkut-pautnya dengan
dirimu. Sebaiknya…"
"Tak ada sangkut
pautnya?!" potong si nenek lalu tertawa tinggi dan panjang. "Kedua
orang muda-mudi ini murid-muridku. Bagaimana mulutmu bisa lancang mengatakan tak
ada sangkut paut?!"
"Heh!" Brajaseta
melengak heran. Tadipun dia sudah mendengar manusia muka putih itu menyebut
Jakawulung dan Larasati murid-muridnya. "Nenek muka putih, kau jangan
bicara melantur. Sultan Trenggono tidak pernah mengambil guru manusia macam
kau…!"
"Begitu…?" si nenek
muka putih tenang-tenang saja.
"Lalu pernah atau
tidaknya apa urusanmu!" Tanpa perdulikan lagi Brajaseta, Malaikat Tak
Bernama berpaling pada
muda-mudi itu dan berkata,
"Murid-muridku, mari kita tinggalkan tempat ini."
"Mana bisa begitu?!"
hardik Brajaseta. Dia menghadang di tengah jalan. "Atas nama kerajaan, kau
kami tangkap…!"
"Dengan tuduhan
apa?" tanya Malaikat Tak Bernama.
"Menculik Gusti Ayu Ning
Larasati!" jawab Brajaseta.
Si Malaikat Tak Bernama
tertawa gelak-gelak. Gigigiginya tampak masih lengkap dan putih.
"Dia tidak menculikku.
Dia justru yang menyelamatkan aku dari tangan Lor Parereg!" tiba-tiba
Larasati berkata.
"Hmmm, paman khawatir
jalan pikiranmu sudah disesatkan tua bangka ini Gusti Ayu. Kau pasti telah
diobatinya!" kata Brajaseta.
"Brajaseta! Mulutmu
terlalu lancang! Aku bukan guru cabul!"
"Aku sama sekali tidak
mengatakan kau guru cabul!
Terserah kalau kau membuka
kedokmu sendiri!" tukas Brajaseta.
Muka putih Malaikat Tak
Bernama berobah merah.
"Kalau saja aku tidak
berpantang membunuh sudah kupecahkan kepalamu, Brajaseta!" kata si nenek.
"Tangkap mereka! Bunuh
kalau melawan! Selamatkan Gusti Ayu!" perintah Brajaseta.
Puluhan prajurit, delapan
perwira berkepandaian tinggi dan menyusul Brajaseta sendiri serta Si Kipas Besi
segera menyerbu Malaikat Tak Bernama dan muridnya Jakawulung.
Melihat pengeroyokan ini
Jakawulung segera mengambil pedang salah seorang perwira yang tadi dipanah
gurunya lalu mengamuk dahsyat. Si Malaikat Tak Bernama sendiri didahului oleh
lengkingan tinggi berkelebat lenyap dan di sebelah kiri kanan susul menyusul
terdengar jeritan prajurit-prajurit yang mengeroyok.
Dalam pertempuran itu meskipun
Malaikat Tak Bernama dan Jakawulung menunjukkan kehebatan luar biasa namun jumlah
lawan terlalu banyak. Di samping itu mereka harus melindungi Larasati hingga
perhatian mereka jadi terbagi. Belum lagi serangan jarak jauh yang dilepaskan
oleh Brajaseta dan Si Kipas Besi.
Dalam hebatnya kecamuk
pertempuran, Brajaseta dan Si Kipas Besi merangsak masuk mendekati Malaikat Tak
Bernama. Dalam satu jurus yang hebat si nenek ini terpaksa bergerak melindungi
Larasati ketika Brajaseta hendak merenggut tangannya. Justru saat itu Si Kipas
Besi menyerbu dari kiri, menghantamkan senjatanya. Hanya ada dua pilihan bagi
si nenek, melepaskan Larasati atau mengelakkan serangan kipas besi.
Si nenek ini ternyata tidak
mau memilih. Dia ingin menyelamatkan diri dan sekaligus menyelamatkan Larasati.
Maka tangan kanan mempertahankan gadis itu dan tangan kiri dipergunakan untuk
menangkis serangan kipas.
Si Kipas Besi berlaku cerdik.
Dengan mengerahkan tenaga dalam ke senjatanya dia hantam pergelangan tangan
lawan. Si nenek muka putih mengeluh tinggi.
Tulang lengannya patah. Sedang
Si Kipas Besi menyurut kaget. Senjatanya ambrol rusak!
"Jaka! Lekas pergi dari
sini! Bawa Larasati!" seru Malaikat Tak Bernama.
"Tidak guru! Saya lebih
rela mati bersamamu di sini!"
jawab Jakawulung. Dan
pedangnya berkelebat ganas. Seorang prajurit roboh.
"Jangan jadi orang tolol
Jaka!" teriak si nenek. "Yang penting selamatkan Larasati!"
"Akupun rela berkubur di
sini guru!" teriak Larasati.
Si nenek jadi terharu. Gadis
itu baru saja diambilnya jadi murid, bahkan dilatihpun belum. Namun
kesetiaannya terhadapnya benar-benar mengagumkan. Kecamuk perasaan ini justru
membuat si nenek menjadi lengah. Pedang Brajaseta berhasil melukai dadanya.
"Jakawulung! Tunggu apa
lagi! Lari dan selamatkan Larasati!" teriak si nenek. Suaranya keras dan
bernada marah.
Jakawulung jadi bingung. Dalam
pada itu dilihatnya gurunya tersungkur ke depan. Dia memegang tangan Larasati
erat-erat. Lima perwira mengurung mereka. Brajaseta ikut membantu. Lima pedang
perwira datang menderu. Tak ada jalan lain. Jakawulung harus menangkis. Tiga
pedang
sekaligus menghantam pedangnya
hingga terlepas mental.
Masih untung dia masih dapat
menyelamatkan diri dari sambaran dua pedang lainnya. Tapi itupun tak ada
gunanya. Karena dari kiri tusukan pedang Brajaseta datang dengan ganas!
Namun sebelum ajal berpantang
mati, sebuah benda hitam entah dari mana datangnya melesat laksana meteor dan
menghantam tangan kanan Brajaseta. Kepala Pasukan Demak ini mengeluh kesakitan
dan terpaksa lepaskan pedang. Di saat yang sama satu angin sedahsyat topan
prahara menggebu. Belasan prajurit dan beberapa perwira, termasuk Brajaseta
tersapu sampai satu tombak. Ketika tiupan angin itu sirna, di tengah kalangan
pertempuran tegaklah seorang pemuda bertubuh tegap, mengenakan pakaian putih
yang bagian dadanya tidak dikancingkan.
Sikapnya gagah tapi gayanya
lucu seperti orang tolol. Dia memandang berkeliling sambil tersenyum.
Tak satu orangpun di situ yang
kenal siapa adanya pemuda yang telah menyelamatkan Jakawulung ini, kecuali si
Malaikat Tak Bernama yang saat itu terduduk di tanah dengan tubuh penuh
luka-luka. Si pemuda tak menunggu lebih lama, selagi semua orang terkesiap, dia
segera dukung tubuh si nenek.
Si nenek usap-usap rambut
gondrong si pemuda seraya berkata, "Pendekar 212! Syukur, di saat aku mau
mati begini rupa masih sempat bertemu denganmu…"
Si pemuda tertawa dan
menjawab, "Orang tua, siapa bilang kau bakal mati? Ajal di tangan
Tuhan."
"Wiro Sableng! Memang
benar ajal di tangan Tuhan.
Tapi kau lebih dari tahu kalau
saat ini aku segera akan mati."
"Sudahlah nenek muka putih.
Mari kita tinggalkan tempat celaka ini!" Si pemuda yang bukan lain adalah
murid Eyang Sinto Gendeng alias Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 berpaling
pada Jakawulung dan Larasati yang berdiri bengong setelah diri mereka
diselamatkan secara tidak terduga.
Dari seberang Brajaseta dan
Kipas Besi segera mendatangi.
"Pemuda asing! Kau juga
mencari penyakit! Turunkan tubuh tua bangka itu dan pergi dari sini! Jangan
sampai aku merubah pikiran untuk menangkapmu sekaligus!" bentak Brajaseta.
Wiro Sableng ganda tertawa.
Dia berkata, "Brajaseta, sebagai alat kerajaan kau memang pantas dipuji
karena telah menjalankan tugas dengan baik! Tapi tindakanmu kelewat batas! Bawa
pasukanmu meninggalkan tempat ini!"
Mendengar kata-kata pemuda
yang tidak dikenalnya itu tentu saja Brajaseta marah. Di saat itu sepasang mata
Si Kipas Besi melihat tiga deretan angka pada dada si pemuda dan menjadi
terkejut. 212. Dia sadar berhadapan dengan siapa dan cepat-cepat hendak
memberitahu pada Brajaseta. Tapi Kepala Pasukan Demak ini sudah melangkah maju
seraya melepaskan jotosan keras ke kepala Wiro Sableng. Pendekar ini melompat
ke belakang hingga serangan Brajaseta hanya mengenai tempat kosong.
Malaikat Tak Bernama tertawa
bergelak ketika melihat Brajaseta hampir tersungkur karena kehilangan
keseimbangan. Penasaran Kepala Pasukan Demak ini hendak memburu lawannya dengan
serangan kedua. Namun saat itu Wiro Sableng sudah lepaskan satu pukulan
dahsyat.
Dan terjadilah hal yang luar
biasa.
Bumi laksana digoncang gempa.
Pasir dan batu di tengah jalan menggebu beterbangan. Ranting pepohonan
berputusan bahkan ada dua pohon yang tumbang. Belasan prajurit
terguling-guling. Belasan perwira tinggi tergelimpang. Si Kipas Besi dan
Brajaseta terkejut dan lekas berlindung di balik sebatang pohon besar. Mereka
menyangka tiba-tiba ada serangan topan dan tak berani bergerak atau melakukan
apapun.
Wiro yang memanggul Malaikat
Tak Bernama dan Jakawulung serta Larasati yang berada di bagian yang tidak
diselubungi angin besar itu memberi isyarat pada kedua muda-mudi agar segera
mengikutinya. Mereka memasuki rimba belantara. Dari sini Wiro lepaskan satu
pukulan Sinar Matahari ke arah orang-orang kerajaan itu hingga mereka merasa
seperti dunia ini mau kiamat! Dan tak satu orang pun yang berani melakukan pengejaran!
Setelah berada jauh dalam
hutan, Malaikat Tak Bernama terdengar berkata, "Kau hebat sekali
Wiro," memuji nenek muka putih ini. "Aku berterima kasih kau telah
menyelamatkan diriku dan murid-muridku. Tapi nyawaku rasanya tidak tertolong
lagi…"
"Sudahlah nenek, kau tak
boleh banyak bicara dulu.
Aku akan obati
luka-lukamu," menyahuti Wiro.
"Turunkan aku, aku ingin
berbaring…"
Wiro terpaksa membaringkan
orang tua ini di bawah sebatang pohon yang rindang.
"Larasati… mana
Larasati…?" si nenek bertanya.
"Saya di sini guru,"
jawab si gadis dan datang mendekat.
"Aku akan pergi
muridku…"
"Tidak, guru akan sembuh.
Bukankah guru telah berjanji untuk menggembleng saya di puncak Gunung
Karang?"
Malaikat Tak Bernama tersenyum
pahit. Diulurkannya tangannya untuk membelai rambut si gadis. Namun setengah
jalan tangan itu terkulai.
Larasati terpekik. Jakawulung
merasakan dadanya sesak dan menahan air mata yang hendak membersit keluar.
Malaikat Tak Bernama sudah tiada lagi.
Setelah membiarkan kedua muda-mudi
itu dilamun oleh suasana duka cita beberapa lamanya, Wiro lalu membuka mulut
"Di mana jenazah guru kalian ini akan dikubur. Lalu apa yang akan kita
lakukan?"
Larasati berdiam diri karena
dia memang tak tahu harus mengubur jenazah gurunya di mana. Jakawulung
termenung, berpikir-pikir.
"Sebaiknya kita pergi ke
Danau Merak Biru…" kata Jakawulung kemudian.
"Kenapa ke situ?"
tanya Larasati.
"Di sana diam seorang
Empu. Namanya Pamenang. Dia masih ada hubungan darah dengan guru. Kita akan
kuburkan jenazah guru di sana."
13
AIR DANAU yang amat biru dan
tenang itu merupakan satu pemandangan indah. Di langit sang surya memancarkan
sinar lembut kuning. Empat sosok tubuh berdiri mengelilingi kuburan merah di
salah satu tepian danau. Setiap wajah menunjukkan rasa duka cita yang mendalam.
"Maut adalah kuasanya
Tuhan," kata orang tua berbadan bungkuk yang tegak di samping Wiro
Sableng.
"Semua kita akan
mengalami kematian. Semoga adikku mendapat tempat yang sebaik-baiknya di alam
baka…"
Perlahan-lahan orang tua itu
memutar tubuh dan melangkah ke arah sebuah pondok. Wiro, Jakawulung dan
Larasati mengikuti dari belakang.
Di dalam pondok…
Setelah suasana sunyi cukup
lama mencengkam maka berkatalah orang tua bungkuk yang pakaiannya merupakan
selempangan kain putih itu. Dialah Empu Pamenang, penghuni pondok sunyi di
Danau Merak Biru, saudara sepupu si Malaikat Tak Bernama.
"Jakawulung, Larasati.
Karena kau sudah datang kemari maka tanggung jawab atas diri kalian terletak di
tanganku. Biarlah aku mewakili saudaraku untuk menggembleng kalian. Kalau saja
aku tidak mempunyai larangan membunuh, maulah aku membalaskan sakit hati
kematian saudaraku itu. Karena itu kelak kalian harus belajar sungguh-sungguh
agar di kemudian hari bisa melakukan pembalasan yang setimpal terhadap
orangorang yang telah berlaku sewenang-wenang itu."
Empu Pamenang memalingkan
kepalanya pada Wiro Sableng, "Pendekar muda, jika tidak karena kau
tentu…"
"Ah, aku tak berani
menerima ucapanmu itu Empu,"
Wiro memotong cepat.
"Semua kita hanya melakukan kewajiban masing-masing."
"Betul, memang
kewajiban." Kata Empu Pamenang pula. Lalu orang tua ini kelihatan seperti
merenung, "Ingat pada kewajiban itu aku serasa hidup di atas bara
panas…"
Baik Wiro maupun Larasati
serta Jakawulung tidak mengerti maksud kata-kata orang tua itu. Mereka saling
bertanya-tanya dalam hati dan Wiro merasakan adanya kelainan pada air muka Empu
Pamenang.
"Kewajiban telah
memburuku sejak sepuluh tahun yang silam. Namun kewajiban itu tidak pernah bisa
kulaksanakan karena adanya pantangan membunuh!"
"Gurupun mempunyai
pantangan begitu," berkata Jakawulung. "Apakah sebabnya?"
Empu Pamenang tersenyum rawan.
"Tak bisa kuterangkan
sebabnya, Jaka…"
"Kalau saya boleh
bertanya," kata Wiro pula, "Kewajiban apakah yang telah memburu Empu
sejak sepuluh tahun itu?"
Empu Pamenang menghela nafas
dalam. Lewat pintu pondok yang terbuka dia memandang ke danau berair biru.
Kini air danau itu mulai
bergelombang-gelombang kecil karena tiupan angin di rembang petang.
"Limabelas tahun yang
lalu aku mempunyai tiga orang murid yang amat kukasihi. Setelah lima tahun
kugembleng di tempat ini, datanglah manusia jahat pembawa malapetaka itu. Tanpa
pasal tanpa alasan ketiga muridku dibunuh.
Tubuh mereka dipotong-potong
dan kepala mereka disate dengan sebuah tombak lalu tombak itu ditancapkan di
atas pondok ini. Dan atas semua itu aku tak bisa melakukan pembalasan…"
"Empu tidak tahu siapa
pembunuhnya?" bertanya Jakawulung.
"Bukan, bukan karena aku
tidak tahu. Tapi karena aku mempunyai larangan membunuh."
"Boleh saya tahu siapa
manusia yang jahat luar biasa itu, Empu?" Kali ini Wiro Sableng yang
bertanya.
"Sebelum aku menjawab,
maukah kau melakukan satu permintaanku Wiro? Tentu saja kau berhak
menolak…"
"Katakanlah, Empu."
"Wakili diriku membalas
sakit hati dendam kesumat yang telah kupendam selama sepuluh tahun itu."
Wiro termenung. Setelah
berpikir dalam-dalam akhirnya dia menjawab, "Kepercayaan yang Empu berikan
akan saya laksanakan sedapat mungkin."
"Terima kasih,"
jawab sang Empu. "Manusia itu bernama Supit Jagal. Dia tinggal di sebuah
goa batu di Teluk Burung, di pantai utara. Kabarnya dia mempunyai seorang adik
yang tak kalah jahatnya, bernama Supit Ireng."
"Baiklah Empu, sesuai
dengan permintaanmu saya akan coba melaksanakan pembalasan."
Bagi murid Eyang Sinto Gendeng
ini meski dia tidak punya sangkut paut dengan Supit Jagal namun setiap
manusia-manusia jahat golongan hitam sudah semestinya diberi ganjaran. Dibasmi
dari permukaan bumi. Dengan tugas itu di pundaknya keesokan paginya Pendekar
212 Wiro Sableng meninggalkan Danau Merak Biru.
***
DI keheningan malam itu hanya
siliran angin yang terdengar. Bahkan burung-burung hantu-pun yang biasa
memperdengarkan suaranya yang seram malam ini membisu. Menjelang dinihari
kesunyian yang dicengkam oleh dinginnya udara mendadak sontak dirobek oleh
suara lolongan anjing. Lolongan itu terdengar berulang kali, panjang dan
menggidikkan. Mungkin anjing-anjing itu melihat setan-setan gentayangan. Namun
yang jelas tak lama setelah suara lolongan binatang itu berhenti, dari arah
timur desa Pasirginting terdengar derap kaki kuda.
Tak lama kemudian dalam
kegelapan kelihatanlah tiga penunggang kuda memasuki desa. Ketiganya berpakaian
serba hitam pekat. Tampang mereka penuh cacat, amat mengerikan. Jika ada orang
yang kebetulan melihat mereka pastilah menduga ketiga penunggang kuda itu
adalah setan-setan yang sedang keluyuran.
"Pasti ini
rumahnya!" kata penunggang kuda paling depan seraya menahan tali kekang
kudanya. Dua kawannya behenti di sampingnya. Rambut mereka rata-rata gondrong
dan acak-acakan. Kumis serta cambang bawuk yang liar menambah keseraman wajah
yang penuh cacat itu!
Saat itu ketiganya berhenti di
depan sebuah rumah paling besar di seluruh desa Pasirginting. Lelaki yang tadi
bicara berpaling pada kawan-kawannya dan berkata, "Rah Gludak, kau
berjaga-jaga di pintu belakang. Dan kau Kunto, naik ke atas atap. Awasi seluruh
pekarangan. Kalau ada yang datang hantam saja dengan senjata rahasia. Yang
penting kau harus mengawasi jangan sampai bangsat itu melarikan diri!"
"Tak usah khawatir
Parereg," jawab Kunto Handoko.
"Dia tak kan bisa
lolos!"
Lor Parereg berkata lagi,
"Aku akan masuk dari pintu depan, bila kalian dengar aku sudah bicara
dengan keparat itu kalian baru bertindak masuk. Mengerti?"
Kunto Handoko dan Rah Gludak
mengangguk. Dengan gerakan laksana seekor burung dia melompat ke atap rumah
tanpa menimbulkan sedikit suara pun. Sedang Rah Gludak bergerak ke pintu
belakang dan Lor Parereg langsung mendekati pintu depan. Pada saat itu di
samping rumah muncullah dua orang berbadan tinggi kekar yang langsung melompat
ke hadapan Lor Parereg. Ternyata keduanya adalah penjaga rumah.
"Pencuri tengik berani
mencari mati! Berani mencuri di rumah kepala desa!" teriak salah seorang
dari penjaga rumah. Namun keduanya sesaat jadi tercekat ketika melihat wajah
manusia yang mereka sangka pencuri itu.
Benar manusia atau setankah
orang ini?! Kalau manusia mengapa wajahnya lebih seram daripada setan?
"Dengar
sobat-sobatku," kata Lor Parereg tenang. "Aku bukan pencuri. Aku
justru datang untuk membawakan hadiah untuk kalian! Ini, terimalah!"
Lor Parereg mengulurkan kedua
tangannya dan, prak!
Kedua orang itu kontak
menggeletak di tanah dengan kepala masing-masing rengkah akibat diadu satu sama
lain oleh Lor Parereg.
Dengan sikap tenang, seperti
barusan tidak terjadi apaapa Lor Parereg mendekati pintu. Mudah sekali, entah
bagaimana caranya pintu yang terkunci itu dibukanya tanpa menimbulkan suara
sedikitpun!
Ruangan depan rumah besar itu
dilengkapi perabotan yang mewah, tiga perangkat sekaligus. Lor Parereg masuk
lebih jauh ke dalam, melewati ruangan demi ruangan hingga akhirnya sampai pada
sederetan pintu yang tertutup. Di hadapan sebuah pintu yang paling besar dan
penuh ukiran, yang dari bagian celah bawahnya menyeruak sinar terang, Lor
Parereg berhenti. Sesaat dia merapatkan telinganya ke daun pintu. Di ruangan
belakang pintu didengarnya suara orang bercakap-cakap perlahan, diseling suara
tertawa kecil perempuan lalu suara tempat tidur bergoyang-goyang.
Parereg memasang telinga lebih
lama. Setelah yakin bahwa suara lelaki di balik pintu adalah suara orang yang
dicarinya maka sekali tendang saja bobollah pintu itu dan di lain kejap Lor
Parereg sudah berada di dalam kamar yang amat bagus, beralaskan permadani tebal
berbungabunga.
Dua sosok tubuh lelaki dan
perempuan yang bertelanjang bulat yang tadi bergulung-gulung di atas tempat
tidur terlompat kaget!
Lor Parereg tertawa
gelak-gelak. Dengan tangan kirinya disibakkannya kelambu. Perempuan di atas tempat
tidur menjerit begitu melihat tampangnya yang mengerikan sedang yang lelaki
membeliak ketakutan.
"Ayo teruskan permainan
kalian! Anggap saja aku tak ada di kamar ini!" kata Parereg sambil masih
tertawa.
"Kau… kau siapa?"
tanya lelaki di atas tempat tidur.
Saking takut dan terkejutnya
saat itu dia maupun yang perempuan sama-sama lupa akan keadaan tubuh
masingmasing yang tiada tertutup selembar benangpun!
Pada saat itu dari atas
langit-langit kamar yang tiba-tiba bobol melompat sesosok bayangan hitam sedang
dari pintu belakang mendobrak masuk orang ke tiga. Semuanya berpakaian serba
hitam dan memiliki wajah seperti setan, penuh cacat bekas luka! Untuk kedua
kalinya perempuan di atas tempat tidur memekik ngeri sedang yang lelaki sudah
sepucat kain kafan wajahnya!
"Pemandangan yang hebat
bukan, kawan-kawan?" kata Lor Parereg pada Kunto Handoko dan Rah Gludak.
Sesaat mereka tegak menikmati tubuh putih mulus perempuan di atas tempat tidur.
"Ka… kalian ini si…
siapa?"
"Ha… ha… Tak disalahkan
kalau kau tidak mengenali kami lagi. Tampang kami telah berobah menjadi setan.
Mengerikan! Dan kau tahu
manusia keparat, kaulah yang menjadi penyebab mengapa kami jadi begini!"
"A… aku…?"
"Ya, kau!"
"Kau sekarang hidup
senang Tunggul Bayana!" membuka mulut Kunto Handoko. "Uang dan harta
berlimpah.
Istri cantik dan peliharaan
banyak! Alangkah hebatnya!"
"Namaku bukan Tunggul
Bayana. Aku Ki Ageng Tunggul!
Kepala Desa
Pasirginting!" kata lelaki di atas tempat tidur.
Lor Parereg, Kunto Handoko dan
Rah Gludak saling pandang. Lalu ketiganya tertawa gelak-gelak.
"Kau boleh berganti nama
seribu kali sehari. Tapi kau tetap adalah Tunggul Bayana! Manusia pengkhianat
terkutuk! Laknat haram jadah!" bentak Rah Gludak.
"Nama yang pantas bagimu
adalah Ki Ageng Tunggul Keparat!" kata Lor Parereg. Dan kembali ketiga
orang itu tertawa gelak-gelak.
Orang yang menjadi kepala desa
Pasirginting dan mengaku bernama Ki Ageng Tunggul itu merasakan tengkuknya
menjadi dingin. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat ketakutan. Dadanya bergetar
keras. Benarkah muka-muka yang cacat ini milik tiga orang yang pernah
dikenalnya? Benarkah muka-muka setan ini kepunyaan manusia-manusia yang dulu
pernah menjadi kawannya?
Muka Lor Parereg, Rah Gludak
dan Kunto Handoko?!
"Kalau kalian mencari seorang
bernama Tunggul Bayana, kalian telah salah alamat!" kata kepala desa itu
yang sebenarnya memang adalah Tunggul Bayana.
Lor Parereg maju selangkah.
"Manusia keparat! Mukaku dan muka kawan-kawan memang cacat. Tetapi mata
kami belum buta! Otak kami belum pikun!" Lalu Lor Parereg menjambak rambut
Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul. "Lepaskan! Atau kupanggil
pengawal!" teriak yang dijambak.
"Kau ingin memanggil
pengawal?" ujar Lor Parereg. Dia berpaling pada Kunto Handoko.
"Kawan, coba kau bawa kedua pengawal itu!"
Kunto Handoko keluar dari
kamar. Sesaat kemudian dia masuk lagi membawa dua orang pengawal yang sudah
jadi mayat dengan kepala rengkah. Makin pucatlah wajah Tunggul Bayana. Istri di
sebelahnya menjerit dan pingsan sewaktu Kunto Handoko meletakkan dua sosok
mayat itu di atas tempat tidur.
"Nah, itu
pengawal-pengawalmu. Silahkan minta tolong pada mereka," kata Lor Parereg
dengan seringai setan.
Sedang jambakannya semakin
diperkeras, "Tunggul Bayana, kami tidak punya waktu lama. Katakan di mana
kau simpan uang emas dan harta itu?!"
"Aku tidak mengerti apa
yang kau bicarakan ini. Aku tidak kenal kau dan juga dua kawanmu ini!"
kata Ki Ageng Tunggul.
"Ohh, begitu?" ujar
Parereg. "Jadi kau pura-pura tidak kenal kami. Pura-pura tidak tahu apa yang
aku bicarakan!
Nah kau makan dulu jariku
ini!"
Habis berkata begitu Lor
Parereg menusukkan jari telunjuk tangan kirinya ke paha kanan Ki Ageng Tunggul
hingga paha itu berlobang dan mengucurkan darah. Ki Ageng Tunggul merintih
kesakitan sambil tekap pahanya.
"Lobang-lobang seperti
itu akan kubuat di seluruh tubuh dan mukamu, Bayana! Hingga wajahmu jauh lebih
menyeramkan dari wajah kami!"
Tiba-tiba Ki Ageng Tunggul
Bayana meraung dan mencengkeram ke arah selangkangan Lor Parereg.
"Benar-benar manusia
keparat!" maki Lor Parereg.
Disentakkannya kepala Ki Ageng
Tunggul Bayana hingga tubuh kepala desa ini terjelapak di lantai. Ketika Bayana
hendak bangkit berdiri secepat kilat Lor Parereg menginjak leher orang itu
hingga Tunggul Bayana merasakan sakit yang bukan kepalang. Nafasnya seperti
tertahan. Dadanya sesak. Lidahnya menjulur.
"Tobat! Ampun! Ampuni
selembar nyawaku ini Parereg!"
"Ah… akhirnya kau
mengenaliku juga!" kata Lor Parereg.
"Minta tobat dan minta
ampun. Jangan khawatir sobat.
Kami akan ampuni kau. Tapi
katakan dulu di mana kau sembunyikan uang emas dan harta itu!"
"Akan kukatakan Parereg.
Akan kukatakan. Tapi berikan waktu tiga hari padaku!"
"Waktu tiga hari buat
apa?!" tanya Lor Parereg.
"Untuk menipu dan
mengkhianati kita lagi tentunya!" kata Kunto Handoko.
"Aku bersumpah
kawan-kawan! Demi persahabatan kita di masa lampau, aku tidak akan mengkhianati
kalian untuk kedua kali! Beri aku waktu tiga hari. Hanya itu yang aku
minta…"
"Baik, akan kuberikan
waktu tiga hari," kata Lor Parereg.
"Jangan tolol
Parereg!" seru Rah Gludak.
Lor Parereg mengedipkan
matanya. "Dia tak bakal lari, kawan. Sekalipun dia lari sampai ke perut
bumi kita akan mengejarnya. Tiga hari tidak lama. Di samping itu kita bisa
melepaskan lelah sambil bersenang-senang dengan istri dan perempuan-perempuan
peliharannya. Bukan begitu Tunggul Bayana?"
"Terserah apapun yang
akan kau lakukan. Asal kau mau mengampuni aku dan memberikan waktu tiga
hari…"
Lor Parereg tertawa.
Perlahan-lahan kakinya diangkat dari batang leher Ki Ageng Tunggul.
14
TELUK Burung diselimuti kabut
tebal. Hujan rintik-rintik turun sejak pagi. Dalam udara yang buruk itu seorang
penunggang kuda berbaju biru bergerak di antara puing-puing batu. Mukanya
pucat, matanya merah dan sekujur tubuhnya terasa letih. Sesekali kaki-kaki kuda
tunggangannya terpeleset di batu licin. Namun dengan segala kekuatannya dan
harapan untuk hidup orang ini terus membawa kudanya ke jurusan timur hingga
akhirnya dia sampai di sebuah lamping bukit batu yang merupakan sebuah tembok
panjang, membelintang dari timur ke selatan. Di salah satu bagian lamping batu
tersebut, orang ini menghentikan kudanya dan memandang berkeliling.
Hujan rintik-rintik telah
berhenti. Tetapi kabut masih kelihatan di mana-mana menutupi pemandangan. Dia
menunggu beberapa lama. Matahari muncul dan kabut mulai lenyap. Dia memandang
berkeliling sekali lagi. Apa yang dicarinya kelihatan di kejauhan. Tepat di
pertengahan lamping batu sebelah bawah kelihatan sebuah lobang besar. Dengan
hati-hati orang ini membawa kudanya menuruni lereng batu itu, kemudian bergerak
sepanjang tepi pasir menuju ke lobang batu yang tadi dilihatnya dari atas.
Cuaca sementara itu telah
berangsur cerah. Tepat di depan goa orang tadi hentikan kudanya dan melompat
turun. Dengan memanggul sebuah kantong kulit dia melangkah menuju mulut goa.
Lima langkah dia akan sampai ke mulut goa sekonyong-konyong dari dalam
menggelegar bentakan. "Siapa yang berani datang ke tempatku tanpa
diundang?!"
Sesaat orang itu terkesima.
Setelah habis kagetnya maka diapun menjawab. "Aku Ki Ageng Tunggul kepala
desa Pasirginting ingin bertemu dengan orang tua sakti bernama Supit
Jagal."
"Katakan apa
keperluanmu!" orang dalam goa berkata.
Ki Ageng Tunggul alias Tunggul
Bayana menjawab, "Aku datang untuk mohon diambil jadi murid!"
"Bah?! Maksud sintingmu
membuat aku ingin melihat tampangmu. Masuk cepat!"
Ki Ageng Tunggul masuk.
Ternyata goa batu itu di bagian dalam tidak seberapa besar. Udara di sini
terasa dingin karena ada tiupan angin dari laut. Di tengah ruangan duduk
seorang kakek berpakaian putih kotor penuh tambalan. Rambutnya keriting macam
bulu domba. Pada pipinya sebelah kanan terdapat cacat bekas luka yang amat
besar. Daun telinganya sebelah kanan sumplung sedang sepasang matanya sipit
sekali hampir seperti terpejam.
"Duduk!" orang tua
ini memerintah.
Ki Ageng Tunggul duduk.
Kantong kulit diletakkan di sampingnya.
Setelah meneliti tamu di
hadapannya kakek bernama Supit Jagal ini berkata, "Sudah tua bangka
sepertimu ini minta diambil jadi murid. Tentunya kau sinting! Paling tidak
edan!"
"Soalnya terpaksa,"
jawab Ki Ageng Tunggul.
"Sebelumnya aku telah
memiliki dasar ilmu silat sejurus dua jurus."
"Kau terpaksa minta jadi
murid? Coba kau terangkan manusia sedeng!"
"Tiga orang jahat
mengancam hendak membunuhku. Mereka berilmu tinggi."
"Untuk menghadapi mereka
kau lalu minta ilmu padaku! Begitu!"
"Betul!"
"Kenapa tiga manusia itu
hendak membunuhmu?!"
"Dulu mereka adalah
kawan-kawanku. Kemudian kukhianati!" Ki Ageng Tunggul lalu menceritakan peristwa
di masa lampau itu. "Entah bagaimana mereka bisa lolos dari penjara
istana. Kini mereka jauh lebih tinggi ilmu silat serta kesaktiannya dari
dulu-dulu." Lelaki ini diam sebentar lalu menyambung. "Atas
kesediaanmu mengambilku jadi murid, aku akan memberi imbalan yang cukup."
Ki Ageng Tunggul lalu meletakkan kantong besar itu di hadapan Supit Jagal.
Supit Jagal membuka kantong dan tampaklah uang emas di dalamnya. Sepasang mata
Supit Jagal semakin menyipit.
"Aku tak mungkin
mengambilmu jadi murid!" tiba-tiba Supit Jagal berkata yang membuat paras
Ki Ageng Tunggul jadi berubah.
"Kenapa? Apakah
pemberianku masih kurang?!"
"Bukan. Tapi karena aku
yakin kau tak bakal sanggup menjalankan syarat yang akan kutetapkan."
"Syarat apapun akan
kupatuhi!" jawab Ki Ageng Tunggul.
"Kepala desa, begini
saja. Kau atur agar ketiga musuhmu itu datang kemari. Urusan selanjutnya biar
aku yang membereskan!"
"Begitupun aku
setuju," jawab Ki Ageng Tunggul. "Yang penting mereka dapat
dibunuh!"
"Tapi syarat yang telah
kutetapkan harus kau jalankan."
"Akan kulaksanakan orang
tua. Katakanlah."
"Kau harus bersumpah dulu
bahwa kau betul-betul akan melaksanakannya!"
"Demi Tuhan aku akan
melaksanakan!"
"Bukan demi Tuhan tolol!
Tapi Demi Supit Jagal!"
"Ya… ya. Demi Supit Jagal
aku bersumpah!" kata Ki Ageng Tunggul alias Tunggul Bayana yang sekarang
sudah jadi kepala desa itu.
"Bagus. Sekarang kau
telan dulu benda ini!" Supit Jagal melemparkan sebuah benda hitam ke
pangkuan Ki Ageng Tunggul.
"Benda apa ini?"
tanya Ki Ageng Tunggul.
"Telan saja! Jangan
banyak tanya!"
Tunggul Bayana menelannya.
Supit Jagal tertawa panjang. "Yang kau telan itu adalah racun penghancur
usus!"
Pucatlah paras Ki Ageng
Tunggul.
"Racun ini akan bekerja
setelah dua hari. Jika kau melaksanakan syarat yang kutetapkan kau boleh
kembali ke sini membawa ketiga manusia itu. Aku akan memberi obat penawar racun
itu. Tapi kalau kau bersumpah palsu dan ingkar, kau akan mampus dengan usus
berantakan!" Supit Jagal kembali tertawa.
Tunggul Bayana merasakan sekujur
tubuhnya menjadi dingin.
"Sekarang mengenai syarat
itu," kata Supit Jagal pula.
"Tepat tengah malam besok
yaitu Kamis malam Jum’at Kliwon kau harus menggorok leher seorang bayi dan
memandikan darahnya di kepala serta tubuhmu! Itu harus kau lakukan di bukit
batu ini kira-kira seratus langkah di belakang lamping batu!
Kedua mata Tunggul Bayana
membeliak laksana hendak copot dari rongganya ketika mendengar kata-kata Supit
Jagal itu. Bulu romanya berdiri.
Supit Jagal menyeringai.
"Kalau tidak kau laksanakan, jangan harap umurmu akan lebih panjang dari
dua hari!"
"Syarat itu, apakah bisa
diganti dengan syarat lain?
Tobat! Aku tak dapat
melaksanakannya!"
"Kalau begitu angkat kaki
saja dari sini!"
Ki Ageng Tunggul jadi bingung
dan takut. Syarat yang harus dilakukannya sungguh sangat mengerikan. Tak
sanggup dia menjalankan. Tapi kalau dia menolak, racun yang mengindap dalam
perutnya akan merenggut nyawanya! Tak ada hal lain yang menjadi pilihan kecuali
melakukan apa yang disyaratkan Supit Jagal!
Demikianlah, seperti telah
dituturkan di permulaan cerita, Ki Ageng Tunggul telah berhasil menculik
seorang bayi. Dia membawa bayi itu ke puncak bukit batu, menebas lehernya lalu
memandikan kepala dan tubuhnya dengan darah sang bayi!
15
KEEMPAT penunggang kuda itu
berhenti di ujung lamping bukit batu Teluk Burung. Angin laut bertiup keras. Di
antara deru angin yang keras itu, orang yang berada paling depan bertanya,
"Mana goanya?!"
"Di bawah sana Parereg.
Kita harus turun lewat lereng di ujung sana."
"Aku mendapat firasat si
Tunggul Keparat ini menipu kita," kata Rah Gludak.
"Kalau nanti terbukti
begitu, tak akan susah memisah tubuhnya dengan kepala," sahut Lor Parereg.
Ki Ageng Tunggul menunggangi
kudanya di sebelah depan. Di ujung lereng batu dia menurun diikuti Lor Parereg,
Rah Gludak dan Kunto Handoko. Keempatnya kini menyusuri pasir pantai.
"Inilah goanya."
Kata Ki Ageng Tunggul begitu sampai di goa tujuan. "Peti-peti itu kutumpuk
di dalam." Habis berkata begitu dia hendak turun dari kudanya. Tapi Lor Parereg
mencegah.
"Tetap di tempatmu,
Tunggul!" Dia melangkah mendekati Ki Ageng Tunggul lalu menotok
punggungnya, membuat Ki Ageng Tunggul kini laksana patung tak bisa bergerak di
atas punggung kudanya.
"Kalian berdua masuk dan
periksa goa. Aku menunggu di sini!" kata Lor Parereg.
Sret!
Kunto Handoko cabut pedangnya,
meletakkan bagian yang tajam dari senjata ini di leher Ki Ageng Tunggul dan
berpaling pada Lor Parereg.
"Parereg! Kita sudah tahu
tempat peti-peti itu disembunyikan. Bagaimana kalau detik ini kupisahkan saja
nyawanya dari badan?!"
"Nyawa anjingnya soal
mudah Kunto! Yang penting kau bersama Gludak harua memeriksa dulu apa betul
peti-peti itu ada di dalam goa!"
"Percayalah! Aku tidak
menipu kalian!" kata Ki Ageng Tunggul dengan tengkuk dingin. Kalau Kunto
Handoko menabas batang lehernya detik itu juga habislah ceritanya.
"Silahkan kalian bertiga
masuk dan memeriksa!" Diamdiam hatinya tidak enak karena sampai saat itu
Supit Jagal belum juga muncul.
"Kita akan lihat Tunggul
Keparat, kita akan lihat!" kata Lor Parereg. Dia memberi isyarat pada dua
kawannya.
Kunto Handoko dan Rah Gludak
melompat turun dari kuda masing-masing dan melangkah mendekati goa. Tibatiba
baru saja mereka sampai di mulut goa, dari dalam menderu selarik angin yang
amat deras dan panas!
Keduanya berseru kaget dan
secepat kilat melompat ke samping selamatkan diri. Sambaran angin menyapu lewat
dan melabrak kuda yang ditunggangi Lor Parereg. Binatang ini meringkik keras
lalu roboh ke tanah dengan kepala hangus! Setelah melejang-lejang seketika
akhirnya mati tak berkutik lagi! Lor Parereg membeliak. Mukanya pucat!
Hampir saja dia jadi korban
ditambus angin panas. Dia hendak bergerak melompati Ki Ageng Tunggul, namun
saat itu dari dalam goa dilihatnya seorang kakek bermuka iblis dan berpakaian
penuh tambalan muncul dan memandang beringas dengan matanya yang sipit ke arah
Lor Parereg dan kawan-kawan.
"Kepala desa, apakah ini
tiga manusia yang menurutmu tak layak hidup lebih lama di dunia ini?!"
tanya Supit Jagal.
"Betul!" sahut Ki
Ageng Tunggul. "Bunuh mereka. Aku akan memberi sekantong uang emas lagi
untukmu!" Supit Jagal menyeringai.
"Hemm… tampang-tampang
mereka memang serupa iblis penjaga neraka. Jadi memang pantas kalau dikirim ke
neraka!" Dengan tangan terpentang Supit Jagal melangkah ke hadapan Lor
Parereg dan kawan-kawannya.
"Parereg! Apa kataku!
Bangsat keparat ini telah menipu kita!" seru Kunto Handoko marah dan
secepat kilat mengirimkan satu jotosan ke perut Ki Ageng Tunggul yang masih
duduk di atas punggung kuda tanpa mampu bergerak.
Namun sebelum jotosan itu
sampai, selarik angin menderu dari samping. Terpaksa Kunto Handoko melompat
mundur!
"Tua bangka sialan! Kau
rupanya sudah bosan hidup!"
bentak Lor Parereg. Tangan
kanannya dihantamkan ke depan. Sementara dari belakang Kunto Handoko dengan
bernafsu lepaskan selusin paku hitam beracun. Rah Gludak juga tidak tinggal
diam. Pedangnya berkelebat ke batok kepala Supit Jagal. Diserang hebat begitu
rupa Supit Jagal ganda tertawa. Didahului dengan satu bentakan keras dia
mengangkat kedua tangannya ke atas Lor Parereg. Rah Gludak dan Kunto Handoko
melihat sinar hitam bergulung-gulung dan menyambar laksana petir ke arah
mereka. Serta merta ketiga orang ini berserabutan selamatkan diri. Namun mereka
tak punya kesempatan lagi. Serangan sinar hitam begitu luar biasa cepatnya.
Ketiganya menjerit keras
karena sadar bahwa mereka tak akan lolos dari kematian!
Namun di saat yang kritis itu
tiba-tiba menggeledek satu bentakan, "Supit Jagal! Apa kau sudah gila
hendak membunuh murid-muridku?!"
Satu angin aneh menyambar dan
tahu-tahu buyarlah sambaran sinar hitam yang tadi dilepaskan Supit Jagal!
Supit Jagal terkejut bukan
main. Suara itu sangat dikenalnya. Dia berpaling. Satu bayangan hitam
berkelebat turun dari tebing batu.
"Supit Ireng! Apa-apaan
kau?" seru Supit Jagal.
"Kowe yang
apa-apaan!" balas Supit Ireng. "Ketiga orang ini adalah muridku. Dan
kowe hendak membunuh mereka!"
"Bah!" Supit Jagal
delikkan mata. "Muridmu… Jadi?!" Dia berpaling pada Ki Ageng Tunggul
yang saat itu sudah pucat pasi mukanya.
"Kalau begitu bangsat ini
hendak mengadu domba kita!
Keparat kurang ajar!"
Sekali melompat saja Supit Jagal sudah jambak rambut Ki Ageng Tunggul dan
menyeretnya dari punggung kuda.
"Demi Tuhan, ampuni
selembar nyawaku!" lirih Ki Ageng Tunggul. "Semua harta dan uang emas
itu akan kuserahkan pada kalian! Ampuni diriku!"
"Lepaskan totokannya
Supit Jagal," kata Supit Ireng.
Supit Jagal lepaskan totokan
di tubuh Ki Ageng Tunggul.
Lor Parereg melangkah
mendekati laki-laki ini bersamasama Supit Ireng.
"Dengar Tunggul
Bayana," kata Lor Parereg. "Nyawamu akan kami ampuni jika kau
benar-benar mau menerangkan di mana peti-peti itu berada."
"Terima kasih… terima
kasih…"
"Lekas terangkan!"
hardik Parereg.
"Peti-peti itu… peti-peti
itu kutanam di belakang rumahku di desa Pasirginting," menerangkan Ki
Ageng Tunggul. Kali ini dia tidak berdusta.
"Kau tidak bohong?!"
"Demi Tuhan aku tidak
bohong!"
"Bagus! Nyawamu diampuni.
Kau bebas sekarang untuk pergi. Pergi ke neraka!" Lalu dengan kaki
kanannya Lor Parereg menendang perut Ki Ageng Tunggul hingga orang ini mencelat
dan terguling di tanah.
Belum lagi dia sempat bangun
tendangan Kunto Handoko mendarat di kepalanya. Kembali Ki Ageng Tunggul
terlempar. Hidungnya yang kena tendang mengucurkan darah. Dia mengeluh panjang.
Rah Gludak menambah satu tendangan lagi di dadanya membuat tulang-tulang iganya
patah.
"Demi Tuhan ampuni
jiwaku!" teriak Ki Ageng Tunggul.
Dia merangkak ke arah Supit
Jagal. "Tolong… tolong aku," pintanya.
Supit Jagal tegak bertolak
pinggang. Dia tertawa mengekeh. "Ini hadiah dariku!" Lalu
tendangannya menghajar lambung Ki Ageng Tunggul.
Begitulah Ki Ageng Tunggul
ditendang kian kemari hingga babak belur. Mukanya berlumuran darah.
Tulangtulangnya berpatahan. Dia meraung tiada henti. Kemudian raungannya hanya
tinggal erangan dan akhirnya dia terkapar tak berkutik lagi. Mati!
Supit Jagal menarik nafas
panjang. Dia memandang pada saudaranya. "Supit Ireng! Kalau kau tidak
cepat muncul niscaya ketiga muridmu sudah konyol di tanganku!"
Supit Ireng hanya bisa tertawa
pendek. Tapi tawanya ini mendadak lenyap berganti seruan. "Lihat!"
Semua orang berpaling. Saat
itu sepanjang lereng batu, ujung timur dan ujung barat telah dikurung oleh
lebih dari seratus prajurit berkuda bersenjata lengkap.
"Mau apa kunyuk-kunyuk
kerajaan itu!" kata Supit Jagal sementara Lor Parereg dan kawan-kawannya
juga memandang gelisah.
Baru saja Supit Jagal
mengeluarkan ucapan itu dari lamping batu sebelah kiri terdengar seruan,
"Lima orang yang berada di tepi pantai menyerahlah!"
"Itu suara si keparat
Brajaseta!" kata Lor Parereg.
"Brajaseta! Kalau kau
datang untuk mengantar nyawa silahkan turun kemari!" teriak Supit Ireng.
Matanya yang hanya satu itu seperti menyala karena ingat manusia itulah yang
telah menyiksa ketiga muridnya. Bukan sampai di situ saja. Habis membentak
Supit Ireng lalu hantamkan tangannya ke arah lereng batu. Satu larik sinar
hitam menggebu. Terdengar suara menggelegar. Lamping batu hancur berantakan.
Tiga prajurit jatuh bersama kuda-kuda tunggangan mereka sedang Brajaseta sempat
selamatkan diri dengan melompat ke bawah seraya berteriak memberi komando untuk
menyerbu.
Dari lamping batu sebelah kiri
melesat satu sosok tubuh seraya mengebutkan sebuah benda berbentuk setengah lingkaran.
Ternyata manusia ini adalah Si Kipas Besi.
Deru angin yang keluar dari
kipas saktinya itu membuat pasir pantai beterbangan dan untuk beberapa ketika
menutup pemandangan.
Sewaktu udara terang kembali
maka kelihatanlah bahwa seratus lebih prajurit itu telah bergerak mempersempit
kurungan. Di depan prajurit-prajurit itu berjejer limabelas perwira tinggi. Di
sebelah depan sekali tegak Brajaseta dan Si Kipas Besi.
Dikurung seketat itu Supit
Jagal dan Supit Ireng tidak merasa khawatir. Malah Supit Jagal masih bisa
tertawatawa.
"Kalian sudah terkurung!
Tak mungkin bisa lari.
Menyerahlah!"
memperingatkan Brajaseta.
"Lari? Menyerah?!"
ujar Supit Jagal. Lalu dia tertawa gelak-gelak.
"Brajaseta!" Supit
Ireng angkat bicara. "Apa yang telah kau perbuat terhadap murid-muridku
hari ini kutagih berikut bunganya! Dan kau juga Kipas Besi, jangan harap
ampunan dariku!" Supit Ireng masih ingat sewaktu terjadi pertempuran di
halaman istana. Habis berkata begitu dia langsung menyerbu. Kakak serta ketiga
muridnya tidak tinggal diam. Maka pertempuran hebat tidak dapat lagi
dihindarkan.
Dalam jumlah memang pihak
Brajaseta lebih banyak.
Namun Supit Jagal serta Supit
Ireng bukan manusiamanusia yang mudah dirobohkan dengan mengandalkan
pengeroyokan. Di samping itu Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko telah
pula mendapat tambahan ilmu dari guru mereka!
Sekelompok demi sekelompok
prajurit-prajurit Demak menemui ajal dihantam pukulan-pukulan sakti yang
dilepaskan Supit Jagal serta adiknya. Satu demi satu perwira tinggi meregang
nyawa. Brajaseta menjadi tergetar hatinya.
Tidak diduganya dua manusia
golongan hitam itu demikian tinggi ilmunya. Kepala Pasukan Demak ini malah
makin tercekat ketika dilihatnya Supit Jagal berhasil merampas kipas sakti di
tangan Si Kipas Besi, lalu dengan senjatanya sendiri Si Kipas Besi digebuk
kepalanya hingga hancur!
Brajaseta sadar bahwa
keadaannya juga tak bakal bertahan lama ketika bahu kirinya luka disambar ujung
pedang Lor Parereg.
"Celaka!" keluh
Kepala Pasukan Demak ini. Dia memandang berkeliling. Kecil harapan untuk
menyelamatkan diri. Dengan kertakkan rahang dia putar pedangnya laksana
titiran. Tiba-tiba Brajaseta merasakan ada sambaran angin serangan datang dari
arah kiri. Cepat dia lepaskan pukulan tangan kosong. Tapi betapa terkejutnya
ketika sambaran angin itu lenyap tahu-tahu pedang di tangan kanannya dibetot
lepas! Di sampingnya tertawa bergelak Supit Ireng!
"Kini hutang berikut
bunganya harus kau bayar Brajaseta!" kata Supit Ireng seraya
bolang-balingkan pedang milik Kepala Pasukan Demak itu.
"Guru, biar aku yang
membereskan bangsat itu!" terdengar seruan Lor Parereg.
"Tentu. Jangan khawatir.
Kau dan dua kawanmu bakal dapat bagian paling banyak. Beri aku kesempatan hanya
untuk mencungkil mata kirinya! Biar tampangnya miripmirip aku!" Supit
Ireng lalu tusukkan ujung pedang ke mata kiri Brajaseta!
Pada saat itulah tiba-tiba
terjadi hal yang luar biasa.
Seolah-olah datang dari laut
terdengar suara menderu aneh. Teluk Burung laksana dilanda topan. Pasir pantai
menggebubu beterbangan membuat udara menjadi gelap.
Ombak yang senantiasa
bergulung dan memecah di pasir saat itu seperti terbendung oleh deru dahsyat
tadi. Prajuritprajurit bergelimpangan. Beberapa perwira tinggi terhuyung-huyung
lalu jatuh duduk di tanah!
Semua orang terkejut bukan
main. Apakah dunia akan kiamat? Dalam gelapnya udara itu tiba-tiba kelihatan
sinar putih menyilaukan berputar-putar. Gerakan Supit Ireng yang tadi hendak
mencungkil mata kiri Brajaseta kini jadi tertahan dan di lain kejap terdengar
suara berkerontang.
Pedang di tangan manusia
tinggi bermuka hitam ini terlepas mental dan patah tiga!
Seorang pemuda berambut
gondrong mengenakan baju tak berkancing berdiri di tengah-tengah kalangan
pertempuran. Di dadanya ada tulisan 212. Tangan kanan bertolak pinggang sedang
tangan kiri memegang sebilah kapak besar bermata dua yang bertuliskan 212.
Supit Ireng, Supit Jagal dan
Lor Parereg serta dua kawannya tidak mengenal siapa adanya pemuda ini.
Sebaliknya Brajaseta jadi
terkesiap ketika mengenali pemuda itu bukan lain orang yang menyebabkan
lolosnya Malaikat Tak Bernama, Jakawulung dan Ning Larasati.
Terus terang terhadap pemuda
ini Brajaseta menaruh dendam kesumat. Tetapi hari itu justru dia muncul dan
menyelamatkan dirinya. Siapakah pemuda ini sebenarnya?
"Yang mana di antara
kalian bernama Supit Jagal?!"
Pendekar 212 Wiro Sableng
bertanya sambil menatap Supit Ireng dan Supit Jagal berganti-ganti.
"Budak sontoloyo! Ada
apakah kau mencari majikanmu ini?!" menyahuti Supit Jagal.
Sesaat Wiro menatap orang itu.
Jadi inilah manusianya yang bernama Supit Jagal, katanya dalam hati. Dia lalu
tertawa gelak-gelak, "Supit Jagal, ketahuilah. Aku datang mewakili Empu
Pamenang dari Danau Merak Biru yang tiga orang muridnya telah kau bunuh secara
biadab!"
"Begitu…?" Kini
Supit Jagal yang tertawa meledak.
"Pemuda tolol. Hadiah apa
yang diberikan kakek keropos itu hingga kau mau mewakilinya? Apakah dia tidak
punya nyali untuk datang sendiri?!"
"Ah, orang tua itu
terlalu sibuk. Karenanya dia mengutus manusia kroco macamku ini untuk
membereskanmu!"
"Keparat busuk! Kau
duduklah tenang-tenang di batu sana. Biar kuselesaikan dulu urusan dengan
kecoakkecoak kerajaan ini!"
Sementara itu selagi semua
perhatian tertuju pada Wiro Sableng dan Supit Jagal kesempatan ini dipergunakan
oleh Lor Parereg untuk mendekati Brajaseta dari belakang dan menusuk
punggungnya dengan pedang hingga tembus ke dada. Kepala Pasukan Demak ini roboh
tak bernyawa lagi!
Meskipun sebenarnya tidak
senang terhadap Brajaseta, tapi melihat Kepala Pasukan Demak ini di bunuh
secara pengecut, Wiro Sableng menjadi geram dan memutar kapaknya ke arah batok
kepala Lor Parereg. Namun dua pukulan tangan kosong yang hebat menerpanya dari
kiri kanan. Ternyata Supit Jagal dan Supit Ireng telah menyerangnya secara
bersamaan!
16
PENDEKAR 212 bersuit nyaring.
Kapaknya berputar membabat ke arah kedua lawan tangguh itu. Di lain saat
pengeroyoknya jadi berjumlah lima orang karena Lor Parereg, Kunto Handoko dan
Rah Gludak telah turun pula ke kalangan pertempuran.
Sementara itu sisa-sisa
prajurit dan perwira kerajaan yang masih hidup sudah tak punya hasrat lagi
untuk meneruskan pertempuran. Yang mereka lakukan saat itu ialah lekas-lekas
menyingkir dan menyelamatkan jenazah Brajaseta serta Si Kipas Besi.
Di saat yang sama di atas
lereng batu kelihatan tiga orang berdiri menyaksikan pertempuran di tepi pantai
Teluk Burung itu.
"Empu, saya rasa sudah
saatnya kita turun tangan membantu Wiro."
Empu Pamenang
menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan Jakawulung itu. "Tak usah
khawatir Jaka. Pemuda itu bukan manusia sembarangan. Jika Kapak Naga Geni 212
berada di tangannya lawan macam apapun yang ada di hadapannya pasti
dimusnahkannya!"
"Tapi satu lawan lima
benar-benar perkelahian yang tidak adil! Dan lima manusia itu adalah
orang-orang jahat," kata Ning Larasati.
Ketiga orang itu berada di
situ karena ingin menyaksikan pertempuran yang hebat itu. Empu Pamenang ingin
melihat sendiri kematian musuh besarnya si Supit Jagal.
Sedang Jakawulung dan Larasati
berhasrat membantu Wiro. Karena itulah tak lama setelah Wiro pergi ketiganya
segera menyusul.
"Kau betul Larasati, kau
betul. Itu perkelahian yang tidak adil. Tapi bagi Wiro sendiri itu bukan soal.
Dan aku, jika saja tidak ada pantangan membunuh pasti sudah turun tangan sejak
tadi," kata Empu Pamenang pula.
"Aku tetap akan
membantunya Empu!" kata Jakawulung. Dia hendak melompat dari lereng batu.
Tapi Empu Pamenang memegang bahunya.
"Lihat Jaka… lihat apa
yang terjadi di bawah sana!" kata Empu Pamenang seraya menunjuk ke bawah,
ke arah pantai.
Jaka melihat ke bawah. Pada
saat itu tampak dua dari lima pengeroyok roboh bermuncratan darah kena hanta
man Kapak Naga Geni 212 di tangan Wiro Sableng! Dua korban pertama ini adalah
Rah Gludak dan Kunto Handoko!
Dua jurus kemudian menyusul
korban ke tiga yaitu si tinggi hitam Supit Ireng. Lehernya hampir putus
disambar mata kapak yang tajam. Supit Jagal meraung melihat kematian adiknya.
Tangannya kiri kanan tiada henti melepaskan pukulan-pukulan sakti. Namun jurus
demi jurus dia mulai terdesak.
Lor Parereg menggempur dengan
nyali setengah meleleh. Akibatnya bahu kirinya kena di makan senjata lawan
hingga buntung. Manusia ini melolong kesakitan dan lari meninggalkan kalangan
pertempuran dengan terhuyung-huyung. Wiro tidak perdulikan lawan yang lari.
Musuh besar yang harus
dibunuhnya adalah Supit Jagal, sebagaimana tugas yang telah diterimanya dari
Empu Pamenang.
Ketika melihat Lor Parereg
melarikan diri, Ning Larasati yang memang mendendam setengah mati, tiba-tiba
mencabut pedang di pinggang Jakawulung. Dengan senjata ini di tangan dia
mengejar Lor Parereg.
"Manusia dajal! Kau mau
kabur ke mana?!" sentak Larasati.
Lor Parereg hentikan larinya.
Nafasnya megap-megap.
Pemandangannya
berkunang-kunang. "Kau… kau…," hanya itu yang bisa diucapkannya
ketika dia melihat dan mengenal Larasati.
"Ya, aku. Aku Larasati
datang untuk membalas sakit hati!" Lalu puteri Sultan itu tusukkan
pedangnya ke perut Lor Parerag tanpa Lor Parereg mampu untuk mengelak ataupun
menangkis. Dia seperti sudah pasrah ditambus senjata itu. Larasati sendiri
menjerit ngeri ketika menyaksikan apa yang dilakukannya. Seumur hidup baru kali
itu dia membunuh manusia. Dia terus-menerus menjerit sampai Empu Pamenang dan
Jakawulung datang untuk menenteramkannya.
Dalam keadaan sangat terdesak
tiba-tiba Supit Jagal berkata, "Orang muda! Antara kita tidak ada silang
sengketa. Mengapa kau inginkan jiwaku?!"
"Aku hanya menjalankan
tugas Supit Jagal. Lagi pula kupikir manusia jahat macammu ini tak layak…
Akh…!"
Wiro tak teruskan ucapannya
karena saat itu dilihatnya lawan melepaskan satu pukulan sakti yang
mengeluarkan hawa panas luar biasa! Sambil melompat ke samping dia sapukan
Kapak Naga Geni 212. Serangan lawan langsung buyar. Tetapi ketika memandang ke
depan dilihatnya Supit Jagal melarikan diri ke arah lereng bukit batu. Sewaktu
Wiro hendak mengejar kembali, Supit Jagal lepaskan pukulan tangan kosong dua
kali berturut-turut!
"Sialan! Bangsat ini
benar-benar licik!" maki Wiro. Dia kerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sambil
berseru nyaring kelihatan tubuhnya melesat ke udara dan Supit Jagal menjadi
kaget ketika didapatinya tahu-tahu pemuda itu sudah tegak di atas lereng batu
menghadangnya!
Supit Jagal membelok ke kiri
sambil lepaskan lagi pukulan sakti. Wiro kembali melompat. Sekali ini dia
langsung menyerbu ke arah lawan sambil melepaskan satu tendangan. Nekad Supit
Jagal coba menangkap kaki kanan Wiro. Tapi tenaga tendangan itu tidak mampu
ditahannya.
Akibatnya tubuhnya mencelat ke
bawah bukit batu, tangan kirinya patah di bagian pergelangan.
Malang bagi Supit Jagal.
Jatuhnya tepat di depan Empu Pamenang. Orang tua ini langsung hadiahkan satu
tendangan ke punggung Supit Jagal hingga tulang punggungnya remuk dan dia
meraung kesakitan.
"Sayang aku mempunyai
Pantangan membunuh!" kata Empu Pamenang menyesali diri.
Sambil terhuyung-huyung Supit
Jagal mencoba bangkit.
Saat itu Wiro Sableng sudah
tegak di hadapannya. Supit Jagal menggembor keras. Tangan kanannya menghantam
ke arah selangkangan Pendekar 212. Tapi serangannya hanya mengenai tempat
kosong. Dia merasakan rambutnya dijambak, lalu tubuhnya terangkat dan
berputar-putar di udara. Pekiknya terdengar tiada henti. Kepalanya serasa
tanggal.
Tiba-tiba Wiro lepaskan
cengkeramannya. Tubuh Supit Jagal melayang dan byur dia masuk ke dalam air
laut.
Sesaat tampak kedua tangannya
menggapai-gapai ke atas, lalu lenyap bersamaan dengan lenyapnya tubuhnya di
telan gelombang!
Empu Pamenang memejamkan kedua
matanya. Dari mulutnya terdengar suara lirih. "Murid-muridku, manusia jahat
yang telah membunuh kalian telah menemui kematiannya. Kuharap kini kalian bisa
tenteram di alam baka." Kakek ini kemudian melangkah mendekati Wiro
Sableng.
"Orang muda, terimalah
ucapan terima kasihku… Kau benar-benar hebat!"
"Empu Pamenang, kau keliwat
memuji. Tugasku sudah selesai. Aku mohon diri…" Wiro membungkuk hormat
lalu sekali berkelebat diapun lenyap. Empu Pamenang menarik nafas panjang. Ning
Larasati mendekati seorang perwira tinggi dan berkata, "Kembalilah ke
Kotaraja. Katakan pada ayahanda bahwa aku telah diambil murid oleh Empu
Pamenang dari Danau Merak Biru. Katakan bahwa beliau tak usah khawatir tentang
diriku. Jika sudah selesai menuntut ilmu pasti aku akan kembali."
Perwira itu mengangguk lalu
menjura dan berlalu. Empu Pamenang, Jakawulung dan Ning Larasati kembali ke
Danau Merak Biru.
Dengan matinya Lor Parereg dan
manusia-manusia jahat lainnya itu maka tak satu orangpun yang mengetahui
mengenai peti-peti berisi uang dan perhiasan yang ditanam Ki Ageng Tunggul di
belakang rumahnya di Pasirginting.
Peti-peti itu akan terus
terpendam sampai kiamat, kecuali kalau ada orang lain yang menemukannya.
TAMAT