-------------------------------
----------------------------
Episode 05 Darah Pembangkit Mayat
1
Buleleng. Suatu daerah yang
cukup indah di Pulau Dewata-Bali.
Purnama mengambang di angkasa.
Bisu dengan bias cahayanya yang lembut. Bintang-bintang yang bertaburan
mengintip dari celah awan tipis yang bergerak lamban. Seakan, benda-benda
langit itu mewarnai Hari Raya Galungan yang dirayakan hari ini.
Seluruh penduduk Buleleng pada
hari keramat seperti ini selalu mempersembahkan sesaji untuk para dewa,
diiringi tarian gadis-gadis cantik dan para pemuda tampan.
Cokorde* Buleleng telah
meninggalkan upacara.
Sementara acara terus dijalin
oleh pergantian pasangan tari.
Di antara puluhan orang yang
meramaikan
kemeriahan upacara, berdiri
seorang pemuda tampan di sisi sebuah gapura. Pakaiannya sederhana, terdiri dari
baju hijau dan celana hijau pula. Pada bahunya yang kekar tersampir sehelai
kain bercorak catur.
Sementara tubuhnya bersender
di gapura, angin malam nan dingin menjamah wajah tampan serta rambut sepanjang
bahu yang tak tertata itu. Matanya yang seperkasa elang, menikmati gelora tari
yang sedang dipergelarkan.
Sesekali pemuda itu terlihat
menarik napas dalam-dalam. Entah apa yang menyebabkannya begitu.
Mungkin sekadar ungkapan
keterpesonaannya pada keindahan tari. Atau mungkin hanya ingin menikmati hawa
malam. Atau bisa jadi ada sebab lain. Karena, matanya saat itu sedang tertuju
lekat pada dara penari di depan sana.
“Idayu Wayan Laksmi cantik
bukan, Beli*?” usik seorang pemuda tanggung di sebelahnya.
“Apa?” pemuda berpakaian hijau
itu malah balik bertanya, karena belum menangkap arah ucapan pemuda tanggung
ini.
“Itu, penari itu. Dia begitu
menawan, bukan?”
tegas pemuda tanggung tadi.
“Ooo, ya, ya. Betul,” kata
pemuda berpakaian hijau-hijau membenarkan sambil mengangguk-angguk.
“Namanya Idayu Wayan Laksmi.”
“Apa?”
“Namanya Idayu Wayan Laskmi,”
ulang si Pemuda tanggung.
“Ooo....” lagi-lagi pemuda
berpakaian hijau-hijau membulatkan bibirnya, “Dari mana kau tahu?”
Pemuda tanggung bertelanjang
dada dan
mengenakan penutup kain di
pinggang hingga betis itu tersenyum bangga.
“Tentu saja aku kenal. Dia
kan, Mbok* saya”
cetusnya.
Pemuda berpakaian hijau-hijau
itu tertawa ringan.
“Kenapa Beli tertawa?”
“Rupanya kau punya tujuan
tertentu membangga-banggakan kakakmu, ya?” ujar pemuda berpakaian hijau-hijau
menggoda.
“Ah, kata siapa?” sangkal
pemuda tanggung dengan wajah asam.
“Kataku.”
“Ah Mbok-ku terlalu cantik
untuk orang semacam Beli” kilah pemuda tanggung itu lagi. Tanpa sadar telah
dilontarkan sendiri tujuannya membangga-banggakan kakak perempuannya.
Pemuda berpakaian hijau-hijau
itu mengangkat bahu.
“Ya sudah, kalau kau tak
memerlukan aku,” kata pemuda berpakaian hijau seraya melangkah hendak pergi
dari tempat itu.
“Beli tunggu” tahan si Pemuda
tanggung.
“Nan, kan?” goda pemuda yang
penampilannya aneh itu. Langkahnya dihentikan. “Kenapa?”
“Beli jadi kekasih Mbok-ku,
ya?” kata si Pemuda tanggung ini. Jawaban itu membuat lelaki muda yang diajak
bicara tertawa kembali lebih keras.
“Sinting kau, ya?” gurau
pemuda yang pada bahunya tersampir kain bercorak papan catur itu. “Kenal pun
belum, tahu-tahu saja kau sewenang-wenang menjodohkan orang”
“Tolonglah, Beli...” pintanya
memelas.
Pemuda tampan dan gagah di
depannya meng-
garuk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. Bibirnya memperlihatkan senyum, seperti seekor sapi tolol.
“Yaaa, aku sih mau saja. Siapa
sih, yang sudi menolak gadis cantik seperti kakakmu. Tapi kenapa kau begitu
ngotot menjodohkan aku dengan kakakmu? Apa...,” didekatinya pemuda tanggung
itu.
“Kakakmu kakinya berbulu ya?
Jadi, tidak ada pemuda yang mendekatinya?”
Pemuda tanggung itu langsung
membelalak sewot.
Ingin rasanya menyemprot
pemuda acuh yang mem-bisikinya itu.
“Aaah Jangan cepat naik darah
Aku hanya bergurau, kok” kata pemuda acuh itu, sebelum pemuda tanggung di
depannya berkata.
“Jadi Beli mau, bukan?” desak
si Pemuda tanggung.
“Kalau mau, bagaimana?”
“Jangan nafsu dulu, Beli”
Pemuda berambut gondrong di
depannya mengumpat dalam hati.
“Bisa-bisanya anak ini
menembakku dengan
ucapan itu”
“Ada syaratnya, Beli” kata pemuda
tanggung itu.
“Apa?”
“Nama Beli siapa?”
“Andika,” jawab pemuda
berpakaian hijau yang ternyata Andika. Dialah pendekar muda yang begitu
terkenal sebagai Pendekar Slebor.
“Beli Andika seorang
pendekar?” lanjut si Pemuda tanggung.
“Ngg..., orang bilang begitu.”
“Pokoknya Beli harus seorang
pendekar. Kalau tidak, ya tak jadi....”
Andika mengerutkan kening. Apa
hubungannya kependekarannya dengan kakak perempuan si Pemuda tanggung ini?
Keingintahuannya membuat Andika jadi bertanya-tanya.
“Memangnya kenapa?” tanya
Andika.
Pemuda tanggung itu segera
menarik Andika ke balik gapura. Matanya melirik takut-takut ke beberapa arah,
seakan takut ada orang mengawasi.
Di balik gapura dibisikinya
Andika dengan suara amat perlahan.
“I Made Raka, punya niat jahat
sama Mbok...” jelas pemuda tanggung itu.
“Siapa I Made Raka?” tanya
Andika sambil
menautkan sepasang alisnya.
“Dia amat ditakuti di banyak
Banjar*” jelas pemuda tanggung. “Dia jatuh hati pada Mbok. Tapi, Mbok tidak mau
karena tabiat dan prilakunya tidak senonoh dan kejam.”
“Rupanya dia jawara, ya?”
tanya Andika.
“Lagi pula, I Made Raka suka
mempermainkan wanita, Beli. Sudah dipermainkan, ditinggal begitu saja tanpa
dinikahi. Banyak wanita yang bisulan gara-gara dia....”
“Bisulan?” Andika tak mengerti.
“Begini....”
Si Pemuda tanggung itu
membusungkan perutnya sambil memberi isyarat dengan kedua tangan.
“Kini, Mbok-ku lah yang mulai
diincarnya. Dan sebelum berangkat ke upacara tadi, sempat kudengar dia
berbicara dengan dua kaki tangan I Made Raka.
Kelihatannya, mereka berniat
busuk pada Mbok Laksmi” sambung si Pemuda tanggung. “Beli mesti tolong dia”
“Kenapa mesti aku?” tanya
Andika. “Apa tidak ada orang yang berani menghadapi kecoak-kecoak kudis macam
mereka?”
Si Pemuda tanggung lebih mendekat
ke telinga Andika. Sebentar kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Sebab I Made Raka masih
keluarga dekat
Cokorde...”
Andika mengangguk-angguk.
Rupanya, orang yang bernama I Made Raka tergolong manusia yang me-nerapkan aji
mumpung, dengan memanfaatkan ke-kuasaan seorang keluarganya untuk berbuat
semena-mena. Manusia macam begini mesti dibuat kerak bubur
“Bagaimana, Beli” pancing si
Pemuda tanggung itu, memenggal kata hati Andika.
“Bagaimana apanya?” “Mau kan,
jadi kekasih Mbok-ku?”
“Mmm. Kalau menolong kakakmu
dari manusia itu, aku mau. Tapi tidak untuk kekasihnya...,” tutur Andika.
“Huh, sombong” maki si Pemuda
tanggung itu, merasa tersinggung.
Andika menyeringai bodoh. Tak
terasa dia jadi menggerutu sendiri.
“Memangnya aku ini apa?
Kambing congek yang gampang diamprok-amprokkan?”
“Kenapa Beli?”
“Ah, tidaaak....”
***
Malam terus beranjak makin
larut. Tengah malam terlewati tanpa terasa. Upacara Galungan telah selesai
beberapa saat lalu. Sementara para pengunjung telah kembali ke rumah masing-masing.
Begitu pula Idayu Wayan Laksmi
dan I Ktut Regeg, adiknya yang telah berbicara dengan Andika beberapa saat
lalu.
Pendekar Slebor sendiri tidak
terlihat bersama mereka. Pendekar muda Tanah Jawa Dwipa ini berada di sekitar
lima belas kaki di belakang kedua kakak beradik itu. Dia mengintai sambil
berjalan di antara semak yang tumbuh di sisi jalan setapak.
“Ada pemuda asing yang ingin
berkenalan dengan Mbok Laksmi,” cetus I Ktut Regeg seraya tetap melangkah di
sisi kakaknya. “Waktu Mbok menari, kukatakan kalau Mbok kembang Buleleng. Eee,
tampaknya dia tertarik sama Mbok.”
Idayu Wayan Laksmi di
sampingnya membelalak-kan mata. Gadis ini amat tahu, siapa I Ktut Regeg.
Seorang adik yang begitu membanggakan kecantikan kakaknya secara berlebihan.
Sehingga, terkadang dia seperti seorang penjual patung yang sedang memuji-muji
dagangannya sendiri pada pembeli.
“Dia yang bertanya padaku kok,
Mbok, ” sergah I Ktut Regeg, berbohong. Sementara, kakaknya terus memelototi.
“Mbok pasti tidak akan melotot seperti itu, kalau sudah melihat orangnya. Dia
tampan, lho.
Biarpun yahhh...,
penampilannya agak berantakan....”
Di semak-semak, kini giliran
Andika melotot kesal.
“Setelah urusan ini selesai
akan kusumpal mulut lancangmu dengan kotoran kerbau” ancam Andika dalam hati.
Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut
Regeg terus me-lanjutkan langkah sambil berbincang ringan. Di belakang mereka,
Andika tetap menguntit tanpa diketahui. Sepanjang perjalanan, berkali-kali
matanya mengawasi wajah Idayu Wayan Laksmi ketika menengok ke belakang.
Menurut Andika, wanita itu
memang luar biasa.
Kecantikannya yang terpancar
di wajahnya begitu mempesona. Matanya bulat menggemaskan dengan bulu lentik
bagai gapaian tangan bidadari. Apalagi dengan tanda hitam yang diletakkan pada
kedua pangkal hidungnya di bawah dahi. Makin menggemaskan saja. Di atas mata
itu, sepasang alis tipis namun hitam tumbuh memikat. Hidungnya amat pas dengan
bentuk bibir yang tipis memerah. Sementara bagian bawah bibirnya, tampak bagai
buah ranum menggoda.
Wanita itu mengenakan kain
yang dibebatkan sebagai penutup tubuhnya. Pinggangnya dililit selendang
'Tengkulang'.
Sedang rambutnya digelung gaya
khas Bali, dihiasi bebungaan.
Berbeda dengan adiknya, yang
bertubuh kurus dan agak hitam. Sedangkan Idayu Wayan Laksmi berkulit kuning
langsat. Tubuhnya pun sintal. Tak heran kalau banyak pria yang jatuh hati
padanya.
Tanpa terasa mereka telah
berjalan cukup jauh.
Rumah kedua kakak beradik itu
mungkin sudah dekat. Namun sepanjang perjalanan belum ada tanda-tanda kalau I
Made Raka muncul seperti cerita I Ktut Regeg. Andika pun mulai berpikir kalau
dirinya telah dibodohi seorang pembual kecil bernama I Ktut Regeg.
Ketika kesabaran Andika sudah
nyaris habis, mendadak tiga kelebat bayangan masuk ke jalan setapak dari semak-semak.
Mereka langsung menghadang Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg.
“I Made Raka,” bisik Idayu
Wayan Laksmi takut-takut, saat melihat siapa penghadangnya.
“Ya, aku. Kau terkejut, Geg*?”
tegur I Made Raka dengan bibir mengumbar senyum nakal.
Lelaki itu berwajah cukup
tampan. Tubuhnya agak kurus dan mengenakan bebatan kain batik sutera.
Kepalanya yang berambut
sepanjang bahu ditutup kain berujung lancip pada satu sisinya.
“Beli mau membiarkan aku
lewat, bukan?” ucap Idayu Wayan Laksmi ragu-ragu.
“Aku membiarkanmu lewat?” I
Made Raka tertawa berderai-derai, diikuti anak buahnya yang berdiri di
belakang.
Tawa ketiga lelaki itu membuat
Idayu Wayan Laksmi menjadi kian takut. Direngkuhnya tangan I Ktut Regeg
kuat-kuat. Sementara, matanya menatap takut-takut pada I Made Raka. I Ktut
Regeg yang direngkuh malah seperti tidak mempedulikan kedatangan ketiga lelaki
di depannya. Matanya sibuk melirik ke sana kemari, mencari Andika. Setelah
matanya menemukan pendekar muda itu di satu semak, baru ditatapnya I Made Raka
bengis-bengis.
“Kami akan pulang, Beli, ”
kata I Ktut Regeg mantap. “Jangan coba-coba mengganggu kami”
Sekali lagi, tawa ketiga
penghadang mereka meledak.
“Apa aku tak salah dengar?
Cacing kecil ini berani mengancamku, ya?” kata I Made Raka, setelah tawanya
terhenti.
Dengan gaya seorang ksatria, I
Ktut Regeg maju ke depan tubuh Idayu Wayan Laksmi. Dadanya yang tipis
dibusungkan dengan wajah terangkat menantang.
“Kau tak salah dengar, Beli, ”
tukas I Ktut Regeg sok pahlawan, dengan suara lantang. “Biar bagai-manapun, aku
orang Bali sejati yang siap mengorban-kan jiwa demi keadilan dan kebenaran.
'Sepi ing pamrih rame inggawe'”
I Ktut Regeg seakan-akan
benar-benar memiliki keberanian. Padahal kalau Andika tidak di dekat mereka,
sudah pasti dia ikut merengkuh tubuh kakaknya kuat-kuat.
“Ha ha ha...” I Made Raka
tergelak nyaring. “Kau cukup punya nyali untuk meminta dihajar.”
“Cobalah” tantang I Ktut
Regeg.
Kata-kata I Ktut Regeg bagai
menginjak-injak kepala I Made Raka. Yang makin membuat jengkel, anak itu juga
memukul dadanya sendiri seraya mengangkat wajah tinggi-tinggi.
“Regeg” hardik Idayu Wayan
Laksmi, mem-
peringati.
“Biar, Mbok. Jangan
dipisahkan” seru I Ktut Regeg jumawa. Padahal, berkelahi pun belum pernah.
“Akan kucincang kau, Bocah” bentak I Made Raka, tak bisa menahan kegusaran.
Didekatinya I Ktut Regeg dengan langkah terbanting keras. Tangannya siap
menghajar wajah I Ktut Regeg.
Baru saja tangan I Made Raka
terangkat tinggi-tinggi, mendadak satu desiran halus terdengar.
Wesss...
Prot
Sesuatu yang lembek dan hangat
tahu-tahu
mampir di telapak tangan
lelaki itu. Tak hanya lembek dan hangat. Begitu I Made Raka mengendus
tangannya, ternyata benda lembek dan hangat itu juga bau...
“Kotoran sapi sebagai hadiah
perkenalan” ucap seseorang tiba-tiba dari belakang Idayu Wayan Laksmi dan I
Ktut Regeg.
Seketika I Made Raka melotot
lebar-lebar. Diturun-kan tangannya cepat-cepat. Bodohnya, tangannya yang
tertiban ampas binatang itu kembali diciumnya.
Seolah hendak dibuktikan kalau
itu benar-benar kotoran sapi. Maka, kontan saja wajahnya jadi memerah serta
cuping hidung terangkat tinggi-tinggi.
Sebentar kemudian....
“Khoeeek”
*** 2
“Siapa orang yang berani
kurang ajar pada I Made Raka?” bentak I Made Raka kalap sambil mengibas-ngibaskan
tangan.
Andika melangkah ke depan.
Dari kegelapan naungan pepohonan lebat, Pendekar Slebor muncul.
Wajah dan penampilannya kini
jelas terlihat karena siraman sinar purnama.
“Kau bicara padaku?” tanya
Andika pura-pura bodoh.
I Made Raka mengawasi Andika
tajam. Bola matanya yang nyaris membulat penuh seperti hendak menelan pemuda di
depannya. Wajahnya tampak merah matang, seperti kepiting rebus.
“Siapa kau?” tanya lelaki itu
menghardik. “Baru kali ini kulihat wajahmu”
“Rasanya aku juga baru kali ini
melihat tampang menjengkelkanmu itu,” balas Andika enteng.
“Siapa namamu?” ulang I Made
Raka lebih keras.
“Kenapa tanya-tanya segala?
Naksir ya?”
“Bangsat”
“He he he...,” Andika malah
terkekeh, seperti tak merasa bersalah secuil pun.
“He he he...,” timpal I Ktut
Regeg mengikuti gaya Andika, membuat kemarahan I Made Raka makin menjadi.
Lelaki itu lalu uring-uringan
tak karuan. Dia mencak-mencak seperti kakek peot kebakaran jenggot. “Kalian
telah mempermainkan keluarga Cokorde
Kalian tahu itu? Kalau kalian
tak segera bersujud minta maaf padaku, akan menyesal seumur hidup”
maki I Made Raka panjang
pendek.
“Wah, gerakanmu nyatanya lebih
bagus daripada tarian di upacara tadi,” cemooh Andika seraya mengusap-usap dagu
serta mengangkat satu alisnya.
“Cukup sudah Hajar” perintah I
Made Raka pada kedua anak buahnya.
Lelaki bertubuh tinggi dan
buntal maju ke muka.
Dihampirinya Andika dengan
wajah dipasang garang.
Dia mengira orang akan ngeri
melihat wajahnya.
Padahal, mimik mukanya lebih
mirip orang dungu.
Sambil menggeram, tangan
lelaki berbadan boros itu melayang di udara. Gerakannya lamban, namun cukup
bertenaga. Bagi Andika, lawannya sekarang ini tak lebih cecunguk yang hanya
modal tenaga.
Dengan bibir tetap
menyeringai, Pendekar Slebor bergerak sedikit ke belakang. Tanpa terlihat
bergerak sedikit pun, tangannya langsung menjentik ke ikat kain penutup tubuh
tinggi dan gemuk itu.
Tes
Semuanya terjadi begitu cepat.
Sampai-sampai, laki-laki itu sendiri tak menyadari kalau kain penutup tubuhnya
telah melorot. Maka bukan main blingsatan-nya lelaki berbadan seperti kerbau
itu, menyadari badannya yang seperti tumpukan lemak terbuka bebas tanpa
penutup, kecuali celana pendek hitamnya. Kedua tangannya berusaha menutupi
bagian perutnya yang buncit, tapi tetap terlihat seperti kepala dedemit sedang
mengintip.
Lalu tanpa mempedulikan Andika
lagi, bergegas diangkatnya kain dari bawah tubuhnya. Lalu, dia lari menuju
tempat gelap. “Awas ada kerbau hamil” ledek Andika, diiringi tawa renyah.
Kaki-tangan I Made Raka yang
lain langsung maju.
Penampilannya cukup
meyakinkan. Kumisnya mem-bentang, tak beda tanduk kambing buduk. Menilik
pakaiannya yang berbentuk kemeja hitam tanpa kerah serta celana pangsi bisa
jadi dia bukan penduduk asli Bali.
Penuh lagak meyakinkan, lelaki
itu meloloskan golok besar dari libatan kain di pinggangnya. Sret
Dia pun menggeram aneh.
Barisan gigi kuningnya diperlihatkan lebar-lebar seperti tak tahu malu.
“Akan kubuat daging cincang
kau, Anak Muda”
ancam laki-laki itu berat.
“Monggo*...” kata Andika,
seraya mengayun tangan ke depan untuk mempersilakan.
“Hiaaah”
Laki-laki bertampang bengis
ini mulai membuka serangan. Satu tebasan telengas ditujukan ke batang leher
Pendekar Slebor. Meski mata senjata itu nyaris mampir di leher, namun Andika
masih terlihat tenang-tenang saja.
Dan ketika tinggal seujung
kuku lagi golok besar milik lelaki berkumis baplang membabat lehernya, tubuh
Pendekar Slebor tahu-tahu berkelebat secepat hantu. Gerakan menghindarnya
memang terlalu cepat, sehingga laki-laki berkumis itu menyangka Andika
menghilang begitu saja.
Mata orang itu mendadak
melotot sebesar uang logam, tanpa berkedip sedikit pun. Bibirnya langsung
bergetar tergagap-gagap.
“Ded... ded... de...,”
laki-laki berkumis baplang itu, tergagap.
“Dedemit” bentak Andika.
Seperti dikejar sekawanan setan, lelaki itu langsung lari tunggang langgang.
Malah kepalanya tak sempat lagi menoleh ke arah tuan besarnya yang juga ikut
melongo, menyaksikan pemuda yang mem-permainkannya yang tiba-tiba menghilang,
dan muncul tiba-tiba pula.
Sesaat kemudian, I Made Raka
ikut tunggang langgang, mengekori kedua anak buahnya. Masih bagus, tak
terkencing-kencing.
“Nah Sekarang kalian aman
untuk meneruskan perjalanan pulang,” ucap Andika, setelah ketiga lelaki bejat
tadi tak terlihat lagi.
“Oi, hebat Beli betul-betul
pendekar jempolan”
puji I Ktut Regeg pada Andika.
“Ya, ya,” sergah Andika. “Tapi
kau juga menyebut berantakan tadi, bukan?”
I Ktut Regeg terkekeh.
“Ini orang yang kuceritakan
tadi, Mbok,” ujar I Ktut Regeg langsung menoleh ke arah Idayu Wayan Laksmi.
Diperkenalkannya Andika. Bahkan langsung disambarnya lengan Andika untuk
didekatkan pada kakaknya.
“Terima kasih atas pertolongan
Beli.”
Gadis jelita itu tersipu-sipu,
meski masih ada sisa ketakutan di wajahnya.
“Aku Andika,” kata Andika
memperkenalkan.
“Laksmi,” balas gadis itu
disambutnya uluran tangan pemuda tampan di depannya sungkan-sungkan.
“Ya, aku sudah tahu,” kata
Andika lagi.
“Dari aku dia tahu, lho Mbok”
sela I Ktut Regeg.
“Aku tak mau tahu,” tukas
Andika acuh. “Bagaimana kalau kuantar kalian sampai di rumah?”
“Ooo.... lebih baik begitu,
Beli” serobot I Ktut Regeg, sambil mengerling pada kakaknya.
Idayu Wayan Laksmi tak bisa
berbuat apa-apa, kecuali menarik napas panjang-panjang. Dan sebentar saja,
ketiganya sudah nampak berjalan beriringan diselingi obrolan ringan.
***
Idayu Wayan Laksmi
mempersilakan Andika untuk masuk dulu. Mulanya pemuda itu menolak, karena hari
sudah larut malam. Tapi Idayu Wayan Laksmi terus memaksa. Lebih-lebih I Ktut
Regeg. Akhirnya Pendekar Slebor ikut juga masuk ke dalam rumah berbentuk gubuk
besar ini.
“Mana kedua orangtua kalian?”
tanya Andika, setibanya di dalam ruang tengah.
“Kami hanya tinggal berdua,”
jawab Idayu Wayan Laksmi. “Kedua orangtua kami telah meninggal beberapa tahun
lalu.”
Andika mengangguk-angguk. Dia
ikut prihatin, walau tak ditampakkan secara langsung.
“Silakan duduk, Beli”
Andika menggeser bangku kayu
berukir, lalu duduk. Idayu Wayan Laksmi sendiri pamit pada Andika untuk pergi
ke belakang sebentar. Sedangkan I Ktut Regeg sudah pergi entah ke mana. Anak
muda tanggung itu tidak terlihat lagi di ruang depan.
Selang tak lama kemudian,
Idayu Wayan Laksmi muncul lagi membawa secangkir kopi hangat. Diletak-kannya
cangkir tanah liat itu di meja di depan Andika.
Langsung dipersilakannya
Andika.
Andika mengangkat cangkir,
lalu menyeruputnya.
“Maafkan adikku, Beli,” Idayu
Wayan Laksmi mulai angkat bicara, begitu Andika selesai meneguk kopi. “Mungkin
dia telah lancang berbicara pada Beli.”
“Ah, biasa,” sergah Andika.
“Sekarang ke mana anak itu?”
“Di belakang. Entah apa yang
dikerjakannya. Tapi dia membawa peti berukir dengan golok. Aku tidak tahu lagi,
apa yang akan dikerjakannya,” ucap Idayu Wayan Laksmi.
“Peti? Peti apa?”
“Aku tidak tahu, Beli.
Katanya, dia menemukannya di dekat pantai.”
“Boleh aku melihatnya?” tanya
Andika.
Idayu Wayan Laksmi mengangguk.
Segera diantar-nya Andika ke halaman belakang rumah mereka. Di sana, I Ktut
Regeg tampak tengah berusaha mencongkel tutup peti dengan golok.
“Apa yang kau kerjakan,
Regeg?”
I Ktut Regeg menoleh pada
Andika.
“Ini, Beli. Aku hanya
penasaran pada isi peti ini.
Tampaknya isinya menarik,”
sahut I Ktut Regeg tanpa berhenti mencongkel.
“Boleh kulihat?” pinta Andika,
segera berjongkok di sisi I Ktut Regeg.
“Ini....”
Anak muda tanggung itu
menyerahkan peti selebar lengan manusia itu. Andika segera menerimanya,
kemudian memandanginya beberapa saat.
Peti dari kayu jenis langka
itu pada setiap sisinya diberi ukiran yang menggambarkan perkelahian Kala*
dengan seorang ksatria. Cukup berat juga.
Ketika diguncang-guncangkan,
terdengar bunyi sesuatu yang bergulir. Jelas, peti ini memiliki isi. Entah apa,
Andika sendiri tak tahu.
“Beli bisa tolong
membukakannya?”
“Kenapa harus dibuka? Mungkin ini
milik se- seorang. Bukankah lebih baik menunggu orang yang merasa kehilangan
benda ini, kemudian diserahkan kembali padanya?” cegah Andika.
“Tapi aku menemukannya dalam
keadaan ter-
kubur ketika hendak....”
“Eee...,” potong Andika cepat.
“Kau lupa pada ucapanmu ketika I Made Raka menghadang kalian?
Kau bilang, kau adalah orang
Bali sejati yang sudi membela kebenaran dan keadilan dengan
pengorbanan jiwa?”
I Ktut Regeg membuang napas.
“Bagaimana? Setuju?” tanya
Andika.
“Tapi aku hanya ingin melihat
isinya, Beli”
Andika menggelengkan kepala,
lalu bangkit membawa peti itu masuk ke rumah.
“Beli....”
“Aku tak dengar....”
“Huh, pendekar berantakan”
makinya mangkel.
***
Malam meringkus seluruh
pelosok Buleleng.
Seusai upacara Galungan, desa menjadi
sepi. Apalagi ketika hari bergulir ke ambang pagi.
Karena desakan Idayu Wayan
Laksmi yang masih takut kalau-kalau I Made Raka datang menyatroni kembali,
Andika akhirnya bermalam di gubuk besar milik dua kakak-beradik itu.
Tempat kediaman itu kini
senyap. Baik Idayu Wayan Laksmi, I Ktut Regeg, maupun Andika, semuanya tidur
nyenyak. Rasa letih yang sarat membuat mereka begitu.
*** 3
Jauh di pinggir utara daerah
Buleleng, tampak dua orang berjalan menelusuri lembah. Ada sesuatu yang tengah
dilakukan mereka. Keduanya tampak bersama-sama menyeret sebuah peti besar
dengan tambang yang diikatkan pada satu bagian peti.
Melihat bentuknya, cepat bisa
diduga kalau benda itu sebuah peti jenazah.
Warna peti mati itu sudah
begitu kusam. Namun karena terbuat dari kayu jenis langka yang tahan rapuh,
jadi tidak mengalami kerusakan meski terseret-seret di jalan berbatu. Hanya
saja tetap terdengar suara ribut, karena benturan-benturan.
Sementara debu beterbangan di
sisi peti mati, membuat peti itu makin terlihat kusam dan angker.
Buat orang-orang biasa, peti
itu mungkin harus diseret empat atau lima orang karena demikian besarnya. Namun
tidak bagi kedua lelaki itu.
Sebenarnya, bukan karena badan
mereka besar.
Malah bisa dibilang, perawakan
keduanya tak seimbang dengan beban yang sedang dibawa.
Yang seorang berbadan kurus
agak bungkuk.
Wajahnya buruk. Malah bisa
dikatakan mengerikan, karena matanya yang membesar seperti hendak melompat
keluar dan hidung yang tak berbatang.
Rambutnya panjang dan kotor,
berwarna kemerahan.
Dia mengenakan rompi sepanjang
paha, serta kain hitam sebagai pengganti celana.
Sedang yang seorang lagi
berbadan kurus, tapi lebih tinggi. Wajahnya tak bisa digambarkan, karena
mengenakan caping yang menutupi seluruh kepalanya. Pakaiannya hanya berupa kain
merah panjang, yang diberi lubang di tengahnya sebagai kerah. Agar tidak
terbuka ke mana-mana, kain di bagian pinggang diikat kulit ular yang berguna
juga untuk meng-gantung pundi-pundi kecil dari tanah liat.
Mereka terus melangkah pasti ke
sebuah padang ilalang. Tumbuhan setinggi manusia itu diterabas tanpa kesulitan
berarti. Setelah melewati padang ilalang, mereka tiba di sebuah bukit kecil
yang di atasnya berdiri satu gubuk panggung kecil.
“Kita sudah sampai, kakang
Lalinggi,” ucap lelaki berwajah buruk.
Lelaki yang dipanggil Lalinggi
menoleh. Lalu diberinya isyarat kecil dengan gerakan kepala, disambut anggukan
oleh laki-laki berwajah buruk.
Segera laki-laki berwajah
buruk itu melepas tambang penyeret peti. Mulai dilakukannya gerakan pernapasan.
Diawali komat-kamit dibibirnya, tangannya membentuk paruh gagak dalam gerakan
perlahan berbentuk putaran. Sesaat berikutnya....
“Husss”
Bfiiing
Bersama lengkingan tinggi,
tiba-tiba dua rangkum pukulan tak berwujud dari laki-laki berwajah buruk
meluncur deras ke arah gubuk panggung.
Brak Brak
Bagai dihantam dua bongkah
batu besar dari dua sisi, gubuk naas itu kontan porak-poranda. Dinding-nya yang
terbuat dari papan berhamburan ke segala arah. Begitu pula atapnya yang terbuat
dari daun kelapa kering.
Di antara tebaran pecahan kayu
dan serpihan atap, tampak sesosok tubuh menerobos ringan laksana rajawali di
udara. Kedua tangannya mem-bentang lebar, menjaga keseimbangan agar tetap
meluncur lurus ke atas. Pada ketinggian puncak, sosok tubuh itu berputaran di
udara. Dan kini tubuhnya meluncur lurus ke bawah dengan kedua tangan terlebih
dahulu. Sebelum benar-benar tiba di permukaan tanah, kembali dilakukannya
putaran, sehingga kakinya menjejak mantap tanpa cedera.
Tepat di depan puing-puing reruntuhan
gubuk, orang itu berdiri tegak.
Melihat ketangkasannya di
udara, bisa diduga kalau laki-laki itu berkepandaian cukup tinggi. Usianya
kira-kira delapan puluh tahun. Seperti layaknya penduduk Bali, dia mengenakan
babatan kain batik dari dada hingga ke batas lutut. Di pinggangnya terlihat
kain hitam sebagai tempat menyisipkan keris.
Rambutnya yang putih,
panjangnya sampai ke punggung. Di wajahnya yang berkeriput, tak ada selembar
kumis atau jenggot pun. Mungkin karena itu pula wajahnya terlihat bersih
berwibawa.
“Siapa kalian berdua?” tanya
orang tua itu dengan segumpal ketidakmengertian.
“Kami Sepasang Datuk Karang”
balas lelaki bercaping itu, memperkenalkan diri.
Wajah lelaki tua yang berdiri
dua puluh tombak di depan mereka terlihat makin mengerut. Sepertinya, sedang
berusaha mengingat-ingat nama yang baru disebutkan tadi.
“Aku tak kenal kalian,” kata
laki-laki tua itu lebih lanjut.
“Tentu saja kau tidak tahu
kami, karena selama ini selalu menyembunyikan diri seperti seorang pecundang”
kata Lalinggi lagi, yang merupakan orang tertua dari Sepasang Datuk Karang.
“Jadi, siapa sebenarnya kalian? Dan ada sangkut-paut apa denganku?”
“Kami menginginkan peti yang
kau kubur di pulau ini, lima puluh tahun lalu” sambar lelaki yang berwajah
buruk.
Si Lelaki tua itu memegangi
dagunya. Wajahnya kembali memperlihatkan kerutan lebih banyak.
Sedang matanya menyipit,
tertuju ke arah lain.
Sepertinya dia berusaha
mengingat peristiwa lima puluh tahun lalu.
“Hm, peti itu,” gumam
laki-laki tua itu perlahan.
“Kenapa dengan peti itu? Dan
kenapa kalian begitu menginginkannya?”
“Kau tak perlu tahu Tunjukkan
saja, di mana tempatnya” bentak lelaki berwajah buruk yang cepat naik darah.
“Tidak bisa.” putus laki-laki
tua itu tegas, sambil menggeleng.
“Perlu kau tahu, Pak Tua. Kami
hanya ingin agar kau memberitahu di mana peti itu dikuburkan. Kalau kau tak
bersedia dengan cara yang baik ini, kami akan memaksa mulutmu berbicara,” ancam
lelaki bercaping dingin dan datar.
“Cepat katakan” bentak lelaki
berwajah buruk sekali lagi.
Dan sekali lagi pula orang
yang diminta bicara ini menggeleng mantap.
“Paksa dia, Gumbala” perintah
Lalinggi.
Lelaki kurus berwajah buruk
yang bernama
Gumbala pun bersiap. Sambil
maju dengan langkah membentuk kuda-kuda, tangannya memainkan jurus kembangan.
Sama seperti saat pertama menghancurkan gubuk, kedua tangannya membentuk paruh
gagak. Empat tombak lagi jaraknya dengan lelaki tua itu, tangan seorang dari
Sepasang Datuk Karang ini bagai sedang mencabik-cabik udara di depannya.
“Hiaaah”
Tiba-tiba kaki Gumbala
melangkah cepat. Seretan kaki pada tanah kering itu menyebabkan debu
beterbangan ke udara, menutupi sehagian tubuhnya.
Bfing
Bunyi melengking tinggi
tercipta, manakala tangan kanan laki-laki berwajah buruk itu menyambar cepat ke
dada lawan.
Tentu saja lelaki tua ini tak
sudi dadanya ter-tembus jari Gumbala. Segera dibentuknya benteng pertahanan
dengan menyorongkan pergelangan tangan ke depan.
Des
Serangan pertama Gumbala dapat
ditangkis laki-laki tua ini.
Bfing Bfing
Dan belum juga laki-laki tua
itu bersiap, Gumbala kembali meruntunkan dua cabikan jari ke kening dan
selangkangan. Benar-benar jurus kejam mematikan
Jika sambaran angin pukulannya
saja sudah terasa bagai sabetan cemeti, bagaimana lagi kalau benar mengenai
sasaran?
Lelaki tua menyadari keampuhan
jurus seorang dari Sepasang Datuk Karang ini. Bertindak gegabah berakibat maut.
Apalagi setelah merasakan bagaimana perihnya angin pukulan Gumbala. Maka
serangan yang datang kali ini tidak dipapakinya. Dia tahu, jika dicoba memapak
berarti angin pukulan lawan akan jatuh tepat di wajahnya. Hal itu bisa
mengakibatkan penglihatannya hilang beberapa saat.
Dan jelas, itu sangat
berbahaya. Maka lelaki tua itu pun segera menyeret langkah ke belakang tiga
tindak. Tak urung, sambaran angin patukan jari Gumbala menyambar sebagian
wajahnya. Untunglah, tak begitu parah.
Dan ketika tangan Gumbala
hanya memakan
angin di depan dada, lelaki
tua melihat tempat kosong di bagian kepala. Dengan sigap diangkatnya kaki
tinggi-tinggi, lalu disentakkannya ke arah kepala.
Deb
Seorang dari Sepasang Datuk
Karang ini rupanya cukup jeli membaca serangan lelaki tua itu. Dengan cepat dia
menjatuhkan diri ke tanah. Berbarengan dengan itu, kaki kanannya diputar dari
belakang ke depan, untuk membabat sebelah kaki lawannya yang sedang menopang
tubuh.
Srrrt
“Haih”
Mau tak mau, lelaki tua itu
harus mendorong kaki yang masih di udara kuat-kuat ke atas. Dengan begitu,
ayunan kakinya bisa dimanfaatkan untuk berjumpalitan ke belakang.
Wrrr
Bring
Sekejapan saja. di belakang
suara geletar kain penutup tubuh lelaki tua itu kembali menyusul lengkingan
nyaring dari patukan jari Gumbala ke punggungnya yang terbuka.
Keberuntungan tampaknya masih
mengikuti si Lelaki tua. Kecepatan sambaran tangan Gumbala, tidak bisa
mengimbangi putaran tubuhnya. Alhasil.
patukan tadi pun lolos begitu
saja.
“Aku tak mengerti, apa gunanya
peti itu bagi kalian?” kata lelaki tua setelah membentuk kuda-kuda delapan
langkah di depan lawannya. “Kau tak perlu mengerti. Kau hanya perlu
mengatakan, di mana kau kubur
peti itu. Dengan begitu, kau tak akan kehilangan nyawa” hardik Gumbala.
Baru saja kata-kata itu
kering, tanpa mau menunggu lebih lama, Gumbala melabrak lelaki tua itu.
“Hiiiah”
Bfing... bfing... bfing
Dengan maksud mencecar,
Gumbala mengirim
tiga patukan bertubi-tubi ke
arah laki-laki tua itu.
Patukan pertama mengarah ke
biji mata kanan, yang kedua mengarah ke uluhati, sedang yang ketiga ke daerah
kematian di selangkangan.
“Haith... hiah... hih”
Lelaki tua ini cepat
memiringkan tubuh ke kiri dan kanan. Dengan cara itu, dia tak lagi terganggu
angin pukulan Gumbala yang menyerbu ke depan.
Kemudian....
“Khaaa”
Beriring satu teriakan
menggelegar, tangan laki-laki tua ini mengejang membentuk kepalan. Secepat itu
pula dua kepalan tadi dihantamkan ke dada tipis Gumbala di sampingnya.
Wuuubh
Namun, seorang dari Sepasang
Datuk Karang ini cepat bertindak sambil menarik dadanya ke belakang, telapak
tangannya cepat disorongkan ke depan.
Gumbala mementahkan serangan
lawannya, dan langsung melenting berputaran.
“Kau belum berbicara, Tua
Bangka?” seru
Gumbala, begitu mendarat di
tanah.
“Aku tak akan sudi buka mulut
pada manusia- manusia macam kalian” balas lelaki tua.
“Baik kalau memang begitu
maumu” geram
Gumbala.
Selesai berkata penuh ancaman
tadi, Gumbala membuka satu jurus baru. Kali ini jurus-jurus andalannya hendak
dikerahkan agar urusan cepat selesai.
Dalam lima tarikan napas,
Gumbala terdengar menggeram bagai erangan naga. Dan tangannya yang masih
membentuk paruh gagak dibenamkan di dadanya yang mencekung. Saat berikutnya,
tubuh kurus-nya berguncang hebat. Perlahan, sepasang kakinya meregang bagai
ditarik kekuatan tak terlihat.
“Huaaa”
Diawali satu teriakan ganjil,
Gumbala meng-hempaskan tangannya ke muka dengan punggung tangan lebih dahulu.
Dorongan angin besar seketika pun tercipta, menerpa lelaki tua itu hingga
terseret beberapa kaki ke belakang.
Saat selanjutnya keanehan
terjadi. Dari setiap ujung jari Gumbala, perlahan menyembul kuku-kuku hitam
lancip. Dan setiap kukunya, asap kekuningan terlihat mengambang di sekitarnya.
Tampaknya dia sedang memusatkan racun keji pada setiap ujung jarinya.
Pada saat lelaki tua itu
terpana-pana dalam tatapan tak berkedip, Gumbala tiba-tiba meluruk ke arahnya.
“Hwaaa”
Teriakan berbau maut dari
mulut Gumbala
menyentakkan lelaki tua itu,
hingga tersadar.
Mengetahui lawan akan
merangseknya dengan jurus-jurus andalan, lelaki tua itu segera meloloskan keris
dari lipatan kain di pinggang. Sret
Wes
Baru sekejap keris pusaka
diloloskan, tangan Gumbala menyambar deras ke wajahnya. Seketika sebentuk
cahaya kekuningan terbersit dalam bentuk melengkung di ujung sambaran.
Lelaki tua itu terkesiap.
Disadari benar kalau lengkungan sinar kuning itu akan membuat tubuhnya mengejang
biru, jika sedikit saja tersentuh. Karena itu, sebisa mungkin wajahnya
dijorokkan ke belakang.
Dengan kerisnya, dibabatnya
tangan lawan yang menuju wajahnya.
Wesss
Trang
Luar biasa Mata keris yang
mampu membelah batu karang ini ternyata tidak berdaya membentur ujung tangan
lawan. Senjata itu bagai baru saja menghantam baja murni, hingga menyebabkan
timbulnya percikan bunga api. Bahkan tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah.
Untuk kedua kalinya lelaki tua
itu terpana. Matanya terbelalak besar sebagai ungkapan kekagetan sekaligus
kekagumannya. Sayang, keterpanaannya kali ini membuatnya tak ingat pada
serangan lawan.
Maka kesempatan itu
dimanfaatkan benar-benar oleh Gumbala. Seketika satu sodokan mematikan
dilancarkan ke depan. Dua tangannya yang berkuku panjang dan tajam langsung
dihujamkan ke bagian dada lelaki tua ini.
Cras Cras
“Aaakh”
Satu lengkingan panjang kontan
terlontar dari si Lelaki Tua. Tubuhnya sendiri tersentak tertahan dua langkah
ke belakang. Kedua tangannya langsung memegangi dadanya yang berlubang
kehitaman.
Hangus dengan darah membeku.
Setelah berdiri limbung
beberapa saat, tubuh tua itu tersungkur. Sekujur badannya membiru. Yang lebih
menggiriskan setiap lembar rambutnya ber-tebaran disapu angin.
“Kau memang bodoh, Tua Bangka”
sergah
Gumbala.
Laki-laki berwajah buruk ini
tiba-tiba meludahi mayat laki-laki tua itu. Lalu langsung didekati kawannya.
“Kita harus mencari tahu dari
yang lainnya, Kang.
Dia terlalu keras kepala untuk
buka mulut,” ujar Gumbala pada Lalinggi.
Yang diajak bicara hanya
mengangguk pelan.
Tak lama kemudian, keduanya
sudah meninggalkan bukit kecil itu bersama gemuruh peti mati terseret.
*** 4
Tak terasa, telah dua malam
Andika menginap di rumah Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg. Dan sore ini, Pendekar
Slebor berpamitan untuk meneruskan perjalanan. Padahal tujuannya saat ini belum
bisa dipastikan. Ke mana kaki melangkah, ke sana pula tujuannya.
Sebenarnya, jauh di lubuk
hati, Idayu Wayan Laksmi tidak ingin Andika pergi. Di samping merasa aman akan
kehadiran seorang pendekar muda di rumahnya, dia juga mulai merasakan tumbuhnya
benih yang sulit dilukiskan.
“Bagaimana kalau I Made Raka
kembali lagi ke sini, Beli?” tanya Idayu Wayan Laksmi sebagai alasan
keberatannya terhadap kepergian Andika, ketika mereka berada di luar rumah.
“Kau bisa berdoa pada Tuhan
untuk memohon perlindungan. Karena sebaik-baiknya perlindungan, ada di
tangan-Nya,” sahut Andika.
“Biar saja dia pergi Mbok
Dikira hanya dia saja yang bisa menghadapi si Raka”
I Ktut Regeg yang masih
mangkel pada Andika yang melarangnya membuka peti, dengan acuh bersuara dari
dalam rumah gubuk.
“Regeg” bentak Idayu Wayan
Laksmi kesal.
Adiknya itu malah tidak
membantunya sama sekali untuk menahan Andika.
Andika sendiri hanya tersenyum
menahan tawa.
“Tapi Beli janji akan kembali
lagi ke sini, bukan?”
mohon Idayu Wayan Laksmi,
sepenuh hati. Wajah ayunya menampakkan keberatan nan dalam.
“Akan kuusahakan,” jawab
Andika, lembut.
“Biarkan dia pergi, Mbok Dia
itu pemuda sombong” sergah I Ktut Regeg lagi.
Anak muda tanggung itu kini
sudah muncul di ambang pintu. Kepalanya dijulurkan dengan wajah ditekuk.
“Waktu itu saja dia
mengatakan, tak ingin menjadi kekasih Mbok. Padahal aku sudah setengah mampus
menawarkan Mbok jadi keka....”
I Ktut Regeg memenggal
ocehannya, karena tiba-tiba saja kakaknya berbalik dengan mata melotot.
“Keterlaluan kamu, Geg” hardik
Idayu Wayan Laksmi.
I Ktut Regeg cepat menutup
mulutnya dengan tangan.
“Eee, ketelepasan,” gumam
pemuda tanggung itu enteng.
“Maafkan adikku, Beli, ” tutur
Idayu Wayan Laksmi cepat pada Andika. “Mulutnya memang suka seenaknya
berbicara.”
Tampak wajah gadis itu bersemu
merah karena menahan malu.
“Tidak apa-apa,” sahut Andika.
Dalam hati, pendekar muda itu
ingin sekali menyumpal mulut I Ktut Regeg dengan setumpuk telur busuk.
“Aku pamit, Laksmi,” hatur
Andika.
Setelah menjura pada Idayu
Wayan Laksmi,
Pendekar Slebor pun berbalik
dan melangkah pergi.
“Tunggu, Beli...” tahan Idayu
Wayan Laksmi.
Gadis itu ingin sekali
mengiringi kepergian Andika hingga ke batas desa. Tapi rasa sungkan membuatnya
tak jadi mengungkap keinginan, ketika Andika menoleh.
“Ada apa, Laksmi?” tanya
Andika, karena gadis ayu itu tidak juga bicara.
Idayu Wayan Laksmi tergagap,
wajahnya kembali dirayapi warna merah merona.
“Tid... tidak apa-apa, Beli”
jawab Idayu Wayan Laksmi cepat. “Aku hanya ingin mengatakan, hati-hati.”
“Terimakasih,” kata Andika,
lalu melangkah kembali.
Idayu Wayan Laksmi terus
memandangi punggung pemuda itu sampai tertelan kerimbunan semak di kejauhan.
Entah disadari atau tidak, mata gadis itu tampak berkaca-kaca. Mungkin merasa
begitu kehilangan pada lelaki tampan yang baru dikenalnya dua hari itu.
***
Matahari terus merangkak dalam
garis edarnya.
Pada puncak siang, sinarnya
memanggang garang wajah bumi. Suasana menjadi tidak nyaman. Bahkan angin pun
terasa panas berhembus.
Andika kini telah tiba di
suatu daerah berhutan.
Berarti, Pendekar Slebor
berjalan semalaman hingga siang ini. Panas yang sejak tadi tak dipedulikannya,
kini tidak bisa lagi menyengat karena lindungan daun pepohonan tinggi.
Sambil bersiul mendendangkan
lagu ceria, Andika menembus hutan yang tak begitu lebat. Dan begitu memasuki
pedalaman hutan, telinganya yang terlatih menangkap suara erangan. Langkahnya
dihentikan untuk memasang pendengaran lebih tajam.
“Hm.... Kira-kira tiga puluh
depa dari sini,” bisik Pendekar Slebor menentukan asal suara itu.
Cepat Pendekar Slebor
menggenjot tubuhnya.
Naluri kependekarannya
langsung memerintah untuk segera tiba. Maka segera dikerahkannya ilmu
meringankan tubuh, sehingga sekejap saja tubuhnya sudah berkelebatan dari satu
pohon ke pohon lain.
Bahkan lebih cepat daripada
macan kumbang, dan lebih tangkas dari seekor kera.
Tak lama Pendekar Slebor
berkelebat, kini telah tiba di tempat kejadian. Tampak di depan sana seorang
wanita tua terkapar di tanah. Erangannya masih terdengar. Hanya sudah demikian
lirih. Tubuhnya berusaha merangkak, namun hanya sempat menggapai-gapaikan
tangan saja. Tubuhnya begitu lemah, akibat terlalu banyak mengeluarkan darah
dari luka menganga di bahu kirinya.
Andika cepat menghampiri.
Diangkatnya tubuh lemah wanita tua itu, lalu disandarkan ke pahanya.
“Kenapa Odah*? Apa yang
terjadi?” tanya Andika.
“Me... mereka menginginkan
peti itu...,” gumam wanita tua itu lemah.
“Peti apa, Odah?” susul
Andika, tak mengeri.
“Pe...”
Hembusan napas panjang
terdengar. Seketika nyawa wanita malang itu telah berakhir menyedihkan.
Andika meninju tanah geram.
Bukan karena belum sempat mengetahui maksud yang hendak disampai-kan wanita tua
di pangkuannya, melainkan gundah tak sempat memberi pertolongan.
“Manusia keparat mana lagi
yang melakukan perbuatan biadab ini?” desis Pendekar Slebor sambil meletakkan
kepala si Wanita tua ke tanah.
Dan baru saja kepala wanita
tua itu menyentuh tanah, di kejauhan terdengar teriakan tinggi meng- angkasa.
Pendekar Slebor bergegas
bangkit. Kembali matanya menatap mayat wanita tua itu.
“Aku akan kembali untuk
menguburmu dengan layak, Odah, ” kata Andika sebelum menggenjot tubuhnya.
Setelah itu, Pendekar Slebor
langsung melesat ke asal teriakan yang didengarnya barusan.
Tak memakan waktu lama, Andika
sudah dapat menemukan tempat yang dituju. Tampak dua lelaki sedang mengeroyok
lelaki tua berusia tak berbeda dengan wanita tua yang ditemui sebelumnya.
Kira-kira sembilan puluh tahun.
Lelaki tua yang sedang
habis-habisan dikeroyok itu berambut putih merata, layaknya orang berusia
lanjut. Tak seperti orang Bali pada umumnya, jubah yang dikenakannya berwarna
biru tua dengan pangsi hitam. Wajahnya berkesan keras, namun sinar matanya
sejuk. Kumisnya tebal memutih menghiasi wajahnya yang berwibawa.
Sementara dua lelaki yang
sedang bernafsu hendak menghabisinya, yang seorang mengenakan caping dan
seorang lagi berwajah buruk. Tak salah lagi, mereka adalah Sepasang Datuk
Karang yang selalu menyeret peti mati besar.
Keadaan gawat yang dialami si
Lelaki tua itu membuat Andika secepatnya memutuskan untuk campur tangan.
“Berhenti” seru Pendekar
Slebor lantang dari jarak dua puluh lima tombak.
Sepasang Datuk Karang langsung
menghentikan tekanan mereka pada laki-laki tua yang sudah di-basahi cucuran
darah dari sudut bibirnya. Keduanya segera menoleh berbarengan ke arah Andika.
“Mau apa kau?” bentak orang yang bernama Gumbala kasar. Matanya berkilat
bengis, seakan siap menyantap pendekar muda itu.
“Ah, ah, ah Bukan kau yang
mesti bertanya, tapi aku Mau apa kalian terhadap lelaki tua itu?” balas
Pendekar Slebor, tak kalah kasar. Jangan tanya, bagaimana bencinya Andika
terhadap orang yang sok berkuasa seperti Gumbala.
“Bocah busuk” maki Gumbala
menggeram.
Kaki laki-laki berwajah buruk
itu melangkah gusar hendak memberi sedikit pelajaran pada pemuda yang dianggap
hijau yang punya nyali mengusik mereka.
Lalinggi, lelaki yang
bercaping segera mencegah.
Dibentangkannya sebelah tangan
di depan Gumbala.
“Anak Muda Kami harap kau tak
ikut campur pada urusan kami. Kami hanya ingin lelaki tua itu mengatakan
sesuatu pada kami, tapi....”
“Tapi kenapa kalian memaksanya
juga?” serobot Pendekar Slebor, tak peduli.
“Banyak mulut kau...” Gumbala
kian tak sabar.
Sekali lagi, Lalinggi menahan
kawannya.
“Sekali lagi kukatakan padamu,
Anak Muda.
Jangan campuri urusan kami,”
ancam Lalinggi dingin.
“Hmmm....”
Andika mengangguk-angguk
dengan wajah men-cemooh. Tangannya mengusap-usap dagu, seolah seorang guru
sedang menilai kedua muridnya yang nakal.
“Apa orangtua kalian tidak
pernah memberitahu, kalau memaksa orang lain adalah perbuatan yang tak se...
no... nohhh” hardik Pendekar Slebor dengan mata membulat.
Andika lantas mengalihkan
pandangannya kearah laki-laki tua yang jadi korban keroyokan Sepasang Datuk
Karang.
“Pak Tua, izinkan aku sendiri
mendidik dua bocah tak tahu adat ini Mungkin aku perlu memberi sedikit jeweran
di telinga masing-masing...,” kata Pendekar Slebor dengan wajah dibuat judes.
Sampai di situ, Lalinggi pun
terpancing.
Kemarahannya akhirnya pecah
juga. Hanya tokoh persilatan yang tak memiliki harga diri yang sudi
diperlakukan seperti anak kecil.
“Kau boleh menghajarnya
sekarang, Gumbala,”
ucap Lalinggi. “Biar kuurus
lelaki tua itu.”
Seperti diberi kesempatan
untuk bersenang-senang, Gumbala maju bernafsu ke arah Pendekar Slebor.
“Bersiaplah. Karena mulutmu
akan segera
kurobek, Bocah Busuk” geram
Gumbala sambil membuka jurus 'Paruh Gagak'nya.
“Heeeaaa”
Teriakan serak tercipta
bersama terjangan tubuh kurus Gumbala. Diterkamnya Pendekar Slebor dengan satu
lompatan ke udara. Sepasang tangannya yang berbentuk paruh gagak, membuat
serentetan cabikan ke depan. Sasarannya, tentu saja wajah pemuda di depannya.
Meski lawan sudah siap
merobek-robek wajahnya, Pendekar Slebor masih sempat tersenyum-senyum mengejek.
Sewaktu wajah buruk Gumbala mengeras karena teriakan, Andika pun menarik
otot-otot wajahnya, hingga terlihat seperti orang telat buang air.
“Waaa Ada setan laut ngamuk”
jerit Pendekar Slebor dibuat-buat.
Ketika tangan Gumbala nyaris
tiba di wajahnya, barulah Andika berkelit secepat kilat ke satu sisi. Krak
Glarrr...
Seketika dua batang pohon
besar yang ber-
himpitan menjadi korban
sasaran jurus kejam Gumbala. Setengah bagian kayu pohon itu terkoyak sebesar
kuali. Serat-seratnya berhamburan ke mana-mana, tersapu angin yang bertiup
cukup kencang.
Andika memang keterlaluan. Tak
terlalu berlebihan kalau dijuluki Pendekar Slebor, saat pemuda itu santai
meniup-niup serat kayu yang terbang ke arahnya seraya berjingkat-jingkat.
Tingkah urakan itu benar-benar
dianggap sebagai sebuah penghinaan oleh Gumbala. Malah keinginan-nya untuk
mencabik-cabik Andika makin menggebu saja. Dengan penuh nafsu, sekali lagi
diterjangnya Pendekar Slebor.
“Khiiiah”
Bfing Bfing
Satu terkaman lagi dilakukan
Gumbala. Kali ini, tangannya diayunkan bertubi-tubi dari samping kanan.
Tapi, santai saja Pendekar
Slebor memapaki satu persatu patukan tangan lawan. Plak Plak Plak
Angin pukulan kuat yang bisa
melecut kulit tubuh milik Gumbala, seperti ditelan begitu saja oleh tenaga
papakan Andika. Tindakan itu sungguh membingung-kan laki-laki berwajah buruk
itu. Yang lebih mem-bingungkan ketika Gumbala merasakan sesuatu yang tak beres
di dada cekungnya.
Lelaki buruk rupa itu
berjumpalitan ke belakang.
Ingin dibuktikan, bagaimana
perasaannya tadi. Saat dadanya dilihat, ternyata sudah ada tulisan dari serat
kayu menembus kulit luarnya. Bunyinya 'Aku Hewan Langka, Lestarikan'
Mata Gumbala lantas saja
terbelalak. Tulisan itu terlalu panjang untuk dibuat dalam waktu demikian
singkat. Untuk membuat serat kayu tembus ke kulit saja, sudah cukup sulit.
Bagaimana pemuda itu bisa melakukannya demikian cepat?
Kini mata bulat Gumbala beralih
ke arah Andika.
Ketercengangannya belum
tuntas. Benaknya masih bertanya-tanya, siapa pemuda itu sesungguhnya.
Sementara Pendekar Slebor yang
sedang diperhatikan, sibuk mengamati hasil karyanya di tubuh Gumbala. Sebelah
alisnya terangkat seraya mem-perdengarkan gumaman panjang.
Ingin sekali saat itu Gumbala
melontarkan pertanyaan, siapa lawan yang dihadapinya kini. Tapi karena hatinya
berbisik kalau sedang menghadapi lawan tangguh yang mungkin tidak terkalahkan,
dia malah berpikir untuk menyingkir saja.
“Kang Lalinggi Lebih baik kita
menyingkir” teriak Gumbala seraya melayang ke belakang.
Saat itu, Lalinggi tampak
telah berhasil membuat lelaki tua yang dihadapi terluka lebih parah. Dan karena
sudah memastikan kalau lawannya tidak akan membuka mulut tentang peti yang
dicari, maka usul Gumbala untuk menyingkir disetujuinya.
Seketika keduanya melesat
pergi diiringi tawa terkekeh Andika. Tapi setelah itu, tawanya terpenggal
begitu saja kala menyadari satu kesalahan.
“Astaga Kenapa kubiarkan saja
bajingan bercaping itu menggasak Pak Tua,” desah Pendekar Slebor.
Dengan kekhawatiran
menggelegak, Andika bergegas menoleh pada si Lelaki Tua. Kekhawatirannya
terbukti. Orang tua naas itu sedang terbaring lemas dengan napas
terengah-engah.
“Maafkan aku, Pak Tua.
Mestinya aku tak mem- biarkan seorang dari mereka membuatmu seperti ini,” sesal
Andika, di sampingnya.
Sambil memegangi dadanya yang
terbakar telapak tangan Lalinggi, lelaki tua itu megap-megap berusaha
mengucapkan sesuatu.
“Jangan berkata apa-apa dulu,
Pak Tua Biar kucoba mengobati lukamu dulu” sergah Andika.
“Ja... jang... an,” tolak
laki-laki tua itu, lirih tersendat. “Aku sudah tak mungkin ditolong lagi.
Serbuk racun itu pasti sudah
merasuki tubuhku.
Sebentar lagi, jantungku tentu
akan dihanguskannya.
Aku hanya minta padamu... satu
hal. Akhhh....”
“Katakanlah, Pak Tua Aku akan
berusaha
sebisanya memenuhi,” ucap
Andika.
Susah payah si Lelaki Tua
menyeret napas satu-satu. Dikumpulkannya udara ke paru-paru yang terasa
tercabik-cabik.
“Tolong selamatkan peti
berukir satria yang sedang bertarung dengan raksasa 'Kala'. Jangan sampai peti
itu jatuh ke tangan kedua orang tadi...,”
pinta laki-laki tua itu nyaris
tak kentara.
“Peti berukir satria....”
Tiba-tiba benak Andika kembali
pada peristiwa dua malam lalu, saat I Ktut Regeg sedang berusaha membongkar
satu peti kecil. Peti yang ditemukan I Ktut Regeg pun memiliki ukiran seperti
digambarkan lelaki tua di dekatnya.
“Kalau peti itu sampai jatuh
ke tangan mereka, dunia persilatan akan menghadapi bahaya besar,”
lanjut si Lelaki Tua,
membuyarkan lamunan Andika.
“Kenapa begitu, Pak Tua?”
tanya Andika ingin tahu.
Tak ada jawaban. Kecuali suara
hembusan napas terakhir. Sebuah napas kematian. 5
Rasa penasaran bergumpal dalam
benak Pendekar Slebor. Ada apa sebenarnya dengan peti itu, sehingga begitu
diinginkan dua lelaki yang mengaku sebagai Sepasang Datuk Karang? Geletar
keingintahuannya pun meminta, untuk segera kembali ke rumah Idayu Wayan Laksmi
setelah dua jenazah orang tua malang yang didapat Andika dikuburkan.
Dengan pengerahan ilmu
meringankan tubuh
penuh, tidak terlalu lama
Pendekar Slebor sudah sampai kembali ke pekarangan rumah Idayu Wayan Laksmi dan
adiknya, I Ktut Regeg. Kebetulan saat itu I Ktut Regeg sedang bersila di depan
pintu, menimang-nimang ayam sabungan kesayangannya.
“Geg Kebetulan sekali kau
tidak ke mana-mana,”
sapa Andika, mengejutkan anak
muda tanggung itu.
I Ktut Regeg menatapnya acuh.
“Kenapa kembali?” tanya pemuda
tanggung itu sedikit tak ramah.
Andika duduk di sampingnya.
Maksudnya untuk sedikit melunakkan ambekan hati anak kurus itu.
Sambil tersenyum lebar,
digandengkannya tangan ke belakang I Ktut Regeg.
“Kau masih kesal padaku karena
soal peti itu, ya?”
rayu Andika.
I Ktut Regeg bersikap bodoh
sambil terus menimang-nimang ayam jantan di tangannya. Mulutnya pun sengaja
bersiul kencang-kencang, seakan tidak ingin mendengar ucapan Andika.
“Kau marah, karena aku
melarangmu membuka- nya, bukan?” lanjut Andika.
Sambil berkata demikian,
Pendekar Slebor meninju bahu kurus I Ktut Regeg perlahan. “Biar si Setan Kurus
ini bisa merasa lebih akrab,” pikirnya.
I Ktut Regeg tetap acuh tak
acuh.
“Hey? Bagaimana kalau kita
membukanya
sekarang? Aku pikir boleh juga
kita melihat isinya, bukan? Yang penting, kita tidak berniat jahat. Hanya
melihat isinya saja, toh?” bujuk Andika susah payah, dengan mimik dibuat
semanis mungkin. Padahal, hatinya mendongkol.
Si Anak Kurus itu mulai mau
menoleh padanya.
“O, ya?” tanya I Ktut Regeg,
masih tetap terdengar dingin.
“Ooo, iya.... Pasti itu”
sergah Andika cepat.
“Cari sana di laut” sentak I
Ktut Regeg.
Andika memiringkan kepala.
Ditatapnya I Ktut Regeg tak mengerti.
“Apa kau bilang tadi?” tanya
Pendekar Slebor dengan alis bertaut.
“Aku bilang, cari sana di
laut” ulang I Ktut Regeg satu-satu.
Andika terlonjak. Seperti
kerasukan, dia berdiri cepat. Lalu dicengkeramnya bahu I Ktut Regeg, sehingga
terangkat.
“Apa maksudmu?” teriak
Pendekar Slebor
bersama beliakan mata.
“Peti itu baru saja kubuang ke
laut. Apa tidak mengerti juga? Ah, pendekar sakti kok bodoh...,”
gerutu pemuda tanggung itu
tenang, tak peduli pada tubuhnya yang tergantung di tangan kekar Andika.
“Apa kau sinting?” maki
Andika. “Peti itu amat berharga, tahu? Bisa membuat bencana, jika dua manusia
busuk itu menemukannya” “Siapa suruh ' Beli' melarangku membukanya?” I Ktut
Regeg balik membentak, “Kalau waktu itu kita membukanya, tentu sudah tahu apa
isinya. Dan kita tahu pula, peti itu berbahaya atau tidak?”
Napas I Ktut Regeg turun naik.
Dada kerempeng-nya kembang-kempis seperti orang sekarat.
Sementara Andika jadi jengkel.
Dilepas begitu saja tubuh I Ktut Regeg.
Bruk
Tumpukan tulang hidup itu
kontan mencium tanah.
Pantatnya pun terantuk batu
sebesar kepalan centeng, membuatnya meringis-ringis sambil memegangi pantat.
“Sekarang katakan, di mana kau
buang benda itu?” tanya Andika mulai tenang kembali.
“Aku sudah bilang di laut”
“Aku tidak tuli. Aku juga
sudah dengar, kau tadi bilang di laut. Tapi di sebelah mana? Apa di Lautan
Cina?” desak Andika, langsung menjewer I Ktut Regeg kuat-kuat.
“Di Pantai Buleleng sebelah
barat” jawab I Ktut Regeg sembari meringis-ringis.
“Anak pintar,” kata Andika,
memuji. Tapi setelah itu dihadiahkannya tamparan gemas ke kepala I Ktut Regeg.
Plak
“Adow Heee. beraninya sama
anak kecil”
Andika tak mempedulikan lagi
ejekan anak biang kerok itu. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanya
secepatnya pergi ke Pantai Buleleng untuk menyelamatkan peti yang dimaksud,
sebelum didahului Sepasang Datuk Karang.
“Tak ada titip salam buat
Mbok-ku. ' Beli'?” ledek I Ktut Regeg, belum puas. “Kalau naksir, ya naksir
Jangan pura-pura segala”
Baru saja selesai ucapan I
Ktut Regeg....
“Tolooong...”
Terdengar jeritan keras minta
tolong. Jelas, itu suara Idayu Wayan Laksmi, kakak I Ktut Regeg.
“Ada apa, Geg?” tanya Andika.
Dengan sigap, tubuh Pendekar
Slebor segera memburu ke pintu gubuk besar itu. Dilewatinya I Ktut Regeg yang
masih terlongong-longong karena kaget.
“Mana aku tahu?” kata I Ktut
Regeg. Padahal tubuh pendekar muda itu sudah menghilang di balik pintu.
Begitu berada di dalam gubuk,
Andika menemukan sesuatu yang membuatnya gusar. Dalam keadaan mendesak saat
Pendekar Slebor harus menemukan secepatnya peti berbahaya itu, seseorang
ternyata telah menculik Idayu Wayan Laksmi. Kesimpulan seperti itu bisa
langsung diambil Andika, manakala matanya melihat dinding bilik bambu di ruang
tengah tampak jebol besar. Sementara kendi air minum berantakan di lantai
tanah.
Satu lagi kesimpulan yang bisa
diambil. Jelas, penculik Idayu Wayan Laksmi memiliki ilmu yang tak bisa
dianggap remeh. Kalau ilmunya tanggung, sudah pasti penculik itu bisa langsung
dipergoki Andika sebelum bisa membawa lari Idayu Wayan Laksmi.
Waktu yang dibutuhkan si
Penculik untuk menjalankan niat jahatnya, ternyata lebih cepat daripada gerakan
masuk si Pendekar Slebor
Di satu sisi Pendekar Slebor
tidak boleh didahului Sepasang Datuk Karang untuk menemukan peti. Di sisi lain,
Pendekar Slebor juga harus menyelamatkan Idayu Wayan Laksmi, yang tentu saja
harus menghadapi si Penculik. Kepandaian si Penculik ini diperkirakan akan
banyak membuang waktunya.
“Monyet buduk, kutu botak.
bangsat norak...”
Pendekar Slebor memaki-maki
kalap. Kalau matanya tak tertumbuk pada sehelai daun lontar di meja kayu, tentu
akan terus menyumpah-nyumpah sampai kehabisan suara.
“Apalagi ini,” gumam Pendekar
Slebor. Diraihnya daun lontar itu, dan langsung dibuka lipatannya.
Maaf, jika aku harus menculik
Idayu Wayan Laksmi. Karena hanya dengan cara itu aku bisa mengundangmu untuk
sedikit berpesta di tepi desa dekat gapura masuk. Ya Berpesta menghadapi orang
bayaranku. Aku ingin sekali melihatmu terkapar di tangan orangku itu. Sekali
lagi, aku minta maaf atas semua ini.
IMade Raka.
“Maaf... maaf. Gonderuwo”
Andika dongkol. Direjamnya
daun lontar itu geram, sambil membayangkan kalau daun itu adalah wajah manusia
bernama I Made Raka.
Dari lubang besar di dinding
gedek, Andika melompat keluar. Satu-satunya cara terbaik adalah lari dengan
kekuatan penuh, agar cepat tiba dibatas desa. Sekejapan baginya bisa saja amat
berharga, mengingat pesan lelaki tua tentang peti berukir itu.
Pengerahan kemampuan ilmu
meringankan tubuh yang tak tanggung, membuat jarak cukup jauh ke tapal batas
desa bisa ditempuh Pendekar Slebor hanya dalam waktu singkat.
*** Tapal batas desa saat itu
lengang. Tak tampak ada orang melintas, karena hari sudah begitu senja. Para
petani yang biasanya lewat, sudah tak terlihat seorang pun. Mereka mungkin
sudah tiba di rumah masing-masing.
Dalam siraman warna jingga
lembayung, dua orang berdiri bersandar pada gapura. Yang seorang adalah wanita
uzur berpakaian berbentuk piyama longgar warna hitam. Tubuhnya yang renta,
ditopang se-batang tongkat di tangan kanan. Rambutnya yang putih merata
dibiarkan terlepas ke mana-mana.
Sebagian besar wajahnya pun
tertutup juluran rambut. Sehingga, wajahnya sulit dikenali. Namun yang jelas,
dia memiliki dagu panjang berkerut dengan bibir berkesan kejam.
Sedang orang kedua tak lain
dari I Made Raka.
Ketika Andika tiba di sana,
lelaki itu menyambut bersemangat, penuh basa-basi menyebalkan. Sambil
merentangkan tangan lebar-lebar, disambutnya kedatangan Pendekar Slebor.
“Ah, akhirnya kau datang juga
Kupikir kau agak ngeri dengan tantanganku,” kata I Made Raka seraya tersenyum
lebar mengejek.
“Jangan banyak mulut, Raka
Mana Laksmi?
Cepat serahkan padaku” terabas
Andika tak sabar.
“Ooo, jangan terburu nafsu.
Aku tahu, wanita itu memang menggiurkan....”
“Di mana dia?” bentak Andika
geram. Wajah pemuda itu mulai memerah.
“Sesuai aturan, kau harus bertarung
dulu dengan-nya.”
I Made Raka mengerlingkan bola
matanya ke arah perempuan tua di belakangnya.
“Aku tak ada waktu menuruti
kemauan bodohmu” hardik Andika makin keras.
Pendekar Slebor segera
mendekati lelaki itu dengan mata merah membara. Ingin sekali dipatah-kannya
batang leher I Made Raka. Namun baru dua langkah maju, perempuan tua di
belakang I Made Raka melompat ringan, lalu turun tepat di depan tuannya.
“Anak Muda Kau harus
menghadapi aku,” ucap perempuan tua itu dingin.
“Kenapa harus? Apa kau pikir
aku sudi sepertimu, yang mau saja dijadikan kacung oleh manusia sampah seperti
dia?” dengus Andika, sebal.
“Kau harus menghadapiku,”
ulang wanita itu penuh tekanan, seperti tidak peduli perkataan pemuda di
depannya. “Aku telah dibayar mahal oleh I Made Raka untuk menjajal kehebatanmu,
Bocah”
Tak ada niat perempuan tua itu
memberi
kesempatan Andika untuk
menyanggah lagi. Seketika disambarnya leher Andika dengan cakaran cepat.
Wesss
“Upfh”
Andika tak menduga perempuan
ini begitu bernafsu menghajarnya. Tapi untuk disebut bernafsu, wajah perempuan
tua yang dihadapinya tetap tak memperlihatkan perubahan mimik. Masih saja
dingin dan kaku. Kalau begitu, perempuan tua ini mungkin semacam manusia budak
uang Siap membunuh dengan tangan dingin jika ada yang bersedia mem-bayarnya.
Selaku pendekar berpengalaman
menumpuk,
terjangan mendadak seperti ini
dapat dihindari Pendekar Slebor dengan sedikit mengegoskan badan ke belakang.
Namun luputnya serangan pertama tidak berarti bahaya terlewati. Karena dengan
lebih cepat dan panas, si Perempuan Tua mengayunkan tongkat ke kaki Andika yang
masih bertahan di tempat. Wuuut
Pendekar Slebor yang sudah
telanjur menyorongkan badan ke belakang, tidak bisa lagi berbuat lain, kecuali
meneruskan dorongan tubuhnya. Dia langsung berjumpalitan ke belakang. Dan saat
berikutnya, kakinya sudah membuat kuda-kuda kembali.
“Baik..., baik. Kau ternyata
memaksa,” ucap Andika.
Pendekar Slebor segera membuka
bagian jurus awal yang diciptanya di Lembah Kutukan dahulu.
Jurus-jurusnya yang semula
ganjil dan agak lucu kini terbentang di depan mata lawan. Kakinya berjingkat,
sementara tangannya menggapai angkasa tinggi-tinggi, seperti gerakan orang yang
sedang menghindari sambaran petir.
“Ayo seranglah” tantang
Pendekar Slebor.
Berbareng satu erangan serak,
perempuan tua itu meluruk ke arah Andika. Tongkatnya berputar menderu-deru di
atas kepala, samping kiri lalu samping kanannya. Hendak diremukkannya
tulang-belulang Pendekar Slebor dalam seruntun hantaman kilat.
Wung... wung... wung Prak,
prak
Suara berderak mendadak
terdengar. Kejadiannya begitu cepat. Tahu-tahu saja, tubuh Pendekar Slebor
berpilin di udara. Mungkin salah satu bagian tubuhnya telah membentur ujung
senjata lawan, sehingga menyebabkannya terlempar seperti gasing.
Tak ada teriakan terdengar.
Dan perempuan tua itu yakin benar kalau tongkatnya tentu telah menghantam telak
kepala pendekar gagah itu. Sehingga mulutnya tak sempat lagi mengeluarkan
suara.
Sementara tubuh Andika pun
jatuh ke pangkuan bumi seperti sepotong pelepah pisang, kaku tanpa gerak.
Sungguh suatu hasil yang begitu meng-gembirakan bagi si Perempuan Tua. Itu
sebabnya, dia lantas terkikik nyaring.
“Hi hi hi... Hanya sebegitu
saja kemampuanmu, Bocah Aku kira sebelumnya, aku akan sedikit susah payah untuk
merontokkanmu,” ucap perempuan itu menggebu.
Sebagian cuping hidung wanita
ini tampak
mengembang-kempis seperti
kelinci.
“Kau lihat itu,” ujar wanita
tua itu lagi pada I Made Paka. “Orang yang kau katakan memiliki ilmu dedemit,
nyatanya tak ada apa-apanya melawan Nyi Ngurah Tambi, dukun sakti di Tanah
Bali”
I Made Raka seperti tak
percaya melihat kejadian yang dilihatnya. Mengapa pendekar muda itu demikian
cepat terkalahkan? Tapi mengingat Nyi Ngurah Tambi memiliki ilmu hitam yang
bisa saja membuat seseorang kehilangan kesadaran, dia baru bisa tertawa
mengiringi cekikikan perempuan tua itu.
“Hua ha ha... Tak percuma aku
membayar
sekantung uang emas padamu,
Nyi Ngurah Tambi”
puji I Made Raka.
“Hua ha ha...”
Mendadak seseorang menyerobot keasyikan
tawa I Made Raka. Entah dari mana datangnya suara itu.
Dan ketika I Made Raka
mengawasi sekelilingnya, tak ditemukan seorang pun di sana. Nyi Ngurah Tambi
pun melakukan hal yang sama.
Dan saat keduanya melempar
pandang kembali pada tempat pendekar tadi terkapar, pemuda itu sudah tidak ada
lagi di tempatnya. “Hua ha ha...”
Terdengar lagi suara tawa
meriah. Asalnya dari belakang tubuh I Made Raka. Kontan saja lelaki mata
keranjang itu berbalik.
“Waaa...” I Made Raka memekik
kaget, menyaksikan Pendekar Slebor sudah berdiri bersidekap dalam keadaan sehat
walatiat.
Terbirit-birit I Made Raka
lari ke arah Nyi Ngurah Tambi. Lelaki bernyali kodok itu langsung berlindung di
belakang punggung si Perempuan Tua.
Nyi Ngurah Tambi merasa
dipermainkan. Meski masih bingung kenapa lawan masih tetap utuh.
Padahal, telinganya tadi
mendengar suara berderak sesuatu yang remuk. Seraya menggeram hendak
dilabraknya Pendekar Slebor kembali.
“Eit... eit” cegah Andika
sambil mengangkat tangan ke depan. “Tak usah terburu-buru, Barangkali kau perlu
meneliti tongkatmu dulu, sebelum menyerangku kembali.”
Secepatnya, Nyi Ngurah Tambi
melirik tongkatnya.
Matanya jadi mendelik
tiba-tiba. Tongkat kayu itu ternyata sudah berubah bentuk Kedua ujungnya kini
sudah seperti ujung kuas. Entah, bagaimana kayu yang direndamnya bertahun-tahun
dalam ramuan pengeras bisa hancur masai seperti itu? Rupanya itulah yang tadi
terdengar berderak di telinganya
Dengan gusar dihempasnya
tongkat dari tangan.
Sekali lagi, si Perempuan Tua
menggeram penuh ancaman. Dan baru saja kakinya maju selangkah, Pendekar Slebor
untuk kedua kalinya menahan.
“Eit, jangan terburu-buru.
Bagaimana kalau kita sedikit berdamai?”
Nyi Ngurah Tambi menatap
pemuda yang berdiri empat tombak darinya di balik juluran rambut. Rupanya, dia
terpancing dengan kata damai yang diajukan Andika.
“Ya Tentu kau tahu apa
maksudku,” sergah Andika cepat.
Pendekar Slebor segera
mengeluarkan dua buah kantung kecil dari balik baju.
“Kau tahu ini?” tanya Andika
sambil mengguncang-guncang kantung-kantung itu di depan wajahnya. “Ini adalah
dua kantung uang emas. Kau tak perlu bersusah payah mendapatkannya. Kau tahu,
kalau aku cukup sulit dikalahkan. Perlu usaha yang berat, tentunya. Nah Kau
akan dapatkan kantung uang ini, tanpa harus buang-buang tenaga bertarung
denganku. Kau cukup memberitahuku, di mana Idayu Wayan Laksmi
disembunyikan....”
“Jangan terima, Nyi” sambar I
Made Raka cepat.
“Aku akan membay....”
“Ah, diam kau” bentak Andika.
Seketika tangan Andika
menjentik satu keeping uang emas yang diambilnya dari salah satu kantung ke
arah I Made Raka. Tuk
I Made Raka langsung bungkam
seribu bahasa.
Tubuhnya yang melorot ke tanah
langsung kaku matanya mendelik tak berkedip. Andika memang telah menotok satu
jalan darahnya.
“Bagaimana?” Andika mulai lagi
pada Nyi Ngurah Tambi.
Untuk sesaat, dukun perempuan
ini hanya
menimbang-nimbang. Tubuhnya
diam bagai arca.
Sedang matanya menatap
lurus-lurus pada Andika.
Sepertinya, dia hendak
meyakinkan diri dengan tawaran pemuda di depannya.
“Hey? Kenapa masih
menimbang-nimbang?
Berapa kau dibayar manusia
mata keranjang itu? Satu kantung, bukan? Nah? Kini kau bisa menerima dua
kantung dengan bicara. Tak sulit?” ucap Andika.
“Hmmm, baiklah,” putus Nyi
Ngurah Tambi. Uang toh lebih penting daripada kehormatan baginya.
“Bagus Sebelum kuberikan dua
kantung ini, cepat katakan di mana wanita itu disembunyikan?”
“Aku ingin uangnya dulu. Kau
bisa saja lari dariku setelah kuberitahu” kata Nyi Ngurah Tambi, keras.
“Baik..., baik. Nih”
Andika pun melempar dua
kantung uang di
tangannya. Dan dengan tangkas,
tangan Nyi Ngurah Tambi menyambar dua kantung itu. Setelah puas meneliti isi
kantung, baru perempuan itu menampakkan senyum yang lebih mirip seringai.
“Perempuan itu disembunyikan
Raka di sebuah gubuk dekat gapura, kira-kira sepeminum teh ke utara,” jelas
perempuan tua itu.
“Kau tidak menipuku, bukan?”
tanya Andika, ingin lebih yakin.
“Pemuda sundal” maki Nyi
Ngurah Tambi kesal.
“Baik, baik.... Aku percaya
padamu,” tukas Andika bergegas.
Bukannya Pendekar Slebor takut
pada Nyi Ngurah Tambi, tapi hanya paling tidak tahan kalau mulut peot
nenek-nenek itu melantunkan makian menyakitkan telinga. Dia bisa jadi sinting
mendengarnya
“Kalau begitu, terimakasih
at...”
“Pergi kau” hardik Nyi Ngurah
Tambi, memenggal kalimat basa-basi Andika.
“Ya, ya, ya... Baik, baik”
Andika kelimpungan.
Lalu Pendekar Slebor bergegas
pergi. Lagi pula, dia memang sedang mengejar waktu agar tak kecolongan Sepasang
Datuk Karang untuk mendapatkan peti berukir. Belum begitu jauh meninggalkan
tempat tadi, si Pemuda Urakan itu kontan menahan geli. Sambil berlari cepat,
dia masih juga memegangi perutnya.
Sementara dari kejauhan
telinganya mendengar sumpah serapah Nyi Ngurah Tambi dan I Made Raka yang telah
terbebas dari pengaruh totokan di tubuhnya.
“Pencopet Busuuuk” teriak
mereka berbarengan di kejauhan.
Ternyata, dua kantung uang
yang dipakainya untuk menyogok Nyi Ngurah Tambi adalah uang perempuan tua itu
sendiri yang didapat dari I Made Raka. Sedang yang sekantung lagi milik I Made
Raka yang berada di sakunya. Tak percuma Pendekar Slebor pernah menjadi copet
budiman sewaktu masih menjadi bocah kotapraja dulu.
“Dengan begitu, aku toh bisa
lebih cepat
membebaskan Laksmi,” ucap
Andika tersedak-sedak tawa.
*** 6
Sejak kepergian Pendekar
Slebor untuk menyelamatkan Idayu Wayan Laksmi. I Ktut Regeg duduk menanti di
anak tangga rumah seperti orang bodoh.
Sebelah tangannya menopang
dagu, sedang tangan yang lain menjentik-jentik papan anak tangga berirama. Sampai
saat ini, dia belum mengetahui apa yang terjadi terhadap kakaknya. Yang cuma
diketahuinya, kakaknya sedang dalam bahaya dan Andika, pendekar muda yang
dikenalnya, sedang berusaha menyelamatkan.
Tanpa disadarinya, dua lelaki
tiba di tempat itu sambil menyeret peti mati besar. Siapa lagi kalau bukan
Gumbala dan Lalinggi yang berjuluk Sepasang Datuk Karang.
Sebenarnya suara bergemuruh
yang ditimbulkan gesekan peti mati dengan permukaan tanah bisa ditangkap jelas
telinga I Ktut Regeg. Tapi karena pikirannya saat itu hanya tertuju pada nasib
Idayu Wayan Laksmi, I Ktut Regeg jadi tidak begitu mempedulikan. Sampai
akhirnya, Lalinggi menepuk pundaknya.
“Apakah kau yang bernama
Regeg, Bocah?” sapa laki-laki bercaping itu di sisi I Ktut Regeg.
I Ktut Regeg tersentak.
Lamunannya seketika buyar. Kepalanya menoleh pada Lalinggi.
“Ya, kenapa?” sahut pemuda
tanggung itu singkat tak bersemangat.
“Kudengar desas-desus dari
beberapa orang desa, kau menemukan peti kecil berukir. Apa benar?”
sambung Lalinggi.
I Ktut Regeg mendengus acuh.
“Apa pedulimu?”
kata I Ktut Regeg masabodo.
“Lebih baik kau beritahukan
padaku, di mana benda itu sekarang...,” tandas Lalinggi datar.
I Ktut Regeg mengadukan
pandangan ke penutup wajah Lalinggi. Kedua bola matanya tampak agak membesar.
“Kalau aku tak mau
memberitahu, kenapa?”
tantang pemuda tanggung ini.
Lalinggi jadi tertawa sumbang.
“Kau anak yang bernyali besar,
Bocah....”
Usai berkata, sebelah tangan
Lalinggi merogoh sesuatu dari balik pakaian. I Ktut Regeg menyangka, lelaki
bercaping itu hendak bertindak kasar padanya.
Maka dia tersentak hendak
bangkit menghindar.
Tangan Lalinggi cepat menahan
pundak I Ktut Regeg.
“Tidak perlu takut. Aku tidak
mengancammu, bukan? Ini....”
Dari balik pakaiannya, tangan
Lalinggi tadi mengeluarkan kantung kecil.
“Kantung ini berisi uang yang
cukup untuk hidupmu setahun,” lanjut Lalinggi. “Kalau kau memberitahu peti
berukir itu, kantung uang ini akan menjadi milikmu. Bagaimana?”
Sekali lagi I Ktut Regeg
menoleh ke Lalinggi.
Dipandanginya caping penutup
wajah lelaki di sampingnya tajam-tajam, seakan hendak menerobos ke celah
anyaman untuk mengenali wajahnya. Kalau tadi pantatnya dibikin berdenyut-denyut
oleh Andika karena peti berukir itu, kini ada orang aneh yang menawarinya uang.
“Kau tak yakin dengan tawaranku ini?” tanya Lalinggi.
Maka laki-laki bercaping ini
segera mengeluarkan keping-keping uang ke sebelah telapak tangannya.
Setelah itu, dimasukkannya
kembali.
“Sebenarnya aku bukan tidak
yakin pada tawaran-mu. Tapi aku hanya jadi penasaran pada isi peti berukir
itu...,” tutur I Ktut Regeg nyaris bergumam pada diri sendiri.
“Ah Tidak ada benda berharga
di dalamnya.
Kalaupun kau bisa melihat
isinya, tentu kau akan segera membuang kembali,” sergah Lalinggi.
“Jadi, apa isinya?”
“Ooo, sudahlah. Kau bersedia
menerima uang ini, atau tidak?”
I Ktut Regeg menimbang sesaat.
Toh, dia mungkin tak bisa lagi mendapatkan peti berukir yang telah dibuangnya
di laut. Sedangkan uang sekantung kecil itu, bisa dipastikan akan jadi
miliknya. Syaratnya mudah pula. Hanya membuka mulut sedikit, beres.
“Aku telah membuangnya di
sekitar pantai barat Buleleng,” jawab I Ktut Regeg akhirnya.
“Bagus, Bocah” Lalinggi
mengangguk-angguk kepala. “Terimalah ini....”
Laki-laki bercaping itu segera
melepar kantung uang ke udara.
I Ktut Regeg bergegas
mengasongkan tangan untuk menangkapnya. Tapi sebelum sempat jatuh ke telapak
tangan I Ktut Regeg, satu tangan menyambar-nya di udara. Dan ternyata, tangan
itu milik Gumbala.
“Tapi kalau kau membohongi
kami, maka kepala-mu yang jadi penggantinya,” ancam lelaki buruk itu.
Setelah itu, Gumbala baru
meletakkan kantung uang itu ke telapak tangan I Ktut Regeg. Belum juga I Ktut
Regeg mengucapkan terima kasih, kedua laki-laki itu pergi begitu saja sambil
menyeret peti mati besar seperti biasa. Tidak dipedulikan lagi pemuda tanggung
yang berjingkat-jingkat sambil melempar-lempar kantung uang ke udara.
Malam telah menjelang. Andika
dan Idayu Wayan Laksmi pun tiba. Tapi mereka tak menemukan I Ktut Regeg di
pekarangan. Di dalam rumah panggung, barulah pemuda tanggung itu ditemukan
sedang berbaring sambil berongkang kaki. Tangannya masih menggenggam kantung
uang, sementara pikirannya melayang mengkhayalkan barang-barang yang bisa
dibeli dengan uang itu.
“Regeg...,” isak Idayu Wayan
Laksmi seraya meng-hambur ke arah I Ktut Regeg. Dipeluknya sang Adik erat-erat,
lega karena bisa selamat dari kejahatan I Made Raka.
“Mbok tidak apa-apa?” sambut I
Ktut Regeg, ikut lega.
Idayu Wayan Laksmi menggeleng.
Tangannya sibuk menghapus airmata di pipi.
“Untung Tuan Andika
menolongku,” tutur gadis itu.
“Sekarang mana dia?” tanya I
Ktut Regeg, hendak melaporkan tentang kedatangan dua lelaki sore tadi.
“Di luar,” jawab Idayu Wayan
Laksmi.
I Ktut Regeg bergegas keluar.
Tapi di sana tak menemukan siapa-siapa lagi, kecuali kelengangan malam yang
diramaikan tembang hewan malam.
Andika sendiri sudah beranjak
pergi sejak Idayu Wayan Laksmi masuk ke dalam rumahnya. Tak ada waktu lagi
baginya untuk mengantar masuk atau berbasa-basi. Pendekar Slebor harus segera
ke tepi pantai barat Buleleng, untuk mencari peti berukir. Sungguh Dia tidak
mau kedahuluan Sepasang Datu Karang. Padahal tanpa diketahuinya, dua lelaki
aliran sesat itu memang sudah mendahuluinya sejak sore tadi.
Belum begitu jauh dia meninggalkan
rumah Idayu Wayan Laksmi, di tengah jalan menuju tepi desa Pendekar Slebor
bertemu sepasukan prajurit kerajaan yang berjumlah sekitar tiga puluhan orang,
lengkap dengan tombak dan tameng. Seorang di antaranya berpakaian seorang
patih. Juga, ada seorang yang pernah dilihat Andika sewaktu upacara malam
purnama waktu itu. Dialah Corkode Ida Bagu Tanca Raja Buleleng.
“Ada apa gerangan ini, Gusti?”
tanya Andika setelah dekat, dan langsung menjura hormat.
“Kau orang asing yang tinggal
di kediaman Idayu Wayan Laksmi?” tanya Cokorde berwibawa.
“Benar.”
“Tangkap dia” perintah Cokorde
tiba-tiba saja, benar-benar mengejutkan Andika.
“Tunggu dulu” sergah Andika.
“Bisakah Gusti jelaskan padaku, kenapa aku hendak ditangkap?”
Cokorde tak segera menjawab karena
patih di sebelahnya menyarankan agar tidak perlu melayani pertanyaan Andika.
“Langsung tangkap saja,
Paduka. Nanti setelah tiba di kerajaan, barulah disuruh bicara,” saran patih
yang bernama I Wayan Rama.
Patih itu berusia sekitar
empat puluh delapan tahun. Badannya kekar berotot. Sikapnya semakin gagah
dengan sebilah keris pusaka di pinggangnya.
Wajahnya tampak garang, meski
tanpa kumis melintang atau cambang bauk. Apalagi kalau memperhatikan alis
matanya yang lebat, hampir menyatu pada pangkalnya. Sinar matanya tetap
mencerminkan semangat bergelora, meski rambutnya sudah banyak ditumbuhi uban.
Berbeda dengan patihnya,
Cokorde Ida Bagus Tanca bertubuh agak pendek dan agak gemuk. Meski begitu,
perutnya tidak terlihat buncit. Dengan pakaian kebesarannya, dia tampak tak
kalah gagah dengan Patih I Wayan Rama. Wajahnya putih, dengan kumis rapi.
Karena usianya sudah cukup tua, wajahnya yang cukup tampan, tampak sudah
dihiasi kerutan.
“Tangkap pemuda itu” perintah
Cokorde Ida Bagus Tanca, setelah menyetujui saran patihnya.
Andika jadi gelagapan tak
karuan. Bibirnya meringis tak mengerti. Apalagi ketika kedua puluh delapan
orang prajurit mulai maju ke arahnya.
“Kutu koreng Bisa-bisa aku
kedahuluan Sepasang Datuk Karang...,” maki Andika.
Sementara, seluruh prajurit
sudah mengurung Pendekar Slebor dari setiap penjuru.
Tunggu duluuu” teriak Andika
kembali agak sedikit mengkel. “Ini pasti salah paham”
“Tidak ada yang salah paham.
Seorang keluarga kerajaan telah melaporkan. kalau kau telah membunuh tiga
sesepuh Buleleng” tandas Patih I Wayan Rama lantang.
“Siapa yang telah melaporkan
kebohongan itu?”
sangkal Andika:
Selama ini, Pendekar Slebor
hanya tahu ada sepasang suami-istri tua yang dibunuh Sepasang Datuk Karang.
Entah, siapa sesepuh lain yang dimaksud Patih I Wayan Rama.
“Tuan tadi menyebut-nyebut
seorang keluarga kerajaan yang melaporkan hal itu?” tanya Andika lagi.
“Apa dia I Made Raka?” Mata
Patih I Wayan Rama menyipit.
“Dari mana kau tahu?”
Tiba-tiba Andika tertawa.
“Sebaiknya Tuan sedikit
mencari tahu, apa orang itu bisa dipercaya atau tidak. Menurutku, dia hanya
seekor ular berkepala dua”
“Tutup mulutmu, Anak Muda”
bentak Cokorde dengan mata agak terbelalak. “Menyerah atau terpaksa kami
menggunakan kekerasan?”
Andika menggeleng. Bagaimana
mau menyerah kalau kesalahan tidak pernah dibuat. Menyerahkan diri untuk
dihukum karena fitnah, rasanya terlalu bodoh baginya.
“Kuminta pada Gusti, agar
menyelidiki kembali perkara ini,” kata Andika.
Patih I Wayan Rama tak bisa
bersabar lagi. Setelah meminta izin Cokorde, diperintahkannya pasukan untuk
segera menyerang Andika.
“Seraaang”
Seketika kepungan berbentuk
lingkaran besar yang dibentuk para prajurit bergerak mengecil ke satu titik,
yakni ke tubuh Andika. Bagai puluhan kuda liar, mereka meluruk menciptakan
gumpalan debu yang tersamar kegelapan malam. Tombak di tangan masing-masing
teracung lurus ke depan, siap merencah tubuh Pendekar Slebor dari tiap jurusan.
“Hiiiaaa...”
Dengan mulut mengumpat
panjang-pendek,
Pendekar Slebor menghindari
tusukan demi tusukan tombak. Seiring serbuan tiap senjata lawan, tubuh pendekar
urakan itu melengos kian kemari. Sejengkal ruang pun, saat itu amat berarti
baginya agar mata tombak tidak sempat menembus atau menyodok kulitnya.
Sebenarnya, bisa saja Pendekar Slebor melompat tinggi-tinggi ke atas, lalu
hinggap di mana pun suka.
Setelah itu, tubuhnya bisa
digenjot secepat mungkin, pergi dari tempat tersebut. Hal itu tidak
dilakukannya, karena Andika tidak mau menjadi buronan pihak kerajaan untuk
sesuatu yang tak pernah dibuatnya.
“Haih”
Trak Trak
Dua batang tombak yang menutup
ruang gerak Pendekar Slebor di bagian tulang rusuk, patah berkeping oleh
tamparan tangannya.
Slep... slep... slep...
Beberapa batang lain kontan
kandas dihimpit ketiak Andika. Saat berikutnya, semua terbelah berantakan
dicongkel sepasang pergelangan tangan Pendekar Slebor.
Prak
Bisa saja untuk selanjutnya
Pendekar Slebor mengirim pukulan beruntun pada para prajurit yang telah
kehilangan tombaknya. Namun, Andika tahu kalau lawannya hanya korban
kesalahpahaman akibat termakan fitnah manusia licik I Made Raka.
Satu-satunya cara yang bisa
diperbuat Pendekar Slebor agar terhindar dari hujaman senjata lawan, sekaligus
tidak membuat para prajurit terluka, adalah menotok jalan darah masing-masing.
Namun niat tersebut tak terlaksana, manakala prajurit yang masih memiliki
senjata cepat menerobos masuk di antara prajurit lain, seraya menusukkan ujung
tombak.
Serangan susulan mendadak itu
menerabas dari depan. Sehingga, memaksa Pendekar Slebor
melemparkan tubuh ke belakang,
melewati kepala beberapa prajurit di belakangnya. Setelah memutar tubuh di
udara sekali, kakinya menjejak kembali di tanah.
Belum lagi Pendekar Slebor
bisa menarik napas lega, lima prajurit di belakang lapisan pertama membokongnya
berbarengan.
“Hiaaa”
Zeb... zeb... zeb...
Telinga pendekar Tanah Jawa
Dwipa yang terlatih ini segera dapat menangkap ancaman bahaya di belakang.
Dengan tangkas dirinya dijatuhkan ke tanah. Dan seketika kaki kelima prajurit
tadi langsung tersapu keras, manakala tubuh Pendekar Slebor bergulir cepat ke
arah mereka. Akibatnya, mereka pun jatuh berdebam susul-menyusul.
Bruk Bruk
Kini Andika sudah berdiri
kembali sekitar tiga depa di tempat yang agak aman dari kepungan.
“Hm, mereka tampaknya begitu
terlatih untuk kulumpuhkan dengan mudah,” desis Pendekar Slebor. “Kodok bengkak
Aku makin sulit saja untuk segera tiba di pantai barat Buleleng....”
“Serang lagiii...” seru
seorang prajurit, penuh gelora.
Para prajurit baik yang masih
bersenjata maupun yang tidak, dengan berapi-api menerjang untuk yang kesekian
kalinya. Selaku prajurit sejati, mereka memang digembleng untuk tidak mudah
menyerah.
Sikap mereka bagai sudah tidak
lagi memiliki rasa takut mati. Mereka percaya, mati dalam mengemban tugas
negera adalah terhormat.
Hal itu semua terangkum dalam
dasar hukum adat dalam Tri Pepali, atau Tiga Dasar Hukum bagi kehidupan manusia
sebagai keyakinan mereka. 'Sepi ingpamrih rame inggawe'.
Kali ini, serangan para
prajurit demikian kompak menggebu. Keadaan yang makin menempatkan
Andika pada keadaan yang
sulit, di mana harus menyelamatkan dirinya tanpa melukai seorang lawan pun.
Maka saat itulah Pendekar Slebor harus menentukan pilihan. Membiarkan dirinya
direncah lawan, atau menghantam balik dengan akibat kematian. Dan mendadak....
“Berhenti”
Pada saat yang rawan itulah,
tiba-tiba teriakan mengguntur menyelamatkan Andika dari tindakan yang tak
diharapkan. Dan seketika, semua mata mencari arah datangnya suara.
Entah dari mana datangnya,
tahu-tahu muncul seorang laki-laki tua berpakaian hitam-hitam di belakang
Cokorde Ida Bagus Tanca.
“Ki Lantanggeni Kenapa kau
mencegah kami menangkap bocah perusuh ini?” tanya Raja Buleleng itu, seperti
tidak senang. Rupanya, raja ini sudah kenal dekat dengan laki-laki tua yang
dipanggil Ki Lantanggeni tadi.
“Dia tidak bersalah, Cokorde.
Akulah saksinya,”
kata Ki Lantanggeni.
Kemudian Ki Lantanggeni segera
menceritakan apa yang disaksikan terhadap tindakan I Made Raka selama ini. Juga
tentang fitnah yang dilimpahkan kepada Pendekar Slebor.
*** 7
Di pantai barat Buleleng.
Ombak susul-menyusul, menepis jutaan buih ketepian. Deburnya menciptakan irama
alam teratur, seakan tetabuhan genderang dari alam jauh tak tergapai mata.
Tebaran pasir putih di mana-mana, membersitkan cahaya-cahaya kecil kala sinar
mentari senja menimpa, bagai timbunan permata halus berkilau menawan.
Di bibir pantai, jejak
memanjang terlihat. Asalnya dari seretan peti mati besar yang ditarik dua
lelaki.
Siapa lagi kalau bukan
Sepasang Datuk Karang.
“Apakah anak itu telah
membohongi kita, Kang?”
ungkap Gumbala.
Telah lama mereka hanya
memusatkan mata pada pantai, mencari kotak berukir yang diincar.
“Hampir sepanjang pantai kita
susuri, kotak berukir itu belum juga kita temui,” kata Gumbala lagi.
Lalinggi tidak menyahut. Dari
balik caping yang menutup wajahnya, mata lelaki itu terus mengawasi jengkal
demi jengkal pantai barat Buleleng.
“Kita belum lagi sampai di
batas pantai, Gumbala,”
ujar Lalinggi, dingin
akhirnya.
“Tapi kalau anak sundal itu
membohongi, sia-sia saja usaha kita. Dengan begitu, kita toh hanya membuang
waktu percuma,” sungut Gumbala.
“Aku tahu. Tapi, percayalah.
Jika anak itu membohongi kita, dia harus menerima akibatnya,” balas Lalinggi.
“Ya Aku ingin sekali menghancurkan
batok kepalanya” “Apakah sekarang kau bisa diam dan meneruskan pencarian?”
bentak Lalinggi.
Gumbala diam. Kalau Lalinggi
sudah menghardik seperti itu, dia tidak berani macam-macam lagi.
Dengan menekuk wajah buruknya
dalam-dalam, diturutinya perintah Lalinggi.
Kini keduanya meneruskan
pencarian. Sampai di satu bagian pantai mereka menemukan sesuatu yang
terapung-apung di bibir pantai.
“Itu dia, Kang” seru Gumbala.
“Ya, aku tahu.”
Mereka pun segera mendekat.
Benar Ternyata benda terapung itu memang kotak berukir yang selama ini dicari.
Tanpa menunggu perintah Lalinggi lagi, Gumbala dengan wajah berseri-seri segera
menjemput kotak itu.
“Ini, Kang...,” kotak di
tangannya segera pula diantar pada Lalinggi. “Periksalah dulu, Kang,” pinta
Gumbala.
Lalinggi menerima kotak itu
dari tangan Gumbala.
Untuk beberapa saat, diteliti
seluruh bagian kotak, untuk meyakinkan kalau tidak keliru. Tak lama kemudian
kepala bercaping Lalinggi pun bergerak-gerak berirama. Rupanya, dia
mengangguk-angguk puas.
“Sebentar lagi kita akan
menjadi murid seorang tokoh hitam yang bakal menaklukkan dunia
persilatan Gumbala,” kata
Lalinggi.
Selesai mengungkapkan isi
hatinya, Lalinggi tertawa canggung. Hal yang selama ini belum pernah
dilakukannya.
Sedang Gumbala ikut menimpali
tawa Lalinggi, penuh kemenangan. Suaranya yang serak, terdengar bagai jeritan
burung pemakan bangkai. “Sekarang kita harus cepat pergi dari sini,” ajak
Lalinggi setelah puas tertawa.
Gumbala cepat mengangguk. Maka
kini keduanya pun pergi. Seperti biasa, mereka menyeret peti mati besar
bersama-sama. Hanya, kali ini ada satu peti kecil berukir di tangan Lalinggi.
***
Goa Karang Hitam berada tak
begitu jauh dari pantai barat Buleleng. Letaknya tepat di kaki satu bukit
karang yang tak begitu menjulang. Sewaktu menemukan goa itu, Lalinggi dan
Gumbala ber-sepakat untuk memanfaatkanya sebagai tempat menjalankan sebuah
rencana.
“Goa ini benar-benar cocok
dengan rencana kita.
Kebetulan sekali, Kang,” cetus
Gumbala saat keduanya telah memasuki goa buntu, sedalam kira-kira lima puluh
depa.
“Ya,” jawab Lalinggi singkat
seraya mengangkat kayu bakar yang digunakan sebagai penerang.
Dipandanginya seluruh bagian
dinding goa yang dipenuhi lumut. “Kita harus segera membuat api unggun.”
Gumbala menuruti ucapan Lalinggi.
Kayu-kayu kering yang telah dikumpulkan sebelum memasuki goa, segera
diserakkannya di dasar goa berpasir ini.
Lalu mulai dibuatnya api
dengan memantik-mantik dua buah batu di atas jerami kering.
“Api unggun sudah menyala,
Kang.” lapor
Gumbala.
Lalinggi mengangguk lemah.
Setelah itu kayu bakar di tangannya disatukan dengan kayu api unggun. “Sekarang
kau geser peti mati itu ke sini,” perintah Lalinggi.
Gumbala bergegas menjalankan
perintah Lalinggi.
Kini peti mati besar yang
selama ini selalu diseret-seret telah berada tepat di sisi api unggun. Lidah
api unggun menjilat-jilat liar, hendak menggapai langit-langit goa. Cahayanya
menyapu sisi peti mati, membuat benda besar itu terlihat kian angker.
“Sekarang apa lagi, Kang?”
tanya Gumbala.
Tak ada jawaban dari Lalinggi.
Lelaki itu hanya menurunkan peti berukir dari tangannya ke dasar goa. Tepat di
hadapan peti berukir, Lalinggi duduk bersila. Tangannya bersidekap, sedang
matanya terpejam.
Ketika waktu berlalu cukup
lama, tangan Lalinggi mulai bergerak ke depan. Seluruh otot-otot di tangannya
mengejang. Satu telapak tangannya yang terbuka pun tiba di lubang kunci peti
berukir. Tak begitu lama, telapak tangan itu menempel, maka asap putih
kehitaman mengebul dari sela-sela antara telapak tangan dengan sisi lubang
kunci. Krak
Tiba-tiba saja peti berukir
terbuka bersama suara berderak. Namun, hanya berupa kuakan celah kecil.
“Biar aku yang buka, Kang,”
serobot Gumbala tak sabar, mengetahui pengunci peti berukir telah dapat
dihancurkan Lalinggi.
“Tunggu dulu” cegah Lalinggi
cepat. “Jangan berlaku ceroboh”
Tangan Gumbala urung diulurkan
ke peti berukir.
Bentakan keras Lalinggi,
lumayan membuatnya kaget.
“Kenapa, Kang?” tanya
laki-laki berwajah buruk itu.
“Lihat saja...,” kata Lalinggi
dingin.
Kemudian laki-laki bercaping
ini melepas satu pundi yang digantung di sekitar pinggang. Pundi itu kemudian
digulung dengan bajunya, hingga membentuk sebuah bantalan kain.
“Kau pegang penutup peti itu,”
ujar Lalinggi pada Gumbala. “Kalau kubilang buka, kau harus
secepatnya membuka penutup
peti itu. Mengerti?”
Gumbala hanya
mengangguk-angguk.
“Siap...,” Lalinggi memberi
aba-aba.
Gumbala yang berada di
belakang peti menatap Lalinggi tegang, menanti aba-aba selanjutnya.
Sementara, Lalinggi siap
dengan bantalan kain di tangan.
“Buka” seru Lalinggi.
Secepat kilat, Gumbala menarik
penutup peti.
Dalam saat yang hampir
bersamaan, Lalinggi pun mendekapkan buntalan kain ke mulut peti yang baru saja
terkuak.
Blep Jep Jep Jep
Serentak suara halus
terdengar. Sewaktu Lalinggi mengangkat bantalan kain dari mulut peti,
terlihatlah puluhan batang bambu beracun berwarna biru kehijauan. Kain pada
bagian yang tertancap batang bambu itu tampak kontan terbakar menghitam serta
mengepulkan asap sewarna dengan batang-batang bambu.
“Kau lihat,” ujar Lalinggi.
“Kalau kau seenaknya membuka peti ini, pasti sudah mengejang hangus seperti
kain ini....”
Mata besar Gumbala terbelalak
kian besar.
Mungkin lebih besar daripada
mata burung hantu.
Dan dia hanya menelan ludah.
Kalau saja tak dicegah Lalinggi, tentu sudah mampus Gumbala ngeri
membayangkannya.
Lalu, apa isi peti itu
sebenarnya? Sambil tertawa nyaring yang membuat dinding goa bergetar, Lalinggi
mengambil isi peti berukir di depannya. Ternyata, sebuah kepala manusia
“Hua ha ha... Kau akan hidup
kembali Ki Rawe Rontek Dan kau pasti akan membalas budi baik kami, dengan
menurunkan ilmu 'Rawe Rontek'mu pada kami Hua ha ha...”
Tak hanya Lalinggi, Gumbala
pun turut terbahak-bahak.
“Kita akan menjadi dua jago
persilatan, Kang”
teriak Gumbala. “Hua ha ha...”
***
Sementara itu di tepi pantai
barat Buleleng malam ini, tampak pula dua laki-laki lain. Seperti Lalinggi dan
Gumbala, mereka pun sama-sama menelusuri tepi pantai. Jejak panjang yang
ditinggalkan di belakang, menandakan kalau mereka sudah cukup lama
berjalan di sana.
Salah seorang lelaki tua
bercaping kerucut.
Pantulan cahaya rembulan di
laut, menerangi samar wajahnya yang berkeriput serta berjanggut.
Kekurusan lelaki tua itu
menyebabkan tulang pipinya jadi menonjol.
“Tampaknya kita telah
didahului, Andika,” kata lelaki tua itu.
Saat ini, mereka telah tiba di
batas pantai sebelah selatan. Dan memang pemuda di sebelah laki-laki tua itu
adalah Pendekar Slebor. Setelah lelaki tua yang tak lain adalah Ki Lantanggeni
itu menyelamatkan Pendekar Slebor dari keroyokan prajurit Buleleng, Andika
memang langsung menceritakan tentang kotak berukir. Maka, kini mereka berada di
pantai barat Buleleng.
Pendekar Slebor hanya menghela
napas. Dia juga seyakin lelaki tua di sebelahnya, kalau peti berukir yang
dicari telah diambil orang lain.
“Apakah orang-orang yang
mendahului kita
Sepasang Datuk Karang, Ki
Lantanggeni?” tanya Andika penasaran.
“Besar kemungkinan begitu,”
sahut Ki
Lantanggeni. “Bagaimana kalau
kita mencari tahu pada penduduk sekitar pantai ini?”
Andika setuju. Maka mereka
melangkah ke
pedalaman pesisir menuju desa
penduduk terdekat untuk mencari keterangan.
Siapakah Ki Lantanggeni
sebenarnya, sehingga ikut campur dalam masalah peti berukir yang telah menelan beberapa
korban nyawa itu?
***
Kira-kira enam puluh tahun
lalu, ada seorang tokoh golongan hitam yang memiliki ilmu sesat 'Rawe Rontek'.
Dengan ilmu itu, si Tokoh Sesat amat sulit dibinasakan. Setiap luka yang
berhasil merobek kulit tubuhnya, selalu saja menutup kembali tanpa cacat,
seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Lebih dahsyat lagi, setiap kali bagian
tubuhnya terpotong, setiap kali pula bagian tubuh itu menyatu kembali. Bahkan
kepalanya sendiri Di dunia persilatan, dia amat tersohor sebagai Ki Rawe
Rontek.
Kisah Ki Rawe Rontek, berasal
dari perjalanan hidup seorang pemuda dari sebuah desa kecil bernama Watukarang.
Namanya, Lantang. Sejak kecil, pemuda itu memiliki tabiat buruk dan perangai
tercela. Seperti bibit perusuh, dia tumbuh dalam kejahatan demi kejahatan.
Mencuri, menganiaya, dan membuat kekacauan adalah pekerjaan biasa.
Suatu hari, terjadi perampokan
yang mengakibatkan terbunuhnya satu keluarga secara keji. Pada malam yang sama
dengan saat perampokan, Lantang pun mempunyai niat buruk pada seorang kembang
desa, bernama Saridewi. Cintanya yang selama ini selalu ditolak Saridewi,
membuatnya bermata gelap.
Hendak dilarikannya Saridewi,
lalu dipaksa untuk dikawini.
Naas, pada saat
mengendap-endap di samping kamar si Kembang Desa, orangtua Saridewi yang
terkenal kasar, keluar dan hampir memergokinya.
Kontan saja Lantang lari
tunggang-langgang, karena begitu takut akan kekasaran lelaki itu. Saat itulah
perampok yang sedang dikejar para penduduk bertemu Lantang.
Dengan licik, si Perampok
menghajar Lantang seraya meneriakinya perampok. Lantang yang memang tak
memiliki kepandaian silat, tak bisa berbuat apa-apa. Dia megap-megap dihajar
oleh si Perampok. Bahkan para penduduk yang sudah kalap, tanpa banyak tanya
langsung saja menghajarnya habis-habisan.
“Ampun Ampun Aku bukan
perampok” teriak Lantang kala itu.
“Ah Mana ada orang maling yang
mau mengaku”
hardik si Perampok dengan
mimik sinis penuh kesungguhan.
“Aku Lantang Aku memang suka
berbuat
kericuhan, tapi tidak pernah
merampok” sangkal Lantang lagi.
“Kau tidak hanya merampok Kau
juga membantai seluruh keluarga korban dengan golok itu” tuding si Perampok
lagi, seraya menunjuk golok berlumur darah yang sempat diselipkan di balik
pakaian Lantang.
Lantang terkesiap. Wajahnya
yang sudah babak belur tampak demikian takut. Dikeluarkannya golok dari balik
baju. Dengan mata bengkak terbelalak, diperhatikannya senjata itu tanpa bisa
berkata sepatah pun. Bibirnya kelu dan pita suaranya seperti tersumpal.
“Ayo, tunggu apa lagi?” seru
si Perampok pada penduduk. “Cepat cincang dia Bunuh seperti dia membunuh
keluarga korban”
Amukan penduduk meledak
seketika. Pikiran mereka tak lagi jernih. Bersama segenap kekalapan, Lantang
dihajar kembali tanpa ampun.
“Sungguh, demi Tuhan Aku tak
pernah merampok atau membunuh” teriak serak Lantang di antara suara-suara
pukulan kayu para penduduk yang menghantam tubuhnya.
Sementara Lantang menerima
siksaan tak ter-hingga. Perampok yang memfitnahnya melarikan diri secara
diam-diam.
Jika beberapa saat saja
Lantang dibiarkan dihajar orang-orang gelap mata itu, sudah bisa dipastikan
nyawa mudanya akan melayang. Untunglah sebuah bayangan berkelebat cepat,
menyambar di antara kerumunan penduduk. Lalu disambarnya tubuh Lantang pada
saat hampir sekarat.
Gerakan bayangan itu begitu
cepat bagai
bayangan hantu. Setiap orang
yang berada di sana mendadak takjub dan lupa pada kemarahan. Seakan, suatu
kekuatan gaib telah menguasai diri mereka masing-masing. Memang, yang
menyelamatkan Lantang bukanlah orang sembarangan. Dia adalah seorang pertapa
tua yang hanya muncul dua puluh tahun sekali, untuk mencari seorang murid.
Namanya Ki Gintung.
Karena Ki Gintung adalah
seorang pertapa yang memiliki ketajaman mata batin, dia bisa menilai kalau
Lantang sebenarnya memiliki hati baik. Hanya karena dikucilkan penduduk yang
disebabkan kemelaratan-nya, dia menjadi seorang pemuda berjiwa pem-berontak.
Kejahatan-kejahatannya selama ini hanya cara untuk unjuk rasa terhadap sikap
orang-orang desanya yang sudah menganggapnya seperti anjing geladak tak
berarti. Ki Gintung juga bisa menilai kalau pemuda yang telah diselamatkannya
memiliki kemauan keras dan bentuk tubuh yang bagus.
Dengan semua pertimbangan itu,
Ki Gintung membuat keputusan untuk mengangkat Lantang sebagai murid kelima.
Sejak saat itulah Lantang
mendapat godokan lahir batin dari si Pertapa Tua. Godokan batin ini membuatnya
menjadi seorang berjiwa matang dan bersih. Sedangkan godokan lahir. membuatnya
menjadi seorang tangguh. Maka, jadilah dia seorang ksatria.
Selama lima tahun menjalani
didikan keras Ki Gintung, suatu saat Lantang diperkenalkan pada keempat kakak
seperguruannya yang telah
meninggalkan goa penggodokan
terlebih dahulu.
Betapa kagetnya Lantang,
manakala melihat salah seorang kakak seperguruannya. Dari keempat lelaki itu,
ada seorang yang dulu memfitnahnya hingga dihajar habis oleh penduduk
Rupanya panggilan duniawi
menyebabkan kakak seperguruannya itu mengkhianati seluruh petuah Ki Gintung,
sekaligus mengkhianati amanat ilmu-ilmu yang telah diberikan.
Karena tak ingin mengecewakan
Ki Gintung, Lantang tak mengungkap makar yang dilakukan Artapati, kakak
seperguruan yang melakukan perampokan waktu itu. Padahal, tanpa perlu
diberitahu, mata batin Ki Gintung sendiri sudah bisa merasakan pengkhianatan
Artapati.
Namun apa mau dikata? Ki
Gintung tak bisa berbuat apa-apa, karena usianya yang kian lanjut. Dia tak
ingin bergelimang darah lagi. Dan akibatnya, pertapa itu menderita sakit parah.
Merasa dirinya sudah mendekat ajal, Ki Gintung pada suatu hari memanggil
Lantang seorang diri. Di samping Lantang adalah murid satu-satunya yang masih
tinggal di tempat, dia juga murid kesayangan Ki Gintung.
“Sepertinya ajalku akan segera
tiba, Lantang,”
ucap Ki Gintung tersendat.
Napasnya terseret satu-satu. “Saatnyalah aku memberimu wasiat....”
Lantang diam tanpa suara.
Ditatapnya sang Guru tercinta dengan mata menahan bias bening.
“Di bawah batu tempat
bertapaku,” lanjut Ki Gintung. “Ada sebuah tempat penyimpanan rahasia.
Di sana, aku menyimpan kitab
berisi ajian-ajian ilmu hitam, lengkap dengan seluruh riwayatnya. Kuberikan
kitab itu padamu. Pelajarilah. Tapi, jangan dipakai kecuali jika memang
mendesak sekali....”
Wasiat Ki Gintung selesai. Dan
saat itu pula, usianya pun tamat.
Betapa kehilangannya Lantang.
Baginya, Ki Gintung lebih dari sekadar guru. Ki Gintung juga sudah dianggap
sebagai orangtuanya sendiri. Itu sebabnya, dia sempat pula menitikkan airmata
kehilangan, meski sudah berusaha menahannya. Selesai menguburkan jenazah
gurunya, Lantang segera memeriksa batu tempat bertapa Ki Gintung. Di balik batu
bundar serta datar itu, ditemukannya lubang tempat penyimpanan sebuah kitab
kuno, seperti pernah dikatakan Ki Gintung.
Lalu, diambilnya kitab itu.
Selama berminggu-minggu, mulai dipelajari seluruh riwayat ilmu hitam dalam kitab
termasuk ajian 'Rawe Rontek'.
Sayang, sebelum ilmu-ilmu
dalam kitab sempat dikuasai, Artapati datang secara diam-diam. Dengan licik,
mata air yang biasa dipakai Lantang untuk minum dicampur racun. Dan ketika
Lantang tak sadarkan diri, kitab kuno warisan mendiang Ki Gintung pun dicuri.
Sejak saat itu, Lantang tak
pernah lagi bertemu Artapati. Suatu hari, Lantang pulang kembali ke desanya
untuk melihat keadaan Saridewi, kembang desa yang dicintainya dulu hingga
sekarang.
***
“Bagaimana dengan Lantang dan
Artapati, Ki?”
tanya Andika penasaran, karena
Ki Lantanggeni memutuskan cerita.
“Keduanya bertemu kembali di
desa itu. Artapati sudah berhasil menguasai ajian 'Rawa Rontek”. Niat Artapati
ke desa itu adalah menculik Saridewi.
Artapati memang licik. Sengaja
Saridewi diculik untuk memancing kemarahan Lantang,” papar Ki
Lantanggeni meneruskan cerita.
Sementara dia dan Andika sudah
tiba di tapal batas sebuah desa di dekat panlai barat Buleleng.
“Lalu?” tanya Andika untuk
kedua kalinya.
“Dengan telengas, wanita yang
dicintai Lantang dibunuh Artapati di depan matanya sendiri. Lantang tentu saja
jadi amat murka. Dia pun melabrak Artapati. Saat itu, Lantang nyaris kehilangan
nyawa.
Untunglah, datang tiga saudara
seperguruannya yang lain. Dengan penggabungan kepandaian, mereka bisa
menandingi kemampuan Artapati. Rupanya, sejak lama ketiga kakak perguruan
Lantang yang lain telah mengawasi setiap sepak terjang Artapati yang keji.
Mereka bertarung
habis-habisan. Dan satu persatu kakak perguruan Lantang bisa dibunuh Artapati.
Namun begitu, Artapati harus
membayar mahal nyawa ketiga saudara seperguruannya, dengan nyawanya sendiri.
Pada saat puncak di mana Artapati dan Lantang sudah kehilangan tenaga, Lantang
teringat pada rahasia kelemahan ajian 'Rawe Rontek'.
Dengan rahasia yang pernah
dibaca dari kitab yang dicuri akhirnya Artapati bisa dibunuh.”
Ki Lantanggeni mengakhiri
cerita. Napasnya terlihat agak memberat. Tampaknya dia terhanyut oleh ceritanya
sendiri.
“Apakah Lantang adalah kau
sendiri, Ki?” duga Andika, saat mendapati keadaan Ki Lantanggeni.
Lelaki tua bercaping kerucut
itu mengangguk.
“Dan orang yang disebut Ki
Rawe Rontek adalah saudara seperguruanmu yang bernama Artapati?”
duga Andika lagi.
Kembali laki-laki tua itu
mengangguk.
Malam semakin larut. Di
langit, bulan sabit diselimuti awan tipis bagai serpihan-serpihan kain tembus
pandang. Sementara di laut, suasana tak juga lekang dari debur ombak yang mulai
meninggi.
Goa Karang Hitam yang terletak
tak begitu jauh dari pantai barat Buleleng tampak diterangi cahaya kemerahan
yang berasal dari api unggun. Di dalam- nya, Sepasang Datuk Karang akan memulai
suatu upacara. Mereka akan berusaha menyatukan kembali kepala Artapati, alias
Ki Rawe Rontek dengan tubuhnya. Dengan penyatuan itu, Lalinggi dan Gumbala
berharap Ki Rawe Rontek akan hidup kembali.
Mereka percaya, ilmu 'Rawe
Rontek' yang dimiliki Artapati masih tetap menyatu dengan jasadnya yang tak
membusuk.
Setelah berhasil membuka peti
kecil berukir tempat kepala Ki Rawe Rontek, Lalinggi memerintah Gumbala untuk
membuka peti mati besar yang selama ini selalu dibawa-bawa. Di dalam peti itu
tersimpan tubuh Ki Rawe Rontek. Mereka membawanya dari pemakaman di Pulau Jawa
Dwipa, setelah melakukan pencarian selama bertahun-tahun.
Memang Lantang yang kini
dikenal Andika sebagai Ki Lantanggeni sengaja mengubur kepala dan tubuh kakak
seperguruannya yang murtad itu, secara terpisah. Karena menurut kitab kuno
warisan gurunya, orang penganut ilmu 'Rawe Rontek' akan bisa bangkit dari
kematiannya, jika kepala dan tubuhnya tidak dikuburkan secara terpisah jauh.
Semakin jauh, akan semakin
menutup kemungkinan bagi si Pemilik ilmu sesat tersebut untuk bangkit kembali.
Makanya Lantang mengubur tubuh Artapati di tanah Jawa Dwipa, sedangkan
kepalanya dikuburkan di Pulau Bali. Untuk urusan penguburan kepala Artapati,
dipercayakannya pada tiga tokoh Pulau Dewata yang belum lama dibunuh oleh
Sepasang Datuk Karang.
Kini Gumbala tampak telah
membuka penutup peti mati. Kedua lelaki aliran sesat itu bersama-sama mengeluarkan
tubuh Ki Rawe Rontek. Tanpa kesulitan, mereka bisa memindahkan tubuh besar
berotot itu ke satu bagian lantai goa.
“Sekarang ambil kain hitam di
dalam peti itu, Gumbala,” ujar Lalinggi.
Setelah menerima kain hitam
yang dimaksud, Lalinggi menyatukan kepala Ki Rawe Rontek dengan tubuh kakunya.
Kemudian dilanjutkan dengan menutup mayat si Tokoh penganut ilmu 'Rawe Rontek'
dengan kain hitam lebar hingga seluruh bagian tubuhnya tertutup.
Sementara Gumbala diam
memperhatikan dengan mata tak berkedip, Lalinggi melepas pundi-pundi kecil dari
pinggangnya. Di dalam pundi-pundi tersebut, tersimpan serbuk dupa yang
selanjutnya dibakar Lalinggi di seputar mayat Ki Rawe Rontek.
Asap dupa tampak menyebar.
Harum namun berkesan menggidikkan, membuat orang yang mencium aromanya akan
langsung merinding. Hal itu dialami Gumbala. Walau sebagai tokoh sesat yang
sudah biasa melakukan hal mengerikan, tetap saja seluruh bulu di kuduknya
terasa meremang hebat. Tanpa terasa tengkuknya diusap. Berbeda sekali dengan
sikap Lalinggi yang tetap dingin dan tenang.
“Sekarang apa lagi yang harus
kita lakukan, Kang?” tanya Gumbala mengetahui Lalinggi telah selesai membakar
serbuk dupa.
“Darah....”
“Darah?”
“Ya Kita perlu darah seorang
perawan suci. Ki Rawe Rontek memerlukan itu, sebagai daya hidup karena telah
begitu lama mati dan terkubur di perut bumi,” jelas Lalinggi nyaris mendesis
bagai kerasukan.
“Aku akan cari ke desa
terdekat....” “Bodoh” hardik Lalinggi. “Cari di desa yang jauh dari tempat ini.
Aku tak mau orang-orang di desa terdekat menemukan tempat persembunyian kita”
“Ba... baik, Kang,” gagap
Gumbala.
Lelaki buruk rupa itu pun
segera beranjak lagi. Di luar goa, Gumbala bergumam sendiri.
“Hm, kenapa aku tak mencoba
menculik seorang perawan dari desa tempat anak lelaki yang telah memberitahukan
tempat pembuangan peti berukir itu....”
Dengan mengerahkan segenap
kemampuan ilmu meringankan tubuh, tubuh Gumbala pun melesat bagai anak panah
lepas dari busur.
Tak begitu lama Gumbala
keluar, Lalinggi
menyusul. Rupanya, dia tak
begitu yakin dengan kerja Gumbala yang dinilainya sering kali bertindak
ceroboh.
“Aku harus pula mencari
seorang perawan di desa lain,” bisik Lalinggi. “Kalau Gumbala gagal, aku tetap
bisa mendapatkan perawan sebagai tumbal Ki Rawe Rontek.”
***
Di luar malam purnama, Desa
Umbuldadi diringkus sepi. Dini hari yang datang bersama dingin, membuat para
penduduk lelap dalam selimut masing-masing.
Jalan-jalan di desa sepi dan
lengang. Temaram lampu bambu dari beberapa rumah di tepinya, hanya mampu
menerangi sebagian jalan.
Di satu rumah panggung, Idayu
Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg terpulas dihanyut mimpi. Idayu Wayan Laksmi tidur
di kamarnya. Begitu juga I Ktut Regeg.
Kalau kamar Idayu Wayan Laksmi
ada di tengah bangunan, kamar I Ktut Regeg berada di belakang bangunan.
Malam itu, entah kenapa I Ktut
Regeg mendadak terjaga. Setelah mengerjap-ngerjap mata beberapa saat, anak muda
tanggung itu duduk terpaku di tepi balai-balai. Pikiran dan hatinya resah,
tanpa dia tahu penyebabnya.
“Sial Nyamuk tak ngalor-ngidul,
panas juga tidak.
Tapi, kenapa aku tidak bisa
tidur lagi. Padahal, aku baru saja mau bermimpi bercengkerama dengan bidadari.
Apa bisa kuteruskan mimpinya, ya?” gumam I Ktut Regeg, setengah menggerutu.
Digaruk-garuknya kepala dengan jengkel. “Ayo..., ayo mengantuk lagi
Kalau tidak, bidadari itu bisa
pulang lagi ke kampungnya”
Namun, tetap saja I Ktut Regeg
tak bisa tidur.
Dengan satu dengusan kesal,
dia bangkit. Dibanting-nya langkah ke lantai kayu, sehingga menimbulkan bunyi
yang cukup keras. Anak muda tanggung berbadan kurus itu mondar-mandir tak
karuan. Tiba-tiba....
Srek
I Ktut Regeg terdiam.
Telinganya dipasang tajam-tajam. Dia biasa mendengar suara-suara hewan malam
dan sangat hafal. Tapi suara yang satu ini bukan dari binatang malam. I Ktut
Regeg jadi curiga.
Sambil mengendap-endap,
didekatinya jendela kamar. Dari salah satu celahnya I Ktut Regeg mulai
mengintip.
“Lho? Itu kan lelaki jelek
yang memberiku uang untuk sebuah keterangan tentang peti berukir yang kubuang
ke pantai?” bisik I Ktut Regeg kala melihat pengendap di luar. “Mau apa dia
datang ke sini lagi?
Dan kenapa pula dengan cara
mengendap-endap seperti maling ayam?”
I Ktut Regeg menjauhi jendela
dengan hati-hati.
Dia merasa kalau lelaki di
luar itu hendak berniat tidak baik.
“Apa akalku supaya dia
cepat-cepat pergi...,” desis pemuda tanggung itu, amat perlahan. “Ah Aku ada
akal....”
Wajah anak muda tanggung itu
berseri. Benaknya memunculkan rencana kecil. Akan diteriakinya lelaki itu
sebagai maling Tak peduli maling ayam, atau maling jemuran, maling sandal, atau
maling sundal.
Bergegas I Ktut Regeg menguak
daun jendela.
Mulutnya terbuka lebar, siap
meneriakkan kata maling.
“Ma....”
Teriakan I Ktut Regeg tak
dilanjutkan, terhenti begitu saja seperti orang tersedak. Dengan mulut masih
menganga, I Ktut Regeg celingukkan ke sana kemari. Orang yang hendak diteriaki
ternyata sudah tidak terlihat lagi, menghilang bagai hantu.
I Ktut Regeg mengusap-usap
mata tak percaya.
“Ah Barangkali aku masih
bermimpi. Dan lelaki jelek itu adalah penjelmaan bidadari. Hi hi hi...,
bidadari malang,” ceracau I Ktut Regeg.
Dia menguap lebar-lebar, lalu
melangkah kembali ke balai-balai kayunya.
Baru saja I Ktut Regeg hendak
merebahkan tubuh di sana, satu suara keras mengejutkannya.
Brak
Kontan saja anak muda tanggung
itu terlonjak sambil teriak-teriak kelimpungan.
“Maliiing Maliiing Ada
bidadari jadi maliiing”
“Aaa”
Menyusul, suara jeritan Idayu
Wayan Laksmi dari kamar tengah.
I Ktut Regeg sekali lagi
tersentak. Teriakannya macet seketika. Rasanya, sekarang ini dia tidak bermimpi
Untuk meyakinkan diri disiapkannya kepalan ke hidungnya, lalu segera
dilayangkan tanpa ragu. Bukh
“Aduh... aduh Sakit Wah
Berarti aku tidak mimpi” seru pemuda tanggung itu tersadar.
Hidung I Ktut Regeg yang berdenyut-denyut
dipegangi seraya berlari ke kamar kakaknya.
“Mbok Ada apa Mbok?.”
Setibanya di kamar Idayu Wayan
Laksmi, I Ktut Regeg hanya menemukan balai-balai kayu Idayu Wayan Laksmi yang
kosong berantakan. Idayu Wayan Laksmi tak ada lagi di sana. Sementara, dinding
bilik di sebelah timur kamarnya sudah jebol. I Ktut Regeg jadi teringat
kejadian kemarin. Dinding bilik yang baru saja diperbaiki kemarin juga jebol
sewaktu Idayu Wayan Laksmi diculik.
“Jangan-jangan Mbok diculik
lagi,” duga I Ktut Regeg.
Tiba-tiba saja, pemuda itu
berlari ke kamarnya kembali. Di dekat jendela kamarnya, dia berteriak sekali
lagi.
“Tolooong Bukan maliiing Bukan
maliiing Eh...
penculiiik Penculiiik Mbok-ku
diculiiik”
Anak muda tanggung itu terus
berteriak blingsatan, sampai beberapa penduduk datang membawa
senjata masing-masing.
***
Sementara itu di desa dekat
pantai barat Buleleng, Andika dan Ki Lantanggeni telah mendapat keterangan dari
salah seorang penduduk yang menegaskan, kalau peti berukir yang sedang dicari
memang telah dibawa dua lelaki. Seorang berwajah buruk dengan badan agak
bungkuk, dan seorang lagi mengenakan caping keranjang.
Tapi ketika Andika menanyakan
ke mana dua lelaki yang dilihat penduduk itu, jawaban yang didapat tidak
memuaskan. Ternyata si Nelayan tidak tahu ke mana Sepasang Datuk Karang membawa
peti berukir itu. Dia hanya memberi petunjuk kalau dua lelaki yang dilihatnya
pergi ke arah utara.
Sesudah menghaturkan
terimakasih, Andika dan Ki Lantanggeni langsung memacu tubuh ke arah utara.
Mereka berharap, belum terlambat untuk mengejar Sepasang Datuk Karang.
Jarak ke utara yang ditempuh
sudah cukup jauh.
Saat itulah mereka menangkap
sesosok tubuh yang berkelebat, sama cepat dengan gerakan mereka. Di punggung
orang itu tampak beban sebesar manusia.
Meski tampak lebih berat dari
badannya sendiri yang agak kurus membungkuk, orang itu tidak terlihat mengalami
hambatan saat berlari dengan membawa beban.
Andika dan Ki Lantanggeni
cepat bersembunyi di balik serumpun pohon kelapa. Keduanya memang tak ingin
diketahui oleh lelaki yang mencurigakan itu.
Terlebih-lebih sampai
bentrokan.
“Sepertinya aku pernah melihat
orang itu,” bisik Andika perlahan pada Ki Lantanggeni.
“Bagaimana kalau kita coba
ikuti dulu?” usul Ki Lantanggeni.
Andika setuju. Mereka pun
mulai membuntuti lelaki yang dicurigai. Orang yang dikuntit memang melewati
daerah terbuka dengan sinar bulan yang samar menerangi seluruh tubuhnya. Namun
baik mata Andika maupun Ki Lantanggeni bisa melihat siapa sesungguhnya orang
itu.
“Dia adalah salah seorang dari
Sepasang Datuk Karang,” ucap Andika tak kentara.
Ki Lantanggeni masih bisa
menangkap ucapan pendekar muda di sisinya.
“Siapa dia?” tanya orang tua
itu ingin tahu.
“Dialah orang yang telah
membunuh tiga sesepuh Buleleng,” jawab Andika, memperjelas keterangan-nya.
“Sepasang Datuk Karang? Tapi,
mana yang
seorang lagi. Bukankah kau
bilang Sepasang Datuk Karang dua orang?”
“Itulah yang harus kita
ketahui, Ki.”
“Kalau begitu, aku akan
meringkusnya....”
“Jangan, Ki. Apa kau tak ingat
dengan peti berukir itu?”
Ki Lantanggeni menoleh pada
Andika. Dia belum paham maksud Pendekar Slebor.
“Nelayan tadi berkata, kalau
mereka telah mendapatkan peti itu. Jadi, pasti mereka sedang mencoba
menjalankan satu rencana. Biar kita ikuti lelaki itu.
Dengan begitu, mungkin dia
akan membawa kita langsung pada peti berukir tersebut, sekaligus bisa bertemu
kawannya. Sekali tepuk, dua nyawa”
Ki Lantanggeni tersenyum. Baru
dimengerti maksud Pendekar Slebor. Dalam hati, dia sempat memuji kecerdikan
pemuda yang baru saja dikenalnya.
“Kalau begitu, mari kita ikuti
lagi Jangan sampai kita kehilangan jejak,” ajak Ki Lantanggeni.
Mereka pun mengerahkan ilmu
meringankan
tubuh masing-masing, berlari
cepat di belakang Gumbala dalam jarak yang cukup aman, sehingga orang yang
dikuntit tidak merasa curiga.
Tak ada sepenimum teh
kemudian, Andika dan Ki Lantanggeni melihat Gumbala tiba di bibir Goa Karang
Hitam.
“Kang Aku telah mendapatkan
seorang perawan, Kang” seru Gumbala gembira.
Tak ada sahutan dari dalam
goa.
“Kang?”
Gumbala memajukan kepala.
Diperhatikannya dalam goa tajam-tajam.
“Kang? Kau masih di dalam,
Kang?” tanya
Gumbala.
Laki-laki buruk rupa itu mulai
melangkah masuk.
Padahal, semula dia berharap
Lalinggi menyambut-nya dengan senyum lebar di luar karena telah berhasil
menjalankan tugas dengan sempurna.
Tak jauh dari Goa Karang
Hitam, Andika dan Ki Lantanggeni saling berpandangan.
“Tampaknya orang yang satunya
sedang tidak ada dalam goa itu, Ki,” bisik Andika. “Ah Aku jadi ada akal,
Ki....”
Lalu tanpa memberi kesempatan
Ki Lantanggeni bertanya, pemuda itu langsung saja mengangkat tangan ke depan
mulut.
“Hoi Aku di sini” teriak
Pendekar Slebor dengan suara dibuat tersamar mungkin.
Gumbala yang mendengar
teriakan Andika segera mengurungkan niat untuk masuk ke dalam goa.
“Kang? Apa kau di sana, Kang
Lalinggi?” tanya Gumbala.
“Yhuaaah” sahut Andika.
“Sedang apa di situ, Kang?”
tanya Gumbala heran.
Matanya mencari-cari ke asal
suara. “Cepat ke sini, kau” teriak Andika lagi.
Gumbala baru hendak meletakkan
beban di
pundaknya yang ternyata Idayu
Wayan Laksmi. Tapi, kembali terdengar teriakan Andika.
“Bawa sekalian perempuan itu”
“Baik, Kang” sahut Gumbala.
“Heran? Sedang apa Kang Lalinggi di sana, ya?” gumam Gumbala, sambil melangkah
ke balik karang tempat
persembunyian Andika dan Ki
Lantanggeni.
Sewaktu hendak melangkah ke
balik karang, Gumbala akan membuka suara kembali. Dia ingin membanggakan hasil
kerjanya pada Lalinggi yang dikira berada di balik karang. Tapi belum sempat
mulutnya menganga, satu sergapan cepat datang ke arahnya.
Tuk
Mata Gumbala kontan
membalalak. Tubuhnya
mengejang seketika, setelah
itu lunglai. Dia ter-jerembab bersama tubuh Idayu Wayan Laksmi yang juga dalam
keadaan tertotok
Bruk
“Kau mencari kakangmu?” ledek
Andika.
Mata Pendekar Slebor tampak
memelototi tubuh yang tanpa bisa bergerak.
“Lihat jelas-jelas dengan
matamu yang sebesar koreng itu. Apa aku kakangmu?” lanjut Pendekar Slebor
seraya membantu Idayu Wayan Laksmi berdiri, setelah membebaskan totokan di
tubuh wanita ayu itu.
Dengan gerakan lembut Idayu
Wayan Laksmi
berdiri, dan langsung
memandang Andika.
“Kau tidak apa-apa, Laksmi?”
tanya Andika.
Wanita itu menggeleng.
Wajahnya pucat pasi.
Sedangkan satu tangannya
mendekap bahu sebelah kanan.
“Kenapa?” tanya Andika lagi.
Tidak apa-apa, Beli Aku hanya
tergores batu karang sewaktu lelaki itu jatuh tadi.”
Biar kulihat...,” Andika
memeriksa luka Idayu Wayan Laksmi.
Bahu gadis itu memang tidak
terluka terlalu parah.
Tapi, goresannya cukup dalam.
Darah pun mulai membasahi pakaian di bagian bahunya.
“Ah Maafkan aku, Laksmi. Aku
tak cepat-cepat menangkap tubuhmu tadi. Aku tak tahu kalau orang yang dibopong
lelaki jelek ini ternyata dirimu,” sesal Andika. “Biar kubalut dengan
kainku....”
Andika segera melepas kain
bercorak catur dari pundaknya.
“Tak usah..., tak usah Beli.
Aku tak apa-apa.
Sungguh...,” cegah Idayu Wayan
Laksmi sungguh-sungguh.
“Tidak Kamu harus dibalut,”
tegas Andika bersikeras.
Pendekar Slebor mulai
mengangsurkan kain
miliknya ke bahu Idayu Wayan
Laksmi. Dan Idayu Wayan Laksmi pun rupanya bersikeras pula. Satu tangannya
menahan tangan pemuda tampan di depannya itu, sehingga tangan keduanya bertemu.
Tanpa disadari, tangan mereka
saling terpagut.
Andika terpaku. Ada sebentuk
kehangatan men-jalar dari tangan wanita ayu yang pernah ditolongnya dulu.
Kehangatan yang sulit sekali dijelaskan oleh kata-kata. Ditemukannya mata
lentik Idayu Wayan Laksmi. Pada saat yang sama, Idayu Wayan Laksmi pun menatap
mata berkesan tegar milik Andika.
“Oh, Tuhan.... Betapa sempurna
kecantikan wanita ini,” bisik Andika dalam hati. “Hm... ehem.” Ki Lantanggeni
di belakang Andika berdehem-dehem usil.
Andika tersadar. Untung saja
Pendekar Slebor masih bisa menguasai diri, kalau tidak tentu sudah gelagapan
seperti orang tolol.
“Oh, ya. Ki Lantanggeni,
perkenalkan.... Ini Laksmi,” tutur Andika memperkenalkan si Gadis pada Ki
Lantanggeni.
Orang tua bercaping dan selalu
tampak tenang itu menjura dalam, seolah-olah tidak terlalu mem-persoalkan kalau
yang diperkenalkan padanya berusia jauh lebih muda darinya. Merasa risih pada
penghormatan Ki Lantanggeni, Idayu Wayan Laksmi pun bergegas menundukkan tubuh
lebih dalam.
“Bagaimana, Andika?” tanya Ki
Lantanggeni.
“Ah Itu tadi kan hanya sikap
wajar seorang anak muda sepertiku, Ki. Aku tak bisa menjadikannya kekasih. Kau
kan tahu, aku masih memiliki tugas lain di dunia persilatan,” bisik Andika di
telinga Ki Lantanggeni.
Lelaki tua itu mendadak saja
terkekeh.
“Hei? Aku bukan menanyakan
perihal hubungan-mu dengan gadis ayu ini,” kata Ki Lantanggeni sedikit
dikeraskan agar Idayu Wayan Laksmi bisa mendengar. “Aku menanyakan, bagaimana
tindakan kita selanjutnya....”
Andika melotot. Seluruh
pipinya mendadak
matang Lebih merah dari daging
panggang
“Mati aku,” gumam Pendekar
Slebor dengan
menutup kelopak mata. Malu
sekali hatinya
*** 9
Andika dan Ki Lantanggeni
akhirnya sepakat untuk memasuki Goa Karang Hitam. Mereka berharap, di dalam
sana dapat menemukan peti berukir tempat kepala Artapati yang lebih dikenal
sebagai Ki Rawe Rontek.
Pada saat bersamaan, ketika
mereka baru men-jejakkan kaki di bibir goa, Lalinggi tiba. Di pundaknya ada
seorang perawan yang didapat entah dari desa mana. Yang pasti, bukan dari desa
di sekitar pantai barat Buleleng.
Mengetahui ada tiga orang
hendak masuk dalam goa, Lalinggi menghentikan langkah. Dengan sekali genjot
tanpa menimbulkan suara, laki-laki bercaping itu berpindah ke tempat
tersembunyi. Dari sana diperhatikannya ketiga penyusup itu.
“Keparat.... Anak muda itu
bisa membawa
kesulitan besar padaku,” geram
Lalinggi saat mengenali Andika.
Dia tahu, bagaimana ketinggian
ilmu kesaktian Andika yang hingga saat itu belum dikenalnya sebagai Pendekar
Slebor, karena pernah pula menyaksikan pertarungan Andika dengan Gumbala.
“Ke mana pula si Gumbala?”
bisik Lalinggi kesal.
“Sendiri seperti ini,
menghadapi pemuda itu saja belum tentu aku akan menang secara mudah. Apalagi
dengan dua orang yang bersamanya itu....”
Lalinggi meletakkan wanita
yang diculiknya ke tanah. Sambil melakukannya, kepalanya menoleh kian kemari,
mencari-cari Gumbala.
Dengan gelisah, Lalinggi
menunggu. Dia makin gelisah ketika Andika, Ki Lantanggeni dan Idayu Wayan
Laksmi telah hilang tertelan goa.
“Keparat.... Ke mana Gumbala?
Semua rencana yang bertahun-tahun kuusahakan bisa berantakan dalam sekejap,”
gerutu Lalinggi.
Karena dorongan kegelisahan
yang bergeliat dalam diri, Lalinggi berjalan hilir-mudik di tempat
persembunyiannya. Sampai suatu saat, kakinya terantuk sesuatu.
“Sialan” maki Lalinggi jengkel
dengan suara tertahan.
Baru saja laki-laki bercaping
itu hendak mengangkat kaki hendak menendang sesuatu di tanah yang dikiranya
tumpukan karang, mendadak saja niatnya diurungkan. Dari balik caping penutup
wajah diperhatikannya sesuatu yang menghalangi barusan.
“Gumbala...,” desis Lalinggi
kaget.
Sementara di dalam goa, Andika
dan Ki
Lantanggeni serta Idayu Wayan
Laksmi telah sampai di tempat Lalinggi dan Gumbala mempersiapkan upacara
kebangkitan Ki Rawe Rontek.
“Apa-apaan ini?” tanya Andika
seperti tak ditujukan pada siapa-siapa.
DitatapnyaKi Lantanggeni,
meminta penjelasan pada lelaki yang sudah banyak makan asam garam dunia
persilatan itu.
Ki Lantanggeni melangkah lebih
dekat pada jasad Ki Rawe Rontek yang tertutup kain hitam lebar.
“Tampaknya Sepasang Datuk Karang
hendak
menghidupkan kembali saudara
seperguruanku,”
gumam laki-laki tua itu
menjawab keingintahuan Andika. Andika kembali menatap mata Ki Lantanggeni
lekat-lekat. Dia tak puas atas penjelasan lelaki tua itu.
Ki Lantanggeni mengerti maksud
Andika.
“Kau masih ingat ceritaku
tentang ajian hitam
'Rawe Rontek'? Ilmu itu akan
tetap tinggal bersama jasad si Penganutnya, meski telah lama mati. Jika suatu
saat ada orang lain menolongnya menyatukan kembali bagian tubuhnya lalu
melaksanakan suatu upacara gaib, dia akan bisa membangkitkan kembali ilmu
hitamnya. Pada akhirnya, dia akan bangkit kembali dari kematian...,” jelas Ki
Lantanggeni.
Idayu Wayan Laksmi bersidekap
rapat. Bahunya terangkat dalam getaran halus. Dia jadi merinding, mendengar
pengungkapan lelaki tua yang baru dikenalnya itu. Selama hidup, baru kali ini
dia mendengar tentang ilmu sesat yang mengerikan.
“Lalu kenapa belum juga hidup
kembali?” tanya Andika, sambil menyusul Ki Lantanggeni ke dekat jasad Artapati
alias Ki Rawe Rontek.
Ki Lantanggeni diam sesaat.
Pikirannya mencoba menerka-nerka.
“Hmmm… Mungkin ada satu
persyaratan yang
kurang...,” duga laki-laki tua
itu datar.
“Persyaratan apa?”
Ki Lantanggeni menatap Idayu
Wayan Laksmi yang masih menciut ketakutan di satu sudut dinding goa.
Andika jadi turut
memperhatikan gadis ayu itu.
“O, aku mengerti,” sela
Andika. “Tumbal. Begitu maksudmu, Ki?”
Ki Lantanggeni mengangguk
sekali.
“Darah seorang perawan suci
mungkin adalah syarat terakhir. Itu sebabnya, mereka berusaha menculik
Laksmi....”
Demi mendengar percakapan
kedua orang berbeda usia itu, Idayu Wayan Laksmi merasakan bulu kuduknya kian
meremang hebat. Mimik wajahnya memperlihatkan ketakutan dalam. Setarikan napas
berikutnya, gadis itu berlari mendekati Andika.
Dipeluknya pemuda itu dari
belakang, sehingga membuat pendekar ugal-ugalan itu tak bisa berkutik.
Kecuali, senyum-senyum pada Ki
Lantanggeni seperti lelaki kehilangan akal.
“Tak perlu takut, Laksmi...,”
ucap Ki Lantanggeni.
“Ya, tak perlu takut,” timpal
Andika. “Toh kau sudah selamat, dan aku masih ada di sampingmu.
Juga Ki Lantanggeni....”
Bujukan Ki Lantanggeni dan
Andika percuma.
Ketakutan gadis itu tidak juga
bisa diredam, meski sedikit. Malah dia makin merapatkan tubuh pada Andika. Kala
itulah, tanpa disadari mereka darah dari luka di bahu Idayu Wayan Laksmi
menetes jatuh ke kain hitam penutup mayat Ki Rawe Rontek. Menetes dan
menetes....
“Hei? Kalian yang ada di dalam
goa Keluar”
Mendadak terdengar suara
lantang seseorang dari luar.
Andika dan Ki Lantanggeni
menoleh tenang
dengan mimik wajah tak
berubah. Lain halnya Idayu Wayan Laksmi. Gadis itu terlonjak tak alang
kepalang.
Wajahnya makin kehilangan
darah. Kalau saja Andika tak segera mendekap mulutnya, mungkin akan menjerit
sejadi-jadinya.
“Aku tahu kalian ada di dalam.
Jadi, jangan berpura-pura” suara itu membahana kembali. “Aku juga tahu, kalian
pula yang telah memperdayai pasanganku di balik batu karang. Kini, dia telah
kubebaskan. Itu berarti kalian bisa menghadapi kami, Sepasang Datuk Karang,
secara langsung. Tak perlu lagi main kucing-kucingan, jika kalian memang bukan
pengecut”
“Wah Si Tuan Rumah tampaknya
marah, Ki,” kata Andika acuh tak acuh. “Sebagai tamu yang baik, kita tentu
harus memenuhi permintaan mereka....”
Dengan gaya dibuat-buat,
Andika membungkukkan badan sambil mengayun satu tangan perlahan.
Diperhatikannya Ki Lantanggeni.
“Sebagai orang yang lebih tua,
kau patut
didahulukan...,” seloroh
Andika.
Ki Lantanggeni tertawa lebar.
“Kau jadi mengingatkan aku
pada cerita seorang pendekar muda tanah Jawa Dwipa yang amat
tersohor dengan julukan
Pendekar Slebor, Andika...,”
ucap orang tua itu sambil
melangkah.
Andika mengerutkan kening.
“Memangnya aku ini siapa?
Bagong, atau
Semar?” ceracau hati Andika.
Lalu Pendekar Slebor pun
mengikuti lelaki tua itu keluar seiring seulas senyum dikulum. Idayu Wayan
Laksmi mengikuti rapat di sisinya.
Di luar, Sepasang Datuk Karang
menunggu garang.
Keduanya berdiri tegang bagai
dua tonggak kayu tak bernyawa. Cara berdiri mereka begitu menantang.
Lalinggi mendekap tangan di
depan dada, sedangkan Gumbala bertolak pinggang angkuh.
“Hei? Apa kabar” sapa Andika
setibanya di mulut goa dengan maksud mengejek. “Kita bertemu lagi, ya? Ada
perlu apa? Menagih utang atau minta digebuk?”
“Jangan banyak omong lagi,
Kang,” bisik Gumbala.
“Mereka bisa menggagalkan
usaha kita yang sudah dibangun bertahun-tahun.”
Lalinggi mengangguki Gumbala.
Dia setuju pendapat lelaki berwajah buruk itu. Lalu dengan gerakan kepala
diberinya isyarat pada Gumbala untuk segera menghajar Pendekar Slebor.
Gumbala tampak senang. Tak
tanggung-tanggung lagi, dipersiapkannya pukulan tenaga dalamnya.
Seperti pernah dipakai saat
menghancurkan gubuk salah seorang sesepuh Buleleng, Gumbala meng-gerakkan
sepasang tangannya dalam bentuk paruh burung gagak. Sesaat dicobanya memusatkan
seluruh kekuatan tenaga dalam pada kedua tangan.
Saat berikutnya....
“Hiah”
Wesss
Serangkum angin pukulan keras
memburu ke arah Pendekar Slebor, Ki Lantanggeni, dan Idayu Wayan Laksmi.
Pendekar Slebor terkejut.
Begitu juga lelaki tua di sisinya. Mereka sama sekali tidak menduga kalau orang
itu akan melepaskan pukulan jarak jauh. Idayu Wayan Laksmi yang tak biasa
menghadapi keadaan seperti itu malah menjerit tak tanggung-tanggung.
“Aaa”
Dilihat dari tempat mereka
berdiri, ketiga orang itu benar-benar dalam keadaan yang tidak menguntungkan.
Di bibir goa, mereka tak bisa bergerak terlalu bebas, meskipun Pendekar Slebor
termasuk dalam jajaran tokoh atas aliran putih. Terlebih, karena pukulan jarak
jauh Gumbala yang melingkupi hampir seluruh mulut goa.
Maka mau tak mau Pendekar
Slebor melakukan tindakan yang cukup nekat. Beriring teriakan yang sanggup
merontokkan bebatuan dinding goa, pendekar muda dari Lembah Kutukan itu
merangsek ke depan. Pukulan jarak jauh Gumbala akan dihadangnya tanpa persiapan
benteng pertahanan diri yang matang.
“Hiaaa”
Des
Pukulan tanpa wujud Gumbala
seketika menghajar seluruh bagian tubuhnya, bagai satu sapuan topan raksasa.
Pakaian di sekujur tubuh Pendekar Slebor langsung koyak-koyak. Tubuhnya yang
meluncur ke depan terhenti sekejap, setelah itu mulai terseret ke belakang
kembali.
“Hiaaa”
Pendekar Slebor bertahan,
dengan mencoba
mengerahkan tenaga sakti
warisan Pendekar Lembah Kutukan yang masih sempat dapat dikerahkan dalam
keadaan terlambat seperti itu. Maka benturan dua kekuatan hebat itu membuat
sepasang kakinya mulai melesak, karena hendak mempertahankan kuda-kuda. Dalam
sekejap, kakinya sudah terkubur ke bumi sebatas betis.
Sekujur tubuh Pendekar Slebor
saat itu bagai ditimpa beruntun ribuan kerikil tajam. Dirasakannya setiap
pori-pori kulit seperti hendak terbelah.
“Ki Lantanggeni Cepat
keluarkan Laksmi dari mulut goa” teriak Pendekar Slebor di sela jeritan.
Ki Lantanggeni cepat tanggap
maksud Andika.
Kalau dia tetap di mulut goa,
keadaan akan makin tak menguntungkan. Maka cepat disambarnya tubuh Idayu Wayan
Laksmi, langsung melesat keluar.
Bersamaan dengan keluarnya Ki
Lantanggeni dan Idayu Wayan Laksmi, Pendekar Slebor melepas pertahanan.
Seketika tubuhnya dihentakkan keluar dari terjangan angin pukulan jarak jauh
Gumbala.
“Khiaaah”
Ketika Pendekar Slebor
berpuntar di udara, sisa pukulan jarak jauh lawan tanpa tertahan lagi
menghantam bibir goa. Maka bongkahan batu sebesar manusia pun beruntuhan.
Akibatnya, mulut Goa Karang Hitam tertimbun cepat.
Menyadari pukulan jarak
jauhnya dapat membuat seluruh goa tertutup bongkahan-bongkahan batu cadas,
Gumbala cepat menghentikan pengerahan ilmu andalannya.
“Kau tak apa-apa, Andika?”
tanya Ki Lantanggeni, saat Andika tiba di depannya dalam keadaan tak karuan.
“Tak apa-apa, Ki,” sahut
Andika.
Berhubung ada gadis yang
bersama Ki
Lantanggeni di belakangnya,
Andika lebih sudi bilang tak apa-apa. Padahal dadanya begitu sesak Tak cuma
itu. Dari lubang hidung si Pendekar Urakan itu pun merembes darah segar. Andika
baru menyadari ketika merasakan anyir darah itu mengalir ke mulutnya.
“Hey, binatang langka itu
telah membuat hidungku berdarah,” gerutu Pendekar SIebor berbisik mangkel.
Baru saja Andika menyeka
hidung dengan koyakan tangan bajunya, Lalinggi ganti menyerang. Lelaki yang
biasanya bersikap setenang permukaan telaga dan sedingin es itu, kini berubah
seratus delapan puluh derajat. Tentu saja penyebabnya karena kegusaran-nya,
akibat tindakan ketiga orang itu yang mengacaukan rencananya.
“Kau telah membuat rencanaku
kacau balau, Pemuda Sialan” maki Lalinggi murka seraya melabrak Pendekar Slebor
garang.
“Hih”
Deb Deb
Seperti Gumbala, Lalinggi pun
tak ingin tanggung- tanggung lagi menghadapi lawannya. Jurus-jurus maut tingkat
tertinggi yang dimilikinya langsung dikerahkan. Sepasang tangan dan kakinya
menyabet deras dengan gerakan berputar bergantian, ke arah kepala dan kaki
Pendekar Slebor.
Untuk serangan kalap itu,
Andika mengeluarkan jurus yang sudah amat dikenal kalangan kaum persilatan.
Jurus 'Memapak Peti Membabibuta'. Dia tahu, serangan lawan harus dihadapi
dengan jurus-jurus utamanya.
Seperti orang gila
kelimpungan, Pendekar Slebor menangkis sabetan demi sabetan tangan dan kaki
lawan.
Des Des Des
Lalinggi tersentak mundur
beberapa tindak.
Dirasakan tangan dan kakinya
seperti baru saja menimpa benda tak terlihat yang demikian keras.
Sehingga membuat sekujur
tangan dan kakinya berdenyut-denyut nyeri. Bagaimana lawan bisa bergerak
secepat itu? Padahal, dia telah melancarkan serangan cepat yang sanggup
meremukkan empat puluh batang besi sekaligus. Itu sebabnya, jurusnya diberi
nama 'Empat Puluh Hantaman Dewa'.
Lebih herannya lagi, pemuda
itu bergerak seperti main-main, tak seperti biasanya orang bertempur.
Tapi setiap gerakan yang
dibuat sanggup membentengi sekujur tubuhnya dalam satu gebrakan
Empat-lima tombak di belakang
Pendekar Slebor, Ki Lantanggeni juga tersentak. Matanya terbelalak tak percaya
pada penglihatannya. Dia hampir-hampir tak melihat tangan Andika bergerak
menangkis, kecuali gerakan-gerakan ngawur ke berbagai arah. Tapi kenyataannya,
hantaman-hantaman lawan kandas begitu saja Sampai di situ, Ki Lantanggeni baru
sadar kalau pemuda yang selama ini bersamanya adalah seorang pendekar kalangan
atas. Di tanah Jawa Dwipa, mungkin dia begitu terkenal Sayang, dia tidak
mengetahui julukan pemuda itu.
Lain lagi Lalinggi. Tidak
seperti Ki Lantanggeni yang telah lama mengucilkan diri di Pulau Bali, Lalinggi
adalah tokoh sesat yang masih berkubang di dunia persilatan. Dengan begitu, dia
sering mendengar kabar burung mengenai seorang pendekar kenamaan berusia muda
yang memiliki jurus aneh....
“Kau.... Pendekar Slebor,”
desis Lalinggi kaget.
Meskipun hanya berbisik,
ucapan Lalinggi tertangkap pula telinga Ki Lantanggeni. Untuk kedua kalinya,
lelaki tua itu terperangah.
“Apa? Pendekar Slebor?” sentak
hati orang tua itu.
Lagi-lagi dia hampir tak
percaya. Bodoh sekali dia selama ini, tak mengetahui kalau pemuda itu adalah
pendekar muda dengan nama besar Pendekar Slebor.
“Gumbala Bantu aku Kita
menghadapi lawan berat” seru Lalinggi tak malu-malu.
“Apa, Kang?”
“Bodoh Cepat ke sini dan bantu
aku Pemuda sialan ini ternyata Pendekar Slebor” teriak Lalinggi kalap.
Gumbala yang hendak memeriksa
goa, mendadak terbelalak. Matanya makin membesar saja seperti hantu telat buang
air
“Cepat, Goblok Kenapa jadi
bengong seperti itu”
bentak Lalinggi makin kalap.
“Iy... iya, Kang” sahut
Gumbala tersadar. Lalu segera dia melompat ke sisi pasangannya dengan genjotan
tubuh lebar.
“Siapkan jurus 'Sepasang Iblis
Menghimpit Badai'” kata Lalinggi memberi aba-aba.
“Siap, Kang” jawab Gumbala.
Sementara benak laki-laki
buruk rupa itu masih bergumam tak menentu. Pantas, dulu dia begitu mudah
dipermainkan lawan....
Lalinggi mulai mempersiapkan
jurus gabungan andalan mereka. Mula-mula dilakukannya hal yang amat jarang
sekali diperbuat, kecuali pada saat-saat menghadapi lawan amat berat seperti
sekarang.
Dilepaskannya caping di
kepala. Dan terlihatlah wajah asli Lalinggi.
Wajah lelaki itu ternyata tak
kalah buruk dengan Gumbala. Seluruh wajahnya dipenuhi kerutan mengerikan bagai
luka bakar. Bibirnya bagai bentuk mulut makhluk melata dari rawa, bergelombang
men-jijikkan. Sedangkan hidungnya seperti dikoyak-koyak pisau tajam Yang lebih
menyeramkan lagi adalah matanya. Yang bersinar kebiru-biruan menyilaukan
Kini lelaki itu mengatur
pernapasan. Kedua tangannya kaku di depan dada dengan keadaan seperti sedang
mendekap sesuatu. Satu kakinya terangkat tinggi, hingga dengkulnya menyentuh siku
kedua tangan. Beberapa saat kemudian, matanya bertambah menyilaukan. Sinar
kebiruan perlahan-lahan merambat ke sekujur tubuhnya, seakan satu selimut biru
tembus pandang. Rupanya, inti kekuatan ilmunya kali ini berpusat di mata lelaki
itu.
Saat tubuh Lalinggi sudah
terbungkus seluruhnya oleh sinar kebiru-biruan, Gumbala maju ke depan.
Dengan menarik napas
dalam-dalam, kedua tangan Gumbala disatukan dengan tangan Lalinggi.
Keanehan pun terjadi lagi.
Sinar kebiru-biruan di sekujur tubuh Lalinggi mulai merambat pula ke tubuh
Gumbala sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya, kedua lelaki itu benar-benar
terbungkus selubung sinar tersebut.
“Wan... wah... wah Ada yang
mau main lampu-lampuan rupanya,” leceh Andika. Kepalanya mengangguk-angguk
seperti burung pelatuk kurang kerjaan. “Baik kalau itu yang kalian mau....”
Pendekar Slebor pun mulai
mempersiapkan
jurusnya 'Guntur Selaksa'.
Jurus ciptaannya ini sering kali digunakan untuk benteng pertahanan, di samping
untuk melakukan serangan balasan pula. Jurus yang pernah membuatnya sanggup
melindungi diri dari setiap sambaran lidah petir
“Iii...”
Diawali satu lengkingan aneh,
Sepasang Datuk Karang memulai serangan. Lalinggi menghentak tubuh Gumbala,
sehingga pasangannya terayun cepat di tangannya.
“Iii...”
Beriring satu lengkingan
ganjil kembali, tubuh Gumbala kini malah berputar. Sedang tubuh Lalinggi
menjadi pusat tumpuannya. Putaran itu makin lama bertambah cepat.
Pada saat putaran tubuh
Sepasang Datuk Karang menderu ke arah Pendekar Slebor, Andika pun sudah
mencapai pengerahan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat
terakhir. Kekuatan sakti dalam tubuhnya membentuk sinar pula, seperti milik
lawan. Bedanya sinar yang membentengi tubuh Pendekar Slebor berwarna putih
keperakan.
Angin besar menerbangkan debu
dan kerikil di sekitar arena pertarungan maut, akibat putaran tubuh Sepasang
Datuk Karang. Dan mereka makin dekat saja ke arah Pendekar Slebor.
Wrrr Angin yang tercipta dari
jurus langka Sepasang Datuk Karang bagai amukan topan badai. Dalam jarak dua
puluh tombak, sekeliling kancah pertarungan bagai hendak diobrak-abrik. Bahkan
batu-batu karang sebesar kepala manusia mulai beterbangan, layaknya sekumpulan
bulu.
Agar Idayu Wayan Laksmi tak
terluka, Ki
Lantanggeni mengambil
keputusan cepat untuk membawanya segera keluar dari sekitar kancah pertarungan.
Disambarnya kembali tubuh Idayu Wayan Laksmi yang sudah begitu lunglai
ketakutan.
Sekitar dua puluh lima tombak
dari tempat pertarungan, barulah Ki Lantanggeni menurunkan tubuh wanita Bali
itu.
Jarak antara Pendekar Slebor
dengan putaran tubuh Sepasang Datuk Karang tinggal dua tombak lagi. Angin makin
menggila. Pendekar Slebor merasa tubuhnya bagai hendak dilempar kekuatan
raksasa.
“Hiaaa”
Terdengar teriakan mengguruh
terlontar dari mulut Pendekar Slebor. Tampaknya, dia tak ingin menunggu dua
lawannya sampai. Di akhir teriakan, seluruh otot-otot kakinya dikejangkan
kemudian digenjotnya ke arah lawan.
Seperti berjalan di dasar
laut, kaki Pendekar Slebor bergerak sejengkal demi sejengkal ditahan dorongan
angin raksasa milik Sepasang Datuk Karang. Tanah bercadas tempat pijakannya
lebur terparut kakinya, seakan tanah keras itu hanya berupa tepung.
Pada saatnya, tubuh mereka pun
bentrok.
Tangan Pendekar Slebor
menjulur ke depan
seperti gerakan seorang
pencuri jemuran, siap menerkam kepala Lalinggi yang masih berpusing. “Haaaih”
Des
Terkaman Pendekar Slebor dapat
digagalkan Sepasang Datuk Karang. Pada saat yang sama, Gumbala menekuk dua
kakinya yang masih melayang di udara. Maka tangan Pendekar Slebor dan kaki
Gumbala bertemu dahsyat. Benturan selubung sinar kebiru-biruan dengan selubung
sinar putih keperak-perakan terjadi. menimbulkan percikan-percikan bunga api di
udara.
Cras Cras
Sepasang Datuk Karang mencoba
menyusun
serangan balasan. Sementara
kaitan dua tangan mereka tiba-tiba terlepas. Tubuh Gumbala terus berputar. Pada
saat sepasang kakinya menghadapi tubuh Lalinggi, pasangannya itu pun segera
menangkap kakinya.
Wuk
Tep
Lalu kedua tangan Gumbala yang
kini menghadap Andika, beruntun mencabik di udara dengan jari membentuk paruh
gagak.
Jep Jep Jep...
Pendekar Slebor tentu saja tak
sudi wajahnya yang masih bagus dan mulus diacak-acak jari tangan Gumbala.
Dengan kedua tangannya ditangkisnya serangan itu berkali-kali.
Taks Taks Taks...
“Kau tentu ingin merusak
wajahku seperti wajah kalian yang porak-poranda itu Dasar sirik” cerocos
Andika. “Sudah jelek, ya jelek saja Tak usah mengajak orang lain ikut jelek”
Pendekar Slebor masih sempat
meledek, meski pertarungan berlangsung dalam tempo yang demikian cepat.
Pertarungan dahsyat berlanjut.
Sembilan puluh sembilan jurus berlalu cepat seperti angin. Masing-masing masih
terlihat tangguh dengan jurus andalan.
Percikan demi percikan bunga
api masih terus tercipta, mengiringi setiap bentrokan. Deru angin raksasa
ciptaan Sepasang Datuk Karang tetap menyapu gila ke berbagai arah, ke segenap
penjuru.
Selama itu, otak encer
pendekar muda dari Lembah Kutukan itu terus merekam titik-titik lemah jurus
andalan lawan. Tak ada gading yang tak retak.
Dia yakin, ada satu kunci
untuk menembus pertahanan rapat lawannya.
Memang sampai saat ini,
usahanya untuk membongkar titik lemah jurus kedua lawannya masih tak
menghasilkan apa-apa. Bahkan pada satu kali, jari tangan Gumbala berhasil
menyayat dada Pendekar Slebor.
Sret
Maka sobekan luka memanjang
dari bahu kiri ke lambung kanan Pendekar Slebor pun terlihat. Darah pun
merembes dari luka yang cukup dalam.
“Monyet kudis Setan ileran
Kunyuk bau Bau
Bauuu...”
Umpatan panjang-pendek
pendekar yang kadang lebih cerewet dari mulut nenek-nenek pikun itu pun
merajalela ke segenap kancah pertarungan.
Kepala Pendekar Slebor jadi
panas meledak-ledak.
Dengan menghentak-hentak kaki
ke tanah dan kepala menggeleng-geleng tak karuan seperti bocah kecil dilanda
kejengkelan, Pendekar Slebor mencoba membayar perbuatan Gumbala.
“Hiaaaiii, ai... ai... aiii”
Orang sinting satu kampung pun
kalah dengan terjangan Pendekar Slebor kali ini. Tangan dan kakinya merangsek
bergantian dalam satu rangkai jurus yang sulit ditangkap mata biasa. Sesekali
tangannya mengarah ke punggung Gumbala yang melengkung bak tanda tanya.
Sesekali pula, kakinya menyapu ke leher Lalinggi.
“Akan kubuat punggungmu
membengkok ke
depan, Manusia Bau Agar nanti
kau berterima kasih padaku di liang lahat” maki Pendekar Slebor.
Wus Wus Wus
Kedua tangan Andika berputar
ke depan, hendak menampar punggung orang yang telah melukainya.
Kecepatan yang terbawa gerakan
Pendekar Slebor kali ini sungguh sulit dipapaki kedua tangan lawan lagi.
Agar punggungnya tetap awet
membungkuk ke belakang, Gumbala terpaksa melakukan gerakan yang begitu sulit
dalam keadaan berputar seperti itu.
Badannya ditekuk dalam-dalam
ke bawah, dan terus melaju ke kolong selangkangan Lalinggi. Dan gerakannya
dimanfaatkan Lalinggi untuk memutar tubuh ke depan. Kaki lelaki yang semula
selalu bertopi keranjang itu dengan cepat meluncur lurus ke depan.
Des
“Augkh
Andika mengerang sesaat.
Dadanya lagi-lagi menjadi sasaran empuk. Sehingga tubuh pendekar muda itu
terlempar deras ke belakang.
“Andikaaa” teriak Idayu Wayan
Laksmi di
belakang sana, khawatir akan
nasib pemuda yang mulai menempati ruang dalam kalbunya.
Tepat lima tombak di depan Ki
Lantanggeni dan Idayu Wayan Laksmi, tubuh Andika berdebam me- ninju tanah.
Punggungnya jatuh lebih dahulu.
Beberapa saat pemuda itu
mengerang-erang. Dada dan punggungnya dirasa bagai dilantak dari dalam.
“Andika kau tak apa-apa?” seru
Ki Lantanggeni.
“Andikaaa ' Beli' Andikaaa”
teriak Idayu Wayan Laksmi lagi makin was-was.
Demi mendengar teriakan suara
gadis ayu itu, Andika langsung bangkit walau dipaksakan. Mulutnya
meringis-ringis dengan darah kehitaman membasahi.
Tapi, dasar anak muda kepala
batu dan sedikit sombong, dia malah membusungkan dada sok
jumawa.
“Tidak apa-apa, aku baik-baik
saja,” jawab Pendekar Slebor sok kuat. Padahal, dadanya masih terasa remuk.
“Kau yakin, Andika? Biar aku
membantumu?”
“Jangan, Ki” cegah Andika.
“Biar aku saja yang melabrak manusia-manusia bau itu”
Padahal mulut Pendekar Slebor
meringis-ringis terus. Untung saja saat itu membelakangi Ki Lantanggeni dan
Idayu Wayan Laksmi. Kalau tidak, tentu kedua orang itu bisa melihat wajah
mengenas-kan pendekar muda kepala batu itu.
Pendekar Slebor menarik napas
kuat-kuat. Diperhatikannya putaran tubuh lawan yang tercipta kembali, dan kini
meluncur ke arahnya. Saat itulah dia teringat pada serangan terakhir Sepasang
Datuk Karang. Dalam waktu yang demikian cepat, mata tajamnya menangkap suatu
titik yang begitu dilindungi oleh Sepasang Datuk Karang. Mereka berusaha berputar
mengganti kedudukan, agar lawan tidak dekat pada titik itu. Titik itu adalah
kaitan tangan milik Lalinggi dengan kaki Gumbala
“Kali ini akan kubuat kerak
kolak kalian” dengus Andika, diawali satu seringai.
Pendekar Slebor yakin, telah
berhasil memecah-kan teka-teki kelemahan lawan. Maka tanpa menunggu serangan
tiba. Pendekar Slebor melarikan tubuh deras ke arah mereka.
“Hiaaa”
Kalau seseorang ingin menilai,
tentu mereka akan melihat gerak lari Pendekar Slebor mirip maling kesiangan.
Tapi di balik itu, sedang disiapkannya satu terjangan penuh siasat matang.
Memang aneh kalau Andika tak segera tiba di dekat lawannya. Karena, tak sedikit
pun mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang begitu disegani di kalangan
persilatan. Dia memang lari, tapi larinya seperti lari orang awam.
Tindakan Pendekar Slebor
sungguh-sungguh mem-bingungkan lawan. Apa sesungguhnya yang mau diperbuat
pendekar muda yang banyak memiliki tingkah urakan itu?
Pada saat mereka
bertanya-tanya heran dalam hati, tubuh Pendekar Slebor telah tiba di dekat
keduanya. Dengan lari seperti itu, baik Lalinggi maupun Gumbala begitu yakin
akan segera bisa merontokkan kembali tubuh Pendekar Slebor.
Dengan lengkingan aneh, mereka
memutar tubuh lebih cepat untuk menghantam Pendekar Slebor. Tapi di luar
dugaan, mendadak saja Pendekar Slebor mengerahkan kembali ilmu kecepatannya.
“Iii...”
Wut
Hantaman sapuan tubuh Gumbala
luput, karena Pendekar Slebor sudah melenting indah gemulai ke atas. Di udara,
dia bersalto cepat. Lalu dilepaskannya kain pusaka bercorak catur dari
pundaknya.
Sret Sekedip mata saja, kain
pusaka itu sudah melecut tepat ke arah pegangan tangan Lalinggi.
Prat
“Wuaaa”
Lalinggi kontan menjerit tak
alang kepalang. Jari-jemarinya langsung hancur berantakan seperti batang pohon
pisang tertumbuk balok kayu. Tentu saja tubuh Gumbala jadi terlepas. Lelaki itu
kontan terlempar ke udara.
Entah bagaimana caranya, dalam
keadaan masih tetap di udara Pendekar Slebor melepas inti tenaga sakti warisan
Pendekar Lembah Kutukan ke arah Gumbala.
Wezzz
“Aaa...”
Tanpa bisa menghindar lagi,
leher belakang lelaki buruk rupa itu termakan telak pukulan jarak jauh Pendekar
Slebor. Lehernya remuk seketika. Bahkan kepala lelaki itu nyaris saja terlepas,
begitu ambruk di tanah.
Pendekar Slebor kini berdiri
dua tombak persis di depan hidung Lalinggi. Mata kebiru-biruan lelaki itu
membeliak mendapati Pendekar Slebor siap melecut kain pusaka kembali.
“Wuaaa” raung Lalinggi,
menyangka Pendekar Slebor akan segera melepas lecutan kembali.
Matanya terpejam, mulutnya
membuka lebar seperti lalat.
Lalinggi menunggu-nunggu
lecutan senjata pusaka Pendekar Slebor, tapi tak juga datang. Takut-takut,
matanya dibuka tapi ternyata Andika sudah tidak ada lagi di depannya. Tapi,
telinganya mendengar tawa pemuda tersebut di belakang. Ketika menoleh, tampak
Pendekar Slebor tengah memegang pakaiannya.
“Ini untuk membayar pakaianku
yang dirusak oleh kawanmu...,” kata Pendekar Slebor ringan.
Lalinggi terlonjak. Ketika
melirik ke bawah, tubuhnya sudah polos seperti bayi baru lahir Entah malu atau
takut mati, laki-laki yang juga buruk rupa itu langsung lari tunggang langgang
sambil melindungi bagian 'rahasianya' dengan tangan hancur.
“Oiii, ada tuyul” teriak
Andika sambil tergelak.
Idayu Wayan Laksmi yang
melihat kejadian itu menutup wajah cepat-cepat. Ngeri campur geli....
***
Bagaimana keadaan jasad Ki
Rawe Rontek yang
telah ditetesi darah Idayu
Wayan Laksmi secara tidak disengaja? Apakah dia berhasil bangkit kembali? Apa
sesungguhnya rahasia kelemahan ilmu hitam yang luar biasa itu, sehingga Ki Rawe
Rontek dikabarkan masih mampu hidup kembali meski kepalanya telah terpenggal
sekalipun? Kalau bangkit kembali, mampukah Andika menghadapinya? Ikuti
kelanjutan kisah ini dalam episode : BANGKITNYA KI RAWE RONTEK
SELESAI
Catatan:
* Cokorde = raja
* Beli = panggilan untuk kakak lelaki
* Mbok = kakak perempuan
* Banjar = kelompok keluarga dalam wilayah Bali
* Geg = kependekan Jegeg (manis)
* Monggo = silakan
* Kala = raksasa
* Odah = nenek