Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
076 Kutunggu Di Pintu Neraka
SATU
Dua sosok bayangan hitam
berkelebat dalam gelapnya malam. Pada waku siang saja hutan belantara itu
selalu diselimuti kegelapan dan dicengkam kesunyian.
Apalagi di malam buta seperti
itu. Hingga dua sosok yang bergerak tadi tidak ubahnya seperti dua hantu tengah
gentayangan.
“Kita sudah dekat…..” bisik
bayangan di sebelah kanan. Ternyata dia manusia juga adanya.
“Betul, aku sudah dapat
mencium baunya,” menyahuti bayangan satunya.
Keduanya terus lari ke arah
Timur rimba belantara. Tak selang berapa lama mereka sampai di bagian hutan
yang baynak ditumbuhi semak belukar setinggi dada.
Di sini mereka hentikan lari.
Tegak tak bergerak dan juga tidak bersuara. Hanya sepasang mata masing-masing
memandang tak berkedip ke depan.
Di atas serumpun semak belukar
lebar terletak sebuah batu lebar berbentuk hampir pipih. Di atas batu ini duduk
seorang lelaki berpakaian rombeng penuh tambalan seperti pengemis. Dia
mengenakan sebuah caping bamboo. Bagian depan caping ini turun ke bawah hingga
dari wajahnya hanya dagunya yang ditumbuhi bulubulu kasar saja yang kelihatan.
Bau aneh seperti bau bunga
kamboja busuk datang dari orang yang duduk bersila di atas batu ini. Entah
berasal dari tubuhnya atau dari pakaiannya yang dekil kotor.
Otak dua orang yang barusan
datang cepat bekerja. Batu pipih itu beratnya paling tidak 30 sampai 40 kati.
Tetapi mengapa semak belukar setinggi dada itu sanggup menahannya? Lalu
ditambah pula dengan berat badan orang bercaping yang duduk bersila di atas batu.
Semak belukar tetap berdiri tegak! Akal manusia mana yang bisa menerima
kenyataan ini?!
“Aku tak menyangka dia
memiliki ilmu setinggi ini,” bisik orang di sebelah kiri.
“Dia sanggup membuat tubuh dan
batu yang didudukinya seringan kapas,” balas orang di sebelah kanan. “Tapi
kalau cuma ilmu meringankan tubuhnya saja yang hebat, kenapa kita musti takut?”
“Lalu bagaimana? Kita
teruskan?” tanya orang yang pertama tadi.
“Seharusnya kau tak usah
bertanya begitu. Ucapanmu menandakan keraguan hati. Kau kecut, bahkan mungkin
takut. Padahal, bukankah kita sudah bersumpah untuk menangkapnya hidup atau
mati?” kata orang kedua pula dengan nada sengit.
Lalu cepat dia menyambung.
“Kau dari sebelah kiri. Aku dari kanan. Sekarang!”
Dua orang itu bergerak. Satu
ke kiri, satu ke kanan. Tiba-tiba secara serempak mereka menyergap ke arah
orang yang duduk di atas batu. Dari gerakan-gerakan mereka yang mengeluarkan
suara angin bersiuran jelas dua orang ini bukan hanya melancarkan serangan
biasa, tetapi serangan-serangan dahsyat yang bisa meremuk dada dan merengkahkan
kepala!
Orang bercaping di atas batu
kelihatan tidak bergerak sedikitpun. Seolah sama sekali tidak menyadari kalau
dirinya tengah diancam bahaya maut. Sesaat lagi jotosan dari kanan akan
menghantam caping di atas kepalanya dan jotosan dari kiri akan menghancurkan
tulang dadanya, tiba-tiba dalam satu gerakan kilat yang hampir tidak terlihat
oleh mata telanjang, orang bercaping di atas batu angkat kedua tangannya.
“Wutt! Setttt!”
“Wutt Setttt!”
Dua penyerang sama berteriak
kaget ketika dapatkan lengan kanan masingmasing yang mereka pergunakan untuk
memukul tahu-tahu kena cekal orang!
Mereka cepat menyentak untuk
bebaskan diri. Namun ceklan itu laksana japitan besi yang tak dapat digoyahkan.
Terpaksa keduanya pergunakan tangan kiri untuk menghantam. Sayang gerakan
mereka kalah cepat. Tubuh keduanya tampak terangkat ke atas. Lalu dalam gerakan
kilat yang ditunjang dengan kekuatan luar biasa tubuh itu diadu satu sama lain!
“Praaakkk!”
Dua kepala berbentur keras.
Perlahan-lahan orang di atas
batu lepaskan cekalannya. Dua orang yang tadi menyerangnya dan kini talah
menjadi mayat roboh di bawah, terkapar di tanah rimba belantara lembab.
Keadaan yang tadi sempat
berisik kini kembali diliputi kesunyian. Orang di atas batu duduk tak bergerak
seolah tidak terjadi apa-apa!
Sementara itu di atas sebuah
pohon tinggi, dalam kegelapan malam, sulit terlihat oleh mata telanjang,
seorang kakek bermuka kuning mengenakan pakaian selempang kain putih seperti
seorang resi, duduk di atas salah satu cabang pohon. Di tangan kanannya dia
memegang sebatang joran atau bambu pemancing. Pada ujung benang di mana
terdapat mata kail yang dibalut sejenis getah, berbagai binatang hutan yaitu
serangga terbang, kunang-kunang, nyamuk dan sebagainya telah menjadi korban.
Mati menempel di mata kail.
Sungguh aneh keadaan orang tua
ini. Apakah dia menganggap dirinya tengah memancing? Walaupun dia tidak
bergerak atau bersuara namun apa yang terjadi di bawah sana yaitu kematian
mengerikan dua orang yang menyerang, sama sekali tidak luput dari pandangannya.
Malah sewaktu dua orang itu jatuh bergedebukan di tanah tanpa nyawa dan kepala
rengkah, dalam hatinya orang tua di atas pohon mengejek.
“Manusia-manusia tolol! Kalau
ilmu cuma sejengkal mengapa berani datang ke tempat ini! Mencari perkara
mencari mati!”
Kesunyian di tempat itu
ternyata tidak berlangsung jauh. Karena tak selang berapa lama kemudian entah
dari mana datangnya sesosok tubuh renta bungkuk dengan punuk di tengkuknya
tahu-tahu muncul di tempat itu lalu duduk sejarak lima langkah dari hadapan
semak belukar di atas mana ada batu dan duduk orang bercaping. Orang yang baru
darang ini berambut kelabu dan di tangan kanannya ada sebatang tongkat hitam.
Dua mata orang tua berambut
kelabu ini kecil dan selalu berputar liar, melirik ke kiri dan ke kanan.
Sekilas dia memperhatikan orang di atas batu, lalu memperhatikan dua sosok yang
sudah jadi mayat, lalu kembali lagi memperhatikan orang bercaping. Kemudian
kelihatan dia geleng-gelengkan kepala.
“Anak-anak manusia malang!
Kalian mampus percuma. Akibat meminta lebih dari kemampuan!” Si rambut kelabu
membuka mulut. Lalu dia ketukkan tongkat hitamnya ke tanah.
“Duk….duk….dukkkk!”
Hebat sekali! Ketukan tongkat
itu bukan saja mengeluarkan suara aneh jauh ke dalam tanah tetapi juga
menyebabkan semak belukar di hadapannya bergoyanggoyang.
Goyangan ini membuat batu
hitam di atas semak-semak itu bergetar. Namun orang bercaping yang duduk di
atasnya seolah tidak merasakan apa lagi terganggu.
Di atas pohon orang tua
bermuka kuning dan berpakaian seperti resi usap-usap joran bambunya. “Si
bungkuk itu…… Hemmmmm…..” katanya dan bergumam dalam hati. “Boleh juga dia.
Kepandaiannya jauh meningkat. Ketukan tongkatnya membuat pohon yang kududuki
bergetar. Bahkan pantatku terasa seperti kesemutan.”
“Ck…..Ck…..Ck.”
“Tapi aku kurang yakin dia
mampu melaksanakan niatnya. Biar kutunggu saja sambil memancing…… Ah, mengapa
sedikit sekali hasil pancinganku malam ini.”
Orang tua berpunuk berhenti
mengetuk-ngetukkan tongkat hitamnya. Dia maju dua langkah. Mulutnya tampak
dipencongkan. Sesaat kemudian terdengar dia berucap.
“Kebo Pradah. Kau boleh
menyamar seribu samaran. Sebagai resi, sebagai nelayan atasu sebaga petani.
Juga sebgai pengemis seperi kau lakukan saat ini. tapi kau tak bisa lari dari
aku. Mata tua ini tak bisa ditipu. Aku datang menjemputmu! Apa jawabmu?!”
Orang di atas batu tidak
bergerak. Juga tidak ada suara jawaban.
Orang tua berambut kelabu di
depan semak belukar menyeringai. Tangan kirinya mengusap-usap rambutnya
beberapa kali lalu tangan kanannya yang memegang tongkat bergerak.
Ujung tongkat kayu hitam itu
tiba-tiba menyusup ke bawah caping. Di depan mata kiri ujung tongkat berhenti
seolah hendak menusuk. Ternyata tidak. Tongkat itu bergerak ke bawah lalu
berhenti tepat pada cegukan di pangkal leher. Agaknya bagian inilah yang akan
ditusuk. Jelas tusukan membawa kematian!
“Aku bertanya sekali lagi Kebo
Pradah! Kau bersedia ikut aku atau bermaksud membangkang?!”
Orang tua berpunuk menunggu.
Yakin bahwa dia tak bakal mendapat jawaban maka diapun keluarkan suara tawa
mengekeh. Tiba-tiba kekehannya lenyap laksana direngut setan. Pergelangan
tangan kanannya bergerak. Ujung tongkat benar-benar menusuk!
“Traaaaakkkk!”
Orang tua berpunuk berseru
kaget lalu melompat mundur sampai tiga langkah.
Dua matanya mendelik,
memandang liar berganti-ganti ke arah orang di atas batu dan tongkat kayu
hitamnya yang patah. Dia tidak dapat melihat kapan orang di atas batu itu
menggerakkan tangannya. Yang jelas gerakan orang itu jauh lebih cepat dari
tusukan tongkatnya tadi.
Di atas pohon yang gelap,
kakek bermuka kuning yang memegang joran geleng-gelengkan kepalanya. Dalam hati
dia berkata. “Tua bangka bungkuk berpunuk itu ternyata cuma bermulut besar. Kalau
otaknya waras apa yang terjadi sudah cukup menjadi peringatan. Sebaiknya dia
lekas saja angkat aki dari tempat ini!”
Namun lain kata hati si kakek
di atas pohon, lain pula ucapan orang tua berpunuk.
“Bagus Kebo Pradah! Bagus
sekali! Kau menunjukkan keperkasaanmu tanda kau memang pantas kuajak pergi.
Tapi dari sikapmu tadi jelas kau memutuskan untuk ikut aku tanpa nyawa di
badan!” Si bungkuk berpunuk lemparkan patahan tongkat ke tanah. Dari mulutnya
keluar suara lengkingan keras. Di lain kejap tubuhnya melesat ke depan. Ketika
kedua tangannya dihantamkan, ada deru angin yang dahsyat mendahului
serangannya. Orang di atas batu maklum dia kini tidak bisa bertindak gegabah.
Dengan cepat dia angkat kedua tangannya menangkis. Dua pasang lengan saling
bentrokan keras. Tapi anehnya sama sekali hampir tidak terdengar suara
bergedebukan. Ini satu pertanda bahwa kedua orang itu sama-sama memiliki tenaga
dalam yang tingginya sulit dijajagi. Terbukti dengan apa yang terjadi setelah
bentrokan lengan itu. batu di atas semak belukar kelihatan retak. Beberapa
bagiannya malah hancur berkeping-keping. Asap mengepul dari batu. Orang
bercaping yang tadi duduk di atasnya lenyap entah kemana! Sebaliknya si bungkuk
berpunuk tampak berlutut enam langkah dari depan semak belukar dengan sekujur
tubuh bergetar.
Punuknya seolah bertambah
besar tiba-tiba.
“Des!”
Punuk itu meletus pecah! Darah
muncrat mengerikan!
DUA
Orang tua bermuka kuning di
atas pohon leletkan lidahnya. “Si bungkuk itu tak bakal lama nyawanya,” katanya
dalam hati. “Kebo Pradah pasti tidak lepas dari hantaman tenaga dalam lawan.
Tapi dia berlaku cerdik. Tenaga sakti lawan diteruskannya ke atas batu yang
tadi didudukinya. Karuan saja batu itu jadi retak bahkan pecah
berkeping-keping!”
Si bungkuk berambut kelabu
berusaha menahan sakit dengan mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Namun tak urung
suara erangan terdengar juga keluar dari mulutnya. Tangan kirinya diulurkan ke
belakang. Begitu dia berhasil memegang punuknya yang pecah, orang ini menekan
kuat-kuat. Sungguh luar biasa. Darah yang seperti memancur dari pecahan punuk
serta merta berhenti mengalir.
Dengan mengumpulkan seluruh
tenaga perlahan-lahan orang ini bangkit berdiri.
“Kebo Pradah! Dimana kau?!
Jangan bersembunyi pengecut! Aku akan mengadu jiwa denganmu!” Si bungkuk
memandang kian kemari. Orang bercaping itu tidak kelihatan. Dia membalik!
Tahu-tahu Kebo Pradah sudah ada di depannya!
Si bungkuk keluarkan suara
menggembor. Kedua tangan diulurkan ke depan.
Didahului bentakan keras dia
melompat. Dua tangannya siap untuk mencekal dan mematahkan leher Kebo Pradah.
Namun tindakan nekadnya itu tidak membawa hasil.
Sebelum dia sempat menyentuh
leher yang jadi sasaran, orang bercaping gerakkan tangan kanannya.
“Praaaakkk!”
Kening si bungkuk pecah besar.
Tubuhnya terjengkang. Jeritannya terdengar singkat karena maut keburu merenggut
nyawanya!
Di atas pohon orang tua
bermuka kuning menghela nafas panjang. “Kasihan, satu korban lagi jatuh. Apa
masih ada lagi manusia tolol akan muncul mencari mati di tempat ini?”
Di bawah pohon Kebo Pradah
terdengar mendengus. “Tak jelas apa maunya manusia-manusia itu. Mereka
memburuku sejak tiga puluh hari lalu. Hampir tidak memberi kesempatan bagiku
untuk bernafas lega. Pintu Neraka….. Kudengar ada di antara mereka menyebut-nyebut
nama itu. Apa betul ada Pintu Neraka? Di mana itu…..?” orang ini membetulkan
letak capingnya lalu memandang berkeliling sambil mengusap dagunya yang
ditumbuhi bulu-bulu kasar. Tiba-tiba Kebo Pradah berseru.
“Orang di atas pohon! Sudah
saatnya kau turun. Aku mau lhat tampangmu biar jelas dan apa kepentinganmu di
tempat ini, mendekam sejak tadi di atas pohon!”
Orang tua bermuka kuning di
atas pohon tersentak kaget. Jorannya sampai bergoyang-goyang. “Astaga, rupanya
dia tahu sejak tadi kalau aku nongkrong di sini!
Ah, bagaimana ini. Mau tak mau
aku harus turun juga! Mungkin sudah saatnya aku jarus memberi tahu padanya…..”
Orang tua ini gulung tali
kailnya. Baru saja dia hendak melompat turun tibatiba terdengar suara aneh di
kejauhan. Kakek muka kuning dan Kebo Pradah samasama tercekat dan saling
dongakkan kepala. Suara aneh itu terdengar semakin keras tanda bertambah dekat.
“Hemmmmmm……” si muka kuning
bergumam. “Itu suara kerontang kaleng .
Hanya ada satu manusia yang
membawa kaleng rombeng ke mana-mana. Kakek Segala Tahu….. Kalau tidak ada
apa-apa tidak akan dia muncul di tempat ini. Janganjangan dia punya maksud yang
sama….. Wah, apakah aku harus bentrokan dengan orang satu golongan…..?
Sebaiknya aku menunggu saja. Biar dia muncul dulu di tempat ini….. Tapi Kebo
Pradah pasti tidak sabar!” Orang tua ini berpikir sesaat.
Sementara itu suara kerontang
kaleng terdengar seperti menjauh dan akhirnya lenyap sama sekali.
“Mudah-mudahan dugaanku salah.
Kakek Segala Tahu mungkin hanya kebetulan saja tersesat ke kawasan ini.
Sudahlah, biar aku turun saja menemui Kebo Pradah……”
Sekali dia menggoyangkan
tubuhnya, orang tua bermuka kuning itu melesat ke bawah dan mejejakkan kedua
kakinya di tanah tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Dia tegak dengan muka
menyeringai, joran bambu dimelintangkan di bahu kiri sementara tangan kiri
berkacak pinggang.
“Ah, Si Pengail Sakti Bermuka
Kuning rupanya!” kata Kebo Pradah begitu dia melihat siapa orang yang tegak
lima langkah di hadapannya itu. “Apakah banyak hasil kailmu malam ini?”
“Cuma nyamuk dan serangga tak
berguna. Ada beberapa ekor kunang-kunang.
Lumayan dari pada tidak dapat
apa-apa sama sekali…..” jawab kakek bermuka kuning lalu tertawa gelak-gelak.
Kebo Pradah menunggu. Setelah
Si Pengail Sakti hentikan tawanya dia cepat berkata. “Sekarang katakan apa
maksud kehadiranmu di tempat ini Pengail Sakti. Apa sama dengan orang-orang
yang sudah jadi mayat ini?!”
Si Pengail Sakti usap muka
kuningnya dua kali lalu batuk-batuk beberapa kali.
Setelah itu dia rapikan
pakaian putihnya yang seperti pakaian seorang resi, membuat Kebo Pradah jadi
tidak sabaran.
“Aku menunggu jawabmu Pengail
Sakti. Jangan terlalu petantang petenteng di hadapanku. Atau sebaiknya kau
lekas menyingkir saja dari tempat ini?!” Kebo Pradah akhirnya bicara dengan
suara keras.
“Kebo Pradah, usiamu belum
sampai setengah umurku yang sudah seratus dua puluh tahun ini. Jadi tak pantas
bicara kasar padaku….”
“Aku tidak mau tahu berapa
umurmu! Jawab saja pertanyaanku tadi!” hardik Kebo Pradah.
“Kalau begitu maumu baiklah.
Aku datang ke sini sebenarnya hendak memberitahu bahwa dirimu terancam bahaya
besar…..”
“Hemmmm begitu? Baik sekali
hatimu padaku. Tetapi mengapa ku hanya mendekam di atas pohon, tidak langsung
menemuiu dan memberi tahu?!”
“Begini, setiap aku hendak
turun menemuimu, aku selalu kedahuluan oleh orang-orang yang muncul mencari
urusan denganmu. Aku pikir sebaiknya aku menunggu saja sampai urusan kalian
selesai…..”
“Berarti kau sengaja
membiarkan aku dalam bahaya!”
“Tidak begitu. Karena kau tahu
kau bakal dapat menyelesaikan urusan itu, maka sebaiknya aku tidak ikut campur.
Buktinya kau bisa membereskan orang-orang itu!”
“Katakan bahaya besar apa yang
mengancam diriku…..”
Pengail Sakti memandang dulu
berkeliling seolah kawatir orang lain di tempa itu mendengarkan apa yang bakal
dikatakannya. Lalu dia maju dua langkah mendekati Kebo Pradah.
“Ada hal luar biasa dalam
dunia persilatan terjadi sejak beberapa waktu lalu.
Jika hal ini dibiarkan dunia
persilatan akan ambruk!”
“Katakan saja langsung apa
yang kau maksud dengan hal luar biasa itu!” kata Kebo Pradah pula.
“Beberapa tokoh silat golongan
putih lenyap secara aneh. Beberapa tokoh mengadakan penyelidikan. Ternyata satu
kekuatan hitam telah mencullik mereka lalu disekap di sebuah tempat yang tak
mungkin bisa dimasuki oleh manusia biasa. Jika hal ini dibiarkan terus bukankah
bisa membuat kiamat dunia persilatan? Lagi pula…..”
“Tunggu dulu! Apa hubungan
peristiwa itu dengan diriku…..” memotong Kebo Pradah.
“Seorang pakar dunia persilatn
dari golongan putih yang aku tidak jelas siapa adanya mengatakan bahwa hanya
kau yang bisa menolong menyingkap tabir peristiwa ini. Menyelamatkan
tokoh-tokoh silat yang diculik itu, mengeluarkan dari sekapan dunia hitam…..”
Kebo Pradah tertawa. “Selama
ini orang-orang persilatan mana pernah memperhatikan diriku. Aku tidak punya
hubungan apa-apa dengan mereka. Mereka membuat berbagai macam urusan. Mereka
sendiri yang harus menyelesaikan. Soal segala yang terjadi, dunia hitam dan
kegaiban yang kau katakan itu, aku tidak perduli…..”
“Dengar dulu Kebo Pradah.
Beberapa orang sakti siap untuk masuk ke dalam dunia hitam makhluk-makhluk gaib
sesat itu. Namun mereka tidak bisa tembus.
Meeka tahu daerahnya tapi
tidak tahu bagaimana caranya bisa masuk ke alam gaib itu.
Hanya mereka katakan kau yang
bisa melakukannya. Kau punya kekuatan dan kemampuan yang tidak dimiliki orang
lain……”
“Kau sudah cerita banyak. Tapi
belum mengatakan apa keperntinganmu sendiri datang ke sini. Hanya untuk
memberitahu aku dalam bahaya dan bahwa aku yang bisa menolong menyingkap tabir
aneh itu? Aku tidak percaya. Kau pasti punya kepentingan sendiri!”
Pengail Sakti tersenyum. Dia
memandang lagi berkeliling. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. “Di alam
gaib itu diketahui terdapat timunan harta perhiasan.
Kalau kita bisa masuk ke
dalamnya kita bukan saja bisa menolong para sahabat tetapi sekaligus bisa
mendapatkan harta kekayaan itu! kita akan jadi orang-orang maha kaya di dunia
ini!”
“Aku tidak tertarik untuk jadi
orang kaya…… Sekarang kau boleh pergi….”
“Tunggu dulu Kebo Pradah. Jika
kau tidak tertarik pada kekayaan itu tak jadi apa. Tapi kuminta kau mau
menolong menyingkap tabir alam gaib itu. hanya kau satu-satunya di dunia ini
yang bisa menolongnya!”
Kebo Pradah menyeringai. “Banyak
orang lain memiliki kemampuan lebih hebat dariku. Kau bisa mencari mereka…..”
“Kau betul, banyak orang lain
yang lebih hebat dan memiliki kemampuan serta kesaktian jauh di atasmu. Tapi
bukan itu masalahnya!”
“Lalu?!”
“Seperti yang tadi aku bilang.
Hanya kau yang memiliki kunci kekuatan untuk dapat masuk ke alam gaib iu!” kata
Pengail Sakti pula.
“Kunci kekuatan……? Aku tidak
mengerti Pengail Sakti…..”
“Kalau begitu biar aku
membuktikannya dulu. Apa betul kau orangnya….”
Pengail Sakti mengulur tali
jorannya sambil memutar-mutar mata kail yang ditempel dengan sejenis getah
perekat.
“Eh, apa yang hendak kau
lakukan?!” tanya Kebo Pradah heran tapi segera saja bersikap waspada.
Tangan kanan Pengail Sakti
bergerak. Joran bambu yang dipeganginya menderu ke kiri. Mata kail yang
diselubungi getah menyambar ke bagian perut Kebo Pradah. Mendapat serangan ini
Kebo Pradah jadi marah.
“Muka kuning! Kau berkedok
hendak menolong orang. Ternyata kau sama saja dengan orang-orang lainnya hendak
mencelakai diriku!”
Habis berkata begitu Kebo
Pradah berkelebat ke kiri. Tangan kanannya menyambar ke arah mata kail. Pengail
Sakti kedutkan jorannya agar kailnya tidak sampai disambar lawan. Namun
bersamaan dengan itu tangan kanan Kebo Pradah memukul ke depan.
“Bagus!” seru Pengail Sakti.
Joran bambu di tangan kanannya bergerak aneh.
“Sreettt… sretttt… Betttt!
Bettttt!”
kebo Pradah terperangah kaget
ketika tahu-tahu kedua tangannya telah terlibat tali kail sementara mata kail
yang bergetah menempel di bagian dada baju rombengnya.
Si Pengail Sakti tertawa
mengekeh. Sekali menyentak saja maka Kebo Pradah terbetot ke depan.
“Breettt!” Baju Kebo Pradah
robek di bagian dada. “Sialan! Robekannya kurang besar!” kata Pengail Sakti
dalam hati. Joran bambunya kembali disentakkan.
Namun sekali ini Kebo Pradah
sudah dapat membaca apa yang hendak dilakukan kakek bermuka kuning itu. Dia
cepat mendahului. Bukan saja dia mengikuti tarikan lawan tapi malah mendahului
bergerak. Sesaat lagi tubuhnya dan tubuh Si Pengail Sakti akan saling beradu,
tiba-tiba Kebo Pradah berkelebat ke kiri. Dua tangannya yang dilibat tali kail
diangkat ke atas. Lalu dia membuat gerakan berputar beberapa kali.
Pengail Sakti berseru tegang
ketika melihat tali kailnya melibat lehernya sendiri. Dia berusaha meloloskan
diri dari libatan sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat.
Naumn terlambat. Libatan tali kail di lehernya semakin kencang.
“Trel….trek….trek…..”
Terdengar suara berkereketan
tiga kali berturut-turut. Tulang leher Pengail Sakti patah di tiga tempat!
Lidahnya menjulur ke luar dan kedua matanya membaliak mengerikan! Untuk
meyakinkan bahwa orang tua bermuka kunig itu benar-benar mati, Kebo Pradah
sentakkan kedua tangannya yang terikat dengan keras. Tak ampun lagi tubuh
Pengail Sakti terbanting ke bawah. Muknya menghantam tanah lebih dulu.
Remuk tak karuan rupa! Dengan
tenang Kebo Pradah kemudian membuka libatan tali kail di kedua tangannya.
“Aku harus buru-buru
meninggalkan tempat celaka ini!” kata Kebo Pradah membatin. “Kalau tidak, sulit
bagiku melakukan samadi…..”
Kebo Prradah rapikan letak
capingnya. Sesaat kakinya hendak melangkah, satu bayangan berkelebat. Angin
bayangan yang menyambar ini membuat capingnya bergesr ke kiri. Baju rombengnya
yang robek berkibar-kibar dan tubuhnya terasa dingin. Kebo Pradah cepat
membalik. Benar saja, bayangan yang barusan berkelebat tau-tahu sudah berada di
belakangnya. Berubahlah paras Kebo Pradah ketika dia mengenali siapa adanya
mahluk di depannya itu!
TIGA
Hutan Tapakhalimun di kaki
selatan Gunung Merapi terkenal angker. Itu sebabnya tak pernah ada penduduk
sekitar situ berani mendekati apa lagi masuk ke dalamnya.
Jangankan manusia, binatangpun
boleh dikatakan jarang kelihtan berkeliaran di sekitar situ. Kata orang hutan
Tapakhalimun adalah sarang segalam macam mahluk halus. Pada siang hari di
kawasan hutan yang selalu redup itu sering terdengar suara lolongan anjing,
bernada aneh panjang menggidikkan. Terkadang ada suara tawa cekikikan membaut
siapa saja yang mendengarnya bisa lari lintang pukang. Ada pula yang mengatakan
bahwa dalam rimba belantara itu sering terdengar suara jeritanjeritan seperti
orang disiksa. Lalu juga ada tangisan orok! Malam hari tentu saja keangkeran di
tempat itu jangan disebut lagi.
Saat itu tepat tengah hari. Di
langit sang surya memancarkan sinarnya yang terik. Namun di kawasan hutan yang
ditumbuhi berbagai pohon besar berdaun rimbun suasana tampak redup. Sinar
matahari seolah tak sanggup menembus kelebatan rimba belantara Tapakhalimun.
Sewaktu lapat-lapat terdengar suara lolongan anjing dari dalam hutan, tiba-tiba
berkelebat satu bayangan putih. Setan? Bukan. Ternyata dia manusia. Seorang
pemuda berpakaian dan ikat kepala putih dengan rambut gondrong acak-acakan.
Sesaat dia memandang berkeliling.
“Sepi….” Katanya dalam hati.
Baru saja dia berucap begitu mendadak dari dalam hutan terdengar suara lolongan
anjing, membuat pemuda ini tergagap kaget dan merutuk dalam hati. “Sialan!
Kalau binatang itu ada di hadapanku pasti kutendang!”
Dia memandang lagi berkeliling
sambil memasang telinga. “Eh, apakah aku ini sudah sampai di hutan
Tapakhalimun…..? Keadaan di sini serba aneh. Udara redup dan hawanya pengap.
Tapi mengapa aku mendadak keluarkan keringat dingin? Ada bau seperti kebang
busuk. Tapi kulihat tak satu pohonpun ada bunganya! Pohon-pohon besar itu
tumbuhnya aneh. Berjajar dekat-dekat seperti pagar….”
Selagi pemuda ini membatin
tiba-tiba kesunyian dirobek oleh suara jeritanjeritan mengerikan. Kembali
pemuda ini terkejut dan memaki habis-habisan.
“Gila! Siapa yang menjerit
seperti itu? Datangnya dari kejauhan di sebelah sana. Sepertinya lebih dari
satu orang. Jangan-jangan itu bukan jeritan manusia tapi…..” Pemuda ini tidak
teruskan ucapannya. Dia melangkah sepanjang deretan pohon-pohon besar yang
membentuk pagar. Di setiap celah antara dua pohon dia coba memeperhatikan. “Aku
seperti melihat ada bayangan berkelebat di sebelah sana. Jelas bukan bayangan
binatang…. Apa yang harus aku lakukan? Aku harus melihat bagaimana keadaannya
sekarang….” Cepat-cepat dari dalam saku pakaiannya pemuda ini mengeluarkan
sebuah benda yang ternyata adalah sekuntum bunga kenanga aneh. Aneh karena
bunga ini tak pernah layu dan jika dikeluarkan selalu menebar bau harum. Selain
itu kembang kenanga ini berasal-usul dari satu kejadian yang sulit diterima
akal manusia.
Beberapa waktu lalu dia pernah
mengenal bahkan bercinta dengan seorang dara cantik yang dipanggilnya dengan
nama Bunga. Gadis ini sebenarnya adalah penjelmaan dari seorang gadis yang
telah meninggal dunia karena diracun oleh kekasihnya sendiri yang mengkhianati
cintanya. Satu kekuatan yang menguasai Bunga membuat gadis ini mampu
meninggalkan alam gaibnya dan hidup seperti mahluk halus bahkan menjelma atau
memperlihatkan diri sebagaimana keadaannya sebelum meninggal dunia dulu. (untuk
jelasnya baca serial Wiro Sableng berjudul “Misteri Dewi Bunga Mayat”).
Setelah menatap kembang
kenanga itu sesaat, perlahan-lahan si pemuda mendekatkan bunga tadi ke
hidungnya. Perlahan-lahan pula, penuh kekhusukan sambil memejamkan kedua
matanya dia mencium bunga itu. Hawa harum dan sejuk masuk ke dalam hidungnya
terus ke rongga pernafasan. Rasa sejuk menyeruak ke rongga dadanya.
“Bunga….. Datanglah. Aku ingin
melihatmu….” Si pemuda berbisik dengan suara bergetar. Dia menunggu. Tak
terjadi apa-apa. Dia menunggu lagi.
“Aneh,” kata pemuda ini dalam
hati. “Biasanya tidak selama ini. sekali panggil saja dia sudah muncul
memperlihatakn diri….. Jangan-jangan……” Si pemuda tampak kawatir. Diciumnya
kembang kenangaitu sekali lagi. Lebih lama dari tadi seraya berbisik. “Bunga,
aku ingin melihat. Bagaimana keadaanmu sekarang.
Perlihatkan dirimu Bunga……”
Tetap saja tak ada yang
terjadi. Hati si pemuda jadi semakin tidak tenang.
“Kalau dia mati dan aku tidak
bisa menolongnya…… Aku akan menyesal seumur hidup……. Tapi bukankah sebenarnya
dia sudah mati? Apakah ada mahluk hidup mati sampai dua kali?” Si pemuda
termenung sesaat. “Biar kucoba sekali lagi…..” katanya.
Bunga kenanga itu
diusap-usapnya beberapa kali. Lalu didekatkannya ke hidungnya. Kemudian diciumnya.
“Bunga….. Jika kau masih ada di alammu, datanglah Bunga. Perlihatkan dirimu……”
Pemuda itu hampir putus asa
ketika menunggu sekian lama apa yang dharapkannya tak kunjung terjadi. Namun
tiba-tiba, perlahan sekali ada suara berdesis.
Serta merta udara pengap di
tempat itu dipenuhi oleh bau bunga kenanga. “Dia datang…..” desis si pemuda.
Kedua matanya memandang tak berkedip ke arah datangnya suara berdesir itu. dari
arah itu tampak satu sinar terang. Hanya sesaat.
Begitu sinar terang lenyap
muncullah bayangan sosok tubuh seorang gadis mengenakan kebaya putih
berkancing-kancing besar. Rambutnya tergerai lepas.
Bayangan ini makin lama makin
jelas.
“Bunga!” pekik si pemuda
begitu melihat keadaan gadis yang muncul secara aneh itu. pakaian putihnya ternyata
penuh dengan darah. Wajahnya yang cantik tapi pucat digelimangi datah yang
keluar dari kedua matanya, hidung, telinga dan mulut.
Wajah itu memperlihatkan rasa
takut yang amat sangat. Si gadis berada dalam keadaan terikat kedua tangan dan
kakinya pada sebuah tonggak kayu.
“Bunga!” teriak pemuda tadi
kembali seraya memburu. Namun baru sedikit saja dia bergerak tiba-tiba muncul
dua mahluk menyeramkan yang tubuhnya meliukliuk seperti asap. Setiap
menyeringai dua mahluk ini memperlihatkan barisan gigigiginya yang
panjang-panjang dan runcing. Mulutnya, mulai dari bibir sampai gigi dan lidah
bergelimang darah. Dengan jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan sebesar
pisang tanduk, dua mahluk seram ini menarik tubuh si gadis ke arah satu tempat
yang hitam dan gelap sehingga akhirnya lenyap dari pemandangan.
Bersamaan dengan lenyapnya
sosok tubuh itu terdengar suara jertan-jeritan keras, membuat pemuda itu hampir
jatuh duduk saking kaget dan ngerinya. Suara jeritan semakin keras. Si pemuda
kerahkan tenaga dalam untuk menutup jalan pendengarannya. Tetapi tembus!
Terpaksa dia dekap kuat-kuat kedua telinganya. Lalu jatuhkan diri berlutut.
Untuk beberapa lamanya suara jeritan itu masih terus menggema bahkan kini
sesekali diiringi oleh lolongan anjing!
“Ya Tuhan! Apa sebenarnya yang
terjadi dengan dirinya!” Pemuda berpakaian putih membatin sambil gigit bibirnya
sendiri. “Terakhir sekali dia muncul tidak seperti itu. Masih bisa bicara……
Tapi kini mengapa begitu sengsara keadaannya…… Tuhan! Beri aku kemampuan dan kekuatan
untuk menolongnya!”
Baru saja pemuda ini
mengucapkan doa itu suara jerit dan lolongan anjing tadi kini malah diikuti
oleh suara tawa cekikikan riuh sekali. Mau tak mau kuduk si pemuda menjadi
dingin. Mukanya keringatan. Nafasnya mengengah-engah. Dia melompat. Kerahkan
tenaga dalam lalu berteriak sekerasnya yang bisa dilakukannya.
Dalam kengeriannya dia sengaja
berteriak untuk melawan suara-suara menggidikkan itu. tapi percuma. Suara
jerit, tawa cekikikan dan lolongan anjing tetap saja memenuhi tempat itu.
“Aku harus meninggalkan tempat
ini sebelum terjadi sesuatu dengan diriku!”
kata si pemuda yang memasukkan
kembang kenanga ke dalam sakunya. Dia cepat berdiri “Tapi…..” Hatinya ragu.
“Aku datang kemari bukankah untuk mencari hutan Tapakhalimun? Aku yakin aku
sudah sampai di hutan itu. Bunga….. Tadi dia muncul lalu dilarikan oleh
mahluk-mahluk mengerikan. Berarti seperti katanya dalam mimpi, dia memang telah
dilarikan ke satu sarang mahluk-mahluk halus yang punya kekuasaan dan kekuatan
tidak terbatas! Buktinya Bunga sendiri yang merupakan mahluk gaib, tidak mampu
membebaskan diri dan minta tolong padaku…… Kalau begitu apapun yang terjadi aku
tidak boleh meninggalkan tempat itu. Sarang mahlukmahluk jahat itu rasanya
tidak jauh dari sini! Dan aku harus menemukannya! Aku harus segera membebaskan
Bunga. Keadaannya gawat sekali…..”
Suara tawa dan jerit serta
lolongan anjing perlahan-lahan mulai berhenti dan akhirnya lenyap sama sekali.
Namun hal ini tidak membuat si pemuda bebas dari rasa ngeri dan tegang. Kedua
matanya kembali menyapu ke arah deretan pohon-pohon besar.
“Aku yakin suara-suara jerit
dan tawa serta lolongan anjing tadi datang dari balik pohon-pohon besar itu.
Aku harus menyelidiki ke sana….”
Si pemuda mendekati deretan
pohon-pohon besar lalu melompat di celah kosong antara dua batang pohon.
“Dukkkk!”
Pemuda berambut gondrong itu
berteriak keras. Bukan hanya karena kesakitan tapi terlebih lagi dan terutama
oleh rasa kejut yang bukan alang-kepalang. Saat itu pula terdengar suara tawa
cekikikan riuh rendah.
Waktu pemuda itu tadi
melangkah untuk lewat di antara celah dua buah pohon, kaki dan kepalanya
menabrak sesuatu yang tidak kelihatan hingga tubuhnya terhempas ke belakang.
“Gila! Aku tidak melihat
apa-apa. Mengapa langkahku seperti ada yang menghalangi? Apa yang barusan
kutabrak?!” lalu pemuda ini kembali melangkah maju. Kali ini gerakannya lebih
cepat dan lebih sebat.
“Dukkkk!”
Untuk kedua kalinya dia
menabrak sesuatu hingga langkahnya bukan saja tertahan tapi tubuhnya jatuh terjengkang
di tanah! Saat itu pula terdengar suara tawa cekikikan disertai lolongan anjing
di kejauhan.
“Tembok tanpa ujud!” desisnya
dengan mata melotot memandang ke depan.
“Tak bisa kupercaya!” Dia
melompat berdiri. Tangan kirinya diulurkan ke depan, membuat gerakan meraba dan
mengusap. “Aneh! Tak ada apa-apa di sini!” katanya terheran-heran. “Lalu tadi
apa yang menahan langkahku? Mengapa aku tidak bisa berjalan ke arah celah
pohon?” Pemuda ini berpikir sejenak. “Coba aku melangkah melewati celah yang lainnya….”
Lalu dia melangkah ke delah antara dua pohon di sebelah kiri. Tak terjadi
apa-apa. “Nah, kali ini aku bisa lewat….” Baru saja dia berkata begitu
tiba-tiba.
“Dukkk…..dukkkk!” kaki kanan
dan keningnya lagi-lagi menabrak benda keras yang tidak kelihatan.
“Edan!” maki pemuda itu. lalu
dia tersentak oleh suara tawa bergelak, jeritan aneh dan lolongan anjing.
“Keparat! Mahluk apapun kalian adanya, apa kau kira aku takut pada kalian!”
Pemuda itu kepalkan tangan kanannya lalu menghantam ke depan.
“Dukkk!”
Jeritan keras keluar dari
mulut si pemuda. Tangan kanannya dikibas-kibaskan.
Ketika diperhatikan ternyata
ruas-ruas jarinya lecet bahkan ada kulitnya yang terkelupas.
“Tempat celaka apa ini?!”
kertak pemuda itu. Amarahnya menggelegak.
Dalam keadaan seperti itu
tanpa pikir panjang lagi dia kerahkan tenaga dalam. Kini dengan tangan kirinya
dia lepaskan pukulan sakti. Gelombang angin laksana topan prahara menghampar
deras.
“Bummmmm!”
Pukulan sakti itu melanda
sesuatu mengeluarkan suara letusan keras. Angin pukulan membalik dahsyat,
menghantam orang yang melepaskannya. Senjata makan tuan! Tak ampun lagi tubuh
pemuda itu mencelat mental. Terlempar dan tergulingguling sampai bebrapa
tombak. Untuk beberapa lamanya dia terkapar di tanah.
Sekujur tubuhnya laksana
remuk. Dari hidungnya meleleh darah. Dadanya berdenyut sakit. Perlahan-lahan
dia coba berdiri. Saat itu pula terdengar suara tawa riuh rendah dan jeritan
panjang pendek.
“Iblis! Aku mau lihat sampai
di mana kehebatan kalian!” teriak si pemuda.
Tangan kanannya diangkat ke
atas. Saat itu juga tampak tangan itu berubah putih dan mengeluarkan sinar
perak menyilaukan. “Makan ini! Masakan tidak jebol!” berseru si pemuda. Lalu
dia menghantam ke depan. Sinar putih panas dan menyilaukan mata berkiblat. Bersamaan
dengan itu si pemuda melompat ke atas. Hal ini dilakukannya untuk lebih dulu
menyelamatkan diri kalau pukulan sakti yang barusan dilepaskannya seperti tadi
berbalik kembali menghantam tubuhnya!
“Wuuuttt!”
“Bummmmm!”
“Wuutttt!”
Benar saja. Pukulan sakti yang
mengeluarkan hawa sangat panas itu ternyata benar-benar membalik. Kalau saja
pemuda itu tidak melompat ke udara pasti sinar saktiitu akan menghantam
dirinya.
“Wusss! Braaaakkkk!”
Sinar menyilaukan menyambar
semak belukat dan beberapa pohon di seberang sana. Semak belukar langsung
terbakar sedang batang-batang pohon hangus, satu di antaranya roboh tumbang.
Si pemuda melayang turun ke
tanah. Wajahnya berubah.
“Aneh…… Benar-benar aneh…. Apa
sebenarnya yang ada di depan deretan pohon-pohon besar itu? Tembok sakti tak
berwujud. Dinding gaib? Mustahil tak bisa dijebol! Tak dapat ditembus! Padahal
Bunga yang hendak kuselamatkan aku yakin berada di balik deretan pohon-pohon
itu! Tak bisa kupercaya!”
Pemuda ini usap-usap dagunya.
Tangan kanannya bergerak ke pinggang. “Aku tak akan menyerah! Dengan senjata
mustika ini masakan tak bisa jebol!”
Sinar menyilaukan memancar di
tempat yang redup itu. sebuah senjata berupa kapak bermata dua tergenggam di
tangan si pemuda. Inilah Kapak Maut Naga Geni 212. Milik nenek sakti mandraguna
di Gunung Gede yang kemudian diwariskan pada muridnya yaitu Pendekar 212 Wiro
Sableng.
EMPAT
Wiro pegang Kapak Maut Naga
Geni 212 erat-erat. Tahangnya dikatupkan kuatkuat.
“Ciaaattt!”
Didahului dengan teriakan
keras Wiro babatkan senjata mustikanya ke depan.
Sinar putih perak meyambar
disertai suara laksana seribu tawon mengamuk. Hawa panas menghampar.
“Braaakkkk!”
Kapak Maut Naga Geni 212
menghantam sebuah benda yang tidak kelihatan.
Terdengar suara seperti
sesuatu hancur berantakan. Tetapi benda atau apa yang hancur itu sama sekali
tidak terlihat oleh mata. Tanah terasa bergetar. Pohon-pohon bergoyang. Semak
belukar berserabutan. Sebaliknya Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas mental dari
tangan Wiro, tercampak di tanah. Wiro merasakan tangannya seperti memegang bara
panas. Jari-jarinya digerak-gerakkan sambil meniup termonyong-monyong.
“Gila betul! Tapi jebol juga
akhirnya!” kata Wiro. Senjata mustika yang tercampak di tanah cepat diambilnya
lalu diperiksa. “Untung tak ada yang gompal,”
kata Wito lega. Kapak Maut
Naga Geni 212 cepat disimpannya di balik pakaian.
“Sekarang pasti aku bisa masuk
ke hutan itu tanpa kesulitan!” berucap Wiro. Dia membuat langkah-langkah besar,
berjalan ke arah salah satu celah pohon di bagian mana diperkirakannya tadi
telah menjebol dinding atau tembok yang tidak berwujud itu.
“Duukkkkkk!”
“Jahanam!” rutuk Pendekar 212.
Ternyata dugaannya salah. Tembok yang tak kelihatan itu sama sekali tidak
jebol. Kaki dan kepalanya kembali terantuk. Selagi dia tertegun tiba-tiba dekat
sekali di depannya terdengar suara tawa cekikikan sedang di kejauhan kembali
ada suara lolongan anjing, panjang menggidikkan.
Pendekar 212 bersurut beberapa
langkah. Langkahnya terhenti ketika punggungnya membentur sesuatu. Dia sempat
tergagau dan cepat berpaling. Kalau tadi cuma tergagau kini dari mulutnya
keluar seruan tertahan. Tampangnya seputih kertas. Apa yang menyebabkan sang
pendekar sampai berseru dan berubah wajahnya begitu rupa? Apa pula yang barusan
telah dibenturnya?
Di hadapan Wiro saat itu ada
satu sosok menyeramkan tegak setengah membungkuk seolah hendak melompat
menerkamnya. Sosok ini adalah sosok seorang tua berkepala panjang. Dia hanya
mengenakan sehelai kancut. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka bekas
siksaan. Darah bergelimang di mana-mana.
Sepasang bola matanya
memberojol keluar, bergelayutan di atas pipi seolah hendak copot! Telinganya
lancip ke atas. Dagunya berbentuk segitiga. Di atas dagu terlihat satu mulut
yang hancur dan selalu mengucurkan darah. Pada lidahnya yang terjulur panjang
menancap sepotong besi lancip. Sepotong besi lagi menancap membelintang dari
telinga kiri ke telinga kanan. Pada pangakal lehernya kelihatan lobang luka
besar.
Dari lobang ini mengucur darah
berwarna hitam. Baik tangan maupun kaki mahluk ini diikat dengan rantai besar
merah menyala. Agaknya dia tidak mampu bergerak sedikitpun. Kalau dia mencoba
menggerakkan tangan dan kakinya maka rantai panas akan melumerkan daging bahkan
tulangnya!
Pendekar 212 bersurut beberapa
langkah. Sumur hidup belum pernah dia meliha mahluk mengerikan seperti ini.
“Hantu atau apa yang ada di depanku ini…..” pikir Wiro.
“Grokkk….grokkkk…..grokkkkk.”
Dari tenggorokan mahluk dahsyat itu tibatiba keluar suara aneh, hampir seperi
suara orang mengorok. Dari lobang luka di tenggorokannya terus mengucur darah
hitam.
“Agaknya dia hendak mengatakan
sesuatu….” Pikir Wiro dengan tampang mengerenyit memperhatikan.
“Grokkk…grokkkk….grokkk.”
“Ah, betul. Dia hendak bicara
tapi suaranya seperti itu. Mana aku bisa mengerti….” Wiro mundur lagi dua
langkah. “Kau…. Kau mau bilang apa…..?” Wiro ajukan pertanyaan.
Mahluk itu anggukkan kepala.
Perlahan sekali. Dua bola matanya yang bergelantungan tampak bergoyang-goyang.
Darah mengucur dari dua rongga matanya.
“Kau….kau penghuni rimba
belantara ini?” tanya Wiro lagi.
Si mahluk mengangguk.
“Kau mengerti omonganku. Kau
ini manusia atau apa….?”
Kali ini tak ada anggukan.
Mahluk itu diam saja.
“Apakah kawasan di belakang
pohon-pohon besar itu hutan Tapakhalimun….?” Tanya Wiro selanjutnya.
Kepala mahluk menyeramkan
mengangguk sedikit. Baru saja dia mengangguk tiba-tiba ada suara letupan
disertai kepulan asap di depan deretan pohon-pohon besar.
Lalu dua sosok sangat besar
muncul. Ternyata yang muncul ini adalah dua orang perempuan gemuk luar biasa,
berwajah galak, memiliki lidah menjulur panjang sampai ke dada. Dua mahluk ini
hanya mengenakan cawat. Payudaranya yang besar bergundal-gandil kian kemari.
Rambutnya hitam dan panjang sempai ke betis. Wiro yang memperhatikan tersentak
mundur dan merinding. Di celah-celah rambut panjang dua perempuan gemuk itu
kelihatan bergelantungan ular-ular sepanjang tiga jengkal, berwarna hitam
berbelang kuning! Masing-masing mereka memegang sebilah golok merah yang
menyala.
“Aku tidak bermimpi! Tapi
bagaimana ada mahluk-mahluk mengerikan seperti ini…..”
Dua mahluk perempuan itu
tiba-tiba keluarkan suara pekikan keras. Lalu mereka memburu ke arah mahluk
yang tegak terbungkuk dan terikat rantai panas membara tangan serta kakinya dan
kini tampak sangat ketakutan. Dua golok diacungkan lurus-lurus diarahkan pada
perut mahluk yang terikat tadi.
“Cleeppp!”
“Cleepp!”
“Ceesss!”
“Cesss!”
Tak ampun lagi perut mahluk
itu ambrol di dua tempat. Asap mengepul dari perut yang jebol dan dua golok
yang membara. Begitu dua golok ditarik isi perut si mahluk laksana dibedol
keluar. Wiro seperti mau muntah melihat hal luar biasa mengerikan itu. Si
mahluk sendiri keluarkan suara lolongan aneh sementara dua mahluk perempuan
tadi kembali memekik-mekik marah. Puluhan ular yang ada di kepala mereka
berjingkrak meliuk-liuk seolah-olah iku marah.
Tiba-tiba mahluk berkepala
panjang yang terikat rantai membara kaki dan tangannya itu melompat ke depan,
berusaha menubrukkan kepalanya pada salah satu mahluk perempuan. Yang hendak
ditubruk menjerit keras. Golok panas merah menyala di tangannya dibacokkan ke
arah kepala panjang si mahluk.
“Grokkkkk!”
Mahluk berkepala panjang itu
keluarkan suara menggmbor keras lalu angkat dua tangannya yang terikat bsei
panas untuk melindungi kepala.
“Craassss!”
Dua lengan putus. Dua tangan
yang masih dalam keadaan terikat rantai panas jatuh ke tanah.
“Grokkkk,,,,!” mahluk
berkepala panjang menggembor keras sementara darah mancur dari dua tangannya
yang kini buntung.
Salah seorang dari mahluk
perempuan tadi cekal leher si kepala panjang lalu menyeretnya ke arah
pepohonan. Kawannya tak segera mengikuti tapi memandang ke arah Wiro Sableng.
Karuan saja murid Sinto Gendeng ini merasa seperti mau lumer sekujur tubuhnya.
Dalam takutnya dia siapkan pukulan sakti “sinar matahari” di tangan kanan.
Mahluk perempuan yang tadi memandang pada Wiro keluarkan pekikan, berpaling
pada kawannya yang tengah menyeret mahluk lelaki yang isi perutnya manjela-jela
sampai ke tanah. Mahluk perempuan yang satu ini gelengkan kepalanya. Kawannya
yang tegak di hadapan Wiro tampak kecewa. Tiba-tiba lidahnya yang panjang
menjulur bertambah panjang.
“Wuttt!”
Lidah itu melesat ke arah
bawah perut Pendekar 212. Wiro merasakan selangakangannya seperti disambar api.
Tubuhnya terlonjak mental sampai satu tombak ke belakang.
“Uhhh….mati aku!” katanya
sambil menekap bagian bawah perutnya.
Di depannya dilihatnya dua
mahluk perempuan itu melangkah ke deretan pohon-pohon sambil satunya menyeret
mahluk lelaki tadi. Begitu melewati barisan pohon keduanya, juga mahluk lelaki
yang diseret tiba-tiba lenyap laksana ditelan bumi!
Murid Sinto Gendeng raba-raba
bagian bawah perutnya yang tadi disentuh lidah mahluk perempuan itu.
“Astaga!” wajahnya jadi pucat.
Ikat pinggang celananya dilonggarkan lalu dia mengintip ke bawah. Sang pendekar
menjadi lega. “Masih ada….. Tadi kenapa seperti amblas lenyap….”
Wiro memandang ke jurusan
lenyapnya tiga mahluk menyeramkan tadi.
“Aku melihat mereka melangkah
ke arah pohon. Lewat di antara dua pohon di sebelah sana dan lenyap. Berart
sebenarnya tidak ada penghalang apapun di tempat itu.” Berpikir seperti itu
murid Sinto Gendeng lalu melangkah ke jurusan tiga mahluk tadi berjalan dan
lenyap. Satu langkah lagi dari hadapan celah dua buah pohon yang hendak
dilewatinya tiba-tiba.
“Dukkkk!”
“Setan alas!” maki Pendekar
212 sambil pegangi keningnya sedang kaki kanannya dijingkat-jingkatkan menahan
sakit. “Tak bisa ditembus! Kalau begitu mereka tadi adalah pasti mahluk-mahluk
halus. Berarti tak ada gunanya aku mencoba masuk! Sampai kiamat pun tak akan
tembus! Lalu bagaimana dengan Bunga….?”
Wiro gelengkan kepala dan
garuk-garuk keningnya yang masih mendenyut sakit. “Tak ada gunanya aku
berlama-lama di tempat ini. Aku harus cepat mencari bantuan agar bisa
menyelamatkan Bunga. Tapi mencari bantuan pada siapa….?”
Murid Sinto Gendeng jadi
bingung dan garuk-garuk kepala lagi sambil memandang berkeliling. Tiba-tiba
matanya membentur sesuatu di tanah. Seperti tulisan. Samarsamar dan apa yang
tertulis tidak rampung. Dengan susah payah Wiro coba membacanya. Dia harus
menglilingi tulisan di tanah itu berulang kali sebelum bisa membaca dengan
jelas.
“Tulisan aneh ini dibuat
dengan darah. Darah siapa…..?” Wiro coba berpikir.
“Mahluk yang perutnya jebol itu.
Jangan-jangan dia…. Dia menulis dengan darah yang mengucur dari salah satu
tangannya yang buntung. Sebelum selesai tubuhnya sudah keburu diseret ke balik
pepohonan….”
Wiro berputar sekali lagi.
Kali yang keenam akhirnya dia bisa juga membaca tulisan itu.
“Kakek Segal…..”
“Kakek Segal….. Kakek Segal….”
Wiro mengulang-ulang memaca tulisan itu di dalam hati. “Astaga! Yang
dimaksudnya pasti Kakek Segala Tahu! Aku tolol!
Mengapa aku tidak ingat orang
tua itu! Kalau tidak diingatkan oleh mahluk itu….
Aku harus segera pergi. Tidak
mudah mencari tua bangka aneh itu. kalau nasibku jelek, satu tahun pun
berkeliling tak bakal bisa menemukannya.”
LIMA
Hari pasar di Kotobarang
sekali ini bukan main ramainya. Penyebabnya karena hari ini seorang akrobat
ulung akan mempertunjukkan kehebatannya di tengah pasar.
Maka penduduk Kutobarang
bahkan mereka yang tinggal jauh di pedalamn datang berbondong-bongdong.
Pertunjukkan diadakan di sebuah pedataran yang bagian teganhnya membentuk bukit
kecil. Sejak pagi tempat itu telah dipenuhi orang banyak.
Tak lama kemudian akrobat
ulung yang ditungg-tunggu muncul. Ternyata dia seorang kakek bungkuk berpakaian
compang-camping, kotor penuh tambalan. Di bahunya membekal buntalan dekil. Di
kepalanya bertengger sebuah caping bambu. Sebuah tongkat kayu tergenggam di
tangan kanan.
“Sialan! Cuma seorang jembel!
Apa kemampuannya?!” sungut seorang lelaki yang sejak pagi berada di situ.
“Tua bangka itu menipu kita!
Berjalan saja susah! Masakan dia pandai main
akrobat?!” tukas seorang lainnya.
“Jangan-jangan dia datang ke
sini hanya mau mengemis! Minta sedekah!
Lihat! Kedua matanya putih!
Gila! Dia buta!”
Di antara kekecewaan yang
terlontar di mulut orang banyak ada seorang berkata seperti membela. “Di
beberapa desa sebelumnya aku dengar dia mampu memperlihatkan akrobat
mengagumkan luar biasa!”
“Uh! Siapa percaya pada
pengemis!” seseorang menyeletuk.
Di tempatnya berdiri, orang
tua bercaping tegak sambil senyum-senyum.
“Uhhhhh! Lihat dia
cengengesan! Membuat aku muak!” ujar seorang di pinggir lapangan.
“Sebaiknya kita tinggalkan
saja tempat ini. Seekor monyet tua mampu mempertunjukkan apa?!”
“Kau betul kawan. Baru sekali
saja dia meliukkan tubuhnya tulang pinggangnya akan patah!”
Perlahan-lahan orang tua di
atas bukit kecil membuka capingnya. Begitu caping bambu tanggal dari kepalanya
tiba-tiba seekor burung merpati keluar dari dalam caping, terbang
berputar-putar di atas kepalanya beberapa kali lalu melesat lenyap ke arah
Timur.
Kini orang banyak jadi terdiam
dalam heran. Segala ejek cemooh tidak terdengar lagi. Semua mata memandang pada
pengemis buta di atas tanah berbukit. Si kakek sendiri usap-usap kedua
tangannya satu sama lain. Lalu dia mencabut tongkat kayu butut yang dikepit di
ketiak kiri. Sambil membolang-balingkan tongkat kayu itu dia melangkah
berputar-putar mengelilingi buntalan kainnya yang terletak di tanah.
Tiba-tiba dia mengetuk
buntalan itu dengan ujung tongkat.
Terdengar suara denyit keras
lalu seekor monyet coklat keluar dari dalam buntalan meloncat-loncat kian
kemari. Si kakek acungkan tongkat kayunya luruslurus ke atas lalu jentikkan
jari tangan kiri. Monyet coklat melompat tinggi lalu hup!
Cekatan sekali dia naik dan
berdiri di ujung tongkat si kakek. Di ujung tongkat binatang ini tidak hanya
berdiri diam tapi berjingkrak-jingkrak malah melompat jungkir balik beberapa
kali. Orang banyak berseru kagum.
Perlahan-lahan si kakek
letakkan tongkat di atas capingnya. Lalu dia melangkah berputar-putar membuat
gerakan seperti orang menari. Di ujung tongkat si monyet kembali melompat
jungkir balik. Orang banyak bertepuk riuh penuh kagum.
Sayang tak ada tetabuhan.
Kalau tidak pasti pertunjukkan itu lebih semarak.
Setelah membiarkan monyetnya
melompat-lompat beberapa lama si kakek angkat capingnya dengan tangan kanan
sedang tangan kiri memegang tongkat. Caping lalu diputar-putar dengan sebat.
Dalam keadaan berputar caping bambu ini dilemparkannya ke atas. Lalu dia
bersuit memberi tanda. Mendengar suitan ini monyet yang ada di ujung tongkat
melompat ke atas caping dan ikut berputar.
Sebelum caping melayang turun
si kakek cepat menunjang dengan tongkatnya lalu memutar caping itu lebih cepat
sehingga caping dan monyet di atasnya terlihat seperti bayang-bayang.
Perlahan-lahan ujung tongkat dipindahkannya ke atas ubun-ubun kepalanya. Sambil
menggoyang-goyangkan kepala agar caping dan monyet terus berputar, orang tua
itu keluarkan dua tiga biah benda dari balik pakaian rombengnya.
Ternyata benda-benda itu
adalah tiga buah bola terbuat dari rotan. Sementara kepalanya menjunjung
tongkat dan di ujung tongkat terus berputar caping dan monyet, si kakek mulai
melambung-lambungkan tiga buah bola itu. Dilempar, ditangkap lalu dilempar lagi
terus menerus.
“Luar biasa!”
“Hebat!”
“Tidak disangka gembel buta
tua itu ternyata memang pandai main akrobat!”
Berbagai pujian keluar dari
mulut orang banyak.
Setelah puas dengan
pertunjukan itu si orang tua mengambil kantong kain dan menyandangnya di bahu
kiri. Lalu dia melangkah mendekati sebuah pohon bercabang besar yang terletak di
tepi lapangan. Waktu memungut buntalan dan berjalan, tongkat, caping dan monyet
masih terus berada di atas kepalanya sementara tiga buah bola terus
dimainkannya dengan cekatan. Begitu sampai di bawah cabang pohon besar dia
keluarkan suitan keras. Lalu membuat beberapa gerakan berturut-turut secara
cepat.
Pertama dia menyimpan kembali
tiga buah bola rotan di balik pakaian rombengnya. Selanjutnya dia melompat ke
atas lalu jungkir balik. Di lain kejap dia tampak bergelantungan pada cabang
pohon. Kedua kakinya dicantelkan ke dahan kayu, tubuh serta kepalanya
tergantung ke bawah tidak beda seperti seekor kelelawar.
Di saat yang sama pula dia
ulurkan tangan kiri untuk memegang tongkat. Perlahanlahan tongkat diturunkannya
ke bawah. Caping dan monyet yang ada di ujung tongkat ikut turun. Lalu dengan
kecepatan luar biasa tongkat dikepitnya di ketiak kiri, caping dipegang di
tangan kanan. Karena tak ada tempat berpijak tentu saja monyet yang ada di atas
caping jadi jatuh ke bawah. Dengan tangan kirinya si kakek cepat menangkap
salah satu tangan binatang itu lalu dilemparkannya ke atas. Monyet itu melesat
ke udara. Si kakek keluarkan suitan keras. Tubuhnya tiba-tiba bergerak memutari
dahan.
Dua kali putaran monyet yang
dilempar ke atas kembali jatuh. Si kakek cepat menangkap tangan binatang ini
lalu dilempar kembali ke atas. Demikian terjadi berulang-ulang. Makin lama
putaran tubuh si kakek semakin cepat dan monyet coklat dilempar semakin tinggi.
Orang banyak sesaat tercekat melihat hal yang luar biasa itu.
sedikit saja meleset dan
sikakek tidak dapat menangkap tangan monyet, binatang itu pasti akan hancur ke
tanah.
Pada putaran kedua belas
kembali kakek itu keluarkan suitan panjang. Monyet yang ditangkapnya di tangan
kiri dilemparkannya ke udara tinggi-tinggi.
“Hai! Binatang itu lenyap di
udara!” teriak seseorang.
“Jangan-jangan dilempar
menembus langit!” seru seorang lainnya.
Ketika si kakek berhenti
berputar-putar di cabang pohon dan melompat turun ke tanah, orang-orang banyak
segera mendatangi.
“Kek, akrobatmu hebat sekali.
Tapi bagaiman dengan monyetmu. Binatang itu lenyap seperti ditelan langit!”
kata seseorang diantara kerumunan orang banyak.
Orang tua itu tersenyum.
“Binatang itu tidak lenyap. Juga tidak ditelan langit,”
katanya. “Monyet itu aku kembalikan
ke tempat asalnya semula. Ke dalam rimba belantara.”
“Berarti kau tak akan bisa
lagi main akrobat!”
“Mengapa tidak? Aku bisa
mencari monyet lain atau binatang lain…..
Saudara-saudara pertunjukkanku
sudah selesai. Kala ada umur panjang lain waktu aku akan ke Kutobarang lagi.
Sekarang jika kalian mau berbelas kasihan dan jika aku ada sedikit rejeki, aku
mohon sedekah. Yang sanggup memberi silahkan, yang tidak mampu tidak apa-apa…..
Aku hanya minta sekedar pembeli nasi untuk hari ini….”
Lalu pengemis itu turunkan
capingnya. Benda ini dibalikannya dan melangkah berkeliling. Orang banyak
memberi sedekah semampu yang bisa mereka berikan. Di antara kerumunan orang
banyak menyeruak seorang lelaki tinggi besar berikat kapala dan berpakaian
hitam. Mukanya tertutup berewok. Pada pipi kirinya ada cacat bekas luka yang
dalam. Di belakangnya ada tiga orang lelaki bermuka sangar, berpakaian serba
hitam yang rupanya adalah kawan-kawan dari lelaki di sebelah depan. Orang ini
mengulurkan tangannya memasukkan sedekah ke dalam caping. Namun yang
diletakkannya dalam caping bambu itu bukannya uang melainkan sebuah batu
sebesar kepalan tangan. Habis meletakkan batu itu dia tertawa gelak-gelak. Tiga
kawannya ikut tertawa.
Orang banyak yang ada di
tempat itu merasa tidak senang dengan perlakuan sendau gurau kurang ajar itu.
namun mereka tidak berani berbuat apa-apa setelah melihat siapa adanya empat
orang itu. Malah perlahan-lahan orang banyak satu demi satu menyingkir dari
tempat itu.
Sebaliknya si kakek berpakaian
rombeng cuma senyum-senyum. “Terima kasih,” katanya pada lelaki tinggi besar
sambil usap-usap batu itu. “Kau memberikan sedekah yang tidak ternilai. Tidak
sangka rejekiku begini besar hari ini. Semoga Tuhan membalas budi baikmu ini.
Aku doakan agar rejekimu berlipat ganda!” si orang tua mengambil batu itu.
dengan tangan kirinya benda itu digenggamnya sesaat lalu ditimang-timangnya.
Sepasang mata si tinggi besar,
juga tiga kawannya dan banyak orang yang masih ada di sekitar situ sama-sama
membeliak. Yang kini ditimang-timang si pengemis bukannya batu melainkan benda
kuning berkilauan ditimpa sinar matahari. Emas!
ENAM
Salah seorang berpakaian hitam
yang tak percaya pada apa yang dilihatnya berbisik pada si tinggi besar.
“Ganang! Kau sudah gila
memberi emas pada jembel buruk itu?!”
Ganang Culo di tinggi besar
pelototkan matanya. “Kau yang gila! Masakan aku mau memberikan emas sebesar itu
padanya. Lagi pula punya pun tidak! Kau lihat sendiri. Yang kuberikan tadi
batu!”
“Lalu bagaimana sekarang
jembel itu memegang sebongkah besar emas begitu rupa?!” ujar kawan Ganang Culo
di sebelah kiri.
“Terima kasih…. Terima kasih,”
kata kakek gembel sambil membungkukkan tubuhnya berulang kali. “Kau baik
sekali. Sekarang izinkan aku meninggalkan tempat ini….” Si orang tua lalu
masukkan uang yang didapatkannya ke dalam saku besar di samping kiri
pakaiannya. Katika dia hendak memsaukkan emas sebesar kepalan tangan itu,
Ganang Culo berkata.
“Tunggu dulu!”
“Ada apakah orang baik hati?”
tanya si kakek.
“Aku salah memberi. Kembalikan
emas itu padaku….!”
“Ah, rupanya kau ragu.
Bersedekah tidak sepenuh hati,” kata kakek sambil tersenyum. “Tak jadi apa.
Rejekiku rupanya berobah. Ini kukembalikan padamu emasnya….” Lalu orang tua itu
menyerahkan emas sebesar kepalan pada Ganang Culo. Begitu menerima benda sangat
berharga itu Ganang Culo memberi isyarat pada tiga orang temannya. Keempat
orang itu lalu cepat-cepat tinggalkan lapangan menuju tempat mereka menambatkan
kuda.
“Orang tua, orang sudah
memberi. Mengapa kau menyerahkan emas itu kembali?!” seseorang bertanya.
Si kakek cuma tertawa. “Emas
itu belum ditakdirkan jadi punyaku.
Pemiliknya emminta kembali.
Mana mungkin aku menolak…. Nah saudara-saudara aku minta diri sekarang…”
Kakek gembel kenakan caping
bambunya. Lalu terbungkuk-bungkuk dia tinggalkan tempat itu diikuti pandangan
banyak orang. Kehebatannya bermain akrobat kini dibumbui dengan cerita sebuah
batu yang beruba jadi emas itu dan diserahkan kembali pada Ganang Culo, yang
mereka ketahui adalah penjahat kepala rampok ganas di kawasan Selatan. Tapi
apakah si kakek mengetahui siapakah Ganang Culo dan kawan-kawannya?
Kita ikuti dulu kemana
perginya para penjahat itu. Ganang Culo membedal kudanya diikuti tiga orang
temannya ke arah Tenggara. Di satu tempat salah satu dari tiga orang itu
rupanya sudah tidak tahan, tiba-tiba berseru.
“Ganang! Kita berhenti dulu!
Emas besar harus kita bagi empat!”
Dua temannya mengiyakan tanda
setuju. Ganang Culo hentikan kudanya, memandang beringas pada ketiga temannya.
“Rupanya kalian tidak percaya
padaku? Apa kalian kira aku mau makan sendiri emas ini?!” katanya setengah
berteriak. Dari saku pakaian hitamnya dikeluarkannya emas besar itu. lalu
tangan kirinya bergerak mencabut golok besar tanda dia memang benar-benar siap
untuk membagi empat emas besar itu. Tetapi ketika bongkahan emas itu keluar
dari saku dan diperlihatkan pada tiga orang itu, semua mereka termasuk Ganang
Culo sendiri berseru kaget. Benda yang di dalam genggamannya ternyata bukan
emas kuning berkilat melainkan sebuah batu besar.
“Eh, apa yang terjadi?
Bagaimana emas itu kini berubah lagi menjadi batu?!”
kata Ganang Culo hampir
berteriak sedang kedua matanya laksana mau melompat dari sarangnya.
Tiga kawannya saling pandang.
Salah seorang dari mereka berkata. “Aku lihat sendiri emas sebesar kepalan itu
tadi kau masukkan ke dalam saku pakaianmu.
Adalah aneh kalau emas itu
tahu-tahu berubah menjadi batu….”
“Tapi, kalian juga tahu dan
melihat. Waktu aku memasukkan sedekah ke dalam caping gembel tua itu, yang
kuberikan adalah sebuah batu besar, bukan emas!” tukas Ganang Culo.
“Memang benar. Orang tua aneh
itu merubahnya jadi emas. Emas itu kau masukkan dalam sakumu, kau bawa sampai
ke sini. Lalu tiba-tiba saja emas berubah jadi batu. Jangan-jangan kau tukar
dengan batu sungguhan. Emas asli kau sembunyikan!”
“Kurang ajar kau Rantana!”
kata Ganang Culo hampir berteriak marah.
Tangannya bergerak hendak
menampar muka kawannya itu. Tapi kawan di sebelahnya cepat memegang tangannya.
Orang ini bernama Janger Kawala. Dia adalah yang paling tua diantara mereka.
“Tak ada gunanya kita
bersikeras satu sama lain. Menurutku kakek ahli akrobat itu adalah seorang
tukang sihir. Dia berani mempermainkan kita. Berani menipu! Kita harus
mencarinya. Merampok uang hasil pertunjukkan akrobatnya lalu menghajarnya
sampai mampus!”
“Kau betul,” kata penjahat
bernama Tumara Akun. “Aku sempat melihat gembel sialan itu pergi ke arah Timur.
Dia jalan kaki. Kita pasti bisa mengejarnya!”
Keempat penjahat itu segera
memutar kuda masing-masing lalu bergerak menuju ke Timur dengan cepat.
***
Kakek berpakaian rombeng
berjalan seorang diri sambil membolangbalingkan tongkat kayunya. Agaknya dia
dalam keadaan girang karena hari itu banyak sumbangan uang atau sedekah dari
penduduk Kutobarang. Saat itu dia berada jauh di Timur Kota, melangkah di
pinggir pedataran yang banyak ditumbuhi alangalang.
Tiba-tiba di belakangnya
terdengar suara derap kaki kuda mendatangi. Karena jalan sempit dan dia tidak
mau diterjang kuda maka cepat-cepat orang tua ini menepi sambil pegangi
pinggiran capingnya, di bawah mana dia menyimpan seluruh uang logam hasil
pertunjukan akrobatnya.
“Ini dia penipu keparat itu!”
satu suara membentak menggeledek di belakangnya bersamaan degnan berhentinya
derap kaki-kaki kuda.
“Tua bangka tukang sihir!
Jangan harap kau bisa melarikan diri! Kami akan menghajarmu sampai mati!”
bentakan kedua terdengar.
Belum sempat orang tua itu
berpaling, satu tendangan menghantam bahu kanannya.
“Bukkk!”
Tak ampun lagi orang tua itu
tersungkur ke tanah. Tapi anehnya capingnya masih menempel di kepalanya,
tongkat bututnya juga masih tergenggam di tangan kanan. Perlahan-lahan dia
berdiri, menatap pada empat orang penunggang kuda berpakaian serba hitam.
“Aneh, meskipun tersungkur
tapi tua bangka ini mampu menahan tendanganku! Dia tidak kelihatan cidera.
Bahkan kerenyit kesakitan pun tidak tampak di wajahnya yang keriput,” begitu
Rantana berkata dalam hati. Dialah tadi yang menendang gembel tua itu.
“Eh, kalian berempat bukankah
dermawan yang memberikan aku sebongkah emas di Kutobarang, tapi lalu diambil
lagi?” kata pengemis tua itu. “Sekarang kalian muncul lagi. Menendangku! Apa
salahku?”
“Tua bangka penipu! Pengemis
buta tukang sihir sialan!” bentak Ganang Culo.
Dari dalam saku pakaian
dikeluarkannya sebuah batu sebesar kepalan tangan. “Ini emas yang kau berikan
itu!” teriaknya dengan mata mendelik. “Kau boleh ambil kembali!” Lalu Ganang
Culo lemparkan batu itu ke arah si pengemis.
“Plukkk!”
Batu sebesar kepalan mendarat
tepat di dagu orang tua itu. Lagi-lagi aneh.
Dagu yang dihantam batu tampak
merah. Namun si orang tua jangankan bergeming, menunjukkan rasa sakit sedikit
sajapun tidak!
“Tua bangka jahanam! Rupanya
kau punya ilmu juga hah! Lalu mau jual lagak di hadapanku! Baik! Aku mau lihat
sampai di mana kehebatanmu. Kau bisa merobah batu jadi emas lalu
mengembalikannya jadi batu. Aku juga punya kemampuan merobah tubuhmu jadi
daging cincang dan potongan tulang belulang!”
Ganang Culo cabut goloknya.
Sekali lompat saja tubuhnya melayang di udara.
Golok berkelebat ke arah
kepala pengemis tua.
“Ooo ladalah! Walau sudah tua
bangka begini aku masih ingin hidup lama di dunia!” teriak si pengemis tua lalu
tangan kanannya yang memegang tongkat bergerak.
Ujung tongkat melesat ke arah
badan golok.
“Treek….”
Walau tongkat kayu itu memukul
badan golok perlahan saja namun Ganang Culo merasa seolah senjatanya dihantam
balok besar. Tak ampun golok terlepas mental.
Tiga teman Ganang Culo
terkesiap kaget melihat apa yang terjadi. Sebaliknya rasa malu dihajar hanya satu
kali gebrakan saja membuat dirinya marah sekali. Masih melayang di udara dia
membentak sambil membuat gerakan jungkir balik. Tahu-tahu kaki kanannya melesat
ke arah rahang kiri kakek berpakaian rombeng. Nnemun tendangan itu tak pernah
sampai. Ujung tongkat di tangan si kakek lebih dulu menyentuh perutnya. Lalu
entah bagaimana caranya, entah gerakan apa yang dilakukan orang tua ini tubuh
Ganang Culo kelihatan naik ke atas kemudian berputarputar seperti
baling-baling. Makin lama makin kencang. Rasa sakit pada perutnya, gamang oleh
putaran yang cepat ditambah dengan amarah membuat GanangCulo berteriak
habis-habisan. Dia berusaha melepaskan pukulan tangan kosong mengandung enaga
dalam ke arah si kakek. Tapi selalu luput karena tubuhnya terus berputar. Malah
beberapa pukulannya hampir mengenai teman-temannya sendiri.
Orang tua bercaping tertawa
mengekeh. Tiba-tiba dia menarik tangannya yang memegang tongkat. Untuk seketika
tubuh Ganang Culo masih melayang berputar di udara. Namun sesaat kemudian tubuh
tinggi besar itu ambruk jatuh bergedebuk di tanah.
Ganang Culo menjeri kesakitan.
Tulang pinggulnya sebelah kiri remuk. Dari mulutnya keluar caci maki. Dia
berusaha berdiri tapi rubuh kembali. Akhirnya makiannya ditujukan pada tiga
temannya.
“Kalian keparat semua! Tua
bangka gila itu memperlakukan aku seperti ini!
kalian cuma berdiri seperti
patung!”
“Sret! Sret! Sret!”
Tiga golok besar dicabut.
Rantana, Tumara Akun dan Janger Kawala cabut golok masing-masing lalu mengurung
pengemis bercaping. Ketika Rantana dan Tumara Akun siap menyerang, Janger
Kawala yaitu penjahat paling tua diantara mereka mengangkat tangannya.
“Tunggu dulu,” katanya. “Kita
bertiga. Membunuh jembel busuk ini semudah membalikkan telapak tangan. Sebelum
dia kita cincang, biar aku menanyakan emas sebesar kepalan itu padanya…..”
Janger Kawala maju satu langkah. “Dimana kau sembunyikan emas itu! Lekas
keluarkan dan srahkan padaku!”
“Ah, kalian masih saja bicara
dan meminta emas itu. Bukankah tadi kawanmu yang melongsor di sana itu sudah membuangnya
dan melemparkannya padaku?”
“Coba buka capingmu!” bentak
Tumara Akun.
Seperti patuh orang tua itu
buka capingnya.
“Mendekat ke sini! Aku mau
lihat apa saja isinya!”
Yang diperintah melangkah
mendekati Tumara Akun lalu mengangsurkan capingnya. Dalam caping bambu ada
sebuah kantong kain butut.
“Apa isi kantong it?!” tanya
Tumara Akun.
“Uang sedekah orang-orang di
Kutobarang,” jawab si orang tua.
“Kalau begitu serahkan
padaku!” sekali rengut saja kantong berisi uang logam itu berpindah ke tangan
si penjahat.
“Mana emasnya?!” tanya Janger
Kawala.
“Tak ada padaku…..”
Mata Janger Kawala perhatikan
buntalan di bahu si kakek. “Apa isi buntalan itu?!”
“Barang-barang rongsokan.
Pakaian rombeng…..”
Janger Kawala menyeringai.
“Biar aku periksa sendiri!” katanya. Sekali lagi tangan kiri Janger Kawala
berkelebat. Buntalan di bahu si kakek berhasil dibetotnya lalu dibukanya dengan
cepat. Isinya ternyata memang pakaian-pakaian rombeng. Lalu ada sebuah kaleng
butut yang sudah penyok-penyok.
“Apa ini?!” tanya Janger
Kawala.
“Kau lihat sendiri. Kaleng
butut penyok…..”
Janger Kawala goyang-goyangkan
kaleng itu beberapa kali. Suara berisik berkerontang memenuhi tempat itu.
“Eh, apa isi kaleng ini?!”
tanya Rantana saling pandang dengan Janger kawala.
Si kakek tertawa perlahan.
“Kalian pasti menyangka aku menyembunyikan potongan-potongan emas dalam kaleng
ini. kalau mau tahu kaleng ini isinya batu-batu kerikil…..”
Rantana berpikir, “Kalau cuma
batu-batu kerikil buat apa tua bangka gila ini memasukkannya ke dalam kaleng.
Dia berdusta. Aku harus membongkar kaleng ini!”
Namun maksud Rantana itu urung
karena saat itu Janger Kawala berkata.
“Tumara, Rantana! Geledah tua
bangka penipu ini!”
“Eh, kalian ini mau apa?
Jangan pegang. Aku ini penggeli!” kata si kakek seraya melangkah mundur begitu
Tumara Akun dan Rantana bergerak mendekatinya.
“Kalau dia tak mau digeledah
berari emas itu memang ada padanya. Di sembunyikan di salah satu bagian
pakaiannya!” Yang berkata adalah Ganang Culo yang saat itu mash tergeletak di
tanah. “Buat apa bersusah payah! Bereskan saja dia.
Habis perkara!”
“Ganang Culo betul! Saatnya
kita mencincang bajingan tengik tua bangka ini!” kata Rantana yang rupanya
sudah habis kesabaran. Lalu dia melompat mendahului dua kawannya. Golok di tangannya
dipancungkan ke arah batok kepala si kakek.
“Celaka! Kalian hendak
menjagalku!” teriak pengemis tua. Cepat dia mengenakan capingnya kembali.
Tangan kirinya bergerak menyambar kaleng penyok di dalam buntalan. Tangan itu
bergoyang. Batu-batu kerikil di dalamnya memukul badan kaleng. Terdengar suara
berkerontang yang menyengat telinga, membuat tiga penyerang bahkan Ganang Culo
yang berada labih jauh merasa sakit dan bergetar gendang-gendang telinga
masing-masing.
Sebenarnya apa yang telah
dilakukan gembel tua itu terhadap Ganang Culo cukup membuat Janger Kawala dan
dua kawannya sadar bahwa mereka tengah menantang gunung di depan mata. Namun
amarah merasa ditipu dan dipermainkan serta keserakahan hendak mendapatkan emas
sebesar kepalan itu kembali membuat mereka seperti buta. Golok Rantana menderu
keras. Menyusul golok Janger Kawala dan Tumara Akun. Ganang Culo menyeringai di
kejauhan. Sesaat lagi tubuh pengemis itu akan lumat dicincang golok tiga
kawannya.
Orang tua yang diserang sekali
lagi kerontangkan kalengnya. Tongkat kayu butut di tangan kanannya melesat
membuat alur setengah lingkaran. Saat itulah tibatiba terdengar suara seruan.
“Kakek Segala Tahu! Serahkan
tiga ekor tikus hutan ini padaku!”
Satu bayangan putih
berkelebat. Lalu “Plaakk! Buuukkk! Duukkkk!”
TUJUH
Janger Kawala meraung
kesakitan. Tiga giginya tanggal. Darah bercucuran dari mulutnya. Goloknya
mental entah kemana. Di sebelahnya Tumara Akun terjengkang jatuh duduk di
tanah. Tulang dadanya remuk. Dalam keadaan megap-megap sulit bernafas akhirnya
dia roboh terguling. Dari mulutnya keluar darah kental. Rantana yang paling
parah. Mata kirinya hancur. Darah membasahi sebagian mukanya. Suara jeritannya
seperti mau menembus langit!
Di antara raung kesakitan itu
pengemis berpakaian rombeng tertawa mengekeh. Lalu dia berucap. “Anak sableng!
Untung kau datang hingga si tua bangka ini tak perlu susah-payah!”
Pemuda berambut gondrong,
berpakaian putih yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dan yang
barusan menghajar tiga penjahat itu membungkuk memberi hormat.
“Kek, syukur aku bisa
menemuimu! Kalau tidak ketemu entah bagaimana jadinya?!”
“Bah! Rupanya kau datang
membawa perkara! Bukan khusus muncul menolongku!” orang tua yang dipanggil
dengan sebutan Kakek Segala Tahu itu merengut. “Perkaramu bisa dibicarakan
nanti. Coba kau urus dulu penjahat jelek yang satu itu. Kudengar dia hendak
merayap kabur!”
Yang dimaksud Kakek Segala
Tahu adalah Ganang Culo. Sungguh luar biasa pendengarannya hingga merupakan
sepasang mata yang tak kalah tajamnya dengan mata biasa. Penjahat itu
benar-benar putus nyalinya melihat apa yang terjadi dengan tiga orang temannya.
Meski saat itu tulang pinggulnya sebelah kiri remuk dan sakit bukan kepalang
namun rasa takut mendapat hajaran lagi membuat penjahat ini kumpulkan tenaga
untuk bisa bangkit lalu melarikan diri. Tapi usahanya sia-sia saja.
Dia hanya mampu merayap.
Ketika mencoba berdiri tubuhnya ambruk. Saat itu justru Pendekar 212 Wiro
Sableng sampai di hadapannya.
“Jangan….. Jangan…..” suara
Ganang Culo setengah meratap.
“Kek, kau mau aku apakan
kampret ini?” tanya Wiro.
“Ampun! Jangan!” jerit Ganang
Culo.
Kakek Segala Tau kerontangkan
kaleng rombengnya. Lalu berkata “Selama ini, kampret itu gentayangan melakukan
kejahatan di mana-mana. Dari tubuhnya yang paling banyak berbuat jahat adalah
tangan kanannya. Kurasa ada baiknya kalau kau patahkan jari-jari tangan
kanannya barang beberapa buah!”
“Aku menurut saja apa yang kau
perintahkan Kek,” jawab Wiro.
“Tobat! Ampun! Jangan patahkan
tanganku!” teriak Ganang Culo Wiro melangkah mendekat. “Kurasa itu hukuman
paling ringan bagimu kampret! Masih untung dia tidak meminta aku mematahkan
batang leher jalan nafasmu!”
“Aku benar-benar bertobat!”
teriak Ganang Culo.
“Ah, soal tobat-tobatan itu
urusanmu dengan Tuhan! Aku tidak menampung urusan tobat-tobatan!” kata Pendekar
212 pula. Lalu dia membungkuk menyambar tangan kanan Ganang Culo. Penjahat ini
cepat tarik lengannya. Namun saat itu Wiro sudah meremas telapak tangan
kanannya. “Kraakkk….. kraakkkk….. kraakkkk….!”
Tiga jari tangan kanan Ganang
Culo dan juga sebagian tulang telapak tangannya remuk. Penjahat ini melolong
setinggi langit lalu bergulingan di tanah.
Kakek Segala Tahu kerontangkan
kaleng rombengnya lalu tertawa mengekeh.
Tongkat kayu di bolang-baling.
Dia melangkah mendekati Janger Kawala.
“Setttt!” ujung tongkat si
kakek melesat ke arah leher pakaian penjahat yang tiga giginya rontok itu.
terjadilah satu hal luar biasa ketika Kakek Segala Tahu menyentakkan tongkat.
Tubuh Janger Kawala melayang ke udara, jatuh tepat di atas tubuh Ganang Culo
uang saat itu masih menjerit-jerit kesakitan. Si kakek kemudian melangkah ke
arah Tumara Akun. Orang yang dadanya remuk ini dan mengeluarkan darah dari
mulut berusaha menghindar sewaktu dilihatnya kakek bercaping itu mendatangi.
Namun terlambat. Ujung tongkat Kakek Segala Tahu sudah menyambar leher
pakaiannya. Tubuhnya terangkat ke atas. Dia coba memukul tongkat dengan tangan
kiri. Berhasil.
“Bukkk!” Tapi justru dari
mulutnya keluar jerit kesakitan. Darah ikut muncrat.
Dia seperti memukul besi,
bukan tongkat kayu. Sebelum dia bisa berbuat yang lain, tubuhnya tahu-tahu
sudah terlempar ke udara. Seperti Janger Kawala tadi, Tumara Akun pun jatuh
menimpa tubuh Ganang Culo hingga ketiganya saling tumpang tindih.
Lain halnya dengan Rantana
yang mata kirinya hancur dan masih terus mengucurkan darah. Dalam keadaan
mengerang penjahat satu ini hanya pasrah saja melihat apa yang akan dilakukan
oleh si kakek. Ujung tongkat melesat. Rantana merasakan tubuhnya terangkat lalu
seperti dilempar dirinya melesat ke udara. Dia berusaha berjungkir balik untuk
menghindarkan jatuh menimpa tiga kawannya yang tumpang tindih babak belur. Tapi
gagal. Dia jatuh lebih dulu dengan kepala menghantam dagu Tumara hingga tak
ampun lagi Tumara Akun terlonjak kesakitan lalu diam tak berkutik, pingsan!
Sambil membolang-balingkan
tongkat dan mengoyang-goyangkan kaleng rombengnya Kakek Segala Tahu membalikkan
tubuh ke arah Wiro.
“Ayo kita pergi dari sini.
Empat kampret itu sudah cukup menerima pelajaran.
Kalau mereka masih meneruskan
hidup sebagai penjahat, lain kali bertemu pasti akan kulipat jalan nafasnya!”
Si kakek ambil kantong uang dan buntalan miliknya yang tercampak di tanah.
Pendekar 212 segera mengikuti
Kakek Segala Tahu. Tongkat dan sepasang telinganya menjadi pengganti matanya.
Di satu tempat, karena tidak tahan lagi dan ingin cepat-cepat bicara, pemuda
itu berkata.
“Kek, ada satu hal penting
yang aku ingin minta bantuanmu.”
“Heeemmmm….” Si kakek menjawab
dengan gumaman lalu kerontangkan kalengnya dan terus saja berjalan.
Walau hati kecilnya kecewa
melihat sikap si kakek namun karena maklum kalau orang tua itu memang sering
bersikap aneh maka dia hanya bisa diam dan terus mengikuti.
Di sebuah tikungan jalan di
mana terdapat satu batu besar Kakek Segala Tahu hentikan langkahnya lalu duduk
di atas batu itu. Sesaat dia memandang pada pemuda di hadapannya itu,
kerontangkan kalengnya beberapa kali lalu berkata. “Beberapa orang tokoh
persilatan dikabarkan menghilang secara aneh tanpa diketahui ke mana perginya.
Apakah hal penting yang hendak kau katakan itu ada sangkut pautnya dengan diri
mereka?”
“Aku kurang mengetahui
mengenai menghilangnya tokoh-tokoh silat itu. Saat ini aku butuh pertolonganmu.
Seorang sahabatku terancam keselamatannya. Dia disekap dan disiksa di alam
gaib. Alam siluman. Aku berhasil mengetahui letak kawasan gaib itu. Di kaki
Selatan Gunung Merapi. Di satu rimba belantara bernama Tapakhalimun…..”
Kakek Segala Tahu kerontangkan
kalengnya lalu berkata. “Sahabatmu yang kau katakan itu pasti seorang perempuan
cantik….”
“Bagaimana kau tahu Kek?”
tanya Wiro.
Orang tua itu menyeringai dan
buka capingnya. “Pemuda sepertimu, kalau bukan urusan perempuan cantik mana
mungkin kau mau mencari urusan. Mencariku segala…..! Siapa nama si cantik itu?”
Murid Sinto Gendeng
garuk-garuk kepalanya. “Namanya Suci. Aku biasa memanggilnya Bunga. Dia disekap
di kawasan siluman hutan Tapakhalimun.”
“Bagaimana kau bisa tahu dia
disekap. Di hutan Tapakhalimun?”
“Mula-mula aku mendapat petunjuk
dari mimpi….”
“Mimpi? Itu petunjuk gila.
Bisa betul bisa menipu!”
“Tapi Kek, kemudian aku coba
memanggilnya dari alam gaib….”
“Pendekar 212, aku baru tahu
kalau kau punya ilmu baru. Pandai memanggil orang dari alam gaib. Lalu apakah
sahabatmu itu sebangsa dedemit atau hantu kuburan?!” tanya Kakek Segala Tahu
sambil kerontangkan kalengnya.
“Sebaiknya aku ceritakan saja
padamu asal-usul aku mengenal Bunga,” kata Wiro pula. Lalu diceritakannya semua
kejadian di masa lalu yang telah dialaminya.
“Kau tidak berdusta….?” Tanya
Kakek Segala Tahu begitu Wiro mengakhiri kisahnya.
Murid Sinto Gendeng
menggeleng. “Aku tidak berdusta. Juga tidak bergurau.
Aku tidak main-main Kek.
Keselamatan gadis itu terancam….”
Kakek buta itu balas gelengkan
kepala. “Menolong orang yang sudah mati dari kematian…. Benar-benar tak bisa
dipercaya. Sudah jadi apa dunia ini sebenarnya? Kalau tidak mendengar dari
mulutmu sendiri, sulit aku bisa percaya!”
“Kau punya ilmu. Punya
kesaktian untuk melihat segala sesuatu. Itu sebabnya kau digelari Kakek Segala
Tahu….”
Orang tua itu tertawa
mengekeh. “Yang namanya manusia itu bagaimanapun tinggi ilmu selalu ada
keterbatasan. Ingat hal itu Wiro! Mengenai hutan Tapakhalimun itu memang sudah
lama aku dengar keangkerannya. Kata orang dulu di situ ada satu kerajaan kecil
yang makmur. Rajanya tersesat dalam ilmu-ilmu gaib mengerikan. Seisi istana dan
semua orang di kerajaan berubah menjadi siluman.
Rupanya mereka masih bercokol
di sana….”
“Lalu yang aku tidak mengerti,
mengapa siluman-siluman hutan Tapakhalimun itu menculik Bunga dari alam
gaibnya. Menyekap dan menyiksanya…. Kita harus menolong dia Kek!”
“Menolong orang yang sudah
mati dan gentayangan di alam gaib. Jangan kau marah kalau kukatakan sebenarnya
gadis itu juga sudah jadi siluman. Bedanya dia siluman baik-baik dan cantik
hingga kau mau menyabung jiwa untuk menyelamatkannya…..”
“Terserah kau mau menyebutnya
siluman, hantu atau apa! Yang penting dia harus diselamatkan….”
Kakek Segala Tahu menghela
nafas panjang. Dia mendongak. Matanya yang putih buta menatap langit. Lalu
kaleng di tangan kirinya dikerontangkannya beberapa kali.
“Katamu kau mampu memanggilnya
melalui bunga kenanga itu. cobalah aku ingin melihat….”
Dalam hati Pendekar 212
menggerutu. “Kedua matanya jelas-jelas buta. Apa yang bisa dilihatnya?”
Namun untuk tidak mengecewakan
orang tua itu Wiro keluarkan juga bunga kenanga pemberian Suci dari dalam saku
bajunya. Sambil memejamkan mata bunga itu diletakkannya di depan hidung lalu
diciumnya dalam-dalam. Hawa segar dan harum menyeruak masuk kedalam tubuhnya.
Tak segera terjadi apa-apa. Wiro menunggu. Tetap saja tidak ada tanda-tanda
Bunga akan muncul.
“Mungkin jarak dari sini ke
hutan Tapakhalimun itu terlalu jauh Kek. Aku tak bisa menghubunginya….” Kata
Wiro.
“Coba sekali lagi,” ujar Kakek
Segala Tahu seaya memegang bahu Wiro.
Pemuda itu merasakan ada satu
hawa aneh masuk ke dalam tubuhnya yang dipegang.
Dia maklun kalau si kakek kini
menyalurkan kekuatan saktinya ke dalam dirinya untuk membantu memberi kekautan.
Wiro dekatkan lagi bunga kenanga itu ke hidungnya dan menghirup dalam-dalam.
Sunyi. Tak ada suara tak ada bayangan yang muncul. Namun sesaat kemudian
terdengar suara lolongan anjing di kejauhan disertai jeritan-jeritan
mengerikan. Setelah itu samar-samar nampak satu sosok berpakaian putih muncul
dalam keadaan terikat pada sebuah tonggak kayu.
“Bunga…..” bisik Wiro
memperhatikan. Keadaan gadis itu tidak beda seperti
yang dilihatnya sebelumnya.
Pakaiannya putih penuh darah begitu juga wajahnya. Kedua matanya terpejam. Di
kiri kanan dua mahluk seram seperti asap, meliuk-liuk menjaga. Tiba-tiba Bunga
membuka kedua matanya. Dari mulutnya keluar jeritan menggidikkan. Suara jeritan
itu menggema laksana menggelegar dalam juran batu yang dalam. Bersamaan dengan
lenyapnya gema jeritan, sirna pula sosok tubuh Bunga dan dua mahluk seram itu.
Wiro simpan kembali bunga
kenanga dalam saku bajunya. Dia berpaling pada Kakek Segala Tahu dan bertanya.
“Apa yang kau lihat Kek?”
Orang tua itu mendongak. “Aku
memang tidak melihat apa-apa. Tapi aku bisa mendengar dan merasakan. Bencana
yang menimpa sahabatmu itu memang luar biasa.
Jika mahluk yang berasal dari
alam lain tidak mampu melawan kekuatan hitam itu, apalagi kita manusia biasa!”
“Lalu apa yang harus kita
lakukan?’ tanya Wiro.
Kakek Segala Tahu mendongak
dan kerontangkan kalengnya. “Kita harus segera meninggalkan tempat ini. di
tengah jalan siapa tahu aku bisa mendapatkan petunjuk.”
“Kita harus mencari kuda.
Sebelum dapat biar kau kugendong dulu!” kata Wiro yang sudah tidak sabaran.
Lalu cepat saja si kakek didukungnya di belakang punggung, terus lari ke arah
Timur.
“Eh, kau ini mau membawa aku
ke mana?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Ke mana lagi kalau bukan ke
hutan Tapakhalimun?!” sahut Wiro.
“Percuma ke sana. Kau sudah
coba menembus tabir alam siluman itu. Tak berhasil. Aku pun rasa-rasanya tidak
sanggup.”
“Celaka kalau begitu!” ujar
Wiro seraya hentikan langkahnya. Si kakek diturunkannya dari punggungnya.
Nafasnya memburu dan dadanya turun naik.
“Jangan lekas putus asa anak
muda,” kata orang tua itu sambil kerontangkan kalengnya. “Di dunia ini segala
urusan ada jawabannya. Hanya untuk mencari jawaban itu manusia harus memutar
otak. Beberapa waktu lalu aku menyirap kabar ada tokoh-tokoh persilatan tengah
mengejar sorang sakti bernama Kebo Pradah…..”
“Aku tidak tertarik mendengar
ceritamu. Apa hubungan kejadian yang tengah kualami dengan Kebo atau Sapi
Pradah itu?!”
Si kakek tertawa bergelak.
“Sudah kubilang segala urusan bisa diselesaikanjika manusia mau memutar otak
mempergunakan akal. Jangan seradakseruduk tak tahu juntrungan seperti yang
sudah kau lakukan. Kebo Pradah bukan orang sembarangan. Jika para tokoh
memburunya berarti ada satu urusan luar biasa yang tengah mereka hadapi. Kabar
yang aku sirap mengatakan para tokoh itu mengejar Kebo Pradah sehubungan dengan
lenyapnya beberapa tokoh silat secara aneh. Siapa-siapa yang lenyap masih belum
diketahui dengan jelas. Si Kebo Pradah ini mempunyai peran penentu. Kabarnya
dia satu-satunya manusia yang punya kekuatan untuk menyingkap tabir gaib dan
untuk dapat menembus ke dalam kawasan alam siluman di hutan Tapakhalimun itu……
Tanpa dia masalah ini tak akan terpecahkan….”
“Kalau memang begitu
masalahnya di mana kita bisa mencari Kebo Pradah?”
“Itu sulitnya. Karena dia
diburu-buru dengan sendirinya dia selalu kabur menyembunyikan diri. Terakhir
aku dengar dia berada di sebuah hutan kecil di Barat Gunung Merbabu. Kalau saja
kita tidak kedahuluan oleh para tokoh itu mungkin kita bisa minta bantuannya….”
Wiro melompat. Mendukung Kakek
Segala Tahu di punggungnya lalu lari sekencang-kencangnya.
“Eh, ke mana tujuan kita kali
ini?!” tanya Kakek Segala Tahu.
“Apa perlu kau tanyakan lagi
Kek? Sudah pasti ke kawasan di Barat Gunung Merbabu!” jawab Wiro.
“Ah! terserah kaulah! Aku
hanya membonceng di punggungmu!” kata Kakek Segala Tahu pula lalu kerontangkan
kaleng rombengnya.
DELAPAN
Orang yang berdiri di depan
Kebo Pradah adalah seorang perempuan separuh baya bertubuh tinggi. Wajahnya
sebenarnya cantik namun jadi tampak lucu karena dandanannya yang tebal. Bibir
dan pipinya merah mencorong. Alisnya hitam panjang dengan kedua ujung mencuat
ke atas. Sepasang matanya memiliki pandangan taja dingin. Walaupun kepekatan
malam membungkus tempat itu namun karena berhadapan begitu dekat Kebo Pradah
dapat melihat seluruh sosok orang ini dengan jelas.
Perempuan ini mengenakan jubah
berbentuk aneh. Bagian dadanya sangat ketat berpotongan rendah sehingga lebih
dari separuh payudaranya menyembul besar keluar. Di bawah pinggangnya yang
sangat ramping jubah berbunga-bunga itu menggembung besar seperti ada
ganjalannya. Di belakang rambutnya yang dikonde tinggi ada tujuh helai bulu
burung merak warna-warni yang dijadikan hiasan seperti sebarisan tusuk konde.
Untuk sesaat lamanya Kebo
Pradah tak bisa berkata apa-apa, hanya tegak memandang denan mulut terkancing.
“Kebo Pradah, kau membisu
karena kaget tak menyangka pertemuan ini atau terpesona melihat buah dadaku
yang besar?’
Paras Kebo Pradah kelihatan
merah padam.
Perempuan cantik berdandan menor
dan punya suara merdu itu tertawa panjang lalu melanjutkan ucapannya. “Dulu kau
pernah bersenang-senang menikmati keindahan bauh dadaku. Tapi setelah kau puas
kau kabur begitu saja. Sekarang apakah kau masih ingin mengelus dan
menciumnya?!”
“Dewi Merak Bungsu….”
“Ah, itu gelaranku. Kau
biasanya memanggil nama asliku. Kuntini Arimurti.
Kenapa sekarang kau tidak
memanggilku denagn nama asli?’
“Kuntini, terus terang tentu
saja aku gembira dengan pertemuan ini….”
“Kalau begitu kita bisa bersenang-senang
lagi seperti dulu? Mandi berdua di danau Rawapening, bercanda di atas tanjang
atau bergurau di pedataran di bawah bulan purnama?”
“Kuntini, apa yang terjadi di
masa lalu untuk apa diungkit lagi. Kita tak berjodoh jadi suami istri. Umur kita
terpaut jauh. Hampir dua puluh tahun…..”
“Alangkah enaknya kau bicara
seperti itu. Untung saja hubungan gila itu tidak membuatku hamil. Kalau sampai
aku melahirkan anak, kau akan kubunuh di hadapan bayimu sendiri!”
Kebo Pradah terdiam. Dewi
Merak Bungsu alias Kuntini Arimurti terus menatap orang itu dengan pandangan
lekat dingin tak berkedip.
“Aku kasihan meihat keadaan
dirimu Kebo Pradah, kau kabur kian kemari.
Sembunyi di sana-sini.
Menyamar jadi resi, jadi petani. Sekarang kulihat kau menyamar jadi seorang
pengemis. Apa enaknya hidup seperti itu?”
“Soal enak atau tidak biar aku
yang menanggung sendiri. Aku berbuat seperti ini bukan kau menghindar atau
mencoba sembunyi darimu. Tapi karena dikejar-kejar oleh tokoh-tokoh silat
dengan alasan gila tak masuk akal!”
“Ohhh, begitu rupanya…..” kata
Dewi Merak Bungsu sambil sunnggingkan senyum sinis.
“Lalu apakah kemunculanmu
untuk menghukum perbuatanku di masa lalu?” tanya Kebo Pradah.
“Soal hukum menghukum biar
kita serahkan pada yang Kuasa. Bukan aku, kelak bakal ada orang lain yang
menghukummu. Kalaupun tidak ada yang menghukummu di dunia ini, Gusti Allah akan
menghukummu di akhirat. Lagi pula kedatanganku ke sini bukan mengungkit masa
lalu. Aku buka anak kecil atau seorang pengemis yang minta belas kasihanmu. Aku
perlu pertolonganmu. Hanya dengan memberi pertolongan padaku kau bisa menebus
dosa di masa lalu.”
“Ah, dia masih pandai bicara
seperti dulu. Otaknya cerdik seolah ada sepuluh otak dalam kepalanya,” kata
Kebo Pradah dalam hati.
“Pertolongan apa yang hendak
kau harapkan dariku. Katakan cepat karena aku tak ada waktu lama…..”
“Kenapa terburu-buru Kebo
Pradah. Takut akan muncul lagi orang-orang pandai? Saat ini hanya kita berdua
di sini. Tak usah kawatir. Yang aku inginkan ialah agar kau membantu aku
membuka tabir Pintu Neraka di hutan Tapakhalimun…..”
“Ternyata maksud kedatanganmu
tidak beda dengan orang-orang yang lebih dulu muncul di tempat ini!”
“Oh, begitu?” ujar Dewi Merak
Bungsu sambil menyeringai dan memandang berkeliling. “Hemmmmmm Pasti kau
menolak permintaan mereka lalu membunuh mereka. Memang banyak kulihat yang
sudah jadi korbanmu. Dua bersaudara Cengkir Lesmana. Lalu ada tua bangka
berpunuk. Kemudian satu lagi si Pengail Sakti Muka Kuning. Mereka bukan
orang-orang sembarangan. Jika kau mampu membunuh mereka dengan mudah berarti
kepandaianmu sudah jauh meningkat….”
“Terserah kau mau menilainya
bagaimana. Yang jelas aku tidak mau bentrokan denganmu. Itu saja….”
“Bagus. Baik sekali hatimu.
Berarti kau akan meluluskan permintaanku minta tolong tadi….”
“Aku tidak mau mendengar
urusan gila itu lagi. Aku tak akan menolongmu atau siapapun!”
“Ah, kalau begitu lain ucapan
lain kenyataan!” tukas Dewi Merak Bungsu.
“Kita habisi pembicaraan
sampai di sini Kuntini. Lain kesempatan jika bertemu lagi kita bisa bicara
panjang lebar…. Sebentar lagi pagi akan datang.”
“Tunggu dulu Kebo Pradah!”
kata Dewi Merak Bungsu. Ketika melihat Kebo Pradah hendak meninggalkan tempat
itu. “Bagiku kesempatan hanya ada satu kali.
Aku tak akan menyia-nyiakan
kesempatan. Kuharap kau juga berbuat sama….?”
“Lalu maumu apa?” Kebo Pradah
kelihatan mulai jengkel. Kentara dari nada suaranya.
“Ikut aku ke hutan
Tapakhalimun!”
“Kalau aku tidak mau?!”
Dewi Merak Bungsu tertawa
panjang hingga buah dadanya yang menyembul besar kelihatan bergoyang-goyang
membuat Kebo Pradah sesaat jadi menahan nafas.
“Kalau kau tidak mau apa
dayaku….” Kata Dewi Merak Bungsu pula seolaholah pasrah membuat Kebo Pradah
menjadi lega. Tapi cuma sesaat karena dilain ketika perempuan itu meneruskan
ucapannya. “Dirimu sangat berharga Kebo Pradah.
Sehingga sosokmu tanpa
nyawapun masih mampu menyingkap tabir gaib alam siluman di kaki Gunung Merapi
itu. Jadi terserah padamu. Mau pergi ke sana hiduphidup atau dalam keadaan jadi
mayat!”
Rahang Kebo Pradah
menggembung. Tampangnya membesi. Dalam hati orang ini berkata. “Jelas dia bukan
lawanku. Dulu saja ilmunya hampir dua tingkat di atasku. Dia tidak membunuhku
di masa lalu karena mencintaiku dan berharap bisa kuambil jadi istri. Tapi
sekarang keadaan sudah berubah. Sebaiknya aku berpura-pura ikut saja. Kalau dia
lengah kuhabisi dirinya!”
“Baiklah Kuntini. Aku bersedia
ikut bersamamu ke hutan Tapakhalimun. Tapi sesudah tabir itu tersingkap kita
berpisah. Tak ada lagi urusan di antara kita….”
“Terima kasih kau mau
menolong. Hanya saja tiba-tiba saja kau berubah pikiran. Membuatku jadi curiga.
Karenanya aku terpaksa merubah rencana. Aku terpaksa membunuhmu. Tubuh hidupmu
dengan mayatmu sama saja artinya!
Mengapa aku susah-susah harus
mempercayaimu?!”
“Rupanya dia dapat membaca
jalan pikiranku!” membatin Kebo Pradah. Lalu dia berkata.
“Kau memang perempuan culas!
Bukan cuma culas! Tapi juga bangsat!”
teriak Kebo Pradah marah. “Kau
mungkin bisa membunuhku! Tapi aku bersumpah untuk membuat dirimu cacat seumur
hidup!” teriak Kebo Pradah lagi. Lalu dari balik pakaiannya dikeluarkan sebuah
tabung bambu. Ketika tabung itu dibuka terdengar letupan kecil disertai kepulan
asap biru kelabu.
“Cairan pengerut tubuh!” seru
Dewi Merak Bungsu terkejut.
Kebo Pradah mengekeh. “Kau mau
bunuh aku silahkan! Tapi wajah dan tubuhmu akan kubuat cacat! Akan kubuat
mengkerut hingga setanpun akan takut malihat dirimu!”
Habis berkata begitu Kebo
Pradah gerakkan tangannya yang memegang tabung bambu. Sejenis cairan yang disertai
semburan asap muncrat ke luar ke arah tubuh Dewi Merak Bungsu. Perempuan ini
menjerit keras kerakutan dan cepat melompat muncur ke belakang serumpunan semak
belukar.
Untungnya semak belukar itu
diselingi oleh tetumbuhan berdaun lebar. Kalau tidak beberapa bagian dari
tanagn dan tubuh Dewi Merak Bungsu akan tersiram cairan dahsyat itu. daun-daun
yang terkena siraman cairan dahsyat itu. daun-daun yang terkena siraman cairan
itu tampak mengepulkan asap dan berlobang besar. Paras Dewi Merak Bungsu tampak
pucat pasi. Di seberang sana dilihatnya Kebo Pradah tengah memperhatikan tabung
bambunya. Lalu terdengar dia memaki “Setan! Isinya Habis!”
Dewi Merak Bungsu melihat ini
kesempatan paling tepat untuk keluar dari balik semak belukar langsung
menyerang Kebo Pradah. Maka tanpa pikir panjang lagi dia segera melompat dari
balik semak belukar, menggebrak Kebo Pradah dengan satu jotosan keras di bagian
kepala orang itu.
Kebo Pradah tiba-tiba tertawa
mengekeh. “Perempuan culas! Kau tertipu!
Tamat riwayatmu sekarang!”
Kebo Pradah angkat tabung bambu tinggi-tinggi.
Ternyata dalam tabung itu
masih terdapat banyak cairan dahsayat pengerut tubuh.
“Seerrrrr. Seerrrrr.
Seerrrrr!”
Cairan ganas itu muncrat
keluar. Dewi Merak Bungsu terpekik. Dia sama sekali tidak menyangka. Saat itu
tak ada kesempatan untuk mengelak. Kalaupun dia mampu menghindar tetap saja
sebagian wajah dan bahu kirinya akan kena tersiram cairan!
Pada saat yang genting itu
tiba-tiba dari balik sebatang pohon besar menderu sambaran angin sedahsyat topan.
Dewi Merak Bungsu terpelanting ke kiri dan jatuh ke tanah. Beberapa tetes
cairan pengerut lewat di atas kepalanya. Di sebelah sana Kebo Pradah berseru
kaget ketika air pengerut yang disiramkannya ke arah Kuntini tiba-tiba membalik
menghantam dirinya. Sebelum dia terseret oleh sambaran angin keras itu air
pengerut tubuh telah lebih dulu memercik di wajahnya, dada dan tangan kanannya
Kebo Pradah meraung keras.
Sebagian mukanya tenggelam dalam kepulan asap. Ketika kepulan asap lenyap
kelihatanlah hal yang mengerikan. Wajah Kebo Pradah seolah berubah jadi hantu
menakutkan. Pipi kanan dan mulut mengkerut.
Hidungnya kini hanya merupakan
rongga besar menjijikkan dan mengerikan karena dari situ bisa terlihat lidah
dan rongga tenggorokannya yang juga telah mengkerut.
Mata kanannya hanya tinggal
rongga besar. Bola matanya yang mengkerut mengecil dan telah jadi buta terbenam
di rongga yang mengerikan itu! Tangan dan dadanya juga mengalami cacat
menggidikkan.
“Anak setan! Sudah ku bilang
kau jangan ikut campur urusan orang!” satu suara terdengar membentak di balik
pohon besar.
SEMBILAN
Ketika Pengail Sakti Muka
Kuning hendak melompat turun dari pohon, seperti telah dituturkan sebelumnya
orang tua sakti ini maupun Kebo Pradah sama-sama mendengar suara kerontangan
kaleng di kejauhan malam. Mereka sama-sama terkesiap dan curiga bahwa seorang
kakek sakti yang mereka kenal dengan nama Kakek Segala Tahu segera akan muncul
di tempat itu untuk urusan yang sama.
Namun suara kerontangan kaleng
terdengar semakin jauh dan akhirnya lenyap sama sekali. Apakah sebenarnya yang
terjadi?
Saat itu sebenarnya Pendekar
212 dan Kakek Segala Tahu memang hendak menuju ke tempat di mana kedua orang
itu berada. Namun si kakek buta ini turun dari kudanya lalu tegak dengan
mendongak. “Aku tidak tahu apakah kita datang terlambat atau bagaimana,”
katanya pada Wiro. “Tapi yang jelas jauh di sebelah sana Kebo Pradah tidak
sendirian. Sebaiknya kita tinggalkan kuda. Dengan jalan kaki kita purapura
menjauh. Mereka menyangka kita sudah pergi. Lalu diam-diam kita kembali
mendekati tempat mereka…..”
“Aku setuju saja dengan
pendapatmu Kek,” kata Wiro walau hati kecilnya dia lebih suka untuk langsung
mendatangi tempat di mana Kebo Pradah berada. Wiro lalu turun pula dari kudanya
dan mengikuti si kakek mengambil jalan berputar. Menjauh untuk kemudian
mendekat kembali dari jurudan lain.
Ketika mereka sampai di tempat
itu, dari balik pepohonan rapat Wiro dan Kakek Segala Tahu sempat mendengar
pembicaraan Kebo Pradah dengan orang bermuka kuning.
“Coba kau katakan ciri-ciri
orang yang berbicara dengan Kebo Pradah itu.
juga pakaiannya….” Bisik Kakek
Segala Tahu pada Wiro.
Pendekar 212 segera
menerangkan. “Hemmmmm….. tak ada orang lain. Dia pasti Pengail Sakti Muka
Kuning….. kalau dia berani bertindak keras terhadap Kebo Pradah, dia bakal
celaka. Ilmunya masih di bawah Kebo Pradah…..”
“Kalau begitu kita harus
membantu si muka kuning itu. Biar Kebo Pradah bisa ditangkap hidup-hidup lalu
kita bawa ke hutan Tapakhalimun….”
“Tidak perlu. Biar mereka membuat
urusan dan menyelesaikannya sendiri.
Biarkan mereka bicara panjang
lebar. Berarti kita bisa mendengar keteranganketerangan berharga. Menurut kabar
yang aku sirap si Kebo Pradah ini biar hidup atau pun mati kemampuannya tetap
saja sama untuk dapat membuka tabir gaib di hutan siluman itu….” jawab Kakek
Segala Tahu. Lalu dia hampir saja hendak mengerontangkan kaleng bututnya kalau
tidak cepat kaleng itu diambil oleh Wiro!
Seperti diketahui setelah
terjadi pertengkaran antara Kebo Pradah dan Pengail Sakti Muka Kuning maka
perkelahianpun tak dapat dihindari yang akhirnya membawa kematian bagi Pengail
Sakti.
Saat itulah sebenarnya Kakek
Segala Tahu dan Wiro hendak keluar dari tempat persembunyian mereka guna
menemui Kebo Pradah. Namun dalam gelapnya malam satu sosok berkelebat. Mereka
kedahuluan orang lain.
Yang muncul ternyata adalah
perempuan muda berpakaian semarak aneh dan berwajah cantik tertutup dandanan
tebal mencorong.
Wiro cepat memberitahu kakek
di sebelahnya. Juga diceritakan ciri-ciri perempuan yang barusan muncul itu.
“Walah Kek, bajunya sebelah atas terbuka lebar.
Payudaranya menyembul sebesar
kelapa. Putih berkilat walau dalam gelap…..”
“Setan kau!” maki Kakek Segala
Tahu yang tak bisa melihat. “Kau sengaja membuat aku jadi blingsatan….”
“Kau kira-kira kenal siapa
perempuan ini Kek?”
“Banyak sekali perempuan
berdandan seperti celepuk. Tapi kalau dia memang memakai tujuh lemabr tusuk
konde terbuat dari bulu burung merak, aku sudah bisa
menduga. Dan dugaanku tak
bakal meleset. Dia adalah Kuntini, berjuluk Dewi Merak Bungsu. Sebenarnya dia
punya saudara kembar berjuluk Dewi Merak Sulung. Tapi sang kakak meninggal
karena sakit berat beberapa tahun silam. Si bungsu ini kalau aku tidak salah
adalah kekasih Kebo Pradah…..”
“Wah, kalau begitu sebentar
lagi aku bakal menyaksikan dua orang bercumbucumbuan di tempat ini….”
“Husss! Otakmu selalu kotor.
Lihat saja apa yang terjadi. Setahuku dua orang ini sudah berseteru sejak lama.
Dengar saja apa yang mereka bicarakan. Tunggu apa yang bakal terjadi. Dan
ingat! Jangan ikut campur! Yang perempuan itu ilmunya lebih tinggi dari si
Kebo. Aku punya firasat kita bisa menangguk keuntungan dari pertemuan dua orang
ini…..”
“Keuntungan macam apa?” tanya
Wiro.
“Sudah! Jangan banyak tanya.
Kudengar mereka sudah mulai bicara….”
Dari balik deretan pohon-pohon
besar Wiro dan Kakek Segala Tahu diamdiam mendengarkan pembicaaan antara Kebo
Pradah den Dewi Merak Bungsu.
Mula-mula keduanya bicara
biasa-biasa saja sedikit berbasa-basi. Namun pembicaraan berubah begitu Dewi
Merak Bungsu meminta Kebo Pradah ikut ke hutan Tapakhalimun di kaki Gunung
Merapi. Perkelahian tak dapat dicegah. Kebo Pradah yang tahu bahwa dia tak
bakal menang menghadapi bekas kekasihnya itu dengan licik keluarkan sejenis
cairan yang bisa merusak daging manusia. Dewi Merak Bungsu hampir saja celaka
kalau tidak dibantu oleh Pendekar 212 yang tiba-tiba melepaskan pukulan
“benteng topan melanda samudera” dengan tangan kanan dan “kunyuk melempar buah”
dengan tangan kiri.
Akibat dua serangan dahsyat
itu Kebo Pradah bukan saja terpelanting jatuh.
Air pengerut tubuh yang tadi
hendak disiramkannya pada Dewi Merak Bungsu kini justru membalik ke arahnya
tanpa dia bisa mengelak. Akibatnya tubuhnya menjadi cacat mengerikan seperti
yang diceritakan sebelumnya.
“Anak setan! Sudah kubilang
kau jangan ikut campur urusan orang!” Kakek Segala Tahu membentak marah ketika
telinganya menangkap suara raungan Kebo Pradah. Sebelumnya dia sudah merasakan
gerakan yang dibuat Wiro dan menyusul menderunya dua larik angin dahsyat.
“Edan! Edan! Rusak segala rencanaku jadinya!”
“Tapi Kek, kalau tidak
kutolong perempuan itu pasti celaka!” kata Wiro membela diri. “Saat ini aku
menyaksikan muka Kebo Pradah menjadi cacat mengerikan….”
“Lalu apa keuntunganmu?!”
bentak Kakek Segala Tahu. “Kau tertarik pada perempuan muda itu ya? Kau
terangsang melihat payudaranya yang besar hah?!”
Wiro hanya bisa mesem sambil
garuk-garuk kepala. Memandang ke depan dilihatnya perempuan yang barusan
diselamatkannya melompat keluar dari balik rerumpunan semak belukar, bergerak
ke arah Kebo Pradah yang terkapar di tanah masih meraung-raung. Dewi Merak
Bungsu tak dapat bayangkan kengerian kalau apa yang terjadi dengan lelaki itu
menimpa dirinya sendiri.
“Demi Tuhan! Aku minta kau
segera membunuhku saat ini juga Kuntini!
Bunuh! Bunuh aku! Tobat! Aku
tak tahan sakitnya! Bunuh aku Kuntini. Sekarang juga!”
“Kau minta mati! Aku akan
memberi. Hitung-hitung sebagai penyelesaian hutang piutang atas kematian Merak
Sulung!”
“Perempuan bangsat! Apa
maksudmu?!”
“Kau ikut bertanggung jawab
atas kematian kakak kembarku itu!”
“Setan alas! Semua orang tahu
kakakmu mati karena sakit! Ayo bunuh aku!
Sekarangggg!”
“Apa yang semua orang tahu
tidak sama dengan apa yang aku tahu. Kakakku memang mati karena sakit. Tapi
bukan sakit biasa. Mati karena kau masukkan sejenis racun dalam makanannya…..”
“Perempuan iblis! Dalam
keadaan seperti ini kau masih mau menuduh dan memfitnahku!” teriak Kebo Pradah.
Laksana mendapatkan kekuatan hebar lelaki ini melompat. Kedua tangannya
diulurkan untuk mencekik batang leher Dewi Merak Bungsu. Tapi perempuan itu
lebih cepat. Tangan kanannya melesat di antara dua lengan Kebo Pradah.
“Praaaaakkkk!”
Kening Kebo Pradah rengkah.
Tubuhnya terbanting ke tanh. Kali ini tak berkutik lagi untuk selama-lamanya.
Sesaat perempuan itu pandangi
mayat Kebo Pradah. Tak ada rasa kasihan ataupun penyesalan dalam dirinya. Lalu
perlahan-lahan dia memutar tubuh.
Memandang ke arah deretan
pohon-pohon besar di kegelapan.
“Orang yang telah menolongku, harap
keluar unjukkan diri agar aku bisa mengenali dan berterima kasih!” Tiba-tiba
Dewi Merak Bungsu keluarkan ucapan.
Di balik pohon Kakek Segala
Tahu berpaling pada Wiro. “Ayo, kau tunggu apa lagi? Bukankah kau sudah
menolongnya? Jadi lekas keluar! Temui dia!”
“Kau saja yang keluar Kek,”
kata Wiro.
“Lah! Kenapa aku?! Bukankah
kau tertarik padanya? Kalau kau berada lebih dekat dengan dia, pasti kau bisa
melihat dadanya lebih puas…..! Enakkan?!”
Pendekar 212 menyeringai.
Tiba-tiba dia kerontangkan kaleng rombeng milik Kakek Segala Tahu yang sejak
tadi dipegangnya.
“Ah, rupanya yang menolongku
seorang tokoh sakti yang kalau aku tidak salah mengucap dipanggil dengan
sebutan Kakek Segala Tahu!” kata Dewi Merak Bungsu. “Kakek Segala Tahu
keluarlah. Aku sudah sejak lama mendengar nama besarmu. Satu kehormatan kini
kau muncul di sini malah jadi tuan penolongku.”
Di balik pohon Kakek Segala
Tahu mengomel penjang pendek. “Dasar anak setan!” makinya. Kaleng rombeng
dirampasnya dari tangan Wiro. Lalu mau tak mau dia melangkah keluar dari balik
pohon.
Begitu si kakek sampai di
hadapannya Dewi Merak Bungsu segera membungkuk memberi hormat. “Kakek Segala
Tahu, aku sangat berterima kasih.
Kalau kau tidak menolongku
entah bagaimana jadinya diriku. Rasanya memang lebih baik mati dari pada cacat
seperti yang dialami Kebo Pradah…..”
“Anak setan itu……”
“Kau mengatakan sesuatu
Kek…..?”
Kakek Segala Tahu batuk-batuk
beberapa kali. “Anu maksudku….. Sebetulnya bukan aku yang tadi menolongmu…..”
Sepasang alis mata Dewi Merak
Bungsu naik ke atas. Keningnya mengerenyit.
“Lalu siapa yang telah
menolongku?”
“Seorang pemuda sahabatku.
Rasa-rasanya dia tertarik padamu. Tapi entah mengapa kemudian dia malu-malu
memperlihatkan diri…..”
“Aneh. Tapi dia bukan banci
kan?”
Kakek Segala Tahu tertawa
mengekeh. “Siapa namanya?’
“Biar dia saja yang
memberitahu. Aku akan panggil dia ke sini.” Lalu Kakek Segala Tahu kerontangkan
kalengnya. Sesaat kemudian Pendekar 212 Wiro Sableng ke luar dari balik pohon
dan melangkah ke arah kedua orang itu.
Sesaat Dewi Merak Bungsu
menatap pemuda berambut gondrong itu. Lalu dia tersenyum. “Ternyata kau memang
bukan banci,” katanya. Dia menjura lalu berkata.
“Tuan penolong, aku sangat
berterima kasih, merasa berhutang budi dan nyawa.
Kalau aku boleh tahu siapa
namamu, pasti akan kukenang seumur hidupku….”
Wiro melirik pada Kakek Segala
Tahu. Orang tua buta itu tampak tenangtenang saja. “Namaku Wiro….”
“Wiro….. hemmmm aku rasa-rasa
pernah mendengar nama itu….” kata Dewi Merak Bungsu. Dia melangkah mendekati.
Kedua matanya memandang ke arah dada si pemuda yang terbuka karena bajunya
sebelah atas tersibak. Perempuan muda itu melihat rajah tiga angka di dada si
pemuda. Berubahlah parasnya. “Sungguh tidak terduga kalau malam ini aku bisa
bertemu sekaligus dengan dua orang tokoh silat tingkat atas! Satu di antaranya
menjadi tuan penolongku. Pendekar 212……”
Perempuan itu tidak meneruskan
ucapannya. Dia hanya bisa geleng-gelengkan kepala, dalam hati membatin. “Nama
besar pemuda ini sudah lama aku dengar. Tadinya kukira usianya paling tidak 50
tahun. Tidak sangka ternyata begini muda. Lebih muda dariku…..” Sehabis
membatin begitu perempuan muda ini bertanya, “Kakek Segala Tahu dan Pendekar
212, kalau aku boleh tanya mengapa kalian berdua bisa muncul berbarengan di
tempat ini?”
Orang tua itu tidak menjawab.
Wiro juga berdiam diri.
“Ah, kalau kalian punya suatu
yang bersifat rahasia kalian tak usah menjawab pertanyaanku tadi,” kata
perempuan muda itu sambil mengerling pada Pendekar 212.
“Kek, bagaimana ini,” berbisik
Wiro. “apa kita beritahukan saja? Kita sudah mendengar kalau dia hendak ke kaki
Gunung Merapi. Tujuannya sama dengan tujuan kita. Rasa-rasaya masalah yang kita
hadapi juga sama….. Aku minta petunjukmu.”
“Kukira tak ada salahnya kau
terangkan saja,” jawab Kakek Segala Tahu.
Saat itu Dewi Merak Bungsu
telah melangkah mendekati mayat Kebo pradah.
“Dewi…..” Wiro memanggil.
Perempuan itu membalik.
“Namaku Kuntini…..”
“Begini….. Kurasa antara kita
tak perlu ada rahasia. Kami sudah mendengar maksdmu membawa Kebo Pradah ke
kawasan hutan Tapakhalimun. Kami pun sebenarnya hendak menuju ke sana. Kebo
Pradah merupakan satu-satunya kunci yang mampu menyingkap tabir hutan siluman
itu. Dalam keadaan mati maupun hidup…..”
“Eh, dari mana kau mengetahui
hal itu Pendekar 212?” tanya Dewi Merak Bungsu.
“Panggil aku Wiro saja…..”
jawab murid Sinto Gendeng. “Sebelumnya kami memang sudah menyirap kabar bahwa
Kebo Pradah adalah satu-satunya orang yang bisa menolong kami untuk menembus
masuk ke dalam alam siluman di kaki Gunung Merapi itu. Waktu kami sampai di
sini, diam-diam kami telah mendengar pembicaraan antara Kebo Pradah dengan
Pengail Sakti Muka Kuning. Lalu hal itu lebih jelas lagi setelah kami mendengar
pembicaraanmu dengan Kebo Pradah tadi….”
Kuntini yang bergelar Dewi
Merak Bungsu itu terdiam sesaat. Dia melirik pada Kakek Segala Tahu. “Mengapa
kalian ingin masuk ke dalam alam siluman di hutan Tapakhalimun itu?” tanya
kemudian.
“Aku ingin menolong seorang
sahabat. Dia disekap dan disiksa di tempat itu…..” jawab Wiro. “Di samping itu
kami ketahui ada beberapa tokoh persilatan telah diculik secara aneh. Kami
belum tahu siapa-siapa mereka adanya. Namun kami yakin mereka juga talah jadi
korban mahluk-mahluk jahat hutan siluman itu.”
“Siapa sahabatmu itu?”
“Namanya Bunga. Sebenarnya dia
juga sudah mati dan hidup di alam gaib….”
Sepasang mata Dewi Merak
Bungsu membesar. Keningnya mengerenyit.
“Aku tidak mengerti. Sahabatmu
itu manusia atau apa…..?”
“Kita tidak punya waktu
banyak. Kita harus cepat-cepat ke kaki Gunung Merapi. Nanti saja aku
menerangkan padamu mengenai sahabatku itu…..”
Dewi Merak Bungsu angkat
bahunya. “Kalian ke sini membawa kuda?”
“Ada. Kami tinggalkan agak
jauh dari sini,” jawab Wiro.
“Aku juga membawa kuda. Aku
yakin kakek muka kuning ini datang kemari juga membawa kuda. Binatang itu bisa
dipakai untuk membawa mayat Kebo Pradah…..”
Kakek Segala Tahu batuk-batuk
beberapa kali. “Sebelum pergi, ada dua hal yang ingin kutanyakan padamu
Kuntini. Kau boleh menjawab boleh tidak.”
“Ya, tanyakan saja,” kata
perempuan muda berdandan mencorong itu.
Si kakek kerontangkan dulu
kaleng rombengnya membuat Dewi Merak Bungsu terpaksa menutupkan kedua tangannya
di telinga kiri dan kanan saking bisingnya. “Mengapa kau ingin masuk ke dalam
kawasan hutan siluman itu?” Kakek Segala Tahu ajukan pertanyaannya.
“Aku mencari seseorang. Dia
juga jadi koeban kebuasan mahluk-mahluk siluman. Apa hal kedua yang ingin kau
tanyakan?”
“Kita, maksudku engaku sudah
menguasai Kebo Pradah yang katanya merupakan satu-satunya manusia yang bisa
membuka tabir dan menembus masuk ke dalam hutan Tapakhalimun. Yang aku ingin
tanyakan bagaimana caranya mayat itu nanti bisa melakukan hal itu….?”
“Betul Kuntini,” menyambung
Wiro. “Walau kau sudah dapat Kebo Pradah, apakah kau tahu cara memanfaatkan
dirinya untuk menembus dan masuk ke dalam hutan siluman itu?”
“Aku tidak bisa mengatakannya
sekarang. Tunggu saja setelah kita sampai di kaki Gunung Merapi,” jawab Dewi
Merak Bungsu pula. Kakek Segala Tahu teridam.
Wiro pun tak bersuara. Kedua
orang itu diam-diam memaklumi kalau Dewi Merak Bungsu masih belum dapat
mempercayai mereka.
“Sebaiknya kita berangkat
sekarang. Sebentar lagi malam akan berganti siang.
Kita tidak bisa melewati jalan
biasa. Terlalu menarik perhatian orang karena kita membawa sesosok mayat…..”
kata Kuntini dan melangkah mendekati mayat Kebo Pradah.
“Biar aku yang menggotongnya.
Kau cari saja dulu kudamu,” kata Wiro.
Perempuan muda itu mantap
Pendekar 212 sesaat lalu tersenyum. “Terima kasih. Kau baik sekali….” Katanya.
SEPULUH
Rombongan Dewi Merak Bungsu
sampai di kaki Selatan Gunung Merapi dua hari kemudian. Saat itu matahari baru
saja tersembul di permukaan bumi.
“Di sini tempo hari aku coba
menembus masuk ke dalam hutan Tapakhalimun,” menerangkan Wiro.
Dewi Merak Bungsu diam saja
seolah tidak mendengar. Wiro berpaling pada Kakek Segala Tahu.
“Kek,” Wiro berbisik pada
orang tua itu. “Kita sudah sampai. Kau tahu kirakira yang akan dilakukan
Kuntini dengan mayat Kebo Pradah agar bisa menembus masuk ke dalam kawasan
hutan siluman?”
“Tak bisa kuduga. Baiknya kita
menunggu saja,” jawab orang tua itu. Dia membuka capingnya lalu turun dari atas
kuda.
Saat itu Dewi Merak Bungsu
sudah lebih dulu menjejakkan kaki di tanah. Dia memandang berkeliling. “Hemmmmm……
Pohon-pohon besar itu tumbuh rapat secara aneh,” katanya dalam hati.
Wiro melompat pula dari
kudanya. Dia segera mendekati perempuan itu dan berkata. “Di balik deretan
pohon-pohon besar itulah hutan Tapakhalimun. Beberapa waktu yang lalu aku coba
melangkah melewati pepohonan itu. tapi aku tertahan oleh satu tembok yang tidak
kelihatan. Tembok gaib tak mempan dipukul atau dijebol dengan senjata…..”
Dewi Merak Bungsu gigit
bibirnya sebelah bawah. “Aku memang sudah mendengar hal itu. tapi belum yakin
kalau tidak membuktikan dan melihatnya sendiri!” katanya.
Tangan kanannya bergerak
mencabut salah satu dari tujuh lembar bulu burung merak yang menancap di
kepalanya. Sesaat benda itu digoyang-goyangkannya di depan wajahnya yang cantik
tapi berdandan terlalu tebal. Tiba-tiba didahului suara pekikan nyaring
perempuan muda itu lemparkan bulu burung merak itu ke arah pohon terdekat. Bulu
burung itu melesat laksana sebilah pisau terbang.
Sesaat lagi bulu itu akan
menghantam pohon tiba-tiba terdengar satu ledakan keras. Tiga buah pohon
terdekat bergoyang-goyang. Ranting-rantingnya berpatahan.
Daun-daun berguguran. Kakek
Segala Tahu dan Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan tanah yang mereka pijak
bergetar. Dari belakang deretan pohon-pohon terdengar suara pekik jerit
mengerikan dibarengi oleh suara lolongan anjing panjang sekali. Empat ekor kuda
yang ada di tempat itu meringkik keras dan tampak menjadi lair. Tubuh mayat
Kebo Pradah yang ada di atas salah satu seekor kuda itu jatuh bergedebuk ke
tanah.
Bersamaan degan itu dari arah
depan terdengar suara deru angin sedahsyat topan prahara. Bulu burung mreak
yang tadi dilemparkan hancur berantakan dan beterbangan di udara menjadi
serpihan-serpihan halus.
“Semua tiarap!” teriak Dewi
Merak Bungsu lalu jatihkan diri ke tanah. Wiro tarik tangan Kakek Segala Tahu.
Keduanya lalu sama-sama mencium tanah.
“Wuuuusssss!!”
Gelombang angin dahsyat yang
bersumber pada bulu burung merak yang tadi dilemparkan Dewi Merak Bungsu, kini
membalik ke arah tiga orang itu membawa hawa sedingin es! Sapuan angin dingin
lewat di atas mereka. Terus menghantam semak belukar serta pepohonan di sebelah
sana. Terdengar suara bergemuruh ketika empat pohon besar tumbang sekaligus dan
semak belukar berterbangan ke udara dalam keadaan hancur luluh.
“Luar biasa….” Kata Wiro.
“Aku tidak melihat. Tapi aku
yakin perempuan itu telah melemparkan satu dari tujuh tusuk konde bulu burung
meraknya ke arah dinding gaib kawasan hutan siluman,” kata Kakek Segala Tahu.
“Dia bukan hanya merubah bulu burung itu seolah menjadi sebuah senjata, tapi
sekaligus melepaskan pukulan sakti dan mengalirkannya pada bulu burung. Kalau
aku tak salah pukulannya tadi bernama pukulan ratu merak membelah jagat….”
“Aneh juga nama pukulan itu.
Ratunya pasti cantik….” Kata Wiro masih bisa berseloroh. Lalu ketika dilihatnya
Dewi Merak Bungsu berdiri, dia pun ikut berdiri sambil memegangi tangan Kakek
Segala Tahu.
Sewaktu memandang berkeliling
kagetlah Pendekar 212.
“Eh….. aku merasakan tanganmu
bergetar. Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Empat ekor kuda itu….” jawab
Wiro seperlahan mungkin. “Binatangbinatang itu berkaparan di tanah dalam
keadaan hancur luluh mengerikan. Dapat kau bayangkan kalau tubuh kita tadi yang
kena dihantam angin pukulan ratu merak nekad tadi itu….”
Kakek Segala Tahu tersenyum
lalu kerontangkan kalengnya. Ketika dirasakan Dewi Merak Bungsu berpaling ke
arahnya si kakek segera berkata.
“Kuntini, kita sudah sampai di
tempat yang berbatasan dengan hutan Tapakhalimun. Kebo Pradah yang menjadi
kunci penyingkap tabir gaib juga ada di sini, di bawah kekuasaanmu. Kalau boleh
aku bertanya apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Aku dan juga kalian berdua
kalau suka, akan masuk ke dalam hutan siluman itu.”
“Caranya?” tanya Wiro. “Tadi
kau telah coba menghantam dengan pukulan ratu merak membelah jagat tapi gagal.”
“Eh, bagaimana kau tahu nama
pukulan itu?” tanya Dewi Merak Bungsu agak kaget.
“Aku menceritakan kehebatan
tusuk konde berbentuk bulu burung yang disertai angin pukulan begitu dahsyat.
Kakek ini lalu memberitahu padaku nama pukulan itu….”
Dewi Merak Bungsu memandang
sesaat pada Kakek Segala Tahu. Tanpa berkata apa-apa dia melangkah mendekati
Kebo Pradah. Dengan tangan kirinya dijambaknya rambut mayat lalu mayat yang
mengerikan itu dibuatnya tegak. Dengan gerakan cepat Dewi Merak Bungsu kemudian
menotok lima bagian tubuh mayat.
Setiap totokan mengeluarkan
suara.
“Trak…. Trak….” Pertanda bahwa
totokan itu menembus daging dan menghancukan tulang di belakangnya!
“Totokan gila apa pula ini….?”
kata Wiro dalam hati keheranan.
Ketika Dewi Merak Bungsu
melepaskan jambakannya pada rambut Kebo Pradah, ternyata mayat itu mampu
berdiri laksana orang hidup yang tegak dalam keadaan tertotok!
Kakek Segala Tahu dongakkan
kepala ke langit sedang Pendekar 212 hanya bisa melongo saking kagumnya.
Menotok manusia hidup hingga kaku tegang merupakan satu hal biasa. Tetapi jika
perempuan cantik itu mampu menotok orang yang sudah jadi mayat dan membuatnya
kaku tegak seperti itu benar-benar luar biasa.
Diam-diam murid Sinto Gendeng
menyadari bahwa di dunia ini banyak sekali orang berilmu tinggi yang
kepadaiannya jauh di atas dirinya.
Selagi Wiro terkagum-kagum
seperti itu Dewi Merak Bungsu ulurkan tangan kanannya mencengkeram dada pakaian
Kebo Pradah yang robek. Tangan kirinya diangkat tinggi-tinggi ke atas dengan
telapak tangan terkembang. Kedua matanya memandang ke depan tanpa berkedip, ke
arah deretan pohon-pohon besar. Lalu dari mulutnya terdengar ucapan lantang.
“Penguasa dan penghuni hutan
siluman Tapakhalimun! Aku datang membawa anak manusia berpusar dua. Dia adalah
kunci segala kunci. Karena itu harap bukakan pintu! Jangan berani melawan
kehendak gaib di atas gaib!”
Habis berkata begitu tangan
kanan Dewi Merak Bungsu bergerak membetot pakaian Kebo Pradah.
“Breeeeeet!”
Baju Kebo Pradah robek besar
hingga seluruh dada dan perutnya tersingkap lebar. Wiro pelototkan mata
memandang ke arah perut Kebo Pradah. Apa yang tadi diucapkan Dewi Merak Bungsu
memang benar. Tidak seperti manusia biasa, Kebo Pradah ternyata memiliki dua
buah pusar!
Begitu perut Kebo Pradah
tersingkap, dari balik deretan pohon-pohon terdengar suara pekik
bersahut-sahutan. Lolongan anjing muncul di mana-mana.
Menyusul suara seperti orang
mengerang dan di kejauhan ada pula suara tawa orang meringkik seperti kuda!
Tiba-tiba ada dua cahaya biru
menyambar ke arah perut Kebo Pradah disertai suara gelegar keras. Begitu
menyentuh dua buah pusar terdengar letupan keras dua kali berturut-turut. Asap
biru menggebu membungkus tempat itu.
“Kunci segala kunci! Bukakan
pintu masuk ke hutan siluman!” terdengar Dewi Merak Bungsu berteriak dalam asap
biru yang menutupi sekujur badannya.
Wiro yang merasa kawatir akan
terjadi apa-apa yang bisa membahayakan keselamatan dirinya dan si kakek, bertindak
waspada. Kedua tangannya siap melepaskan dua pukulan sakti. Kakek Segala Tahu
tampaknya tenang-tenang saja seolah tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi
saat itu. Malah dalam asap biru dia kerontangkan kalengnya berulang kali hingga
suasana jadi tampak tegang mencekam.
Tiba-tiba ada suara
menggemuruh. Mula-mula perlahan, makin lama makin keras. Pada puncaknya suara
menggemuruh itu tidak beda dengan suara runtuhnya sebuah gunung!
Tanah yang dipijak orang-orang
itu oleng keras membuat mereka bertiga terpelanting jatuh. Namun anehnya sosok
mayat kaku Kebo Pradah tetap saja tegak di tempatnya!
Asap biru yang membungkus
tempat itu perlahan-lahan lenyap. Tapi suara teriakan, pekik jerit, lolongan
anjing serta suara tawa menggidikkan semakin keras.
Sewaktu asap biru benar-benar
pupus dua larik cahaya biru masih tetap tinggal, membersit ke arah dua buah
pusar di perut Kebo Pradah tampak bergetar keras.
Mukanya yang cacat mengkerut
seperti menyeringai. Lehernya seolah-olah menjadi panjang. Lalu yang lebih
mengerikan mulutnya yang rusak itu keluarkan suara jeritan keras. Bersamaan
dengan itu dua buah cahaya biru yang membersit ke perutnya laksana ditolak oleh
satu kekuatan dahsyat membalik ke arah asalnya. Lalu terdengar suara letusan
keras. Tubuh Kebo Pradah mental ke udara. Bukan dalam keadaan tercabik-cabik.
Darahnya muncrat ke mana-mana, menyiprat ke pakaian Dewi Merak Bungsu, Wiro dan
caping Kakek Segala Tahu.
Begitu letusan suara pupus
keadaan di tempat itu sunyi senyap seperti di pekuburan. Namun kesunyian ini
justru membuat ketegangan yang mengantung di udara menjadi tambah mencekam.
Tiba-tiba terdengar suara orang menangis terisakisak.
“Heh….. Siapa yang menangis?”
tanya Kakek Segala Tahu celingukan.
“Hanya suara Kek, orangnya tak
kelihatan,” jawab Wiro. “Aku…..” Murid Sinto Gendeng tidak meneruskan
kata-katanya. Saat itu terdengar suara aneh. Suara seperti sebuah benda berat
bergeser ke kiri dan ke kanan. Wiro memandang berkeliling. Astaga! Dia terkejut
besar. Pohon-pohon yang banyak berderet-deret seperti membentengi hutan
Tapakhalimun lenyap entah ke mana! Kini mereka berada di satu tempat kosong
yang serba putih. Tak ada peohonan, semak belukar atau langit.
Bahkan mereka tidak tahu
tengah berpijak di mana saat itu karena semuanya sebar putih.
Suara gesekan semakin keras.
Begitu juga suara tangisan. Dewi Merak Bungsu melirik ke arah Wiro. Perempuan
cantik ini tampak berusaha menahan rasa tegang. Tangan kanannya didekatkan ke
kepala. Siap untuk mencabut tusuk konde berupa bulu burung merak yang kini
tinggal enam lembar.
Tiba-tiba “bummmm!”
Satu ledakan menggelegar
mengejutkan ketiga orang itu. Tabir putih di hadapan mereka seperti terbelah.
Yang sebelah kanan bergeser ke kanan dan yang kiri ke kiri. Dari depan
terdengar suara siuran angin. Bukan meniup ke arah tiga orang itu justru
menyedot dengan dahsyatnya hingga tak ampun lagi Dewi Merak Bungsu di sebelah
depan, menyusul Wiro lalu si Kakek Segala Tahu tersedot, laksana amblas ke satu
terowongan yang tidak kelihatan. Ketiganya kelihatan jungkir balik.
Karena mengenakan jubah
panjang yang menggelembung, sewaktu tubuhnya melayang di udara sedotan atas
tubuh perempuan itu agak tertahan. Wiro yang tadi ada di belakang dan tersedot
lebih cepat langsung saja masuk ke dalam jubah itu!
“Manusia kurang ajar! Apa yang
kau lakukan ini!” teriak Dewi Merak Bungsu marah sekali. Kepala Pendekar 212
menyelip di antara kedua pangkal pahanya. Dari dalam jubah terdengar suara Wiro
menyahut tapi tidak jelas mengatakan apa. Dewi Merak Bungsu berusaha menendang tubuh
Wiro keluar dari dalam pakaiannya namun tidak mudah. Sebelum berhasil tubuhnya
bersama tubuh Wiro, menyusul tubuh si kakek tiba-tiba terbanting ke bawah!
“Pemuda kurang ajar! Rasakan
ini!” teriak perempuan itu sambil menarik jubahnya ke atas lalu hantamkan
lututnya. Wiro mengeluh tinggi. Perutnya yang kena sodokan lutut seperti mau
pecah. Terhuyung-huyung dia keluar dari dalam jubah sambil pegangi perut.
“Ini lagi!” teriak Dewi Merak
Bungsu. Kali ini masih dalam keadaan terlentang kaki kanannya di tendangkan ke
kepala Pendekar 212. Wiro cepat menangkap betis sang Dewi.
“Aduh mulus dan putihnya.
Lembut sekali….” Kata Wiro dalam hati.
“Benar-benar kurang ajar!”
teriak Dewi Merak Bungsu. Dia hendak mencabut selembar tusuk konde bulu
meraknya. Ketika mau dilemparkan tiba-tiba terdengar bentakan Kakek Segala
Tahu.
“Kalian berdua jangan seperti
anjing dan kucing! Coba lihat kita berada di mana!”
Wiro melepaskan pegangannya
pada betis Dewi Merak Bungsu. Perempuan itu cepat menggulingkan diri. Ketika
keduanya memandang berkeliling mereka samasama tersentak. Di hadapan mereka ada
sebuah bangunan batu berbentuk pintu gerbang. Di sebelah atas pintu gerbang ini
ada tulisan berbunyi “Pintu Neraka”! Apa yang ada di pintu itu dan sekitarnya
membuat Dewi Merak Bungsu dan Wiro jadi merinding.
SEBELAS
Pada dua buah pilar Pintu
Neraka bergelantungan belasan ular besar berwarna hitam kelabu. Tubuhnya berupa
ular namun kepalanya berwujud kepala setan mengerikan. Di tiang kiri kanan
tegak dua mahluk bertubuh tinggi besar dengan tampang angker. Keduanya
berkepala botak yang dibasahi dengan darah. Masingmasing memegang sebilah golok
api berwarna merah. Sekujur tubuh mahluk yang hanya mengenakan cawat ini penuh
dengan kalajengking yang menjalar kian kemari.
Di atas Pintu Neraka duduk
berjuntai enam jerangkong. Yang aneh dan mengerikan kepala jerangkong berupa
tengkorak ini memiliki sepasang mata merah yang selalu berputar-putar kian
kemari. Lalu dari rongga mulutnya mencelat keluar sebuah lidah berwarna merah,
sangat panjang dan ujungnya berupa kepala ular!
“Ya Tuhan, apakah kita
benar-benar sudah masuk di neraka…..?” desisi Pendekar 212
“Ceritakan apa yang kau
lihat!” kata Kakek Segala Tahu. Wiro segera menerangkan dengan cepat.
“Kita memang sudah berada di
jalan menuju kawasan hutan siluman. Kita harus melewati Pintu Neraka itu….”
“Celaka…..” bisik Wiro yang
masih berada dalam kengerian.
“Apa yang celaka?!” tanya
Kakek Segala Tahu. Lalu enaknya saja dia kerontangkan kalengnya. Tapi dia jadi
melengak kaget. Bagaimanapun dia mengguncang kalrng rombeng itu dan merasa
batu-batu kerikil di dalamnya memukul dinding kaleng, tapi sama sekali tidak
ada suara yang keluar! “Kekuatan siluman sungguh luar biasa. Kalengku tak bisa
berkerontang…..” kata si kakek. Lalu dia berpaling pada Wiro. “Ada apa dengan
kau?”
“Baru berada di ambang pintu
saja aku sudah mau terkencing-kencing.
Bagaimana kalau sampai
masuk…..”
“Tak ada jalan mundur! Kita
harus melewati Pintu Neraka ini!” kata Dewi Merak Bungsu walau nyalinya juga
hampir leleh oleh rasa ngeri terutama melihat mahluk ular berkepala manusia
yang menyeramkan itu. ketika hendak melangkah, gerakanya tertahan. Dia
berpaling pada Wiro dan Kakek Segala Tahu. “Siapa yang masuk duluan….?”
Tanyanya.
“Kau saja!” jawab Wiro.
“Sebaiknya kau!” kata sang
Dewi.
“Sudah, jangan saling
tolak-tolakan. Biar aku yang masuk duluan! Siluman itu pasti tidak tertarik
melihat tampang dan keadaanku. Mudah-mudahan mereka tidak menggangguku. Yang
disebelah belakangnya biasanya jadi incaan….”
“Kalau begitu biar aku yang
masuk duluan!” kata Wiro.
Kakek Segala Tahu mengekeh.
Dewi Merak Bungsu membentak halus. “Ini bukan tempat bersuka ria tertawa
segala! Kita bertiga bisa mampus kaki ke atas kepala ke bawah!” dia berpaling
pada Wiro. “Kau bilang mau jalan duluan. Ayo, tunggu apa lagi?!”
Wiro garuk kepalanya dengan
tangan kiri. Tangan kanan mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar terang
benderang memenuhi tempat itu. Lalu dengan segala ketabahan dia mendekati
tangga Pintu Neraka yang terdiri dari tujuh undakan.
Pada saat kaki kanannya
menginjak undakan pertama belasan ular berkepala manusia yang ada pada pilar
pintu keluarkan desisan keras lalu berganti dengan teriakan mengerikan. Dari
mulut mahluk ini menetes-netes darah kental. Langkah Pendekar 212 tertahan. Dua
mahluk berkepala botak angkat tangannya yang memegang pedang merah. Di atas
Pintu Neraka enam jerangkong menggoyang-goyangkan tubuhnya mengeluarkan suara
berkeresekan. Kedua tangan diangkat-angkat ke atas, mata berputar liar dan dari
mulut yang menyemburkan darah terdengar pekik-pekik melengking tinggi. Sesekali
lidah mereka yang panjang dan berbentuk kepala ular itu menjulur ke bawah
seperti hendak mematuk Wiro.
“Jalan terus, tak ada yang
perlu ditakutkan!” kata Dewi Merak Bungsu seraya mendorong punggung Pendekar
212.
Murid Sinto Gendeng
melintangkan senjata mustikanya di depan dada lalu naik ke anak tangga kedua.
Tidak terjadi apa-apa. Begitu kakinya menginjak anak tangga ketiga, dua mahluk
bercawat melompat ke arahnya sambil menusukkan pedang merah.
Luar biasa. Pedang masih belum
sampai sinarnya telah melesat ke arah tenggorokan dan dada Wiro. Pendekar 212
segera lindingi diri dengan menyabatkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke depan.
Sinar putih menyilaukan berkiblat disertai deru lasana ribuan tawon mengamuk.
Hawa panas yang menampar ke luar dari senjata mustika itu membuat dua mahluk
bercawat dan berkepala botak dan berlumuran darah tersurut mundur sambil
mengeluarkan teriakan marah. Sepasang mata mereka melompat keluar lalu masuk
lagi!
Walau ngeri melihat dua mahluk
siluman yang ganas ini tapi Wiro sudah bisa meraba bahwa mereka pun takut
melihat serangan kapaknya. Maka dia cepat melompat ke anak tangga keempat.
Tidak terjadi apa-apa.
“Tangga berikutnya tangga
kelima….” Kata Wiro membatin. “Mahlukmahluk penjaga Pintu Neraka ini baru
berindak setiap aku menginjakkan kaki di anak tangga ganjil. Jadi aku harus
hati-hati….”
Benar saja. Begitu kaki Wiro
menyentuh anak tangga kelima, enam jerangkong di atas pintu keluarkan pekikan
keras. Lalu keenamnya berlompatan. Dua ke arah Wiro. Dua lainnya mengincar Dewi
Merak Bungsu dan dua terakhir melesat ke arah Kakek Segala Tahu!
Kembali Kapak Maut Naga Geni
212 membeset udara. Sinar putih berkiblat.
“Wuttt! Wuuuttttt!” Senjata
mustika itu jelas-jelas membabat tubuh dua jerangkong. Tapi sambaran mata kapak
seolah menghantam udara kosong, lewat begitu saja. Di kejauhan terdengar suara
tawa cekikikan. Dua jerangkong membuat gerakan jumpalitan lalu tiba-tiba sekali
melesat kembali menyerang Wiro. Agak gugup Wiro lepaskan pukulan sakti dengan
tangan kiri. Jerangkong yang sebelah kiri terangkat ke atas, hancur berantakan
di udara dan lenyap. Saat itu pula srangan jerangkong sebelah kanan sampai.
Wiro berteriak keras ketika ujung lidah jerangkong yang berbentuk ular itu
mematuk bahu kanannya. Dia merasa seperti ditusuk besi panas. Kapak Maut Naga
Geni 212 hampir terlepas dari genggamannya. Darah membasahi bahu baju putihnya.
Dengan terhuyung dia menindak menaiki anak tangga keenam. Aman. Terus pada anak
tangga ketujuh yaitu yang terakhir.
Sementara itu dua jerangkong
yang menyerang Dewi Merak Bungsu disambut perempuan ini dengan mendorongkan
kedua telapak tangannya ke atas.
“Wuuuss!”
“Wuuss!”
Dua angin deras menyambar ke
atas. Dua jerangkong menjerit keras.
Keduanya mental berantakan
lalu berubah manjadi kepulan asap dan akhirnya sirna.
Perempuan ini menarik nafas
lega sesaat lalu mengikutiWiro menaiki tangga ke enam.
“Ada darah di bahumu….” Kata
Dewi Merak Bungsu.
“Lidah ular salah satu
jerangkong itu sempat mematukku,” jawab Wiro.
Wajahnya pucat. Agak limbung
dia menaiki anak tangga ketujuh yakni anak tangga terakhir dari Pintu Neraka.
Di atas sana terdengar suitan keras. Satu jerangkong siluman yang tadi
menyerangnya kini kembali menyerbu. Wiro segara hendak menghantam dengan Kapak
Maut Naga Geni 212.
Di bagian bawah tangga Kakek
Segala tahu yang berada paling belakang dan mendapat serangan dua jerangkong
dongakkan kepala. Telinganya menangkap suara mendesir. Dia cepat menghantam ke
atas dengan tongkatnya. Ujung tongkat menyambar ganas dan dengan tepat mengenai
sosok dua jerangkong itu. namun seperti sewaktu Wiro membabat dengan kapak
mustikanya ternyata si kakek juga seolah mengenai udara kosong. Dengan
berteriak-teriak sambil menjulurkan lidahnya yang berbentuk kepala ular dua
jerangkong kembali menyerbu.
“O ladalah!” seru Kakek Segala
Tahu yang maklum kalau serangan tongkatnya gagal dan kini dia jerangkong itu
kembali menyerangnya. Dengan cepat dia tanggalkan caping bambunya. Sekali dia
mengibaskan caping itu, satu gelombang angin menderu laksana air bah. Dua
jerangkong yang hendak menghujamkan lidah ularnya mencelat mental ke atas. Di
udara dua jerangkong ini hancur bercerai berai, mengepulkan asap dan sirna.
Kembali pada Pendekar 212 yang
mendapat serangan dari sisa jerangkong di tangga ketujuh.
“Jangan pakai senjata!” teriak
Dewi Merak Bungsu. “Hantam dengan pukulan tangan kosong!”
Sesaat Wiro terkesiap. “Apa
yang dikatakan Kuntini itu agaknya betul. Tadi aku membabat dengna Kapak Maut
Naga Geni tidak mempan. Sewaktu kuhantam dengna pukulan benteng topan melanda
samudera salah satu dari dua jerangkong itu ambruk…..” Memikir sampai di sini
maka murid Eyang Sinto Gendeng segera lepaskan pukulan kunyuk melempar buah.
Satu gelombang angin laksana gulungan batu besar menderu. Jerangkong yang
menyerang dari atas seolah tahu kalau dia tak akan mampu menghadapi pukulan
sakti itu menjerit keras lal berbalik dan melesat pergi.
Di anak tangga ketujuh Dewi
Merak Bungsu memberitahu pada Kakek Segala Tahu bahwa Wiro terluka bahu
kanannya akibat pukulan lidah ular jerangkong siluman. Paras orang tua itu
tampak berubah. Dia meraba-raba sekitar ujung capingnya.
“Dia untung. Obat ini masih
tersisa satu. Bisa ular siluman seratus kali lebih jahat dari bisa ular biasa…..
Berikan obat ini padanya dan suruh dia segera menelannya!”
Perempuan itu mengambil obat
yang diberikan lalu menyerahakan pada Wiro.
Belum sempat obat berbentuk
bulat sebesar ujung kelingking itu berpindah tangan, tiba-tiba seekor ular
besar berkepala setan yang melilit di pilat pintu sebelah kanan melesat dan
berusaha mematuk. Dewi Merak Bungsu terpekik. Saking kagetnya obat itu terlepas
dari tangannya, jatuh tepat di tangga ketujuh!
“Wiro lekas ambil!” teriak
Dewi Merak Bungsu.
Wiro jatuhkan diri mengambil
satu-satunya obat yang bisa menyelamatkan jiwanya itu. namun ular berkepala
manusia tadi meluncur lebih cepat. Pada saat Wiro berhasil memegang obat , pada
detik itu pula ular siluman membuka mulutnya besarbesar.
Kepala Pendekar 212 hanya
setengah jengkal saja dari hadapannya.
Dalam keadaan genting begitu
rupa, sebelum kepala Wiro sempat dilahap ular siluman, ujung tongkat Kakek
Segala Tahu dengan keras memukul putus ujung ekor binatang ini. Ular siluman
keluarkan jeritan seperti raungan anjing di malam buta. Dia sabatkan ekornya ke
arah si kakek. Orang tua ini cepat rundukkan kepala. Tongkatnya kembali
berkelebat. Terdengar lagi raungan seperti anjing itu. Ujung tongkat Kakek
Segala Tahu menancap tepat di leher ular siluman. Darah menyembur. Si kakek
menghindar agar tidak kecipratan. Ular siluman itu bergelimang darah
menyentaknyentak di atas tangga Pintu Neraka. Wiro berguling memasuki Pintu
Neraka sambil menelan obat yang berhasil diambilnya sementara Dewi Merak Bungsu
cepat menarik tangan Kakek Segala Tahu lalu keduanya melompat melewati Pintu
Neraka.
DUA BELAS
Selewatnya Pintu Neraka ketiga
orang itu berada di satu rimba belantara ditumbuhi pohon-poon besar dan semak
belukar aneh. Keadaanya redup sekali dan udara terasa dingin. Kesunyian yang
mencekam justru menimbulkan suasana tambah menggidikkan.
Kakek Segala Tahu mendongak.
“Aneh…..” katanya. “Tak ada suara barang sedikitpun. Bahkan suara siliran angin
tidak terdengar. Kita harus berhati-hati…. Mungkin kita akan berkubur di sini
atau mati dan ikut jadi siluman….” Wiro dan Kuntini saling berpandangan dengan
wajah tegang. “Apa yang kalian lihat?” si kakek bertanya.
“Pohon-pohon besar di
mana-mana. Semak belukar setinggi langit seperti jaring. Batu-batu besar
menyerupai binatang purba….” Yang menjawab Dewi Merak Bungsu.
“Apa lagi?” tanya Kakek Segala
Tahu.
“Hanya itu….” sahut Wiro.
“Tak ada hantu atau siluman
yang muncul?”
“Tidak,” jawab Wiro dan
Kuntini berbarengan.
Kakek Segala Tahu coba
kerontangkan kalengnya. Tetap tak mau berbunyi.
“Hemmmm…. Keadaan di tempat
ini benar-benar berbahaya. Hati-hatilah. Kita bisa mati mendadak di sini…. Satu
hal harus kalian ingat. Kita harus tetap bersama.
Jangan sampai tercerai….”
Baru saja orang tua ini
berkata begitu tiba-tiba terdengar suara. “Wusssss!”
Disusul dengan munculnya sinar
merah benderang. Wiro dan Kuntini keluarkan seruan tertahan.
“Ada apa….?” Tanya Kakek
Segala Tahu sambil melintangkan tongkat kayu di depan dada.
“Satu pohon besar tiba-tiba
saja terbakar. Gejolak apinya laksana menjulang langit….” Menerangkan Dewi
Merak Bungsu.
“Tak dapat kuketahui apa
artinya ini….” kara si kakek pula dan berusaha berpikir memecahkan arti
keanehan itu.
“Ada bayangan orang di atas
pohon. Di dalam api!” teriak Dewi Merak Bungsu.
“Astaga! Itu Bunga sahabatku!”
teriak Wiro seraya lari ke arah pohon. Si kakek dan Kuntini segera mengikuti.
Di atas salah satu cabang
pohon besar yang dilamun api itu kelihatan sosok tubuh seorang perempuan
berambut panjang. Wajahnya cantik tapi sangat pucat dan pakaiannya penuh darah.
Seperti yang dilihat Wiro sebelumnya gadis ini berada dalam keadaan terikat.
Namun tonggak kayu di mana dia diikatkan tidak kelihatan lagi. Sepasang mata
Bunga tampak sangat ketakutan. Mulutnya terbuka. “Wiro…. Wiro….”
“Bunga!” teriak Pendekar 212.
Seperti kalap pendekar ini hendak memanjat pohon. Tapi begitu hawa panas
menyengat sekujur tubuhnya dia jadi tak berdaya dan terpaksa melangkah mundur.
Di atas pohon kembali
terdengar suara Bunga memanggil memelas. “Wiro…. Taolong….. Aku tak tahan
lagi…..”
Pendekar 212 bantingkan
kakinya. Kapak Maut Naga Geni 212 digenggamnya erat-erat. Tapi senjata itu tak
akan ada gunanya.
“Wiro, kita tak dapat menolong
sahabatmu itu. Api di pohon besar sekali….”
Kakek Segala Tahu yang
diam-diam sudah dapat membaca keadaan bertanya.
“Api di pohon, apakah membakar
tubuh, rambut atau pakaian sahabatmu itu….?”
“Ti…. Tidak. Memang tidak….”
Jawab Wiro melotot.
“Berarti dia bukan sahabatmu
sungguhan!” juar Kakek Segala Tahu.
“Dia siluman!” kata Dewi Merak
Bungsu pula.
“Aku tidak percaya. Aku sudah
melihat keadaannya seperti itu sebelumnya….” Jawab Wiro. Dengan nekad dia maju
beberapa langkah lalu berteriak.
“Bunga! Jatuhkan dirimu dari
atas pohon! Jatuhkan drimu! Aku akan menangkapmu di bawah sini!”
“Tolong…. Tolong aku Wiro….”
“Jatuhkan dirimu!” teriak Wiro
lagi.
“Sambut aku Wiro….. Aku akan
jatuhkan diri….” Kata Bunga dari atas pohon.
Lalu tampak gadis itu
menggeliatkan tubhnya. Begitu kedua kakinya bergeswe dari cabang pohon yang
dipijaknya tubuhnya langsung melayang jatuh ke bawah!
Pendekar 212 Wiro Sableng
rentangkan tangan mengatur tempat tegaknya agar bisa menyambut tubuh Bunga yang
jatuh itu dengan tepat.
“Blukkkk!”
Tubuh Bunga jatuh tepat dalam
pelukan Wiro.
“Syukur….” Kata Wiro lega.
“Kau selamat Bunga. Aku akan membawa kau keluar dari tempat jahanam ini!”
Tiba-tiba di kejauhan
terdengar suara raungan anjing. Bersamaan dengan itu keadaan menjadi tambah
redup. Lalu menyusul suara tawa cekikikan menggidikkan.
Dewi Merak Bungsu diam-diam
merasa cemburu melihat Pendekar 212 memeluk gadis cantik itu tiba-tiba berseru
kaget ketika melihat gadis yang dipeluk Wiro berubah menjadi sosok raksesi.
Menyeringai mengerikan mencuat keluar, bergelimang darah.
“Wiro! Lemparkan gadis itu!
Dia bukan sahabatmu!” teriak Dewi Merak Bungsu.
Tapi terlambat. Raksesi dalam
pelukan Wiro gerakkan kepalanya. Mulutnya ditempelkan ke leher Pendekar 212.
Murid Eyang Sinto Gendeng menjerit keras.
Darah muncrat dari lehernya.
Tubuh yang dipeluknya langsug dibantingkan ke tanah.
“Hik…. Hik…. Hik….!” Raksesi
cepat bangkit berdiri dan julurkan lidahnya yang bergelimang darah. Darah itu
disemburkannya ke arah Kuntini lalu didahului dengan raungan panjang dia
melompat ke arah Wiro. Kedua tangannya berkelebat lebih dulu. Ternyata dua
tangan raksesi ini memiliki jari sebesar pisang dengan kukukukunya hitam
panjang sekali. Dalam keadaan masih tegang oleh rasa kaget serta luka di leher
dan sebelumnya di bahu, Wiro seperti tak berdaya dan bertindak lamban. Saat itu
pula jari tangan berkuku panjang menyambar ke lehernya!
Dalam keadaan gawat seperti
itu di mana nyawa Pendekar 212 hanya tinggal seujung rambut tiba-tiba dari
samping melesat sebuah benda memancarkan sinar aneka warna disertai suara
menggemuruh. Bulu merak sakti!
Raksesi yang hendak
mencengkeram leher Pendekar 212 keluarkan jeritan tinggi dan berusaha
menghindar. Namun bagian tajam dari bulu burung merak yang dilemparkan Dewi
Merak Bungsu keburu menghantam keningnya! Kepala raksesi itu hancur
berkeping-keping. Hancurnya menyiprat ke muka dan tubuh Pendekar 212.
Sebelum tubuh raksesi siluman
itu lenyap terlebih dulu terdengar suara raungan disertai suara lolongan anjing
di kejauhan.
Wiro usap mukanya. Kedua
kakinya goyah. Dia jatuh berlutut. Wajahnya tampak pucat. Dia memandang pada
Dewi Merak Bungsu. “Kuntini…. Terima kasih.
Kau menyelamatkan jiwaku….”
“Kau belum lolos dari
kematian….” Jawab Dewi Merak Bungsu.
“Apa maksudmu?”
“Luka di lehermu bekas gigitan
mahluk siluman itu cukup parah…..”
“Mari kuperiksa lukamu….” Kata
Kakek Segala Tahu yang tadi ikut hanyut dalam ketegangan. Dengan ujung
tongkatnya diraba dan ditusuk-tusuknya luka bekas gigitan di leher Pendekar 212
hingga pemuda ini menjerit kesakitan.
“Hemmmmm…. Untung tak ada urat
yang putus. Lebih untung lagi gigitan itu tidak beracun….. Biar kutotok agar
darahnya berhenti!”
Kakek Segala Tahu tusukkan
ujung tongkatnya dua kali berturut-turut. Wiro meringis kesakitan. Luka di
lehernya seperti bertaut kembali dan darah berhenti
mengucur. Dewi Merak Bungsu ulurkan
tangan kirinya menolong Wiro berdiri.
Sambil pegangi lehernya Wiro
berkata. “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kau mungkin benar Kek, kita
akan mati di sini dan ikut jadi siluman…..”
Baru saja ucapan Wiro berakhir
tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak laksana guntur mengguncang bumi. Suara
tawa itu menggema panjang mengerikan.
“Pendekar 212 Wiro Sabelng…..
Kau dan dua kawanmu telah memasuki Pintu Neraka Kerajaan Siluman! Sekali masuk
tak ada jalan keluar…. Ha….. ha…. ha!”
“Heh…. Siapa yang tertawa dan
bicara itu?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Orangnya tak kelihatan. Dari
mana arahnya pun sulit dicari…..” jawab Wiro.
“Pendekar 212! Membunuhmu saat
ini semudah membalik telapak tangan!
Tapi aku ingin menyiksa kau
lebih dulu sampai puas! Ha… Ha…. ha…. ha!”
“Keparat! Siapa kau! Coba
unjukkan diri!” berntak Wiro.
Jawaban hanyalah suara
tertawa. “Ha…..ha…..ha…..ha!”
“Mahluk pengecut! Tak berani
memperlihatkan diri! Siluman keparat!” teriak Wiro.
“Ha….ha….ha! Aku berada di
dekatmu Wiro! Dekat sekali! Dari tahta Kerajaan Siluman aku akan menyaksikan
dirimu tersiksa dalam ketakutan. Lalu.
“Blaaaammmmm! baru kubunuh
dirimu! Ha….. ha….. ha….!” Suara tawa lenyap. Tempat itu kembali sunyi.
“Kau tidak mengenali suara
orang tadi yang bicara dan tertawa itu?” bertanya Dewi Merak Bungsu.
“Sulit sekali. Suara gemanya
terlalu tinggi dan panjang….” Jawab Wiro.
“Itu tantangan jadi seorang
pendekar dalam dunia persilatan….” Terdengar Kakek Segala Tahu berkata. “Kita
akan punya banyak musuh. Begitu banyaknya hingga kita tidak mengenali lagi
suaranya. Bahkan kalau ketemu muka mungkin kita lupa. Setelah dibokong dan
sekarat meregang nyawa baru kita ingat. Tapi sudah terlambat….”
Ucapan Kakek Segala Tahu
terputus. Di belakang mereka terdengar suara menggemuruh seperti ada ombak
menggulung menyerbu. Tiga orang itu cepat membalik.
“Ada gelombang air menyerbu ke
jurusan kita!” seru Wiro.
“Cairan berwarna merah….!”
Pekik Dewi Merak Bungsu.
“Aku mencium amisnya bau
darah!” teriak Kakek Segala Tahu tegang.
“Gelombang air itu! Astaga.
Itu memang darah!” teriak Wiro.
“Darah mendidih!” jerit Dewi
Merak Bungsu. “Kita harus selamatkan diri!”
“Cari tempat ketinggian!”
teriak Kakek Segala Tahu.
Wiro dan Dewi Merak Bungsu
memandang berkeliling.
“Di sebelah sana ada kawasan
berbatu-batu. Tapi letaknya tak lebih tinggi dari tempat ini….. Celaka!” seru
Dewi Merak Bungsu.
“Kita naik saja ke atas
pohon!” teriak Kakek Segala Tahu dan siap-siap hendak melompat.
“Lebih celaka!” seru Wiro.
“Apa yang lebih celaka?!”
“Semua pohon kini dipenuhi
puluhan ular siluman. Bahkan ratusan kalajengking….”
“Ah, kalau begitu kita pasrah
saja. Kematian sudah di ambang mata!” kata Kakek Segala Tahu.
“Jangan pasrah macam orang
tolol!” teriak Wiro. “Ayo lari dari sini. Jauhi gelombang darah mendidih
itu…..!”
Tiba-tiba terdengar suara.
“Grokkk….groookkkk….grooookkk!”
“Heh….suara malaikat mautkah
itu?” ujar Kakek Segala Tahu yang membuat Wiro dan Dewi Merak Bungsu mau
rasanya memaki panjang pendek.
Di hadapan ketia orang itu
melayang satu sosok siluman. Mahluk satu ini hanya mengenakan cawat. Tua dan
berkepala panjang seperti pepaya. Sekujur tubuhnya penuh luka-luka. Darah
membasahi badannya. Kedua matanya memberojol keluar sperti mau tanggal.
Sepasang telinganya lancip mencuat ke atas. Lidahnya terjulur panjang dan pada
lidah ini menancap sepotong besi runsing. Potongan besi kedua menyatai
telinganya dari kiri ke kanan. Di lehernya ada sebuah lobang besar yang terus
menerus mengucurkan darah. Dari lobang ini keluar suara grooookk….groookkk.
Itu! Kedua tangan dan kakinya terikat dengan rantai besi panas membara. Ketika
mahluk ini hendak mendekati Dewi Merak Bungsu, perempuan ini cepat cabut bulu
merak yang dijadikannya tusuk konde dan merupakan senjata sakti luar biasa.
Begitu dia hendak menghantam Wiro dengan cepat mencegah.
“Jangan!”
“Heh! Kau sudah gila! Siluman
ini hendak membunuhku dan kau menghalangi!”
“Dia bukan siluman jahat!
Mahluk ini yang dulu menolongku. Memberi petunjuk agar mencari Kakek Segala
Tahu. Dia tidak bisa bicara. Dia menuliskan pesan dengan darahnya! Hanya heran.
Kenapa sekarang tangannya tidak buntung?!”
“Kau tidak bergurau!”
“Edan! Masakan dalam keadaan
seperti ini aku mau bergurau!” teriak Wiro.
Mahluk siluman masih terus
berputar-putar mengelilingi mereka sambil mengeluarkan suara
“grokkk…..groookkkkk!” sementara gelombang air bah cairan darah mendidih dan
berbau sangat busuk semakin dekat. Tiba-tiba mahluk siluman itu melesat ke
kiri. Di sini dia berputar dua kali, lalu melesat lagi. Demikian dilakukannya
berkali-kali.
“Aku tahu! Mahluk itu memberi
isyarat agar kita mengikutinya!” teriak Wiro.
“Ayo! Tunggu apa lagi!” Wiro
pegang tangan Kakek Segala Tahu dan Dewi Merak Bungsu.
“Jangan-jangan mahluk itu
hendak menjebak kita! Di tempat ini kita tidak tahu mana kawan mana siluman!”
kata Dewi Merak Bungsu bimbang. Namun ketika dilihatnya gelombang darah
mendidih semakin dekat, mau tak mau perempuan ini akhirnya lari juga mengikuti
Wiro dan Kakek Segala Tahu.
TIGA BELAS
Mahluk siluman itu melayang ke
arah deretan tujuh buah pohon besar yang batang dan cabang-cabangnya hampir
tertutup oleh akar-akar gantung. Tiga orang di belakangnya mengikuti dengan
rasa takut dan juga bimbang. Bukan mustahil seperti yang dikatakan Dewi Merak
Bungsu tadi mahluk ini hendak menjebak mereka menuju maut. Di balik deretan
tujuh pohon besar kelihatan sebuah daerah berbatubatu yang makin ke sebelah
sana semakin tinggi. Lalu di puncak bebatuan ini terdapat beberapa buah
gundukan batu besar.
Seperti terbang mahluk siluman
itu melesat ke arah salah satu gundukan batu.
“Lihat! Di atas sana ada
gundukan batu membentuk goa!” seru Wiro. “Mahluk itu memberi isyarat aga kita
lari menuju goa itu!”
Di belakang mereka suara
gelombang cairan darah terdengar menggemuruh sewaktu melewati celah-celah tujuh
pohon besar.
“Lekas naik ke bukit batu!”
teirak Wiro. Kakek Segala Tahu lepaskan pegangannya dari tangan Wiro. Walaupun
kedua matanya buta tapi dengan cekatan orang tua sakti ini melompat enteng dan
sebat hingga akhirnya dia sampai di puncak gundukan batu dan masuk ke dalam goa
lebih dulu. Baru menyusul Wiro dan Dewi Merak Bungsu.
“Grokkkk…..groookkkk…..grokkkk!”
Mahluk siluman yang menolong
tegak di atap goa. Tiba-tiba di kejauhan kelihatan dua sosok besar melayang di
udara. Ternyata mereka adalah mahluk siluman perempuan yang hanya mengenakan
cawat. Payudara mereka gundal-gandil kian kemari. Tambutnya riap-riapan penuh
dengan ular-ular kecil. Di tangan masingmasing ada sebilah golok merah menyala.
Pendekar 212 cepa menarik
sebuah batu besar dan menutupi mulut goa.
“Bantu aku…. Tarik batu-batu
itu….” katanya pada Dewi Merak Bungsu. Di ats atap goa, begitu melihat dua
siluman perempuan telanjang itu mendatangi, siluman penolong keluarkan suara
seperti meratap lalu cepat-cepat berkelebat dan menghilang.
“Hak…..huk….hak….huk!” Dua
siluman perempuan sampai di depan goa mengeluarkan suara aneh. Keduanya tampak
seperti memeriksa tempat itu. Wiro dan Dewi Merak bungsu serta Kakek Segala
Tahu yang berada di sebelah dalam goa menjatuhkan diri sama rata dengan lantai
goa.
“Hak..huk…hak….huk!” Dua
siluman perempuan itu masih melayang-layang di atas goa.
“Celaka! Kalau mereka sampai
mengetahui kita ada di sini, tamat riwayat kita!” bisik Wiro pada Dewi Merak
Bungsu.
“Aku tidak mengerti. Mengapa
siluman yang lidahnya ditancap besi itu menolong kita. Lalu siapa pula dua
siluman perempuan telanjang ini….”
“Kelihatannya mereka seperti
pengawal. Mereka yang dulu menambus siluman penolong itu dengan pedang menyala.
Sampai isi perutnya berojol keluar….”
“Aku tidak mengerti….”
“Nanti saja aku ceritakan,”
kata Wiro.
Di luar goa masih terdengar
suara hak huk hak huk dua siluman perempuan itu.
tak lama kemudian keduanya
tampak berkelebat di udara lalu lenyap. Di bawah sana gelombang banjir darah
mendidih telah mencapai kaki bebatuan. Makin lama makin tinggi. Bergerak
mendekati goa di mana tiga orang itu berada. Wiro coba mengintip di antara
celah-celah batu. Dewi Merak Bungsu melihat perubahan wajah pemuda ini dan
bertanya.
“Ada apa….?”
“Air darah. Naik semakin
tinggi. Hanya tinggal beberapa jengkal saja dari mulut goa…..”
“Kalau begitu kita harus
keluar dari sini. Apa kataku! Siluman yang kau katakan sebagai penolong itu
ternyata menjebak kita di tempat ini!” Dewi Merak Bungsu bergerak hendak
berdiri.
“Tunggu!” kata Kakek Segala
Tahu. “Telingaku menangkap suara gelombang air darah mendidih berhenti di arah
hulu. Berarti tak ada lagi cairan yang akan mengalir ke sini…..”
Wiro dan sang Dewi sama-sama
mengintip. Memang benar. Ternyata cairan darah tidak bertambah tinggi.
Gelombangnya pun menyurut. “Aku tak bisa tenang.
Kita tak bisa terus menerus
berada di sini….”
“Mau tak mau. Kita terpaksa
menunggu sampai air darah surut….” Kata Wiro.
“Aku mengantuk….” Kata Kakek
Segala Tahu lalu menguap. “Jangan-jangan sekarang sudah malam.”
“Di Kerajaan siluman tak
pernah ada malam hari…..” jawab Dewi Merak Bungsu. Tapi saat itu dia sendiri
sebenarnya juga sudah mengantuk selain letih. Dia mengerling pada Wiro. “Kau
mengantuk….?” Bisiknya bertanya sementara di belakang mereka di bagian goa
sebelah dalam si kakek terdengar sudah mendengkur.
“Kalau kau mengantuk, aku
sebenarnya juga ingin tidur. Tapi kupikir-pikir rugi kalau dalam keadaan
seperti ini, berada dekat orang cantik sepertimu aku harus tidur segala….”
Jawab Wiro sambil senyum-senyum.
“Aku memang sudah dengar
tentang kekonyolanmu. Tapi ternyata kau bukan cuma konyol, malah juga sableng
seperti namamu. Bagaimana mungkin dalam keadaan dijepit maut seperti ini, di
kawasan hutan siluman begini rupa kau masih bisa bicara tidak karuan seperti
itu…..”
“Jadi kau mau tidur ngorok
seperti kakek itu. aku juga tidur nyenyak. Lalu kalau siluman yang datang
menyerbu ita mati semua. Enak juga ya mati konyol seperti itu….!”
Dewi Merak Bungsu terdiam.
“Heiiiii…..” bisik Wiro.
“Apa lagi?”
“Kau tahu, wajahmu cantik
sekali. Apa perlunya berdandan tebal-tebal seperti ini?”
Paras perempuan muda itu
menjadi sangat merah karena jengah. “Apa…. Apa betul aku cantik…..?”
Wiro mengangguk. Anggukannya
ini membuat hidungnya mengusap pipi Dewi Merak Bungsu. “Dingin sekali dalam goa
ini…..” kata perempuan itu. Wiro menggeser tubuhnya lebih rapat. Tangannya
diletakkan di punggung Dewi Merak Bungsu. Perempuan itu diam saja. Lalu
terdengar dia bertanya. “Gadis yang hendak kau tolong itu…. Dia kekasihmu atau
apa…..?”
“Sulit mengatakan. Mungkin ya,
mungkin juga tidak.”
“Mengapa kau bilang begitu?’
“Soalnya dia sebenarnya sudah
mati. Diracun oleh calon suaminya sendiri.
Kini dia hidup dalam alam
lain…..”
“Keanehan yang aku tidak
mengerti….”
“Lalu kau sendiri yang kau
cari di Kerajaan Siluman ini?”
“Seseorang. Aku tak ingin
membicarakannya sekarang….” Dewi Merak Bungsu balikkan badannya. Dadanya yang
membusung tersingkap lebar. Wiro merasa seperti kesilauan. Dilihatnya perempuan
itu memejamkan kedua matanya.
“Gila, dia seperti memberikan
kesempatan. Apakah aku harus menyianyiakan….?”
Perlahan-lahan Wiro turunkan
kepalanya. Hidungnya menyentuh buah dada perempuan muda itu. Nafasnya
menghangati permukaan dada Dewi Merak Bungsu.
“Wiro, apakah kita bisa keluar
dari tempat celaka ini?”
“Aku tak tahu Kuntini. Hanya
Tuhan yang bisa menolong kita.”
“Aku tengah berdoa…” bisik
perempuan itu.
“Apa doamu?” tanya Wiro.
“Selain minta selamat aku juga
berdoa kalau berhasil keluar dari tempat ini aku ingin bersamamu….”
Wiro mengangkat kepalanya dan
menatap paras Dewi Merak Bungsu dengan pandangan heran. Saat itu dirasakannya
degupan jantung perempuan itu mengeras.
Lalu tangan kanan Dewi Merak
Bungsu mengelus kepalanya, mendorong ke bawah hingga kembali wajah Pendekar 212
menyentuh dadanya.
Ketika Wiro dan Dewi Merak
Bungsu terbangun Kakek Segala tahu masih mengorok. Mereka tak tahu entah berapa
lama mereka tertidur dalam goa itu. Dewi merak Bungsu merapikan pakaiannya.
Lalu membalikkan tubuhnya dan merangkul Pendekar 212. Dia berbisik hangat. “Tak
pernah aku merasakan sebahagia ini….”
Di dalam goa terdengar suara
terbatuk-batuk.
“Kek, kau sudah bangun?” tanya
Wiro.
“Ya…. Ya aku sudah bangun. Aku
terbangun oleh suara-suara getaran pada batu goa. Coba kalian mengintai keluar.
Aku curiga sesuatu tengah terjadi di luar sana…”
Tiba-tiba di luar terdengar
suara mengggelegar keras laksana suara guntur.
Goa di mana mereka berada
terasa goyang. Lalu ada suara teriakan-teriakan mengerikan dibarengi suara
raungan anjing serta tawa cekikikan yang menegakkan bulu roma. Mendadak semua
suara itu sirap. Yang terdengar kini adalah suara orang berucap, menggelegar
dan menggema panjang.
“Tiga manusia dalam goa
keluarlah! Kalian sudah terkurung. Tak mungkin terus bersembunyi! Tak mungkin
keluar hidup-hidup dari dalam Kerajaan Siluman Tapakhalimun!”
“Suara itu sama dengan suara
orang beberapa waktu lalu….!” Kata Dewi Merak Bungsu sambil memegang jari-jari
tangan Pendekar 212. Keduanya lalu menggeser batu-batu besar yang menutupi
mulut goa.
“Astaga….” Dewi Merak Bungsu
terpekik kecil.
“Apa yang kalian lihat?” tanya
Kakek Segala Tahu.
“Kek, agaknya kita memang akan
sama-sama mati di tempat ini. Seluruh kawasan telah dikurung ratusan siluman
berbagai bentuk. Mereka berdiri di puncakpuncak batu, di atas pohon, di seluruh
tempat!” suara Wiro bergetar.
Kakek Segala Tahu menyeruak ke
mulut goa. “Apa lagi yang kalian lihat?!” tanyanya kemudian.
“Cairan darah mendidih itu
lenyap. Tepat di depan kita ada sebuah bukit batu.
Di puncak bukit ada sebuah
tempat duduk memancarkan sinar kuning menyilaukan.
Agaknya terbuat dari emas. Di
atas kursi emas itu duduk seorang berjubah hijau….”
“Kau mengenali siapa dia…..?”
tanya Kakek Segala Tahu.
“Selain jauh, dia mengenakan caping.
Bagian bawah caping sebelah depan diberi lindungan kain jarang….” Wiro hentikan
ucapannya.
Dewi Merak Bungsu ganti
memberitahu. “Di sekeliling orang yang duduk di kursi emas itu terdapat enam
ekor anjing besar bertaring panjang. Lalu ada dua belas siluman bersikap
sebagai pengawal…. Enam di antaranya siluman perempuan tanpa pakaian, hanya
mengenakan cawat….”
“Sayang mataku buta! Hingga
tak dapat menyaksikan pemandangan bagus itu!” kata Kakek Segala Tahu. Lalu dia
berkata. “Jika ada seorang duduk di kursi emas. Dikelilingi pengawal binatang
dan siluman berarti dialah Raja Siluman, penguasa di tempat jahanam ini! kalian
ingat apa ucapannya beberapa waktu lalu?
Dari tahta Kerajaan Siluman
aku akan menyaksikan dirimu tersiksa dalam ketakutan.
Lalu blaaam! Baru kubunuh
dirimu! Jadi jelas dia memang Raja penguasa hutan siluman ini!”
“Berarti satu-satunya jalan
untuk selamat adalah kita harus membunuh Raja Siluman itu!” kata Dewi Merak
Bungsu.
“Belum tentu,” jawab Kakek
Segala Tahu.”Siluman tak bisa dibunuh. Mereka bisa dihancurleburkan tapi kelak
akan muncul lagi dlam bentuk semula atau berubah bentuk. Coba kalian perhatikan
orang yang duduk di atas kursi emas itu, apakah kedua kakinya menginjak batu di
bawahnya atau melayang?!”
Wiro dan Dewi Merak Bungau
membuka mata lebar-lebar. “Kedua kakinya memakai kasut. Kasut itu menempel di
batu!” menerangkan Wiro atas apa yang dilihatnya.
“Berarti dia bukan siluman.
Bukan hantu atau setan. Tapi manusia seperti kita juga! Berarti dia memiliki
satu kekuatan sakti luar biasa yang mampu menguasai kawasan hutan Tapakhalimun
serta seluruh isinya…”
Di luar sana orang berjubah
hijau dan duduk di atas kursi keluarkan suara mendengus. “Keparat, mereka masih
berusaha bertahan di dalam goa itu. aku akan berteriak lagi. Kalau mereka tidak
keluar juga akan kulepaskan anjing-anjing siluman!” Lalu orang ini kempeskan
perutnya tanda dia mengerahkan tenaga dalam.
Sesaat kemudian terdengar
suaranya menggelegar. “Pendekar 212! Saatmu habis!
Kalau kau dan dua kawanmu
tidak segera keluar, kami akan datang menjemput!”
“Sebaiknya kita keluar saja….
Wiro kalau kita mendekat ke tempat penguasa keparat itu, beritahu padaku setiap
apa saja yang kau lihat. Terutama yang ada pada dirinya,” kata Kakek Segala
Tahu. Lalu dia mendahului melangkah ke mulut goa.
Wiro dan Dewi Merak Bungsu
saling pandang. “Kalau aku mati, aku ingin mati bersamamu…..” bisik perempuan
muda itu.
“Kita tidak akan mati. Tuhan
akan menolong kita….” Jawab Wiro.
“Setelah kita berbuat dosa di
goa ini…..?” ujar Dewi Merak Bungsu pula.
“Sssstttt…. Jangan
keras-keras. Nanti terdengar oleh orang tua itu,” kata Wiro.
Lalu ditariknya tangan Dewi
Merak Bungsu.
Di atas kursi emasnya,
penguasa hutan siluman rupanya tidak sabaran. Dia menjentikkan jari-jari
tangannya tiga kali berturut-turut. “Jemput mereka! Bawa ke hadapanku!”
EMPAT BELAS
Tiga ekor anjing siluman yang
perawakannya seram hampir sebesar anak kerbau meraung keras lalu melompat dan
melesat menuruni bukit batu. Hanya dalam beberapa kejapan saja tiga binatang ini
sudah berada di puncak bukit batu di mana goa terletak dan tiga orang itu baru
saja bergeak ke luar.
“Awas anjing siluman!” teriak
Dewi Mreak Bungsu. Namun terlambat.
Sebelum mereka sempat
melakukan sesuatu tiga ekor anjing siluman itu telah menggigit leher pakaian
mereka lalu laksana terbang binatang-binatang siluman ini melarikan kereka ke
arah bukit batu. Sepuluh langkah dari kursi emas tempat si penguasa duduk
ketiga orang iu dijatuhkan di atas batu.
“Ha…. ha….! Tidak kusangka
satu di antara kalian ternyata adalah seorang perempuan cantik!” seru Raja
Siluman. “Siapa namamu? Mengapa tersesat ikut pemuda tolol ini ke sini?”
“Aku Dewi Merak Bungsu! Aku ke
mati mencari seorang bernama Singa Lodra…. Kau telah menculik dan menyekapnya
di tempat celaka ini!”
Enam ekor anjing siluman
menyalak keras. Puluhan siluman lainnya keluarkan jeritan. Rupanya mereka tidak
senang mendengar Dewi Merak Bungsu menyebut tempat itu sebagai tempat celaka.
Orang di atas kursi tertawa
lebar. “Di sini banyak sekali tawanan. Aku tidak ingat lagi yang mana bernama
Singa Lodra. Apa hubunganmu dengan orang ini?!”
“Dia kakakku!”
“Ah! Kalau dia kakakmu, aku
pasti akan melepaskannya. Asal kau mau mengikuti segala kemauanku!”
“Cis! Siapa sudi turut kemauan
siluman macammu! Lekas katakan di mana kau sekap kakakku itu! juga para tokoh
silat lainnya!”
Orang di atas kursi tertawa
bergelak.
Sewaktu orang itu bicara
dengan Dewi Merak Bungsu, diam-diam Wiro berbisik pada Kakek Segala Tahu.
Menceritakan apa yang dilihatnya. “Aku masih belum bisa melihat tampang keparat
itu, Kek. Tapi suaranya aku rasa-rasa pernah mendengar. Dia mengenakan jubah
hijau. Aku yakin di balik jubah ini dia mengenakan jubah lain….”
“Dengar….” Balas berbisik
Kakek Segala Tahu. “Mata butaku menangkap kilapan sinar putih berasal dari
orang itu. Coba kau perhatikan. Mungkin di pinggangnya dia menyelipkan senjata
mustika, atau memakai kalung permata…. Apa saja. Perhiasan, batu permata….”
Wiro memperhatikan dengan
teliti. Tak ada kalung, tak ada senjata mustika, juga tak ada gelang. Tapi!
“Kek, aku melihat ada sebentuk cincin aneh di kelingking jari tangan kanannya.
Aku seperti pernah melihat benda ini sebelumnya. Astaga! Ya Tuhan….. Mana
mungkin!”
“Kau mengenali cincin itu?”
tanya Kakek Segala Tahu.
“Aku tidak salah lihat! Benda
itu dikenal dengan nama Cincin Warisan Setan.
Terbuat dari baja putih
berbentuk kepala ular sendok!”
“O ladalah! Cincin maha sakti
itu! Kau tak salah lihat?!”
“Tidak Kek. Aku merasa pasti.
Itu benar-benar Cincin Warisan Setan.”
Si kakek gelengkan kepala.
“Kau ingat waktu dulu kita merampas cincin bahala itu dari tangan Randu Ireng
sehabis dia diakali oleh Ratu Mesum. Lalu aku sendiri yang membuang cincin
pembawa malapetaka itu ke dalam laut di pantai Selatan. Kenapa kini muncul dan tahu-tahu
berada di tangan orang tak dikenal itu?!
Berarti cincin itulah yang
menjadi kekuatan dirinya untuk menguasai kawasan hutan siluman ini. apapun yang
terjadi kau harus merampas cincin itu Wiro!” (Mengenai riwayat cincin ini dapat
diikuti dalam serial Wiro Sableng berjudul “Cincin Warisan Setan”)
“Aku akan melakukannya
sekalipun harus mati! Tapi mengapa aku tidak melihat Bunga dan para tokoh yang
katanya disekap di tempat ini?’
“Jangan bodoh! Penguasa hutan
siluman itu tentu saja menyembunyikan mereka agar tidak mudah dirampas
diselamatkan….. Lekas kau bisikkan pada kekasih barumu itu agar dia ikut bantu
merampas cincin itu….”
“Siapa kau bilang Kek? Kekasih
baruku?” ujar Wiro heran.
“Jangan pura-pura. Kau kira
aku tidak tahu kau dan Kuntini saling bercumbuan di dalam goa?!”
Paras Pendekar 212 jadi
berubah. “Waktu itu bukankah kau sedang tidur ngorok?!”
“Mulutku yang ngorok tapi
telingaku tidak ikut tidur!” jawab Kakek Segala Tahu. “Sudahlah! Sekarang lekas
kau katakan pada Kuntini hal itu. Aku berusaha menghantam lepas caping dan
pelindung muka di kepalanya. Aku kepingin tahu siapa adanya manusia celaka
ini!”
Terhuyung-huyung Wiro
mendekati Dewi Merak Bungsu yang masih bicara dengan orang yang duduk di atas
kursi emas. Lalu dia pura-pura terjatuh dan berpegangan pada Dewi Merak Bungsu.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk berbisik. “Kuntini, usahakan agar
kau bisa merampas cincin baja putih di jari kelingking orang itu…..”
“Aha! Pendekar 212! Datang
mencari mati. Cukup lama aku menunggumu di Pintu Neraka ini. akhirnya kau
muncul juga. Bertahun-tahun mengincarmu, sekarang baru berahasil! Kecuali kau
punya nyawa rangkap maka kau tak akan bisa lolos dari tempat ini. juga kawanmu
tua bangka berbaju rombeng itu!”
“Bagaimana dengan perempuan ini?!”
tanya Wiro.
“Itu urusanku!”
“Dengar, aku serahkan dia
padamu. Kau boleh berbuat apa saja asal kau lepaskan Bunga dan biarkan kami
meninggalkan tempat ini!”
“Wiro!” teriak Dewi Merak
Bungsu. Di belakang Wiro kakek Segala Tahu juga terdengar memaki. “Aku tidak
menyangka seculas itu hatimu! Pendekar jahat!
Kalau begitu perbuatanmu lebih
baik aku menyerahkan diri sendiri padanya….” Lalu Dewi Merak Bungsu jatuhkan
diri berlutut di hadapan orang bercaping di atas kurisi emas. Karena keadaanya
yang lebih rendah dan tubuhnya agak membungkuk maka keseluruhan payudaranya
yang menggembung besar terlihat jelas. Orang di atas kursi merasakan jantungnya
seperti berhenti berdetak.
“Dewi Merak Bungsu,
berdirilah….” Kata orang di atas kursi emas. Tangan kirinya memegang bahu
perempuan muda itu. ibu jarinya mengusap pangkal payudaranya. Sedang tangan
kanan mengusap wajah perempuan yang cantik. Dewi Merak Bungsu usap jari-jari
tangan orang itu, menekapnya dengan kedua tangannya sambil pejamkan mata
seolah-olah menikmati tangan kukuh dan hangat itu. lalu mendekatkan tangan itu
ke wajahnya, diusapkan berulang kali di wajahnya yang cantik itu. kemudian
perlahan-lahan didekatkannya ke hidungnya seperti orang hendak mencium tangan
itu dengan mesra.
Orang di atas kursi yang
terangsang oleh kemesraan itu sama sekali tidak menyangka apa yang sebentar
lagi akan terjadi. Tiba-tiba Dewi Merak Bungsu memasukkan jari tangan
kelingking orang itu ke dalam mulutnya.
“Hai!” teriak orang di atas
kursi kaget dan terlonjak dari tempat duduknya.
“Craaassss!”
Jari kelingking orang berjubah
hijau putus dan masuk ke dalam mulut Dewi Merak Bungsu bersama cincin Warisan
Setan yang terbuat dari baja putih itu!
“Perempuan jahanam! Muntahkan
cincin itu ata kau akan mampus!” teriak orang berjubah. Tangan kirinya yang
berlumuran darah dengan cepat memencet kedua pipi Dewi Merak Bungsu hingga
mulut perempuan ini terbuka dan cincin serta potongan jari yang ada dalam
mulutnya hampir tersembul ke luar. Namun sebelum orang itu bisa mengambil
cincin dalam mulut, Wiro dan Kakek Segala Tahu sudah menggebrak.
Si kakek lemparkan capingnya
ke arah kepala orang yang tengah mencekal Dewi Merak Bungsu. Di saat yang sama
Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di tangan Wiro menderu laksana ribuan tawon
mengamuk, menghantam ke arah pinggang orang berjubah hijau. Sinar putih panas
berkilat!
“Kurang ajar!” teriak si jubah
hijau. Dia segera berteriak! “Semua mahluk di Kerajaan Siluman! Lekas bunuh
ketiga orang ini!”
Biasanya, sekali memerintah
saja semua siluman yang ada di tempat itu akan melesat terbang melakukan apa
yang dikatakannya. Tapi aneh. Saat itu semua mahluk menyeramkan itu tetap diam
di tempat masing-masing, hanya mengeluarkan suara halus seperti orang merintih.
Di kejauhan secara aneh terdengar suara orang menangis.
“Cincin itu! aku tak mampu
menguasai mereka lagi tanpa cincin itu!” Orang berjubah sadar apa yang terjadi.
Sekali lagi dia masih berusaha mengambil cincin baja putih dari dalam mulut
Dewi Merak Bungsu. Tapi tak berhasil. Dalam pada itu dua serangan datang
menyambar. Tak ada kesempatan lagi. Dia harus melepaskan Dewi Merak Bungsu lalu
memilih apakah akan menghidari sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 atau
menyelamatkan kepalanya dari hantaman caping yang dilemparkan Kakek Segala
Tahu. Orang ini memilih selamat dari serangan pertama.
Sambil melepaskan
cengkeramannya dari muka Dewi Merak Bungsu dan melompat menghidari sambaran
Kapak Maut Naga Geni 212 si jubah hijau ini balas menghantam ke arah Kakek
Segala Tahu.
“Braaaakkk!”
Caping yang dilemparkan Kakek
Segala Tahu menghantam caping di atas kepala orang itu. hingga kepala dan
wajahnya tersingkap. Sebaliknya pukulan yang dilepaskannya membuat udara
menjadi redup, lalu tiga larik sinar kuning, hitam dan merah menyambar ganas ke
arah Kakek Segala Tahu.
“Pangeran Matahari!” teriak
Pendekar 212 ketika dia mengenali wajah orang berjubah hijau di hadapannya.
“Jahanam! Kau rupanya!” Murid Eyang Sinto Gendeng melompat ke depan.
Kakek Segala Tahu sewaktu
mendapatkan serangan pukulan “gerhana matahari” dari orang berjubah yang bukan
lain adalah Pangeran Matahari, musuh bebuyutan Pendekar 212 Wiro Sableng, cepat
melompat mundur dan kibaskan tongkat kayu bututnya dalam gerakan setengah
lingkaran.
“Kraaakkk!”
Tongkat kayu itu patah dan
hancur berkeping-keping. Tapi si kakek selamat dari pukulan sakti yang sangat
mematikan itu! Menyadari siapa yang tengah dihadapi Wiro, orang tua ini segera
bergabung menyerbu manusia durjana terlahir bernama Pangeran Anom, berjuluk
Pangeran Matahari itu.
“Kurang ajar! Tak mungkin aku
menghadapi mereka berdua sekaligus!” rutuk Pangeran Matahari dalam hati. Lalu
berteriak. “Pendekar 212! Kali ini aku gagal lagi!
Tapi ingat! Aku akan terus
memburumu! Mengincar nyawamu!” habis berkata begitu Pangeran Matahari lemparkan
sebuah benda ke tanah.
“Wussss!”
Asap hitam pekat membumbung ke
udara menutup pemandangan. Ketika asap itu lenyap, Pangeran Matahari tidak
kelihatan lagi.
Dewi Merak Bungsu keluarkan
potongan jari kelingking dan Cincin Warisan Setan dari mulutnya. Dia meludah berulang
kali dan keluarkan suara seperti orang mau muntah. Cincin yang ada dalam
genggaman tangan kirinya diserahkan pada Kakek Segala Tahu.
“Benda pembawa malapetaka…..”
kata si kakek. Ketiga orang itu memandang berkeliling. Semua siluman hutan
Tapakhalimun tak satupun beranjak di empat masing-masing. Mereka merundukkan
kepala dan keluarkan suara seperti orang merintih.
“Kek…..” kata Wiro. “Kalau
memang cincin itu yang dipergunakan Pangeran Matahari untuk menguasai mereka,
berarti kau juga bisa mempergunakannya untuk melakukan sesuatu…..”
“Apa yang akan kulakukan?
Menjadi Raja di Kerajaan Siluman ini?”
“Aku tidak melihat Bunga….”
“Kakakku Singa Lodra juga tak
nampak. Jangan-jangan mereka semua sudah dibunuh….” Kata Dewi Merak Bungsu.
Kakek Segala Tahu tanggalkan
cincin baja berbentuk kepala ular sendok itu dari potongan jari Pangeran
Matahari. Lalu diusap-usapnya beberapa kali. Dia berkata perlahan. “Cincin
sakti. Kalau kau memang mempunyai kekuatan untuk menguasai hutan siluman dan
seluruh isinya, tunjukkan padaku!” Si kakek lalu memandang berkeliling.
“Siluman hutan Tapakhalimun! Kalian semua berada dalam kekuasaanku!
Lekas tunjukkan di mana para
tahanan disekap. Bawa mereka semua ke mari!”
Semua siluman menyeramkan
berbagai bentuk yang ada di tempat itu keluarkan suara jeritan keras. Enam
anjing siluman menyalak panjang. Mereka lalu berkelebat lenyap. Tak lama
kemudian kembali muncul membawa sembilan sosok tubuh yang kesemuanya berada
dalam keadaan terikat tangan dan kakinya.
“Bunga!” teriak Pendekar 212
ketika dia mengenali Bunga, gadis yang selama ini hidup dalam alam gaib tapi
tak berdaya di bawah kekuasaan siluman. Pemuda ini memburu dan berusaha membuka
ikatan di tubuh Bunga. Tapi tak bisa.
Dewi Merak Bungsu memandang
berkeliling, mencari-cari. Lalu dilihatnya Singa Lodra. “Kakak!” jerit gadis
ini seraya lari lalu menjatuhkan diri di atas tubuh seorang lelaki paruh baya
bertelanjang dada dan tubuhnya penuh bekas cambukan.
Perempuan ini juga tak mampu
membuka ikatan di tangan dan kaki kakaknya.
“Kek, pergunakan kekuatan
cincin itu! perintahkan siluman untuk membuka tali-tali ikatan para tawanan!”
teriak Wiro.
“Kalian dengan ucapan itu!
lakukan perintah! Buka ikatan para tawanan!” kata Kakek Segala Tahu. Lebih dari
duabelas siluman segera bergerak membuka ikatan yang mengikat tangan serta kaki
sembilan tawanan. Begitu ikatannya terlepas Bunga segera memluk Pendekar 212
Wiro Sableng.
“Kau datang juga akhirnya
Wiro…. Aku sudah putus asa. Mengira tak akan bisa keluar dari hutan siluman
ini. Tak bisa kembali ke alamku. Terima kasih Wiro…. Aku tak apa-apa. Darah ini
hanya darah yang disemburkan mahluk-mahluk itu sewaktu menakuti diriku.
Pangeran Matahari sengaja tidak mencelakaiku untuk memancing dirimu masuk ke
tempat ini…. Terima kasih Wiro….”
“Berterima kasih pada dua
sahabatku itu. Kakek Segala Tahu dan Dewi Merak Bungsu….” Kata Wiro sambil
melepaskan pelukannya karena saat itu dia melihat beberapa orang yang
dikenalinya diantara tokoh-tokoh silat yang jadi tawanan. Datuk Harimau Gunung
Merapi, Dewa Pedang dari Timur. Lalu Pendekar Tongkat Gading dan tiba-tiba
matanya membentur sosok tubuh yang luar biasa besarnya itu.
“Raja Penidur!” teriak Wiro
lalu dia melompat ke arah orang tua berbobot lebih dari 200 kati. Manusia gemuk
luar biasa ini adalah seorang tokoh silat paling dihormati dalam usianya yang
lebih dari 160 tahun.
Raja Penidur menggosok-gosok
matanya.
“Hah, kau rupanya. Murid si
nenek jelek dari puncak Gunung Gede itu!” kata Raja Penidur sambil ucak-ucak
kedua matanya lalu menguap lebar-lebar. “Heh…. Aku rasanya kenal pada kakek
jelek berbaju tambalan di sampingmu ini. Bukankan dia manusia yang dijuluki si
Segala Tahu itu?”
Kakek Segala Tahu membungkuk
lalu tertawa mengekeh sambil membetulkan capingnya yang jebol akibat dipakai
untuk menghantam caping Pangeran Matahari tadi.
“Mereka mengambil pipaku!
Tolong kalian carikan pipaku! Sementara aku mau tidur dulu! Awas kalau ada yang
berani membangunkan!” Raja Penidur menguap lebar-lebar. Kedua matanya
dipejamkan. Sesaat kemudian terdengar suaranya mengorok.
Wiro tiba-tiba ingat sesuatu
lalu ia berteriak. “Ada satu siluman menolongku dua kali! Aku tidak melihat dia
di antara kalian! Bawa dia kemari cepat!” Sambil berteriak Wiro ikut memgang
cincin baja di tangan Kakek Segala Tahu.
Beberapa siluman kelihatan
sibuk dan lenyap. Tak lama kemudian mereka muncul lagi membawa siluman yang
dimaksudkan oleh Wiro itu. telinga dan lidahnya masih ditancapi besi runcing.
Kedua kakinya diikat dengan besi panas. Dewi Merak Bungsu dan Bunga mengerenyit
ngeri melihat keadaan siluman satu ini. Apa lagi lehernya bolong dan kedua
matanya hampir copot!
“Aku mengerti, mungkin dia
punya kesalahan hingga kalian menghukumnya seperti ini! tapi sejak saat ini
kalian harus membebaskan dirinya! Siapa berani menyiksanya aku sate tubuhnya
dengan besi panas dari pantat sampai ke mulut!”
Dua orang siluman bertubuh
tinggi besar mendekati siluman yang satu itu.
mereka segera mencabut besi
runcing dari lidah dan kepalanya. Lalu juga memutus rantai besi panas. Begitu bebas
siluman satu itu lantas menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan Wiro.
“Bagaimana kita harus keluar
dari tempat ini?!” terdengar Dewi Merak Bungsu bertanya sambil memapah
kakaknya.
“Pergunakan kekuatan Cincin
itu!” kata Bunga seraya melangkah mendekati Wiro dan memeluk sang pendekar.
“Ah, kau betul!” kata Kakek
Segala Tahu. Lalu diusapnya cincin berbentuk kepala ulat sendok itu. “Siluman
hutan Tapakhalimun! Kami tak mau diganggu dan juga tak ingin mengganggu kalian.
Kami ingin keluar dari tempat kalian. Bawa kami keluar sampai di depan Pintu
Neraka!”
Semua siluman yang ada di
tempat itu bersorak keras. Lalu mereka melayang kian kemari. Tahu-tahu semua
orang yang ada di tempat itu telah melayang di udara, digotong beramai-ramai.
Kakek Segala Tahu di depan sekali, menyusul si gemuk Raja Penidur dan beberapa
tokoh silat lainnya. Setelah itu Bunga, lalu Dewi Merak Bungsu dan kakak
lelakinya dan terakhir sekali Pendekar 212 Wiro Sableng.
Yang menggotong dan membawa
Wiro melayang justru adalah enam orang siluman perempuan yang hanya mengenakan
cawat. Payudara mereka yang sebesar buah kelapa bergundal-gadil kian kemari.
Ada yang sempat menampar dan menyapu wajah atau tubuh murid Sinto Gendeng itu.
Masih melayang di udara tiba-tiba Wiro berteriak.
“Kurang ajar! Siapa yang
meraba selangkanganku!”
Enam siluman perempuan itu
menyeringai lalu bersorak ramai. “Ah, sudahlah.
Lebih baik memberi sedekah
sedikit sekarang dari pada kemudian hari mereka gentayangan mencariku!” kata
Pendekar 212 dalam hati lalu pejamkan kedua matanya.
TAMAT