Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
070 Ki Ageng Tunggul Akhirat
1
Hujan rintik-rintik turun
sejak pagi. Teluk Burung diselimuti kabut tebal. Dalam udara yang buruk itu
seorang penunggang kuda berbaju biru dan mengenakan blangkon bergerak di antara
batu-batu besar yang terhampar di seantero tempat. Mukanya yang hitam boleh
dikatakan bukan wajah manusia. Lebih tepat dikatakan sebagai wajah setan. Di
pipi kirinya ada cacat bekas luka memanjang mulai dari ujung bibir sempai ke
mata. Mata ini sendiri tampak terbujur ke luar, kelopak bawah membeliak merah
dan selalu basah. Akibat cacat di pipi kiri itu mulut orang ini tertarik ke
atas hingga gigi-giginya yang besar-besar menjorok ke luar!
Sebenarnya kuda coklat dan
penunggangnya sudah sama-sama sangat letih saat itu. Beberapa kali kaki-kaki
kuda terantuk atau terpeleset di bebatuan licin. Si penunggang sendiri dengan
segala sisa kekuatan dan harapan untuk hidup mencoba membawa kudanya ke jurusan
Timur, sampai di sebuah lamping bukit batu yang solah membentuk dinding panjang
dari Timur ke Selatan. Di salah satu bagian dinding batu, orang ini hentikan
kudanya lalu memandang berkeliling. Hujan rintikrintik telah berhenti. Namun
kabut masih kelihatan di mana-mana menutupi pemandangan. Orang ini menunggu dan
berusaha untuk sabar. Ketika sang surya muncul kabut di tempat itu perlahan-lahan
mulai terkikis habis. Dalam terangnya udara orang tadi kembali memperhatikan
keadaan di sekitarnya. Apa yang dicarinya terlihat di kejauhan.
Tepat di pertengahan dinding
batu ada satu lobang besar. Sesaat ada rasa tegang dalam diri orang ini. Setelah
menabahkan hatinya dia lalu bergerak kea rah lobang tadi yang merupakan mulut
sebuah goa. Di depan goa dia hentikan kudanya lalu turun dengan
terhuyung-huyung. Dari kantong perbekalan yang tergantung di leher kuda dia
mengambil sebuah bungkusan lalu melangkah hendak memasuki goa. Namun belum
sempat kakinya menginjak mulut goa, tiba-tiba dari dalam menggelegar suara
bentakan.
“Siapa yang mengantar nyawa
berani datang ke tempatku tanpa diundang?!”
Manusia bermuka cacat itu
terkejut. Setelah reda kejutnya dia memberanikan diri menjawab.
“Aku Ki Ageng Tunggul. Kepala
desa Pasirginting. Ingin bertemu dengan orang tua sakti bernama Supit Jagal.
Kabarnya beliau adalah penghuni goa ini!”
“Begitu? Katakan apa
keperluanmu!” orang di dalam goa bertanya.
“Aku dating untuk mohon
diambil jadi murid!”
“Bah! Maksud sintingmu membuat
aku ingin melihat kau punya tampang! Lekas masuk dalam goa!”
Ki Ageng Tunggul cepat
melangkah masuk. Ternyata bagian dalam goa batu itu tidak seberapa besar. Di
tengah ruangan duduk seorang kakek berpakaian sangat kotor dan penuh tambalan.
Rambutnya keriting macam bulu domba. Pipinya sebelah kana nada cacat bekas luka
yang amat dalam. Daun telinganya sebelah kanan sumplung sedang sepasang matanya
sangat sipit sehingga dia seperti sedang memejam.
“Mukamu seperti setan! Apa kau
benar manusia atau makhluk jejadian?!”
“Aku manusia biasa, tak lebih
tak kurang….”
Si kakek menyeringai mendengar
ucapan itu. “Duduk!” bentaknya kasar.
Ki Ageng Tunggul duduk.
Bungkusan yang dibawanya diletakkan di pangkuan.
“Aku memang Supit Jagal, orang
yang kau cari!” berkata si kakek. “Kau bilang minta diambil jadi murid! Sudah
tua bangka begini apa kau sinting?!”
“ Soalnya aku terpaksa…..
"
“Terpaksa ?! Siapa yang
memaksa ?! " Ki Ageng Tunggul lalu menerangkan. “Tiga orang jahat berilmu
tinggi hendak membunuhku"
“Kau ketakutan lalu minta
dijadikan murid agar dapat ilmu ! " Supit Jagal tertawa mengekeh. “Anak
manusia berwajah setan, coba kau katakan padaku mengapa tiga orang itu hendak
membunuhmu ?! "
“ Dulu mereka adalah
kawan-kawanku. Masing-masing bernama Kunto Handoko, Lor Paregreg dan Rah
Gludak. Mereka kukhianati hingga dijebloskan masuk penjara. Entah bagaimana
ketiganya bisa melarikan diri. Kini mereka mencariku dengan tujuan membunuh.
Aku tidak berdaya menghadapi meraka. Ketiganya memiliki kepandaian silat tinggi
serta kesaktian. "
Mulut Supit Jagal sesaat
tampak komat kamit. “ Berkhianat sesama kawan adalah perbuatan paling keji.
Kini kau tanggung sendiri akibatnya. Aku tidak bisa mengambilmu jadi murid !
Sekarang lekas minggat dari hadapanku ! "
Ki Ageng Tunggul ambil
bungkusan di pangkuannya. Bungkusan ini diletakkannya di lantai goa di hadapan
si kakek. Ketika bungkusan dibuka tampaklan puluhan mata uang perak dan
beberapa mata uang emas serta seperangkat perhiasan. “Semua ini untukmu. Asal
saja kau mau mengambilku jadi murid dan mangajarkan ilmu silat dan kesaktian,”
kata KI Ageng Tunggul pula. Si kakek bermata sipit tampak agak terkesiap.
“Anak manusia berwaah setan,
pemberianmu membuat aku tergiur. Tapi tetap saja aku tidak akan mengambilmu
jadi murid. Hanya mungkin ada cara lain untuk menolongmui. Yang jadi soal kini,
apakah kau bakal sanggup memenuhi syarat yang akan kutetapkan!”
“Syarat apapun akan
kulaksanakan,” jawab Ki Ageng Tunggul tanpa tedeng aling-aling.
“Bagus. Pertanyaanku, apa kau
bisa mengatur ketiga musuhmu itu datang kemari? Urusan selanjutnya biar aku
yang membereskan!”
“Begitupun aku setuju. Yang
penting mereka harus mampus semua! Harap kau mau mengatakan syarat tadi…..”
“Kau harus bersumpah dulu
bahwa kau betul-betul akan melaksanakan.”
“Demi Tuhan saya bersumpah
akan melaksanakan…..”
“Tolol! Bukan demi Tuhan! Tapi
demi aku! Demi Supit Jagal ! " membentak si kakek. Matanya membesar. Ia
menyangka sudah melotot padahal kedua matanya itu tetap masih sipit-sipit saja.
“ Demi Supit Jagal…… Aku
bersumpah !" ucap Ki Ageng Tunggul.
“ Bagus. Kau sudah bersumpah.
Sekarang coba telan dulu benda ini ! " Supit Jagal melemparkan sebuah
benda hitam ke pangkuan Ki Ageng Tunggul. Lelaki ini cepat mengambilnya.
“ Benda apa ini ? "
“ Telan saja ! Tak perlu
banyak tanya ! " sentak Supit Jagal.
Mau tak mau Ki Ageng Tunggul
segera menelan benda hitam itu yang terasa kesat di mulut dan tenggorokannya.
“Sudah kau telan?!” tanya
Supit Jagal.
Ki Ageng Tunggul mengangguk.
Si kakek tertawa panjang.
Kenapa kau tertawa?” tanya Ki
Ageng Tunggul.
"Benda hitam yang barusan
kau telan adalah racun penghancur usus!”
Pucatlah wajah hitam Ki Ageng
Tunggul.
“Racun itu akan bekerja
setelah dua hari dari sekarang. Jika kau berhasil melaksanakan syarat yang akan
ku katakan, kau boleh kembali ke mari membawa tiga orang musuh besarmu itu. Aku
akan memberikan obat penawar racun padamu. Teteapi ingat! Kalau ingkar kau akan
mampus dengan usus berantakan!” Supit Jagal kembali tertawa mengekeh. Ki Ageng
Tungul merasakan sekujur tubuhnya menjadi dingin.
“Sekarang akan kukatakan
syarat itu!” kata Supit Jagal pula. Ki Ageng Tunggul jadi tegang. “Tepat tengah
malam besok yaitu hari Kamis malam Jum’at Kliwon kau harus menggorok leher
seorang bayi lalu memandikan ke kepala dan tubuhmu. Upacara ini harus kau
lakukan di puncak tertinggi bukit batu ini, kira-kira seratus langkah ke arah
Timur!”
Sepasang mata Ki Ageng
Tunggul, terutama mata kiri yang dalam keadaan mencelet kini tampak membeliak
besar. Jantungnya seperti mau copot dan nyawanya serasa terbang mendengar
syarat yang dikatakan Supit Jagal tadi. “Kalau syarat itu tidak kau lakukan,
jangan harap umurmu bisa lebih panjang dari dua hari!”
“Kakek, apakah syarat itu bisa
diganti? Aku kawatir tidak sanggup melaksanakannya.”
“Kalau begitu cepat angkat
kaki dari hadapanku. Tapi tinggalkan bungkusan ini di sini!”
Ki Ageng Tunggul jadi bingung
dan takut. Syarat yang harus dilakukannya sungguh sangat keji dan mengerikan.
Tak sanggup dia melakukan. Namun kalau dia menolak, racun yang mengidap di
perutnya akan merengut nyawanya! Tak ada pilihan lain kini. Dia terpaksa memenuhi
apa yang dikatakan Supit Jagal tadi.
212 SUMPAH IBLIS PENUMPAH
DARAH
Laksana terbang kuda coklat
itu berlari kencang di bawah panas terinya matahari. Dalam waktu singkat kuda
dan penunggangnya sudah sampai di kaki bukit terus bergerak menuju lembah
sepanjang kaki bukit. Si penunggang yang berwajah seperti setan bukan lain
adalah Ki Ageng Tunggul kepala desa Pasirginting yang tengah menjalankan syarat
seperti yang ditetapkan manusia iblis Supit Jagal. Lelaki ini mendongak ke
langit. Matahari dilihatnya tepat di ubun-ubun kepalanya. Muka setannya
langsung berubah.
“Celaka! Aku hanya punya waktu
setengah harian lagi. Kalau yang kucari tidak kutemui mampuslah diriku!” Ki
Ageng Tunggul membetulkan letak blangkonnya lalu kemabli memacu kudanya. Dari
satu tempat ketinggian dia melihat atap-atap rumah yang terletak di sebuah desa
kecil. Segera saja dia mengarahkan kudanya menuju ke sana.
Angin dari Timur bertiup
kencang merontokkan daun-daun pepohonan ketika Ki Ageng Tunggul memasuki jalan
teduh di mulut desa. Dia mulai memperlambat lari kudanya. Kedua matanya yang
merah, satu di antaranya membeliak mengerikan, memandang liar kian
kemari.Sepasang telingnya dibuka tajam-tajam. Dia berpapasan dengan beberapa
penduduk desa. Orang-orang itu jelas ketakutan ketika melihat tampangnya.
Mereka melangkah pergi dengan cepat. Sampai di tengah desa Ki Ageng Tunggul
hentikan kudanya. Dia seperti putus asa. Tiba-tiba daun telinganya bergetar.
Kedua matanya berputar ke arah kanan. Di sebelah sana, di antara beberapa pohon
besar kelihatan sebuah rumah gedek. Di rumah gedek ini terdengar suara tangisan
bayi. Inilah yang dicari Ki Ageng Tunggul! Tanpa menunggu lebih lama orang ini
segera menghambur menuju rumah gedek itu. Begitu sampai dia langsung melompat
ke pintu lalu menggedor dengan keras.
Terdengar langkah-langkah kaki
di dalam rumah. Sesaat kemudian pintu terbuka. Perempuan yang menggendong
seorang orok lelaki yang masih merah tersurut pucat ketika melihat tampang
manusia yang berdiri di hadapannya.
Ki Ageng Tunggul memandang
bayi dalam gendongan ibunya itu. Tenggorokannya turun naik dan mulutnya komat
kamit. Sesaat dia bingung. Hendak mengatakan sesuatu dulu atau langsung saja
merampas bayi dalam gendongan itu.
“Sam….sampeyan siapa….?”
perempuan muda yang menggendong bayi bertanya dengan suara gemetar dan
siap-siap hendak menutupkan pintu.
“Aku mencari suamimu.”
“Dia sedang ke sawah. Nanti
siang baru kembali….”
Mata Ki Ageng Tunggul menatap
bayi dalam dukungan. “Ini anakmu?’
Ynag ditanya mengangguk. Tangannya
bergerak lagi hendak menutup pintu. Ki Ageng Tunggul cepat manahan daun pintu.
“Dengar,” katanya. “Kemarin
aku sudah bicara degnan suamimu. Dia bersedia menjual bayi ini.” Lalu Ki Ageng
Tunggul keluarkan sebuah kantong kecil berisi uang.
Perempuan yang menggendong
bayi tampak terkejut mendengar kata-kata tamu bermuka seram yang tidka
dikenalnya itu. “Apa? Suamiku…..? Tidak! Aku tidak percaya! Kau pasti berdusta!
Suamiku tidak bakalan mau menjual anak ini!”
“Ini ambillah…!” kata Ki Ageng
Tunggul seraya mengulurkan kantong uang.
“Tidak!” dengan tangan
kanannya perempuan itu mendorong pintu kuat-kuat. Tapu Ki Ageng Tunggu lebih
kuat menahan.
“Kalau kau tidak mau menjual
tidak apa-apa…… Berarti kau akan rugi dua kali!”
“Apa maksud sampeyan….?”
Ki Ageng Tunggul menyeringai.
Sekali dia bergerak, bayi dalam dukungan si ibu berhasil dirampasnya. Secepat
kilat lelaki ini lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan menghambur lenyap.
Ibu si bayi menjerit keras.
“Bayiku! Tolong! Bayiku dilarikan orang! Tolong!”
Beberapa orang tetangga
berlarian keluar dari rumah masing-masing. Tapi tak seorangpun bisa berbuat
sesuatu. Si ibu masih menjerit beberapa kali lalu roboh tak sadarkan diri di
depan rumahnya.
Hari Kamis malam Jum’at
Kliwon.
Hujan gerimis menambah dingin
dan angkernya suasana malam. Kuda coklat yang ditunggangi Ki Ageng Tunggul
mendaki di lereng bukit, bergerak menuju ke puncak. Dalam kegelapan malam kuda
dan penunggangnya ini tidak beda seperti setan yang sedang gentayangan!
Puncak bukit batu yang hendak
dicapai tingi sekali. Jalan yang menuju ke situ Sangat sulit. Beberapa kali
kuda coklat itu tersandung dan hampir roboh. Lidahnya terjulur, tubuhnya basah
oleh keringat bercampur air hujan. Di satu tempat binatang ini tersandung
kembali. Sekali ini langsung roboh dan tak mau bangkit lagi. Kutuk serapah
keluar dari mulut Ki Ageng Tunggul. Ketika jatuh tadi untung dia cepat melompat
dan menyelamatkan benda yang dibawanya yaitu bukan lain sosok bayi rampasan
yang dibuntal dengan sehelai kain. Sambil menggendong bayi itu Ki Ageng Tunggul
melanjutkan perjalanan ke puncak bukit batu dengan jalan kaki. Gerakannya cekup
sebat. Dia melompat dari satu batu ke batu lain. Tak selang berapa lama lelaki
ini sampai di puncak bukit batu paling tinggi. Di sini angin terasa kencang dan
dingin sekali.
Ki Ageng Tunggul memandang
berkeliling. Mulutnya berkomat kamit. Di kejauhan kilat menyambar. Suasana
terang sexta lalu gelap kembali. Bayi dalam buntalan kain menangis dan
mengagetkan Ki Ageng Tungul. Cepat-cepat dia membuka buntalan. Sesaat tubuhnya
terasa bergeletar. Mulutnya kembali komat kamit seperti merapal sesuatu. Lalu
dia mendongak ke langit. Seringai iblis menyeruak di tampangnya yang angker.
Bayi di tangan kirinya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Tangisan si bayi semakin
keras. Dari mulut Ki Ageng Tunggul kemudian terdengar ucapan.
“Orang sakti dalam goa!
Demi sumpah yang kupatuhi!
Bersaksi lepada langit di atas
keepala!
Bersaksi pada batu di bawah
kaki!
Saat ini aku Siap untuk
mandi!”
Habis berseru seperti itu Ki
Ageng Tunggul mencabut sebilah golok pendek dari pinggangnya. Saking tajamnya,
walaupun malam sensata ini berkilauan dalam kegelapan. Seperti kemasukan setan
yang haus darah golok di tangan kanan berkelebat membabat. Sungguh mengerikan. Suara
tangisan bayi serta merta lenyap. Darah mengucur.
Dengan darah yang mengucur Ki
Ageng Tunggul menyirami kepala, muka dan tubuhnya. Pelipisnya bergerak-gerak.
Rahangnya menggembung dan gerahamnya terdengar bergemeletukan. Kedua matanya
berputar liar sedang sekujur tubuhnya bergeletar.
Darah berhenti memancur tanda
sudah terkuras habis. Kembali KI Ageng Tunggul mendongak ke langit dan berucap.
“Orang sakti dalam goa!
Sumpah sudah dilaksanakan!
Aku mohon diri!”
Lalu dalam keadaan basah kuyup
oleh darah, keringat dan air hujan Ki Ageng Tunggul mulai menuruni bukit. Di
satu tempat golok dibuang ke bawah bukit. Suara senjata ini berkerontangan
dalam kesunyian malam. Ki Ageng Tunggul merasakan satu keanehan. Saat itu
tubuhnya terasa ringan luar biasa hinggá dengan gerakan yang sebat dalam waktu
singkat dia sudah sampai di tempat tadi dia meninggalkan kudanya.
Begitu sampai di goa, Ki Ageng
Tunggul duduk dengan hormat di hadapan Supit Jagal memberitahu kalau dia sudah
melaksanakan apa yang diperintahkan.
“Bagus!” kata si kakek dengan
seringai iblis di mulutnya. “Sekarang kau harus mencari tiga manusia yang kau
bilang mau membunuhmu itu. Bawa dia kemari! Tapi jangan lupa! Begitu urusan
selesai kau harus berikan padaku dua kantong berisi uang dan harta perhiasan.
Bukan cuma satu kantong! Mengerti?!”
“Aku mengerti kek.”
“Nah Sekarang lekas pergi dari
hadapanku!” kata Supit Jagal dengan mimik seolah jijik melihat tampang Ki Ageng
Tunggul yang buruk dan seram itu.
“Aku akan pergi. Tapi sebelum
munta diri mohon kakek memberikan obat pemusnah racun yang sudah kutelan dua
hari lalu. Bukankah begitu sesuai perjanjian?!”
Supit Jagal usap-usap kuping
kirinya yang sumplung. Lalu dia tertawa mengekeh. Ki Ageng Tunggul diam-diam jadi
merinding ngeri kalau-kalau orang tua aneh ini tidak menepati janjinya. Sesaat
kemudian Supit Jagal mengeluarkan sebuah benda putih dari dalam saku bajunya
lalu dilemparkannya ke pangkuan Ki Ageng Tunggul. “Telan dan pergi cepat!”
Ki Ageng Tunggul segera
menelan obat pemusnah yang ada dalam perutnya, steelah menjura dia cepat-cepat
meninggalkan goa itu.
212PERMULAAN SEBUAH DENDAM
Keempat penunggang kuda
berhenti di ujung dinding batu di kaki bukit yang terletak di Teluk Burung.
Angin laut bertiup keras. Ombak mendebur menggelegar di pantai. Di antara deru
angin dan suara deburan ombak penunggang kuda paling depan yaitu Lor Paregreg
bertanya pada Ki Ageng Tunggul.
“Mana goanya?!”
“Di sebelah sana. Tepat di
pertengahan dinding batu.”
Lelaki bernama Rak Gludak
membuka mulut. “Kawan-kawan, aku punya firasat buruk. Si Tunggul keparat ini
jangan-jangan menipu kita!”
“Kalau nanti terbukti begitu,
tidak akan susah memisahkan tubuh dan kepalanya!” jawab Lor Paregreg.
“Golokku masih cukup tajam!”
menyahuti Kunto handoko seraya mencabut goloknya dan memutar-mutar senjata ini
di depan hidungnya.
Atas perintah Lor Paregreg, Ki
Ageng Tunggul kini berjalan di sebelah depan. Mereka akhirnya sampai di sebuah
lobang yang merupakan mulut goa.
“Ini goanya,” kata Ki Ageng
Tunggul. “Peti berisi uang dan harta perhiasan itu kusembunyikan di dalam.
Belum sepotongpun sempat kuambil. Kalian ambil saja semuanya, bagi tiga.
Asalkan diriku diampuni.” Habis berkata begitu Ki Ageng Tunggul hendak turun
dari kudanya. Tapu Lor Paregreg mencegah.
“Tetap di punggung kudamu Ki
Ageng!” kata Lor Paregreg seraya mendekat. Lalu dengan sangat tiba-tiba dia
menusuk punggung Ki Ageng Tunggul. Kejap itu juga Ki Ageng Tunggul tak bisa
bergerak lagi. Kaku tertotok! Lor Paregreg berpaling pada kedua kawannya.
“Kalian berdua masuk ke dalam memeriksa goa. Aku mengunggu di sini. Beri tahu
kalau peti itu memang ada di dalam!”
“Sret!”
Kunto handoko kembali cabut
goloknya. Bagian tajam itu dengan gerakan cepat ditempelkan ke batang leher Ki
Ageng Tunggul hingga orang bermuka setan ini merasa nyawanya seperti terbang
saat itu. “Paregreg, kita sudah sampai di tempat peti itu disembunyikan.
Mengapa manusia keparat ini tidak kita bereskan sekarang juga?!”
“Nyawa anjingnya soal mudah
Kunto. Lebih penting kau dan Rah Gludak memeriksa dulu. Jika bengsat
pengkhianat ini kita habisi dan ternyataa peti itu tidak ada dalam goa, kita
bertiga tidak bakal dapat menemukan uang dan harta benda itu untuk
selama-selamanya!”
“Kalian harus percaya padaku!
Aku tidak menipu!” kta Ki Ageng Tunggul. “Empat perti itu ada di dalam goa!
Kalian masuk saja lihat sendiri!” Diam-diam Ki Ageng Tunggul merasa ngeri
sekali kalau-kalau Kunto Handoko akan menebas batang lehernya saat itu juga.
Lor Paregreg memberi isyarat pada
Rah Gludak dan Kunto Handoko. Kedua orang ini melompat turun dari kuda
masing-masing dan melangkah cepat menuju mulut goa. Belum sempat kaki mereka
menginjak bagian dalam goa, tiba-tiba terdengar suara menderu. Bersamaan dengan
itu selarik angin panas menerpa ke arah Rah Gludak dan Kunto Handoko. Kedua
orang ini berseru kaget dan serentak melompat ke samping selamatkan diri.
Sambaran angin menyapu, menghantam kuda yang ditungggangi Lor Paregreg.
Binatang ini meringkik keras lalu roboh ke tanah dengan kepala hangus. Setelah
melejang-lejang beberapa kali kuda ini akhirnya tewas.
Ketika mendengar deru angin
yang keluar dari dalam goa, Lor Paregreg seudah bersiaga. Begitu angin panas
menyambar keluar dan menghantam kudanya, dengan cepat dia melompat. Walau
selamat tapi wajahnya tampak agak pucat.
“Ki Ageng Tunggul! Kau
benar-benar menipu kami!” teriak Lor Paregreg marah. Dia melompat marah. Kedua
tangannya dipentangkan menyambar leher Ki Ageng Tunggul yang berada dalam
keadaan tertotok kaku di atas kudanya. Namun saat itu dari dalam goa melesat
satu sosok tubuh seorang kakek berbaju tambalan berambut keriting, berkuping
sumplung dan mukanya ada guratan cacat sangat dalam. Sekali orang ini mendorong
kedua tangannya, Lor Paregreg terhempas ke belakang.
“Ki Ageng Tunggul, apa ini
tiga manusia yang menurutmu tak layak hidup lebih lama dan harus seera
disingkirkan dari muka bumi ini?!” si kakek yang bukan lain adalah Supit Jagal
bertanya pada Ki Ageng Tunggul.
“Betul!” jawab Ki Ageng
Tunggul cepat. “Bunuh ketiganya cepat! Aku akan memberikan satu kantong uang
lagi padamu!”
Supit Jagal tertawa bergelak.
“Rejekiku sedang besar-besar rupanya,” katanya. Lalu sepasang matanya yang
sipit menyapu tampang ketiga orang itu. “Hemmm, wajah mereka memang tidak sedap
dipandang. Kehadiran mereka di muka bumi hanya mengotori saja. Mereka memang
pantas disingkirkan!” masih tertawa mengekeh Supit Jagal melangkah mendekati
Lor Paregreg.
“Apa kataku Paregreg!” Kunto
Handoko berteriak. “Keparat ini memang menipu kita!” Lalu Kunto Handoko
hantamkan satu jotosan ke perut Ki Ageng Tunggul. Namun sebelum hantaman itu
mengenai sasarannya, selarik angin dahsyat menyambar dari samping. Mau tak mau
Kunto Handoko terpaksa melompat cari selamat.
“Tua Bangka sialan! Kau yang
harus dilenyapkan dari muka bumi ini lebih dulu!” teriak Lor Paregreg marah.
Tangan kanannya mengemplang ke arah kepala si kakek. Kunto Handoko juga tidak
tinggal diam. Dari jarak beberapa kaki dia lemparkan segenggam paku hitam
beracun yang merupakan senjata andalannya. Rah Gludak ikut pula beraksi.
Goloknya berkelebat ke arah supit Jagal.
Walau jelas tiga serangan itu
merupakan serangan maut namun si kakek ganda tertawa. Didahului dengan bentakan
garang dia mengangkat kedua tangannya ke atas. Rah Guldak, Lor Paregreg dan
Kunto Handoko melihat dua larik sinar hitam bergulung membuntal lalu dengan
kecepatan luar biasa menghantam ke arah mereka. Tentu saja ketiga oran ini
berserabutan selamatkan nyawa. Namun agaknya mereka tidak punya kesempatan
lagi. Sambaran dua larik sinar hitam itu lebih cepat dari gerakan mereka untuk
cari selamat. Tak ada hal lain yang bisa mereka lakukan dari pada menjerit
menunggu ajal!
Di saat yang kritis itu
tiba-tiba terdengar satu bentakan keras.
“Supit Jagal! Apa kowe sudah
edan hendak membunuh murid-muridku?!”
Satu larik angin yang
mengeluarkan cahaya biru menyambar. Terdengar suara letupan beberapa kali dan
buyarlah asap hitam yang dilepaskan Supit Jagal tadi dan hampir membunuh Lor
Paregreg, Kunto Handoko serta Rah Gludak.
Supit Jagal terkesiap. Bukan
saja karena serangannya dapat dimusnahkan orang, tapi juga dia mengenali suara
orang yang barusan membentak. Dia melompat satu langkah ke samping lalu
berpaling. Satu bayangan hitam berkelebat turun dari tebing batu. Yang muncul
ternyata seorang kakek bertubuh sangat tinggi, berkulit sangat hitam. Mata
kirinya hanya merupakan rongga menganga yang mengerikan.
Supit Jagal segera mengenali
orang ini yang ternyata adalah adiknya sendiri. Dia balas berteriak. “Supit
Ireng! Apa-apaan kau ini?!”
“Kowe yang apa-apaan!” balas
menyemprot Supti Ireng. “Kau hendak membunuh tiga muridku! Sungguh gila!”
“Bah!” Supit Jagal delikkan
matanya yang sipit. “Mereka muridmu….? Kalau begitu….” Supit Jagal berpaling
pada Ki Ageng Tunggul. “Kalau begitu si keparat ini hendak mengadu domba kita
kakak dan adik. Bangsat kurang ajar!” Sekali lompat saja Supit Jagal sudah
menjambak rambut Ki Ageng Tunggul lalu menyentakkannya dari atas kuda hingga
jatuh terbanting di tanah, masih dalam keadaan tertotok. Manusia muka setan ini
tempak ketakutan setengah mati.
“Guru…..”
“Anjing kurap! Jangan sebut
aku guru! Aku tidak pernah jadi gurumu dan kau tidak pernah jadi muridku!”
“De….dengar. Berjanjilah kau
tidak akan mengap-apakan diriku. Aku berjanji untuk memberikan uang serta harta
berlimpah-limpah padamu!”
“Supit Jagal, lepaskan
totokannya,” berkata Supit Ireng.
Supit Jagal lepaskan totokan
di tubuh Ki Ageng Tunggul. Begitu totokannya lepas Ki Ageng Tunggul jatuhkan
diri berlutut. “Ampuni diriku. Ampuni diriku…..” kata Ki Ageng Tunggul setengah
meratap sementara Supit Ireng dan Lor Paregreg melangkah ke arahnya.
Sampai di hadapan Ki Ageng
Tunggul, Lor Paregreg berkata sambil memegang bahu lelaki itu. “Nyawamu akan
kami ampuni. Asal saja kau mau menerangkan di mana empat peti besar berisi uang
dan harta benda itu kau sembunyikan!”
“Terima kasih! Terima
kasih…..” kata Ki Ageng Tunggul sambil manggutmanggut berulang kali.
“Lekas katakan!” teriak Lor
Paregreg.
“Peti-peti itu….aku
sembunyikan, aku kubur di halaman belakang rumahku di Pasirginting,” kata Ki
Ageng Tunggul akhirnya menerangkan.
“Kau dusta!” bentak Kunto
Handoko.
“Demi Tuhan! Aku bersumpah!
Aku tidak dusta!”
“Jangan percaya keterangannya
itu Paregreg!” Rah Gludak berkata.
Lor Paregreg angakt tangannya.
“Sekali ini kita harus percaya kawankawan….”
“Betul Paregreg, sekali ini
aku benar-benar tidak menipu kalian! Cincang tubuhku jika ketahuan aku
berdusta!”
Lor Paregreg menyeringai. “aku
percaya padamu Ki Ageng Tunggul. Nyawamu diampuni. Kau sekarang bebas pergi.
Pergi ke neraka!” Kaki kanan Lor Paregereg menendang ke arah perut Ki Ageng
Tunggul hingga orang ini mencelat dan terjungkal di tanah. Belum lagi dia
sempat bangun, masih dalam keadaan merintih sambil pegangi perutnya yang
laksana pecah, tendangan Kunto Handoko mendarat di kepalanya. Ki Ageng Tunggul
terlempar ke kiri. Kepalanya serasa terbang meninggalkan tubuhnya. Hidungnya
yang tepat kena tendangan melesak patah dan mengucurkan darah. Dari mulutnya
terdengar suara lolong kesakitan. Rah Gludak tak mau ketinggalan. Tendangannya
mematahkan tiga buah tulang-tulang iga Ki Ageng.
“Jangan….Ampuni nyawaku.
Kawan-kawan…..”
“Kami bukan kawan-kawanmu
manusia busuk! Pengkhianat keji! Penipu keparat!” teriak Lor Paregreg.
Tendangannya menghantam dada KI Ageng Tunggul hingga kembali orang ini
terlempar. Karena jatuhnya tepat di hadapan Supit Jagal, maka Ki Ageng Tunggul
jatuhkan dirinya seraya memohon. “Tolong….kau yang bisa menolongku dari
orang-orang ini….”
“Tolong….? Baik, aku akan
tolong,” kata Supit Jagal sambil menganggukangguk dan seringai bermain di
mulut. “Nah, ini pertolongan dariku!” Kaki kiri Supit Jagal melesat
mengeluarkan suara berdesing.
“Bukk!”
Tendangan itu menghantam telak
lambung kiri Ki Ageng Tunggul. Orang ini terpekik, mental dan roboh
tergelimpang di tanah. Baru saja jatuh bergedebukan begitu rupa, yang lain ikut
pula menendang. Begitu terus bergantian hingga akhirnya Ki Ageng Tunggul
menemui ajal dengan muka dan kepala hancur bergelimang darah. Tulang
belulangnya berpatahan!
Supit Jagal berpaling pada
adiknya. “Supit Ireng, untung kau muncul pada waktunya. Kalau tidak ketiga
muridmu pasti sudah kugebuk mati konyol!”
Supit Ireng tertawa pendek.
Dia hendak mengatakan sesuatu menjawab ucapan kakaknya tadi. Namun tiba-tiba
dia melihat ada serombongan orang muncul di depan sana. “Lihat!” serunya
memberi tahu seraya menunjuk.
Semua orang berpaling pada
arah yang ditunjuk. Saat itu di sebelah atas dinding batu dan sepanjang pantai
Teluk Burung muncul hampir seratur perajurit bersenjata lengkap termasuk tombak
dan tameng. Dari cara mengatur kedudukan jelas mereka tengah melakukan
pengurungan.
“Ada keperluan apa
monyet-monyet Kerajaan itu jual tampang di sini?!” ujar Supit Jagal sementara
Lor Paregreg dan dua kawannya tampak gelisah sedang Supit Ireng tenang-tenang
saja.
Baru Supit Jagal berucap,
tiba-tiba dari lamping dinding batu sebelah kiri terdengar seruan keras.
“Lima orang di depan goa lekas
menyerah! Kalian sudah terkurung!”
“Itu suara si keparat
Brajaseta! Kepala Pasukan Kerajaan!: kata Lor Paregreg yang mengenali suara
orang.
Rahang Supit Ireng
menggembung. Matanya yang hanya satu itu seperti menyala begitu ingat bahwa
Kepala Pasukan Kerajaan itulah yang tempo hari memenjarakan dan menyiksa ketiga
muridnya. Dia mendongak dan berteriak.
“Brajaseta! Kalau kau punya
nyali turun ke bawah sini! Jangan jual lagak dari jauh!”
Supit Ireng tutup teriakannya
dengan menghantamkan tangan kanannya ke atas. Sesaat kemudian terdengar suara
menggelegar. Salah satu bagian dinding batu sebelah atas hancur berantakan.
Tiga orang perajurit jatuh bersama kuda tunggangan mereka. Brajaseta yang
diarah sudah dulu melompat selamatkan diri. Tubuhnya jatuh ke bawah seperti
bola tapi sampai di tanah kedua kakinya sampai lebih dulu. Begitu berdiri dia
berteriak memberi aba-aba menyerbu. Seorang tokoh silat Istana berjuluk Si
Kipas Besi ikut melompat turun sambil kebutkan kipas saktinya. Terdengar suara
menderu. Debu dan pasir pantai beterbangan menutupi udara beberapa ketika.
Sewaktu udara terang kembali maka
kelihatan puluhan perajurit Kerajaan bergerak cepat ke arah sasaran yaitu lima
orang di depan goa. Di depan sekali berjejer lima orang Perwira Tinggi.
Penyerangan dipimpin langsung oleh Brajaseta dan Si Kipas Besi.
Melihat muduh begitu banyak
mulai mendekati untuk menggempur dua bersaudara Supit Jagal dan Supit Ireng
masih tenang-tenang saja, malah kelihatan mereka tertawa-tawa.
Pada jarak sepuluh langkah
Brajaseta kembali berseru. “Kalian sudah terkurung! Tidak mungkin meloloskan
diri! Lekas menyerah kalau sayang nyawa!”
Supit Jagal dan Supit Ireng
tertawa bergelak. “Menyerah? Siapa yang sayang nyawa?!” teriak Supit Ireng.
Matanya yang cuma satu mulai merah tanda kemarahan mulai menguasai dirinya.
“Bangsat bernama Brajaseta! Dengar baik-baik ucapanku! Kau telah memenjarakan
dan menyiksa tiga orang muridku ini! Apa yang telah kau lakukan harir ini bakal
kau terima balasannya berikut bunganya! Dan kau juga Kipas Besi! Berapa kau
dibayar untuk menjadi cecunguk Istana?! Dosamu cukup besar. Kau layak mampus
saat ini juga!” Supit Ireng melompat ke arah Brajaseta. Supit Jagal, Lor
Paregreg, Kunto Handoko dan Rah Gludak tak tinggal diam. Keempatnya ikut
menyongsong datangnya gempuran.
Pukulan-pukulan sakti yang
dilepaskan Supit Jagal dan Supit Ireng memang luar biasa. Sekelompok para
perajrit yang menyerbu roboh mati bergelimpangan. Tiga orang Perwira Tinggi
yang secara nekad coba balas menghantam ikut jadi korban. Duanya lagi jadi
terkesiap kalau tak mau dikatakan leleh nyalinya. Brajaseta sendiri diam-diam jadi
tercekat. Dia sama sekali tidak menyangka dua tokoh silat golongan hitam itu
demikian hebat kepandaiannya. Amukan kedua orang itu tak bisa dibiarkan begitu
saja. Brajaseta melompat ke hadapan Supti Jagal dan Supit Ireng yang saat itu
tengah mengeroyok Si Kipas Besi. Namun gerakannya dihadang oleh Lor Paregreg,
Kunto Handoko dan Rah Gludak.
“Keparat! Biar kalian kubunuh
lebih dulu!” bentak Brajaseta. Baru saja dia membentak begitu tiba-tiba dia
mendengar seruan Si Kipas Besi. Brajaseta berusaha melirik dan sempat melihat
bagaimana dua bersaudara Supit berhasil merampas kipas besi di tangan tokoh
silat Istana. Lalu dengan senjata itu Supit Ireng mengepruk batok kepala Si
Kipas Besi. Tokoh silat ini meraung keras dan roboh ke tanah tanpa nyawa lagi!
Brajaseta merasa seperti
berada di neraka. Dia cabut pedangnya setelah terlebih dahulu melancarkan satu
pukulan tangan kosong keras ke arah tiga pengurungnya. Namun gerakannya terlalu
lamban akibat pengaruh menyaksikan kematian Si Kipas Besi tadi. Golok di tangan
Lor Paregreg menyambar bahu kanannya lebih cepat. Darah muncrat, pedang yang
digenggamnya terlepas jatuh. Bersamaan dengan itu Supit Ireng sudah melompat ke
hadapannya dengan tangan terpentang siap untuk menghantam.
“Saatnya kau membayar hutang
berikut bunganya Brajaseta!” teriak Supit Ireng.
“Guru!” seru Lor Paregreg.
“Sebagai murid tertua biar aku yang menabas batang leher manusia satu itu!”
Supti Ireng menyeringai.
“Tentu! Kau dan dua muridku lainnya bakal dapat bagian. Beri aku kesempatan
hanya untuk mencungkil salah satu matanya agar tampangnya mirip-mirip aku!”
Supit Ireng tertawa mengekeh. Tubuhnya berkelebat. Dua jari tangan kirinya
membeset ke depan, ke arah mata kiri Brajaseta sedang tangan kanan dipentang ke
depan untuk menjaga kalau-kalau Kepala Pasukan Kerajaan itu mengirimkan
serangan atau berusaha menangkis. Brajaseta sendiri saat itu boleh dikatakan
tidak berdaya. Darahnya terlalu banyak keluar dari luka besar di bahunya. Dia
masih berusaha untuk merundukkan kepala menghindar cungkilan dua jari tangan
Supit Ireng. Tapi itupun tidak ada artinya. Karena seperti kepala ular, dua
jari tangan Supti Ireng bergerak mengikuti gerakan kepala Brajaseta.
Di saat menegangkan itu
terjadilah hal yang luar biasa. Seolah-olah muncul dari dasar laut terdengar
suara menderu dahsyat dan aneh. Teluk Burung laksana dilanda topan prahara.
Pasir pantai beterbangan ke udara menutupi pemandangan. Deru ombak tertindih
lenyap. Belasan perajurit yang tidak mampu bertahan jatuh terduduk behkan
banyak yang berpelantingan. Dua orang Perwira Tinggi Kerajaan coba bertahan
tapi keduanya akhirnya jatuh berlutut. Supit Ireng dan Supit Jagal berdiri
tergontai-gontai. Saat itu suara menderu tadi semakin jelas. Laksana suara
ratusan tawon mengamuk dan kini malah disertai hamparan hawa panas.
Supti Jagal cepat melompat
menjauh dan bersandar ke dinding batu. Sebaliknya Supit Ireng yang sudah siap
mencungkil mata kiri Brajaseta dengan nekad meneruskan serangannya.
Satu cahaya menyilaukan
beriblat.
“Craass!”
Supit Ireng menjerit setingi
langit. Tangan kirinya putus sebatas pergelangan! Darah mengucur deras. Sekujur
tubuhnya mendadak sontak menjadi panas. Dia menjerit sekali lagi lalu jatuh
terduduk di atas pasir!
Seorang pemuda berambut
gondrong, mengenakan baju putih tak terkancing tegak di tengah-tengah kalangan
pertempuran. Di dadanya kelihatan rajahan angka
212. Tangan kirinya berkacak
pinggang sedang tangan kanan memegang sebilah kapak bermata dua yang kelihatan
merah oleh darah Supit Ireng.
Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Wiro Sableng dari Gunung Gede memandang berkeliling. Pandangannya sesaat
melekat pada Supit Ireng dan Supit Jagal. “Siapa di antara kalian bernama Supit
Jagal?!” Murid sinto Gendeng ini ajukan pertanyaan. Baik Supit jagal maupun
Supit Ireng sama sekali tidak mengetahui siapa adanya pemuda ini. Sebaliknya
Brajaseta walaupun barusan telah diselamatkan nyawanya oleh Wiro namun masih
mendekam dendam kesumat. Karena ulah Pendekar 212lah beberapa waktu lalu
seorang tokoh silat bergelar Malaikat Tak Bernama beserta Jakaeulung muridnya
berhasil meloloskan diri dari sergapan Pasukan Kerajaan. Dalam pada itu yang
paling membuat Kepala Pasukan Kerajaan ini menjadi sangat sakit hati ialah Wiro
pula yang menyebabkan Ning Larasati, puteri Sultan yang dicintainya sempat
menghilang lalu ikut bersama Jakawulung dan menjalin cinta dengan pendekar muda
ini!
Supit Jagal batuk-batuk
beberapa kali. Dia menyeringai memandang pada Pendekar 212 dan berkata.
“Kacungku jelek! Ada apa kau mencari majikanmu ini? Aku Supit Jagal orang yang
kau cari!”
Pendekar 212 balas
menyeringai. “Jadi begini tampang manusia bernama Supit Jagal. Tadinya kukira
masih muda dan ganteng, Tidak tahunya mirip-mirip kodok bengkak bermata sipit!
Pakaianmu bagus amat banyak tambalan. Dekil dan bau. Paling tidak kau tak
pernah mandi selama dua tahun! Betul?”
Tampang hitam Supit Jagal jadi
berubah merah. Sebaliknya murid Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak.
“Bangsat bosan hidup! Katakan
apa keperluanmu mencariku?! Atau kau ingin mati saat ini juga?!” hardik Supit
Jagal.
“Aku mewakili seorang tua
bernama Empu Pamenang dari Danau Merak Biru. Kau telah membunuh tiga orang
muridnya tanpa sebab dan secara keji!”
“Hemm….begitu? jadi kau kacung
Empu Pamenang rupanya. Berapa upah yang diberikan tua bangka itu padamu? Jika
kau mau jadi kacungku, aku bersedia membayar dua kali lipat!”
Wiro menyengir. “Membeli baju
yang bagus saja kau tidak punya. Mau membayar aku pula! Tua bangka keblinger!”
ejek Wiro.
“Keparat haram jadah! Si
Pamenang itu nyatanya tidak punya nyali untuk datang sendiri!”
“Orang tua itu telah memilih
hidup suci. Tak mau lagi mengotori tangannya dengan darah dan nyawa. Baliau
punya pntangan membunuh. Itu sebabnya aku datang mewakili beliau!”
Supit Jagal menyeringai.
“Dusta kentut busuk!” makinya.
Saat itu tiba-tiba terdengar
suara jeritan Brajaseta. Tubuhnya jatuh menelungkup ke tanah. Di punggungnya
menancap sebilah golok yang menghujam menembus sempai ke dadanya. Begitu jatuh
Kepala Pasukan Kerajaan ini langsung tewas. Apa yang telah terjadi?!
Selagi perhatian semua orang
tertuju pada Wiro Sableng dan Supit Jagal, kesempatan licik ini tidak
disia-siakan oleh Lor Paregreg. Dengan licik, dari belakng dia menusukkan
goloknya ke punggung Kepala Pasukan Kerajaan itu!
Meskipun sebenarnya tidak
begitu senang terhadap Brajaseta, namun melihat kematian orang mengenaskan
begitu rupa Pendekar 212 Wiro Sableng melompat sambil menyergap Lor Paregreg
dengan satu tabasan. Kapak Naga Geni 212 berkiblat menyambar batok kepala Lor
Paregreg. Namun saat itu pula dari samping kiri kana dua pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi menyerangnya dalam waktu yang bersamaan.
Wiro bersuit keras. Tubuhnya
berkelebat lenyap. Kini yang terlihat hanya kilauan cahaya senjata mustikanya
disertai deru keras dan tebaran hawa panas. Melihat guru mereka sudah mulai
menyerang, Lor Paregreg, Rah Gludak dan Kunto Handoko tidak tinggal diam.
Mereka ikut menyerbu mengeroyok Wiro. Murid Sinto Gendeng kini jadi dikeroyok
lima orang. Mereka memiliki kepandaian tinggi namun yang paling berbahaya
adalah Supit Jagal dan Supit Ireng.
Sisa-sisa pasukan Kerajaan
begitu menyaksikan kematian pimpinan mereka serta merta jadi putus nyali. Di
bawah pimpinan dua orang Perwira Tinggi mereka segera bersiap-siap meninggalkan
tempat itu dengan membawa mayat Brajaseta yang masih ditancap golok!
Sementara itu di atas dinding
batu kelihatan tiga orang berdiri menyaksikan apa yang terjadi di bawah sana.
Mereka adalah Empu Pamenang, Jakawulung dan Ning Larasati. Sang Empu sengaja
datang untuk menyaksikan sendiri kematian musuh besarnya Supit Jagal.
“Empu, kita tidak bisa tinggal
diam. Kita harus segera turun tangan membantu sahabat Wiro.”
Empu Pamenang mengusap dagunya
dan menjawab penuh keyakinan. “Tidak perlu Jaka. Pendekar 212 bukan manusia sembarangan.
Jika Kapak Naga Geni berada dalam genggamannya, tidak ada musuh yang tidak
dapat dimusnahkannya!”
“Tapi satu lawan lima
benar-benar perkelahian yang idak adil! Saya kawatir para pengeroyok berlaku
curang!” kata Ning Larasati puteri Sultan yang jatuh cinta pada Jakawulung.
“Larasati betul sekali Empu.
Biar saya membantu Wiro!” kata Jakawulung. Ketika dia hendak melompat ke bawah
Empu Pamenang memegang bahunya. “Lihat apa yang terjadi di bawah sana Jaka!”
Jakawulung dan Ning Larasati
sama memandang ke bawah dinding batu. Saat itu tampak dua dari lima pengeroyok
roboh bersimbah darah dimakan Kapak Naga Geni 212. Mereka adalah Rah Gludak dan
Kunto Handoko.
Dua jurus kemudian terdengar
jeritan Supit Ireng. Darah menyembur dari luka di lehernya yang kena dibabat
Kapak Naga Geni 212 hampir putus. Tubuhnya terbanting ke pasir. Menggeliat
sedikit lalu diam tak berkutik lagi. Supit Jagal meraung menyaksikan apa yang
terjadi dengan adiknya itu dan menyangka Supit Ireng telah tewas. Amarah
membuat dia mengamuk seperti setan.
Pukulan-pukulan sakti
mengandung enaga dalam tinggi dilepaskan tiada henti ke arah Wiro. Lor
Paregreg, satu-satunya kawan yang masih mendampinginya saat itu berkelahi
dengan setengah hati karena nyalinya sudah leleh. Manusia satu ini melolong
kesakitan dan lari meninggalkan kalangan perempuran ketika senjata di tangan
Wio membabat tangan kirinya sebatas bahu hingga buntung. Wiro tidak perdulikan
orang itu karena yang ingin dibereskannya saat itu adalah Supit Jagal.
Sebaliknya begitu Lor Paregreg melarikan diri, Ning Larasati yang punya dendam
luar biasa terhadap lelaki ini. Dulu hampir saja dia jadi korban perkosaan Lor
Paregreg. Larasati segera mengejar setelah lebih dulu menyambar pedang milik
Jakawulung dari sarungnya.
“Manusia iblis! Kau mau lari
kemana?!” bentak Ning Larasati.
Melihat si gadis menghadang
dengan pedang di tanagn, Lor Paregreg berteriak ketakutan. “Jangan….jangan
bunuh! Ampuni diriku….”
Pedang di tangan Ning Larasati
berkelebat menabas ke arah perut Lor Paregreg. Lelaki ini melolong kesakitan,
jatuh terduduk sambil pegangi perutnya yang robek besar. Ususnya menyembul
keluar. Tubuhnya menggigil melihat isi perutnya sendiri yang berbusaian. Antara
sadar dan tiada tubuhnya jatuh ke tanah. Pedang di tangan Larasati berkelebat
sekali lagi. Kali ini menetak lehernya hingga nyaris putus!
Sehabis membunuh Lor Paregreg,
Ning Larasati merasakan sekujur tubuhnya mnggigil dingin. Seumur hidup baru sekali
ini dia membunuh yang namanya manusia. Untung Jakawulung da Empu Pamenang
muncul di tempat itu dan menolongnya. Kalau tidak niscaya gadis ini akan
terhantar pingsan di tanah.
Perkelahian antara Supit Jagal
dan Pendekar 212 Wiro Sableng berjalan seru. Namun kakek bermata sipit itu mana
sanggup menahan hantaman-hantaman Kapak Naga Geni 212. Setelah bertahan
mati-matian selama sembilan jurus akhirnya satu tendangan yang dilepaskan Wiro
secara tidak terduga membuat dirinya mencelat mental. Malang baginya tubuhnya
jatuh tepat di depan Empu Pamenang. Tanpa pikir panjang orang tua ini kirimkan
pula tendangan ke punggung Supit Jagal. Untuk kedua kalinya tubuh Supit Jagal
mencelat, kembali melayang ke arah Wiro.Seperti sebuah bola, tubuh melayang itu
disambut oleh murid Sinto Gendeng dengan tendangan kaki kanan.
“Bukkk!”
Sosok Supit Jagal mencelat ke
arah laut amblas ditelan ombak. Sesaat kelihatan kedua tangannya
menggapai-gapai udara kosong. Kakek jahat ini akhirnya lenyap dari pemandangan.
Empu Pamenang pejamkan kedua
matanya. Terbayang murid-muridnya yang telah menemui ajal dibunuh oleh Supit
Jagal. Dalam hati orang tua ini berkata. “ Murid-muridku pembunuh kailan sudah
menemui ajal. Sekarang kuharap kalian semua bisa beristirahat dengan tenang di
alam baka….”
Ketika membuka mata kembali
pandangan Empu Pamenang tertuju pada Wiro. Dia melangkah mendekati pemuda ini.
“Pendekar 212. Aku sangat berterima kasih atas semua bantuanmu….”
Wiro hanya tersenyum dan
garuk-garuk kepala. “Tolong menolong dalam dunia persilatan sudah lumrah Empu.
Lagi pula apa yang saya lakukan bukan sesuatu yang patut dibesar-besarkan….
Kalau boleh saya mohon diri sekarang. Saya ingin melanjutkan perjalanan.”
Empu Pamenang menarik nafas
panjang lalu perlahan-lahan menganggukkan kepalanya. Ning Larasati mendekati
seorang Perwira Tinggi yang tengah bersiapsiap membawa jenazah Brajaseta.
“Jika kalian kembali ke Kotaraj, beritahu Sultan bahwa aku telah diambil murid
oleh Empu Pamenang di Danau Merak Biru. Katakan agar ayahanda tidak usah
kawatir. Jika aku sudah mewarisi ilmu kepandaian pasti aku akan kembali ke
Istana.”
Perwira Tinggi itu tak bisa
menjawab apa-apa hanya menjura dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu.
Empu Pamenang memandang pada
Jakawulung dan Ning Larasati. Dia lalu celingukan ke kiri dan ke kanan. “Eh,
kemana lenyapnya pemuda itu?!”
Jakawulung dan Ning Larasati
baru sadar. Memandang berkeliling Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng tak ada lagi di tempat itu. Sang Empu geleng-gelengkan kepala. Dia
memegang lengan sepasang muda mudi itu lalu mengajaknya pergi dari situ.
Belasan mayat bertebaran di
tepi pantai Teluk Burung. Deburan ombak dan tiupan angin terdengar aneh seolah
menambah keangkeran keadaan tempat itu. Tibatiba kesunyian itu dirobek oleh
suara derap kaki kuda. Tak lama kemudian muncullah seorang penunggang kuda
berpakaian biru. Di bawah blangkon yang terletak di atas kepalanya kelihatan
tampangnya yang seram. Astaga! Manusia ini memiliki wajah yang sangat sama
dengan KI Ageng Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul. Keparat yang satu itu
mayatnya masih terkapar di antara tebaran mayat-mayat lainnya. Bahkan orang ini
juga memiliki cacat bekas luka di pipi kirinya! Kulitnya sama hitamnya dengan
Ki Ageng Tungul. Aneh, bagaimana ada dua manusia begini mirip satu sama lain?
Orang ini hentikan kudanya di
antara tebaran mayat. Dia memandang berkeliling. Dia tidak melihat sosok tubuh
yang dicarinya. “Tunggul….?!” desisinya. Untuk memastikan dia turun dari kuda.
Satu demi satu ditelitinya mayat-mayat yang berkaparan itu. Dari mulutnya
kemudian terdengar suara meraung sewaktu dia menemukan mayat Ki Ageng Tunggul
terkapar di tanah, terhimpit oleh sosok mayat seorang perajurit Kerajaan. Orang
ini tendang mayat perajurit itu lalu jatuhkan diri sambil merangkul mayat Ki
Ageng Tunggul. “Adikku, mari kita tinggalkan tempat ini. Aku akan menguburkan
dirimu. Istirahatlah dengan tenang. Kalau manusia-manusia yang membunuhmu masih
hidup aku akan cari mereka sampai dapat! Bahkan aku bersumpah akan membasmi
semua orang yang ada sangkut pautnya dengan mereka!”
Dengan susah payah orang yang
berwajah sangat mirip dengan Ki Ageng Tunggul ini mendukung tubuh Ki Ageng
Tunggul dan meletakkannya di atas kuda. Sesaat kemudian dia segera tinggalkan
tempat itu.
Bersamaan dengan menggelincirnya
sang surya menuju ke Barat, di permukaan laut Teluk Burung tampak sesosok tubuh
berusaha berenang dengan susah payah menuju ke tepi pasir. Sekujur tubuhnya
penuh luka, bengkak-bengkak bahkan tulang-tulang iga serta tangannya ada yang
patah. Dia berenang seperti tengah berenang dalam neraka! Keadaannya hampir
sekarat ketika dia akhirnya berhasil mencapai pasir pantai lalu merangkak
menjauhi ombak. Sungguh luar biasa! Manuisa ini bukan lain adalah Supit Jagal,
kakek sakti yang disangka sudah menemui ajal tenggelam di dasar laut. Ternyata
dia masih hidup dan berhasil menyelamatkan diri dengan berenang ke tepi pantai.
Di bagian lain dari pantai, di
antara tebaran mayat yang berkaparan di sana sini, lapat-lapat terdengar suara
erangan. Lalu ada satu sosok tubuh yang bergelimang darah tampak menggeliat dan
mencoba bangkit. Manusia ini ternyata adalah Supit Ireng yang disangka telah
menemui ajal akibat bacokan Kapak Maut Naga Geni 212 pada bagian lehernya.
Sungguh luar biasa dia masih bisa hidup walau sebagian tubuhnya telah menjadi
hangus! Samar-samar Supit Ireng melihat ada seseorang yang merangkak di atas
pasir. Begitu pandangannya agak menjelas dia segera mengenali orang itu.
“Supit Jagal…. Kau masih
hidup…..?” Supit Ireng berusaha berdiri. Tapi kedua lututnya goyah dan tubuhnya
terbanting ke tanah, menggeletak pingsan!
SATU
Gubuk reyot itu terletak tak
jauh dari Teluk Burung. Ruangan di dalamnya terbuka begitu saja, tak ada sekat
tak ada dinding, apalagi yang disebut kamar. Sebuah obor kecil tergantung di
tiang bambu, menerangi dua sosok tubuh kakek-kakek yang tergeletak di atas
sebuah balai-balai kayu. Keadaan dua sosok tubuh ini sangguh mengerikan. Kakek
pertama buntung kuping kirinya. Mukanya hancur mengerikan. Pakaiannya yang
banyak tambalan kelihatan basah oleh air laut dan darah. Beberapa tulang iganya
patah. Tidak jelas apakah manusia ini masih hidup atau sudah jadi mayat. Dia
bukan lain adalah Supit Jagal, kakek sakti yang diam di sebuah goa di Teluk
Burung.
Di sebelah Supit Jagal
menggeletak tubuh kakek kedua yaitu Supit Ireng. Kakek bertubuh jangkung dan
berkulit hitam ini kini hanya punya satu tangan yaitu tangan kanan. Tangan
kirinya buntung sebatas pergelangan akibat tebasan Kapak Maut Naga Geni 212.
Lengan yang buntung itu tampak menghitam hangus sampai ke siku. Selain
pakaiannya yang kuyup oleh darah, di lehernya kelihatan ada sebuah luka terbuka
mengerikan. Luka ini juga adalah akibat sambaran senjata mustika Pendekar 212
Wiro Sableng. Seperti kakknya, saat itu tidka jelas apakah Supit Ireng masih
hidup atau sudah mati pula.
Pintu gubuk tiba-tiba terbuka
disertai suara berkereketan. Seorang tua melangkah terbungkuk-bungkuk diiringi
dua orang pemuda. Di depan balai-balai kayu, orang tua ini berhenti lalu
berpaling pada dua pemuda. “Ini dua orang yang kuceritakan itu. Mereka kutemui
di antara tebaran mayat di Teluk. Hanya mereka yang masih hidup. Coba kalian
periksa keadaannya.”
Dua orang pemuda memperhatikan
sosok-sosok manusia yang tergeletak di atas balai-balai kayu itu dengan
pandangan penuh ngeri.
“Mereka sudah jadi mayat kek.
Buat apa diperiksa lagi,” kata pemuda yang tegak tepat di samping orang tua
itu. Namanya Kudo Aru. Dia adalah cucu pertama dari si orang tua yang
disebutnya dengan panggilan kakek.
“Aku tidak sependapat!”
menjawab si kakek. “Aku yakin dua manusia ini masih hidup. Mereka orang-orang
sakti. Karena itu mereka sanggup bertahan hidup. Orang lain pasti sudah tewas
menemui ajal!”
“Kakek Pungku,” giliran pemuda
yang satu membuka mulut. “Sebenarnya mengapa kau mau bersusah payah mengurusi
dua orang ini? Sanak bukan saudara bukan! Biar saja mereka tergeletak di Teluk
sampai jadi tengkorak digerogoti elang laut pemakan daging manusia!”
Si orang tua bernama Pungku
menghela nafas dalam. “Aku sudah menduga kau bakal berkata begitu Sindak Bumi.
Terus terang aku sudah lama kenal dengan yang sebelah kiri ini. Dia tinggal di
sebuah goa di teluk. Dia seorang sakti mandraguna.Kalau tidak salah namanya
Supit Jagal.”
“Kalau dia orang sakti mengapa
bisa babak belur seperti ini?” tanya Sindak Bumi.
“Aku tidak tahu apa yang
terjadi dengan dirinya. Namun keras degaanku dia telah berkelahi melawan orang
yang jauh lebih sakti. Karena kenal itu sebabnya aku menolong. Kalaupun dia
sudah mati apa salahnya aku mengurusi mayatnya. Kalian hanya kuminta
membantu…..”
“Lalu kek, apa kau juga kenal
dengan mayat yang satu ini?” bertanya Kudo Aru.
“Kalau tidak salah, dia adalah
adik dari yang satu ini. Dia juga bukan manusia sembarangan. Tapi kalah perkasa
dengan lawannya. Lihat saja tangannya dibikin buntung. Lehernya terluka
dalam….”
“Kek, kedua orang ini sudah
mati. Lebih baik mereka diseret keluar lalu dibuang ke jurang!” kata Sindak
Bumi pula yang tidak mau repot.
“Aku setuju dengan Sindak!
Kata Kudo Aru menyambuti.
Kakek Pungku diam sesaat.
Akhirnya dia berkata. “Jika itu mau kalian apa boelh buat.” Orang tua ini mengambil
obor kecil yang tergantung di dinding lalu berpaling pada kedua cucunya.
“Seperti mau kalian, ayo seret satu-satu mayat itu lalu kita buang ke jurang
malam ini juga.”
“Kek, Kakek….” kata Sindak
Bumi. “Kau ini ada-ada saja. Saya tahu kau ingin berbuat baik. Tapi mengapa
harus menyengsarakan diri sendiri?” Sindak berpaling pada Kudo Aru lel keduanya
melangkah mendekati sosok tubuh di atas balai-balai kayu yang di sebelah kanan.
Sosok Supit Ireng. Masing-masing mereka sudah siap unuk mencekal kaki Supit
Ireng dan menyeretnya ke luar gubuk, terus dibawa ke jurang yang tak berapa
jauh dari sana. Namun belum sempat kedua pemuda ini memegang pergelangan kaki
Supit Ireng tiba-tiba menerobos masuk satu bayangan yang mengeluarkan suara
deru angin.
“Hai! Siapa ini?!” seru kakek
Pungku.
Orang yang masuk ternyata
adalah seorang tua berambut putih yang disisir rapi dan berwajah klimis. Dia
mengenakan baju hitam yang di bagian dadanya ada lukisan telapak tangan berkuku
panjang dalam warna putih. Ketika Pungku dan dua cucunya memperhatikan sepasang
jarinya yang memiliki kuku-kuku sangat panjang.
“Orang berambut putih,kau
belum menjawab pertanyaanku. Harap jelaskan siapa dirimu dan apa keperluanmu
datang ke mari,” berucap Pungku.
“Siapa aku apa perdulimu. Aku
ada urusan dengan dua orang ini. Aku mau memeriksa dan menanyai!”
“Eh, kau tentu tidak gila mau
menanyai orang yang sudah mati!” ujar Sindak Bumi.
“Sudah! Jangan banyak mulut.
Menjauh ke dinding sana! Lihat saja apa yang aku lakukan. Berani membuka mulut
aku kepruk mulut kalian!” Lalu orang berkuku panjang itu melangkah ke arah
balai-balai kayu.
“Hai! Kau tidak bisa berbuat
sesukamu di gubukku!” seru orang tua bungkuk bernama Pungku.seraya menghalangi
langkah orang.
Paras orang berpakaian hitam
itu tampak berubah menyeramkan. “Jangan buat aku marah! Atau kau ingin kubuat
seperti ini?!” Kakek berambut putih ini pentang tangan kanannya. Tiba-tiba
tangan itu berkelebat ke arah dinding papan. Terdenga suara seperti orang
menggergaji! Ketika Pungku dan dua cucunya memandang ke dinding, wajah
ketiganya jadi pucat. Dinding kayu itu kelihatan berlubang dalam berbentuk
guratan panjang! Orang tua ini menyeringai. “Apa kalian masih mau bicara rewel
denganku?!”
“Maafkan kami,” kata Sindak
Bumi cepat-cepat.”Kami tidak tahu kalau berhadapan dengan orang pandai. Kami
memang tidak berkepentingan dengan dua mayat itu. Kau mau mengapakannya
silahkan saja. Kami menunggu di luar…..”
“Tak usah pakai keluar segala.
Kalian boleh lihat sendiri apa yang bakal aku lakukan!”
Orang tua berambut putih rapi
dan berwajah klimis itu melangkah mendekati tubuh Supit Ireng yang tergeletak
di atas balai-balai kayu sebelah kanan. Dia memperhatikan keadaan orang ini
beberapa lama. Tiba-tiba bret….bret! Dia merobek baju yang dikenakan Supit Ireng
hingga dadanya terpentang lebar. Dengan hati-hati orang ini kemudian
menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada Supit Ireng. Lalu dia mulai
mengerahkan tenaga dalam yang berpusat di perut. Wajahnya yang klimis tampak
menjadi kemerahan. Tubuh dan terutama kedua tangannya kelihatan bergetar.
Keringat memrcik di keningnya.
Kaki kanan Supit Ireng tampak
bergerak. Menyusul kaki kirinya. Perlahanlahan kedua matanya terbuka. Merah
mengerikan. Tiba-tiba tubuh Supit Ireng bergerak bangkit seperti mau duduk.
Kakek Pungku dan dua cucunya tersirap ngeri dan mundur ke dinding gubuk. Tapi
Supit Ireng hanya tertegak sesaat lalu tubuhnya jatuh lagi terbanting ke
balai-balai kayu. Kedua matanya terpejam kembali. Dia pingsan lagi!
Kakek berambut putih geleng-gelengkan
kepala. Sambil menarik nafas panjang dia lepaskan kedua tangannya dari dada
Supit Ireng. “Keadaannya parah sekali……” kata orang tua ini dalam hati. “Lika
di lengan dan di lehernya yang jadi penyebab. Orang lain mungkin sudah menemui
ajal. Benda apa yang telah menghantamnya sampai keadaannya parah seperti ini?”
Dia melirik pada sosok Supit
Jagal. “Kalau yang satu inipun tidak bisa kubuat sadar, sia-sia saja aku datang
jauh-jauh ke sini….!” Lalu orang tua ini berpindah ke samping kiri balai-balai.
Seperti tadi, kali ini dia juga merobnek baju yang dikenakan Supit Jagal. Dia
menyeka keningnya yang basah keringatan lalu kedua telapak tangannya
ditempelkan ke dada Supit Jagal. Perlahan-lahan dia mengeluarkan tenaga
dalamnya menghangati peredaran darah dan sekujur tubuh Supit Jagal. Hatinya
mulai cemas setelah menunggu beberapa saat tidak tampak tanda-tanda Supit Jagal
akan siuman dari pingsannya.
“Celaka!” keluh orang tua
berambut putih itu. Digesernya sedikit telapak tangan kanannya hinnga kini
tepat berada di arah jantung Supit Jagal. Lalu dia mulai mengerahkan lagi
tenaga dalamnya dengan segala daya yang dimilikinya.
Tiba-tiba terdengar suara
erangan halus. Yang mengerang adalah Supit Jagal. Si orang tua kerahkan seluruh
sisa tenaganya. Suara erangan itu semakin keras dan jelas.
“Air….air?”
“Ambilkan air! Cepat!”
perintah orang tua rambut putih pada Pungku. Pungku memberi isyarat pada salah
satu cucunya. Kudo Aru keluar dari dalam gubuk. Tak lama kemudian dia muncul
lagi membawa air dalam mengkok tanah yang pecah salah satu pinggirannya. Air
dalam mangkok tanah itu dikucurkan ke mulut Supit Jagal.
Orang tua berambut putih
salurkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya lalu dia lepaskan tempelan dua
telapak tangannya dan tertegak dengan nafas memburu. Di atas balai-balai kayu
Supit Jagal tampak telah membuka mata. Pandangannya mengerikan apalagi mukanya
sendiri saat itu hancur babak belur.
“Tol…..tolong. Di mana aku….”
Supit Jagal berucap di antara erangannya.
Melihat hal ini si orang tua
segera letakkan tangan kanannya di atas kening Supit Jagal. Kalau tadi dia
mengerahkan tenaga dalam yang mengeluarkan hawa panas, kini dia ganti dengan
tenaga dalam yang memancarkan hawa sejuk. Supit Jagal merasakan rasa sakit di
sekujur tubuhnya berkurang sedikit. Pemandangannya lebuh jelas tapi tetap saja
dia tidak mengenali orang tua yang tegak di sampingnya.
“Kau siapa…. DI mana aku saat
ini?” tanyanya. Suaranya lebih keras dan lebih jelas.
“Siapa aku tidak penting.
Paling penting adalah menyelamatkan nyawamu saat inijuga. Kau masinh ingin
hidup…..?”
“Aku…..” Supit Jagal merasakan
lehernya seperti tercekik. Orang tua tadi cepat-cepat kerahkan lagi tanaga
dalam yang mengandung hawa sejuk.
“Dengar…..” Si orang tua kini
berlutut di samping balai-balai kayu. Mulutnya didekatkan ke telinga kanan
Supit Jagal. “Aku akan menyelamatkan nyawamu. Juga saudaramu. Tapi dengan satu
perjanjian! Dengan satu syarat!”
“Keparat…..” terdengar serapah
Supit Jagal. “Kau menolong karena mengharapkan sesuatu! Bangsat!”
Orang tua tak dikenal berambut
putih itu menyeringai. “Jaman sekarang mana ada pertolongan diberikan
Cuma-Cuma. Apalagi pertolongan menyangkut nyawa!”
“Apa yang kau harapkan
dariku?” tanya Supit Jagal.
“Aku yakin kau mengetahui di
mana bekas sobatmu Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul menyembunyikan empat
buah peti berisi uang dan harta perhiasan itu!”
“Setan alas! Jadi itu yang
ingin kau ketahui…..” kembali Supit Jagal merutuk. “Kau tanyakan saja pada
setan dan dedemit!”
“Kau lebih sayang uang dan
harta dari pada nyawamu sendiri dan nyawa saudaramu!”
“Aku tidak perlu pertolongan
manusia macam kau! Aku lebih suka mampus dari pada memberi tahu!”
“Bagus sekali kalau begitu!”
kata si orang tua lalu berdiri. “Selamat mampus! Sampaikan salamku pada
iblis-iblis akhirat!” Lalu dia membalik dan melangkah cepat menuju pintu.
“Tunggu!” Supit Jagal
memanggil.
Orang tau itu berhenti di
ambang pintu dan membalik. Lalu bertanya “kau belum pasrah untuk mampus?!”
“Aku mau membuat perjanjian
denganmu. Tapi jangan serakah!”
Si orang tua mendekati
balai-balai kayu. “Apa perjanjianmu?” tanyanya.
“Kau selamatkan nyawaku dan
nyawa saudaraku. Empat peti itu kita bagi dua. Kau dapat dua, aku dapat dua….”
Orang tua itu tampak seperti
berpikir-pikir. Sesaat kemudian dia berkata. “Baik. Aku setuju. Sekarang lekas
katakan di mana beradanya empat peti itu!”
“Sabar dulu. Bagaimana aku
tahu kau tidak akan menipuku?” tenya Supit Jagal pula.
Si orang tua tersenyum. “Kalau
kau memang tidak percaya, buat apa mengadakan perjanjian?!” tukasnya. Dia
seperti hendak bergerak pergi.
Supit Jagal masih diam
beberapa ketika. Akhirnya dia berkata. “Mendekatlah, aku akan beritahu….”
Si orang tua mendekat. Seperti
tadi dia berlutut di samping balai-balai kayu dimana Supit Jagal tergeletak
menelentang.
“Empat peti berharga itu
ditanam di….”
Belum sempat Supit Jagal
menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba di dalam gubuk melesat satu sosok tubuh.
Sambil melesat ke dalam dia melepaskan satu pukulan jarak jauh yang ampuh.
Orang tua yang sedang berlutut di samping balaibalai kayu berseru kaget.
Tubuhnya terpental begitu angin pukulan menghantamnya!
“Penyerang gelap kurang ajar!
Siapa kau!” teriak orang tua berambut putih sambil pegangi dadanya yang masih
berdenyut sakit.
Terdengar suara tawa mengekeh.
DUA
Di tengah gubuk, di ujung
kanan balai-balai kayu kini tampak berdiri seorang lelaki muda bertubuh tinggi
tegap. Rambutnya sangat hitam, keningnya menonjol sedang dagu dan rahangnya
tampak kukuh. Walaupun parasnya gagah tapi jelas membayangkan sifat sombong
angkuh dan kecongkakan. Sehelai ikat kepala warna merah melintang di atas
keningnya. Dia mengenakan pakaian hitam atas bawah. Dengan adanya orang ini di
tempat itu, gubuk kecil itu jadi semakin sempit. Kini ada lima orangdi situ,
ditambah dengan Supit Jagal dan Supit Irang yang masih tergeletak di atas
balai-balai.
Kakek Pungku yang memegang
obor berbisik pada dua cucunya, bertanya kalau-kalau mereka mengenali siapa
adanya pemuda itu. Tapi Sindak Bumi dan Kudo Aru sama menggelengkan kepala.
“Siapa kau?!” bentak orang tua
berambut putih dengan geram karena barusan telah diserang secara mendadak.
Pemuda yang ditanya mendongak
lalu kembali keluarkan tawa mengekeh.
“Dunia ini terlalu luas
rupanya hingga kau tidak tahu siapa tuan besarmu ini!”
“Kurang ajar! Jawab
pertanyaanku, jangan bicara bertele-tele!”
“Orang tua jelek bergelar
Sepuluh Cakar Setan, apakah kau tidak mengenali gambar di bajuku ini?!”
Orang tua bermbut putih
terkejut mendengar orang mengenali dan menyebut namanya. Namun dia lebih
terkejut lagi sewaktu melihat gambar yang terpampang di baju hitam yang
dikenakan si pemuda. Yaitu gambar Gunung Merapi berwarna kebiruan dengan latar
belakang sang surya berwarna merah lengkap dengan garisgaris cahaya juga
berwarna merah.
“Pangeran Matahari!” seru si
orang tua dengan wajah berubah. Siapa adanya orang di dunia persilatan yang
tidak kenal dengan Pangeran Matahari, tokoh silat sakti madraguna yang juga
dikenal dengan julukan Pendekar Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala
Licik dan Segala Congkak.
Pemuda di tengah gubuk kembali
tertawa. Kepalanya yang sejak tadi mendongak kini diturunkan. Kedua matanya
memandang lekat-lekat pada orang tua yang bergelar Sepuluh Cakar Setan itu.
“Aku menganggap kau tidak
punya kepentingan apa-apa lagi di sini. Karenanya lekas angkat kaki dari sini!”
kata Pangeran Matahari dengan suara keras membentak.
“Siapa bilang aku tidak punya
kepentingan! Apa pula kepentinganmu berada di sini?!” membentak Sepuluh Cakar
Setan.
“Aku datang untuk mengambil dua
orang di atas balai-balai kayu iotu!” jawab Pangeran Matahari. “Itu kepentingan
pertama. Kepentingan kedua ialah membunuhmu jika kau terlalu banyak tingkah di
depan tuan besarmu ini!”
“Manusia sombong! Namamu
memang besar. Tapi apa kau kira aku takut padamu?!” hardik Sepuluh Cakar Setan.
Jari-jari tangannya tampak bergetar tanda diam-diam dia telah bersiap-siap
mengerahkan tenaga dalamnya.
Hal ini bukan tidak diketahui
oleh Pangeran Matahari. Sambil menyeringai dia menjawab. “Soal takut atau tidak
takut tidak menjadi masalah. Yang aku ingin tanya apakah kau punya nyawa
rangkap atau nyawa cadangan hingga berani-beranian menentang tuan besarmu
ini?!”
“Manusia congkak! Ternyata kau
juga punya maksud hendak merampas uang dan harta yang tersembunyi itu! Kau
tidak lebih dari seorang maling. Pencuri!”
“Lalu apakah kau lebih baik
dariku?!” bentak Pangeran Matahari. Pelipisnya tampak bergerak-gerak sedang
rahangnya menggembung. Ini satu pertanda bahwa dia mulai kehilangan
kesabarannya. “Dengar tua bangka buruk. Kau mau angkat kaki dari sini atau
ingin mampus dalam gubuk ini?!”
Sepuluh Cakar Setan mendengus.
Kedua tangannya disilangkan di depan dada. “Kau akan jadi mayat lebih dulu!”
katanya. Dua tangannya yang bersilang bergerak ke samping. Terdengar siuran angin.
Sepuluh cahaya putih berkiblat. Sepuluh kuku panjang tiba-tiba menyambar ke
arah wajah Pangeran Matahari!
Pangeran Matahari yang sudah
cukup lama mendengar kehebatan Sepuluh Cakar Setan degnan sigap melompat
hindarkan serangan. Begitu berhasil berkelit dia bukannya balas menyerang tapi
tiba-tiba menyambar obor yang dipegang kakek Pungku. Sekali dia meniup, obor
kecil itupun padam. Gubuk serta merta berada dalam keadaan gelap gulita. Lalu
terdengar suara bergedebukan disusul seperti suara tulangtulang berpatahan,
dibarengi oleh suara pekik kakek rambut putih berjuluk Sepuluh Cakar Setan. Tak
lama kemudian menyusul suara jebolnya dinding gubuk di sebelah belakang. Lalu
sunyi.
Kakek Pungku dan dua cucunya
saat itu terpuruk di sudut gubuk setengah mati ketakutan. Mereka tidak tahu apa
yang telah terjadi karena keadaan dalam gubuk sangat gelap. Setelah menunggu
beberapa saat Sindak Bumi memberanikan berbisik. “Sebaiknya lekas tinggalkan
tempat ini. Melangkah hati-hati ke arah pintu….”
Perlahan-lahan kakek dan dua
cucunya itu bangkit berdiri. Dalam gelap mereka berusaha mencari pintu. Kudo
Aru menginjak sesuatu. Dia berbisik pada saudaranya. “Aku menginjak sesuatu.
Seperti bambu obor….”
“Ambil, nyalakan cepat,”
menyahuti Sindak Bumi.
Kudo Aru lalu membungkuk.
Benda yang diinjaknya itu memang ternyata obor yang rupanya telah dicampakkan
oleh Pangeran Matahari. Benda itu segera dinyalakannya. Begitu keadaan gubuk
menjadi terang, kakek dan dua cucunya itu sama-sama melengak kaget.
Kakek berambut putih bergelar
Sepuluh Cakar Setan kelihatan tergelimpang di lantai gubuk. Mukanya hancur.
Sepuluh jari tangannya tampak patah-patah!
“Dia sudah jadi mayat….” kata
kakek Pungku.
Kudo Aru mangangkat obornya
lebih tinggi. Balai-balai di atas mana sebelumnya Supit Jagal dan Supit Ireng
tergeletak kini terbalik kosong melompong. Lalu di sebelah sana, dinding gubuk
tampak jenol.
“Orang yang dipanggil dengan
nama Pageran Matahari itu, pasti dia yang melarikan dua sosok tubuh di atas
balai-balai!” kata Sindak Bumi.
“Aku kawatir akan terjadi lagi
hal-hal yang mengerikan. Mari kita tinggalkan tempat celaka ini!” kata Kudo
Aru. Dia memandang pada kakeknya lalu berkata. “Ini gara-garamu kek. Kalau kau
tidak membawa dua orang tak dikenal itu ke sini, tidak akan terjadi segala
keanehan yang mengerikan ini!”
Kakek Pungku diam saja. Dia
mendahului melangkah ke luar gubuk yang nyaris porak poranda itu.
Manusia bermuka setan, kakak
kembar Ki Ageng Tunggul Bayana tegak di depan makam adiknya. Saat itu matahari
telah redup tanda sebentar lagi akan segera tenggelam.
“Tunggul sekarang kau bisa
istirahat dengan tenang. Aku telah bersumpah untuk menuntut balas kematianmu.
Semua orang yang menjadi pangkal sebab kematianmu akan menerima balasan!” Habis
berkata begitu orang ini lalu mundur tiga langkah dari hadapan kuburan.
Mulutnya berkomat kamit sedang kedua tangannya diletakkan di atas kepala. Sepasang
matanya dipejamkan. Tiba-tiba terjadi hal yang aneh. Sekujur tubuh itu bergetar
keras dan dari mulutnya terdengar suara seperti menggereng terus menerus.
“Eyang….. di alam gaib. Aku
mohon kehadiranmu. Aku butuh petunjuk….” orang ini berucap.
Sayup-sayup terdengar suara
seperti tiupan angin. Lalu laksana datang dari sebuah lobang yang dalam dan
bergema, terdengar suara jawaban.
“Aku sudah ada di hadapanmu
Tunggul, apa keperluanmu?!”
“Eyang, aku mohon petunjuk.
Dari mana aku harus memulai mencari para pembunuh adikku Ki Ageng Tunggul
Bayana….” Saat itu sekujur tubuhnya masih terus bergetar.
“Katakan dulu apa tujuanmu?!”
tanya suara yang orangnya tak kelihatan itu.
“Dengan izinmu aku hendak
menuntut balas kematian adikku, Eyang….”
“Bagus! Kau memang saudara
kembar yang baik. Petunjukku, kembalilah ke Teluk Burung. Cari sebuah gubuk. Di
sana kau akan menemukan jawabannya. Tapi kau harus bertindak cepat. Aku kawatir
ada orang lain yang bakal mendahuluimu.”
“Kalau begitu aku pergi
sekarang juga Eyang….”
“Baik, kau boleh pergi. Tapi
dengar dulu ucapanku. Kini kau yang mewakili rohnya di atas dunia ini. Kau
layak memakai nama yang menyerupai namanya….. Kau bersedia?”
“Tentu aku bersedia Eyang.”
“Mulai saat ini namamu adalah
Ki Ageng Tunggul Akhirat. Tugasmu mengirim ke akhirat orang-orang yang menjadi
sebab kematian adikmu. Kau dengar dan mengerti?”
“Aku dengar dan mengerti
Eyang.”
“Bagus. Satu hal aku ingatkan.
Saat untuk memberikan tumbal hanya tinggal lima belas hari saja. Jangan kau
sampai lupa melaksanakannya.”
“Hal itu tidak akan aku
lupakan Eyang.”
“Aku pergi sekarang!”
Orang itu cepat menjura.
Terdengar suara aingin
bersiur. Untuk sesaat lamanya sekujur tubuh orang itu masih bergetar. Lalu
perlahan-lahan getaran itu berhenti. Dia buka kembali kedua matanya dan
turunkan kedua tangan yang diletakkan di atas kepala. Disekanya keringat yang
memercik di keningnya. Lalu dia melangkah ke tempat di mana dia menambatkan
kudanya. Binatang ini dipacunya ke arah Teluk Burung secepat yang bisa dilakukannya
sementara matahari mulai tenggelam dan malam akan segera datang.
Karena gubuk yang dikatakan
suara gaib itu merupakan satu-satunya bangunan di Teluk Burung, tidak sulit
bagi Ki Ageng Tunggul Akhirat untuk menemukannya. Namun seperti yang dikawatirkan
oleh suara gaib, dia datang terlambat. Ketika dia sampai di depan gubuk
dilihatnya tiga orang tengah melangkah ke luar. Satu di antaranya membawa obor.
Ki Ageng Tunggul Akhirat melompat dari kudanya dan menghadang.
“Berhenti!” hardiknya yang
membuat kakek Pungku dan dua cucunya menjadi terkejut dan kecut begitu
menyaksikan mengerikannya tampang manusia yang tibatiba muncul melompat dari
kudanya itu. “Kalian bertiga siapa?! Kulihat kalian barusan keluar dari dalam
gubuk!”
“Kau….kau sendiri siapa?” Kudo
Aru beranikan diri bertanya.
Ki Ageng Tunggul Akhirat
langsung membentak marah. “Haram jadah! Ditanya malah bertanya. Apa aku harus
menggebuk dlu salah satu dari kalian sampai mampus dan baru kalian memberi
tahu?!”
Kakek Pungku cepat berkata.
“”Maafkan cucuku. Kami baru saja mengalami satu peristiwa yang mengerikan.
Sesuatu terjadi di dalam sana…..” Orang tua itu menunjuk ke arah gubuk.
“Aku akan memeriksa ke dalam
gubuk itu. Kalian bertiga tetap di sini. Berani lari akan kubunuh kalian
semua!” Lalu Ki Ageng Tunggul Akhirat menyambar obor di tangan Kudo Aru dan
lari ke arah gubuk. Begitu masuk ke dalam gubuk yang salah satu dindingnya
sudah jebol itu, sesaat dia jadi tercekat. Di balik balai-balai kayu dia
menemukan sesosok tubuh manusia yang sudah jadi mayat. Mukanya hancur tak
mungkin dikenali. Namun dari jari-jarinya yang panjang serta gambar telapak
tangan berkuku panjang di dada bajunya Ki Ageng Tunggul Akhirat dapat menduga
siapa adanya orang itu.
“Sepuluh Cakar Setan. Siapa
gerangan yang membunuhnya….?” Ki Ageng Tunggul Akhirat membatin. Dia memandang
seputar gubuk, akhirnya keluar dan menemui tiga orang yang tetap berada di
tempatnya, tak berani beranjak saking takutnya. “Ceritakan apa yang terjadi di
gubuk sana sebelumnya!” membentak Ki Ageng Tunggul Akhirat.
Kakek Pungku menerangkan
walaupun dengan ucapan terputus-putus.
“Orang yang dipanggil dengan
nama Pangeran Matahari itu, apakah dia mengenakan pakaian hitam, berikat kepala
kain merah dan bertubuh tinggi kekar?”
Kakek Pungku mengangguk.
“Kalian tahu mengapa dia menginginkan dua orang yang berada dalam keadaan
pingsan itu?”
“Kami tidak tahu,” jawab kakek
Pungku.
“Juga tidak tahu mengapa orang
berjuluk Sepuluh Cakar Setan itu berusaha menolong orang-orang pingsan?!”
“Kami mendengar dia menanyakan
sesuatu. Tapi tidak begitu jelas….” kata Sindak Bumi.
“Apa yang ditanyakannya? Pada
siapa?!”
“Pada salah seorang yang
pingsan. Dia berusaha membuatnya sadar lalu menanyakan sesuatu. Kalau tidak
salah menyangkut uang dan harta perhiasan….”
Ki Ageng Tunggul Akhirat
tampak berubah dan tegang wajah setannya. “Apa dia mendapatkan jawaban?!”
tanyanya pada Sindak Bumi.
“Orang yang pingsan hendak
mengatakan sesuatu. Tapi terputus sewaktu Pangeran Matahari menerobos masuk…..”
Ki Ageng Tungul Akhirat
terdiam.
“Kalau tak ada pertanyaan
lagi, izinkan kami pergi…..” kata Kudo Aru pula.
“Tunggu! Kalian tahu kemana
Pangeran Matahari membawa kedua orang yang diculiknya itu?!”
Kakek Pungku dan dua cucunya
menggeleng.
Ki Ageng Tunggul Akhirat
memandang pada kakek Pungku yang membuat orang tua ini seperti terbang nyawanya
saking ngerinya. “Orang tua…. Tadi kau bilang kau menemukan dua manusia yang
masih hidup itu di antara tebaran mayat di pantai Teluk Burung…..?”
“Betul….. Tapi aku tidak tahu
siapa mereka. Aku menolong karena meliohat hanya mereka berdua yang masih
hidup…..”
“Kalian boleh pergi.” Kata Ki
Ageng Tungul Akhirat pula. Lalu dia melompat ke punggung kudanya, memacu
binatang itu menuju Teluk Burung. Di pantai dia menunggu sampai hari siang. Begitu
paginya sang surya muncul dan pantai menjadi terang dia memeriksa tebaran mayat
yang malang melintang di tempat itu. Setelah memastikan bahwa yang lenyap dari
tempat itu adalah sosok tubuh Supit Jagal dan Supit Ireng, Ki Ageng Tunggul
Akhirat segera tinggalkan tempat itu. Sementara burung-burung pemakan mayat
mulai tampak terbang berputar-putar di atas teluk.
TIGA
Malam gelap sekali. Langit
hitam pekat tanpa bintang tanpa rembulan. Gerobak
itu meluncur melewati jalan
yang mendaki hingga akhirnya sampai di puncak sebuah bukit terjal. Di bawah
bukit terbentang sebuah jurang batu. Lapat-lapat dari dasar jurang yang gelap
terdengar suara aliran air tanda di situ terdapat sebuah sungai. Orang yang
menjadi sais gerobak hentikan kendaraannya di tepi jurang. Wajahnya yang seram
seperti setan menjadi pertanda bahwa dia bukan lain adalah Ki Ageng Tunggul
Akhirat, kakak kembar Ki Ageng Tunggul Keparat yang mati dibunuh Supit Jagal
dan Supit Ireng.
Di tepi jurang Ki Ageng
Tunggul Akhirat sesaat tegak berdiam diri. Kedua matanya, yang satu menyembul
merah mengerikan memandang ke dalam jurang yang gelap hitam. Lalu dia
mendongak. Mulutnya komat kamit. Kedua tangannya di letakkan di atas kepala.
Tak lama kemudian tubuh itu mulai tampak bergetar. Dalam kesunyian malam lalu
terdenagr suara Ki Ageng Tunggul Akhirat.
“Eyang, mohon kau segera
muncul. Aku datang untuk melaksanakan perjanjian. Membawa tumbal yang kau
minta……”
Sunyi sesaat. Suara Ki Ageng
Tunggul seperti bergema, memantul dari dasar jurang. Lalu ada suara siurang
angin. Tak lama kemudian terdengar suara seolah keluar dari dalam jurang dan
bergaung angker.
“Aku sudah berada di
hadapanmu. Jika kau memang sudah membawa tumbal, lekas laksanakan perjanjian!”
Ki Ageng Tunggul Akhirat
menjura. Lalu dia memutar tubuh, melangkah ke arah gerobak. Dari atas kendaraan
ini dikeluarkannya sesosok tubuh perempuan muda dalam keadaan hamil besar dan
dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuh itu dipanggulnya dibawa ke tepi
jurang.
“Eyang, satu tubuh dua nyawa
siap dijadikan tumbal!” berseru Ki Ageng Tunggul Akhirat. “Apakah Eyang sudah
siap emnerima?”
“Aku siap menerima. Lemparkan
tumbal itu ke dalam jurang!”
Ki Ageng Tunggul Akhirat
pegang tubuh perempuan hamil pada bagian pinggang dan lehernya. Ketika dia
hendak melemparkan sosok tubuh itu ke dalam jurang yang gelap, tiba-tiba dari
kiri kanan terdengar bentakan-bentakan keras.
“Manusia keparat! Kali ini
kami menangkap basah kamu!”
“Turunkan tubuh perempuan itu
ke tanah! Kalau tidak kutabas batang lehermu!” Sebuah benda tajam tiba-tiba
menempel dingin di tengkuk Ki Ageng Tunggul Akhirat.
Bentakan ketiga menyusul.
“Nyawa anjingmu tidak tertolong lagi! Bebaskan perempuan hamil itu! Letakkan
perlahan-lahan di tanah!”
Ki Ageng Tunggul Akhirat
memandang ke bawah. Sebuah celurit besar menempel di lambungnya. Sekujur
tubuhnya yang gemeteran langsung tertegun kaku. Mulutnya berkomat kamit, siap
untuk memanggil sang Eyang. Tapi makhluk gaib itu telah lenayp bersamaan dengan
putusnya getaran di tubuh Ki Ageng Tunggul.
“Kalian siapa?! Mengapa
mencampuri urusanku?!” Ki Ageng Tunggul Akhirat membentak. Rupanya dia memang
bukan jenis manusia penakut.
“Aku Jelamat Kuru Seta, dari
Kotaraja mewakili Kerajaan!” Orang yang menekankan golok ke tengkuk Ki Ageng
Tunggul Akhirat menjawab.
“Aku Tubagus Gamyang, berjuluk
Clurit Hantu dari Barat!” Orang kedua perkenalkan diri. Dialah yang
menyorongkan clurit besar ke perut Ki Ageng Tunggul Akhirat.
Orang ketiga menyusul membuka
mulut. Aku Gambir Seloka dari Timur. Kami bertiga mewakili orang-orang
persilatan untuk menamatkan riwayatmu! Menamatkan pekerjaan iblismu!”
“Jika kalian orang-orang
persilatan mengapa kalian mengeroyok kawan sendiri?!” tukas Ki Ageng Tunggul
Akhirat.
“Cis! Siapa menganggapmu
sebagai kawan! Pekerjaanmu terkutuk sepanjang usiamu! Kau mengandalkan ilmu
hitam dengan mengorbankan perempuan hamil sebagai tumbal! Kau tidak beda dengan
binatang berhati iblis! Budak ilmu hitam terkutuk!” kata Jelamat Kuru Seta.
“Kalian tidak bijaksana!
Menuntut ilmu bisa dengan berbagai cara! Lekas kalian pergi dari sini!”
“Dengan manusia laknat macam
kalain tidak perlu segala kebijaksanaan!” jawab Tubagus Gamyang.
“Bersiaplah untuk mampus. Tapi
turunkan dulu perempuan hamil itu!” berkata Gambir Seloka.
Ki Ageng Tunggul Akhirat
tertawa perlahan.
“Kalau kalian mau perempuan
hamil ini silahkan ambil sendiri! Tapi dengar! Sedikit saja kalian berani
bergerak, kupatahkan batang leher perempuan ini!”
“Tubagus Gamyang, bagaimana
pendapatmu?!” bertanya Gambir Seloka.
“Sekali ini biar kita mengepit
kepala harimau. Satu korban tidak jadi apa. Sekali bengsat keparat ini mampus
berarti kita menyelamatkan puluhan perempuan hamil lainnya!” jawab Tubagus
Gamyang sambil mempererat pegangannya pada hulu Clurut Hantunya.
“Kau dengar sendiri manusia
iblis! Kematian sudah di depan mata!” kata Gambir Seloka pula.
Dua senjata bergerak. Satu
jotosan keras menderu ke arah jantung. Namun sesaat sebelum semua gerakan itu
terjadi, dengan nekad Ki Ageng Tunggul Akhirat membuang dirinya ke dalam
jurang. Kedua tangannya yang memegang tubuh perempuan hamil itu secara serentak
melemparkan tubuh itu ke dalam jurang.
“Brett!”
Clurit Tubagus Gamyang masih
sempat merobek pakaian dan melukai perut Ki Ageng Tunggul Akhirat. Darah
mengucur. Tapi dia selamat dari tabasan golok dan jotosan maut. Dalam gelap
tubuhnya jatuh ke bawah jurang.
Dalam keadaan seperti itu Ki
Ageng Tunggul Akhirat letakkan kedua tangannya di atas kepala. Matanya
dipejamkan dan mulutnya komat kamit dengan cepat.
“Eyang, aku dalam bahaya! Aku
butuh pertolonganmu!” teriak Ki Ageng Tunggul Akhirat. Sekujur tubuhnya kini
bergetar keras.
Sesiur angin menerpa. Lalu Ki
Ageng Tunggul Akhirat merasa ada dua tangan yang tidak kelihatan yang menangkap
tubuhnya. Seperti diajak melayang, tubuh lelaki ini meluncur ke bagian Timur
jurang sementara tubuh perempuan hamil tadi jatuh terhempas di dasar jurang,
disambut oleh batu-batu besar.
Ki Ageng Tunggul merasakan dua
tangan yang tidak kelihatan membaringkannya di tanah, di tepi jurang.
“Terima kasih Eyang, kau
menyelamatkanku…..” kata Ki Ageng Tunggul Akhirat, lalu dia cepat bangkit dan
menjura dalam.
“Tugasmu sekarang adalah
membunuh ketiga orang itu Ki Ageng! Lakukan cepat! Manusia-manusia pengacau
seperti itu bisa menyusahkanmu dan aku jika tidak segera dihabisi!”
“Akan saya lakukan Eyang.
Mohon Eyang menolong luka di perutku ini. Darahnya masih mengucur!”
“Hanya luka kecil saja mengapa
harus ditakutkan!”
Ki Ageng Tunggul Akhirat
merasakan satu tangan yang tidak kelihatan mengusap luka bekas sambaran clurit
di lambungnya. Aneh! Begitu diusap luka itu sembuh bahkan hampir tanpa bekas
sama sekali!
Ki Ageng Tunggul Akhirat
menjura kembali seraya mengucapkan terima kasih. Lalu dia berdiri dan bepaling
ke arah Barat jurang di mana tiga orang yang tadi hendak membunuhnya berada.
Sementara itu di tepi jurang
sebelah Barat, Jelamat Kuru Seta dan dua orang kawannya sama-sama kaget dan tak
menduga. Mereka memandang ke arah jurang yang dalam gelap. Mereka tidak mampu
menembus kegelapan malam dan tak dapat melihat apa yang terjadi di bawah sana.
“Iblis nekad!” kata Jelamat
Kuru Seta bergumam.
“Keparat itu pasti sudah
hancur di dasar jurang!” kata Tubagus Gamyang pula yang merasa agak puas karena
sebelumnya masih sempat menorehkan cluritnya.
“Aku yakin dia sudah mampus di
dasar jurang. Hanya sayang kita tidak sempat menyelamatkan perempuan hamil yang
dijadikan tumbal ilmu hitamnya!”
Ketiganya diam
sejenak.Akhirnya Tubagus Gamyang mengajak kedua kawannya meninggalkan tampat
itu. Mereka hendak menyelinap ke tempat sebelumnya mereka menyembunyikan kuda
masing-masing. Namun belum sempat bergerak tiba-tiba satu sosok tubuh
menghadang. Laksana melihat setan begitulah kagetnya tiga orang ini.
“Kau!” seru Gambir Seloka.
“Jadi kau belum mampus di
dasar jurang sana!” ujar Jelamat Kuru Seta.
Tubagus Gamyang maju selangkah
untuk memastikan. “Kalau kau punya nyawa setan, saat ini juga aku akan
mengakhiri kebejatanmu!” Dia cabut cluritnya yang masih berdarah lalu menerjang
sambil menabaskan senjata itu ke leher Ki Ageng Tunggul Akhirat. Dua kawannya
tidak tinggal diam. Ikut menyerbu!
EMPAT
Begitu clurit bedar di tangan
Tubagus Gamyang menyambar ke leher, golok dalam genggaman Jelamat Kuru Seta
menyusul menderu ke arah dada. Dari jurusan lain Gambir Seloka yang mengandalkan
tangan kosong, menghantamkan satu jotosan ke batok kepala Ki Ageng Tunggul
Akhirat!
Yang diserang keluarkan tawa
bergelak. Dia letakkan kedua tangan di atas kepala. Mulutnya berkomat kamit.
Dalam hatinya dia membatin. “Eyang tolong diriku menghadapi tiga manusia
keparat ini!” Sekujur tubuh Ki Ageng Tunggul Akhirat bergetar. Lalu tubuh itu
membuat gerakan luar biasa cepatnya hingga tiga penyerang hanya seperti melihat
bayang-bayang dalam kegelapan malam. Tiga serangan mengenai tempat kosong.
Golok dan clurit malah sempat saling bentrokan. Ketiga orang itu terkejut dan
sama bersurut. Saat itulah terjadi neraka bagi ketiganya.
Gambir Seloka menjerit keras
sewaktu satu tendangan menghantam perutnya. Tubuhnya mencelat sejauh dua tombak
lalu terkapar di tanah. Anggota badannya tersentak-sentak. Tubhnya di bagian
dalam terluka parah.
Tubagus Gamyang berusaha
membabatkan cluritnya ke arah bayang-bayang Ki Ageng Tunggul Akhirat yang
dilhatnya di sebelah depan. Namun saat itu terasa ada sambaran angin di samping
kanannya. Lalu tahu-tahu tangan kanannya ditelikung orang ke belakang.
Bagaimanapun dia berusaha melepaskan diri namun sia-sia saja.
“Kraakk!”
Sambungan bahu Tubagus Gamyang
berdrak tanggal. Tokoh silat dari barat ini menjerit setinggi langit. Suara
jeritannya menggema sampai ke dasar jurang. Clurit besar lepas dari
pegangannya. Selagi dia terhuyung-huyung kesakitan setengah mati tiba-tiba
tubuhnya terasa diangkat orang lalu dilemparkan ke depan, tepat pada saat mana
golok di tangan Jelamat Kuru Seta berkelebat!
Tubagus Gamyang berteriak
keras. Jelamat Kuru Seta berseru tegang dan berusaha menarik tangannya namun
serangannya terlalu deras. Goloknya tanpa bisa ditahan membacok tepat di
pangkal leher teman sendiri. Raungan Tubagus Gamyang mengerikan. Darah muncrat
dari lehernya yang nyaris putus. Tubuhnya terhuyung sesaat lalu roboh.
“Jahanam!” teriak Jelamat Kuru
Seta. Dengan golok berdarah dia membacok ke arah sosok tubuh Ki Ageng Tunggul
Akhirat. “Mampus kau!” teriak orang Kerajaan ini. Dia yakin goloknya akan
membuat luka dalam pinggang lawan. Tetapi astaga! Kejutnya bukan alang
kepalang. Dia seperti membacok air atau membabat bayang-bayang. Goloknya lewat
dengan suara menderu. Bayangan Ki Ageng Tunggultampak berputar dalam gelap.
Lalu terdengar tawa bergelak. Di lain kejap tahu-tahu batang lehernya
dicengkeram keras. Dengan kalap Jelamat Kuru Seta membacokkan goloknya pulang
balik. Dia hanya membabat angin. Cekikan di lehernya mengencang hingga lidahnya
terjulur dan sepasang matanya mencelat ke luar. Tubuhnya tiba-tiba terangkat
lalu, “Kreeeekkkk!” Dalam keadaan terangkat batang lehernya dipuntir. Tulang
lehernya berderak patah. Jelamat Kuru Seta sudah lepas nyawanya sebelum
tubuhnya roboh tergelimpang di tanah.
Bayangan tubuh Ki Ageng
Tunggul Akhirat kelihatan utuh dan nyata kembali. Dia bergerak menghampiri
mayat Tubagus Gamyang dan Jelamat Kuru Seta. Satu demi datu sosok tanpa nyawa
itu ditendangnya hingga terjungkal masuk kedalam jurang. Sewaktu dia
menghampiri sosok Gambir Seloka, terdengar orang ini berteriak.
“Jangan! Jangan tendang
diriku!”
Dalam gelap tampang Ki Ageng
Tunggul Akhirat tampak menyeringai. “Belum mampus kau rupanya!” Dia melangkah
lebih dekat.
“Jangan bunuh diriku Ki Ageng!
Jangan…..!” teriak Gambir Seloka ketakutan setengah mati.
“Jangan takut. Kau memang
kubiarkan hidup! Untuk menjaga dua mayat temanmu dalam jurang sana! Nah kau
susullah mereka!”
Kaki kanan Ki Ageng Tunggul
Akhirat menendang.
“Dukk!”
Tubuh Gambir Seloka mencelat
dalam gelap. Suara jeritannya menggidikkan ketika tubuhnya melayang ke dasar
jurang yang kelam pekat!
“Eyang…..” desis Ki Ageng
Tunggul Akhirat “Terima kasih kau telah menolongku!” Tubuhnya yang keringatan
tampak berhenti bergetar. Seperti orang yang baru sadar apa yang telah
dilakukannya dia memandang berkeliling, mengusap mukanya beberapa kali lalu
melangkah menuju gerobak yang ditinggalkannya tak jauh dari tepi jurang.
LIMA
Dua orang kakek berwajah cacat
mengerikan itu bersujud di depan Pangeran Matahari yang duduk di atas sebuah gundukan
batu berwarna merah kecoklatan dalam goa di pantai Selatan.
“Kalian boleh duduk kembali!”
berkata Pangeran Matahari.
Supit Jagal dan Supit Ireng
lantas bangkit dan duduk bersila di depan sang Pangeran.
“Kalian sudah tahu berada di
mana, sudah tahu siapa aku, sudah mendengar ceritaku apa yang telah terjadi
dengan diri kalian kakak adik. Sebelum aku melanjutkan bicara apakah kalian
ingin bertanya atau mengatakan sesuatu?”
Supit Ireng berpaling pada
kakaknya yaitu Supit Jagal. “Kau saja yang bicara,” katanya perlahan.
Supit Jagal mendehem beberapa
kali lalu membuka mulut. “Kami sudah mendengar apa yang terjadi. Sudah tahu apa
yang Pangeran lakukan terhadap kami. Kami tentu saja merasa berhutang budi dan
nyawa. Karena itu kami berdua kakak dan adik pantas tunduk menyerahkan diri
pada Pangeran….”
“Bagus, kalian adalah tua
bangka yang tahu diri!” kata Pangeran Matahari pula.
Pada keadaan yang berbeda,
disebut sebagai tua bangka dua kakek berwajah setan itu pasti akan marah,
mungkin mengamuk. Namun terhadap sang Pangeran yang telah menyelamatkan nyawa
mereka, keduanya bersikap tunduk.
“Penyerahan diri dan sikap
tunduk kalian sudah sepantasnya. Aku menerima hal itu. Namun aku tak ingin
hanya sampai di situ!” kata Pangeran Matahari pula.
“Apapun yang Pangeran minta
dari kami akan kami berikan. Nyawa sekalipun!” kata Supit Ireng.
Pangeran Matahari mendongak
lalu terdengar tawanya bergema dalam goa batu itu.
“Aku menolong kalian agar bisa
hidup. Sesudah hidup masakan aku akan meminta nyawa kalian kembali? Jangan
bersikap dan bicara tolol. Aku tidak suka pada manusia-manusia tolol!”
“Maafkan kami Pangeran,” kata
Supit Jagal dan Supit Ireng hampir berbarengan .
“Aku menyirap kabar bahwa
seorang penjahat bernama Ki Ageng Tunggul menyembunyikan bebrapa peti hasil
rampasan berisi harta perhiasan dan uang emas tak ternilai harganya. Kalian
pernah tahu siapa adanya manusia itu?”
Dalam hati Supit Jagal dan
Supit Ireng merasa heran bagaimana sang Pangeran tahu tentang empat peti yang
berisi barang serta uang itu.
“Kami memang kenal orang itu,
Pangeran,” menjawab Supit Ireng. “Manusia itu sudah menemui ajal. Tewas di
tangan kami berdua….”
“Sayang…..sayang sekali,” ujar
sang Pangeran. “Tetapi apakah kalian tahu di mana dia menyembunyikan harta
kekayaan itu?”
“Harap dimaafkan. Kalau soal
harta perhiasan dan uang emas sebanyak empat peti itu kami tidak tahu menahu,”
jawab Supit Jagal.
“Hemmm…..” Pengeran Matahari
usap-usap dagunya yang kokoh. “Kalian tidak berdusta padaku?” Pandangan mata
Pangeran Matahari yang tajam seperti menusuk membuat dua kakek itu diam-diam
jadi berdebat juga. Akhirnya Supit Irang membuka mulut menjawab.
“Pangeran telah menyelamatkan
kami. Masakan kami berani berbohong?”
Pangeran Matahari
mengangguk-angguk. “Kalian sebentar lagi boleh pergi dengan bebas. Namun ada
satu tugas yang harus kalian lakukan untukku!”
“Kami berdua siap menerima dan
menjalankan tugas itu. Pangeran tinggal menyebutkan saja,” kata Supit Jagal
pula.
“Tugasmu cukup berat. Karena
itu aku akan memberikan kekuatan tenaga dalam tambahan paa kalian serta ilmu
pukulan Telapak Merapi. Walau kalian hanya mempelajari dalam satu minggu namun
dengan pengalaman serta tambahan tenaga dalam kalian pasti bisa
mempergunakannya.”
“Terima kasih Pangeran mau dan
percaya memberikan tugas pada kami. Kami menunggu….” kata Supit Jagal.
“Kalian berdua aku tugaskan
untuk mencari dan membunuh seorang pemuda bernama Wiro Sableng, bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, murid seorang nenek sakti dari Gunung
Gede…..”
Supit Jagal dan Supit Ireng
sama-sama saling pandang.
“Ada apa?!” menegur Pangeran
Matahari.
Yang menjawab Supit Jagal.
“Justru pemuda satu itu adlah musuh besar yang memang hendak kami singkirkan
dari muka bumi. Lihat luka di leher adikku, juga tangan kirinya yang buntung.
Pemuda edan itulah yang jadi pangkal bahala!”
Pangeran Matahari tersenyum
lebar.
“Apa kalian punya musuh-musuh
lain?”
“Betul, memang ada Pangeran.
Seorang kakek sakti bernama Empu Pamenang. Degnan izin Pangeran kami berniat
untuk membunuhnya! Kakek ini punya hubungan cukup dekat dengan Wiro. Wiro
sendiri tidak mudah untuk dicari karena selalu gentayangan kian ke mari. Kami
mohon petunjuk Pangeran lebih lanjut.”
Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 memang sulit dicari karena tidak pernah diam di satu tempat. Tetapi dengan
sedikit akal kita bisa memancingnya keluar. Kau bunuh dulu Empu Pamenang. Dalam
waktu singkat dia pasti akan muncul!”
Supit Jagal dan Supit Ireng
mengangguk-angguk. Mereka menyatakan pujian atas kecerdikan sang Pangeran.
“Kalian berdua boleh pergi,”
kata Pangeran Matahri pula seraya berdiri. Supit Jagal dan Supit Ireng bersujud
di depan kaki Pangeran Matahari. Ketika mereka mengangkat kepala kembali
tenyata Pangeran itu tidak ada lagi di dalam goa!
“Dulu aku sering merasa
sebagai orang paling jago di dunia. Ternyat di depan Pangeran Matahari aku
merasa kecil sekali.”
Supit Jagal tertawa mendengar
ucapan adiknya itu. Sambil memegang bahu Supit Jagal dia berkata “Ada satu
ujar-ujar yang mengatakan bahwa di atas langit ada langit lagi!”
Keduanya sampai di luar goa.
“Apa yang harus kita lakukan
sekarang?” tanya Supit Ireng.
“Berjalan saja terus. Kalau
sudah jauh dari goa baru kita bicara lagi,” jawab Supit Jagal.
“Hemmm….. kau mengkhawatirkan
sesuatu, Jagal?”
“Setan! Kataku nanti saja kita
bicara kalau sudah jauh dari goa!” Supit Jagal mendamprat marah lalu mulai
berlari. Sang adik jadi diam. Dia segera berlari pula menysul kakaknya.
Setelah meninggalkan goa cukup
jauh, begitu memasuki rimba belantara Supit Ireng ajukan pertanyaan. “Apa di
sini kau rasa masih kurang aman untuk bicara?”
Supit Jagal hentikan larinya.
Sambil melangkah dia berkata.
“Ingat ucapan Pangeran Matahri
tadi? Dia tidak suka pada orang-orang tolol! Apa dia menyangka kita ini memang
tolol?!”
“Apa maksudmu Supit Jagal?”
“Tentang empat buah peti
berisi harta perhiasan dan uang itu,” jawab Supit Jagal. “Kita berhasil
mengelabuhinya dengan mengatakan tidak tahu menahu tentang barang-barang itu.
Dan dia percaya saja. Siapa yang tolol. Dia atau kita?!” Dua kakek muka setan
kakak beradik itu tertawa gelak-gelak.
Tapi Supit Ireng segera
hentikan tawanya dan berkata. “Apa bisa dijamin bahwa Pangeran Matahari
benar-benar percaya pada keterangan kita. Bahwa kita tidak tahu menahu tentang
empat peti itu?”
“Eh, apa maksudmu?” tanya
Supit Jagal.
“Manusia satu itu berotak
cerdik, licin, berilmu tinggi dan panjang akal. Kita harus hati-hati. Wajahnya
bisa saja tampak tersenyum tetapi hatinya menjanjikan kematian!”
“Kalau begitu berarti kita
harus segera ke Pasirginting,” kata Supit Jagal.
Supit Ireng menggeleng.
“Sialan! Apa maksudmu dengan
gelengan itu?”
“Aku kawatir Pangeran Matahri
sengaja melepas kita pergi. Lalu diam-diam menguntit. Kalau kita langusng
menuju Pasirginting dan mengambil peti-peti berharga itu lalau dia memergoki,
tamatlah riwayat kita!”
Supit Jagal terdiam sesaat.
“Kupikir-pikir kita berdua dia sendiri. Ilmunya malah diberikannya pada kita.
Apa kau kira kita tidak bisa mengalahkannya?”
“Bagaimanpun kita berhutang
nyawa padanya Jagal. Jangan lupakan hal itu!”
“Hutang nyawa itu tentu tidak
kita lupakan. Itu sebab kita berdua mau menjalankan tugas yang diberikannya.
Membunuh Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Nah itu balasan dari kita. Kurasa
sudah lebih dari cukup. Lalu apakah kita juga harus menyerahkan empat peti
harta itu padanya? Jangan jadi orang tolol Supit Ireng!”
“Aku tetap tidak setuju kalau
kita langsung ke Pasirginting. Empat peti itu aman di sana karena tidak ada
yang tahu. Aku ingin kita mencari Empu Pamenang lebih dulu! Ingat gadis cantik
yang ikut bersamanya?” Supit Ireng membasahi bibirnya dengan ujung lidah.
“Aku lebih tua.Aku kakakmu.
Jika gadis itu kita temui, aku yang harus menikmati tubuhnya lebih dulu! Ingat
itu Supit Ireng!”
“Kau kakak sialan!” maki Supit
Ireng lalu lari meninggalkan Supit Jagal di belakang.
ENAM
Di dalam pondok di pinggir
danau Merak Biru Pendekar 212 menyerahkan surat yang dibawanya pada Empu
Pamenang disaksikan oleh dua muridnya yaitu Ning Larasati dan Jakawulung.
“Seorang kepercayaan Sultan
meminta saya menyampaikan ini pada Empu,” menerangkan Wiro.
Orang tua bungkuk berpakaian
selempang kain putih itu menerima surat dengan tenang. Justru Ning Larasati
yang puteri Sultan itu tampak tegang sementara Jakawulung bersikap menunggu.
Empu Pamenang membaca isi
surat dengan cepat. Selesai membaca surat itu dilipatnya kembali lalu dia
berpaling pada Ning Larasati.
“Muridku, ayahandamu sedang
sakit. Sakitnya sakit biasa saja. Namun kerinduannya padamu bisa-bisa membuat
sakitnya jadi berat. Kuminta kau segera berangkat ke Kotaraja. Tunggui dan
rawat ayahandamu. Bila beliau sudah sembuh baru kau boleh kembali ke mari lagi
melanjutkan ilmu pelajaran.”
Ning Larasati berpaling pada
Jakawulung, saudara seperguruan dan juga kekasihnya. Jakawulung yang maklum
akan arti pandangan ini cepat berkata “Dengan izin Empu saya akan mengantarkan
Larasati ke Kotaraja.”
Empu Pamenang mengangguk.
“Kalau begitu saya akan segera
bersiap-siap,” kata Larasati seraya berdiri. Dia masuk ke dalam sebuah kamar.
Tak lama kemudian dia keluar lagi mengenakan pakaian ringkas baju dan celana
putih. Rambutnya yang panjang telah disanggul dan ditutup dengan sehelai kain
hitam. Sepintas lalu orang akan menyangkanya sebagai seorang pemuda berwajah
tampan dan halus.
“Kalau para sahabat di sini
sudah siap berangkat sayapun ingin minta diri. Tugas saya sudah selesai….” kata
Wiro pula.
Empu Pamenang tersenyum.
“Sebetulnya ada hal-hal dalam dunia persilatan yang ingin aku bicarakan
denganmu anak muda. Namun tidak terlalu penting. Lain hari saja kalau kita
bertemu kita ngobrol panjang lebar. Aku tahu orang sepertimu tentu banyak
urusan di luar sana.”
Empu Pamenang mengantarkan
ketiga orang muda itu sampai di pintu. Mereka meninggalkan Danau Merak Biru
dengan menunggang kuda. Setelah ketiganya lenyap di kejauhan Empu Pamenang
melangkah ke tepi danau. Saat itu matahari baru saja menggelincir ke arah
Barat. Udara siang yang tadi terasa panas kini agak sejuk sedikit. Apalagi
angin bertiup cukup banyak.
Di tengah danau saat itu ada
sebuah perahu terapung-apung dimainkan ombak-ombak kecil. Jarak antara tepian
tempat Empu Pamenang berdiri sampai ke perahu sekitar dua puluh tombak. Di
samping Empu Pamenang berdiri terdapat serumpun pohon bambu. Orang tua bungkuk
ini memilih salah satu batang bambu yang paling lentur lalu digoyang-goyangkan.
Makin lama makin kencang. Pada puncaknya kekencangan Empu Pamenang angkat kedua
kakinya. Bersamaan dengan itu dia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Sekejap kemudian kelihatan sosok bungkuk berselempang kain putih itu melesat ke
tengah danau lalu jatuh tepat di atas perahu yang terapung-apung di air. Sesaat
perahu tampak agak oleng sedikit lalu diam tak bergerak lagi.
Perlahan-lahan Empu Pamenang
mendudukkan dirinya di atas perahu. Kedua tangannya dirangkapkan di atas dada.
Dia mendongak ke atas. Ketika kepalanya diturunkan kedua matanya telah
terpejam. Lalu orang tua inipun tenggelam dalam semedi yang khusuk. Semua panca
inderanya berhenti bekerja. Bagi Empu Pamenang danau yang sunyi, udara yang
segar adalah tempat yang baik untuk melakukan semedi di tengah alam terbuka.
Tidak seperti orang pandai lainnya yang suka melakuka semedi dalam goa
tertutup. Biasanya kalau bersemedi di atas perahu seperti itu Empu Pamenang
bisa tahan samapi berhari-hari. Selesai bersemedi dia merasakan tubuhnya lebih
segar, pendengaran dan penglihatannya lebih tajam.
Kita kembali pada tiga orang
pemuda yang tengah melakukan perjalanan menuju Kotaraja.di satu tempat, dekat
sebuah simpang tiga di dataran rendah di bawah lamping sebiah bukit. Pendekar
212 Wiro Sableng hentikan kudanya. Dia berpaling pada Ning Larasati dan
Jakawulung lalu berkata.
“Para sahabat, kita seiring
sampai di sini. Untuk ke Kotaraja kalian berdua harus membelok ke kanan. Aku
akan mengambil jalan ke kiri. Bila umur sama panjang kita pasti akan bertemu
lagi.”
“Wiro, aku mengucapkan terima
kasih. Kau telah bersusah payah mengantarkan surat dari ayahanda…..” kata Ning
Larasati.
Wiro tertawa lebar. Dia hendak
mengatakan sesuatu tapi urung. Saat itu di sebuah jalan yang terletak di atas
lereng bukit kelihatan dua orang penunggang kuda. Selain jarak mereka terpisah
cukup jauh, kedua orang itu tampak menutupi wajah masing-masing dengan sehelai
kain sampai sebatas mata hingga sulit dikenali siapa mereka adanya. Entah
mengapa Pendekar 212 mendadak saja merasa tidak enak melihat kemunculan kedua
orang itu. Dua penunggang kuda tersebut tampak hentikan kuda masign-masing dan
saling bicara beberapa lamanya. Karena tempat Wiro dan dua kawannya berhenti
berada di bawah lindungan sebatang pohon besar berdaun rimbun, dua penunggang
kuda di lereng bukit tak dapat melihat mereka.
Larasati dan Jakawulung
rupanya juga telah melihat dua penunggang kuda di atas sana.
“Siapa mereka…..?” tanya
Larasati.
“Tampaknya bukan orang
baik-baik. Kalau tidak mengapa mereka sengaja menutupi wajah dengan kain?” ujar
Jakawulung pula.
“Kalian berdua teruskan saja
perjalanan. Tidak usah memperdulikan dua orang di atas bukit sana,” kata Wiro.
Jakawulung mengangguk lalu
memberi isyarat pada Larasati. Kedua orang ini segera melanjutkan perjalanan
menuju Kotaraja. Setelah Larasati dan Jakawulung lenyap di kejauhan Wiro
kembail memandang ke arah lereng bukit. Dua penunggang kuda bertopeng tadi
ternyata tidak ada lagi di situ. Pendekar 212 berpikir sejenak. Akhirnya
diarahkannya kudanya menuju lereng bukit itu. Sampai di atas dia memandang
berkeliling. Di kejauhan di sebelah Timur tampak sepintas sosok Larasati dan
Jakawulung. Tapi dua penunggang kuda tadi sama sekali tidak kelihatan. Wiro
memperhatikan tanah di lereng bukit. Jejak-jejak kaki kuda tunggangan kedua
orang tak dikenal tadi jelas kelihatan. Wiro bergerak mengikuti jejak ini.
Namun di satu tempat jejak-jejak itu lenyap.
Dua penunggang kuda yang
wajahnya ditutup kain hitam sampai di tepi Timur Danau Merak Biru. Perhatian
mereka serta merta tertuju pada satu-satunya bangunan yang ada di situ.
“Pasti ini tempat kediaman tua
bangka bernama Empu Pamenang itu,” kata penunggang kuda di sebelah kanan. Dia
bukan lain adalah Supit Jagal kakek iblis berbaju tambalan, berkuping sumplung
dan memiliki cacat panjang serta dalam di wajahnya. Dia melompat turun dari
kudanya. Orang kedua mengikuti gerakannya. Dia tentu saja adalah adik Supit
Jagal yaitu Supit Ireng, manusia yang memiliki wajah seangker setan karena tampangnya
yang cekung itu dihias dengan rongga bolong besar pada mata kiri sedang mata
kanan membeliak merah dan besar.
Karena pintu pondok tidak
terkunci mereka masuk dengan mudah. Setelah menggeledah seisi pondok dan tidak
menemukan seorang di situ, Supit Ireng berkata.
“Kosong, Tak satu orangpun ada
di sini. Tidak si tua bangka itu, tidak pula gadis jelita yang membakar mafsuku
itu! Bagaimana? Kita tunggu saja sampai mereka kembali?”
“Agar mereka lekas muncul,
biar bangunan ini kita bakar saja!” jawab Supit Jagal. Dia keluar untuk mencari
kayu pembakar. Namun sewaktu sampai di pintu dan matanya tak sengaja memandang
ke arah danau, langkahnya tertahan.
“Ireng! Lekas ke mari!”
serunya.
Supit Ireng melompat ke
samping kakaknya lalu memandang ke arah yang ditunjuk Supti Jagal yaitu perahu
di tengah danau. “Memang dia! Apa yang dikerjakannya di sana!”
“Tampaknya seperti tengah
bersemedi….. Tak ada perahu lain. Kita harus berenang untuk mendatanginya.”
“Terlalu berbahaya. Aku dengar
tua bangka itu raja diraja dalam air. Dia sanggup menyelam dan mendekam dalam
air seperti ikan. Satu-satunya jalan ialah menghancurkan perahunya, memancing
kemarahan dan membuat dia datang ke daratan sini.”
“Kau benar!” kata Supit Jagal.
Dia melangkah ke arah rumunan pohon bambu. “Bambu-bambu ini bisa menolong!”
Lalu dia mengeluarkan sebilah golok. Dengan senjata ini dia memotong empat
batang bambu yang kemudian dipotong-potong dibuat runcing salah satu ujungnya.
Kedua kakak beradik itu kembali ke tepi danau. Masing-masing mereka memasukkan
sebatang potongan bambu ke dalam air. Bagian yang runcing di arahkan ke perahu
di tengah danau.
“Kau duluan Jagal!” kata Supit
Ireng.
Supit Jagal menyeringai.
Dengan tangan kanannya dia menepuk bagian belakang potongan bambu. Karena
pukulan itu disertai tenaga dalam yang tinggi maka laksana anak panah, potongan
bambu yang runcing menghantam tepat di lambung perahu sebelah kanan,
menghancurkan papan dan menimbulkan lobang besar. Sesaat perahu tampak
bergoyang lalu diam kembali. Namun air mulai mengucur masuk ke lantai perahu.
Di atas perahu orang tua bungkuk tetap saja duduk tenang seolah apa yang
terjadi tidak mengganggu semedinya.
Supit Ireng tak mau kalah. Dia
mengarahkan bambu runcingnya ke bagian kiri perahu. Sekali menggubuk potongan
bambu itu melesat. Sesaat kemudian tedengar suara braak! Lambung perahu sebelah
kiri hancur berkeping-keping, menimbulkan lubang yang lebih besar dari yang di
sebelah kanan. Air danau masuk dengan cepat. Separuh dari lantai perahu telah
terisi air dan merendam kedua kaki Empu Pamenang yang duduk bersila. Baigan
depan perahu mulai tenggelam ke bawah. Tetapi aneh dan hebatnya si orang tua
bungkuk masih saja tampak duduk tak bergerak. Kedua tangan masih dirangkapkan
di atas dada bahkan sepasang matanya tidak bergeming apa lagi terbuka
sedikitpun!
“Tua bangka itu kebal juga
rupanya!” kata Supit Jagal. Dia menurunkan sebatang bambu ke dalam air danau.
Kali ini bambu diarahkannya ke bagian depan perahu. Tangan kanannya bergetar
tanda dia mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya. Lalu tangan itu menghantam
dengan keras. Batangan bambu melesat di permukaan air danau dan menghantam
bagian depan perahu.
“Braak!”
Kali ini bagian depan perahu
tanggal berantakan. Air danau menggebubu masuk. Perahu menungging ke depan,
lalu prlahan-lahan tenggelam ke dalam air danau. Empu Pamenang yang masih duduk
bersemedi ikut tenggelam. Air mencapai pinggul, naik ke pinggang, terus ke
dada. Perahu semakin dalam amblasnya. Air kini mencapai leher si orang tua.
Hebatnya orang tua ini masih saja tetap tidak bergerak. Kedua matanya masih
terus terpejam. Air kini mencapai dagunya. Lalu cepat sekali seluruh kepalanya
amblas. Perahu dan sosok tubuh si orang tua tenggelam, lenyap dari pemukaan air
danau yang hanya meninggalkan riak-riak berbentuk lingkaran!
“Manusia gila!” teriak Supit
Jagal.
“Seharusnya tadi bambu itu
kita arahkan ke tubuh atau kepalanya biar dia langusng mampus!” kta Supit Ireng
sambil kepalkan tinju kanannya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?!”
“Tunggu saja sampai dia muncul
di permukaan air. Langsung kita hantam dengan bambu runcing!” kata Supit Jagal
pula.
“Tapi tua bangka itu punya
ilmu yang membuat dia mampu mendekam dalam air sampai lama!” ujar Supit Ireng
dengan gemas dan pelipis bergerak-gerak.
“Tak ada jalan lain. Bagaimanapun
kita harus menunggu sampai dia muncul. Kalau dia masih hidup langsung kita
bunuh. Kalau dia sudah jadi mayat itu lebih baik!”
Saat itu sang surya sudah
sangat condong ke Barat tanda sebentar lagi akan tenggelam. Keadaan di sekitar
danau mulai redup dan meremang gelap. Di tengah danau sama sekali tak ada
gerakan. Tak ada suara!
“Setan! Pekerjaan gila macam
apa yang kita lakukan ini!” rutuk Supit Ireng sambil mengusap-usap mata kain
penutup wajahnya di bagian mata kirinya yang hanya merupakan rongga bolong.
Baru saja dia merutuk seperti
itu, Supit Jagal tiba-tiba memegang lengan kirinya yang buntung.
“Ada apa….?” tanya Supit
Ireng.
“Sssst….. Jangan bicara
keliwat keras. Apa kau tidak mendengar suara kakikaki kuda mendatangi tempat
ini?” bisik Supit Jagal. “Lihat ke sana….”
Supit Jagal menunjuk ke depan.
Supit Ireng mengikuti arah yang ditunjuk kakaknya itu. Di antara pepohonan
tampak seorang penunggang kuda berpakaian dan berikat kepala putih muncul.
Orang ini menghentikan kudanya di antara dua batang pohon sambil memandang
tajam ke arah pondok. Lalu dia mengarahkan pandangannya ke danau Merak Biru.
“Aneh, semua serba sepi.
Seharusnya di danau ada sebuah perahu….” Orang di atas kuda membatin Lalu
perlahan-lahan dia majukan kudanya sampai sejarak dua tombak dari pondok kayu.
Di sini dia melompat turun dan melangkah ke pintu.
Dari balik rerumpunan pohon
bambu, Supit Jagal dan Supti Ireng saling pandang.
“Rejeki kita ternyata besar
sekali hari ini. Kita tidak perlu bersusah payah! Orang yang kita cari ternyata
datang sendiri!” kata Supit Jagal.
“Tunggu apalagi! Ayo kita
cabut nyawanya! Aku ingin mencoba pukulan sakti Telapak Merapi yang diberikan
Pangeran Matahari itu!” kata Supit Ireng. Tenaga dalamnya segera dialirkan ke
tangan kanan.
TUJUH
Pemuda berpakaian putih
mendorong pintu pondok yang tidak terkunci. Bagian
dalam diselimuti kegelapan.
“Empu Pamenang, kau ada di dalam….?”
Baru saja dia bertanya begitu
tiba-tiba ada suara mendesisi disertai menggebubunya hawa panas luar biasa. Pemuda
di depan pintu serta merta menjatuhkan dirinya ke tanah dan berguling menjauhi
pondok. Ketika dia bangki kembali dilihatnya pondok Empu Pamenang telah
disabung asap dan ada api menyala di balik asap itu. Memandang ke kiri
dilihatnya dua sosok tubuh bercadar tegak di bawah kegelapan rerumpunan pohon
bambu.
“Pembokong pengecut! Siapa
kalian?!” bentak si pemuda. Meskipun dia tidak dapat memastikan namun dari
potongan tubuh kedua orang itu dia bisa menduga-duga siapa adanya. “Aneh, kalau
memang mereka, bukankah keduanya sudah mampus? Satu dibantai di tepi pantai
satunya lagi tenggelam di dalam laut Teluk Burung?”
Dua orang di depan sana
keluarkan tawa mengekeh.
Yang di sebelah kanan berkata.
“Agar kau tambah terkejut biar kubuka kain penutup wajahku!” Lalu orang ini
pergunakan tangan kanannya untuk menanggalkan kain hitam yang menutupi mukanya.
“Supit Ireng! Memang kau
rupanya atau setanmu yang sedang gentayangan!”
Supit Ireng tertawa. Sambil
tangan kanan bertolak pinggang dia berkata “Yang kau lihat memang setan Supit
Ireng! Aku gentayangan untuk mencarimu. Sebentar lagi nyawamu akan kutarik
amblas dari tubuhmu! Roh busukmu bisa bertemu dengan roh busuk Empu Pamenang di
alam baka!”
Murid Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede jadi terkejut.
“Apa maksudmu manusia muka
setan?!” bentak Wiro.
“Tua bangka sahabatmu itu
sudah kami bunuh! Mayatnya bisa nanti kau temui di dasar danau!” Yang menjawab
adalah Supit Jagal.
“Bedebah kurang ajar….!” Wiro
melompat ke muka.
“Tunggu dulu!” teriak Supit
Jagal. “Kami membawa tugas untuk membunuhmu! Tetapi jika kita bisa berunding
mungkin selembar nyawa anjingmu akan kuampuni!”
“Setan alas! Kalian sudah
membunuh Empu Pamenang, berarti hanya kematian bagi kalian berdua!”
“Jangan bicara takabur dulu….”
“Keparat! Siapa yang menyuruh
kalian membunuhku?!” hardik Wiro.
“Siapa orangnya tak perlu kami
katakan cepat-cepat. Kami ingin berunding dulu mengenai pengampunan jiwamu!
Jika kau mau mengatakan di mana gadis bernama Ning Larasati itu berada, kau
akan kami selamatkan. Hanya gadis itu yang bisa menyelamatkan kau dari
kematian!”
“Kalian dua tua bangka tidak
tahu diri! Setan neraka sekalipun tidak akan mau bergaul dengan kalian. Apalagi
seorang puteri raja secantik Larasati! Manusiamanusia edan!”
“Ah, kalau begitu biar tubuhmu
kami panggang sampai matang! Diberi pengampunan minta mampus!” kata Supit
Jagal. Dia melirik pada adiknya, memberi isyarat.
Supit Ireng angkat tangan
kanannya ke atas. Supit Jagal mengangkat kedua tangannya sekaligus.
Masing0masing telapak tangan tampak bergetar dan diarahkan pada Wiro Sableng.
Lalu terdengar suara mendesis tajam. Angin panas menyambar ganas.
“Pukulan Telapak Merapi!”
teriak Wiro kaget luar biasa lalu membuang diri ke samping sambil lepaskan
pukulan tangan kosong mengandung aji kesaktian Benteng Topan Melanda Samudra.
Segulung angin dahsyat menderu ke depan memapas tiga pukulan Telapak Merapi
yang dilepaskan Supit Jagal dan Supit Ireng. Tiga larik pukulan sakti yang
dilepaskan dua bersaudara Supit saling bertabrakan dengan pukulan sakti yang
dilepaskan Wiro. Akibatnya bentrokan dahsyat ini terdengar suara letusan keras.
Debu dan pasir beterbangan. Air danau bergelombang keras. Pendekar 212
terpental sampai satu tombak. Tubuhnya bergetar keras dan ada hawa panas
menyengat jangatnya. Ini satu pertanda bahwa kekuatan serangan lawan berada di
atas tingkat kekuatan pukulan saktinya!
“Celaka! Bagaimana dua manusia
keparat ini menguasai dan membekal ilmu pukulan yang dimiliki Pangeran Matahari
itu?!” membatin Wiro dengan perasaan tegang. DI depannya dilihatnya Supit Jagal
dan Supit Ireng hanya terpental beberapa langkah lalu bangkit dengan cepat dan
tampang garang! Keduanya maklum kalau pukulan Telapak Merapi yang tadi mereka
lepaskan telah menggetarkan pemuda berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
itu.
“Kematian sudah di depan mata!
Tapi kami masih bersedia memberi pengampunan. Lekas beri tahu di mana Ning
Larasati berada!” kata Supit Jagal seraya maju satu langkah.
Tiba-tiba terdengar suara
mencuatnya air danau. Dalam udara yang mulai gelap itu melesat keluar sesosok
tubuh dalam selempang kain putih yang basah kuyup. Seorang kakek bungkuk sesaat
kemudian sudah tegak di depan Supit Jagal dan Supit Ireng.
“Edan! Bukankah kau sudah
mampus dan jadi mayat pendekam dasar danau?!” teriak Supit Jagal kaget ketika
mengenali kakek bungkuk di depannya ternyata adalah Empu Pamenang.
Orang tua itu mendongak ke
langit lalu berucap. “Jika kalian berdua masih hidup, seharusnya bisa menyadari
kebesaran Tuhan dan bertobat untuk jadi orang baik! Sekarang malah kalian
berdua muncul membawa dosa baru!”
“Tua bangka buruk! Jangan
berkhotbah di hadapanku!” hardik Supit Ireng. Tangan kanannya bergerak. Untuk
kesekian kalinya dia lepaskan pukulan Telapak Merapi.
“Empu awas!” teriak Wiro
memberi ingat.
Empu Pamenang menyambar ujung
kain putih basah yang menyelempang dadanya. Kain ini dikibaskan ke arah
datangnya angin pukulan. Terdengar suara dess…! Asap putih menggebubu ke udara.
Orang tua itu tampak terhuyung-huyung lalu jatuh berlutut di tanah. Ujung pakaian
putihnya kelihatan hangus. Mukanya yag klimis merah menggelap. Dadanya
berdenyut.
“Aneh, bagaimana dua manusia
iblis ini masih hidup. Dari mana pula mereka mendapatkan kesaktian sehebat
ini?” ujar Empu Pamenang dalam hati. Perlahanlahan dia mencoba bangkit.
Di depannya Supit Jagal dan
Supit Ireng saling berbisik. “Kalau satu pukulan saja sanggup menjatuhkannya,
mari kita menghantam berbarengan. Pasti dia mampus!” Lalu Supit Jagal segera
angkat kedua tangannya.
Melihat hal ini Pendekar 212
Wiro Sableng segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Lengannya sampai ke
ujung jari serta merta berubah putih seperti perak dan memijarkan cahaya
angker. Ini satu pertanda dia siap melepaskan pukulan Sinar Matahari.
Di depan sana Supit Jagal dan
Supit Ireng sudah lebih dulu menggerakkan tangan menghantam. Serangan balasan
yang dilancarkan Pendekar 212 dan Empu Pamenang terlambat. Sinar silau panas
pukulan Sinar Matahari terpukul membalik ke arah Wiro dan sang Empu. Ditambah
dengan tiga larik pukulan Telapak Merapi maka tempat itu berubah bagai neraka
bagi Wiro dan Empu Pamenang!
Sekejap lagi Pendekar 212 dan
Empu Pamenang akan disapu lumat oleh pukulan-pukulan lawan tiba-tiba satu sinar
merah menjulang laksana jatuh dari langit, menghantam ke bawah!
Keadaan di tepi danau itu
seperti dihantam goncangan gempa maha dahsyat disertai letupan-letupan keras
seolah merobek langit dan dibarengi pula dengan cahaya-cahaya menyilaukan.
Empat orang berjatuhan ke
tanah. Dada masing-masing terasa berdenyut sakit. Telinga laksana tuli beberapa
saat lamanya.
Pendekar 212 jatuh terduduk.
Nafasnya mendadak menyesak dan dadanya terasa sakit. Di sebelah depannya Empu
Pamenang berlutut tergontai-gontai. Ada cairan darah kelihatan di sela
bibirnya. Di bgian lain dua bersaudara Supit Jagal dan Supit Ireng terkapar
saling tindih. Muka setan mereka sesaat tampak pucat seperti tidak berdarah.
Tangan masing-masing bergetar kaku dan sakit seperti ditusuk-tusuk.
Di antara empat orang yang
berkaparan di tanah itu tampak tegak seorang lelaki berpakaian biru gelap
mengenakan blangkon. Dalam udara yang samakin gelap wajahnya masih bisa
terlihat jelas. Dan tampang manusia ini ternyata tidak kalah seram dengan
tampang Supit Jagal ataupun Supit Ireng. Pada pipi kirinya ada cacat panjang
sampai ke mata yang membuat mata kirinya mencuat keluar merah mengerikan dan
selalu basah. Mulutnya pencong akibat tarikan daging muka yang cacat.
Supit Jagal dan Supit Ireng
sama-sama melompat kaget.
DELAPAN
Supit Jagal sempat maju dua
langkah lalu berhenti. “Kau!” katanya dengan suara agak kelu karena rasa tak
percaya. “Kau Ki Ageng Tunggul Keparat! Jadi kau masih hidup?! Bedebah!”
Orang berpakaian biru dan
mengenakan blangkon itu tertawa bergelak. Baik Wiro maupun Empu Pamenang ikut
heran. Sebelumnya mereka telah menyaksikan bahwa manusia bernama Ki Ageng
Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul Keparat itu telah tewas. Mayatnya
terkapar di antara belasan mayat di Teluk Burung tempo hari. Bagaimana mungkin
kini dia bisa hidup dan muncul di sini. Bahkan lebih mengherankan lagi, dia
pula tadi yang membuat kejutan dengan menerobos jalur-jalur pukulan sakti yang
saling bentrokaan sehingga sempat menyelamatkan Wiro dan Empu Pamenang dari
malapetaka. Bagaimana dia tiba-tiba bisa sehebat ini dan berhasil memusnahkan semua
pukulan sakti tanpa diri sendiri cidera sedikitpun?!”
“HA…ha! Kalian masih ingat
wajah ini! Ketahuilah aku bukan Ki Ageng Tunggul Keparat…..” kata orang
berblangkon itu.
“Lalu kau siapa? Setannya?!
Rohnya yang gentayangan?!” tanya Supit Ireng.
“Aku saudara kembarnya. Aku Ki
Ageng Tunggul Akhirat! Kalian berdua telah membunuh saudara kembarku itu!
Sekarang saatnya kalian menebus dosa dengan nyawa masing-masing!”
“Lagakmu keren amat! Manusia
sombong memang harus lekas-lekas disingkirkan!”
Habis berkata begitu Supit
Jagal hantamkan kedua tangannya. Supit Ireng ikut memukul dengan tangan kanan.
Masing-masing mereka kembali lepaskan pukulan sakti Telapak Merapi.
Ki Ageng Tunggul Akhirat
membentak garang. Kedua tangannya dipalangkan di depan kepala. Sekujur badannya
bergetar. Dari sela bibirnya terdengar suara. “Eyang, hajar kedua manusia ini!”
Kedua tangan Ki Ageng Tunggul
Akhirat tiba-tiba menyentak ke depan. Baik Supit Jagal maupun adiknya sama-sama
terkejut katika mereka tiba-tiba melihat sepasang tangan Ki Ageng Tunggul
Akhirat berubah menjadi dua bauh tangan raksasa yang memiliki kuku panjang dan
hitam runcing. Mereka lanjutkan menghantam karena yakin pukulan Telapak Merapi
yang mereka lepaskan tak akan sanggup di tahan oleh lawan. Namun keduanya salah
sangka. Sebelum pukulan Telapak Merapi sempat mereka lepaskan, tangan-tangan
berkuku panjang itu telah menyambar lebih dulu.
“Breet….breet….breetttt!”
Sepasang lengan pakaian Supit
Jagal robek besar. Daging lengannya terkelupas berbusaian. Orang ini menjerit
setinggi langit. Hal yang sama terjadi dengan Supit Ireng. Tangan kanannya
mengucurkan darah dari luka-luka yang mencabik dagingnya. Orang ini meraung
sambil muncur.
“Jagal, manusia satu ini bukan
lawan kita. Berat dugaanku dia punya ilmu hitam. Lebih baik kita segera
melarikan diri!” bisik Supit Ireng. Supit Jagal yang berada dalam keadaan
kesakitan setengah mati dan juga diam-diam merasa takut keluarkan sebuah benda
hitam bulat sebesar tinju dari balik pinggangnya.
“Bangsat! Kalian mau lari ke
mana?!” kertak Ki Ageng Tunggul Akhirat yang sudah tahu gelagat orang lalu
melompat hendak menyergap. Supit Jagal bergerak lebih cepat. Benda di tangannya
dilemparkan ke tanah. Terdengar satu letusan keras.
Disusul dengan menggebubunya
asap hitam menutup pemandangan sampai sejarak beberapa tombak. Ketika asap itu
sirna dua bersaudara Supit sudah lenyap dari tempat itu.
Ki Ageng Tunggul Akhirat
menggembor marah. “Kalian berdua boleh lari ke ujung dunia. Tak akan kalian
bisa lolos dari kematian di tanganku!” Dia hendak berkelebat mengejar namun
ingat pada dua orang di sebelah sana. Dia berpaling dan memandang tajam pada
Wiro serta Empu Pamenang.
Saat itu Wiro dan si orang tua
sudah berdiri. Sambil terbungkuk-bungkuk Empu Pamenang berkata.”Terima kasih.
Kau telah menyelamatkan kami dari serangan maut dua manusia keparat itu!”
“Aku juga berterima kasih dan
berhutang nyawa padamu,” kata Wiro pula.
“Kalian punya sangkut paut apa
dengan kedua orang itu?” Ki Ageng Tunggul Akhirat ajukan pertanyaan.
“Yang bernama Supit Jagal
pernah membunuh tiga orang muridku,” menerangkan Empu Pamenang. “Beberapa waktu
lalu kami telah membantai mereka tapi adalah aneh tahu-tahu mereka masih hidup
dan muncul hendak membalaskan dendam! Ternyata mereka kini memiliki satu pukulan
sakti luar biasa!”
“Hemmm…. Untung kalian berdua
bukan sahabat mereka. Kalau tidak nyawa kalian tak bakal aku ampuni….”
“Apa betul kau saudara
kembarnya Ki Ageng Tunggul?” bertanya Empu Pamenang.
Ki Ageng Tunggul Akhirat tidak
menjawab. Dia keluarkan suara mendengus lalu berkelebat lenyap dari tempat itu.
Empu Pamenang termangu sedang Pendekar 212 hanya bisa garuk-garuk kepala.
“Dunia persilatan semakin
kusut rupanya….” kata Empu Pamenang.
“Tang saya tidak habis pikir,”
menyahuti Wiro. “Bagaimana dua manusia setan itu bisa memiliki ilmu pukulan
Telapak Merapi. Pukulan sakti itu hanya dimiliki oleh Pangeran Matahari!”
“Ada hal-hal saling terkait….”
ujar Empu Pamenang. “Siapa tahu Pangeran Matahari kini talh membentuk satu
komplotan terdiri dari manusia-manusia jahat seperti dua bersaudara Supit itu.
Merka sengaja dibekali satu dua macam ilmu kepandaian yang sulit ditandingi…..”
“Mungkin kau benar Empu.Supit
Jagal tadi sesumbar mengatakan bahwa dia membawa tugas untuk membunuhku. Tapi
dia tidak mau mengatakan siapa yan gmenyuruhnya…..”
“Aku punya dugaan berat si
penyuruh adalah Pangeran Matahari sendiri. Itu sebabna dia membekali kedua
setan itu dengan pukulan sakti. Agaknya kau ada silang sengketa dendam kesumat
dengan Pangeran Matahari gila itu?”
“Orang jahat seprti Pangeran
Matahari memang banyak musuhnya. Salah satu di antaranya adalah saya. Kami
pernah bentrokan beberapa kali. Dia selalu gagal membunuh saya. Saya sendiri
sampai saat ini belum dapat menundukkannya,” kata Wiro pula.
“Saya ingat akan maksud bejat
dua bersaudara Supit. Mereka datang dengan dua maksud. Pertama hendak membunuh
Empu. Kedua hendak menculik Ning Larasati. Mungkin saya akan ke Kotaraja. Gadis
itu harus diberi tahu bahwa ada bahaya mengancam dirinya…..”
Empu Pamenang mengangguk. “Itu
memang hal yang terbaik yang harus kau lakukan. Ada satu hal yang harus kau
perhatikan. Manusia bernama Ki Ageng Tunggul Akhirat itu. Meski dia telah
menyelamatkan kita dari serangan maut dua bersaudara Supit, namun jangan
mengharap bahwa dia adalah jenis manusia yang bisa dijadikan sahabat. Saudara
kembarnya memiliki ilmu hitam. Dia aku yakin sekali
pasti juga memiliki ilmu
hitam. Kau harus berhati-hati terhadapnya Wiro.”
“Terima kasih atas peringatan
Empu,” kata Pendekar 212.
Empu Pamenang membetulkan
letak selempang kainnya yan gmasih basah. Sekali dia berkelebat tubuhnya
melayang lalu laksana seekor burung dia hinggap di cabang sebuah pohon besar.
SEMBILAN
Sepanjang malam itu Supit
Jagal dan Supit Ireng lari terus ke arah Timur. Menjelang dini hari baru
keduanya berhenti dan menggulingkan diri di dalam sebuah dangau yang terletak
di tepi daerah pesawahan.
“Tubuhku terasa panas.
Jangan-jangan cakar manusia setan itu mengandung racun…..” kata Supit Jagal.
“Tubuhku juga panas,” menyahuti
Supit Ireng. Dia merogoh ke dalam saku pakaiannya. Tak lama kemudian
dikeluarkannya sebuah kantong kecil. Dalam kentong ini terdapat sejenis bubuk
yang merupakan obat luka ampuh.
“Bubuk obat ini akan
menyelamatkan kita kalau cakar si iblis itu memang mengandung racun. Kau bisa
usapkan bubuk ini di kedua lenganmu. Tapi tolong dulu aku…..”
Setelah menggosokkan bubuk
obat pada luka di lengan masing-masing kedua orang ini merasa agak tenang.
Apalagi jelas mereka rasakan hawa panas di tubuh mereka kini mulai berkurang.
“Apa yang akan kita lakukan
sekarang Jagal?” tanya Supit Ireng.
“Kita telah gagal membunuh
Pendekar 212. Jika Pangeran Matahari sempat mengetahui pasti dia akan marah
besar….”
“Sekali memang kita gagal.
Itupun gara-gara munculnya jahanam yangmengaku bernama Ki Ageng Tunggul
Akhirat. Kalau dia tidak ada pasti kita sudah menghabisi pemuda itu dan si tua
bangka Empu Pamenang. Kita harus mencari kedua orang itu kembali. Aku yakin
Empu Pamenang tidak akan berada jauh dari danau Merak Biru. Soal Pendekar 212
kita pasti akan menemuinya. Jika bertemu untuk kedua kali, nyawanya tak akan
tertolong lagi!” Supit Ireng mengusap mukanya beberapa kali.
“Aku berpikir-pikir, buat apa
kita bersusuah payah mencari dan membunuh kedua orang itu. Bagaimana kalau
sementara mereka kita lupakan saja. Yang penting adalah mengambil peti berisi
harta dan uang yang ada di belakang rumah Ki Ageng Tunggul Bayana alias Tunggul
Keparat di Pasirginting. Bila empat peti itu sudah kita dapat, kita bawa pergi
jauh-jauh ke Timur atau ke Barat. Lupakan dunia kita yang sekarang ini. Kita
hidup mewah sebagai orang kaya raya….”
“Apa kau kira Pangeran
Matahari tidak akan menyatroni kita? Sekali dia menemui kita tamatlah riwayat
kita.” Supit Ireng berkata dengan nada meragu.
“Kalau kau takut tinggal di
tanah jawa ini kau boleh pergi ke seberang di mana tidak seorangpun tahu siapa
dirimu.”
“Tapi jangan lupa Jagal.
Tampang-tampang kita ini akan mudah menarik perhatian orang,” kata Supit Ireng
pula.
“Terserah padamu Supit Ireng.
Aku akan ke Pasirginting. Aku akan mengambil dua dari empat peti itu lalu
memlenyapkan diri. Persetan dengan Pangeran Matahari. Persetan dengan Empu
Pamenang serta Pendekar 212 Wiro Sableng. Aku ingin hidup senang sebelum masuk
liang kubur!” Habis berkata begitu Supit Jagal bangkit dari tidurnya.
“Heh, kau mau ke mana?” tanya
sang adik.
“Aku akan ke Pasirginting
sekarang juga. Jika aku bisa mendapatkan kuda paling tidak dua hari di muka aku
sudah sampai di sana!” Supit Jagal melompat turun dari atas dangau. “Kau ikut?”
tanyanya pada adiknya.
Supit Ireng tampak bimbang.
Tapi ketika kakaknya melangkah pergi, dia bergerak pula mengikuti. Hanya sesaat
setelah kedua orang itu lenyap, dari balik sebatang pohon besar tak berapa jauh
dari dangau keluar satu sosok tinggi besar. Dia memandang ke jurusan perginya
Supit Jagal dan Supit Ireng. Seringai bermain di mulutnya. Rambutnya yang
menjulai gondrong di belakang tengkuk melambai-lambai ditiup angin. Sekali
berkelebatt orang ini lenyap ke arah yang sama yang dituju Supit Jagal danSupit
Ireng.
Tidak sulit mencari rumah
bekas kediaman Ki Ageng Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul Keparat yang
pernah menjadi Kepala Desa Pasirginting itu. Rumah besar di tengah desa itu
kelihatan gelap. Biasanya selalu ada beberapa pengawal berjaga-jaga di sana.
Tapi sejak jabatan Kepala Desa diambil alih oleh orang lain rumah itu menjadi
sunyi sepi. Penghuninya yaitu istri muda Ki Ageng Tunggul Bayana yang kini
menjadi janda saat itu tertidur lelap dalam pelukan seorang pemuda desa yang diam-diam
dijadikannya teman hidupnya. Pemuda ini selalu datang pada malam hari.
Menjelang dini hari dia meninggalkan rumah kembali ke tempat kediamannya di
pinggir desa sebelah Selatan.
Dua buah gerobak memasuki desa
hampir tanpa suara lalu berhenti di depan rumah besar itu.
“Kita langsung saja ke halaman
belakang,” bisik kusir gerobak yang sebelah kanan yaitu Supit Jagal. Dua buah
gerobak bergerak ke halaman belakang rumah besar. Supit Jagal melompat dari
gerobak lalu dengan cepat mengambil sebuah pacul dan linggis. Linggis
diberikannya pada Supit Ireng seraya berkata.” Aku akan macul, kau bantu dengan
linggis. Kita harus bekaerja cepat sebelum pagi tiba.”
Supit Ireng mengangguk. Lalu
dia turun pula dari atas gerobaknya. Supit Jagal sesaat memandangi halaman
belakang yang cukup luas itu. Lalu dia mulai memacul. Adiknya memegang linggis
dengan tangan kanannya. Dengan benda ini dia menusuk tanah yang dipaculi
kakaknya. Setelah memacul cukup lama dan hampir sebagian halaman belakang itu
terkikis, benda yang mereka cari masih belum ditemukan.
“Aku kawatir, ucapan tunggul
Bayana pada Lor Paregreg yang sempat kau dengar tempo hari hanya dusta belaka,”
kata Supit Ireng.
Supit Jagal berhenti memacul.
Sekujur tubuh dan pakaiannya basah oleh keringat. Dia memandang berkeliling.
“Orang yang mati ketakutan dan ingin hidup tak mungkin berdusta!” jawab Supit
Jagal. Tapi hatinya mulai mendua. Dia memandang berkeliling. Pandangannya
membentur pada sederetan pohon-pohon pisang yang tumbuh dekat pagar batas
halaman di sebelah kiri. Supit Jagal memberi isyarat. Lalu dia melangkah ke
arah pohon-pohon pisang itu. Di sini dia mulai menggali. Dan Supit Ireng
kembali menusuk-menusuk tanah bekas galian dengan linggis.
“Dukkk!”
Terdengar suara keras tanda
ujung linggis membentur sebuah benda. Abang dan adik itu saling berpandangan
sesaat. “Gali lagi! Pacul! Cepat Jagal……” bisik Supit Ireng seraya memegang
erat-erat linggis yang menancap di tanah.
Seperti mendapat tenaga baru,
penuh semangat Supit Jagal memacul tanah di sekitar linggis. Pada jarak tiga
jengkal kedalam paculnya tertahan oleh sebuah benda keras. Supit Jagal lepaskan
pacul. Dia berlutut dan pergunakan kedua tangannya untuk mengangkat tanah.
Sesaat kemudian dalam gelap dia melihat sebuah papan melintang.
“Ireng…..!” desis Supit Jagal.
“Kita menemukan peti-peti itu!” Seperti kesetanan kedua kakak beradik itu
memacul dan menggali sampai akhirnya sosok sebuah peti muncul dalam lobang di
tanah. Dengan susah payah peti besar itu dikeluarkan dari dalam tanah. Lalu
dengan ujung linggis Supit Jagal mendongkel papan penutupnya. Begitu papan
terkuak kelihatanlah isinya. Supit Jagal dan Supit Ireng seperti hendak
bersorak ketika mereka melihat isi peti itu. Sejumlah perhiasan, uang emas dan
perak serta ukiran-ukiran perunggu yang tak terkira nilainya.
“Bantu aku menaikkannya ke
gerobak….” kata Supit Jagal. Karena Supit Ireng hanya punya satu tangan, cukup
susah juga bagi keduanya menaikkan peti besar itu ke atas gerobak.
“Baru satu peti Ireng. Masih
ada tiga lagi!” bisik Supit Jagal.
Kedua kakak beradik ini
kembali bekerja keras. Dalam waktu singkat mereka berhasil menemukan peti yang
kedua. Peti ini lalu dinaikkan pula ke atas gerobak pertama yaitu gerobak yang
tadi di bawa oleh Supit Jagal. Kini kedua orang itu menggali peti yang ketiga.
Di dalam rumah, Suniarsih jada
Ki Ageng Tunggl Bayana menggeliat dan terbangun dari tidurnya. Gerakan kaki
perempuan ini membuat terbangun pula sang kekasih, pemuda bernama Pintoro.
“Aku tidak tahu kalau
ketiduran….” kata Suniarsih seraya merangkul Pintoro dengan tangan dan kakinya.
“Sebenarnya aku ingin
membangunkanmu, tapi aku kawatir kau keletihan,” jawab si pemuda dan tangannya
mengusapi punggung telanjang Suniarsih, membuat janda ini terangsang dan
menyelinapkan tangannya. Gerakan tangan sang janda membuat Pintoro tesentak dan
terbakar kejantanannya.
“Kau selalu membuat aku
seperti kesetanan Arsih….” bisik Pintoro.
“Justru aku suka kalau kau
sudah kesetanan. Ayo Pintoro…..lakukanlah…..!” Suniarsih menarik tubuh kuat
pemuda itu. Sesaat ketika gerakan pemuda ini seperti tertahan.
“Ada apa….?” tanya sang janda.
“Aku mendengar suara….”
“Suara apa?”
“Entahlah. Tak dapat
kupastikan….”
“Ah itu mungkin hanya suara
angin. Atau suara binatang malam. Mungkin juga tikus atau kucing. Mengapa diperdulikan?
Ayolah Pintoro. Jangan siksa aku…..” Lalu Suniarsih tekan pinggang pemuda itu.
Tapi Pintoro yang elisah justru turun dari tempat tidur.
“Kau mau kemana?”
“Aku kawatir orang-orang desa
melakukan pengintaian. Kalau mereka menangkap basah kita di kamar ini….”
Mendengar ucapan si pemuda
Suniarsih jadi kecut. “Kalau begitu coba kita intai…..” Kini janda itu yang
mengajak.
“Suara itu datangnya dari
halaman belakang. Seperti suara orang menggali tanah,” bisik Pintoro.Pemuda ini
cepat mengenakan celana panjangnya sedang Suniarsih melangkah mengikuti sambil
menggelungkan kain panjang ke tubuhnya. Kedua orang ini setengah
berjingkat-jingkat menuju ke bagian belakang rumah. Karena dinding belakang
rumah terbuat dari gedek dengan mudah Pintoro membuat sebuah lobang lalu
mengintai.
“Ada dua buah gerobak. Yang
satu berisi dua peti besar. Satunya lagi satu peti besar. Ada dua orang tengah
menggali tanah dekat pohon-pohon pisang….” Pintoro menceritakan apa yang
dilihatnya, lalu menyuruh Suniarsih mengintai sendiri.
“Astaga, siapa orang-orang
itu…..” bisik sang janda. “Apa isi peti-peti itu. Mereka pasti pencuri. Maling!
Kau harus melakukan sesuatu Pintoro. Ambil parang!”
“Tidak, mereka bukan pencuri
atau maling. Mereka bukan penjahat biasa,” jawab Pintoro. “Apa yang mereka
lakukan adalah satu pekerjaan rahasia….”
“Jangan-jangan peti-peti itu
berisi barang-barang berharga. Mungkin sekali kepunyaan mendiang suamiku….
Lekas ambil parang, Pintoro. Atau aku akan berteriak maling saja?”
“Jangan….”
“Kau pengecut!”
Kedua orang itu jadi terlibat
dalam pertengkaran. Di halaman belakang Supit Jagal dan Supit Ireng sedang
menggotong peti keempat. Di dalam rumah karena bertengkar, tak sengaja tangan
Suniarsih menyentuh sebuah kendi yang terletak di meja. Kendi ini jatuh ke
lantai mengeluarkan suara berisik.
“Supit Jagal dan Supit Ireng
terkejut dan sama memandang ke arah rumah. Pada saat itu mereka melihat pintu
rumah terbuka dan dua orang keluar.
“Kita ketahuan Ireng. Habisi
kedua orang itu!” kata Supit Jagal.
Supit Ireng segera melompat ke
hadapan dua orang yang barusan keluar dari dalam rumah yakni Pintoro dan
Suniarsih.
“Siapa kalian?!” bentak
Pintoro. Parang di tangannya diangkat tinggi-tinggi, siap untuk membacok. Tapi
nyalinya jadi meleleh ketika melihat wajah setan Supit Ireng.
“Kau….kau hantu….?!”
Ucapan Pintoro hanya sampai di
situ. Tangan kiri Supit Ireng bergerak. Praaakk! Pintoro terpental sampai lima
langkah. Tubuhnya tergelimpang di dekat roda gerobak, mati dengan muka rengkah.
Suniarsih menjerit keras. Tapi
Supit Jagal yang sudah ada di dekat situ segera menutup mulut perempuan ini.
Suniarsih coba meronta berusaha melepaskan diri. Namun yang lepas justru kain
panjang yang menutupi tubuhnya. Tak ampun lagi perempuan ini kini berada dalam
keadaan bugil. Melihat tubuh putih telanjang seperti itu terbakarlah bafsu
Supit Jagal. Supit Irengpun tampak terkesiap. Mata kanannya membeliak besar.
Nafasnya langsung memburu.
“Heh, kau mau bawa ke mana
perempuan itu?!” seru Supti Ireng ketika dilihatnya kakaknya menggotong
Suniarsih ke arah pintu balakang rumah.
“Berminggu-minggu aku tak
pernah menyentuh tubuh perempuan Ireng! Pantas kalau aku pergunakan kesempatan
untuk bersenang-senang. Kau tunggu saja. Aku tak akan lama. Kalau aku sduah
selesai kau bakal dapat giliran!” Supit Jagal tertawa mengekeh.
“Kau gila! Tolol! Jangan cari
penyakit! Kalau kau mau bawa saja! Naikkan ke atas gerobak!” kata Supit Ireng.
Supit Jagal tidak menajwab.
Dia melangkah terus menuju pintu.
Justru saat itu ada suara lain
yang menyahuti ucapan Supit Ireng tadi.
SEPULUH
Kau benar Supit Ireng! Kakakmu
itu bukan saja cari penyakit tapi juga tolol dan gila!”
Supit Jagal serta merta
hentikan langkahnya ketika mendengar suara itu lalu berpaling. Supit Ireng
telah lebih dulu memutar kepala ke arah datangnya suara tadi. Wajah setan kedua
orang ini mendadak sontak berubah. Lutut masing-masing terasa bergetar.
“Pangeran Matahari….!” desis
Supit Jagal.
Pemuda tinggi besar berjubah
hitam itu mendongak ke langit gelap lalu terdengar suara tawanya mengekeh.
Kekehan ini perlahan saja namun seperti mencucuk liang telinga terasa oleh
Supit Jagal dan Supit Ireng.
“Perempuan itu tak pantas
berada dalam dukunganmu Supit Jagal. Lepaskan tekapanmu pada mulutnya. Turunkan
tubuhnya dan suruh dia melangkah ke hadapanku!”
“Akan…..akan saya lakukan
Pangeran….” kata Supit Jagal pula. Degnan hatihati diturunkannya tubuh tanpa
pakaian itu ke tanah. Berdiri di samping Supit Jagal janda muda itu kini dapat
melihat pemuda yang tegak beberapa langkah di depannya. Seorang pemuda bertubuh
tinggi kekar, bertampang gagah, jauh lebih gagah dari Pintoro yang sudah jadi
mayat itu.
“Lepaskan tekapanmu dari
mulutnya!” perintah Pangeran Matahari ketika dilihatnya Supit Jagal masih
menekap mulut perempuan itu dengan tangan kirinya.
“Saya kawatir dia akan
berteriak, Pangeran. Orang sedesa bisa bangun dan mendatangi tempat ini….”
Pangeran Matahari menyeringai
mendengar kata-kata Supit Jagal itu.
“Kau takut perempuan itu
berteriak. Kau takut orang satu desa datang ke mari. Tapi kau tidak takut
mendustai dan menipu aku. Menipu Pangeran Matahari yang telah menyelamatkan kau
dari kematian!” Pangeran Matahari melirik pada Supit Ireng. “Kau juga tidak
takut bukan?”
Baik Supit Jagal dan Supit
Ireng tak ada yang menjawab. Pangeran Matahari kembali tertawa mengekeh. Suara
tawanya lenyap. Dia memandang dengan tersenyum pada Suniarsih lalu membentak
pada Supit Jagal.
“Lepaskan tekapanmu! Perempua
itu tidak akan menjerit!”
Perlahan-lahan Supit Jagal
lepaskan tekapannya pada mulut Suniarsih. Ternyata sang janda memang tidak
berteriak. Pangeran Matahari melambaikan tangannya.
“Mari, melangkahlah dan datang
ke dekatku. Kau tak pantas dekat-dekat dengan setan itu!” kata sang Pangeran
pula.
Ternyata Suniarsih mengikuti
ucapan Pangeran Matahari. Memang kalau dilihat tampang dan perawakan tentu saja
setiap perempuan akan memilih atau lebih suka berada di dekat sang Pangeran
dari pada Supit Jagal. Suniarsih lalu melangkah ke dekat Pangeran Matahari.
Bagitu perempuan ini berada di hadapannya, sang Pangeran langsung merangkul dan
mencium lehernya. Tubuh Suniarsih diputarnya hingga punggung perempuan ini
menempel ke dadanya. Tangan kiri Pangeran Matahari menyelinap ke bawah ketiak
kiri Suniarsih. Pemandangan ini membuat tenggorokan Supit Jagal dan Supit Ireng
jadi turun naik .
“Tak usah takut. Kau aman
bersamaku…..” bisik Pangeran Matahari yang mulai terangsang merangkulinya,
sedang wajah Suniarsih walaupun hanya seorang perempuan desa tetapi
kecantikannya sanggup memikat lelaki manapun, termasuk sang Pangeran. Sang
Pangeran kembali mencium kuduk jada itu. “Siapa namamu….?”
“Suni….Suniarsih. Saya…..saya
takut pada dua orang itu. Tolong saya bawa saya ke tempat yang aman….”
“Tak usah takut. Dua setan itu
akan segera kuhabisi,” bisik Pangeran Matahari, sedang dua matanya memandang
berkeliling. Dia memperhatikan dua buah gerobak yang masing-masing berisi dua
buah peti besar itu. Lalu pandangannya kembali di arahkan pada Supit Jagal dan
Supit Ireng.
“Kalian berdua memang manusia
setan! Terlalu serakah. Terlalu ingin kaya sendiri! Untuk itu kalian sengaja
mendustaiku. Menipuku! Mengatakan tidak tahu menahu tentang empat peti itu!
Dulu kutolong nyawamu dari kematian, kini biar aku sendiri yang akan membetot
nyawa busuk kalian dari tubuh-tubuh anjing kalian!”
“Pangeran,” kataSupit Jagal
cepat. “Jangan salah duga. Waktu di goa tempo hari, ketika kau menanyakan
tentang empat peti itu, kami memang belum tahu apaapa. Tapi beberapa hari lalu
kami berhasil mendapatkan rahasia peti-peti ini dari Empu Pamenang sebelum kami
membunuhnya dan membuang mayatnya ke dalam danau Merak Biru……”
“Hemm….Betul begitu?” tanya
Pangeran Matahari.
“Apa yang dikatakan Supit
Jagal memang betul Pangeran!” berkata Supit Ireng.
“Apakah kalian juga sudah
menjalankan tugas, membunuh Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng?!”
tanya Pangeran Matahari pula dengan seringai di bibir.
“Tugas dari Pangeran memang
sudah kami laksanakan. Kebetulan Wiro Sableng muncul di danau Merak Biru.
Tetapi sebelum dia sempat kami bunuh, seorang berkepandaian tinggi yang
menguasai ilmu hitam tiba-tiba muncul! Dia mengaku sebagai saudara kembar Ki
Ageng Tunggul Keparat. Dia mengaku bernama Ki Ageng Tunggul Akhirat!”
Sampai di sini Supit Ireng
meneruskan keterangan kakaknya. “Kami menghantam mereka dengan pukulan Telapak
Merapi. Tapi pukulan yang dilepaskan manusia bernama Ki Ageng Tunggul Akhirat
itu membuyarkan pukulan-pukulan kami. Bahkan kalau kami tidak segera membuang
bola asap mungkin kami berdua sudah celaka!”
“Hebat sekali cerita kalian!”
kata Pangeran Matahari pula. “Lalu empat buah peti ini hendak kalian bawa ke
mana?”
“Tentu saja hendak kami
serahkan pada Pangeran!” jawab Supit Jagal.
Pangeran Matahari tertawa
tergelak-gelak. “Kalian sungguh setan-setan yang mencoba berbudi seperti
manusia. Untuk itu kalian akan kuberi pengampunan….”
“Terima kasih Pangeran….” kata
Supit Jagal.
“Diam! Ucapanku belum
selesai!” bentak Pangeran Matahari. “Tadinya aku sudah merencanakan hendak
membunh kalian sampai daging dan tulang belulang kalian cerai berai. Tapi
mendengar ucapan kalian tadi, aku beri pengampunan dan kalian bisa meregang
nyawa dengan tubuh tetap utuh!”
Berubahlan paras Supit Jagal
dan Supit Ireng.
“Pangeran…..”kata Supit Ireng
dengan suara bergetar.
“Tutup mulutmu bangsat!
Bersiap saja menerima kematian!” hardik Pangeran Matahari. Lalu tangannya kiri
kanan diangkat ke atas.
Melihat hal itu Supit Jagal
dan Supit Ireng tak bisa berbuat apa-apa selain melompat ke samping seraya
mendahului menyerang. Keduanya sengaja melepaskan pukulan sakti Telapak Merapi
yang didapatnya dari sang Pangeran. Dua pukulan ini dilakukan dengan
mengandalkan tenaga dalam penuh! Didahului dua desisan keras, dua larik angin
panas menyambar ke arah Pangeran Matahari yang di depannya masih tegak berdiri
Suniarsih dalam keadaan tanpa pakaian itu!
Tampang Pangeran Matahari
tampak membesi. Rahangnya menggebung. Pelipisnya bergerak-gerak. Cuping
hidungnya mengembang. Kedua tangannya didorongkan ke depan.
“Wuss! Wuss!”
Dua gelombang angin sedahsyat
topan prahara menyambar dari telapak tangan kiri kanan Pangeran Matahari. Dau
larik angin pukulan Supit Jagal dan Supit Ireng serta merta terbabat musnah.
Dua kakak beradik ini berteriak keras.
“Pangeran! Ampuni kami!”
teriak Supit Jagal.
“Pangeran! Jangan bunuh
diriku!” jerit Supit Ireng.
Namun pekik jerit itu tak ada
gunanya lagi. Dua pukulan Telapak Merapii yang dilepaskan sang Pangeran datang
menyambar dengan ganas!
SEBELAS
Sesaat lagi sosok tubuh Supit
Jagal dan Supit Ireng akan terpanggang hangus oleh pukulan Telapak Merapi yang
dilepaskan Pangeran Matahari, tiba-tiba mencuat satu sinar merah, merambas ke
bawah menghantam pukulan sakti sang Pangeran. Tanah bergoncang laksana dilanda
gempa bumi. Hawa panas menyungkup dan dentuman keras terdengar sampai dua kali
berturut-turut.
Dua ekor kuda penarik gerobak
meringkik keras lalu lari manjauh ke halaman samping.
Seruan keras keluar dari mulut
Pangeran Matahari. Bukan saja karena kaget menyaksikan bagaimana dua larik
pukulan saktinya musnah tetapi juga karena saat itu dia merasakan kedua
tangannya bergetar keras sedang dadanya berdenyut sakit. Wajahnya jelas agak
pucat.
Bersamaan dengan seruan
Pangeran Matahari tadi, Suniarsih juga menjerit ketakutan. Pangeran Matahari
cepat merangkul janda muda itu lalu melompat jauh ke belakang.
“Berlindung di balik pohon
sana,” kata Pangeran Matahari lalu mendorong Suniarsih ke arah sebuah pohon
besar. Setelah getaran di dadanya lenyap dengan mengatur aliran darah serta
nafasnya Pangeran Matahari maju tiga langkah. Dia tidak memperdulikan Supit
Jagal dan Supit Ireng yang jatuh bergelimpangan di tanah sambil mengeluh
kesakitan. Kedua matanya memandang tak berkesip dan membeliak pada seorang
kakek berpakaian serba biru, mengenakan blangkon dan bertampang seangker setan!
Saat itu beberapa penduduk
yang tinggal di sekitar situ tersentak bangun dari tidur masing-masing. Mereka
berlarian ke luar. Mereka mendatangi rumah bekas Kepala Desa itu. Namun ketika
mereka melihat wajah-wajah setan yang ada di situ, semuanya serta merta
melarikan diri karena menyangka setan betulan sedang mengamuk di malam buta
itu!
“Iblis siapa kau?!” hardik
Pangeran Matahari.
“Pangeran!” Tiba-tiba Supit
Jagal berkata sambil berdiri. “Ini makhluk yang menghalangi kami membunuh
Pendekar 212!”
“Hemmm….Siapa namamu? Apa kau
menusia betulan atau sebangsa dedemit jejadian?!”
Orang yang ditanya, yang
tentunya sudah dapat diterka yaitu Ki Ageng Tunggul Akhirat tertawa bergelak.
“Aku Ki Ageng Tunggul Akhirat!
Apakah aku manusia betulan atau sebangsa dedemit terserah kau menilai sendiri!”
“Lagakmu sombong amat!” tukas
Pangeran Matahari merasa tersinggung. “Kau tahu berhadapan dengan siapa saat
ini?!”
“Siapa dirimu aku tidak merasa
ingin mengetahui. Aku hanya tahu satu hal! Dua bangsat bermuka iblis itu
nyawanya adalah milikku. Kalau dia mampus maka aku yang berhak membunuhnya!
Tidak percuma aku bernama Tunggul Akhirat!”
Ucapan Ki Ageng Tunggul
Akhirat itu benar-benar membuat marah Pangeran Matahari. Tapi dia bukan sang
Pangeran namanya kalau tidak bisa menahan diri dan berlaku cerdik. Akalnya
berjalan, kelicikannya muncul. Dia dapat melihat adanya getaran yang menyungkup
sekujur tubuh orang di depannya itu. Satu pertanda bahwa orang ini memang
meiliki ilmu hitam seperti yang dikatakan Supit Jagal. Sambil menyeringai
Pangeran Matahari berkata.
“Kalau kau memang ada sangkut
paut dendam kesumat dengan dua keparat itu , silakan kau selesaikan dulu urusan
dengan mereka. Aku bisa sabar menunggu! Aku tidak merasa rugi kalau kau memang
mampu membunuh mereka!”
Ki Ageng Tunggul Akhirat
membalas seringai Pangeran Matahari dengan tawa dingin. Dia memutar tubuh
berpaling pada Supit Jagal dan Supit Ireng yang saat itu berada dalam keadaan
setengah mati.
“Pangean! Tolong kami!” teriak
Supit Jagal.
“Setan keparat! Tak satu
orangpun bisa menolong dirimu dan saudaramu!” bentak Ki Ageng Tunggul Akhirat.
Tubuhnya bergetar keras.
Supit Jagal dan Supit Ireng
yang sudah putus nyali melompat ke jurusan yang berlainan. Masing-masing
berusaha melarikan diri.
“Mana bisa kalian lari
dariku!” teriak Ki Ageng Tunggul Akhirat. Kedua tangannya diangkat ke atas.
Selagi dia siap untuk menghantam, tanpa diketahuinya dari belakang dengan licik
Pangeran Matahari melepaskan satu pukulan mau bernama Gerhana Matahari. Pukulan
sakti ini memancarkan sinar kuning, hitam dan merah! Sekalipun Ki Ageng Tunggul
Akhirat memiliki ilmu hitam, namun dibokong dari belakang seperti itu tipis
harapan nyawanya akan selamat.
Pada saat itulah tiba-tiba ada
suara orang berseru menggelegar dalam kegelapan malam.
“Ki Ageng! Awas serangan di
belakangmu!”
Ki Ageng Tunggul Akhirat
menggembor marah. Dia membalikkan tubuh dan masih sempat melihat tiga larik
sinar pukulan maut yang dilepaskan Pangeran Matahari menderu ke arahnya!
“Eyang, bunuh manusia itu!”
Mulut Ki Ageng Tunggul Akhirat berucap. Kedua tangannya dipukulkan ke depan.
Dua larik sinar merah berkiblat. Halaman belakang itu laksana dihantam
halilintar. Tiga letusan menggeletarkan bumi dan seperti merobek langit. Ki
Ageng Tunggul Akhirat merasakan kedua kakinya seperti disapu dari tanah yang
dipijaknya. Atubuhnya mengapung sampai setengah tombak. Ketika dia jatuh ke
tanah kembali sekujur tubuhnya bergelegar keras. Dia masih sanggup berdiri
meski kedua kakinya terasa goyah.
Di depan sana Pangeran
Matahari tampak terhuyung-huyung. Mukanya pucat seperti kain kafan. Dari sela
bibirnya kelihatan ada darah mengucur. Tiba-tiba seperti ada kekuatan baru
masuk ke dalam tubuhnya, dia maju sampai tiga langkah ke hadapan Ki Ageng
Tunggul Akhirat. Tangan kanannya yang membentuk tinju diangkat tinggi-tinggi ke
atas. Dia siap melepaskan pukulan sakti paling diandalkannya yaitu pukulan
Merapi Meletus. Namun belum sempat tangan itu bergeak lebih jauh dari arah
kegelapan terdengar suara bersiur, disusul dengan berkiblatnya sinar berwarna
perak menyilaukan disertai hawa panas luar biasa.
Pangeran Matahari tersentak
kaget. “Pukulan Sinar Matahari,” desisnya tegang. Dalam saat-saat sangat
menegangkan dan menentukan begitu rupa saat pangeran masih sempat memutar otaknya.
Dia melompat empat tombak ke belakang, sebatas jarak jangkauan pukulan sakti
Sinar Matahari. Dari tempatnya berdiri dengan pengerahan tenaga dalam penuh
Pangeran Matahari membuat gerakan seperti mendorong. Terjadilah hal yang hebat.
Pukulan Sinar Matahari laksana terbendung lalu ketika dia memukulkan kedua
telapak tangannya dengan keras, pukulan Sinar Matahari dan sekaligus pukulan
Merapi Meletus miliknya sendiri membalik menghantam ke arah Ki Ageng Tunggul
Akhirat yang tengah berkomatkamit memanggil Eyang di alam gaib. Namun sekali
ini sang Eyang tidak mampu melawan serangan balik yang datang sangat cepat dan
tidak terduga.
Ki Ageng Tunggul Akhirat
menjerit keras. Tubuhnya terlempar sampai bebrapa tombak. Ketika tubuh itu
berhenti menggelinding kelihatan sekujur dagingnya merah laksana dipanggang
bahkan di beberapa bagian tulang belulangnya menguak putih mengerikan.
Dari dalam gelap satu bayangan
melompat, memburu ke arah Ki Ageng Tunggul Akhirat. Sungguh luar biasa. Walau
keadaan tubuhnya leleh mengerikan ternyata dia tidak segera mati. Bahkan salah
satu matanya masih bisa melihat sosok tubuh orang yang berdiri di sampingnya.
“Pendekar 212…..” suara Ki
Ageng Tunggul Akhirat sember dalam sekarat. “Terima kasih kau berusaha
menolongku. Aku….” Ucapan Ki Ageng Tunggul Akhirat terputus sampai di situ.
Kepalanya sesaat seperti hendak bergerak bangkit. Namun terhempas kembali ke
tanah. Bersamaan dengan itu nyawanya pun melayang.
Wiro palingkan kepala ketika
telinga kirinya menangkap suara mengerang di samping kiri. Dilihatnya Pangeran
Matahari melangkah tertatih-tatih. Murid Eyang Sinto Gendeng segera mengjar dan
menghadang musuh besarnya itu. Sekujur tubuh dan pakaian sang Pangeran tampak
hangus. Dari mulutnya masih terus mengucur darah. Tubuhnya di sebelah dalam
terluka parah.
Pangeran Matahari hentikan
langkahnya. Kedua matanya tampak membersit sinar ganas. Tapi hanya sebentar.
Sesaat kemudian terdengar dia berkata.
“Antara kita memang ada jurang
permusuhan yang dalam. Saat ini aku dalam keadaan tak berdaya! Sebagai orang
persilatan apakah kau akan membunuh diriku?!”
“Manusia licik! Kau pergunakan
keadaanmu yang tak berdaya untuk belas kasihan!”
Sang Pangeran tertawa dingin.
“Siapa minta belas kasihanmu Pendekar 212! Jika kau ingin membunuhku silahkan! Aku
tidak akan melawan!”
“Sialan!” maki Wiro dalam
hati. “Keparat busuk licik ini tahu betul kalau aku tidak akan mau membunuhnya
dalam keadaan seprti ini!”
“Ayo, kau tunggu apa lagi?!
Lekas bunuh diriku! Hantam dengan pukulan mataharimu! Atau cabut Kapak Naga
Genimu!” teriak Pangeran Matahari.
Saking geramnya murid Eyang
Snito Gendeng maju lebih dekat lalu “Plaak!” Tamparannya mendarat di pipi kiri
Pangeran Mtahari. Sang Pangeran terpuntir keras lalu jatuh berlutut. Darah
semakin banyak keluar dari mulutnya apalagi tamparan Wiro tadi telah merobek
pinggiran bibirnya. Wiro cekal leher pakaian Pangeran Matahari yang hangus lalu
meraiknya ke atas dengan satu sentakan hingga orang ini tertegak. Begitu
berdiri Wiro dorong tubuhnya sampai terhuyung-huyung ke depan.
“Kau boleh pergi membawa nyawa
busukmu. Lain kali jangan harap aku mau membiarkanmua pergi dengan nyawa masih
di badan!”
Sepasang mata Pangeran
Matahari memandang tak berkesip pada Wiro. “Pendekar 212…..” katanya dengan
suara bergetar. “Kelak kau akan menyesal seumur hidup karena tidak membunuhku
saat ini!”
“Setan! Tak perlu bicara
ngaco!” hardik Wiro. Kaki kirinya bergerak dan “Bukk!” Dia tendang pantat sang
Pangeran. Terbungkuk-bungkuk menahan sakit akibat luka dalam yang parah
Pangeran Matahari akhirnya tinggalkan tempat itu.
Wiro seperti tersentak ketika
sudut matanya melihat dua bayangan melompat ke atas dua buah gerobak yang
masing-masing berisi dua peti besar. Kedua orang ini siap menggebrak kuda-kuda
penarik gerobak.
“Setan-setan edan!” teriak
Wiro. “Sebenarnya tadi kalian bisa melarikan diri cari selamat! Tapi kalian
lebih sayang harta dari pada nyawa!”
Wiro melompat ke atas gerobak
di sebelah kanan. Kaki kirinya bergerak menghantam dada Supit Jagal yang
berusaha mencabut golok dan menusukkan senjata ini ke perut Pendekar 212. Supit
Jagal terlempar ke tanah. Malang baginya, saat itu pula gerobak yang dilarikan
Supit Ireng lewat dan menggilas lehernya! Tubuh Supit Jagal tampak menggeliat
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
“Keparat haram jadah! Terma
kematianmu!”teriak Supit Ireng. Dengan tangan kanannya dia lepaskan pukulan
Telapak Merapi yang dipelajarinya dari Pangeran Matahari. Wiro sudah maklum
kehebatan ilmu pukulan itu. Dia tak mau menunggu lebih lama dan segera
mendahului serangan lawan. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Sesaat
kemudian satu sinar menyilaukan membelah kegelapan malam disertai suara seperti
ribuan tawon mengamuk.
“Crass!”
Tangan kanan Supit Ireng yang
hendak melepaskan pukulan sakti putus! Jeritan manusia muka setan ini setinggi
langit. Tapi suara jeritan itu tertahan ketika untuk kedua kalinya Kapak Maut
Naga Geni 212 berkelebat dan kali ini menetak tepat di ubun-ubunnya.
Tidak mudah bagi Wiro untuk
menenangkan dua ekor kuda penarik gerobak. Dengan susah payah akhirnya dia
berhasil menggandengkan kuda yang satu dengan bagian belakang gerobak. Wiro
tahu pasti bahwa empat bau peti berisi barang-barang berharga serta uang itu
adalah milik Kerajaan yaitu yang dirampok komplotan Lor Paregreg beberapa waktu
lalu. Berarti dia punya kewajiban untuk mengembalikan keempat peti itu ke
Istana Sultan di Kotaraja. Wiro siap menggebrak kuda penarik gerobak sebelah
depan ketika tiba-tiba terdengar suara perempuan memanggil.
“Saudara! Hai! Jangan
tinggalkan diriku! Tolong!”
Murid Eyang Sinto Gendeng
tertegun sesaat. Dia hentikan kudanya.”Ah, mungkin aku salah pendengaran. Suara
angin kukira suara orang memanggil…..” Wiro tarik tali kekang kuda.
“Saudara! Tunggu….! Tolong
aku… Aku takut!”
“Eh…. Itu suara manusia beneran…”
ujar Wiro. Dia memandang ke belakang, ke arah sebatang pohon besar. Suara
perempuan yang memanggil itu datang dari balik pohon. Meskipun hatinya agak
meragu dia turun juga dari atas gerobak lalu melangkah mendekati pohon besar
dari mana datangnya suara yang memanggil tadi. Begitu dia sampai di balik
pohon, sang pendekar kita jadi tergagau kaget dan mundur beberapa langkah.
Bagaimana kan tidak. Tak pernah dia menduga bakal melihat satu sosok tubuh
perempuan dalam keadaan bugil dengan muka pucat dan rambut riapriapan.
“Kau….kau setan….” Wiro
tergagap-gagap.
“Bukan….Bukan! Aku Suniarsih!
Janda Kepala Desa Pasirginting! Tolong….aku takut. Orang-orang yang kau bunuh
itu sebelumnya hendak menculik diriku….”
“Aku tidak percaya,” kata Wiro
dengan mata membelalak memandang mulai dari atas sampai ke bawah,
:Jangan-jangan kau kuntil anak….”
“Aku bukan kuntil anak! Kalau
tidak percaya lihat! Punggungku tidak bolong!” Lalu perempuan bugil itu
membalikkan tubuhnya memperlihatkan punggungnya, Tapi mata murid Sinto Gendeng
bukannya melihat ke punggung melainkan ke bagian bawah pinggang!
Suniarsih membalikkan tubuhnya
kembali. Kali ini seperti baru sadar akan keadaannya perempuan ini berusaha
menutupi auratnya dengan kedua tangannya sedapat-dapatnya.
“Aku…aku percaya kau memang
bukan setan. Bukan kuntil anak. Tapi dalam keadaan begini pertolongan apa yang
bisa kulakukan…”
“Itu rumahku… Tolong antarkan
aku mau mengambil pakaianku. Setelah itu aku akan ikut ke mana kau pergi. Aku
tak akan mau lagi tinggal di rumah ini! Aku takut!”
Belum sempat Wiro mengatakan
atau berbuat sesuatu tiba-tiba Suniarsih melompat dan merangkul tubuhnya. Kedua
kakinya digelungkan ke pinggang Wiro seperti anak kecil minta dukung. Pendekar
212 merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Tapi hanya sebentar. Sesaat
kemudian tubuhnya terasa panas. Sambil melangkah tidak karuan dalam hatinya
pendekar ini berkata. “Mungkin ini pahala bagiku karena tidak punya maksud
jahat melarikan empat peti berharga milik Kerajaan itu!”
TAMAT