-------------------------------
----------------------------
Episode 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek
1
Pantai Barat Buleleng tak
hentinya didera ombak. Gelombang demi gelombang menggapai, hingga melemah di
pasir bibir pantai. Selaksa buih bertumbukan, selaksa lainnya lahir atau
menghilang.
Dibatas laut, bayang-bayang rembulan
penuh tampak bagai tercabik-cabik gejolak samudera.
Tak jauh dari benteng pasir
pantai berdiri sebuah bangunan karang besar yang mematung kaku. Tepat di kaki
sebelah timur bukit karang itu, terdapat goa cukup besar. Goa Karang Hitam.
Goa Karang Hitam tetap bisu.
Tak seperti ombak laut yang selalu bergemuruh, Bongkahan-bongkahan batu karang
dingin tampak menimbun seluruh mulut goa. Tebing karang di atasnya, ratusan
sarang burung walet tampak tersusun tak teratur, bagai bintik-bintik jika
dipandang dari jauh.
Di setiap sarang itu
burung-burung mungil berkumpul menanti pagi.
Malam kian terpuruk dalam
kelam.
Kendati demikian tak juga
sunyi, riuh rendah pesta ombak sang Samudera terus berlangsung. Pada pangkal
dini hari yang diselumuti dingin, timbunan batu-batu karang di mulut Goa Karang
Hitam tiba-tiba bergerak-gerak.
Grrr.... Tak ada sepasang mata
pun menyaksikan. Kelihatannya pantai saat ini tidak diminati seorang pun.
Bahkan para nelayan yang biasanya sudah berada di tengah laut, kini lebih memilih
berkumpul dengan keluarga. Badai tampaknya memang akan mengamuk di musim angin
barat yang ganas.
Bongkahan karang penimbun
mulut Goa Karang Hitam terus bergetar kecil, lalu saling bergeser. Padahal, tak
ada gempa saat itu. Dan memang, hanya di sekitar mulut goa itu saja yang
bergetar. Sesaat kemudian, bongkahan batu karang itu kembali mematung bisu.
Waktu terus merayap, merangkak
bagai langkah-langkah para pencabut nyawa. Pada puncaknya....
Blar Gruk..., grrr...
Ledakan menggila yang
dibuntuti gemuruh riuh tercipta seketika.
Bongkahan batu karang sebesar
setengah badan manusia langsung terlontar ke segala arah, menghambur tak
berdaya seperti butiran pasir. Bukit karang menjulang di atasnya turut
bergetar.
Ratusan burung walet mendadak
kehilangan kedamaian di sarang masing-masing.
Mereka berterbangan liar,
bagai digerah keterkejutan.
"Cuit.... Cuit Cuit...
Cuit..." Mulut Goa Karang Hitam ternganga lebar. Tak ada lagi karang keras
yang menyumpal mulutnya. Yang tertinggal hanya pecahan-pecahan batu kecil di
sekitarnya, serta kehampaan di rongga dalam goa. Di dalam sana, gelap berkuasa
bersama kawalan kelengangan. Namun itu tidak berlangsung lama. Karena mendadak
saja...
"Aaarrrrggghhh..."
Tiba-tiba terdengar erangan yang menggidikkan bagai terpelanting keluar.
***
Di satu hamparan lembah hijau berumput halus
dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Tabanan, berdiri menyendiri sebuah pondok
sederhana. Di halaman terlihat dua orang berbeda usia bertelanjang dada.
Sekujur tubuh mereka berkilatan oleh keringatyang membanjir.
"Hiaaa"
"Hiaaa" Terdengar teriakan penuh semangat secara bergantian dari
mulut masing-masing. Dengan diiringi teriakan, mereka melakukan gerakan-gerakan
penuh kekuatan. Yang seorang adalah pemuda gagah berusia dua puluh enam tahun.
Tubuhnya berotot kenyal. Pantas saja jika dia begitu bergelora melakukan setiap
gerakan.
Wajahnya tak tergolong tampan.
Namun terlihat ramah dan tak bosan dipandang.
Kini wajahnya memperlihatkan
kesungguhan. Sementara rambutnya yang sepanjang bahu terikat kain hitam,
menggelepar-gelepar dipermainkan angin lembah.
Sementara yang seorang lagi
adalah lelaki tua. Meski usianya bisa dibilang lanjut, namun tubuhnya masih
tampak gagah. Otot-ototnya pun tak begitu mengalami kesulitan dalam membuat
gerakan jurus yang terhitung sulit.
Menilik kerutan serta kumis
dan jenggot putih di wajahnya, bisa ditebak kalau usianya hampir mencapai
sembilan puluh tahun.
Wrrrt Deru seketika tercipta,
begitu celana pangsi hitam mereka bertumbukan cepat dengan angin. Kaki kanan
mereka teracung lurus menantang langit, seolah hendak mematahkanleher lawan.
Setelah itu, kaki masing-masing kembali ditarik ke bawah perlahan.
"Hsss" Dengan
menghempas napas berangsur, mereka pun mengakhiri latihan hari ini.
"Cukup dulu untuk hari
ini, Yaksa" ujar lelaki tua itu, seraya menyapu peluh di kening.
"Baik, Guru. Tapi kalau
boleh, aku hendak sedikit menyempurnakan gerakanku pada jurus kesembilan
belas...," pinta anak muda yang ternyata bernama Yaksa. Si Lelaki Tua
terkekeh. "Kau punya semangat baja. Aku senang memiliki murid sepertimu.
Tapi...." "Tapi hari iri aku harus meneruskan pelajaran
memahat...," sela Yaksa, mendahului kalimat laki-laki tua yang ternyata
adalah gurunya.
"Ha ha ha..."
laki-laki tua itu tertawa. Sudah seringkali dia mengatakan kalimat itu pada
Yaksa.
Sampai-sampai, murid
tunggalnya ini hafal.
"Dan tentunya Guru juga
akan mengatakan, kalau aku harus mempelajari ilmu lain selain bela diri. Karena
hidup menuntut banyak hal. Seni bisa membuat jiwa kita hidup, sekaligus bisa menjadi
penopang hidup," tambah Yaksa.
Sang Guru tertawa lagi.
Lagi-lagi dia kedahuluan, seketika diraihnya bahu Yaksa dengan wajah gembira.
"Ayo kita ke dalam
Setelah beristirahat sebentar, kita mesti melanjutkan pahatan" ajak
laki-laki tua itu.
Mereka segera masuk ke dalam
pondok untuk beristirahat sejenak. Begitu berada di dalam, mereka meneguk air
putih segar dari sebuah kendi. Lalu masing-masing menyapu keringat dan sedikit
berangin-angin di sisi jendela.
Dan kini mereka menuju
belakang pondok, siap melanjutkan pekerjaan lain.
Sepertinya, mereka tidak ingin
menyia-nyiakan waktu. Memang, bukankah waktu begitu cepat berlalu? Di halaman
belakang pondok, telah menunggu tumpukan balok kayu besar serta dua pahatan
yang hampir rampung. Yaksa menghampiri salah satu pahatan.
"Kenapa Guru menyuruhku
membuat patung Sang Kala ini?" tanya Yaksa sambil meraih alat-alat
pahatannya.
Laki-laki tua ini
menepuk-nepuk kepala patung berbentuk raksasa bermata besar dan bertaring itu.
"Patung Sang Kala adalah
perlambang kejahatan di dunia. Aku menyuruh membuatnya, karena aku ingin kau
selalu waspada terhadap setiap kejahatan di bumi ini...." "Kenapa
Guru menyuruhku membuat sepasang?" tanya Yaksa lebih lanjut.
Diperhatikannya satu patung
lain yang berbentuk raksasa wanita berwajah bengis.
"Patung Sang Kala adalah
Dewa Perusak. Sedangkan pasangannya adalah patung Sang Khali Durga. Artinya,
setiap manusia baik perempuan atau lelaki, setiap saat bisa melakukan
kejahatan.
Karena sifat jahat adalah
salah satu sifat setiap orang. Yang tidak bisa menguasai sifat itu, dia akan
dikuasai.
Tapi jika bisa menguasainya,
niscaya orang akan mendapat ketenteraman hidup," tutur guru pemuda ini.
"Tapi seseorang yang bisa menguasai sifat jahat dalam dirinya, tidak
mungkin tenteram kalau dizaliminya, Guru...," sergah Yaksa.
Lelaki tua berjanggut putih
yang kini sudah mengenakan baju hitam itu mengangguk-angguk seraya menebar
senyum arif.
"Untuk itulah, seseorang
harus memiliki kemampuan bela diri, serta menghapus kejahatan pada orang-orang
yang dikuasainya. Kau mau menjadi pendekar pembela kebenaran, bukan?" Kini
giliran Yaksa mengangguk angguk.
"Nah, Sekarang kau
teruskan kerjamu." "Baik, Guru." Yaksa mulai menghujamkan
pahatnya pada lekukan tubuh patung Sang Kala yang harus dirampungkan.
Sedangkan, gurunya sudah kembali ke pondok. Tapi, begitu lama sudah kembali
lagi. Di tangannya kini ada segulungan daun lontar kering yang sudah diawetkan.
"Yaksa.... Kalau kau
sudah menyelesaikan patung Sang Kala, masukanlah lembaran-lembaran lontar ini
ke lubang patung yang kemarin kau buat..." Sang Guru langsung menyodorkan
gulungan di tangannya.
"Apa ini, Guru?"
tanya Yaksa ingin tahu. "Ini adalah sobekan-sobekan sebuah kitab,"
sahut lelaki tua itu singkat.
"Kitab apa, Guru?"
desak Yaksa, ingin tahu lebih banyak.
"Kitab ilmu hitam. Dalam
lontar itu tertulis rahasia-rahasia kelemahan ilmu hitam," jelas gurunya
hati-hati. "Karena aku yakin, suatu saat ada orang-orang berhati iblis
akan mencarinya. Maka kita harus menyembunyikan pada satu tempat rahasia."
"Di dalam patung Dewa Perusak ini?" bisik Yaksa, juga hati-hati.
Gurunya mengangguk sekali.
***
Waktu terus menyingkir tanpa terasa. Siang
berganti senja yang merahlembayung dari belahan langit sebelah barat. Yaksa pun
telah merampungkan pahatannya. Bahkan sudah pula menghaluskan patung kayu itu,
hingga makin menampakkan nilai seni.
"Satu persatu, kedua
patung itu dimasukkan ke dalam gubuk. Di dalam sana, dia membalik patung Sang
Kala yang di bawah kakinya terdapat semacam laci kecil yang tertutup rapat. Di
laci rahasia itu, Yaksa memasukan gulungan lontar seperti pesan gurunya.
Sementara, lelaki tua itu sendiri saat itu sedang duduk menyendiri di serambi.
Dan pemuda itu segera menghampiri. "Pesanmu sudah kulaksanakan,
Guru," ucap Yaksa begitu sampai di serambi.
"Bagus.... Sekarang,
duduklah dulu," sahut laki-laki tua itu dari sebuah dipan bambu tempatnya
bersila.
"Tapi, aku hendak menemui
seseorang, Guru," tolak Yaksa.
Lelaki tua itu melirik Yaksa
dengan sepasang mata yang sudah keabu-abuan.
"Kau mau menemui gadis
itu lagi?" sindir gurunya.
Yaksa hanya bisa tertawa
risih.
"Baiklah. Pergilah
sana...." Yaksa menjura dengan sebaris senyum lega.
“Terima kasih, Guru,"
hatur pemuda itu hormat.
"Kau tidak memintaku
untuk melamarnya?" tukas gurunya sebelum Yaksa jauh melangkah meninggalkan
gubuk.
"Apa, Guru?" Lelaki
tua itu terkekeh.
"Tidak apa-apa. Ada
nyamuk usil tadi" kilah gurunya.
Sepeninggalan muridnya, lelaki
tua berjanggut putih ini masukke dalam gubuk. Raut wajahnya berubah, tak lagi menampakkan
bias ketenangan. Ada sesuatuyang tiba-tiba mengusik batinnya saat ini. Dia
merasa ini adalah firasat buruk.
Seperti dituntun oleh suara
hati, dia mengambil pahat milik Yaksa di bawah balai-balai kayu tempat tidur.
Dengan pahat itu, ditulisnya sebaris pesan di papan dinding gubuk.
“Yaksa Tiba-tiba saja aku
mendapat firasat buruk Entah apa yang terjadi, aku sendiri tidak tahu. Tapi
jika nanti kau tidak bisa berjumpa lagi denganku, carilah seorang pemuda
yangbernama Andika diDesa Umbuldadi Jika dia masih di sana, mintalah agar
mengajarimu beberapa jurus bela diri Gurumu, Lantanggeni...” Laksana mata panah yang tepat menghujam
sa-saran, firasat lelaki tua yang ternyata Ki Lantanggeni (Baca kisah Pendekar
Slebor dalam episode: "Darah Pembangkit Mayat") agaknya mendekati
kebenaran. Karena mendadak saja terdengar lengkingan erangan serak dan panjang
di luar pondok Ki Lantanggeni.
Lengkingan menyeramkan itu
jelas sarat dengan ancaman. Lebih mengancam daripada geraman ratusan serigala
liar Ki Lantanggeni kontan tersentak Sebenarnya laki-laki tua ini tidak akan
begitu terkejut. Kalau lengkingan tadi tanpa disertai hempasan tenaga dalam
tingkat tinggi. Tapi, suara menggidikkan yang menerabas gendang telinganya
memang bukan teriakan seorang perempuan usil.
Teriakan itu bahkan sedahsyat
angin topan yang berhembus sekejap, membuat dinding pondoknya bergetar dan
nyaris berguguran. Tak hanya itu. Telinganya yang semula menyepi untuk memeluk
kedamaian mendadak saja bagai disodok sebatang besi panas.
Ki Lantanggeni langsung
mendekap kedua telinganya untuk menahan rasa nyeri yang amat sangat. Wajahnya
makin berkerut tak karuan. Sedangkan sepasang matanya terpejam rapat.
"Aaargggkhhh"
Terdengar kembali lengkingan serak ketika Ki Lantanggeni baru saja melepas
tangannya dari telinga. Untunglah, kali ini lelaki tua itu telah menyalurkan
hawa murni ke sepasang telinganya. Sehingga tenaga dalam kandungan lengking
tadi tak lagi membuatnya kesakitan.
Menjadi suatu keharusan
baginya saat ini, untuk segera menyiapkan diri lebih siaga. Kemungkinan
terburuk yang akan menyusul harus diwaspadai. Toh, biar bagaimanapun, dia tidak
mau mati konyol meski usianya sudah bau tanah.
Tindakan itu memang membawa
manfaat karena....
Glarrr...
Tiba-tiba saja satu tenaga tak
terlihat datang menghancurkan dinding kayu pondok di sisi kiri. Untung saja, Ki
Lantanggeni masih mampu menyelamatkan diri. Sekuat tenaga tubuhnya didorong ke
udara hingga menembus atap rumbia pondoknya. Serangan itu demikian mendadak.
Kalau saja kurang cepat, maka tubuhnya akan berkeping-keping bagai dinding kayu
pondoknya yang bertaburan ke segala arah.
Srak Ki Lantanggeni memang
masih bisa menyelamatkan nyawa tuanya. Dia memang bisa lolos dari terjangan
hantaman asing, melalui atap rumbia di atas pondok Tapi, tetap saja angin
hantaman itu sempat menyentuhnya juga. Meski tak kencang, namun seluruh rangka
tulangnya terasa luluh lantak.
Di atas wuwungan rapuh, Ki
Lantanggeni berdiri sambil bertahan dari kekuatan kasap mata yang merasuki
tubuhnya. Ketika sekujur tubuhnya terasa melemas seakan tanpa tulang, barulah
disadari kalau dirinya telah terkena pengaruh pukulan langka. 'Pukulan Peremuk
Dalam'. Ilmu pukulan hitam yang mampu merapuhkan sebatang baja dari dalam
"Gusti.... Kenapa ilmu hitam itu tiba-tiba muncul kembali," desis
laki-laki tua itu lamat.
Sepengetahuannya, ilmu hitam
itu telah musnah, saat matinya datuk sesat ilmu hitam yang juga saudara
seperguruannya sendiri. Dia adalah Artapati, alias Ki Rawe Rontek.
***
2
"Lhanthanghhh.... Akkhu
kembhalhi uhnthukh mencabhut nyawhamuhuuuuh...." Ki Lantanggeni terkesiap
begitu mendengar sebuah suara seseorang yang sepertinya kenal dengan dirinya.
Kini dugaannya terbukti. Artapati, atau lima puluh tahun lalu amat tersohor
dengan julukan Ki Rawe Rontek, telah bangkit kembali Bahkan untuk mencabut
nyawanya sebagai pembayar hutang Sambil menarik napas sesak akibat pengaruh
'Pukulan Peremuk Dalam', sekaligus untuk mengembalikan kekuatan tubuhnya, Ki
Lantanggeni mengeluh berat.
Bukanlah kematian yang
ditakuti. Tapi, sepak terjang tak berperi kemanusiaan yang dilakukan Artapati.
Tentu datuk sesat itu setiap waktu akan menumpahkan darah kembali di mana-mana,
jika mulai merasa haus darah "Ini tak boleh terjadi...," desis Ki
Lantanggeni, lirih.
"Khenhaphah therdhiamh sepherthi
ithu, Lhantahanghhh? Khau tahkut menerima kemathianmuhhh?" Suara berat itu
kembah menyesaki udara di sekitar gubuk, menerjang jiwa Ki Lantanggeni
Sehingga, membuatnya bergetar.
"Aku tak takut pada
kematian, Arta Aku tetap seperti yang dulu. Pantang mundur untuk kebatilan,
rela membuang nyawa untuk menegakkan kebenaran" bentak Ki Lantanggeni,
masih tetap berdiri kukuh pada pucuk atap rumbia rapuh.
Kalau bukan tokoh semacam Ki
Lantanggeni, tentu atap itu akan segera roboh. Karena, sebenarnya kekuatannya
hanya untuk menahan berat tubuh seekor burung nuri.
"Haaarhhh..., haaarhhh...
haaarh" Entah yang terdengar itu adalah tawa Artapati, atau semacam
kegusaran. Ki Lantanggeni sendiri tak bisa menentukannya. Yang jelas,
telinganya menangkap kesan keangkuhan di sana.
"Khau phikhir, khau
mhashih tethaph sepherti dhuluh, Lhanthanghhh? Apha khau thak shadar khalau
thubuhhmu sudhah laphuk?" cemooh suara berat yang terseret itu. "Akhu
thak mauhhh bhanyak omhong lhlagi, Lhantanghh. Akhu akhan mengamphuni nyawhamu,
asal khau mau menyerhahkan sobhekhan khitab ilmhu hitham ithu...." Ki
Lantanggeni menyeringai. Namun sempat terhenyak juga.
"Kau pikir kau siapa,
Arta? Tuhan yang bisa mengampuni nyawa manusia? Kau terlalu sombong, Arta Tuhan
akan menghukummu" hardik laki-laki tua itu dengan wajah memerah matang.
"Haarrrh... haarrh...
harrh Uchapanmhu therlhaluh bodhoh, Lhantangh" "Hentikan keangkuhan
memuakanmu, Arta Kalaupun sejuta setan neraka kau bawa ke sini untuk memaksaku
menyerahkan gulungan lontar itu, tetap tak akan kuberikan" tandas Ki
Lantanggeni: "Aaaargggh" Lengkingan serak ketiga kembali menyayat
angkasa, disusul membersitnya gelang-gelang api yang garis tengahnya sebesar
mulut sumur, menuju Ki Lantanggeni. Asalnya, dari satu gundukan semak tinggi di
tepi lembah.
Kegesitan Ki Lantanggeni, tak
berkurang meski tubuhnya masih didera pengaruh pukulan tak berwujud tadi.
Bagaikan tupai yang meloncat
lincah, tubuh lelaki tua itu melenting ringan ke udara dengan kedua tangan
terbentang.
Kemudian setelah berputaran
beberapa kali, kakinya mendarat ringan tiga belas tombak dari tempat asal
serangan.
Dalam hati Ki Lantanggeni
bergumam setengah menyumpah. Serangan barusan merupakan salah satu ilmu hitam
yang dimiliki Artapati, setelah direbutnya secara curang dari tangan Ki
Lantanggeni. Padahal, ilmu hitam itu tak terlalu tangguh. Tapi yang baru saja
disaksikannya, benar-benar di luar dugaan. Tampaknya setelah sekian puluh tahun
tubuhnya terperam bumi, ilmu-ilmu Artapati menjadi kian matang. Terbukti dengan
kehebatan jangkauan gelanggelang api yang mampu mencapai tiga puluh lima
tombak.
Jauh di belakang sana, pondok
milik Ki Lantanggeni mulai dilahap lidah api.
Jilatan si Jago Merah itu
mulai menjalar ke rangka pondoknya. Sampai akhirnya, menjalar ke bagian dinding.
Kebakaran ini membuat Ki
Lantanggeni khawatir, karena patung kayu tempat persembunyian gulung lontar
rahasia kelemahan ilmu-ilmu hitam tentu akan terbakar api pula. Kalau gulungan
lontar itu terbakar, maka musnahlah rahasia kelemahan ilmu hitam Artapati.
Dan, tidak akan ada lagi
orangyang menahan kebuasannya.
Dengan segera Ki Lantanggeni
hendak berbalik. Tapi niatnya diurungkan, karena Artapati arias Ki Rawe Rontek
telah mendahului dengan hantaman gelang-gelang api kembali.
Wrrr Wrrr Wrrr "Haih"
Ki Lantanggeni langsung melenting, menyelamatkan diri. Dan seketika tubuhnya
melesat nekat, menerobos tepat di tengah lingkaran gelang-gelang api yang
meluruk deras ke arahnya. Tampaknya laki-laki tua itu sudah cukup mengenali
pukulan api tersebut. Sehingga mau mengambil langkah nekat dan sebahaya itu.
Pada saat tubuh laki-laki tua
membentang lurus di atas, seketika sesosok bayangan besar menerkamnya dari
semak-semak. Padahal, jarak antara semak-semak dengan tubuh Ki Lantanggeni
terbilang sekitar sepuluh tombak. Namun, terkaman itu sanggup menggapainya.
Itulah sosok Artapati yang
menerkam laksana terbang Sementara, kedua tokoh berbeda aliran itu menyulut
pertarungan maut, tanpa ada yang tahu seseorang menerabas masuk pondok yang
terbakar. Beberapa saat matanya mencari-cari sesuatu di setiap ruangan pondok,
di tengah gapaian-gapaian lidah api, tanpa merasa takut terbakar, dengan tenang
diperiksanya ruang demi ruang sampai akhirnya ditemukannya sepasang patung
buatan Yaksa, yang baru saja dirampungkan. Dari bawah kaki salah satu patung
kayu itu. Si Penelusup mengambil gulungan lontar tanpa harus berlama-lama
meneliti lubang rahasianya. Gulungan lontar ini kemudian dimasukkan kembali ke
dalam laci rahasia di bawah kaki patung itu. Setelah itu, dia keluar tanpa
kesulitan.
***
Yaksa telah tiba di Desa Umbuldadi senja hari,
menjelang tersungkurnya mentari di kaki langit. Temaram telah mengurung desa
kecil itu. Beberapa rumpun nyiur bergerak-gerak lamban, diusik angin
sepoi-sepoi.
Sejak gurunya pergi bersama
Pendekar Slebor untuk memburu kotak berukir yang dibawa Sepasang Datuk Karang,
Yaksa tidak pernah menjumpai gadis yang disukainya di Desa Umbuldadi yang
termasuk wilayah Kerajaan Buleleng.
Tanpa izin Ki Lantanggeni, dia
tak berani pergi meninggalkan pondok kecuali untuk urusan penting.
Setelah kepulangan Ki
Lantanggeni beberapa hari lalu, Yaksa baru bisa mendapat latihan jurus-jurus
bela diri lagi. Sekaligus, bisa meminta izin untuk menemui gadis pujaannya.
Jika seseorang bertanya pada
Yaksa tentang perasaannya saat ini, pasti akan dijawab lantang kalau
perasaannya amat berbunga-bunga. Siapa yang tak senang jika hendak menemui
orang yang dicintai? Tak begitu lama berjalan memasuki desa, Yaksa akhirnya
tiba di depan sebuah rumah gubuk sederhana yang bersih dan nyaman. Di situlah
pujaan hatinya tinggal. Makin dekat dengan gubuk itu, hatinya makin
berbunga-bunga. Bahkan jantungnya jadi bertalu-talu keras.
Baru saja pemuda itu hendak
memijakkan kakinya di anak tangga pondok, telinganya menangkap dua orang sedang
berbincang-bincang di dalam.
Entah, apa yang dibicarakan.
Yang diketahuinya suara itu dari seorang pria dan wanita.
Yaksa jadi curiga. Dengan
sangat hati-hati, dinaikinya tangga satu persatu. Lalu dari celah pintu, dia
mengintip ke dalam. Benar Memang ada seorang pemuda yang sebaya dengannya
sedang bercakap-cakap bersama seorang wanita. Pemuda itu baru kali ini
dilihatnya. Jadi, sama sekali Yaksa tak mengenal. Kalau yang wanita, sudah
dikenalinya betul. Dialah gadis yang selama ini mengusik hatinya.
Yaksa jadi makin penasaran.
Sewaktu gadis pujaan sedang berbicara dengan wajah mesra, Yaksa jadi cemburu.
Hatinya langsung terbakar. Terlebih, waktu gadis itu mempersilakan pemuda di
depannya untuk mencicipi Rujak Degan dengan mesra.
Huh Lama tak berjumpa, sewaktu
hendak berjumpa malah menyaksikan pemandangan yang menyakitkan Betul-betul sial
Yaksa memaki dalam hati. Saat itu pula, pemuda itu merasa mendapat saingan.
Bagaimana tidak? Pemuda yang dilihatnya di dalam sana, ternyata lebih tampan
Memang, selama ini Yaksa hanya baru jatuh hati pada gadis itu. Dengan kata
lain, cintanya masih seperti bertepuk sebelah tangan Apa mungkin ini salahnya
juga? Dia jadi bertanya pada diri sendiri. Mengapa tidak sesegera mungkin
mengutarakan isi hatinya pada gadis itu? Ah Yaksa jadi tak peduli. Pokoknya,
hari ini dia jadi jengkel bukan main.
Sambil membanting langkah pada
anak tangga, ditinggalkannya rumah panggung ini dengan bersungut-sungut.
Di dalam rumah panggung,
terdengar tawa dua anak muda yang pecah sepeninggalan Yaksa. Gadis itu terkikik
kecil sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan Sedang sang Jejaka tertawa
renyah. Di tangannya masih terpegang semangkuk Rujak Degan.
"Dasar orang usil"
ujar gadis itu.
Dengan rambut panjang ekor
kuda, matanya yang berbulu lentik masih sedikit menyempit, karena menahan tawa.
Kulitnya yang agak kecoklatan, menjadi terlihat manis ditutupi kebaya Bali
berwarna biru muda. Namanya Idayir Wayan Laksmi.
Sedangkan pemuda di hadapannya
tak lain dari Andika alias Pendekar Slebor (Baca episode : "Darah
Pembangkit Mayat").
"Dikiranya kita sedang
berbuat yang macam-macam, barangkali," timpal Andika, ikut meledek orang
yang baru saja mengintip.
Sebenarnya, biarpun Yaksa
sudah begitu hati-hati melangkah di anak tangga, tapi telinga yang terlatih
Andika tetap sanggup menangkap suara geraknya. Tapi karena yakin tidak
berbahaya, Pendekar Slebor membiarkannya saja. Idayu Wayan Laksmi pun diberi
tahu Andika, kalau ada seseorang mengintip mereka. Mulanya, Idayu Wayan Laksmi
takut. Tapi dia diyakini kalau orang di luar itu tidak berbahaya. Akhirnya,
mereka berkesimpulan kalau orang di luar tadi hanya mau usil.
Tawa kedua anak muda itu
terpenggal, ketika I Ketut Regeg adik Idayu Wayan Laksmi masuk.
"Mbok, apa tak tahu kalau
tadi Bli Yaksa datang?" tanya I Ketut Regeg seraya menghampiri Andika dan
Idayu Wayan Laksmi.
Idayu Wayan Laksmi menyahut.
Matanya malah
dikerjap-kerjapkan pada I Ketut Regeg, memberi isyarat agar tutup mulut. Dia
tidak mau kalau Andika sampai tahu tentang pemuda dari Tabanan yang jatuh hati
padanya.
"Mbok, cacingan,
ya?" tukas I Ketut Regeg. "Aku bilang Bli Yaksa datang, kok Mbok
malah mengedip-ngedip seperti itu...." "Siapa itu Yaksa?" tanya
Andika, jadi ingin tahu Idayu Wayan Laksmi mencegah mulut ceriwis I Ketut Regeg
yang berkicau lebih lanjut. Tapi sayang mulut lincah anak muda tanggung
berbadan kurus itu lebih gesit.
"Dia orang dari Tabanan
yang naksir Mbok Laksmi, Bli Andika," tutur pemuda tanggung bertubuh kurus
ini acuh tanpa rasa bersalah. Mata Idayu Wayan Laksmi mendelik kesal.
Tapi I Ketut Regeg justru
mendelik lebih besar lagi.
"O, ya?" goda Andika
pada Idayu Wayan Laksmi.
“Tapi, aku lebih suka kalau
Beli yang jadi kekasih Mbokku...," ucap I Ktut Regeg.
"Ah Aku sendiri lebih
suka menjadi sahabat Mbokmu. Ya tentu sahabatmu juga" Pandangan Idayu
Wayan Laksmi kontan terjatuh ke lantai. Kepalanya tertunduk dalam,
menyembunyikan wajah yang mendadak berubah mendung. Dia sungguh tidak suka
mendengar pernyataan Andika barusan. "Hanya sahabat?" Idayu Wayan
Laksmi berbisik dalam hati. Hanya sebagai sahabat? "Kau kenapa,
Laksmi?" usik Andika, menyadari perubahan sikap Idayu Wayan Laksmi.
" Beli hanya ingin
bersahabat dengan Mbok, sih" tukas I Ktut Regeg. "Mbok Laksmi kan
berharap Beli menjadi kekasihnya. Apa Beli tidak naksir pada Mbok? Padahal,
Mbok kan Jegeg kata orang Bali. Banyak pemuda yang jatuh hati pada Mbok. Tapi,
belum ada seorang pun yang bisa membuatnya bertekuk lutut. Eee, Beli kok malah
menolaknya...." I Ktut Regeg terus menyerocos panjang-panjang seperti
tidak sempat mengambil napas. Tapi niatnya yang hendak menyambung ucapan,
terhadang isak tertahan Idayu Wayan Laksmi.
Andika dan anak muda tanggung
itu agak terperangah. Belum lagi Pendekar Slebor sempat menanyakan kenapa Idayu
Wayan Laksmi terisak, dara nan ayu itu sudah menghambur ke belakang rumah.
Tubuh Idayu Wayan Laksmi
langsung menghilang di balik kerai terbuat dari anyaman kulit rotan. Suara
tangisnya masih tertinggal, di ruangan tempat Andika dan I Ktut Regeg duduk
saling menatap.
"Apa ucapanku tadi sudah
menyinggung perasaan Mbok?" tanya I Ktut Regeg, seperti bergumam pada diri
sendiri.
Andika menyahutinya dengan
gelengan. Bukan karena tak tahu kenapa hati dara itu terkoyak, tapi karena
merasa berdosa pada Idayu Wayan Laksmi.
Selama ini, tanpa disadari
Andika telah memberi ha-rapan pada gadis itu. Dan pemuda ini tak pernah
mengatakan kalau dirinya tidak bisa mencintai Idayu Wayan Laksmi. Tentu saja
Idayu Wayan Laksmi yang selama ini berharap, walaupun sampai kapan.
"Biar kutemani dia,
Geg," ucap Andika.
"Aku ikut, Beli. Ini
karena salahku juga...." "Kau tetap di sini saja," cegah Andika.
I Ktut Regeg tetap bersikeras.
Dia ikut bangkit, membarengi pendekar tampan ini. Dan ini membuat Andika jadi
mangkel pada sikap bandel anak muda tanggung itu.
Dengan menyeringai jengkel, I
Ktut Regeg ditotoknya.
Tuk Saat itu juga, tubuh
pemuda tanggung itu kejang mematung. Wajahnya masih mendongak kaget. Matanya
berkedip-kedip kelimpungan. Mulut usilnya yang masih bisa digerakkan, segera saja
melancarkan sumpah serapah pada Andika.
Andika makin mangkel. Sambil
menggeleng-geleng kepala, disumpalnya mulut I Ktut Regeg dengan daging kelapa
Rujak Degan.
"Belhfif befbafhfan
afuh" teriak I Ktut Regeg kalap.
***
3
Lembah di sebelah timur wilayah
Tabanan tempat Ki Lantanggeni mengadu jiwa, digempur kekuatan hitam Artapati
yang merupakan musuh lamanya. Entah, sudah berapa puluh jurus telah berlalu.
Dan selama itu pula Ki
Lantanggeni berada di bawah tekanan serangan laki-laki yang sebenarnya sudah
mati, dan berjuluk Ki Rawe Rontek ini.
Mati-matian Ki Lantanggeni
menyelamatkan selembar nyawa dari tangan keji Artapati. Dalam pertempuran
terdahulu, Ki Lantanggeni mendapat dukungan dari ketiga saudara seperguruannya
yang lain.
Namun ketiga saudaranya itu
tewas. Dan kendati demikian, Ki Lantanggeni pun bisa membunuh Artapati. Sayang,
kini berbeda. Laki-laki tua ini harus menghadapi datuk sesat itu seorang diri.
Untuk bisa menang, dia tidak
yakin.
Bahkan kalaupun bisa selamat,
itu pun sudah terlalu sulit.
"Grrrhhh"
"Hiah" Artapati terus mendesak Ki Lantanggeni dengan
serangan-serangan mematikan. Tidak ada lagi ancaman gelang-gelang berapi
seperti sebelumnya. Tapi bukan berarti serangannya tidak lebih ganas. Laki-laki
yang menamakan diri Ki Rawe Rontek kini justru mengerahkan ilmu hitam 'Pukulan
Peremuk Dalam'. Bentuk serangan yang amat sukar dihadapi dalam pertarungan
jarak dekat.
Karena tidak ingin pengaruh
'Pukulan Peremuk Dalam' melemahkan benteng pertahanan dan mengacaukan
perhatiannya, Ki Lantanggeni berusaha sekuat mungkin untuk bertarung jarak
jauh. Paling tidak, bisa menjauhi lawannya. Desakan Artapati saat itu adalah
bagaikan serangan iblis yang tak berbelas kasihan. Rangsekannya liar dan buas.
Dia seolah telah menjelma menjadi makhluk terganas di muka bumi ini Sepasang
tangan dan kaki Ki Rawe Rontek yang memiliki otot-otot kenyal menggelembung dan
berkulit keras serta berbulu kasar, menderu kian kemari. Di sekelilingnya
berhembus semacam selubung kekuatan kasap mata yang mampu membuat seluruh
tulang-belulang lawannya terasa remuk Seperti kebuasan terjangannya, wajah
Artapati pun memancarkan kebuasan.
Helai-helai rambutnya yang
panjang sebatas punggung, menyatu dan bergumpal seperti bulu-bulu domba. Bentuk
wajahnya persegi dengan rahang kekar. Alis matanya hitam, hampir menyatu. Di
bawah alisnya tampak bersinar jalang sepasang mata yang membiru pada seputar
kelopaknya. Bentuk hidungnya membengkok. Tulang hidung dekat matanya tampak
menonjol, nyaris sama panjang dengan cupingnya. Sedangkan bibirnya hanya
seperti garis tipis memanjang dengan ujung-ujung menekuk berkesan menggiriskan.
Di samping itu, bentuk tubuh
Artapati pun menyeramkan. Orang bernyali kecil pun akan takut, jika baru
melihat seluruh otot di bagian tubuhnya yang menonjol. Apalagi bahunya besar
dan dadanya bidang. Batang lehernya seperti beton, kaku serta kekar. Di
beberapa bagian kulitnya, tumbuh sejenis jamur menggumpal. Mungkin karena telah
begitu lama terpendam di perut bumi. Semua itu bisa terlihat, karena laki-laki
ini hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut yang sudah koyak di mana-mana.
Ada lagi yang tak kalah
menyeramkan dari semua itu. Di lehernya, terdapat bekas luka melingkar.
Daging-daging kecil tampak menyembul keluar dari lukanya.
Kalau menyaksikan bekas luka
itu, Ki Lantanggeni jadi bergidik. 'Rawe Rontek', ilmu hitam itu telah
menghidupkannya kembali Tapi, bagaimana dia bisa hidup kembali tanpa bantuan
orang lain dengan memberinya darah perawan sebagai pembangkit? Memang Sewaktu
Ki Lantanggeni, Andika, dan Idayu Wayan Laksmi memasuki Goa Karang Hitam
beberapa waktu lalu, tanpa disengaja darah dari luka Idayu Wayan Laksmi
menetes-netes di tubuh Artapati. Walaupun tak terlalu banyak, tapi itulah awal
kebangkitan kembali tokoh hitam berjuluk Ki Rawe Rontek (Baca episode :
"Darah Pembangkit Mayat").
***
Artapati terus merangsek Ki
Lantanggeni makin ganas. Sementara kedudukan laki-laki tua guru Yaksa itu pun
kian terhimpit.
"Grrrhhh" Di suatu
kesempatan, seiring raungan berat, Artapati menyapukan tangan di udara. Cakaran
tangannya hendak melantakkan kaki Ki Lantanggeni yang masih melayang di udara.
Gerakan yang demikian cepat
ini membuat Ki Lantanggeni tidak mungkin lagi menarik kaki. Satu-satu jalan
baginya untuk menghadapi sambaran cakar Artapati adalah menyambutnya dengan
kaki. Maka segera disalurkannya seluruh kekuatan tenaga dalam pada kaki. Paling
tidak, ini bisa menyelamatkan kakinya dari keremukan Dan....
"Haaath" Drak
"Aaakh..." Benturan keras terjadi antara cakar Artapati dengan tulang
kaki Ki Lantanggeni. Laki-laki tua, guru dari Yaksa ini meraung tinggi.
Wajahnya disesaki warna merah karena menahan sakit luar biasa. Nyerinya bahkan
terasa sampai ke seluruh jaringan tubuhnya.
Semula harapan Ki Lantanggeni
adalah, kakinya tidak mengalami luka parah. Tapi kini, harapannya hanya pepesan
kosong.
Betapa tidak merasakan, bagian
tulang di pergelangan kakinya seperti direncahrencah.
Tubuh orang tua itu melayang
di udara, lalu ambruk berdebam di tanah. Di wajah bumi itu, Ki Lantanggeni
menggelepar-gelepar sambil memegangi pergelangan kaki kanannya. Debu di bawah
rumput terangkat ke udara, merubungi tubuhnya.
"Harrh... harrrhh...
harrh Masih jugha khau mahau bershikeras unthuk menyembhunyikan ghulungan
lhontar ithu padhakhu?" cemooh Artapati, dingin.
"Demi Tuhan Kau bunuh aku
akan lebih baik daripada harus menyerahkan gulungan lontar itu padamu,
Iblis" hardik Ki Lantanggeni di tengah-tengah erangan.
"Harrrh... harrh...
harrrh...
harh" Lagi-lagi Artapati
tertawa ganjil.
Wajahnya mendongak menantang langit.
Tampaknya dia begitu puas jika
melihat seseorang menggelepar-gelepar kesakitan.
Ki Lantanggeni sekarang
melihat kesempatan untuk menyerang. Dalam keadaan sehat, dia tidak akan sudi
berbuat curang dengan memanfaatkan kelemahan lawan. Tapi keadaan kali ini jauh
berbeda. Segala cara harus diusahakan untuk dapat mencegah tokoh hitam ini
merajah dunia persilatan. Sambil menghempas napas untuk menguasai rasa sakit,
lelaki tua itu bangkit dalam sekali sentakan Tanpa menghiraukan bakal
kehilangan nyawa, diterkamnya kepala Artapati. Sementara, kedua telapak
tangannya siap mendongkel.
leher datuk sesat itu. Dia
memang berusaha kembali memisahkan kepala Artapati dari tubuhnya.
"Hih" Sayang seribu
kali sayang. Artapati rupanya hanya hendak mengecoh Ki Lantanggeni. Sengaja
wajahnya mendongak agar lawan mengira dirinya lengah.
Padahal pada saat yang
bersamaan, tangannya telah siap dengan 'Pukulan Peremuk Dalam' tingkat enam
belas.
Tingkat pukulan hitam yang
bisa melebur baja setebal satu hasta dari dalam Dan....
"Aaarrrgh" Bes Tak
dapat dicegah lagi, sepasang telapak melebar Artapati memakan dada Ki
Lantanggeni. Sehing-a, mata lelaki tua itu seketika terbelalaklebar. Bahkan
otot-otot merah di matanya membersit jelas. Tubuh tua Ki Lantanggeni kontan tergantung-gantung
lunglai di atas telapak tangan Artapati yang menengadah.
Lubang hidung, mulut, telinga,
mata, bahkan dari setiap pori-pori kulit Ki Lantanggeni mengeluarkan darah
kental kehitaman. Orang tua itu telah gugur dengan tubuh bagian dalamnya hancur
lebur.
Artapati segera menghempas
tubuh Ki Lantanggeni begitu saja. Selanjutnya, dia tertawa penuh kepuasan.
Beberapa lama kemudian, tokoh
yang tergolong mayat hidup itu sudah tampak meninggalkan puing arang gubuk
milik Ki Lantanggeni. Di tangannya ada segulungan lontar yang didapat dari
sisa-sisa patung Sang Kala, yang tanpa disengaja terlihat olehnya laci kecil di
bawah kaki patung.
Di depan puing-puing hitam
berasap pondok ini, Artapati meremas-remas gulungan lontar yang ditemukannya
tanpa memeriksa terlebih dahulu. Gulungan lontar itu pun langsung lebur menjadi
abu, di tangan datuk sesat yang merasa yakin telah memusnahkan petunjuk rahasia
kelemahan seluruh ilmu sesatnya.
***
Biru langit tampak menipis. Warna hitam malam
di wajah cakrawala menampakkan diri. Hari kini dipagut malam.
Di Desa Umbuldadi, dua insan
berbeda jenis terdiam menatap kerlap-kerlip sejuta bintang di angkasa raya.
Sesekali mata mereka juga menjilati sinar temaram rembulan yang hanya
sepenggal. Mereka adalah Andika dan Idayu Wayan Laksmi yang tengah berdiri di
halaman belakang rumah.
Sejak sore tadi, Idayu Wayan
Laksmi terus memagar diri dari Andika diam tak beranjak sedikit pun dari
tempatnya.
Sampai gelap pun merambah, dia
tetap berdiri tanpa sepatah kata terucap.
Karena kebekuan Idayu Wayan
Laksmi, Andika jadi tak berani mengusiknya.
Cukup lama juga Pendekar
Slebor berdiri saja di sisi gadis ayu itu. Sama-sama mematung, sama-sama bisu.
"Maafkan, kalau ucapanku
sore tadi menyinggung perasaanmu, Laksmi," ucap Andika akhirnya.
Andika terdiam sebentar.
"Aku mengaku salah karena
tak pernah mengatakan hal yang sebenarnya," sambung pemuda itu perlahan.
Idayu Wayan Laksmi tak
bergeming dari sikap semula. Tetap berdiri diam, seperti area yang tak berusik
badai.
"Sungguh Aku sulit untuk
mencintai mu, Laksmi. Sulit mencintaimu," aku Andika.
"Kenapa, Beli?” tanya
Idayu Wayan Laksmi, menggugurkan kebisuannya. Mata indahnya tetap terpaut
nanar, pada sebuah bintang yang bersinar paling terang.
"Karena...," Andika
kehabisan kata-kata. "Kurasa karena aku memang sulit mencintaimu."
"Aku bukan menanyakan itu, Beli. Aku bertanya, kenapa selama ini sikap
Beli seolah memberi banyak harapan padaku?" ucapan Idayu Wayan Laksmi
menyudutkan pendekar tampan itu.
"Sekali lagi aku mengaku
salah, Laksmi. Sewaktu pertama kali berkenalan, aku memang tertarik padamu. Kau
memang ayu. Pribadimu pun mengagumkan. Pemuda mana yang tak akan tertarik?
Begitu juga aku. Tapi setelah cukup lama mengenalmu, baru kusadari kalau aku
hanya tertarik Tak lebih dari itu...." Garis-garis bening mulai turun di
dua belahan pipi Idayu Wayan Laksmi, membiaskan cahaya redup rembulan.
Benaknya mengulang-ulang
pertanyaan Andika barusan dalam nada kecewa. Hanya tertarik? "Jadi selama
ini Beli tak pernah mencintaiku? Menyayangiku?" tanya gadis itu tersendat,
diberontaki rasa sesak yang menanjak ke tenggorokannya.
"Apa selama ini aku
begitu memperhatikanmu? Atau bersikap baik padamu?" Andika balik bertanya.
"Ya...," singkat
Idayu Wayan Laksmi.
"Itu artinya aku
menyayangimu.
Sepenuh hati kukatakan, aku
menyayangi mu. Tapi kau jangan salah duga.
Menyayangi bukan berarti
mencintai, layaknya seorang kekasih...," tutur Andika di antara
hempasan-hempasan napas kecil.
"Kenapa kau tak bisa
mencintaiku?" susul Idayu Wayan Laksmi.
Andika menarik napas dalam.
Disapunya anak rambut ke
belakang kepala dengan kedua tangannya.
"Entahlah...," desah
pemuda itu.
"Mungkin karena aku
pernah kehilangan orang yang begitu kucintai, dan sampai kini tetap membekas di
bilik-bilik hatiku. Atau mungkin, karena aku tak mau mengecewakan seorang gadis
dengan meninggalkannya. Sebab, aku mengemban tugas suci untuk menegakkan
kebenaran.
Aku tak bisa tinggal di satu
tempat, selama aku masih mampu menjelajah muka bumi untuk menegakkan
kebenaran." Keduanya sama-sama terdiam. Sibuk dengan kata hati
masing-masing.
"Jadi, kuharap kau mau
mengerti keadaanku, Laksmi. Dan, mau pula memaafkanku," tutur Andika,
lembut.
Idayu Wayan Laksmi mulai mau
memindahkan pandangannya kewajah Andika. Lama ditatapnya wajah pemuda itu
dalam-dalam. Di sana ditemukannya kesungguhan tanpa sebersit kebohongan.
Air muka yang tegar, siap
melangkahi buana yang penuh kebatilan. Idayu Wayan Laksmi juga menemukan mata
elang Pendekar Slebor yang menghujam angkasa, seakan tidak pernah takut
menghadapi tantangan apa pun. Perlahan tangan lembut Idayu Wayan Laksmi
bergerak, menjemput tangan kekar Andika. Digenggamnya tangan pemuda itu
erat-erat. Dan Andika pun membalasnya.
" Beli," tegur Idayu
Wayan Laksmi.
Andika menoleh lembut. Matanya
bisa langsung menemukan sinar persahabatan di mata gadis ayu itu "Kalau
aku memaafkan Beli, maukah Beli memaafkanku juga?" tambah Idayu Wayan
Laksmi.
Idayu Wayan Laksmi berpikir
memang tak bijaksana jika hanya karena cintanya, dia telah menahan seorang
pemuda mulia dalam melakukan tugas suci.
"Kini aku bisa mengerti,
Beli..." tutur Idayu Wayan Laksmi mengakhiri.
"Dan kini aku pun
memaafkanmu, Laksmi...," ujar Andika tersenyum.
Mereka sama-sama tersenyum
lepas.
Lalu sama-sama pula menatap
angkasa kembali, dalam satu rasa persahabatan.
***
4
Pagi telah bangkit, dan sarat
dengan kesegaran. Desa Umbuldadi tempat Andika menetap untuk sementara sejuk
dibelai angin pagi. Pepohonan memendarkan warna hijau samar, saat matahari
menyapa ramah dari tempat munculnya. Pagi-pagi sekali, Pendekar Slebor sudah
duduk di anak tangga rumah Idayu Wayan Laksmi. Semalaman matanya tidak bisa
dipejamkan. Bukan karena Idayu Wayan Laksmi dia sendiri tidak tahu, kenapa.
Yang jelas, semalam hatinya malah terus bertanya-tanya, kenapa masih berada di
sini? Bukankah semestinya dia sudah melanjutkan perjalanan, seperti yang
dikatakannya pada Idayu Wayan Laksmi semalam? Semenjak pertarungan dengan
Sepasang Datuk Karang dulu, timbul keengganan Pendekar Slebor untuk
meninggalkan wilayah ini. Dia sendiri bingung. Seolah-olah, nalurinya menahan
agar dirinya tetap di Desa Umbuldadi ini.
"Aneh Apakah urusan ini
belum selesai?" gumam Pendekar Slebor bertanya pada diri sendiri.
"Lalu, kenapa pula semalam aku begitu gelisah? Apakah ada sesuatu yang tak
beres?" Seketika Andika teringat pada Ki Lantanggeni. Segera saja
diputuskannya untuk mengunjungi lelaki tua itu.
Memang, rasanya ada firasat
buruk terhadap Ki Lantanggeni.
Andika segera bangkit.
" Beli mau ke mana?"
sapa seseorang di belakangnya.
Rupanya, I Ktut Regeg sudah
terbangun juga. Pemuda tanggung itu sedang mengucek-ucek mata, kala Andika
menoleh. "Aku ada sedikit urusan," jawab Andika. "Mau ikut juga
seperti semalam?" "Ah Tidak, Beli. Terima kasih," tukas I Ktut
Regeg cepat.
Dia memang tidak mau lagi
dijadikan patung hidup oleh Andika, seperti semalam. Sampai-sampai seluruh
tubuhnya pegal-pegal.
Andika tertawa, namun segera
beranjak pergi. Seketika Pendekar Slebor melesat pergi dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi. Begitu cepatnya, sehingga begitu I
Ktut Regeg menoleh kembali ke arah Andika, pendekar muda itu sudah lenyap bagai
tertelan bumi.
***
Pendekar muda Tanah Jawa Dwipa itu terkesiap,
manakala menemukan pondok sahabat tuanya sudah tidak ada lagi. Yang terlihat
hanya serakan puing-puing arang yang masih mengepulkan asap tipis.
Sekitar empat depa dari
reruntuhan pondok, seorang pemuda yang sebaya dengannya tampak terduduk lesu di
tepi satu gundukan tanah basah. Andika yakin, gundukan tanah itu adalah
kuburan. Itu bisa diduga dari ranting kayu kefingyang ditancapkan pada satu
ujung gundukan.
Tapi, kuburan siapa? Dan,
siapa pula pemuda itu? Segera saja Andika menghampiri.
"Kisanak... Kalau bolehku
tahu, kuburan siapa ini?" tegur Andika di belakang tubuh pemuda yang tak
lain dari Yaksa, murid Ki Lantanggeni.
Yaksa menoleh cepat. Matanya
mengawasi curiga pada Andika. Dia kenal betul pada wajah pemuda yang
menyapanya.
Inilah lelaki yang
berbincang-bincang dengan Idayu Wayan Laksmi kemarin sore "Kenapa kau
bertanya?" Yaksa balik bertanya. Nada bicaranya terdengar menyelidik dan
sedikit sinis.
Andika mencoba membalas
perlakuan tak ramah Yaksa dengan senyum.
"Aku hanya ingin
tahu," jawab Pendekar Slebor sambil lalu.
"Kalau begitu, pergilah
dari tempat ini secepatnya. Aku sudah muak melihat wajahmu" usir Yaksa.
Tentu saja sikap pemuda yang
baru dikenalnya ini membuat Andika kebingungan. Sepasang alis matanya yang
legam hampir bertemu, karena penasaran.
Apa-apaan ini? Tak ada angin
tak ada kentut, tiba-tiba saja pemuda itu mencurigainya? "Ah Tak
sepantasnya Kisanak bersikap sekasar itu padaku," bujuk Andika.
"Bukankah kita baru saja berjumpa?" "Sepantasnya kau segera
pergi dari tempat ini" terabas Yaksa gusar, langsung berpaling dari wajah
Andika. "Ah, baik.... Aku akan segera pergi.
Tapi sebelum pergi, bolehkah
aku tanya di mana Ki Lantanggeni?" Yaksa menoleh kembali.
"Ada urusan apa kau
dengan guruku?" tanya pemuda itu dengan tatapan menyelidik.
"Aaa Jadi kau murid Ki
Lantanggeni...." Andika mengulurkan tangan, mengajak Yaksa berjabatan.
Tapi yang diterimanya hanya wajah asam dari Yaksa. Dan Pendekar Slebor pun jadi
mengangkat bahu.
"Baiklah kalau kau tak
mau menyambut jabat tanganku," kata Pendekar Slebor setengah menggerutu.
"Aku adalah sahabat Ki Lantanggeni." Yaksa kontan tertawa mencemooh.
"Heh? Apa mungkin guruku
mempunyai sahabat semuda dirimu?" Andika menarik napas kesal.
"Apa gurumu tak pernah
bercerita tentang sahabat barunya yang tinggal sementara di Desa
Umbaldadi?" "Hei? Yang kutahu, beliau memang mempunyai sahabat di
desa itu. Tapi yang jelas bukan kau" "Siapa namanya?" "Apa
urusanmu?" "Andika?" duga Andika.
Mata Yaksa kontan membesar.
Diambilnya sebilah belahan
kayu dinding, di mana Ki Lantanggeni meninggalkan pesan untuknya. Dibacanya
teliti nama orang yang tertulis di atasnya, seakan ingin meyakinkan diri.
"Dari mana kau tahu kalau
guruku punya sahabat bernama Andika?" tanya pemuda itu heran. Matanya
masih saja melemparkan sinar kecurigaan.
Mendengar pertanyaan tolol
dari Yaksa, tawa Andika jadi ingin meledak mendadak. Tapi, dia berusaha
menahannya.
Andaikata sudah lama mengenal
Yaksa, sudah pasti dia akan terpingkal-pingkal di tempat.
"Kau meledekku?"
Yaksa gusar.
Segera pemuda itu bangkit,
menyentak tubuhnya. Langsung dibantingnya potongan kayu dinding dari tangannya
Andika akhirnya tak kuat lagi menahan tawa. Kalau tawanya ditahan terus,
bisa-bisa malah keluar dari 'lubang' yang lain "Hua ha ha..." Manusia
waras mana pun pasti akan menjadi marah diperlakukan seperti itu.
Begitu juga Yaksa. Tubuhnya
langsung merangsek maju, hendak menyodok perut Andika dengan tinjunya.
"Keparat" "Eit,
tunggu" cegah Andika.
Tubuh Pendekar Slebor cepat
menyurut kebelakang, seraya mengangkat telapak tangan ke muka. Dicobanya
menahan niat Yaksa. "Kalau kau tak memukulku akan kuberitahu di mana
tempat tinggal lelaki bernama Andika itu...," sambung Andika, setengah
membujuk.
"Baik," ucap Yaksa
dengan satu hempasan napas kesal. "Tapi kalau kau mencoba membohongiku,
akan kuhajar kau Sekarang katakan padaku, di mana orang bernama Andika itu
tinggal" desak Yaksa sambil mengancam.
"Di kolong
langit...," jawab Pendekar Slebor enteng dan seenak udel.
"Bangsat" Yaksa
langsung mengangkat tangan geram.
"Ei... Ei... Tapi aku
tahu, di mana dia sekarang" tahan Andika lagi.
"Di mana?" hardik
Yaksa dengan wajah merah matang.
Andika hanya menyeringai
bodoh.
"Di sini," kata
Pendekar Slebor.
Yaksa makin merasa
dipermainkan pemuda di depannya. Untuk kemarahan terakhir, dia tak mau lagi
menahan tangan. Diiringi geraman gusar, dilayangkannya tinju keras ke wajah
Andika.
"Hih" Deb Cepat
bagai kilat Andika bergegas ke kiri satu langkah. Sehingga serangan itu luput
dari sasaran.
Tapi pada saat itu pula,
Pendekar Slebor merasakan adanya bahaya maut.
Bukan dari pukulan Yaksa.
Karena dari gerak dan kekuatan pukulan pemuda itu, sudah langsung dapat dinilai
sampai di mana tingkat kepandaiannya. Yaksa tergolonghijau baginya. Meski, dia
murid Ki Lantanggeni. Yang jelas, bahaya maut itu kian mendekati tubuh Yaksa. Lalu....
"Hiah" Dalam satu
rangkai tangkisan dan pukulan telapak tangan yang secepat kerdipan mata,
Pendekar Slebor langsung melempar deras tubuh Yaksa ke belakang.
Lalu pada saat yang hampir
bersamaan, sebuah benda berkilauan melesat tepat di depan Pendekar Slebor.
Sing Jep Benda berkilatan itu
meluncur, membentuk sudut empat puluh lima derajat ke bumi, lalu menancap
mantap di gundukan tanah tempat Yaksa bersimpuh tadi. Kalau saja Andika tak
segera menyarangkan hantaman telapak tangan ke dada, bisa dipastikan benda
tajam berbentuk pisau terbang itu akan memangsa leher Yaksa Dalam keadaan
tertunduk, Yaksa terperangah. Matanya terbeliak ngeri pada pisau terbang yang
luput memangsa lehernya. Kemudian, sepasang bola matanya bergulir ke Andika.
Ditatapnya pemuda sebayanya itu dengan pandangan sulit dijabarkan.
"Kau sengaja memukulku
untuk menyelamatkanku," ucap pemuda itu. Suaranya lebih terdengar seperti
berkata pada diri sendiri. Yaksa yakin itu. Sebab, dia tak merasakan dadanya
mengalami luka.
Pemuda yang diajak bicara
seperti tak peduli perkataan Yaksa barusan.
Matanya menyelidik tajam ke
arah asal luncuran pisau terbang tadi. Merasa yakin kalau si Pelempar Gelap
sudah tak ada lagi di tempatnya, Andika segera menghampiri pisau terbang tadi.
"Ada yang ingin
menyampaikan pesan padamu dengan cara keji," kata Andika sambil
menimang-nimang pisau terbang yang baru diambilnya.
Pada tubuh pisau, Andika
menemukan secarik kain. Dia yakin, kain itu semacam surat. Dan dugaannya tak
meleset. Ketika potongan kain kecil itu dibentang, ditemukannya tulisan.
“Apakah kau tak tahu kalau
dalam gundukan tanah di dekatmu, terkubur jasad Ki Lantanggeni? Ki Rawe Rontek
telah bangkit kembali Dialah yang telah mengirim Ki Lantanggeni ke dalam kubur.
Apa kau tahu niat Ki Rawe
Rontekyang ingin menguasai Buleleng?”
Selesai membaca pesan dalam surat itu, kening Andika mengernyit.
Sehimpun pertanyaan pun menyeruak di benaknya.
Seperti juga Ki Lantanggeni
ketika disantroni Artapati, Andika pun bertanya-tanya dalam hati. "Kenapa
Ki Rawe Rontek atau Artapati bisa bangkit kembali? Sepengetahuannya, orang itu
tidak akan bisa bangkit sendiri. Harus ada orang lain yang membantunya dengan
darah perawan sebagai pembangkit hidup.
Selain itu, hatinya juga jadi
penasaran pada si Pengirim Pesan. Siapa sesungguhnya orang itu?"
"Kenapa kau tak bilang padaku kalau gundukan itu adalah kuburan
gurumu?" tanya Andika, selesai meremas kain di tangannya.
"Apa pedulimu?"
Yaksa balik bertanya dengan nada sinis. Tak dipedulikannya tindakan Andika yang
membebaskannya dari incaran maut pisau terbang tadi.
"Apa peduliku? Kalau kau
cepat memberitahu tentang kematian gurumu, tentu aku akan....," Andika
menghentikan ucapan. "Ah, sudahlah Tak ada gunanya berdebat denganmu"
Pendekar Slebor segera berbalik, hendak pergi meninggalkan Yaksa.
"Mau ke mana kau?"
tahan Yaksa.
"Apa pedulimu?"
"Karena, bisa saja justru kau yang telah membunuh guruku" tuding
Yaksa.
Lelaki itu bangkit cepat.
"Siapa namamu?"
"Apa pedulimu?" ulang Andika seraya melangkah acuh. Yaksa mencoba
menyusul, hendak menghadang. Tapi belum lagi tubuhnya tiba, pendekar muda itu
sudah menghilang dengan gerakan kilatnya.
***
Andika kini tiba di Kerajaan Buleleng.
Keputusan untuk datang ke istana Cokorde Ida Bagus Tanca, Raja Buleleng,
ditetapkannya setelah menebak-nebak maksud kalimat terakhir dalam surat kain.
Jika kalimat itu menyatakan bahwa Artapati atau Ki Rawe Rontek hendak menguasai
Buleleng, maka sudah bisa dipastikan datuk sesat itu akan mencoba menguasai
istana sebagai pusat pemerintah terlebih dahulu. Kalau pihak istana runtuh,
maka kerajaan pun terkuasai. Itu berarti, seluruh wilayah Buleleng akan
dikuasai.
Di pintu gerbang, dua penjaga
yang sudah mengenal Pendekar Slebor ketika dulu hendak ditangkap akibat fitnah
salah seorang keluarga kerajaan, segera memberi hormat dengan tata cara
prajurit.
"Ada perlu apa, Tuan
Andika?" tanya salah seorang prajurit ramah dan sopan.
"Aku hendak berjumpa
Cokorde. Ada hal yang harus dibicarakan dengan beliau," sahut Andika, tak
kalah ramah.
Si Prajurit mengangguk.
"Baik, Tuan Andika. Kalau begitu mari, ikut hamba...," ajak prajurit,
langsung melangkah ke pelataran istana.
Dan Andika pun mengikuti.
Setelah melintasi taman depan
istana, serambi, dan beberapa ruang besar, barulah mereka tiba di satu ruang
makan keluarga istana. Cokorde tampak baru saja menyelesaikan makan siang
bersama keluarga besarnya.
Betapa gembiranya Cokorde
menyambut kedatangan Pendekar Slebor. Dijabatnya tangan pemuda itu hangat. Dan
belum lagi Andika beramah-tamah, Cokorde sudah memintanya untuk makan siang.
Lelaki berusia sekitar tujuh puluhan dan bertubuh agak pendek gemuk itu
mengantarkannya ke meja makan. Wajah Raja Buleleng yang tampak putih bersih
dengan kumis rapi itu tampak selalu dihiasi senyum ramah.
Sementara itu, beberapa
pejabat istana yang kebetulan mendapat undangan makan siang, menjadi
terheran-heran.
Selama ini, tidak ada seorang
pun yang disambut demikian hangat oleh Cokorde.
Tapi, anak muda berpenampilan
kampungan itu justru diperlakukan lebih akrab, ketimbang seorang sahabat raja.
Dalam hati masing-masing, tentu saja bertanya-tanya siapa sesungguhnya anak
muda itu.
Memang dalam adat istiadat
keluarga Cokorde Ida Bagus Tanca, seorang ksatria sejati yang sudi mengorbankan
hidup dan mati demi kebenaran, amat dihormati.
Nilai-nilai itu diwarisi
turun-temurun pada keluarga kerajaan. Di samping karena memegang teguh aturan
adat dalam Tri Pepali di mana seseorang harus bersikap ksatria, mereka juga
merasa sebagai keluarga keturunan para Ksatria Buleleng.
Mendapat tawaran makan siang
dari Cokorde, Andika merasa tertimpa rejeki nomplok. Sejak pagi tadi, perutnya
memang belum disentuh makanan.
Untuk langsung mengiyakan
tawaran baik ini, hatinya agak risih. Maka dia bersandiwara sedikit,
berpura-pura menolak.
"Maaf, Baginda. Bukannya
menolak.
Tapi..," Pendekar Slebor
sengaja memutuskan kata-katanya agar Cokorde menyelanya, dengan memaksa untuk
makan.
Tapi, sungguh mampus Jawaban
Cokorde ternyata jauh di luar perkiraan Andika.
"Kenapa? Apa kau sudah
makan? Yah Kalau begitu, aku tak bisa memaksa...," kata Cokorde sambil
menepuk-nepuk bahu Pendekar Slebor.
"Sial" maki Andika
dalam hati. Apes sekali nasibnya hari ini....
"Kalau begitu, mari kita
ke ruang anjangsana. Bukankah kau hendak membicarakan sesuatu padaku?"
ajak Cokorde, sekaligus menduga maksud kedatangan Andika.
Andika hanya bisa mengangguk,
dan berpura-pura tidak kecewa. Apa mesti dia merengek-rengek meminta agar
tawaran makan siang Cokorde diulang lagi? Kini mereka berjalan akrab bersisian
ke ruang yang dimaksud.
Sebelum tiba di sana, salah
seorang Patih I Wayan Rama yang ikut dalam usaha penangkapan Andika dulu datang
menghadap Cokorde dengan tergopoh-gopoh.
Patih I Wayan Rama adalah
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun.
Badannya kekar berotot. Dia
tampak semakin gagah dengan sebilah keris pusaka dipinggang. Wajahnya garang
meski tanpa kumis melintang. Apalagi kalau memperhatikan alis matanya. Lebat
menyatu pada pangkalnya. Sinar matanya memancarkan semangat berkobar, sesuai
jabatan kepala prajurit istana.
"Ampun, Paduka,"
ucap patih itu pada Cokorde. "Ada seseorang tak dikenal ingin menghadap
Paduka. Dia begitu memaksa. Sewaktu beberapa prajurit hendak mencegahnya, orang
itu mengamuk.
Karena tak ingin bertindak
gegabah, maka hamba harus melaporkan hal ini pada Paduka. Apakah hamba harus
menindaknya?" "Apa dia menyebut-nyebut namanya?" sergah Andika,
tanpa mau tahu kalau telah menyela ucapan yang baru hendak dikatakan Cokorde.
Patih I Wayan Rama yang baru melihat kehadiran Pendekar Slebor ini sesaat,
menatap Andika dengan sinar mata menyapa.
"Aku tidak tahu, Andika.
Jangan lagi nama orang itu. Setiap kata yang keluar dari mulutnya pun begitu
membingungkan.
Dan lagi, penampilannya begitu
mengerikan" Andika langsung mengeryitkan dahi.
Rupanya peringatan dalam surat
kain memang bukan hanya isapan jempol
***
5
Cokorde Ida Bagus Tanca
berdiri tegang di tangga depan istana. Wajahnya yang masih menyisakan
ketampanan itu tampak berkerut gusar menyaksikan kejadian di depannya. Bersama
Andika, Patih I Wayan Rama dan beberapa petinggi kerajaan, Raja Buleleng ini
melihat bagaimana para prajurit dibantai oleh seorang lelaki tak dikenal yang
bertampang menyeramkan.
Sementara Pendekar Slebor
sendiri, masih cukup jelas mengingat, bagaimana wajah mayat di Goa Karang Hitam
dulu.
Wajah yang kini dilihatnya
adalah milik lelaki yang sedang mengamuk bagai naga luka haus darah.
"Aaa"
"Grrrhhh" Terdengar lengking kematian para prajurit, yang disertai
geraman buas lelaki berjuluk Ki Rawe Rontek, berbaur tumpang tindih dengan
suara-suara hantaman dan terjangannya. Debu-debu di permukaan pelataran depan
gerbang berterbangan menciptakan pemandangan menggiriskan.
Selaku raja yang memiliki
tanggung jawab besar serta perhatian pada para abdi istana, Cokorde menjadi tak
tega melihat prajuritnya dijadikan bulan bulanan empuk si Pengacau. Dengan
cuping hidung murka, kepalanya menoleh ke arah Patih I Wayan Rama.
"Hadapi dia, Patih
Rama" perintah Raja Buleleng ini lantang terbakar.
Patih I Wayan Rama yang dari
tadi menunggu tak sabar titah rajanya, segera saja melabrak maju ke
tengah-tengah kancah pertarungan.
"Prajurit Mundur semua
Bentuk kepungan besar dan berkan aku jalan" teriak Patih I Wayan Rama
merobek langit.
Sambil berlari mendekati Ki
Rawe Rontek, lelaki gagah itu melepas keris pusaka dari pinggangnya.
"Kau telah membunuh para
prajurit kami, Lelaki Asing Aku bisa langsung menjatuhkan hukuman di tempat ini
juga Tapi, kau bisa menyerahkan diri secara baik-baik, agar kami bisa
mengadilimu" seru Patih I Wayan Rama lagi, memberi peringatan pertama.
Ki Rawe Rontek hanya berdiri
kaku.
Air mukanya tampak dingin,
seakan sama sekali tidak menggubris peringatan tadi.
Dari tarikan-tarikan napasnya
yang terseret, tersembul suara mendirikan bulu roma bagi yang mendengarnya.
Erangan yang seolah-olah
datang langsung dari dasar neraka Sebenarnya, Patih I Wayan Rama pun tak luput
dari perasaan ngeri yang sulit dijelaskan. Rasa ngeri yang menelusup begitu
saja ke dalam benaknya, seperti jasad halus roh gentayangan. Kini baru disadari
kalau lawan tidak seperti manusia sewajarnya.
"Manusia macam apa
dia...?" desis patih itu tersamar.
Patih I Wayan Rama jelas
menyaksikan bekas luka di seputar leher calon lawannya yang pada kulit
ditumbuhi jamur mengerak "Apa kau tak dengar ucapanku?" bentak
laki-laki gagah ini setelah menguasai keterpanaannya.
Ki Rawe Rontek tetap membatu.
Napasnya seo-lah berhenti,
usai mendengar peringatan kedua dari Patih I Wayan Rama. Sekian waktu
berikutnya dia menggeram amat keras. Dan tiba-tiba....
"Aaarrrgh" Seketika
puluhan prajurit yang mengelilinginya bagai terdorong sekumpulan makhluk halus.
Mereka tersentak beberapa langkah ke belakang dengan wajah ngeri. Tak luput,
Patih I Wayan Rama. Namun karena lebih mampu menguasai diri ketimbang para prajurit,
sentakan tubuhnya tak begitu kentara.
Jauh di belakang sana, Cokorde
berpahng ke arah Andika. Di dekatkan mulutnya ke telinga Pendekar Slebor.
"Kau tahu siapa dia,
Saudara Andika?" bisik Raja Buleleng ini, seperti takut didengar Ki Rawe
Rontek.
Tanpa menoleh, Andika
mengangguk kecil.
"Tahu, Paduka. Dia adalah
tokoh sesat yang paling ditakuti beberapa puluh tahun lalu, julukannya Ki Rawe
Rontek...," jawab Pendekar Slebor mendesis.
Cokorde terperangah. Matanya
memancarkan sinar tak percaya dengan ucapan Andika.
"Mana mungkin? Aku pernah
baca buku sejarah keperwiraan milik para sesepuhku yang sempat mencatat tentang
Ki Rawe Rontek Sepanjang catatan itu, dijelaskan kalau dia sudah mati...."
"Tapi apa dalam catatan itu Paduka tak membaca tentang ilmu hitam 'Rawe
Rontek'yang juga dipakai sebagai julukan lelaki itu?" tanya Andika.
"Ya, memang ada. Tapi tak
dijelaskan ilmu hitam macam apa itu...," sergah Cokorde. "Ilmu hitam
itu mampu membuat pemiliknya hidup kembali meski seluruh tubuhnya sudah direncah-rencah
atau kepalanya sudah terpisah...." Cokorde kontan bergidik.
"Paduka lihat bekas luka
di leher lelaki itu? Itu adalah bekas penggalan kepala saat kematiannya. Dengan
ilmu hitamnya dan darah perawan yang didapat entah dari mana, kepala dan
tubuhnya bisa disatukan kembali seperti sekarang.
Artinya, dia telah bangkit
dari kematian," papar Andika dengan irama tegang. Sehingga membuat,
seorang penasihat kerajaan tua bernyali ayam kampung tanpa sadar merapatkan
tubuh pada Andika.
Dalam kungkungan ketegangan
seperti itu, jiwa urakan Andika ternyata tak menghilang begitu saja. Tahu kalau
penasihat tua yang mendapati kedudukan dengan jalan menjilat sana-sini itu
merengket-rengket ketakutan, keusilan pemuda sakti itu pun kambuh. Dan
tiba-tiba saja....
"Nah..." bentak
Andika.
Si Penasihat Tua kontan
tersedaksedak. Napasnya nyaris terhenti dengan wajah pucat tanpa ampun. Matanya
terbelalak, lebih jelek daripada mata semar sakit perut Ketika Pendekar Slebor
coba-coba melirik, tampak si Penasihat Tua itu sedang mengusap-usap dada sambil
berkomat-kamit.
Di depan mereka sekitar dua
puluh tiga tombak, Patih I Wayan Rama siap menggempur Ki Rawe Rontek. Habis
sudah tenggang waktu yang diberikan Patih I Wayan Rama pada perusuh ini untuk
menyerah. Diawali teriakan melantakkan hati, lelaki gagah itu mengacungkan
keris ke muka.
"Hiaaa" Setelah
menyalurkan tenaga dalam ke kaki yang dihentakkan, Patih I Wayan Rama melayang
laksana sebilah tombak menuju sasaran. Tubuhnya terus ke depan dengan tangan
menghunus keris. Sasaran tusukannya adalah dada kiri Ki Rawe Rontek. Menyadari
keganasan laki-laki asing itu saat menghadapi para prajurit, Patih I Wayan Rama
tidak ingin tanggung-tanggung lagi menghadapinya.
Jantung datuk sesat itu hendak
dihujamnya mentah-mentah.
Ki Rawe Rontek masih tetap
berdiri tegak, sewaktu tubuh lawan meluncur kian dekat. Terkaman Patih I Wayan
Rama hanya dilayani secara dingin, n-mun dengan mata memperlihatkan saraf-saraf
memerah. Dan ketika ujung keris patih itu tinggal setengah jengkal lagi dari kulit
dadanya, tangan datuk sesat itu bergerak lebih cepat daripada tusukan keris.
Tep Dua telapak kekar dan
besar Ki Rawe Rontek langsung menghempit senjata Patih I Wayan Rama. Kekuatan
jepitan itu seakan penyatuan dua bukit karang, memaksa senjata patih ini
terhenti dalam sekejap mata. Pada saat bersamaan, luncuran tubuhnya tak bisa
dihentikan. Telapak tangan yang menggenggam gagang keris kontan bergetar luar
biasa, sehingga meleset ke batang keris. Sementara itu, kepalanya siap
menghantam kepala Ki Rawe Rontek.
Ki Rawe Rontek sendiri sudah
siaga menanti kepala laki-laki gagah ini.
Kening kasar miliknya hendak
dibenturkan dengan kening Patih I Wayan Rama.
"Huaaargh" Menyadari
laki-laki asing itu lebih siap menghadapi benturan kepala, Patih I Wayan Rama tak
mau ambil bahaya. Bagi Ki Rawe Rontek, teriakan seraknya adalah pertanda awal
gerakan kepalanya. Tapi bagi Patih I Wayan Rama, teriakan itu justru isyarat
bahaya yang harus segera dihindari jika kepalanya tidak ingin remuk dalam
sekejap "Haiiih" Dengan teriakan keras, petinggi istana gagah itu
memutar tubuhnya di udara. Sehingga, kedua kakinya dapat melewati kepala Ki
Rawe Rontek lebih dahulu.
Jlep Patih I Wayan Rama mampu
berdiri di tanah kembali, tanpa kehilangan nyawa.
Namun begitu, bukan berarti tidak
mengalami luka. Telapak tangan yang terseret batang kerisnya sendiri tampak
tersayat dalam. Darah merah dengan cepat membanjir keluar, menyiram bumi.
Di lain pihak, Ki Rawe Rontek
kini sudah menggenggam ujung dan pangkal keris Patih I Wayan Rama yang berhasil
direbutnya. Tangannya kemudian terlihat meregang, memunculkan otot-otot setebal
jari kelingking. Lalu....
Trak Senjata pusaka dari baja
bercampur logam-logam langka milik Patih I Wayan Rama terpatah dua, layaknya
sebatang lidi di tangan seorang bocah Kejadian di depan mata ini memaksa Patih
I Wayan Rama terperangah antara kekaguman dan keterkejutan. Sepanjang delapan
keturunan, senjata itu sampai di tangannya. Dan selama itu belum pernah ada
seorang pun yang mempunyai kekuatan menandingi kekerasan senjatanya. Tapi hari
ini, pusaka turun-temurun itu dijadikan mainan tak berarti oleh lawannya
"Apa orang ini memiliki semacam ilmu iblis?" bi-sik Patih I Wayan
Rama, seperti untuk diri sendiri.
"Ya Dia memang memiliki
ilmu sesat, Tuan Patih...," timpal Andika yang tiba-tiba sudah berdiri di
samping petinggi kerajaan itu. "Kalau diperbolehkan, biar aku saja yang
mencoba mengajak 'bermain' manusia jelek berjamur ini." "Maaf,
Saudara Andika. Ini adalah tanggung jawabku selaku keamanan istana," tolak
Patih I Wayan Rama.
Andika malah tertawa.
"Aaa, kenapa Tuan pelit
terhadapku? Lagi pula, apa Tuan tak melihat jamur-jamur berkerak di tubuhnya?
Aku pikir, itu adalah buyut dari segala buyut panu. Tuan orang terhormat. Jadi
tak mungkin meladeni orang seperti dia. Dia hanya akan mengotorkan tangan
Tuan," desak Andika halus, dibumbui gurauan ngelantur.
Patih I Wayan Rama melirik
Andika, mendengar permohonan yang terdengar aneh di telinganya. Pantas saja
dunia persilatan menjuluki pemuda itu sebagai Pendekar Slebor. Dalam keadaan
genting berbau maut seperti saat ini, dia masih mengoceh ngalor-ngidul
"Sekali lagi maaf, Andika," ulang Patih I Wayan Rama. "Aku tak
bisa mundur dalam tugas, selama masih mampu memikulnya." Andika kehilangan
akal menghadapi keteguhan tekad Patih I Wayan Rama yang berjiwa ksatria.
Untungnya, Pendekar Slebor masih tersisa satu cara....
"Paduka" seru
Pendekar Slebor pada Cokorde. "Paduka tentu masih ingat penjelasanku tadi
bukan? Kalau Paduka tak segera menyuruh Patih I Wayan Rama mundur, percayalah.
Paduka akan kehilangan seorang kstaria kerajaan sejati" Di kejauhan,
Cokorde tampak mengangguk-angguk. Setelah itu, tangannya memberi isyarat agar
Patih I Wayan Rama mundur. Maka dengan berat hati, lelaki setengah baya itu pun
menuruti perintah rajanya.
"Naaah Sekarang kau bisa
berhadapan denganku, Biang Panu" ledek Andika pada Ki Rawe Rontek, sesudah
Patih I Wayan Rama mengambil jarak di luar arena pertarungan "Hari ini kau
harus mempertanggung jawabkan perbuatan kejimu pada Ki Lantanggeni" Seperti
saat pertama kali menghadapi Patih I Wayan Rama, Ki Rawe Rontek kali ini juga
diam tak bergeming, hanya mata baranya saja yang mengawasi Andika tajam-tajam.
"Kenapa diam?"
Pendekar Slebor melangkah setindak. "Apa baru kali ini melihat manusia
setampan aku?" Kembali kaki Pendekar Slebor melangkah beberapa tindak.
"Ayo Kau boleh menggeram,
mengaung, menggonggong, atau mengembik.
Lalu, seranglah aku"
tantang Pendekar Slebor kian mendekati tubuh calon lawannya. Sekitar dua depa
dari Ki Rawe Rontek, kaki Pendekar Slebor berhenti melangkah. Lagaknya makin
terlihat tak waras. Bagai seorang mandor menang undian, pemuda urakan itu
bertolak pinggang di depan tokoh hitam menggiriskan ini.
Sedang pongah-pongahnya Andika
bertolak pinggang, mulut berlendir Ki Rawe Rontek melepas geraman keras
membahana.
"Aaargh" Andika
sempat terlonjak kaget.
Dikira calon lawannya hendak
melakukan serangan. Sadar kalau cuma menggeram, Andika berpura-pura seolah-olah
tidak terkejut. Tangannya yang sempat terlepas dari pinggang, diangkat kembali
tinggi-tinggi. Bodohnya, sekarang dia justru lebih mirip penderita encok
"Kenapa hanya menggeram? Ayo seranglah aku" gertak Pendekar Slebor
lagi.
"Aaargh"
"Menggeram lagi...." "Aaargh Khau hanyah chari
mhathiii...," ucap Ki Rawe Rontek tak jelas.
"Mbeeek Akhu thidhak
chari mhathi Shebab akhu bhelum khawhin," Andika meniru cara bicara Ki
Rawe Rontek.
Setelah itu, dia
terbatuk-batuk sendiri.
Baru saja Pendekar Slebor
selesai melepas batuknya, Ki Rawe Rontek mendadak membabatkan kedua cakarnya ke
kepala.
"Aaargh" Wet Wet
Serangan mendadak seperti itu memang tidak terlalu merepotkan Pendekar Slebor.
Di Lembah Kutukan tempatnya menjalani penyempurnaan dulu, Andika malah terbiasa
berhadapan dengan sambaran-sambaran kilat tak terduga.
Sebab itu, Pendekar Slebor
mudah saja mementahkan keprukan kedua cakar lawannya. Tangannya terangkat
sigap, melindungi dua sisi kepalanya.
"Hait" Dak Begitu
habis menangkis Pendekar Slebor memulai serangan balasan.
Tangannya yang semula
terangkat di sisi kepala, didorong ke depan di sisi dalam tangan Ki Rawe
Rontek. Dengan tetap menahan tangan laki-laki asing itu, Pendekar Slebor hendak
balik mengepruk kepala.
Srat Nyatanya, Ki Rawe Rontek
pun cukup sigap menanggapi keprukan balasan Andika. Tubuhnya segera ditarik ke
belakang, tanpa merubah sikap kaki, sehingga badannya agak menyorong.
Prak Hantaman telapak tangan
Pendekar Slebor pun hanya sempat memakan angin.
***
6
Gubuk tempat tinggal Idayu
Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg saat ini tengah diawasi seseorang, di bawah
bayangan sebuah pohon besar lima belas langkah di sebelah barat. Matahari yang
tersungkur di belakang, mulai melemah. Sinarnya yang kini berwarna jingga,
menanduk bokong si Pengintai sehingga, penampilannya sulit dikenali.
Lama sosok itu hanya menatap
gubuk Idayu Wayan Laksmi tanpa gerak, bagai sebatang tonggak mati tak bernyawa.
Wajahnya tersapu bayangan
pohon. Begitu juga sebagian tubuhnya. Sehingga kesannya begitu penuh tanda
tanya.
Sesekali, bayangan anak rambut
orang itu tampak berkibaran kecil tersibak angin. Entah apa yang diperhatikan
di gubuk besar itu. Hanya dia yang tahu.
Sementara itu, I Ktut Regeg
keluar dari pintu gubuk. Pemuda tanggung bertubub kurus ini memeluk seekor ayam
jantan berwarna merah menyala dan berjalu panjang. Layaknya orang-orang Bali, I
Ktut Regeg memiliki ayam jago kesayangan untuk disabung dengan jago lain.
Memang bila hari menjelang sore, banyak kaum lelaki menyabung ayam. Dan I Ktut
Regeg pun berniat untuk ambil bagian dalam budaya rakyat yang mengasyikkan itu.
Sambil bersiul-siul
menyenandungkan sebuah tembang, I Ktut Regeg berjalan santai. Tak jauh di
belakangnya, si Pengintai segera mengekori.
Sementara itu di alun-alun,
sudah berkumpul ku-rang lebih lima belas pemuda dan orangtua. Semuanya
berkeliling, membentuk lingkaran kecil tempat menyabung ayam. Sebagian duduk
atau berjongkok. Dan sebagian lain berdiri. Mereka bersorak penuh semangat,
membakar semangat tarung dua ekor ayam jantan di tengah-tengah arena.
"Ayo Hitam, pakai jalumu
Iya, begitu" teriak salah seorang.
Tatuk kepalanya Terus, jangan
mau kalah" seru yang lain.
"Ah Si Hitam itu
pecundang Nanti juga dia keok bila lawan si Ompok" teriak salah seorang
pemilik ayam.
Ketika kedua ayam jago
sabungan itu sudah kehabisan tenaga, I Ktut Regeg baru tiba. Dilewatinya dua
lelaki pemilik ayam yang sudah mengelus-elus jagonya.
"Wah.... Tampaknya baru
saja terjadi pertarungan seru," kata I Ktut Regeg, manakala melihat ayam
sabungan di arena sudah dipisahkan.
Pemuda tanggung itu langsung
menuju pinggiran lingkaran kecil tempat sabung ayam. "Siapa yang ingin
menyabung dengan jagoku?" tantang I Ktut Regeg, setibanya di arena sabung.
"Wah, ini dia Cepat sini,
Geg Aku ingin taruhan besar buat jagomu itu" sambut seseorang.
Baru saja I Ktut Regeg hendak
meletakkan ayamnya di arena, orang yang menguntitnya sejak tadi menepuk
bahunya.
I Ktut Regeg langsung menoleh.
Begitu juga orang-orang yang berada di sana.
Lelaki itu ternyata mengenakan
topi keranjang penutup wajah dan kepala. Ya Dialah Lalinggi, salah seorang dari
Sepasang Datuk Karang yang pernah dipecundangi Andika di dekat Goa Karang Hitam
(Baca episode: "Darah Pembangkit Mayat"). Tangannya yang hancur
karena sabetan Kain Pusaka Pendekar Slebor, kini dibalut kain warna putih.
"Hei? Bukankah Bel i yang
dulu memberi sekantung uang padaku dulu?" sambut I Ktut Regeg, mengenali
Lalinggi.
Di balik topi keranjangnya,
Lalinggi mengangguk.
"Ya, untuk meminta
keterangan tentang peti berukir yang kau buang di laut sebelah Barat Buleleng.
Dan sekarang, boleh aku bicara lagi padamu, Dik?" pinta Lalinggi.
I Ktut Regeg bergegas
menangkap jagonya. Tak dipedulikan lagi orangorang yang sudah gemas ingin
melihat jago I Ktut Regeg yang sampai saat ini tak terkalahkan.
"Ayo, kita cari tempat
yang agak sepi," ajak Lalinggi.
I Ktut Regeg bergegas
mengikuti.
Kini mereka tiba di naungan
sebatang pohon beringin besar.
" Beli ingin bicara
apa?" tanya I Ktut Regeg, tanpa curiga sedikit pun.
"Aku hendak menitip pesan
untuk seseorang," tutur Lalinggi datar.
"Boleh."
"Katakan pada pemuda yang bertamu di rumahmu...." " Beli
Andika?" potong I Ktut Regeg.
"Tepat. Katakan padanya
kalau Lalinggi akan datang lagi," tandas Lalinggi, tetap datar dan dingin.
"Ooo.... Soal mudah,
Beli" Lalinggi segera merogoh sesuatu di balik bajunya. Di tangannya yang
sudah nyaris tak berjari, kini terlihat beberapa keping uang perak.
"Ini buatmu," kata
laki-laki itu.
"Ah Tak usahlah,
Beli" sergah I Ktut Regeg cepat. "Sisa uang yang Beli berikan padaku,
masih banyak. Ayam jantan ini pun kubeli dari uang itu...." Lalinggi
mengangguk-angguk, lalu pergi tanpa mengucapkan terima kasih.
" Beli Nama Beli siapa,
ya?" teriak I Ktut Regeg dari jauh. Lalinggi tak menggubris. Kakinya terus
melangkah, sampai akhirnya menghilang di jalan menurun.
"Huh Sayang, aku tak tahu
nama Beli yang baik itu. Padahal aku ingin menamakan ayam kesayanganku ini
dengan namanya" gerutu I Ktut Regeg, sambil berlalu juga dari tempat itu.
***
Halaman Istana Kerajaan Buleleng masih
dibuncah pertemuan kesaktian milik dua orang yang sedang bertarung dahsyaL
Andika melawan Ki Rawe Rontek. Tanah kancah pertarungan sudah terkuak di
beberapa tempat, akibat hantaman-hantaman nyasar. Beberapa bagian tembok istana
pun sudah menjadi korban. Sebagian hancur lebur bagai dihantam godam raksasa,
sedang sebagian lain retak terbelah tersapu angin pukulan, baik milik Ki Rawe
Rontek atau Pendekar Slebor.
Cokorde hanya terpana bersama
para petingginya. Sementara para prajurit ternganga-nganga. Semuanya bagai
ditenung diam, bersama-sama menyaksikan peristiwa di depan mata.
Untunglah para prajurit dan
Patih I Wayan Rama diminta oleh Andika untuk mengambil jarak yang aman dari
kancah pertarungan. Kalau tidak, nasib mereka bisa seburuk tembok pagar istana
dan pelataran tempat pertempuran "Hiaaa" "Huaaargh" Des Wet
Wet Drak Adu kesaktian makin sengit. Ki Rawe Rontek sudah mengeluarkan sebagian
ilmu andalannya, termasuk 'Pukulan Peremuk Dalam' yang telah merenggut nyawa Ki
Lantanggeni. Untuk ilmu hitam itu, Pendekar Slebor bisa meladeni dengan menyelubungi
dirinya dengan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan. Bahkan dalam
penyerangan, pendekar muda ini lebih unggul beberapa tingkat.
Ilmu 'Pukulan Peremuk Dalam'
memang ilmu hitam yang hanya mengandalkan keampuhan pukulan-pukulan maut, tanpa
diimbangi kemampuan gerak memadai.
Menghadapi jurus-jurus
Pendekar Slebor yang demikian beragam dan cepat, ilmu pukulan hitam itu jadi
tak begitu berarti.
Apalagi ketika pendekar muda
itu mulai me-masuki jurus 'Menapak Petir Membabi buta' Setiap pergantian sikap tubuh
dalam kembangan jurusnya sangat sulit ditangkap penglihatan.
Keadaan ini benar-benar
menyudutkan Ki Rawe Rontek. Andai sekali saja bisa menyarangkan 'Pukulan
Peremuk Dalam' ke tubuh pemuda itu dalam sekejap dia akan berada di atas angin.
Tapi hingga saat ini, Pendekar Slebor selalu berkelit lebih cepat. Bahkan angin
pukulan Ki Rawe Rontek yang mampu melantakkan sendi lawan, tak pernah menemui
sasaran.
Apalagi Pendekar Slebor
membentengi diri dengan selubung kekuatan yang sulit ditembus.
Pada satu kesempatan, desakan
Pendekar Slebor tak bisa lagi dimentahkan Ki Rawe Rontek. Plak Seketika satu
tamparan menggeledek mendarat telak di pipi Ki Rawe Rontek.
Benar-benar telak Rasanya
bagai didorong tenaga beribu kali. Tak ada tulang leher manusia yang sanggup
menahan tenaga tamparan Pendekar Slebor, meski tulangnya terbuat dari baja
sekalipun Krak Suara berderak mengikuti dalam sekejap, di belakang suara
tamparan Pendekar Slebor. Asalnya dari leher bagian dalam Ki Rawe Rontek. Saat
itu juga leher tokoh hitam itu terpuntir tajam, membuat kepalanya kini
berpaling ke belakang Patih I Wayan Rama kontan berseru tertahan. Bukan main
kagumnya patih ini melihat kehebatan tokoh muda dari Tanah Jawa Dwipa yang
dilihatnya. Dalam hati, harus diakui bahwa Andika mempunyai nama besar dalam
dunia persilatan.
Sama seperti Patih I Wayan
Rama, Cokorde Ida Bagus Tanca pun terkagum luar biasa. Tapi lain halnya yang
terjadi si Penasihat Tua yang sebelumnya dikerjai Andika. Lelaki berkepribadian
ular berkepala dua itu memejamkan mata rapat-rapat, sambil menggigit ujung kain
penutup tubuhnya. Dia memang begitu digasak kengerian.
Sementara itu yang terjadi
dalam pertempuran memang tak kalah mempesonakan daripada kehandalan pukulan
Pendekar Slebor. Nyatanya Ki Rawe Rontek, masih tetap tegak sekokoh karang.
Andika sendiri sempat terperangah, hampir-hampir tak percaya dengan matanya
sendiri. Bagaimana mungkin seorang yang sudah terpuntir kepalanya ke belakang,
masih bisa berdiri sekokoh itu? Kalau saja Andika tak segera ingat kalau Artapati
ini memiliki ilmu 'Rawe Rontek', tentu akan menganggap dirinya sedang bermimpi.
"Jadi inikah kehebatan
'Rawe Rontek' yang dimiliki Artapati...," bisik Pendekar Slebor.
Keterpanaan Andika
dimanfaatkan Ki Rawe Rontek alias Artapati, untuk membetulkan kembali
kepalanya.
Krak Seperti kepala boneka, Ki
Rawe Rontek membalikkan kembali wajahnya ke depan "Gila...," bisik
Andika sambil meringis kembali.
Pendekar Slebor mengusap
lehernya sendiri. Sebagai pendekar yang sudah cukup banyak makan pahit manis di
pengembaraan, Pendekar Slebor cepat tersadar dari keterpakuan. Dia harus segera
menggempur kembali lawannya.
Baru saja Andika membuka jurus
baru, lawan di depannya berkomat-kamit. Sesaat kemudian tubuhnya bergetar
kecil.
Akhirnya....
Plas Mendadak Ki Rawe Rontek
menghilang Sekali lagi Andika tak bisa menyembunyikan keterpanaannya.
"Ilmu hitam apa lagi ini?" Hati Pendekar Slebor kontan dilanda
kebingungan. Sedang s-buk-sibuknya dia bertanya pada diri sendiri,
tiba-tiba....
Bekh "Aaagh"
Pendekar Slebor menjerit tertahan di udara, begitu sebuah hantaman amat keras
menghajar lambungnya. Tubuhnya memang langsung terhempas deras delapan tombak
ke belakang. Ketika bumi menyambutnya, mulut pemuda itu memuntahkan darah
segar. Tampaknya ada yang terluka di bagian dalam tubuh Andika.
"Oekh" Muntahan
darah keluar lagi manakala Pendekar Slebor hendak bangkit. Menilik keadaannya
Pendekar Slebor tampak terluka cukup parah. Sementara dari jauh, Patih I Wayan
Rama khawatir. Dia hendak beranjak mendekat, tapi segera ditahan Cokorde.
"Percayalah, Patih.
Pendekar Slebor bukanlah seorang yang mudah menyerah," ujar laki-laki tua
itu yakin.
Pendapat Cokorde Ida Bagus
Tanca terbukti. Dengan menarik napas tersengal, Andika bangkit bersusah-payah.
Di atas sepasang kakinya yang masih tergetar, kembali napasnya diatur untuk
mengerahkan hawa murni dalam tubuh.
"Hosss...." Begh
Buang napas Andika tiba-tiba terhentak, karena sebuah hantaman tak berwujud
sekali lagi mengganyang lambungnya. Untuk kedua kalinya, Pendekar Slebor terlempar
seperti ranting kering disapu topan. Dia jatuh ke tanah, lebih jauh dari
sebelumnya.
Kali ini Andika tak
memuntahkan darah Beruntung sekali, pada saat pukulan, tak berwujud dari
lawannya datang, Pendekar Slebor sedang berada mengerahkan tenaga saktinya.
Pemuda keras kepala itu
mencoba bangkit lagi. Tak diperhatikan lagi rasa sesakyang nyaris memutus
napasnya.
Seluruh otot perutnya
menegang, mencoba memadamkan siksaan sakit luar biasa.
Butiran peluh merembes keluar,
membanjiri tubuh dan pakaiannya. "Huarrr... huar... huargh" Terdengar
tawa Ki Rawe Rontek.
Sementara, tubuhnya tetap
tersembunyi dari pandangan setiap mata.
Pada waktu yang sama, Andika
sedang memutar otak dalam gelombang rasa sakit.
Dia berjuang agar daya
pikirnya terkuasai, sehingga bisa menemukan jalan keluar untuk mengecoh. Sudah
bisa dipastikan, Pendekar Slebor tak akan mendapat kemenangan kalau terus
melayani ilmu hitam Ki Rawe Rontek, tanpa mengetahui kunci kelemahannya. Untuk
saat ini, menyelamatkan diri dari kebuasan lawan rasanya sudah cukup.
Rasa sakit menyiksa Andika.
Akhirnya pikirannya bisa
dijernihkan.
Kecerdikannya pun muncul ke
permukaan.
Dia menemukan akal? Dengan
serta merta, tubuhnya berbalik menghadap Cokorde Ida Bagus Tanca.
"Paduka Cepat berikan
padaku salinan naskah daun lontar yang diberikan Ki Lantanggeni padamu"
teriak Andika, serak bersama kedipan mata sebagai isyarat Mulanya Cokorde tak
paham maksud Andika. Namun karena jaraknya cukup dekat, dia menangkap kerdipan
mata Andika. Dia cepat tanggap siasat yang dijalankan si Pendekar Muda ini.
Andika pasti hendak menipu agar lawan menyingkir tanpa harus membuang-buang
tenaga lebih banyak. Untuk itu, dia harus segera mendapatkan sesuatu yang bisa
membuat Ki Rawe Rontek menyangka kalau itu adalah salinan naskah gulungan
lontar. Maka dengan serta merta dilepaskannya kain hitam di pinggangnya.
"Andika, tangkap"
Kain hitam panjang yang sesungguhnya tak pernah ditulisi salinan naskah
gulungan lontar itu melayang di udara, menggelepar menembus tiupan angin. Hal
inilah yang diharapkan Andika. Dengan begitu, Ki Rawe Rontek tentu menyangka
kalau kain itu berisi salinan rahasia kelemahan ilmu hitamnya.
Andika segera siaga, menanti
kain itu disambar lawan tak terlihat.
Sret Kain Cokorde terlihat
berubah arah.
Saat itulah Andika berteriak
sepenuh tenaga. Tubuhnya langsung meluncur deras, menyusul perubahan arah kain.
Dalam waktu yang demikian
singkat, tangannya memutar. Ketika kain yang dilemparkan Cokorde terlihat
berubah arah, saat itulah Andika menyusul perubahan arahnya sambil melepas kain
pusakanya.
"Yeaaar Sret Tas Kain
pusaka itu kontan terbentang lurus, bagai samurai lebar yang menebas benda tak
berwujud. lepas kain pusaka dari bahu. "Yeaaa" Sret Tas Kain pusaka
itu kontan terbentang lurus, bagai sebilah samurai lebar untuk menebas sesuatu
di udara.
Buk Terdengar dentam sesosok
tubuh jatuh menimpa tanah. Tak lama kemudian, Ki Rawe Rontek terlihat kembali.
Tangan kanannya sudah tak ada lagi, hingga batas siku. Berbarengan dengan
penampakan tubuhnya, potongan tangan lelaki itu pun terlihat. Tergolek jauh
empat belas depa darinya.
"Aaargh Thungghu
pembhalashanku" ancamnya.
Peristiwa aneh terulang lagi.
Potongan tangan datuk sesat
itu mendadak saja bergerak-gerak, seperti bergeliat.
Saat selanjutnya potongan
tangan itu terseret di permukaan tanah mendekati pemiliknya. Lalu seperti tak
pernah terluka, tangan itu menyatu kembali.
Yang tersisa hanya darah di
tangan lelaki itu.
Ki Rawe Rontek pergi.
Menyingkir, seperti harapan Andika. Bukan karena Andika berhasil melukainya.
Tapi, karena pendekar muda itu memegang kain hitam milik Cokorde yang dikiranya
salinan tulisan di daun lontar.
***
7
Sejak Andika menyatakan kalau
hanya ingin bersahabat, Idayu Wayan Laksmi kini mulai mencoba membuka diri
untuk Yaksa. Gadis itu baru sadar betapa bodohnya telah menyangka Andika jatuh
hati padanya. Dia mabuk terhadap sikap manis pemuda yang tak hanya gagah, tapi
juga tampan itu. Semestinya dia tahu kalau sikap manis tidak selalu berarti
cinta. Rupanya cinta dari dirinya sendirilah yang membutakan mata hatinya
selama ini. Untunglah, Andika tak terlambat memberi pernyataan. Kalau tidak,
tentu gadis itu akan mengalami kekecewaan mendalam.
Kebutaan mata batin akibat
kasmaran pada Andika itu pula yang menyebabkan Idayu Wayan Laksmi mengacuhkan
cinta seseorang. Cinta milik Yaksa. Selama ini dia merasa telah menelantarkan
sebutir mutiara hati milik Yaksa yang hendak dipersembahkan padanya.
Senja ini, Idayu Wayan Laksmi
duduk menyapa bayu sejuk di anak tangga gubuknya. Semalam, Yaksa datang
berkunjung. Pemuda itu memberanikan diri untuk mengungkapkan cinta padanya.
Saat itu, Idayu Wayan Laksmi diam saja. Dalam hati, gadis itu menilai kalau
pemuda itu cukup tampan. Dan dari pembicaraan bisa sedikit dinilai kalau
pribadinya cukup baik. Yaksa berjanji akan kembali lagi senja ini. Entah
kenapa, Idayu Wayan Laksmi menjadi agak berharap. Sempat terpikir olehnya kalau
harapan yang terpercik untuk Yaksa hanya sekadar untuk menghibur diri dari
kekecewaan yang dialami saat ini. Namun pikiran itu segera saja ditepisnya. Dia
hendak mencoba mencintai Yaksa. Toh, dia memang pantas dicintai? "Sore,
Laksmi...," sapa Yaksa.
Pemuda itu baru saja tiba di
dekat tangga gubuk, tanpa diketahui Idayu Wayan Laksmi. Maklum gadis itu sedang
melamun.
"Oh, Beli Yaksa,"
sambut Idayu Wayan Laksmi, agak terkejut.
"Kau sedang menungguku
atau menunggu seorang pemuda tampan yang sering kulihat menginap di
gubukmu?" tanya Yaksa.
Idayu Wayan Laksmi tersipu.
Wajahnya berubah merona
menggemaskan.
"Tadi Beli menyebut-nyebut
seorang pemuda?" Idayu Wayan Laksmi balik bertanya. berusaha mengikis
kerikuhan.
"Ya, memang. Apa
benar?" "Benar apa, Beli" "Kau sedang menunggu pemuda itu?
Dia kekasihmu?" cecar Yaksa menggoda, namun berkesan menyudutkan.
" Beli Andika
maksudmu?" "Andika?" sentak Yaksa agak terkejut. Pemuda itu
langsung teringat pada nama seseorang yang tertulis di kayu bekas dinding gubuk
gurunya.
"Jadi, dialah orang yang
Guru maksudkan?" gumam Yaksa perlahan sekali dalam hati.
Idayu Wayan Laksmi sempat
menangkap gumaman Yaksa.
"Kenapa, Beli?"
"Oh, tidak.... Tidak apa-apa...," kilah Yaksa tersadar. "Apa dia
kekasihmu?" Idayu Wayan Laksmi merunduk.
Pandangannya langsung jatuh
pada lembar-lembar rumput di sisi dasar tangga.
"Bukan," jawab gadis
itu lirih.
"Ah, syukurlah.... Kukira
dia kekasihmu. Sebab sikapmu tampak begitu manja...," tutur Yaksa.
"Aku manja, karena dia
kuanggap sebagai kakakku. Kau kan tahu aku tak memiliki kakak...," jelas
Idayu Wayan Laksmi berdusta.
Tentu saja, Idayu Wayan Laksmi
tak berani mengadukan mata pada mata pemuda di sisinya, karena takut kalau
kebohongannya terbaca. Mata memang sulit berbohong.
"Hey? Dari mana Beli tahu
kalau Mbokku suka bermanja-manja dengan Beli Andika?" Tiba-tiba saja I
Ktut Regeg menyelak dari mulut pintu. Rupanya, anak muda tanggung itu nguping
sejak tadi. Dasar brengsek Yaksa terkejut.
"Eee, dari mana
ya...?" kata pemuda itu bingung sendiri.
"Nah, Mbok. Ini dia
orangnya yang suka mengintip-intip rumah kita" tuding I Ktut Regeg tanpa
tedeng aling. "Untung saja dia termasuk kebal 'bintit'. Kalau tidak, tentu
matanya sudah dijejali 'bintit-bintit'. Ha ha ha..." Tawa I Ktut Regeg
langsung meledak.
"I Ktut Regeg"
bentak Idayu Wayan Laksmi.
Idayu Wayan Laksmi memang
sering kali jengkel dengan sikap adiknya yang berbicara seenak perut sendiri.
"Mbokl" I Ktut Regeg
malah balik membentak. Setelah itu, tertawa lagi.
Idayu Wayan Laksmi jadi tak
sabar.
Di tangannya kebetulan ada
sisir kayu berujung runcing. Sebelum bertemu Yaksa, rambutnya memang sempat
ditata sedikit.
Dengan sisir itu, disodoknya I
Ktut Regeg di belakang. Maksudnya, ingin menyodok bahu anak itu. Tapi karena I
Ktut Regeg bangun mendadak, yang menjadi sasaran justru kantung menyannya.
"Adaouw.... Adaouw"
I Ktut Regeg berjingkat-jingkat ke sana kemari dengan mulut meringis.
"Mbok keterlaluan Kalau nanti tidak ada perempuan yang mau padaku, Mbok
akan kusalahkan." Mata Idayu Wayan Laksmi mendelik besar. Omongan I Ktut
Regeg sudah kelewat batas. Tangannya cepat bergerak, hendak menyodokan lagi
ujung sisir ke kaki anak itu.
"Eee Maksudku, Mbok
tolong doakan agar aku jadi ganteng Kalau tidak didoakan, berarti tidak ada
lagi perempuan yang mau?" dalih anak muda tanggung ini.
***
"Tuan Andika" Seorang prajurit
mendatangi Andika yang sedang menjalani perawatan dari seorang tabib istana di
sebuah kamar khusus.
"Ada apa, Beli?"
tanya Andika hormat.
"Paduka, Cokorde menyuruh
hamba menyampaikan ini pada Tuan...," si Prajurit segera mengangsurkan
sehelai kain. "Hamba menemukan itu tanpa sengaja di sebuah sungai."
Andika membuka lipatan kain yang ternyata berupa surat. Masih tampak basah. Dan
tulisannya sudah agak mengabur, karena luntur. Ketika surat itu dibaca,
sepasang alis sayap elang anak muda itu menyatu rapat.
"Hamba pamit dulu, Tuan
Andika" hatur si Prajurit. "O, ya Terima kasih, Belil" sahut
Andika. Sepeninggalan prajurit tadi, pikiran Andika kembali tertuju pada surat
dari kain di tangannya.
Ki Rawe Rontek....
Jika. kau ingin menemukan Ki
Lantanggeni, datanglah ke lembah tersembunyi di sebelah timur Gunung Agung. Di
sanalah lelaki tua itu bersembunyi...
Begitu isi surat itu. Tanpa
ada tertanda dari si Pengirim.
Andika tidak bisa menduga,
siapa orang itu. Hanya yang diketahuinya, orang itu pula yang telah
memberitahukannya melalui surat yang diikat pada pisau terbang tentang maksud
kedatangan Ki Rawe Rontek ke istana yang ingin merebut kekuasaan. Memang,
Pendekar Slebor amat hafal betul dengan gaya tulisannya.
"Pantas saja Ki
Lantanggeni dengan mudah bisa ditemui...," bisik Andika.
"Tanpa surat ini, perlu
waktu berbulan-bulan untuk menemukan Ki Lantanggeni di tempat terpencil seperti
itu...." Andika menerawang sesaat.
Ingatannya kembali pada lelaki
tua itu.
"Kasihan Ki
Lantanggeni...," desah Pendekar Slebor. Tak begitu lama kemudian, Cokorde
masuk "Bagaimana menurutmu, Andika? Apa surat kain itu ada hubungannya
dengan kematian Ki Lantanggeni?" tanya Raja Buleleng ini.
Cokorde Ida Bagus Tanca tahu
tentang kematian sahabat istana itu dari Andika.
Dia begitu kehilangan seorang
ksatria yang sering menjadi kawan bertukar pikiran. Karena akrabnya, Cokorde
lebih suka menyebut Ki Lantanggeni sebagai sahabat. Untuk menghormati
jenazahnya, sengaja Cokorde mendatangi kuburan almarhum, beserta beberapa
petinggi kerajaan.
Sewaktu Andika bertanya, kenapa
mayat Ki Lantanggeni tidak dibakar seperti layaknya orang Bali dalam upacara
Ngaben, Cokorde menjelaskan kalau sebenarnya Ki Lantanggeni bukan asli Bali.
Dia berasal dari Tanah Jawa Dwipa, dan mengasingkan diri di pulau kecil ini.
"Jelas surat ini memang
ada hubungannya dengan kematian Ki Lantanggeni," sahut Andika, menjawab
pertanyaan Cokorde tadi.
"Pantas, beliau begitu
mudah didatangi Ki Rawe Rontek," gumam Cokorde seperti pendapat Andika
juga.
"Apakah kau sudah bisa
menerka-nerka, siapa si Pembuat Surat ini?" tanya Cokorde lebih lanjut.
Andika menggeleng. "Entahlah, Paduka. Untuk itu aku masih belum jelas. Ada
hal yang membingungkan dalam perkara ini," kata Andika.
"Apa?" "Apa
Paduka tak heran sewaktu kedatanganku , tepat pada saat Ki Rawe Rontek juga
mendatangi istana?" "Ya, kenapa bisa begitu?" "Sebelumnya,
aku memang diberitahu seseorang melalui surat bahwa datuk sesat itu akan
mencoba menguasai Kerajaan Buleleng. Paduka tahu, tulisan pada surat ini sama
persis dengan tulisan dalam surat ini? Bahkan ditulis di atas kain yang
sebenarnya tak lazim...," papar Andika.
Cokorde Ida Bagus Tanca
mengangguk-angguk di bibir tempat tidur perawatan Andika. Dia duduk tepat di
samping pemuda itu. Seolah, tak ada lagi jurang pemisah antara seorang raja
dengan rakyat biasa, seperti Andika.
"Kalau surat-surat itu
memang benar ditulis oleh satu orang, kenapa dia mencoba memperingati akan
bahaya niat Ki Rawe Rontek yang ingin merebut kekuasaan kerajaan ini. Sementara
di lain sisi, dia justru menuntun Ki Rawe Rontek untuk bisa menemukan Ki
Lantanggeni dan membunuhnya. Itukah yang membingungkan maksudmu?" duga
lelaki berwibawa itu.
"Tepat sekali,
Paduka" "Apa mungkin...." Ucapan Cokorde terpenggal seketika.
Tapi, tiba-tiba saja Andika
menyergap dari samping.
"Awas Paduka" seru
Pendekar Slebor.
Mendadak berkelebat sebuah
benda berkilatan ke arah tempat Cokorde duduk, sebelum disergap Andika.
Sing Jlep Sebilah pisau
terbang luput memangsa punggung Cokorde. Lalu, menjadikan bingkai sebuah
lukisan sebagai sasaran. Tentu saja Cokorde murka. Dia bangkit dengan wajah
merah matang dan berjalan ke arah jendela.
"Pengawal Tangkap orang
yang menyusup ke istana ini" perintah Raja Buleleng ini dari jendela yang
menjadi jalan masuk pisau terbang barusan.
Memang ruang perawatan Andika
berbatasan dengan taman samping istana yang luas. Untuk ruang khusus
orang-orang sakit dan terluka, sudah pasti dilengkapi jendela-jendela besar
agar udara segar dari taman bisa masuk ruangan.
Cokorde hendak beranjak
keluar, namun cepat dicegah Andika.
"Tak perlu, Paduka
Tampaknya pisau terbang ini tak dimaksudkan untuk membunuh Paduka...."
Pendekar Slebor segera bangkit, langsung menghampiri pisau terbang itu. Lalu
dicabutnya pisau dari pigura lukisan.
Persis seperti bentuk pisau
terbang yang menghujam gundukan tanah makam Ki Lantanggeni, pisau terbang kali
ini pun berbentuk lempeng baja bergagang bambu kuning. Di lempengannya, terikat
kain yang warnanya sama dengan kain di pisau terbang terdahulu.
Andika segera melepas kain
itu.
Dugaannya tak meleset. Kain
itu memang sebuah surat.
Kalau kau ingin menemui datuk
sesat itu, pergilah ke Kotapraja Kerajaan Tabanan "Dari si Pengirim yang
sama dengan surat-surat terdahulu," kata Andika ketika melihat Cokorde
bersinar penuh tanya.
***
Keesokan harinya, setelah kesehatannya terasa
telah pulih benar, Andika secepatnya minta izin Cokorde untuk berangkat ke
Tabanan. Untuk sementara dia akan mengikuti isi surat dari pengirim yang tak
jelas itu Dengan begitu, diharapkan bisa membongkar maksud sesungguhnya orang
itu. Entah lawan, entah pula kawan Sebelum tengah hari, Andika sudah tiba di
Kotapraja Kerajaan Tabanan.
Layaknya kota besar kerajaan,
wilayah itu cukup ramai. Orang-orang menjalani kegiatan masing-masing, untuk
mengais nafkah sehari-hari.
Lama juga Andika berkeliling
keliling di Kota Praja. Sampai akhirnya, Pendekar Slebor tiba di suatu daerah
yang cukup ramai, karena di sana tampaknya sebagai jantung Kotapraja Kerajaan
Tabanan.
Tatkala melintasi sebuah
kedai, telinga Andika menangkap pembicaraan menarik tiga lelaki di dalamnya.
Salah satu dari orang itu menyebut-nyebut tentang orang asing yang datang ke
kota ini.
Dan Andika pun memutuskan
untuk mencari-tahu tentang orang asing itu dari mereka. Segera dimasukinya
kedai ini. Hitung-hitung sekalian mengisi perut, karena memang sudah waktunya
makan siang.
Dari seorang pelayan muda yang
sigap menyambutnya, Pendekar Slebor memesah makanan. Sepeninggalan pelayan,
dihampirinya ketiga lelaki yang duduk di sudut dekat pintu masuk kedai.
" Beli sekalian. Bisakah
aku bertanya sedikit tentang orang asing yang sedang kalian bicarakan,"
sapa Andika seramah mungkin.
Ketiga lelaki itu kontan
terkejut mendapat sapaan Andika. Wajah mereka melepas kesan ketakutan, walaupun
teguran Andika sudah amat ramah. "Maaf jika aku menyelak. Kalau tak salah
Beli-Beli ini sedang membicarakan seorang asing, bukan?" ucap Andika lagi,
mencoba menegaskan pertanyaan. "Bisakah kalian menggambarkan penampilan
orang asing itu?" Tak ada jawaban untuk Andika. Tak seperti sifat ramah
orang Bali, mereka tak menggubris pertanyaan Andika. Malah mereka bangkit
tergesa-gesa, meninggalkan kedai dengan wajah pucat.
"Tunggu, Beli”. tahan
Andika.
Seruan Andika malah membuat
mereka melangkah lebih cepat, seperti baru saja melihat hantu di siang bolong.
"Aneh...," desah
Andika, tak mengerti. "Tampaknya ada sesuatu yang membuat mereka begitu
takut...." "Tuan...," tegur pelayan di belakangnya. Andika
menoleh.
"Makanan telah siap di
meja," kata pelayan muda itu memberitahu.
Andika menganggukbersama
seulas senyum sebagai pengganti ucapan terima kasih. Dihampirinya meja makan
yang sudah diisi nasi dan lauk-pauk. Untuk sementara, dilupakannya dulu
persoalan Ki Rawe Rontek. Kini dengan lahap, disantapnya makanan di meja.
***
"Pelayan" panggil
Andika.
Pelayan muda tadi cepat
menghampiri Pendekar Slebor.
"Aku telah selesai,"
kata Andika memberitahu.
Si Pelayan mengangguk, lalu
mulai membenahi bekas makan Andika. Sebelum dia beranjak mengangkut
piring-piring ke dalam, Andika cepat menahannya.
"Maaf, Beli. Boleh aku
sedikit bertanya padamu?" cetus Andika.
Si Pelayan mengangguk.
"Silakan, Tuan...." "Apakah beberapa hari belakangan ada orang
asing memasuki kota ini?" tanya Andika langsung, ke pokok permasalahan.
Sama seperti ketiga lelaki
tadi, si Pelayan pun menampakkan ketakutan di wajahnya. Namun, tak sama dengan
ketiga lelaki tadi. Sebab, pelayan ini rupanya lebih punya nyali. Setelah
melirik kian kemari, didekatinya telinga Andika.
"Benar. Tuan. Sejak
kedatangan orang asing itu, sudah tiga belas orang terbunuh secara keji. Mereka
rata-rata adalah para pengawal pribadi orang-orang yang berkuasa di
sini...," bisik pelayan muda ini.
Wajah Andika berkerut. Rasanya
dia belum begitu jelas dengan keterangan pelayan ini.
" Beli bisa menggambarkan
ciri-ciri orang asing yang telah membunuh para pengawal itu?" tanya
Pendekar Slebor. Si Pelayan Muda melirik ke luar kedai. Dan matanya melihat
sesuatu di sana. Itu tampak dari sinar matanya yang menegang.
"Lebih baik Tuan mencari
tahu dari orang dalam tandu itu," bisik pelayan ini lagi lebih samar.
Andika melirik keluar,
mengikuti pandangan si Pelayan. Tampak empat orang berperawakan kekar sedang
menggotong tandu mewah yang tertutup rapat kain mewah bersulam.
"Terima kasih Beli,"
ucap Andika seraya menepuk bahu si Pelayan.
Pendekar Slebor membayar
seluruh makanan, lalu beranjak keluar. Tapi baru saja kakinya bergerak empat
langkah...
Sing Seketika terdengar
desiran halus menyambar dari arah depan.
"Haih" Tanpa
kesulitan, Pendekar Slebor langsung bergeser ke kanan dan cepat menangkap
sebatang pisau terbang yang hendak memangsal tubuhnya. Lagi-lagi sebilah pisau
terbang yang sama seperti dengan yang didapat terdahulu. Tanpa bermaksud hendak
membaca pesan yang terlipat pada pisau terbang, Andika bergegas menyusul
rombongan orang bertandu tadi.
Di luar, Pendekar Slebor
melihat tandu berhenti. Keempat pengusungnya segera menurunkan kenda-raan mewah
yang biasa dipakai para penguasa itu. Dari dalamnya, keluar seorang laki-laki
berperawakan besar. Tak seperti bangsawan Bali lainnya, dia mengenakan kemeja
sutera hitam berlapis tanpa kancing dan kerah. Pinggangnya dililit kain batik
yang menutup sebagian celana panjang hitam, sebatas lutut berujung sulaman
benang warna emas.
Andika nyaris pangling pada
lelaki itu, kalau saja tak sungguh-sungguh memperhatikan wajah.
"Ki Rawe Rontek"
desis Pendekar Slebor.
Penampilan tokoh yang semula
bagai mayat hidup itu sudah jauh berbeda. Di lehernya sudah tidak tampak lagi
bekas luka melingkar. Bahkan tubuhnya kini sudah bebas dari jamur-jamur yang
menjijikkan.
Kini, buruan Pendekar Slebor
telah ditemukan. Tapi tanpa mengetahui kelemahan ilmu-ilmu hitamnya, Andika tak
bisa berbuat banyak.
"Entah apa yang hendak
direncanakannya," bisik Andika di tempat pengintaian.
***
8
Kerik jangkrik mengisyaratkan
hari
untuk segera meredup. Senja
pun tercecer. Malam pun datang merambat.
Gubuk besar milik Idayu Wayan
Laksmi dan I Ktut Regeg hanya diterangi lampu-lampu minyak kecil. Di dalamnya,
dua insan berbeda jenis yang telah lama duduk berbincang sejak senja menjelang,
saling menatap tanpa kedip. Mereka adalah Idayu Wayan Laksmi dan Yaksa.
Rasanya, setelah beberapa kali
dikunjungi Yaksa, Idayu Wayan Laksmi mulai menemukan benih-benih cinta yang
merambah hatinya. Secara jujur diakui, Yaksa memang memiliki kharisma
tersendiri yang sanggup melumpuhkan hatinya. Dia memang tak setampan Andika.
Namun, memiliki pesona.
Untuk adat orang timur, duduk
berdua di malam seperti itu sebenarnya tabu.
Tapi entah kenapa, pautan
perasaan mereka berdua menyingkirkan ketabuan itu. Lekatnya tatapan sepasang
mata masing-masing memang menghanyutkan.
Sadar tak sadar, Yaksa
mendekatkan wajahnya ke wajah Idayu Wayan Laksmi.
Kian dekat, Idayu Wayan Laksmi
jadi merasa rikuh. Segera wajahnya ditarik ke belakang. Tapi Yaksa tak
memperhatikan kerikuhan gadis itu. Terus saja wajahnya disorongkan. Sampai
akhirnya....
Cup Yaksa berhasil
mengecup.... Tapi, astaga Bukan bibir Idayu Wayan Laksmi yang tersentuh
bibirnya. Ternyata hanya kepala ekor ayam jantan yang sudah babak belur di sana
sini.
"Keok" Yaksa
tersentak.
"Hua ha ha..."
Terdengar tawa meriah seorang anak muda tanggung di sisi mereka. Siapa lagi
kalau bukan si I Ktut Regeg berengsek? "Nah, Merah Kemenanganmu tadi sore
telah dihadiahkan sebuah ciuman mesra dari sukarelawan," oceh I Ktut Regeg
pada ayam jantan di tangannya.
Yaksa sendiri kini kelimpungan
membersihkan bibir. Tak disangka tak diduga, kalau hari ini dia tertimpa
'musibah' seperti itu.
"Kalau hanya mencium ayam
jantan, tak akan tabu" tukas I Ktut Regeg sambil melangkah santai ke ruang
dalam.
Dan baru saja I Ktut Regeg
menghilang, terdengar sebuah suara.
"Malam...." Andika
muncul di pintu masuk.
Pendekar Slebor baru saja tiba
dari Kerajaan Buleleng, setelah mela-porkan hasil penyelidikannya.
"Oh Beli Andika,"
sambut Idayu Wayan Laksmi tersipu-sipu, merasa malu tertangkap basah oleh
Andika.
"Aha, pemuda kita
rupanya" ujar Andika, saat melihat Yaksa.
Yaksa langsung berdiri,
mendekati Andika. Mengingat kemarahan Yaksa sewaktu di sisi makam Ki
Lantanggeni dulu, Pendekar Slebor jadi curiga.
Jangan-jangan, dia masih
penasaran akan memukulnya. Tapi sesampainya di depan Andika, pemuda itu malah
menjura dalam-dalam.
"Tuan Pendekar, maafkan
atas kelancanganku dulu. Sungguh aku tak pernah menduga kalau Tuan adalah
sahabat guruku," tutur Yaksa hormat.
Andika tertawa. Dia jadi
mengumpat kebodohannya yang telah menduga tidak-tidak pada Yaksa.
"Ah Penghormatan seperti
itu tak pantas kau tujukan untukku," kilah Pendekar Slebor. "Toh,
usia kita sebenarnya tak jauh berbeda...." "Tapi, Tuan...."
"Andika Panggil aku Andika saja." "Tapi, ng.... Tuan Pendekar,
sebelum meninggal guruku berpesan agar aku memohon pada Tuan untuk meminta
beberapa jurus," lanjut Yaksa, tanpa menyebut nama Andika begitu saja.
Andika menarik napas.
Kepalanya menggeleng-geleng.
"Kalau kau tetap
memanggilku Tuan Pendekar, percayalah. Aku tak akan sudi menurunkan padamu
beberapa jurus milikku," tegas Pendekar Slebor.
Yaksa mengangkat kepala
hati-hati.
"Dan hentikan sikapmu membungkuk
seperti kakek peot" bentak Andika.
Seketika disabetnya kepala
Yaksa dengan lembaran lontar di tangannya. Setelah itu dia ngeloyor ke dalam
sambil mengupat-ngumpat.
Di dalam, Andika membuka
lembaran lontar yang didapat dari pisau terbang di Kotapraja Kerajaan Tabanan.
Dia yakin, lembaran itu adalah sobekan halaman kitab ilmu hitam milik Ki
Lantanggeni yang telah dicuri seseorang. Cokorde juga yakin, begitu Andika
memperlihatkannya.
Sayang, lembaran lontar itu
bertuliskan huruf-huruf Pegon yang mungkin sudah jarang dipakai lagi sejak satu
dua abad lalu. Sementara waktu Andika minta tolong pada Cokorde yang mungkin
memiliki seorang ahli bahasa, Raja Buleleng itu mengatakan kalau ahli bahasa
satu-satunya yang dimiliki telah wafat setahun lalu. Dan mereka sampai kini
belum memiliki penggantinya.
" Beli Andika,"
tegur I Ktut Regeg.
"Anak muda tanggung itu
tahu-tahu sudah berdiri di pintu kamar.
"Sedang apa?" tanya
I Ktut Regeg mau tahu urusan orang.
"Jangan usil" hardik
Andika.
"Jangan sok menutup
diri" balas I Ktut Regeg.
Kaki pemuda tanggung itu
melangkah, mendekati Andika.
"Apa itu?" tanya I
Ktut Regeg lagi, makin menjadi keusilannya begitu sudah dekat.
Andika melipat lembaran
lontar. "Ini bukan urusanmu, Anak Dedemit" maki Pendekar Slebor,
setengah bergurau.
I Ktut Regeg mengangkat bahu.
"Ya, sudah. Aku juga
tidak untung melihat lembaran lontar lusuh itu," sungut anak muda tanggung
itu. Dia berbalik, melangkah keluar.
"Hanya aku dulu memang
suka membaca naskah-naskah kuno kalau sedang iseng." "Hei,
tunggu" tahan Andika.
"Apa katamu tadi?"
"Dulu, aku sering membaca naskah-naskah kuno milik ayahku.
Kadang-kadang aku juga
membantu Ayah menerjemahkan naskah kuno...." "Naskah-nakah milik
kerajaan?" sela Andika.
"Lho, dari mana Beli tahu?"
"Siapa nama ayahmu?" "I Made Tantra. Memangnya kenapa?"
Andika menepuk keningnya keras-keras. Dia ingat nama ahli bahasa yang disebut
Cokorde tadi. Memang, nama I Made Tantra yang disebut Cokorde waktu itu.
"Jadi, kau anak dari I
Made Tantra? Ahli bahasa kerajaan?" I Ktut Regeg terkekeh. Entah kenapa.
"Ayahku memang tidak
ingin memanjakan anak-nya. Dia tidak sudi jabatan membuat anak-anaknya menjadi
sombong. Makanya, dia tak pernah bercerita pada Cokorde kalau punya anak,"
tutur I Ktut Regeg. "Bagus" sentak Andika.
"Bagus apanya?"
"Kalau begitu, kau harus menolongku ujar Pendekar Slebor, langsung menarik
anak kurus itu ke sisi balai-balai bambu.
"Duduklah. Coba kau
terjemahkan lembaran-lembaran lontar ini" Andika cepat menyerahkan
lembaran lontar ke tangan I Ktut Regeg. Dan pemuda tanggung itu membukanya
dengan santai, merasa menang karena sedang dibutuhkan oleh seorang pendekar
besar seperti Andika. Tak lama kemudian kepalanya tampak mengangguk-angguk sok
tahu.
"Yem, mmh...mmm...emm.
Sus sus memem...," gumam I Ktut Regeg, menyebalkan.
"Hei? Jangan membaca
bergumam seperti jampi-jampi dukun" bentak Andika. "Percuma saja aku
menyuruhmu membaca" I Ktut Regeg melotot.
"Sabar dulu, dong"
balas pemuda tanggung itu lebih galak. Dilanjutkan lagi membacanya sampai kedua
lembaran lontar itu selesai.
"Jadi, apa isinya?"
tanya Andika bersemangat.
Mata I Ktut Regeg menyipit.
Lagaknya sudah seperti petinggi kerajaan.
"Menurut dua lembaran
lontar ini, ada sejenis ilmu hitam bernama 'Rawe Rontek'...." "Yang
itu aku sudah tahu" jegal Andika. "Apa di situ ada rahasia kelemahan
ilmu 'Rawe Rontek'?" "Ya. ya, ya, tentu saja. Menurut dua lembaran
lontar ini, ilmu hitam itu bisa dikalahkan dengan memisahkan si Pemilik Ilmu
dengan bumi...," papar I Ktut Regeg.
Andika memukul telapak tangan
dengan tinjunya sendiri.
"Jadi itu rahasia
kelemahan ilmu Rawe Rontek...," desis Pendekar Slebor.
"Lalu, apa lagi
penjelasan tentang ilmu hitam selain 'Rawe Rontek'?"
"Menurut...." "Menurut dua lembar lontar ini Ah Aku bosan dengan
basa-basi itu Katakan saja langsung, apa saja isinya yang lain" I Ktut
Regeg menatap Andika dengan sinar mata mengancam. Seolah-olah, dia ingin
mengatakan bila Andika tak berhenti mengomel, lembaran lontar itu akan
ditinggalkannya.
"Baik..., baik. Aku tidak
akan membentak-bentak lagi," bujuk Andika, melihat gelagat buruk I Ktut
Regeg.
Akhirnya I Ktut Regeg mau juga
melanjutkan.
"Ada yang aneh,
Beli...,ucap I Ktut Regeg, sesaat berikutnya.
"Apa?" "Di
lembaran pertama, dijelaskan tentang riwayat ilmu-ilmu hitam termasuk 'Rawe
Rontek'. Tapi, di lembaran, yang satunya kenapa hanya ada penjelasan mengenai
rahasia ilmu 'Rawe Rontek' saja...?" "Jadi maksudmu ada lembaran yang
hilang?" duga Andika.
"Sepertinya
begitu...." Andika diam. Regeg juga diam. Tapi pemuda tanggung itu terus
memperhatikan Andika yang mengusap-usap dagu dengan wajah berkerut. Pendekar
muda itu sedang berpikir keras. Sesekali kakinya melangkah mondar-mandir.
"Rasanya aku mulai bisa
membaca maksud orang ini," gumam Pendekar Slebor. "Pertama-tama, dia
menuntun Ki Rawe Rontek dengan suratnya agar Ki Lantanggeni terbunuh. Pada saat
Ki Lantanggeni menghadapi datuk sesat itu, tentu lembaran lontar itu dicuri.
Lalu, aku dijadikan kambing hitam untuk menghadapi Ki Rawe Rontek. Dengan
memberi rahasia kelemahan ilmu 'Rawe Rontek' padaku, orang itu berharap aku
bisa membunuh Ki Rawe Rontek untuk yang kedua kalinya. Setelah itu bila Ki Rawe
Rontek mati, dia akan mencari kuburannya lagi, dan mencoba menghidupkannya
kembali...." "Tapi apa untungnya buat dia?" sela I Ktut Regeg
“Tentu saja sebagai orang yang berhutang budi, Ki Rawe Rontek tak akan menolak
permintaan orang itu. Yakni, mengajarkan cara-cara mendapatkan ilmu-ilmu
hitam...." "Tapi akan percuma saja ilmu hitam itu, sebab rahasianya
sudah terbongkar dengan adanya lembaran lontar ini," sergah I Ktut Regeg,
makin sok pintar.
"Tidak Tidak semua
rahasia ilmu hitam. Hanya ilmu 'Rawe Rontek' saja yang kita tahu rahasia
kelemahannya.
Sedangkan rahasia ilmu hitam
lain berada di lembaran yang kurang itu. Dan sudah pasti orang itu menahannya.
Agar jika ilmu-ilmu hitam lain warisan Ki Rawe Rontek benar-benar dikuasainya
nanti, dia akan menjadi tak tertandingi," papar Andika makin yakin.
" Beli tahu siapa
kira-kira orang itu?" Andika mengangguk mantap.
"Rasanya, aku tahu orang
itu, Namanya, Lalinggi...," bisik Pendekar Slebor, amat pelan.
"O, iya Aku hampir saja
lupa," cetus I Ktut Regeg tiba-tiba. "Orang bertopi keranjang yang
dulu mencari peti berukir, menitip pesan buat Beli." Ucapan I Ktut Regeg
benar-benar menyentak Andika.
"Apa katanya?"
"Katanya, dia akan kembali lagi," tutur I Ktut Regeg menyampaikan
pesan yang diterima dari orang yang tak lain dari Lalinggi. Untuk ke dua
kalinya, Andika meninju telapak tangan sendiri.
"Sekakang semuanya jadi
benar-benar jelas," desis Pendekar Slebor seraya menyipitkan mata.
***
9
Di luar gubuk Idayu Wayan
Laksmi dan I Ktut Regeg. Seorang utusan Kerajaan Buleleng datang menemui
Andika. Dia bermaksud mengabarkan hasil kegiatan memata-matai terhadap gerakan
Ki Rawe Rontek di wilayah Tabanan.
"Jadi, bagaimana?"
tanya Andika pada lelaki muda kepercayaan Patih I Wayan Rama berwajah tegar itu
"Menurut pengamatan hamba, tampaknya Ki Rawe Rontek telah mempersiapkan
makar terhadap Raja Tabanan. Setelah berhasil membunuh seorang saudagar kaya di
Kotapraja Kerajaan Tabanan, begundal-begundal bayarannya mulai dikumpulkan
untuk membumi hanguskan kekuatan Kerajaan Tabanan. Sudah tentu dia memanfaatkan
harta si Saudagar, untuk membayar mereka semua," lapor sang Utusan.
"Kau sudah pula
melaporkan hal ini pada Patih I Wayan Rama dan Cokorde?" "Sudah, Tuan
Andika." "Apa tanggapan mereka?" "Menurut mereka, sebaiknya
kita segera mendahului Ki Rawe Rontek. Akan sangat berbahaya bagi Kerajaan
Buleleng bila datuk sesat itu menguasai Kerajaan Tabanan. Itu artinya akan
terjadi perang antara kerajaan, yang bakal menyengsarakan rakyat tak
berdosa." Pendekar Slebor melepas napas.
Matanya menerawang. Pemuda itu
sedang menimbang-nimbang pendapat Patih I Wayan Rama dan Cokorde yang didengar
dari sang Utusan ini. Sebenarnya dia pun berpikiran sama. Tapi, masih ada
ganjalan yang membuatnya bimbang.
Pendekar Slebor masih belum
tahu, bagaimana cara menghadapi Ki Rawe Rontek jika sudah mengeluarkan ilmu
menghilang.
Dan menurut lembaran lontar,
ilmu itu bernama 'Halimunan'. Sedangkan daun lontar itu hanya memberi gambaran
singkat tentang ilmu hitam yang dimaksud. Untuk rahasia kelemahannya, sudah
pasti ada di lembaran yang hilang.
Cukup lama Andika menimbang.
Sampai akhirnya, mengutuki diri sendiri karena begitu bimbang untuk segera
memerangi kebatilannya hanya karena satu ilmu hitam yang dulu sempat
mengecohkan, bahkan hendak merenggut nyawanya. Toh, nyawa ada di tangan Tuhan
Kalau Tuhan masih menghendaki nyawanya tetap bersemayam di badan, siapa yang
akan sanggup membunuhnya? Lagi pula, dia yakin, pasti ada satu cara lain untuk
melumpuhkan ilmu 'Halimunan'.
"Kalau begitu, cepat
sampaikan pada Cokorde. Kita akan segera bergerak" putus Andika akhirnya.
"Kalau begitu, hamba
mohon pamit" ucap sang Utusan.
***
Keesokan harinya, Andika sudah berada di
Istana Kerajaan Buleleng.
Cokorde, Patih I Wayan Rama,
dan beberapa orang prajurit pilihan pun sudah bersiap dengan senjata lengkap
untuk membuka.
Cokorde ditemui Andika di
ruang pribadinya. Jarang orang bisa mendapat kesempatan untuk memasuki kamar
pribadi Cokorde tersebut. Tapi untuk Andika, Cokorde memberikan pengecualian.
Meski begitu, tak pernah terbetik di hati Andika perasaan bangga karena telah
diistimewakan.
"Apa kita telah siap, Paduka?"
tanya Andika pada Cokorde Ida Bagus Tanca yang sedang duduk menekuni sesuatu di
meja kayu berukir.
"Aku harus mempersiapkan
surat untuk Penguasa Tabanan dulu. Kita harus minta izin pada mereka, kalau
hendak memasuki daerahnya. Aku tak ingin terjadi kesalah pahaman yang bisa
mengakibatkan pertumpahan darah sia-sia," sahut Cokorde, setelah menoleh
sebentar.
"Apakah nantinya tidak
akan membuat kecemasan pihak Tabanan, jika tahu tentang rencana Ki Rawe Rontek
yang akan merebut kerajaan?" tanya Andika.
"Tentu saja kita tak akan
menjelaskan pada mereka tujuan sebenarnya. Kita hanya menjelaskan kalau hendak
menangkap seorang buronan Buleleng. Itu saja. Jadi jangan dikira hanya kau saja
yang berotak encer," papar Raja Buleleng itu di sela tawa yang meletup
kecil.
Andika menimpali tawa lelaki
bijak itu. Cokorde lalu merampungkan surat yang sedang dibuatnya. Pada saat
itulah Andika melihat tabung tinta milik Cokorde. Mendadak saja, dia teringat
pada ilmu 'Halimunan' milik Ki Rawe Rontek. Dan kecerdikannya, mampu menangkap
manfaat tinta hitam itu dalam menghadapi Ki Rawe Rontek nanti.
"Paduka, apakah
persediaan tinta kerajaan masih cukup banyak?" pinta Andika, begitu
Cokorde menyelesaikan suratnya.
Siapa yang tak heran mendengar
pertanyaan aneh Andika tadi? Apa hubungannya tinta kerajaan dengan persiapan
perang mereka? Begitu pertanyaan tersembul di hati Cokorde.
Dan matanya pun menatap
bingung pada Andika. "Banyak Bahkan cukup untuk persediaan selama sepuluh
tahun," kata Cokorde. "Kenapa?" "Nantilah Paduka tahu. Yang
penting, tolong bawa juga beberapa tabung tinta untuk perjalanan kita
nanti," tutur Andika, tak peduli pada keheranan membludak Cokorde.
Walaupun masih belum mengerti
tujuan Andika, akhirnya Raja Buleleng ini mengangguk juga.
Hari itu juga pasukan besar
dipimpin langsung. Cokorde Ida Bagus Tanca berangkat menuju Tabanan. Untuk
mempersingkat waktu perjalanan, seluruh pasukan dilengkapi kuda. Mereka terdiri
dari lima puluh prajurit pilihan yang gagah, berpakaian prajurit Bali. Lengkap
dengan tombak, tameng, dan golok panjang. Sebagian membawa panah, karena mereka
juga jago bidik kerajaan. Tampak pula Patih I Wayan Rama yang bertindak sebagai
panglima pasukan dan dibantu seorang patih muda. Tentu saja, tak ketinggalan
adalah Andika.
Derap seluruh kaki kuda di
jalan kering yang hampir bersamaan, membuat debu berterbangan liar. Suara
bergemuruh terbangun, menghentak suasana.
Rombongan besar itu sudah
bagai raksasa, siap mengamuk.
***
Sudah sejak tadi rombongan
pasukan Kerajaan Buleleng berangkat ke Kerajaan Tabanan. Dan tanpa diduga
Kerajaan Buleleng kini dihentak oleh puluhan penyusup berkepandaian tinggi.
Mereka rata-rata adalah para bajingan musuh rakyat, yang telah dikumpulkan Ki
Rawe Rontek selama di Tabanan.
Sungguh suatu pukulan telak
bagi pihak Kerajaan Buleleng. Manakala para prajurit andalan sedang dikerahkan
ke Tabanan, kerajaan justru diserang. Dan sungguh menyedihkan jika rombongan
Cokorde pulang, disambut dengan gelimpangan mayat prajurit pengawal istana dan
para petingginya.
Hal itu mungkin saja terjadi,
karena serangan para penyusup itu dipimpin langsung oleh Ki Rawe Rontek sendiri
Seorang datuk sesat yang tak mungkin ditandingi para patih istana....
"Heaaa"
"Gempur" Teriakan-teriakan haus darah orang-orang bayaran Ki Rawe Rontek
menghentak istana. Setelah memanjat benteng istana tanpa diketahui, mereka
menyulut peperangan terbuka. Korban pertama adalah para petugas jaga.
Kemudian mereka menyerbu bagai
air bah ke dalam istana.
Prajurit pengawal istana yang
tak menduga sama sekali serangan itu, jadi kalang-kabut. Mereka tidak gentar,
karena sebagai prajurit sejati memang tabu bila mesti gentar. Tapi menghadapi
serbuan mendadak dari komplotan berkepandaian tinggi, keberanian mereka jadi
sia-sia.
"Hieaaa" Crak
"Wuaaa" Hadangan pasukan pengawal istana terbabat habis bagai
alang-alang, oleh barisan terdepan komplotan Ki Rawe Rontek. Jika para prajurit
bertempur sebagai kstaria yang rela berkorban nyawa dengan membela negara, maka
komplotan Ki Rawe Rontek bertempur bagai sekumpulan hewan buas haus darah.
Mereka menggila, karena janji Ki Rawe Rontek yang akan memberi harta dan
kekuasaan jika Kerajaan Buleleng dapat dikuasai.
Ternyata perkiraan Andika,
Cokorde, maupun Patih I Wayan Rama jauh dari kebenaran. Ki Rawe Rontek
mempersiapkan antek-antek di Tabanan, bukanlah hendak menguasainyai. Justru dia
hendak melumpuhkan kekuatan Kerajaan Buleleng Tapi dari mana Ki Rawe Rontek
tahu kalau Kerajaan Buleleng tengah dalam keadaan kosong? Tentu saja, itu
karena ulah seseorang yang pernah menuntun Ki Rawe Rontek dengan surat, hingga
bisa menemukan persembunyian Ki Lantanggeni.
Orang itu mengirimi kabar
lagi, kalau tidak ada salinan lontar seperti dikatakan Andika. Juga dijelaskan
tentang rencana keberangkatan pasukan Kerajaan Buleleng ke Kerajaan Tabanan di
bawah pimpinan Cokorde. Maka, makin mantaplah niat Ki Rawe Rontek untuk kembali
ke Kerajaan Buleleng, mewujudkan impiannya menguasai kerajaan tersebut
"Tumpas semua prajurit yang hendak menentang" seru Ki Rawe Rontek.
Suara tokoh menggiriskan itu
kini sudah jelas terdengar. Tak lagi seperti dulu, saat masih ada sisa luka
melingkar di lehernya.
"Hancurkaaan Kita akan
menjadi kaya dan berkuasa" "Hiaaa" Bret Bles Des
"Wuaaa" Nyawa demi nyawa terlempar dari raga. Sepuluh nyawa prajurit
istana mungkin hanya terbayar oleh satu nyawa anakbuah Ki Rawe Rontek. Mereka
memang, terlalu tangguh. Darah dan cabikan daging para prajurit pun menodai
wajah bumi.
Pasukan kerajaan bisa musnah
bila terus digasak beringas seperti itu.
Menyadari hal ini, salah
seorang prajurit mencoba menerobos keluar istana dengan kudanya. Begitu
berhasil kuda itu digebah kencang untuk menyusul pasukan Cokorde Namun tak
luput, tubuhnya sempat tersabet golok salah seorang penyerbu.
Kuda prajurit itu terus
berlari kesetanan. Menembus belukar, memotong padang ilalang, mencoba membuat
jalan pintas. Debu tebal tertinggal di belakang kuda jantan gagah ini.
Sementara luka menganga si Prajurit terus mengeluarkan darah, menetes di
sepanjang perjalanan.
Setelah cukup lama berkuda, di
jalan dalam apitan sepasang bukit, si Prajurit akhirnya bisa menyusul rombongan
pasukan Kerajaan Buleleng.
"Paduka, tunggu"
seru prajurit itu terengah.
Seluruh rombongan menoleh.
Mereka menatap kaget pada prajurit yang baru tiba dalam keadaan menyedihkan.
Wajahnya memucat, banyak kehilangan darah.
Bibirnya bergetar seperti juga
cuping hidung yang melepas napas terengah satu-satu.
Di dekat Andika, prajurit itu
terjatuh dari punggung kuda. Andika segera menangkapnya dengan sigap, setelah
mencelat turun dari kudanya sendiri.
"Uph" Dengan
hati-hati, Pendekar Slebor meletakkannya di tanah.
"Apa yang terjadi,
Prajurit?" tanya Andika.
"Jangan ke Tabanan.... Ki
Rawe Rontek tak ada lagi di sana.... Dia dan pasukannya kini menyerang istana,
dengan kekuatan penuh. Dan kami ti...." Kalimat si Prajurit terputus,
bersamaan dengan nyawanya yang melayang.
"Kutu congek Rupanya kita
telah dikecoh datuk sesat itu" umpat Andika gusar. Paduka Lebih baik kita
segera kembali" Bergegas Pendekar Slebor melangkah ke punggung kudanya.
Dari kantung pelana, dikeluarkan empat tabung tinta.
"Aku akan kembali lebih
dahulu," pamit Pendekar Slebor pada Cokorde.
Lalu tanpa menambah kata lagi,
Andika melesat cepat dengan ilmu lari cepatnya yang sulit tertan-dingi.
Sebentar saja, tubuhnya sudah
menghilang di balik bukit, arah kedatangan si Prajurit tadi. Andika pun tampak
akan melalui jalan pintas.
***
10
Sejak turun dari Lembah
Kutukan, baru dua kali inilah Andika menyelesaikan perkara besar yang
menyangkut perebutan kekuasaan satu kerajaan. Dulu, pertama kali turun ke dunia
persilatan, pendekar sakti ini harus berhadapan dengan musuh bebuyutan
keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang berjuluk Ki Begal Ireng. Tokoh hitam itu
dulu hendak mengangkangi Kerajaan Sanggabu. la yang ternyata masih ada hubungan
darah dengan Andika sendiri.
Kini Pendekar Slebor harus
berhadapan dengan Ki Rawe Rontek. Baik Begal Ireng maupun Ki Rawe Rontek
sama-sama tangguh dari aliran sesat Apakah kali ini Andika juga akan berhasil?
Pertanyaan seperti itu memang tak pernah jadi persoalan buat Andika.
Sebab baginya, perjuangan
bukanlah menang dan kalah. Melainkan persoalan kesungguhan menjalani perjuangan
itu sendiri Siapa pun manusia di dunia ini, tak akan bisa menentukan sejarah
seenak perut. Tuhan akan terus dan tetap menentukan Istana Buleleng masih
dirancah oleh suara riuh rendah peperangan dua pihak.
Para prajurit dan para
petinggi kerajaan bertarung melawan Ki Rawe Rontek yang dibantu seluruh
antek-anteknya.
Saat ini keadaan pihak istana
kian tersudut. Bahkan dipastikan dapat dikalahkan secara mengenaskan.
Perlawanan mereka tidak begitu
berarti dalam membendung kebuasan gerombolan lawan. Senjata mereka tak banyak
berguna menghadapi senjata haus darah lawan.
Trang Trang Bret
"Aaa" "Habisiii" Di satu sudut pertarungan, Ki Rawe Rontek
berlaga bagai kerasukan. Terjangannya buas, lebih buas daripada seribusinga
lapar. Empat orang patih kerajaan terdesak seperti kawanan domba menghadapi
harimau. Keempat lintang putang kian kemari, menyelamatkan nyawa tanpa
berkesempatan balas menyerang.
Sampai suatu ketika....
"Hiaaa" Degh
"Aaakh" Amat telak 'Pukulan Peremuk Dalam' yang baru saja dikerahkan
Ki Rawe Rontek untuk menghajar dada seorang patih termuda. Hanya sempat
mengerang pendek, patih muda itu pergi ke akherat. Begitu mengenaskan.
Ketiga patih lain hanya bisa
memandang terpana pada rekan termuda mereka. Jangan lagi untuk mencoba
menolong. Untuk menggerakkan otot-otot di bahunya saja, mereka begitu sulit.
Pengaruh angin 'Pukulan
Peremuk Dalam' tampaknya telah memangsa tubuh ketiganya, menerobos jaringan
otot dan menelusup ke tulang sumsum. Sehingga, mereka menjadi lemas bergetar.
"Huah ha ha..." Ki
Rawe Rontek tergelak angkuh. "Kalian akan menjadi tumbal ilmuku satu
persatu Tapi kalian kuberi pilihan. Mati, atau menjadi pengikutku"
"Jangan dikira kami bisa diancam seperti itu. Kami bukan pengecut yang
takut menghadapi kematian demi kebenaran" sahut seorang patih tua lantang.
Meski tubuhnya terlihat gontai, namun tetap menantang gagah.
"Huak... haa... haa...
hak Kalau itu keinginan kalian, maka akan kuhabisi seluruh patih istana ini
Bagiku, bukanlah hal yang sulit mencari pengganti kalian, orang-orang bodoh sok
suci" cemooh Ki Rawe Rontek menyakitkan.
"Jaga mulutmu, Manusia
Laknat Kami tahu kebenaran. Dan kami rela mati karenanya. Jadi bukan berarti
bodoh sok suci" sergah patih yang lain.
"Apa artinya kebenaran
kalau kalian tak bisa bersenang-senang menikmati hidup? Apa kalian pikir
kebenaran itu menenangkan?" "Kenapa kau jadi ngotot hendak meyakinkan
kami untuk ikut denganmu? Apakah kau sudah kehilangan semangat tempur, seperti
ayam jantan pecundang?" sindir seorang patih lain.
Rupanya, dia tidak ingin
mendengar ocehan Ki Rawe Rontek lebih banyak.
Baginya, mati lebih baik
daripada mendengarkan ucapan wakil iblis seperti "Kepparrat Kalian para
patih, memang minta segera kubunuh" Selesai memaki, Ki Rawe Rontek membuka
jurus kembali. Tapi sebelum merangsek ketiga lawan, seseorang menahannya dari
satu arah. "Tuan, jangan bunuh hamba...," ratap seorang yang baru
saja tiba di dekat Ki Rawe Rontek.
Rupanya, orang itu adalah si
Penasihat Tua, penjilat yang tak begitu disukai para patih yang bisa mencium
keculasannya.
Ki Rawe Rontek menoleh.
Gerakannya seperti terpaku, tak melanjutkan jurusnya.
"Siapa kau?" bentak
tokoh menggiriskan ini garang. "Kenapa kau baru muncul?" Si Penasihat
Tua tersenyum dibuat-buat. Antara dorongan rasa takut, dan keinginan untuk
selamat.
"Hamba salah seorang
petinggi istana ini, Tuan. Sejak tadi, hamba memang tidak ingin menentang, karena
hanya Tuanlah yang pantas menjadi raja hamba," ucap si Penasihat Tua penuh
kepalsuan. Padahal sejak penyerbuan dimulai, dia hanya bersembunyi ketakutan di
dalam kamar mandi istana Ki Rawe Rontek tertawa serak.
Mulutnya terbuka lebar-lebar, memperlihatkan
barisan giginya yang lancip tak teratur. Si Penasihat Tua mengira, laki-laki
itu senang mendengar sanjungan tadi.
"Bagaimana, Tuan?"
tanya si Penasihat Tua.
"Bagaimana apa?"
"Biarkan aku hidup, dan aku akan menjadi pengikut setiamu”.
Ki Rawe Rontek menyeringai.
Dan tiba-tiba....
Prok Mendadak saja sebelah
tangan Ki Rawe Rontek terayun cepat ke kepala si Penasihat Tua. Maka dalam
sekejap batok kepala lelaki penjilat itu tak berbentuk lagi, disertai muncratan
darah segar.
Dan tubuhnya langsung ambruk
ke lantai.
"Setia katamu? Hah
Manusia busuk macam kau, hanya jadi sampah buatku.
Dengan rajamu dulu saja kau
tak setia.
Apalagi nanti bila mengabdi
padaku. Kau tentu akan berkhianat" sumpah serapah Ki Rawe Rontek.
Ketiga patih yang sejak tadi
memperhatikan peristiwa itu hanya sempat berdoa dalam hati. Mereka kasihan pada
lelaki tua itu. Mati dalam keadaan terhina. Mudah-mudahan diampuni Tuhan.
"Kali ini giliran
kalian" sentak Ki Rawe Rontek. Lalu....
"Hiaaa" "Sepi
ingpamrih, rame ing gawel" teriak ketiga patih serempak Meski tak yakin
akan bisa menyelamatkan diri dari serangan akibat pengaruh angin 'Pukulan
Peremuk Dalam' yang bersarang, ketiga patih itu tetap meneguhkan hati untuk
mengadakan perlawanan terhadap Ki Rawe Rontek. Satu sapuan kaki Ki Rawe Rontek
berhasil di-hindari. Untuk terjangansusulanberikutnya, mereka mati langkah.
Sepasang tangan laki-laki menggiriskan ini berputar kencang, siap meremukkan
batok kepala mereka dalam satu gebrakan. Tapi....
Prat Pada saat genting itu,
mendadak terdengar suara tamparan sehelai kain pusaka. Seperti dorongan
kekuatan tangan raksasa, benda gemulai itu menghadang putaran tangan Ki Rawe
Rontek.
"Mereka bukan lawanmu,
datuk terkutuk bau ketiak" seru seorang pemuda di sisi Ki Rawe Rontek.
Mendengar caranya mengumpat, ketiga patih kerajaan langsung bisa menduga kalau
itu adalah Andika.
Memang benar Si Pendekar
Slebor kini berdiri bertolak pinggang dua tombak di dekat Ki Rawe Rontek. Entah
rejeki nomplok apa yang membuat dia bermurah hati sehingga tersenyum pada
lawan.
"Kau rupanya, Anak Muda
Keparat Aku senang, karena tak perlu susah-susah mencarimu. Rupanya, kau datang
sendiri untuk mengantar nyawa" geram Ki Rawe Rontek.
Sambil mengebut-ngebutkan kain
pusaka ke bagian leher, Andika menatap orang tua menggiriskan itu. "Terus
terang, aku sedang gerah setelah berlari cukup jauh. Dan mendengar omonganmu,
aku jadi semakin gerah. Ngomong-ngomong, apa kau telah menelan api neraka,
ya?" oceh Pendekar Slebor ngelantur tak karuan.
"Jangan banyak
mulut" Andika cepat-cepat meraba mulutnya.
Tingkahnya dibuat-buat, untuk
memancing amukan lawan.
"Kalau tidak salah, dari
dulu juga ibuku memberi mulut hanya satu...," kata Andika pura-pura
linglung.
"Kheaaah" Ki Rawe
Rontek tak punya cukup kesabaran lagi. Niatnya untuk menyerang ketiga patih
dialihkan ke Pendekar Slebor. Dia geram, segeram-geramnya.
Ingin rasanya mulut pemuda itu
dihancurkan secepatnya.
Dua cakar Ki Rawe Rontek,
seketika menerkam ganas ke wajah Pendekar Slebor.
Pengerahan tenaga dalam ke
otot tangan, membuat dadanya menggelembung besar di balik pakaian.
"Haiiih" Tapi, mana
sudi Pendekar Slebor mengizinkan lawan merobek wajahnya yang sudah tampan?
Didahului teriakan melengking, kepalanya ditarik ke arah samping. Dan sambil
membuat kelitan, Pendekar Slebor mencoba menyodok ulu hati Ki Rawe Rontek yang
lowong.
"Benjoi udelmu" Blep
Memang, tusukan jari-jari kanan Pendekar Slebor berhasil mendaratkan serangan
bertenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat ketujuh.
Suatu tingkat kekuatan yang
bisa membobol benteng beton setebal dua depa Tapi, siapa sangka kalau perut
laki-laki yang menggiriskan itu ternyata begitu alot, kenyal bagai gulungan
karet Pendekar Slebor mendelik sekejap.
Ilmu hitam macam apa lagi ini?
Pada saat yang sama, Artapati alias Ki Rawe Rontek menurunkan tangan dengan
gesit ke tengkuk Pendekar Slebor. Rupanya, siku Ki Rawe Rontek akan meremukkan
tulang leher Andika Merasa ada angin deras dari atas, secepat kilat Pendekar
Slebor menjatuhkan diri ke bawah. Maka siku Artapati pun tak bisa menyusulnya.
Namun, di bawah Pendekar
Slebor sudah disambut jejakan kaki kanan tokoh yang sebenarnya sudah mati ini.
Masih dalam keadaan tengkurap
dengan kedua tangan dan kaki sebagai penopang, Pendekar Slebor menggenjot tubuh
ke kiri dan kanan.
Jleg Jleg Jleg Hasilnya, tiga
jejakan kaki itu luput dan terbenam di samping tubuh jejakan sakti itu. Tanah
yang menjadi sasaran menjadi berlubang, berbentuk telapak kaki. Kalau terus
bertarung seperti itu, Andika berpikir kelihatan seperti ulat nangka yang baru
menelan sebatang lidL Dia memang tak ingin terlihat jelek sewaktu bertempur,
Maka tubuhnya segera melejit ke atas, lalu menjejakkan kaki di belakang Ki Rawe
Rontek.
Tapi Ki Rawe Rontek tak mau
membiarkan Andika dengan mudah berdiri di belakangnya. Dua sikunya cepat
menyodok kuat ke belakang. Arahnya, tepat kedua sisi dada Pendekar Slebor.
Deb "Yeah" Untung
dengan sigap Pendekar Slebor mengangsurkan sepasang telapak tangan.
Pak Maka benturan terjadi.
Namun tenaga benturan itu dimanfaatkan Andika untuk melempar tubuh lebih jauh
ke belakang.
Beberapa putaran tubuhnya
bersalto manis, sampai akhirnya berdiri mantap tujuh depa dari lawan.
"Kenapa kau mengambil
jarak, Pemuda Keparat? Apa sudah gentar dengan seranganku?" ledek Ki Rawe
Rontek dengan raut wajah amat meremehkan.
"Gentar? Maaf saja....
Tapi kalau geli dan gatal-gatal sewaktu di dekatmu, itu jelas Karena itulah aku
mengambil jarak" balas Andika lebih hebat.
Sebentar kemudian, pendekar
Tanah Jawa Dwipa itu mulai memantapkan kuda-kuda tarung. Seluruh tubuhnya
bergerak tak beraturan. Tak jelas bagi Ki Rawe Rontek apakah lawan sedang
memainkan satu jurus silat atau bukan.
Namun dari tonjolan mengeras
otot-ototnya, harus segera disadari kalau Pendekar Slebor sedang mempersiapkan
suatu yang dahsyat.
Terlebih lagi, manakala
garis-garis cahaya putih keperakan mulai melingkupi tubuhnya.
Saat itu juga, Ki Rawe Rontek
ingat pada benteng tenaga tangguh yang sanggup melindungi tubuh pemuda ini dari
sapuan angin 'Pukulan Peremuk Da-lam'nya sewaktu bertempur dengannya pertama
kali itu.
Deb Wuk Wuk Deb
"Hosss..." Menilai lawan akan menggempurnya habis-habisan, Ki Rawe
Rontek pun tidak mau tanggung-tanggung lagi. Segera disiapkannya tiga ilmu
hitam sekaligus 'Rawe Rontek', 'Pukulan Peremuk Dalam', dan 'Halimunan'. Di
antara ilmu-ilmu hitam miliknya itu, tiga ilmu itulah sebagai pamungkasnya.
Akan dikeluarkannya ilmu-ilmu hitam itu secara bergantian.
Sementara, Pendekar Slebor
makin cepat bergerak liar. Sehingga, beberapa bagian tubuhnya jadi tampak mengganda.
Sedangkan kini Ki Rawe Rontek
menyatukan telapak tangan di depan dada. Matanya terpejam rapat, sedangkan
bibirnya berkomat-kamit membacakan mantera.
Pada saat yang sama, mendadak
sentakan keduanya berteriak membahana.
Gabungan suara mereka seperti
hendak melantak langit, menggugurkan bumi "Khiaaa" "Haaah"
Pendekar Slebor cepat merangsek ke depan. Langkah-langkahnya pendek, bagai
meniti petak-petak lantai, namun amat cepat Itulah langkah-langkah 'Titian Batu
Petir'. Suatu gerak kakiyang tercipta begitu saja, karena terbiasa meniti
susunan batu di Lembah Kutukan dahulu.
***
Sementara itu rombongan prajurit pilihan di
bawah pimpinan langsung Cokorde Ida Bagus Tanca datang menghambur. Teriakan
perang seketika tercipta. Gagah dan lantang. Para prajurit pengawal istana yang
nyaris putus asa, mendadak terbakar lagi semangatnya.
Ketangguhan prajurit prajurit
itu tidak diragukan lagi kemampuannya. Boleh dikata, pertarungan kali ini akan
berimbang.
"Heaaa" Trang Trang
Des Bret Cep "Gempurrr Jangan mundur oleh kebatilan" teriak Patih I
Wayan Rama memberi aba-aba di medan laga. Dia berusaha memompa semangat
sebagian prajurit yang nyaris padam.
Cokorde Ida Bagus Tanca pun
tak kalah lantang meneriakkan aba-aba perang. Keris di tangannya teracung
tinggi-tinggi. Bersama dua patihnya yang ikut dalam rombongan, dia mengamuk
sejadi-jadinya.
Begitulah mestinya sosok
seorang pemimpin. Langsung terjun dalam kancah berdarah. Tak hanya bisa
berteriak lantang saja, sementara para bawahan harus menyabung nyawa demi
pemerintahnya.
Trang Trang Crep Pertarungan
besar terus berlangsung, menggelora bagai api besar membakar.
Sementara itu, Pendekar Slebor
dan Ki Rawe Rontek mulai memasuki tahap pertarungan menentukan. Mereka telah
habis-habisan mengeluarkan kesaktian andalan masing-masing.
Pada satu kesempatan, Pendekar
Slebor mendapat peluang bagus untuk meneroboskan satu tinju geledek berkekuatan
tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat terakhir. Tangannya
menyodok hebat bahu kiri Ki Rawe Rontek dalam kece-patan dahsyat, hingga tak
bisa lagi diikuti pandangan.
Wesss Begkh "Agh" Ki
Rawe Rontek menjerit pendek.
Sekejap saja, tubuhnya sudah
terlempar jauh ke belakang. Bahu kirinya seketika amblas beberapa rambut ke
dalam.
Kekenyalan tubuhnya tak bisa
lagi diandalkan untuk menahan pukulan pamungkas Pendekar Slebor.
Setelah menimpa tubuh seorang
anteknya yang langsung mampus saat itu juga, barulah luncuran Ki Rawe Rontek
terhenti, dan terjatuh mencium bumi.
Untuk beberapa saat, datuk
sesat itu mengerang-erang dan bergeliat. Tapi, selanjutnya dia bangkit
tersentak, seperti memiliki pegas lentur tak terlihat.
Patut Diakui secara jujur,
untuk menghadapi kecepatan gebrakan Pendekar Slebor, seluruh ilmu hitamnya tak
berarti apa-apa. Namun dengan ilmu hitam yang bernama 'Rawe Rontek' dia bisa
bertahan beratus-ratus jurus lagi. Dan itu tentu saja bisa menguras tenaga
lawan. Bagaimana tidak? Setiap kali Pendekar Slebor mampu menyarangkan hantaman
maut yang meremukkan, tiba-tiba laki-laki menggiriskan itu bangkit kembali
dalam keadaan utuh tanpa cacat sedikit pun.
Namun karena Ki Rawe Rontek
tak ingin mengulur-ulur waktu, diputuskannya untuk segera memanfaatkan ilmu
'Halimunan'. Hanya ilmu itu yang bisa dijadikan senjata ampuh menghadapi
kecepatan gerak Pendekar Slebor.
"Khiaaah" Psss...
Layaknya kabut tertepis angin,
tubuh kekar Ki Rawe Rontek mendadak sirna perlahan.
Apakah Pendekar Slebor akan
menjadi bulan-bulanan lawan lagi seperti pertarungan pertama? Sebuah jawaban
yang amat sulit dijawab. Apalagi Andika belum lagi tahu kelemahan ilmu gaib
laki-laki itu. Kalaupun memiliki rencana, itu pun sekadar untung-untungan. Ya
Pertarungan selanjutnya adalah perjudian bagi Pendekar Slebor. Nyawalah
taruhannya
***
Andika di satu sisi, memperkuat benteng
kekuatan di sekeliling tubuhnya.
Pengerahan kesaktian puncak,
memperjelaskan sinar putih keperakan yang membungkus tubuhnya. Sinar itu
menebal dan membersit kuat. Tak ada yang bisa dilakukan jejaka tangguh itu,
kecuali menunggu datangnya serangan. Dan pada saatnya....
Wesss Telinga Pendekar Slebor
yang tajam menangkap desir angin dari sebelah kiri.
Dan tanpa bisa memastikan
bentuk serangan, tangan dan kaki kanannya cepat disapukan serentak ke samping.
Dak Pertahanan untung-untungan
itu ternyata membawa hasil, ketika serangan gelap Ki Rawe Rontek sanggup
dibendung.
Pada hantaman selanjutnya,
Pendekar Slebor tak bisa lagi berharap banyak.
Tanpa sepengetahuannya,
laki-laki itu mengirim hantaman jarak jauh lewat 'Pukulan Peremuk Dalam'.
Des "Bhaaa" Teriakan
menggiriskan meluncur keluar dari kerongkongan pendekar muda itu. Sekujur
tubuhnya bergetar hebat, menyusul hempasan cahaya putih keperakan, akibat
pertemuan dengan pukulan jarak jauh Ki Rawe Rontek. Pukulan hitam itu mencoba
melantakkan serat-serat tubuhnya dari dalam. Dan dirinya pun terasa sedang
digerogoti jutaan ulat-ulat rakus di balik kulitnya.
Ototnya mengejang keras, namun
terasa lemas. Alat-alat penting di tubuhnya bagai berhenti bekerja saat itu
juga. Saat darah kental kehitaman mulai merembes perlahan dari lubang hidung
dan mulut, satu hantaman tenaga luar mendadak membumi hanguskan kuda-kuda
Pendekar Slebor.
Bak Bak Di sekeliling dada
Pendekar Slebor mendarat telak tinju melebar, memaksa tubuhnya terpental
sembilan tombak ke belakang. Setelahmenembus lapisan udara, tubuhnya tersuruk
jatuh, nyaris kehilangan tenaga. Dan selubung sinar putih keperakan pun
meredup.
"Huhhh...," keluh
Andika lirih seraya meraba bagian dada.
Kini Pendekar Slebor
benar-benar terhempas dalam perjudian maut. Sudah saatnya dia mencoba menjalani
rencana untung-untungan yang sempat terpikirkan sebelumnya. Masih dengan napas
sesak, tangan Andika merogoh sesuatu di balik bajunya. Dan, terlihatlah empat
tabung tinta hitam....
"Haiiih" Diawali
lengkingan nyaring untuk menekan deraan rasa sakit, Pendekar Slebor secara
bersamaan menghancurkan tutup keempat tabung tinta dengan jentikan
jari-jarinya. Dan dalam waktu yang demikian cepat, tubuhnya melakukan satu
gerakan susulan, menerjang kembali ke kancah pertarungan. Begitu tiba tubuhnya
diputat bagai gasing dengan satu kaki sebagai tumpuan. Werrr Werrr Crat Crat
Tak ayal lagi, cairan tinta dalam empat tabung di tangan Andika memercikan
tinta hitam pekat kesegenap penjuru.
Sehingga, tak ada sejengkal
ruang pun yang luput Sebagian besar percikan tinta hanya sempat jatuh menodai
tanah.
Namun bagi mata yang amat
jeli, akan terlihat beberapa noda hitam yang tampak melayang-layang di udara.
Itulah tinta yang sempat memercikan tubuh gaib Ki Rawe Rontek Kecerdasan Andika
memang patut dipuji. Dia yakin tubuh lawan tak menghilang begitu saja seperti
roh halus, tapi hanya menipu pandangan mata manusia. Sehingga tubuh itu seperti
menghilang, sedangkan jasadnya sebenarnya tetap ada. Jasadnya itulah yang
menjadi tempat mendarat percikan tinta....
Bagi Andika, titik-titik tinta
yang mengapung di udara itu adalah satu kesempatan emas yang tak boleh
disia-siakan. Pendekar Slebor sendiri yakin, lawan belum menyadari siasatnya.
Dan tentu saja lawan tak akan
dibiarkan menyadarinya Diiringi satu teriakan melantak gendang telinga,
Pendekar Slebor menggempur Ki Rawe Rontek dengan seluruh kekuatan sakti.
"Hiiiaaa" Wusss Deb
Plak Sapuan kilat kaki Pendekar Slebor yang begitu cepat dapat dihindari Ki
Rawe Rontek. Sementara tokoh hitam itu diusik rasa heran, karena bisa
mengetahui tempatnya berdiri. Kini Ki Rawe Rontek melontarkan tubuhnya
tinggi-tinggi ke angkasa, seperti tak mau mengambil bahaya dengan sapuan gila
kaki Pendekar Slebor.
Namun tanpa diduga, justru hal
itu yang dikehendaki Pendekar Slebor.
Sekedip mata di bawah lawan,
Andika pun menyusul ke atas. Tubuhnya meluncur lebih cepat, hingga mampu
menyamai kedudukan Ki Rawe Rontek.
Masih di ketinggian sekian
depa dari bumi, tangan Pendekar Slebor bergerak cekatan, melepas kain pusaka
dari bahunya.
Srat Ctas Crat Satu sabetan
dahsyat untunguntungan dibuat Andika.
Tanpa dinyana, leher Ki Rawe
Rontek tertebas kain pusaka yang mengeras bagai kepinganbaja. Terputusnya pita
suara, membuat Ki Rawe Rontek menemui ajal di udara tanpa sempat mengeluarkan
teriakan kematian. Sedangkan tubuhnya kini sudah terlihat kembali tidak berupa
bayangbayang semu seperti tadi.
Sewaktu potongan kepala dan
tubuh Ki Rawe Rontek berbalik arah ke bawah, Pendekar Slebor secepat mungkin
menangkapnya.
"Huph" Tep Tep Jleg
Di wajah bumi yang dibasahi warna merah dimana-mana, Andika berdiri gagah.
Tangannya sudah terbentang
kejang ke atas, menahan kepala dan tubuh Ki Rawe Rontek agar tidak menyentuh
bumi.
***
Menyusul kematian Ki Rawe Rontek, sisa anak
buahnya berhamburan keluar istana. Mereka melarikan diri, seperti sekumpulan
anjing geladak. Tanpa menggubris seorang pun dari mereka, Pendekar Slebor
berjalan mantap ke pedati kerajaan yang mulanya dimanfaatkan untuk mengangkut
perlengkapan perang ke Kerajaan Tabanan.
Di atas pedati itulah tubuh
kaku Ki Rawe Rontek dilemparkan.
Untuk kedua kalinya, tamatlah
riwayat datuk sesat itu "Lalinggi Kali ini kau tak akan punya kesempatan
untuk menghidupkan manusia iblis ini lagi. Karena, aku akan membakarnya seperti
orang Bali mengadakan upacara Ngaben Kau jangan berharap lelaki ini kukubur
secara terpisah, seperti pernah dilakukan Ki Lantanggeni.
Dia mungkin masih menghormati
Ki Rawe Rontek, sebagai kakak seperguruannya.
Tapi, tidak bagiku"
teriak Andika.
Selesai terdengar teriakan
Andika yang lantang memenuhi rongga angkasa, orang yang dipanggil Lalinggi pun
muncul dari gerbang istana. Sesaat dia berdiri kaku di mulut gerbang.
Mata elang Pendekar Slebor
mengawasi laki-laki itu dengan sependam bara kemerahan. Sedangkan seluruh
penghuni istana menatap Lalinggi dengan sinar mata penuh selidik.
"Sekali lagi kau menang,
Pendekar Slebor Kuakui, kau memang memiliki kepandaian mengagumkan, dan
keenceran otak luar biasa Tapi, ingatlah Pendekar Slebor Aku setiap saat akan
datang untuk menuntut semua tindakanmu" ancam Lalinggi sarat kemurkaan.
Puas melontarkan ancaman,
lelaki bertopi keranjang itu berkelebat pergi, meninggalkan pelataran istana.
Di sebelah tangannya tergenggam selembar halaman daun lontar yang tidak pernah
diterima Andika.
Belum lagi Andika menghempas
napas lega, terdengar kembali jeritan dari arah gerbang istana.
"Wuaaa" Andika terperangah. Di kejauhan sana, tampak I Ktut Regeg
sedang mengaduh-aduh dijeweri Idayu Wayan Laksmi " Beli Andikaaa
Tuoluooong aku Mbok marah-marah, sebab aku mau kasih tahu Beli, kalau dia akan
kawin dengan Beli Yaksaaa Uwa Ampooon,Mbok"
SELESAI