Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
087 Muslihat Para Iblis
BAB I
WALAU saat itu masih sangat
pagi dan sang surya belum muncul namun Lawunggeni merasa batu di atas mana dia
duduk bersila tak ubahnya seperti bara. Untuk beberapa lamanya orang tua ini
memandang dengan mata mendelik tak berkesip pada lelaki separuh baya yang duduk
di depannya. Keadaan Lawunggeni baik pakaian maupun tubuhnya sungguh
mengenaskan. Dulu pakaian yang dikenakannya adalah pakaian bagus terbuat dari
bahan mahal. Kini pakaian itu hanya tinggal potongan-potongan kain
compang-camping, kotor dan bau. Kulit muka dan tubuhnya hitam melepuh padahal
dulu dia memiliki kulit kuning bersih. Keganasan laut telah merubah orang tua
ini seperti jerangkong hidup. Orang yang dipandang bersikap tenang. Balas
memandang seolah tanpa rasa. Hal ini membuat Lawunggeni menjadi geram.
Pelipisnya bergerak-gerak dan rahangnya menggembung tanda dia berusaha menahan
amarah.
“Pangeran Soma!” tegur
Lawunggeni. Suaranya perlahan tapi tajam mendesis.
“Harap kau mau memakai pikiran
dan perasaan. Hampir enam bulan aku mengarungi laut selatan untuk mencarimu.
Kulitku melepuh hangus, pakaian di badan hancur luluh, kulitku hitam terbakar
sengatan matahari. Tubuhku berubah seolah jerangkong hidup! Dan kau menyambut
kedatanganku seolah aku ini cuma patung hidup atau batu tanpa nyawa! Padahal
sudah kukatakan. Aku mengarung lautan menyabung nyawa untuk mencarimu demi
kesembuhan adik perempuanmu satu ayah!”
Lelaki separuh baya yang
dipanggil dengan sebutan Pangeran Soma sama sekali tidak bergerak bahkan wajahnya
yang setengah putih setengah biru tidak bergeming menunjukkan perubahan.
Sepasang matanya sama sekali tidak memantulkan perasaan apa-apa. Di dalam
mulutnya gigi-giginya bergerak mengunyah sirih campur tembakau.
”Kau tahu aku datang tapi kau
buta. Kau mendengar apa yang kusampaikan namun kau seperti tuli! Hatimu telah
berubah menjadi batu! Mungkin kau sudah bukan manusia lagi Pangeran. Kau sama
sekali tidak punya perasaan…!”
Perlahan-lahan lelaki separuh
baya itu angkat kepalanya, menengadah memandang ke langit yang masih dibungkus
kegelapan. Mulutnya bergerak menyunggingkan seringai lalu terbuka.
“Aku ingin tanya padamu wahai
utusan Sri Baginda yang datang dari jauh dan katanya menyabung nyawa demi
kesembuhan seorang gadis. Ketika Sri Baginda menyuruh orang membuang sosok
bayiku dari istana karena malu mempunyai seorang putera yang cacat muka, apakah
dia memakai pikiran dan punya perasaan?! Dia mendengar nasehat para abdi dalem
tapi telinganya tertutup seolah tuli. Hatinya seolah batu! Ucapanmu barusan
mengingatkan aku pada banyak hal di masa silam. Kau tahu dimana ibuku kini
berada ki Lawunggeni? Mengalami nasib dibuang atau mungkin juga telah
disingkirkan dari muka bumi?!! Atas perintah Sri Baginda yang mengutusmu datang
kemari!”
“Pangeran Soma, apa yang telah
terjadi tiga puluh tahun silam tak perlu diungkit. Lagi pula Sri Baginda telah
memesan. Selain meminta obat padamu juga aku diminta membawamu ke Kotaraja.
Hanya saja mengenai Ibumu… aku tidak tahu menahu. Perempuan itu melenyapkan
diri sehari setelah dia tahu bahwa kau dibuang.”
“Ki Lawunggeni, kau melakukan
perjalanan percuma. Kau mengarungi laut selatan menyabung nyawa sia-sia.
Pulanglah, aku tak bisa menolongmu!”
“Pangeran, aku taitu
kemampuanmu. Semua tabib di Puri Agung mengatakan hanya kau yang bisa menolong
adik perempuanmu dari sakit lumpuh yang dideritanya…”
“Aku tak bisa menolong apa-apa
Ki Lawunggeni. Kembalilah ke Kotaraja dan berdoalah. Hanya Tuhan yang bisa
menolong gadis itu…”
“Hatimu dicekam dendam
Pangeran. Aku tahu hanya kau yang bisa mengobatinya. Kalau tidak aku tak akan
bersusah payah datang ke sini. Kami semua yakin gelarmu Raja Obat Delapan
Penjuru Angin bukan nama kosong belaka. Kalau orang lain kau tolong masa kau
tidak mau menyelamatkan diri adikmu sendiri walau dia hanya adik satu ayah?!”
Perlahan-lahan Pangeran Soma
turunkan kepalanya. Sepasang matanya menatap pada orang tua utusan Kerajaan
itu. Dipandang begitu rupa Ki Lawunggeni menjadi gelisah.
“Ki Lawunggeni, apakah kau
melihat topan mengamuk malam tadi di lautan?!”
Ki Lawunggeni menjadi heran.
“Aneh,” katanya dalam hati. “Lain yang dibicarakan lain yang ditanyakannya!
Jangan-jangan manusia satu ini sudah tidak waras lagi pikirannya!”
“Aku bertanya Ki Lawunggeni!”
“Aku tidak mengerti maksud
pertanyaanmu Pangeran. Tapi aku ingat betul malam tadi tidak ada topan mengamuk
di tengah laut.”
“Hemmm… itu berarti alam tidak
menyukai kehadiranmu di tempat ini!” ujar Pangeran Soma. “Sekali lagi kukatakan
kembalilah ke kora saja. Bawa kembali hadiah yang kau bawa ini! Pangeran Soma
goyangkan kepala ke arah seperangkat poci-poci tempat sirih terbuat dari emas
yang diletakkan di atas batu di hadapannya. “Aku hidup di alam, berteman dan
menyatu dengan alam. Aku tidak butuh benda-benda itu.”
Lama Ki Lawunggeni terdiam. Semakin
ditatap wajah Pangeran Soma yang biru sebelah itu semakin berkobar rasa
jengkelnya. Dengan sikap kasar perlengkapan tempat sirih itu dimasukkannya ke
dalam kantong kain. Lalu dia berdiri. Sebelum memutar tubuh dia berkata.
“Ternyata aku menemui seseorang yang tidak seperti aku perkirakan. Tugas
sebagai seorang tabib penyembuh tidak mengenal kebencian. Sekalipun musuh wajib
ditolong. Aku datang ke tempat yang salah. Kasih sayang sejati ternyata belum
menjamah hati sanubarimu Pangeran. Selamat tinggal!”
“Tunggu dulu Ki Lawunggeni!”
ujar Pangeran Soma alias Raja Obat Delapan Penjuru Angin tiba-tiba. Dua jari
tangannya diluruskan lalu ditusukkan ke batu merah di hadapannya. Dua jari
tembus ke dalam batu. Ketika ditarik, dua keping batu yang pecah ikut terangkat.
Pangeran Soma cepat menggenggam dua keping batu merah yang lalu meremasnya.
“Ulurkan tanganmu Ki
Lawunggeni!”
Walau terkesiap Ki Lawunggeni
ulurkan tangan kanannya.
“Kembangkan telapak tanganmu.”
Kembali Lawunggeni melakukan
apa yang dikatakan orang. Telapak tangan kanannya dikembangkan lebar-lebar.
Pangeran Soma buka tangan kanannya yang menggenggam. Dari tangan yang terbuka
itu mengucur keluar batu merah yang tadi diremasnya dan telah berubah menjadi
bubuk.
“Minumkan bubuk batu merah itu
pada orang yang sakit. Ampasnya jadikan lulur untuk kedua kaki yang lumpuh.”
“Bubuk batu…” ujar Ki
Lawunggeni dalam hati. “Baru kali ini aku mengetahui bubuk batu dijadikan obat.
Apakah bisa mujarab?” Ada keraguan dalam diri suruhan Sri Baginda dari Kotaraja
ini.
“Aku dapat membaca apa yang
ada dalam pikiranmu, Ki Lawunggeni,” tiba-tiba Raja Obat Delapan Penjuru Angin
berkata. “Jika ada keraguan dalam hatimu silahkan kau buang saja bubuk itu.
Kembali ke Kotaraja dengan berhampa tangan!”
Ki Lawunggeni seperti
disentakkan mendengar ucapan Pangeran Soma itu. “Luar biasa. Bagaimana dia bisa
membaca apa yang ada dalam benakku!” Namun sadar kalau orang telah memberikan
obat yang dimintanya, maka dia cepat-cepat membungkuk.
“Maafkan diriku. Aku telah
salah menduga. Perjalananku ke sini ternyata tidak sia-sia. Terima kasih
Pangeran. Terima kasih banyak…”
“Pergilah…”
Ki Lawunggeni kembali
membungkuk. “Kalau begitu biar kutinggalkan benda ini…” Si orang tua letakkan
kantong kain berisi seperangkat tempat sirih dari emas itu di atas batu.
Pangeran Soma menggeleng. “Aku
tidak membutuhkan benda itu. Bawa saja…”
“Terima kasih… Aku pergi
sekarang…”
Sesaat setelah Ki Lawunggenl
meninggalkan tempat itu Pangeran Soma alias Raja Obat Delapan Penjuru Angin
bangkit berdiri. Dia tegak tepat di atas batu merah yang tadi dicungkilnya
hingga berlubang. Mulutnya komat-kamit beberapa kali. Ketika mulut itu
dibukanya cairan merah meluncur jatuh. Sesaat kemudian lobang batu yang tadi
pecah tertutup, rata utuh seperti semula.
Pangeran Soma menarik napas
panjang. Dia menatap ke tengah laut sementara di kejauhan ada sinar kuning
seolah mencuat keluar dari dasar samudera. Itulah sinar pertama sang surya yang
mulai terbit. Mendadak Pangeran Soma pejamkan kedua matanya. Telinganya dihadapkan
ke arah lautan lepas.
“Ada anak manusia tenggelam di
dalam laut. Pusaran air tidak membuatnya mati. Arus dasar laut selatan
menggiringnya ke dalam terowongan sebelah atas. Kalau saja aku bisa
menghadangnya sebelum jatuh ke dalam terowongan sebelah bawah, mungkin aku bisa
menyelamatkannya… Tiga mimpiku secara beruntun rupanya menjadi kenyataan. Aku
melihat perahu besar dan perahu kecil. Aku mendengar suara jeritan seolah
membelah langit. Agaknya aku akan mendapat kawan penghuni pulau batu merah ini.
Samakah malang nasibnya dengan diriku?”
Manusia bermuka biru sebelah
ini, yang punya kesaktian mengobati dengan remasan batu merah melangkah cepat
menuju ke bagian selatan pulau batu itu.
***
BAB II
SOSOK tubuh Ki Hok Kui
tenggelam ke dasar laut. Empat jalur darah yang keluar dari dua tangan dan dua
kakinya yang buntung kelihatan mengerikan. Adalah aneh belasan ikan hiu ganas
yang ada di sekitar situ tak seekorpun memburu dan menjadikannya mangsa. Hanya
beberapa saat lagi tubuh Ki Hok Kui akan sampai di dasar laut tiba-tiba satu
pusaran air menyedotnya. Tubuh buntung itu tertarik ke atas lalu diseret ke
arah pulau batu merah. Kejadiannya cepat sekali. Di lain kejap sosok Ki Hok Kui
lenyap!
Apa yang telah terjadi?
Dalam keadaan tidak sadar diri
Ki Hok Kui terseret masuk ke dalam sebuah terowongan batu. Di satu tempat
ketika air laut tidak lagi menggenangi terowongan, kalau tadi tubuhnya seperti
melayang dalam air laut maka kini tubuh itu berguling-guling seperti bola.
“Braaakk!”
Sosok Ki Hok Kui melabrak
dinding batu. Ternyata terowongan itu buntu. Namun tepat di bagian yang buntu,
sebelah atasnya terdapat satu lobang besar. Di sebelah atasnya lagi lobang itu
dikelilingi oleh gundukan batu-batu merah tinggi dan runcing. Seseorang yang
berada di luar sana tidak akan mudah mengetahui kalau di tempat itu ada sebuah
lobang batu.
Sepasang kaki tersembul dari
balik jubah putih yang berkibar-kibar ditiup angin laut. Itulah kaki Pangeran
Soma alias Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Dia berdiri di bagian datar yang
sempit di tepi lobang batu. Sinar matahari yang baru terbit menerangi pinggiran
lobang dan menyeruak ke bawah. Ketika Pangeran Soma memperhatikan ke dalam
lobang berubahlah parasnya. Sesaat matanya terpejam dan mulutnya berucap. “Ini
orang Cina yang aku lihat dalam mimpiku. Ternyata anak manusia ini bernasib
jauh lebih malang dari diriku. Gusti Allah, mengapa malapetaka begitu berat kau
timpakan pada dirinya? Tantangan apakah yang hendak kau berikan padaku ya
Allah?”
Pangeran Soma membuka kembali kedua
matanya dan memperhatikan ke dalam lobang batu merah. “Dua tangan dan dua kaki
buntung. Seperti ditebas senjata tajam. Mukanya tak bisa kulihat jelas,
bergelimang dengan darah. Ada sesuatu melekat… ada sesuatu terikat di dadanya…”
Pangeran Soma merunduk. Kepalanya diturunkan sampai masuk sejauh dua jengkal ke
datam lobang batu. “Sebuah kitab…” desis lelaki ini. Dia membuka matanya
lebar-lebar. Berusaha membaca tulisan yang tertera di sampul kitab.
Hanya sebagian yang bisa
dibacanya karena sebagian lagi tertutup oleh bayangan gelap batu goa yang tidak
tersentuh sinar matahari. Namun Pangeran Soma sudah bisa menduga. “Kitab Putih
Wasiat Dewa…” ucapnya dengan suara bergetar. Kembali dia teringat pada tiga
kali mimpi yang dialaminya. “Tuhan Maha Benar. Petunjuk dalam mimpi jelas
adanya. Gusti Allah… Apa yang harus aku lakukan? Beri aku petunjuk lebih
lanjut.”
Lama Pangeran Soma menatap
sosok tubuh Ki Hok Kui yang terlentang di dasar lobang pada ujung terowongan
buntu. “Lukanya akan membusuk… dia akan mati. Tuhan, dengan kuasaMu aku ingin
menolongnya. Dengan kuasaMu selamatkan nyawa orang ini.”
Tangan kanan Pangeran Soma
bergerak ke arah satu gundukan batu merah runcing di samping kirinya.
”Traakkk!”
Ujung runcing itu
dipatahkannya. Lalu tangannya meremas. Perlahan-lahan tangan itu diturunkan
sedalam mungkin ke dalam lobang batu. Lalu lima kali berturutturut genggamannya
dibuka. Pada genggaman pertama batu merah yang telah jadi bubuk jatuh bertabur
dan masuk ke dalam mulut Ki Hok Kui. Taburan kedua dan ketiga jatuh pada
buntungan luka di tangan kiri kanan. Bubuk-bubuk batu merah keempat dan kelima
menyiram di atas luka buntung dua kaki Ki Hok Kui. Dari mulut dan empat bagian
tubuh yang kejatuhan bubuk batu merah itu kelihatan keluar kepulan asap.
Pangeran Soma menarik napas lega. “Tuhan, Kau tolong orang ini…”
Namun kelegaan Raja Obat
Delapan Penjuru Angin ini hanya sesaat. Tiba-tiba dia merasakan batu merah
tempatnya berpijak bergetar keras. Tubuhnya tergontai-gontai. Pemandangannya
nanar. Sepasang lututnya bergoyang goyah. Makin lama getaran itu semakin keras.
“Gempa!” seru Pangeran Soma.
”Rrrrrkkkk… Kraaaakkkk!”
Pangeran Soma cepat membuang
diri ke samping agar tidak terjerembab masuk ke dalam lobang batu. Untuk
beberapa lamanya dia duduk terhenyak di antara dua gundukan batu merah. Ketika
getaran lenyap tanda gempa berakhir perlahan-lahan dia berdiri. Yang
diperhatikannya pertama kali adalah lubang batu itu. Begitu dia memandang ke
dalam berubahlah paras sang Pangeran.
Sosok tubuh Ki Hok Kui tidak
ada lagi di dasar lobang. Dasar lobang itu sendiri kini kelihatan terbelah
rengkah.
”Tubuh orang itu pasti jatuh
ke dalam terowongan sebelah bawah. Aku tak mungkin menolongnya. Hanya kuasa
Tuhan yang mampu menyentuhnya…”
Perlahan-lahan Pangeran Soma
bangkit berdiri. Sambil melangkah mundur melewati celah dua batu runcing kedua
matanya masih terus memandangi lobang batu itu.
***
BAB III
DUA kuda hitam berlari kencang
menembus kabut dini hari. Kegelapan perlahanlahan sirna begitu sang surya
muncul menyapu permukaan lereng gunung. Kabut pun menghilang. Butiran-butiran
embun di dedaunan menguap pupus. Dua penunggang kuda seolah berpacu agar lebih
dulu sampai di puncak gunung Merapi. Bau busuk aneh membersit mengikuti kemana
mereka pergi. Bila seseorang tidak tahu siapa adanya mereka atau tidak pernah
melihat tampang-tampang keduanya pastilah akan menduga bahwa jangan-jangan dua
orang ini bukan manusia tetapi sebangsa setan atau jin yang gentayangan sejak
pagi buta.
Penunggang kuda di sebelah
kanan mengenakan jubah hitam. Mata kanannya besar mendelik sedang mata kiri
kecil seolah terpejam. Kepalanya sulah licin di bagian kiri tapi berambut tebal
awut-awutan di sebelah kanan. Pada keningnya orang ini memiliki tiga guratan
aneh. Wajahnya yang garang seram menyerupai setan tertutup kumis dan cambang
bawuk lebat.
Temannya yang memacu
tunggangannya di sebelah kiri mengenakan pakaian terbuat dari kain tebal kotor
dan rombeng. Mukanya tak kalah mengerikan dari kawannya karena penuh cacat
seperti daging dicacah. Selain itu bagian bawah kelopak kedua matanya
menggembung merah dan selalu basah. Antara dua mata yang seram tapi juga
menjijikkan ini terpancang satu hidung tinggi bengkok seperti paruh burung
elang. Kedua lengannya penuh bulu. Jari-jarinya bukan seperti jari manusia
karena berbentuk cakar dengan kuku-kuku hitam panjang mengandung racun. Di
punggungnya tergantung satu kantong kain yang tadinya berwarna putih tapi kini
kelihatan merah oleh noda darah yang mulai mengering. Entah apa isinya
bungkusan ini tapi yang jelas dari bungkusan itulah membersit sumber bau sangat
busuk itu! Dari ciri-ciri dua orang ini jelas mereka bukan lain adalah dua
bersaudara sumpah darah Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan.
Seperti dituturkan dalam
Episode II (Wasiat Dewa) mereka ditipu oleh Pangeran Matahari sehingga
menenggak racun yang akan membunuh mereka dalam tempo 300 hari. Sang Pangeran
tidak percaya bahwa dua kaki tangannya itu telah benar-benar berhasil membunuh
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng kecuali jika mereka mampu
membawa ke hadapannya kepala Pendekar 212. Selama hal itu tidak mereka
laksanakan maka Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tidak akan mendapatkan obat
pemusnah racun. Jadi mereka hanya tinggal menunggu mati saja.
“Saudaraku Elang Setan!”
berseru Tiga Bayangan Setan. “Bagaimana kalau Pangeran celaka itu tidak
memberikan obat pemusnah racun tiga ratus hari yang mendekam dalam tubuh
kita?!”
Elang Setan menyeringai. “Kali
ini kurasa dia tidak punya alasan. Kalaupun dia mungkir aku sudah nekad untuk mengadu
jiwa! Bagaimana dengan kau?!”
“Aku akan bertindak lebih
cerdik darimu!” jawab Tiga Bayangan Setan.
”Hemmm… apa maksudmu?!”
“Aku akan berusaha mencuri
Kitab Wasiat Iblis yang dimilikinya terlebih dulu. Selama kitab sakti itu
berada di tangannya sulit bagi kita untuk membunuhnya. Ingat peristiwa di dekat
sumur batu di bukit itu waktu dia membunuh Iblis Tua Ratu Pesolek? Kitab iblis
itu tidak bisa dibuat main!”
“Kau betul,” kata Elang Setan
pula. “Kita harus memancingnya demikian rupa. Kalau dia sudah dibikin mampus
pada salah satu kantong pakaiannya pasti akan kita temui obat pemusnah racun
itu!”
Jalan menuju ke puncak gunung
semakin mendaki tajam, penuh dengan batu-batu terjal. Di satu tempat kedua
orang ini turun dari kuda masing-masing, melanjutkan perjalanan dengan jalan
kaki. Mereka sama sekali tidak memperdulikan indahnya pemandangan di kejauhan.
Yang mereka pikirkan saat itu adalah secepatnya mencapai puncak gunung Merapi
tempat kediaman Pangeran Matahari guna menyelesaikan urusan. Sementara itu di
puncak gunung, tak berapa jauh dari sebuah bangunan dua orang gadis asyik
bermain air di telaga dangkal berair jernih dan sejuk. Rambut mereka yang
panjang basah riap-riapan di punggung mereka yang putih. Tiba-tiba gadis di
sebelah kanan berbisik pada gadis satunya.
“Pangeran datang…”
“Hemmmm…Kalau begitu kau
pergilah. Bukankah hari ini giliranku untuk bersenang-senang dengannya?”
“Jangan berkata begitu. Apa
kau lupa sang Pangeran seorang lelaki kuat perkasa?!”
“Gila, aku tak suka bercumbu
kalau ada gadis lain di dekatku!”
Gadis di sebelah kanan tertawa
geli. “Apa kau lupa kita ini sebenarnya sudah bukan gadis lagi? Kita telah
memberikan semua yang kita miliki pada pangeran itu!”
“Terserah kau mau bicara apa.
Tapi aku tidak sudi dia mencumbu kita berdua sekaligus…”
“Jangan bodoh, mengapa kau
sengaja melewatkan pengalaman yang sangat hebat ini?!”
Pemuda bertubuh kekar,
berambut tebal hitam yang melangkah cepat menuju telaga sunggingkan senyum lalu
berseru.
“Kekasih-kekasihku cantik!
Mengapa kalian mendahului mandi di telaga?”
“Maafkan kami Pangeran.” jawab
gadis yang berada di tepi telaga. ”Pangeran kami lihat masih tidur nyenyak.
Mana kami berani membangunkan.”
“Pangeran tampak letih. Kami
sengaja membiarkan agar Pangeran bisa istirahat…” menambahkan gadis satunya.
“Aku Pangeran Matahari letih?”
Lelaki itu tertawa gelak-gelak lalu buka mantel hitamnya. “Akan aku buktikan
pada kalian berdua saat ini juga bahwa aku tidak pernah mengenal letih!”
Gadis di pinggir telaga
tersenyum genit sedang kawannya tampak bersemu merah wajahnya.
Pangeran Matahari buka mantel
hitamnya. Ketika bajunya ditanggalkan dua gadis melihat sebuah kitab hitam
terikat di dadanya yang tegap berotot dan berbulu.
“Pangeran… Kau selalu membawa
kitab itu kemana kau pergi. Rupanya kitab itu sangat penting bagimu…”
“Kitab ini merupakan nyawa
kedua bagiku!” jawab Pangeran Matahari seraya meletakkan pakaiannya di tepi
telaga. Kitab Wasiat Iblis diletakkannya hati-hati sekali di atas bajunya lalu
dibungkusnya dengan baju itu.
Air telaga muncrat menyiprat
ke atas ketika pemuda itu melompat masuk ke dalam telaga. Dua gadis berpekikan.
Yang satu merasa gembira dan langsung mendekati sang Pangeran. Gadis kedua
tertegun di tengah telaga dengan muka merah. Tiba-tiba dia melihat dua sosok
mendatangi dari arah kiri telaga.
“Pangeran, ada yang datang…”
Si gadis memberi tahu.
Pangeran Matahari palingkan
kepala. “Jahanam-jahanam itu datang pada waktu yang salah!” rutuk Pangeran
Matahari. Lalu hidungnya mencium bau busuk.
Elang Setan dan Tiga Bayangan
Setan nampak terkejut ketika mendapatkan orang yang mereka cari ternyata tidak
sendirian berada di telaga itu. Walau ada firasat sang Pangeran akan marah
besar namun mereka tidak mau melepaskan pandangan mata dari dua sosok tubuh
bagus dua gadis yang ada dalam telaga, yang satu malah berada dalam dekapan
Pangeran Matahari.
”Bangsat! Siapa yang menyuruh
kalian kemari?!” bentak Pangeran Matahari.
“Kami tidak menemuimu di rumah
sana lalu datang ke sini. Mohon maafmu Pangeran karena tidak mengira kalau kau
tidak sendirian di sini…” jawab Elang Setan.
“Jangan berani melangkah lebih
dekat! Kembali ke rumah dan tunggu aku di sana!”
“Kami akan menunggu sesuai
perintahmu Pangeran,” jawab Elang Setan seraya membungkuk. Tiga Bayangan Setan
juga ikut membungkuk memberi hormat.
“Tunggu dulu! Apa kalian
datang membawa berita baik?!”
Elang Setan mengangguk. Dia
angkat bungkusan kain yang dipanggulnya di bahu kiri. Bau busuk menyengat
membuat dua gadis cepat menutup hidung.
“Hemmmmm…” Pangeran Matahari
menyeringai. “Kalau begitu kalian lekas ke rumah. Aku segera menyusul!”
“Pangeran! Kita belum mandi
bersama. Kita belum…” berkata gadis dalam rangkulan Pangeran Matahari.
Sang Pangeran lepaskan
rangkulannya. Setelah membenamkan hidungnya di celah dada si gadis dia
berbisik.
“Ada urusan sangat penting.
Aku tak akan lama. Kalian berdua tetap di sini. Aku segera kembali!”
Si gadis mengikuti kepergian
Pangeran Matahari dengan pandangan kecewa. Dia berpaling pada temannya di
tengah telaga. Lalu dengan muka cemberut dia berkata. “Dua manusia bermuka
setan dan bau busuk itu rupanya lebih penting daripada kita berdua.”
“Aku punya firasat sesuatu
yang mengerikan akan terjadi,” jawab gadis di tengah telaga lalu berenang
menuju ke tepian. “Bagaimana kalau kita tinggalkan saja tempat ini.”
“Tinggalkan tempat ini? Jangan
bertindak bodoh sahabatku. Kita belum sempat bersenang-senang. Belum menerima
hadiah… Kalau Pangeran membatalkan janjinya malanglah nasib kita!”
“Terus terang aku tidak
percaya pada janji pemuda itu. Selain kita dia punya beberapa perempuan
peliharaan dan kekasih gelap. Salah satu diantaranya gadis cantik berbadan
harum yang mengenakan pakaian tipis warna biru itu.”
”Sebagian dari ucapanmu ada
betulnya. Kalaupun kita tidak dikawini kurasa sudah kepalang tanggung untuk
mundur. Sasaran kita sekarang adalah uang perhiasan dan harta lainnya. Dan
dengar… Jangan sekali-kali kau berani meninggalkan tempat ini. Kalau Pangeran
bilang tunggu di sini kita harus menunggu. Nyawa manusia baginya tidak lebih berharga
dari nyawa seekor lalat…”
Ketika Pangeran Matahari
sampai di bangunan di puncak gunung Merapi, Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan
yang duduk di tangga depan segera berdiri. Sang Pangeran memperhatikan
bungkusan yang dipanggul Elang Setan sesaat lalu bertanya.
“Berita baik apa yang kalian
bisa sampaikan padaku? Kalian berhasil mendapatkan kepala musuh besarku
Pendekar 212 Wiro Sableng?”
“Kami bernasib mujur Pangeran.
Perintah Pangeran telah kami laksanakan dengan baik!” jawab Tiga Bayangan Setan
lalu memberi isyarat pada Elang Setan dengan anggukkan kepala.
Elang Setan turunkan kantong
kain yang dipanggulnya lalu meletakkannya di lantai bangunan. Bau busuk
memancar santar. Perlahan-lahan Elang Setan membuka ikatan kantong, ketika
kantong ditunggingkannya menggelindinglah potongan kepala manusia di atas
lantai. Bau busuk menghampar bukan olah-olah.
“Pangeran saksikan sendiri…!”
kata Elang Setan sambil menyeringai sementara Tiga Bayangan Setan lantas saja
tegak sambil berkacak pinggang. Sepasang mata Pangeran Matahari membuka besar
besar. Di lantai dua langkah di hadapannya tergeletak potongan kepala manusia
berlumuran darah. Rambutnya panjang hitam awut-awutan. Pada keningnya ada
ikatan kain putih. Sang Pangeran membungkuk sedikit agar dapat meneliti lebih
jelas. Satu seringai tersungging di mulutnya. Perlahanlahan dia berpaling pada
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan.
“Kalian manusia-manusia
hebat!” memuji Pangeran Matahari. Lalu tertawa bergelak.
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan ikut-ikutan tertawa.
“Ini memang kepala si keparat
Pendekar 212 itu!” ujar Pangeran Matahari pula dengan wajah berseri. ”Sekarang
siapa yang bisa menandingiku dalam rimba persilatan?!”
”Tak seorangpun Pangeran! Kau
sekarang jadi raja di raja dunia persilatan!” kata Elang Setan.
Pangeran Matahari kembali
memandang pada potongan kepala di lantai. “Aku percaya itu memang kepala
pendekar bangsat itu! Aku kenal betul wajahnya!”
“Kami gembira kalau kini
Pangeran bisa percaya bahwa Pendekar 212 sudah tamat riwayatnya! Mati di tangan
kami dua bersaudara!”
“Ya… ya aku percaya!” kata
Pangeran Matahari pula seraya mengusap-usap telapak tangannya satu sama lain.
Elang Setan melirik pada Tiga
Bayangan Setan lalu mendehem beberapa kali.
“Pangeran, turut perjanjian
saat ini tentunya kami akan menerima obat pemusnah racun tiga ratus hari itu…”
kata Tiga Bayangan Setan pula.
Pangeran Matahari menyeringai.
“Kalian rupanya benar-benar takut mati! Tak usah khawatir, janji akan kutepati.
Malah kalian akan kuberi hadiah besar!”
“Terima kasih Pangeran! Terima
kasih!” kata Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan berbarengan sambil membungkuk
berulang kali. Sang Pangeran meraba ke balik mantel hitamnya. Dari sebuah
tabung kecil terbuat dari bambu dikeluarkannya dua butir obat berwarna merah
lalu satu demi satu diserahkannya pada kedua orang bermuka setan di hadapannya
itu. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan cepat menyambut! Namun setelah
memegang obat itu mereka tidak segera menelannya. Ada keraguan pada tampang
masing-masing.
“Kalian tidak mempercayai
diriku?!” Pangeran Matahari membentak.
“Ka… kami tidak bermaksud
begitu Pangeran. Cuma mengingat telah dua kali kau menjalankan muslihat…”
“Keparat! Muslihat adalah
permainan iblis! Aku bukan iblis! Kalau kalian mau mampus buang saja obat itu!”
Pangeran Matahari membentak dengan mata membeliak.
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan serta merta menelan obat yang ada dalam genggaman mereka. Keduanya tampak
pucat ketika mendadak merasa ada hawa panas menjalar di saluran tenggorokan
terus merambat ke perut. Namun perlahan-lahan hawa panas itu lenyap berganti
dengan rasa sejuk.
”Terima kasih Pangeran…” kata
Elang Setan.
”Mengenai hadiah yang tadi kau
katakan itu…” berucap Tiga Bayangan Setan.
Pangeran Matahari menyeringai.
”Hemmm….Ada dua gadis cantik bertelanjang dalam telaga. Kalian telah
melihatnya, betul…?”
”Benar, kami telah melihatnya
Pangeran!”
”Itu hadiah besar buat kalian!
Kalian boleh memperlakukan apa saja terhadap mereka. Termasuk membunuhnya!
Kalau kalian tega… Ha… ha… ha…!”
Habis berkata begitu Pangeran
Matahari jambak rambut potongan kepala Pendekar 212 lalu melangkah menuruni
tangga. Akan halnya Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tidak tunggu lebih lama
lagi segera menghambur lari menuju telaga. Dua gadis di dalam telaga tentu saja
menjerit ketakutan begitu dua manusia bermuka setan ini muncul, membuka pakaian
dengan cepat lalu menceburkan diri ke dalam air dan langsung menubruk mereka
dan menyeretnya ke tepi telaga. Sekonyong-konyong ada bayang-bayang jatuh di
sekitar mereka. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan memandang ke langit.
”Dia!” teriak Elang Setan
seraya menunjuk ke atas.
***
BAB IV
TIGA Bayangan Setan tak kalah
kagetnya. Di udara saat itu tampak tujuh buah payung melayang dalam keadaan
terkembang. Pada gagang payung warna merah bergantung seorang gadis cantik
berpakaian biru berkembang-kembang kuning. Payung merah melayang turun lebih
cepat sementara enam payung lainnya menebar seolah melindungi payung merah dan
si gadis.
“Dia berani muncul!
Benar-benar minta mampus!” kata Tiga Bayangan Setan.
Rahangnya menggembung dan
gerahamnya bergemeletakan. Sejak dirinya dibuat cidera pada perkelahian
beberapa waktu lalu di muara Kali Opak dendam manusia setan ini terhadap gadis
berpayung itu memang bukan main-main. Begitu juga sobatnya si Elang Setan. Tapi
saat itu Elang Setan yang biasanya berangasan entah mengapa bisa berpikiran
lebih jernih. Dia cepat memegang bahu sahabatnya seraya berbisik.
“Kalau mengikuti dendam kita
berdua memang harus memperkosanya lalu menggebuknya sampai hancur luluh! Tapi
lebih baik saat ini kita menghindari…”
“Jangan bicara ngaco Elang
Setan!” hardik Tiga Bayangan Setan.
“Tenang sobatku! Pakai pikiran
sehat! Dua gadis cantik yang sudah ada di tangan ini belum sempat kita nikmati.
Mengapa merepotkan diri mencari urusan dengan gadis berpayung itu?! Jangan lupa
Pangeran Matahari masih berada di puncak gunung ini. Mendadak dia tahu kita
memuslihatinya urusan bisa kapiran!”
Pelipis Tiga Bayangan Setan
bergerak-gerak.
”Kau betul. Baik, mari kita
boyong gadis-gadis ini lalu tinggalkan tempat ini!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan yang dalam keadaan bugil yang segera memanggul dua gadis yang juga tanpa
pakaian sama sekali. Keduanya bergerak cepat meninggalkan telaga setelah
terlebih dulu menyambar pakaian masing-masing. Dua gadis yang mereka panggul
menjerit-jerit tiada hentinya.
”Dua setan telanjang! Jangan
pergi dulu!” seru gadis yang bergelantungan di payung merah yang tentu saja
adalah Puti Andini bergelar Dewi Payung Tujuh.
”Jahanam!” maki Tiga Bayangan
Setan dan cepat menyusup di antara semak belukar.
”Hai! Aku hanya ingin
bertanya!” teriak Puti Andini.
”Bertanyalah pada iblis
telaga!” teriak Elang Setan.
”Apakah kalian telah menemukan
mayat Pendekar 212?!”
”Hah! Itu yang hendak kau
tanyakan!” jawab Tiga Bayangan Setan. “Ketahuilah kami bukan cuma menemukan
mayat pemuda itu tapi juga telah menebas batang lehernya dan menyerahkan
potongan kepalanya pada seseorang!”
Paras Puti Andini berubah,
hatinya berguncang, tapi pikirannya tak lekas terpengaruh. “Mungkin dua bangat
itu tidak berdusta. Ah, celaka kalau begini. Makin berat dan besar urusanku!
Bagaimana caranya sekarang aku mencari jejak Kitab Putih Wasiat Dewa itu!” Si
gadis memandang ke bawah. Sosok Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan masih
terlihat di sela-sela pepohonan dan semak belukar. Maka dia berteriak kembali.
“Kepada siapa kalian serahkan kepala Pendekar 212?!”
“Kau punya kepandaian tinggi!
Silahkan menyelidik sendiri!” jawab Tiga Bayangan Setan.
“Atau tanya pada setan
neraka!” teriak Elang Setan.
“Gadis sakti! Tolong kami!”
Gadis yang berada di panggulan Elang Setan tibatiba berteriak minta tolong.
“Kalian gadis-gadis sesat!
Memilih hidup jadi pelacur! Perlu apa aku merepotkan diri menolong kalian!”
jawab Dewi Payung Tujuh yang jadi jengkel oleh jawaban dua bersaudara sumpah
darah tadi. Lalu dia kembali berseru pada Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan.
“Jika kalian tidak mau memberi tahu tentang Pendekar 212 tak jadi apa. Jawab
pertanyaanku yang satu ini! Apakah puncak gunung int tempat kediaman orang
sakti bergelar Pangeran Matahari?!”
“Ha… ha! Kau rupanya hendak
bergendak dengan sang Pangeran!” berseru Elang Setan. “Kau memang cocok jadi
peliharaannya!”
“Tapi hati-hati! Sekali dia
sudah bosan padamu, kau akan dipesianginya mentahmentah!”
menimpali Tiga Bayangan Setan.
“Walau kau punya tujuh nyawa dan kepandaian setinggi langit, jangan harap bisa
menghadapi keganasan Kitab Wasiat Iblis yang dimilikinya!”
“Hemmm… jadi benar kabar yang
kusirap. Kitab Wasiat Iblis itu telah jatuh ke tangan Pangeran Matahari,” Kata
Puti Andini dalam hati. ”Aku punya dugaan mungkin sekali Pangeran Matahari yang
memerintah mereka menebas kepala Pendekar 212 lalu diserahkan padanya. Dua
manusia setan itu tidak punya daya karena mereka berada dalam kekuasaan sang
Pangeran. Bukankah waktu di pantai tempo hari aku lihat ada tanda keracunan di
bibir mereka?”
Tak lama kemudian Puti Andini
melayang turun menjejakkan kedua kakinya yang berkasut kulit di tepian telaga.
Enam payung sengaja dibiarkannya mengambang berputar-putar di udara. Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan tak kelihatan lagi. Sayupsayup masih terdengar
jeritan-jeritan dua gadis yang mereka boyong namun Puti Andini tidak peduli.
Sambil memegangi payung merah
di atas kepala dia memandang berkeliling.
“Sunyi… tenang, serba hijau
dan segar…” katanya dalam hati. “Tapi di balik semua itu aku mencium sesuatu
yang berbahaya, sesuatu yang mengerikan di tempat ini… Hemm, jika keterangan
dua manusia setan itu bahwa Pendekar 212 benar-benar sudah tewas dapat
dipercaya, berarti aku akan kehilangan jejak penuntun. Sebenarnya dia bisa
kujadikan sahabat untuk mendapatkan kitab sakti itu. Kini putus harapanku
menyusuri jejak Kitab Putih Wasian Dewa, apalagi mendapatkannya. Guru pasti
akan memarahiku setengah mati. Ah, mengapa dia memberi tugas begini berat
padaku? Tuhan, cobaan apa lagi yang akan aku hadapi…?”
Selagi dia memandang
berkeliling sekali lagi sekonyong-konyong terdengar suara bentakan-bentakan di
kejauhan. “Ada orang lain di tempat ini. Pangeran Matahari…?”
desis Puti Andini dalam hati.
Lalu dia mendongak. Seolah bicara pada manusia saja, dia berkata pada enam
payung yang mengambang dan berputar-putar di udara. “Kalian jangan tertipu
angin. Jangan berani kemana mana. Tunggu tanda atau tunggu sampai aku datang!”
Habis berkata begitu gadis ini cepat berkelebat ke arah datangnya suara
bentakan tadi. Dia hentikan langkahnya di balik serumpunan semak belukar lebat.
Bau busuk menghampar menusuk hidung.
Memandang ke depan dilihatnya
sebuah bangunan. Di hadapan bangunan ini terdapat halaman dan di tengah halaman
terpampang satu pemandangan yang membuat Puti Andini mendelik, berubah pucat
wajahnya dan dingin tengkuknya!
Sebatang tiang bambu menancap
di tengah halaman. Pada ujung atas tiang ini menancap potongan kepala manusia.
Inilah rupanya sumber bau busuk yang menyengat itu. Walau wajahnya tertutup
rambut gondrong awut-awutan serta noda darah yang telah membeku namun Puti
Andini masih bisa mengenali. Wajah itu adalah wajah Pendekar 212 Wiro Sableng!
Mendadak saja si gadis
merasakan dadanya berdebar keras dan sesak. “Dua manusia setan itu tidak
berdusta! Mereka memang benar-benar telah memenggal kepala Pendekar 212…!” Puti
Andini terduduk terhenyak di tanah di balik semak belukar.
“Walau guru menyuruh aku
membunuhnya, sebetulnya aku tidak ada permusuhan dengan pemuda itu Belakangan
ini aku selalu ingat padanya. Wajahnya sering muncul dalam bayanganku…” Puti
Andini menarik nafas dalam berulang kali. Tanpa disadarinya sepasang matanya
berkaca-kaca. “Untuk terakhir kali aku ingin mengurus jenazahnya.
Aku hanya melihat kepalanya.
Dimana gerangan badannya…? Mungkin di dalam bangunan? Milik siapa bangunan itu?
Tempat kediaman Pangeran Matahari?”
Selagi berpikir seperti itu
tiba-tiba bayangan hitam berkelebat keluar dari dalam bangunan. Sesaat kemudian
Puti Andini melihat seorang pemuda gagah bertubuh tinggi kekar berdiri di
tengah halaman. Tampangnya yang keras kelihatan merah mengelam, Pelipisnya
bergerak-gerak dan sepasang matanya menyorotkan hawa amarah. Orang ini
mengenakan mantel hitam. Pada baju hitamnya yang tersingkap di balik mantel
terpampang gambar gunung biru dan matahari kuning.
”Pangeran Matahari… Pasti
dia!” membatin Puti Andini.
“Bangsat! Jahanam keparat!
Berani dia memuslihati diriku!” orang bermantel yang bukan lain Pangeran
Matahari adanya membentak sambil hantamkan kaki kanannya ke tanah.
Puti Andini terkesiap ketika
melihat bagaimana tanah yang terkena hempasan kaki melesak sampai setengah
jengkal dan berwarna kehitaman.
”Manusia ini memiliki tenaga
dalam tidak di bawah tingkat yang dimiliki guru…” kata Puti Andini dalam hati.
”Tiga Bayangan Setan! Elang
Setan! Kalian bisa kabur dari puncak Merapi! Tapi kalian tidak bisa lolos dari
kematian! Akan kukelupas kulit tubuhmu! Kucincang daging serta tulang kalian!
Bangsat! Setan! Kurang ajar! Mengapa aku sampai berlaku bodoh! Seharusnya obat
penawar racun tiga ratus hari itu tidak aku berikan pada mereka!”
Pada puncak kemarahannya
Pangeran Matahari melompat ke atas. Tangan kanannya menyambar rambut potongan
kepala yang menancap di ujung bambu. Dengan geram potongan kepala Pendeka 212
itu dibantingkan ke tanah.
“Praaakkk!”
Potongan kepala rengkah lalu
menggelinding ka arah semak belukar di balik mana Puti Andini mendekam bersembunyi.
Gadis ini merasakan tubuhnya menggigil berada sedekat itu dengan potongan
kepala. Dia menekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara. Matanya membeliak
memandangi potongan kepala Pendekar 212 itu.
Untuk beberapa lamanya
Pangeran Matahari masih menyumpah sambil melangkah mundar mandir di halaman
bangunan. Tiba-tiba dia ingat.
“Dua bangsat itu! Mereka pasti
masih berada di telaga. Bersenang-senang dengan dua gadis yang kuhadiahkan!
Jahanam! Kalian akan rasakan tanganku! Sekarang kalian dapat sorga, sebentar
lagi akan kusumpalkan neraka ke pantat dan sekujur tubuh kalian!”
Dengan beringas Pangeran
Matahari berkelebat menuju ke telaga. Sampai di telaga dia bukan saja tidak
menemukan Tiga Bayangan Setan dan dua gadis itu tapi justru disambut oleh satu
pemandangan. Sepasang alis mata Pangeran Matahari berjingkrak ke atas.
Keningnya mengernyit dan dua matanya membeliak. Di atas tepian telaga enam buah
payung berbagai warna melayang berputar-putar.
“Enam payung warna-warni…”
desis sang Pangeran. Lalu satu persatu menyebut warna payung itu. ”Hitam,
hijau, kuning, biru, putih, ungu… Mana satu lagi yang berwarna merah…” Dia
memandang berkeliling. “Jadi betul keterangan yang kudapat tempo hari. Dewi
Payung Tujuh berada di tempat ini…”
Pangeran Matahari memandang
berkeliling dengan mata membeliak tajam. Lalu dia berteriak. “Dewi Maling
Tujuh! Aku tahu kau ada di tempat ini! Harap perlihatkan diri! Jadi tamu jangan
menyelinap seperti tikus comberan!”
Tak ada jawaban. Pangeran
Matahari berteriak sekali lagi. Tetap tak ada jawaban.
”Jahanam!” makinya. Lalu dia
berlari kembali ke tempat kediamannya. Di halaman bangunan hanya kesunyian
menyambutnya. Tak kelihatan siapapun. Namun dia merasakan suatu kelainan. Dekat
potongan kepala Pendekar 212 yang tercampak di tanah tergeletak satu benda lain
seperti kertas.
Begitu Pangeran Matahari tadi
meninggalkan tempat itu, Puti Andini menyibak semak belukar agar lebih jelas
melihat potongan kepala itu. Tidak syak lagi itu memang kepala Pendekar 212
Wiro Sableng. Namun! Matanya yang tajam melihat sesuatu. Dia teringat pada caci
maki Pangeran Matahari yang menyumpahi Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan yang
dituduh telah memuslihati menipunya.
”Ada keanehan pada bagian
leher itu. Sepertinya kulit luar tidak menyatu dengan daging di sebelah dalam…”
Puti Andini memandang ke jurusan lenyapnya Pangeran Matahari tadi lalu dengan
cepat keluar dari semak-semak. Sambil menahan napas tangannya yang gemetaran
diulurkannya. Matanya dipejamkan begitu jari-jarinya menyentuh kulit leher pada
bagian yang terpotong. Tengkuknya terasa dingin dan jantungnya berdegup keras
menahan rasa ngeri. Puti Andini sentakkan jari-jari tangannya dua kali.
“Sreettt! Srettt!”
Terdengar dua kali suara
seperti benda robek. Ketika kemudian dia membuka matanya terbeliaklah gadis
ini. Sebagian dari kulit leher dan kulit wajah potongan kepala yang tadi
disentakkannya kini terkelupas. Kelupasannya berada dalam pegangannya! Dan
wajah asli potongan kepala itu walau tidak tersibak keseluruhannya tapi cukup jelas
terlihat.
“Bukan wajah Pendekar 212…”
desis Puti Andini. Matanya lalu memandangi kelupasan kulit muka yang
dirobeknya. “Topeng tipis. Dua manusia setan itu ternyata memang benar
memuslihati Pangeran Matahari. Potongan kepala orang lain diberi topeng tipis
menyerupai wajah Pendekar 212…”
Puti Andini campakkan robekan
topeng tipis lalu secepat kilat menyelinap meninggalkan tempat itu. Hanya
beberapa saat saja setelah dia berkelebat pergi Pangeran Matahari muncul
kembali. Dia mengobrak abrik semak belukar di sekitar halaman. Berkelebat
menyelidik kian kemari.
“Kurang ajar! Aku yakin tadi
dia pasti ada di sini!” maki sang Pangeran.
Kemudian diperhatikannya
potongan kepala yang menggeletak di tanah. Di dekat potongan kepala itu ada
secarik benda seperti kertas atau kulit. Pangeran Matahari melangkah mendekati.
“Dia merobek topeng tipis di potongan kepala. Hemm. Agaknya Dewi Payung Tujuh
tengah melakukan satu penyelidikan. Mungkin dia tengah mencari Kitab Wasiat
Iblis? Tapi mengapa tidak berani unjukkan diri. Malah kabur? Akan aku hancurkan
enam payungnya yang ditinggal di tepi telaga!”
Pangeran Matahari cepat
kembali ke telaga namun dia kecewa dan marah besar. Saat itu dia mendengar
suara suitan keras enam kali berturut-turut. Datangnya dari udara. Ketika dia
mendongak enam payung yang tadi mengambang di sekitar telaga kini kelihatan
membubung cepat ke udara. Payung ke tujuh berwarna merah berada paling atas dan
pada tangkai payung bergantung gadis cantik berpakaian biru berkembangkembang.
Si gadis melambai-lambaikan tangannya sambil tertawa mengejek.
Dalam marahnya Pangeran
Matahari hantamkan kedua tangannya ke udara lepaskan pukulan ”Telapak
Matahari”. Terdengar dua suara mendesis berbarengan. Bersamaan dengan itu dua
rangkum angin menebar hawa panas menderu ke udara. Sudah dapat dibayangkan oleh
Pangeran Matahari bahwa enam payung akan hancur lebur dihantam pukulan saktinya
dan si gadis akan cidera berat. Namun dugaannya meleset. Sang Pangeran lupa
memperhitungkan jarak yang terpisah antara dia dengan sasaran. Saat itu tujuh
payung dan Puti Andini sudah terlalu jauh di udara. Walaupun dua serangan
saktinya masih sanggup mencapai sasaran namun daya kekuatannya tak mampu
menciderai. Malah secara luar biasa enam buah payung tiba-tiba berputar lalu
menukik ke bawah membentengi payung merah dan Puti Andini.
“Kurang ajar! Dewi Payung
Tujuh! Apa kau kira bisa lolos dari kematian?!” teriak Pangeran Matahari.
Lalu dia busungkan dada dan
kerahkan tenaga dalam ke tempat terletaknya Kitab Wasiat Iblis.
”Bunuh!” perintah Pangeran
Matahari.
Dada dan Kitab Wasiat Iblis
sesaat menjadi panas namun hawa panas itu cepat meredup dan lenyap. Dari kitab
sakti di dadanya sama sekali tidak keluar sinar sakti yang diharapkan. Pangeran
Matahari lipat gandakan tenaga dalamnya. Malah sambil menepuknepuk kitab itu
dia berteriak berulang kali.
“Bunuh! Bunuh!”
Tidak terjadi apa-apa. Tak ada
sinar maut mencuat keluar dari dada sang Pangeran.
”Kitab Wasiat Iblis!” desis
Pangeran Matahari dengan suara bergetar. “Apa yang terjadi?! Apa kitab ini
telah hilang kesaktiannya?” Saking geramnya disibakkannya mantel hitamnya lalu
dirobeknya baju hitamnya. Kitab Wasiat Iblis yang diikatkannya di dada
tersingkap. Sekali lagi dia mengerahkan tenaga dalam penuh dan berteriak.
“Bunuh!”
Tetap saja tidak terjadi
apa-apa!
Tampang sang Pangeran menjadi
gelap. Rahangnya menggembung. Kitab Wasiat Iblis direnggutkannya dari dadanya.
Kalau mengikuti kemarahannya mau dia merobek dan membanting kitab sakti itu ke
tanah. Dengan tubuh bergetar akhirnya dia terduduk di sebuah batu di tepian
telaga. Kitab Wasiat Iblis diletakkannya di pangkuannya dan dipandanginya
dengan mata melotot. Sebelumnya sang Pangeran telah beberapa kali menyaksikan
bagaimana Kitab Wasiat Iblis itu secara luar biasa mengeluarkan sinar maut yang
sanggup membunuh. Beberapa orang tokoh silat kawakan telah menjadi korbannya.
Diantaranya Iblis Tua Ratu
Pesolek (Episode I: Wasiat Iblis) dan Datuk Sengkang Makale alias Hantu Tinggi
Pelebur Jiwa (Episode II: Wasiat Dewa) tanpa dia berbuat suatu apapun. Sinar
kematian itu keluar dari Kitab Wasiat Iblis begitu saja menghantam mati
lawan-lawannya. Sekarang mengapa kesaktian kitab itu tidak keluar? Sang
Pangeran tidak mengetahui bahwa walau kitab itu memiliki kesaktian dan kekuatan
membunuh luar biasa namun jika dirinya tidak diserang maka kesaktian yang
terkandung dalam kitab itu tidak akan keluar! Sekali seseorang menyerang dan
siapa saja yang memegang Kitab Wasiat Iblis terancam keselamatannya maka
barulah kekuatan sakti yang ada di dalam kitab dengan sendirinya akan keluar
mendahului membunuh lawan! Penuh kecewa sang Pangeran duduk termenung sambil
sekali-sekali menjambak rambutnya yang tebal.
”Mungkin ini disebabkan aku
tidak melakukan puasa selama tiga kali malam Jum’at Kliwon seperti yang dikatakan
dalam kitab…” pikir Pangeran Matahari. Namun hatinya meragu. “Pada saat kitab
itu aku dapatkan, tanpa puasa kesaktiannya telah sanggup membunuh Iblis Tua
Ratu Pesolek. Sekarang mengapa bisa jadi begini…?”
Inilah kali pertama dalam
hidupnya Pangeran Matahari menjadi sangat bingung. Perlahan-lahan dia berdiri
tinggalkan telaga. Kitab Wasiat Iblis dimasukkannya kembali ke balik baju
hitamnya yang robek.
***
BAB V
SUARA seorang bernyanyi itu
datang dari salah satu bukit batu di sebelah timur pulau. Cukupi jauh dari
tempat Wiro berada saat itu. Dia memasang telinga baik-baik, berusaha mendengar
jelas setiap bait nyanyian yang dilantunkan.
Laut selatan tak pernah tenang
Gelombang selalu datang
menantang
Ribuan pagi ribuan petang
Tubuh lapuk ini menunggu
kedatangan
Yang menunggu tua renta malang
Yang ditunggu budak malang
Apakah saat ini petunjuk Yang
Kuasa turun menjelang
Mungkinkah ini akhir penantian
dan permulaan dari satu harapan
Hanya kepada Yang Kuasa
tertambat seluruh harapan
Agar tubuh tua ini bisa lepas
menempuh jalan abadi menghadap Sang Pencipta
Murid Eyang Sinto Gendeng
garuk-garuk kepalanya. Dia coba mencerna arti nyanyian itu. ”Menunggu ribuan
pagi ribuan petang, berarti ada seorang tua bangka di puncak bukit sana. Yang
ditunggu budak malang. Eh, apa aku yang ditunggunya? Apa dia kenal pada diriku.
Yang jelas nasibku saat ini buka cuma malang tapi juga melintang! Ha… ha… ha!”
Pendekar 212 tertawa sendiri. “Bait akhir nyanyian aneh itu seolah si penyanyi
ingin buru-buru mati. Aneh!” Wiro percepat langkahnya.
Karena ingin cepat-cepat
melihat siapa adanya orang yang menyanyi maka Wiro pergunakan ilmu ”Menembus
Pandang” yang didapatnya dari Ratu Buyung (baca Episode III: Wasiat Sang Ratu)
Tenaga dalamnya dialirkan ke matanya kiri kanan. Dia mendongak memandang ke
puncak bukit batu di sebelah Timur. Lalu mata itu dikedipkan dua kali.
Mula-mula Wiro melihat warna
merah berkepanjangan pertanda dimana-mana di atas sana hawa batu-batu merah
yang ada. Kemudian samar-samar dia melihat sesosok tubuh berjubah putih.
Wajahnya tak terlihat jelas karena membelakangi. Kalau dia ingin melihat bagian
depan orang itu berarti dia harus berputar setengah pulau. ”Daripada
menghabiskan waktu lebih baik aku terus saja menempuh jalan ini,” pikir murid
Sinto Gendeng.
Suara nyanyian itu
diulang-ulang beberapa kali. Namun pada ulangan keempat mendadak suara nyanyian
lenyap di bait pertengahan.
”Hemm… Orang tua di puncak
bukit sana pasti sudah kecapaian menyanyi,” pikir Wiro.
Tak lama kemudian dia sampai
di kaki bukit batu merah di sebelah timur. Di sini Wiro baru menyadari satu
keanehan. Pulau ini usianya pasti sudah ratusan bahkan ribuan tahun. Tapi tak
satu bagianpun batu-batu di sini diselimuti lumut. Semua bersih, batu merah
asli. Tak terpengaruh oleh cuaca. Karena batu merah itu tidak licin, meskipun
bukit yang didakinya cukup terjal namun Wiro tidak mengalami kesulitan naik ke
atas. Begitu sampai di puncak bukit batu merah Wiro segera melihat sosok orang
berjubah putih itu, duduk di atas sebuah batu merah pada puncak bukit yang tak
seberapa luasnya. Orang ini membungkus kepalanya dengan sehelai kain putih
menyerupai selendang.
Mengira orang tengah bersemadi
maka Wiro melangkah dengan hati-hati, berputar dan sesaat kemudian sampai di
hadapan orang itu. Ternyata selendang putih di kepalanya menutupi hampir
seluruh wajahnya. Hanya sepasang matanya saja yang kelihatan terpejam. Bagian
selendang di bagian mulut kelihatan basah dan berwarna merah. Sepasang tangan
dan kaki orang itu tersembunyi di balik jubahnya. Wiro mencium bau sirih dan
tembakau. Tapi hidungnya yang tajam mencium bau lain. Karena tiba-tiba orang di
hadapannya mengeluarkan suara maka Wiro tak berkesempatan untuk mengingat-ingat
dimana sebelumnya dia pernah mencium bau itu.
“Ribuan pagi ribuan petang…
Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan… Yang menunggu tua renta malang… Yang
ditunggu budak malang…”
Perlahan-lahan Wiro duduk
bersila di hadapan orang berjubah dan berselendang putih itu.
“Orang tua, maaf kalau
kehadiranku mengganggumu. Apakah kau yang dijuluki Raja Obat Delapan Penjuru
Angin?”
Yang ditanya menghela napas
panjang lalu menjawab. “Kau telah bertemu dengan orang yang kau cari. Giliran
diriku yang bertanya ada keperluan apa kau mencariku anak manusia? Sebelum kau
menjawab pertanyaan itu jawab dulu pertanyaan ini. Apa kau manusianya yang
dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?”
”Aku belum menerangkan siapa
diriku bagamana dia bisa menerka? Orang tua ini benar-benar berkepandaian
sangat tinggi,” kata Wiro dalam hati. Maka diapun menjawab.
“Aku memang yang oleh
orang-orang tolol diberi gelar begitu padahal aku hanya anak manusia bernama
Wiro Sableng!”
Si orang tua tertawa mengekeh.
Bau aneh kembali menusuk hidung Wiro. Dalam hati dia membatin.
"Menurut keterangan orang
tua ini memiliki wajah biru sebelah. Tapi wajahnya ditutup begitu rupa, sulit
bagiku untuk melihat“
“Anak manusia, jika kau
benar-benar Pendekar 212, perlihatkan padaku Kapak Maut Naga Geni 212!”
tiba-tiba orang di hadapan Wiro berkata.
Wiro terkesiap. “Bertemu baru
sekarang. Bagaimana orang tua ini tahu kalau aku Pendekar 212 dan punya senjata
Kapak Maut Naga Geni 212! Ah, pengetahuannya tentu luas sekali padahal… Dari
tadi dia tak pernah mengeluarkan kedua tangannya dari balik jubah. Jangan
jangan si Raja Obat ini buntung!”
”Aku menunggu jawabanmu anak
muda!”
Wiro garuk-garuk kepala lalu
tersenyum. “Jangan cengengesan di hadapanku! Kalau kau berani memuslihati
diriku berarti umurmu tidak bakal panjang. Kau tak akan pernah meninggalkan
pulau ini…”
”Nasibku jelek. Senjata
mustika itu dan pasangannya sebuah batu hitam sakti lenyap dicuri orang…”
Si orang tua geleng-gelengkan
kepalanya. “Seperti dalam nyanyianku tadi, kau ternyata memang seorang budak
malang. Apa kau tahu siapa yang telah mencuri dua senjata saktimu itu?’
”Dua orang berjuluk Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan…” jawab Wiro.
“Hemmm… Mereka memang
iblis-iblis berkepandaian tinggi. Tapi aku tidak begitu saja percaya omonganmu.
Setahuku Pendekar 212 tidak pernah mengenakan pakaian serba hitam seperti yang
kau kenakan saat ini. Dia selalu pakai baju dan celana putih. Aku ingin melihat
dadamu. Kabarnya di situ ada rajahan angka 212. Jika kau memang memiliki baru
aku bisa percaya!”
“Sialan! Sulit juga rupanya
membuat urusan dengan tua bangka ini!” rutuk Wiro dalam hati. Lalu dia buka
baju hitam pemberian Ratu Duyung di bagian dada.
Sepasang mata Raja Obat
Delapan Penjuru Angin melihat rajah angka 212 pada dada Wiro.
“Kau sudah saksikan sendiri?”
tanya Wiro.
Orang tua itu anggukkan
kepala.
”Nah sekarang giliranku
bertanya…”
”Tunggu dulu!” memotong Raja
Obat Delapan Penjuru Angin. “Ada hubungan apa antara kau dengan Ratu Duyung?!”
“Eh, orang ini benar-benar
tahu banyak tentang diriku,” pikir Wiro. “Aku berhutang budi dan nyawa pada
penguasa laut itu. Itu saja…”
”Hemm… Sekarang aku masih
ingin satu kepastian. Ulurkan kedua tanganmu. Telapak dibuka ke atas!”
“Ah orang tua. Kau rupanya
menyuruh aku menirukan lagak pengemis. Tapi mengapa dua tangan sekaligus?”
tanya Wiro sambil tertawa.
“Jangan berani bergurau
padakul* menyentak orang tua. “Lekas ulurkan kedua tanganmu!”
Walau kini dia mulai jengkel
dengan sikap orang tua itu namun Wiro ulurkan juga kedua tangannya ke depan.
Telapak tangan dikembangkan ke atas.
Pada saat itulah tanpa diduga
sepasang tangan si orang tua yang sejak tadi mendekam di balik jubah tiba-tiba
melesat keluar dari balik jubah putih.
”Bukk!”
”Bukk!”
Dua jotosan laksana palu godam
menghantam ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
***
BAB VI
JERITAN keras meledak keluar dari
mulut murid Sinto Gendeng ketika dua jotosan yang dihantamkan orang tua
berjubah dan bertutup kepala putih itu mendarat di dada dan pipi kanannya.
Kepalanya seolah terlempar pecah, dadanya laksana remuk. Tubuhnya mencelat
sampai dua tombak, menggelinding ke lereng bukit, tertahan pada satu gundukan
batu merah runcing! Darah menyembur dari mulutnya. Tubuh Wiro tergeletak tak
berkutik lagi!
Di atas sana terdengar suara
tawa mengekeh lalu satu bayangan putih berkelebat, melayang turun dan berdiri
di hadapan sosok Pendekar 212. Dengan ujung kakinya orang ini membalikkan tubuh
Wiro.
“Ha… ha… ha! Mampus juga kau
akhirnya!” Habis berkata begitu orang ini buka jubah putih dan selendang
penutup wajahnya. Di balik jubah itu ternyata orang ini mengenakan jubah lain
yang kotor dekil serta bau. Tangannya yang tersembul dari balik jubah penuh
dengan koreng bernanah dan menebar bau busuk. Wajahnya lebih mengerikan lagi
karena hancur penuh oleh koreng cacar air busuk yang sama! Tiga jari kanannya
yang tersembul di balik jubah tampak buntung kehitaman. Salah satu bagian bawah
jubahnya hangus seperti pernah terbakar.
Pada punggungnya tergantung
sebuah caping bambu. Dari mulutnya dia menyemburkan cairan merah sirih dan
tembakau. Ketika caping itu dikenakannya di atas kepalanya dan sehelai kain
ditutupkannya ke wajahnya jelaslah sudah orang tua ini bukan lain adalah si
Makhluk Pembawa Bala! Makhluk iblis yang sebelumnya telah dua kali mencoba
membunuh Wiro!
Sambil tertawa-tawa dia
menjambak rambut gondrong Pendekar 212 lalu enak saja dia menyeret Wiro ke arah
timur pulau. Hampir lima puluh tombak menyeret, Makhluk Pembawa Bala hentikan
langkahnya di satu bagian pulau dimana terdapat satu batu rata berukuran dua
kali dua tombak. Di atas batu warna merah ini tergeletak sesosok tubuh kurus
kering seorang tua berambut, berkumis dan berjanggut putih. Wajahnya sebelah
kanan berwarna biru. Saat itu boleh dikatakan orang tua ini nyaris telanjang
karena hanya secarik kain putih kecil yang terselempang di aurat sebelah bawah
perutnya. Melihat keadaannya saat itu yang tak bisa bergerak maupun bersuara
kecuali hanya sepasang matanya saja yang bergerak-gerak nyatalah dirinya berada
dalam keadaan tertotok. Orang tua yang malang ini bukan lain adalah si Raja
Obat Delapan Penjuru Angin.
Makhluk Pembawa Bala hempaskan
tubuh Wiro di samping sosok si orang tua. Pinggul mereka saling bersentuhan.
Wajah Raja Obat Delapan Penjuru Angin berubah pucat ketika melihat pemuda yang
tergeletak di sampingnya. Makhluk Pembawa Bala mendongak ke langit lalu tertawa
gelak-gelak. Dengan kaki kanannya ditendangnya tulang kering Raja Obat.
”Ini anak manusia yang kau
tunggu dalam nyanyianmu itu?! Ha… ha… ha..!
Nasibnya memang malang! Dia
keburu mampus sebelum sempat melihat tampangmu!”
Makhluk Pembawa Bala kembali
tertawa mengakak. “Eh, kau diam saja! Ah, biar aku berbaik hati sedikit membuka
jalan suaramu agar aku bisa mendengar apa saja uneg-uneg yang hendak kau
keluarkan!”
Makhluk Pembawa Bala
membungkuk lalu menotok pangkal leher sebelah kiri Raja Obat. Saat itu juga
punahlah totokan yang menutup jalan suaranya.
“Kau bukan manusia tapi iblis!
Apa salah pemuda itu hingga kau membunuhnya?!” Begitu jalan suaranya terbuka
Raja Obat langsung membentak.
”Ha… ha… ha! Mentang-mentang
sudah bisa bicara omonganmu tidak sedap masuk ke telingaku. Kau tidak melihat
kenyataan Raja Obat! Kalau aku tega membunuh kecoak satu ini apa kau kira aku
tidak tega mencabut nyawamu?!”
”Tadipun aku sudah bilang agar
kau segera membunuhku! Kau tak bakal mendapatkan keterangan apa-apa dariku!”
jawab Raja Obat.
”Kita akan lihat! Kita akan
lihat!” kata Makhluk Pembawa Bala pula.
”Silahkan kau mau membunuh aku
cara bagaimana! Menghancurkan kepalaku! Mematahkan batang leherku atau menjebol
isi perutku!”
“Ah! Rupanya kau tahu juga
banyak cara mati yang enak! Ha… ha… ha! Tidak…semua cara yang kau sebutkan itu
tidak akan kejadian. Aku punya cara lain yang lebih sedap… Pertama, satu
persatu kuku jari tangan dan kakimu akan kubetot lepas. Lalu kulit kepalamu
akan kukupas. Setelah itu lidahmu… Oh tidak… Lidah belakangan. Aku masih ingin
mendengar jeritanmu. Salah satu matamu akan kukorek lebih dulu. Setelah
itu…hik… hik… hik! Ini yang sedap dan lucu! Kau pasti akan menikmatinya. Bijimu
akan kupencet, kulepas, kupencet. Lepas… pencet… lepas… pencet! Ha… ha… ha…
Kalau suaramu sudah serak karena menjerit baru kuremas hancur bijimu itu! Ha…
ha… ha… ha!”
Selagi Makhluk Pembawa Bala
bicara sambil tiada hentinya tertawa Raja Obat Delapan Penjuru Angin diam-diam
merasakan bahwa pinggul Wiro yang bersentuhan dengan pinggulnya terasa hangat.
Lalu ada denyutan-denyutan halus pada sisi perut si pemuda. Dari tanda-tanda
ini si Raja Obat segera maklum kalau pemuda itu sebenarnya belum menemui
kematian tapi cuma pingsan dengan luka dalam teramat parah. Hati orang tua ini
menjadi lega, Otaknya segera bekerja.
Saat itu Makhluk Pembawa Bala
telah keluarkan sebuah catut besi dari balik jubah dekilnya. Benda ini
ditimang-timangnya beberapa kali lalu dia berlutut di ujung kaki Raja Obat.
”Aku masih memberi kesempatan
padamu. Memilih mati tersiksa atau kau lekas memberi tahu dimana beradanya
Kitab Putih Wasiat Dewa itu!”
”Kalau hendak membunuhku
mengapa tidak langsung saja? Mengapa masih bertanya-tanya?! Aku sudah bilang
tidak tahu menahu soal segala kitab dewa itu! Kalaupun tahu tak bakal kukatakan
pada makhluk durjana macammu.”
Makhluk Pembawa Bala tertawa
gelak-gelak.
”Rupanya kau memilih menyusul
pemuda ini. Kupikir-pikir dalam usiamu yang seratus tahun ini apa perlunya kau
hidup lebih lama! Baik! Jika kau ingin mampus aku tuan besarmu segera membuka
pintu neraka untukmu!”
Makhluk Pembawa Bala lalu
tempelkan ujung catut besi ke kuku ibu jari kaki kanan Raja Obat. Mulutnya yang
korengan bernanah menyeringai, “Umur sudah bangkotan. Lobang neraka sudah menunggu!
Masih tidak tahu diri! Rasakan siksaanku!”
Dua ujung catut menjepit kuku.
Ketika siap untuk disentakkan tiba-tiba Raja Obat berseru. ”Tunggu!”
”Hemmm. Apa kau mau bicara?!”
tanya Makhluk Pembawa Bala pula.
“Ya… ya… Aku menyerah!” jawab
Raja Obat.
“Kalau begitu lekas bicara!
Katakan dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu!”
“Ba… baik… Tapi untuk
mengetahuinya tak bisa diterangkan begitu saja. Aku harus melakukan sesuatu.
Aku harus melihat di alam gaib baru bisa membaca dan mengatakan…”
“Jangan berani menipu!”
“Terserah padamu! Jika tidak
percaya aku tak bisa melakukan apa yang kau minta…”
“Apa yang hendak kau lakukan?
Apa kau tidak bisa langsung mengatakan?!”
“Tidak… Aku harus minta
petunjuk dari alam gaib lewat asap batu merah…”
“Apa itu asap batu merah?”
“Jika dibacakan mantera dan
ditebarkan bubuk batu merah ke udara maka akan kudapat petunjuk dimana
beradanya kitab sakti itu. Petunjuk tak bisa didapat cepat, tergantung
bagaimana alam gaib menerimanya…”
“Aku tidak percaya!” kata Makhluk
Pembawa Bala seraya berdiri lalu melangkah mundar-mandir.
“Kalau begitu bunuh aku
sekarang saja!” Raja Obat seolah benar-benar pasrah dan tidak takut sama
sekali.
”Setan!” memaki Makhluk
Pembawa Bala seraya tendang rusuk Raja Obat hingga orang tua ini mengeluh
tinggi dan mengerenyit kesakitan. “Baik, aku akan lepaskan totokanmu. Tapi jika
kau berani memuslihatiku kau akan mampus lebih cepat!” Ancam Makhluk Pembawa
Bala lalu dia membungkuk dan lepaskan totokan di tubuh si orang tua.
Begitu totokan di tubuhnya
lepas Raja Obat bangkit dan duduk bersila. Dengan sehelai kecil kain putih
ditutupnya auratnya sebelah bawah lalu dia rangkapkan dua tangan di depan dada.
Sebelum pejamkan matanya dia memberi tahu.
“Aku akan bersemadi sambil
merapal mantera…”
“Cepat lakukan!” bentak
Makhluk Pembawa Bala seraya berkacak pinggang dan mengawasi.
Raja Obat lalu pejamkan kedua
matanya. Mulutnya yang berisi sirih dan tembakau berkomat-kamit tiada henti.
Makhluk Pembawa Bala menunggu tidak sabaran. Tak selang berapa lama orang tua
ini buka kedua matanya. Orang di depannya segera menghardik.
“Kau sudah tahu dimana letak
kitab sakti itu?!”
”Harap bersabar…” jawab Raja
Obat pendek. Lalu tangan kanannya diulurkan ke depan. Dengan dua jari tangannya
dicungkilnya batu merah di hadapannya. Pecahan batu ini kemudian diremasnya
hingga hancur menjadi bubuk. Selagi perhatian Makhluk Pembawa Bala tertuju pada
tangan kanannya, perlahan-lahan Raja Obat turunkan tangan kirinya ke bawah. Dua
jari mencungkil batu merah di ujung lututnya. Seperti dengan tangan kanan tadi,
pecahan batu diremasnya hingga berubah jadi bubuk sementara mulutnya terus
berkomat kamit.
”Pertunjukan apa yang hendak
diperlihatkan jahanam ini padaku!” rutuk Makhluk Pembawa Bala semakin tidak
sabar.
Mulut si orang tua tiba-tiba
terbuka. Lalu terdengar suaranya berucap. “Alam gaib akan kusebar persembahan!
Sebagai imbalan beri petunjuk padaku. Beri petunjuk padaku dimana letaknya
Kitab Putih Wasiat Dewa. Persembahan harap dibalas dengan petunjuk agar seimbang
budi di alam gaib…”
Perlahan-lahan Raja Obat
angkat tangan kanannya. Bubuk batu merah yang ada dalam genggamannya disebarkan
ke udara. Maka di tempat itu bertebarlah bubuk yang berubah menjadi asap merah.
Untuk beberapa lamanya ada bau aneh yang menindih bau busuk tubuh Makhluk
Pembawa Bala. Untuk beberapa lamanya pula pemandangan si makhluk tertutup oleh
lapisan asap merah. Pada saat itulah dengan cepat Raja Obat gerakkan tangan
kirinya ke samping. Begitu dia berhasil menyentuh mulut Pendekar 212, bubuk
batu merah yang ada dalam genggamannya disumpalkannya ke dalam mulut sang
pendekar. Lalu dengan dua ujung jarinya ditotoknya urat besar di leher si
pemuda.
“Hekkk!”
Bubuk batu merah larut dan
masuk ke dalam tenggorokan Wiro terus masuk ke dalam perutnya.
“Aku mendengar suara orang
tercekik!” Tiba-tiba Makhluk Pembawa Bala berteriak. Dia mulai curiga.
”Itu suaraku batuk karena
kemasukan debu batu merah. Jangan berani buka suara lagi dan jangan bergerak
dari tempatmu. Kalau tidak semua bisa buyar dan aku tak dapat petunjuk dari
alam gaib!”
Makhluk Pembawa Bala meskipun
marah terpaksa menutup mulut dan tak bergerak dari tempatnya berdiri yakni
sekitar lima langkah di hadapan Raja Obat yang duduk bersila di atas batu
merah.
***
BAB VII
PADA saat bubuk batu merah
masuk ke dalam tubuhnya terjadilah hal yang luar biasa. Tubuh Pendekar 212 yang
saat itu menderita luka dalam yang amat parah dan keadaannya tak beda dengan
orang yang sedang sekarat diserang oleh satu aliran sakti hawa sejuk. Setelah
mengalir ke seluruh jalan darahnya hawa ini berkumpul di bagian dada yakni pada
bagian yang kena hantaman Makhluk Pembawa Bala. Saat itulah Wiro perlahan-lahan
kembali siuman. Pipi kanan dan dadanya mendenyut sakit. Lalu dirasakannya hawa
sejuk aneh menyengat dadanya. Rasa sejuk mendadak berubah menjadi sengatan hawa
panas luar biasa. Mulut Pendekar 212 terbuka lebar hendak berteriak karena
kesakitan. Tapi tak ada suara yang keluar. Dia coba menggerakkan tangan untuk
memegang dada. Tak bisa. Sadarlah murid Sinto Gendeng kalau saat itu dirinya
berada dalam keadaan tertotok. Dia coba melirik ke samping. Di udara dilihatnya
ada tebaran asap merah menutupi pemandangan. Lalu telinganya mendengar suara
orang meracau seperti membaca mantera.
“Aku ingat betul. Makhluk Pembawa
Bala menghantamku dengan tiba-tiba. Aku pingsan. Sekarang berada di mana diriku
ini? Asap aneh apa di depanku itu. Siapa pula yang sedang membaca mantera?”
Berbagai pertanyaan muncul dalam hati Pendekar 212. Perlahan-lahan sengatan
hawa panas lenyap. Hawa sejuk kembali muncul di sekitar dada. Tapi tidak lama
karena hawa sejuk ini bergerak mengalir menuju ke atas, naik ke kepala Wiro
mengarah pipi kanannya yang saat itu bengkak besar hingga matanya hampir
tertutup. Di sebelah dalam ada bagian tulang pipinya yang retak.
Wiro merasa kepalanya seperti
dipanggang ketika tiba-tiba hawa sejuk lenyap berganti dengan hawa panas yang
menghantam laksana sambaran petir. Kalau saja dirinya tidak tertotok saat itu
niscaya jeritannya setinggi langit.
”Gila! Apa yang terjadi dengan
diriku! Siapa yang punya pekerjaan ini?!” rutuk Pendekar 212 dalam hati.
Ketika hawa panas hilang
berganti dengan hawa sejuk Wiro merasakan sakit di kepalanya lenyap, bengkak
besar di mukanya sebelah kanan telah berkurang walau matanya masih agak
menggembung.
“Ada seseorang mengobati
diriku. Siapa…?” Wiro berusaha membalikkan badan dan memutar kepala tapi tidak
mampu karena dirinya masih berada dalam keadaan tertotok.
Pada saat itulah tiba-tiba
murid Sinto Gendeng mendengar suara halus seperti nyamuk mengiang di
telinganya.
“Ada orang sakti menyampaikan
sesuatu padaku…” ujar Wiro dalam hati.
“Anak muda… Sebentar lagi asap
merah di depanmu akan pupus. Kau akan melihat seorang memakai caping di
kepalanya, mengenakan jubah kotor tegak beberapa langkah di depanmu. Kau harus
membunuh manusia itu. Pergunakan ilmu kesaktianmu yang paling hebat. Kau harus
mampu membunuhnya dengan sekali menghantam. Kalau tidak kau dan juga aku akan
celaka besar!”
Wiro hendak menjawab tapi tak
mampu. Sesuai petunjuk yang didengarnya murid Sinto Gendeng ini segera salurkan
tenaga dalamnya ke tangan kiri dan tangan kanan. Saat itu juga sepasang
lengannya sampai ke ujung kuku berubah menjadi seputih perak. Ini satu pertanda
bahwa Pendekar 212 siap melancarkan pukulan “Sinar Matahari” dengan tenaga
dalam penuh!
”Tua bangka keparat!”
tiba-tiba. Wiro mendengar suara orang membentak. “Apa kau sudah mendapat
petunjuk?! Aku sudah tidak sabaran! Aku punya firasat kau hendak menipuku!
Lebih baik kau kubunuh saat ini juga!”
“Kalau kau bersabar sedikit
lagi, aku segera mendapat petunjuk. Di hadapanku sudah terlihat sesuatu. Aku
akan mengatakan padamu apa yang aku lihat. Aku melihat seorang nenek dengan
wajah seseram setan. Di kepalanya ada satu mahkota memancarkan sinar kehijauan.
Di tangan kanannya dia memegang sebuah tongkat besi berwarna kuning. Aku lihat
dia berucap mengatakan sesuatu. Aku dengar dia mengatakan… mengatakan…”
“Mengatakan apa?!” sentak
Makhluk Pembawa Bala.
Saat itu asap merah bubuk batu
merah perlahan-lahan mulai menipis. Seperti yang dikatakan ngiangan suara di
telinganya, walau dengan sudut matanya Wiro dapat melihat sesosok tubuh berdiri
beberapa langkah di hadapannya. Orang ini memakai caping di kepalanya,
mengenakan sehelai jubah butut. Tangan dan mukanya mengerikan karena dipenuhi
cacar air bernanah dan menebar bau busuk.
“Makhluk Pembawa Bala!” kata
Wiro dalam hati.
Amarah langsung naik ke
kepalanya. “Aku sudah menduga…” Maka Pendekar 212 segera kerahkan seluruh
tenaga dalamnya pada tangan kanan kiri.
”Nenek bermuka setan
mengatakan…” kembali terdengar suara Raja Obat sambil tangan kirinya dengan
cepat bergerak ke arah punggung dan pangkal leher Pendekar 212. “Nenek itu
mengatakan siapa yang ingin mengetahui dimana tersembunyinya Kitab Putih Wasiat
Dewa maka dia harus mendengarkan dengan telinga terpentang dan mata terpejam.
Makhluk Pembawa Bala harap kau buka telingamu baik-baik dan pejamkan kedua
matamu!”
Makhluk Pembawa Bala yang
tegak beberapa langkah dari hadapan si Raja Obat segera pasang telinga
baik-baik. Ketika dia hendak memejamkan mata, di balik asap merah yang semakin
menipis tiba-tiba dia melihat sosok tubuh Pendekar 212. Lalu pandangannya
membentur wajah si pemuda dan samar-samar melihat sepasang mata Wiro yang
terbuka.
“Eh… Pemuda itu bukankah dia
tadi sudah mati…?!” Makhluk Pembawa Bala angkat tangan kanannya dan maju
selangkah. ”Jahanam! Tua bangka keparat! Kau menipuku!” teriak Makhluk Pembawa
Bala marah. Tangan kanannya dihantamkan pada Raja Obat. Justru pada saat itu
pula sosok Pendekar 212 melompat ke hadapannya. Dari jarak hanya tiga langkah
murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan ”Sinar Matahari” dengan tangan kiri kanan.
Dua larik sinar panas menyilaukan berkiblat.
Suara Jeritan Makhluk Pembawa
Bala tenggelam oleh gemuruh dua pukulan “Sinar Matahari” yang menghantam
dirinya. Tubuh orang ini mencelat ke udara dalam keadaan cerai berai, hangus
dan mengepulkan bau menggidikkan!
Sepasang kaki yang hancur
hangus melesat ke timur. Potongan badan dengan isi perut berbusaian mencelat ke
barat. Dua tangan terlepas entah kemana. Bagian dada dan kepala yang hancur
melesat ke utara ke arah lautan lepas!
Di tengah laut selatan yang
saat itu ombaknya mulai besar akibat tiupan angin kencang dari utara, sebuah
jukung kelihatan meluncur pesat membelah ombak. Perahu kecil ini ditumpangi
oleh seorang nenek berdandan aneh yang mengingatkan kita pada Iblis Tua Ratu
Pesolek. Meskipun sudah tua keriputan namun si nenek berdandan mencorong. Bibir
dan pipi dicat merah. Bedak putih kekuningan hampir setebal dempul menutupi
wajahnya. Sepasang alis hitam mencuat ke atas. Sanggulnya rapi dan bagus. Dia
mengenakan sehelai baju panjang berwarna hitam dengan bunga-bunga putih. Selagi
enak-enak di dalam perahu yang dihantam gelombang itu tiba-tiba dia melihat satu
benda melayang di udara.
“Burung bukan, kampret juga
bukan! Makhluk apa yang melayang itu…?” si nenek membatin seraya berdiri tegak
di atas jukung dan terus mendongak memperhatikan benda yang melayang di udara.
Alisnya yang mencuat mengernyit. Dia tidak dapat memastikan benda apa itu
adanya. “Tak puas kalau aku tidak tahu benda apa yang melayang itu!” katanya
dalam hati. Ketika benda di udara hampir lewat di atas kepalanya, si nenek
angkat tangan kanannya. Terjadilah satu hal yang hebat. Benda yang melayang di
udara seolah-olah tertahan. Ketika si nenek memutar-mutarkan tangannya benda
itu ikut berputar.
Begitu si nenek gerakkan
tangannya perlahan-lahan ke bawah, benda yang di udara seolah-olah tersedot
ikut tertarik ke bawah. Sesaat kemudian ”braakkk!” Benda itu jatuh bergedebuk
di lantai perahu di hadapan si nenek. Bau busuk bercampur bau sangitnya daging
yang terpanggang melanda hidungnya.
Sepasang mata perempuan tua
berdandan mencorong itu mendelik besar. Yang dilihatnya saat itu adalah
potongan tubuh manusia mulai dari dada sampai ke kepala dalam keadaan
terpanggang hangus mengerikan!
”Oo ladalah! Seumur hidup baru
kali ini aku menyaksikan pemandangan begini rupa! Manusia atau binatang yang
menggeletak di hadapanku ini?” ujar si nenek. Sambil menekap hidungnya dia coba
meneliti lalu geleng-gelengkan kepala. ”Tak bisa kukenali…” katanya. “Aku tak
mau ketumpangan makhluk busuk seperti ini. Pergilah!”
Sekali kaki kirinya menendang
maka potongan tubuh dan kepala yang mengerikan itu, yang bukan lain adalah
potongan tubuh dan kepala Makhluk Pembawa Bala mencelat mental sampai beberapa
tombak dan jatuh ke dalam laut, dilamun ombak dan amblas tenggelam tak
kelihatan lagi.
***
BAB VIII
PENDEKAR 212 jatuhkan diri ke
atas batu datar merah. Berlutut dengan dada turun naik. Wajahnya yang masih
bengkak tampak agak pucat. Perlahan-lahan dia duduk bersila, atur jalan napas,
darah dan tenaga dalam. Ketika dia berpaling ke kiri pandangannya membentur
orang tua bermuka biru itu. Wiro segera bangkit berdiri, melangkah mendekati
lalu berlutut di hadapannya. Untuk beberapa lamanya dia memandangi wajah
berbelang biru, rambut, janggut dan kumis panjang memutih itu.
“Orang tua, aku berterima
kasih padamu. Kalau tidak dengan pertolonganmu aku pasti sudah menemui ajal di
tangan Makhluk Pembawa Bala itu. Aku berhutang budi dan nyawa padamu dan tak
tahu bagaimana harus membalasnya…” Wiro membungkuk hormat sampai tiga kali.
“Makhluk Pembawa Bala itu
memang jahat busuk, ganas dan licik. Sejak satu tahun belakangan ini dia malang
melintang di laut selatan. Pasti ada sesuatu yang dicarinya. Sekaligus menunggu
seseorang untuk dibunuh… Mungkin sekali ada yang menyuruhnya.”
“Pasti diriku yang diarahnya.
Siapa yang menyuruhnya apakah kau tahu orangnya?” tanya Wiro. Yang ditanya
menggeleng.
“Ada permusuhan apa antara kau
dengan dirinya hingga dia inginkan nyawamu?!”
“Aku tidak tahu. Dua kali dia
menghadangku di tengah lautan. Aku berhasil lolos. Kali yang ketiga dia
memuslihati diriku dengan menyamar menjadi…”
Si orang tua tersenyum. “Dia
menyamar menyerupaiku dan berhasil mengelabuimu…”
“Sekali lagi aku berterima
kasih atas pertolonganmu,” kata Wiro pula.
“Pertolonganku belum selesai.
Putar dudukmu. Hadapkan punggungmu ke arahku…”
Walau tidak mengerti apa
maksud orang tua itu namun Wiro memutar duduknya membelakangi. Pada saat itulah
tanpa suara dan tanpa disadari oleh Wiro tiba-tiba orang tua di belakangnya
mengangkat tangan kanan dan menghantam punggungnya.
“Bukkk!”
Wiro Sableng menjerit keras.
Tubuhnya mencelat sampai satu tombak, terbanting menelungkup di atas batu
merah. Punggungnya laksana hancur luluh. Bersamaan dengan teriakannya tadi dari
mulutnya menyembur darah hitam berbuku-buku. Wiro mencoba bangkit.
Terhuyung-huyung sambil menyeka darah yang membasahi pinggiran mulutnya dia
mendatangi si orang tua lalu jatuhkan diri di hadapannya dan membentak dengan
mata melotot.
”Orang tua, kau hendak
membunuhku…?!”
“Aku hanya membersihkan
sisa-sisa darah beku yang masih bersarang di dadamu akibat pukulan Makhluk
Pembawa Bala itu. Jika darah beku itu terus mendekam di tubuhmu, kau akan
menemui ajal dalam waktu dekat setelah disiksa oleh penyakit yang sulit
disembuhkan…”
”Terima kasih, lagi-lagi kau
telah menolongku,” kata Wiro begitu menyadari bahwa apa yang dilakukan orang
tua itu tadi adalah menolongnya. Sesaat Wiro pandangi orang yang duduk di
hadapannya itu lalu berkata. “Orang tua, melihat pada ciri-cirimu aku yakin
bukankah kau orang yang digelari Raja Obat Delapan Penjuru Angin itu?”
Yang ditanya tersenyum lalu
menjawab.
“Kau sudah tahu siapa diriku.
Sekarang katakan siapa dirimu.”
”Namaku Wiro Sableng. Aku
murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede…”
“Gunung Gede jauh sekali dari
tempat ini. Jika kau menyabung nyawa untuk menyeberangi daratan mengarungi
lautan berarti ada sesuatu yang sangat penting menjadi tujuanmu.”
Wiro lalu menceritakan
pengalamannya ditolong pertama kali oleh anak buah Ratu Duyung (baca Episode
II: Wasiat Dewa). “Ketika aku dilepas pergi oleh Ratu Duyung, di tengah laut
mendadak muncul dua orang berkulit hitam yang tubuhnya bersirip seperti ikan.
Mereka bermaksud membunuhku tapi aku berhasil lolos. Belum lama selamat dari
dua makhluk keparat itu tiba-tiba Makhluk Pembawa Bala muncul pula. Nasibku
masih untung. Sebelum ajalku sampai di tangan makhluk busuk itu enam orang anak
buah Ratu Duyung walaupun dalam keadaa samar-samar kulihat datang menolongku.
Rupanya Makhluk Pembawa Bala tidak punya nyali melawan mereka lalu melarikan
diri…”
“Cerita dan pengalamanmu luar
biasa! Tapi kau belum mengatakan apa tujuanmu datang ke pulau ini…”
“Aku mendapat petunjuk dari
Ratu Duyung bahwa sebuah pulau yang keseluruhannya terdiri dari batu merah
terletak di tenggara. Aku harus menuju ke pulau itu. Namun seperti yang
kututurkan tadi, di tengah laut aku dihadang oleh orang-orang yang hendak
membunuhku. Dalam keadaan pingsan perahuku mungkin sekali terombang ambing ke
pulau ini. Lalu entah apa yang terjadi aku dapatkan diriku berada di sebuah
batu datar miring berwarna merah. Baru saja aku siuman tiba-tiba ada satu benda
bersinar melayang jatuh dari angkasa, menembus ke dalam batok kepalaku. Setelah
itu aku seperti ditelan waktu. Aku melihat satu jalinan kisah seperti satu
mimpi yang panjang…”
“Hebat sekali… Hebat sekali
apa yang kau tuturkan tadi,” kata Raja Obat Delapan Penjuru Angin. “Tapi
mengapa kau masih belum mengatakan apa tujuanmu mencari pulau batu merah ini?”
“Aku mendapat tugas dari
guruku Eyang Sinto Gendeng serta dua tokoh silat yaitu Si Raja Penidur dan
Kakek Segala Tahu. Mereka menyuruh aku mencari dan mendapatkan sebuah kitab
sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa. Menurut mereka kau satu-satunya orang
yang mengetahui di mana beradanya kitab itu.”
Raja Obat Delapan Penjuru
Angin tertawa. “Aku hanya seorang tukang obat tak berguna. Kemampuanku serba
terbatas termasuk pengetahuanku. Bagaimana mungkin mereka bisa menduga bahwa
aku satu-satunya orang yang mengetahui dimana beradanya kitab sakti itu?”
”Ketika bertemu dengan Ratu
Duyung, perempuan sakti itu juga memberi tahu bahwa memang hanya kau yang
mengetahui hal kitab sakti itu.”
”Hemmmmm.. Ratu Duyung. Dia
memang manusia luar biasa. Cantik dan memiliki kepandaian tinggi,” kata si
orang tua pula. “Anak muda. Orang-orang yang menyuruhmu itu benar-benar
memberikan tugas maha berat padamu. Kau tahu mengapa mereka inginkan kitab
itu?”
“Menurut mereka dalam dunia
persilatan akan muncul sebuah kitab sakti yakni Kitab Wasiat Iblis. Barang
siapa yang memilikinya akan menjadi raja di raja dunia persilatan. Karena kitab
ini berdasarkan pada ajaran hitam yang sesat maka harus dimusnahkan. Hanya ilmu
yang terkandung dalam Kitab Putih Wasiat Dewa yang sanggup mengalahkan
kesaktian Kitab Wasiat Iblis. Kini kitab iblis itu kabarnya sudah jatuh ke
tangan seorang sakti sesat dan jahat yaitu Pangeran Matahari.”
Untuk pertama kalinya Raja
Obat Delapan Penjuru Angin meludah membuang cairan sirih dan tembakau yang ada
di mulutnya ke atas batu merah di sampingnya. Anehnya cairan itu seolah meresap
ke dalam batu, sesaat kemudian lenyap tak berbekas.
“Anak muda, selama tujuh puluh
tahun aku memencilkan diri di pulau ini…”
“Tujuh puluh tahun?” mengulang
Wiro sambil menatap lekat-lekat ke wajah si orang tua. Lalu dia memandang
sekeliling pulau. Sejauh mata memandang hanya batu, bebukitan dan pegunungan
merah yang tampak. Sama sekali tak satu tetumbuhanpun yang kelihatan. Tujuh
puluh tahun memencilkan diri? Siapa sebenarnya si Raja Obat ini?
Pemberontak yang dikejar-kejar
lalu lari ke sini?” Begitu Wiro membatin. Dia tidak tahu kalau sebenarnya si
orang tua adalah seorang Pangeran.
“Makhluk Pembawa Bala dan
dirimu adalah dua manusia terakhir yang mendatangi pulau ini setelah tujuh
puluh tahun. Kau bisa membayangkan. Sekian lama aku tak pernah meninggalkan
pulau. Bagaimana mungkin aku mengetahui segala urusan dunia persilatan di luar
sana, termasuk kitab yang kau katakan itu…?!”
”Jadi?!” seru Wiro lalu
terdiam. Hanya matanya saja yang memandang besar dan tak berkesip pada Raja
Obat yang duduk bersila di depannya dengan air muka tidak berubah. “Jadi kau
sama sekali… benar-benar kau tidak mengetahui tentang Kitab Putih Wasiat Dewa
itu?”
”Mendengarnyapun baru sekali
ini?’ jawab Raja Obat.
Wiro menarik napas panjang.
Lalu ”plaakk!” Dia menepuk jidatnya sendiri dengan telapak tangan kanan. Dia
seperti terhenyak di atas batu merah yang didudukinya.
Dalam hati dia setengah
mengeluh setengah menyumpah. “Celaka! Percuma aku jauhjauh menyabung nyawa!
Lebih baik mati saja agar tidak kecewa sebesar ini!” Saking kesalnya Wiro lalu
garuk-garuk kepalanya hingga rambutnya yang gondrong awutawutan.
Kemudian dia memandang pada si
Raja Obat tak berkesip. Satu hal teringat dalam benaknya. “Jangan-jangan si
muka belang ini Raja Obat palsu pula dan hendak memuslihatiku!” pikir Pendekar
212.
”Raja Obat,” ujar Wiro pula.
“Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di pulaumu ini aku mendengar suara
orang menyanyi. Bukankah kau yang menyanyi itu?”
Si Raja Obat tidak menjawab.
Hanya menatap Wiro dengan air muka tidak berubah. Namun sesaat kemudian dia
bertanya. “Mengapa kau bertanya begitu?”
“Ah, tidak apa-apa!” jawab
murid Sinto Gandeng. ”Suara yang menyanyi jelek tak enak didengar. Lebih bagus
suara kaleng rombeng diberi batu lalu digoyanggoyang…”
Wiro melirik. Dilihatnya paras
belang si orang tua agak berubah sedikit.
Dalam hati Wiro tertawa. ”Rasakan
kau. Kena batunya aku sindir!” Lalu dia meneruskan.
”Tapi bait-bait dalam
nyanyiannya itu mengingatkan aku akan sesuatu!”
“Sesuatu apa?” tanya Raja
Obat.
“Bahwa berdusta atau
memuslihati orang itu hanyalah pekerjaan manusiamanusia culas seperti Makhluk
Pembawa Bala yang sudah kojor itu. Tak layak dilakukan oleh orang-orang yang
dianggap mempunyai kepentingan untuk berbaik budi dan menolong sesamanya…”
“Ah, aku ingat pada seorang
Biksu di Kotaraja. Ucapanmu hampir bersamaan dengan Biksu itu. Kau punya bakat
jadi Biksu!” Raja Obat lalu tertawa gelak-gelak.
“Menjadi Biksu, menjadi pemuka
agama atau tokoh silat ataupun hanya seorang rakyat jelata sepertiku sama saja.
Seseorang tidak dipandang dari siapa dirinya. Tapi dari apa yang dikatakannya
dan apa yang dilakukannya!” jawab Wiro pula. Lalu dia melirik lagi. Kembali
dilihatnya tampang si Raja Obat yang belang biru itu berubah. ”Rasakan!” maki
Wiro lagi dalam hati.
“Anak muda, bait-bait dalam
nyanyian itu setahuku tak ada sangkut pautnya dengan apa yang kau ucapkan…”
”Nah, nah!” kata Wiro dalam
hati seraya menyeringai. “Secara tidak langsung dia mengakui bahwa memang
dialah si penyanyi. Tapi biar saja aku tak mau membuatnya malu.”
Sambil menggaruk kepalanya
Wiro kemudian berkata.
“Raja Obat, nyanyian yang
kudengar itu seolah Menceritakan tentang seorang tua renta yang telah puluhan
tahun menunggu kedatangan seorang budak malang. Pertemuan dengan budak itu
adalah akhir penantian datangnya satu harapan bahwa dia akan kembali menghadap
Yang Kuasa tanpa beban batin. Aku berharap, akulah budak malang dalam nyanyian
itu dan kaulah orang tua gagah yang melakukan penantian!”
Raja Obat Delapan Penjuru
Angin menatap wajah Pendekar 212 beberapa ketika lalu tertawa gelak-gelak.
”Wiro, dalam sikap bodohmu ternyata
kau adalah seorang cerdik. Memang aku telah menunggumu sejak tujuh puluh tahun
yang lalu…”
”Tujuh puluh tahun yang lalu?”
ulang Wiro dengan nada tidak percaya dan mata membesar. ”Gila! Saat itu aku
masih belum lahir. Jadi anginpun rasanya belum!” Raja Obat tertawa.
”Tujuh puluh tahun lalu ada
dua kejadian yang tak pernah kulupakan. Pertama, kedatangan seorang utusan
Kerajaan bernama Lawunggeni. Meminta obat untuk puteri Sri Baginda yang adalah
juga adikku lain ibu…”
Terkejutlah Wiro mendengar keterangan
Raja Obat itu.
”Jadi, kalau begitu kau adalah
seorang Pangeran!” katanya.
Si orang tua hanya tersenyum
kecil. “Sri Baginda mengucilkan diriku karena malu mempunyai seorang anak
bermuka cacat seperti ini… Selama bertahun-tahun aku dibuang di sebuah hutan.
Aku hidup sendirian hanya berteman alam. Tetumbuhan dan binatang. Ibuku jatuh
sakit. Jiwanya terguncang hebat. Diam-diam dia meninggalkan kawasan Istana
tanpa seorangpun mengetahui. Saat ini kurasa dia sudah tak ada lagi.”
“Aku ikut sedih mendengar
kisahmu. Lalu bagaimana kau bisa menjadi seorang ahli dalam ilmu pengobatan…?”
tanya Wiro pula.
“Tuhan memberi petunjuk, alam
memberi jalan. Selama di hutan aku mengetahui dan mempelajari bahwa akar
pepohonan, kulit dan daun tetumbuhan, darah dan daging serta kulit binatang
masing-masing mempunyai daya pengobatan yang ajaib…”
“Di hutan, aku bisa memaklumi
karena hutan mengandung seribu satu macam obat jika manusia memang mau
menyelidiki. Tapi di pulau batu ini. Seperti yang aku lihat sama sekali tidak ada
pohon, tetumbuhan, apa lagi binatang!”
”Tuhan menjadikan obat bukan
hanya dari tetumbuhan dan hewan. Tapi juga dari batu! Dengan batu merah di
pulau inilah aku menyembuhkan adik perempuanku dari kelumpuhan. Juga dengan
batu merah pula aku menolongmu hingga luka dalammu yang parah bisa sembuh dan
tulang pipimu yang retak bisa bertaut kembali…”
“Luar biasa! Batu bisa
dijadikan obat… Bagaimana caranya?” tanya Wiro terheran heran.
“Kalau tidak melihat sendiri
memang sulit mempercayai,” sahut Raja Obat. Lalu dengan dua tangan kanannya
ditusuknya batu di depannya hingga pecah berkepingkeping. Diambilnya satu
kepingan batu yang lancip tajam. Dengan gerakan tak terduga Raja Obat lalu
menorehkan batu itu ke lengan Pendekar 212 hingga Wiro berseru kaget dan kesakitan.
Darah mengucur dari daging lengannya yang terkoyak.
“Apa yang kau lakukan ini?!”
teriak Wiro.
“Kau ingin membuktikan bahwa
batu bisa dijadikan obat. Bukan begitu?!”
“Tapi kau bukan mengobatiku.
Malah mencelakai!” teriak Wiro lagi.
Tenang saja si Raja Obat ambil
dua pecahan batu merah. Lalu diremasnya hingga kepingan-kepingan batu itu
menjadi hancur sehalus bubuk. Bubuk batu merah ini kemudian ditebarnya di atas
goresan luka pada lengan Wiro. Asap tipis mengepul dari luka itu. Ketika asap
lenyap luka di lengan Wiro telah bertaut kembali. Yang terlihat hanya tebaran
bubuk merah. Begitu si orang tua menyapu bubuk itu maka terlihat keadaan lengan
Wiro seperti semula seolah tak pernah terluka sedikitpun!
“Bukan main. Kau memang hebat
dan pantas menyandang gelar Raja Obat Delapan Penjuru Angin!” memuji Wiro
seraya garuk-garuk kepala. “Sekarang, apakah kau masih tak mau menceritakan
perihal Kitab Putih Wasiat Dewa itu?”
Orang tua di hadapan Wiro
tersenyum. “Kau pandai mengatur jalan percakapan. Tapi akhirnya kau tetap pada
tujuan semula. Aku suka padamu anak muda. Aku hanya berkisah satu kali. Jadi
kau dengar baik-baik.”
***
BAB IX
TUJUH puluh tahun yang silam,
menurut Raja Obat Delapan Penjuru Angin sesosok tubuh buntung tanpa tangan dan
kaki terdampar ke pulau batu merah lewat sebuah terowongan di bawah pulau.
“Menurut taksiranku, orang itu
berusia hampir sama denganku, yaitu sekitar tiga puluh tahun. Melihat kepada
kulit dan wajahnya aku yakin dia berasal dari Tiongkok. Orang Cina…”
Wiro yang ingat pada penuturan
Ratu Duyung langsung saja memotong. “Ratu Duyung pernah mengatakan padaku,
orang Cina itu adalah Ki Hok Kui, murid Kanjeng Sri Ageng Musalamat yang
bergelar Tiat Thouw Houw alias Harimau Kepala Besi!”
Raja Obat tersenyum. “Selain
keterangan Ratu Duyung apakah kau ingat dengan apa yang terjadi dengan dirimu
sebelumnya? Di luar sadarmu kau tenggelam ke dalam alam gaib masa tujuh puluh
tahun yang lalu itu…”
“Betul sekali. Dalam alam aneh
itu aku melihat segala sesuatunya seolah-olah aku berada di dalamnya. Bahkan
aku melihat Jenderal Suma bercinta polos-polosan dengan kekasih gelapnya yang
bernama Louw Bin Nio bergelar Tjui-hun Hui-mo alias Iblis Terbang Pencabut
Nyawa…”
“Hal-hal yang agak seronok
rupanya melek baik-baik dalam benakmu, anak muda!” menyindir Raja Obat hingga
Wiro hanya bisa mesem-mesem sambil garuk kepala.
Si orang tua lantas
melanjutkan penuturannya.
”Aku berusaha mengobati luka
pada empat anggota badannya yang buntung dan memasukkan bubuk batu merah ke
dalam mulutnya. Satu hal menarik perhatianku. Pada dada orang Cina ini ada
terikat sebuah kitab. Mungkin terbuat dari daun lontar. Aku sempat membaca
tulisan pada sampul kitab. Di situ tertulis Kitab Putih Wasiat Dewa…”
Murid Sinto Gendeng hampir
terlonjak mendengar keterangan si Raja Obat. “Apa yang terjadi kemudian? Apa
yang kau lakukan?” tanyanya.
“Sesuatu yang tak terduga
terjadi dengan sekonyong-konyong. Aku belum sempat turun memasuki lobang di
ujung terowongan itu. Tiba-tiba terjadi satu gempa dahsyat. Batu merah di dasar
lubang terowongan rengkah. Sosok Ki Hok Kui itu amblas ke bawah. Setahuku di
bawah sana ada sebuah terowongan lagi. Dia pasti jatuh ke sana…”
“Raja Obat,” kata Wiro dengan
suara bergetar, ”Jadi kau tak sempat mengambil Kitab Putih Wasiat Dewa yang kau
lihat terikat di dada Ki Hok Kui?!”
Orang tua itu menggeleng. “Aku
juga tak mungkin menolong Ki Hok Kui karena setelah dia amblas celah batu di
dasar lobang terowongan secara aneh bertaut kembali setelah terjadi gempa
berikutnya…”
”Jadi kitab sakti itu ikut
amblas bersama sosok Ki Hok Kui?” tanya Wiro dan dia tak perlu menunggu
jawaban. Untuk kedua kalinya murid Sinto Gendeng ini seperti terhenyak. “Raja
Obat, selama tujuh puluh tahun mendekam di pulau ini apakah kau mengetahui
kalau Hok Kui masih hidup atau sudah mati di dasar terowongan batu sana? Apa
kau tak pernah menyelidik dengan masuk ke dalam laut lalu mencari terowongan
kedua itu?”
“Sebentar lagi aku akan
membawamu ke mulut terowongan yang bermuara di dalam lautan itu. Kau akan
saksikan sendiri apa penghalangnya. Di laut sekitar terowongan atas maupun
bawah siang malam selalu berkeliaran ikan-ikan hiu penyantap daging manusia!”
“Jangan-jangan orang itu sudah
menemui ajalnya…” kata Wiro perlahan. Putuslah harapannya untuk mendapatkan Kitab
Putih Wasiat Dewa. Tubuhnya terasa lemas. Pandangannya kosong. Lalu dia
berpaling pada Raja Obat. “Orang tua, seperti kusaksikan tak ada pohon tak ada
tetumbuhan pulau ini. Selama tujuh puluh tahun berada di sini kau hidup makan
apa…?”
“Rezeki dari Tuhan selalu ada
bagi setiap hambaNya,” Jawab Raja Obat. “Ombak melempar berbagai macam ikan ke
mulut terowongan. Binatang-binatang itulah yang jadi santapanku.”
“Maksudmu kau panggang dulu
atau bagi mana?”
“Tak ada api di pulau ini. Tak
ada kayu untuk pemanggang…”
“Jadi kau makan
mentah-mentah?”
Raja Obat tersenyum. “Tak ada
makanan paling sedap di dunia ini selain ikan mentah yang segar.”
Tenggorokan Pendekar 212 jadi
turun naik mendengar ucapan itu.
“Eh, kulihat tenggorokanmu
turun naik. Seleramu menitik rupanya mendengar nikmatnya ikan mentah…”
“Justru aku seperti mau
muntah!” jawab Wiro polos.
Raja Obat tertawa mengekeh.
“Justru kau akan segera mencobanya, anak muda. Kecuali kalau kau ingin berpuasa
selama kau berada di sini.”
”Aku akan berusaha mencapai
terowongan tempat Ki Hok Kui berada…”
Raja Obat menarik napas dalam
lalu berkata, ”Puluhan tahun berada di sini aku telah berulang kali mencoba hal
itu. Lewat mulut terowongan di dalam laut selalu gagal karena terhalang oleh
ikan-ikan hiu buas. Pernah pula kucoba untuk membobol dari atas sini agar ada
jalan tembus ke terowongan di bawah sana namun sia-sia saja. Jari-jari tanganku
tak mampu melakukannya. Setiap kucungkil batu merah di atas terowongan dengan
jari-jari tanganku secara aneh beberapa hari kemudian batu itu membentuk
lapisan baru di atasnya.”
“Menurutmu apakah Ki Hok Kui
masih hidup di bawah sana?” tanya Wiro.
”Itulah yang aku masygulkan…”
sahut Raja Obat.
”Apakah kau pernah mencium bau
busuknya mayat manusia?”
Raja Obat menggeleng.
”Kalau orang itu masih hidup
tentu dia sudah tua renta sepertimu. Kalau ternyata dia sudah meninggal lama,
berarti sia-sia semua apa yang telah aku lakukan!”
”Kau memiliki ilmu pukulan
yang hebat. Bagaimana kalau kau coba membobolkan terowongan sebelah atas agar
bisa tembus ke terowongan sebelah bawah?”
“Aku akan coba! Baiknya
sekarang juga. Tapi… Raja Obat, apakah kau tidak kedinginan hanya menutupi
tubuhmu dengan sehelai kain sekecil itu?”
”Aku sudah terbiasa dengan
alam di pulau ini. Namun untuk sopannya biar aku mengambil pakaian dulu. Aku
tahu kau tak suka memandangi tubuh tua kurus kering seperti jerangkong ini.
Lain halnya kalau aku seorang gadis berwajah cantik dan punya badan mulus. Ha…
ha… ha… !”
Raja Obat membawa Wiro ke
sebuah lekukan batu. Di dalam lekukan batu ini terletak sebuah peti terbuat
dari besi yang bagian luarnya sudah karatan. Terdengar suara berkereketan
ketika penutup peti dibuka. Dari dalam peti ini Raja Obat mengeluarkan sebuah
jubah putih yang langsung dikenakannya. Dari sini dia membawa Wiro ke
pertengahan pulau batu di mana terdapat satu lobang yang merupakan ujung sebuah
terowongan. Dasar lobang digenangi air dan beberapa ekor ikan sebesar ibu jari
kaki kelihatan berkeliaran kian kemari.
“Itu makananku…” kata Raja
Obat sambil menunjuk pada ikan-ikan itu. ”Nah kau sudah siap?”
“Apa yang harus aku lakukan?”
tanya Wiro.
“Kerahkan tenaga dalam penuh.
Lepaskan pukulan saktimu yang paling hebat. Hantam dasar lobang itu. Di bawah
sana ada sebuah lobang yang merupakan ujung terowongan di mana Ki Hok Kui
berada. Jika kau mampu menjebol dasar terowongan ini, kita akan bisa melihat
apakah Ki Hok Kui masih hidup dan apakah Kitab Putih Wasiat Dewa Hu masih ada
padanya…”
Wiro segera melangkah lebih
dekat ke tepi lobang. Tangan kanannya diangkat. Tenaga dalam dialirkan penuh.
Tangan kanan itu segera berubah menjadi seputih perak, panas dan menyilaukan.
“Raja Obat…” tiba-tiba Wiro
berpaling dan turunkan tangannya.
”Ada apa?” tanya si orang tua
heran.
“Jika lobang itu kuhancurkan,
kau akan kehilangan tempat penampungan ikanikan yang jadi santapanmu
sehari-hari…”
Raja Obat jadi terkejut
mendengar ucapan Pendekar 212 itu. “Eh, anak muda. Kau benar juga. Tapi… Hemmm!
Ya sudah! Hantam saja! Soal makananku biar kita pikirkan nanti saja!” kata
orang tua itu akhirnya.
Wiro lalu angkat tangan
kanannya. Tapi mendadak dia turunkan tangannya kembali dan memandang pada Raja
Obat.
“Eh, ada apa lagi?” tanya
orang tua itu.
”Bagaimana kalau pukulan
saktiku bukan saja menghancurkan lobang itu tapi menciderai bahkan bisa
membunuh Ki Hok Kui di bawah sana…?”
“Ah, ini susahnya!” ujar Raja
Obat sambil usap-usap dagunya yang berjanggut putih panjang.
Tiba-tiba Wiro ingat akan ilmu
Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung. “Biar kucoba…” katanya. Lalu
matanya diarahkan tepat-tepat pada lobang batu merah. Tenaga dalam dialirkan ke
kepala. Sepasang matanya kemudian dikedipkan dua kali.
”Eh, apa yang tengah dilakukan
anak ini,” bertanya Raja Obat dalam hati. Samar-samar Wiro melihat sebuah
lobang lain di bawah lobang yang ada di hadapannya. Namun hanya itu yang mampu
dilihatnya. Setelah itu seperti ada satu kekuatan dahsyat menerpa ke arahnya
membuat kepalanya terhuyung ke belakang dan kedua matanya sakit laksana
dicucuk.
“Kau barusan melakukan apa?!”
tanya Raja Obat.
Wiro hanya menggelengkan
kepala. Hatinya bimbang. Namun saat itu didengarnya Raja Obat berkata. “Kau mau
melakukan atau tidak? Tak ada jalan lain untuk mengetahui apakah orang itu ada
di terowongan kedua atau tidak. Terserah padamu anak muda… Tugasku sudah
selesai memberi petunjuk…”
Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Tadi aku memang tidak melihat apa-apa di dalam lubang kedua. Namun mungkin
saja Ki Hok Kui berada di dalam terowongan, tak jauh dari lobang itu…”
“Bagaimana Wiro?!” Raja Obat
bertanya dengan nada mendesak.
“Baiklah. Aku terpaksa
melakukan. Kalau orang Cina itu sampai mati oleh pukulan saktiku, dosanya biar
kau yang tanggung!”
“Apa?! Tunggu dulu! seru Raja
Obat. “Enak saja kau bicara!”
Wiro menyeringai.
“Kalau kau tak mau menanggung
sendirian, baik. Kita bagi dua. Kau menanggung separuh, dosa yang separuh lagi
aku yang tanggung. Adil ‘kan?!”
“Gila!” maki Raja Obat.
“Dunia ini memang sudah gila
Raja Obat. Suka atau tidak kita sebenarnya telah ikut larut dalam kegilaan
itu!” jawab Wiro pula.
“Kalau begitu kau hantamlah!”
kata Raja Obat akhirnya.
“Tidak, sebelum kau mengatakan
setuju dosa pembunuhan ini dibagi dua!”
Raja Obat menggerutu panjang
pendek. “Sukamulah! Aku menurut saja!”
***
BAB X
DIDAHULUI satu bentakan keras
Wiro hantamkan tangan kanannya ke dalam lobang. Sinar putih menyilaukan
berkiblat. Satu dentuman keras menggelegar. Pulau batu merah itu bergetar
laksana dilanda gempa. Baik Wiro maupun Raja Obat sama-sama terpelanting dan
jatuh duduk beberapa tombak jauhnya dari lobang terowongan.
”Kau tak apa-apa, Raja Obat?”
tanya Wiro.
“Aku baik-baik saja, cuma
pantatku terasa geli-geli!” jawab Raja Obat yang membuat Wiro
tergoncang-goncang menahan tawa. “Ayo kita lihat apa hasil hantamanmu!”
Kedua orang itu segera bangkit
berdiri dan melangkah ke tepi lobang batu merah. Dua pasang mata memandang
terperangah dan melotot ke dalam lobang batu lalu saling pandang satu sama
lain.
“Kau saksikan sendiri Wiro.
Ada kekuatan aneh yang tak bisa kita tembus…”
Wiro garuk-garuk kepala dan
terduduk di tepi lobang. ”Tidak mungkin… Tidak mungkin!” katanya berulang kali.
“Apa yang tidak mungkin?”
tanya si Raja Obat.
Wiro tak menjawab. Dia berdiri
dan melangkah cepat ke arah satu gundukan batu merah setinggi manusia yang
terletak kira-kira lima tombak dari tempat mereka berada. Dua tombak dari
gundukan batu itu Wiro berhenti. Tangan kanannya diangkat ke atas. Tenaga dalam
dikerahkan. Lalu “wuusss!”
Sinar putih panas berkiblat.
”Braaakkk! Byaaarr!”
Satu dentuman keras
menggelegar.
Gundukan batu di depan sana
hancur berantakan. Setiap kepingan yang mencelat ke udara seolah berubah
menjadi bara menyala dan mengepulkan asap!
Raja Obat terkesiap
menyaksikan kejadian itu. Sebaliknya seperti tak percaya Wiro memandang hancuran
batu lalu perhatikan tangan kanannya.
“Orang tua, kau saksikan
sendiri pukulan Sinar Matahari yang baru kulepaskan sanggup menghancurkan
gundukan batu besar, tebal dan tinggi itu. Lalu…” Wiro berpaling ke arah lobang
terowongan. Penasaran, dengan langkah cepat dia mendatangi, berdiri di tepi
lobang lalu menghantam.
Untuk kesekian kalinya pulau
batu merah itu dilanda gelegar dentuman dan bergetar hebat. Wiro yang berada di
tepi lobang terbanting jatuh punggung. Raja Obat tergontai-gontai lalu roboh!
Tak perduli tulang punggung
dan tulang pantatnya sakit murid Sinto Gendeng cepat berdiri dan melangkah ke
tepi lobang batu. Si Raja Obat mengikut dari belakang. Ketika keduanya
memandang ke bawah, masing-masing sama keluarkan seruan tertahan. Seperti tadi,
lobang batu itu tidak mengalami kerusakan sedikitpun. Air laut tergenang jernih
dan ikan kecil-kecil masih berenang kian kemari!
Raja Obat pegang bahu Pendekar
212 lalu berkata. “Wiro, ada satu kekuatan yang tak bisa kita kalahkan. Mungkin
ini membawa pada satu petunjuk…”
”Bagiku petunjuknya sudah
jelas,” kata Pendekar 212 pula.
“Apa maksudmu?”
“Aku tidak berjodoh dengan
Kitab Putih Wasiat Dewa itu!”
“Jangan cepat berputus asa…”
“Raja Obat, aku bukan orang
yang mudah menyerah. Tapi kalau kenyataan begitu rupa kurasa tak ada gunanya…”
”Dengar anak muda! Dengar dulu
ucapanku! Tujuh puluh tahun silam. Sehari setelah Ki Hok Kui amblas ke dalam
terowongan kedua, pada malam harinya aku bermimpi. Tidak… Bukan bermimpi! Tapi
ada yang datang padaku. Mula-mula aku dengar suara tiupan seruling. Tak lama
kemudian menyusul gelegar suara auman binatang buas yang menggetarkan seantero
pulau. Setelah itu muncul bayangan seorang tua bertubuh sangat tinggi.
Mengenakan selempang kain putih. Bola matanya berwarna biru angker. Dia
memegang sebatang tongkat kayu putih. Di pinggangnya tersisip sebuah salung,
yakni seruling khas orang seberang. Dia tidak datang sendiri tapi membawa
seekor binatang besar. Seekor harimau putih yang memiliki mata hijau
menggidikkan. Sosok tubuh mereka antara ada dan tiada, seolah terbuat dari asap
atau kabut tipis. Namun apa yang diucapkannya cukup jelas masuk ke telingaku.
Aku masih ingat katakatanya.
”Pangeran Soma, anak manusia
bergelar Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Aku Datuk Rao Basaluang Ameh dan
sahabatku ini adalah Datuk Rao Bamato Hijau. Hari ini sesuatu telah terjadi di
pulau dan kau tahu apa yang terjadi itu".
Seorang anak manusia yang
datang dari negeri jauh atas kehendak Yang Kuasa telah tersesat ke pulau ini
dan mendekam dalam terowongan batu yang menjadi sumber kehidupanmu. Dia datang
membawa sebuah kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa. Kitab ini berusia
ratusan tahun dan dititipkan secara turun temurun pada orangorang tertentu.
Kitab ini mengandung satu ilmu kesaktian yang mampu membendung angkara murka
disebabkan oleh perbuatan manusia-manusia iblis. Hanya ilmu dalam kitab inilah
yang akan sanggup menumpas ilmu jahat dan segala ilmu hitam yang hendak
menguasai dunia secara keji.
Namun kitab ini hanya berjodoh
pada satu orang yang telah ditentukan oleh takdir. Tujuh puluh tahun dari
sekarang orang itu akan muncul di pulau ini. Kepadanyalah kau harus memberi
tahu di mana kitab itu berada. Kau berada di bawah satu amanat. Jika kau
memberitahukan hal ihwal kitab itu pada orang lain yang tidak berhak, maka
malapetaka akan jatuh atas dirimu…”
Raja Obat memandang pada Wiro
dan berkata. “Waktu itu entah aku sadar entah tidak, aku bertanya pada orang
tua yang muncul membawa harimau putih itu. Datuk Rao, tujuh puluh tahun bukan kurun
waktu yang pendek. Apakah aku masih akan hidup selama itu? Sang Datuk menjawab.
Pangeran Soma soal umur, soal hidup dan mati manusia hanya Tuhan yang tahu. Kau
tak usah pertanyakan hal itu Aku masih belum puas. Lalu aku bertanya lagi.
Siapa adanya orang yang akan muncul itu? Bagaimana aku tahu bahwa dialah
orangnya? Datuk Rao menjawab. Lihatlah ke samping kirimu Pangeran.
Perhatikan baik-baik. Kau akan
melihat bayangan orang yang kumaksudkan itu. Aku lalu berpaling ke kiri.
Tiba-tiba saja seperti dalam kabut, aku melihat sosok seorang pemuda kekar,
berambut gondrong, mengenakan pakaian serba hitam. Bajunya tidak berkancing.
Tiupan angin menyingkapkan pakaiannya dan aku melihat ada tiga rajah di
dadanya. Angka 212! Sosok yang kulihat itu ternyata adalah dirimu, Wiro! Ketika
tadi pertama kali aku melihat kau aku tahu bahwa memang kaulah orang yang aku
tunggu selama kurun waktu tujuh puluh tahun itu. Sebelum pergi Datuk Rao
Basaluang Ameh mengajarkan sebait nyanyian padaku. Aku menyanyikan lagu itu pada
saat aku mengetahui kedatanganmu di pulau ini.”
”Bagaimana kau bisa mengetahui
kedatanganku?” tanya Wiro ingin tahu.
”Datuk Rao juga memberikan
sebuah benda aneh padaku. Katanya pada saat aku mengetahui kau akan datang batu
itu harus aku letakkan demikian rupa lalu merapal satu bacaan. Lalu berseru
begini:
Terbanglah tinggi membubung
angkasa. Melayanglah turun
menukik bumi. Cari dan
dapatkan anak manusia penerima Delapan Sabda Dewa. Di
dalam dirimu ada petunjuk. Di
dalam dirinya ada kekuatan untuk menangkal
malapetaka. Ingat hanya ada
satu kekuatan dan satu kekuasaan di delapan penjuru
angin. Gusti Allah tempat
semua kekuatan itu berpulang menjadi satu. Batu sakti batu
pembawa petunjuk. Terbanglah
tinggi membubung angkasa. Melayanglah turun menukik
bumi. Cari dan dapatkan anak
manusia penerima Delapan Sabda Dewa”
Wiro ternganga mendengar
ucapan si orang tua. Sambil memegang lengan Raja Obat dia berkata. ”Aku Ingat!
Waktu itu hari baru berganti malam dan aku baru saja sadar dari pingsan.
Sebelumnya memang aku mendengar ada nyanyian aneh. Kau yang bernyanyi. Lalu
belum sempat aku berdiri tiba-tiba di angkasa aku melihat ada sebuah benda
bercahaya melayang turun cepat sekali. Laksana kilat! Kukira bintang jatuh! Aku
jadi kaget setengah mati ketika menyadari benda bercahaya itu jatuh ke arahku,
masuk ke dalam batok kepalaku! Aku menjerit. Sekujur tubuhku terasa dingin
bukan kepalang seolah aku dipendam di dalam gunung es. Ketika aku siuman ada
beberapa keanehan. Luka di keningku sembuh dengan sendirinya. Lalu aku sadari
penuh dalam pingsanku aku melihat apa yang terjadi di daratan Tiongkok masa
tujuh puluh tahun lalu sampai akhirnya Ki Hok Kui dibantai secara keji dan
mencebur masuk ke dalam laut tak jauh dari pulau ini.”
Raja Obat anggukkan kepalanya
beberapa kali lalu berkata. “Kedatanganmu telah kuketahui dalam mimpiku malam
tadi. Aku melihat satu ombak besar bergulung menuju pulau batu merah ini. Di
atas ombak aku lihat sosok dirimu. Dari mimpi itu aku sudah maklum bahwa kau
akan segera datang ke tempat ini. Itu sebabnya dari pagi aku sudah duduk
menunggu sambil melantunkan nyanyian yang diajarkan Datuk Rao Basaluang Ameh…”
Raja Obat hentikan keterangannya. Dia menatap pada pemuda yang duduk di
hadapannya. Sejurus kemudian dia berkata lagi. “Kau tadi menyebut Delapan Sabda
Dewa. Dalam kemunculannya tujuh puluh tahun lalu Datuk Rao pernah
menyebutnya…Apa kau ingat unsur-unsur delapan sabda itu?”
Wiro mengangguk.
“Coba kau sebutkan,” kata Raja
Obat pula ingin menguji.
“Tanah, air, api, udara,
bulan, matahari, kayu dan batu…”
Si orang tua tersenyum lalu
mengangguk-angguk. “Hebat! Kau bisa mengingat semua. Datuk Rao pernah memberi
tahu padaku. Tapi otakku tidak setajam otakmu. Aku selalu lupa delapan sabda
itu. Apalagi kalau disuruh menyebut sesuai urut-urutannya…”
Wiro menghela napas panjang.
“Anak muda, kau tampak
gelisah, tapi juga masih ada bayangan putus asa pada wajahmu…”
“Kau berulang kali mengatakan
kitab itu berjodoh padaku. Tapi buktinya aku ataupun kau tak mampu berbuat
apa-apa. Rasanya lebih baik aku meninggalkan tempat ini. Mungkin aku perlu
minta petunjuk lebih jauh dari tua-tua dunia persilatan. Mungkin juga menemui
Ratu Duyung untuk bertanya…”
Raja Obat Delapan Penjuru
Angin terdiam.
”Aku tidak tahu bagaimana
harus mencegahmu. Aku yakin sekali bahwa Kitab Putih Wasiat Dewa memang sudah
ditakdirkan jatuh ke tanganmu, sesuai dengan petunjuk gurumu dan dua tokoh
silat yang kau katakan itu, juga sesuai amanat Datuk Rao. Yang kau perlukan
hanyalah bersabar dan mencari jalan mencari akal…”
”Bersabar telah jadi bagianmu.
Kau telah bersabar selama tujuh puluh tahun menunggu kedatanganku. Mencari
jalan dan mencari akal ada baiknya juga menjadi bagianmu…”
“Wiro, apa jadinya kalau kitab
sakti itu sampai jatuh ke tangan orang lain? Tugasmu adalah mendapatkan kitab
itu untuk menyelamatkan dunia persilatan…."
"Apa yang kau ucapkan
barusan memang betul orang tua. Tapi aku dapat mengukur kemampuan sendiri. Aku
tak mungkin mendapatkan kitab itu. Jika sampai jatuh ke tangan orang lain maka
itu adalah takdir yang sebenarnya. Aku mohon maaf dan aku merasa lebih baik
pergi saja…."
Baru saja Wiro berkata begitu
tiba-tiba ada satu suara merdu terdengar di udara di antara desau angin laut.
"Kita belum saling
bertemu bertatap muka. Mengapa buru-buru hendak meninggalkan pulau yang indah
ini?!"
Raja Obat dan Wiro sama-sama
terkejut. Serta merta keduanya palingkan kepala.
***
BAB XI
Kalau Raja Obat Delapan
Penjuru Angin terkesiap dan tak percaya melihat ada seseorang tahu-tahu muncul
di pulau batu merah itu maka sebaliknya murid Sinto Gendeng keluarkan seruan
lalu bersiul panjang.
"Aaaaahhhhh…. Mungkin
yang ini yang berjodoh denganku!" kata Wiro sambil pentang matanya
lebar-lebar.
Di hadapan mereka saat itu
berdiri seorang gadis mengenakan baju panjang hitam berbunga-bunga putih.
Wajahnya cantik sekali dan sikapnya genit. Dia berdiri sambil
menggoyang-goyangkan pinggulnya dan senyum bermain di mulut. Kecantikan dan
sikap genitnya inilah yang membuat Wiro tadi sampai keluarkan siulan panjang.
"Gadis cantik aku
menghormatimu sebagai tetamu. Katakan siapa dirimu…." Raja Obat menegur.
Gadis tak dikenal itu masih
memandang pada Wiro. Tanpa mengalihkan matanya dia menjawab pertanyaan Raja
Obat.
"Orang tua kau menganggap
aku sebagai tetamu. Rupanya kau merasa diri jadi pemilik dan tuan rumah di
pulau batu gersang tak berpenghuni ini. Kalau begitu mengapa kau tidak segera
menyuguhkan minuman untuk tamu agungmu ini?" Habis berkata begitu si gadis
tertawa ha-ha hi-hi.
"Aha!" ujar Wiro.
"Suaramu semerdu kicau burung, tawamu semerdu buluh perindu. Kalau aku
boleh bertanya naik apa kau datang kemari?"
Si gadis tersenyum dan
kedipkan matanya.
”Hemmm… Jelas aku ke sini
tidak jalan kaki! Hik…hik…hik! Maunya aku ke sini digendong olehmu! Hik… hik…
hikk! Aku bukan burung jadi tak bisa terbang! Pemuda ganteng tapi tolol! Tentu
saja aku ke sini naik perahu!”
Mendengar jawaban orang Wiro
jadi garuk-garuk kepala. “Aku senang dengan gadis sepertimu. Cantik dan pandai
bergurau…”
Raja Obat memotong ucapan
Wiro. “Kau kemari tidak secara kebetulan, bukan?”
“Apa kau kira aku sengaja ke
sini untuk menyambangi dirimu dan melihat tampangmu yang jelek ini?
Hik…hik…hik. Masih banyak pemuda gagah di dunia ini yang sedap untuk dipandang.
Terus terang aku menyesal tersesat ke tempat ini. Masih untung ada seorang
pemuda gagah di sini! Hik…hik…hik… Kalau tidak kacau sudah pemandanganku!
Hik…hik…hik!
”Kau belum menerangkan siapa
dirimu…” kata Wiro lalu bangkit berdiri dan melangkah ke arah si gadis.
Terpisah tinggal tiga langkah dari hadapan gadis itu tiba-tiba Wiro mendengar
ada suara mengiang di telinganya.
“Wiro, jaga jarakmu dan
hati-hatilah. Aku melihat siapa gadis ini sesungguhnya. Di balik wajahnya yang
cantik aku melihat wajah seorang nenek berdandan mencorong…”
“Eh?!” Wiro berpaling ke arah
Raja Obat karena dia tahu orang tua itulah yang barusan menyampaikan ucapan itu
padanya. Dalam hati Wiro berkata. “Aku tidak buta. Yang kulihat jelas seorang
gadis cantik jelita. Tapi Raja Obat tak mungkin berdusta.
Apakah gadis ini siluman laut
yang menampakkan diri sebagai gadis cantik?” Wiro lalu amati sepasang kaki si
gadis. Tapi pakaiannya yang dalam menjala batu tempatnya berdiri membuat Wiro
tak bisa melihat kaki si gadis. Penasaran Wiro maju mendekat.
“Maafkan kalau aku sedikit jahil!”
kata Wiro. Lalu dengan cepat tangan kirinya menyingkap bagian bawah pakaian
panjang gadis itu. Wiro melihat sepasang kaki berkasut menginjak batu dan dua
betis putih bagus.
“Dia bukan setan bukan
siluman!” kata murid Sinto Gendeng dalam hati. “Bagaimana Raja Obat bisa bicara
begitu tadi…” Lalu Wiro turunkan kembali pakaian si gadis.
Gadis di hadapannya dongakkan
kepala dan tertawa panjang. “Kau sudah melihat betisku yang putih dan bagus.
Mengapa tanggung-tanggung. Apakah kau tidak ingin melihat bagian tubuhku yang
lain-lain?”
Paras belang Raja Obat Delapan
Penjuru Angin berubah. Sebaliknya Wiro Sableng tertawa lebar. Enak saja
mulutnya nyeplos bicara. “Kalau rejeki kami memang besar mengapa tidak ingin?
Bukankah menolak rejeki termasuk salah satu dosa?”
“Hik…hik… hik! Pemuda ganteng,
aku suka cara bicaramu. Kau suka bergurau, aku juga. Rupanya kita punya sifat
dan selera sama. Hemm. Kau bisa jadi kekasihku…”
Gadis cantik itu keluarkan
lidahnya yang merah basah dan beberapa kali membasahi bibirnya dengan ujung
lidah. “Kalau kau memang jujur mau melihat tubuhku, aku tidak akan menutup
rejekimu. Tapi bagaimana dengan sahabatmu orang tua berjubah putih itu?”
Bagian putih wajah Raja Obat
kelihatan menjadi merah. Lalu Wiro enak saja menjawab. “Tua atau muda sama
saja. Yang namanya laki-laki tidak ada beda. Sekarang terserah kau…”
Si gadis tersipu-sipu. Dia
berpaling pada Raja Obat lalu berkata. “Orang tua, kalau kau memang tidak suka
tutup saja matamu. Atau menoleh ke belakang. Tapi lebih aman kalau kau angkat
kaki meninggalkan tempat ini…”
”Sudah, tak usah perdulikan
dia!” ujar Wiro. “Apa yang hendak kau pertunjukkan padaku?”
Si gadis melirik ke arah Raja
Obat. Orang tua itu tidak beranjak dari tempatnya. Juga tidak menoleh ke
belakang atau memejamkan matanya.
”Kau benar!” kata si gadis
tiba-tiba pada Wiro.
”Benar apa?” tanya Pendekar
212.
“Tadi kau bilang laki-laki itu
tua atau muda sama saja. Sahabatmu orang tua itu ternyata tidak berpaling,
tidak memejamkan mata dan juga tidak pergi dari sini. Berarti dia juga suka!
Hik… hik… hik…”
”Wiro…” tiba-tiba mengiang
suara Raja Obat di telinga Pendekar 212. “Aku memang tidak berpaling, tidak
memejamkan mata dan juga tidak pergi dari sini. Ada satu keanehan pada gadis
itu. Aku sudah melihat. Cuma sayang kau tidak percaya. Apapun pendapatmu aku
tetap di sini dengan mata terpentang. Aku khawatir dia tadi telah mencuri
dengar apa yang kita bicarakan.”
Wiro sesaat garuk kepalanya
sambil menatap wajah cantik di depannya.
“Kau sudah siap?” tanya si
gadis.
Wiro mengangguk.
Gadis berpakaian hitam
berkembang putih itu gerakkan kedua tangannya ke bawah menyingsingkan pakaian
ke atas. Makin ke atas, makin ke atas dan lalu dengan gerakan cepat tahu-tahu
pakaian itu sudah tanggal dari tubuhnya!
Sepasang mata Pendekar 212
terpentang lebar. Darahnya mengalir lebih cepat dan sekujur tubuhnya mendadak
sontak menjadi panas menyaksikan gadis cantik tanpa selembar benangpun kini
menutupi auratnya, tegak hanya dua langkah di hadapannya dengan kaki terkembang
dan tangan bertolak pinggang. Sikapnya benar-benar menantang. Lain halnya
dengan Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Walau sepasang matanya menatapi tubuh
telanjang itu namun pandangannya tampak kosong dan di balik kebugilan si gadis
itu justru dia melihat sesuatu yang membuat hatinya diam-diam merasa cemas.
“Pemuda ganteng! Sekarang aku
menantangmu!” kata si gadis sambil kembali ulurkan lidahnya yang merah.
“Menantang bagaimana
maksudmu…?” tanya Wiro.
Si gadis tertawa cekikikan.
“Kau pura-pura tidak tahu padahal aku tahu nafsumu sudah sampai di tenggorokan!
Hik…hik…hik. Dengar aku sudah menanggalkan seluruh pakaian. Sekarang kutantang
agar kau juga membuka semua pakaianmu. Bukankah kita punya selera sama?!”
“Ah…” Wiro garuk-garuk kepala.
“Kalau sekedar melihatmu begini siapa saja suka. Aku paling nomor satu. Tapi
kalau kau suruh aku membuka pakaian, walah! Aku tidak mau jadi orok lagi!”
”Kau sungguhan tidak mau
menikmati apa yang kau lihat?
“Aku sungguhan. Melihat saja
bagiku sudah cukup. Aku tak berani lebih dari itu…”
”Kau tidak merasa rugi?”
”Rugi tidak, untung juga
tidak. Anggap saja impas!” jawab Wiro sambil menyeringai sementara di
belakangnya Raja Obat Delapan Penjuru Angin jengkel bukan main melihat sikap
dan mendengar kata kata Pendekar 212 itu.
”Dengar, tidak sepuluh tahun
sekali aku mempelihatkan diriku seperti ini. Kalau aku sudah mengenakan
pakaianku walau kau minta sambil menangis air mata darah aku tak bakal mau
menanggalkannya kembali!”
“Gadis cantik, sebaiknya kau
kenakan pakaianmu kembali. Kalau masuk angin kau bisa berabe,” kata Wiro pula.
”Hemm… Kau juga tak ingin
menyentuh tubuhku? Kau tinggal pilih bagian mana yang kau senang…”
”Terima kasih…”
“Kau berlagak malu karena ada
orang tua itu disini?”
”Bukan begitu. Sinar matahari
mulai menyengat. Sayang kalau kulitmu yang mulus sampai disengat panas…”
Gadis itu tersenyum. “Kau
jujur. Aku suka padamu. Baiklah, aku tidak akan mempermainkan dirimu lebih
lama. Akan kuperlihatkan padamu siapa aku sebenarnya…” Habis berkata begitu si
gadis lalu goyangkan pinggulnya.
***
BAB XII
MURID Sinto Gendeng tergagau
dan keluarkan seruan tertahan. Dua matanya masih terpentang lebar tapi kini dia
menyaksikan satu pemandangan berbeda seperti langit dan bumi. Sementara itu
Raja Obat Delapan Penjuru Angin tetap tenang walau diam-diam dia tetap
berwaspada. Di hadapan Wiro kini bukan lagi tegak seorang gadis berwajah cantik
dengan tubuh polos mulus. Wajah cantik itu kini telah berubah menjadi wajah
seorang neneknenek yang dilumuri bedak setebal dempul. Sepasang alis mata
diberi penghitam dan mencuat ke atas. Bibir dan pipi semerah saga. Tubuh
telanjang yang tadi begitu bagus dan mulut putih kini telah berubah menjadi
tubuh kurus kering berkulit keriput. Sepasang payudaranya yang tadi membusung
kencang kini hanya tinggal sepasang daging leper menjijikkan. Yang tetap sama
dari manusia ini hanya sanggul rambut di kepalanya hitam dan rapi.
Perlahan-lahan si nenek kenakan pakaiannya kembali.
Sambil garuk-garuk kepala Wiro
bertanya. ”Nenek cantik, siapa kau ini sebenarnya?”
Dipanggil nenek cantik
perempuan berdandan mencorong di hadapan Wiro tertawa mengekeh. ”Seumur hidup
baru sekali ini ada orang yang memanggil aku dengan sebutan itu. Nenek cantik!
Aku suka panggilan itu. Kau benar-benar suka membanyol. Aku senang bergurau.
Kita rupanya benar benar cocok satu sama lain. Apakah kau masih suka kujadikan
kekasihku?”
Ditanya begitu Pendekar 212
jadi mesem-mesem dan kembali garuk-garuk kepalanya.
“Eh, aku memperhatikan. Kalau
sedang menghadapi sesuatu yang membuatmu tercekat kau selalu menggaruk-garuk
kepalamu… Untung!”
”Untung bagaimana?” tanya Wiro
tidak mengerti.
”Untung kau menggaruk kepalamu
yang sebelah atas. Kalau kau menggaruk kepala yang lain… Hik… hik… hik!”
Wiro terbatuk-batuk mendengar
ucapan si nenek. ”Kau belum mengatakan siapa dirimu sebenarnya,” ujar murid
Sinto Gendeng.
”Juga harap terangkan ada
keperluan apa kau datang ke sini?” ikut bicara Raja Obat.
Si nenek julurkan kepalanya ke
arah Raja Obat. ”Eh, kukira kau sudah tidur tadi…” katanya sambil
senyum-senyum. “Kalau menurut umur seharusnya aku cocok denganmu. Tapi maaf
saja sobatku tua, aku lebih suka dengan anak muda ini walau aku tahu dia belum
tentu suka padaku. Hik… hik… hik…”
“Apakah kau tidak mau
menerangkan siapa dirimu?” tanya Wiro.
”Hemmm… Apa susahnya
menerangkan diriku,” jawab si nenek. Tapi mendadak dia putuskan ucapannya dan
mendongak ke langit.
”Eh, kampret tua ini mengapa
tiba-tiba menangis?” ujar Wiro dalam hati ketika melihat si nenek teteskan air
mata. Air mata itu segera berguling di atas kedua pipinya yang berbedak tebal.
Raja Obat Delapan Penjuru
Angin juga terheran heran melihat perihal si nenek.
”Nek, ada apa kau menangis…?”
Wiro bertanya seraya ulurkan tangan dan memegang lengan kiri perempuan tua itu.
Yang dipegang lalu meremas tangan Wiro dengan jari-jari tangan kanannya. Sesaat
kemudian pegangannya dilepaskan.
“Aku mempunyai seorang saudara
kembar… Namanya tak perlu kalian tahu! Dia dikenal dengan julukan Iblis Tua
Ratu Pesolek…” Sampai di situ si nenek hentikan ucapannya. Dia menyeka air mata
di kedua pipinya.
Di saat yang sama Wiro
mendengar suara Raja Obat mengiang di telinganya.
“Aku pernah dengar siapa
adanya Iblis Tua Ratu Pesolek itu. Seorang nenek yang mau melakukan kejahatan
apa saja asal diberi imbalan barang berharga seperti perhiasan, uang. Kalau
saudaranya jahat kurasa yang satu ini tidak seberapa beda. Tetap waspada anak
muda. Dia bisa merubah dirinya menjadi seekor singa lapar yang siap
menyergapmu…”
Wiro tidak perdulikan
peringatan Raja Obat. Dia malah berkata pada si nenek.
“Kalau saudara kembarmu itu
berjuluk Iblis Tua Ratu Pesolek, apakah kau menyandang gelar Iblis Muda Ratu
Pesolek…?”
Yang ditanya tersenyum sedikit
namun senyum itu tidak dapat menutup kesedihannya. “Aku tidak menyandang gelar
apa-apa. Tapi orang-orang brengsek di dunia persilatan memanggilku Iblis Putih
Ratu Pesolek. Mungkin ini disebabkan karena aku punya cara dan jalan hidup yang
bertentangan dengan kakak kembarku itu…”
“Lalu apa maksud kedatanganmu
ke pulau ini dan pakai menyamar serta telanjang segala dan tahu-tahu kini
menangis?” tanya Wiro.
“Walau kakakku orang jahat
tapi dia tetap kakak kembar sedarah sedaging. Beberapa waktu yang lalu aku
mendengar dia menemui ajal dibunuh orang. Aku berusaha mencari jenazahnya untuk
diurus baik-baik. Di samping itu aku sudah punya tekad bulat untuk mencari
siapa pembunuh jahanam itu dan membalaskan sakit hati dendam kesumat kematian
kakak kembarku…”
Raja Obat Delapan Penjuru
Angin menarik napas lega karena mengetahui bahwa perempuan tua itu datang ke
pulau bukan untuk membuat kejahatan walau tadi segala perbuatannya membuat dia
jadi panas dingin. Namun orang tua ini kembali jadi tidak enak ketika mendengar
Wiro ajukan pertanyaan.
“Lalu kau kira apakah pembunuh
kakak kembarmu itu ada di pulau ini? Dia mungkin?!” Wiro enak saja tudingkan
ibu jari tangan kanannya ke arah Raja Obat.
Iblis Putih Ratu Pesolek
gelengkan kepala. “Aku ke sini sebetulnya tersesat tidak sengaja… Dalam
perjalanan di laut selatan aku melihat sebuah benda melayang di udara.
Mula-mula kukira burung atau
kelelawar. Tapi ketika benda itu jatuh di lantai perahu ternyata adalah satu
kepala manusia, busuk dan terpanggang. Tak dapat kukenali. Namun satu hal
kuketahui kepala itu datangnya dari arah pulau ini. Lalu aku coba menyelidik
kemari. Yang kutemui kau yang ganteng dan temanmu yang tua jelek itu!”
Wiro tersenyum dan berpaling
pada Raja Obat yang saat itu dilihatnya jadi meringis asam mukanya yang belang.
“Iblis cantik…” kata Wiro
perlahan. ”Apakah kau sudah tahu siapa pembunuh kakak kembarmu itu?”
Si nenek rapikan sanggulnya,
permainkan ujung lidahnya di atas bibir. Sikapnya yang mendendam tertutup oleh
gayanya yang genit. Dia mengangguk. “Mereka berdua…” jawabnya. “Sepasang
manusia setan…”
“Apa?!” Wiro bertanya setengah
berseru karena mendadak saja dia ingat pada dua musuh besarnya.
“Yang satu bernama Tiga
Bayangan Setan. Jahanam satunya dikenal dengan nama Elang Setan!”
“Ah! Kita punya musuh-musuh
yang sama rupanya!” ujar Wiro.
“Apa maksudmu?” tanya si
nenek. “Apa mereka juga membunuh kakak kembarmu?!”
Kalau tidak menahan diri Wiro
hampir meledak suara tawanya. “Aku tidak punya saudara kembar. Kalau punya
pasti kasihan dia…”
“Eh, kasihan bagaimana?” tanya
Iblis Putih Ratu Pesolek pula sambil kerenyitkan keningnya hingga sepasang
alisnya yang tebal hitam tambah mencuat ke atas.
“Tampangku sudah begini jelek.
Kalau punya kakak kembar pasti tampangnya lebih jelek!”
Iblis Putih Ratu Pesolek tatap
wajah Pendekar 212 sesaat lalu meledaklah tawa si nenek ini.
”Wiro! Kita punya urusan
besar! Mengapa kau membuang waktu berkonyolkonyol melayani perempuan itu!”
Suara Raja Obat tiba-tiba mengiang di telinga murid Sinto Gendeng. Tapi Wiro
cuma tenang saja dan memberi isyarat dengan gerakan tangan agar Raja Obat mau bersabar.
“Satu hari suntuk aku
mendengar senda guraumu aku bisa ngompol habishabisan!”
Iblis Putih Ratu Pesolek
berucap sambil menyeka pipinya kiri kanan. Setelah hentikan ketawa dia lalu
ajukan pertanyaan.
“Tadi kau menerangkan Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan juga adalah musuh-musuh besarmu. Perbuatan keji
apa yang telah mereka lakukan terhadapmu?”
“Mereka berdua berniat
membunuhku. Mereka berhasil dan pergi begitu saja, tidak mengira kalau aku
sebenarnya masih hidup. Seseorang kemudian menolongku. Aku selamat namun dua
senjata mustika milikku mereka curi…”
“Senjata apa?”
Wiro hendak menerangkan tapi
lewat kepandaiannya mengirimkan suara secara diam-diam Raja Obat
memperingatkan. “Wiro, jangan memberi keterangan banyak pada orang yang tidak
kau ketahui siapa dan bagaimana dirinya…”
Wiro melangkah mendekati Raja
Obat dan bicara setengah berbisik. ”Dia secara jujur menceritakan diri dan
keadaannya. Menurutmu apakah aku perlu membatasi diri? Siapa tahu dia malah
bisa membantu…”
Raja Obat terdiam lalu setelah
menarik napas dalam dia berkata. “Terserah padamulah anak muda…”
“Eh, apa yang dikatakan
sahabat tuamu itu?’ tanya Iblis Putih Ratu Pesolek ketika Wiro kembali ke
hadapannya. “Tidak apa-apa, dia cuma mau mengatakan sedang sakit perut dan mau
buang hajat. Aku bilang silahkan saja tapi aku tidak menjamin kalau nanti kau
diam-diam akan mengintipnya waktu buang hajat!”
”O… lala!” si nenek pelototkan
mata tapi kemudian tertawa gelak-gelak. “Apa untungnya aku mengintip tubuh peot
begitu? Paling-paling aku cuma akan melihat terong bonyok! Hik…hik…hik!”
Kedua orang itu jadi sama-sama
tertawa riuh membuat Raja Obat selain heran juga jengkel dan mengomel dalam
hati habis-habisan.
Setelah puas tertawa Wiro lalu
menerangkan. ”Senjata milikku yang dicuri dua manusia setan itu adalah sebilah
kapak bermata dua dan pasangannya sebuah batu hitam…”
Iblis Putih Ratu Pesolek
mendongak ke langit. ”Aku tidak seperti kakakku suka malang melintang kemana
mana di rimba persilatan. Tapi kalau kau menyebut kapak bermata dua, setahuku
di dunia persilatan hanya ada satu manusia yang memiliki senjata seperti itu.
Apakah kau Pendekar…?”
Si nenek tidak teruskan
ucapannya saking hatinya terguncang keras.
”Dugaanmu tepat. Aku monyet
jelek yang dijuluki orang Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Gelar gila padahal
kemampuanku dibanding dengan dirimu aku masih kalah jauh…”
“Anak muda, nama besarmu sudah
bertahun-tahun kudengar dengan penuh rasa kagum. Rejekiku sungguh besar kalau
hari ini aku bisa bertemu denganmu. Kau pandai merendah diri. Aku benar-benar
suka padamu. Jika Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan pernah berniat keji
hendak membunuh lalu mencuri dua senjata mustikamu sedang mereka juga adalah
musuh-musuh besarku, berarti kita memang berjodoh satu sama lain. Paling tidak
untuk sama-sama seperjalanan mencari dua bangsat itu! Terakhir sekali ada yang
melihat mereka berada di muara Kali Opak, tengah bicara dengan seorang gadis
yang membawa tujuh buah payung.”
“Gadis membawa tujuh buah
payung? Ah, dialah yang menyelamatkan aku dari tangan dua setan itu…” Saat itu
Wiro jadi terkenang pada Puti Andini yang berjuluk Dewi Payung Tujuh dan
rasanya ingin sekali dia bertemu dengan gadis itu.
“Kabarnya dia cantik dan
berilmu tinggi…” kata si nenek seolah cemburu.
“Tidak secantikmu di masa
muda,” jawab Wiro yang membuat Iblis Putih Ratu Pesolek jadi terbatuk-batuk
beberapa kali.
“Pendekar 212, kau pandai
mengajuk hati orang. Apakah kau menerima ajakanku pergi seperjalanan?”
”Nenek cantik, terus terang
aku suka pergi sama-sama dengan kau. Namun…”
”Namun! Nah buntutnya ini yang
jelek!” kata si nenek yang sudah maklum kalau sang pendekar tak mungkin
diajaknya pergi sama-sama.
“Jangan salah mengira. Selain
masih punya urusan yang belum selesai di tempat ini, aku juga mendapat
keterangan bahwa dua senjata mustikaku itu telah diserahkan oleh dua setan tadi
pada seseorang…”
“Berarti Tiga Bayangan Setan
dan Elang Setan telah diperalat seseorang untuk membunuhmu dan mencuri kapak
serta batu mustika itu… ‘
“Tepat sekali!”
“Apa kau sudah tahu siapa
biang racunnya?”
Wiro anggukkan kepala. “Dia
musuh bebuyutanku, seorang pendekar sesat dikenal dengan julukan Pangeran
Matahari”
Paras si nenek mendadak sontak
berubah. Jangan-jangan dia juga yang membunuh saudara kembarku…”
”Kau harus memastikan hal itu
agar tidak kesalahan tangan…”
“Tapi bagaimanapun juga Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan memang sudah saatnya harus disingkirkan dari
muka bumi. Kejahatan mereka sudah bertumpuk, lebih tinggi dari gunung! Dan
bangsat yang bernama Pangeran Matahari itu kabarnya telah memiliki satu ilmu
baru. Ilmu Iblis yang bersumber pada sebuah kitab…” (Seperti diketahui yang
membunuh Iblis Tua Ratu Pesolek adalah Pangeran Matahari. Baca Episode I:
Wasiat Iblis)
“Kitab Wasiat Iblis! Dia
memang telah memiliki kitab itu. Yang akan menjadikannya raja di raja dunia
persilatan…”
“Kalau tidak ada yang mencegah
kiamatlah dunia persilatan ini…”
“Nenek cantik, mengingat kau
juga digelari orang sebagai perempuan iblis, maaf bicara aku masih belum tahu
kau ini di pihak mana adanya…”
Si nenek tersenyum. ”Tadi
sudah kukatakan, jalan hidupku berbeda dengan kakak kembarku. Nasib dan mukaku
yang jelek. Tapi hatiku rasa-rasanya tidak seperti itu. Cuma terus terang
sebagai manusia biasa walau mungkin sudah bau-bau tanah kalau ada lelaki yang
mau bercumbu denganku masakan aku menolak. Apa kau punya minat anak muda? Kalau
kau sudah tua sepertiku nanti, kelak kau akan merasakan sendiri bahwa
rangsangan itu makin dikekang semakin mau meledak. Kalau kau tidak percaya coba
tanyakan saja pada kawanmu si tua itu. Tapi kurasa dia malu-malu mengakuinya,
hik…hik…hik!” Iblis Putih Ratu Pesolek lalu tertawa cekikikan.
“Nenek cantik, perbedaan
antara kita tidak menghalangi untuk bersahabat…”
“Hanya bersahabat, tidak pakai
cumbu-cumbuan segala?” tanya si nenek.
“Itu bisa kita bicarakan
nanti…”
“Anak muda gila!” makian itu
mengiang di telinga Wiro. “Jangan kau berani membuat janji dan memberikan
harapan pada orang seperti dia. Sekali dia menagih dia akan mengejarmu sampai
ke liang kubur sekalipun!”
Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Kau menggaruk kepala, pasti
ada sesuatu yang menyekat hatimu. Aku tahu sejak tadi sahabat tuamu secara
diam-diam mengirimkan ucapan-ucapan padamu walau aku tidak tahu apa yang
dikatakannya…”
“Tak usah perdulikan sahabatku
itu. Dia orang tua yang baik…”
”Baiklah pemuda gagah. Aku
sungguh gembira bisa bertemu dengan pendekar besar yang selama ini kukagumi
segala tindak tanduknya. Aku setuju dengan kata-katamu tadi. Persahabatan
melebihi segala-galanya. Tapi kalau ada bumbu-bumbunya tentu akan lebih sedap
bukan?” Si nenek mendongak ke langit. “Matahari sudah tinggi. Aku harus
tinggalkan tempat ini untuk mencari manusia keji penyebab kematian kakak
kembarku.
Sebelum pergi aku ingin
tanyakan satu hal padamu. Apakah hari sepuluh bulan sepuluh punya arti bagimu?”
“Hari sepuluh bulan sepuluh…?”
ulang Wiro dan coba mengingat-ingat. Lalu dia menggelengkan kepala walau agak
meragu.
“Ini ada artinya bagimu?”
tanya si nenek lagi. Lalu dari balik dada pakaiannya dia mengeluarkan secarik
kertas yang sudah lecak. “Bacalah!” katanya seraya menyerahkan kertas itu pada
Wiro.
Wiro mengambil kertas yang
disodorkan. Di situ tertera sebait tulisan. Hari Sepuluh Bulan Sepuluh di
Pangandaran.
Begitu membaca apa yang
tertulis di kertas tersebut paras Pendekar 212 mendadak berubah. Dia lalu tepuk
kepalanya sendiri. ”Astaga!” desisnya.
“Kau ingat sekarang, anak
muda?” ujar si nenek.
Wiro mengangguk. “Dari mana
kau mendapatkan surat ini? Siapa yang membuatnya?”
“Seorang sahabat…”
“Iblis Pemabuk?”
“Nah, kau sudah tahu
orangnya?” kata Iblis Putih Ratu Pesolek pula. “Hari sepuluh bulan sepuluh
masih cukup lama. Kalau tidak mungkin bertemu lagi berarti kita akan bertemu
pada hari tersebut. Eh, apakah kau sudah mendapat undangan serupa dari si
pemabuk aneh itu! Karena dia lebih banyak membunuh orang daripada menunjukkan
sikap bersahabat.”
“Aku bertemu dengannya di
tempat kediaman Ratu Duyung…”
”Ratu Duyung!” seru si nenek.
Lalu berdecak berulang kali. “Kau sungguh beruntung bisa masuk ke tempat
kediamannya. Eh, apakah kau sudah diajaknya tidur? Hik… hik… hik!”
Wiro tertawa lebar.
“Pertanyaanmu ada-ada saja nenek cantik…”
Si nenek kembali mendongak ke
langit. “Sayang matahari sudah tinggi. Aku harus pergi sekarang, sebelum pergi
apakah aku boleh menciummu?”
Wiro belum sempat menjawab
ataupun menyingkir tahu-tahu.
“Cup! Cup!”
Pipinya kiri kanan kena dicium
si nenek. Ketika dia memandang ke depan Iblis Putih Ratu Pesolek telah
berkelebat pergi. Hanya suara tawa cekikikannya terdengar menggema di seantero
pulau perlahan-lahan sirna di kejauhan.
“Enak dicium orang itu?” tanya
Raja Obat sambil senyum-senyum sementara Wiro gosok-gosok pipinya kiri kanan
dengan kedua tangan. Wiro mendekat dan duduk di hadapan si orang tua. “Raja
Obat rasanya akupun harus bersiap pergi…”
”Kau hendak melupakan Kitab
Putih Wasiat Dewa begitu saja? Mengabaikan tugas dari guru dan dua tokoh
persilatan yang kau hormati? Menganggap enteng bencana besar yang bisa membuat
kiamat rimba persilatan?”
Wiro terdiam sesaat. “Aku
tidak mungkin dapatkan kitab sakti itu. Mungkin saat ini belum entah nanti. Itu
sebabnya aku pergi untuk mencari petunjuk lebih lanjut. Mungkin aku harus
menemui ketiga orang itu…”
Raja Obat gelengkan kepala.
“Petunjuk sudah kau terima. Di mana beradanya kitab itu sudah kau ketahui.
Tinggal kita mencari akal bagaimana mendapatkannya.”
“Satu-satunya jalan adalah
terowongan di bawah laut yang kau katakan itu. Tapi ikan-ikan hiu pemangsa
manusia berkeliaran di sana…” kata Wiro. “Obat bubuk batu merahmu, apakah bisa
dipakai untuk meracuni ikan-ikan itu?’
“Obatku untuk menyembuhkan
makhluk, bukan untuk membunuh,” jawab Raja Obat pula.
”Kalau aku masuk ke dalam laut
dan membunuh binatang-binatang itu dengan pukulan Sinar Matahari…”
“Itu lebih celaka lagi, Wiro.
Setiap kau membunuh seekor ikan hiu di sekitar mulut terowongan, sepuluh
kawannya akan muncul membantaimu!”
“Kalau begitu jelas tak ada
jalan untuk mendapatkan kitab itu. Kita juga tidak tahu apakah Ki Hok Kui masih
ada di dalam lobang sana… Lalu apa gunanya kita berdebat?”
“Bukan berdebat anak muda,
tapi mencari segala akal. Aku ingin, semua orang juga ingin, jika kau
meninggalkan pulau ini Kitab Putih Wasiat Dewa sudah menjadi milikmu…”
“Apa yang harus aku lakukan…?”
ujar Wiro perlahan.
Ditanya seperti itu Raja Obat
juga tak bisa menjawab. Sekonyong-konyong di kejauhan terdengar suara orang
berteriak.
“Penghuni pulau, aku datang
menjalankan amanat! Harap beri tanda dimana kau berada!”
Suara teriakan itu menggema
keras dan untuk beberapa lamanya baru lenyap dari pendengaran Raja Obat dan
Wiro Sableng. Saat teriakan menggema batu pulau yang diduduki kedua orang itu
ikut bergetar.
“Gangguan baru datang pula…”
kata Raja Obat.
“Yang datang orangnya pasti
memiliki kepandaian sangat tinggi serta tenaga dalam sempurna,” ujar Wiro pula.
Raja Obat berdiri. Sekali
berkelebat orang tua ini melesat dan naik ke atas sebuah batu besar di tempat
ketinggian. Memandang berkeliling dia melihat orang yang berteriak itu jauh di
sebelah barat pulau. Saat itu Wiro sudah melesat pula dan tegak di samping Raja
Obat.
”Melihat caranya datang dengan
memberi tahu lebih dulu berarti orang ini siapapun adanya dia punya niat baik.
Lekas kau beri tanda agar dia tahu kita berada di sini.”
”Tanda akan aku berikan. Namun
aku tidak setuju dengan ucapanmu. Bahwa orang itu punya niat baik baru bisa
dibuktikan kalau kita sudah menyelidik. Hati-hati dan jangan bertindak lengah!”
Raja Obat lalu mengangkat
tangannya tinggi-tinggi.
”Aku ada di sini! Jika datang
membawa maksud baik silahkan kemari. Jika membawa maksud keji terselubung lebih
baik segera angkat kaki!”
Teriakan Raja Obat tak kalah
hebatnya dengan teriakan orang tadi. Pendatang di sebelah barat segera melihat
Raja Obat dan Wiro di puncak batu itu. Dia balas mengangkat tangan lalu berlari
mendatangi.
***
BAB XIII
DALAM waktu singkat orang itu
sudah sampai di hadapan Wiro dan Raja Obat. Ternyata dia seorang lelaki muda
bertubuh tinggi kekar, mengenakan pakaian serba putih yang tidak dikancing
hingga dadanya yang penuh otot terpentang lebar. Keningnya diikat dengan
sehelai kain putih. Rambutnya berombak tebal dan panjang. Di atas sepasang
matanya yang memandang dengan sikap tajam melintang sepasang alis tebal hitam.
Bibirnya yang tipis panjang dan hidungnya yang tinggi menandakan kekerasan
hati. Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki basah kuyup.
“Orang muda, kau telah
berhadapan dengan penghuni pulau. Harap jelaskan siapa dirimu dan ada keperluan
apa datang ke sini.” Menegur Raja Obat.
Mendengar ucapan itu, orang
yang barusan datang segera menjura lalu menganggukkan kepala pada Wiro.
“Kau tentu Raja Obat Delapan
Penjuru Angin, aku gembira akhirnya bisa menemuimu. Namaku Mahesa Kelud. Aku
datang menjalankan amanat dari Ratu Duyung…”
Wiro dan Raja Obat saling
berpandangan.
“Jadi Ratu Duyung yang
mengirimkanmu ke pulau ini?’ tanya Raja Obat.
Pemuda itu mengangguk. Dia
berpaling pada Wiro. Sekali lagi dia menganggukkan kepala memberi hormat “Kau
tentunya Pendekar 212 yang terkenal itu…”
“Ah, bagaimana kau bisa tahu?”
tanya Wiro.
“Ratu Duyung yang mengutusku
kemari sebelumnya telah memberi tahu bahwa kelak di pulau ini selain bertemu
dengan Raja Obat, aku juga akan bertemu dengan seorang pemuda gagah bergelar
Pendekar 212…”
“Tempat kediaman Ratu Duyung
rasanya sangat jauh dari sini. Bagaimana kau bisa menemukan pulau ini dengan
mudah?” bertanya Wiro.
“Tidak mudah, aku menghabiskan
waktu sehari penuh. Itupun dibantu dengan panduan anak buah Ratu Duyung dan
ditarik beberapa ekor ikan lumba-lumba…”
“Jadi kau kesini setengah
berenang… Pantas pakaianmu basah kuyup…”
“Kira-kira begitu…” jawab
orang yang mengaku bernama Mahesa Kelud.
“Apa amanat yang kau bawa
hingga Ratu Duyung mengutusmu ke sini?” tanya Raja Obat.
”Sebelumnya Ratu Duyung
berulang kali memantau lewat cermin saktinya. Dia mengetahui kesulitan yang
kalian hadapi di tempat ini…”
“Kesulitan apa?’ tanya Wiro.
“Dia tidak mengatakan dengan
rinci. Cuma memberi tahu bahwa kalian tengah mengalami kesulitan dan aku harus
membantu…”
“Kalau kau tidak tahu
kesulitan yang kami hadapi bagaimana mungkin bisa membantu?” ujar Raja Obat
pula.
“Ratu Duyung hanya mengatakan
agar aku menghancurkan batu merah, membuka jalan sebuah lobang di bawah pulau…”
Terkejutlah Raja Obat dan
Pendekar 212 mendengar kata-kata orang yang tidak mereka kenal itu.
“Hanya itu yang dikatakannya,
tak ada hal-hal lain?” bertanya Raja Obat.
Mahesa Kelud menggeleng. Baik
Raja Obat maupun Wiro Sableng tidak dapat memastikan apakah orang ini
benar-benar tidak mengetahui perihal Kitab Putih Wasiat Dewa itu.
“Saudara muda kami sangat
berterima kasih dan menghargai kedatanganmu. Namun kami meragukan apakah kau
bisa menolong kami dari kesulitan. Sebelumnya kami berdua telah bekerja keras
namun sia-sia. Kau diamanatkan untuk menghancurkan batu merah. Kau membawa
peralatan apa?’
Atas pertanyaan Raja Obat itu
Mahesa Kelud mengangkat kedua tangannya lalu mengepalkan tinjunya.
“Aku cuma punya sepasang
tangan ini. Raja Obat…”
Kembali Raja Obat dan Wiro
Sableng saling berpandangan.
“Pukulan sakti Sinar Matahari
saja tidak mampu menjebol batu merah di bagian lobang itu. Kalaupun aku
memiliki Kapak Naga Geni 212 saat ini juga belum tentu senjata mustika itu akan
mampu menjebol lapisan batu merah. Dia sesumbar mampu menjebol batu merah dengan
mengandalkan sepasang tinju! Benar-benar konyol! Tetapi aku tak boleh terlalu
memandang sebelah mata. Bukankah ada ujar-ujar yang mengatakan di atas langit
masih ada langit lagi…?!” Begitu Pendekar 212 berkata dalam hati.
“Raja Obat dan Pendekar 212, aku
tidak punya waktu banyak. Tunjukkan bagian mana yang harus kujebol nanti akan
kukerjakan…”
“Kucing besar yang basah kuyup
ini kuharap saja tidak bermulut besar. Biar aku menguji lebih dulu!” kata Wiro
dalam hati.
“Sobat, kami berdua ingin
melihat kemampuanmu. Coba kau hantam batu merah besar di samping kananmu itu.”
Mahesa Kelud berpaling ke
kanan. ”Aku tidak menyalahkan kalian. Sebelumnya kita tidak saling kenal.
Tahu-tahu aku muncul berlagak seperti seorang maha jago. Tapi jika kalian ingin
mengujiku, mana mungkin aku menampik?!”
Habis berkata begitu Mahesa
Kelud maju mendekati batu besar. Tangan kanannya berkelebat.
“Bukkkk!”
“Byaaarrr!”
Batu merah sebesar sosok tubuh
gajah yang kena jotosan Mahesa Kelud hancur lebur berantakan. Wiro garuk-garuk
kepala. “Dengan salah satu pukulan sakti aku juga mampu menghancurkan batu itu.
Tapi apakah dia mampu menghancurkan batu di lobang ujung terowongan sana?”
“Orang muda kau telah
memperlihatkan satu hal yang luar biasa. Bagaimana aku tahu bahwa kau
benar-benar dikirim oleh Ratu Duyung dan tidak datang dengan maksud culas.”
Mendengar ucapan itu Mahesa
Kelud menjawab. “Menurut Ratu Duyung Pendekar 212 mempunyai kemampuan untuk
melihat jauh. Saat ini Ratu Duyung sengaja menunggu, siap dengan cermin
saktinya. Jika kau mengadakan sambung rasa pasti kau akan mampu melihat sang
Ratu dan mendapatkan tanda-tanda darinya.”
Raja Obat memandang pada
Pendekar 212. “Aku hanya memiliki ilmu Menembus Pandang. Tak mungkin
dipergunakan untuk melihat jauh…” kata Wiro pula.
“Ratu menyadari hal itu. Itu
sebabnya dia sengaja menunggu sampai kau melakukan sesuatu. Katanya lewat
cermin sakti dia akan menyalurkan tenaga dalam dan hawa aneh hingga kau sanggup
melihatnya walau terpisah sangat jauh…”
Murid Sinto Gendeng segera
kerahkan tenaga dalamnya ke kepala lalu kedipkan sepasang matanya dua kali
berturut-turut. Kepalanya bergoyang-goyang oleh munculnya satu gelombang angin
halus. Sesaat kemudian dia melihat laut membiru. Lalu ada cahaya matahari
seolah keluar dari dalam laut.
Kemudian walaupun samar-samar
dia melihat sebuah benda memantulkan sinar menyilaukan. Itulah pantulan cahaya
yang jatuh pada cermin yang dipegang Ratu Duyung. Tak selang berapa lama Wiro
melihat wajah sang Ratu menganggukkan kepala beberapa kali. Lalu perlahan-lahan
bayangan wajah itu lenyap.
“Aku melihat sang Ratu. Dia
memberi tanda yang bisa dipercaya bahwa kau memang utusannya…”
Raja Obat lalu memegang bahu
Mahesa Kelud. ”Ikuti aku…” katanya. Orang tua ini berkelebat. Tubuhnya melayang
turun dari bukit batu, dengan cepat dia berjalan menuju lobang di ujung
terowongan. Mahesa Kelud mengikuti. Wiro menyusul di belakang.
Tak lama kemudian mereka
sampai di pertengahan pulau di mana terletak lobang pada ujung terowongan. Raja
Obat berdiri di pinggir lobang.
“Ini lobangnya. Dasar lobang
dulunya rengkah akibat gempa. Kemudian secara aneh bertaut kembali. Sanggupkah
kau menjebolnya dengan kekuatan pukulanmu?”
“Semoga Tuhan membantu kita
semua,” jawab Mahesa Kelud pada Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Dia melangkah
ke tepi lobang batu.
“Tunggu dulu!” seru Wiro.
“Ada apa Wiro?” tanya Raja
Obat.
”Kita perlu memberi tahu bahwa
di bawah lobang ini ada sebuah lobang lagi. Ki Hok Kui besar kemungkinan berada
di sana. Jika pukulan yang menjebol lantai lobang sebelah atas sempat mengenai
dirinya…”
“Jangan khawatir Pendekar 212…
Pukulanku hanya akan menghancurkan benda yang kita inginkan. Sekalipun ada
sehelai rambut di belakang batu itu niscaya tidak akan tersentuh… Hanya saja
kita terpaksa membunuh ikan-ikan kecil itu.”
Baik Wiro maupun Raja Obat
menjadi lega mendengar keterangan Mahesa Kelud itu.
Lalu lelaki ini kerahkan
tenaga dalamnya dan disalurkan pada sepuluh jari tangan yang telah mengepal
membentuk tinju. Otot-otot lengan Mahesa Kelud mengembang. Uratnya bertonjolan.
Rahangnya mengencang. Tiba-tiba dia melompat masuk ke dalam lobang. Bagian
tubuh sebelah atas masuk lebih dulu. Dua tangan menghantam ke dasar lobang batu
merah.
“Bukkk!”
“Bukkk!”
“Byaarr!”
“Byaaar!”
Dua jotosan dahsyat menghantam
dasar lobang hingga hancur berantakan. Semua hancuran batu merah dan ikan-ikan
kecil tak satupun yang amblas ke dalam tetapi mental dan muncrat ke atas
lobang. Hebatnya lagi walau pecahan-pecahan batu mengenai kepala dan mukanya
namun Mahesa Kelud sama sekali tidak cidera barang sedikitpun!
“Betul-betul luar biasa!” seru
Wiro ketika dia melihat sebuah lobang besar kini menganga di bawah sana. Cukup
untuk jalan masuk dua orang sekaligus. Raja Obat turun lebih dulu disusul oleh
Wiro sementara Mahesa Kelud tetap berdiri di luar. Masuk ke dalam lobang ujung
terowongan kedua mula-mula dua orang itu tidak dapat melihat apa-apa. Selain
cahaya matahari yang masuk agak terbatas juga debu hancuran batu merah masih
menghalang di sebelah atas.
Setelah mendekam beberapa saat
sepasang mata Wiro dan Raja Obat menjadi biasa dan bisa melihat keadaan seluruh
lobang bahkan sebagian terowongan sebelah kanan.
Memandang berkeliling, mata
Raja Obat membentur sesuatu di lantai lobang. Orang tua ini tercekat dan
tersurut satu langkah.
”Pendekar 212, kita terlambat.
Ki Hok Kui telah lama menemui kematian. Tapi apa yang kita cari berada di depan
mata…” Raja Obat berkata.
Wiro cepat menyorongkan badan
dan kepalanya di samping sosok Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Memandang ke
depan murid Sinto Gendeng melihat sebuah jerangkong manusia tanpa tangan dan
kaki tergeletak dalam keadaan utuh di lantai goa batu merah arah terowongan.
Pakaian yang melekat di tubuh tengkorak ini sebagian besar sudah hancur. Pada
tulang-tulang dada jerangkong tergeletak sebuah benda yang tak lain adalah
Kitab Putih Wasiat Dewa. Kitab yang terbuat dari daun lontar ini ternyata dalam
keadaan utuh walau ada beberapa bagian ujung sebelah atas dan bawah mulai
hancur dan tertutup lumut. Pada sampul kitab sebelah depan jelas terlihat
tulisan dalam huruf Jawa kuno :Kitab Putih Wasiat Dewa.
Sekian lama mencari dan
mengejar kitab sakti itu, begitu berhadapan Pendekar 212 justru merasa
merinding sendiri dan tak berani langsung mengulurkan tangan mengambilnya.
Dalam hati malah dia sempat berkata. “Kitab sakti, bentuknya biasa-biasa saja
malah sudah butut…”
“Kau tunggu apa lagi anak
muda? Kitab yang kau cari sudah di depan mata.
Ambillah…” Raja Obat memberi
jalan pada murid Sinto Gendeng untuk mengambil kitab sakti itu.
Mendengar ucapan si orang tua
Wiro dengan gemetar ulurkan tangan kanannya untuk mengambil Kitab Putih Wasiat
Dewa. Begitu jari-jari tangan Pendekar 212 menyentuh kitab sakti tiba-tiba di
kejauhan terdengar lantunan suara seruling. Bersamaan dengan itu satu auman
dahsyat menggelegar menggetarkan seantero pulau dan seolah hendak merobohkan
lobang dan terowongan dimana kedua orang itu berada. Wiro terkesiap kaget dan
cepat bertindak mundur sementara Kitab Putih Wasiat Dewa telah berada dalam
pegangannya.
“Dia datang…” bisik Raja Obat
Delapan Penjuru Angin.
“Dia siapa?” tanya Wiro tak
mengerti.
“Kau lihat saja. Sebentar lagi
dia akan menampakkan diri…”
Wiro memandang ke depan.
Matanya dibuka lebar-lebar tapi diam-diam tengkuknya terasa dingin juga dan
lututnya bergetar. Di hadapannya di arah terowongan dia hanya melihat benda
tipis putih, entah kabut entah asap.
***
BAB XIV
Perlahan-lahan kabut tipis itu
berubah membentuk dua sosok makhluk. Yang pertama adalah sosok seorang tua
bertubuh sangat tinggi, memiliki wajah gagah. Dia mengenakan selempang kain
putih. Di tangan kirinya dia memegang sebatang tongkat terbuat dari kayu putih.
Kegagahan wajahnya hampir tertutup oleh keangkeran sepasang matanya yang
berwarna biru, yang memandang seolah-olah menembus. Pada pinggangnya orang tua
ini menyisipkan sebatang saluang yakni sebuah suling besar khas Minangkabau. Di
sebelahnya mendekam seekor harimau besar berwarna putih memiliki bola mata
berwarna hijau. Dua makhluk yang muncul dari dalam kabut putih ini adalah Datuk
Rao Basaluang Ameh dan harimau pengiringnya Datuk Rao Bamato Hijau. Bersamaan
dengan terbentuknya sosok dua Datuk itu mendadak sontak ruangan di dalam lobang
dan terowongan menjadi sangat dingin hingga baik Wiro maupun Raja Obat
menggigil kedinginan. Padahal selama puluhan tahun Raja Obat sudah terbiasa
dengan dinginnya udara di pulau batu merah itu, tetap saja orang tua ini
menjadi goyah lututnya.
“Aduh, mengapa udara tiba-tiba
menjadi dingin! Kalau terus-terusan begini aku bisa-bisa tak sanggup menahan
kencing!” kata Wiro dalam hati padahal saat itu tengkuknya sudah merinding oleh
angkernya suasana.
Raja Obat Delapan Penjuru
Angin segera membungkuk memberi hormat. Dia menendang kaki Wiro agar segera
memberi penghormatan.
“Eh, dua makhluk ini sama
dengan yang aku lihat sewaktu diriku tenggelam ke dalam arus masa lampau…”
pikir Wiro. Lalu dia cepat-cepat membungkuk.
“Pangeran Soma…” Datuk Rao
angkat bicara. “Tujuh puluh tahun kita tidak bertemu. Tujuh puluh tahun kau
membuktikan kesabaranmu, menunggu sesuai amanatku.
Hari ini tugasmu selesai. Aku
dan Datuk Rao Bamato Hijau mengucapkan terima kasih padamu dan puji syukur pada
Yang Maha Kuasa bahwa akhirnya apa yang kita rencanakan tujuh puluh tahun lalu
kini menjadi kenyataan walau seorang gagah dari kita yaitu Ki Hok Kui telah
mendahului. Ketahuilah Raja Obat, semua apa yang terjadi adalah atas jalan dan
kehendak Allah. Kita semua hanyalah para pelaku yang memikul beban menjalankan
tugas. Ada yang hendak kau sampaikan Pangeran?”
“Pertama sekali kita memang
patut memanjatkan puji syukur pada Gusti Allah yang telah memberi kekuatan pada
kita hingga semua apa yang Datuk inginkan bisa terlaksana. Selanjutnya masih
ada amanat yang harus kami laksanakan hingga petunjuk lebih jauh dari Datuk
sangat diperlukan.”
Datuk Rao Basaluang Ameh
mengangguk sedang Datuk Rao Bamato Hijau keluarkan gerengan perlahan.
“Pangeran karena semua tugas
sudah kau laksanakan maka kau kini bebas untuk melakukan apa saja. Namun jika
aku boleh memberi petunjuk ada baiknya kau meninggalkan pulau ini. Kembali ke
Kerajaan. Di sana kau akan lebih banyak manfaatnya daripada di sini. Di sana
kau bisa berbuat lebih banyak kebajikan daripada di sini. Perlu kau ketahui
Ayahandamu Sri Baginda telah lama wafat. Kau harus merintis kembali hubungan
darah yang selama ini terputus dengan saudara-saudaramu…”
“Terima kasih Datuk. Kata-kata
Datuk akan saya perhatikan,” jawab Pangeran Soma alias Raja Obat Delapan
Penjuru Angin.
Datuk Rao Basaluang Ameh
memalingkan kepalanya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Pandangan sepasang
mata biru angker itu membuat murid Sirrto Gendeng tercekat.
“Anak manusia terlahir bernama
Wiro Saksana, oleh gurumu kau diberi nama Wiro Sableng dan oleh dunia
persilatan kau dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Hari ini akhirnya
kita bertemu muka juga…”
“Astaga…” membatin Wiro.
”Bagaimana makhluk ini bisa tahu nama asliku.”
Sang Datuk melanjutkan. “Tujuh
puluh tahun yang silam nama dan rupamu sudah tertanam di alam gaib dan hanya
beberapa orang pandai saja mengetahui. Lewat liku perjalanan panjang, terakhir
lewat mimpi si Raja Penidur kau akhirnya terlibat penuh dalam urusan besar ini.
Urusan menyelamatkan dunia persilatan dari kiamat yang akan ditimbulkan oleh
manusia-manusia keji berhati iblis. Hari ini Kitab Putih Wasiat Dewa itu sampai
di tanganmu. Karena memang begitu takdir mengatakan. Tugasmu sangat berat. Kau
harus menjaga kitab itu seperti menjaga nyawamu sendiri sebelum kau akhirnya
mempunyai kesempatan untuk memusnahkan kitab hitam orang-orang sesat pembawa
malapetaka yaitu Kitab Wasiat Iblis. Kau telah mengetahui di tangan siapa
beradanya Kitab Wasiat Iblis itu. Kejahatan memang selalu satu langkah lebih
dulu dari kebenaran. Tapi satu hal yang pasti kebenaran tidak pernah tunduk dan
kalah dari kejahatan. Dalam alam gaib yang kau lihat ketika kau pingsan, kau
telah mengetahui sebagian isi Kitab Putih Wasiat Dewa. Aku tahu kau telah
menghafal dengan baik apaapa yang disebut sebagai Delapan Sabda Dewa. Tugasmu
sekarang adalah membuka halaman kelima yang selama ini tak satu orangpun
diperkenankan membuka dan membaca apalagi mempelajari isinya. Pulau batu merah
ini adalah tempat yang baik bagimu untuk meresapi segala isi Kitab Putih Wasiat
Dewa yang hanya terdiri dari delapan halaman itu. Tapi jika kau ingin pergi ke
tempat lain yang kau lebih suka tak ada yang melarang. Kitab itu hanya berjodoh
denganmu. Bila kau telah selesai mempelajari isinya harus kau simpan baik-baik.
Karena kelak pada seratus tahun dimuka baru ada orang lain yang berjodoh lagi
dengan kitab itu. Sekarang harap kau berlutut di hadapanku. Berlutut bukan
berarti kau menyembahku atau aku merasa lebih tinggi darimu. Hanya Tuhan yang
disembah umat dan tiada manusia yang lebih tinggi di mata Tuhan kecuali
ketakwaannya…”
Dengan menggoyangkan tongkat
kayu putihnya Datuk Rao Basaluang Ameh memberi isyarat pada Wiro agar maju lalu
berlutut di hadapannya. Dengan menabahkan diri Wiro melakukan apa yang
diperintah. Dia maju sampai sejarak satu langkah dari hadapan Datuk Rao
Basaluang Ameh, lalu berlutut.
“Apa gerangan yang hendak
dilakukannya terhadapku?” membatin murid Sinto Gendeng. Matanya melirik pada
Datuk satu lagi yakni si harimau putih besar. Moncong binatang ini hanya dua
langkah dari hadapannya di sebelah kanan!
Datuk Rao Basaluang Ameh
meletakkan tongkat kayu putihnya di atas kepala Wiro. “Arahkan kepalamu ke
kanan dan ulurkan lehermu. Menunduk sedikit…”
Sesuai yang diperintah Wiro Sableng
putar kepalanya ke kanan, lehernya dipanjangkan dan kepala agak ditundukkan.
Dengan sikap seperti itu kepalanya berada sangat dekat dengan mulut harimau
putih. Napas sang pendekar mendadak menjadi sesak dan lututnya bergetar keras.
“Datuk Rao Bamato Hijau,” kata
Datuk Rao Basaluang Ameh seraya angkat tongkat putihnya dari atas kepala
Pendekar 212. ”Temanmu sudah siap…”
Harimau putih besar itu
menggereng keras. Wiro merasa seolah-olah dilemparkan mental ke langit ke
tujuh. Tiba-tiba binatang itu melangkah mendekatinya. Kepalanya diulurkan dan
mulutnya dibuka besar-besar. Lalu haummm!
Kepala Pendekar 212 amblas
masuk ke dalam mulut Datuk Rao Bamato Hijau! Nyawa murid Sinto Gendeng serasa
terbang. Selangkangannya mendadak sontak basah tanda dia tak dapat lagi menahan
kencingnya!
“Kalau binatang ini sampai
mengatupkan mulutnya, putus leherku!” ujar Wiro dalam hati. Lututnya goyah.
Di dalam mulut harimau Wiro
merasa kepalanya dilanda hawa panas dan sejuk silih berganti. Sekujur pakaian
hitamnya telah basah oleh keringat. “Apa yang tengah dilakukan binatang ini?
Mau diapakan diriku ini oleh si Datuk…?” Wiro merasa makin lama nafasnya makin
pengap.
“Cukup Datuk,” terdengar suara
Datuk Rao Basaluang Ameh.
Datuk Rao Bamato Hijau mengaum
keras. Karena kepalanya masih berada di dalam mulut harimau putih itu maka Wiro
merasa seolah kepalanya pecah amblas disambar petir. Sewaktu harimau putih
menarik mulutnya, sekujur kepala Pendekar 212 kelihatan basah kuyup. Dari mata,
hidung dan telinga serta mulutnya kelihatan ada darah mengucur. Raja Obat
tampak gelisah tetapi Wiro sendiri tidak merasa sakit apa-apa.
“Datuk, bersihkan dulu kepala
dan muka temanmu,” kata Datuk Rao Basaluang
Ameh pada sang harimau.
Binatang ini ulurkan lidahnya. Lalu dengan lidah itu dijilatinya seluruh kepala
dan muka Pendekar 212. Rambut Wiro menjadi kering, noda-noda darah di mukanya
menjadi bersih.
Wiro menarik napas lega. Lalu
cepat-cepat mau berdiri.
“Tunggu, pekerjaan Datuk Rao
Bamato Hijau masih belum selesai,” kata Datuk Rao Basaluang Ameh.
”Walah! Mau diapakan lagi
diriku ini?” pikir Wiro. Namun tak berani menolak atau membantah.
“Ulurkan tangan kananmu
Pendekar 212. Lima jari tangan harus dikepal kuatkuat,” perintah Datuk Rao.
Wiro ulurkan tangan kanannya.
“Datuk…” kata Datuk Rao
Basaluang Ameh pada harimau putih di sebelahnya.
Binatang ini maju dua langkah,
ulurkan kepalanya dan buka lebar-lebar mulutnya.
“Haummmm!“
Tangan kanan Wiro sampai
sebatas siku lenyap masuk ke dalam mulut harimau itu.
“Gila! Jangan sampai binatang
ini kemasukan setan dan menggerogot putus tanganku! Uhhh… Perutku mendadak
sakit. Jangan-jangan aku sudah kecipirit!”
Sesaat kemudian seperti tadi
Wiro merasakan ada hawa panas dan sejuk menjalari tangannya silih berganti.
“Cukup Datuk…” kata Datuk Rao
Basaluang Ameh. Harimau putih bersurut. Wiro cepat tarik tangannya. “Untung
tanganku masih utuh!”
“Buka kepalanmu Pendekar 212
dan kembangkan telapak tanganmu lebar-lebar,” kata Datuk Rao Basaluang Ameh
selanjutnya.
Wiro Sableng buka kepalan dan
kembangkan telapak tangan kanannya lebar-lebar.
“Apa yang kau lihat di telapak
tanganmu Pendekar 212?” tanya Datuk Rao Basaluang Ameh.
Ketika dia memperhatikan
terkejutlah murid Sinto Gendeng. Raja Obat yang tegak di sampingnya tak kalah
kagetnya. Pada telapak tangan kanan Wiro tertera sangat jelas gambar kepala
harimau putih.
“A…ada gambar kepala harimau
putih Datuk…” jawab Wiro dengan mulut bergetar.
“Itu gambar temanmu Datuk Rao
Bamato Hijau. Berarti kini kau telah memiliki satu kekuatan dahsyat Wiro. Jika
kau tiup satu kali gambar itu akan lenyap. Jika kau tiup lagi gambar itu akan
muncul. Bersamaan dengan munculnya gambar itu tubuhmu sudah dialiri kekuatan
yang membuatmu mampu menghadapi lawan tangguh. Kau bisa menghancurkan benda apa
saja tanpa harus mengalirkan tenaga dalam. Tapi ingat dan selalu ingat, setiap
ilmu bukan segala-galanya…”
Wiro masih melotot memandang
telapak tangan kanannya lalu dia melirik pada Datuk Rao Bamato Hijau. Harimau
putih ini mengaum keras membuat Wiro tergagau dan Raja Obat tersurut.
“Datuk Rao Bamato Hijau, kita
sekarang berteman. Jangan takuti diriku…”
Datuk Rao Basaluang Ameh
tersenyum. “Datuk Rao Bamato Hijau merasa senang berteman denganmu. Kau tak
usah takut padanya Wiro. Pada saat kau memerlukannya dia akan muncul secepat
kilat menyambar…”
Wiro mengangguk tapi matanya
kembali memandangi tangannya. Dia ingin tahu. Tangan kanannya itu didekatkannya
ke mulut. Lalu dia meniup. Gambar kepala harimau putih serta merta lenyap. Wiro
masih belum percaya. Kembali dia meniup. Gambar kepala harimau itu kembali
muncul!
“Pangeran Soma dan Pendekar
212 Wiro Sableng. Tugas kami berdua sudah selesai. Kini tugas besar menghadang
kalian, terutama kau Wiro. Selamatkan dunia persilatan. Makin cepat kau
menyingkirkan Kitab Wasiat Iblis makin baik bagi rimba persilatan. Semuanya
kini mempertaruhkan diri dalam tanganmu Wiro. Jaga dirimu baikbaik. Jaga betul
Kitab Putih Wasiat Dewa itu. Kau harus berhasil. Jika aku merasa perlu untuk
menyampaikan sesuatu padamu, aku akan muncul…”
“Terima kasih Datuk Rao,” kata
Wiro pada orang tua berselempang kain putih itu.
Lalu dia berpaling pada
harimau besar. Terima kasih teman…” Binatang ini buka mulutnya lebar-lebar lalu
mengaum keras seolah mengatakan sesuatu menyambut ucapan Wiro tadi.
Datuk Rao Basaluang Ameh
berpaling pada Raja Obat dan berkata. “Beritahu pemuda ini agar membersihkan
tanda merah bekas kecupan bibir di kedua pipinya…”
Pendekar 212 terkejut dan
cepat mengusap pipinya kiri kanan. Sementara itu perlahan-lahan sosok dua
makhluk di hadapannya kembali berubah menjadi kabut putih tipis dan akhirnya
lenyap dari pemandangan. Hawa dingin yang tadi mencekam ikut sirna. Keadaan di
dalam lobang di ujung terowongan itu berubah menjadi panas. Wiro memandang
berkeliling.
“Aneh, lobang batu sesempit
ini bagaimana tadi kita berempat bisa berada di sini…?” ujar Pendekar 212
terheran-heran Lalu dia pandangi tangan kanannya kembali.
“Orang bernama Mahesa Kelud
itu memiliki ilmu pukulan hebat luar biasa. Sanggup menjebol batu di lobang.
Menurut Datuk Rao kini aku sudah memiliki satu ilmu yang hebat. Aku mau
buktikan sampai di mana kehebatanku. Apa ilmu baruku sanggup menghancurkan batu
merah ini?”
Wiro memutar tubuhnya
menghadap ke dinding batu di ujung terowongan.
“Tanpa tenaga dalam aku sanggup
menghancurkan apa saja!” katanya. Lalu dia mundur selangkah. Tangan kanannya
dikepal. Hanya mengandalkan tenaga luar murid Sinto Gendeng hantam batu merah
di depannya. Langsung saat itu juga dia terpekik sambil kibas-kibaskan tangan
kanannya. Dinding batu di hadapannya sama sekali tidak bergeming. Malah ketika
memperhatikan ternyata jari-jari tangannya lecet dan bengkak! Hampir terlepas
ucapan kotor dari mulutnya. ”Raja Obat, jangan-jangan aku sudah kena
dimuslihati Datuk Rao. Kau dengar sendiri tadi ucapannya mengatakan bahwa aku
kini telah memiliki satu ilmu pukulan yang bisa menghancurkan apa saja!
Buktinya? Kau lihat sendiri tanganku! Untung tidak ada jari-jariku yang patah!”
Raja Obat Delapan Penjuru
Angin tertawa lebar.
“Eh, sudah aku ditipu orang
dan kesakitan setengah mati kau malah menertawaiku! Jangan-jangan kau
berkomplot dengan dua makhluk asap tadi!”
“Anak muda. jangan cepat
menduga salah. Tak ada yang menipu memuslihatimu. Kau sendiri yang salah!”
”Nah…nah! Sekarang malah kau
menuduhku yang salah! Apa-apaan ini sebenarnya?!”
“Waktu kau memukul dinding
batu merah itu, apakah di telapak tanganmu sudah ada gambar temanmu si harimau
putih itu?”
”Eh?!” Wiro kembangkan telapak
tangan kanannya. Dia lalu berpaling pada si orang tua di sampingnya. “Kau
betul… Memang aku yang ngaco!” katanya. Habis berkata begitu lalu meniup
telapak tangan kanannya. Serta merta di telapak tangan itu muncul gambar kepala
harimau putih. Lalu dia mundur kembali satu langkah.
“Sekarang!” teriak Pendekar
212 sambil menghantam menjotos dinding batu di depannya. Terdengar suara
menggelegar. Dinding batu merah amblas hancur berantakan!
Murid Sinto Gendeng jadi
terperangah sendiri. “Kau betul Raja Obat. Datuk Rao dan harimau putih itu
tidak menipu. Aku yang tolol!” Lalu dia tiup telapak tangan kanannya. Gambar
kepala harimau putih serta merta lenyap.
Raja Obat menepuk bahu
Pendekar 212. “Simpan Kitab Putih Wasiat Dewa itu dan kita harus keluar dari
dalam lobang ini.” Lalu orang tua itu mendahului keluar dari dalam lobang batu.
Wiro cepat memasukkan kitab sakti ke balik pakaiannya. Tapi dia tidak segera
menyusul Raja Obat keluar dari dalam lobang. Dia melangkah ke mulut terowongan
di mana tergeletak sosok jerangkong Ki Hok Kui. Dipegangnya batok kepala
tengkorak dan diusapnya berulang kali sambil berkata.
“Kalau kau masih hidup tentu
sudah jadi kakek saat ini. Kakek Ki Hok Kui, jasamu membawa Kitab Putih Wasiat
Dewa ke tanah Jawa ini hanya Tuhan saja yang bisa membalas dengan pahala besar.
Aku harus pergi sekarang Kek. Aku berterima kasih padamu. Semoga aku bisa
melanjutkan tugasmu. Aku doakan agar kau mendapat tempat yang paling baik di
akhirat. Tapi doakan juga aku ya, agar aku berhasil dan siapa tahu bisa
jalan-jalan ke negeri leluhurmu di Tiongkok sana!”
Di atas lobang Raja Obat yang
sempat mendengar doa Wiro itu walau tidak sabaran tapi jadi senyum-senyum juga
mendengar segala apa yang diucapkan Wiro itu.
“Selamat tinggal kakek Ki Hok
Kui!” Wiro mengusap sekali lagi batok kepala tengkorak itu lalu melesat keluar
lobang.
Begitu berada di atas lobang
kembali yang pertama sekali dilakukannya adalah mencari lelaki bernama Mahesa
Kelud tadi.
“Eh, kemana orang sakti yang
tadi menolong kita menjebol dasar lobang batu merah…” tanya Wiro sambil
mencari-cari.
Raja Obat memandang
berkeliling. Tapi Mahesa Kelud memang tak ada lagi disitu.
“Rasanya dia sengaja pergi
duluan. Tidak mau berbasa basi menerima ucapan terima kasih kita,” kata Raja
Obat.
”Kelak aku akan mencari orang
gagah itu untuk menghaturkan terima kasih,” kata Wiro pula. (Siapa adanya
Mahesa Kelud harap baca serial Mahesa Kelud karangan Bastian Tito)
“Aku ingat pada ucapan Datuk
Rao tadi. Rasanya memang sudah saatnya aku meninggalkan pulau batu ini. Kembali
ke Kotaraja. Kau mau sama seperjalanan denganku?” tanya Raja Obat pada Pendekar
212.
“Aku suka sekali pergi
bersamamu. Namun ada satu hal yang aku pikirkan saat ini…”
“Apa…”
”Mungkin ada baiknya aku
kembali dulu ke tempat Ratu Duyung. Dia banyak membantuku dalam usaha
mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa ini. Dia juga memberiku ilmu yang sangat
berharga. Kalau bukan orang-orangnya yang menyelamatkan, aku tak akan pernah
sampai di pulau ini…”
”Hemmm.. Hutang budi memang
satu hal yang sulit untuk dibayar. Apakah kau punya pikiran untuk menolongnya
dari penyakitnya? Membebaskannya dari kutukan dengan jalan memenuhi
permintaannya melakukan hubungan badan…?”
Pendekar 212 garuk-garuk
kepala. “Ratu Duyung pernah bercerita bahwa dia telah mencoba menghubungimu
untuk meminta obat penyembuhan…”
“Betul, itu terjadi puluhan
tahun lalu sewaktu aku masih dikucilkan di tengah hutan… Aku tak bisa
menolongnya. Penyakit karena kutukan tidak dapat disembuhkan dengan obat.”
”Puluhan tahun lalu katamu?
Jadi berapa umurnya saat ini?”
”Seratus tahun… Mungkin dua
ratus tahun!” Jawab Raja Obat. “Eh, mengetahui umur Ratu Duyung apakah kini kau
jadi hilang selera?”
Wiro tertawa lebar. “Terus
terang aku tak bisa melupakannya. Aku harus menemuinya kapan-kapan. Tapi kalau
boleh aku bertanya mengapa dia tidak meminta lelaki lain untuk melakukan hal
itu. Misalnya lelaki muda yang gagah utusannya tadi si Mahesa Kelud itu…”
Raja Obat menggelengkan
kepala. “Masalahnya bukan masalah nafsu Wiro. Tapi menyangkut semacam kasih
sayang tulus. Dia tak mungkin melakukannya dengan orang yang tidak
dicintainya…”
“Maksudmu… Maksudmu Ratu
Duyung mencintaiku?” tanya Wiro.
“Bukan cuma dia Wiro. Tapi
kalau bisa aku sebutkan satu persatu di antaranya Pandansuri anak angkat
almarhum Raja Rencong dari Utara. Lalu Anggini murid Dewa Tuak. Suci alias Dewi
Bunga Mayat. Lalu masih ada Bidadari Angin Timur, Dewi Payung Tujuh…”
“Sudah… sudah!” seru Wiro
sambil garuk-garuk kepala. “Bagaimana kau bisa tahu semua itu?!”
Raja Obat tertawa mengekeh.
“Tuhan memberikan beberapa kelebihan pada tua renta buruk ini… Kalau saja aku
masih muda sepertimu hemm…”
Wiro membalas senda gurau Raja
Obat itu dengan gurauan pula. “Kau menyesal terlanjur lahir cepat? Walau sudah
tua bukankah kau bisa meramu obat kuat hingga mampu berbuat lebih hebat dari
anak muda?! Ha… ha… ha! Kalau kau nanti meramu obat kuat itu jangan lupakan
diriku. Tinggalkan barang segenggam! Ha…ha…ha!”
Raja Obat tertawa pencong lalu
berkata. “Kau sudah siap meninggalkan pulau ini dan seperjalanan denganku?”
”Tentu saja!”
“Maaf saja anak muda. Aku merasa
malu berjalan sama-sama denganmu!”
“Eh, memangnya ada apa Raja
Obat?” tanya Wiro.
“Di pipimu kiri-kanan masih
ada tanda merah bekas kecupan Iblis Putih Ratu Pesolek itu!”
“Eh, bukankah tadi waktu di
lobang sudah kubersihkan?!”
“Apanya yang kau bersihkan.
Tanda itu masih ada!”
“Jangan bergurau Raja Obat!”
“Siapa yang bergurau?!”
“Wah… wah!” Wiro pergunakan
kedua tangannya untuk menggosok pipinya kiri kanan. “Sudah hilang?” tanyanya
pada Raja Obat.
Yang ditanya menggeleng. Kini
Wiro pergunakan baju hitamnya dan menggosok keras-keras.
“Tetap tidak hilang!” memberi
tahu Raja Obat.
“Gila! Alat pewarna bibir apa
yang dipakai nenek setan itu. Jangan-jangan sebangsa cat yang tak bisa dihapus.
Tapi tunggu dulu. Aku belum mencoba yang ini!”
Wiro ludahi kedua telapak
tangannya kiri kanan. Dengan basahan ludah dia membersihkan kedua pipinya.
“Percuma saja Wiro. Tanda
bibir bekas kecupan itu tak mau hilang. Kau harus mencari sejenis minyak untuk
menghilangkannya!”
“Mati aku! Bagaimana aku bisa
kemana-mana seperti ini?!“
“Agaknya kau terpaksa memakai
topeng atau memakai cadar!”
“Nenek setan keparat!“ maki
Wiro.
***
TAMAT