Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
074 Dendam Di Puncak Singgalang
SATU
DUA gunung tinggi menjulang
menyapu awan, terlihat jelas dari kejauhan di bawah langit yang biru bersih.
Kehadiran gunung Singgalang
dan Merapi di daratan tengah pulau Andalas seperti yang selalu diperumpamakan
oleh penduduk memang benar yaitu seolah dua raksasa penjaga negeri.
Saat itu menjelang tengah
hari. Dari arah danau Maninjau di jurusan kaki gunung Singgalang tampak seorang
penunggang kuda memacu tunggangannya menuju ke timur.
Orang ini berusia sekitar setengah
abad, berkumis tipis rapi, mengenakan destar tinggi berwarna hitam yang
pinggirannya dirajut dengan benang emas. Pakaiannya terbuat dari kain bludru
warna hijau yang juga ada renda benang emasnya. Di pinggangnya, di balik ikat
pinggang besar terselip sebilah keris. Baik gagang maupun sarung senjata ini
terbuat dari emas sedang badannya terbuat dari sejenis besi putih yang dilapisi
emas. Setiap sinar matahari jatuh pada gagang dan sarung senjata itu, kelihatan
cahaya kuning memantul menyilaukan.
Pada waktu yang hampir
bersamaan dari arah kaki gunung Merapi meluncur cepat sebuah kereta terbuka
ditarik dua ekor kuda besar. Di sebelah kanan duduk sais kereta, seorang
lelaki, bertampang seram.
Wajahnya tertutup oleh kumis
dan cambang bawuk lebat. Rambutnya yang gondrong di ikat menjulai ke belakang.
Matanya yang sebelah kiri picak sedang telinganya sebelah kanan sumplung. Di
lehernya yang mengenakan pakaian serba hitam ini melingkar sebuah kalung
terbuat dari akar bahar. Pada kedua lengannya juga kelihatan melingkar dua
gelang hitam dari akar bahar.
“Kenapa Datuk tidak membawa
senjata?” bertanya sais kereta pada orang yang duduk di sampingnya.
Orang ini mengenakan pakaian
bagus berwarna merah penuh dengan sulaman-sulaman benang emas.
Destarnya juga merah. Wajahnya
klimis pucat dan agak cekung di bagian pipi. Dagunya nyaris berbentuk empat
persegi sedang bibirnya tipis dan selalu terkancing rapat. Sekali lihat saja
wajah orang yang dipanggil dengan sebutan Datuk ini membayangkan sifat angkuh
dingin kalau tidak mau dikatakan kejam. Orang ini mempunyai kebiasaan aneh.
Yaitu sebentar-sebentar menyentak-nyentakan lehernya ke kiri atau ke kanan
seperti ayam tertelan karet.
“Mengapa kita tidak membawa
senjata katamu, Daud?” orang berpakaian merah membuka mulutnya yang sejak tadi
tertutup. Lalu terdengar dia mendengus. Menyusul kemudian suara tawanya
bergelak.
Sais kereta sesaat jadi
terdiam. Lalu dia ikut-ikutan tertawa.
“Setan! Kenapa kau tertawa?!”
sang Datuk membentak.
Sais kereta bernama Daud itu
cepat tutup mulutnya. “Maafkan saya Datuk,” katanya. “Saya cuma ikut-ikutan
saja. Bukankah Datuk sering berkata agar saya lebih banyak mengikuti sifat dan
kebiasaan Datuk?”
“Aku tidak suka kau tertawa
lebar-lebar di hadapanku! Mulutmu bau! Tahu?”
“Maafkan saya Datuk,” kata
Daud sekali lagi. Lalu dengan suara perlahan dia menyambung. “Saya masih ingin
tahu mengapa Datuk tidak membawa senjata.”
“Kau takut?”
“Tentu saja tidak Datuk,”
jawab Daud.
“Mulutmu berkata tidak tapi
suaramu bergetar. Percuma kau dijuluki orang Daud si Hantu Mata Picak! Momok
nomor satu di seluruh nagari!”
“Maafkan saya. Kalau begitu
saya tidak akan bertanya lagi!” Lelaki bermuka angker yang mata kirinya buta
picak itu mencambuk kuda-kuda penarik kereta keras-keras seolah melampiaskan
rasa kesalnya pada kedua binatang itu. Dicambuk bertubi-tubi demikian rupa,
kedua kuda berlari kencang seperti kesetanan.
“Bangsat kau Daud!” bentak
lelaki bermuka cekung. Kalau bicara sang Datuk biasa memaki dan menyebut orang
dengan kata-kata kasar seperti setan atau bangsat.
“Apa lagi salah saya Datuk?”
“Kau melarikan kereta seperti
dikejar iblis! Kau hendak membuat aku celaka huh?!”
Daud menahan tali kekang dua
ekor kuda.
Binatang-binatang itu
mengangkat kepalanya ke atas dan serta merta memperlambat larinya.
“Nah sekencang begini saja
sudah cukup. Kenapa harus terburu-buru….?”
“Bukankah kita hendak
menemui….”
Sang Datuk cepat memotong
kata-kata Daud. “Kita tidak menemui siapapun. Tapi justru dia yang mendatangi
kita untuk mengantar nyawa anjingnya!” Untuk pertama kalinya orang ini
berpaling pada sais kereta. “Aku melihat bayangan rasa takut di wajahmu yang
buruk. Kalau betul begitu hentikan kereta. Biar aku melanjutkan perjalanan
seorang diri. Dan kau boleh kembali ke Silungkang! Jalan kaki!”
“Saya bersumpah saya tidak
takut Datuk. Tapi apa yang hendak kita lakukan ini bukan pekerjaan main-main.
Datuk Bandaro Sati sudah dikenal di tujuh penjuru angin nagari sebagai Pandekar
kelas wahid!”
“Dia boleh punya nama besar.
Tapi usianya pendek. Lagi pula ilmu kepandaian apa yang dimilikinya?
Apa setinggi gunung Merapi
sedalam danau Maninjau? Kau khawatir aku akan kalah olehnya? Kalau seandainya
aku terdesak, lalu apakah kau akan berpangku tangan saja? Duduk di atas kereta
sambil mencungkil hidungmu?!”
“Tentu saja saya tidak akan
tinggal diam Datuk. Saya pasti akan membantu Datuk. Kalau tidak apa perlunya
kita pergi bersama-sama,” jawab Daud si Hantu Mata Picak. “Cuma saya ada
sedikit rasa waswas Datuk. Bukankah Datuk Bandaro Sati memiliki Tuanku Ameh Nan
Sabatang,… ?”
Orang di sebelah Daud si Hantu
Mata Picak menyeringai. Setelah mengusap dagunya yang licin dan menyentakkan
lehernya dua kali ke kiri dia berkata.
“Tuanku Ameh Nan Sabatang
memang merupakan sebilah keris langka. Mengandung kesaktian dan tuah luar
biasa. Kata orang kalau sudah keluar dari sarungnya harus ada nyawa yang
melayang! Itu kata orang!
Sampai dimana kehebatan keris
itu perlu kita saksikan sendiri Daud!”
“Seorang pandekar sesat di
Bukit Siguntang yang kabarnya kebal segala macam senjata, dua bulan lalu
menemui ajalnya di ujung keris itu ketika coba menantang Datuk Bandaro Sati.
Kejadiannya di pesisir Pariaman.”
“Aku memang mendengar cerita
itu. Lalu apakah aku manusia yang bergelar Datuk Gampo Alam harus menjadi ciut
nyalinya menghadapi seorang calon bangkai bergerak Datuk Bandaro Sati itu?!”
Habis bicara begitu orang ini meludah ke tanah. “Setan!”
“Saya yakin bagaimanapun juga
Datuk lebih hebat dari Bandaro Sati…”
“Yakin bukan hanya sekedar
yakin, Daud. Tapi yakin yang hakkul yakin!” kata Datuk Gampo Alam pula.
Lehernya disentakkannya ke kanan.
Kereta itu meluncur terus
menempuh kawasan sunyi berbukit-bukit. Setelah melewati sebuah desa kecil, dari
jalan yang kini menurun, di kejauhan kelihatan sebuah lembah yang keindahan
merupakan seolah satu keajaiban dipandang mata.
“Ngarai Sianok sudah kelihatan
di bawah sana Datuk,” memberi tahu Daud alias Hantu Mata Picak.
Datuk Gampo Alam yang sejak
tadi terkantuk-kantuk membuka kedua matanya lebar-lebar. Sepasang mata orang
ini kelihatan nyalang besar dan ada kilatan menggidikkan.
“Kita sampai lebih cepat Daud.
Berarti apa yang akan kita lakukan akan lebih cepat pula selesainya.”
“Kalau Datuk Bandaro Sati
benar-benar datang memenuhi janjinya,” sahut Daud.
“Setan! Sialan kau Daud!”
bentak Datuk Gampo Alam tiba-tiba.
“Astaga! Apa lagi salah saya
kali ini?” tanya Daud. Nada suaranya menyatakan rasa takut namun ketakutan itu
tidak terbayang di tampangnya yang angker.
“Pada saat-saat tegang kau
selalu mengeluarkan ucapan yang membuat aku tidak enak! Keparat itu pasti
datang Daud! Pasti! Jangan kau berani berucap yang membuat aku jadi ikut
was-was!”
Hantu Mata Picak tidak
menyahut. Dalam hatinya timbul rasa jengkel terhadap Datuk Gampo Alam.
“Manusia satu ini begitu
bernafsu agar cepat bisa melaksanakan niatnya. Tapi segala kemungkinan tidak
diperhitungnkannya!”
Ngarai Sianok terbentang
dengan segala keindahannya. Di langit sebelah timur sekawanan burung terbang di
langit biru.
Mata kanan Hantu Mata Picak
memandang jauh ke depan. Lalu dia berdiri di atas kereta. “Datuk, saya melihat
ada penunggang kuda datang dari arah barat!” katanya lalu kembali duduk.
Datuk Gampo Alam menyeringai.
“Calon bangkai itu datang memenuhi janjinya! Coba perhatikan.
Apa memang betul dia yang
datang?!”
Hantu Mata Picak kembali
berdiri lalu duduk lagi dan berpaling pada Datuk Gampo Alam. “Kudanya kuda
coklat. Destarnya hitam dan pakaiannya hijau. Siapa lagi kalau bukan Datuk
Bandaro Sati!”
“Hentikan kereta!” perintah
Datuk Gampo Alam. “Aku berbaik hati memberi kesempatan padanya untuk meregang
nyawa di tempat yang indah ini.”
Hantu Mata Picak hentikan
kereta.
Sementara itu dari arah barat
penunggang kuda coklat berpakaian hijau datang semakin dekat. Tak lama kemudian
orang inipun sampai di hadapan kereta. Dia membawa kudanya ke samping hingga
bersisi-sisian dengan bagian depan dimana Datuk Gampo Alam duduk.
“Datuk Gampo Alam, kau datang
tepat pada waktunya. Malah lebih dulu dari aku!” Orang di atas kuda coklat
menyapa.
Datuk Gampo Alam menyeringai.
“Aku Datuk Gampo Alam selalu tepat waktu. Apalagi untuk urusan penting seperti
ini!”
“Urusan penting katamu. Apakah
tidak bisa kita bicarakan di rumah gadang? Mengapa harus memilih tempat ini
seperti orang menagih hutang piutang saja?!”
Mendengar kata-kata Datuk
Bandaro Sati itu, Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh. Disentakkannya lehernya
beberapa kali lalu dia berkata. “Coba kau lihat berkeliling. Bukankah tempat
ini sangat indah pemandangannya? Jadi tak ada buruknya kita bicara di sini!”
Datuk Bandaro Sati memandang
berkeliling lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku setuju dengan ucapanmu.
Ngarai Sianok memang indah. Lalu urusan penting apakah yang kau maksudkan itu,
Datuk Gampo Alam?”
“Ah! Setan ini berpura-pura
tidak tahu rupanya!” Maki Datuk Gampo Alam dalam hati. Lalu dia menjawab. “Ini
menyangkut urusan rumah gadang warisan nenek moyang kita. Jangan kau
berpura-pura Datuk Bandaro Sati!”
Wajah Datuk di atas kuda
coklat itu sesaat tampak berubah. “Kalau itu masalahnya aku tak akan mau
membicarakan. Bukankah hal ini sudah aku tegaskan berulang kali padamu? Soal
rumah gadang tidak ada tawar-menawar!”
Datuk Gampo Alam menyeringai
lalu menyetakkan lehernya. “Kau selalu bersikap seperti ini Datuk.
Keras kepala dan tolol!”
“Terserah padamu! Terserah kau
mau mengatakan apa diriku! Banyak urusan penting lain menungguku di
Batusangkar! Aku harus pergi sekarang!”
“Tunggu!” seru Datuk Gampo
Alam lalu berdiri di atas kereta. Kedua tangannya berkacak pinggang sedang
sepasang matanya memandang berapi-api pada orang yang duduk di atas kuda di
hadapannya.
“Apapun alasanmu aku tidak mau
tahu. Urusan rumah gadang harus selesai saat ini juga, di tempat ini juga!”
“Kau sudah gila Datuk Gampo
Alam!” bentak Datuk Bandaro Sati.
“Kau membuat aku marah Datuk
Bandaro Sati!” bafas membentak Datuk Gampo Alam.
“Kau rupanya sengaja mencari
lantai terjungkat!”
“Setan kau!” teriak Datuk
Gampo Alam.
“Eh, iblis apa yang masuk ke
dalam tubuhmu hingga kau berani berucap sekasar itu pada kakak kandungmu
sendiri? Aku ingatkan padamu! Sekali lagi kau bicara kotor dihadapanku
kupatahkan batang lehermu!”
* * *
DUA
DI ATAS kereta Datuk Gampo
Alam yang masih tegak bertolak pinggang tertawa bergelak. “Soal patah
mematahkan batang leher bisa nanti kita lakukan!” katanya. “Aku hanya ingin
memberi kesempatan padamu sekali lagi. Apakah kau tetap tidak mau menjual rumah
gadang berikut isinya pada Tumenggung Rajo Langit?!”
“Satu kali kubilang tidak,
sampai matipun tetap tidak!” jawab Datuk Bandaro Sati tegas dan dengan mimik
wajah menjadi garang.
Datuk Gampo Alam menyeringai.
Lehernya disentakkan dua kali berturut-turut. Dari balik pakaian merahnya
dikeluarkannya segulung kertas. Perlahan-lahan gulungan kertas itu dibukanya
lalu disodorkannya pada kakaknya.
“Aku telah menandatangani persetujuan
penjualan rumah gadang itu. Kau juga harus menyetujui dan menandatanganinya.
Tak usah sekarang. Kuberi
waktu dua hari. Antarkan sendiri kerumahku! Atau kau kirimkan saja orang
suruhanmu!”
Datuk Bandaro Sati jadi
mengkelap. Kertas yang disodorkan adiknya diambilnya dengan sebat lalu tanpa
membaca apa yang tertulis di atas kertas itu langsung saja dirobek-robeknya.
“Rumah gadang adalah rumah
pusaka nenek moyang turun-temurun. Tidak boleh dijual sekalipun dunia ini akan
terbalik!” kata Datuk Bandaro Sati dengan rahang menggembung dan pelipis
bergerak-gerak.
“Setan jahanam!” teriak Datuk
Gampo Alam marah bukan main. Setelah menyentakkan lehernya, didahului oleh
suara menggembor seperti harimau lapar tubuh Datuk ini melesat ke depan. Kaki
kanannya berkelebat menendang ke arah dada kakaknya.
Datuk Bandaro Sati balas
berteriak marah. Dengan satu gerakan cepat luar biasa dia melompat turun dari
punggung kuda. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dipukulkan ke atas.
Wuuuttt!
Gagal menyerang dada kakaknya,
Datuk Gampo Alam menyambar tangan kanan yang berusaha memukul ke arah
selangkangannya. Tapi luput karena Datuk Bandaro Sati cepat merunduk sambil
tarik pulang serangannya.
“Datuk Bandaro Sati pandekar
tujuh nagari! Kau memilih mati dari pada mendapatkan rejeki. Otakmu yang konon
cerdik bijaksana ternyata kosong melompong! Kau kemari hanya mencari mati!”
“Hemm, rupanya niat jahat itu
sudah ada dalam hati dan darahmu sejak lama! Aku tahu kau yang memfitnah
anakku. Kini kau hendak bersutan di mata beraja di hati terhadapku huh! Dengar,
bukan aku yang akan mati tapi kau yang akan berkubur di Ngarai Sianok ini!
Itupun kalau masih ada orang yang mau menguburmu. Kalau tidak bangkaimu akan
jadi santapan anjing-anjing ngarai!”
“Datuk setan! Bicaramu sombong
sekali. Boleh kau berkata begitu kalau kau punya dua nyawa!” kata Datuk Gampo
Alam dengan pandangan mata berkilat-kilat. “Nama besarmu bagiku hanya kentut
busuk belaka! Atau kau mengandalkan keberanianmu pada keris Tuanku Ameh Nan
Sabatang yang tersepi di pinggangmu itu? Ha… ha… ha…! Keris itu sendiri yang
akan kupakai menghabisi dirimu!”
“Datuk keparat manusia jahat!”
bentak Datuk Bandaro Sati. “Hari ini putus hubungan darah antara kita! Aku
tidak akan berdosa membunuh manusia sepertimu!”
“Bagus! Kalau begitu kau
makanlah bekas tanganku ini!” kata Datuk Gampo Alam. Dia menyergap dengan satu
lompatan garang. Tinju kirinya menghunjam ke dada sedang dua jari tangan
kirinya laksana dua potong besi menusuk ke arah sepasang mata Datuk Bandaro
Sati.
“Ilmu silat picisan tidak laku
di hadapanku Datuk!” ejek Datuk Bandaro Sati. Tangannya kiri kanan bergerak
laksana silangan gunting.
Bukkk!
Dukkk!
Tubuh Datuk Bandaro Sati
tergontai-gontai sesaat ketika lengan kirinya beradu dengan lengan kanan Datuk
Gampo Alam. Di saat yang sama, sambil memiringkan kepalanya untuk menghindari
tusukan dua jari lawan pada kedua matanya sang Datuk susupkan tinju kanannya ke
dada Datuk Gampo Alam. Orang ini cepat mengelak namun jotosan kakaknya masih
sempat mampir di bahu kirinya hingga Datuk Gampo Alam terpelanting dan pasti
jatuh kalau tubuhnya tidak tertahan gerobak.
“Setan alas setan keparat!”
rutuk Datuk Gampo Alam menahan sakit dan marah. Kepala dan lehernya
digoyang-goyangkan beberapa kali. Mukanya yang pucat tampak semakin tidak
berdarah. Tapi dia cepat tegak memasang kuda-kuda.
Di atas kereta, Daud alias
Hantu Mata Picak berseru. “Datuk Gampo Alam, biar saya yang menghajar manusia
keparat itu!” Habis berseru begitu dengan satu gerakan enteng dia melompat
turun dan tahu-tahu sudah berada di samping kiri Datuk Bandaro Sati.
“Aku masih sanggup
mempersiangi setan alas ini Daud! Tetap di tempatmu!” bentak Datuk Gampo Alam.
Lalu dia menerjang. Kini terjadi perkelahian seru antara kakak dan adik sedarah
sekandung itu.
Masing-masing bukan saja
mengeluarkan kekuatan luar tetapi juga mengandalkan tenaga dalam mengandung
hawa sakti yang mengeluarkan siuran angin dan sesekali sinar menggidikkan.
Meskipun Datuk Gampo Alam
memiliki kegesitan luar biasa namun karena dirinya diselimuti nafsu membunuh
yang tidak terkendalikan maka beberapa kali serangan mautnya luput. Sebaliknya
dua kali serangan Datuk Bandaro Sati berhasil menemui sasarannya. Yang pertama
berupa satu jotosan yang mendarat dengan telak di ulu hati lawannya hingga Datuk
Gampo Alam terlipat ke depan dan mengeluarkan suara seperti orang mau muntah.
Serangan kedua berupa hantaman telapak tangan pada pangkal lengan yang mendarat
keras di dagunya.
Inilah ilmu Pukulan Sterlak
yang sanggup membuat hidung tanggal atau daging muka terkelupas.
Pukulan Sterlak yang
menghantam dagunya terasa seperti menanggalkan kepalanya dari leher. Datuk
Gampo Alam terpelanting keras lalu terjengkang di tanah. Pemandangannya sesaat
berkunang-kunang.
“Datuk Gampo Alam, pulanglah!
Saat ini dengan ikhlas aku bersedia mengampuni segala kesalahan dan
perbuatanmu!” kata Datuk Bandaro Sati yang jadi tidak tega dan hiba melihat
keadaan adiknya menjepelok di tanah seperti itu.
Perlahan-lahan Datuk Gampo
Alam berdiri. Mulutnya dibuka dan dikatupkannya beberapa kali. Rahangnya
seperti tanggal akibat Pukulan Sterlak tadi.
“Terima kasih, kau berbaik
hati menyuruh aku pulang. Ketahuilah aku akan pulang setelah kau jadi bangkai
di tempat ini! Setan!” Datuk Gempo Alam menutup kata-katanya dengan makian. Kedua
kakinya dikembang. Kedua lutut menekuk. Sepasang tangannya diacungkan ke atas
dengan jari-jari tangan menekuk seperti hendak meremas. Dari tenggorokannya
keluar suara mencicit halus.
Datuk Bandaro Sati terkejut,
Ilmu Silat Tupai Pesisir. Dari mana dan kapan dia mempelajarinya?
Begitu Datuk Bandaro Sati
membatin dalam hati. Baru saja dia bersiap-siap menghadapi serangan lawan tubuh
Datuk Gampo Alam melompat ke depan. Selanjutnya tubuhnya tampak bergerak sebat
kian kemari, melenting-lenting seperti bola. Tangan dan kakinya berkelebat aneh
dalam gerakan-gerakan yang tidak terduga. Inilah ilmu silat “tupai pesisir”
yang kabarnya diciptakan seorang sakti puluhan tahun silam kemudian lenyap
tanpa bekas. Kalau kini ilmu itu muncul dan dapat dikenali oleh Datuk Bandaro
Sati, tidak heran dia merasa terkejut.
Untuk mengimbangi serangan
lawan yang datang bertubi-tubi, Datuk Bandaro Sati terpaksa membuat
gerakan-gerakan cepat. Dengan pengalamannya yang segudang dia bertahan dan
sesekali memotong serangan lawan lalu melancarkan serangan balasan. Setelah
menghadapi lawannya lebih dari sepuluh jurus ternyata ilmu silat tupai pesisir
itu tak bisa ditembus. Tekanan-tekanan dahsyat mulai dialami Datuk Bandaro
Sati. Orang ini mulai kacau pertahanannya ketika destar hitam dikepalanya
berhasil disambar tangan lawan. Kalau tidak cepat
dia membungkuk pasti rambutnya
kena dijambak Datuk Gampo Alam.
“Agaknya aku terpaksa
mengeluarkan pukulan sakti andalanku. Tuhan, ampuni diriku kalau pukulan ini
akan membunuh adikku sendiri!” Datuk Bandaro Sati angkat tangan kanannya
lurus-lurus ke atas. Jari telunjuk menunjuk ke atas lagit.
“Telunjuk penembus raga!”
teriak Datuk Gampo Alam ketika dia mengenali ilmu pukulan sakti yang hendak
dikeluarkan kakaknya. Parasnya menjadi tambah pucat. Dia memberi isyarat dengan
gerakan tangan pada Hantu Mata Picak yang saat itu berada tepat di belakang
Datuk Bandaro Sati.
Melihat isyarat ini Hantu Mata
Picak segera melompat. Lengan kirinya yang kokoh memiting leher Datuk Bandaro
Sati dengan keras sedang tangan kanannya mencekal pergelangan tangan sang
Datuk.
“Pengecut kurang ajar!
Menyerang dari belakang!” teriak Datuk Bandaro Sati marah. Siku tangan kirinya
dihantamkan ke belakang sekuat yang biasa dilakukannya.
Kraaakkk!
Terdengar suara tulang iga
patah.
Si Hantu Mata Picak menjerit
keras. Walau sakit setengah mati tapi orang bertubuh tinggi besar dan
bertampang angker ini tidak melepaskan cekalannya dari leher Datuk Bandaro Sati
malah seperti dibantu setan kekuatannya jadi berlipat ganda hingga Datuk
Bandaro Sati sulit bernafas sementara tangan kanannya yang hendak melepas
pukulan telunjuk penembus raga tak dapat dibebaskannya. Dengan tersengal-sengal
Datuk Bandaro Sati mengerahkan seluruh kekuatannya. Justru pada saat itu dari
depan datang Datuk Gampo Alam menyergap. Dengan gerakan kilat dia menyambar
keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang tersisip di pinggang Datuk Bandaro Sati.
Begitu senjata itu berada di
tangannya segera dicabut lalu seperti kesetanan keris bertuah itu
dihunjamkannya keperut dan dada Datuk Bandaro Sati berulang-ulang. Setiap keris
itu menusuk tubuh Datuk
Bandaro Sati kelihatan asap
mengepul. Darah membasahi pakaian hijaunya.
Datuk Bandaro Sati meraung
keras. Dengan sisa kekuatan yang ada dia kerahkan tenaga dalam.
Tangan kanannya bergetar
keras. Satu sinar biru melesat menjulang ke langit. Hantu Mata Picak berteriak
dan lepaskan cekalannya pada lengan kanan sang Datuk. Tangannya terasa panas.
Ketika dilihatnya ternyata tangan itu menjadi hitam laksana hangus. Sakitnya
bukan kepalang.
Di sebelah depan Datuk Gampo
Alam masih terus menghujani tubuh kakak kandungnya dengan tusukan-tusukan keris
Tuanku Ameh Nan Sabatang. Terakhir sekati keris itu ditusukkannya dan
dibiarkannya menancap dipertengahan dada Datuk Bandaro Sati.
Hantu Mata Picak lepaskan
pitingannya di leher Datuk Bandaro Sati. Tak ampun lagi Datuk ini segera jatuh
tertelentang di tepi Ngarai Sianok.
“Biar saya tendang bangsat ini
ke dalam ngarai!” kata Hantu Mata Picak, sambil meringis menahan sakit pada
tulang iganya.
“Tak usah Daud! Biarkan saja!
Lekas tinggalkan tempat ini sebelum ada orang datang dan melihat kita disini!”
kata Datuk Gampo Alam sambil membuang sarung keris emas ke tanah.
Mendengar hal itu Daud alias
Hantu Mata Picak segera naik ke atas kereta. Datuk Gampo Alam melompat pula ke
atas kereta dan sesaat kemudian kereta itu berputar lalu meluncur kencang ke
arah kaki gunung Merapi tanpa satupun dari kedua penumpangnya mengetahui kalau
saat itu, di balik sebuah batu besar di antara kerapatan semak belukar sepasang
mata menyaksikan apa yang telah terjadi di tempat itu dengan tubuh menggigil.
Karena tak sanggup menahan takut, orang ini segera hendak melarikan diri namun
satu keajaiban yang hampir tak dapat dipercayanya membuat kedua kakinya seolah
dipaku ke tanah. Mulutnya terkancing, wajahnya pucat. Hanya kedua matanya saja
membeliak menyaksikan apa yang terjadi.
Dari dasar Ngarai Sianok
tiba-tiba melesat satu bayangan putih ke arah tubuh Datuk Bandaro Sati yang
tergeletak di tanah. Sulit dipastikan apakah sosok tubuh ini sosok manusia atau
setan. Sosok itu lebih merupakan satu bayangan orang berjubah tembus pandang.
Sosok ini sesaat tegak di samping tubuh Datuk Bandaro Sati lalu membungkuk.
Tangannya bergerak mencabut keris yang menancap di dada Datuk Bandaro Sati.
Kemudian bayangan ini memungut sarung keris yang tercampak di tanah. Sesaat
setelah itu bayangan ini melesat ke udara. Seolah terbang ke arah matahari.
Silaunya cahaya matahari membuat orang di balik batu tak dapat lagi melihat
bagaimana lenyapnya bayangan aneh itu. Rasa takut yang tak dapat ditahannya
lagi menyebabkan orang ini segera menghambur lari meninggalkan tempat itu.
* * *
TIGA
HANYA beberapa saat setelah
orang yang tadi lari lenyap di kejauhan, seorang penunggang kuda berpakaian dan
berikat kepala putih-putih tampak mendatangi dari arah barat. Rambutnya
gondrong menjela bahu melambai-lambai ditiup angin. Sambil memacu kuda
tunggangannya orang ini yang ternyata masih muda dan bertubuh kekar
memperhatikan pemandangan yang sangat indah di sekitarnya.
“Luar biasa, belum pernah aku
melihat lembah seindah ini,” kata pemuda ini dalam hati. Baru saja dia membatin
begitu tiba-tiba kuda tunggangannya meringkik keras, menaikkan kedua kaki
depannya tinggi-tinggi dan tak mau lagi berlari.
“Heh… ada apa sobatku? Ada
sesuatu yang mengganggumu?” Pemuda itu mengusap-usap leher kudanya sambil kedua
matanya memandang berkeliling. Di kejauhan, di tepi Ngarai Sianok sebelah timur
di lihatnya ada seekor kuda melangkah mondar-mandir. Tiba-tiba binatang di
kejauhan itu meringkik keras seolah membalas ringkikan kuda yang ditunggangi si
pemuda.
“Hemmm… Kau menemukan seorang
sahabat. Baik, larilah ke arah sahabatmu disebelah sana!”
Seperti mengerti kuda
tunggangan si pemuda berlari cepat ke arah kuda coklat di tepi ngarai.
“Ada kuda tak ada penunggang
adalah mustahil!” kata pemuda gondrong begitu sampai di samping kuda coklat.
Kepala binatang itu dibelainya beberapa kali. Gerakan tangannya terhenti ketika
kedua matanya melihat sesosok tubuh bergelimang darah tergeletak di tanah.
Pemuda ini serta merta melompat turun dan mendekati sosok tubuh itu. Dengan
sangat hati-hati tubuh itu dibalikannya. Wajah si pemuda mengerenyit melihat
begitu banyak luka di sekujur tubuh orang berpakaian hijau itu. Kedua mata orang
ini terpejam. Si pemuda memegang lengannya. Masih terasa hangat.
“Tubuhnya masih hangat.
Berarti kejadiannya belum lama….” Pemuda itu lalu membungkuk, meletakkan
telinganya di dada orang “Ada detakan jantung. Perlahan sekali. Semoga Tuhan
mengizinkan aku menolongnya….” Lalu si pemuda menempelkan kedua telapak
tangannya di atas dada orang yang sekarat itu. Perlahan-lahan dia mengalirkan
tenaga dalam yang mengandung hawa sakti dingin. Orang yang ditolong tidak
memberikan reaksi apa-apa. Kedua matanya masih terpejam sedang tubuhnya tidak
bergerak sedikitpun.
Pemuda itu mencoba sekali
lagi. Kali ini dia mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya.
Tenggorokan orang yang sekarat
tampak bergerak turun naik. Lalu perlahan-lahan kedua matanya yang sejak tadi
tertutup membuka. Tiba-tiba seperti mendapat satu kekuatan, dalam keadaan
seperti itu orang ini berusaha bangkit namun hal itu tak mampu dilakukannya.
Punggungnya terbanting ke tanah. Kedua matanya kembali terpejam namun
sebelumnya dia sempat melihat wajah orang yang menolongnya itu.
“Andana…. Tuhan Maha Besar.
Syukur kau datang nak. Sebelum ajal datang menjemput… bawa aku ke puncak
Singgalang. Aku… aku ingin mati di sana. Di hadapan kakakku…. Uning Ramalah….”
“Andana, siapa yang dimaksudkannya
dengan Andana? Diriku? Kasihan, Pandangan matanya pasti sudah kabur. Umurnya
tak akan lama.” Pemuda berambut gondrong itu berdiri, memandang ke arah
kejauhan dimana tampak berdiri gunung Singgalang.
“Andana… Jangan kau tinggalkan
aku di sini. Jangan biarkan aku menemui ajal di tempat ini. Bawa aku ke puncak
Singgalang. Andana anakku….” Suara orang yang tubuhnya penuh tusukan dan
gelimang darah itu terputus. Si pemuda cepat memeriksa. Lalu gelengkan kepala.
“Nyawanya putus sudah. Kini aku menyandang kewajiban yang tak bisa kutolak.”
Sesaat si pemuda menatap wajah orang yang malang itu lalu menghela nafas
panjang dan garuk-garuk kepala.
SEPERTI biasanya keadaan di
setiap gunung, jalan mencapai puncaknya tidak mudah untuk dicapai.
Demikian juga dengan gunung
Singgalang. Demikian yang dialami oleh pemuda berambut gondrong itu.
Hanya saja dia merasa
beruntung karena kuda coklat yang membawa mayat lelaki berpakaian hijau seolah
sudah mengetahui seluk beluk gunung itu. Binatang ini berjalan di sebelah depan,
bergerak dengan cepat menuju puncak gunung. Si pemuda hanya tinggal mengikuti
dari belakang.
Ketika sang surya tenggelam
puncak gunung Singgalang masih jauh di atas sana. Waktu malam turun keadaan
jadi gelap gulita, tangan di depan mata pun tidak kelihatan. Pemuda berambut
gondrong memutuskan untuk menghentikan perjalanan. Dia mencari tempat yang haik
lalu bermalam di situ dalam dinginnya udara yang bukan olah-olah.
Tengah malam dalam keadaan
susah memicingkan mata pemuda ini tiba-tiba melihat ada sesosok bayangan
berkelebat dalam gelap. Dia cepat berdiri dan bertanya. “Siapa di sana?!”
Tak ada jawaban. Tak ada
gerakan. Dan bayangan yang tadi terlihat mendadak sontak lenyap ditelan
kegelapan. Pemuda itu menggosok-gosok kedua matanya. “Aneh, tangan di depan
mata tidak kelihatan tapi mengapa bayangan tadi biasa terlihat? Jangan-jangan
aku bermimpi! Tapi tidurpun aku belum masakan bisa mimpi?!” Diam-diam pemuda
itu merasa merinding. Dengan perasaan tidak enak dia kembali ke tempatnya
semula.
Kicau burung dan sinar
matahari pagi yang menembus lewat kerimbunan daun-daun pepohonan membuat pemuda
yang baru bisa lelap menjelang dini hari itu terbangun. Begitu bangun yang
dilakukannya pertama kali adalah memandang berkeliling, Astaga. Terkejutlah
pemuda ini. Sosok mayat orang berpakaian hijau yang sebelumnya berada di atas
kuda coklat kini tak kelihatan lagi. Pemuda itu memeriksa kian kemari.
Tetap saja dia tak berhasil
menemukan mayat itu.
“Jangan-jangan dilarikan
binatang buas.” Berpikir si pemuda. “Tapi tak mungkin aku tidak mengetahuinya.
Lagi puia tak ada tanda-tanda bekas seretan di tanah. Tak ada semak belukar
yang rambas.”
Pemuda ini berpikir keras.
Tetap saja dia tidak dapat menduga apa yang telah terjadi dengan mayat itu.
Pemuda ini akhirnya duduk di akar pohon. Tiba-tiba dia ingat kejadian malam
tadi. Ada satu bayangan yang muncul secara mendadak dan lenyap secara aneh.
“Jangan-jangan tempat ini banyak dedemitnya!” Katanya dalam hati. Memikir
sampai di situ dia segera berdiri. Tapi sesaat dia termangu. Apakah akan
meneruskan perjalan menuju puncak Singgalang atau berbalik menuju kaki gunung.
Setelah menimbang-nimbang dalam hati beberapa lama akhirnya pemuda ini
mengambil keputusan untuk meneruskan perjalanan menuju puncak gunung.
“Aku ketitipan kewajiban untuk
membawa mayat itu kepuncak gunung dan menyerahkannya pada seorang bernama Uning
Ramalah. Jika ada seseorang tinggal di puncak gunung pastilah dia bukan orang
sembarangan. Ada baiknya aku menemui orang itu. Siapa tahu dia bisa memberi
petunjuk tentang lenyapnya
mayat itu. Juga siapa tahu dia
kenal dengan Tua Gila yang tengah kucari-cari dan belum bertemu sampai saat
ini.”
Maka dengan menunggangi kuda
coklat pemuda gondrong itu melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung
Singgalang. Kudanya sendiri mengikuti dari belakang.
* * *
EMPAT
PEMUDA berambut gondrong itu
hentikan kudanya di bawah sebatang pohon besar di puncak Singgalang. Di
hadapannya ada sebuah gubuk kayu beratap rumbia. Di halaman gubuk terhampar
halaman luas yang sebagiannya tertutup oleh batu-batu merah. Di tengah halaman
inilah, di bawah siraman sinar matahari pagi, di atas sehelai tikar kulit
berbentuk bulat duduk seorang berjubah putih. Kepalanya yang tertutup selendang
kain sutera putih menunduk hingga si pemuda tidak dapat melihat wajahnya.
Rambutnya yang tersembul keluar tampak putih semua.
Di hadapan orang berselendang,
di atas sehelai tikar jerami tebal terbujur tubuh manusia yang ditutupi dengan
kain putih mulai dari kepala sampai ke kaki hingga pemuda itu tidak dapat
mengetahui siapa adanya manusia yang berada di bawah kain itu. Namun hatinya
menaruh syak wasangka bahwa itu adalah mayat orang berbaju hijau yang
ditolongnya yang lenyap secara aneh tadi malam.
Bau kemenyan memenuhi tempat
itu yang keluar dari sebuah perasapan tanah dan terletak di samping kiri orang
berjubah putih.
Perlahan-lahan pemuda di atas
kuda turun ke tanah. Dia tidak segera melangkah mendekati halaman berbatu merah
namun tetap berdiri di situ karena tidak berani menganggu orang berselendang yang
diduganya mungkin tengah melakukan semedi.
Setelah menunggu cukup lama
akhirnya perlahan-lahan kelihatan orang berjubah dan berselendang putih
mengangkat kepalanya. Si pemuda melihat satu wajah perempuan tua berkulit putih
keriputan.
Pandangan mata yang dingin dan
seperti menembus dari perempuan tua itu membuat pemuda berambut gondrong
tercekat. Dia hendak menegur namun entah mengapa mulutnya seolah terkancing.
“Wajah pemuda ini mirip-mirip
wajah murid saudaraku.” Perempuan tua itu membatin. Lalu dia menegur.
“Siapa kau? Apa keperluanmu
berada di tempat ini?” Tiba-tiba perempuan itu bertanya. Suaranya perlahan dan
penuh kelembutan tetapi mengandung wibawa yang sangat tinggi.
“Maafkan saya. Saya tidak
bermaksud menganggu….”
“Jawab saja pertanyaanku!”
memotong perempuan tua itu.
Sorotan mata dan ucapan orang
membuat si gondrong menjawab seperti yang tidak dimintakan.
“Saya… saya kehilangan
sesuatu,” katanya.
“Uang, harta benda….?” tanya
perempuan yang duduk bersimpuh di atas tikar kulit.
“Bukan, bukan uang atau harta
benda. Saya kehilangan sesosok mayat. Saya rasa….”
“Itu sebabnya kau datang
kemari karena menyangka mayat itu ada di sini?”
“Tidak sepenuhnya seperti itu.
Saya punya kewajiban untuk mengantarkan jenazah itu ke puncak Singgalang. Untuk
diserahkan pada seorang….”
“Siapa yang meminta kau
melakukan itu?!”
“Mayat itu….” jawab si
gondrong.
Kedua mata perempuan yang
duduk di atas tikar kulit tampak mengeluarkan kilatan aneh, membuat si gondrong
jadi kembali tercekat!”
“Mayat mana bisa bicara.
Apalagi memberikan perintah!”
Si gondrong garuk-garuk
kepalanya. “Maksud saya, orang itu meminta saya menolongnya sebelum dia
menghembuskan nafas terakhir. Malam tadi dia lenyap begitu saja. Tanggung jawab
saya untuk menemukannya dan menyerahkannya pada orang yang disebutnya.”
Kedua mata perempuan itu
bergerak aneh. Tiba-tiba saja pandangan matanya dapat menembus pakaian yang
dikenakan pemuda di hadapannya. Dia bisa melihat semua benda yang terlindung di
balik pakaian itu. Dia mampu melihat sebuah kapak bermata dua di pinggang kiri.
Lalu sebuah batu hitam di pinggang kanan dan sekuntum bunga kering pada saku
baju sebelah kiri. “Dia bersenjatakan kapak. Jadi bukan dia yang membunuh
saudaraku.” Kata perempuan tua berwajah putih itu.
“Jadi sebelum mati orang itu
meminta kau mengantarkan dirinya pada seseorang di puncak gunung ini?”
“Betul sekali.”
“Orang itu menyebutkan nama?”
“Benar. Dia menyebut nama
Uning Ramalah….”
“Aku Uning Ramalah!” kata
perempuan berselendang putih dengan sepasang mata tak berkesip.
Si gondrong cepat membungkuk.
“Maafkan saya. Saya tidak tahu kalau Uning Ramalah adalah seorang perempuan.”
“Kau bukan orang sini?!”
perempuan tua itu bertanya penuh selidik.
“Saya datang dari tanah Jawa,”
jawab si gondrong.
“Siapa namamu?”
“Saya Wiro. Wiro Sableng….”
“Apa tujuanmu datang kemari?”
“Saya dalam perjalanan mencari
seorang tua bernama Tua Gila….”
“Apa hubunganmu dengan orang
itu?”
“Dia… dia sudah menganggap
diri saya seperti anak sendiri. Saya pernah mendapatkan pelajaran silat sejurus
dua jurus dari dia….”
“Kalau kau mencari orang
bernama Tua Gila itu, lalu bagaimana kemudian kau bilang punya kewajiban untuk
mengantarkan sesosok mayat ke puncak Singgalang?”
“Saya menemukan orang itu di
tepi Ngarai Sianok. Dalam keadaan sekarat dia meminta saya mengantarkannya ke
sini. Hanya saja malam tadi mayat itu lenyap. Saya tidak dapat memastikan
apakah dicuri setan atau dilarikan binatang buas.”
Perempuan tua bernama Uning
Ramatah itu memandang ke arah sosok tubuh yang terbujur di bawah kain putih.
Lalu dia berpaling pada Wiro. “Coba kau singkapkan kain putih itu. Apa dia
orang yang kau maksudkan?”
Wiro melangkah mendekati sosok
yang tertutup kain putih. Dia berjongkok lalu perlahan-lahan menyingkapkan kain
putih di bagian kepala. Wiro mengenali wajah itu lalu memandang pada Uning
Ramalah seraya berkata. “Memang dia orangnya.”
“Dia adalah Datuk Bandaro
Sati. Adik kandungku. Dia mati dibunuh orang. Kau tahu siapa pembunuhnya?”
Wiro menggeleng. “Ketika saya
menemukannya dia hanya sendirian dalam keadaan sekarat. Tapi di tanah saya
melihat jejak-jejak kaki kuda banyak sekali dan bekas gilasan roda kereta.”
“Setahuku adikku memiliki
sebilah keris sakti bertuah. Senjata itu tidak ada padanya. Kau melihat keris
itu? Terbuat dari emas….”
Wiro menggeleng.
Mata perempuan tua itu
mengeluarkan kilatan aneh. Kembali dia mampu melihat menembus ke balik pakaian
Wiro. Dia tidak melihat benda yang dimaksudkannya. “Pemuda ini tidak berdusta.
Dia tidak
mengambil dan menyembunyikan
keris itu.”
“Malam tadi, aku sengaja
menjemput jenazah adikku. Aku tak ingin dia lama-lama tersiksa….”
“Ah. jadi dia rupanya yang
membawa lari mayat orang ini,” kata Wiro dalam hati.
“Jenazah itu harus dikubur.
Saya bersedia menolong menggalikan kuburnya,” kata Wiro kemudian.
“Tidak sekarang anak muda.
Paling cepat dua hari lagi. Ada seseorang yang harus melihatnya sebelum
dimakamkan.”
“Tapi kalau menunggu sampai
dua hari, jenazah ini bisa busuk.”
“Aku sudah mengawetkannya
dengan sejenis bubuk.”
Wiro hanya bisa
mengangguk-angguk mendengar ucapan orang. “Saya rasa, kewajiban saya sudah saya
jalankan walau tidak dengan baik. Saya mohon diri meninggalkan tempat ini.”
“Aku belum sepenuhnya yakin
kalau kau tidak ada sangkut pautnya dengan kematian adikku. Karena itu kau
tidak boleh meninggalkan tempat ini sampai orang yang kutunggu datang.”
Pendekar 212 Wiro Sableng
tentu saja jadi terkejut mendengar kata-kata itu. Tentu saja dia merasa
keberatan. Namun pandangan mata perempuan di hadapannya membuat hatinya
tergetar. Maka murid Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede inipun berkata.
“Menunggu dua hari rasanya tidak mungkin bagi saya.
Apalagi kalau orang itu
ternyata datang seminggu atau dua minggu kemudian….”
“Aku lebih tahu dirimu anak
muda…!”
“Saya menyesalkan mengapa kau
seperti mencurigai diriku!” kata Wiro. “Semula saya hanya punya maksud menolong
semata. Mengapa kini seolah hendak dijadikan kambing hitam?”
Perempuan tua bernama Uning
Ramalah itu tidak menyahut apa-apa. Wajahnyapun tampak tidak berubah.
Perlahan-lahan kepalanya ditundukkan kembali. Melihat hal ini Wiro Sableng
segera putar tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu. Namun dia hanya
mampu bergerak satu langkah.
* * *
LIMA
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
merasakan kedua kakinya seperti dipantek ke tanah. Bagaimanapun dia mengerahkan
tenaga luarnya dia tak mampu menggerakkan kakinya. Wiro menoleh ke belakang.
Dilihatnya perempuan bernama
Uning Ramalah itu masih tetap duduk di tempatnya dengan mendudukkan kepala.
“Apa sebenarnya maunya orang
ini? Aku tidak mengharapkan dia berterima kasih. Tapi kalau begini balas
budinya kurasa keterlaluan!” Wiro lalu salurkan tenaga dalam pada kedua
kakinya. Lututnya sampai bergetar karena dia sengaja mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalam yang ada. Tanah gunung yang dipijaknya ikut bergetar lalu
tampak tanah di sekitar situ retak merengkah. Bahkan tiba-tiba ada kepulan asap
keluar dari celah tanah yang retak itu.
Wiro kembali berpaling.
Dilihatnya Uning Ramalah masih bersimpuh di atas tikar kulit itu. Kepalanya
masih tertunduk namun kini kelihatan ada getaran-getaran yang menjalari
tubuhnya. Ini satu pertanda adanya kekuatan yang mencoba menerobos memasuki
tubuhnya untuk menantang kekuatan tenaga dalamnya.
Menyadari apa yang terjadi
perempuan tua itu perlahan-lahan gerakkan tangan kanannya ke samping.
Jari telunjuk dan jari tengah
diluruskan. Lalu kedua jari itu ditusukannya ke dalam tanah hingga amblas
sampai ke pangkalnya. Bersamaan dengan itu Wiro merasakan seolah ada benda
panas menusuk kedua telapak kakinya dengan keras hingga dia berteriak akibat
kejut dan kesakitan.
“Orang tua! Aku tidak mengira
kau berhati culas!” kata Wiro dengan suara keras mulai kasar.
Uning Ramalah yang ditegur
tetap saja diam membisu.
Wiro sendiri meski kedua
kakinya terpaku ke tanah namun dia masih bisa menggerakkan auratnya yang lain.
Murid Sinto Gendeng ini keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212-nya. Sinar
menyilaukan menghampar di tempat itu. Uning Ramalah tetap saja tidak bergerak.
Perlahan-lahan Wiro membungkuk.
Dengan salah satu mata kapak
dia menggurat tanah di sekitar kakinya dalam bentuk lingkaran. Senjata mustika
itu kemudian disimpannya kembali.
Di tempatnya bersimpuh Uning
Ramalah cabut kedua jarinya yang menancap di tanah. Lalu kedua jari itu
dihujamkannya kembali ke bagian tanah yang lain. Di tempatnya terpaku Pendekar
212 tidak merasakan apa-apa.
Guratan Kapak Maut Naga Geni
212 ternyata mampu melindunginya, tidak bisa ditembus lagi oleh ilmu kesaktian
Uning Ramalah. Perlahan-lahan perempuan berwajah putih itu cabut kedua jarinya
dari dalam tanah. Dia terkejut ketika melihat dua jarinya itu berwarna
kemerahan dan mengepulkan asap. Dalam hatinya perempuan ini membatin. “Ilmunya
ternyata tinggi sekali, pasti dia mampu membantu anak adikku. Itu sebabnya aku ingin
dia berada di sini sampai anak itu datang. Sayangnya dia salah sangka.”
Di atas tikar kulit di halaman
berbatu-batu merah itu kembali Uning Ramalah duduk menundukkan kepala seperti
orang tengah merenung. Tiba-tiba dia mendengar pemuda di seberang sana berseru.
“Orang tua, saya mohon sekali
lagi agar kau melepaskkan kedua kakiku!”
Uning Ramalah diam saja.
Wiro menggerendeng dalam hati.
“Kau tak mau menjawab baik!
Kau tak mau membebaskan kedua kakiku bagus! Jangan salahkan kalau aku terpaksa
berlaku kurang ajar! Lihat saja apa yang akan kulakukan!”
“Eh, apa yang hendak dilakukan
pemuda Jawa ini?” Tanya Uning Ramalah dalam hati. Kepalanya diangkat sedikit.
Kedua matanya memperhatikan apa yang hendak diperbuat pemuda bernama Wiro
Sableng itu. Mendadak sontak kedua mata perempuan tua itu jadi mendelik.
Wajahnya yang putih berubah merah laksana saga.
Di tempatnya terpantek ke
tanah, Pendekar 212 membuka tali pengikat pinggang celananya. Lalu enak saja
celana itu dimerosotkannya ke bawah hingga jatuh tergulung di tanah di kedua
kakinya. Kini dia berdiri membelakangi Uning Ramalah dengan tubuh sebatas
pinggang ke bawah melompong bugil.
Sambil menyeringai Pendekar
212 berkata. “Rasakan olehmu sekarang!” Lalu tidak tanggung-tanggung dia
membalikkan badannya. Berarti auratnya sebelah bawah yang telanjang itu akan
menghadap Uning Ramalah.
Tetapi ketika dia berpaling,
ternyata dilihatnya perempuan tua itu tak ada lagi ditempatnya semula.
Wiro memandang ke arah pintu
gubuk. Dia masih sempat melihat Uning Ramalah membantingkan pintu gubuk dengan
keras.
“Sialan dia malah pergi. Tapi
apa tadi dia sempat melihat bokongku?” Wiro bertanya dalam hati. Wiro mengomel
dalam hati. Kalau mengikuti amarahnya mau saja dia saat itu menghantam gubuk
itu dengan pukulan “sinar matahari”.
Di dalam gubuk Uning Ramalah
tertegun beberapa saat. Dia coba menenteramkan degup jantung dan aliran
darahnya. Bagaimanapun tadi dia cepat-cepat memalingkan kepala dan berdiri
pergi namun kedua matanya masih sempat melihat apa yang dilakukan pemuda
bernama Wiro Sableng itu.
Untuk lebih menenangkan
hatinya Uning Ramalah mengambil mukenah lalu membentang selembar tikar di
lantai gubuk yang terbuat dari papan dan sangat bersih itu.
Dengan kekhusukan penuh
perempuan ini lalu melakukan sembahyang hajat. Selesai sembahyang dia tetap
duduk di tikar itu, memejamkan kedua matanya, mengambil sikap seperti orang
tengah mengheningkan cipta rasa. Sesaat kemudian, perlahan-lahan dalam pelupuk
matanya muncul bayangan dari suatu tempat yang terletak jauh di sebelah utara
pulau Andalas. Dia melihat sebuah bangunan kecil. Lalu sebuah air terjun. Lalu
muncul satu wajah lelaki tua bersorban hitam yang memiliki sepasang alis
berwarna merah.
Dari mulut Uning Ramalah
kemudian terdengar suara perlahan. “Sahabatku Datuk Alis Merah masuklah ke
dalam alamku. Aku perlu bertemu denganmu….”
* * *
ENAM
SANG SURYA belum lama
menyembul di ufuk timur. Udara masih terasa dingin. Angin pagi berhembus
kencang. Namun desaunya dan suara daun-daun pepohonan yang bergemerisik terkena
sapuannya tidak terdengar karena lenyap ditelan oleh suara air terjun yang
mencurah pada ketinggian dua puluh kaki. Air terjun ini terletak di dasar
sebuah lembah batu cadas, tak berapa jauh dari aliran anak sungai Asahan.
Di atas batu cadas hitam, di
bawah curahan air terjun tampak sesosok tubuh tinggi kekar bergerak bergerak
gesit-gesit kian kemari. Sepasang tangan dan kedua kakinya melesat membuat
pukulan dan tendangan yang sesaat mampu menyibak curahan air terjun. Dari
gerakan yang dibuat pemuda ini jelas dia tengah melakukan gerak jurus-jurus
ilmu silat.
Tak jauh dari situ, di lamping
sebuah bukit batu, tanpa diketahui oleh pemuda tadi, berdiri seorang tua
berjubah putih mengenakan sorban berwarna hitam. Kedua alis matanya berwarna
sangat merah laksana darah.
Janggutnya yang putih panjang
melambai-lambai ditiup angin pagi. Di tangan kanannya orang bersorban hitam ini
memegang sebatang tongkat kayu yang ujungnya dilapisi besi tajam hampir
menyerupai sebuah lembing.
Sesekali tampak kening orang
tua ini berkerut. Di lain saat ada sesungging senyum muncul di bibirnya. Tak
jarang pula dia menggangguk-anggukkan kepala sambil mengusap janggut putihnya.
Di bawah air terjun pemuda yang berlatih silat kelihatan membuat gerakan
memukul dan menendang. Gerakannya demikian cepat hingga tubuhnya seolah-olah
satu bayangan yang berkelebat di bawah curahan air terjun.
Tiba-tiba gerakan itu berubah
lambat seperti gerakan orang menari. Di pertengahan batu cadas hitam yang
dipijaknya pemuda itu hentikan gerakan lalu kedua kakinya membentuk kuda-kuda
yang kokoh. Rahangnya mengembung, mulutnya terkatup rapat. Perlahan-lahan
perutnya yang berotot tampak mengempis. Sebaliknya dadanya membusung.
Otot-ototnya bertonjolan. Bersamaan dengan itu pemuda ini angkat kedua tangannya
ke atas. Masing-masing telapak tangan dikembangkan. Tubuhnya bergetar tanda dia
mengerahkan tenaga dalam yang hebat. Hawa panas membungkus seluruh permukaan
kulitnya, membuat keluarnya asap tipis ketika tubuhnya tersentuh air terjun.
Ketika dua telapak tangan yang
diangkat melewati bahu tiba-tiba terjadilah satu hal yang sulit dipercaya. Air
terjun yang jatuh ke bawah dengan deras itu mendadak terhenti curahnya laksana
ditahan oleh satu tembok batu yang tidak kelihatan. Keanehan ini bukan sampai di
situ saja. Ketika si pemuda membuat gerakan mendorong ke atas, curahan air
terjun kelihatan ikut naik, terdorong ke atas sampai sejauh satu tombak lebih.
Di lamping bukit orang tua
bersorban hitam sesaat tampak tercekat menyaksikan kejadian itu. Hatinya berkata.
“Selama dunia terkembang baru ada dua orang yang sanggup menahan dan mendorong
curahan air terjun seperti itu. Guruku dan aku. Kini dia menjadi orang ke tiga
yang sanggup melakukannya!”
Di bawah curahan air terjun,
si pemuda keluarkan teriakan keras lalu perlahan-lahan turunkan kedua
tangannya. Air terjun kembali mencurah ke bawah. Diam-diam si pemuda merasa
puas. Sebelumnya dia telah mencoba beberapa kali melakukan hal itu. Baru
sekarang dia sanggup membuat gerakan sempurna hingga mampu menahan bahkan
mendorong curahan air terjun ke atas.
Penuh rasa bangga dan percaya
diri si pemuda kembali melanjutkan gerakan-gerakan silatnya di bawah curahan
air terjun. Pada saat itulah mendadak tampak melayang sebuah lembing. Benda ini
melesat ke arah belakang kepala si pemuda. Sekali lembing itu menancap di batok
kepalanya sebelah belakang jangan harap dia bisa lolos dari maut.
Si pemuda memang sama sekali
tidak melihat datangnya lembing maut tersebut. Namun sepasang telinganya yang
tajam tidak bisa ditipu walau curahan air terjun begitu keras. Hanya dua
jengkal ujung lembing akan menembus batok kepalanya, pemuda ini tiba-tiba
sekali merunduk sambil membuat gerakan berputar. Bersamaan dengan itu dari
mulutnya keluar bentakan keras. Tangan kanannya menghantam ke atas.
Kraakk!
Lembing yang lewat di atas
kepalanya mental setelah terlebih dulu patah dua dihantam pukulannya.
Baru saja dia lolos dari
bokongan tadi tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Satu tendangan menderu
ke arah perutnya.
Si pemuda berteriak keras. Dia
cepat menyingkir ke samping sambil menepis kaki yang menendang.
Namun saat itu pula satu
gebukan menghantam ke arah kepalanya. Mau tak mau terpaksa pemuda ini batalkan
niat memukul kaki lawan lalu dengan cepat jatuhkan diri ke bawah. Begitu
serangan lawan gelap itu lewat dia cepat menghantam ke atas dengan tangan
kanan. Inilah jurus yang dinamakan “membantai matahari”.
Selain gerakan memukul
dilakukan secara kilat, pukulan itu juga disertai aliran tenaga dalam. Tapi
ternyata tidak mudah untuk menghajar si penyerang yang rupanya juga memiliki
gerakan cepat laksana berkelebatnya setan. Malah satu jotosan balasan tiba-tiba
menderu lagi ke arah kepala si pemuda. Meski agak terperangah namun pemuda ini
masih sempat mengelak. Jotosan lawan menghantam dinding batu di belakangnya.
Dinding ini retak besar bahkan bagian yang kena hantaman langsung kelihatan
hancur berlobang.
Belum sempat pemuda ini
menarik nafas lega mendadak datang lagi satu serangan. Lima jari tangan kanan
yang ditekuk ke dalam mencari sasaran di batang lehernya. Si pemuda berteriak
keras. Kedua lututnya menekuk tajam. Kedua tangan laksana kilat menyambar
lengan yang melancarkan pukulan. Si penyerang berseru kaget ketika lengannya
kena dicekal. Selagi dia berusaha melepaskan cekalan itu, si pemuda telah lebih
dulu menarik lengan itu kuat-kuat ke bawah hingga lawan ikut terseret dengan
keras. Pada saat tubuh lawan terjerembab si pemuda susupkan kaki kanannya ke
perut orang lalu dibarengi bentakan keras tubuh lawan dilemparkan ke dinding
batu cadas di belakangnya.
Saat itulah terdengar suara
tawa bergelak. Tubuh yang dilempar mental tadi sesaat mengapung di udara lalu
membalik turun dengan cepat. Sambil melayang ke bawah orang ini gerakkan tangan
kanannya.
Dari tangan yang dimiringkan
itu tiba-tiba berkiblat sinar merah laksana sambaran lidah api disertai suara
deru yang menggidikkan.
“Pukulan Inti Api!” teriak si
pemuda begitu dia mengenali pukulan sakti itu. Si penyerang masih tampak
samar-samar dalam gerakannya yang laksana kilat, namun kini si pemuda sudah
dapat menduga siapa adanya orang itu. Dengan cepat dia menjatuhkan diri,
bergulingan di atas batu cadas terus menceburkan diri ke dalam air. Ujung lidah
api menyambar batu cadas sejarak lima langkah di depan pemuda itu. Batu itu
hancur berantakan. Si pemuda merasakan kuduknya sedingin es. Kalau terlambat
sedikit saja tadi dia menyelamatkan
diri, pasti nyawanya tidak
tertolong.
Dengan cepat si pemuda keluar
dari dalam air. Begitu sampai di hadapan si penyerang dia langsung jatuhkan
diri, berlutut seraya berseru. “Guru!”
Si penyerang tanpa ampun tadi
ternyata adalah orang tua bersorban hitam berjubah putih yang punya sepasang
alis mata berwarna semerah darah. Orang tua ini pegang rambut gondrong muridnya
yang basah kuyup lalu berkata. “Kepandaianmu telah maju pesat muridku. Aku
gembira. Berarti kalau aku mati sudah ada seseorang yang mewarisi seluruh
kepandaianku. Sekarang kembalilah ke pondok. Tukar pakaianmu. Tunggu aku di
sana. Ada sesuatu yang akan kubicarakan denganmu Andana.”
Sang murid yang bernama Andana
itu anggukkan kepala. Ketika dia baru bergerak satu langkah tiba-tiba terdengar
seruan sang guru. “Andana, tunggu! Aku melihat satu keanehan di tempat ini!”
Andana cepat berpaling. “Apa
maksud Datuk Alis Merah?”
“Lihat ke depan sana,” jawab
orang tua yang dipanggil dengan nama Datuk Alis Merah seraya menunjuk ke arah
ketinggian dimana terletak sebuah batu cadas besar rata sejarak dua puluh
langkah di depan mereka. “Puluhan tahun aku hidup di tempat ini. Tak pernah kejadian
ada kabut di sini!”
Andana memandang ke jurusan
yang ditunjuk gurunya. Memang benar. Di depan sana dia melihat kabut menutupi
bagian lembah seluas seratus kaki persegi, tetapi di atas batu cadas besar dan
rata itu.
“Agaknya itu bukan kabut biasa
Datuk. Coba perhatikan,” kata Andana pula.
“Demi Tuhan kau benar muridku!
Itu memang bukan kabut biasa!” kata Datuk Alis Merah dengan air muka berubah.
Baru saja orang tua ini berkata begitu tiba-tiba terdengar suara mengaum yang
dahsyat. Batu yang mereka injak terasa bergerak. Air yang tergenang di antara
bebatuan tampak bergelombang. Memandang ke depan tanpa berkesip guru dan murid
melihat samar-samar munculnya satu sosok seekor harimau besar di balik
ketebalan kabut. Binatang ini memandang lurus-lurus ke arah Datuk Alis Merah
dan Andana. Ekornya bergerak-gerak. Binatang ini mengaum sekali lagi, membuat
lembah batu itu kembali bergetar.
“Hemmmm. Tunggangannya telah
muncul. Tapi tamunya sendiri belum kelihatan.” Terdengar Datuk Alis Merah
berkata perlahan seolah-olah pada dirinya sendiri.
“Datuk, siapa gerangan tamu
yang Datuk maksudkan?” bertanya Ananda.
“Yang aku tahu hanya ada satu
orang yang memiliki tunggangan seekor harimau. Ayahmu, Datuk Bandaro Sati.”
Paras Andana berubah. “Ayah
saya Datuk …? Tak biasanya, bahkan tak pernah beliau muncul seperti ini.
Kecuali kalau beliau….” Andana tidak meneruskan ucapannya. Hatinya berdetak
tidak enak.
“Aku tidak tahu keajaiban apa
yang tengah terjadi di hadapan kita saat ini Andana. Kita harus bersiap-siap.
Agaknya ada satu hal luar biasa telah atau akan terjadi di luar kemampuan kita
untuk mencegahnya….”
Samar-samar di dalam kabut
tiba-tiba tampak menyeruak sosok tubuh lelaki berwajah gagah dihiasi kumis
tipis, berusia sekitar setengah abad. Dia mengenakan destar hitam dan pakaian
hijau. Pakaiannya ini tampak penuh dengan lobang-lobang bekas tusukan dan darah
membasahi hampir sekujur pakaian itu. Di pinggangnya tersisip sebilah keris
terbuat dari emas.
Datuk Alis Merah ternganga
melihat kemunculan sosok tubuh yang laksana bayang-bayang itu.
Bibirnya bergetar ketika dia
berkata. “Sahabatku Datuk Bandoro Sati. Kau muncul seperti ini…. Apakah yang
telah terjadi?”
Andana sendiri yang tegak di
samping Datuk Alis Merah sudah sejak tadi terkesiap dengan mata melotot. Sosok
samar-samar di dalam kabut itu dikenalinya memang sosok ayahnya. Tapi mengapa
dia bisa muncul seperti ini dan dengan pakaian berlumuran darah begitu rupa?
Dipenuhi oleh rasa tidak percaya dia menjatuhkan diri berlutut. Lidahnya kelu
ketika dia memanggil. “Ayah….”
Lelaki di dalam kabut yang
merupakan penjelmaan Datuk Bandoro Sati menyapu wajah kedua orang di depan air
terjun itu dengan pandangan matanya yang aneh. Lalu terdengar suaranya berucap
seolah datang dari dasar lobang yang jauh namun jelas dan bergema.
“Sahabatku Datuk Alis Merah,
anakku Andana. Hanya kuasa Tuhan yang membuat hal ini bisa terjadi.
Aku datang hanya sebentar.
Untuk menyampaikan pesan. Andana, kembalilah segera ke Pagaralam tanah
kelahiranmu di Pagaruyung. Selamatkan rumah gadang milik kita yang hendak
dirampas oleh manusia culas berotak kotor serakah. Selamatkan semua harta
pusaka yang ada di situ. Harta pusaka itu adalah warisan leluhur kita sejak
zaman Yang Dipertuan Sri Baginda Adityawarman. Selamatkan tanah kelahiranmu dari
manusia tamak serakah yang hendak menguasai negeri, menghancurkan budaya kita….
Namun sebelum kau pergi ke Pagaralam, naiklah dulu ke puncak Singgalang. Temui
adikku Uning Ramalah. Aku juga akan menunggumu di sana.”
Habis berkata begitu bayangan orang
di balik kabut menggerakkan tangannya ke pinggang. Lalu tampak dia membungkuk
meletakkan sesuatu di atas batu cadas. Benda itu memancarkan sinar kuning
berkilauan terkena sinar matahari pagi.
“Aku pergi sekarang. Selamat
tinggal anakku. Selamat tinggal sahabatku Datuk Alis Merah. Tuhan Maha Besar.
Kalian akan mendapatkan perlindungan dari-Nya.”
“Ayah!” seru Andana seraya
berdiri dan hendak mengejar. Namun auman harimau di atas batu sana membuat dia
terperangah dan seolah terpaku di tempatnya.
Perlahan-lahan sosok binatang
buas ini, disusul sosok Datuk Bandoro Sati menjadi pudar dan samar.
Akhirnya keduanya lenyap sama
sekali. Tapi lama kemudian kabut yang tadi muncul secara aneh juga ikut sirna.
“Datuk, apakah kita tidak
bermimpi?” bertanya Andana pada Datuk Alis Merah.
“Kita tidak bermimpi muridku.
Yang datang tadi benar-benar bayangan ayahmu. Hanya saja ada keanehan yang
tidak bisa kupecahkan. Dia datang dengan pakaian berlumuran darah. Sekujur
tubuhnya penuh lobang-lobang bekas tusukan.”
“Lalu apakah saya harus
mengikuti apa yang tadi dikatakan beliau?” tanya Andana. “Kembali ke Pa-garalam
di Pagaruyung?”
“Mari kita kembali ke pondok.
Kita bicara di sana. Tapi kita periksa dulu apa yang tadi diletakkan Ayahmu di
atas batu sana.”
Datuk Alis Merah berkelebat ke
atas batu cadas. Andana mengikuti. Guru dan murid itu sampai di atas batu cadas
hitam di tempat ketinggian. Di sini mereka menemukan sebilah keris berhulu dan
bersarung emas.
“Tuhan Maha Besar!” seru Datuk
Alis Merah. “Andana, ambillah keris itu. Itu adalah senjata sakti
bertuah, bernama Tuanku Ameh
Nan Sabatang. Keris itu adalah salah satu senjata dari sekian banyak pusaka
warisan nenek moyangmu. Ayahmu sengaja meninggalkannya untukmu….”
“Aneh guru. Kalau Ayah memang
hendak memberikannya pada saya mengapa harus dengan cara ini?
Mengapa tidak menunggu sampai
saya berada di Pagaruyung?”
Datuk Alis Merah tidak
menjawab. Di balik semua keanehan ini, si orang tua yang arif telah punya
firasat bahwa sesuatu telah terjadi dengan diri Datuk Bandaro Sati. Namun takut
kesalahan dia tak mau mengatakan apa-apa pada muridnya selain berucap. “Ambil
keris itu Andana. Pelihara baik-baik….”
Sesaat Andana tampak meragu.
Dia memandang pada Datuk Alis Merah. Orang tua ini anggukkan kepala. Akhirnya
Andana membungkuk mengambil keris emas itu dengan tangan gemetar. Begitu dia
menyentuh senjata bertuah ini ada hawa aneh keluar dari keris, mengalir masuk
ke dalam lengannya terus ke sekujur tubuhnya. Saat itu juga dia merasa satu
kelainan terjadi pada dirinya. Tubuhnya terasa jadi lebih ringan. Andana
mengulurkan keris itu pada gurunya. Datuk Alis Merah menyambuti. Sesaat
ditimbang-timbangnya keris itu sambil memperhatikan dengan seksama. “Keris
bagus ukiran indah,” kata sang Datuk. Lalu dia menggerakkan tangan hendak
mencabutnya. Ketika ditarik hulu dan badan keris ternyata tidak bisa dipisahkan
dari sarungnya. Datuk Alis Merah kerahkan tenaganya dan mencoba sekali lagi.
Tetap saja keris itu tidak bisa tercabut dari sarungnya. Penasaran orang tua
ini kerahkan tenaga dalam lalu kembali berusaha mencabut senjata itu dari
sarungnya. Sampai sekujur tubuhnya gemetaran dan keringat memericik di wajahnya
Datuk Alis Merah masih tidak dapat mencabut keris sakti bertuah itu.
“Aneh,” kata Datuk Alis Merah
sambil mengembalikan keris Tuanku Ameh Nan Sabatang pada Andana. “Muridku, coba
kau yang mencabutnya.”
Andana mengambil senjata itu
kembali. Tangan kiri memegang sarung dan tangan kanan memegang hulu. Mulutnya
mengucapkan Bismillahir rohma nir-rohim. Dua tangan bergerak ke arah yang
berlawanan.
Sret! Keris Tuanku Ameh Nan
Sabatang tercabut dari sarungnya. Sinar kuning menyilaukan memancar dari badan
senjata yang juga terbuat dari lapisan emas berukir huruf-huruf Arab.
“Tuhan Maha Besar. Senjata itu
memang berjodoh denganmu Andana. Rupanya hanya orang-orang yang bertali darah
dengan nenek moyangmu yang bisa mencabut senjata sakti ini dari sarungnya.”
Andana memperhatikan senjata
itu dengan penuh kagum lalu dengan hati-hati dimasukkannya kembali ke dalam
sarungnya.
* * *
TUJUH
DI PINTU pondok Datuk Alis
Merah memegang bahu muridnya. “Kau pergi bersama doaku, Andana.
Jaga dirimu baik-baik. Ingat
segala pelajaran yang telah kau terima dariku walau hanya kau dapat seumur
jagung. Ilmu kepandaian bukan untuk menyusahkan orang lain. Apalagi kalau
sampai digunakan untuk mencelakai dan bunuh membunuh.”
“Terima kasih atas petuah itu
Datuk. Sebenarnya kalau tidak menimbang pesan Ayah, saya tidak akan
meninggalkan Datuk. Datuk memang sahabat Ayah saya. Tapi bagi saya Datuk sudah
saya anggap sebagai orang tua sendiri.” Andana membungkuk lalu menyalami tangan
orang tua itu dan menciumnya.
“Ingat baik-baik Andana.
Perjalanan ke kampung halamanmu di Pagaruyung mungkin bukan satu perjalanan
pulang kampung yang menyenangkan. Pasti banyak orang yang suka padamu, tetapi
banyak pula yang dengki dan jahat. Masih banyak orang yang akan terus
melancarkan fitnah keji padamu. Apalagi kau telah dicap sebagai pelarian.
Buronan dari penjara Batusangkar. Karenanya hati-hatilah dalam setiap tindak
dan langkahmu. Walau kau asli orang Minang namun tetap harus kau ingat pada
kata-kata bertubah. Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
Dengan tangan kirinya orang
tua itu mengusap kepala Andana lalu berkata. “Jika kau sampai di puncak Singgalang
sampaikan salamku pada adik ayahmu Uning Ramalah. Katakan bahwa aku ada
baik-baik saja. Aku berharap dia begitu juga.”
“Salam dan kata-kata guru akan
saya sampaikan.”
Datuk Alis Merah mengangguk.
“Sebelum kau pergi temui dulu adikmu. Hibur hatinya. Dia tampak gelisah sejak
dia tahu kau akan meninggalkan tanah Asahan ini.”
“Saya memang akan menemuinya
guru,” kata Andana pula.
Tak berapa jauh dari pondok
ada sebuah jalan menurun di antara semak belukar dan pepohonan.
Andana melangkah mengikuti
jalan ini yang pada akhirnya membawanya pada sebuah telaga kecil. Begitu
jernihnya air telaga hingga dasar telaga yang dangkal dan penuh dengan
batu-batu dapat terlihat dengan jelas.
Di sebelah kiri telaga ada
sebuah pancuran. Di bagian kanan terdapat saluran yang mengalirkan air telaga
ke pedataran rendah.
Sejarak enam langkah dari
telaga itu terdapat sebuah batu rata. Di atas batu inilah duduk membelakangi
sosok seorang dara berbaju kurung. Sehelai selendang putih tergulung di atas
kepalanya.
Di atas batu di samping sang
dara terletak satu bungkusan kecil. Tangannya memegang beberapa batu kecil.
Satu demi satu batu itu dilemparkannya ke dalam telaga. Ketika dia hendak
melemparkan batu terakhir, dari belakang seseorang tiba-tiba memegang
lengannya. Gadis ini tergagu dan cepat berpaling. Dia melihat satu wajah gagah
yang tersenyum padanya.
“Kau terkejut Halidah?”
“Abang rupanya. Saya kira
siapa….” kata gadis itu sambil balas tersenyum. Namun di balik senyum itu
tersembunyi rasa pedih. Kedua matanya dengan sayu menatap wajah Andana,
memperhatikan kain mereka yang dikenakan pemuda itu.
“Gagah sekali Abang berpakaian
seperti ini. Rupanya jadi juga Abang pergi meninggalkan Asahan,
kembali ke Pagaruyung?”
“Kalau diturut kata hati mana
mau Abang pergi dari sini. Datuk sudah Abang anggap sebagai Ayah sendiri. Kau
saya sayangi sebagai Adik sendiri. Namun saya terpaksa pergi Halidah….”
Gadis di atas batu itu
menundukkan kepalanya. Jari-jari tangannya mempermainkan batu kecil yang
dipegangnya. Angin bertiup lembut. Dalam hatinya gadis ini berkata. “Dia
menyayangiku sebagai adik sendiri.
Ya Tuhan. Apakah dia tidak
tahu bagaimana sebenarnya perasaanku terhadapnya?”
“Kenapa kau diam saja Halidah?
Tak senang rupanya melihat Abang pergi?”
“Gadis mana yang tidak sedih
ditinggal pemuda yang dicintainya?” Kata-kata itu hanya menggema dalam hati
Halidah.
“Abang tahu perasaanmu
terhadap Abang. Tapi Abang sangat menghormati Ayahmu. Dia guru Abang. Dia
menolong Abang di kala susah. Banyak budi yang sudah Abang terima dari beliau.
Abang tidak mau dianggap sebagai seorang yang menggunting dalam lipatan….”
“Kalau Abang tahu perasaan
saya mengapa Abang…” Halidah tidak meneruskan ucapannya itu. Dia mengalihkan
pembicaraan dengan bertanya. “Akan lamakah Abang di Pagaruyung? Apakah akan
kembali ke sini?”
“Abang tidak tahu berapa lama
Abang di sana. Sebelum Abang harus menjenguk adik perempuan Abang di
Singgalang. Perihal kembali ke sini tentu saja dengan izin Tuhan Abang akan
kembali lagi kemari.”
“Saya dengar gadis-gadis di
tanah Minang cantik-cantik. Berkulit halus, bagus tutur katanya, elok budi
perangainya….”
Andana tertawa lebar mendengar
kata-kata si gadis. Dipegangnya bahu Halidah lalu berkata. “Di negeri Asahan
ini tak kalah banyak gadis yang cantik-cantik, elok budi perangainya. Salah
seorang yang Abang kenal adalah Adik sendiri…”
“Ah, Abang terlalu memuji,”
paras Halidah kelihatan kemerahan. “Jadi benar Abang nanti akan kembali lagi
kesini?”
“Abang berjanji. Selama gunung
masih biru, selama air sungai masih mengalir ke laut Abang pasti akan kembali.”
“Senang saya mendengar
kata-kata bersajak itu. Ingatlah selalu, ada seorang gadis buruk di negeri
Asahan ini yang mengharapkan Abang cepat kembali.”
“Abang akan selalu ingat
padamu Halidah. Selama Abang pergi jaga dirimu baik-baik….” Andana membungkuk
lalu mencium kening Halidah.
“Doa saya akan ikut kemana
Abang pergi…” bisik Halidah seraya mengusap pipi pemuda itu dengan penuh cinta
kasih. Lalu diambilnya bungkusan kecil di atas batu. “Ini saya bungkuskan nasi
dan sedikit lauk untuk bekal Abang di jalan.”
Andana menerima pemberian itu
dengan hati terharu biru. “Saya tidak tahu harus mengatakan apa lagi Halidah.
Kau baik sekali….”
Si gadis melepas selendang
putih yang menutupi kepalanya lalu diserahkannya pada Andana. “Hanya ini yang
bisa saya berikan sebagai pengganti diri saya.”
Andana bimbang sesaat.
Akhirnya diambilnya juga selendang putih itu. Dari dalam sakunya dikeluarkannya
sehelai sapu tangan lalu diserahkannya pada Halidah seraya berkata. “Jika kau
rindu pada Abang, letakkan sapu tangan ini di dadamu. Kalau malam kau tidur,
letakkan di bawah bantalmu. Abang pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik….”
Halidah memegang wajah pemuda
itu dengan kedua tangannya. Lalu dia berjingkat untuk dapat mengecup Andana.
Sepasang matanya berkaca-kaca. Andana merangkul gadis itu erat-erat ke tubuhnya
seolah tidak akan dilepaskannya lagi.
* * *
DELAPAN
DUA HARI dua malam diazab
berdiri seperti itu membuat bagaimanapun sabarnya seseorang lama-lama akan
meledak kemarahannya. Demikian juga dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Walaupun
setiap malam ketika dia tak dapat lagi menahan kantuk Uning Ramalah selalu
meletakkan bungkusan makanan secara diam-diam di dekatnya namun kejengkelannya
tidak dapat dikendalikan lagi. Anehnya selama dua hari ini perempuan tua itu
tidak pernah keluar dari dalam gubuknya.
Pagi hari ke tiga ketika sang
surya mulai naik, Wiro sudah siap untuk mengambil keputusan.
Bagaimana kalau aku pura-pura
mengancam hendak menghantam hancur jenazah Datuk Bandaro Sati kakaknya itu.
Mungkin dia mau membebaskan diriku. Tapi mayat itu tidak berdosa. Lebih baik
aku hantam saja gubuknya hingga hancur berantakan. Gila seumur hidup baru kali
ini aku disiksa orang begini rupa.
Tidak tanggung-tanggung murid
Sinto Gendeng ini siapkan pukulan “Sinar matahari” pada kedua tangannya kiri
kanan. Cahaya putih berkilauan seolah memapas sinar matahari pagi memancar dari
kedua tangan sang pendekar. Tepat pada saat dia menggerakkan kedua tangan untuk
menghantam ke arah gubuk, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Seorang pemuda
berpakaian merah bercelana hitam dan ada sapu tangan merah terikat di keningnya
muncul menunggang kuda. Dia sama sekali tidak memperdulikan Wiro ataupun
sesuatu yang terbujur tertutup kain putih di halaman gubuk. Kudanya dipacu ke
arah gubuk seraya berseru.
“Uning Ramalah, saya datang!”
Pintu gubuk terbuka. Perempuan
tua berselendang kain putih itu keluar menyongsong si pemuda.
Pemuda ini cepat turun dari
kudanya lalu menyalami dan mencium tangan perempuan itu.
“Tuhan Maha Besar. Syukur kau
datang anakku. Terlambat sedikit saja mungkin keadaan sudah berubah!” Diam-diam
rupanya Uning Ramalah sudah mengetahui maksud Pendekar 212 yang hendak
menghancur leburkan gubuknya.
“Uning, sepanjang perjalanan
dari Asahan saya merasa tidak enak. Ada firasat buruk yang saya tidak tahu
artinya. Menurut Datuk Alis Merah, dua kali dia bermimpi bertemu dengan Uning.
Apakah Uning ada baik-baik saja?”
“Andana, aku memang baik-baik
saja anakku. Tapi….”
Perempuan tua ini segera saja
berubah air mukanya. Wajah keriputan itu mendadak menjadi kuyu sedih. Dan kedua
matanya tampak berkaca-kaca.
“Uning, ada apakah?” tanya
Andana. Pemuda ini memandang ke halaman. Dilihatnya seorang pemuda berdiri di
ujung sana. Agaknya dia tidak bisa beranjak sama sekali dari tempatnya berdiri.
Memandang pada wajah pemuda berambut gondrong itu Andana seolah melihat
bayangannya di dalam kaca. “Pemuda tak dikenal itu. Mengapa wajahnya mirip
wajahku. Apa yang dilakukannya di tempat ini?” Lalu mata Andana berpindah pada
sosok yang terbujur di halaman berbatu merah.
“Uning, saya melihat
pemandangan aneh. Siapa pemuda itu. Lalu apa pula yang terbujur di halaman
sana?”
“Itu jenazah ayahmu Andana.
Ayahmu mati dibunuh orang….” Kalau ada petir menyambar di depan hidungnya saat
itu tidak demikian terkejutnya Andana mendengar kata-kata Uning Ramalah.
“Ayah mati dibunuh orang?”
suara Andana menyentak. Matanya memandang membeliak pada sosok tubuh yang
terbujur dan tertutup kain putih itu. Dari mulut pemuda ini kemudian keluar
suara teriakan dahsyat.
Lalu dia melompat ke halaman
berbatu merah. Sekali tarik saja disingkapkannya kain putih penutup jenazah
Datuk Bandaro Sati.
“Ayah!” teriak Andana lalu
menubruk dan memeluki jenazah ayahnya. Di tempatnya berdiri di depan gubuk
Uning Ramalah tegak tertunduk dengan mata berkaca-kaca.
“Ya Tuhan! Jadi ini arti
firasat itu! Ini arti hatiku yang tidak enak itu! Ayahhh!” Seperti anak kecil
Andana menggerung menangisi jenazah ayahnya. Sampai satu tangan memegang
bahunya dan terdengar suara Uning Ramalah.
“Siapa yang melakukan ini
Uning? Siapa yang membunuh Ayah?!” tanya Andana pada Uning Ramalah.
Perempuan tua itu hanya
menjawab dengan gelengan kepala dan air mata yang jatuh meleleh ke pipinya.
“Pasti dia!” teriak Andana
seraya menunjuk ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang memperhatikan dirinya.
“Jahanam! Kuhabisi kau sekarang juga!”
Pemuda murid Datuk Alis Merah
itu melompat ke arah Wiro. Beberapa langkah dari hadapan Pendekar 212 Andana
angkat tangan kanannya. Tangan ini dimiringkan sedikit lalu dihantamkannya ke
arah Wiro.
Satu lidah api yang dahsyat
menderu ke arah Pendekar 212. Inilah pukulan “inti api” yang dipelajari selama
dua tahun dari Datuk Alis Merah. Kehebatannya luar biasa. Jangankan manusia,
batu karang pun akan hangus dan hancur berantakan kena hantamannya.
Murid Eyang Sinto Gendeng yang
sejak tadi memang sudah mengkal malah sudah siap-siap untuk melepas pukulan
“sinar matahari” melihat pemuda di hadapannya menyerangnya dengan pukulan maut
begitu rupa, tanpa banyak pikir lagi serta merta hantamkan tangan kanannya
menyambuti pukulan lawan.
Lidah api yang merah legam dan
panas saling beradu dengan sinar putih perak menyilaukan.
Bummm!
Satu ledakan keras seperti
hendak meruntuhkan puncak gunung Singgalang dan merobek langit.
Tubuh Pendekar 212 Wiro
Sableng terguncang hebat tapi kedua kakinya tetap saja terpaku ke tanah.
Mukanya tampak pucat dan di sela bibirnya ada sebersit darah keluar.
Di pihak lain Andana terpental
satu tombak lalu terbanting keras ke halaman berbatu merah. Dia merasakan
dadanya seperti remuk dan kepalanya seperti tanggal. Kedua matanya untuk
beberapa saat lamanya seperti buta. Darah mengucur dari mulutnya. Menyangka
pemuda itu telah menemui ajalnya Uning Ramalah menjerit keras lalu memburu dan
menubruk tubuh Andana.
“Saya masih hidup Uning….”
kata Andana perlahan.
“Siapa pemuda yang punya
tampang sama dengan saya itu? Ilmunya tinggi sekali….” Ternyata dalam keadaan
seperti itu Andana masih bisa bicara polos dan jujur. “Saya mengira dia
pembunuh ayah. Mungkin saya kurang menyelidik dan ketelepasan tangan!”
“Dia bukan pembunuh Ayahmu
Andana. Justru dia yang membawa jenazah ayahmu ke mari. Hanya saja aku belum
sepenuhnya yakin bahwa dia tidak terlibat dalam kematian Ayahmu. Dia mengaku
bernama Wiro Sableng. Berasal dari tanah Jawa….”’
“Jauh-jauh datang kemari apa
keperluannya? Agaknya dia patut dicurigai.”
“Katanya dia mencari seorang
bernama Tua Gila….”
“Tua Gila….? Bukankah itu
kakek sakti mandraguna yang masih sahabat para sesepuh kita?” Ujar Andana pula.
“Dia berkata begitu tapi
bagaimana bisa mempercayainya?” jawab Uning Ramalah. “Waktu jenazah ayahmu
sampai di sini, keris sakti bertuah Tuanku Ameh Nan Sabatang tidak ada pada
Ayahmu. Aku coba menyelidik dengan ilmu “tembus pandang”. Ternyata dia memang
tidak menyembunyikan keris itu….”
“Tuanku Ameh Nan Sabatang ada
pada saya Uning,” menerangkan Andana. Lalu diceritakannya kejadian aneh di
tempat kediaman Datuk Alis Merah.
Uning Ramalah jadi
terperangah. “Kalau bukan kau yang mengatakan mana mungkin aku bisa percaya ada
kejadian seaneh itu.” Lalu dia memandang Wiro. “Walaupun kini kecurigaanku pada
pemuda itu semakin berkurang namun tetap saja aku belum bisa mempercayainya
sepenuhnya. Itu sebabnya aku menjeratnya dengan ilmu “paku bumi” hingga dia
tidak bisa lari kemana-mana sebelum kau datang.
“Sebaiknya kita bebaskan saja
dia Uning. Saya punya dugaan dia tidak bersalah. Dia bukan orang jahat….”
“Kau meminta aku melepaskan
ilmu paku bumi itu Andana?” tanya Uning Ramalah.
“Kalau Uning tidak
keberatan….”
“Baiklah. Kalau nanti dia
ternyata memang manusia jahat, aku tidak akan memberinya ampun!”
Perlahan-lahan perempuan tua
itu berdiri. Kedua matanya memandang tepat-tepat ke arah Wiro. Kaki kanannya
diajukan satu langkah.
“Apa lagi yang hendak
dilakukan perempuan tua ini?” Pikir Wiro seraya balas memperhatikan Uning
Ramalah.
“Mau mengajak aku menari?”
Memikir sampai di situ Wiro jadi senyum-senyum sendiri. Tentu saja sikapnya ini
menimbulkan rasa heran dan tanda tanya pada Uning Ramalah dan Andana. Lalu
tanpa perdulikan lagi sikap Wiro Uning Ramalah membuat guratan tanda x di atas
tanah dengan ujung ibu jari kaki kanannya.
Begitu tanda silang itu
diinjaknya maka Wiro serta merta merasakan kekuatan yang selama ini memaku
kedua kakinya ke tanah menjadi punah. Dia sanggup menggerakkan kakinya kiri dan
kanan.
“Orang tua, terima kasih kau
bersedia membebaskan diriku!” kata Wiro. Dari dalam sakunya dikeluarkannya
sebuah benda berbentuk bulat sebesar kuku ibu jari. Benda ini dipotesnya hingga
patah dua.
Sepotong segera ditelannya,
sisanya dilemparkannya ke arah Andana.
“Apa ini?!” tanya murid Datuk
Alis Merah dengan curiga walaupun dia menyambuti juga benda yang dilemparkan
Wiro itu.
“Obat untuk luka dalam.
Bentrokan tadi telah membuat kita sama-sama cidera. Terserah kau mau menelannya
atau tidak. Yang jelas aku tidak punya kepentingan apa-apa lagi di sini….”
“Tunggu! Jangan pergi dulu!”
kata Andana seraya bangkit berdiri. Obat yang dalam tangannya dimasukkannya ke
dalam mulut. Dikunyahnya lalu ditelannya. Dia merasakan ada hawa hangat
menjalar di dadanya sampai ke perut.
“Mungkin ada sedikit salah
paham di antara kita. Kurasa itu wajar saja karena kita tidak saling mengenal.
Uning Ramalah mengatakan kau yang membawa jenazah ayahku ke sini….”’
“Aku menemukannya di tepi
Ngarai Sianok.”
“Kau tidak melihat orang lain
di tempat itu? Atau mungkin juga kau tahu siapa pembunuhnya?”
Pendekar 212 gelengkan kepala.
“Ada satu pertanyaan lagi….”
Wiro memotong ucapan Andana.
“Dari pada bicara panjang lebar lebih baik kau menyiapkan kubur untuk Ayahmu.
Mengapa dia dibiarkan tersiksa seperti itu?”
Andana memandang pada sosok
tubuh Datuk Bandaro Sati.
“Kau betul. Aku akan menggali
kuburnya, memandikannya lalu menyembahyanginya. Setelah itu memakamkannya.”
“Aku akan membantu!” jawab
Wiro.
Uning Ramalah memperhatikan
kedua pemuda itu yang kemudian saling berjabatan tangan. “Wajah mereka begitu
sama satu dengan lainnya. Mudah-mudahan mereka bisa menjadi dua orang sahabat.”
Ketika sang surya menggelincir
ke barat di puncak gunung Singgalang kini tampak satu pemandangan baru. Sebuah
makam terlihat di depan halaman berbatu merah. Inilah kuburan Datuk Bandaro
Sati, Ayah kandung Andana. Untuk beberapa saat lamanya tiga orang itu yakni
Uning Ramalah, Andana dan Wiro Sableng tegak di depan makam tanpa ada satupun
yang berkata-kata.
Akhirnya Uning Ramalah memecah
kesunyian dengan mengajukan pertanyaan pada Andana.
“Anakku, apakah yang akan kau
lakukan sesudah ini?” Sesaat Andana masih menatapi tanah merah makam Ayahnya.
Dalam hati dia berkata. “Apakah hal itu masih perlu dipertanyakan? Ayahku mati
dibunuh orang. Jelas aku harus mencari siapa pembunuhnya dan membuat
perhitungan!”
Andana berpaling pada adik
Ayahnya itu. “Saya mohon petunjuk Uning,” katanya. Perempuan tua berwajah putih
itu betulkan letak selendangnya lalu berkata. “Ketahuilah anakku, kebencian
melahirkan kebencian. Dendam menurunkan dendam. Lalu nyawa manusia tidak ada
harganya lagi.
Membunuh bukan lagi dianggap
sebagai satu dosa besar yang neraka tantangannya.
Kalau sudah begitu rasanya
tidak ada lagi gunanya hidup di dunia ini….”
Andana terdiam mendengar
kata-kata Uning Ramalah itu. Dia melirik pada sahabat barunya Wiro Sableng.
Sang sahabat dilihatnya justru sedang menggaruk-garuk kepala, memandang padanya
dengan menyeringai. “Apa yang ditertawakan anak ini!” Kata Ananda dalam hati
setengah jengkel.
“Uning, apakah Uning bermaksud
bahwa saya tidak boleh membalas dendam kematian Ayah?”
Tiba-tiba Andana ajukan
pertanyaan pada perempuan tua di sebelahnya.
“Aku tidak mengatakan demikian
anakku. Kalau kita sudah melangkah, apapun yang terjadi langkah itu harus
diteruskan tanpa ragu, dengan semangat dan jiwa besar. Kita namanya manusia
yang hidup di dunia tidak pernah terlepas dari pada pengaruh hati. Kalau saja
aku tidak mempunyai pantangan membunuh, saat ini aku sudah turun gunung mencari
pembunuh Datuk Bandaro Sati!”
“Kewajiban itu ada di pundak
saya Uning,” kata Andana tegas.
Perempuan tua itu mengangguk.
“Tapi kau harus berhati-hati Andana. Aku punya firasat kematian Ayahmu ada
sangkut pautnya dengan kejadian-kejadian di masa lalu. Antaranya yang
menyebabkan sampai terpaksa melarikan diri dari penjara di Batusangkar.”
“Saya sudah tahu siapa orang
yang memfitnah saya itu. Namanya Udin Burik. Hanya tinggal mencari siapa
dalangnya saja…”
“Hati-hati dengan Tumenggung
Rajo Langit. Dia mati-matian untuk dapat memenjarakanmu kembali.
Bahkan membunuhmu kalau bisa!”
“Saya sudah perhitungkan semua
itu Uning. Saya hanya minta doa Uning agar saya selamat dalam menjalankan tugas
berat ini. Mencari pembunuh Ayah dan sesuai dengan pesannya menyelamatkan rumah
gadang kita.”
“Doaku akan selalu
bersamaanmu, nak!” kata Uning Ramalah pula.
Andana maju selangkah ke
hadapan makam Ayahnya.
Suaranya tersendat ketika
berkata. “Ayah, saya anakmu Andana bersumpah dihadapan makammu bahwa saya akan
mencari pembunuh Ayah. Dunia ini terlalu sesak untuk manusia keji itu dan saya.
Dendam ini tak akan lunas sebelum saya dapat membunuhnya dengan tangan saya
sendiri! Tuhan mendengar sumpah saya ini dan gunung Singgalang menjadi saksi!”
Pendekar 212 yang tegak
termangu di samping Andana teringat pula pada kejadian belasan tahun lalu.
Ketika Ayahnya menemui
kematian di tangan musuh-musuhnya. “Kau masih beruntung Andana. Kau pernah
melihat Ayahmu, pernah dibesarkan olehnya. Aku bernasib lebih malang. Ayahku
dibunuh orang ketika aku masih bayi…”
Andana memegang bahu Pendekar
212 dan berkata. “Nasib kita tidak jauh berbeda Wiro. Karena itu kita pantas menjadi
dua sahabat….”
Wiro menganggukkan kepalanya.
Matanya memandang sesaat pada kedua kakinya. Lalu melirik pada Uning Ramalah.
Perempuan tua ini tahu apa yang ada di benak Pendekar 212. Maka diapun berkata.
“Kalau tidak kupaku kakimu ke tanah, kau tak akan pernah bertemu dengan sahabat
barumu ini.”
Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Uning, mungkin suatu saat saya perlu mempelajari ilmu memaku kaki orang itu….”
“Aku khawatir anak muda. Yang
kau paku ke tanah bukan cuma orang-orang jahat tetapi juga gadis-gadis cantik!”
Tanpa sadar bahwa mereka masih
menghadapi saat-saat berkabung, ketiga orang itu sama-sama tertawa bergelak.
* * *
SEMBILAN
TELAGA dan pancuran berair
jernih itu terletak di tanah rendah berbentuk lembah kecil.
Pohon-pohon besar yang mengelilinginya
membuat udara di situ terasa sejuk jauh dari sengatan sinar matahari musim
panas. Selain tempat mandi telaga itu dipergunakan juga sebagai tempat mencuci
pakaian sekaligus tempat bertemu dan bersenda gurau di kalangan gadis-gadis
remaja di Pagaralam.
Pagi itu seperti biasanya di
telaga kelihatan beberapa orang anak gadis mencuci pakaian sambil
bercakap-cakap. Sesekali terdengar gelak tawa mereka. Yang jahil menyemburkan
air kepada kawannya hingga terjadi berbalas sembur. Selain itu, umumnya kalau
para gadis sudah berkumpul seperti itu yang masuk dalam bahan pembicaraan
mereka antara lain pastilah membicarakan ihwal pemuda.
“Hai, sudahkah kalian
mendengar berita yang dibawakan angin dari jauh?” berkata salah seorang di
antara para gadis itu.
“Berita apa?” kawan di
sebelahnya bertanya.
“Kabarnya pemuda gagah bernama
Andana itu akan kembali ke Pagaralam.”
“Dari mana kau dengar kabar
burung itu Saleha?”
“Dari mana saya dapat berita
tak usah jadi persoalan. Saya tahu itu bukan kabar burung.” Jawab anak
perempuan bernama Saleha.
“Pemuda itu hebat dan gagah.
Ingat cerita waktu dia menjebol penjara di Batusangkar lalu menghajar dua
pengawal penjara bahkan menggebuk Kepala Penjara kaki tangan Tumenggung Rajo
Langit?!”
“Dia seorang pemuda pemberani,
seorang pandeka!” kata gadis yang lain. “Buktinya dia tidak takut kembali ke
Pagaralam. Padahal kalau Tumenggung Rajo Langit di Pagaruyung sampai tahu pasti
dia akan ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman lebih berat!”
“Waktu Andana pergi tiga tahun
lalu, dia masih bujangan. Apakah kini dia masih juga bujangan?” ujar seorang
gadis bernama Sariatun.
“Jangan-jangan, kalau dia
kembali membawa anak dan istri, semua gadis di Pagaralam sampai di Pagaruyung
akan menggigit jari!” menyahuti gadis lain hingga suasana di telaga itu menjadi
ramai.
“Saya berharap dia masih
bujangan. Hingga salah seorang di antara kita kelak bisa beruntung menjadi
jodohnya!”
Semua gadis itu kembali
tertawa riuh.
“Kawan! Hati-hati kalau
bicara. Nanti ada yang marah!” kata Saleha setengah berseru. Dia lalu
menggoyangkan kepalanya ke arah seorang gadis yang duduk di sebuah batu datar.
Kelihatannya dia sibuk mencuci padahal sebenarnya apa yang dibicarakan
kawan-kawannya tidak luput dari perhatian dan pendengarannya, gadis yang satu ini
berkulit putih bersih. Kecantikan alami yang dimilikinya jauh melebihi
kecantikan kawan-kawannya. Melihat Saleha menggoyangkan kepala pada gadis itu,
seorang anak perempuan lalu bertanya pada gadis tersebut.
“Sahabatku Bunga, apakah kau
tidak senang mendengar Andana kembali ke kampung kita ini?”
Gadis cantik yang bernama
Bunga mengangkat kepalanya.
“Saya tidak tahu. Saya rasa
tentu banyak yang senang, tapi pasti ada juga yang tidak senang.”
“Kau di pihak yang mana?”
tanya Saleha pula. Ketika Bunga tak bisa menjawab dan wajahnya tampak kemerahan
kawan-kawannya kembali tertawa.
BUNGA ingat, terakhir sekali
dia bertemu dengan Andana sebelum pemuda itu dijebloskan masuk penjara. Waktu
itu siang hari sehabis ba’dal Zuhur. Dia baru saja pulang dari telaga mengambil
air bersih untuk minum. Di persimpangan jalan dia bertemu dengan Andana yang
baru saja pulang sembahyang di surau.
Mereka bertegur sapa bertukar
senyuman. Tiada kata terucapkan dan tahu-tahu mereka sudah seiring sejalan.
Bunga merasakan dadanya
berdebar oleh rasa suka cita berjalan berduaan seperti itu. Lalu tiba-tiba saja
langit menjadi gelap. Awan hitam menutupi bumi dan hujan turun dengan derasnya.
Andana cepat mencarikan daun pisang yang lebar, memayungi Bunga dengan daun itu
tanpa memperhatikan dirinya sendiri basah tidak terlindung.
“Kakak memayungi saya tapi
pakaian Kakak sendiri basah kuyup,” kata Bunga saat itu.
“Tidak mengapa. Adik yang
lebih penting. Jangan sampai kebasahan. Kata orang hujan kadang-kadang membawa
penyakit. Saya tidak ingin Adik menjadi sakit….”
Suara pemuda itu terdengar
begitu merdu di telinga Bunga. Lalu dilihatnya Andana tersenyum dan bahunya
dipegang lembut, menariknya ke bawah daun pisang agar tidak kejatuhan air
hujan. Debaran jantung Bunga semakin keras. Hangatnya tangan pemuda itu ketika
memegang bahunya seolah tak pernah pupus, tak pernah dilupakannya.
Seorang pemuda tiba-tiba
melintas cepat di hadapan mereka. Dia memperhatikan sepasang muda mudi itu
sesaat lalu bergegas pergi.
Andana mengantarkan Bunga sampai
ke depan tangga rumahnya. Keesokan harinya tersebar kabar di Pagaralam bahwa
Andana dan Bunga diam-diam rupanya telah menjalin hubungan asmara. Mereka
berkasih-kasihan. Ada orang yang melihat mereka berpayung daun pisang
berdua-duaan di bawah hujan lebat.
Dan seperti biasanya yang
namanya gunjingan itu dari satu mulut ke lain mulut selalu bertambah dengan
hal-hal yang tidak benar. Bunga dan Andana berpayung bersama sambil berdekapan,
berpelukan dan berciuman.
“Bunga! Hai Bunga!”
“Bunga!”
Suara yang memanggil-manggil
itu menyadarkan Bunga dari lamunannya. Dia memandang berkeliling dan coba
tersenyum. Dilihatnya semua kawan-kawannya berdiri di tepi telaga.
Masing-masing memegang bakul berisi cucian, siap untuk meninggalkan telaga.
Mereka masih menunggu kalau-kalau Bunga hendak pulang bersama-sama.
“Kami sudah selesai mencuci
dan mandi!” berseru Saleha. “Matahari sudah tinggi. Kami tak bisa menunggumu!”
“Tak apa. Pergilah lebih
dahulu. Sebentar lagi cucian saya selesai,” jawab Bunga.
“Jadi kami pulang saja
duluan?”
“Ya, pulang sajalah!”
“Tidak takut awak sendirian?”
tanya salah seorang teman Bunga.
“Mengapa musti takut? Tak ada
hantu di telaga ini!” jawab Bunga pula.
“Kalau Andana yang jadi
hantunya kamipun tidak takut!” teriak Saleha yang membuat kembali
kawan-kawannya bersorak riuh.
Bunga meneruskan mencuci.
Tiba-tiba dalam kesepian itu dia mendengar suara langkah kaki-kaki kuda
mendatangi. Bunga mengangkat kepalanya ke arah jalan menurun. Wajah gadis ini
menjadi pucat.
“Dia lagi…,” katanya dengan
lidah kelu karena takut. Diambilnya kebayanya dari dalam bakul lalu cepat-cepat
dikenakannya.
Seorang lelaki tua berpakaian
bagus menghentikan kudanya tak jauh dari tepi telaga. Rambutnya yang putih
tersembul dari destar kuning emas di kepalanya. Kumis di atas bibirnya juga
sudah berwarna putih. Dia berpaling pada seorang lelaki berkuda di belakangnya
yang agaknya jadi pengawalnya.
“Tinggalkan aku di sini. Kalau
tidak kupanggil jangan berani datang!”
Orang yang diperintah
mengangguk lalu cepat-cepat berlalu. Sambil tersenyum-senyum lelaki berpakaian
bagus tadi turun dari kudanya.
Bunga bergegas mencapai tepian
telaga tapi langkahnya segera terhadang oleh lelaki tadi.
“Bunga… Bunga… Dunia terasa
sepi jika tidak melihatmu sehari saja. Apakah kau ada baik-baik saja Bunga?”
Orang lelaki itu menegur dengan sikap ramah dan tak pupus senyum di bibirnya.
Namun justru sikapnya ini membuat Bunga muak di samping takut.
“Hai, mengapa begitu
terburu-buru Bunga? Apakah tidak ada waktu bagi kita untuk bercengkrama barang
sebentar?”
“Maafkan saya. Saya harus
segera pulang. Hari sudah siang. Matahari sudah tinggi.” Sehabis berkata begitu
Bunga cepat-cepat melangkah pergi.
Lelaki tadi mendongak ke
langit. “Masih pagi begini dikatakan sudah siang. Tak usah terburu-buru Bunga.
Urusan rumah tangga di rumah tak ada habisnya. Lagi pula saya merasa kasihan
kalau dirimu yang cantik, tubuhmu yang bagus terlalu banyak bekerja….”
“Maafkan saya Tumenggung. Saya
harus segera pulang.”
“Jangan begitu Bunga. Kau tahu
betapa aku menyukai dirimu. Bukan sekedar suka. Tapi cinta!”
Ingin sekali Bunga meludahi
muka lelaki gaek yang dianggapnya tidak tahu diri itu. Gadis ini memutar
langkahnya. Tapi orang yang dipanggilkan dengan sebutan tumenggung itu kembali
menghadangnya.
“Dengar Bunga, gadis cantik
sepertimu.tidak layak tinggal di kampung sunyi dan kotor ini. Kau lebih pantas
tinggal di Pangaruyung atau di Batusangkar. Aku ada rumah di dua kota itu yang
bisa kau tempati. Jika kau takut tinggal sendirian, Robiah boleh kau ajak
serta….”
“Maafkan saya Tumenggung. Beri
saya jalan….”
“Ah, kalau kau memang hendak
pulang, kau boleh naik kudaku. Akan kuantar kau sampai ke rumah.
Tapi jika kau suka ikut aku
barang sebentar akan kuberikan hadiah kain cita yang bagus. Kau tentu mau
bukan?” Sambil berkata begitu Tumenggung itu ulurkan tangannya hendak memegang
lengan si gadis. Bunga cepat menghindar. Sang Tumenggung jadi kalap. Dengan
nekad dilompatinya gadis itu lalu dipeluknya kuat-kuat. Bunga menjerit keras
berusaha melepaskan diri sambil memukuli dada Tumenggung itu sekuat yang bisa
dilakukannya. Tubuh tua itu rupanya kesakitan juga kena dihantam pukulan.
Selagi sang Tumenggung terjajar ke belakang Bunga pergunakan kesempatan untuk
melarikan diri. Tapi lelaki itu masih sempat menggapai pinggang kebayanya.
Ketika dia hendak merangkul Bunga sekali lagi gadis ini mendorong tubuh sang
Tumenggung kuat-kuat. Tubuh tua itu terjajar. Kakinya terpeleset di batu licin.
Tak ampun lagi tubuhnya jatuh masuk ke dalam telaga. Bunga segera berlari
meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya tertahan ketika di depannya melintas
seorang pemuda berpakaian serba putih, berambut menjela bahu.
“Andana…”. kata Bunga begitu
dia mengenali wajah pemuda itu.
Orang yang ditegur berpaling
padanya. “Adik memanggil saya?” Bunga merasa terkejut sekali.
“Hanya berpisah tiga tahun dia
sudah lupa pada diriku?”
“Kau… kau tidak mengenali saya
lagi Andana?”
“Ah, adik salah sangka. Saya
bukan Andana. Saya kebetulan cuma sahabatnya. Nama saya Wiro…”
Bunga jadi terperangah. Wajah
sama, potongan badan sama. Tapi suara dan logat bicara pemuda ini menunjukkan
bahwa dia memang bukan Andana pemuda Pagaralam yang meninggalkan kampung tiga
tahun lalu.
“Tapi… saya mendengar kabar
Andana sudah kembali ke sini. Maafkan kalau saya mengira….”
Pendekar 212 Wiro Sableng
tertawa lebar. “Kata orang wajah kami memang mirip. Tidak salah kalau adik
sampai keliru.”
“Kalau kakak sahabatnya, apa
kakak tahu dimana Andana sekarang berada?”
“Kami berpisah di satu tempat.
Katanya dia ada satu keperluan. Tak lama lagi tentu dia akan muncul di sini,”
menjelaskan Wiro.
Tiba-tiba Wiro melihat ada
seorang lelaki tua berpakaian basah kuyup melangkah cepat ke arah mereka.
“Bunga! Perbuatanmu sudah
keterlaluan. Kalau kau tidak suka aku, masih ada seribu cara untuk
mendapatkanmu! Tapi mendorong aku hingga masuk ke dalam telaga adalah perbuatan
kurang ajar yang tidak bisa kumaafkan!”
Bunga berpaling. Wajahnya
ketakutan. Dia cepat hendak tinggalkan tempat itu.
“Kemana kau hendak lari hah?
Perawan tak tahu diuntung!” Tumenggung yang basah kuyup itu cepat mencekal
lengan Bunga. Tapi belum kesampaian Wiro Sableng sudah menahan dadanya seraya
menegur.
“Apa-apaan ini Bapak tua?!”
“Kerbau sialan! Jangan campuri
urusanku!” bentak Tumenggung itu seraya hendak memukul Wiro.
Tiba-tiba dilihatnya paras
pemuda itu. “Kurang ajar! Kau rupanya Andana!”
“Aku bukan Andana!” jawab
Wiro.
“Bangsat! Hendak kau
sembunyikan ke mana mukamu manusia buronan?! Pelarian buronan penjara
Batusangkar! Nyalimu sungguh besar berani muncul lagi di tempat ini! Lekas
serahkan dirimu untuk kutangkap!”
“Eh, kau rupanya habis kecebur
orang tua? Mungkin otakmu tiba-tiba menjadi gendeng akibat kecebur itu!”
“Pemuda keparat! Dulu aku yang
menjebloskanmu ke dalam penjara! Kini akan kuulangi lagi! Aku bersumpah sekali
ini kau tak bakal keluar lagi! Kau akan meringkuk sampai mampus dalam penjara
itu!”
Selagi kedua orang itu
berperang mulut kesempatan dipergunakan oleh Bunga untuk melarikan diri.
Lelaki di hadapan Wiro
tiba-tiba menggerakkan kedua tangannya ke arah leher. Wiro tidak menduga kalau
gerakan orang tua ini bisa secepat itu. Lehernya seperti dijapit. Percuma
berontak untuk melepaskan diri.
Karena Pendekar 212 hantamkan
kedua tinjunya bertubi-tubi ke perut dan dada orang yang mencekiknya itu.
Sang Tumenggung berteriak
setinggi langit. Cekikannya di leher Wiro terlepas. Tubuhnya terjengkang di
tanah, menggeliat-geliat beberapa kali sebelum dia muntah darah dan jatuh
pingsan.
Sementara itu Bunga yang
tengah melarikan diri dengan nafas sesak sampai di tangga rumahnya.
Bakul berisi kain cucian
dibuangnya begitu saja. Lalu diterjangnya pintu rumah dan menghambur masuk ke
dalam seraya berteriak memanggil-manggil.
Seorang perempuan berambut
putih berlari dari dapur. “Astagfirullah! Bungat Ada apa nak?! Apa yang
terjadi?!”
Bunga tak bisa menjawab.
Dadanya turun naik. Perempuan tua itu segera mengambil segelas air putih.
Setelah meneguk air si gadis
agak tenang sedikit. “Saya diganggu orang Mak. Dia lagi… Dia lagi!”
“Kau diganggu orang. Dia
lagi?! Maksudmu Tumenggung Rajo Langit?!” tanya Mamak Rabiah, ibu asuh si
gadis.
Bunga anggukkan kepalanya
berulang kali.
“Manusia jahanam. Tua bangka
tak tahu diri itu! Tak habis-habisnya dia mengganggumu! Ya Tuhan, kapan kau
akan memberi hukuman pada tua bangka itu?!” Mamak Rabiah seperti hendak
menangis. Sambil membelai kepala anaknya dia berkata. “Kalau begitu mulai hari
ini kau tak usah pergi mencuci ke telaga. Biar Mamak yang kesana.”
“Mamak sudah tua. Tubuh Mamak
tak tahan dengan air dan udara dingin. Bunga tidak mau melihat Mamak jatuh
sakit.”
Kedua mata Mamak Rabiah tampak
berkaca-kaca.
“Mak, tadi saya bertemu dengan
seorang anak muda. Wajahnya mirip sekali dengan Andana. Ternyata dia bukan
Andana….”
“Dimana dia sekarang?”
“Saya tak tahu lagi Mak. Waktu
saya tinggalkan dia tengah bertengkar dengan Tumenggung Rajo Langit. Lalu
sayup-sayup saya dengar jeritan Tumenggung itu….” Sampai di situ Bunga
menghentikan kata-katanya. Gadis ini memegang kepalanya. “Sakit kepala saya
datang lagi Mak. Izinkan saya masuk ke dalam. Saya ingin tidur….”
“Masuklah nak, masuklah…” kata
Mamak Rabiah pula. Ketika gadis itu masuk ke dalam kamarnya Mamak Rabiah
terduduk di sebuah kursi. Sambil menutupi wajahnya dengan sehelai selendang,
dalam hati perempuan tua ini berkata. “Ya Tuhan, beri saya petunjuk apa yang
harus saya lakukan. Saya kasihan pada anak itu. Sembilan belas tahun saya
mengasuhnya seperti anak sendiri. Saya tidak tega, tak sampai hati saya melihat
penderitaannya. Hati dan jiwa ini tak sanggup lagi menahan rahasia ini. Tapi
kau tahu Tuhan, saya harus telah berjanji dengan ibunya. Ya Tuhan, tolong saya.
Tolong kami orang-orang yang malang ini.”
* * *
SEPULUH
PACUAN kuda di Batusangkar
kali ini jauh lebih ramai dari yang sudah-sudah. Hal ini antara lain disebabkan
ada beberapa ekor kuda datang dari jauh untuk ikut berpacu. Di barisan penonton
sebelah depan tampak duduk orang-orang penting dari Pagaruyung, Batusangkar,
Kota Gadang dan kota-kota besar lainnya.
Di barisan depan itu juga
duduk para tokoh masyarakat setempat yang terdiri dari pada para Datuk serta
Penghulu. Seperti biasanya di tempat-tempat seperti itu mereka yang suka
berjudi tidak mau ketinggalan.
Mereka datang bukan sekedar
menonton saja tetapi juga bertaruh, terkadang dalam jumlah yang besar.
Pekik sorak penonton terdengar
gegap gempita menyambut kemenangan kuda bernama Panah Agam yang keluar sebagai
juara pertama dalam perlombaan kedua.
“Panah Agam menang! Panah Agam
menang!” teriak orang banyak. Yang menang bertaruh melompat-lompat sambil
mengacung-acungkan tangannya.
Pada saat itu seorang lelaki
berpakaian kuning, berdestar hitam melangkah mendekati seorang penonton yang
duduk di barisan depan. Penonton ini berusia sekitar setengah abad, berpakaian
bagus termasuk saluak atau destar yang ada di kepalanya dan kain songket yang
terselempang di pinggangnya.
Sebentar-sebentar dia tampak
menyentak-nyentakkan lehernya ke kiri atau ke kakan. Mukanya yang cekung serta
dagunya yang persegi senantiasa membentuk air muka yang kaku dingin. Orang ini
bukan lain adalah Datuk Gampo Alam, tokoh terkemuka yang disegani orang
se-Pagaruyung. Konon dia mempunyai hubungan dekat dengan para pejabat tinggi
dan orang-orang penting di Batusangkar serta Pagaruyung.
Orang lelaki berpakaian kuning
tadi menyerahkan sebuah kantong kain pada Datuk Gampo Alam seraya berkata. “Tak
salah Datuk memegang Panah Agam. Lihat kini bagaimana dia mendatangkan rejeki
kemenangan pada Datuk.” Sang Datuk tidak menjawab. Kantong kain berisi uang itu
amblas dimasukkannya ke balik kain songket yang melilit pinggangnya.
Dia berpaling pada pesuruhnya
lelaki berpakaian kuning tadi ketika dilihatnya orang ini masih berdiri di
sampingnya.
“Palindih! Ada apa kau masih
tegak di sini?! Jangan harapkan upah bagian dariku, setan!”
“Maafkan saya Datuk, mana
berani saya mengharapkan upah,” jawab orang bernama Palindih.
Mukanya cekung dan tubuhnya
tinggi kurus. Dia memelihara kumis jarang meranggas.
“Kalau kau tidak mengharapkan
sesuatu lalu mengapa tidak segera lindang dari hadapanku?!” bentak Datuk Gampo
Alam. (lindang = minggat)
Palindih membungkuk sedikit.
Mukanya didekatkan ke telinga Datuk Gampo Alam. Dia hendak mengatakan sesuatu
tetapi sang Datuk sudah menyemprot.
“Setan! Kalau bicara jangan
dekat-dekat ke mukaku! Mulutmu bau jariang tahu!” (jariang = jengkol).
Terpaksa Palindih menjauhkan
mukanya. Setengah berbisik dia berkata. “Kabar angin yang Datuk dengar itu
sudah saya selidiki. Ternyata benar.”
“Kabar angin yang mana? Kentut
juga angin! Bicara langsung pada pokoknya! Jangan membuat aku marah di tempat
ini!” bentak Datuk Gampo Alam. Lalu kembali lehernya disentakkan dua kali
berturut-turut.
“Dua hari lalu, Andana anak
Datuk Bandaro Sati terlihat di sebuah kedai di pesisir.”
Sepasang mata Datuk Gampo Alam
tampak membesar. Bibirnya membentuk senyum tapi keseluruhan wajahnya tidak
menunjukkan rasa senang walaupun kemudian dia berkata. “Aku gembira!
Kemenakanku itu akhirnya ingat pulang juga. Katakan siapa yang melihat anak
itu?”
“Sati, pedagang keliling itu.
Dia ada di belakang sana. Kalau Datuk mau bicara sendiri akan saya suruh dia
kemari.”
Datuk Gampo Alam berdiri.
“Biar aku sendiri yang akan menemuinya,” kata Datuk Gampo Alam lalu dia
melangkah mengikuti Palindih.
Orang bernama Sati rupanya
memang sudah menunggu di belakang barisan penonton pacuan kuda itu.
Dia mengenakan baju putih
model gunting Cina dan mengenakan kopiah hitam. Dia berdiri sambil mengunyah
jagung rebus.
“Kau yang bernama Sati?!”
tanya Datuk Gampo Alam.
Yang ditanya angguk-anggukkan
kepala sambil terus mengunyah jagung rebus dalam mulutnya.
“Betul kau melihat anak Datuk
Bandaro Sati di pesisir?” tanya Datuk Gampo Alam lagi.
Kembali Sati menganggukkan
kepalanya. Melihat kelakukan orang ini marahlah Datuk Gampo Alam.
Dirampasnya jagung yang ada di
tangan Sati lalu di bantingkannya ke tanah.
“Setan! Sopan kalau bicara
padaku! Jangan sambil makan!” bentak Datuk Gampo Alam marah sekali lalu
menyentakkan lehernya ke kiri. “Jawab pertanyaanku tadi!”
Yang ditanya menyeringai lalu
ulurkan tangannya. “Kalau Datuk mau keterangan, saya minta upah satu ringgit
perak!”’
“Kurang ajar!! Berani kau
memeras aku! Benar-benar setan kau!”’ hardik Datuk Gampo Alam.
“Saya orang dagang Datuk.
Segala urusan saya ukur dengan uang. Satu ringgit perak tak ada artinya bagi
Datuk. Apalagi barusan Datuk menang bertaruh. Tapi keterangan yang saya berikan
nilainya jauh lebih tinggi dari satu ringgit perak itu!”
“Mandeang! Sialan kau Sati!
Setan!” maki Datuk Gampo Alam. Lehernya disentakkan. Dia tampak marah sekali.
Tapi tiba-tiba tampak senyum tersungging di mulutnya. Dari dalam sakunya
dikeluarkannya uang yang diminta Sati tadi lalu langsung dimasukkannya ke
kantong baju putih Sati. “Sekarang lekas berikan keterangan!” (Mandeang =
moyangmu)
“Andana anak Datuk Bandaro
Sati saya lihat dua hari lalu di sebuah kedai di pesisir. Dari arah yang
ditempuhnya jelas dia akan datang ke Pagaralam. Gerak geriknya tidak seperti
dulu lagi. Agaknya dia kini membekal ilmu yang lebih tinggi dari dulu.”
“Dia datang seorang diri?”
tanya Datuk Gampo Alam.
“Berdua. Kawannya memiliki
perawakan dan wajah yang sama. Jangan-jangan pemuda satu itu kembarannya!”
“Setan! Andana adalah anak
tunggal! Ceritamu bohong!”
“Keterangan saya sudah cukup.
Saya harus pergi sekarang!” kata Sati pula.
“Keteranganmu tidak senilai
uang yang kuberikan. Kembalikan uang itu atau akan kukeluarkan larangan bahwa
kau tidak boleh berdagang di Pagaruyung!”
Wajah Sati jadi berubah.
Jengkel dan juga takut. “Kalau Datuk tidak ikhlas dengan uang satu ringgit ini ambillah
kembali!” Ringgit perak yang ada di saku bajunya itu dikeluarkannya lalu
dibantingkannya ke tanah. Uang itu jatuh dua langkah di depan kaki sang Datuk.
Marahnya Datuk Gampo Alam bukan kepalang.
Belum pernah dia dihina orang
seperti itu. Jangankan menghina, menatap wajahnya saja tak ada orang yang
berani.
“Setan! Kau akan menyesal
seumur hidup!” kata Datuk Gampo Alam sambil mengepalkan tinjunya.
Dia berpaling pada Palindih.
“Temui anak buahku. Suruh mereka menghajar Sati sampai setengah mati! Biar dia
tahu rasa! Setan!”
Palindih cepat berlalu. Empat
orang anak buah Datuk Gampo Alam ditemuinya di sebuah kedai minuman.
Di sebuah tikungan Sati yang
merasa dirinya diikuti berpaling ke belakang. Ada empat orang berseragam hitam
mendekatinya dengan cepat. Dia tahu siapa keempat orang itu. Anak buah
merangkap tukang pukul Datuk Gampo Alam. Tanpa pikir panjang lagi Sati segera
melarikan diri. Tapi percuma saja.
Empat orang berpakaian hitam
itu lebih kencang larinya hingga dalam waktu dekat Sati segera terkejar. Lalu
terjadilah penganiayaan itu. Sati terjelapak di tanah dalam keadaan tidak
sadarkan diri, mukanya babak belur.
Beberapa giginya tanggal. Mata
kirinya bengkak lebam. Bibirnya pecah dan dua tulang iganya patah kena
tendangan.
* * *
SEBELAS
SUASANA di pekuburan itu
diselimuti kesunyian. Hal ini mendatangkan rasa tenteram di hati Bunga yang
saat itu tengah duduk bersimpuh di hadapan sebuah makam. Kedua matanya untuk
beberapa lama tidak berkesip memandangi makam itu sampai akhirnya kedua matanya
tampak berkaca-kaca. Diambilnya selendang yang tergelung di atas kepala lalu
ditutupkannya ke wajahnya yang cantik. Di antara isak sesenggukannya terdengar
ucapan gadis ini terputus-putus.
“Bunda. Bunga datang Bunda…
Saat-saat seperti ini… Bunga ingin dekat dan satu dengan Bunda.
Bunda… adakah Bunda mendengar
ratap hati anakmu ini? Adakah Bunda tahu derita sengsara Ananda, anak yang
tidak pernah melihat wajah Bunda, anak yang tidak pernah… menunjukkan bakti
pada Bunda. Anak yang tidak tahu siapa dan dimana Ayahnya. Kalau masih hidup
dimana dia gerangan, kalau sudah mati dimana kuburnya….”
Sampai di situ tangis si gadis
mengeras. Bahunya bergetar. Selendang yang didekapkan ke wajahnya terlepas
jatuh ke pangkuannya. Direbahkan tubuhnya ke atas makam. Salah satu pipinya
diletakkan di atas tanah kubur.
“Bunda… siapa tempat Bunga
bertanya. Siapa tempat Bunga mencari tahu dimana dan siapa Ayah.
Gunung diam membisu. Lembah
sepi tak mau bercerita. Sungai berdiam diri. Angin tak mau memberi tahu.
Kincir air mendesau tanpa
petunjuk. Kicau burungpun hanya mendatangkan keraguan. Bunda… mengapa malang
benar nasib anakmu ini…”
Bunga menyeka air mata yang
berderai membasahi pipinya dengan jari-jari tangannya yang halus.
“Bunda… kata orang Bunda
berpulang ketika melahirkan Bunga. Bunda oh Bunda… Mengapa tidak Bunda bawa
serta Bunga saat itu… Kalau saja Bunga bisa ikut bersamamu, tak akan ada derita
ini. Tak akan ada air mata. Bunda… adakah Bunda mendengar ratap hati anakmu ini
Bunda…?” Suara tangis si gadis meninggi.
Tiba-tiba ada suara langkah
kaki-kaki kuda mendatangi.
Tersirap darah Bunga. Suara
isak dan rapat tangis gadis malang ini serta meria lenyap. Dia berpaling ke
arah datangnya suara derap kaki kuda. Wajahnya yang tadi merah karena menangis
kini tampak pucat.
“Bunga,” satu suara memanggil
namanya. “Aneh, kau terkejut melihat saya. Mukamu pucat. Apa saya telah menjadi
mahluk yang menakutkanmu Bunga?”
Kedua mata Bunga membesar.
Rasa takut pada wajahnya lenyap, perlahan-lahan berganti dengan senyuman secerah
mentari pagi.
“Astaga, maafkan saya Kak.
Saya kira Kakak ini….”
“Kau kira saya ini siapa
Bunga?” tanya Andana lalu melompat turun dari kudanya.
Ketika Bunga tak menjawab,
Andana berkata. “Saya tahu, pasti yang kau maksudkan adalah Tumenggung mata keranjang
itu. Jadi dia masih mengganggumu terus rupanya. Disusunnya fitnah untuk dapat
memenjarakanku. Sekaligus mencari peluang bisa mendekatimu…”
“Sudahlah Kak. Tak perlu kita
bicarakan orang itu. Saya senang melihat Kakak kembali…”
“Saya juga gembira melihatmu
lagi Bunga,” kata Andana. Diluruskannya papan nisan kuburan yang agak miring
lalu berkata. “Kalau Kakak tidak salah, Ibumu meninggal sama lamanya dengan
usiamu. Saya lihat kau habis menangis. Apakah masih harus ditangisi juga makam
tua ini Bunga?”
Bunga merunduk. “Yang saya
tangisi bukan mendiang Ibu. Tapi saya menangis nasib buruk diri ini.
Saya lahir ke dunia tanpa
mengenal Ibu. Tidak mengetahui siapa Ayah saya….”
“Hidup tak boleh dijalani
dengan penyesalan Bunga. Nasib diri Kakak jauh lebih menyedihkan. Ibu tak ada,
Ayahpun baru saja berpulang…”
“Kak, maksud Kakak Ayah Kakak
meninggal dunia?”
“Beliau tewas dibunuh orang!”
Lalu Andana menceritakan apa yang telah terjadi dengan Ayahnya.
Andana mengakhiri penuturannya
dengan menarik nafas dalam. “Nasib peruntungan kita boleh dikatakan tidak
berbeda…”
“Kakak, kemarin saja bertemu
dengan seorang pemuda. Wajahnya mirip benar dengan Kakak. Dia mengakui bernama
Wiro. Katanya dia sahabat Kakak. Betulkah?”
Andana mengangguk. “Saya tidak
tahu dimana dia sekarang…”
“Dia yang menolong saya dari
kekurang ajaran Tumenggung Rajo Langit…”
Andana tampak terkejut. “Ada
sesuatu yang terjadi rupanya Bunga?”
Bunga lalu menceritakan
kejadian kemarin pagi sehabis dia pulang mencuci di telaga.
“Tua bangka hidung belang!
Jadi manusia gaek tak tahu diri itu masih saja mengganggumu. Saya akan membuat
perhitungan dengannya. Dendam saya terhadap fitnah yang diaturnya hingga saya
masuk penjara masih berakar di dada ini. Dia akan menerima bagian dari saya…”
“Orang berpangkat seperti dia
sebaiknya jangan dilawan Kak. Nanti Kakak ditangkapnya lagi…”
Setelah terdiam sesaat Andana
akhirnya berkata. “Saya mau menjenguk makam Ibu sebentar. Kalau kau mau
menunggu nanti kita pulang sama-sama…”
Bunga tampak bimbang. “Kalau
kita jalan berduaan lagi seperti dulu, saya khawatir kita akan jadi
pergunjingan orang sekampung. Biar saya pulang saja lebih dulu.”
Andana mengangkat bahu. “Saya
mencintai kampung ini. Tapi mulut orang-orang di sini, pergunjingan mereka
terkadang melewati batas. Kalau kau ingin pulang lebih dulu terserah. Kakak
tidak bisa memaksa…”
Andana memegang tangan Bunga,
membantu gadis itu bangkit berdiri.
Pada saat itulah tiba-tiba
datang enam orang penunggang kuda. Orang ke tujuh yang rupanya menjadi pimpinan
mereka berada di sebelah depan. Dia bukan lain adalah Tumenggung Rajo Langit,
lelaki gaek yang tergila-gila dan ingin memperistrikan Bunga.
“Ha… ha! Anak Datuk Bandaro
Sati bercinta-cinta dengan seorang gadis baik-baik di pekuburanl!
Sungguh satu hal yang tidak
pantas dan memalukan! Apa kau anggap sudah tak ada lagi adat istiadat di negeri
ini?!”
Andana meskipun kaget masih
bisa berlaku tenang. Sebaliknya Bunga tampak ketakutan sekali. “Apa yang hendak
dilakukannya Kak? Pasti dia hendak menangkap Kakak…”
“Bunga! Menjauh dari pembunuh
itu!” berkata Tumenggung Rajo Langit sementara enam orang anak buahnya yang
rata-rata bertampang kasar beringas memperhatikan Bunga seperti hendak
menelanjangi gadis ini dengan mata mereka. Ketika Bunga tidak beranjak malah
sengaja merapatkan tubuhnya kepada Andana, Tumenggung Rajo Langit jadi mendidih
amarahnya. “Manusia buronan! Kau kutangkap saat ini juga! Kau ingin menyerahkan
diri secara baik-baik atau hendak melawan. Aku sarankan agar kau melawan saja
hingga aku punya alasan untuk menambas batang lehermu!”
“Hebat sekali!” tiba-tiba ada
satu suara keras menimpali ucapan Tumenggung Rajo Langit tadi.
Rajo Langit berpaling. Begitu
juga enam anak buahnya. Tak ketinggalan Andana dan Bunga.
Langsung saja Rajo Langit dan orang-orangnya
jadi terperangah. Di sebelah sana di atas sebuah tumbangan batang pohon yang
sudah mengering dan tercampak di tanah tegak seorang pemuda. Kecuali pakaian
dan ikat kepalanya yang serba putih, wajah, warna kulit dan potongan tubuhnya
mirip sekali dengan Andana.
“Eh, kenapa jadi dua?” Kata
Tumenggung Rajo Langit terheran-heran dalam hati. “Benar rupanya yang dikatakan
Sati pedagang keliling itu. Tapi aku tahu betul anak Datuk Bandaro Sati itu
tidak punya adik tidak punya kakak, saudara kembar. Apapun namanya! Tidak bisa
tidak dia pasti pemuda yang kemarin pagi memukulku tak jauh dari telaga!”
“Kakak…” bisik Bunga. “Ini
pemuda yang menolong saya itu…”
“Siapa kau berani mencampuri
urusan orang?!” sentak Tumenggung Rajo Langit. “Aku sahabat anak muda yang
hendak kau tabas batang lehernya itu. Kalau aku boleh meminta, tolong tabas
sekalian leherku. Ingin aku merasakan bagaimana rasanya kepala terpisah dengan
badan. Ha… ha… ha…!”
“Kakak,” bisik Bunga. “Dalam
keadaan seperti ini bagaimana orang itu masih bisa bergurau seenaknya…”
Andana menahan senyumnya.
“Tenang saja Bunga. Sifat pemuda Jawa ini memang begitu. Itu yang membuat saya
suka bersahabat dengannya….”
Seorang anak buah Tumenggung
Rajo Langit menyentakkan tali kekang kudanya, melompat ke hadapan Pendekar 212
Wiro Sableng yang tegak di atas batang kayu kering.
“Bangsat! Apa tak tahu kau
berhadapan dengan Tumenggung Rajo Langit?! Kau orang asing rupanya nah?!”
bentak anak buah sang Tumenggung dengan suara keras dan tampang ganas.
“Ah… ah! Aku berhadapan dengan
seorang Tumenggung dan enam ekor pengawalnya rupanya!”
“Keparat busuk!” anak buah
Tumenggung yang ada di hadapan Wiro mencabut goloknya. “Biar kubelah batok
kepalamu! Ingin kulihat apa isi otakmu!”
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Kawan….” katanya pada orang di depannya itu. Lalu enak saja dia mengarang.
“Kau tahu, di kampungku Tumenggung itu artinya biji kemaluan yang peot! Ha… ha…
ha…!”
Wuuuttt!
Anak buah Tumenggung Rajo
Langit melompat dari kudanya seraya membacokkan golok besarnya ke batok kepala
Pendekar 212. Gerakannya boleh juga dan jika goloknya mencapai sasaran pasti
apa yang dikatakannya yaitu membelah kepala pemuda itu benar- benar bisa
terjadi.
Semua orang yang ada di tempat
itu, kecuali Andana dan Tumenggung Rajo Langit tidak melihat jelas apa yang
terjadi. Tahu-tahu tubuh si penyerang berputar di udara, di lain kejap tubuh
itu terbanting keras tertelungkup di tanah. Tangannya masih memegang golok tapi
tubuhnya tak berkutik lagi. Ketika dagunya menghantam tanah dengan keras, orang
ini langsung pingsan dengan mata mendelik. Hebatnya ketika menangkap lengan dan
membanting orang itu ke tanah Pendekar 212 sedikit pun tidak beranjak dari atas
batang pohon kering yang diinjaknya.
“Kurang ajar! Anak-anak! Lekas
tangkap bangsat itu!” teriak Tumenggung Rajo Langit memerintah.
Lima anak buahnya serta meria
melompat turun dari kuda masing-masing. “Jangan ragu-ragu mencincang tubuhnya!”
teriak sang Tumenggung lagi. Mendengar ucapan itu lima orang melompat dari
punggung kuda masing-masing, begitu menjejakkan kaki di tanah langsung
menghunus senjata. Dua mencekal parang berkeluk, tiga membekal golok berkilat.
Melihat hal ini Andana cepat
bergerak. Tapi, sambil turun dari atas batang kayu tempatnya berdiri, Pendekar
212 mengangkat tangan seraya berkata. “Sahabat, kalau aku perlu bantuanmu nanti
aku bilang! Lagi pula kau harus melindungi gadis itu. Aku lihat ada kucing
dapur berhidung belang tapi bisa naik kuda dan berpakaian bagus di sini!” Mau
tak mau Andana terpaksa tak beranjak dari tempatnya. “Sahabat aneh! Dalam
keadaan seperti ini dia masih juga sempat melawak!” Kata Andana dalam hati.
Saat itu lima anak buah
Tumenggung Rajo Langit sudah menyerbu ke arah Wiro. Dengan tenang murid Sinto
Gendeng dari gunung Gede ini menyorongkan kaki kanannya ke bawah lekukan batang
pohon kering. Begitu lima lawan melompat ke arahnya, dengan cepat Pendekar 212
angkat kakinya. Batang pohon kering yang besar itu melesat ke depan. Lima anak
buah Tumenggung Rajo Langit berseru kaget. Hanya dua yang mampu menyelamatkan
diri. Tiga kawan mereka menggeletak roboh begitu batang kayu menghantam kepala
mereka dengan keras.
Amarah Tumenggung Rajo Langit
bukan alang kepalang. Apalagi kemarin diapun sudah lebih dulu kena dihajar oleh
Wiro. Namun otaknya masih bisa bekerja menyadari bahwa dengan ilmunya yang
begitu tinggi, pemuda berambut gondrong itu bukan lawan mudah untuk dihadapi.
Apalagi saat itu Andana belum ikut turun tangan. Memikir sampai di situ
Tumenggung Rajo Langit tarik tali kekang kudanya. Matanya memandang garang ke
arah Andana. “Aku memberi kesempatan tiga hari padamu. Jika kau tidak datang ke
Pagaruyung untuk menyerahkan diri, aku akan membawa pasukan dari Batusangkar
untuk menangkapmu!”
“Tua bangka buruk!” balas
Andana. “Jika kau berani lagi muncul di Pagaralam ini, apalagi berani
mengganggu gadis ini, aku bersumpah untuk membunuhmu!”
“Ah!” Tumenggung Rajo langit
menggoyang-goyangkan tangan kanannya. “Soal gadis itu jangan kau jadikan satu
dengan urusan dirimu yang pelarian penjara! Kau dengar baik-baik ucapanku ini
anak muda pembunuh! Bunga tak akan pernah kau miliki…. Aku sudah ditakdirkan
untuk mendapatkannya, menjadikannya sebagai istriku! Ha… ha… ha…!”
“Siapa sudi jadi istrimu! Tua
bangka tak tahu diuntung!” teriak Bunga.
Sang Tumenggung terus mengumbar
tawa dan kembali dia goyang-goyangkan tangan kanannya.
“Kau belum tahu siapa
Tumenggung Rajo Langit. Aku memang sudah gaek. Tapi sekali kau tidur denganku,
seumur hidup kau akan menjadi hamba sahaya minta kulayani siang malam!”
“Manusia mesum bermulut
kotori” teriak Andana. Sekali lompat saja dia berhasil menarik pinggang pakaian
Tumenggung itu lalu membetotnya kuat-kuat. Kuda sang Tumenggung meringkik
keras. Tumenggung itu sendiri jatuh berdebam ke tanah. Begitu dia mencoba
bangkit Andana siap melayangkan jotosan keras ke mukanya. Tapi tiba-tiba sekali
lelaki tua itu menyorokan sebilah pisau berkeluk ke perut si pemuda. Bunga
berteriak. Andana masih sempat melihat serangan itu. Kaki kirinya bergerak.
Sekali tendang saja pisau berbentuk aneh itu mencelat mental dan menancap di
batang pohon Kemboja.
Tumenggung Rajo Langit
berteriak kesakitan sambil pegangi lengan kanannya yang serasa hancur kena
tendangan. Lelaki tua ini cepat berdiri ketika dilihatnya Andana mendatangi,
siap menghajarnya kembali.
Tanpa pikir panjang lagi dia
segera ambil langkah seribu. Dua orang anak buahnya segera pula menghambur
lari, meninggalkan empat kawan mereka yang pingsan berkaparan.
Wiro melangkah ke arah pohon
Kemboja. Batang pohon yang ditancapi pisau berkeluk milik Tumenggung Rajo
Langit tadi tampak menghitam. Warna hitam ini dalam waktu singkat menjalar ke
seluruh cabang dan ranting. Daun-daun pohon yang tadinya hijau juga tampak
menghitam. Lalu bunga-bunga Kemboja yang kuning putih itu kelihatan layu
berubah warna menjadi kelabu.
“Racun jahat luar biasa! Tak
pernah aku melihat racun senjata sedahsyat ini!” kata Pendekar 212 lalu
dicabutnya pisau berkeluk dari batang pohon dan diperlihatkannya pada Andana
yang saat itu melangkah bersama Bunga ke arahnya.
Andana memperhatikan senjata
itu sejenak lalu berkata. “Aku menaruh syak sasangka. Jangan-jangan Tumenggung
keparat itu yang telah membunuh Ayahku!”
“Bisa jadi. Cuma saja kita
harus mendapatkan bukti-bukti. Hati-hati terhadapnya sahabat.
Ancamannya akan mendatangkan
pasukan dari Batusangkar tadi kurasa tidak main-main… Kudengar di sana ada
senjata panjang yang bisa meletus. Aku tak tahu namanya…”
“Senapan…” kata Andana.
“Bedil!” ucap Bunga.
Pendekar 212 tersenyum.
“Kalian berdua seperti pinang dibelah dua. Yang seorang kuntum Bunga indah dan
harum di seluruh negeri. Yang satunya Harimau Singgalang…”
“Harimau Singgalang…? Kak,
dari mana kau dapat julukan itu?” tanya Bunga seraya berpaling pada Andana.
“Aku sendiri tidak tahu. Itu
pasti bisa-bisanya saja mengarang!” jawab Andana.
Sewaktu dua remaja itu
memandang ke samping, Pendekar 212 tak ada lagi di tempat itu. Dia sudah berada
jauh di depan sana. Melangkah cepat sambil sekali-sekali menoleh ke belakang
dan melambai-lambaikan tangannya.
* * *
DUA BELAS
HARI memasuki senja kita
Andana sampai di depan rumah kayu yang terletak di kawasan kebun yang tak
begitu terpelihara. Dari celah-celah dinding papan menyeruak cahaya lampu
minyak tanda penghuninya ada di dalam. Kesunyian yang hanya dibisingi suara jengkerik
membuat Andana merasa kurang enak. Setiap gerakan yang dilakukannya penuh
kewaspadaan. Di satu tempat pemuda ini turun dari kudanya. Dia melangkah cepat
namun hati-hati menuju bagian depan rumah kayu. Tak lama kemudian dia mulai
mengetuk.
Pada ketukan ke empat
terdengar suara orang bertanya dari dalam. Suara perempuan. “Siapa di luar?”
“Seorang sahabat ingin bertemu
dengan Udin Burik,” jawab Andana.
Diam sesaat. Lalu terdengar
suara perempuan tadi bertanya. “Tamu baik-baik tentu mempunyai nama.
Harap memberitahu.”
“Nama saya, Andana. Katakan
pada Udin Burik agar keluar menemui saya.”
Tak ada jawaban dari dalam.
Malah tiba-tiba lampu minyak di dalam rumah dipadamkan orang. Tak lama kemudian
terdengar langkah-langkah kaki di lantai papan. Telinga tajam Andana tahu betul
ada dua orang yang melangkah di dalam rumah. Yang pertama bergerak ke arah
belakang sedang yang kedua menuju pintu depan. Benar saja, tak lama kemudian
pintu depan terbuka. Seorang perempuan gemuk yang mukanya berbedak tebal, alis
dan gincu bercelemotan muncul di ambang pintu.
“Ya…?”
“Saya sahabat Udin Burik. Saya
ingin bertemu dengannya. Dia tentu ada di dalam.”
“Saya istrinya. Suami saya
sedang ke Batusangkar. Mungkin Besok baru pulang.”
Andana tahu kalau si gemuk
yang mengaku istri Udin Burik ini berdusta padanya. Dusta bahwa lelaki itu
tidak ada di rumah dan mungkin juga dusta dia adalah istrinya.
“Maaf, saya tidak percaya pada
Uni. Boleh saya masuk memeriksa?” (Uni = sebutan untuk perempuan yang lebih
tua).
“Saya seorang perempuan.
Seorang diri di rumah ini. Hari malam pula. Tamu tak saya kenal ingin masuk.
Tahu diri dan tahu adatlah sedikit…” kata perempuan gemuk itu. Tapi anehnya dia
berkata begitu sambil tersenyum dan mengedipkan mata kirinya.
“Maafkan saya. Kalau begitu
biar besok siang saja saya kembali ke sini…”
“Tunggu,” kata si gemuk
setengah berbisik. “Hari sudah malam. Uda ini tentu datang dari jauh. Kalau
suka masuklah sebentar. Biar saya buatkan kopi manis…” Habis berkata begitu
perempuan itu memandang ke kiri dan ke kanan. “Tak ada orang. Jadi tak ada yang
melihat kita. Asal Uda tidak lama-lama bereslah….”
katanya sambil tersenyum dan
lagi-lagi mengedipkan matanya. (Uda = panggilan terhadap lelaki yang lebih
tua).
“Terima kasih. Saya masih ada
keperluan lain,” jawab Andana lalu memutar tubuh dengan cepat.
Perempuan gemuk di ambang
pintu nampak kecewa. Ditutupkannya pintu dengan kesal.
Di dalam gelap Andana bergerak
cepat menuju bagian belakang rumah. Disini dia mengendap di balik serumpun
belukar.
Dia tidak menunggu lama. Dari
balik sebuah sumur keluar satu sosok tubuh, melangkah cepat menuju pintu
belakang rumah. Orang ini bukan lain adalah Udin Burik. Lelaki bermuka bopeng
yang beberapa tahun lalu memberi kesaksian di hadapan Tumenggung Rajo Langit bahwa
dia melihat Andana membunuh Sarkam, seorang pemuda sekampung di Pagaralam
setelah terjadi satu perkelahian. Tentu saja Udin Burik tergagau kaget ketika
Andana tiba-tiba muncul menghadang di depannya. Wajahnya yang bopeng berubah
sepucat kertas. “An… Andana…”
Andana cepat mencekal leher
pakaian Udin Burik. “Perempuan gemuk di dalam rumah mengatakan kau pergi ke
Batusangkar. Baru besok pulang. Rupanya kau kembali lebih cepat!” Andana
mendorong Udin Burik hingga tersandar ke dinding belakang rumah.
“A… apa maumu Andana?”
“Ingat tiga tahun lalu waktu
kau muncul di hadapan pengadilan nagari di Pagaruyung. Di hadapan Tumenggung
Rajo Langit kau memberi kesaksian bahwa kau menyaksikan aku membunuh Sarkam,
pemuda yang menurutmu sudah sejak lama punya silang sengketa dengan diriku!”
“Dengar…. aku…. aku…”
“Siapa yang menyuruhmu
memberikan kesaksian palsu? Siapa yang membayarmu?! Tumenggung Rajo Langit
sendiri?!”
“Aku… aku memang melihatmu
membunuh….”
Plaakk!
Andana tampar muka Udin Burik
sekeras-kerasnya hingga sudut bibir orang ini pecah dan mengucurkan darah.
“Jangan kira aku tidak tega meremukkan kepalamu, bopeng! Bicara yang benar!”
sentak Andana seraya menjambak rambut Udin Burik dengan tangan kirinya
kuat-kuat. Tangan kanannya dikepalkan lalu dihantamkan ke dinding kayu di
samping kepala Udin Burik.
Braaakk!
Dinding yang.terbuat dari kayu
keras itu hancur berantakan. Di dalam rumah terdengar pekik perempuan gemuk
sedang Udin Burik sendiri menggigil sekujur tubuhnya. Kedua matanya terbuka
lebar tanda dia dilanda rasa takut yang amat sangat.
Andana meletakkan tinju
kanannya di depan hidung lelaki bermuka bopeng itu. “Mau bicara atau
kuhancurkan kepalamu saat ini juga!” Mengancam Andana.
Udin Burik putus nyalinya.
“Jangan….Jangan pukul ambo. Saya akan bicara. Saya disuruh orang. Saya dipaksa.
Kalau tidak mau saya….” (ambo = saya)
“Katakan siapa orangnya!”
bentak Andana.
“Di… dia…”
Andana mendengar daun
bergemerisik di belakangnya, menyusul ada suara berdesing. Secepat kilat pemuda
ini merunduk sambil membuang diri ke kiri. Saat itu terdengar Udin Burik
mengeluarkan suara seperti orang tercekik. Ketika Andana memandang ke depan
dilihatnya sebilah pisau menancap dalam di leher Udin Burik. Gagang senjata ini
berukir tengkorak manusia. Kedua mata Udin Burik terbeliak besar. Dia mengerang
pendek lalu tubuhnya melosoh jatuh. Terduduk sebentar akhirnya terguling roboh
tanpa nyawa lagi.
Ketika mendengar suara semak
belukar bergemerisik di belakangnya, serta merta Andana berbalik dan lepaskan
pukulan “inti api”. Sinar merah menderu menebar hawa panas. Lidah api
menggebubu. Semak belukar di depan sana hancur berantakan berubah bentuk
menjadi puntungan-puntungan kayu yang terbakar.
Lapat-lapat terdengar suara
orang mengeluh kesakitan. Andana cepat mengejar. Tapi terlambat. Di kejauhan
terdengar suara derap kaki kuda dipacu meninggalkan tempat itu.
“Hemmm… siapapun orang yang
kabur itu, pukulanku pasti sempat menciderai dirinya.” Kata Andana dalam hati.
Pemuda ini membalik cepat ketika dari arah rumah didengarnya suara jeritan
perempuan. Pemuda ini bergegas ke tempat Udin Burik tadi terkapar. Di situ
dilihatnya perempuan gemuk itu duduk terhantar dekat sosok mayat Udin Burik.
Begitu melihat Andana langsung saja dia berteriak.
“Pembunuh! Pembunuh!”
“Bukan saya yang membunuh
Uni,” kata Andana. Dengan cepat dicabutnya pisau yang menancap di leher Udin
Burik.
Darah menyembur. Perempuan
gemuk itu kembali menjerit keras lalu roboh pingsan. Andana sendiri cepat-cepat
kembali ke tempat dia meninggalkan kudanya.
* * *
TIGA BELAS
DATUK Gampo Alam duduk di
anjungan rumah gadang menikmati kopi dan juadah ditemani oleh dua dari empat
orang istrinya. Ketika dia hendak meneguk kopinya kembali, telinganya mendengar
suara di kejauhan. Sang Datuk memang memiliki ilmu kepandaian tinggi hingga
tidak seperti orang biasa dia sanggup mendengar suara yang datang dari tempat
jauh.
“Pasti dia. Tamu yang ditunggu
sudah datang!” kata Datuk Gampo Alam dengan senyum dikulum sambil mengusap-usap
dagunya. “Kemenakanmu, putra Datuk Bandaro Sati sebentar lagi akan menginjakkan
kakinya di rumah gadang ini!” Sang Datuk geleng-gelengkan kepalanya. Dia
berpaling pada kedua istrinya.
“Kalian berdua masuklah. Suruh
si Atun menyiapkan minuman dan juadah tambahan untuk keponakanku Andana.”
Zubaidah, istri tertua Datuk
Gampo Alam dan Rukiah istri keempat yang paling muda sama-sama berdiri. Di
ruang dalam dua istri yang saling akur di antara empat istri Datuk Gampo Alam
bicara perlahan-lahan.
“Saya banyak mendengar cerita
tentang kemenakan Datuk yang.bernama Andana itu.” kata Rukiah sang istri paling
muda.
“Tapi saya belum pernah
melihat orangnya. Kata orang dia masih muda, gagah dan kekar potongan tubuhnya.
Biar saya mengintai sejenak.”
“Kalau sampai Datuk tahu
perbuatanmu, mati kau dilecutnya!” kata Zubaidah pula.
Datuk Gampo Alam bangkit dari
duduknya. Dia melangkah ke ruangan tengah dan tegak di belakang jendela. Seekor
kuda besar memasuki halaman rumah gadang dan berhenti di bawah tangga.
Penunggangnya seorang pemuda berikat kepala kain merah, berbaju merah dan
celana hitam.
“Tuhan Maha Besar. Sampai juga
akhirnya anak ini dengan selamat ke sini!” kata sang Datuk, lalu bergegas
menuruni tangga rumah gadang. Di depan tangga paman dan kemenakan ini saling
berpandangan sejenak lalu sama-sama berangkulan erat.
“Kedatanganmu memang sangat
Mamak harapkan. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Paman lihat kau sudah
jauh lebih dewasa…. Tambah gagah! Pasti banyak gadis yang akan jatuh hati
padamu!” Datuk Gampo Alam tertawa bergelak. “Kemana saja kau menghilang selama
ini, Andana?”
“Nasib membuat saya terdampar
di negeri Asahan,” jawab Andana.
“Negeri Asahan! Ah, itu negeri
indah bertanah subur. Tunggu! Kalau kau tidak salah di situ ada seorang saleh
berkepandaian tinggi bernama Datuk Alis Merah.”
“Betul Paman. Saya beruntung
diambil jadi muridnya,” jawab Andana polos.
Sepasang mata Datuk Gampo Alam
membesar. Kalau benar dia telah berguru dengan orang sakti itu “Pasti dia sudah
menguasai ilmu pukulan Inti api yang hebat itu,” membatin Datuk Gampo Alam.
Lalu dia menepuk-nepuk bahu Andana dan mengajak kemenakannya ini naik ke atas
rumah gadang.
Di atas rumah gadang mamak dan
kemenakan ini duduk berhadap-hadapan. Datuk Gampo Alam berteriak memanggil
pembantu. “Atun! Tamu sudah datang! Mana minuman?!”
Kening Datuk Gampo Alam
berkerut ketika yang keluar membawa baki berisi kopi dan juadah bukannya Atun
perawan tua pembantu di rumah gadang, melainkan Rukiah, istrinya paling muda
dan paling cantik.
“Mana si Atun?” sentak Datuk
Gampo Alam.
Rukiah meletakkan baki di
lantai. Sekilas dia mengerling pada Andana baru menjawab pertanyaan suaminya.
“Atun sedang ke air Datuk….”
Datuk Gampo Alam menyentakkan
lehernya dua kali. “Seharusnya Zubaidah yang membawakan kopi dan juadah ini.
Mengapa harus kau? Mana perempuan itu?!” Nada suara sang Datuk jelas
menunjukkan rasa cemburu.
“Saya atau kak Zubaidah sama
saja Datuk. Saya hanya tak mau membuat tamu kita ini menunggu terlalu lama.
Nanti Datuk marah pula pada saya.”
“Ah… kau memang pandai
bicara!” kata Datuk Gampo Alam. “Lekas masuk ke dalam!”
Sang Datuk mempersilahkan
kemenakannya mencicipi hidangan. Setelah Andana meneguk kopinya sang Datuk
berkata. “Tadi itu Rukiah. Istriku paling muda. Jadi ibumu juga….”
Dalam hati Andana berkata.
“Bagaimana aku akan memanggil Ibu padanya, Usianya saja pasti beberapa tahun
lebih muda dariku!”
“Mamak mendengar kalau kau
sudah berada di Pagaralam ini kemarin. Lalu dimana saja kau menginap malam
tadi, Andana?” bertanya Datuk Gampo Alam.
“Mamak betul. Saya memang
datang kemarin. Maafkan kalau saya tidak segera menemui Paman.
Saya bermalam di surau….”
“Di surau?” ujar Datuk Gampo
Alam, lalu dia tertawa panjang. “Andana, rumah gadang ini adalah rumah warisan
nenek moyang kita, warisan Ayahmu, jadi rumahmu juga. Selayaknya kau menginap
di rumah ini. Bukankah di sini kau dilahirkan dan dibesarkan….? Aku hanya
menjadi penghuni sementara atas persetujuan Ayahmu karena sejak Ibumu meninggal
dia lebih suka mengelana ke berbagai negeri.”
Andana tak menjawab. Pemuda
ini menundukkan kepala.
“Ada apa Andana?” tanya Datuk
Gampo Alam.
“Ayah sudah tak ada lagi
Paman….”
Dua bola mata Datuk Gampo Alam
membesar. Dia tampak sangat terkejut mendengar kata-kata kemenakannya itu.
Manusia satu ini sungguh pintar berpura-pura. “Apa katamu Andana?”
“Ayah saya Datuk Bandaro Sati
mati dibunuh orang secara gelap. Dalam keadaan sekarat tubuhnya ditemukan
seseorang di tepi Ngarai Sianok.” Andana lalu menceritakan apa yang telah
terjadi dengan diri Ayahnya.
“Pembunuh jahanam! Setan!”
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya dua kali. “Siapa yang nekad membunuh
kakakku begitu keji?! Setahuku ayahmu tak pernah punya musuh!”
“Saya curiga pada Tumenggung
Rajo Langit….-
“Hati-hati kalau bicara
Andana. Apa alasanmu curiga pada Tumenggung itu….?”
“Saya tahu, dia yang mengatur
rencana memfitnah saya hingga dijebloskan dalam penjara. Saya tak tahu apa yang
ditujunya…”
“Kalau kau bisa mendapatkan
bukti-bukti perbuatan busuknya, aku akan membantumu membuat perhitungan dengan
Tumenggung itu. Tapi ingat kita harus hati-hati. Tumenggung Rajo Langit bukan
orang berilmu, tapi dia punya kekuasaan dan sanggup menghimpun kekuatan besar
untuk mencelakaimu. Sekali lagi kau sampai tertangkap olehnya tak bakal ampun
Andana. Ingat itu baik-baik…”
“Terima kasih Mamak,” kata
Andana pula.
Datuk Gampo Alam mengangguk.
“Ayahmu seperti orang yang sudah punya firasat, Kali terakhir dia bertemu
dengan Paman, dia menyerahkan sebuah Surat Wasiat…”
“Surat Wasiat?” ulang Andana.
“Surat Wasiat apa Paman?”
“Sudah, nanti saja kita
bicarakan hal itu. Kau tahu, aku sudah menyuruh orang di belakang untuk
memotong lima ekor ayam sekaligus. Kita makan besar siang ini. Selain itu kamar
tidurmu juga sudah disiapkan. Lantainya diberi permadani dari Turki. Tempat
tidurnya besar. Bantal dan gulingnya empuk.
Tilamnya ditaburi bunga melati
hingga kamar tidur itu selalu harum siang dan malam. Ayo, aku ingin perlihatkan
kamar tidur itu padamu….”
Sebenarnya Andana segan
mengikuti Pamannya itu. Tapi sang Paman seperti memaksa. Akhirnya pemuda ini
berdiri juga dan melangkah mengikuti Datuk Gampo Alam menuju sebuah kamar di
ujung kiri yang pintunya tertutup. Perlahan-lahan Datuk Gampo Alam mendorong
daun pintu. Kamar di balik pintu itu tampak agak gelap karena tak satu
jendelapun yang terbuka. Datuk Gampo Alam melangkah masuk sambil memberi
isyarat pada Andana agar mengikutinya.
Andana memandang sekeliling
kamar. Semua serba bersih. Ini dulu memang kamar tidurnya. Namun sekarang
keadaannya jauh berbeda. Di lantai ada permadani tebal.
“Ini kamarmu. Kau harus tidur
di sini malam ini,” kata Datuk Gampo Alam.
“Saya sudah dewasa Paman.
Tidak pantas lagi tidur di rumah gadang. Biar saja saya tidur di surau.”
Datuk Gampo Alam tertawa
lebar. “Adat kita orang Minang memang harus dijunjung. Tapi kalau hanya untuk
semalam dua apa salahnya? Itu tandanya kau cinta pada rumah gadang tempat kau
dilahirkan dan dibesarkan.” Andana tak menjawab.
“Agak gelap kamar ini. Andana,
tolong kau bukakan jendela-jendela di samping kanan itu. Agar udara segar bisa
masuk dan cahaya matahari dapat menerangi….”
Andana melangkah ke deretan
jendela di samping kanan kamar. Ada tiga buah jendela besar di situ. Dua
langkah lagi akan sampai di jendela Andana merasakan ada getaran aneh pada
lantai di bawah permadani yang dipijaknya. Meskipun hatinya mendadak tidak enak
namun pemuda ini meneruskan langkahnya juga. Dia membuka jendela sebelah
tengah. Begitu daun jendela terbuka tiba-tiba ada suara seperti benda ditarik.
Menyusul suara berdesing dari
arah belakang.
“Andana! Awas pisau terbang!”
teriak Datuk Gampo Alam.
Tanpa diberi ingatpun Andana
sudah mengetahui adanya bahaya mengancam. Secepat kilat dia melompati jendela
dan terjun ke halaman bawah pada ketinggian hampir dua tombak.
Sebilah pisau yang panjangnya
sekitar dua jengkal menancap di kayu sanding jendela. Untuk beberapa saat
lamanya dari bawah sana Andana memperhatikan gagang pisau yang bergetar. Wajah
pemuda ini tampak berubah tegang. Otaknya bekerja. Pisau terbang itu melesat
sesaat setelah dia menginjak bagian lantai dekat jendela kamar.
“Ada orang memasang peralatan
rahasia hendak membunuhku.” Kata Andana dalam hati. “Tapi siapa? Pamanku
sendiri?”
Datuk Gampo Alam bergegas
menuruni tangga. “Kau tak apa-apa Andana?”
“Saya tak kurang suatu apa
Paman. Ada orang hendak membunuh saya secara pengecut… Saya yakin jika saya
memeriksa lantai di bawah sana, saya akan menemukan peralatan itu.”
Wajah Datuk Gampo Alam tampak
mengelam. “Ada musuh gelap di rumah gadang ini! Kemenakanku sendiri hendak
dibunuh bulat-bulat di hadapanku! Setan! Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya
sampai empat kali. Lalu dia melangkah cepat ke kolong rumah gadang. Tepat di
lantai kamar dia memeriksa. “Kurang ajar! Memang ada peralatan jahanam
disusupkan orang di sini!” teriak sang Datuk marah. Lalu tangannya merenggutkan
beberapa potong kayu dan tali serta kawat. Kemarilah! Kau lihat sendiri
benda-benda keparat
ini!” teriak Datuk Gampo Alam.
Tapi sang kemenakan sudah melompat ke atas kudanya. Datuk Gampo Alam cepat
mengejar.
“Andana aku bersumpah akan
mencari siapa yang memasang peralatan rahasia ini! Aku akan bersihkan seluruh
rumah gadang ini! Dengar Andana, kalau malam ini kau tak mau menginap di sini,
tapi hari rabu tiga hari lagi kau harus bermalam di sini. Esok paginya hari
kamis aku sudah merencanakan untuk melakukan pesta besar menyambut
kedatanganmu….”
“Apa perlu hal itu diadakan
Mamak?” tanya Andana.
“Perlu! Perlu sekali. Pertama
karena aku bahagia kau kembali ke Pagaralam ini. Kedua aku ingin menunjukkan
pada Tumenggung di Pagaruyung bahwa kau adalah kemenakanku. Tidak satu orangpun
yang layak mengganggumu, termasuk dia!”
Andana tak berkata apa-apa.
Disentakkannya tali kekang kudanya hendak meninggalkan tempat itu.
“Tunggu dulu Andana,” kata
Datuk Gampo Alam sambil memegang tali kekang kuda. “Ada satu hal yang hendak
aku tanyakan. Setahuku Ayahmu memiliki sebilah keris sakti bertuah. Tuanku Ameh
Nan Sabatang. Sewaktu mayatnya dibawa pemuda yang sekarang menjadi sahabatmu
itu, apakah senjata itu ada pada sosok Ayahmu?”
Andana menggeleng. “Keris itu
lenyap.”
“Pasti pemuda Jawa itu yang
mengambilnya!”
“Tidak, saya dan Uning Ramalah
telah menyelidiki.
Keris itu tak ada pada sahabat
saya Wiro…” kata Andana pula tanpa menceritakan bahwa senjata tersebut sekarang
berada padanya, muncul secara aneh di tempat gurunya di Asahan.
“Kakakku Uning Ramalah, apakah
dia ada memesankan sesuatu padamu?” tanya Datuk Gampo Alam lagi. “Misalnya
mengenai urusan rumah gadang ini?”
“Tidak ada pesan apa-apa.
Seingat saya dia sudah tidak mau mencampuri urusan dunia lagi. Termasuk rumah
gadang ini walau sebagai anak perempuan dia mempunyai hak yang terbesar….”
Datuk Gampo Alam usap-usap
dagunya. Dia tidak berusaha menahan lagi ketika Andana bergerak meninggalkan
tempat itu. Sesaat setelah Andana pergi Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya.
Kaki kanannya dibantingkan ke tanah. Tinjunya dikepalkan.
“Jahanam! Mengapa bisa gagal!
Setan betul! Tapi tunggu saja. Masih ada seribu cara untuk menyingkirkan anak
itu!”
* * *
EMPAT BELAS
PINTU depan terdengar diketuk
orang. Mamak Rabiah dan Bunga sesaat saling berpandangan.
“Siapa?” bertanya Mamak
Rabiah. “Ambo Etek Rabiah,” terdengar jawaban orang laki-laki. (Etek =
panggilan untuk perempuan yang jauh lebih tua).
“Ambo siapa?” “Ambo Palindih!
Bunga memandang pada Mak
Rabiah. “Pembantu Datuk Gampo Alam,” kata Mak Rabiah. “Perlu apa dia datang
kemari?” Perempuan ini melangkah ke pintu dan membukanya. Di ambang pintu orang
bernama Palindih membuka destar hitamnya lalu membungkuk memberi hormat.
“Sudah lama kau tidak
kelihatan Palindih. Sudah jadi orang besar awak sekarang ya? Masuklah….”
Palindih masuk ke dalam seraya
melirik pada Bunga. “Mujur sekali saya hari ini. Kalian berdua ada di rumah….”
“Ceritakan maksud kujunganmu
ini Palindih,” kata Mamak Rabiah.
“Kalau pembantu Datuk Gampo
Alam datang pasti ado barito gadang yang membawa keberuntungan!” Palindih
tertawa mengekeh.
“Keberuntungan bagimu belum
tentu keberuntungan bagi kami,” kata Mamak Rabiah pula. “Lagi siapa orangnya di
Pagaralam ini yang tidak tahu kalau Datuk itu sangat kikirnya!”
“Ah, jangan begitu. Datuk
memang kikir pada orang-orang yang malas. Tidak pada orang-orang seperti kita
ini.” Palindih melirik pada Bunga. Setelah membasahi bibirnya dia melanjutkan
kata-katanya.
“Begini Etek Rabiah. Etek dan
Bunga tentu sudah mendengar kabar bahwa Andana, kemenakan kontan Datuk Gampo
Alam telah pulang dari rantau. Kegembiraan Datuk bukan alang-kepalang. Dia
berniat menyelenggarakan pesta besar untuk menyambut kepulangan si anak hilang
itu. Saya dipercayai untuk mengatur dan menyusun acara. Lima kambing dan seekor
sapi rebah. Belum terhitung ayam dan itik….
Beberapa juru masak terkenal
sengaja didatangkan dari Batusangkar.”
“Wah, tentu besar sekali
pukulanmu sekali ini Palindih,” kata Mamak Rabiah sementara Bunga tetap berdiam
diri.
“Urusan macam begini memang
Palindih ahlinya,” kata Palindih sambil tertawa lebar. “Kita tak boleh
mengecewakan Datuk. Di samping itu saya rasa sudah lama Pagaralam tidak
disemarak oleh keramaian.
Karenanya sengaja saya
merencanakan pertunjukan yang bagus-bagus. Tari piring di atas kaca. Debus.
Lalu yang paling meriah tentunya Tari Gelombang tari persembahan. Nah, untuk
Tari Gelombang itu siapa lagi pembawa sirihnya yang dapat dan pantas
ditampilkan kalau bukan anak Mamak yang cantik jelita ini…”
“Mengapa musti saya?” tanya
Bunga untuk pertama kalinya bersuara.
Palindih tertawa. “Katakanlah,
apa ada gadis lain yang lebih cantik dari anak Mamak ini di Pagaralam?
Pagaruyung bahkan Batusangkar sekalipun putus tembus oleh kecantikannya!”
“Palindih, apakah Datuk Gampo
Alam sendiri yang menyuruh kau memilih Bunga?”
“Ketahuilah Etek Rabiah. Sudah
sejak lama Datuk tidak banyak tahu tentang keadaan negeri ini. Apa lagi sejak
dia menikahi Rukiah, istri ke empatnya yang patut jadi anak bahkan cucunya.
Tapi kecantikan Rukiah tidak dapat dibandingkan dengan kecantikan Adik saya
ini. Bukan Mak, bukan Datuk yang memilih Bunga, tapi saya Palindih yang cerdik
ini yang tahu dan pandai memilih!”
Mamak Rabiah dan Bunga untuk
beberapa saat lamanya saling pandang tak berkata apa-apa.
“Hai! Palindih tak punya waktu
lama. Orang penting seperti saya ini banyak urusannya! Bagaimana jawaban Mamak
Rabiah?”
“Lagakmu Palindih, hebat
sekali. Kau tanyakan sendirilah pada anak ini.”
Palindih berpaling pada Bunga.
Gadis itu justru menunduk. Namun sesaat kemudian terdengar dia berkata.
“Terserah pada Mamak Rabiah. Baik kata Mamak baik pula bagi saya.”
Mamak Rabiah menatap paras
Bunga sesaat. Dia melihat bayangan keinginan pada wajah gadis itu untuk
memenuhi permintaan Datuk Gampo Alam. Namun sekilas perempuan ini juga melihat
adanya rasa kekhawatiran. Mamak Rabiah merenung sejenak. Kemudian dia berpaling
pada Palindih. “Baiklah. Kami menerima permintaan itu.”
Palindih berseru gembira dan
melompat-lompat.
“Palindih! Jangan
melompat-lompat. Lantai rumahku sudah lapuk. Bisa roboh rumah ini nanti!”
“Saya gembira Etek.
Benar-benar gembira….”
“Tapi ada satu hal yang harus
kau ketahui Palindih…”
“Eh, apa itu Etek? Soal
hadiah? Jangan khawatir!”
“Bukan. Bukan soal itu. Kami
tidak mengharap hadiah apa lagi meminta bayaran. Kami hanya ingin kau tahu
bahwa kami menerima permintaan itu bukan memandang muka Datuk Gampo Alam,
apalagi mukamu yang buruk ini!”
Palindih mengusap-usap mukanya
yang memang beruntusan lalu tertawa perlahan. “Lalu apa alasan Etek dan bunga
menerimanya? Saya jadi binggung..”
“Semata-mata karena memandang
pemuda bernasib malang bernama Andana itu. Yang menurut seorang sahabatnya
mempunyai julukan Harimau Singgalang.”
“Harimau Singgalang? Baru
sekali ini saya dengar hal itu. Tapi sudahlah… Yang penting saya sudah tahu
anak Mamak mau jadi pembawa sirih dalam Tari Gelombang nanti. Saya minta diri
sekarang…” Dengan sikap lucu Palindih membungkuk di hadapan kedua perempuan
itu. Lalu dia melangkah mundur. Sampai di pintu langsung melompat. Tapi kakinya
terpeleset. Akibatnya dia jatuh terduduk dan terbanting punggung di tanah yang
agak becek. Bunga dan Mamak Rabiah tertawa gelak-gelak. Setengah merintih
Palindih mencoba bangkit dan melangkah pergi terbungkuk-bungkuk sambil
memegangi celananya.
* * *
LIMA BELAS
KESUNYIAN malam dirobek oleh
suara derap kaki dua ekor kuda yang berlari cepat beriringan menuju ke timur.
Dua pemuda yang menunggangi binatang itu tak bisa memacu lebih cepat karena
jalan yang ditempuh hanya merupakan jalan setapak. Kiri kanan jalan ditumbuhi
semak belukar lebat dan gelapnyamalam bukan kepalang.
Tiba-tiba jauh di ujung jalan
terdengar suara tiupan saluang yang sesekali ditimpali suara nyanyian.
Andana memperlambat lari
kudanya. Dia berpaling ke belakang pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Tak lama
kemudian dalam gelapnya malam Andana dan Wiro menyaksikan satu pemandangan
aneh. (saluang = sejenis suling berukuran besar)
Di tengah jalan setapak yang
hendak mereka lewati tampak seorang kakek duduk menjelepok di tanah, asyik
meniup saluang. Orang tua mi mengenakan destar dan pakaian serba putih.
“Orang aneh,” kata Andana
berbisik pada Wiro. Yang diajak bicara anggukkan kepala sambil memandang tak
berkesip pada orang tua yang duduk di tengah jalan itu. Dia tak dapat jelas
melihat wajah si orang tua. Selain gelap orang tua ini selalu menundukkan
kepala.
Orang tua hentikan tiupan
saluangnya lalu terdengar dia menyanyi.
Orang Kurai pergi berlayar
Mengarung ombak ke tanah Jawa
Jangan percaya manusia ular
Mulut manis mengandung bisa
Kalau tua menanam Melur
Gali tanah tancap akarnya
Orang pandai kalau tidur
Mata nyalang telinga terbuka
“Nyanyiannya enak juga,” kata
Wiro. “Coba kau tanyakan mengapa malam-malam begini dia nongkrong di sini,
bernyanyi dan meniup suling. Sepertinya dia sengaja menghadang jalan kita.
Bertanyalah dengan sopan. Dia bisa saja seorang musuh, bisa pula seorang
sahabat.”
Andana turun dari kudanya lalu
bertanya. “Orang tua di tengah jalan. Maafkan kami berdua. Kami hendak lewat,
mohon diberi jalan. Suara nyanyianmu bagus. Kami ingin mendengar lebih lama.
Tapi kami ada urusan di tempat lain. Kalau boleh bertanya mengapa kau justru
menyanyi di tengah jalan dan malam-malam seperti ini?”
Orang yang ditegur menyahut
tidak, angkat kepalapun tidak. Malah dia enak saja meniup saluangnya lalu
kembali menyanyi.
Keris emas keris pusaka
bertuah
Senjata ampuh sakti mandraguna
Kalau mau selamat hidup di
dunia
Pasang mata pasang telinga
Pintu hati harap dibuka
Andana jadi terkesiap
mendengar bunyi pantun dalam nyanyian orang tua itu yang menyebut-nyebut keris
emas keris pusaka bertuah. Bagaimanakah tidak karena saat itu dia membekal
keris Tuanku Amen Nan Sabatang. Senjata warisan Ayahnya yang didapatnya secara
gaib di Asahan tempo hari.
“Apakah orang tua ini tahu
perihal keris emas yang kubawa?” Tanya Andana dalam hati. Lalu untuk kedua
kalinya pemuda ini meminta jalan.
Orang tua itu turunkan
tangannya yang memegang saluang. Mulutnya terdengar berucap. “Telinga tua ini
sudah tuli hingga tak mendengar orang meminta jalan.” Dengan ujung saluangnya
dia lalu membuat guratan di tanah, menggaris tanah dari tepi kiri sampai ke
tepi kanan. “Dua anak muda. Kalian minta jalan.
Silahkan lewat…” Lalu orang
tua itu menggeser duduknya ke tepi jalan.
“Terima kasih…” kata Andana.
Dituntunnya kudanya lalu dia melangkah. Tetapi begitu kaki kanannya hendak
melewati guratan di tanah tiba-tiba terdengar letusan keras. Dari garis di
tanah meletup keluar sambaran api dan kapulan asap. Andana terkejut lalu
cepat-cepat menarik kakinya sementara kuda yang dituntunnya mengangkat kedua
kaki depannya ke atas dan meringkik keras. Kuda yang ditunggangi Wiro juga ikut
meringkik. Pemuda, ini cepat melompat turun menjaga segala kemungkinan.
Orang tua yang duduk di tengah
jalan tertawa mengekeh.
Andana yang menjadi jengkel
berpaling pada Wiro seolah ingin minta pendapat apa yang harus dilakukannya.
Murid Eyang Sinto Gendeng maju mendekat lalu berucap. “Orang tua, kami kagum
dengan kepandaianmu menggurat tanah yang bisa mengeluarkan letusan, api dan
asap. Tapi kami lebih kagum lagi dan sangat berterima kasih kalau kau mau
memberi jalan agar aku dan kawanku ini bisa lewat. Kami tidak bermaksud
mengganggumu, apalagi berlaku kurang ajar…”
“Walalah…! Kalian minta jalan.
Sudah kupersilahkan. Soal letusan, api dan asap tak ada sangkut pautnya dengan
diriku! Mau lewat, lewat saja…!”
Wiro jadi kesal juga mendengar
kata-kata orang tua itu. Dipegangnya tali kekang kudanya lalu dia menggerakkan
kaki kanan melangkahi guratan di tanah. Kaki kanannya lewat. Aman. Tak ada
letusan, tak ada semburan api dan asap. Wiro berpaling pada Andana. “Aman,”
katanya sambil senyum-senyum.
Tapi ketika kaki kirinya
menyusul melangkah tiba-tiba terdengar suara letusan keras. Api dan asap
kembali menyembur. Pendekar 212 terlempar ke atas. Selangkangannya terasa
panas. Ketika dia memperhatikan pendekar ini berseru kaget. Selangkangan
celananya robek dan hangus besar hingga auratnya tersingkap lebar. Cepat-cepat
Wiro pergunakan kedua tangannya untuk menutupi diri. Dari mulutnya tak
tertahankan lagi caci maki.
“Andana, orang tua tak dikenal
ini punya maksud yang tak baik pada kita…” Tapi ucapannya itu terhenti karena
dilihatnya Andana setengah mati menahan tawa. Wiro jadi menggerendeng panjang
pendek.
“Orang tua! tindakanmu sungguh
keterlaluan. Bagaimana aku akan melanjutkan perjalanan dalam keadaan seperti
ini?”
Sebagai jawaban orang tua itu
tiup saluangnya keras-keras hingga Wiro dan Andana terpaksa menutup telinga
masing-masing dengan kedua tangan karena suara saluang itu seolah hendak
merobek gendang-gendang telinga mereka. Setelah tertawa panjang orang tua itu
kembali bernyanyi.
Lancar jalan karena ditempuh
Lancar kaji karena diulang
Bagaimana tahu tingginya ilmu
Kalau tidak turun ke
gelanggang
“Ah, orang tua ini hendak
menguji kita rupanya,” kata Andana pada Wiro.
“Kurasa begitu,” jawab
Pendekar 212.
“Kalau begitu kau mintalah
sedikit pelajaran padanya!”
“Mengapa aku! Kau saja!” jawab
Wiro.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala.
Lalu dia berpaling pada orang tua itu dan berkata. “Ilmuku cuma tinggi
sejengkal dalam secupak. Mana saya berani menyombongkan diri di hadapanmu. Tapi
karena saya dan kawan ini perlu cepat-cepat ke Pagaralam, maka saya tak berani
berlaku tidak sopan selain meminta petunjuk darimu!”
“Ah, ternyata orang Jawa
pandai juga berbasa-basi seperti orang Minang!” tiba-tiba orang tua berdestar
putih itu menyahuti.
“Sialan! Jadi dia tahu kalau
aku datang dari Jawa,” maki Wiro.
Wiro tidak menunggu lebih
lama. Dia kerahkan tenaga dalam lalu meniup ke tanah. Guratan di tanah serta
merta lenyap. Pada saat itu tiba-tiga saluang yang tadi dipegang si orang tua
melayang ke atas, mengemplang ke arah kepala Wiro. Pendekar ini terpaksa
selamatkan kepala dengan jalan menghindar karena kalau dia pergunakan kedua
tangannya berarti dia tak dapat lagi melindungi auratnya. Lama-lama Wiro
mengalami kesulitan juga karena serangan saluang itu semakin cepat dan
bertubi-tubi. Akhirnya terpaksa dia pergunakan kedua tangan untuk menangkis dan
balas memukul. Aneh. Setiap dia berhasil menangkis atau memukul saluang yang
menyerangnya itu, dia bukan merasa membentur sebuah benda keras, melainkan
seperti mengelus sebuah benda yang terbuat dari kapas lembut. Padahal dia sudah
memperhitungkan sekali hantam saja saluang yang terbuat dari bambu itu pasti
akan hancur berantakan.
Penasaran tak dapat memukul
hancur saluang itu Wiro akhirnya pergunakan kedua tangannya menangkap benda
itu. Begitu kedua tangannya memegang saluang tiba-tiba secara aneh suling yang
terbuat dari bambu itu berubah menjadi sepotong besi panas membara. Hampir Wiro
berteriak kesakitan. Namun otaknya cepat bekerja. Ilmu seperti itu hanyalah
ilmu tipuan belaka jika seseorang bisa mempercayainya.
Dia kerahkan tenaga dalam lalu
berteriak. “Asal bambu kembali kepada bambu!”
Terdengar letusan kecil.
Saluang bambu yang tadi tampak membara kembali berubah ke bentuknya semula.
Begitu saluang kembali ke bentuk aslinya, Pendekar 212 segera meniupnya sambil
mengerahkan tenaga dalam penuh.
Dua ekor kuda meringkik keras.
Andana melompat jauh sambil menekap kedua telinganya. Orang tua yang duduk
menjelepok di tanah berseru tegang, sambil menutupkan kedua tangannya ke
telinga kiri kanan dia coba kerahkan tenaga dalam. Wiro meniup sekali lagi.
Tubuh orang tua itu melesat ke atas, jungkir balik di udara. Ketika turun
tahu-tahu dia melayang dan hinggap di atas serumpun semak belukar sambil
tertawa mengekeh. Di tangannya ada sebatang saluang. Ketika Wiro memperhatikan
kedua tangannya astaga. Dia tidak memegang apa-apa lagi.
“Gila! Bagaimana dan kapan dia
merampas suling bambu itu dari tanganku. Aku sama sekali tidak merasa apa-apa!”
Kata Wiro terheran-heran dalam hati.
“Orang tua. Ilmumu tinggi. Aku
merasa malu untuk melanjutkan main-main ini…”
“Aku juga tak punya kepandaian
apa-apa,” kata Andana. “Sekarang kau mau berbaik hati membiarkan kami pergi…”
“Orang tua, kami tengah dalam
perjalanan ke sebuah tempat yang kabarnya dihuni oleh peri-peri cantik. Jika
sapu tangan ini disapukan ke bagian tubuh mereka, mereka akan tunduk dan mau
menjadi istri kita.
Di samping itu segala ilmu
kepandaian mereka yang aneh-aneh akan diberikan pada kita…”
Si orang tua tertawa mengekeh.
“Tak dapat kudengar ada tempat yang seperti kau katakan itu…”
“Kalau kau tak percaya
silahkan ikut kami berdua. Saat ini biar kutunjukkan saja sapu tangan itu
padamu…” Lalu dari saku celananya yang robek Wiro mengeluarkan sehelai sapu
tangan. Dia melangkah mendekati orang tua di atas semak belukar itu dan
memperlihatkan sapu tangan yang dipegangnya.
“Uh! Hanya sehelai sapu tangan
butut! Apa hebatnya?” ujar si orang tua.
“Butut ya memang butut. Tapi
coba lihat dulu ini…” kata Wiro puia sambil mengangsurkan sapu tangan itu lebih
dekat. Tiba-tiba dua jari tangannya meluncur cepat ke arah dada si orang tua.
Saat itu juga orang tua itu tak dapat lagi bergerak. Sekujur tubuhnya telah
kaku ditotok Pendekar 212. Sadar kalau dirinya sudah kena ditipu orang kini
hanya carut makinya saja yang terdengar memenuhi malam buta.
Wiro Sableng tertawa bergelak.
“Orang tua, aku terpaksa
melakukan hal ini!” katanya. Lalu orang tua itu diturunkannya ke tanah.
“Kurang ajar! Apa yang kau
lakukan ini?!” teriak si orang tua ketika Wiro dengan paksa melepaskan celana
putih yang dipakainya.
“Tenang saja,” sahut Wiro
seenaknya. “Aku mana mungkin bisa kemana-mana dengan celana robek melompong
begini. Aku pinjam dulu celanamu!”
Kini orang tua itu terbujur di
tanah dalam keadaan setengah bugil. Wiro cepat mengenakan celana putih milik
orang tua itu. “Ah, pinggangnya pas tapi kakinya agak kependekan. Tak apa dari
pada telanjang!”
kata Wiro. Dia melambaikan
tangan pada si orang tua. “Selamat tinggal sobatku. Kalau ketemu lagi pasti
celanamu akan kukembalikan!”
Wiro melompat ke atas kudanya.
Andana melakukan hal yang sama. Kedua pemuda ini lalu menghambur meninggalkan
tempat itu.
“Pendekar 212! Kau rasakan
nanti pembalasanku!” teriak si orang tua.
Di atas kuda Wiro jadi
tersentak kaget.
“Dia menyebut aku Pendekar
212. Tidak satu orangpun di pulau Andalas ini tahu siapa diriku, apalagi
gelarku. Aneh! Jangan-jangan dia seorang yang kukenal.” Memikir sampai kesitu
Wiro putar kudanya.
“Hai! Kau mau kemana Wiro?”
tanya Andana.
“Kau tunggu sebentar di sini.
Saya segera kembali!” sahut Wiro lalu membedal kudanya ke tempat tadi dia
meninggalkan orang tua itu di pinggir jalan dalam keadaan setengah telanjang.
Tetapi sampai di tempat itu, si orang tua tak ada lagi di situ!
“Orang tua aneh. Siapa dia
sebenarnya?” Tanya Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
ENAM BELAS
MALAM itu sulit bagi Andana
untuk memicingkan mata. Wiro sahabatnya itu tak mau bermalam di rumah gadang.
Kalau dia ada di situ paling tidak waktunya bisa dihabiskan dengan
bercakap-cakap bertukar pengalaman. Ingatannya sesaat kembali pada pertemuannya
dengan orang tua aneh yang ditelanjangi Wiro.
Dia tak dapat menyalahkan
sahabatnya itu. Karena tak mungkin bagi Wiro melanjutkan perjalanan dalam
keadaan setengah telanjang. Dia tak dapat membayangkan keadaan si orang tua
sendiri yang ditinggalkan kemudian lenyap dalam keadaan bertelanjang seperti
itu. Kemudian ingatan pemuda ini sampai pada Halidah, gadis anak gurunya, Datuk
Alis Merah di Asahan. Bayangan wajah Halidah pupus dengan kemunculan bayangan
wajah Bunga. Dia seperti coba membanding-bandingkan Halidah dengan Bunga. Sukar
baginya untuk mencari kelebihan masing-masing. Seolah-olah dua gadis itu
seperti sepasang rembulan yang sama indahnya atau sepasang berlian yang sama
bercahaya.
Dari bawah bantal Andana
mengeluarkan dua buah benda. Yang pertama adalah keris Tuanku Ameh Nan Sabatang
yang terbuat dari emas. Dielus-elusnya senjata itu. Hal ini membuat hatinya
tenteram.
Terbayang kembali olehnya
kejadian di dekat air terjun di Asahan itu. Ketika Ayahnya secara aneh muncul
memperlihatkan diri padahal jelas sang Ayah telah tewas beberapa saat
sebelumnya.
Benda kedua adalah sebilah
pisau tanpa sarung yang gagangnya ada ukiran tengkorak manusia. Sesaat
ditimang-timangnya pisau itu. Senjata inilah yang telah menghabisi nyawa Udin
Burik. Satu-satunya orang yang sampai saat itu mengetahui siapa orang yang telah
memfitnahnya hingga dia dijebloskan dalam penjara.
Pisau dan keris kemudian
dimasukkannya kembali ke bawah bantal. Andana mengeluarkan sehelai selendang
putih, selendang pemberian Halidah ketika dia hendak meninggalkan Asahan.
Diletakkannya selendang itu di dada. Diciumnya beberapa kali. Dia menelentang
dan coba memejamkan mata. Entah timbul firasat apa Andana kemudian mengambil
keris Tuanku Ameh Nan Sabatang dari bawah bantal lalu menyisipkannya di balik
pinggang celana di atas perutnya. Sebelum tertidur pemuda ini masih sempat
memikirkan apa sebabnya Pamannya Datuk Gampo Alam sengaja mengadakan pesta
besar besok sebagai penyambutan kembalinya dirinya. Dia merasa hal itu tak
perlu diada-adakan. Perlahan-lahan pemuda ini akhirnya tertidur juga.
Di luar rumah gadang udara
malam terasa dingin. Suasana sunyi senyap sesekali diusik oleh suara hembusan
angin serta gemerisik daun-daun pepohonan. Rumah gadang tampak berdiri kokoh
dalam kegelapan malam. Satu-satunya cahaya terang adalah cahaya yang datang
dari lampu minyak yang terletak di bagian pertengahan rumah.
Sekali lagi angin bertiup agak
keras. Pada saat itu dari arah selatan berkelebat cepat dua sosok orang
berpakaian hitam. Salah seorang dari mereka membawa kurungan kawat. Dengan
cepat-cepat mereka mendekati rumah gadang. Lalu dengan gerakan-gerakan luar
biasa mereka naik ke sebuah pohon besar yang salah satu cabangnya menjuntai di
atas gonjong terendah atap rumah gadang. Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun
kedua orang itu berjalan di atas cabang pohon tadi lalu turun ke gonjong rumah
gadang. Di salah satu bagian atap orang di sebelah depan berhenti sesaat,
berpaling pada kawannya lalu menunjuk pada atap yang dipijaknya. Kawannya yang
membawa kurungan kawat mengangguk. Kurungan kawat itu ternyata berisi seekor
ular hijau dari jenis yang sangat berbisa dengan panjang hampir tujuh kaki.
Ekor binatang ini diikat dengan seutas tali sepanjang sepuluh kaki. Dengan
hati-hati kurungan diletakkan di atas atap rumah gadang yang terbuat dari ijuk.
Lalu orang di sebelah depan mengeluarkan sebilah pisau yang sangat tajam.
Dengan cekatan dan tanpa suara dia mulai merobek ijuk atap, membuat sebuah
lobang.
“Cukup. Coba kau Intai dulu…”
kata orang yang membawa kurungan ular. Kawannya menyibakkan ijuk atap yang
sudah terpotong dan membentuk sebuah lobang sebesar lingkaran paha. Dia
mengintai ke bawah. Dari lobang itu dia dapat melihat tempat tidur serta sosok
tubuh Andana yang tengah terbaring miring dalam keadaan pulas.
“Tepat benar di atas tempat
tidurnya,” bisik lelaki yang membuat lobang di atap.
“Coba kulihat” kata kawannya
yang membawa ular. Dia mengintip dan tampak puas. “Kita bisa segera mulai.”
Lalu dia menggeser kurungan kawat ke atas lobang. Dia memberi isyarat agar
temannya memegang ujung tali pengikat ekor ular berbisa itu. Lalu dengan
hati-hati dia menggeser alas kurungan kawat. Dengan sepotong lidi ular di dalam
kurungan ditusuk-tusuknya. Binatang ini membuka mulut dan mendesis marah.
Karena ditusuk terus menerus
ular ini jadi bergerak, berusaha mencari jalan keluar. Satu-satunya jalan
keluar ialah lewat alas kurungan yang telah terbuka terus ke dalam lobang di
atap rumah. Setelah meliuk-liukkan badannya beberapa kali binatang ini akhirnya
meloloskan diri ke dalam lubang, meluncur turun ke bawah.
Namun gerakannya tak bisa
semaunya karena ikatan tali yang kukuh pada ekornya mengendalikan dirinya.
Sedikit demi sedikit orang di
atas atap mengulur tali yang dipegangnya hingga ular hijau itu meluncur turun
semakin jauh ke bawah. Binatang ini membuka mulutnya lebar-lebar begitu mencium
bau tubuh manusia di bawahnya. Taring dan deretan gigi-giginya kelihatan
mengerikan. Lidah dan mulutnya yang penuh bisa bergerak-gerak siap mematuk.
Ketika binatang itu hendak
mematuk leher Andana dari ketinggian dua jengkal, kedua mata pemuda ini
terbuka. Sesaat dia mengira bermimpi melihat kepala ular dekat sekali di
depannya. Ketika dia mendengar suara mendesis secepat kilat Andana
menggulingkan diri ke samping. Patukan ular datang. Tapi hanya mengenai bantal.
Ular berbisa ini meliukkan badannya. Kepalanya mengejar ke arah Andana. Saat
itu pula satu sinar kuning berkelebat dalam kamar.
Craaasss!
Kepala ular berbisa itu
terpisah dari badannya. Kepala yang putus tercampak di atas tempat tidur sedang
tubuhnya yang menggelantung bergelung-gelung kian kemari, meneteskan darah
dengan deras.
Andana berlutut pucat di atas
permadani. Dalam hatinya dia mengucap. “Terima kasih Tuhan. Untuk kesekian
kalinya Kau masih melindungi Hamba-Mu ini.”
Dua orang di atas atap tahu
kalau rencana keji mereka hendak membunuh Andana dengan ular berbisa itu gagal,
yang satu segera melepaskan ujung tali yang dipegangnya. Akibatnya tubuh ular
itu jatuh berdebam di atas tempat tidur. Bersama kawannya dia segera berkelebat
pergi. Suara langkah-langkah kaki mereka kali ini sempat terdengar oleh Andana.
Dia segera bangkit berdiri dan lari ke jendela. Dari sini dia akan melompat ke
bawah lalu menunggu orang-orang itu di bawah. Namun saat itu pintu kamar
terdengar diketuk orang keras-keras. Lalu terdengar suara Datuk Gampo Alam.
“Andana! Lekas buka pintu! Ada
apa di dalam sana! Aku mendengar suara ribut-ribut!”
Andana cepat menyarungkan
keris Tuanku Amen Nan Sabatang lalu menyembunyikannya di bawah bantal. Begitu
pintu dibuka Datuk Gampo Alam menghambur masuk membawa sebuah lampu minyak.
Ternyata dia tidak sendirian.
Dia diikuti oleh dua orang istrinya, salah satu diantaranya adalah Rukiah. Di
belakang mereka menyusul tiga orang lelaki pembantu merangkap pengawal di rumah
gadang itu.
Cahaya lampu yang dibawa Datuk
Gampo Alam cukup terang menyinari seluruh kamar. Ketika melihat apa yang
menggeletak di atas tempat tidur serta darah yang berpercikan di mana-mana,
Datuk Gampo Alam berseru kaget. Kedua istrinya menjerit keras. Semua orang
kecuali Andana mundur ke pintu.
Datuk Gampo Alam berpaling.
Matanya membeliak dan lehernya disentakkan. “Kalian!” bentaknya pada kedua
istrinya. “Mengapa ikut-ikutan masuk ke sini?”
“Kami… kami takut Datuk…”
jawab Rukiah.
“Setan! Keluar dari kamar ini!
Cepat!”
Kedua orang perempuan itu
segera meninggalkan kamar. Kini Datuk Gampo Alam memelototi ke tiga
pembantunya. “Kalian setan semua! Apa saja kerja kalian di sini hingga kamar
kemenakanku kemasukan ular!”
“Bukan kemasukan ular Mamak,”
kata Andana. “Tapi ada orang yang sengaja memasukkan ular lewat atap sana.
Sengaja hendak membunuh saya!”
Datuk Gampo Alam mendongak ke
atas ke arah yang ditunjuk Andana.
“Setan kurang ajar!
Berani-beraninya! Siapa pula yang punya pekerjaan ini! Akan kupatahkan batang
lehernya!” lalu pada ke tiga pembantunya Datuk Gampo Alam membentak marah,
menyuruh mereka keluar semua.
Andana menarik nafas dalam.
Kamar itu terasa sesak. Dibukanya daun jendela. Di luar serba gelap.
Pohon-pohon tampak seperti
hantu berbaris. Diam-diam Andana ingat pada nyanyian orang tua aneh yang
ditemuinya di tengah jalan.
Orang pandai kalau tidur, Mata
nyalang telinga terbuka
Andana mengusap wajahnya yang
keringatan dua kali. “Rupanya orang tua itu sudah tahu apa yang akan terjadi
terhadap diriku. Dia berusaha memberi tahu. Tetapi mengapa tidak terus terang.
Manusia aneh!”
Ketika dua orang di atas atap
meniti cabang pohon lalu turun ke tanah dan melarikan diri dalam gelap, salah
satu diantara mereka menoleh ke belakang.
“Celaka Somat, ada orang
mengejar kita!”
Kawan yang di sebelah depan
menoleh. “Kita harus memencar Rojali! Siapkan pisau beracunmu!
Kalau kita sampai tertangkap
kau sudah tahu apa yang harus kita lakukan!”
Laki-laki bernama Somat
menghambur ke kiri lenyap di balik semak belukar dan gelapnya malam.
Yang bernama Rojali melompat
ke kanan. Namun orang yang mengejarnya ternyata lebih cepat. Sebelum dia lari
lebih jauh tahu-tahu lehernya sudah dicekal orang dan tubuhnya diangkat
tinggi-tinggi. Sambil meronta-ronta Rojali tendangkan kakinya ke arah orang
yang mebembengnya seperti seekor kucing. Namun dia tak mampu menendang orang
itu. Dia mencabut pisau beracun yang ada di pinggangnya. Dengan kalap dia
membabatkan pisau itu ke belakang. Tetap saja dia tak berhasil mengenai orang
itu. Malah tiba-tiba tubuhnya terasa diangkat lebih tinggi lalu dilemparkan ke
arah sebatang pohon besar. Kepala Rojali menghantam batang pohon lebih dulu.
Tubuhnya jatuh bergedebukan ke tanah. Orang yang melemparkannya cepat
mendatangi dan memeriksa.
Orang ini garuk-garuk kepala.
“Sialan! Terlalu keras aku melemparkannya. Kepalanya rengkah!”
Wiro memandang berkeliling. Di
tanah dalam gelap dilihatnya menggeletak pisau yang tadi dipergunakan orang itu
untuk menyerangnya. Dipungutnya senjata ini. Dari warna pisau jelas senjata itu
dilapisi racun jahat. Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan gagang pisau itu.
Ada ukiran tengkoraknya.
“Pisau ini sama bentuknya
dengan pisau yang diperlihatkan Andana. Berarti pelakunya berasal dari
komplotan yang sama. Dan setiap komplotan orang-orang jahat pasti ada
dalangnya!”
Tiba-tiba satu banyangan
berkelebat. Orang ini langsung menghantam ke arah Pendekar 212.
Terlambat saja Wiro mengelak
pasti lehernya patah dihajar pukulan tepi telapak tangan. Serangan yang lolos
itu menghantam sebatang pohon yang batangnya sebesar paha. Tak ampun lagi pohon
ini patah dan tumbang.
“Penyerang gelap keparat!”
Maki Wiro orang ini kembali menyerbunya dari samping dengan cepat Wiro
menangkis. Dua lengan beradu keras. Keduanya sama-sama terpental dan jatuh
duduk di tanah. Wiro melompat lebih dulu. Kaki kanannya melesat mengirimkan
tendangan. Hampir tendangannya akan menemui sasaran, orang yang terduduk di
tanah tiba-tiba berteriak.
“Tahan! Wiro ini aku Andana!”
Pendekar 212 berseru kaget.
“Walah! Apa-apaan ini.”
Dengan cepat dia melompat
tinggi ke atas hingga tendangannya lewat di atas kepala orang.
“Kukira kau siapa membokongku
secara gelap!” kata Wiro. “Untung pisau beracun ini tak sampai melukai dirimu!”
“Kau sendiri kukira orang yang
hendak membunuhku dengan ular itu…” kata Andana. Pemuda ini lalu menuturkan apa
yang barusan dialaminya di rumah gadang. “Aku tak senang hati kalau tak dapat
menyingkap tabir perbuatan keji ini. Itu sebabnya setelah Datuk Gampo Alam
masuk ke kamarnya aku turun ke bawah dan menyelidiki. Kebetulan kulihat kau.
Kukira kau salah seorang dari manusia-manusia keparat itu…”
“Aku sendiri kebetulan lewat
karena merasa tak enak seolah ada firasat sesuatu akan terjadi di rumah gadang.
Ketika aku sampai di ujung halaman kulihat ada dua orang turun dari atas pohon
lalu lari ke arah timur. Aku segera mengejar mereka. Di tengah jalan mereka
menyebar. Aku mengikuti yang kabur ke kanan.
Aku berhasil menangkapnya tapi
tindakanku terlalu keras. Orang itu pecah kepalanya ketika kubantingkan ke
pohon!”
“Coba kulihat pisau itu,” kata
Andana seraya mengulurkan tangannya meminta pisau yang dipegang Wiro. Ketika
melihat gagang yang ada ukiran tengkoraknya Andana berkata. “Pisau ini sama
dengan pisau yang membunuh Udin Burik. Berarti komplotan yang sama juga yang
hendak membunuhku!”
“Kelihatannya memang begitu,
Andana. Kau harus lebih berhati-hati…”
“Itu sebabnya aku mengajakmu
bermalam bersama di rumah gadang. Paling tidak kita bisa saling berjaga-jaga…”
“Aku mau saja. Tapi Mamakmu
itu rasa rasanya tidak senang padaku…”
“Jangankan padamu. Padakupun
dia tidak suka. Ada sesuatu yang membuat dia bersikap manis…”
“Ah, jangan kau terlalu curiga
padanya, kalau dia tidak senang padamu masakan dia mau membuat selamatan besar
menyambut kepulanganmu…”
“Justru ini yang jadi
kecurigaanku Wiro.”
“Sudahlah. Malam ini kukira
kau harus tidur nyenyak. Besok kau akan jadi bintang perhelatan besar.
Kalau aku jadi kau aku akan
minta pada Pamanmu itu sekaligus saja membuat pesta pernikahanku dengan Bunga!”
“Kau bisa saja. Kau tak mau
menemaniku ke rumah gadang?”
“Terima kasih. Besok saja aku
hadir di pestamu. Pasti banyak gadis-gadis cantik yang hadir. Pasti aku akan
puas mencuci mata.”
Ketika Wiro hendak berlalu
Andana bertanya. “Eh, kau menginap di mana sahabat?”
“Di surau,” jawab Wiro. “Aku
hanya mengikuti adat orang di sini. Kalau sudah dewasa dan belum kawin harus
tidur di surau…”
Andana tertawa. Ditepuknya
bahu sahabatnya itu lalu keduanya berpisah. Ketika Andana kembali ke kamarnya
di rumah gadang, pemuda ini terkejut. Didapatinya keris Tuanku Ameh Nan
Sabatang serta pisau yang gagangnya berukiran tengkorak lenyap dari bawah
bantal. Berarti ada orang yang masuk dan mengambil kedua benda itu selagi dia
turun ke bawah tadi.
“Kurasa aku sudah mengambil
keputusan yang salah menginap di rumah gadang ini!” Kata Andana dalam hati.
Tiba-tiba dia mendengar suara orang berlari menaiki tangga rumah. Andana cepat
keluar. Yang muncul ternyata adalah Datuk Gampo Alam. Orang ini kelihatan turun
naik dadanya.
“Ada apa Mamak? Dari mana
Mamak barusan?” bertanya Andana.
Aku masuk ke kamar dengan
perasaan was-was. Lalu aku keluar. Saat itu aku melihat seseorang menyelinap
keluar dari kamarmu. Aku tak bisa melihat wajahnya karena ditutup dengan kain
hitam. Aku membentak dan mengejarnya. Ternyata orang ini memiliki ilmu lari
yang hebat. Aku tak sanggup mengejarnya. Aku kembali dengan sia-sia. Kujenguk
ke kamar ternyata kaupun tidak ada. Ada barang-barangmu yang hilang?”
“Tidak ada. Saya memang tidak
punya barang yang berharga,” jawab Andana berdusta.
“Kalau begitu tidurlah
kembali. Periksa semua jendela apakah sudah terkunci. Besok pagi kau akan jadi
raja kecil dalam pesta besar itu.”
Andana mengangguk lalu masuk
ke dalam kamarnya. Tapi bagaimana mungkin dia bisa tidur di kamar yang tilamnya
penuh darah serta bangkai ular berbisa itu? Pemuda ini akhirnya keluar dari
kamar dan tidur di ruang tengah rumah gadang. Hampir matanya terpicing
tiba-tiba dia merasa lantai papan rumah gadang bergerak-gerak dan telinganya
mendengar langkah-langkah kaki mendekati. Andana bersiap-siap. Begitu orang itu
sampai dihadapannya Andana melompat bangkit siap untuk menggebuk. Tetapi ketika
menyadari siapa yang tegak di depannya pemuda ini cepat menarik pulang
pukulannya.
“Ibu…. saya kira siapa…” kata
Andana seraya menurunkan tangannya!
“Walau saya istri Mamakmu,
jangan panggil saya Ibu…” kata perempuan di hadapan Andana. “Kau tak apa-apa?”
“Tidak Ibu… tidak. Saya
baik-baik saja.”
“Banyak keanehan di rumah
gadang ini. Manusianya, suasananya! Terus terang saja saya sudah tidak betah
tinggal di sini.”
“Ibu…”
“Panggil saya Rukiah…”
“Malam sudah larut. Kalau
Datuk melihat kau berada di sini dia bisa salah sangka. Sebaiknya kau masuk ke
dalam kamar kembali.”
Rukiah, istri paling muda
Datuk Gampo Alam yang baru berusia 19 tahun itu menggeleng. “Saya sengaja
keluar untuk memberi tahu bahwa kau tak pantas tidur di ruangan ini. Pakailah
kamar saya.”
“Terima kasih. Saya tidak bisa
melakukan hal itu. Saya lebih suka tidur di sini…”
Rukiah memegang lengan pemuda
itu. Jari-jari tanggannya yang halus terasa hangat. Sesaat Andana merasakan
tubuhnya bergetar. Mendadak muncul bayangan Halidah di depannya. Lalu bayangan
Bunga.
“Kau sungguh tak mau masuk ke
kamar saya?” tanya Rukiah.
“Terima kasih. Biar saya tidur
di sini saja…”
“Baik kalau begitu. Besok
pagi-pagi sekali akan saya suruh orang membersihkan kamarmu…”
Andana hanya bisa mengangguk.
Perempuan muda itu tersenyum dan masih berharap Andana akan mau menerima
ajakannya masuk ke dalam kamar. Namun dari sinar mata si pemuda Rukiah maklum
kalau Andana tak mudah untuk ditundukkan. Perlahan-lahan Rukiah memutar
tubuhnya lalu masuk kembali ke dalam kamarnya.
Andana menghela nafas dalam.
Lalu dibaringkannya kembali tubuhnya di tempat semula. Lama sekali baru dia
bisa memicingkan mata. Andana tak tahu berapa lama dia tertidur. Pemuda ini
terbangun ketika di kejauhan terdengar suara kokok ayam bersahut-sahutan. Lalu
dari arah selatan terdengar suara orang azan tanda saat sembahyang Subuh sudah
datang. Andana segera bangun lalu turun ke bawah. Agak bergegas dia melangkah
menuju surau. Bukan saja untuk melakukan sholat Subuh di sana tetapi juga ingin
menemui sahabatnya Wiro guna menceritakan apa yang telah terjadi.
Selesai sembahyang Subuh kedua
pemuda itu duduk di tangga surau. Kesempatan ini dipergunakan Andana untuk
menceritakan hilangnya keris Tuanku Amen Nan Sabatang serta pisau berhulu
kepala tengkorak itu.
“Nasib buruk masih saja
mengikutimu sahabatku,” kata Wiro. “Saya pasti membantumu untuk mencari dan
mendapatkan keris bertuah itu kembali. Mengenai pisau dengan gagang yang ada
ukiran kepala tengkoraknya itu kau tak usah khawatir. Kita masih ada satu
lagi.” Lalu Wiro mengeluarkan pisau milik orang yang hendak membunuh sahabatnya
itu dengan ular berbisa.
“Sebentar lagi pagi akan tiba.
Perhelatan besar akan berjalan dengan segala kemeriahannya.” Wiro lalu berdiri
di hadapan Andana. “Menurutmu apakah pantas aku hadir dengan baju kusut dekil
serta celana kekecilan dan cekak kedua kakinya ini? Kau bayangkan bagaimana nanti
gadis-gadis cantik akan memandangku dengan perasaan geli. Bisa-bisa mereka
mengira aku ini pemuda asing yang kurang waras!”
Andana tertawa lebar “Jangan
takut sahabatku. Aku akan menyuruh orang mengantarkan seperangkat pakaian bagus
lengkap dengan saluaknya untukmu.”
“Terima kasih. Terima kasih
sahabatku…” kata Wiro dengan perasaan gembira.
TAMAT