Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
083 Wasiat Iblis
SATU
DUA penunggang kuda hentikan
kuda masing-masing ketika tiba-tiba hujan turun menerpa bumi. Walau tidak lebat
namun hawa tanah basah yang naik ke udara menyekat liang hidung membuat dua
orang tadi mendengus beberapa kali.
“Tanda celaka apa pula ini!
Hujan turun padahal matahari bersinar terik di atas batok kepala!” Berkata
penunggang kuda di sebelah kanan. Dia mengenakan pakaian hitam berupa jubah
panjang. Wajah dan kepalanya kelihatan aneh. Matanya sebelah kanan besar
membeliak tapi yang kiri kecil seolah terpejam. Kepalanya sulah namun hanya
sebelah kiri saja sedangkan sebelah kanan ditumbuhi rambut lebat. Pada
keningnya terdapat tiga buah guratan tegak. Guratan di sebelah tengah lebih
tinggi dari dua di kiri kanan. Kumis melintang dan berewok sangar liar menutupi
hampir separuh wajahnya.
Jubah hitam, keadaan wajah dan
kepala, tanda di kening serta sepasang mata yang aneh merupakan tanda pengenal
yang tidak dapat disangsikan lagi oleh orang-orang rimba persilatan untuk
adanya manusia satu ini. Dia adalah tokoh silat golongan hitam dikenal dengan
julukan Tiga Bayangan Setan. Orang ini muncul membawa kegegeran dalam dunia
persilatan sejak satu tahun lalu. Kabarnya dia membabat banyak tokoh-tokoh
silat di kawasan timur. Lalu menghantam ke barat. Bahkan pesisir utara ikut
disapunya. Selama malang melintang tak satu lawanpun sanggup merobohkannya.
Tiga Bayang Setan tak mempan senjata tajam dan kebal terhadap pukulan sakti.
Karenanya tidak salah kalau dia kini menjadi momok nomor satu dalam rimba
persilatan. Beberapa tokoh silat golongan putih berusaha membuat perhitungan
dengannya. Namun Tiga Bayangan Setan bukan saja berhasil lolos bahkan dengan
kejam dia menghabisi tokoh-tokoh silat yang berani menantangnya.
Penunggang kuda kedua mengenakan
pakaian kain tebal robek-robek, dekil dan bau. Dia duduk di atas punggung kuda
sambil rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Lengannya ditumbuhi bulu-bulu
lebat. Sebatas pergelangan tangan sampai ujung jari, sepasang tangan orang ini
tidak menyerupai tangan manusia melainkan berbentuk kaki atau cakar elang
raksasa berwarna merah dengan kuku-kuku runcing mencuat hitam pekat mengerikan.
Konon bentuk tangannya inilah yang membuat dia dijuluki Elang Setan. Bicara
soal tampang orang ini memiliki daging muka hancur rusak seperti dicacah.
Kelopak matanya sebelah bawah menggembung bengkak berwarna sangat merah dan
selalu basah. Di antara sepasang mata yang angker tapi juga menjijikkan itu
melintang hidung tinggi bengkok seperti paruh burung elang. Tak salah kalau
dirinya dijuluki Elang Setan.
Dengan tangannya yang
berbentuk cakar itu dia mampu mematahkan tombak, pedang atau golok lawan.
Dengan cakar setannya dia mampu membobol perut, membongkar isi perut atau
membetot lepas jantung lawan. Kabarnya kuku-kuku hitam di ujung cakar
mengandung racun sangat jahat. Jangankan terkena cengkeram, tergurat saja sudah
dapat membuat seseorang sekarat keracunan!
Seperti Tiga Bayangan Setan,
Elang Setan yang muncul hampir bersamaan setahun lalu telah pula membuat heboh
dunhia persilatan dengan melakukan pembunuhanpembunuhan atas diri tokoh-tokoh
silat ternama. Dia sengaja mencari tokoh silat tersohor untuk ditantang lalu
dikalahkan dan dibunuh! Selama ini tak ada satu lawanpun yang sanggup
menghadapinya.
Antara Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan konon telah saling sumpah mengangkat saudara satu dengan lainnya.
Sumpah itu disertai upacara melukai lengan masing-masing, lalu menempelkan luka
setelah itu yang satu menghisap darah yang lainnya! Jika dua Setan bergabung
jadi satu dapat dibayangkan bahaya apa yang kini tengah mengancam seantero
dunia persilatan. Hujan telah berhenti. Elang Setan usap-usap rambutnya yang
basah dengan cakar setannya. Dia memandang berkeliling.
“Kau benar saudaraku! Hujan
turun matahari mencorong! Membawa alamat yang tidak baik! Tapi apakah itu perlu
ditakutkan?!”
Tiga Bayangan Setan tertawa
lalu meludah ke tanah. “Kau tahu, kira-kira di daerah mana kita saat ini?!”
Elang Setan memandang
berkeliling dengan sepasang matanya yang berkelopak gembung merah. “Sulit aku
menebak. Tak kelihatan gunung tak nampak bukit. Namun ancar-ancarnya kalau aku
tak salah kita mungkin berada jauh di barat Gunung Wilis.”
“Kalau dugaanmu benar berarti
paling cepat saat matahari terbenam kita baru sampai di Kartosuro,” ujar Tiga
Bayangan Setan pula.
“Kita teruskan perjalanan
sekarang juga. Makin cepat sampai makin baik. Dadaku selalu sesak kalau
mengemban tugas seperti ini,” berkata Elang Setan lalu kembali dia mengusap
rambutnya dengan jari-jari berbentuk cakar.
Tiga Bayangan Setan anggukkan
kepala. “Perintah orang tua itu tidak boleh diabaikan! Terus terang aku
berfikir-fikir apa urusan sebenarnya dia menyuruh kita menemui dirinya di
Kartosuro…”
“Ini urusan pelik tapi
rada-rada gila!” ujar Elang Setan. “Kita harus berjalan dua hari dua malam
hanya untuk memenuhi permintaan Jarot Ampel!”
“Aku juga tidak senang. Tapi
jangan melupakan budi orang. Paling tidak Jarot Ampel pernah menyelamatkan kita
dari kematian waktu kita belum punya ilmu sehebat sekarang.”
Elang Setan menyeringai. “Kau
tahu manusia-manusia macam apa kita sekarang adanya Tiga Bayangan. Aneh
terdengar di telingaku kalau kini kau bisa-bisaan bicara segala macam budi
orang!”
Tiga Bayangan Setan
menyeringai. “Si tua Jarot Ampel itu bukan manusia sembarangan. Aku punya
firasat dia menyimpan satu rahasia terhadap kita. Siapa tahu dia menyuruh kita
datang ada sangkut pautnya dengan rahasia itu. Aku mau tanya, apa menurutmu dia
sudah memberikan seluruh kepandaiannya pada kita?”
Elang Setan tertawa. “Mana ada
guru yang mewariskan seluruh kepandaiannya pada sang murid. Paling tidak dia
akan menyimpan satu ilmu andalan. Atau sebuah senjata mustika atau benda sakti
apa saja…
“Kita berangkat sekarang Elang
Setan! Aku ingin tahu apa maunya orang tua itu!” Tiga Bayangan Setan berkata
lalu sentakkan tali kekang kuda tunggangannya.SEPERTI yang dikatakan Tiga
Bayangan Setan menjlang matahari tenggelam mereka akhirnya sampai di Kartosuro.
Cuaca mulai meremangi gelap dan udara terasa dingin.
“Tempat kediaman orang tua itu
di kaki bukit tak jauh dari sini. Bagaimana kalau kita mampir dulu di warung
kopi untuk istirahat,” Elang Setan berkata begitu mereka sampai di persimpangan
jalan di pinggiran Kartosuro.
“Aku paling suka
bersenang-senang. Apalagi untuk urusan perut dan urusan bawah perut…!” kata
Tiga Bayang Setan lalu tertawa mengekeh. “Tapi sekali ini aku kira kita menemui
Jarot Ampel lebih dulu baru cari tempat untuk bersenang-senang. Bukan
sebaliknya!”
“Kalau kau tidak suka aku
tidak memaksa. Kau berangkat saja duluan. Aku nanti menyusul. Tenggorokanku
seperti timah meleleh. Sekujur badanku letih. Aku perlu istirahat dan meneguk
secangkir kopi!”
Lalu tanpa banyak cerita lagi
Elang Setan gebrak kudanya meninggalkan persimpangan. Tiga Bayangan Setan
gelengkan kepala. Dia memutar kudanya ke arah timur.
Hanya beberapa saat saja kedua
orang itu berpisah, di kejauhan di depannya Tiga Bayangan Setan melihat
serombongan penunggang kuda mendatangi dengan cepat. Jumlah mereka lebih dari
sepuluh orang. Berpakaian seragam, beberapa di antaranya membawa obor.
“Pasukan Kerajaan…” kata Tiga
Bayangan Setan dalam hati. “Siapa takutkan mereka. Tapi mengingat urusan
penting dengan guru ada baiknya aku menghindar jangan sampai terlihat.” Lelaki
itu cepat menyelinapkan kudanya ke tepi jalan, menghilang di balik semak
belukar dan pepohonan, terlindung dalam udara yang mulai kelam. Rombongan orang
berkuda lewat dengan suara gemuruh dan kepulan debu. Di belakang rombongan
ternyata ada seorang berjubah kuning, bermuka pucat dengan rongga mata dan pipi
sangat cekung. Tiga Bayangan Setan yang tadinya segera hendak melanjutkan
perjalanan mendadak hentikan kudanya. Dia mendongak sambil berfikir-fikir.
“Orang tua berjubah kuning
itu…. Aku rasa-rasa mengenal dirinya.” Tiga Bayangan Setan berfikir keras. “Ah!
Aku ingat. Dia pasti cecunguk yang bekerja jadi penjilat di Keraton. Namanya
Tubagus Kasatama, berasal dari barat. Bergelar Dewa Berjubah Kuning Bertongkat
Besi…. Gelar gila!” Tiga Bayangan Setan tertawa sendiri.
“Hemm…. ada apa malam-malam begini
dia mau-mauan ikut rombongan pasukan Kerajaan. Tadi di sebelah depan aku lihat
ada seorang Perwira Tinggi. Pasti ada urusan penting. Elang Setan sudah lama
mencari cecunguk tua itu untuk ditantang dan dihabisi. Kalau dia tidak mampir
di Kartosuro tadi pasti dia sudah cari perkara menantang tua bangka itu.
Tubagus Kasatama, nasibmu memang bagus seperti namamu. Seharusnya kau bakal
meregang nyawa malam ini di tempat ini!”
Tiga Bayangan Setan keluar
dari balik pepohonan siap meneruskan perjalanan. Namun setelah memacu kudanya
beberapa ketika mendadak muncul satu pikiran di kepalanya.
“Rombongan itu menuju ke
Kartosuro. Elang Setan ada disana. Jangan-jangan….”
Orang berjubah hitam ini
lantas saja putar kudanya, memacu binatang itu menuju Kartosuro.
DUA
WARUNG kopi itu sebenarnya
tidak pantas disebut warung. Selain bangunannya besar pelayannya juga banyak.
Saat itu pengunjung sedang ramai. Namun, begitu sosok Elang Setan muncul di
ambang pintu langsung semua tamu yang ada di situ menjadi bubar. Mereka tak
perlu tahu siapa adanya orang ini. Cukup dengan melihat tampangnya yang hancur
seperti bekas dicacah dihias dengan dua mata yang kelopaknya membeliak merah
serta sepasang tangannya yang berbentuk cakar runcing mengerikan, tanpa pikir
panjang semua tetamu serta merta berdiri lalu dengan ketakutan meninggalkan
warung kopi lewat pintu belakang bahkan ada yang langsung melompati jendela.
Mereka pantas takut setengah mati karena malam itu justru adalah malam Jum’at
Kliwon di mana banyak yang masih percaya pada malam seperti itu segala hantu
dan setan gentayangan seenaknya, terkadang memperlihatkan diri!
Elang Setan sesaat masih tegak
di ambang pintu sambil bertolak pinggang dan perhatikan orang-orang yang kabur.
Lalu dia melangkah masuk, menghempaskan tubuhnya di atas sebuah kursi kayu.
Para pelayan di warung kopi
itu tak ada satupun berani mendatangi Elang Setan. Mereka berkumpul ketakutan
disatu sudut bersama pemilik warung. Orang-orang ini jadi mengkerut ketika dari
tenggorokan Elang Setan keluar suara menggeru.
“Aku hanya bicara satu kali!
Apa tidak ada manusia melayani di tempat ini?!”
Habis berkata begitu Elang
Setan hantamkan tangan kirinya ke atas meja kayu.
“Braaakkk!”
Empat kaki meja amblas ke
lantai tapi tetap utuh! Papan meja sendiri hancur berkeping-keping. Dari sini
dapat dilihat bagaimana Elang Setan mampu mengerahkan tenaga dalam tapi
mengatur demikian rupa hingga tidak semua bagian meja berantakan. Melihat apa
yang terjadi, sebelum tamu seram itu menghancurkan benda-benda lain yang ada
dalam warung, seorang lelaki kerempeng bermuka bopeng cepat mendatangi.
“Orang jelek! Siapa kau?!
Pelayan?!”
“Harap maafkan. Saya pemilik
warung. Sa… saya siap melayani….”
Elang Setan menyeringai.
“Nasibmu rupanya bagus. Muka buruk bopeng tapi rejeki besar. Bisa punya warung
sebesar ini. Lekas kau siapkan meja baru! Hidangkan satu cangkir besar kopi
manis! Bawa tekonya ke sini sekalian!”
Pemilik warung memberi isyarat
pada para pelayan. Dua orang pelayan segera membersihkan kepingan-kepingan
papan meja yng hancur, mencabut empat kaki meja yang masih menancap di lantai
lalu meletakkan sebuah meja baru di hadapan Elang Setan. Pada saat itulah dari
arah pintu ada orang berkata.
“Sediakan dua cangkir
tambahan! Kami sangat berkenan menemani tamu agung ini minum bersama!”
Kepala Elang Setan tersentak.
Dia cepat berpaling ke arah pintu. Dua orang dilihatnya melangkah masuk,
berjalan ke arah meja di mana dia duduk. Yang satu seorang kakek bermuka pucat
dan berpipi sangat cekung, mengenakan jubah kuning. Orang kedua seorang Perwira
Tinggi pasukan Kerajaan. Ikut masuk ke dalam warung bersama mereka enam orang
prajurit yang segera mengambil sikap mengurung. Di luar warung masih ada
beberapa prajurit lagi, berjaga-jaga dekat pintu depan, jendela-jendela dan pintu
belakang. Elang Setan segera mencium gelagat tidak enak. Namun dia
memperlihatkan sikap tenang. Sepasang matanya yang berkelopak merah gembung
menyoroti dua orang yang melangkah ke arah mejanya. Lalu enak saja kedua orang
ini duduk di hadapannya. Elang Setan segera kenali kakek berjubah kuning tapi
tidak mampu mengetahui siapa adanya Perwira Tinggi di samping si kakek.
“Orang-orang hebat dari
Kotaraja!” ujar Elang Setan setengah berseru. Mulutnya menyunggingkan seringai
buruk. “Aku tidak mengundang kalian minum-minum ataupun bersenang-senang. Kalau
mau minum silahkan saja, tapi bayar sendiri!”
Kakek berjubah kuning yaitu
Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Kuning Bertongkat Besi tertawa lebar.
“Jangan takut,” katanya. “Kami
cukup banyak membawa uang. Katakan saja kau mau minum apa mau makan apa. Kami
membayar semuanya!”
“Ah, kalian orang-orang kaya
rupanya. Kalian muncul membawa keberuntungan bagiku. Katakan apa mau kalian?”
bertanya Elang Setan.
Perwira Tinggi Kerajaan
menjawab. “Kita minum saja dulu. Nanti masih banyak waktu untuk bicara…” ucapan
ini membuat Elang Setan jadi naik darah karena merasa diremehkan. Dia hendak
mendamprat dengan kata-kata kotor. Namun saat itu pemilik warung muncul membawa
sebuah teko besar serta tiga buah cangkir. Tiga cangkir diletakkan
masing-masing di hadapan tiga tamu. Lalu kopi hangat dalam teko dituangkannya
satu-persatu ke dalam tiga cangkir.
“Selera minumku tiba-tiba saja
lenyap!” kata Elang Setan. “Silahkan kalian minum berdua!”
Perwira Tinggi yang duduk tepat
di hadapan Elang Setan tersenyum. “Kami tidak memaksa kalau kau tak mau minum.
Cuma sayang, mungkin ini kali terakhir menikmati kopi seenak ini. Mengapa
disia-siakan?”
Sepasang mata gembung merah
Elang Setan mendelik. Dari tenggorokannya keluar sura menggembor.
“Perwira tinggi! Apa maksudmu
dengan ucapan tadi?!” membentak Elang Setan.
“Ketahuilah kami datang
membawa tugas untuk menangkapmu hidup-hidup ataupun mati! Sayang temanmu yang
bergelar Tiga Bayangan Setan itu tidak bersamamu. Kalau dia ada, rejeki kami
tentu lebih besar!” yang bicara adalah si kakek bermuka cekung Tubagus Kasatama
alias Dewa Berjubah Kuning. Elang Setan tertawa lebar. Cairan yang membasahi
kelopak matanya menetes dan bergulir di kedua pipinya membuat Perwira Tinggi
dan kakek berjubah kuning merasa jijik.
“Kopi sudah terhidang! Mengapa
tidak diteguk? Apa mau menunggu sampai dingin atau takut aku telah menyuruh
orang memasukkan racun ?!”
“Mana enak minum kopi hangat
kalau tidak ditemani lawan bicara,” menjawab Perwira Tinggi.
Elang Setan kembali tertawa.
“Kalau kalian memaksa aku rasa-rasa sungkan menolak. Baiklah, aku minum
duluan…”
Tubagus Kasatama dan si
Perwira Tinggi melihat Elang Setan ulurkan tangan kanannya yang berbentuk
cakar. Mereka menyangka orang ini akan memegang cangkir kopi dan meneguk
isinya. Ternyata Elang Setan cuma celupkan jari telunjuknya yang berkuku
panjang ke dalam cangkir. Kopi hangat dalam cangkir kelihatan beriak lalu
terdengan suara mendesis.
Baik Tubagus Kasatama maupun
si Perwira Tinggi sama-sama menyembunyikan kekagetan mereka ketika melihat
bagaimana kopi dalam cangkir laksana disedot perlahanlahan habis hingga
akhirnya cangkir tanah itu kosong!
“Enaknya kopi di warung ini…”
kata Elang Setan sambil menggeliat. “Biar kuisi lagi cangkirku.”
Tubagus Kasatama dan si
Perwira Tinggi mengira Elang Setan akan menuangkan kopi di teko ke dalam
cangkir. Tapi yang dilakukan Elang Setan kalau tadi dia mencelupkan jari
telunjuk kanannya maka kini dia memasukkan ujung tangan kirinya ke dalam
cangkir. Terdengar suara mendesis disusul suara benda cair mengucur. Ketika
Tubagus Kasatama dan sang Perwira melihat ke dalam cangkir ternyata sedikit
demi sedikit cangkir itu terisi kopi hangat yang mengepulkan asap berbau harum!
Baik Tubagus Kasatama maupun Perwira Tinggi dari Kartosuro itu sama-sama
memaklumi hanya orang memiliki kepandaian tinggi sekali yang mampu melakukan
seperti apa yang diperbuat Elang Setan. Maka keduanya serta merta mempertinggi
kewaspadaan.
“Aku telah meneguk kopiku.
Jika kalian tidak mau minum sebaiknya angkat kaki saja dari warung ini. Tunggu
aku di luar sana jika kalian memang punya urusan…” Perwira Tinggi dan Tubagus
Kasatama saling pandang.
“Orang sudah menawarkan.
Rasanya tidak sopan kalau tidak memenuhi…” kata Tubagus Kasatama pula. Sang
Perwira tersenyum dan anggukkan kepala. Kedua orang ini lantas memandang
lekat-lekat pada cangkir kopi di hadapan mereka. Tidak menunggu lama. Tiba-tiba
dua cangkir itu naik ke atas, perlahan-lahan melayang ke muka si kakek berjubah
kuning dan Perwira di sebelahnya. Luar biasa! Jelas dua orang ini memiliki
kepandaian yang tidak kalah dengan Elang Setan. Ketika cangkir hanya tinggal
seujung jari dari mulut mereka, kedua orang ini segera membuka mulut siap untuk
meneguk kopi dalam cangkir. Namun tanpa setahu mereka di bawah kolong Elang
Setan kepalkan jarijari kedua tangannya yang berbentuk cakar. Terjadilah hal
yang tidak diduga oleh dua orang dihadapannya. Gerakan cangkir yang mendekati
mulut serta merta terhenti.
Tubagus Kasatama dan sang
Perwira Tinggi segera maklum kalau orang pergunakan kekuatan untuk membendung
tenaga dalam mereka yang dikerahkan untuk mengangkat cangkir. Keduanya lipat
gandakan tenaga dalam masing-masing. Cangkir kelihatan seperti hendak bergerak
lagi tapi kembali tertahan begitu di bawah meja Elang Setan kepalkan dua
tangannya lebih kencang. Terjadi adu kekuatan tenaga dalam yang hebat. Walau
digempur dua lawan ternyata Elang Setan sanggup bertahan bahkan menghantam.
Bahu Tubagus Kasatama dan
Perwira Tinggi itu kelihatan bergetar, mula-mula perlahan lalu berubah tambah
keras. Meski sadar kalau mereka tidak sanggup bertahan namun untuk menyerah
begitu saja tentu saja keduanya merasa malu. Lebih baik terluka di dalam
daripada menyerah!
Di bawah meja tiba-tiba Elang
Setan buka kepalan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu tubuh Tubagus Kasatama
dan si Perwira Tinggi terhempas ke belakang. Sebelum itu dua cangkir yang
menggantung di udara pecah berantakan. Pecahan cangkir dan kopi muncrat
membasahi pakaian mereka. Sebagai orang persilatan cabang atas meskipun sudah
kena dihantam lawan, sebelum jatuh jungkir balik dari atas kursi Tubagus
Kasatama dan si Perwira Tinggi cepat melesat ke atas. Sambil selamatkan diri
dua orang ini saling berikan isyarat. Karenanya begitu melayang turun mereka langsung
menyerang Elang Setan!
Kakek berjubah kuning
menghantam dengan mengebutkan lengan jubah sebelah kanan. Sang Perwira
melepaskan tendangan ke dada Elang Setan. Dua serangan ini datangnya laksanan
kilat. Tapi yang diserang tenang saja. Sesaat lagi angin pukulan dahsyat dan
tendangan akan mengenai sasaran baru dia membuat gerakan. Dua cakar elang
membabat ke depan. Cahaya hitam dan merah bertabur di udara.
“Awas! Cakar beracun!” teriak
Tubagus Kasatama memberi ingat.
“Wutttt! Wutttt”
“Breettt!”
TIGA
PERWIRA Tinggi kerajaan itu
merasa seolah nyawanya terbang ketika cakar kiri Elang Setan merobek ujung
celananya sebelah kanan. Keringat dingin memercik di keningnya. Untung hanya
pakaiannya yang disambar robek. Kalau sampai daging atau kulit kakinya kena
dicakar pasti cidera berat akan menimpa dirinya karena dia tahu betul kuku-kuku
hitam cakar setan itu mengandung racun teramat jahat!
Elang Setan tertawa mengekeh.
Enak saja dia kemudian dudukkan diri di kursi. Mengambil teko di atas meja lalu
gluk-gluk-gluk! Dengan lahap dia meneguk kopi hangat langsung dari teko hingga
mulutnya berlepotan. Ketika Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi tegak di
seberang meja dengan paras berubah, Elang Setan menyeringai. Dia seka mulutnya
dengan cakar tangan kiri. Dia putar kepalanya pada Perwira Tinggi di sebelah
kiri. Di antara dua lawan yang dihadapinya dia bisa menduga bahwa yang satu ini
memiliki ilmu lebih rendah dari pada kakek berjubah kuning. Maka diapun
menggertak membuat patah semangat lawan. “Apa kau pernah melihat merahnya
jantungmu sendiri?”
Sang Perwira mendengus.
“Mulutmu terlalu besar! Aku mau lihat apa kau masih bisa bicara kalau nanti
tubuhmu kusuruh kuliti lalu digarang dengan panas?”
Elang Setan tertawa mengekeh.
Suara tawanya lenyap lalu tiba-tiba sekali dua tangannya melesat ke depan.
“Awas serangan!” teriak
Tubagus Kasatama. Dia tahu betul, sekali Elang Setan melancarkan serangan cakar
setannya jarang lawan bisa selamat. Sambil berteriak kakek ini gerakkan tangan
kanannya ke punggung jubah.
Saat itu tangan kiri Elang
Setan menyambar melewati meja ke arah leher Perwira Tinggi sementara tangan
kanannya melesat lurus ke arah dada tepat di bagian jantung! Jelas dia memang
hendak berusaha menjebol dada dan membetot jantung lawannya! Satu deru keras
terdengar disertai membesetnya sinar hitam legam. Elang Setan tersirap kaget
ketika dirasakannya ada benda keras menindih dua lengannya. Dia cepat menarik
serangan tapi benda keras itu lebih cepat datangnya dan “braaakk!”
Dua lengan Elang Setan
terhempas ke atas meja, ditindih keras oleh sebatang tongkat besi yang salah
satu ujungnya berbentuk runcing dn satunya lagi berupa lingkaran pipih dengan
pinggir setajam pisau! Inilah tongkat besi bernama “Wesi Ketaton” yang
merupakan senjata mustika andalan kakek berjuluk Dewa Berjubah Kuning
Bertongkat Besi.
“Kurang ajar!” maki Elang
Setan. Dia kerahkan tenaga dan tarik kedua tangannya. Tapi tidak seperti
diduganya, dia ternyata tidak mampu melepaskan tindihan tongkat besi pada kedua
lengannya. Malah tekanan tongkat semakin keras. Selagi dia berkutat membebaskan
dua lengannya dari samping Perwira Tinggi Kerajaan menyergap dengan dua pukulan
keras, satu ke dada, satu ke kepala Elang Setan.
Elang Setan meraung keras.
Kalau saja dua lengannya tidak terjepit Wesi Ketaton niscaya dua hantaman
dahsyat tadi akan membuat tubuhnya mental. Pipi kirinya tampak menggembung
merah kena hajaran. Darah Elang Setan mendidih. Dengan lutut kanannya dia
hantam papan meja hingga hancur berantakan. Hancurnya papan meja membuat lepas
jepitan tongkat besi kakek berjubah kuning pada dua lengan. Sadar kalau dua
tangan lawan yang sangat berbahaya itu kini lepas bebas Tubagus Kasatama segera
lancarkan serangan. Tongkatnya lenyap berubah menjadi gulungan dan sambaran
sinar hitam.
Perwira Tinggi Kerajaan tak
tinggal diam. Dia segera pula lancarkan serangan berupa pukulan-pukulan tangan
kosong mengandung aji dan tenaga dalam tinggi. Elang Setan terkurung rapat.
Sulit baginya untuk meloloskan diri. Dari ganasnya serangan dua orang itu jelas
mereka tidak perduli apakah Elang Setan bisa diringkus hidup-hidup atau dalam
keadaan jadi mayat!
Meski tenggelam dalam
serangan-serangan mematikan Elang Setan bersikap tenang bahkan untuk beberapa
jurus di masih melayani gempuran dua lawan dengan masih duduk di kursi kayu!
“Manusia setan ini benar-benar
luar biasa!” membatin Tubagus Kasatama. Dia membentak keras lalu tongkat
besinya diputar demikian rupa hingga warung itu seolah dilanda badai.
“Dewa Berjubah Kuning! Apa ini
ilmu andalanmu yang terakhir?” seru Elang Setan mengejek.
“Bukan terakhir bagiku tapi
terakhir bagi jalan nafasmu!” balas berteriak Dewa Berjubah Kuning. Ujung bulat
tongkat Wesi Ketaton membabat ke arah leher Elang Setan didahului sambaran hawa
dingin mengidikkan, “Putus lehermu!” teriak si kakek.
“Hancur tongkatmu!” balas
Elang Setan. Tangan kanannya mencelat ke atas. Bukan saja untuk melindungi
lehernya tapi sekaligus menangkap bagian tongkat di bawah lingkaran pipih.
Begitu tertangkap pergelangan tangannya segera diputar. Sekali putar tongkat
besi itu pasti akan patah! Tapi Elang Setan kecele. Tongkat lawan ternyata
benarbenar senjata sakti mandraguna! Elang Setan tidak hilang akal. Sadar
senjata lawan tak bisa dipatahkan atau dihancurkannya maka dia tarik kuat-kuat
tongkat itu. Karena Tubagus Kasatama tak ingin senjatanya dirampas orang dan
berusaha mempertahankan, tak ampun tubuhnya ikut tertarik ke depan. Pada saat
itulah kaki kanan Elang Setan melesat ke depan.
“Bukkk!”
Tubagus Kasatama merasa
perutnya seperti pecah. Jeritan keras keluar dari mulutnya. Tongkat terlepas
dari tangan dan tubuhnya terpental dua tombak. Baru saja kedua kakinya
menginjak lantai warung dan masih dalam keadaan terhuyung-huyung lawan datang
menyergap. Elang Setan membuat gerakan aneh. Kedua tangannya dikembangkan ke
samping laksana sayap elang raksasa. Bersamaan dengan itu tubuhnya berputar
sebat.
“Craasss!”
Tangan kanan Tubagus Kastma
yang terkembang karena berusaha mengimbangi diri putus laksana dibabat senjata
tajam. Orang tua ini terpekik. Belum habis pekiknya tangan kiri Elang Setan
ganti menghantam.
“Craasss!”
Kali ini cakar maut Elang
Setan merobek pangkal leher dan dada si orang tua. Darah membasahi jubah
kuningnya. Meski tangan kanan putus dan leher serta dada luka parah manusia
berjuluk Dewa Berjubah Kuning ini masih tetap berdiri bahkan berusaha melompati
lawan sambil hantamkan tangan kirinya. Selarik sinar kuning menggebubu
menghantam Elang Setan, membuat kedua kakinya terangkat ke atas. Elang Setan
membentak keras. Dia cepat melompat sampai dua tombak. Begitu menukik tangan
kirinya menyambar.
“Craassss!”
Dada kiri Dewa Berjubah Kuning
jebol. Jeritan si orang tua setinggi langit mengerikan. Meski sadar kalau dia
tidak akan lolos dari kematin karena jantungnya sudah kena cengkeram lawan namun
dengan tangan kirinya dia masih berusaha balas menghantam dan berhasil!
Dua sosok tubuh terbanting dan
terkapar di lantai warung. Yang pertama sosok Dewa Berjubah Kuning yang tak
berkutik lagi, menemui ajal secara mengerikan karena jantungnya tak ada lagi
dalam rongga dada kirinya! Tak jauh dari mayat si kakek menggeletak Elang
Setan. Tangan kanannya memegangi perutnya yang terkena jotosan lawan sedang
tangan kirinya pegangi benda merah berdenyut-denyut. Itulah jantung Dewa
Berjubah Kuning!
Pemilik wrung kopi dan semua
pelayan sama menggigil saking ngeri dan ketakutan setengah mati melihat
kejadian itu. Lain halnya dengan Perwira Tinggi Kerajaan. Begitu melihat si
orang tua menemui ajal dia cepat mengambil tongkat Wesi Ketaton. Dengan senjata
ini dia menyerbu Elang Setan yang saat itu tengah berusaha bangkit
membelakanginya. Bagian runcing tongkat ditusukkannya ke balok kepala Elang
Setan.
Bagaimanapun tingginya ilmu
Elang Setan namun dia masih belum sehebat kawannya Tiga Bayangan Setan yang tak
mempan pukulan sakti dan kebal senjata tajam. Tusukan tongkat Wesi Ketaton pada
batok kepalanya akan membunuhnya seketika. Karena saat itu serangan datang dari
belakang sekalipun. Elang Setan cepat mengetahui dan sempat mengelak namun
keadaannya sudah sangat terlambat.
Hanya sekejapan mata lagi
tongkat Wesi Ketaton akan amblas menusuk batok kepala Elang Setan tiba-tiba
dari pintu warung melesat sosok berjubah hitam. Mendahului sosok ini terlihat
ada tiga bayangan hitam. Bayangan-bayangan ini berupa manusia bertelanjang dada
penuh bulu berkepala berbentuk raksasa berambut panjang riap-riapan serta
taring mencuat, memiliki sepasang mata besar merah. Tiga bayangan ini seolah
keluar dari kepala orang berjubah hitam itu. Bayangan yang di tengah melesat
paling cepat ke arah Perwira Tinggi yang tengah menghunjamkan tombak maut ke
kepala Elang Setan. Makhluk berkepala raksasa ini angkat tangan kanannya
tinggi-tinggi lalu menghantam.
“Praaak!”
Perwira Tinggi Kerajaan itu
tak pernah tahu siapa atau apa yang membunuhnya. Tubuhnya terhempas ke lantai
warung dengan kepala pecah.
“Syukur kau datang menolongku.
Kalau tidak…” kata Elang Setan pada si jubah hitam yang bukan lain adalah
sobatnya si Tiga Bayangan Setan. Sesaat dia tegak sambil pegangi perutnya yang
masih terasa sakit.
“Kau masih mau minum kopi?!”
ejek Tiga Bayangan Setan.
Elang Setan hanya bisa
menyeringai.
“Hampir saja kau minum kopi di
akhirat!” ujar Tiga Bayangan Setan tandas. Dia memutar tubuh. Sebelum melangkah
ke pintu di berkata pada Elang Setan. “Ambil tongkat besi hitam itu. Itu bukan
senjata sembarangan. Pasti ada gunanya bagi kita!”
EMPAT
HUJAN turun lebat bukan alang
kepalang seolah langit di atas sana terbelah. Satu bayangan putih berkelebat
dalam kegelapan malam. Dia tengah berusaha mencari tempat berteduh. Dari
mulutnya, terdengar suara bergemeletakkan akibat gigil kedinginan. Tapi dari
mulut itu juga berulang kali keluar makian kesal. “Hujan sialan!”
Dalam keadaan kuyup tubuh dan
pakaian orang ini tiba-tiba melihat ada satu nyala api di kejauhan. Menyangka
itu adalah nyala lampu minyak rumah penduduk tanpa pikir panjang dia segera
berlari ke arah sana. Ternyata nyala api itu bukan lampu minyak tanah melainkan
nyala api sebuah obor yang bergoyang-goyang diterpa angin keras. Obor ini terikat
pada tiang bambu sebuah gubuk tanpa dinding yang atapnya bocor disana sini. Di
tengah gubuk berlantai tanah dan becek itu melintang batangan pohon. Orang yang
mencari tempat berteduh ini terperangah ketika dilihatnya di atas batang kayu
itu duduk terkantuk-kantuk seorang tua. Sepasang matanya sebentar terbuka
sebentar terpejam. Rambutnya yang awut-awutan sebagian telah basah oleh air
hujan yang menetes jauh dari atap bocor, begitu juga jubah hitamnya. Meski
kebocoran seperti itu tapi orang ini tidak berusaha untuk bergeser atau
berpindah duduk.
“Orang tua aneh, tak bisa
kutebak apa dia lelaki atau perempuan,” kata orang yang baru datang. Dia
sendiri terpaksa berpindah tempat beberapa kali agar terhindar dari kebocoran
air hujan. “Berjubah hitam, tangan dan kaki tidak kelihatan. Bagaimana aku
harus menegurnya. Biar aku mendehem saja….” Berfikir begitu orang ini lalu
mendehem beberapa kali. Yang didehemi tidak memberi reaksi apa-apa. Kedua
matanya masih terus membuka dan memejam sedang bahu dan kepalanya terayun-ayun.
“Aku yakin dia belum tidur.
Tapi mengapa tidak mendengar aku mendehem. Mungkin tuli, bisa juga gagu….”
Orang ini lalu berputar beberapa kali mengelilingi orang tua yang duduk di atas
batang pohon. “Waktu matanya terbuka, dia pasti melihat aku. Nyala api obor
cukup terang. Tapi dia masih diam saja. Apa selain tuli dan gagu dia juga
buta?! Aku tidak percaya! Kalau kutegur paksa mungkin dia marah. Manusia macam
begini kelakuannya bisa aneh-aneh.” Orang ini memutar otaknya lalu
senyum-senyum sendiri. Dari mulutnya kini terdengar suara siulan halus. Lalu
mulutnya berucap.
“Uh… dingin-dingin begini
perut rasanya lapar sekali. Untung masih ada persediaan ubi rebus. Masih hangat
lagi…. Hemm…. Enaknya kumakan saja sekarang juga….” Sambil berkata begitu orang
ini mengeruk ke balik pakaiannya mengambil sesuatu. “Nah ini di…. Ubi rebus.
Hangat asyik…. Pengganjal perut yang lapar. Biar kukupas dulu kulitnya. Hemm…
pasti enak…. Aduh besarnya ubi ini. Rasa-rasanya tak habis kalau aku makan
sendiri…!” Sambil berkata begitu dia melirik ke samping lalu menyengir ketika
melihat orang tua di atas batang kayu memutar kepalanya sedikit sedang kedua
matanya dibuka. Bibirnya berkomat-kamit berulang kali.
“Nah, nah… Jadi sampean
rupanya tidak tuli dan tidak buta. Buktinya sampean palingkan kepala mencari
ubiku! Ha… ha…. Ha! Apakah sampean juga gagu-bisu? Kurasa tidak ‘kan?!”
Dua mata orang tua itu tampak
membesar berkilat-kilat. Tampangnya yang penuh kerut merengut tanda dia sadar
kalau sudah kena ditipu orang. Ternyata dia memang tidak gagu karena saat itu
juga suara bentakannya menggeledek.
“Gubuk ini milik nenek
moyangku! Diwariskan pada bapak moyangku! Bapak moyangku mewariskan pada
diriku! Orang muda, jangan berani macam-macam! Lekas angkat kaki dari sini!”
Sesaat orang di hadapan si
orang tua terperangah kaget. Bukan saja karena ucapan orang tua itu tapi juga
karena tidak mampu memastikan dari suara orang apakah dia lakilaki atau
perempuan. “Jelas dia punya kepandaian merubah suara!” berkata dia dalam hati.
Lalu dalam hati juga dia mengomel. “Perduli setan ini gubuk warisan siapa!”
Lalu pada orang tua itu dia berkata. “Ah, benar rupanya. Ternyata kau tidak
gagu. Kau marah tidak kubagi ubi rebus?! Lihat sendiri! Mana ada ubi rebus! Aku
hanya mendustaimu! Orang itu membuka ke dua tangannya lebar-lebar sambil terus
tertawa.
“Kurang ajar betul dirimu!
Pertama kau masuk ke gubukku tanpa permisi. Kedua kau menipuku seolah punya ubi
rebus hingga menganggu kantukku! Lekas bilang siapa dirimu yang berani mencari
mati?!”
“Walah, masakan numpang
berteduh dan tertipu ubi saja balasannya sampai mati segala?!”
“Aku bertanya siapa dirimu
anak setan kurang ajar?!”
Yang ditanya kembali
garuk-garuk kepala tapi menjawab juga. “Aku Wiro…”
“Hemm… ternyata namamu jelek.
Kelakuanmu lebih jelek lagi, sejelek tampangmu!” Orang tua di atas batang kayu
mendengus. “Aku muak melihatmu! Menyingkir dari hadapanku!” Habis berkata
begitu orang tua ini lalu kibaskan lengan jubah sebelah kiri.
“Wutttt!”
“Hai! Kenapa kau
menghantamku?!” teriak pemuda di hadapan si orang tua yang bukan lain adalah
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
“Makan ubimu!” teriak orang
tua itu sambil putar pergelangan tangan kirinya.
“Astaga!”
Waktu tadi lengan jubah
mengebut satu gelombang angin mengeluarkan hawa dingin menderu, membabat ke
arah perut Pendekar 212. Dia cepat menyingkir. Namun putaran tangan kiri yang
dilakukan orang tua membuat gelombang angin berputar aneh. Wiro merasa seolah
ada tangan besar dan kuat yang tak kelihatan menelikung pinggangnya. Dia
menghantam ke bawah dengan tangan kanan. Namun yang dipukulnya hanya udara
kosong. Di saat yang bersamaan tahu-tahu tubuhnya terangkat ke atas lalu
“brak!” Tubuh Wiro terbanting jatuh punggung ke tanah becek. Selgi Wiro
terhenyak kesakitan orang tua di atas batang kayu tertawa gelak-gelak.
“Sudah kau makan ubi rebusmu?
Enak ya? Ha… ha… ha…!”
Perlahan-lahan Wiro bangkit
berdiri. Pakaiannya basah dan kotor penuh tanah. Dia tak bisa menerka apakah
orang tua tak dikenal itu punya maksud jahat atau tidak. “Orang aneh seperti
yang satu ini tak perlu diladeni. Lebih baik aku menyingkir saja dari sini.
Lagi pula hujan mulai reda…” Wiro lalu keluar dari gubuk bocor itu. Namun baru
melangkah dua kali si orang tua tiba-tiba berseru.
“Hai! Kau sudah memakai gubukku
untuk berteduh! Mana bayarannya!”
“Tua bangka brengsek!” maki
murid Sinto Gendeng. Dia balikkan tubuh lalu menyahuti. “Gubukmu bocor besar.
Tak ada gunanya berteduh! Cukup aku membayar dengan ucapan terima kasih saja!”
Lalu tanpa perduli lagi Wiro lanjutkan langkahnya. Pada saat itulah mendadak di
belakangnya terdengan suara menderu. Ada sesuatu melesat di udara, melayang ke
arahnya! Cepat Wiro berpaling dan jadi sangat terkejut ketika menyaksikan
batangan kayu besar yang tadi diduduki si orang tua melayang di udara setinggi
kepala, siap menghantamnya.
Pendekar 212 rundukkan kepala
sambil kerahkan pukulan sakti “kunyuk melempar buah” lalu menghantam.
“Braakkk!”
Batang kayu mental dan hancur
berkeping-keping. Terdengar suara tawa mengekeh. Orang tua berjubah hitam itu
tegak beberapa langkah di hadapan Wiro, masih dibawah atap gubuk. Sambil
bertolak pinggang dia berkata. “Berteduh tidak minta permisi. Pergi tidak mau
membayar! Batangan kayu kursi dan tempat ketiduranku malah kau hancurkan!
Kelakuanmu sudah keterlaluan!”
“Orang tua, jika aku salah
harap maafkan!”
Mendengar ucapan Wiro orang
tua itu kembali tertawa.
“Gampang betul mulutmu minta
maaf! Pernahkah mulutmu itu makan manisan api?!”
“Manisan api…? Eh, apa
maksudmu?! Tanya Wiro. Selagi dia keheranan orang di hadapannya menyambar obor
yang terikat di tiang gubuk. Lalu “wusss… wusss… wusss!”
Dengan obor itu dia menyerang
Wiro. Gerakannya cepat sekali. Serangan pertama yang hampir membakar mukanya
berhasil dielakkan oleh Wiro, begitu juga serangan kedua ke arah perut. Tapi
serangan berikutnya tak bisa dikelit. Dada baju putihnya terkena sambaran obor,
langsung terbakar. Cepat Wiro tepuk-tepukkan tangan matikan obor, membuat murid
Sinto Gendeng tak bisa berdiam diri lagi. Sambil mengelak dia balas menyerang.
Dia berusaha membuat gerakan melebihi kecepatan lawan. Mula-mula Wiro memang
bisa mendesak namun beberpa jurus kemudian lawan bukan saja mementahkan
jurus-jurus silatnya malah serangan obornya sempat membakar tubuh dan sesekali
menyambar pipi kanannya hingga pemuda ini mengerenyit menahan sakit!
Tidak terasa dua puluh jurus
berlalu cepat. Wiro semakin terdesak. Satu kali ketika obor menusuk ke arah
perutnya murid Sinto Gendeng melompat ke kiri. Dia sengaja memukul dan menymbar
tiang bambu penyanggah atap gubuk terdekat. Gubuk reot itu miring hampir roboh.
Wiro melesat ke luar gubuk dan menunggu sambil melintangkan bambu di depan dada
siap menghadapi lawan. Karena bambu yang dipegangnya lebih panjang dari obor di
tangan lawan, Wiro menyangka dia kini akan lebih mudah menghadapi serangan.
Tapi satu hal yang mengejutkan terjadi begitu dia coba menusuk dengan bambu
itu.
Lawan menyambuti serangannya.
Menangkis dengan obor. Bagian atas obor sesaat menempel di ujung bambu. Bambu
itu serta merta terbakar. Orang tua mundur selangkah. Sambil menyeringai dia
meniup ke depan.
“Wusss!”
Api yang membakar ujung bambu,
seperti bola tiba-tiba menggelinding sepanjang bambu dan menyambar ke arah
tangan dan muka Pendekar 212!
“Gila!” teriak murid Sinto
Gendeng sambil melompat mundur dan cepat lepaskan bambu yang dipegangnya tapi
masih terlambat. Gelundungan bola api menyambar ke arah mukanya. Wiro menunduk.
“Wusss!”
Kain putih pengikat kepalanya
dan sebagian rambutnya di atas telinga kiri masih sempat terbakar. Daun
telinganya terasa panas sakit bukan main.
“Orang tidak main-main. Dia
punya maksud untuk mencelakaiku. Bukan mustahil kehadirannya di tempat ini
memang sengaja menghadangku!”
Berfikir sampai di situ Wiro
segera mendahului menyerang. Si orang tua sambut dengan putaran obor.
“Lihat serangan!” teriak murid
Sinto Gendeng
Lawan tertawa tergelak.
“Serangan apa?! Aku tidak melihat serangan apa-apa. Yang kulihat kau menari tak
karuan seperti monyet terbakar buntut!”
Menerima ejekan itu Pendekar
212 jadi penasaran sekali. Dia segera keluarkan jurus-jurus ilmu silat
terhebatnya. Serangan dibuka dengan jurus “orang gila mengebut lalat” yang
membuat obor di tangan lawan bergoyang keras tapi tak bisa dibuat mental bahkan
padampun tidak. Melihat ini murid Sinto Gendeng susul dengan jurus serta
pukulan sakti bernama “angin puyuh”. Sebelumnya jarang Wiro mengeluarkan ilmu
pukulan ini. Di malam yang gelap angin pukulannya mengeluarkan suara menderu
keras. Gubuk reyot berderak-derak. Dihadapannya si orang tua kelihatan
tertegun. Jubah hitamnya berkibar-kibar dan kedua kakinya terangkat ke atas.
“Huh! Ilmumu cukup bagus untuk
menakut-nakuti anak kecil!” ejek si orang tua.
Dia angkat tangan kirinya
dengan telunjuk mengacung lurus ke atas. Seperti tersedot angin pukulan sakti
Pendekar 212 sedikit demi sedikit amblas masuk ke dalam jari! Meski terkejut
bukan kepalang namun sadar kalau dia tidak boleh memberi kesempatan. Didahului
dengan jurus “ular naga menggelung bukit” Wiro kembali lancarkan serangan. Kaki
kanannya melesat. Ini merupakan serangan tipuan karena begitu orang bergerak
menghindar tubuh Wiro melesat ke depan dengan dua tangan terpentang, menyambar
laksana kilat ke leher lawan! Ini satu serangan sangat berbahaya. Tapi si orang
tua sambut serangan itu dengan tawa bergelak lalu secepat kilat dia membuat
gerakan aneh. Tubuhnya melenting ke belakang tapi kedua kakinya tidak bergeser
dari kedudukan semula. Begitu dua tangan Wiro menyambar dia tusukkan obor ke
arah perut Wiro sedang tangan kiri menjotos ke dada!
“Ah! Wiro keluarkan seruan
tertahan. Dia tak habis pikir. Serangannya tadi dengan gerakan cepat luar
biasa, tapi lawan mementahkannya begitu mudah. Sambil kertakkan rahang murid
Sinto Gendeng bergerak ke samping lalu tiba-tiba sekali dia membalik lancarkan
jurus serangan bernama “di balik gunung memukul halilintar”. Dua lengannya
berputar laksana baling-baling. Menghantam ke arah lawan. Salah satu dari
lengan itu tidak dapat tidak pasti akan mendarat di tubuh lawan. Tapi apa
lacur. Tiba-tiba sekali orang tua berjubah hitam melesat ke udara sambil
menotokkan obornya ke batok kepala Wiro! Wiro sadar bahaya maut yang
mengancamnya. Dengan gerakan kilat dia menghindar dengan keluarkan jurus
“kepala naga menyusup awan”. Begitu obor lewat hanya seujung kuku di samping
kepalanya Wiro jatuhkan diri ke tanah, berguling dua kali. Pada gulingan ketiga
dia berbalik dan hantamkan tangan kanannya. Sinar terang benderang berkelebat
menyilaukan disertai menebarnya hawa panas. Murid Sinto Gendeng ternyata telah
lepaskan pukulan sakti “sinar matahari”.
Di seberang sana di depan
gubuk orang tua berjubah hitam keluarkan seruan keras. Tubuhnya berkelebat
lenyap sebelum pukulan maut itu menghantam dirinya. Pukulan sinar matahari
melabrak gubuk terus menghantam semak belukar dan pepohonan di sekitarnya.
Serta merta gubuk dan semak belukar tenggelam dalam kobaran api sedang
pohon-pohon hangus. Dari sini bisa dilihat bagaimana kehebatan pukulan sakti
yang dilepaskan murid Sinto Gendeng. Semua benda yang dilanda pukulan itu
terbakar padahal dalam keadaan basah akibat kehujanan! Namun apa gunanya semua
kehebatan itu kalau dia tidak mampu menghajar lawan! Wiro kertakkan rahang.
“Sialan! Kemana lenyapnya
manusia itu?” ujar Wiro dalam hati.
Di belakangnya mendadak ada
suara tawa mengekeh. Wiro berbalik cepat. Orang tua berjubah hitam itu ternyata
kini tegak hanya dua langkah saja di hadapannya! Di tangan kanannya masih
tergenggam bambu obor yang setengahnya berada dalam keadaan hancur.
“Pukulanku hanya mampu
menghancurkan ujung obor….” membatin Wiro.
“Anak muda, apa kau masih
punya ilmu kepandaian lain yang hendak kau perlihatkan padaku?!”
Ejekan itu membuat panas
telinga Pendekar 212. Tanpa menunggu lebih lama. Didahului dengan bentakan
keras murid Sinto Gendeng menggebrak ke depan, lancarkan serangan berupa
jotosan kiri kanan mengandung tenaga dalam penuh!
“Traakk!”
Potongan bambu obor di tangan
orang tua berjubah hitam hancur berantakan sewaktu dipergunakan untuk
menangkis. Tinju kanan Wiro terus melesat menghantam dadanya dengan telak.
Selagi tubuh lawan terhuyung-huyung Wiro susul menyodokkan tinju kirinya ke
lambung. Tubuh orang tua itu terlipat ke depan. Secepat kilat Wiro kembali
menggebuk dengan tangan kanan. Kali ini yang di arahnya adalah muka lawan.
Hantamannya mendarat tepat di kening orang tua itu hingga tubuhnya terjengkang
di tanah.!
“Gila! Tiga pukulanku
menghantamnya telak! Dia tidak cidera sedikitpun! Malah menyeringai!”
Selagi Wiro terheran-heran,
dengan satu gerakan aneh tubuh yang terjengkang di tanah itu tiba-tiba
melenting ke udara. Tahu-tahu sepasang kakinya telah menjapit leher Wiro. Bau
pesing! Itu yang tercium oleh Wiro. Dia berusaha menjotos tubuh lawan sambil
mencoba melepaskan lehernya dari japitan sepasang kaki. Namun terlambat. Tubuh
si orang tua berputar ke kanan. Akibatnya Wiro ikut terpuntir keras dan
terbanting ke tanah. “Uh…! Benar-benar edan. Copot kepalaku!” keluh Pendekar
212. Untuk beberapa saat dia hanya bisa terkapar diam di tanah. Kepalanya
mendenyut sakit. Lehernya seperti putus dan pemandangannya berkunang-kunang.
Pada saat itulah lawan mendatangi, mencekal leher bajunya. Tangan kiri menarik
tubuhnya ke atas, tangan kanan memukul!
“Bukkk!”
Pendekar 212 merasa kepalanya
seperti meledak. Setelah itu segala sesuatunya menghitam gelap. Dia roboh
meliuk di tanah becek. Di hadapannya orang tua berjubah hitam menyeringai, lalu
meludah ke tanah. Ludah itu bercampur darah. Ternyata pukulan-pukulan yang
dilepaskan Wiro tadi ada yang membuat cidera tubuhnya di bagian dalam. Orang
tua ini agaknya menyadari hal itu karena sambil melangkah pergi dia berulang
kali mengusap dadanya sambil salurkan tenaga dalam. Ketika Wiro sadar dari
pingsannya hari telah terang. Matahari pagi yang menerobos lewat daun-daun
pepohonan menyilaukan matanya. Jangankan bergerak, membuka kedua matanya saja
terasa sakit. Lehernya seolah patah. Menelan ludah saja rasanya sakit bukan
main. Dadanya juga mendenyut sakit, mungkin ada tulang iganya yang cidera. Lalu
daun telinga kirinya masih terasa panas akibat sambaran api obor. Untuk
beberapa lama Wiro hanya bisa terkapar tak bergerak di tanah yang becek itu.
Selang beberapa ketika setelah mencoba berulang kali akhirnya dia mampu bangkit
dan duduk menjelepok di tanah walau masih terhuyung-huyung. Sehelai kertas yang
tadinya terletak di dadanya jatuh ke pangkuan.
Perlahan-lahan sepasang mata
pemuda itu terbuka.
“Walah, sudah siang rupanya.
Uh… badanku serasa remuk!”
Pertama sekali Wiro melihat
semak belukar lebat dan pohon-pohon tumbuh rapat di hadapannya. Dia menoleh ke
kiri. Tampak bekas-bekas gubuk yang kini telah punah dimakan api berasal dari
pukulan sinar matahari yang dilepaskannya malam tadi.
“Orang tua geblek
berkepandaian tinggi itu, apa dia masih ada di tempat ini…?”
Wiro bertanya-tanya sambil
memandang berkeliling. “Aneh, kehadirannya malam tadi di tempat ini seperti
sengaja menungguku. Dia menghajarku setengah mati tapi tidak membunuh! Sialnya
aku tidak mengenal siapa dirinya. Bahkan apa dia lelaki atau perempuan saja aku
tak bisa mengetahui! Apa yang harus kulakukan sekarang? Lebih baik aku segera
tinggalkan tempat celaka ini. Mencari mata air membersihkan diri. Tenggorokanku
serasa ditempeli besi panas. Haus sekali rasanya….”
Wiro berusaha bangkit. Pada
saat itulah dia melihat lembaran kertas yang terletak di pangkuannya.
“Eh, apa pula ini? Hatinya
bertanya-tanya. Dengan tangan kiri diambilnya kertas itu. Ternyata di kertas
yang lembab dan kotor itu ada serentetan tulisan. Walau tulisan itu buruk
sekali Wiro masih bisa membacanya. Permainan belum selesai. Jika merasa
penasaran silahkan datang ke puncak Merbabu.
“Pasti tua bangka sialan itu
yang membuat surat ini! Apa mau dia sebenarnya?! Lebih baik tidak kuladeni
orang gila itu….” Wiro terdiam sesaat. Berfikir-fikir. Lalu di mulutnya
tersungging seraut senyum. “Hemmm…. Mungkin ada baiknya aku melayani
tantangannya. Mungkin dia sendiri yang masih penasaran. Tapi kalau betul
mengapa dia tidak menghabisi diriku sekaligus malam tadi…?” Wiro garuk-garuk
kepala. “Ada satu keanehan. Ada sesuatu terselubung dibalik semua kejadian
ini…! Bisa baik tapi mungkin sekali bisa mencelakai diriku!”
LIMA
BUKIT kecil di sebelah timur
Kartosuro itu masih terbungkus kegelapan dini hari. Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan hentikan kuda masing-masing.
“Sudah tiga kali kita
mengitari bukit ini! Jarot Ampel tidak kelihatan mata hidungnya!” berkata Tiga
Bayangan Setan.
Elang Setan pencongkan mulut.
Sambil letakkan tongkat besi milik Tubagus Kasatma yang diambilnya dia balas
berkata. “Memang aneh. Dia menyuruh kita datang. Tempat kediamannya kosong.
Dicari-cari tidak bertemu. Kurasa….” Elang Setan putuskan ucapannya. Di sebelah
tiba-tiba tampak sebuah benda terang melesat ke udara. “Tiga Bayangan! Lihat!”
Elang Setan menunjuk ke langit di sebelah barat.
“Ada yang melempar benda
terbakar ke udara! Jangan-jangan itu tanda isyarat dari guru! Memberitahu di
mana dia berada!”
“Kalau begitu lekas kita
menuju ke sana!” kata Elang Setan pula seraya menggebrak kudanya. Tiga Bayangan
Setan cepat mengikuti.
“Ada nyala api di lereng bukit
sebelah sana!” berseru Tiga Bayangan Setan. Elang Setan berpaling ke arah yang
ditunjuk. Memang betul ada nyala api disalah satu lereng bukit. Nyala api itu
kelihatan bergerak-gerak beberapa kali lalu padam.
“Kita menuju ke sana!” ujar
Elang Setan.
Dua orang itu segera memacu
kuda menaiki lereng bukit di mana tadi mereka melihat ada nyala api. Naik ke
atas sejauh mungkin seratus tombak disatu tempat dua orang itu temukan tiga
batangan kayu menancap di tanah. Pada ujung tiga kayu itu masih terlihat nyala
api yang telah meredup dan akhirnya padam.
“Ada sesuatu di sebelah sana…”
bisik Elang Setan lalu turun dari kuda diikuti oleh Tiga Bayangan Setan.
Keduanya melangkah mendekati sebuah benda yang muncul di permukaan tanah miring
lereng bukit.
“Sumur batu….” desis Elang
Setan begitu sampai di hadapan benda dalam kegelapan. Yang ada di tempat itu
memang sebuah sumur batu. Meskipun mulut sumur sangat lebar namun ke dua orang
itu tak dapat melihat apa yang ada dalam sumur karena sangat gelap. Mereka juga
tidak bisa menduga berapa kedalaman sumur itu.
“Aku mendengar seperti ada
desisan halus dari dalam sumur…” kata Elang Setan.
“Jangan-jangan sumur ini
sarang ular atau dihuni sejenis binatang buas!”
Tiga Bayangan Setan pegang
daun telinganya kiri kanan dan pasang pendengarannya. “Bukan ular, tak ada
binatang di dalam sana. Itu suara angin. Bisa terjadi karena dinding sumur batu
tidak rata…”
“Apa yang harus kita lakukan
sekarang? Guru Jarot Ampel masih tidak kelihatan…!”
“Sebaiknya kita tunggu sampai
hari terang,” jawab Tiga Bayangan Setan.
Dari dalam sumur gelap
tiba-tiba ada suara aneh. Mula-mula jauh datangnya seolah dari dasar sumur yang
gelap, lalu semakin keras seperti naik ke atas.
“Tiga Bayangan, kau dengar
suara itu…? Jangan-jangan sumur ini dihuni setan hantu belantara…!
“Kedengarannya sepert suara
orang membaca mantera!” bisik Tiga Bayanga Setan yang diam-diam merasa tercekat
tapi tetap tenang dan penuh waspada. Dia berbisik. “Siapkan pukulan untuk
menghantam jika bahaya tiba-tiba muncul…”
Suara meracau seperti orang
membaca mantera itu semakin keras, tambah keras lalu tiba-tiba lenyap! Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan saling pandang. Selagi mereka sama tercekat
tiba-tiba ada suara mendesir. Dari dalam sumur muncul sebuah benda. Ketika dua
orang ini memperhatikan ternyata yang muncul adalah satu kepala manusia
berambut putih riapriapan. Lalu kelihatan satu wajah pucat sangat tua, penuh
keriputan. Sesaat kemudian menyusul kelihatan bagian dada, perut dan pinggang.
Di hadapan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan kini muncul satu sosok
kakek-kakek yang kemudian duduk berjuntai di bibir sumur batu mengenakan jubah
merah muda. Tubuhnya bungkuk dan bahunya naik pertanda orang ini berusia tua
sekali.
“Guru!” seru Tiga Bayangan
Setan dan Elang Setan begitu mereka kenali siapa adanya sosok yang barusan
keluar dari dalam sumur itu. Keduanya segera jatuhkan diri berlutut.
“Bagus! Kalian datang dalam
waktu tepat! Terlambat sedikit saja kalian tidak akan menemuiku lagi!” kata
orang tua di tepi sumur. Saat itu dari dalam sumur tampak keluar kabut tipis
hingga untuk beberapa lamanya orang tua itu antara kelihatan dan tidak.
“Guru, kami sudah datang!
Mohon petunjuk gerangan apa maksudmu memanggil kami ke tempat ini?” Elang Setan
ajukan pertanyaan.
Orang tua yang duduk di tepi
sumur manggut-manggut. Perlahan-lahan dia angkat kedua kakinya hingga kini di
tepi sumur itu dia duduk bersila terbungkuk-bungkuk seperti hendak rubuh jatuh
masuk ke dalam sumur gelap.
“Waktu kita memang tidak
banyak. Aku bicara langsung-langsung saja. Seratus lima puluh tahun lebih hidup
di permukaan bumi. Lebih dari seratus dua puluh tahun malang melintang
menyandang gelar Iblis Tanpa Bayangan. Semakin tua usiaku semakin kurasa hidup
ini seolah tak ada ujungnya! Lebih dari tujuh puluh lima tahun aku membawa
beban yang tidak pernah diketahui oleh orang luar, termasuk kalian berdua
sebagai muridmuridku…”
Ketika si orang tua bernama
Jarot Ampel bergelar Iblis Tanpa Bayangan itu hentikan ucapannya sesaat, Tiga
Bayangan Setan beranikan diri membuka mulut.
“Guru, kami tidak mau berlaku
lancang. Tapi jika memang kau punya beban mengapa tidak memberitahu kepada
kami? Mungkin kami bisa membantu memperingan bebanmu?”
Jarot Ampel gelengkan kepala.
Wajahnya yang pucat keriput tampak redup. Tenggorokannya turun naik. Lalu dia
berkata. “Beban itu tidak dapat kuberikan pada siapapun. Kalau kelak aku
memberitahu maka saat itulah sampai ajalku!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan terkejut dan sama-sama saling pandang. Ketika mereka berpaling pada orang
tua itu, keduanya melihat si kakek membuka pakaiannya di bagian dada hingga
bagian depan tubuhnya yang bungkuk itu tersingkap lebar. Pada dada orang tua
ini kelihatan terikat sebuah benda yang ketika diperhatikan ternyata adalah
sebuah kitab tua. Demikian tuanya kitab ini baik sampulnya yang berwarna hitam
maupun bagian dalamnya tampak sudah gugus lapuk dimakan usia.
“Guru….Kitab apa yang terikat
di dadamu?” tanya Tiga Bayangan Setan heran. Elang Setan tak kalah herannya.
“Tujuh puluh lima tahun lebih
aku membawa kitab ini. Tak boleh ada orang yang tahu. Tak boleh kulepas dari
ikatannya, apalagi membaca dan mempelajari isinya! Pernah satu kali aku mencoba
melanggar pantangan, mencoba mengintip apa isi kitab ini. Akibatnya aku
diserang demam panas selama sepuluh minggu…!”
“Kalau begitu pastilah kitab
itu sebuah benda mustika sakti!” ujar Tiga Bayangan Setan.
“Sakti dia atas sakti! Bebanku
berat sekali. Memiliki tapi tidak bisa mengambil manfaat. Namun sekarang aku
segera akan bebas dari semua beban….”
“Guru, apa kau tidak tahu
kitab apa itu adanya? Mengapa sampai kau dibebani harus membawanya selama lebih
dari separuh usiamu?” bertanya Elang Setan. Wajah Jarot Ampel alias Iblis Tanpa
Bayangan kembali menjadi redup. Suaranya bergetar ketika menyahuti pertanyaan
muridnya.
“Menurut orang yang
memberikannya padaku kitab ini bernama Wasiat Iblis. Berisi pelajaran ilmu
kesaktian yang tidak ada duanya di dunia ini. Siapa memiliki dan mengusasinya
akan menjadi raja diraja dunia persilatan…!”
“Wasiat Iblis!” seru Tiga
Bayangan Setan. “Kami sudah pernah mendengarnya! Kalau begitu…!”
Jarot Ampel tersenyum, “Aku
tahu apa yang ada dibenakmu Tiga Bayangan Setan. Kau dan juga saudaramu itu
tiba-tiba saja punya maksud ingin memiliki kitab ini. Betul…?” Si orang tua gelengkan
kepala. “Suratan mengatakan bahwa hanya ada satu manusia yang boleh memiliki
dan sekaligus mempelajari isinya. Manusia itu akan datang sebelum seratus dari
setelah kematianku…”
“Manusia itu, siapa dia guru?”
tanya Elang Setan.
“Aku tidak tahu. Petunjuk
hanya mengatakan bahwa orang itu seorang berkepandaian sangat tinggi. Akan
muncul seratus hari setelah aku mati…”
“Jadi kitab itu akan menjadi
milik orang lain. Lalu apa perlunya guru menyuruh kami datang ke sini ?!”
Pertanyaan Elang Setan bernada tidak enak.
“Jangan kalian kecewa.
Bagaimanapun juga kitab ini tidak berjodoh dengan salah satu dari kalian.
Suratan sudah menentukan demikian. Kalian kusuruh datang kemari karena setelah
aku mati kalian berdua harus menjaga sumur batu ini sampai saat munculnya orang
yang ditakdirkan berjodoh dengan Wasiat Iblis ini…”
“Bagaimana kami tahu
orangnya?” tanya Tiga Bayangan Setan.
“Kalian tak sanggup
mengalahkannya. Hanya itu saja petunjuk yang aku bisa berikan.”
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan terdiam.
“Ada satu hal lagi. Jika orang
itu telah mendapatkan kitab Wasiat Iblis ini maka kalian berdua ditakdirkan
akan menjadi pembantunya!”
Paras Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan langsung berubah.
“Kalau begitu apapun yang
terjadi kami akan membunuhnya!” kata Elang Setan pula.
“Di alam akhirat aku mendoakan
agar kalian mampu melakukan hal itu,” jawab si orang tua tersenyum tawar. Lalu
dia menutup baju pakaiannya kembali. Kitab Wasiat Iblis lenyap dari pemandangan
dua anak muridnya.
“Murid-muridku, aku sudah siap
pergi selama-lamanya. Jaga sumur batu ini baikbaik!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan saling melirik lalu sama-sama menjawab.
“Tugas dari guru akan kami
laksanakan! Kami akan menjaga sumur batu sebaik-baiknya!”
“Bagus! Kalau begitu selamat
tinggal”
Habis berkata begitu kakek
bernama Jarot Ampel bergelar Iblis Tanpa Bayangan ini hantam kepalanya dengan
tangan kanannya sendiri.
“Praaakkk!”
“Ah!” Tiga Bayangan Setan
keluarkan seruan tertahan.
“Kita terlambat!” teriak Elang
Setan.
Sebenarnya kedua orang ini
sama-sama berniat hendak merampas kitab Wasiat Iblis itu namun tidak kesampaian
karena saat itu sang guru telah memukul rengkah kepalanya sendiri. Tubuh Jarot
Ampel melayang jatuh ke dalam sumur batu. Tiga Bayangan Setan masih berusaha menggapai
pakaiannya tapi luput.
“Bagaimana sekarang…? Elang
Setan bertanya.
“Aku harus mendapatkan kitab
itu. Bagaimanapun caranya!”
“Aku juga!” sahut Elang Setan.
Dua orang yang telah saling
angkat saudara ini sesaat bentrok pandangan. Elang Setan mengalah dengan
berkata: “Bagusnya kita tunggu sampai hari terang. Kita belum tahu keadaan
sumur batu ini. Jangan bertindak gegabah hanya karena menurutkan keinginan
menjadi raja diraja dunia persilatan…”
Tiga Bayangan Setan
menyeringai, “Saudara tinggal saudara. Aku tidak mau dia mendahuluiku masuk ke
dalam sumur!” membatin Tiga Bayangan Setan. “Kalaupun aku harus membunuhnya apa
boleh buat!”
Menunggu datangnya pagi terasa
lama sekali bagi kedua orang itu. Ketika langit di sebelah timur mulai
membersitkan cahaya mentari pagi dan keadaan di tempat itu mulai terang Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan cepat-cepat mendekati tepi sumur dan memandang
ke dalam. Astaga! Sumur batu itu demikian dalamnya hingga mereka tidak dapat
melihat dasar sumur. Lagipula di sebelah dalam masih menggantung kabut tipis
menutupi pemandangan. Mereka hanya mampu melihat bagian sumur di atas lapisan
kabut. Selain lebar ternyata makin ke dalam dinding sumur batu semakin melebar
dan ada ulirulir batu seputar dinding seperti tangga melingkar.
Baik Tiga Bayangan Setan
maupun Elang Setan sama-sama berfikir bahwa jika mereka masuk ke dalam sumur
batu mereka harus mampu mencapai ulir terdekat lalu melangkah menuruni ulir itu
hingga akhirnya mencapai dasar sumur di mana tentunya mayat Jarot Ampel
tergeletak bersama kitab Wasiat Iblis itu.
Tiga Bayangan Setan bergerak
lebih dulu. Tapi dari belakang Elang Setan cepat menarik bahunya. Merasa
dihalangi Tiga Bayangan Setan balikkan badan lalu kirimkan satu jotosan yang
tepat mendarat di dagu Elang Setan hingga kepala orang ini tersentak keras.
Selagi Elang Setan terjajar nanar Tiga Bayangan Setan pergunakan kesempatan
untuk mendekati sumur lalu melompat ke dalam. Tanpa ragu dia melesat ke arah
ulir batu terdekat. Namun selagi tubuhnya melayang tiba-tiba dari dasar sumur
terdengar suara deras seperti air bah. Bersamaan dengan itu bertiup angin
sangat kencang menebar hawa panas dan bau aneh! Lapisan kabut berpencaran.
Angin kencang menerobos ke atas. Tiga Bayangan Setan merasakan tubuhnya
bergoncang keras. Dia berusaha bertahan dengan mengerahkan tenaga luar dalam
lalu menghantam ke bawah. Tapi kekuatan pukulannya terdorong ke atas, membalik
memukul tubuhnya sendiri. Tiga Bayangan Setan berteriak keras. Tubuhnya
mencelat keluar sumur batu dan terkapar di tanah. Dia memang sanggup bangkit
kembali tapi dari mulutnya keluar darah tanda dia telah mengalami luka dalam!
“Ada kekuatan iblis di dalam
sumur itu…” kata Tiga Bayangan Setan megapmegap dengan muka pucat.
“Aku tidak percaya!” kata
Elang Setan yang merasa kini punya kesempatan untuk mencoba. Apalagi saat itu
suara deru dan sambaran angin telah mulai mereda. Setelah perhatikan keadaan
sebelah dalam sumur dan menganggap tak ada halangan baginya untuk melompat ke
dalam maka Elang Setan lantas ayunkan diri. Seringan kapas tubuhnya melayang
masuk ke dalam sumur batu.
“Aku berhasil!” serunya girang
ketika kakinya menjejak ulir batu terdekat yang merupakan tangga menuju ke
dasar sumur. Tapi belum habis gema seruannya tiba-tiba dari dasar sumur kembali
terdengar suara seperti deru air bah. Angin kencang panas dan berbau aneh
melesat ke atas, membuat tubuh Elang Setan tersentak keras begitu tersambar.
Dia berpegangan pada batu yang menonjol di dinding sumur batu. Tapi
bagaimanapun dia mengerahkan seluruh tenaga tetap saja dia tak mampu bertahan.
Tubuhnya terseret ke atas, terbanting ke dinding batu lalu jatuh ke bawah. Dari
bawah semburan angin kencang menghantam dirinya kembali. Elang Setan tidak mau
mengalah begitu saja. Kedua tangannya dikembangkan ke samping lalu dia kerahkan
tenaga untuk membuat gerakan seperti baling-baling! Ternyata dia memang bisa
bertahan dari hantaman angin keras. Tubuhnya berputar-putar laksana titiran.
Sambil berputar dia berusaha bergerak turun dengan mengerahkan bobot badannya. Sedikit
demi sedikit Elang Setan melayang turun. Di mulut sumur Tiga Bayangan Setan
menyaksikan kejadian itu dengan hati cemas. Bukan cemas melihat apa yang
mungkin terjadi dengan saudara angkat itu tapi cemas kalau-kalau Elang Setan
memang berhasil turun ke dasar sumur batu dan mendapatkan Kitab Wasiat Iblis
itu!
Rasa cemas Tiga Bayangan Setan
tidak lama. Saat itu dari dasar sumur kembali terdengar suara deru dahsyat.
Satu gelombang angin menghantam tubuh Elang Setan hingga mencelat mental keluar
sumur. Waktu lepas dari mulut sumur salah satu kakinya tidak sengaja menghantam
kepala Tiga Bayangan Setan hingga orang ini terpental dan tergelimpang
megap-megap. Sesaat dia merintih kesakitan lalu menyumpah panjang pendek!
Elang Setan sendiri saat itu
kelihatan melayang jungkir balik di udara. Ketika tubuhnya kemudian terhempas
di tanah, dari mulut, telinga dan matanya kelihatan keluar darah. Elang Setan
mengeluh tinggi lalu pingsan tak sadarkan diri.
ENAM
PUNCAK Gunung Merapi
diselimuti awan tebal. Di kejauhan berkali-kali terlihat kilat menyambar
dibarengi suara guntur menggelegar. Udara dingin bukan kepalang. Di dalam
sebuah goa batu, dua orang duduk berhadap-hadapan di antara api unggun. Ada
satu keanehan. Api unggun itu tidak dihidupi oleh potongan kayu bakar melainkan
oleh setumpuk batu hitam hingga api yang berkobar panasnya dua kali lebih hebat
dari api yang berasal dari kayu biasa.
Sepasang tangan kurus yang
hanya tinggal kulit pembalut tulang saling digosokkan satu sama lain di atas
api unggun. Dua tangan itu dipanasi demikian rupa, dekat sekali dengan kobaran
api dan tidak diangkat-angkat sampai lama sekali. Manusia biasa tidak akan
mampu melakukan hal itu. Yang punya tangan adalah seorang tua bungkuk
berpakaian rombeng. Walaupun terkena cahaya kobaran api namun jelas kulit
mukanya yang tipis kelihatan pucat sekali, angker dingin membayangkan kelicikan
dan maut! Sepasang matanya besar tapi memiliki rongga sangat cekung. Kakek
bermulut perot ini memiliki rambut putih sepanjang bahu. Dalam dunia persilatan
dia dikenal dengan julukan Si Muka Bangkai alias Setan Muka Pucat.
Di hadapan orang tua berwajah
setan itu duduk seorang pemuda berwajah membayangkan kekerasan dan keangkuhan.
Sehelai kain merah melilit keningnya. Rambutnya lebat dan hitam. Keningnya tinggi
menonjol. Dagunya kukuh. Dia mengenakan sehelai mantel hitam yang menutupi
hampir sekujur tubuhnya depan belakang. Dialah Pangeran Matahari, musuh besar
bebuyutan Pendekar Kapak Maut Naga 212. Selama bertahun-tahun Pangeran Matahari
berusaha membunuh menyingkirkan Wiro. Sebegitu jauh maksud kejinya itu tidak
pernah kesampaian. Hal ini bukan saja membuat semakin bertumpuknya dendam
kesumat dalam diri pemuda ini tapi juga membuat dia selalu mencari akal
bagaimana caranya agar dapat melenyapkan Wiro. (Mengenai asal usul Pangeran
Matahari dan siapa adanya orang tua berjuluk Si Muka Bangkai alias Setan Muka
Pucat harap baca serial Wiro Sableng berjudul Pangeran Matahari Dari Puncak
Merapi)
Setelah berdiam diri beberapa
lama akhirnya sang guru membuka mulut memecah kesunyian dalam goa yang dipanasi
api unggun itu. Sementara bicara kedua tangannya terus saja digosok-gosokkan di
atas kobaran api.
“Muridku, tadi kau bertanya
mengapa aku memintamu datang ke puncak Merapi ini. Ada satu hal penting yang
akan menentukan hidup masa depanmu! Empat puluh hari yang lalu aku bermimpi…”
Belum habis sang guru bicara
Pangeran Matahari sudah menyela dengan nada tinggi. “Guru, bertahun-tahun kita
tidak bertemu. Hari ini kau mengatakan ada sesuatu yang penting. Ternyata kau
hendak bicara segala macam mimpi! Kurasa kita hanya menghabiskan waktu percuma
saja…!”
Si orang tua berwajah setan
menyeringai. Dalam hati dia membatin. “Aku suka anak ini. Sejak dulu tidak
berubah. Masih saja sombong dan bicara angkuh. Meremehkan orang lain sekalipun
aku gurunya sendiri!” Setelah mendehem beberapa kali orang tu itu melanjutkan
ucapannya. “Apa kau lupa dulu kalau bukan karena mimpi aku tidak akan
menemukanmu? Ingat ketika gunung ini meletus dan aku melihatmu tergantung di
atas pohon beringin sementara lahar panas menutupi bumi ?!”
“Aku tidak pernah melupakan
hari malapetaka itu. Juga ingat jasamu menyelamatkan diriku. Tapi apakah itu
perlu diulang-ulang?!” suara Pangeran Matahari tetap tinggi. Orang lain mungkin
akan jengkel atau marah melihat sikapnya ini. Tapi sang guru sudah tahu sifat
muridnya hanya tersenyum-senyum.
“Mimpi tidak selamanya kembang
tidur. Banyak mimpi merupakan petunjuk sangat berguna….”
“Aku mendengarkan guru. Coba
katakan apa mimpimu kali ini?”
“Sebelum kujelaskan aku ingin
tahu dulu. Apakah kau masih berminat untuk menyingkirkan Pendekar 212 Wiro
Sableng musuh besarmu itu?”
Mendengar pertanyaan itu
sepasang mata Pangeran Matahari terbuka lebar. Dagunya mengencang dan
pelipisnya bergerak-gerak.
Si Muka Bangkai tertawa lebar.
“Kau tak perlu menjawab. Dari air mukamu aku tahu kau memang ingin melenyapkan
musuh besarmu itu! Nah sekarang aku tanya, apa kau pernah mendengar tentang
sebuah kitab kuno bernama Wasiat Iblis?”
Pangeran Matahari angukkan
kepala. “Aku pernah berusaha mencarinya. Tapi selalu menemui jalan buntu hingga
aku akhirnya merasa sangsi apakah buku yang berisi ilmu dahsyat itu memang
benar-benar ada….”
“Kitab itu memang ada. Dan aku
telah memimpikan kitab itu, muridku!”
“Hah…?” Pangeran Matahari beringsut
maju. Dari balik kobaran api unggun dia memandangi wajah gurunya lekat-lekat.
“Apa mimpimu itu, guru?”
“Mimpiku memberi petunjuk di
mana kitab itu berada!”
Pangeran Matahari berdiri,
memutari perapian lalu duduk di samping Si Muka Bangkai. “Guru, harap kau lekas
menceritakan mimpimu itu. Selengkap-lengkapnya. Jangan ada yang ketinggalan.”
“Seorang tua berjubah dan
bersorban hitam muncul dalam mimpiku. Waktu itu aku merasa berada di satu gurun
pasir maha panas. Orang ini tiba-tiba saja muncul dan berkata padaku. Sampaikan
pesanku pada muridmu terlahir bernama Anom, putera Raja Surokerto dari ibu R.A
Siti Hinggil. Seumur hidupnya selama langit masih dijunjung dan bumi masih
dipijak manusia, dia tidak akan sanggup mengalahkan pemuda berjuluk Pendekar
212 Wiro Sableng itu. Kecuali jika dia menguasai ilmu yang tersimpan dalam
Kitab Wasiat Iblis. Lalu dalam mimpi aku bertanya pada orang bersorban hitam
itu. Apakah dia bisa memberi petunjuk di mana kitab itu bisa ditemukan? Di
lantas menjawab. Pergilah ke lereng barat sebuah bukit di timur Kartosuro. Di
situ ada sebuah sumur tua terbuat dari batu. Di dalam sumur tersembunyi Kitab
Wasiat Iblis. Namun untuk dapat masuk ke dalamnya muridmu harus mengalahkan dua
orang penjaga sumur yang memiliki kepandaian sangat tinggi… Aku bertanya siapa
adanya dua penjaga sumur itu. Namun orang tua bersorban hitam membalikkan tubuh
dan pergi. Saat itu aku sendiri terbangun dari tidur…”
Lama Pangeran Matahari berdiam
diri setelah mendengar penuturan gurunya.
“Apa yang ada dalam benakmu,
muridku?” tanya sang guru.
Si pemuda angkat bahunya.
“Bagaimana aku bisa memastikan bahwa mimpimu itu bisa menjadi kenyataan?!”
“Kau tak bisa memastikan kalau
tidak membuktikan sendiri. Jika kau suka segera saja berangkat menuju tempat
yang kuceritakan tadi. Jika tidak suka perlu apa dituruti. Hanya saja sayang
kalau ada orang lain sempat mendahului. Berarti musuh beratmu bertambah satu
lagi.”
Pangeran Matahari katupkan
rahangnya rapat-rapat. “Jauh-jauh datang kemari percuma saja kalau aku tidak
coba menyelidik apa mimpimu itu benar atau tidak…”
Perlahan-lahan Pangeran
Matahari bangkit berdiri. “Guru, aku mohon diri sekarang.”
Si Muka Bangkai anggukkan
kepala. “Makin cepat kau melakukannya makin baik…. aku akan merasa bangga jika
kelak kau benar-benar merajai dunia persilatan.”
Pangeran Matahari pencongkan
mulutnya. “Apa menurutmu saat ini aku belum menguasai dunia persilatan?”
Si Muka Bangkai gelengkan
kepala. “Musuh utamamu si Wiro Sableng itu. Harus kau lenyapkan. Lalu harus
pula kau tumpas tokoh-tokoh silat lainnya termasuk nenek sakti bernama Sinto
Gendeng, guru Pendekar 212…. Dapatkan kitab Wasiat Iblis itu! Dunia berada di
tanganmu.
Pangeran Matahari menjura tiga
kali dengan sikap kaku karena sebenarnya dia tidak suka melakukan hal ini
sekalipun untuk menghormat gurunya. Lalu dia membalikkan tubuh tinggalkan goa
di puncak Gunung Merapi itu.
TUJUH
TIDAK sulit bagi Pangeran
Matahari untuk mencari letak sumur batu yang terletak di lereng barat bukit di
luar Kartosuro. Bau busuk membimbingnya ke tempat itu.
“Bau busuk hebat sekali. Aku
yakin itu berasal dari bangkai manusia!” katanya. Di satu tempat dia tinggalkan
kuda tunggangannya lalu bergerak ke arah bau busuk. Sebagai tokoh silat yang
telah bertahun-tahun malang melintang dan menggegerkan rimba persilatan
Pangeran Matahari tentu saja punya pengalaman banyak. Dia tidak terus mendaki
lereng bukit ke arah datangnya bau busuk namun sengaja bergerak berputar
menjauh, lalu berbalik menuruni bukit. Kecerdikan ini memang sangat beralasan.
Karena selama ini dua orang yang menjaga sumur batu dimana tersimpan Kitab
Wasiat Iblis bersama mayat Iblis Tanpa Bayangan memang lebih banyak
memperhatikan bagian bawah bukit dari arah mana orang-orang mendatangi.
Dari balik sebatang pohon
besar Pangeran Matahari dapat menyaksikan keadaan di bawahnya. Di salah satu
lereng bukit tampak jelas dua orang berjaga-jaga di dekat sebuah sumur batu.
Sambil mengawal keduanya mengobrol dan menyantap potongan daging bakar. Tak
jauh di sekitar mereka bertebaran paling tidak empat sosok mayat yang telah
membusuk.
“Dua penjaga sumur batu itu
agaknya bukan manusia. Bagaimana mereka bisa makan enak-enakan sementara mayat
bergelimpangan di dekat mereka. Menebar bau busuk! Aku saja yang ada disini mau
terbongkar rasanya isi perutku!” membatin Pangeran Matahari. Dia bertanya-tanya
siapa kiranya empat orang yang menemui ajal di bawah sana. Berat dugaannya
mereka adalah orang-orang pandai yang berusaha mendapatkan Kitab Wasiat Iblis
itu.
Setelah sekli lagi
memperhatikan keadaan sekitar sumur batu Pangeran Matahari tujukan perhatiannya
pada salah seorang penjaga yang mengenakan jubah hitam.
“Berjubah hitam, kepala sulah
sebelah, salah satu mata kecil seperti buta.
Hemmm….” Kening Pangeran
Matahari mengerenyit, rahangnya menggembung dan terkancing rapat. “Bangsat itu
rupanya yang jadi salah satu pengawal sumur batu! Tiga Bayangan Setan! Manusia
keparat yang punya mimpi besar hendak menguasai dunia persilatan. Bagaimana dia
ada kaitannya dan jadi anjing penjaga sumur batu. Mungkin juga gurunya Si Iblis
Tanpa Bayangan ada di sini?” Pangeran Matahari arahkan pandangannya pada orang
kedua. “Bukan…. Yang satu itu bukan Si Iblis Tanpa Bayangan. Di mana ada Tiga
Bayangan Setan di situ ada Elang Setan! Pasti Elang Setan, kambrat keparat si
Tiga Bayangan Setan!” Pangeran Matahari perhatikan benda panjang yang
menggeletak di pangkuan Elang Setan. “Tombak atau tongkat berbentuk aneh.
Setahuku Elang Setan tidak punya senjata seperti itu. Hemmm… pasti dia sikat
milik orang lain yang jadi korbannya…” Sang Pangeran memperhatikan keadaan
sekitar sumur batu sekali lagi. Lalu dengan seringai congkak dia tinggalkan
tempat itu, melangkah menuruni lereng bukit. Di tepi sumur batu Tiga Bayangan
Setan dan Elang Setan sedang asyik menyantap daging panggang kelinci hutan yang
memang banyak terdapat di bukit itu. Dengan mulut masih penuh makanan Elang
Setan berkata.
“Lebih tujuh puluh hari sudah
kita mendekam di tempat ini. Menunggu sampai tiga puluh hari lagi cukup lama!
Bagaimana kalau orang yang dimaksud guru itu tidak muncul?”
Apa yang kau pikirkan itu
sudah ada dalam benakku sejak lama. Aku mencari akal bagaimana caranya bisa
masuk ke dalam sumur ini lalu mengambil kitab sakti itu. Tapi rasa-rasanya
sulit. Berarti kita harus meminjam tangan orang lain.”
“Meminjam tangan orang lain
bagaimana?” tanya Elang Setan.
“Kalau orang itu datang, kita
pura-pura melawan. Kita biarkan dia masuk ke dalam sumur. Begitu keluar dan
Kitab Wasiat Iblis sudah ada di tangannya, kita serbu dan kita rampas!”
Elang Setan tertawa bergelak.
Karena di mulutnya masih ada makanan maka dia jadi batuk-batuk berulang kali.
“Hentikan batukmu! Aku
mendengar suara orang mendatangi!” bentak Tiga Bayangan Setan tiba-tiba seraya
palingkan kepala ke lereng bukit sebelah atas. Baru saja Tiga Bayangan Setan
berkata begitu tiba-tiba semak belukar lebat di atas mereka terkuak. Sesosok
tubuh tinggi bermantel hitam muncul, melangkah dan berhenti kira-kira dua
tombak dari sumur batu.
“Kau kenal kunyuk berpakaian
seperti kelelawar ini?” bisik Elang Setan.
“Untuk membunuh seseorang apa
perlu kenal atau tidaknya?!” sahut Tiga Bayangan Setan.
Elang Setan muntahkan daging
dalam mulutnya lalu tertawa gelak-gelak. “Kau betul saudaraku! Tapi ada baiknya
kau menanyakan sesuatu padanya sebelum kita mengirimnya ke liang akhirat!”
Elang Setan bangkit berdiri.
Kedua tangannya yang kotor oleh minyak daging diusap-usapkan pada baju tebalnya
hingga pakaian dekil itu jadi tambah kotor. Dia gerakgerakkan jari-jari
tangannya yang berbentuk cakar elang hingga mengeluarkan suara berkeretekan
lalu membuka mulut.
Namun sebelum ucapan keluar
dari mulut Elang Setan, Pangeran Matahari angkat tangan kanannya. Ada selarik
angin menyambar membuat Elang Setan cepat-cepat miringkan kepala.
“Kalian tidak layak menanyaiku!
Aku yang punya kuasa bertanya kepada pada kalian! Kalian mendengar dan
mengerti?!”
“Sombong amat kunyuk satu
ini!” tukas Elang Setan.
“Orang yang bakal mati memang
suka bersikap macam-macam!” menimpali Tiga Bayangan Setan lalu keluarkan tawa
bergelak.
Pangeran Matahari dongakkan
kepala. Dari mulutnya kemudian menyembur tawa keras yang menggetarkan seantero
lereng bukit dan menindih lenyap tawa Tiga Bayangan Setan. Dua tokoh silat
penjaga sumur batu itu diam-diam terkesiap. Orang di hadapan mereka memiliki
tingkat tenaga dalam sangat tinggi! Walau demikian dua orang ini mana mengenal
takut!
Tiga Bayangan Setan berpaling
pada Elang Setan lalu berkata. “Hari ini kita bakal dapat mangsa kelima!
Rasanya sudah pada gatal tanganku menunggu belum ada korban baru yang datang.
Kini kita dapat satu rejeki lagi!”
“Pemuda congkak! Mungkin kau
mau lihat-lihat dulu empat mayat yang sudah membusuk itu sebelum kau kami
tetapkan sebagai korban kelima?!” Yang berkata adalah Elang Setan.
“Tidak perlu aku mengikuti
omonganmu! Aku sudah tahu siapa-siapa mereka! Aku juga tahu milik siapa tongkat
besi yang kau pegang itu! Kau pasti juga telah membunuh tokoh silat istana
berjuluk Dewa Berjubah Kuning Bertongkat Besi!”
“Ah! Kau sudah tahu rupanya!
Masih semuda ini pengetahuanmu ternyata cukup luas! Mungkin itu bisa menolong
melapangkan jalanmu ke liang kubur! Ha… ha… ha!”
Elang Setan tertawa
gelak-gelak. Tiba-tiba suara tawanya lenyap. Tangannya yang memegang tongkat
berkelebat.
“Wutttt!”
Ujung tongkat yang berbentuk lingkaran
pipih setajam mata pisau menderu. Cahaya hitam berkiblat. “Craaasss!” Semak
belukar yang hanya setengah jengkal dari pinggang Pangeran Matahari dirambas
rata! Yang diserang sama sekali tidak bergerak malah sunggingkan senyum
mengejek.
“Sedekat ini aku berdiri kau
tak sanggup membabat perutku! Matamu yang gembung itu buta atau bagaimana?!
Dasar manusia tidak tahu diri! Kalau cuma jadi anjing penjaga sumur kenapa
bermulut besar?!”
Mendengar dirinya disebut
anjing penjaga sumur meledaklah amarah Elang Setan. Tiga Bayangan Setan
ikut-ikutan marah besar. Rencana mereka semua yang pura-pura hendak mengalah
serta merta terlupa. Keduanya memutuskan untuk membunuh Pangeran Matahari saat
itu juga!
Elang Setan tancapkan tongkat
besi ke tanah. Dia lebih suka pergunakan cakarcakar mautnya. Dia bergerak
mendekati Pangeran Matahari dari sebelah kiri sementara Tiga Bayangan Setan
mendatangi dari kanan.
Pangeran Matahari dongakkan
kepala, keluarkan suara mendengus. Dengan tangan kanannya dia sibakkan mantel
hitam yang menutupi bagian depan pakaiannya.
“Pangeran Matahari!” seru Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan ketika melihat gambar Gunung Merapi berwarna
biru dengan latar belakang sinar sang surya berupa garis-garis lurus berwarna
merah!
Suara tawa mengekeh
mengumandang dari mulut Pangeran Matahari yang saat itu mendongakkan kepala
seolah tidak menganggap bahaya serangan dua lawan yang bakal menyerbunya. Baik
Tiga Bayangan Setan maupun Elang Setan sama-sama tidak menduga kalau pemuda di
hadapan mereka adalah tokoh besar golongan hitam berjuluk Pangeran Matahari.
“Saudaraku Tiga Bayangan
Setan! Rejeki kita besar sekali hari ini! Begitu kita membunuhnya, nama besar
kita semakin mencuat dalam dunia persilatan!”
“Anjing-anjing penjaga sumur!
Jangan mimpi! Aku menunggu seranganmu!” bentak Pangeran Matahari. Kedua
tangannya kini diletakkan di pinggang.
“Bagus! Kau minta mati lebih
cepat dari yang kami rencanakan!” teriak Elang Setan. Dia melirik pada Tiga
Bayangan Setan. Dua orang ini saling anggukkan kepala. Di kejap itu pula
keduanya berkelebat kirimkan serangan!
DELAPAN
LIMA larik sinar hitam
menyambar ke arah muka Pangeran Matahari. Lima lagi membeset ke arah perutnya.
Itulah sambaran serangan maut cakar setan yang dilancarkan Elang Setan. Dari
jurusan lain Tiga Bayangan Setan lepaskan pukulan tangan kosong yang sengaja di
arahkan ke bagian bawah perut lawan. Jelas kedua orang ini ingin membunuh
Pangeran Matahari detik itu juga!
Meskipun tercekat melihat
ganasnya serangan dua lawan namun manusia yang dikenal senagai pendekar jahat
segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak ini
hadapi serangan orang dengan mendengus. Tangan kanannya bergerak mengibaskan
mantel hitamnya ke bagian dada.
“Wuuuutttt!”
Suara mantel berkelebat
angker. Mengeluarkan cahaya hitam redup. Baik Tiga Bayangan Setan maupun Elang
Setan hanya mendengar suara tapi tidak merasakan adanya sambaran angin keras!
Namun dahsyatnya saat itu keduanya merasa seolah ada satu kekuatan yang tidak
kelihatan menahan gerak serangan yang mereka lancarkan.
Elang Setan kertakkan rahang.
Tiga Bayangan Setan menggembor keras. Kedua orang ini lipat gandakan kekuatan
tenaga dalam lalu merangsak ke depan. Tapi semakin mereka mengerahkan kekuatan
semakin dahsyat kekuatan tak terlihat yang menghadang. Malah kini kekuatan itu
mulai bergerak, menindih gerak serangan mereka. Dua orang ini berusaha
bertahan. Tak ada gunanya. Ketika Pangeran Matahari kibaskan kembali mantel
hitamnya ke belakang, dua penyerang berseru keras dan terbanting ke tanah!
Pangeran Matahari dongakkan
kepala lalu tertawa mengekeh. Tanpa perduli pada dua orang yang bergeletakan di
tanah dia melangkah mendekati sumur batu.
“Kami belum kalah!” teriak
Elang Setan lalu tubuhnya melesat ke udara.
“Jangan harap kau bisa dapatkan
kitab sakti itu!” bentak Tiga Bayangan Setan.
Tubuhnya yang terkapar di
tanah juga melesat ke atas. Dari atas dua orang murid Iblis Tanpa Bayangan ini
menyerbu lagi. Keduanya sama-sama mengarah kepala Pangeran Matahari. Sebelum
cakar-cakar setan bergerak sepuluh sinar hitam dan merah lebih dulu menggebu.
Tiga Bayangan Setan hantamkan dua pukulan sekaligus untuk mengepruk pecah
kepala Pangeran Matahari. Pangeran Matahari hentikan langkahnya. Kedua lututnya
ditekuk. Dua tangannya tiba-tiba melesat ke atas. Terdengar suara bergedebukan
beberapa kali begitu enam pasang lengan saling beradu!
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan kembali berkaparan di tanah. Sementara Elang Setan masih
menggeliat-geliat Tiga Bayangan Setan sudah melesat dan berdiri hadapi Pangeran
Matahari. Kalau Elang Setan kelihatan bengkak merah dua lengannya maka Tiga
Bayangan Setan tidak cidera sedikitpun. Hal ini tidak lepas dari perhatian
Pangeran Matahari. Dalam hati dia berucap. “Ternyata dia memang tahan pukulan.
Aku harus berlaku hati-hati terhdap yang satu ini!”
“Apa kau sudah siap menghadapi
saat kematianmu Pangeran Matahari?!” kertak Tiga Bayangan Setan.
“Setan jelek! Dari tadi hanya
mulutmu saja yang besar! Aku siap menunggu kematin! Ayo aku mau lihat kau
hendak melakukan apa!” Pangeran Matahari renggangkan kedua kakinya, tegak
menunggu sambil bertolak pinggang. Di sebelah belakang sana Elang Setan telah
bangkit berdiri dan siap lancarkan serangan. Kumis dan berewok Tiga Bayangan
Setan seperti berjingkrak. Matanya sebelah kanan yang besar merah
bergerak-gerak. Kedua tangannya dipentang ke depan dengan jarijari terkepal.
Mulutnya komat-kamit. Tiba-tiba dua kepalannya diadu satu sama lain. Bersamaan
dengan itu dia berteriak.
“Bunuh!”
Tiga guratan dalam di kening
Tiga Bayangan Setan mengeluarkan kilatan-kilatan angker. Dari ubun-ubunnya
melesat keluar tiga kepulan asap yang dalam waktu sekejapan berubah menjadi
tiga sosok raksasa bertelanjang dada penuh bulu. Rambut panjang riapriapan dan
sepasang mata laksana bara menyala! Inilah ilmu tiga bayangan setan yang selama
ini tidak satu tokoh silatpun sanggup menghadapinya! Diam-diam Pangeran
Matahari merasa terguncang juga. Dia segera siapkan satu pukulan sakti untuk
menghadapi serangan tiga makhluk jejadian itu.
“Bunuh!” teriak Tiga Bayangan
Setan sekali lagi.
Tiga sosok raksasa melesat ke
depan. Masing-masing mementangkan tangan kanan yang sesaat kemudian sama-sama
dihantamkan ke batok kepala Pangeran Matahari. Begitu tiga makhluk raksasa
menyerang Pangeran Matahari cepat angkat ke dua tangannya. Telapak-telapak yang
terkembang didorongkan perlahan saja. Terdengar suara mendesis disertai
menggebunya angin panas, menghantam tepat pada tiga makhluk raksasa!
“Wusss! Wussss!”
Tiga Bayangan Setan berteriak
keras. Bukan saja karena marah tapi juga karena berusaha menahan sakit oleh
hawa panas yang memancar dari dua larik angin panas serangan Pangeran Matahari.
Tubuhnya terhuyung-huyung tak bisa dirobohkan. Dua makhluk raksasa di sebelah
kiri dan kanan meletup hancur berkeping-keping seolah terbuat dari batu. Tapi
yang di sebelah tengah seolah tidak tersentuh pukulan sakti “telapak merapi”
yang tadi dilepaskan Pangeran Matahari terus merangsak ke depan lalu laksana
palu godam hantamkan tangan kanannya ke batok kepala Pangeran Matahari! Pangeran
Matahari silangkan dua lengan ke atas untuk lindungi kepalanya. Ini merupkan
gerakan menangkis yang sekaligus merupakan serangan menggunting.
“Bukkk!”
Pangeran Matahari terbanting
ke tanah. Dua lengannya terasa seolah hancur. Dadanya berdenyut sakit. Sebelum
jatuh tadi dia masih sempat membuat gerakan menggunting. Makhluk raksasa di
atas kepala Tiga Bayangan Setan menggembor marah. Tiga Bayangan Setan melompat
ke hadapan lawan.
“Bunuh!” teriak Tiga Bayangan
Setan.
Makhluk raksasa di atas kepalanya
kembali pentangkan tangan.
“Kurang ajar!” kertak Pangeran
Matahari. “Agaknya makhluk keparat yang di tengah tak bisa dimusnahkan. Tiga
Bayangan Setan sendiri benar-benar tahan pukulan sakti! Aku harus mencari akal!
Aku harus menghantam sumber kekuatannya!”
Pangeran Matahari melirik pada
tombak Wesi Ketaton milik Dewa Berjubah Kuning yang mati di tangan Elang Setan.
Sebelum gebukan mahkluk raksasa datang Pangeran Matahari cepat berguling
menyambar tongkat besi itu. Begitu tongkat mustika berada di tangannya dia
segera membalik dan tusukkan bagian runcing senjata itu ke perut Tiga Bayangan
Setan.
“Breett!”
“Traanggg!”
Jubah hitam yang dikenakan
Tiga Bayangan Setan robek di bagian perut. Ujung tombak terus menusuk ke perut
orang itu. Namun seolah perut yang ditusuk itu adalah benda yang terbuat dari
besi begitu ujung tombak menghantam terdengar suara berdentrangan. Pangeran
Matahari tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Seumur hidup baru kali ini
dia melihat ada manusia memliki kekebalan terhadap senjata tajam begitu rupa!
Pangeran Matahari campakkan tongkat Wesi Ketaton. Tiga Bayangan Setan tertawa
bergelak.
“Edan! Hampir tak dapat
kupercaya!” kertak Pangeran Matahari. “Dia kebal pukulan sakti, tak mempan
senjata! Aku harus mendapatkan ilmunya!”
Sementara itu dua makhluk
raksasa yang tadi musnah kini secara aneh muncul kembali, bergabung dengan
kawannya di sebelah tengah ini sambil keluarkan lengkingan keras kembali
ayunkan tangan menggebuk ke arah kepala Pangeran Matahari! Sekali ini Pangeran
Matahari tak menangkis ataupun adu kekuatan. “Otak penggerak tiga raksasa
jejadian itu ada dalam diri Tiga Bayangan Setan! Aku harus melumpuhkan
sumbernya!”
Memikir sampai di situ manusia
segala akal segala cerdik dan segala licik ini angkat tangan kanannya. Secara
aneh tiba-tiba udara di tempat menjadi redup padahal di atas matahari bersinar
terang. Inilah pertanda bahwa Pangeran Matahari hendak lepaskan satu pukulan
sakti. Ketika tangannya dipukulkan terdengar suara menggelegar disertai
berkiblatnya sinar merah, kuning dan hitam!
“Pukulan Gerhana Matahari”
seru Tiga Bayangan Setan yang mengenali pukulan sakti itu. “Siapa takut! Kalau
kau punya sepuluh ilmu seperti itu keluarkan saja sekaligus!”
Pangeran Matahari merutuk
dalam hati namun dia maklum kesaktian yang dimiliki lawan membuat dia sanggup
menghadapi pukulan maut yang sangat ditakuti di rimba persilatan itu. Bagi
Pangeran Matahari sendiri sebenarnya tak perlu gusar mendengar ejekan lawan
karena pukulan sakti yang dilepaskannya itu sengaja untuk membagi perhatian
Tiga Bayangan Setan. Ketika lawan berkelit sambil berteriak “Bunuh!” Pangeran
Matahari cepat jatuhkan diri, berguling di tanah. Ketika berdiri lagi tahu-tahu
dia sudah berada di belakang sosok Tiga Bayangan Setan. Dua jari telunjuknya bekerja!
Tiga Bayangan Setan meraung keras.
“Bangsat licik! Curang
pengecut! Lepaskan diriku!” Tiga Bayangan Setan hanya mampu berteriak,
menggerakkan kaki tapi sama sekali tak dapat menggerakkan tangan ataupun
kepalanya. Pangeran Matahari telah menotok urat besarnya di dua tempat yakni
pangkal leher punggung. Walaupun tiga raksasa jejadian masih kelihatan
bergerak-gerak ganas di atas kepalanya namun mereka sama sekali tidak melakukan
serangan karena otak pengendalinya yaitu Tiga Bayangan Setan kini tidak beda
seperti mayat hidup! Masih bernafas tapi tak bisa berfikir. Mampu menggerakkan
kaki tapi tidak bisa menyerang. Dua tangannya terkulai seperti lumpuh ke sisi.
Pangeran Matahari tertawa
mengekeh. Dari dalam saku pakaiannya dikeluarkannya sebuah benda kecil berwarna
merah. Benda ini dengan paksa dimasukkannya ke dalam mulut Tiga Bayangan Setan.
“Telan!” hardik Pangeran
Matahari memerintah. Ketika Tiga Bayangan Setan tak mau melakukan malah hendak
memuntahkan benda dalam mulutnya itu, Pangeran Matahari pukul tengkuknya hingga
Tiga Bayangan Setan tercekik dan terpaksa telan benda yang ada dalam mulutnya.
“Umurmu hanya bersisa seratus
hari!” kata Pangeran Matahari pula lalu tertawa panjang. “Kau telah menelan
racun kematian! Jika kau berani macam-macam jangan harap aku akan memberikan
obat penawar!”
“Pangeran keparat! Iblis
jahanam! Apa yang kau lakukan pada saudaraku?!” teriak Elang Setan. Tanpa
tunggu lebih lama dia langsung menyerang. Kedua tangannya dikembangkan ke
samping. Tubuhnya berputar, dua lengan ikut berputar laksana balingbaling.
Cakar setan membabat ke arah leher Pangeran Matahari! Sinar hitam merah
menghntam lebih dulu!
Pangeran Matahari bertindak
cepat. Dia tahu walau tingkat kepandaian lawan masih dibawah Tiga Bayangan
Setan namun nama Elang Setan bukan nama kosong. Banyak tokoh silat telah
menemui ajal di tangan pembunuh haus darah ini. Sambil dorongkan dua tangannya
ke depan Pangeran Matahari menyusup ke bawah putaran dua lengan. Begitu
pinggang Elang Setan berhasil dicekalnya orang ini dibantingkannya ke atas
sumur batu.
“Trakkk! Traakkk!”
Lengan setan menghantam bibir
sumur hingga hancur di dua tempat. Pangeran Matahari pegang dua kaki Elang
Setan lalu mendorong tubuh orang ini hingga kepala Elang Setan
tergantung-gantung di dalam sumur.
“Kalau kau memang ingin cepat
mati katakan saja! Kakimu akan kulepas!” kata Pangeran Matahari.
“Keparat jahanam! Jangan
cemplungkan aku ke dalam sumur ini! Demi setan aku masih mau hidup!” teriak
Elang Setan.
Pangeran Matahari tertawa. Dia
tarik kaki Elang Setan hingga pinggang orang ini membelintang di bibir sumur.
Tiba-tiba dari dalam sumur terdengar suara menderu.
“Angin iblis! Awas! Cepat
tarik tubuhku!” teriak Elang Setan ketakutan.
Pangeran Matahari kernyitkan
kening. Dia tidak tahu apa yang dimaksudkan Elang Setan namun dia maklum kalau
ada satu kekuatan aneh dan dahsyat dalam sumur batu itu. Pangeran Matahari
cepat tarik tubuh Elang Setan hingga orang ini jatuh terbanting di tanah di
kaki luar sumur batu. Ketika Elang Setan hendak mencoba bangkit Pangeran
Matahari cepat tekankan lututnya ke dada orang. “Seperti temanmu aku juga tidak
percaya padamu! Lekas telan obat ini!”
“Keparat! Kau boleh bunuh aku!
Aku tak akan menelan racun jahanam itu!” teriak Elang Setan.
“Kalau begitu kau memilih mati
lebih cepat!” Pangeran Matahari kepalkan tinju kanannya lalu dijotoskan ke muka
Elang Setan.
“Kau boleh membunuhku! Tapi
serahkan dulu jantungmu padaku!” teriak Elang Setan. Dua tangannya melesat ke
dada kiri Pangeran Matahari. Sang Pangeran cepat berkelit.
“Breettt!”
Mantel Pangeran Matahari
robek. Dengan kedua tangannya ditangkapnya lengan Elang Setan lalu
dibantingkannya ke dinding sumur batu berulang kali.
“Lakukan sepuasmu! Aku tidak
merasa apa-apa…!” kata Elang Setan ganda tertawa.
“Jahanam!” maki Pangeran
Matahari. Dia lepaskan pegangan pada tangan kiri lalu pergunakan tangan
kanannya untuk menotok dada Elang Setan. Totokan sampai bersamaan dengan
melesatnya tangan kiri Elang Setan ke leher Pangeran Matahari. Walau kini
sekujur tubuhnya kaku dan gerakannya tertahan namun Elang Setan masih sempat
menggurat pangkal leher Pangeran Matahari!
“Kau tak bakal lolos dari
racun cakaranku!” kata Elang Setan.
“Baik, kita lihat siapa yang
bakal mati duluan!” kata Pangeran Matahari. Lalu racun yang dipegangnya di
masukkannya ke dalam mulut Elang Setan.
“Kau memberiku racun seratus
hari! Racun cakarku hanya memberimu hidup tujuh hari! Ha… ha… ha…!” Elang Setan
tertawa keras dan panjang.
“Keparat!” Pangeran Matahari
hantamkan tinju kanannya berulang kali ke muka Elang Setan hingga muka yang
seperti dicacah ini kini bergelimang darah yang keluar dari hidung dan bibirnya
yang pecah!
“Aku tahu kau punya obat
penawar. Lekas beritahu di mana kau menyimpannya. Kalau tidak kupatahkan batang
lehermu saat ini juga!”
“Ha… ha! Ternyata kau juga
takut mati! Pergilah ke neraka!”
“Setan alas! Apa katamu?!”
“Aku bilang pergi ke neraka!”
teriak Elang Setan keras-keras.
Pangeran Matahari menyeringai.
“Kau akan menyesali kebodohanmu sampai di liang kubur!” ujar sang Pangeran.
Tangan kanannya bergerak mencengkeram kelingking tangan kiri Elang Setan.
“Kraaakkk!”
Elang Setan meraung keras
ketika kelingking kirinya yang berbentuk cakar dan tak mampu digerakkannya itu
dipatahkan oleh Pangeran Matahari. Sang Pangeran pindahkan tangannya ke jari
telunjuk tangan kiri. Daya tahan Elang Setan jebol.
“Jangan…! Aku akan katakan di
mana obat penawar racun itu!” Elang Setan bicara dengan nafas mengengah-engah
karena marah dan juga menahan sakit.
“Katakan di mana…?!”
“Kantong kiri bagian dalam
bajuku!” menerangkan Elang Setan.
Pangeran Matahari membetot
lepas baju tebal yang dikenakan Elang Setan. Di sebelah kiri dalam memang ada
sebuah kantong kecil. Di situ ditemuinya tabung kecil terbuat dari batang padi
yang telah dikeringkan. Di dalam tabung ini ada beberapa butir obat berwarna
hitam.
“Jangan kau ambil semua! Cukup
satu saja…. Sisanya masukkan lagi dalam saku bajuku!” kata Elang Setan.
Pangeran Matahari menyeringai.
Dia keluarkan dua butir obat berwarna hitam itu. Tabung batang padi diselipkan
kembali ke dalam saku pakaian Elang Setan. Tiba-tiba salah satu dari dua butir
obat itu dimasukkannya ke dalam mulut Elang Setan, membuat orang ini berteriak
dan mendelik besar.
“Siapa percaya padamu! Kau
harus meyakinkan bahwa kau tidak berdusta! Telan obat itu!”
Muka Elang Setan menjadi
pucat.
“Ampun…! Aku ketakutan
setengah mati hingga salah memberikan keterangan!” teriaknya seraya meludahkan
butiran obat hitam keluar dari mulutnya.
“Salah bagaimana maksudmu?!”
tanya Pangeran Matahari sambil sunggingkan senyum dingin.
“Obat penawar racun yang betul
ada di saku sebelah kanan dalam….”
Pangeran Matahari tertawa
lebar. Dia jambak rambut Elang Setan lalu membenturkan kepala orang ini ke
dinding sumur. “Otakmu perlu diberi penyegaran agar jangan mudah lupa!” Sekali
lagi kepala orang itu dibenturkannya ke dinding sumur baru dia mencari obat
yang dikatakan ada di dalam kantong sebelah kanan baju tebal. Disitu
ditemukannya satu tabung padi yang sama berisi butiran obat berwarna putih.
Pangeran Matahari mengambil sebutir dan tanpa ragu menelannya.
“Kau sudah selamat sekarang!
Kenapa tidak segera membebaskan diriku dan Tiga Bayangan Setan?” tanya Elang
Setan.
Pangeran Matahari mendengus.
“Turut mauku aku ingin membunuh kalian berdua saat ini juga! Tapi kupikir-pikir
mungkin kalian ada gunanya!”
“Apa maksudmu?” tanya Elang
Setan sedikit ada harapan.
“Kalau kalian bisa menjadi
anjing-anjing penjaga sumur batu ini, pasti juga bisa menjadi anjing-anjing
pengawal ke mana aku pergi…”
“Jahanam!” teriak Elang Setan.
Pangeran Matahari tertawa
gelak-gelak lalu dia berdiri dan melangkah mendekati sumur batu.
SEMBILAN
SATU pemandangan aneh tapi
lucu terlihat di puncak Gunung Merbabu siang hari itu. Seekor keledai melangkah
terseok-seok. Sebentar-sebentar binatang ini seperti mau tersungkur. Di atas
punggungnya yang mandi keringat duduk seorang perempun berpakaian gombrong
berlengan panjang dan sangat dalam hingga baik tangan maupun kakinya tidak
kelihatan. Sambil menunggang keledai sebentar-sebentar dia berseru: “Duh biung
doakan aku sampai di tujuan dengan selamat. Doakan aku agar bertemu lelaki
bapak jabang bayi ini.” Sambil berkata begitu dia mengusap-usap perutnya yang
buncit besar.
Nyatalah bahwa perempuan
penunggang keledai ini sedang hamil tua. Sesekali di antara ucapannya itu dia
tertawa cekikikan lalu diseling suara sesenggukan seperti orang mau menangis.
Perempuan yang hamil besar ini
jauh dari cantik. Pupur tebal berwarna putih dan merah menutui wajahnya.
Alisnya dipertebal dengan sejenis bubuk hitam. Bibirnya merah celemongan entah
dipoles dengan apa. Rambutnya dikuncir sampai lima buah. Setiap kuncir diberi
berpita warna-warni. Dari gerak gerik, pakaian dan dandanan serta ucapanucapan
yang keluar dari mulutnya sudah dapat diterka bahwa perempuan ini kurang waras
otaknya.
Di satu pedataran kecil di
puncak Gunung Merbabu dia angkat tangan kiri lalu berseru. “Hooooooo… hup!
Keledaiku kita berhenti di sini! Ibundaku rupanya mendengar doaku. Kita bisa
selamat sampai di puncak ini! Aku akan turun punggungmu. Awas, jangan bergerak
dulu. Kalau aku sampai jatuh kupecahkan kepalamu! Kau tentu letih. Kau boleh
pergi istirahat. Cari makan cari minum sendiri. Aku mau mencari bapak jabang
bayiku! Aku yakin dia ada di sini. Kalau belum ada aku tunggu sampai dia
datang. Hik…hik… hik! Aduh biung… aku tak mau anakku lahir tanpa bapak! Uuhhhh…
uhhhh! Huek… huek…! Aduh biung aku mau muntah! Hamilnya sudah besar kok
muntahnya baru sekarang…!”
Turun dari atas keledai
perempuan hamil itu kembali usap-usap perutnya yang gendut sambil memandang
berkeliling.
“Sepi… sunyi. Suara anginpun
tidak kedengaran. Jangankan manusia, lalat atau kecoak juga tidak kelihatan!
Hik… hik… hik… di mana bapak jabang bayiku! Uhhh…uhhhhk!” perempuan hamil itu
kembali memperhatikan keadaan sekelilingnya. “Tidak percaya biung! Aku tidak
percaya kalau di tempat ini tak ada penghuninya. Pasti ada…Sana… di sana aku
lihat ada bangunan… Mungkin bapak anakku ada disitu. Kalau bertemu awas dia…
Enak saja membuatku hamil lalu kabur! Akan kupuntir kepalanya atas bawah… Eh…!
Maksudku kepalanya… kepalanya yang mana ya? Hik… hik… hik…!”
Sambil pegangi perutnya
perempuan hamil itu melangkah tertatih-tatih menuju sebuah bangunan kayu
terletak di ujung pedataran kecil itu. Belum sempat dia mendekati bangunan
tiba-tiba dari atas atap bangunan melayang turun satu bayangan hitam. Perempuan
hamil ini kaget bukan main. Dia berteriak. “Aduh biung! Setan atau apa yang
bisa melompat dari atap rumah! Rasanya copot jantungku saking kaget! Bisa-bisa bayiku
brojol sebelum saatnya! Makhluk yang bikin kaget, siapa kau?!”
Saat itu di hadapan perempuan
hamil berdiri seorang tua berjubah hitam.
Rambutnya panjang awut-awutan.
Sepasang matanya memandang liar memperhatikan perempuan hamil mulai dari ujung rambut
sampai ujung jubahnya yang menjela di tanah.
“Aduh biung! Orang atau apa?
Kalau orang kenapa jelek amat! Hik… hik… hik? Kalau setan atau makhluk jejadian
kenapa bau pesing?! Hik… hik… hik!
“Perempuan bunting gila!”
teriak orang tua berjubah hitam penuh marah hingga kedua matanya tampak
berkilat-kilat. Membuat perempuan hamil itu tergagau kaget dan tersurut
beberapa langkah. “Kalau mulutmu tidak berhenti bicara akan kubetot copot
lidahmu!”
“Lidahku mau dicopot…? Aduh
biung! Jangan…. Ampun! Ba… baik… Aku akan berhenti bicara. Aku tak mau bicara!”
Orang tua berjubah hitam
menggerendeng panjang lalu membentak. “Perempuan bunting? Siapa kau?! Datang
dari mana?! Katakan apa keperluanmu! Jawab cepat sudah itu lekas tinggalkan
tempat ini! Aku tak mau anakmu brojol di sini!” Yang ditanya diam saja.
“Kadal bunting! Apa kau tuli
atau bisu aku bertanya tidak menjawab?!” Si orang tua menghardik sambil
pelototkan mata.
Perempuan hamil dongakkan
kepala memandang ke atas lalu usap-usap perut gendutnya.
“Sialan betul! Kau anggap apa
aku ini! Kutendang perutmu baru kau mau bicara nanti!” Orang berjubah itu
melangkah mendekati perempuan hamil.
Yang didatangi jadi ketakutan
dan cepat mundur. “Pecah perutku! Mati bayiku! Jangan! Jangan tendang!”
“Kenapa aku bertanya kau tidak
menjawab?!”
“Ha… habis…. Tadi kau bilang
kalau… kalau aku tidak berhenti bicara kau mau…mau membelot copot lidahku! Ja…
jadi aku tidak mau bicara!”
“Kadal tolol! Benar-benar
geblek!” si orang tua jengkel setengah mati sampaisampai dia hentakkan kaki
kanannya. Waktu kaki ini menghantam tanah, tanah tempat itu bergetas keras.
“Eh… eh… Tanah bergerak…
Biung! Tolong biung! Mati bayiku ditubruk gempa!” Perempuan hamil berteriak
ketakutan, pegangi perutnya sementara tubuhnya tampak terhuyung-huyung.
Kesal orang berjubah tidak
tertahankan lagi. Dia melompat lalu jambak rambut berkuncir lima perempuan
hamil itu.
“Ampun biung! Sakit rambutku
dijambak! Lepaskan…lepaskan! Nanti rusak pitaku!”
“Perduli setan pita-pita
sialan ini! Kalau perlu kutanggalkan rambutmu, kucopot kepalamu!”
“Jangan… Ampun! Aduh biung
tolong! Apa salahku sampai ada orang mau mencopot kepalaku! Tadi mau mencopot
lidahku! Apaku lagi yang mau dicopot…!”
“Plaaakkkk!”
Orang tua yang menjambak
pergunakan tangan kirinya menampar perempuan hamil itu.
“Orang tua tak punya welas
asih! Tega-teganya kau menampar aku… Hik… hik…hik…” Perempuan hamil menangis
sambil usap darah yang mengucur dari sudut bibirnya yang pecah akibat tamparan
keras tadi.
“Aneh…” membatin si orang tua.
“Dia menangis tapi bukan menangis kesakitan karena kutampar. Padahal bibirnya
sampai luka…”
“Lepaskan jambakanmu. Aku mau
pergi saja dari sini! Lepaskan…!”
“Aku tidak akan melepaskan
kalau kau tidak memberitahu siapa dirimu, apa keperluanmu datang kemari…!
Dari dalam rumah kayu
tiba-tiba keluar seorang lelaki tu bersorban dan berjubah putih. Dia melangkah
terbungkuk-bungkuk. Di punggungnya ada punuk besar. Sepasang matanya jelalatan.
Perempuan hamil tadi jadi tercekat ketika melihat sepasang mata orang ini.
Ternyata merah polos! Buta dan mengerikan! Sesaat sepasang mata buta itu
pandangi perempuan hamil di depannya seolah-olah dia bisa melihat. Lalu mulut
orang bersorban dan berjubah putih serta ada punuk di punggungnya ini terbuka.
“Orang merasa curiga melihat
tindak tandukmu! Sebaiknya kau lekas bicara terangkan diri serta maksudmu
datang kemari! Kalau tidak aku akan bantu kawanku ini menjambak rambutmu yang
lain!”
“Hik… hik…. Orang tua
bersorban seharusnya bicara sopan! Tapi yang satu ini mulutnya usil dan kotor!
Untung matamu buta! Kalau melek pasti kelakuan dan mulutmu lebih kurang ajar
lagi!”
Orang bersorban mendelik.
Sesaat dia tertawa gelak-gelak. Dilain ketika tiba-tiba dia membentak
mengancam. “Mau kupencet perutmu sampai anakmu keluar?!”
Mendengar ancaman ini
perempuan hamil itu ketakutan setengah mati. Cepat-cepat dia berkata. “Jangan…
jangan dipencet! Ba… baik… aku bicara. Namaku Emut-Emut…”
“Apa?! Siapa namamu? Coba kau
ulangi!” kata lelaki tua berjubah hitam.
“Namaku Emut-Emut…! Aku sudah
berteriak, masakan kau tidak mendengar. Kau rada-rada tuli ya…?!”
“Eh! Kurang ajar sekali mulut
kadal bunting ini!” kata orang tua berjubah putih yang punggungnya berpunuk.
“Nama jelek! Belum pernah aku
mendengar nama seperti itu! Jangan-jangan kau mengejek aku hah?!” Orang tua
berjubah hitam dan berambut awut-awutan membentak.
“Namaku memang itu. Aku tidak
dusta! Soal jelek atau bagus kenapa kau mengurusi?! Namamu sendiri siapa?
Mungkin lebih jelek dari aku! Hik… hik… hik!”
“Ooooo! Memang perempuan
sialan!” Orang tua yang menjambak kembali hendak menampar. Kali ini perempuan
hamil itu pergunakan kedua tangannya untuk melindungi muka dan kepalanya,
membuat si orang tua batalkan niatnya menampar.
“Kau tak mau bilang namamu,
pasti memang namamu lebih jelek dariku! Hik…hik… hik! Betulkan?!”
Si jubah hitam keluarkan suara
menggereng saking marahnya. “Bilang cepat apa keperluanmu datang ke puncak
Gunung Merbabu ini?! Atau kupuntir kepalamu saat ini juga!”
“A… aduh biung! Bagaimana
ini?! Tadi kau mau copot lidahku, mau copot kepalaku, sekarang mau memuntir!
Apa kau kira kepalaku buah kelapa? Hik… hik… hik!”
Orang yang menjambak kepalkan
tinjunya, pukulannya di arahkan pada perut.
“Tobat biung! Jangan pukul!
Aku akan bilang! Aku kemari mencari bapak bayiku!” kata perempuan hamil mengaku
bernama Emut-Emut.
“Mencari bapak bayimu…?! Orang
berjubah hitam tampak heran besar, begitu juga kawannya si mata buta merah yang
bersorban dan berpunuk.
“Perempuan geblek! Kalau mau
bicara dan berbuat gila jangan di tempat ini!” bentak orang tua bersorban.
“Eh, bagaimana kalian ini!
Kalian bertanya memaksa! Aku sudah katakan maksudku datang kemari. Sekarang
kalian bilang aku perempuan geblek, bicara dan berbuat gila! Siapa yang geblek!
Siapa yang gila?! Hayooo!” Emut-Emut tampaknya marah sekali. Dia menyentakkan
kepalanya hingga cekalan orang tua berjubah hitam terlepas. Ini membuat orang
tua itu terkejut dan berbisik pada temannya. “Tadi sikapnya bodoh-bodoh
ketakutan. Tapi sekarang dia mampu melepaskan jambakan. Agaknya perempuan
bunting ini punya sesuatu tersembunyi!”
Mendengar bisikan temannya si
buta mata merah yang diam-diam juga meyakini kalau Emut-Emut memiliki
kepandaian berusaha membujuk dengan berkata: “Emut-Emut, harap maafkan temanku.
Dia tidak bermaksud menghinamu…”
“Sudah! Aku tidak mau bicara
lagi pada kalian. Aku mau duduk di atas batu sana. Aku letih…”
“Tunggu dulu Emut-Emut…”
“Aku bilang tidak mau bicara
lagi pada kalian. Kecuali kalau kalian mau memberitahu nama kalian
masing-masing!”
“Hemm…” gumam si jubah hitam.
“Kami tak bisa memberitahu!”
“Kalian tidak jujur. Pasti ada
urusan tidak baik di tempat ini. Coba beritahu siapa kalian berdua adanya!”
“Siapa kami berdua tidak perlu
kau pertanyakan…!” kata lelaki bermata merah dan berpunuk.
“Hemmm…begitu? Baik! Kalau
kalian tidak mau memberi nama biar aku yang memberikan!” kata Emut-Emut pula
sambil senyum-senyum. Dia menuding dengan ibu jarinya pada lelaki buta mata
merah dan bersorban. “Kau duluan. Aku beri nama Si Buta Konyol…hemmm kurang
tepat. Sudah kau kunamakan saja Si Onta Putih. Kau suka? Hik… hik… hik!”
“Kurang ajar!” orang berpunuk
kelihatan merah padam wajahnya.
“Kenapa marah? Setahuku hanya
onta yang punya punuk. Kau mengenakan jubah putih dan punya punuk. Jadi Onta
Putih nama yang betul-betul cocok buatmu! Kecuali kalau kau suka nama Si Buta
Konyol! Hik… hik… hik!” Habis tertawa panjang Emut-Emut berpaling dan tudingkan
ibu jarinya pada di jubah hitam berambut awut-awutan.
“Ada nama bagus untukmu. Kau
mau tahu? Kau kuberi nama hemm… Si Rambut… Ah, itu nama jelek. Kurang pantas.
Sudah, kuberi saja kau nama Si Bau Pesing! Hik… hik…hik…!”
“Setan alas!” teriak si jubah
hitam marah sekali.
“Eh, jangan marah dulu! Itu
nama yang sangat cocok buatmu! Kusebut kau begitu karena jubahmu sebelah bawah
memang bau pesing! Kalau tidak percaya silahkan cium sendiri!” Emut-Emut
membungkuk hendak memegang bagian jubah sebelah bawah tapi dia berseru keras
ketika orang tua itu tiba-tiba tendangkan kaki ke arah perutnya.
“Kejam sekali! Kau hendak
membunuh bayi dalam kandunganku!” Meski terhuyung-huyung namun Emut-Emut masih
bisa mengelakkan tendangan tadi. Ketika Si Bau Pesing hendak menyerang lagi
kawannya Si Onta Putih memegang lengannya dan berbisik. “Orang ini aneh. Dia
mampu mengelakkan seranganmu. Baiknya biar kita korek dulu keterangan dari
dia…”
“Kurasa lebih baik
menghajarnya lebih dulu, nanti mulutnya nyerocos sendiri!” jawab Si Bau Pesing.
“Sudah…! Biar aku yang
bicara!” tukas Onta Putih. Sambil mengangkat tangan kirinya dia berkata.
“Emut-Emut, kau bilang datang kemari mencari suamimu…”
“Siapa bilang mencari suami?!”
Emut-Emut cemberut.
“Bagaimana kau ini! Tadi kau
sendiri bilang…” suara Onta Putih menunjukkan rasa jengkel.
Emut-Emut gelengkan kepalanya
keras-keras sambil tangan kanannya digoyanggoyang.
“Aku kemari mencari bapak
jabang bayi yang ada dalam perutku. Bukan suami! Kalau suami berarti aku pernah
dinikah baru dibikin hamil! Tapi yang terjadi aku dibuat gendut duluan tanpa
dinikah!”
Si buta Onta Putih dan Si Bau
Pesing saling pandang lalu kedua orang tua ini sama tertawa gelak-gelak. Sambil
mengusap matanya yang basah akibat tertawa Onta Putih berkata. “Baiklah, kau
bilang datang kemari mencari bapak bayi dalam perutmu itu. Mengapa mencari ke
sini? Apa kau yakin dia tinggal di sini?”
“Dia memang tidak tinggal di
sini. Tapi aku tahu dia bakal berada disini. Kalaupun belum datang aku akan
menunggu sampai dia muncul. Atau sebaiknya aku menggeledah rumah itu!”
Emut-Emut hendak melangkah ke arah rumah kayu tapi orang tua berjubah hitam
yang diberi nama Si Bau Pesing cepat menghalangi seraya berkata. “Kami tidak
mengizinkan kau masuk ke dalam rumah itu!”
“Betul!” menimpali Onta Putih.
“Kau tahu siapa bapak jabang bayimu itu? Maksudku kau tahu namanya?
“Tentu saja aku tahu!
Memangnya kau kira aku mau-mauan bikin anak sama setan yang tidak punya nama?!
Ceplos Emut-Emut seenaknya.
“Siapa? Siapa nama bapak
bayimu?” tanya Onta Putih pula.
“Orangnya masih muda.
Rambutnya gondrong segini…” Emut-Emut melintangkan tangan kirinya di pangkal
leher. “Tampangnya lumayan, tidak jeleklah…. Tubuhnya tegap. Dia suka
cengengesan….”
“Sudah! Aku tidak mau dengar,
tidak mau tahu semua itu! Katakan saja siapa namanya!” bentak orang tua
berjubah hitam kesal sekali.
“Namanya… Hemmm… Namanya Wiro
Sableng. Tapi dia tidak sableng sungguhan. Hik… hik… hik! Katanya dia
menyandang gelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…”
Baik Si Bau Pesing maupun Si
Onta Putih sama-sama mundur satu langkan saking kagetnya mendengar nama dan
gelar yang disebutkan Emut-Emut itu.
“Eh, paras kalian berubah!
Nah… nah! Jangan-jangan kalian kenal pemuda itu….Jangan-jangan dia memang
sembunyi dalam rumah sana…”
SEPULUH
EMUT-Emut bergegas melangkah
menuju bangunan kayu tapi orang tua berjubah hitam cepat menahan dadanya dengan
telapak tangan kiri. Ketika perempuan hamil itu memaksa maju, si orang tua
mendorongnya dengan keras hingga di hampir terjengkang jatuh terduduk di tanah.
“Bau pesing! Kenapa kau
mencegahku masuk ke dalam rumah! Pasti pemuda bapak anak ini ada di situ! Kau
berusaha melindunginya! Kau barusan malah mau mendorongku! Kalau aku jatuh dan
anakku brojol di sini apa kau mau tanggung jawab?!”
“Jangan nyerocos dan bicara
ngaco terus! Katakan lagi siapa nama pemuda yang katamu menghamili dirimu
itu?!”
“Aku sudah menyebutnya tadi.
Cukup keras. Apa kau tuli atau budek?!” ujar Emut-Emut.
“Jangan sampai kutampar kau
sekali lagi! Aku tidak main-main! Kau tadi menyebut Wiro Sableng…”
“Nah kau tahu, berarti kau
sudah dengan! Mengapa bertanya lagi ?!”
“Orang yang kau cari tidak ada
disini!” kata Si Onta Putih.
“Matamu buta, bagaimana kau
bisa melihat!” sentak Emut-Emut. “Melihat dirimu sendiri kau tak mampu, mana
mungkin melihat orang lain!”
Kakek buta bermata merah cuma
ganda tertawa lalu menjawab. “Mata lahirku memang buta. Tapi mata batinku lebih
tajam dari matamu!”
Ucapan ini membuat Emut-Emut
jadi melengak. “Ucapannya itu mengingatkanku pada orang itu. Tapi ah…
Keadaannya jauh berbeda. Atau mungkin…?”
Di hadapannya tiba-tiba orang
tua berjubah berteriak.
“Dia datang membawa fitnah!
Fitnah besar dan keji!”
“Mulutmu yang keji!” tukas
Emut-Emut. “Aku tetap akan menyelidik ke dalam rumah!” perempuan hamil ini
kembali memaksa maju. Tapi lagi-lagi si orang tua menahannya dengan
mendorongkan telapak tangan ke dada. Sekali ini Emut-Emut habis sabarnya. “Orang
tua, aku tidak tahu apa kau laki-laki atau perempuan. Tapi memegang dada orang
adalah perbutan kurang ajar! Kalau kau lelaki berarti kau tua bangka cabul!
Kalau kau perempuan sama denganku berarti kau doyan manusia satu jenis! Ih….
Jijik aku jadinya!”
Mata Si Bau Pesing seperti
menyala. Tangan kanannya diangkat. Tinjunya dikepal.
“Lekas angkat kaki dari sini
kalau tidak mau kupecahkan kepalamu!”
“Dasar manusia bau pesing! Kau
saja yang pergi duluan!”
Emut-Emut tarik tangan kiri si
orang tua kuat-kuat. Sambil jatuhkan diri ke belakang dia hunjamkan kaki kanan
ke perut Si Bau Pesing itu lalu menendang! Orang tua berjubah hitam berteriak
keras. Kawannya Si Onta Putih keluarkan seruan tertahan. Orang yang diberi nama
Si Bau Pesing itu bukan orang sembarangan. Namun dia sama sekali tidak
menyangka kalau orang hamil besar seperti Emut-Emut bisa menarik dan menendang
tubuhnya demikian rupa hingga membuatnya mencelat mental. Sambil menahan sakit
si jubah hitam melayang turun dan berteriak. “Tendangan dibalas tendangan!”
“Wuttt!”
Kaki kanannya menderu ke arah
kepala Emut-Emut. Angin deras ikut menyambar dari bawah jubahnya. Emut-Emut
keluarkan suara seperti mau muntah lalu berteriak.
“Gila! Bau pesing!” Tangan
kirinya dipergunakan untuk menutup hidung. Lalu sambil berguling menghindari
tendangan dia lepaskan pukulan jarak jauh tangan kanan!
Di udara orang tua berjubah
hitam kembali terkejut. “Edan! Perempuan bunting itu memiliki pukulan hebat
mengandung tenaga dalam tinggi! Eh, aku rasa-rasa tahu pukulan apa yang
dilepaskannya!” Namun Si Bau Pesing ini tidak bisa berfikir panjang karena dia
harus selamatkan diri dari hantaman serangan lawan. Dia cepat melesat ke kiri,
jungkir balik di udara lalu menghantam dengan kedua tangan sekaligus!
“Bummmm! Bummmm!”
Puncak Gunung Merbabu
bergetar. Tanah, pasir dan kerikil-kerikil kecil berlesatan ke atas. Di tempat
itu sekarang kelihatan dua buah lobang besar, bekas dua pukulan yang tadi
dilepaskan si jubah hitam. Menjejakkan kaki di tanah orang tua ini memandang berkeliling.
“Kurang ajar! Berani dia mempermainkan aku! Mana dia?!”
“Bau Pesing! Aku ada di sini!
Kalau kau turunan monyet dan pandai memanjat ayo naik dan kejar aku ke atas!”
Orang tua berjubah hitam
mendongak ke atas. Emut-Emut ternyata duduk berjuntai di cabang sebatang pohon
tak seberapa tingginya sambil uncang-uncang kaki dan tertawa cengengesan.
“Perempuan bunting anjing
kurap! Perlu apa aku capaikan diri mengejarmu ke atas sana. Cukup dari sini aku
bisa memanggang tubuhmu!” Orang tua berjubah hitam berteriak geram lalu angkat
tangan kanannya, siap lepaskan satu pukulan dahsyat. Meski pukulan belum
dilepaskan tapi hawa panas sudah menghampar di tempat itu. Namun kawannya Si
Onta Puith terbungkuk-bungkuk cepat mendatangi dan berbisik.
“Tahan dulu seranganmu! Ada
yang aneh kurasakan dengan perempuan bunting itu!”
“Huh apa?!”
“Dia pasti manusia punya
kepandaian. Kau saksikan sendiri di bisa melompat begitu tinggi lalu menclok di
cabang pohon. Setinggi-tingginya ilmu seseorang, masakan dalam keadaan hamil
besar begitu rupa dia tidak takut membuat gerakan-gerakan yang membahayakan
kandungannya!”
“Kukira kau benar,” jawab si
Bau Pesing. “Tadi waktu dia melancarkan tendangan, bagian bawah pakaian
gombrongnya merosot di bagian kaki. Betisnya tersingkap. Aku lihat betisnya
putih…”
“Ah sialnya diriku yang buta!
Tidak dapat melihat betis putih itu!” kata Si Onta Putih sambil mulutnya
komat-kamit.
“Sialan! Otakmu bisa-bisanya
kotor dalam keadaan seperti ini!” maki si jubah hitam. “Padahal keteranganku
belum selesai. Dengar, betisnya memang putih tapi ini yang gila! Betis itu
ditumbuhi bulu lebat!”
“Edan! Mana ada kaki perempuan
berbulu lebat! Kurasa kita sudah tertipu!”
“Biar saja. Dia menipu kita!
Bagaimana kalau kita berdua menelanjanginya agar terbuka kedoknya?!”
“Aku setuju! Hik… hik… hik!
Ayo kita serbu dia ke atas sana!”
Si Onta Putih dan Si Bau
Pesing lepaskan dua pukulan ke arah cabang pohon di mana Emut-Emut duduk
berjuntai. Selagi perempuan hamil ini menghindar sambil balas menghantam dua
orang tua itu lalu melihat kehebatan Si Onta Putih. Bermata buta tapi sanggup
naik ke atas pohon. “Hanya ada satu manusia berkepandaian seperti dia di dunia
ini. Tapi mengapa tampang, pakaian dan warna matanya lain?” Emut-Emut tak bisa
berfikir lebih jauh karena dua orang tua itu begitu menjejakkan kaki di cabang
pohon langsung menyerang!
Seandainya ada orang lain di
tempat itu tentu akan terheran-heran melihat ada orang berkelahi di atas pohon.
Kalau ketiga orang ini tidak memiliki ilmu meringankan tubuh sangat tinggi
niscaya cabang pohon itu sudah patah sejak tadi-tadi!
“Tua bangka pengecut!
Mengeroyok perempuan hamil!”
“Perempuan hamil katamu hah?!
Kami justru ingin tahu siapa dirimu sebenarnya!
Perlihatkan pada temanku perut
gendutmu! Ha… ha… ha…!” Si Onta Putih tertawa tergelak-gelak. Tubuhnya meliuk
ke depan. Tangan kirinya kirimkan jotosan ke dada Emut-Emut sedang tangan
kanannya mematah ranting pohon. Hal yang sama juga dilakukan oleh Si Bau
Pesing. Di tangan kanannya saat itu tergenggam pula sebatang ranting. Dengan
benda ini dua orang tua menyerang Emut-Emut. Perempuan hamil ini segera
terdesak hebat. Dua orang itu ternyata lebih banyak pergunakan ranting yang
mereka jadikan senjata untuk berusaha merobek pakaian yang dikenakan perempuan
hamil itu dari pada menggebuk, memukul atau menusuk.
“Tak ada jalan lain, aku harus
turun agar bisa bergerak lebih leluasa!” memikir sampai di situ Emut-Emut
berteriak keras lalu melompat dari atas cabang. Selagi tubuhnya melayang di
udara, dua orang tua menyusul melompat ke bawah. Sambil melayang turun ke tanah
dua orang tua itu kembali menggempur dengan ranting-ranting.
“Breett! Breett!”
Pakaian gombrong Emut-Emut
robek di bagian pantat dan pinggang. “Kurang ajar!
Mereka benar-benar hendak
menelanjangiku! Biar Si Onta Putih ini aku hajar duluan. Kelihatan dia agak
lamban dari Si Bau Pesing!”
Emut-Emut lalu melompat ke
samping kiri, sengaja menjauhi Si Bau Pesing. Ketika Si Onta Putih berada di
tengah-tengah maka dia kirimkan serangan kilat. Orang tua ini sempat dibuat
kalang kabut tapi sampai lima jurus menggempur tidak satu serangannyapun
mengenai si mata buta berpunuk itu!
Sementara itu orang tua
berjubah hitam sesaat tampak tertegun mendelik. Samarsamar dia mengenali
jurus-jurus yang dikeluarkan Emut-Emut waktu menyerang kawannya. “Tidak
mungkin… tidak mungkin dia akan sekurang ajar itu! Tapi… Hah! Dari dulu dia
memang sudah kurang ajar! Jurus-jurus yang dikeluarkannya, mengapa sembrawutan
aneh seperti itu?!”
Si Onta Putih menahan serangan
lawan dengan kiblatkan ranting di tangan kanannya bertubi-tubi. Begitu gerakan
lawan tertahan dia masuk mendekat. Lengannya digetarkan. Ujung ranting berubah
menjadi banyak lalu terdengar suara brebetan berulang kali. Dada pakaian
gombrong Emut-Emut robek besar. Begitu juga bagian perutnya. Tapi sambil
menjerit perempuan ini masih sempat menutupi auratnya. Si Onta Putih tertawa
mengekeh lalu lambaikan tangannya pada Si Bau Pesing.
“Aku siap menelanjanginya. Kau
yang tidak buta apa tidak mau ambil bagian?!”
Mendengar ucapan temannya itu
si jubah hitam segera pula masuk ke dalam kalangan. Kembali Emut-Emut yang
masih mengandalkan tangan kosong itu dikeroyok gencar. Sebentar saja dia sudah
terdesak hebat. Lengan bajunya robek. Beberapa bagian tangannya tergurat luka.
Dalam bertahan mati-matian kedua matanya tidak lepas memperhatikan jurus-jurus
serangan yang dilancarkan orang tua berjubah hitam. “Aku hampir pasti memang
dia… Kalau betul matilah aku!” katanya dalam hati.
“Bukkk!”
“Breett!”
Emut-Emut katupkan rahang
rapat-rapat agar tidak keluarkan suara mengeluh kesakitan sewaktu bahu kirinya
kena ditoreh ranting di tangan kanan Si Onta Putih. Lalu dari sebelah kanan Si
Bau Pesing berhasil merobek lagi pakaiannya di sebelah bawah perut!
“Setan alas! Lihat serangan!”
teriak Emut-Emut.
Tubuhnya berkelebat ke arah Si
Bau Pesing. Tapi selagi lawan yang satunya bertindak ayal, dia balikkan tubuh,
berkelebat menggempur si buta Onta Putih. Dua tangannya diangkat ke atas dan
membuat gerakan aneh. Sengaja menyongsong ujung ranting lawan. Sesaat kemudian
terdengar suara trak… trak… trak berulang kali.
“Ilmu mematah tulang!” teriak
Si Onta Putih. Lalu cepat-cepat campakkan ranting kayunya yang tinggal pendek
sebelum sepasang tangan Emut-Emut terus meluncur mematahkan jari-jari tangannya
bahkan kedua lengannya!
“Manusia buta ini sungguh luar
biasa! Dia mengetahui ilmu apa yang aku keluarkan!” membatin Emut-Emut.
Orang tua berjubah hitam
mendadak hentikan serangan rantingnya. Dia bergeser mendekati temannya dan
berbisik. “Kau yang buta bagaimana bisa mengenali serangan yang barusan
dilancarkan perempuan bunting sinting itu?!”
Si Onta Putih mengangguk
sedikit. “Aku hanya menduga. Tapi yakin dugaanku tidak meleset. Setahuku ilmu
itu berasal dari Negeri Matahari Terbit! Tak ada tokoh silat di sini yang
menguasai atau pernah mempelajarinya. Di sana disebut koppo!”
Sepasang bola mata si jubah
hitam berkilat-kilat, berputar tiada henti. “Kurang ajar! Jadi memang dia
rupanya! Benar-benar kurang ajar!” Lalu pada teman di sebelahnya dia berbisik
lagi. “Keluarkan tongkat bututmu! Kau serang dia habis-habisan. Aku mencari
akal bagaimana bisa melumpuhkannya! Sebetulnya kalau kau suka aku ingin sekali
membuat dia sampai sekarat!”
Mendengar ucapan Si Bau
Pesing, kakek buta keluarkan sebuah tongkat kayu butut dari balik punggung
jubah putihnya. Dengan senjata buruk ini dia lancarkan serangan berantai,
merangsak tiada henti. Tongkat di tangannya berubah menjadi begitu banyak
hingga sulit diduga mana yang asli mana yang bayangan. Kalau tadi tidak sulit
bagi Emut-Emut untuk mematahkan ranting kayu yang dipergunakan sebagai senjata
oleh orang tua buta itu, kini bagaimanapun dia mencoba tongkat itu tak berhasil
dipatahkannya. Dia sempat menangkap beberapa kali namun sebelum dipatahkan
tongkat itu sudah lolos dari cengkeramannya. Selagi dia berusaha membendung
serangan lawan tongkat di tangan si buta mata merah itu justru mengurungnya dan
Emut-Emut sempat keluarkan seruan tertahan. Dalam penglihatannya tongkat telah
berubah menjadi batangan-batangan balok, membentuk lingkaran dan mengurungnya.
Bagaimanapun dia berusaha menerobos tetap saja dia berada dalam kurungan itu.
“Celaka! Apa yang harus aku
lakukan?!” keluh Emut-Emut. Dia jadi keluarkan keringat dingin. Dalam keadaan
seperti itu tiba-tiba dari samping datang tusukan ranting Si Bau Pesing
menembus perutnya!
“Breettt!”
Ujung tongkat dicongkelkan ke
atas. Sekali lagi terdengar suara breeet! Lalu di udara tiba-tiba saja
kelihatan kapuk beterbangan.
“Celaka!” keluh Emut-Emut
sekali lagi. Dia berusaha menutupi pakaian di bagian perut yang robek besar.
Namun saat itu terasa ada sambaran angin di punggungnya. Emut-Emut berpaling
sambil hantamkan tangan kanannya namun terlambat. Satu totokan mendarat telak
di punggungnya, membuat dia kaku tegang tak bisa bergerak. “Aku harus
membebaskan diri. Kalau tidak benar-benar bisa celaka….” Emut-Emut kempeskan
perutnya lalu kerahkan aliran darah.
Orang tua berjubah melompat ke
hadapan Emut-Emut. Tangan kiri diletakkan di pinggang. Dari mulutnya keluar
tawa panjang mengekeh. “Ilmu totokanku bukan dari jenis picisan yang bisa
dipunahkan begitu saja! Kau boleh kerahkan tenaga dalam sampai terkentut-kentut
bahkan terberak-berak! Mustahil kau bisa membebaskan diri!”
“Tua bangka pengecut! Tak
sanggup menghadapiku waktu mengeroyok sekarang kau main totok!” damprat
Emut-Emut.
“Perempuan bunting! Sekarang
kita lihat siapa kau sebenarnya!”
Si Bau Pesing maju dua
langkah. Ranting di tangan kanannya bergerak menggeletar lalu berubah jadi
bayangan. Terdengar suara brett… brett… brett berulang kali. Pakaian gombrong
yang melekat di tubuh. Emut-Emut robek besar di mana-mana hingga akhirnya
pakaian itu jatuh merosot ke tanah.
“Sudah kau telanjangi
tubuhnya!” bertanya Si Onta Putih.
“Belum, ternyata dia
mengenakan pakaian laki-laki di balik baju gombrongnya!”
jawab Si Bau Pesing. “Kau tahu
apa yang aku lihat sobatku! Di bagian perutnya dia mengikatkan dua buah bantal
besar. Kapuk beterbangan di udara! Itu rupanya jabang bayinya! Ha… ha… ha…! Ada
laki-laki gila yang berpura-pura bunting pakai bantal berisi kapuk!”
“Mengaku datang ke sini
mencari bapak anaknya! Ha… ha… ha! menimpali Si Onta Putih. “Lekas kau
telanjangi di agar ketahuan siapa monyet jantan ini sebenarnya!”
“Kalau kau berani
menelanjangiku, aku bersumpah membunuh kalian berdua!” mengancam Emut-Emut.
“Huh! Ancaman tengik! Umurmu
tidak lebih panjang dari umur kami berdua!”
sahut Si Bau Pesing. Sepasang
matanya memperlihatkan dengan tajam perempuan hamil yang kini terlihat
mengenakan pakaian ringkas. Lalu orang tua ini gerakkan tangan kanannya yang
memegang ranting.
“Brettt!”
Dada pakaian orang di
hadapannya robek besar. Dadanya tersingkap. Pada dada itu kelihatan rajah tiga
buah angka 212! Si Bau Pesing hampir terlonjak saking kagetnya. Sekujur
tubuhnya yang bungkuk bergetar.
“Anak setan! Kau rupanya!”
katanya setengah berteriak.
Si Onta Putih bertanya.
“Siapa? Siapa dia? Lekas katakan padaku!”
“Aku belum pasti, mungkin
memang dia tapi mungkin juga orang lain menyamar….” Si Bau Pesing melompat ke
hadapan Emut-Emut yang saat itu tertegak kaku tak bisa bergerak. Tangan kirinya
berkelebat ke arah leher sebelah bawah Emut-Emut.
“Sretttt!”
Sekali tarik saja terlepaslah
selembar topeng sangat tipis yang menutupi wajahnya. Si Bau Pesing menjerit
keras ketika melihat tampang asli Emut-Emut.
SEBELAS
ONTA Putih mendongak lalu
berkata.
“Hai! Kau menjerit! Tentu kau
sudah mengetahui siapa dia! Lekas katakan padaku!”
“Anak setan! Anak geblek
gendeng sialan! Dia rupanya!”
“Hai! Kau masih belum
mengatakan siapa orangnya!”
“Siapa lagi kalau bukan dia!
Anak setan bernama Wiro Sableng itu! Sialan benar. Berani dia menipuku!”
Emut-Emut tertawa cengengesan.
Kalau saja tangannya bisa bergerak pasti saat itu dia sudah menggaruk kepalanya
habis-habisan!
Si Onta Putih begitu mendengar
nama yang disebutkan Si Bau Pesing dongakkan kepala lalu tertawa gelak-gelak.
“Kita yang tua bangka ini memang sudah kena ditipu!”
“Guru, Eyang…. Aku mau
berlutut di depanmu minta ampun. Tapi tidak bisa! Aku minta ampun atas semua
perbuatanku ini….” Emut-Emut berucap. Suaranya tiba-tiba saja jadi berubah.
“Eh!” Orang tua berjubah hitam
mundur selangkah. “Siapa yang kau panggil Eyang, siapa yang kau panggil guru!
Jangan bicara ngacok di hadapanku!”
Onta Putih tersenyum-senyum.
“Aku kenali suaranya sekarang. Rupanya tadi-tadi dia pergunakan ilmu kepandaian
merubah suara. Benar-benar anak setan!”
Emut-Emut alias Pendekar 212
Wiro Sableng keluarkan suara bergumam. Lalu berkata. “Guru, sebetulnya aku
sudah tahu siapa kau sejak mencegat aku di gubuk reyot waktu malam hujan-hujan
itu….”
Orang tua berjubah hitam itu
angkat tangannya yang memegang ranting, siap untuk dipukulkan ke kepala Wiro.
Saat itu Si Onta Putih tiba-tiba tertawa lalu berkata. “Sinto, kalau dia sudah
tahu siapa dirimu rasanya tak perlu lagi menyamar berlama-lama. Bukankah kita
sudah menguji tingkat kepandaiannya…?!”
Habis berkata begitu orang tua
berpunuk ini campakkan sorban di kepalanya lalu membuka jubah putihnya. Begitu
jubah ditanggalkan, di punggungnya kelihatan sebuah caping besar diikatkan ke
tubuhnya yang mengenakan pakaian rombeng butut. Di ketiak kirinya ada sebuah
buntalan kain. Caping besar itulah yang tadi membentuk punuk di punggungnya!
Tidak sampai disitu, orang ini lalu pergunakan tangan kiri untuk menarik lepas
sehelai topeng yang menutupi wajahnya.
“Kakek Segala Tahu!” seru Wiro
begitu dia mengenali siapa adanya orang tua itu.
Si kakek tertawa bergelak. Dia
luruskan tubuhnya berulang kali. Lalu dari dalam buntalannya dia kelurkan
sebuah kaleng rombeng. Setelah mendongakkan kepala dia goyangkan kaleng itu
berulang kali hingga menggemalah suara kerontang menyakitkan telinga di puncak
Gunung Merbabu itu!
“Aneh…. Tadi waktu berkelahi
kaleng itu sama sekali tidak mengeluarkan bunyi! Berarti dia menahan gerakan batu-batu
dalam kaleng dengan tenaga dalamnya! Luar biasa tua bangka satu ini!” membatin
Pendekar 212.
“Kek, masih ada yang
ketinggalan….” Kata Wiro pada Kakek Segala tahu.
“Eh, apa maksudmu anak
geblek?!” bertanya Kakek Segala Tahu sementara si jubah hitam tegak
terlongong-longong.
“Sepasang matamu seharusnya
berwarna putih. Aku tak tahu kau memakai apa hingga kulihat matamu berwarna
merah semua!”
Kakek Segala Tahu tertawa
gelak-gelak. Dia usap kedua matanya dengan tangan kiri. Setelah mengusap dia perlihatkan
telapak tangannya pada Wiro.
“Daun angsana merah!” seru
Wiro. Rupanya selama ini si kakek sengaja pergunakan dua lembar daun angsana
merah untuk menutupi sepasang matanya yang buta putih!
Kakek Segala Tahu kembali
tertawa panjang. Dia bolang balingkan tongkat bututnya lalu berpaling pada si
jubah hitam di sebelahnya. “Sinto, kau tunggu apa lagi?!”
Yang ditegur diam saja. Ragu
dia rupanya.
“Orang sudah tahu siapa
dirimu, perlu apa menyamar terus?!”
Mulut si jubah hitam tampak
komat-kamit. Terdengar dia menggerendeng panjang pendek. “Anak setan sialan.
Kau bakal menerima hukuman berat dariku…. Hik…hik…hik!”
Mula-mula orang ini buka jubah
hitamnya. Kini kelihatan pakaian aslinya, sebuah kebaya panjang dalam yang
sudah rombeng dan kotor serta bau apak. Dia mengenkan kain panjang sebatas
betis hingga terlihat sepasang kakinya yang kurus. Perlahan-lahan dia
tanggalkan topeng dan rambut palsu yang menutupi wajah serta kepalanya.
Terlihat wajahnya yang sebenarnya, cekung menyeramkan tinggal kulit pembungkus
tengkorak. Di atas kepalanya yang berambut sangat jarang menancap lima buah
tusuk konde terbuat dari perak. Dia berusaha meluruskan tubuhnya yang bungkuk
tapi tidak bisa karena nenek ini memang sudah bungkuk dimakan usia. Inilah dia
si nenek sakti dari puncak Gunung Gede, salah seorang dedengkot dunia
persilatan dikenal dengan nama Sinto Gendeng terlahir bernama Sinto Weni.
Kakek Segala Tahu tusukkan
tongkat bututnya di punggung Wiro. Serta merta totokan yang menguasai tubuh
sang pendekar punah.
“Lekas berlutut minta ampun
pada gurumu!” kata Kakek Segala Tahu lalu mendorong punggung Pendekar 212.
Wiro cepat jatuhkan diri di
hadapan Sinto Gendeng. Dia membungkuk berulang kali lalu berkata. “Eyang
maafkan aku. Aku telah berlaku kurang ajar padamu. Berani menipu dan
melawanmu!”
“Bagus! Aku terima maafmu!
Tapi makan dulu gebukan ini!” Sinto Gendeng pukulkan ranting kayu di tangan
kanannya ke kepala Wiro.
“Traakkk!”
Ranting kayu di tangan Sinto
Gendeng patah hancur berantakan. Tangan si nenek tergetar keras. Kakek Segala
Tahu telah menangkis ranting itu dengan tongkat bututnya “Sinto,” si kakek lalu
menegur, “Jangan perturutkan hati kesalmu. Bukankah semua ini sesuai dengan
yang kita rencanakan? Kalau dia bisa menipu kita bukankan itu menunjukkan otaknya
lebih encer dari kita?!”
Sinto Gendeng campakkan sisa
patahan ranting yang dipegangnya. Dia memandang pada di buta Kakek Segala Tahu
lalu pada sang murid yang masih berlutut tundukkan kepala. Sesaat kemudian
nenek sakti ini tertawa terpingkal-pingkal. Begitu panjang seolah tidak akan
berhenti. Wiro yang berlutut tundukkan kepala tiba-tiba melihat sesuatu
mengalir di kedua kaki gurunya disertai bau yang menusuk. Wiro serta merta
melompat sebelum dia terkena percikan air itu.
“Ada apa?!” bertanya Kakek
Segala Tahu.
“Dia kencing…” jawab Wiro.
Kakek Segala Tahu tak dapat
menahan gelaknya. Dia tertawa sampai keluar air mata. Wiro mula-mula hanya
garuk-garuk kepala tapi kemudian ikut juga tertawa gelakgelak.
“Kalian berdua sudah pada gila
apa?! Mengapa tertawa begini rupa?!”
Tentu saja sang murid tak bisa
menjawab. Akhirnya si kakek hentikan tawanya dan berkata. “Sinto, lain kali
kalau mau buang air sebaiknya mencari tempat! Jangan kencing sembarangan!”
Sinto Gendeng yang seolah baru
menyadari apa yang terjadi banting-banting kaki. Walau malu tapi justru dia
tunjukkan sikap marah. Inilah sifat aneh si nenek sakti dari puncak Gunung Gede
itu.
“Kita masuk ke rumah sekarang.
Kawan yang satu itu sudah lama menunggu,” mengajak Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan
kaleng rombengnya.
“Tunggu dulu,” sahut Sinto
Gendeng. “Aku mau tanya bagaimana sebelumnya kau sudah merasa bahwa aku yang
menyamar ini adalah gurumu?!”
Wiro garuk-garuk kepala.
“Eyang, kalau aku katakan kau pasti marah lagi padaku!”
“Kali ini aku berjanji tidak
marah asal kau tidak bicara ngaco!” jawab si nenek.
“Pertama kulihat potongan
tubuhmu. Sikapmu selalu bungkuk karena memang begitu keadaan tubuhmu. Kedua
kalau kau tertawa suara palsumu tersamar dengan suara asli yang segera kukenali.
Kemudian secara tak sadar kau memaki diriku dengan sebutan anak setan. Siapa
yang punya kebiasaan seperti itu kalau bukan kau? Lalu ada satu hal yang paling
meyakinkan….”
Wiro diam, tak segera
meneruskan ucapannya.
“Apa? Ayo katakan! Kenapa kau
berhenti ngomong?!” tukas Sinto Gendeng.
“Itu…. Hemmm…. Pakaianmu
sebelah bawah mengumbar bau pesing…” jawab Wiro lalu tutup mulutnya dengan
tangan agar tidak terdengar suara tawanya. Di sampingnya Kakek Segala Tahu
justru sudah meledak duluan tawanya. Sinto Gendeng memaki panjang pendek tapi
tidak berbuat sesuatu. “Dengar anak setan, aku ada dua pertanyaan padamu.
Pertama, aku tidak mengajarkan ilmu menyarukan suara padamu. Membuat aku tidak
mengenali suaramu. Dari mana kau belajar ilmu itu….”
“Dari… dari seorang pandai di
Negeri Matahari Terbit…” jawab Wiro.
“Hemmmm….” Sinto Gendeng
komat-kamit. Lalu dia bertanya lagi. “Pertanyaan kedua. Dari mana kau belajar
ilmu mematahkan tulang yang disebut koppo itu?!”
“Juga dari seseorang di Negeri
Matahari Terbit itu guru…” jawab Wiro. (Mengenai ilmu mematahkan tulang yang
disebut koppo harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Sepasang Manusia
Bonsai”)
“Bagus, ilmumu sudah
bertambah. Tapi masih jauh dari cukup untuk menghadapi tugas berat yang bakal
dibebankan ke pundakmu!” Wiro terkejut dan berpaling pada Kakek Segala Tahu.
“Kek, tugas berat katamu?
Tugas berat apa?”
“Anak setan,” yang menjawab si
nenek sakti. “Ketahuilah, aku mencegatmu di gubuk itu hanya sekedar untuk
menguji kepandaianmu. Juga apa yang terjadi disini semua ujian untukmu. Ilmu
silatmu tidak kami sangsikan. Cuma kesaktianmu masih sangat kami khawatirkan….”
“Aku tidak mengerti…” kata
Wiro sambil garuk-garuk kepalanya.
“Supaya kau mengerti mari
ikuti aku masuk ke dalam rumah sana…” kata Sinto Gendeng lalu melangkah duluan
menuju rumah kayu di ujung pedataran. Wiro pegang lengan Kakek Segala Tahu,
sambil menuntun orang tua ini dia melangkah mengikuti si nenek.
“Eh, walau mataku buta kau tak
usah menuntunku segala. Aku bisa jalan sendiri…” kata Kakek Segala Tahu.
“Aku tahu,” jawab Wiro
setengah berbisik. “Aku cuma mau mendekat, mau tanya apa sebenarnya yang ada
dibalik semua urusan aneh ini?”
“Aku cuma bisa bilang, dunia
persilatan terancam kiamat!” jawab si kakek lalu lepaskan tangannya dari pegangan
Wiro dan melangkah cepat menuju rumah kayu.
DUA BELAS
DARI luar rumah kayu itu
kelihatan kecil saja. Tapi begitu masuk di dalam ternyata luas sekali. Wiro
terheran-heran melihat pemandangan dalam rumah kayu ini. Bagian dalam hanya
merupakan satu ruangan luas terbuka. Di atas lantai papan ada setumpukan jerami
kering setinggi pinggang. Sebelah atas tumpukan jerami ini ditutup dengan
lembaranlembaran kulit kambing kering yang disambung satu sama lain hingga
merupakan selembar tikar besar. Di atas tikar kulit kambing ini terbujur satu
sosok tubuh gemuk besar luar biasa hingga tumpukan jerami melesak ke bawah.
“Si Raja Penidur!” ujar Wiro
sambil berpaling pada Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu. “Hemm…. Jika dia ada
di sini berarti memang ada satu urusan besar!”
Seperti Kakek Segala Tahu dan
Sinto Gendeng, Si Raja Penidur dikenal sebagai salah satu dedengkot rimba
persilatan di masa itu. Hanya saja dia jarang memunculkan diri karena
pekerjaannya sehari-hari bahkan sepanjang tahun cuma tidur melulu. Sekali tidur
jangan harap dia bisa bangun cepat. Suara dengkurnya menggetarkan bangunan kayu
itu.
(Mengenai Si Raja Penidur
harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Siluman Teluk Gonggo”)
Kakek Segala Tahu gelengkan
kepala. “Hampir tiga puluh hari kami menungguinya di sini! Sontoloyo biang
ngorok itu masih saja tidur. Kapan bangunnya…? Padahal urusan besar sudah
menunggu. Gawat kalau begini…!”
“Kita harus membangunkannya
secara paksa!” kata Sinto Gendeng pula.
“Itu katamu. Apa kau tidak
tahu sifat keadaannya? Sekalipun petir menyambar di atas jidatnya, sekalipun
geledek menggelegar di samping telinganya dia tak bakalan terbangun!” ujar
Kakek Segala Tahu pula.
“Coba kau kerontangkan kaleng
rombengmu di salah satu telinganya!” kata Sinto Gendeng pula.
“Aku sudah mencoba! Kau tahu
hasilnya!”
“Kerahkan seluruh tenaga
dalammu!”
“Baik… baik. Aku akan coba
lagi!”
Kakek Segala Tahu mendekati
tumpukan jerami. Dengan ujung tongkatnya dia meraba-raba sampai akhirnya dia
mengetahui di mana letak kepala Si Raja Penidur. Lalu dia kerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Tenaga dalam ini disalurkan ke tangan kiri yang memegang
kaleng rombeng berisi batu. Begitu kaleng digoyangkan menggelegarlah suara
berkerontang keras sekali. Bangunan kayu bergetar dan liang telinga seperti
ditusuk besi panas! Baik Wiro maupun Sinto Gendeng cepat tekap telinga
masing-masing. Sampai si kakek merasa pegal menggoyang tangan terus-terusan, Si
Raja Penidur masih saja ngorok. Akhirnya Kakek Segala Tahu capai sendiri dan
berhenti menggoyang kaleng rombeng itu. Dia tanggalkan caping bambunya lalu
mengipas-ngipasi mukanya yang basah oleh keringat.
“Apa lagi yang kita lakukan
sekarang?!” Kakek Segala Tahu seperti putus asa.
“Bagaimana kalau kita pencet
saja bijinya?!” berkata Sinto Gendeng.
Wiro tertawa geli mendengar
ucapan gurunya itu sedang Kakek Segala Tahu menyeringai sambil geleng-gelengkan
kepala. “Kalau dia bangun, kalau dia mati bagaimana?” ujarnya. Perlahan-lahan
dia palingkan mukanya pada Wiro. Sinto Gendeng ikut menoleh. Saat itu Wiro
tegak tak bergerak. Kedua matanya dipejamkan dan tangannya sibuk
menggaruk-garuk kepala.
“Anak setan ini tengah
berfikir keras,” kata Sinto Gendeng dalam hati yang tahu betul apa yang tengah
dilakukan muridnya. Lalu dia ajukan pertanyaan. “Anak setan, apa yang ada dalam
benakmu?!”
Perlahan-lahan Wiro buka kedua
matanya. “Orang bangun dan orang tidur samasama bernafas…”
“Orang gila juga tahu hal
itu!” kata Sinto Gendeng.
“Kalau jalan nafasnya
terganggu, orang bangun bisa pingsan, orang tidur bisa melejang menggeliat lalu
terbangun!”
“Hemmm…. Kau mau menyuruh aku
memencet hidung sontoloyo itu?!” tanya Kakek Segala Tahu.
“Bukan itu yang aku maksudkan.
Mungkin itu bisa menolong tapi ada yang lebih ampuh. Mengganggu jalan nafasnya
bukan Cuma menutup hidung, tapi membuat begitu rupa hingga gangguan itu
menjalar dalam tubuhnya, masuk ke dalam otaknya!”
“Kau bicara seperti seorang
dukun besar!” kata Sinto Gendeng ketus.
Wiro angkat tangannya. “Aku
cuma punya satu usul. Jika diterima kurasa pasti si penidur ini bisa kita
bangunkan!”
“Sudah, katakan saja apa yang
ada dalam otakmu Wiro!” kata Kakek Segala Tahu.
Wiro Sableng berpaling pada
Sinto Gendeng. “Guru, kau naiklah ke atas kasur jerami itu. Berdiri tepat di
atas kepala Si Raja Penidur lalu perlahan-lahan turun dan jongkok. Kukira tidak
akan makan waktu lama sebelum dia bisa kita bangunkan!”
Sepasang mata Sinto Gendeng
yang cekung seperti mau melompat keluar dari sarangnya. “Anak setan kurang
ajar! Kau kira apa aku ini? Menyuruh aku jongkok di atas kepala si sontoloyo
itu!”
“Tunggu… tunggu Sinto!” Kakek
Segala Tahu menengahi. “Kurasa ucapan muridmu benarnya. Membangunkan orang
dengan mengganggu jalan pernafasannya. Bau pesing tubuh dan pakaianmu akan
masuk ke dalam hidungnya, larut dalam jalan pernafasan lalu mengalir dalam
darah. Sampai ke jantung terus ke otak! Dia benar! Si Raja Penidur pasti akan
terbangun!”
“Kau juga setan! Aku tidak mau
melakukan!” kata Sinto Gendeng sambil banting kaki.
“Terserah padamu! Jika kau
suka kita menunggu berlama-lama di tempat ini. Satu bulan, mungkin satu tahun
lagi dia belum tentu bangun secara wajar!” kata Kakek Segala Tahu. Sinto
Gendeng banting-banting kaki. Mulutnya menggerendeng panjang pendek dan matanya
berkilat-kilat memandang pada muridnya.
“Anak setan!” teriak si nenek.
Tapi saat itu juga tubuhnya melesat ke atas kasur jerami. Kedua kakinya
menjejak di kiri kanan kepala Si Raja Penidur. Si nenek masih memaki dan masih
memandang melotot pada Wiro. Perlahan-lahan dia lalu berjongkok. Wiro tutup
mulut menahan tawa sementara Kakek Segala Tahu dongakkan kepala dan goyangkan
kaleng rombengnya tiga kali berturut-turut. Saat demi saat berlalu.
“Sial! Kakiku sudah letih!”
terik Sinto Gendeng.
“Bertahan Sinto! Bertahanlah!”
ujar Kakek Segala Tahu.
Tiba-tiba salah satu kaki Si
Raja penidur kelihatan bergerak, menyusul salah satu tangannya. Lalu kepalanya
terangkat dari atas tikar kulit kambing. Hidungnya mengerenyit dan mulutnya
terbuka lebar. Tiba-tiba dari mulut itu membersit suara berbangkis tiga kali.
Sinto Gendeng cepat melompat turun.
“Setan alas! Bau busuk apa
ini?!” teriak Si Raja Penidur seraya bangkit duduk, berbangkis lagi lalu gosok
hidungnya berulang kali. Setelah menguap lebar-lebar perlahanlahan dia buka
kedua matanya, memandang berkeliling. Dia segera mengenali ketiga orang yang
berdiri di samping tumpukan tempat tidurnya.
“Heh…. Kalian bertiga.
Manusia-manusia jelek…. Mengapa berada disini…?
“Kau sendiri mengapa juga ada
di sini?!” Kakek Segala Tahu menukas.
“Kau betul! Mengapa aku ada di
sini ya…?!” Si Raja Penidur mengucak kedua matanya. Di menguap lagi
lebar-lebar. “Aku tak tahu jawabannya. Ah, mengapa susah payah. Lebih baik aku
tidur lagi!” Lalu dia segera hendak rebahkan tubuhnya ke atas tikar kulit
kambing.
“Tunggu dulu!” seru Kakek Segala
Tahu dan dengan cepat menahan punggung Si Raja Penidur dengan tongkat bututnya
hingga raksasa gendut berbobot ratusan kati ini tak jadi menelentang tidur.
“Sesuai ucapanmu dulu, kami datang di sini untuk mendengar jelas mimpimu tiga
ratus hari lalu!”
“Mimpiku tiga ratus hari
lalu?” Si Raja Penidur mendongak. “Gila…. Mana aku bisa ingat!” katanya. Dia
hendak merebahkan tubuhnya kembali tapi tak bisa karena tertahan oleh tongkat
kayu Kakek Segala Tahu.
“Kalau kau tak bisa mengingat
biar aku yang mengingatkan!” kata Sinto Gendeng.
Tangan kanannya lalu memencet
ibu jari kaki kiri Si Raja Penidur. Si gendut meringis dan berkata. “Kau ini
masih suka bercanda Sinto! Jangan gelitik kakiku!” teriaknya. Si Raja Penidur
menganggap kakinya digelitik, padahal jangankan ibu jari manusia, batupun bisa
hancur oleh pencetan tadi!
“Tiga ratus hri lalu saat kau
terbangun dari tidur, kau bilang telah mimpi tentang sebuah kitab. Ingat…?”
Sinto Gendeng kembali pencet kaki si gendut. Si Raja Penidur meyeringai. “Ya
aku ingat…! Aku ingat sekarang!”
“Katamu ada sebuah kitab yang
jika jatuh ke tangan jahat akan membuat kiamat dunia persilatan. Kau ingat…?”
“Ya… ya…. Aku ingat!” Si Raja
Penidur menguap lebar-lebar.
“Tiga ratus hari lalu kau tak
sempat menjelaskan secara rinci. Kau keburu tidur! Sekarang ini kesempatan kau
mengatakannya!”
“Hemmm… huah…” Si Raja Penidur
menguap lagi.
“Kalian menginginkan kitab
itu?” tanya Si Raja Penidur.
“Menginginkan atau tidak itu
tak jadi masalah. Yang penting jika sudah tahu kami akan mencari jalan
bagaimana menyelamatkan dunia persilatan!” jawab Sinto Gendeng. Si gendut
geleng-gelengkan kepala. “Tidak satupun dari kalian berjodoh dengan kitab itu.
Seorang lain akan mendapatkannya lebih dulu dari kalian. Begitu yang tersirat
dalam mimpiku…”
“Sialan!” teriak Sinto Gendeng
sambil bantingkan kaki.
“Brengsek!” maki Kakek Segala
Tahu lalu pukulkan tangan kirinya ke jidatnya sendiri.
Wiro Sableng garuk-garuk
kepala. “Dari tadi kalian ribut membicarakan sebuah kitab yang katanya bisa
membuat kiamat dunia persilatan. Sebetulnya kalian ini membicarakan apa? Aku
sendiri tidak diberi tahu kitab apa itu! Padahal sebelumnya disebut-sebut aku
punya beban berat di atas pundak….”
Si Raja Penidur berpaling pada
Sinto Gendeng. “Kau sudah dengar keluhan muridmu. Mengapa tidak menceritakan?”
Sinto Gendeng komat-kamitkan
mulutnya yang perot lalu berkata. “Anak setan kau dengar baik-baik. Ada sebuah
kitab bernama Wasiat Iblis. Selama puluhan tahun kitb itu lenyap tak diketahui
entah kemana. Kemudian tiba-tiba diketahui kitab celaka itu berada di tangan
seorang tokoh silat bernama Jarot Ampel bergelar Iblis Tanpa Bayangan. Manusia
satu ini kabarnya berusia lebih dari seratus lima puluh tahun. Sudah bosan
hidup. Dia ingin mati cepat-cepat. Sebelum mati kitab itu akan diserahkannya
pada seseorang yang berjodoh. Nah kau bisa bayangkan kalau kitab itu jatuh ke
tangan orang lain dan kita tidak bisa mencegahnya….”
“Kalau kita tahu kitab itu
berada dimana dan bergerak cepat mungkin kita bisa mendapatkannya,” kata Wiro.
Si Raja Penidur menguap lalu
gelengkan kepala. “Aku sudah bilang. Dalam mimpiku tersirat apa yang bakal
menjadi kenyataan. Kitab itu tidak bakal kalian dapatkan….”
“Bisa jadi begitu. Tapi kalau
kita tidak berusaha bagaimana membuktikannya!” ujar Wiro.
Si Raja Penidur menyeringai.
“Semangatmu tinggi dan nyalimu masih berkobarkobar anak muda. Tanyakan pada
Kakek Segala Tahu, dia bisa meramal dan melihat di mana kitab itu berada. Aku
sudah mengantuk dan ingin cepat-cepat tidur.…”
“Awas, cegah dia tidur!”
teriak Sinto Gendeng.
Kakek Segala tahu putar
tangannya yang memegang tongkat penahan punggung Raja Penidur dan alirkan
tenaga dalamnya. Tubuh raksasa Si Raja Penidur bergetar tersentak-sentak.
“Gila! Kau apakan badanku
ini?!” teriak Si Raja Penidur.
“Kau belum memberi semua
keterangan. Dulu kau katakan kau juga melihat sebuah kitab lain dalam mimpimu.
Kau bilang siapa saja yang bisa mendapatkan kitab itu maka akan sanggup
menghadapi kehebatan kitab Wasiat Iblis….”
Si Raja Penidur tertawa. “Soal
kitab yang satu itu memang ada dalam mimpiku. Tapi tak ada petunjuk lengkap….”
“Sudah! Katakan saja apa yang
kau ketahui!” kata Kakek Segala Tahu tak sabaran.
“Namanya Kitab Putih Wasiat
Dewa. Dimana beradanya tidak ada petunjuk. Yang tersirat dalam mimpiku, aku
melihat seorang kakek berambut dan berkumis serta berjanggut dan berjubah putih
yang tahu dimana beradanya kitab itu….”
“Gila! Di dunia ini ada
ratusan orang seperti itu!” ujar Sinto Gendeng pula.
“Betul…” menyahuti Si Raja
Penidur lalu menguap lebar-lebar. “Tapi orang tua yang kulihat dalam mimpi
bermuka biru sebelah dan selalu mengunyah daun sirih….”
Sinto Gendeng berpaling pada
Kakek Segala Tahu. “Kau bisa menyelidik siapa orang itu?”
“Aku akan berusaha. Tapi ada
satu hal yang perlu kita tanyakan padanya….”
“Terlambat!” seru Wiro.
“Lihat! Matanya sudah terpejam! Dia sudah tidur!”
Sesaat kemudian terdengar
suara dengkur Si Raja Penidur. Tiga orang itu hanya bisa saling pandang
beberapa saat lamanya. “Kakek Segala tahu, tugas penting kini berada di
tanganmu. Pergunakan kesaktianmu. Kau harus bisa meramal dan memberi petunjuk
mengenai dua kitab itu. Di mana beradanya….”
Kakek Segala Tahu anggukkan
kepalanya. “Kita keluar saja dari sini. Dengkur si sontoloyo ini mengganggu
pemusatan pikiranku….”
Sampai di pedataran di depan
rumah kayu Kakek Segala Tahu duduk di atas sebuah batu. Kedua matanya
dipejamkan. Kepalanya didongakkan. Tongkat bututnya menunjuk ke langit. Lalu
dia goyang-goyangkan kaleng rombengnya sampai tujuh kali. Lama sekali baru dia
berhenti menggoyang kaleng dan buka mata butanya yang dipejamkan.
“Kau mendapat petunjuk…?”
tanya Sinto Gendeng.
“Aku melihat Kotaraja. Lalu
awan berarak ke arah barat. Ada sebuah bukit kecil.
Itu petunjuk mengenai Kitab
Wasiat Iblis. Berarti kitab itu ada di sana tapi sulit mengetahui di mana
letaknya. Kurasa terlalu sia-sia kalau kita mengejar kitab itu. Si Raja Penidur
sudah mengatakan bahwa kitab itu tidak berjodoh pada salah satu dari kita.
Dikejar tetap saja akan jatuh ke tangan orang lain. Malah begitu orang itu
mendapatkan dan mempelajarinya, keselamatan siapa saja yang mengejar tidak akan
tertolong! Lebih baik memusatkan perhatian pada kitab kedua yang dianggap
sanggup menjadi penumpas ilmu yang terkandung dalam Kitab Wasiat Iblis….”
“Apa petunjuk yang kau dapat
mengenai kitab kedua?” tanya Sinto Gendeng.
“Mimpi Si Raja Penidur sangat
cocok dengan petunjuk yang barusan kudapat. Walau samar-samar aku dapat melihat
bayangan orang tua berjubah putih bermuka biru sebelah itu. Bagian biru mukanya
ada di sebelah kanan. Mulutnya komat-kamit makan sirih terus-terusan hingga
bibirnya merah seperti darah. Dia adalah Tunggul Anggoro yang dikenal dengan
julukan Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Tempat kediamannya sebuah pulau
terpencil di pantai selatan…. Jika kita bisa menemuinya niscaya akan dapat
petunjuk di mana Kitab Putih Wasiat Dewa itu berada. Dengan menguasai ilmu
kesaktian dalam kitab itu dunia persilatan bisa diselamatkan dari Kitab Wasiat
Iblis….”
Kakek Segala Tahu goyangkan
kaleng rombengnya lalu usap wajahnya yang keringatan.
Wiro mendehem beberapa kali.
“Bagiku jelas sekarang, mengapa kalian memancingku datang ke tempat ini. Untuk
menguji dan sekaligus meyerahkan tugas mencari Kitab Putih Wasiat Dewa itu….”
Kakek Segala Tahu menyeringai
lalu mengangguk-angguk.
“Anak setan! Syukur kau punya
kesadaran!” ujar Sinto Gendeng. “Apa kau sudah siap untuk melakukannya?”
“Kalau memang tugas setiap
saat aku siap melakukannya Eyang,” jawab murid Sinto Gendeng walau dalam hati
sang pendekar ini berkata “Mati aku sekali ini!”
Kakek Segala Tahu
ketuk-ketukkan tongkat bututnya ke tanah lalu berkata. “Ini bukan tugas mudah!
Nyawamu tantangannya. Apalagi kalau orang lain kedahuluan mendapatkan Kitab
Wasiat Iblis itu. Atau ada kebocoran mengenai rahasia Kitab Putih Wasiat Dewa
hingga kebobolan….”
Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Kakek Segala Tahu, Eyang Guru…. Kurasa setelah mendapat petunjuk dan menerima
tugas dari kalian lebih baik aku minta diri dari sini sekarang juga.”
“Bagus, makin cepat kau pergi
makin baik!” kata Kakek Segala Tahu. “Ada satu nasihat lagi dariku. Kalau kau
mengalami kesulitan ada baiknya kau menghubungi tokohtokoh silat yang punya
hubungan baik denganmu. Seperti Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa Sedih dan Dewa
Ketawa. Tua Gila….” (Mengenai Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa Sedih dan Dewa
Ketawa harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Bujang Gila Tapak Sakti” dan
“Pelangi di Majapahit”)
“Pasti akan aku lakukan Kek,”
kata Wiro pula.
Pendekar 212 lalu menyalami
dan mencium tangan gurunya serta tangan Kakek Segala Tahu. Setelah membungkuk
berulang kali diapun membalikkan tubuh.
“Anak setan! Apa kau akan
pergi seperti itu?!”
Teguran Sinto Gendeng membuat
Wiro hentikan langkah, berpaling dan memandang pada si nenek dengan air muka
tidak mengerti.
“Eyang…. Ada sesuatu yang aku
lupakan?” tanya Wiro.
“Pegang kepalamu! Rambutmu
masih dikuncir dan diikat pita warna-warni. Kalau mau gila cukup sebentar saja.
Jangan terus-terusan!”
“Ah!” Wiro pegang kepalanya.
Dia lupa. Sampai saat itu rambut gondrongnya masih dalam keadaan terkuncir dan
diikat pita aneka warna. Cepat-cepat dia tanggalkan semua ikatan pita. “Sudah
Eyang…. Sekarang saya bisa pergi….”
“Anak tolol! Mukamu masih
babak belur bercelemong pupur merah putih. Sebelum turun dari gunung ini cari
mata air atau telaga. Cuci mukamu sampai bersih. Kalau tidak anak-anak
sekampung akan mengiringimu sambil berteriak orang gila… orang gila!”
“Terima kasih Eyang… terima
kasih… Aku akan mencari air untuk membasuh muka jelek ini.” Lalu cepat-cepat
Wiro tinggalkan tempat itu. Setelah jauh dia memperlambat larinya. Sambil garuk
kepala dia berkata. “Untung aku tidak disuruh mencuci muka dengan air
kencingnya!”
TIGA BELAS
PANGERAN Matahari dekati sumur
batu itu. Bau busuk tercium keluar dari dalam sumur.
“Pasti juga ada mayat dalam
sumur ini,” kata Pangeran Matahari dalam hati.
“Justru di sini tersembunyi
Kitab Wasiat Iblis itu….” Dia memandang berkeliling lalu sambil pegangi tepi
sumur batu dia ulurkan sebagian tubuhnya, memandang ke dalam sumur. “Gelap dan
busuk. Ada selapis kabut menutupi pemandangan. Aku tak bisa melihat apa-apa….”
Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba dari dalam sumur terdengar suara menderu
keras laksana ada air bah. Lalu satu gelombang angin dahsyat mencuat ke atas.
“Gila! Apa sumur tua ini ada
hantu silumannya?!” teriak Pangeran Matahari berfikir sejenak. Dengan hati-hati
kembali dia mendekati pinggiran sumur dan seperti tadi dia ulurkan sebgian
tubuhnya. Dia tak menunggu lama. Dari dasar sumur terdengar deru dahsyat disusul
dengan mengebubunya angin sangat kencang. Untuk kedua kalinya Pangeran Matahari
hindarkan diri dengan melompat ke belakang. Sesaat dia tegak tak bergerak.
Pandangannya kemudian membentur sosok Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan yang
tegak dalam keadaan kaku. Satu seringai tersungging di mulutnya. Elang Setan
dan Tiga Bayangan Setan segera maklum apa yang ada dalam benak orang itu.
Keduanya serentak berteriak. “Jangan! Jangan jadikan kami percobaan maut!”
Pangeran Matahari melangkah ke
arah Tiga Bayangan Setan. Menyangka dirinya yang hendak dijadikan percobaan
orang ini meratap keras. “Demi setan jangan! Jangan!”
tapi dia segera hentikan
teriakannya ketika Pangeran Matahari melewatinya. Lalu di belakangnya terdengar
suara pohon berderak patah. Tak lama kemudian Pangeran Matahari kelihatan
menyeret sebatang pohon yang barusan dipatahkannya. Batang pohon itu
dimelintangkannya di atas mulut sumur batu. Sesaat kemudian dari dasar sumur
menderu suara keras disusul hembusan angin dahsyat. Batang kayu yang terletak
di atas sumur mencelat mental, hancur berkeping-keping.
“Ganas sekali!” desis Pangeran
Matahari. Pelipisnya bergerak-gerak. “Kalau saja guruku Si Muka Bangkai tidak
mengatakan Kitab Wasiat Iblis itu ada di dalam sumur ini sudah sejak tadi-tadi
aku meninggalkan tempat celaka ini. Hemmm…. Aku harus mencari akal…. Angin
dahsyat mematikan itu tidak serta merta melesat keluar bila ada benda di atas
sumur. Paling tidak ada jarak waktu. Ada uliran seperti tangga menurun menuju
ke dasar sumur. Tapi terlalu lama kalau harus mengikuti tangga terjal itu.
Melayang akan lebih cepat. Hmm….” Pangeran Mathari berfikir lagi. Dia ingat ada
segulung tali yang ditinggalkannya di kantong perbekalan yang tergantung di
kudanya. Akhirnya dia tetap pada keputusan untuk masuk ke dalam sumur dengan
jalan melompat. Dia patahkan batang pohon untuk kedua kalinya dengan hantaman
tangan kanan. Sekali ini dia sengaja memilih batang pohon lebih besar. Seperti
tadi dengan hati-hati batang pohon itu diletakkan di atas sumur lalu mundur sejuh
beberapa langkah.
Sesaat kemudian di dasar sumur
terdengar sura macam air bah itu. Lalu angin dahsyat melesat ke atas,
menghantam batang pohon besar hingga hancur berkeping-keping. Pada saat batang
pohon mental, Pangeran Matahari kibaskan mantelnya lalu melompat masuk ke dalam
sumur. Kedua tangannya dikembangkan. Telapak tangan dibuka dan diarahkan ke
bawah. Dari dua telapak tangan ini memancar sinar merah kuning yang memiliki
kekuatan mampu menahan daya jatuh tubuhnya. Sebenarnya yang keluar dari kedua tangannya
itu adalah pukulan sakti “telapak Merapi”. Selain itu mantelnya yang terkembang
ikut membantu menahan kecepatan jatuh atau daya layang tubuhnya. Pangeran
Matahari sudah melayang turun sedalam dua pertiga kedalaman sumut gelap ketika
dia mendadak menjadi tegang karena di bawah sana tiba-tiba terdengar deru suara
air bah. Secepat kilat Pangeran Matahari melesatkan tubuhnya ke dinding sebelah
kiri lalu menjejakkan kedua kakinya di ulir batu. Kedua tangannya dihantamkan
ke dinding sumur.
“Craasss! Craaasss!”
Dinding batu berlubang jebol.
Sepasang tangan Pangeran Matahari amblas masuk ke dalam lobang itu sampai
sebatas siku. Ketika angin dahsyat mencut ke atas dia lekatkan tubuhnya
rapat-rapat ke dinding sumur. Di dalam lobang dua tangannya mencengkeram
kuat-kuat. Tenaga dalam dikerahkan penuh.
“Wusss! Wutt! Wuttt!”
“Breeettt!”
Angin dahsyat menghantam
tubuhnya tapi dia bisa luput. Walau demikian tengkukya terasa dingin ketika
mantel di punggungnya robek besar lalu terlepas mental dan melayang ke atas
sumur. Dengan tubuh basah oleh keringat dingin Pangeran Matahari menunggu.
Sumur tua itu dicekam kesunyian dan kegelapan.
“Saatnya aku harus turun.
Mudah-mudahan angin celaka itu tidak akan menyerang lagi….” membatin Pangeran
Matahari. “Bau busuk semakin santar. Berarti aku tak seberapa jauh lagi dari
dasar sumur….” Memikir begitu disamping mantelnya tak ada lagi maka Pangeran
Matahari melanjutkan turun ke dasar sumur dengan berjalan diulir sepanjang
dinding sumur yang merupakan tangga. Dalam hati dia menghitung setiap langkah
yang dibuatnya. Pada hitungan ke tujuh puluh dua kaki kirinya mencapai dasar
sumur tapi tidak menginjak dasar batu melainkan menginjk sebuah benda bulat
panjang hingga dia hmpir terpeleset.
“Bau busuk celaka! Gelap
jahanam!” maki Pangeran Matahari.
Dia mengeruk saku pakaiannya
mengeluarkan dua buah batu hitam sebesar kepalan. “Untung guru membekali dua
batu api ini!” Dua buah batu hitam digosokkannya kuat-kuat. Bunga api memercik.
Pada gosokan keempat salah satu dari dua batu api itu mengobarkn api. Tempat
itu serta merta menjadi terang. Memandang berkeliling Pangeran Matahari jadi
bergidik. Di dasar sumur batu yang tidak berair itu tergeletak sesosok mayat
yang sudah membusuk dan digerogoti belatung di bagian mata, telinga dan hidung.
Sebagian kepalanya remuk, tertutup darah yang sudah mengering. Rambutnya yang
putih awut-awutan penuh dengan noda darah yang sudah mengering. Sulit mengenali
wajah mayat ini Pangeran Matahari punya dugaan keras ini adalah mayat Jarot
Ampel alias Iblis Tanpa Bayangan.
“Kitab Wasiat Iblis itu…”
desis Pangeran Matahari. “Menurut Si Muka Bangkai ada dalam sumur ini. Aku
tidak melihatnya….” Pangeran Matahari memandang berkeliling lalu pandangannya
kembali pada mayat Iblis Tanpa Bayangan. Dengan ujung kakinya mayat itu
dibalikkannya hingga terbujur miring. Kitab yang dicari tetap tidak ditemukan.
Dia memeriksa seluruh dinding sumur batu. Dia sengaja menyalakan lagi batu api
kedua hingga tempat itu bertambah terang.
“Setan, di mana kitab iblis
itu bisa kutemukam! Apakah guruku sengaja menipuku?!” Pangeran Matahari
melangkah seputar dasar sumur batu. Ketika dia sampai di hadapan sosok mayat
Iblis Tanpa Bayangan yang kini berada dalam keadaan miring, sepasang matanya
membesar. Karena miring, baju di bagian dadanya tersingkap. Sebuah benda
berwarna hitam tersembul dari balik baju mayat.
Pangeran Matahari tekap
hidungnya lalu membungkuk memperlihatkan lebih seksama. Tangannya diulurkan
untuk mengambil benda itu. Begitu jari-jarinya menyentuh benda hitam dia merasa
ada hawa aneh mengalir, membuat pandangannya lebih terang dan tiba-tiba saja
jalan pernafasannya sanggup meredam bau busuknya mayat!
“Pasti ini Kitab Wasiat Iblis
itu! Buku sakti yang aku cari!” kata Pangeran Matahari dalam hati seraya
cepat-cepat menariknya dari balik baju mayat.
“Wasiat Iblis”! Pangeran
Matahari membaca tulisan yang tertera di sampul hitam kitab dengan suara
bergetar. Kitab diperiksanya dengan cepat. Isinya hanya tiga lembar halaman.
Tulisan di halamannya tidak mudah untuk dibaca. Apalagi di tempat yang hanya
diterangi nyala api dua batu api kecil. Cepat-cepat Pangeran Matahari masukkan
kitab itu ke balik bajunya. Dia memandang berkeliling.
“Kitab sakti sudah didapat.
Aku harus segera tinggalkan tempat ini. Khawatir suara air bah dan angin
jahanam itu tiba-tiba muncul!”
Cepat-cepat Pangeran Matahari
memanjat ulir sepanjang dinding sumur batu yang merupakan tangga terjal menuju
ke atas.
“Aneh, kenapa langkahku
menjadi enteng dan tubuhku terasa ringan sekali!” pikir Pangeran Matahari.
“Jangan-jangan buku sakti ini penyebabnya!”
Sebentar saja dia berhasil
mencapai ujung atas sumur. Sekali lompat dia sudah berada di luar sumur. Begitu
kedua kakinya menjejak tanah dia memandang berkeliling dan jadi terkejut. Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan tak ada lagi di tempat mereka tadi tertegak kaku
akibat totokan. Sang Pangeran segera mencium bahaya.
“Pasti ada orang ketiga. Dua
setan itu tak mungkin membebaskan diri sendiri dari totokanku!” Pangeran
Matahari melangkah seputar sumur batu, memandang ke setiap sudut di sekitarnya.
“Kau mencari kami Pangeran
Matahari?!” satu suara menegur dari belakang.
Pangeran Matahari cepat
balikkan tubuh. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berdiri sekitar sepuluh
langkah di hadapannya. Keduanya sunggingkn senyum lebar lalu tertawa mengekeh,
tidak keras tapi cukup membut Pangeran Matahari merasa tidak enak. Apa lagi
saat itu di antara kedua orang itu tegak berdiri seorang nenek berpakaian
kuning. Meskipun tua namun wajahnya dihias secara berlebihan dan sikapnya
nampak genit. Pada ikat pinggang besar warna hijau yang dikenakannya tersisip
sebuah senjata berbentuk tombak yang ujungnya bercagak dua.
“Iblis Tua Ratu Pesolek!” kata
Pangeran Matahari dalam hati begitu dia mengenali siapa adanya si nenek berjubah
kuning.
Tiga Bayangan Setan usap-usap
kedua tangannya lalu berkata. “Kau sudah masuk ke dalam sumur batu dan keluar
lagi. Berarti kau sudah menemukan Kitab Wasiat Iblis itu!” Pangeran Matahari
diam saja.
“Kalau kau mau menyerahkan
pada kami, kami menganggap selesai segala hutang piutang di antara kita! Kau
boleh pergi dengan aman dan nyawa masih di badan!”
Mendengar itu Pangeran
Matahari sunggingkan senyum lalu tertawa. Mula-mula perlahan saja kemudian
makin keras dan makin keras.
“Anjing-anjing pengawalku
rupanya punya nyali besar! Apa kalian lupa kalau tubuh kalian mengalir racun
jahat yang hanya memberi kehidupan seratus hari pada kalian?!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan balas tertawa gelak-gelak sementara Iblis Tua Ratu Pesolek tenang-tenang saja.
Dari balik pakaiannya dia keluarkan sebuah kaca kecil. Sambil memandang ke
dalam kaca dia merapikan susunan rambutnya yang disanggul, mengusap pipinya dan
menggerak-gerakkan bibirnya yang diberi cat pewarna sangat merah.
“Soal racun dan kematian kami
berdua tidak begitu memikirkan. Sahabat kami yang cantik ini berjanji akan
memberikan obat penawar!”
“Hemmm begitu…? Lalu apa yang
kalian berikan padanya sebagai imbalan? Tubuh kalian…?!”
“Setan alas!” maki Elang
Setan.
“Jahanam!” rutuk Tiga Bayangan
Setan.
Sebaliknya si nenek tua tidak
menunjukkan tanda-tanda marah. Malah dia keluarkan suara tertawa genit. Setelah
menyimpan kaca kecilnya dia kedip-kedipkan sepasang matanya lalu bergerak
mendekati Pangeran Matahari dan berhenti lima langkah di depan pemuda itu.
“Kau masih muda. Tapi
pengalamanmu mengenai hubungan perempuan dengan lelaki agaknya jauh lebih luas
dari aku yang sudah tua. Ya… ya… ya… Aku memang sudah tua. Tapi keadaan badanku
tidak kalah dengan apa yang dimiliki seorang gadis. Kau bisa saksikan sendiri!”
Habis berkata begitu si nenek
singkapkan ke atas baju kuningnya. Sepasang mata Pangeran Matahari melihat dua
buah payudara putih besar dan kencang terpentang di hadapannya.
“Gila! Bagaimana ada
nenek-nenek memiliki aurat seperti ini!” ujar Pangeran Matahari dalam hati.
Selagi dia terperangah melihat pemandangan luar biasa ini tiba-tiba dari balik
baju kuning si nenek melesat keluar selusin senjata rahasia berupa paku hitam.
“Tua bangka kurang ajar! Kau
sengaja mencari mati!” hardik Pangeran Matahari. Tangan kanannya diangkat, siap
untuk lepaskan pukulan sakti “telapak matahari” namun sebelum pukulan sempat
dilepas tiba-tiba dari dada Pangeran Matahari melesat keluar satu gelombng
angin keras yang memancarkan sinar hitam pekat.
Selusin paku bermentalan dan
leleh. Di depan sana Iblis Tua Ratu Pesolek keluarkan jeritan keras. Tubuhnya
mencelat sampai sepuluh tombak. Begitu tergelimpang di tanah tubuh itu hanya
tinggal tulang belulang hangus menghitam! Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan langsung
merinding pucat melihat apa yang terjadi. Pangeran Matahari sendiri ikut ngeri
juga merasa heran.
“Aneh, apa yang terjadi dengan
diriku! Aku belum sempat melepas pukulan sakti. Dari dadaku tiba-tiba ada sinar
hitam yang sanggup melelehkan senjata rahasia bahkan membuat si nenek mati
mengerikan begitu rupa…. Astaga! Jangan-jangan Kitab Wasiat Iblis yang ada di
balik bajuku!”
Selagi dia terkesiap begitu
rupa tiba-tiba Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan mendatangi dan jatuhkan diri
di depan Pangeran Matahari.
“Pangeran kami telah membuat
kesalahan besar. Perempuan tua itu telah menipu kami!” kata Tiga Bayangan
Setan.
“Benar,” menyambung Elang
Setan. “Kami berdua mohon ampun dan maafmu. Kami bersedia melakukan apa saja
yang kau katakan!”
Pangeran Matahari tertawa
lebar. “Manusia-manusia culas! Nyawa kalian kuampuni sampai seratus hari
dimuka. Sementara itu kalian berdua tetap menjadi anjinganjing pengawalku!
Menggonggonglah!”
“Pangeran…” ujar Tiga Bayangan
Setan.
“Kami…” Elang Setan ikut
bicara tapi segera disentak.
“Aku bilang menggonggonglah!
Menggonggonglah seperti anjing! Atau kalian akan menyusul jadi tulang belulang
hangus hitam seperti si Iblis Tua Ratu Pesolek?”
Tak ada jalan lain. Kedua
orang itu mulai menggonggong menirukan suara anjing. Pangeran Matahari tertawa
gelak-gelak. “Kurang keras! Menggonggong lebih keras!” bentaknya.
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan terpaksa patuh dan menggonggong lebih keras “Bagus! Menggonggonglah terus
sampai lidah kalian copot!” kata Pangeran Matahari. Lalu sambil tertawa
mengekeh dia tinggalkan tempat itu. Disatu tempat dia teringat pada Wiro
Sableng. Langsung saja dia berteriak. “Pendekar 212! Di mana kau? Sekarang
jangan harap bisa lolos dari tanganku! Wasiat Iblis merupakan wasiat kematian
bagimu! Ha… ha… ha!”
TAMAT