Pendekar Slebor Episode 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan

Pendekar Slebor Episode 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan
Pijar El
-------------------------------
----------------------------

Episode 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan

1

Tanah Buangan. Sebuah daerah terpencil, jauh dari kehidupan manusia. Sulit dicapai, karena dibentengi pegunungan karang terjal di sebelah utara yang

membentang hingga ke barat. Juga dikurung oleh hutan belantara berlumpur pasir yang dalam, dari selatan hingga timur.

Sulitnya mendapatkan makanan dan banyaknya

binatang buas, membuat daerah itu tak begitu diminati untuk dijadikan tempat tinggal. Meski begitu, tetap saja ada satu gubuk kecil di sana, yang dibangun sejak dua puluh satu tahun lalu ketika dua orang wanita penghuninya menempati. Semenjak mulai membangun kehidupan di sana, mereka pun menyebutnya sebagai Tanah Buangan.

Di satu ketinggian bukit karang, kedua wanita itu kini tampak sedang berlatih ilmu olah kanuragan. Matahari telah sepenggalan naik, mengintip dari lebatnya dedaunan hutan. Sinarnya menerobos ubun-ubun setiap pohon besar, dan menerangi semacam karang datar c ukup luas tempat mereka berlatih.

Yang muda bernama Anggraini. Wajahnya cerah dan

cantik mempesona. Rambutnya panjang hingga sebatas lutut. Tubuhnya yang sintal kuning langsat, terbungkus pakaian merah-merah yang menebarkan wangi harum

semerbak. Matanya agak sayu menantang, serta berhidung bangir. Di atas bibirnya yang merah merekah, terdapat tahi lalat kecil. Maka semakin manislah wajahnya. Kendati demikian, tahi lalat kecil tadi juga memberi kesan sedikit judes.Sementara Anggraini memainkan jurus-jurus silat penuh gelora di bawah siraman sinar mentari hangat, seorang perempuan tua memperhatikan dari jarak tak begitu jauh. Walaupun asianya sudah tujuh puluhan, tapi wajahnya masih tergolong muda. Kalau diperhatikan, mungkin orang akan menyangka wanita itu berumur tiga puluhan. Wajahnya tak jauh beda dengan Anggraini. Sama- sama cantik dan sama-sama mempesona. Bedanya, hanya pada sinar mata. Wanitayang lebih tua tampak lebih tenang dan berwibawa. Tubuhnya pun masih tetap ramping mengagumkan, terbalut pakaian ungu berbentuk jubah dengan sabuk kain pada bagian pinggang. Rambut yang hitam digelung tanggung di bawah leher. "Hiaaa"

Pekikan lantang Anggraini menerabas dinding karang.

Begitu menggebu seakan siap mcrobek langit. Di bawah pcngawasan wanita tua sckaligus guru tunggalnya yang duduk tenang, gadis dua puluh empat tahun itu menusuk udara dengan senjata di tangan kanan. Sekejap itu pula tercipta desis keras mcmbahana, pertanda kalau tenaga dalam gadis ini sudah mencapai tingkat tinggi. Angin pukulannya kemudian meluncur lurus ke arah dinding cadas. Berikutnya, dinding cadas itu sudah berantakan.

membentuk lobang besar yang dalam.

Siapa pun bisa berdecak kagum bila mengetahui hasil angin pukulan perempuan muda yang tampak lemah

gemulai itu. Terlebih jika memperhatikan senjatanya, yang hanya berupa busur kayu. Tampak rapuh, namun bisa begitu berbahaya di tangannya.

"Cukup, Anakku" seru wanita tua itu. yang ter-nyata ibu dari Anggraini. Dan di dalam rimba persilatan dia dikenal sebagai Kupu-kupu Merah. "Kulihat pukulan

'Kekuatan Kembar'-mu sudah cukup sempurna. Kini tinggal mencari tahu, apakah inti pukulanmu sudah sempurna pula."Kupu-kupu Merah segera bangkit dari bersilanya. Lalu dihampirinya karang berlobang tadi. Dari jarak dekat wanita awet muda itu meneliti beberapa saat. Dengan hati-hati, tangan kanannya dijulurkan ke bagian dalam lobang.

Dan tiba-tiba ditariknya kembali tangan cepat-cepat.

Sepcrtinya dia baru saja mcrasakan sengatan halilinlar.

Dengan wajah terpana, ditatapnya Anggraini, "Anggraini

Kau telah berhasil mencapai tingkatan puncak ilmu pukulan itu, Anakku" seru perempuan tua itu, girang.

Anggraini melenggak. Sesaat dia terpaku, seakan tidak percaya dengan ucapan ibunya sendiri.

"Apa kau tak mendengarku? Kau berhasil, Anakku

Berhasil"

Kupu-kupu Merah Jangsung menghambur ke arah

Anggraini. Dipeluknya anak gadis satu-satunya yang masih terpana dengan rangkulan kelewat hangat. Sehingga menyebabkan tubuh Anggraini sedikit terguncang-guncang.

"Ibu tak sedang menghiburku,

bukan?" tanya

Anggraini masih tak bisa mempercayai kata ibunya barusan.

Tingkat puncak ilmu pukulan 'Kekuatan Kem-bar'

memang begitu sulit. Bahkan hampir tidak mungkin didapatkan oleh seorang wanita seperti Anggraini. Bahkan ibunya sendiri sebagai guru tung-galnya tak bisa mencapai taraf itu. Lantas bagaimana gadis ini bisa cepat percaya kalau kini ibunya tiba-tiba berkata kalau tingkatan itu telah berhasil diraihnya?

"Aku tahu kau tak mempercayainya, Anakku. Tapi itu memang tcrjadi. Selama beberapa keturunan, tak pernah ada orang yang berhasil mencapai tingkatan itu. Baik diriku, kakekmu, atau guru kakekmu. Kecuali, buyut guru yang menciptakan ilmu pukulan itu...," papar Kupu-kupu Merah bangga tanpa mclepaskan rangkulan.

"Tapi, Bu...," Anggraini coba membantah.

"Tak ada lapi-tapian Kau telah berhasil, Anakku Aku patut bangga padamu. Juga kakekmu, ya juga buyut guru,"

sergah si ibu menggebu. Segera digandengnya Anggraini, untuk meninggalkan tempat ini. "Kita harus merayakan keberhasilan ini" tambahnya sambil mencubit pipi Angraini yang bersemu merah.

Sepeninggalan ibu dan anak itu, dinding karang yang menjadi korban pukulan pamungkas Anggraini tadi

mendadak bergetar seperti dilabrak gempa. Bongkahan-bongkahan batu mulai berhamburan ja-iuh. Lalu retakan-retakan besar tercipta, menyus ul sebuah suara desisan amat keras bagai suara jutaan ular yang tergabung menjadi satu, mengiringi merekahnya bagian datar bukit karang di dekat lobang pukulan Anggraini

***

"Ada yang perlu kau ketahui mengenai ilmu pukulan

'Kekuatan Kembar'. Anggraini," kata Kupu-kupu Merah membuka percakapan ketika mereka sudah berada dalam gubuk.

"Apa, Bu?" tanya Anggraini meminta jawaban.

Wanita tua tapi masih kelihatan muda itu terdiam, seperti mengingat-ingat sesuatu yang terkubur begitu lama dalam benaknya.

"Sewaktu ilmu itu diwariskan padaku, kakekmu pernah menyebutkan satu pesan yang datang secara turun-temurun dari buyut guru. Katanya, ilmu pukulan itu memiliki suatu 'kelebihan yang tak pernah terbayangkan oleh pemiliknya' jika sudah mencapai taraf puncak. Karena kau telah mencapai taraf itu, kupikir sudah sepantasnya kau mengetahui," papar Kupu-kupu Merah.

"Kelebihan apa kira-kira, Bu?"

Kupu-kupu Merah menggeleng.

"Aku tak tahu. Dan aku juga tidak bisa menduga,"

jawab sang ibu, sedikit pun tak memuaskan anaknya. "Tapi kau akan segera mengetahuinya nanti. Bersabarlah...."

Wanita tua yang awet muda itu lalu bangkit. Di-

hampirinya satu sudut ruangan. Di sana, diambilnya sebuah peti kecil yang terkunci rapat.

"Sekarang pula waktunya aku menceritakan padamu tentang suatu hal," ujar wanita tua ini seraya membawa peti tadi ke dekat Anggraini.

Peti itu diletakkan di lantai gubuk, tepat di depan Anggraini yang tetap duduk bersimpuh. Lalu dengan sebuah kunci, dibukanya kotak berwarna hitam kusam itu.

Peti terbuka. Maka terlihatlah seutas cemeti di

dalamnya. Juga sebuah kalung bermata kepingan perak berbentuk

kepala

rajawali.

Kupu-kupu

Merah

mengeluarkan kedua benda kuno, dan meletakkannya di pangkuan Anggraini.

"Apa maksud Ibu dengan semua ini?" tanya Anggraini agak terdengar lirih.

Tampaknya gadis itu mulai bisa menduga maksud

ibunya dengan semua itu. Kalaupun dia bertanya, sekadar mengungkap ketidak setujuannya.

"Aku telah menurunkan semua ilmu-ilmuku padamu, Anakku...."

"Karena itu Ibu memberikan padaku benda-benda ini?" selak Anggraini, menyampaikan dugaan kuatnya.

Kupu-kupu Merah mengangguk Iamat. Sebenarnya

bukan hanya Anggraini yang tak setuju atas semua hal itu.

Dia pun begitu. Tapi, perpisahan bukanlah waktu yang bisa dihindari setiap orang. Sudah waktunya bagi Anggraini untuk merambah dunia persilatan, mengamalkan seluruh kepandaian yang telah dimilikinya untuk kepentingan orang banyak. Dan Kupu-kupu Merah yakin, itu adalah jalan terba-ik bagi anak tunggalnya.

"Aku tak mau berpisah dari Ibu," gumam Anggraini berat.

"Aku tahu, Anakku. Siapa manusia yang sudi berpisah dari orang-orang yang dicintai? Aku pun sesungguhnya berat berpisah denganmu, darah dagingku. Tapi kau harus menjalani sesuatu yang lebih baik daripada hanya di tempat terpencil ini. Banyak hal menunggumu di luar sana.

Banyak orang menanti uluran tanganmu. Juga, banyak pengalaman yang akan memperkaya dirimu agar kau bisa memahami apa arti hidup ini."

Anggraini mulai terseguk kecil. Sang ibu menjadi trenyuh. Dengan penuh kasih, dirangkulnya gadis ini erat-erat. "Hidupmu tetap akan berlanjut tanpa aku, Anakku.

Jadi, janganlah menjadi takut menghadapinya hanya karena aku tak ada...," tutur wanita tua itu arif.

"Aku bukan takut menjalani hidup, Bu. Aku hanya takut tidak akan bertemu lagi denganmu...," keluh Anggraini, di antara isak yang menyentak kecil. "Sudahlah.... Aku tak mau anakku menjadi gadis rapuh. Kau tak mau mengecewakan ibumu, bukan?"

Anggraini menggeleng dalam pelukan Kupu-kupu

Merah.

"Nah Kalau begitu, tegakkan kepala dan man-tapkan tekad. Kau harus jadi gadis berjiwa karang" ujar sang ibu memberi kekuatan seraya melepas pelukan.

Sementara Anggraini menyeka air mata yang

melembapi kedua sisi pipi halusnya, sang ibu diam menunggu. Setelah itu, dia mulai berbicara kembali.

"Dua benda ini ada hubungannya dengan ayahmu.

Selama ini, kau selalu menanyakan tentang beliau, bukan?

Aku tak bisa menceritakan tentangnya. Dengan benda-benda ini, carilah keterangan tentang ayahmu di luar sana.

Apa pun yang kau dapat tentang diri ayahmu, terimalah dengan hati lapang...."

"Kenapa bukan Ibu saja yang menceritakan tentang ayah padaku?" cetus Anggraini.

"Tidak. Itu terlalu sulit bagiku. Kau nanti akan lahu, kenapa aku berkata seperti itu. Hanya, aku hanya bisa mengatakan kalau ayahmu sangat sayang padamu...,"

lanjut Kupu-kupu

Merah

dengan s uara

melemah.

Dijemputnya cemeti dan kalung perak dari pangkuan Anggraini. "Bawalah benda ini. Sekali lagi kukatakan.

dengan benda ini carilah segala hal tentang ayahmu."

Anggraini menerima dua benda pemberian ibunya

dengan garis-garis bening di mata.

***

Dua hari kemudian, gadis yang beranjak matang itu

telah berdiri mematung di bukit karang, tempatnya biasa latihan bersama sang ibu. Untuk yang terakhir kalinya, dinikmatinya tempat yang menyimpan kenangan bertahun-tahun ini. Sebuah tempat di mana dirinya dibesarkan.

Tempat yang penuh tantangan hidup, namun sudah

menjadi bagian dari dirinya sendiri. Tak berapa lama kemudian, gadis ini menghampiri

dataran cadas yang membentang di balik bongkahan karang raksasa. Ketika tiba di pelataran latihan alam itu, Anggraini menjadi terkejut. Tampak tempat tersebut dalam keadaan porak poranda. Ba-tu-batu besar berserakan tak menentu. Dinding cadas dilantak retakan-retakan besar.

"Mungkinkah ada gempa?" bisik gadis itu.

Tapi, tak mungkin gempa. Gempa tak mungkin

menciptakan lobang seperti galian sumur dengan ga-ris lingkaran yang begitu bulat, seperti dilihatnya pada pelataran latihan, tepat di bawah bagian dinding cadas yang terkena pukulannya beberapa hari lalu.

"Ada apa ini sebenarnya?" gumam Anggraini kembali.

Saat selanjutnya, naluri gadis ini mcmperingati.

Bahaya besar akan dalang Sekilas dari peringatan nalurinya, terdengar sebentuk desisan mengerikan yang demikian santer....

"Zzz..."

Anggraini tercekat. Dengan serta merta, tubuhnya berbalik ke arah suara tadi. Matanya tiba-tiba mcmbesar, bibirnya ternganga dan wajahnya berubah memucat

manakala menyaksikan sesuatu di belakangnya. Sesuatu yang 'tak pernah terbayangkan.

***

Siapa pun akan terperangah menyaksikan dengan

mata kepala sendiri suatu yang tak pernah terlintas dalam benak. Persis keadaan Anggraini saat ini.

Apa yang disaksikan gadis itu adalah seekor ular raksasa Besar tubuhnya dua kali ukuran kerbau dewasa.

Dan panjangnya, lebih dari dua puluh tombak Sisiknya kasar bagai serpihan karang, berwarna hitam keperakan serta berlendir. Hanya pada bagian kepalanya saja bebas dari cairan kental menjijikkan itu. Jika dilihat sekilas, kepala ular raksasa itu mirip kepala seekor naga. Pada bagian telinganya terdapat sebentuk sirip tajam. Mulutnya pun besar bertaring. Sedangkan matanya berwarna merah tua.

Tepat sekali pesan dari Kupu-kupu Merah pada saat hendak melepas anaknya dua hari lalu, bahwa pencapaian tingkat pamungkas ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar' yang dicapai Anggraini akan membuahkan sesuatu yang tak pernah terbayangkan Ular raksasa itu memang muncul, karena pengaruh kekuatan pamungkas ilmu pukulan milik Anggraini.

Binatang raksasa ini adalah makhluk tua berusia

ratusan tahun. Kekuatan pukukan Anggraini, telah mengusik tidurnya dalam perut bumi setelah seratus lima puluh tahun. Dulu, manakala buyut guru Anggraini menciptakan ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar', si ular raksasa pun tiba-tiba muncul di luar perhitungannya.

Entah karena tak ingin dimangsa atau karena begitu terkejut, buyut Anggraini melepas pukulan ciptaannya ke tubuh binatang langka itu. Tak ayal lagi, terjadilah pertarungan amat dahsyat antara dua makhluk berbeda.

Berhari-hari mereka bernafsu hendak saling menjatuhkan.

Sampai akhirnya si ular raksasa dapat ditundukkan lelaki sakti buyut Anggraini.

Sepeninggalan lelaki itu, si ular raksasa menghilang kembali ke dalam perut bumi. Bersemadi kembali seperti seorang pertapa tua. Kalau ada seorang yang sanggup mengusiknya kini, itu karena pengaruh ilmu pukulan

'Kekuatan Kembar' yang sampai padanya jauh di bawah bumi.Jika begitu, mungkin si ular raksasa akan segera jinak pada Anggraini karena sama-sama memiliki ilmu pukulan

'Kekuatan Kembar' seperti buyut gurunya. Kemungkinan lain pun bisa saja terjadi. Biar bagaimanapun, hewan tetaplah hewan. Memiliki naluri yang begitu peka, sehingga mampu membedakan sang tuan atau bukan.

Dengan amat mengerikan, binatang raksasa itu mulai merayap menuju Anggraini. Gesekan kulitnya yang tebal dengan dataran karang, menimbulkan bunyi keras. Mulut bertaringnya tak henti-henti mendesis. Sesekali lidahnya terjulur keluar seperti hendak langsung menyambar tubuh Anggraini, lalu menyeretnya mas uk ke dalam mulut sebesar goa itu.

"Zzz Zzz..."

"Ya, Tuhan.... Makhluk apa ini?" gumam Anggraini nyaris mendesis karena begitu bergidik.

Namun kengerian gadis ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut, kalau tidak ingin menjadi sasaran empuk si ular raksasa. Karena, saat itu juga ular ini menyerang dengan ganas.

Kepala ular raksasa itu membuat gerakan mematuk.

Bersamaan dengan itu, mulutnya menganga lebar,

memperlihatkan rongganya yang berlendir.

Disertai seruan kaget, Anggraini melenting gesit ke udara. Tindakan itu cukup mampu menyelamatkan dirinya.

Nyatanya, kepala ular raksasa ini hanya lewat sekian jengkal di bawah kakinya.

Luputnya serangan pertama. kembali datang se-

rangan susulan. Tubuh lentur hewan ini meliuk. Dan ekornya pun menyabel deras kedepan. menyerbu tubuh Anggraini di udara.

Wuk

"Aaaih"

Penggodokan selama bertahun-tahun di bawah

lumbingan ibunya, tak sia-sia. Tanpa banyak berpikir lagi, Anggraini membuat putaran darurat dengan menggulung tubuhnya.

Sekali lagi, terjangan ganas binatang mengerikan ini dapat dilumpuhkan. Untuk kali ini, Anggraini tak puas hanya mementahkan serangan. Dia pun merasa harus membalas. Itu jalan terbaik baginya. Karena pada saat itu, hanya ada dua pilihan bagi gadis itu. Membunuh atau dibunuh

"Hiaaa"

Srat-wut

Satu gerakan gesit dibuat Anggraini. Busur yang sejak tadi hanya menggelantung di bahu, langsung diloloskan.

Secepatnya pula senjata itu dihantamkan ke belakang kepala si ular raksasa.

Prak

Besarnya tubuh hewan itu membuat Anggraini bisa

telak mendaratkan hantaman busurnya. Tapi walau

tindakan itu dilakukan dengan satu pengerahan tenaga dalam, nyatanya si ular raksasa tak mengalami akibat yang berarti.

Ular besar itu hanya menggeliat sekali, lalu membalikkan kepalanya ke arah Anggraini. Seolah-olah pukulan tadi hanya berupa gigitan seekor nyamuk baginya.

Kenyataan itu benar-benar sempat mengecutkan nyali gadis dari Tanah Buangan.

"Tuhan....

Apakah

aku

benar-benar

mampu

menghadapi binatang mengerikan ini?" keluh Anggraini, setelah mencoba membuat jarak yang cukup aman dari lawan anehnya.

Belum lagi puas mengambil napas, ular raksasa itu mulai lagi mematuk deras.

Karena begitu besar,

patukannya menimbulkan angin kuat. Untuk kesekian kalinya, Anggraini berkelit jauh-jauh.

Tak seperti sebelumnya, patukan kali ini rupanya dilandasi kemarahan ular raksasa atas tindakan Anggraini yang menghajar bagian belakang kepalanya. Dengan begitu, kekuatan serangan pun makin berlipat ganda.

Akibatnya, angin deras yang tercipta pun kian besar.

Meski Anggraini berhasil luput dari terjangan kepala, tak urung angin hasil gerakan buas si ular raksasa menerpanya. Keseimbangannya jadi hilang. Pada saat kakinya berusaha mencari pijakan yang kuat, ekor hewan itu melepas lecutan secepat kilat.

Wuk Des

Tak ayal lagi tubuh Anggraini terlontar ke belakang, seperti sebongkah batu yang dilemparkan sepenuh tenaga

Kalau saja tak memiliki ketahanan luar biasa, saat itu juga tubuhnya akan remuk-redam. Atau, paling tidak akan kehilangan kesadarannya.

Untunglah hal itu tidak terjadi. Meski dengan dada terasa dihantam godam ratusan kali, gadis putri lunggal Kupu-kupu Merah itu masih mampu membuat putaran

tubuh di udara, agar kepalanya tak hancur dilantak dinding karang. Setelah menahan luncuran tubuh dengan kakinya, Anggraini mendarat agak payah. Sebelah tangannya memegangi dada. Sementara dari kedua sudut bibirnya, mengalir cairan merah.

Dari jarak tujuh belas tombak yang memisahkan

dirinya dengan lawan, Anggraini menatap nanar binatang langka itu. Pandangannya mengabur. Namun di balik itu, seberkas pijar kegusaran mulai terbetik.

" Jangan senang dulu, Binatang Laknat Kau pikir aku akan mudah dilumat" geram Anggraini bersama rahang yang mengejang.

Di lain sisi, si ular raksasa mulai merayap menuju diri gadis itu kembali. Lidahnya menjulur-julur bagaikan mengejek. Mata merahnya mencorong penuh ancaman.

Sambil

mendesis

mengguntur,

taring

besar-nya

diperlihatkan.

"Kau rasakan ini" rutuk Anggraini.

Begitu selesai kata-katanya bergegas gadis ini

meloloskan sebatang anak panah dari sarangnya.

Busur yang masih tergenggam erat di tangan kanan, segera diacungkan ke muka. Senjata itu pun meregang, siap melepas anak panah yang dibidikkan tepat ke kepala si ular raksasa. Srat

Anak panah bermata baja merangsek udara. Begitu

deras meluncur ke arah sasaran.... Tak

Mata Anggraini dipaksa mengerjap-ngerjap tak

percaya dengan apa yang terlihat. Anak panah bermata baja itu ternyata seperti terhadang tembok kuku tak tertembus. Bahkan malah patah menjadi dua Entah terbuat dari apa kulit kepala binatang itu....

Disertai rasa penasaran membludak,

Anggraini

meloloskan lagi anak panah. Kali ini tak tanggung- tanggung, tiga anak panah akan langsung ditujukan pada beberapa bagian tubuh si hewan raksasa. Mungkin ada bagian-bagian tertentu tubuh hewan itu yang berkulit rapuh.Srat Siing... Tak-tak-tak

"Astaga Betul-betul gila" seru Anggraini, begitu mengetahui kalau tiga batang anak panahnya mengalami nasib sama dengan anak panah sebelumnya. Padahal dia sudah mencoba mendaratkannya di bagian tubuh yang diperkirakan lemah

Tinggal tersisa satu kesempatan lagi bagi gadis itu untuk melepas anak panah selanjutnya, sebelum ular raksasa benar-benar tiba di dekatnya. Maka kini dua anak panah pun diloloskan. Kali ini Anggraini yakin benar sasarannya akan membawa hasil. Yang akan ditujunya sepasang mata merah darah milik si ular raksasa.

Srat Si ing...

Ketika dua batang anak panah Anggraini yang melesat cepat nyaris mencapai biji matanya, si ular raksasa tiba-tiba membuat satu sabetan dengan lidahnya. Sungguh sebuah kemampuan tempur yang s ulit dipercaya, bisa dilakukan oleh semacam hewan seperti itu. Seakan-akan makhluk mengerikan ini memiliki kecerdasan seorang pendekar tangguh.

Bet

Dengan lidahnya, hewan berdarah dingin ini menjerat dua batang anak panah bermata perak itu. Secepat kilat, lidah lenturnya menghempas balik ke arah Anggraini.

Hasilnya, kini senjata itu mengancam tuannya sendiri.

Kalau saja Anggraini tak cepat menghindar, ten-tu sepasang anak panahnya akan menyantap tubuh sendiri.

Meski bisa melepaskan diri dari maut, Anggraini tetap tak bisa melepaskan diri dari keterkejutan atas tindakan ular aneh ini tak biasanya.

"Benar-benar sulit dipercaya," gumam gadis itu dengan wajah sedikit terlipat.

Baru saja gumamannya selesai Anggraini harus sungsal-sumbel menghindari terjangan liar si ular raksasa yang semakin kerasukan. Kepalanya mematuk-matuk

hebat, sedangkan ekornya menyabet-nyabet menggiris nyali. Karena berkali-kali gadis itu bisa menyelamatkan diri, maka bukit karang di sekitar pertempuran yang menjadi sasaran.

Bongkahan-bongkahan

batu

terus

berguguran.

Sehingga, tempat itu lebih berantakan daripada sebelum terjadi pertarungan. Butiran-butiran yang lebih kecil berhamburan ke segala arah. Tempat itu kian porak-poranda.

Sampai saatnya, Anggraini merasa harus melakukan bela diri. Tubuhnya tentu akan cepat kelelahan, jika terus diburu seperti itu. Makanya, kini mulai dikerahkannya ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar' pada kedua tangannya. Suatu ketika, tangan kanan-nya mendapat kesempatan untuk mendaratkan pukulan tingkat kelima, setengah dari kemampuan ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar'. Yang

menjadi sasaran adalah moncong hewan langka ini.

Dugh

Kontan saja kepala besar sang ular tersurut mundur.

Tubuhnya tampak menggelepar sesaat, sebagai tanda mengalami

siksaan

rasa

sakit.

Ketika

tubuhnya

menggelepar, kepala ular raksasa itu menggeleng-geleng liar dengan cepat.

Anggraini

yakin,

pukulannya

akan

segera

membinasakan ular raksasa itu. Atau paling tidak, binatang itu akan terluka dalam dengan tulang moncong remuk redam. Menurutnya, tulang tengkorak ular itu pasti tidak sekeras cadas. Pada tingkat pukulan ketiga saja, cadas sekeras apa pun bisa dibuat hancur oleh pukulannya.

Apalagi pada tingkat kelima seperti diterima si ular raksasa.

Tapi jauh di luar perkiraan, si ular raksasa ternyata tidak mengalami luka berarti. Dengan amat gusar, kepalanya ditegakkan ke arah Anggraini. Tubuhnya terlihat mengejang, pertanda siap melabrak lawannya yang kecil dengan kemarahan berkobar.

"Astaga.... Tingkat kelima pukulan mautku tidak membuatnya terkapar" desis Anggraini takjub, sekaligus bingung. Bagaimana tidak bingung kalau ilmu andalannya yang sudah dikerahkan setengah bagian, tak juga sanggup melumpuhkan lawan?

Sadar kalau binatang raksasa itu akan menerjangnya habis-habisan, Anggraini tak punya pilihan lain. Satu-satunya jalan terbaik adalah mengerahkan seluruh ilmu pukulan andalannya. Maka dengan sigap, pukulan

pamungkas yang baru berhasil dicapai dua hari lalu dikerahkan. Sebuah pukulan yang mengandung dua

kekuatan hebat, seperti sebutannya. Tenaga luar akan sanggup melantakkan karang men¬jadi debu, sedangkan kekuatan dalamnya akan mampu meluluhkan baja karena panas yang demikian tinggi. Tidak hanya itu. Panasnya pun memiliki kekuatan untuk menyebar sampai jarak tertentu, seperti kobaran api yang menyambar ke mana-mana, me-mangsa apa saja.

"Zzz Zzz"

"Haaah... hsssh"

Berbareng desisan menggelegar si ular raksasa,

Anggraini mulai menghempos tenaga pada kedua ta-

ngannya yang terentang ke depan dengan telapak terbuka.

Sementara si ular raksasa menerjang dengan mulut menganga, tepat ketika gadis dari Tanah Buangan itu melepas tenaga sakti melalui sepasang telapak tangannya.

Weeesss Das

"Bgrrrzzz"

Terjangan si ular raksasa langsung terhadang di

tengah jalan. Kepalanya memantul ke belakang, diterjang pukulan pamungkas jarak jauh lawan kecil-nya. Sehimpun rasa panas bagai terjangan puluhan lidah petir kontan mendera hebat dari dalam. Sementara rasa sakit luar biasa akibat hantaman di pelipis-nya, seakan membelah tengkoraknya dari dalam.

Bagai gempa, gelepar ular itu menggetarkan bukit karang. Keadaan tempat ini semakin parah. Batu-batu sebesar kerbau melayang ke segala arah tersampok gerak tubuhnya. Kepalanya mengeruk-ngeruk dataran karang seakan hendak membuat lobang raksasa.

Di suatu celah bukit cadas yang cukup terlindung, Anggraini memperhatikan amukan sang hewan raksasa dengan mata menyipit-nyipit ngeri.

Lama

hal

itu

berlangsung, sampai akhirnya si ular raksasa tak bergerak lagi. Getaran hebat pun Ienyap ditelan bumi. Batu besar tak lagi terlempar. Dan suasana pun senyap.

Anggraini lega. Didekatinya badan binatang yang

tergolek lemah itu. Pikirnya, binatang itu pasti sudah mati.

Namun tatkala sampai di dekatnya, nyatanya si ular raksasa masih hidup. Denyut di satu bagian tubuhnya jelas terlihat, walaupun sudah lemah.

Anggraini siaga kembali. Apalagi, ketika si ular raksasa mulai beringsut perlahan. Kepalanya merambat setapak demi setapak menuju Anggraini. Tepat satu tombak di depan gadis itu, ular raksasa ini menjatuhkan kepala, diam dengan mata menatap pasrah. Sinar mata yang merah darah, tak lagi buas mengan-cam. Malah kini memperlihatkan bias kekalahan. Lama Anggraini menatap tegang. Sampai akhirnya, kakinya melangkah mendekat ke kepala si ular karena rasa iba yang mengusik nurani kewanitaannya.

*** 3

Debu meraksasa ke angkasa, ketika sebuah kereta

kuda meluncur dengan kecepatan gila di jalan berbatu.

Sepasang

kuda

penariknya

meringkik-ringkik

bagai

kerasukan. Kaki kokoh binatang-binatang perkasa itu meninju permukaan jalan serta bebatuan yang berserakan.

Dengan napas

berdengus memburu, mereka terus

melarikan kereta dalam kecepatan tinggi.

Dari bentuk serta hiasannya, menunjukkan kalau

kereta tersebut milik seorang priyayi. Atau paling tidak, seorang saudagar kaya. Kayunya dari jati berukir indah.

Memiliki dua pintu berlapis ukiran perak. Dua lentera terpancang di kedua sisi kursi kusir. Itu pun berlapis ukiran perak. Anehnya, di kursi itu tak terlihat kusir seorang pun.

Di bagian lain jalan, seorang wanita tampak berjalan tenang, meski suara liar yang diciptakan kereta kuda terdengar di kejauhan. Sikapnya tetap tanpa terusik ketika kereta kuda kian dekat dan dekat.

Pada saatnya, kereta kuda tinggal melabrak wanita itu. Dua kuda liar pembawa kereta seperti tidak peduli kalau ada orang di depan. Seakan binatang itu akan menerjang tanpa ampun, walau di depannya adalah

sebuah bukit karang.

"Ngi ingi i"

Sepasang binatang perkasa berwarna hitam berkilat itu meringkik keras. Tepat beberapa tombak lagi kereta kuda melabrak tubuh si wanita, tali kekangnya ditarik tiba-tiba oleh seseorang.

Si wanita berpakaian merah-merah menoleh acuh ke belakang,

melihat sekilas

kendaraan yang hendak

melabraknya barusan. Setelah itu, kakinya melanjutkan langkah bagai tak pernah terjadi apa-apa. Wanita itu tenyata Anggraini.

Sementara dari jendela kereta kuda, muncul ah

kepala seorang pemuda tampan menawan, berkesan

perkasa. Garis rahangnya begitu keras. Matanya berbinar menggetarkan. Rambutnya ditata rapi, serta ditutupi kain sutera kuning bersulam benang emas. Rupanya, dialah yang telah menarik tali kekang. Yang patut dikagumi, bukan hanya ketampanannya, tapi juga kepandaiannya.

Tanpa menyentuh tali kekang yang terikat di luar, pemuda itu sanggup menariknya dari dalam.

"Aku

bersedia

memberi

tumpangan

padamu,

Nisanak" sapa pemuda itu pada Anggraini, ramah.

"Terimakasih. Aku rasa, aku lebih suka berjalan kaki seperti ini, ketimbang harus duduk bersama seorang yang suka pamer kekuatan dan kekayaan sepertimu," jawab Anggraini datar tanpa menoleh.

Sementara

Anggraini

melangkah,

pemuda

itu

mengikutinya dengan kereta di belakang.

"Hey Mestinya kau berterimakasih, karena aku baru saja menyelamatkanmu. Kalau tali kekangnya tidak kutarik, kau tentu akan hancur," ujar si pemuda, masih dari jendela keretanya.

"Aku tak melihat ada yang menarik tali kekang,"

sergah Anggraini, berpura-pura tak tahu kalau si pemuda melakukannya dengan tenaga dalam yang bisa dibilang tingkat tinggi. Si pemuda tertawa.

"Dengan busur di punggungmu dan cemeti melingkar di pinggang, kupikir kau orang persilatan yang tak begitu asing dengan permainan tenaga dalam," kata pemuda itu setengah meledek.

"Justru itu, aku menyebutmu telah pamer kekuatan"

selak Anggraini mendadak. Tetap tak menoleh. Dan langkahnya dipancung saat itu juga.

"O, jadi kau tadi hanya pura-pura tak tahu, rupanya?"

kata pemuda itu seperti bertanya.

Si pemuda keluar dari keretanya. Kini terlihatlah penampilan keseluruhan pemuda tampan itu. Tubuhnya yang tinggi tegap, terbungkus pakaian hitam-hitam dengan kain batik terikat di pinggang hingga ke lutut. Pakaiannya seperti para ningrat kalangan istana. Lengkap dengan kancing-kancing dan rantai emas. "Kalau begitu, aku akan meminta maaf dengan penuh rasa hormat. Itu kalau perbuatanku dianggap lancang, Nisanak," sambung si pemuda seraya menghampiri Anggraini.

Anggraini hanya melirik dingin. "Kini kau mulai pamer kekayaan padaku dengan pakaian mewahmu. Apa dipikir aku akan silau dengan pakaian itu, lalu menghormati karena kau seorang ningrat?"

Si pemuda tersenyum lepas.

"Kalau begitu, untuk yang kedua kalinya aku me-mohon maaf. Bagaimana? Kalau perlu, aku akan

mengganti pakaianku ini, jika kau tak suka...."

"Tak perlu," sahut Anggraini seraya melanjutkan langkahnya. "Kau akan kehilangan harga dirimu, kalau melepas pakaianmu. Bukankah pakaianmu itu adalah lambang, siapa dirimu sesungguhnya?"

"Nisanak..., Nisanak. Kau menyindirku," desah si pemuda disertai hembusan napas seraya mengedikkan bahu. "Baiklah. Kalau kau tak mau menerima tawaran baikku, sudikah kau sedikit memberi jalan agar kereta kudaku dapat lewat?"

Pemuda itu lantas membuka pintu kereta, lalu masuk ke dalam.

"Kenapa kau tak mencoba menyingkirkanku dari jalan ini? Terus terang, aku tak menepi hanya karena kau seorang bangsawan," tandas Anggraini, sinis.

"Baik, kalau itu maumu, Nisanak...," sahut pemuda itu.

Lalu, si pemuda bersiul keras, memberi aba-aba pada sepasang kuda agar segera berlari lagi. Tapi meski sudah mengulangi siulan,

binalang-binatang itu tetap tak

bergerak. Hanya kepalanya saja yang melengos dan mengangguk-angguk seperti meronta dari sebuah ikatan.

Barulah si pemuda sadar kalau wanita yang

ditemuinya telah melepas totokan pada kaki kedua binatang itu. Dalam hati, mau tak mau si pemuda memuji.

Tanpa tertangkap oleh mata tajamnya sendiri, ternyata wanita ini sudah menotok kuda-kudanya. Mungkin pula lebih dulu dibanding tindakannya saat menarik tali kekang dengan tenaga dalam.

"Sekarang, tampaknya justru kau yang hendak pamer kekuatan, Nisanak...," ujar si pemuda tanpa terlihat gusar.

"Itu hanya untuk membalas

tanlangan pamer

kekuatanmu"

"Karena kau sudah membalasnya. kurasa persoalan kita sudah selesai bukan?"

"Apa kau yakin begitu?"

Anggraini melanjutkan langkahnya dengan amat

tenang. Dari caranya berjalan, tampaknya dia amat yakin kalau si pemuda akan menahannya kembali. Setelah melangkah cukup jauh, ternyata pemuda bangsawan itu memang benar menahannya.

"Nisanak, tunggu"

Anggraini tersenyum menyambut kemenangannya.

Totokan pada kaki kuda tadi memang tergolong sulit dibebaskan. Sudah puluhan tahun jenis totokan itu tak muncul, semenjak buyut gurunya meninggal. Sebagai ahli warisnya, kini Anggraini bisa memanfaatkannya kembali.

"Nisanak, bukankah persoalan kita sudah selesai?

Maukah kau melepaskan totokan pada kuda-kudaku ini?"

pinta si pemuda.

"Kalau aku tak mau, apakah kau akan memaksa?"

"Aku rasa tidak. Aku terpaksa akan menempuh perjalanan jauhku dengan jalan kaki. Tapi, apa kau tak kasihan dengan kuda-kuda ini? Tentu mereka akan mati perlahan, karena kelaparan dan kehausan....

"Apa peduliku?" dengus Anggraini ketus. Kembali langkahnya dilanjutkan.

Si pemuda bergegas mengejarnya dari belakang.

Sampai di depan Anggraini, dia berusaha menahan dengan mencoba memegang bahu wanita berpakaian merah-merah itu. Tapi tindakannya malah di salah artikan oleh Anggraini. Dengan gerakan cepat, ditangkisnya tangan si pemuda, lalu melancarkan tusukan dua jari ke leher.

Jep Tentu saja pemuda tampan ini terkesiap bukan main.

Sama sekali tak diduga kalau wanita mempesona yang sifatnya dianggap ketus itu melancarkan serangan hanya karena ditahan langkahnya. Malah bisa cepat diduga kalau wanita itu tentu salah paham. Sebab itu si pemuda bangsawan ini berusaha menghindar tanpa membalas serangan.

Tapi serangan pertama yang luput.

membuat

Anggraini jadi penasaran. Segera serangannya dilanjutkan dengan sodokan dengkul ke perut.

Suka tak suka, si pemuda melayani serangan

Anggraini.

Setelah

menangkis

sodokan

kaki,

jari

telunjuknya ditusukkan ke satu bagian tubuh Anggraini. Dia tak bermaksud membalas

Anggraini,

hanya untuk

melumpuhkannya.

Tapi terlalu cepat jika Anggraini bisa dilumpuhkan hanya dalam segebrakan. Sewaktu jari pemuda itu

melunc ur Iurus, Anggraini malah melayaninya dengan tusukan jari pula.

Si pemuda mengumpat dalam hati. Dia seperti diajak untuk menguji kecepatan. Kalau jarinya lebih cepat, Anggraini akan segera dilumpuhkan. Tapi kalau wanita itu lebih cepat, tak bisa dibayangkan. Sebab, dari geraknya si pemuda tahu, jari Anggraini tidak dimaksudkan untuk sekadar menotok.

Deb

Dengan gerak blingsatan si pemuda berusaha

membatalkan totokannya, sekaligus membuang diri agar jari Anggraini tak mendarat di tenggorokan. Sayang, dia membuang diri ke tempat yang tak tepat. Sehingga, gerakannya tertahan lereng bukit. Akibatnya, keadaannya kini terjepit. Sementara jari Anggraini kian dekat ke sasaran.

"Tunggu" teriak si pemuda, kalap.

Pada saat yang sama, sebutir batu kecil melayang cepat membelah udara. Asalnya dari sisi kanan mereka.

Tak "Aaah" Anggraini mengerang, begitu batu kecil tadi tepat mengenai jari telunjuknya dan langsung pula menyempongkan laju jari itu ke arah lain.

Bles

Lereng bukit di belakang kepala si pemuda termakan tusukan jari Anggraini, hingga seluruh jari telunjuk gadis dari T anah Buangan itu melesak. Hanya berjarak setengah jengkal dari tenggorokan lawan

"Apa perlu kau menurunkan tangan kejam untuk sebuah urusan sepele, Nisanak Cantik?"

Sebuah s uara terdengar, tujuh tombak dari tempat mereka berdua. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda sambil, bersidekap.

Kemunc ulannya, seperti hantu.

"Siapa kau?" bentak Anggraini ketus,

seraya

mengangkat tangannya dari lereng bukit. Ditempatkannya kedua tangan di pinggang, lalu tubuhnya dihadapkan pada si pendatang baru. Sikapnya begitu galak. Lebih galak daripada macan betina.

Si pemuda ikut menoleh pada orang yang baru

datang. Tampak seorang pemuda yang sebaya dengannya.

Rambutnya panjang masai. Berpakaian hijau-hijau, dengan selembar kain bercorak catur ter-sampir bebas di bahunya.

Melihat wajahnya, si pemuda harus merasa mendapat saingan. Kalau ada seorang gadis yang diminta untuk memilih salah satu di antara mereka, tentu gadis itu akan kebingungan. Mereka benar-benar memiliki ketampanan memikat dan sama-sama memiliki kelebihan pula dalam ketampanan itu.

"O, jadi hari ini aku bertemu pemuda-pemuda tampan mata keranjang?" sindir Anggraini, pada pemuda yang baru datang. Padahal, dia belum lagi mendapat jawaban dari pertanyaannya yang pertama.

"Terimakasih atas pujiannya, Nisanak yang can-tik....

Tapi, apa kau lupa dengan pertanyaanmu yang pertama?"

kata si pemuda berpakaian hijau-hijau.

"Jangan banyak basa-basi Kenapa kau tak langsung menyebutkan namamu, lalu segera enyah dari sini"

"Aku Andika," sahut pemuda berpakaian hijau yang memang Andika atau lebih terkenal sebagai Pendekar Slebor. "Tapi kalau perkara enyah dari sini, aku tak mau meluluskan

permintaanmu.

Apa

kau

membiarkan

seseorang begitu saja, yang telah membuat jari halusmu itu nyeri?"

"Itu artinya kau menantangku Dasar tak tahu diri

Mestinya,

kau

berterimakasih

karena

aku

telah

mengampunimu"

Pendekar muda urakan itu tak menggubris semprotan Anggraini. Santai saja, didekatinya kereta kuda. Diamatinya kaki-kaki kuda yang masih kaku. "Totokan yang bagus.

Agak

sulit

membebaskannya,

karena

ditempatkan

demikian rapi di satu urat saraf tersembunyi...," kata Pendekar Slebor sambil berjongkok dan mengorek-ngorek telinga.

Andika mengalihkan pandangan pada Anggraini.

"Tapi itu bukan perkara yang terlalu s ulit bagiku." ujar Pendekar Slebor menyombong.

Sambil berkata, alis mata sayap elang Pendekar

Slebor terungkit-ungkit Benar-benar memancing kegusaran Anggraini.

"E-e Sebelum kau marah, biar aku bertanya dulu. Kau menotok kuda ini tidak dengan jari, bukan?" lahan Andika saat wajah jelita Anggraini memerah mangkel.

"Bagaimana kau tahu?" tanya Anggraini. Kelopak matanya agak membesar, karena terkejut.

"Seperti kubilang tadi, totokanmu terlalu tersembunyi pada satu bagian urat saraf. Jika menggunakan jari, pasti akan menyebabkan luka di bagian luar kulit kuda ini. Jadi menurut perkiraanku...," Andika menjentikkan jarinya dengan mengaliri tenaga dalam.

Tik

Saat itulah kaki sepasang kuda hitam itu dapat

bergerak kembali seperti semula.

"Kau telah menotok kuda-kuda ini dengan suaramu yang dialiri tenaga dalam pada batas gelombang tertentu.

Seperti juga aku membebaskannya," sambung Andika.

"Bukan begitu?"

*** 4

Kereta kuda yang mirip kereta kencana milik pemuda bangsawan

itu

melintasi

jalan

kembali.

Seperti

sebelumnya, kereta ini berlari dengan keriuhannya, meninggalkan kepulan debu serta ringkikan kuda yang tinggi mengoyak langit.

Dalam melanjutkan perjalanan kali ini, si pemuda tampan tidak sendiri dalam kendaraannya. Ada dua orang lain yang ikut bersama, yakni Andika dan Anggraini Gadis jelita berkesan judes itu sempat mengamuk

karena

ilmu

totokan

warisan

buyut

guru

yang

dibanggakannya

ditelanjangi

mentah-mentah

oleh

Pendekar Slebor. Mereka pun sempat bertukar be-berapa jurus. Namun rhanakala melihat cemeti yang melilit pinggang Anggraini, Andika langsung meminta gadis itu menghentikan serangan. Semula, memang agak sulit karena kemarahannya pada Pendekar Slebor sudah begitu meluap. Akhirnya, sewaktu Andika mengatakan kalau mengenal

pemilik

cemeti

itu,

barulah

gadis

ini

menghentikan serangan.

Tahu apa kau dengan cemetiku ini?" tanya Anggraini waktu itu.

Andika tak cepat menjawab. Dia sedang mengingat-

ingat."Cepat jawab Atau, kau hanya tak ingin melanjutkan pertarungan

denganku?

Kau

takut

dipecundangi

perempuan, bukan?" desak Anggraini, sekaligus mengejek.

"Kenapa mulutmu tak bisa diam sebentar saja? Aku sedang mengingat-ingat, tahu Kalau kau tak, berhenti berkoar, kau tak akan mendapat keterangan lentang cemeti itu" ancam Andika.

Tak lama kemudian, barulah Pendekar Slebor ingat.

Cemeti itu adalah cemeti musuh pertamanya, Begal Ireng (Untuk mengetahui kisah tokoh ini, bacalah episode:

"Lembah Kutukan" berikut "Dendam Dan Asmara").

Saat itu Anggraini ingin meminta keterangan lebih rinci dari Pendekar Slebor tentang Begal Ireng. Andika bersedia meluluskan permintaan itu, asal mereka mau berdamai. Dengan wajah berlipat, Anggraini terpaksa menyetujui syarat yang diajukan.

Mereka kini telah bersama-sama di dalam kereta

kuda milik si pemuda bangsawan. Kebetulan arah

perjalanan yang ditempuh sama. Lagi pula, untuk

menceritakan banyak hal tentang Begal Ireng pada Anggraini, Andika membutuhkan waktu banyak.

Maka gadis itu pun terpaksa menyetujui. Toh tujuan utamanya turun ke dunia persilatan adalah mencari tahu tentang ayahnya yang berhubungan erat dengan cemeti serta kalung pemberian Kupu-kupu Merah, ibunya.

Sementara pemuda bangsawan di dalam kereta

memperkenalkan diri sebagai Agung Cakra. Seorang bangsawan muda dari wilayah selatan.

"Apa aku perlu memanggilmu 'Raden'? Raden Agung cakra?" goda Andika.

'Tak perlu. Aku tak begitu suka dengan sebutan itu,"

tolak Agungcakra, merendah.

Anggraini yang sejak tadi hanya memasang wajah

asam, tiba-tiba menyelak.

"Munafik Itu kata mulutmu. Aku yakin, dalam hati kau ingin sekali menerima sebutan itu Raden.... Hm, membanggakan bukan? Tak setiap orang bisa memakai gelar itu, bukan?"

Andika melirik gadis ketus itu, lalu beralih pada pemuda di sisinya yang sedang menyentak-nyentak tali kekang.

Tak terlihat ada perubahan di wajahnya

mendengar

cemoohan

pedang

Anggraini.

Bahkan

ditanggapinya dengan senyum tipis.

"Hey? Apa tujuanmu ke barat?" cetus Andika, menghanguskan suasana tak nyaman tadi.

"Aku mencari bibiku," jawab Agungcakra singkat, sementara tangannya sibuk menyentak tali kekang kuda.

"Kenapa dengan dia sebenarnya? Apakah kau .ada keperluan dengannya atau bagaimana?" susul Andika. Tapi setelah itu, Pendekar Slebor jadi tak enak sendiri dengan kelancangan mulutnya.

"Ah, maafkan aku, Saudara Agung. Kenapa aku jadi usil pada urusan orang Iain...."

"Tak apa-apa. Lagi pula, aku memang membutuhkan bantuan orang lain dalam perkara ini," kata Agungcakra.

"Begitukah? Kau bisa cerita tentang bibimu?"

"Tentu...."

Lalu, pemuda bangsawan itu pun memulai ceritanya.

***

Tak ada seorang pun berani melewati daerah yang

bernama Pintu Sorga dan Neraka Dunia sejak tiga tahun lalu. Sesungguhnya, tak ada yang perlu di-takuti dengan keadaannya.

Bahkan

bisa

dibilang

s uasana

dan

pemandangannya begitu memikat. Jalan setapak yang membelah padang bunga matahari, bukit di kejauhan yang mengelilingi, sekumpulan kupu-kupu warna-warni yang berkejaran di pucuk-pucuk bunga mekar, serta sebuah kolam alam kecil penuh teratai jingga, adalah keindahan yang bisa ditemui setiap hari.

Namun memang bukan itu yang menjadi penyebab,

kenapa tempat itu dihindari banyak orang, khususnya yang memiliki ilmu olah kanuragan tanggung. Sejak tiga tahun lalu, tempat itu kerap kali menjadi ladang pembantaian keji. Beberapa orang di antaranya malah menjadi mayat tanpa kepala.

Maka sejak tiga tahun lalu pula, orang-orang dunia persilatan menyebutnya Pintu Sorga dan Neraka Dunia.

Sebutan angker yang kemudian menyebar cepat, ditiup desas-desus ke segenap penjuru dunia persilatan.

Kalau ada orang yang masih juga mendatangi tempat itu, maka ada tiga kemungkinan baginya. Orang itu sudah kurang waras, orang itu pendekar tangguh yang mau menjajal ilmunya, atau seorang yang sudah jemu hidup di dunia. Yang jelas, hari itu ada dua lelaki mengatur langkah di jalan setapak Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Keduanya mengenakan pakaian seperti biksu berwarna putih. Kepala mereka gundul klimis, memantulkan cahaya matahari. Dari mata yang sipit serta kulit yang berwarna pucat, mudah diduga kalau mereka adalah orang-orang Tiongkok.

Si Kembar Dari T iongkok, adalah julukan mereka di dunia persilatan. Beberapa waktu lalu, mereka menjadi kaki tangan pemberontak besar Kerajaan Alengka, Begal Ireng. Setelah Pendekar Slebor mampu menggagalkan rencana jahat Begal Ireng, keduanya melarikan diri, tanpa bermaksud untuk kembali ke negeri mereka sedikit pun (Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah serial Pendekar Slebor dalam rpisode : "Lembah Kutukan" berikut "Dendam dan Asmara").

Karena bersembunyi sekian lama dari kejaran hamba hukum kerajaan Alengka, mereka jadi tak begitu mengikuti perkembangan

dunia

persilatan.

Termasuk,

tak

mengetahui desas-desus tentang tempat yang dilewati kini.

"Apa kau yakin orang-orang Kerajaan Alengka lak memburu kita lagi?" tanya salah seorang dalam bahasa Tiongkok kental.

"Aku yakin begitu," sahut lelaki yang lain. "Mereka mungkin berpikir kita sudah kembali ke Tiongkok."

"Bagaimana kalau suatu saat nanti kita dipergoki?"

"Kau mulai jadi pengecut?" sindir lelaki yang memiliki tahi lalat besar di bawah telinga kiri. Namanya, Chia Jui.

"Bukan begitu. Aku hanya khawatir kita bertemu pemuda itu lagi," sergah kembarannya, Chia Kuo.

"Pendekar Slebor?"

"Ya."

"Apa kau tak yakin pada latihan keras kita selama hampir tiga tahun ini?"

"Entahlah. Anak muda keparat itu menurutku memiliki kesaktian yang begitu hebat."

"Sudahlah Kalau kau nanti tak mau menghadapinya, lebih baik lari saja seperti perempuan" putus Chia Jui agak kesal."Jadi kau berani menghadapi dia sendiri, Chia Jui?"

tanya Chia Kuo agak terkejut.

"Aku tak bilang begitu, Bodoh"

Chia Kuo mengangkat bahu.

"Kalau begitu, tak ada bedanya aku denganmu, Chia Jui Sama-sama gentar. Bedanya, aku lebih jujur ketimbang kau" gerutu Chia Kuo.

Keduanya terus melanjutkan langkah menyusuri jalan setapak. Tiba di suatu tikungan yang berbatasan dengan kolam alam kecil, sesosok tubuh mendadak menghadang di depan.

"Siapa kau?" bentak Chia Jui gusar, melihat seorang wanita cantik berpakaian merah-merah mengganggu

perjalanan mereka.

Wanita itu berambut panjang tergerai. Meski cantik menggoda, matanya tampak menyiratkan kekejaman.

Bibirnya merah dan tipis. Wanita itu sepertinya tak kalah tajam dengan dua tokoh sesat dari Tiongkok yang

dihadangnya.

"Apa kau orang Kerajaan Alengka?" timpal Chia Kuo, tak kalah berang.

Orang yang ditanya tidak menjawab. Bahkan sekadar mengangguk atau menggeleng. Hanya matanya yang terus menghujam bengis pada Kembar Dari Tiongkok, seolah memendam dendam. Padahal, baru kali itu mereka

bertemu.

"Kalian

telah

mengusik

istanaku"

hardik

si

perempuan, tiba-tiba.

Chia Jui maupun Chia Kuo tak mengerti. Istana?

Istana apa, pikir mereka. Selama memasuki wilayah itu, mereka tak pernah menjumpai sebuah bangunan pun.

Lebih-lebih, sebuah istana.

"Kau keluarga Istana Alengka?" tanya Chia Kuo menebak-nebak.

Biar bagaimanapun, Chia Kuo maupun saudara

kembarnya masih tetap menyimpan rasa was-was pada pihak mus uh lama. Mungkin saja, mereka masih memburu.

Satu hal yang paling dikhawatirkan adalah jika berurusan kembali dengan Pendekar Slebor selaku seorang yang memiliki pertalian darah dengan ke¬luarga istana.

"Ini istana Apa kalian buta? Aku tak punya nama untuk istana ini. Tapi, orang-orang dungu di luar sana menyebutnya Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Nama yang buruk, tapi aku cukup menyukainya...," ujar si perempuan berpakaian merah meledak-ledak.

Chia Jui mulai melangkah lagi.

"Peduli setan dengan istanamu Kami akan lewat

Kalau kau ingin selamat, menyingkirlah" bentak Chia Jui.

"Biar kalian mampus" terabas si perempuan sambil mengirim satu sambaran cakar ke wajah Chia Jui.

Bet

"Perempuan keparat" maki Chia Jui dengan logat Tiongkok.

Sebelumnya, dia pun bersusah payah menghindari

lehernya dari kuku-kuku panjang lawan yang berwarna keunguan. Dibalasnya salam perkenalan lawan dengan sebuah layangan tinju geledek.

Deb

Pukulan Chia Jui begitu bertenaga, mengarah ke dada si wanita yang memiliki dua bukit padat. Tapi dengan enteng wanita itu menggeser badan sedikit ke samping Begitu tangan wanita itu lewat sejengkal, dua tangannya terangkat. Lalu, disergapkan ke lengan lelaki Tiongkok itu.

Chia Kuo baru hendak memperingati, tapi terlambat.

Tangan si perempuan sudah tiba di tangan kembarnya.

Chia Kuo yakin, sedikit saja si perempuan cantik memutar kuku-kuku tangannya seperti gerakan memeras, maka tangan Chia Jui akan langsung terkoyak. Atau, lebih parah dari itu... terputus

Siapa yang mau mempunyai saudara kembar

bertangan kutung? Maka, tak mau berpikir lebih lama, Chia Kuo cepat melepas hantaman jarak jauh, sekejap sebelum tangan si perempuan bergerak. Wush

Hasilnya lumayan untuk menyelamatkan tangan Chia Jui. Walau begitu, tak luput tangan Chia Jui tercabik sewaktu si perempuan mendadak menarik kuku-kukunya.

Mulutnya tampak meringis-ringis menahan pedih tak terkirakan, sambil melompat menjauhi lawan.

Sadarlah tokoh sesat kembar itu, dengan siapa

mereka berhadapan. Lawan ternyata bukan sembarang orang. Kalau mereka yang sudah masuk dalam jajaran atas golongan sesat saja bisa kebobolan dalam segebrakan, bagaimana dengan kepandaian wanita ini.

*** 5

Terbukanya matamilik Kembar Dari Tiongkok terha-

dap kemampuan berbahaya wanita itu, membuat mereka memutuskan

untuk

menghadapinya

dengan

menggabungkan jurus. Sebagai dua orang kembar tak terpisahkan, mereka memang tak bisa bertarung sendiri-sendiri. Kehebatan mereka terbangun kalau keduanya menggabungkan kesaktian.

Dalam waktu singkat, dua lelaki gundul bermata sipit itu membentuk sebuah gerak bersama. Sekejap, tangan mereka bersatu pada telapak tangan masing-masing, untuk mengempos kekuatan gabungan. Telapak tangan mereka yang masih bebas mulai memerah, lalu diarahkan lurus-lurus ke arah wanita itu.

Wuuush

Bunyi angin pukulan jarak jauh berbau maut,

memburu cepat berbentuk dua bentangan angin kembar ke arah wanita itu.

Mestinya, si wanita asing terkejut menerima serangan ganas tersebut. Entah karena ilmu kedigdayaannya begitu melangit, dia justru melepas tawa kaku. Bahkan tenang saja terjangan angin kemerahan milik kembar dari tiongkok dihadapi.

Dengan maksud untuk memamerkan kehe¬batan,

tiba-tiba wanita itu menahan angin pukulan berpendar kemerahan dengan membuat hirupan udara dari mulut.

"Hfff...."

Bentangan panjang angin pukulan Kembar Dari

Tiongkok langsung berhenti meluncur. Saat si perempuan menyedot lebih kuat, angin pukulan itu dipaksa masuk ke dalam mulutnya.

Sesungguhnya, angin pukulan Kembar Dari Tiongkok adalah himpunan gelombang petir yang kuat luar biasa. Di tanah Tiongkok, ilmu itu sudah dikembangkan oleh para pendeta berabad-abad yang lalu dengan memusatkan seluruh tenaga petir dalam tubuh manusia, hingga mencapai kekuatan dahsyat. Dengan begitu, tentu tenaga pukulan itu akan membawa akibat merusak, sewaktu terus tersedot masuk ke dalam rongga paru-paru si perempuan.

Mulanya,

Kembar

Dari

T iongkok

menyeringai,

menertawai kesombongan lawan. Mereka menduga,

sebentar lagi perempuan itu akan terguncang hebat, lalu mengejang dan mati.

Namun selanjutnya mulut mereka ternganga. Dengan mata kepala sendiri, keduanya melihat lawan tersentak sekejap. Usai menelan kekuatan petir raksasa itu, dengan tenang seluruh sengatan petir disa-lurkan ke bumi sampai hilang tertelan.

"Sinting"

sergah

Chia

Jui,

tak

mempercayai

penglihatannya. "Dia itu manusia atau...."

"Kita tak akan menang melawan dia, Chia Jui. Harus segera menyingkir" peringat Chia Kuo, kalang kabut.

Tak beda dengan kembarannya, Chia Kuo pun tampak memucat. Bagaimana tidak, kalau kemampuan gabungan mereka hanya dibuat santapan siang oleh perempuan cantik tapi bengis itu?

"Heeeh...," si perempuan menggeram.

"Jangan

berharap kalian bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup Sudah menjadi sumpahku, kalau istana ini adalah milikku. Siapa pun yang masuk ke istanaku, berarti telah mengotorinya. Dengan begitu, harus dibunuh"

Untuk kedua kalinya, si perempuan cantik dan bengis ini menyeringai. Sebaris gigi putih menawan tersembul.

Sayang, bibirnya sendiri melekuk menggiriskan.

Tiba-tiba saja, perempuan yang hingga saat ini tak memperkenalkan

namanya,

meludah

ke

sebuah

bongkahan batu sebesar kuda.

"Chuih"

Plas

Bagai menembus bayangan, air ludah itu langsung

melesak masuk hingga keluar di sisi yang lain.

"Aku tak ingin mengotori tangan Akan kubunuh kalian dengan ludahku. Ya Dengan ludahku. Hanya ludah yang pantas untuk kalian," geram wanita itu menggidikkan.

Sepasang matanya mencorong di

bawah kelopak,

memperlihatkn setengah warna hitamnya.

"Kau sudah gila, Perempuan" maki Chia Jui, was-was.

"Sudah terlalu banyak orang gila di dunia ini. Jadi bagiku, tidak ada soal apakah aku gila atau tidak"

"Tapi kami tak ada urusan sama sekali denganmu"

lontar Chia Kuo, membela diri.

"Sudah kubilang, kalian telah lancang memasuki istanaku"

"Tapi itu alasan yang terlalu dibuat-buat" sengit Chia Jui. "Aaah Toh, bukan aku saja yang berbuat sewenang-wenang dengan alasan dibuat-buat. Berjuta orang telah melakukannya di dunia sampah ini Asal kalian tahu itu

Kini, bersiaplah untuk mampus"

Si perempuan mulai menggerakkan mulut. Sebentar

lagi, akan melesat semburan-semburan ludah kejinya, andai saja sebuah seruan lantang tak menahannya.

"Tunggu"

Si perempuan menoleh ke asal suara. Dilihatnya

seseorang yang sudah amat dikenal, lelaki berjenggot seperti seekor kambing gunung. Menilik kerutan wajah, bisa diduga usianya sekitar delapan puluhan. Alisnya hitam, tebal dan lebat menaungi sepasang mata setajam sembilu. Meski tua, masih tampak sisa ketampanannya.

Keningnya melebar. Rambutnya hanya tumbuh di pinggiran kepala,

memanjang

lepas

menutupi

bokongnya.

Perawakan lelaki itu tinggi be¬sar dan kekar berotot.

Yang menggidikkan dari penampilannya adalah, cacat kulit pada seluruh badan dari bagian leher ke bawah.

Kulitnya itu berkerut-kerut, seperti karet lu-suh dengan warna merah kehitam-hitaman. Sepertinya, dia pernah mengalami luka bakar yang demi-kian hebat.

" Pengeran Neraka," sebut si perempuan.

Wajah wanita itu seketika berseri. Dan matanya pun berbinar. "Kekasihku, pangeran istanaku...," tambah wanita ini, mendayu.

Lelaki yang dipanggil Pangeran Neraka maju.

Sepasang tangannya menimang-nimang dua bola besi baja, sebesar kepalan tangan.

"Kenapa kau menahanku, Sang Pangeran?" tanya si wanita cantik berpakaian merah-merah manja.

Didekatinya Pangeran Neraka lalu bergayut di bahu kekarnya.

Pangeran Neraka tak cepat menjawab. Matanya

melirik dua lelaki Tiongkok yang wajahnya begitu sulit dibedakan.

"Kalian tentu pernah mendengar satu pepatah," kata laki-laki berjuluk Pangeran Neraka pada Kembar Dari Tiongkok. '"Jika Giam Lo Ong*) memerintahkan kau mati tengah hari, tak seorang pun berani membiarkanmu hidup sampai petang'."

Chia Jui dan Chia Kuo balas menatap. Mereka

meneliti lelaki yang baru munc ul dengan mata masing-masing.

"Tentu saja kami tahu pepatah itu, karena memang berasal dari negeri kami sendiri. Tapi, apa mak-sudmu dengan menyebutkan pepatah itu pada kami?" tanya Chia Kuo, mengungkap keheranannya.

"Hu... hu... hu Tak kukira kalian ini tergolong bebal, Kembar Dari Tiongkok," ejek Pangeran Neraka, didahului tawa yang terdengar aneh.

Mendengar julukan mereka disebutkan, sekali lagi Kembar Dari Tiongkok meneliti tegas-tegas Pangeran Neraka. Sebelumnya, mereka sudah cukup heran. Karena, lelaki itu tahu tentang pepatah dari negeri mereka yang jauh. Sekarang, tiba-tiba saja dia menyebut julukan Kembar Dari Tiongkok.

Padahal jelas, si lelaki berkulit cacat ini bukan dari Tiongkok. Chia Jui maupun Chia Kuo yakin, sebab

Pangeran Neraka sama sekali tak seperti orang dari negeri tirai bambu itu. Dengan begitu, dia bukan-lah utusan dari Tiongkok yang hendak menjemput mereka pulang. Tapi, siapa?

"Kau bukan utusan Tiongkok yang hendak memaksa kami pulang untuk menerima hukuman, bukan?" aju Chia Kuo tak yakin dengan pikirannya sendiri.

"Hu... hu... hu Ya, jelas bukan" "Kalau begitu, jelaskan saja, apa maksudmu dengan pepatah tadi?"

sergah Chia Jui tak sabar. "Maksudku...."

Baru saja Pangeran Neraka hendak menjelaskan

"Kenapa mereka tidak dibunuh saja kekasihku? Bukankah dua orang lancang ini telah mengotori Istana kita?" potong si perempuan di sisinya.

Pangeran Neraka ganti melirik si perempuan.

"Bagaimana kalau mereka kita manfaatkan, Putri Mayang seruni?"

"Mana mungkin sampah bisa dimanfaatkan, Sayang?"

"Hu hu.... Tak selamanya sampah tidak berguna.

Mereka bisa membantuku untuk mencari orang yang telah membunuh saudara kandungku, Putri...."

"Kita bisa mencarinya sendiri, bukan?" perempuan yang ternyata bernama Putri Mayangseruni balik bertanya.

"Itu terlalu memakan waktu, Putri. Aku ingin secepatnya mengunyah jantung si pembunuh saudara

kandungku. Hu hu hu, betapa nikmatnya...."

Pangeran Neraka lantas mengangkat kedua alis

rimbunnya.

"Kita lihat saja nanti...."

Setelah itu Pangeran Neraka menatap Kembar Dari

Tiongkok.

"Kupikir sekarang kalian tentu mengerti maksudku melontarkan pepatah tadi.

Artinya,

kalau memang

waktunya kalian mampus, ya biar bagaimana pun akan mampus. Sebaliknya, kalau belum waktu¬nya, biar kalian jatuh dari gunung, tetap tidak mampus." Pangeran Neraka tertawa dengan gaya yang khas. "Kalian bingung, ya? Jadi, singkatnya kalian belum waktunya mampus hari ini...."

*** Malam turun merambah mayapada. Ribuan bintang

gemerlap memunculkan diri, menemani rembulan penuh yang muncul tak ragu-ragu. Temaram cahayanya benda-benda langit, menjadi bagian dari malam itu. Karena saat itu angkasa tak diusik awan kelabu.

Api unggun besar telah dibuat Pendekar Slebor. Di atasnya, terpanggang.daging tiga ekor kelinci gemuk hasil panahan Anggraini menjelang sore tadi. Tiga anak muda itu kini sedang duduk mengelilingi api unggun, mengenyahkan dingin malam yang meng-gelitik kulit.

Satu sisi diri manusia

adalah malam gulita

istana para durjana semesta

b'rsemayam dan berenc ana

untuk sehimpun dusta

untuk sehimpun nista...

Agungcakra menyudahi sajaknya. Selaku orang dari kalangan bangsawan, keindahan susastra sudah menjadi bagian hidupnya. Bagi para bangsawan, susastra adalah seni terhormat, karena lahir dari daya cipta agung dalam diri manusia.

Andika bertepuk-tepuk.

"Kata-kata yang indah. Lahir tanpa kepalsuan," puji Andika, terhadap sajak si kawan baru.

Pendekar muda itu rebah bersandar batang pohon

tumbang. Diliriknya Anggraini yang memutar-mutar kayu panggangan.

"Bagaimana menurutmu, Anggraini?" tanya Andika, ingin tahu penilaian gadis itu tentang karya sastra Agungcakra.

"Menurutku, lebih baik kau cepat-cepat menceritakan padaku perihal cemeti ini...," sahut Anggraini, tanpa melirik sedikit pun.

Lalu gadis itu melepas cemeti dari pinggang dan

melemparkannya ke pangkuan Andika acuh tak acuh.

Si Pendekar Slebor menarik napas agak mangkel.

Kalau sudah berurusan dengan wanita, pemuda ini sering kali dibuat serba salah. Menurutnya, wanita itu sejenis makhluk indah yang sulit dipahami.

"Kau begitu ngotot mengetahui asal-usul cemeti ini,"

kata Andika seraya menaikkan cemeti dengan tangannya ke atas. "Tapi, kau sendiri tidak pernah memberitahu padaku, apa alasanmu sampai ingin tahu tentang benda ini?" "Itu bukan urusanmu" tandas Anggraini judes, seraya melemparkan sepotong daging kelinci yang sudah matang pada Agungcakra, tindakannya benar-benar tidak sopan.

Tapi pemuda itu cepat menangkapnya, dan mulai

menyantap.

"Kalau begitu, kenapa kau tak urus saja sendiri urusanmu Jadi, kau tak perlu keterangan dariku," sindir Andika.

Pendekar Slebor lantas menatap daging kelinci di atas api unggun. Baunya sedap, mengundang selera Andika. Si pemuda urakan itu tak sabar lagi. Apalagi, perutnya sudah mulai buat keributan. Andika mendekati api unggun. Baru saja tangannya terjulur ke daging kelinci panggang....

Plak

"Apa kau tak bisa sabar sedikit menunggu giliran"

bentak Anggraini, setelah menampar tangan Andika.

Andika meringis. Dalam hati dia mengumpat-umpat

tak henti. Dengan wajah terlipat lebih jelek daripada gombal, Andika akhirnya kembali ke tempatnya. Sementara Agungcakra hanya tersenyum kecil;

"Baik. Kalau memang bisa membuatmu cepat

membuka mulut, akan kuceritakan kenapa aku begitu ngotot hendak mencaritahu tentang cemeti itu...," kata Anggraini mulai lagi.

"Sesukamulah," jawab Andika, agak merajuk.

"Kau mau dengar apa tidak?" mata Anggraini jadi begitu galak.

"Ya ya ya, mau," jawab Andika cepat, daripada tak dapat jatah daging kelinci panggang.

Anggraini mulai bercerita. Tentang dirinya, tentang asalnya, juga tentang benda-benda pemberian ibunya.

Semuanya dituturkan secara singkat dan lugas.

"Menurut ibuku, cemeti dan kalung itu adalah benda yang berhubungan dengan ayahku...," tutur Anggraini mengakhiri.

"Maksud ibumu, dengan benda itu kau bisa me-nelusuri jejak ayahmu?" tanya Andika, menduga.

Pertanyaan itu disambut Anggraini dengan anggukan.

"Jadi, ibumu tak jelas-jelas mengatakan kalau benda itu milik ayahmu, bukan?" susul Andika hati-hati.

Karena Andika tahu, jika benda-benda itu milik ayah si gadis, berarti dia telah berhutang nyawa pada Anggraini.

Bukankah cemeti itu milik Begal Ireng, musuh utamanya sewaktu Pendekar Slebor baru turun dari Lembah

Kutukan? Kini, Begal Ireng telah mati di tangannya.

"Apa maksudmu?" tanya Anggraini.

Andika kehabisan kata, begitu disodok langsung

dengan pertanyaan macam itu.

"Mmm, anu.... Maksudku, ngg begini Iho...," kata Pendekar Slebor tergagap dan kelimpungan sendiri.

Melihat tingkah tokoh yang diperlihatkan Andika, Agungcakra jadi tak bisa menahan geli.

Pemuda

bangsawan itu terbahak mendadak.

"Kenapa tertawa?" Andika agak tersinggung.

Sambil menyapu bibirnya dari lemak daging kelinci.

Agungcakra menggeleng.

"Tidak apa-apa," jawab pemuda itu.

Di saat rikuh bagi Andika itulah, sebuah suara asing menyentak ketiganya....

"Ngi ingngng..."

*** 6

Anggraini yang berada paling dekat dengan api

unggun, dengan sigap menghembuskan angin tenaga

dalam untuk memadamkannya. Menyusul padamnya api, Andika, Agungcakra, dan Anggraini menelusup cepat ke balik semak-semak lebat.

Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya

purnama, ketiganya mengamati keadaan dengan pe-

rasaan tegang.

Sebentar kemudian, dari arah utara terlihat pe-

mandangan menakjubkan. Dalam siraman sinar temaran benda langit angkasa, tampak seorang wanita cantik berpakaian merah sedang melayang di udara dalam

keadaan bersila. Dia tidak terbang dengan sendirinya. Ada sekitar ratusan lebah mengangkatnya dengan benang-benang halus yang terangkai menjadi semacam permadani tembus pandang Dengung lebah itulah yang terdengar sebagai bunyi asing.

Wanita itu memang Putri Mayangseruni. Memang,

secara kebetulan, ketiga muda-mudi itu beris-tirahat di dekat wilayah Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Kebetulan pula, Putri Mayangseruni berniat mencari angin di sekitar wilayah kekuasaannya.

"Ratu lebah...," bisik Agungcakra, nyaris tak terdengar.

Andika di sisinya menoleh.

"Kau kenal perempuan itu?" tanya Pendekar Slebor perlahan, serta hati-hati.

"Tentu saja aku kenal. Dia...."

Belum selesai kalimat yang hendak dibeberkan

Agungcakra, tiba-tiba saja Putri Mayangseruni atau menurut Agungcakra adalah Ratu Lebah. menghentikan laju kendaraan anehnya. Di kejauhan matanya mengedar ke sekitarnya. Tajam dan waspada, seolah pandangan rase betina.

Andika bisa menduga, tentu wanita berjuluk Ra¬tu Lebah itu mendengar bisikan mereka. Mau tak mau.

Andika

memuji

dalam

hati

ketajaman

indera

pendengarannya. Padahal, bisikan Agungcakra maupun dirinya sudah begitu halus. Belum lagi, suara bising para lebah yang sudah pasti bisa menelan bisikan halus mereka.

Tahu kalau keberadaan mereka sudah tercium,

Agungcakra hendak bangkit dari semak. Tapi, Andika segera menahannya. Menurut Pendekar Slebor, terlalu dini mereka

berurusan

dengan

tokoh

wanita

yang

kepandaiannya sulit terukur itu.

Tindakan Andika tidak disukai Agungcakra.

"Aku hendak menemuinya, Andika Lagi pula dia sudah tahu persembunyian kita," bisik Agungcakra lagi dengan mata memperlihatkan bias ketidaksenangan.

"Kau ceroboh" sentak Andika, tetap berbisik.

Jauh di sana, Ratu Lebah makin jelas saja me-

nangkap kasak-kusuk mereka. Urat lehernya yang jenjang halus, tampak mengejang. Bibir ranumnya yang tipis bergerak.

"Chuih"

Srak

Bagai dibabat pedang bermata amat tajam, semak-

semak tempat para pengintai bersembunyi, terpapas rata bagian atasnya. Kalau saja Andika, Anggraini, dan Agungcakra tak lebih cepat merunduk, tentu kepala mereka ikut terbabat.

Secara berbarengan, kepala ketiga anak muda-mudi itu muncul perlahan dari semak-semak yang terpangkas.

Anggraini dan Agungcakra begitu hati-hati. Itu terlihat sekali dari raut wajah mereka yang agak menegang. Lain lagi Andika. Pendekar muda itu muncul dengan senyum serba-salahnya.

"Selamat malam, Nisanak," sapa Andika berbasa-basi disertai cengiran konyol. "Sungguh, kita bertiga tak sedang memata-mataimu, he he he. Bukan begitu, Kawan?"

Pendekar Slebor minta pendapat pada Anggraini dan Agungcakra di sisinya.

Wanita dingin yang disapa tak membayar basa-basi Andika dengan keramahan, tapi dengan satu semburan ludah maut kembali.

"Chuih"

"Sial maki Andika.

Seketika itu pula, Pendekar Slebor mengebutkan kain pusaka ke arah ludah Ratu Lebah. Menghadapi kealotan kain itu, ternyata ludah sakti Ratu Le¬ bah tak bisa berkutik. Sambaran maut bertenaganya langsung terserak begitu saja oleh kekuatan yang disalurkan Pendekar Slebor pada kain pusaka.

"Nisanak Mestinya kau bisa bersikap ramah pada orang ramah seperti aku ini" semprot Pendekar Slebor.

Pendekar muda itu berdiri bertolak pinggang. Hatinya mulai panas atas perlakuan Ratu Lebah tadi. Sebentar lagi, sifat urakannya tentu akan meledak.

"Andika...," tahan Agungcakra. Pemuda itu ikut bangkit. Dipegangnya bahu Pendekar Slebor.

"Apa? Ini semua gara-gara ulahmu, tahu Coba kalau kau bisa sedikit tutup mulut" omel Pendekar Slebor pada Agungcakra.

Rupanya, darah si pemuda dari Lembah Kutuk-an itu makin melonjak naik ke ubun-ubun. Alis mata sayap elangnya bertaut rapat, cuping hidungnya kembang-kempis.

Ditunjuknya Ratu Lebah dengan tudingan

menantang.

"Aku tak suka orang seperti kau, Nisanak Kau terlalu sombong untuk menghargai orang lain" sembur Pendekar Slebor lagi.

Anggraini di sebelahnya mendelik. Rasanya, kalimat Andika tadi sengaja hendak menyinggungnya sekaligus.

Sekali tepuk dua lalat

"Ayo, ludahi aku lagi Biar kusumpal mulut usilmu dengan kainku yang tak pernah kucuci ini" tantang Andika kembali. lebih keterlaluan.

Ratu Lebah yang sesungguhnya memiliki kecantikan luar biasa mengumbar senyum tipis.

"Hey Aku tahu, kau lebih cantik dari kawanku ini," ujar Andika seraya menunjuk semena-mena ke depan wajah Anggraini. "Tapi, jangan dikira aku akan tergoda dengan senyummu itu Huh Tak usah, ya"

Sekali lagi Anggraini mendelik dongkol. Kalau urusan sudah selesai dengan Ratu Lebah, wanita ini berjanji akan menyumpal mulut Andika dengan tinjunya

Di Iain sisi, Ratu Lebah memerintah lebah-lebahnya mendekat ke arah mereka.

Andika waspada. Apalagi, ketika wanita cantik

berkesan bengis itu kian dekat. Saat Ratu Lebah melompat turun dari kendaraan anehnya, Pendekar Slebor langsung

pasang

kuda-kuda.

Dikiranya,

wanita

menjengkelkan itu akan segera mengirim serangan maut.

Tak dinyana tak diduga, Ratu Lebah malah mendekati Agungcakra. Langsung dipeluknya pemuda itu.

"Cakra...."

"Bibi...," balas Agungcakra setengah lirih. Andika hanya melongo.

***

"Ke mana saja kau selama ini, Bibi Mayang?" tanya Agungcakra saat keduanya berjalan beriringan, jauh dari tempat semula. Ratu Lebah telah memaksa Agungcakra untuk meninggalkan Andika dan Anggraini.

Walau

perasaannya tak enak, akhirnya Agungcakra ikut juga. Lagi pula, Andika maupun Anggraini sudah mempersilakannya dengan senang hati.

"Aku...."

Mayang terdiam. Matanya menerawang kosong.

"Aku berkelana di dunia lain," jawab wanita itu kemudian dengan sebaris senyum yang sulit dipa-hami.

"Aku tak paham maksudmu, Bi?"

Tiba-tiba sang bibi tertawa lepas. Suara tawanya ganjil,

membuat bulu roma di tubuh Agungcakra

meremang. Mayangseruni atau Ratu Lebah adalah adik bungsu ayah Agungcakra. Sejak orangtuanya meninggal dalam tugas kerajaan, Mayangseruni yang waktu itu baru berusia tiga tahun tinggal bersama Dwigeni, kakak lelakinya itu.

Tak lama Mayangseruni tinggal, kandungan istri

Dwigeni kian besar. Maka lahirlah anak lelaki yang diberi nama Agungcakra. Mayangseruni dan Agungcakra lalu tumbuh besar bersama. Keakraban mewarnai masa kanak-kanak keduanya. Mereka tak lagi seperti antara bibi dengan keponakan. Lebih dari itu, mereka sudah seperti kakak beradik.

Waktu berlalu.

Tahun-tahun indah tercecer di

belakang.

Mayangseruni

beranjak

sembilan

tahun.

Sedangkan Agungcakra menginjak usia enam tahun.

Suatu saat seorang pertapa melihat Mayangseruni

sedang bermain dengan Agungcakra. Pertapa itu adalah seorang wanita sakti yang sudah dianggap makhluk halus oleh masyarakat sekitarnya.

Karena tertarik pada diri Mayangseruni yang bertubuh dan bertulang-tulang bagus, serta mempunyai keyakinan diri yang mantap, tanpa sepengetahuan Dwigeni pertapa wanita itu menculiknya.

Agungcakra yang menjadi saksi saat itu, dipesan oleh si pertapa wanita agar merahasiakan tentang kejadian ini.

Si kecil Agungcakra diberitahu, kalau bibi mungilnya akan dibawa ke suatu tempat yang menyenangkan. Jika nanti ditanya

oleh

orang

tuanya,

Agungcakra

disuruh

mengatakan kalau Mayangseruni diasuh oleh seseorang tak dikenal. Dan suatu saat nanti, Mayangseruni akan dikembalikan.

Dengan hilangnya Mayangseruni, adik tersayang

Dwigeni yang menjadi adipati, maka kegemparan pun tak bisa dihindari. Para prajurit kadipaten dikerahkan untuk mencarinya. Pencarian sia-sia, Mayangseruni tak pernah ditemukan. Bahkan sekadar jejak sekalipun.

Sampai akhirnya, Agungcakra ditanya oleh si ayah tentang hilangnya Mayangseruni. Maka, Agungcakra pun mengatakan apa-apa yang dipesan si pertapa wanita padanya. Sewaktu Dwigeni menanyakan ciri-ciri si pertapa, Agungcakra yang memang cerdas, menceritakan dengan tepat.Mendengar seluruh cerita anaknya, barulah Adipati Dwigeni

tahu,

siapa

yang

telah

membawa

adik

kesayangannya. Maka hatinya pun jadi sedikit lega.

Karena, si pertapa wanita sepanjang pengetahuannya, adalah tokoh sakti sulit tertandingi dari aliran lurus.

Bahkan hatinya cukup bergembira ketika tahu pertapa wanita itu akan mengangkat adiknya menjadi murid.

Sepuluh tahun berlalu. Waktu memang cepat tertelan zaman. Mayangseruni akhirnya pulang, seperti janji si pertapa wanita pada si kecil Agungcakra. Dia kini bukan lagi seorang gadis kecil lugu nan lucu. Mayangseruni telah berubah menjadi gadis cantik, yang mekar merekah bagai bunga mempesona. Selain itu, kemunculannya pun

sebagai pendekar wanita yang langsung sering ikut andil dalam menegakkan kebenaran. Namanya pun kian harum semerbak, dalam percaturan dunia persilatan, selaku tokoh wanita berkharisma pengendara ratusan lebah.

Karena itu, lahir julukan untuknya Ratu Lebah

Suatu hari, Ratu Lebah berurusan dengan seorang

bajingan berilmu tinggi yang usianya jauh lebih tua darinya.

Lelaki itu terkenal sebagai Pangeran Neraka. Menurut kabar burung, julukannya didapat di negeri Tiongkok, tempatnya berburu ilmu kedigdayaan. Dalam suatu usaha menuntut

ilmu

hitam,

Pangeran

Neraka

harus

menceburkan diri dalam kawah gunung berapi. Ilmu didapatnya, tapi sayang seluruh kulit tubuhnya melepuh.

Kecuali, wajahnya.

Karena tak ingin melihat kebatilan, Mayangseruni saat itu berusaha menggagalkan segala sepak terjang Pangeran Neraka. Lelaki laknat itu bisa dikalahkan. Namun begitu, Mayangseruni terkena racun tanpa pemunah milik

lawannya. Racun itu terus merasuk hingga ke jaringan saraf di otaknya. Sampai akhirnya, gadis itu kehilangan akal waras. Bahkan pikirannya berada di bawah pengaruh Pangeran Neraka. Mengetahui lawan telah berada di bawah pengaruhnya, Pangeran Neraka memanfaatkan

kecantikan dan kemolekan Mayangseruni. Sekaligus, memanfaatkan kesaktiannya. Ratu Lebah pun dijadikan pasangan si lelaki laknat.

Selanjutnya,

Mayangseruni

menghilang

kembali

seperti beberapa tahun lalu.

Sementara Agungcakra memang sudah telanjur

sayang pada sang bibi yang dianggapnya sebagai kakak perempuan. Maka dia segera melakukan pencarian,

setelah sebelumnya berguru selama beberapa tahun pada tokoh kerajaan. Tiga tahun dia terus mencari tanpa basil.

Sampai akhirnya, bisa bertemu kembali ketika Andika dan Anggraini bersamanya.

***

"Bibi Mayang, apa yang sesungguhnya terjadi padamu selama ini?" tanya Agungcakra sungguh-sungguh. Ada yang tidak beres pada adik ayahnya, menurut penilaian anak muda itu.

Ratu Lebah berhenti tertawa. Ditatapnya mata

Agungcakra dengan cahaya mata liar. Lalu tawanya meledak lagi, lebih tinggi daripada sebelumnya.

Agungcakra makin yakin ada sebuatu yang telah

terjadi

pada

diri

Mayangseruni.

Sepanjang

pengetahuannya, Mayangseruni adalah gadis yang penuh kendali diri. Dia tidak akan tertawa seenaknya, seperti perempuan jalanan. Kalau Mayangseruni yang dulu amat kentara sinar keceriaan di wajahnya, Mayangseruni yang ditemuinya kini memiliki sinar mata kejam.

Memang, Agungcakra hanya tahu kalau adik ayahnya itu pergi untuk sebuah urusan tiga tahun lalu. Ketika itu, Agungcakra menawarkan diri untuk mengawalnya. Namun, Mayangseruni menolak. Menurut wanita itu, urusannya harus diselesaikan sendiri. Sejak kepergian itu, Agungcakra tak pernah lagi jumpa dengan

bibinya.

Dan

sewaktu

mencoba

mencari

keterangan dari beberapa orang persilatan, yang didapat hanya sedikit keterangan. Menurut mereka yang sempat tahu, Ratu Lebah sering terlihat bersama seorang tokoh sesat bernama Pangeran Neraka.

"Lama aku berkelana, Cakra," tutur Mayangseruni lagi sambil memainkan anak rambutnya seperti wanita jalang penggoda. "Berkelana di batas sorga dan neraka. Kau tahu, bagaimana rasanya berjalan disana? Seperti siksaan yang melenakan. Saat itu merasa tersiksa, aku menjadi demikian takut... takut"

Wajah Mayangseruni berubah mencekam. Sudut

matanya yang indah, memperlihatkan lipatan ketakutan.

Dan secepat itu pula berubah penuh kebengisan.

"Tapi bagai ada selaksa makhluk menjijikkan menitahku untuk menikmatinya. Dan..., aku pun bisa menikmati. Menikmati darah, menikmati warna merah, menikmati...."

"Cukup, Bibi Mayang Kau bukan bibiku yang dulu lagi

Rupanya

kehidupan

dunia

yang

memikat

telah

membuatmu lupa diri" tuduh Agungcakra. "Kau telah terjerumus

dalam dunia laknat kaum sesat yang

menganggap dunia ini hutan rimba penuh kesenangan dan darah

Sadarlah,

Bibi....

Jangan

sampai

Tuhan

memurkaimu...."

Kata-kata Agungcakra padat dengan getaran. Betapa terpukulnya dia mendapati orang yang disayangi sudah berubah demikian rupa. Mata anak muda itu berkaca-kaca, menembus lekat-lekat pandangan Ratu Lebah.

"Terlambat, Anak Muda Semuanya sudah terlambat"

Tiba-tiba terdengar suara di belakang. Suaranya

begitu berat berdebam. Ketika Agungcakra menoleh, tampak Pangeran Neraka telah berada di sana. Ielaki itu berdiri dengan melipat tangan di dada. Jari-jarinya yang tersembunyi tampak memainkan dua bola besi baja. Sorot matanya menyampaikan ancaman berbau maut.... 7

"Siapa kau?" bentak Agungcakra penuh selidik. Tanpa berkedip, diawasinya Pangeran Neraka lekat-lekat.

Pangeran Neraka beringsut ke arah Agungcakra lebih dekat. Mulutnya mengumbar senyum mengejek.

"Aku? Hu hu hu Pertanyaanmu terlalu menyedihkan.

Itu pertanda, kau tak banyak tahu tentang dunia persilatan yang keras ini. Kau terlalu hijau, Anak Muda...."

Pangeran

Neraka

memenggal

kalimat,

seiring

terangkatnya dagu. "Akulah Pangeran Neraka. Dunia persilatan sudah kenal baik dengan namaku," lanjut laki-laki tua itu, menyombong.

"Apa hubunganmu dengan bibiku?" tanya Agungcakra penuh menyelidik.

Pemuda itu yakin, segala sesuatu yang terjadi tentu ada penyebabnya. Jika bibinya jadi tampak ganjil di matanya, tentu pula tak luput dari penyebabnya.

Agungcakra pun yakin, lelaki yang baru kali ini dilihatnya tentu tersangkut dalam perkara yang membuat bibinya menjadi begitu tak dimengerti seperti sekarang.

"Aku tak suka cara kau menatapku, Anak Muda."

Bukannya menjawab, Pangeran Neraka malah melempar kalimat lain.

"Jawab pertanyaanku" sentak Agungcakra, diburu kegusaran.

"Nyalimu cukup besar. Atau, kau memang terlalu bodoh sehingga tidak tahu dengan siapa berbicara."

"Aku tak peduli, dengan siapa aku bicara. Dengan tokoh sakti atau iblis durjana sekali pun Aku hanya ingin kau

menjawab

pertanyaanku,"

tandas

Agungcakra,

setengah mengancam.

"Hu hu hu Ternyata nyalimu jauh lebih besar daripada dugaanku," cemooh Pangeran Neraka.

"Keparat Tentu kau ikut andil dalam perkara bibiku"

tuding

Agungcakra

tak

bisa

lagi

membendung

kecurigaannya. "Kalau kujawab, ya, kau mau berbuat apa?" tantang Pangeran Neraka melecehkan. Sengaja dia memancing terus kegusaran anak muda di depannya.

"Bajingan busuk" maki Agungcakra berat terseret.

"Akan kuhabisi nyawamu sebagai bayaran atas kesalahan yang telah kau perbuat terhadap bibi kesayanganku"

Pangeran Neraka memperdengarkan tawa khasnya.

"Kenapa tak segera kau lakukan? Apa mungkin kau hanya berani mengancam, dan tak mau menerima akibat jika mengancam orang seperti aku?"

Lagi-lagi Pangeran Neraka melecehkan Agungcakra.

"Pergilah kau ke dasar neraka, Manusia Keparat"

Sampai di situ, Agungcakra tak bisa lagi menahan kemurkaan yang meledak-ledak di dalam dada. Kalau saja persoalannya lain, tentu dia tak akan seberingas itu. Tapi, ini menyangkut diri orang yang begitu disayanginya. Orang yang terdekat setelah kedua orangtuanya. Itu tentu saja perasaannya bagai diluluh-lantakkan.

Sarat

kemurkaan

pada

wajahnya,

Agungcakra

melepas satu serangan dahsyat. Kelima jari kirinya yang tajam, mengancam leher Pangeran Neraka se-penuh

kekuatan. Tampaknya,

Agungcakra tak peduli lagi,

bagaimana harus melabrak lawan. Hanya satu yang

dikehendakinya saat itu. Lelaki di depannya harus mati secepatnya

Bet

"Putus lehermu, Keparat"

Lelaki yang diserang masih sempat mengejek dengan sebaris senyum memuakkan. Sekejap kemudian, tubuhnya berkelit enteng. Maka, luputlah terjangan Agungcakra.

Dorongan kemarahan yang sudah mendaki hingga ke

puncak kepala, mendorong Agungcakra untuk melakukan serangan susulan. Sikunya yang cukup dekat dengan Pangeran Neraka, segera menghujam ke ulu hati.

Deb

Pangeran Neraka tak mau ambil bahaya. Apalagi

tingkat kepandaian lawan bisa diukurnya. Maka segera ditangkisnya tohokah siku Agungcakra dengan satu tangan terangkat ke atas dalam gerakan menyapu keluar.

Tak

Lalu disusul satu serangan balasan. Tinju Pangeran Neraka yang terkenal selalu mengandung racun amat kuat, langsung melayang lurus ke rahang pemuda tampan yang sedang kalap itu.

Wus

"Hiah"

Berbarengan hentakan suara, Agungcakra berusaha

menghindar

sejauh-jauhnya.

Meski

tergolong

hijau,

pemuda itu bisa merasakan hawa maut yang disebar oleh angin pukulan Pangeran Neraka.

"Hu hu hu Terbukti ucapanku tadi, bukan? Kau memang terlalu hijau, terlalu bau kencur. Lebih baik, kembalilah ke ibumu dan minta diteteki" sembur Pangeran Neraka.

"Kau boleh memiliki ilmu tinggi. Tapi, aku tak akan surut dari pertarungan ini. Kau harus mati di tanganku, walaupun aku harus membayarnya dengan nyawa"

"Lalu, kenapa kau harus menghindar sejauh itu? Ayo, ke sini kau Biar tinjuku ini sedikit memanjakanmu"

"Hiaaa"

Agungcakra memulai pertarungan kembali. Tubuhnya mencelat tinggi. Satu kakinya membentang lurus ke depan, sedang yang lain terlipat. Tendangan terbangnya kini mengancam dada kekar Pangeran Neraka

Seperti sebelumnya, meski serangan Agungcakra

sudah

hampir

tiba,

Pangeran

Neraka

kembali

memperlihatkan senyum yang lebih mirip seringai. Tingkat kepandaian Pangeran Neraka memang terlalu tinggi, meskipun Agungcakra di dunia persilatan cukup bisa mengandalkan kemampuannya. Itulah sebabnya, Pangeran Neraka seperti tak terancam oleh serangan-serangannya.

Sesaat sebelum kaki Agungcakra benar-benar tiba, Pangeran Neraka membuat satu gerakan tangan. Telunjuk kanannya teracung lurus pada arah tendangan terbang pemuda itu.

Tas

Entah bagaimana caranya, hanya dengan jari telunjuk tadi. Pangeran Neraka ternyata sanggup menahan

tendangan

terbang

berkekuatan

milik

Agungcakra.

Tubuhnya tak terlihat bergoyang, bahkan sekadar getaran pada pakaiannya.

Sementara di lain pihak, Agungcakra malah ter-pental balik. Anak muda berwajah tampan dan ber-kesan jantan itu seperti baru saja menerjang bukit ka-ret yang kenyal

Tak hanya itu. Ketika kakinya menjejak bumi, Agungcakra merasakan nyeri yang luar biasa pada bagian kaki yang bertumbukan dengan jari telunjuk Pangeran Neraka. Rasa nyeri terus merangsek ke dalam serat-serat tubuhnya bagai terikut dalam aliran darah.

Urat-urat wajah Agungcakra menampakkan ke-

sakitan.

"Kenapa, Anak 'Menak'? Apa di tempat tinggalmu yang nyaman kau tak pernah merasakan sakit? Kau tentu terlalu dimanja para inangmu.... Hu hu hu"

Agungcakra diam dengan rahang mengatup ra-pat-

rapat, hingga otot-otot sekitarnya terlihat menonjol keluar.

Ejekan-ejekan lawan telah keterla-luan. Bahkan untuk ukuran orang yang paling sabar sekali pun.

Tekat Agungcakra

untuk

memberangus

nyawa

Pangeran Neraka kian meledak-ledak Maka, tanpa

menimbang lebih lama, Agungcakra segera memper-

siapkan ilmu pamungkasnya. Hanya cara itulah dia bisa punya kesempatan untuk menghabisi Pangeran Neraka.

Sebelum serangan si pemuda kalap terlepas kembali, Pangeran Neraka telah lebih dulu melepas satu isyarat mata pada Ratu Lebah alias Mayang-seruni. Gerak kecil matanya, seakan hendak memerintah si wanita cantik yang bernasib malang itu dengan satu kalimat pendek. Habisi dia

Begitu Mayangseruni mengeluarkan suara ganjil yang tertangkap telinga Agungcakra, pemuda itu cepat menoleh. Hatinya jadi terkesiap melihat bibinya siap melesatkan ludah berkekuatan dahsyat, seperti pernah disaksikannya dulu sewaktu bersama Andika dan Anggraini.

"Bibi jangan" tahan Agungcakra.

Sayang, usaha Agungcakra untuk menahan ke-

bengisan yang kini menguasai seluruh pikiran bibinya, tak berarti apa-apa di telinga Mayangseruni.

"Chuih"

Wesss

Sebisa-bisanya, Agungcakra menghindar. "Heaaa..."

Sentakan suara terlempar keluar, untuk mengimbangi pangerahan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh pemuda itu. Selagi tubuhnya masih di udara, Ratu Lebah sudah melepas lagi semburan ludahnya. Kali ini, tak cukup sekali."Chuih Chuih Chuih"

Wess.. ssss. . sss

Tiga kelebatan serangan ganjil Ratu Lebah melesat ke arah tiga kedudukan yang amat menyulitkan Agungcakra.

Satu menyergap bagian atas, sedang yang lain melesat ke bagian kiri dan kanan.

Untuk menyelamatkan kepala agar tak tertembus,

Agungcakra harus membuang tubuhnya ke sam-ping di udara. Namun begitu, dia harus berjudi dengan ludah maut yang lain. Jika bergerak lebih cepat, tentu selamat. Namun kalau terlambat sedikit saja, maka ludah yang meluruk di sisi-sisinya akan merencah tubuhnya.

Karena keadaan sudah begitu mendesak, Agungcakra tak bisa lagi berpikir lama-lama. Langsung saja dia melempar tubuh ke sisi kanan sekuat tenaga.

Sayang.... - Srat

Seketika itu juga, bagian pinggang Agungcakra

tersayat dalam oleh ludah Ratu Lebah. Tubuhnya

kontan jatuh ters ungkur tanpa sempat berpijak.

Sambil memegangi pinggang yang mengucurkan

darah, Agungcakra menatap nanar wajah dingin dan kejam Mayangseruni yang dulu dikenalnya sebagai seorang bibi yang lembut dan welas asih.

"Bibi Kenapa kau tega melakukan ini padaku?" lirih si pemuda tampan dalam kalimat putus asa.

Saat berkata, sehimpun kepedihan lain yang berasal dari dasar hatinya mengusik benteng kelelakian si pemuda.

Matanya mulai berkaca-kaca. Tali kasih sayang tulus telah terputus oleh kepedihan yang tak terperi di antara semua kepedihan. Sebuah kekecewaan yang terlalu berat untuk ditanggung.

"Apakah..., apakah kau memang sudah melupakan sama sekali cerita kita waktu kecil dulu?" lanjut Agungcakra tertahan-tahan. "Tentang cerita kita di taman bunga kadipaten? Tentang bibi yang berlari riang mengejar kupu-kupu kecil, lalu aku mengikutimu karena takut kau celaka? Apa Bibi lupa dengan semua itu?"

Dingin Hanya dingin yang bisa ditemukan Agungcakra di wajah Mayangseruni. Semenjak Pangeran Neraka ada di dekatnya, sisa-sisa rasa kasih sayang di kalbunya bagai terbelenggu pengaruh jahat.

Hati Agungcakra kian tercabik-cabik. Kalau saja dia bukan lelaki, tentu akan menangisi semua itu dengan dada sesak.

"Kau tak tahu, Bibi Bagaimana sulitnya aku mencarimu berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Hujan dan terik tak kupedulikan. Badai pun tak bisa menahan tekadku untuk mene-mukan orang yang

kucintai," ucap Agungcakra lamat, seperti berkata pada diri sendiri. "Tapi, tak kuduga sama sekali. Ternyata aku telah kehilangan Bibi untuk selama-lamanya. Bibi telah binasa dalam kemungkaran...."

Agungcakra senyap. Entah putus asa entah sudah

kehilangan kata.

"Kalau kau mau butuh aku, bunuhlah Sudah terlanjur kusia-siakan hidup, untuk mencari Bibi yang sebenarnya tak mungkin kutemui lagi...," bisik pemuda itu lemah dengan kepala terjatuh.

Detak-detak degup jantungnya melangkah pasrah. "Chuih Chuih Chuih"

Seruntun kelebatan ludah berkekuatan dahsyat

menuju tubuh kuyu si pemuda. Dalam sekejap, tubuhnya dikoyak-koyak bagai sehelai daun kering tak berarti.

" Tangan-tangan maut sepertinya adalah jalan terbaik menuntas hidup Agungcakra yang diberangus kecewa.

Bersama darah yang membasahi sekujur tubuhnya, seiring keluh panjang atas kekecewaan, Agungcakra mengatupkan mata perlahan. Sebentang garis bening mengalir lembut di antara warna merah yang membasahi pipinya.

*** 8

"Urusan Cakra sudah beres. Dia sudah bertemu bibinya kembali," cetus Anggraini pada Andika setelah kepergian Agungcakra dan Ratu Lebah. "Kini tinggal urusanku denganmu...."

Seperti tak berniat menggubris, Pendekar Slebor

melangkah acuh menghampiri sisa api unggun yang masih melepas lenggokan asap putih tipis diusik angin malam.

Dijemputnya panggangan daging kelinci. Hampir dingin, tapi tak dipedulikan. Perut yang begitu lapar membuatnya begitu lahap menyantap.

"Kau jangan berpura-pura bodoh Sudah sejak tadi kau menjengkelkanku. Kalau tak sabar-sabar, sudah kuhajar kau. Sekarang, cepat ceritakan padaku tentang cemeti itu" desak Anggraini. Si dara ketus itu berdiri bertolak pinggang. Raut wajahnya sudah matang.

Andika melirik enggan pada Anggraini. Dita-riknya napas dalam-dalam. Agak berat baginya menceritakan hal sebenarnya tentang cemeti itu. Bukannya tak mau berterus terang. Dalam hal ini, dia berada dalam keadaan selaku pembunuh pemilik cemeti tersebut. Bisa jadi, si pemilik cemeti, Begal Ireng, adalah ayah Anggraini. Kalau benar, tentu akan menjadi perkara hutang nyawa. Dan Anggraini bisa-bisa memusuhinya habis-habisan.

"Padahal, aku tak mau bermusuhan dengannya. Aku tahu, dia bukan gadis sesat. Meski, sifatnya agak ketus,"

gumam Andika tak sadar, terbawa arus pikiran sendiri.

"Hey, apa katamu tadi?" sergah Anggraini.

"Ah, tidak.... Tidak apa-apa," elak Andika.

"Nah Kalau begitu, tunggu apa lagi? Aku ingin cepat-cepat membereskan urusanku...."

"Begini saja," putus Andika akhirnya. "Sebaiknya, kau mencari dua orang dari Tiongkok. Karena mereka kembar, keduanya dijuluki Kembar Dari Tiongkok."

"Apa hubungannya dengan aku?"

"Pokoknya, cari mereka. Dan, korek keterangan dari keduanya" tandas anak muda dari Lembah Kutukan itu.

"Apa hubungannya denganku?" Si dara berpakaian merah mengotot.

"Sial" maki Andika jengkel. Pendekar Slebor memang tidak suka dipojokkan seperti itu. Apalagi oleh perempuan pula. "Yah.... Mereka itu amat kenal pada pemilik cemeti yang kau bawa" jelas Andika, menyerah. "Mungkin kau bisa mengorek keterangan dari mereka, tentang kakak kandung si pemilik cemeti. Se-bab menurut kabar burung, pemilik cemeti itu mempunyai seorang kakak lelaki...."

"Kalau begitu, terimakasih" ucap Anggraini ketus.

Dijumputnya cemeti yang terjatuh di sisi sisa api unggun, lalu beranjak meninggalkan tempat itu.

"Kau mau ke mana?" tanya Andika.

"Ke neraka"

Andika menggeleng-gelengkan kepala.

"Bagaimana dengan jatah panggangan kelincimu ini?"

seru Pendekar Slebor lagi.

"Makan saja sendiri. Bukankah kau memang ra-kus?"

cemooh Anggraini di kejauhan.

"Perempuan slompret"

***

Tiga hari telah berlaku, Anggraini sudah terlihat di satu sudut kotapraja. Malam sudah tiba. Lampu-lampu minyak bertebaran semarak di daerah itu.

Tempat yang paling sering dan paling banyak menjadi sumber berita adalah kedai. Di sana, desas-desus marak di antara bau arak dan panganan. Dan Anggraini kini memasuki salah satu kedai. Dia berharap bisa mencuri-curi keterangan dari obrolan par pengunjung tentang Kembar Dari Tiongkok.

Gadis itu mengambil tempat, tepat di tengah tengah ruangan. Tempat yang bagus untuk bisa mendengar ke segenap penjuru kedai. Sambil terus memasang kuping, dipesannya makanan. Ketika makanan datang, gadis itu pun menyantapnya.

Harapan

Anggraini

terkabul

sebelum

sempat

menghabiskan santapan malam. Dua lelaki yang tampaknya dari dunia persilatan, sedangsantai membica-rakan sesuatu sambil menikmati tuak keras. Mereka rupanya sudah cukup mabuk, sehingga lancar saja mengobral ucapan.

"Kau tahu, dua lelaki dari Tiongkok yang pernah membual kegemparan tiga tahun lalu bersama Begal Ireng?" tanya laki-laki bertopeng kasar, dengan bauk memenuhi wajahnya.

"Ya, tentu saja aku tahu. Bukankah mereka sudah mati sewaktu Pendekar Slebor mengamuk, mem-bumi

hanguskan mereka?" tanggap lelaki yang diajak berbicara.

Wajah laki-laki ini kelimis, tanpa kumis maupun jenggot.

"Mati? Siapa yang bilang mereka mati? Begal Ireng memang mampus di tangan pendekar muda itu. Tapi

mereka tidak"

"Ah Dari mana kau tahu begitu?"

"Percaya atau tidak, aku dua hari yang lalu bertemu mereka. Dengan kalimat-kalimat mereka yang kaku, aku ditanya tentang Pendekar Slebor...."

"Maksudku mereka mencari anak muda sakti itu?

Sinting Apa mereka belum kapok?"

"Tapi, siapa tahu selama tiga tahun menghilang dari dunia persilatan, Kembar Dari Tiongkok mempersiapkan diri untuk menghadapi Pendekar Slebor. Mereka mungkin punya ilmu baru"

"Ah Aku tak yakin, mereka bisa menandingi anak muda sakti itu meski tiga tahun menambah ilmu. Kata banyak orang, kesaktian anak muda itu seperti setan.

Kalau dia bergerak..., bet Bet Tahu-tahu, apa yang ada di depan hancur. Belum lagi, kabarnya dia bisa menyerap tenaga petir" tutur lelaki klimis menggebu-gebu. Saking semangatnya, gelas tuak di meja jatuh bergulingan ke lantai. "Yaaa.... Tuak kita. Kau sih Cerita pakai mencak-mencak segala" gerutu lelaki bauk. "Mana uangku sudah habis...."

"Tuan-tuan, kalian ingin lebih banyak tuak?" sapa Anggraini yang kebetulan tak jauh dari tempat mereka.

Dua lelaki tadi menoleh dengan mata sayu, karena pengaruh tuak.

"Wah, rejeki nomplok Nisanak haik sekali...." sambut lelaki klimis.

"Kalian akan kubelikan empat guci penuh, kalau mau memberitahu aku, ke mana Kembar Dari Tiong¬kok pergi,"

lanjut Anggraini.

Lelaki bauk yang pernah ditanyai Kembar Dari

Tiongkok penuh semangat berdiri, lalu menghampiri si dara berpakaian merah.

"Aku tahu, Nisanak," kata si bauk. "Setelah bertanya padaku, mereka pergi ke arah utara, eh... Tunggu dulu."

Lelaki bauk itu diam sebentar seperti mengingat-ingat.

"Matahari tenggelam di sebelah mana, ya?" tanya laki-laki itu pada kawannya.

"Barat maksudmu?" sela Anggraini.

"Ya, barat Tepat, Nisanak"

"Kira-kira, apa daerah yang istimewa di daerah barat?"

Lagi-lagi si lelaki tadi mengingat-ingat. Sesaat kemudian wajahnya meringis ngeri.

"Di barat itu, yang santer sekarang-sekarang ini, ya Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Jaraknya tak begitu jauh dari sini. Kira-kira setengah harian berkuda...."

"Cukup,

terimakasih,"

putus

Anggraini,

seraya

mengeluarkan beberapa keping uang perak. Diberikannya uang itu pada si lelaki pemabuk.

"Mabuk sampai pagi" teriak lelaki itu girang bukan main. Setelah itu tubuhnya ambruk, tak kuat lagi menahan pengaruh tuak dalam tubuhnya.

Beres membayar makanan, Anggraini bergegas keluar kedai. Malam itu juga, gadis ini mencari seekor kuda jantan dan membelinya. Dia bermaksud langsung menuju ke arah yang ditunjuk dua lelaki pemabuk tadi.

***

Anggraini tiba menjelang pagi di Pintu Sorga dan

Neraka Dunia. Matahari mengintip malu-malu di sudut timur cakrawala. Cahaya jingganya menyapu samar wilayah itu. Panorama indahnya pun seolah bangun dari tidur.

"Pantas saja tempat ini disebut 'Pintu Sorga'. Ke-indahannya benar-benar menakjubkan," puji Anggraini perlahan.

Gadis itu memandangi pucuk-puc uk bunga matahari jangkung

yang

masih

tertunduk-tunduk,

seakan

sekumpulan serdadu mengantuk.

Warna kuningnya

menyatu dengan jingga sang matahari.

"Tapi, kenapa tempat itu disebut juga 'Pintu Neraka'?

Aku belum menangkap maksudnya. Menurutku, tak ada tanda-tanda kalau tempat ini seperti neraka...," gumam gadis itu kembali seraya menghirup dalam-dalam hawa sejuk yang berhembus dari sela-sela bukit pembenteng daerah itu.

Cahaya kekuningan matahari mulai memudar. Dan

Anggraini puas menikmati maha karya Yang Maha Esa. Kini dia pun mulai mengendalikan kuda tunggangan yang telah dibelinya, berjalan perlahan menyusuri jalan setapak berkerikil warna-warni.

Sepanjang jalan setapak, sesekali dia menemu-kan serumpun bambu kuning setinggi dua kali manusia.

Gemerisik daun-daunnya menyapa ramah, ketika angin mengusik. Di dekat serumpun bambu kuning lain, telinga Anggraini menangkap suara mencurigakan. Bukan sekadar gemerisik daun atau derit bambu yang bergesekan. Maka seketika

pen-dengarannya

ditajamkan.

Tak

lama

kemudian, mulai bisa dipastikan kalau suara itu adalah rintihan seseorang.

Dengan cekatan dara cantik itu melompat turun dari punggung kudanya. Dia langsung berlari ke balik kerimbunan rumpun bambu. Mata indahnya kontan

terbelalak menyaksikan sesuatu yang terlihat. Sebuah tiang kayu bcsar terpancang angkuh dan dingin. Di atasnya, tergantung sescorang yang sudah dikenalnya....

Agungcakra.

"Cakra Apa yang terjadi?" tanya Anggraini, khawatir melihat keadaan Agungcakra yang mengenaskan.

Tubuh pemuda itu menderita koyakan di sana-sini.

Darah terus menetes ke tanah, tepat di bawah tempatnya tergantung. Sudah begitu banyak darah tergenang disana.

Anak muda tampan itu nyaris pingsan dengan wajah pucat pasi. Matanya terkatup, redup.

Anggraini cepat mengambil selembar daun bambu.

Dan tangannya pun bergerak sekelebat. Wes... tes

Tali besar pengikat kaki Agungcakra terputus tanpa kesulitan, seakan baru saja ditebas sebilah kelewang amat tajam. Tubuh lunglai si anak muda malang, pun meluncur jatuh. Tapi, Anggraini menyergapnya sigap.

"Nisanak, apakah kau pernah mendengar cerita anak manusia....," kata Agungcakra lirih. Tubuhnya telah terbaring di tanah, sementara kepalanya senga-ja dipangku Anggraini. "Tentang seorang yang begitu menyayangi adik kandung ayahnya. Dia mencari sang bibi yang menghilang bertahun-tahun, tanpa kenal lelah dan tanpa kenal mcnyerah.... Lalu ketika bibi yang disayangi ditemukan, tiba-tiba dia harus menerima kenyataan pahit. Harapannya untuk menerima kasih sayang yang dulu pernah hilang, lebur dalam sekejap. Sang bibi ternyata tak lagi seperti dulu. Sang bibi yang disayanginya kini tiada. Yang ada hanyalah perempuan keji yang sudi mencabik-cabik atas perintah orang lain, yang sama sekali tidak mempunyai hubungan darah.... Ugh-ugh"

Hati

lembut

Anggraini

tersentuh.

Nurani

kewanitaannya trenyuh. Tak kuasa melihat kekecewaan Agungcakra menjelang ajal yang kian dekat.

"Bertahanlah, Cakra. Kau pasti selamat...," hibur Anggraini bergetar lemah. Seakan gadis itu bisa merasakan rasa sakit di kedalaman jiwa goyah Agungcakra. Tak terasa garis-garis bening mulai menggantung di matanya.

"Aku letih mcncari, Nisanak. Amat letih...."

Agungcakra

memperlihatkan

tawa

rapuh

yang

demikian pahit, seolah menertawai keburukan nasib-nya.

"Jangan salahkan bibiku, Nisanak. Biar bagaimana pun, aku tetap menyayanginya. Hanya 'sisi gulita' dalam dirinya yang membuatnya begitu," desah Agungcakra, mengutip sajak yang pernah dibacakan di depan Andika dan Anggraini.

Setelah itu, tak ada lagi kata. Tak ada lagi. Bahkan sekadar desah napasnya. Agungcakra telah mati akibat tangan orang yang disayanginya.

Dunia menjadi bisu tiba-tiba bagi Anggraini. Tubuhnya terpaku

diam,

memandangi

jasad

Agungcakra

di

pangkuannya. Dua bulir bening merambah turun dari kehalusan pipi gadis itu. jatuh tepat di sisi bibir Agungcakra yang masih memperlihatkan senyum kekalahan atas

nasibnya.

Belum puas gadis itu melepas keharuan. mendadak

sebuah jemari kekar menyentuh bahunya dari belakang.

Begitu lembut dan hangat, seolah menyadarkan dirinya dari kebisuan panjang mengiringi jiwa Agungcakra yang pcrgi."Dia telah mati, Nisanak," ucap seorang di belakang Anggraini.

Begitu menoleh, Anggraini jadi terhibur setelah tahu siapa yang ada di belakangnya. Ternyata, orang itu adalah Andika, yang mengikutinya sejak gadis itu meninggalkan kotapraja. Pendekar Slebor terus mengikuti Anggraini sampai tiba di tempat ini.

"Apakah kau percaya?" kata Anggraini, "Kemarin malam, dia masih tertawa dengan kita. Masih membaca sajak indah untuk kita...."

Andika tak mampu berkata-kata.

*** Beberapa saat lalu, Andika dan Anggraini telah

menguburkan jenazah Agungcakra dengan hidmat di

tempat itu juga. Kini, mereka sudah berada di punggung kuda masing-masing. Anggraini masih menatap gundukan tanah basah di depan.

"Kasihan dia...," bisik Andika seolah pada diri sendiri.

Gadis itu kemudian membalikkan arah kudanya. Lalu binatang itu berjalan perlahan. Andika menyusulnya di belakang.

"Kenapa kau terus mengikutiku?" tanya Anggraini pada Andika beberapa waktu kemudian.

"Aku hanya khawatir padamu," kata Andika.

Anggraini menatap Andika lekat-lekat.

"Kenapa? Apa kau anggap aku lemah, sehingga perlu dikhawatirkan?" ujar gadis itu agak tersinggung.

Andika tersenyum.

"Soal kepandaianmu, aku tak begitu ragu. Dari caramu menotok kuda almarhum Agungcakra waktu itu, aku bisa menilai kalau ilmumu cukup bisa diandalkan untuk menjaga diri. Aku hanya khawatir, karena kau orang baru di dunia persilatan busuk ini...."

"Dari mana kau tahu?"

"Dari caramu waktu memperlakukan aku dan

Agungcakra dulu. Kau begitu curiga pada kami dan begitu hati-hati. Bahkan kau sempat hendak menurunkan tangan kejam pada Agungcakra waktu itu...."

"Ya.... Aku memang menyesal...," sela Anggraini, leringat sikap kasarnya pada pemuda yang ternyata berusia singkat itu.

"Nah Menurut pcngalamanku, hanya orang-orang yang baru turun ke dunia persilatan yang bersikap seperti itu,"

papar

Andika

entcng.

Kembali

bibirnya

mempcrlihatkan senyum menawan, membuat Anggraini agak rikuh.

"Dugaanku terhadap kalian ternyata keliru. Mulanya, aku mengira kalian sejenis pemuda hidung belang. Tapi, nyatanya kalian berhati mulia...," kata Anggraini dengan kepala terjatuh. Matanya memandangi jalan berkerikil, seolah merasa bersalah.

"Aku? Aku kau sebut berhati mulia?" tukas Andika, memperlihatkan wajah mencemooh diri sendiri. "Kau belum tahu saja."

"Di samping itu, aku mendapat hikmah dengan bertemu Cakra," kata Anggraini, tak mempedulikan gurauan Andika. "Ternyata, kita sering tertipu oleh banyak hal. Mulanya kita yakin, Agungcakra telah merasa gembira telah bertemu bibinya yang telah dicari sekian lama...."

"Ternyata

dia

mengalami

nasib mengenaskan.

Makanya kau pun harus berhali-hati. Di dunia ini banyak

'bungkusan bagus, tapi isinya bangkai'...," potong Pendekar Slebor.

Anggraini diam-diam menatap terus pemuda tampan

yang berkuda di sisinya. Tak dinyana kalau pemuda ini mempunyai perhatian besar. Tadi, Andika mengatakan kalau mencemaskan Anggraini.

Kini dari mulutnya

melunc ur nasihat-nasihat yang begi¬tu bijak.

Diam-diam pula senyum tipis tersembul di sudut bibir Anggraini. Keketusannya saat itu seperti terbang entah ke mana."Jangan suka mencuri-curi pandang padaku, Nisanak.

Nanti kau bisa jatuh cinta" cetus Andika tak terduga.

Padahal, sedikit pun Andika tak menojeh pada Anggraini.

Anggraini di sisinya saat itu juga memperlihatkan semu merah yang merebak di kedua belah pipinya.

Belum sempat Anggraini menyembunyikan wajahnya

yang merah karena malu, mendadak.

"Siapa pun yang menjejakkan kakinya di tanah ini, harus mati"

"Heh?"

Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar,

membuat Andika dan Anggraini terkejut. Belum sempat keterkejutan mereka hilang, menyusul berkelebatnya sesosok bayangan merah....*** 9

Andika dan Anggraini tahu, kalau yang berdiri tegak menghadang jalan mereka adalah Ratu Lebah. Tampak masih membekas darah di kuku-kukunya yang berwarna keunguan. Tak terlintas kesan penyesalan di wajahnya atas kematian Agungcakra.

Seperti ucapan Agungcakra menjelang kematian,

memang bibinya itu yang telah menurunkan tangan keji.

Semula, Mayangseruni sendiri tak pernah terbetik niat untuk menghabisi Agungcakra. Meski bagaimanapun, ingatan tentang masa kecilnya bersama Agungcakra masih tetap tersisa.

Sewaktu

Pangeran

Neraka

memerintahnya

membunuh Agungcakra, bahkan masih sempat terjadi pertentangan batin dalam dirinya antara pengaruh jahat Pangeran Neraka dengan benih kasih sayang yang tersisa.

Sayang, pengaruh lelaki sesat itu lebih kuat menguasai pikirannya. Dengan telengas, Ratu Lebah menyerang keponakannya sendiri yang sangat disayangi.

Perbedaan kesaktian yang jauh terpaut antara

Mayangseruni dengan Agungcakra, membuat wanita itu tanpa kesulitan berarti mengoyak-ngoyak kulit tubuh Agungcakra. Saat pemuda tersebut melemah, Pangeran Neraka menjerat kakinya

dengan tambang besar.

Agungcakra digantung di sebuah tiang.

"Rupanya sang bibi bertangan dingin itu," kata Anggraini, menyambut penghadangan Ratu Lebah dengan riuh. Matanya berkilat-kilat gusar. "Tak kusangka, kau ternyata hanya seekor hewan betina buas, yang tega menghabisi nyawa keponakan sendiri"

"Apa maumu Ratu Lebah?" tanya Andika datar.

Pemuda itu berusaha tetap menjaga ketenangan.

Hatinya juga terbakar. Terlebih kalau ingat keadaan terakhir

Agungcakra.

Tapi

menurut

pengalaman-

pengalaman yang lalu, akan sangat berbahaya bila menghadapi tokoh sesat yang sulit terukur kepandaiannya dengan gegabah.

Wajah dingin Ratu Lebah tampak berubah. Mulutnya menyeringai seraya melempar sorot mata keji pada Andika.

"Perjaka tampan Kau tentu belum pernah melayang-layang dalam tungku tanpa batas...," desis Ratu Lebah dingin. Sulit dipahami Andika dan Anggraini.

"Aku tak paham maksudmu," kata Andika. 'Tak perlu lagi berbasa-basi dengan wanita busuk ini, Andika Dia harus menerima hukuman"

Anggraini tak bisa menahan kegeraman. Betapa muak hatinya melihat seringai Ratu Lebah. Matanya jelas sekali menemukan pandangan telengas wanita itu.

Dara dari Tanah Buangan itu lantas mengangkat satu tangannya ke depan tubuh perlahan dan pasti. Wajahnya berubah menegang.

"Kau rasakan ini" seru Anggraini berbareng gerakan tangan, membuat pukulan jarak jauh ke bumi.

Wesss

Serangkum angin pukulan menebar hawa panas kuat

terlepas, lalu menghujam bumi. Tempat yang terkena langsung membara selebar roda pedati. Asap hitam mengepul di sekitarnya. Beberapa saat kemu¬ dian....

Grrr

Bumi

bagai

digoncang,

menciptakan

gemuruh

dahsyat. Dua kuda tunggangan Andika dan Ang¬graini mulai kalang kabut. Mereka meringkik-ringkik liar dengan kaki depan melonjak-lonjak. Seolah ada sesuatu yang amat menakutkan mereka.

Saat berikutnya, retakan tanah tercipta. Berpusat dari tempat Anggraini melepas pukulan 'Kekuatan Kembar'nya, retakan meluas dan Irian meluas. Kuda tunggangan anak muda itu pun tersentak mundur ketakutan sewaktu

retakan lebar membelah tanah di depan. Seketika kuakan besar tercipta, memunculkan wujud mengerikan. Besar, bersisik serta keperakan.

Andika terpukau. Seumur hidup, baru kali ini matanya melihat makhluk raksasa itu. Bahkan benaknya pun tak pernah sekali pun membayangkan-nya.

"Kadal linglung-kecoa bunting" desis Pendekar Slebor dengan rrtata terbelalak besar-besar,

seakan siap

melompat keluar. "Nenek moyang ular dari mana ini?"

Sekilas Pendekar Slebor menatap Anggraini tanpa

sempat berkedip. Hampir tak bisa dipercaya kalau gadis di sebelahnya itu yang telah mengundang si ular raksasa muncul.

"Nisanak Apa kau sejenis siluman ular? Atau kau mahaguru para pawang ular? Atau..., atau aku yang memang sudah tidak waras?" tanya Andika padanya.

Anggraini seperti tak pernah mendengar gumam

takjup Andika lagi. Tangan kanannya diacungkan lurus-lurus ke arah Ratu Lebah. Seolah dia berkata dengan isyarat pada sang ular raksasa, bunuh perempuan itu

Waktu itu si ular raksasa setelah takluk pada

Anggraini, diberi nama Naga Bumi. Binatang itulah sesungguhnya yang dimaksud buyut guru Anggraini sebagai

'kehebatan lain' dari ilmu 'Kekuatan Kembar'. Sesuatu yang dikata ibunya sebagai 'yang tak pernah terpikirkan'. Panas hebat dari pukulan 'Kekuatan Kembar' selalu akan mengundangnya

untuk

muncul

dari

perut

bumi,

meninggalkan pertapaannya jauh di bawah sana, untuk menerima titah sang tuan.

Naga Bumi kini sudah menampakkan seluruh

tubuhnya yang menggetarkan. Mulutnya mendesis-desis dengan

suara

bagai

guruh.

Mulutnya

menganga,

mengancam Ratu Lebah yang berdiri dua puluh tombak darinya. "Ssszzz"

"Lumatkan dia" teriak Anggraini, penuh gejolak kemurkaan.

Hilanglah kesan gadis nakal yang sering tampak pada dirinya. Kini sitatnya telah ganti menjadi seorang perwira perang wanita berwibawa.

Sementara itu Naga Bumi meliuk kasar, mem-

porakkan kumpulan pohon bunga matahari di sisi jalan setapak. Kerikil berhamburan. Bumi terus digebah getaran. Sasarannya hanya satu. Ratu Lebah

Wuk

Ekornya

membuat

serangan

pembuka.

Deras

menyabet,

menimbulkan

angin

yang

bergulung

disekitarnya.

Ratu Lebah

cepat

melenting lincah.

Caranya

menghadapi binatang dari perut bumi itu begitu pasti.

Sedikit pun tak kentara kegugupan dalam dirinya. Wajah cantiknya tetap sedingin es. Gerakannya tetap mantap.

Selagi melayang di udara, tubuh Ratu Lebah di-terjang kepala binatang raksasa yang mematuk dengan mulut menganga.

Satu gaya menyelamatkan diri dari lahapan mulut

sebesar goa kini dibuat Ratu Lebah. Dengan lentur, tubuhnya yang semula tergulung, merentang lurus ke depan. Kedua tangannya terbentang ke muka, siap

menyambut kepala lawan. Ketika hampir tertelan, dua tangan wanita itu menyentak kuat taring besar di mulut si ular raksasa.

Das

Ratu Lebah berhasil menjauhi lawannya dengan

memanfaatkan tenaga dorongannya sendiri. Tubuhnya pun jatuh dengan kuda-kuda matang, siap menanti terjangan selanjutnya.

Sementara si ular raksasa bagai tak pernah

merasakan sakit pada taringnya. Dia terus saja merangsek.

Jaraknya dengan lawan kecilnya yang tak begitu jauh, segera dicapai dengan patukan panjang.

Wuuukh

Pada saat yang sama, Ratu Lebah sedang memu-

satkan seluruh kemampuan tenaga dalamnya, untuk

menahan patukan kepala besar itu.

"Chiaaa"

Dark

Beriring teriakan melengking tinggi, pukulan tenaga dalam Ratu Lebah terlepas, lantas menghajar telak moncong si ular raksasa. Luncuran kepalanya langsung terhenti di tempat, seakan baru saja terhadang benteng kokoh kasatmata.

"Ayo Serang aku lagi, Binatang Keparat Biar kukirim kau ke suatu tempat yang menyenangkan, tempat kita berpesta dengan siksaan" tantang Ratu Lebah sulit dipahami.

Seperti mengerti ucapan lawan, si ular raksasa

memacu kembali tubuhnya dengan kemurkaan maha

besar. Hantaman Ratu Lebah telah membuat darahnya mendidih. Sepasang mata merah darahnya kian memerah pekat. Di sisi-sisinya mulai berpijaran.

Anehnya, si ular raksasa tak segera menuju lawannya.

Tubuhnya meliuk ke atas. Lalu tiba-tiba, kepalanya menyeruduk bumi, menciptakan lobang besar. Kemudian dia menelusup dan menghilang.

Permukaan tanah di sekitar arena pertarungan

bergetar hebat seperti semula. Tak ada yang tahu, apa yang hendak dilakukan binatang langka mengerikan itu.

Yang pasti, kini dia sudah mengaduk aduk isi bumi.

Ratu

Lebah

berdiri

waspada.

Diperhatikannya

permukaan tanah tanpa berkedip sekejap pun. Mata-nya liar bergerak kian kemari, menjaga kemunculan sang lawan yang bisa saja muncul tiba-tiba.

Kewaspadaan Ratu Lebah tak sia-sia. Si ular raksasa, seperti dugaannya, memang muncul mendadak dari dalam bumi tepat di atas tempatnya berpijak.

Gruak

"Hai it"

Ratu Lebah berhasil menggenjot tubuh ke atas,

dengan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.

Sayangnya, kemunc ulan kepala si ular raksasa lebih cepat dari dugaannya. Kepala besar itu cepat menyusul beringas ke atas dengan mulut menguak lebar-lebar.Plap

Sekejap saja, tubuh Ratu Lebah masuk ke dalam

rongga mulutnya.

Andika di kejauhan ternganga amat takjup. Wanita itu pasti telah ditelan mentah-mentah oleh si ular raksasa itu. Tapi kenyataan berikutnya membuat dia lebih ternganga takjup. Di dalam rongga mulut Naga Bumi, tampak Ratu Lebah sedang merentang-kan tangan tubuh dan kakinya lurus-lurus dan tegang.

Tangannya terganjal di rongga atas mulut Naga

Bu¬mi, sedangkan kakinya bertahan di atas lidah.

Naga Bumi menghempas-hempas kepala ber-kali-kali.

Tubuh calon korban yang mengganjal rahangnya hendak dilontarkannya. Berkali-kali dicoba, berkali-kali gagal.

Terkadang

dicobanya

mcngatup-kan

rahang

untuk

meremukkan sekaligus tubuh Ratu Lebah. Namun usaha itu pun menemui kegagalan.

"Ck, ck, ck. .," Andika berdecak-decak sendiri. Bibirnya sampai maju-mundur seperti moncong kelinci.

Anggraini di sisinya menatap terus tajam-tajam Sikap tubuhnya terlihat amat siaga. Tampaknya, dia sedang menanti satu kesempatan. Entah untuk apa.

Seesaat kemudian, baru jelas apa yang hendak

dilakukan gadis berwajah ketus itu. Kala mulut ular taklukannya menghadap ke arahnya, secepat kilat

tubuhnya melompat turun dari kuda yang tak henti gelisah.

Dan secepat kilat pula, dua tangannya memben tang lurus ke depan, melepas pukulan jarak jauh 'Kekuatan Kembar'

tingkat pembuka dibidikkan amat teliti ke tubuh Ratu Lebah.

Wusss

. Kekuatan panas terlepas cepat, menembus udara

dan

memanggangnya

dalam

sekejap.

Asap

putih

membekas, sepanjang lintasan tenaga pukulan tadi. 109

Arahnya demikian tajam, ke tubuh Ratu Lebah di

rongga mulut ular raksasa. Das

Ratu Lebah kontan terhantam telak. Untung saja,

hanya bagian paha padatnya yang terhajar. Jika sedikit lebih ke atas, bisa dipastikan nasibnya akan naas.

Kalaupun bisa bertahan menerima rangsekan pukulan yang sanggup meremukkan karang, tentu tubuhnya akan terdorong mas uk ke tenggorokan Na-ga Bumi. Dia akan menjadi isi perut ular raksasa itiu.

Beruntung pula, pada saat bersamaan ketika

tubuhnya kehilangan pertahanan, Naga Bumi meng-

goyangkan keras kepalanya. Akibatnya, Ratu Lebah pun jadi terlempar keluar dari rongga mulut Naga Bumi. Setelah melunc ur cukup jauh, tubuhnya jatuh meninju bumi di atas hamparan pohon bunga matahari.

Srak

Sekujur paha Ratu Lebah yang terkena pukulan jarak jauh Anggraini tak bisa lagi digerakkan. Panas luar biasa begitu terasa, bagai ada panggangan besi membara Ratu Lebah tak kuasa lagi berdiri di atas kuda-kudanya.

Sementara, Naga Bumi tak membiarkan wanita

telengas itu sempat bernapas lega. Binatang beringas itu merangsek lagi dengan seluruh gambaran keganasan serta kemurkaannya.

Menyadari tak ada lagi yang bisa diperbuatnya, si wanita cantik yang kehilangan kewarasan ini memutar jari telunjuknya di udara, dalam satu pengerahan tenaga dalam. Maka sekelika suara tinggi melengking pun tercipta.

Swing, swing, swing

Apa yang sesungguhnya dilakukan wanita itu? Jelas, dia tidak sedang bermain-main dalam keadaan genting seperti ini.

Mendadak, dari balik bukit sebelah tenggara, keluar sebentuk hamparan di angkasa yang berubah-ubah

bentuk.

Dari

kejauhan,

bunyinya

bisa

ditangkap.

Berdengung hingga ke balik bukit seberang. Berjuta-juta makhluk sebesar kelingking berwarna hitam, rupanya telah merambah angkasa. Jutaan lebah yang terkenal memiliki sengatan paling berbisa di seantero jagad. Bisanya, beberapa kali kuat daripada bisa seekor ular sendok.

Lebah-lebah itu memang sengaja dibiakkan Ratu Lebah dengan ramuan khusus yang menyebabkan mereka

memiliki bisa amat kuat.

Dan hari ini, si Pendekar Slebor sedang mendapat jatah 'ternganga-nganga' yang melimpah. Sudah beberapa kali dia terbengong-bengong, kini pun mesti terbengong lagi. Siapa yang tak takjup mendapati pemandangan seperti itu? Lebah-lebah yang terbang membentuk raksasa ganjil di angkasa?

"Mak Aku memang benar-benar sudah tak waras barangkali, ya?" rutuk Pendekar Slebor pada diri sendiri.

Dipukul-pukulnya kepala seperti orang hilang ingatan.

Tak lama, jutaan lebah itu mendapat aba-aba suara siutan dari Ratu Lebah, untuk segera menyerang Naga Bumi.

Ngungngng

Naga Bumi kontan diserbu makhluk-makhluk kecil

dari berbagai penjuru. Mereka menyengat seluruh kulit Naga Bumi dengan rakus. Namun, sengatan yang bisa menewaskan manusia dalam sekian kedip mata itu,

ternyata hanya jadi semacam c ubitan kecil bagi si ular raksasa.

Naga Bumi mengamuk. Ekornya dikibas-kibas-kan

sambil meliuk-liukkan badan. Ratusan lebah ma-lah ditelannya begitu saja. Dan ketika sepasukan le¬bah itu tak juga mau berhenti mengerubungi, Naga Bumi tak ambil peduli lagi.

Tubuh besar terus merayap menuju Ratu Lebah.

Sesaat lagi, wanita itu siap dihantamkan moncong-nya.

Wusss Set

Tepat ketika tinggal setengah tombak lagi mon-cong Naga Bumi menimpa tubuh Ratu Lebah, sekelebat

bayangan menyambarnya amat cepat. Tubuh sintal Ratu Lebah langsung dibopong di bahu seperti bungkusan kapas.

"Hey, siapa kau?" teriak Andika.

Seketika itu juga tubuh Pendekar Slebor berkelebat cepat, mengejar.

*** 10

Di dunia persilatan, ilmu kecepatan gerak dan

meringankan tubuh Pendekar Slebor tergolong berada dalam urutan puncak. Bahkan bisa dibilang sulit dicari tandingan. Tak jarang orang menyebut kecepatannya sebagai sambaran petir, atau kecepatan setan.

Andai ada seseorang yang mampu mengecoh Andika

dengan kecepatannya,

maka jangan

ragukan lagi,

bagaimana tingkat kesaktian orang itu. Hari ini, Andika bertemu orang semacam itu.

Sewaktu mencoba mengejar orang yang berkelebat

menyambar tubuh Ratu Lebah, Pendekar Slebor terkecoh.

Ternyata orang itu berlari lebih cepat darinya. Padahal, sedang membopong tubuh orang lain. Dengan cepat, Andika kehilangan jejak.

Yang menjengkelkan, orang itu muncul lagi di

kejauhan selagi Pendekar Slebor celingukan seperti kera bodoh. Dia berdiri menanti, memperdengarkan tawanya yang buruk. Pendekar Slebor jadi merasa diejek. Maka dengan sepenuh

kemampuan,

dikerah-kannya ilmu

peringan tubuh. Dikejarnya lagi orang itu. Dan tiba-tiba pula, orang itu menghilang seperti ditelan bumi.

"Kenapa aku hari ini dibuat kebingungan terus,"

gerutu Andika sambil menggaruk-garuk kepala. "Ada gadis cantik yang judes tahu-tahu punya peliharaan yang besarnya minta tobat. Ada wanita jelita setengah gila punya peliharaan jutaan binatang 'tukang sundut'. Eh, bisa-bisanya sekarang aku dijadikan bulan-bulanan orang yang larinya cepat seperti setan...."

Di akhir gerutuan Pendekar Slebor, terdengar lagi tawa seseorang di kejauhan. Jelek dan serak seperti tadi.

Andika mendengus kesal. Dia merasa dipecundangi hari ini. Kalau diperhatikan lebih teliti, Pendekar Slebor berkesimpulan kalau suara itu keluar dari pita suara seorang tua renta. Jika lelaki, suara itu terlalu cempreng. Kalau begitu, pasti suara perempuan bangkotan. Tapi, siapa?

"Ah, peduli setan" maki Andika. "Aku tidak mau cepat-cepat jadi gila memikirkan perempuan bangkotan itu"

Andika lalu berlari kembali ke tempat semula. Hendak ditemuinya Anggraini. Biar s udah tahu gadis itu punya peliharaan yang bisa diandalkan, Andika tetap saja khawatir

dengan

keselamatannya.

Seperti

pernah

diungkapkan pada Anggraini, rimba persilatan terlalu licik bagi seorang yang baru menceburkan diri ke dalamnya.

Seperti juga Anggraini.

Tak banyak memakan waktu, Pendekar Slebor sudah

tiba kembali. Tapi di Sana, tak ditemukan seorang pun.

Tidak juga Anggraini. Ular raksasa dan se-kumpulan lebah itu pun sudah tak tampak. Yang tersisa hanya suasana yang porak poranda, akibat pertempuran dahsyat.

"Eih Ke mana pula gadis ketus itu?" gumam Andika.

Kepala Pendekar Slebor celingukan ke sana ke-mari.

Tapi, tak ada tanda-tanda arah kepergian Anggraini.

"Anggraini Anggraini Anggraini" panggil Andika.

Tak ada sahutan. Suara Andika kembali lagi, akibat pantulan bukit yang mengepung tempat itu....

***

Jauh, amat jauh dari Pintu Sorga dan Neraka Dunia,

seseorang tampak berlari cepat. Bahunya membopong tubuh seorang wanita sintal. Orang yang dibopong berukuran lebih besar. Tapi, bukan karena itu tubuhnya membungkuk.

Orang itu adalah nenek tua peot. Rambutnya putih digelung, dihiasi tusuk konde dari trisula. Seluruh wajahnya dipenuhi keriput. Di mulutnya tersembul satu gigi besar yang tersisa. Dia mengenakan pakaian seronokan. Bagian atas tubuhnya ditutup rompi kulit kayu yang terbuka ke mana-mana,

sehingga buah dadanya yang kendor

bergelayut kian kemari. Bagian bawah tubuhnya ditutup dedaunan yang diikat menjadi satu ke pinggang.

Nenek peot itu memasuki wilayah pekuburan tua, di atas kaki gunung. Di tengah kuburan, tumbuh sebuah pohon beringin besar. Dihampiri pohon itu. Di sisi pohon, si nenek terbatuk-batuk sesaat. Dan, terbukalah satu sisi pohon membentuk pintu masuk. Rupanya, saat batuk tadi dia melepas satu tenaga dalam yang menggerakkan roda-roda di bawah pintu yang beratnya mungkin lebih berat tiga kerbau jantan dewasa

Si nenek masuk. Dan pintu pun tertutup kembali.

Di dalam, ternyata ada tangga menuju ke bawah,

terbuat dari susunan batu besar dari sungai yang dipapas oleh tangan membentuk persegi panjang.

Setelah menuruni sekitar sepuluh tangga ber-warna merah, lima anak tangga kuning serta seratus dua puluh tangga hijau, si nenek tiba di depan pintu kedua. Begitu pintu batu dibuka, terlihatlah ruangan besar lengkap dengan perabotannya. Ada meja dan bangku yang

semuanya dari batu. Ada rak tempat piring dan gelas tanah liat. Ada juga semacam tempat tidur dari tumpukan jerami.

Di tumpukan jerami itu, Ratu Lebah direbahkan.

"Duh, Nduk.J. Nduk. Kasihan sekali nasibmu" kata si nenek. Wajah keriputnya terlihat prihatin. "Bodohnya, aku terlambat mengetahui keadaanmu. Aku terlalu yakin pada ilmu-ilmu yang telah kuberikan padamu. Untung saja, aku iseng-iseng keluar dari tempat pertapaan bau pesing ini, Nduk."

Di lain sisi, si sosok yang diajak bicara hanya diam tanpa gerak. Matanya terpejam tenang, seperti tak pernah terjadi apa-apa pada dirinya. Sebelum disambar si nenek peot, Ratu Lebah alias Mayangseruni rupanya sudah ditotok lebih dahulu.

"Sebentar, Ndukl" pamit si nenek. "Akan kuambilkan dulu Baki Penerawangku."

Beberapa lama, perempuan tua itu tampak mencari-

cari sesuatu di sudut ruangan. Bunyi barang-barang berantakan terdengar kacau dan bising. Mungkin akan lebih tepat kalau dikatakan sedang mengaduk-aduk perabotan.

Prak Gedubrang Gedubreng

"Nah hek hek hek Akhirnya ketemu juga Baki Penerawang sial ini," cetus si nenek gembira didahului tawa jelek menyakitkan telinga.

Dengan tertatih-tatih, nenek ini menaruh baki usang dari sejenis bata laut ke meja batu.

"Sekarang aku perlu air. Air.... hm. . Air di tempayan sudah kering kupakai untuk berkumur. Mau ambil di luar malas. Ah Masa bodoh" kata si nenek. Segera dibawanya baki kembali ke satu sudut ruangan. Di sana dia

berjongkok di depan baki.

Srrr

Tak lama kemudian, si nenek tertawa-tawa puas. Satu gigi besar berwarna kuning pekat di mulut keriputnya tersembul.

"Biar pesing sedikit, yang penting air, hek hek hek"

Kemudian si nenek meletakkan baki di meja batu, lalu duduk bersila di atas meja batu tersebut. Dengan mata terpejam, dia bersemadi. Kalau orang lain bersila, nenek tua renta itu malah berjongkok seperti sedang buang hajat.

Kedua tangannya ditempelkan ke kening. Mulutnya komat-kamit. "Ningnangneng... gong, anak bagongmakan sing-kong, kodok bangkok di dalam centong.... Ning nang neng... pret, ada lontong disangka kampret Phuah ' Phuah Khoaek chuih Mantera dari dunia antah berantah telah dibacakan si nenek. Matanya pun terbuka perlahan. Masih tetap dengan tangan di kening, diperhatikannya permukaan 'air' di dalam baki.

"Mmm, ya ya. Begitu rupanya," gumam si nenek seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Jadi, kau ini terkena pukulan beracun Perusak Saraf dari negeri Tiongkok, Nduk."

Si nenek mengangkat kepalanya sesaat. "Weleh, weleh... weleh... Bisa-bisanya pukulan dari negeri jauh itu menjahili anak gadisku...."

Si nenek mengembalikan pandangan ke baki. Air

kekuningan di sana kembali mengabarkan berita padanya.

"Jadi, manusia berjenggot kambing gunung itu biang keladinya. Eee, Manusia Jelek Sial"

Berita-berita gaib dari Baki Penerawang pun dilihat terus oleh si nenek, yang sesungguhnya adalah guru Ratu Lebah. Dialah pertapa wanita yang dulu menculik

Mayangseruni, untuk dijadikan murid. Setelah semua keterangan dari baki dianggap cukup, acuh tak acuh dilemparnya baki tersebut ke tempat semula.

Gedubnang

Dan bau menusuk hidung pun menebar ke segenap

ruangan

"Sayang sekali, racun itu tak ada pemunahnya, Nduk.

Pengetahuanku tentang racun pun tak bisa menolongmu.

Jadi bagaimana, ya? Tapi menurut Baki Penerawang sial tadi, kau bisa sembuh oleh pertolongan seseorang yang telah memakan buah 'inti petir'. Dengan buah itu, orang tersebut akan menyalurkan kekuatan petir yang bisa menghancurkan pengaruh racun di otakmu.... Weleh..

weleh... we-leh... Menyusahkan juga ya, Nduk

Si pertapa keriput menatap wajah Mayangseruni.

Mata

gadis

itu

masih

terkatup

tenang.

Bibirnya

memperlihatkan

lekukan

manis,

seperti

senyum

kebebasan. Pcrlahan dadanya yang padat turun naik teratur.

"Pokoknya, aku janji. Siapa saja perjaka yang makan buah 'inti petir' dan bisa menolongmu, maka dia harus mengawinimu. Kalau tidak mau, tahu sendiri dia Akan kusunat dia Eh Tapi. mana ada jejaka yang menolak gadis seayu dirimu ya, Nduk."

Si nenek tertawa cekikikan.

"Dan buat si jenggot kambing yang mencelakakanmu.

tunggu saja Akan kubuat lelaki sial itu terkencing-kencing di celana Hek hek hek... khoek chuih" Sebenarnya, ke manakah Anggraini? Saat Andika

pergi mengejar nenek pertapa yang menyambar tubuh Mayangseruni, seseorang mendatanginya dari belakang.

Ketajaman telinga yang ter-latih selama di Tanah Buangan, membuat Anggraini dengan sigap menoleh.

Tampaklah seorang lelaki berusia delapan puluhan sedang berdiri memandangi dirinya.

"Siapa kau?" tanya

Anggraini,

mengungkapkan

keingintahuannya.

"Kau sendiri siapa?" kata lelaki berwajah seram itu balik bertanya penuh selidik.

"Hey? Pertanyaanku belum lagi kau jawab" ser-gah Anggraini agak gusar.

Lelaki itu kembali menatap Anggraini, tajam dan teliti.

Matanya menyusuri setiap jengkal tubuh gadis itu dari kepala hingga ujung kaki.

"Kau lelaki bangkotan mata keranjang"' sodok Anggraini kasar, menyadari dirinya sedang dilalap mentah-mentah oleh mata lelaki di depannya.

"Baik. Aku biasa dipanggil Pangeran Neraka," sahut lelaki tua itu.

Ditunggunya tanggapan Anggraini. Gadis itu tak

tampak terkejut mendengar nama angkernya. Padahal, banyak

tokoh

persilatan

langsung

kecut

nyalinya

mendengar julukan itu.

"Kau tidak terkejut mendengar julukanku?" tanya Pangeran Neraka.

"Kenapa harus terkejut? Apa kau kira namamu membuat aku takut dengan embel-embel 'neraka'?"

cemooh Anggraini ketus sekali.

"Artinya, kau adalah orang yang baru turun ke dunia persilatan...," simpul Pangeran Neraka, tak menggubris cemooh tadi.

"Apa pedulimu"

Sekali ini, mata berbinar menusuk milik Pangeran Neraka tertumbuk pada cemeti yang melingkar di pinggang si dara. "Sejak tadi aku penasaran dengan cemeti itu, Gadis Muda. Siapa kau sebenarnya? Apa hubunganmu dengan Begal Ireng?" desak Pangeran Neraka penuh selidik.

"Justru hal itulah yang ingin kutahu. Kemarin, aku dengar pula nama Begal Ireng disebutkan seseorang di kedai. Kata mereka, dia berhubungan dengan Kembar Dari Tiongkok"

"Ada urusan apa kau dengan dua lelaki kembar itu?"

"Bukan urusanmu"

"Jangan

bertele-tele,

Anak

Gadis

Aku

bisa

membawamu langsung pada Kembar Dari Tiongkok, asal kau katakan apa urusanmu dengan mereka" te-gas Pangeran Neraka datar, namun menusuk.

Mata memikat Anggraini menatap Pangeran Neraka.

Kali ini, dia ganti menyelidik. dengan pandangan. Dengan sedikit menimbang-nimbang, akhirnya Anggraini mau terus terang juga. Dia memang hanya ingin secepatnya

mengorek keterangan dari Kembar Dari Tiongkok.

"Menurut kawanku, aku bisa mendapat keterangan tentang cemeti ini dari dua orang itu," kata gadis dari Tanah Buangan ini.

"Nama kawanmu?" tanya Pangeran Neraka, se¬perti menyudutkan Anggraini.

"Kau terlalu banyak menuntut, Orang Tua Kau bilang tadi hendak membawa aku langsung pada Kembar Dari Tiongkok"

"Baik Kalau kau tak mau menjawab pertanyaan. Tapi jawab pertanyaanku yang satu ini, dari siapa kau dapatkan cemeti itu?"

Anggraini menggeleng-gelengkan kepala jengkel.

"Cepat jawab, Anak Gadis. Kalau tidak, aku tak akan mengantarmu ke Kembar Dari Tiongkok. Dan, silakan kau bersusah payah mencari mereka," ancam Pangeran Neraka.

"Ini dari ibuku Puas? Lagi pula, apa kepentinganmu menanyakan hal itu...."

"Kupu-kupu Merah?" Belum juga selesai kalimat Anggraini, Pangeran

Neraka memenggalnya dengan satu kata yang membuat gadis itu tersentak.

"Hey? Dari mana kau tahu nama ibuku?"

Seperti sebelumnya, Pangeran Neraka tak me-

nanggapi pertanyaan Anggraini. Dia juga tak peduli kebingungan yang terpancar di wajah gadis belia itu.

Dengan langkah pasti dan mantap, didekatinya Anggraini.

Didekati oleh orang yang baru pertama kali di-

kenalnya, Anggraini jadi curiga.

"Apa maumu?" bentak Anggraini, mempersiap-kan kuda-kuda. Siaga.

Pangeran Neraka kian dekat. Jarak antara mereka

tinggal sedepa lagi. Tiba-tiba saja, lelaki berjenggot itu menyambar kasar kancing baju di bagian dada Anggraini.

Sret

Begitu cepat tangan itu bergerak. Meski Anggraini sesigap mungkin berusaha berkelit, tetap saja bajunya tersobek di bagian dada. Maka seketika buah dada gempal nan lembut gadis itu pun tersembul sebagian. Tapi, bukan itu yang menjadi sasaran perha-tian Pangeran Neraka.

Melainkan, seuntai kalung bermatakan ukiran kepala rajawali.

"Kurangajar"

Plak

Betapa murkanya Anggraini. Perbuatan lelaki di

depannya ini tak hanya mempermalukan dirinya. Harga dirinya

merasa

ditelanjangi.

Tangannya

langsung

menampar keras pipi Pangeran Neraka yang tak mengelak sedikit pun.

"Kau Anggraini?" tanya Pangeran Neraka pelan.

Anggraini terpaku. Masih tetap memegangi bagian

bajunya yang terkoyak, ditangkapnya sinar mata Pangeran Neraka yang berubah lembut.

"Siapa sesungguhnya orang ini?" bisik hati Anggraini bertanya-tanya bimbang. Semula, orang ini tahu nama ibunya. Lalu, namanya pun disebutkan. "Aku Lodaya. Kakak ayahmu, Begal Ireng...," tutur Pangeran Neraka....

***

Ratu Lebah telah ditemukan kembali oleh gurunya

yang berperangai ganjil. Nenek peot itu adalah salah seorang sesepuh golongan putih yang sulit dimengerti.

Dengan begitu, apakah Ratu Lebah berhasil diselamatkan?

Bisakah dia kembali memperkuat jajaran tokoh pembela kebenaran? Atau dia tetap akan menjadi wanita bengis tak kenal ampun?

Siapa pula pemuda yang telah memakan buah ‘inti

petir’ seperti disebutkan si nenek?

Sementara itu, Anggraini telah bertemu pamannya

langsung. Si paman sudah pasti akan menceritakan kejadian sebenarnya, tentang pembunuh Begal Ireng, ayah Anggraini yang dilakukan Andika.

Apakah dengan begitu rasa sukanya yang mulai

berkecambah di kedalaman hati Anggraini akan diberangus kebencian? Bisakah gadis itu jatuh hati pada Andika yang dibencinya?

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar