Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
068 Pelangi Di Majapahit
BAB I
Kuda bernama Grudo yang
ditunggangi Pendekar 212 dan Raden Ayu Gayatri bergerak tidak terlalu cepat.
Sebentar lagi mereka akan keluar dari kawasan hutan belantara an langsung
menuju pinggiran Timur Kotapraja. Disitu Wiro akan melepaskan putri bungsu Prabu
Singosari itu. Walau dia akan terlepas dari beban berat menjaga keselamatan
sang dara namun perpisahan membuat hatinya agak haru.
Saat itu menjelang dini hari.
Udara masih gelap dan hawa terasa dingin.
Mendekati dua buah pohon besar
yang terletak mengapit kira-kira dua tombak di depan jalan yang mereka tempuh
murid Eyang Sinto Gendeng perlambat langkah Grudo. Dia memandang tak berkesip
ke arah dua pohon besar di kiri kanan jalan.
”Ada apa,” bisik Gayatri
bertanya.
”Saya punya firasat tidak
enak. Mungkin sekali ada seorang yang sembunyi di balik pohon menghadang kita,”
jawab Wiro.
”Gandita?”
”Mungkin, tapi bisa juga orang
lain. Atau Gandita bersama orang lain.”
”Kalau begitu kita ambil jalan
lain saja,” mengusulkan Gayatri.
Wiro mengangguk. Dia menarik
tali kekang Grudo. Namun belum sempat dia memutar kuda itu tiba-tiba di
belakangnya terdengar suara desiran angin disertai berkelebatnya satu bayangan
hitam. Bersamaan dengan itu Gayatri yang duduk di belakang Wiro terdengar
menjerit.
Wiro membalik. Dan terkejut
besar. Gayatri tak ada lagi di belakangnya!
Pendekar 212 melompat dari
atas kuda. Begitu menjejak tanah dia langsung alirkan tenaga dalam ke tangan
kanan. Tapi dia tidak melihat bayangan siapapun. Tiba-tiba terdengar suara
kaleng berkerontangan dalam kegelapan malam. Suara kerontangan lenyap, menyusul
terdengar suara tawa bergelak di samping kiri. Wiro cepat berpaling ke arah
itu. Tiga tombak di hadapannya, dekat serumpun semak belukar dilihatnya Gandita
bertolak pinggang.
”Bangsat! Kau menculik…”
”Apa kau lihat kawanmu itu ada
bersamaku?” ujar Gandita dengan seringai mengejek.
Aneh, bangsat ini tampak
biasa-biasa saja. Padahal sebelumnya dia jelas menderita luka dalam parah!
Pikir wiro. Pasti sesuatu terjadi dengan dirinya. Mungkin ada orang pandai luar
biasa yang menolong dan mengobatinya.
Gandita tak bergerak di
tempatnya, juga tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyerang. Dengan senyum
mengejek dia berkata.
”Kau masih ingin mencari
temanmu yang berkumis tapi punya suara seperti perempuan itu?! Lihat apa yang
terjadi di balik pohon besar sebelah kanan sana!”
Sesaat Wiro agak bimbang.
Namun ketika dia menangkap suara seperti orang sedang berkelahi dari arah pohon
besar yang disebutkan Gandita maka murid Eyang Sinto Gendeng segera berkelebat
ke balik pohon itu.
Begitu sampai di balik pohon
besar murid Eyang Sinto Gendeng jadi terkejut menyaksikan apa yang terjadi.
Di situ dilihatnya seorang
kakek berkulit hitam dengan rambut di gelung ke atas dan bertubuh tinggi dengan
tampang kuyu sedih tengah mengepit tubuh Gayatri di tangan kirinya. Orang tua
berpakaian selempang kain putih ini keluarkan suara seperti orang menangis
sesenggukan terus menerus.
Astaga! Manusia ini adalah
Dewa Sedih, kakak Dewa Ketawa, pentolan kaki tangan pemberontak! Celaka!
Membatin Wiro. Jangan-jangan dia yang telah mengobati Gandita!
Gayatri sendiri yang saat itu
berada dalam keadaan tak berdaya, tertotok dan dikepit erat oleh kakek berkulit
hitam.
Sambil mengepit Gayatri si
kakek berkelahi menghadapi seorang lawan dan dari mulutnya masih saja terus
terdengar suara seperti menangis.
Yang dihadapi Dewa Sedih saat
itu adalah seorang kakek aneh memakai caping lebar di kepalanya. Dia memanggul
sebuah buntalan besar. Di tangan kirinya dia memegang sebuah tongkat kayu sedang
di tangan kanannya ada sebuah kaleng rombeng berisi batu-batu kerikil. Setiap
saat kaleng rombeng ini digoyang-goyangkannya sehingga mengeluarkan suara
berkerontangan. Tangan kirinya yang memegang tongkat bergerak kian kemari dalam
gerakan aneh yang ternyata adalah serangan-serangan ganas yang mengurung kakek
hitam.
Bagaimanapun kakek hitam ini
berusaha bertahan dan mencoba membalas namun serangan tongakt itu sulit
ditembusnya.
Masih untung dia belum sempat
kena gebuk atau tertusuk ujung tongkat. Yang sungguh luar biasanya lagi ialah
bahwa kakek bercaping lebar dan berpakaian compangcamping seperti pengemis itu
ternyata kedua matanya tidak memiliki bagian hitam barang sedikitpun. Sepasang
mata kakek aneh ini putih semua dan tentu saja ini berarti bahwa dia sebenarnya
tidak dapat melihat alias buta!
”Kakek Segala Tahu!” seru
Pendekar 212 ketika dia mengenali siapa adanya kakek buta itu.
”Husss! Jangan berisik! Biar
aku memberi pelajaran pada tua bangka cengeng yang hendak menculik temanmu ini!
Jika dia tidak mau melepaskan temanmu itu, terpaksa aku menghentikan tangisnya!
Menghentikan tangisnya berarti menghentikan jalan nafasnya!” berkata si kakek
buta lalu kembali dia goyang-goyangkan kaleng rombengnya sambil tertawa
mengekeh.
”Ah benar dugaanku…” kakek
hitam yang mengepit Gayatri membatin sambil terus saja sesenggukan. ”Memang dia
rupanya. Tapi mengapa ilmunya setinggi ini. Aku hanya tahu dia sebagai seorang
pengemis yang pandai meramal. Ternyata aku tidak sanggup keluar dari kurungan
tongkatnya! Sudah kepalang! Lebih baik mati daripada menerima malu besar!”
Kakek hitam itu menggerung
keras. Saat itu ujung tongkat menyambar ke mukanya lalu membabat pakaiannya.
Breeet! Dada pakaiannya robek besar.
”Itu peringatan pertama dan terakhir!”
kata Kakek Segala Tahu. ”Kalau kau masih belum mau melepaskan orang itu, kali
berikutnya tongkatku akan menyatai tenggorokanmu!”
”Kau yang bakal mampus duluan
pengemis busuk!” teriak kakek hitam lalu kembali menggerung. ”Baiknya lekas kau
beri tahu nama atau gelarmu agar setan-setan rimba belantara ini mengantarmu
dengan senang ke rimba kematian!”
Kakek bermata buta berpakaian
seperti pengemis hanya sunggingkan tawa mengejek. Kakek hitam jadi naik darah.
Dia menggerung keras. Tangan kanannya dipukulkan ke depan. Terjadilah satu
keanehan dari telapak tangan kakek hitam itu berputar keluar bola api yang
langsung melesat ke arah kakek buta!
”Kakek Segala Tahu! Awas!
Lawan menyerangmu dengan bola api!” berteriak Wiro. Tangan kanannya sendiri
sudah siap diangkat siap untuk memberi pertolongan.
Tapi Kakek Segala Tahu tetap
tenang-tenang saja malah masih tertawa-tawa.
Wuss!
Bola api menyambar. Kakek
Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya lalu membungkuk. Tapi gerakannya
agak terlambat. Bola api menyambar ganas menghantam caping lebarnya. Caping ini
langsung terbakar dibuntal bola api dan terpental jauh. Paras Kakek Segala Tahu
jadi berubah. Sebaliknya di depannya kakek hitam malah menangis keras-keras.
Mungkin begitu caranya dia menyatakan rasa puas melihat serangannya berhasil
walaupun yang menyambar dan membakar caping lawan.
” Dalam dunia persilatan hanya
ada satu manusia yang bersenjatakan bola api! Kau pasti adalah Dewa Sedih!”
Kakek hitam dongakkan kepala
dan menggerung pilu sekali. ”Kau sudah tahu siapa aku. Akupun sudah tahu siapa
kau! Kita orang-orang persilatan akan saling berbunuhan!
Salah satu dari kita akan
menemui kematian. Betapa menyedihkan…Dewa Bathara kasihani pengemis malang
ini…” lalu orang tua ini yang sebenarnya memang adalah Dewa Sedih menangis
sejadi-jadinya.
”Manusia edan!” maki Wiro
dalam hati. “Kakek Segala Tahu, biar aku yang memberi pelajaran pada tua bangka
cengeng ini!”
“Tetap di tempatmu Pendekar
212! Jangan campuri urusan kami dua tua bangka keblinger!” Kakek Segala Tahu
membentak, membuat Wiro terpaksa hentikan gerakan.
Hatinya berkebat-kebit apakah
kakek buta ini sanggup menghadapi Dewa Sedih yang punya senjata berupa bola api
yang dahsyat itu. Selama ini Wiro hanya mengenal Kakek Segala Tahu sebagai
seorang jago ramal tiada duanya. Sekarang dia menyaksikan sendiri bahwa kakek
itu ternyata memiliki ilmu silat yang bukan sembarangan. Dengan tongkat
bututnya dia sanggup membuat Dewa Sedih tidak berdaya. Tapi apakah tongkat
buruk itu bisa menghadapi bola api?! Selain hal itu yang dikhawatirkan Wiro
adalah keselamatan Gayatri yang saat itu masih berada di kepitan tangan kiri
Dewa Sedih.
Kakek Segala Tahu mendongak ke
langit yang mulai kelihatan terang tanda sebentar lagi pagi akan tiba. Tangan
kanannya digoyang-goyangkan. Kaleng rombeng itu mengeluarkan suara berisik
memekakkan telinga. Tangan kirinya mengetuk-ngetukkan tongkat kayunya ke tanah.
“Dewa Cengeng!” Kakek Segala
Tahu sengaja menyebut nama Dewa Sedih menjadi Dewa Cengeng. “Aku bertanya untuk
penghabisan kali! Kau mau serahkan pemuda yang hendak kau culik atau tidak!”
Suara gerung tangis Dewa Sedih
terdengar perlahan. Lalu dia berucap. ”Malang benar nasibmu pengemis jelek.
Rupanya bukan hanya matamu yang buta, telingamupun sudah tuli. Orang dalam
kepitanku ini kau katakan pemuda. Padahal jelas dia menjerit mengeluarkan suara
perempuan!”
Wiro merasakan wajahnya
menjadi pucat dan kuduknya menjadi dingin. Kakek hitam itu ternyata sudah
mengetahui bahwa orang yang tengah diculiknya itu adalah seorang perempuan.
Apakah dia juga sudah mengetahui siapa adanya orang itu?!
Gayatri harus cepat dirampas.
Aku harus ikut turun tangan. Persetan sekalipun Kakek Segala Tahu akan marah
besar padaku!
Begitu Wiro bertekad dalam
hati. Dia segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Kalau tidak dapat
merampas Gayatri tanpa menciderai,membunuh kakek cengeng inipun aku tak
perduli. Apalagi dia berkomplot dengan pemberontak bernama Gandita itu! Namun
gerakannya lagi-lagi berhenti ketika didengarnya Dewa Sedih berkata.
”Kau inginkan pemuda banci
ini, pengemis buruk? Boleh saja. Akan kuberikan padamu tapi telan dulu bola
apiku ini!”
Habis berkata begitu Dewa
Sedih kembali mengisak-isak lalu tangan kanannya dipukulkan ke depan.
Dari telapak tangannya untuk
kedua kalinya melesat keluar bola api, menderu deras ke arah mulut Kakek Segala
Tahu!
”Ah makanan enak! Aku suka
sekali!” Kakek Segala Tahu berucap keras. Lalu buka mulutnya lebar-lebar
seperti siap untuk benar-benar menegak bola api yang disuruh telan itu. Sedang
tangan kanannya menggoyang-goyangkan kaleng rombegnya.
Pinggulnya digoyang-goyangkan
seperti menari tapi tentu saja maksudnya mengejek lawan.
Sudah gila tua bangka ini
rupanya! Maki Wiro menyaksikan kelakuan Kakek Segala Tahu. Serangan maut
dihadapinya seperti itu! Mau tak mau murid nenek sakti Sinto Gendeng dari
Gunung Gede ini segera angkat tangannya, hendak menghantam bola api dengan
pukulan ”Dewa topan menggusur gunung”
***
BAB II
”Makanan Enak! Aku suka
sekali!” kembali terdengar Kakek Segala Tahu berucap. ”Cuma sayang aku sedang
berpuasa!”
Lalu mendahului gerakan
Pendekar 212 Wiro Sableng, Kakek Segala Tahu gerakkan tangan kirinya. Tongkat
kayu butut melesat ke atas. Ujung tongkat menusuk bola api.
Seperti menusuk bola
sungguhan, bola api itu tampak tidak bergerak lagi seolah ditancap mati. Si
kakek goyangkan tangannya sedikit. Bola api itu berputar seperti titiran.
”Sayang aku sedang berpuasa,
kau saja yang makan kue enak ini!” seru Kakek Segala Tahu. Lalu sekali tangan
kirinya bergerak, bola api itu menderu, melesat ke arah kepala Dewa Sedih.
Kakek berkulit hitam itu
berseru keras lalu meratap dalam kagetnya. Dia tak pernah menyangka senjata
yang sangat diandalkannya bisa dikembalikan untuk menyerang dirinya sedemikian
rupa. Sambil menangis Dewa Sedih cepat jatuhkan diri cari selamat. Pada saat
itulah tongkat di tangan kiri Kakek Segala Tahu berkelebat menggebuk bahu
kirinya. Kali ini Dewa Sedih keluarkan jerit kesakitan.
Tulang bahunya serasa hancur.
Tubuhnya terbanting ke tanah.
Kempitannya pada tubuh Gayatri
terlepas. Melihat hal ini Wiro cepat pergunakan kesempatan menyambar tubuh
puteri bungsu Prabu Singosari itu dan membawanya ke tempat yang aman.
Dewa Sedih mencoba bangun dan
mulai menangis lagi. Namun saat itu ujung tongkat kayu di tangan Kakek Segala
Tahu sudah menusuk tenggorokannya.
“Menangis sepuas hatimu!
Manusia biang kerok sepertimu tidak layak hidup lebih lama!”
Tampang kakek muka hitam itu
menjadi pucat.
Keringat mengucur di
keningnya. Tapi dasar manusia aneh dalam ketakutan seperti itu dia masih saja
terus menangis. Sebenarnya Kakek Segala Tahu hanya bermaksud menggertak. Dia
tidak punya keinginan untuk membunuh Dewa Sedih.
Pandangan hidupnya ilmu silat
dan segala macam ilmu kesaktian adalah untuk melindungi diri sendiri, keluarga
dan sahabat, bukan untuk membunuh orang, apapun alasannya. Soal bunuh membunuh
biar serahkan saja pada orang lain.
Sebaliknya merasa dirinya
tidak mungkin akan selamat dari kematian Dewa Sedih hanya bisa pasrah. Dia
mulai meratap memilukan. Menyaksikan kejadian itu Wiro hanya bisa garuk-garuk
kepala. Lalu dia ingat pada keadaan Gayatri. Totokan yang membuat kaku sekujur
tubuh gadis ini segera dilepaskannya.
Tiba-tiba dari samping kiri
pondok kayu berkelebat satu bayangan besar disertai mengumandangnya suara tawa
bergelak disusul suara seruan.
”Jangan bunuh saudaraku!”
Selarik angin menyambar.
Wuttt!
Kakek Segala Tahu merasakan
tangan kirinya bergetar. Tongkat yang ditusukkannya ke leher Dewa Sedih
bergoyang-goyang. Semula dia berusaha mengerahkan tenaga untuk bertahan. Tapi
memikir tak ada gunanya maka dia kendurkan pegangannya dan tongkat itu
terpelanting kiri namun tak sampai lepas dari pegangannya.
Di hadapan Kakek Segala Tahu
kini berdiri seorang bertubuh gemuk luar biasa, mengenakan baju dan celana yang
kesempitan. Sepasang matanya sipit hampir berbentuk garis, rambutnya disanggul
ke atas. Dari mulutnya tiada hentinya keluar suara tertawa gelak-gelak.
Gayatri yang tegak disamping
Wiro dan sudah bebas dari totokan pegang lengan Pendekar 212 dan berbisik.
”Manusia-manusia apa
sebenarnya yang ada di depan kita ini? Sebaiknya kita lekas pergi saja dari
sini.”
Keadaan tidak berbahaya
seperti tadi lagi Raden Ayu. Kalau tadi memang saya yang menginginkan agar kau
cepat pergi, kini tak ada yang perlu dikhawatirkan. Orang gendut seperti kerbau
bunting itu adalah Dewa Ketawa. Kalau aku tidak salah dia adalah adik dari
kakek hitam berjuluk Dewa Sedih itu…”
”Kalau begitu kita ketambahan
seorang musuh.”
”Tidak. Walau bersaudara tapi
Dewa Sedih dan Dewa Ketawa tidak sehaluan.
Dewa Ketawa selalu berpihak
pada orang persilatan golongan putih…”
”Sungguh tidak masuk akal.
Bagaimana ada manusia-manusia aneh seperti mereka itu!”
”Dunia persilatan justru
menjadi ramai oleh manusia-manusia semacam mereka…Kita lihat saja apa yang akan
terjadi.”
Mengenali siapa yangdatang
Kakek Segala Tahu bermata buta itu tampak gelenggelengkan kepala. Dia
goyang-goyangkan kaleng rombengnya dan ketuk-ketukkan tongkat bututnya ke
tanah.
”Tertawa sepanjang hari.
Berbobot sebesar sapi. Siapa lagi kalau bukan Dewa Ketawa? Ha..ha..ha! Kalau
sudah tahu apa yang terjadi mengapa tidak meminta kakakmu si Dewa Sedih agar
segera meninggalkan tempat ini?”
Dewa Ketawa puaskan dulu
gelaknya lalu mengangguk-angguk, kemudian berpaling pada kakaknya.
”Kau sudah dengar ucapan
orang! Sudah untung kau masih bisa bernafas saat ini.
Ayo lekas minggat dari sini!”
Sepasang mata Dewa Sedih
tampak melotot memandang pada adiknya. Namun sesaat kemudian terdengar kembali
isak tangisnya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri sambil pegangi bahu kirinya
yang mendenyut sakit akibat pukulan tongkat Kakek Segala Tahu tadi.
“Kau tidak pernah berubah,”
Dewa Ketawa teruskan omelannya. “Masih saja melibatkan “Masih saja melibatkan
diri dengan orang-orang tidak baik. Apa untungmu bergabung dengan orang-orang
yang berniat jahat terhadap Singosari?!”
“Urusanmu urusanmu. Urusanku
urusanku!“ jawab Dewa Sedih. Dia melangkah mendapatkan Gandita.
Dewa Ketawa mengekeh mendengar
ucapan kakaknya itu. Dia menyahuti dengan suara keras. ”Bagus kalau begitu
ucapanmu! Lain hari, jangan harap aku akan menolongmu!”
”Aku tidak perlu segala macam
pertolongan adik durhaka sepertimu!” teriak Dewa Sedih lalu kembali terdengar
suara isak tangisnya. ”Kita pasti akan bertemu lagi. Kau akan menyesal! Pasti
menyesal!”
Dewa Ketawa mencibir. ”Tua
bangka tolol! Sudah bau tanah masih mau melantur!” Si gendut ini perhatikan
kepergian kakaknya bersama Gandita lalu berpaling pada Kakek Segala Tahu. Dia
mulai tertawa.
”Sahabatku pengemis yang turun
dari Kahyangan, apa kabarmu?”
Kakek Segala Tahu tersenyum.
”Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan dirimu? Kau kelihatan agak langsingan!”
Mendengar ucapan itu meledak
tawa Dewa Ketawa hingga kedua matanya berair.
”Selama tiga bulan ini beratku
telah bertambah dua puluh kilo. Bagaimana kau bisa mengatakan aku agak
langsing?! Ha..ha..ha..!” Dewa tertawa lalu melirik ke arah Wiro.
”Kampret Gondrong!” katanya
menyebut Wiro dengan panggilan mengejek seenaknya itu. ”Selamat bertemu kembali
dengan orang yang kau juluki Kerbau Bunting!”
Gayatri menutup mulutnya agar
suara tertawanya tidak membersit keluar. Wiro garuk-garuk kepala tapi cepat
menjawab, ”Aku si Kampret Gondrong baik-baik saja.
Kukira kau sudah beranak
Kerbau Bunting, rupanya belum!”
Dewa Tertawa kembali meledak
tawanya. Kakek Segala Tahu dan Gayatri ikut tertawa gelak-gelak.
”Kalau aku beranak, siapa yang
akan menolong! Tidak ada dukun beranak di tempat ini!” kata Dewa Ketawa pula.
Kembali tempat ini menjadi
riuh oleh suara tertawa.
Kakek Segala Tahu mengangkat
tongkatnya dan meletakkan benda ini di atas bahu Pendekar 212 Wiro Sableng.
”Anak muda, kau selalu saja
mencari-cari penyakit!” berkata si kakek ”Saya tidak bermaksud berbuat begitu.
Penyakit apakah yang kau maksudkan Kakek Segala Tahu?”
Si kakek ketuk-ketukkan
tongkatnya ke bahu Wiro sedang tangan kanannya menggoyang-goyangkan kaleng
rombeng.
”Kau tahu penyakit apa yang
aku maksudkan Wiro. Yang jelas saat ini kau berada berdua-duaan di dalam hutan
bersama seorang puteri Kerajaan Singosari!”
”Astaga!” Wiro melengak.
Dewa Ketawapun tampak
keheranan. Siapa yang dimaksud kakek buta itu dengan puteri Keraton Singosari?
Dia hanya melihat seorang pemuda berkumis tipis disamping Wiro.
”Kakek Segala Tahu, bagaimana
kau…?”
Gayatri sendiri tidak kalah
kagetnya. Diam-diam dia mulai merasa gelisah. Dia hendak membisikkan sesuatu
pada Wiro tapi tak jadi karena saat itu terdengar kakek buta berkata.
“Tak usah teruskan
pertanyaanmu itu. Aku mencium bau harum semerbak dari pakaian dan tubuh orang
yang tegak di sampingmu. Wewangian seperti itu hanya dimiliki oleh permaisuri
atau puteri-puteri Keraton Singosari! Apa salah dugaanku?”
”Kau..kau betul,” jawab Wiro
sambil garuk-garuk kepala. Bertemu dengan Kakek Segala Tahu belum tentu bisa
sekali dalam tiga tahun. Maka murid Sinto Gendeng cepat berkata.
”Kek, selagi kau ada di sini,
aku mohon petunjukmu…”
”Petunjuk mengenai hubunganmu
dengan gadis Keraton ini?” tanya Kakek Segala Tahu lalu tertawa mengekeh. Dewa
Ketawa ikut-ikutan tertawa. ”Jangan mimpi kau bakal berjodoh dengannya,
Pendekar 212!”
Paras Wiro dan wajah samaran
Gayatri tampak kemerah-merahan. Wiro cepat berkata. ”Maksudku bukan itu kek.
Aku ingin kau meramal tentang Singosari di masa mendatang. Hal ini kutanyakan
karena saat ini ada komplotan jahat yang hendak memberontak dan merebut tahta
kerajaan dari tangan Sang Prabu.
”Kalau itu yang kau tanyakan
sulit bagiku untuk menjawab,” sahut Kakek Segala Tahu sambil mendongak lalu
goyang-goyangkan kaleng rombeng berisi batu di tangan kanannya.
Wiro tahu orang tua bermata
putih dan buta itu berdusta. Dipegannya tangan Kakek Segala Tahu. Sebelum dia
berkata si kakek berpaling ke arah Gayatri lalu berkata.
”Sebentar lagi pagi akan
datang. Apakah kau tidak bakal mengalami kesulitan jika kembali ke Keraton
kesiangan?”
Ucapan Kakek Segala Tahu itu
membuat Gayatri sadar. Dia memandang ke Timur. Langit di ufuk sana tampak mulai
benderang. Puteri bungsu Prabu Singosari ini memandang pada Wiro. Mungkin
banyak yang ingin dikatakannya tapi dia hanya mengucapkan: ”Jika kau ingin
menemui saya di Keraton, carilah seorang abdi tua bernama Damar…” Habis berkata
Gayatri tinggalkan tempat itu. Dia menemukan kudanya tak jauh dari situ lalu
bersama tunggangannya ini berlalu dengan cepat.
“Nah, gadis itu sudah pergi.
Sekarang baru aku bisa leluasa meramal. Aku tadi tidak ingin dia mendengar
ramalanku,” kata Kakek Segala Tahu. ”Rupanya dia sangat menyukaimu Pendekar
212…”
”Lupakan dulu gadis itu.
Ucapkan ramalanmu,” kata Wiro.
”Ya, ya…Aku juga ingin
mendengar,” kata Dewa Ketawa lalu mengekeh panjang.
Mulut Kakek Segala Tahu tampak
komat-kamit. Dengan ujung tongkatnya dia menggurat tanah di depannya membuat
gambar segitiga.
”Akan kucoba meramal. Benar
tidaknya ramalanku hanya kenyataan nanti yang kelak akan membuktikan. Terus
terang ini Cuma ramalan seorang tua bangka tolol. Jadi jangan terlalu percaya!”
Dewa Ketawa tertawa
gelak-gelak mendengar ucapan orang tua itu. Kakek Segala Tahu memulai
ramalannya.
Kaleng rombeng di tangan
kanannya digoyang keras-keras. ”Kejadian pertama.
Akan terjadi perang saudara
antara Singosari dengan orang-orang Kediri. Singosari runtuh tapi bukan tidak
bisa diselamatkan. Seoarang kesatria akan muncul menyelamatkan tahta baru.”
Ujung tongkat di tangan kiri Kakek Segala Tahu bergeser ke ujung segitiga
sebelah kanan bawah. ”Kejadian kedua. Akan datang balatentara dari utara
menyerbu tanah Jawa. Siapa yang dapat mempergunakan kesempatan dalam kekalutan
akan mendapat pahala besar. Akan muncul lagi seorang kesatria baru. Dia bakal mendapat
bantuan dari kesatria pertama tadi.”
Kakek Segala Tahu kembali
goyang-goyangkan kaleng bututnya. Lalu ujung tongkat ditekankan ke arah ujung
segitiga sebelah atas. ”Aku melihat sinar terang, tapi tidak terlalu terang.
Sinar ini bukan sinar matahari, juga bukan sinar rembulan atau cahaya
bintang-bintang. Ada tujuh warna bertabur memanjang. Mungkin ini yang dinamakan
pelangi. Ingat pelangi selalu muncul setelah hujan turun dan reda. Berarti ada
cahaya harapan memayungi bekas bumi Singosari…” Kakek Segala Tahu mengakhiri
ramalannya. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu menggoyang-goyangkan kalengnya.
”Terima kasih kau telah mau
meramal. Hanya saja ada yang kurang jelas. Kek, dapatkah kau menerangkan
mengenai balatentara dari Utara dan cahaya pelangi itu…” Kakek Segala Tahu
mendongak lalu gelengkan kepalanya.
”Sayang waktuku terbatas. Aku
harus pergi sebelum siang datang. Pendekar 212 ada satu hal yang perlu aku
sampaikan padamu. Betapapun sukanya Puteri Raja itu terhadapmu, jangan kau
berani bermain cinta. Karena bagaimanapun kalian tidak berjodoh…”
Wiro garuk-garuk kepala. Dewa
Ketawa tertawa gelak-gelak. Terdengar suara kaleng berkerontangan. Ketika
memandang ke depan astaga! Kakek Segala Tahu tidak ada lagi di tempatnya. Hanya
suara kaleng rombengnya yang terdengar di kejauhan.
Dewa Ketawa menepuk bahu
Pendekar 212. ”Kampret Gondrong! Aku juga harus pergi sekarang. Ingat pesan
orang tua tadi. Kampret sepertimu jangan bercinta dengan Puteri Raja!
Ha..ha..ha..!”
”Kerbau Bunting sialan!” maki
Wiro tapi hanya dikeluarkannya dalam hati.
Dewa Ketawa masukkandua jari
tangan kirinya ke dalam mulut. Lalu terdengar suara siutan nyaring sekali.
Sambil terkekeh-kekeh dia memandang seekor keledai yang keluardari balik
semak-semak.
”Tungganganku sudah datang.
Aku harus pergi sekarang. Lain kali kita ngobrol lagi Kampret Gondrong!
Ha..ha..ha..!”
Dewa Ketawa melompat ke
punggung keledai kecil itu. Binatang ini melenguh pendek lalu melangkah cepat.
Seperti yang pernah disaksikannya sebelumnya Wiro melihat Dewa Ketawa hanya
menumpang duduk di atas punggung keledai sementara kedua kakinya yang menjejak
tanah melangkah cepat mengikuti langkah keledai.
***
BAB III
Malam itu hujan turun lebat
sekali. Di bawah curahan hujan deras dan dinginnya udara seorang penunggang kuda
nampak memacu tunggangannya memasuki Singosari dari pintu gerbang Utara. Busur
dan kantong anak panah tersandang di bahunya. Sebilah golok panjang tergantung
pada ikat pinggang besar yang dikenakannya. Bahu kirinya dibalut kain tebal
untuk menutupi luka besar yang masih mengeluarkan darah. Ternyata dia adalah
seorang anggota pasukan Singosari berpangkat setinggi di bawah kepala pasukan.
Luka di bahu kirinya membuat
tubuhnya panas dingin. Tapi perajurit ini berusaha menguatkan diri. Apapun yang
kemudian terjadi atas dirinya dia tidak perduli. Yang penting dia harus
menyampaikan berita besar itu pada Patih Kerajaan. Seharusnya dia melapor pada
atasan tertinggi yaitu Panglima Perang Argajaya. Namun karena kediaman sang
Panglima terletak jauh di selatan sedangkan Patih Raganatha diam di kawasan
kraton yang lebih dekat sementara lukanya cukup parah, maka prajurit itu
memutuskan menghubungi Patih Kerajaan lebih dulu. Tetapi para pengawal di
gedung Kepatihan tidak satupun yang berani membangunkan Raganatha. Perajurit
itu disarankan agar melapor pada Panglima Argajaya saja.
Udara mulai terang-terang
tanah ketika akhirnya prajurit itu sampai di tempat kediaman Panglima Pasukan
Singosari. Dia harus menunggu lama sampai seorang pengawal keluar menanyakan
keperluannya.
”Serombongan pasukan menyerang
balatentara Singosari di Welirang… Perajurit kita banyak yang menemui ajal
akibat serangan mendadak ini. Kepala pasukan berusaha bertahan. Aku diutus
untuk melapor serta minta bala bantuan.”
”Tunggu di sini. Aku akan beritahu
Panglima Argajaya,” kata pengawal itu.
Tak selang berapa lama
Panglima Balatentara Singosari itu muncul di hadapan si prajurit. Prajurit ini
segera menghatur hormat.
”Saya Kijangat, Wakil Kepala
Pasukan wilayah Porong di utara. Saya dikirim Kepala Pasukan untuk menghadap
dan melapor.”
”Pengawal mengatakan ada
pasukan tak dikenal menyerang pasukanmu. Betul?”
Kijangat mengangguk. ”Jumlah
mereka cukup banyak sedang kekuatan kita di wilayah itu terbatas. Saat ini
pasukan Singosari pasti berada dalam bahaya besar. Kepala Pasukan minta saya
mendapatkan bantuan dengan segera.”
”Kalian tahu kira-kira pasukan
dari mana yang berani menyerbu bala tentara Singosari itu?” tanya Panglima
Argajaya.
”Besar dugaan mereka adalah
orang-orang Kediri…”
”Orang-orang Kediri berani
melakukan itu? Pasti Adikatwang yang punya pekerjaan! Keparat!” Argajaya tampak
berang besar.
”Ada satu hal lagi Panglima,”
kata Kijagat.
”Apa?”
” Dalam rombongan penyerbu itu
bercampur pula orang-orang Madura…”
Paras Panglima Argajaya yang
tadi sudah merah kini jadi tambah merah mengelam. ”Aku harus segera bertindak!”
katanya. ”Tapi lukamu perlu diobati.”
Argajaya berteriak memanggil
pengawal. Begitu pengawal muncul dia berkata. ”Rawat lukanya. Kalau sudah
biarkan dia istirahat di salah satu kamar belakang.”
Dalam keadaan letih karena
perjalanan jauh dan karena banyak darah yang keluar Kijangat dipapah oleh dua
orang pengawal. Tapi dua pengawal ini ternyata tidak melakukan seperti apa yang
diperintahkan Argajaya. Kijangat dinaikkan ke atas sebuah gerobak lalu
dilarikan menuju ke Selatan. Pengawal yang satu bertindak sebagai kusir gerobak
sementara satunya lagi menduduki punggung Kijangat yang dipaksa menelungkup di
lantai kereta.
”Hai! Kalian mau bawa kemana
aku?!” teriak Kijangat. ”Kalian diperintahkan untuk mengobati lukaku!”
”Tutup mulutmu atau kubunuh
kau saat ini juga!” bentak pengawal yang menduduki punggung Kijangat hingga
orang ini tidak berkutik. Sebilah golok pendek disilangkannya di batang leher
Kijangat.
Gerobak meluncur kencang di
atas jalan tanah berbatu-batu menuju arah Selatan Tumapel ibukota Singosari.
Di satu tempat yang sunyi dan
ditumbuhi pepohonan lebat, pengawal di sebelah depan hentikan gerobak. Dia
memandang berkeliling. Keadaan di tempat itu sunyi senyap. Udara pagi masih
terasa dingin. Mereka berada di bibir timur Lembah Bulan Sabit. Keadaan di situ
diselimuti kesunyian.
”Kurasa ini tempat yang baik,”
berbisik pengawal yang mengemudikan gerobak.
Dia memberi isyarat dengan
anggukan kepala. Kawannya di sebelah belakang serta merta angkat tangan
kanannya yang memegang golok. Lalu sekuat tenaga senjata itu dihunjamkannya ke
punggung Kijangat.
Wakil Kepala Pasukan wilayah
Porong itu meraung keras. Kepalanya mendongak sesaat lalu terbanting ke atas
lantai gerobak. Darah mengucur membasahi punggung pakaiannya. Kedua kaki dan
tangannya mengejang beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Dua pengawal
menurunkan tubuh Kijangat dari atas gerobak. Lalu tubuh itu mereka lemparkan ke
lembah.
Tak lama setelah gerobak bersama
dua pengawal itu berlalu, dari pusat Lembah Bulan Sabit sayup-sayup terdengar
suara orang bersiul menyanyikan lagu tak menentu.
Mendadak suara siulan itu
berhenti. Menyusul terdengar satu seruan.
”Astaga! Binatang atau manusia
yang melingkar di semak belukar itu!”
Orang yang bersiul menggaruk
kepalanya. Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang tengah
meninggalkan Lembah Bulan Sabit setelah pertemuan dengan Gayatri, Dewa Ketawa,
dan Kakek Segala Tahu. Wiro mendekati dengan cepat sosok yang terbaring di
tanah dengan pakaian penuh lumuran darah. Orang ini berseragam prajurit
Singosari. Sosok ini adalah Kijangat yang sebelumnya telah ditusuk oleh
pengawal Panglima Argajaya. Wiro memeriksa keadaan prajurit yang malang itu.
”Masih hidup. Tapi tak bakal lama,” pikir Wiro. Bibir Kijangat tampak bergetar.
Dari sela bibir itu terdengar
suara mengerang. Murid Eyang Sinto Gendeng segera alirkan tenaga dalam untuk
memberi kekuatan pada orang yang tengah sekarat itu.
”Prajurit Singosari, katakan
apa yang terjadi,” Wiro menekan dada Kijangat dengan telapak tangan kanannya.
Mulut Kijangat terbuka sedikit. Namun bukan suara yang keluar melainkan lelehan
darah. Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Sepasang mata Kijangat membuka,
hanya putihya yang kelihatan.
Pas..pasukan musuh me..
menyerang di Utara…” Kijangat berucap dengan susah payah. ”Aku…aku melapor pad
Panglima…Dua peng.. pengawalnya membawaku ke sini.
Aku..aku ditusuk… Pengawal itu
sengaja… membunuhku. Beritahu Patih. Penyerang adalah orang-orang Kediri…orang-orang
Madura. Aku…” Kijangat megap-megap.
”Beritahu siapa namamu!” ujar
Wiro.
”Aku…aku Kijangat. Aku…”
kata-kata Kijangat terputus. Nyawanya lepas. Wiro menghela napas panjang. Dia
ingat ramalan Kakek Segala Tahu.
”Agaknya ramalan orang tua itu
akan segera menjadi kenyataan,” kata Wiro dalam hati.
***
Bagi Wiro yang merasa dirinya
tidak lebih sebagai seorang buronan tidak mungki untuk menemui Patih Singosari
guna melaporkan apa yang diketahuinya. Sesuai dengan petunjuk Gayatri, pagi itu
dia berusaha untuk menyelinap di sekitar Keraton, mencari seorang abdi tua
bernama Damar.
Namun anehnya setiap orang
yang ditanya mengatakan tidak ada orang bernama Damar. Selagi kebingungan
tiba-tiba ada seorang anak lelaki mendatangi dan sengaja menabraknya.
Wiro yang sedang bingung
hendak mendamprat anak itu. Tapi si anak berkata tanpa berpaling, ”Ikuti saya.
Saya tahu orang bernama Damar itu.”
Wiro cepat ikuti si anak. Dia
dibawa ke tembok belakang Keraton, menuju sederetan kandang kuda. Seorang
lelaki tua bertubuh katai tampak tengah memaku ladam kaki kiri belakang seekor
kuda besar. Anak tadi menunjuk pada orang tua katai itu lalu cepat-cepat
bertindak pergi.
Murid Sinto Gendeng dekati
orang tua bertubuh katai yang tengah memperbaiki ladam di kaki seekor kuda.
Abdi yang tingginya hanya sepinggang Wiro menatap Pendekar 212 dengan pandangan
dingin.
“Apa keperluanmu?” tanya orang
tua katai ini. Ternyata suaranya besar sekali.
”Saya mencari seorang bernama
Damar,” jawab Wiro.
”Dari mana kau tahu nama itu?”
tanya lagi si katai.
Wiro jadi ragu untuk menjawab.
”Orang bertanya apakah kau
tuli?!”
”Puteri bungsu Sang Prabu yang
memberi tahu nama itu,” Wiro akhirnya menjawab.
”Namamu sendiri siapa?!”
Dalam hati Wiro mulai
mendumal. Si katai tua ini banyak sekali tanyanya. Tapi karena perlu maka
diapun menjawab juga. ”Saya Wiro. Sahabat Raden Ayu Gayatri.”
Si katai menyeringai sinis.
”Puteri Gayatri mana punya sahabat orang sepertimu!”
Habis berkata begitu acuh tak
acuh si katai membalikkan tubuh. Dia mengambil sebuah ladam besi dari dalam
sebuah kotak kayu. Tangan kanannya yang memegang ladam itu bergerak meremas.
Kraaakkk! Ladam besi patah tiga!
Selagi Wiro mengagumi
kehebatan orang ini, tiba-tiba si katai melemparkan tiga besi potongan ladam
tadi ke arahnya.
Tiga potongan besi itu menderu
ke arah kepala, dada, dan perut Pendekar 212.
Kaget murid Sinto Gendeng
bukan kepalang. Cepat dia menghantam lepaskan pukulan sakti Tameng sakti
menerpa hujan. Tiga kepingan ladam maut mental. Dua menancap di atap kandang
kuda, satu lagi menancap di tembok belakang Keraton. Angin pukulan sakti itu
terus menggebubu menyapu ke arah si katai. Dengan cekatan orang tua ini
melompat ke samping. Di lain kejap dia telah duduk seenaknya di atas punggung
seekor kuda. Wajahnya masih sedingin tadi walau kini tampak senyumnya yang
sinis.
Ketika Wiro hendak menghantam
dengan pukulan tangan kosong berikutnya, si katai cepat mengangkat tangan
tinggi-tinggi.
”Tahan!” katanya. ”Sekarang
aku baru percaya kau pemuda yang bernama Wiro, sahabat Raden Ayu Gayatri. Aku
mendengar kehebatanmu darinya. Karena itu aku perlu menguji lebih dahulu. Kau
mampu melumpuhkan seranganku. Hanya orang yang berkepandaian setinggi puncak
Gunung Semeru yang dapat melakukan hal itu!”
”Orang tua, siapa kau
sebenarnya?!” tanya Wiro.
Orang tua itu tidak menjawab.
Dia membuat gerakan ringan dan sekali berkelebat kini dia sudah berdiri di atas
punggung kuda. Tangan kanannya diulurkan ke atas atap.
Wiro melihat ada sebuah
bungkusan di atap kandang kuda itu.
Orang tua ini mengambil
bungkusan itu, membukanya lalu melemparkan isinya pada Wiro.
”Tukar pakaianmu dengan itu!”
kata si katai.
Wiro perhatikan apa yang
barusan dilemparkan orang tua katai itu. Ternyata seperangkat pakaian prajurit
Singosari.
”Kalau kau ingin menemui Raden
Ayu Gayatri, lekas kenakan pakaian itu. Aku tak punya waktu lama.”
Pendekar 212 garuk-garuk
kepalanya.
”Kau pasti sudah lama tidak
mandi. Sejak tadi kulihat sudah beberapa kali kau menggaruk-garuk kepala!”
”Kurang ajar! Sialan!” maki
Wiro dalam hati.
***
BAB IV
Patih Raganatha yang ditemani
Pendeta Mayana untuk beberapa saat seperti tidak bisa percaya atas apa yang
barusan disampaikan Raden Ayu Gayatri.
”Kami akan sampaikan berita
ini pada Panglima Argajaya agar dia segera melakukan tindakan,” kata Patih
Raganatha.
”Saya lebih suka kalau Paman
Patih langsung menyampaikan pada Sang Prabu,” kata Raden Ayu Gayatri.
”Jika itu keinginan Raden Ayu
akan kami laksanakan,” jawab Pendeta Mayana.
”Lalu bagaiman dengan Panglima
Argajaya? Apakah tidak dilakukan pengusutan atas dirinya?”
Patih Raganatha tersenyum.
”Kita tidak tahu pasti apakah memang dia yang menyuruh bunuh prajurit yang
datang dari Porong itu. Atau kedua pengawalnya itu yang sebenarnya telah
menjadi kaki tangan orang-orang Kediri.”
”Kalau begitu kedua pengawal
itu harus ditangkap, diperiksa!”
Patih Raganatha mengangguk.
”Serahkan semua urusan ini pada kami berdua.”
Patih Raganatha dan Pendeta
Mayana mengantarkan Gayatri sampai di pintu. Di situ berdiri seorang prajurit
bertubuh tegap yang tadi ikut datang mengantar puteri Sang Prabu itu dan
menunggu di luar.
”Raden Ayu,” tiba-tiba Patih
Raganatha ingat sesuatu.
”Dari siapa sebenarnya Raden
Ayu mendapat berita penyerangan itu. Bukankah prajurit yang datang melaporkannya
mati dibunuh?”
Gayatri tak bisa menjawab. Dia
berpaling pada prajurit yang tegak di samping pintu.
”Maafkan saya,” kata prajurit
itu setelah menghaturkan sembah hormat. ”Pagi tadi kebetulan saya melakukan
perondaan di Lembah Bulan Sabit. Saya yang menemukan prajurit itu. Dalam
keadaan sekarat dia masih sempat menceritakan apa yang terjadi di Utara.”
Patih Raganatha menatap paras
prajurit itu sesaat.
”Jika kau yang menemukan
prajurit itu, selayaknya kau melapor pada Panglima, bukan pada Raden Ayu Gayatri…”
Pendeta Mayana melirik ke arah
Gayatri. Dia melihat perubahan pada wajah puteri sang Prabu ini ketika
mendengar kata-kata Patih Raganatha.
”Terus terang…” kata prajurit
itu. ”Seharusnya memang saya melapor pada Panglima atau Kepala Pasukan dipindahkan.
Tetapi setelah saya tahu ada yang tidak beres dengan kematian prajurit itu maka
saya merasa khawatir dan berpikir lebih baik melapor pada Paduka Patih saja.
Dalam perjalanan ke sini saya berpapasan dengan Raden Ayu. Saya ceritakan
padanya kejadian itu. Kami bersama-sama kemudian menghadap Paduka Patih.”
Patih Raganatha
mengangguk-angguk tapi kedua matanya tetap mengawasi prajurit itu.
”Paman Patih, ingat. Kerajaan
dalam bahaya besar. Sebaiknya segera saja menemui Ayahanda,” kata Gayatri
memotong karena mulai merasa tidak enak. Dia membalikkan diri dan meninggalkan
tempat itu dengan cepat. Si prajurit melangkah di sampingnya.
”Tunggu!” tiba-tiba Patih
Ragantha berseru dan memburu. Dia memotong jalan si prajurit dan menghadang di
depannya. Pendeta Mayana bergegas menyusul. ”Aku merasa pernah melihatmu
sebelumnya,” kata Patih Raganatha.
Tangannya diulurkan menarik
rambut prajurit yang tergelung di atas kepala.
Ketika ikatan rambut itu
terbuka dan rambut si prajurit menjulai gondrong sebahu, ingatan Patih
Raganatha pulih penuh. Dia mengenali siapa adanya prajurit itu.
”Kau…! Aku sudah duga dan
curiga! Kau ternyata buronan bernama Wiro itu!
Serahkan dirimu!”
”Paman Patih! Siapa dia tidak
penting!” Gayatri keluarkan suara keras seraya menyeruak lalu tegak diantara
Wiro dan Patih Raganatha. “Yang lebih penting adalah menyelamatkan Kerajaan
dari kaum penyerbu Kediri dan Madura!”
Paras Patih Singosari itu
nampak membesi. “Manusia satu ini tak kalah pentingnya Raden Ayu. Saya harus
menangkapnya saat ini juga!”
Di saat itu pula Wiro
tiba-tiba mendengar suara mengiang di telinga kirinya.
Seseorang mengirimkan suara
tanpa berucap kepadanya, “Anak muda, lekas kau lakukan sesuatu sebelum Patih
Raganatha menangkapmu.”
Wiro maklum, yang mengirimkan
ucapan itu adalah Pendeta Mayana, kekasih gurunya di masa muda. Saat itu pula
dilihatnya Patih Raganatha melompat ke hadapannya.
Kedua tangannya diulurkan ke
depan dan Wiro melihat kedua tangan itu berubah panjang sekali,
bercabang-cabang seperti gurita.
“Astaga!” Pendeta Mayana
terkejut melihat apa yang dilakukan Patih Raganatha.
”Mapatih mengeluarkan ilmu
Seratus gurita mengamuk. Murid Sinto Gendeng itu tak mungkin bisa lolos!”
Diam-diam dari belakang dalam
gerakan yang tidak kelihatan dan terlindung di balik pakaiannya, Pendeta Mayana
mengangkat tangan kanannya lalu menariknya ke belakang.
Gerakan Patih Raganatha
mendadak seperti tertahan. Dalam kejutnya Patih Kerajaan ini lipat gandakan
tenaga dalamnya.
Justru saat itu dari depan
Wiro mendahului dengan mendorongkan tangan kiri ke arah dada, mengirimkan
pukulan tangan kosong kunyuk melempar buah. Raganatha merasa seperti ada batu
besar yang menghantam dadanya. Dia cepat berkelit ke samping.
Namun angin pukulan Wiro masih
sempat menabrak bahunya. Patih Singosari ini terpuntir keras dan terbanting ke
lantai. Dua tangannya yang tadi berubah panjang bercabang-cabang lenyap dan
kembali ke bentuknya semula. Ketika dia mencoba bangkit dengan mengerenyit
kesakitan ditolong oleh Pendeta Mayana, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng sudah tidak ada lagi di tempat itu.
Patih Ragantha memandang tak
berkesip pada Raden Ayu Gayatri. Kalau saja bukan puteri sang Prabu yang
dihadapinya mungkin saat itu sudah ditamparnya. Dia menoleh ke arah Pendeta
Mayana, pandangan matanya tampak beringas.
Ah, dia tahu kalau aku tadi
menahan gerakannya, membatin sang Pendeta. Lalu dia cepat berkata: ”Mapatih,
kita harus segera menghadap Sang Prabu.”
”Biarkan saya sendiri yang
menghadap Sang Prabu,” kata Patih Raganatha. Lalu dengan bergegas
ditinggalkannya tempat itu. Pendeta Mayana dan Gayatri hanya bisa saling
pandang untuk beberapa saat lamanya. Sang Pendeta kemudian berkata. “Raden Ayu,
seperti Raden Ayu, saya merasa yakin bahwa saat ini Singosari benar-benar
berada dalam bahaya besar. Saya akan menghubungi Damar. Hati-hatilah bicara dan
bertindak.
Bukan mustahil dalam Keraton
ini ada musuh dalam selimut.”
Raden Ayu Gayatri mengangguk.
Ketika Patih Raganatha masuk
ke ruangan dimana sang Prabu biasa menerima kedatangan para pejabat dan
petinggi Keraton, di tempat itu ternyata sudah ada Panglima Argajaya tengah
bicara dengan sang Prabu.
”Mungkin apa yang saya hendak
sampaikan pada sang Prabu, sama dengan apa yang tengah dibicarakan Panglima
dengan sang Prabu saat ini,” kata Patih Raganatha.
Lalu dia menerangkan kabar
penyerbuan orang-orang Kediri yang dibantu oleh orangorang Madura.
”Paman Patih benar,” kata
Panglima Argajaya.
”Saya baru saja menyampaikan
laporan itu pada sang Prabu. Bahkan saya sudah mengirimkan satu kelompok kecil
pasukan ke Utara.”
”Satu kelompok kecil?” ujar
Patih Raganatha. ”Kaum penyerbu dikabarkan berjumlah cukup besar dan pasukan
kita di sekitar Porong saat ini terdesak hebat.”
”Ah, dari manakah sumber
keterangan Paman Patih?” bertanya Argajaya.
Sesaat Patih Raganatha
terdiam. Akhirnya dia memutuskan untuk bicara apa adanya. Lalu diceritakannya
kedatangan Raden Ayu Gayatri bersama pemuda bernama Wiro itu.
Terkejutlah Sang Prabu
mendengar keterangan Sang Patih. ”Pemuda kurang ajar buronan itu berani masuk
Keraton dan bersama puteriku! Paman Patih! Tugasmu menagkapnya!”
”Saya sudah melakukannya Sang
Prabu. Tapi pemuda itu sempat melarikan diri..” jawab Patih Raganatha.
“Kalau memang dia yang jadi
sumber keterangan, jangan-jangan kita sudah kena ditipu!” berkata Argajaya.
”Berarti tepat tindakan saya
hanya mengirimkan satu pasukan kecil ke Utara”
“Saya mencium hal yang
mencurigakan,” menyahut Patih Raganatha. Ketika bicara dia memandang pada Sri
Baginda.
“Maksud Mapatih?” tanya Sang
Prabu.
”Menurut keterangan yang saya
terima, prajurit yang datang dari Utara membawa laporan dan pesan, dibunuh oleh
dua orang pengawal yang bertugas di tempat kediaman Panglima…Hal ini perlu
diusut!”
”Secara tidak langsung Paman
Patih bermaksud mengatakan bahwa saya harus dicurigai dan diusut!” Panglima
Argajaya tidak dapat menyembunyikan rasa marahnya.
Suaranya bergetar.
“Saya tidak mengatakan
demikian Panglima. Tapi jika keterangan itu benar, harus dicari tahu mengapa
hal itu terjadi,” jawab Patih Raganatha.
”Mencurigai sesama kita tidak
baik,” ujar Sang Prabu.
”Saya setuju dengan ucapan
Sang Prabu,” kata Panglima Argajaya. ”Lagi pula saya sudah melakukan pengusutan
sebelum Paman Patih mengemukakan. Prajurit yang datang dari Utara berada dalam
keadaan luka parah. Ketika hendak diobati dia berusaha melarikan diri. Karena
tidak mau menyerah, dua pengawal saya terpaksa menyerangnya. Dia memang tewas.”
”Tapi mengapa mayatnya
ditemukan dekat Lembah Bulan Sabit? Tidak di Tumapel?”
Panglima Argajaya tampak merah
wajahnya. Lalu didengarnya Patih Kerajaan bertanya, ”Bisakah saya bicara dengan
dua pengawal yang Panglima sebutkan tadi?”
”Bisa saja. Tapi keduanya
sudah saya kirim ke Utara bersama kelompok pasukan bantuan.” jawab Argajaya
pula. Lalu dia berpaling pada Sri Baginda. “Sang Prabu, kita berada di sini
bukan untuk membicarakan kematian prajurit atau kecurigaan terhadap dua
pengawal saya ataupun diri saya sendiri. Yang harus kita lakukan adalah
menumpas kaum pemberontak itu. Saya telah mengirimkan sejumlah pasukan ke
Utara. Seseorang sudah saya minta untuk melihat situasi dan kembali memberikan
laporan siang ini juga.
Bagaimanapun juga saya mohon
petunjuk Sang Prabu lebih lanjut.”
”Kalian melaporkan adanya
orang-orang Kediri dan pasukan dari Madura yang bergabung dalam pasukan
penyerbu itu,” berucap Sang Prabu. ”Sekali lagi saya katakan tidak mungkin
Adikatwang ataupun Wira Seta punya niat jahat terhadap Singosari. Saya setuju
dengan tindakan Panglima hanya mengirim serombongan pasukan kecil. Yang penting
seluruh pasukan disiapsiagakan untuk melindungi Tumapel.
Tapi ingat, satu lapis pasukan
harus dikirim ke luar Kotapraja sebelah Utara untuk menjaga segala
kemungkinan.”
”Perintah Sang Prabu akan saya
lakukan,” kata Panglima Argajaya pula. ”Jika tidak ada hal-hal lain, saya minta
diri untuk menjalankan perintah.”
”Kau boleh pergi Panglima.
Beritahu setiap ada perkembangan baru pada saya.”
“Akan saya lakukan sang
Prabu.” Kata Argajaya pula.
Lalu setelah melontarkan
lirikan tajam ke arah Patih Raganatha diapun keluar dari ruangan itu.
“Saya rasa sayapun bisa minta
diri jika diizinkan,” kata Patih Singosari setelah hanya dia saja yang berada
di ruang itu bersama sang Prabu.
“Tolong panggilkan Pendeta
Mayana. Minta dia datang ke ruangan berdoa. Saatsaat seperti ini meminta
perlindungan dari Yang Kuasa adalah sangat penting. Jika Paman Patih suka bisa
ikut mengadakan upacara pemanjatan doa bersama-sama.”
“Saya akan panggilkan Pendeta
Mayana,” kata Patih Raganatha lalu meninggalkan ruangan setelah terlebih dulu
menjura hormat.
***
BAB V
Beberapa pengawal yang
bertugas di halaman belakang Keraton meliha ada orang lari segera mengejar. Di
sebelah depan sempat menghadang empat orang prajurit bersenjatakan tombak dan
pedang. Namun keempatnya langsung terjengkang begitu kaki dan tangan Pendekar
212 Wiro Sableng berkelebat menghantam.
Dengan gerakan ringan apalagi
setelah menerima ilmu meringankan tubuh dari Dewa Ketawa, Wiro Sableng
melompati tembok belakang Kraton tanpa kesulitan. Para pengawal tak mungkin
mengejar. Begitu menjejakkan kaki di jalan belakang tembok sesaat Wiro berpikir
kemana dia harus pergi dan apa yang musti dilakukannya. Selagi dia berpikir
begitu di depannya dilihatnya seorang nenek berjubah merah muda berbelangbelang
merah tua melangkah ke arahnya. Semakin dekat perempuan tua ini mendatangi
tambah jelas keanehan pada wajahnya dilihat Wiro. Nenek ini memiliki mata
semerah buah saga. Telinganya dicantoli giwang panjang berwarna merah.
Tiupan angin dan langkah yang
dibuatnya menyebabkan sepasang giwang itu bergoyang-goyang dan mengeluarkan
suara bergemerincing. Sesekali si nenek mengulurkan lidah membasahi bibirnya.
Lidah itu mengerikan sekali. Bukan saja karena panjang tetapi juga warnanya
yang merah seperti api.
Di belakang rambutnya yang
berwarna merah lepas riap-riapan ada secarik pita yang juga berwarna merah.
Wajahnya yang angker tampak lebih mengerikan karena sepasang alisnya yang
panjang menjulai ternyata juga berwarna merah pekat!
Nenek aneh ini melangkah ke
arah Wiro. Begitu sampai di hadapannya baru murid Sinto Geneng ini menyadari
betapa tingginya si nenek. Kepalanya hanya sampai di dada perempuan tua itu.
Si nenek mengeluarkan tangan
kanannya. “Minta sedekah!” katanya kasar.
Pandangan mukanya garang dan
kedua matanya membara. Ketika bicara lidahnya menjulur keluar seperti lidah api
menyambar. Wiro merasa ada hawa panas keluar dari mulut dan mungkin juga dari
kedua mata perempuan tua ini.
Ah, pengemis dia rupanya, kata
Wiro dalam hati.
Perasaannya yang tidak enak
kini menjadi lega. Namun dia tidak bisa memberikan apa-apa dan harus segera
meninggalkan tempat itu sebelum ada yang mengejar.
”Harap mafkan, saya tidak
punya uang,” kata Wiro lalu cepat memutar diri hendak tinggalkan tempat itu.
Tapi tiba-tiba, sama sekali tidak terduga, tangan kanan yang masih diulurkan
itu meluncur ke arah dada Wiro Sableng. Pendekar ini merasakan ada hawa panas
menjalari sekujur tubuhnya. Saat itu juga dia tidak bisa bergerak tidak bisa
bersuara! Ternyata nenek pengemis itu telah menotoknya dengan ilmu totokan yang
aneh. Semakin lama Wiro merasakan tubuhnya semakin panas!
Celaka! Keluh Pendekar 212.
Di hadapannya si nenek tertawa
mengekeh. Lidahnya terjulur-julur seperti lidah api menyambar-nyambar. Kedua
matanya bertambah merah. Dia membungkuk, siap memanggul tubuh Wiro. Pada saat
itulah ada angin menyambar disusul oleh satu letupan halus. Segulung asap putih
menggebubu menutupi jalan seluas lima tombak persegi.
Wiro merasa ada seseorang
tiba-tiba memegang pinggangnya, tubuhnya dikempit lalu dibawa lari laksana
melayang. Di belakangnya terdengar suara nenek memaki marah lalu ada suara
menderu keras. Wiro memandang ke belakang. Dari gelungan asap putih tebal
dilihatnya ada lidah api mencuat mengerikan. Lidah api ini mengejar ke arahnya.
Panas dan ganas. Orang yang
mengempitnya melompat ke kiri sambil mengebutkan lengan jubah pakaiannya.
Semburan lidah api tampak bergoyang-goyang.tubuh si pengempit bergetar keras
hampir jatuh. Tapi lidah api berhasil dibuat mental hingga Wiro dan orang yang
mengempitnya tidak sempat disambar lidah api itu. Dalam waktu beberap kejapan
saja si pengempit sudah membawa Wiro jauh dan tak mungkin dikejar oleh nenek
pengemis tadi.
Di satu tempat yang sunyi,
orang yang mengempit menurunkan Wiro ke tanah.
Tegak berhadap-hadapan Wiro
cepata memandang ke arah wajah orang yang telah menolongnya itu. Ternyata orang
itu mengenakan sehelai cadar hitam untuk menutupi wajahnya. Tapi dari
pakaiannya Pendekar 212 mulai menduga-duga.
Orang bercadar membuka dada
pakaian Wiro lalu dari balik cadarnya dia meniupi dada yang ditotok oleh nenek
pengemis tadi. Wiro merasa ada hawa hangat sejuk menembus kulit dan daging
tubuhnya, terus menyusup ke seluruh peredaran darahnya.
Sesaat kemudian tubuhnya yang
tadi serasa panas hingga dia kucurkan keringat sebesarbesar butir jagung kini
menjadi dingin dan saat itu pula dia bisa menggerakkan kaki tangannya dan
membuka suara.
”Terima kasih,” ucap Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
”Sahabat, siapakah kau yang
telah menolongku? Dan siapa nenek pengemis tadi? Mengapa dia menotok saya?”
“Dia bukan pengemis,” jawab
orang bercadar. “Dia adalah Dewi Maha Geni, seorang tokoh silat istana yang
ilmu luar biasa tapi diragukan kesetiaannya.
Kemungkinan dia adalah kaki
tangan orang-orang Kediri… Dia pasti bermaksud menculikmu. Ada dua kemungkinan
mengapa dia melakukan hal itu, pertama membujukmu ikut dalam gerakan Adikatwang
dan Wira Seta. Atau menyerahkan kepalamu pada orang-orang Kediri!”
Wiro terkesiap mendengar
ucapan orang itu. “Kau, kau sendiri belum mengatakan siapa dirimu. Saya seperti
mengenal suaramu tapi agak meragu. Bukankah kau…“
Orang di hadapan Wiro membuka
cadar hitamnya. Wiro melihat satu wajah yang bersih dan mata yang bening.
“Pendeta Mayana!” seru Wiro
sementara orang di hadapannya hanya tersenyum kecil. “Saya memang sudah
menyangka tadi..”
“Waktuku tidak banyak. Aku
perlu beberapa bantuan darimu,“ kata Pendeta Mayana.
“Katakanlah, matipun aku mau
mengingat budi besarmu” jawab Pendekar 212 tanpa ragu-ragu.
“Tidak, bantuan itu bukan
untuk pribadiku. Tapi untuk Kerajaan. Untuk Singosari,” kata Pendeta Mayana
pula. ”Kita sudah sama tahu bahwa musuh mulai menyerbu dari Utara.”
Wiro mengangguk. Sang Pendeta
meneruskan. “Aku punya firasat bahwa Singosari akan jatuh. Beberapa petunjuk Dewa
mengatakan begitu. Sementara Sang Prabu seperti tidak mau percaya pada
kenyataan. Jika bahaya benar-benar tak dapat dihindari, aku mohon kau
menyelamatkan keempat puteri sang Prabu dan dua buah pusaka Kerajaan yaitu
Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa. Dua benda itu adalah yang menentukan
syah tidaknya seseorang menjadi Raja Singosari.”
”Saya akan lakukan hal itu
pendeta. Namun saya butuh petunjukmu bagaimana melakukannya.”
Pendeta Mayana mengangguk.
“Bila saatnya sudah tiba, aku akan tunjukkan dimana adanya kedua benda pusaka
itu.”
”Bagaimana caranya saya
menghubungi pendeta?” tanya Wiro.
”Seorang sahabat yang akan
menghubungimu. Berusahalah agar tidak jauh-jauh dari Keraton. Kalau perlu
menyamar.”
”Akan saya lakukan,” jawab
Wiro. Lalu dia bertanya.
”Siapa sahabat yang akan
menghubungi saya itu?”
”Damar.”
”Damar? Orang katai perawat
kuda-kuda Keraton itu?”
Pendeta Mayana tersenyum. “Itu
pekerjaannya sehari-hari. Tapi sebenarnya dia adalah orang kita yang disusupkan
ke Keraton untuk membayangi tindak-tanduk Dewi Maha Geni. Cuma aku khawatir
tingkat kepandaiannya masih berada jauh di bawah nenek bermata dan berlidah api
itu. Aku harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik…”
“Sekali lagi terima kasih saya
untukmu Pendeta. Kau juga harus berhati-hati. Saya menduga Keraton telah
disusupi musuh dalam selimut…”
Pendeta Mayana mengangguk
segera tinggalkan tempat itu. Tiba-tiba Wiro ingat pada pesan Eyang Sinto
Gendeng, gurunya. Pendeta Mayana juga tahu sekali pesan itu karena disampaikan
lewat dirinya.
”Pendeta, tunggu dulu!” seru
Wiro. Dia lari mengejar.
“Ada apa?” tanya Pendeta
Mayana seraya hentikan larinya.
”Saya punya ganjalan dalam
melakukan permintaanmu.
Ingat pesan Eyang Sinto
Gendeng yang disampaikannya untukku melaluimu di pondok Lembah Bulan Sabit
tempo hari?”
Pendeta Mayana tersenyum. “Aku
tidak lupa hal itu. Pesan orang tua dan guru wajib diingat dan dihormati.
Tetapi harus kau ketahui setiap pesan bisa saja tidak sesuai lagi dengan
keadaan dan kehendak waktu. Lebih dari itu berbuat satu kebajikan untuk orang
banyak apalagi Kerajaan lebih banyak hikmahnya daripada hanya mengikuti suatu
pesan yang tidak dapat lagi dipertahankan. Kau mengerti maksudku?”
“Saya mengerti Pendeta,” jawab
Wiro.
“Apakah kau kini masih merasa
ada ganjalan?”
”Tidak.”
“Bagus. Kalaupun nanti gurumu
marah, biar aku yang menghadapinya. Aku yang akan bertanggung jawab terhadap
dirinya.”
“Kalau begitu sekarang saya
benar-benar merasa lega.”
Pendeta Mayana mengangguk dan
tinggalkan tempat itu.
***
Patih Raganatha tidak berhasil
menemui Pendeta Mayana. Sang Pendeta saat itu secara diam-diam hendak menemui
Raden Ayu Gayatri di Kaputeran.
Di taman indah di samping
Kaputeran Pendeta Mayana berpapasan dengan seorang pemuda bertubuh tinggi
langsing berparas cakap. Dia adalah Raden Juwana, calon menantu sang Prabu yang
kelak akan dinikahkan dengan puteri sulung Tribuana Tunggadewi. Saat itu Raden
Juwana tengah bercakap-cakap dengan calon istrinya yang ditemani oleh seorang
pengasuh. Melihat jalan Pendeta Mayana yang begitu bergegas, Raden Juwana
menegur hormat.
”Rupanya ada sesuatu yang
penting hingga Pendeta tampak melangkah cepat.
Ada apakah hingga Pendeta
mengambil jalan melintas menuju Kaputeran?”
“Syukur Raden ada disini. Mari
kita sama-sama masuk Kaputeran. Ada hal penting yang perlu kita bicarakan.”
Raden Juwana dan Pendeta
Mayana melangkah di depan. Tribuana mengikuti dari belakang diiringi pengasuh.
Di dalam Kaputeran yang kemudian dihadiri juga oleh tiga puteri Raja lainnya
termasuk puteri bungsu Gayatri, Pendeta Mayana menjelaskan tentang adanya
serangan oleh musuh Kerajaan di sebelah Utara.
”Saya bukan seorang peramal.
Tetapi dalam kehidupan ini segala sesuatunya dapat kita hubungkan dengan
petunjuk dari Dewata. Beberapa waktu lalu ada hal aneh yang terjadi di candi
Jago. Petir dahsyat menyambar di siang hari.
Getarannya terasa sampai di
jantung. Ini satu pertanda dari para Dewa bahwa sesuatu akan terjadi di
Singosari. Jika hal itu adalah sesuatu yang baik, kita tidak perlu
membicarakannya. Tetapi bagaimana kalau kelak itu adalah pertanda akan
terjadinya sesuatu yang buruk, suatu malapetaka?”
“Maksud Pendeta Mayana?” tanya
Raden Juwana.
”Orang-orang Kediri dibantu
oleh orang-orang Madura mengirimkan pasukan, menyerbu kedudukan pasukan kita di
Utara sekitar Porong. Panglima telah mengirimkan bala bantuan namun saya merasa
khawatir pihak kita akan mengalami kekalahan.”
”Mana mungkin Singosari bisa
dikalahkan. Kta mempunyai jumlah pasukan yang lebih besar dan terlatih. Apakah
Raden Adikatwang dan Wira Seta ikut terlibat dalam gerakan penyerbuan itu?”
”Saya rasa begitu,” jawab
Pendeta Mayana. Lalu dipegangnya bahu Raden Juwana dan diajaknya berjalan agak
menjauh dari Tribuana. ”Dengar…” kata Pendeta Mayana pula. ”Singosari memang
punya bala tentara besar dan terlatih. Tetapi baik Panglima maupun Mapatih
serta sang Prabu merasa bahaya itu tidak perlu dikhawatirkan.
Lain dari itu, saya merasa
kita telah disusupi oleh musuh-musuh dalam selimut.”
”Kalau Pendeta mengetahui
siapa orangnya, mengapa tidak dilaporkan pada sang Sri Baginda?” ujar Raden
Juwana.
”Saya dan beberapa petinggi
Kerajaan berada dalam kesulitan. Sang Prabu tidak mau mendengar pandangan
kami.”
”Menurut Pendeta apakah
keadannya gawat sekali?”
“Saat ini mungkin belum. Tapi
siapa tahu apa yang terjadi besok atau lusa…?”
Saat itu seorang prajurit
Kraton muncul memberi tahu bahwa Pendeta Mayana ditunggu Sang Prabu di Ruang
Pemanjatan Doa.
”Kita akan bicara lagi nanti,”
kata Pendeta Mayana lalu tinggalkan tempat itu mengikuti prajurit tadi.
***
BAB VI
Malam itu Tumapel dilanda
kehebohan. Deretan gudang panjang di selatan Kotaraja dilanda kebakaran. Di
bagian lain hampir dua ratus ekor kuda yang ketakutan menjadi liar, mendobrak
palang pembatas dan lari ke pelabagai arah sulit untuk dikejar.
Di halaman kandang kuda enam
orang tidak dikenal menggeletak jadi mayat dengan kepala pecah.
Orang tua katai bernama Damar
memandangi mayat itu satu per satu. Tak seorangpun yang dikenalinya.
Seharusnya tidak semua
kubunuh, kata Damar dalam hati penuh penyesalan. Kini dia tidak bisa mengetahui
siapa adanya keenam orang yang dengan sengaja telah melepaskan ratusan ekor
kuda itu. Damar berlutut di samping salah satu mayat.
Dirabanya pakaian orang itu.
Terasa tebal. Tangannya bergerak merobek dada pakaian mayat.
Ah! Orang tua katai ini
melengak. Di bawah pakaian yang barusan dirobeknya terlihat sehelai pakaaian
berwarna hitam bergaris-garis kuning. Itu adalah pakaian seragam prajurit
Kediri! Pasti mereka juga yang telah melakukan pembakaran atas gudang senjata!
Damar segera tinggalkan tempat itu, bergegas menuju gedung Kepatihan.
Sampai di depan gedung
dilihatnya Patih Raganatha tegak di tangga depan, memandang ke arah timur
dimana langit tampak merah terbakar.
”Mohon maafmu, Mapatih Singosari,”
kata Damar.
”Orang-orang Kediri berhasil
menyusup dan melepas kuda-kuda milik kita. Saya berusaha mengejar
binatang-binatang itu. Tapi sia-sia saja. Enam penyusup berhasil saya
tewaskan…”
”Orang-orang Kediri rupanya
tidak main-main,” kata Patih Raganatha. Hatinya mulai merasa khawatir. Dia
berpaling pada seorang pembantu kepercayaan yang tegak di sampingnya. ”Apa
sudah ada kabar dari Panglima mengenai keadaan di Utara?”
Yang ditanya menggeleng.
”Orang saya berusaha menemui Panglima. Namun pengawal di sana mengatakan bahwa
Panglima tengah melakukan pertemuan di Selatan dengan beberapa Kepala Pasukan
untuk membuat persiapan berjaga-jaga melindungi Kotaraja.”
”Ada beberapa keanehan!” kata
Patih Kerajaan pula.
”Orang-orang Kediri menyusup
begitu mudah. Ratusan kuda yang bisa diandalkan untuk perang dilepas orang!
Panglima tidak ada di tempat. Lalu gudang senjata dibakar orang! Tak ada yang
bisa diselamatkan! Lalu tak ada sama sekali kabar dari medan pertempuran di
Utara.”
”Maaf Mapatih,” berkata pembantunya.
”Mungkin keterangan saya sebelumnya kurang jelas. Mengenai gudang senjata yang
terbakar, gudangnya memang musnah tetapi sewaktu kebakaran terjadi tidak ada
sepotong tombak atau pedang ataupun tameng di dalamnya.”
”Berarti gudang itu memang
sudah kosong sebelum terjadi kebakaran!” sepasang mata Patih Raganatha
membeliak.
”Mungkin memang begitu adanya,
Mapatih,” jawab si pembantu.
”Aku segera menemui sang
Prabu. Beliau masih berada di Ruang Pemanjatan Doa saat ini.” Patih itu
berpaling pada Damar lalu berkata.
”Lakukan apa yang bisa kau
lakukan. Usahakan mengembalikan kuda-kuda yang terlepas itu.”
Orang tua bertubuh katai itu
mengangguk dan cepat-cepat tinggalkan tempat itu.
Tapi dia tidak melakukan apa
yang diperintahkan Patih Raganatha melainkan mendahului Patih itu menuju Ruang
Pemanjatan Doa.
Dalam Ruang Pemanjatan Doa,
sang Prabu hanya ditemani oleh Pendeta Mayana.
Sang Prabu saat itu duduk di
atas batu pualam putih yang mengeluarkan sinar terang dalam ruangan yang redup
itu. Keadaannya seperti orang yang kurang sadar. Kedua matanya terpejam.
Telapak tangan dirapatkan dan diluruskan di depan dada. Mulutnya bregerak-gerak
tapi tak ada suara yang keluar. Damar maklum sekali keadaan sang Prabu seperti
itu buakn karena dia tenggelam dalam kekhusyukan doa, melainkan karena pengaruh
minuman keras yang diteguknya terlalu banyak. Di atas lantai di sekitarnya
bertebaran tabung-tabung dari tanah tempat minuman keras yang telah kosong.
Di sebelah belakang duduk
bersila Pendeta Mayana. Ada dua tabung minuman di sampingnya yang masih berada
dalam keadaan penuh karena dia sama sekali tidak menyentuhnya walaupun dalam
upacara pemanjatan doa seperti itu meneguk minuman keras memang diperkenankan.
Walaupun tidak membuka mata
namun Pendeta Mayana sudah tahu siapa yang datang.
”Kau membawa kabar apa Damar?”
“Orang-orang Kediri membakar
gudang senjata yang sebelumnya memang sudah kosong. Mereka juga melepaskan
kuda-kuda. Panglima…”
”Tunggu, saya mendengar
langkah orang di luar sana. Ada yang datang,”
memotong Pendeta Mayana.
Ketinggian ilmunya membuat dia mampu mendengar langkah kaki orang yang masih
jauh sekalipun.
”Pasti itu Patih Raganatha,”
kata Damar. ”Saya tidak suka dia mengetahui kita bicara di tempat ini.”
”Kalau begitu lekas kita
menyelinap ke balik tirai besar di sebelah kiri sana,” kata Pendeta Mayana.
Kedua orang itu cepat
bersembunyi ke balik tirai biru muda tebal yang ada di dinding sebela kiri
ruangan. Tak lama kemudian seseorang memasuki Ruang Pemanjatan Doa.
Dia memang adalah Patih
Raganatha. Sang Patih agak heran mendapatkan Sri Baginda hanya sendirian di
ruangan. Apalagi dilihatnya Sang Prabu berada dalam keadaan kurang sadar. Mau
tak mau dia harus bicara dengan Sang Prabu. Patih Raganatha berlutut di samping
Raja. ”Sang Prabu, saya Patih Raganatha datang menghadap…”
“Kau berani mengganggu Raja
yang sedang melakukan upacara keagamaan?”
sepasang mata Sri Baginda
membuka sedikit. Kelihatan matanya agak merah kurang tidur.
”Mohon maafmu sang Prabu. Tapi
ada berita penting yang harus saya sampaikan.
Gudang senjata dibakar dan
ratusan kuda dilepaskan orang. Sama sekali tidak ada kabar dari pasukan kita di
Utara…”
”Semua laporan itu harus kau
sampaikan pada Panglima, bukan padaku!”
”Saya tahu sang Prabu. Tapi
Panglima tidak ada di Kotaraja saat ini. Dia berada di Selatan tengah berembuk
dengan beberapa Kepala Pasukan untuk menyusun rencana perlindungan atas
Kotaraja.”
”Adalah tolol kalau dia hanya
memikirkan perlindungan bagi Tumapel. Dia harus turun tangan menyerbu musuh,
sebelum musuh mendekati Tumapel!”
Patih Raganatha merasa heran
mendengar ucapan Rajanya itu. Sebelumnya sang Prabu sendiri yang menyetujui
tindakan yang diambil Panglima yaitu hanya mengirim satu kelompok kecil pasukan
ke Utara. Kini mengapa dia baru bisa berpikir lebih baik seperti ini?
”Paman Patih, apakah kau masih
di sini?”
”Saya masih di sini sang
Prabu. Saya mohon petunjuk sang Prabu,” jawab Patih Raganatha.
“Kau kuperintahkan untuk
mengambil alih tugas dan tanggung jawab Panglima Argajaya…”
“Saya siap kalau begitu
perintah sang Prabu. Kita masih belum tahu sampai seberapa besar bahaya yang
dihadapi Singosari. Namun untuk berjaga-jaga saya mohon sang Prabu meninggalkan
tempat ini dan bersembunyi di satu tempat yang aman.”
“Bersembunyi?” sang Prabu tertawa
panjang.
“Raja Singosari bersembunyi
hanya karena ada gangguan dari serombongan tikus-tikus Kediri dan Madura?
Jangan kau hinakan Rajamu sendiri, Mapatih!”
”Maafkan saya sang Prabu.
Kalau sang Prabu ada usul lain demi keselamatan sang Prabu, saya akan
lakukan..”
“Usulku lekas tinggalkan
tempat ini. Aku tidak akan pernah meninggalkan Ruangan Pemanjatan Doa ini
apapun yang terjadi!”
”Sang Prabu, keadaan
sewaktu-waktu bisa berubah genting!” kata Patih Raganatha pula.
”Keluar dari tempat ini Paman Patih,
lakukan apa yang tadi kuperintahkan! Aku hanya minta agar seratus prajurit
utama berjaga-jaga di luar.”
Patih Raganatha menarik napas
panjang. Perlahan-lahan dia berdiri, menjura hormat lalu tinggalkan tempat itu.
Di balik tirai tebal Pendeta
Mayana berbisik, ”Damar, saya rasa keadaan sudah mulai gawat. Saya tidak yakin
Panglima Argajaya emnemui beberapa Kepala Pasukan di Selatan untuk menyusun
perlindungan atas Tumapel…”
”Saya juga merasa begitu
Pendeta. Jika dia hendak melindungi Kotaraja, dia harus memanggil semua Kepala
Pasukan ke Kotaraja, bukannya dia yang harus pergi ke sana. Sekarang apa yang
harus kita lakukan?”
”Kau awasi gerak-gerik Dewi
Maha Geni. Temui Raden Juwana, katakan agar dia bersiap-siap mengungsikan empat
puteri sang Prabu ke desa Tembang Sari dekat Kudadu di percabangan Kali
Brantas.” Dari balik jubahnya Pendeta Mayana mengeluarkan secarik kertas.
Kertas ini diserahkannya pada Damar. ”Berikan peta ini pada Raden Juwana agar
dia tidak tersesat.”
Damar menyimpan peta kecil itu
di balik pinggang pakaiannya. ”Ada hal lain lagi Pendeta?” tanya lelaki katai
ini kemudian.
”Ya. Kau ingat pemuda gondrong
bernama Wiro itu?”
”Saya ingat.”
”Saat ini dia berada di
sekitar tembok luar Keraton. Temui dia dan katakan padanya agar menyiapkan
seekor kuda yang kuat, menyamar sebagai tukang rumput dan supaya menunggu di
persimpangan jalan. Jangan pergi sebelum saya muncul. Nah hanya itu Damar.
Cepat pergi. Sebentar lagi pagi segera datang.”
”Pendeta sendiri akan berada
dimana dan akan berbuat apa?” tanya Damar.
”Ada sesuatu yang akan saya
lakukan. Jika sudah selesai saya akan berada di tempat ini menemani sang
Prabu.”
Damar tampak bimbang sebentar.
Lalu dia bertanya.
”Bagaimana dengan Sri Baginda
sendiri? Apakah kita tidak akan menyelamatkannya?”
”Keselamatan sang Prabu
serahkan pada saya,” jawab Pendeta Mayana pula.
”Kalau begitu saya minta diri
sekarang.”
”Pergilah. Hati-hati..”
***
BAB VII
Apa yang dikhawatirkan
orang-orang seperti Pendeta Mayana dan Damar serta Patih Raganatha walaupun
kekhawatiran sang Patih ini datangnya agak terlambat memang beralasan.
Pasukan musuh yang menyerbu di
kawasan Utara jumlahnya memang tidak besar.
Tetapi mereka sempat
memporak-porandakan pasukan Singosari di wilayah itu. Katika bala bantuan yang
dikirim Panglima Argajaya datang, pasukan musuh berhasil dihantam hingga cerai
berai di satu tempat tak jauh dari Candi Sanggariti.
Pasukan dalam jumlah besar
yang kemudian dikirimkan oleh Patih Raganatha ke Utara mambentuk tembok
pertahanan guna melindungi Singosari. Namun satu hal tidak pernah diduga oleh
orang-orang Singosari. Serangan yang dilancarkan oleh orang-orang Kediri yang
dibantu oleh orang-orang Madura di kawasan Utara itu ternyata hanyalah siasat
tipu daya belaka. Selagi sebagian besar pasukan Singosari bergerak menuju
Utara, secara diam-diam satu gelombang gabungan pasukan Kediri dan Madura yang
luar biasa besarnya, bergerak menyusuri kaki Gunung Penanggungan sebelah timur,
terus menyusup ke kaki Gunung Welirang, melewati bagian timur kaki Gunung
Anjasmoro lalu mendekati Singosari dari arah Selatan. Gerakan pasukan yang
besar ini telah dilakukan jauh sebelum serbuan pancingan dilakukan di Utara.
Sehingga ketika pertempuran pecah di Utara, dua hari kemudian pasukan musuh di
Selatan sudah berada di pintu gerbang Selatan membuat kaget pasukan Singosari
yan berada di situ. Lebih mengejutkan lagi karena di kepala pasukan kelihatan
memimpin panglima Perang Argajaya. Lenyapnya Sang Panglima sejak beberapa hari
ini rupanya karena memang dia sudah menyusun rencana pengkhianatan,
menggabungkan pasukan yang dapat ditariknya dengan pasukan Kediri-Madura yang
datang dari Utara!
Saat itu matahari masih belum
menyembul dari ufuk timur. Rombongan pasukan yang siap menggempur Singosari
bergerak laksana gelombang air laut. Di lapis kedua barisan terdapat
serombongan penabuh genderang dan peniup terompet. Mereka bertugas memberikan
semangat pada seluruh balatentara.
Di barisan terdepan di belakan
pasukan panah kelihatan Panglima Argajaya. Dia tidak mengenakan seragam pasukan
Singosari melainkan berpakaian merah dengan ikat kepala merah. Dia dikelilingi
oleh enam orang bekas Kepala Pasukan Singosari wilayah Selatan yang berhasil
dibujuknya untuk ikut bergabung dengan pasukan Kediri-Madura.
Dua puluh tombak di sebelah
kiri Argajaya terlihat Adipati Wira Seta didampingi pembantu utamanya yaitu
pemuda berkepandaian tinggi bernama Gandita. Kedua orang ini mengenakan pakaian
perang lengkap dengan senjatanya. Seperti Argajaya keduanya menunggangi kuda.
Penunggang kuda keempat yang
bertindak selaku salah satu pimpinan pasukan penyerang adalah Dewa Sedih. Orang
tua ini seperti biasa selalu kelihatan murung dan sesenggukan. Orang kelima
yang menjadi tokoh di pihak penyerang adalah seorang perempuan tua bertubuh
jangkung, mengenakan jubah merah. Saosoknya hampir tidak kelihatan karena
terhalang oleh barisan berkuda yang ada di sebelah depan. Perempuan tua ini
bukan lain adalah Dewi Maha Geni yang seperti Panglima Argajaya melakukan
pengkhianatan, menyeberang ke pihak musuh. Yang tidak kelihatan justru adalah
Raden Adikatwang, pucuk pimnpinan tertinggi pasukan musuh, yang berambisi ingin
menjadi Raja di Raja penguasa Kediri dan Singosari.
Di pihak Singosari yang telah
bersiap sedia menyambut serangan musuh di pintu gerbang Selatan hanya dipimpin
oleh beberapa Perwira Tinggi dan Perwira Muda.
Melihat pasukan musuh dipimpin
oleh empat orang kawakan itu mau tak mau pihak Singosari menjadi kendor nyali
mereka. Namun apa mau dikata tugas mereka harus siap mempertahankan kerajaan
dengan darah dan nyawa.
Perlahan-lahan sang surya
mulai muncul di Timur.
Genderang ditabuh keras.
Terompet ditiup nyaring. Inilah satu pertanda bahwa serangan segera dimulai.
Laksana air bah pasukan Kediri-Madura bergerak cepat menuju pintu gerbang
Selatan. Pasukan panah sudah siap merentang busur. Saat itulah tiba-tiba muncul
seorang penunggang kuda berpakaian perang. Ternyata dia adalah Patih Raganatha.
Kedatangan Raganatha memberi
semangat pada pasukan Kerajaan. Orang tua ini muncul di pintu gerbang,
mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Argajaya. Patih Singosari ini
berusaha terus maju sampai ke luar pintu gerbang. Di satu tempat dia hentikan
kudanya.
Argajaya mengangkat tangan dan
meneriakkan sesuatu.
Seluruh pasukan yang tengah bergerak
itu berhenti dengan tiba-tiba.
“Argajaya! Aku tidak mengira
serendah ini budimu terhadap Sri Baginda Prabu dan Singosari. Namun aku
memberikan kesempatan. Kau masih punya waktu untuk kembali bersama pasukanmu!”
Argajaya menyeringai. Dia
balas berteriak. “Patih Singosari! Saat ini tidak perlu kita bicara menyangkut
segala macam budi! Aku tawarkan padamu untuk bergabung bersama kami. Atau kau
akan ikut kami sama ratakan dengan bumi Singosari!”
”Pengkhianat busuk!” teriak
Patih Raganatha marah. Tangan kirinya dihantamkan ke depan. Selarik angin
menderu menyambar ke arah Argajaya. Selagi Panglima Singosari yang menyeberang
ke pihak musuh itu menarik kudanya dan mengelak ke samping, Raganatha angkat
tangan kanannya. Tangan itu berubah menjadi panjang sekali bercabang cabang.
Inilah ilmu kesaktian seratus gurita amuk. Argajaya tahu betul kehebatan ilmu
ini. Maka cepat-cepat dia menyingkirkan kudanya ke kiri sambil balas menghantam
dengan pukulan tangan kosong. Argajaya berlaku cerdik. Yang dihantamnya adalah
kuda tunggangan Patih Singosari itu.
Saat itu pula Argajaya
mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas. Genderang ditabuh gegap gempita.
Terompet ditiup memekakkan
telinga. Pasukan menyerbu untuk kedua kalinya.
Dan sekali ini seperti tidak
ada lagi yang sanggup menahannya. Setelah menewaskan ratusan prajurit
Singosari, pertahanan di pintu gerbang Selatan bobol.
Pasukan musuh membanjir. Patih
Raganatha berteriak memberi semangat. Tangan kanannya kini memegang sebilah
golok panjang sedang tangan kiri terus menerus melancarkan serangan seratus
gurita mengamuk. Balasan prajurit lawan menjadi korbannya. Namun pasukan musuh
datang laksana air bah, menggulung apa saja yang ada di hadapannya. Patih
Raganatha tidak mampu mendekati Argajaya. Bahkan kini dia terpaksa mundur terus
dan keselamatannya terancam.
Di tengah-tengah perang
bersosoh itu terdengar teriakan Argajaya.“Patih Singosari! Nyawamu akan selamat
jika kau ikut dengan kami!”
Patih Raganatha menyambar
sebilah tombak lalu dilemparkannya ke arah Argajaya. Karena tidak menyangka
akan diserang seperti itu, walau masih bisa berkelit namun ujung tombak itu
masih sempat menyambar kain merah ikatan kepalanya hingga putus!
Meskipun marah namun Argajaya
tahu kalau ilmunya masih setingkat di bawah Patih Raganatha. Maka dengan cerdik
dia menoleh pada Dewa Sedih.
”Dewa Sedih! Bantu aku
melenyapkan tua bangka buruk ini!”
Dewa Sedih keluarkan suara
terisak lalu didahului oleh suara menggerung keras tubuhnya berkelebat ke arah
Raganatha. Saat itu pula Argajaya cabut golok panjang yang mencantel di ikat
pinggang besarnya lalu menarik tali kekang kuda hingga binatang ini melompat
mendekati Patih Raganatha. Dikeroyok dua serta merta Patih Singosari ini
terdesak hebat, sekalipun ada dua Perwira Tinggi yang berusaha membantunya,
Sang Patih akhirnya tewas secara mengenaskan.
Di bagian lain, ketika pasukan
gabungan Kediri-Madura mulai menyerbu, sambil mengeluarkan pekik keras nenek
berjubah merah yaitu Dewi Maha Geni berkelebat ke depan.
Dia bukannya menyerang pasukan
Singosari namun melompati tembok tinggi.
Begitu sampai di dalam dia
menggebuk kepala seorang Perwira Muda hingga rengkah dan jatuh dari kudanya. Si
nenek rampas kudanya lalu menghambur menuju ke arah Timur yaitu dimana terletak
kawasan Keraton.
Pagi itu kabar penyerbuan
besar-besaran pasukan musuh di pintu gerbang Selatan telah sampai di Keraton
Tumapel.
Di salah satu bangunan yang
sangat rahasia Pendeta Mayana keluar dengan tergopoh-gopoh. Di tangannya ada
dua buah kotak kayu. Yang pertama berisi Mahkota Narasinga yakni mahkota
lambang dan syahnya seorang menjadi Raja Singosari.
Kotak kedua yang agak kecil
dan pipih di dalamnya terdapat Keris Saktipalapa, juga merupakan salah satu
benda pusaka sangat berharga, pendamping Mahkota Narasinga.
Pendeta ini mengambil jalan
berputar dan muncul di sebuah pintu kecil di bagian Barat tembok Keraton. Dua
orang pengawal yang bertugas di situ memberi hormat dan membiarkannya lewat. Di
luar tembok Pendeta Mayana melangkah cepat menuju persimpangan jalan. Dia mengharapkan
pemuda itu sudah menunggu di sana. Tetapi ketika dia sampai di persimpangan tak
seorangpun dilihatnya di tempat itu. Sang Pendeta mulai khawatir. Serombongan
prajurit berkuda lewat di jalan dengan cepat. Pendeta Mayana memandang
berkeliling. Hatinya lega ketika di depan sana ada seorang bercaping
terbungkuk-bungkuk memikul dua keranjang berisi rumput. Di belakangnya
mengikuti seekor kuda coklat.
Pendeta Mayana cepat mendekati
tukang pikul rumput itu. Dua buah kotak yang dibawanya dimasukkan ke dalam
keranjang seraya berkata.”Lekas tinggalkan Kotaraja.
Bergabung denganRaden Juwana
dan empat puteri Sri Baginda di desa Tembang Sari.
Ingat, dua kotak berisi benda
pusaka dalam keranjang itu adalah mati hidupnya Kerajaan Singosari. Jaga
baik-baik..”
”Akan saya pertahankan dengan
darah nyawasaya,” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng.
”Saya harus kembali ke Keraton
untuk menyelamatkan Sang Prabu,” kata Pendeta Mayana lalu pergi meninggalkan
Wiro.
Murid Sinto Gendeng cepat naik
ke atas punggung kuda.
Tapi belum sempat dia menarik
tali kekang binatang itu tiba-tiba ada bayangan merah berkelebat di depannya
disertai menyambarnya hawa panas. Memandang ke depan Wiro melihat nenek
berjubah merah yang pernah ditemuinya sebelumnya dan disangkanya adalah seorang
pengemis. Dewi Maha Geni! Dari Pendeta Mayana Wiro sudah mendapat keterangan
siapa adanya nenek bermata dan berlidah api ini.
Dia bersikap berpura-pura
ramah tapi penuh waspada.
“Ah, sobatku nenek canti
jelita bermata seperti Bintang Timur. Apakah kali ini kau muncul hendak
mengemis lagi? Atau ingin menotokku sekali lagi?!”
Dewi Maha Geni menyeringai.
Dari mulutnya keluar suara menggerendeng. Lalu perempuan tua yang sakti ini
berkata dengan suara keras.
”Jangan berlaku seperti pemuda
merayu janda!”
Wiro Sableng batuk-batuk
beberapa kali. ”Harap maafkan kelancanganku. Aku tidak tahu kalau kau seorang
janda!”
Sepasang mata Dewi Maha Geni
menyorot marah laksana api. Lidahnya dijulurkan membasahi bibirnya dan
lagi-lagi Wiro melihat lidah itu seperti lidah api.
”Sebetulnya aku sudah bosan
jadi pengemis. Tapi sekali ini tidak ada salahnya.
Lekas kau serahkan padaku
keranjang berisi rumput yang kau cantelkan di leher kuda itu!”
Ah, jadi dia sudah tahu apa
isi keranjang ini, membatin Wiro. Kalau perempuan tua beralis dan berambut
merah ini sudah berkata begitu berarti dia tidak main-main.
Tahu betul tingkat kepandaian
si nenek maka Wiro siapkan pukulan sinar matahari di tangan kiri dan tangan
kanan siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersisip di pinggangnya.
Namun selintas pikiran muncul dalam benaknya.
Kalau dia mampu menipu nenek
ini mengapa tidak dicobanya?
Daripada harus melakukan baku
hantam!
”Kalau kau tidak mau serahkan
keranjang itu, kau bisa ganti dengan menyerahkan jantungmu!” si nenek membentak
marah.
Pendekar 212 pura-pura
ketakutan tapi masih coba bergurau.
Nenek, aku tidak tahu kau
senang rerumputan. Kalau kau memang doyan lalapan rumput silahkan ambil
keranjang ini!” lalu dengan tangan kirinya Wiro lepaskan keranjang yang dicantelkannya
pada tali di leher kuda. Namun tumit kaki kanannya yang dialiri tenaga dalam
tanpa terlihat oleh Dewi Maha Geni ditusukkannya ke tulang rusuk kuda. Binatang
ini meringkik kesakitan dan mengangkat kedua kaki depannya tinggitinggi.
Wiro pura-pura jungkir balik
jatuh ke tanah.
Keranjang rumput yang hendak
diserahkannya jatuh bergelindingan dan bertabrakan dengan keranjang rumput yang
satu lagi yang masih ada di tepi jalan. Kedua keranjang itu sama-sama terguling
dan sama-sama bergelindingan. Wiro mengejar dan menangkap salah satu dari dua
keranjang itu.
Lalu dilemparkannya ke arah
Dewi Maha Geni.
”Ini keranjang yang kau minta
Nek! Ambillah!” ujar Wiro.
Nenek bermata api segera
menyambuti keranjang yang dilemparkan. Merasa bahwa keranjang itu memang
keranjang yang tadi berada di atas kuda maka Dewi Maha Geni cepat tinggalkan
tempat itu. Setelah si nenek menghilang di kejauhan Wiro tertawa gelak-gelak.
Diambilnya keranjang yang masih tergeletak di tengah jalan dan cepat-cepat
dicantelkannya ke tali leher kuda. Lalu murid Eyang Sinto Gendeng ini
menggebrak kuda tunggangannya. Binatang ini menghambur ke depan. Di atasnya
Wiro tak henti-hentinya tertawa karena berhasil menipu nenek tadi, menyerahkan
keranjang yang hanya berisi rumput, tidak berisi dua buah kotak kayu benda
pusaka Keraton Singosari itu!
Kita tinggalkan dulu Pendekar
212 yang berhasil mengelabui Dewi Maha Geni.
Kita menuju ke dalam kawasan
Keraton. Sesuai dengan nasihat Pendeta Mayana maka Raden Juwana mengumpulkan
keempat puteri Sang Prabu. Agar tidak mencurigakan mereka dinaikkan ke atas
empat kereta mayat. Sekitar seratus orang prajurit terpercaya tanpa pakaian
seragam mengawal empat kereta jenazah itu. Untuk mengelabui, enam orang
perempuan disewa mengikuti perjalanan. Tugas mereka adalah pura-pura menangis
bila berpapasan dengan orang lain. Sehingga orang menyangka bahwa rombongan
yang lewat itu adalah benar-benar rombongan duka yang membawa empat jenazah
yang akan disembahyangkan di satu tempat. Di sebelah muka menunggangi kuda Raden
Juwana.
Dalam rombongan terdapat si
katai Damar dan empat Perwira Muda. Mereka tidak menempuh jalan umum tapi
melewati perbukitan dan hutan belantara di Timur Laut Tumapel. Meskipun jarak
perjalanan menjadi tambah jauh namun terasa lebih aman. Di satu tempat Raden
Juwana yang merasa was-was atas keselamatan calon mertuanya yaitu Sri Baginda
berbalik kembali menuju Tumapel. Dia berpesan kepada Damar dan Perwira-Perwira
kepercayaan agar terus bergerak menuju Kudadu. Bila sang Prabu sudah
diselamatkan dia akan segera menyusul.
Sementara itu di Ruang
Pemanjatan Doa, Pendeta Mayana telah mendampingi Sang Prabu melakukan upacara
keagamaan. Di luar seratus pengawal berjaga-jaga. Bagi Pendeta Mayana apalah
artinya jumlah seratus prajurit itu jika nanti ribuan pasukan musuh berhasil
menerobos benteng pertahanan Singosari di Selatan lalu menyerbu Keraton.
Apalagi kalau orang-orang berkepandaian tinggi seperti si pengkhianat Argajaya
dan Dewi Maha Geni muncul di tempat itu, pasti keselamatan nyawa Sang Prabu
tidak akan tertolong.
Belum lama Pendeta Mayana
berpikir seperti itu, seorang prajurit tiba-tiba masuk ke dalam memberikan
laporan. Prajurit ini jatuhkan diri ke lantai, bersujud beberapa lamanya
kemudian baru duduk bersila di hadapan Sang Prabu dan Pendeta Mayana dengan
wajah pucat.
“Ada apa Prajurit?” tanya
Pendeta Mayana sedang Sang Prabu hanya memandang dengan lirikan matanya. Raja
Singosari ini masih berada dalam pengaruh minuman keras.
“Pasukan Singosari tidak
sanggup mempertahankan pintu gerbang Selatan.
Balatentara musuh berhasil
menjebol pintu gerbang dan saat ini tengah membanjir memasuki Kotaraja!
Panglima Argajaya ternyata berpihak pada mereka dan ikut memimpin pasukan
musuh!”
Pendeta Mayana mengelus
dadanya sendiri. Musuh cukup cerdik. Mereka sengaja mengirimkan pasukan kecil
menyerbu kawasan Utara, padahal mereka sebenarnya tengah menyelinapkan pasukan
besar di bagian Selatan Tumapel!
Wajah sang Pendeta nampak
muram. Sebenarnya dia sudah maklum bahwa suatu saat orang-orang Kediri di bawah
pimpinan Adikatwang yang sudah dianggap Raja oleh pengikutnya, dibantu
orang-orang Madura di bawah pimpinan Wira Seta akan melakukan penyerbuan. Namun
dia sama sekali tidak mengira hal itu terjadi demikian cepatnya.
“Prajurit,” kata Pendeta
Mayana. “Lekas kembali ke induk pasukanmu…”
Prajurit itu merunduk khidmat.
Lalu cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Dia tidak pernah kembali ke induk
pasukannya tetapi menghambur bersama kudanya menuju ke Barat yaitu ke arah
Jombang. Baginya kembali ke pasukan sama saja dengan menyerahkan nyawa pada
pemberontak.
Pendeta Mayana bangkit dari
duduknya lalu melangkah ke tempat Prabu Kertanegara duduk pejamkan mata. Dalam
keadaan biasa tidak mungkin Pendeta Mayana akan berani mengganggu sang Prabu.
Namu saat itu keadaan sudah sangat gawat. Dia harus memberi tahu Prabu
Kertanegara. ”Sang Prabu…,” kata Pendeta Mayana.
Kertanegara tetap tak bergerak
dalam duduknya. Mukanya tampak merah akibat pengaruh minuman keras.
”Sang Prabu!” memanggil
kembali Pendeta Mayana. Sekali ini dengan suara lebih keras. Ketika dilihatnya
kedua mata Kertanegara bergerak tanda dia mendengar panggilan tadi maka Pendeta
Mayana meneruskan ucapannya dengan suara keras. “Kita harus meninggalkan tempat
ini dengan segera Sang Prabu! Balatentara musuh telah memasuki Tumapel…”
“Kau takut pada orang-orang
Kediri dan orang-orang Madura itu, Pendeta Mayana?”
“Tidak ada yang saya takutkan
di dunia ini sang Prabu, kecuali terhadap para Dewa…”
“Kalau begitu ikuti aku memuja
dan berdoa pada Dewata.”
”Sang Prabu, maafkan saya. Doa
bisa dilakukan kemudian. Yang penting saat ini sang Prabu harus menyelamatkan
diri. Ikuti saya. Saya tahu jalan rahasia yang bisa membawa kita keluar dari
kawasan Keraton dan sampai di sebuah rimba belantara.”
Sang Prabu berpaling,
memandang menyeringai pada Pendeta Mayana.
”Lupakan apa yang ada dalam
pikiranmu Pendeta Mayana. Lebih baik kau pimpin upacara berdoa ini. Kita berada
di tempat suci. Para Dewa akan melindungi kita.
Balatentara musuh tidak akan
dapat menyerbu ke tempat ini!
Kita punya pasukan besar dan
setia serta berani. Kita punya orang gagah seperti Panglima Argajaya, Dewi Maha
Geni, serta belasan Perwira.”
”Panglima Argajaya telah
berkhianat. Dia menyeberang ke pihak penyerbu. Dewi Maha Geni saya yakin juga
melakukan hal yang sama,” mejelaskan Pendeta Mayana.
Kening sang Prabu tampak
mengerenyit tapi dia tidak berkata apa-apa.
”Sang Prabu, waktu kita hanya
tinggal sedikit. Lekas ikuti saya…!”
”Kalau kau mau pergi, pergilah
sendiri. Aku akan tetap di sini. Jangan ganggu aku lebih lama!” Sang Prabu lalu
mencabut keris yang tersisip di pinggangnya dan meletakkan senjata ini di atas
meja kecil di hadapannya.
Keris itu adalah senjata
sakti, termasuk salah satu pusaka Kerajaan.
Dalam ke adaan sang Prabu
seperti itu akan sulit bagi Pendeta Mayana untuk membujuknya. Sementara itu di
luar terdengar sorak sorai gegap gempita disusul suara beradunya senjata.
Pendeta Mayana mengintai dari balik kisi-kisi di dinding. Dia melihat banyak
sekali pasukan musuh mengurung dan menghantam seratus prajurit yang melindungi
Raja. Bagaimanapu seratus prajurit itu mempertahankan diri namun jumlah lawan
banyak sekali.
Pendeta Mayana berpaling pada
sang Prabu. Saat itu dilihatnya sang Prabu tengah meneguk minuman keras dari
dalam sebuah tabung bambu. Tak ada jalan lain.
Sang Pendeta segera mendekati
Rajanya. Begitu berdekatan dengan cepat ditariknya lalu dipanggulnya di bahu
kiri.
Namun pertolongan yang
dilakukan oleh Pendeta Mayana sia-sia saja. Saat itu puluhan prajurit lawan
telah menyerbu masuk ke ruangan itu. Kebanyakan dari mereka segera mengenali
sang Prabu dan Pendeta Mayana.
Tidak menunggu lebih lama
puluhan prajurit segera memburu kedua orang itu dengan senjata masing-masing.
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara membentak.
”Tahan! Raja Singosari itu
punya hutang padaku! Aku yang akan menghabisinya!”
Lalu terdengar suara ringkikan
kuda disusul ada suara angin menyambar dan tahu-tahu seekor kuda hitam besar
sudah berada dalam ruangan itu. Di atas punggungnya duduk seorang lelaki
berusia sekitar enam puluh tahun berpakaian sederhana. Rambutnya yang hitam
digulung di atas kepala. Di pihak musuh, suara itu tidak asing lagi. Mereka
segera batalkan serangan lalu bergerak mundur tapi tetap dalam keadaan
mengurung.
Melihat tidak ada jalan untuk
lari, perlahan-lahan Pendeta Mayana turunkan tubuh sang Prabu yang didukungnya.
Raja Singosari ini tegak terhuyung-huyung setengah tidak sadar, bersandar ke
dinding. Di hadapannya saat itu Pendeta Mayana melihat Adikatwang penguasa
Gelang-Gelang di Kediri duduk di atas punggung kuda sambil memegang sebilah
pedang. Di bagian lain sang Pendeta melihat Panglima Argajaya berdiri diantara
para prajurit penyerbu.
”Sri Baginda yang mengakui
sebagai Prabu dan Raja Singosari!” tiba-tiba suara Adikatwang menggeledek di
ruangan itu. ”Belasan tahun lalu kau membunuh ayahku.
Kini puteranya akan menuntut
balas! Bersiaplah menerima kematianmu!”
Habis berkata keras begitu
Adikatwang melompat dari kudanya. Namun gerakannya disongsong oleh Pendeta
Mayana.
”Adikatwang manusia tidak
berbudi!” bentak Pendeta Mayana. ”Ini balasanmu terhadap Sang Prabu yang telah
mengampuni jiwamu dan memberikan kedudukan tinggi di Gelang-Gelang…!”
”Pendeta Mayana! Kau tidak
masuk dalam daftar manusia-manusia Singosari yang harus disingkirkan. Tapi jika
kau tidak segera minggat dari hadapanku, kau akan kubunuh saat ini juga!”
Diancam seperti itu Pendeta
Mayana ganti tertawa dan menjawab. ”Kau bodoh!
Seharusnya kau masukkan aku
dalam daftar orang-orang yang harus kau bunuh! Aku bukan pendeta yang
berpantang membunuh demi menyelamatkan Singosari dan Sang Prabu Raja syah
kerajaan ini!”
Pendeta Mayana tutup ucapannya
dengan menghantamkan kedua tangannya ke depan sekaligus! Dua gelombang angin
menderu. Adikatwang tidak berlaku ayal. Dia sudah lama tahu kalau Pendeta
Mayana bukan Cuma seorang pendeta agama biasa, tetapi seorang yang memiliki
kesaktian tinggi. Cepat-cepat Adikatwang menyingkir dengan melompat kek kiri.
Dua gelombang angin menyambar lewat di sampingnya.
Saat itu juga terdengar pekik
jerit kematian sembilan orang prajurit yang terkena hantaman pukulan Pendeta
Mayana.
Adikatwang cepat berpaling
pada Panglima Argajaya dan berkata: ”Dimas Argajaya! Aku tak ingin mengotorkan
tangan membunuh manusia satu ini! Kau bereskan dia!”
Adikatwang lalu melompat
menjauhi Pendeta Mayana namun terus berkelebat ke arah Sang Prabu yang masih
tegak tersandar ke dinding. Pedangnya menyambar. Pendeta Mayana berteriak marah
dan coba memburu Adikatwang. Namun gerakannya dihadang oleh Argajaya yang
melompat ke hadapannya dengan golok besar terhunus.
”Pengkhianat busuk terkutu!”
teriak Pendeta Mayana.
Dengan tangan terpentang dia
menerjang. Argajaya babatkan goloknya tapi serangannya luput. Sebaliknya
serangan Pendeta Mayana pun dapat dihindari oleh Argajaya yang kemudian
berteriak pada beberapa Perwira dan puluhan prajurit yang ada di sekitarnya.
Pendeta Mayana tak dapat menghindarkan diri dari keroyokan begitu banyak lawan.
Dengan mengandalkan tangan kosong dan pukulan-pukulan sakti dia mampu
merobohkan belasan lawan. Namun lebih banyak yang datang. Selagi dia terdesak
dan bertahan mati-matian di bagian lain didengarnya suara jeritan Sang Prabu.
Pendeta Mayana yang telah
menderita beberapa luka di tubuhnya berpaling ke arah suara jeritan itu. Lalu
terdengar Pendeta ini meraung ketika melihat apa yang terjadi.
Adikatwang tegak menyeringai
memegang pedang yang berlumuran darah. Di depannya, tersandar ke dinding sang
Prabu berdiri megap-megam sambil pegangi perutnya yang berlumuran darah akibat
tusukan pedang Adikatwang.
”Manusia iblis! Biadab!”
teriak Pendeta Mayana. Dia melompat ke arah Adikatwang dan menghantam dengan
seluruh tenaga dalamnya yang ada. Namun dari samping Panglima Argajaya memotong
gerakannya dengan sambaran golok besar.
Hantaman Pendeta Mayana memang
berhasil membunuh seorang Perwira Kediri dan delapan prajurit musuh. Namun
tangannya tidak dapat diselamatkan dari tabasan golok yang dibabatkan Argajaya.
Tangan kanan itu putus. Darah memancur. Selagi Pendeta Mayana terhuyung menahan
sakit, golok di tangan Argajaya bergerak menusuk lambung pendeta itu.
”Ananta!” tiba-tiba terdengar
seseorang menjerit menyebut nama asli Pendeta Mayana. Lalu terdengar suara
berdesing. Tiga buah benda aneh memancarkan warna berkilau melesat dalam Ruangan
Pemanjatan Doa. Di lain kejap terdengar jeritan Panglima Singosari yang
berkhianat itu. Sebuah senjata berupa tusuk kundai terbuat dari perak menancap
di keningnya. Dua buah lainnya menancap di lehernya!
Sekujur tubuh Argajaya nampak
bergetar. Dia seperti menahan rasa sakit yang luar biasa. Lalu terdengar
jeritannya sekali lagi. Tubuhnya kemudian terbanting ke lantai, menggeliat
beberapa kali akhirnya meregang nyawa dengan mata membeliak dan lidah mencelet.
Seluruh muka dan lehernya sampai ke dada tampak berubah menjadi seputih kapur!
Mengerikan untuk dipandang.
Selagi semua orang geger
melihat apa yang terjadi, satu sosok berkelebat laksana bayangan. Orang ini
menyambar tubuh Pendeta Mayana lalu memanggulnya. Belasan prajurit dan beberapa
orang Perwira berusaha menangkap atau menghantamnya dengan senjata. Orang yang
memanggul tubuh Pendeta Mayana membuat dua kali gerakan.
Enam orang prajurit roboh,
seorang Perwira langsung meregang nyawa dengan kepala pecah. Lalu laksana ada
kilat yang menyambar, di ruangan itu terdengar suara letusan keras disertai
menghamparnya hawa panas dari suatu sinar yang menyilaukan. Ruangan Pemanjatan
Doa tergoncang seperti dilanda gempa. Dinding, langit-langit dan lantai ruangan
berderak.
”Lekas tinggalkan tempat ini!”
terdengar teriakan Adikatwang. Lalu pimpinan pemberontak ini melompat ke arah
pintu. Beberapa orang mengikutinya. Yang lain tidak sempat menyelamatkan diri.
Ruangan Pemanjatan Doa itu runtuh dengan suara bergemuruh. Sekitar enam puluh
orang terkubur hidup-hidup di dalamnya, belum terhitung belasan mayat termasuk
jenazah Sang Prabu dan Panglima pengkhianat yaitu Argajaya.
Selamat dari tertimbun ruangan
yang runtuh wajah Adikatwang nampak pucat di balik debu reruntuhan bangunan.
Dia memandang berkeliling. Namun
dia tidak melihat lagi bayangan orang yang tadi melarikan tubuh Pendeta Mayana.
***
BAB VIII
Pendeta Mayana tahu kalau
dirinya dipanggul dan dilarikan laksana kilat. Namun dia tidak tahu siapa yang
melarikannya itu. Dibukanya kedua matanya. Pemandangannya berkunang dan kabur.
Dia melihat wajah itu tapi sangat samar-samar. Lalu dia ingat kejadian di
Ruangan Pemanjatan Doa. Saat itu dia dalam keadaan luka. Tangan kanannya
buntung. Lalu perutnya ditembus golok Argajaya. Saat itu dia mendengar ada seseornag
berteriak menyebut namanya. Bukan memanggilnya sebagai Pendeta atau Mayana tapi
menyebut nama aslinya yaitu Ananta! Suara teriakan itu jelas suara perempuan.
Jika ada seorang perempuan yang tahu nama aslinya maka hanya satu orangnya
yaitu nenek sakti Sinto Gendeng alias Sinto Weni.
Dalam keadaan luka parah
seperti itu Pendeta Mayana alisan Ananta Wirajaya coba mengerahkan tenaga
dalamnya. Lama dan perlahan sekali akhirnya dia mampu memandang sedikit lebih
jelas. Wajah itu. Wajah orang yang mendukungnya. Wajah seorang nenek berkulit
hitam keriput dan cekung. Memang dia!
”Sinto Weni, betul kakukah ini
yang memanggul dan melarikanku…?”
terdengar suara menjawab
tersendat. ”Jangan bicara dulu Ananta. Lukamu parah sekali. Aku tidak yakin
bisa menyelamatkanmu…”
”Kau telah menyelamatkanku.
Aku berterima kasih. Bawa aku ke tempat yang teduh Sinto. Aku ingin bicara
banyak hal denganmu disana. Aku.. aku ingin mati bahagia dalam pelukanmu.”
”Jangan bicara begitu Ananta!
Jangan bicara lagi atau aku terpaksa menotok jalan suaramu…”
Ananta diam tapi tersenyum.
”Bawalah aku kemana kau suka Sinto. Kali ini jangan kau tinggalkan lagi
diriku…”
Sinto Weni tidak dapat menahan
air mata yang membuat kedua matanya berkacakaca.
Dia mendengar apa yang diminta
Ananta Wirajaya. Dia tahu mungkin itu adalah permintaannya yang terakhir.
Karena itu Sinto Weni membawa Ananta Wirajaya yang dipanggulnya menuju sebuah
puncak bukit kecil yang teduh dimana tumbuh pepohonan rindang dan
kembang-kembang liar warna-warni.
Hati-hati sekali nenek sakti
itu membaringkan Ananta di atas rerumputan. Pendeta ini berusaha membuka kedua
matanya lebih besar agar dia dapat melihat orang yang dikasihinya itu lebih
jelas. Lalu terdengar suaranya berbisik. ”Sinto…Aku ingin mati di dalam
pelukanmu. Peluk diriku Sinto…”
Betapapun kerasnya hati nenek
sakti ini dia tetap seorang perempuan yang punya hati dan sentuhan rasa. Dia
membungkuk dan menangis terisak-isak lalu memeluk tubuh Ananta.
”Boleh…boleh aku melihat
wajahmu untuk terakhir kali Sinto…?”
Sinto Weni melepas kulit tipis
yang selama puluhan tahun menutupi wajahnya.
Kelihatan kini satu wajah
putih yang keriputan tapi masih membayangkan kecantikan di masa muda.
Dengan tangan kirinya Ananta
Wirajaya berusaha membelai wajah orang yang dikasihinya itu tapi tangannya
hilang kekuatan dan jatuh. Saat itu pula terdengar suara tercekik halus di
tenggorokannya. Kepala lelaki itu terkulai. Sinto Weni menjerit keras dan
memeluk tubuh yang sudah tidak bernapas itu. Air matanya membasahi wajah Ananta
ketika dia menciumi lelaki itu sejadi-jadinya. ”Aku mengasihimu Ananta. Hanya
kau seorang yang benar-benar mendapat tempat di hatiku. Aku ingin ikut
bersamamu Ananta…” Ratapan Sinto Weni yang menyayat hati itu hanya disambut
oleh suara hembusan angin di puncak bukit.
”Ananta! Aku bersumpah
membalaskan kematianmu!” kata Sinto Weni diantara suara isakannya.
***
Kejatuhan Kraton Tumapel dan
runtuhnya Kerajaan Singosari tidak dapat dielakkan lagi. Apalagi kalau tewasnya
Sri Baginda Prabu sudah tersebar luas. Di tengah berkecamuknya pertempuran di
sekitar Kotaraja, seorang mata-mata membawa kabar kepada Adipati Sumenep Wira
Seta. Kabar ini kemudian diteruskan Wira Seta kepada pembantu utamanya yaitu
pemuda berkepandaian tinggi bernama Gandita.
”Bawa tigaratus prajurit.
Kejar rombongan itu! Ingat jika apa yang dikatakan mata-mata memang benar
jangan biarkan seorangpun hidup!”
Gandita mengangguk lalu cepat
memisahkan diri keluar dari pertempuran. Tak lama kemudian kelihatan dia
membawa satu rombongan besar pasukan terdiri dari tiga ratus prajurit gabungan
Kediri-Madura. Rombongan berkuda ini bergerak meninggalkan Kotaraja ke arah
Timur Laut. Menjelang rembang petang, setelah melewati satu jalan memintas
Gandita dan pasukannya berhasil mencapai sebuah bukit kecil. Memandang ke bawah
mereka melihat satu rombongan sekitar seratus orang berkuda membawa empat
kereta jenazah. Rombongan ini bukan lain adalah rombongan yang telah berusaha
menyelamatkan empat puteri sang Prabu. Mereka tidak pernah menyangka kalau
pihak musuh telah mengetahui rahasia besar yang ada dalam rombongan itu. Yang
lebih mengenaskan ialah saat itu setelah ditinggalkan oleh Raden Juwana yang
hendak menyelamatkan rombongan tidak memiliki lagi seorang berkepandaian tinggi
kecuali lelaki katai bernama Damar.
Dari atas bukit Gandita
membawa turun pasukannya ke sebuah jalan menikung.
Pasukan bergerak melebar dan
begitu sampai di tikungan kembali merapat membentuk japitan. Ketika rombongan
yang membawa empat kereta jenazah sampai di tikungan jalan serat merta mereka
berada dalam kepungan rapat. Dari atas kudanya Gandita memandang berkeliling.
Ada empat kereta jenazah. Dikawal oleh hampir seratus orang berpakaian biasa.
Di bagian depan kereta ada satu atau dua orang perempuan yang bermata merah
tanda banyak menangis.
”Siapa pimpinan rombongan
ini?!” teriak Gandita sambil tekankan tangan kanan ke hulu golok yang terselip
di pinggangnya.
Orang tua bernama Damar
mengangkat tangannya dan menjawab. ”Aku pimpinan rombongan yang tengah berduka
ini!”
”Hemmmm..manusia katai. Aku
pernah melihatmu. Kau bekerja di Keraton.
Sebagai perawat kuda-kuda
Kerajaan! Betul! Memang kau orangnya!”
”Dugaanmu tidak meleset!”
jawab Damar.
”Rombonganmu ini dari mana dan
mau kemana?”
“Ini adalah rombongan berduka.
Empat orang kerabat kami menemui ajal karena penyakit sampar. Kami akan
mengurus upacara pemakaman mereka di muara Kali Mas.”
”Begitu?” ujar Gandita sambil
menyeringai. ”Aku mau periksa kereta jenazah itu satu per satu!”
”Kalian manusia-manusia tidak
tahu peradatan! Berani mengganggu orang yang sedang berduka! Kalau kalian
adalah prajurit-prajurit pemberontak mengapa jauh-jauh berada di sini
menghadang kami? Bukankah kalian ingin merebut tahta Kerajaan Sang Prabu?
Pergialh ke Tumapel! Bertempur disana!”
”Manusia katai! Cakapmu banyak
amat! Bawa rombonganmu meninggalkan tempat ini. Empat kereta jenazah tetap di
sini!”
”Aku meminta kaulah yang harus
segera meninggalkan tempat ini! Pergilah mencari mampus di Tumapel!”
Kesabaran Gandita habis sudah.
Dia memberi isyarat pada pasukannya. Tiga ratus prajurit menyerbu seratus lawan
yang telah terkurung rapat. Si katai Damar yang sadar tidak bisa berbuat banyak
menyelamatkan empat kereta jenazah berisi puteri-puteri sang Prabu memutuskan
untuk berjibaku. Tubuhnya melesat dari punggung kuda. Enam prajurit yang
berusaha menghantamnya dengan berbagai senjata terpental. Dua roboh tak
berkutik lagi, empat terjengkang jatuh ke tanah.
”Hemm… Si katai ini rupanya
bukan tukang kuda biasa! Aku mau lihat sampai dimana kehebatannya!” habis berkata
begitu Gandita majukan kudanya lalu lepaskan pukulan tangan kosong ke arah
Damar. Orang tua ini memang memiliki kepandaian tidak rendah. Tapi dibandingkan
dengan ilmu yang dimiliki Gandita, pemuda itu bukanlah lawannya. Setelah
berhasil mengelakkan serangan pemuda ini dia tampak mengeruk saku pakaiannya.
Lalu terdengar suara berdesing. Tiga buah senjata rahasia berbentuk paku hitam
melesat ke arah kepala, dada dan perut Gandita.
Yang diserang cabut golok
besarnya. Sesaat kemudian senjata itu berkelebat di udara. Terdengar tiga kali
suara berdentangan. Tiga paku terbang yang dilemparkan Damar runtuh ke tanah.
Satu diantaranya menghantam leher seorang prajurit Kediri hingga dia tewas saat
itu juga!
Golok di tangan Gandita
berkelebat ganas kian kemari. Namun ternyata tidak gampang baginya untuk dapat
membacok atau menusuk lawan pendek yang mampu bergerak cepat kian kemari.
Apalagi saat itu Gandita masih tetap berada di atas kuda tunggangannya. Sebelum
dia memutuskan untuk melompat turun, si katai Damar berhasil menyelinap di
bawah tubuh binatang itu dan memukul pecah kemaluan kuda jantan ini.
Diiringi ringkik setinggi
langit kuda itu mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi, membuat Gandita
terpental. Meskipun dia sanggup jatuh ke tanah dengan kedua kaki lebih dahulu
namun amarah si pemuda sudah tak terkendalikan lagi. Tubuhnya berkelebat ke
depan. Goloknya berubah jadi bayang-bayang yang mengeluarkan suara bersiuran.
Di samping itu Gandita telah pula memberi isyarat pada anak buahnya. Sepuluh
orang prajurit bergabung dengannya menyerang Damar. Empat prajurit berhasil
dirobohkan Damar, namun lebih banyak lagi yang datang mengeroyok. Si katai tua
ini hanya mampu bertahan enam jurus. Dengan tubuh penuh luka dia bersandar ke
roda salah satu kereta jenazah. Dalam keadaan tak berdaya dia harus menerima
tusukan golok Gandita di perutnya!
Seratus prajurit yang setia
pada Kerajaan bertahan mati-matian menyelamatkan empat puteri Sang Prabu yang
ada dalam empat kereta jenazah itu. Namun kekuatan lawan yang tiga kali lebih
besar tidak dapat dibendung. Apalagi setelah melihat matinya Damar, mereka
merasa tidak punya daya lagi. Dua belas prajurit dan seorang Perwira yang masih
hidup jatuhkan diri tanda menyerah. Tanpa ampun Gandita memerintahkan
pasukannya untuk memancung prajurit-prajurit dan Perwira yang menyerah ini!
Lalu dia melompat ke arah salah satu kereta jenazah. Dengan kasar didorongnya
dua orang perempuan yang duduk di depan kereta. Ketiga pintu kereta dibuka,
sepasang mata Gandita tampak membesar. Di dalam sana tampak puteri bungsu sang
Prabu duduk menyudut dengan wajah pucat pasi ketakutan. Di tangan kanannya
puteri ini memegang sebilah pisau.
“Kalau kau sentuh aku, aku
akan bunuh diri!” mengancam Gayatri.
Gandita tersenyum. “Tidak ada
seorangpun yang akan menyakitimu Raden Ayu Gayatri.” Tanpa ada yang tahu
sebenarnya Gandita sudah sejak lama secara diam-diam jatuh cinta terhadap
puteri bungsu sang Prabu ini. Namun ketika diketahuinya ada semacam hubungan
rahasia antara puteri Keraton Singosari ini dengan Pendekar 212 Wiro Sableng
yang sangat dibencinya itu, maka rasa cinta sepihak pembantu utama Adipati
Sumenep ini kini dikobari rasa benci, dendam dan itikad untuk menguasai Gayatri
secara keji. Kesempatan itu kini sudah ada di depan mata, di dalam tangannya karena
Sang Puteri berada dalam kekuasaannya. Dan saat itu malam segera pula akan
tiba. Pucuk dicinta ulam tiba!
”Apa yang kalian lakukan
terhadap kami? Prabu Singosari akan memancung kepalamu jika berani berlaku
kurang ajar terhadapku!”
Gandita mengulurkan tangannya
memegang paha Gayatri. Puteri bungsu sang Prabu ini hunjamkan pisaunya ke
tangan Gandita. Tapi si pemuda sepat menarik pulang tangannya. ”Raden Ayu
Gayatri! Sejak saat ini tak perlu lagi menyebut-nyebut nama Singosari. Kerajaan
itu sudah runtuh! Musnah! Masih untung kalau Ayahandamu dibiarkan hidup.
Dengar, malam ini kau akan bersamaku. Kita akan berdua-dua…!”
”Mulutmu kotor! Otakmu keji!”
teriak Gayatri marah sekali. Dia melompat dan kembali menusukkan pisaunya ke
arah Gandita. Tapi dengan cepat pemuda ini merangkul pinggangnya dengan tangan
kiri sedangkan tangan kanan menotok dada Gayatri hingga puteri Kerajaan ini
tersentak dan kaku tak bisa bergerak lagi. Gandita memanggul Gayatri di bahu
kirinya.
Sementara itu ketika tiga
kereta jenazah lainnya diperiksa dalam masing-masing kereta memang ditemui
ketiga puteri Raja Singosari.
”Kumpulkan ketiga puteri ini
di satu tempat,” perintah Gandita. ”Puteri Gayatri biar aku yang mengurus. Kita
berkemah malam ini di sini. Kalian semua boleh istirahat!”
”Tapi Raden,” berkata seorang
Prajurit Kepala.
”Bukankah Adipati Wira Seta
meminta kita segera kembali ke Kotaraja begitu urusan di sini selesai?”
Sepasang mata Gandita
membeliak. ”Aku yang mengambil segala putusan dan mengeluarkan perintah di
sini!” bentak Gandita dengan mata melotot. ”Jika kau ingin pergi ke Kotaraja,
lebih baik minggat sekarang-sekarang!”
Prajurit Kepala itu hanya bisa
berdiam diri.
Gandita berpaling pada seorang
pembantunya. ”Siapkan sebuah kemah untukku di bawah pohon sana! Dan dengar
baik-baik! Kalau aku berada dalam kemah itu, jangan ada yang berani
mengganggu!”
Si pembantu mengangguk lalu
bersama beberapa orang lainnya dia segera melakukan apa yang diperintahkan
Gandita. Membangun sebuah kemah untuk atasan mereka itu.
***
BAB IX
Ketika Raden Juwana bersama
empat pengiringnya memasuki Kotaraja dan sampai di Keraton Tumapel, saat itu
Ruang Pemanjatan Doa baru saja runtuh menimbun jenazah Prabu Singosari dan
Panglima pengkhianat Argajaya. Raden Adikatwang masih belum sirna kejut dan
kecutnya. Wajahnya masih tampak memucat. Para pengawal dan pembantunya
mengelilinginya. Kalau saja dia terlambat keluar dari ruangan tadi, pasti dia
akan ikut tertimbun hidup-hidup. Dalam tegak seperti tertegun Adikatwang
berpikir dan menduga-duga siapa adanya nenek sakti yang mampu membunuh Argajaya
dengan senjatanya berupa tiga buah tusuk konde perak lalu menyambar dan
menyelamatkan tubuh Pendeta Mayana yang terluka parah.
Selagi dia berpikir-pikir
begitu tiba-tiba Adikatwang melihat kemunculan Raden Juwana bersama empat
pengiringnya. Adikatwang mengenali siapa adanya Raden Juwana. Lebih dari itu
dia tahu kalau Raden Juwana adalah calon menantu mendiang Prabu Singosari,
pemuda gagah yang akan dinikahkan dengan puteri sulung sang Prabu yaitu Tribuana
Tunggadewi.
”Manusia ini harus
dilenyapkan! Kalau tidak bisa berbahaya!” membatin Adikatwang. Dia memberi
isyarat pada Adipati Wira Seta. Melihat isyarat Adikatwang.
Adipati Sumenep itu cepat
mendatangi.
”Saya tahu apa yang ada di
benak Kangmas Adi,” kata Wira Seta pula.
”Kalau begitu kita bunuh dia
sekarang juga!”
”Jangan, dia lebih berguna
kalau dibiarkan hidup,” jawab Wira Seta.
”Apa gerangan maksud Dimas?”
bertanya Adikatwang.
”Setelah sang Baginda dan
Patih Raganatha tewas dia satu-satunya orang penting dan berbobot di Singosari.
Bukankah dia keturunan Raja besar Singosari pertama yaitu Ken Arok yang
bergelar Sri Ranggah Rajasa? Kalau dia tidak disingkirkan sekarang, di kemudian
hari bisa menjadi pangkal bahaya!”
”Apa yang Kangmas katakan itu
betul. Tapi untuk sementara biar dia kita tangkap hidup-hidup. Kita perlu
beberapa keterangan penting dari dia.” Wira Seta lebih mendekat.
Lalu berbisik ke telinga
Adikatwang. ”Orang kita memberi kabar bahwa dua pusaka sangat berharga milik
Keraton Singosari yaitu Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa tidak ditemui
di tempat penyimpanan rahasianya!”
“Kurang ajar! Padahal dua
benda pusaka itu sangat diperlukan syahnya aku menjadi penguasa Singosari dan
Kediri!” kata Adikatwang sambil mengepalkan tinjunya.
“Di samping itu saya mendengar
kabar bahwa keempat puteri Sang Prabu lenyap tanpa bekas. Diduga dia kabur
bersama Pendeta Mayana, tapi ternyata Pendeta itu berada dalam Ruangan
Pemanjatan Doa. Walaupun seorang tak dikenal melarikan dan menyelamatkan dirinya
namun saat ini dia pasti sudah tewas karena luka-lukanya. Nah, kalau pemuda itu
kita tangkap hidup-hidup, saya yakin dia bisa memberi keterangan dimana
beradanya dua benda pusaka Keraton Singosari serta dimana pula beradanya empat
puteri Sri Baginda.”
“Kalau begitu, saya setuju
pada pendapat Dimas Wira Seta! Lekas gerakkan orang kita untuk mengurung pemuda
itu. Saya mendengar si Juwana ini membekal ilmu kesaktian bernama geger guntur.
Kita harus berhati-hati.”
Adipati Wira Seta menyeringai.
“Dia boleh punya seribu ilmu. Namun dia tidak lebih seorang pemuda hijau yang
tak punya apa-apa. Lagi pula masakan kita berdua tidak bisa meringkusnya?”
Di lain pihak Raden Juwana
telah pula melihat kedua orang musuh besar Singosari itu. Meskipun dia belum
dapat memastikan nasib Sang Prabu Baginda Raja namun melihat runtuhnya Ruangan
Pemanjatan Doa pemuda ini merasa sangat khawatir bahwa sesuatu telah terjadi
dengan Raja Singosari itu. Ketika dia meninggalkan Keraton sebelumnya, sang
Prabu berada di dalam ruangan itu. Kini ruangan itu dilihatnya dalam keadaan
runtuh porak poranda. Jangan-jangan sang Prabu tertimbun di dalamnya! Walau
hatinya bersikeras ingin menyelidiki namun menyadari bahaya yang bakal
dihadapinya jika dia terus berada di situ maka Raden Juwana cepat mengajak para
pengiringnya meninggalkan tempat itu. Tapi terlambat. Puluhan prajurit telah
mengurung mereka. Lalu Adikatwang dan Wira Seta bergerak ke tengah lingkaran.
“Calon menantu sang Baginda
yang malang!” menegur Adikatwang dengan seringai pongah mengejek. “Calon
mertuamu Prabu Singosari sudah jadi mayat di bawah puing reruntuhan di sebelah
sana! Patih Kerajaan sudah tewas! Kini tinggal kau seorang diri. Jika kau mau
menyerah secara baik-baik dan ikut bersama kami, tubuhmu akan tetap utuh. Aku
berjanji memberikan satu kedudukan yang lumayan untukmu. Tapi kalau kau
bertindak bodoh dan berani melawan, nyawamu tidak lebih berharga dari sampah
busuk!
Nah, kau memilih madu atau
minta racun?!”
“Manusia-manusia terkutuk!
Pengkhianat busuk! Kalian menghidangkan racun!
Sekarang minumlah sendiri!”
teriak Raden Juwana. Pemuda itu cabut pedangnya lalu mendahului membuka
serangan.
Ilmu pedang Raden Juwana
memang hebat. Sekali dia membabatkan pedang, dua prajurit yang mengurung roboh
mandi darah. Empat prajurit musuh bergerak maju.
Keempatnya langsung tersungkur
luka-luka. Sesaat para pengurung menjadi kecut.
Namun Adikatwang berteriak
memberi semangat lalu bersama Wira Seta dia menyerbu masuk ke kalangan
pertempuran. Empat pengiring Raden Juwana merupakan korban pertama kedua orang
berkepandaian tinggi ini. Raden Juwana mengamuk dengan pedang di tangan kanan
sementara tangan kiri mulai melepas pukulan tangan kosong mengandung aji
kesaktian bernama geger guntur. Setiap tangan itu dihantamkan terdengar suara
dahsyat seperti suara guntur. Lalu menyusul satu gelombang angin panas menyapu
dengan ganas. Belasan prajurit pengurung mencelat mental dan roboh berkaparan
tanpa nyawa.
”Awas! Hati-hati Dimas!”
teriak Adikatwang.
Bagaimanapun kehebatan ilmu
pedang dan pukulan sakti yang dimiliki Raden Juwana, dikurung ratusan prajurit
serta menghadapi dua tokoh pemberontak berkepandaian tinggi setelah mengamuk
selama sebelas jurus, dalam satu gebrakan hebat pedang di tangan Raden Juwana
berhasil dibuat mental oleh hantaman golok Adikatwang. Walau golok Adikatwang
patah dua tapi jelas bahwa tingkat tenaga dalam pimpinan pemberontak ini jauh
lebih tinggi dari yang dimiliki Raden Juwana.
Dalam keadaan tanpa senjata
begitu rupa, Raden Juwana kini pergunakan kedua tangannya untuk menebar maut
dengan melepaskan pukulan-pukulan geger guntur.
Semua serangannya diarahkan
pada Adikatwang yang dianggapnya sebagai biang racun malapetaka dan gembing
utama kaum pemberontak. Adikatwang yang sejak tadi telah berlaku waspada sambut
serangan Raden Juwana dengan mengangkat kedua tangannya pula. Dari telapak
tangan orang ini kelihatan sinar cahaya kebiru-biruan. Inilah ilmu kesaktian
andalan Adikatwang yang didapatnya dari seorang Resi di pantai Selatan. Dia
harus berpuasa dan merendam diri dalam lautan selama 40 hari untuk mendapatkan
ilmu kesaktian yang bernama gelombang hantu itu. Berbarengan dengan terlihatnya
sinar kebiruan maka menggemuruh suara seperti ombak sambung-menyambung serta
deru angin seperti badai mengamuk. Suara seperti guntur yang menyertai ilmu
pukulan yang dilepaskan Raden Juwana tampak bergetar keras. Mukanya menjadi
pucat dan keningnya penuh dengan butir-butir keringat. Ketika dia berusaha
bertahan, di depannya Adikatwang dorongkan kedua tangannya. Sinar biru pukulan
gelombang hantu kelihatan berkilau terang. Saat itu pula Raden Juwana merasakan
dadanya seperti dihantam batu besar. Dari mulutnya meleleh darah. Sadar bahaya
maut yang bakal dihadapinya jika dia bersikeras melayani kekuatan lawan maka
Raden Juwana cepat jatuhkan diri ke tanah.
Ketika dia berusaha tegak
dengan sempoyongan, dari belakang Wira Seta mendatangi lalu menotok punggungnya
dengan cepat hingga pemuda ini kaku tegang tak berkutik lagi.
Lima orang prajurit Kediri
segera meringkusnya. Ketika hendak dinaikkan ke atas seekor kuda Raden Juwana
berpaling pada Adikatwang. ”Aku tidak takut mati! Mengapa kau tidak membunuhku
saat ini juga?!”
Adikatwang menyeringai.
“Bersabarlah sedikit anak muda. Akan datang saatnya aku mengorek jantung dan
hatimu!”
”Manusia pengkhianat busuk!
Sang Prabu telah mengampuni nyawamu dan masih mau memberikan kedudukan tinggi
di Gelang-Gelang. Sekarang ini balasanmu terhadapnya. Kau bukan manusia tapi
iblis laknat! Terkutuk kau dan keturunanmu!”
Plaak!
Tamparan Adikatwang meledak di
muka Raden Juwana. Pipi kiri pemuda ini tampak bengkak merah kebiruan. Bibirnya
pecah mengeluarkan darah. Tapi di wajahnya sedikitpun tidak ada tampak rasa
takut. Malah dengan menyeringai sinis dia mengangkat kepalanya lalu meludahi
muka Adikatwang!
”Keparat rendah!” teriak
Adikatwang. Dia menyambar golok seorang prajurit.
Sewaktu senjata itu hendak
dipancungkannya ke leher Raden Juwana, Adipati Wira Seta cepat menghalangi
seraya berbisik. ”Ingat rencana kita harus membiarkan nafasnya berjalan.”
Tubuh Adikatwang nampak
bergetar menahan amarah. Golok di tangannya dibanting hingga terhunjam masuk ke
tanah sampai ke gagangnya. Dalam hati dia menyumpah. “Aku akan menentukan cara
matimu yang paling sengsara Juwana!”
***
BAB X
Adikatwang duduk di singgasana
milik Sri Baginda Singosari sambil tiada hentinya tersenyum. Dia benar-benar
telah mendapatkan apa yang diidamkannya, menumbangkan Kerajaan Singosari,
merebut tahta Sang Prabu, dan menjadi Raja di Raja di Kediri dan Singosari.
Di samping singgasana berdiri
Adipati Sumenep Wira Seta. Semuanya tidak kalah dengan Adikatwang yang kini
tengah mabuk kepayang. Di sekelilingnya berdiri para pembantu kepercayaannya
yang lain, yang telah membantu perjuangannya meruntuhkan Singosari dan
menjadikannya sekarang seorang Raja besar. Beberapa orang Pendeta Istana juga
kelihatan berada di tempat itu dengan wajah muram tanda mereka sebenarnya
mendekam perasaan tidak enak. Tetapi sebagai pemuka agama mereka hanya bisa
pasrah.
Apa yang telah terjadi yaitu
direbutnya tahta Kerajaan dan gugurnya sang Prabu mungkin sudah menjadi
suratan. “Saya sekarang menjadi Raja di seluruh kawasan ini, Dimas Wira Seta!”
kata Adikatwang sambil tertawa lebar.
“Memang itu tujuan kita Sri
Baginda,” jawab Wira Seta. “Saya mengucapkan selamat!”
“Kau boleh memilih jabatan apa
yang kau inginkan, asalkan bukan jabatan Patih Kerajaan…”
Paras Wira Seta berubah.
“Kangmas Adikatwang, ” katanya dengan suara agak tercekat. Rasa tercekat
membuat dia tidak lagi menyebut Adikatwang dengan panggilan Sri Baginda.
“Kangmas, sesuai perjanjian kita dalam perundingan sebelum rencana ini kita
jalankan, bukankah kau sudah mengatakan dan menyetujui bahwa jabatan Patih
adalah menjadi bagianku kalau Singosari berhasil ditumbangkan. Apakah Kangmas
lupa hal itu?”
“Tidak, tentu saja tidak Dimas
Wira Seta.”
“Kalau begitu mengapa…”
Adikatwang berdiri dari
singgasana dan memegang bahu Wira Seta. ”Saya tidak lupa janji itu Dimas. Cuma
berikan saya waktu. Untuk sementara jabatan itu akan serahkan pada Rana Trijaya…”
“Adik Kangmas?”
“Ya, adik kandung saya…”
Paras Wira Seta berubah
mengelam. ”Jadi..”
”Dimas, jabatan Patih itu akan
saya berikan pada Rana hanya untuk sementara.
Satu atau dua tahun saja.
Setelah itu kau akan menggantikannya.”
”Itu tidak ada dalam perjanjian
kita Kangmas.” Wira Seta semakin tidak enak.
”Memang benar. Maafkan kalau
saat ini saya berubah pikiran. Bukan apa-apa.
Hanya sekadar untuk mengajar
Rana dalam tatacara kehidupan berkerajaan. Sementara itu Dimas bisa memilih
jabatan apa saja. Panglima Balatentara misalnya. Itu bukan jabatan rendah.
Hampir setingkat dengan kedudukan Patih Kerajaan.” Adikatwang tersenyum.
Wira Seta menggeleng. ”Saya
tidak mengerti,” jawabnya.
”Saya tidak menginginkan
jabatan Panglima Balatentara itu.”
”Kalau begitu masih tersedia
jabatan lain. Kedudukan Dimas sebagai Adipati di Madura tidak akan
dikutik-kutik. Dimas tetap berkuasa di sana.”
”Maafkan saya Kangmas. Saya
merasa kurang sehat. Saya akan kembali dulu ke perkemahan di tapal batas…”
”Dimas Wira Seta, jangan pergi
dulu. Nanti malam pembicaraan kita lanjutkan.
Kita akan mengadakan pesta
besar-besaran. Lagi pula Dimas harus menyaksikan satu acara sangat menarik yang
sebentar lagi akan diadakan di halaman belakang Keraton.
Sesuai dengan usul Dimas sendiri…
Ingat Raden Juwana yang sudah kita ringkus?”
Wira Seta mengangguk. Tapi dia
sudah tidak tertarik lagi untuk bicara dengan Adikatwang. Juga untuk
menyaksikan apa yang bakal dilakukan Raja baru itu. Dia merasa sangat terpukul
dan sangat kecewa. Dia merasa tertipu ikut membantu Adikatwang meruntuhkan
Singosari, merebut tahta. Begitu tujuan tercapai Adikatwang tidak menepati
janjinya yaitu memberikan kedudukan Patih Kerajaan padanya.
“Maaf Kangmas, saya harus
kembali ke tapal batas. Saya benar-benar merasa kurang sehat…” kata Wira Seta.
Lalu dia bergerak hendak melangkah.
”Tunggu dulu Dimas,” ujar
Adikatwang pula. ”Saya tidak melihat Gandita pembantu utamamu itu. Dimana dia?”
Semula Wira Seta hendak
mengatakan bahwa dia telah memberikan tugas pada Gandita untuk menguntit
rombongan yang membawa empat kereta jenazah. Tetapi setelah melihat keculasan
Adikatwang, Wira Seta menjawab dengan angkat bahu. ”Dia pasti masih berada di
salah satu medan pertempuran. Saya akan beri tahu jika Kangmas ingin bertemu dia.”
”Ya, malam ini dia harus
menghadiri pesta. Dimas juga…”
Wira Seta tidak menyahut. Dia
meninggalkan ruangan besar itu dengan langkah cepat tetapi limbung.
Seorang pembantu menyodorkan
sebuah tabung bambu berukir-ukir berisi minuman keras pada Adikatwang. Penguasa
baru Singosari ini meneguk seluruh isi tabung sampai habis hingga wajahnya
kelihatan merah padam.
Seorang Perwira Tinggi Kediri
mendekatinya lalu membisikkan sesuatu. ”Bagus!
Mari kita sama-sama ke halaman
belakang…” Adikatwang memberi isyarat agar semua orang yang ada di tempat itu
mengikutinya. Namun tiba-tiba dari pintu depan terdengar seorang berseru.
”Sri Baginda Adikatwang! Lihat
apa yang aku bawa!”
Satu bayangan merah
berkelebat. Sesaat kemudian di depan Adikatwang tampak berdiri Dewi Maha Geni,
si nenek yang menjadi kaki tangan utama Adikatwang dalam penggulingan sang
Prabu. Seperti diketahui sebelumnya nenek sakti ini adalah pembantu Raja
Singosari, seorang tokoh silat Istana. Dia berdiri di hadapan Adikatwang
membawa sebuah keranjang berisi rumput. Keranjang ini adalah keranjang yang
dirampasnya dari Pendekar 212 Wiro Sableng. Dewi Maha Geni meletakkan keranjang
di lantai. Lalu dia membongkar dan mengeluarkan rumput yang ada dalam
keranjang.
Paras si nenek jadi berubah ketika
keseluruhan rumput dikeluarkan tetapi dua kotak kayu yang dipastikannya ada
dalam keranjang saat itu sama sekali tidak ditemukan.
Hal ini jelas karena
sebelumnya dengan cerdik Wiro telah menukar keranjang rumput berisi dua kotak
kayu itu dengan keranjang rumput yang bentuk dan isinya sama, tetapi tidak ada
isinya selain rumput belaka.
Untuk beberapa lamanya Dewi
Maha Geni tegak ternganga. Dia memandang pada keranjang rumput di hadapannya
dengan rasa tidak percaya lalu berpaling pada Adikatwang.
”Nenek sakti, permainan apa
yang hendak kau sajikan di depan Rajamu?!” menegur Adikatwang.
Paras Dewi Maha Geni menjadi
merah. ”Dalam keranjang ini seharusnya ada dua kotak kayu itu…”
”Kotak kayu apa?” tanya
Adikatwang.
”Kotak kayu berisi Mahkota
Narasinga dan Keris Saktipalapa!” sahut Dewi Maha Geni lalu menggigit bibirnya
sendiri.
Adikatwang tampak terkejut.
Tapi hanya seketika. ”Saya lihat keranjang itu hanya berisi rumput melulu! Atau
mata Rajamu ini telah buta?”
”Maafkan saya Sri Baginda.
Sesuatu telah terjadi. Pemuda itu telah menipu saya.” Dewi Maha Geni nampak
jengkel sekali.
”Pemuda siapa maksudmu?”
Adikatwang mulai kehilangan kesabarannya.
”Pemuda bernama Wiro itu!”
”Lagi-lagi dia!” sungut
Adikatwang. ”Semua orang-orangku seperti menjadi tolol di hadapan pemuda itu!
Jika kau ditipu dan pemuda itu berhasil membawa lari Mahkota Narasinga dan
Keris Saktipalapa, lalu apa lagi yang kau tunggu? Cari pemuda itu! Bawa
kepalanya ke hadapanku dan yang lebih penting dapatkan kedua benda pusaka
Kerajaan Singosari itu!”
Dewi Maha Geni merasa sangat
tersinggung dianggap orang tolol. Tanpa banyak bicara lagi dia berpaling dan
tinggalkan tempat itu. Adikatwang tidak perdulikan lagi si nenek. Dia melangkah
ke halaman belakang diikuti oleh semua yang ada di ruangan itu.
Halaman belakang Keraton
Tumapel yang sebagian merupakan sebuah taman luas dijaga oleh hampir dua ratus
pengawal bersenjata lengkap. Di bagian tengah halaman terdapat dua buah tiang
kayu besar dan di atas kedua tiang ini melintang sebuah balok. Di sebelah atas
balok ada seutas tambang besar yang salah satu ujungnya dipegang oleh tiga
orang prajurit bertubuh tegap kekar. Ujung lain dari tambang ini dihubungkan
dengan sebuah ikat pinggang besi. Dan ikat pinggang besi ini dikatupkan ke dada
terus ke ketiak Raden Juwana yang saat itu sudah dilepas totokannya tetapi
berada dalam keadaan terikat kedua tangan dan kakinya. Saat itu dia hanya
mengenakan sehelai celana dalam saja. Di punggung, dada, dan wajahnya kelihatan
bekas-bekas penganiayaan.
Di bawah tubuh Raden Juwana
yang tergantung itu sejarak dua tombak dari ujung kedua kakinya ada sebuah
kuali raksasa berisi minyak mendidih sementara di bawah kuali api besar terus
dipasang menyala. Sudah dapat dibayangkan malapetaka apa yang bakal menimpa
pemuda ini. Semua ini dilakukan atas perintah Adikatwang. Semua orang
menduga-duga apa tujuan Adikatwang melakukan hal itu.
Melihat segala persiapan telah
dilakukan orang, Adikatwang nampak puas. Dia melangkah dan berhenti sekitar
sepuluh langkah dari hadapan kuali besar di atas mana Raden Juwana tergantung.
”Juwana!” tiba-tiba Adikatwang
berkata dengan suara lantang. ”Kau tahu bahaya apa yang bakal kau hadapi saat
ini?”
Mulut Raden Juwana nampak
bergetar. Terdengar suaranya menjawab. ”Manusia iblis! Siapa bilang aku takut
mati!”
Adikatwang tertawa bergelak.
”Memang tidak ada yang bilang kalau kau takut mati. Tapi coba kau perhatikan
minyak yang mendidih di bawahmu. Sekali tubuhmu masuk ke dalam kuali kau akan
menjadi matang garing! Ha…ha…ha!”
”Kau boleh melakukannya
sekarang juga pengkhianat busuk!” teriak Raden Juwana tanpa rasa takut. Kedua
matanya seperti dikobari api.
”Kau memang manusia hebat!”
kata Adikatwang. Dia menjentikkan jari-jari tangannya. Tiga orang lelaki di
belakang tiang penggantungan mengulur tambang yang mereka pegang. Tubuh Raden
Juwana turun ke bawah sampai dua jengkal. Hawa panas minyak mendidih yang ada
di bawah kakinya mulai terasa.
”Juwana, aku akan mengajukan
dua pertanyaan! Kalau kau mau menjawab dan beri keterangan, nyawamu kuampuni!”
kata Adikatwang. Raden Juwana diam saja.
Kedua matanya dipejamkan.
”Pertanyaan pertama! Siapa
yang membawa Mahkota Narasinga dan Keris Sakti Palapa. Dimana kedua barang
pusaka Kerajaan itu disembunyikan! Kau mau memberikan keterangan?!”
Sepasang mata Raden Juwana
terbuka. Mulutnya juga terbuka. Lalu dari mulut itu melesat ludah campur darah.
”Kau tanyalah pada setan-setan di neraka!”
Walaupun tampang Adikatwang
menjadi mengelam merah namun sambil menyeringai dia berkata. ”Pertanyaan kedua,
dimana beradanya empat puteri Sang Prabu.
Kau pasti tahu! Nah, saatnya
kau menjawab atau tubuhmu akan garing dalam kuali itu!”
”Manusia terkutuk! Kau tak
bakal mendapat jawaban apa-apa dariku!” teriak Raden Juwana.
Adikatwang menjentikkan
jari-jari tangan kanannya. Tiga prajurit di belakang tiang gantungan kembali
mengulur tali yang mereka pegang. Hawa panas semakin keras terasa pada kedua
kaki dan tubuh bagian bawah Raden Juwana. Tapi pemuda ini tetap tabah bahkan
nekad.
”Kau mau menjawab atau memilih
mampus?” bentak Adikatwang.
”Aku memilih mampus!” jawab
Raden Juwana tanpa tedeng aling-aling.
”Bangsat tolol!” maki
Adikatwang. Dia mengangkat tangan kirinya. Dua orang pengawal muncul membawa
seekor kambing. Binatang ini dilemparkan ke dalam kuali berminyak mendidih.
Terdengar suara mendesis panjang mengerikan. Kambing itu terdengar mengembik
pendek lalu tubuhnya telah berubah menjadi garing, mengambang di atas permukaan
minyak. Semua orang yang ada di tempat itu bergidik menyaksikan kejadian itu.
Di tali penggantungan Raden Juwana tetap tenang walau sekujur tubuhnya kini
kelihatan keringatan oleh hawa panas minyak mendidih.
”Bagaimana? Kau masih tetap
menutup mulut dan memilih mati?” tanya Adikatwang sementara dua pengawal tadi
mengeluarkan kambing yang sudah matang garing itu dari dalam kuali.
Raden Juwana tak menjawab.
Diam-diam dia kerahkan tenaga dan mengukur jarak antara dia dengan Adikatwang.
Tiba-tiba tubuh itu berayun keras. Kaki kanan Raden Juwana menyambar ke arah
kepala Adikatwang. Kalu tendangan itu sempat menyambar tidak dapat tidak akan
pecahlah kepala Adikatwang. Namun dengan menunduk sambil mundur satu langkah
Adikatwang berhassil mengelakkan serangan maut mendadak itu. Kedua matanya
mendelik saking marah. Dia berteriak keras.
”Cemplungkan keparat itu ke
dalam kuali!”
Mendengar perintah itu, ketiga
orang di belakang tiang penggantungan langsung lepaskan pegangan mereka pada
tambang besar. Tubuh Raden Juwana melayang jatuh ke bawah. Beberapa orang yang
tidak tahan menyaksikan apa yang bakal terjadi, termasuk para Pendeta Kerajaan,
pejamkan mata masing-masing. Sebentar lagi pasti terdengar suara mendesir keras
begitu tubuh Raden Juwana menyentuh minyak mendidih di dalam kuali besar!
Namun suara mendesir itu tidak
terdengar. Justru saat itu meledak satu bentakan dahsyat yang menggetarkan
halaman luas, disusul oleh suara berdesing.
”Orang-orang Kediri!
Pemberontak busuk! Kekejian dan dosa kalian sedalam laut setinggi langit!
Kalian rasakan pembalasanku!”
Di udara kelihatan dua buah
benda putih melesat ke arah Adikatwang. Lalu laksana petir menyambar, di tempat
itu satu sinar putih seperti perak berkilat. Panas yang seperti membakar tubuh
menghampar! Suara pekikan terdengar dimana-mana. Asap putih kemudian
bergulung-gulung di seluruh halaman. Ketika asap itu pupus, kelihatanlah satu
pemandangan yang mengerikan.
Sekitar dua puluh orang
prajurit Kediri berkaparan tewas di halaman belakang Keraton Tumapel itu. Tubuh
mereka kelihatan hitam seperti gosong. Kuali besar berisi minyak mendidih
hancur berantakan dan minyaknya menyiprat kian kemari menimbulkan luka parah
pada hampir selusin prajurit dan seorang Perwira. Rerumputan dan tanaman yang
ada di taman tampak hangus kehitaman. Bau daging manusia yang seolah-olah
dipanggang memenuhi udara di tempat itu, menegakkan bulu kuduk semua orang!
Adikatwang sendiri tampak
tegak terhuyung-huyung sambil memgangi sebuah benda yang menancap di bahunya.
Jari-jari tangannya berlumuran darah. Benda itu adalah sebuah tusuk kundai
terbuat dari perak. Apa yang telah terjadi?
Ketika tadi terdengar suara
orang membentak di udara tampak berdesing dua buah benda putih. Dua buah benda
yang merupakan senjata terbang ini melesat ke arah batang leher Adikatwang.
Dalam kejutnya Adikatwang memberikan reaksi cepat. Sambil miringkan tubuh dia
menghantam ke depan. Salah satu dari benda putih itu berhasil dipukulnya sampai
mental tapi tangannya sendiri luka dan berlumuran darah. Benda kedua walau
sudah dielakkan ternyata masih sempat menancap di bahu kirinya! Dan benda ini
ternyata adalah sebuah tusuk kundai perak ini! Dalam dunia persilatan yang
memiliki tusuk kundai perak dan menjadikannya satu senjata maut hanyalah
seorang nenek sakti dari Gunung Gede, guru dari Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Wiro Sableng yaitu Sinto Weni alias Sinto Gendeng, manusia aneh yang
dianggap Datuk dari segala Datuk tokoh-tokoh persilatan.
Adikatwang telah menyaksikan
ketika tiga buah tusuk kundai yang sama menancap di tubuh Panglima Argajaya
yang membuatnya mati seketika. Tanpa tunggu lebih lama Adikatwang cepat cabut
tusuk kundai perak yang menacap di bahunya, lalu menotok jalan darahnya di
bagian kiri tubuh. Saat itu dia merasakan bagaimana rasa panas yang mengerikan
merayapi hampir setiap bagian tubuhnya. Dari dalam saku pakaiannya cepat dia
mengeluarkan sebutir obat pemusnah racun lalu ditelannya cepatcepat.
Sambil menelan obat dia
memandang ke depan. Adikatwang masih sempat melihat sosok tubuh Sinto Gendeng
menyambar tubuh Raden Juwana yang melayang jatuh ke bawah. Tali pengikat
pinggangnya putus. Di lain kejap si nenek telah lenyap dari pemandangan bersama
Raden Juwana di atas dipanggulnya.
”Dia lagi…” desis Adikatwang.
Lalu Raja pemberontak ini terkulai tak sadarkan diri. Dua orang prajurit dan
seorang Pendeta cepat menolongnya.
***
Raden Juwana merasakan
nafasnya seperti terbang dibawa lari oleh nenek tak dikenalnya itu. Saat itu
mereka telah berada jauh di luar Kotaraja.
”Nek, kau mau bawa aku ke
mana? Kau menolong jiwaku dari minyak mendidih itu. Katakan apa kau seorang
sahabat atau seorang penculik?!”
”Tutup mulutmu anak sambel!”
membentak Sinto Gendeng. ”Kalau aku tidak berpihak padamu perlu apa aku
menghabiskan waktu dan tenaga mengurusi manusia macammu!”
Di satu tempat si nenek
turunkan tubuh Raden Juwana yang hanya mengenakan sehelai kolor. Begitu
menginjak tanah Raden Juwana langsung bersujud menghatur sembah.
”Nek, aku berhutang nyawa
padamu. Mohon kau sudi memberi tahu nama…”
Mendengar kata-kata Raden
Juwana itu, Eyang Sinto Gendeng cemberut. ”Kau pergilah mencari pakaian yang
pantas. Kalau sudah lekas menuju ke arah Timur Laut dan bergabung dengan
pasukanmu kembali. Aku menaruh firasat empat puteri Sang Prabu berada dalam
bahaya besar.”
”Terima kasih Nek, aku sangat
berterima kasih. Sekali lagi mohon kau sudi memberi tahu nama…”
”Sudah, berdirilah anak muda.
Aku tidak pantas mendapat kehormatan seperti cara yang kau lakukan.”
Sekali lagi Raden Juwana
menghatur sembah memberi penghormatan seraya membungkuk dalam-dalam. Ketika dia
bangkit kembali si nenek tak ada lagi di tempat itu! Lalu dia sadar keadaan
dirinya yang hanya mengenakan sehelai celana kolor begitu rupa! Cepat-cepat
Raden Juwana menyelinap di antara semak belukar. Dia harus segera menyusul
rombongan puteri-puteri Kerajaan yang sebelumnya telah ditinggalkannya.
Hatinya mendadak saja merasa
tidak enak. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan rombongan itu. Raden
Juwana memutuskan untuk mengambil jalan memintas agar dapa menyusul sebelum
rombongan mencapai desa Tembang Sari dekat Kudadu. Namun dia harus mencari rumah
penduduk lebih dahulu agar dapat meminta sehelai pakaian.
***
Adikatwang dinaikkan ke atas
sebuah tandu. Namun sebelum keburu diangkut dia sudah keburu siuman. Dia minta
diturunkan dari atas tandu dan melangkah sendiri dengan sempoyongan menuju
tangga belakang Keraton. Seperti merasakan sesuatu dia hentikan langkah lalu
memutar diri. Lama Adikatwang tegak tertegun. Sewaktu dia mendongak ke atas,
saat itulah dia baru menyadari bahwa langit di sore itu telah dibungkus oleh
awan mendung yang sangat tebal. Belum sempat Adikatwang kembali meneruskan
langkahnya memasuki Keraton tiba-tiba turunlah hujan sangat besar. Tapi hanya
sebentar. Begitu hujan berhenti langit tampak kembali cerah. Adikatwang
terheranheran menyaksikan perubahan cuaca yang serba cepat ini. Ketika dia
berpaling ke arah Utara kedua matanya membesar dan hatinya tercekat. Di langit
di kejauhan sana dia melihat pelangi terpampang membelintang dari Barat ke
Timur.
”Apa artinya ini…?” desis
Adikatwang. Karena luka di bahunya mendenyut, dia kembali memutar tubuh. Dua
orang pembantu menolong memapahnya menaiki tangga Keraton.
***
BAB XI
Di kawasan di mana pasukan
pemberontak pimpinan Gandita berada sore itu sama sekali tidak turun hujan.
Cuaca terang benderang. Namun semua orang melihat keanehan yang tampak di
langit sebelah Utara. Sebuah pelangi membentang di langit.
“Aneh,” kata seorang Prajurit
Kepala. “Tak ada hujan mengapa ada pelangi?
Mungkin ini suatu pertanda
buruk?” dia berpaling pada kawannya. ”Haruskah hal ini kita beri tahu pada
pimpinan pasukan?”
Kawannya menjawab dengan
gelengan kepala. ”Kurasa tidak usah saja. Pemuda itu sedang dilanda nafsu. Dia
sibuk memerintah agar kemahnya selesai sebelum malam tiba. Aku tidak menyangka
perang akan sekejam ini. Dia sama sekali tidak menaruh rasa hormat kepada
puteri Sri Baginda. Malah hendak….”
Prajurit Kepala memberi tanda
agar kawannya tidak meneruskan ucapannya.
Keduanya meningglkan tempat
itu, bergabung dengan kawan-kawannya yang lain yang juga sudah melihat adanya
pelangi di langit Utara.
Ketika langit di Barat mulai
tampak merah tanda sang surya akan segera tenggelam, Pendekar 212 Wiro Sableng
yang memanggul keranjang rumput berisi dua buah benda pusaka Keraton Singosari
yang sangat berharga sampai di puncak bukit.
Menurut penjelasan yang pernah
diterimanya rombongan puteri-puteri Kerajaan akan melewati jalan kecil di bawah
sana. Wiro memandang ke bawah. Dia melihat serombongan pasukan di kaki bukit.
Ada empat buah kereta dekat tikungan jalan. Lalu tersiraplah darah murid Sinto
Gendeng ini. Dia melihat puluhan manusia berkaparan di bawah sana.
Diperhatikannya lagi dengan seksama. Pasukan yang berada di tempat itu
berseragam balatentara Kediri dan Madura, bukan seragam Singosari.
Wiro menggaruk kepalanya.
”Jangan-jangan…” Dia tidak berani meneruskan kata hatinya. Wiro memandang
berkeliling. Tak jauh di sebelah kanannya dilihatnya serumpunan semak belukar
lebat. Wiro keluarkan dua buah kotak kayu dari dalam keranjang rumput. Dia
menggali sebuah lobang dangkal di kaki semak belukar lalu memasukkan kedua
kotak berisi benda pusaka Keraton Singosari itu ke dalam lobang dan menimbunnya
kembali. Tepat pada saat matahari tenggelam dan keadaan mulai gelap Pendekar
212 sampai di kaki bukit. Kini dia bisa melihat lebih jelas, siapa adanya
kelompok besar pasukan yang berkemah di tempat itu dan pihak mana pula yang
telah menjadi korban tewas berkaparan di mana-mana.
Dari balik semak-semak Wiro
perhatikan empat buah kereta di depannya. Jelas itu adalah kereta milik Keraton
Singosari. Keempat kereta itu dalam keadaan kosong.
Dimana keempat puteri Sri
Baginda? Wiro menyelinap mendekati. Tubuhnya bergetar ketika tiba-tiba matanya
melihat sosok orang tua katai terkulai tak bernyawa pada salah satu roda
kereta. Sekujur tubuh dan mukanya penuh luka mengerikan. Wiro melompat ke
hadapan mayat yang dikenalinya itu. ”Damar…” dia menyebut orang tua katai itu
dengan suara tegang.
”Hai! Siapa kau?!” satu suara
tiba-tiba membentak di belakang Pendekar 212 Wiro Sableng. Bersamaan dengan itu
terdengar suara gesekan senjata dicabut. Lalu sebilah golok menempel di
lehernya!
Perlahan-lahan Wiro palingkan
kepala. Di hadapannya berdiri seorang prajurit Madura bertubuh tinggi besar dan
berkumis melintang.
”Kau pasti orang Singosari!”
prajurit Madura itu kembali membentak. Tangannya bergerak siap untuk menusukkan
golok.
Murid Sinto Gendeng
menyeringai. ”Tahan, sabar dulu! Masakan kau lupa siapa aku?!”
”Sialan! Lekas katakan siapa
dirimu sebelum golok ini menembus lehermu!”
”Ah, kau benar-benar sudah
lupa siapa diriku. Bukankah aku malaikat maut yang datang hendak mengambil
nyawamu?!”
”Setan alas…”
Makian prajurit Madura itu
hanya sampai di situ. Wiro membuat gerakan cepat. Kaki kanannya menedang tulang
kering orang lalu bersamaan dengan itu dia menarik tangan kanan lawan. Dalam
keadaan kesakitan prajurit itu terbetot ke depan. Bersamaan dengan itu tangan
kanan Wiro kembali berkelebat.Bukk! prajurit itu langsung terjengkang dengan
muka remuk akibat jotosan mengandung tenaga dalam yang dihantamkan Wiro ke
hidungnya. Dengan cepat Wiro menyelinap meninggalkan tempat itu. Dia harus
segera mengetahui dimana adanya keempat puteri Sang Prabu. Yang paling
dicemaskannya adalah kesalamatan puteri bungsu yaitu Gayatri. Di samping itu
dia juga menduga-duga dimana Raden Juwana yang seharusnya berada bersama
rombongan puteri-puteri Kerajaan.
Menyadari kalau dia tidak bisa
bergerak leluasa dalam pakaian seperti itu, Wiro mendekati seorang prajurit
yang tengah berjaga-jaga sambil menghisap sebatang rokok kawung. Wiro sengaja
berdiri di balik sebatang pohon, hanya memperlihatkan sebagian tubuhnya lalu
”Ssstt…!” Dia mengeluarkan suara mendesis dari mulutnya.
Prajurit yang sedang merokok
berpaling. Dia melihat ada seorang pemuda gondrong tak dikenal tersenyum
padanya serta melambaikan tangan memanggilnya dari balik pohon. Orang ini buang
rokok kawungnya ke tanah, meraba golok di pinggangnya lalu melangkah cepat ke
arah pohon.
”Siapa kau?!” si prajurit
membentak. Dari balik pohon sepasang tangan yang kokoh tiba-tiba berkelebat
mencekik lehernya. Dia berusaha mencabut senjatanya. Tapi tubuhnya keburu
terangkat ke atas dan lehernya berderak patah. Wiro seret prajurit ini ke balik
pohon, menanggalkan pakaiannya lalu memakainya tanpa membuka pakaiannya
sendiri. Dengan mengenakan pakaian seragam prajurit Madura itu Pendekar 212
Wiro Sableng bisa menyelinap ke setiap pelosok perkemahan tanpa dicurigai.
Dalam kegelapan, jauh di
sebelah kiri Wiro melihat sebuah kemah. Dia segera bergerak ke arah kemah ini.
Sejarak tiga tombak dari kemah tiba-tiba ada dua orang pengawal mendatangi.
”Kawan, kau hendak kemana?”
”Ah, kalian,,,” kata Wiro
seraya senyum. ”Ada sesuatu hal penting hendak kusampaikan pada orang di dalam
kemah.”
”Kau tahu Gandita pemimpin
kita tengah beristirahat. Apa kau berani mati hendak mengganggunya?”
”Ini menyangkut puteri-puteri
sang Prabu,” kata Wiro pula mengada-ada. Justru ucapannya itu memancing jawaban
yang mengejutkan.
”Semua puteri itu sudah ada
yang mengurus. Salah satu diantaranya malah sudah ada di dalam kemah sana
bersama Gandita.” pengawal yang bicara keluarkan suara tertawa pendek.
Wiro ikut-ikutan tertawa. Tapi
dalam hati dia menyumpah. ”Wah, pasti Gandita memilih puteri yang paling
cantik. Siapa kira-kira yang beruntung dipaksa melayaninya?”
”Yang paling muda dan yang
paling cantik tentunya!” jawab pengawal satu lagi.
Gayatri! Wiro berteriak dalam
hati. Saat itu ingin dia segera melompat ke arah kemah. Tapi dia masih bisa
menguasai diri. Pura-pura bersungut dia berkata, ”Enak juga jadi pemimpin. Bisa
bersenang-senang. Sedang kita berjaga-jaga di luar. Kedinginan dan disantap
nyamuk hutan!” Lalu Wiro memutar tubuhnya seperti hendak pergi. Tapi tibatiba
sekali kedua tangannya bergerak. Empat ujung jari bekerja. Kedua pengawal itu
langsung roboh dalam keadaan kaku tertotok! Pendekar 212 Wiro Sableng cepat
bergerak menuju kemah. Dia berhenti sesaat ketika dari dalam kemah didengarnya
suara perempuan membentak.
”Manusia iblis! Kau akan
mendapat hukuman setimpal atas perbuatan kejimu ini!”
Wiro kenal betul. Itu adalah
suara Gayatri. Pendekar ini menggeram dan cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari
pinggangnya. Senjata mustika sakti itu tampak berkilau meskipun dalam kegelapan
malam.
”Gayatri…” terdengar suara
lelaki.
Bangsat! Itu suara Gandita si
keparat! Wiro memaki dalam hati. Apa yang hendak dilakukannya?! Kalau dia
sampai berani berbuat kurang ajar aku bersumpah memenggal kepalanya!
”Gayatri, kau tahu aku sejak
lama menyukaimu. Kau seharusnya merasa beruntung dan berterima kasih karena aku
masih mau menyelamatkanmu. Menurut perintah kau dan semua saudaramu harus
dibunuh habis.”
”Aku lebih suka kau bunuh
daripada kau jadikan mangsa nafsu bejatmu!”
Gandita terdengar ketawa,
”Dengar, jika kau mau berjanji kujadikan istri, keselamatanmu akan kujamin.
Tapi jika kau menolak kau tahu sendiri akibatnya.”
”Cis! Siapa sudi menjadi
istrimu! Pemberontak busuk! Kau berkacalah lebih dahulu!” Panas hati Gandita
mendengar kata-kata itu bukan kepalang. Mukanya merah membesi. Dia bergerak
mendekati tubuh Gayatri yang terbaring di atas sehelai tikar.
Tangannya bergerak. Terdengar
suara pakaian robek disusul oleh suara jeritan Gayatri.
Wiro merasakan tubuhnya
bergetar. Gagang Kapak Maut Naga Geni 212 dipegangnya erat-erat. Ketika dia
siap menerobos kemah tiba-tiba dia mendengar suara aneh. Ada suara perempuan
menangis keras. Dan itu bukanlah suara tangisan Raden Ayu Gayatri!
***
BAB XII
Di dalam kemah Gandita
terkesiap kaget. Dia memandang ke arah kemah sebelah kanan dari arah mana, di
luar sana terdengar suara orang menangis.
Cepat-cepat Gandita mengenakan
pakaiannya kembali. Lalu dia membentak.
”Siapa di luar sana?”
Suara tangis di luar kemah
semakin keras. Tampang Gandita berubah. Dia coba berpikir dengan cepat.
Mungkinkah dia? Tapi apa perlunya dia berada disini? Aku harus menemui dan
mengusirnya. Bangsat tua itu mengganggu saja!
Gandita membuka tali pengikat
belahan kemah lalu melangkah keluar. Apa yang diduganya memang benar. Di dekat
kemah, duduk menjelepok tanah tampak duduk seorang kakek berkulit hitam sekali.
Dia duduk sambil menangis keras. Belasan pengawal berdatangan tapi segera
disuruh pergi oleh Gandita.
”Dewa Sediha! Apa yang kau
lakukan disini?!” bertanya Gandita dengan suara keras.
Orang tua sakti yang merupakan
kakak dari Dewa Ketawa sesaat memandang pada Gandita lalu mengusap kedua
matanya. Perlahan-lahan dia berdiri dan memandang sayu ke arah Gandita.
”Aku bersedia membantu kalian
orang-orang Kediri dan orang-orang Madura merebut tahta Kerajaan. Membunuh soal
biasa bagiku. Tapi merusak kehormatan seorang gadis, melakukan perkosaan sangat
bertentangan dengan jiwaku! Aku bersumpah untuk tidak membantu lagi
manusia-manusia macammu! Kau akan mempertanggungjawabkan perbuatan kotormu di
hadapan para Dewa!” habis berkata begitu Dewa Sedih kembali menggerung dan
melangkah pergi.
”Dewa Sedih! Tunggu dulu!
Jangan salah sangka….!” berseru Gandita. Tapi si kakek sudah tidak kelihatan
lagi di tempat itu. Sesaat Gandita tegak tertegun. Tapi bila dia kemudian ingat
pada tubuh Gayatri yang setengah telanjang di dalam kemah maka dia tidak
perdulikan lagi kakek sakti itu. Gandita menyibakkan kain penutup kemah dan
masuk ke dalam. Dua langkah masuk ke dalam kemah pemuda ini terbelalak besar
dan tegak laksana dipaku ke tanah!
Di hadapannya berdiri Pendekar
212 bertelanjang dada. Di tangan kanannya ada sebuah senjata yang terasa aneh
di mata Gandita yakni sebuah kapak bermata dua yang memancarkan sinar angker
menyilaukan. Pandangan mata pemuda itu membersitkan maut. Di belakangnya
berdiri Raden Ayu Gayatri, mengenakan sehelai baju putih. Pasti itu adalah
pakaian Wiro yang dikenakannya untuk menutupi bajunya yang robek-robek.
Di lantai kemah ada sehelai
baju seragam prajurit Kediri. Wiro sendiri dilihatnya mengenakan celana pasukan
Kediri.
”Gandita! Dulu kau masih layak
dihargai sebagai seorang musuh yang pantas untuk dilawan. Tapi saat ini kau tak
lebih dari seekor anjing buduk pembawa penyakit kotor yang harus dibikin
mampus!”
Pelipis dan rahang Gandita
menggembung. Dia menyeringai. ”Keberanianmu masuk ke sarang harimau patut
dipuji. Apakah kau sanggup menembus kepungan tiga ratus prajurit? Kau datang
menghantar nyawa pemuda tolol!”
Wiro menyeringai. ”Umurmu
tidak lama lagi! Keluarkan semua makian dalam perutmu!”
Sebelumnya Gandita sudah dua
kali berhadapan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Kali terakhir di Lembah Bulan
Sabit, dia dibuat muntah darah, menahan sakit dan malu serta dendam bukan
kepalang. Saat itu rasa dendam seperti membakar dirinya.
Tapi dia menyadari bahwa Wiro
bukan lawannya. Maka dia cepat mengeluarkan suitan keras dua kali
berturut-turut. Saat itu juga di luar sana terdengar langkah berdatangan banyak
sekali. Gandita menarik sehelai tali sebagian kemah tersibak lebar sehingga
kini Wiro dapat melihat bagaimana sekitar seratus prajurit telah mengurung
tempat itu.
Paras Gayatri tampak
ketakutan. Sebaliknya murid Eyang Sinto Gendeng tenagtenag saja. Kalaupun dia
mati di tempat itu dia akan merasa bahagia bisa mati bersamasama Gayatri.
“Kurang banyak Gandita!
Panggil lagi yang lainnya! Aku tahu ada tiga ratus prajurit di tempat ini. Yang
muncul baru seratusan!”
”Manusia sombong takabur!”
rutuk Gandita. Dia memberi isyarat pada pasukannya. Belasan prajurit melompat
ke arah Wiro dan Gayatri.
”Wiro…” terdengar suara
Gayatri ketakutan.
”Kalian mau mampus? Majulah
lebih dekat!” kata Wiro pula. Tangan kirinya diangkat ke atas. Semua orang
melihat tangan itu mulai dari siku sampai ke ujung jari berubah menjadi putih
seperti perak. Sementara itu dua mata kapak yang di tangan kanan mengeluarkan
cahaya lebih menyilaukan.
”Kalian mengapa diam saja?!
Bunuh kedua orang itu!” teriak Gandita.
Puluhan prajurit kembali
bergerak. Kali ini Wiro tidak ragu-ragu lagi. Tangan kirinya dihantamkan.
Terdengar suara menggelegar. Satu cahaya laksana kilat menyambar berkiblat di
tempat itu. Hanya luar biasa panas laksana matahari berada di atas kepala!
Belasan prajurit Kediri dan Madura berpekikan lalu berkaparan di tanah.
Semuanya tewas mengerikan
dengan tubuh menghitam hangus. Belasan lainnya bergelimpangan terkena sambaran
hawa panas, menderita luka bakar tapi masih untung tidak sampai meregang nyawa.
Yang lain-lainnya serta merta melompat mundur dengan muka pucat. Gandita jelas
tampak kecut. Nyalinya sudah leleh.
Wiro sendiri saat itu
merasakan dadanya berdenyut sakit. Seingatnya baru sekali itu dia melepaskan
pukulan sinar matahari dengan tenaga dalam penuh.
”Serang! Bunuh mereka!” teriak
Gandita.
Tapi ratusan prajurit yang ada
di tempat itu sudah putus nyali masing-masing. Bukannya menyerang mereka malah
mundur menjauh. Gandita menjadi salah kaprah. Hendak melawan pasti dia tidak
mampu. Untuk kabur melarikan diri dia masih punya rasa malu. Ketika Wiro
melangkah mendekatinya pemuda ini menjadi nekad. Dia menyambar sebilah pedang
yang dipegang oleh seorang prajurit. Dengan senjata ini di tangan dia
menyongsong gerakan Wiro. Pedang dibacokkan. Kapak Maut Naga Geni 212
berkelebat. Seperti memotong sebatang ranting, pedang di tangan Gandita dibabat
putus.
Gandita sendiri merasakan
tangannya bergetar keras dan panas. Patahan pedang yang masih ada dalam
genggamannya dilemparkannya ke arah Wiro lalu disusul pukulan tangan kosong
yang ganas.
Wiro cepat menghindar ketika
ada dua gelombang angin menderu ke arahnya.
Kesempatan ini dipergunakan
Gandita untuk mengambil sebilah keris yang tergantung di tiang kemah. Tapi dia
tak pernah sempat menyentuh senjata mustika pemberian gurunya itu. Dari samping
Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat ganas mengeluarkan deru angker disertai
sambaran sinar panas menyilaukan.
Puluhan mulut berseru
tercekam. Puluhan pasang mata terbeliak ketika menyaksikan bagaimana kepala
Gandita menggelinding di lantai kemah. Tempat itu kini diselimuti kesunyian
seperti di pekuburan. Ketegangan menggantung. Tak ada yang bergerak, tak ada
yang bicara. Gayatri sendiri sampai beberapa lamanya menutup matanya dengan
kedua telapak tangan.
”Kalian lihat sendiri apa yang
bisa aku lakukan! Kalian bisa bernasib seperti manusia keji itu jika kalian
memang menginginkan! Majulah siapa yang mau!”
semua mata memandang ke arah
Wiro. Tak ada yang bergerak, apa lagi maju menyambut tantangan yang diucapkan
Pendekar 212. Merasa dia telah dapat mempengaruhi orang-orang itu Wiro lantas
berkata, ”Aku tahu kalian adalah prajuritprajurit gagah berhati polos. Aku tahu
tiga orang puteri Raja Singosari yang terbunuh ada di tempat ini. Aku meminta
bantuan kalian. Lepaskan ketiga puteri itu dan masukkan ke dalam kereta di
sebelah sana!”
Para prajurit itu tampak
saling berpandangan sesaat. Lalu sekelompok demi sekelompok mereka bergerak ke
satu tempat. Tak lama kemudian kelihatan mereka mengiringi tiga kakak perempuan
Gayatri dalam keadaan selamat tidak kurang suatu apa.
Gayatri lari menyongsong.
Keempat puteri itu mendiang Sang Prabu itu saling berangkulan dan bertangisan.
Khawatir pasukan musuh itu
akan berubah pikiran Wiro berbisik pada Gayatri agar membawa kakak-kakaknya
naik ke sebuah kereta lalu dia sendiri melompat ke bagian depan kereta,
bertindak sebagai sais. Wiro memandang pada prajurit-prajurit itu.
”Kalian bebas pergi ke
Tumapel. Kalian telah menang karena berhasil meruntuhkan tahta Singosari. Tapi
ingat, pengkhianatan dan pemberontakan yang kalian lakukan itu kelak akan
mendapat balasan yang sama pahitnya malah mungkin lebih pahit di kemudian
hari…”
Tidak seorangpun dari puluhan
prajurit Kediri dan Madura itu yang bergerak dari tempatnya. Banyak yang
menundukkan kepala.
”Mengapa kalian tidak pergi?”
tanya Wiro. Dia mulai was-was dan tangan kanannya didekatkan ke pinggang dimana
terselip Kapak Maut Naga Geni 212.
Seorang prajurit yang sudah
agak lanjut usia tiba-tiba melangkah maju. Dia menjura lalu berkata. ”Raden…”
Wiro hampir tertawa bergelak
mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan Raden! ”Ada apa…?”
”Kami semua di sini memutuskan
untuk ikut bersama Raden saja. Mengabdikan diri pada empat puteri mendiang Sang
Prabu.”
”Apa?! Apa aku tidak salah
dengar?” tanya Wiro.
”Tidak, Raden tidak salah
dengar…”
”Kalian coba hendak menipu
lalu nanti di tengah jalan membokong?!”
”Saya tidak menipu. Saya
mewakili kawan-kawan berkata jujur…”
Murid Eyang Sinto Gendeng
garuk-garuk kepalanya. Dia berpaling ke belakang dan membuka jendela kereta.
”Semua Raden Ayu yang ada di dalam tentu sudah mendengar kata-kata prajurit
itu. Harap para Raden Ayu memberikan jawaban.”
Sesaat kemudian muncul kepala
Raden Ayu Gayatri di jendela kereta. ”Saya percaya mereka semua
prajurit-prajurit gagah yang jujur dan tahu artinya kebenaran.
Saya dan kakak-kakak saya
menyetujui mereka ikut bersama kita.”
Mendengar ucapan Raden Ayu
Gayatri itu, ratusan prajurit Kediri dan Madura mengangkat tangan dan bertempik
sorak.
Seorang penunggang kuda muncul
dalam kegelapan. Dia langsung menuju kereta di atas mana Wiro dan empat puteri
Singosari berada. ”Apa yang terjadi di sini?!” tanya penunggang kuda itu.
Semua orang berpaling. ”Astaga!”
seru Wiro. ”Raden Juwana, kau rupanya. Kami semua sudah kebingungan memikirkan
apa yang terjadi dengan dirimu! Hai, kau memakai pakaian kecil kesempitan. Dari
mana kau mencurinya? Kau yang harus mengatakan apa yang terjadi dengan dirimu!”
Si penunggang kuda yang memang
adalah Raden Juwana adanya memandang berkeliling. Dia jelas melihat bahwa
pasukan yang ada di tempat itu adalah prajuritprajurit Kediri dan Madura.
Parasnya berubah.
Wiro cepat berkata. ”Raden
tidak usah khawatir. Mereka adalah prajurit-prajurit kita!”
”Dan Raden mulai saat ini
adalah pimpinan kami!” prajurit tua yang tadi bicara keluarkan seruan. Yang
lain-lainnya mengangkat tangan. Kembali di malam hari itu terdengar pekik sorak
gegap gempita.
”Dewa Maha Besar…” kata Raden
Juwana. Kedua matanya berkaca-kaca karena gembira. Terlebih ketika dilihatnya
empat puteri mendiang Sang Prabu semua berada di atas kereta dalam keadaan
selamat.
Wiro ingat pada dua buah kotak
kayu yang disembunyikannya di puncak bukit.
Dia melompat turun dari atas
kereta. ”Raden, kau lebih ahli menjadi kusir para puteri ini.
Aku pinjam kudamu sebentar…”
”Eh, kau hendak kemana
sahabat?”
Wiro membisikkan sesuatu ke
telinga Raden Juwana. Wajah pemuda itu nampak berseri-seri. ”Kau luar biasa.
Benar-benar luar biasa. Pergilah, tetap hati-hati. Susul kami secepatnya…”
Wiro mengacungkan ibu jari
tangan kanannya lalu melompat ke atas kuda yang diberikan Raden Juwana padanya.
***
BAB XIII
Runtuhnya Kerajaan Singosari
memang tidak dapat dihindari lagi. Sang Prabu tewas di Ruangan Pemanjatan Doa.
Keraton Singosari musnah. Putera-putera terbaik Kerajaan seperti Patih
Raganatha, Pendeta Mayana, Damar, dan si pengkhianat Argajaya ikut menjadi
korban. Belum terhitung para Perwira dan ratusan prajurit. Semua menemui ajal
karena ketamakan akan kekuasaan yang berpangkal pada dendam kesumat.
Adikatwang kembali ke
Gelang-Gelang membawa kemenangang. Puluhan harta pusaka dan kekayaan Singosari
dibawanya ke Kediri. Dalam perjalanan dari daerah pertempuran menuju Kediri dia
sempat menderita demam panas akibat tusuk kundai perak beracun milik Sinto
Gendeng. Untung nyawanya masih bisa diselamatkan karena dia cepat menelan obat
penangkal racun. Di samping itu seorang tabib dari Banten telah pula memberikan
obat mujarab padanya hingga nyawanya tertolong.
Kini Singosari yang porak
poranda itu berada di bawah kekuasaan Adikatwang yang mengangkat dirinya
menjadi Raja di Raja Kediri-Singosari. Walau tanpa tanda syah yaitu adanya
Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa. Gelang-gelang dijadikan pusat
Kerajaan, Kotaraja baru. Dalam kemelut berdarah itu Raden Juwana bersama empat
puteri Sang Prabu dan Pendekar 212 Wiro Sableng berhasil menyelinap
meninggalkan Singosari menuju ke Utara. Mereka bergerak mengikuti peta yang
diberikan oleh mendiang Pendeta Mayana. Dalam perjalanan menuju desa Tembang
Sari di Kudadu beberapa kali rombongan itu dicegat dan diserang oleh
kelompok-kelompok pasukan gabungan Kediri-Madura. Namun Raden Juwana berhasil
mematahkan semua serangan dibantu oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Kesetiaan
prajurit-prajurit Kediri-Madura yang ikut bersama Raden Juwana patut dipuji.
Mereka berjuang mati-matian menyelamatkan rombongan penting itu, terutama
menjaga keselamatan empat puteri mendiang Sang Prabu. Menjelang mencapai Kudadu,
Dewa Ketawa muncul dan bergabung dengan rombongan ini.
Beberapa tokoh penting yang
diketahui berpihak pada Adikatwang lenyap secara misterius. Mereka antara lain
adalah nenek bermata api Dewi Maha Geni. Lalu Adipati Wira Seta dan yang ketiga
kakek sakti bergelar Dewa Sedih.
Seperti dituturkan Dewi Maha
Geni meninggalkan Keraton Singosari karena sakit hati dimaki tolol oleh
Adikatwang di hadapan orang banyak. Nenek sakti ini kemudian bergabung dengan
rombongan Adipati Wira Seta yang dalam perjalanan ke Madura, kembali ke
Sumenep. Wira Seta termasuk salah seorang yang meninggalkan Adikatwang karena
dikecewakan mentah-mentah. Sebelumnya sudah ada perjanjian bila Singosari jatuh
maka dalam Kerajaan baru yang akan segera didirikan Wira Seta akan diangkat
sebagai Patih. Namun setelah mencapai kemenangan Adikatwang berubah pikiran.
Dia mengangkat adik kandungnya sendiri Rana Trijaya sebagai Patih.
Orang ketiga yang tadinya
membantu Adikatwang kemudian melenyapkan diri begitu saja adalah Dewa Sedih.
Orang tua berkulit hitam yang aneh ini berbalik membenci orang-orang Adikatwang
ketika dia memergoki Gandita yang hendak merusak kehormatan puteri bungsu sang
Prabu. Bagaimanapun mungkin jahat hatinya, namun Dewa Sedih sangat benci pada
kekejian seperti itu. Dia mendengar kalau Dewi Maha Geni bergabung dengan Wira
Seta menuju Madura. Dewa Sedih memilih jalannya sendiri, melenyapkan diri dalam
rimba belantara dunia persilatan..
Ketika sampai di pedataran
dimana Kali Brantas bercabang dua, rombongan sempat berhenti dan tercengang
melihat pemandangan aneh di langit di atas mereka. Ada pelangi membentang jelas
dengan segala keindahannya.
Dewa Ketawa mendongak sambil
tertawa mengekeh. Wiro garuk-garuk kepala sedang Raden Juwana memandang tak
berkesip.
”Aneh,” kata Raden Juwana.
”Tak ada hujan, bagaimana mungkin ada pelangi membentang di langit?”
Wiro lantas saja ingat p ada
ramalan Kakek Segala Tahu. Dia menoleh pada Dewa Ketawa yang juga ikut
mendengarkan ramalan itu. Keduanya saling pandang sesaat.
Dewa Ketawa kemudian mengekeh
panjang.
Di desa Tembang Sari
rombonganmembuka sebuah lahan di pinggiran desa, dekat sebuah hutan kecil
dimana mengalir sebuah anak sungai. Di sini mereka mendirikan pondok-pondok
kayu untuk tempat bermukim sementara.
Pada hari ketiga ratus Raden
Juwana dan orang-orangnya bermukim disana, Pendekar 212 Wiro Sableng yang
selama ini menghilang sampai tiga bulan tiba-tiba muncul membawa kabar besar.
”Belasan perahu besar berisi
pasukan Cina mendarat di Tuban!” katanya pada Raden Juwana.
”Sulit saya percaya hal ini.
Apa maksud kedatangan mereka?”
”Saya coba menyirap kabar,”
jawab Wiro. ”Pasukan Cina itu adalah pasukan Raja Kubilai Khan. Ada tiga orang
Perwira Tinggi bertindak sebagai pemimpin. Kalau saya tidak salah sebut….” Wiro
garuk-garuk kepala sebentar. ”Mereka masing-masing bernama Shih Pie, Ike Mishe,
dan Kau Sing. Kabarnya mereka datang untuk menghukum sang Prabu. Tapi mereka
tidak tahu kalau sang Prabu sudah tiada…”
Sepasang mata Raden Juwana
tampak membesar. Demikian juga keempat puteri mendiang sang Prabu. Gayatri
tiba-tiba membuka mulut.
”Saya tahu mengapa mereka
datang dengan maksud seperti itu. Ingat peristiwa beberapa tahun lalu ketika
utusan Kubilai Khan bernama Meng Chi datang ke Singosari membawa perintah agar
Singosari tunduk pada Kerajaan Cina? Ingat apa yang terjadi saat itu?”
”Saya ingat,” sahut Raden
Juwana. ”Sang Prabu menyuruh potong hidung utusan bernama Meng Chi itu. Ini
satu penghinaan luar biasa. Tidak salah kalau Kubilai Khan menjadi marah.”
”Kini ribuan pasukan Cina mendarat
di Tuban, tanpa tahu kalau Sang Prabu sudah tidak ada lagi,” ikut bicara Wiro.
Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ini memandang melotot pada Raden Juwana.
”Sahabat, ada apa kau
memandangku seperti melihat setan?”
”Saya…saya punya satu rencana.
Bagaimana kalau…” lalu Wiro tertawa gelakgelak.
Saat itu pula terdengar suara
tertawa mengekeh. Sesosok tubuh gendut luar biasa muncul dari balik pohon besar
menunggang seekor kuda kecil.
”Dewa Ketawa!” seru semua
orang lalu mereka lari menyambut dan mengelilingi kakek gemuk itu.
Dewa Ketawa berpaling pada
Wiro. ”Sekilas tadi aku sudah sempat mendengar pembicaraan kalian. Dan aku….
Ha..ha..ha..! Aku tahu apa yang ada dalam benakmu Kampret Gondrong!”
Sialan! Dia masih ingat saja
makian itu! Wiro mengomel dalam hati.
”Bukankah kau ingin
menjalankan siasat meminjam nyawa untuk membunuh nyawa?! Ha..ha..ha..!
Tampangmu tolol, wajahmu seperti kampret! Tapi siapa menyangka otakmu boleh
juga!”
”Dewa Ketawa, apakah yang
tengah kau bicarakan ini?” tanya Gayatri.
”Tanyakan saja pada dia. Dia
yang punya otak. Aku hanya menerka dan kebetulan sangkaanku ini tidak meleset!
Ha..ha..ha..!”
Gayatri memandang pada Wiro.
Pandangannya ini di samping ingin tahu apa yang ada dalam kepala sang pendekar
juga menunjukkan rasa rindu karena sekian lama tidak bertemu dengan pemuda yang
diam-diam disukainya itu dan kepada siapa dia banyak berhutang budi bahkan
nyawa.
Cara memandang Gayatri ini
membuat Raden Juwana merasa tidak enak. Maka diapun cepat berkata.
”Agar semua jelas dan semua
orang tahu sebaiknya sahabat Wiro menerangkan saja kalau memang punya rencana
atau sesuatu.”
Wiro menggaruk kepalanya dulu
baru berkata. ”Saya tidak berani mengatakan kalau ini adalah rencana saya.
Terus terang sebenarnya apa yang akan saya sampaikan adalah bersumber dari
jalan pikiran Raden Juwana. Suatu malam kami mengobrol, Raden Juwana sekali
mengatakan. Kalau saja ada satu kekuatan besar yang bisa kita pergunakan untuk
menyerbu Gelang-Gelang, menghancurkan kekuasaan Adikatwang yang tidak syah.”
Raden Juwana terdiam mendengar
ucapan Wiro itu. Mungkin memang dia pernah menyampaikan pendapat seperti itu
namun tidak ingat lagi kapan dan dimana.
”Kalau hal itu memang bisa
dilaksanakan mengapa tidak dicoba?” Gayatri membuka mulut.
”Saya akan menemui pemimpin
pasukan Cina yang baru datang itu!” kata Raden Juwana pula.
”Tidak,” kata Wiro. ”Raden
tetap disini mengatur segala sesuatunya. Saya yang akan berangkat ke Tuban
menemui tiga orang Perwira Kubilai Khan itu.”
”Saya ikut bersamamu,” kata
Gayatri pula.
Raden Juwana tampak tidak
senang mendengar ucapan Gayatri itu sebaliknya Wiro tersenyum dan dengan lembut
berkata. ”Saya hargai keberanian Raden Ayu Gayatri. Tapi ini adalah urusan
laki-laki. Biar saya sendiri yang akan pergi.”
”Ya, biar dia saja yang pergi,”
kata Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
”Tuban cukup jauh. Aku akan
pinjamkan keledaiku padamu! Ha..ha..ha..!”
***
Pagi itu di langit kembali
kelihatan pelangi yang membuat semua orang di pemukiman di pinggiran desa
Tembang Sari itu semakin merasa aneh. Selagi mereka dicengkeram perasaan itu
tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontangan. Lalu muncul seorang kakek
bercaping, berpakaian penuh tambalan seperti pengemis. Di tangan kirinya ada
sebatang tongkat sedang tangan kanannya memegang sebuah kaleng rombeng berisi
batu. Setiap saat kaleng ini digoyang-goyangkannya hingga mengeluarkan suara
berisik memekakkan telinga.
”Pengemis dari mana pagi-pagi
kesasar ke sini?” ujar Raden Juwana. ”Beri dia makanan lalu suruh pergi. Suara
kalengnya menusuk gendang-gendang telinga!”
Raden Ayu Gayatri muncul dari
balik pondok. Begitu dia melihat kakek bercaping itu serta merta dia berseru.
“Kakek! Bukankah kau Kakek Segala Tahu?! Sahabat pemuda bernama Wiro itu?”
Orang bercaping memutar
tubuhnya ke arah Gayatri yang mendatangi sementara Raden Juwana jadi
terheran-heran.
“AH, syukur kau masih
mengenali tua bangka buruk dan buta ini! Aku ingat siapa kau adanya. Puteri
bungsu mendiang sang Prabu yang biasa dipanggil Raden Ayu Gayatri. Benar?!”
”Benar,” sahut Gayatri. ”Saya
senang Kakek masih ingat saya.”
”Mana sahabatku si Wiro
Gendeng itu?”
”Dia tengah membawa pasukan
besar dari Cina menuju kemari,” jawab Gayatri.
Kakek Segala Tahu mendongak ke
langit. ”Pagi yang segar…” ucapnya perlahan.
”Katakan, apakah ada pelangi
terpampang di langit?”
”Betul Kek, memang ada pelangi
di langit,” menjelaskan Gayatri.
”Pelangi itu membentang di
atas kawasan hutan maja yang luas di sebelah Timur?”
”Saya tahu memang ada hutan
pohon maja di sebelah Timur. Kau betul, Kek,” kata Gayatri pula.
Wajah Kakek Segala Tahu tampak
berseri.
”Pelangi…Pasukan besar dari
Cina. Ah, rupanya ramalanku dahulu tidak terlalu tolol! Satu raja baru akan
muncul. Satu kerajaan baru akan berdiri. Maha Besar kekuasaan Sang Pencipta.
Maha Besar Kasih dan KeadilanNya.”
Kakek Segala Tahu
menggoyangkan kaleng rombengnya berulang kali. Lalu dia memutar tubuh
tinggalkan tempat itu. Raden Juwana coba mengejar untuk menanyakan apa maksud
ucapan si kakek tadi. Tapi orang tua itu tidak berhenti ataupun berpaling.
Kaleng rombengnya terus saja
digoyang-goyang sepanjang jalan hingga akhirnya lenyap di kejauhan.
***
BAB XIV
Adikatwang tengah duduk di
atas singgasana emas berbentuk segi empat, rambut disanggul rapi ke
atas,berpakaian sutera dan bersepatu kulit. Beberapa orang pembantu dekat duduk
mengelilinginya. Tiba-tiba muncul seorang pengawal dengan nafas terengah.
Pengawal ini jatuhkan diri.
Begitu bangkit dia segera berkata:
”Mohon ampun daulat Sri
Baginda Raja di Raja Kediri. Seorang prajurit di perbatasan Timur dan seorang
lagi di perbatasan Timur Laut memberi tahu bahwa ada dua rombongan besar
pasukan Cina berjumlah ribuan orang bergerak menuju Gelang-Gelang…”
Adikatwang sampai tertegak
dari duduknya mendengar ucapan si pengawal.
”Pasukan Cina katamu?!”
”Betul sekali daulat tuanku
Sri Baginda Raja di Raja Kediri. Pasukan Cina bergerak menuju Kotaraja. Ikut
bersama dua gelombang pasukan itu sejumlah prajurit berseragam tidak dikenal.
Namun ada yang menyaksikan bahwa dalam pasukan itu kelihatan Raden Juwana,
seorang pemuda yang dikenal bernama Wiro Sableng, juga seorang kakek gendut
menunggang keledai sambil tertawa-tawa. Juga ada beberapa kelompok prajurit
Kediri dan Madura dalam pasukan besar itu.”
Paras Adikatwang berubah
total. ”Raden Juwana…Wiro Sableng…Pasti dia pemuda keparat murid nenek sundal
yang bersenjatakan tusuk kundai itu! Lalu seorang kakek gemuk menunggang
keledai yang selalu tertawa-tawa. Siapa lagi kalau bukan Dewa Ketawa! Tapi
adalah aneh kalau diantara mereka ada prajurit-prajurit Kediri dan Madura.
Mungkin sisa-sisa pasukan Gandita yang dulu membelot? Atau mungkin Wira Seta
ikut ambil bagian pula!”
Adikatwang memandang
berkeliling pada para pembantunya. Lalu kembali pada pengawal yang masih duduk
bersila di lantai. ”Ada keterangan lain yang akan kau sampaikan?”
”Ada Sri Baginda Raja di Raja
Kediri. Pasukan Cina terlihat membawa senjata lengkap. Tongkat yang bisa
meletus dan batang kelapa yang juga bisa meletus!”
“Tongkat dan batang kelapa!
Prajurit tolol! Itu namanya bedil dan meriam! Sudah pergi sana!”
Begitu si pengawal berlalu
Adikatwang segera perintahkan para pembantunya untuk memukul genta tanda bahaya
yang ada di empat sudut Kotaraja. “Siapkan pasukan!
Siapa saja yang berani
memasuki Kotaraja akan kita bantai!”
Saat itu di Kediri terdapat
sekitar dua ribu prajurit berpengalaman yang siap tempur. Namun balatentara
Cina jumlahnya jauh lebih besar. Sementara itu di Keraton Kediri tidak lagi
memiliki tokoh-tokoh silat yang bisa diandalkan sedang di pihak musuh kelihatan
Pendekar 22 Wiro Sableng dan si kakek sakti Dewa Ketawa. Tiba-tiba saja
Adikatwang ingat mimpinya malam tadi. Dia melihat rembulan indah empat belas
hari di langit malam yang jernih. Tiba-tiba rembulan itu turun ke bumi,
melayang ke arah pangkuannya, tapi begitu sampai di pangkuannya rembulan itu
tiba-tiba berubah menjadi sebuah bola api yang meledak dan membakar sekujur
tubuhnya.
”Raden Juwana keparat! Wira
Seta tolol sialan! Kalau dulu-dulu aku membabat lehernya…”
Adikatwang masuk ke dalam
kamarnya. Ketika keluar dia sudah mengenakan pakaian perang yang bagian depan
dan punggungnya dilapisi besi tipis. Di tangan kanannya dia mencekal sebilah
pedang.
Pada seorang pembantu dia
minta agar Patih Kerajaan segera datang menghadap.
Seperti diketahui Patih Kediri
adalah Rana Trijaya adik kandung Adikatwang sendiri.
Tak lama kemudian pembantu
tadi kembali membawa kabar yang membuat Adikatwang marah besar.
”Patih Raden Rana Trijaya
meninggalkan Kotaraja beberapa saat lalu bersama keluarga dan para selir. Dia
membawa serta seratus prajurit sebagai pengawal.” begitu laporan si pembantu.
”Manusia keparat! Pengecut
haram jadah!” kutuk serapah keluar dari mulut Adikatwang. ”Beritahu Panglima
Ganda Cula! Dia harus menyongsong serbuan musuh di luar Kotaraja! Lipat
gandakan pasukan berpanah!”
”Mohon maafmu Sri Baginda Raja
di Raja Kediri,” berkata pembantu itu sambil menjura beberapa kali. ”Panglima
Ganda Cula juga sudah meninggalkan Kotaraja bersama keluarganya tak lama
setelah Patih Trijaya pergi…”
Meledaklah kemarahan
Adikatwang. Dia berteriak-teriak memanggil beberapa orang Perwira Tinggi
Kerajaan. Namun tak ada yang datang. Malah di kejauhan terdengar suara
letusan-letusan bedil yang sekali-sekali diseling oleh dentuman meriam.
Sebuah peluru meriam
menghantam dinding Keraton hingga ambruk dan berlubang besar. Paras Adikatwang
menjadi pucat. Dia lari keluar Keraton. Dua ratus prajurit siap mendampinginya
menuju medan pertempuran yang telah pecah di bagian Barat tembok Kotaraja. Raja
Kediri ini hanya sempat memacu kudanya sejarak seratus langkah.
Laksana air bah tiba-tiba saja
pasukan musuh sudah berada didepan pintu gerbang Keraton. Di sebelah depan tiga
orang berkelebat ke arahnya. Dua larik sinar putih menyilaukan menyambar ganas.
Sembilan prajurit mencelat mental dan menemui ajal dengan tubuh hangus hitam.
Tiga ekor kuda terguling roboh. Itulah hantaman pukulan sinar matahari yang
dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng. Orang kedua bukan lain si kakek gendut
Dewa Ketawa. Sambil tertawa mengakak dia mengarahkan keledainya ke barisan
prajurit Keraton pendamping Adikatwang. Ketika kakek sakti ini menggerakkan
kedua tangannya terdengar suara seperti angin puting beliung disusul
menyambarnya sinar kebiruan. Pekik jerit seperti merobek langit. Delapan
prajuri Kediri terkapar mati, selusin lainnya berpelantingan. Dewa Ketawa
tertawa gelak-gelak. Dia terus merangsak maju.
Adikatwang untuk beberapa saat
lamanya seperti tertegun di atas punggung kudanya. Kemudian dilihatnya Raden
Juwana di sebelah kiri.
”Budak keparat! Aku lawanmu!”
teriak Adikatwang. Dia menggebrak kudanya ke arah Raden Juwana. Namun sebutir
peluru yang ditembakkan pasukan Cina menghantam dadanya hingga dia terpelintir
dan jatuh dari tunggangannya. Sebelum dia sempat bangkit Raden Juwana sudah
berada di depannya dan langsung menusukkan pedangnya tepat di samping luka
tertembus peluru. Adikatwang berteriak antara kesakitan dan kemarahan.
Kedua tangannya diulurkan
dengan nekad mencabut pedang yang menancap di dadanya.
Begitu pedang tercabut dia
meneruskan hendak merebutnya dari tangan Raden Juwana.
Namun saat itu, salah seorang
Perwira Tinggi Balatentara Cina yaitu Kau Sing yang berada di dekat sana merasa
yakin bahwa Adikatwang adalah Sang Prabu, melepaskan tembakan dengan bedil
panjangnya.
Peluru bersarang tepat di
kening Adikatwang. Tubuhnya terbanting. Raja di Raja Kediri ini menghembuskan
nafas dengan kepala hampir rengkah!
Secara keseluruhan Kediri
bertekuk lutut hanya dalam tempo kurang dari setengah hari. Selagi pasukan Cina
bersuka ria merayakan kemenangannya, Raden Juwana, Dewa Ketawa dan Pendekar 212
Wiro Sableng bersama tiga kelompok prajurit Kediri-Madura serta sisa-sisa
pasukan di masa Singosari dulu meninggalkan Gelang-Gelang, kembali menuju
pemukiman di pinggiran Desa Tembang Sari. Mereka sampai di pemukiman pagi hari
sama seperti ketika mereka meninggalkannya beberapa hari lalu.
Dan lagi-lagi mereka
dicengangkan oleh bentangan pelangi di langit sebelah Utara, tepat di atas
hutan maja yang luas.
”Mungkin sekali ini petunjuk
para Dewa. Kita harus pindah dan membuka lahan baru di hutan maja itu.” kata
Raden Juwana. Ucapan Raden Juwana ini ternyata nantinya akan menjadi kenyataan.
Kelak kemudian hari hutan maja itu akan berubah menjadi Kotaraja dari Kerajaan
Majapahit.
”Bagaimana pendapatmu Dewa
Ketawa?” tanya Raden Juwana pada si kakek gendut yang menunggang keledai.
”Selama di tempat yang baru
itu orang tidak dilarang ketawa, aku pasti setuju dan ikut kesana!” jawab Dewa
Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
”Dan kau sahabat Wiro?” tanya
Raden Juwana.
“Dia pasti akan ikut bersama
kita!” menjawab satu suara. Ketiga orang itu berpaling. Yang menjawab ternyata
adalah Raden Ayu Gayatri. Wiro sekilas cepat melirik ke arah Raden Juwana.
Seperti yang sudah-sudah dia melihat paras pemuda itu berubah.
Wiro mengeluh dalam hati. Aku
tidak bisa menipu diriku. Aku menyukai gadis itu.
Diapun menyukai diriku. Tapi
seperti ucapan Kakek Segala Tahu adalah gila kalau aku berharapkan bisa
berjodoh dengan puteri Raja. Tempatku bukan di sini, ataupun di lahan yang baru
itu. Aku harus pergi.
Wiro menggaruk kepalanya dan
coba tersenyum. ”Kalian semua sahabat-sahabat, mungkin malah bisa kukatakan
saudara-saudaraku yang baik. Namun…”
”Kau tidak boleh membantah!”
potong Gayatri.
”Maafkan saya… Saya harus
pergi. Di lain waktu saya pasti akan menemui kalian lagi. Semoga kalian
mendapatkan perlindungan dan berkah Yang Kuasa. Selamat tinggal…” Wiro memutar
kudanya dan tinggalkan tempat itu.
Gayatri tak tinggal diam. Dia
melompat ke atas punggung seekor kuda dan mengejar hingga Wiro terpaksa
berhenti di satu tempat.
”Raden Ayu…”
”Nama saya Gayatri..” sepasang
mata gadis itu berkaca-kaca.
”Gayatri, kembalilah. Saya
tidak mungkin menetap di sini.”
”Kau..Kau tidak mengetahui
bagaimana perasaanku padamu Wiro. Dan kau tak perlu mengatakan bagaimana
perasaanmu padaku. Aku dapat merasakannya. Lalu mengapa kau harus pergi?”
Wiro merasa tenggorokannya
seperti kering. Untuk beberapa lamanya dia tidak bisa berkata apa-apa.
“Gayatri, saya… Bagaimanapun
juga dalam hidup ini kita harus melihat kenyataan. Antara kita ada jurang yang
maha luas. Kau adalah seorang puteri Raja. Saya seorang gelandangan. Mana
mungkin…”
Gayatri sesenggukan. Tubuhnya
seperti limbung. Wiro cepat memegang bahu gadis itu. ”Kuatkan hatimu Gayatri.
Saya berjanji untuk datang lagi menemuimu suatu ketika kelak.”
”Kau masih menyimpan peniti
emas yang kuberikan dulu?”
Wiro mengangguk lalu keluarkan
peniti emas yang pernah diberikan Gayatri.
Benda itu diperlihatkannya
sambil tersenyum. Dari balik pakaiannya Gayatri mengeluarkan selipatan kain.
Benda itu adalah ikat kepala yang dulu diberikan Wiro kepadanya sebagai balasan
pemberian peniti. Dengan kain itu disekanya air mata yang menggelinding di
pipinya.
”Berjanjilah kau akan datang
lagi Wiro…” bisik Gayatri.
”Saya berjanji Gayatri.
Izinkanlah saya pergi sekarang.”
Gayatri mengangguk. Dia
mendekatkan wajahnya ke muka Pendekar 212. kedua matanya dipejamkan. Wiro
merasa ragu-ragu sesaat. Namun dia tidak tega menolak permintaan tanpa terucap
itu. Diciumnya kedua pipi dan kening Gayatri. Lalu dengan lembut dan mesra
dikecupnya bibir gadis itu. Gayatri masih terduduk memejamkan kedua mata dan
tak bergerak di atas punggung kuda walau saat itu Pendekar 212 telah
meninggalkannya. Gadis ini seolah-olah terlena dan terbuai oleh kelembutan
hangat kecupan sang pendekar tadi.
”Pergilah sayang. Selamat
jalan orang yang kucintai. Jaga dirimu baik-baik.
Datanglah kelak, aku akan
selalu menantimu..” kata-kata itu terucap dan terukir di lubuk hati Gayatri.
Air mata kembali membasahi pipinya. Dia mendengar langkah-langkah kaki di
sampingnya. Dia tak mau membukakan matanya. Yang berjalan di sampingnya saat
itu adalah si gendut Dewa Ketawa bersama keledainya. Orang tua ini pandangi
wajah cantik yang tenggelam dalam kesedihan itu. Perlahan-lahan Dewa Ketawa
teruskan langkahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. ”Cinta…” desisnya. ”Kau
datang begitu aneh.
Tidak memilih siapa yang
dicintai, tidak mengenal batas derajat dan keturunan. Cinta begitu indah,
tetapi terkadang bisa kejam. Itulah sebabnya aku memilih terus saja jadi
bujangan!” untuk pertama kalinya Dewa Ketawa tidak mengeluarkan suara tawa
bergelaknya.
TAMAT