Pendekar Slebor Episode 11 Cermin Alam Gaib

Pendekar Slebor Episode 11 Cermin Alam Gaib
Pijar El
-------------------------------
----------------------------

Episode 11 Cermin Alam Gaib

1

Tak seorang pun tahu kalau di bawah naungan sebuah

pohon bcsar yang lebat telah duduk bersila sebuah sosok gaib selama berhari-hari. Tubuh laki-laki kasat mata yang duduk terpejam itu sedikil pun tak bergerak. Jenggotnya yang putih lebat, menguncup di ujungnya. Kepalanya ditutup kain batik seperti belangkon Sunda. Seluruh tubuhnya diselubungi se- rat-serat cahaya berwarna putih.

Dialah si Raja Penyamar. Tokoh golongan atas yang

sudah berupa roh itu mati beberapa puluh tabun lalu. Sejak kepergian Pendekar Slebor menelusup Pengadilan Perut Bumi, roh Raja Penyamar berusaha masuk pula ke sana. Namun, niatnya

gagal. Karena Pengadilan Perut bumi ternyata telah dilindungi benteng gaib yang dibuat Manusia Dari Pusat Bumi. Sebab itu, Raja Penyamar pun mencoba menjebolnya dengan melakukan tapa batin (Untuk mengetahui tentang Raja Penyamar, baca serial Pendekar Slebor dalam episode : “Pengadilan Perut Bumi”)

Sejauh itu, usaha tokoh gaib ini nihil. Hanya karena

tekadnya dalam membantu Andikalah yang membuat dia tetap

bertahan untuk melakukannya. Padahal usahanya menjebol dinding gaib Pengadilan Perut Bumi, tak beda dengan beratnya seseorang yang bertarung mati-matian selama berhari-hari.

Semakin keras usaha Raja Penyamar dalam me- nembus

dinding gaib itu, maka semakin terang semburat sinar putih di sekujur tubuhnya. Padahal hari kesembilan, serat-serat cahaya itu mulai tampak bergelombang dalam gerak melingkar. Warna di

tepinya mulai berubah kemerahan.

Hari kesebelas, gelombang cahaya itu makin menghebat.

Tubuh halus Raja Penyamar seperti timbul tenggelam dalam

amukannya. Percik-percik kecil pun mulai tercipta, pertanda kalau usahanya sudah mencapai titik paling berbahaya.

Sraaat

Pada puncaknya, sehimpun percikan cahaya biru menyatu

membentuk lidah api. Gempuran kekuatan Raja Penyamar pada benteng gaib Pengadilan Perut Bumi mulai berbalik ke arahnya.

Sedikit demi sedikit, Raja Penyamar tertelan cahaya biru yang membesar.

Keadaan menjadi genting. Artinya, nyawa Raja Penyamar

seperti telur di ujung tanduk. Dia memang telah mati. Namun jika gempurannya kalah, bukan tidak mungkin jasad halusnya terlempar ke alam lain yang sama sekali tidak dikehendaki. Itu artinya, nyawanya akan terpenjara sampai malaikat menjemput.

Hal itu tak boleh terjadi. Tugasnya di dunia per- silatan

belum lagi selesai. Apalagi, Pendekar Slebor masih amat

membutuhkan bantuannya untuk mengenyahkan angkara murka

yang dibawa Manusia Dari Pusat Bumi.

Dengan segenap kemampuan, Raja Penyamar

mengerahkan kembali perlawanannya. Tubuhnya memang tetap tak bergeming. Wajahnya memang tetap setenang permukaan telaga.

Sebaliknya, serat-serat cahaya di sekujur tubuhnya kian hebat bergelombang.

Sampai akhirnya.. .

Plap

Tumbukan cahaya putih, merah, dan biru itu pupus

seketika, bagai ditelan kelengangan pagi buta.

“Aneh.. ,” bisik Raja Penyamar. “Semestinya aku harus

mati-matian melakukan gempuran. Dan tak akan semudah ini aku menghancurkan benteng gaib itu. Hm. . Apa yang sesungguhnya terjadi di Pengadilan Perut Bumi sana? Kenapa benteng gaibnya tiba-tiba menghilang?”

Mata lelaki yang hanya berbentuk roh halus itu terbuka.

Bola matanya bergerak-gerak, memperlihatkan rasa keheranan

dalam hati. Tak ada lagi gempuran balik dirasakan. Semuanya tiba-tiba terasa begitu lega. Badannya pun kini sudah terlihat

mengenakan baju coklat berkerah pendek dengan celana pangsi hitam, seperti dikenakan jasadnya yang terkaku bisu di Kampung Kelelawar nun jauh di sana.

Raja Penyamar bangkit dari bersilanya.

“Aku yakin telah terjadi sesuatu di Pengadilan Perut Bumi sana,” bisik orang tua itu lagi.

Sementara itu, jauh di bawah perut bumi sana, memang

telah terjadi sesuatu, tepat seperti dugaan Raja Penyamar.

Pertarungan besar telah meletus antara Manusia Dari Pusat Bumi disatu pihak, melawan Hakim Tanpa Wajah di lain pihak.

Dengan berseterunya antara guru dan murid itu, maka

benteng gaib yang dibangun Manusia Dari Pusat Bumi pun tak

berguna lagi. Setelah mendapat titah langsung dari Siluman Berperut Buncit melalui Cermin Alam Gaib, Manusia Dari Pusat Bumi

langsung menarik kembali kekuatan miliknya yang membentengi Pengadilan Perut Bumi.

Di ruang utama Pengadilan Perut Bumi sendiri, saat itu

digetarkan erangan tinggi mendirikan bulu roma. Si manusia jelmaan siluman ini telah terang-terangan hendak melenyapkan gurunya sendiri. Bahkan dia telah membuka jurus yang begitu asing di mata Hakim Tanpa Wajah. Padahal, gerakan itu tak pernah diajarkan sama sekali.

Tangan Manusia Dari Pusat Bumi tampak ber- kejaran satu

sama lain dalam putaran tak teratur. Ke- cepatannya begitu tinggi, menyebabkan tangannya

terlihat begitu banyak, seperti belalai gurita Iaut.

Tak lama berikutnya, tangan manusia jelmaan si luman itu

mulai memendarkan cahaya kemerahan, yang kemudian berubah

menjadi kobaran api melalap sekujur tangannya. Dalam kecepatan gerak tangan, jilatan api itu kini mengelilingi tubuhnya.

Wrrr Wrrr

Menyaksikan semua itu, tak ayal lagi Hakim Tan pa Wajah

mengerahkan ilmu andalan yang sempat disembunyikan. ‘Tenaga Sakti Pembelah Bumi Pengoyak Langit’ Ilmu olah kanuragan sakti hasil pengembangan ‘Tenaga Sakti Pembelah Bumi’ itu memang

sengaja tidak diturunkan pada muridnya.

Dan memang sudah menjadi aturan tak tertulis para tokoh

golongan hitam, untuk tidak menurunkan seluruh ilmu pada seorang murid. Dalam dunia kaum sesat, pengkhianatan setiap saat bisa saja terjadi. Itu sebabnya, harus ada ilmu simpanan yang tak diwariskan.

Jika suatu saat sang murid berkhianat, maka si guru bisa mempergunakan ilmu simpanan tersebut untuk menghadapinya.

“Hiaaa.. ”

Mulut Hakim Tanpa Wajah mengumandangkan teriakan

mengguncang, seiring jejakan-jejakan kakinya yang jauh lebih mengguncang. Ruangan besar itu sampai bergetar hebat, seolah terjadi tumbukan dua kekuatan raksasa. Tangan si tua bangka itu sudah pula menghentak-hentak ke depan. Kini, kain kafan yang semula mengikat kakinya, sudah tak karuan lagi bentuknya.

Tak lebih dari dua kerdipan mata, murid murtad Hakim

Tanpa Wajah ini menerjang gurunya sendiri dalam kecepatan penuh.

Diterkamnya laki-laki tua itu seperti seekor macan lapar menerkam mangsa. Sepasang tangannya yang berselimut jilatan api menegang ke depan, siap melalap wajah sang guru.

“Arrrgh”

Karena begitu yakin kehandalan ilmu ‘Tenaga Sakti

Pembelah Bumi Pengoyak Langit’ yang sanggup menahan panas api di tangan Manusia Dari Pusat Bumi, Hakim Tanpa Wajah tak ragu-ragu lagi menyambut terkaman itu. Berbareng jejakan kakinya ke bumi, sepasang tangannya menadah tinggi ke atas. Maka, tangan keduanya pun berbenturan.

Blammm..

Seketika tercipta ledakan keras disertai semburat pancaran

api yang menjilati angkasa.

pada saat tubuh pemuda siluman itu masih di udara,

tangan Hakim Tanpa Wajah menyodok dalam-dalam ke dua sisi

dadanya. Derrr

Dengan telak, dada Manusia Dari Pusat Bumi terhajar

telapak tangan bekas gurunya. Tubuhnya kontan meluncur balik ke belakang. Sebelum tiba di dinding ruangan, tubuh manusia siluman itu jatuh berdebam.

Seandainya tubuh Manusia Dari Pusat Bumi adalah

lempengan baja setebal satu depa, tentu akan jatuh dalam keadaan ringsek, karena tak sanggup menahan kekuatan dahsyat pukulan Hakim Tanpa Wajah tadi.

Tapi kenyataannya, terlalu jauh dari gambaran itu. Tubuh Manusia Dari Pusat Bumi tak mengalami pcngaruh apa-apa. Entah bagaimana, tubuhnya ternyata jauh lebih kuat daripada lempengan baja setebal satu depa. Sehingga, kedahsyatan ilmu bekas gurunya pun tak berarti apa-apa

“Makan kesombonganmu, Tua Bangka Jelek” cjek Lelaki

Berbulu Hitam yang terus memantau jalannya pertarungan. Betapa girangnya laki-laki berbulu lebat itu melihat guru dan murid sesat itu saling baku hantam (Untuk mengetahui tentang Lelaki Berbulu Hitam baca serial Pendekar Slebor dalam episode : “Pengadilan Perut Bumi”) “Hitam Bukankah mereka mestinya menunggu giliran

untuk bertarung di panggung itu?” tanya Pendekar Dungu, amat lugu. Sepertinya dia tak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi.

Lelaki Berbulu Hitam mendelik.

“Kau mau pertandingan antara Tuan Penolong dengan

kawan wanitanya itu segera berakhir dengan matinya salah seorang di antara mereka?” bentak laki-laki berbulu hitam seraya menunjuk Andika dan Purwasih yang masih bertarung di panggung batu

kematian (Untuk lebih jelasnya, baca episode: “Pengadilan Perut Bumi”). “Kau bicara padaku? Atau masih berbicara dengan si tua bangka jelek itu?”

“Ah, sudahlah”

Sementara itu di lain arena, Andika berada di atas angin

dalam pertempuran melawan Purwasih. Jurus-jurus tangguh dari Lembah Kutukan gencar sekali dalam mendesak wanita itu. Dari segala arah, gerakan Pendekar Slebor yang sering terlihat ngawur, mengurung seluruh tubuh pendekar wanita yang terkenal berjuluk Naga Wanita.

Suatu ketika, kaki Andika oleng ke samping di luar

sasaran. Sedangkan kaki yang lain masih berada di atas. Dan kini Naga Wanita merasa mendapat peluang besar. Maka, secepatnya, Andika yang hendak berpijak dengan satu babatan pedang

dihadangnya.

Bet

Saat itulah terlihat, bagaimana ketangguhan jurus Pendekar Slebor. Keseimbangannya yang demikian sempurna,

mampu membuat kakinya menjejak di atas pedang lawan. Padahal, kecepatan babatan pedang Naga Wanita begitu tinggi. Bahkan yang terlihat hanya bentuk kelebatan bayangan saja

Tetapi jurus-jurus yang tercipta di Lembah Kutukan

memang begitu mengandalkan pengerahan keseimbangan. Malah

pada waktu diciptakan, Pendekar Slebor harus meniti patok-patok batu dalam hujanan petir. Sedikit saja keseimbangannya tak terjaga, maka tubuhnya pasti lantak dipapas puluhan lidah petir.

Maka tak heran bila dalam menguasai keseimbangan

membuat Pendekar Slebor mampu pula mengikuti kecepatan

pedang saat hinggap di atasnya ketika sekejap saja pedang Purwasih tiba di sisi tubuhnya sendiri yang kosongdari pertahanan, Pendekar Slebor langsung mengirim sepakan dengan kaki vang tak ikut dijejakan di gagang pedang. Dan.. .

Dug

Tak ayal lagi, pelipis Naga Wanita menjadi sasaran empuk

punggung kaki Pendekar Slebor.

Purwasih atau si Naga Wanita kontan melintir di udara

seperti gasing raksasa. Kalau beruntung, gadis itu tak akan mengalami patah leher yang begitu parah. Lalu, apakah

keberuntungan lain mengikuti? Karena di bawah, telah siap

menyambut permukaan panggung yang dipasangi pisau-pisau tajam.

Pada saat tubuh Purwasih nyaris dimangsa permukaan

panggung, Pendekar Slebor yang gelap mata mcmburunya kembali penuh nafsu.

“Heaaa”

Namun, pada saat yang bersamaan, satu pukulan jarak

jauh milik Hakim Tanpa Wajah tersasar kearah Pendekar Slebor.

Des

Pukulan nyasar itu membentur tinju Pendekar Slebor.

Akibatnya. tinju itu luput dari tubuh Purwasih. Namun karena sudah telanjur menerjang, tubuh Andika tetap meluncur dan menabrak Purwasih. Sehingga dua anak muda itu akhirnya terlempar keluar panggung. Dengan begitu, selamatlah Purwasih dari hujam- an permukaan panggung yang bergerigi mengerikan tadi.

Tubuh kedua pendekar muda itu jatuh tepat di antara kaki

para tawanan pada barisan kanan. Pendekar Slebor dan Purwasih langsung kehilangan kesadaran.

“Kalian ini macam-macam Kalau bertarung, ya bertarung

sajalah. Jangan pakai acara mesra-mesraan segala” oceh Pendekar Dungu ketika menyaksikan Pendekar Slebor dan Purwasih terjatuh saling tindih.

Setelah itu, Pendekar Dungu menguap lebar-le- bar.

Rupanya sejak tadi dia sedang tertidur dalam ke- adaan berdiri.

Andai kata tubuh kedua anak muda itu tak jatuh di dekat kakinya, tentu kepalanya masih tertunduk-tunduk dengan mata terpejam.

Ketika mata sayu Pendekar Slebor sudah mulai

menguncup kembali, Lelaki Berbulu Hitam menyikutnya dengan kasar. “Hey Jangan tidur saja Kau yang paling dekat, cepat bantu dua anak muda itu” perintah Lelaki Berbulu Hitam.

Dengan bersungut-sungut, tua bangka berotak kcrbau itu

berjongkok untuk meneliti keadaan Andika dan Purwasih.

“Bagaimana?” tanya Lelaki Berbulu Hitam. Dia agak

khawatir dengan keadaan Andika dan Purwasih.

“Huaaah Aku masih ngantuk.” jawab Pendekar dungu

ngaco. Aku tidak menanyakan kau. Dungu Maksudku, bagaimana keadaan dua anak muda itu?” dengus Lelaki Berbulu Hitam.

“Ooo,” Pendekar Dungu memancungkan bibir. “Mereka

hanya pingsan,” sahutnya sambil mengusap- usap mata yang penuh tahi mata. “Sebentar lagi tentu ikan siuman.”

“Sok tahu Kalau tak segera disadarkan, bagaimana

mungkin mereka cepat siuman?” ujar Lelaki Berbulu Hitam keras, tepat di depan telinga Pendekar Dungu.

Pendekar Dungu hanya menarik napas. Lain halnya si

Lelaki Berbulu Hitam. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah malang kehijau-hijauan. Matanya tak berkedip. Hidungnya bergerak-gerak, seperti mencium bau sesuatu. Setelah itu, tangannya cepat menutup lobang hidung. “Sial Kau kentut sembarangan, ya” bentak Lelaki Berbulu

Hitam pada Pendekar Dungu.

Ajaibnya, Andika dan Purwasih langsung siuman setelah

mengisap udara busuk itu. Tubuh mereka bergeming, dan kepala terangkat. “Nah, kan Kubilang juga apa” seru Pendekar

Dungu, penuh kemenangan. 2

Pertama kali Andika membuka mata, yang dida- patinya

adalah wajah ketolol-tololan Pendekar Dungu. Laki-laki tua bangka itu memang sedang memperhatikannya.

“Wah Baru aku tahu kalau penjaga kubur wajah- nya mirip

si tua bangkotan Pendekar Dungu,” gumam Andika, nyaris tak

kentara. “Hey Aku memang Pendekar Dungu,” sergah tua bangka bebal itu cepat, tak sudi dianggap penjaga kubur oleh Andika.

“Jadi, aku belum mampus?” tanya Pendekar Slebor seraya

melepas senyum yang mirip ringisan. Ma- tanya beredar.

Tampak Lelaki Berbulu Hitam tengah berdiri menjulang.

Sementara beberapa orang lain, termasuk Lima Gembel Busuk dan Penggerutu Berkepang, juga tengah memperhatikannya.

Tiba-tiba anak muda itu ingat sesuatu.

“Purwasih..- Mana Purwasih?” cetus Andika cepat

Jangan tanya betapa khawatirnya Andika terhadap keselamatan wanita berwajah manis itu. Biar bagaimanapun, Pendekar Slebor masih memiliki pertalian darah dengan wanita yang lebih tua darinya beberapa tahun itu.

“Dia tak apa-apa.” kata Lelaki Berbulu Hitam. Ditunjuknya

Purwasih yang mulai bergerak pula di sisi Andika.

“Kau tak apa-apa?” tanya Andika, setelah me- noleh ke

arah Purwasih.

Purwasih menggeleng dengan mata mengerjap-ngerjap.

Dan Andika pun menjadi lega mendapat ja- waban Purwasih. Dia takut telah mencelakakan dara itu sclama terkena totokan rahasia Hakim Tanpa Wajah yang membuatnya gelap mata.

“’Bor’ Kita harus bagaimana lagi ini?” tukas Penggerutu

Berkepang yang sejak tadi bungkam memperhatikan pertempuran dua manusia sesat yang makin menggila.

“Coba tengok ke belakang sana Dua manusia sinting itu

sedang gontok-gontokan. Kekualan mereka bisa menghancurkan

tempat ini Siapa yang sudi terkubur di tempat bau ini,” gerutu lelaki setengah baya pemimpin para pengemis di wilayah timur. Andika cukup terkejut sewaktu menoleh ke arah yang

ditunjuk Penggerutu Berkepang. Dari tadi dia memang mendengar gemuruh bagai gempa. Tapi tak pernah disangka kalau itu akibat pertarungan Manusia Dari Pusat Bumi dengan gurunya sendiri.

“Sedang apa mereka? Sedang latihan?” tanya Andika, tak

mempercayai penglihatannya sendiri.

Tepat ketika Andika hendak bangkit karena rasa

penasaran, sebongkah batu besar yang runcing runtuh dari langit-langit ruangan. Arahnya tepat menuju punggung Purwasih yang masih tengkurap di l.intai.

Grrr..

Gemuruh yang dihasilkan reruntuhan batu, amat

mengejutkan mereka yang berada di dekatnya. TerIebih, pemuda dari Lembah Kutukan yang memang begitu dekat dengan si Naga Wanita. “Purwasih, awas” seru Andika keras.

Bersaman dengan itu tangan Pendekar Slebor berkelebat

cepat, mengirim tinju geledek ke arah batu sebesar kerbau yang meluncur tepat di depannya. Gerakan itu dilakukan begitu saja karena begitu khawatir akan keselamatan Purwasih. Hasilnya.. .

Blarrr

Batu besar seruncing mata tombak itu kontan lantak berkeping-keping. Serpihannya berhamburan ke segala arah bagai pasir disapu angin ribut.

Lelaki Berbulu Hitam terheran-heran. Pendekar Dungu, Penggerutu Berkepang, dan lelaki lain yang berada dalam barisan juga ikut terpana. Siapa yang tak heran? Setahu mereka, Pendekar Slebor masih dalam pengaruh totokan rahasia milik Hakim Tanpa Wajah yang menyebabkan seluruh kekuatannya hilang terkunci di dalam.

Pendekar Slebor pun tak kalah heran.

”Aneh Kenapa aku sudah terbebas dari totokan rahasia si

Hakim Tanpa Wajah?” bisik Andika, bergumam sendiri.

Otak Pendekar Slebor yang terkenal encer, tak memberi

kescmpatan terjebak dalam kebingungan seperti orang bodoh.

Otaknya segera bekerja, membuat kesimpulan-kesimpulan cepat.

“Kenapa kau?” usik Purwasih, manakala me- nyaksikan pemuda idamannya tersenyum-senyum sendiri. Dia pun telah

bangkit di sisi Andika.

“Yak, aku tahu” sentak Andika, mendadak. Satu

tangannya meninju telapak tangan yang lain.

“Hey hey hey Tahu apa kau?”

Pendekar Dungu ikut terheran-heran dengan mata mengerjap-

ngerjap menahan kantuk.

“Aku tahu, bagaimana membebaskan kalian dari totokan

rahasia Hakim Tanpa Wajah Sesungguhnya dia menempatkan

semua totokan rahasianya pada jaringan saraf yang berhubungan dengan pusat kesadaran dan keseimbangan kita. Dan bila kita kehilangan kesadaran lalu siuman, maka secara tidak sengaja totokan itu ikut terbebas seiring kembalinya kesadaran kita,” papar Pendekar Slebor panjang lebar.

Andika memang cukup banyak tahu tentang jaringan tubuh

manusia, setelah membaca kitab pusaka menyamar yang diwariskan Raja Penyamar kepadanya.

“Haaah, aku bingung Jangan harap aku bisa memahami

kalimat membingungkanmu itu” sergah Pendekar Dungu sambil

mencium bekas liur di tangannya.

“Kalau begitu, kenapa kita tak cepat-cepat membebaskan

mereka?” usul Purwasih cepat.

“Usul bagus Bagaimana, Pak Tua Bulu Hitam?” aju Andika

pada Lelaki Berbulu Hitam.

“Ya, cepatlah Aku pada dasarnya sudah tak sabar ingin

meremukkan kepala tua bangka jelek bermuka rata itu” timpal Lelaki Berbulu Hitam tegas.

Andika mengangguk.

“Kalau begitu, sebelumnya aku minta maaf ka- rena harus

kurang ajar padamu. . ”

Lalu..

Dugkh

Mendadak saja, bogem mentah Andika mendarat telak di

dagu lelaki keturunan serigala itu. Sengaja Andika hanya

menggunakan tenaga luar. Karena bila disertai pengerahan tenaga dalam, dia takut malah akan mencelakakan lelaki itu. Tapi, apa yang terjadi? Lelaki Berbulu Hitam tetap berdiri kekar tanpa bergeming sedikit pun. Hanya bibirnya saja yang meringis-ringis. Rupanya ada gigi gerahamnya yang patah akibat tonjokan Andika.

“Kau ini ingin menolongku, apa hendak menyiksaku”

hardik Lelaki Berbulu Hitam setelah mengeluarkan sebutir giginya dari mulut. “E-eh..,” Andika ikut meringis. “Maaf, Pak Tua Bulu Hitam.

Kupikir aku cukup menggunakan tenaga luar saja,” ucap Andika serba salah.

Dugh

Sekali lagi Pendekar Slebor melepas hajaran. Kali ini tidak dengan bogem dan tenaga luar, melainkan dengan tebasan

punggung tangan yang disertai penyaluran tenaga dalam. Maka. .

Gedubrak

Lagi-lagi nasib sial Lelaki Berbulu Hitam bukannya berkurang, malah bertambah. Tubuhnya kontan terjengkang ke belakang. Matanya mendelik dengan bola hitam ke atas. Tak begitu lama kemudian, Andika sudah bisa menyadarkannya kembali.

“Lain kali, lebih baik aku tak kau bebaskan” maki Lelaki

Berbulu Hitam, tepat di muka Andika.

Pendekar Slebor itu hanya bisa tersenyum-senyum

seadanya. “Biar aku yang membebaskan si bebal itu” selak Lelaki Berbulu Hitam, ketika Andika hendak mendekati Pendekar Dungu.

“Hey, apa-apaan ini? O-o Tak usah, ya.. . Aku tak mau

dipukul-pukul” tolak Pendekar Dungu, kelimpungan. Giginya yang ompong terlihat manakala bibirnya terangkat-angkat karena ngeri.

“Aaah Banyak mulut kau” bentak Lelaki Ber¬bulu Hitam.

Das

Tanpa permisi lagi, tangan besar Lelaki Berbulu Hitam

langsung mendarat di wajah keriput Pendekar Dungu. Wajah

menjengkelkan milik tua bangkotan itu untuk beberapa saat

mengejang. Matanya terjuling-juling. Sesaat kemudian tubuhnya ambruk. “Biar tahu rasa kau” dengus Lelaki Berbulu Hitam. Sementara itu, Andika mendekati lelaki lain dalam barisan.

“Sekarang giliranmu, Ketua Pengemis” ujar Pendekar

Slebor pada Penggerutu Berkepang.

“Kutu busuk sial Siapa yang mau dibebaskan dengan cara

itu. Kau pikir aku ini siapa. Huh, ngngng.. .”

Penyakit lama Penggerutu Berkepang kambuh. Lelaki

compang-camping itu menggerutu panjang-panjang.

“Kalau itu maumu, ya terserah.. . Biar kau tetap tinggal di sini sampai ruangan besar ini ambruk dan menguburmu hidup-hidup,” kata Andika santai.

“Yayaya Baiklah”seru Penggerutu Berkepang bcrgegas

melihat Andika hendak meninggalkannya. “Tapi kau harus ingat,

‘Bor’ Sedikit saja tubuhku memar, akan kusikat kau”

Andika jadi sedikit jengkel.

Dugh

Tanpa sungkan-sungkan lagi, Andika menghajar pelipis

lelaki setengah baya yang mendongkolkan itu, dengan tenaga dalam lebih tinggi dari sebelumnya.

“Wadouuu” Penggerutu Berkepang sempat berteriak.

Pada saat yang sama, tubuhnya terpuntir ke belakang, dan

terjengkang.

“Biar tahu rasa kau” serapah Andika, mengikuti kalimat

Lelaki Berbulu Hitam barusan. Setelah itu, bibirnya tersenyum-senyum sendiri.

Di bagian lain ruang seluas alun-alun itu, Hakim Tanpa

Wajah dan murid murtadnya telah mencapai puncak pertarungan.

Keduanya sedang terlibat adu kesaktian. Di satu sisi, Manusia Dari Pusat Bumi mengempos seluruh kesaktian siluman dalam dirinya, hingga tubuhnya berubah menjadi seperti bola api besar. Sementara di lain sisi. Hakim Tanpa Wajah mati-matian mempertahankan diri dari terjangan api sepanas bara neraka yang menjulur panjang dari tubuh berkobar murid murtadnya, dengan ilmu Tenaga Sakti

Pembelah Bumi Pengoyak Langit’.

Waktu terus merangkak dalam erangan dan keringat darah

sepasang manusia terkutuk itu. Dan pada saatnya. .

Blarrr Ledakan amat dahsyat seketika tercipta. Dinding ruangan

langsung runtuh berbongkah-bongkah. Tubuh Manusia Dari Pusat Bumi terlempar ke belakang laksana anak panah. Lalu, tubuhnya melesak di dinding ruang dari batu. Demikian pula yang terjadi terhadap Hakim Tanpa Wajah. Tapi, tampaknya tua bangka itu

mengalami luka lebih parah.

Kiamat seakan terjadi dalam ruangan besar ke- banggaan

si Hakim Tanpa Wajah. Bongkahan-bongkahan batu dinding kian deras bcrguguran. Tiang-tiang besar di sepanjang sisi ruangan mulai retak. Dan sesaat kemudian, tiang-tiang itu ikut berguguran.

Sebagian malah runtuh begitu saja.

Andika, Purwasih, dan para tawanan lain yang scjak tadi

hanya menjadi pcnonton jadi kalang-kabut. Berbeda dengan para tawanan dari golongan putih di barisan kanan ruang, para tawanan dari golongan sesat di barisan kiri ruang begitu terkesiap setengah mati. Di samping belum terbebas dari totokan, mereka juga masih terbelenggu rantai baja satu sama lain.

“Hey Bebaskan kami Kami tak ingin cepat-cepat mati”

teriak salah seorang pada para tokoh golongan putih.

Orang-orang golongan putih yang sudah pula memutuskan

rantai baja pembelenggu kaki dan tangan, bukannya tidak mau menolong membebaskan golongan sesat. Betapapun jahatnya,

mereka toh ber hak mendapat kesempatan hidup. Siapa tahu,

mereka akan sadar nantinya.

Sayangnya para tokoh golongan putih belum bisa

menolong membebaskan orang-orang itu. Pendekar Slebor dan yang lain sedang disibuki oleh batu-batu sebesar kerbau yang berguguran di sekitarnya. Bahkan terkadang harus berkelit ke sana kemari, tak jarang harus menghantam batu-batu itu dengan tangan jika kepala tak ingin pecah tertimpa.

Pada saat-saat yang membahayakan jiwanya sendiri,

Andika sama sekali tidak kehilangan rasa kemanusiaannya. Ada yang harus diperbuat untuk me- nolong para tawanan golongan sesat. “Pak Tua Bulu Hitam Lindungi aku dari hujanan batu Aku akan mencoba membebaskan mereka” seru Andika, sepenuh tenaga. Suaranya yang sudah dialiri tenaga dalam pun, masih timbul tenggelam ditengah gemuruhnya ruangan besar yang mulai runtuh.

“Apa kau gila, Anak Muda Biarkan saja mereka mati

Dunia pun akan berterimakasih jika aku tak menolong mereka”

bentak Lelaki Berbulu Hitam.

“Aku tak pernah memilih-milih, siapa orang yang harus

ditolong” balas Pendekar Slebor tak peduli.

Lalu Andika mulai berkelebat gesit ke sana kemari.

berusaha menembus hujanan batu-batu besar yang menggila.

“Dasar keras kepala” maki Lelaki Berbulu Hitam jengkel.

Mau tak mau, manusia keturunan serigala itu mengawasi

Pendekar Slebor juga. Sambil tetap berusaha menyelamatkan diri dari runtuhan ruangan, tangannya sesekali melepas hantaman jarak jauh ke arah batu yang mencoba menghambat gerakan Andika.

Dengan sungsang-sumbel, Pendekar Slebor akhirnya bisa

tiba di dekat orang-orang golongan hitam. Seketika itu pula hendak dilepaskannya tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan dari jarak jauh untuk melebur rantai baja pembelenggu kaki dan tangan mereka. Namun, niatnya tak kesampaian. Karena tiba-tiba saja, lengkung kubah ruangan di sayap kiri ambruk.

“Andika menyingkir Ruangan ini akan segera runtuh”

teriak Purwasih memperingatkan dari jauh.

Tanpa perlu diperingatkan pun, Pendekar Slebor terpaksa

akan menyingkir dari sana. Reruntuhan sayap kiri kubah terlalu berbahaya untuk ditembus. Kalaupun mengerahkan seluruh

kekuatannya untuk menghantami reruntuhan itu, tetap akan sia-sia.

Sekejap setelah Andika menyingkir, orang- orang golongan

sesat yang hendak ditolongnya langsung tertelan timbunan bebatuan ruangan. Suara mereka tak terdengar. Bisa saja karena tak sempat berteriak, atau mungkin terlalu lemah dibanding kedahsyatan gemuruh reruntuhan.

Sementara itu, puncak kubah ruangan kian rapuh. Retakan

besar tampak dirembesi air. Lama kelamaan, rembesan itu berubah menjadi cucuran. Bahkan akhirnya berhamburanlah air bah raksasa berbareng terkuaknya puncak kubah bagai moncong naga bumi.

Seisi ruangan langsung dilahap air, membuat mereka yang ada di sana terombang-ambing kian kemari tanpa daya.

Kekuatan dorongan air bah itu sekarang menghantam satu

sisi dinding yang paling rapuh. Maka, terciptalah lobang besar yang berhubungan dengan lorong aliran sungai bawah tanah.

Bagi setiap orang yang masih hidup di sana, terkuaknya

dinding ruangan adalah awal dari kehilangan kesadaran. Semuanya liba-tiba gelap. Begitu juga Andika dan Purwasih yang sempat berpegangan tangan erat-erat.

Andika sendiri, pada saat hampir kehilangan kesadaran,

sempat mendengar sebuah suara yang lamat-lamat berseru

langsung ke relung benaknya.. .

“Pendekar Slebor Aku akan datang lain kali untuk

membunuhmu” 3

Andika siuman, begitu rasa sejuk merambahi wajah hingga

ke bagian lehernya. Kelopak matanya ter- buka. Yang pertama dilihatnya adalah hamparan langit-langit berbatu-batu menonjol tajam, seperti susunan gigi tak beraturan. Pada setiap ujung runcing tonjolan batu, menetes butir-butir air. Sebagian tetesan air itu jatuh di wajahnya. Itu sebabnya, Andika merasakan kesejukan.

“Di mana aku?” tanya Pendekar Slebor agak mengerang.

Seluruh tubuh pemuda itu serasa luluh lantak. Mungkin

akibat benturan berkali kali dengan dinding lorong sungai bawah tanah selama diseret arus.

Dari rebahnya, Andika beringsut tegak. Suasana baru,

menitah dia untuk mencari tahu ke sekeliling tempat. Pandangannya pun beredar sesaat, dan baru berhenti ketika menemukan tubuh Purwasih tergeletak lunglai tiga tombak dari tempatnya.

“Mana yang lain ?” gumam Andika lagi.

Pertanyaan itu wajar saja tersembul dari benak- nya.

Bukankah sewaktu di Pengadilan Perut Bumi mereka bersama-

sama? Tapi, kini yang ditemukan hanya tubuh Purwasih.

Sebelum menghampiri Purwasih, Andika memperhatikan

lagi suasana sekelilingnya. Dia berada di satu sisi lorong. Sepanjang sisi lorong yang lain, terdapat aliran air jernih selebar dua kaki, dan sedalam betis. Tempat dirinya dan Purwasih tergeletak, tampaknya adalah pinggiran sungai bawah tanah yang sudah mengendap

selama ratusan tahun, sehingga mengeras kini.

Cukup memperhatikan semua itu, Andika segera

menghampiri Purwasih. Wanita berjiwa ksatria itu juga hanya pingsan. Di beberapa bagian tubuhnya, terdapat goresan yang mengeluarkan darah. Bagian yang paling parah adalah kaki kirinya.

Bengkak dan membiru. Andika yakin, ada tulang yang remuk akibat benturan hebat dengan sisi lorong.

Tak berpikir lama-lama lagi, segera ditotoknya jalan darah

di bagian kaki kiri Purwasih. Tindakan itu memang perlu dilakukan, agar Purwasih tak begitu menderita jika siuman nanti.

Setelah itu, pendekar muda dari Lembah Kutukan ini mengerahkan hawa murni melalui telapak tangan, ke bagian dada Purwasih. Agak sungkan, memang. Tapi Andika tak punya pilihan lain. Dengan begitu, Purwasih dapat cepat siuman dan sedikit menyegarkan tubuhnya yang sudah banyak kehilangan tenaga.

Purwasih tersadar sekian saat kemudian.

“Uuuh.”

Dara cantik itu melenguh seraya menggoyang-goyangkan

kepala perlahan.

Di mana kita, Andika?” tanya Purwasih lirih, ketika

mendapati Pendekar Slebor di sisinya.

Purwasih berusaha duduk berselonjor. Kepalanya yang

masih begitu berat, disandarkan di bahu bidang pemuda yang

selama ini begitu menawan perasaannya.

“Tepatnya, aku tak tahu. Tapi aku yakin kita telah berada

jauh dari Pengadilan Perut Bumi,” jawab Andika. “Kau tak apa-apa, Purwasih?”

“Kurasa aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”

Purwasih balik bertanya, seolah ingin membayar perhatian barusan.

Bibir Andika tersungging. Bahunya mengedik kecil.

“Hanya luka-luka kecil. Seperti kau juga. Aku hanya lecet di sana-sini,” sahut Andika, sambil memutar tangan kanan untuk memperlihatkan sikunya yang terkoyak pada Purwasih.

“Aku tak melihat luka di sikumu,” kata Purwasih, memaksa

Andika tertegun sejenak.

“Apa maksudmu?” tanya Andika heran, kembali melihat

siku kanannya.

Benar kata Purwasih. Tak ada lagi koyakan kulit di sana.

Hanya warna hitam yang melintang tipis.

“Aneh.. ,” desis Andika.

“Aneh bagaimana?” tanya Purwasih seraya bangkit seperti

tak terlalu tertarik pada pertanyaan Andika tadi.

“Sumpah mampus, barusan aku menyaksikan sendiri

sikuku ini terkoyak. Kau lihat ini. .,” Andika menunjukkan bercak-hercak darah yang tersisa di bawah sikunya. “Bercak-bercak

darahnya pun masih ada.. .”

“Mungkin kau salah lihat tadi,” sangkal Purwasih, seraya mengedarkan pandangan ke sckeliling.

“Kau pikir aku sudah tidak waras? Aku jelas-jelas melihat

dengan mata kepalaku sendiri” Andika ngotot. -

“Ah, sudahlah. Itu hanya persoalan “kecil, bukan?”

“Tunggu.. , tunggu dulu” sergah Andika. “Sepertinya kita

mendapat persoalan yang tidak kecil. Ini tidak remeh, Purwasih”

Langsung Pendekar Slebor menatap pinggul me- nantang

Purwasih yang begitu gempal berisi.

“Apa-apaan kau ini Kenapa matamu jadi tak senonoh

begitu” omel Purwasih. Wajahnya karuan menjadi merah matang.

“Sial Aku bukannya sedang memperhatikan pinggulmu.

Meskipun kuakui memang indah, dan. . ”

“Tutup mulut kotormu” Purwasih makin ber- tingkah tak

karuan. Lebih-lebih, warna wajahnya.

”Maksudku.. . sewaktu kau belum siuman. kulihat ada luka

agak menganga di bagian itu” tegas Andika.

“Ah, sudahlah Lelaki memang punya seribu satu alasan

untuk berbuat kurang ajar” penggal Purwasih, malu bukan main.

Dikira, Andika hanya sedang mengolok-oloknya.

Masalahnya, selama ini gadis itu tahu bagaimana urakannya

Pendekar Slebor. Dalam keadaan apa pun, bahkan dalam

kegentingan, pemuda brengsek itu tetap tak pernah sembuh dari sitat urakannya.

“Biar kulihat sebentar” ujar Andika mendadak.

Dan mendadak pula Pendekar Slebor menarik tangan

Purwasih. Cepat dan tak terduga. Tahu-tahu, tubuh Purwasih sudah merapat ke dadanya. Sedangkan tangannya mendekap pinggang

Purwasih dari belakang.

“Andika Apa-apaan ini”

Gadis berkulit kecoklatan nan manis itu meronta-ronta.

Antara risih dan rasa berbunga-bunga. Dadanya berdebar-debar cepat, bagai ada badai hebat dalam dirinya.

“Nah, betul bukan?” seru Andika.

Dari belakang tubuh Purwasih, mata jantan pemuda itu

sibuk mengamati bagian pinggul Purwasih. Di bagian itu, pakaian Purwasih tampak terkoyak. Sehingga, memunculkan kemulusannya. Purwasih menepak keras-keras tangan pemuda ini yang

hinggap semena-mena di pinggang rampingnya. Dia pun meronta sampai lepas. Hendak ditinjunya perut pemuda urakan itu.

Tangannya siap melayangkan kepalan.

“Tunggu-tunggu” tahan Andika mendelik-delik. Tubuhnya

tersurut-surut mundur di bawah ancaman kepalan Purwasih. “Kalau kau tak percaya mulutku, coba lihat sendiri bagian tubuhmu yang aduhai i. . ugh”

Pendekar yang begitu slebor ini tak sempat me-

nyelesaikan kalimatnya, karena tinju Purwasih lebih dulu bersarang telak di ulu hatinya.

Purwasih berjalan meninggalkan Andika di be- lakangnya.

Sedikit pun kepalanya tak berani menoleh. Takut wajahnya yang kian tak karuan diketahui Andika.

“Mau ke mana, kau?” cegah Andika. “Sungguh mati, aku

tak main-main. Tampaknya ada suatu yang luar biasa di tempat ini.”

Suara Andika terdengar penuh tekanan, agar Purwasih

tahu kalau dia bersungguh-sungguh.

Purwasih akhirnya mau juga menoleh, setelah terlebih

dahulu berdiri diam sekian lama.

“Baik. Sekarang, jelaskan padaku dengan singkat. Apa

maksudmu sebenarnya?” desak Purwasih.

“Kau perhatikan lagi bagian pinggulmu. Aku tak bohong.

Sebelumnya aku memang melihat luka di situ. Tapi kini, yang tinggal hanya pakaianmu yang terkoyak di bagian itu, dan bercak-bercak darah di sekitarnya. Sementara di bagian yang kulihat terluka, hanya ada bekas yang agak menghitam,” papar Andika.

Tak terlihat kesan bergurau di wajah pemuda itu. Scwaktu

bicara, bahkan matanya agak menyipit-nyipit, tanda benar-benar menaruh perhatian penuh pada perkara itu.

Purwasih menuruti ucapan Andika. Diperhatikannya bagian

pinggul yang dimaksud pemuda itu. Ternyata, memang benar. Tepat seperti uraian Andika.

“Lalu?” tanya gadis itu kemudian, ingin tahu pen- dapat

Andika tentang semua ini.

Andika terdiam sesaal. Matanya bergerak-gerak, seperti mencari-cari sesuatu. Tak lama berikutnya, matanya melirik langit-langit lorong berbatu runcing yang terus meneteskan air pada tiap ujung- nya.

“Menurut dugaanku, air ini bukan air biasa.”

“Bukan air biasa bagaimana? Kulihat warna dan rasanya

seperti air pada umumnya. . ”

Dengan sudut matanya, Andika menatap Purwasih lekat-

lekat.

“Bagaimana kalau kita buktikan dugaanku itu?” tantang

Pendekar Slebor.

“Kau mau bertaruh?” Purwasih balik menantang.

“Kalau kau benar, aku boleh menciummu,” tutur Andika

setengah menggoda, membuat warna air muka Purwasih berubah

lagi. “Dan kalau aku keliru, kau boleh mencium dengkulku. Hua. .

ha... ha” Tawa pemuda urakan itu meledak. Lalu tanpa

mempedulikan perubahan wajah Purwasih, Andika mengangsurkan tangannya ke bawah letesan air, tepat pada luka goresannva. Air dari langit-langit lo- rong itu jatuh setetes demi setetes, sampai luka itu pun mulai basah.

Keanehan pun mulai terjadi. Perlahan-lahan luka

memanjang di tangan Andika mengering. Kulit yang tersobek,

merapat dan merapat. Darah di sekitarnya menjadi coklat, lalu terkelupas sendiri. Kini kulit yang semula tergores pun sembuh seperti tak pernah terjadi apa-apa. Sama seperti pinggul Purwasih.

Hanya ada bekas menghitam.

Bibir Andika tersungging lebar.

“Aku yakin dalam beberapa hari, bekas hitam ini pun akan

menghilang” kata Pendekar Slebor mantap.

Sementara Purwasih masih terpaku, belum sempat

berucap apa-apa.

“Dan.. . kita telah menemukan ‘Air Kehidupan’ Purwasih”

sentaknya tiba-tiba, seraya melompat ke- girangan tak bedanya bocah kecil diberi hadiah.

Purwasih masih tetap diam saja. Hanya saja, bibir

ranumnya terlihat tersenyum kecil. Rupanya, dia tak tahan melihat tingkah pemuda idaman di depannya

“Purwasih Cepat beri sarung pedangmu” ujar Andika

Andika mengisi sarung pedang milik Purwasih dengan ‘Air

Kehidupan’. Sementara, Purwasih terus memperhatikannya.

“Untuk apa sebenamya kau bawa air itu, Andika?” tanya

Purwasih, tidak mengerti.

“Aku punya rencana bagus. Kau lihat saja nanti,” sahut

Pendekar Slebor santai.

”Untuk apa?”

“Kita tak mungkin mengambil air ini dengan menyimpannya

di dalam rongga mulut, bukan?”

“Ooe....”

Purwasih mengangguk. Diserahkannya sarung pedang dari

tanduk rusa liar itu.

Andika segera mengisi sarung pedang dengan ‘Air

Kehidupan’. Sementara, Purwasih terus memperhatikannya.

“Untuk apa sebenarnya kau bawa air itu, Andika?” tanya

Purwasih. Mata Andika mengerling.

“Aku punya rencana bagus. Kau lihat saja nanti,” sahut

Pendekar Slebor, santai.

“Satu pertanyaan lagi boleh?”

Andika mengangguk.

“Dari mana kau tahu kalau nama air itu ‘Air Kehidupan’?”

Andika meringis kebodoh-bodohan.

“Aku tak pernah tahu, apa nama air ini. Ke tempat ini pun,

baru kali ini. Tapi daripada aku sebut ‘Air Anu kan lebih baik kukarang satu nama. ., ‘Air Kehidupan’ Hua.. ha.. ha”

***

Di tepi sebuah sungai, Lelaki Berbulu Hitam duduk

termenung di atas sebatang pohon besar yang lumbang. Di tengah sungai berair jernih sampai dasar wngai berbatu-batu terlihat, Pendekar Dungu tengah mandi. Sekujur tubuhnya yang penuh

lumpur, digosok-gosoknya.

Mengapa mereka bisa sampai ada si sini? Rupanya, arus bah telah menyeret mereka keluar dari aliran sungai bawah tanah, ke sungai terbuka yang membelah sepasang bukit tempat mereka

berada. “Hitam Apa kau tak berniat membersihkan tu- huhmu?”

sapa Pendekar Dungu seraya menyibak-nyibak arus kecil sungai.

“Kira-kira, apakah Tuan Penolong kita masih hidup,

Dungu?” tanya Lelaki Berbulu Hitam, tak mempedulikan ajakan Pendekar Dungu. “Kalau dia mati, siapa yang akan membantu

menyelesaikan persoalan kita? Padahal aku begitu mengidam-

idamkan bisa membuang sifat beringasanku. Apa kau tak mau

membuang kebodohanmu, Dungu?”

“Ngomong-ngomong soal membuang, tiba-tiba aku jadi

kepingin ‘membuang’ juga, nih” cetus si tua bergigi ompong.

Pendekar Dungu segera lari ke balik batu besar. Tak lama

kemudian, tercium bau busuk seperti bau seribu setan belang. Juga terdengar bunyi kecil nan merdu.. .

Plung.. , piung

“Hitam Kira-kira, apa membuang sifat beringasanmu

semudah membuang ‘ampas’ ini, ya?” oceh Pendekar Dungu.

Lelaki berbulu lebat keturunan serigala tak me- nyahut.

Biasanya, hatinya langsung kalap kalau ada kata-kata ngawur Pendekar Dungu yang menyinggung perasaannya. Mungkin dia

sudah mulai terbiasa dengan kebodohan bangkotan bebal itu. Atau mungkin sedang memikirkan nasib Andika yang diyakini sebagai Tuan Penolongnya.

Sementara kepala Pendekar Dungu muncul dari balik batu

besar. “Hitam Hitam” panggil Pendekar Dungu, makin banyak mulut. “Hey, kau masih memasang telingamu, bukan?”

Lelaki Berbulu Hitam tetap duduk bertopang dagu. Tak

dipedulikannya segala kicauan Pendekar Dungu.

Lalu, tergopoh-gopoh Pendekar Dungu menghampiri

kawan senasib sepenanggungannya yang selalu jadi lawan dalam perang mulut.

“Menurutmu apa hakim sial itu masih hidup?” kata

Pendekar Dungu, sambil menaikkan celana. Lelaki Berbulu Hitam menaikkan kepala. Dile- pasnya

pandangan ke mata kelabu tua bangka di de- pannya.

“Rasanya, aku barusan melihat bayangan hakim sial itu di

permukaan air sungai. .,” sambung Pendekar Dungu, memberitahu.

Tiba-tiba Lelaki Berbulu Hitam tersentak. “Bodoh” maki

laki-laki keturunan serigala itu. Lalu, Lelaki Berbulu Hitam mengedarkan pandangan dengan sinar mata liar ke sepasang bukit ber- hatu-batu di kanan dan kiri sungai.

“Ada apa?” tanya Pendekar Dungu tak mengerti.

Rahang Lelaki Berbulu Hitam mengeras. “Mungkin tadi kau

tak sengaja melihat bayangan si Hakim Tanpa Wajah mengintai kita”

bentak Lelaki Berbulu Hitam geiam.

“Jadi, orang jelek itu masih hidup?” *** 4

Alunan senandung seruling mendayu, menjamah angkasa

bebas. Siraman gencar sinar matahari jadi tampak bersahabat, diapit nada-nada yang mengusik buluh perindu itu.

Siang yang garang berubah menjadi bersahabat oleh

tiupan seruling seorang anak lelaki berusia sekitar empat belasan tahun. Rambutnya kusut masai seperti bulu domba sepanjang bahu.

Pakaian yang dikenakan compang-camping berwarna kusam.

Namanya Walet.

Bocah tanggung itu kini berjalan santai meleng gak-lenggok

menembus lembah luas berhias bunga- bunga rumput liar. Beberapa waktu lalu, bocah kecil berjiwa kukuh ini sempat bekerjasama dengan Pendekar Slebor dalam membongkar kepalsuan seorang

pejabat. Mereka bahkan sempat pula bersahabat. (Tentang anak ini, bacalah episode: “Mustika Putri Terkutuk”).

O, bunga rumpul liar

Kalau saja kalian dengar

Sehimpun mata hati basah dalam tangis

Kuluhi dunia bengis

Terkangkangi angkara

Dilindas jejak-jejak murka....

Mulut mungil bocah itu melepas senandung berlirik gelisah.

Seolah, dalam dirinya dibebani mendung alas tabiat buruk manusia di atas buana.

Tak berapa lama, Walet tiba di dekat pohon besar tempat

Raja Penyamar bersemadi. Saat itu, Raja Penyamar baru saja

memutuskan untuk beranjak pergi. Hendak disatroninya Pengadilan Perut Bumi, setelah yakin tak ada lagi benteng gaib penyelubung-nya.

Tanpa menggerakkan kaki, lelaki tua berwujud toh halus itu

melintas cepat di depan Walet. Tak di- pedulikannya si bocah, mengingat hal genting yang harus dikerjakan.

“Pak Tua Kenapa begitu tergesa-gesa? Meski aku hanya

bocah, tak ada salahnya kau bersikap sopan sedikit melintas di depanku,” tegur Walet, acuh tak acuh. Dimainkannya seruling dari tangan satu ke tangan yang lain.

Demi mendengar teguran menyindir bocah langguh itu,

Raja Penyamar langsung saja menghentikan laju tubuhnya. Sungguh sebuah kejutan baginya, menyadari si bocah tahu kalau dirinya melintas di depannya.

Percaya tak percaya. Raja Penyamar menoleh ke arah

Walet. Diperhatikannya wajah lugu anak gondrong itu teliti sekali.

Seakan, dia hendak meyakinkan diri.

“Anak ini menegurku atau menegur orang lain?” pikir Raja

Penyamar. Tapi selama berada di sana, tidak dilihatnya seorang pun. Kecuali, dirinya dan si bocah.

“Kenapa kau jadi terlihat lucu seperti itu, Pak Tua?” tegur Walet lagi. “Kau.., bisa melihatku?” tanya Raja Penyamar, digelitik rasa penasaran.

“Apa salahnya aku bisa melihatmu? Apa tindakanku adalah

dosa?” Walet balik bertanya dengan nada lugu.

“Siapa kau sebenarnya, Bocah?” selidik Raja Penyamar.

“Aku, ya aku. Aku bukan dia. Bukan mereka, dan juga

bukan kau, Pak Tua,” jawab Walet berputar-putar.

Dengan langkah berkesan riang, anak muda tanggung itu

menghampiri pohon besar lalu duduk bersandar di bawah

naungannya.

“Silakan kalau ingin melanjutkan perjalananmu, Pak Tua.

Tak mengapa kalau aku menempati tempatmu, bukan? Udara siang benar-benar membuatku penat. .,” lanjut Walet.

Raja Penyamar mengurungkan niatnya. Malah,

dihampirinya Walet bersama gumpalan tanda tanya dalam benak.

Kalau seseorang sudah bisa menembus alam halus dengan

matanya, sudah pasti bukan orang sembarangan. Namun begitu, Raja Penyamar agak ragu bila menilik usia si bocah. Sepanjang hidup, tak pernah ditemui tokoh sakti berusia begitu muda.

“Kau masih bau kencur. Tapi, matamu setara dengan

penglihatan tokoh-tokoh sesepuh dunia per- silatan. Kurasa ada sesuatu yang kau sembunyikan. Maukah menjeiaskan padaku?”

tanya Raja Penyamar. “Eh Kenapa kau tahu aku menyembunyikan sesuatu?”

kata Walet. Matanya membulat penuh. Sambil tertawa-tawa,

dikeluarkannya dua butir telur rebus dari balik baju rombengnya.

“Maksudmu bukan telur-telur itu,” sergah Raja Penyamar.

“Kalau bukan telur ini, aku memang masih

menyembunyikan telur yang lain. .,” oceh Walet sekena- kenanya.

Raja Penyamar tersenyum lebar. Wajah berwibawa yang

memancarkan pendaran cahaya, tampak memperlihatkan binar

bersahabat.

“Kau mengingatkan aku pada seseoraftg, Bocah,” kata

Raja Penyamar. Masih tetap beriring senyum, matanya menerawang membayangkan seseorang.

“Ah Kalau dia orangnya, aku sudah kenal. .,” te- rabas

Walet, seperti bisa mengamali gambaran seseorang yang

dibayangkan Raja Penyamar.

Sekali lagi Raja Penyamar dipaksa terkejut.

“Dia siapa maksudmu?” pancing orang tua itu, berpura-

pura.

“Kang Andika. Si Pendekar Slebor dari Lembah Kutukan

yang mulutnya bawel seperti perempuan. He he he”

“Kau.. ,” desis Raja Penyamar takjub.

Setelah itu, Raja Penyamar tak tahu lagi hendak

mengatakan apa.

“Apa kau sejenis anak siluman golongan putih?” lanjut

orang tua ini selang beberapa lama.

“Ha ha ha”

Tawa Walet kontan meledak berderai-derai. Sampai-

sampai, dia merasa harus memegangi perutnya sendiri. Mungkin takut ada yang terlepas dari ‘bawah’.

“Kenapa kau tertawa?” sela Raja Penyamar.

tampak kegusaran di wajah tenang Raja Penyamar

mendapat perlakuan seperti itu. Dia sendiri tak tahu, kenapa tak terbetik ketersinggungan di hatinya. Padahal menurut adat yang berlaku, sikap bocah ini sudah keterlaluan. Seperti ada semacam pengaruh batin dari diri si bocah yang membuatnya senang dan langsung merasa akrab dengan Walet. “Pak Tua.. , Pak Tua. Kau pikir siluman mana yang mau

mengakui aku sebagai anaknya? Ha ha ha Kurasa, aku ini lebih jelek daripada anak siluman mana pun”

Tak lama. Raja Penyamar pun jadi tersadar. Bu-. kankah

dia harus segera pergi ke Pengadilan Perut Bumi?

“Baik, Bocah. Kalau Tuhan mengizinkan, mudah-mudahan

kita bisa berjumpa lagi. Pada saat itu, kau tentu tak keberatan menjelaskan padaku tentang dirimu, bukan?” pamit Raja Penyamar.

“Hm, Pak Tua Sebaiknya kau tak pergi ke tempat yang

kau tuju. Pergilah ke sebelah barat dari tempat itu. Di sana ada goa di kaki bukit. .,” kata Walet, sebelum lelaki berwujud roh itu menghilang.

“Kenapa begitu?”

“Kurasa nanti pun kau akan tahu. Dan, kalau kau berjumpa

Kang Andika, katakan padanya dia mem- butuhkan ‘sesuatu yang bisa menandingi’ kekuatan sihir senjata lawan”

Meski digelayuti keheranan, Raja Penyamar beranjak juga

dari tempat itu. Tubuh halusnya melayang cepat, kemudian

menghilang.

“Terimakasih banyak, Pak Tua” seru Walet.

Di goa kaki bukit seperti ucapan Walet, Raja Penyamar

bertemu Andika dan Purwasih. Goa itu pula yang menjadi

penghubung aliran sungai bawah tanah dengan sungai terbuka

tempat Lelaki Berbulu Hitam serta Pendekar Dungu terdampar waktu itu.

Sambil bergandengan tangan, Andika dan Purwasih

muncul di mulut goa. Pakaian mereka masih kuyup dengan lumpur coklat di sana-sini. Sementara Purwasih menenteng pedang

bergagang kepala naganya di satu tangan, Andika justru memegang warangkanya dengan hati-hati. Andika hanya takut ‘Air Kehidupan’ di dalamnya tertumpah. Padahal mereka sudah susah payah

membawanya keluar dengan berjalan terseret-seret di sepanjang sungai bawah tanah. Malah mereka harus tertunduk-tunduk kalau kebetulan langit-langii lorong begitu pendek. Terkadang pula harus sungsang-sumbel menghindari gigi langit- langit yang runtuh menghujam akibat getaran suara. Semua itu harus ditempuh selama setengah harian yang melelahkan.

“Andika” sambut Raja Penyamar di permukaan arus

sungai di depan bibir goa. Roh lelaki tua itu mengapung, tanpa dihela arus.

“Raja Penyamar?” gumam Pendekar Slebor sedikit ragu.

Pengalaman ditipu mentah-mentah oleh siluman yang

menyerupai Raja Penyamar, membuat Pendekar Slebor berhati-hati.

Maka begitu teringat kalau Raja Penyamar asli selalu muncul disertai wangi bunga sedap malam, hidung Andika segera mengendus-endus seperti seekor kucing lapar mencari makan. Namun hawa dingin membuat hidungnya agak tersumbat. Sehingga tampaknya kurang peka terhadap bebauan. Untung, akhirnya wangi kembar sedap malam itu bisa tercium juga.

”Ah, syukurlah. Ternyata kau memang Raja Penyamar,”

kata Andika lega.

Suara Pendekar Slebor yang agak keras, kali ini ditangkap

telinga Purwasih. Dara itu terheran-heran melihat tindak-tanduk pemuda pujaannya yang entah berbicara pada siapa.

“Kau bicara padaku, Andika?” tanya Purwasih.

“Tidak. Aku bicara dengan kawan tuaku,” sahut Andika.

Dengan isyarat mata, ditunjuknya tempat Raja Penyamar berdiri.

“Kau sinting, ya? Aku tak melihat siapa-siapa di sana”

omel Purwasih. “Sini. kau Biar matahari siang menghangatkan otakmu yang mulai beku”

Purwasih segera menarik Andika ke tepi sungai.

“Hey, jangan menarikku seperti ini Aku harus berbicara

dengan.. .” Andika cepat tersadar.

“Slompret Aku saja yang tolol Ya. jelas Purwasih tak

melihat Raja Penyamar. .,” gerutu pemuda itu pada diri sendiri yang seraya menepuk kening keras- keras.

“Nah Sekarang kau mulai sadar kalau otakmu sudah beku

bukan?” cemooh Purwasih tak tahu rae- menahu.

“Ah, iyalah”

Andika pasrah ditarik-tarik Purwasih seperti kambing

congek. Harus dicarinya akal, agar bisa berbicara dengan Raja Penyamar tanpa membuat bi- ngung dara itu.

Raja Penyamar sendiri hanya bisa tersenyum-senyum melihat

tingkah dua anak muda itu.

“Purwasih Bagaimana kalau kau membuat api unggun di

dekat pohon nyiur itu, sementara aku akan mencari kelinci? Kau tentu sudah lapar dan mau me- nyantap daging kelinci hangat bukan?” usul Pendekar Slebor.

Sebenarnya, Pendekar Slebor hanya mencari alasan agar

bisa pergi untuk sementara.

“Usul bagus Kalau begitu, cepat”

Andika pergi dengan senyum lebar. Ditemuinya kembali

Raja Penyamar di tempat semula.

“Kebetulan sekali kau datang, Pak Tua Aku punya sesuatu

untukmu” ujar pemuda dari Lembah Kutukan itu.

“Sebelum kau lanjutkan, apa yang terjadi dengan

Pengadilan Perut Bumi?”

Andika menaikkan kedua tangannya dengan telapak

tangan membuka lebar-lebar.

“Blar” seru Pendekar Slebor dengan mimik wa¬jah seru

pula. “Tempat itu hancur. Guru dan murid brengsek itu yang menjadi penyebabnya. Mereka jotos-jotosan.. . Nah sekarang, kau mau dengar berita gembira untukmu?”

“Apa?”

“Tanpa sengaja, aku menemukan air ajaib?” sambung

Andika menggebu-gebu.

”Air ajaib apa?”

“Ah Aku tak tahu, apa namanya. Maka kukarang satu

nama ‘Air Kehidupan’ Bagus, bukan? Nah Yang jelas, air itu bisa membuat tubuh yang luka atau masak menjadi pulih kembali. Ajaib”

Mata keriput Raja Penyamar menyipit. Keningnya langsung

berkerut. “Itu ‘Air Sari Buana’..,” desah Raja Penyamar.

“Jadi kau tahu soal air ini?”

Kepala Raja Penyamar menggeleng-geleng.

“Anak Muda.. . Anak Muda. Apa kau tahu, kau telah menemukan air mukjizat yang begitu sulit dicari. Karena, sumbernya selalu berpindah-pindah tak menentu. Itu pun dalam waktu puluhan tahun sekali. .,” papar Raja Penyamar.

Mulut Andika menganga.

“Jadi, aku tak akan bisa kembali ke dalam lorong untuk

mengambilnya?”

“Pada saat kau kembali nanti, mungkin sumber air itu

sudah berpindah kembali, entah ke mana. .,” tambah Raja

Penyamar. “Ah, sayang..,” sesal si pemuda gondrong. Diliriknya gagang pedang milik Purwasih. “Aku hanya dapat sedikit. . ”

“Lalu, apa maksudmu dengan ‘Air Sari Buana’ itu?” tanya

Raja Penyamar.

“O, iya Bukankah dulu kau katakan, kalau kau mati karena

suatu penyakit yang tak bisa disembuhkan? Kau mati. Sementara itu, jasadmu tak kunjung membusuk di Kampung Kelelawar. . ” (Untuk lebih jelasnya, bacalah episode : “Manusia Dari Pusat Bumi”).

“Jadi maksudmu”

“Kuyakin, penyakit itu bukannya tidak bisa di- sembuhkan.

Ini hanya masalah penawarnya. Selama ini, kau belum sekali pun menemukan obat untuk penyakitmu itu, Pak Tua. Kalau Tuhan

mengizinkan, dengan air ini, kerusakan jaringan dalam jasadmu akan pulih kembali. Dengan pulihnya jasadmu, maka jiwamu kuyakin bisa menempatinya kembali. . ”

Si tua berwajah teduh ini kembali menggeleng- geleng.

“Kurasa memang sudah takdirku untuk mati, Anak

Muda.. .” “Aaa Kalau begitu, kenapa jasadmu belum juga kunjung membusuk? Bukankah itu artinya Tuhan mengizinkan kau kembali ke jasadmu? Jadi, ini hanya masalah waktu. Kalau suatu saat kau berhasil menemukan obat untuk jasadmu itu, maka. .

Andika tak melanjutkan kalimatnya ketika tiba- tiba sebuah

tangan halus menjewer telinganya hingga merah matang.

“Aku tak peduli dedemit mana yang kau ajak bi- cara”

omel Purwasih disampingnya. “Yang pasti, kau harus menepati janjimu untuk mencarikan kelinci”

”Ya, ya, ya Kelinci i “Yang gemuk”

“Yang gemuuuk”

*** 5

Tak pernah mudah untuk menduga, apa yang ba- kal

terjadi nanti. Hidup sepertinya selalu mempunyai tali kendali sendiri, menggiring manusia ke arah tertentu. Dikehendaki atau tidak dikehendaki manusia, tetap berjalan seperti itu.

Pertemuan juga sebagai dari arah hidup yang sulit diduga.

Seperti halnya Andika.

Setelah menerima pesan Walet yang disampaikan melalui

Raja Penyamar, Andika segera mencoba menghubunginya melalui batin. Dia amat tahu, bagaimana kuatnya batin Walet. Dengan semadi, Pendekar Slebor yakin akan berhasil menghubungi batin bocah tanggung itu.

Dalam semadi, Andika merasakan tubuhnya me- layang

kehamparan ruang tanpa tepi Tak terang, tak juga gelap. Tubuhnya terus melayang dan melayang, melanglangi ruang dan waktu yang tak terbatas. Sepasang tangannya terkembang ke depan, seolah hendak menggapai sesuatu yang belum terlihat.

“Walet Walet” panggil Andika. Suaranya bergema tak

terputus, seolah menelusuri ruang tanpa batas.

Tak begitu lama, Pendekar Slebor melihat titik cahaya

putih di kejauhan yang kemudian berpendar, mekar membesar.

Andika sendiri tak bisa memastikan, dirinya yang mendekati cahaya itu atau justru sebaliknya.

Ketika cahaya itu kian membesar dan nyaris menelan

tubuhnya, Andika melihat dari pusat cahaya muncul perlahan-lahan seorang tampan perkasa. Tubuhnya tinggi tegap, terbungkus

pakaian kebesaran seorang pangeran. Wajahnya begitu menawan tanpa kumis atau cambang penghias. Lelaki pun akan sempat

terpana mendapati ketampanan wajah sosok itu.

“Siapa kau?” sapa Andika. “Aku tak memanggilmu. Yang

kupanggil Walet. Bukan kau, tapi Walet”

Sang Pangeran tersenyum amat ramah.

“Akulah Walet” sambut sosok tampan itu, lembut.

“Kau tak bisa membohongiku. Aku kenal Walet. Dia

seorang bocah kecil,” sangkal Andika. “Ini memang salahku, Andika. Boleh kupanggil kau Andika,

bukan? Selama ini, aku memang merahasiakan jati diriku

sesungguhnya. Kau pernah kuceritakan tentang asal-usul Mustika Putri Terkutuk. Tentang seorang pangeran dan putri yang saling mencintai, namun kedua orangtua masing-masing tak menyetujui hubungan itu. Mereka lari. Dan kedua orangtua mereka pun

mengutuk anak muda itu. Sang putri menjad Mustika Putri Terkutuk dan Sang Pangeran menghilang bagai ditelan bumi. . ” (Baca

Pendekar Slebor dalam episode: “Mustika Putri Ter- kutuk”).

“Tunggu Kau ingin katakan kalau kau adalah pangeran itu,

bukan?” sergah Andika.

“Ya, memang begitu. Aku menitis pada rahim seorang ibu.

Sampai lahirlah Walet, bocah kecil yang kau kenal. . ” Sang Pangeran mengakhiri cerita.

Mulut Andika membulat.

“Ooo, pantas saja kalau bocah kecil itu memiliki kekuatan

batin yang luar biasa.. ,” gumam Pendekar Slebor. “Jadi, apa pesan yang kau maksudkan untukku?”

“Aku ingin menyampaikan padamu kalau kau harus

memiliki sesuatu yang bisa menandingi kekuatan sihir sebuah benda.. .” “Kekuatan sihir sebuah benda? Benda apa yang kau maksud?” “Cermin Alam Gaib...”

“Tuhan.. . Jadi benar kata Raja Penyamar tentang bahaya Cermin Alam Gaib,” desis Andika.

Andika terdiam sesaat. Ditatapnya sepasang bo- la mata Sang Pangeran dengan sinar mata berharap.

“Jadi, apa yang harus kumiliki?”

“Kalbumu.. ,” sahut Sang Pangeran, singkat.

Andika dipaksa tertawa dengan pertanyaan tadi.

“Kalau soal itu, dari dulu aku telah memiliki,” kelakar Pendekar Slebor. ”Kau memang memiliki kalbu. Tapi belum memiliki

kesempurnaannya. Kau harus melakukan pencucian melalui

pengasingan diri secara menyeluruh. Bebaskan dirimu dari keduniawian untuk sementara. Lalu, menyatulah dengan Sang Maha Besar yang menduduki kursi semesta. . ”

Petuah Sang Pangeran itu melembut. Sampai suara

jernihnya menghilang, seiring menguncupnya cahaya putih.

Dan Pendekar Slebor membuka kelopak matanya. Dan di

depannya langsung ditemukan Raja Penyamar.

“Kau mau menjelaskan padaku, siapa sesung- guhnya

anak kecil itu, Andika?” tanya Raja Penyamar.

Sejak berjumpa dengan Walet, rasa ingin tahu Raja

Penyamar tak kunjung redup. Semakin hari, makin penasaran.

Maka secara jelas dan singkat, Andika pun men- ceritakan

jati diri Walet sesungguhnya, yang baru saja diketahuinya sendiri.

“Pantas. .,” bisik Raja Penyamar, menanggapi seluruh

cerita Andika tentang si bocah ajaib itu.

Dari silanya, pemuda tampan yang disegani da- lam dunia

persilatan itu berdiri. Kini dia berhadapan dengan arwah Raja Penyamar di dalam sebuah gubuk terbengkalai di Kampung

Kelelawar. Di gubuk itulah, Raja Penyamar mati beberapa puluh tahun silam.

Jasad Raja Penyamar masih terduduk bisu, di satu sudut

ruangan. Karena terbengkalai begitu saja selama ini, tak heran kalau sudah banyak sarang laba- laba menggerayangi sekitar jasadnya.

Pakaian coklat berkerah pendek serta penutup kepala seperti blangkon dari batik pun sudah mulai rapuh. Serat-seratnya melebar di sana-sini.

Di luar semua itu, jasad Raja Penyamar seperti tak

termakan waktu. Paras wajahnya tetap tak berubah, memperlihatkan kesejukan dengan sebaris senyum tipis. Kematian seperti tak pernah terjadi, layaknya seorang yang tertidur pulas saat bersila.

Di sudut yang berseberangan dengan jasad Raja

Penyamar, tergolek tubuh Purwasih. Memang tanpa permisi lagi, Andika telah menotoknya di tepi sungai. Menurut pertimbangannya, akan banyak makan waktu jika menjelaskan perihal Raja Penyamar pada Purwasih. Termasuk menceritakan rencananya untuk

memberikan ‘Air Sari Buana’ pada jasad lelaki tua itu.

“Sebenarnya, aku lebih setuju kalau kau menyim- pan saja air mukjizat itu, Anak Muda,” cetus Raja Penyamar, membuka

percakapan kembali. “Kupikir, suatu saat kau pasti memerlukannya.”

Andika menggeleng tegas, untuk memperlihatkan

kemantapan keputusannya.

“Selama masih bisa, kau harus berikhtiar menuntaskan

masalahmu, Pak Tua. Lagi pula, aku membutuhkan kehadiranmu

selaku manusia. Tak sekadar arwah tanpa jasad.”

“Kenapa begitu?”

“Nanti kau pun segera tahu. Yang jelas, ini ber- kaitan erat dengan usaha kita memerangi kejahatan Manusia Dari Pusat Bumi.

Dengan air ini, kita punya kesempatan lebih banyak. Itu kalau kau setuju me- manfaatkan ‘Air Sari Buana’ bagi jasadmu. Kalau menolak, berarti kau menutup kesempatan untuk memerangi kezaliman yang bakal disebar manusia siluman itu dengan Cermin Alam Gaibnya.. ,” jelas Pendekar Slebor.

“Tampaknya aku tak punya pilihan?” ujar Raja Penyamar,

masih saja agak berat dengan keputusan pemuda di hadapannya.

Selaku tokoh yang sudah berkubang lama di du- nia

persilatan, Raja Penyamar sangat tahu bagaimana sulitnya

seseorang mendapatkan ‘Air Sari Buana’. Usaha mencarinya saja, sama dengan kemustahilan. Hanya orang-orang yang kebetulan

berjodoh saja bisa mendapatkan. Seperti Andika, misalnya.

Kalau ‘Air Sari Buana’ itu kini dimanfaatkan un¬tuk dirinya, berarti sampai mati nanti pun Andika tak akan punya kesempatan memilikinya kembali. Padahal, sebagai ksatria penegak panji-panji kebenaran, ‘Air Sari Buana’ amat dibutuhkan dalam perjuangannya.

“Aku tak akan menanyakan kau setuju atau tidak, Pak Tua.

Sebab yang kumau, kau setuju. Jika tidak, air ini akan kucampakkan begitu saja. Jadi, sama saja bukan? Aku tetap tak akan memiliki air mukjizat ini, dimanfaatkan untuk kepentinganmu atau tidak,” papar pemuda dari Lembah Kutukan keras kepala. setengah mengancam.

“Baiklah,” putus Raja Penyamar akhirnya. ***

Peringatan Walet alias Sang Pangeran tampaknya beralasan. Demikian juga kekhawatiran Andika Manusia Dari Pusat Bumi belum mati. Jelmaan siluman itu terlalu tangguh untuk mati.

hanya karena adu tenaga dengan Hakim Tanpa Wajah. Meski. si tua itu adalah gurunya sendiri.

Suara ancaman yang terakhir kali didengar Andika

sewaktu Pengadilan Perut Bumi hancur pun, adalah suara Manusia Dari Pusat Bumi

Apa yang sesungguhnya terjadi pada diri manusia jelmaan

siluman itu?

Tak lama setelah melabrak habis ruang besar Pengadilan

Perut Bumi. Manusia Dari Pusat Bumi me- nyeruak di antara

timbunan bebatuan dan sisa genangan air bah. Himpitan hebat bebatuan raksasa serta genangan yang menenggelamkannya,

seakan hanya bongkahan tepung terigu yang menimbun. Sama

sekali tak berarti apa-apa.

Manusia Dari Pusat Bumi kemudian keluar me- lalui

sebuah pintu rahasia. Timbunan batu penghalangnya dijebol, tanpa kesulitan berarti untuk bisa mencapai pintu rahasia.

Selang beberapa saat kemudian. Hakim Tanpa Wajah

menyusul keluar melalui jalan yang sama. Ketika muncul di ujung jalan rahasia, kebetulan sekali ada Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. Waktu itulah Pendekar Dungu sempat melihat

pantulan wajah hakim gila itu melalui permukaan sungai.

Hari berlari seiring garis edar bumi, meningkahi mentari

yang mengapung angkuh di persemayaman angkasa luas.

Tiga hari sejak kejadian tersebut, Manusia Dari Pusat Bumi

tampak berada di kediaman barunya Sebuah goa di puncak Gunung Kapur. Selama tiga hari itu, Manusia Dari Pusat Bumi melakukan tapa pemulih kekuatan setelah tenaganya banyak terkuras dalam pertarungan hebat dengan gurunya sendiri Hakim Tanpa Wajah.

Pulihnya tenaga serta kembalinya kesegaran, membuat si

manusia jelmaan siluman ini menyudahi tapanya. Dari silanya dia bangkit. Dilepasnya pandangan jauh-jauh ke depan, melampaui mulut goa yang menganga lebar. Sinar siang menyapa wajah hengisnya. Tampak membersit sinar keangkuhan di bola mata lelaki itu, yang bisa diartikan sedang menantang dunia dan

mengancamnya.

“Saatnya aku kembali, keangkaramurkaan akan bergelora,”

desis Manusia Dari Pusat Bumi memastikan.

Puas melontar ancaman, manusia siluman itu menyatukan

kedua telapak tangannya. Sesaat, digesek-geseknya telapak tangan itu satu dengan yang lain. Dari sela-selanya, muncul perlahan ujung tumpul sebuah benda. Makin nampak. sampai akhirnya tergenggam utuh cermin yang tak lain Cermin Alam Gaib.

“Sudah waktunya aku menguji keampuhan cermin ini,” kata

manusia Dari Pusat Bumi.

Bagai sudah kerap kali mempergunakannya, Manusia Dari

Pusat Bumi mengadukan sepasang matanya pada sepasang mata

pantulannya di cermin. Kelopak matanya membesar dan meredup, melepas sehimpun tenaga hitam hingga warnanya berubah merah.

Lama kelamaan, dari manik mata seperti milik harimau itu

mengalir cairan kemerahan-merahan. Darah hidup yang bergerak-gerak kecil Perlahan tapi pasti, cairan itu merambati pipi kasar Manusia Dari Pusat Bumi. Darah dari bola mata kiri dan kanan pun bertemu di ujung dagunya.

Tangan Manusia Dari Pusat Bumi lantas mem- bawa

Cermin Alam Gaib ke bawah dagu. Ketika itulah gerak kecil darah yang menggelantung di ujung dagu terhenti.

Tes

Hanya dalam sebentuk tetesan, darah itu me- netes ke

permukaan cermin pembawa bencana. Cermin Alam Gaib berpendar semerah darah yang mem- basahinya, tepat pada saat keduanya menyatu. Ber- samaan dengan itu, tetesan darah menghilang bagai terserap cermin.

“Diriku kini telah benar-benar menyatu denganmu, wahai

Cermin Alam Gaib. Kini, kehendakku adalah kehendakmu.

Keinginanku, juga keinginanmu,” ucap Manusia Dari Pusat Bumi seperti jalinan mantera.

Sebentar manusia siluman itu menghentikan ka- la-

katanya. Ditatapnya Cermin Alam Gaib tajam-tajam.

“Kumau, sekarang juga kau perlihatkan keampuhanmu,” kata Manusia Dari Pusat Bumi lagi. Berat dan pasti.

Perlahan-lahan dia mengacungkan kepala cermin ke atas

bibir goa. Dan. .

“Hancur” seru Manusia Dari Pusat Bumi lantang

membahana.

Blarrr

Tak ada sekerdipan mata, bagian atas bibir goa bertaburan

menjadi debu yang tak berdaya digiring angin ke segenap penjuru, seperti hantaman pukulan dahsyat yang kasat mata.

Perlahan-lahan Manusia dari Pusat Bumi meng- acungkan

kepala cermin ke atas bibir goa. Dan. .

“Hancur” serunya lantang membahana.

Blarrr

Tak ada sekerdipan mata, bagian atas bibir goa bertaburan

menjadi bongkahan-bongkahan batu yang tak berdaya digiring angin ke segenap penjuru

Bibir bertaring Manusia Dari Pusat Bumi menyembulkan

seringai. Namun begitu, dia belum lagi puas atas hasil.yang dilihatnya.

Matanya kemudian menemukan bongkahan batu kapur sebesar

pendopo istana jauh di bawah sana, tepat menghadap mulut goa.

“Kini, angkat batu itu ke arahku” perintah Manusia Dari

Pusat Bumi pada Cermin Alam Gaib.

Begitu kata-katanya selesai, Manusia Dari Pusat Bumi

mengarahkan kepala cermin pembawa bencana pada benda yang

dituju. Maka batu kapur besar pun melayang, seolah tak memiliki bobot lebih dari selembar bulu

Blam Gr r....

Entah tenaga sesat dari mana. sehingga mampu

menghempas kuat batu raksasa itu sampai menghantam bibir goa.

Debu putih bertaburan memenuhi ruang goa. Butir-butiran kecil menerpa tubuh Manusia Dari Pusat Bumi, seakan memusuhi dan

mengutukinya. *** 6

Ada pepatah lama yang berbunyi, ‘Lidi yang rapuh akan

memiliki kekuatan jika dihimpun menjadi satu’. Untuk tujuan-tujuan tertentu, menyatukan kekuatan memang kadang sangat diperlukan.

Bersatu mencapai tujuan, ternyata tak hanya berlaku untuk

niat-niat terpuji. Para pembangun ke- jahatan pun tampaknya menyadari pentingnya hal itu. Jadi, tak akan heran bila suatu kali Manusia Dari Pusat Bumi mengundang tokoh-tokoh jajaran atas dunia hitam ke sebuah lembah terbuka yang tersembunyi, sebab dibentengi rapat-rapat oleh jajaran pegunungan.

Lembah itu bernama Lembah Pasir Tungku. Di- namakan

begitu, karena tempatnya hanya berupa hamparan pasir yang begitu panas menyengat bagaikan tungku. Menilik warna pasir yang putih, Lembah Pasir Tungku lebih pantas disebut gurun.

Di Lembah Pasir Tungku itulah, Manusia Dari Pusat Bumi

merencanakan akan menghimpun tokoh sesat kelas atas dalam satu panji angkara murka

Siang yang memanggang hari ini seperti tak dipedulikan

dua wanita tua cacat. Yang seorang buta, sedang yang lain berkaki kutung. Perempuan tua berkaki kutung, dibopong si buta di bahunya.

Wajah mereka sama-sama keriput. Pertanda kalau usia mereka tak jauh berbeda. Layaknya orang tua, rambut mereka pun telah

memutih. Seluruh giginya nyaris tanggal, membuat bibir mereka cekung ke dalam. Dengan begitu dagu mereka tampak lebih

menjorok keluar.

Tak ada perbedaan wajah keduanya. Karena dua

perempuan tua itu memang kembar. Demikian pula pakaian yang dikenakan, sama-sama berbebat kain hitam sepanjang dada hingga lutut.

Dengan usia renta dan pakaian yang begitu tampak ketat,

sepertinya mereka tak bisa bergerak lin- cah. Padahal jika keduanya sudah berlaga di medan tempur, kecepatan sepasang perempuan renta itu selincah rase muda betina.

Karena itu pula, menjelang usia uzur, mereka mendapat

julukan Rase Tua Kembar. Kehebatan yang paling ditakuti setiap lawan ada- lah

rambut mereka. Pada saat-saat tertentu, sanggul rambut mereka bisa terlepas. Maka saat itulah akan melesat ulat-ulat halus beracun yang sanggup me- manggang daging siapa pun. Daya tembus

binatang melata kecil pun luar biasa. Sekali melesak ke dada lawan, maka ulat-ulat kecil itu akan tembus keluar sampai punggung.

“Manusia bernyali sebesar apa yang nekat meng- undang

kita hingga harus menempuh gurun keparat ini,” gerutu si buta.

Perkataan itu bukan main-main. Kebiasaan keji mereka

memang membunuh, tanpa pandang bulu setiap kali melihat

manusia. Mereka seperti mendapat kepuasan kala mencium anyir darah korban.

“Ah Ini tak seberapa panas dibanding neraka” sergah si

kutung, melecehkan gerutuan si buta.

“Ya Kau bisa bilangbegitu Terang saja, kau hanya mendompleng di bahuku. Coba kalau kau merasakan panas pasir ini”

“Kalau aku punya kaki, aku akan jalan”

“Dan kau baru tahu rasa panas pasir di sini”

“Tapi, aku toh takbakal punya kaki”

“Dan, kau tak akan pernah merasakan panas pasir di sini

Makanya, jangan bicara seenak dengkul”

“Heeeh Apa kau lupa aku tak punya dengkul”

Keduanya lalu tertawa berbarengan. Terkikik- kikik,

mengalahkan deru angin di permukaan pasir. Perdebatan keduanya seakan tidak pernah terjadi.

“Menurut undangan dalam mimpi, kita harus menunggu di

mana?” tanya si buta.

“Kau lupa?”

“Yaaa Kau tahu sendiri aku sudah tua” sentak si buta.

“Memang kau sendiri yang tua Aku juga begitu” sergah si

kutung tak mau kalah.

“Kau lupa apa tidak?” tandas si buta.

‘Tidak.”

“Kalau begitu, kau belum tua”

Kembali mereka terkikik-kikik ramai.

Tak lama kemudian, mereka berhenti di bawah kaki sebuah pohon kaktus setinggi atap rumah dengan duri-durinya yang besar. “Seingatku, kita disuruh menunggu di sini oleh pemuda dalam mimpi kita,” tandas si kutung.

Tangan keriput si buta mencari-cari. Ketika me- nemukan

duri-duri pohon kaktus raksasa, baru bibirnya tersenyum buruk.

“Ya ya ya. Aku baru ingat sekarang. Memang di sini

tempatnya....”

Mereka menunggu. Sementara itu, tampak lagi pendatang

lain di kejauhan. Semakin dekat, semakin terlihat seorang laki-laki berperut sebesar tong. Sulit menilai, berapa usianya. Karena wajah lelaki buncit itu sungguh ganjil. Wajah sebelah kanan tampak begitu tua dipenuhi keriput. Alis di belahan itu pun memutih, di atas sebelah matanya yang kelabu. Sebaliknya, bagian wajah sebelah kiri tampak demikian muda. Pipi di belahan itu terlihat agak kemerahan, bagai kulit bayi. Perut yang demikian besar seperti tak menghen- daki baju.

Si lelaki buncit berwajah ganjil malah lebih suka mengenakan ikatan kain yang hanya menutupi bagian terlarangnya. Bagaimana dia akan suka berpakaian, kalau tubuhnya saja selalu dibasahi keringat.

Kaum rimba persilatan mengenal lelaki itu se-

bagai si Perut Gendang. Di samping karena perutnya mirip gendang besar, juga karena setiap kali berjalan perut itu selalu menimbulkan bunyi bertabuh-tabuh. Persis bunyi gendang

dung dung

Si Perut Gendang berjalan kian dekat ke arah pohon

kaktus besar.

Sementara Rase Tua Kembar semakin memperlihatkan

wajah tak bersahabat. Bibir keriput mereka menyeringai-nyeringai seraya memperdengarkan gemelutuk gigi.

“Si Perut Gendang minta dibunuh” geram si buta. Meski

tak melihat, telinganya masih bisa mengenali bunyi perut lelaki pendatang baru tadi.

“Menurutmu, apa dia orangnya yang mengun- dang kita?”

tanya si kutung.

“Mana aku tahu” “Kalau dia orangnya yang hendak mempermainkan kita. . ”

“Kita pecahkan perut buncitnya itu” terabas si buta.

Lagi-lagi keduanya terkikik.

“Kalian rupanya, Nenek-nenek Jelek” tegur si Perut

Gendang begitu telah tiba di hadapan Rase Tua Kembar. Suaranya sama sekali tak ramah. “Berani-beraninya kalian mengundangku”

“Heeeh Berani-beraninya dia membentak-bentak” balas si

kutung sewot.

“Makan, nih” sentak si buta. Seketika dijentiknya butiran

pasir di sela-sela jari kaki yang takberalas.

Wes wes

Butiran pasir putih halus itu berkelebat tanpa terlihat,

mengancam udel si lelaki buncit yang meng- intip malu-malu dari permukaan perutnya. Kecepatan dan kekuatan kelebatan pasir

demikian hebat. Menurut perhitungan mata tokoh kelas atas,

kelebatan benda-benda kecil itu tak akan menemui kesulitan

menembus kulit perut. Bahkan kulit sepuluh ekor badak sekali pun

Tapi, jangan sekali-kali mengira perhitungan itu berlaku

bagi perut si Lelaki Buncit. Tahu ada orang yang hendak pamer kekuatan, si Perut Gendang membiarkan saja pasir-pasir itu meluruk deras. Bleng

Perut si Perut Gendang mendadak meliuk dari bawah ke

atas, seperti permukaan tikar yangdigebah. Hasilnya, berupa tenaga sedotan luar biasa yang berasal dari bagian pusatnya. Pasir-pasir berkekuatan hebat itu dipaksa masuk ke dalam lobang pusat, namun tak begitu lama kemudian perutnya meliuk lagi. Maka, kini pasir-pasir tadi terhembus keluar. Tak kalah cepat dan berbahaya, benda-benda halus itu kembali ke arah si buta. Tak hanya itu. Panas tubuh si Perut Gendang telah membuat pasir menjadi merah membara

“Permainan anak-anak kalian pamerkan” maki si kutung

gusar. Langsung diludahinya semburan pasir yang melesat tadi.

“Chuih”

Psss.. .

Merah menyala pada butiran pasir kontan meredup,

meninggalkan asap tipis yang terpenggal di uda- ra. Sedangkan terjangan pasir berkekuatan lima ekor kuda, sampai tak berdaya menerima beban air ludah si buta. Semuanya jatuh sebelum tiba di dada si kutung.

“Jawab pertaryaanku, Buncit Kau yang meng- undang

kami ke tempat ini?” tanya si kutung, mem- bentak.

“Aku juga punya pertanyaan yang sama untuk kalian” balik

si Perut Gendang tak mau kalah.

“Kau mengundang kami atau tidak?” si buta ikut campur.

“Kalian mengundang aku atau tidak?”

Ketiganya serempak terdiam. Bukan karena menyadari

kekeliruan masing-masing, tapi terusik oleh suara senandung yang menyakitkan telinga.

Tanpa diberi aba-aba, ketiganya serempak me- noleh ke

asal suara. Jauh di sana pendatang lain rupanya telah sampai pula.

Mereka terpaksa menautkan alis rapat-rapat karena tak

mengenalnya.

Kalau dalam jarak jauh saja senandung meme- kakkan si

pendatang baru sudah begitu menusuk telinga, apalagi kalau telah tiba di dekat ketiga orang yang sampai lebih dahulu ilu. Ketiganya meringis-ringis. Ingin rasanya mereka segera menutup telinga dengan tangan. Nama besar yang tersandang, membuat mereka

malu melakukannya. Jadi, ketiga tokoh sesat itu hanya bisa

menyalurkan havva murni agar gendang telinga tak pecah.

“Nyanyian gagak buduk apa pula ini?” gerutu si buta.

Orang yang baru datang tak mempedulikan ge- rutuan itu.

Dia berjalan terus lenggak-lenggok tanpa rasa bersalah.

“Aaa Sudah ada yang kumpull ” seru si penda- tang baru

dengan wajah riang bukan main.

Ternyata dia adalah seorang lelaki muda ber- kepala

botak. Kulitnya hitam, wajahnya berkesan khas orang-orang India.

Hidungnya mancung, seperti paruh burung. Matanya bulat dan agak menonjol keluar. Dengan baju panjang putih serta selendang di leher, kulit hitamnya jadi tampak makin kelam.

“Aaa, sudah ada yang kumpull ” sapa orang itu kembali,

sambil menggaruk-garuk kepala. Maka ber- hamburanlah kulit kering yang mengelupas dari ke- palanya. Kau yang mengundang kami?” sambut Rase Tua Kembar

bersamaan.

“Kau yang mengundang aku?”

Saat yang sama pula, si Perut Gendang melepas

pertanyaan serupa.

Pemuda hitam gundul itu tentu saja tertawa ditu duh

demikian rupa. Bagi setiap orang, pasti tak nyaman mendapat perlakuan kasar begitu tiba di tempat yang menyiksa ini.

Nampaknya, si pemuda berkulit arang berbeda. Dengan riang

semuanya ditanggapi dengan tawa sambil menggoyang-goyangkan kepala. Sikapnya benar-benar membuat jengkel Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang.

“Chuah Tingkahmu memuakkan” semprot si kutung.

“Apa yang diperbuatnya?” Wanita buta di bawah nya ingin

pula tahu. “Nanti kau jadi ikut muak”

“Aku dengar suara orang menggaruk, tadi,” kata si buta

penasaran.

“Orang baru ini menggaruk-garuk kepalanya yang gundul

dan beruntusan itu” si Perut Gendang memberitahu.

Entah dedemit mana yang mengilik si Perut Gen dang

untuk menjawab perkataan si perempuan buta Kalau itu semacam kebaikan, mungkin itu adalah ke baikan pertamanya sepanjang hidup. “Idih Aku suka kepala gundul. Mengingatkanku pada...”

“Jangan berpikiran kotor” potong si kutung pada ucapan

saudara kembarnya. Kemudian perhatian nya di arahkan pada

pemuda gundul itu. “Sekarang jawab pertanyaanku pemuda ‘keling’

Apa keperluanmu datang ke tempat ini?”

“Aku diundang seseorang,” sahut si pemuda hitam disertai

sebaris senyum.

“Kami diundang, si Perut Gendang diundang. Kalau kau

juga diundang, lantas siapa yang mengundang?” tanya perempuan berkaki kutung. Cara ber tanyanya seperti hendak menyalahkan pemuda ber- kulit hitam ini.

“Apa aku harus mengaku kalau aku yang mengundang?” ucap si pemuda gundul.

“Sebaiknya begitu” serobot si buta cepat.

“Kalau misalnya aku yang mengundang, lalu siapa yang

mengundangku?” tanya pemuda berkulit hitam, kebingungan sendiri.

“Hey? Kenapa kalian jadi seperti orang dungu semua”

bentak lelaki berperut buncit, tak sabar melihat tingkah mereka.

“Kalau semuanya diundang, artinya, kita harus menunggu orang yang mengundang kita. Menunggu.. . Huh Menyebalkan”

Perdebatan mungkin akan berlanjut sampai kia- mat, kalau

saja seseorang tak datang. Orang itu adalah Manusia Dari Pusat Bumi, yang telah mengundang mereka semua.

“O, jadi manusia jelek ini yang mengundang kita.’” sambut

si perempuan kutung.

“Kau yakin dia orangnya?” tanya saudara kem- barnya.

“Peduli apa? Aku yakin kek, tidak kek Pokoknya, aku

sudah gatal ingin mengaduk-aduk isi perut orang usil itu”

Belum lagi dua wanita renta itu memperpanjang

kemarahan, Manusia Dari Pusat Bumi tiba dan langsung

mengacungkan Cermin Alam Gaib di tangan kanan.

“Suka tidak suka, kalian akan diam dan mende- ngarkan

perkataanku” seru Manusia Dari Pusat Bumi dengan suara berat.

Rase Tua Kembar kontan tak bisa menggerakkan mulut.

Kecerewetan mereka seakan-akan terkunci mendadak. Bukan hanya itu. Mereka juga tak bisa menggerakkan apa-apa. Demikian pula yang terjadi pada si Perut Gendang dan pemuda hitam.

“Dengar Akulah orangyang mengundang kalian untuk

datang ke sini melalui gelombang mimpi yang hanya bisa ditangkap oleh orang-orang sakti yang bejat Di tempat ini, kalian harus bertarung denganku dalam sepeminuman teh. Siapa yang selamat, harus bergabung di bawah panjiku”

Inilah ujian yangdiberlakukan Manusia Dari Pusat Bumi

bagi keempat undangannya. Manusia jelmaan siluman itu tak mau scmbarangan mengambil sekutu sesatnya. Baginya, yang tak

banyak membantu, lebih baik cepat dibunuh

Yang pertama mendapat giliran diuji adalah si Perut

Gendang. Sementara, Rase Tua Kembar dan si pemuda hitam masih terdiam di bawah pengaruh sihir Manusia Dari Pusat Bumi.

Kini si Perut Gendang berdiri di tengah-tengah lembar pasir tandus, menghadapi sang pengundangnya, setelah terlebih dulu dibebaskan dari pengaruh sihir.

“Apa maumu sebenarnya, Pemuda Jelek? Baru sekali ini

ada orang yang nekat menghina si Perut Gendang” mulai si lelaki buncit. “Tak perlu kau tahu, siapa aku. Karena belum tentu kau berusia panjang. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengerahkan seluruh kesaktian yang kau miliki untuk menghadapiku. Jika berhasil bertahan dalam waktu sepeminuman teh, maka bersenanglah.

Karena, kau akan bergabung dengan ‘Raja Diraja Kejahatari’”

Si Perut Gendang tertawa mengejek.

“Sombong sekali ucapanmu, Pemuda Jelek Tampangmu

pun baru sekali ini kulihat. Itu tandanya kau masih terlalu bau kencur untuk menantangku berkelahi. Apalagi, untuk menguji

kesaktianku.. .’”

Manusia Dari Pusat Bumi yang pada dasarnya memiliki

sitat tak banyak mulut, tak merasa perlu mengindahkan cemoohan calon lawan. Tanpa banyak omong lagi, langsung saja dibukanya sebuah jurus.

”Kau sungguh-sungguh, rupanya? Ya, sungguh- sungguh

mencari mampus” hardik si Perut Gendang mulai gusar.

Deb Deb

Belum sempat lelaki berperut tong itu menarik napas,

Manusia Dari Pusat Bumi sudah melabraknya dengan satu rentetan patukan tangan secepat kilal. Agak aneh. Karena, tangannya sama sekali tak mematuk langsung ke tubuh lawan. Di balik itu, hasilnya sungguh sempat memukau si Perut Gendang. Tangan pemuda

bertaring ini ternyata mengeluarkan bayangan memanjang, yang langsung menyambar deras ke kening.

“Gila Ini sihir” seru si Perut Gendang, setelah menghindar sebisa-bisanya.

Meski hanya sebentuk bayangan tangan, si Perut Gendang

bisa merasakan angin pukulan maut dari se- rangan yang luput.

Seolah-olah, bayangan itu lebih kuat berlipat ganda dari tangan sesungguhnya.

Kini si Perut Gendang tidak bisa lagi memandang remeh

lawannya. Masih dengan hati bertanya-tanya, tentang lawan

sesungguhnya, si Perut Gendang terpaksa membuka jurus.

Pertahanan penuh dibentuknya, sekaligus mempcrsiapkan satu

rencana serangan balasan.

Muncullah gerakan aneh milik si Perut Gendang.

Tangannya tak bergerak di kedua sisi tubuh. Sebaliknya, perut besarnya meliuk-liuk seperti gelombang. Setiap satu gelombang, tercipta bunyi yang mememakkan telinga.

Dung Dung..

Ketika suara perut laki-laki buncit itu kian me- muncak,

berhembuslah angin amat kuat hasil dari gelombang kulit perutnya.

Angin yang cukup untuk membentengi diri dari lerjangan sepuluh gajah jantan sekali pun

Deb, deb, deb,

Sekali lagi Manusia Dari Pusat Bumi melancarkan patukan

bayangan tangan. Berlapis-lapis bayangan bagai bentuk kepala ular kini meluruk ganas.

Di udara, gerak bayangan tangan Manusia Dari Pusat

Bumi terhambat oleh benteng angin dari perut si Perut Gendang.

Tapi bukannya tak bisa ditembus. Setelah geraknya melambat, bayangan tangan itu kembali meluruk dalam kecepatan semula. Dan memang, benteng angin lawan yang tangguh berhasil ditembus

Wesss

“Bangsat” maki si Perut Gendang, gusar bukan main.

Tubuh laki-laki yang kelebihan beban cepat di- lempar

jauh-jauh dari jarak jangkau bayangan tangan Manusia Dari Pusat Bumi. Setelah berhasil berdiri kukuh, si Perut Gendang sadar kalau harus melepas serangan balasan. Terlalu berbahaya baginya jika hanya bertahan mengandalkan benteng angin perutnya,

sementara pertahanan itu sudah berhasil diperdaya lawan.

“Kau telan rasa panas ini, Pemuda Jelek”

Di ringi teriakan mengancam, si Perut Gendang menepuk-

nepuk permukaan perutnya. Mula-mula pergantian tepukan antara kedua telapak tangannya lambat saja. Kemudian, makin cepat dan cepat. Prak, prak, prak..

Pada puncak tepukan, sepasang telapak tangan si Perut

Gendang jadi membara. Tampaknya ancaman tadi bukan sekadar

pepesan kosong. Perut buncit lelaki itu memang begitu terkenal didunia persilatan, karena sanggup menghasilkan panas luar biasa.

Panas itulah yang kini diserap sepasang telapak tangan si Perut Gendang. “Hiaaa”

Whuuusss

Tubuh si Perut Gendang berputar bagai gasing tambun

raksasa. Kedua tangannya yang membara, terbentang lebar-lebar membentuk kincir tegak lurus. Dengan tetap berputar, diterjangnya Manusia Dari Pusat Bumi.

Pada setiap pergeseran tubuh si Perut Gendang yang

berputar, mengepul asap putih tebal di udara. Asap putih tebal itu membentuk angin putingbeliung kecil, akibat putaran tubuhnya.

Manusia Dari Pusat Bumi hanya menatap dingin Tak

tampak rasa ngeri di wajahnya.

Saat tubuh si Perut Gendang kian dekat seperti badai dari

tcngah laut hendak menyinggahi pantai, kaki Manusia Dari Pusat Bumi membentangtinggi ke atas.

Plakk

Sekejap saja, putaran tubuh laki-laki berperut buncit itu

terjegal. Tangannya yang terbentang dan membara tiba-tiba telah ditahan oleh patok kuatyang dibentuk bentangan kaki Manusia Dari Pusat Bumi.

‘Cukup Kau telah lolos dari ujianku” seru Manusia Dari

Pusat Bumi.

Si Perut Gendang tak mau begitu saja dihentikan. Harga

dirinya sudah telanjur di njak-injak pemuda bercaling itu. Dan dia merasa terhina. Dengan tiba-tiba, arah putaran tangannya berubah.

Siap mengibas kepala lawan di depan.

Plak

Sekali lagi, Manusia Dari Pusat Bumi menjegal putaran itu tanpa kesulitan.

“Kalau kubilang cukup, kau harus berhenti” bentak

Manusia Dari Pusat Bumi menggetarkan nyali.

Pada saat yang sama, tangan Manusia Dari Pusat Bumi

tahu-tahu sudah menggenggam Cermin Alam Gaib. Ketika cermin petaka itu diarahkan ke sasaran. si lelaki berperut buncit langsung mengejang. *** 7

Uji tanding yang diberlakukan Manusia Dari Pusat Bumi

telah selesai. Rase Tua Kembar maupun si Perut Gendang dapat bertahan dalam sepeminunan teh. Dan itu berarti, mereka

dinyatakan pantas untuk bergabung dengan si manusia jelmaan siluman. Meski merasa telah dihina oleh seorang pemuda bau kencur yang baru dikenal, tiga tokoh sesat kawakan itu tak bisa menolak rencana Manusia Dari Pusat Bumi. Mereka toh, harus

mengakui hebatnya kepandaian pemuda bertaring itu. Dengan

kenyataan ini, mereka berpikir tentu akan mendapat banyak

keuntungan jika bergabung, walaupun harus berada di bawah

perintahnya.

Satu orang lagi yang tersisa, juga lolos dari uji tanding.

Dialah pemuda hitam berkepala gundul yang sama sekali tidak dikenal. Namun begitu, suatu kejutan sempat dibuat pemuda berkulit hitam itu. Sebelum waktu yang ditentukan Manusia Dari Pusat Bumi habis saat uji tanding, dia sempat memasukkan sebuah hantaman telak kedada lawan. Padahal, Rase Tua Kembar maupun si Perut Gendang belum bisa melakukannya.

Hal itu cukup membuat ketiga tokoh sesat itu agak

terperangah. Sekaligus pula, memancing pertanyaan dalam diri masing-masing. Siapa sesungguhnya pemuda berkulit hilam itu?

Hanya karena kesombongan sebagai tokoh jajaran atas, yang

membuat mereka menyimpan saja rasa penasaran masing- masing.

“Di bawah perintahku, kalian akan menemukan kekuasaan.

Bahkan harta yang melimpah,” kata Manusia Dari Pusat Bumi,

sesuai uji tanding. “Ini bukan sekadar janji. Karena dalam waktu dekat, semua itu akan kalian peroleh. Mengabdilah padaku”

Keempat tokoh sesat yang mengelilingi Manusia Dari

Pusat Bumi memperhatikan setiap kata yang di- ucapkannya bagai tertenung. Ada semacam daya cengkeramyang kuat dalam ucapan si manusia jelmaan siluman itu. merasuk langsung ke dalam nafsu masing-masing.

Mata harimau Manusia Dari Pusat Bumi menatap mereka satu persatu, menusuk dan bengis.

“Aku akan memberi pilihan pada kalian. Kekua¬saan dan

harta melimpah seperti kukatakan tadi, atau kalian mati

mempertahankan harga diri” tandas Manusia Dari Pusat Bumi

seperti ingin memastikan ke- hendak orang-orang taklukannya. Bisa jadi, juga hanya. karena ingin menunjukkan kalau dirinya tak bisa ditentang. Rase Tua Kembar, si Perut Gendang, dan si pemuda hitam tak bicara apa-apa. Sudah jelas bagi mereka, apa yang lebih penting dalam hidup ini. Menurut orang-orang zalim seperti mereka, harga diri tak lebih berharga dari kekuasaan atau harta. Jika mereka punya kekuasaan serta harta sekaligus, harga diri orang lain pun akan mudah di injak-injak.

Manusia Dari Pusat Bumi menyeringai. Dari pita

tenggorokannya tercipta suara tawa tertahan.

“Aku tahu, kalian tak akan memilih harga diri. Sebab. Jika

kalian lebih mementingkan itu, sudah sejak dulu kalian meninggalkan dunia hitam”

Lelaki berjiwa iblis itu kemudian mengangkat sebelah

tangannya. Seperti terjadi sebelumnya, dari tangan itu mendadak muncul Cermin Alam Gaib. Seolah-olah, benda itu telah jadi bagian dari dirinya.

Cahaya matahari menerjang permukaan cermin, lalu

terpantul tajam ke wajah-wajah empat manusia sesat taklukan Manusia Dari Pusat Bumi.

“Demi kekuatan alam kegelapan cermin ini, kalian

kuangkat menjadi pengikutku Kalianlah kaki tangan Sang Angkara”

teriak Manusia Dari Pusat Bumi mengguntur.

Tepat pada akhir kalimat, petir mendadak me- nyalak di

angkasa, menerobos langit yang sebenarnya tak mengizinkan

hadirnya petir. Mungkin alam sedang mengutuk kejadian itu, atau para makhluk durjana sedang berseru gembira.

“Jadi, apa yang mula-mula akan kita lakukan.. ?” tanya si

Perut Gendang.

“Panggil aku Sang Angkara” hardik Manusia Dari Pusat

Bumi. “Apa yang akan kita lakukan, Sang Angkara?” ulang si

lelaki berperut buncit, menyadari kesalahan.

Manusia Dari Pusat Bumi mengedarkan pandangan

kembali. “Selaku kaum sesat, kita selalu memiliki musuh. Mereka yang mengaku dirinya sebagai abdi Sang Ke- benaran, selalu berdiri menghadang gerak kita.. ,” sahut Manusia Dari Pusat Bumi.

Manusia Dari Pusat Bumi terdiam sesaat.

“Di antara mereka, ada satu orang yang benar- benar akan

menjadi penghalang besar” lanjut tokoh yang ingin dipanggil Sang Angkara berapi-api. “Seorang pemuda yang memiliki ‘bakat suci’

dalam dirinya, lahir di dunia persilatan lalu membuat kegemparan.. .”

Ketika memenggal untuk kedua kali ucapannya, keempat

tokoh sesat yang lain sudah bisa menduga siapa yang sedang

dibicarakan manusia jelmaan siluman itu.

“Aku rasa, aku tahu siapa yang kau maksud, Sang

Angkara,” selak si perempuan berkaki kutung.

“Aku tahu, kau tahu. Aku pun tahu, jika kalian tahu siapa

orang yang kumaksud. Dia memang tak asing lagi bagi kaum sesat.

Karena, dialah tombak besar yang menancap tepat di dada kita.. .

Pendekar Slebor” sentak Manusia Dari Pusat Bumi, sarat

kegeraman.

Keempat tokoh sesat yang kini telah menjadi pengikut

Manusia Dari Pusat Bumi ikut terdiam sekian lama. Mata masing-masing seperti langsung disuguhkan semua sepak terjang pendekar yang menggemparkan selama ini.

“Lalu, apa rencanamu terhadap Pendekar Slebor, Sang

Angkara Murka?” tanya si pemuda hitam, memecah keheningan

mereka. Manusia Dari Pusat Bumi melepas pandangan ke arah

hamparan pasir panas di sepanjang lembah. Panasnya, membuat permukaan pasir seperti dilapisi lelehan lilin bening.

“Percayalah.. tak akan mudah menaklukkan dia dengan

kesaktian kita. Manusia keparat itu sepertinya memang dilahirkan untuk menjadi musuh besar kaum sesat. .,” urai Manusia Dari Pusat Bumi kembali. “Untuk itu, kita harus menjalankan semua cara untuk menghancurkannya”

“Apa dia memiliki kelemahan, Sang Angkara?” si buta yang

sejak tadi bungkam, ikut berbicara. “Tapi sepanjang pengetahuanku, dia belum pernah mem- perlihatkan kelemahan.. .”

“Tak ada manusia sempurna. Dia pasti memiliki

kelemahan. Dan kalau pun tak bisa mengetahui kele- mahannya, maka kita bisa memanfaatkan orang- orang yang dekat dengannya.

Bukankah rasa sayang yang besar terhadap orang-orang yang

terdekat bisa dianggap sebagai kelemahan?” tutur si Perut Gendang, seolah seorang penasihat raja sedang memberi saran.

Bibir bertaring Manusia Dari Pusat Bumi lagi-lagi

menyeringai.

Kau tampaknya mulai cocok denganku, Buncit. Aku pun

mempunyai pemikiran yang sama. Kita harus memanfaatkan orang-orang yang dekat dengan Pendekar Slebor.”

“Aku tahu orang yang dekat dengannya. Dia seorang

wanita,” ujar kutung bersemangat.

“Ya Aku pun tahu. Namanya Purwasih. Dia ber- juluk

Naga Wanita. .,” Manusia Dari Pusat Bumi memutus ucapan.

Dikembangkannya dada sarat keangkuhan. “Rencana pertama kita adalah.. .” *** “Andika Andika.. ”

Seseorang memanggil-manggil nama Pendekar Slebor.

Bila ditilik, suaranya jelas milik seorang wanita. Sewaktu orang itu muncul dari rerimbunan semak di sisi jalan setapak, maka jelaslah siapa dia. Purwa¬sih.

“Dasar pemuda brengsek” maki sang dara. Wajah

cantiknya yang berhias kulit kecoklatan tampak demikian jengkel.

Apa yang sesungguhnya telah dilakukan Andika, sehingga wanita yang masih memiliki hubungan darah dengannya itu demikian kesal? Sewaktu bertemu Raja Penyamar di mulut goa sebelah

barat Pengadilan Perut Bumi, Andika telah mempunyai rencana.

Purwasih ditotok saat sedang asyik menikmati daging kelinci yang didapat Andika waktu itu.

Maksud pemuda itu menotok Purwasih, tentu saja karena

tak ingin dianggap gila kalau berbicara dengan Raja Penyamar. Ada hal penting yang harus dibahas tokoh sakti yang telah lama mati itu.

Tentang air mukjizat yang dibawa dalam sarung pedang Purwasih.

“Kau akan kujotos habis-habisan kalau kutemukan,

Andika,” ancam Purwasih menggerutu.

Bagaimana gadis itu tak jadi jengkel setengah modar?

Selama sehari semalam, dia tak berkutik seperti bangkai karena totokan Andika. Untuk mencoba membebaskan diri, tokoh si pemuda slebor itu ternyata terlalu hebat. Suka tak suka, akhirnya ditunggunya sampai totokan itu terbebas sendiri. Dia tahu, totokan itu hanya untuk sementara waktu. Karena, sebelum pergi meninggalkannya, Andika sempat berbisik penuh sopan santun bahwa totokan itu akan

terbebas sendiri, setelah sehari semalam. Dasar pemuda brengsek

“Kau pikir enak tergolek begitu saja di semak-semak.

Untung saja tak ada binatang lapar yang lewat. Huh Apa aku mau dijadikan umpan binatang buas oleh pemuda konyol itu?” gerutuan Purwasih tersambung.

Sambil menggerak-gerakkan persendian yang linu karena

tak bergerak-gerak, Purwasih memungut pedang bergagang kepala naga yang masih tergeletak di tanah.

“Mana sarung pedangku dibawanya lagi Apa maunya

pemuda itu? Padahal aku tidak begitu berminat pada air di dalam sarung pedang,” gumam Purwasih.

Setelah itu, gadis ini menepis udara di depan.

“Ah Kenapa aku harus memikirkan tindak-tanduknya Bisa

sinting jadinya. Tahu sendiri, pemuda itu memang sulit ditebak,” kata Purwasih berbicara sendiri.

Purwasih baru hendak beranjak kelika suara lantang

berguruh menahannya. “Kau pikir, kau mau ke mana, Nisanak?”

Purwasih menoleh cepat. Dari suara tadi, dapat ditebak

kalau orang yang menahannya punya maksud tak baik. Karena itu, dengan serta merta pedangnya diacungkan.

“Siapa kau?” tanya Purwasih manakala menyak- sikan

dua nenek peot yang mirip satu sama lain. Yang satu digendong oleh yang lain di bahu. “Sepertinya aku pernah mendengar tentang kalian.” Sambil berkata, kelopak mata lentik Purwasih menyempit.

Ada rasa berdesir dalam dadanya setelah tahu siapa yang dihadapi.

“Kalian Rase Tua Kembar?” tanya Purwasih. hendak

meyakinkan diri.

“Hee.. he he Anak cantik yang pintar” sergah si

perempuan buta.

“Dari mana kau tahu dia cantik?” Masih sempat-

sempatnya saudara kembar berkaki kutungnya bertanya.

“Sial Kenapa kau tak urus gadis itu saja” bentak si

perempuan tua buta gusar.

“Heee, saudara kembarku benar. Aku harus mengurusmu,

Nisanak yang cantik. .,” ujar si nenek berkaki kutung, mengalihkan ucapan pada Purwasih.

Rasanya aku tak punya urusan dengan kalian,” ucap

Purwasih. “O, ada Tentu saja ada. Bukan begitu?” terabas si buta.

“Bagaimana aku punya urusan dengan kalian, sementara

bertemu pun baru kali ini,” sangkal Purwasih.

“Urusan seseorang dengan orang lain, tak selalu harus

tercipta setelah pertemuan, Nisanak,” tutur si kutung, sok berkata bijak. “Kau tahu, seseorang bisa tiba-tiba bisa membunuh orang lain, padahal baru pertama kali bertemu. Artinya, urusan tercipta karena satu alasan, Nisanak. . ”

“Aku tak paham maksudmu. Ucapanmu terlalu berbelit-

belit.” Alasan orang yang kuceritakan membunuh hanya sepele, Nisanak. Dia ingin memiliki pakaian bagus seperti milik orang kedua.

Ketika diminta, orang yang memiliki pakaian bagus tak memberi. Paksaan pun harus muncul. Maka keributan tak ter elakkan...”

“Aku tak paham. Ucapanmu berbelit-belit” sergah

Purwasih untuk kedua kali. Tapi, si nenek berkaki kutung tak peduli.

“Lalu, terjadilah pembunuhan. Sementara, mereka sama

sekali tak pernah bertemu sebelumnya. . ”

“Apa maksudmu sebenarnya” bentak Purwasih, mulai tak

sabar. Sebagai pendekar wanita, tentu saja dia tak sudi

dipermainkan.

“Maksudnya, kami pun mempunyai satu alasan, sehingga

kau harus berurusan dengan kami. . ,” timpal si buta, kembarnya.

“Kenapa kau tak cepat katakan” sentak Purwasih.

“Kami akan menjadikanmu tameng hidup terhadap

Pendekar Slebor. Jelas?”

Mata Purwasih berubah nyalang. Dugaannya kini terbukti.

Dua tokoh sesat kembar itu memang berniat tak baik.

“Kalian kira akan mudah membuatku bertekuk lutut pada

kalian?” kata Purwasih penuh tekanan.

”Nama besar kalian tak cukup membuatku menge- mis-

ngemis minta dikasihani”

“Bagus Kalau begitu, kami bisa sedikit mengen- durkan

urat-urat. He he he Mari kita serang dia, Kutung” ujar si tua buta bersemangat.

“Ya Tunggu apa lagi?” timpal saudara kembar di

bahunya. “Bersiaplah, Nisanak yang cantik” geram si buta.

“Sejak dulu, aku selalu siap menghadapi manusia busuk

macam kalian” tantang Purwasih.

Mereka mulai membuka jurus masing-masing. Rase Tua

Kembar bersatu memperlihatkan kembangan jurus yang terlihat kompak. Tangan si kutung bergerak, membuat persiapan serangan di bagian atas. Sedangkan si buta membuat persiapan serangan khusus bagian bawah.

Purwasih tak kalah sigap. Pedang besar berga gang kepala naga di tangannya terayun kian kemari. Kelebatan sinar pedangnya

berseliweran di sekitar tubuhnya, sehingga bagai terselimuti cahaya.

“Maju empat langkah, Buta” seru si kutung memberi perintah. Si nenek buta bergerak maju empat langkah ke muka, memperpendek jarak dengan lawan.

“Hiaaa”

Teriakan amat berisi, tercipta dari kerongkongan keriput si nenek berkaki kutung. Lazimnya, teriakan itu adalah pertanda awal serangan. Tapi yang dilakukan Rase Tua Kembar sama sekali tidak menunjukkan hendak melakukan serangan. Mereka tetap di tempat, meski Purwasih sudah bersiaga sepenuhnya menanti terjangan.

Rupanya Rase Tua Kembar hendak menyerang dengan

cara pertarungan tak lazim. Dengan memperpendek jarak, mereka sengaja hendak menyerang dengan kekuatan suara. Terbukti,

Purwasih langsung merasakan seluruh urat di tubuhnya bagai dibetot secara paksa, saat teriakan lawan berkumandang.

Andai gadis itu terpengaruh dan menutup sepa- sang

telinganya, tentu si Rase Tua Kembar seketika akan merangseknya.

Jarak yang sudah demikian dekat, tentu akan mempermudah

keduanya mengirim terjangan dahsyat.

Purwasih sadar akan hal itu. Karenanya, telinganya tak

segera ditutup. Sepenuh kekuatan, dikerah- kannya hawa murni ke gendang telinga. Untuk lebih membentengi diri dari serangan tak berwujud tersebut, disalurkannya tenaga dalam pada ayunan

pe¬dang. Wuk, wuk, wuk

Kini terciptalah bunyi ayunan pedang yang tak kalah kuat

dibanding teriakan lawan. Dengan begitu, teriakan Rase Tua Kembar pun dapat sedikit teredam.

Seperti merasa dipancing untuk melakukan adu tenaga

dalam, Rase Tua Kembar serta merta memperkuat teriakan. Kalau sebelumnya hanya kerongkongan si nenek berkaki kutung yang

mengeluarkan teriakan, kini keduanya bersama-sama

melakukannya. Suara mereka menyatu di udara, memadati tempat sekitarnya, bagai ribuan gagak yang berteriak serempak.

“Hiaaakkk”

Tenaga suara mereka menerjang benteng bunyi pedang

Purwasih. Maka, dua kekuatan suara tingkat tinggi berbenturan saat itu juga. Purwasih mengejang, sementara tangannya mati-matian berusaha memutar terus senjatanya. Wajahnya tampak menegang.

Bagian pipi dan keningnya berubah menjadi merah matang.

Sementara peluh sebesar biji jagung mulai bersembulan.

Kekuatan suara Rase Tua Kembar yang tak sempat

tersaring bunyi ayunan pedang, merangsek masuk dari sela-sela lowong menuju tubuh Purwasih. Pakaian si gadis yang memang

sudah koyak moyak semenjak keluar dari Pengadilan Perut bumi.

makin dibuat berantakan. Seiring koyaknya pakaian, Purwasih mcrasakan semacam sayatan sembilu mengge rayangi kulitnya.

“Aaa.” pekik Purwasih, didera pedih luar biasa.

Yang menjadi korban adu tenaga dalam tingkat tinggi itu

ternyata tak hanya Purwasih. Dedaunan semak dan pohon-pohon tinggi menjadi berguguran,

seakan dihujam keraarau panjang

Hujan dedaunan melingkupi arena pertarungan. Dalam

jarak sepuluh tombak di sekitarnya, tak ada lagi tumbuhan berdaun.

Semuanya telah telanjang dalam sekejap

Dalam hal tingkat tenaga dalam, Purwasih me¬mang

tergolong hijau dibanding kedua tokoh bang- kotan itu. Itu sebabnya, kian lama pertahanannya makin melemah. Kakinya mulai kehilangan kekukuhan. Dara cantik itu mulai melorot, tapi masih berusaha tegak pada kedua lututnya.

Usaha untuk bertahan makin tak banyak mem¬beri

harapan, mana kala suara lain muncul memasuki arena pertarungan.

Dung, dung, dung

Seorang berperut buncit muncul, tanpa terusik oleh

benturan dahsyat suara orang-orang yang sedang terlibat adu tenaga dalam. Dari perut sebesar tong itulah, suara bertabuh-tabuh keluar. Purwasih makin payah. Suara perut yang ganjil itu ternyata ikut mengeroyoknya, bersama teriakan Rase Tua Kembar. Tak lama berselang, pertahannya sudah tak mungkin lagi dipertahankan.

Tubuh sintal gadis itu tersentak. Dari hidung dan mulutnya tersembur darah kental kehitaman. Sesaat berikutnya, Purwasih ambruk. 8

Sebuah tempat terpencil dikungkung kegelapan malam. Di

sana, ada candi kuno terbengkalai yang berdiri kaku dan bisu.

Bangunannya tak begitu besar, terbuat dari susunan batu yang seluruhnya nyaris diselimuti lumut. Sebagin batu sudah gompal di sana sini. Tepat di bawah anak tangga gapura masuk, terdapat dua patung ‘kala'’) memanggul ‘gada’*). Karena sudah begitu tua, satu patung telah kehilangan kepala.

Empat sosok kini tiba di tempat itu.

Mereka adalah Rase Tua Kembar, si Perut Gendang, dan

Purwasih. Gadis itu kini terkulai tidak berdaya di bahu lelaki berperut buncit. Mereka pun menaiki anak tangga candi satu persatu. Bulan sepotong di langit menyiram cahayanya, sehingga tercipta bayangan samar mereka terlekuk di anak tangga.

Kehebatan ilmu meringankan tubuh, membuat para tokoh

sesat itu tidak menghasilkan suara ketika menaiki tangga batu yang merapuh. Mereka berjalan ringan seperti melangkah di timbunan awan. Saat itu, malam hanya dibelah oleh suara satwa. Jangkrik memainkan tembang tak teratur, ditingkahi nyanyian katak-katak yang tak mau kalah. Ditambah satu suara yang begitu mengusik malam, suara perut si lelaki buncit.

Dung, dung, dung

“Buncit Apa kau tak bisa sebentar saja meliburkan suara

perutmu yang menjengkelkan itu?” gerutu si buta, satu dari Rase Tua Kembar. Dengan kebutaannya, si Buta telah melatih telinganya menjadi demikian tajam. Suara yang dihasilkan perut si lelaki buncit tentu saja amat mengganggu telinganya yang memang peka.

“Tentu saja aku bisa membuang suara ini, asal perutku

juga dibuang. Tapi, mana aku sudi membuang perutku, Buta,” sahut si Perut Gendang.

“Kalau begitu, biar kubantu dengan senang hati membuang

perutmu” kata si nenek buta gusar.

“Berhentilah kalian bertengkar” sergah si nenek berkaki kutung. “Kalian bukan anak kecil yang pantas ribut-ribut”

Si Perut Gendang terbahak. Sedangkan si nenek buta

cemberut. Tepat di mulut pintu masuk candi, si pemuda hitam menyambut.

“Kenapa untuk membawa kelinci cantik seperti dia kalian

begitu lama?” sambut si pemuda hitam. Sedikit pun sambutannya tak menyenangkan ketiga tokoh sesat yang baru tiba. Sambil berkata, mulutnya tak pernah lepas dari senyum lebar. Barisan gigi putihnya tampak terjilat siraman bulan.

“Banyak manusia yang hanya bisa bicara, tanpa

melakukan apa-apa,” sindir si nenek berkaki kutung.

Pemuda berkulit hitam hanya menanggapi sindiran itu

dengan senyum lebar khasnya.

“Kalian sudah ditunggu Sang Angkara di dalam,” kata

pemuda gundul berkulit hitam kemudian. Mereka bersama-sama memasuki candi. ***

Manusia Dari Pusat Bumi tampak duduk menunggu di atas

undakan batu persegi yang sebenarnya digunakan untuk

meletakkan sesajian, sewaktu candi itu masih dimanfaatkan ratusan tahun lalu. Di depannya, api unggun besar menjilat langit-langit ruangan. Panasnya menggapai ke mana-mana. Dan cahayanya

menyapu dinding ruangan menjadi kemerahan terang.

“Kami sudah berhasil membawa gadis yang kau maksud,

Sang Angkara,” lapor si Perut Gendang. Di kedikkannya bahu tempat Purwasih terkulai, seolah ingin menunjukkan hasil kerja mereka.

Manusia Dari Pusat Bumi alias Sang Angkara

mengangguk.

“Rantai wanita itu di ruang sayap kiri candi” perintah Sang Angkara kemudian.

Si Perut Gendang melirik si pemuda hitam yang mengaku

pada mereka bernama Gulili. Nama yang asing bagi telinga para tokoh sesat itu. Bagi mereka, nama itu seperti mirip-mirip nama asal tanah India. Boleh jadi, Gulili memang berasal dari sana.

“Sekarang giliranmu, Gulili,” ucap si Perut Gendang.

“Giliranku apa?” tanya si pemuda hitam, berpura-pura tak

mengerti. “Kau dengar tadi, Sang Angkara menyuruh merantai gadis ini di ruang sayap kiri” tandas lelaki buncit itu, agak membentak.

“Kau yang diperintah, bukan aku,” tolak Gulili tegas,

mengetahui maksud si Perut Gendang di balik kalimatnya.

Si Perut Gendang mendelik pada pemuda berkulit hitam

itu. Dia sungguh tak senang diremehkan Gulili yang jauh lebih muda.

Apalagi, anak muda itu dianggap masih bau kencur karena di dunia persilatan namanya tak pernah muncul.

Gulili tampaknya tak gentar dengan ancaman mata si Perut

Gendang. Dengan senyum lebarnya, lagi-lagi dia meremehkan tokoh kelas atas golongan sesat itu.

“Sepertinya kau hendak menantangku, Pemuda Hitam?”

ucap si Perut Gendang, mulai terusik sikap Gulili.

“Apa pun sebutannya, yang jelas aku tak suka kau perintah

seenaknya” Gulili pun mulai terang-terangan menantang si Perut Gendang. Rase Tua Kembar senang menyaksikan keduanya

bersitegang. Bibir kedua nenek kembar itu mulai memunculkan senyum tipis. Barangkali, mereka berharap si Perut Gendang dan Gulili segera terseret dalam pertarungan.

Manusia Dari Pusat Bumi pun tampaknya tidak berniat

cepat-cepat meredam perselisihan itu. Matanya terus mengawasi kedua lelaki jauh bertaut usia itu.

Tahu kalau Manusia Dari Pusat Bumi tak menggubris, si

Perut Gendang segera menurunkan tubuh Purwasih dari bahunya.

“Kau ingin menjajalku, ya?” ucap si Perut Gendang padat

tekanan. “Kalau itu maumu, aku tak akan menghindar,” balas Gulili mantap. “Baik,” tandas si Perut Gendang datar. “Akan kita lihat, apakah kau sudah pantas bersekutu dengan kami, Pemuda Bau Kencur” Dengan senyum khasnya, Gulili seolah menyetujui. Dari balik bajunya, si Perut Gendang mengeluarkan sabuk dari kulit ular yang selama ini hanya melilit perutnya yang kasar.

“Aku punya sabuk kulit ular. Sabuk ini adalah benda

pusaka yang memiliki kekenyalan luar biasa. Tak akan terputus oleh tarikan seribu ekor banteng” papar si Perut Gendang.

“Jelaskan saja, apa maumu dengan sabuk itu?” selak

Gulili. “Aku akan mengikat satu ujung sabuk ini ke leherku. Ujung yang lain di katkan ke lehermu. Dengan begitu, kita akan menguji ketangguhan. Kita akan tarik menarik ke depan dengan arah

berlawanan. Siapa yang tak memiliki cukup kekuatan, akan mampus dengan leher tercekik. Atau.. , terputus” papar si Perut Gendang melanjutkan.

“Aaa Permainan yang menarik” seru Gulili, seolah

kehilangan nyawa bagi dirinya hanya soal sepele. “Ayo kita mulai”

Tanding kesaktian pun siap berlangsung.

Gulili telah mengikat satu ujung sabuk ke lehernya. Begitu

juga si Perut Gendang. Kini, mereka berdiri saling membelakangi.

Keduanya dihubungkan sabuk sepanjang dua tombak pada leher

masing-masing. Tangan mereka pun sudah diturunkan ke belakang punggung. “Kau sudah siap, Pemuda Bau Kencur?” tanya si Perut Gendang. “Aku telah lebih siap darimu, Orang Tua Buncit,” sahut Gulili. “Satu.., dua.., tiga, mulai” kata si Perut Gendang, memberi aba-aba. Srat

Sabuk pun menegang sekejapan mata Rentangannya

bergetar halus sesaat, kemudian getaran menghilang. Baik Gulili maupun si Perut Gendang sudah sama-sama mengerahkan tenaga

dalam masing-masing. Leher mereka sebagai daerah yang paling rawan, menjadi pusat penyaluran tenaga dalam. Dengan cepat

wajah mereka memerah.

Sehebat-hebatnya seseorang, adu kekuatan tenaga dalam dengan cara itu memang amat sulit dilakukan. Di samping

dipusatkan pada bagian tubuh yang berbahaya, juga karena jeratan pada leher akan sangat mengganggu dalam memusatkan

pengerahan tenaga dalam.

Dengan begitu, sebenarnya mereka tak sekadar menguji

kekuatan, tapi sekaligus menguji kemampuan dalam memusatkan perhatian. Sedetik saja perhatian mereka goyah, maka lawan akan punya kesempatan menarik sabuk. Satu-satunya akibat adalah; mati

Dengan keadaan tubuh condong ke depan, keduanya terus

berkutat. Seluruh urat di sekujur tubuh mengejang penuh. Sementara itu, tanpa diketahui Gulili, Rase Tua Kembar diam-diam menyalurkan tenaga dalam membantu si Perut Gendang. Pada dasarnya, mereka memang tak suka pada si pemuda hitam. Selaku tokoh seangkatan, nenek kembar itu merasa dihina oleh sikap Gulili terhadap si Perut Gendang. Terlebih, sewaktu Rase Tua Kembar teringat pada

keberhasilan Gulili mengirim serangan balasan pada Manusia Dari Pusat Bumi, saat uji tanding waktu itu.

“Biar kau mampus, Pemuda Besar Kepala” rutuk si nenek

buta dalam hati.

Pertarungan tak berimbang pun berlangsung. Gulili kini

tidak hanya menghadapi kekuatan si Perut Gendang, tapi juga menghadapi kekuatan dua nenek yang segolongan dengan si Perut Gendang. Artinya, dia menghadapi tiga tokoh sesat kelas atas sekaligus Anehnya, tatkala tenaga Rase Tua Kembar mulai tersalur pada sabuk, pemuda berkulit hitam itu malah melepas senyum lebar-lebar. Sepertinya, dia tahu ada yang tak beres dengan terlipatnya tenaga tarikan menjadi beberapa kali lebih kuat.

Di lain sisi, Rase Tua Kembar cukup terperanjat pada hasil

yang terjadi. Mereka mengira, Gulili akan langsung tercekik lalu terseret ke belakang. Atau lebih parah lagi, kepalanya terputus dari badan. Kenyataan yang terlihat malah sebaliknya. Perlahan-lahan sabuk milik si Perut Gendang bergeser sedikit demi sedikit ke arah Gulili. Kuda-kuda pemuda itu pun sudah bergeser satu tindak ke depan. Rase Tua Kembar kian terperanjat. Sedangkan si Perut Gendang harus mati-matian mempertahankan tenaga yang terpusat di lehernya agar tak tercekik. Wajahnya sudah demikian matang.

Bahkan otot- otot di wajahnya menonjol keluar.

“Gila Tak pernah aku mendengar nama pemuda bau

kencur ini. Tapi, kekuatannya ternyata sanggup memperdayai tenaga dalam kami,” ucap si nenek kutung membatin.

Kemudian dengan penuh rasa penasaran, Rase Tua

Kembar menambah penyaluran tenaga dalamnya. Sabuk memang

sempat berhenti bergeser beberapa saat. Tapi, selanjutnya

pergeseran itu terjadi kembali.

Lebih edan lagi, Gulili malah melontarkan sebaris ejekan

pada saat yang sudah tak mungkin lagi baginya untuk mengeluarkan sepatah kata pun.

“He he he Apa kalian sejenis serigala-serigala ompong

yang sudah kehilangan tenaga?”

Rase Tua Kembar tak bisa lagi menahan keterpanaan.

Mata mereka terbelalak, meski salah satu di antara mereka buta.

Kasihan si Perut Gendang. Matanya terbelalak bukan

karena terperanjat, tapi karena lehernya kini benar-benar tercekik rapat. Jalan napasnya langsung terhambat. Lidahnya sudah menjulur keluar. “Heeek” jeritnya tertahan.

Pada saat paling berbahaya bagi si lelaki buncit itu, tenaga tarikan lawan mengendur, mengendur, dan akhirnya, sabuk itu tak lagi menegang.

Gulili tersenyum lebar. Dengan tenang, dilepasnya ikatan

sabuk di leher, lalu dicampakkannya begitu saja ke lantai candi.

“Kini, biar aku saja yang akan merantai gadis ini ke ruang

sayap kiri,” kata Gulili seraya menghampiri tubuh lunglai Purwasih.

“Lagi pula, aku suka pada gadis cantik seperti dia.”

Si Perut Gendang hanya bisa menatapnya dengan dada

terengah dan perut turun naik.

Gulili berlalu dari ruang itu, diikuti pandangan Manusia Dari Pusat Bumi penuh selidik. *** Malam semakin larut. Kesunyian meniduri alam.

Kepekatan berkuasa, manakala arakan mega hitam menggumpal

menutupi angkasa.

Purwasih masih dalam keadaan taksadarkan diri. Gadis itu

dirantai dalam keadaan tegak di dinding. Kaki dan tangannya terbelenggu rantai baja, membuatnya setengah tergelantung lunglai dengan ke- pala tergolek lemah ke bahu kiri.

Sesaat kemudian, gadis itu siuman.

“Hhh.. .,” Ienguh Purwasih beriring bergeraknya kepala.

Kelopakmata indahnya mulai membuka perlahan.” Di mana aku?”

Sesaat gadis itu memandang ruangan dengan mata

mengabur. Dan ketika tangannya bergerak tak disengaja, terdengar bunyi rantai baja. Bunyi itu segera menyadarkannya bahwa suatu yangburuk telah terjadi pada dirinya. Cepat tangannya dihentak.

Setelah itu, dia makin sadar keadaan dirinya benar-benar tak menyenangkan.

“Rupanya aku telah ditahan manusia-manusia keparat itu,”

bisik Purwasih manakala ingat kejadian terakhir, saat dikeroyok Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang.

“Apakah kau menikmati mimpimu, Kisanak?” sapa

seseorang dari pintu masuk di sebelah kiri Purwasih. Orang itu adalah Gulili.

Purwasih menoleh.

“Siapa kau?” tanya gadis itu. Sepanjang pengetahuannya,

orang yang menahannya adalah nenek tua kembar dan seorang

lelaki gemuk.

Gulili tidak menyahut. Didekatinya Purwasih. Seperti biasa, senyum lebarnya tetap terkembang.

“Kau memang belum pernah melihatku, Nisanak. Aku tidak

turut dalam usaha penculikanmu,” kata Gulili.

“Aku tahu itu. Yang ingin kutahu, apa maumu ke sini?”

tanya Purwasih kasar.

“Aku?” Gulili tertawa terkekeh.

Sambil tertawa, mata Gulili tak kunjung lepas

memperhatikan lekuk-Iekuk tubuh Purwasih. Bajunya yang sudah koyak-moyak tak karuan memunculkan sebagian kulit halus di

baliknya. “Kau pikir, apa yang hendak diperbuat seorang pemuda dengan seorang dara cantik menggoda sepertimu, Nisanak?” ucap Gulili, nyaris berdesis seperti ular sanca yang begitu berselera melihat seekor kelinci tak berdaya.

“Jangan coba berani-berani kurang ajar padaku” ancam

Purwasih geram.

“Kalau aku berani kurang ajar, apa yang akan kau

lakukan? Bukankah untuk menggerakkan tangan ke bawah saja

sudah sulit?” cemooh Gulili, makin memuakkan Purwasih.

Pemuda berkulit hitam itu kian dekat. Selangkah demi

selangkah, terus dihampirinya Purwasih. Matanya berkilat-kilat kurang ajar.

“Berhenti kau, Keparat Jangan coba dekati aku” hardik

Purwasih, mulai kalap. Tubuhnya meronta-ronta liar. Tapi justru dengan begitu, dia makin terlihat menggiurkan.

“He he he Kau rupanya sudah tak sabar untuk

merangkulku, Cah Ayu,” goda Gulili.

“Tutup bacot busukmu itu Kau pikir aku sudi melayanimu?

Chuih” “Ah Percayalah, Nisanak. Kau akan segera memelukku erat-erat setelah tahu aku.. .” Gulili bertambah dekat. Jaraknya dengan Purwasih tinggal tiga langkah lagi. Dan tiba-tiba..

Srat

Di depan Purwasih, pemuda berkulit hitam dan berkepala

gundul itu menguliti kulit kepalanya Perbuatannya benar-benar membuat mata Purwasih terbelalak lebar. Nyaris saja, dia menjerit karena begitu ngeri.

Selanjutnya, keterperangahan gadis itu bertambah. Kali ini

bukan karena ngeri, tapi karena luapan kegembiraan yang

membludak. Setelah kulit kepala dan wajah Gulili terlepas, muncul ah wajah seorang pemuda yang amat dekat di hati Purwasih.. , wajah Andika “Kau..,” desis Purwasih.

“Ya, aku. Sekarang, kau benar-benar akan memelukku, bukan?” goda Andika.

Pemuda dari Lembah Kutukan menghampiri Purwasih

lebih dekat. Sehingga, gadis itu bisa merebahkan kepala di dadanya.

“Sayang tanganmu dirantai, ya? Kalau tidak, tentu aku

akan bisa sedikit menikmati pelukan hangatmu,” oceh Pendekar Slebor, tepat di sisi telinga Purwasih.

“Kau.. ,” ucap Purwasih, gemas.

“Adaouw” teriak Andika tertahan dan tiba-tiba.

Rupanya, Purwasih menggigit keras-keras dada Andika. Gadis itu gemas mendengar ucapan Andika barusan.

“Cepat bebaskan aku” hardik Purwasih.

“Baik. Tapi, biasanya untuk perbuatan baik seperti ini,

orang selalu mengharapkan upah.. .”’

“Sudah tutup mulutmu, Andika”

“He.. he.. he’

Pendekar Slebor pun membebaskan Purwasih tanpa

kesulitan sama sekali. Dengan sekali tebasan tangan, rantai baja yang membelenggu Purwasih terputus.

“Sekarang, bebaskan totokanku” perintah Pur¬wasih.

“Tentu saja. Aku toh, tak sudi membopong-bopongmu

keluar dari tempat ini. . Adouw” Andika menjerit tertahan lagi.

Rupanya, Purwasih menjitak kepalanya keras-keras.

Tak berapa lama kemudian, Andika dan Purwasih sudah

terlihat mengendap-endap keluar dari candi tua. Dengan ilmu meringankan tubuh mereka yang telah tinggi, usaha mereka pergi dari tempat itu bisa cukup lancar.

Benarkah semuanya lancar? Tanpa diketahui keduanya,

dua orang mengawasi di kejauhan. Di balik sebuah pohon besar, mereka mengintai sejak tadi. Bahkan sempat tahu penyamaran yang dilakukan Pendekar Slebor. 9

“Hendak ke mana kita?” tanya Purwasih pada Andika yang

sudah mengenakan topengnya kembali. Kalau memperhatikan wajah palsu yang demikian sempurna itu, Purwasih jadi ingin meledak menahan tawa. Sulit dibayangkan kalau Andika, pemuda tampan dan mempesona, memiliki wajah yang mengge likan.

“Lebih baik kau segera menyingkir jauh-jauh dari candi itu,”

kata Andika.

“Apa maksudmu? Kenapa bukan kita berdua? Kenapa

hanya aku?” seruntun pertanyaan diajukan Purwasih.

“Karena aku masih mempunyai urusan yang belum

terselesaikan,” jawab Andika.

“Lalu, kau pikir aku takut sehingga perlu disuruh

menyingkir?”

“Bukan begitu. Mmm. . Maksudku, kau bisa mengacaukan

penyamaranku.” dalih Andika. Padahal sebenarnya hatinya khawatir terhadap keselamatan gadis manis itu.

Purwasih baru hendak melontarkan sanggahan, ketika

tiba-tiba saja tangan pemuda di sisinya mendekap mulutnya.

“Ssst,” bisik Andika. “Rasanya kita kedatangan tamu.

“Tepat Kalian memang kedatangan tamu” seru seseorang

yang tiba-tiba muncul menyeruak deda- unan pohon besar.

“O Kau, Perut Gendang” sambut Andika yang telah

berubah menjadi Gulili kembali.

“Tak usah berbasa-basi lagi, Gulili Dari semula aku sudah

curiga padamu” bentak si Perut Gendang.

Purwasih maupun Andika mulai was-was. Kalimat lelaki

buncit itu sepertinya hendak memojokkan Andika. Mungkinkah dia sudah mengetahui penyamaran Andika?

“Apa maksud kata-katamu, Perut Gendang?” tanya Andika,

pura-pura tak paham.

“Kau pikir aku tak tahu kau berbicara sesuatu dengan

gadis itu? Secara kebetulan, aku melintasi daerah ini. Dan

kutemukan kau bersama gadis itu” kata si Perut Gendang meledak-ledak. “Kau pasti orang dari golongan putih Bisa jadi juga, kau adalah kawan Pendekar Slebor”

“O, begitu. Biar kujelaskan. . ”

“Tak perlu dijelaskan” terabas seseorang, memenggal

ucapan Andika.

Rase Tua Kembar muncul pula di sana.

“Kau pikir, kami tak memperhatikan segala gerak-gerikmu,

Pendekar Slebor. Sejak semula kami curiga. Kami, terus

memperhatikanmu. Sampai kau mendatangi Purwasih dan

membebaskannya. Kami juga tahu tentang topeng jelekmu itu”

semprot si nenek berkaki kutung.

“Maksudmu, pemuda gundul ini adalah Pendekar Slebor

yang sedang menyamar?” selak si Perut Gendang.

“Ya Apa kau meletakkan otakmu di dengkul, Buncit?

Masa’ kau sama sekali tak curiga sewaktu dia mengalahkan kita, saat adu tenaga dengan sabuk mu” si nenek buta ikut ambil bagian.

“Jadi kalian waktu itu membantuku? Dan, kita dikalahkan?”

tanya si Perut Gendang lagi, meminta kejelasan.

“Ah, sudah Jangan banyak tanya lagi, Buncit Sekarang

kita harus membabat habis manusia yang menjadi penghalang besar usaha kita” putus si kutung.

“Ya Akan kita habisi riwayat Pendekar Slebor”

Seseorang ikut pula melontarkan ucapan. Dari kejauhan,

terlihat sosok Manusia Dari Pusat Bumi.

Manusia jelmaan siluman itu berjalan menghampiri dengan

langkah-langkah lambat, namun penuh ancaman. Setibanya di dekat Rase Tua Kembar, pemuda bertaring itu menghentikan langkah.

Dilemparnya pandangan menusuk ke arah Andika.

“Untuk apa lagi topeng busuk itu?” sentak Manusia Dari

Pusat Bumi.

Andika tak bisa berbuat lain. Kedoknya sudah terbuka.

Karena itu, sudah tak ada gunanya lagi menggunakan topeng Gulili.

Srat

Andika melepas topeng, sekaligus melorotkan baju putih

serta selendang di lehernya. Dengan baju itu, Andika kemudian menyapu tangan dan lehernya yang dihitamkan dengan sejenis

getah. Dan kini, An¬dika berdiri dengan penampilan aslinya. “Sekarang, kalian bisa melihat ketampanan asliku, bukan?”

seloroh Andika. Maksudnya, sekadar memancing kejengkelan para lawan. Keempat tokoh sesat itu tidak tampak gusar. Mereka

terlalu banyak makan asam-garam dunia persilatan untuk cepat terpancing hanya oleh perkataan seperti tadi.

Pada Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang, mata

Manusia Dari Pusat Bumi melempar isyarat. Diperintahnya mereka untuk segera menghabisi Pendekar Slebor.

Untuk menghadapi seorang pendekar yang diyakini

sebagai penghalang utama, Rase Tua Kembar dan si Perut

Gendang tak mau lagi main-main. Mereka langsung saja

mengeluarkan ilmu andalan masing- masing.

Rase Tua Kembar mengerahkan ajian ‘Rambut Liang

Lahat’. Yang akan mampu melepaskan ulat- ulat ganas dan rakus berukuran sangat halus. Keganasan ulat-ulat kecilnya, sanggup menembus tubuh seseorang seperti percikan bara api menembus lilin. Semakin banyak ulat itu mengenai tubuh, maka semakin hancur tubuh yang terkena. Seperti ulat-ulat di liang kubur yang memakan jasad mayat dengan amat rakus

Sedangkan si Perut Gendang mengerahkan ajian ‘Hawa

Neraka’. Disebut begitu, karena ajian ini sanggup menghasilkan gelombang panas luar biasa yang tercipta dari perut besarnya.

Gelombang panas tersebut mampu membuat tubuh seseorang

kering dalam setarikan napas, seperti keringnya daun di musim ke-marau. “Hiiaaah”

Wrrr

Disertai jeritan berbarengan, Rase Tua Kembar melepas

ikatan rambut masing-masing. Rambut putih mereka tergerai cepat.

Meski tak ada angin cukup kencang, namun rambut putih yang

kenyal dan gempal itu tampak bergerak-gerak. Ratusan binatang kecil yang menempatinya, tentu menjadi penyebab. Setiap delapan purnama, ulat-ulat kecil itu berkembang biak menjadi dua kali lipat.

Untuk kelangsungan hidup binatang-binatang kecil ganas itu, Rase Tua Kembar memberi makan dengan darah bayi yang baru saja dilahirkan. Itu sebabnya, banyak terdengar dukun tua buta melarikan bayi dari rahim seorang ibu yang dibunuhnya dengan keji. Pelakunya tentu saja si nenek buta, saudara kembar nenek berkaki kutung.

Selanjutnya, si nenek berkaki kutung di atas bahu saudara

kembarnya memutar-mutar rambut. Dengan cara itu, dia sedang menghimpun tenaga. Jika rambutnya nanti dilecutkan, maka tenaga yang terpusat di bagian kepala akan melontarkan ulat-ulat ganas yang lebih kuat menembus daripada belati

Sementara si nenek kutung memutar-mutar rambut,

saudara kembarnya majuselangkah demi seIangkah. Telinganya

yang tajam mampu menangkap dengus napas Andika, hingga

mampu menentukan letak lawan berada.

Di bagian lain kancah, si Perut Gendang sudah siap

dengan ‘Hawa Neraka’nya. Setelah mengatur napas, dan dia

menyalurkan udara ke dalam perut, lalu menghemposnya perlahan.

Kedua tangannya menekan kedua sisi perutnya yang besar dengan jari-jari terkepal kuat. Setelah beberapa kali mengatur napas, kulit perutnya mulai mengepulkan asap putih tipis. Itulah tanda kalau ajian sesatnya telah waktunya untuk dihentakkan keluar, membentuk angin pukulan panas dari lobang pusatnya.

Karena lawan mendekat dari arah berbeda, Andika dan

Purwasih pun menyatukan punggung. Pendekar Slebor siap dengan kuda-kudanya menghadap Rase Tua Kembar. Sedangkan, Purwasih menghadap si Perut Gendang.

Jarak antara mereka dengan lawan makin dekat.

Saat tinggal empat tombak lagi jarak mereka, seseorang

tiba-tiba meluncur turun ke tengah-tengah arena. Dan orang itu langsung berdiri di sisi Andika dan Purwasih.

Purwasih cepat menoleh ke arah orangyang baru datang.

Betapa terkejut gadis ini. Ternyata orang yang datang sulit dibedakan dengan pemuda yang berdiri membelakanginya. Amat

mirip Andika

Tak hanya gadis itu yang mengalami keterkejutan. Rase

Tua Kembar, si Perut Gendang dan Manusia Dari Pusat Bumi pun begitu. “Aku tak mengerti,” desis Purwasih, terheran- heran. “Kau tak perlu mengerti sekarang ini, Purwasih,” kata

Andika yang baru datang. “Karena, kita harus menghadapi manusia-manusia busuk ini.”

Andika yang kedua lalu tersenyum penuh arti pada Andika

pertama. Lambat laun, Manusia Dari Pusat Bumi menyadari kalau di antara dua Pendekar Slebor, salah satunya adalah yang asli.

Persoalannya kini, siapa di antara mereka yang asli?

“Kenapa kau jadi terdiam seperti itu, Manusia Dari Pusat

Bumi?” usik Andika kedua, mengejek.

Manusia Dari Pusat Bumi menggeram. Sebagai seorang

setengah siluman, dia pun sulit membedakan, mana Pendekar

Slebor yang sesungguhnya.

“Baik Kau akan kuberi kemudahan untuk menentukan,

siapa di antara kami yang asli,” kata Andika pertama.

Seraya berkata, tangan Pendekar Slebor menarik rambut

panjangnya ke depan. Lalu terkelupaslah topeng yang dikenakan.

Ternyata, dia adalah Raja Penyamar

Jadi selama ini, Purwasih telah terpedaya oleh kehebatan

menyamar Raja Penyamar. Juga keempat tokoh sesat yang

ditipunya dengan topeng Gulili. Dengan begitu, Raja Penyamar memakai dua topeng sekaligus.

Manakala melihat wajah orang di balik topeng, Rase Tua

Kembar dan si Perut Gendang tak bisa lagi menyembunyikan

ketakutan mereka. Raja Penyamar, bagi mereka adalah salah

seorang sesepuh golongan putih yang telah lama menghilang.

Sebelum mereka bisa menempati jajaran atas golongan sesat, Raja Penyamar sudah lama malang melintang membabati tokoh-tokoh

atas golongan sesat.

Bagi Rase Tua Kembar atau si Perut Gendang, hanya cari

mati jika harus berhadapan dengan lelaki tua sesepuh golongan putih itu. Bisa selamat dalam pertarungan dengannya saja, sudah terlalu bagus.

“Ada apa, Kutung? Kenapa kau tampak begitu bergetar?”

tanya si buta pada saudara kembarnya. Dia belum mengetahui

wajah di balik topeng pemuda tampan selama ini. “Kau tentu tahu seorang yang menjadi malaikat maut bagi

tokoh golongan sesat saat kita masih hijau?” bisik si nenek kutung.

“Ra.. . Raja Penyamar?” desis si nenek buta ter- gagap.

“Ya Dialah orang yang menyamar menjadi Pendekar

Slebor Pantas saja waktau itu kita dapat mudah dikalahkan saat membantu si Perut Gendang mengadu kekuatan. . ”

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya si nenek

buta, bimbang.

“Kau pikir, kita harus menghadapinya?” hardik si kutung

tertahan. “Itu sama saja cari mampus. Lebih baik, kita cepat menyingkir”

“Tapi bagaimana dengan Sang Angkara?”

“Peduli setan dengan dia. Kita pun belum tentu bisa mengandalkan kehebatannya, agar bisa selamat dari tangan Raja Penyamar

Bukankah kita belum tahu, apa dia lebih hebat daripada Raja Penyamar?”

“Jadi kita lari?”

“Ayo, tunggu apa lagi?”

Dan tanpa ada perintah dari siapa pun, Rase Tua Kembar

membuat langkah seribu. Tak dipedulikannya lagi Manusia Dari Pusat Bumi yang telah mengangkat mereka menjadi pengikut.

Mereka lebih gentar pada nama besar Raja Penyamar.

Melihat Rase Tua Kembar melarikan diri, si Perut Gendang

kehilangan keberanian. Tak ada tiga tarikan napas, lelaki berperut boros itu pun ikut buron.

Seperti juga Rase Tua Kembar, si Perut Gendang amat

tahu kehebatan Raja Penyamar.

“Kalian manusia bodoh” maki Manusia Dari Pusat Bumi,

amat geram.

Tak dibiarkannya para pengikut berkhianat begitu saja.

Baginya hal itu merupakan penghinaan teramat besar. Maka tanpa banyak tindak lain, tangan Manusia Dari Pusat Bumi terangkat tinggi-tinggi lebih cepat dari gerak lari para pengikut pengkhianatnya.

Dalam sekejap, muncul cermin yang begitu diandalkannya.

Slash

Seberkas cahaya merah bara berkelebat dan langsung menyelubungi Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang. Kekuatan gaib yang terkandung di dalamnya membuat tokoh-tokoh sesat itu mematung seketika

“He he he Sang Angkara tidak mau ditinggal para

patihnya” cemooh Andika.

Pendekar Slebor baru tiba, setelah melaksanakan petuah

Sang Pangeran jelmaan Walet beberapa hari belakangan.

Semuanya memang telah diatur Andika. Raja Penyamar

setuju, agar jasadnya disiram air mukjizat yang ditemukan Andika.

Setelah itu, penyakit yang merusak jasad Raja Penyamar cepat menghilang. Raja Penyamar pun dapat kembali menempati raganya yang telah pulih. Dengan seizin Sang Penguasa Makhluk, lelaki tua itu bisa hidup kembali

Dengan hidupnya Raja Penyamar, Andika memintanya

untuk menyamar agar bisa mengawasi setiap gerak-gerik Manusia Dari Pusat Bumi. Sementara itu, Andika mencoba menjalani semadi

‘penyempurnaan kalbu’ sesuai petuah Sang Pangeran.

Rencananya memang membawa hasil. Mereka bisa

menggagalkan niat busuk Manusia Dari Pusat Bumi yang hendak menjadikan Purwasih sandera

“Kau akan mampus di tanganku, Pendekar Slebor. Jangan

kau harap aku akan lari setelah berhadapan denganmu. Meskipun, aku belum lagi tahu kelemahanmu” ancam Manusia Dari Pusat

Bumi. “Kau jujur rupanya. Mau-maunya mengaku belum

mengetahui kelemahanku,” ledek Andika lagi.

“Tak usah banyak mulut. Hiaaa”

Seiring satu teriakan tinggi membelah langit, Manusia Dari

Pusat Bumi langsung melancarkan serangan membabi buta ke arah Pendekar Slebor. Seluruh kekuatan yang dibekali dari alam

kegelapan dikerahkannya saat itu juga.

Deb

Tubuh Sang Angkara melayang dengan kaki lurus ke

depan, mengancam leher Pendekar Slebor. Tapi, dengan satu gerak ke samping, Andika berhasil mengelitkan serangan. Satu tinju berisi kekuatan warisan Pendekar Lembah Kutukan dilancarkan ke selangkangan Manusia dari Pusat Bumi.

Dengan tubuh masih di udara, Sang Angkara memapak

tinju Pendekar Slebor dengan sepasang telapak tangan.

Tagh

Saat itulah, Andika merasakan sebagian kekuatannya

terserap. Rupanya Sang Angkara telah memulai sebentuk ilmu hitam dari alam siluman. Ilmu yang mampu menyedot tenaga tempur

lawan, yang mampu membuat lawan perlahan-lahan terisap habis tiap kali satu pukulan atau serangan bersentuhan dengan tubuhnya.

Ilmu itu, pernah pula ditumpangi ke dalam goa garba

Andika saat tak sadarkan diri. Lelaki Berbulu Hitam, Pendekar Dungu serta Purwasih yang berusaha menyadarkan Andika, menjadi

tersedot tenaganya saat itu (Untuk lebih jelasnya, baca episode :

“Pengadilan Perut Bumi”).

Sebelum Andika sempat menyadari apa yang terjadi,

Manusia Dari Pusat Bumi telah menyusul satu keprukan telapak tangan ke masing-masing telinga.

Mau tak mau, Pendekar Slebor mengangkat tangan ke sisi

telinga. Prak

Terjadi kembali benturan tangan. Dan itu justru yang

diharapkan Manusia Dari Pusat Bumi. Dengan bertemunya tangan mereka kembali, tenaga Andika tersedot pula. Maka, keadaan itu jelas amat menguntungkan Manusia Dari Pusat Bumi. Di samping kekuatan lawan melemah, dia justru mendapat tambahan tenaga.

Sadar Sang Angkara mengeluarkan ilmu hitam yang terus

menyedot tenaga setiap kali pertumbukan bagian tubuh, Andika segera mengubah siasat tarungnya. Tubuhnya segera berputar ke belakang. Sekitar tujuh tombak dari tempat semula, putaran

tubuhnya dihentikan. Lalu kakinya menjejak kukuh di muka bumi.

Dan.. . “Heaaa”

Serangkai gerakan ganjil dan tampak tak beraturan pun

diperlihatkan Pendekar Slebor. Itulah kekhasan jurus-jurus yang tercipta di Lembah Kutukan selama menjalani penyempurnaan.

Jurus yang lahir begitu saja karena tuntunan sambaran lidah petir Siasat apa yang sesungguhnya akan dijalankan Pendekar

Slebor untuk menghadapi ilmu sesat lawan?

Disiapkannya jurus ‘Mengubak Hujanan Petir’. Sebuah

jurus yang mengandalkan kecepatan gerak. Pada puncak jurus, kecepatannya bahkan membuat tubuh Pendekar Slebor sudah

seperti bayangan yang berkelebat ngawur.

Dengan jurus itu, Pendekar Slebor akan terus menghindari

pertumbukan dengan tubuh lawan. Sementara itu mengadakan

penyerangan, senjata pusaka yang berbentuk kain bercorak catur akan dipergunakan.

Cletar Wush

Pada saat Manusia Dari Pusat Bumi merangsek ganas,

Pendekar Slebor pun meluncur dengan kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan yang amat disegani di seantero dunia persilatan.

Keduanya meluruk pesat dalam arah berlawanan.

“Khiaaah”

Cletar Srel

Bagai dua kelebat bayangan, kedua tubuh itu menyatu di

satu titik. Sekejap dua bayangan itu tampak menyatu dalam pusaran angin puting beliung yang menerbangkan dedaunan, kerikil, bahkan batu- batu sebesar kepalan tangan.

Lewat dari kejapan itu, sesosok bayangan tiba- tiba

mencelat keluar berkawal erangan menggiris.

“Wuaaa”

Siasat Pendekar Slebor membawa hasil. Tenaganya tak

lagi dibiarkan tersedot. Sebaliknya, kain pusaka bercorak catur di tangannya telah pula membabat dada Manusia Dari Pusat Bumi, hingga terpaksa harus melompat jauh-jauh ke belakang.

“Ini belum berarti kemenangan, Pendekar Slebor” desis

Manusia Dari Pusat Bumi dalam jarak delapan tombak dari tempat Andika. Usai berkata penuh tekanan, Sang Angkara mengangkat tangan kanannya tinggi-linggi.

“Andika Dia hendak mengeluarkan Cermin Alam Gaibnya”

seru Raja Penyamar, memperingati.

Sesungguhnya, saat seperti itulah yang ditunggu- tunggu Pendekar Slebor. Dia tak akan bisa memusnahkan tugas

membangun angkara murka yang diemban Manusia Dari Pusat

Bumi, selama senjata andalannya masih utuh. Untuk itu, dia

bertekad menghancurkannya

Benar saja peringatan Raja Penyamar. Dalam sekejap,

tangan kanan Sang Angkara sudah menggenggam sebuah cermin

bulat yang dikenal sebagai Cermin Alam Gaib.

Kesempatan itu ditangkap mata jeli Andika. Jarakdelapan

tombak, tergolong tak jauh dijangkau jika dikerahkannya seluruh kecepatan puncak warisan Pendekar Lembah Kutukan. Sebelum

sempat menyadari, Manusia Dari Pusat Bumi tentu akan kehi-

langan cerminnya. Begitu kira-kira pertimbangan Andika. Dan. .

Wusss Tanpa perlu berteriak yang dapat mengundang perhatian lawan, Pendekar Slebor menggenjot puncak kecepatannya.

Tubuhnya melesat lebih cepat dari pada angin, menuju Manusia Dari Pusat Bumi.

“Andika Jangan” seru Raja Penyamar untuk kedua

kalinya. Peringatannya kali ini rupanya terlambat. Kecepatan Pendekar Slebor mungkin lebih cepat daripada kata-katanya sendiri.

Lalu.. . Blarrr

Sebentuk medan kekuatan berbentuk lingkaran api kontan

menghadang usaha Pendekar Slebor merebut Cermin AJam Gaib.

Dari cermin itu pula medan kekuatan lingkaran api bersumber.

“Waaa”

Pendekar Slebor kali ini telah salah perhitungan. Begitu

membentur medan kekuatan lawan, lesatan tubuh pemuda itu

langsung berbalik arah. Teriakan menyayatnya tercipta, menyusul bunyi ledakan.

Pendekar Slebor jatuh meninju bumi di dekat Raja

Penyamar. “Andika Kau salah langkah Cermin itu tak bisa dikalahkan dengan nafsu Apa kau lupa petuah.. ,” kata Raja Penyamar

menasihati tanpa mendekat.

“Petuah Sang Pangeran.. ,” desis Pendekar Slebor, menyambung kalimat Raja Penyamar. Barulah pemuda itu tersadar, telah melakukan kesalahan.

“Kukira, setelah aku menjalani semadi, aku akan bisa

langsung merebut cermin itu,” kata Andika. “Tapi, rupanya aku salah paham. Semadi itu justru untuk melatihbertahan menghadapi

serangan Manusia Dari Pusat Bumi. Bukan melakukan serangan.. .”

Dengan cepat Andika memperbaiki sikap tubuhnya.

Pendekar Slebor bangkit dengan darah membanjiri pakaian, yang keluar dari mulut dan hidungnya. Dengan kaki agak terentang, kedua telapak tangannya disatukan di depan dada. Matanya terpejam.

Perlahan sinar wajahnya menjadi begitu teduh dan damai.

Pendekar Slebor telah mencapai taraf ‘Menyucikan Kalbu’

dalam semadi singkatnya. Seluruh keinginan telah pupus. Indranya bahkan tak menangkap isyarat apa-apa, kecuali keheningan yang maha luas. Dirinya telah menyatu dengan alam.

Saat itulah Manusia Dari Pusat Bumi yang begitu bernafsu

menghabisi Pendekar Slebor, melepas sehimpun kekuatan hitam dari cerminnya.

Siiing

Bunyi tinggi berdengung meluruk cepat menuju Andika.

Ketika bunyi itu tiba di sasaran, terbentuklah sebuah lingkaran cahaya warna-warni menyilaukan. Mata Raja Penyamar dan

Purwasih yang menyaksikan kejadian, tak kuat menahan silaunya cahaya itu. Dari serat-serat cahaya warna-warni itu, bermunculanlah tangan-tangan besar berbulu. Semuanya menghantami Andika dari berbagai penjuru. Sehingga memaksa tubuh tegap perkasa pemuda itu terhempas kian kemari.

Pendekar Slebor sendiri seperti tak merasakan seluruh

hantaman bertubi-tubi yang dahsyat itu. Tubuhnya masih tetap dalam keadaan semula, meski terseret ke mana-mana. Sementara wajahnya tetap membersitkan keteduhan dan kedamaian.

Manakala hantaman ratusan tangan ganjil itu makin gencar

merejam tubuh Pendekar Slebor, langit di atasnya tiba-tiba ditutup mega mendung yang pekat. Lalu. .

Slat... glar Lidah api menyilaukan mendadak menerabas lingkaran

serat warna-warni melebur. Bunga api raksasa seketika membersit.

Lidah api alam itu pun menghujam tubuh Andika.

Mendadak tubuh Pendekar Slebor bergetar hebat, seperti

tak kuasa menerima satu bentuk siksaan amat kejam. Sepasang tangannya yang semula menyatu, kini menghentak-hentak ke depan.

Dan.. . “Aaa...”

Blasss

Desis petir tersembul dari sepasang telapak tangan Pendekar Slebor, menyambar langsung ke arah Cermin Alam Gaib yang

sedang teracung tinggi-tinggi di tangan Sang Angkara.

Ctarrr

Bumi tiba-tiba hening. Awan gelap bergulung di atas Andika telah sirna. Ratusan tangan ganjil itu pun menghilang ditelan kelengangan.

Delapan-sembilan tombak di depan Andika yang masih berdiri bisu, terdapat setumpuk abu hitam yang mengepulkan asap tipis.

Kekuatan petir yang terserap tubuh Pendekar Slebor, telah

memanggang tubuh Manusia Dari Pusat Bumi.

Tapi tak ditemukan bekas-bekas sebuah cermin di sana.

Lantas, ke mana cermin terkutuk itu sebenarnya?

Di langit, seberkas cahaya merah darah mela- yang cepat

bagai bintang jatuh. Sayup-sayup, masih terdengar suara menggema yang timbul tengg lam di langit bebas, mengancam Pendekar Slebor

Menyusul hancurnya Manusia Dari Pusat Bumi, Rase Tua

Kembar serta si Perut Gendang kontan tertebas dari belenggu tanpa wujud. Mereka melanjutkan niat untuk melarikan diri. Bahkan kali ini jauh lebih terbirit-birit manakala mereka menyaksikan tu¬buh pemimpin baru mereka tinggal berwujud setumpuk debu.

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar