-------------------------------
----------------------------
Episode 02 Dendam Dan Asmara
1
Waktu datang dan pergi.
Sejarah hadir dan berganti.
Manusia lahir dan mati. Roda
kehidupan terus berjalan tanpa ada yang dapat menghentikannya. Dan selama itu
pula dunia persilatan selalu diwarnai berjuta kisah. Tentang darah dan nyawa,
tentang cinta, tentang perjuangan, dan tentang pengorbanan.
Sejak Begal Ireng yang
berjuluk si Pencabut Nyawa berani unjuk taring kembali dalam dunia persilatan,
hari-hari makin tersaput warna merah karena terlalu banyak darah tertumpah.
Tidak hanya pemberontakan pada Prabu Bratasena yang dilakukannya. Tapi, juga
keangkaramurkaan yang membumi-hanguskan orang-orang tak berdaya. Pembantaian
yang terjadi di mana-mana, kini bukan lagi kisah luar biasa. Di setiap tempat
dan di setiap waktu, bisa saja terjadi secara tiba-tiba. Lengking kematian
kerap terdengar, seiring isak tangis pilu para korban yang teraniaya.
Saat ini, dunia persilatan
memang tengah mem-butuhkan 'Sang Penyelamat' Karena hukum kerajaan yang
diberlakukan Prabu Bratasena pun ternyata tidak memiliki kekuatan dalam
menghadapi
kebuasan Begal Ireng dan
kawanannya.
Sementara itu, di Lembah
Kutukan yang jauh dari hingar-bingar dunia persilatan, seorang pemuda tampan
bermuka tirus tampak tengah menjalani perjuangan antara hidup dan mati. Dan orang
itu adalah Andika. Setelah beberapa tahun menekuni ilmu olah kanuragan di
lembah itu, dia sudah menjadi pemuda berbadan tegap berotot. Rambutnya sebatas
bahu tak teratur. Wajahnya yang tampan dihiasi oleh mata tajam menusuk.
Sedangkan alis mata yang menukik bagai sayap elang, memperlihatkan ketajaman
muka-nya. Kini, dalam masa penyempurnaannya sebagai seorang pendekar keturunan
keluarga Lembah Kutukan. Dan dia harus menerima sesuatu yang tak terduga.
Saat itu, Andika baru
menyelesaikan jurus ketiga puluh yang bernama 'Petir Selaksa' hasil ciptaannya.
Di antara gencarnya juluran
lidah petir, tubuhnya tampak berkelebat kian kemari dalam satu rangkaian
gerakan ganjil. Seluruh tubuhnya sudah dibanjiri keringat yang tak
henti-hentinya mengalir dari lubang pori-porinya.
Kini tampak, juluran lidah
petir yang amat menyilaukan mata menghujam ke arah Andika dari arah samping
kanan. Dan pemuda itu dapat merasakan kalau sambaran petir kali ini memiliki
kekuatan beberapa kali lipat lebih dahsyat, beda dari biasanya.
Tentu saja anak muda itu tidak
sudi tubuhnya ter-panggang, karena keganjilan yang baru kali ini ditemui.
Dengan sigap, tubuhnya berkelebat ke samping dengan kecepatan melebihi suara.
Kekuatan lidah api yang hendak mengganyangnya memang luput sejengkal dari
tubuhnya. Namun ketika kaki kirinya menjejak salah satu dari susunan batu yang
teratur rapi, mendadak tanah di sekitar batu itu amblas
Belum sempat Andika menyadari
apa yang terjadi, tubuhnya tersedot ke lubang besar yang kini tercipta.
Srrr
Anak muda bertubuh gagah itu
benar-benar tidak bisa lagi menguasai keseimbangannya. Tubuhnya terus meluncur
dalam lubang menurun yang panjang berliku. Bunyi kerikil dan pasir yang ikut
terseret tubuhnya, terdengar seperti desis ribuan ular berbisa.
Sampai suatu ketika....
Buk
Tubuh kekar Andika terbanting
keras di tanah dasar lubang itu. Karena pantatnya yang jatuh lebih dulu, maka
bagian itu pula yang mengalami rasa sakit paling parah. Wajahnya langsung
meringis-ringis seperti orang telat buang air. Dengan terduduk menahan sakit,
tangannya meraba bagian pantatnya yang berdenyut-denyut bukan kepalang.
“Huh Daripada pantatku
terbentur seperti ini, lebih baik tersambar petir...,” keluh pemuda itu,
jengkel.
“Kalau tahu jadi pendekar
sakti harus sesengsara ini, rasanya lebih baik jadi tukang sayur saja.”
Selesai menggerutu panjang
pendek, Andika mulai mengawasi keadaan sekitarnya. Rupanya, di sekelilingnya
merupakan sebuah ruangan yang sama sekali asing.
Ruangan ini cukup luas,
berdinding batu cadas yang melingkar hingga ke bagian atas. Pada beberapa
bagian dinding tertancap obor-obor yang tampaknya dihidupi oleh gas alam. Hawa
di dalam ruangan itu sangat sejuk, seolah-olah ada saluran udara khusus yang
tersembunyi.
Namun, bukan hal itu yang
menarik perhatian Andika. Rupanya ada sesuatu yang membuat keningnya berkernyit
dalam. Di salah satu sudut ruangan ini, ternyata ada seorang lelaki tua
bertubuh kurus. Dia tengah duduk tenang dengan mata terpejam di atas sebuah
batu yang permukaannya pipih. Seluruh pakaian yang dikenakannya berwarna putih.
Amat pantas dengan keadaannya yang begitu menggambarkan ketenangan. Dari
caranya duduk dengan tangan terlipat di dada, Andika yakin kalau laki-laki tua
itu sedang bersemadi.
Dan ada satu lagi yang membuat
Andika terheran-heran. Ternyata di depan lelaki tua itu terdapat meja
beralaskan kain kotak-kotak hitam dan putih seperti papan catur. Bahkan di
atasnya tampak pula beberapa buah catur.
Andika jadi terheran-heran
sendiri seraya mendekati lelaki tua itu dengan langkah hati-hati.
Ber-macam-macam dugaan berkecamuk dalam benaknya saat ini. Tapi, tak satu pun
yang terjawab, sehingga makin membangkitkan rasa ingin tahunya yang terkadang
liar.
Andika melangkah makin dekat.
Hatinya semakin tegang, hingga tanpa disadari, napasnya diatur sedemikian rupa,
agar tidak terdengar oleh lelaki tua yang kini dihampirinya.
“Ki...,” tegur Andika setengah
berbisik ketika telah berada di sisi orang tua berbaju putih itu.
Andika diam sebentar, sambil
terus mengamati tindakan orang tua itu.
“Ki... Hey, Kisanak,” ulang
Andika lebih keras.
Tapi orang yang ditegur tetap
saja mematung tanpa gerak sedikit pun.
Andika mencoba memanggil lagi.
Bahkan tangannya pun sudah bergerak-gerak nakal di depan wajah orang tua itu.
Hasilnya, tetap nihil. Orang tua itu belum juga memberi tanggapannya. Sekali
lagi di-cobanya untuk menegur dengan suara lebih keras, sampai akhirnya, dia
jadi menggerutu sendiri.
“Huh”
Andika mulai jengkel, karena
orang yang di- tegurnya seakan menganggapnya sekadar nyamuk buduk.
“Apa kau memang tuli, Ki? Apa
aku harus berteriak tepat di telingamu? Ya..., baiklah” gumam pemuda bermuka
tirus ini, seperti orang kehilangan akal.
Lalu....
“Kisanak... Oooi, Kisanak”
jerit Andika tak tanggung-tanggung, tepat di telinga lelaki tua yang mulai
menjengkelkannya.
Tanpa disadarinya, kekuatan
sakti dalam tubuh Andika mengalir bersama jeritannya. Hal itu meng-akibatkan
dinding batu cadas di sekelilingnya bergetar, lalu runtuh sebagian.
“Uf, maaf tak sengaja. He he
he...,” ucap Andika cepat, saat menyadari akibat teriakan gilanya.
Dan lagi-lagi, pemuda ini
harus jengkel. Bagaimana mungkin laki-laki jompo itu tidak mendengar
teriakannya? Kalau dinding cadas saja dapat berantakan seperti kerupuk, kenapa
gendang telinga laki-laki itu tidak pecah? Andika makin diseret kedongkolan,
karena rasa herannya.
“Kau sudah mati ya, Kisanak?
Ya... Pasti kau sudah mati”
Kini Andika mendekatkan
telinganya ke dada kurus lelaki tua. Beberapa saat diperhatikannya denyut
jantung laki-laki tua yang terus diam seperti patung. Cukup lama juga, sampai
dia benar-benar yakin kalau telinganya tidak menangkap detak jantung orang tua
itu sedikit pun.
“Kasihan kau, Kisanak. Rupanya
kau memikirkan langkah-langkah catur ini, sampai mati karenanya,”
oceh Andika seraya melirik ke
buah catur di hadapannya.
Sebentar kening Andika
berkerut, melihat langkah- langkah buah catur di hadapannya. Otaknya terus
bekerja, seperti mengotak-atik biji-biji catur berwarna putih, agar dapat
mematikan raja hitam.
“Padahal langkah biji catur
hitam amat mudah untuk menghindari kematian. Kalau saja dari dulu kau katakan
hal ini padaku, tentu tak akan mati pusing seperti ini,” celoteh Andika sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan-akan, dialah orang terhebat dalam
permainan catur.
Tiba-tiba....
“Siapa yang mengatakan aku
sudah mati?”
Andika terlonjak bukan main,
begitu tiba-tiba terdengar suara berat mendengus. Bahkan tubuhnya sampai
terlempar tiga tindak ke belakang. Wajahnya tampak pucat-pasi karena terkejut.
Alis matanya yang hitam terangkat tinggi-tinggi. Ditatapnya lelaki tua tadi
dengan sinar mata ngeri.
“Arwah gentayangan, ini pasti
hantunya” bisiknya dengan bahu menciut. “Hiy...”
“Siapa yang kau katakan
hantu?” hardik lelaki tua yang matanya kini telah terbuka.
“K... kau, Kisanak Kau pasti
arwah gentayangan.
Kau..., kau sudah mati. Kau
har... rus kembali ke alammu. Ayo, sssana Husss” ujar Andika tergagap.
Tangannya mengibas-ngibas,
seperti mengusir.
“Bocah goblok Baru pertama
kali ini aku bertemu seorang yang ingin jadi pendekar, tapi bernyali kodok”
bentak orang tua itu lagi. Kali ini matanya menatap Andika.
“Aku bukannya takut,
Hanya....”
“Hanya apa?”
Andika menelan ludah. “Cuma
seram...,” tambah Andika setelah menelan ludah, dengan mata masih terbelalak
seperti hendak keluar. “Apa kau kira aku ini arwah gentayangan?”
Andika tidak menjawab. Dia
sendiri sudah begitu yakin kalau orang tua di depannya sudah mati dan arwahnya
kini kembali karena dia telah mengusiknya.
“Aku bukan setan, Tolol Kenapa
kau masih melotot seperti orang cacingan?” bentak orang tua itu lagi. Jenggot
putihnya tampak tergetar saat mem-bentak.
“Jadi kau bukan arwah
gentayangan? Ah, bohong
Kau pasti setan yang suka
berbohong” tukas Andika.
Lelaki tua itu malah tertawa.
“Ke sini kau” perintah
laki-laki tua itu tiba-tiba.
“Tidak mau...,” tolak Andika,
seraya menggelengkan kepala kuat-kuat.
“Kesini”
“Tidak mauuu...”
“Kalau tidak ke sini, kau akan
kucekik sampai mati. Ingat, aku adalah arwah gentayangan yang paling suka
mencekik orang” ancam lelaki tua ber-jenggot putih.
Lagi-lagi Andika menelan
ludah. Dia berpikir, “Daripada dicekik, lebih baik menuruti kemauannya saja”.
Kakinya mulai beringsut,
mendekati orang tua itu.
“Sekarang duduk” perintah
orang tua itu kembali, sewaktu anak muda itu sudah selangkah di depannya.
Andika meringis ngeri,
mendengar permintaan orang tua itu. “Setelah aku duduk, mau diapakan lagi?”
“Duduklah. Jangan takut, aku
tak akan men-cekikmu” ujar orang tua itu, seperti dapat membaca pikiran Andika.
Akhirnya, Andika menurut.
Sambil tetap menatap orang tua itu, dia duduk takut-takut. “Dengarkan
baik-baik,” ujar orang tua itu, saat Andika sudah duduk menciut. “Namaku, Ki
Saptacakra. Aku tahu, kau
belum kenal padaku. Maka itu, akan kuperkenalkan diriku kalau aku adalah
buyutmu, Pendekar Lembah Kutukan....”
Wajah Andika langsung
menengadah, bagai baru saja mendapat mimpi. Bagaimana hatinya tidak tersentak
seperti sedang bermimpi, kalau orang tua di depannya mengaku sebagai Pendekar
Lembah
Kutukan yang tinggal menjadi
cerita rakyat selama lebih dari seabad.
Namun Andika juga berpikir,
“Kalau orang tua yang mengaku bernama Ki Saptacakra, pasti arwah gentayangan
yang sinting Masalahnya, dia mengaku sebagai buyutku.”
“Jangan sembarangan
mengaku-ngaku sebagai buyutku, Kisanak” bentak Andika kesal.
Tiba-tiba saja harga diri
Andika sebagai keturunan langsung pendekar tersohor itu terusik. Dia berpikir,
Ki Saptacakra sedang mengejek keluarganya.
Padahal, Andika sendiri belum
pernah mengenal satu pun dari anggota keluarga Pendekar Lembah Kutukan.”
Sementara, Ki Saptacakra
terkekeh.
“Rupanya kau tidak terlalu
pengecut, ya?” sindir orang tua itu.
“Pengecut? Hei, bagaimana
mungkin keturunan Pendekar Lembah Kutukan bisa pengecut?” sergah Andika seraya
membusungkan dada, biarpun
sebenarnya masih gemetar juga.
“Dan aku tidak terima kalau kau mengaku-ngaku seenaknya”
“Kalau kau tidak percaya,
terserah,” kata Ki Saptacakra amat tenang. Setenang bias wajahnya yang
ditumbuhi jenggot putih panjang. “Tapi kau mesti tahu, aku akan mewariskan
sesuatu yang belum kau miliki....”
“Terima kasih, aku sudah
hebat,” sela Andika, seenak dengkul.
“Bagiku. kau hanya anak
bawang. Anak pengecut yang pongah dan keras kepala,” kata Ki Saptacakra kembali
sambil terkekeh.
Andika langsung bangkit, lalu
berkacak pinggang.
Hatinya benar-benar mangkel.
“Ngomong-ngomong soal
pengecut, sebenarnya tadi aku hanya agak kaget..., itu pun hanya sedikit
sekali. Ingat itu,” ujar Andika membela diri. “Dan soal anak bawang itu. Bisa
kubuktikan kalau aku ini biangnya bawang Eh..., maksudku aku memang hebat.
Bagaimana aku harus membuktikannya? Apa mesti menggigit telingamu sampai
mengejang mati?”
“Kau bisa main catur?” tanya
Ki Saptacakra.
“Main catur? Apa hubungannya
dengan kesaktian-ku? Percuma saja selama enam purnama, aku pontang-panting di
Lembah Kutukan kalau hanya ditantang main catur,” remeh Andika.
“Itulah sikap keras kepalamu”
ejek Ki Saptacakra.
“Aku tidak keras kepala”
teriak Andika. Ke-dongkolannya sudah naik sampai ke ubun-ubun.
“Baik, baik. Tantangan
konyolmu kuterima....”
Akhirnya Andika menerima
tantangan itu. Dia tidak mau disebut keras kepala, meski memang begitu.
“Kau bereskan dulu buah
caturnya” perintah Ki Saptacakra.
Mata Andika jadi menyipit.
Alisnya bertaut amat erat. Masalahnya, Ki Saptacakra seenaknya menyuruh Andika
membereskan buah catur. Andika jadi menggerutu. Tapi karena tidak mau disebut
keras kepala lagi, akhirnya menyerah. Dengan malas-malasan, tangan anak muda
itu menjulur ke buah catur yang masih tersusun pada tempatnya masing-masing.
Begitu hendak mengangkat satu buah catur, keningnya langsung berkernyit.
Ternyata buah catur itu sulit diangkat.
Digenggamnya buah catur itu
kuat-kuat, lalu di-hentakkan. Ajaib Buah catur kayu itu tetap saja tidak
bergeming. Apalagi terangkat.
Andika baru sadar. Tentu buah
catur itu telah disalurkan tenaga dalam oleh Ki Saptacakra. Dengan bibir
menyeringai kesal, tenaga saktinya segera dikerahkan.
“Hiaaat”
Usaha pertama tidak berhasil.
“Hiaaat”
Kembali tenaga saktinya. Dan
ternyata usaha kedua pun nihil.
“Hiaaat”
Usaha ketiga pun sia-sia.
Dut... bret... bret... bruuut
Nah, itu usaha selanjutnya. Andika sampai terkentut-kentut.
“Sialan” maki Andika putus
asa. “Terang saja, ini di tempatmu sendiri, Ki. Kalau tidak....”
Walaupun tidak berhasil,
Andika masih berkilah mencari-cari alasan. Sementara Ki Saptacakra hanya
tersenyum-senyum mengejek.
Andika segera melepaskan
genggaman tangannya pada buah catur tadi dengan wajah tertekuk.
“Aku tak sudi melanjutkan
permainan konyol ini,”
gerutu pemuda itu.
“Itu artinya kau menyerah,”
cemooh Ki Saptacakra.
“Suka-sukamulah, Ki. Toh, tak
ada seorang pun yang menyaksikan kekalahanku...,” kata Andika, lesu.
“Jadi kau mau menerima
warisanku, kan?” Ki Saptacakra tersenyum geli. Sedangkan Andika makin menekuk
wajah.
“Tapi sebelum menerimanya, kau
harus berusaha mencari jalan keluar dari tempat ini,” kata Ki Saptacakra
kembali. Wajahnya yang semula cerah karena tersenyum, kini mulai memutih lagi.
“Permainan macam apa lagi yang
kau berikan padaku, Ki?” tanya Andika. “Kalau begitu caranya, aku lebih suka
tidak menerima warisanmu.”
Sementara, Andika terus
mondar-mandir di depan Ki Saptacakra yang masih duduk tenang.
“Itu sama artinya kau tidak
ingin keluar dari tempat ini.”
“Apa maksudmu?” Andika
menghentikan langkahnya.
“Ya Karena hanya dengan
menerima per-
syaratanku tadi, kau bisa
keluar dari tempat ini.
Sekaligus, menerima
warisanku,” jelas Ki Saptacakra datar.
“Ini benar-benar menyebalkan
Menjengkelkan
Mendongkolkan” umpat Andika seraya
melanjutkan langkah.
Kembali pemuda itu
mondar-mandir. Sementara, tangannya mengacak-ngacak rambut sendiri, seakan
mulai dirasuki setan kudis.
“Aku tidak mau tinggal di
tempat ini sepanjang hidup. Aku masih ingin makan tempe. Dan, aku juga mau kawin”
teriak Andika.
“Kalau begitu, cari jalan
keluarnya. Aku akan melanjutkan semadiku,” ujar Ki Saptacakra.
Laki-laki tua itu seperti
tidak mengindahkan kesewotan Andika yang memuncak. Matanya kembali terpejam,
lalu perlahan napasnya tak terdengar.
“Hei, Ki. Kau harus
memberitahuku jalan keluar dari tempat ini.”
Tapi, Ki Saptacakra sudah
larut kembali dalam kekhusyukan semadinya.
“Aku tak ingin kurang ajar
dengan orang tua sepertimu, Ki. Tapi kau mempermainkanku, maaf kalau aku sampai
memakimu.... Setan Belang Kentut Tuyul Tua bangka brengsek, kau”
***
Telah dua hari dua malam
Andika terkurung di dalam goa, tempat Ki Saptacakra bersemadi. Selama itu, tak
ada sepotong makanan pun yang dapat dimakan, kecuali menelan air yang merembas
di antara dinding cadas. Selama itu pula, dia telah berusaha mencari jalan
keluar. Tentu saja hasilnya sia-sia.
Kini Andika terduduk lesu di
salah satu sudut ruangan. Dipandangnya Ki Saptacakra dengan tatapan kesal.
Kalau saja masih punya tenaga, akan dimakinya orang tua yang tetap tenang dalam
semadi itu. Sekarang, jangankan untuk berteriak-teriak mengumpat. Untuk berdiri
saja, dia sudah begitu lemah. Perutnya yang kosong jelas membuatnya demikian.
Berkali-kali Andika menarik
napas, melepas rasa putus asa yang mulai menelusup dalam rongga hatinya.
Untunglah dia anak muda keras kepala.
Meski tubuhnya sudah lemas,
namun otaknya masih tetap bekerja.
“Kalau aku mencoba keluar dari
lubang yang membawa tubuhku ke tempat ini, belum tentu masih terbuka. Bisa saja
lubang itu telah tertimbun reruntuhan tanah kembali. Apa mungkin tidak ada
jalan keluar lagi? Ah, mustahil Udara yang tetap sejuk dan tak pengap di
ruangan ini jelas membuktikan kalau ada bagian terbuka yang menjadi tempat
keluar masuk-nya udara. Itu pasti pintu keluar yang dimaksud orang tua brengsek
ini. Tapi di mana?” gumam Andika, bicara pada diri sendiri.
Lama pemuda itu memutar otak,
mencari
kemungkinan letak pintu
keluar. Sampai suatu saat, matanya terantuk pada meja catur di depan Ki
Saptacakra.
“Catur itu” pekik pemuda itu
girang. “Langkah-langkah catur itu pasti petunjuk menuju jalan keluar”
Bergegas Andika menghampiri
meja catur kembali.
Diperhatikannya buah catur di
atasnya. Tampak buah catur hitam milik Ki Saptacakra dalam keadaan terdesak.
Rajanya terancam dalam beberapa jurus.
Otaknya yang memang cerdas
mulai berjalan lagi.
“Dengan membebaskan buah raja,
pasti aku akan mendapat arah menuju pintu keluar,” gumam pemuda itu yakin.
Mulailah pemuda itu
mereka-reka buah catur yang mana yang harus digerakkan untuk menyelamatkan buah
raja. Beberapa waktu kemudian....
“Dapat”
Segera tangan pemuda itu
bergerak menuju buah catur. Kali ini tak ada kesulitan dalam mengangkat buah
catur itu. Setelah memindahkan beberapa buah catur, Andika dapat membebaskan
buah raja yang terancam.
“Kuda makan prajurit. Prajurit
maju satu langkah, perdana menteri selangkah ke kanan, dan raja maju selangkah
ke depan,” bisik Andika, mengingat-ingat.
Tak lama, Andika bangkit
berdiri. Dan dia mulai melangkah sesuai langkah catur yang telah dijalan-
kannya. Sampai akhirnya, berdiri tepat di belakang tubuh Ki Saptacakra.
“Sekarang bagaimana lagi?”
gumam pemuda itu.
Andika terdiam dengan otak
mereka-reka kembali.
Matanya menyipit. Sementara
telunjuk tangan kanannya menempel di pelipis.
“Tanah yang kupijak ini pasti
merupakan kunci pembuka jalan keluar.”
Andika memperhatikan tanah
tempat yang
dipijaknya. Semakin
diperhatikan, semakin tampak jelas kalau ada bagian yang menjorok ke dalam di
tanah itu. Dan bagian itu segera diinjaknya.
Kemudian....
Grrr
Dinding di sisi kiri Andika
perlahan terkuak, memperdengarkan deram bagai geraman naga.
“Yah Aku berhasil, Ki Aku
berhasil Aku bisa kawin” teriak Andika seperti orang gila. Kakinya cepat
melangkah mendekati Ki Saptacakra.
Andika menjulurkan kedua
tangannya, memegang bahu Ki Saptacakra.
“Ki... Hei, Ki Aku berhasil”
seru Andika seraya menggoyang-goyangkan tubuh Ki Saptacakra.
Namun, tubuh Ki Saptacakra
tetap terdiam seperti patung.
“Aaah Kau jangan berpura-pura
mati lagi, Ki Aku sudah tahu....”
Ketika tangan Andika
melepaskan tubuh orang tua itu, Ki Saptacakra terjatuh dari duduknya dalam
keadaan kaku.
“Ki....”
*** 2
Andika berhasil keluar dari
tempat Ki Saptacakra, dan segera memasuki sebuah ruang lain dengan melewati
pintu batu yang terbuka, setelah menginjak bagian yang menjorok ke bawah.
Di ruangan yang baru
dimasukinya itu, Andika melihat sebuah kolam alam kecil seperti dalam Goa
Lembah Kutukan. Kalau tepian kolam di Goa Lembah Kutukan dipenuhi tumbuhan
berbuah seperti tomat, maka di ruang ini tepian kolam itu dipenuhi peti-peti
berukir.
Pemuda itu segera melangkah
mendekati tepi kolam. Tubuhnya segera membungkuk, mengambil sebuah peti. Begitu
seterusnya. Dan setiap kali satu peti dibuka, mata pemuda itu terbelalak lebar.
Andika benar-benar terperangah, karena peti-peti itu ternyata berisi tumpukan
emas permata.
Dan pada peti terakhir yang
dibukanya, ternyata ada satu peti yang isinya berbeda. Di dalamnya hanya ada
buah ranum berwarna hijau pekat, sebesar kepalan tangan. Saat itu Andika
benar-benar dibuat bingung. Apa maksud Ki Saptacakra dengan
mengatakan kalau mau memberi
warisan? Kalau emas permata yang bertumpuk dalam peti, Andika benar-benar tak
berminat. Sebab disadari banyak manusia yang menjadi bejat karena harta.
Otak Andika sudah demikian
lelah diperas terus-menerus untuk memecahkan teka-teki agar dapat keluar dari
ruang semadi Ki Saptacakra. Sehingga, dia tidak peduli lagi dengan warisan yang
dikatakan orang tua itu. Yang jelas, dia ingin secepatnya pergi dari tempat
itu. Apalagi, perutnya terasa sangat lapar, maka tanpa pikir panjang, tangannya
langsung mengambil buah dari peti itu. Sebentar kemudian, mulutnya telah
mengunyah dengan nikmat.
Tanpa disadari, Andika
sebenarnya telah memakan buah langka bernama Inti Petir. Buah itu tumbuh di
Lembah Kutukan dalam waktu seratus tahun sekali. Seseorang yang memakan buah
berwarna merah yang tumbuh di Goa Lembah Kutukan, sekaligus memakan buah hijau
dari dalam peti itu, tubuhnya akan mampu menyerap kekuatan petir
Sesungguhnya, itulah yang
hendak diwariskan Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah Kutukan yang telah
menjadi cerita rakyat.
Ketika menemukan buah Inti
Petir, Ki Saptacakra sudah mulai menyingkir dari hingar-bingar dunia
persilatan. Dia kemudian bersemadi berpuluh tahun.
Tujuannya adalah memohon pada
Tuhan, agar diberi kesempatan untuk bertemu salah seorang keturunan-nya yang
akan diwarisi buah langka itu. Sebagai salah seorang keturunan Ki Saptacakra,
Andika beruntung.
Hanya dia yang rupanya dapat
bertemu langsung dengan buyutnya yang sudah menjadi dongeng kepahlawanan itu.
Sekaligus menerima warisan ter-akhirnya yang amat dahsyat
Maka ketika Andika telah
berhasil membuka pintu batu dalam ruang semadinya, Ki Saptacakra pun
menyerahkan jiwanya ke hadirat Tuhan. Dia wafat bersama senyum puas di bibir
keriputnya.
Setelah perutnya tidak lapar
lagi, Andika harus menemui jalan keluar kembali. Sebentar matanya beredar ke
sekeliling ruang yang hanya diterangi nyala obor yang terpancar di dinding.
Sebenarnya, pemuda itu heran juga, karena obor itu seperti tak kunjung padam.
Pemuda itu jadi tertarik,
kemudian mendekati obor. Lalu, diraihnya tangkai obor. Dan begitu tangannya
mencabut obor, tiba-tiba....
Derrr
Mendadak, dinding batu cadas
di hadapan Andika bergeser ke kiri bersama obor yang baru saja ditarik.
Perlahan-lahan dinding itu
bergerak, hingga akhirnya membentuk lubang yang menembus langsung ke dunia
luar.
“He?”
Andika terhenyak kaget.
Buru-buru kakinya melangkah, mendekati lubang itu. Tubuhnya lalu membungkuk,
karena lubang itu hanya setinggi anak kecil berusia tujuh tahun, dengan lebar
tak lebih dari setengah tombak. Dan begitu diterobos, ternyata Andika telah
berada di puncak bukit, di atas Lembah Kutukan
***
Di kaki langit sebelah timur,
matahari tersembul memantulkan sinar rona jingga. Ayam jantan liar
mengumandangkan kokoknya yang gagah, menyapa hari di ambang pagi. Gumpalan awan
berarak di cakrawala. Sementara, tiupan angin sejuk melengkapi lahirnya hari
ini.
Dalam terpaan lembut hawa pagi,
Andika mematung di puncak bukit yang memagari Lembah Kutukan. Tubuhnya terlihat
bagai tonggak kayu tak bernyawa saja. Di bawah sana, di Lembah Kutukan, dia
telah menyelesaikan masa penyempurnaannya sebagai seorang pendekar dari Lembah
Kutukan. Ya
Penyempurnaan dirinya memang
telah selesai. Tapi hatinya tak pernah berhenti bertanya, “Benarkah aku telah
benar-benar sempurna?” Andika takut kalau telah melalaikan sesuatu saat di
Lembah Kutukan, hingga tidak mampu mengemban amanat yang di-serahkan padanya. Sementara
amanat tersebut bukanlah sesuatu yang ringan. Panji-panji keadilan dan
kebenaran harus ditegakkan. Betapa takut Andika jika ternyata gagal dalam tugas
suci itu, hanya karena kelalaiannya dalam menjalani penyempurnaan.
“Telah sempurnakah aku?” bisik
hati pemuda itu.
Namun sisi hatinya yang lain
berbisik, kalau penyempurnaan kedigdayaan yang telah dilakukannya di Lembah
Kutukan memang tidak menjamin.
Bukankah di dunia ini tak ada
manusia yang sempurna?
“Ya Aku tak perlu
mengkhawatirkan kegagalan dalam setiap langkah perjuanganku. Yang penting aku
mesti melaksanakan yang terbaik sebatas kemampuan,” tekad batin Andika dalam
bisik samar yang tersapu angin lalu.
Kakinya mulai melangkah
menuruni pegunungan berbatu.
***
Siang di Desa Sariadi. Pasar di
tengah desa itu masih ramai oleh kesibukan. Para pedagang tetap gigih
menjajakan barang, meski sinar matahari terus menusuk di atas kepala. Sama
halnya para pembeli yang datang kesiangan. Mereka menyatu dalam satu irama
bising. Di antara orang-orang yang lalu-lalang, tampak seorang pemuda berjubah
putih yang sudah sangat lusuh. Dan orang itu ternyata Andika yang baru saja
tiba di desa ini.
Penampilannya amat tak sedap
dipandang. Jubah peninggalan Ki Saptacakra yang dikenakannya sudah.
seperti kain lusuh. Di samping
karena sering dibakar sambaran petir ketika di Lembah Kutukan, juga karena
selama dia menciptakan jurus-jurus silat.
Gerakannya yang dahsyat,
berkali-kali mengoyak pakaiannya.
Langkah pemuda itu tampak
gontai ketika memasuki bagian pasar yang agak ramai. Di kanan kirinya,
orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing tanpa mempedulikan kehadirannya.
Barangkali mereka sudah terlalu sering menemukan pengemis yang berpakaian
compang-camping seperti Andika di pasar ini.
Andika tidak tahu, apa tujuannya
ke pasar yang memusingkan ini. Bahkan tidak tahu ke mana tujuannya yang pasti.
Dia hanya ingin berjalan sampai benaknya menemukan rencana untuk memulai tugas
yang diemban.
Lebih jauh memasuki pasar,
beberapa pedagang yang tak mendapat pembeli memperhatikan Andika.
Mereka berbisik satu sama
lain, lalu memperdengarkan tawa tertahan sampai ke telinga Andika.
Makin memasuki pasar, makin
banyak orang yang memperhatikannya. Seakan-akan, dirinya adalah tontonan
menarik. Sialnya lagi, ada beberapa orang yang tak sungkan-sungkan tertawa
terbahak-bahak persis di depan hidung Andika.
Jelas saja Andika kebingungan.
Alis legamnya terangkat tinggi. Sementara, tangannya terangkat ke depan dada
dengan telapak terbuka, seperti hendak bertanya.
“Hua ha ha... Pengemis
sinting” ledek seorang pedagang sayur.
“Pengemis? Sinting pula?
Sialan Mimpi apa semalam, sampai orang menganggap aku pengemis sinting...,”
gumam Andika dongkol.
Kedongkolan Andika makin
memuncak tatkala banyak gadis cantik yang terkikik menahan tawa, saat melihat
dirinya. Wajahnya yang tirus dan agak pucat, mendadak merah matang. Hidungnya
pun sudah kembang-kempis seperti hidung kelinci. Rasanya, saat itu dia ingin
mendengus berkali-kali agar panas dalam dirinya bisa terbuang.
“Apa salahku?” bentak Andika
tiba-tiba.
Dua gadis desa yang
menggendong bakul sayur langsung terlonjak kaget. Wajah mereka meringis ngeri,
saat menemukan mata Andika membelalak sejadi-jadinya.
“Kalau kalian naksir aku,
kenapa tidak bicara langsung saja? Atau kalian tidak pernah menemukan lelaki
setampan aku?” omel Andika seraya mencak-mencak.
Dua gadis desa itu menatap
Andika takut-takut, dengan wajah pucat.
“Maaf, Kang. Anu...,” kata
salah seorang gadis, mencoba menjawab.
“Anunya siapa? Eh, anu apa?”
potong Andika, galak.
Gadis itu tidak bisa
mengeluarkan kata-kata lagi, karena mulutnya sibuk menelan ludah. Hanya jari
tangannya saja yang bergerak, menunjuk bagian belakang tubuh Andika. Setelah
itu, tubuhnya langsung berbalik dan kabur bersama kawannya yang menjerit-jerit
minta ditunggu.
“Hei Tunggu” seru Andika.
Namun, mereka makin
tunggang-langgang.
Sementara, puluhan pasang mata
lain memandang Andika dengan takut. Sedangkan Andika hanya ter-bengong-bengong.
Lalu, tangan kirinya mencoba meraba pantatnya.
“Kutu koreng Rupanya ini
penyakitnya,” gerutu Andika. “Tentu kain ini tersangkut di ikat pinggangku
sewaktu membopong tubuh Ki Saptacakra untuk dikuburkan.”
Pantas saja mereka menganggap
Andika sebagai orang sinting. Bagaimana tidak? Ternyata persis di pantatnya menjulur
kain bercorak papan catur yang terlihat seperti ekor. Kain itulah yang dimaksud
gadis tadi.
Andika menggoyang-goyangkan
pantatnya, membuat kain itu bergerak-gerak gemulai.
“Ah Ekor kuda pun tak sebagus
ekorku,” gumam pemuda itu, menghibur diri di sela kejengkelan.
Setelah kain alas catur milik
Ki Saptacakra dipindahkan ke bahu, Andika melanjutkan langkahnya. Tidak
dipedulikannya lagi beberapa orang yang masih menertawakan di sepanjang jalan.
Perutnya sudah berontak minta diisi. Menurutnya, perut inilah yang lebih baik
diurus.
Belum sempat menemukan kedai
nasi, Andika dikejutkan oleh kegaduhan yang mendadak tercipta beberapa puluh
tombak di belakangnya.
Semula pemuda berpenampilan
mengharukan ini tidak peduli. Karena dipikirnya, orang-orang di pasar mulai
meledek lagi. Tapi ketika keramaian itu diwarnai jeritan-jeritan ngeri,
tubuhnya lantas berbalik. Saat itu mata tajam Andika dapat menangkap kepulan
asap hitam mulai menodai angkasa. Lalu, para pengunjung pasar berhamburan kian
kemari tanpa terkendali. Suasana sudah seperti dilabrak gempa
Andika tidak yakin kalau
kejadian itu hanya kebakaran biasa. Pasti ada sesuatu yang tidak beres di balik
kebakaran itu
Jiwa kependekaran Andika
kontan tergetar. Pijar keksatriaannya meletup di dadanya. Bisikan dari relung
hati terdalamnya menyemangati, kalau tugas telah menanti.
Tanpa menunggu teriakan
menyayat melabrak telinganya lagi, tubuh Andika melesat cepat menuju asal
kericuhan. Di antara puluhan orang yang berlari simpang-siur, tubuh Andika
berkelebat lincah disertai ilmu meringankan tubuh seperti walet di antara
batu-batu karang.
Tak heran dalam sekejap saja,
Andika sudah tiba di tempat kejadian. Dan tubuhnya langsung melenting ke udara.
Lalu, sepasang kakinya menjejak mantap di atas sebuah kedai, dekat bangunan
yang dilahap api.
Beberapa tombak di bawah,
tampak lima lelaki kasar sedang menghajar seorang pemuda. Mereka
memukul, menendang, menginjak,
dan menyeret secara bergantian. Bagi kelima lelaki itu, pemuda yang dihajar
habis-habisan tidak lebih dari anjing geladak.
“Aaakh” rintih pemuda yang
dikeroyok itu. Wajah pemuda yang usianya tak lebih dari dua puluh lima tahun
itu sudah habis dihiasi memar dan darah.
Bajunya yang berwarna kuning
cerah, harus dinodai darah yang tersembur dari mulutnya.
“Kau harus memohon ampun pada
kami Lalu akui kesalahanmu. Maka, nyawamu akan terbebas dari maut” perintah
salah satu dari lima lelaki.
Wajah orang itu nampak bersih.
Namun sinar matanya mencorong kejam. Hidungnya yang melancip terlihat seperti
paruh burung pemakan bangkai.
Sedangkan bibirnya tebal.
Menilik pakaian yang dikenakannya yang sama dengan keempat lelaki temannya,
tentu dia berasal dari perkumpulan yang sama.
“Aku tak akan sudi memohon
ampun padamu Kau bisa membunuhku. Tapi tak akan bisa membuat aku memohon belas
kasihan padamu” jawab si pemuda itu bersama erangan.
“Rupanya kau lebih suka mati,
ya? Kau lebih menghargai harga dirimu ketimbang nyawamu?”
cemooh lelaki berwajah bersih
itu.
“Aku bukan menghargai harga
diriku. Tapi aku menjunjung tinggi nilai kebenaran” sahut pemuda itu, tak
mempedulikan rasa sakitnya.
“Hei..., hei Kau minta aku
mempercepat
kematianmu? Baik, jika itu
yang kau minta.”
Sring
Lelaki berhidung lancip itu
mengeluarkan pisau kecil dari balik bajunya. Ketika sinar matahari menerabas,
terbersitlah pantulan sinar menyilaukan dari mata pisau yang setajam taring
harimau itu.
“Pisau ini akan menyayatmu
sedikit demi sedikit, sampai mau mengakui kesalahanmu,” ancam lelaki berhidung
lancip dengan mata berbinar-binar mengerikan.
“Atau menyayat burungmu yang
belum disunat itu, ya?” selak seseorang di belakangnya.
Laki-laki berhidung lancip ini
kontan tersentak.
Jelas, suara itu bukan suara
temannya. Matanya segera mencari sumber suara. Berbareng dengan dengusan keras,
tubuhnya berbalik ke arah suara di belakangnya.
“Apa kabar?” sapa Andika
seraya melambaikan tangan kirinya.
Memang, Andikalah yang tadi
menyelak keasyikan lima lelaki yang kini tepat di hadapannya dalam jarak lima
tombak.
“Siapa kau?” bentak lelaki
berhidung lancip.
“Aku? O, aku tukang daging
yang pisaunya tadi kau pinjam. Masa' lupa?” jawab Andika asal bunyi.
“Keparat”
“Iya, babat. Aku akan memotong
daging babat.
Jadi, aku mau minta pisauku
kembali....”
“Jangan melawak di sini,
Gembel Lebih baik pergi sebelum nasibmu seperti pemuda itu” seru lelaki yang
lain.
Andika menarik napas
dalam-dalam. Satu alisnya terangkat. Setelah itu, dia malah melepas kain
bercorak catur yang tersampir di pundaknya.
Digelarnya kain itu di tanah
berdebu.
“Kalau pisauku belum juga
dikembalikan, aku akan tunggu di sini,” kata Andika seraya duduk di atasnya
sambil memeluk lutut.
Habis sudah kesabaran lelaki
berhidung lancip itu.
Lewat lambaian tangan,
diperintahkannya empat lelaki lain untuk menghajar Andika.
“Langsung dihabisi saja, ya
Kang? Gembel ini hanya mengganggu acara kita,” ujar seorang lelaki yang
bertubuh paling kurus, yang disambut anggukan berat dari laki-laki berhidung
lancip di sampingnya.
Keempatnya kemudian melangkah
makin dekat pada Andika. Mereka benar-benar menganggap Andika kecoak yang mudah
diinjak begitu saja, lalu mati. Hal itu terlihat dari bibir mereka yang
berlekuk meremehkan.
“Lho... lho, tunggu dulu” seru
Andika sambil bangkit tergesa.
Empat lelaki itu menduga anak
muda di hadapan mereka hendak lari. Dan mereka memang lebih suka begitu. Dengan
demikian urusan lebih cepat selesai.
Maka seketika itu juga mereka
menghentikan langkah.
“Nanti kalau menyerang, kalian
bergerak
sekaligus, ya? Jangan
satu-satu Aku biasa kerja borongan, kok...,” oceh Andika seraya bangkit
berdiri.
Langsung dikebutkannya kain
yang tadi dihampar-kan. Maka debu seketika berhamburan dari kain itu.
Akibatnya, empat lelaki yang
sudah tidak jauh dari Andika langsung terbatuk-batuk diserbu gulungan debu.
“Ukh Ukh”
“Ukh..., brengsek”
Mereka kini bisa menikmati
akal bulus Andika.
“Hua ha ha...”
Di lain pihak, anak muda itu
terpingkal-pingkal diberondong tawanya yang membludak. Badannya yang tegap
bergelinjang kian kemari, seakan dikelitiki sekawanan tuyul.
“Hiaaat”
Sebelum Andika puas tertawa,
keempat lelaki itu melabraknya penuh nafsu. Dibenak masing-masing hanya
berkobar keinginan untuk mencincang menjadi potongan-potongan kecil tubuh
pemuda yang telah mempermainkan mereka.
Dua lelaki serempak membabat.
Satu ke bagian kepala dan yang lain ke bagian dada Andika.
“Eit” Andika hanya menggeser
tubuhnya ke belakang, maka sabetan ganas itu hanya memakan angin.
Sedangkan tangan kanannya yang
masih memegang kain catur bergerak sekejap, menyabet ke bawah.
Ctat
Ctat
Begitu cepat gerakan Andika,
sehingga tak seorang pun yang mampu menghindari.
Kedua lelaki yang ingin
merencah tubuh Andika lebih dulu, mendapat rejeki lumayan. Kantung menyan di
selangkangan masing-masing kontan terasa pedih berdenyut-denyut, terkena
sabetan kain Andika. Bahkan ngilunya sampai ke ulu hati. Dan keduanya langsung
melompat-lompat belingsatan sambil memegangi bagian rahasia yang terkena itu.
Sementara itu, dua lelaki lain
mencoba membokong. Golok mereka berdesing deras di belakang Andika. Namun belum
sempat senjata mereka merejam punggung, pemuda itu sudah berjumpalitan ke
depan. Lagi-lagi, dilepaskannya serangan balasan yang nakal. Sambil berguling
ke depan, jari tangannya menjentik selangkangan kedua lawannya yang masih
meluncur. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Tuk
Tuk
Dua buah sentilan keras
mendarat telak di bagian rahasia milik kedua laki-laki yang akan membokong
Andika. Kini mereka melompat-lompat seperti anak kodok terinjak.
“Hap Hap Hap” seru Andika.
Begitu bangkit, Andika
mengikuti gerakan
melompat mereka. Setelah puas
meledek, tubuhnya bergerak lagi. Kali ini, gerakannya amat santai.
Dihampiri lawannya satu
persatu, lalu ditotoknya aliran darah mereka.
Tuk Tuk Tuk Tuk
Tubuh keempat laki-laki itu
langsung ambruk, begitu mendapat totokan di punggung masing-masing. Bruk
“Kalian istirahat dulu ya,
Manis. Aku akan mengurus kawan kalian yang belum kebagian jatah...,” ucap
Andika seraya mengelus jenggot seorang lawannya.
Mendengar perkataan Andika
barusan, tentu saja lelaki berhidung lancip yang tidak ikut menyerang jadi
tergagap. Matanya mendelik seperti hendak melompat keluar, membayangkan
ketakutan yang amat sangat. Dia membayangkan, benda-benda rahasia kawannya
sudah pecah semua. Padahal, Andika hanya menyalurkan sedikit tenaga dalamnya
saat itu.
Meski begitu, mereka tetap
mengerang-erang dengan mata melotot. Dan ini dikira laki-laki berhidung lancip
itu, keempat temannya sedang mengalami sekarat.
Pikir punya pikir, akhirnya
lelaki itu memutuskan untuk lari. Dengan wajah bertekuk-tekuk ketakutan,
kakinya bergerak lebar-lebar. Dia berusaha kabur, namun....
“Kena” teriak Andika.
Tuk
Andika memang telah melesat
cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, melewati orang yang kabur itu.
Lalu, langsung dilepaskannya sebuah totokan di punggung. Akibatnya, orang itu
kontan ambruk.
***
Setelah kelima bajingan tengik
itu dibereskan, orang-orang di pasar mulai berani berkumpul. Satu demi satu
mereka menghampiri tempat kejadian. Dari kejauhan tadi, sebenarnya mereka
menyaksikan ulah Andika terhadap kelima lawannya. Kalaupun orang-orang itu
menghampiri tempat kejadian, karena memang ingin menegaskan wajah Andika. Wajah
anak muda tampan yang membereskan kericuhan dengan amat mudah. Lucu, tapi juga
konyol. Maka kasak-kusuk kemudian menyebar ketika mereka sudah membentuk
kerumunan.
“Siapa dia, ya? Kalau dia
pendekar, kenapa tingkahnya slebor? Apa ada Pendekar Slebor?” kata salah
seorang dari mereka.
“Hus Nanti dia dengar, lho
Kamu mau 'perkutut'
kamu disentil”
“Hiiiy”
Mendapati orang-orang yang
berkumpul seperti itu, Andika jadi geleng-geleng kepala.
“Hey Kenapa kalian jadi senang
nonton sejak aku sampai di sini? Kalau kalian ingin terus nonton, silakan. Tapi
aku tidak mau disalahkan bila pasar milik kalian habis terbakar”seru Andika,
seraya menunjuk api besar yang melalap sebuah kedai kelontong.
Seperti baru disadarkan dari
mimpi, orang-orang itu langsung serabutan kian kemari, mereka langsung mencari
ember dan air untuk memadamkan api yang sudah berhasil menghanguskan satu bangunan.
“Air Air Ambil air”
“Ember, ember Ambil ember”
Teriak mereka kalang kabut.
“Goblok.... Goblok Kalian
goblok” rutuk Andika setengah mangkel. Kemudian, dihampirinya pemuda yang
menjadi bulan-bulanan tadi. “Ada apa sebenarnya, Kisanak?” tanya Andika sopan,
setelah tiba di depan pemuda yang umurnya lebih tua darinya.
“Aku juga tidak tahu,” jawab
pemuda itu seraya menyapu sudut bibirnya yang masih mengalirkan darah.
“Hm..., boleh aku panggil
Kakang?” tanya Andika.
“Boleh. Tapi, aku lebih suka
kalau dipanggil Jaka,”
sahut pemuda yang ternyata
bernama Jaka, diiringi anggukan.
“O, iya. Aku Andika,” sambut
Andika. Tangannya langsung disodorkan.
Mereka berjabat tangan.
Dan Andika segera membantu
Jaka untuk bangkit.
“Bisa kau ceritakan, kenapa
mereka memukulimu?” tanya Andika.
Mulailah Jaka menceritakan
kejadian naas yang menimpanya.
“Tadi aku melihat seorang
gadis cantik di pasar ini.
Sebagai pemuda yang ingin
disebut laki-laki, aku langsung tertarik oleh keayuannya. Namun sebelum-nya,
aku agak ragu, karena wanita itu menyandang pedang bergagang kepala naga di
punggung. Dan kupikir, hanya wanita-wanita pendekar saja yang menyandang
senjata seperti itu. Tapi aku berusaha nekat. Akhirnya kuikuti juga wanita itu.
Pada suatu kesempatan, aku berhasil mendekatinya. Wanita itu kutegur dengan
sikap ramah,” tutur Jaka, seraya menghentikan ceritanya sebentar.
Sementara, Andika masih
menatap wajah Jaka.
Ada sesuatu yang mengganjal
dadanya. Tapi dia berusaha menahan, sampai Jaka memutuskan
ceritanya.
“Sikap ramahku ternyata
mendapat sambutan yang baik dari wanita itu. Dan dia memintaku untuk
mengantarkan ke kedai kelontong yang menyediakan pakaian wanita. Tentu saja
membuat hatiku mekar,”
lanjut Jaka. “Maka aku
mengantarkannya ke kelontong terdekat. Sesampainya di tempat itu, dia membeli
beberapa keperluan. Usai urusannya, dia memberiku uang. Benar-benar sial
nasibku hari itu.
Rupanya wanita yang kutaksir
menyangka kalau aku adalah pesuruh pasar. Tapi, lebih sial lagi ketika datang
lima orang bertampang seram yang
menuduhku mata-mata.”
“Mata-mata siapa?” tanya
Andika, memotong cerita Jaka.
“Aku juga tidak tahu. Mereka
lalu menanyakan tujuanku bersama wanita itu. Bahkan mereka, membakar begitu
saja kedai kelontong tempat belanja wanita yang kudekati. Ah Aku jadi tidak
mengerti...,”
keluh Jaka.
Tiba-tiba Andika ingat tentang
ganjalan hatinya, dari cerita Jaka tadi.
“Tadi kau katakan, wanita itu
menyandang pedang bergagang kepala naga?” tanya Andika.
Jaka mengangguk pertanyaan
Andika.
“Pedang bergagang kepala naga?
Siapa lagi pendekar wanita yang memiliki pedang seperti itu, kalau bukan
Purwasih yang berjuluk si Naga Wanita
Hm..., rupanya kita akan
bertemu di sekitar daerah ini, Naga Wanita keparat” desis Andika tak sabar
(untuk lebih jelasnya, silakan baca episode: 'Lembah Kutukan').
“Kenapa, Andika?” tanya Jaka,
terheran-heran.
*** 3
Senja merayap. Sinar matahari
telah meredup merata. Hamparan langit terlihat kian sayu. Bersama jangkrik yang
mulai berderik, hari akhirnya rebah dalam singgasana malam.
Dan Andika sekarang sudah
mempunyai rencana untuk memulai tugas sucinya. Setelah kejadian siang tadi, dia
memutuskan untuk mencari Purwasih yang lebih terkenal berjuluk Naga Wanita.
Sejak sepanjang siang tadi, dijelajahinya daerah sekitar itu. Tapi, wanita yang
dicarinya belum juga ditemukan.
Badan Andika mulai menuntut
istirahat. Pegal dan linu melantakkan seluruh persendiannya. Yang terbaik
baginya saat itu hanya istirahat. Kalaupun pencarian terus dilakukan, akan
sia-sia saja karena kegelapan malam akan mempersulitnya. Dan saat ini, dia
tengah berada di bawah sebuah pohon besar.
Sebentar kepalanya didongakkan
ke atas, lalu bibirnya tersenyum. Kemudian....
Hup
Andika langsung melesat ke
atas, disertai ilmu meringankan tubuhnya yang telah tinggi tingkatannya.
Dan manis sekali kakinya
menjejak salah satu cabang pohon yang sangat kuat menahan tubuhnya.
“Huaaah...”
Di atas sebuah batang pohon
randu yang besar, Andika menguap. Tubuhnya langsung direbahkan di cabang pohon
itu. Dia memang tidak punya uang untuk menyewa penginapan. Makan tadi siang
saja harus dibayarnya dengan mencuci piring di kedai.
Malah tadi sempat dibentak
oleh pemilik kedai yang piringnya mau sebersih cermin. Tapi bagi Andika itu
tidak apa-apa, yang penting bisa mengisi perut.
Mata pemuda itu seolah
demikian berat.
Kerdipannya mulai lambat.
Sebentar saja Andika terpulas dalam selimut alam.
“Aaakh...”
Namun belum beberapa lama
terbang ke alam mimpi, Andika dikejutkan oleh teriakan seseorang.
Maka sontak matanya terbuka
lebar-lebar. Sesaat matanya mengerjap-ngerjap, mengusir rasa pening akibat
bangun mendadak. Kemudian telinganya dipasang tajam-tajam, berharap dapat
mendengar teriakan berikutnya, dan dapat menentukan asalnya.
Beberapa saat Andika terdiam.
Suara yang
ditunggu-tunggunya ternyata
tidak kunjung terdengar.
Dan dia mulai ragu dengan
telinganya.
“Ah Pasti hanya mimpi,” gumam
Andika.
Mata pemuda itu mulai terpejam
lagi.
“Aaakh...”
Dan pada saat itu juga,
kembali terdengar teriakan membahana, menguak udara malam yang dingin.
“Dari sebelah utara,” desis
Andika.
Bergegas Andika menggenjot
tubuhnya dan melenting turun. Lalu seketika tubuhnya melesat cepat ke arah
utara. Tak lama dia sudah menembus hutan randu yang cukup lebat. Dan sebentar
saja, matanya sudah menangkap cahaya api unggun sebelas tombak di depannya.
Andika mengendap hati-hati,
mendekati api unggun. Kakinya baru berhenti melangkah, ketika melihat seorang
wanita sedang berdiri di depan api unggun. Beberapa tombak di hadapannya,
tampak seorang lelaki tengah tergantung di atas pohon dengan kepala di bawah.
Di balik semak-semak, Andika menyembunyikan tubuhnya sambil terus
memperhatikan.
Melihat penampilan wanita itu,
Andika seperti pernah mengenalnya. Tubuhnya yang agak mungil terbungkus baju
hijau lumut. Rambutnya yang panjang dikepang ekor kuda. Karena Andika berdiri
di belakangnya, anak muda itu tidak bisa jelas melihat wajahnya. Tapi dia tetap
yakin pernah bertemu dengannya.
Pedang berkepala naga di
punggung, membuat Andika memastikan kalau gadis yang diintainya dari sepanjang
siang tadi dicarinya, pasti Purwasih.
Andika memutuskan untuk
bertahan dulu
beberapa saat di tempat
persembunyiannya. Dia ingin tahu, apa yang dikerjakan Purwasih terhadap lelaki
yang digantungnya di atas pohon.
“Kau masih bertahan untuk
tidak bicara?” kata Purwasih di antara gemeretak kayu yang terbakar.
“Kau pikir aku akan mudah
bersuara untukmu, Naga Merah?” jawab lelaki yang digantung. Tubuhnya dipenuhi
koyak akibat sayatan pedang. Masih dengan meringis menahan pedih, dia menatap
berbalik pada Purwasih. “Tanyakan saja pada iblis hutan randu ini”
“Ooo, kau ingin diberi sedikit
paksaan lagi?” tukas Purwasih, dingin. “Baik....”
Kemudian Purwasih bangkit.
Dihampirinya lelaki itu. Lalu.... Sret
Purwasih mencabut pedangnya di
punggung.
Langsung dibabatkan pedangnya
ke arah paha laki-laki yang digantung.
“Aaakh”
Kembali terdengar jeritan
menyayat. Tampak darah meleleh dari paha yang tersayat itu.
“Bagaimana, apa kau masih
tidak ingin bicara?”
desak Purwasih.
Orang yang dipaksa bicara
hanya menatap dengan sinar mata dendam.
Sementara di tempat
persembunyian, Andika mengutuk perbuatan Purwasih yang telengas itu.
Ternyata dugaannya dulu bahwa
Naga Wanita adalah bajingan perempuan yang mengaku-ngaku sebagai utusan
adipati, kini terbukti.
Darah Andika menggelegak
hingga ke ujung
kepala. Dadanya berderu keras
dilanda kemarahan yang tiba-tiba membakar. Terlebih, saat benaknya dibawa
kembali pada peristiwa pembokongan dirinya oleh Purwasih ketika bertempur
melawan Begal Ireng dulu. Seketika saja, tangannya meraba sesuatu di tanah.
Lalu....
Singngng
Tes
Tali pengikat lelaki yang
digantung terputus, begitu Andika mengebutkan tangannya. Rupanya, kerikil yang
dijentikkan bersama tenaga dalam membuat tali terputus, sehingga orang yang
digantung meluncur ke tanah.
Brukkk
Lelaki tadi jatuh menghantam
tanah.
Sementara Purwasih terkesiap.
Sinar matanya terlihat garang saat mencari orang yang hendak ikut campur
urusannya.
“Siapa setan busuk yang berani
lancang? Keluar”
bentak gadis berbaju hijau
lumut penuh amarah.
Jawaban yang muncul justru
kelebatan sesosok tubuh yang datang dari samping. Dan, Purwasih langsung
membabatkan pedangnya yang masih tergenggam di tangan, untuk memapak serangan
itu.
Tapi hatinya jadi terkejut,
karena tebasannya seperti mengenai angin. Padahal dia sudah yakin kalau
penyerangnya akan segera menggelepar terbabat.
Ternyata orang yang berkelebat
tiba-tiba melenting ke atas, seraya mengebutkan tangannya. Dan.... Tuk
Keterkejutan Purwasih
bertambah dua kali lipat, ketika menyadari tubuhnya terasa tak memiliki tulang
lagi. Rupanya si penyerang telah menotok jalan darahnya Sebentar saja, tubuh
Purwasih telah ambruk ke tanah.
“Apa kabar, Naga Wanita? Masih
ingat padaku yang tampan ini?” sapa Andika, begitu menjejakkan kakinya di depan
Purwasih.
Mulanya, gadis itu hanya
menatap Andika dengan alis merapat dan mata yang menyipit geram.
Penampilan Andika yang sudah
seperti gembel itu sudah tidak dikenalinya. Baju pemuda itu koyak-koyak dan
mengenakan kain bercorak catur yang menutupi bagian belakang tubuhnya. Tapi
ketika matanya tertumbuk pada wajah pemuda itu....
“Kau... Andika?” desis
Purwasih, ingin
memastikan.
“Ya Aku Andika, anak muda yang
pernah kau bokong dulu...,” kata Andika penuh getaran pada setiap kata-katanya.
“Ah Kau masih saja slebor
seperti dulu, Andika.
Kalau ingin mengucapkan salam
pertemuan, kenapa harus menotok? Dasar slebor...,” kata Purwasih, tanpa bisa
bergerak sedikit pun di tanah.
“Diam” hardik Andika
mengguntur. Purwasih langsung tercekat.
“Apa-apaan kau ini?” dengus
Purwasih, makin tercekat bercampur heran. “Jangan berpura-pura, Perempuan
Tengik Kukira kau benar-benar utusan Prabu Bratasena yang sedang menyelidiki
pemberontakan Begal Ireng. Tapi, ternyata kau tak lebih dari penipu” desis
Andika.
“Apa? Gila Gila kau, Andika
Tak pantas kau menuduhku seperti itu” balas Purwasih, tak kalah sengit.
Mata Andika melotot. Sambil
berjalan mengelilingi Purwasih yang tergeletak tanpa gerak, matanya terus
terpaku pada gadis itu.
“Tak pantas? Setelah kau
berusaha membunuhku saat bertempur melawan Begal Ireng dulu? Setelah aku tahu,
kalau kau ternyata dicari-cari lima lelaki dari kerajaan, karena kau adalah
mata-mata? Setelah kau menyiksa secara keji lelaki tadi?” kata Andika lagi,
sinis.
“Hi hi hi...”
Mendadak Purwasih tertawa
tertahan.
“Kenapa tertawa? Aku tidak
sedang melucu”
Dibentak Andika seperti itu,
wajah Purwasih kembali mengejang.
“Tolol Tak kukira, ternyata
pikiranmu masih tolol...,” dengus Purwasih.
“Diaaam” potong Andika.
“Kau yang diam Dengarkan aku”
balas Purwasih, tak kalah sengit. “Aku memang utusan Prabu Bratasena. Dan aku
pula yang dulu membokongmu.
Tapi....”
“Tapi kau hanya bajingan
perempuan” potong Andika sekali lagi.
Mata Purwasih meredup. Sakit
hatinya dikatakan bajingan.
“Andika.... Bukalah totokanmu.
Akan kujelaskan semuanya,” ratap gadis itu agak perlahan. Dia berusaha
menguasai kejengkelan yang mem-
berontaki dirinya.
“Setelah kau kubebaskan, lalu
akan buron? Huh
Nanti dulu....”
“Apa kau pikir aku bisa
menandingi kehebatanmu?
Apa kau lupa, kalau kau adalah
keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang diwarisi kecepatan gerak yang sulit
tertandingi?”
Andika menggaruk-garuk kepala
seperti orang bodoh. “Memang benar apa yang dikatakan
perempuan brengsek ini. Ilmu
meringankan tubuhku sudah demikian sempurna.” Kepala pemuda itu jadi
mengangguk-angguk.
“Kenapa hanya
mengangguk-angguk seperti
burung kakaktua? Bebaskan aku”
seru Purwasih.
“Baik... baik. Kenapa jadi
begitu sewot? Aku tak akan menciummu atau berbuat yang macam-macam padamu,”
ucap Andika, mulai timbul lagi sifat ugal-ugalan seorang anak gelandangan yang
sudah tertanam dalam dirinya.
Pemuda itu segera merunduk.
Seketika tangannya bergerak cepat ke arah punggung gadis itu. Dan....
Tuk
Purwasih seketika terbebas
dari totokan itu. Gadis itu segera bangkit seraya menepuk-nepuk baju hijaunya
yang dipenuhi kotoran. Dan ini membuat Andika jadi tidak sabar.
“Cepat buktikan ucapanmu
Kenapa kau jadi lambat kayak pesinden?” rutuk Andika.
“Iya..., iya” omel Purwasih.
Tangan gadis itu segera
bergerak mengeluarkan pisau-pisau kecil dari balik bajunya.
“Hey Kau mau main api padaku,
ya?”
“Ah, dasar anak tolol Apa kau
tak mau kubuktikan kalau aku tidak bermaksud membunuhmu waktu itu?” tukas
wanita itu seraya mengacungkan pisau tanpa gagang, namun terdapat rumbai-rumbai
di ujung belakangnya. Pisau seperti itulah yang dulu menancap di badan Andika
dulu.
“Baik..., buktikanlah Tapi
kalau main curang, kau akan kucium sampai mati”
Di antara sinar api unggun
yang menerpa wajah cantik Purwasih, seketika rona merah dadu merayapinya.
Ucapan terakhir Andika yang sedikit nakal, membuatnya mati kutu. Mulutnya
terkunci rapat, tak dapat lagi berkata apa-apa.
“Ayo, tunggu apa lagi?” sentak
Andika.
Tiba-tiba tangan Purwasih
bergerak.
Zing...
Zing...
Zing...
Tiga pisau kecil langsung
meluncur pada sisa tali yang dipakai untuk menggantung lelaki yang kini telah
lenyap entah lari ke mana.
Tes
Tes
Tes
Tali itu langsung terpotong
tiga bagian dengan ukuran sama. Namun Andika mengernyitkan kening, tidak
mengerti maksud Purwasih.
“Apa maksudmu sebenarnya?
Kalau hanya jengkel dengan ucapanku tadi, aku akan menariknya kembali. Aku tak
akan mengancam dengan menciummu sampai mati. Tapi....”
“Diam, Andika” selak Purwasih.
Gadis itu tidak ingin wajahnya bertambah merah, lalu diketahui pemuda tampan
ini.
“Kau sudah lihat, aku dapat
memutuskan tali itu dengan senjata rahasia, bukan? lanjut Purwasih.
Andika mengangguk-angguk
dengan tangan
memegangi dagu. Sementara
Purwasih mengira Andika sudah mengerti maksudnya. Makanya
ditariknya napas lega beberapa
saat.
“Jadi apa maksudmu?” tanya
Andika sambil menggaruk kepala.
Purwasih menarik napas lagi.
Tapi kali ini karena jengkel.
“Kalau aku ingin membunuhmu
waktu itu, akan mudah kulaksanakan. Sengaja aku membokongmu, agar Begal Ireng
menyangka kau mati sehingga selamat dari tangannya,” urai Purwasih menjelaskan.
“O, jadi kau tidak mengarahkan
pisau itu ke jantungku?”
“Ya Aku hanya mengarahkan pada
titik yang menghentikan gerakan jantung sesaat. Sehingga, Begal Ireng menyangka
kau mati.”
Andika mengangguk-angguk
kembali. Dia mulai percaya penjelasan wanita cantik yang kini kembali duduk di
dekat api unggun. Karena dia sendiri pernah bertemu seseorang yang mampu
menghentikan denyut jantungnya. Siapa lagi kalau bukan Ki Saptacakra.
Dihampirinya Purwasih yang
terduduk kesal.
Bagaimana wanita itu tidak
kesal, kalau lelaki yang sedang dipaksa bicara tadi akhirnya kabur karena
perbuatan yang dilakukan Andika. Dan sementara Andika sudah duduk di sisinya.
“Lalu siapa lima lelaki yang
kutemui siang tadi?
Apa mereka dari kerajaan?”
tanyanya, mulai lembut.
Saat bertanya, mata Andika
yang setajam mata naga memperhatikan wajah Purwasih di dalam selimut cahaya
merah api unggun. Dan tentu saja gadis itu jadi salah tingkah. Dia bangkit,
seraya melangkah perlahan.
“Mereka memang orang-orang
kerajaan, anak buah seorang perwira yang berkhianat. Makanya aku memaksa lelaki
tadi berbicara tentang perwira itu.
Karena sampai saat ini, dia
tetap menjadi musuh dalam selimut...,” jelas Purwasih, sambil terus melangkah
memutari api unggun.
Andika ikut bangkit.
“Aduh Jadi, lelaki tadi
antek-anteknya Begal Ireng?
Ck ck ck.... Tolol sekali aku,
ya?” tutur Andika kebodoh-bodohan.
“Lelaki itu pantas mendapat
perlakuan yang tadi kuperbuat padanya. Karena, dia sendiri kerapkali berlaku
keji pada orang-orang lemah dan tak berdosa,” lanjut Purwasih, seperti tidak
mendengar ucapan Andika.
Sesaat gadis cantik berusia
sekitar dua puluh sembilan tahun itu mematung dalam diam.
Sedangkan Andika mendekatinya.
“Gara-garamu, aku gagal
mencari tahu siapa perwira yang berkhianat di kerajaan” bentak gadis itu
tiba-tiba saat Andika baru saja berdiri di sampingnya.
Andika tersentak. Cepat-cepat
dadanya diusap.
“Bangun-bangun... makan nasi
sama racun....
***
Pagi bangkit kembali bersama
senyum mentari di sudut timur. Hawa dingin mengepung hutan randu tempat Andika
dan Purwasih bermalam. Kabut tipis bergerak lamban, seperti iring-iringan peri
hutan.
“Huaaah....”
Andika menguap panjang.
Bersama satu geliat tubuhnya, dia terjaga.
“Pagi, Andika,” salam
seseorang di sampingnya.
Rupanya. Purwasih bangun lebih
dahulu, dan sedang meletakkan kayu bakar yang baru saja dicari di sekitar hutan
randu itu.
“Pagi...,” sahut Andika agak
malu, karena tidur seperti orang mati sehingga bangun kesiangan.
“Apa rencanamu hari ini,
Andika?” tanya Purwasih, sementara tangannya memutar kayu sebesar jari yang
berujung lancip di atas kayu lain untuk menyalakan api unggun. Dan begitu api
telah tercipta, maka semakin berkobar membakar kayu bakar.
Jadilah api unggun.
“Aku tidak tahu,” sahut Andika
singkat.
“Bukankah kau akan mencari
Begal Ireng?”
“Memang.”
“Kau hendak mencarinya ke
mana?”
“Kau sendiri bagaimana?”
Andika malah balik bertanya.
“Aku sendiri sudah kebingungan
mencarinya. Dia sulit sekali ditemukan. Lebih-lebih karena markasnya tidak
tetap. Gerombolannya selalu berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lain,
dari satu kampung ke kampung lain,” jawab Purwasih.
Tubuh gadis itu agak menjauh
dari api unggun yang mulai menjilat-jilat. Rasa hangat perlahan menebar,
sedikit mengusir dingin yang dirasakan.
“Kalau kau telah menemukan,
apa yang akan kau lakukan?” tanya Andika.
Purwasih menggeleng.
“Tak tahu,” jawab gadis itu singkat.
“Untuk melawan Begal Ireng dan gerombolannya, paling tidak seluruh prajurit
beserta perwira kerajaan harus dikerahkan. Itu pun tidak menjamin akan menang.”
“Aneh,” desah Andika, setelah mendengar
penjelasan Purwasih.
Telinga wanita itu sempat menangkap
desahan Andika.
“Aneh bagaimana?” tanya
Purwasih ingin tahu pikiran Andika saat itu.
Andika lalu mendekati api
unggun, dan duduk di depan Purwasih.
“Apa kau tak heran? Mengapa
Begal Ireng tidak menyerbu kerajaan, sementara kekuatan gerombolan yang
dimiliki bisa saja menghancurkan kerajaan?”
Andika mengajukan pertanyaan.
Purwasih menatap Andika dengan
mata menyipit.
Diakui perkataan pemuda di
depannya memang benar.
“Begal Ireng ingin merebut
kekuasaan Prabu Bratasena, kan?”
Purwasih mengangguk.
“Nah Tunggu apa lagi kalau
kekuatannya sudah sanggup merebut kekuasaan prabu?”
Purwasih mengangguk-angguk.
Hatinya diam-diam memuji kecerdasan Andika dalam mencium hal itu.
Dia sendiri tak pernah
berpikir sampai sejauh itu, meski menyelidiki setiap gerakan pasukan Begal
Ireng dari waktu ke waktu. Ditatapnya kembali mata pemuda tampan itu dengan
sinar kekaguman.
“Kenapa kau menatapku seperti
itu?” tanya Andika, tanpa diduga Purwasih.
Wanita mana yang tidak menjadi
merah padam kalau tertangkap basah seperti itu? Purwasih juga demikian.
Buru-buru wajahnya disembunyikan dengan menunduk.
“Anak muda brengsek” umpatnya
dalam hati.
“Eit... eit.... Kenapa wajahmu
jadi kebakaran?” goda Andika. “Kau naksir aku, ya? Kalau naksir, kenapa tidak
bilang dari dulu?”
Purwasih menatap saja. Dan
seketika tangannya bergerak. Maka....
Tak
“Aduh”
Andika mengusap-usap jidatnya
yang dicium gagang pedang Purwasih. Memang ledekannya sudah kelewatan.
“Itu bukan cara orang naksir,
Purwasih. Mestinya kau cium aku di kening, di pipi, atau di dengkul juga
boleh,” lanjut Andika belum kapok.
Mata Purwasih membelalak,
memelototi Andika.
Dia tidak peduli lagi pada
warna wajahnya yang semakin matang.
“Kau ingin kupukul lagi, ya?”
bentak gadis itu sewot.
“Ampun... ampun”
Dan Andika menyingkir ngeri.
Pagi terus berlanjut tanpa
peduli pada dua insan yang sedang bercanda. Sepenggalan demi
sepenggalan, matahari
merangkak menuju puncak tahtanya. Mestinya, setiap manusia bisa berbagi suka
seperti mereka. Bercanda, saling memperhatikan dan saling membagi kebahagiaan
satu sama lain.
Kalau saja manusia memiliki
berjuta benih kasih yang dapat ditebarkan di dunia ini....
*** 4
Andika dan Purwasih sepakat
untuk mengunjungi Kerajaan Alengka. Rencananya, Purwasih akan memperkenalkan
Andika pada Prabu Bratasena.
Mulanya Andika menolak tawaran
Purwasih. Alasan-nya, dia tidak mau masuk istana, sehingga terpaksa harus
mengikuti tata cara dalam hal menghadap prabu. Apalagi, Andika benci
penghormatan yang berlebihan terhadap seorang raja. Tapi karena Purwasih terus
mendesak, akhirnya pemuda itu menyerah.
“Tapi sebelum kita berangkat
ke kerajaan, kau harus ganti baju dulu,” ujar Purwasih pada Andika.
“Ganti baju?” tanya Andika.
Ditatapnya pakaian yang compang-camping. Memang, selama menjalani penyempurnaan,
pakaiannya sering tersambar petir atau terkoyak akibat gerakan-gerakan silatnya
yang terlalu cepat luar biasa. “Ini masih lumayan kok, ketimbang telanjang
seperti kambing.”
“Tapi kambing tidak akan
menghadap prabu,”
tukas Purwasih cepat. “Jangan
khawatir, kita akan singgah dulu di Desa Sariadi. Lalu akan kubelikan kau
pakaian yang pantas.”
“Sebenarnya aku enggan melepas
pakaianku.
Benda ini adalah warisan dari
Ki Sanca, lelaki tua yang sudah seperti ayahku sendiri,” desah Andika dengan
mata menerawang, mengenang gurunya tatkala berada di Perguruan Trisula Kembar
(baca episode pertama: 'Lembah Kutukan').
“Gimana kau akan bertemu prabu
kalau pakaian-mu seperti ini?” Purwasih memperhatikan pakaian Andika. “Kau
lebih semrawut dari keranjang sampah”
“Kau yang malu, apa karena
malu sama Prabu Bratasena?” sindir Andika.
“Dua-duanya, lah” jawab
Purwasih, kesal.
“Tapi kau berjanji?” tawar
Andika.
“Janji? Janji apa?”
“Kalau aku sudah ganti
pakaian, kau harus memperkenalkan diriku sebagai tunanganmu pada Prabu
ratasena....”
“Apa?”
***
Akhirnya anak muda keras
kepala itu bisa juga digiring Purwasih ke Desa Sariadi. Mereka kini memasuki
pasar di desa ini untuk membeli beberapa keperluan di perjalanan nanti,
sekaligus membeli pakaian untuk Andika.
Seperti biasa, pasar pagi itu
ramai oleh pedagang dan pengunjung. Kedai kelontong yang terbakar kemarin
siang, tampak mulai dibersihkan oleh beberapa orang.
Ketika tubuh Purwasih dan
Andika sudah menyatu dalam arus manusia di pasar, beberapa orang di pinggir
jalan terdengar berbisik-bisik. Sementara, mata mereka menatap Andika
lekat-lekat. Andika yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian di pasar itu.
tentu saja mengusik
keingintahuan Purwasih. Tapi sebelum bertanya langsung pada anak muda di
sampingnya, kasak-kusuk yang ditangkap telinganya sudah cukup menjelaskan,
kenapa Andika diperhatikan mereka begitu rupa.
“Itu kan, pendekar yang
kemarin mengusir lima pengacau, ya?” tunjuk salah seorang. “O, iya... si
Pendekar Slebor, kan?” timpal yang lain.
“Hus”
Kasak-kusuk makin seru.
Mendengar semua itu, Purwasih
jadi tersenyum sendiri.
“Rupanya kau sudah terkenal
sekali, ya? Kau pun mendapat gelar kehormatan Pendekar Slebor Hm, gelar yang
bagus,” ledek Purwasih sambil menahan tawa yang hendak meledak saat itu juga.
Andika pura-pura tidak dengar.
Dia melangkah terus tanpa menoleh. Sampai akhirnya, mereka tiba di salah satu
kedai kelontong.
Setelah menyelesaikan urusan
di kedai kelontong, mereka singgah di kedai makan untuk memenuhi tuntutan perut
mereka yang mulai bernyanyi.
Kebetulan, kedai itu
bersebelahan dengan kedai kelontong. Andika sudah berganti baju dan celana
baru, hadiah dari Purwasih. Wanita itu pula yang memilihkannya untuk Andika.
Menurut Purwasih, Andika cocok mengenakan pakaian warna hijau pupus. Dan Andika
menerimanya. Sedangkan pada punggung Andika tersampir kain bercorak seperti
papan catur, sehingga kain itu terlihat seperti jubah.
Sebelum makanan pesanan tiba,
Purwasih terus menatap anak muda itu lekat-lekat. Hatinya tak habis-habisnya memuji
kegagahan pemuda di hadapannya dalam pakaian baru. Biarpun usia antara dirinya
dengan Andika bertaut cukup jauh, tetap saja Purwasih tidak bisa mendustai
perasaan kagumnya pada Andika.
Sementara, orang yang sedang
diperhatikan malah sibuk melirik kian kemari. Terutama pada beberapa wanita
yang berada dalam kedai. “Bagaimana, Andika?” tanya Purwasih, mengusik
keasyikan Andika.
“Wah, cantik-cantik...,” jawab
Andika cepat.
“Aku tidak menanyakan
gadis-gadis itu Aku tanya, apa kau merasa lebih nyaman dengan pakaian itu?”
tukas Purwasih.
“Ooo, itu. Pakaian hadiahmu
ini boleh jugalah,”
ucap Andika jujur. “Paling
tidak, aku bisa dilirik beberapa gadis di tempat ini....”
Purwasih geleng-geleng kepala.
Dia jadi menggerutu dalam hati. Masalahnya, kenapa pemuda ini sulit sekali
sungguh-sungguh. Pantas saja penduduk desa di pasar tadi menyebutnya Pendekar
Slebor....
Beberapa saat kemudian,
makanan pesanan tiba.
Lalu mereka mulai menyantap,
setelah hidangan diletakkan di meja oleh pelayan. Sebagai orang kerajaan,
ternyata selera makan Purwasih tidak berlebihan. Yang dipesannya hanya makanan
sederhana yang murah meriah. Padahal kalau mau, dia bisa makan lebih mewah dari
yang tersedia sekarang ini.
“Oya, Andika...,” kata
Purwasih saat mereka hampir menyelesaikan makan. “Aku turut prihatin atas nasib
Ningrum waktu itu.”
Andika menarik napas
dalam-dalam. Setiap kali ingat akan gadis yang disebutkan Purwasih, hatinya
langsung terasa dijepit gunung karang. Sesak seketika melanda dadanya.
“Maaf, Andika. Aku tak bermaksud
mengganggu selera makanmu,” sesal Purwasih ketika menemukan wajah Andika
dikurung mendung.
“Tidak apa-apa,” sahut Andika
perlahan. “Kenapa waktu itu kau hendak menyelamatkan aku dengan melempar
senjata rahasiamu ke diriku?” Andika seperti sengaja mengalihkan pembicaraan
tentang diri Ningrum yang terlalu menyakitkan baginya.
“Karena kerajaan perlu dirimu.
Begitu juga rakyat.
Begal Ireng sudah terlalu
membawa petaka bagi negeri ini. Sementara untuk menyingkirkannya, pihak
kerajaan tak bisa berbuat banyak. Banyak pendekar golongan lurus yang menjadi
marah, lalu mencoba melenyapkannya. Tapi, usaha mereka hanya membuang nyawa.
Kau sebagai seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang diwarisi ilmu
kedigdayaan tinggi, tentu menjadi satu-satunya harapan rakyat untuk membebaskan
mereka dari cengkeraman kuku-kuku kekuasaan Begal Ireng,” urai Purwasih
panjang.
Andika mengangguk-angguk.
Bukan karena
bangga terhadap keberadaan
dirinya yang begitu dibutuhkan. Tapi, karena memahami betapa berat tugas yang
dibebankan ke pundaknya, mengemban suara hati rakyat yang menderita.
“Kenapa kau tanyakan itu?”
tanya Purwasih ingin tahu.
“Tadinya kukira kau
menyelamatkan aku karena naksir...,” jawab Andika, sambil mengangkat bahu.
“Kau mulai slebor lagi, Andika”
hardik Purwasih tertahan.
Kemudian jemari lentik gadis
itu mencubit gemas perut Andika. Dia sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba ingin
berbuat seperti itu. Apa mungkin mulai dirasuki keinginan bermanja-manja dengan
pemuda tampan itu?
Sementara di meja lain yang
tak jauh dari meja mereka, seseorang duduk memperhatikan tanpa geming. Dari
balik caping yang menyembunyikan wajahnya, mata orang itu terus mengawasi
Purwasih dan Andika. Sinar matanya berkobar-kobar tajam.
Tubuhnya yang tidak terlalu
tinggi, dan tidak pula terlalu tegap, terbungkus pakaian berwarna merah darah.
Memang tanpa diketahui
Purwasih maupun
Andika, orang itu telah
mengikuti mereka berdua selama beberapa hari. Siapa dia?
***
Perjalanan menuju Kerajaan
Alengka memakan
waktu sehari perjalanan.
Setelah melewati beberapa kampung, mereka harus melewati hutan cemara di bukit
yang membelah wilayah utara dengan kotapraja.
Ketika mulai berjalan mendaki,
hari sudah menjelang petang.
Matahari mulai tersungkur
lebih di kaki langit sebelah barat. Lembayung pun melukis langit dengan warna
jingga. Dan sinarnya menerabas di antara pucuk-pucuk cemara yang bersusun tak
teratur.
“Kita terpaksa bermalam di
tempat ini dulu, Andika,” ujar Purwasih. “Kalau kita teruskan perjalanan, tidak
mustahil kita akan tersesat dalam kegelapan hutan cemara.”
“Aku setuju saja apa katamu,”
sambut Andika.
“Kita masih punya waktu untuk
mencari tempat yang cukup nyaman agar....”
Belum lagi tuntas ucapan
Purwasih, dari arah selatan terdengar ringkik kuda, seiring derap sayup-sayup
tertangkap di telinga.
“Rupanya ada orang lain di
tempat ini,” bisik Andika kepada Purwasih.
“Ah Mungkin hanya penduduk
yang hendak pergi ke kotapraja,” duga Purwasih. Andika menggeleng.
“Kau salah,” kata Andika.
“Berapa ekor kuda yang terdengar olehmu?”
Purwasih menajamkan
pendengarannya sesaat.
“Tampaknya dua ekor,” jawab
Purwasih.
“Apa mungkin dua orang
penduduk biasa berani melintasi hutan ini menjelang malam seperti sekarang?
Bukankah kau pernah mengatakan kalau gerombolan Begal Ireng sering menjelajah
hutan-hutan seperti ini?”
“Jadi, menurutmu siapa
mereka?”
“Apa kau dengar langkah lain,
selain langkah kuda?” tanya Andika lagi.
Purwasih menggeleng.
“Itu artinya, mereka memiliki
ilmu meringankan tubuh yang cukup bagus. Bukankah di jalan mendaki yang cukup
curam ini para pengendara kuda hanya menuntun kuda mereka?” lanjut Andika,
membuat Purwasih harus mengakui kecerdasannya.
“Jadi mereka orang
persilatan?” tebak Purwasih.
“Tepat” sambut Andika, tetap
berbisik. “Hanya kita belum tahu apakah mereka dari golongan hitam atau putih.
Untuk itu, kita harus mengintai. Siapa tahu mereka adalah salah seorang
pengikut Begal Ireng keparat itu....”
Selesai berkata demikian,
Andika memberi isyarat pada Purwasih untuk bersembunyi di semak-semak lebat.
Sementara langkah kuda semakin jelas terdengar. Langkah itu kian dekat, sampai
akhirnya terlihatlah dua orang lelaki yang sedang menuntun kuda, tepat seperti
dugaan Andika.
Salah seorang tampak
mengenakan pakaian Iurik ketat, membungkus tubuhnya yang demikian gempal
berotot. Wajahnya terlihat angker dengan rahang berbentuk persegi. Hidungnya
yang agak pendek, mata yang berkelopak besar serta bibir yang tebal,
menggambarkan kekerasan kehidupan yang dijalani.
Terlebih ditambah kulitnya
yang legam.
Orang itu berbeda dengan
lelaki yang berjalan di sebelahnya. Wajah orang itu terlihat berwibawa dan
bersih. Dapat diduga, kalau dia termasuk orang kalangan atas. Apalagi,
pakaiannya sepertinya hanya dimiliki pembesar. Kumisnya melengkung rapih di
atas bibir. Walau usia sekitar lima puluh tahun, tapi wajahnya masih tampak
muda serta tampan.
“Patih Ranggapati...,” bisik
Purwasih di tempat persembunyian ketika melihat lelaki yang berbaju pembesar
itu.
Segera Purwasih mengajak
Andika keluar dari persembunyiannya. Gadis itu memang kenal lelaki tadi,
sebagai perwira kerajaan yang memimpin pasukan khusus berkuda.
“Jadi kau mengenal orang itu,
Purwasih?” tanya Andika seraya mengikuti Purwasih yang telah menggenjot tubuh,
keluar dari semak-semak.
“Ratih Ranggapati” panggil
Purwasih.
Lelaki yang ditegur, seketika
menoleh. Wajahnya tampak agak terkejut ketika mendengar seruan Purwasih. Namun
ketika matanya sudah menangkap sosok orang yang memanggilnya, malah
diper-lihatkannya senyum.
“Ah, Purwasih.... Kebetulan,”
desah orang berwibawa itu, menyambut Purwasih.
“Kenapa Patih ke tempat ini?”
tanya Purwasih saat sudah berdiri di depan lelaki setengah baya itu.
“Aku memang hendak mencarimu,”
jawab Patih Ranggapati pada Purwasih.
“Mencariku? Ada apa?” tanya Purwasih,
agak heran.
“Bukankah selama sebulan ini
kau belum memberi laporan tentang penyelidikanmu terhadap Mahapatih Guntur
Slaksa?”
“Astaga Kenapa aku jadi lupa?
O, iya. Ini Andika,”
kata Purwasih memperkenalkan
pemuda yang kini berdiri di sampingnya. “Dialah pendekar muda yang kita
tunggu-tunggu selama ini. Pendekar dari keturunan keluarga....”
“Ah Senang sekali berjumpa
denganmu, Patih Ranggapati,” potong Andika, tidak ingin mendengar sanjungan
Purwasih.
“Sama-sama aku pun demikian.
Hm..., dan ini Bayureksa,” kata Patih Ranggapati memperkenalkan lelaki
bersamanya. “Dia seorang prajurit khusus kerajaan yang menjadi tangan kananku.”
Orang yang bernama Bayureksa
itu merundukkan kepala sebagai tanda hormat, meski wajahnya tak memperlihatkan
senyum.
Mau tak mau, Andika turut
menundukkan kepala seperti nenek-nenek latah. Bukan apa-apa. Bagi Andika,
seorang yang sudah memberi penghormatan, mestinya memang dihormati pula.
Padahal ketika menyapa Patih Ranggapati, tak ada acara demikian.
Kecuali, senyumnya yang lebih
mirip cengengesan orang tolol.
Sementara Bayureksa juga
menjura pada
Purwasih, yang dibalas dengan
menjura juga. Seperti saat menjura pada Andika, Bayureksa pun tak
memperlihatkan senyumnya. Bahkan sekadar sepatah kata pun tidak. Dia memang termasuk
prajurit yang jarang berbicara. Sifatnya pun agak kaku. Tapi dalam hal
pengabdian pada negara, patut mendapat acungan jempol beratus kali. “Kebetulan
sekali, kami juga hendak ke istana.
Karena hari mulai gelap, kami
terpaksa hendak bermalam dulu di hutan ini,” tutur Purwasih kembali.
“Apa tak sebaiknya kita
lanjutkan saja?” usul Patih Ranggapati. “Bayureksa adalah prajurit khusus yang
memiliki keahlian merambah hutan, meski di malam buta sekalipun.”
“Kalau memang begitu,
baiklah,” jawab Purwasih.
Mereka mulai melanjutkan
perjalanan. Sekarang, Purwasih tidak perlu terlalu khawatir akan tersesat di
hutan cemara ini. Lain halnya Andika. Belum lama mereka beriringan, dia
kelihatan bersungut-sungut saja.
“Kenapa kau menyetujui tawaran
Patih
Ranggapati, sih? Kita kan bisa
jalan berdua saja. Itu lebih indah. Kita bisa berjalan bergandengan tangan di
bawah sinar bintang gemerlap dan di antara gigitan nyamuk-nyamuk hutan.
Indahkan?” oceh Andika setengah berbisik, agar tak sampai di telinga dua lelaki
yang berjalan beberapa tombak di depan mereka.
Purwasih langsung menyikut
perut Andika.
Duk
“Ukh.... Ssst, Purwasih.
Bayureksa itu orang benar, apa hanya orang-orangan, sih? Kenapa kaku sekali.”
Belum lagi sakit di perutnya
hilang, mulut Andika sudah cuap-cuap kembali. Terpaksa Purwasih meng-gerakkan
tangannya kembali ke perut Andika.
Duk
“Ukh”
Dalam sinar bulan sabit yang
temaram mereka terus menyusuri jalan mendaki dalam hutan cemara lebat. Jangkrik
terus bersenandung memainkan lagu alam bersama binatang malam lain. Sampai
suatu saat....
Kresk
Terdengar ranting kering yang
patah terpijak. Maka serempak keempat orang itu langsung menoleh ke asal suara.
Mata masing-masing bergerak-gerak waspada, berusaha menemukan sesuatu yang
mencurigakan. Dalam keadaan seperti saat itu, seringkali mereka dikecoh oleh
binatang hutan yang menginjak ranting. Namun, bukan berarti lengah terhadap
bunyi-bunyi mencurigakan seperti tadi. Bisa juga bunyi itu disebabkan injakan
kaki manusia yang bermaksud tidak baik.
“Siapa itu?” bentak Bayureksa
keras.
Tak ada jawaban. Hanya
terdengar derik jangkrik di sana-sini. Sesaat kemudian....
Zing
Zing
Dua berkas sinar di bawah
siraman cahaya bulan tampak melesat menuju Patih Ranggapati. Mata Andika yang
amat terlatih dalam menangkap gerakan kilat, tentu saja dapat mengenali benda
itu. Rupanya, dua bilah pisau kecil meluncur deras ke arah Patih Ranggapati.
Meski begitu, Andika memang tidak mungkin lagi bisa mendahului kecepatan pisau
terbang ini. Di samping karena jaraknya dengan Patih Ranggapati cukup jauh,
juga karena lesatan pisau terbang itu lebih dekat ke tubuh Patih Ranggapati,
sehingga....
“Haaakh”
Untung saja Patih Ranggapati
juga waspada. Dia berkelit dengan membuang tubuh ke sisi kiri. Hanya itu cara
menghindari pisau terbang yang hendak memangsa tubuhnya. Tapi untuk itu,
bahunya langsung membentur sebuah batang pohon cemara amat keras.
“Aaakh”
Sementara itu, Andika dengan
sigap menyerbu ke arah si pelempar pisau. Sekali genjot saja, tubuhnya sudah
melenting ringan di antara rerimbunan daun cemara.
“Hei, jangan lari Kujadikan
makanan tikus, kau”
seru Andika ketika matanya
menangkap kelebatan seseorang berbaju merah darah, bercaping di kepala.
Dan orang itu akhirnya
menghilang di balik tebing curam.
*** 5
Kerajaan Alengka mempunyai
wilayah kekuasaan cukup luas. Sebelum Begal Ireng muncul kembali, rakyat di
bawah kekuasaan Prabu Bratasena yang memerintah merasa sangat aman, tentram,
dan berkecukupan.
Namun sejak Begal Ireng
kembali dengan
kesaktian yang dimiliki, semuanya
jadi kacau. Rakyat menderita dalam tekanan yang menyengsarakan.
Kerusuhan demi kerusuhan,
pembunuhan demi pembunuhan. berlangsung di bawah tindak-tanduk Begal Ireng dan
gerombolannya. Hukum yang selama ini dijalankan jadi limbung. Sedangkan kekuatan
gerombolan Begal Ireng rupanya tidak mudah dilumpuhkan. Apalagi, tatkala
pemimpin kerusuhan itu merangkul tokoh-tokoh golongan hitam. Maka gelombang
petaka pun terus berlanjut.
Sementara itu, di bawah
siraman cahaya matahari pagi. Andika, Purwasih, Patih Ranggapati, dan Bayureksa
tiba di kotapraja. Dari gerbang masuk, mereka hanya perlu berjalan sekitar dua
jam untuk tiba di Kerajaan Alengka.
Karena peristiwa semalam,
Patih Ranggapati terluka kembali. Dan sebenarnya, luka di bahunya yang banyak
mengeluarkan darah, bukan karena tertumbuk batang cemara. Purwasih sendiri agak
heran ketika memeriksa luka yang diderita Patih Ranggapati. Karena, luka itu
tampak seperti luka sayatan benda tajam Menurut Patih Ranggapati, luka itu
memang akibat sabetan golok ketika harus ber- hadapan dengan orang-orang Begal
Ireng. Sebenarnya, lukanya sudah mengering andai saja tidak terbentur batang
pohon cemara semalam.
Kini keempat orang itu tiba di
pintu gerbang Kerajaan Alengka, yang dijaga ketat oleh enam prajurit dengan sikap
siaga. Ketika melihat kedatangan empat orang itu, mereka segera menjura
dalam-dalam.
Memasuki lingkungan istana,
puluhan prajurit yang sedang berlatih perang-perangan langsung menghormat.
Andika mengira, karena para prajurit menghormati Patih Ranggapati sebagai
seorang perwira tinggi kerajaan. Tapi ketika lelaki setengah baya itu dibawa
Bayureksa dan beberapa prajurit untuk dirawat, prajurit lain yang bertemu
Purwasih dan Andika tetap menjura khidmat. Andika yakin, Purwasih memang
memiliki pengaruh yang cukup besar di kerajaan itu. Dan Andika tak bisa
menghindar dari keterpanaan ketika....
“Selamat datang Tuan Putri,
Paduka Bratasena telah menunggu kedatangan Paduka...,” sambut seorang kepala
prajurit, ketika mereka menuju ruang kehormatan Prabu Bratasena. Laki-laki
berusia tiga puluh lima tahun itu membungkuk dalam-dalam.
“Jadi, kau putri Prabu
Bratasena sendiri?” cetus Andika seraya menatap Purwasih lekat-lekat. Matanya
tampak membesar tanpa berkedip.
“Ah Jangan terlalu
dipersoalkan,” tukas Purwasih tenang, sambil terus melangkah.
“Tapi kau telah membohongi aku
selama ini,”
sungut Andika, agak kesal.
“Memangnya sikapmu akan
berbeda kalau tahu aku ini anak raja?” sergah Purwasih tanpa menoleh.
“Tentu saja tidak. Buat apa
aku memperlakukan- mu berlebihan. Biar kau anak raja sekalipun, kau tetap makan
seperti yang aku makan juga,” jawab Andika, lebih mirip menggerutu.
***
Desa Karangwesi terletak di
wilayah selatan, masih kekuasaan Kerajaan Alengka. Hamparan sawah luas
mengelilingi desa itu. Padi yang menguning dan bergerak tertunduk-tunduk ditiup
angin, adalah harapan penduduk desa yang memeras keringat demi melanjutkan
hidup keluarga.
Setiap orang yang singgah di
Desa Karangwesi harus mengakui keindahannya. Sungai berarus deras yang membelah
desa, bagai ular raksasa yang meliuk-liuk. Rumah-rumah tersusun dalam jarak
teratur. Dan pepohonan hijau tumbuh di pekarangan setiap rumah.
Suasana damai desa itu
tiba-tiba dipecahkan oleh gemuruh derap puluhan pengendara kuda yang memasuki
gerbang perbatasan bersama kepulan asap yang merambah udara. Wajah para
penunggang kuda itu menyimpan kebengisan. Sinar mata mereka pun berkilat
garang. Terlebih, saat berteriak untuk menghela kuda yang ditunggangi. Pada
pinggang masing-masing penunggang kuda, terselip senjata berlainan jenis yang
membersit saat sinar matahari menimpa.
Dari cara memasuki desa
terlihat jelas kalau niat mereka tidak baik. Dan itu makin jelas saja, ketika
beberapa orang di antaranya turun di depan rumah pertama yang ditemui. Tanpa
banyak cakap. mereka langsung mendobrak pintu rumah secara paksa.
“Jangan, tolong... Tolong...”
“Aaakh...”
Beberapa saat kemudian,
terdengar jerit
mengenaskan seorang wanita
tua. Kemudian disusul erangan seorang lelaki.
Tak lama setelah itu, keempat
lelaki tadi keluar dengan membopong barang-barang berharga. Sudah dapat diduga,
apa yang dilakukan oleh para penunggang kuda itu.
“Perampoook” jerit wanita tua
pemilik rumah.
Jeritan itu merambah ke
seluruh desa, mengusik telinga penduduknya. Dari sawah, puluhan lelaki desa
yang kebetulan sedang istirahat siang, segera memburu ke asal jeritan. Namun
belum lagi mereka sempat menyadari apa yang terjadi, para penunggang kuda sudah
menyambut dengan sabetan-sabetan senjata haus darah.
Wet
Sing
Bret
“Aaakh”
Teriakan mengerikan kembali
melengking ke angkasa. Kali ini tidak hanya sekali atau dua kali.
Tapi, puluhan jeritan
susul-menyusul terdengar dari orang-orang tak berdosa yang dijagal. Bau anyir
darah membasahi tanah. Warna merah mulai menodai bumi, sebagai tanda
keangkaramurkaan manusia.
Tak cukup hanya membantai
jiwa-jiwa manusia.
Para penunggang kuda berjiwa
iblis itu juga menjarah harta penduduk. Selesai menguras harta, rumah pun
dibakar. Maka seketika api membumbung ke langit, memberi warna merah jelaga
bercampur hitam di cakrawala.
Suasana makin hingar-bingar.
Gemeletak kayu termakan api, jeritan ngeri para wanita, tangisan meninggi
anak-anak kecil, ringkik derap kaki kuda, serta teriakan penunggangnya. telah
membaur dalam sebuah untai kekacauan.
Apakah jiwa manusia sudah
terlalu tak berarti bagi sementara pihak? Atau nilai manusia sudah lebih hina
daripada seekor anjing? Dalam setiap peperangan dan kezaliman pertanyaan itu
selalu pantas dilontarkan.
Tapi bagi mereka yang telah
menyatu dengan sifat durjana iblis, pertanyaan seperti tadi tak pernah hadir
dalam hati. Mereka terus membantai. Dan liur haus darah mereka yang lebih
menjijikkan daripada liur anjing kudis, terus menetes mengiringi.
Pada saat pesta pora gila
tersebut makin menjadi....
“Berhenti”
Tiba-tiba terdengar lantang
seseorang lewat penyaluran tenaga dalam tingkat sempurna. Akibatnya, para
penunggang kuda kontan menghentikan semua kegilaan itu.
Di ujung jalan dekat gerbang
desa, tampaklah seseorang berpakaian merah darah. Sulit ditentukan, siapa orang
itu karena wajahnya tertutup caping pelepah kelapa lebar. Dia berdiri jumawa
menghadap para begal, dengan sikap menantang
“Manusia mana yang mencari
mati ini?” geram pemimpin pasukan berkuda itu.
Dia seorang lelaki bertampang
buruk, lebih buruk daripada seekor tikus buduk. Matanya yang besar terlihat
seperti mata barong. Hidungnya melebar, seperti bibirnya. Sementara, garis
matanya menampakkan kekejian dalam dirinya. Pakaian yang dikenakannya perlente,
tapi tetap tak dapat menutupi kebusukan hatinya. “Aku tak sekadar menyuruh
kalian meninggalkan desa ini secepatnya. Aku juga akan memaksa kalian
meninggalkan dunia ini sesegera mungkin,” kata orang yang baru datang penuh
nada ancaman.
“Hua ha ha...” laki-laki
bertampang buruk yang merupakan pemimpin pasukan berkuda itu tertawa riuh.
“Apakah kau sudah merasa menjadi malaikat maut yang mampu mencabut nyawa kami?”
“Membunuh kalian sama
mudahnya, seperti tikus-tikus sawah”
“Bangsat”
“Ya Makilah aku, selama masih
sempat memaki”
Dua lelaki penunggang kuda
diperintahkan
pemimpinnya untuk segera
menghabisi orang yang baru datang itu. Keduanya segera menghentakkan kekang,
sehingga kuda mereka meluncur bergemuruh seiring teriakan murka. Tapi sebelum
keduanya mencapai lima tombak, pisau-pisau kecil sudah terlepas dari tangan
lelaki bercaping yang berkelebat cepat ini.
Zing
Jep
Begitu cepat kebutan tangan
orang bercaping itu, sehingga....
“Huaaa”
Kuda mereka kontan terlonjak
diiringi satu ringkikan panjang, melemparkan tubuh penunggangnya yang tertikam
pisau-pisau yang melesat cepat.
Tubuh keduanya pun mencium
tanah tanpa nyawa, dengan darah mengucur dari bagian dada yang tertembus pisau.
“Kalian lihat Aku telah
menepati janjiku terhadap dua kawan kalian?” cemooh orang bercaping, dingin.
Menyadari kalau orang
bercaping tak bisa
diremehkan, pemimpin pasukan
berkuda ini memberi perintah agar anak buahnya menyerbu orang bercaping itu.
Maka lima belas ekor kuda yang
membawa
penunggangnya seketika
menyerbu serempak.
Sehingga, gemuruh dahsyat dari
derap kaki kuda langsung tercipta. Dengan senjata terhunus, mereka berteriak
liar dalam satu serangan maut.
“Hiaaat”
“Hiaaat”
Meski serbuan kelima belas
lelaki itu makin dekat, tapi orang bercaping itu tampak masih berdiri tenang.
Sedikit pun tak terlihat
tubuhnya bergerak. Tapi ketika para penyerangnya tinggal tiga tombak dari
tempatnya berdiri, tubuhnya melenting cepat, lalu berputar ke depan beberapa
kali. Pada saat melayang di udara itulah, tangannya kembali bergerak. Dan....
Zing
Zing
Enam orang penyerang seketika
rontok seperti daun kering, terhujam senjata rahasia orang bercaping ini. Tepat
di dada masing-masing tampak menancap pisau kecil yang langsung menghentikan
kerja jantung mereka. Kuda-kuda mereka menjadi panik, ketika enam tubuh
berdebum menimpa tanah.
Tanpa dapat dikendalikan,
kuda-kuda itu menendang-nendang dengan kaki depan disertai ringkikan riuh.
Pada saat itu orang bercaping
ini sudah menjejakkan kaki di antara lawan-lawannya. Dan tanpa banyak
kesulitan, sepasang pisau kecil di tangannya merobek perut para penunggang kuda
itu.
Sret
Sret
“Aaakh”
Darah kembali berhamburan dari
perut dua lelaki yang terbabat pisau orang bercaping ini. Tidak hanya itu. Isi
perut mereka pun terburai melalui sayatan tadi. Tanpa dapat menarik napas untuk
kedua kali, mereka ambruk kehilangan nyawa.
Dan seperti tak ingin memberi
peluang pada para lawan untuk hidup lebih lama, orang bercaping terus
menyabetkan pisau kecilnya, ke arah sisa penunggang kuda yang lain. Dengan
begitu, makin besar kesempatan orang bercaping untuk membantai seluruh lawan.
Maka satu persatu mereka tertebas dan mati, dengan darah berhamburan dari
bagian yang terluka.
Di antara ringkikan kuda,
teriakan mengerikan ikut mengimbangi. Sampai akhirnya, kuda-kuda itu berlarian
liar tanpa penunggang sama sekali. Dan kini, tinggal pemimpin pasukan yang
terpaku di atas kudanya, melihat seluruh anak buahnya berkalang tanah
“Cepatlah kau ke sini Aku tak
mau membuang-buang waktu” seru orang bercaping itu pada si pemimpin.
Menyadari keadaannya terjepit,
pemimpin
pasukan itu segera
menghentakkan tali kekang kuda, hendak lari.
“Hiaaa...”
Begitu kudanya berbalik ke
belakang dengan kecepatan penuh, si pemimpin itu melesat cepat.
Namun belum lagi jauh dia
sudah terpental dari punggung kuda. Rupanya, orang bercaping telah melemparkan
sepasang pisau di tangannya lalu menembus bokong pemimpin pasukan.
“Aaakh”
Brukkk
Sekali lagi, bumi dihantam
oleh tubuh tak bernyawa. Darah mengalir tampak dari lubang tembusan pisau di
tubuh pemimpin pasukan yang menyusul anak buahnya ke neraka.
Suasana kembali lengang.
Sayup-sayup terdengar gemeretak puing-puing rumah yang habis termakan api. Di
angkasa, asap hitam merayap dalam satu iring-iringap panjang. Demikian pula
isak tangis kehilangan dari para istri, anak, atau saudara penduduk Desa
Karangwesi.
“Mereka pantas membayar semua
perbuatan ini dengan nyawa. Kalaupun mereka memiliki sepuluh nyawa tetap saja
belum bisa melunasi petaka yang diciptakan,” desah orang bercaping.
Setelah itu, dia melangkah
gontai di bawah terpaan terik mentari.
***
Waktu berlalu tanpa dapat
ditahan. Suka atau tidak hari bergulir terus. Dan sudah sepuluh hari
ter-lewati, sejak kejadian di Desa Karangwesi.
Sementara di Kerajaan Alengka
sedang diadakan pertemuan di dalam ruang kehormatan, setelah Purwasih
mengusulkan untuk mengadakan penyam-butan sederhana untuk kedatangan Andika.
Itu pun tanpa sepengetahuan Andika. Purwasih tahu, Andika tidak bakal
menyukainya. Dalam pribadinya yang sering ugal-ugalan. Andika memang menyimpan
kerendahan hati.
Ruang kehormatan yang luas ini
terletak di tengah istana, berbatasan dengan Taman Anjangsana keluarga raja. Di
tengah ruangan tampak meja persegi yang besar dan panjang. Di sisinya tersusun
kursi-kursi jati berukir, ditambah kursi khusus untuk Bayureksa di ujung meja.
Dinding ruang itu diperindah oleh lukisan keluarga istana dan lukisan-lukisan
panorama negeri Alengka.
Setelah para dayang menyajikan
makanan serta minuman yang ditata dengan apik, para undangan memasuki ruangan
besar ini. Satu persatu mereka masuk, termasuk Patih Ranggapati yang sudah
tampak segar kembali setelah luka di bahunya dirawat dengan baik oleh tabib
istana. Mahapatih Guntur Slaksa, dan beberapa pembesar lain juga terlihat di
situ. Sedangkan Bayureksa masuk paling akhir, beriringan dengan Purwasih dan
Andika.
Begitu tiba di istana,
Purwasih langsung memperkenalkan Andika pada ayahandanya, Prabu Bratasena.
Tentu saja beliau menjadi gembira ketika putrinya memberitahukan kalau anak
muda yang bersamanya adalah seorang keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan.
Jadi tidak heran kalau ketika orang itu nampak sudah akrab ketika memasuki
ruang kehormatan.
Andika dan Purwasih duduk di
kursi di depan Prabu Bratasena, satu baris dengan undangan lain.
Saat ketiganya mengambil
tempat duduk, para pembesar kerajaan serentak berdiri seraya menjura hormat.
Dan Prabu Bratasena membalas
penghormatan, dengan senyum serta anggukan kepala. Begitu juga Purwasih.
Kecuali, Andika. Anak muda itu malah ikut menjura. Purwasih berusaha menahan,
karena menurutnya Andika adalah tamu kehormatan yang tak pantas menjura seperti
itu.
Dengan tangan kanannya,
Purwasih menahan
tubuh Andika yang bergerak
membungkuk. Tapi bukan Andika kalau tidak keras kepala. Dalam hatinya, orang
yang menghormati seseorang sudah semestinya dibalas dengan penghormatan
setimpal.
Jadi, dengan acuh tak acuh,
dipegangnya pergelangan tangan Purwasih. Lalu, tubuhnya digeser ke samping agar
bisa tetap membungkuk untuk
menjura.
Purwasih langsung
memperlihatkan wajah asam.
“Huh Dasar kepala batu” umpat
gadis itu dalam hati.
Setelah Prabu Bratasena
mempersilakan duduk, semua yang hadir pun meletakkan tubuh di kursi
masing-masing. Beberapa saat suasana sunyi. Para pembesar kerajaan menatap
wajah Prabu Bratasena yang berumur sekitar enam puluh delapan tahun. Tak heran
kalau rambut, alis, dan kumisnya sudah memutih. Namun, kerutan di kening dan
pipinya sama sekali tidak menghapus kewibawaan yang terpancar di wajahnya.
Apalagi, dengan mata yang bergaris ramah serta hidung mancung. Sehingga
menambah kesan kalau dia memiliki keteguhan hati.
Tubuhnya tidak terlalu gemuk,
terlihat dari pakaian kebesarannya yang agak longgar.
“Saudara-saudara sekalian,
para pembesar
Kerajaan Alengka yang sangat
aku kasihi. Hari ini kita berkumpul di sini untuk menyambut kedatangan seorang
pendekar yang patut dipuji sebagai pendekar bagi kaum tertindas...,” kata Prabu
Bratasena memulai. “Namanya, Andika. Dia adalah pendekar muda dari keluarga
Pendekar Lembah Kutukan yang amat dekat di hati rakyat. Pendekar yang menjadi
cerita kepahlawanan hingga saat ini....”
Mendengar sanjungan yang
menurutnya ber-
lebihan, Andika hanya dapat
menundukkan kepala.
Sedangkan Purwasih yang
melihat sikap Andika menjadi suka melihat kerendahan hati pemuda itu.
Memang di dunia yang dipenuhi
beragam watak manusia, sikap rendah hati sangat jarang ditemui.
Manusia seringkali lebih suka
terkagum-kagum pada setiap kelebihan diri sendiri, ketimbang harus
menyembunyikannya.
Sementara itu, Patih
Ranggapati tampak terkejut ketika Prabu Bratasena memperkenalkan Andika sebagai
keturunan Pendekar Lembah Kutukan.
Sungguh sama sekali tidak
disangka akan hal itu.
Melihat penampilannya saja,
orang tentu tidak yakin kalau pemuda itu seorang pendekar sakti Apalagi melihat
wajahnya yang terlalu muda dan terkadang terlihat agak bodoh.
Memang, sewaktu pertama kali
Purwasih mem-perkenalkannya pada anak muda itu, Andika langsung memotong ucapan
Purwasih. Sehingga, Purwasih tidak sempat menyebutkan, siapa Andika sebenarnya.
“Pendekar muda kita ini
berniat membantu kita memecahkan masalah pemberontakan Begal Ireng dan
gerombolannya. Mereka telah terlalu banyak menimbulkan penderitaan rakyat.
Terlalu banyak membuat keangkaramurkaan. Karena itu, hati anak muda ini rupanya
tergerak untuk segera mengulurkan tangan. Bukan begitu, Andika?” sambung Prabu
Bratasena.
Andika sebentar terkesiap.
“Oh Ng... iya. Begitulah...,
kira-kira,” jawab pemuda itu terbata.
“Apa kau tak ingin
memperkenalkan julukanmu pada para pembesar kerajaan? Agar kami bisa lebih
dekat mengenalmu?” tambah Prabu Bratasena.
Andika segera berdiri. Dan dia
sendiri tak tahu, kenapa harus berdiri. Pokoknya, hanya ingin berdiri saja.
“Aku sebenarnya tidak pernah
dijuluki oleh tokoh persilatan dengan sebutan apa pun. Karena, aku sendiri baru
terjun ke dunia persilatan, setelah...,”
Andika ragu.
“Setelah apa, Andika?” desak
Prabu Bratasena.
Sementara pandangan Purwasih
dan para
pembesar kerajaan tertuju
lurus ke arah Andika, seperti menanti kelanjutannya.
“Setelah aku menjalani
penyempurnaan di
Lembah Kutukan...,” sambung
Andika akhirnya.
Seketika terdengarlah decakan
kagum yang susul-menyusul memenuhi ruang kehormatan. Bagi orang lain di luar
keluarga Pendekar Lembah Kutukan, lembah yang baru saja disebut Andika memang
amat mengerikan. Tak seorang pun yang pernah kembali, ketika secara kebetulan
menemukan tempat itu.
Mereka pernah mendengar cerita
dari mulut ke mulut, kalau lembah itu dihujani petir setiap saat.
Pernah juga seorang tokoh
aliran sesat tanpa sengaja menemukan lembah itu, melalui jajaran pegunungan
selatan yang terkenal ganas. Ketika melihat kedahsyatan lembah itu, dia kembali
dalam keadaan gila dengan mulut terus mengoceh tentang ribuan lidah petir.
“Jadi, aku belum menerima
julukan,” lanjut Andika, mengusik ketercengangan para pembesar istana.
“Tapi. beberapa orang
menyebutku...”
Para pembesar istana dan Prabu
Bratasena
menunggu kelanjutan ucapan
Andika. Dalam benak masing-masing, terdapat dugaan kalau julukan yang diberikan
orang-orang yang disebutkan Andika tadi berkesan garang, segarang Lembah
Kutukan. “Ng.... Aku disebut sebagai Pendekar Slebor. He he he....”
Mendadak saja, semua orang
yang hadir di situ memegang perut masing-masing, menahan tawa yang mau meletus
“Yang Mulia”
Tiba-tiba seorang prajurit
berdiri di ambang pintu masuk ruang kehormatan.
“Ada apa?” tanya Prabu
Bratasena. “Ada seorang yang mengaku kenal baik dengan Tuan Andika. Dia ingin
bertemu Tuan Andika,” lapor si prajurit.
Andika mengernyitkan kening.
Rasanya, dia memang belum banyak mengenal orang selama terjun ke dunia
persilatan. Bahkan hanya Purwasih yang dikenalnya.
“Kalau begitu, suruh dia
masuk” titah Prabu Bratasena.
Prajurit tadi segera berlari
dari ambang pintu. Tak lama kemudian, dia datang lagi bersama seorang wanita.
Mata Andika terbelalak.
Lebih-lebih, Purwasih.
“Ningsih?” ucap Andika.
“Ningrum?” ucap Purwasih.
Lalu keduanya saling
berpandangan. Ningrum atau Ningsih?
*** 6
Andika sulit mengerti, mengapa
Ningsih menyusulnya hingga ke istana. Sepengetahuannya, Ningsih maupun
Perguruan Naga Merah telah menyelesaikan tugasnya, mengantarkan Andika dalam
menjalani penyempurnaan kesaktian.
Setelah memohon diri pada
Prabu Bratasena dan para pembesar kerajaan, Andika dan Purwasih segera menemui
wanita itu lalu mengajaknya ke taman istana. Mereka lalu berjalan beriring
menuju taman istana.
“Ada apa Ningsih?” tanya
Andika, begitu tiba di taman istana.
“Ningrum Rupanya kau...,”
timpal Purwasih.
Purwasih lalu memandang
Andika. Dia masih bingung kenapa Andika memanggil wanita itu Ningsih?
Bukankah dia bernama Ningrum?
“Sudah dua kali kau menyebut
Ningrum dengan panggilan Ningsih. Apa memang dia punya dua nama?” tanya
Purwasih pada Andika.
“Ah Aku hampir lupa,” tukas
Andika bergegas.
Andika memang lupa untuk
menjelaskan pada Purwasih tentang saudara kembar Ningrum, yaitu Ningsih. “Ini
Ningsih, saudara kembar Ningrum.”
(Lihat episode pertama:
'Lembah Kutukan').
“Jadi Ningrum benar-benar
telah mati di tangan Begal Ireng? Ah Kasihan sekali dia.... Kukira kau Ningrum.
Habis mirip sekali dengan dia,” tutur Purwasih pada wanita di sisinya dengan
wajah prihatin. Wanita yang diajak bicara malah menggelengkan kepala.
“Aku memang Ningrum,” kata
gadis yang justru malah mengaku Ningrum, perlahan.
Kini giliran Andika yang
dibuat bingung. Bibirnya ditekuk seperti sedang meringis.
“Kau sedang bercanda kan,
Ningsih?” tanya Andika seraya menggaruk-garuk kepala.
“Sungguh Aku memang Ningrum,”
jawab gadis itu lagi.
Dipandangnya wajah pemuda
tampan itu lekat-lekat. Wajah dan bias mata gadis itu sulit digambar-kan dengan
kata-kata, bagai memendam sebongkah kekalutan serta kehilangan.
Andika mengernyitkan kening
dalam-dalam. “Aku pasti salah dengar,” gumam Andika.
“Tapi Andika...,” sela
Ningrum. “Bisa kubuktikan kalau aku adalah Ningrum Aku kenal Purwasih atau Naga
Wanita. Dia pernah bertempur denganku sewaktu pertama kali berjumpa di Lembah
Pandam.
Waktu itu, kau hendak menunggu
si 'Penjaga Pintu'.
Dan ternyata orangnya, aku.
“Kalau aku Ningsih, mana mungkin kenal Purwasih?”
Andika menghentikan
langkahnya. Tubuhnya
mematung, membelakangi Ningrum
dan Purwasih.
Tampak, hatinya masih belum
percaya kalau Ningrum masih hidup. Masih dapat dirasakan puing-puing kehancuran
dalam hatinya, ketika mendengar berita kematian Ningrum, orang yang menanam
benih cinta pertamanya. Sampai kini, luka di hatinya masih menganga. Dan
tiba-tiba saja, wanita di belakangnya mengaku Ningrum?
Semestinya Andika gembira.
Tapi kenapa yang hadir dalam hatinya pada saat itu justru setumpuk kekecewaan?
Dia sendiri tak tahu. Atau, barangkali karena merasa telah dibohongi? Dengan
kebohongan itu, harapan dan kebeningan cintanya pada Ningrum hancur.
“Kau tak gembira kalau aku
masih hidup Andika?”
desah Ningrum, dibebani rasa
penyesalan. “Aku mengaku salah. karena telah membohongimu. Dan tentang saudara
kembarku yang sebenarnya, memang tak pernah ada. Tapi itu terpaksa kulakukan,
agar kau memiliki semangat berapi-api untuk menjalani penyempurnaan, karena
dorongan dendam terhadap Begal Ireng yang telah berusaha membunuhku....”
“Aku sudah memiliki dendam
pada Begal Ireng waktu itu” penggal Andika kasar. “Kau ingat pada Ki Sanca,
guru Perguruan Trisula Kembar yang kuanggap sebagai orangtuaku? Atau, pada Kang
Soma yang sudah menjadi kakak bagi diriku? Mereka dibunuh oleh keparat itu Dan
itu cukup menjadi pembakar semangatku untuk menjalani penyempurnaan”
Dada Andika turun naik.
Napasnya kontan ber-hembus cepat. Kegusaran yang tiba-tiba membludak berusaha
dihelanya.
Sementara Purwasih jadi
tercekat. Sungguh tidak disangka Andika yang selama ini dikenal sebagai anak
muda ugal-ugalan, ternyata dapat meledak-ledak seperti itu.
Sementara itu, Ningrum
menundukkan kepala dalam-dalam. Matanya terhujam pada rerumputan halus di
sekitar kakinya. Taman yang asri, berhias ragam bunga aneka warna tidak
membuatnya
menjadi nyaman. Kegalauan
seketika mengepungnya dari setiap sudut. “Kalau begitu, maafkan aku, Andika.
Aku
mengira....”
Ningrum terdiam sesaat.
Seperti ada sesuatu yang berat hendak diangkat ke tenggorokannya.
“Aku mengira kau mencintaiku.
Sehingga, aku mengarang cerita itu agar kau benar-benar memiliki kekerasan hati
untuk menjalani penyempurnaan,”
tutur Ningrum, lirih. “Rupanya
aku salah. Ternyata, kau tidak mencintaiku. Maafkan aku, Andika....”
Kali ini kata-kata gadis itu
dibarengi dengan isak halus.
“Tapi kedatanganku ke sini
bukan untuk meminta belas kasihanmu, Andika. Yang jelas, ada sesuatu yang mesti
kusampaikan. Begal Ireng dan
gerombolannya dua minggu lalu
berhasil menemukan perguruan kami. Bahkan semua murid Perguruan Naga Merah
dibantainya tanpa belas kasihan.
Termasuk, guru besar kami
sendiri. Meski sebenarnya aku ingin mati saja bersama mereka, tapi guru
menyuruhku lari dari sebuah jalan rahasia agar aku dapat menyampaikan kabar ini
kepadamu,” sambung Ningrum.
Ningrum tak kuasa lagi
membendung tangisnya.
Dua tetes bening merambat
perlahan di kedua belah pipinya yang putih.
“Begal Ireng keparat” bentak
Andika meledak, tiba-tiba. Tubuhnya langsung berbalik menghadang Ningrum dan
Purwasih. “Dari mana dia tahu letak perguruan itu? Bukankah letaknya
dirahasiakan?”
“Kau ingat kitab kayu warisan
Pendekar Lembah Kutukan yang dulu kau miliki?” tanya Ningrum, masih tersendat.
“Astaga Tentu dia mencurinya
dari balik bajuku, ketika aku tergeletak sehabis bertempur dengannya di Desa
Banyu Gerabak”
“Ya Itu sebabnya, dia tahu
tentang 'Penjaga Pintu'
yang memiliki Kipas Naga.
Ketika seorang murid perguruan kami turun gunung untuk mencari kebutuhan
sandang, pasukan Begal Ireng berhasil mengikutinya sampai di perguruan kami.
Entah bagaimana, anak buah Begal Ireng dapat melihat Kipas Naga milik murid
itu. Sehingga, salah seorang murid Perguruan Naga Merah itu dapat mengenalinya
sebagai 'Penjaga Pintu' juga,” sambung Ningrum masih menutup wajahnya dengan
kedua tangan.
Tangisnya makin kentara.
Saat itu, kegusaran Andika
terhadap Ningrum perlahan-lahan surut. Bahkan sudah diganti dengan rasa iba
melihat gadis yang terseguk-seguk di hadapannya. Hatinya yang sebenarnya lembut
ter-sentuh. Hatinya benar-benar terenyuh.
“Kini aku sebatang kara,
Andika,” kata Ningrum lirih, nyaris tak kentara.
Tanpa menunggu lebih lama
lagi, Andika segera menghampiri dan mendekapnya. Lalu, dibiarkannya Ningrum
menumpahkan segala duka yang kini merejamnya di dada Andika.
“Maafkan aku, Ningrum. Aku
tidak bermaksud kasar padamu. Sebenarnya, aku juga mencintaimu,”
bisik Andika, di antara anak
rambut Ningrum yang dipermainkan angin.
Purwasih yang ada di dekat
mereka hanya memperhatikan. Sinar matanya sulit dijabarkan. Sebuah tatapan yang
didorong rasa iba dan cemburu, berbaur jadi satu.
*** Desa Umbulwetan direbahi
cahaya jingga.
Matahari memang telah begitu
redup tanda datang-nya senja. Di saat seperti itu, penduduk desa itu seorang
demi seorang meninggalkan sawah, memanggul cangkul masing-masing. Mereka me-
lenggang ke rumah, menemui
keluarga tercinta yang telah menunggu.
Desa Umbulwetan yang
berbatasan dengan
kotapraja bagian utara ini
memerlukan waktu beberapa hari perjalanan untuk menuju ke pusat pemerintahan
Alengka. Karena letaknya cukup dekat dengan pelabuhan di pesisir selatan, maka
Desa Umbulwetan selalu menjadi jalan tembus bagi kereta-kereta kerajaan yang
datang dari dermaga.
Seperti juga hari ini, sebuah
kereta yang ditarik empat ekor kuda meluncur cepat di jalan tanah yang membelah
Desa Umbulwetan. Di belakangnya, enam prajurit berkereta mengawal penuh
waspada.
“Hiaaa...”
Kusir kereta kuda berteriak
lantang, seraya menghentakkan tali kekang. Memang muatan ini mesti secepatnya
dibawa ke kerajaan. Dorongan tangung jawab membuatnya begitu bersemangat.
Lagi pula, dia tidak ingin
pasukan Begal Ireng mengetahui perjalanan ini, lalu merampok muatan keretanya.
Tanah yang digenangi air
karena baru saja diguyur hujan sesaat, menghamburkan percikan berwarna coklat
ketika kaki-kaki kuda menghantamnya.
Tapi laju kereta kuda itu
tiba-tiba terhenti, ketika sepasukan orang berkuda menghadang. Kusir seketika
menarik tali kekang dan kuda pun berhenti.
Sebagai orang yang
berpengalaman membawa
muatan, dia amat hafal gelagat
orang-orang yang berniat tak baik. Segera tali kekangnya ditarik ke kiri, agar
kuda-kudanya berbalik untuk menghindari penghadangan. Sementara, enam prajurit
pengawal terus melaju menuju para penghadang.
“Usahakan agar muatan itu
benar-benar sampai
Sampaikan pada pasukan
Bratasena, kalau kami menghadapi kawanan Begal Ireng” teriak pemimpin prajurit
pengawal, pada kusir kereta kuda.
Kemudian, keenam prajurit
gagah itu berhenti sekitar tujuh tombak di depan para penghadang berkuda yang
terdiri dari lima belas orang. Keenam prajurit itu sudah tahu, kalau sedang
menghadapi gerombolan Begal Ireng yang memang memiliki ciri khas. Mereka
berpakaian hitam, seperti juga Begal Ireng.
“Rupanya kalian memilih mati,
Prajurit-Prajurit dungu” bentak seorang anak buah Begal Ireng kasar.
“Kami tidak akan membiarkan
kalian merampok muatan kereta yang amat dibutuhkan rakyat” sahut pemimpin
prajurit kerajaan.
Dia seorang lelaki gagah
berkumis melintang.
Umurnya masih muda, sekitar
tiga puluh tahun.
Wajahnya tampan, dengan raut
mencerminkan keberanian dan kegagahan.
“Apa kau kira akan menang
melawan kami?”
“Aku tak berharap menang Aku
hanya ingin, muatan itu sampai kepada rakyat. Untuk itu, kami rela
mempertaruhkan nyawa”
“Hua ha ha... Benar-benar
Tikus-tikus tolol Kalian hanya buang nyawa saja”
“Kami cukup tahu, mana yang
benar dan mana yang harus ditumpas” seru pemimpin pasukan pengawal.
“Babi congek Bantai mereka”
perintah laki-laki setengah baya yang berwajah seram. Dialah pemimpin para
penghadang ini. Maka seketika para penghadang berseragam hitam itu menyerang
para pengawal barang.
Dan pertempuran meletus.
Diawali oleh gemuruh langkah kuda, dua pasukan pun bertemu.
“Hiaaat...”
Trang
Trang
Sebentar saja sudah terdengar
senjata yang berbenturan ganas. Dalam kancah pertempuran di punggung kuda
seperti itu, gerakan mereka jadi terbatas. Tapi bagi enam prajurit istana,
pertempuran di punggung kuda memang suatu keahlian khusus.
Meski dikeroyok lima belas
lawan, mereka nyatanya mampu mengadakan perlawanan sengit.
Trang
Trang
Suasana jadi gegap gempita
oleh denting senjata, ringkik kuda, dan teriakan perang. Biarpun matahari
bersinar redup, cahaya yang menimpa senjata masing-masing menghasilkan
kelebatan-kelebatan menggidikkan. Setiap kelebatan mengarah pada bagian yang
mematikan. Namun sampai sejauh itu, belum ada yang menjadi korban.
Dan itu bukan berarti tidak
ada pihak yang terdesak. Menghadapi kekuatan yang tidak seimbang, tentu saja
para prajurit kerajaan mulai kerepotan.
Meskipun sudah mencoba beberapa
siasat perang berkuda, harus tetap diakui kalau tenaga mereka sedikit demi
sedikit terkuras menghadapi kekuatan yang lebih besar.
Siasat perang terakhir yang
dikerahkan kini adalah
'Benteng Melingkar'. Bentuk
seperti itu biasanya hanya digunakan pada saat-saat terdesak. Mereka menggiring
kuda dalam bentuk lingkaran rapat, sehingga ekor kuda masing-masing hampir
bertemu.
Dengan siasat perang seperti
itu, mereka bisa menghindari musuh yang menyerang dari belakang dan samping.
Dan musuh hanya bisa menyerang dari depan. Dan itu jelas lebih mengurangi
tenaga yang terbuang sia-sia.
Tapi, rupanya musuh
benar-benar bisa membaca siasat ini. Dengan satu siasat licik, tujuh orang di
antara mereka mundur teratur. Sedangkan yang lain tetap menggempur dari sisi
yang berbeda. Tanpa takut terkena kawan sendiri, ketujuh orang itu mengeluarkan
senjata rahasia masing-masing. Begitu tangan mereka mengebut, senjata rahasia
itu melayang ke arah para prajurit istana.
Dalam keadaan yang rapat,
tentu saja para prajurit mengalami kesulitan untuk menghindari pisau-pisau
kecil yang meluncur deras ke arah mereka. Prajurit terdepan yang melihat,
segera berkelit seraya memperingatkan kawannya yang berada di belakang.
“Awas pisau terbang”
Namun, terlambat bagi tiga
kawannya yang membelakangi. Mereka tentu saja jadi santapan empuk pisau-pisau
terbang tadi.
Jep
Jep
Jep
“Aaakh”
Tiga prajurit langsung rubuh
dari punggung kudanya begitu tertembus pisau pada badan bagian belakang
masing-masing. Beberapa saat tubuh mereka meregang-regang, kemudian diam
dijemput maut. Ketiga lelaki gagah itu mati sebagai pahlawan kerajaan.
Dan akibat matinya tiga
prajurit, bentuk perang
'Benteng Melingkar' menjadi
kacau-balau. Tiga lelaki lain yang selamat dari tikaman pisau terbang segera
diserbu delapan lawan di belakangnya. Tanpa ampun, mereka dibokong dengan
pedang dan golok setajam taring iblis pada punggung.
Sret Jep
“Aaakh...”
Ketiga lelaki itu pun menyusul
temannya yang lebih dahulu tewas sebagai ksatria sejati, begitu ambruk di
tanah.
Begitu tak ada lagi prajurit
yang hidup, para penghadang berseragam hitam itu segera meninggalkan tempat
ini. Maka suasana kembali dikungkung sepi. Alam membisu dalam seribu makna yang
sulit dipahami Mungkin mentari, bumi, pepohonan, dan langit sedang meratapi
kepergian enam lelaki gagah yang merelakan nyawa demi rakyat menderita.
***
Senja telah ditelan malam.
Kini alam dikuasai sepenuhnya oleh kegelapan. Angin dingin berlari di permukaan
bumi, sebagai sekutu malam yang setia.
Di singgasananya, Prabu Bratasena
terduduk gelisah. Enam prajurit pilihan dan seorang kusir yang ditugaskan
menjemput rempah-rempahan dengan kereta kuda mestinya sudah kembali sejak sore
tadi.
Tapi hingga kini, belum juga
menampakkan batang hidung.
“Pasti ada yang tidak beres,”
gumam Prabu Bratasena, setengah berbisik.
“Tampaknya ada gangguan dari
pihak Begal Ireng, Paduka,” duga Mahapatih Guntur Slaksa, menang-gapi gumaman
Prabu Bratasena yang sempat tertangkap telinganya. Bersama beberapa pembesar
kerajaan, patih bertubuh tinggi besar itu duduk di hadapan raja mereka.
Sementara Patih Ranggapati pun tampak di sana.
“Itu yang kutakutkan,
Mahapatih,” sahut Prabu Bratasena pada lelaki bertubuh tinggi besar.
Wajah Mahapatih Guntur Slaksa
amat angker, seangker namanya. Rahangnya yang berbentuk persegi, bermata bulat
dan besar, sungguh-sungguh memperjelas keangkerannya.
Saat itu, secara tiba-tiba
datang kusir kuda yang membawa muatan rempah-rempah dengan napas memburu.
“Ampun Paduka. Izinkan hamba
melapor,” pinta kusir itu tersengal seraya menjura.
“Katakanlah, Paman.” pinta
Prabu Bratasena.
berusaha setenang mungkin.
“Kami telah dijegal kawanan
Begal Ireng di Desa Umbulwetan, Paduka,” lanjut lelaki tua berusia sekitar enam
puluh tujuh tahun yang masih tetap gagah itu. “Untunglah para prajurit pilihan
berhasil menahan mereka. Kalau tidak, rempah-rempah yang sangat dibutuhkan
rakyat tidak akan sampai ke sini.”
Demi mendengar laporan ini,
Prabu Bratasena menjadi geram. Rahangnya mengeras seketika.
Seraya memegangi keningnya
yang terasa berdenyut akibat luapan marah, Raja Alengka itu merayapi para
pembantunya dengan sapuan mata yang sulit diartikan.
“Pemberontak itu rupanya
benar-benar ingin menghancurkan negeri ini...,” kata Prabu Bratasena, dengan
suara bergetar. “Yang hamba heran, Paduka,” kata kusir kembali.
“Kenapa gerombolan Begal Ireng
dapat mengetahui perjalanan kami? Sedangkan semua prajurit pengawal sudah
mengenakan pakaian biasa,
sehingga tidak tampak lagi
sebagai prajurit kerajaan.
Lalu, dari mana gerombolan itu
tahu tentang kami?
Dan, dari mana pula mereka
tahu kalau kami akan menjemput muatan pada saat itu?”
“Karena di antara kita ada
seorang pengkhianat.
Dia telah membocorkan rencana
itu,” jawab Prabu Bratasena cepat. Wajahnya menegang demikian rupa, memperlihatkan
kemurkaan.
Kembali mata Prabu Bratasena
beredar tajam pada semua pembesar kerajaan yang hadir di tempat itu. Warna
merah mulai menyapu sepasang matanya.
“Di antara kita pasti ada
seorang pengkhianat,”
ulang penguasa Kerajaan
Alengka. “Setiap pembesar kerajaan, bisa saja jadi manusia busuk itu”
Para pembesar kerajaan tampak
tertunduk, tidak kuasa beradu pandang dengan Prabu Bratasena yang terlihat
seperti seekor naga murka. Kecuali, seseorang Mahapatih Slaksa Guntur
“Maaf, Paduka. Bukankah dengan
begitu Paduka telah meragukan kesetiaan kami pada kerajaan dan rakyat?” cetus
Mahapatih Guntur Slaksa, agak risih mendengar ucapan Prabu Bratasena.
Rupanya lelaki tinggi besar
itu tersinggung oleh perkataan rajanya tadi. Di antara pembesar kerajaan lain,
Mahapatih Guntur Slaksa memang seorang yang berwatak keras.
“Bukannya meragukan kalian
semua, tapi hanya meragukan kesetiaan seorang di antara kalian,”
sahut Prabu Bratasena.
“Sekali lagi hamba mohon maaf,
Paduka. Tapi bukankah itu sama saja artinya mencurigai setiap orang dari kami?”
desak Mahapatih Guntur Slaksa.
Dari getar ucapannya, tampak
sekali kalau hatinya setengah gusar.
“Aku tahu, kalian memang telah
banyak berjuang untuk kepentingan negeri ini. Pantas saja kalau kau berkata
seperti itu, Mahapatih. Tapi kalau merasa tidak berkhianat, kenapa kau mesti
tersinggung?”
sahut Prabu Bratasena.
Meski dirinya sedang dikecamuk
kemurkaan, tapi selaku seorang raja, dia merasa harus menghadapi segala sesuatu
dengan kepala dingin. Dan ini membuat Mahapatih Guntur Slaksa tersudut,
sehingga tidak bisa membantah lagi. Matanya saja yang berbinar gusar, namun hal
itu tidak diperlihatkan pada Prabu Bratasena. Kewibawaan rajanya, membuat dia
hanya bisa menyembunyikan kegusaran dalam hatinya.
“Hamba mohon diperbolehkan
angkat bicara, Paduka,” selak Patih Ranggapati.
“Silakan, Patih,” sahut Prabu
Bratasena.
“Hamba rasa, Paduka maupun
Mahapatih Guntur Slaksa dalam hal ini sama-sama tidak salah. Di antara kami
memang ada seorang pengkhianat. Itu pasti. Yang tak pasti, kami semua
berkhianat.
Mungkin Mahapatih Guntur
Slaksa hanya mengingatkan Paduka, supaya tidak melontarkan pendapat tadi
terlalu dini,” jelas Patih Ranggapati, bijak. “Untuk itu, kami semua akan
berembuk untuk mencari jalan keluar agar dapat menemukan si pengkhianat. Kami
tak segan-segan akan memancung kepalanya jika telah jelas terbukti.”
Prabu Bratasena mengangguk
berwibawa, menyetujui ucapan Patih Ranggapati. ***
Taman Anjangsana keluarga
istana temaram di
malam hari. Bunga beraneka
warna tertunduk menikmati udara malam. Hanya bunga sedap malam yang bermekaran,
menebar keharuman ke seluruh taman.
Sejak Ningrum datang, Andika
lebih sering bersamanya daripada bersama Purwasih. Termasuk, malam ini. Mereka
tampak asyik berbincang-bincang dalam siraman cahaya purnama.
“Aku dendam sekali pada
gerombolan Begal Ireng, Andika,” kata Ningrum.
“Aku tahu. Aku juga pernah
merasa kehilangan, kan? Meski Perguruan Naga Merah bukan keluarga-mu sendiri,
tapi mereka sudah menjadi bagian dari dirimu. Begitu, kan?” timpal Andika.
Tapi, bukan berarti kau harus berbuat bodoh dengan mendatangi gerombolan itu
untuk menuntut balas. Serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Kalau kita tak
mampu menuntut keadilan dari orang-orang yang telah merampas sesuatu yang kita
cintai, Tuhan tak akan mengharuskan kita. Berbuatlah hal-hal yang bisa
diperbuat, sebatas kemampuanmu.”
“Tapi aku tidak bisa begitu
saja melupakan pem-bantaian mereka terhadap orang-orang yang kucintai.
Bagaimana mereka menghabisi
guru, dan saudara seperguruanku,” ucap Ningrum penuh desakan dendam. “Aku ingin
melihat mereka mati di tanganku, Andika.”
“Ssst... ssst” Andika
menggeleng-gelengkan kepala, mencoba untuk meredupkan kemarahan Ningrum dengan
lembut. “Aku tidak mau kehilangan-mu. Kalau kau berbuat nekat, maka hidupku
akan seperti neraka....”
Andika langsung meraih bahu
Ningrum, lalu mengajaknya berjalan ke ruang kehormatan yang bersebelahan dengan
Taman Anjangsana keluarga raja. Dan saat kaki mereka melangkah beriringan,
mendadak Andika memperdengarkan tawa kecil.
“Kenapa tertawa?” tanya
Ningrum, heran.
“Aku hanya teringat
kenekatanku dulu, sewaktu ingin membunuh Begal Ireng di Desa Banyu Gerabak.
Saat itu, aku juga tak
memikirkan apa-apa, kecuali membunuh keparat itu. Sekarang, bisa-bisanya aku menasihatimu.
Aku merasa diriku mendadak menjadi orang bijak karbitan,” kata Andika, seraya
tertawa lagi.
Ningrum tak juga terikut
keriangannya.
“Ayolah, Ningrum.... Kenapa
tidak tertawa sedikit saja untukku?” bujuk Andika. “Kalaupun tawamu sejelek
cengiran kuda, aku tetap bahagia....”
Kali ini Ningrum tampak
memperlihatkan senyum kecil.
Kini mereka sampai di dalam
ruang kehormatan.
Sambil tetap bergandengan,
mata keduanya memperhatikan lukisan-lukisan yang terpajang di dinding ruangan.
Ketika mata Andika tertumbuk
pada satu lukisan keluarga kerajaan, mendadak keningnya berkerut rapat. Alisnya
yang legam menukik, turut bertaut.
Wajah lelaki tua dalam lukisan
itu seperti dikenalinya.
Dan tiba-tiba pula tangannya
dilepas dari bahu Ningrum.
“Kau tunggu di sini sebentar,
Ningrum...,” ujar Andika terburu.
“Kau mau ke mana, Andika?”
Tapi Andika sudah melesat,
melalui pintu keluar. 7
“Purwasih Dari mana saja kau?
Aku mencari-cari kau ke mana-mana” Andika datang tergesa-gesa.
Pemuda itu memang tengah mencari-cari
Purwasih yang menghilang entah ke mana setelah melihat Andika dan Ningrum
selalu berdua. Dan ternyata gadis itu tengah berdiri di halaman istana. Entah,
apa yang diperbuatnya.
Sementara, orang yang
dipanggil tampak tak peduli dan terus mematung. Pandangannya menerawang ke arah
bintang-bintang yang saling menger-dip.
“Aku harus bicara padamu,”
kata Andika setelah berada di sisinya.
Purwasih tetap tak peduli.
Entah apa yang ada dalam benaknya saat itu. Andika berusaha menduga-duga, tapi
tak dilanjutkannya. Masalahnya, ada hal yang lebih penting yang harus
disampaikan pada Purwasih.
“Kau kemasukan setan pusing,
ya? Aku ingin bicara denganmu, Purwasih. Ada hal penting yang mesti kutanyakan”
seru Andika persis di telinga Purwasih.
“Aku tak mau bicara denganmu”
dengus
Purwasih, ketus. Dan hal ini
membuat Andika menggaruk-garuk kepala tak mengerti.
“Kenapa kau jadi aneh begitu?
Apa tindakanku salah?”
“Apa pedulimu?”
“Wah, tambah gawat...,” gumam
Andika. Kembali tangan pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya sendiri.
Sungguh-sungguh sulit dimengerti perubahan sikap Purwasih yang tiba-tiba ini.
“Apa sikapmu yang panas
seperti kotoran kerbau ini karena kedatangan Ningrum?” duga Andika asal bunyi.
Purwasih tak menjawab, dan
hanya sibuk menyembunyikan wajahnya yang mendadak memerah.
Pertanyaan Andika barusan
rupanya tepat mengusik sudut hatinya. Memang, kecemburuannya pada Ningrum
membuatnya merasa dibuang oleh pemuda itu. Dia sendiri sering bertanya pada
diri sendiri,
“Kenapa harus mencintai seseorang
yang usianya jauh di bawahnya? Andika berusia delapan belas tahun. Sedangkan
dirinya berusia dua puluh sembilan tahun. Apakah itu pantas?”
Pantas tidak pantas, hati
Purwasih tetap mengakui kalau pribadi Andika membuatnya terjatuh dalam kubangan
cinta yang ganjil. Ya Ganjil karena mencintai pemuda yang usianya terpaut jauh.
Tapi, bukankah cinta tak mengenal kata ganjil? Karena, cinta itu sendiri pun
aneh. Bisa datang tiba-tiba, dan menimpa siapa saja.
“Apakah aku sungguh-sungguh
mencintai pemuda ini?” keluh gadis itu dalam hati.
Terkadang Ningrum memang
bersikap seperti remaja belasan tahun ketika bersama Andika. Apakah itu tanda
cintanya pada Andika?
“Ah, aku bingung...,” desah
Purwasih, tak sabar.
Pemuda tampan di sisinya yang
menangkap
gumaman tadi langsung saja
mengernyitkan keningnya.
“Mestinya aku yang bilang
begitu Apa kita memang sama-sama bingung? Daripada kau bingung dan aku bingung,
lalu kita seperti orang yang ber-lomba bingung, ah... Kenapa omonganku malah
jadi bikin bingung Pokoknya kau mesti ikut aku” ujar Andika.
Lantas tangan Purwasih ditarik
Andika. Tak peduli apakah nanti wanita itu akan mengamuk.
“Mau dibawa ke mana aku?”
jerit Purwasih
jengkel.
“Yang pasti tidak ke kamar”
“Kunyuk jorok”
“Hua ha ha...”
Dengan langkah terseret-seret,
Purwasih mengikuti Andika. Dan tak lama keduanya sampai di ruang kehormatan. Di
tempat itu, Ningrum masih menunggu kedatangan Andika. Dan melihat pemuda yang
ditunggunya telah datang terburu-buru bersama Purwasih. Ningrum jadi agak
heran. Apalagi Andika menarik pergelangan tangan Purwasih yang tampak sewot.
Tanpa mempedulikan Ningrum
yang terpaku.
Andika langsung menarik
Purwasih ke tempat lukisan yang menarik perhatiannya.
“Kau tahu, siapa orang dalam
lukisan ini?” tanya Andika pada Purwasih.
“Ada perlu apa kau bertanya
tentang lukisan itu?”
Purwasih malah balik bertanya.
Suaranya terdengar makin ketus, saat melihat Ningrum juga berdiri di ruang ini.
“Ini penting, Purwasih” tegas
Andika sungguh-sungguh.
Namun. Purwasih malah
menatapnya tajam.
“Baik..., baik. Aku memang
suka konyol, suka bergurau keterlaluan. Tapi, kali ini aku tidak main-main,
Purwasih” ujar Andika lagi. “Kenapa aku harus mempercayaimu?” cibir
Purwasih.
Pandangan gadis itu dibuang ke
arah lain. Dan ini membuat Andika digelayuti kejengkelan, yang terasa sekali di
tenggorokannya.
“Kalau aku bilang ini
menyangkut kepentingan negeri Alengka, berkaitan dengan pemberontakan Begal
Ireng dan gerombolannya, kau mau percaya?”
desah Andika agak kasar.
Sekali lagi, mata lentik Purwasih
menghujam manik-manik mata pemuda itu. Kalau tadi binarnya diwarnai
kejengkelan, kini binar matanya memperlihatkan keterkejutan.
“Kenapa kau menatapku seperti
melihat naga gondrong? Cepat katakan padaku, siapa orang dalam lukisan ini?”
hardik Andika, tidak sabar.
“Lelaki tua itu bernama
Saptacakra. Dia adik buyutku, raja keturunan kesembilan Kerajaan Alengka,”
jawab Purwasih, akhirnya. “Sekarang jelaskan padaku, ada apa sebenarnya?”
“Yah Sudah kuduga”
Bukannya menjawab pertanyaan
Purwasih, Andika malah berteriak seperti orang edan Tangannya ter-kepal keras
seraya meninju angin. Saat itu, dia teringat pada lelaki tua di Lembah Kutukan.
“Kau menduga apa?” tanya
Purwasih, penasaran.
Ningrum pun melangkah
mendekati keduanya.
Gadis itu ikut tertarik
mendengar pembicaraan Andika dan Purwasih. Kemudian dia berdiri di sisi kanan
Andika.
“Kau ingat pembicaraan kita
dulu? Kau bilang padaku, Begal Ireng sebenarnya memiliki kekuatan yang cukup
untuk menyerbu ke istana ini. Tapi, itu tak dilakukannya. Kenapa hal itu
terjadi...?” tanya Andika. Ucapannya dihentikan, membuat Purwasih makin
penasaran setengah mati.
“Kenapa?” desak Purwasih
sengit.
“Karena tujuan Begal Ireng
sebenarnya hanya ingin membunuh ayahmu, Prabu Bratasena,” jawab Andika, sambil menatap
Purwasih dengan ekor mata yang naik ke atas kelopak mata.
Purwasih kontan menautkan
alis. Gadis cantik itu masih belum menangkap maksud Andika.
“Kenapa tak dijelaskan secara
gamblang, Andika
Jangan buat Purwasih mati
berdiri karena
penasaran” timpal Ningrum.
“Baik..., baik. Kenapa kalian
jadi kelewat tolol, sih?”
“Aku bukan tolol Aku hanya
tidak tahu, apa yang kau maksudkan” selak Purwasih, tersinggung oleh ucapan
Andika yang asal bunyi.
Andika cengar-cengir seraya
mengangkat-angkat kedua alisnya yang lebat.
“Iya, ya. Mana ada putri raja
yang tolol?” ejek pemuda itu.
“Diam Jelaskan saja padaku”
bentak Purwasih.
Wajahnya merah padam, seperti
baru dipanggang.
“Ki Saptacakra yang kau kenal
sebagai paman buyutmu, sebenarnya adalah Pendekar Lembah Kutukan. Rupanya,
beliau memilih untuk hidup di antara rakyat, daripada di dalam kemewahan
istana.
Lalu, dia menuntut kesaktian
agar dapat melindungi rakyat dari angkara murka,” urai Andika.
“Dari mana kau tahu?” tanya
Purwasih, heran.
Andika memelototi Purwasih.
Memang pertanyaan wanita itu terdengar seperti tidak mempercayai keterangannya.
“Aku pernah bertemu langsung
dengan beliau” tukas Andika.
“Jangan ngigau Pendekar Lembah
Kutukan lebih dari seratus tahun yang lalu. Kisah kependekarannya pun tinggal
menjadi cerita rakyat. Bagaimana mungkin dia masih hidup?”
Andika tambah dongkol.
Dibukanya ikatan kain bercorak catur dari lehernya.
“Ini buktinya Aku dapat kain
ini dari tempat bersemadi beliau” tegas Andika ngotot, sampai urat lehernya
tertarik.
Tangan Purwasih menyambar kain
yang dipegang Andika.
“Kain lusuh ini? Di pasar bisa
didapat dengan harga amat murah” cemooh Purwasih. Lalu sepasang tangannya
bergerak hendak mengoyak kain itu.
“Hey, jangan Itu kain tanda
mata milikku dari Lembah Kutukan” cegah Andika.
Tapi, tangan Purwasih sudah
telanjur bergerak.
Dan....
Kain itu ternyata tidak
terkoyak Sekali lagi Purwasih merentangkannya kuat-kuat. Tapi, tetap juga kain
di tangannya tidak terkoyak. Bahkan ketika mencoba mengerahkan tenaga dalamnya
untuk menghancurkan benda itu, tetap saja hasilnya nihil.
Purwasih jadi kesal. Pedang
besar dikeluarkannya dari punggung. Lalu, kain yang terpegang di tangan kiri
dilemparkannya ke udara. Dan sebentar saja, tangannya sudah membabatkan
pedangnya ke arah kain itu.
Wut Wut Wut
Andika dan Ningrum melihat,
bagaimana pedang itu membabat kain bercorak catur milik Andika beberapa kali.
Tapi, apa yang terjadi?
Kain itu hanya melayang
ringan, lalu jatuh terkulai di lantai tanpa cacat sedikit pun. Tentu saja mata
Andika dan Ningrum jadi terbelalak lebar menyaksikan kenyataan itu. Lebih-lebih
Purwasih.
“Jadi tanpa sengaja, aku telah
membawa kain pusaka Lembah Kutukan?” desis Andika. Wajahnya masih terlolong,
disarati kesan keterkejutan.
“Sekarang aku baru percaya,”
ujar Purwasih lemah dan menyerah.
“Jadi, apa kaitannya Begal
Ireng dengan Prabu Bratasena, Andika?” tanya Ningrum saat Andika memungut kain
miliknya.
Andika tidak menjawab. Matanya
masih me-
melototi kain gombal di
tangannya. Sementara. dari mulutnya terdengar decakan beberapa kali.
“Cepat jawab, Andika Bukankah
kau bilang ini adaah persoalan keselamatan negeri ini?” omel Purwasih.
Andika tetap mematung.
Sepertinya pemuda di sisinya kehilangan akal. Namun, Purwasih tidak peduli.
Asal Andika bisa menjelaskan hubungan antara pemberontakan Begal Ireng dengan
ayahnya.
Tapi, pemuda konyol itu
terlihat lebih bodoh dari orang yang kehilangan akal. Itulah yang membuatnya
jadi mangkel. Maka tiba-tiba saja Purwasih menggunakan tangannya yang masih memegang
pedang.
Dan....
Tak
Gagang pedang Purwasih
mendarat gemas di
kening Andika.
“Aouw”
“Cepat katakan, atau kau
kupukul lagi” ancam Purwasih, setengah berteriak.
“Jangan berteriak-teriak, aku
tidak tuli Baik, akan kujelaskan. Ayahmu, Prabu Bratasena, hendak dibunuh Begal
Ireng karena termasuk keluarga Ki Saptacakra. Atau....”
“Cucu dari saudara Ki
Saptacakra” duga Ningrum.
“Pintar Begal Ireng sebenarnya
tidak sungguh-sungguh bermaksud merebut kekuasaan Prabu Bratasena.
Kepentingannya hanyalah melenyapkan seluruh garis keturunan Pendekar Lembah
Kutukan.
Dia begitu dendam pada Ki
Panji Agung yang telah menggagalkan rencananya saat pertama kali hendak merebut
kekuasaan prabu.” (Mengenai Ki Panji Agung, lihat kembali episode: 'Lembah
Kutukan').
“Jadi, kali ini rencananya
untuk merebut
kekuasaan hanya sebagai topeng
untuk menutupi niat sesungguhnya?” tanya Purwasih, ingin memastikan.
“Ya Kalau dia sungguh-sungguh
ingin merebut kekuasaan Prabu Bratasena, tentu sudah mengerahkan seluruh
kekuatannya yang mampu meng-
hancurkan kerajaan ini. Dan
dia hanya menunggu kesempatan yang tepat untuk membunuh ayahmu.
Dengan begitu, kekuatan
gerombolannya bisa tetap terjaga,” jelas Andika lagi.
“Ya..., ya. Tanpa meruntuhkan
kerajaan ini, Begal Ireng pun sebenarnya sudah lebih berkuasa daripada Prabu
Bratasena. Tokoh aliran sesat yang dikumpul-kannya begitu banyak. Sehingga,
kekuatan
gerombolannya bisa jadi lebih
hebat daripada seluruh pasukan tempur istana,” selak Ningrum.
“Lalu, bagaimana dia tahu kalau
ada kesempatan yang tepat untuk membunuh ayahku?” tanya
Purwasih, cemas.
“Kau tidak ingat pengkhianat
kerajaan ini? Tentu orang itu yang akan memberitahukan, kapan bajingan Begal
Ireng dapat menghabisi Prabu Bratasena tanpa membuang-buang nyawa pasukannya,”
jawab Andika pasti.
“Oh, Tuhan...,” desah Purwasih
bergetar.
Hati gadis itu langsung didera
lecutan kekhawatiran terhadap keselamatan ayahnya.
“Aku takut, ayahku akan
terbunuh, Andika,” desah gadis itu lirih, nyaris terisak.
“Jangan cengeng Apa kau lupa
dengan julukan si Naga Wanita yang disegani?” bentak Andika, tidak
sungguh-sungguh.
Pemuda itu sebenarnya hanya
ingin menekan kekhawatiran yang berlebihan pada diri wanita itu.
Andika sendiri dapat maklum
kalau Purwasih seperti itu. Biar bagaimanapun dia tetap tak lepas dari
kodratnya sebagai seorang wanita yang berhati halus dan peka. Apalagi, ini
menyangkut orang yang paling dicintainya.
“Jangan khawatir, aku punya
rencana bagus. Kalau Tuhan mengizinkan, kita akan segera menumpas Begal Ireng
keparat itu.” janji Andika pada Purwasih, sambil menepuk-nepuk pipinya yang
halus.
***
Malam makin terlelap
kegelapan. Bulan sepotong masih menebar cahaya temaram, meski telah condong
sepenggalan. Di kamarnya, Andika tidak bisa memicingkan mata sedikit pun.
Pikirannya masih terseret pada rencananya untuk menumpas Begal Ireng, biang
kekacauan negeri.
Dari rebahnya, Andika bangkit.
Sedikit udara segar memang diperlukan untuk menenangkan pikirannya.
Perlahan kakinya berjalan
menuju pintu. Perlahan pula dikuaknya pintu kamar, lalu kembali melangkah
keluar.
Dari serambi kamarnya di
Istana Kerajaan Alengka, Andika bisa melihat jelas Taman Anjangsana keluarga
istana, serta bagian lain. Tapi matanya lebih suka memperhatikan bintang yang
bertaburan di langit lepas. Keindahan alam tak mungkin ditandingi oleh karya
manusia mana pun Kemegahan langit yang dihampar Tuhan, seakan mengingatkan
tentang kelemahan manusia. Tentang ketidakberdayaan manusia, dan tentang
kekerdilan manusia dibanding kekuasaanNya.
Ingat ketidakberdayaan
manusia, Andika tiba-tiba teringat kembali pada asal-usul dirinya. Banyak
pertanyaan yang belum terjawab mengenai dirinya sendiri. Meskipun beberapa saat
lalu Andika telah mengetahui kalau buyutnya yang bernama Ki Saptacakra, adalah
seorang keluarga istana, bukan berarti bisa mengetahui pasti siapa orangtuanya.
Silsilah keluarga istana pada
keturunan kesembilan ternyata tidak lengkap. Dalam buku riwayat keluarga
kerajaan di perpustakaan istana, keturunan Ki Saptacakra memang tidak tercantum
di dalamnya.
Ya Andika merasakan
ketidakberdayaannya untuk menemukan orangtua yang selama ini dirindukan.
Juga tentang penyebab, kenapa
dirinya dibuang di pinggir hutan (baca serial Pendekar Slebor, dalan episode:
'Lembah Kutukan'). Hatinya hanya bisa berharap pada Tuhan, agar dirinya
dipertemukan kembali. Tanpa pertolonganNya, Andika memang tidak mampu berbuat
apa-apa.
Lama Andika memperhatikan
tanda berbentuk bintang berwarna merah di tangan kanannya yang didapat sejak
lahir. Mudah-mudahan Tuhan akan menjadikan tanda ini menjadi satu titik terang
untuk menemukan mereka, seperti bintang yang menunjuk-kan arah bagi nahkoda
kapal dalam malam gelap.
Lalu matanya kembali menatap
kerlip bintang yang tetap bercahaya selama berjuta tahun.
Ditariknya napas dalam-dalam,
seakan hendak memuji secara tak langsung ke hadapan Yang Maha Kuasa. “Memang
bodoh sekali manusia yang
menyombongkan kekuasaan yang
hakikatnya hanya bernilai setitik debu di luasnya alam semesta” bisik hatinya.
Di saat hatinya terhanyut
dalam renungan yang dalam, tiba-tiba saja perhatiannya teralih pada sesosok
bayangan yang mengendap-endap di atas istana. Dari kejauhan, Andika bisa
melihat orang itu mengenakan caping lebar. Sinar bulan yang cukup terang juga
membuatnya bisa mengenali warna pakaian orang di atap itu.
“Heh? Itu orang yang telah
membokong Patih Ranggapati di hutan cemara...,” bisik Andika, setelah mengenali
pakaian merah darah orang yang mengendap-endap. “Mau apa dia menyantroni
istana? Mau cari koreng?”
Dalam sekejap, tubuh pemuda
yang telah dijuluki Pendekar Slebor itu sudah berada di atap istana. Kali ini,
orang itu tidak akan dibiarkan lolos begitu saja.
Andika menduga, dia adalah
kaki tangan Begal Ireng.
Dengan menangkapnya,
barangkali bisa mengorek keterangan tentang gerombolan pemberontak itu.
“Bakikuk” seru Andika ketika
tubuhnya sudah berdiri tepat di belakang orang yang dicurigainya.
Tentu saja orang bercaping
menjadi tersentak.
Tubuhnya langsung berbalik,
seraya memasang kuda-kuda sigap. Tapi Andika sudah raib entah ke mana.
Sesaat orang itu hanya
terpaku, seperti tidak mempercayai pendengarannya.
“Bakikuk” seru Andika lagi.
Tubuh Pendekar Slebor sudah
berdiri di belakang orang bercaping. Sudah pasti kecepatan seperti itu sangat
sulit dilakukan orang berkepandaian tanggung.
Dan sekali lagi orang
bercaping itu bergerak cepat berbalik. Dan sekali lagi dia terkecoh. Matanya
ternyata tidak menemukan seorang pun.
“Keparat,” desis orang itu,
setelah mengetahui ada seseorang yang sedang mempermainkannya.
“Bakikuknya sekarang pakai
jurus 'Ular Iseng Menotok Babi',” ucap seseorang di belakang orang bercaping
itu.
Belum sempat tubuh orang
bercaping bergeming, sebuah totokan sudah mendarat di bagian
punggungnya. Tuk
Tubuh orang bercaping itu
kontan terkulai lemas, tanpa sempat menghindar. Dan sebelum orang itu menyentuh
tanah, Andika cepat menyambarnya.
“Wah Rupanya kau sudah
mengantuk berat, ya?
Apa kau mabuk? Kapan minumnya?
Kemarin?” oceh Pendekar Slebor, saat memanggul tubuh orang bercaping dengan
senyum lebar di bibirnya.
Secepat bayangan setan, tubuh
Pendekar Slebor berkelebat. Orang itu memang akan dibawanya ke kamar, agar bisa
dipaksa bicara. Mudah-mudahan dia termasuk orang yang tidak pelit dengan
keterangan.
“Nah, sekarang kau boleh
beristirahat di sini...,”
kata Andika sesampai di kamar.
Lalu….
Buk
Tubuh orang bercaping
menggeloso di lantai kamar. Andika rupanya berusaha bersikap sekasar mungkin
pada orang yang telah membokong Patih Ranggapati waktu itu. Buktinya, tubuh itu
dilempar begitu saja ke lantai.
“Aku cukup ramah, bukan? Tapi
kalau memasuki kamar orang lain, harus membuka capingmu...,” kata Pendekar
Slebor.
Setelah itu, tangan Andika
menyambar caping lebar tawanannya.
“Setan buntung gantung diri”
seru Andika.
Mata Pendekar Slebor langsung terbelalak
lebar saat melihat wajah orang itu.
“Ningrum...?” desis Andika,
nyaris tak percaya.
Ningrum hanya bisa menatap
Andika. Sebenarnya, dia bisa bicara. Tapi karena kartunya sudah terbuka,
mulutnya jadi malas berkata-kata.
“Apa-apaan kau ini?” gerutu
Andika.
Segera dibebaskannya totokan
di tubuh Ningrum.
Dan gadis itu segera bangkit.
Tangannya memegangi pinggangnya yang terasa berdenyut-denyut nyeri akibat
menghantam lantai kamar. Dan bibirnya juga meringis-ringis.
“Jadi, kau yang menyerang Patih
Ranggapati waktu itu?” tanya Andika.
Ningrum hanya menyembunyikan
wajah ayunya dengan kepala yang tertunduk. Memang, gadis itulah yang telah
membokong Patih Ranggapati dengan pisau-pisau terbang saat Andika, Purwasih,
Bayureksa, dan Patih Ranggapati menembus hutan cemara di atas bukit.
“O, bagus” rutuk Andika. “Kau
telah menyerang pembesar istana. Itu tindakan bagus Kau tahu artinya itu? Kalau
ketahuan, kau bisa dianggap bersekongkol dengan gerombolan Begal Ireng”
“Tapi Andika...”
“Tapi apa? Aku tidak mengerti,
apa maumu sebenarnya” potong Pendekar Slebor.
“Kau akan mengerti kalau
memberiku kesempatan bicara”
Andika melotot, lalu
membanting caping di tangannya keras-keras.
“Baik, bicaralah Tapi, ingat.
Kalau kau mengarang cerita yang bukan-bukan, aku tak segan-segan menyerahkanmu
pada Patih Ranggapati supaya bisa menerima hukumanmu” ancam Andika,
sungguh-sungguh.
Dalam hal menegakkan keadilan,
Pendekar Slebor tidak mau pandang bulu. Meski yang harus menerima hukuman
adalah orang yang amat dicintai. Selama orang itu memang terbukti bersalah,
Andika tak peduli.
Sebelum mulai bicara, Ningrum
menarik napas beberapa kali. Seakan, dia hendak mempersiapkan sesuatu yang
hendak didorong tenggorokannya.
“Sejak Begal Ireng dan
gerombolannya membantai perguruanku, aku menyimpan dendam yang tak dapat
kukuasai lagi. Lalu, aku bertekad menuntut balas.
Untuk muncul terang-terangan,
aku takut kaki tangan Begal Ireng mengenali. Bahkan bisa-bisa mereka
menangkapku untuk dijadikan sandera, agar kau menyerahkan diri pada Begal
Ireng. Maka itu, aku menyamar dengan pakaian lelaki dan caping lebar ini.
Sengaja senjata kipasku tak
kugunakan dengan alasan tadi. Sebagai gantinya, kugunakan pisau-pisau kecil
sebagai senjataku,” jelas Ningrum.
“Tapi bagaimana kalau tokoh-tokoh
golongan hitam yang bergabung dengan Begal Ireng
menangkap, kemudian
menyerahkan dirimu pada pemimpin mereka? Bukankah Begal Ireng sudah
mengenalimu? Kalau sudah begitu, kau tetap akan dijadikan sandera” penggal
Andika keras.
Pendekar Slebor bukan takut
menghadapi tokoh aliran sesat itu, tapi hanya khawatir keselamatan Ningrum.
Ningrum kembali menancapkan
pandangan ke
lantai kamar. Mulutnya
membisu, seperti juga lantai kamar yang ditatapnya. Dalam hati diakui kebenaran
ucapan Andika barusan. Betapa bodohnya dia, hanya mengikuti gejolak dendam
tanpa berpikir panjang
“Lalu, kenapa kau menyerang
Patih Ranggapati?”
cukil Andika kembali.
“Pembesar itu berkhianat,
Andika. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, dia sedang mengadakan
pertemuan rahasia bersama seorang kaki tangan Begal Ireng. Aku mengenal kaki
tangan Begal Ireng, karena dia juga ikut membantai Perguruan Naga Merah....”
“Astaga...,” desis Andika.
***
“Purwasih Kau tahu, siapa yang
berkhianat dalam kerajaan ini?” tanya Andika berbisik, ketika menemukan
Purwasih sedang melatih jurus-jurus silat di halaman istana. Saat itu matahari
tidak begitu ganas, karena memang belum lama lagi.
Purwasih langsung menghentikan
gerakan. Tanpa memasukkan pedang ke sarungnya kembali, ditatapnya Andika penuh
keingintahuan.
“Siapa?” tanya gadis itu.
“Patih Ranggapati...,” jawab
Andika hati-hati.
“Ha ha ha....”
Wanita itu mendadak tertawa
keras-keras. Tentu saja Andika jadi kelimpungan menahan suara tawa yang begitu
keras-.
“Ssst Gila, kau Bisa dicurigai
pengkhianat itu”
Pendekar Slebor
memperingatkan.
“Kau yang gila, Andika. Aku
kenal betul lelaki itu.
Dia sudah seperti pamanku
sendiri. Itu sebabnya, kenapa dia memanggilku Purwasih saja, tanpa embel-embel
tuan putri yang memuakkan itu,” tukas Purwasih, dan hendak melanjutkan
latihannya.
“Hey Aku sedang tidak ingin
bercanda” tegas Andika dengan wajah sungguh-sungguh.
“Kau sungguh-sungguh?” tanya
Purwasih seraya menatap lelaki di depannya lekat-lekat.
“Ningrum yang menyaksikan
Patih Ranggapati sedang mengadakan pertemuan rahasia bersama seorang kaki
tangan Begal Ireng....”
Secara singkat, Andika
menguraikan cerita tentang Ningrum pada Purwasih.
“Ah Rasanya sulit sekali
kupercayai berita ini, Andika,” desah Purwasih setelah Andika selesai bicara.
“Tapi, begitulah
kenyataannya.”
“Tapi Patih Ranggapati sudah
seperti keluargaku sendiri” ucap Purwasih tak mau kalah.
“Aku yakin, pernah terjadi
bentrokan antara ayahmu dengan lelaki itu,” duga Pendekar Slebor.
Lama mata Purwasih terhujam pada
dinding
benteng istana. Tampaknya dia
sedang diusik sesuatu yang tersembul di benaknya. Beberapa kali wanita itu
menghempas napas galau.
“Kau ingat sesuatu, Purwasih?”
usik Andika.
“Ya. Patih Ranggapati memang
pernah ber-
sengketa dengan ayahku. Dia
mencintai seorang wanita bernama Tanjungsari. Bertahun-tahun wanita itu
berusaha untuk diperistrinya, tapi tidak berhasil. Dan wanita itu malah
terpincut pada ayahku, sampai akhirnya keduanya menikah...,” cerita Purwasih.
Matanya tetap menerawang jauh.
“Wanita itu ibumu?” Purwasih
mengangguk lamat.
Jelas sudah bagi Andika,
alasan Patih Ranggapati berkhianat pada Kerajaan Alengka...
*** 8
Pagi baru berlalu sekian saat.
Sang Raja Siang merayap perlahan menuju puncaknya. Panas terasa mulai tak
bersahabat. Di sebuah jalan rumput yang membelah padang luas, terlihat
arak-arakan kecil.
Beberapa orang terlihat
berjalan di belakang kereta kuda yang dihela seorang kusir bertubuh ramping.
Empat orang di antaranya
mengendarai kuda. Dua berada paling depan, sedangkan sisanya berada di barisan
paling belakang. Melihat dari bendera yang dibawa, bisa ditebak kalau
arak-arakan itu adalah rombongan kerajaan.
Dua hari yang lalu, Prabu
Bratasena merencana-kan pergi untuk menemui raja dari negeri tetangga yang akan
bekerjasama dengannya memberantas gerombolan Begal Ireng. Menurut Prabu
Bratasena, raja negeri tetangga mulai merasa khawatir oleh meluasnya kekuasaan
Begal Ireng ke wilayahnya.
Makanya, dia mengirim pesan
rahasia pada Prabu Bratasena untuk mengadakan kerjasama. Tawaran itu tentu saja
diterima gembira.
Agar kepergian ini tidak
dicurigai mata-mata Begal Ireng, Prabu Bratasena memerintah para prajurit
pengawal untuk mengenakan pakaian biasa. Pakaian kerajaan yang menandakan
mereka sebagai prajurit istana harus ditanggalkan.
Sementara pembesar kerajaan
yang ikut bersama rombongan adalah Mahapatih Guntur Slaksa. Lima belas prajurit
khusus serta tiga perwira istana langsung dipimpinnya. Dan seorang perwira yang
menyertainya adalah Patih Ranggapati.
“Berjalanlah perlahan, agar
kita tidak dicurigai”
seru Prabu Bratasena dari
dalam kereta kudanya yang tertutup. “Mudah-mudahan pengkhianat kerajaan tidak
mengetahui rencana kita.”
Tapi, apa benar begitu?
***
Di ujung padang rumput yang
dibatasi deretan bukit kecil, Begal Ireng bersama beberapa orang pilihannya
ternyata telah menunggu. Wajah pemimpin pemberontak itu terlihat berapi-api,
diberontaki hasrat membunuh. Bibirnya sesekali menyeringai, seakan seekor
serigala menunggu mangsa.
Lelaki itu berpakaian hitam-hitam,
terbuat dari sutera. Wajahnya tampan dan kelimis, namun berkesan amat dingin.
Di bagian pinggangnya melilit sebuah cemeti pusaka yang terbuat dari akar
tumbuhan langka berduri tajam, seperti ekor ikan pari. Dia duduk gagah di
punggung kuda putihnya.
Di sisi kanan dan kirinya,
berdiri dua lelaki tangan kanannya. Mereka adalah, si Kembar dari Tiongkok yang
berpenampilan serupa. Baik dari wajah, hingga pakaian mereka. Kepala mereka
juga sama-sama gundul, dan mata mereka juga sipit. Ditambah oleh keadaan kulit
yang kuning, sudah dapat diduga kalau keduanya berasal dari daratan Tiongkok.
Dan sebenarnya, si Kembar dari Tiongkok adalah dua tokoh aliran sesat yang lari
dari negerinya, karena menjadi buronan pihak kerajaan di Tiongkok. Bekal mereka
ke nusantara ini adalah ilmu bela diri yang tinggi dan kekejaman.
Empat lelaki lain tampak
berdiri dengan wajah tegang di belakang Begal Ireng. Mereka adalah tokoh sesat
aliran hitam yang akan membantu penyerangan Begal Ireng terhadap rombongan
kerajaan.
Seperti juga Begal Ireng,
keempat orang itu berpakaian hitam-hitam pula. Itu memang salah satu ciri khas
gerombolan pemberontak di bawah perintah Begal Ireng. Dua orang yang tidak
mengenakan pakaian hitam-hitam dalam gerombolan ini hanyalah si Kembar dari
Tiongkok. Mereka justru berpakaian putih-putih.
Di balik bebatuan besar di
kaki bukit, ketujuh lelaki itu mengintai. Mata mereka lepas ke padang rumput
yang terhampar di depan. Dan ketika rombongan kerajaan mulai terlihat seperti
titik kecil di kejauhan, Begal Ireng mengangkat tangannya.
“Saat Bratasena keparat dan
pasukannya tiba di celah bukit, kita habisi mereka. Ingat Habisi Jangan biarkan
ada yang tersisa”
Si Kembar dari Tiongkok hanya
mengangguk-
angguk lamat. Sedangkan empat
lelaki lain menjawab dengan suara dingin dan datar, seakan sedang menikmati
gelora nafsu membunuh.
Sehari lalu, seorang kaki
tangan Begal Ireng menyampaikan berita tentang kepergian Prabu Bratasena yang
didapat dari si pengkhianat. Tak heran kalau kini mereka menghadang rombongan.
Sementara itu, rombongan
kerajaan makin dekat menuju tempat persembunyian Begal Ireng dan pengikutnya
yang berjumlah enam orang itu. Dugaan Andika beberapa waktu yang lalu memang
tidak meleset. Begal Ireng memang tidak ingin membuang nyawa pasukannya. Tujuan
sebenarnya adalah membunuh Prabu Bratasena, yang memiliki garis keturunan
Pendekar Lembah Kutukan. Dia tak akan menyerang kerajaan secara langsung, dan
hanya menunggu kesempatan yang baik untuk menghabisi raja bijaksana itu.
Setombak demi setombak, rombongan
kerajaan makin menghampiri perangkap yang dipasang Begal Ireng. Saat mereka
berada di celah antara dua bukit yang menjadi jalan tembus, Begal Ireng dan
kaki tangannya siap akan menyergap.
Saat itu, rombongan kerajaan
sudah memasuki mulut celah bukit. Dan....
“Maju” perintah Begal Ireng
pada anak buahnya, penuh nafsu.
Seketika dari bebatuan besar
yang menyembunyikan tubuh mereka, Begal Ireng dan anak buahnya berhamburan
keluar. Bersama si Kembar dari Tiongkok, dia menghadang di depan. Sementara, empat
anak buahnya yang lain menghadang di belakang.
Rombongan kerajaan kini
benar-benar terjepit, tanpa dapat meloloskan diri lagi. Bagaimana mereka bisa
meloloskan diri kalau di sisi-sisi adalah tebing terjal menjulang yang mustahil
didaki. Sedangkan di depan dan di belakang mereka, musuh sudah siap merencah.
Celah bukit sepi, maut yang
akan menjemput.
Hanya desir angin yang
meluncur di antara dinding cadas.
“Bratasena Akhirnya kau akan
menyusul
saudaramu Panji Agung ke dasar
neraka” seru Begal Ireng keras, namun dingin. Tak ada perubahan sedikit pun di
wajahnya. Sementara, anak rambut dan ujung pakaiannya dipermainkan angin.
Tak ada jawaban dari pihak
kerajaan.
“Bratasena Apakah kau sudah
siap untuk menerima kematianmu. Atau, kau memang tuli?”
bentak Begal Ireng sekali
lagi.
“Hua ha ha...”
Kali ini, terdengar tanggapan
dari kereta kuda.
Tapi hanya tawa.
“Kau pikir ini lucu, hah?”
bentak Begal Ireng kembali.
“Ya. Tapi aku tak tertawa
karena ucapanmu. Aku hanya teringat pada syair Iagu. Kau mau dengar?
Begini....” Kemudian dari
dalam kereta kuda terdengar senandung berisi pantun.
“Debrut-brut-brut kentut kuda.
Bikin ngantuk sejuta angsa.
'Cecurut tua 'yang awet muda.
Mengira mampu berkuasa...?”
“Keparat” hardik Begal Ireng.
Memang, usia Begal Ireng sebenarnya hampir mencapai sembilan puluh tahun, tapi
karena menganut ilmu awet muda, penampilannya masih tampak seperti lelaki
berusia tiga puluhan.
Tanpa memerintah anak buahnya,
Begal Ireng langsung meluruk ke arah kereta kuda. Tentu saja ini sangat
mengejutkan Mahapatih Guntur Slaksa. Maka lelaki itu segera ikut melesat ke
arah kereta kuda.
Namun sebelum Begal Ireng atau
Mahapatih
Guntur Slaksa benar-benar
sampai, tiba-tiba sesosok tubuh mencelat bagai bayangan hantu. Setelah berputar
beberapa kali di udara, orang yang melesat dari kereta kerajaan itu menjejak
persis setombak di depan Begal Ireng yang mendadak menghentikan larinya.
“Bakikuk” seru orang itu.
Ternyata, dia adalah Andika
Tentu saja Begal Ireng terkesiap. Matanya terbelalak bagai kelereng.
Sungguh tak diduga. Ternyata
orang yang berada dalam kereta kuda itu bukan Prabu Bratasena.
Memang, inilah rencana yang
pernah dijanjikan Andika pada Purwasih. Dengan rencananya ini, dia berhasil
memancing Begal Ireng keluar dari sarang-nya. Sengaja Andika mengatur agar
Prabu Bratasena tampak sungguh-sungguh hendak me-nemui raja negeri tetangga.
Dan hal itu, lalu dibicarakan di depan para pembesar kerajaan. Ternyata
perhitungan Andika berjalan lancar. Rencana kepergian itu buktinya bocor,
sampai ke telinga Begal Ireng. Hanya saja, orang yang berada dalam kereta sudah
berganti.
Bukan Prabu Bratasena, tapi
Andika sendiri.
Bukan hanya Begal Ireng yang
terkejut. Mahapatih Guntur Slaksa pun demikian. Bahkan telah melompat dari
punggung kudanya, lalu melesat menuju kereta kuda. Namun langkahnya dihentikan
seperti halnya Begal Ireng. Bahkan dua perwira dan lima belas prajurit kerajaan
tadi membelalakkan mata. Apalagi, Patih Ranggapati.
Kenapa mereka bisa ikut
terkecoh? Sekali lagi, ini akal bulus Pendekar Slebor itu. Andika memang
mengatur rapi, agar kusir kereta kuda digantikan Ningrum yang mengenakan
pakaian lelaki. Pada saat Prabu Bratasena sudah masuk ke dalam kereta kuda di
hadapan para pembesar istana, Andika men-jentikkan kerikil kecil ke tubuh salah
seekor kuda.
Akibatnya kuda itu langsung
terkejut dan berlari sehingga ketiga kuda lain yang mengikutinya.
Ketika kuda berlari sekian
langkah di dekat sebuah pohon besar, Andika segera masuk ke dalam. Sedangkan,
Prabu Bratasena keluar dan bersembunyi di balik pohon besar itu. Kejadian ini
begitu cepat.
Sehingga, beberapa perwira
yang memburu untuk menghentikan lari kuda tak sempat melihatnya.
“Wah wah wah... Kenapa matamu
melotot seperti orang banyak hutang, Begal Ireng?” ejek Andika seraya
memutar-mutar kain bercorak catur di depan dada, seperti orang kepanasan.
“Kau..., ternyata kau belum
mati?” kata Begal Ireng, geram.
“Aku selalu punya nyawa
cadangan yang kusimpan dalam perutku. Kau mau lihat nyawa cadanganku?”
ujar Andika acuh. “Nih....”
Truut... dut Du... brot
Andika mengeluarkan angin yang
dikatakannya tadi sebagai nyawa cadangan. Dan angin itu dikeluarkan melalui
lubang pantatnya
“Hebat, bukan?”
“Keparat” geram Begal Ireng
amat memuncak.
Mata tokoh hitam ini mendadak
memerah.
Wajahnya pun terbakar
kemurkaan. Karena dirinya telah dipermainkan anak muda bau kencur
berpakaian hitam pupus ini.
“Kali ini kau tak akan lolos
lagi dari maut, Anak Babi” umpat Begal Ireng.
“Tapi kalau aku lolos lagi,
bisa jadi kau yang akan dijemput maut, Bapak Babi” timpal Andika, semakin
membakar kemarahan lawannya.
Sampai di situ Begal Ireng
tidak bisa lagi menahan kemurkaannya. Dengan satu genjotan, tubuhnya meluruk ke
arah Pendekar Slebor. Di benaknya hanya terbayang bagaimana anak muda kurus itu
tergeletak menjadi mayat. “Adouw, tidak kena” teriak Andika seraya bergeser ke
samping. Namun, kaki kirinya yang masih tetap di tempat semula langsung menyapu
kaki lawan.
Begal Ireng yang menyerang
Andika dengan jurus
'Terkaman Naga', segera menghentak
kakinya yang hendak disapu lawan. Tubuhnya langsung melenting ke udara. Setelah
berputar di udara beberapa kali, kakinya kembali menjejak mantap di tanah. Dari
sini bisa dilihat kehebatan ilmu meringankan tubuhnya.
“Kau bertempur menggunakan
jurus apa, Begal Ireng? Apakah nama jurus itu 'Kodok Bisul Cari Makan'? Kalau
begitu, aku harus menghadapimu dengan jurus 'Kupu-kupu Bingung',” kata Andika,
pendekar muda yang mendapat julukan Pendekar Slebor ini.
Tubuh tegap pemuda itu
bergerak. Kain bercorak papan catur yang tergenggam di tangannya terlihat
dibentangkan. Sepasang kakinya melekuk keluar seperti seorang yang menahan
sakit perut. Lalu, tubuhnya mulai berputar-putar setengah terhuyung dalam satu
lingkaran kecil.
“Anak sinting cari mampus”
maki Begal Ireng ketika melihat lawannya mulai mengejek kembali.
Serangan selanjutnya
dilancarkan Begal Ireng, langsung memasuki jurus kesepuluh 'Terkaman Naga'. Di
samping karena sudah menduga kalau lawannya telah menjalani penyempurnaan,
lelaki itu juga ingin secepatnya menyudahi pertarungan ini.
Sementara itu tanpa diduga
Patih Ranggapati, dari kereta kuda meluncur seseorang berpakaian merah menyala
dengan kepala ditutup caping pelepah kelapa. Dan dia tepat mendarat di depan
Patih Ranggapati.
Memang, rupanya Andika tidak
mau tanggung- tanggung menjalankan rencananya untuk memancing pengkhianat
Kerajaan Alengka. Secara sembunyi-sembunyi, Purwasih disuruhnya untuk naik
kereta, setelah diminta untuk mengenakan pakaian Ningrum berikut capingnya.
Lagi-lagi semua orang di
sekitar tempat itu menjadi terperanjat. Terlebih Patih Ranggapati. Dan matanya
jadi terbelalak untuk yang kedua kali
“Kau terkejut, Paman Patih?”
tanya Purwasih seraya membuka caping penutup wajahnya.
“Purwasih?” sahut Patih
Ranggapati, tanpa sadar.
“Ya, aku Purwasih, putri Prabu
Bratasena yang kau khianati. Aku juga seorang yang menganggap kau adalah
pamanku, tapi mulai saat ini dengan berat hati kau kuanggap sebagai musuh
negeri Alengka....”
“Purwasih Apa-apaan kau ini?”
kata Patih Ranggapati, bergetar.
“Paman Guntur Slaksa,
periksalah bahu kiri Patih Ranggapati Sewaktu pulang bersamaku dulu, dia
mengatakan kalau luka di bahunya adalah akibat serangan orang-orang Begal
Ireng. Sesungguhnya, luka itu akibat sayatan Kipas Naga milik Ningrum, yang
kini menjadi kusir kereta kuda kita...,” sambung Purwasih pada Mahapatih Guntur
Slaksa, tanpa mempedulikan keterkejutan Patih Ranggapati.
Rupanya, Purwasih sudah mulai
mempercayai siasat yang diterapkan Andika, untuk membuktikan keterlibatan Patih
Ranggapati dalam menebar bencana di Kerajaan Alengka.
Lelaki tinggi besar bernama
Mahapatih Guntur Slaksa menatap Patih Ranggapati dengan sinar mata tidak
percaya. Bagaimana mungkin orang yang selama ini dikenal baik sebagai perwira
kerajaan dengan kesetiaannya yang tak diragukan itu ber- khianat? Namun
mengingat yang memerintah adalah putri raja, mau tak mau Mahapatih Guntur
Slaksa mengabulkannya.
“Kemarilah, Patih Ranggapati”
ujar Mahapatih Guntur Slaksa.
Dia berusaha menjangkau
pakaian Patih
Ranggapati untuk melihat bahu
sebelah kirinya, tapi ternyata lelaki yang dicurigai sebagai pengkhianat
kerajaan ini menghindar cepat.
“Kenapa kau menghindar, Patih
Ranggapati? Apa memang benar ucapan Tuan Putri Purwasih kalau kau adalah
pengkhianat kerajaan?” desis Mahapatih Guntur Slaksa penuh tekanan.
Melihat tindakan Patih
Ranggapati, Purwasih makin yakin kalau laki-laki yang selama ini sudah dianggap
pamannya adalah seorang pengkhianat.
Pantas saja selama ini segala
kegiatan kerajaan selalu bocor ke telinga Begal Ireng. Dan kini, jelas
pancingan Andika mengena.
Sementara Patih Ranggapati
hanya menatap
Mahapatih Guntur Slaksa dengan
wajah memerah.
Setapak demi setapak kudanya
melangkah ke belakang seperti siap hendak melarikan diri.
“Tangkap pengkhianat itu, Paman
Guntur Slaksa”
seru Purwasih.
“Hiaaa...”
Tubuh Mahapatih Guntur Slaksa
langsung
melenting tinggi ke arah Patih
Ranggapati.
Sementara, orang yang diserang
juga tidak tinggal diam. Dia juga langsung melenting, memapak serangan
Mahapatih Guntur Slaksa.
Kini kancah pertempuran makin
hingar-bingar karena pertarungan meluas menjadi beberapa bagian. Andika melawan
Begal Ireng, Mahapatih Guntur Slaksa dengan Patih Ranggapati, menyusul Purwasih
dan Ningrum yang menyerbu ke arah si Kembar dari Tiongkok. Sedangkan prajurit
khusus kerajaan menyerang empat kaki tangan Begal Ireng yang lain.
Sementara itu, pertempuran
Andika melawan Begal Ireng makin sengit. Keduanya bertukar jurus bertubi-tubi
dalam satu kelebatan yang sulit ditangkap mata orang awam. Berkali-kali Begal
Ireng dibuat penasaran oleh jurus-jurus Pendekar Slebor yang tampak seperti
main-main. Dan setiap kali Begal Ireng melabrak, selalu saja dapat dipatahkan
Andika.
Sampai suatu saat....
Begal Ireng mencoba melepaskan
tendangan
tipuan ke arah pinggang
Pendekar Slebor. Dan begitu melihat lawannya menghindar dengan melenting ke
atas, Begal Ireng tak menyia-nyiakannya. Seketika tenaga dalamnya kini
digenjot. Lalu, tubuhnya melesat sambil melepaskan pukulan maut ke arah Andika
yang masih berputaran di udara.
Melihat serangan mendadak ini,
Pendekar Slebor rupaya memang sudah menduga. Dalam keadaan masih di udara,
langsung dipapaknya serangan Begal Ireng dengan tangan kanannya. Sehingga....
Plak
Begitu kuat tenaga dalam yang
dikerahkan
Pendekar Slebor, sehingga
tangan kanannya yang tak tergoyah langsung meluruk dengan jari-jari lurus ke
arah dada Begal Ireng. Tak ada kesempatan bagi tokoh hitam ini untuk
menghindar. Apalagi, keseimbangannya cukup goyah akibat benturan tangan tadi.
Akibatnya.... Des
Tak ayal lagi, dada Begal
Ireng kontan terhantam jari-jari tangan kanan Andika dengan telak. Tubuhnya
terdorong deras, dan jatuh keras di tanah, menimbulkan debu-debu yang
berterbangan di sekitarnya. Bukan main terkejutnya Begal Ireng menerima totokan
jari Pendekar Slebor. Sambil menahan sesak luar biasa, dia berusaha bangkit.
Sebenarnya jurus-jurus
Pendekar Slebor memang sulit diduga. Bahkan seringkali terlihat ngawur.
Namun akibat yang
dihasilkannya sungguh sulit dipercaya. Padahal, benteng pertahanan Begal Ireng
selama ini tidak bisa ditembus oleh tokoh sakti mana pun. Ki Panji Agung
lawannya dulu pun harus bertempur lebih dari ratusan jurus untuk bisa menembus
pertahanannya. Tapi lawannya yang berusia belasan tahun ini mampu membobol
pertahanan Begal Ireng tak
kurang dari tiga puluh jurus
“Kenapa kaget? Sekarang kau
baru berkenalan dengan Pendekar Slebor yang baru turun gunung.
Kau ingin lihat kekonyolanku?
Lihatlah....”
Selesai berkata demikian,
Andika melabrak lawan seperti orang gila yang sedang mengamuk sejadi-jadinya.
Sepasang tangannya mengebut kian kemari dengan telapak dan jari tangan terbuka
lebar-lebar.
Kakinya menendang-nendang
kacau seperti seekor kuda liar. Sedangkan kepalanya berputar-putar, sehingga
rambutnya berantakan tak karuan.
“Hus... hus Hus... hus” Andika
menggusah.
Seakan-akan menganggap Begal
Ireng, tokoh sakti papan atas aliran hitam itu sebagai ayam miliknya yang
hendak digiring ke dalam kandang.
Begal Ireng menjadi kalang
kabut menghadapi serangan ganjil lawannya. Selama menjadi tokoh sakti, dia
hanya berhadapan dengan lawan yang mengerahkan jurus-jurus terarah. Tapi
lawannya kali ini sungguh membingungkan. Serangan yang dikira mengarah ke biji
mata, ternyata menyempong ke biji
'terlarang'. Serangan yang
mengarah ke ulu hati, ternyata meliuk ke ubun-ubun. Gerakannya seperti daun
kering tertiup angin, sewaktu-waktu dapat berubah arah tanpa terduga Itulah
jurus 'Memapak Petir Membabibuta' Jurus yang berhasil dicipta-kannya dalam
purnama kedua di Lembah Kutukan.
Maka akibatnya....
Duk
Plak
Plak
Secara beruntun, serangan
gencar Pendekar Slebor bersarang di tubuh lawan. Kepalanya berhasil menyeruduk
kening lawan. Sedangkan telapak tangannya yang terbuka mengenai dua belahan
pantat lawan.
Tubuh Begal Ireng langsung terjengkang,
lalu kembali menghantam tanah dengan keras.
Sesaat mata tokoh hitam ini
mengerjap-ngerjap dan kepalanya digerak-gerakkan. Kepalanya pusing bukan
kepalang akibat benturan kepala lawannya pada bagian kening. Sedangkan kedua
tangannya memegangi bagian pantatnya yang terasa seperti tersayat.
“Hua ha ha...” Andika
tergelak-gelak sambil memegangi perut. “Kau seperti anak kecil yang sedang
antri di jamban, Begal Ireng”
“Anjing kurap” Begal Ireng
bangkit kembali.
Kemarahan tokoh sesat ini
sudah membakar
seluruh dadanya. Ubun-ubunnya
pun sudah seperti mau meledak. Segera dilepasnya cemeti dari pinggang. Dia tak
mau tanggung-tanggung lagi menghadapi lawannya yang ganjil ini.
“Waduh Kau mulai main-main
dengan buntut tuyulmu itu, ya? Hati-hati, nanti bisa dimarahi abahmu” Andika
berkoar seenak udel.
“Hiaaat”
Wut
Pertempuran berlanjut. Tapi
kali ini lebih ganas, karena masing-masing telah mengeluarkan senjata.
Begal Ireng yang telah kalap,
tak peduli lagi dengan lawannya yang masih muda. Yang jelas, keturunan Pendekar
Lembah Kutukan harus
dilenyapkan.
Begal Ireng ccpat mengebutkan
cemetinya ke bagian kepala Andika, lewat jurus ketujuh 'Sabetan Ekor Iblis”.
Namun, tubuh Pendekar Slebor itu justru mencelat ke atas menuju kepala lawan.
Di udara, tangannya yang telah memegangi kain catur pusaka memecutkan senjata
itu ke tangan Begal Ireng.
setelah terlebih dahulu
meliukkan tubuhnya menghindari jilatan cemeti.
Ctar
Cemeti di tangan Begal Ireng
terlepas seketika.
Sedangkan tubuh Pendekar
Slebor meluncur turun di belakang Begal Ireng. Begitu mendarat, dengan satu
gerakan sulit dihindari, kain catur pusakanya menyergap wajah Begal Ireng saat
masih di udara.
Akibatnya Begal Ireng tidak
dapat melihat apa-apa lagi. Kain itu berusaha dilepaskan dari wajahnya dengan
melempar tubuh ke belakang. Tapi, dengan segera Andika mengikuti gerakannya.
Beberapa kali tubuh mereka bergantian berputaran. Dan ternyata Begal Ireng
tetap tak dapat melepaskan cengkeraman kain catur pusaka yang membelit seluruh
wajahnya.
Sampai suatu ketika....
“Aaakh”
Dalam keadaan begitu, mata
Pendekar Slebor melihat tubuh Ningrum melayang mengerikan.
Rupanya, seorang dari si
Kembar dari Tiongkok berhasil menghempaskan tubuh gadis itu dengan pukulan
jarak jauh yang pernah dipakai untuk melumpuhkan Ki Panji Agung dulu.
“Ningrum” teriak Andika
terkejut. Pada saat itu, perhatiannya pada Begal Ireng buyar. Sehingga,
pegangan pada kain catur pusaka mengendor.
“Hiaaat”
Berbareng satu gerakan
berputar, Begal Ireng yang berjuluk Pencabut Nyawa berhasil melepaskan kain
catur pusaka milik Andika dari wajahnya. Setelah tubuhnya menghadap ke arah
Pendekar Slebor, tangannya bergerak bergantian secara beruntun.
Des Des Des Des
Empat pukulan sakti ajian
'Brajamusti' menghantam dada pendekar itu. Jika satu pukulan itu dapat
meremukkan batu karang sebesar benteng, bisa dibayangkan bagaimana parahnya
luka yang diderita Andika menerima empat pukulan sekaligus
“Aaakh”
Tubuh Andika terjengkang
menyusul Ningrum yang lebih dulu menghantam sisi bukit karang.
Tubuh Pendekar Slebor lunglai
setelah menabrak tebing terlebih dahulu. Dari celah bibirnya mengalir darah
kental kehitam-hitaman. Sedangkan dari dadanya tampak mengepul asap tipis.
“Andikaaa” pekik Purwasih,
melihat pemuda yang dicintainya tergeletak tanpa gerak.
“Hua ha ha... Jangan dikira
dapat mengalahkanku, Bocah Ingusan,” ledek Begal Ireng puas. Pertempuran
terhenti ketika Purwasih berlari menuju tubuh Andika dengan derai air mata di
pipi.
Semuanya tertegun menyaksikan
seorang pendekar dari keluarga Pendekar Lembah Kutukan ternyata mengalami nasib
mengerikan di tangan Begal Ireng.
Di langit, awan gelap yang
pekat berarak menutupi seluruh celah bukit. Warnanya yang menyeramkan, sedikit
pun tidak membiarkan sinar matahari menerobos. Gumpalan raksasa berkekuatan
sengatan alam yang mana
dahsyat itu saling berbenturan. Dan....
Jlegar Jlegar Jlegar Jlegar
Empat jilatan lidah petir
mengkerjap, menyengat tubuh lunglai Andika, sebelum Purwasih sempat memeluknya.
Bahkan tubuh wanita itu terhempas karena ledakan petir yang merasuki tubuh
Andika secara aneh.
Krttt
Dari tempat yang agak jauh,
semua mata
menyaksikan bagaimana tubuh
pendekar muda itu menyala terang bagai disinari ribuan lidah api.
Warnanya merah kebiru-biruan,
memancar hingga sepuluh tombak dari tubuhnya. Purwasih yang berada paling dekat
dengan Andika langsung memekik nyaring, seraya menutupi kedua mata dengan
tangan.
Bahkan para prajurit yang
berada di ujung celah ikut menyipitkan mata karena silau.
Sesaat berikutnya tubuh Andika
mengejang, lalu bergetar hebat. Sebuah kekuatan alam yang maha dahsyat telah
bergolak dalam tubuhnya. Itulah akibat yang terjadi, setelah beberapa waktu
lalu Pendekar Slebor ini memakan buah langka Inti Petir warisan Ki Saptacakra.
Dan mendadak saja tubuhnya bangkit dalam satu erangan panjang. “Ngrh”
Dengan tubuh masih berpijar
menyilaukan,
sepasang tangan Pendekar
Slebor menyilang ke depan dalam getaran keras. Dari sepasang
telapaknya, tiba-tiba saja
meluncur dua larik sinar tebal berwarna kebiru-biruan seperti petir, menuju ke
arah Begal Ireng.
Tokoh berjuluk si Pencabut
Nyawa yang tertegun menyaksikan keajaiban itu, tak mampu lagi menghindar. Dia
benar-benar terpaku melihat kejadian itu.
Ctarrr
“Aaakh”
Lengkingan tinggi menguak
angkasa terdengar.
Hanya sesaat mulut tokoh sakti
itu melontarkan teriakan menggidikkan. lalu tubuhnya ambruk dan telah hangus
matang di atas tanah. Asap tipis berbau menjijikkan menyebar di celah bukit,
lalu hilang tersapu angin.
Melihat kenyataan yang
mengendorkan
keberanian mereka, anak buah
Begal Ireng langsung mengambil keputusan untuk melarikan diri.
Termasuk, si Kembar dari
Tiongkok. Mereka tidak mau menjadi korban berikutnya dari ilmu aneh Pendekar
Slebor
Begitu cepat mereka melesat,
sesaat kemudian keenam lelaki itu sudah menghilang di balik bukit tanpa ada
yang bisa mencegahnya.
Sementara, tubuh Andika kini
telah biasa kembali.
Sinar menyilaukan telah
menghilang perlahan beberapa saat lalu, bagai diisap bumi. Lalu, Pendekar
Slebor melangkah menghampiri Ningrum.
“Bawa Patih Panggapati ke
istana, Paman Guntur Slaksa,” ujar Purwasih memecah kesunyian celah bukit.
Mahapatih Guntur Slaksa mengangguk. Dengan cukup hormat, diajak Patih
Ranggapati yang telah menyerah untuk ikut ke istana untuk diadili. Bersama dua
perwira dan sembilan prajurit yang masih hidup, mereka meninggalkan celah
bukit.
Di pangkuan Andika, Ningrum
tersengal-sengal mempertahankan nyawa yang di ambang maut.
Darah membasahi sebagian
pakaiannya, setelah mengalir dari mulutnya yang tersapu warna merah.
“Andika. Rupanya takdir akan
memisahkan kita.
Kalau dulu aku bisa
diselamatkan guruku, kini aku tak yakin akan ada orang yang bisa
menyelamat-kanku. Aku mencintaimu, Andika. Dan aku yakin, kau memang
mencintaiku. Tapi ketika aku tahu kalau kau ternyata seorang keluarga kerajaan,
aku merasa tidak berharga di matamu. Dan itu kuketahui sewaktu berada di ruang
kehormatan untuk melihat lukisan Ki Saptacakra. Barangkali, kau harus menerima
cinta Purwasih, Andika....”
Setelah itu, Ningrum meregang.
Nyawanya pun hanyut dalam alunan irama kematian. Kelopak matanya yang mengatur
perlahan bersama
hembusan napas terakhir.
“Ningrum...,” desis Andika.
Sebenarnya ada sesuatu yang
mengganjal dada Andika. “Walaupun dia keluarga kerajaan, tapi siapakah orangtuanya
yang sebenarnya? Dan mengapa dia dibuang di pinggir hutan?” ini yang menjadi
beban pikirannya.
Awan gelap beringsut diatas
sana. Sinar matahari sore menerabas lembut di celah bukit yang bisu, menyinari
Andika yang memeluk tubuh Ningrum. Tak ada kata yang ingin diucapkannya. Tak
ada sesuatu pun yang ingin diperbuatnya. Kecuali, memeluk erat tubuh beku
Ningrum, untuk mengantar kepergiannya ke alam abadi.
SELESAI