-------------------------------
----------------------------
Episode 08 Pengejaran Ke Cina
1
Di sebelah utara kota
Yingtienfu, (lebih dikenal dengan nama 'Nanking') dua lelaki muda berperawakan
gagah sedang berjalan beriringan, menelusuri hamparan pailang rumput. Mereka
melangkah mantap tanpa banyak cakap. Sepertinya, mereka sangat tergesa untuk
sampai di tcmpat tujuan.
Rambut dua lelaki muda yang
sama-sama panjang itu berkibaran diusik angin. Sementara di atas sana, matahari
memperlihatkan ketidak ramahannya, tanpa sedikit pun awan menghalangi.
Tidak hanya sama-sama gagah.
Kedua anak muda itu pun memiliki wajah tampan. Rasanya, sulit bagi para wanita
untuk menentukan pilihan di antara mereka berdua. Wajah masing-masing memang
memiliki kelebihan yang tak dimiliki satu sama lain.
Pemuda yang berjalan di
sebelah kiri berwajah ramah. Bibirnya selalu dihiasi senyum. Di atas matanya
yang tajam, sepasang alisnya legam menukik melengkapi. Di samping terlihat
ramah, dia juga terlihat acuh. Ini terlihat dari tataan rambutnya yang tak
teratur.
Pakaiannya hijau-hijau, dengan
kain bercorak catur tersampir dj bahunya. Kain itu berkibaran mengiringi
gerakan rambutnya, ketika angin mengusik.
Sementara pemuda yang berjalan
di sebelah kanan berwajah dingin. Bibir tipisnya begitu kaku.
Matanya memang juga memiliki
sinar tajam, seperti pemuda di sisinya. Namun, tampak lebih sipit. Dan jika
pemuda teman sepcrjalanannya memiliki kulit agak kecoklatan maka pemuda bermata
sipit itu berkulit putih kekuningan. Penampilannya pun jauh berbeda. Dengan
rambut panjang lurus diikat di atas kepala, dia tampak lebih rapi Apalagi, jika
menilik dari pakaiannya yang merah memanjang hingga batas lutut. Bahannya dari
sutera yang tergolong mahal saat itu. Di ujung lengan pakaiannya terdapat
sulaman benang emas. Sedangkan celananya yang juga terbuat dari sutera,
dibatasi ikatan sepatu hingga ke betis.
"Berapa lama lagi kita
akan tiba di tempat tujuan, Chin Liong?" tanya pemuda di sebelah kiri,
memecah kebisuan.
"Tak lama lagi,"
jawab kawannya, singkat.
"Apakah di sana ada kedai
makan?" usik pemuda yang ternyata Andika, yang lebih dikenal dengan
sebutan Pendekar Slebor.
"Kau mulai lapar?"
Pemuda bermata sipit yang dipanggil Chin Liong malah balik bertanya.
Andika tersenyum. Tapi
senyumnya lebih mirip ringisan.
"Apa kau belum merasa
kalau cacing-cacing dalam perutmu ramai bergunjing?" gurau pemuda urakan
itu acuh.
Chin Liong yang ada di sisinya
hanya mengangkat bahu. Sedikit pun tak tersembul senyum di bibir. Dia memang
bukan termasuk orang yang memiliki selera berguyon.
"Kau tidak paham
maksudku?" cetus pemuda berpakaian hijau itu manakala mendengar tanggapan
lawan bicaranya. "Sejak berperahu menelusuri Sungai Kuning dini hari tadi,
kita belum sempat mengisi perut, kan?" "Aku tahu," jawab Chin
liong, singkat.
"Nah Apa kau tak
lapar?" "Baru setengah hari ini saja kita belum bertemu makanan. Aku
rasa, kita masih mampu bertahan." "Tapi, kemarin kita hanya makan
daun pepohonan rambat yang tumbuh di pinggiran sungai" rungut Andika.
"Apa di negerimu kau
tidak biasa makan seperti itu?" tanya Chin Liong agak mengejek.
"Rupanya kau termasuk
pemuda manja, ya?" "Kata siapa aku tak pernah makan sedikit? Di
negeriku, aku juga biasa makan daun singkong. Tapi, daun satu kebun," kata
Andika, setengah menggerutu di belakang pemuda sipit yang terus melangkah.
Akhirnya, mereka kini tiba di
sebuah dataran luas ditumbuhi banyak pohon lamtoro. Tampak sebongkah batu besar
tergolek bisu di sana, tepat di bawah naungan sebatang pohon.
"Kita telah sampai,"
kata Chin Liong. "Di sini kita akan menunggu seorang penghubung untuk bertemu
Putri Ying-lien." "Seorang putri Cina?" tanya Andika setengah
berpiimam. Bibirnya tersenyum penuh arti. "Tentunya dia cantik,
bukan?" Ucapannya itu sempat terdengar Chin Liong, pemuda kawan
seperjalanannya.
"Jangan coba macam-macam.
Dia seorang putri Raja," kata pemuda bermata sipit, setengah mengancam.
"Boleh saja aku tidak
macam-macam. Tapi, bagaimana kalau dia tahu-tahu jatuh hati padaku?"
"Jangan terlalu yakin." "Bagaimana tidak yakin? Aku kan cukup
tampan untuk menjatuhkan hati seorang anak raja... he he he." Selesai
berolok-olok, pemuda acuh berjuluk Pendekar Slebor itu menghampiri batu besar
dan duduk santai di atasnya. Bibirnya memperdengarkan siulan riang, seakan
sedang menunggu seorang kekasih yang hendak dikencani. Entah kenapa, rasa lapar
yang semula diributkan kini hilang begitu saja. Sementara kawannya yang bermata
sipit hanya bisa menggelenggelengkan kepala melihat tingkahnya.
***
Waktu terus bergulir. Entah, sudah berapa lama
Pendekar Slebor dan Chin Liong menunggu. Sampai saat itu, orang yang dimaksud
pemuda Tiongkokbelum juga mcnampakkan batang hidung. 'Sementara, Andika yang
bertingkah aneh malah masih asyik menepuknepuk dengkul sambil menyenandungkan
siulan.
Sedangkan Chin Liong mulai
tampak gelisah. Mata sipitnya melirik kian kemari, mencari-cari orang yang
ditunggu.
“Rasanya ada yang tidak
beres.” gumam Chin Liong, seraya memutar tubuh. Kau bias menunggu dulu disini
kan?” Pendekar Slebor yang diajak bicara menoleh.
“Kau sendiri mau kemana?” “Aku
hendak menyelidiki daerah sekitar. Aku khawatir ada sesuatu yang menimpa si
Penghubung.” “Ya, pergilah sana. Hus Hus Hus Ujar Andika acuh sambil
mengibasngiliaskan tangan. "O, iya. Kalau kembali, jangan lupa bawa nasi
rames" Pemuda bermata sipit itu terus mengayun langkah, seperti tak peduli.
Setelah Chin Liong menghilang,
Pendekar Slebor tercenung sendiri.
"Ngomong-ngomong, apa ada
nasi rames di negeri ini? Hua ha ha..." Andika jadi tergelak sendiri.
Baru saja tawanya terhenti,
sepasang telinga tajam Pendekar Slebor menangkap suara aneh dari sisi kiri.
Suara itu terdengar bagai gemuruh. Bukan gempa, dan bukan pula derap kaki kuda.
Untuk memastikannya, Andika menoleh ke asal suara.
Memang yang dilihat Pendekar
Slebor hal yang tak kalah.aneh. Tampak sesosok tubuh kecil dan buntal sedang
bergulingan ke arahnya. Perutnya yang buncit memudahkannya menggelinding
seperti bola. Seluruh pakaian yang dikenakan telah dipenuhi debu. Demikian juga
sekitar tubuhnya "Ini pasti orang sinting buatan Tiongkok," gumam
Andika.
Alis Iegam Pendekar^Slebor
bertaut rapat-rapat.
merasa bingung dengan
perbuatan tamu tak diundang itu.
Penampilan lelaki pendek
bertubuh gemuk itu kini lebih jelas terlihat, manakala sudah berdiri tak jauh
dari batu tempat Andika duduk. Kepalanya yang kecil, tak memiliki rambut sehelai
pun. Wajahnya terlihat bulat lucu, dengan pipi tebal serta kumis memanjang
hingga ke bawah bibir. Seperti orang Tiongkok lain, mata lelaki itu pun sipit.
Hidungnya yang kecil seperti hendak tertelan timbunan lemak di pipinya yang
merah.
"Sebutkan namamu"
bentak orang itu tiba-tiba pada Andika dalam bahasa Tiongkok.
"Eit? Kau bikin aku kaget
saja, Pak," balas Andika dengan ucapan terpatah-patah dan logat Tiongkok
yang kaku. "Apa kau tidak biasa berbasa-basi?" "Sebutkan
namamu" bentak lelaki pendek itu sekali lagi.
Pendekar Slebor jadi meringis.
Benar-benar orang tua keras kepala, gerutunya dalam hati.
"Baik, baik.... Namaku,
Andika," jawab Pendekar Slebor tetap berusaha ramah.
"Andika Bukan
'haiya'," sergah Pendekar Slebor.
Sejak peristiwa di Desa Dukuh,
di mana Pendekaij Slebor bertarung bertaruh nyawa melawan Chin Liong hingga
mengakibatkan pemuda Tiongkok itu mengalami luka, Andika bertekad untuk
mengejar lelaki aneh yang telah mempermainkannya habis-habisan.
Setelah Chin Liong dlrawat,
Pendekar Slebor pun mendapat satu keterangan darinya kalau musuh yang selama
ini mempermainkannya adalah saudara kembar Chin Liong sendiri. Setelah itu,
mereka pun melakukan pengejaran ke negeri Tiongkok (Untuk mengetahui lebih
jelas tentang kisah Pendekar Slebor sebelumnya, bacalah episode: "Pusaka
Langit"). Dan dari dia pula, Andika sempat belajar bahasa Tiongkok sebelum
berangkat "Jadi, namamu Andika?" "Yaaa benar" seru Andika
seraya menuding.
"Heh? Aku tak kenal
Andika" Pendekar Slebor jadi menaikkan pangkal hidung dan ujung bibirnya.
“Tentu saja kau tidak kenal.
Kita kan baru pertama kali ini bertemu,” bisik Andika, menggerutu.
“Kau sendiri siapa. Pak?” “Kau
bukan penduduk sini, ya?” Bukannya menjawab pertanyaan Andika barusan, lelaki
berperut buncit itu malah balik bertanya. Dan ini membuat tenggorokan Andika
terasa bengkak karena dongkol.
“Benar, Pak. Aku berasal
dari…” “Apa maumu ke tempat ini?” potong laki-laki bulat itu." Padahal
berhubung usia lelaki itu jauh lebih tua, Andika terpaksa menyahuti juga. Belum
juga sempat kalimat Andika tuntas, orang itu sudah memenggalnya.
Sehingga, Andika jadi
memajukan bibirnya.
Kejengkelannya mulai tak bisa
ditahan. Maka tak dijawabnya pertanyaan terakhir itu.
"Kau tuli? Apa maumu ke
tempat ini?" ulang lelaki pendek itu lebih keras.
Pendekar Slebor tidak juga
menyahuti. Dia malah meneruskan siulannya, seraya melempar pandangan ke tempat
lain." Tentu saja hal ini amat memancing kegusaran lelaki pendek gemuk
itu. Sambil menggeram, rahangnya mengeras. Sehingga, terdengarlah suara
gemeletuk giginya. Ia benar-benar merasa terhina oleh sikap Andika.
"Anak muda Apakah kau
tahu kalau telah menghina Cebol Bermuka Merah?" sentak laki-laki yang
berjuluk Cebol Bermuka Merah penuh ancaman.
"Apa aku
mengejekmu?" sangkal Andika, tanpa melirik sedikitpun. Apa kukatakan,
kalau perutmu terlah buncit untuk ukuran tumbuhmu yang kecil? Apa ku katakan
kalau pipimu seperti bantal?" "Grrr Kau memang harus diberi
pelajaran, Anak Muda" "Dan..., apa kukatakan kalau kepalamuyang tak
berambut terlalu mengkilap seperti dengkul bidadari?" lanjut Andika tanpa
mempedulikan kegeraman Cebol Bermuka Merah.
Sampai di situ, Cebol Bermuka
Merah tak bisa lagi membendung amarahnya yang telah meluap hingga, ubun-ubun.
"Khiaaagh" Dengan
satu teriakan bagai erangan, diterjangnya Pcndekar Slebor.
Serangkai jurus aneh
ditampilkan Cebol Bermuka Merah. Setelah menyatukan tangan tinggi-tinggi ke
atas kepala, lelaki gemuk pendek itu melempar tubuh ke depan, bagai seorang
perenangyang terjun ke air.
Seketika perutnya yang sebesar
tong itu menciptakan debum keras kala meninju tanah. Bersamaan dengan itu, debu
berwarna coklat mengotori udara di sekitarnya.
Pertunjukan yang terjadi di
depan biji mata, membuat Andika terpana tanpa bcrkedip. Dia sendiri memiliki
jurus aneh. Tapi, jurus lawannya kali ini kelewat aneh. Bisa jadi orang ini
sudah gila, karena terlalu hebat.
Atau mungkin juga, orang bodoh
yang otaknya di perut.
Kini, Cebol Bermuka Merah
mulai bergulingan kembali, seperti saat pertama muncul. Saat bergulir kearah
Andika, sepasang tangannya meraup debu berkali-kali. Kemudian dihempaskannya ke
wajah Andika berkali-kali.
Untunglah Pendekar Slebor
tidak lengah walau sempat terpana.Dengan serangkaian gerak lompatan ing lincah,
dihindarinya setiap serbuan debu ke wajahnya Sebenarnya, Cebol Bermuka Merah
berniat melumpuhkan Pendekar Slebor secepatnya, dengan melancarkan serangan
licik. Namun karena siasatnya dapat dimentahkan, mau tak mau dia hanya bisa
memanfaatkan kerepotan Pendekar Slebor dalam menghindari terpaan debu.
Saat Pendekar Slebor berkelit
ke kiri, kaki pendek Cebol Bermuka Merah mengejarnya dengan sampuan bertenaga
dalam penuh. Kembali debu berwarna coklat berterbangan ke udara. Sementara
Andika sendiri sudah bersalto kebelakang.
Delapan tombak dari tempat
lawan, pendekar muda ini berdiri tenang. Kedua tangannya terlipat di depan
dada, seolah menantang untuk diserang kembali.
Seraya menggeleng-gelengkan
kepala, diejeknya Cebol Bermuka Merah.
"Heiii? Apa kau saudara
sepupu ayam betina? Mereka |uga suka mandi dengan debu sepertimu...."
Tidak lucu, Orang Asing" hardik Cebol Bermuka Merah yang telah bangkit
kembali.
Tidak lucu? Kalau tidak lucu,
kenapa bisa tertawa? Nah Sekarang lihatlah aku tertawa. Hua ha ha..."
cecar Andlika.
Pipi lelaki cebol yang merah
semakin merah, mendengar cemooh Andika. Dan itu sudah cukup untuk mendorong
keinginannya untuk mengerahkan jurus yang lebih hebat.
"Terimalah jurus 'Dewa
Memetik Lima Kuntun Bunga' Hiaaah" Cebol Bermuka Merah meluruk ke arah
Pendeka Slebor. Kakinya tidak dipergunakan untuk berlari, tapi digantikan
tangannya.
Lagi-lagi Andika dibuat
terpana oleh keanehan jurus Cebol Bermuka Merah. Tak disangkanya kalau d negeri
orang-orang bermata sipit itu, akan menemui lawan yang memiliki jurus ganjil
dan lucu. Selucu bentuk tubuh pemiliknya. Namun demikian tampak sekali ke
ganasan serangan dari jurus tersebut.
Andika bisa menilai seperti
itu, saat Cebol Bermuka Merah sudah tiba di dekatnya sambil meruntuhkan ter
jangan-terjangan kelima bagian tubuh yang mematikan. Jurus 'Dewa Memetik Lima
Kuntum Bunga' memang memusatkan sasaran serangan pada lima titik mematikan di
tubuh lawan. Hal itu bisa diketahui Pendekar Slebor dari serangan lawan yang
selalu mengarah ke bagian selangkangan, jantung, buah pinggang, dan
tenggorokan.
Sepasang tangan Cebol Bermuka
Merah yang dija dikan kaki memusatkan serangan pada bagian bawah Dengan
menghentakkannya, tubuh lelaki cebol itu terangkat. Maka selang waktu yang
demikian singkat kedua tangannya serempak menohok ke bagian pinggang Pendekar
Slebor. Bagi seorang pendekar kelas atas di negerinya, serangan seperti itu tak
terlalusulit dikan daskan. Dengan menurunkan kedua langan bersamaan Andika
sudah mampu menepis tusukan jari-jari Cebol Bermuka Merah yang hendak
memecahkan sepasang buah pinggangnya.
Tapi serangan laki-laki cebol
itu tidak berhenti begitu saja. Kakinya yang masih melayang, langsung mengarah
ke kerongkongan dan dada Pendekar Slebor.
Kecepatan gerak dua kaki yang
menuju dua sasaran, sempat membuat Andika terperangah Sayang, Cebol Bermuka
Merah tidak pernah mengira kalau lawan yang dihadapinya adalah ksatria tangguh
tanah Jawa Dwipa yang memiliki kecepatan sulit dipercaya. Begitu ujung kedua
kaki itu nyaris hendak menjebol kerongkongan dan dada kiri, sepasang tangan
Andika tiba-tibasaja sudah mencengkeram pergelangan kaki. Wajah Cebol Bermuka
Merah yang berada di bawah, terperangah tak tanggung-tanggung menerima
kenyataan itu. Bagaimana mungkin tangan lawan bisa berpindah begitu cepat.
Bahkan lebih cepat dari kerdipan matanya? Dan sebelum rasa herannya terjawab,
tubuhnya terasa terayun ke atas.
"Hih" Terdengar
hentakan napas Andika. Rupanya, Pendekar Slebor mencoba melempar lawan ke
udara.
Maka seketika tubuh buntal
Cebol Bermuka Merah pun melayang. Sesaat kemudian, luncuran tubuhnya terhenti
tiba tiba. Karena, ikat pinggang kain miliknya tetap dicengkeram Pendekar
Slebor kuat-kuat.
"Hekh" Mulut lelaki
botak itu melepas keluhan tertahan.
Mill mya yang sipit terbelalak
tanpa bisa membesar.
Perutnya terasa sedang dijepit
keras oleh ikat pinggangnya sendiri. Bahkan disusul rasa sakit yang menyerang
hingga ke rongga tenggorokan ketika Andika menohok pusarnya sedalam satu jari.
"Masuk Hua ha ha..."
teriak Pendekar Slebor kegirangan.
Cebol Bermuka Merah sendiri
menjulurkan lidah nya keluar, menahan rasa mual yang tak terhingga.
***
2
"Andika, tahan"
Tiba-tiba sebuah suara mencegah terdengar jauh di lu-lakang Pendekar Slebor.
Seketika Andika langsung bisa menyimpulkan kalau teriakan tadi milik Chin
Liong.
Entah kcnapa, kawannya itu
menahan pertarungan. Tapi yang pasti, tubuh cebol lawannya langsung dilempar
seperti karung beras ke atas tanah.
"Kenapa kau begitu usil
menghentikan aku meni mang-nimang bayi ajaib itu?" gerutu Andika, ketika
Chin Liong berlari tergopoh-gopoh mendekatinya.
"Dan kenapa kau begitu
ceroboh bertindak?" bentak Chin Liong, agak kesal.
Wajahnya memperlihatkan
kesungguhan yang dalam. "Dialah orang yang kumaksud sebagai penghubung
kita kepada Putri Ying-lien" "Tanya pada si Botak itu Siapa yang
ceroboh bertindak? Aku sendiri sudah berusaha ramah. Tapi dia malah
memperlakukanku seperti kucing buduk yang mcncuri daging Bahkan
membentak-bentak seenak nya," sergah Andika, membela diri.
Saat bicara, mata Pendekar
Slebor membelalakbelalak dongkol. Dia ingat pada sikap Cebol Bermuka Merah yang
begitu angkuh.
"Baik, baik. Mungkin
salah paham," tutur Chin Liong Akhirnya. Dia memang berusaha mengalah pada
Pendekar keras kepala itu. "Kini mari kuperkenalkan pada Chia-ceng, si
Cebol Bermuka Merah adalah julukannya." Dihampirinya Chia-ceng yang sedang
sibuk menepuk-nepuk debu yang mengotori pakaian.
"Aku sudah tahu
julukannya" sungut Andika "Yang belum kutahu, adalah namanya. Siapa
namanya tadi? Bonceng?" "Chia-ceng," ulang Chin Liong.
"Ooo. Nama bagus.... Nama
bagus. Tapi, menurutku lebih bagus Bonceng." Andika segera menyusul Chin
Liong mendekati Chia-ceng. Setelah dekat, tangannya disodorkan, untuk mengajak
salaman.
"Aku Andika,"
Pendekar Slebor memperkenalkan diri.
Selaku ksatria sejati, tidak
ada rasa dendam sedikit pun di hati Andika. Padahal, dia sempat dibuat kesal
oleh lelaki itu.
Chia-ceng menyambut juluran
tangan Andika. Kini kedua orang itu bersalaman. Sementara Pendekar Slebor
melepas senyum sebagai salam perkenalan, si Cebol Bermuka Merah malah
menyeringai. Bukan karena masih gusar, tapi karena perutnya masih terasa mulas
tertotok jari Andika.
Usai perkenalan, Chin Liong
segera mengajak Chia ceng agar segera mengantar mereka menemui Putri Ying-lien.
***
Di tepi selatan kota Yingtienfu, terdapat kuil
terbengkalai berusia sekitar tujuh ratus tahun. Karena begitu lama tak
dipergunakan, hingga nyaris dilupakan orang.
Apalagi, letaknya juga amat
tersembunyi, di antara himpitan pepohonan hutan lebat.
Tak banyak orang tahu nama
kuil itu. Demikian juga Ietaknya yang pasti. Segelintir orang yang tak sengaja
menemukannya, menyebutnya Kuil Peraduan Bulan. Disebut begitu, karena setiap
kali bulan purnama hadir mengisi cakrawala, selalu saja menghilang di balik
bukit itu.
Dari kejauhan, kubah Kuil
Peraduan Bulan me nyembul di antara pucuk pepohonan. Letak tanahnya memang
lebih tinggi daripada yang lain. Bentuk kubahnya bcrsusun dua. Dan yang paling
puncak, berupa limas yang pada masing-masing ujungnya meruncing ke atas seperti
tanduk.
Andika bersama Chin Liong dan
Chia-ceng tiba di sana, tcpat ketika malam baru menjelang. Lembayung yang
tersaput warna jingga, kian pupus di ujung kaki langit.
"Kita telah tiba,"
jelas Chia ceng, ketika mereka sudah berdiri di depan gerbang kuil yang
dipenuhi gerombolan alang-alang setinggi paha.
Pendekar Slebor langsung
menyapukan pandangan ke beberapa tempat. Tapi yang ditemuinya hanya suasana
yang tidak nyaman. Tembok gembur yang sudah dilimuti lumut. Papan nama kuil
yang sudah tak jelas lagi tulisannya. Juga, bangunan kuil yang terlihat kusam.
"Katamu, kita akan
bertemu seorang putri. Kupikir, kita akan menemuinya di istana. Tapi, kenapa
malah dating ke kandang dedemit?"rungut Andika pada Chin Liong.
"Ini bukan istana Putri
Ying-lien, tapi tempat persembunyiannya," sahut Chin Liong datar.
"Kenapa mesti
bersembunyi?" tanya Andika, penasaran.
"Nanti akan
kujelaskan," ujar Chin Liong lagi.
"Kenapa tak sekarang
saja?" desak Andika, saat mu lai memasuki pelataran kuil.
"Kenapa mulutmu jadi
seperti perempuan?" selak Chia-ceng, kesal mendengar kecerewetan pemuda
yang baru dikenalnya.
Dikatakan seperti itu, Andika
hanya cengar-cengir.
Sebelah alisnya
diungkit-ungkit ke arah Chia-ceng.
Mereka terus memasuki bangunan
tua yang terasa lembab ini. Kini, mereka tiba di ruang besar yang dulu nya
dipakai sebagai tempat pemujaan. Di tengah ruangan berlantai pualam kusam,
tampak memancar cahaya kemerahan dari sebuah api unggun. Di satu sisi api
unggun, terlihat seorang wanita cantik duduk melipat lutut. Tak seperti orang
Tiongkok umum nya, matanya tidak tampak sipit. Tapi, itu mungkin karena kelopak
matanya dilengkapi bulu yang lentik dan hitam. Hidungnya yang mancung membelah
kedua pipi yang halus. Di pangkal hidungnya terdapat alis melancip pada
ujung-ujungnya. Dengan bibir merah merekah, semakin sempurna saja wajah wanita
ini.
Sementara, sapuan cahaya merah
api unggun menciptakan kesan kesayuan di kulit halus wajahnya.
Dialah Putri Ying lien.
Tak seperti perkiraan Andika
sebelumnya, penam pilan Putri Ying lien amat bersahaja. Rambut panjangnya hanya
diikat buntut kuda, tanpa pernikpernik yang biasa dipakai para wanita pembesar
Tiongkok. Demikian pula pakaiannya, yang hanya berupa jubah panjang warna hijau
berhias lukisan bunga teratai. Sedang pakaian lapisan dalamnya berwarna kuning
gading, memanjang dari pangkal lengan hingga ke ujungnya.
"Salam hormat kami, Tuan
Putri," hatur Chin Liong, ketika telah berada sekitar tiga-empat tombak
dari wanita anggun itu.
Chia-ceng juga memberi hormat.
Kini kedua lelaki ini tampak menyatukan kedua tangan di bawah wajah dengan mata
terpuruk ke lantai. Sementara, Andika hanya berdiri santai sambil memperhatikan
kedua lelaki itu.
Dan ketika Chin Liong melirik
Andika, diberinya isyarat dengan lirikan. Itu dilakukan agar Pendekar Slebor
juga ikut menghaturkan hormat. Tapi sungguh keterlaluan, nyatanya Andika malah
ikut melirik ke arahnya.
"Bagaimana tugasmu, Chin
Liong?" tanya Putri Ying lien, membuat Chin Liong tidak mempedulikan sikap
masa bodoh Andika.
"Sebelumnya aku mohon
maaf, Putri. Aku telah berusaha semampuku, namun nyatanya tetap gagal,"
Chin Liong memulai laporannya.
"Kau tidak berhasil
mendapatkan benda Iangit, gagang pedang pusaka, dan kain pusaka itu. Kini,
semua nya berada di tangan saudara kembarmu," tutur Putri Ying lien, amat
tenang tanpa sedikit pun kegusaran di wajahnya.
Ching Liong tersentak,
langsung mengangkat wajah. Hatinya agak terkejut, karena Putri Ying lien telah
mengetahuinya. Padahal, dia belum lagi menceritakan.
Bahkan pada Chia-ceng sekali
pun.
"Aku bisa mengambil
kesimpulan seperti itu, karena beberapa orang kita melaporkan, bahwa telah
melihatmu beberapa waktu lalu. Tapi aku menduga, lelaki yang dilihat mereka
adalah Chin Chung, saudara kembarmu. Apalagi, saat itu kau belum juga datang memberi
laporan. Dan waktu kau mengatakan gagal tadi, aku bisa langsung mengetahui
kalau Chin Chung telah mendahuluimu, membawa benda-benda pusaka itu,"
jabar Putri Ying-lien, seperti tahu keheranan Chin Liong.
"Memang benar begitu,
Putri," aku Chin Liong dengan segumpal rasa bersalah menggelayuti benak
"Untuk itu, aku bersedia menerima hukuman apa saja.' Putri Ying lien
menggelengkan kepala, seraya menebar sebaris senyum menawan. Dan ini membuat
Andika tak sempat berkedip, karena terpesona.
"Kau tak melakukan
kesalahan apa-apa, Chin Liong. Bukankah kau telah berusaha sebaik-baiknya?
Kegagalan bisa terjadi pada siapa saja. Dan itu bukan selalu berarti
kesalahan," kata Putri Ying lien, bijak.
Kali ini, Andika terpesona
oleh keindahan yang terpancar dari jiwa Putri Ying lien. Sungguh wanita yang
nyaris sempurna "Sekarang, maukah kau perkenalkan pemuda yang
bersamamu?" tanya Putri Ying lien, pada Chin Liong.
"Lelaki yang hersamaku
ini adalah seorang pendekar ternama di tanah Jawa Dwipa, Putri.
Namanya, Andika. Di negerinya,
dia amat tersohor dengan julukan Pendekar Slebor," tutur Chin Liong,
memperkenalkan Andika.
Mendengar julukan Pendekar
Slebor disebutkan, Putri Ying lien mengembangkan senyum lebar.
"Pendekar Slebor?"
tanya wanita anggun itu agak geIi. Kelihatannya merasa lucu mendengar julukan
seorang pendekar seperti itu.
Lalu, Chin Liong menceritakan
keterlibatan Andika dengan peristiwa Pusaka Langit. Sampai akhirnya, mereka
bertemu dalam satu pertarungan maut akibat fitnahan Chin Chung.
"Kini dia bersedia
mengulurkan tangan untuk kita, Putri," kata Chin Liong, mengakhiri
ceritanya.
"Tuan Andika," sebut
Putri Ying lien, setelah mengangguk sesaat. "Sungguh suatu hal yang amat
kami yukuri pada Thian* karena Tuan sudi membantu kami. Bagi kami sendiri, itu
menjadi sebuah kehormatan besar….” Sementara Putri Ying lien menyambung kalimat
demi kalimat dalam berbasa-basi. Andika terus menatap wajah Putri Ying-lien
lekat-lekat. Manik matanya seperti terpaku tak bergerak di wajah jelita itu.
Saat memperhatikan begitu, Andika menemukan suatu kejanggalan. Mata indah
wanita itu tampak begitu kaku, dan jarang sekali bergerak. Manik matanya
seperti tetap tertuju pada satu titik. Kenapa dengan matanya? Tanya hati
Andika.
"Namun begitu,"
lanjut Putri Ying-lien. "Chin Chung adalah lelaki sesat yang memiliki
kesaktian tak tertandingi di penjuru kota Yingtienfu. Bahkan, dia termasuk
tokoh jajaran atas di negeri ini. Bukan kami merendahkan kemampuan Tuan. Tapi,
kami tak ingin Tuan hanya menjadi korban sia-sia kebiadabannya."
"Chin Chung telah melakukan kejahatan keji di negeriku, Putri Ying-lien.
Diperlukan atau tidak, aku tetap akan menuntut tanggung jawabnya atas
kebiadaban yang telah dilakukannya," putus Andika tegas.
Sebenarnya ada tekanan aneh
ketika Putri Ying lien menyebut nama Chin Chung. Malah dia seperti terpaku. Dan
seketika, ingatannya kembali ke masamasa pahit yang pernah dialaminya.
***
Beberapa tahu lalu, setelah berhasil
menyelamat kan putri junjungannya, Chia-ceng langsung membawa Putri Ying-lien
ke Soochow untuk dititipkan pada Rahib Mata Elang yang berasal dari tepi kota
Soochow. Kota itu terletak di kawasan tenggara negeri tirai bambu.
Sejak saat itu, Putri
Ying-lien menjadi murid Rahib Mata Elang. Sebagai anak yang pandai dan berbakat
Putri Ying lien muda begitu pesat menyerap ilmu-ilmu yang diberikan Rahib Mata
Elang. Baik ilmu bela diri kesaktian, maupun ilmu-ilmu rohani.
Tiga tahun berselang, mendadak
seorang anak lelaki muncul di tempat latihan Putri Ying-lien di sebuah
pelataran di tengah Hutan Bambu Kuning. Anak itu begitu kumuh dan kotor,
seperti telah tersesat berharihari.
Anak kecil yang ternyata
bernama Chin Liong itu keluarganya telah dibantai gerombolan pemberontak Saat
itu, Chin Liong bersama saudara kembarnya, melarikan diri dan tiba di Hutan
Bambu Kuning. Di sana mereka diburu sekawanan serigala, hingga terpaksa
terpisah. Lalu Chin Liong akhirnya tiba di tempat latihan Putri Ying-lien dan
Rahib Mata Elang yang kemudian diangkat murid.
Menginjak usia tujuh belas
tahun, Putri Ying lien telah begitu baik mengenal Chin Liong. Keakraban
keduanya membangun ikatan kasih sayang satu sama lain, sampai-sampai, Putri
Ying lien sudah menganggap Chin Liong adiknya sendiri. Tapi, lain bagi Chin
Liong.
Justru dia menyayangi kakak
seperguruannya, karena benih cinta pertama yang bersemi di hati.
Dan suatu hari seusai latihan,
mereka bersantai berdua di sebuah lembah di tepi Hutan Bambu Kuning.
"Apa kau merasa hidup ini
terlalu kejam, Chin Liong?" tanya Putri Ying Lien. "Apa
maksudmu?" Chin Liong balik bertanya.
Pemuda itu segera mendekati
kakak seperguruan nya yang duduk pada sebuah kursi kayu dari batang pohon. Dia
tahu, Putri Ying lien hendak membicarakan sesuatu yang sungguh-sungguh. Itu
terlihat dari bias wajahnya.
"Dalam usia muda, aku
mesti kehilangan seluruh orang-orang yang kucintai. Ibuku, ayahku, saudaraku.
Mereka mati saat aku
benar-benar membutuhkan kehadiran dan kasih sayang mereka," papar Putri
Ying Lien murung.
Chin Liong menarik napas berat
dan sarat.
"Bukan hanya kau yang
mengalami nasib seperti itu. Aku juga demikian," kata Chin Liong perlahan.
"Tapi, Aku sama sekali tak ingin menyalahkan hidup ini. Justru yang
kusalahkan adalah para pelakon hidup itu sendiri Merekalah yang telah merampas
kebahagiaanku dengan membunuh keluargaku...." Putri Ying Lien melirik Chin
Liong yang kini duduk di sisinya.
"Kau tak mau menyalahkan
hidup, karena kau takut menyalahkan Thian tanya gadis itu, sedikit ingin tahu
alasan adik seperguruannya.
"Apa kau bisa memisahkan
hidup dan Thian. Bui kankah hidup dan kehidupan adalah perwujudan Nya Maksudku,
Dia lah yang memiliki hidup. Bagiku, menyalahkan hidup berarti menyalahkan
Dia," jelas Chin Liong.
"Mungkin kau benar,"
ucap Putri Ying lien lagi.
"Tapi, di mana keadilan
hidup? Di mana keadilan-Nya, kallau kita harus menderita seperti itu?"
"Kau tahu, seseorang yang hendak mencapai tingkat ilmu tertentu, harus
lebih dahulu menjalani ujian.
Bukankah guru kita pun
memperlakukan kita seperti itu?” Putri Ying lien menatap Chin Liong lekat-lekat
dengan sepasang bola mata menawan, yang jarang dimiliki gadis Tiongkok lain.
"Maksudmu, Dia ingin
memberi kita sesuatu yang besar. Dan agar siap menerima pemberian yang besar,
kita lebih dahulu diujinya?" "Aku rasa begitu. Dan aku yakin
begitu," jawab Chin Liong, singkat.
Putri Ying lien terdiam dengan
kepala tertunduk dalam. Barangkali dia sedang merenungi perkataan bijak adik
seperguruannya.
"Tapi, aku tak tahan
hidup tanpa orang-orang yang kucintai," keluh gadis itu seperti tak
ditujukan pada Chin Liong.
Chin Liong tersenyum tipis.
"Kau ingin tahu keadilan
Nya?" tanya Chin Liong.
Putri Ying lien tak menjawab.
Hanya ditatapnya wajah Chin Liong penuh harap.
"Dia pun menggantikan
orang-orang yang kita cintai Kini, kau memiliki guru dan aku...," kata
Chin Liong”, sebelum gadis itu berkata-kata.
Putri Ying lien mengangguk
lamat. Dalam hati, dia merutuk, betapa bodohnya karena begitu lambat
menyadarinya. Disumpahinya diri sendiri. Benar kata Chin Liong. Bukankah dia
kini memiliki orang-orang yang dicintai dan mencintainya, seperti keluarga
sendiri? Saat itulah matanya menampakkan sebaris garis bening memanjang.
"Kau sunggu-sungguh
menyayangiku?" bisik Putri Ying lien haru.
Chin Liong tak bisa menjawab
secepatnya.
Seketika dadanya diusik debur
berguruh. Ada yang ingin diungkapnya saat itu juga.
"Aku..., aku bahkan
mencintaimu, Putri Ying lien...," aku Chin liong terbata.
"Apa maksudmu?"
tanya Putri Ying lien tak mengerti.
"Aku mencintaimu, Putri
Ying lien. Apa kau tak mengerti dan tak merasakannya?" Putri Ying lien
menggeleng-geleng perlahan, setelah lama memperhatikan wajah terpana.
"Tidak, Chin Liong. Itu
tidak boleh terjadi. Kau harus menjadi adikku. Bukan kekasihku," tolak
gadis itu halus "kenapa? Apa aku salah bila mencintaimu lebih dari sekedar
adik? Apa itu suatu dosa?" sergah Chin Liong, tak dapat menerima ucapan
terakhir Putri Ying lien.
"Bukan itu."
"Lalu apa?" desak Chin Liong.
"Entahlah. Aku hanya
ingin menganggapmu sebagai adik," jawab Putri Ying lien, tak memuaskan
hati Chin Liong sedikit pun.
Dengan kecewa, Chin Liong
bangkit dari duduknya Dengan gontai, dia berjalan meninggalkan Putri Ying lien
sendiri. Kepalanya merunduk dalam seolah telah menerima kekalahan yang
menyakitkan.
Setelah Chin Liong lenyap
ditelah kerimbunan rumpun bambu, Putri Ying lien terpaku lama. Seluruh kata di
mulutnya terkunci meski hatinya terus berujar gelisah. Dia takut telah
menyayatkan luka di hati pemuda itu.
Keterpakuannya berakhir,
ketika seseorang terdengar menyeruak rumpun bambu di belakangnya.
"Ah, Chin Liong Kupikir
siapa," sapa gadis itu.
"Kau tak sakit hati
dengan kata-kataku tadi, kan?" Secara tidak langsung Putri Ying lien
mencoba meminta maaf pada adik seperguruannya.
Pemuda yang baru saja
menginjak usia cinta itu malah menatapnya lama dengan sinar mata yang sulit
dimengerti Putri Ying lien. Matanya memang menyimpan keterpesonaan, layaknya
orang jatuh cinta. Tapi, disana juga menyembul sinar jalangyang luput dari
pengamatan Putri Ying lien "Maafkan aku," ucap Putii Ying lien pelan,
sambil memutar tubuhnya kembali Diselingi tarikan napas berat dia hendak
menyambungnya. Tapi, tiba-tiba saja pemuda belia di belakangnya menyergap
kasar.
Tindakan itu benar-benar di
luar dugaan Putri Ying-lien. Sehingga meski ilmu bela diri sudah cukup baik
yang dikuasainya, tetap tak bisa menghindari atau melepaskan diri dari sergapan
itu.
Menyadari dirinya dalam
keadaan bahaya, sementara dalam hati dia amat bingung terhadap sikap Chin Liong
yang tiba-tiba berubah tak sopan, Putri Yinglien berusaha melepaskan diri dari
sergapannya. Sekuat tenaga dia berontak. Namun, pemuda di belakangnya ternyata
jauh lebih kuat.
Rasa bingung membuat Putri
Ying-lien memutuskan untuk segera melakukan perlawanan.
Dengan untung-untungan,
diinjaknya kaki pemuda itu.
Kakinya memang berhasil mengenai
jari kaki pemuda yang dianggapnya Chin Liong. Tapi, untuk itu dia harus
menerima dorongan kasar dari belakang.
Bruk Putri Ying-lien terjatuh.
Seketika kepalanya membentur batu besar di tanah. Dan karena benturan amat
keras menghajar belakang kepalanya, maka saat itu pula kesadarannya hilang.
Ketika sadar, Putri Ying-lien
merasakan seluruh tubuhnya sakit. Bukan hanya pada kepalanya, tapi juga bagian
kegadisannya. Segera saja disadari kalau saudara Seperguruannya telah
menodainya. Itu benarbenar menyakitkan. Terlebih, dengan kebutaan yang
dialaminya akibat benturan terlalu keras di belakang kepala.
Dengan terseok-seok serta
meraba-raba, Putri Ying lien pulang ke pondok gurunya. Padahal, saat itu Rahib
Mata Elang sedang pergi ke ibu kota untuk suatu urusan.
Setibanya di pondok, gadis itu
menerjang pintu ma suk. Pintu kain berbingkai bambu dijadikan sasaran
kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang berbaur menjadi satu. Di dalam
pondok, dia berteriak-teriak beringas.
"Chin Liong Di mana kau
Jangan sembunyi, Pengecut Akan kucabik-cabik tubuh busukmu" Sementara,
orang yang dicari memandangnya penuh keheranan dan keterkejutan. Hati-hati
sekali di bangkit dari semadinya. Lalu, dengan hati-hati pula di hampirinya
Putri Ying-lien.
"Kenapa kau, Putri Ying-lien,"
tanya Chin Lionj tanpa berani mendekat pada gadis yang sedang diamuk amarah
ini. "Ke... kenapa penglihatanmu. Dan... dan kenapa kau berjalan
tertatih-tatih seperti itu?" Bersama isak tertahan, Putri Ying-lien
menggigit bibirnya sendiri. Cuping hidungnya memerah dan bergerak-gerak karena
menahan tangis.
"Bajingan kau Kau sudah
berbuat laknat padaku tapi kini bertanya kenapa?" "Aku sungguh tak
mengerti maksudmu, Putri Ying lien," sangkal Chin Liong. Tangannya
terangkat-angkat di depan tubuh, memperlihatkan kebingungan.
"Bajingan" maki
Putri Ying-lien lagi. Seketika tangan kanannya menyampok ke depan tepat
mengenai wajah Chin Liong.
Plak "Ah Apa-apaan kau
ini Putri Ying-lien Apa kau tak bisa menjelaskan dulu duduk persoalannya dengan
kepala dingin padaku? Kalau aku punya salah.
Katakanlah. Setelah itu,
ceritakan kenapa kau bisa jadi begitu" bentak Chin Liong. Kemarahannya
ikut terpancing setelah merasakan pedas di pipinya.
"Masih juga berpura-pura
Kau telah menodaiku,Chin Liong Aku saja Dan akibat perbuatanmu, kini mataku
tidak bisa melihat lagi..." Di batas itu, benteng kewanitaan Putri Ying
lien tak bisa membendung tangisnya.
"Kau kejam, Chin Liong
Tidakkah kau bisa menerima jiwa besar
kalau aku tidak bisa mencintaimu?" kata Putri Ying lien bergetar.
"Aku?" tanya Chin
Liong, nyaris bergumam.
"Siapa lagi?" Chin
Liong terpaku. Pikirannya kini terlempar pada suatu hal. Ingatannya seketika
bergeliat. Dia ingat pada saudara kembarnya yang terpisah di Hutan Bambu Kuning
beberapa tahun lalu.
"Jadi Chin Chung belum
mati...," bisik Chin Liong.
Sctelah itu, Chin Liong
membujuk Putri Ying-lien untuk lebih tenang. Agak susah payah, akhirnya gadis
malang itu bisa ditenangkan juga. Lalu pemuda itu menceritakan tentang saudara
kembarnya yang selama ini tak pernah diceritakannya pada Putri Ying-lien.
Bahkan pada gurunya sendiri, Rahib Mata Elang. Alasannya, karena Chin Chung
dianggap sudah mati. Dia tak ingin kesedihannya timbul jika mengingat Chin
Chung.
***
"Sebenarnya kami amat
membutuhkan seorang yang sanggup menandingi kesaktian Chin Chung.
Apalagi, kini dia telah
menguasai Pusaka Langit yang mampu melipat gandakan kekuatannya. Sebelum
memiliki benda langit itu, tingkat kesaktiannya setaraf denganku. Setelah benda
itu dimiliki, maka bisa jadi kepandaiannya berada tiga belas tingkat di
atasku," kata Putri Ying-lien, setelah lama terdiam dengan ingatannya
kembali ke masa lalu.
Bagi telinga Andika, ucapan
terakhir Putri Ying lien terdengar seperti sebuah pengajuan uji tanding.
"Jadi maksud,
Putri?" tanya Andika ingin langsun ke inti permasalahan.
'Maaf sebelumnya, Tuan. Aku
terpaksa mengujimu dulu," kata Putri Ying-lien, menuntaskan maksudnya.
Andika melirik Chin Liong,
seakan meminta meir pertimbangan.
"Maaf, Putri. Kurasa
tidak perlu. Aku amat tahu tentang pendekar kita ini. Di negerinya, orang-orang
persilatan mengakui kalau kesaktiannya sulit tertandingi.
Kecepatannya bagai hantu. Dan
kekuatannya bagai naga langit. Setelah Chin Chung menguasai Pusaka Langit,
harapan kita mungkin hanya pada dirinya, selak Chin Liong.
Selaku orang yang langsung
memohon bantuan pada Andika dia merasa tak enak hati kalau kemampuan pendekar
muda itu diragukan.
"Namun begitu, aku belum
yakin kalau belum dibuktikan, Chin Liong," putus Putri Ying-lien tegas.
Andika akhirnya hanya bisa
mengangkat bahu.
Didahului helaan napas,
matanya menatap tajam Putri Ying-lien.
'Baiklah. . Aku menerima
keputusanmu." Putri Ying-lien mengembangkan senyum. Matanya tetap tak
bergeming.
"Apa aturan
mainnya?" tanya Andika. "Kalau kau mampu mengalahkanku dalam sepuluh
jurus aku akan terima," aju Putri Ying-lien.
"Kenapa tak lima jurus
saja?" tantang Andika.
Sementara, Cebol Bermuka Merah
di sisi kiri Pendekar Slebor mendadak terperangah. Tak pernah dinyana kalau
pemuda yang tergolong hijau usianya, begitu berani menantang seorang pendekar
wanita Tiongkok yang disegani, hanya dalam lima jurus.
Apakah pemuda ini mungkin
sudah gila? Sesaat wanita jelita yang masih duduk menekuk lutut di sisi
perapian itu terdiam.
"Apa kau yakin?"
ungkap Putri Ying-lien kemudian.
"Yap," jawab Andika
mantap, seraya mengangguk.
***
3
Andika dan Putri Ying-lien
naik ke satu altar pemujaan yang berupa panggung di salah satu sudut ruangan.
Altar batu itu sebenarnya tidak cukup lebar untuk satu pertandingan. Dalam lima
jurus sesuai kesepaktan, siapa yang terlempar dari tempat itu dianggap sebagai
pihak yang kalah.
Kini mereka saling berhadapan
dalam jarak tiga tombak. Dan sampai saat ini, Andika masih saja menyangsikan
bola mata Putri Ying-lien yang jarang sekali bergerak seperti orang lain.
Timbul kecurigaan dalam dada Andika. Apalagi ketika menggerakkan tangan
perlahan ke depan.
“Tunggu.. tunggu, Aku tak
mungkin menghadapi wanita buta Dimana wajahku akan kutaruh?” Sementara Putri
Ying Lien di depannya malah tertawa.
"Jangan khawatir. Mataku
memang buta. Tapi,bisa sehebat orang-orang yang melek," kata wanita cantik
itu ringan.
Kalimat Putri Ying-lien tadi
seperti menggiring ingatan Andika, saat pertama kali masuk ke ruang ini.
Saat itu Putri Ying lien tahu
kalau dia berdiri di sisi Chin Liong. Padahal, Chin Liong sendiri sama sekali
belum memperkenalkan pada Putri Ying-lien. Lalu, bagaimana caranya dapat
mengetahui? Jadi, bagaimana?" lontar Putri Ying-lien, membuyarkan ingatan
di benak Andika.
“Aku tetap tak akan tega
melayani wanita buta sepertimu," sahut Andika, bersikeras.
Bagi Pendekar Slebor, bukan
hal yang ksatria jika mesti berhadapan dengan orang cacat. Apalagi seorang
wanita.
Sementara Putri Ying-lien di
depannya malah i.
"Anak muda cerewet Kau
tak perlu banyak mulut Jangan dipikir akan bisa mengalahkan Bidadari Buta
Bersayap Naga" bentak Chia ceng. Laki-laki ini memang sudah amat dongkol
dengan bawelnya mulut Andika.
Jadi, julukan Bidadari Buta
Bersayap Naga, Putri Ying Lien?” tanya Andika.
, “Ya” jawab Putri Ying-lien
singkat "Kebutaanku ini justru membuat namaku ditakuti. Apa kau juga takut
mendengar julukanku?” Andika mengungkit sudut bibirnya. wanita ini ternyata
cukup keras kepala juga.
"Baik kalau itu maumu,”
ucap Andika seraya menaikkan bahu, "Baik kalau itu maumu," ucap
Andika, seraya menaikan bahu. "Tapi jangan salahkan, kalau lutut halusmu
mencium lantai." "Coba saja," tanggap Putri Ying-lien,
menantang.
"Kau boleh menyerangku
lebih dahulu," ucap Andika lagi, menimpali tantangan Putri Ying-lien.
Putri Ying-lien tak mengulur
waktu lebih lama lagi.
langsung diterjangnya Andika
yang masih berdiri santai.
Tanpa ragu-ragu, dibukanya
jurus yang menurutnya bisa diandalkan. Jemarinya membentang dalam gerakan
tangan gemulai, bagai irama ombak. Di balik kegemulaian itu tersimpan tenaga
dalam tingkat tinggi, yang mampu membelah dada seseorang dalam satu sapuan.
Tangan lentik Putri Ying-lien
yang mengandung maut, menyerbu lurus ke dada Andika. Siapa pun akan dibuat
kewalahan oleh kecepatan gelombang tangan yang mulai menampakkan bayangan,
saking cepatnya Tapi, tidak bagi Pendekar Slebor Sekali melengos ringan ke sisi
kanan saja, Pendekar Slebor sudah membuat sapuan jemari lawan memakan angin.
"Kau ini pendekar wanita
atau penari?" cemooh Andika, sambil memajukan bibir ke telinga Putri
Yinglien.
Putri Ying-lien yang
mengandalkan ketajaman telinga saat bertempur, segera mengibaskan satu tangan
samping. Punggung tangannya bergerak deras, hendak menghajar wajah Andika.
Kali ini, Andika tidak berniat
menghindar.
Pendekar Slebor ingin
mengetahui, sampai di mana tingkat tenaga dalam wanita itu. Untuk itu,
dihadangnya tangan indah ini dengan tangannya pula.
Des Punggung tangan langsung
Putri Ying-lien, membentur pergelangan tangan Andika. Seketika timbul bunyi
cukup keras, pertanda dua kekuatan tangguh telapak bertemu.
Andika mengira lawannya akan
mengeluh kesakitan. Apalagi sebagian tenaga sakti warisan Pendeki Lembah
Kutukan sudah dikerahkan. Namun kenyataan yang didapati jauh dari dugaan. Tak ada
satu erangan pun terlepas dari mulut indah Putri Ying-lien.
Dengan begitu, Andika bisa
mengambil kesimpulan kalau lawannya memang pantas memiliki nama besar seperti
dikatakan si Cebol Bermuka Merah.
Dalam hati, Andika mau tidak
mau memuji juga kehebatan Putri Ying lien, meski sebelumnya meragukan
kepandaiannya.
Dalam uji tanding ini, Putri
Ying-lien rupanya mengambil kendali serangan. Sejak awal, Pendekar Slebor tak
diberi kesempatan untuk balik menyerang.
Tapi, bukannya Andika tak bisa
balas menyerang.
Sebagai pendekar kawakan
berkesaktian tinggi, bisa saja kesempatan sekecil apa pun dimanfaatkan. Hanya
saja, dia tak ingin melakukannya. Entah bagaimana, dia jadi khawatir Putri
Ying-lien akan mengalami cedera jika mesti menerima hantamannya. Wanita itu
ibarat karya seni bernilai tinggi bagi Pendekar Slebor. Sedikit saja tak boleh
lecet, karena akan berkurang kecantikannya. Putri Ying-lien rupanya
menyadarinya. Maka dia pun berusaha memanfaatkan sebaik-baiknya. Dengan
ketangkasan seekor kijang betina, kembali Andika digempurnya.
"Hih" Sebuah sapuan
kaki yang manis sekaligus berbahaya dikirim Putri Ying-lien ke rusuk Pendekar
Slebor. Belum lagi tendangan itu mendarat pada sasaran, sepasang tangannya yang
membentang, bergerak lurus ke satu titik. Dua sisi telinga Pendekar Slebor
tampak hendak ditumbuknya.
Deb Wet "Iyauo"
Sambil berteriak kebodoh-bodohan, Andika melempar tubuhnya ke belakang. Dia
bersalto sekali, untuk mematahkan tendangan Bidadari Buta Bersayap Naga,
sekaligus tumbukan kedua telapak tangannya.
Putri Ying-lien yang berjuluk
Bidadari Buta Bersayap Naga tak membiarkan Pendekar Slebor lolos begitu saja.
Selagi tubuh pemuda itu melayang lurus di udara, kedua kakinya segera
dihentakkan. Tubuh Andika segera disusul dengan satu sergapan. Lalu secepatnya
kaki Pendekar Slebor disergap.
Andika terkesiap, menyadari
kakinya kini dicengke ram tangan Putri Ying-lien. Cengkeraman itu berusaha
dilepaskan dengan menghentakkan kuat-kuat. Dan usahanya tampaknya sudah
terlambat.
Lawan wanitanya ternyata sudah
lebih dulu mempererat cengkeraman.
Alhasil, keduanya melayang di
udara seperti dua mata rantai yang terhubung satu sama lain. Dan ketika
Pendekar Slebor menjejakkan tangan ke lantai altar, Bidadari Buta Bersayap Naga
justru meneruskan luncuran tubuhnya dengan melempar kaki ke depan.
Sampai saat ini, Andika baru
menyadari kalau terlalu meremehkan wanita buta itu. Sesaat berikutnya, Pendekar
Slebor menyesali keterlambatan sikapnya. Karena kini, dengan mudah Putri
Ying-lien memutar kaki kirinya satu lingkaran ke bawah, menuju dada Andika.
Bukh "Egkh" Andika
mengeluh tertahan. Ulu hatinya kontan terasa mual, tak tertolong. Tak hanya
itu. Tubuhnya pun terlempar bagai karung kering tak berarti keluar arena
pertandingan.
Bruk Satu debam cukup keras, tercipta
manaka tubuh Pendekar Slebor disambut lantai di luar altar. Kalau tadi Andika
bisa meledek lutut Putri Ying-lien mencium lantai, kini justru lututnya yang
mencumbu batu pualam kusam itu. Bahkan lebih mesra.
"Hanya tiga setengah
jurus" seru Putri Ying-lien, seperti meledek sesumbar Andika sebelumnya.
"Bagaimana mungkin pemuda
seperti ini akan mampu mengalahkan Chin Chung? Aku yakin, dia hanya mencari
borok jauh-jauh ke negeri ini...." 'Tunggu dulu" sergah Andika.
Pendekar Slebor segera bangkit
terseok-seok, sambil mengelus-elus dengkulnya yang berdenyutdenyut.
"Aku minta uji tanding
ulang" usul Andika ngotot "Terus terang saja, tadi aku belum begitu
sungguhsungguh." Putri Ying lien memamerkan barisan giginya yang memikat.
"Ah Tidak ada aturan seperti
itu Kau kira pertandingan tadi semacam permainan anak ingusan yang bisa
diulang?" Mata Andika melotot sebesar jengkol, mendapat tolakan itu.
Dongkolnya bukan main mendengar keputusan Putri Ying-lien. Dengan
bersungut-sungut, dia kembali ke atas altar. "Ini tidak bisa kuterima Kita
harus bertanding ulang" rutuk Pendekar Slebor, benar-benar ngotot kali
ini. Sampai-sampai urat-urat di lehernya menonjol keluar.
'Tidak bisa." Putri
Ying-lien menggeleng. Kakinya melangkah enang ke anak tanggang altar.
"Tak perlu lima jurus.
Tiga jurus saja.'Aku pasti bias menundukkanmu" cecar Andika lagi.
Tidak bisa." "Dua
jurus?" desak Andika, tak mau menyerah.
Putri Ying-lien tetap
menggeleng.
"Kalau begitu, berilah
aku satu jurus saja untuk mengalahkanmu...," ratap Pendekar Slebor mulai
memelas. Mirip bocah tolol meminta jatah ketupat.
Permintaan Andika tak
dipedulikan Putri Ying lien.
Kakinya terus melangkah lambat
ke anak tangga.
Kemudian dituruninya satu
persatu dengan rabaan tumit kaki.
"Chin Liong Ajak pemuda
pecundang itu keluar.
Aku bukannya menghina. Tapi
kenyataannya, dia memang tidak dibutuhkan," ujar Putri Ying-lien,
setibanya di dekat Chin Liong.
Pedas telinga Andika mendengar
perkataan Putri Ying-lien. Didekatinya wanita jelita itu dengan langkah terbanting-banting.
"Jangan sesombong itu,
Ying-lien" bentak Pendekar Slebor tanpa embel-embel 'putri' lagi seperti
saat sebelumnya.
"Chin Liong" seru
Putri Ying-lien.
Dengan agak terpaksa, Ching
Liong merengkuh tangan Andika. Lalu, digiringnya pemuda keras kepala itu keluar
kuil.
"Satu jurus saja,
Ying-lien" teriak Andika sebelum benar-benar diseret keluar oleh Chin
Liong.
***
Malam kini bertandang ke
angkasa kota Yingtienfu. Di atas sana, bulan membulat peniih. Tak ada arakan
awan kelabu berarti yang mengusik singgasana sang Dewi Malam. Sementara barisan
bintang-bintang mengawal penampilannya.
Malam ini adalah hari kelima
belas, bertepatan dengan pesta lentera Cap Go Meh. Di jalan, kerumunan orang
terlihat. Masing-masing membawa lampu kertas yang digantung pada sebatang bambu
berhias.
Pesta rakyat yang cukup meriah
ini tidak mengusik keasyikan dua pemuda gagah di dalam satu kedai makan. Mereka
adalah Pendekar Slebor dan Chin Liong. Setelah lelah seharian tadi melakukan
perjalanan untuk menemui Putri Ying-lien, mereka memutuskan untuk mengisi perut
sambil beristirahat sekadarnya.
Di salah satu sudut kedai
makan, keduanya duduk menikmati hidangan di atas meja. Saat itu, suasana kedai
bisa dibilang sepi. Hanya ada dua orang selain mereka yang duduk di dekat pintu
masuk. Maklum saja.
Keramaian Cap Go Meh menyedot
para pengunjung yang biasanya masih menyempatkan diri untuk berbincangbincang
di sana.
Saat ini wajah Andika masih
tampak kesal. Tentu saja karena peristiwa siang tadi,saat dicundangi seorang wanita
buta Bayangkan, Wanita buta Bagaimana hatinya tidak mendongkol setengah edan?”\
Kau masih ingin tahu, kenapa anak Raja seperti Putri Ying Lien bersembunyi
ditempat seperti itu?” tanya Chin Liong, membuka percakapan.
Acuh tak acuhAndika menjumput
sayuran matang dengan sumpit. Setelah memasukkannya ke dalam mulut,
ditanggapinya dengan masa bodoh pertanyaan Chin Liong.
"Terserah kau."
"Sebenarnya dia adalah salah seorang keturunan petapa sakti yang menemukan
batu Pusaka Langit pertama kali. Ayahnya, raja negeri ini dan merupakan
keturunan ketujuh dari sang Pertapa. Sewaktu Putri Ying lien masih berumur lima
belas tahun, terjadi perang saudara untuk merebut kekuasaan dari tangan
ayahnya.
Para pengkhianat berhasil
membunuh keluarga kerajaan. Dan yang tersisa hanya Putri Ying lien, setelah
diselamatkan Chia-ceng yang hingga kini menjadi pengasuh sekaligus
pengawalnya...." Chin Liong menghentikan cerita sesaat. Diteguk nya arak
dari cangkir keramik. Setelah menyeka sisa arak di bibir dengan ujung lengan baju,
dia siap-siap me lanjutkan cerita.
"Kursi kekuasaan sampai
saat ini masih diperebut kan oleh pihakyang masih setia dengan kerajaan,
melawan para pengkhianat. Bergulirnya waktu hingga lima belas tahun berlalu,
tak mengubah keadaan itu.
Perang dan pertempuran masih
sering terjadi di beberapa tempat yang diperebutkan...." "Lalu, kau
hadir di pihak kerajaan. Sedangkan, saudara kembarmu hadir di pihak
Iawan?" selak Andika, menduga.
"Ya," desah Chin
Liong amat berbeban. "Berat sekali jika harus berhadapan dengan saudara
sedarah sendiri. "Tapi, aku tak bisa menolak panggilan negara."
Andika mengangguk-angguk. Bisa dirasakan keprihatinan Chin Liong terhadap sikap
saudara kembarnya yang memihak para pengkhianat. Saat seperti itulah Pendekar
Slebor harus bersikap selaku seorang sahabat yang sudi berbagi rasa dengannya.
Ditatapnya mata Chin liong lekat-lekat, seolah siap menerima cerita dan keluh
kesah pemuda Tiongkok itu.
Karena Chin Liong hanya diam
sambi] mengetukngetuk meja dengan jari, akhirnya Andika mencoba ber tanya.
"Lalu, apa kaitannya
Pusaka Langit dengan huruhara di negeri ini?" tanya Pendekar Slebor
seolah-olah tak mengerti.
Padahal Andika cukup paham
arti penting benda sakti itu untuk mendukung kemenangan pihak kerajaan.
Itu dilakukan untuk mengenyahkan
kesedihan Chin Liong.
"Ah Kau pasti sudah tahu
Andika. Kau hanya ingin coba agar aku tak berkecil hati dengan sikap Chin
Chung, bukan?" Andika tertawa renyah.
Ditepuk-tepuknya punggung
tangan pemuda Tiongkok itu.
"Ya... ya," kata
Pendekar Slebor.
"Tentu saja benda itu
amat berarti bagi perjuangan kami " jelas Chin Liong, "Jika batu
langit itu sudah dijadikan mata pedang dan disatukan dengan gagang pusaka, maka
akan menjadi lambang kejayaan kerajaan kami. Lebih dan itu, benda itu tentunya
amat berperan banyak dalam menentukan kemenangan perjuangan kami. Jika Thian
mengizinkan...." "Ya Jika Yang Maha Kuasa mengizinkan," timpal
Andika dalam hati.
Sementara itu, tanpa ada yang
tahu dua pasang mata sedang menatap mereka tajam-tajam. Kedua mata-mata itu
terus menguping pembicaraan Andika dan Chin Liong hati-hati. Mereka adalah dua
lelaki yang duduk di meja dekat pintu masuk.
***
4
"Bagaimana menurutmu keputusan Putri
Ying-lien kemarin?" tanya Andika pada Chin Liong.
Saat itu keduanya tengah melangkah
ke arah tenggara. Mereka berjalan bersisian di suatu lembah yang banyak
ditumbuhi pepohonan. Memang, ada seseorang yang mesti ditemui.
"Mengenai penolakannya
terhadap uluran tanganmu?" balik Chin Liong, ingin memperjelas arah
pertanyaan kawannya.
Andika mengangguk.
"Tak perlu kau tanggapi.
Kalau sikapku tetap sebagai abdinya, tentu kau sudah kusuruh kembali ke
negerimu. Tapi aku amat tahu, siapa kau. Dan, bagaimana kemampuanmu. Jika
kupikir ada baiknya tidak kuturuti dulu perintah Putri Ying-lien...."
"Ahaaa Apa aku tak salah dengar?"selak seseorang tiba-tiba dengan
suara lantang menggelegar.
"Chin Liong, Pendekar
Bermuka Dingin yang setia pada kerajaan, ternyata masih menyimpan sifat
membangkang juga" Seketika langkah Andika dan Chin Liong lantas terhenti,
Mereka berdiri tegak tanpa gerak. Hanya wajah mereka menampakkan kesiagaan
penuh.
"Aku kenal suara
itu," bisik Chin Liong.
"Kurasa aku tidak
kenal," timpal Andika agak dungu. Bagaimana dia bisa mengenali suara yang
baru kali ini didengarnya? "Si Pembawa Badai...," desis Chin Liong
kembali, menyebulkan satu julukanseseorang. Wajahnya tampak memerah,
menampakkan ketegangan memuncak dalam dada.
"Apa? Kau tadi bilang
apa?" tanya Andika, tak mengerti.
"Orang itu adalah Si
Pembawa Badai, salah seorang 'datuk sesat yang tergabung dalam Empat Penguasa
Penjuru Angin. Mereka berempat pemegang kendali napas dunia kaum sesat,"
tutur Chin Liong penuh getaran. Tampaknya, nama yang baru saja disebut tadi
benar-benar nama besar yang menakutkan.
"Kau takut?" usik
Andika.
"Aku bukan
pengecut," tandas Chin Liong. "Aku tahu, mereka memiliki
kepandaianyang melebihi diriku jika bergabung menjadi satu. Itu sebabnya,
perasaan gentar selaku manusia tetap ada dalam diriku. Tapi kukatakan sekali
lagi, aku bukan pengecut" Tak berapa lama kemudian, mereka melihat
seseorang muncul dengan cara memukau. Mula-mula berhembus angin kuat dari arah
munculnya orang yang berjuluk Si Pembawa Badai. Begitu kencangnya tiupan angin
itu, membuat debu berhamburan dan dedaunan di ranting-ranting pohon tersapu
tanpa daya. Saat berikut nya, angin makin menggila. Bisa saja Andika dan Chin
Liong terhempas berbarengan. Untung mereka segera mengokohkan kuda-kuda.
Tak lama, muncul Si Pembawa
Badai yang meluncur di permukaan tanah dengan kedua kakinya.
Bagaimana dia melakukannya,
Andika sendiri tidak mengerti. Kedua kakinya tak terlihat bergerak sama sekali.
Seolah-olah, lelaki itu sedang berdiri pada sebuah papan luncur tak terlihat.
Si Pembawa Badai adalah lelaki
tua berusia lebih dari seratus tahun. Tak hanya namanya yang menghantui negeri
itu selama tiga turunan.
Penampilannya pun demikian
menakutkan. Rambutnya yang putih merata dan kaku, memanjang hingga kebahu.
Malah, sampai menutupi sebagian wajahnya.
Wajahnya pucat yang bagai
mayat, tampak sudah mengeriput. Matanya sudah begitu kelabu, tapi tetap
memiliki sinar keji. Tubuhnya yang kurus dan agak membungkuk, terlihat
tersengalsengal menyeret napas. Kekurusannya terlihat jelas karena mengenakan
jubah hitam kelam.
Orang yang baru pertama kali
melihatnya, tentu tak akan menyangka lelaki tua yang tampak tak berdaya itu
memiliki ilmu hitam yang sanggup mengarak topan badai dari kutub bumi.
Angin kencang baru berhenti
bertiup, ketika Si Pembawa Badai telah berdiri sekitar empat belas tombak dari
tempat Andika dan Chin Liong. Dia berdiri kaku laksana nisan pekuburan.
"Kau tahu, Chin Liong.
Saudara kembarmu memintaku menghabisi nyawamu," ancam Si Pembawa Badai
dengan suara serak. "Entah bagaimana, dia bisa begitu membencimu. Tapi aku
senang, ternyata Chin Chung memiliki kebencian padamu. Karena, aku sendiri amat
muak melihat orang sepertimu." Chin Liong mendengus, mendengar ucapan Si
Pembawa Badai.
"Kau boleh menjadi momok
negeri ini. Tapi, tidak bagiku," tegas Chin Liong, penuh tantangan. "Kalau
pun kau bergabung menjadi satu dengan kelompokmu, aku tak akan lari"
"Huak hak hak... Aku suka sikapmu. Sayang, kau ternasuk orang tolol yang
tak sejalan denganku," leceh Si Pembawa Badai disertai tawa keras, namun
dengan mimik wajah dingin.
"Hey, Tiang Jemuran Kau
terlalu banyak bacot" hardik Andika menyela.
Pendekar Slebor betul-betul
amat muak melihat gaya bicara lelaki tua itu. Angkuh dan terlalu memandang
remeh orang lain.
Mendengar hardikan barusan,
alis putih Si Pembawa Badai terangkat sebelah. Selama ini, tak ada seorang pun
di negerinya yang begitu bernyali menyebutnya 'tiang jemuran'. Dan hari ini,
tiba-tiba saja ada pemuda asing yang enak saja membuka mulut selancang tadi.
Diliriknya Andika dengan air wajah tak berubah. Tetap dingin menggidikkan
"Sebutkan namamu, Bocah. Aku akan senang sekali bila mengetahui nama orang
yang akan kupenggal sebagai tumbal kesaktianku," ujar Si Pembawa Badai,
datar.
"Huahakhak..." Kali
ini Andika yang tertawa. Ditirunya gaya Si Pembawa Badai yang bermaksud mengolok-oloknya.
"Gampang sekali kau
memenggal kepala orang," Iedek Andika lagi.
Lalu Pendekar Slebor
mendekatkan mulutnya ke telinga Chin Liong. Seolah-olah, keberadaan lelaki tua
itu sekadar kentut baginya.
"Dipikir nyaliku akan
kempis dengan berkata seperti itu padaku? Ah Maaf-maaf saja...," bisik
Andika.
Telinga Si Pembawa Badai
langsung terasa terbakar. Di samping gusar, hatinya juga mulai meragukan apakah
pemuda yang berbicara padanya memang benarbenar waras. Sewaras-warasnya pemuda
negeri ini, tak ada yang punya nyali untuk melecehkannya. Bahkan di belakangnya
sekali pun.
Sedangkan pemuda itu seakan
gampang saja buang kotoran di wajahnya.
Sementara, Chin Liong sendiri
yang cukup lama mengenal Andika sempat pula terperangah-perangah.
Dia tak habis pikir, apakah
otak kawannya ini ada di pantat? Padahal, yang dihadapi kini bukan tokoh biasa.
Si Pembawa Badai adalah satu
tokoh terkenal yang sudah menjadi cerita menakutkan bagi setiap warga negeri
ini. Kesaktiannya bahkan sempat disejajarkan dengan Lo Pan, manusia terkutuk
yang memiliki kesaktian iblis dalam cerita rakyat Tiongkok. Biarpun Chin Liong
bisa berkata tidak takut, tapi dia lebih suka menghindari pertemuannya dengan
laki-laki itu.
Menghadapinya saja, sudah bisa
dipastikan berarti mati. Apalagi jika sudah bergabung dengan tiga rekannya.
Mereka akan menjadi lawan tak
terkalahkan Chin Liong masih sibuk dengan keterpanaannya terhadap sikap masa
bodoh Andika. Di lain pihak, Andika malah sudah beranjak dari tempatnya.
Kakinya ma ju beberapa langkah ke arah Si Pembawa Badai dengan sikap acuh.
"Htiy Apa yang kau tunggu
lagi? Kau bilang tadi, kau ingin memenggal kepalaku? Ayo lakukanlah" ujar
Pendekar Slebor, setelah menaikkan kedua alisnya.
Mendengar tantangan ini, Si
Pembawa Badai terpancing kemarahannya. Terdengar geramannya yang berat, sebagai
ungkapan kemurkaannya yang membludak. Tapi Andika juga tak mau kalah. Dia ikut
menggeram seperti kucing lapar.
"Khrrraaagkh" Di
antara serbuan debu mendadak dihempas angin, geraman berat dan gerakdari lelaki
tua itu mengangkasa seakan siap membelah langit. Tubuhnya bergetar. Sedangkan
mata kelabunya mulai berpijar kemerahan.
Pertanda tenaga hitamnya
sedang dikerahkan.
"Andika, hati-hati Dia
hendak mengeluarkan ilmu hitamnya" seru Chin Liong, memperingati kawannya.
Sayang Peringatan itu
terlambat. Si Pembawa Badai nyatanya lebih dahulu mengangkat telapak tangan
kanannya ke muka, sebelum Andika benar-benar menyadari kekuatan hitam yang siap
mengganyangnya.
Wusssh Seketika tiupan angin
amat besar dan kuat tercipta dari telapak tangan lelaki tua itu. Tampak gerakan
angin membentuk pusaran seperti puting beliung. Dari telapak tangan Si Pembawa
Badai, angin yang tercipta terus berputar kian besar ke arah Pendekar Slebor
dengan ce pat.
Tak ada sekejapan mata, angin
puting beliung itu sudah menelan tubuh Pendekar Slebor yang tak terduga kalau
serangan yang datang berbentuk demikian.
Seketika tubuhnya terangkat di
udara, lalu berputar tanpa kendali. Tak hanya itu. Di dalam pusaran, tubuh
Andika mendapat suatu tekanan dari segala .penjuru.
Dia merasa bagai
ditenggelamkan ke dalam dasar laut ratusan tombak dari permukaan. Dadanya
mendadak menjadi sesak. Napasnya menjadi begitu berat. Malah pemuda itu tidak
bisa lagi melihat jelas. Yang tampak di matanya hanya garis-garis kabur tak
teratur.
"Huak hak hak. Kau hanya
anak lalat tak berarti Sebentar lagi, tubuhmu akan luluh lantak. Kau bukan
apa-apa bagi Si Pembawa Badai" Di antara suara bising seperti dengung
jutaan lebah, sayup-sayup telinga Pendekar Slebor menangkap suara Si Pembawa
Badai mencemoohnya.
Chin Liongyang melihat
kejadian ini terpaksa harus berhadapan dengan Si Pembawa Badai. Biar
bagaimanapun, dia tidak ingin kawannya mendapat celaka.
"Hiaaa" Sambil
berteriak keras-keras, dengan nekat Chin Liong menerjang lelaki tua itu.
Langsung dilepaskannya satu tendangan terbang.
Kaki kanan Chin Liong menegang
lurus ke arah kepala Si Pembawa Badai, siap meremukkan tengkoraknya. Tapi, apa
mau dikata? Ternyata tokoh sesat itu bukan patung batu yang tak bisa memberi
perlawanan. Dengan satu hentakan tangan saja, luncuran tubuh Chin Liong dapat
ditahan. Lalu secepat sambaran ular kobra, tangannya membentang ke perut Chin
Liong.
Debb “Aaaakkhh” Dibanding
ranting kering mungkin tubuh Chin Liong lebih terlihat ringan melayang di udara
begitu perutnya terkena sodokan tangan Si Pembawa Badai.
Entah tenaga dalam apa yang
disalurkan orang tua itu.
Yang pasti pemuda Tiongkok itu
terlempar sejauh dua puluh tombak disertai semburan darah segar dari mulut.
Tanpa sempat berteriak, tubuh
Chin Liong jatuh di tanah dan langsung bergulingan beberapa saat.
Kesadarannya memang tak hilang
saat tubuhnya berhenti berguling. Tapi bukan berarti siap menghadapi lawan
kembali.
Chin Liong ternyata hanya
dapat berdiri sempoyongan sambil mendekap perutnya. Matanya menatap nanar ke
arah Si Pembawa Badai. Selanjutnya dia terjatuh karena tak bisa lagi menopang
berat tubuh dengan kedua kakinya.
"Khiaaa..."
Berbareng jatuhnya tubuh Chin Liong, terdengar lengkingan tinggi dan dahsyat
menyeruak putaran angin puting beliung. Kekuatan lengkingan itu bahkan sempat
mengacaukan gerak pusaran angin. Ketika lengkingan makin nyaring mengguncang
pusaran angin ciptaan Si Pembawa Badai, tanah di sekitarnya bagai ikut
bergetar.
Saat berikutnya, pusaran angin
itu mulai menjadi tak terarah lagi.
"Khiaaa" Lengkingan
itu kini berubah menjadi teriakan seseorang yang meluncur keluar dari pusaran
angin yang mulai kacau-balau. Orang itu tentu saja Pendekar Slebor. Saat berada
di perut angin puting beliung tadi, Andika merasa telah dipermainkan seseorang
yang baru saja dikenalnya. Ditambah, siksaan yang mendera di sekujur dirinya.
Dan ini membuat kemarahannya meledak.
Kemurkaan bagi Pendekar
Slebor, berarti terciptanya pemusatan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah
Kutukan tanpa disadari. Sebuah kekuatan yang mampu membuat pertahanan terhadap
serbuan lidah petir. Jadi, bukan hal yang terlalu luar biasa kalau ternyata
pusaran dahsyat dari angin ciptaan Si Pembawa Badai mampu didobraknya.
Kini, Pendekar Slebor berdiri
dengan seluruh kebencian, tujuh tombak dari Si Pembawa Badai.
Penampilannya sudah
kusut-masai. Rambutnya yang memang tak teratur, makin tak karuan. Sementara,
pakaiannya sudah tercabik-cabik. Yang masih utuh hanya kain pusaka bercorak
papan catur di bahunya.
Dari semua itu, yang amat
mengerikan bagi Si Pembawa Badai adalah cara menatap Andika. Sinar matanya
begitu kaku, dingin, dan tajam menusuk.
Bahkan gelegak kemurkaan yang
terpancar dari mata Pendekar Slebor sanggup menelan sinar mala lawan.
"Chiaaa..." Dan
tiba-tiba saja, Pendekar Slebor berteriak kembali. Serangkai gerakan aneh yang
kecepatannya nyaris tak dapat ditangkap penglihatan mata, dimainkan Andika.
Sementara satu selubung cahaya perlahan terlihat bagai sinar tipis berkabut.
Sementara itu Si Pembawa Badai
tersekat. Tanpa sadar dia menahan napas.
"Tidak mungkin,"
bisik orang tua itu, tak percaya.
Selaku tokoh yang hidup selama
lebih dari seratus tahun, dia tahu banyak tentang ilmu kesaktian Timur.
Malah, juga amat tahu ilmu
yang kini diperlihatkan pemuda di depannya. Dan batinnya jadi tak percaya
karena, ilmu itu nyaris tak pernah terlihat selama beberapa turunan di
negerinya. Ilmu Timur yang tak sembarang orang bisa memilikinya itu kini
benar-benar diperlihatkan di depan biji matanya, oleh seorang pemuda belia....
"Pergilah kau ke neraka,
Manusia Busuk" teriak Andika begitu menggelegar. Lalu....
Srash Seketika tenaga sakti
warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat ke sembilan belas terlepas dari dua
telapak tangan Pendekar Slebor. Luncurannya demikian deras, bersama desis halus
namun tajam.
Desh "Aakhg" Seperti
Chin Liong, lelaki tua tokoh sesat itu juga mengalami nasib serupa. Tubuh
kurusnya kontan mela yang kencang di udara, lebih mengenaskan daripada selembar
daun kering yang ditampar angin. Bahkan mulut nya pun menyemburkan darah
kehitam-hitaman.
Setelah melayang hampir dua
puluh lima tombak dari tempatnya semula, bumi menyambut tubuh Si Pembawa Badai.
Berbeda dengan Chin Liong, tokoh tua aliran sesat itu masih mampu mengembalikan
keseimbangan tubuhnya. Namun agak tersuruk juga kedua kakinya saat menjejak
tanah.
Tarikan napas orang tua itu
lerdengar berat tersengal. Dia kini hanya menatap pemuda lawannya, lalu
menggenjot tubuh untuk pergi dari tempat itu.
"Chin Liong Kau tak
apa?" tanya Andika dengan berteriak, ketika Si Pembawa Badai telah
menghilang.
"Chin Liong menoleh.
"Tidak," sahut Chin
Liong. "Kejarlah dia Mungkin kita bisa mengorek sedikit keterangan."
Andika menatap ke arah kepergian Si Pembawa Badai. Lalu, matanya beralih ke
arah Chin Liong kembali.
"Biar aku
meneruskanperjalanan sendiri untuk menemui seorang mata-mata pihak kerajaan.
Nanti, kita bertemu kembali di sini setelah tiga malam berlalu" kata Chin
Liong.
Andika mengangguk tanda
setuju. Seketika, dikejarnya Si Pembawa Badai.
***
5
Pengejaran Andika ternyata tak
perlu memakan banyak tenaga dan waktu lama. Tak ada sepeminum teh, pendekar
muda itu sudah dapat melihat kembali Si Pembawa Badai.
Tapi kini, datuk sesat itu
tidak sendiri. Ternyata ada tiga orang lain bersamanya. Mereka berdiri kaku,
bagai empat tonggak kayu tak bernyawa di dataran kering kerontang. Angin siang
yang berlari di atas tanah tandus, menyebabkan debu sesekali berterbangan ke
udara lalu membentur tubuh mereka yang berdiri berjajar.
Si Pembawa Badai berdiri
paling kiri. Di sisi kanannya sekitar tiga langkah darinya berdiri seorang
lelaki" sebaya dengannya. Wajahnya yang amat buruk, ditumbuhi
benjolan-benjolan kecil berwarna merah.
Sehingga hidungnya nyaris
tidak berbentuk. Apalagi bibirnya menebal Untuk menyembunyikan wajah buruknya,
dia lebih banyak merunduk. Sehingga, rambutnya yang memanjang ke depan bisa
menutupi.
Tak ada yang istimewa dari
penampilannya, kecuali sepasang kaki buntung sebatas lutut yang disambung logam
tajam berwarna perak. Pakaiannya hanya berupa libatan kain berwarna merah,
hingga pangkal lengan.
Sementara punggungnya dibebani
buntalan besar melebihi tubuhnya yang tergolong kurus. Nama aslinya tidak
pernah diketahui, seperti juga Si Pembawa Badai.
Tapi orang lebih mengenalnya
sebagai Hantu Bisu Kaki Baja.
Sedangkan di sebelah Hantu
Bisu Kaki Baja adalah Dewi Seribu Diri. Dijuluki demikian, karena pribadinya
begilu membingungkan. Suatu saat dia bisa menjadi seorang wanita manja. Di saat
lain, dia berubah menjadi beringas. Suatu saat dia bisa begitu pendiam,
periang, ramah, atau lembut. Di saat lain, dia bisa sekejam serigala betina
haus darah, urakan, acuh, dan tingkah-polah lain. Semuanya menunjukkan ragam
pribadinya yang aneh.
Dewi Seribu Diri berwajah
cantik. Menurut Andika, wajahnya sepadan dengan kecantikan Putri Ying lien.
Rias wajahnya begitu
berlebihan. Dan tataan rambutnya kelewat apik, bersanggul di atas kepala dengan
hiasan bunga dan pernik logam. Pakaiannya seperti milik para wanita bangsawan
Tiongkok, panjang hingga menutupi mata kaki. Kainnya bercorak bunga-bunga
berwarnawarni. Dan pinggangnya dililit selembar kain sutera merah jambu.
Orang terakhir adalah lelaki
berusia sekitar setengah abad. Dan sebenarnya dia adalah anak Si Pembawa Badai.
Sebagai anak, wajahnya pun hampir serupa dengan ayahnya. Yang berbeda hanyalah
penampilan. Rambutnya tak terlalu berubah. Badannya tetap terlihat kekar meski
usianya sudah cukup lanjut.
Pakaiannya kumal, warna merah.
Sayang, tubuh kekarnya tak disertai anggota tubuh sewajarnya. Kedua tangannya
tampak cacat dengan jari mengejang kaku di sisi dadanya. Di pinggangnya
melingkar ikat pinggang dari kulit ular. Senjatanya yang berupa sebuah batang
bambu tipis disangkutkan diikat pinggangnya. Dia dikenal sebagai Pencuri Jantung
“Empat Penguasa Penjuru Angin telah berkumpul" duga Andika saat teringat
ucapan Chin Liong tentang mereka.
Keempat orang itu menyambut
dingin kata-kata Andika. Hanya Dewi Seribu Diri yang terlihat mengumbar senyum
pada pemuda tampan itu. Sesekali tangannya yang berjari lentik dan berkuku
panjang, menepis anak rambut di samping wajahnya. Seolah, hendak memamerkan
kecantikannya pada Andika.
"Apa kalian tidak punya
kerja lain, sehingga masih punya waktu untuk menghadangku seperti ini?"
kata Andika kembali.
Selangkah demi selangkah
Pendekar Slebor mendekati empat tokoh aliran sesat tersebut. Tak tampak
tanda-tanda dia bersiaga. Sikapnya menghadapi momok menakutkan negeri itu,
seakan-akan sedang menghadapi sekumpulan tukang pijat yang siap menghiburnya.
"He he he...
Ini benar-benar negeri
menyenangkan. Kalian mungkin tahu kalau aku baru tiba di sini. Ng..., dan
mungkin kalian juga tahu ada empat badut yang mencoba menjengkelkan aku? Empat,
kalian tahu itu?" ledek Andika seraya mengacungkan empat jarinya di depan
hidung Si Pembawa Badai.
Kemudian Andika menatap lelaki
tua yang bar u saja melarikan diri barusan.
"Dan kau tahu. Satu badut
telah membuat pakaianku jadi seperti gembel" kata Pendekar Slebor.
Matanya terbelalak besar
sekali.
"Kau sudah terlalu jauh
berurusan denganku, Pemuda Asing," kata Si Pembawa Badai, lebih mirip
menggeram. "Kuperingati padamu, lebih baik menyingkir sebelum berurusan
dengan Empat Penguasa Penjuru Angin." "Empat Penjuru Angin? Kalian
penguasanya? O, o, o....." Andika kembali terbelalak seperti orang
ketakutan.
Sambil tetap berucap, kakinya
melangkah mundur.
Badannya membungkuk-bungkuk
meledek.
"Tapi, apa kalian
tahu?" lagi-lagi Andika mengaju kan pertanyaan sama. "Aku tidak
peduli dengan nama itu Peduli setan bunting dengan julukan kalian" Sampai
di situ, Si Pembawa Badai yang menjadi pemimpin ketiga kawannya menjadi kalap.
Cuping hidungnya tampak bergeletar menahan marah.
"Empat Tonggak Bumi
Menghantam Gunung" se ru laki-laki tua itu, memberi aba-aba pada ketiga kawannya
untuk membentuk barisan tempur.
Hantu Bisu Kaki Baja dan
Pencuri Jantung lang sung melompat ke depan, bersama Si Pembawa Badai.
Ketiganya siap membentuk
barisan tempur. Tapi, lain halnya Dewi Seribu Diri. Dia masih asyik menatap
Andika lekat-lekat, sambil terus tersenyum penuh arti.
"Empat Tonggak Bumi
Menghantam Gunung" ulang Si Pembawa Badai gusar.
Kini, wanita cantik itu
terperangah.
"Kita akan mengeroyok
anak tampan ini?" tanya Dewi Seribu Diri, kurang setuju. "Apa kau
meletakkan otakmu diperut? Bukankah begitu menggemaskan? Bagaimana kalau dia
mati? Bagaimana kalau wajahnya yang cakep itu terluka? Ba...."
"Diam" bentak Si Pembawa Badai. "Empat Tonggak Bumi Menghantam
Gunung" Kali ini mata Si Pembawa Badai membeliak dan seluruh wajahnya
menjadi matang.
Sambil menggerutu tak jelas,
akhirnya wanita sesat itu melompat juga menyusul rekannya yang lain.
Kini, mereka membentuk belah
ketupat. Si Pembawa Badai berdiri paling depan. Hantu Bisu Kaki Baja dan
Pencuri Jantung berjajar di belakangnya. Sedangkan Dewi Seribu Diri berdiri
paling belakang.
Sesudah barisan tempat
terbentuk, secepatnya mereka memainkan jurus masing-masing.
Meski berbeda satu sama lain,
namun gerakan mereka masing-masing memperkuat yang lain. Sehingga, kalau lawan
terperangkap di tengah-tengah barisan itu, tak akan mempunyai ruang gerak lagi.
Itulah salah satu kehebatan
Empat Penguasa Penjuru Angin. Tak heran kalau sampai saat ini belum ada satu
tokoh persilatan Tiongkok pun sanggup menjebolnya. Bukan hanya itu. Setiap
lawan yang pernah berhadapan selalu saja kehilangan nyawa.
Meski, dia termasuk tokoh
jajaran atas di negeri Tiongkok.
Kini, keempatnya mulai meluruk
bersama ke arah Pendekar Slebor. Serangan awal dilakukan Si Pembawa Badai
berupa sapuan ke kaki Andika. Tapi pada saat debu berhambur, pemuda itu sudah
berada di udara, karena lebih cepat melompat daripada gerakan kaki lawan.
Dan sebenarnya tindakan
Pendekar Slebor memang diharapkan orang tua itu. Dia ingin, agar pendekar itu
masuk ke tengah-tengah barisan tempur.
Untuk itu, Si Pembawa Badai
harus melancarkan serangan susulan pada tubuh Andika yang masih di udara, lalu
meruntunkan tinju menggelegak.
Deb Deb Deb Andika masih
sempat memapak dua pukulan yang mengarah ke dadanya. Sedang, pukulan ketiga
harus dihadang dari atas, karena datangnya dari bawah.
Dengan pukulannya, Si Pembawa
Badai yakin kalau pemuda itu akan memanfaatkan tangannya sebagai tumpuan untuk
melompat ke belakangnya, di mana perangkap barisan Empat Tonggak Bumi
Menghantam Gunung siap menerima. Untuk memaksa Andika melakukannya, Si Pembawa
Badai menyusuli dengan sapuan kembali.
Mengetahui kaki Si Pembawa
Badai mengancam dari bawah, Andika memang memanfaatkan tangan lawan sebagai
tumpuan untuk lompatan berikutnya.
Tapi, Pendekar Slebor tidak
melompat ke belakang, dan di luar dugaan justru hinggap di kedua bahu Si
Pembawa Badai.
"Hap" Tentu saja
tindakan Pendekar Slebor amat mengejutkan lelaki tua itu. Keadaannya kini malah
menjadi sulit. Jika hendak menghantam betis Pendekar Slebor dengan tinjunya ke
atas, bisa saja pemuda itu mengelak sambil berputaran di atasnya. Setelah itu,
sudah pasti kedua tangan pendekar muda itu akan meremukkan kepala belakangnya.
Untunglah, pada saat terjepit
dua kawannya yang lain menerjang dari belakang ke atas, untuk menyergap Andika
yang masih di atas tubuhnya.
Pendekar Slebor menyadari
kalau sergapan kedua orang tua itu tidak bisa dianggap sembarangan.
Maut bisa saja mengintai dari
sergapan yang terlihat tak berbahaya. Maka Andika segera melompat ke belakang.
Setelah bersalto di udara
beberapa kali, kakinya menjejak tanah kembali.
Bagi Andika pribadi, barisan
tempur lawan masih belum dapat diukur. Dari serangan awal tadi, hanya bisa
disaksikan bagaimana kokohnya pertahanan keempat lawannya, serta betapa
mantapnya setiap pertukaran gerak serang mereka.
Meski sulit menjajalya, dan
sadar kalau lawanlawan yang dihadapi setiap saat bisa melempar nyawanya,
Pendekar Slebor tetap tak kehilangan sifat urakannya.
Sembilan langkah di depan
mereka, Andika mengumbar senyum mengejek. Lebih menjengkelkan lagi kedua
alisnya juga dikedik-kedikkan.
"Kau sudah terlalu lamban
untuk menghadapiku, Tuan Tua," ledek Pendekar Slebor.
Dan baru saja Andika hendak
membuka mulutnya kembali, terdengar langkah lari ringan di belakang.
Seketika dengan sigap tubuhnya
berbalik. Ternyata yang datang lelaki yang amat dikenalnya.
"Chin Liong...,"
ujar Pendekar Slebor saat melihat siapa yang datang. "Kenapa kau tak
melanjutkan perjalananmu?" "Aku hanya khawatir, si Tua Licik itu
menjebakmu," sahut Chin Liong.
"Nyatanya memang
begitu," timpal Andika. Lalu, diliriknya empat orang lawannya.
"Itulah mereka." "Mereka mengeroyokmu?" "Begitulah.
Kebiasaanyang tak baik, bukan?" Dengan mata tetap mengawasi gerak-gerik
Empat Penguasa Penjuru Angin, pemuda Tiongkok itu mendekatkan kepalanya ke
wajah Andika.
"Apa kau perlu bantuan
untuk menghadapi mereka? Mereka memiliki ilmu yang sulit terukur. Apa kau yakin
bisa menghadapi?" tanya Chin Liong.
Andika menyeringai.
"Sebenarnya aku tidak
perlu bantuan," ucap Pendekar Slebor agak menyombong. "Tapi kalau kau
memang ingin ambil bagian dalam pesta kecil ini, ya silakan" "Bagus
Biarpun bantuanku mungkin tak begitu berarti." "Mau dimulai sekarang,
atau setelah tahun monyet nanti?" Pemuda Tiongkok di sampingnya tak menyahut.
Keputusan melanjutkan
pertarungan berada di tangan Andika. Itu sebabnya, dia hanya menjawab dengan
lirikan saja.
"Kupikir lebih bagus
sekarang," tandas Andika.
Lalu.... "Hiaaa"
Andika berteriak keras-keras. Begitu kerasnya, seolah hendak memutuskan urat
lehernya sendiri.
Berbareng dengan teriakannya,
langsung dibtikanya jurus 'Memapak Petir Membabi buta' sambil berlari ke arah
lawan-lawannya.
"Yiaaa" Chin Liong
menyusul di belakang bersama teriakan yang tak kalah menggelegar.
Maka pertempuran terdahsyat
sepanjang satu abad terakhir pun akan segera pecah kembali di negeri itu.
Sampai saat ini, Si Pembawa
Badai sempat pula kagum pada lawannya. Masih tergolong muda, tapi sudah
memiliki tingkat kesaktian begitu luar biasa. Dan kini, kekagumannya bertambah
tatkala disaksikan sendiri, bagaimana menakjubkan jurus Pendekar Slebor.
Jurus 'Memapak Petir Membabi
buta' adalah jurus ciptaan Andika ketika menjalani penyempurnaan kesaktian di
Lembah Kutukan (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Lembah
Kutukan"). Setiap gerakan tubuhnya tampak seperti orang kelimpungan tak
karuan. Tapi mata tokoh persilatan yang banyak makan asam garam seperti Si
Pembawa Badai, gerakan kacau balau Pendekar Slebor justru dianggap sebagai
serangan yang amat sulit dimentahkan. Bagaimana tidak? Nyatanya pukulan atau
tendangan pendekar muda itu tibatiba bisa melenceng dari sasaran semula dengan
kecepatan sulit ditangkap mata Sadar akan hal ini, Si Pembawa Badai segera
menggenjot tubuh jauh-jauh untuk mengatur jarak.
Barisan Empat Tonggak Bumi
Menghantam Gunung mesti dihadirkan kembali, pikirnya. Hanya itu satusatunya
cara yang bisa diandalkan unttik menghadapi Pendekar Slebor.
Di lain Sisi, Andika mulai
menggempur tiga lawannya yang lain, tanpa peduli pada Dewi Seribu Diri masih
juga mencoba tersenyum-senyum tak karuan.
Lalu apa yang dilakukan Chin
Liong di belakangnya? Tanpa sepengetahuan Pendekar Slebor, pemuda Tiongkok itu
mengangkat tangan tinggi-tinggi sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya.
Nyatanya kepala Andika siap
dihantam dengan satu tinju geledek
***
Jika tinju maut yang dilancarkan pemuda
Tiongkok itu lebih cepat sekejapan saja, sudah bisa dipastikan kepala Pendekar
Slebor akan remuk. Untunglah pada waktu yang nyaris bersamaan, dia membuat
gerakan tak terduga. Tubuhnya langsung melenting tinggi ke depan untuk
menyarangkan tendangan ganda ke arah Pencuri Jantung dan Hantu Bisu Kaki Baja.
Tindakan Pendekar Slebor
mengakibatkan bokongan dari belakang luput, sehingga menghasilkan de sir angin
cukup keras yang masih sempat tertangkap telinga.
Wesss Menangkap suara
mencurigakan itu, Andika jadi terperanjat. Niatnya untuk membabatkan kaki ke
arah kedua lawannya di depan diurungkan. Di udara, tubuhnya segera digenjot
lagi dengan membuat satu putaran. Setelah itu, kakinya mendarat enam langkah di
belakang Pencuri Jantung dan Hantu Bisu Kaki Baja.
Di tengah-tengah kepungan
kelima orang itu, kini Andika menatap tak mengerti pada pemuda Tiongkok yang
semula dikira Chin Liong. Matanya menyipit dan benaknya mereka terhadap pemuda
Tiongkok itu.
"Kau bukan Chin Liong....
Kau pasti, Chin Chung," desis Pendekar Slebor pasti.
Orang yang ditatap, saat itu
pula mengumbar tawa keras.
Hua ha ha... Aku memang Chin
Chung Kau kaget, Pendekar Bodoh? Sekali lagi, kau tertipu permainanku, bukan?
Hua ha ha..." cemooh pemuda yang benar-benar mirip Chin Liong, tapi
ternyata Chin Chung.
"Kentut basi"
serapah Andika.
Bukan main geramnya Pendekar
Slebor melihat Chin Chung. Selama ini, dia bukan hanya telah dipermainkan
begitu rupa oleh lawannya. Tapi, Andika juga mempunyai piutang nyawa atas
kematian Ratna.
Kegeramannya makin menggelegak
manakala teringat beberapa pembantaian yang dilakukan Chin Chung dan pasukannya
di tanah Jawa Dwipa. (Baca kisah Pendekar Slebor dalam episode: pusaka
Langit").
"Kau harus membayar semua
perbuatanmu di negeriku, Chin Chung" "Aku? Jangan menjadi lebih bodoh
Kau tak akan mungkin melakukannya, karena hari ini nyawamu akan lepas dari
raga" sergah Chin Chung. Mimik wajahnya begitu mengancam.
"Untuk menghadapi
kawankawanku yang bergelar Empat Penguasa Penjuru Angin, kau tentu harus
menguras seluruh kemampuan. Kau bisa saja menjadi tokoh nomor satu di negerimu.
Tapi, ingat. Mereka juga tokoh-tokoh puncak di negeri kami.
Meskipun aku tak begitu yakin
kau akan lebih unggul.
Tapi aku yakin, dengan
bantuanku, kau akan mudah disingkirkan" "Jangan terlalu yakin"
hardik Andika.
"Ya Jangan terlalu yakin,
Pengkhianat Busuk" Tiba-tiba terdengar sahutan seseorang, dua puluh lima
langkah dari tempat tersebut. Suara itu berasal dari mulut seorang wanita. Dan
Andika merasa pernah mendengarnya.
Bergegas Pendekar Slebor
menoleh, berbarengan dengan kelima lawannya.
"Ying-lien...,"
gumam Andika setelah melihat wanita yang menyela hardikannya. Ya Ying-lien atau
Bidadari Buta Bersayap Naga telah tiba pula di tempat ini bersama Chia-ceng.
Kemudian dengan satu hentakan
saja, tubuh wanita buta itu melayang seperti camar di udara untuk selanjutnya
mendarat di samping kiri Andika. Kemudian, menyusul Chia-ceng si Cebol Bermuka Merah.
Orang tua berbadan pendek gemuk itu menempati sisi kanan Pendekar Slebor.
"Tampaknya kau mulai sudi
bersikap bersahabat denganku, Putri," sapa Andika. Kembali dia memanggil
Ying-lien dengan sebutan 'putri'. Sebelumnya, dia memanggil gadis itu dengan
namanya saja, karena jengkel.
"Aku tidak pernah
meragukan Chin Liong," balas Putri Ying-lien tanpa menoleh. Mata batin
inderanya waspada pada calon lawan-lawan mereka.
"Apa maksudmu?"
tanya Andika tak mengerti "Bukankah dia percaya kalau kau mampu menolong
kami." "Dengan begitu, kau juga mempercayaiku? Mempercayai
kemampuanku menolong negerimu dari rongrongan para pengkhianat?" ucap
Andika, menduga ucapan Putri Ying-lien selanjutnya.
"Tepat," jawab Putri
Ying-lien cepat. "Kini, tak perlu lagi banyak tanya kalau tak ingin
kecolongan oleh mereka." "Tapi kenapa kau bersikap menolakku pada
mulanya?" tanya Andika lagi. Tak dipedulikannya peringatan Putri Ying-lien
tadi.
Wanita berparas jelita itu
menghempas napas kesal menghadapi sikap keras kepala Andika yang mulai terlihat
lagi.
"Karena aku ingin menguji
kesungguhanmu. Itu saja," jawab Putri Ying-lien agak jengkel.
"Itu saja?"
"Hey? Apa mulutmu tak bisa dikunci untuk sementara?" bentak wanita
itu kesal.
"He he he...,"
Andika malah terkekeh.
Mendadak sontak Chin Chung
mengeluarkan sepasang cakram selebar piring makan dari balik bajunya.
"Heaaa..." Dengan
senjata itu, Chin Chung melabrak Pendekar Slebor yang dianggap sedang lengah.
Sedangkan Pencuri Jantung
segera mengeluarkan batang bambu tipisnya. Sementara Dewi Seribu Diri telah
meloloskan selendang suteranya pula dari pinggangnya.
Karena merasa tak sanggup
melawan Empat Penguasa Penjuru Angin, Putri Ying-lien mempercayakan Andika
untuk menghadapi mereka. Sedang dia sendiri menghadang serangan Chin Chung.
Wanita itu merasa harus berhadapan langsung dengan saudara kembar Chin Liong
itu. Ada satu hutang yang harus dibayar Chin Chung pada dirinya. Dan itu harus
dibayar dengan nyawa sekarang juga. Maka pertarungan pun tak terelakkan lagi.
Seketika terdengar teriakan-teriakan membahana, menyemaraki pertarungan.
***
6
Kancah pertarungan nyawa dalam
pertukaran jurus demi jurus maut telah berlangsung hingga matahari rebah di
kaki langit sebelah barat.
Hingga hampir jurus keseratus
tak ada seorang pun yang tumbang. Andika yang mendapat dukungan Cebol rmuka
Merah atas perintah Putri Ying-lien, dapat mengimbangi setiap barisan tempur
yang selama ini tak terkalahkan milik Empat Penguasa Penjuru Angin.
Wilayah sekitar kancah
pertarungan sudah hampir tersapu angin topan. Demikian porak-poranda Banyak
pepohonan yang besarnya tak terpeluk tangan tumbang.
Memang, pertarungan tanpa
terasa kini berpindah ke sebuah kaki bukit yang banyak ditumbuhi pepohonan
raksasa.
Dua medan pertarungan yang
terjadi, terpisah sekitar empat puluh depa. Putri Ying-lien yang berhadapan
melawan orang yang paling dibencinya, Chin Chung, berada di sebelah barat daya.
Sedangkan pertempuran Andika dan Chia-ceng melawan empat datuk sesat Tiongkok
itu berlangsung di sebelah timur laut.
Sampai suatu ketika....
"Berhenti kau Pendekar
Slebor" Terdengar Chin Chung meneriakkan perintah kasar pada Andika dan
Chia-ceng. Padahal, saat itu Pendekar Slebor sudah berhasil membuat anak Si
Pembawa Badai memuntahkan darah segar. Bahkan senjata Pencuri Jantung yang
terbuat dari bambu langka telah dipatahkannya pula.
Dengan serta merta, Pendekar
Slebor menghentikan cecarannya pada Pencuri Jantung. Dia melompat mundur
beberapa tombak untuk mencari tempat aman.
Kemudian, secepatnya kepalanya
menoleh ke arah suara Chin Chung. Begitu juga Chiaceng.
Tampak Chin Chung kini sedang
menggapit leher Putri Ying-lien yang nampaknya telah terluka dalam.
Dan itu bisa dipastikan karena
hidung dan sudut bibir Putri Ying-lien mengeluarkan darah. Sementara satu
tangan Chin Chung menempelkan cakram ke leher Putri Ying-lien.
"Putri...," ujar
Chia-ceng, khawatir.
"Apa yang kau inginkan
Chin Chung?" tanya Andika, dengan sedikit hati-hati. Pendekar Slebor tak
mau leher wanita jelita itu jadi santapan empuk senjata cakram Chin Chung.
"Apa keinginanku? Hua ha
ha... Aku ingin agar kau menyingkir dari urusan kami Kau dengar itu?"
Chia-ceng melirik Andika untuk meminta pertimbangan.
"Bagaimana, Anak
Muda?" tanya orang tua gendut itu.
"Lebih baik turuti saja
kemauannya. Aku khawatir, dia mencelakakan Putri Ying-lien," sarah Andika
tanpa menoleh. Matanya tetap terhujam tajam pada Chin Chung di kejauhan.
"Aku pikir juga
begitu," timpal Chia-ceng, setuju.
"Baik Kalau memang itu
maumu, Chin Chung Tapi sebelum aku menyingkir, kuberitahukan dulu sesuatu
padamu. Jika wanita itu diusik selembar rambut saja, kau akan kuhabisi"
teriak Andika akhirnya.
Andika lalu mengajak Chia-ceng
pergi dari tempat itu. Sebelum keduanya benar-benar menghilang, Chin Chung
sempat memperingati pendekar muda tanah Jawa Dwipa itu.
"Ingat, Pendekar Slebor
Sekali lagi kau terlihat olehku, maka wanita ini akan segera kubunuh"
***
Di Kuil Peraduan Bulan Bisu.
Malam gelap, terselimuti hawa dingin menggigil. Keluh kesah hewan malam
terdengar seperti tak sudi menyambut arakan mendung tebal melayang di atas
daerah itu.
Di dalam kuil, tiga orang
lelaki sedang duduk mengelilingi api unggun. Cahaya perapian tampak menjilati
wajah masing-masing yang tampak gelisah.
Kehangatannya tak lagi bisa
dinikmati, karena benak masing-masing sedang diusik kekhawatiran. Mereka adalah
Andika, Chin Liong, dan Chia-ceng.
Dua hari setelah pertarungan,
Chin Liong kembali ke tempat yang telah disepakati bersama Andika. Tapi, di
sana Pendekar Slebor tak ditemukannya. Maka diputuskannya untuk langsung pergi
ke Kuil Peraduan Bulan.
"Maaf, Chin Liong. Aku
tidak bisa menepati janji untuk bertemu denganmu di tempat yang kita sepakati.
Aku khawatir, Chin Chung
memergokiku. Dan itu bisa berakibat fatal bagi Putri Ying-lien," kata
Andika, setelah menceritakan tentang kabar buruk yang dialami Putri Ying-lien.
"Ya, aku tahu,"
sahut Chin Liong, bernada murung.
"Bagaimana tindakan kita
selanjutnya?" sela Chiaceng.
Andika menggeleng.
"Kita belum bisa berbuat
apa-apa, selama Putri Ying-lien masih di tangan Chin Chung." Dalam
beberapa helaan napas, mata Andika hanya tertuju pada geliat api di depannya.
"Bagaimana dengan
mata-mata yang kau hubungi, Chin Liong? Apa ada satu berita yang bisa
dimanfaatkan?" tanya Andika. Pandangannya kini beralih ke pemuda Tiongkok
yang tampak terpaku kosong.
"Buntu. Orang itu rupanya
telah diringkus para pemberontak. Bahkan mungkin sudah tewas," jawab Chin
Liong, putus asa.
Pendekar Slebor menghempas
napas kesal.
Persoalan kini semakin
terpuruk pada lorong buntu.
Selama menangani peristiwa
demi peristiwa, dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, sudah cukup banyak
kerumitan yang mampu diatasi. Dan kali ini pun, dia tak merasa menghadapi suatu
yang pelik atau rumit.
Masalahnya sebenarnya
sederhana. Yang menjadikan masalah ini berat, hanya akibat yang bakal menimpa
Putri Ying lien bila salah bertindak.
"Aku tak habis pikir,
kenapa Putri bisa dikalahkan Chin Chung begitu mudah," cetus Chin Liong,
seperti bergumam sendiri. "Padahal tingkat kepandaiannya setaraf."
"Apa kau tak ingat ucapan Putri, sewaktu kau baru tiba dengan
Andika?" Chia-ceng ikut bicara. "Dia mengatakan, Chin Chung akan
memiliki kekuatan tiga belas kali daripada sebelumnya, jika memegang Pusaka
Langit...." "Tapi kalau saat itu dia memegang Pusaka Langit, tentu
tak perlu bertarung lebih dari seratus jurus melawan Putri, bukan?" Kini
giliran Andika ambil bagian.
Setelah itu, mereka kembali
membisu. Sayang, tak seorang pun yang tahu kalau Putri Ying-lien saat itu
terlalu teringat kembali pada kejadian menyakitkan yang dialami akibat
perbuatan Chin Chung dulu. Dan itu menyebabkan kewaspadaannya terganggu. Dan
mungkin hanya Chin Liong yang mulai bisa meraba ke arah sana.
Tapi, itu hanya ada dalam
hatinya.
Tiba-tiba wajah Andika seperti
tersentak.
"Hey? Kalau ternyata Chin
Chung tak membawa Pusaka Langit pada saat pertempuran, kira-kira di mana
disembunyikannya? Dan kenapa pula tak dibawa kalau benda itu amat
penting?" ujar Andika bertanya-tanya.
Mendengar ucapan Andika
barusan, Chin Liong ikut tersentak.
"Bodoh" umpat pemuda
itu. Entah, ditujukan pada siapa. "Kenapa aku tak memikirkan ke arah
itu" "Kenapa, Chin Liong? Apa kau teringat sesuatu?" tanya
Andika bersemangat.
"Bukankah Pusaka Langit
harus disatukan, antara pedang dengan gagang pusakanya?" lanjut Chin Liong
lagi. "Tentu Chin Chung tak akan begitu bodoh meletakkan begitu saja
Pusaka Langit dan gagang pedang pusaka di tempat yang tersembunyi. Pasti, benda
itu telah diserahkannya pada seorang pandai besi untuk dijadikan pedang"
"Dan hanya ada satu pandai besi yang mampu melebur Pusaka Langit untuk
dijadikan pedang," tambah Chia-ceng. "Tua Bangka Tangan Api...."
"Bagus Kalau itu benar, kita harus merebutnya dari tangan si Pandai Besi.
Tentu Chin Chung akan sudi, bahkan amat sudi menukarnya dengan Putri
Ying-lien," tandas Andika.
Mereka seketika menampakkan
wajah berharap.
Meski tak tampak senyum di
bibir. Tapi biar bagaimanapun, semua itu baru rencana.
Kini ketiganya melanjutkan
penyusunan rencana yang akan dijalankan.
***
Ketika matahari naik ke puncaknya Andika dan
Chin Liong sudah berada di depan Goa Lintah Sejuta. Di goa itulah Tua Bangka
Tangan Api tinggal, sekaligus dijadikan tempat untuk membuat senjata-senjata
pusaka pesanan para tokoh kelas atas.
Sesuai rencana Andika, Chin
Liong akan berpurapura menjadi Chin Chung. Dengan begitu, mereka tak perlu
banyak buang tenaga.
Saat ini Goa Lintah Sejuta
tampak lengang. Letaknya memang cukup terpencil, di sebuah lereng jurang. Di
bawahnya, batu cadas meruncing siap menghujam siapa saja yang ceroboh. Bagi
Andika dan Chin Liong sendiri, kesulitan macam itu tidak terlalu menghalangi.
"Agar Tua Bangka Tangan
Api tidak curiga, sebaiknya kau masuk sendiri ke dalam. Aku akan menunggumu di
sini," bisik Andika.
"Baik," sahut Chin
Liong mantap.
Pemuda Tiongkok itu pun
melanjutkan langkah memasuki lorong goa yang lembab dan gelap. Di bagian yang
agak menjorok ke bawah, Chin Liong merasakan dingin pada kakinya. Rupanya, ada
aliran sungai bawah tanah yang menembus goa itu.
Semakin ke dalam, air menjadi
tinggi. Dan ketika aliran sungai kecil itu sudah mencapai pinggang, Chin Liong
dikejutkan oleh sesuatu yang bergerak-gerak halus di beberapa bagian kakinya.
Rasa keingin tahuannya, terbetik. Perlahan-lahan diturunkannya obor ke depan
pinggang. Dan mendadak, matanya menyipit jijik. Tampak gerombolan lintah
mencoba mengisap darahnya.
Chin Liong segera mengerahkan
hawa murni di tu buhnya, untuk menimbulkan panas yang bisa mengusir
binatang-binatang melata menjijikkan itu. Dan ternyata usahanya berhasil.
Lintah-lintah itu mulai menyingkir satu persatu. Di antaranya, bahkan ada yang
mati.
Chin Liong mulai melanjutkan
penelusurannya yang sedikit terhambat tadi. Makin masuk ke dalam, perjalanan
agaknya kian berat. Dan kini tiba di semacam persimpangan yang memiliki banyak
cabang lorong. Di sekitar tempat itu banyak terpasang lampu yang menyala dari
gas alam. Chin Liong tak lagi memerlukan obornya, dan langsung menghempaskannya
ke bawah.
Untuk sampai pada tempat
kediaman Tua Bangka Tangan Api, pemuda itu harus menentukan satu lorong yang
harus dilalui. Sementara, ada tujuh lorong yang mesti dipilihnya. Ya Pada
setiap lorong itulah bahaya siap menanti.
Dengan dada berdebar-debar,
Chin Liong mencoba memasuki satu lorong yang terdapat plang kayu berwarna merah
muda di atasnya. Selangkah demi selangkah, kakinya melangkah ke dalam lorong.
Sungai kecil sudah tidak mengalir ke sana, membuat gesekan langkahnya terdengar
jelas bagai desis ular berbisa.
Pada langkah kedua puluh,
pemuda itu terhenti.
Lorong itu ternyata buntu, dan
ini membuatnya agak kesal.
Dia mendengus.
Hanya itu yang bisa
diperbuatnya.
Baru saja pemuda Tiongkok itu
hendak berbalik ke persimpangan lorong semula, tiba-tiba saja dari beberapa
lubang di dinding goa menyembur lidah api besar.
Wrrr Chin Liong amat
terperangah. Untunglah dia cukup sigap. Dengan sekali genjot ke belakang,
tubuhnya berputaran di atas untuk menghidari sambaran puluhan lidah api. Kalau
saja terlambat, pasti tubuhnya hangus jadi arang.
Sekali lagi Chin Liong
menghembuskan napas sesaat, setelah kakinya hinggap di lantai goa lagi. Kali
ini, tentu saja bukan karena jengkel, melainkan lega.
Sifatnya yang memang cukup
dingin, membuatnya tidak banyak menggerutu atau mencaci maki.
Lolos dari satu bahaya tadi,
kini pemuda itu kembali ke persimpangan lorong. Akan dicobanya memasuki lorong
berikut, yang memiliki plang kayu warna biru.
Sama dengan lorong berplang
merah, ternyata lorong ini pun terdapat jebakan maut. Di tengah jalan, mendadak
saja lantai goa yang dipijaknya terbuka lebar.
Grrr Karena begitu cepatnya
lantai goa terkuak, Chin Liong tak sempat lagi menghindar. Tubuhnya kontan
terjerumus ke dalam lubang jebakan. Bagai ditarik kekuatan tak terlihat,
tubuhnya meluncur cepat menuju dasar lubang seperti sumur. Sementara, bawahnya
siap menanti sebuah kolam kecil berisi ikan-ikan pemakan daging, serta ular air
yang bisanya amat ganas.
Tentu saja Chin Liong taksudi
menjadi umpan binatang-binatang buas itu. Dalam keadaan gawat, tenaga dalamnya
dikerahkan ke kedua telapak tangan.
Tanpa memakan waktu lama,
tenaga yang terkumpul di telapak tangannya dilepas ke dinding lubang.
Wesss Drak Seketika lantakan
batu berhamburan, ketika pukulan jarak jauh Chin Liong menghantam dinding goa.
Manfaat yang bisa didapat
adalah, hentakan batik tubuhnya ke belakang. Dengan dorong itu, tubuhnya
berputaran hingga menghadap dinding lubang di belakangnya. Lalu dengan satu
gerak tangan yang masih menyimpan tenaga dalam, jarinya yang membentuk cakar
dihantamkan ke dinding lubang.
Creb Dinding lubang terbuat
dari cadas keras pun kontan tertembus. Hasilnya, sungguh seperti yang
diharapkan. Tubuh Chin Liong kini tidak lagi meluncur ke dasar lubang,
melainkan menggelantung di dindingnya.
Selanjutnya, dia mulai
merangkak perlahan. Satu gerakan ke atas dilakukan dengan menghantamkan
cakarnya pada dinding lubang. Sampai akhirnya, tangannya berhasil menggapai
bibir lubang.
"Fhuuuh" Chin Liong
menghembuskan napas lega setelah tiba kembali di atas. Lalu tanpa ingin membuat
waktu lebih lama, dia kembali ke persimpangan lorong. Seperti lorong
sebelumnya, sudah pasti lorong itu pun buntu.
Tak lama kemudian, pemuda
tampan bermata sipit itu sudah terlihat memasuki lorong berplang kayu warna
merah darah.
"Kejutan apa lagi yang
discdiakan untukku.
Seakan, dia mencoba bergurau
untuk menenangkan diri," kata Chin Liong, sebelum memasuki lorong di
depannya.
Sambil tetap berharap dalam
hati kalau lorong yang dimasuki kali ini benar-benar lorong tepat untuk tiba di
tempat Tua Bangka Tangan Api, Chin Liong menyusur dengan langkah lebih
hati-hati.
Tindakannya, ternyata
beralasan. Bahaya ternyata memang belum sudi menyingkir darinya. Memasuki
bagian yang menyempit, tiba-tiba pula pemuda itu diserbu puluhan tonggak
runcing yang melesat dari seluruh bagian dinding lorong.
Sungsang-sumbel Chin Liong
bergulingan, dikejar tonggak-tonggak runcing yang mengancam secara bersusulan.
Sampai akhirnya, tangan-tangan maut itu tak lagi memburu.
Sekali lagi, pemuda itu
kembali ke persimpangan lorong.
Tinggal empat pintu lagi yang
belum dimasukinya. Satu pintu kuning, hitam, putih, dan hijau.
"Pantas saja para
pelanggan Tua Bangka Tangan Api yang memesan senjata pusaka, rata-rata adalah
para tokoh kelas atas," gumam Chin Liong. "Karena tak mungkin bagi
orang berkepandaian tanggung, bisa lolos dari jebakan yang dibuatnya. Tapi, aku
heran. Ke mana mayat-mayat orang naas yang menjadi korban jebakan? Aku tak
melihatnya...." Usai menimbang-nimbang beberapa saat. Chin Liong
memuluskan untuk memasuki pintu lorong berplang kayu warna hijau. Menurutnya,
warna itu mencerminkan kcadaan tenang dan damai. laksana warna dedaunan pohon
rindang. Mungkin dengan pencerminan warna itu, lorong yang dimasuki tak lagi
berbau darah dan maut. Lalu dia bisa bertemu orang tua aneh di dalamnya.
Perkiraan Chin Liong agaknya
tidak meleset.
Makin ke dalam, dia memang
menemukan susana berbeda dari sebelumnya. Di sisi-sisi jalan, tampak
tanaman-tanaman hias langka yang ditatap asri.
Keadaannya pun lebih terang
dari tempat lain. Karena, pada dinding lorong dipasang lebih banyak lampu gas
alam.
Chin Liong makin yakin telah
memasuki jalan yang tepat. Maka, langkahnya pun dipercepat.
Setelah melalui dua kelokan,
akhirnya Chin Liong tiba di satu ruang besar yang terang benderang, berbentuk
kubah. Di beberapa bagian dindingnya, terpajang senjata dengan bentuk beragam.
Mulai dari belati bermata dua, sampai kapak besar berukir naga.
Tepat di tengah-tengah
ruangan, tampak satu perapian besar sebagai tempat melebur logam. Di samping
karena lampu-lampu gas alam, tampaknya keadaan terang benderang ruangan
diperoleh pula dari perapian besar itu.
Di sini, Chin Liong juga
menemukan tumpukan kerangka manusia yang disusun berbentuk satu menara.
Hatinya bergidik juga sesaat.
Barangkali, mereka adalah para korban yang tak berhasil lolos dari jebakan
maut, yang kemudian dikumpulkan seperti satu benda seni.
Tua Bangka Tangan Api
benar-benar lelaki tua aneh "Hm... Ke mana si Tua Bangka Tangan Api
itu?" tanya Chin Liong membatin. Tak dilihatnya seorang pun di ruang besar
ini.
Rasa penasaran, mendorong Chin
Liong memasuki ruangan. Belum lagi setengah ruangan dijelajahi, ditemukannya
sesosok tubuh terkulai di balik tungku perapian. Kelihatannya, usia lelaki itu
sudah cukup lanjut. Rambutnya putih, ditutupi topi kain berwarna merah api.
Badannya yang tertelungkup terlihat bungkuk. Chin Liong bergegas meraih tubuh
lelaki tua itu.
Dia yakin yang ditemuinya
adalah Tua Bangka Tangan Api. Ketika tubuh lunglai itu dibalikkan, terlihatlah
satu sayatan dalam yang memanjang dari atas wajah hingga ke lehernya.
Sayatan yang tak sempat
mengenai bagian dalam tempurung kepala Tua Bangka Tangan Api, membuatnya masih
sempat memberinya kesempatan hidup walau hanya sebentar.
"Pedang itu.... Pedang
itu...," kata orang tua itu lirih.
"Pedang apa yang kau
maksud?" tanya Chin Liong.
"Pedang yang baru saja
kuselesaikan...." "Pedang apa?" desak Chin Liong.
"Pedang itu...,"
ulang Tua Bangka Tangan Api makin mengabur.
"Katakan padaku, pedang
apa? Apa Pedang Pusaka Langit?" duga Chin liong, tetap mencoba mendesak
orang tua sekarat itu.
"Telah dibawa pergi..,
olehhh...." Belum tuntas kalimat yang hendak dikeluarkan, Tua Bangka
Tangan Api terburu tewas, akibat terlalu banyak kehilangan darah.
"Seseorang
mendahuluiku," desis Chin Liong perlahan.
Siapa yang telah mengambilnya?
Tapi pertanyaan tadi dianggap bukanlah hal yang mendesak. Yang paling penting,
sekarang Chin Liong harus segera mengejar orang culas yang mendahuluinya.
Hati-hati, Chin liong
meletakkan mayat orang tua itu sebagai sikap hormatnya.
"Maaf, Orang Tua. Aku
tidak bisa memakamkan jasadmu dengan layak," ucap pemuda itu perlahan.
Selesai berkata demikian, Chin
Liong segera berlari ke persimpangan. Di sana, diambilnya kembali obor di
lantai. Setelah menghidupkan obor itu, dia segera memasuki lorong keluar.
Cukup lama setengah berlari,
kembali Chin Liong bertemu jalan yang dilalui anak sungai tadi.
Pemuda itu pun melanjutkan
perjalanan kembali.
Namun baru enam langkah Chin
Liong berhenti.
Matanya seketika melihat
sesuatu yang mengusik di kejauhan. Suatu sinar terang yang dipancarkan benda
sepanjang lengan, yang tegak mengarah langit-langit goa. Cahaya berwarna merah
bagai bara api.
Alis Chin Liong berkernyit.
Terlebih, ketika benda itu bergerak terus ke arah dirinya. Apa itu? Dan ketika
benda itu sudah demikian dekat, sekitar tiga tombak lagi di depannya.
"Sayang Rupanya kau
terlambat datang, Chin Liong...." Terdengar suara seseorang. Kemudian satu
wajah tampak, tatkala sinar merah bara itu menerangi makin mendekat.
"Kau...," desis Chin
Liong.
"Ya Aku saudara
kembarmu," sahut orang itu.
Ternyata orang itu Chin Chung.
Pada tangannya tampak tergenggam pedang bersinar sebagai pengganti obor.
"Kau tentu hendak
mengambil senjata pusaka ini, bukan? Sayang sekali. Aku telah mendahuluimu.
Entah kenapa, aku merasa kau akan mencoba mengambil benda ini dari Tua Bangka
Tangan Api. Kau tentu ingin mengelabuinya dengan berpura-pura menjadi diriku,
bukan?" tutur Chin Chung, bermaksud meledek.
Chin Liong tak berkata apa
pun. Matanya berkilatan menahan kegusaran pada saudara kembarnya yang masih
berpakaian seperti dirinya.
"Rupanya si Pandai Besi
Tua itu cekatan juga.
Pesananku diselesaikan hanya
dalam waktu tiga hari.
Kupikir, itu karena bayaran
yang kuberikan padanya. Tapi, nyatanya tidak.
Dia ingin cepat-cepat
menyelesaikan,. karena juga ingin menguasai benda ini.
Aku tak suka pada pengkhianat
sepertinya. Maka langsung tamatlah riwayatnya dengan pedang ini.
Hitung-hitung, sebagai uji
coba. Hua ha ha..." oceh Chin Chung, puas.
"Kenapa kau tak penggal
juga kepalamu?" sentak Chin Liong.
"Hey Apa maksudmu,
Saudaraku?" tanya Chin Chung, penuh lagak menyebalkan.
"Bukankah kau juga
seorang pengkhianat?" sindir Chin Liong, tajam.
Seringai di bibir lelaki di
depannya menyusut.
Katakata pedas Chin Liong
tadi, tampaknya mengena tepat di inti harga dirinya. Wajahnya tiba-tiba berubah
bengis.
"Kalakan padaku, Chin
Chung Kenapa kau menghina diri sendiri dengan menyalahi kebenaran?" ucap
Chin Liong melembut.
Biar bagaimanapun, Chin Liong
tidak bisa menyingkirkan ikatan batin dengan Chin Chung. Betapa sakit
perasaannya jika saudara kembarnya menjadi manusia durjana. Seakan, dia juga
turut menanggung dosa.
"Jangan coba pengaruhi
aku, Chin Liong Jalan yang kita tempuh memang berbeda. Dan perbedaan itu
mengharuskan kita berhadapan sabagai lawan. Namun bila kau memang masih
mengakuiku sebagai saudara, lebih baik mengalahlah. Menyingkirlah dari urusan
ini Aku tak mau mengadu jiwa dengan saudaraku sendiri.
Tapi kalau kau tetap memaksa,
aku tak bisa mengalah." Bibir Chin Liong kini memperlihatkan senyum pedih.
Kepalanya menggeleng perlahan. Seketika berkecamuk dalam benaknya. Antara
kebenaran yang harus tetap dijunjung dengan ikatan batin dirinya dengan Chin
Chung. Bahkan kini dia teringat pada masa kecil mereka dulu.
"Keras kepalamu rupanya
tak juga lenyap," ucap Chin Liong lemah.
Kalimat itu diucapkan Chin
Liong dari dasar hati terdalam. Dia sendiri tidak tahu, apakah itu sebuah
bentuk cetusan kerinduan dalam gurauan yang hambar, atau sekadar sindiran.
"Sudah kukatakan, jangan
coba pengaruhi aku, Chin Liong," tepis Chin Chung, tak lagi sekeras
sebelumnya.
Dalam hati, dia tidak bisa
memungkiri kalau dirinya pun rindu pada saudara kembarnya "Kenapa kita tak
rukun lagi seperti dulu saja, Chin Chung? Sadarlah. Dan, kembalilah kepada
kebenaran.
Aku akan memintakan ampunan
pada Putri Ying-lien, agar kau bisa diberikan kesempatan memperbaiki
kesalahanmu," bujuk Chin Liong halus.
Chin Chung menggeleng lembut.
"Tidak bisa, Chin
Liong," sanggah Chin Chung, bergetar. "Aku sudah telanjur basah. Aku
tidak bisa lagi mundur. Dan aku harus membalas jasa Si Pembawa Badai yang telah
memelihara dan mendidikku. Kini, diriku adalah bagian dari mereka."
"Cobalah, Chin Chung. Demi aku Demi kita...," bujuk Chin Liong, lebih
halus. Suaranya pun kini ikut bergetar diguncang kehilangan saudaranya yang
kini bagai begitu jauh.
"Jangan paksa aku, Chin
Liong" bentak Chin Chung, dalam satu kalimat tersekat-sekat.
"MenyingkirIah dari
jalanku" Chin Liong menggeleng tegas.
"Menyingkir kataku, Chin
Liong" ulang Chin Chung.
Saudara kembarnya itu tetap
menggeleng.
"Baik Jangan salahkan aku
jika di antara kita ada yang terbunuh," ucap Chin Chung, nyaris terdengar
seperti terisak. "Maafkan aku, Saudaraku." Setelah itu Chin Chung
mengayunkan pedang pusaka di tangannya ke depan. Dan....
"Hiaaa"
***
7
Pertarungan antara dua saudara
kembar memang sudah tidak terelakkan lagi. Dan Chin Chung memang terlalu keras
kepala untuk mengalah, apalagi menyadari kesalahannya. Sedangkan Chin Liong
tidak akan sudi membiarkan kemungkaran terjadi di depan hidungnya, meski
dilakukan oleh saudara kembarnya sendiri.
Kini terputuslah jalinan darah
satu sama lain dalam satu kancah pertarungan berbaumaut. Mereka bertukar jurus
untuk mempertahankan sikap masingmasing dengan taruhan nyawa.
Chin Liong yang memiliki
ketangguhan sebagaimana orang-orang tenggara, mengerahkan kelebihan ilmu
'Ginkang'nya. Sebuah ilmu yang mengandalkan kecepatan dan meringankan tubuh.
Sementara, Chin Chung di satu
pihak mengerahkan seluruh kemampuan 'Kun Twa'nya yang mengandalkan kekuatan
totokan jari tangan warisan Si Pembawa Badai yang digabungkan dengan permainan
pedang.
Telah empat puluh tiga jurus
dilalui, namun sejauh itu tak ada tanda-tanda yang terdesak. Mereka masih
sama-sama tangguh. Masih sama-sama mencoba berada di atas angin.
"Haih" Zeb Zeb Pada
satu kesempatan, jari kiri Chin Chung mencoba menembus tenggorokan Chin
Liongyang saat ini berada dalam keadaan tak menguntungkan.
Rasanya, ia tak mungkin bisa
memapak tusukan jari lawan.
Di daratan Tiongkok, ilmu 'Kun
Taw' terkenal mampu menembus batu cadas paling keras sekalipun.
Memapakinya, berarti
membiarkan tangan tercedera berat. Makanya, Chin Liong memilih menghindar.
Untungnya, kemampuan 'Ginkang'
Chin Liong cukup mampu diandalkan dalam keadaan seperti saat itu. Terbukti, dia
mampu melompat ke samping dengan kecepatan luar biasa Krsk Maka dinding Goa
Sejuta Lintah pun menjadi sasaran empuk jari kiri Chin Chung. Layaknya sebatang
tombak baja menembus batang pohon pisang.
Untuk membayar serangan, Chin
Liong melancarkan tinju ganda ke dua sisi rusuk Chin Chung.
"Hih" Deb Deb Di
tengah jalan, tinju ganda Chin Liong harus segera dihentikan. Jika tidak,
tangannya tentu akan terputus sebatas siku, karena pada saat yang bersamaan,
Chin Chung dengan sigap membabatkan Pedang Pusaka Langit ke bawah.
Wut Babatan ke bawah tadi,
diteruskan Chin Chung dengan putaran pedang sedemikian rupa untuk memenggal
leher Chin Liong.
"Heaaa" Sing Kali
ini Chin Liong dipaksa menguras seluruh kemampuan "Ginkang'nya Tubuhnya
langsung dihentakkan sepenuh lenaga ke belakang, untuk mematahkan babatan
pedang lawan. Pada saat rawan seperti itu, mata jelinya masih sempat menangkap
satu bagian kosong pada tubuh Chin Chung. Sabetan yang bernafsu tadi, membuat
saudara kembarnya luput membentengi dadanya yang terbuka.
Begitu tubuhnya dilempar ke
belakang, kaki Chin Liong naik ke atas berbarengan. Kesempatan yang amat tipis
itu digunakan Chin Liong secara cerdik untuk mendepak dada Chin Chung.
Bukh "Akh" Kontan
saja tubuh Chin Chung terlempar ke atas, kemudian meluncur deras ke belakang.
Rasa sesakdi dadanya yang terasa hampir jebol, membuat saudara kembar Chin
Liong itu tak sempat berteriak, kecuali satu erangan pendek tertahan.
Byur Begitu tubuhnya
terjerembab, air sebatas lutut di bawahnya pun tersibak kacau ke segala arah.
Sesaat tubuhnya tertelan aliran sungai kecil. Dan saat berikutnya, dia bangkit
dengan seluruh badan basah kuyup. Bibirnya tampak mengeluarkan darah yang
terbawa tetesan air dari wajahnya.
"Aku belum kalah, Chin
Liong," kata Chin Chung seraya mengacungkan Pedang Pusaka Langit pada Chin
Liong.
"Sudahlah, Chin Chung....
Sadarlah," bujuk Chin Liong sekali lagi.
"Tidak Kita harus
menuntaskan urusan ini," tandas Chin Chung, sungguh-sungguh.
Begitu selesai kata-katanya,
Chin Chung mulai mengatur napas.
Tangannya bergerak teratur.
Tampaknya, dia mulai menantang
Chin Liong untuk bertanding te naga dalam.
Sementara itu, Chin Liong
menyipit. Seluruh saraf di tubuhnya sudah menegang. Inilah yang amat
dikhawatirkannya. Dengan pengerahan tenaga dalam penuh, kekuatan Pedang Pusaka
Langit bisa membantu Chin Chung melipat gandakan tenaga dalam, tiga belas kali
lebih kuat
***
Sementara di luar seorang pemuda berpakaian
serba hijau dengan perasaan tak menentu di luar Goa Sejuta Lintah. Menunggu
seperti saat ini membuat pemuda yang tak lain Pendekar Slebor itu begitu
gelisah. Dia khawatir, terjadi hal-hal yang tak diharapkan pada diri Chin Liong
di dalam sana. Untuk menyusul, Andika' mesti berpikir ulang. Bisa jadi, dia
malah merusak rencana yang telah tersusun. Bukankah selama ini Chin Chung tak
pernah terlihat bersama orang asing seperti dirinya? Sedangkan Chin Liong
justru hendak menyamar sebagai Chin Chung, saudara kembarnya. Kalau Tua Bangka
Tangan Api curiga, semuanya bisa kacau Akhirnya, Andika hanya bisa duduk
gelisah di atas tonjolan besar batu cadas.
"Sialan Kenapa aku tadi
tak memikirkan kapan waktunya untuk masuk ke sana," gerutu Andika pada
diri sendiri, menyesali keteledoran.
Sementara di atasnya,
burung-burung walet tampak bcrkejaran. Sesekali cicitnya terdengar ramai.
Sambil mengulum-ngulum rumput,
Andika memperhatikan binatang-binatang mungil yang cantik itu. Sekadar untuk
melepas rasa bosan dan gelisah.
Tak lama kemudian terdengar
senandungnya.
O, walet kecil di atas sana.
Kau bawa ceria di angkasa Tak
mau tahu pada dunia, yang kerap begitu durjana O, walet kecil K Kau bawa
kehangatan pada alam Kau bawa kehangatan pada mayapada Kau bawa kehangatan
pada....
Dan tiba-tibasaja...
Prot Sesuatuyang lembek dan
hangat tahu-tahu menimpa kening Andika dengan telak.
"Sial Kau boleh bawa
banyak kehangatan Tapi, jangan kasih yang hangat satu ini ke mukaku" maki
pemuda itu sewot ketika menyadari kalau baru tertimpa rejeki nomplok.
"Andika...." Sedang seru-serunya pendekar urakan itu mencakmencak
dengan kepala menengadah, terdengar panggilan lemah di belakangnya. Saat
melayang menoleh, tampak Chin Liong keluar tertatihtatih dari bibir goa. Di
tangannya, tergenggam Pedang Pusaka Langit.
"Kau mendapatkannya, Chin
Liong?" sambut Andika gembira.
"Ya," jawab Chin
Liong tersendat.
Lelaki bermata sipit itu
terlihat begitu lemah dan lusuh. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka
memar serta noda-noda darah. Demikian juga di mulutnya.
"Kenapa kau?" tanya
Andika, tergesa-gesa meng hampiri kawannya. Chin Liong yang menyender pada
dinding goa segera dipapahnya. "Apa ada rintangan dari si Pandai Besi
itu?" Chin Liong menggeleng berat.
"Chin Chung," desak
Chin Liong.
"Chin Chung?" "Ya
Dan aku terpaksa membunuhnya. Dia terlalu memaksa aku melakukannya. Padahal...,
padahal aku tetap menyayanginya," keluh Chin Liong lirih. Kepalanya
tertunduk dalam, memperlihatkan rasa penyesalan yang menyesaki dada.
"Aku turut
menyesal," tutur Andika. "Tapi kebenaran memang tidak mengenal ikatan
darah. Kau tak perlu menyesali perbuatanmu. Dia telah menentukan pilihannya
sendiri." Perlahan-lahan keduanya mulai melangkah meniti lereng berliku.
Belum begitu lama kedua orang
itu pergi, tahutahu seseorang muncul pula di bibir Goa Sejuta Lintah.
Keadaannya sungguh
mengenaskan.
Tubuhnya bermandikan darah dan
rupanya sudah tak karuan. Wajahnya pucat dan kotor oleh lumpur. Seperti
wajahnya, rambut panjangnya pun dipenuhi lumpur hitam.
Laki-Iaki itu berusaha
menyeret tubuhnya, untuk keluar dari goa itu. Kira-kira tiga langkah dari bibir
goa, terdengar dia memanggil-manggil seseorang.
Dua kali dia memanggil,
kemudian matanya menjadi nanar. Diawali getaran kecil sesaat, kepalanya pun
roboh ke tanah. Dia tak mampu lagi merayap.
Seluruh kesadarannya lerbang.
Apa yang sesungguhnya telah
terjadi? Tak seorang pun tahu. Kecuali, dirinya dan lelaki Tiongkok yang kini
berjalan bersama Andika jauh di sana.
***
Pada dasarnya sebagian rencana yang disusun
Andika telah berubah. Semula, setelah mendapat Pedang Pusaka Langit, dia dan
Chin Liong bermaksud akan menemui pimpinan pemberontak wilayah utara kota
Yingtienfu. Tujuannya, untuk menyampaikan pesan mengenai pertukaran Putri
Ying-lien dengan Pedang Pusaka Langit pada Chin Chung.
Tapi kini, hal itu tidak perlu
lagi dilaksanakan.
Karena setahu Andika, Chin
Chung selaku orang yang menyandera Putri Ying-lien, telah tewas di tangan Chin
Liong. Dan kini mereka harus menyusun rencana baru.
Pendekar tanah Jawa Dwipa itu sekarang
sedang berdiri diam memikirkannya, di bawah sebuah pohon besar di pekarangan
Kuil Peraduan Bulan. Dari wajahnya, tampak jelas kalau sedang berpikir keras.
Tak dipedulikannya angin kecil mengusik pakaian moratmarit yang belum diganti
sejak bertempur dengan Si Pembawa Badai.
Sementara itu, Chia-ceng
tengah pergi dengan Chin Liong ke pusat kota Yingtienfu untuk mencari keperluan
sehari-hari. Dengan begitu, mereka bisa tetap tinggal di Kuil Peraduan Bulan,
khususnya Andika. Ini terpaksa dilakukan, menimbang Putri Ying-lien belum lagi
diketahui nasibnya. Apalagi, Empat Penguasa Penjuru Angin yang begitu dekat
dengan Chin Chung, tentu tak senang jika Andika terlihat berkeliaran. Mereka
bisa saja meneruskan niat jahat Chin Chung untuk menghabisi Putri Ying-lien.
Sedang keras-kerasnya Andika
berpikir, tiba-tiba Chin Liong datang tergopoh-gopoh. Badannya dibanjiri
keringat dan napasnya memburu.
"Ada apa, Chin
Liong?" tanya Andika cepat.
"Chia-ceng...."
"Kenapa dengan dia?" "Seseorang telah membunuhnya" lapor
Chin liong.
Andika terkesiap. Wajahnya
mengeras.
"Apa yang sebenarnya
terjadi?" tanya Pendekar Slebor gusar.
Usai mengatur napas, Chin
Liong mulai bercerita.
"Di pusat kota, aku dan
Chia-ceng berpisah dalam mencari segala kebutuhan kita. Lalu kami sepakat untuk
bertemu di satu tempat. Setelah aku kembali ke tempat yang telah disepakati,
ternyata Chia-ceng tak kunjung muncul. Aku menjadi was-was. Lalu dia segera
kucari ke sekitar pusat kota. Sampai akhirnya aku temui orangorang berkerumun.
Ternyata, mereka mengerumuni tubuh Chia-ceng yang sudah menjadi mayat."
Chin Liong mengakhiri ceritanya bersama wajah geram. Tak cuma lelaki Tiongkok
tampan itu. Andika •pun ikut geram atas peristiwa yang menimpa Chia-ceng
pengikut setia kerajaan.
"Menurut beberapa orang
saksi mati, pembunuhnya adalah seorang lelaki berkaki baja runcing,"
sambung Chin Liong menambahkan.
"Hantu Bisu Kaki
Baja," simpul Andika berdesis. "Ya Aku pikir juga begitu,"
timpal Chin Liong.
"Tampaknya, anak buah Si
Pembawa Badai itu ingin menuntut balas atas kematian Chin Chung," gumam
Andika.
"Tapi, bagaimana dia bisa
tahu kalau Chin Chung sudah mati. Padahal, dia terbunuh di tempat
tersembunyi?" tanya Chin Liong, heran.
"Mungkin saja Chin Chung
telah bercerita sebelumnya kalau hendak mengambil Pusaka Langit ke Goa Sejuta
Lintah," duga Andika.
"Tak mungkin," kata
Chin Liong, setengah bergumam.
"Kenapa tak
mungkin?" "Aku tahu, siapa Chin Chung. Dia orang yang begitu
bernafsu. Dengan memberitahu tentang Goa Sejuta Lintah, berarti ada kemungkinan
benda pusaka itu akan diminta Si Pembawa Badai. Dan dia tak akan sudi
menyerahkan benda yang begitu berharga itu," papar Chin Liong datar.
"Lalu, apa mungkin Chin
Chung masih hidup? Atau malah sempat kembali pada rekan-rekannya, untuk
melaporkan tentang perbuatanmu padanya?" "Entahlah. Tapi, aku yakin
dia telah mati. Karena jelas sekali aku menusukkan Pedang Pusaka Langit ke
tubuhnya." "Kau benar-benar yakin? Apa kau telah memeriksa
mayatnya?" tanya Andika, sedikit menyudutkan.
Chin Liong menggeleng ragu.
"Entahlah," desah
pemuda Tiongkok itu.
***
8
Seseorang tampak masih
terbaring tak sadarkan diri di bibir Goa Sejuta Lintah. Di tengah pingsannya,
muncul seorang wanita. Dilihat dari penampilannya, usianya sekitar dua puluh
tahun. Wajahnya cantik tanpa tata rias. Pakaiannya sederhana dengan baju kuning
berompi kulit domba. Kesederhanaan juga terlihat pada tataan rambutnya. Meski
hanya digelung, rambut panjang hitamnya tetap tampak menawan.
Pribadi gadis itu tampak
tegar. Itu terlihat dari caranya menghadapi orang yang bermandi darah. Bagi
banyak wanita, pemandangan itu bisa membuat amat gugup. Tapi, tidak bagi si
Gadis. Dia malah tenang berjongkok di dekat tubuh itu. Mimik wajahnya hanya
berubah. sedikit, manakala nadi leher pemuda yang masih tak sadarkan diri
diperiksanya.
Yakin kalau orang itu belum
menjadi mayat, wanita ini segera membopongnya. Tanpa kesulitan, diangkatnya
tubuh itu ke bahu, lalu dimasukinya mulut goa dengan langkah ringan.
***
Tiga hari waktu telah berlalu. Dan kini, Chin
Liong tersadar. Matanya tampak mengerjap-ngerjap sesaat.
Setelah pandangannya tidak
lagi mengabur, tampaklah sebuah pemandanganyang tak asing lagi. Apalagi, ketika
kepalanya berusaha menoleh ke satu arah.
Didapatinya cahaya terang yang
datang dari satu tungku raksasa.
"Kenapa aku masih berada
di ruangan milik Tua Bangka Tangan Api ini?" bisik pemuda itu, bertanya
pada diri sendiri.
"Kau kutemukan sedang
pingsan di bibir goa," sahut seseorang di dekat kepalanya. Sambil
memegangi kepala yang masih berat, pemuda itu mendongak ke arah suara tadi.
Sekarang, didapatinya gadis yang menolongnya di bibir Goa Sejuta Lintah tempo
hari.
"Siapa kau?" tanya
pemuda itu.
Bergegas, dia berusaha
bangkit. Namun niatnya tertahan ketika di bagian perutnya terasa nyeri. Dengan
seketika tangannya pun berpindah ke bagian perut. Kini, tangannya dapat
merasakan kehalusan pembalut yang menutup luka tusuk di perutnya.
"Kaukah yang telah
merawatku?" tanya pemuda itu.
"Kenapa kau bisa sampai
di tempat ini?" Gadis yang diajak bicara mendekatinya.
Tangannya tampak membawa
mangkuk keramik kecil.
Setelah berada di sisi
kirinya, tangan kanannya membalutkan sesuatu dari mangkuk ke wajah Chin Liong.
"Tak apa-apa. Ini hanya
ramuan untuk mengobati memar-memar diwajahmu," kata wanita itu lembut
ketika tangan pemuda ini berusaha menahan.
Pemuda bermata sipit itu
akhirnya membiarkan saja wajahnya dijamah tangan berlumur ramuan gadis manis.
"Kau belum menjawab
pertanyaanku, Nisanak," tegur pemuda itu beberapa saat kemudian.
"Pertanyaanyang mana? Kau
begitu banyak mengajukan padaku?" balas si Gadis seraya tersenyum ramah.
Pemuda itu menyeringai,
menyadari kebodohannya.
"Siapa namamu?"
ulang pemuda itu lagi.
"Apa itu perlu?"
"Aku rasa, ya." "Tapi, aku rasa tidak." "Nisanak...,
tolonglah. Aku tak ingin memanggil orang yang telah berjasa padaku dengan
sebutan seenaknya," desak pemuda itu.
"Baik, kalau kau memang
memaksa. Aku Mei-jen," aku si Gadis, akhirnya.
"Aku Chin Liong,"
balas pemuda yang ternyata Chin Liong sambil mengulurkan tangan kanan untuk
mengajak berjabatan.
Benarkah dia Chin Liong? Lalu,
siapa yang meninggalkan Goa Sejuta Lintah bersama Pendekar Slebor? Pemuda yang
tengah dirawat oleh wanita yang mengaku bernama Mei-jen memang Chin Liong Dan
memang, sesungguhnya semua terjadi berada di luar perkiraan Pendekar Slebor.
Amat keliru jika orang yang jalan bersamanya dianggap Chin Liong, orang yang
selama ini dikenalnya. Lelaki Tiongkok yang diduga Chin Liong, sebenarnya
justru Chin Chung Kemiripan wajah yang sukar dibedakan, dan kelihatan Chin
Chung bersandiwara, telah mampu mengecoh Andika. Berarti, sudah telah tiga kali
Chin Chung memperdayainya begitu rupa. Dan sampai sejauh itu Pendekar Slebor
tak juga menyadari.
Bisa ditebak, kematian
Chia-ceng memang sebenarnya dibunuh oleh Chin Chung pula. Lelaki cebol itu
dibokong secara licik, saat mereka melintasi hutan menuju pusat kota.
Tampaknya, pendekar muda tanah
Jawa Dwipa yang amat terkenal keenceran otaknya, benar-benar hendak dijadikan
boneka bulan-bulanan Chin Chung.
Kercerdikan si Pendekar Slebor
ternyata telah terombang-ambing kelicikan lawan.
Chin Chung memang memiliki
rencana, setelah merasa yakin telah menghabisi saudara kembarnya sendiri.
Dengan rencana liciknya, dia hendak mencari kepuasan mempermainkan Andika. Pendekar
asing itu hendak dibunuhnya, persis di hadapan Putri Ying-lien Begitu niatnya.
Di samping akan menemukan kepuasan tersendiri, sekaligus akan ditemukan
kepuasan lain, manakala Putri Ying-lien terperangah mendapati pendekar asing
andalannya mati di depan mata.
***
"Terima kasih kau menyebutkan namamu...,
meski belum kutanyakan," sentil Mei-jen.
Dan ini membuat lelaki muda di
depannya kembali menyeringai malu. Tapi tangan Chin Liong disambutnya.
"Ah, maaf. Aku lupa kalau
tanganku masih penuh ramuan ini," tutur Mei-jen, menyadari telah mengotori
tangan Chin Liong. Segera ditariknya tangan halus nan lembut itu.
"Tak apa-apa. Tapi
ngomong-ngomong...," Chin Liong mencium tangannya yang terkena ramuan
dengan wajah agak meringis.".... Ramuan apa yang kau berikan padaku?
Kenapa baunya seperti kotoran kcrbau?" "Memangnya kau pikir ramuan
apa?" "Jadi, benar dari kotoran kerbau?" Mata Chin Liong
lerbelalak jijik.
"Aku tak bilang
begitu," jawab Mei-jen tenang.
Kaki gadis itu segera
melangkah ke tempatnya berdiri semula, untuk meletakkan mangkuk ke satu rak
obat-obatan.
"Ah... sykurlah,"
gumam Chin Liong lega. "Ng....
Boleh aku bertanya lagi
padamu?" Dengan agak susah payah, Chin Liong berusaha bangkit.
"Untuk seorang yang sudah
ditolong, kau termasuk terlalu banyak tanya. Tapi, tak mengapa," sahut
Mei-jen jadi menoleh. Tangannya masih sibuk mengatur kendikendi obat.
"Siapa kau
sebenarnya?" "Bukankah sudah kukatakan kalau aku Mei-jen."
"Maksudku, julukanmu. Dan kenapa kau bisa berada di tempat terpencil ini?"
"Ini memang tempat tinggalku," sahut Mei-jen, ringan.
Chin Liong menggelengkan
kepala.
"Jangan berbohong Apa kau
kira aku tak tahu kalau ini tempat Tua Bangka Tangan Api?" "Lantas,
kau pikir aku ini siapa?" Mei-jen malah balik menyudutkan Chin Liong. Dia
pun berbalik mengha dap pemuda itu.
Chin Liong mengangkat bahu.
Tampak wajah berkerut.
"Ya Siapa kau?"
tanya pemuda itu tak mengerti.
"Kau boleh percaya atau
tidak. Akulah si Tua Bangka Tangan Api yang disebut-sebut orang itu."
Kerut di wajah Chin liong tampak makin dalam.
"Kau bisa main-main juga
rupanya...," leceh Chin Liong tak percaya. "Yang kutahu, Tua Bangka
Tangan Api adalah lelaki tua yang telah kutemukan hampir mati di sini."
"Dia pembantuku. Kasihan sekali. Padahal, dia begitu setia padaku."
"Aku masih belum mengerti?" "Memang, aku tak menyalahkan
orang-orang yang telah menyebutku seperti itu. Mungkin mereka mengira
pembantuku itulah yang telah membuat senjata pusaka pesanan tokoh-tokoh
persilatan," papar gadis itu enteng.
"Selama ini, aku memang
tidak mau tahu pada orangorang yang memesan senjata padaku. Aku hanya
membuatnya. Sedang urusan pemesanan, kuserahkan pada pembantuku."
"Lalu kenapa...." "Kenapa dia diberi embel-embel nama Tangan
Api?" potong Mei-jen. "Ah, itu hanya ibarat. Karena logam-logam
langka terkeras, dapat dibuat mudah.
Maka julukan itu pun
bertambah. Dan karena mereka menyangka pembantuku yang membuat, mereka pun
menambahkan embel-embel itu pada namanya." "Apa benar kau...."
Tiba-tiba ucapan Chin Liong terputus. Bicara tentang lelaki tua itu, dia jadi
teringat pada kejadian yang menimpanya.
Astaga Kenapa aku jadi
melupakan Chin Chung Dia bisa amat berbahaya bersama pedang itu," desis
Chin Liong dalam.
Segera pemuda itu berusaha
berdiri tergesa dari pcinharingan kayu.
"Mau ke mana?" tanya
Mei-jen. "Kau belum pulih benar. Tiga hari ini kau tak sadarkan diri. Baru
saja siuman, kau sudah ingin pergi?" "Aku harus mencegah saudara
kembarku. Tentu dia memiliki rencana jahat pada Putri Ying-lien dan Andika...."
"Tidak Tak perlu kau khawatirkan dengan pedang pusaka itu," tegas
gadis yang sebenarnya dialah si Tangan Api sambil menekan bahu Chin Liong
kembali berbaring.
"Apa kau gila? Pedang
pusaka itu mampu membuatnya amat sakti dan lebih sinting" Chin Liong
bersikeras.
"Pedang itu masih ada
padaku," jegal Met jen.
"Apa?" "Apa kau
pikir aku tak tahu riwayat benda langit itu? Aku juga tahu keampuhannya.
Apalagi, jika telah dibentuk sebuah pedang. Lima ratus tahun yang lalu, buyutku
pun pernah membentuk benda langit itu menjadi pedang pusaka yang gagangnya kini
dipakai lagi. Dari beliau, cerita itu turun hingga ke aku. Dan, apa kau pikir
aku akan membiarkan benda sakti itu jatuh ke tangan orang lalim?" tutur
Mei-jen.
"Jadi?" "Aku
telah membuat tiruannya," aku Mei-jen. "Dan tiruannya itu yang telah
dirampas seseorang yang kau sebut tadi, ketika aku pergi keluar. "Aslinya
tetap kusimpan, sampai ada orang yang berhak mendapatkannya." Chin Liong
terlolong tanpa kata, antara terkejut dan gembira. Pantas, waktu bertarung melawan
Chin Chung, dia tidak merasakan adanya kekuatan berlipat pada saudara
kembarnya. Kalau pun dia kalah, mungkin hanya soal keberuntungan ada di pihak
Chin Chung
***
Sore telah menjelang. Cahaya meredup dalam
lembayung jingga. Di langit, gumpalan-gumpalan awan kecil berpilin masih
terlihat. Saat bumi teduh dan angin menyapukan rasa damai, Chin Liong tampak
telah berjalan menuju Kuil Peraduan Bulan.
Di tangannya tergenggam Pedang
Pusaka Langit, terbungkus dalam kain berwarna keemasan. Masih dengan jalan agak
limbung, kakinya terus melangkah.
Sehari setelah siuman, dia
sudah tidak bisa bersabar lagi untuk segera keluar dari Goa Sejuta Lintah. Hal
ini karena dorongan tanggung jawabnya pada nasib Putri Ying-lien dan
sahabatnya, Andika.
Sementara si Tangan Api yang bernama
asli Meijen tak bisa mencegah kehendak Chin Liong. Pemuda itu terlalu
bersikeras untuk dicegah. Dan ketika Mei-jen yakin kalau Chin Liong benar-benar
utusan kerajaan untuk mengamankan Pedang Pusaka Langit, senjata itu pun
diserahkan pada pemuda itu.
Chin Liong masih ingat saat
terakhir berpisah dengan gadis manis itu. Entah kenapa, kala itu mata Meijen
ditatapnya lekat-lekat. Dia yakin, sikap itu bukan sekadar ungkapan rasa terima
kasihnya. Dan tindakan itu, membuat Mei-jen mengembangkan senyum malu dengan
wajah bersemu merah. Dan sebagai wanita berkepribadian tegar, sifat-sifat
kewanitaannya tak pernah pudar. Dan dia masih mampu untuk tak tersipusipu.
"Sebelum pergi, boleh aku
bertanya padamu?" ungkap Chin Liong waktu sebelum pergi. "Kenapa
gadis secantikmu menyepi sendiri di tempat terpencil ini?" "Ceritanya
panjang dan menyakitkan untuk diingat," jawab Mei-jen datar.
"Kalau aku selesai
menunaikan tugas dan selamat, boleh kudengar ceritamu. Aku ingin berbagi rasa
denganmu?" ucap Chin Liong.
Mei-jen tak menyahut, juga tak
menggeleng atau mengangguk. Dibalasnya tatapan Chin Liong dengan sepasang mata
yang bagai dua penggal bulan itu.
"Kau ingin melakukan itu,
karena aku telah berjasa padamu?" sindir gadis itu halus.
"Tidak, bukan itu. Dan
aku juga tak tahu, kenapa.
Hanya aku ingin mengenalmu
lebih dekat," sahut Chin Liong.
"Terima kasih.... Kau
ternyata seorang yang penuh perhatian," puji Mei-jen tulus.
"Tapi kau belum jawab
pertanyaanku tadi, bukan?" desak Chin Liong.
Mei-jen terdiam. Ditatapnya
lagi pemuda tampan di depannya.
"Jika keinginanmu tulus,
rasanya aku tidak bisa menolak," tutur Mei-jen akhirnya.
Chin Liong tersenyum tipis.
Senyum yang jarang sekali tersembul di bibirnya.
'Tapi, berjanjilah padaku. Kau
harus selamat dari tugas berat ini," pinta Mei-jen, membuat relung hati
Chin Liong tersentuh.
Chin Liong mendekati Mei-jen.
Digenggamnya kedua tangan gadis itu.
"Aku berjanji. Doakanlah
aku," pinta Chin Liong kembali. Sampai Chin Liong hampir tiba di Kuil
Peraduan Bulan, wajah dan pribadi Mei-jen tetap mengusik benaknya. Selama itu
pula, dia merasakan getaran lama yang kembali hadir, setelah sekian lama
terkubur.
Getaran yang pernah ada ketika
begitu akrab dengan Yinglien.
Kini kaki pemuda itu telah
memasuki pelataran kuil. Senja saat ini makin terjatuh di tepi langit. Gelap
mulai menyapu alam. Namun, masih ada sisa cahaya yang terjaga. Dan baru saja
hendak memasuki pintu besar kuil, telinganya menangkap gerak langkah dua orang
yang datang.
Chin Liong cepat mengurungkan
niat untuk masuk. Dia bergerak sigap, untuk mencari tempat sembunyi di balik
semak-semak pelataran.
Kedua orangyang datang
ternyata sosok-sosok yang amat dikenalnya. Mereka adalah Chin Chung dan Andika.
Tubuh Chin Liong kontan
menegang. Ingin rasanya saat itu Chin Chung dihadangnya. Karena dikira, dia
akan melakukan niat jahat pada Andika atau Chia-ceng Tapi keinginannya segera
ditekan, manakala melihat bagaimana Chin Chung berjalan demikian santai.
"Hm.... Tampaknya dia tak
begitu khawatir kehadirannya diketahui. Lalu, kenapa dia datang?" bisik
hati Chin Liong bcrtanya-tanya sendiri. "Apakah dia mulai bermain-main
kucing-kucingan lagi? Ya Pasti dia hendak mempcrmainkan Andika kembali, seperti
saat di tanah Jawa Dwipa dulu" Chin Liong terus memperhatikan Chin Chung
dan Andika yang terus melangkah tenang.
"Baik akan kuikuti dulu
permainannya Mungkin aku bisa mengikutinya hingga ke tempat Putri Ying-lien
disembunyikan," putus Chin Liong akhirnya.
9
Malam itu dua sosok bayangan
mengendapendap dalam gelap. Hanya temaram cahaya rembulan yang membantu kedua
bayangan orang itu menerabas onak pohon-pohon di kaki Bukit Naga sebelah timur
kota Yingtienfu.
Mereka terus mendekati ke arah
sebuah bangunan besar yang tersembunyi dalam lingkaran lebat pepohonan randu, tepat
di balik bukit itu. Tak tampak adanya kesukaran pada perjalanan mereka. Jalan
menanjak penuh semak dan tak jarangbatang pohon tumbang, dapat mudah dilalui.
Keduanya seakan sepasang rase. Lincah dan gesit.
Sesekali dua sosok bayangan
itu terlihat melompat ringan untuk melewati mulut jurang dalam dan lebar. Tanpa
menghasilkan suara sedikit pun, kaki mereka menjejak mantap di bibir jurang,
lalu melanjutkan langkah dengan berlari-lari kecil.
Setelah tiba di puncak Bukit
Naga, mereka mulai menuruni semacam tebing berbatu. Sekitar dua ratus depa dari
puncak bukit itulah terlihat bangunan besar yang berdiri pada kemiringan
tebing.
Dari kejauhan, bangunan yang
hendak disantroni itu tampak menjulang angker ke angkasa. Dilihat dari
bentuknya, bangunan itu seperti sebuah benteng kuno yang tak digunakan lagi.
Dindingnyayang hitam kehijauhijauan karena berlumut, terbuat dari susunan
batu-batu cadas persegi. Pada dua sisi bangunan terdapat menara yang seakan
hendak menggapai langit. Di sekitar dinding batu sepanjang kurang lebih tiga
puluh tombak, tak satu jendela pun, kecuali satu pintu gerbang besar.
Di masing-masing menara pada
sisi benteng, tampak dua orang sedang berjaga penuh siaga. Yang terlihat hanya
setengah tubuh mereka, karena berdiri di mulut jendela pengintai, seukuran
manusia yang terdapat di sisi utara dan selatan. Sementara dua jendela di
menara yang lain menghadap arah timur dan barat.
Para penjaga itu berseragam
prajurit kerajaan, berwarna merah dengan tutup kepala dari kain berwarna merah
pula. Memang, sebelumnya mereka adalah para prajurit kerajaan. Tapi kini mereka
telah membelot Tangan mereka masing-masing tampak memegang tombak panjang di
depan dada.
Rupanya penjaga itu tak mampu
memergoki dua penyelusup tadi yang kelihatannya berkepandaian tinggi.
Layaknya hantu, kedua penyusup
itu tiba-tiba saja telah sampai di salah satu atap menara, setelah sebelumnya
merayap tanpa suara bagai cicak pada susunan dinding cadas bangunan tinggi ini.
Seorang dari mereka kemudian bergerak lincah ke arah jendela, secara bergelayut
di tonjolan dinding menara. Bersamaan dengan gerak ayunan tubuhnya menuju
jendela, ditendangnya satu penjaga.
Bruk Berikutnya, satu totokan
cepat membungkam penjaga naas itu sebelum mulutnya sempat membikin keributan.
Sementara, penjaga yang seorang lagi pun menyusul menerima jatah totokan.
Seperti tak pernah terjadi apa-apa, tubuh kedua penjaga yang telah kaku itu
ditegakkan di ambang jendela oleh si Penyelusup.
Kini, kedua penyusup itu mulai
menuruni tangga menara yang berliku, bersambung dengan ruang bawah tanah
benteng kuno. Beberapa ratus tahun silam ruang bawah tanah ini pernah digunakan
sebagai tempat para tahanan meringkuk.
Memang, kedua penyusup adalah
Andika dan Chin Chung yang menyamar sebagai Chin Liong.
Sebagai bagian dari rencana
liciknya, dia pun membuat satu laporan palsu pada Andika dua hari yang lalu.
Dikatakannya, ada seorang
pemberontak yang membelot membocorkan rahasia tempat penahanan Putri Ying-lien,
dan memberitahukan padanya letak tempat itu. Andika memang termakan pancingan
Chin Chung. Makanya pemuda itu segera memutuskan untuk mengadakan penyusupan.
Rencana lelaki licik itu
tampaknya berjalan lancar.
Tapi tanpa sepengetahuan Chin
Chung, ternyata ada seseorang siap membongkar kedoknya mentah-mentah.
Tentu saja, saudara kembarnya
sendiri. Chin Liong Sejak Andika dan Chin Chung berangkat menuju benteng kuno,
Chin Liong menguntit terus di kejauhan.
Pada saat yang menurutnya
paling tepat, dia akan memperingatkan Andika, siapa sebenarnya lelaki yang kini
bersamanya.
Sayang Ketika baru saja hendak
merayap ke atas menara yang digunakan Andika dan Chin Chung sebagai jalan
masuk.
"Berhenti" Terdengar
suara menggelegar yang mengejutkan.
ternyata ada beberapa orang
yang memergoki Chin Liong. Mereka bukan para penjaga yang baginya tak begitu
berarti untuk disingkirkan, tapi justru halangan terberat yang mesti dihadapi
Empat Penguasa Penjuru Angin Orang yang berteriak adalah Si Pembawa Badai,
salah satu dari orang-orang yang melihat Chin Liong lebih dulu. Sungguh sial
bagi Chin Liong Sungguh tak biasanya keempat tokoh sesat kalangan atas Tiongkok
itu mengadakan pengawasan ke sekitar benteng kuno, markas mereka Padahal
hari-hari sebelumnya, mereka menyerahkan pekerjaan itu pada para anak buah.
Tanpa banyak cakap, Chin Liong
melompat turun dari dinding benteng. Pedang Pusaka Langit yang masih tersimpan
dalam warangka di pinggang, digenggam gagangnya erat-erat, siap menghadapi
keadaan lebih buruk. "Hey, siapa kau? Wajahmu mirip Chin Chung.
Tapi, pasti kau bukan dia Ooo,
aku ingat Kau pasti saudara kembar Chin Chung yang tak sejalan dengannya. Bukan
begitu?" sambut lelaki tua bertubuh kurus kering itu.
Chin Liong tak berniat
menyahuti. Dia hanya mendehem kecil. Wajahnya tetap dingin, diwarnai kilat mata
penuh siaga.
"Hm.... Tampaknya kau
hendak membebaskan junjunganmu, Putri Ying-lien nan cantik jelita itu. Huak hak
hak..." Si Pembawa Badai mengalunkan tawa serak, diikuti Dewi Seribu Diri
di sampingnya.
Sementara, dua langkah di
belakang mereka tampak Pencuri Jantung dan Hantu Bisu Kaki Baja berdiri dingin
tanpa memperdengarkan tawa. Bahkan sekadar seringai.
Chin Liong sadar, keadaan
bahaya akan mengancam Andika setiap saat di dalam sana. Karena, pendekar tanah
Jawa Dwipa itu tidak tahu kalau sedang masuk perangkap. Maka Chin Liong tak
ingin banyak cincong lagi. Dalam sekali gerak, tangannya sudah melepas Pedang
Pusaka Langit dari sarungnya.
Sring...
"Kalian tentu tak akan
sudi menyingkir begitu saja.
Sedangkan aku, tak punya waktu
banyak untuk meladeni mulut kalian.
Karena itu, sebaiknya
pertarungan dipercepat" tantang Chin Liong tanpa perubahan air muka.
Kini Pedang Pusaka Langit
teracung tepat di depan dada Chin Liong. Sinarnya yang merah membara, menyapu
wajah dingin Chin Liong. Sehingga, membuat wajah lelaki muda itu tampak begitu
angker.
Sementara itu keempat calon
lawan Chin Liong mendadak terpesona, menyaksikan keindahan pedang di tangan
Chin Liong. Tak hanya cahaya merah bara memukau yang tak dimiliki pedang lain.
Bentuknya pun demikian memancing decak kagum.
Gagangnya berbentuk naga
terbang, perlambang kekuatan dan kekuasaan. Sepuhannya dari emas, mengesankan
keagungan. Sedangkan bentuk batangnya memiliki beberapa lekukan di ujungnya
bagai ekor naga.
"Apakah aku tak salah
lihat? Bukankah itu Pedang Pusaka Langit yang menggegerkan dunia persilatan
lima ratus tahun yang lalu?" desis Si Pembawa Badai, tak percaya. Mimik
mukanya seperti seorang yang menyaksikan taman firdaus di depan mata.
Sementara itu, lain lagi sikap
yang diperlihatkan Dewi Seribu Diri. Tiba-tiba saja, dia sesegukan bercucuran
air mata. Sambil menyapu air mata dengan punggung tangan, dia berbicara seperti
nenek tua yang terharu karena diberi sirih.
"Ooo, indah nian pedang
itu.
Alangkah bahagianya jika aku
memilikmya." Tampaknya, penyakit bawaan wanita itu mulai kambuh kembali.
"Pedang ini memang Pedang
Pusaka Langit," ujar Chin Liong. "Kalian tentu tahu pula dari cerita
rakyat, kalau pedang ini akan meningkatkan kemampuan seseorang berlipat ganda.
Kini pedang ini ditanganku.
Maka kuperingatkan pada
kalian, agar segera menyingkir dari sini" Mendadak saja, tiada angin tiada
hujan, Dewi Seribu Diri cekikikan meski wajahnya masih dibasahi air mata.
"Hik hik hik... Apa kau
sudah pikun, kalau kau sedang berhadapan dengan Empat Penguasa Penjuru Angin?
Mana mungkin kami mau begitu saja diusir seperti anjing buduk" umpat
wanita itu dengan wajah keji.
"Kalau begitu, kalian
harus kusingkirkan secepatnya" tandas Chin Liong, tak ingin lebih banyak
buang waktu. Lalu dengan keyakinan dan sedikit kenekatan, pemuda itu meluruk ke
arah keempat tokoh sesat itu.
Padahal selama ini, dia tidak
pernah sekalipun ingin bermimpi untuk menghadapi. Ya, bahkan sekadar mimpi
"Heaaa" Zing...
Di lain tempat, tepatnya di
ruang bawah tanah benteng kuno, Andika dan Chin Chung yang mengaku sebagai Chin
Liong, dengan mudah memberesi lima penjaga penjara tua tempat Putri Ying-lien
disekap.
Setelah mendapat kunci,
Pendekar Slebor bergegas membuka jeruji baja penjaga. Di situ, putri mahkota
kerajaan itu ditemukan dalam keadaan menyedihkan. Wajah, tubuh, dan pakaiannya
kumal.
Wajahnya yang cantik tampak
memucat. Tangannya yang terentang ke atas, terbelenggu rantai baja. Seluruh
tubuhnya tampak lemah tak berdaya. Andika yakin, wanita itu dalam pengaruh
totokan.
"Putri Kau tak
apa-apa?" tanya Andika khawatir, sesaat setelah melewati pintu penjara.
Didekatinya Putri Ying-lien untuk membebaskan tangannya dari belenggu baja.
"K.. kaukah,
Andika?" tanya Putri Ying-lien, lirih.
"Ya Ini aku," jawab
Andika seraya berusaha memapah tubuh Putri Ying-lien yang hendak terjatuh
ketika belenggunya terbuka.
Di belakangnya, Chin Chung
yang mengendapendap halus, melepas pedang yang dikira Pedang Pusaka Langit dari
belakang punggung Andika.
Gerakannya begitu hati-hati.
Sehingga telinga seorang pendekar yang terlatih seperti Andika, tak mau
menangkapnya.
Agaknya, siap menjemput si
Pendekar Slebor.
Jarak yang demikian dekat,
membuat Andika tak akan mungkin sempat lagi menghindar, jika pedang itu lerayun
cepat.
Mungkinkah nyawa Pendekar Slebor
telah tiba di ambang maut? Ternyata di luar perhitungan Chin Chung sama sekali.
sepasang telinga Putri Ying-lien yang sudah menjadi pengganti matanya, masih
mampu menangkap desing amat halus.
"Andika Awas di
belakangmu" sentak Putri Yinglien, memperingatkan.
Pada saat yang bersamaan, Chin
Chung mengayunkan senjatanya tepat ke tengkuk Andika.
Kalau saja yang diserang bukan
Pendekar Slebor, seorang jago tanah Jawa Dwipa yang memiliki kecepatan siluman,
sudah tentu pedang haus darah itu akan segera menemui sasaran.
Zing...
Sekejapan sebelum mata pedang
sampai di tubuhnya, Andika telah lebih dahulu melesat ke belakang. Langsung
dilewatinya tubuh Chin Chung sambil membopong Putri Ying-lien sekaligus.
"Kau...," geram
Andika, begitu kakinya mendarat.
Kini baru disadari kalau
dirinya telah termakan tipu daya Chin Chung.
"Hua ha ha... Kau
terkejut, Pendekar Bodoh? Sekali lagi kau terkecoh, bukan? Aku memang Chin
Chung. Terpaksa saudara kembarku kubunuh di Goa Sejuta Lintah karena terlalu
memaksaku," sesumbar Chin Chung pongah.
Pendekar Slebor segera
meletakkan tubuh wanita yang dibopongnya ke sudut penjara. Dia harus bersiap
menerima serangan lawan, karena gelagatnya sudah makin memburuk.
"Dan kau lihat ini, Tuan
Pendekar Dungu" Chin Chung mengacungkan pedang tinggi-tinggi. "Inilah
Pedang Pusaka Langit Berdoalah untuk mati Karena dengan pedang mi, aku mungkin
bisa lebih cepat mengirimu ke dasar neraka" Pendekar Slebor mengepalkan
kedua tangannya dalam geram tak terhingga. Berbareng dengan itu, rahangnya
mengejang dan matanya berkilat murka. Dia pernah merasakan, bagaimana kehebatan
tenaga lawan yang telah diperkuat kesaktian Pusaka Langit di Danau Panca Warna
dulu (Baca kisah Pendekar Slebor berjudul: "Pusaka Langit"). Kini
Pendekar Slebor tak mau gegabah menghadapinya. Tanpa perlu menimbang lebih
lama, segera kain pusaka yang selama ini hanya tersampir di pundaknya dilepas.
"Percayalah, Manusia
Kentut.
Kau akan membayar semua nyawa
orang-orang yang dekat denganku," serapah Andika seperti menggeram. Sudut
bibirnya terangkat, menandakan dirinya sedang berada di tepi batas kemarahan.
"Mimpi Kau hanya
bermimpi, Andika Kau tak akan mungkin mengalahkanku. Hua ha ha... Apa kau
pi...." "Diam" bentak Andika menggelegar.
Seketika Chin Chung tersentak
kaget, hingga katakatanya terputus. " Kenapa kau tak langsung
membuktikannya? Apa kau takut dengansenjataku? He he he...," kata Andika
sambil menyeringai. "Asal kau tahu saja. Kain ku ini, biar butut bisa
dipakai membuntal manusia kentut macam kau Kau boleh menyebutnya buntalan
kentut, tapi akan membuatmu terkentut-kentut. Ya Meski pun kau berusaha
takkentut. Tapi, kau pastiakan kentut...
Kentut" Wajah Chin Chung
merah padam. Tak ada manusia waras yang sanggup menerima celaan keterlaluan
Pendekar Slebor. Dialah kini yang justru nyaris meledak murka.
"Mampus kau, Pendekar
Dungu" Berbarengan dengan umpatan, disambarnya Pendekar Slebor dengan
sapuan pendang ke batang leher.
Zing...
"Wait Hia-haaa Kau mau
membabat setan bingung?" ejek Pendekar Slebor, setelah mampu menghindari
tebasan dengan menggeser kaki dua langkah. "Aku di sini, nih"
"Haiiih" Chin Chung kembali menggempur telengas.
Serangkai sabetan beruntunnya
diarahkan ke beberapa bagian tubuh Pendekar Slebor.
Seperti tak sudi diserang
terus, Andika mulai melakukan elakan yang diimbangi serangan balasan.
Sewaktu pedang itu menusuk
lurus ke ulu hatinya, tangan kanan yang memegang kain pusaka bergerak, membuat
satu lecutan ke depan.
Cret Trang Saat itu juga,
pedang yang dikira Pedang Pusaka Langit terpatah menjadi tiga bagian, tertampar
kain Pusaka Pendekar Slebor. Tak diragukan lagi. Andika telah menyalurkan
sebagian inti kekuatan warisan Pendekar Lembah Kutukan pada senjata yang jarang
digunakannya. Terbukti, seketika tercipta percikan bunga api, manakala kain
pusakanya menghancurkan senjata lawan.
Chin Chung bukan main
terperangah mendapati pedang di tangannya tak utuh lagi. Mana mungkin bisa?
Bukankah yang digenggamnya sekarang adalah pedang pusaka terbuat dari batu
langit yang keampuhannya tak diragukan? Dan yang terkejut ternyata bukan hanya
dia.
Andika pun sampai terbelalak
tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Mulutnya bahkan terbuka lebar
kebodoh-bodohan. Sesaat kemudian, baru disadari kalau pedang di tangan lawan
bukanlah Pedang Pusaka Langit.
"Hia hik hik..,"
Andika terkikik geli ingin mengejek. "Kau salah culik pedang Chin
Chung" Pendekar Slebor sampai memegangi perutnya karena-menahan tawa.
"Melihat cahaya merah
baranya tadi, aku sempat yakin, lho Tapi nyatanya... huaaa ha ha... nguk"
Andika memajukan bibirnya. "Pedangmu hanya dari tulang monyet Nang, ning,
ning, nang, ning, kung...." Andika makin urakan.
Tangannya malah
melenggak-lenggok seperti menari ketoprak.
"Apa? Kau akan berkicau
kalau bisa membunuhku dengan senjata bohongan itu?" lanjut Pendekar
Slebor.
Napas Chin Chung turun naik
memburu.
Benaknya terasa menjadi kacau
balau tak karuan.
Terbang sudah harapannya dapat
menghabisi lawan setangguh Pendekar Slebor "Sudah... Lebih baik, lari saja
sana. Hus Hus Hus" leceh Andika.
"Aku bukan pengecut"
bentak Chin Chung gusar.
Dibantingnya gagang pedang
dari tangan. "Telanjur basah Aku akan tetap mengadu jiwa denganmu"
Setelah itu, Chin Chung menggenjot tubuhnya untuk keluar dari tempat ini.
"Lho-lho-lho? Katanya mau
mengadu jiwa?" "Aku tunggu di luar" teriak Chin Chung, membuat
keputusan. Disadari, bertempur dengan pendekar kawakan tanah Jawa Dwipa seperti
Andika di ruang sempit seperti itu, sungguh amat tak menguntungkan.
Sementara itu, Andika segera
menjemput tubuh Putri Ying-lien. Selanjutnya disuruhnya Chin Chung keluar.
***
Sementara di tempat lain, Chin Liong tengah
berada di titik tergawat menghadapi Empat Penguasa Penjuru Angin. Sebagai orang
persilatan, Chin Liong masih tergolong hijau. Sehingga kepandaiannya masih jauh
tertinggal dalam pengalaman bertarung. Meski di tangannya kini tergenggam
senjata sakti yang mampu melipatgandakan kekuatan dan kecepatan seperti
keperkasaan seratus gajah dan kelincah walet muda, tetap saja Chin Liong
terdesak.
Dalam empat puluh jurus saja,
pemuda itu mulai tertekan oleh barisan tempur tak terkalahkan milik Empat
Penguasa Penjuru Angin.
Sampai suatu ketika, sebuah
sapuan angin puting beliung dari kesaktian pamungkas Si Pembawa Badai,
meruntuhkan benteng pertahanan Chin Liong. Tubuhnya jadi terhuyung limbung ke
sisi kanan. Tepat pada saat itu, Dewi Seribu Diri menyabetkan selendangnya yang
disusul oleh hantaman buntalan Hantu Bisu Kaki Baja yang demikian cepat.
Cletar Bugkh "Akh"
Dua deraan senjata lawan pada bahu kanan dan punggung, membuat Chin Liong
terlempar ke tanah beberapa tombak disertai muntahan darah segar. Lebih dari
itu, Pedang Pusaka Langit yang jadi andalannya terlempar tinggi ke udara.
Pada saat yang bersamaan, Chin
Chung tiba.
Tubuhnya langsung melayang
tinggi, menyambar pedang sakti itu.
Tep "Hua ha ha... Inilah
pedang yang kudambakan" seru Chin Chung dengan kegembiraan membludak,
setelah kakinya menjejak tanah. "Sebelum mampus, kau boleh berkoar
sepuas-puasmu, Pendekar Slebor" Sementara itu Andika yang baru saja meletakkan
tubuh Putri Ying-lien di tempat aman, menatap tajam ke arah Chin Chung.
"Kau harus memastikan kalau pemuda asing itu mati, Chin Chung Karena, kami
akan membantumu" timpal Si Pembawa Badai yang berdiri lima langkah di
sampingnya. "Aku ingin, kita menumpas semua penghalang yang mencoba usil
terhadap rencana kita menguasai negeri ini" Tubuh Andika seketika menegang
hebat. Bukan saja harus berhadapan dengan orang yang memiliki Pedang Pusaka
Langit, tapi Pendekar Slebor juga harus berhadapan dengan empat tokoh sesat
tersakti di daratan Tiongkok. Ini benar-benar sebuah pertarungan habis-habisan
"Andika.... Jangan menyerah Bantulah kami.
Hanya kau satu-satunya yang
kami harapkan" seru Chin Liong terbata-bata sambil memegangi dadanya.
Ksatria Tiongkok itu tampak berusaha
merangkak ke arah An¬dika.
"Kau masih hidup, Chin
Liong?" tanya Andika gembira mengetahui kawannya ternyata masih bernyawa.
"Apa kau baik-baik saja?" "Jangan pikirkan aku, Andika Hadapi
saja mereka" Baru saja Chin Liong menyelesaikan kalimatnya, Hantu Bisu
Kaki Baja melepaskan senjata rahasia berbentuk kepingan uang logam yang diambil
dari buntalannya.
Wes, wes, wes...
Bles, bles, bles. J
"Aaakh" Chin Liong menjerit sekuat-kuatnya. Di telinga siapa pun,
jeritan tadi tertangkap laksana dentang kematian.
Mata Andika kontan terbelalak
melihat nasib yang diterima Chin Liong. Giginya bergemelutuk keras.
Wajahnya mendadak terbakar
matang.
Seluruh tubuhnya bergetar
hebat. Kemarahan benar-benar telah tiba di puncaknya. Di depan mata kepala
sendiri, sahabatnya telah dihabisi secara keji "Chin Liong...,"
teriak Pendekar Slebor sejadijadinya, bersama seluruh otot di tubuhnya yang
meregang. "Akan kuhabisi kalian semuaaa" Amukan Pendekar Slebor tak
terbendung lagi.
Lalu....
"Hiaaah" Pendekar
Slebor langsung meluruk, melabrak Hantu Bisu Kaki Baja sebagai orang yang
mula-mula akan dimusnahkannya.
Seluruh kesaktian yang
terpendam dalam tubuhnya kini membuncah keluar, membentuk cahaya keperakan
menyelimuti tubuh.
Seketika jurus pamungkasnya
langsung dikerahkan.
Suatu jurus yang pernah
diciptakan di Lembah Kutukan, 'MemapakPetir Membabibuta'.
Melihat gelagat yang tak baik,
empat tokoh sesat yang tergabung dalam Empat Penguasa Penjuru Angin cepat
membentuk barisan tempur andalan. Dengan barisan ini, mereka memang masih bisa
menyelamatkan nyawa Hantu Bisu Kaki Baja. Begitu Pendekar Slebor mendekat,
kawan-kawan Hantu Bisu Kaki Baja langsung menyambar tubuhnya. Kemudian, mereka
segera mengurung Andika yang telah mendarat kembali di tanah setelah berputaran
beberapa kali.
Namun begitu, tak luput
senjata lelaki buntung itu terhajar tinju maut Andika. Buntalan berisi pasir
baja yang langka itu berhamburan, bagai semburan gunung api. Puncak kekuatan
Pendekar Slebor rupanya telah membuat butir-butir pasir itu menjadi panas
membara.
"Chin Chung, bantu
kami" Tindakan Andika sungguh membuat terperangah semua orang. Kenyataan
itulah yang mendesak Si Pembawa Badai untuk berteriak pada Chin Chung.
"Hiaaa..." Dengan
satu teriakan membanaha, Chin Chung melompat ke tengah pertempuran. Pedang
Pusaka Langit langsung dibabatkan ke tubuh Pendekar Slebor.
Kesaktian yang terkandung
dalam senjata itu menyebabkan pedang di tangannya memancarkan cahaya merah bara
yang lebih terang dari sebelumnya.
Dan gesekan pedang dengan
udara, menghasilkan bunga api yang terpercik ke segala arah.
Zing...
Sayang yang dirangsek Chin
Chung bukan anak kemarin sore. Apalagi seluruh kesaktian Pendekar Slebor keluar
sampai pada puncaknya. Satu geseran kecil tubuhnya saja, telah cukup
menyelamatkan Andika dari tebasan kejam Chin Chung.
Melihat serangannya gagal,
Chin Chung langsung mencecar Pendekar Slebor dengan gempuran beruntun.
"Hiah" Zing...
wesss... zing... zing Berlipat gandanya kecepatan lelaki Tiongkok itu, memaksa
Pendekar Slebor berkelit semampunya. Andai saja Chin Chung tak memegang Pedang
Pusaka Langit, gempuran seperti itu sudah pasti dapat dimentahkan kecepatan
sakti warisan Lembah Kutukan milik Pendekar Slebor. Tapi, persoalan jadi lain
jika ada pedang itu masih di tangannya.
Empat sabetan membentuk
putaran ke bawah di sekujur tubuh dapat dihindari Andika. Namun pada sabetan
kelima yang begitu tipis jaraknya, tak bisa lagi dielakkan. Sehingga...
Sret "Aaakh..." Bahu
kiri Pendekar Slebor jadi terkoyak dalam diiringi keluhan tertahan. Tampak
bagian kulit luarnya menghangus. Rasa sakit yang dideritanya lebih hebat
daripada sambaran petir yang pernah menggores kulitnya, kala menjalani
penyempurnaan di Lembah Kutukan.
Dan ini sangat mengganggu
pusat perhatiannya. Pada saat yang tak menguntungkan, mendadak Pencuri Jantung
memanfaatkannya. Satu sambaran jari meluncur ke dada kiri Pendekar Slebor.
Seperti julukannya, tampaknya jantung Andika hendak didongkel keluar.
Bes Kalau saja selubung tenaga
sakti di sekitar tubuh Pendekar Slebor tidak lebih kuat daripada tohokan jari
Pencuri Jantung, entah bagaimana nasib yang akan dialaminya. Tapi, bukan
berarti Andika tak mengalami luka. Tulang rusuk di dada kirinya saat itu terasa
bagai diremukkan dari dalam.
"Huaaa" Pendekar
muda itu menjerit keras-keras, sehingga bumi bagai bergetar. Lalu tubuhnya
terpuruk menimpa bumi, menimbulkan suara berdebam.
Selagi Pendekar Slebor
bergulingan kesakitan di tanah, Dewi Seribu Diri melepas sapuan selendangnya ke
perut Andika.
Cletar Tubuh Pendekar Slebor
kontan makin menggila bergulingan di tanah. Kalau saja kekerasan hatinya untuk
membantu nasib negeri Tiongkok tidak ada, sudah semenjak tadi kesadarannya
hilang.
Sementara itu, langit di atas
kancah pertarungan mulai menebal. Arakan awan hitam bergerombol, memekati
angkasa. Musim memang baru saja berganti.
Hujan per lama akan segera
membasahi bumi. Itu sudah dapat dipastikan, karena tak lama kemudian salakan
guntur terdengar mengekori kerjap kilat di udara. Dan kini rintik-rintik air
pun mulai berlomba jatuh.
Di antara serbuan bulir-bulir
air hujan, Pendekar Slebor menerima serbuan yang lain. Suatu serbuan telengas
yang hendak merancah tubuhnya. Bagai kawanan serigala lapar tak memiliki belas
kasihan, kelima lawannya melancarkan hantaman demi hantaman secara bergantian.
Andika terpaksa berjuang di
batas hidup dan mati dalam gelombang rasa sakit luar biasa. Penderitaan itu
menyedot kesadarannya sampai pada titik paling bawah.
Nyaris Pendekar Slebor tak
sadarkan diri, sampai suatu ketika....
Jlegarrr Mendadak satu kilatan
lidah petir menyergap tubuh Pendekar Slebor. Tenaga geledek raksasa itu
demikian menyilaukan, memaksa kelima lawannya terhenyak beberapa tindak ke
belakang, seraya menghindari terpaan cahaya petir yang kuat, ke mata
masing-masing.
Saat itu, mereka semua sudah
mengira kalau Pendekar Slebor, penghalang terberat ini telah tutup usia. Mana
ada manusia yang bisa bertahan hidup diganyang petir? Nyatanya mereka salah
duka, karena memang sama sekali tak pernah tahu kalau dalam seluruh jaringan
tubuh Andika tersimpan kekuatan mukjizat dari buah langka yang pernah
dimakannya di Lembah Kutukan. Mukjizat buah itu mampu menyerap berjuta-juta
kekuatan tenaga geledek.
Jauh di luar keyakinan mereka,
tubuh pendekar muda itu tiba-tiba meregang bersama sinar menyilaukan di sekujur
tubuhnya. Dari rebahannya, Andika segera bangkit bagai hendak meledak.
Seketika, Empat Penguasa
Penjuru Angin takjub luar biasa, menyaksikan peristiwa yang di luar jangkauan
akal itu. Maka keempatnya terbelalak lebarlebar. Seluruh keberingasan mereka
mendadak terbang entah ke mana.
Tubuh Pendekar Slebor kini
makin bergetar hebat.
Ketika serangkum petir
menyambar tubuhnya kembali, terdengar erangan tinggi, seakan hendak membelah
langit. Kemudian....
Crash Dari kedua telapak
tangan Pendekar Slebor mendadak membersit larikan menyilaukan sebagai pelepas
tenaga petir yang telah terkumpul di tubuhnya.
Tak ada sekerdipan mata, Hantu
Bisu Kaki Baja dan Pencuri Jantung tersambar cahaya yang tak sempat dielakkan
itu. Tubuh mereka langsung membersit sinar terang. Setelah sinar itu
menghilang, tubuh mereka pun tak berbentuk lagi. Kecuali, tumpukan abu hitam
yang berhamburan tertimpa rintik hujan.
Sedangkan Chin Chung hanya
bisa menahan napas. Kerongkongannya mendadak tersedak. Begitu pula Dewi Seribu
Diri dan Si Pembawa Badai.
Bagaimana mungkin lawan bisa
melakukannya? Sebelum benak mereka mampu menjawab kejadian aneh yang baru
seumur hidup disaksikan, dua larik sinar kembali membersit dari telapak tangan
Pendekar Slebor. Kini, giliran dua anggota Empat Penguasa Penjuru Angin yang
termakan kekuatan alam itu.
Jlegar Jlcgar ' Aaa....
Aaakh..." Terdengar dua jeritan menyayat, begitu sinar putih menghantam
jubah Si Pembawa Badai dan Dewi Seribu Diri. Kedua tokoh sesat itu kontan
terjengkang dengan tubuh hangus jadi arang.
Chin Chung makin membelalak.
Seluruh tubuhnya jadi kaku. Dia benar-bena terbelenggu keterpesonaan dan
kebingungan yang berbaur menjadi satu.
Glarrr...
Sekali lagi petir menyalak.
Kini tubuh Andika kembali menjadi sasaran.
Glar.... Glarrr...
Sekejapan saja terlepas
kembali dua larik sinar dari telapak tangan Pendekar Slebor. Sasarannya kini
tubuh Chin Chung.
Untung saja Chin Chung
memegang Pedang Pusaka Langit di depan tubuhnya. Karena secara kebetulan,
larikan sinar tadi pun menghantam pedang di tangannya. Seketika satu kerjapan
cahaya menyilaukan tergipta, membuat tubuh Chin Chung terguncang hebat.
Mendapati dirinya masih dalam
keadaan utuh, Chin Chung segera menyadari kalau pedang di tangannya telah mampu
menyedot kekuatan cahaya yang hendak menghanguskan. Merasa mendapat harapan
baru, cepat Pedang Pusaka Langit diputar ke sekitar tubuhnya.
Glarrr.... Glarrr...
Baru satu putaran, tangan
Pendekar Slebor kembali melepas dua larik sinar. Begitu cepatnya, sehingga
langsung melabrak Chin Chung.
"Aaa..." Naas bagi
Chin Chung. Rupanya, gerakannya telah menjadi satu kesalahan paling parah. Pada
saat pedang itu berada di bawah, sinar petir telah lebih dulu sampai di bagian
atas tubuhnya. Maka tubuhnya pun, seperti rekan-rekannya yang lain, hangus
menjadi debu hitam yang tercabik.
Bumi menjadi tenang, kecuali
deru angin dan tangisan hujan mengisi alam. Pendekar Slebor berdiri bagai
patung tak bernyawa, dengan pandangan menyapu ke arah mayat lawan-lawannya.
Seluruh pakaiannya sudah tak berbentuk lagi. Sementara, air hujan meluncur
perlahan di kulit wajahnya.
Bumi makin bisu. Hujan makin
menyapu basah seluruh permukaan tanah, ketika Andika menghampiri tubuh Putri
Ying-lien.
Terdengar keluh panjang wanita
cantik itu, ma nakala Andika membebaskan totokannya.
Agar tubuhnya lebih segar,
pendekar muda ahli waris Pendekar Lembah Kutukan ini menyalurkan sisa hawa
murni ke bagian punggung Putri Ying-lien.
"Bagaimana keadaan Chin
Liong?" tanya Putri Ying-lien khawatir, setelah mendapat penyaluran hawa
murni.
Di depannya Andika menggeleng
lamban. "Dia tak tertolong lagi...," jawab Pendekar Slebor putus asa.
"Kau yakin?" Andika
menatap manik-manik mata Putri Yinglien. Jelas sekali kalau wanita itu meminta
secara tak langsung untuk meyakinkan keadaan Chin Liong.
Memang. Sampai saat ini,
Andika belum sempat memeriksa keadaan Chin Liong. Dia hanya berpikir, pemuda
ksatria itu telah kehilangan nyawa.
Sebelum Andika bergegas
bangkit untuk menghampiri Chin Liong, sepuluh depa di belakangnya terdengar
erangan. Ternyata erangan itu keluar dari mulut penuh darah Chin Liong. Pemuda
gagah itu berjalan menyeret langkah, tak mau menyerah dengan keadaan dirinya
yang sudah begitu memprihatinkan. Di tangannya kini tergenggam lemah Pedang
Pusaka Langit.
"Chin Liong...,"
sebut Putri Ying-lien, seraya menghambur ke arahnya.
Dipapahnya lelaki kepercayaan
yang pernah mencintainya.
"Tuan Putri. Kuserahkan
Pedang Pusaka Langit ini kepadamu," kata Chin Liong terseret-seret.
"Sekarang, tugasku telah
selesai, bukan?" Putri Ying-lien menerima pedang pusaka itu.
Bibirnya terukir sebaris
senyum lega.
"Kenapa kau berkata
begitu?" tanya wanita itu.
"Karena aku ingin
menepati janji dengan seseorang...," jelas Chin Liong.
"Seorang wanita?"
tukas wanita ini, menggoda.
"Masa' nenek-nenek"
sela Andika.
Kata-kata Pendekar Slebor
membuat Putri Yinglien tertawa renyah. Sedangkan Chin Liong hanya bisa
menyeringai kecil. SELESAI