Pendekar Slebor Episode 02 Dendam Dan Asmara

Pendekar Slebor Episode 02 Dendam Dan Asmara
Pijar El
-------------------------------
----------------------------


Episode 02 Dendam Dan Asmara

1

Waktu datang dan pergi. Sejarah hadir dan berganti.

Manusia lahir dan mati. Roda kehidupan terus berjalan tanpa ada yang dapat menghentikannya. Dan selama itu pula dunia persilatan selalu diwarnai berjuta kisah. Tentang darah dan nyawa, tentang cinta, tentang perjuangan, dan tentang pengorbanan.

Sejak Begal Ireng yang berjuluk si Pencabut Nyawa berani unjuk taring kembali dalam dunia persilatan, hari-hari makin tersaput warna merah karena terlalu banyak darah tertumpah. Tidak hanya pemberontakan pada Prabu Bratasena yang dilakukannya. Tapi, juga keangkaramurkaan yang membumi-hanguskan orang-orang tak berdaya. Pembantaian yang terjadi di mana-mana, kini bukan lagi kisah luar biasa. Di setiap tempat dan di setiap waktu, bisa saja terjadi secara tiba-tiba. Lengking kematian kerap terdengar, seiring isak tangis pilu para korban yang teraniaya.

Saat ini, dunia persilatan memang tengah mem-butuhkan 'Sang Penyelamat' Karena hukum kerajaan yang diberlakukan Prabu Bratasena pun ternyata tidak memiliki kekuatan dalam menghadapi

kebuasan Begal Ireng dan kawanannya.

Sementara itu, di Lembah Kutukan yang jauh dari hingar-bingar dunia persilatan, seorang pemuda tampan bermuka tirus tampak tengah menjalani perjuangan antara hidup dan mati. Dan orang itu adalah Andika. Setelah beberapa tahun menekuni ilmu olah kanuragan di lembah itu, dia sudah menjadi pemuda berbadan tegap berotot. Rambutnya sebatas bahu tak teratur. Wajahnya yang tampan dihiasi oleh mata tajam menusuk. Sedangkan alis mata yang menukik bagai sayap elang, memperlihatkan ketajaman muka-nya. Kini, dalam masa penyempurnaannya sebagai seorang pendekar keturunan keluarga Lembah Kutukan. Dan dia harus menerima sesuatu yang tak terduga.

Saat itu, Andika baru menyelesaikan jurus ketiga puluh yang bernama 'Petir Selaksa' hasil ciptaannya.

Di antara gencarnya juluran lidah petir, tubuhnya tampak berkelebat kian kemari dalam satu rangkaian gerakan ganjil. Seluruh tubuhnya sudah dibanjiri keringat yang tak henti-hentinya mengalir dari lubang pori-porinya.

Kini tampak, juluran lidah petir yang amat menyilaukan mata menghujam ke arah Andika dari arah samping kanan. Dan pemuda itu dapat merasakan kalau sambaran petir kali ini memiliki kekuatan beberapa kali lipat lebih dahsyat, beda dari biasanya.

Tentu saja anak muda itu tidak sudi tubuhnya ter-panggang, karena keganjilan yang baru kali ini ditemui. Dengan sigap, tubuhnya berkelebat ke samping dengan kecepatan melebihi suara. Kekuatan lidah api yang hendak mengganyangnya memang luput sejengkal dari tubuhnya. Namun ketika kaki kirinya menjejak salah satu dari susunan batu yang teratur rapi, mendadak tanah di sekitar batu itu amblas

Belum sempat Andika menyadari apa yang terjadi, tubuhnya tersedot ke lubang besar yang kini tercipta.

Srrr

Anak muda bertubuh gagah itu benar-benar tidak bisa lagi menguasai keseimbangannya. Tubuhnya terus meluncur dalam lubang menurun yang panjang berliku. Bunyi kerikil dan pasir yang ikut terseret tubuhnya, terdengar seperti desis ribuan ular berbisa.

Sampai suatu ketika....

Buk

Tubuh kekar Andika terbanting keras di tanah dasar lubang itu. Karena pantatnya yang jatuh lebih dulu, maka bagian itu pula yang mengalami rasa sakit paling parah. Wajahnya langsung meringis-ringis seperti orang telat buang air. Dengan terduduk menahan sakit, tangannya meraba bagian pantatnya yang berdenyut-denyut bukan kepalang.

“Huh Daripada pantatku terbentur seperti ini, lebih baik tersambar petir...,” keluh pemuda itu, jengkel.

“Kalau tahu jadi pendekar sakti harus sesengsara ini, rasanya lebih baik jadi tukang sayur saja.”

Selesai menggerutu panjang pendek, Andika mulai mengawasi keadaan sekitarnya. Rupanya, di sekelilingnya merupakan sebuah ruangan yang sama sekali asing.

Ruangan ini cukup luas, berdinding batu cadas yang melingkar hingga ke bagian atas. Pada beberapa bagian dinding tertancap obor-obor yang tampaknya dihidupi oleh gas alam. Hawa di dalam ruangan itu sangat sejuk, seolah-olah ada saluran udara khusus yang tersembunyi.

Namun, bukan hal itu yang menarik perhatian Andika. Rupanya ada sesuatu yang membuat keningnya berkernyit dalam. Di salah satu sudut ruangan ini, ternyata ada seorang lelaki tua bertubuh kurus. Dia tengah duduk tenang dengan mata terpejam di atas sebuah batu yang permukaannya pipih. Seluruh pakaian yang dikenakannya berwarna putih. Amat pantas dengan keadaannya yang begitu menggambarkan ketenangan. Dari caranya duduk dengan tangan terlipat di dada, Andika yakin kalau laki-laki tua itu sedang bersemadi.

Dan ada satu lagi yang membuat Andika terheran-heran. Ternyata di depan lelaki tua itu terdapat meja beralaskan kain kotak-kotak hitam dan putih seperti papan catur. Bahkan di atasnya tampak pula beberapa buah catur.

Andika jadi terheran-heran sendiri seraya mendekati lelaki tua itu dengan langkah hati-hati. Ber-macam-macam dugaan berkecamuk dalam benaknya saat ini. Tapi, tak satu pun yang terjawab, sehingga makin membangkitkan rasa ingin tahunya yang terkadang liar.

Andika melangkah makin dekat. Hatinya semakin tegang, hingga tanpa disadari, napasnya diatur sedemikian rupa, agar tidak terdengar oleh lelaki tua yang kini dihampirinya.

“Ki...,” tegur Andika setengah berbisik ketika telah berada di sisi orang tua berbaju putih itu.

Andika diam sebentar, sambil terus mengamati tindakan orang tua itu.

“Ki... Hey, Kisanak,” ulang Andika lebih keras.

Tapi orang yang ditegur tetap saja mematung tanpa gerak sedikit pun.

Andika mencoba memanggil lagi. Bahkan tangannya pun sudah bergerak-gerak nakal di depan wajah orang tua itu. Hasilnya, tetap nihil. Orang tua itu belum juga memberi tanggapannya. Sekali lagi di-cobanya untuk menegur dengan suara lebih keras, sampai akhirnya, dia jadi menggerutu sendiri.

“Huh”

Andika mulai jengkel, karena orang yang di- tegurnya seakan menganggapnya sekadar nyamuk buduk.

“Apa kau memang tuli, Ki? Apa aku harus berteriak tepat di telingamu? Ya..., baiklah” gumam pemuda bermuka tirus ini, seperti orang kehilangan akal.

Lalu....

“Kisanak... Oooi, Kisanak” jerit Andika tak tanggung-tanggung, tepat di telinga lelaki tua yang mulai menjengkelkannya.

Tanpa disadarinya, kekuatan sakti dalam tubuh Andika mengalir bersama jeritannya. Hal itu meng-akibatkan dinding batu cadas di sekelilingnya bergetar, lalu runtuh sebagian.

“Uf, maaf tak sengaja. He he he...,” ucap Andika cepat, saat menyadari akibat teriakan gilanya.

Dan lagi-lagi, pemuda ini harus jengkel. Bagaimana mungkin laki-laki jompo itu tidak mendengar teriakannya? Kalau dinding cadas saja dapat berantakan seperti kerupuk, kenapa gendang telinga laki-laki itu tidak pecah? Andika makin diseret kedongkolan, karena rasa herannya.

“Kau sudah mati ya, Kisanak? Ya... Pasti kau sudah mati”

Kini Andika mendekatkan telinganya ke dada kurus lelaki tua. Beberapa saat diperhatikannya denyut jantung laki-laki tua yang terus diam seperti patung. Cukup lama juga, sampai dia benar-benar yakin kalau telinganya tidak menangkap detak jantung orang tua itu sedikit pun.

“Kasihan kau, Kisanak. Rupanya kau memikirkan langkah-langkah catur ini, sampai mati karenanya,”

oceh Andika seraya melirik ke buah catur di hadapannya.

Sebentar kening Andika berkerut, melihat langkah- langkah buah catur di hadapannya. Otaknya terus bekerja, seperti mengotak-atik biji-biji catur berwarna putih, agar dapat mematikan raja hitam.

“Padahal langkah biji catur hitam amat mudah untuk menghindari kematian. Kalau saja dari dulu kau katakan hal ini padaku, tentu tak akan mati pusing seperti ini,” celoteh Andika sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan-akan, dialah orang terhebat dalam permainan catur.

Tiba-tiba....

“Siapa yang mengatakan aku sudah mati?”

Andika terlonjak bukan main, begitu tiba-tiba terdengar suara berat mendengus. Bahkan tubuhnya sampai terlempar tiga tindak ke belakang. Wajahnya tampak pucat-pasi karena terkejut. Alis matanya yang hitam terangkat tinggi-tinggi. Ditatapnya lelaki tua tadi dengan sinar mata ngeri.

“Arwah gentayangan, ini pasti hantunya” bisiknya dengan bahu menciut. “Hiy...”

“Siapa yang kau katakan hantu?” hardik lelaki tua yang matanya kini telah terbuka.

“K... kau, Kisanak Kau pasti arwah gentayangan.

Kau..., kau sudah mati. Kau har... rus kembali ke alammu. Ayo, sssana Husss” ujar Andika tergagap.

Tangannya mengibas-ngibas, seperti mengusir.

“Bocah goblok Baru pertama kali ini aku bertemu seorang yang ingin jadi pendekar, tapi bernyali kodok” bentak orang tua itu lagi. Kali ini matanya menatap Andika.

“Aku bukannya takut, Hanya....”

“Hanya apa?”

Andika menelan ludah. “Cuma seram...,” tambah Andika setelah menelan ludah, dengan mata masih terbelalak seperti hendak keluar. “Apa kau kira aku ini arwah gentayangan?”

Andika tidak menjawab. Dia sendiri sudah begitu yakin kalau orang tua di depannya sudah mati dan arwahnya kini kembali karena dia telah mengusiknya.

“Aku bukan setan, Tolol Kenapa kau masih melotot seperti orang cacingan?” bentak orang tua itu lagi. Jenggot putihnya tampak tergetar saat mem-bentak.

“Jadi kau bukan arwah gentayangan? Ah, bohong

Kau pasti setan yang suka berbohong” tukas Andika.

Lelaki tua itu malah tertawa.

“Ke sini kau” perintah laki-laki tua itu tiba-tiba.

“Tidak mau...,” tolak Andika, seraya menggelengkan kepala kuat-kuat.

“Kesini”

“Tidak mauuu...”

“Kalau tidak ke sini, kau akan kucekik sampai mati. Ingat, aku adalah arwah gentayangan yang paling suka mencekik orang” ancam lelaki tua ber-jenggot putih.

Lagi-lagi Andika menelan ludah. Dia berpikir, “Daripada dicekik, lebih baik menuruti kemauannya saja”.

Kakinya mulai beringsut, mendekati orang tua itu.

“Sekarang duduk” perintah orang tua itu kembali, sewaktu anak muda itu sudah selangkah di depannya.

Andika meringis ngeri, mendengar permintaan orang tua itu. “Setelah aku duduk, mau diapakan lagi?”

“Duduklah. Jangan takut, aku tak akan men-cekikmu” ujar orang tua itu, seperti dapat membaca pikiran Andika.

Akhirnya, Andika menurut. Sambil tetap menatap orang tua itu, dia duduk takut-takut. “Dengarkan baik-baik,” ujar orang tua itu, saat Andika sudah duduk menciut. “Namaku, Ki

Saptacakra. Aku tahu, kau belum kenal padaku. Maka itu, akan kuperkenalkan diriku kalau aku adalah buyutmu, Pendekar Lembah Kutukan....”

Wajah Andika langsung menengadah, bagai baru saja mendapat mimpi. Bagaimana hatinya tidak tersentak seperti sedang bermimpi, kalau orang tua di depannya mengaku sebagai Pendekar Lembah

Kutukan yang tinggal menjadi cerita rakyat selama lebih dari seabad.

Namun Andika juga berpikir, “Kalau orang tua yang mengaku bernama Ki Saptacakra, pasti arwah gentayangan yang sinting Masalahnya, dia mengaku sebagai buyutku.”

“Jangan sembarangan mengaku-ngaku sebagai buyutku, Kisanak” bentak Andika kesal.

Tiba-tiba saja harga diri Andika sebagai keturunan langsung pendekar tersohor itu terusik. Dia berpikir, Ki Saptacakra sedang mengejek keluarganya.

Padahal, Andika sendiri belum pernah mengenal satu pun dari anggota keluarga Pendekar Lembah Kutukan.”

Sementara, Ki Saptacakra terkekeh.

“Rupanya kau tidak terlalu pengecut, ya?” sindir orang tua itu.

“Pengecut? Hei, bagaimana mungkin keturunan Pendekar Lembah Kutukan bisa pengecut?” sergah Andika seraya membusungkan dada, biarpun

sebenarnya masih gemetar juga. “Dan aku tidak terima kalau kau mengaku-ngaku seenaknya”

“Kalau kau tidak percaya, terserah,” kata Ki Saptacakra amat tenang. Setenang bias wajahnya yang ditumbuhi jenggot putih panjang. “Tapi kau mesti tahu, aku akan mewariskan sesuatu yang belum kau miliki....”

“Terima kasih, aku sudah hebat,” sela Andika, seenak dengkul.

“Bagiku. kau hanya anak bawang. Anak pengecut yang pongah dan keras kepala,” kata Ki Saptacakra kembali sambil terkekeh.

Andika langsung bangkit, lalu berkacak pinggang.

Hatinya benar-benar mangkel.

“Ngomong-ngomong soal pengecut, sebenarnya tadi aku hanya agak kaget..., itu pun hanya sedikit sekali. Ingat itu,” ujar Andika membela diri. “Dan soal anak bawang itu. Bisa kubuktikan kalau aku ini biangnya bawang Eh..., maksudku aku memang hebat. Bagaimana aku harus membuktikannya? Apa mesti menggigit telingamu sampai mengejang mati?”

“Kau bisa main catur?” tanya Ki Saptacakra.

“Main catur? Apa hubungannya dengan kesaktian-ku? Percuma saja selama enam purnama, aku pontang-panting di Lembah Kutukan kalau hanya ditantang main catur,” remeh Andika.

“Itulah sikap keras kepalamu” ejek Ki Saptacakra.

“Aku tidak keras kepala” teriak Andika. Ke-dongkolannya sudah naik sampai ke ubun-ubun.

“Baik, baik. Tantangan konyolmu kuterima....”

Akhirnya Andika menerima tantangan itu. Dia tidak mau disebut keras kepala, meski memang begitu.

“Kau bereskan dulu buah caturnya” perintah Ki Saptacakra.

Mata Andika jadi menyipit. Alisnya bertaut amat erat. Masalahnya, Ki Saptacakra seenaknya menyuruh Andika membereskan buah catur. Andika jadi menggerutu. Tapi karena tidak mau disebut keras kepala lagi, akhirnya menyerah. Dengan malas-malasan, tangan anak muda itu menjulur ke buah catur yang masih tersusun pada tempatnya masing-masing. Begitu hendak mengangkat satu buah catur, keningnya langsung berkernyit. Ternyata buah catur itu sulit diangkat.

Digenggamnya buah catur itu kuat-kuat, lalu di-hentakkan. Ajaib Buah catur kayu itu tetap saja tidak bergeming. Apalagi terangkat.

Andika baru sadar. Tentu buah catur itu telah disalurkan tenaga dalam oleh Ki Saptacakra. Dengan bibir menyeringai kesal, tenaga saktinya segera dikerahkan.

“Hiaaat”

Usaha pertama tidak berhasil.

“Hiaaat”

Kembali tenaga saktinya. Dan ternyata usaha kedua pun nihil.

“Hiaaat”

Usaha ketiga pun sia-sia.

Dut... bret... bret... bruuut Nah, itu usaha selanjutnya. Andika sampai terkentut-kentut.

“Sialan” maki Andika putus asa. “Terang saja, ini di tempatmu sendiri, Ki. Kalau tidak....”

Walaupun tidak berhasil, Andika masih berkilah mencari-cari alasan. Sementara Ki Saptacakra hanya tersenyum-senyum mengejek.

Andika segera melepaskan genggaman tangannya pada buah catur tadi dengan wajah tertekuk.

“Aku tak sudi melanjutkan permainan konyol ini,”

gerutu pemuda itu.

“Itu artinya kau menyerah,” cemooh Ki Saptacakra.

“Suka-sukamulah, Ki. Toh, tak ada seorang pun yang menyaksikan kekalahanku...,” kata Andika, lesu.

“Jadi kau mau menerima warisanku, kan?” Ki Saptacakra tersenyum geli. Sedangkan Andika makin menekuk wajah.

“Tapi sebelum menerimanya, kau harus berusaha mencari jalan keluar dari tempat ini,” kata Ki Saptacakra kembali. Wajahnya yang semula cerah karena tersenyum, kini mulai memutih lagi.

“Permainan macam apa lagi yang kau berikan padaku, Ki?” tanya Andika. “Kalau begitu caranya, aku lebih suka tidak menerima warisanmu.”

Sementara, Andika terus mondar-mandir di depan Ki Saptacakra yang masih duduk tenang.

“Itu sama artinya kau tidak ingin keluar dari tempat ini.”

“Apa maksudmu?” Andika menghentikan langkahnya.

“Ya Karena hanya dengan menerima per-

syaratanku tadi, kau bisa keluar dari tempat ini.

Sekaligus, menerima warisanku,” jelas Ki Saptacakra datar.

“Ini benar-benar menyebalkan Menjengkelkan

Mendongkolkan” umpat Andika seraya melanjutkan langkah.

Kembali pemuda itu mondar-mandir. Sementara, tangannya mengacak-ngacak rambut sendiri, seakan mulai dirasuki setan kudis.

“Aku tidak mau tinggal di tempat ini sepanjang hidup. Aku masih ingin makan tempe. Dan, aku juga mau kawin” teriak Andika.

“Kalau begitu, cari jalan keluarnya. Aku akan melanjutkan semadiku,” ujar Ki Saptacakra.

Laki-laki tua itu seperti tidak mengindahkan kesewotan Andika yang memuncak. Matanya kembali terpejam, lalu perlahan napasnya tak terdengar.

“Hei, Ki. Kau harus memberitahuku jalan keluar dari tempat ini.”

Tapi, Ki Saptacakra sudah larut kembali dalam kekhusyukan semadinya.

“Aku tak ingin kurang ajar dengan orang tua sepertimu, Ki. Tapi kau mempermainkanku, maaf kalau aku sampai memakimu.... Setan Belang Kentut Tuyul Tua bangka brengsek, kau”

***

Telah dua hari dua malam Andika terkurung di dalam goa, tempat Ki Saptacakra bersemadi. Selama itu, tak ada sepotong makanan pun yang dapat dimakan, kecuali menelan air yang merembas di antara dinding cadas. Selama itu pula, dia telah berusaha mencari jalan keluar. Tentu saja hasilnya sia-sia.

Kini Andika terduduk lesu di salah satu sudut ruangan. Dipandangnya Ki Saptacakra dengan tatapan kesal. Kalau saja masih punya tenaga, akan dimakinya orang tua yang tetap tenang dalam semadi itu. Sekarang, jangankan untuk berteriak-teriak mengumpat. Untuk berdiri saja, dia sudah begitu lemah. Perutnya yang kosong jelas membuatnya demikian.

Berkali-kali Andika menarik napas, melepas rasa putus asa yang mulai menelusup dalam rongga hatinya. Untunglah dia anak muda keras kepala.

Meski tubuhnya sudah lemas, namun otaknya masih tetap bekerja.

“Kalau aku mencoba keluar dari lubang yang membawa tubuhku ke tempat ini, belum tentu masih terbuka. Bisa saja lubang itu telah tertimbun reruntuhan tanah kembali. Apa mungkin tidak ada jalan keluar lagi? Ah, mustahil Udara yang tetap sejuk dan tak pengap di ruangan ini jelas membuktikan kalau ada bagian terbuka yang menjadi tempat keluar masuk-nya udara. Itu pasti pintu keluar yang dimaksud orang tua brengsek ini. Tapi di mana?” gumam Andika, bicara pada diri sendiri.

Lama pemuda itu memutar otak, mencari

kemungkinan letak pintu keluar. Sampai suatu saat, matanya terantuk pada meja catur di depan Ki Saptacakra.

“Catur itu” pekik pemuda itu girang. “Langkah-langkah catur itu pasti petunjuk menuju jalan keluar”

Bergegas Andika menghampiri meja catur kembali.

Diperhatikannya buah catur di atasnya. Tampak buah catur hitam milik Ki Saptacakra dalam keadaan terdesak. Rajanya terancam dalam beberapa jurus.

Otaknya yang memang cerdas mulai berjalan lagi.

“Dengan membebaskan buah raja, pasti aku akan mendapat arah menuju pintu keluar,” gumam pemuda itu yakin.

Mulailah pemuda itu mereka-reka buah catur yang mana yang harus digerakkan untuk menyelamatkan buah raja. Beberapa waktu kemudian....

“Dapat”

Segera tangan pemuda itu bergerak menuju buah catur. Kali ini tak ada kesulitan dalam mengangkat buah catur itu. Setelah memindahkan beberapa buah catur, Andika dapat membebaskan buah raja yang terancam.

“Kuda makan prajurit. Prajurit maju satu langkah, perdana menteri selangkah ke kanan, dan raja maju selangkah ke depan,” bisik Andika, mengingat-ingat.

Tak lama, Andika bangkit berdiri. Dan dia mulai melangkah sesuai langkah catur yang telah dijalan- kannya. Sampai akhirnya, berdiri tepat di belakang tubuh Ki Saptacakra.

“Sekarang bagaimana lagi?” gumam pemuda itu.

Andika terdiam dengan otak mereka-reka kembali.

Matanya menyipit. Sementara telunjuk tangan kanannya menempel di pelipis.

“Tanah yang kupijak ini pasti merupakan kunci pembuka jalan keluar.”

Andika memperhatikan tanah tempat yang

dipijaknya. Semakin diperhatikan, semakin tampak jelas kalau ada bagian yang menjorok ke dalam di tanah itu. Dan bagian itu segera diinjaknya.

Kemudian....

Grrr

Dinding di sisi kiri Andika perlahan terkuak, memperdengarkan deram bagai geraman naga.

“Yah Aku berhasil, Ki Aku berhasil Aku bisa kawin” teriak Andika seperti orang gila. Kakinya cepat melangkah mendekati Ki Saptacakra.

Andika menjulurkan kedua tangannya, memegang bahu Ki Saptacakra.

“Ki... Hei, Ki Aku berhasil” seru Andika seraya menggoyang-goyangkan tubuh Ki Saptacakra.

Namun, tubuh Ki Saptacakra tetap terdiam seperti patung.

“Aaah Kau jangan berpura-pura mati lagi, Ki Aku sudah tahu....”

Ketika tangan Andika melepaskan tubuh orang tua itu, Ki Saptacakra terjatuh dari duduknya dalam keadaan kaku.

“Ki....”

*** 2

Andika berhasil keluar dari tempat Ki Saptacakra, dan segera memasuki sebuah ruang lain dengan melewati pintu batu yang terbuka, setelah menginjak bagian yang menjorok ke bawah.

Di ruangan yang baru dimasukinya itu, Andika melihat sebuah kolam alam kecil seperti dalam Goa Lembah Kutukan. Kalau tepian kolam di Goa Lembah Kutukan dipenuhi tumbuhan berbuah seperti tomat, maka di ruang ini tepian kolam itu dipenuhi peti-peti berukir.

Pemuda itu segera melangkah mendekati tepi kolam. Tubuhnya segera membungkuk, mengambil sebuah peti. Begitu seterusnya. Dan setiap kali satu peti dibuka, mata pemuda itu terbelalak lebar. Andika benar-benar terperangah, karena peti-peti itu ternyata berisi tumpukan emas permata.

Dan pada peti terakhir yang dibukanya, ternyata ada satu peti yang isinya berbeda. Di dalamnya hanya ada buah ranum berwarna hijau pekat, sebesar kepalan tangan. Saat itu Andika benar-benar dibuat bingung. Apa maksud Ki Saptacakra dengan

mengatakan kalau mau memberi warisan? Kalau emas permata yang bertumpuk dalam peti, Andika benar-benar tak berminat. Sebab disadari banyak manusia yang menjadi bejat karena harta.

Otak Andika sudah demikian lelah diperas terus-menerus untuk memecahkan teka-teki agar dapat keluar dari ruang semadi Ki Saptacakra. Sehingga, dia tidak peduli lagi dengan warisan yang dikatakan orang tua itu. Yang jelas, dia ingin secepatnya pergi dari tempat itu. Apalagi, perutnya terasa sangat lapar, maka tanpa pikir panjang, tangannya langsung mengambil buah dari peti itu. Sebentar kemudian, mulutnya telah mengunyah dengan nikmat.

Tanpa disadari, Andika sebenarnya telah memakan buah langka bernama Inti Petir. Buah itu tumbuh di Lembah Kutukan dalam waktu seratus tahun sekali. Seseorang yang memakan buah berwarna merah yang tumbuh di Goa Lembah Kutukan, sekaligus memakan buah hijau dari dalam peti itu, tubuhnya akan mampu menyerap kekuatan petir

Sesungguhnya, itulah yang hendak diwariskan Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah Kutukan yang telah menjadi cerita rakyat.

Ketika menemukan buah Inti Petir, Ki Saptacakra sudah mulai menyingkir dari hingar-bingar dunia persilatan. Dia kemudian bersemadi berpuluh tahun.

Tujuannya adalah memohon pada Tuhan, agar diberi kesempatan untuk bertemu salah seorang keturunan-nya yang akan diwarisi buah langka itu. Sebagai salah seorang keturunan Ki Saptacakra, Andika beruntung.

Hanya dia yang rupanya dapat bertemu langsung dengan buyutnya yang sudah menjadi dongeng kepahlawanan itu. Sekaligus menerima warisan ter-akhirnya yang amat dahsyat

Maka ketika Andika telah berhasil membuka pintu batu dalam ruang semadinya, Ki Saptacakra pun menyerahkan jiwanya ke hadirat Tuhan. Dia wafat bersama senyum puas di bibir keriputnya.

Setelah perutnya tidak lapar lagi, Andika harus menemui jalan keluar kembali. Sebentar matanya beredar ke sekeliling ruang yang hanya diterangi nyala obor yang terpancar di dinding. Sebenarnya, pemuda itu heran juga, karena obor itu seperti tak kunjung padam.

Pemuda itu jadi tertarik, kemudian mendekati obor. Lalu, diraihnya tangkai obor. Dan begitu tangannya mencabut obor, tiba-tiba....

Derrr

Mendadak, dinding batu cadas di hadapan Andika bergeser ke kiri bersama obor yang baru saja ditarik.

Perlahan-lahan dinding itu bergerak, hingga akhirnya membentuk lubang yang menembus langsung ke dunia luar.

“He?”

Andika terhenyak kaget. Buru-buru kakinya melangkah, mendekati lubang itu. Tubuhnya lalu membungkuk, karena lubang itu hanya setinggi anak kecil berusia tujuh tahun, dengan lebar tak lebih dari setengah tombak. Dan begitu diterobos, ternyata Andika telah berada di puncak bukit, di atas Lembah Kutukan

***

Di kaki langit sebelah timur, matahari tersembul memantulkan sinar rona jingga. Ayam jantan liar mengumandangkan kokoknya yang gagah, menyapa hari di ambang pagi. Gumpalan awan berarak di cakrawala. Sementara, tiupan angin sejuk melengkapi lahirnya hari ini.

Dalam terpaan lembut hawa pagi, Andika mematung di puncak bukit yang memagari Lembah Kutukan. Tubuhnya terlihat bagai tonggak kayu tak bernyawa saja. Di bawah sana, di Lembah Kutukan, dia telah menyelesaikan masa penyempurnaannya sebagai seorang pendekar dari Lembah Kutukan. Ya

Penyempurnaan dirinya memang telah selesai. Tapi hatinya tak pernah berhenti bertanya, “Benarkah aku telah benar-benar sempurna?” Andika takut kalau telah melalaikan sesuatu saat di Lembah Kutukan, hingga tidak mampu mengemban amanat yang di-serahkan padanya. Sementara amanat tersebut bukanlah sesuatu yang ringan. Panji-panji keadilan dan kebenaran harus ditegakkan. Betapa takut Andika jika ternyata gagal dalam tugas suci itu, hanya karena kelalaiannya dalam menjalani penyempurnaan.

“Telah sempurnakah aku?” bisik hati pemuda itu.

Namun sisi hatinya yang lain berbisik, kalau penyempurnaan kedigdayaan yang telah dilakukannya di Lembah Kutukan memang tidak menjamin.

Bukankah di dunia ini tak ada manusia yang sempurna?

“Ya Aku tak perlu mengkhawatirkan kegagalan dalam setiap langkah perjuanganku. Yang penting aku mesti melaksanakan yang terbaik sebatas kemampuan,” tekad batin Andika dalam bisik samar yang tersapu angin lalu.

Kakinya mulai melangkah menuruni pegunungan berbatu.

***

Siang di Desa Sariadi. Pasar di tengah desa itu masih ramai oleh kesibukan. Para pedagang tetap gigih menjajakan barang, meski sinar matahari terus menusuk di atas kepala. Sama halnya para pembeli yang datang kesiangan. Mereka menyatu dalam satu irama bising. Di antara orang-orang yang lalu-lalang, tampak seorang pemuda berjubah putih yang sudah sangat lusuh. Dan orang itu ternyata Andika yang baru saja tiba di desa ini.

Penampilannya amat tak sedap dipandang. Jubah peninggalan Ki Saptacakra yang dikenakannya sudah.

seperti kain lusuh. Di samping karena sering dibakar sambaran petir ketika di Lembah Kutukan, juga karena selama dia menciptakan jurus-jurus silat.

Gerakannya yang dahsyat, berkali-kali mengoyak pakaiannya.

Langkah pemuda itu tampak gontai ketika memasuki bagian pasar yang agak ramai. Di kanan kirinya, orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing tanpa mempedulikan kehadirannya. Barangkali mereka sudah terlalu sering menemukan pengemis yang berpakaian compang-camping seperti Andika di pasar ini.

Andika tidak tahu, apa tujuannya ke pasar yang memusingkan ini. Bahkan tidak tahu ke mana tujuannya yang pasti. Dia hanya ingin berjalan sampai benaknya menemukan rencana untuk memulai tugas yang diemban.

Lebih jauh memasuki pasar, beberapa pedagang yang tak mendapat pembeli memperhatikan Andika.

Mereka berbisik satu sama lain, lalu memperdengarkan tawa tertahan sampai ke telinga Andika.

Makin memasuki pasar, makin banyak orang yang memperhatikannya. Seakan-akan, dirinya adalah tontonan menarik. Sialnya lagi, ada beberapa orang yang tak sungkan-sungkan tertawa terbahak-bahak persis di depan hidung Andika.

Jelas saja Andika kebingungan. Alis legamnya terangkat tinggi. Sementara, tangannya terangkat ke depan dada dengan telapak terbuka, seperti hendak bertanya.

“Hua ha ha... Pengemis sinting” ledek seorang pedagang sayur.

“Pengemis? Sinting pula? Sialan Mimpi apa semalam, sampai orang menganggap aku pengemis sinting...,” gumam Andika dongkol.

Kedongkolan Andika makin memuncak tatkala banyak gadis cantik yang terkikik menahan tawa, saat melihat dirinya. Wajahnya yang tirus dan agak pucat, mendadak merah matang. Hidungnya pun sudah kembang-kempis seperti hidung kelinci. Rasanya, saat itu dia ingin mendengus berkali-kali agar panas dalam dirinya bisa terbuang.

“Apa salahku?” bentak Andika tiba-tiba.

Dua gadis desa yang menggendong bakul sayur langsung terlonjak kaget. Wajah mereka meringis ngeri, saat menemukan mata Andika membelalak sejadi-jadinya.

“Kalau kalian naksir aku, kenapa tidak bicara langsung saja? Atau kalian tidak pernah menemukan lelaki setampan aku?” omel Andika seraya mencak-mencak.

Dua gadis desa itu menatap Andika takut-takut, dengan wajah pucat.

“Maaf, Kang. Anu...,” kata salah seorang gadis, mencoba menjawab.

“Anunya siapa? Eh, anu apa?” potong Andika, galak.

Gadis itu tidak bisa mengeluarkan kata-kata lagi, karena mulutnya sibuk menelan ludah. Hanya jari tangannya saja yang bergerak, menunjuk bagian belakang tubuh Andika. Setelah itu, tubuhnya langsung berbalik dan kabur bersama kawannya yang menjerit-jerit minta ditunggu.

“Hei Tunggu” seru Andika.

Namun, mereka makin tunggang-langgang.

Sementara, puluhan pasang mata lain memandang Andika dengan takut. Sedangkan Andika hanya ter-bengong-bengong. Lalu, tangan kirinya mencoba meraba pantatnya.

“Kutu koreng Rupanya ini penyakitnya,” gerutu Andika. “Tentu kain ini tersangkut di ikat pinggangku sewaktu membopong tubuh Ki Saptacakra untuk dikuburkan.”

Pantas saja mereka menganggap Andika sebagai orang sinting. Bagaimana tidak? Ternyata persis di pantatnya menjulur kain bercorak papan catur yang terlihat seperti ekor. Kain itulah yang dimaksud gadis tadi.

Andika menggoyang-goyangkan pantatnya, membuat kain itu bergerak-gerak gemulai.

“Ah Ekor kuda pun tak sebagus ekorku,” gumam pemuda itu, menghibur diri di sela kejengkelan.

Setelah kain alas catur milik Ki Saptacakra dipindahkan ke bahu, Andika melanjutkan langkahnya. Tidak dipedulikannya lagi beberapa orang yang masih menertawakan di sepanjang jalan. Perutnya sudah berontak minta diisi. Menurutnya, perut inilah yang lebih baik diurus.

Belum sempat menemukan kedai nasi, Andika dikejutkan oleh kegaduhan yang mendadak tercipta beberapa puluh tombak di belakangnya.

Semula pemuda berpenampilan mengharukan ini tidak peduli. Karena dipikirnya, orang-orang di pasar mulai meledek lagi. Tapi ketika keramaian itu diwarnai jeritan-jeritan ngeri, tubuhnya lantas berbalik. Saat itu mata tajam Andika dapat menangkap kepulan asap hitam mulai menodai angkasa. Lalu, para pengunjung pasar berhamburan kian kemari tanpa terkendali. Suasana sudah seperti dilabrak gempa

Andika tidak yakin kalau kejadian itu hanya kebakaran biasa. Pasti ada sesuatu yang tidak beres di balik kebakaran itu

Jiwa kependekaran Andika kontan tergetar. Pijar keksatriaannya meletup di dadanya. Bisikan dari relung hati terdalamnya menyemangati, kalau tugas telah menanti.

Tanpa menunggu teriakan menyayat melabrak telinganya lagi, tubuh Andika melesat cepat menuju asal kericuhan. Di antara puluhan orang yang berlari simpang-siur, tubuh Andika berkelebat lincah disertai ilmu meringankan tubuh seperti walet di antara batu-batu karang.

Tak heran dalam sekejap saja, Andika sudah tiba di tempat kejadian. Dan tubuhnya langsung melenting ke udara. Lalu, sepasang kakinya menjejak mantap di atas sebuah kedai, dekat bangunan yang dilahap api.

Beberapa tombak di bawah, tampak lima lelaki kasar sedang menghajar seorang pemuda. Mereka

memukul, menendang, menginjak, dan menyeret secara bergantian. Bagi kelima lelaki itu, pemuda yang dihajar habis-habisan tidak lebih dari anjing geladak.

“Aaakh” rintih pemuda yang dikeroyok itu. Wajah pemuda yang usianya tak lebih dari dua puluh lima tahun itu sudah habis dihiasi memar dan darah.

Bajunya yang berwarna kuning cerah, harus dinodai darah yang tersembur dari mulutnya.

“Kau harus memohon ampun pada kami Lalu akui kesalahanmu. Maka, nyawamu akan terbebas dari maut” perintah salah satu dari lima lelaki.

Wajah orang itu nampak bersih. Namun sinar matanya mencorong kejam. Hidungnya yang melancip terlihat seperti paruh burung pemakan bangkai.

Sedangkan bibirnya tebal. Menilik pakaian yang dikenakannya yang sama dengan keempat lelaki temannya, tentu dia berasal dari perkumpulan yang sama.

“Aku tak akan sudi memohon ampun padamu Kau bisa membunuhku. Tapi tak akan bisa membuat aku memohon belas kasihan padamu” jawab si pemuda itu bersama erangan.

“Rupanya kau lebih suka mati, ya? Kau lebih menghargai harga dirimu ketimbang nyawamu?”

cemooh lelaki berwajah bersih itu.

“Aku bukan menghargai harga diriku. Tapi aku menjunjung tinggi nilai kebenaran” sahut pemuda itu, tak mempedulikan rasa sakitnya.

“Hei..., hei Kau minta aku mempercepat

kematianmu? Baik, jika itu yang kau minta.”

Sring

Lelaki berhidung lancip itu mengeluarkan pisau kecil dari balik bajunya. Ketika sinar matahari menerabas, terbersitlah pantulan sinar menyilaukan dari mata pisau yang setajam taring harimau itu.

“Pisau ini akan menyayatmu sedikit demi sedikit, sampai mau mengakui kesalahanmu,” ancam lelaki berhidung lancip dengan mata berbinar-binar mengerikan.

“Atau menyayat burungmu yang belum disunat itu, ya?” selak seseorang di belakangnya.

Laki-laki berhidung lancip ini kontan tersentak.

Jelas, suara itu bukan suara temannya. Matanya segera mencari sumber suara. Berbareng dengan dengusan keras, tubuhnya berbalik ke arah suara di belakangnya.

“Apa kabar?” sapa Andika seraya melambaikan tangan kirinya.

Memang, Andikalah yang tadi menyelak keasyikan lima lelaki yang kini tepat di hadapannya dalam jarak lima tombak.

“Siapa kau?” bentak lelaki berhidung lancip.

“Aku? O, aku tukang daging yang pisaunya tadi kau pinjam. Masa' lupa?” jawab Andika asal bunyi.

“Keparat”

“Iya, babat. Aku akan memotong daging babat.

Jadi, aku mau minta pisauku kembali....”

“Jangan melawak di sini, Gembel Lebih baik pergi sebelum nasibmu seperti pemuda itu” seru lelaki yang lain.

Andika menarik napas dalam-dalam. Satu alisnya terangkat. Setelah itu, dia malah melepas kain bercorak catur yang tersampir di pundaknya.

Digelarnya kain itu di tanah berdebu.

“Kalau pisauku belum juga dikembalikan, aku akan tunggu di sini,” kata Andika seraya duduk di atasnya sambil memeluk lutut.

Habis sudah kesabaran lelaki berhidung lancip itu.

Lewat lambaian tangan, diperintahkannya empat lelaki lain untuk menghajar Andika.

“Langsung dihabisi saja, ya Kang? Gembel ini hanya mengganggu acara kita,” ujar seorang lelaki yang bertubuh paling kurus, yang disambut anggukan berat dari laki-laki berhidung lancip di sampingnya.

Keempatnya kemudian melangkah makin dekat pada Andika. Mereka benar-benar menganggap Andika kecoak yang mudah diinjak begitu saja, lalu mati. Hal itu terlihat dari bibir mereka yang berlekuk meremehkan.

“Lho... lho, tunggu dulu” seru Andika sambil bangkit tergesa.

Empat lelaki itu menduga anak muda di hadapan mereka hendak lari. Dan mereka memang lebih suka begitu. Dengan demikian urusan lebih cepat selesai.

Maka seketika itu juga mereka menghentikan langkah.

“Nanti kalau menyerang, kalian bergerak

sekaligus, ya? Jangan satu-satu Aku biasa kerja borongan, kok...,” oceh Andika seraya bangkit berdiri.

Langsung dikebutkannya kain yang tadi dihampar-kan. Maka debu seketika berhamburan dari kain itu.

Akibatnya, empat lelaki yang sudah tidak jauh dari Andika langsung terbatuk-batuk diserbu gulungan debu.

“Ukh Ukh”

“Ukh..., brengsek”

Mereka kini bisa menikmati akal bulus Andika.

“Hua ha ha...”

Di lain pihak, anak muda itu terpingkal-pingkal diberondong tawanya yang membludak. Badannya yang tegap bergelinjang kian kemari, seakan dikelitiki sekawanan tuyul.

“Hiaaat”

Sebelum Andika puas tertawa, keempat lelaki itu melabraknya penuh nafsu. Dibenak masing-masing hanya berkobar keinginan untuk mencincang menjadi potongan-potongan kecil tubuh pemuda yang telah mempermainkan mereka.

Dua lelaki serempak membabat. Satu ke bagian kepala dan yang lain ke bagian dada Andika.

“Eit” Andika hanya menggeser tubuhnya ke belakang, maka sabetan ganas itu hanya memakan angin.

Sedangkan tangan kanannya yang masih memegang kain catur bergerak sekejap, menyabet ke bawah.

Ctat

Ctat

Begitu cepat gerakan Andika, sehingga tak seorang pun yang mampu menghindari.

Kedua lelaki yang ingin merencah tubuh Andika lebih dulu, mendapat rejeki lumayan. Kantung menyan di selangkangan masing-masing kontan terasa pedih berdenyut-denyut, terkena sabetan kain Andika. Bahkan ngilunya sampai ke ulu hati. Dan keduanya langsung melompat-lompat belingsatan sambil memegangi bagian rahasia yang terkena itu.

Sementara itu, dua lelaki lain mencoba membokong. Golok mereka berdesing deras di belakang Andika. Namun belum sempat senjata mereka merejam punggung, pemuda itu sudah berjumpalitan ke depan. Lagi-lagi, dilepaskannya serangan balasan yang nakal. Sambil berguling ke depan, jari tangannya menjentik selangkangan kedua lawannya yang masih meluncur. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Tuk

Tuk

Dua buah sentilan keras mendarat telak di bagian rahasia milik kedua laki-laki yang akan membokong Andika. Kini mereka melompat-lompat seperti anak kodok terinjak.

“Hap Hap Hap” seru Andika.

Begitu bangkit, Andika mengikuti gerakan

melompat mereka. Setelah puas meledek, tubuhnya bergerak lagi. Kali ini, gerakannya amat santai.

Dihampiri lawannya satu persatu, lalu ditotoknya aliran darah mereka.

Tuk Tuk Tuk Tuk

Tubuh keempat laki-laki itu langsung ambruk, begitu mendapat totokan di punggung masing-masing. Bruk

“Kalian istirahat dulu ya, Manis. Aku akan mengurus kawan kalian yang belum kebagian jatah...,” ucap Andika seraya mengelus jenggot seorang lawannya.

Mendengar perkataan Andika barusan, tentu saja lelaki berhidung lancip yang tidak ikut menyerang jadi tergagap. Matanya mendelik seperti hendak melompat keluar, membayangkan ketakutan yang amat sangat. Dia membayangkan, benda-benda rahasia kawannya sudah pecah semua. Padahal, Andika hanya menyalurkan sedikit tenaga dalamnya saat itu.

Meski begitu, mereka tetap mengerang-erang dengan mata melotot. Dan ini dikira laki-laki berhidung lancip itu, keempat temannya sedang mengalami sekarat.

Pikir punya pikir, akhirnya lelaki itu memutuskan untuk lari. Dengan wajah bertekuk-tekuk ketakutan, kakinya bergerak lebar-lebar. Dia berusaha kabur, namun....

“Kena” teriak Andika.

Tuk

Andika memang telah melesat cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, melewati orang yang kabur itu. Lalu, langsung dilepaskannya sebuah totokan di punggung. Akibatnya, orang itu kontan ambruk.

***

Setelah kelima bajingan tengik itu dibereskan, orang-orang di pasar mulai berani berkumpul. Satu demi satu mereka menghampiri tempat kejadian. Dari kejauhan tadi, sebenarnya mereka menyaksikan ulah Andika terhadap kelima lawannya. Kalaupun orang-orang itu menghampiri tempat kejadian, karena memang ingin menegaskan wajah Andika. Wajah anak muda tampan yang membereskan kericuhan dengan amat mudah. Lucu, tapi juga konyol. Maka kasak-kusuk kemudian menyebar ketika mereka sudah membentuk kerumunan.

“Siapa dia, ya? Kalau dia pendekar, kenapa tingkahnya slebor? Apa ada Pendekar Slebor?” kata salah seorang dari mereka.

“Hus Nanti dia dengar, lho Kamu mau 'perkutut'

kamu disentil”

“Hiiiy”

Mendapati orang-orang yang berkumpul seperti itu, Andika jadi geleng-geleng kepala.

“Hey Kenapa kalian jadi senang nonton sejak aku sampai di sini? Kalau kalian ingin terus nonton, silakan. Tapi aku tidak mau disalahkan bila pasar milik kalian habis terbakar”seru Andika, seraya menunjuk api besar yang melalap sebuah kedai kelontong.

Seperti baru disadarkan dari mimpi, orang-orang itu langsung serabutan kian kemari, mereka langsung mencari ember dan air untuk memadamkan api yang sudah berhasil menghanguskan satu bangunan.

“Air Air Ambil air”

“Ember, ember Ambil ember”

Teriak mereka kalang kabut.

“Goblok.... Goblok Kalian goblok” rutuk Andika setengah mangkel. Kemudian, dihampirinya pemuda yang menjadi bulan-bulanan tadi. “Ada apa sebenarnya, Kisanak?” tanya Andika sopan, setelah tiba di depan pemuda yang umurnya lebih tua darinya.

“Aku juga tidak tahu,” jawab pemuda itu seraya menyapu sudut bibirnya yang masih mengalirkan darah.

“Hm..., boleh aku panggil Kakang?” tanya Andika.

“Boleh. Tapi, aku lebih suka kalau dipanggil Jaka,”

sahut pemuda yang ternyata bernama Jaka, diiringi anggukan.

“O, iya. Aku Andika,” sambut Andika. Tangannya langsung disodorkan.

Mereka berjabat tangan.

Dan Andika segera membantu Jaka untuk bangkit.

“Bisa kau ceritakan, kenapa mereka memukulimu?” tanya Andika.

Mulailah Jaka menceritakan kejadian naas yang menimpanya.

“Tadi aku melihat seorang gadis cantik di pasar ini.

Sebagai pemuda yang ingin disebut laki-laki, aku langsung tertarik oleh keayuannya. Namun sebelum-nya, aku agak ragu, karena wanita itu menyandang pedang bergagang kepala naga di punggung. Dan kupikir, hanya wanita-wanita pendekar saja yang menyandang senjata seperti itu. Tapi aku berusaha nekat. Akhirnya kuikuti juga wanita itu. Pada suatu kesempatan, aku berhasil mendekatinya. Wanita itu kutegur dengan sikap ramah,” tutur Jaka, seraya menghentikan ceritanya sebentar.

Sementara, Andika masih menatap wajah Jaka.

Ada sesuatu yang mengganjal dadanya. Tapi dia berusaha menahan, sampai Jaka memutuskan

ceritanya.

“Sikap ramahku ternyata mendapat sambutan yang baik dari wanita itu. Dan dia memintaku untuk mengantarkan ke kedai kelontong yang menyediakan pakaian wanita. Tentu saja membuat hatiku mekar,”

lanjut Jaka. “Maka aku mengantarkannya ke kelontong terdekat. Sesampainya di tempat itu, dia membeli beberapa keperluan. Usai urusannya, dia memberiku uang. Benar-benar sial nasibku hari itu.

Rupanya wanita yang kutaksir menyangka kalau aku adalah pesuruh pasar. Tapi, lebih sial lagi ketika datang lima orang bertampang seram yang

menuduhku mata-mata.”

“Mata-mata siapa?” tanya Andika, memotong cerita Jaka.

“Aku juga tidak tahu. Mereka lalu menanyakan tujuanku bersama wanita itu. Bahkan mereka, membakar begitu saja kedai kelontong tempat belanja wanita yang kudekati. Ah Aku jadi tidak mengerti...,”

keluh Jaka.

Tiba-tiba Andika ingat tentang ganjalan hatinya, dari cerita Jaka tadi.

“Tadi kau katakan, wanita itu menyandang pedang bergagang kepala naga?” tanya Andika.

Jaka mengangguk pertanyaan Andika.

“Pedang bergagang kepala naga? Siapa lagi pendekar wanita yang memiliki pedang seperti itu, kalau bukan Purwasih yang berjuluk si Naga Wanita

Hm..., rupanya kita akan bertemu di sekitar daerah ini, Naga Wanita keparat” desis Andika tak sabar (untuk lebih jelasnya, silakan baca episode: 'Lembah Kutukan').

“Kenapa, Andika?” tanya Jaka, terheran-heran.

*** 3

Senja merayap. Sinar matahari telah meredup merata. Hamparan langit terlihat kian sayu. Bersama jangkrik yang mulai berderik, hari akhirnya rebah dalam singgasana malam.

Dan Andika sekarang sudah mempunyai rencana untuk memulai tugas sucinya. Setelah kejadian siang tadi, dia memutuskan untuk mencari Purwasih yang lebih terkenal berjuluk Naga Wanita. Sejak sepanjang siang tadi, dijelajahinya daerah sekitar itu. Tapi, wanita yang dicarinya belum juga ditemukan.

Badan Andika mulai menuntut istirahat. Pegal dan linu melantakkan seluruh persendiannya. Yang terbaik baginya saat itu hanya istirahat. Kalaupun pencarian terus dilakukan, akan sia-sia saja karena kegelapan malam akan mempersulitnya. Dan saat ini, dia tengah berada di bawah sebuah pohon besar.

Sebentar kepalanya didongakkan ke atas, lalu bibirnya tersenyum. Kemudian....

Hup

Andika langsung melesat ke atas, disertai ilmu meringankan tubuhnya yang telah tinggi tingkatannya.

Dan manis sekali kakinya menjejak salah satu cabang pohon yang sangat kuat menahan tubuhnya.

“Huaaah...”

Di atas sebuah batang pohon randu yang besar, Andika menguap. Tubuhnya langsung direbahkan di cabang pohon itu. Dia memang tidak punya uang untuk menyewa penginapan. Makan tadi siang saja harus dibayarnya dengan mencuci piring di kedai.

Malah tadi sempat dibentak oleh pemilik kedai yang piringnya mau sebersih cermin. Tapi bagi Andika itu tidak apa-apa, yang penting bisa mengisi perut.

Mata pemuda itu seolah demikian berat.

Kerdipannya mulai lambat. Sebentar saja Andika terpulas dalam selimut alam.

“Aaakh...”

Namun belum beberapa lama terbang ke alam mimpi, Andika dikejutkan oleh teriakan seseorang.

Maka sontak matanya terbuka lebar-lebar. Sesaat matanya mengerjap-ngerjap, mengusir rasa pening akibat bangun mendadak. Kemudian telinganya dipasang tajam-tajam, berharap dapat mendengar teriakan berikutnya, dan dapat menentukan asalnya.

Beberapa saat Andika terdiam. Suara yang

ditunggu-tunggunya ternyata tidak kunjung terdengar.

Dan dia mulai ragu dengan telinganya.

“Ah Pasti hanya mimpi,” gumam Andika.

Mata pemuda itu mulai terpejam lagi.

“Aaakh...”

Dan pada saat itu juga, kembali terdengar teriakan membahana, menguak udara malam yang dingin.

“Dari sebelah utara,” desis Andika.

Bergegas Andika menggenjot tubuhnya dan melenting turun. Lalu seketika tubuhnya melesat cepat ke arah utara. Tak lama dia sudah menembus hutan randu yang cukup lebat. Dan sebentar saja, matanya sudah menangkap cahaya api unggun sebelas tombak di depannya.

Andika mengendap hati-hati, mendekati api unggun. Kakinya baru berhenti melangkah, ketika melihat seorang wanita sedang berdiri di depan api unggun. Beberapa tombak di hadapannya, tampak seorang lelaki tengah tergantung di atas pohon dengan kepala di bawah. Di balik semak-semak, Andika menyembunyikan tubuhnya sambil terus memperhatikan.

Melihat penampilan wanita itu, Andika seperti pernah mengenalnya. Tubuhnya yang agak mungil terbungkus baju hijau lumut. Rambutnya yang panjang dikepang ekor kuda. Karena Andika berdiri di belakangnya, anak muda itu tidak bisa jelas melihat wajahnya. Tapi dia tetap yakin pernah bertemu dengannya.

Pedang berkepala naga di punggung, membuat Andika memastikan kalau gadis yang diintainya dari sepanjang siang tadi dicarinya, pasti Purwasih.

Andika memutuskan untuk bertahan dulu

beberapa saat di tempat persembunyiannya. Dia ingin tahu, apa yang dikerjakan Purwasih terhadap lelaki yang digantungnya di atas pohon.

“Kau masih bertahan untuk tidak bicara?” kata Purwasih di antara gemeretak kayu yang terbakar.

“Kau pikir aku akan mudah bersuara untukmu, Naga Merah?” jawab lelaki yang digantung. Tubuhnya dipenuhi koyak akibat sayatan pedang. Masih dengan meringis menahan pedih, dia menatap berbalik pada Purwasih. “Tanyakan saja pada iblis hutan randu ini”

“Ooo, kau ingin diberi sedikit paksaan lagi?” tukas Purwasih, dingin. “Baik....”

Kemudian Purwasih bangkit. Dihampirinya lelaki itu. Lalu.... Sret

Purwasih mencabut pedangnya di punggung.

Langsung dibabatkan pedangnya ke arah paha laki-laki yang digantung.

“Aaakh”

Kembali terdengar jeritan menyayat. Tampak darah meleleh dari paha yang tersayat itu.

“Bagaimana, apa kau masih tidak ingin bicara?”

desak Purwasih.

Orang yang dipaksa bicara hanya menatap dengan sinar mata dendam.

Sementara di tempat persembunyian, Andika mengutuk perbuatan Purwasih yang telengas itu.

Ternyata dugaannya dulu bahwa Naga Wanita adalah bajingan perempuan yang mengaku-ngaku sebagai utusan adipati, kini terbukti.

Darah Andika menggelegak hingga ke ujung

kepala. Dadanya berderu keras dilanda kemarahan yang tiba-tiba membakar. Terlebih, saat benaknya dibawa kembali pada peristiwa pembokongan dirinya oleh Purwasih ketika bertempur melawan Begal Ireng dulu. Seketika saja, tangannya meraba sesuatu di tanah. Lalu....

Singngng

Tes

Tali pengikat lelaki yang digantung terputus, begitu Andika mengebutkan tangannya. Rupanya, kerikil yang dijentikkan bersama tenaga dalam membuat tali terputus, sehingga orang yang digantung meluncur ke tanah.

Brukkk

Lelaki tadi jatuh menghantam tanah.

Sementara Purwasih terkesiap. Sinar matanya terlihat garang saat mencari orang yang hendak ikut campur urusannya.

“Siapa setan busuk yang berani lancang? Keluar”

bentak gadis berbaju hijau lumut penuh amarah.

Jawaban yang muncul justru kelebatan sesosok tubuh yang datang dari samping. Dan, Purwasih langsung membabatkan pedangnya yang masih tergenggam di tangan, untuk memapak serangan itu.

Tapi hatinya jadi terkejut, karena tebasannya seperti mengenai angin. Padahal dia sudah yakin kalau penyerangnya akan segera menggelepar terbabat.

Ternyata orang yang berkelebat tiba-tiba melenting ke atas, seraya mengebutkan tangannya. Dan.... Tuk

Keterkejutan Purwasih bertambah dua kali lipat, ketika menyadari tubuhnya terasa tak memiliki tulang lagi. Rupanya si penyerang telah menotok jalan darahnya Sebentar saja, tubuh Purwasih telah ambruk ke tanah.

“Apa kabar, Naga Wanita? Masih ingat padaku yang tampan ini?” sapa Andika, begitu menjejakkan kakinya di depan Purwasih.

Mulanya, gadis itu hanya menatap Andika dengan alis merapat dan mata yang menyipit geram.

Penampilan Andika yang sudah seperti gembel itu sudah tidak dikenalinya. Baju pemuda itu koyak-koyak dan mengenakan kain bercorak catur yang menutupi bagian belakang tubuhnya. Tapi ketika matanya tertumbuk pada wajah pemuda itu....

“Kau... Andika?” desis Purwasih, ingin

memastikan.

“Ya Aku Andika, anak muda yang pernah kau bokong dulu...,” kata Andika penuh getaran pada setiap kata-katanya.

“Ah Kau masih saja slebor seperti dulu, Andika.

Kalau ingin mengucapkan salam pertemuan, kenapa harus menotok? Dasar slebor...,” kata Purwasih, tanpa bisa bergerak sedikit pun di tanah.

“Diam” hardik Andika mengguntur. Purwasih langsung tercekat.

“Apa-apaan kau ini?” dengus Purwasih, makin tercekat bercampur heran. “Jangan berpura-pura, Perempuan Tengik Kukira kau benar-benar utusan Prabu Bratasena yang sedang menyelidiki pemberontakan Begal Ireng. Tapi, ternyata kau tak lebih dari penipu” desis Andika.

“Apa? Gila Gila kau, Andika Tak pantas kau menuduhku seperti itu” balas Purwasih, tak kalah sengit.

Mata Andika melotot. Sambil berjalan mengelilingi Purwasih yang tergeletak tanpa gerak, matanya terus terpaku pada gadis itu.

“Tak pantas? Setelah kau berusaha membunuhku saat bertempur melawan Begal Ireng dulu? Setelah aku tahu, kalau kau ternyata dicari-cari lima lelaki dari kerajaan, karena kau adalah mata-mata? Setelah kau menyiksa secara keji lelaki tadi?” kata Andika lagi, sinis.

“Hi hi hi...”

Mendadak Purwasih tertawa tertahan.

“Kenapa tertawa? Aku tidak sedang melucu”

Dibentak Andika seperti itu, wajah Purwasih kembali mengejang.

“Tolol Tak kukira, ternyata pikiranmu masih tolol...,” dengus Purwasih.

“Diaaam” potong Andika.

“Kau yang diam Dengarkan aku” balas Purwasih, tak kalah sengit. “Aku memang utusan Prabu Bratasena. Dan aku pula yang dulu membokongmu.

Tapi....”

“Tapi kau hanya bajingan perempuan” potong Andika sekali lagi.

Mata Purwasih meredup. Sakit hatinya dikatakan bajingan.

“Andika.... Bukalah totokanmu. Akan kujelaskan semuanya,” ratap gadis itu agak perlahan. Dia berusaha menguasai kejengkelan yang mem-

berontaki dirinya.

“Setelah kau kubebaskan, lalu akan buron? Huh

Nanti dulu....”

“Apa kau pikir aku bisa menandingi kehebatanmu?

Apa kau lupa, kalau kau adalah keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang diwarisi kecepatan gerak yang sulit tertandingi?”

Andika menggaruk-garuk kepala seperti orang bodoh. “Memang benar apa yang dikatakan

perempuan brengsek ini. Ilmu meringankan tubuhku sudah demikian sempurna.” Kepala pemuda itu jadi mengangguk-angguk.

“Kenapa hanya mengangguk-angguk seperti

burung kakaktua? Bebaskan aku” seru Purwasih.

“Baik... baik. Kenapa jadi begitu sewot? Aku tak akan menciummu atau berbuat yang macam-macam padamu,” ucap Andika, mulai timbul lagi sifat ugal-ugalan seorang anak gelandangan yang sudah tertanam dalam dirinya.

Pemuda itu segera merunduk. Seketika tangannya bergerak cepat ke arah punggung gadis itu. Dan....

Tuk

Purwasih seketika terbebas dari totokan itu. Gadis itu segera bangkit seraya menepuk-nepuk baju hijaunya yang dipenuhi kotoran. Dan ini membuat Andika jadi tidak sabar.

“Cepat buktikan ucapanmu Kenapa kau jadi lambat kayak pesinden?” rutuk Andika.

“Iya..., iya” omel Purwasih.

Tangan gadis itu segera bergerak mengeluarkan pisau-pisau kecil dari balik bajunya.

“Hey Kau mau main api padaku, ya?”

“Ah, dasar anak tolol Apa kau tak mau kubuktikan kalau aku tidak bermaksud membunuhmu waktu itu?” tukas wanita itu seraya mengacungkan pisau tanpa gagang, namun terdapat rumbai-rumbai di ujung belakangnya. Pisau seperti itulah yang dulu menancap di badan Andika dulu.

“Baik..., buktikanlah Tapi kalau main curang, kau akan kucium sampai mati”

Di antara sinar api unggun yang menerpa wajah cantik Purwasih, seketika rona merah dadu merayapinya. Ucapan terakhir Andika yang sedikit nakal, membuatnya mati kutu. Mulutnya terkunci rapat, tak dapat lagi berkata apa-apa.

“Ayo, tunggu apa lagi?” sentak Andika.

Tiba-tiba tangan Purwasih bergerak.

Zing...

Zing...

Zing...

Tiga pisau kecil langsung meluncur pada sisa tali yang dipakai untuk menggantung lelaki yang kini telah lenyap entah lari ke mana.

Tes

Tes

Tes

Tali itu langsung terpotong tiga bagian dengan ukuran sama. Namun Andika mengernyitkan kening, tidak mengerti maksud Purwasih.

“Apa maksudmu sebenarnya? Kalau hanya jengkel dengan ucapanku tadi, aku akan menariknya kembali. Aku tak akan mengancam dengan menciummu sampai mati. Tapi....”

“Diam, Andika” selak Purwasih. Gadis itu tidak ingin wajahnya bertambah merah, lalu diketahui pemuda tampan ini.

“Kau sudah lihat, aku dapat memutuskan tali itu dengan senjata rahasia, bukan? lanjut Purwasih.

Andika mengangguk-angguk dengan tangan

memegangi dagu. Sementara Purwasih mengira Andika sudah mengerti maksudnya. Makanya

ditariknya napas lega beberapa saat.

“Jadi apa maksudmu?” tanya Andika sambil menggaruk kepala.

Purwasih menarik napas lagi. Tapi kali ini karena jengkel.

“Kalau aku ingin membunuhmu waktu itu, akan mudah kulaksanakan. Sengaja aku membokongmu, agar Begal Ireng menyangka kau mati sehingga selamat dari tangannya,” urai Purwasih menjelaskan.

“O, jadi kau tidak mengarahkan pisau itu ke jantungku?”

“Ya Aku hanya mengarahkan pada titik yang menghentikan gerakan jantung sesaat. Sehingga, Begal Ireng menyangka kau mati.”

Andika mengangguk-angguk kembali. Dia mulai percaya penjelasan wanita cantik yang kini kembali duduk di dekat api unggun. Karena dia sendiri pernah bertemu seseorang yang mampu menghentikan denyut jantungnya. Siapa lagi kalau bukan Ki Saptacakra.

Dihampirinya Purwasih yang terduduk kesal.

Bagaimana wanita itu tidak kesal, kalau lelaki yang sedang dipaksa bicara tadi akhirnya kabur karena perbuatan yang dilakukan Andika. Dan sementara Andika sudah duduk di sisinya.

“Lalu siapa lima lelaki yang kutemui siang tadi?

Apa mereka dari kerajaan?” tanyanya, mulai lembut.

Saat bertanya, mata Andika yang setajam mata naga memperhatikan wajah Purwasih di dalam selimut cahaya merah api unggun. Dan tentu saja gadis itu jadi salah tingkah. Dia bangkit, seraya melangkah perlahan.

“Mereka memang orang-orang kerajaan, anak buah seorang perwira yang berkhianat. Makanya aku memaksa lelaki tadi berbicara tentang perwira itu.

Karena sampai saat ini, dia tetap menjadi musuh dalam selimut...,” jelas Purwasih, sambil terus melangkah memutari api unggun.

Andika ikut bangkit.

“Aduh Jadi, lelaki tadi antek-anteknya Begal Ireng?

Ck ck ck.... Tolol sekali aku, ya?” tutur Andika kebodoh-bodohan.

“Lelaki itu pantas mendapat perlakuan yang tadi kuperbuat padanya. Karena, dia sendiri kerapkali berlaku keji pada orang-orang lemah dan tak berdosa,” lanjut Purwasih, seperti tidak mendengar ucapan Andika.

Sesaat gadis cantik berusia sekitar dua puluh sembilan tahun itu mematung dalam diam.

Sedangkan Andika mendekatinya.

“Gara-garamu, aku gagal mencari tahu siapa perwira yang berkhianat di kerajaan” bentak gadis itu tiba-tiba saat Andika baru saja berdiri di sampingnya.

Andika tersentak. Cepat-cepat dadanya diusap.

“Bangun-bangun... makan nasi sama racun....

***

Pagi bangkit kembali bersama senyum mentari di sudut timur. Hawa dingin mengepung hutan randu tempat Andika dan Purwasih bermalam. Kabut tipis bergerak lamban, seperti iring-iringan peri hutan.

“Huaaah....”

Andika menguap panjang. Bersama satu geliat tubuhnya, dia terjaga.

“Pagi, Andika,” salam seseorang di sampingnya.

Rupanya. Purwasih bangun lebih dahulu, dan sedang meletakkan kayu bakar yang baru saja dicari di sekitar hutan randu itu.

“Pagi...,” sahut Andika agak malu, karena tidur seperti orang mati sehingga bangun kesiangan.

“Apa rencanamu hari ini, Andika?” tanya Purwasih, sementara tangannya memutar kayu sebesar jari yang berujung lancip di atas kayu lain untuk menyalakan api unggun. Dan begitu api telah tercipta, maka semakin berkobar membakar kayu bakar.

Jadilah api unggun.

“Aku tidak tahu,” sahut Andika singkat.

“Bukankah kau akan mencari Begal Ireng?”

“Memang.”

“Kau hendak mencarinya ke mana?”

“Kau sendiri bagaimana?” Andika malah balik bertanya.

“Aku sendiri sudah kebingungan mencarinya. Dia sulit sekali ditemukan. Lebih-lebih karena markasnya tidak tetap. Gerombolannya selalu berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lain, dari satu kampung ke kampung lain,” jawab Purwasih.

Tubuh gadis itu agak menjauh dari api unggun yang mulai menjilat-jilat. Rasa hangat perlahan menebar, sedikit mengusir dingin yang dirasakan.

“Kalau kau telah menemukan, apa yang akan kau lakukan?” tanya Andika.

Purwasih menggeleng.

“Tak tahu,” jawab gadis itu singkat. “Untuk melawan Begal Ireng dan gerombolannya, paling tidak seluruh prajurit beserta perwira kerajaan harus dikerahkan. Itu pun tidak menjamin akan menang.” “Aneh,” desah Andika, setelah mendengar

penjelasan Purwasih.

Telinga wanita itu sempat menangkap desahan Andika.

“Aneh bagaimana?” tanya Purwasih ingin tahu pikiran Andika saat itu.

Andika lalu mendekati api unggun, dan duduk di depan Purwasih.

“Apa kau tak heran? Mengapa Begal Ireng tidak menyerbu kerajaan, sementara kekuatan gerombolan yang dimiliki bisa saja menghancurkan kerajaan?”

Andika mengajukan pertanyaan.

Purwasih menatap Andika dengan mata menyipit.

Diakui perkataan pemuda di depannya memang benar.

“Begal Ireng ingin merebut kekuasaan Prabu Bratasena, kan?”

Purwasih mengangguk.

“Nah Tunggu apa lagi kalau kekuatannya sudah sanggup merebut kekuasaan prabu?”

Purwasih mengangguk-angguk. Hatinya diam-diam memuji kecerdasan Andika dalam mencium hal itu.

Dia sendiri tak pernah berpikir sampai sejauh itu, meski menyelidiki setiap gerakan pasukan Begal Ireng dari waktu ke waktu. Ditatapnya kembali mata pemuda tampan itu dengan sinar kekaguman.

“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Andika, tanpa diduga Purwasih.

Wanita mana yang tidak menjadi merah padam kalau tertangkap basah seperti itu? Purwasih juga demikian. Buru-buru wajahnya disembunyikan dengan menunduk.

“Anak muda brengsek” umpatnya dalam hati.

“Eit... eit.... Kenapa wajahmu jadi kebakaran?” goda Andika. “Kau naksir aku, ya? Kalau naksir, kenapa tidak bilang dari dulu?”

Purwasih menatap saja. Dan seketika tangannya bergerak. Maka....

Tak

“Aduh”

Andika mengusap-usap jidatnya yang dicium gagang pedang Purwasih. Memang ledekannya sudah kelewatan.

“Itu bukan cara orang naksir, Purwasih. Mestinya kau cium aku di kening, di pipi, atau di dengkul juga boleh,” lanjut Andika belum kapok.

Mata Purwasih membelalak, memelototi Andika.

Dia tidak peduli lagi pada warna wajahnya yang semakin matang.

“Kau ingin kupukul lagi, ya?” bentak gadis itu sewot.

“Ampun... ampun”

Dan Andika menyingkir ngeri.

Pagi terus berlanjut tanpa peduli pada dua insan yang sedang bercanda. Sepenggalan demi

sepenggalan, matahari merangkak menuju puncak tahtanya. Mestinya, setiap manusia bisa berbagi suka seperti mereka. Bercanda, saling memperhatikan dan saling membagi kebahagiaan satu sama lain.

Kalau saja manusia memiliki berjuta benih kasih yang dapat ditebarkan di dunia ini....

*** 4

Andika dan Purwasih sepakat untuk mengunjungi Kerajaan Alengka. Rencananya, Purwasih akan memperkenalkan Andika pada Prabu Bratasena.

Mulanya Andika menolak tawaran Purwasih. Alasan-nya, dia tidak mau masuk istana, sehingga terpaksa harus mengikuti tata cara dalam hal menghadap prabu. Apalagi, Andika benci penghormatan yang berlebihan terhadap seorang raja. Tapi karena Purwasih terus mendesak, akhirnya pemuda itu menyerah.

“Tapi sebelum kita berangkat ke kerajaan, kau harus ganti baju dulu,” ujar Purwasih pada Andika.

“Ganti baju?” tanya Andika. Ditatapnya pakaian yang compang-camping. Memang, selama menjalani penyempurnaan, pakaiannya sering tersambar petir atau terkoyak akibat gerakan-gerakan silatnya yang terlalu cepat luar biasa. “Ini masih lumayan kok, ketimbang telanjang seperti kambing.”

“Tapi kambing tidak akan menghadap prabu,”

tukas Purwasih cepat. “Jangan khawatir, kita akan singgah dulu di Desa Sariadi. Lalu akan kubelikan kau pakaian yang pantas.”

“Sebenarnya aku enggan melepas pakaianku.

Benda ini adalah warisan dari Ki Sanca, lelaki tua yang sudah seperti ayahku sendiri,” desah Andika dengan mata menerawang, mengenang gurunya tatkala berada di Perguruan Trisula Kembar (baca episode pertama: 'Lembah Kutukan').

“Gimana kau akan bertemu prabu kalau pakaian-mu seperti ini?” Purwasih memperhatikan pakaian Andika. “Kau lebih semrawut dari keranjang sampah”

“Kau yang malu, apa karena malu sama Prabu Bratasena?” sindir Andika.

“Dua-duanya, lah” jawab Purwasih, kesal.

“Tapi kau berjanji?” tawar Andika.

“Janji? Janji apa?”

“Kalau aku sudah ganti pakaian, kau harus memperkenalkan diriku sebagai tunanganmu pada Prabu ratasena....”

“Apa?”

***

Akhirnya anak muda keras kepala itu bisa juga digiring Purwasih ke Desa Sariadi. Mereka kini memasuki pasar di desa ini untuk membeli beberapa keperluan di perjalanan nanti, sekaligus membeli pakaian untuk Andika.

Seperti biasa, pasar pagi itu ramai oleh pedagang dan pengunjung. Kedai kelontong yang terbakar kemarin siang, tampak mulai dibersihkan oleh beberapa orang.

Ketika tubuh Purwasih dan Andika sudah menyatu dalam arus manusia di pasar, beberapa orang di pinggir jalan terdengar berbisik-bisik. Sementara, mata mereka menatap Andika lekat-lekat. Andika yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian di pasar itu.

tentu saja mengusik keingintahuan Purwasih. Tapi sebelum bertanya langsung pada anak muda di sampingnya, kasak-kusuk yang ditangkap telinganya sudah cukup menjelaskan, kenapa Andika diperhatikan mereka begitu rupa.

“Itu kan, pendekar yang kemarin mengusir lima pengacau, ya?” tunjuk salah seorang. “O, iya... si Pendekar Slebor, kan?” timpal yang lain.

“Hus”

Kasak-kusuk makin seru.

Mendengar semua itu, Purwasih jadi tersenyum sendiri.

“Rupanya kau sudah terkenal sekali, ya? Kau pun mendapat gelar kehormatan Pendekar Slebor Hm, gelar yang bagus,” ledek Purwasih sambil menahan tawa yang hendak meledak saat itu juga.

Andika pura-pura tidak dengar. Dia melangkah terus tanpa menoleh. Sampai akhirnya, mereka tiba di salah satu kedai kelontong.

Setelah menyelesaikan urusan di kedai kelontong, mereka singgah di kedai makan untuk memenuhi tuntutan perut mereka yang mulai bernyanyi.

Kebetulan, kedai itu bersebelahan dengan kedai kelontong. Andika sudah berganti baju dan celana baru, hadiah dari Purwasih. Wanita itu pula yang memilihkannya untuk Andika. Menurut Purwasih, Andika cocok mengenakan pakaian warna hijau pupus. Dan Andika menerimanya. Sedangkan pada punggung Andika tersampir kain bercorak seperti papan catur, sehingga kain itu terlihat seperti jubah.

Sebelum makanan pesanan tiba, Purwasih terus menatap anak muda itu lekat-lekat. Hatinya tak habis-habisnya memuji kegagahan pemuda di hadapannya dalam pakaian baru. Biarpun usia antara dirinya dengan Andika bertaut cukup jauh, tetap saja Purwasih tidak bisa mendustai perasaan kagumnya pada Andika.

Sementara, orang yang sedang diperhatikan malah sibuk melirik kian kemari. Terutama pada beberapa wanita yang berada dalam kedai. “Bagaimana, Andika?” tanya Purwasih, mengusik keasyikan Andika.

“Wah, cantik-cantik...,” jawab Andika cepat.

“Aku tidak menanyakan gadis-gadis itu Aku tanya, apa kau merasa lebih nyaman dengan pakaian itu?”

tukas Purwasih.

“Ooo, itu. Pakaian hadiahmu ini boleh jugalah,”

ucap Andika jujur. “Paling tidak, aku bisa dilirik beberapa gadis di tempat ini....”

Purwasih geleng-geleng kepala. Dia jadi menggerutu dalam hati. Masalahnya, kenapa pemuda ini sulit sekali sungguh-sungguh. Pantas saja penduduk desa di pasar tadi menyebutnya Pendekar Slebor....

Beberapa saat kemudian, makanan pesanan tiba.

Lalu mereka mulai menyantap, setelah hidangan diletakkan di meja oleh pelayan. Sebagai orang kerajaan, ternyata selera makan Purwasih tidak berlebihan. Yang dipesannya hanya makanan sederhana yang murah meriah. Padahal kalau mau, dia bisa makan lebih mewah dari yang tersedia sekarang ini.

“Oya, Andika...,” kata Purwasih saat mereka hampir menyelesaikan makan. “Aku turut prihatin atas nasib Ningrum waktu itu.”

Andika menarik napas dalam-dalam. Setiap kali ingat akan gadis yang disebutkan Purwasih, hatinya langsung terasa dijepit gunung karang. Sesak seketika melanda dadanya.

“Maaf, Andika. Aku tak bermaksud mengganggu selera makanmu,” sesal Purwasih ketika menemukan wajah Andika dikurung mendung.

“Tidak apa-apa,” sahut Andika perlahan. “Kenapa waktu itu kau hendak menyelamatkan aku dengan melempar senjata rahasiamu ke diriku?” Andika seperti sengaja mengalihkan pembicaraan tentang diri Ningrum yang terlalu menyakitkan baginya.

“Karena kerajaan perlu dirimu. Begitu juga rakyat.

Begal Ireng sudah terlalu membawa petaka bagi negeri ini. Sementara untuk menyingkirkannya, pihak kerajaan tak bisa berbuat banyak. Banyak pendekar golongan lurus yang menjadi marah, lalu mencoba melenyapkannya. Tapi, usaha mereka hanya membuang nyawa. Kau sebagai seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang diwarisi ilmu kedigdayaan tinggi, tentu menjadi satu-satunya harapan rakyat untuk membebaskan mereka dari cengkeraman kuku-kuku kekuasaan Begal Ireng,” urai Purwasih panjang.

Andika mengangguk-angguk. Bukan karena

bangga terhadap keberadaan dirinya yang begitu dibutuhkan. Tapi, karena memahami betapa berat tugas yang dibebankan ke pundaknya, mengemban suara hati rakyat yang menderita.

“Kenapa kau tanyakan itu?” tanya Purwasih ingin tahu.

“Tadinya kukira kau menyelamatkan aku karena naksir...,” jawab Andika, sambil mengangkat bahu.

“Kau mulai slebor lagi, Andika” hardik Purwasih tertahan.

Kemudian jemari lentik gadis itu mencubit gemas perut Andika. Dia sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba ingin berbuat seperti itu. Apa mungkin mulai dirasuki keinginan bermanja-manja dengan pemuda tampan itu?

Sementara di meja lain yang tak jauh dari meja mereka, seseorang duduk memperhatikan tanpa geming. Dari balik caping yang menyembunyikan wajahnya, mata orang itu terus mengawasi Purwasih dan Andika. Sinar matanya berkobar-kobar tajam.

Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, dan tidak pula terlalu tegap, terbungkus pakaian berwarna merah darah.

Memang tanpa diketahui Purwasih maupun

Andika, orang itu telah mengikuti mereka berdua selama beberapa hari. Siapa dia?

***

Perjalanan menuju Kerajaan Alengka memakan

waktu sehari perjalanan. Setelah melewati beberapa kampung, mereka harus melewati hutan cemara di bukit yang membelah wilayah utara dengan kotapraja.

Ketika mulai berjalan mendaki, hari sudah menjelang petang.

Matahari mulai tersungkur lebih di kaki langit sebelah barat. Lembayung pun melukis langit dengan warna jingga. Dan sinarnya menerabas di antara pucuk-pucuk cemara yang bersusun tak teratur.

“Kita terpaksa bermalam di tempat ini dulu, Andika,” ujar Purwasih. “Kalau kita teruskan perjalanan, tidak mustahil kita akan tersesat dalam kegelapan hutan cemara.”

“Aku setuju saja apa katamu,” sambut Andika.

“Kita masih punya waktu untuk mencari tempat yang cukup nyaman agar....”

Belum lagi tuntas ucapan Purwasih, dari arah selatan terdengar ringkik kuda, seiring derap sayup-sayup tertangkap di telinga.

“Rupanya ada orang lain di tempat ini,” bisik Andika kepada Purwasih.

“Ah Mungkin hanya penduduk yang hendak pergi ke kotapraja,” duga Purwasih. Andika menggeleng.

“Kau salah,” kata Andika. “Berapa ekor kuda yang terdengar olehmu?”

Purwasih menajamkan pendengarannya sesaat.

“Tampaknya dua ekor,” jawab Purwasih.

“Apa mungkin dua orang penduduk biasa berani melintasi hutan ini menjelang malam seperti sekarang? Bukankah kau pernah mengatakan kalau gerombolan Begal Ireng sering menjelajah hutan-hutan seperti ini?”

“Jadi, menurutmu siapa mereka?”

“Apa kau dengar langkah lain, selain langkah kuda?” tanya Andika lagi.

Purwasih menggeleng.

“Itu artinya, mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup bagus. Bukankah di jalan mendaki yang cukup curam ini para pengendara kuda hanya menuntun kuda mereka?” lanjut Andika, membuat Purwasih harus mengakui kecerdasannya.

“Jadi mereka orang persilatan?” tebak Purwasih.

“Tepat” sambut Andika, tetap berbisik. “Hanya kita belum tahu apakah mereka dari golongan hitam atau putih. Untuk itu, kita harus mengintai. Siapa tahu mereka adalah salah seorang pengikut Begal Ireng keparat itu....”

Selesai berkata demikian, Andika memberi isyarat pada Purwasih untuk bersembunyi di semak-semak lebat. Sementara langkah kuda semakin jelas terdengar. Langkah itu kian dekat, sampai akhirnya terlihatlah dua orang lelaki yang sedang menuntun kuda, tepat seperti dugaan Andika.

Salah seorang tampak mengenakan pakaian Iurik ketat, membungkus tubuhnya yang demikian gempal berotot. Wajahnya terlihat angker dengan rahang berbentuk persegi. Hidungnya yang agak pendek, mata yang berkelopak besar serta bibir yang tebal, menggambarkan kekerasan kehidupan yang dijalani.

Terlebih ditambah kulitnya yang legam.

Orang itu berbeda dengan lelaki yang berjalan di sebelahnya. Wajah orang itu terlihat berwibawa dan bersih. Dapat diduga, kalau dia termasuk orang kalangan atas. Apalagi, pakaiannya sepertinya hanya dimiliki pembesar. Kumisnya melengkung rapih di atas bibir. Walau usia sekitar lima puluh tahun, tapi wajahnya masih tampak muda serta tampan.

“Patih Ranggapati...,” bisik Purwasih di tempat persembunyian ketika melihat lelaki yang berbaju pembesar itu.

Segera Purwasih mengajak Andika keluar dari persembunyiannya. Gadis itu memang kenal lelaki tadi, sebagai perwira kerajaan yang memimpin pasukan khusus berkuda.

“Jadi kau mengenal orang itu, Purwasih?” tanya Andika seraya mengikuti Purwasih yang telah menggenjot tubuh, keluar dari semak-semak.

“Ratih Ranggapati” panggil Purwasih.

Lelaki yang ditegur, seketika menoleh. Wajahnya tampak agak terkejut ketika mendengar seruan Purwasih. Namun ketika matanya sudah menangkap sosok orang yang memanggilnya, malah diper-lihatkannya senyum.

“Ah, Purwasih.... Kebetulan,” desah orang berwibawa itu, menyambut Purwasih.

“Kenapa Patih ke tempat ini?” tanya Purwasih saat sudah berdiri di depan lelaki setengah baya itu.

“Aku memang hendak mencarimu,” jawab Patih Ranggapati pada Purwasih.

“Mencariku? Ada apa?” tanya Purwasih, agak heran.

“Bukankah selama sebulan ini kau belum memberi laporan tentang penyelidikanmu terhadap Mahapatih Guntur Slaksa?”

“Astaga Kenapa aku jadi lupa? O, iya. Ini Andika,”

kata Purwasih memperkenalkan pemuda yang kini berdiri di sampingnya. “Dialah pendekar muda yang kita tunggu-tunggu selama ini. Pendekar dari keturunan keluarga....”

“Ah Senang sekali berjumpa denganmu, Patih Ranggapati,” potong Andika, tidak ingin mendengar sanjungan Purwasih.

“Sama-sama aku pun demikian. Hm..., dan ini Bayureksa,” kata Patih Ranggapati memperkenalkan lelaki bersamanya. “Dia seorang prajurit khusus kerajaan yang menjadi tangan kananku.”

Orang yang bernama Bayureksa itu merundukkan kepala sebagai tanda hormat, meski wajahnya tak memperlihatkan senyum.

Mau tak mau, Andika turut menundukkan kepala seperti nenek-nenek latah. Bukan apa-apa. Bagi Andika, seorang yang sudah memberi penghormatan, mestinya memang dihormati pula. Padahal ketika menyapa Patih Ranggapati, tak ada acara demikian.

Kecuali, senyumnya yang lebih mirip cengengesan orang tolol.

Sementara Bayureksa juga menjura pada

Purwasih, yang dibalas dengan menjura juga. Seperti saat menjura pada Andika, Bayureksa pun tak memperlihatkan senyumnya. Bahkan sekadar sepatah kata pun tidak. Dia memang termasuk prajurit yang jarang berbicara. Sifatnya pun agak kaku. Tapi dalam hal pengabdian pada negara, patut mendapat acungan jempol beratus kali. “Kebetulan sekali, kami juga hendak ke istana.

Karena hari mulai gelap, kami terpaksa hendak bermalam dulu di hutan ini,” tutur Purwasih kembali.

“Apa tak sebaiknya kita lanjutkan saja?” usul Patih Ranggapati. “Bayureksa adalah prajurit khusus yang memiliki keahlian merambah hutan, meski di malam buta sekalipun.”

“Kalau memang begitu, baiklah,” jawab Purwasih.

Mereka mulai melanjutkan perjalanan. Sekarang, Purwasih tidak perlu terlalu khawatir akan tersesat di hutan cemara ini. Lain halnya Andika. Belum lama mereka beriringan, dia kelihatan bersungut-sungut saja.

“Kenapa kau menyetujui tawaran Patih

Ranggapati, sih? Kita kan bisa jalan berdua saja. Itu lebih indah. Kita bisa berjalan bergandengan tangan di bawah sinar bintang gemerlap dan di antara gigitan nyamuk-nyamuk hutan. Indahkan?” oceh Andika setengah berbisik, agar tak sampai di telinga dua lelaki yang berjalan beberapa tombak di depan mereka.

Purwasih langsung menyikut perut Andika.

Duk

“Ukh.... Ssst, Purwasih. Bayureksa itu orang benar, apa hanya orang-orangan, sih? Kenapa kaku sekali.”

Belum lagi sakit di perutnya hilang, mulut Andika sudah cuap-cuap kembali. Terpaksa Purwasih meng-gerakkan tangannya kembali ke perut Andika.

Duk

“Ukh”

Dalam sinar bulan sabit yang temaram mereka terus menyusuri jalan mendaki dalam hutan cemara lebat. Jangkrik terus bersenandung memainkan lagu alam bersama binatang malam lain. Sampai suatu saat....

Kresk

Terdengar ranting kering yang patah terpijak. Maka serempak keempat orang itu langsung menoleh ke asal suara. Mata masing-masing bergerak-gerak waspada, berusaha menemukan sesuatu yang mencurigakan. Dalam keadaan seperti saat itu, seringkali mereka dikecoh oleh binatang hutan yang menginjak ranting. Namun, bukan berarti lengah terhadap bunyi-bunyi mencurigakan seperti tadi. Bisa juga bunyi itu disebabkan injakan kaki manusia yang bermaksud tidak baik.

“Siapa itu?” bentak Bayureksa keras.

Tak ada jawaban. Hanya terdengar derik jangkrik di sana-sini. Sesaat kemudian....

Zing

Zing

Dua berkas sinar di bawah siraman cahaya bulan tampak melesat menuju Patih Ranggapati. Mata Andika yang amat terlatih dalam menangkap gerakan kilat, tentu saja dapat mengenali benda itu. Rupanya, dua bilah pisau kecil meluncur deras ke arah Patih Ranggapati. Meski begitu, Andika memang tidak mungkin lagi bisa mendahului kecepatan pisau terbang ini. Di samping karena jaraknya dengan Patih Ranggapati cukup jauh, juga karena lesatan pisau terbang itu lebih dekat ke tubuh Patih Ranggapati, sehingga....

“Haaakh”

Untung saja Patih Ranggapati juga waspada. Dia berkelit dengan membuang tubuh ke sisi kiri. Hanya itu cara menghindari pisau terbang yang hendak memangsa tubuhnya. Tapi untuk itu, bahunya langsung membentur sebuah batang pohon cemara amat keras.

“Aaakh”

Sementara itu, Andika dengan sigap menyerbu ke arah si pelempar pisau. Sekali genjot saja, tubuhnya sudah melenting ringan di antara rerimbunan daun cemara.

“Hei, jangan lari Kujadikan makanan tikus, kau”

seru Andika ketika matanya menangkap kelebatan seseorang berbaju merah darah, bercaping di kepala.

Dan orang itu akhirnya menghilang di balik tebing curam.

*** 5

Kerajaan Alengka mempunyai wilayah kekuasaan cukup luas. Sebelum Begal Ireng muncul kembali, rakyat di bawah kekuasaan Prabu Bratasena yang memerintah merasa sangat aman, tentram, dan berkecukupan.

Namun sejak Begal Ireng kembali dengan

kesaktian yang dimiliki, semuanya jadi kacau. Rakyat menderita dalam tekanan yang menyengsarakan.

Kerusuhan demi kerusuhan, pembunuhan demi pembunuhan. berlangsung di bawah tindak-tanduk Begal Ireng dan gerombolannya. Hukum yang selama ini dijalankan jadi limbung. Sedangkan kekuatan gerombolan Begal Ireng rupanya tidak mudah dilumpuhkan. Apalagi, tatkala pemimpin kerusuhan itu merangkul tokoh-tokoh golongan hitam. Maka gelombang petaka pun terus berlanjut.

Sementara itu, di bawah siraman cahaya matahari pagi. Andika, Purwasih, Patih Ranggapati, dan Bayureksa tiba di kotapraja. Dari gerbang masuk, mereka hanya perlu berjalan sekitar dua jam untuk tiba di Kerajaan Alengka.

Karena peristiwa semalam, Patih Ranggapati terluka kembali. Dan sebenarnya, luka di bahunya yang banyak mengeluarkan darah, bukan karena tertumbuk batang cemara. Purwasih sendiri agak heran ketika memeriksa luka yang diderita Patih Ranggapati. Karena, luka itu tampak seperti luka sayatan benda tajam Menurut Patih Ranggapati, luka itu memang akibat sabetan golok ketika harus ber- hadapan dengan orang-orang Begal Ireng. Sebenarnya, lukanya sudah mengering andai saja tidak terbentur batang pohon cemara semalam.

Kini keempat orang itu tiba di pintu gerbang Kerajaan Alengka, yang dijaga ketat oleh enam prajurit dengan sikap siaga. Ketika melihat kedatangan empat orang itu, mereka segera menjura dalam-dalam.

Memasuki lingkungan istana, puluhan prajurit yang sedang berlatih perang-perangan langsung menghormat. Andika mengira, karena para prajurit menghormati Patih Ranggapati sebagai seorang perwira tinggi kerajaan. Tapi ketika lelaki setengah baya itu dibawa Bayureksa dan beberapa prajurit untuk dirawat, prajurit lain yang bertemu Purwasih dan Andika tetap menjura khidmat. Andika yakin, Purwasih memang memiliki pengaruh yang cukup besar di kerajaan itu. Dan Andika tak bisa menghindar dari keterpanaan ketika....

“Selamat datang Tuan Putri, Paduka Bratasena telah menunggu kedatangan Paduka...,” sambut seorang kepala prajurit, ketika mereka menuju ruang kehormatan Prabu Bratasena. Laki-laki berusia tiga puluh lima tahun itu membungkuk dalam-dalam.

“Jadi, kau putri Prabu Bratasena sendiri?” cetus Andika seraya menatap Purwasih lekat-lekat. Matanya tampak membesar tanpa berkedip.

“Ah Jangan terlalu dipersoalkan,” tukas Purwasih tenang, sambil terus melangkah.

“Tapi kau telah membohongi aku selama ini,”

sungut Andika, agak kesal.

“Memangnya sikapmu akan berbeda kalau tahu aku ini anak raja?” sergah Purwasih tanpa menoleh.

“Tentu saja tidak. Buat apa aku memperlakukan- mu berlebihan. Biar kau anak raja sekalipun, kau tetap makan seperti yang aku makan juga,” jawab Andika, lebih mirip menggerutu.

***

Desa Karangwesi terletak di wilayah selatan, masih kekuasaan Kerajaan Alengka. Hamparan sawah luas mengelilingi desa itu. Padi yang menguning dan bergerak tertunduk-tunduk ditiup angin, adalah harapan penduduk desa yang memeras keringat demi melanjutkan hidup keluarga.

Setiap orang yang singgah di Desa Karangwesi harus mengakui keindahannya. Sungai berarus deras yang membelah desa, bagai ular raksasa yang meliuk-liuk. Rumah-rumah tersusun dalam jarak teratur. Dan pepohonan hijau tumbuh di pekarangan setiap rumah.

Suasana damai desa itu tiba-tiba dipecahkan oleh gemuruh derap puluhan pengendara kuda yang memasuki gerbang perbatasan bersama kepulan asap yang merambah udara. Wajah para penunggang kuda itu menyimpan kebengisan. Sinar mata mereka pun berkilat garang. Terlebih, saat berteriak untuk menghela kuda yang ditunggangi. Pada pinggang masing-masing penunggang kuda, terselip senjata berlainan jenis yang membersit saat sinar matahari menimpa.

Dari cara memasuki desa terlihat jelas kalau niat mereka tidak baik. Dan itu makin jelas saja, ketika beberapa orang di antaranya turun di depan rumah pertama yang ditemui. Tanpa banyak cakap. mereka langsung mendobrak pintu rumah secara paksa.

“Jangan, tolong... Tolong...” “Aaakh...”

Beberapa saat kemudian, terdengar jerit

mengenaskan seorang wanita tua. Kemudian disusul erangan seorang lelaki.

Tak lama setelah itu, keempat lelaki tadi keluar dengan membopong barang-barang berharga. Sudah dapat diduga, apa yang dilakukan oleh para penunggang kuda itu.

“Perampoook” jerit wanita tua pemilik rumah.

Jeritan itu merambah ke seluruh desa, mengusik telinga penduduknya. Dari sawah, puluhan lelaki desa yang kebetulan sedang istirahat siang, segera memburu ke asal jeritan. Namun belum lagi mereka sempat menyadari apa yang terjadi, para penunggang kuda sudah menyambut dengan sabetan-sabetan senjata haus darah.

Wet

Sing

Bret

“Aaakh”

Teriakan mengerikan kembali melengking ke angkasa. Kali ini tidak hanya sekali atau dua kali.

Tapi, puluhan jeritan susul-menyusul terdengar dari orang-orang tak berdosa yang dijagal. Bau anyir darah membasahi tanah. Warna merah mulai menodai bumi, sebagai tanda keangkaramurkaan manusia.

Tak cukup hanya membantai jiwa-jiwa manusia.

Para penunggang kuda berjiwa iblis itu juga menjarah harta penduduk. Selesai menguras harta, rumah pun dibakar. Maka seketika api membumbung ke langit, memberi warna merah jelaga bercampur hitam di cakrawala.

Suasana makin hingar-bingar. Gemeletak kayu termakan api, jeritan ngeri para wanita, tangisan meninggi anak-anak kecil, ringkik derap kaki kuda, serta teriakan penunggangnya. telah membaur dalam sebuah untai kekacauan.

Apakah jiwa manusia sudah terlalu tak berarti bagi sementara pihak? Atau nilai manusia sudah lebih hina daripada seekor anjing? Dalam setiap peperangan dan kezaliman pertanyaan itu selalu pantas dilontarkan.

Tapi bagi mereka yang telah menyatu dengan sifat durjana iblis, pertanyaan seperti tadi tak pernah hadir dalam hati. Mereka terus membantai. Dan liur haus darah mereka yang lebih menjijikkan daripada liur anjing kudis, terus menetes mengiringi.

Pada saat pesta pora gila tersebut makin menjadi....

“Berhenti”

Tiba-tiba terdengar lantang seseorang lewat penyaluran tenaga dalam tingkat sempurna. Akibatnya, para penunggang kuda kontan menghentikan semua kegilaan itu.

Di ujung jalan dekat gerbang desa, tampaklah seseorang berpakaian merah darah. Sulit ditentukan, siapa orang itu karena wajahnya tertutup caping pelepah kelapa lebar. Dia berdiri jumawa menghadap para begal, dengan sikap menantang

“Manusia mana yang mencari mati ini?” geram pemimpin pasukan berkuda itu.

Dia seorang lelaki bertampang buruk, lebih buruk daripada seekor tikus buduk. Matanya yang besar terlihat seperti mata barong. Hidungnya melebar, seperti bibirnya. Sementara, garis matanya menampakkan kekejian dalam dirinya. Pakaian yang dikenakannya perlente, tapi tetap tak dapat menutupi kebusukan hatinya. “Aku tak sekadar menyuruh kalian meninggalkan desa ini secepatnya. Aku juga akan memaksa kalian meninggalkan dunia ini sesegera mungkin,” kata orang yang baru datang penuh nada ancaman.

“Hua ha ha...” laki-laki bertampang buruk yang merupakan pemimpin pasukan berkuda itu tertawa riuh. “Apakah kau sudah merasa menjadi malaikat maut yang mampu mencabut nyawa kami?”

“Membunuh kalian sama mudahnya, seperti tikus-tikus sawah”

“Bangsat”

“Ya Makilah aku, selama masih sempat memaki”

Dua lelaki penunggang kuda diperintahkan

pemimpinnya untuk segera menghabisi orang yang baru datang itu. Keduanya segera menghentakkan kekang, sehingga kuda mereka meluncur bergemuruh seiring teriakan murka. Tapi sebelum keduanya mencapai lima tombak, pisau-pisau kecil sudah terlepas dari tangan lelaki bercaping yang berkelebat cepat ini.

Zing

Jep

Begitu cepat kebutan tangan orang bercaping itu, sehingga....

“Huaaa”

Kuda mereka kontan terlonjak diiringi satu ringkikan panjang, melemparkan tubuh penunggangnya yang tertikam pisau-pisau yang melesat cepat.

Tubuh keduanya pun mencium tanah tanpa nyawa, dengan darah mengucur dari bagian dada yang tertembus pisau.

“Kalian lihat Aku telah menepati janjiku terhadap dua kawan kalian?” cemooh orang bercaping, dingin.

Menyadari kalau orang bercaping tak bisa

diremehkan, pemimpin pasukan berkuda ini memberi perintah agar anak buahnya menyerbu orang bercaping itu.

Maka lima belas ekor kuda yang membawa

penunggangnya seketika menyerbu serempak.

Sehingga, gemuruh dahsyat dari derap kaki kuda langsung tercipta. Dengan senjata terhunus, mereka berteriak liar dalam satu serangan maut.

“Hiaaat”

“Hiaaat”

Meski serbuan kelima belas lelaki itu makin dekat, tapi orang bercaping itu tampak masih berdiri tenang.

Sedikit pun tak terlihat tubuhnya bergerak. Tapi ketika para penyerangnya tinggal tiga tombak dari tempatnya berdiri, tubuhnya melenting cepat, lalu berputar ke depan beberapa kali. Pada saat melayang di udara itulah, tangannya kembali bergerak. Dan....

Zing

Zing

Enam orang penyerang seketika rontok seperti daun kering, terhujam senjata rahasia orang bercaping ini. Tepat di dada masing-masing tampak menancap pisau kecil yang langsung menghentikan kerja jantung mereka. Kuda-kuda mereka menjadi panik, ketika enam tubuh berdebum menimpa tanah.

Tanpa dapat dikendalikan, kuda-kuda itu menendang-nendang dengan kaki depan disertai ringkikan riuh.

Pada saat itu orang bercaping ini sudah menjejakkan kaki di antara lawan-lawannya. Dan tanpa banyak kesulitan, sepasang pisau kecil di tangannya merobek perut para penunggang kuda itu.

Sret

Sret

“Aaakh”

Darah kembali berhamburan dari perut dua lelaki yang terbabat pisau orang bercaping ini. Tidak hanya itu. Isi perut mereka pun terburai melalui sayatan tadi. Tanpa dapat menarik napas untuk kedua kali, mereka ambruk kehilangan nyawa.

Dan seperti tak ingin memberi peluang pada para lawan untuk hidup lebih lama, orang bercaping terus menyabetkan pisau kecilnya, ke arah sisa penunggang kuda yang lain. Dengan begitu, makin besar kesempatan orang bercaping untuk membantai seluruh lawan. Maka satu persatu mereka tertebas dan mati, dengan darah berhamburan dari bagian yang terluka.

Di antara ringkikan kuda, teriakan mengerikan ikut mengimbangi. Sampai akhirnya, kuda-kuda itu berlarian liar tanpa penunggang sama sekali. Dan kini, tinggal pemimpin pasukan yang terpaku di atas kudanya, melihat seluruh anak buahnya berkalang tanah

“Cepatlah kau ke sini Aku tak mau membuang-buang waktu” seru orang bercaping itu pada si pemimpin.

Menyadari keadaannya terjepit, pemimpin

pasukan itu segera menghentakkan tali kekang kuda, hendak lari.

“Hiaaa...”

Begitu kudanya berbalik ke belakang dengan kecepatan penuh, si pemimpin itu melesat cepat.

Namun belum lagi jauh dia sudah terpental dari punggung kuda. Rupanya, orang bercaping telah melemparkan sepasang pisau di tangannya lalu menembus bokong pemimpin pasukan.

“Aaakh”

Brukkk

Sekali lagi, bumi dihantam oleh tubuh tak bernyawa. Darah mengalir tampak dari lubang tembusan pisau di tubuh pemimpin pasukan yang menyusul anak buahnya ke neraka.

Suasana kembali lengang. Sayup-sayup terdengar gemeretak puing-puing rumah yang habis termakan api. Di angkasa, asap hitam merayap dalam satu iring-iringap panjang. Demikian pula isak tangis kehilangan dari para istri, anak, atau saudara penduduk Desa Karangwesi.

“Mereka pantas membayar semua perbuatan ini dengan nyawa. Kalaupun mereka memiliki sepuluh nyawa tetap saja belum bisa melunasi petaka yang diciptakan,” desah orang bercaping.

Setelah itu, dia melangkah gontai di bawah terpaan terik mentari.

***

Waktu berlalu tanpa dapat ditahan. Suka atau tidak hari bergulir terus. Dan sudah sepuluh hari ter-lewati, sejak kejadian di Desa Karangwesi.

Sementara di Kerajaan Alengka sedang diadakan pertemuan di dalam ruang kehormatan, setelah Purwasih mengusulkan untuk mengadakan penyam-butan sederhana untuk kedatangan Andika. Itu pun tanpa sepengetahuan Andika. Purwasih tahu, Andika tidak bakal menyukainya. Dalam pribadinya yang sering ugal-ugalan. Andika memang menyimpan kerendahan hati.

Ruang kehormatan yang luas ini terletak di tengah istana, berbatasan dengan Taman Anjangsana keluarga raja. Di tengah ruangan tampak meja persegi yang besar dan panjang. Di sisinya tersusun kursi-kursi jati berukir, ditambah kursi khusus untuk Bayureksa di ujung meja. Dinding ruang itu diperindah oleh lukisan keluarga istana dan lukisan-lukisan panorama negeri Alengka.

Setelah para dayang menyajikan makanan serta minuman yang ditata dengan apik, para undangan memasuki ruangan besar ini. Satu persatu mereka masuk, termasuk Patih Ranggapati yang sudah tampak segar kembali setelah luka di bahunya dirawat dengan baik oleh tabib istana. Mahapatih Guntur Slaksa, dan beberapa pembesar lain juga terlihat di situ. Sedangkan Bayureksa masuk paling akhir, beriringan dengan Purwasih dan Andika.

Begitu tiba di istana, Purwasih langsung memperkenalkan Andika pada ayahandanya, Prabu Bratasena. Tentu saja beliau menjadi gembira ketika putrinya memberitahukan kalau anak muda yang bersamanya adalah seorang keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan. Jadi tidak heran kalau ketika orang itu nampak sudah akrab ketika memasuki ruang kehormatan.

Andika dan Purwasih duduk di kursi di depan Prabu Bratasena, satu baris dengan undangan lain.

Saat ketiganya mengambil tempat duduk, para pembesar kerajaan serentak berdiri seraya menjura hormat.

Dan Prabu Bratasena membalas penghormatan, dengan senyum serta anggukan kepala. Begitu juga Purwasih. Kecuali, Andika. Anak muda itu malah ikut menjura. Purwasih berusaha menahan, karena menurutnya Andika adalah tamu kehormatan yang tak pantas menjura seperti itu.

Dengan tangan kanannya, Purwasih menahan

tubuh Andika yang bergerak membungkuk. Tapi bukan Andika kalau tidak keras kepala. Dalam hatinya, orang yang menghormati seseorang sudah semestinya dibalas dengan penghormatan setimpal.

Jadi, dengan acuh tak acuh, dipegangnya pergelangan tangan Purwasih. Lalu, tubuhnya digeser ke samping agar bisa tetap membungkuk untuk

menjura.

Purwasih langsung memperlihatkan wajah asam.

“Huh Dasar kepala batu” umpat gadis itu dalam hati.

Setelah Prabu Bratasena mempersilakan duduk, semua yang hadir pun meletakkan tubuh di kursi masing-masing. Beberapa saat suasana sunyi. Para pembesar kerajaan menatap wajah Prabu Bratasena yang berumur sekitar enam puluh delapan tahun. Tak heran kalau rambut, alis, dan kumisnya sudah memutih. Namun, kerutan di kening dan pipinya sama sekali tidak menghapus kewibawaan yang terpancar di wajahnya. Apalagi, dengan mata yang bergaris ramah serta hidung mancung. Sehingga menambah kesan kalau dia memiliki keteguhan hati.

Tubuhnya tidak terlalu gemuk, terlihat dari pakaian kebesarannya yang agak longgar.

“Saudara-saudara sekalian, para pembesar

Kerajaan Alengka yang sangat aku kasihi. Hari ini kita berkumpul di sini untuk menyambut kedatangan seorang pendekar yang patut dipuji sebagai pendekar bagi kaum tertindas...,” kata Prabu Bratasena memulai. “Namanya, Andika. Dia adalah pendekar muda dari keluarga Pendekar Lembah Kutukan yang amat dekat di hati rakyat. Pendekar yang menjadi cerita kepahlawanan hingga saat ini....”

Mendengar sanjungan yang menurutnya ber-

lebihan, Andika hanya dapat menundukkan kepala.

Sedangkan Purwasih yang melihat sikap Andika menjadi suka melihat kerendahan hati pemuda itu.

Memang di dunia yang dipenuhi beragam watak manusia, sikap rendah hati sangat jarang ditemui.

Manusia seringkali lebih suka terkagum-kagum pada setiap kelebihan diri sendiri, ketimbang harus menyembunyikannya.

Sementara itu, Patih Ranggapati tampak terkejut ketika Prabu Bratasena memperkenalkan Andika sebagai keturunan Pendekar Lembah Kutukan.

Sungguh sama sekali tidak disangka akan hal itu.

Melihat penampilannya saja, orang tentu tidak yakin kalau pemuda itu seorang pendekar sakti Apalagi melihat wajahnya yang terlalu muda dan terkadang terlihat agak bodoh.

Memang, sewaktu pertama kali Purwasih mem-perkenalkannya pada anak muda itu, Andika langsung memotong ucapan Purwasih. Sehingga, Purwasih tidak sempat menyebutkan, siapa Andika sebenarnya.

“Pendekar muda kita ini berniat membantu kita memecahkan masalah pemberontakan Begal Ireng dan gerombolannya. Mereka telah terlalu banyak menimbulkan penderitaan rakyat. Terlalu banyak membuat keangkaramurkaan. Karena itu, hati anak muda ini rupanya tergerak untuk segera mengulurkan tangan. Bukan begitu, Andika?” sambung Prabu Bratasena.

Andika sebentar terkesiap.

“Oh Ng... iya. Begitulah..., kira-kira,” jawab pemuda itu terbata.

“Apa kau tak ingin memperkenalkan julukanmu pada para pembesar kerajaan? Agar kami bisa lebih dekat mengenalmu?” tambah Prabu Bratasena.

Andika segera berdiri. Dan dia sendiri tak tahu, kenapa harus berdiri. Pokoknya, hanya ingin berdiri saja.

“Aku sebenarnya tidak pernah dijuluki oleh tokoh persilatan dengan sebutan apa pun. Karena, aku sendiri baru terjun ke dunia persilatan, setelah...,”

Andika ragu.

“Setelah apa, Andika?” desak Prabu Bratasena.

Sementara pandangan Purwasih dan para

pembesar kerajaan tertuju lurus ke arah Andika, seperti menanti kelanjutannya.

“Setelah aku menjalani penyempurnaan di

Lembah Kutukan...,” sambung Andika akhirnya.

Seketika terdengarlah decakan kagum yang susul-menyusul memenuhi ruang kehormatan. Bagi orang lain di luar keluarga Pendekar Lembah Kutukan, lembah yang baru saja disebut Andika memang amat mengerikan. Tak seorang pun yang pernah kembali, ketika secara kebetulan menemukan tempat itu.

Mereka pernah mendengar cerita dari mulut ke mulut, kalau lembah itu dihujani petir setiap saat.

Pernah juga seorang tokoh aliran sesat tanpa sengaja menemukan lembah itu, melalui jajaran pegunungan selatan yang terkenal ganas. Ketika melihat kedahsyatan lembah itu, dia kembali dalam keadaan gila dengan mulut terus mengoceh tentang ribuan lidah petir.

“Jadi, aku belum menerima julukan,” lanjut Andika, mengusik ketercengangan para pembesar istana.

“Tapi. beberapa orang menyebutku...”

Para pembesar istana dan Prabu Bratasena

menunggu kelanjutan ucapan Andika. Dalam benak masing-masing, terdapat dugaan kalau julukan yang diberikan orang-orang yang disebutkan Andika tadi berkesan garang, segarang Lembah Kutukan. “Ng.... Aku disebut sebagai Pendekar Slebor. He he he....”

Mendadak saja, semua orang yang hadir di situ memegang perut masing-masing, menahan tawa yang mau meletus

“Yang Mulia”

Tiba-tiba seorang prajurit berdiri di ambang pintu masuk ruang kehormatan.

“Ada apa?” tanya Prabu Bratasena. “Ada seorang yang mengaku kenal baik dengan Tuan Andika. Dia ingin bertemu Tuan Andika,” lapor si prajurit.

Andika mengernyitkan kening. Rasanya, dia memang belum banyak mengenal orang selama terjun ke dunia persilatan. Bahkan hanya Purwasih yang dikenalnya.

“Kalau begitu, suruh dia masuk” titah Prabu Bratasena.

Prajurit tadi segera berlari dari ambang pintu. Tak lama kemudian, dia datang lagi bersama seorang wanita.

Mata Andika terbelalak. Lebih-lebih, Purwasih.

“Ningsih?” ucap Andika.

“Ningrum?” ucap Purwasih.

Lalu keduanya saling berpandangan. Ningrum atau Ningsih?

*** 6

Andika sulit mengerti, mengapa Ningsih menyusulnya hingga ke istana. Sepengetahuannya, Ningsih maupun Perguruan Naga Merah telah menyelesaikan tugasnya, mengantarkan Andika dalam menjalani penyempurnaan kesaktian.

Setelah memohon diri pada Prabu Bratasena dan para pembesar kerajaan, Andika dan Purwasih segera menemui wanita itu lalu mengajaknya ke taman istana. Mereka lalu berjalan beriring menuju taman istana.

“Ada apa Ningsih?” tanya Andika, begitu tiba di taman istana.

“Ningrum Rupanya kau...,” timpal Purwasih.

Purwasih lalu memandang Andika. Dia masih bingung kenapa Andika memanggil wanita itu Ningsih?

Bukankah dia bernama Ningrum?

“Sudah dua kali kau menyebut Ningrum dengan panggilan Ningsih. Apa memang dia punya dua nama?” tanya Purwasih pada Andika.

“Ah Aku hampir lupa,” tukas Andika bergegas.

Andika memang lupa untuk menjelaskan pada Purwasih tentang saudara kembar Ningrum, yaitu Ningsih. “Ini Ningsih, saudara kembar Ningrum.”

(Lihat episode pertama: 'Lembah Kutukan').

“Jadi Ningrum benar-benar telah mati di tangan Begal Ireng? Ah Kasihan sekali dia.... Kukira kau Ningrum. Habis mirip sekali dengan dia,” tutur Purwasih pada wanita di sisinya dengan wajah prihatin. Wanita yang diajak bicara malah menggelengkan kepala.

“Aku memang Ningrum,” kata gadis yang justru malah mengaku Ningrum, perlahan.

Kini giliran Andika yang dibuat bingung. Bibirnya ditekuk seperti sedang meringis.

“Kau sedang bercanda kan, Ningsih?” tanya Andika seraya menggaruk-garuk kepala.

“Sungguh Aku memang Ningrum,” jawab gadis itu lagi.

Dipandangnya wajah pemuda tampan itu lekat-lekat. Wajah dan bias mata gadis itu sulit digambar-kan dengan kata-kata, bagai memendam sebongkah kekalutan serta kehilangan.

Andika mengernyitkan kening dalam-dalam. “Aku pasti salah dengar,” gumam Andika.

“Tapi Andika...,” sela Ningrum. “Bisa kubuktikan kalau aku adalah Ningrum Aku kenal Purwasih atau Naga Wanita. Dia pernah bertempur denganku sewaktu pertama kali berjumpa di Lembah Pandam.

Waktu itu, kau hendak menunggu si 'Penjaga Pintu'.

Dan ternyata orangnya, aku. “Kalau aku Ningsih, mana mungkin kenal Purwasih?”

Andika menghentikan langkahnya. Tubuhnya

mematung, membelakangi Ningrum dan Purwasih.

Tampak, hatinya masih belum percaya kalau Ningrum masih hidup. Masih dapat dirasakan puing-puing kehancuran dalam hatinya, ketika mendengar berita kematian Ningrum, orang yang menanam benih cinta pertamanya. Sampai kini, luka di hatinya masih menganga. Dan tiba-tiba saja, wanita di belakangnya mengaku Ningrum?

Semestinya Andika gembira. Tapi kenapa yang hadir dalam hatinya pada saat itu justru setumpuk kekecewaan? Dia sendiri tak tahu. Atau, barangkali karena merasa telah dibohongi? Dengan kebohongan itu, harapan dan kebeningan cintanya pada Ningrum hancur.

“Kau tak gembira kalau aku masih hidup Andika?”

desah Ningrum, dibebani rasa penyesalan. “Aku mengaku salah. karena telah membohongimu. Dan tentang saudara kembarku yang sebenarnya, memang tak pernah ada. Tapi itu terpaksa kulakukan, agar kau memiliki semangat berapi-api untuk menjalani penyempurnaan, karena dorongan dendam terhadap Begal Ireng yang telah berusaha membunuhku....”

“Aku sudah memiliki dendam pada Begal Ireng waktu itu” penggal Andika kasar. “Kau ingat pada Ki Sanca, guru Perguruan Trisula Kembar yang kuanggap sebagai orangtuaku? Atau, pada Kang Soma yang sudah menjadi kakak bagi diriku? Mereka dibunuh oleh keparat itu Dan itu cukup menjadi pembakar semangatku untuk menjalani penyempurnaan”

Dada Andika turun naik. Napasnya kontan ber-hembus cepat. Kegusaran yang tiba-tiba membludak berusaha dihelanya.

Sementara Purwasih jadi tercekat. Sungguh tidak disangka Andika yang selama ini dikenal sebagai anak muda ugal-ugalan, ternyata dapat meledak-ledak seperti itu.

Sementara itu, Ningrum menundukkan kepala dalam-dalam. Matanya terhujam pada rerumputan halus di sekitar kakinya. Taman yang asri, berhias ragam bunga aneka warna tidak membuatnya

menjadi nyaman. Kegalauan seketika mengepungnya dari setiap sudut. “Kalau begitu, maafkan aku, Andika. Aku

mengira....”

Ningrum terdiam sesaat. Seperti ada sesuatu yang berat hendak diangkat ke tenggorokannya.

“Aku mengira kau mencintaiku. Sehingga, aku mengarang cerita itu agar kau benar-benar memiliki kekerasan hati untuk menjalani penyempurnaan,”

tutur Ningrum, lirih. “Rupanya aku salah. Ternyata, kau tidak mencintaiku. Maafkan aku, Andika....”

Kali ini kata-kata gadis itu dibarengi dengan isak halus.

“Tapi kedatanganku ke sini bukan untuk meminta belas kasihanmu, Andika. Yang jelas, ada sesuatu yang mesti kusampaikan. Begal Ireng dan

gerombolannya dua minggu lalu berhasil menemukan perguruan kami. Bahkan semua murid Perguruan Naga Merah dibantainya tanpa belas kasihan.

Termasuk, guru besar kami sendiri. Meski sebenarnya aku ingin mati saja bersama mereka, tapi guru menyuruhku lari dari sebuah jalan rahasia agar aku dapat menyampaikan kabar ini kepadamu,” sambung Ningrum.

Ningrum tak kuasa lagi membendung tangisnya.

Dua tetes bening merambat perlahan di kedua belah pipinya yang putih.

“Begal Ireng keparat” bentak Andika meledak, tiba-tiba. Tubuhnya langsung berbalik menghadang Ningrum dan Purwasih. “Dari mana dia tahu letak perguruan itu? Bukankah letaknya dirahasiakan?”

“Kau ingat kitab kayu warisan Pendekar Lembah Kutukan yang dulu kau miliki?” tanya Ningrum, masih tersendat.

“Astaga Tentu dia mencurinya dari balik bajuku, ketika aku tergeletak sehabis bertempur dengannya di Desa Banyu Gerabak”

“Ya Itu sebabnya, dia tahu tentang 'Penjaga Pintu'

yang memiliki Kipas Naga. Ketika seorang murid perguruan kami turun gunung untuk mencari kebutuhan sandang, pasukan Begal Ireng berhasil mengikutinya sampai di perguruan kami. Entah bagaimana, anak buah Begal Ireng dapat melihat Kipas Naga milik murid itu. Sehingga, salah seorang murid Perguruan Naga Merah itu dapat mengenalinya sebagai 'Penjaga Pintu' juga,” sambung Ningrum masih menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Tangisnya makin kentara.

Saat itu, kegusaran Andika terhadap Ningrum perlahan-lahan surut. Bahkan sudah diganti dengan rasa iba melihat gadis yang terseguk-seguk di hadapannya. Hatinya yang sebenarnya lembut ter-sentuh. Hatinya benar-benar terenyuh.

“Kini aku sebatang kara, Andika,” kata Ningrum lirih, nyaris tak kentara.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Andika segera menghampiri dan mendekapnya. Lalu, dibiarkannya Ningrum menumpahkan segala duka yang kini merejamnya di dada Andika.

“Maafkan aku, Ningrum. Aku tidak bermaksud kasar padamu. Sebenarnya, aku juga mencintaimu,”

bisik Andika, di antara anak rambut Ningrum yang dipermainkan angin.

Purwasih yang ada di dekat mereka hanya memperhatikan. Sinar matanya sulit dijabarkan. Sebuah tatapan yang didorong rasa iba dan cemburu, berbaur jadi satu.

*** Desa Umbulwetan direbahi cahaya jingga.

Matahari memang telah begitu redup tanda datang-nya senja. Di saat seperti itu, penduduk desa itu seorang demi seorang meninggalkan sawah, memanggul cangkul masing-masing. Mereka me-

lenggang ke rumah, menemui keluarga tercinta yang telah menunggu.

Desa Umbulwetan yang berbatasan dengan

kotapraja bagian utara ini memerlukan waktu beberapa hari perjalanan untuk menuju ke pusat pemerintahan Alengka. Karena letaknya cukup dekat dengan pelabuhan di pesisir selatan, maka Desa Umbulwetan selalu menjadi jalan tembus bagi kereta-kereta kerajaan yang datang dari dermaga.

Seperti juga hari ini, sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda meluncur cepat di jalan tanah yang membelah Desa Umbulwetan. Di belakangnya, enam prajurit berkereta mengawal penuh waspada.

“Hiaaa...”

Kusir kereta kuda berteriak lantang, seraya menghentakkan tali kekang. Memang muatan ini mesti secepatnya dibawa ke kerajaan. Dorongan tangung jawab membuatnya begitu bersemangat.

Lagi pula, dia tidak ingin pasukan Begal Ireng mengetahui perjalanan ini, lalu merampok muatan keretanya.

Tanah yang digenangi air karena baru saja diguyur hujan sesaat, menghamburkan percikan berwarna coklat ketika kaki-kaki kuda menghantamnya.

Tapi laju kereta kuda itu tiba-tiba terhenti, ketika sepasukan orang berkuda menghadang. Kusir seketika menarik tali kekang dan kuda pun berhenti.

Sebagai orang yang berpengalaman membawa

muatan, dia amat hafal gelagat orang-orang yang berniat tak baik. Segera tali kekangnya ditarik ke kiri, agar kuda-kudanya berbalik untuk menghindari penghadangan. Sementara, enam prajurit pengawal terus melaju menuju para penghadang.

“Usahakan agar muatan itu benar-benar sampai

Sampaikan pada pasukan Bratasena, kalau kami menghadapi kawanan Begal Ireng” teriak pemimpin prajurit pengawal, pada kusir kereta kuda.

Kemudian, keenam prajurit gagah itu berhenti sekitar tujuh tombak di depan para penghadang berkuda yang terdiri dari lima belas orang. Keenam prajurit itu sudah tahu, kalau sedang menghadapi gerombolan Begal Ireng yang memang memiliki ciri khas. Mereka berpakaian hitam, seperti juga Begal Ireng.

“Rupanya kalian memilih mati, Prajurit-Prajurit dungu” bentak seorang anak buah Begal Ireng kasar.

“Kami tidak akan membiarkan kalian merampok muatan kereta yang amat dibutuhkan rakyat” sahut pemimpin prajurit kerajaan.

Dia seorang lelaki gagah berkumis melintang.

Umurnya masih muda, sekitar tiga puluh tahun.

Wajahnya tampan, dengan raut mencerminkan keberanian dan kegagahan.

“Apa kau kira akan menang melawan kami?”

“Aku tak berharap menang Aku hanya ingin, muatan itu sampai kepada rakyat. Untuk itu, kami rela mempertaruhkan nyawa”

“Hua ha ha... Benar-benar Tikus-tikus tolol Kalian hanya buang nyawa saja”

“Kami cukup tahu, mana yang benar dan mana yang harus ditumpas” seru pemimpin pasukan pengawal.

“Babi congek Bantai mereka” perintah laki-laki setengah baya yang berwajah seram. Dialah pemimpin para penghadang ini. Maka seketika para penghadang berseragam hitam itu menyerang para pengawal barang.

Dan pertempuran meletus. Diawali oleh gemuruh langkah kuda, dua pasukan pun bertemu.

“Hiaaat...”

Trang

Trang

Sebentar saja sudah terdengar senjata yang berbenturan ganas. Dalam kancah pertempuran di punggung kuda seperti itu, gerakan mereka jadi terbatas. Tapi bagi enam prajurit istana, pertempuran di punggung kuda memang suatu keahlian khusus.

Meski dikeroyok lima belas lawan, mereka nyatanya mampu mengadakan perlawanan sengit.

Trang

Trang

Suasana jadi gegap gempita oleh denting senjata, ringkik kuda, dan teriakan perang. Biarpun matahari bersinar redup, cahaya yang menimpa senjata masing-masing menghasilkan kelebatan-kelebatan menggidikkan. Setiap kelebatan mengarah pada bagian yang mematikan. Namun sampai sejauh itu, belum ada yang menjadi korban.

Dan itu bukan berarti tidak ada pihak yang terdesak. Menghadapi kekuatan yang tidak seimbang, tentu saja para prajurit kerajaan mulai kerepotan.

Meskipun sudah mencoba beberapa siasat perang berkuda, harus tetap diakui kalau tenaga mereka sedikit demi sedikit terkuras menghadapi kekuatan yang lebih besar.

Siasat perang terakhir yang dikerahkan kini adalah

'Benteng Melingkar'. Bentuk seperti itu biasanya hanya digunakan pada saat-saat terdesak. Mereka menggiring kuda dalam bentuk lingkaran rapat, sehingga ekor kuda masing-masing hampir bertemu.

Dengan siasat perang seperti itu, mereka bisa menghindari musuh yang menyerang dari belakang dan samping. Dan musuh hanya bisa menyerang dari depan. Dan itu jelas lebih mengurangi tenaga yang terbuang sia-sia.

Tapi, rupanya musuh benar-benar bisa membaca siasat ini. Dengan satu siasat licik, tujuh orang di antara mereka mundur teratur. Sedangkan yang lain tetap menggempur dari sisi yang berbeda. Tanpa takut terkena kawan sendiri, ketujuh orang itu mengeluarkan senjata rahasia masing-masing. Begitu tangan mereka mengebut, senjata rahasia itu melayang ke arah para prajurit istana.

Dalam keadaan yang rapat, tentu saja para prajurit mengalami kesulitan untuk menghindari pisau-pisau kecil yang meluncur deras ke arah mereka. Prajurit terdepan yang melihat, segera berkelit seraya memperingatkan kawannya yang berada di belakang.

“Awas pisau terbang”

Namun, terlambat bagi tiga kawannya yang membelakangi. Mereka tentu saja jadi santapan empuk pisau-pisau terbang tadi.

Jep

Jep

Jep

“Aaakh”

Tiga prajurit langsung rubuh dari punggung kudanya begitu tertembus pisau pada badan bagian belakang masing-masing. Beberapa saat tubuh mereka meregang-regang, kemudian diam dijemput maut. Ketiga lelaki gagah itu mati sebagai pahlawan kerajaan.

Dan akibat matinya tiga prajurit, bentuk perang

'Benteng Melingkar' menjadi kacau-balau. Tiga lelaki lain yang selamat dari tikaman pisau terbang segera diserbu delapan lawan di belakangnya. Tanpa ampun, mereka dibokong dengan pedang dan golok setajam taring iblis pada punggung.

Sret Jep

“Aaakh...”

Ketiga lelaki itu pun menyusul temannya yang lebih dahulu tewas sebagai ksatria sejati, begitu ambruk di tanah.

Begitu tak ada lagi prajurit yang hidup, para penghadang berseragam hitam itu segera meninggalkan tempat ini. Maka suasana kembali dikungkung sepi. Alam membisu dalam seribu makna yang sulit dipahami Mungkin mentari, bumi, pepohonan, dan langit sedang meratapi kepergian enam lelaki gagah yang merelakan nyawa demi rakyat menderita.

***

Senja telah ditelan malam. Kini alam dikuasai sepenuhnya oleh kegelapan. Angin dingin berlari di permukaan bumi, sebagai sekutu malam yang setia.

Di singgasananya, Prabu Bratasena terduduk gelisah. Enam prajurit pilihan dan seorang kusir yang ditugaskan menjemput rempah-rempahan dengan kereta kuda mestinya sudah kembali sejak sore tadi.

Tapi hingga kini, belum juga menampakkan batang hidung.

“Pasti ada yang tidak beres,” gumam Prabu Bratasena, setengah berbisik.

“Tampaknya ada gangguan dari pihak Begal Ireng, Paduka,” duga Mahapatih Guntur Slaksa, menang-gapi gumaman Prabu Bratasena yang sempat tertangkap telinganya. Bersama beberapa pembesar kerajaan, patih bertubuh tinggi besar itu duduk di hadapan raja mereka. Sementara Patih Ranggapati pun tampak di sana.

“Itu yang kutakutkan, Mahapatih,” sahut Prabu Bratasena pada lelaki bertubuh tinggi besar.

Wajah Mahapatih Guntur Slaksa amat angker, seangker namanya. Rahangnya yang berbentuk persegi, bermata bulat dan besar, sungguh-sungguh memperjelas keangkerannya.

Saat itu, secara tiba-tiba datang kusir kuda yang membawa muatan rempah-rempah dengan napas memburu.

“Ampun Paduka. Izinkan hamba melapor,” pinta kusir itu tersengal seraya menjura.

“Katakanlah, Paman.” pinta Prabu Bratasena.

berusaha setenang mungkin.

“Kami telah dijegal kawanan Begal Ireng di Desa Umbulwetan, Paduka,” lanjut lelaki tua berusia sekitar enam puluh tujuh tahun yang masih tetap gagah itu. “Untunglah para prajurit pilihan berhasil menahan mereka. Kalau tidak, rempah-rempah yang sangat dibutuhkan rakyat tidak akan sampai ke sini.”

Demi mendengar laporan ini, Prabu Bratasena menjadi geram. Rahangnya mengeras seketika.

Seraya memegangi keningnya yang terasa berdenyut akibat luapan marah, Raja Alengka itu merayapi para pembantunya dengan sapuan mata yang sulit diartikan.

“Pemberontak itu rupanya benar-benar ingin menghancurkan negeri ini...,” kata Prabu Bratasena, dengan suara bergetar. “Yang hamba heran, Paduka,” kata kusir kembali.

“Kenapa gerombolan Begal Ireng dapat mengetahui perjalanan kami? Sedangkan semua prajurit pengawal sudah mengenakan pakaian biasa,

sehingga tidak tampak lagi sebagai prajurit kerajaan.

Lalu, dari mana gerombolan itu tahu tentang kami?

Dan, dari mana pula mereka tahu kalau kami akan menjemput muatan pada saat itu?”

“Karena di antara kita ada seorang pengkhianat.

Dia telah membocorkan rencana itu,” jawab Prabu Bratasena cepat. Wajahnya menegang demikian rupa, memperlihatkan kemurkaan.

Kembali mata Prabu Bratasena beredar tajam pada semua pembesar kerajaan yang hadir di tempat itu. Warna merah mulai menyapu sepasang matanya.

“Di antara kita pasti ada seorang pengkhianat,”

ulang penguasa Kerajaan Alengka. “Setiap pembesar kerajaan, bisa saja jadi manusia busuk itu”

Para pembesar kerajaan tampak tertunduk, tidak kuasa beradu pandang dengan Prabu Bratasena yang terlihat seperti seekor naga murka. Kecuali, seseorang Mahapatih Slaksa Guntur

“Maaf, Paduka. Bukankah dengan begitu Paduka telah meragukan kesetiaan kami pada kerajaan dan rakyat?” cetus Mahapatih Guntur Slaksa, agak risih mendengar ucapan Prabu Bratasena.

Rupanya lelaki tinggi besar itu tersinggung oleh perkataan rajanya tadi. Di antara pembesar kerajaan lain, Mahapatih Guntur Slaksa memang seorang yang berwatak keras.

“Bukannya meragukan kalian semua, tapi hanya meragukan kesetiaan seorang di antara kalian,”

sahut Prabu Bratasena.

“Sekali lagi hamba mohon maaf, Paduka. Tapi bukankah itu sama saja artinya mencurigai setiap orang dari kami?” desak Mahapatih Guntur Slaksa.

Dari getar ucapannya, tampak sekali kalau hatinya setengah gusar.

“Aku tahu, kalian memang telah banyak berjuang untuk kepentingan negeri ini. Pantas saja kalau kau berkata seperti itu, Mahapatih. Tapi kalau merasa tidak berkhianat, kenapa kau mesti tersinggung?”

sahut Prabu Bratasena.

Meski dirinya sedang dikecamuk kemurkaan, tapi selaku seorang raja, dia merasa harus menghadapi segala sesuatu dengan kepala dingin. Dan ini membuat Mahapatih Guntur Slaksa tersudut, sehingga tidak bisa membantah lagi. Matanya saja yang berbinar gusar, namun hal itu tidak diperlihatkan pada Prabu Bratasena. Kewibawaan rajanya, membuat dia hanya bisa menyembunyikan kegusaran dalam hatinya.

“Hamba mohon diperbolehkan angkat bicara, Paduka,” selak Patih Ranggapati.

“Silakan, Patih,” sahut Prabu Bratasena.

“Hamba rasa, Paduka maupun Mahapatih Guntur Slaksa dalam hal ini sama-sama tidak salah. Di antara kami memang ada seorang pengkhianat. Itu pasti. Yang tak pasti, kami semua berkhianat.

Mungkin Mahapatih Guntur Slaksa hanya mengingatkan Paduka, supaya tidak melontarkan pendapat tadi terlalu dini,” jelas Patih Ranggapati, bijak. “Untuk itu, kami semua akan berembuk untuk mencari jalan keluar agar dapat menemukan si pengkhianat. Kami tak segan-segan akan memancung kepalanya jika telah jelas terbukti.”

Prabu Bratasena mengangguk berwibawa, menyetujui ucapan Patih Ranggapati. ***

Taman Anjangsana keluarga istana temaram di

malam hari. Bunga beraneka warna tertunduk menikmati udara malam. Hanya bunga sedap malam yang bermekaran, menebar keharuman ke seluruh taman.

Sejak Ningrum datang, Andika lebih sering bersamanya daripada bersama Purwasih. Termasuk, malam ini. Mereka tampak asyik berbincang-bincang dalam siraman cahaya purnama.

“Aku dendam sekali pada gerombolan Begal Ireng, Andika,” kata Ningrum.

“Aku tahu. Aku juga pernah merasa kehilangan, kan? Meski Perguruan Naga Merah bukan keluarga-mu sendiri, tapi mereka sudah menjadi bagian dari dirimu. Begitu, kan?” timpal Andika. Tapi, bukan berarti kau harus berbuat bodoh dengan mendatangi gerombolan itu untuk menuntut balas. Serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Kalau kita tak mampu menuntut keadilan dari orang-orang yang telah merampas sesuatu yang kita cintai, Tuhan tak akan mengharuskan kita. Berbuatlah hal-hal yang bisa diperbuat, sebatas kemampuanmu.”

“Tapi aku tidak bisa begitu saja melupakan pem-bantaian mereka terhadap orang-orang yang kucintai.

Bagaimana mereka menghabisi guru, dan saudara seperguruanku,” ucap Ningrum penuh desakan dendam. “Aku ingin melihat mereka mati di tanganku, Andika.”

“Ssst... ssst” Andika menggeleng-gelengkan kepala, mencoba untuk meredupkan kemarahan Ningrum dengan lembut. “Aku tidak mau kehilangan-mu. Kalau kau berbuat nekat, maka hidupku akan seperti neraka....”

Andika langsung meraih bahu Ningrum, lalu mengajaknya berjalan ke ruang kehormatan yang bersebelahan dengan Taman Anjangsana keluarga raja. Dan saat kaki mereka melangkah beriringan, mendadak Andika memperdengarkan tawa kecil.

“Kenapa tertawa?” tanya Ningrum, heran.

“Aku hanya teringat kenekatanku dulu, sewaktu ingin membunuh Begal Ireng di Desa Banyu Gerabak.

Saat itu, aku juga tak memikirkan apa-apa, kecuali membunuh keparat itu. Sekarang, bisa-bisanya aku menasihatimu. Aku merasa diriku mendadak menjadi orang bijak karbitan,” kata Andika, seraya tertawa lagi.

Ningrum tak juga terikut keriangannya.

“Ayolah, Ningrum.... Kenapa tidak tertawa sedikit saja untukku?” bujuk Andika. “Kalaupun tawamu sejelek cengiran kuda, aku tetap bahagia....”

Kali ini Ningrum tampak memperlihatkan senyum kecil.

Kini mereka sampai di dalam ruang kehormatan.

Sambil tetap bergandengan, mata keduanya memperhatikan lukisan-lukisan yang terpajang di dinding ruangan.

Ketika mata Andika tertumbuk pada satu lukisan keluarga kerajaan, mendadak keningnya berkerut rapat. Alisnya yang legam menukik, turut bertaut.

Wajah lelaki tua dalam lukisan itu seperti dikenalinya.

Dan tiba-tiba pula tangannya dilepas dari bahu Ningrum.

“Kau tunggu di sini sebentar, Ningrum...,” ujar Andika terburu.

“Kau mau ke mana, Andika?”

Tapi Andika sudah melesat, melalui pintu keluar. 7

“Purwasih Dari mana saja kau? Aku mencari-cari kau ke mana-mana” Andika datang tergesa-gesa.

Pemuda itu memang tengah mencari-cari Purwasih yang menghilang entah ke mana setelah melihat Andika dan Ningrum selalu berdua. Dan ternyata gadis itu tengah berdiri di halaman istana. Entah, apa yang diperbuatnya.

Sementara, orang yang dipanggil tampak tak peduli dan terus mematung. Pandangannya menerawang ke arah bintang-bintang yang saling menger-dip.

“Aku harus bicara padamu,” kata Andika setelah berada di sisinya.

Purwasih tetap tak peduli. Entah apa yang ada dalam benaknya saat itu. Andika berusaha menduga-duga, tapi tak dilanjutkannya. Masalahnya, ada hal yang lebih penting yang harus disampaikan pada Purwasih.

“Kau kemasukan setan pusing, ya? Aku ingin bicara denganmu, Purwasih. Ada hal penting yang mesti kutanyakan” seru Andika persis di telinga Purwasih.

“Aku tak mau bicara denganmu” dengus

Purwasih, ketus. Dan hal ini membuat Andika menggaruk-garuk kepala tak mengerti.

“Kenapa kau jadi aneh begitu? Apa tindakanku salah?”

“Apa pedulimu?”

“Wah, tambah gawat...,” gumam Andika. Kembali tangan pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Sungguh-sungguh sulit dimengerti perubahan sikap Purwasih yang tiba-tiba ini.

“Apa sikapmu yang panas seperti kotoran kerbau ini karena kedatangan Ningrum?” duga Andika asal bunyi.

Purwasih tak menjawab, dan hanya sibuk menyembunyikan wajahnya yang mendadak memerah.

Pertanyaan Andika barusan rupanya tepat mengusik sudut hatinya. Memang, kecemburuannya pada Ningrum membuatnya merasa dibuang oleh pemuda itu. Dia sendiri sering bertanya pada diri sendiri,

“Kenapa harus mencintai seseorang yang usianya jauh di bawahnya? Andika berusia delapan belas tahun. Sedangkan dirinya berusia dua puluh sembilan tahun. Apakah itu pantas?”

Pantas tidak pantas, hati Purwasih tetap mengakui kalau pribadi Andika membuatnya terjatuh dalam kubangan cinta yang ganjil. Ya Ganjil karena mencintai pemuda yang usianya terpaut jauh. Tapi, bukankah cinta tak mengenal kata ganjil? Karena, cinta itu sendiri pun aneh. Bisa datang tiba-tiba, dan menimpa siapa saja.

“Apakah aku sungguh-sungguh mencintai pemuda ini?” keluh gadis itu dalam hati.

Terkadang Ningrum memang bersikap seperti remaja belasan tahun ketika bersama Andika. Apakah itu tanda cintanya pada Andika?

“Ah, aku bingung...,” desah Purwasih, tak sabar.

Pemuda tampan di sisinya yang menangkap

gumaman tadi langsung saja mengernyitkan keningnya.

“Mestinya aku yang bilang begitu Apa kita memang sama-sama bingung? Daripada kau bingung dan aku bingung, lalu kita seperti orang yang ber-lomba bingung, ah... Kenapa omonganku malah jadi bikin bingung Pokoknya kau mesti ikut aku” ujar Andika.

Lantas tangan Purwasih ditarik Andika. Tak peduli apakah nanti wanita itu akan mengamuk.

“Mau dibawa ke mana aku?” jerit Purwasih

jengkel.

“Yang pasti tidak ke kamar”

“Kunyuk jorok”

“Hua ha ha...”

Dengan langkah terseret-seret, Purwasih mengikuti Andika. Dan tak lama keduanya sampai di ruang kehormatan. Di tempat itu, Ningrum masih menunggu kedatangan Andika. Dan melihat pemuda yang ditunggunya telah datang terburu-buru bersama Purwasih. Ningrum jadi agak heran. Apalagi Andika menarik pergelangan tangan Purwasih yang tampak sewot.

Tanpa mempedulikan Ningrum yang terpaku.

Andika langsung menarik Purwasih ke tempat lukisan yang menarik perhatiannya.

“Kau tahu, siapa orang dalam lukisan ini?” tanya Andika pada Purwasih.

“Ada perlu apa kau bertanya tentang lukisan itu?”

Purwasih malah balik bertanya. Suaranya terdengar makin ketus, saat melihat Ningrum juga berdiri di ruang ini.

“Ini penting, Purwasih” tegas Andika sungguh-sungguh.

Namun. Purwasih malah menatapnya tajam.

“Baik..., baik. Aku memang suka konyol, suka bergurau keterlaluan. Tapi, kali ini aku tidak main-main, Purwasih” ujar Andika lagi. “Kenapa aku harus mempercayaimu?” cibir

Purwasih.

Pandangan gadis itu dibuang ke arah lain. Dan ini membuat Andika digelayuti kejengkelan, yang terasa sekali di tenggorokannya.

“Kalau aku bilang ini menyangkut kepentingan negeri Alengka, berkaitan dengan pemberontakan Begal Ireng dan gerombolannya, kau mau percaya?”

desah Andika agak kasar.

Sekali lagi, mata lentik Purwasih menghujam manik-manik mata pemuda itu. Kalau tadi binarnya diwarnai kejengkelan, kini binar matanya memperlihatkan keterkejutan.

“Kenapa kau menatapku seperti melihat naga gondrong? Cepat katakan padaku, siapa orang dalam lukisan ini?” hardik Andika, tidak sabar.

“Lelaki tua itu bernama Saptacakra. Dia adik buyutku, raja keturunan kesembilan Kerajaan Alengka,” jawab Purwasih, akhirnya. “Sekarang jelaskan padaku, ada apa sebenarnya?”

“Yah Sudah kuduga”

Bukannya menjawab pertanyaan Purwasih, Andika malah berteriak seperti orang edan Tangannya ter-kepal keras seraya meninju angin. Saat itu, dia teringat pada lelaki tua di Lembah Kutukan.

“Kau menduga apa?” tanya Purwasih, penasaran.

Ningrum pun melangkah mendekati keduanya.

Gadis itu ikut tertarik mendengar pembicaraan Andika dan Purwasih. Kemudian dia berdiri di sisi kanan Andika.

“Kau ingat pembicaraan kita dulu? Kau bilang padaku, Begal Ireng sebenarnya memiliki kekuatan yang cukup untuk menyerbu ke istana ini. Tapi, itu tak dilakukannya. Kenapa hal itu terjadi...?” tanya Andika. Ucapannya dihentikan, membuat Purwasih makin penasaran setengah mati.

“Kenapa?” desak Purwasih sengit.

“Karena tujuan Begal Ireng sebenarnya hanya ingin membunuh ayahmu, Prabu Bratasena,” jawab Andika, sambil menatap Purwasih dengan ekor mata yang naik ke atas kelopak mata.

Purwasih kontan menautkan alis. Gadis cantik itu masih belum menangkap maksud Andika.

“Kenapa tak dijelaskan secara gamblang, Andika

Jangan buat Purwasih mati berdiri karena

penasaran” timpal Ningrum.

“Baik..., baik. Kenapa kalian jadi kelewat tolol, sih?”

“Aku bukan tolol Aku hanya tidak tahu, apa yang kau maksudkan” selak Purwasih, tersinggung oleh ucapan Andika yang asal bunyi.

Andika cengar-cengir seraya mengangkat-angkat kedua alisnya yang lebat.

“Iya, ya. Mana ada putri raja yang tolol?” ejek pemuda itu.

“Diam Jelaskan saja padaku” bentak Purwasih.

Wajahnya merah padam, seperti baru dipanggang.

“Ki Saptacakra yang kau kenal sebagai paman buyutmu, sebenarnya adalah Pendekar Lembah Kutukan. Rupanya, beliau memilih untuk hidup di antara rakyat, daripada di dalam kemewahan istana.

Lalu, dia menuntut kesaktian agar dapat melindungi rakyat dari angkara murka,” urai Andika.

“Dari mana kau tahu?” tanya Purwasih, heran.

Andika memelototi Purwasih. Memang pertanyaan wanita itu terdengar seperti tidak mempercayai keterangannya.

“Aku pernah bertemu langsung dengan beliau” tukas Andika.

“Jangan ngigau Pendekar Lembah Kutukan lebih dari seratus tahun yang lalu. Kisah kependekarannya pun tinggal menjadi cerita rakyat. Bagaimana mungkin dia masih hidup?”

Andika tambah dongkol. Dibukanya ikatan kain bercorak catur dari lehernya.

“Ini buktinya Aku dapat kain ini dari tempat bersemadi beliau” tegas Andika ngotot, sampai urat lehernya tertarik.

Tangan Purwasih menyambar kain yang dipegang Andika.

“Kain lusuh ini? Di pasar bisa didapat dengan harga amat murah” cemooh Purwasih. Lalu sepasang tangannya bergerak hendak mengoyak kain itu.

“Hey, jangan Itu kain tanda mata milikku dari Lembah Kutukan” cegah Andika.

Tapi, tangan Purwasih sudah telanjur bergerak.

Dan....

Kain itu ternyata tidak terkoyak Sekali lagi Purwasih merentangkannya kuat-kuat. Tapi, tetap juga kain di tangannya tidak terkoyak. Bahkan ketika mencoba mengerahkan tenaga dalamnya untuk menghancurkan benda itu, tetap saja hasilnya nihil.

Purwasih jadi kesal. Pedang besar dikeluarkannya dari punggung. Lalu, kain yang terpegang di tangan kiri dilemparkannya ke udara. Dan sebentar saja, tangannya sudah membabatkan pedangnya ke arah kain itu.

Wut Wut Wut

Andika dan Ningrum melihat, bagaimana pedang itu membabat kain bercorak catur milik Andika beberapa kali. Tapi, apa yang terjadi?

Kain itu hanya melayang ringan, lalu jatuh terkulai di lantai tanpa cacat sedikit pun. Tentu saja mata Andika dan Ningrum jadi terbelalak lebar menyaksikan kenyataan itu. Lebih-lebih Purwasih.

“Jadi tanpa sengaja, aku telah membawa kain pusaka Lembah Kutukan?” desis Andika. Wajahnya masih terlolong, disarati kesan keterkejutan.

“Sekarang aku baru percaya,” ujar Purwasih lemah dan menyerah.

“Jadi, apa kaitannya Begal Ireng dengan Prabu Bratasena, Andika?” tanya Ningrum saat Andika memungut kain miliknya.

Andika tidak menjawab. Matanya masih me-

melototi kain gombal di tangannya. Sementara. dari mulutnya terdengar decakan beberapa kali.

“Cepat jawab, Andika Bukankah kau bilang ini adaah persoalan keselamatan negeri ini?” omel Purwasih.

Andika tetap mematung. Sepertinya pemuda di sisinya kehilangan akal. Namun, Purwasih tidak peduli. Asal Andika bisa menjelaskan hubungan antara pemberontakan Begal Ireng dengan ayahnya.

Tapi, pemuda konyol itu terlihat lebih bodoh dari orang yang kehilangan akal. Itulah yang membuatnya jadi mangkel. Maka tiba-tiba saja Purwasih menggunakan tangannya yang masih memegang pedang.

Dan....

Tak

Gagang pedang Purwasih mendarat gemas di

kening Andika.

“Aouw”

“Cepat katakan, atau kau kupukul lagi” ancam Purwasih, setengah berteriak.

“Jangan berteriak-teriak, aku tidak tuli Baik, akan kujelaskan. Ayahmu, Prabu Bratasena, hendak dibunuh Begal Ireng karena termasuk keluarga Ki Saptacakra. Atau....”

“Cucu dari saudara Ki Saptacakra” duga Ningrum.

“Pintar Begal Ireng sebenarnya tidak sungguh-sungguh bermaksud merebut kekuasaan Prabu Bratasena. Kepentingannya hanyalah melenyapkan seluruh garis keturunan Pendekar Lembah Kutukan.

Dia begitu dendam pada Ki Panji Agung yang telah menggagalkan rencananya saat pertama kali hendak merebut kekuasaan prabu.” (Mengenai Ki Panji Agung, lihat kembali episode: 'Lembah Kutukan').

“Jadi, kali ini rencananya untuk merebut

kekuasaan hanya sebagai topeng untuk menutupi niat sesungguhnya?” tanya Purwasih, ingin memastikan.

“Ya Kalau dia sungguh-sungguh ingin merebut kekuasaan Prabu Bratasena, tentu sudah mengerahkan seluruh kekuatannya yang mampu meng-

hancurkan kerajaan ini. Dan dia hanya menunggu kesempatan yang tepat untuk membunuh ayahmu.

Dengan begitu, kekuatan gerombolannya bisa tetap terjaga,” jelas Andika lagi.

“Ya..., ya. Tanpa meruntuhkan kerajaan ini, Begal Ireng pun sebenarnya sudah lebih berkuasa daripada Prabu Bratasena. Tokoh aliran sesat yang dikumpul-kannya begitu banyak. Sehingga, kekuatan

gerombolannya bisa jadi lebih hebat daripada seluruh pasukan tempur istana,” selak Ningrum.

“Lalu, bagaimana dia tahu kalau ada kesempatan yang tepat untuk membunuh ayahku?” tanya

Purwasih, cemas.

“Kau tidak ingat pengkhianat kerajaan ini? Tentu orang itu yang akan memberitahukan, kapan bajingan Begal Ireng dapat menghabisi Prabu Bratasena tanpa membuang-buang nyawa pasukannya,” jawab Andika pasti.

“Oh, Tuhan...,” desah Purwasih bergetar.

Hati gadis itu langsung didera lecutan kekhawatiran terhadap keselamatan ayahnya.

“Aku takut, ayahku akan terbunuh, Andika,” desah gadis itu lirih, nyaris terisak.

“Jangan cengeng Apa kau lupa dengan julukan si Naga Wanita yang disegani?” bentak Andika, tidak sungguh-sungguh.

Pemuda itu sebenarnya hanya ingin menekan kekhawatiran yang berlebihan pada diri wanita itu.

Andika sendiri dapat maklum kalau Purwasih seperti itu. Biar bagaimanapun dia tetap tak lepas dari kodratnya sebagai seorang wanita yang berhati halus dan peka. Apalagi, ini menyangkut orang yang paling dicintainya.

“Jangan khawatir, aku punya rencana bagus. Kalau Tuhan mengizinkan, kita akan segera menumpas Begal Ireng keparat itu.” janji Andika pada Purwasih, sambil menepuk-nepuk pipinya yang halus.

***

Malam makin terlelap kegelapan. Bulan sepotong masih menebar cahaya temaram, meski telah condong sepenggalan. Di kamarnya, Andika tidak bisa memicingkan mata sedikit pun. Pikirannya masih terseret pada rencananya untuk menumpas Begal Ireng, biang kekacauan negeri.

Dari rebahnya, Andika bangkit. Sedikit udara segar memang diperlukan untuk menenangkan pikirannya.

Perlahan kakinya berjalan menuju pintu. Perlahan pula dikuaknya pintu kamar, lalu kembali melangkah keluar.

Dari serambi kamarnya di Istana Kerajaan Alengka, Andika bisa melihat jelas Taman Anjangsana keluarga istana, serta bagian lain. Tapi matanya lebih suka memperhatikan bintang yang bertaburan di langit lepas. Keindahan alam tak mungkin ditandingi oleh karya manusia mana pun Kemegahan langit yang dihampar Tuhan, seakan mengingatkan tentang kelemahan manusia. Tentang ketidakberdayaan manusia, dan tentang kekerdilan manusia dibanding kekuasaanNya.

Ingat ketidakberdayaan manusia, Andika tiba-tiba teringat kembali pada asal-usul dirinya. Banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai dirinya sendiri. Meskipun beberapa saat lalu Andika telah mengetahui kalau buyutnya yang bernama Ki Saptacakra, adalah seorang keluarga istana, bukan berarti bisa mengetahui pasti siapa orangtuanya.

Silsilah keluarga istana pada keturunan kesembilan ternyata tidak lengkap. Dalam buku riwayat keluarga kerajaan di perpustakaan istana, keturunan Ki Saptacakra memang tidak tercantum di dalamnya.

Ya Andika merasakan ketidakberdayaannya untuk menemukan orangtua yang selama ini dirindukan.

Juga tentang penyebab, kenapa dirinya dibuang di pinggir hutan (baca serial Pendekar Slebor, dalan episode: 'Lembah Kutukan'). Hatinya hanya bisa berharap pada Tuhan, agar dirinya dipertemukan kembali. Tanpa pertolonganNya, Andika memang tidak mampu berbuat apa-apa.

Lama Andika memperhatikan tanda berbentuk bintang berwarna merah di tangan kanannya yang didapat sejak lahir. Mudah-mudahan Tuhan akan menjadikan tanda ini menjadi satu titik terang untuk menemukan mereka, seperti bintang yang menunjuk-kan arah bagi nahkoda kapal dalam malam gelap.

Lalu matanya kembali menatap kerlip bintang yang tetap bercahaya selama berjuta tahun.

Ditariknya napas dalam-dalam, seakan hendak memuji secara tak langsung ke hadapan Yang Maha Kuasa. “Memang bodoh sekali manusia yang

menyombongkan kekuasaan yang hakikatnya hanya bernilai setitik debu di luasnya alam semesta” bisik hatinya.

Di saat hatinya terhanyut dalam renungan yang dalam, tiba-tiba saja perhatiannya teralih pada sesosok bayangan yang mengendap-endap di atas istana. Dari kejauhan, Andika bisa melihat orang itu mengenakan caping lebar. Sinar bulan yang cukup terang juga membuatnya bisa mengenali warna pakaian orang di atap itu.

“Heh? Itu orang yang telah membokong Patih Ranggapati di hutan cemara...,” bisik Andika, setelah mengenali pakaian merah darah orang yang mengendap-endap. “Mau apa dia menyantroni istana? Mau cari koreng?”

Dalam sekejap, tubuh pemuda yang telah dijuluki Pendekar Slebor itu sudah berada di atap istana. Kali ini, orang itu tidak akan dibiarkan lolos begitu saja.

Andika menduga, dia adalah kaki tangan Begal Ireng.

Dengan menangkapnya, barangkali bisa mengorek keterangan tentang gerombolan pemberontak itu.

“Bakikuk” seru Andika ketika tubuhnya sudah berdiri tepat di belakang orang yang dicurigainya.

Tentu saja orang bercaping menjadi tersentak.

Tubuhnya langsung berbalik, seraya memasang kuda-kuda sigap. Tapi Andika sudah raib entah ke mana.

Sesaat orang itu hanya terpaku, seperti tidak mempercayai pendengarannya.

“Bakikuk” seru Andika lagi.

Tubuh Pendekar Slebor sudah berdiri di belakang orang bercaping. Sudah pasti kecepatan seperti itu sangat sulit dilakukan orang berkepandaian tanggung.

Dan sekali lagi orang bercaping itu bergerak cepat berbalik. Dan sekali lagi dia terkecoh. Matanya ternyata tidak menemukan seorang pun.

“Keparat,” desis orang itu, setelah mengetahui ada seseorang yang sedang mempermainkannya.

“Bakikuknya sekarang pakai jurus 'Ular Iseng Menotok Babi',” ucap seseorang di belakang orang bercaping itu.

Belum sempat tubuh orang bercaping bergeming, sebuah totokan sudah mendarat di bagian

punggungnya. Tuk

Tubuh orang bercaping itu kontan terkulai lemas, tanpa sempat menghindar. Dan sebelum orang itu menyentuh tanah, Andika cepat menyambarnya.

“Wah Rupanya kau sudah mengantuk berat, ya?

Apa kau mabuk? Kapan minumnya? Kemarin?” oceh Pendekar Slebor, saat memanggul tubuh orang bercaping dengan senyum lebar di bibirnya.

Secepat bayangan setan, tubuh Pendekar Slebor berkelebat. Orang itu memang akan dibawanya ke kamar, agar bisa dipaksa bicara. Mudah-mudahan dia termasuk orang yang tidak pelit dengan keterangan.

“Nah, sekarang kau boleh beristirahat di sini...,”

kata Andika sesampai di kamar. Lalu….

Buk

Tubuh orang bercaping menggeloso di lantai kamar. Andika rupanya berusaha bersikap sekasar mungkin pada orang yang telah membokong Patih Ranggapati waktu itu. Buktinya, tubuh itu dilempar begitu saja ke lantai.

“Aku cukup ramah, bukan? Tapi kalau memasuki kamar orang lain, harus membuka capingmu...,” kata Pendekar Slebor.

Setelah itu, tangan Andika menyambar caping lebar tawanannya.

“Setan buntung gantung diri” seru Andika.

Mata Pendekar Slebor langsung terbelalak lebar saat melihat wajah orang itu.

“Ningrum...?” desis Andika, nyaris tak percaya.

Ningrum hanya bisa menatap Andika. Sebenarnya, dia bisa bicara. Tapi karena kartunya sudah terbuka, mulutnya jadi malas berkata-kata.

“Apa-apaan kau ini?” gerutu Andika.

Segera dibebaskannya totokan di tubuh Ningrum.

Dan gadis itu segera bangkit. Tangannya memegangi pinggangnya yang terasa berdenyut-denyut nyeri akibat menghantam lantai kamar. Dan bibirnya juga meringis-ringis.

“Jadi, kau yang menyerang Patih Ranggapati waktu itu?” tanya Andika.

Ningrum hanya menyembunyikan wajah ayunya dengan kepala yang tertunduk. Memang, gadis itulah yang telah membokong Patih Ranggapati dengan pisau-pisau terbang saat Andika, Purwasih, Bayureksa, dan Patih Ranggapati menembus hutan cemara di atas bukit.

“O, bagus” rutuk Andika. “Kau telah menyerang pembesar istana. Itu tindakan bagus Kau tahu artinya itu? Kalau ketahuan, kau bisa dianggap bersekongkol dengan gerombolan Begal Ireng”

“Tapi Andika...”

“Tapi apa? Aku tidak mengerti, apa maumu sebenarnya” potong Pendekar Slebor.

“Kau akan mengerti kalau memberiku kesempatan bicara”

Andika melotot, lalu membanting caping di tangannya keras-keras.

“Baik, bicaralah Tapi, ingat. Kalau kau mengarang cerita yang bukan-bukan, aku tak segan-segan menyerahkanmu pada Patih Ranggapati supaya bisa menerima hukumanmu” ancam Andika, sungguh-sungguh.

Dalam hal menegakkan keadilan, Pendekar Slebor tidak mau pandang bulu. Meski yang harus menerima hukuman adalah orang yang amat dicintai. Selama orang itu memang terbukti bersalah, Andika tak peduli.

Sebelum mulai bicara, Ningrum menarik napas beberapa kali. Seakan, dia hendak mempersiapkan sesuatu yang hendak didorong tenggorokannya.

“Sejak Begal Ireng dan gerombolannya membantai perguruanku, aku menyimpan dendam yang tak dapat kukuasai lagi. Lalu, aku bertekad menuntut balas.

Untuk muncul terang-terangan, aku takut kaki tangan Begal Ireng mengenali. Bahkan bisa-bisa mereka menangkapku untuk dijadikan sandera, agar kau menyerahkan diri pada Begal Ireng. Maka itu, aku menyamar dengan pakaian lelaki dan caping lebar ini.

Sengaja senjata kipasku tak kugunakan dengan alasan tadi. Sebagai gantinya, kugunakan pisau-pisau kecil sebagai senjataku,” jelas Ningrum.

“Tapi bagaimana kalau tokoh-tokoh golongan hitam yang bergabung dengan Begal Ireng

menangkap, kemudian menyerahkan dirimu pada pemimpin mereka? Bukankah Begal Ireng sudah mengenalimu? Kalau sudah begitu, kau tetap akan dijadikan sandera” penggal Andika keras.

Pendekar Slebor bukan takut menghadapi tokoh aliran sesat itu, tapi hanya khawatir keselamatan Ningrum.

Ningrum kembali menancapkan pandangan ke

lantai kamar. Mulutnya membisu, seperti juga lantai kamar yang ditatapnya. Dalam hati diakui kebenaran ucapan Andika barusan. Betapa bodohnya dia, hanya mengikuti gejolak dendam tanpa berpikir panjang

“Lalu, kenapa kau menyerang Patih Ranggapati?”

cukil Andika kembali.

“Pembesar itu berkhianat, Andika. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, dia sedang mengadakan pertemuan rahasia bersama seorang kaki tangan Begal Ireng. Aku mengenal kaki tangan Begal Ireng, karena dia juga ikut membantai Perguruan Naga Merah....”

“Astaga...,” desis Andika.

***

“Purwasih Kau tahu, siapa yang berkhianat dalam kerajaan ini?” tanya Andika berbisik, ketika menemukan Purwasih sedang melatih jurus-jurus silat di halaman istana. Saat itu matahari tidak begitu ganas, karena memang belum lama lagi.

Purwasih langsung menghentikan gerakan. Tanpa memasukkan pedang ke sarungnya kembali, ditatapnya Andika penuh keingintahuan.

“Siapa?” tanya gadis itu.

“Patih Ranggapati...,” jawab Andika hati-hati.

“Ha ha ha....”

Wanita itu mendadak tertawa keras-keras. Tentu saja Andika jadi kelimpungan menahan suara tawa yang begitu keras-.

“Ssst Gila, kau Bisa dicurigai pengkhianat itu”

Pendekar Slebor memperingatkan.

“Kau yang gila, Andika. Aku kenal betul lelaki itu.

Dia sudah seperti pamanku sendiri. Itu sebabnya, kenapa dia memanggilku Purwasih saja, tanpa embel-embel tuan putri yang memuakkan itu,” tukas Purwasih, dan hendak melanjutkan latihannya.

“Hey Aku sedang tidak ingin bercanda” tegas Andika dengan wajah sungguh-sungguh.

“Kau sungguh-sungguh?” tanya Purwasih seraya menatap lelaki di depannya lekat-lekat.

“Ningrum yang menyaksikan Patih Ranggapati sedang mengadakan pertemuan rahasia bersama seorang kaki tangan Begal Ireng....”

Secara singkat, Andika menguraikan cerita tentang Ningrum pada Purwasih.

“Ah Rasanya sulit sekali kupercayai berita ini, Andika,” desah Purwasih setelah Andika selesai bicara.

“Tapi, begitulah kenyataannya.”

“Tapi Patih Ranggapati sudah seperti keluargaku sendiri” ucap Purwasih tak mau kalah.

“Aku yakin, pernah terjadi bentrokan antara ayahmu dengan lelaki itu,” duga Pendekar Slebor.

Lama mata Purwasih terhujam pada dinding

benteng istana. Tampaknya dia sedang diusik sesuatu yang tersembul di benaknya. Beberapa kali wanita itu menghempas napas galau.

“Kau ingat sesuatu, Purwasih?” usik Andika.

“Ya. Patih Ranggapati memang pernah ber-

sengketa dengan ayahku. Dia mencintai seorang wanita bernama Tanjungsari. Bertahun-tahun wanita itu berusaha untuk diperistrinya, tapi tidak berhasil. Dan wanita itu malah terpincut pada ayahku, sampai akhirnya keduanya menikah...,” cerita Purwasih.

Matanya tetap menerawang jauh.

“Wanita itu ibumu?” Purwasih mengangguk lamat.

Jelas sudah bagi Andika, alasan Patih Ranggapati berkhianat pada Kerajaan Alengka...

*** 8

Pagi baru berlalu sekian saat. Sang Raja Siang merayap perlahan menuju puncaknya. Panas terasa mulai tak bersahabat. Di sebuah jalan rumput yang membelah padang luas, terlihat arak-arakan kecil.

Beberapa orang terlihat berjalan di belakang kereta kuda yang dihela seorang kusir bertubuh ramping.

Empat orang di antaranya mengendarai kuda. Dua berada paling depan, sedangkan sisanya berada di barisan paling belakang. Melihat dari bendera yang dibawa, bisa ditebak kalau arak-arakan itu adalah rombongan kerajaan.

Dua hari yang lalu, Prabu Bratasena merencana-kan pergi untuk menemui raja dari negeri tetangga yang akan bekerjasama dengannya memberantas gerombolan Begal Ireng. Menurut Prabu Bratasena, raja negeri tetangga mulai merasa khawatir oleh meluasnya kekuasaan Begal Ireng ke wilayahnya.

Makanya, dia mengirim pesan rahasia pada Prabu Bratasena untuk mengadakan kerjasama. Tawaran itu tentu saja diterima gembira.

Agar kepergian ini tidak dicurigai mata-mata Begal Ireng, Prabu Bratasena memerintah para prajurit pengawal untuk mengenakan pakaian biasa. Pakaian kerajaan yang menandakan mereka sebagai prajurit istana harus ditanggalkan.

Sementara pembesar kerajaan yang ikut bersama rombongan adalah Mahapatih Guntur Slaksa. Lima belas prajurit khusus serta tiga perwira istana langsung dipimpinnya. Dan seorang perwira yang menyertainya adalah Patih Ranggapati.

“Berjalanlah perlahan, agar kita tidak dicurigai”

seru Prabu Bratasena dari dalam kereta kudanya yang tertutup. “Mudah-mudahan pengkhianat kerajaan tidak mengetahui rencana kita.”

Tapi, apa benar begitu?

***

Di ujung padang rumput yang dibatasi deretan bukit kecil, Begal Ireng bersama beberapa orang pilihannya ternyata telah menunggu. Wajah pemimpin pemberontak itu terlihat berapi-api, diberontaki hasrat membunuh. Bibirnya sesekali menyeringai, seakan seekor serigala menunggu mangsa.

Lelaki itu berpakaian hitam-hitam, terbuat dari sutera. Wajahnya tampan dan kelimis, namun berkesan amat dingin. Di bagian pinggangnya melilit sebuah cemeti pusaka yang terbuat dari akar tumbuhan langka berduri tajam, seperti ekor ikan pari. Dia duduk gagah di punggung kuda putihnya.

Di sisi kanan dan kirinya, berdiri dua lelaki tangan kanannya. Mereka adalah, si Kembar dari Tiongkok yang berpenampilan serupa. Baik dari wajah, hingga pakaian mereka. Kepala mereka juga sama-sama gundul, dan mata mereka juga sipit. Ditambah oleh keadaan kulit yang kuning, sudah dapat diduga kalau keduanya berasal dari daratan Tiongkok. Dan sebenarnya, si Kembar dari Tiongkok adalah dua tokoh aliran sesat yang lari dari negerinya, karena menjadi buronan pihak kerajaan di Tiongkok. Bekal mereka ke nusantara ini adalah ilmu bela diri yang tinggi dan kekejaman.

Empat lelaki lain tampak berdiri dengan wajah tegang di belakang Begal Ireng. Mereka adalah tokoh sesat aliran hitam yang akan membantu penyerangan Begal Ireng terhadap rombongan kerajaan.

Seperti juga Begal Ireng, keempat orang itu berpakaian hitam-hitam pula. Itu memang salah satu ciri khas gerombolan pemberontak di bawah perintah Begal Ireng. Dua orang yang tidak mengenakan pakaian hitam-hitam dalam gerombolan ini hanyalah si Kembar dari Tiongkok. Mereka justru berpakaian putih-putih.

Di balik bebatuan besar di kaki bukit, ketujuh lelaki itu mengintai. Mata mereka lepas ke padang rumput yang terhampar di depan. Dan ketika rombongan kerajaan mulai terlihat seperti titik kecil di kejauhan, Begal Ireng mengangkat tangannya.

“Saat Bratasena keparat dan pasukannya tiba di celah bukit, kita habisi mereka. Ingat Habisi Jangan biarkan ada yang tersisa”

Si Kembar dari Tiongkok hanya mengangguk-

angguk lamat. Sedangkan empat lelaki lain menjawab dengan suara dingin dan datar, seakan sedang menikmati gelora nafsu membunuh.

Sehari lalu, seorang kaki tangan Begal Ireng menyampaikan berita tentang kepergian Prabu Bratasena yang didapat dari si pengkhianat. Tak heran kalau kini mereka menghadang rombongan.

Sementara itu, rombongan kerajaan makin dekat menuju tempat persembunyian Begal Ireng dan pengikutnya yang berjumlah enam orang itu. Dugaan Andika beberapa waktu yang lalu memang tidak meleset. Begal Ireng memang tidak ingin membuang nyawa pasukannya. Tujuan sebenarnya adalah membunuh Prabu Bratasena, yang memiliki garis keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Dia tak akan menyerang kerajaan secara langsung, dan hanya menunggu kesempatan yang baik untuk menghabisi raja bijaksana itu.

Setombak demi setombak, rombongan kerajaan makin menghampiri perangkap yang dipasang Begal Ireng. Saat mereka berada di celah antara dua bukit yang menjadi jalan tembus, Begal Ireng dan kaki tangannya siap akan menyergap.

Saat itu, rombongan kerajaan sudah memasuki mulut celah bukit. Dan....

“Maju” perintah Begal Ireng pada anak buahnya, penuh nafsu.

Seketika dari bebatuan besar yang menyembunyikan tubuh mereka, Begal Ireng dan anak buahnya berhamburan keluar. Bersama si Kembar dari Tiongkok, dia menghadang di depan. Sementara, empat anak buahnya yang lain menghadang di belakang.

Rombongan kerajaan kini benar-benar terjepit, tanpa dapat meloloskan diri lagi. Bagaimana mereka bisa meloloskan diri kalau di sisi-sisi adalah tebing terjal menjulang yang mustahil didaki. Sedangkan di depan dan di belakang mereka, musuh sudah siap merencah.

Celah bukit sepi, maut yang akan menjemput.

Hanya desir angin yang meluncur di antara dinding cadas.

“Bratasena Akhirnya kau akan menyusul

saudaramu Panji Agung ke dasar neraka” seru Begal Ireng keras, namun dingin. Tak ada perubahan sedikit pun di wajahnya. Sementara, anak rambut dan ujung pakaiannya dipermainkan angin.

Tak ada jawaban dari pihak kerajaan.

“Bratasena Apakah kau sudah siap untuk menerima kematianmu. Atau, kau memang tuli?”

bentak Begal Ireng sekali lagi.

“Hua ha ha...”

Kali ini, terdengar tanggapan dari kereta kuda.

Tapi hanya tawa.

“Kau pikir ini lucu, hah?” bentak Begal Ireng kembali.

“Ya. Tapi aku tak tertawa karena ucapanmu. Aku hanya teringat pada syair Iagu. Kau mau dengar?

Begini....” Kemudian dari dalam kereta kuda terdengar senandung berisi pantun.

“Debrut-brut-brut kentut kuda.

Bikin ngantuk sejuta angsa.

'Cecurut tua 'yang awet muda.

Mengira mampu berkuasa...?”

“Keparat” hardik Begal Ireng. Memang, usia Begal Ireng sebenarnya hampir mencapai sembilan puluh tahun, tapi karena menganut ilmu awet muda, penampilannya masih tampak seperti lelaki berusia tiga puluhan.

Tanpa memerintah anak buahnya, Begal Ireng langsung meluruk ke arah kereta kuda. Tentu saja ini sangat mengejutkan Mahapatih Guntur Slaksa. Maka lelaki itu segera ikut melesat ke arah kereta kuda.

Namun sebelum Begal Ireng atau Mahapatih

Guntur Slaksa benar-benar sampai, tiba-tiba sesosok tubuh mencelat bagai bayangan hantu. Setelah berputar beberapa kali di udara, orang yang melesat dari kereta kerajaan itu menjejak persis setombak di depan Begal Ireng yang mendadak menghentikan larinya.
 “Bakikuk” seru orang itu.

Ternyata, dia adalah Andika Tentu saja Begal Ireng terkesiap. Matanya terbelalak bagai kelereng.

Sungguh tak diduga. Ternyata orang yang berada dalam kereta kuda itu bukan Prabu Bratasena.

Memang, inilah rencana yang pernah dijanjikan Andika pada Purwasih. Dengan rencananya ini, dia berhasil memancing Begal Ireng keluar dari sarang-nya. Sengaja Andika mengatur agar Prabu Bratasena tampak sungguh-sungguh hendak me-nemui raja negeri tetangga. Dan hal itu, lalu dibicarakan di depan para pembesar kerajaan. Ternyata perhitungan Andika berjalan lancar. Rencana kepergian itu buktinya bocor, sampai ke telinga Begal Ireng. Hanya saja, orang yang berada dalam kereta sudah berganti.

Bukan Prabu Bratasena, tapi Andika sendiri.

Bukan hanya Begal Ireng yang terkejut. Mahapatih Guntur Slaksa pun demikian. Bahkan telah melompat dari punggung kudanya, lalu melesat menuju kereta kuda. Namun langkahnya dihentikan seperti halnya Begal Ireng. Bahkan dua perwira dan lima belas prajurit kerajaan tadi membelalakkan mata. Apalagi, Patih Ranggapati.

Kenapa mereka bisa ikut terkecoh? Sekali lagi, ini akal bulus Pendekar Slebor itu. Andika memang mengatur rapi, agar kusir kereta kuda digantikan Ningrum yang mengenakan pakaian lelaki. Pada saat Prabu Bratasena sudah masuk ke dalam kereta kuda di hadapan para pembesar istana, Andika men-jentikkan kerikil kecil ke tubuh salah seekor kuda.

Akibatnya kuda itu langsung terkejut dan berlari sehingga ketiga kuda lain yang mengikutinya.

Ketika kuda berlari sekian langkah di dekat sebuah pohon besar, Andika segera masuk ke dalam. Sedangkan, Prabu Bratasena keluar dan bersembunyi di balik pohon besar itu. Kejadian ini begitu cepat.

Sehingga, beberapa perwira yang memburu untuk menghentikan lari kuda tak sempat melihatnya.

“Wah wah wah... Kenapa matamu melotot seperti orang banyak hutang, Begal Ireng?” ejek Andika seraya memutar-mutar kain bercorak catur di depan dada, seperti orang kepanasan.

“Kau..., ternyata kau belum mati?” kata Begal Ireng, geram.

“Aku selalu punya nyawa cadangan yang kusimpan dalam perutku. Kau mau lihat nyawa cadanganku?”

ujar Andika acuh. “Nih....”

Truut... dut Du... brot

Andika mengeluarkan angin yang dikatakannya tadi sebagai nyawa cadangan. Dan angin itu dikeluarkan melalui lubang pantatnya

“Hebat, bukan?”

“Keparat” geram Begal Ireng amat memuncak.

Mata tokoh hitam ini mendadak memerah.

Wajahnya pun terbakar kemurkaan. Karena dirinya telah dipermainkan anak muda bau kencur

berpakaian hitam pupus ini.

“Kali ini kau tak akan lolos lagi dari maut, Anak Babi” umpat Begal Ireng.

“Tapi kalau aku lolos lagi, bisa jadi kau yang akan dijemput maut, Bapak Babi” timpal Andika, semakin membakar kemarahan lawannya.

Sampai di situ Begal Ireng tidak bisa lagi menahan kemurkaannya. Dengan satu genjotan, tubuhnya meluruk ke arah Pendekar Slebor. Di benaknya hanya terbayang bagaimana anak muda kurus itu tergeletak menjadi mayat. “Adouw, tidak kena” teriak Andika seraya bergeser ke samping. Namun, kaki kirinya yang masih tetap di tempat semula langsung menyapu kaki lawan.

Begal Ireng yang menyerang Andika dengan jurus

'Terkaman Naga', segera menghentak kakinya yang hendak disapu lawan. Tubuhnya langsung melenting ke udara. Setelah berputar di udara beberapa kali, kakinya kembali menjejak mantap di tanah. Dari sini bisa dilihat kehebatan ilmu meringankan tubuhnya.

“Kau bertempur menggunakan jurus apa, Begal Ireng? Apakah nama jurus itu 'Kodok Bisul Cari Makan'? Kalau begitu, aku harus menghadapimu dengan jurus 'Kupu-kupu Bingung',” kata Andika, pendekar muda yang mendapat julukan Pendekar Slebor ini.

Tubuh tegap pemuda itu bergerak. Kain bercorak papan catur yang tergenggam di tangannya terlihat dibentangkan. Sepasang kakinya melekuk keluar seperti seorang yang menahan sakit perut. Lalu, tubuhnya mulai berputar-putar setengah terhuyung dalam satu lingkaran kecil.

“Anak sinting cari mampus” maki Begal Ireng ketika melihat lawannya mulai mengejek kembali.

Serangan selanjutnya dilancarkan Begal Ireng, langsung memasuki jurus kesepuluh 'Terkaman Naga'. Di samping karena sudah menduga kalau lawannya telah menjalani penyempurnaan, lelaki itu juga ingin secepatnya menyudahi pertarungan ini.

Sementara itu tanpa diduga Patih Ranggapati, dari kereta kuda meluncur seseorang berpakaian merah menyala dengan kepala ditutup caping pelepah kelapa. Dan dia tepat mendarat di depan Patih Ranggapati.

Memang, rupanya Andika tidak mau tanggung- tanggung menjalankan rencananya untuk memancing pengkhianat Kerajaan Alengka. Secara sembunyi-sembunyi, Purwasih disuruhnya untuk naik kereta, setelah diminta untuk mengenakan pakaian Ningrum berikut capingnya.

Lagi-lagi semua orang di sekitar tempat itu menjadi terperanjat. Terlebih Patih Ranggapati. Dan matanya jadi terbelalak untuk yang kedua kali

“Kau terkejut, Paman Patih?” tanya Purwasih seraya membuka caping penutup wajahnya.

“Purwasih?” sahut Patih Ranggapati, tanpa sadar.

“Ya, aku Purwasih, putri Prabu Bratasena yang kau khianati. Aku juga seorang yang menganggap kau adalah pamanku, tapi mulai saat ini dengan berat hati kau kuanggap sebagai musuh negeri Alengka....”

“Purwasih Apa-apaan kau ini?” kata Patih Ranggapati, bergetar.

“Paman Guntur Slaksa, periksalah bahu kiri Patih Ranggapati Sewaktu pulang bersamaku dulu, dia mengatakan kalau luka di bahunya adalah akibat serangan orang-orang Begal Ireng. Sesungguhnya, luka itu akibat sayatan Kipas Naga milik Ningrum, yang kini menjadi kusir kereta kuda kita...,” sambung Purwasih pada Mahapatih Guntur Slaksa, tanpa mempedulikan keterkejutan Patih Ranggapati.

Rupanya, Purwasih sudah mulai mempercayai siasat yang diterapkan Andika, untuk membuktikan keterlibatan Patih Ranggapati dalam menebar bencana di Kerajaan Alengka.

Lelaki tinggi besar bernama Mahapatih Guntur Slaksa menatap Patih Ranggapati dengan sinar mata tidak percaya. Bagaimana mungkin orang yang selama ini dikenal baik sebagai perwira kerajaan dengan kesetiaannya yang tak diragukan itu ber- khianat? Namun mengingat yang memerintah adalah putri raja, mau tak mau Mahapatih Guntur Slaksa mengabulkannya.

“Kemarilah, Patih Ranggapati” ujar Mahapatih Guntur Slaksa.

Dia berusaha menjangkau pakaian Patih

Ranggapati untuk melihat bahu sebelah kirinya, tapi ternyata lelaki yang dicurigai sebagai pengkhianat kerajaan ini menghindar cepat.

“Kenapa kau menghindar, Patih Ranggapati? Apa memang benar ucapan Tuan Putri Purwasih kalau kau adalah pengkhianat kerajaan?” desis Mahapatih Guntur Slaksa penuh tekanan.

Melihat tindakan Patih Ranggapati, Purwasih makin yakin kalau laki-laki yang selama ini sudah dianggap pamannya adalah seorang pengkhianat.

Pantas saja selama ini segala kegiatan kerajaan selalu bocor ke telinga Begal Ireng. Dan kini, jelas pancingan Andika mengena.

Sementara Patih Ranggapati hanya menatap

Mahapatih Guntur Slaksa dengan wajah memerah.

Setapak demi setapak kudanya melangkah ke belakang seperti siap hendak melarikan diri.

“Tangkap pengkhianat itu, Paman Guntur Slaksa”

seru Purwasih.

“Hiaaa...”

Tubuh Mahapatih Guntur Slaksa langsung

melenting tinggi ke arah Patih Ranggapati.

Sementara, orang yang diserang juga tidak tinggal diam. Dia juga langsung melenting, memapak serangan Mahapatih Guntur Slaksa.

Kini kancah pertempuran makin hingar-bingar karena pertarungan meluas menjadi beberapa bagian. Andika melawan Begal Ireng, Mahapatih Guntur Slaksa dengan Patih Ranggapati, menyusul Purwasih dan Ningrum yang menyerbu ke arah si Kembar dari Tiongkok. Sedangkan prajurit khusus kerajaan menyerang empat kaki tangan Begal Ireng yang lain.

Sementara itu, pertempuran Andika melawan Begal Ireng makin sengit. Keduanya bertukar jurus bertubi-tubi dalam satu kelebatan yang sulit ditangkap mata orang awam. Berkali-kali Begal Ireng dibuat penasaran oleh jurus-jurus Pendekar Slebor yang tampak seperti main-main. Dan setiap kali Begal Ireng melabrak, selalu saja dapat dipatahkan Andika.

Sampai suatu saat....

Begal Ireng mencoba melepaskan tendangan

tipuan ke arah pinggang Pendekar Slebor. Dan begitu melihat lawannya menghindar dengan melenting ke atas, Begal Ireng tak menyia-nyiakannya. Seketika tenaga dalamnya kini digenjot. Lalu, tubuhnya melesat sambil melepaskan pukulan maut ke arah Andika yang masih berputaran di udara.

Melihat serangan mendadak ini, Pendekar Slebor rupaya memang sudah menduga. Dalam keadaan masih di udara, langsung dipapaknya serangan Begal Ireng dengan tangan kanannya. Sehingga.... Plak

Begitu kuat tenaga dalam yang dikerahkan

Pendekar Slebor, sehingga tangan kanannya yang tak tergoyah langsung meluruk dengan jari-jari lurus ke arah dada Begal Ireng. Tak ada kesempatan bagi tokoh hitam ini untuk menghindar. Apalagi, keseimbangannya cukup goyah akibat benturan tangan tadi. Akibatnya.... Des

Tak ayal lagi, dada Begal Ireng kontan terhantam jari-jari tangan kanan Andika dengan telak. Tubuhnya terdorong deras, dan jatuh keras di tanah, menimbulkan debu-debu yang berterbangan di sekitarnya. Bukan main terkejutnya Begal Ireng menerima totokan jari Pendekar Slebor. Sambil menahan sesak luar biasa, dia berusaha bangkit.

Sebenarnya jurus-jurus Pendekar Slebor memang sulit diduga. Bahkan seringkali terlihat ngawur.

Namun akibat yang dihasilkannya sungguh sulit dipercaya. Padahal, benteng pertahanan Begal Ireng selama ini tidak bisa ditembus oleh tokoh sakti mana pun. Ki Panji Agung lawannya dulu pun harus bertempur lebih dari ratusan jurus untuk bisa menembus pertahanannya. Tapi lawannya yang berusia belasan tahun ini mampu membobol

pertahanan Begal Ireng tak kurang dari tiga puluh jurus

“Kenapa kaget? Sekarang kau baru berkenalan dengan Pendekar Slebor yang baru turun gunung.

Kau ingin lihat kekonyolanku? Lihatlah....”

Selesai berkata demikian, Andika melabrak lawan seperti orang gila yang sedang mengamuk sejadi-jadinya. Sepasang tangannya mengebut kian kemari dengan telapak dan jari tangan terbuka lebar-lebar.

Kakinya menendang-nendang kacau seperti seekor kuda liar. Sedangkan kepalanya berputar-putar, sehingga rambutnya berantakan tak karuan.

“Hus... hus Hus... hus” Andika menggusah.

Seakan-akan menganggap Begal Ireng, tokoh sakti papan atas aliran hitam itu sebagai ayam miliknya yang hendak digiring ke dalam kandang.

Begal Ireng menjadi kalang kabut menghadapi serangan ganjil lawannya. Selama menjadi tokoh sakti, dia hanya berhadapan dengan lawan yang mengerahkan jurus-jurus terarah. Tapi lawannya kali ini sungguh membingungkan. Serangan yang dikira mengarah ke biji mata, ternyata menyempong ke biji

'terlarang'. Serangan yang mengarah ke ulu hati, ternyata meliuk ke ubun-ubun. Gerakannya seperti daun kering tertiup angin, sewaktu-waktu dapat berubah arah tanpa terduga Itulah jurus 'Memapak Petir Membabibuta' Jurus yang berhasil dicipta-kannya dalam purnama kedua di Lembah Kutukan.

Maka akibatnya....

Duk

Plak

Plak

Secara beruntun, serangan gencar Pendekar Slebor bersarang di tubuh lawan. Kepalanya berhasil menyeruduk kening lawan. Sedangkan telapak tangannya yang terbuka mengenai dua belahan pantat lawan.

Tubuh Begal Ireng langsung terjengkang, lalu kembali menghantam tanah dengan keras.

Sesaat mata tokoh hitam ini mengerjap-ngerjap dan kepalanya digerak-gerakkan. Kepalanya pusing bukan kepalang akibat benturan kepala lawannya pada bagian kening. Sedangkan kedua tangannya memegangi bagian pantatnya yang terasa seperti tersayat.

“Hua ha ha...” Andika tergelak-gelak sambil memegangi perut. “Kau seperti anak kecil yang sedang antri di jamban, Begal Ireng”

“Anjing kurap” Begal Ireng bangkit kembali.

Kemarahan tokoh sesat ini sudah membakar

seluruh dadanya. Ubun-ubunnya pun sudah seperti mau meledak. Segera dilepasnya cemeti dari pinggang. Dia tak mau tanggung-tanggung lagi menghadapi lawannya yang ganjil ini.

“Waduh Kau mulai main-main dengan buntut tuyulmu itu, ya? Hati-hati, nanti bisa dimarahi abahmu” Andika berkoar seenak udel.

“Hiaaat”

Wut

Pertempuran berlanjut. Tapi kali ini lebih ganas, karena masing-masing telah mengeluarkan senjata.

Begal Ireng yang telah kalap, tak peduli lagi dengan lawannya yang masih muda. Yang jelas, keturunan Pendekar Lembah Kutukan harus

dilenyapkan.

Begal Ireng ccpat mengebutkan cemetinya ke bagian kepala Andika, lewat jurus ketujuh 'Sabetan Ekor Iblis”. Namun, tubuh Pendekar Slebor itu justru mencelat ke atas menuju kepala lawan. Di udara, tangannya yang telah memegangi kain catur pusaka memecutkan senjata itu ke tangan Begal Ireng.

setelah terlebih dahulu meliukkan tubuhnya menghindari jilatan cemeti.

Ctar

Cemeti di tangan Begal Ireng terlepas seketika.

Sedangkan tubuh Pendekar Slebor meluncur turun di belakang Begal Ireng. Begitu mendarat, dengan satu gerakan sulit dihindari, kain catur pusakanya menyergap wajah Begal Ireng saat masih di udara.

Akibatnya Begal Ireng tidak dapat melihat apa-apa lagi. Kain itu berusaha dilepaskan dari wajahnya dengan melempar tubuh ke belakang. Tapi, dengan segera Andika mengikuti gerakannya. Beberapa kali tubuh mereka bergantian berputaran. Dan ternyata Begal Ireng tetap tak dapat melepaskan cengkeraman kain catur pusaka yang membelit seluruh wajahnya.

Sampai suatu ketika.... “Aaakh”

Dalam keadaan begitu, mata Pendekar Slebor melihat tubuh Ningrum melayang mengerikan.

Rupanya, seorang dari si Kembar dari Tiongkok berhasil menghempaskan tubuh gadis itu dengan pukulan jarak jauh yang pernah dipakai untuk melumpuhkan Ki Panji Agung dulu.

“Ningrum” teriak Andika terkejut. Pada saat itu, perhatiannya pada Begal Ireng buyar. Sehingga, pegangan pada kain catur pusaka mengendor.

“Hiaaat”

Berbareng satu gerakan berputar, Begal Ireng yang berjuluk Pencabut Nyawa berhasil melepaskan kain catur pusaka milik Andika dari wajahnya. Setelah tubuhnya menghadap ke arah Pendekar Slebor, tangannya bergerak bergantian secara beruntun.

Des Des Des Des

Empat pukulan sakti ajian 'Brajamusti' menghantam dada pendekar itu. Jika satu pukulan itu dapat meremukkan batu karang sebesar benteng, bisa dibayangkan bagaimana parahnya luka yang diderita Andika menerima empat pukulan sekaligus

“Aaakh”

Tubuh Andika terjengkang menyusul Ningrum yang lebih dulu menghantam sisi bukit karang.

Tubuh Pendekar Slebor lunglai setelah menabrak tebing terlebih dahulu. Dari celah bibirnya mengalir darah kental kehitam-hitaman. Sedangkan dari dadanya tampak mengepul asap tipis.

“Andikaaa” pekik Purwasih, melihat pemuda yang dicintainya tergeletak tanpa gerak.

“Hua ha ha... Jangan dikira dapat mengalahkanku, Bocah Ingusan,” ledek Begal Ireng puas. Pertempuran terhenti ketika Purwasih berlari menuju tubuh Andika dengan derai air mata di pipi.

Semuanya tertegun menyaksikan seorang pendekar dari keluarga Pendekar Lembah Kutukan ternyata mengalami nasib mengerikan di tangan Begal Ireng.

Di langit, awan gelap yang pekat berarak menutupi seluruh celah bukit. Warnanya yang menyeramkan, sedikit pun tidak membiarkan sinar matahari menerobos. Gumpalan raksasa berkekuatan

sengatan alam yang mana dahsyat itu saling berbenturan. Dan....

Jlegar Jlegar Jlegar Jlegar

Empat jilatan lidah petir mengkerjap, menyengat tubuh lunglai Andika, sebelum Purwasih sempat memeluknya. Bahkan tubuh wanita itu terhempas karena ledakan petir yang merasuki tubuh Andika secara aneh.

Krttt

Dari tempat yang agak jauh, semua mata

menyaksikan bagaimana tubuh pendekar muda itu menyala terang bagai disinari ribuan lidah api.

Warnanya merah kebiru-biruan, memancar hingga sepuluh tombak dari tubuhnya. Purwasih yang berada paling dekat dengan Andika langsung memekik nyaring, seraya menutupi kedua mata dengan tangan.

Bahkan para prajurit yang berada di ujung celah ikut menyipitkan mata karena silau.

Sesaat berikutnya tubuh Andika mengejang, lalu bergetar hebat. Sebuah kekuatan alam yang maha dahsyat telah bergolak dalam tubuhnya. Itulah akibat yang terjadi, setelah beberapa waktu lalu Pendekar Slebor ini memakan buah langka Inti Petir warisan Ki Saptacakra. Dan mendadak saja tubuhnya bangkit dalam satu erangan panjang. “Ngrh”

Dengan tubuh masih berpijar menyilaukan,

sepasang tangan Pendekar Slebor menyilang ke depan dalam getaran keras. Dari sepasang

telapaknya, tiba-tiba saja meluncur dua larik sinar tebal berwarna kebiru-biruan seperti petir, menuju ke arah Begal Ireng.

Tokoh berjuluk si Pencabut Nyawa yang tertegun menyaksikan keajaiban itu, tak mampu lagi menghindar. Dia benar-benar terpaku melihat kejadian itu.

Ctarrr

“Aaakh”

Lengkingan tinggi menguak angkasa terdengar.

Hanya sesaat mulut tokoh sakti itu melontarkan teriakan menggidikkan. lalu tubuhnya ambruk dan telah hangus matang di atas tanah. Asap tipis berbau menjijikkan menyebar di celah bukit, lalu hilang tersapu angin.

Melihat kenyataan yang mengendorkan

keberanian mereka, anak buah Begal Ireng langsung mengambil keputusan untuk melarikan diri.

Termasuk, si Kembar dari Tiongkok. Mereka tidak mau menjadi korban berikutnya dari ilmu aneh Pendekar Slebor

Begitu cepat mereka melesat, sesaat kemudian keenam lelaki itu sudah menghilang di balik bukit tanpa ada yang bisa mencegahnya.

Sementara, tubuh Andika kini telah biasa kembali.

Sinar menyilaukan telah menghilang perlahan beberapa saat lalu, bagai diisap bumi. Lalu, Pendekar Slebor melangkah menghampiri Ningrum.

“Bawa Patih Panggapati ke istana, Paman Guntur Slaksa,” ujar Purwasih memecah kesunyian celah bukit. Mahapatih Guntur Slaksa mengangguk. Dengan cukup hormat, diajak Patih Ranggapati yang telah menyerah untuk ikut ke istana untuk diadili. Bersama dua perwira dan sembilan prajurit yang masih hidup, mereka meninggalkan celah bukit.

Di pangkuan Andika, Ningrum tersengal-sengal mempertahankan nyawa yang di ambang maut.

Darah membasahi sebagian pakaiannya, setelah mengalir dari mulutnya yang tersapu warna merah.

“Andika. Rupanya takdir akan memisahkan kita.

Kalau dulu aku bisa diselamatkan guruku, kini aku tak yakin akan ada orang yang bisa menyelamat-kanku. Aku mencintaimu, Andika. Dan aku yakin, kau memang mencintaiku. Tapi ketika aku tahu kalau kau ternyata seorang keluarga kerajaan, aku merasa tidak berharga di matamu. Dan itu kuketahui sewaktu berada di ruang kehormatan untuk melihat lukisan Ki Saptacakra. Barangkali, kau harus menerima cinta Purwasih, Andika....”

Setelah itu, Ningrum meregang. Nyawanya pun hanyut dalam alunan irama kematian. Kelopak matanya yang mengatur perlahan bersama

hembusan napas terakhir.

“Ningrum...,” desis Andika.

Sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal dada Andika. “Walaupun dia keluarga kerajaan, tapi siapakah orangtuanya yang sebenarnya? Dan mengapa dia dibuang di pinggir hutan?” ini yang menjadi beban pikirannya.

Awan gelap beringsut diatas sana. Sinar matahari sore menerabas lembut di celah bukit yang bisu, menyinari Andika yang memeluk tubuh Ningrum. Tak ada kata yang ingin diucapkannya. Tak ada sesuatu pun yang ingin diperbuatnya. Kecuali, memeluk erat tubuh beku Ningrum, untuk mengantar kepergiannya ke alam abadi.

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar