Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
080 Sepasang Manusia Bonsai
1
ANGIN dari danau Biwa bertiup
dingin. Permukaan air danau tampak bergelombang lembut. Desa Hikone yang
terletak di tepi danau di selimuti kesunyian walau malam belum sepenuhnya
datang karena di timur masih kelihatan sembulan sang surya memancarkan sinar
kuning kemerah-merahan.
Sejak beberapa waktu
belakangan ini suasana di desa itu memang kurang tenang. Penduduk merasa takut
oleh kemunculan sekelompok penjahat pimpinan Numazu yang kabarnya kini berada
di sekitar desa.
Karena itu, ketika terdengar
derap kaki kuda menebus kesunyian dari arah selatan, penduduk desa yang sedang
dilanda ketakutan itu serta mereka mengunci pintu dan memeriksa jendela rumah.
Orang-orang lelaki
bersiap-siap dengan senjata masing-masing. Menunggu penuh waspada. Para istri
dan anak-anak disembunyikan di tempat yang aman. Lalu beberapa orang lelaki
coba mengintai lewat lobang-lobang kecil yang mereka buat di dinding.
Di bawah paduan sinar kuning
kemerahan matahari yang hampir tenggelam dan kegelapan malam yang segera datang
membawa suasana serba hitam, beberapa penduduk melihat ada tiga orang
penunggang kuda bergerak cepat ke arah danau sebelah utara. Di sini terletak
sebuah gedung besar milik saudagar muda terkenal dengan nama Yamada. Ketiga orang
tadi ternyata bukan rombongan penjahat yang ditakuti itu. Dari pakaian serta
topi yang mereka kenakan ketiganya mudah dikenali sebagai prajurit-prajurit
shogun.
Begitu ketiga penunggang
sampai di pintu gerbang. Empat Orang pengawal cepat bergerak dan menunggu
waspada. Karena pintu gerbang tertutup, mereka belum tahu siapa yang datang.
Sesaat kemudian terdengar pintu kayu setinggi dua tombak itu diketuk orang
dengan gagang senjata.
“Buka pintu! kami utusan
keluarga shogun datang untuk menemui saudagar kano Yamada!”.
Setelah tahu siapa yang datang
dua orang pengawal segera membuka palang pintu gerbang. Dua lainnya cepat
membukakan pintu. Karena pihak yang datang lebih tinggi kedudukannya dari pada
pengawal yang ada di gedung itu maka ke empat pengawal menjura dalam-dalam
memberi hormat.
“Para tamu silahkan turun dari
kuda. Kami akan memberitahukan majikan kami.” Berkata salah seorang pengawal
lalu cepat-cepat dia masuk ke dalam gedung sementara tiga kawannya sibuk
mencari tambatan bagi ketiga ekor kuda para prajurit shogun itu.
Tak lama kemudian kelihatan
lampu terang dinyalakan di salah satu bagian gedung. Setelah itu tampak
pengawal yang tadi masuk bergegas keluar lalu memberitahu bahwa saudagar Kano
Yamada segera siap menerima mereka.
“Ikuti kami ke ruang tamu,”
kata si pengawal. Tiga Prajurit shogun melangkah mengikuti pengawal tadi tanpa
bicara barang sepatah pun. Lagak gaya mereka berjalan seolah gedung besar itu
milik mereka bertiga.
Mereka harus menunggu cukup
lama di ruangan tamu itu. Ini menyebabkan ketiganya menjadi jengkel. Wajah
jengkel itu jelas terbaca oleh tuan rumah. Karenanya, begitu berada di ruangan
tamu, hartawan Kano Yamada segera meminta maaf.
“Aku kurang enak badan.
Mungkin masuk angin, barusan saja selesai di pijat. Harap maklum kalau kalian
menunggu agak lama…..”.
“Yamada-san tentu sudah tahu
maksud kedatangan kami. Jadi kami merasa tidak perlu banyak bicara.” Yang
membuka mulut adalah prajurit berbadan gemuk dan gempal, bermata tak bisa diam,
selalu bergerak liar kian ke mari. Dia meneruskan ucapannya.
“Perlu kami beritahu
Kiuchi-san saat ini benar-benar habis kesabarannya. Kalau tidak memandang
persahabatan antara orang-orang tua kedua belah pihak di masa lalu, bisa-bisa
dia berbuat sesuatu yang tidak enak bagi keluarga di sini.”
“Aku tahu, aku tahu ….” jawab
Kano Yamada, saudagar muda baru berusia tiga puluhan tahun itu.
Seorang perempuan masuk ke
dalam ruangan. Kano Yamada segera berkata, “Chieko, masuklah! Orang perempuan
tidak pantas ikut mendengarkan pembicaraan orang laki-laki. Lagi pula ini….”
“Yamada-san, tidak usah
menyuruh istrimu pergi. Biarkan dia di ruangan ini agar bisa mendengar semua
pembicaraan….”
Saudagar Kano Yamada walaupun
tidak senang terpaksa anggukkan kepala.
“Yamada-san, katakan kabar apa
yang bisa kami sampaikan pada orang yang mengutus kami?”.
“Kau dan kawan-kawanmu
menjalankan tugas dengan baik,” memuji Kano Yamada, sekadar untuk melunakkan
hati para prajurit yang ada di hadapannya.
“Sayang sekali aku belum
mendapat jalan keluar bagaimana bisa dengan segera membayar semua uang tuan
Kiuchi….. Orang-orang dari perusahaan pelayaran tidak bersedia membayar ganti
kerugian. Puluhan bal kain sutera serta ratusan barang-barang porselen yang
kubeli di Cina tenggelam dalam pelayaran sebelum mencapai pelabuhan Osaka hanya
akan jadi barang-barang tak berguna… Padahal dengan hasil penjualan
barang-barang itu aku berniat melunasi semua pinjamanku pada Kiuchi-san…..”
“Cerita seperti itu sudah kami
dengar dua minggu lalu. Kami datang ke sini bukan untuk mendengar cerita yang
sama. Tapi untuk meminta uang majikan kami yang kau pinjam untuk modal dagangan
bulan lalu. Sesuai perjanjian kau akan mengembalikan pada awal bulan keempat.
Sekarang sudah dua bulan lewat…”
“Apakah sudah kalian sampaikan
pada majikan kalian bahwa aku bersedia membayar bunga tinggi untuk
keterlambatan pembayaran hutang itu?”
“Tentu saja sudah!”.
“Apa jawab Kiuchi-san?” tanya
Kano Yamada. “Dia tidak perlu segala macam bunga. Tapi minta uangnya!
Seluruhnya! Kalau tidak, ia akan menyeretmu ke penjara!”
Mendengar ancaman itu, Chieko
istri Kano Yamada segera membuka mulut. “Jangan lakukan itu, Saya mohon
disampaikan pada majikan kalian agar berbelas hati pada suami Saya. Kami akan
meminjam uang dan membayar semua hutang itu…….”
Kano Yamada membalikkan
tubuhnya, memandang dengan mata membelalak pada istrinya.
“Chieko! Kau tahu kita sudah
mencoba dan tak ada orang mau memberi pinjaman…..” Pada perajurit yang ada di
hadapannya Kano Yamada segera berkata. “Maafkan kata-kata istriku tadi…..”
“Jadi kau sudah siap untuk
masuk penjara?” tanya si prajurit pula. “Aku sudah meminta waktu untuk
menghadap tuan Yasuaki Kiuchi……”
“Dia tidak sudi menerimamu.
Kecuali….. ini satu-satunya jalan keluar bagimu. Kau menyerahkan anak
perempuanmu yang masih bayi itu untuk di jodohkan dengan puteranya yang juga
saat ini masih bayi.”
“Aku tidak bisa melakukan hal
itu. Aku sudah katakan alasanku padamu.”
Prajurit di hadapan Kano
Yamada menyeringai lalu berkata, “Kau sudah diberi bukan saja kesempatan tapi
juga kehormatan! Kurasa tidak ada manusia setololmu di atas dunia ini……”
Mendengar kata-kata itu Kano
Yamada menjadi merah mukanya. Dengan suara bergetar menahan marah dia berkata.
“Kau kemari untuk menjalankan tugas, bukan untuk menghinaku! Keluar dari gedung
ini! Sampaikan pada Kiuchi-san. Aku akan membayar hutangku, kalau perlu dengan
darah dan nyawaku! Katakan padanya aku tidak takut dijebloskan dalam penjara
atau dikirim ke utara sebagai pekerja paksa tambang di pegunungan Kitami.
Apapun yang terjadi aku tidak mungkin menyerahkan puteriku untuk jadi jodoh
puteranya!”
“Aku tetap menganggap kau
orang paling tolol Yamada-san!” kata si prajurit tadi dengan beraninya lalu
memutar tubuh sambil memberi isyarat pada dua kawannya untuk meninggalkan
tempat itu.
Namun sebelum dia sempat
melangkah Kano Yamada telah menghadang jalannya dan “plak!” satu tamparan
mendarat di pipi prajurit itu. Membuatnya terjajar nanar dan ada darah keluar
dari sudut bibirnya yang pecah!.
Si prajurit berteriak keras
dalam sakit dan marahnya. Dua kawannya ikut membentak. Prajurit yang kena
tampar menghunus pedang yang tersisip di pinggangnya. Namun baru saja senjata
itu keluar dari sarungnya, Kano Yamada mendahului menyerang. Tangan kanannya
melesat ke depan. Pada saat jotosannya mendarat di dada si prajurit dengan
telak, tangan kirinya cepat menyambar ke arah pergelangan tangan lawan.
Dalam satu gerakan kilat Kano
Yamada yang kidal itu berhasil merampas pedang lalu ujung senjata ini
ditekankannya ke bawah dagu orang. Melihat kawan mereka dipreteli begitu rupa,
dua perajurit lainnya berteriak marah dan berusaha menyergap.
“Berani kalian mendekat
kutembus tenggorokan manusia satu ini!” ancam Kano Yamada.
“Kano! Jangan lakukan itu!”
seru Chieko. Tapi sang suami tidak peduli. Dengan tangan kanannya dicampakannya
topi yang ada di kepala si prajurit, lalu dijambaknya rambutnya. Ujung pedang
di tekankan sedikit hingga prajurit ini meringis kesakitan.
“Jatuhkan senjata kalian!”
perintah Kano Yamada pada dua prajurit di hadapannya. Dua prajurit ini
tampaknya ragu-ragu. Malah mereka melirik ke arah Chieko. Kano Yamada segera
dapat membaca apa yang ada di dalam benak kedua prajurit shogun itu. Maka dia
berkata dengan suara keras.
“Berani kalian mendekati
istriku, kubunuh kawan kalian ini, aku tidak main-main!”
Kano Yamada kembali tekankan
ujung pedang. Kini sedikit lebih keras. Prajurit yang dijambaknya mengeluh
tinggi. Kulit dagunya terluka, darah mengalir turun membasahi pedang.
“Turut apa yang dikatakannya!
Buang senjata kalian!” teriak si prajurit. Dua kawannya yang sadar tidak bisa
berbuat apa-apa akhirnya campakkan pedang masing-masing ke lantai.
“Putar tubuh kalian. Keluar
dari ruangan ini!” perintah Kano Yamada selanjutnya. Ketika dua prajurit itu
melakukan apa yang dikatakannya, Kano Yamada kemudian menyuruh prajurit di
bawah ancamannya untuk melangkah ke arah pintu.
Keluar dari ruangan tamu Kano
Yamada terus membawa prajurit itu sampai ke halaman depan gedung. “Naik ke atas
kuda masing-masing! Jangan berani berbuat yang aku tidak senang!” Lalu dengan
sekuat tenaga Kano Yamada mendorong prajurit itu hingga tersungkur ke tanah.
Malangnya, muka jatuh lebih
dulu hingga lecet berkelukur. Beberapa orang pengawal gedung yang ada di situ
hanya terkesima menyaksikan apa yang terjadi.
“Kano Yamada! Kau berani
menjatuhkan tangan pada prajurit Shogun! Kau akan rasakan pembalasan dari
kami!” gertak prajurit yang mukanya babak belur.
Kano Yamada masih tetap di
tempatnya sampai tiga perajurit itu lenyap di kejauhan. Setelah mencampakkan pedang
di tangan kirinya ke tanah, saudagar ini segera masuk ke dalam gedung.
Chieko Yamada mendatangi.
Kedua suami istri ini segera masuk ke dalam kamar.
“Saya mau bicara dengan
Kano….” Kata sang istri begitu masuk ke dalam kamar.
“Aku juga! Aku tak suka kau
mencampuri urusan ini! Biar aku sendiri yang menyelesaikan urusan hutang
piutang dengan Yasuaki Kiuchi.”
“Mana bisa begitu. Kau
suamiku. Apa yang menjadi persoalanmu menjadi urusan saya juga.
Kenyataannya sekarang bukan
cuma menyangkut urusan hutang piutang. Tapi kini malah merembet pada diri anak
kita Hatsuko. Kita harus menemui orang itu.”
“Aku sudah berusaha tapi dia
menolak!”
“Kalau begitu biar saya yang
menemuinya….” kata Chieko Yamada pula.
Lama Kano Yamada memandangi
istrinya itu. Lalu terdengar suaranya bertanya. “Apa yang ada dalam benakmu,
Chieko? Aku tak bisa melupakan bagaimana hubunganmu dulu dengan Yasuaki
Kiuchi!”
“Kau jangan terlalu bercemburu
Kano. Dulu kami memang pernah menjalin hubungan cinta….”
“Dan pernah merencanakan untuk
kawin….” sambung Kano Yamada.
“Betul, tapi itu dulu.
Kenyataanya lain. Saya tidak kawin dengan dia. Kau kini menjadi suamiku…”
potong Chieko.
“Kau menyesal menjadi istriku?
Hemmmm…. Yasuaki Kiuchi. Manusia terpandang di negeri ini karena keluarga sangat
dekat dengan Shogun yang berkuasa…..”
“Saya tidak suka kau berkata
begitu Kano. Sejak saya menjadi istrimu hanya kau satu-satunya laki-laki di
hati saya.”
“Mulutmu berucap begitu. Namun
hatimu tak pernah bisa melupakan laki-laki itu………”
Chieko Yamada gelengkan
kepalanya berulang-ulang. Perempuan ini seperti mau sesenggukan ketika berkata,
“Dengar Kano. Saya berharap ada maksud bersih dan baik dari Yasuaki mau
menjodohkan anak kita dengan putranya…..”
“Mungkin saja. Karena dia
tidak mendapatkan dirimu, lalu hubungan yang terputus disambung kembali dengan
menjodohkan Hatsuko dengan putranya….”
“Saya tidak melihat ada yang
salahnya hal itu. Hanya saja Hatsuko sudah kita jodohkan dengan putra keluarga
Hideo Yukawa……..”
“Seandainya tali perjodohan
itu tidak ada, Kau tentu bersedia menjodohkan Hatsuko dengan anak lelaki
Kiuchi.”
“Saya tidak mengatakan begitu”
Sahut Chieko.
“Lalu apa maksudmu menemui
laki-laki itu?”
“Untuk menjernihkan suasana.
Siapa tahu dia bisa mengerti keadaan kita yang belum mampu melunasi pinjaman
dalam waktu dekat ini. Lalu sekaligus menerangkan bahwa Hatsuko telah kita
jodohkan dengan Toshiro, anak keluarga Yukawa.”
Kano Yamada menggeleng.
“Tidak,” Katanya. “Aku tidak mengizinkan kau menemui laki-laki itu.
Aku memilih penjara untuk
masalah hutang itu. Dan aku memilih mati jika ada orang lain menyentuh anakku,
apabila mengambilnya!”
“Kano, kau tahu saat
malapetaka telah terjadi atas diri Yasuaki. Pikirannya terganggu, tingkah
lakunya tampak aneh sejak dia menderita sakit panas selama dua minggu akibat
patukan ular berbisa di hutan Kiso beberapa bulan lalu…..”
“Dia memang tampak aneh.
Katakanlah tidak waras. Tapi apakah dia tidak memandang hormat padamu hingga
mengancam hendak memenjarakanku dan memaksa mengambil Hatsuko sebagai jodoh
puteranya?”
“Itulah sebab saya harus
menemuinya. Saya yakin jika saya bisa bicara dengan dia, semua persoalan bisa
diselesaikan dengan baik. Saya tidak ingin kehilangan kalian berdua. kau dan
Hatsuko…..”
Chieko lalu memeluk suaminya
dengan erat-erat. Kano Yamada balas merangkul. Di kamar sebelah terdengar suara
bayi menangis. Dua suami istri ini lepaskan pelukannya masing-masing lalu
bergegas menuju ke kamar itu. Seorang pelayan tampak mendukung bayi kecil
berpipi merah sambil menepuk-nepuk halus punggungnya hingga bayi terdiam dan
tidur kembali.
“Biar saya mendukungnya
sebentar….” Kata Chieko sambil mengulurkan tangan untuk mengendong puteri kecil
anak pertamanya itu. Si bayi segera saja tertidur lelap dalam dukungan sang
ibu. Setelah yakin bayinya tidak akan bangun dan menangis lagi, Chieko Yamada
membaringkan anak itu di dalam sebuah tempat tidur kecil yang hangat.
Kano Yamada tertegun di ujung
tebing. Puluhan kaki di bawahnya membentang laut Jepang yang ganas. Ujung-ujung
runcing batu karang menyembul di permukaan laut. Mengerikan. Dia tak bisa lari
lagi. Tak mungkin terjun ke laut karena sama saja bunuh diri. Tapi dia juga
tidak bisa mencari jalan lain.
Di hadapannya saat itu
sepasang harimau kumbang hitam mengerang keras. Gigi-gigi bintang ini
menggidikkan. Harimau kumbang yang betina kelihatan berselemotan darah
mulutnya. Itu adalah darahnya sendiri. Binatang ini sempat mencakar dadanya dan
menerkam bahunya. Si betina ini lebih garang dari si jantan. Pakaian Kano
Yamada basah oleh keringat dan darah!
Dada Kano Yamada naik turun.
Dia tahu dia tak bakal lolos dari kematian. Tangan kanannya yang basah oleh
darah dan keringat terasa licin digagang samurai yang digenggamnya. Pedang itu!
Ini satu-satunya tuan penyelamatnya. Kalau dia mampu membunuh dua ekor harimau
kumbang itu, sangggupkah dia?
Harimau kumbang betina mengaum
keras. Dia sudah mencium darah calon mangsanya. Ini agaknya yang membuatnya
jadi lebih beringas. Tiba-tiba binatang ini melompat menerkam. Kano Yamada
berteriak keras. Samurai di tangannya menderu ke atas, menyongsong terkaman
harimau betina.
Tapi celakanya harimau jantan
telah menyergap pula. Walau Kano Yamada berhasil membabatkan senjatanya di
pertengahan dada harimau kumbang betina sehingga bintang ini meraung keras dan
darah memancur dari dadanya yang terkoyak, serangan harimau kumbang jantan tak
dapat dihindari.
Dua cakar kaki depan mengoyak
perut dan dadanya. Kano Yamada menjerit setinggi langit. Dalam keadaan mandi
darah tubuhnya terpental dari ujung tebing batu, melayang jatuh ke bawah. Ombak
laut Jepang berdebur dengan dahsyat. Batu-batu runcing siap menyambut tubuh
Kano Yamada.
Lelaki ini berteriak sekali
lagi. Lebih keras dan lebih menggidikkan dari teriakan pertamanya tadi.
Kano Yamada terduduk di atas
ranjang. Pakaian tidurnya basah oleh keringat. Dadanya terasa sesak dan
nafasnya memburu.
“Mengerikan sekali mimpiku….”
kata lelaki ini sampai menyeka wajahnya yang basah dengan ujung baju. Dia
memandang ke samping. Sesaat dia merasa heran. Chieko tak ada di sampingnya.
Mungkin dia keluar kamar,
membuang hajat kecil atau mengambil air minum. Atau ke kamar putri mereka di
sebelah. Kano Yamada menunggu sebentar.
“Chieko….” Lelaki ini
memanggil, satu kali. Dua kali, Kali yang ketiga dia melompat turun dari atas
ranjang rendah itu. Seluruh ruangan diperiksanya. Chieko tidak diketemukan,
Kano Yamada masuk ke kamar tidur puterinya. Anak itu dilihatnya tertidur
nyenyak dalam ranjang kecilnya sementara pelayan tidur di atas tatami (alas
lantai berbentuk kotak-kotak).
“Aneh, ke mana perginya
perempuan itu….?” Pikir Kano Yamada sambil melangkah masuk ke dalam kamar tidur
kembali. Dia memandang seputar kamar. Baju tebal milik istrinya yang sebelumnya
tergantung di sudut kamar ini tidak ada lagi. Hati Kano Yamada berdetak.
“Jangan-jangan….” Setengah
berlari lelaki ini keluar dari kamar, terus ke bagian belakang gedung.
Di sini ada sebuah kandang
kuda. Ketika kandang diperiksanya, debaran di hati Kano Yamada menjadi semakin
keras. Detak jantungnya seolah menggemuruh.
“Chieko….” desisnya. “Dia
pasti ke otsu! pasti! Nekad sekali perempuan itu!” Di kandang itu seharusnya
ada dua ekor kuda. Miliknya dan milik istrinya. Kuda milik istrinya ternyata
tidak ada.
Kano Yamada berteriak
memanggil pengawal. Setengah lusin pengawal gedung segera menghambur datang.
“Istriku tak ada dalam gedung!
Kudanya juga tidak ada di kandang! Siapa di antara kalian tahu di mana istriku
berada?! Atau pergi ke mana dia?! Jangan ada yang berani dusta!”
Pegawal paling depan kelihatan
takut-takut mau bicara. Tapi salah seorang kawannya mendorong-dorong
punggungnya sambil berbisik. “Lekas katakan saja sebelum Tuan Yamada marah….”
“Hmm… benar rupanya ada yang
tidak beres,” kata Kano Yamada dalam hati. Lalu diapun berteriak marah. “Kalau
tidak ada yang berani bicara satu persatu aku robek mulut kalian!”
“Tuan,” pengawal paling depan
akhirnya berkata juga. “Beberapa waktu lalu nyonya meninggalkan gedung. Dia
memerintahkan kami membuka pintu gerbang. Sebelum dia pergi kami sempat
bertanya mau ke mana malam-malam begini. Sendirian pula. Istri tuan tidak
menjawab, malah memerintahkan agar kami cepat menutup pintu. Dia juga menolak
untuk kami kawal. Ketika kami katakan hendak memberitahukan tuan, dia marah
besar, Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami melihat sikap nyonya aneh sekali
malam ini.”
“Kalian pengawal tidak becus!
Tolol! Walau dia melarang tapi kalian punya kewajiban memberitahu!” teriak Kano
Yamada. Kaki kanannya dihentakkan hingga tanah yang dipijaknya melesat ke
bawah.
Habis membanting kaki begitu,
Kano Yamada berkata. “Salah seorang dari kalian lekas siapkan kudaku! Aku harus
mencari dan mengejarnya sekarang juga!”
“Kalau begitu biar kami ikut!”
“Aku tidak perlu
manusia-manusia tolol seperti kalian!” damprat Kano Yamada, lalu masuk ke dalam
untuk berganti pakaian.
Ketika keluar dia telah
mengenakan pakaian ringkas. Sebilah Katana (pedang panjang khas Jepang)
tergantung di belakang punggungnya. Sesaat kedua kakinya menuruni tangga gedung
tiba-tiba udara yang tadinya sunyi tenang berubah. Suara tiupan angin mula-mula
terdengar seperti suara seruling lalu berubah menjadi gemuruh yang menakutkan.
Pohon-pohon besar yang tumbuh di sekeliling gedung berderik-derik seperti mau
tumbang. Daun-daunnya gugur berhamburan.
“Badai!” teriak seorang
pengawal sambil berpegangan pada sebuah pilar batu.
2
“Tuan Yamada sebaiknya jangan
pergi dulu!” menasihatkan seorang pengawal.
Kano Yamada mana mau perduli.
Terseok-seok karena tubuhnya diterpa angin, lelaki ini melangkah mendekati
kudanya yang dipegang dua orang pengawal. Binatang ini meringkik keras beberapa
kali. Belum sempat Kano Yamada naik ke punggungnya, tiba-tiba kuda ini
menghambur lari.
“Binatang jahanam!” teriak
Kano Yamada marah. Dia coba mengejar tapi tubuhnya limbung. Satu putaran angin
menghantamnya dengan keras hingga dia tak kuasa bertahan dan terhampar ke
tanah.
Dua orang pengawal segera
menolongnya dan membawanya masuk ke dalam rumah.
“Tangkap kuda itu. Atau
carikan kuda lain!” perintah Kano Yamada pada para pengawal yang ada di
sekelilingnya.
Seorang pengawal berusia agak
lanjut berkata. “Tuan Yamada lebih baik suka bersabar sedikit. Kuda itu telah
menjadi liar Tak mungkin ditangkap. Kalaupun bisa sangat berbahaya bagi tuan
menungganginya. Mencari kuda lain sama sulitnya dengan menangkap kuda itu…”
Kano Yamada hendak membentak.
Namun akhirnya dia hanya bisa menghenyakkan tubuhnya di atas sebuah kursi kayu.
Di luar tiupan angin semakin dahsyat. Badai tambah menggila.
“Chieko! Kamu manusia nekad!
Mengapa kau melakukan semua ini!” kata Kano Yamada sambil menutup kedua telapak
tangannya ke wajahnya. Terbayang wajah istrinya. Terbayang pula wajah merah
Hatsuko putrinya. Lalu muncul tampang Yasuaki Kiuchi. Dengan tangan kanannya
entah sadar entah tidak, Kano Yamada tiba-tiba menghantam lengan kursi. “Krakkk!”
Lengan kursi itu hancur berantakan. Wajahnya tampak beringas. “Aku harus pergi!
Persetan dengan badai! Persetan dengan kuda itu! Aku bisa jalan kaki!”
Kano Yamada melompat ke pintu.
“Tuan!” seru dua orang pengawal. Kawannya yang tegak dekat pintu berusaha
menghalangi tapi serta merta kena sikut Kano Yamada hingga orang ini mengeluh
tinggi dan terbanting ke dinding ruangan.
Dalam gelapnya malam, di bawah
badai besar itu Kano Yamada melangkah terhuyung-huyung menahan kencangnya angin
yang menyambar dari depan, menghantam dari samping atau dari belakang. Para
pengawal yang melihat kejadian itu sesaat hanya bisa berdiri melongo. Namun
tiga orang diantara mereka akhirnya memutuskan untuk mengikuti tuan mereka.
Salah seorang dari ketiganya berteriak tiada henti, berusaha membujuk sambil
mengingatkan.
“Tuan Yamada! Kembali! Terlalu
berbahaya menempuh badai seperti ini! Kembali tuan Yamada!”
Kano Yamada tidak perduli. Dia
melangkah terus. Badai bertambah dahsyat ketika hujan mulai turun.
“Tuan Yamada! Ingat putrimu
Hatsuko,” teriak pengawal satunya. Sesaat langkah Kano Yamada tertahan. Tetapi
di lain saat lelaki ini lanjutkan perjalanannya. Kedua tangannya dikepalkan
kencang-kencang.
Di dalam gedung kediamannya
yang besar dan mewah di kota Otsu, Yasuaki Kiuchi duduk di atas kasur tebal
empuk didampingi oleh dua selirnya yang masih muda-muda dan cantik. Kepalanya
diletakkan di pangkuan salah satu selir, sementara selir satunya memegang
sebuah piala perak berisi sake. Di dekat pembaringan terhidang berbagai macam
makanan dan buah-buahan. Lalu sepuluh langkah di hadapannya duduk seorang gadis
memetik koto (harpa), sebuah peralatan musik memiliki 13 jalur senar dan
diletakkan di lantai.
Antara gadis pemetik koto
dengan Yasuaki Kiuchi ada seorang gadis penari yang menari mengikuti irama koto
dengan gerakan lemah gemulai. Kimono yang melilit ditubuhnya terbuat dari jenis
kain yang demikian tipisnya hingga lekuk tubuh gadis ini membayang dengan
jelas. Keadaan Yasuaki Kiuchi yang konon masih saudara sepupu Shogun yang
berkuasa pada masa itu tidak beda seperti kaisar kecil saja.
Saat itu dia sudah setengah
mabuk karena terlalu banyak meneguk sake. Mukanya yang bulat dan selalu
berkeringat kelihatan merah. Sekali-sekali dia menyeringai sambil salah satu
tangannya mengusap paha selir yang duduk di sebelahnya. Di luar gedung hujan
turun dengan lebat. Badai masih bersabung di wilayah utara. Deru angin
terdengar menggidikan.
Ketika sedang asyiknya Yasuaki
Kiuchi menikmati tarian masuklah seorang pembantu. Merasa terganggu Yasuaki
Kiuchi berteriak marah. Selagi pembantu itu menjura, dia mengambil piala perak
berisi sake dari tangan selirnya lalu melemparkannya ke arah si pembantu.
Si pembantu yang tahu gelagat,
walau bisa mengelak tapi tak berani melakukan. Kalau dia mengelakkan lemparan
piala perak itu sang majikan akan meradang seperti beruang terluka! Maka dia
diam saja menunggu sampai terdengar suara “buk!” Piala menghantam dadanya. Dia
mengernyit menahan sakit, tak berani berteriak. Diam-diam dia merasa beruntung
karena mengetahui bahwa Yasuaki Kiuchi melemparkan tempat minum perak itu tanpa
menggunakan tenaga dalam. Kalau sampai dia mengisi piala dengan menggunakan
tenaga dalam, niscaya saat itu dia sudah muntah darah dan sekarat!
“Maafkan saya Tuan Kiuchi!
Kesalahan dan dosa yang besar mengganggumu. Tapi ada seorang tamu datang dari
jauh…”
“Heh…..?” amarah Yasuaki
Kiuchi agak mereda oleh rasa heran. Dia mendongak pada selir yang memangku
kepalanya lalu membelai pipi perempuan ini.
“Di luar hujan turun lebat. Di
utara aku yakin ada badai mengamuk. Lalu tiba-tiba saja di malam buta buruk
cuaca begini ada tamu mencariku! Kuharap saja bukan bangsa setan atau roh halus
dari gunung hantu!” habis berkata begitu Yasuaki Kiuchi tertawa gelak-gelak
lalu meneguk sake langsung dari sebuah guci kecil. Sambil menyeka mulutnya
dengan belakang tangan, mata merahnya memandang pada si pembantu. “Kau sudah
tahu siapa adanya tamu itu?!”
“Dia seorang perempuan….”
“Apa?!” Yasuaki Kiuchi bangkit
dari berbaringannya, duduk di atas kasur, memandang tak berkedip pada si
pembantu.
“Tamunya seorang perempuan.
Katanya dari desa Hikone. Namanya Nyonya Muda Chieko Yamada…….”
Mendengar keterangan si
pembantu langsung saja Yasuaki Kiuchi melompat dari duduknya. “Di mana dia
sekarang?”
“Menunggu di ruangan tamu tuan
Kiuchi. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup…..”
Yasuaki Kiuchi tidak menunggu
sampai si pembantu selesai berucap. Dia bergegas menuju ruangan tamu. Dua selir
dan si pembantu mengikuti dari belakang. Gadis pemain koto hentikan petikan dan
gadis penari juga ikut berhenti menari.
Begitu membuka pintu dorongan
ruangan tamu, Yasuaki Kiuchi tertegun melihat sosok yang ada didalam sana.
“Jadi benar kau rupanya Chieko …..” desis Yasuaki Kiuchi. Dia berpaling ke
belakang. Pada dua selirnya dia segera berkata “Kalian lekas pergi masuk ke
kamar masing-masing!”
Setelah memperhatikan sejenak
perempuan muda yang basah kuyup di ruangan itu, salah satu dari dua selir
menjadi iri dan cemburu lalu bertanya “Siapakah perempuan itu yang rupanya sangat
penting hingga kami berdua disuruh masuk dilupakan begitu saja?”
“Perempuan lancang tidak tahu
diri!” bercarut Yasuaki Kiuchi dengan mata membelalak. “Berani kau berkata
seperti itu?!” Melihat sikap Yasuaki Kiuchi, dua selir jadi takut dan cepat-cepat
mengundurkan diri. Yasuaki berpaling pada si pembantu. “Lekas kau temui pelayan
perempuan. Suruh Dia membawa kain pengering dan pakaian penyalin….”
Setelah si pembantu berlalu,
Yasuaki Kiuchi masuk ke dalam ruangan. Untuk beberapa lamanya dia melangkah
perputar mengelilingi Chieko Yamada yang tegak ditengah ruangan dalam keadaan
basah kuyup.
“Chieko, ini bukan mimpi! Kau
datang di malam buta ketika cuaca sangat buruk. Berbasah-basah datang dari
jauh. Kau perlu mengeringkan badan, berganti pakaian dan berhangat-hangat
dengan makanan panas dan minuman keras…”
“Saya berterima kasih atas
kebaikanmu itu Kiuchi-San…”
“Panggil aku Yasuaki!”
“Waktu saya hanya sebentar.
Saya akan segera pulang jika selesai bicara denganmu….”
“Ini rumahku! Siapa yang
berada di dalamnya harus ikut apa yang aku punya mau!” kata Yasuaki Kiuchi pula
dengan muka sesaat jadi galak.
Tak lama kemudian seorang
pelayan perempuan datang membawa sehelai kain pengering dan pakaian untuk
bersalin. “Bantu nyonya Yamada mengeringkan tubuh dan berganti pakaian,” kata
Yasuaki Kiuchi pada si pelayan lalu keluar kamar sambil menutup pintu.
Tapi begitu berada di luar
kamar, dengan ujung jari kelingkingnya, lelaki ini menusuk dinding yang terbuat
dari kertas hingga berlobang. Lewat lobang itu, dia mengintip saat-saat Chieko
Yamada membuka pakaiannya yang basah, mengeringkan tubuhnya lalu mengenakan
pakaian yang diberikan. Tenggorokan lelaki ini turun naik. Nafasnya memburu.
Lidahnya berulang kali dijulurkan untuk membasahi bibirnya.
“Sudah selesai tuan Kiuchi,”
kata pelayan begitu keluar dari dalam kamar membawa pakaian basah.
“Kau boleh pergi. Beritahu
semua orang agar tidak berada di sekitar sini…” kata Yasuaki Kiuchi pula pada
pelayan perempuan itu, lalu masuk ke dalam ruangan di mana Chieko Yamada
berada.
Sambil rangkapkan kedua
tangannya di depan dada, Yasuaki Kiuchi menatap wajah dan tubuh Chieko tanpa
berkedip sampai beberapa lamanya. “Kau datang di malam buta. Dalam cuaca buruk.
Seorang diri. Jarang ada perempuan Jepang punya keberanian sepertimu. Apa kau
datang mewakili suamimu untuk minta maaf karena telah berani menciderai
perajurit Shogun yang aku kirimkan ke tempat kediamanmu? Mengapa dia berlaku
pengecut tidak datang sendiri…?”
“Saya datang tidak setahu
dia,” menjelaskan Chieko.
“Oh, jadi maumu sendiri? Ini
sungguh satu hal luar biasa! Mungkin kau tiba-tiba saja teringat masa mudamu
dulu? Ketika kau menjalin cinta denganku. Lalu kau lenyap dan tahu-tahu kawin
dengan Kano Yamada. Kau datang untuk minta maaf…?”
“Ada yang lebih penting dari
masa lalu Yasuaki,” kata Chieko pula. “Menyangkut hutang suami saya dan maksud
hendak menjodohkan puteriku Hatsuko dengan puteramu.”
“Soal hutang suamimu sudah
jelas. Dia tidak sanggup membayar. Aku sudah mengatur orang untuk
memperkarakannya dan menjebloskannya ke dalam penjara…”
“Jangan lakukan itu Yasuaki.
Saya mohon kau suka memberi waktu…”
“Aku tak punya waktu lagi
Chieko. Aku merasa suamimu sengaja menipu…”
“Usahanya benar-benar sedang
ambruk. Mohon kau mau mengerti…”
“Bagaimana dengan urusan
jodoh?” Yasuaki Kiuchi mengalihkan pembicaraan.
Dari dalam saku kimononya dia
mengeluarkan sebuah botol pipih berisi minuman keras. Beberapa kali teguk saja
minumannya itu ludas masuk ke dalam tenggorokan.
“Terus terang saja aku suka
menjadi besan denganmu Yasuaki. Tapi Hatsuko sudah terlanjur diikat jodoh
dengan Toshiro, putera keluarga Yukawa…”
Sepasang mata Yasuaki Kiuchi
membeliak. Botol pipih yang dipegangnya dibantingkan ke lantai hingga pecah
berkeping-keping. “Aku tahu keluarga Yukawa. Keluarga nelayan miskin yang hanya
mampu mencari nafkah di danau Biwa! Dengan anak mereka puterimu kau jodohkan!
Sungguh memalukan! Menolak ikatan jodoh dengan puteraku sama saja menghina
diriku!”
“Yasuaki, harap kau mau
mengerti. Kami telah terlanjur menjodohkan Hatsuko dan Toshiro. Kalau saja
ikatan itu belum ada tentu saya dan suami merasa senang untuk menjodohkan
Hatsuko dengan puteramu…”
“Chieko! Dua kali dengan ini
kau menghinaku! Pertama waktu kau meninggalkan aku dan kawin dengan Kano! Kedua
sekarang ini. Menolak ikatan jodoh! Padahal kau datang untuk mengemis untuk
minta agar aku memberi kelonggaran atas hutang suamimu…”
“Saya tidak mengemis Yasuaki.
Kalau kau tidak mau mempertimbangkan, Kano bersedia masuk penjara. Kalau perlu
saya sekalian kau jebloskan!”
Yasuaki pandangi wajah Chieko
beberapa saat lalu dia tertawa gelak-gelak sampai keluar air mata.
Namun sesaat kemudian dia
berubah. Kalau tidak tertawa kini dia mulai sesenggukkan. Mula-mula perlahan
lalu meraung keras.
“Yasuaki…” Panggil Chieko.
Perempuan ini mulai merasa takut “Penyakit gilanya kumat… Aku harus segera
meninggalkan tempat ini. Yang penting aku sudah bicara padanya…”
Pintu ruangan terbuka. Seorang
pembantu dan dua orang perajurit Shogun masuk. “Kami mendengar tuan Kiuchi
berteriak. Ada apakah? Apakah tuan baik-baik saja?” tanya salah seorang
perajurit.
“Keluar!” teriak Yasuaki
Kiuchi marah sekali sehingga ketiga orang itu putar tubuh dan tinggalkan
ruangan ketakutan. Yasuaki bantingkan pintu dorong dengan keras.
“Aku minta diri…” ujar Chieko.
“Kau mau ke mana?” tanya
Yasuaki sambil bersandar ke pintu. “Hikone jauh dari sini anakku menunggu.”
Yasuaki Kiuchi menyeringai aneh. Tiba-tiba kimono yang melekat di tubuhnya
ditanggalkan. Chieko membuang muka kejurusan lain. “Tanggalkan pakaianmu
Chieko…”
Chieko Yamada sepertinya
mendengar petir menyambar di telinganya. “Yasuaki, kau sadar apa yang barusan
kau katakan?”
“Aku bilang tanggalkan
pakaianmu! Layani diriku malam ini! Hanya itu satu-satunya jalan menebus
pengkhianatanmu dulu dan pengkhianatanmu kali ini!”
“Kau sakit Yasuaki…! Yasuaki
yang aku kenal dulu tidak akan berlaku sekeji ini!”
Yasuaki Kiuchi tertawa
mengekeh. “Aku memang sakit! Otakku! Hatiku! Jiwaku! Semua ini kau penyebabnya!
Ditambah racun ular yang tidak bisa dikuras bersih dari otakku! Lengkap sudah
derita sakitku! Malam ini derita sengsara itu akan kita bagi dua Chieko!”
Seperti seekor singa kelaparan
Yasuaki Kiuchi menyergap perempuan itu. Chieko berusaha melawan tapi sia-sia
belaka. Menjerit minta tolong pun tak ada gunanya karena tak ada yang berani
datang ke tempat itu. “Aku lebih suka kau membunuhku dari pada menerima noda!”
kata Chieko dalam keadaan terlentang tak berdaya di lantai, ditindih tubuh
berat Yasuaki Kiuchi.
Yasuaki Kiuchi menyeringai.
Dua tangannya bergerak merenggut tali kimono Chieko Yamada.
Perempuan itu kembali menjerit
tapi suara jeritan semakin lemah lalu dia tak tahu lagi apa yang terjadi dengan
dirinya. Di luar hujan menderu tambah lebat. Badai masih terus berkecamuk.
Hujan yang lebat dan badai
yang masih menggila, ditambah malam begitu gelap membuat pemandangan mata hanya
mampu menembus belasan langkah saja. Seorang pengawal yang berjalan di samping
Kano Yamada tiba-tiba berteriak dengan mata melotot memandang ke depan.
“Tuan Yamada! Ada sesuatu
mendatangi dari sebelah depan!”
“Aku sudah tahu,” jawab Yamada
datar. Dia memang sudah melihat ada sebuah benda mendatangi.
Karena hujan dan badai, dia
masih belum dapat memastikan benda apa itu adanya. Namun dua telinganya mulai
menangkap suara benda bergerak itu. Air hujan yang membasahi alisnya disekanya
dan kedua matanya dibuka lebih lebar.
“Seekor kuda…” desis Kano. Dia
mempercepat langkahnya. Mendadak saja hatinya yang sejak meninggalkan Hikone
memang sudah gelisah kini menjadi tidak enak berlipat ganda. Sosok yang datang
dari depan semakin dekat. Ternyata memang seekor kuda. Kelihatannya tidak
berpenunggang.
Kuda sampai di hadapan Kano
Yamada. Saudagar muda ini mengangkat tangannya memegang kepala kuda. Binatang
ini hentikan langkahnya dan menjilati tangan lelaki itu seolah kenal. “Heh, ini
kuda Chieko…” kata Kano dalam hati, ketika dia mengenali binatang itu. Justru
pada saat itu pulalah dia melihat sesosok tubuh terbujur melintang diatas
pelana. Kimono yang melekat di tubuh itu robek-robek tidak karuan rupa. Agaknya
hanya ditutupkan begitu saja. Lalu Kano Yamada melihat rambut tergerai panjang
basah kuyup mengucurkan air hujan di bagian bawahnya yang terjuntai. Kano
Yamada membungkuk untuk memastikan agar dia bisa melihat wajah perempuan yang
terbujur di pelana kuda itu. Lalu terdengar raungannya. “Chieko!!!”
Tiga orang yang menyertai Kano
Yamada ikut berseru kaget. “Nyonya muda, apa yang terjadi denganmu?” salah
seorang di antara mereka berucap dengan suara gemetar.
Di bawah hujan lebat dan badai
yang masih mendera, Kano Yamada dibantu oleh tiga orang tadi turunkan sosok
Chieko dari atas kuda. Mereka mencari tempat yang agak terlindung lalu
membaringkan perempuan itu di sana.
“Chieko…! Chieko!” teriak Kano
Yamada berulang kali. Ditepuknya wajah istrinya itu. Lalu diletakkannya telinga
kirinya di atas dada. Deru hujan dan badai keras sekali. Dia tak dapat
mendengar apakah jantung istrinya masih berdetak atau tidak.
Kano Yamada masih meletakkan
telinganya di dada istrinya. Tiba-tiba matanya membesar. Dia melihat ada cairan
merah di bagian perut Chieko yang mengalir ke tanah bersama air hujan. Darah!
Darah itu mengucur keluar dari
bagian perut yang ditancapi sebilah tanto!
Raungan Kano Yamada seperti
mengalahkan deru hujan dan badai. “Chieko! Apa yang terjadi denganmu?! Chieko!”
Kano Yamada peluk tubuh istrinya erat-erat hingga pakaiannya ikut bersimbah
darah. Tiga orang pengawal hanya bisa tertegun tak tahu mau berbuat apa.
“Chieko kau barusan dari mana?
Siapa yang melakukan ini?! Chieko! Chiekoooooooo…! Jawab Chieko! Jangan diam
saja!” Kano Yamada angkat kepalanya ketika dia merasa ada hembusan hawa keluar
dari hidung istrinya. “Chieko…kau dengar aku Chieko…”
Dua mata Chieko terbuka. Tapi
hanya sedikit lalu tertutup kembali. “Chieko katakan apa yang terjadi! Kau
barusan pergi ke mana? Siapa yang melakukan kekejian ini?!”
“Ka… Kano. Bi… biar saya me…
menerima nasib buruk ini…” keluar suara Chieko tersendat dan terputus-putus.
“Tidak! Aku harus tahu siapa
yang menghinamu! Siapa yang membunuhmu! Bilang Chieko! Kau harus bilang!” Kano
Yamada dekap tubuh istrinya erat-erat. Diciuminya wajah yang putih pucat dan
basah oleh air hujan itu. “Chieko! Katakan Chieko…” bisik lelaki ini ke telinga
istrinya.
“Kiuchi…” bisik Chieko antara
terdengar dan tidak. “Yasuaki Kiuchi… Dia memperhinakan diri dan keluarga kita.
Dia menodai saya…”
Sekujur tubuh Kano Yamada
bergeletar. Darahnya seperti mendidih. Tulang-belulangnya laksana di panggang
bara api. “Dia juga yang menusukmu dengan pisau ini…?”
“Tidak …Se setelah dia menodai
saya…, sa… saya merasa… tidak ada gu… gunanya lagi hidup ini. Sa… saya merampas
senjata itu dari… se… seorang pengawalnya. Saya berusaha melakukan harakiri…
Saya… Kano suamiku… Saya mohon kau jaga anak kita Hatsuko baik-baik…”
“Chieko! Chieko…!” Raungan
Kano Yamada kembali menggelegar. Diguncangnya tubuh istrinya.
Tubuh itu tak bergerak lagi.
Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tak ada hawa hangat keluar dari
saluran pernafasannya. “Chieko! Jangan mati Chieko! Jangan mati!” teriak Kano
Yamada.
Lelaki ini tidak tahu berapa
lama dia meratapi jenazah istrinya itu sampai suaranya menjadi serak.
Tiba-tiba seolah sadar dia
hentikan ratapannya. Wajahnya kelihatan bengis. Perlahan-lahan dilepaskannya
rangkulannya pada tubuh Chieko lalu berdiri. Ketika dia bergerak melangkah,
salah seorang pengawal cepat bertanya.
“Tuan Yamada, kau mau
kemana…?”
“Otsu! Aku akan membuat
perhitungan dengan Yasuaki Kiuchi…” jawab Kano Yamada seraya menekan hulu
pedang samurai yang tergantung di pinggangnya.
“Kami ikut dengan tuan!”
Kano Yamada gelengkan kepala.
“Kalian kembali ke Hikone. Urus jenazah istriku! Jika dua hari aku tidak
kembali, perabukan jenazah itu. Sebagian tebarkan di danau Biwa, sebagian lagi
disimpan dalam cupu, letakkan di meja sembahyang rumahku…”
“Tapi tuan Yamada…”
“Srett!” Kano Yamada cabut
samurainya. “Aku pergi. Jika aku tidak kembali bawa Hatsuko ke Nara. Dia punya
seorang bibi keluarga istriku…” habis berkata begitu Kano Yamada putar tubuhnya
lalu melangkah pergi. Sebentar saja bayangannya lenyap dalam kegelapan. Tiga
orang pengawal tak bisa mencegah. Dengan hati-hati mereka mengangkat tubuh
Chieko lalu meletakkannya di atas pelana.
Hujan telah berhenti. Badai
sudah reda. Di antara tiupan angin yang masih bersisa keheningan pagi menyapu
kota Otsu. Yasuaki Kiuchi tersentak dari tidurnya ketika sepasang telinganya
mendengar suara dentrangan senjata di luar sana. Seorang selir yang menemani
Yasuaki Kiuchi malam itu berusaha merangkulnya ketika dia hendak bangkit dan turun
dari atas ranjang.
“Pagi masih dingin. Saya masih
ingin melayani dan menghangati dirimu…”
3
“Ada sesuatu terjadi di luar…”
jawab Yasuaki Kiuchi seraya menangkap dan menurunkan tangan perempuan yang
hendak mengusap bagian bawah perutnya. Lelaki ini cepat-cepat mengenakan
kimononya. Dia melangkah ke kamar sebelah. Lewat sebuah jendela yang disibakkan
tirainya dia dapat melihat sebagian halaman depan. Dalam keremangan pagi
disaksikannya seorang lelaki muda mengenakan kimono kuning bernoda darah dan basah
kuyup mengamuk menghajar setengah lusin prajurit yang mengeroyoknya.
Keenam perajurit penjaga
gedung itu tak kuasa membendung amukan lawan. Dalam beberapa kali gebrakan saja
lima di antara mereka roboh bersimbah darah. Agaknya tamu berkepandaian tinggi itu
sengaja tidak mau membunuh prajurit yang keenam. Sambil menekankan ujung
samurainya ke dada si perajurit dia berkata. “Suruh keluar Yasuaki Kiuchi!
Katakan aku Kano Yamada dari Hikone datang untuk mengambil nyawanya!”
Meskipun diancam kematian tapi
orang berseragam prajurit Shogun itu menyeringai buruk dan mengejek. “Yamada,
apa kau kira bisa lolos dari sini hidup-hidup?”
“Aku tidak minta kau bicara
banyak! Lakukan apa yang aku perintah!” bentak Yamada.
Tapi prajurit di hadapannya
malah meludah dan berkata. “Kalau kau punya nyali silahkan cari sendiri
majikanku!”
“Kau memang manusia tidak
berguna!” bentak Kano Yamada. Samurai di tangan kanannya menusuk ke depan.
Prajurit itu hanya keluarkan seruan pendek. Ketika Kano Yamada menarik
pedangnya si prajurit langsung roboh. Darah mancur dari perutnya yang ditembus
pedang.
Dari balik jendela ruangan di
tingkat atas Yasuaki Kiuchi menutupkan tirai kembali. “Kano Yamada…” desis
lelaki ini. “Dia pasti sudah mengetahui apa yang terjadi dengan istrinya.”
Yasuaki keluar dari dalam ruangan yang terletak di tingkat dua bangunan itu.
Dia masuk ke sebuah kamar di mana tersimpan berbagai macam senjata. Dia
mengambil sebilah katana. Sebelum menuju ke halaman lebih dulu dia menarik
sebuah genta tiga kali berturut-turut. Serta merta dari berbagai jurusan
bangunan berhamburan keluar hampir dua puluh orang prajurit.
Pemimpin mereka seorang
bertubuh besar, berkumis dan berjanggut meranggas melompat ke hadapan Yasuaki
Kiuchi yang tegak di pintu dalam. “Gapo! Ada penjahat di pintu gerbang utara.
Tangkap dia hidup-hidup!”
“Kalau memang penjahat mengapa
dibiarkan hidup, tuan Kiuchi?” tanya Gapo seraya melintangkan golok besar di
tangan kanannya. Pada masa itu rata-rata katana atau pedang samurai adalah
senjata yang banyak dipergunakan orang. Namun manusia satu ini agaknya lebih
suka mengandalkan golok besar yang dirampasnya dari seorang jago silat Cina
yang pernah dipencundanginya.
“Keparat! Lakukan saja apa
yang aku perintah! Jangan banyak tanya!” hardik Yasuaki Kiuchi mendelik. Si
tinggi besar menjura lalu berkelebat pergi. Yasuaki Kiuchi dorong daun pintu di
hadapannya lalu keluar menuju ke depan. Ketika dia sampai di luar, belasan
prajurit di bawah pimpinan si tinggi besar tadi telah mengurung dan mengeroyok
Kano Yamada.
Walaupun dia seorang pedagang,
di masa mudanya Kano Yamada pernah belajar ilmu pedang dari seorang pandai.
Samurai di tangan laki-laki yang kalap ini berkesiuran kian kemari. Empat orang
perajurit Shogun terkapar di tanah. Dua lagi menjerit lalu roboh. Ketika
samurai di tangan Kano Yamada merobohkan prajurit yang ketujuh, dari samping
berkelebat sebilah golok besar memukul badan pedang samurai di tangan Kano
Yamada. Daya pukul golok itu berat dan terasa sekali sehingga tangan Kano
Yamada bergetar keras. Dia cepat membalik dan menghantam dengan senjatanya.
Namun kuda-kudanya goyah.
“Tranggg!” Samurai di tangan
Kano Yamada terlepas mental. Golok besar tadi datang membalik.
“Brettt!” Pakaian Kano Yamada
robek besar di bagian perut. Dagingnya ikut tergores, membentuk luka memanjang.
Walau tidak terlalu dalam namun tetap saja mengucurkan darah. Sambil menahan
sakit penuh amarah dan nekad Kano Yamada melompati Gapo dengan tangan kosong.
Yang diserang balikkan goloknya lalu dengan satu gerakan cepat hantamkan gagang
golok ke kening lawan.
Kano Yamada merasa seperti
melihat gunung meletus di depan matanya. Pemandangannya serta merta gelap dan
kedua kakinya goyah. Tubuhnya tak ampuh lagi jatuh tergelimpangan. Dia berusaha
tidak jatuh pingsan. Dia melihat belasan kaki di sekelilingnya. Ujung-ujung
senjata. Lalu ada sepasang kaki berkasut bagus melangkah ke arahnya. Dia coba
mengangkat kepala.
Pemandangannya berkunang. Dia
tak dapat melihat jelas siapa adanya orang itu. Lalu dia mendengar suara-suara
bicara di dekatnya.
“Tuan Kiuchi, saya menunggu
perintah. Akan diapakan orang ini?!” bertanya Gapo.
“Jebloskan dia ke dalam
penjara! Dua hari lagi ada kapal ke utara ke pulau Hokkaido! Angkut dia bersama
penjahat dan orang-orang hukuman lainnya! Dia pantas menjadi penghuni tempat
kerja paksa di pertambangan Kitami!” Kano Yamada buka kedua matanya.
Pemandangannya masih kabur. Tapi dia telah mengenali suara yang barusan bicara.
Seperti mendapat satu kekuatan lelaki ini melompat dan berteriak.
“Yasuaki Kiuchi!” Kepala perajurit
Shogun angkat tangan kanannya. Siap untuk menghantam muka Kano Yamada dengan
gagang goloknya. Tapi Yasuaki Kiuchi angkat tangannya seraya berkata.
“Jangan! Biarkan dia bicara!”
Perlahan-lahan Kano Yamada
putar tubuhnya. Dia melihat bayangan orang berdiri di anak tangga.
Dia tak bisa melihat jelas
namun dapat memastikan orang itu adalah Yasuaki Kiuchi, orang yang telah
dicapnya sebagai manusia iblis!
“Yasuaki keparat! Manusia
iblis laknat! Ternyata bukan hanya otakmu saja yang tidak waras! Jiwa dan
hatimu juga bejat!”
“Bangsat tidak bermalu!” balas
memaki Yasuaki Kiuchi. “Tadinya kehormatan yang diberikan istrimu kuanggap
sudah menyelesaikan urusan hutang piutang di antara kita! Tapi detik ini aku
mengubah keputusanku…”
“Iblis bajingan! Kau nodai
istriku! Dia kembali sudah jadi mayat!”
“Salah sendiri! Dia berlaku
tolol! Melakukan harakiri!” jawab Yasuaki Kiuchi lalu tertawa mengekeh.
“Jahanam! Pergilah menghadap
Dewa penjaga neraka!” teriak Kano Yamada. Tangan kanannya bergerak sangat cepat
hingga tak ada yang sempat berbuat sesuatu. Sebuah senjata rahasia berbentuk
bintang melesat ke arah Yasuaki Kiuchi. Karena tidak menyangka Yasuaki tak
keburu mengelak. “Tuan Kiuchi! Awas shuriken! (senjata rahasia berbentuk
bintang)” Gapo berteriak memberi peringatan.
Tapi tak ada gunanya. Senjata
rahasia yang biasa dipergunakan oleh para Ninja itu melesat deras ke arah
kepalanya. Yang dituju Kano Yamada adalah tenggorokan orang tapi karena
pemandangannya kabur senjata itu hanya menancap di mata kiri Yasuaki Kiuchi!
Jerit saudara sepupu Shogun
yang berkuasa ini menggelegar mengerikan. Dua orang prajurit segera melompat
berusaha menolongnya. “Yamada jahanam! Seharusnya sudah tadi-tadi kupenggal
batang lehermu!” teriak Gapo. Kepala prajurit ini bacokkan golok besarnya ke
arah tangan kanan Kano Yamada. “Crassss!” Tangan itu putus tepat di sambungan
siku. Untuk kedua kalinya di tempat itu terdengar raungan manusia!
Setelah ditunggu sampai tiga
hari Kano Yamada tidak kunjung kembali ke Hikone, sesuai dengan pesan saudagar
muda itu pada para pengawalnya di malam penuh bencana, maka keluarga Yukawa
memutuskan utuk memperabukan jenazah Chieko Yamada. Sebagian abu jenasah
disimpan di dalam gedung kediaman keluarga Yamada dan sebagiannya lagi, seperti
yang dimintakan Kano Yamada, ditebarkan di permukaan danau Biwa.
Siang itu Hideo Yukawa tampak
berkemas-kemas. Dia membawa serta sebilah samurai yang selama bertahun-tahun
hanya tergantung di dinding dalam kamar tidurnya. Kemudian dia masuk ke dalam
kamar. Di atas pembaringan dua sosok bayi tergolek pulas. Satu lelaki satunya
perempuan.
Yang perempuan adalah Hatsuko
Yamada, puteri Kano dan Chieko Yamada yang malang itu. Bayi lelaki adalah
putera Hideo Yukawa sendiri. Sejak jenazah Chieko Yamada dibawa pulang oleh
tiga orang pengawal, keluarga Yukawa telah membawanya ke tempat kediaman mereka
di tepi danau.
Unari, istri Yukawa menjaga
dan merawat bayi lelaki yang telah dijodohkan dengan puterinya itu
sebaik-baiknya seperti dia merawat anaknya sendiri.
Di samping pembaringan duduk
seorang perempuan muda berwajah pucat murung. Kedua matanya tampak merah karena
banyak menangis. Dialah Unari, istri Hideo Yukawa. “Aku berangkat ke Otsu
sekarang juga. Harap kau menjaga dua anak itu baik-baik.” Kata Hideo Yukawa.
Unari Yukawa mengangguk.
“Kalau kau sudah tahu apa yang terjadi dengan Kano Yamada lekas kembali. Sejak
beberapa hari ini pasti hati saya selalu tidak enak. Saya sering bermimpi buruk
setiap saya memicingkan mata…”
Hideo Yukawa mengangguk. “Aku
akan lekas kembali. Kau tak usah kawatir. Aku sudah minta para pengawal di
gedung keluarga Yamada untuk melihat-lihat keadaan di sini.”
Unari mengantarkan suaminya
sampai di pintu lalu masuk kembali untuk menjaga dua bayi mungil yang masih
tertidur pulas itu.
Meninggalnya Chieko Yamada
menyebabkan suasana berkabung terasa di seluruh desa Hikone.
Penduduk merasa kehilangan
seorang warga mereka yang selama hidupnya banyak memberikan berbagai bantuan.
Nelayan yang tinggal di sepanjang tepi danau Biwa telah dibantu pinjaman untuk
membeli perahu. Sedang para petani di pedalaman mendapat bantuan uang untuk
membeli alat-alat pertanian serta ternak.
Malam itu banyak penduduk desa
terutama kaum ibu datang ke rumah keluarga Yukawa. Mereka menemani Unari sampai
larut malam. Semuanya merasa pilu melihat bayi Hatsuko dan berganti-ganti
mereka mendukung bayi itu sampai akhirnya tertidur nyenyak.
Tak lama setelah satu persatu
penduduk desa meninggalkan rumah Unari Yukawa, keadaan di tempat itu menjadi
sunyi senyap. Di dalam rumah hanya tinggal satu lampu minyak yang menyala,
yaitu di kamar tidur Unari dan dua bayi itu. Di luar rumah tiga orang pengawal
kelihatan duduk di bangku kayu, mengobrol sambil berjaga-jaga. Mereka adalah
para pengawal yang bekerja di gedung keluarga Yamada. Malam itu, seperti yang
diminta Hideo Yukawa, ketiganya berjaga-jaga di rumah itu.
“Majikan kita tuan Yamada tak
ada kabar beritanya. Yukawa-san pergi ke Otsu untuk menyelidik.
Bagaimana kalau diapun tidak
kembali pula?” Seorang pengawal bicara sambil bersandar dan meluruskan kedua
kakinya yang terasa pegal.
“Aku memang punya firasat
buruk tuan kita tak akan kembali. Sia-sia melawan kekuasaan Yasuaki Kiuchi…”
menyahut kawannya. “Manusia satu itu, mentang-mentang saudaranya Shogun
bertindak sewenang-wenang. Malah lebih gila dari Shogun!”
Pengawal ketiga menimpali.
“Aku ingin sekali…” Tiba-tiba dia hentikan ucapannya.
“Ada apa?” tanya dua temannya
hampir berbarengan. “Aku melihat ada seseorang menyelinap di belakang rumah…”
Tiga pengawal itu serta merta bangkit berdiri. Mereka bergegas menuju bagian
belakang rumah. Tiba-tiba pengawal di sebelah depan keluarkan keluhan tinggi.
Tubuhnya terlipat ke depan. Kedua tangannya memegangi dada di mana menancap
sebilah tanto (pisau pendek). Dua kawannya segera memegangi tubuh pengawal itu
lalu membaringkannya di tanah. Keduanya segera mencabut senjata.
“Hati-hati, kita menghadapi
penyerang gelap berkepandaian tinggi…” kata salah seorang pengawal berbisik
pada kawannya. “Pisau pendek itu…” menjawab kawannya. “Aku mengenalinya. Itu
pisau prajurit-prajurit Shogun!”
“Aneh, ada apa mereka muncul
di sini?” tanya pengawal pertama. Dia memandang ke arah rumah.
Darahnya berdesir.
“Jangan-jangan ada yang bermaksud jahat terhadap dua bayi itu! Kau lekas
berjaga-jaga di pintu rumah. Aku akan menyelidik ke bagian gelap sebelah sana.
Si pembokong pasti bersembunyi di tempat itu!”
Kawan yang disuruh segera
berkelebat ke arah rumah. Yang satu lagi bergerak ke tempat gelap di bawah
bayang-bayang hitam sebuah pohon besar. Lima langkah lagi dia akan sampai ke
semak belukar yang mengitari pohon, tiba-tiba tiga sosok berkelebat keluar dari
tempat gelap. Yang dua langsung menyerang si pengawal. Dua pedang berkelebat
dalam kegelapan malam. Satu pedang lagi membabat ke atas menangkis. Selagi
terdengar suara berdentarangan, sosok ketiga yang tadi keluar dari kegelapan
bergerak cepat menuju pintu rumah di mana pengawal kedua berjaga dengan pedang
di tangan.
Pengawal ini terkejut sewaktu
melihat ada satu sosok manusia tinggi besar tahu-tahu sudah berada di
hadapannya. Dia seperti pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi dia tak bisa
berpikir lebih lama karena saat itu senjata berupa sebilah golok besar di
tangan si tinggi besar membabat dengan deras ke arah tenggorokkannya. Dia cepat
menangkis dengan pedangnya.
“Tranggg!” Dua senjata beradu
keras di udara. Si pengawal merasa seolah digebuk satu balok besar dan berat
hingga lututnya tertekuk dan hampir terhenyak jatuh. Sambil jatuhkan diri dan
berguling, pengawal ini berhasil selamatkan diri dari tendangan si tinggi
besar. Namun begitu dia berdiri, serangan berikutnya datang menyusul. Tahu
bahwa lawan memiliki senjata ampuh dan kekuatan luar biasa, pengawal tadi tak
berani menangkis. Maka dia cepat melompat ke samping untuk menghindar sambaran
senjata lawan. Namun belum sempat kedua kakinya menginjak tanah kembali, golok
si tinggi besar melesat ke depan, menembus telak di lambungnya. Jeritan
pengawal ini terdengar jauh sampai ke pelosok desa dan ke tengah danau Biwa.
Tubuhnya sesaat tersandar ke pintu.
Dari dalam rumah tiba-tiba
terdengar suara perempuan berseru. “Siapa di luar?! Hideo? Kaukah itu?!” Pintu
rumah lalu terbuka. Sosok tubuh pengawal yang tengah meregang nyawa dan
tersandar di situ langsung roboh tergelimpang. Unari Yukawa menjerit keras. Dia
segera menutupkan pintu kembali tapi terhalang oleh sosok mayat si pengawal. Di
saat bersamaan si tinggi besar melompat masuk ke dalam rumah.
“Rampok! Rampok!” teriak Unari
Yukawa. Orang di hadapannya menyeringai. Tangannya bergerak menjambak rambut
perempuan itu. Lalu sekali banting saja Unari Yukawa terkapar jatuh pingsan. Si
tinggi besar lalu berkelebat ke arah ruangan yang ada cahaya terang lampu
minyak di mana bayi Hatsuko dan bayi Thosiro berada.
Ketika di kejauhan kelihatan
nyala lampu-lampu lampion mendatangi, si tinggi besar sudah berkelebat cepat
meninggalkan rumah sambil mendukung dua tubuh bayi yang masih merah-merah itu.
Dari pedataran tinggi di tepi
danau, Hideo Yukawa siang itu merasa aneh melihat banyak sekali penduduk desa Hikone
berada di sekitar rumahnya. Penuh rasa tidak enak lelaki ini memacu kudanya
lebih kencang. Begitu sampai di depan rumah dia melihat wajah-wajah penduduk
yang memandang rawan sayu ke arahnya. Sesuatu telah terjadi. Dia tidak melihat
istrinya. Mungkin berada di dalam rumah.
“Ada apa ramai-ramai di sini?”
tanya Hideo Yukawa, begitu melompat turun dari kuda. Dia memandang berkeliling.
Matanya membentur sosok pengawal yang terkapar tak jauh dari pintu.
“Mereka? Mereka siapa?”
“Kami tidak tahu. Pagi-pagi
buta kami mendengar suara beradunya senjatanya. Lalu suara-suara jeritan.
Ketika kami mendatangi dan sampai ke sini kami melihat ada tiga mayat
tergelimpang. Istrimu…”
“Unari! Mana istriku?” teriak
Hideo Yukawa. “Istrimu selamat. Dia ada di dalam ditemani istri-istri kami.
Hanya….”
“Hanya apa…?!” tanya Hideo
Yukawa. Karena tak ada yang menjawab, Hideo Yukawa langsung saja menghambur
masuk ke dalam rumah. Di satu ruangan di dalam rumah, Unari tampak terbaring di
atas kasur tipis dikelilingi oleh beberapa perempuan tetangga. Dua di antaranya
tengah merawat luka di keningnya yang membengkak.
“Unari…” Hideo Yukawa jatuhkan
diri di samping kasur. Mendengar suara suaminya Unari Yukawa buka kedua
matanya. Perempuan ini menjerit menangis keras. Hideo cepat memeluk istrinya.
“Tenang Unari… katakan apa yang terjadi…!” bisik Hideo seraya mengelus belakang
kepala Unari. “Bayi kita Hideo… Toshiro…”
“Toshiro…?”
“Juga Hatsuko, kedua anak itu
diculik orang malam menjelang pagi tadi…” Dari mulut Hideo Yukawa keluar suara
menggembor keras. Sekujur tubuhnya bergeletar. “Siapa yang melakukan? Siapa
yang menculik Toshiro?! Siapa yang menculik Hatsuko? Siapa?!”
Hideo Yukawa lepaskan
rangkulannya di tubuh Unari. Dia berdiri dan melangkah ke pintu. Begitu sampai
di luar dia cabut samurai di punggungnya lalu berteriak. “Siapa?! Siapa
menculik anak-anak itu?! Akan kugorok lehernya! Akan kucincang tubuhnya!”
Seorang penduduk desa
mendekati. “Hideo! Tenang! Jangan kalap. Kita semua akan bantu menyelidik…!”
“Diam!” teriak Hideo Yukawa.
Samurai di tangannya berkelebat. Senjata ini menyambar di depan hidung tetangga
itu. Kalau dia tidak cepat melompat, entah bagaimana jadinya dengan hidungnya.
Semua orang yang ada di
halaman rumah kini menjadi takut dan perlahan-lahan bergerak menjauhi lelaki
yang setiap saat bisa saja tiba-tiba mengamuk.
Gapo mengemudikan kereta kuda
itu memasuki halaman belakang gedung besar kediaman Yasuaki Kiuchi. Dua orang
anak buahnya mengikuti di belakang. Saat itu sang surya baru saja mulai naik.
Udara masih terasa diselimuti
kesegaran pagi. Di antara derap suara kaki-kaki kuda, dari dalam kereta
terdengar suara tangisan bayi tidak henti-hentinya. Di serambi belakang,
Yasuaki Kiuchi tengah menikmati sarapan paginya ketika dilihatnya kereta itu
masuk. Dia meneguk koohii (kopi) hangatnya. Seorang pelayan menyodorkan
sepiring roti panggang padanya tapi tak diperdulikan.
Pelayan ini memalingkan
kepalanya ke arah kereta dan jadi terheran-heran mendengar ada suara tangisan
bayi. Beberapa pengawal yang ada di situ juga merasa aneh.
Yasuaki Kiuchi yang mata
kirinya buta akibat lemparan senjata rahasia Kano Yamada berdiri dari kursinya.
Sesaat dia mengusap mata kirinya yang kini ditutup dengan selembar kulit hitam
lalu melangkah ke tangga. Di saat yang sama Gapo sampai di anak tangga teratas.
Setelah menjura terlebih dahulu kepala prajurit Shogun ini berkata.
“Tuan Kiuchi. Kita berhasil.
Dua bayi itu ada dalam kereta…” Yasuaki Kiuchi tersenyum. Dia menuruni tangga
menuju kereta. Gapo yang berjalan mendahului singkapkan kain tebal penutup
bagian belakang. Yasuaki Kiuchi buka kedua matanya lebar-lebar. Dua bayi, satu
lelaki dan satu perempuan terbaring menangis di atas tumpukan jerami kering.
Ketika dia memperhatikan bayi perempuan, dalam hatinya Yasuaki Kiuchi berkata.
“Bayi perempuan ini sebetulnya cukup baik untuk jodoh puteraku. Tapi sayang,
orang tuanya berlaku bodoh! Dijanjikan madu dan bunga sakura malah membalas
dengan racun dan duri berbisa!” Lalu Yasuaki Kiuchi berpaling pada Gapo.
“Bagus Gapo! Kau punya pekerjaan
bagus!” kata Yasuaki Kiuchi memuji sambil tepuk-tepuk bahu Gapo. Si tinggi
besar ini membungkuk berulang kali. “Tapi tugasmu belum selesai!”
“Saya tahu tuan Kiuchi. Saya
siap menjalankan perintah selanjutnya…” kata Gapo pula.
“Saat ini juga kau harus
berangkat ke pegunungan Shikoku. Temui datuk gila dunia persilatan si Nenek
Muka Neko. Terangkan padanya apa yang aku mau. Lalu serahkan benda ini
padanya…”
Dari balik kimononya, Yasuaki
Kiuchi keluarkan sebuah benda panjang yang ternyata adalah seuntai besi aneh
berwarna hitam yang sudah karatan. Pada kedua ujung rantai sepanjang lima
jengkal ini terdapat jepitan berbentuk gelang tebal.
Gapo menerima rantai itu.
Menurut taksirannya rantai itu memiliki berat paling tidak sekitar 25 kati.
Tetapi alangkah kagetnya
kepala prajurit Shogun ini ketika dipegang ternyata benda itu ringan sekali.
Sejak lama sebenarnya Gapo sudah mengetahui kalau Yasuaki Kiuchi menyimpan
rantai aneh itu. Sudah sejak lama pula dia ingin memiliki benda ini karena
kekuatan aneh yang tersembunyi di dalam rantai karatan itu dapat menjadikan
rantai sebagai senjata sakti andalan. Gapo menerima rantai itu dengan tangan
gemetar. Pikiran khianat merebak dalam otaknya.
“Kalau tak ada hal-hal
lainnya, saya mohon diri,” kata Gapo pula.
“Ada satu hal yang perlu aku
beri tahu,” ujar Yasuaki Kiuchi. “Orang-orangku melaporkan bahwa Hideo Yukawa,
ayah bayi lelaki itu kemarin terlihat di Otsu. Selidiki apa yang dilakukannya.
Kalau kau merasa tidak begitu suka padanya kau boleh membuat perhitungan
sendiri!”
“Saya akan selidiki sekembali
dari Shikoku,” jawab Gapo. “Apakah saya boleh pergi sekarang?”
Yasuaki Kiuchi mengangguk lalu
berkata. “Jangan lupa mampir dulu di tempat si penyamak. Dia punya tugas untuk
membalut sekujur tubuh dan kepala bayi itu dengan pembalut kulit. Benda itu
kelak yang bakal memungkinkan terjadinya kegegeran besar di negeri Nihon ini!”
“Saya memang akan ke sana.
Anak buah saya sudah menunggu di tempat tukang samak kulit itu,” ujar Gapo
pula.
“Dan kau sudah tahu Gapo, apa
yang harus kau lakukan terhadap orang itu begitu dia selesai membungkus dua
bayi dengan pembalut kulit?”
“Saya tahu tuan Kiuchi,” jawab
Gapo lalu melintangkan susunan jari tangan kirinya di leher dan membuat gerakan
menyembelih.
“Kau boleh pergi sekarang,”
kata Yasuaki Kiuchi. “Kembali dari pegunungan Shikoku kau bakal mendapat hadiah
besar dariku…”
“Saya tidak mengharapkan
hadiah apa-apa darimu tuan Kiuchi. Tapi jika tuan tidak marah, sebenarnya sudah
lama saya berhasrat dengan salah seorang selirmu yang tak pernah datang-datang
lagi kemari…”
“Heh, selirku yang mana?”
tanya Yasuaki Kiuchi sambil usap-usap dagu dan senyum-senyum kecil.
“Maksud saya selir bernama
Emiko itu…”
4
“Emiko… Emiko…?” Tiba-tiba
meledaklah tawa Yasuaki Kiuchi. “Aku tidak tahu, rupanya sudah lama kau
mengincar selirku yang gemuk tambun itu! Ha…ha…ha! Kau boleh mengambil babi
gembrot berminyak itu Gapo! Kau boleh memakainya selama kau suka! Asal saja
hidungmu cukup tahan pada bau ketiaknya! Ha…ha…ha!”
“Terima kasih tuan Kiuchi!”
kata Gapo lalu membungkuk dalam-dalam.
Pegunungan Shikoku walaupun
terletak di sebelah selatan, namun tingkat kedinginannya tidak kalah dengan
pegunungan lain yang terletak di sebelah utara. Pagi itu di salah satu puncak
pegunungan yang diselimuti salju kelihatan asap mengepul ke udara. Kepulan asap
ini ternyata datang dari sebuah perapian yang ada di depan sebuah goa kecil.
Di depan goa duduk seorang
nenek mengenakan mantel bulu beruang. Nenek ini memiliki tampang aneh karena
wajahnya yang putih keriputan itu menyerupai wajah seekor kucing. Hidungnya
kecil, bagian bawahnya ditumbuhi bulu-bulu halus. Mulutnya memiliki barisan
gigi-gigi kecil serta lidah pendek merah. Kedua bola matanya berwarna
kehijauan, dan di sebelah tengah ada bagian yang berbentuk seperti butiran
gandum. Sepasang telinganya juga kecil, mencuat ke atas dan berbulu halus
putih. Di udara yang sangat dingin itu setiap hembusan nafas si nenek membuat
terjadinya kepulan kabut putih. Hampir setiap saat si nenek bermuka kucing
mendongak ke udara sementara kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang
menggumpal-gumpal salju membentuk bola sebesar kepalan.
“Hari aneh apa pula ini?” si
nenek berkata. “Sedari tadi tak ada seekor burung pun yang lewat. Apa semua
burung sudah pada mampus?!”
Baru saja si nenek berkata
begitu, tiba-tiba ada seekor kucing mengeong di dekat mulut goa.
Astaga! Ternyata di situ ada
dua ekor kucing putih yang sejak tadi duduk di belakang si nenek.
Binatang-binatang ini memiliki
bulu yang sangat tebal, berbadan lebih besar dari kucing biasa.
Yang satu ada ikatan pita
merah pada lehernya, yang seekor lagi berpita biru.
“Hus! Jangan berisik
anak-anak! Nanti benar-benar tak ada burung yang lewat di tempat kita! Kalian
berdua akan sengsara kelaparan!”
“Meong…. Meong….!”
“Anak-anak sialan!” si nenek
memaki sambil menampar salju di tanah dengan tangan kirinya. Salju muncrat ke
atas. Sebagian menghantam muka dua ekor kucing itu. Dua binatang ini mengeong
keras lalu melompat ke atas bahu kiri kanan si nenek. Di sini keduanya duduk
mendekam, tidak berani bergerak dan juga tidak berani bersuara.
Si nenek kembali mendongak ke
langit. Tiba-tiba sepasang mata kucingnya memancarkan sinar.
Lehernya ditinggikan dan
hidungnya bergerak-gerak.
“Ada rezeki datang…” kata si
nenek muka kucing sambil menyeringai. Kedua tangannya sibuk menggumpal salju
hingga berubah menjadi bola kecil sekeras batu. Saat itu tampak seekor burung
hitam terbang tinggi di udara. Mulut si nenek kembali menyeringai. Dia
tiba-tiba berdiri. Gumpalan bola salju digenggam di tangan kanan. Burung mulai
mendekat. Si nenek membuat gerakan meliuk-liuk. Dua kakinya bergeser-geser kian
kemari. Dua tangannya bergerak-gerak. Keadaannya saat itu tidak beda seperti
seorang tengah menari. Mendadak tubuhnya melesat setinggi sepuluh kaki. Selagi
melayang di udara, nenek ini membuat gerakan jungkir balik. Pada saat kepalanya
berada di bawah di mana kedua matanya dapat melihat jelas langit di atasnya,
dia keluarkan suara mengeong, lalu bola salju di tangan kanannya dilemparkan ke
atas tanpa membidik sedikitpun!
Hebatnya, lemparan salju
seperti asal-asalan itu tepat menghantam burung hitam yang sedang terbang di
udara hingga pecah. Binatang ini langsung melayang jatuh ke tanah pegunungan
yang tertutup salju tipis.
“Biru! Lekas kau ambil
santapan pagi kita itu!” berkata si nenek muka kucing. Kucing salju berpita
biru di bahu kirinya mengeong keras lalu melompat turun, lari dengan cepat ke
tempat jatuhnya burung hitam tadi. Tak lama kemudian, kucing salju berbulu
putih itu kembali pada majikannya si nenek bermuka putih seperti kucing sambil
menggonggong burung hitam besar di mulutnya.
Burung ini diletakkan di
hadapan si nenek.
Si nenek tiba-tiba saja
unjukkan wajah kesal dan mau menangis. Tapi yang keluar dari mulutnya justru
suara tawa mengekeh. “Meong… meong hik… hik.. hik! Nasib kita sialan betul hari
ini Menunggu lama dengan perut keroncongan, dapat mangsa ternyata seekor burung
pemakan mayat! Biru, putih, kau tahu kita berpantang makan burung nazar!”
“Meong…!Meong…!” dua ekor kucing
putih mengeong seolah mengiyakan.
Si nenek membungkuk. Lalu
dengan jari telunjuk tangan kirinya disentilnya burung hitam itu.
Sungguh luar biasa. Meski cuma
menyentil, burung hitam itu mencelat jauh hingga akhirnya lenyap dari pandangan
mata. Si nenek usap-usap kucing putih berpita merah yang masih nangkring di
bahunya. “Kita terpaksa mencari ikan di telaga beku. Apa boleh buat. Kemarin
ikan, sekarang ikan lagi…. Ayo Merah kau pimpin jalan. Cari bagian telaga
berlapis es paling tipis…”
Kucing putih berpita merah di
bahu si nenek melompat turun. Binatang itu berlari-lari di sebelah depan.
Temannya si biru mengikuti dan di sebelah belakang baru si nenek yang
mengenakan mantel dari bulu beruang. Tak berapa lama kucing merah hentikan
langkah. Binatang ini mengendus-endus tanah berlapis es keras dan salju di
hadapannya lalu melangkah berputar-putar sambil mengeong tiada henti. Hal ini
rupanya sudah cukup pertanda bagi si nenek. Sambil berjingkat-jingkat dan
senyum-senyum, perempuan tua ini bergerak ke bagian yang tadi diputari kucing
berpita merah.
“Hemmm… memang di sini agak
tipis lapisan es bekunya. Aku dapat merasakan…!” kata si nenek.
Lalu perlahan-lahan dia
berjongkok. Mantel bulunya disingsingkan. Kepalanya didongakkan dan kedua
matanya berkedap-kedip. Sesaat kemudian terdengar suara “Serrrrrr…!” Ternyata
si nenek enak saja membuang hajat kecil alias kencing di tempat dia jongkok
itu.
Selesai kencing si nenek
bangkit berdiri lalu melangkah mundur berjingkat-jingkat. Di atas salju, air
kencingnya yang hangat tampak mengepul begitu bersentuhan dengan lapisan salju
dan lapisan es beku di bawahnya. Bau pesing menebar di tempat itu. Si nenek
tertawa cekikikan lalu tekap hidungnya. “Gila tak kusangka kencingku bau
sekali… Hik… hik… hik…!”
Air kencing yang hangat itu
merembes ke bawah menembus salju dan lapisan es. Sesaat kemudian lapisan es itu
kelihatan mencair, membuka bentuk lobang cukup besar. Di bawah lobang tampak
genangan air. “Nah, kita tinggal menunggu anak-anak…!”
“Meong! Meong!”
Baru saja dua ekor kucing
mengeong begitu, dari dalam lobang tiba-tiba mencelat seekor ikan besar. Lalu
seekor lagi. Begitu berturut sampai tiga kali. “Cukup!” si nenek berkata lalu
dengan kaki kanannya yang berkuku panjang menggeser tumpukan salju hingga
menutupi lobang.
“Anak-anak, kita kembali ke
goa. Aku khawatir terlalu lama api pembakar santapan akan mati.” Si nenek
membungkuk mengambil seekor dari tiga ikan yang menggelepar-gelepar di atas
salju. Dua ekor kucing putih masing-masing menggonggong seekor ikan lalu melangkah
mengikuti si nenek.
Harum bau ikan panggang masih
menggantung di udara walau ketiga ikan itu sudah amblas masuk ke dalam perut si
nenek dan dua ekor kucing peliharaannya. Di depan goa si nenek duduk lonjorkan
kaki. Dua ekor kucing duduk di pangkuannya. Sepasang mata si nenek kuyu seperti
mengantuk.
Tiba-tiba kedua mata itu
nyalang besar. Sepasang telinga kucing si nenek bergerak-gerak.
“Anak-anak kita akan
kedatangan tamu. Entah siapa mereka aku tidak tahu…” Berucap si nenek.
“Meong! meong!” Telinga si
nenek terus bergerak-gerak. Seolah dia melihat dengan telinganya. Mulutnya
kembali bersuara.
“Mereka ada tiga orang. Yang
satu membawa kereta berpeluncur besi ditarik beberapa ekor anjing besar. Dua
lainnya memakai sepatu seluncur terbuat dari besi… Tapi aneh… Aku seperti
mencium ada dua jalan pernafasan lagi di antara ketiga orang itu. Halus hampir
tidak bersuara…”
“Meong! Meong!”
Tak lama kemudian si nenek
buka kedua matanya. Bersamaan dengan itu di depannya dilihatnya apa yang tadi
diucapkannya. Seorang tinggi besar mengenakan kopiah dan mantel bulu tebal
mengemudikan kereta es di tarik enam ekor anjing es. Di bagian belakang kereta
ini ada sebuah peti besar terbuat dari papan dilapisi seng tebal di sebelah
luarnya. Dua orang lelaki bersepatu selancar es tampak di sebelah belakang
kereta.
Tak lama kemudian rombongan
itu sampai di hadapan si nenek dan dua ekor kucing. Anjing-anjing penarik
kereta serta merta menyalak begitu melihat dua ekor kucing. Si biru dan si
merah tak kalah beringas. Kedua binatang ini mengeong keras lalu melompat ke
atas kereta, siap menyerang.
“Anak-anak, kembali ke sini!”
berseru si nenek. Dua ekor kucing es dengan patuh melompat turun dan kembali ke
dekat majikan tuanya itu.
“Kami mencari datuk dunia
persilatan dikenal dengan panggilan nenek Neko alias nenek kucing. Kami rasa
telah menemuinya…”
Si nenek tertawa lebar. Lelaki
tinggi besar itu bergidik melihat lidah kecil merah dan barisan gigi-gigi yang
tersusun kecil runcing persis gigi-gigi kucing. “Orang tinggi besar, terangkan
siapa kalian!”
“Namaku Gapo. Kami datang
membawa benda penting dan sangat rahasia…”
“Heh……benda-benda apakah
itu?!” tanya si nenek sambil hembuskan nafas panjang hingga terlihat seperti
ada asap yang mengepul keluar dari mulutnya.
Gapo mengambil peti besar yang
ada di bagian belakang kereta. Peti ini diletakkannya di atas salju di hadapan
si nenek lalu penutup peti dibuka. Begitu terbuka, dari dalam peti terdengar
suara tangisan bayi. Si nenek sampai terlonjak saking kagetnya. Dua ekor kucing
putih mengeong keras.
Si nenek ulurkan kepalanya
memandang ke peti.
“Kalau mereka tidak menangis
pasti kukira dua ekor anak babi siap panggang!” kata si nenek. “Muka tangan dan
kaki serta badan di balut sejenis kulit yang tak lepas sebelum sepuluh tahun.
Kalau di lepas sebelum itu, kulit dan dagingnya akan terkoyak!” Si nenek
memandang pada Gapo lalu tertawa hingga kedua matanya basah. “Prajurit shogun!
Kejahatan biadab macam apa yang kau tunjukkan padaku saat ini? Hik… hik… hik…!”
“Nenek Neko, ini bukan
kejahatan atau kebiadapan. Ini justru satu percobaan yang bakal membuat namamu
jadi menjulang dalam dunia persilatan!”
“Aku tidak mengerti!” si nenek
tersengguk-sengguk.
“Kau ditugasi merawat dua bayi
ini!”
“Merawat bayi? Gila! Dua orang
pula! Aku tak pernah punya anak. Mana mampu! Bayi-bayi ini perlu susu!”
“Bagaimana kau merawat dan
memberi makannya terserah. Dua bayi ini harus kau jadikan dua manusia bonsai
yang memiliki kepandaian tinggi!”
“Aneh! Benar-benar gila! Tapi
menarik! Tapinya lagi aku tak mau melakukannya!”
“Kalau begitu kau bakal
mendapat kesulitan!”
“Aku tak pernah mengenal
kesulitan dalam hidup ini!” jawab Nenek Neko.
“Kau berdusta pada dirimu
sendiri!” kata Gapo.
“Eh, katakan siapa yang
menugaskanmu!” si nenek menatap tajam pada Gapo.
“Yasuaki Kiuchi, saudara
sepupu shogun yang tinggal di Otsu…” jawab Gapo.
Mendengar jawaban itu, wajah
kucing si nenek mendadak berubah. Dari mulutnya terdengar suara halus seperti
kucing mengeong perlahan. “Kalau kau berani menolak, kekasihmu Kamio Shikero
tidak akan pernah kau temui lagi seumur hidupmu. Bukankah dia sudah mendapat
pengampunan untuk dikembalikan padamu tujuh belas tahun di muka?”
“Katakan di mana dia sekarang?
Di penjara mana dia dipendam?” bertanya Nenek Neko dengan suara ririh.
“Mana aku tahu. Kalau pun
tahu, tidak akan kukatakan padamu!” jawab Gapo.
Nenek Neko terdiam. Wajah
kucingnya tampak murung. Dari sepasang matanya meluncur turun tetesan air mata.
Lalu wajah itu menyeringai. Seringai berubah menjadi senyum dan senyum disusul
dengan tertawa mengekeh. Mula-mula perlahan kemudian semakin kencang. Tiba-tiba
suara tawanya lenyap seperti di renggut setan. “Bayi-bayi ini, anak siapa
mereka?”
“Kau tidak perlu banyak tanya.
Ini tugas yang harus kau laksanakan!” jawab Gapo. Lalu pada si nenek
diserahkannya secarik kertas. Nenek Neko memperhatikan kertas itu sekilas,
kemudian dijatuhkannya ke pangkuannya. Gapo memberi isyarat pada dua temannya.
Kedua orang ini lalu menurunkan sebuah peti dari belakang kereta es, diletakkan
di depan si nenek .
“Peti apa pula ini? Bayi
lagi!?!”
“Makanan dan minuman
penghangat tubuh,” jawab Gapo.
“Dan ini tambahan hadiah dari
majikanku Yasuaki Kiuchi!” lalu Gapo melemparkan sebuah kantong kain berisi
uang ke pangkuan si nenek.
“Aku hidup di pegunungan
Shikoku ini tidak perlu diberi makanan dan uang! Tak ada gunanya. Aku dan dua
ekor kucingku bisa mencari makanan sendiri. Kalian bawa kembali peti berisi
makanan dan minuman itu. Uang dalam kantong aku ambil. Bukan untukku, tapi
untuk dua bayi yang menderita ini. Jika mereka berumur panjang uang itu mungkin
ada gunanya bagi keduanya…”
“Terserah kau mau bilang apa,”
kata Gapo puas, lalu dia memberikan tanda pada teman-temannya agar segera
meninggalkan tempat itu.
“Kalian mau ke mana?” bertanya
si nenek.
“Kembali ke Otsu!” jawab Gapo
tanpa menoleh.
“Coba kau ingat, apakah tidak
ada sesuatu yang ketinggalan?”
“Eh, apa maksudmu?” tanya
Gapo. Dia memutar tubuh dan memandang berkeliling. Dan merasa heran karena
memang tidak ada barangnya yang ketinggalan.
“Nek, apa maksudmu dengan
pertanyaan tadi?” Gapo mengulang.
“Di atas kertas yang ada di
pangkuanku tertulis bahwa kau membawa sebuah rantai. Dengan rantai itu aku
ditugaskan mengikat lengan bayi-bayi ini. Aku belum menerima rantainya…”
“Hemmm… itu rupanya,” kata
Gapo sambil menyeringai.
“Tuan Yasuaki Kiuchi
membatalkan tugas yang satu itu. Dia lupa mencoret tulisan di kertas…
Bukankah begitu teman-teman?”
Dua anak buah Gapo mengiyakan.
“Kau berdusta. Kalian
berdusta! Serahkan rantai itu padaku! Aku tahu itu bukan benda sembarangan. Aku
juga tahu kau ingin mencurinya, mengambilnya secara licik!”
“Dasar nenek sinting! Berani
kau menuduhku seperti itu?” bentak Gapo.
“Aku tidak menuduh yang
bukan-bukan. Rantai itu terikat di pinggangmu, tersembunyi di balik kimono dan
mantel tebalmu!”
“Tua bangka keparat! Kalau
saja kau tidak diberi tugas penting mengurusi dua bayi itu oleh majikanku, saat
ini mau rasanya aku merobek mulutmu, memecahkan batok kepalamu!”
“Aku lebih senang jika kau
membunuhku detik ini juga!” kata si nenek. Bersamaan dengan itu dua ekor kucing
mengeong keras.
“Aku tidak akan membunuhmu!
Tapi dua ekor peliharaanmu ini biar kutebas sebagai hukuman kekurangajaranmu!”
Si nenek tertawa perlahan.
“Prajurit-prajurit Shogun memang terkenal sombong tapi juga jahat dan culas.
Berani kau mendekati dua ekor kucing itu kau akan terima hajaran yang
menyakitkan dariku!”
“Aku akan laporkan tingkahmu
pada tuan Yasuaki Kiuchi!” mengancam Gapo. Si nenek tertawa.
Sepasang matanya memancarkan
sinar aneh ketika dilihatnya Gapo mencabut golok besar dari balik mantel
tebalnya lalu melangkah mendekati dua ekor kucing. Dua ekor kucing ini segera
mendekam merunduk, memandang galak pada Gapo.
“Wuttt!” Golok besar di tangan
Gapo menderu. Bersamaan dengan itu tubuh si nenek yang sejak tadi duduk
melunjur tiba-tiba melesat ke udara. Tangan kanannya membeset, bukan memukul
tubuh Gapo atau memukul lengannya yang memegang golok, tapi justru dia memukul
langsung badan golok yang dipegang kepala prajurit Shogun itu. “Traaakkk!”
Golok besar kokoh itu patah dua dan terlepas dari pegangan Gapo. Gapo sendiri
terkejut bukan alang kepalang hingga keluarkan seruan keras. Belum lagi
seruannya habis si nenek gerakan tangan kanannya yang berkuku panjang. Lalu
“Trakk…! traakk!” Jari-jari
tangan kanan Gapo berpatahan. Seruan kaget lelaki ini berubah menjadi jeritan
kesakitan setengah mati.
Dua orang anak buahnya yang
tadi diam saja kini ikut menyerbu sambil menghunus pedang. Si nenek berkelebat.
Tangannya kiri kanan bergerak. “Traaakkkk! Traaakkk!” Tulang lengan kanan dua
prajurit yang memegang pedang terdengar patah menggidikkan. Seperti Gapo,
keduanya menjerit-jerit kesakitan. Ketiga orang ini lalu bergerak menjauhi.
Gapo naik ke atas kereta es dan buru-buru hendak tinggalkan tempat itu. Dua
anak buahnya segera meluncur mengikuti. Tapi tahu-tahu si nenek sudah lebih
dulu melompat ke atas kereta.
Dia memandang menyeringai pada
Gapo. “Aku bisa mematahkan kaki anjing-anjing penarik kereta, juga
menghancurkan sepatu besi dua anak buahmu hingga kalian terpaksa pulang jalan
kaki ke Otsu. Aku juga bisa mematahkan lagi jari-jari tanganmu sebelah kiri.
Tinggal pilih. Atau sebaliknya kau serahkan rantai besi itu sekarang juga!”
“Keparat sialan!” rutuk Gapo.
Dari balik mantelnya dikeluarkannya besi hitam karatan yang diterimanya dari
Yasuaki Kiuchi, yang memang sebenarnya harus diserahkan pada si nenek. Nenek
muka kucing tertawa hik-hik-hik menerima rantai besi itu. Lalu turun dari atas
kereta es. Dia masih tegak berdiri sambil tertawa-tawa memperhatikan ketiga
orang itu sampai akhirnya mereka lenyap di balik pedataran salju menurun.
Di atas kereta, Gapo memaki
tiada henti di antara rintihannya. “Jahanam, tidak kusangka tua bangka keparat
itu memiliki koppo (ilmu mematahkan tulang) begitu hebat. Aduh! Apakah tanganku
bisa sembuh atau tidak? Tobat sakitnya…!”
Pasar di pusat kota Otsu
menjadi ramai ketika dua makhluk aneh itu muncul bergandengan. “Lihat! Ada
sepasang manusia katai!” seorang berseru seraya menunjuk.
“Hai! Ada manusia cebol!”
seorang lainnya berteriak. “Bukan katai bukan cebol. Tapi manusia-manusia
bonsai!”
“Lihat kuku-kuku jarinya.
Panjang berkeluk!”
“Mereka pakai mantel bulu!
Padahal di sini ada matahari, bukan tempat dingin! Ha… ha… ha!”
Sebentar saja puluhan orang telah
mengerubungi apa yang mereka sebut sebagai sepasang manusia katai atau cebol
atau bonsai itu. Di tengah kerumunan orang banyak, tegak seorang lelaki yang
sosok tubuhnya hanya setinggi pinggul orang biasa. Wajahnya yang seperti
anak-anak tampak merah oleh sengatan sinar matahari pagi. Rambutnya hitam
dikuncir ke atas. Sekitar mulutnya ada garis-garis hitam dibuat dari sejenis
cat hingga mukanya yang lucu itu seperti wajah seekor anak kucing. Dia
mengenakan pakaian mantel panjang terbuat dari bulu beruang. Sepasang kakinya
memakai kasut tebal terbuat dari kulit. Manusia cebol ini memelihara kuku
panjang berkeluk. Pada pergelangan tangan kanannya ada sebuah benda berbentuk
gelang tebal terbuat dari besi. Benda ini bersambungan dengan sebuah rantai
besi berwarna hitam dan karatan. Bagian tengah rantai ini menjela menyentuh
tanah. Setiap dia bergerak atau melangkah, besi yang menyentuh tanah keluarkan
suara bergesek tanda benda itu berat sekali. Tapi si cebol ini mampu
menggerakkan tangannya kian kemari seolah rantai itu enteng saja.
Ujung lain dari rantai yang
juga dicantoli gelang besi bergelung di pergelangan tangan kiri manusia bonsai
kedua. Yang satu ini ternyata seorang perempuan. Seperti kawannya, rambutnya
dikuncir ke atas. Pipi dan bibirnya merah. Sekitar mulutnya ada garis-garis
hitam. Bola matanya yang lucu memandang kian kemari. Dia mengenakan pakaian
ringkas warna merah terang, lalu di atas pakaian ini dia memakai mantel bulu
beruang. Kedua kakinya mengenakan kasut dari kulit dan kuku-kuku jari tangannya
juga panjang berkeluk.
“Orang banyak!” manusia bonsai
perempuan berseru. “Mengapa kalian mengerubungi kami?!”
Orang-orang yang mengelilingi
dua manusia bonsai bersorak. “Yuumoa! Yuumoa! (lucu)” seru orang banyak.
“Kalian berdua yuumoa!”
“Kami berdua Yuumoa?! Apanya
yang lucu?!” tanya manusia bonsai perempuan. Orang banyak kembali berseru
ramai.
“Anak-anak, kalian berdua ini
terlepas dari mana?!” seorang lelaki muda berkepala gundul bertanya membuat
orang banyak tertawa ribut.
Sepasang manusia bonsai saling
pandang lalu ikut-ikutan tertawa tergelak-gelak. Suara tawa mereka aneh. Yang
lelaki waktu tertawa keluarkan suara “Huk…huk…huk!” Sedang yang perempuan
tawanya berbunyi “Hik…hik…hik!” Anehnya, sehabis tertawa mereka mengeluarkan
suara seperti kucing. Meong… meong!
5
“Makhluk bonsai aneh!” pemuda
gundul berkata lagi. “Muka dicat seperti kucing, kuku panjang-panjang lalu
keluarkan suara meong! Tapi kalian bukan kucing kan?”
Orang banyak tertawa
gelak-gelak. Si gundul melanjutkan. “Matahari ada di atas kepala kalian, udara
di sini panas, tapi begonya kalian pakai mantel bulu segala!”
Manusia bonsai lelaki menunjuk
ke arah si gundul yang tadi mengejek. Biasanya orang menunjuk dengan jari
telunjuk tapi dia menunjuk dengan jari kelingking. Dan waktu menunjuk jari
kelingking kiri itu sengaja digerak-gerakkan. “Hai gundul botak!” Manusia
bonsai lelaki berkata dengan suara keras. Tapi tetap saja suaranya seperti
suara anak-anak. “Kami ini bukan anak-anak tahu?! Usia kami berdua sudah hampir
delapan belas tahun! Kalau ditambah, jadi tiga puluh enam. Betulkah
hitunganku?! Huk…huk…huk! Meong!”
“Hik…hik…hik…! Meong!” Ikut
tertawa manusia bonsai perempuan.
Orang ramai jadi tertawa riuh
rendah. Saat itu semakin banyak orang datang mengerubungi.
Pemuda gundul tak tinggal
diam. Dia segera menyahuti ucapan manusia bonsai lelaki tadi.
“Makhluk bonsai! Tidak sangka
kau pandai berhitung! Apa kau juga pandai menari?!”
“Gerrrrrrrr!” Orang banyak
kembali tertawa.
“Huk…huk…huk! Meong!”
“Hik…hik…hik! Meong!”
“Kalian berdua pasti datang
dari daerah pegunungan! Sampai di kota tak mau melepas mantel! Jadi kalian
rupanya kucing-kucing pegunungan!” Orang banyak kembali tertawa keras mendengar
ucapan si gundul tadi.
Dua manusia bonsai ikut
tertawa nyaring. Lalu masih sambil terus menunjuk dengan jari kelingking kiri
yang digerak-gerakkan, manusia bonsai lelaki berkata, “Hai gundul botak! Aku
dengar yang gundul itu biasanya biksu. Tapi aku tahu kau jelas bukan biksu!
Karena baju dan badanmu bau! Huk… huk… huk!”
“Hik… hik… hik…!” manusia
bonsai yang perempuan menimpali tawa temannya lalu menjulur-julurkan lidahnya
pada pemuda gundul itu. Kemudian sambil memencet hidungnya seolah-olah menahan
bau dia berkata, “Sudah gundul dan bau, tonggos lagi! Eh sudah begitu jerawatan
pula. Mending jerawat biasa! Tapi jerawat batu! Hik… hik… hikkk!”
“Huk… huk… huk…!”
Langit di atas pasar itu
seolah runtuh oleh suara tawa puluhan manusia yang berada di situ ketika
mendengar apa yang dikatakan manusia bonsai perempuan. sementara pemuda gundul
tadi wajahnya yang memang dipenuhi jerawat besar tampak menjadi sangat merah.
Seorang lelaki gendut yang
berjualan daging babi di pasar itu sambil usap-usap perutnya yang melembung
berkata, “Manusia cebol perempuan, kalau umurmu memang delapan belas berarti
kau sebenarnya seorang gadis. Biar aku memanggilmu dengan sebutan nona cantik.
Nah, nona cantik, walau temanku si gundul ini kau bilang tonggos dan jerawatan,
tapi apakah kau mau kalau kulamar jadi istrinya?!”
“Gerrrrr!” Orang banyak
semakin riuh. Si gundul sendiri keluarkan makian panjang pendek kepada si
tukang daging. Tapi suaranya tenggelam tak terdengar oleh riuhnya orang sepasar
tertawa.
“Orang di pasar ini rupanya
tak ada kerjaan!” kata manusia bonsai lelaki. “Ayo kita pergi dari sini…!” Dia
mengajak temannya pergi.
“Hai, kalian mau ke mana?
Kalau mau pergi dekat-dekat saja aku bersedia menggendong!” si pedagang babi
berseru.
“Kami lapar! Mau cari rumah
makan! Di mana rumah makan yang enak di pasar ini?!” ujar manusia bonsai
perempuan.
“Ah…!” si gendut usap lagi
perutnya. “Kalau mau mencari rumah makan biar aku tunjukkan. Ikuti aku! Tapi
kenalkan dulu diriku. Namaku Kukuno!”
“Nama jelek!” cibir manusia
bonsai perempuan. “Apa kerjamu?! Jualan apa kau di pasar ini? Kulihat kau
membawa pisau besar!”
“Aku pedagang babi…” jawab si
gendut Kukuno.
“Pantas tampangmu seperti
babi!” kata si bonsai perempuan, yang membuat orang banyak kembali bersorak
tawa riuh rendah.
Si gendut Kukuno kelihatan
merah mukanya tanda marah. Tapi marahnya ditahan saja. Dia menggerakkan tangan
pada kedua manusia bonsai itu seraya berkata, “Kalian lapar. Mau makan enak!
Ayo ikuti aku! Ada rumah makan bagus di belakang pasar, harganya murah.”
Begitu sepasang manusia bonsai
melangkah mengikuti Kukuno, orang banyak yang ada di situ serta merta pula
bergerak menuruti. Mereka tak ubahnya sebuah rombongan panjang yang tengah
melakukan arak-arakan. Di belakang pasar ada sebuah tanah lapang kecil. Di
ujung lapangan, berdiri sebuah bangunan kayu tak berdinding. Halamannya berpagar
bambu. Bau busuk yang dibawa angin menyambar dari arah bangunan ini. Kukuno
justru menyeberangi lapangan menuju bangunan. Dua manusia bonsai terus
mengikuti. Sebaliknya orang banyak yang sudah tahu bangunan apa itu adanya
bertanya-tanya apa sebenarnya yang hendak dilakukan pedagang daging babi itu.
pemuda gundul jerawatan yang juga ada dalam rombongan tampak tersenyum-senyum.
Diam-diam dia sudah bisa
menduga apa yang hendak dibuat Kukuno.
Si gendut Kukuno membuka pintu
pagar lalu masuk ke dalam. Bangunan itu ternyata sebuah kandang babi yang cukup
luas. Keadaannya selain sangat kotor juga busuk. Kotoran babi berhamparan di
mana-mana. Bau busuk menyengat hidung merambas saluran pernafasan. Beberapa
ekor babi jantan berlari-lari liar melihat begitu banyak manusia berada di
tempat itu. Beberapa ekor babi betina asyik menyusui anak-anaknya yang masih
merah-merah.
“Nah inilah rumah makan paling
sedap di pasar Otsu!” kata Kukuno pada dua manusia bonsai yang tegak di
sampingnya. “Bangunannya besar dan bagus. Di mana-mana ditaruh wewangian…”
Sampai di situ baru mengerti apa sebenarnya yang diperbuat pedagang babi itu.
Mereka semua riuh tertawa.
Sebaliknya, walau sadar kalau
diri mereka dipermainkan, dua manusia bonsai malah ikut-ikutan tertawa.
“Dan itu…” kata si gendut
Kukuno melanjutkan permainannya. Dia menunjuk pada kotoran babi
yang memenuhi kandang. “Itu
semua makanan paling sedap. Kalian tinggal memilih. Mau makan tenpura (udang
goreng) atau memilih sashimi (irisan ikan mentah) atau mungkin lebih suka
yakizakana (ikan panggang)! Ha…ha… ! Silakan ambil sendiri. Makan sepuasnya dan
tak usah bayar!”
Orang banyak tertawa
tergelak-gelak melihat tingkah Kukuno sewaktu mengucapkan kata-kata tadi.
Sepasang manusia bonsai
senyum-senyum dan saling pandang satu sama lain.
Yang laki-laki kedipkan
matanya lalu berpaling pada Kukuno. “Sobatku gendut! Kau sangat baik hati pada
kami. Telah membawa ke rumah makan yang begini besar dan bagus… Pelayannya
cantik-cantik… Makanannya seperti katamu lezat sekali. Lalu kami boleh makan
sepuasnya tanpa bayar, Kami benar-benar beruntung hari ini! Huk…huk…huk!
Meong!”
“Hik…hik…hik! Kau betul, hari
ini kita beruntung sekali!” menimpali manusia bonsai perempuan sambil menutup
mulut dan tertawa cekikikan. “Tapi bagaimana kau bisa tahu kalau makanan di
rumah makan ini sedap semua? Apa kau pernah mencoba?! Hik…hik…hik! Meong!”
Ditanya seperti itu si gendut
Kukuno jadi melengak tak bisa menjawab. “Huk…huk…huk! Ah! Sobat baru kita ini
rupanya cuma berdusta!” kata manusia bonsai lelaki.
“Kalau begitu tak ada salahnya
kita undang dia makan sama-sama!” ujar manusia bonsai perempuan. “Hik…hik…hik!
Meong!”
Lalu sambil memutar-mutar
rantai yang mengikat lengan mereka, kedua manusia bonsai ini masuk ke dalam
kandang. Tanpa rasa jijik sedikit pun mereka pergunakan tangan kiri untuk
meraup kotoran babi yang ada di tanah lalu di dekatkan ke mulut seperti
benar-benar mau melahapnya.
Orang banyak jadi tak
bergeming melihat.
“Hai! Tunggu dulu!” seru
manusia bonsai perempuan. “Kita diundang makan besar di rumah makan ini. Masak
kita begitu tidak tahu diri dan tidak tahu sopan. Sobat kita yang mau membayar
tidak ditawari? Hik…hik…hik!”
“Huk…huk! Kau betul! Kita
telah berlaku kurang ajar pada sobat gendut kita. Ayo kita persilahkan dia
makan duluan!” jawab manusia bonsai lelaki. Lalu sebelum Kukuno sadar apa yang
akan terjadi, kedua manusia bonsai itu melompat kearahnya. Dua tangan
berkelebat ke mulut si gendut.
Dua tumpukan kotoran babi
masuk ke dalam mulut itu. Saat itu juga Kukuno berteriak tercekik lalu
“Huekkk…!” Pedagang babi ini
terlipat ke depan dan muntah besar!
Orang banyak yang melihat
kejadian itu mau tertawa bergelak tapi jadi kecut ketika dua manusia bonsai
dengan cepat meraup lagi masing-masing setumpuk kotoran babi. “Sobatku gendut?
Bagaimana rasanya? Sedap
bukan…?” kata manusia bonsai perempuan.
“Kalau mau tambah silakan
makan lagi. Ini…!” manusia bonsai lelaki melangkah mendekati Kukuno.
Pedagang babi gendut berteriak
keras sambil goyang-goyangkan tangan kiri dan tutup mulutnya dengan tangan
kanan. “Ah! Sudah kenyang dia rupanya! Huk…,huk…!”
“Hik…hik! Kalau begitu harus
kita tawarkan pada yang lain. Masakan kita bersantap enak-enakan sedang di sini
banyak para sahabat yang ikut mengantar!”
Orang banyak yang ada di
tempat itu sesaat jadi mundur. Mereka tentu saja tidak takut pada dua manusia
cebol itu. Tapi kalau sempat mereka dibuat seperti Kukuno, atau paling tidak,
tubuh dan pakaian mereka belepotan kotoran babi, siapa mau ambil risiko?
“Huk…huk!”
“Hik…hik!”
Dua manusia bonsai berkelebat
kian kemari. Keadaan di tempat itu menjadi ramai kacau balau.
Semua orang berlarian. Namun
banyak di antara mereka yang tak sempat menghindar. Akibatnya, pakaian, bahkan
tubuh atau muka mereka habis kena diselomoti kotoran babi. Pemuda gundul paling
banyak dapat bagian. Wajah sampai kepalanya yang plontos kelihatan tertutup
tahi babi.
Beberapa orang yang kebagian
kotoran babi tampak marah. Mereka beramai-ramai menyerbu dua manusia bonsai
untuk melayangkan tendangan serta jotosan. Sesaat kemudian terjadilah hal yang
tidak diduga. Dua manusia bonsai berkelebat kian kemari sambil tertawa hu-hu
hi-hi. Siapa saja yang menyerang mereka pasti mendapat balasan tendangan kaki,
pukulan atau hantaman rantai besi.
Beberapa orang tersungkur atau
terlentang di atas tanah kandang yang penuh kotoran.
“Kalian mundur semua!”
tiba-tiba si gendut Kukuno berteriak. Golok besar berbentuk empat persegi yang
dipergunakannya untuk memotong daging babi dan sejak tadi terselip di pinggang
kini terhunus di tangannya. Semua orang serentak mundur.
“Cincang keduanya Kukuno!”
“Jagal kepala mereka!” teriak
yang lain. Kukuno melompat. “Wuttt!” Golok penjagal babi di tangannya melesat.
Tapi hanya mengenai tempat kosong karena dua manusia bonsai lebih dulu melompat
ke belakang.
Dengan beringas Kukuno
lancarkan serangan lagi. Masih gagal. Dia kembali menyerbu. Goloknya bersuitan
di udara tapi tak satu pun serangannya mengena. Ketika dengan kalap dia
babatkan goloknya ke depan, dua manusia bonsai melompat seolah dengan sengaja
menyongsong sambaran golok. Tubuh mereka melesat satu ke kiri satu ke kanan.
Bersamaan dengan itu tangan mereka yang terkait rantai hitam karatan menggebrak
ke atas.
“Trang!” Golok babi di tangan
Kukuno mental patah dua. Selagi si gendut terkesiap kaget. Tahu-tahu dua
manusia katai sudah hinggap di bahunya kiri kanan. Rantai besi mereka jeratkan
ke leher pedagang daging babi itu hingga matanya mendelik dan lidahnya terjulur
keluar!
“Huk…,huk! Meong!”
“Hik…hik! Meong!”
Dua tangan menepuk bahu manusia
bonsai lelaki dan perempuan. Lalu di belakang mereka ada orang berkata.
“Sobatku! Jika kalian terus mencekik lehernya dengan rantai itu, si gendut ini
bakal mati! Kalian bisa susah nantinya!”
Dua manusia bonsai tadinya
tidak peduli. Tapi suara orang yang bicara terdengar aneh dialeknya.
Mereka berpaling. Yang
perempuan lantas berkata pada temannya. “Ada orang asing berambut gondrong!
Suara laki-laki tapi berambut panjang seperti perempuan! Hik… hik… hik! Meong!”
“Mukanya lucu, pakaiannya juga
lucu! Huk… huk… huk! Meong!”
Orang yang menegur tertawa
lebar. “Lihat! Nafasnya mau keluar dari badan! Mukanya sudah biru! Huk…
huk…huk! Meong! Hik… hik…hik! Meong!” orang yang barusan menegur menirukan tawa
dan suara meong dua manusia bonsai hingga keduanya jadi tertawa tergelak-gelak.
Manusia bonsai lelaki kemudian
berkata. “Gondrong! Siapa bilang kami mau membunuh si gendut ini! Kami justru
mau bertanya padanya!” Dengan tangan kirinya manusia bonsai lelaki usap-usap
pipi Kukuno yang memang sudah kelihatan membiru. Jeratan pada lehernya
dikendorkan sedikit.
Kukuno cepat-cepat menghirup
udara segar. “Gendut. aku perlu keterangan darimu. Di mana aku bisa menemukan
seseorang bernama Gapo? Turut keterangan dia seorang tentara berkedudukan cukup
tinggi…”
Paras Kukuno yang kebiruan
tampak berubah. Orang banyak juga terkejut ketika mendengar si manusia bonsai
lelaki ini bertanya begitu. Seolah kini ada sesuatu yang ditakuti, mereka
bersurut mundur. Kukuno sendiri tampaknya tak mau menjawab. Maka manusia bonsai
lelaki kencangkan kembali jeratan lehernya.
“Jang… jangan…” ujar Kukuno.
Suaranya mendesis. “Apa… apa hubunganmu dengan orang yang kau tanyakan?”
“Kami membawa pesan untuknya…”
yang menjawab manusia bonsai perempuan.
“A… ku tak bisa memberi…
tahu…” Jeratan rantai mengencang. Lidah Kukuno terjulur panjang.
Kedua tangannya
digoyang-goyangkan. Nafasnya terengah-engah.
“Sekarang kau mau bicara?”
tanya manusia bonsai lelaki. Kukuno mengangguk-angguk dengan susah payah. “Nah,
ayo bicara!” rantai mengendur, malah setengah dilepas. Kukuno usap-usap
lehernya yang kelihatan bertanda merah. Lalu dia mulai bicara.
“Orang yang kalian tanya… Dia
salah satu pejabat tinggi di istana Shogun.”
“Kau tahu Shogun banyak
istananya. Pejabat bernama Gapo ini berada di istana yang mana?”
“Nara…” jawab Kukuno meringis.
“Lepaskan rantai ini…”
Dua manusia bonsai melompat
turun ke tanah. Begitu lepas dari jeratan rantai, Kukuno serta merta putar
tubuh. Orang banyak bergerak bubar. Salah seorang di antaranya pemuda berkepala
gundul tadi. Dia menyelinap di antara orang banyak, melintasi tanah lapang dan
lenyap di keramaian.
Di kandang babi itu kini hanya
tinggal dua manusia bonsai dan pemuda berambut gondrong berpakaian putih.
“Kalian berdua masih lapar…”
tiba-tiba si pemuda bertanya.
“Gaijin ini, mengapa kau masih
di sini?” tanya manusia bonsai lelaki.
“Aku ingin berteman dengan
kalian. Aku barusan tanya apakah kalian masih lapar?”
“Tentu saja kami lapar!” jawab
manusia bonsai perempuan. Dia menyentakkan rantai yang mengikat lengan kirinya.
“Ayo kita cari sendiri rumah makan!”
“Tangan dan pakaian kalian
kotor begitu! Mana ada rumah makan yang mau menerima?!”
Mendengar ucapan si pemuda
asing, dua manusia bonsai perhatikan tangan dan pakaian masing-masing.
“Gaijin, kau betul, kami
kotor…”
“Dan bau!” sambung si pemuda.
Dua manusia bonsai tertawa hu-hu hi-hi.
“Di dekat sini ada sebuah anak
sungai. Dangkal dan jernih. Kalian bisa membersihkan diri di sana…” Habis
berkata begitu si pemuda terus saja ngeloyor.
Dua manusia bonsai mengikuti
sambil berbisik-bisik. “Gaijin, menurut temanku ini kau orang baik pertama yang
pernah kami temui. Siapa namamu? Dari mana asalmu?” bertanya manusia bonsai
perempuan.
“Namaku Wiro Sableng. Aku
datang dari negeri seribu pulau…” menyahuti si pemuda.
“Seribu pulau? Wah, banyak
amat! memangnya ada orang yang pernah menghitung segitu banyak?!” ujar manusia
bonsai perempuan lalu tertawa cekikikan.
Si pemuda garuk kepalanya lalu
bertanya. “Kalian sendiri punya nama?”
“Aneh kau ini Gaijin…. Setiap
manusia tentu punya nama, termasuk kami. Walau cuma punya nama jelek!” jawab
manusia bonsai perempuan. “Aku Tsuki dan kawanku ini Taiyo.”
“Kalau tidak salah, Tsuki
artinya bulan, dan Taiyo artinya matahari…”
“Kau pandai Hik… hik!” memuji
manusia bonsai perempuan bernama Tsuki. “Tadi siapa namamu? Wiro Sa…?”
“Wiro Sableng,” menjelaskan
murid Sinto Gendeng.
“Apa ada artinya itu? Wiro
apa, Sableng apa?” bertanya lagi Tsuki.
“Wiro kira-kira artinya satria
atau perkasa…”
“Wah hebat! Kau seorang
perwira perkasa. Tapi berambut panjang seperti perempuan. Hik…hik!” ujar Tsuki.
“Lalu Sableng itu artinya
apa?” tanya manusia bonsai, yang melihat pada umurnya merupakan seorang gadis
remaja.
Mendengar pertanyaan itu, Wiro
jadi garuk-garuk kepala. “Aku tidak tahu mengapa guruku memberi nama begitu.
Sableng artinya kichigai…”
“Apa? Kichigai? Sinting alias
gila?!” kata Taiyo setengah berseru lalu pemuda cebol ini tertawa
tergelak-gelak.
“Kalau begitu kau sama dengan
kami dan sensei kami!” kata Tsuki pula.
“Sama bagaimana?” tanya Wiro.
“Kami punya sensei orangnya
sinting. Kami murid-muridnya, dengan sendirinya jadi ikut-ikutan sinting alias
gila alias sableng! Hik..hik..hik! Meong!”
“Meong!” balas Wiro.
Ketiga orang itu sama-sama
tertawa riuh.
Wiro sampai di sebuah tempat
ketinggian berbatu-batu. Dia menunjuk ke bawah. “Itu sungainya,” katanya.
Tsuki dan Taiyo memandang ke
bawah. Kira-kira dua puluh langkah di bawah sana kelihatan sebuah sungai kecil
berair jernih. “Kita mandi!” seru Taiyo.
“Mandi…! Hik, hik… Meong!”
Lalu di luar dugaan Wiro,
kedua manusia bonsai itu membuka mantel dan seluruh pakaian di bawah mantel itu
hingga keduanya kini bertelanjang bulat. “Gila! Bagaimana ada manusia tidak
punya malu seperti mereka ini!” ujar Wiro sambil geleng-geleng kepala.
Diperhatikannya bagian bawah perut kedua manusia bonsai itu. Apa yang
dilihatnya membuat Wiro membatin. “Keduanya memang bukan anak-anak. Mereka
sudah punya rumput Jepang!” Wiro jadi tertawa lebar.
“Hai, kau kenapa tidak buka
pakaian?!” Taiyo bertanya enak saja.
“Eh, aku… sudah mandi!” jawab
Wiro garuk-garuk kepala.
“Kalau begitu, kau terpaksa
kami tinggal!” Dua manusia bonsai itu mengambil pakaian yang barusan mereka
buka. Ternyata baik mantel maupun pakaian memiliki kancing-kancing khusus di salah
satu sisinya, hingga walau ada rantai yang menghalang, mereka bisa
menanggalkannya tanpa kesulitan.
Selagi Wiro tercengang-cengang
melihat perbuatan kedua orang itu, Tsuki dan Taiyo keluarkan seruan panjang.
Lalu tubuh keduanya melesat ke udara, di lain saat menukik turun ke bawah
sambil melemparkan pakaian-pakaian mereka ke tebing sungai. “Byuuur! Byuuur!”
6
Dua tubuh cebol itu mencebur
ke dalam sungai. Lalu terdengar suara pekik-pekik mereka seperti anak-anak
penuh gembira bermain di air. “Dua manusia bonsai…” ujar murid Sinto Gendeng
yang memperhatikan dari tempat ketinggian. “Mereka kelihatan lucu-lucu. Polos.
Di balik kelucuan dan kepolosan itu ada sesuatu yang aneh. Keanehan gila
berbahaya! Mereka bisa sangat baik seperti malaikat, tapi juga bisa ganas
seperti iblis! Mereka bukan manusia-manusia biasa! Jelas mereka memiliki
kepandaian tinggi. Paling tidak, mereka barusan telah memperlihatkan ilmu
meringankan tubuh yang luar biasa! Dan rantai besi karatan itu bukan besi
rongsokan. Siapa kedua orang cebol ini sebenarnya…?! Mengapa tangan mereka
diikat satu sama lain?”
Tsuki dan Taiyo ternyata bukan
cuma mandi sambil bermain. Keduanya juga sibuk mencuci mantel dan pakaian lalu
menjemurnya di atas batu-batu di pinggir sungai. Akibatnya, Pendekar 212
terpaksa menunggu lama dan tidak terasa jatuh tertidur. Wiro tidak tahu berapa
lama dia pulas di tempat itu dan tersentak bangun ketika Taiyo dan Tsuki
mengambil rumput dan mengilik telinganya kiri kanan!
“Kalian ini apa-apaan?! Hampir
kutinggal pergi. Mandi saja begitu lama!” Wiro mengumpat.
“Kami bukan cuma mandi. Tapi
juga mencuci pakaian lalu menjemur! Enak sekali tidurmu sampai ngorok keras!”
kata Tsuki.
Wiro menggeliat lalu berdiri.
“Kau bilang barusan mandi, tapi kulihat mukamu dan muka Taiyo masih celemongan.
Cat hitam itu masih ada di sekitar muka. Mengapa kalian mencat wajah seperti
itu?”
Ketiga orang itu melanjutkan
perjalanan sambil ngobrol. “Guru kami yang mengecatnya, kami cuma mengikut. Cat
seperti kumis-kumis kucing ini tidak mudah luntur kalau tidak pakai minyak
khusus. Minyak itu cuma guru yang memiliki.”
“Gurumu tentunya seorang aneh
tapi punya ilmu tinggi. Siapa dia? Tinggal di mana?”
“Dia seorang nenek datuk
persilatan di Nihon ini. Siapa namanya kami tidak tahu. Dia dikenal dengan
panggilan Nenek Neko. Artinya nenek kucing. Mukanya putih dan memang seperti
kucing.
Dia tinggal di pegunungan
Shikoku. Sejak masih orok, kami sudah diambilnya jadi murid…”
“Sejak orok? Lalu… Apa kalian
sudah tahu siapa orang tua kalian?” tanya Wiro.
Dua wajah manusia bonsai
kelihatan murung menjadi sedih. Mereka menggeleng perlahan. “Kalian ini adik
kakak, atau kembar, atau bagaimana?”
“Kami tidak tahu, tapi guru
menduga kami berdua tidak ada pertalian darah…” menerangkan Tsuki.
“Sungguh aneh diri kalian ini.
Kalian tidak tahu siapa diri kalian sebenarnya…”
“Sampai saat ini kami memang
tidak tahu siapa diri kami sebenarnya. Siapa orang tua kami. Tapi menurut guru,
ada seorang yang mengetahui. Namanya Gapo.”
“Gapo, yang kau tanyakan pada
si gendut pedagang babi itu?”
“Betul!” jawab Taiyo. “Menurut
guru, dialah yang sekitar tujuh belas tahun lalu mengantarkan kami ke tempat
guru di pegunungan Shikoku…. Itu sebabnya kami harus mencari orang bernama Gapo
itu. Dulu dia tinggal di Otsu ini. Tapi menurut si gendut itu, Gapo sudah
menjadi pejabat tinggi dan tinggal di Nara. Kami akan ke sana…”
“Kelihatannya memang dia yang
tahu asal usul kalian. Lalu bagaimana sampai kalian memiliki tubuh katai cebol
seperti ini? Apa sejak lahir sudah begini?”
“Menurut guru, waktu Gapo
membawa kami ke Shikoku, tubuh kami sudah dibalut dengan sejenis kulit yang tak
mungkin dilepas sebelum sepuluh tahun berlalu. Kalau dipaksa membukanya, maka
daging di tubuh kami akan ikut koyak terkelupas…”
“Berarti ada seseorang yang sengaja
membalut tubuh kalian. Dengan maksud tidak baik tentunya!” kata Wiro pula.
“Semua rahasia kehidupan kami
ada pada pejabat di Nara bernama Gapo itu…”
“Turut apa yang aku dengar,
Gapo bukan seorang pejabat baik-baik. Sifatnya culas dan hatinya jahat. Dia
pemeras rakyat, perampas harta orang lain, perampas anak gadis dan istri orang.
Gundiknya tidak terhitung… Kalian harus berhati-hati.”
“Mengapa harus hati-hati? Kami
tidak berniat jahat terhadapnya. Hanya ingin mencari keterangan.”
“Aku punya dugaan Gapo ikut
bertanggung jawab atas keadaan diri kalian…”
“Kalau itu benar, kami akan
bunuh dia!” kata Tsuki pula. Wajahnya yang lucu mendadak berubah menyeramkan.
“Tapi kalau Gapo orang jahat, mengapa penguasa tidak menegur atau
menghukumnya?”
Wiro tertawa. “Gapo itu
kepercayaan dan tangan kanan seorang pejabat tinggi di Kyoto bernama Yasuaki
Kiuchi. Orang ini adalah saudara sepupu shogun yang berkuasa di negeri ini!
Siapa yang berani menindak Gapo!”
“Yasuaki Kiuchi! Untung kau
sebut nama itu! Menurut sensei, orang ini ada sangkut pautnya dengan apa yang
dilakukan Gapo!” kata Tsuki setengah berseru.
“Kami juga akan cari manusia
satu itu! Membunuhnya jika dia memang punya andil penyebab segala derita lahir
batin diri kami ini…” berkata Taiyo.
“Guru juga memberi tugas agar
kami mencari seorang bernama Kamio Shikero…” menerangkan Tsuki.
“Siapa orang itu?” tanya Wiro.
“Kekasih guru di masa muda.
Sekarang kabarnya dipenjarakan di satu tempat tidak diketahui. Selama ini
dirinya yang menjadi ganjalan hingga guru, walaupun berkepandaian tinggi tak
berbuat banyak. Yasuaki Kiuchi kabarnya mengancam kalau guru berbuat
macam-macam, maka dia tak bakal dapat lagi bertemu dengan Kamio Shikero
kekasihnya itu…”
Apa yang terjadi di kandang
babi milik pedagang Kukuno tersiar cepat di seluruh Otsu, termasuk di rumah
makan Puri Rembulan. Karenanya, tidak mengherankan ketika Tsuki dan Taiyo yang
ditemani Wiro datang ke tempat itu, para pelayan segera menolak. Mereka tidak
mau terjadi kekacauan.
“Aneh, ada rumah makan menolak
tamu!” ujar pendekar 212 jengkel.
“Ani Wiro…” kata Tsuki. Dia
memanggil Wiro dengan sebutan “ani” yang berarti kakak, karena sudah merasa
dekat dengan sang pendekar walau belum lama saling kenal.
“Mereka menolak karena melihat
kami berdua cebol jelek begini. Menghina betul! Tapi tidak apa. Kita berdiri
saja di luar sini. Aku bersumpah suatu hari rumah makan ini tak bakal ada
pengunjungnya!”
“Eh, apa yang hendak kamu
lakukan Tsuki?” tanya Wiro, sementara Taiyo diam anteng-anteng saja.
“Aku akan halangi semua tamu
yang datang! Gampang saja bukan? Hik…hik! Meong!” jawab Tsuki lalu tertawa
cekikikan. Seorang lelaki separuh baya berpakaian bagus dan berambut kelabu
muncul di pintu rumah makan. Dia adalah Susumu, pemilik rumah makan. Sesaat dia
menatap pada Wiro lalu memperhatikan dua manusia bonsai.
“Kalian berdua telah membuat
keonaran di pasar kota. Aku juga tidak mau kalian berdua macam-macam di tempat
ini. Aku harap kalian segera pergi. Bawa serta teman kalian orang asing
berambut gondrong ini!”
Tsuki kedip-kedipkan matanya.
“Meong! Hik..hik! Tuan berambut kelabu, siapa kau ini?” gadis cebol ini
bertanya.
“Aku Susumu, pemilik rumah
makan!” Mendadak pendekar 212 tertawa mengakak. Membuat Susumu dan Tsuki serta
Taiyo jadi terheran-heran.
“Eh, kenapa kamu tertawa…?”
tanya Taiyo.
“Di negeriku, Susumu itu
berarti tetek atau payudaramu! Lucu juga nama orang ini!”
Wajah pemilik rumah makan
kelihatan merah padam sedang Tsuki dan Taiyo tertawa gelak-gelak
“Kuharap kalian suka pergi.
Atau aku akan panggil petugas keamanan untuk mengusir dengan kekerasan…!”
“Sudahlah kawan-kawan. Kita
pergi saja. Buat apa lama-lama di tempat ini. Dia punya makanan yang belum
tentu enak. Kita punya uang! Cari saja rumah makan lain!” Kata Taiyo. Lalu dari
balik mantel bulunya dikeluarkannya dua buah kantong berisi uang yang
diterimanya dari Nenek Neko.
Dari dalam dua kantong kain
terdengar suara berdering.
“Aku sumpahi rumah makanmu
tidak laku!” teriak Tsuki.
Melihat dua kantong uang di
tangan Taiyo, pemilik rumah makan jadi berubah pikiran. Sepagi itu belum ada
tamu pun yang datang. Dua kantong di tangan si cebol pasti berisi uang banyak
sekali.
Apa salahnya menerima mereka?
“Hai tunggu dulu!” Susumu berkata cepat ketika ketiga orang itu dilihatnya
hendak melangkah pergi. “Jika kalian berjanji tidak membuat keributan di sini,
aku sudi mempersilakan kalian istirahat di dalam dan bersantap.”
“Siapa yang mau membuat
keributan? Kami ke sini mau cari makan dan bayar!” jawab Taiyo seraya acungkan
dua kantong kain di tangannya. Suara dering uang dalam kantong semakin enak
terdengar di telinga Susumu.
“Taiyo, orang ini sudah dengar
apa yang terjadi di kandang babi! Itu salah si gendut Kukuno dan orang banyak!
Mereka menganggap kami ini seperti binatang saja. Masakan kami disuruh makan
kotoran babi!” kata Tsuki dengan wajah dicemberutkan.
“Kalian bertiga boleh masuk.
Silakan masuk!” kata susumu.
Tsuki, Taiyo dan Wiro saling
pandang. Sambil senyum-senyum ketiganya akhirnya masuk ke dalam rumah makan.
Mereka sengaja memilih tempat di ruangan tengah yang luas. Semua orang di dalam
rumah makan itu jadi sibuk melayani. Tak lama kemudian minuman dan makanan yang
dipesan segera dihidangkan. Tsuki dan Taiyo menungging-nungging menciumi
makanan yang sedap baunya itu.
“Ayo! Tunggu apa lagi! Ini
makan besar namanya!” kata Taiyo. Tiga orang itu segera bersantap sementara
Susumu dan beberapa pelayan memperhatikan dari kejauhan. Mereka senyum-senyum
geli melihat cara makan manusia cebol itu. Kalau Wiro makan wajar-wajar saja,
maka Tsuki dan Taiyo membabat semua makan itu dengan rakus seperti dua orang
kelaparan satu minggu bertemu makanan lezat. Dalam waktu sebentar saja semua
makanan dan minuman yang ada di hadapan mereka habis amblas!
“Hai! Siapkan lagi makanan
sama minumannya! Yang banyak! Jangan kuatir semua kami bayar!” kata Taiyo.
Walaupun terheran-heran, Susumu segera memerintah pelayan menyiapkan makanan
baru. Tak lama kemudian hidangan datang. Dua manusia bonsai langsung
menghantamnya.
Keduanya seperti balapan.
“Ani Wiro, kau tidak makan…?”
tanya Tsuki melihat Wiro hanya menjulurkan kaki.
“Aku sudah kenyang,” jawab
Pendekar 212. “Ah, tubuhmu saja yang besar tapi perut kecil! Lihat kami, tubuh
boleh kecil tapi perut musti besar! Hik…hik…hik! Meong!”
Murid Sinto Gendeng hanya bisa
gelengkan kepala. Ketika pesanan kedua itu habis, dia menyangka dua manusia
bonsai akan terduduk kekenyangan. Ternyata tidak. Taiyo kembali berteriak minta
disiapkan lagi hidangan baru, malah lebih banyak! Pemilik rumah makan dan semua
pelayan yang ada di situ, termasuk Wiro sendiri, tentu saja jadi melengak
heran. Dua manusia katai makan sebanyak itu. Masuk ke mana semua makanan itu?
Dua kali pesanan yang mereka santap tadi yang seharusnya selusin tamu! Wiro
sendiri mulai berpikir-pikir jangan-jangan dua manusia bonsai sebangsa makhluk
jejadian atau tuyul!
Selagi Tsuki dan Taiyo asyik
menyantap hidangan ketiga, tiba-tiba di luar sana lima orang berseragam
prajurit kota muncul. Yang sebelah depan begitu melihat Tsuki dan Taiyo segera
saja membentak. “Kalian berdua di sini rupanya! Sedang enak-enakan makan!”
Tsuki cuma melirik lalu terus
makan tak acuh. Sebaliknya Taiyo teguk minumannya. Sambil menyeka bibirnya dia
bertanya. “Kami memang lagi makan. Memangnya kenapa? Mau ikutan? Tapi bayar
sendiri! Huk… huk… huk! Meong!”
“Manusia cebol kurang ajar!”
teriak prajurit di sebelah depan dengan muka merah padam. Empat kawannya juga
tampak marah. “Kami datang untuk menangkap kalian! Tahu?!”
“Mana kami tahu!” jawab Tsuki
konyol lalu tertawa tergelak-gelak.
Wiro menengahi dengan
bertanya. “Apa salah dua kawanku ini hingga kalian hendak menangkap mereka?”
“Hem… jadi kau kawan kedua
monyet katai ini! Bagus! Berarti kau juga kami tangkap! Ikat mereka dan bawa!”
Empat orang prajurit segera
maju. Masing-masing membawa segulung tali. Wiro segera bangkit berdiri dan
menghadang. “Tunggu dulu. Kau belum memberitahu apa salah kami!”
Dengan beringas prajurit yang
ditanya menjawab. “Kau membuat keributan di pasar. Mencederai beberapa orang
dan merusak harta orang!”
“Keributan di pasar memang
betul. Tapi kami tidak mencederai siapapun. Teman-temanku ini hanya menyuapkan
sedikit makanan dan memupuri orang-orang yang berlaku kurang ajar mempermainkan
mereka. Juga tidak ada harta orang yang kami rusak!”
“Orang asing! Kau duluan yang
aku tangkap!”
“Aku akan mencambukmu sampai
seratus kali biar tahu diri!” Habis berkata begitu, prajurit ini ayunkan tangan
untuk menggebuk Wiro pada bagian kepalanya. Murid Sinto Gendeng cepat merunduk
lalu mundur. Si prajurit menjadi kalap karena hantamannya tadi tak menemui
sasaran.
Dia kembali memburu dengan
pukulan tangan kosong. Lagi-lagi gagal. “Keparat! Biar kuhabisi saja kau
sekarang juga!” teriak prajurit itu marah lalu hunus samurainya. Kali ini
Pendekar 212 tak bisa mengelak terus. Begitu pedang membabat di atas kepalanya,
murid Sinto Gendeng membuat gerakan berputar. Kaki kirinya mencuat ke atas.
“Bukkk!”
Kaki kiri Wiro menghantam
rahang kanan prajurit itu dengan telak. Tubuhnya terlempar empat langkah lalu
terbanting pingsan ke lantai rumah makan. Mukanya tepat jatuh di atas sebuah
piring besar berisi sisa-sisa bumbu cabe.
“Jangan membuat keributan di
sini! Jangan membuat keributan di sini!” Yang berteriak adalah
Susumu si pemilik rumah makan.
Tapi agaknya tak ada yang peduli pada teriakannya. Sementara itu empat prajurit
sudah membuka gulungan tali dan siap mengikat Tsuki dan Taiyo.
“Ani Wiro!” berseru Tsuki.
“Kami berdua belum selesai makan. Tak ada waktu untuk melayani empat cecunguk
yang mengganggu ini! Tolong kau layani dulu mereka!”
Empat prajurit cepat bergerak
hendak mengikat Tsuki dan Taiyo, namun gerakan mereka tertahan.
Satu bayangan berkelebat dan
tahu-tahu empat utas tali itu telah melingkar mengikat tubuh mereka
masing-masing mulai dari tangan sampai ke kaki! Karena keempatnya meronta-ronta
berusaha melepaskan ikatan dan tak berhasil, empat prajurit ini akhirnya jatuh
bergedebukan di lantai rumah makan. Tentu saja mereka berteriak marah dan
memaki habis-habisan.
“Taiyo, aku tidak suka
mendengar suara nyanyian mereka!” berkata Tsuki sambil melahap sepotong daging.
“Sama!” jawab Taiyo. Lalu
tangan kiri Taiyo dan tangan kanan Tsuki bergerak dua kali. Terdengar suara
“Hekkk…!” Empat kali berturut-turut, Teriakan dan caci maki empat prajurit
langsung berhenti. Di dalam mulut mereka menyumpal potongan daging campur
tulang!
“Ah! Aku sudah kenyang!” kata
Taiyo sambil meletakkan guci sake di lantai.
“Aku juga!” kata Tsuki. Taiyo
berpaling pada Wiro. “Kita pergi sekarang”
“Ada baiknya sebelum muncul
lagi urusan baru!” sahut Wiro. Taiyo lalu melangkah mendekati Susumu. Pada
pemilik rumah makan ini dia menyerahkan uang pembayar semua makanan. Menurut
Wiro, uang yang dibayarkan itu cukup, malah berlebihan karena salah satu dari
mata uang itu terbuat dari emas.
Tapi Susumu tiba-tiba
berteriak marah. “Gara-gara kalian rumah makanku jadi rusak. Lalu enak saja
kalian membayar semurah ini! Semua hidangan dan minuman yang kalian santap
mahal harganya! Serahkan dua buah kantong itu padaku baru lunas!”
Wiro melangkah mendekati
pemilik rumah makan itu lalu berkata. “Uang dalam dua kantong itu cukup untuk
membeli lima rumah makan seperti milikmu ini! Termasuk lima manusia penipu
seperti kau!”
“Pemuda asing berambut
gondrong! Jangan ikut campur urusanku! Bukan kau yang membayar!” sentak Susumu.
Pendekar 212 tersenyum lebar.
“Silakan kau menyelesaikan urusan dengan mereka,” katanya lalu sambil melangkah
ke pintu dia berpaling pada Tsuki dan Taiyo. “Giliran kalian sekarang!”
“Susumu, uang yang kami
berikan sudah lebih dari cukup. Lihat berkeliling. Tak ada barangmu yang rusak.
Jangan menipu. Jangan tamak!” kata Tsuki. Lalu dia melangkah. Tapi karena
Susumu berusaha menghalangi, gadis bonsai itu dorongkan tangan kanannya ke
perut pemilik rumah makan itu. Terjadi hal yang hampir tak dapat dipercaya.
Tangan begitu kecil dengan dahsyat mampu mendorong tubuh besar Susumu hingga
terjajar dan jatuh duduk di atas sebuah nampan berisi sisa-sisa makanan.
“Manusia cebol keparat! Berani
kau menjatuhkan tangan kasar kepadaku!” teriak Susumu marah.
Dia bangkit berdiri, menyambar
sebilah samurai yang tergantung di dinding lalu membacokannya ke batok kepala
Tsuki.
“Meong!” Tsuki dan Taiyo
keluarkan suara kucing mengeong. Bersamaan dengan itu keduanya jatuhkan diri
berguling di lantai. Rantai besi yang mengikat tangan mereka memukul ke depan,
menghantam sepasang kaki Susumu.
Pemilik rumah makan ini
berteriak setinggi langit ketika tulang kering kedua kakinya dihajar besi itu.
Tubuhnya terlipat ke depan lalu jatuh tersungkur babak belur. Tsuki dan Taiyo tertawa
tergelak.
Keduanya melangkah seenaknya
menuju pintu. Di situ Pendekar 212 sudah menunggu sambil senyum-senyum
menyaksikan apa yang telah dilakukan kedua manusia bonsai itu terhadap si
pemilik rumah makan.
Shogun penguasa tunggal di
Jepang pada masa itu berkedudukan di Kyoto. Di beberapa kota besar dia memiliki
istana, di antaranya yang terdapat di Nara. Sekitar sembilan tahun silam,
Yasuaki Kiuchi diberi kedudukan tinggi oleh shogun. Sejak itu dia meninggalkan
Otsu, pindah ke Nara.
Gapo, kepala prajuritnya yang
setia dan telah mengabdi sekian lama, ikut pindah dan diangkat menjadi salah
seorang pejabat tinggi di Nara.
Malam itu Gapo datang ke
tempat kediaman Yasuaki Kiuchi. “Tuan Kiuchi, turut perhitunganku bulan ini
tepat sekitar tujuh belas tahun silam saya membawa dua orok Yamada dan Yukawa
itu ke pegunungan Shikoku. Sesuai pesan kita pada Nenek Neko, dua anak itu akan
dilepas guna menjalankan tugas…”
“Perhitunganmu tidak berbeda
denganku Gapo,” kata Yasuaki Kiuchi sambil mengusap mata kirinya yang picak.
“Setelah kau mendapat
kedudukan sangat tinggi bahkan berkuasa penuh di Nara ini, apakah rencana tempo
hari akan tetap dijalankan tuan Kiuchi?”
“Tentu saja! Ada apa dalam
otakmu Gapo? Sesudah kau sekarang jadi pejabat tinggi di sini, kau melupakan
rencana itu begitu saja? Sudah merasa puas rupanya?!”
“Maafkan saya tuan Yasuaki.
Bukan begitu maksud saya.”
“Aku tidak suka mendengar kau
mendua hati Gapo! Ingat itu baik-baik! Dulu di Otsu aku jadi orang penting.
Sekarang di Nara ini aku jadi orang besar dan berkuasa penuh, kau tetap jadi
tangan kananku! Tapi tujuan dan cita-cita hidupku bukan cuma sampai di sini.
Apa yang kudapat sekarang hanya sebagai batu loncatan ke kedudukan yang lebih
tinggi. Jauh lebih tinggi! Aku ingin menjadi penguasa tunggal di Nihon ini!
Beberapa pejabat tinggi di Kyoto sudah kurembuki. Mereka hanya menunggu kapan
aku menjalankan rencana. Dan kalau dua anak itu muncul berarti apa yang aku
inginkan sudah di depan mata!”
“Saya tetap mengabdi padamu
sampai kapan pun juga tuan Kiuchi!” kata Gapo pula.
Di luar ada orang mengetuk
pintu. Gapo cepat berdiri. Begitu pintu dibuka, kelihatan seorang pemuda
berkepala gundul, bermuka jerawatan. Dia bukan lain adalah pemuda yang pagi
tadi kena dikerjai oleh Tsuki dan Taiyo di Otsu. Si gundul ini membungkuk tiga
kali di depan Gapo. Gapo bicara sebentar dengan pemuda gundul itu lalu
memberitahu pada Yasuaki Kiuchi. “Si botak Takuchi, salah seorang mata-mata
kita di Otsu datang untuk melaporkan sesuatu yang penting.”
“Suruh dia menghadapku!” kata
Yasuaki Kiuchi.
Takuchi segera diperintahkan
masuk. Setelah menjura berulang kali, Takuchi lalu bersimpuh di hadapan Yasuaki
Kiuchi. “Saya membawa kabar penting,” kata si gundul ini. Lalu dia menceritakan
kemunculan dua manusia bonsai di Otsu. Satu lelaki satunya perempuan. Juga
diceritakannya apa yang terjadi di kandang babi milik Kukuno.
7
Yasuaki Kiuchi berpaling pada
Gapo. “Mereka akhirnya muncul Gapo. Rencana kita bakal menjadi kenyataan…” Lalu
dia bertanya pada mata-mata berkepala gundul itu. “Ada lagi yang hendak kau
terangkan?”
Takuchi mengangguk. “Dua
manusia bonsai itu punya seorang kawan. Seorang pemuda asing berambut gondrong.
Agaknya dia bukan orang sembarangan. Ada dugaan keras dia memiliki kepandaian
tinggi dan aneh-aneh…”
Yasuaki Kiuchi bangkit dari
duduknya. “Gapo, kau pernah tahu atau dengar tentang orang asing itu?”
“Memang saya pernah mendengar
tuan Kiuchi. Beberapa waktu lalu dia membuat beberapa kali kegegeran di Kyoto.
Dia bersahabat dengan murid-murid seorang tokoh silat di Gunung Fuji. Juga
mempunyai hubungan baik dengan orang-orang perguruan Emerarudo pimpinan Shigero
Momochi.
Bersahabat dengan nenek sakti
bernama Teruko…”
“Tunggu!” Memotong Yasuaki
Kiuchi. “Apa bukan dia pemuda asing yang mendapat julukan Pendekar Gunung Fuji
itu?”
“Saya yakin memang dia tuan
Kiuchi,” jawab Gapo.
Yasuaki Kiuchi menggigit
bibirnya. “Selama dia tidak tahu rencana kita, kita akan aman. Tetapi sekali
dia tahu…”
“Tak mungkin dia tahu. Si
Nenek Neko mana berani berbuat macam-macam. Kecuali kalau dia tidak mau lagi
melihat kekasihnya yang kita sekap di pertambangan tempat kerja paksa di utara
kita keluarkan dari sana hidup-hidup…”
Yasuaki Kiuchi tertawa. “Aku
memang tidak punya rencana untuk mengeluarkan Shikero dari sana.
Semua yang kukatakan pada
nenek itu bohong belaka. Sekadar untuk menjinakkan dirinya….”
Yasuaki Kiuchi hentikan
ucapannya. Dia sadar telah terlalu banyak bicara di depan Takuchi. “Kau bekerja
bagus. Kau boleh pergi. Beberapa hari di muka seseorang akan mengantarkan
hadiah padamu.”
“Terima kasih tuan Kiuchi.
Saya mohon diri. Tapi sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan.
Mungkin tidak ada gunanya. Saya pergi saja sekarang…”
“Tunggu dulu! Apa yang hendak
kau katakan Takuchi?” tanya Yasuaki Kiuchi. “Sewaktu menghajar pedagang babi di
Otsu itu, saya dengar dua manusia bonsai menanyakan tuan Gapo. Mereka ingin
tahu di mana tuan Gapo bisa ditemui…”
Paras Yasuaki Kiuchi dan Gapo
kontan berubah. “Tukang babi itu memberitahu…?”
Takuchi mengangguk. “Nyawanya
terancam. Kukuno akhirnya memberitahu kalau tuan Gapo sekarang berada di Nara,
jadi pejabat penting Shogun…”
“Kurang ajar si Kukuno itu!
Akan kujagal batang lehernya!” kata Gapo marah sambil mengepalkan kedua
tinjunya. Dia memberi isyarat pada Takuchi agar segera meninggalkan tempat itu.
Begitu Takuchi berlalu,
Yasuaki Kiuchi berkata. “Dari siapa manusia-manusia bonsai itu tahu namamu?”
“Hanya satu orang yang saya
curigai tuan Kiuchi. Si nenek muka kucing Neko!”
“Berarti dua manusia bonsai
itu juga sudah tahu rencana kita. Kalau tidak, mengapa mereka mencarimu?
Padahal tugas yang aku perintahkan pada si nenek muka kucing itu lain…”
Gapo terdiam. Akhirnya
terdengar dia berkata dengan suara bergetar. “Saya khawatir jangan-jangan
mereka memang sudah tahu. Kalau begitu izinkan saya pulang dulu. Saya harus
mempersiapkan sesuatu untuk mencegah hal-hal yang tidak diingini.”
Yasuaki Kiuchi mengangguk.
“Sebelum kau pergi, atur penjagaan di tempat ini. Lipat gandakan kekuatan para
pengawal.”
“Akan saya lakukan tuan
Kiuchi,” jawab Gapo lalu membungkuk dalam-dalam.
Hutan kecil di tepi jalan yang
menghubungkan Nara di Selatan dan Otsu di Utara berada dalam keadaan gelap
gulita. Namun di suatu tempat tersembunyi terlihat ada nyala api. Ternyata itu
adalah api unggun kecil. Di sekeliling api duduk tiga sosok tubuh. Mereka bukan
lain dua sosok bonsai Tsuki dan Taiyo bersama pendekar 212 Wiro Sableng.
Di tangan kiri Taiyo saat itu
ada secarik kertas yang sudah sangat lusuh. Di atas tertera panjang tulisan
kanji. “Ani, kau bisa membaca tulisan kanji?” tanya Waiyo pada Wiro. Pendekar
212 geleng kepala.
“Kertas ini seumur umur kami…”
kata Tsuki. “Di sini tertulis pesan-pesan yang harus dilakukan oleh guru kami
Nenek Neko. Siapa pemberi tugas tidak tertera. Tapi menurut guru adalah Yasuaki
Kiuchi, saudara Shogun di Kyoto…”
Wiro mulai tertarik penuturan
sahabat cebolnya itu. Dia menggeser duduk dekat Taiyo. “Surat ini dibawa oleh
orang bernama Gapo…”
“Apa saja tugas guru kalian
dalam kertas itu?” tanya Wiro kepada Taiyo.
“Pertama, sensei harus
mengikat tangan kami dengan rantai karatan ini. Lalu guru kami harus merawat
hingga tujuh belas tahun. Lalu guru wajib mendidik kami dalam kepandaian silat
dan ilmu kesaktian. Pada hari kami dibebaskan, kami harus pergi ke Kyoto untuk
membunuh Shogun.
Shogun hanya bisa dibunuh
dengan rantai hitam yang mengikat tanganku dan tangan Tsuki. Setelah itu kami
harus pergi ke danau di tepi desa Biwa. Desa itu bernama Hikone. Di sana kami
harus membunuh satu keluarga bernama Yukawa.”
“Selesai? Hanya itu…?” tanya
Wiro ketika Taiyo berhenti membaca tulisan di atas kertas lusuh itu.
Taiyo mengangguk. “Itu tugas
yang harus dikerjakan guru dan diturunkan kepada kami. Tapi guru meminta kami
melupakan segala kentut busuk yang tertera dalam kertas ini. Sebagai gantinya,
ia meminta kami mencari orang yang bernama Gapo. Sebab dia satu-satunya pembuka
jalan siapa sebenarnya kami ini. Waktu itu kedudukannya adalah sebagai kepala
prajurit Shogun, yang bertugas di bawah pemerintah Yasuaki Kiuchi. Guru juga
menugaskan kami mencari seorang bernama Shikero, yang kabarnya disekap Yasuaki
di suatu tempat dan baru dilepas tujuh belas tahun kemudian, saat kami
meninggalkan pegunungan Shikuko…”
“Tugas dari Yasuaki Kiuchi
berlainan dengan tugas dari guru kalian. Kalau Gapo orangnya Yasuaki Kiuchi
berarti dia juga tahu asal usul kalian. Tapi aku tidak mengerti mengapa kalian
harus membunuh sekeluarga Yukawa di Hikone…” ujar Wiro. Dia menatap langit
hitam di atasnya. Tidak juga berhasil memecah teka-teki. “Jika saja kakek
Segala Tahu ada di tempat ini, pasti dia bisa menolong kita,” kata Wiro.
“Siapa pula orang itu,” tanya
Tsuki. “Seorang tua berumur lebih dari delapan puluh tahun. Matanya buta tapi
lebih tajam penglihatannya dari kita ini. Dia pandai meramal dan melihat yang
bakal terjadi. Sayang dia tidak di sini…” kata Wiro.
Tiba-tiba terdengar suara
gemeletak roda kereta ditimpali deru kaki kuda. Kedua cebol itu cepat
menginjak-injak perapian. Begitu api padam, tempat menjadi gelap. Ketiganya
meninggalkan hutan berlari menuju jalan kecil. “Aku harap yang lewat ini dia,”
bisik Taiyo. “Ingat Tsuki, orang ini harus kita dapat hidup-hidup. Jika sampai
mati, kita akan kehilangan jejak diri kita. Atau kita akan berhadapan dengan
Yasuaki Kiuchi.”
Suara kereta kuda semakin
cepat. Dua manusia bonsai berpaling kepada Wiro. “Ani Wiro. Kau sudah siap?”
tanya Tsuki. Pendekar 212 menganggukkan kepala sambil acungkan seutas tali.
Ujung tali itu dikaitkan dengan ujung pohon yang sudah dipotong lalu ditegakkan
dan ditancapkan di ujung sungai.
Batang pohon besar jatuh. Kuda
paling depan meringkik. Kedua binatang itu langsung tersungkur begitu lelaki
penunggangnya jatuh. Tidak ampun lagi keretanya terbalik. Tiga dari empat
pengawal yang berada di belakang tak sempat lagi menghindar dan menabrak bagian
belakang kereta.
“Tuan Gapo keluar dari kereta!
Ada komplotan rampok menyerang kita,” salah seorang pengawal berteriak sambil
melompat dari kuda dan membuka pintu kereta. Seorang bertubuh besar dan gempal
keluar dari kereta dengan susah payah. Begitu menginjakkan tanah mulutnya
langsung mengumpatkan kata kutukan serapah.
“Bangsat rendah dari mana yang
berani merampok kita?!” Tangan kanan Gapo bergerak dan “Wutt” golok besarnya
berkelebat. Saat itu dua sosok berkelebat ke udara. Lalu menukik ke arah Gapo.
Seseorang berteriak memberi peringatan. Pengawal yang tadi terpental kini
melindungi majikannya sambil menyibatkan pedangnya ke atas.
“Meong!Meong!”
“Trang! Trang!” Dua pedang di
tangan pengawal itu patah dan mental. Lalu terdengar jeritan kedua.
Ternyata Tsuki dan Taiyo telah
mempergunakan jari tangannya yang panjang untuk meremas kedua muka pengawal
itu.
Gapo berteriak marah. Bersama
dua pengawal, dia hendak menyerang Tsuki dan Taiyo. Tapi justru saat itu keluar
suara suitan keras. Tiba-tiba ada puluhan obor mendekat. Lalu jaring raksasa
tidak kelihatan seolah jatuh dari langit.
“Tsuki! Taiyo! Awas!” teriak
pendekar 212. Tangan kanannya dilibaskan untuk melepas pukulan sakti Benteng
Topan Melanda Samudera. Tapi terlambat. Ketika pukulan sampai, jaring sudah
menjerat manusia bonsai. Akibatnya, dalam keadaan terjerat, ia juga harus
menerima pukulan sakti Wiro.
“Celaka aku menyerang mereka,”
seru Wiro dalam hati.
Dua manusia bonsai terguling
dalam jeratan jaring tapi keduanya dapat bangkit seperti tidak terjadi apa-apa.
“Bret! Bret!” mereka pergunakan kuku untuk melepas jaring yang melilit
tubuhnya.
Pukulan pendekar 212 tidak
berbekas, murid Sinto Gendeng itu heran.
Saat itu sambil tertawa
bergelak, Gapo melompat ke depan jaring. Tangannya melempar bola kecil.
“Dess!” Terdengar letupan
halus disusul dengan menggebubunya asap hijau. Tsuki dan Taiyo hilang dibungkus
asap. Yang terdengar hanya suara mereka batuk-batuk.
“Kurang ajar,” teriak Wiro.
Dia berkelebat ke arah Gapo tapi parasnya jadi berubah. Di sekelilingnya saat
itu ada sekitar selusin manusia berseragam perwira balatentara shogun
mengurungnya. Enam dari mereka membidikkan panah beracun. Enam lagi menodong
dengan ujung samurai berkilat. Tak ada kemungkinan untuk meloloskan diri atau
melawan.
“Sial dangkalan!” maki Wiro.
Dia angkat tangan kanannya hendak menggaruk kepala, tapi dua buah ujung samurai
segera menekan bahunya. Murid Sinto Gendeng meringis kesakitan. Dua liang luka
mengucurkan darah membasahi baju putihnya. Lalu sebuah rantai besi dililitkan
ke tubuhnya.
Membuat pendekar 212
benar-benar tidak bisa berkutik lagi!
Ketika Tsuki dan Taiyo sadar
dari pengaruh asap hijau bola beracun yang dilemparkan Gapo, mereka dapatkan
diri tergeletak di sebuah ruangan yang lantai serta dinding dan atapnya terbuat
dari batu. Bersama mereka ada enam orang perwira berseragam pasukan Shogun. Di
situ juga ada Gapo, manusia yang kini mereka anggap sebagai musuh besar
pemegang kunci rahasia kehidupan mereka.
“Ssstt…” berbisik Tsuki.
“Kalau mereka mengurung kita di sini apa mereka sangka kita tidak bisa
berjibaku membunuh mereka semua…?”
“Aku juga sudah berpikir
begitu,” sahut Taiyo. “Tapi lihat di depan sana. Sahabat kita terancam
keselamatannya!”
Dua manusia bonsai itu bangkit
berdiri. Tsuki usap-usap matanya yang masih terasa perih. Paras gadis bonsai
ini jadi berubah dan sekujur tubuhnya terasa tegang. Di hadapan mereka ada
sebaris jeruji besi sebesar betis manusia. Di belakang jeruji besi itu ada
sebuah ruangan di mana Pendekar 212 Wiro Sableng berada dalam keadaan terikat
kedua tangannya dan dikerek hingga sepasang kakinya terjingkat ke atas.
Di atas kepalanya ada dua buah
busur lengkap dengan anak panah beracun siap lepas. Tali-tali busur dua buah
panah itu tertahan oleh sebuah cantelan besi. Jika Wiro bergerak sedikit saja
atau merubah kedudukan kakinya maka cantelan yang menahan tali busur akan
lepas. Anak panah pertama akan melesat menghantam batok kepalanya sendiri. Anak
panah kedua yang akan lepas dalam waktu bersamaan, akan melesat menghantam dada
seorang perempuan tepat pada jantungnya yang terikat pada sebuah tiang besi
sejarak enam langkah dari hadapan Wiro.
Wiro tidak dapat melihat paras
perempuan itu karena rambutnya yang panjang hitam terjurai ke depan menutupi
wajahnya. Perempuan ini mengenakan pakaian warna biru. Bagian atas bajunya
robek besar hingga dadanya tersingkap lebar.
“Manusia bernama Gapo!”
tiba-tiba Tsuki berteriak. “Aku bersumpah membunuhmu dan semua orang yang ada
di sini jika sahabatku itu menemui ajal karena perbuatanmu ini!”
Gapo tertawa bergelak. “Kau
mengawatirkan keselamatan kawanmu. Bagaimana dengan calon korban yang
perempuan?!”
“Kami tidak mengenal siapa
dia! Tapi jika kau melibatkan orang lain untuk tujuan busukmu, aku akan mencincang
mayatmu sampai lumat!” Yang menjawab adalah Taiyo.
Gapo terus mengumbar tawa.
“Perempuan itu seorang yang sangat berarti bagi sahabatmu si pemuda asing. Jika
kalian ingin mereka selamat, hanya ada satu jalan. Kalian harus melakukan
sesuatu seperti yang sudah dipesankan dan ditugaskan pada guru kalian si nenek
muka kucing!
Kalian punya waktu terbatas.
Sampai berapa lama pemuda asing itu sanggup bertahan berjingkat terus. Sekali
dia menjejakkan tumitnya rata dengan lantai, cantelan besi akan lepas dan dua
anak panah akan merenggut nyawa mereka!”
Tsuki dan Taiyo
berteriak-teriak mencaci maki Gapo habis-habisan. Gapo yang kini menjadi
pejabat penting di Nara itu kelihatannya seperti tidak acuh. Tapi tiba-tiba
kedua tangannya bergerak menghantam. Tsuki dan Taiyo terpekik. Tubuh keduanya
terbanting ke dinding batu akibat jotosan kiri kanan Gapo yang mendarat telak
di wajah mereka. Tapi seperti tidak merasakan sakit Tsuki dan Taiyo melompat
lalu menyerang ke arah Gapo sambil keluarkan suara mengeong keras!
Lima orang perwira Shogun
berkelabat menghadang dengan samurai di tangan. Salah seorang dari mereka
mengancam. “Berani kalian bergerak sedikit saja, sebuah alat rahasia akan
membetot lepas cantelan penahan tali busur! Dua orang di ruangan sana akan menemui
ajal dalam sekejapan mata!
Ayo silahkan berbuat konyol!”
“Bangsat!” maki Tsuki.
“Keparat busuk!” teriak Taiyo.
Dua manusia bonsai itu tak bisa berbuat apa-apa selain memandang ke arah Wiro
dengan penuh tegang.
“Ani Wiro!” seru Tsuki.
“Maafkan kami tak dapat menolongmu! Tapi kami bersumpah untuk membunuh habis
semua manusia setan di ruangan ini!”
Pendekar 212 Wiro Sableng
hanya bisa berdiam diri dan tarik nafas dalam. Kalau saja ada yang bisa menotok
kedua kakinya, sampai kiamat pun dia sanggup berjingkat. “Paling lama aku bisa
bertahan satu setengah hari” membatin Wiro. “Sialan! Selangkangan dan
punggungku terasa gatal. Bagaimana aku bisa menggaruk! Kalau sampai tubuh dan
kakiku bergerak, tamat riwayatku…”
Wiro memandang ke depan ke
arah perempuan yang juga terancam keselamatannya. “Aku merasa seperti mengenali
walau tidak melihatnya. Jangan-jangan… Ya Tuhan! Kuharap jangan dia yang ada di
tiang itu!”
Dengan sebuah alat, Gapo
menaikkan dua buah jeruji besi lalu masuk ke ruangan di mana Wiro berada.
“Pemuda asing bergelar Pendekar Gunung Fuji! Nama besarmu tak lama lagi akan
terkubur di bumi Nihon! Sayang jauh-jauh datang kau cuma mengantar nyawa. Itu
akibat ulahmu yang terlalu suka ikut campur urusan orang lain!”
“Kau manusia paling sialan di
dunia ini Gapo! Jenis kadal penjilat yang mau melakukan apa saja demi jabatan!”
Gapo ganda tertawa. Dia
melangkah ke hadapan tiang di mana perempuan berpakaian biru tegak terikat.
“Srett!” Dia cabut golok besar yang tersisip di pinggangnya. “Aku mau tahu apa
kau masih bisa bicara besar dan keras setelah melihat siapa adanya perempuan
ini!” kata Gapo pula. Lalu dengan ujung pedangnya disentakkannya rambut panjang
menjurai yang menutupi wajah perempuan itu. Begitu parasnya tersingkap
terkejutlah murid Sinto Gendeng.
“Akiko Bessho!” teriak Wiro.
“Ya Tuhan, memang dia rupanya!”
“Wiro…” ujar gadis berpakaian
biru tersendat. Mukanya pucat walau dia berusaha berlaku setenang mungkin. Gapo
tertawa bergelak. “Bagus! Jadi kalian sudah saling kenal satu sama lain! Ha…
ha… ha!”
“Kenapa kau libatkan gadis
yang tidak punya salah apa-apa itu?!” tanya Wiro. Dia berusaha menekan hawa
amarah yang menggelegak dalam tubuhnya. Gapo menyeringai. Goloknya disarungkan
kembali. (Mengenai gadis bernama Akiko Bessho ini dapat diikuti kisahnya dalam
dua serial Wiro Sableng berjudul “Pendekar Gunung Fuji” dan Ninja Merah”).
Saat itu pintu ruangan
terbuka. Seorang lelaki berpakaian sangat mewah masuk sambil berkipaskipas.
Di belakangnya ada beberapa
orang pengawal berseragam kimono merah. Orang ini hanya memiliki satu mata.
Mata kirinya yang agaknya cacat, disembunyikan di balik sehelai kulit tipis
warna hitam.
Gapo dan semua perwira shogun
yang ada di ruangan itu segera membungkuk dalam-dalam. Wiro maupun dua manusia
bonsai sama bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan orang yang baru datang
ini. Mereka tidak menunggu lama. Jawaban segera didapat dari ucapan Gapo.
“Tuan Yasuaki Kiuchi, saya
telah mengatur semua sesuai dengan petunjuk yang mulia…”
“Yasuaki Kiuchi…” desis Tsuki
sambil menyentakkan tangan kirinya sedikit memberi tanda pada Taiyo. “Jadi ini
manusianya yang jadi pangkal bahala kesengsaraan kita!”
Yasuaki Kiuchi
angguk-anggukkan kepala. Sikapnya pongah. Dia menyeruak di antara jeruji besi
yang tadinya dinaikkan ke atas oleh Gapo lalu masuk ke ruangan di mana Wiro dan
Akiko Bessho berada. “Jadi ini manusia yang bergelar Pendekar Gunung Fuji itu!
Kepalamu berharga ratusan tail emas jika dapat kuserahkan pada kelompok
tokoh-tokoh silat golongan hitam di Jepang ini.
Keuntunganku berlipat ganda!
Kau bisa kumanfaatkan lebih dulu, lalu mendapatkan imbalan besar itu. Ha… ha…
ha!”
“Pejabat busuk! Di mataku kau
tak lebih dari seorang pelacur laki-laki! Manusia kadal comberan!”
Tubuh Yasuaki Kiuchi
tersentak. Mata kanannya mendelik besar mendengar kata-kata Wiro itu. Dia
mengulurkan tangannya meminta golok pada Gapo. Begitu golok dipegang, ujungnya
ditempelkan ke pipi Pendekar 212.
“Aku kagum akan keberanianmu,
Aku mau lihat apakah kau cukup kuat untuk tidak menjerit!” Lalu dengan ujung
golok itu Yasuaki Kiuchi menggores pipi kanan Wiro. Pendekar 212 mengernyit
kesakitan. Darah mengucur ke pipi dan berhenti di sudut bibirnya.
Yasuaki hendak menggores
sekali lagi. Tapi Gapo buru-buru mendekati dan berbisik. “Jangan terlalu keras,
kalau tubuhnya bergerak karena kesakitan, dia dan gadis itu akan menemui ajal.
Berarti kita akan kehilangan sandera sebelum rencana berhasil…”
Perlahan-lahan Yasuaki Kiuchi
turunkan tangannya yang memegang golok. “Kau betul…” katanya.
“Kita tak perlu cepat-cepat
membunuhnya….” Golok diserahkannya pada Gapo kembali lalu dia berpaling ke arah
Akiko Bessho yang terikat di tiang. “Hemmm, Dalam keadaan seperti ini pun dia
tetap cantik. Aku benar-benar dibuat gila…” Yasuaki Kiuchi lalu melangkah ke
hadapan gadis itu dan berkata. “Nona Bessho, permintaanku tempo hari masih
berlaku. Aku bersedia memberi pengampunan bagimu jika kau mau kujadikan salah
satu gundikku…”
“Manusia iblis budak nafsu!”
semprot Akiko Bessho. “Di Nara ini ada seribu pelacur! Kau boleh mengambil
semuanya menjadi gundikmu!” Yasuaki Kiuchi tertawa lebar. Tangan kirinya
tiba-tiba meluncur ke dada gadis itu, meremas liar kian kemari. “Jahanam
rendah!” maki Akiko lalu diludahinya muka lelaki itu. Yasuaki Kiuchi mundur dua
langkah. Matanya yang cuma satu memandang membelalak pada si gadis. Semua orang
mengira penguasa kota Nara itu akan menjadi marah dan menghajar si gadis
habis-habisan. Ternyata tidak. Ia usap ludah yang menempel di mukanya dengan
tangan kiri, lalu dijilatnya tangannya.
“Hah, ludahmu pun terasa
nikmat…” katanya. Tiba-tiba dia melompat, merangkul tubuh Akiko Bessho,
mengecup muka, bibir dan leher gadis itu penuh nafsu. “Manusia jahanam! Keparat
busuk…!”
Setelah puas menciumi gadis
itu, Yasuaki Kiuchi kembali ke ruangan di balik jeruji besi. Dengan alat
rahasianya, Gapo menurunkan dua buah jeruji besi kembali. Yasuaki Kiuchi
keluarkan kipasnya. Setelah berkipas-kipas sebentar, dia berkata pada Tsuki dan
Taiyo.
“Dua manusia cebol! Dengar
baik-baik setiap ucapanku! Melalui gurumu si nenek muka kucing aku memberi
tugas agar kalian berdua membunuh shogun di Kyoto dengan Besi hitam yang
mengikat lengan kalian satu sama lain, itu satu-satunya senjata yang sanggup
membunuh shogun. Kalian tidak punya waktu banyak. Kawan kalian pemuda asing itu
kurasa hanya sanggup bertahan satu setengah hari. Mungkin dua hari. Jika dalam
dua hari kalian tidak kembali ke sini membawa kepala shogun, berarti pemuda itu
dan juga gadis itu akan menemui ajalnya. Kalian berdua bertanggung jawab atas
nyawa mereka. Mereka akan aku lepaskan jika kepala shogun kalian serahkan
padaku!”
“Enak saja kau ngomong!”
teriak Tsuki. “Kenapa kau ingin membunuh shogun?”
“Betul, padahal kau masih
saudara sepupunya. Dia juga yang memberi kedudukan tinggi padamu di Nara ini!”
menimpali Taiyo.
“Mengapa heran kawan-kawan!”
tiba-tiba Wiro berseru. “Manusia jelek itu ingin jadi shogun, tega membunuh
saudaranya sendiri! Manusia tidak tahu diri! Mana ada shogun matanya picak! Ha…
ha… ha…!”
“Huk… huk… huk…! Meong!” Taiyo
tertawa bergelak.
“Hik… hik… hik..! Meong!” ikut
tertawa Tsuki.
8
“Setan alas!” rutuk Yasuaki
Kiuchi. “Gapo, lepaskan dua manusia katai sialan itu! Kalian berdua harus
kembali ke sini membawa kepala shogun. Paling tidak lusa pagi. Dan ingat, aku
benar-benar melepaskan dua sahabatmu itu kalau kau juga sudah membunuh suami
istri Yukawa di desa Hikone!”
“Mengapa? Mengapa kami harus
membunuh mereka? Kenalpun tidak!” ujar Tsuki.
“Nanti kalian tahu sendiri apa
jawabnya!” ujar Yasuaki Kiuchi lalu tinggalkan tempat itu diikuti para
pengawalnya.
Ketika Gapo melangkah untuk
mengantar, Pendekar 212 berkata. “Gapo, kau telah merampas senjata mustikaku.
Kalau kau tidak mengembalikannya atau mengembalikannya dalam keadaan rusak, kau
tahu sendiri akibatnya!”
Gapo menyahut dengan dengusan
keras dari hidungnya. Sewaktu sampai di pintu luar, Yasuaki Kiuchi berbalik dan
bertanya pada Gapo. “Senjata mustika apa yang disebut-sebut pemuda asing itu
tadi?”
Dalam hatinya Gapo merutuk.
“Kalau pemuda sialan tadi tidak berkata apa-apa, pasti Yasuaki Kiuchi tidak
mengetahui perihal senjata mustika itu! Sialan! Mungkin belum jodohku
mendapatkannya!”
Dari balik pakaiannya Gapo
keluarkan sebuah benda. Mata semua orang yang ada di situ menjadi kesilauan
oleh sinar yang keluar dari benda yang dipegang orang kepercayaan Yasuaki
Kiuchi itu.
“Kapak bermata dua!” seru
Yasuaki dengan mata mendelik hampir tak percaya. “Ini senjata mustika luar
biasa! Senjata ini dulu yang pernah dicuri oleh satu kelompok ninja hingga
menimbulkan kegegeran di seantero negeri! Gila! Kini senjata itu ada di
hadapanku! Senjata ini jauh lebih hebat dari rantai hitam yang mampu membunuh
shogun itu!”
Lalu Yasuaki Kiuchi bertanya
pada Gapo. “Kalau sekiranya pemuda itu tadi tidak menyebut-nyebut benda ini di
hadapanku, apakah kau akan menyerahkannya dengan sukarela?”
Paras Gapo berubah merah. Tapi
dia bisa berkilah. “Saya sengaja tidak memberitahu Yang Mulia waktu di ruangan
itu. Karena kalau terjadi apa-apa, pemiliknya hanya tahu saya dan tidak akan
mengganggu Yang Mulia.”
Yasuaki Kiuchi tersenyum. “Kau
memang cerdik Gapo! Aku menghargai kecerdikanmu itu!”
“Terima kasih Yang Mulia,”
ujar Gapo seraya membungkuk dalam-dalam.
“Hebat! Rezeki besar tak
terduga!” seru Yasuaki Kiuchi gembira sekali. Cepat-cepat senjata yang bukan
lain adalah Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro Sableng itu diambilnya.
Tsuki dan Taiyo
memperhitungkan, dengan lari cepat mereka menghabiskan sehari semalam untuk
bisa sampai ke Kyoto. Tapi keduanya ragu, apakah mungkin waktu yang tersisa
bisa untuk membunuh Shogun.
“Tsuki, aku merasa was-was.
Memasuki kediaman Shogun saja bukan pekerjaan mudah.
Bagaimana kita bisa membunuh
walau kita punya senjata yang katanya bisa membunuhnya. Apalagi badan kita
cebol, pasti menarik perhatian orang. Agaknya kita tidak bisa menolong sahabat
kita dan gadis itu, kasihan…!”
“Diamlah Taiyo! jangan
nyerocos terus. Aku berlari sambil berpikir. Harus ada satu cara untuk
menyelesaikan kasus ini. Shogun katanya berkuasa dengan cara sewenang-wenang.
Tapi siapa pun orangnya, kita tidak punya hak untuk membunuhnya. Para pendekar
samurai di Kyoto paling tidak ada seratus orang! Kita jangan terpengaruh oleh
keadaan yang diciptakan oleh manusia jahat Yasuaki dan cecunguknya si Gapo
itu.”
“Lalu apa yang harus kita
lakukan,”tanya Taiyo.
“Tunggulah, aku pasti dapat
akal, Taiyo! Aku dapat!” teriak Tsuki.
“Katakan padaku!”
“Ingat pelajaran dari sensei?
Jika kita lemah dan lawan jauh lebih kuat, jangan hadapi dengan kekerasan.
Pergunakan akal, rangkul mereka dan jadikan teman sampai ada kesempatan untuk
memukul!”
“Itu ilmu filsafat Tsuki,
dalam kenyataan pasti lain lagi,” ujar Taiyo.
Gadis cebol itu menggeleng.
“Kita lihat saja nanti. Kau masih menyimpan kertas butut yang diberikan Gapo
itu?”
Taiyo mengangguk. “Kalau
begitu percepat larimu Taiyo!” kata Tsuki.
Shogun penguasa negeri
benar-benar meledak amarahnya ketika seorang perwira penghubung memberitahu ada
sepasang cebol ingin menemuinya. “Sepasang cebol ingin menemuiku, mereka gila.
Dan kau sebagai perwira lebih gila lagi!”
“Plaak!” Satu tamparan keras
membuat perwira itu terpelanting dan mulutnya mengeluarkan darah segar.
“Saya minta maaf Yang Mulia,”
kata perwira itu sambil meraba pipinya yang berdarah, mengembung bengkak. “Saya
mana berani jika tidak menyangkut keselamatan dan nyawa yang mulia. Sepasang
cebol itu mengatakan ada yang hendak membunuh Yang Mulia. Semula saya juga
menganggap sepasang manusia bonsai itu juga tidak waras. Saya melarang, empat
hulubalang mengepruknya! Eh, keempat pengawal tingkat tinggi itu roboh dalam
sekali gebrak saja! Untung keempatnya tidak dibunuh!”
Mendengar penjelasan
perwiranya, Shogun yang berparas tinggi, berkumis dan berjanggut putih itu
berubah total. Maka diapun berkata. “Perwira bawa masuk kedua bonsai itu dan
siapkan selusin pengawal untuk mengikutinya. Aku akan menerimanya di ruang
kaca,” ujar Shogun. Sehabis itu shogun segera masuk ke ruangan yang dibelah dua
oleh dinding kaca. Keanehan diding ini, meski ada pembatas, kedua orang yang
terpisah masih bisa saling melihat dan mendengar, dan lagi, tidak mempan
senjata tajam.
Seusai mengantar kedua bonsai,
selusin pengawal itu langsung membungkuk dan meninggalkan Shogun yang sudah
berada di ruang kaca. Dalam ruang kaca, Shogun menatap tajam ke arah Taiyo dan
Tsuki yang tangan kanan dan kiri mereka terikat oleh seuntai rantai karatan.
“Rantai itu…” kata Shogun dalam hati dengan nada berdebar.
“Bagaimana bisa berada dan
mengikat mereka! Agaknya mereka tidak membual ada yang berusaha membunuhku.
Hanya rantai itu yang sanggup mencabut nyawaku!”
“Dua manusia rantai, kalian
berani-beraninya menemuiku sampai merobohkan empat perwiraku. Kau memberi tahu
pengawal penghubung ada yang hendak membunuhku?”
Taiyo membungkuk “Benar yang
Mulia Shogun”
“Bagaimana aku mempercayai
kalian? Kalian tidak saja cacat otak, tapi juga cacat jasmani, kalian kurasa
tidak waras!”
“Kami tidak berani membantah
keadaan kami,” ujar Taiyo. “Kami datang memberi tahu pemimpin negeri kami bahwa
nyawanya terancam. Dia hendak dibunuh orang!”
“Kalian tahu siapa pembunuhku?”
Kedua manusia cebol
mengangguk. “Kami berdua Yang Mulia!” Mendengar jawaban itu, dua belas pengawal
Shogun langsung bergerak berusaha menyergap Taiyo dan Tsuki.
Tapi gerakan mereka berhenti
saat melihat Shogun memberi isyarat.
“Manusia cebol, apa
permusuhanmu denganku hingga kalian ingin membunuh?”
“Tidak ada Yang Mulia. Kami
melaksanakan perintah seseorang yang tertulis dalam pesan guru kami tujuh belas
tahun lalu.”
“Siapa yang menyuruh kalian
membunuhku?” tanya Shogun bergegas.
“Yang Mulia pasti tahu. Dia
ada hubungan darah dengan Yang Mulia. Namanya Yasuaki Kiuchi, orang Yang Mulia
beri jabatan tinggi di Nara!”
“Kurang ajar! aku tidak
percaya dengan keterangan kalian. Ingat, aku bisa memerintahkan kepala kalian
dicincang sekarang juga!”
Taiyo mengeluarkan secarik
kertas lusuh berisi pesan-pesan yang ditulis Yasuaki Kiuchi dalam huruf kanji,
dan dibawa oleh Gapo kemudian dibawa kepada guru mereka si Nenek Muka Kucing
Neko. Lalu Tsuki menceritakan asal-usul mereka sesuai dengan yang mereka dengar
dari guru mereka. Tidak lupa menceritakan yang terjadi di Nara saat ini.
“Kalau kami tidak membawa
kepala Yang Mulia dan menunjukkan kepada Yasuaki dan Gapo, paling lambat besok
pagi, sahabat saya orang asing itu dan gadis Akikio Bessho akan menemui ajal!”
Shogun terdiam lama. “Sulit
mempercayai kedua manusia kate ini. Tapi rantai besi ini bukti keras bahwa
mereka tidak berdusta. Selama tujuh belas tahun mereka tidak bisa melepaskan
diri dari ikatan rantai.”
Karena lama Shogun berdiam
diri tidak bicara, maka seorang pengawal kemudian angkat bicara.
“Yang Mulia, apakah kami
diizinkan meringkus dan menjagal kedua manusia cebol ini sekarang juga?”
Jawaban yang keluar dari mulut
Shogun mengherankan semua orang yang hadir. “Salah seorang dari kalian lekas
cari orang yang ahli membuat topeng kulit!”
Akiko Bessho semakin tegang
dan cemas luar biasa ketika melihat tubuh Wiro mulai bergetar.
“Wiro! Kuatkan dirimu!
Bertahanlah! Kau dan aku tak mau mati konyol di tempat celaka ini!” teriak si
gadis.
Murid Sinto Gendeng memandang
seperti sudah putus harapan. Suaranya terdengar perlahan.
“Rasanya aku tak sanggup lagi
Akiko. Mungkin sudah takdir kita berdua menemui ajal di tempat ini…” Tubuh sang
pendekar kembali bergetar. Kedua kakinya sudah tidak terasa kaki lagi. Hilang
rasa dan beberapa kali tumitnya hampir bergerak jatuh ke bawah. Sekujur
badannya basah oleh keringat.
“Tidak! Jangan putus asa!
Bertahanlah Wiro! Kau pasti bisa! Teman-temanmu itu pasti datang!”
“Mereka tidak ingin membunuh
shogun! Kau tahu barisan pengawal shogun berlapis-lapis. Di istananya banyak
peralatan rahasia. Tsuki dan Taiyo saat ini pasti sudah menemui ajal…”
“Aku tidak mau berpikir
seperti itu! Tidak!” teriak Akiko kembali.
Lalu Wiro melihat ada air mata
menetes jatuh membasahi pipi gadis itu.
“Kau menangis Akiko…”
“Aku menangis bukan karena
takut menghadapi kematian.” jawab Akiko Bessho. “Aku… mungkin bisa puas
menghadapi ajal mati bersamamu. Walau aku akan merasa lebih bahagia kalau bisa
hidup lebih lama di dekatmu… Mungkin ini cuma sebuah mimpi yang tidak akan
terlaksana sampai saat kematian datang. Lagipula aku tak pantas berkata begitu,
karena aku ingat Yori. Gadis itu mencintaimu…” (Mengenai siapa adanya gadis
bernama Yori, harap baca serial Wiro Sableng berjudul Ninja Merah).
Wiro hanya bisa menelan ludah
mendengar semua ucapan Akiko Bessho itu. Tiba-tiba pintu di belakang jeruji
besi terbuka. Sosok berpakaian mewah sambil berkipas-kipas masuk. Dia bukan
lain adalah Yasuaki Kiuchi penguasa tertinggi di Nara. Dengan matanya yang cuma
satu, dia memandang ke arah Wiro lalu pada Akiko Bessho. Sesaat kemudian Gapo
muncul di sampingnya.
Lalu menyusul beberapa orang
perwira shogun.
“Pemuda asing!” Yasuaki
tiba-tiba berkata. “Apa kau masih sanggup bertahan?!” Wiro memutar kepalanya
sedikit. Memandang ke arah Yasuaki lalu meludah.
“Keparat! Berani kau menghina
Yang Mulia!” teriak Gapo.
Yasuaki Kiuchi sendiri cuma
menyeringai buruk. Dipegangnya bahu Gapo lalu berbisik. “Aku tetap mau meniduri
gadis itu dulu sebelum dia menemui ajal…”
“Tapi tuan Kiuchi…”
“Aku sudah menyuruh orang
untuk memanggil dua pelayan perempuan. Gadis itu harus dimandikan dulu, diberi
wewangian dan pakaian bagus, didandani…”
Di luar tiba-tiba ada suara
orang berlari. Lalu muncul seorang prajurit. “Yang Mulia, dua orang cebol itu
datang. Mereka membawa sebuah kantong kain berlumuran darah!”
Yasuaki Kiuchi dan semua orang
yang ada di situ menjadi kaget. Dari luar berkelebat masuk dua sosok tubuh
katai. Ternyata memang Tsuki dan Taiyo! Di tangan kirinya Taiyo memegang sebuah
kantong kain basah oleh darah dan menebar bau amis.
“Kami datang membawa kepala
shogun!” kata Taiyo.
“Tsuki! Taiyo! Kalian
berhasil!” seru Wiro.
“Kau dan kawanmu akan selamat
Ani Wiro!” ujar Tsuki.
Suasana jadi gempar! Serta merta
saja Yasuaki Kiuchi diselubungi berbagai rasa. Gembira, tidak percaya dan juga
ngeri. “Aku mau lihat!” katanya.
“Tumpahkan isi kantong itu ke
lantai!” perintah Gapo. Beberapa prajurit yang ada di situ bersurut mundur.
Taiyo letakkan kantong berdarah
di lantai. Lalu dipegangnya bagian bawahnya dan ditunggingkan.
Sebuah benda yang
menyimpratakan darah menggelinding di lantai, berhenti di depan kaki Yasuaki
Kiuchi. Benda itu adalah potongan kepala manusia berambut, berkumis dan
berjanggut putih. Dari lehernya yang putus masih keluar darah. Bau busuk
menghampar di ruangan itu. Yasuaki Kiuchi keluarkan seruan tertahan.
“Tuan Kiuchi…” bisik Gapo.
“Ini memang kepala shogun…!”
Mata kanan Yasuaki Kiuchi
berputar ke arah rantai besi yang mengikat tangan Tsuki dan Taiyo. Dia melihat
ada noda-noda darah pada rantai. “Mereka benar-benar menjagal shogun dengan
rantai itu…”
“Kami telah melakukan apa yang
diminta. Sekarang kalian harus melepaskan dua orang itu!” kata Taiyo.
Yasuaki Kiuchi dan Gapo saling
pandang. Lalu terdengar tawa bergelak keluar dari mulut Yasuaki Kiuchi. “Aku
dan para pengawal akan segera berangkat ke Kyoto sekarang juga! Orang-orang
kita di sana pasti sudah mengatur segala sesuatunya…”
“Bagaimana dengan
manusia-manusia bonsai ini Yang Mulia?” tanya Gapo.
“Mereka masih punya satu
tugas. Membunuh suami istri Yukawa di Hikone…” jawab Yasuaki Kiuchi lalu
berpaling pada Tsuki dan Taiyo.
“Hikone cukup jauh di utara!
Pemuda asing itu tak mungkin bisa bertahan lebih lama!” ujar Taiyo.
“Itu urusan kalian!” jawab
Kiuchi seenaknya.
Dari ruangan sebelah tiba-tiba
terdengar teriakan Pendekar 212. “Tsuki! Taiyo! manusia-manusia dajal itu tak
akan membiarkan kalian hidup! Lekas larikan diri cari selamat. Kami berdua di
sini agaknya harus menerima takdir menemui kematian!” Akiko Bessho tercekat dan
membeliak besar mendengar teriakan Wiro itu. Sedang Tsuki dan Taiyo tampak
bergerak-gerak tenggorokan mereka.
Lalu keluar suara menggembor.
“Kami tidak akan lari Ani
Wiro!” seru Taiyo. “Kami memilih mati sama-sama di tempat ini!”
“Hik…hik! Meong! Enaknya mati
sama-sama!” kata Tsuki lalu berjingkrak-jingkrak beberapa kali.
Dua manusia bonsai ini
melangkah ke hadapan Yasuaki Kiuchi sambil putar-putar rantai besi yang
mengikat tangan mereka. Semua orang yang ada di situ sesaat jadi terkesiap
ketika melihat bagaimana rantai karatan itu mengeluarkan sinar hitam angker
menggidikkan. Gapo hunus golok besarnya. Semua perwira yang ada di situ juga
cabut samurai masing-masing. Yasuaki Kiuchi buang kipas di tangan kanannya.
Tangannya bergerak ke balik pakaian mewahnya, Di lain kejap satu sinar putih
menyilaukan menerangi ruangan itu, membuat redup cahaya angker hitam dari
rantai besi itu.
Kapak Maut Naga Geni 212
berada dalam genggaman Yasuaki Kiuchi. Sepasang manusia bonsai jadi tertegun.
Walau mereka merasa ngeri melihat senjata itu namun keduanya sudah bertekad
sama-sama mati. Tsuki dan Taiyo siap melompat sambil menghantamkan besi hitam
berkarat. Tapi pada saat itu pula dari luar melayang tiga sosok tubuh yang
kemudian jatuh saling tindih di lantai.
Semua orang keluarkan seruan
tertahan. Yang bertumpukan di lantai adalah tiga perwira berpakaian seragam
pasukan shogun. Mereka hancur terkoyak-koyak, tak bisa dikenali lagi.
Di saat yang sama terdengar
suara kucing mengeong dua kali berturut-turut. Lalu satu sosok berkelebat
masuk. “Meong!Meong!”
“Biru!” seru Tsuki.
“Merah!” teriak Taiyo.
“Sensei!” pekik dua manusia
boncel bersamaan.
Seorang nenek mengenakan
mantel bulu beruang tegak di ruangan itu. Dia bukan lain adalah si nenek muka
kucing Nenek Neko, orang yang telah memelihara Tsuki dan Taiyo selama tujuh
belas tahun. Di pundaknya kiri kanan ada dua ekor kucing es berbulu putih. Yang
satu berkalung pita merah pada lehernya, satunya lagi berpita biru.
“Nenek muka kucing!” bentak
Yasuaki Kiuchi keras walau diam-diam hatinya tergetar. “Tadinya aku akan
mengirim orang untuk menangkapmu. Kau telah menyalahi tugas yang aku berikan
lewat Gapo. Kau layak menerima hukuman!”
Nenek muka kucing menyeringai.
“Aku bukan kacungmu, bukan juga budakmu! Mana mungkin aku terus menerus harus
patuh pada kekuasaanmu?!”
“Nenek keparat!” bentak Gapo.
“Beraninya kau bicara kurang ajar pada Yang Mulia?!”
“Yang Mulia?!” ujar si nenek
lalu tertawa cekikikan. Dua muridnya ikut tertawa.
“Yasuaki Kiuchi, tadinya aku
mengira kau adalah manusia paling bejat di dunia ini. Ternyata lebih dari itu.
Kau iblis paling durjana di muka bumi!”
“Nenek keparat! Apa kau lupa
bahwa nyawa kekasihmu Shikero ada di tanganku?!”
Si nenek ganda tertawa. “Tadinya
aku memang begitu mendambakan untuk dapat bersama lelaki itu sebelum ajal
menjemput. Tapi lama-lama aku merasa jengah sendiri. Sudah tua bangka begini
masih saja bercita-cita seperti seorang jaka dan seorang gadis. Kau boleh
membunuh Shikero sampai seribu kali! Hik… hik… hik!”
“Jahanam!” teriak Yasuaki
Kiuchi.
“Eh kulihat kau memegang
senjata luar biasa. Itu pasti bukan milikmu! Biru! Merah! Lekas kalian rampas
senjata mustika itu!”
“Meong!”
“Meong!”
Dua ekor kucing di bahu si
nenek mengeong keras lalu melesat ke arah Yasuaki Kiuchi. Penguasa tunggal di
Nara ini berusaha membabatkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke arah kedua binatang
itu.
Namun si merah dan si biru
lebih dulu mencengekeram tangan kanan orang itu. Yasuaki Kiuchi menjerit keras
sewaktu tangannya habis koyak-koyak digigit dan dicakar dua ekor kucing. Kapak
Maut Naga Geni 212 terlepas dari genggamannya. Sebelum senjata itu menyentuh
lantai, dua ekor kucing es bergerak cepat sekali, menyambuti gagang senjata
mustika dengan mulut mereka.
Di saat yang sama, Gapo
ayunkan golok besarnya untuk membacok dua ekor kucing itu. Namun dari samping,
Tsuki dan Taiyo tidak dilihatnya melompat ke atas, tahu-tahu rantai besi
berkarat itu sudah menggelung lehernya.
Dua ekor kucing membawa Kapak
Naga Geni 212 ke arah si nenek muka kucing. Perempuan tua ini membungkuk, cepat
mengambil senjata itu. “Senjata luar biasa! Kurasa tak ada duanya di dunia
ini!” kata si nenek sambil sipitkan mata tak tahan sinar menyilaukan. Dia
memandang ke depan ketika mendengar suara “Kraak!” Gapo dilihatnya tertegak
melotot. Lidahnya terjulur keluar. Dari mulutnya keluar darah kental.
“Huk…huk! Meong!”
“Hik… hik! Meong!”
Tsuki dan Taiyo lepaskan
jeratan rantai besi. Tubuh tanpa nyawa Gapo langsung roboh tergeletak di lantai.
Lima perwira tinggi shogun yang menjadi kaki tangan Yasuaki Kiuchi, yang sudah
sama-sama menggenggam samurai, tanpa tunggu lebih lama segera menyerbu dua
manusia bonsai. Di depan pintu, si nenek muka kucing masih memandangi Kapak
Maut Naga Geni 212 terkagum-kagum.
“Senjata hebat! Luar biasa!
Kapan lagi mencobanya kalau tidak sekarang!”
Dari mulut si nenek keluar
lengkingan keras seperti kucing mengeong. Tubuhnya berkelebat ke depan. Kapak
maut berkiblat mengeluarkan suara menderu dahsyat serta menebar hawa panas luar
biasa. Terdengar suara berdentrangan riuh sekali, disusul dengan pekik jerit
kematian. Ketika si nenek kembali ke tempat tegaknya semula, di lantai ruangan
berkaparan tumpang tindih sosok tubuh lima perwira tinggi tadi. Semua menemui
kematian dengan kening terbelah hangus!
9
“Senjata hebat! Benar-benar
luar biasa!” kata si nenek lagi. Lalu dia memandang ke depan.
Sepasang mata kucingnya
membentur sosok Yasuaki Kiuchi yang tegak tersandar di sudut ruangan sambil
tangan kirinya pegangi tangan kanan yang hancur akibat koyakan gigi dan cakar
dua ekor kucing peliharaan si nenek.
“Yang Mulia!” seru si nenek.
“Kau bisa memilih kematian yang kau sukai! Kubelah keningmu dengan kapak sakti
ini? Atau mampus dikoyak dua ekor kucing peliharaanku? Atau dicekik dengan
rantai besi sampai hancur lehermu oleh dua anak manusia yang jadi korban
kebuasanmu itu!? Atau mungkin kau lebih suka aku sendiri yang menguliti sekujur
tubuhmu!?”
Sesaat Yasuaki Kiuchi terdiam
tak menjawab. Tiba-tiba dia melompat menyambar golok milik Gapo yang tercampak
di lantai dengan tangan kirinya. Orang ini memang memiliki ilmu memainkan
senjata yang hebat dan dia mampu memainkan senjata dengan tangan kanan atau
tangan kiri.
Serangan pertama Yasuaki Kuchi
hanya mengenai tempat kosong karena si nenek cepat menghindar. Ketika lawan
menyerang kedua kalinya, Nenek Neko hantamkan Kapak Naga Geni 212. “Trang!”
Golok besar di tangan kiri Yasuaki mental patah dua. Si nenek menyeringai. “Kau
rupanya memilih mati dengan kepala terbelah Yang Mulia! Hik… hik…hik!” tangan
si Nenek Neko bergerak. Tetapi tiba-tiba di luar sana terdengar suara terompet,
menyusul suara orang berteriak.
“Atas nama shogun di Kyoto,
hentikan semua pertempuran di dalam sana!”
Lalu tiga orang menerobos
masuk. Yasuaki Kiuchi menjadi pucat ketika melihat siapa yang berada di sebelah
depan. Seorang tua bertubuh tinggi besar bermata biru dan berkumis kelabu
melintang.
Dia adalah kepala balatentara
shogun wilayah selatan yang paling ditakuti. Begitu melihat Yasuaki Kiuchi,
orang ini keluarkan satu gulungan kertas berwarna merah. Kertas itu dibukanya
lalu diperlihatkan kepada Yasuaki. “Aku diperintahkan untuk menangkap dan
membawamu ke Kyoto.
Para petinggi di istana shogun
telah menyiapkan hukuman pancung untukmu!”
Yasuaki Kiuchi jatuh terhenyak
di lantai, Kepala tentara bermata biru itu memberi isyarat pada dua anak
buahnya. Yasuaki segera diringkus. Ketika hendak dibawa pergi, Tsuki dan Taiyo
cepat menghadang. “Kami minta kau mau menerangkan siapa itu suami istri Yukawa
di Hikone…” kata Taiyo.
Yasuaki tidak menjawab. “Kau
ingin menjawab pertanyaan orang atau tidak?!” bentak kepala balatentara shogun.
Mata kanan Yasuaki menatap
wajah Taiyo sejenak. Lalu dari mulutnya meluncur kata-kata yang membuat Taiyo
jadi merinding. “Mereka adalah orang tuamu. Kalau aku tidak salah ingat, kau
diberi nama Toshiro…”
“Kau menyuruh kami membunuh
orang tuaku sendiri! Sungguh biadab!” Taiyo menggembor keras lalu menyerang.
Kepala balatentara shogun
cepat menghalang. “Hukuman untuknya sudah diatur shogun. Jangan berani
mengubah!”
Taiyo alias Toshiro tegak
tersandar ke dinding. Matanya berkaca-kaca.
Di sebelahnya, Tsuki tegak
meneteskan air mata. “Asal usul Taiyo sudah diketahui. Bagaimana nasib diriku…”
gadis bonsai ini seolah meratap dalam hati.
Yasuaki melangkah di
hadapannya. Tsuki hanya bisa memandang, tak kuasa membuat mulut untuk bertanya.
Tiba-tiba Yasuaki Kiuchi hentikan langkah. Dia memandangi paras Tsuki sesaat
lalu berkata.
“Nak, namamu sebenarnya adalah
Hatsuko, Kedua orang tuamu tadinya juga tinggal di Hikone. Ibumu…” Yasuaki
Kiuchi terdiam sejenak. “Ibumu sudah meninggal. Ayahmu bernama Kano Yamada. Dia
masih hidup. Ada di tempat kerja paksa di utara… Kalian berdua sebenarnya sudah
dijodohkan satu sama lain sejak masih bayi.” Tsuki alias Hatsuko menjerit lirih
lalu menangis.
Sebelum melanjutkan
langkahnya, Yasuaki berpaling pada potongan kepala manusia yang tergeletak di
lantai. Lalu dia menoleh kepada kepala balatentara shogun. “Kau meneriakkan
kedatanganmu atas nama shogun. Lalu kepala siapa itu!?”
“Kepala seorang rampok besar
yang dipancung lalu diberi bertopeng wajah Yang Mulia Shogun…” jawab kepala
balatentara. “Ada lagi yang hendak kau tanyakan?”
“Aku tertipu…” desis Yasuaki
lalu bergerak tinggalkan tempat itu.
“Hai! Bagaimana dengan kami?!”
teriak Wiro dari ruangan di belakang jeruji besi.
Tsuki dan Taiyo melompat.
Keduanya coba menggoyang jeruji-jeruji besi itu. Tapi tidak bergeming sedikit
pun. “Hanya Gapo dan Yasuaki yang tahu alat rahasia untuk menaikkan dan
menurunkan besi-besi ini!” kata Tsuki alias Hatsuko.
“Celaka! Rupanya kami
benar-benar akan menemui ajal di sini!” ujar Wiro.
“Kalian tidak usah khawatir.
Kurasa senjatamu ini bisa menjebol tiang-tiang besi itu!” tiba-tiba si nenek
Neko berkata sambil melangkah ke arah barisan jalur-jalur besi. Tangan kanannya
diangkat. Kapak Maut Naga Geni 212 kelihatan bersinar terang benderang tanda si
nenek mengerahkan tenaga dalamnya. Lalu senjata sakti itu dibabatkannya
menghantam dua tiang besi sekaligus.
“Trang! Trang!”
“Gila! Benar-benar luar
biasa!” seru si nenek. Dua jeruji besi patah berantakan.
“Sekarang bagaimana kalian
melepaskan ancaman dua panah beracun itu!” ujar Akiko Bessho begitu Nenek Neko
dan dua manusia bonsai masuk ke dalam ruangan. “Sedikit saja cantelan besi itu
bergerak, habislah kami berdua!”
Dua manusia bonsai memandang
ke arah si nenek seolah minta tolong. “Anak-anak lekas ke mari!” si nenek
tiba-tiba berseru. Dua ekor kucing es berbulu putih mengeong dan mendatangi. Si
nenek berjongkok dan usap-usap punggung si biru dan si merah. “Kalian lihat dua
buah busur dan dua buah anak panah di atas sana…?”
“Meong…!”
“Meong…!”
“Lekas naik ke atas, gigit dan
tahan dua anak panah itu. Jangan dilepas sebelum aku beritahu. Ayo lekas
lakukan!”
Dua ekor kucing lalu melompat
ke atas tiang tempat Wiro diikat. Seperti yang diperintahkan si nenek,
binatang-binatang ini menggigit ekor dua anak panah. “Kalian lekas lepaskan
ikatan gadis itu. Aku akan melepaskan ikatan anak muda ini!” kata nenek muka kucing
kemudian.
Setelah Wiro dan Akiko Bessho
diselamatkan dan semua orang keluar dari ruangan itu, si nenek berteriak pada
dua ekor kucingnya. “Lepaskan gigitan! Wuttt! Wuttt!” Dua anak panah melesat
deras begitu dua ekor kucing lepaskan gigitan mereka. Panah pertama menancap di
lantai batu. Panah kedua menembus tiang yang terbuat dari besi! Wiro dan Akiko
sama-sama berpandangan dan sama-sama menarik nafas lega.
“Sensei…!” tiba-tiba Tsuki
alias Hatsuko berseru. “Senjata di tanganmu itu, mungkinkah bisa menghancur
lepas ikatan rantai besi ini?”
Si nenek berpaling pada
Pendekar 212 Wiro Sableng. “Mungkinkah…?” si nenek ikut bertanya.
“Harus kita coba.
Mudah-mudahan bisa.,” jawab Wiro yang saat itu masih keliangan dan terduduk di
lantai.
“Kalau begitu biar kau yang
melakukan,” kata si nenek pula seraya melemparkan Kapak Maut Naga Geni 212 pada
Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat sambut senjata miliknya itu. Perlahan-lahan dia
bangkit berdiri. Dia meminta dua manusia bonsai tidur sama rata di lantai.
Setelah memperhatikan sejenak, Wiro ayunkan senjata sakti itu.
Suara berdentrangan terdengar
keras sekali ketika mata kapak menghantam pinggiran japitan besi di tangan kiri
Tsuki alias Hatsuko. Bunga api memercik tinggi.
“Aku bebas!” teriak Tsuki lalu
melompat berjingkrak-jingkrak kegirangan.
“Hai! Bagaimana aku?!” teriak
Taiyo alias Toshiro.
Sekali lagi kapak sakti itu
dibacokkan.
“Trangg!”
“Ani Wiro, terima kasih!” seru
Taiyo. Tubuhnya melesat ke udara dan berjungkir balik beberapa kali.
Seperti biasanya, udara di
puncak pegunungan Shikoku dingin bukan kepalang. Namun semua yang ada di dalam
gua itu merasa kehangatan di lubuk hati masing-masing. Nenek muka kucing Neko
menghela nafas panjang. “Aku dengar Yasuaki Kiuchi sudah dijatuhi hukuman
pancung oleh shogun…”
“Dan kami dengar kekasihmu
Shikero atas perintah shogun juga telah dibebaskan dari pertambangan kerja
paksa di utara, bersama dengan Kano Yamada, ayah Hatsuko…”
“Kami akan kembali ke Hikone,
berkumpul lagi dengan orang tua kami…” kata Toshiro.
“Kau untung, ayah ibumu masih
lengkap. Aku cuma punya ayah…” kata Hatsuko.
“Jangan sedih Hatsuko. Orang
tua Toshiro akan jadi orang tuamu juga. Malah kau akan punya dua ayah
nantinya!” kata Wiro. Hatsuko memandang pada Wiro lalu perlahan-lahan wajahnya
memerah.
“Jangan lupa mengundang kami!”
menggoda Akiko Bessho. Nenek muka kucing tertawa tergelak gelak.
Wiro memandang ke luar gua.
“Matahari sudah tinggi. Orang yang ditunggu bisa saja datang lebih cepat.
Sebaiknya kita jangan jadi pengganggu.”
“Kau betul Wiro,” kata Akiko
pula. Lalu dia berpaling pada si nenek lalu berkata. “Nek, kami minta diri.
Jika umur panjang kita bisa berkumpul lagi sama-sama di tempat ini.”
“Ah, kalian seharusnya tak
usah buru-buru pergi. Kalaupun Shikero datang, kalian kurasa tidak akan
mengganggu.”
Wiro dan Akiko tersenyum
sementara Toshiro dan Hatsuko juga mulai tertawa-tawa. Keempat orang ini
berdiri saling berpegangan tangan. Keempatnya saat itu mengenakan kasut kayu
untuk meluncur di atas pegunungan salju.
“Kami minta diri Nek,” kata
keempat orang itu berbarengan.
Lalu Wiro menyeletuk. “Kuharap
kau jangan buru-buru punya anak Nek, biar bisa berpuas-puas berlama-lama!”
“Eh, tidak kusangka mulutmu
begitu konyol anak muda! Siapa yang mau punya anak?!” teriak si nenek.
Gua di puncak gunung Shikoku
itu laksana mau runtuh oleh tawa empat orang yang ada di hadapan si nenek.
Nenek Neko akhirnya mau tak mau ikut-ikutan tertawa, malah paling keras. “Anak
muda, kalau kau suka, lain waktu kau boleh datang ke mari. Aku akan mengajarkan
satu ilmu yang aku yakin tak ada di negerimu… Kurasa kau berjodoh memiliki ilmu
itu.”
“Nenek Neko, kau baik sekali.
Ilmu apakah itu?” tanya Wiro.
“Koppo, ilmu mematahkan
tulang,” jawab si nenek. “Kau mau lihat?”
“Saya pernah lihat Hatsuko dan
Toshiro memperagakannya di Otsu tempo hari…”
“Kau mau lihat lagi?”
“Tentu saja!” jawab Wiro,
karena tidak mengira apa yang akan dilakukan si nenek.
“Ulurkan tangan kananmu!”
Murid Sinto Gendeng menurut saja. Secepat kilat tangan kanan si nenek bergerak.
“Krakk…! Krakk!” Wiro menjerit setinggi langit. Jari telunjuk dan jari tengah
tangan kanannya patah. Patahan tulang mencuat keluar!
“Nek… Apa yang kau lakukan
ini?!” teriak Wiro. Sekujur tubuhnya bergetar menahan sakit. Akiko kelihatan
pucat. Tapi Toshiro dan Hatsuko tampak tertawa hu-hu hi-hi!
“Kemarikan tanganmu!” kata si
nenek.
“Hendak kau patahkan lagi!?”
ujar Wiro sambil mengulurkan tangan tapi ragu-ragu.
Begitu tangan sang pendekar
terulur, si nenek meremasnya dengan keras. Kembali Wiro menjerit.
Tetapi ketika diperhatikannya,
ternyata tangannya sudah utuh seperti semula. Sakitnya pun serta merta lenyap.
“Ilmu sihir!” kata Pendekar
212 pula.
Si nenek menggeleng. “Bukan,
yang aku perlihatkan tadi adalah ilmu sungguhan. Yang pertama mematahkan tangan
orang. Yang kedua menyembuhkannya. Nah, kau mau memiliki ilmu itu?”
Wiro mengangguk. “Tentu Nek.
Tentu saja aku mau, tapi…tapi aku permisi dulu nek…”
“Eh, kau mau ke mana?!” tanya
nenek muka kucing.
“Aku, aduh. Sudah tidak tahan!
Aku mau kencing!” teriak Wiro lalu menghambur keluar gua.
Toshiro, Hatsuko, Akiko, dan
si Nenek Neko tertawa terpingkal-pingkal.
“Aku diam-diam sudah
menghitung. Seharian di sini, sudah duapuluh tiga kali dia kencing. Rupanya
tidak tahan dingin!” kata si nenek. Lalu semuanya kembali tertawa riuh.
TAMAT