-------------------------------
----------------------------
Episode 16 Undangan Ratu Mesir
Negeri Sakura. Tempat lahirnya
para Samurai perkasa, ksatria-ksatria yang mengarungi kehidupan di ujung maut.
Di negeri matahari terbit ini, musim panas bertabur cahaya terik menguasai
sebuah daerah bernama Kyoto.
Siksaan musim panas tak
berbelas sedikit pun, telah menyengsarakan pepohonan yang biasanya marak dengan
bunga berwarna-warni di musim semi. Daun-daun berguguran tak berdaya. Sebagian
masih melayang-layang di udara dalam warna coklat matang, lalu tergolek di
tanah.
Sehingga menambah lapisan
daun-daun yang bertumpuk.
Hampir semua pohon telah
telanjang yang tersisa hanya ranting-ranting meranggas yang miskin daun. Jangan
lagi yang berwarna hijau. Yang berwarna coklat pun, sudah terkatung-katung
menunggu ajal.
Entah datang dari mana, langit
musim panas yang tak bersahabat, tahu-tahu sudah disatroni seekor burung
berukuran sebesar ayam jantan.
Warna hitamnya menjadi
demikian mencolok, ketika terjilat cahaya si raja siang. Dengan kepala yang tak
berbulu serta paruh yang begitu besar, burung itu tampak amat menakutkan.
Lehernya agak panjang. Di sebagian lehernya tumbuh bulu putih melingkar, seolah
sedang mengenakan selendang.
"Koaaak Koaaakkk..."
Suara makhluk angkasa itu
mencabik suasana lengang di sekitar hutan di pinggir barat Kyoto.
Ternyata ada satu sosok
manusia yang memperhatikan gerak-gerik binatang itu dari bawah sana. Seorang
yang berperawakan kelebihan bobot. Perutnya memang tak begitu buncit. Tapi, di
seputar pinggangnya bertumpuk lemak. Dengan ukuran yang tak terlalu tinggi,
tubuhnya jadi tampak lebih gempal. Ditambah lagi, pakaiannya yang terlalu kecil
untuk ukuran badan sebengkak itu.
Seperti layaknya penduduk
negeri Nipon, mata lelaki gemuk itu sipit.
Alisnya menghitam lebat
melancip seperti mata tombak. Kumisnya tak bedanya ekor tikus selokan. Panjang
menjuntai, bergulung, dan melancip.
Bibirnya tampak lebih mancung
dari hidungnya sendiri. Di atas keningnya yang melebar, tumbuh rambut panjang
yang dikepang teratur.
Di bawah sebuah pohon besar
kering, sosok bertubuh gempal itu duduk mengampar. Tak peduli lagi pada lemak
perutnya yang berjejal-jejal keluar dari sela-sela pakaian.
"Kurasa burung ini sudah
sinting," ucapnya seperti menggerutu dalam bahasa dan logat Jepang kental.
"Setahuku, burung jenis itu hidup di gurun- gurun. Bagaimana dia bisa
sampai di tempat ini? Apa dikira musim panas tahun ini akan membuat Kyoto
menjadi gurun seperti tempat tinggalnya? Bhuh Tak sudi aku"
"Koakkk"
Gerutuan lelaki gemuk tadi
dibayar dengan teriakan serak burung di angkasa.
"Kau membuatku muak"
teriak si lelaki gemuk sambil menengadahkan kepala. "Suaramu membuat
telingaku tuli Kenapa kau tak pergi jauh-jauh dari sini Aku memang memiliki
kelebihan daging. Tapi, aku tak akan sudi membaginya padamu Kau dengar itu"
"Koak"
"Ada apa Kenjiro?"
Tiba-tiba terdengar suara
teguran. Ketika laki-laki yang dipanggil Kenjiro itu menoleh di sebelahnya
berdiri seorang lelaki berperawakan kekar. Bahunya yang berotot terlihat
menonjol. Begitu juga dada bidangnya, meskipun mengenakan sejenis kimono yang
cukup besar.
Wajah tampan laki-laki kekar
berusia sekitar dua puluh enam tahun itu dilengkapi rahang kekar persegi yang
ditumbuhi jenggot tipis tak sempat dipangkas. Matanya juga sipit, tapi memiliki
sorot berpengaruh.
Sedangkan rambutnya hitam
legam agak mengkilat, ditata apik membentuk ekor kuda dengan ikatan khas.
Dari sepasang samurai panjang
dan pendek yang terselip di masing-masing bagian pinggangnya, langsung bisa
diduga kalau dia adalah seorang ksatria.
"Kau lihat itu, Hiroto Ada
burung pemakai bangkai dari gurun nyasar ke tempat ini...," kata Kenjiro
seperti sedang melapor.
Lelaki bernama Hiroto yang
baru datang mendongak ke angkasa. Dari tadi pun dia memang sudah melihat burung
itu berputar-putar di sekitar mereka.
"Aku sudah tahu sejak
tadi," jawab Hiroto, pendek.
"Apa kau tak merasa aneh,
Hiroto...?"
Hiroto cuma mengangguk kecil.
Sikapnya benar- benar tenang berwibawa.
"Kira-kira, ada pertanda
apa ini?" cecar Kenjiro.
Kepala Hiroto lagi-lagi
bergerak. Kali ini dia menggeleng.
"Aku belum tahu,"
jawab Hiroto menegaskan arti gelengannya.
"Bagaimana? Apa kau sudah
siap untuk melanjutkan perjalanan?"
sambungnya ke lain masalah.
Wajah berpipi tebal Kenjiro
meringis.
"Aaah Cepat sekali kita
beristirahat. Rasanya keringatku pun belum kering. Dan rasa capekku belum
hilang benar...," keluh Kenjiro.
Hiroto tidak mau lagi meminta
pendapat Kenjiro. Setelah membenarkan letak dua samurainya, kakinya melangkah
di atas humus kering.
"Sebentar lagi kita sudah
akan tiba di rumah. Kenapa harus beristirahat lama-lama?" kata Hiroto.
"Baik Baik Kau
menang" maki Kenjiro kesal. Laki-laki bertubuh gempal itu pun bangkit
bersusah-payah. Kemudian disusulnya Hiroto dengan wajah terlipat.
Kira-kira beranjak dua ratus
tindak dari tempat semula, lelaki berpakaian ksatria Jepang yang bernama
lengkap Hiroto Yamaguci menahan langkah. Wajahnya tampak menjadi kaku, karena
tegang.
Dengan sinar mata waspada
penuh, diselidikinya keadaan sekitar. Dua bola matanya bergerak kian kemari,
seakan singa perkasa menanti mangsa.
"Ada apa, Hiroto?"
bisik Kenjiro di belakangnya, ketika Hiroto membentangkan tangan kanan.
Hiroto tak menyahut. Cara
berdirinya tetap tegang, seperti sebelumnya. Sementara, tangannya sudah
menggenggam gagang samurai, siap diloloskan jika sesuatu yang tak diharapkan
terjadi tiba-tiba.
"Ah Kau ini mengada-ada
saja" usik Kenjiro kembali.
Laki-laki gempal itu tak
merasakan ada bahaya sedikit pun. Telinganya tak mendengar suara mencurigakan.
Tidak juga matanya.
"Diam," bisik Hiroto
penuh tekanan. "Aku mendengar bunyi mencurigakan...."
Kenjiro kini harus benar-benar
bungkam. Sepanjang pengetahuannya, Hiroto yang masih bertalian darah dengannya
memiliki pendengaran peka.
Sebagai seorang Samurai,
Hiroto pantas dikagumi. Kalau kali ini pemuda gagah berusia sekitar dua puluh
enam tahun itu berkata ada bunyi mencurigakan, artinya memang benar ada yang
mencurigakan.
Firasatnya pun tak kalah
tajam, untuk membedakan mana suara yang wajar dan suara yang mengancam.
Wajar saja kalau Hiroto
memiliki kewaspadaan tinggi. Di samping sebagai seorang Samurai sejati yang
kerap menghadapi hidup keras dan kejam, keluarganya juga memiliki musuh
bebuyutan. Dan itu memang sudah lumrah dalam keluarga Samurai.
Sekitar dua abad yang lalu,
terjadi perselisihan antara dua orang Samurai seperguruan yang memperebutkan
senjata samurai pusaka dari guru mereka. Murid termuda mewarisi samurai itu
dari gurunya.
Sementara, murid tertua tentu
saja menjadi iri. Bukankah selaku murid tertua yang mestinya mendapatkan benda
pusaka itu?
Ketegangan yang lama terpupuk,
akhirnya meledak juga. Itu terjadi ketika sang guru meninggal dunia. Dengan
semena-mena, murid tertua meminta paksa samurai pusaka dari tangan adik
seperguruannya.
Murid termuda sebenarnya
bersedia saja memberikan samurai pusaka itu pada kakak seperguruannya. Dia
lebih suka memilih tidak bermusuhan dengan saudara seperguruan, hanya karena
sebuah benda.
Namun gurunya sendiri sudah
jelas-jelas berwasiat bahwa samurai itu tidak boleh sampai dipegang kakak
seperguruannya. Dan alasan wasiat itu tak pernah dimengertinya. Hanya saja, dia
ingin menjalankan amanat orangtua yang begitu dihormati dan disanjungnya tanpa
banyak tanya.
Maka perkelahian antara dua
Samurai tangguh itu terjadi. Tidak ada yang menang, tidak juga ada yang kalah.
Hanya keduanya mengalami luka-luka berat. Setelah masing-masing berkeluarga,
murid tertua rupanya tak puas persoalan berakhir sampai di situ. Dicekokinya
semua anak-anaknya untuk bermusuhan dengan keluarga adik seperguruannya.
Permusuhan itu sampai saat itu
sudah banyak meminta korban nyawa dari anggota keluarga keturunan mereka. Dan
Hiroto dan Kenjiro termasuk salah seorang keturunan dari murid yang termuda.
Tak ada enam tarikan napas,
firasat Hiroto ter-bukti.
Srak
Dari sisi kiri Hiroto,
terdengar bunyi sesuatu melanggar dahan kering.
Dengan sigap, tangan Hiroto
menarik samurai panjang. Kemudian disabetkannya samurai itu dengan satu gerak
kendo*, mencoba menghadang arah suara tadi.
Sing..., tas
Mata samurai Hiroto meminta
korban. Sasarannya ternyata hanya dahan kayu sebesar paha manusia di depannya
yang tak sengaja terkena. Begitu tersambar, dahan kayu besar itu langsung
terpapas rata. Padahal, kayu pohon itu termasuk jenis kayu alot
Bersamaan dengan itu,
tiba-tiba menyeruak satu bayangan hitam dari sisi kiri Sambaran pedang yang
mestinya langsung membelah bayangan itu ternyata luput, karena terlebih dulu
menangkap kelebatan samurai Hiroto. Rupanya, bayangan itu punya naluri untuk
melakukan gerakan menghindar yang tak kalah cepat dari ayunan samurai.
"Binatang keparat Benar
kataku, bukan? Burung itu tak sekadar berputar-putar tanpa maksud di atas
wilayah ini" maki Kenjiro gusar, begitu melihat sosok hitam itu melayang
di angkasa.
Bayangan hitam itu rupanya
burung gurun besar yang sejak tadi mereka lihat. Begitu tahu dirinya terancam
mata samurai Hiroto, dia langsung membuat gerakan melayang kembali ke udara,
bersama koakan memekakkan telinga.
"Koaaakkk"
Hiroto tak sempat
memperhatikan makian saudara sepupunya.
Perhatiannya tersita oleh
gulungan papirus* yang dijatuhkan burung tadi, tepat di kakinya. Gulungan
papirus itu terlihat amat tua. Sebagian isinya sudah koyak-moyak.
"Apa lagi yang dikerjakan
binatang laknat itu?" sungut Kenjiro, begitu tahu gulungan papirus yang diperhatikan
saudara sepupunya.
"Sepertinya dia membawa
pesan buat kita, Kenji...," ucap Hiroto tak berkedip sama sekali.
Pandangannya terpusat pada gulungan papirus.
Sepertinya, dia hendak
menyingkap maksud apa yang ada dalam gulungan.
"Apa berbahaya?"
tanya Kenjiro.
"Aku heran. Bukankah ini
papirus yang digunakan bangsa Mesir untuk menulis? Kenapa burung itu bisa
mendapatkannya?" gumam Hiroto, sama sekali tidak menjawab pertanyaan
Kenjiro.
"Apa berbahaya,
Hiroto?" ulang Kenjiro, penasaran.
"Tampaknya tidak,"
barulah Hiroto menjawab. "Aku yakin ini hanya pesan."
Dengan ujung samurainya,
Hiroto mengangkat gulungan papirus. Setelah memasukkan kembali samurai ke
sarungnya, mulai dibukanya lembaran papirus hati-hati sekali. Bukan karena
merasa ada ancaman bahaya, melainkan karena gulungan papirus di tangannya sudah
begitu rapuh
Kini di depan mata Hiroto
terbentang gulungan papirus. Tak ada sedikit pun ancaman bahaya yang mencuat
dari dalamnya, tepat seperti dugaannya. Di atas lembaran itu, terdapat gambar
kusam berupa piramida besar yang bersisian dengan patung raksasa berbentuk
macan berkepala manusia. Tepat di bawah gambar piramida, ada tambahan lukisan
telapak tangan terbuka.
"Ini bahasa isyarat,
Kenji...," tutur Hiroto.
"Maksudnya?"
"Sepertinya, kita
diundang oleh si pemilik piramida untuk datang ke sana...."
"Ratu Mesir?" sentak
Kenjiro terlonjak. Mata sipitnya jadi agak membesar. Bibirnya pun jadi makin
mancung.... *** 2
Tak ada seorang pun tahu,
bagaimana waktu dapat terus memburu hari-hari tanpa henti. Berputar dan
berputar, bagai tak berujung pangkal.
Tak seperti manusia yang
mengenal arti lelah.
Sehari lagi terlewati. Pagi
baru lahir dengan beragam perniknya.
Seorang pemuda tampak berjalan
melenggang. Wajahnya yang secerah mentari di kaki langit sebelah timur sana
selalu dihiasi senyum tipis.
Pakaiannya hijau muda,
berselempang kain bercorak catur di bahu.
Rambutnya tak terurus
menunjukkan pribadinya yang urakan pula. Kalau bibirnya tampak selalu
tersenyum, bukan berarti sinting. Maksudnya, hanya sekadar menyapa hari dengan
rasa damai. Terutama ketika mata berkesan tegar dan tegas miliknya
memperhatikan hamparan warna hijau alam dikanan dan kiri. Perut yang tak terisi
sejak semalam tak pernah dijadikan beban atau sebeber keluhan.
Baik ada masalah atau tidak,
pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor seakan siap menghadapi segala
kemelut hidup dengan senyum. Baginya, menghadapi hidup mesti disamakan dengan
menghadapi kekasih.
Kalau Tuhan sudah memberi
sekian banyak kenikmatan sekaligus keindahan, tak semestinya menggerutui
sedikit kesusahan. Sebab pada hakikatnya, tidak akan lahir kesenangan tanpa
kesusahan. Seperti juga kita mengenal keindahan karena ada keburukan. Mengenal
sehat, karena ada sakit. Begitu kata hati Andika sambil terus melangkah pasti
menuju utara.
Tak ada tujuan pasti, hendak
ke mana pemuda berselempang kain bercorak catur itu menambatkan langkah. Di
mana pun bagian bumi yang membutuhkan kehadirannya, maka Pendekar Slebor akan
ke sana.
Waktu seperti melesat cepat
kalau tidak dicermati. Siang pun menjelang. Tepat ketika sinar matahari menukik
tepat pada ubun-ubun, pemuda berpakaian hijau muda tiba di sebuah dataran
tandus berbukit-bukit kapur.
Sesaat Andika berhenti.
Disapunya peluh di dahi dengan bajunya. Kalau pagi tadi bibirnya mengumbar
senyum, jangan heran bila mulai sekarang mengumbar ringisan. Panas siang
demikian mendera. Kerongkongannya terasa sudah demikian kerontang. Kalau tak
segera mendapatkan air, tubuhnya terasa seperti dikeringkan.
"Bagaimana caranya aku
tahu sumber air di tempat segersang ini,"
gumam Andika. Seraya menaikkan
telapak tangan ke depan dahi, pandangannya ditebarkan ke segenap penjuru.
Kekeringan. Hanya kekeringan
yang disaksikan. Rumput liar yang biasanya sanggup bertahan, malah sudah
berubah kecoklatan.
Selebihnya cuma warna putih
dari tanah berkapur yang membentuk bukit-bukit kecil seperti gelombang laut
membeku.
"Heran Kenapa aku
mau-maunya terus melangkah ke tempat ini?"
gumam Andika lagi, menggerutui
kebodohannya. "Coba kalau tadi aku mengikuti bapak tua penggembala bebek.
Mungkin aku bisa tiba di dekat pedukuhan kecil. Bisa menikmati kopi hangat di
warung. Bisa mencicipi buah segar. Bisa melahap dua piring nasi ditambah
sepiring ketan kuning...."
Lidah Andika tanpa sadar bergerak
di seputar bibir, membayangkan semua itu.
"Ah Kalau cuma berkhayal
seperti ini, mana bisa mendapatkan makanan.
Memangnya keinginan bisa jatuh
dari atas langit Dasar tolol" maki Pendekar Slebor pada diri sendiri.
Lalu, Andika pun memutuskan
untuk melanjutkan langkah saja. Apalagi, pikirnya, sudah telanjur jauh kakinya
melangkah. Siapa tahu tak berapa jauh lagi, akan menemukan pedukuhan kecil.
Tak terlalu jauh mengayun
langkah, kembali anak muda itu berhenti.
Ada sesuatu yang menjegal niat
untuk meneruskan langkahnya. Karena hidungnya tiba-tiba mencium aroma lezat
daging bakar. Belum jelas, dari mana asalnya. Andika sendiri bingung. Siapa
orang yang memanggang daging burung di tempat ini. Padahal, sepanjang
perjalanan di tempat itu tak terlihat ada seekor burung pun terbang melintas.
Kalau ada, tentu sudah sejak
tadi perutnya bisa terisi. Lalu, dari mana pula dia mendapatkan kayu bakar?
Sedangkan dataran itu cuma ditumbuhi rerumputan kering. Tak mungkin memanggang
daging hanya dengan rerumputan kering, bila tak ingin hasilnya setengah matang.
Sebentar hidung Andika
kembang-kempis. Dia ingin meyakinkan penciumannya. Siapa tahu, aroma sedap yang
sempat terperangkap dalam lubang hidungnya tadi cuma permainan perasaan.
Cium punya cium, endus punya
endus, ternyata aroma sedap menggelitik selera itu tak juga lenyap. Kalau sudah
begitu, persoalan tentu menjadi lain lagi. Bisa dipastikan hidung Andika memang
sehat walafiat.
Urusannya sekarang, cuma
mencari di mana orang itu berada. Pendekar Slebor cuma ingin tahu, bagaimana
orang itu mendapatkan daging burung. Dan, dengan apa memanggangnya.
Hitung-hitung menemani makan. Itu pun kalau bisa
Bibir Andika mulai bisa
tersenyum lagi. Berharap dapat menangsal perutnya yang sudah kekuruyuk berat.
Tanpa mengalami kesulitan,
anak muda itu sudah dapat menemukan tempat orang yang dicari, di antara dua
gundukan bukit kapur.
"Ah Kau lagi, Anak
Muda" sambut seorang laki-laki tua yang sedang membalik-balik daging
panggang di tangannya. Rupanya, dengan tangannya pula daging itu
dimatangkannya.
Andika dipaksa terperangah.
Bukan sekadar cara orang tua itu mematangkan daging panggangnya. Tapi, juga
karena sudah pernah berpapasan dengan orang tua itu. Dialah penggembala bebek
yang dijumpainya lepas pagi tadi Entah, ke mana gerombolan bebeknya yang begitu
riuh mengeluarkan bunyi beleter.
"Kau ingin nimbrung
menggasak dua potong daging ini, atau hanya ingin menontonku?" tambah
lelaki tua penggembala bebek tanpa menoleh.
Andika tersadar. Sambil
cengar-cengir, dihampirinya orang tua itu.
"Kalau diizinkan, aku
memang ingin sekali menemani...," jawab Andika cepat, seakan takut tawaran
baik orang di depannya hanya berlaku sekali.
"Kalau begitu,
cepatlah"
Tanpa banyak basa-basi lagi.
orang tua berpakaian seadanya itu menyodorkan sepotong besar daging panggang
yang masih mengepulkan asap.
"Nih, sikat sampai
kenyang"ujar si penggembala bebek berkelakar, meski bibirnya cuma
tersenyum tak kentara.
Andika tersenyum-senyum
menerima jatah yang demikian besar untuknya. Jangan lagi untuk menghabiskan.
Untuk memakannya setengah saja, mungkin sudah menyerah.
"Dari mana kau dapatkan
burung sebesar ini, Pak Tua?" tanya Andika ingin tahu. "Setahuku, di
sini tidak ada burung sama sekali...."
"Itu bukan burung. Apa
kau tak bisa mengenali? Itu kan bebek..."
Andika yang sudah duduk
menekuk lutut di hadapan penggembala bebek mengangguk-angguk
"Pasti ini
bebekmu...," tebak Andika sambil mencium bau bebek panggang yang bisa
membuat air liurnya menetes tak terasa.
Kalau saja Andika tak merasa harus
bertata-krama di hadapan orang tua baik hati ini, sudah diterjangnya daging
bebek itu selahap-lahapnya.
"Tentu saja. Perutku tak
biasa menerima makanan yang tak halal," balas laki-laki tua itu sambil
mengipas-ngipas dada dengan caping lusuh yang sejak tadi hanya diletakkan di
sisinya.
"Lalu mana bebek-bebekmu
yang lain?" susul Andika.
"Sudah habis
dimakan...."
Pemuda itu tertawa. Orang tua
itu tentu sedang bergurau, pikirnya.
"Ayo, silakan
disantap" kata orang tua penggembala bebek itu mempersilakan. Lalu mereka
pun makan dengan lahap.
Selesai makan, penggembala
bebek di sebelah pemuda berpakaian hijau-hijau ini menyerahkan tempat air dari
kulit pada Andika. Kebetulan sekali, pemuda ini sedang haus tak terkira.
Segera saja Andika menjemput
kantong kulit dari tangan penggembala bebek itu. Diteguknya sepertiga air dalam
kantong itu. Dahaga berat telah membuatnya jadi tak berhati-hati lagi pada
kebaikan orang yang baru dikenalnya.
Setelah puas meneguk,
tenggorokan Andika memang dapat dibebaskan dari kekeringan yang menggelantung.
Tapi masalah baru yang jauh lebih mengancam jiwanya, malah mendatangi. Kepala
pemuda ini perlahan-lahan terasa memberat. Matanya berkunang-kunang tak karuan.
Sementara seisi perut serta
dadanya seperti diaduk-aduk tangan makhluk usil.
Sebentar kemudian, Andika
melengak. Kerongkongannya kini lebih kerontang dari sebelumnya. Rasanya, dia
seperti tercekik tali sebesar lengan.
"Kau...," desis
Andika seraya mendekap leher dan dada dengan suara terseret. "Kau
meracuniku...."
Mata Andika menatap gusar pada
orang yang telah menipunya.
"Kau menipuku, Orang
Tua...," desis Andika lagi, terdengar meletup diguncang kegusaran yang
menggelegak dalam diri, berbareng menggelegaknya darah akibat pengaruh racun
dalam air tadi.
"Aku tidak
menipumu," jawab si penggembala bebek acuh sekali. "Hanya kau saja
yang tidak hati-hati. Di dunia ini, kau harus jeli-jeli memiliki mata. Tak
semua orang yang bersikap baik, berarti memiliki hati yang baik pula...."
"Kentut busuk" maki
Andika makin terseret karena menderita.
Pemuda itu berusaha bangkit
dari duduknya. Namun, seluruh sendi di tubuhnya seperti dipreteli. Dan
otot-ototnya terasa lebur. Dia menjadi lumpuh. Tinggal matanya saja yang kini
menatap nyalang orang tua di depannya.
"Kau minumlah lagi air
dalam tabung ini," ujar si penggembala tua, seakan tak pernah merasa
bersalah sedikit pun. Disodorkannya kembali kantong kulit itu pada pemuda yang
sudah telentang tanpa tenaga.
"Aku belum sinting untuk
meminum racun sialmu lagi, Orang Tua Bau"
maki Andika. Namun suara yang
keluar dari mulutnya malah mirip rintihan.
"Terserah maumu, Pendekar
Slebor...," tukas penggembala tua amat ringan, sambil menyelonjorkan kaki.
"Kalau aku jadi kau, tentu akan kuminum kembali air itu"
"Kau tahu namaku pula
Sekarang, aku tahu. Kau tentunya tokoh sesat yang mengincarku sekian lama"
tuding Andika alias Pendekar Slebor, ksatria muda sakti dari Lembah Kutukan
yang sepak terjangnya terlalu banyak membuat muak tokoh-tokoh sesat.
"Terserah apa katamu. Kau
mau minum kembali atau tidak?"
"Ya Setelah itu, aku
mati"
"Kau tetap akan mati,
baik meminum airku atau tidak. Aku pun akan mati. Semua orang akan mati. Tidak
ada seorang pun yang bisa hidup terus. Yang berbeda, cuma cara dan waktu
matinya...."
"Tapi tidak dengan cara
seperti ini"
"Kalau begitu, kau harus
turuti kata-kataku. Minum air ini kembali...."
Suara penggembala tua itu
seperti memaksa.
Kata-kata itu membuat Pendekar
Slebor agak terusik. Air beracun yang diminumnya sudah demikian banyak tadi.
Tanpa perlu meminum kembali dari kantong air lelaki tua itu, sudah bisa
dipastikan nyawanya akan terlempar keluar dari raga oleh racun ganas dalam
tubuhnya. Lalu, akan terasa aneh kalau si tua ini justru agak memaksa untuk
meminum kembali airnya.
"Bagaimana? Makin banyak
kau menimbang-nimbang, makin cepat racun dalam tubuhmu menjalari aliran
darahmu...," tawar si penggembala tua kembali, seraya menyodorkan kantong
kulit berisi air untuk kesekian kalinya.
Andika akhirnya mau juga
menerima kantong air dari tangan lelaki tua itu, meski harus susah payah
menggerakkan tangannya. Sudah telanjur basah, pikirnya. Tanpa meminum kembali
air dalam kantong itu, dia toh tetap akan mati digasak racun. Kalau ternyata
racun dalam tubuhnya malah bertambah, paling tidak, bisa mati tanpa tersiksa.
Selesai meminum kembali air
dalam kantong kulit beberapa teguk, perlahan-lahan Andika merasa kepalanya
mulai ringan kembali. Rasa mual dan sesak di dadanya pun enyah entah ke mana.
Termasuk cekikan di tenggorokannya.
Tak berapa lama kemudian,
Pendekar Slebor sudah pulih benar. Bagian-bagian tubuhnya bisa digerakkan
kembali dengan leluasa.
"Sekarang kau percaya
kalau aku tidak berniat membunuhmu, bukan?"
kelakar si penggembala tua.
Diperlihatkannya sebaris gigi yang tumbuh renggang.
Andika sama sekali tidak
menganggap gurauan kecil itu lucu. Dan keningnya pun berkerut.
"Aku tak mengerti, apa
maksudmu dengan meracuniku tadi?" tanya Pendekar Slebor ingin tahu.
Kegusarannya, entah bagaimana, diganti rasa penasaran.
"Aku tidak meracunimu,
Pendekar Slebor Bukankah sudah kukatakan sebelumnya? Dan aku sengaja tak
memperingatimu, agar kau bisa menjadikannya pelajaran. Jadi kau nanti bisa
tetap berhati-hati terhadap orang yang tampaknya baik, namun sebenarnya
memiliki hati keji. Aku tunggu ucapan terima kasihmu" gurau si penggembala
tua lagi.
"Jadi, selama ini yang
kau minum cuma air racun?" susul Andika agak terperanjat. Memang, cuma
orang sinting yang ingin menjadikan air beracun sebagai minuman sehari-hari,
Andika tak habis pikir jadinya.
"Kau mau tahu?"
tanya si penggembala tua.
Laki-laki tua itu bangkit,
lalu melemaskan otot-otot dengan menggeliat sejenak. "Ini.... Bawalah
kantong airku ini. Suatu saat, kau akan tahu kenapa aku melakukannya."
Kemudian si penggembala tua
itu melemparkan kantong air kusam pada Andika.
Pendekar Slebor menangkapnya
dengan pertanyaan tak terjawab di hati. Sedangkan si orang tua melenggang pergi
begitu saja. *** 3
Sebuah kapal yang kalau
dilihat dari umbul-umbul yang ada berasal dari Kerajaan Cina, merapat di
dermaga sebelah barat tanah Jawa. Megah dan angker dengan layar bertuliskan
huruf Cina besar. Gambar seekor naga tampak melatar belakangi tulisan itu. Dari
bentuknya jelas sekali kalau itu adalah kapal perang. Panjangnya sekitar lima
puluh tombak.
Sedang lebarnya sekitar lima
belas tombak.
Warna kapal perang itu macih
cerah. Namun bukan berarti kapal baru.
Justru, usianya cukup tua dan
memiliki sejarah sendiri bagi kerajaan yang diperkukuhnya. Bisa jadi kendaraan
perang samudra itu telah mengalami pemugaran.
Setelah sauh dibuang, gerbang
di lambung kapal tampak menganga. Tak lama, jembatan dari papan berpermadani
pun menjulur dari dalamnya.
Begitu ujung jembatan bertemu
bibir dermaga, keluarlah seorang putri berwajah cantik. Lelaki mana pun pasti
akan ternganga bisa menyaksikan wajahnya yang sarat keagungan sekaligus
keanggunan.
Tak seperti layaknya seseorang
yang baru tiba di negeri asing, mata sang putri tampak tak memperhatikan
suasana dermaga besar yang sarat kesibukan. Bahkan sekalipun matanya tak
melirik beberapa penduduk asli yang terlongong menatap kemegahan kapal atau
mendapati kecantikan sang putri. Mata yang bergaris dan jeli milik pembesar
wanita Cina itu seperti terpaku kaku, pada satu titik di kejauhan sana. Apa
yang diperhatikannya? Tidak ada Orang lain tentu menganggap putri dari negeri
cina ini angkuh. Namun itu pun tidak benar. Karena, sebenarnya mata wanita
agung jelita itu buta
Kaki langsing sang putri mulai
bergerak perlahan di sepanjang hamparan permadani tebal buatan Parsi yang menyelimuti
jembatan kayu.
Sementara dia berjalan, angin
tanah Jawa memberi tabik dengan sapuan ramah. Sehingga, membuat pakaian
kebesaran dari sutera hijau miliknya menjadi menggelepar kecil.
Para prajurit, baik yang
berdiri tegap di sepanjang sisi buritan atau di kedua sisi pintu kapal, memberi
penghormatan pada putri cantik yang buta ini.
Tepat di belakang sang putri,
berjalan mengiringi seorang pemuda yang kegagahannya sebanding dengan
kecantikan putri di depannya. Pemuda itu mengenakan baju panjang khas Cina
berwarna biru tua. Setiap melangkah, kakinya tersembul ringan dari belahan baju
panjangnya.
Celana panjang yang dipakainya
pun berwarna biru tua pula. Dengan rambut dikepang teratur, ditambah ikat
kepala berwarna merah, dia makin tampak berwibawa. Di tangannya yang terangkat
ke depan dada, terdapat pedang bergagang kepala naga yang tersimpan dalam
warangka kayu berukir, terbungkus kain sutera berjumbai-jumbai benang emas.
Pemuda itu tak lain Chin
Liong. Dialah salah seorang sahabat Pendekar Slebor dari negeri Cina yang jauh
di seberang samudera sana.
Putri di depan Chin Liong,
ternyata Putri Ying Lien. Dia adalah pewaris Kerajaan Cina yang telah berhasil
memulihkan gejolak pemberontakan di dalam negerinya. Bahkan juga berhasil
merebut kembali kursi kerajaan atas bantuan Pendekar Slebor. Dengan begitu,
tentu saja kedua orang dari negeri Cina ini merasa amat berhutang budi pada
pendekar muda tanah Jawa itu (Baca: "Pusaka Langit" dan
"Pengejaran Ke Cina").
Tujuan mereka jauh-jauh
membelah samudera pun, sebenarnya berhubungan erat dengan Pendekar Slebor.
Bukan sekadar untuk singgah mengunjungi sahabat lama, tapi lebih dari itu.
Langkah Putri Ying Lien telah
tiba di anak tangga dermaga. Sementara Chin Liong segera mendekati hendak
menawarkan jasa.
"Boleh kubantu, Tuan
Putri?" aju Chin Liong.
Putri Ying Lien tersenyum,
sampai barisan gigi putihnya tersembul kecil.
"Kenapa tiba-tiba kau
memanggilku Tuan Putri, Chin Liong?" tanya Putri Ying Lien seraya
mengangkat tangan kanannya yang segera disambut Chin Liong.
"Karena aku harus menjaga
wibawamu di depan penduduk tanah Jawa ini," jawab Chin Liong berbisik.
"Lagi pula, terlalu banyak prajurit yang akan mendengar. Kalau aku
memanggilmu dengan nama saja, apa nanti pikir mereka?"
Lalu pemuda itu pun tersenyum
samar.
"Terima kasih, kalau kau
begitu memperhatikan wibawaku sebagai Ratu baru kerajaan kita. Tapi rasanya,
kewibawaanku tidak terjamin dari panggilan kehormatan saja, bukan?" tukas
Putri Ying Lien perlahan, tapi menyentil.
Setelah itu, wanita anggun ini
pun mulai menuruni tangga dermaga yang agak licin karena tampias ombak.
Tangannya masih berpegangan pada tangan Chin Liong.
"Kalau kau berbicara
seperti itu, aku jadi teringat sahabat kita...," ujar Chin Liong lagi.
"Andika maksudmu,
bukan?" duga Putri Ying Lien.
Chin Liong menjawabnya dengan
deheman.
"Tak ingat kalau dia
begitu berpegang teguh pada satu pendapatnya?
Katanya waktu itu, nilai
manusia hanya bisa ditinggikan dari dalam dirinya sendiri. Apa kau tak ingat
pada pemuda itu juga?" lanjut Chin Liong bernada menggoda.
Wajah Putri Ying Lien sedikit
bersemu merah. Namun, dia masih bisa menguasai diri untuk tidak menundukkan
wajah. Pribadinya memang tak gampang digoyang.
"Tentu saja," ucap
wanita itu pasti. "Apa aku tak boleh rindu pada seorang sahabat?"
Chin Liong mau tertawa saat
itu. Tapi, segera ditahannya. Lagi-lagi dia tak mau wibawa Putri Ying Lien yang
sudah seperti saudara kandungnya sendiri, menjadi terusik.
"Kau pandai
menghindar...," ledek Chin Liong, perlahan sekali.
"Apa katamu?"
"Tidak apa-apa...."
Memang tak salah perkiraan
Chin Liong. Putri Ying Lien tampaknya memaksakan diri, untuk memenjarakan
perasaan sebenarnya, terhadap diri pemuda urakan berkesaktian tinggi dari tanah
Jawa yang sedang dibicarakan.
Chin Liong yakin Putri Ying
Lien tak sekadar menaruh perhatian terhadap Pendekar Slebor. Malah lebih tepat
jika dikatakan sudah mulai mengagumi. Bahkan mungkin sudah tersemai benih cinta
yang selalu saja dicoba untuk menyingkirkannya.
Pada saat Chin Liong mulai
membicarakan Pendekar Slebor tadi, Putri Ying Lien malah lebih dahulu
memikirkannya. Membayangkan, bagaimana gaya anak muda itu berbicara. Bagaimana
dia tertawa. Tentang pribadinya. Juga, tentang pelukan penuh perlindungan yang
diberikan ketika mereka berhasil melewati masa genting dalam pertarungan
melawan musuh-musuh besar kerajaan dahulu.
"Kau melamun lagi,
pasti...," kata Chin Liong. Kata-kata Chin Liong yang terputus,
menghanguskan bayangan yang tak sengaja dijalin Putri Ying Lien kembali dalam
benaknya.
"Bukankah kau seharusnya
naik kereta kuda untuk mencari penginapan sebelum para prajurit menemukan
Andika?" susul Chin Liong.
Putri Ying Lien tersipu.
"Aku lupa," katanya.
Kereta kuda kerajaan yang
dibawa serta dalam kapal pun tiba di dekat Putri Ying Lien. Putri itu naik ke
dalamnya. Dan Chin Liong pun menyusul.
"Kau tunggulah di
penginapan. Soal pencarian Andika, biar semuanya aku yang urus," kata Chin
Liong dalam kereta yang sudah berlari perlahan menuju barat.
Di belakang, tampak empat
orang perwira kerajaan yang ikut serta mengiring dengan kuda masing-masing.
Sedangkan puluhan prajurit, berlari-lari di kedua sisi jalan. ***
"Yang Mulia tak ada"
lapor seorang prajurit yang baru tiba dari kamar Putri Ying Lien.
Dua hari lalu, rombongan dari
negeri Cina itu telah menyewa seluruh kamar di salah satu penginapan mewah di
pinggiran kotapraja.
Selama ini, Chin Liong bersama
dua perwira dan beberapa prajurit, mencoba mencari Pendekar Slebor. Mereka juga
sudah mencoba menghubungi penguasa setempat, agar bisa mendapatkan bantuan.
Setidaknya, keterangan untuk
menemukan Pendekar Slebor.
Mulanya, penguasa setempat
ingin menyiapkan penyambutan bagi rombongan Kerajaan Cina ini. Mereka ingin
menjalin persahabatan. Tapi, Chin Liong terpaksa menolaknya karena tidak
merencanakan untuk mengadakan kunjungan persahabatan. Mereka ke tanah Jawa
semata-mata karena hendak menemui Pendekar Slebor.
Setelah dua hari berusaha
mencari, hasilnya nihil. Itu pun sudah dibantu pengerahan prajurit penguasa
setempat. Pendekar muda itu memang sulit ditemukan. Seperti juga sifatnya yang
angin-anginan.
Tujuan langkahnya pun
angin-anginan pula. Datang dan pergi begitu saja.
Dia akan bersikeras tinggal
jika ada satu masalah yang harus diselesaikan.
Sewaktu hendak melapor pada
Putri Ying Lien di ruang tamu penginapan, Chin Liong menyuruh salah seorang
prajurit menyampaikannya ke kamar Putri Ying Lien. Sekaligus memberitahukan
kalau dirinya sudah tiba.
Dan begitu si prajurit kembali
ke ruang tamu, Chin Liong justru mendapat berita mengejutkan.
"Apa maksudmu?"
tanya Chin Liong hampir menghardik. Bagaimana dia tidak terkejut, mendengar
Putri Ying Lien tidak ada.
"Yang Mulia telah
menghilang dari kamarnya" ulang prajurit tadi, menegaskan.
Rahang pemuda Cina itu
mengeras. Otot-otot wajahnya seperti ditarik mendadak. Apa-apaan ini? Cepat
Chin Liong berlari menuju kamar Putri Ying Lien, diikuti prajurit yang melapor.
Setibanya di kamar Putri Ying
Lien, Chin Liong menemukan enam prajurit andalan bergeletakkan lunglai, seperti
kehilangan tulang. Mata mereka berkedip-kedip takut, begitu tahu kalau Chin
Liong yang kini menjadi panglima perang kerajaan datang. Jangan ditanya,
bagaimana pucatnya wajah keenam prajurit itu. Sebab, ini perkara amat besar
yang menyangkut nyawa Ratu mereka sendiri. Kalau sampai terjadi apa-apa pada
diri gadis itu, maka kepala mereka harus dijadikan tebusannya
Meski kemarahan menggelegak di
dada, Chin Liong tak segera meledak.
"Apa yang terjadi?"
Dengan suara tersendat diamuk
kegusaran, Chin Liong bertanya pada seorang prajurit jaga setelah
membebaskannya.
Si prajurit bangkit
takut-takut.
"Seseorang menculik Yang
Mulia, Panglima" lapor kepala prajurit dengan tubuh menegang.
Kepala prajurit itu agak
menengadah, takut menghadapi tatapan panas panglimanya. Karena itu pula
jakunnya yang besar jadi terlihat jelas turun naik, seperti ada seekor anak
katak melompat-lompat dalam lehernya.
"Bagaimana itu bisa
terjadi?" lanjut Chin Liong. Nada suaranya agak meninggi.
Mulut si prajurit megap-megap.
Dia mau bicara, tapi begitu sulit.
"Tit... tit... tidak
tahu, Panglima. Ses..., sewaktu kami sedang berjaga, tahu-tahu saja berkelebat
bayangan seseorang. Begitu cepat, bahkan kami tak sempat menyadari ketika
tertotok. Ap... ap... apa di penginapan ini ada hantunya, Panglima?" jelas
prajurit itu susah payah.
Otot di bagian rahang Chin
Liong tersembul-sembul. Terdengar pula gemeletuk gerahamnya. Dimasukinya kamar
dengan langkah terbanting.
Pintu kamar dikuaknya
beringas, sebagai sasaran kemarahannya.
Mata memerah ksatria Cina itu
mengawasi setiap jengkal kamar. Seolah dia hendak mencungkil apa pun yang
tampak mencurigakan. Namun sampai sejauh itu, tidak juga menemukan apa-apa.
"Bagaimana dengan dua
perwira yang bertanggung jawab pada penjagaan Putri?" tanya Chin Liong
kembali, pada prajurit yang meliriknya takut-takut.
"Maaf, Panglima. Aku
tit... tit... tidak tahu...."
"Kau...," rutuk Chin
Liong.
Bagai mana mungkin dua perwira
yang ilmu bela dirinya tergolong hebat, bisa menghilang seperti ditelan hantu?
Pikir Chin Liong, tanpa mau meneruskan kejengkelannya pada prajurit tadi.
Di kerajaan mereka, dua
perwira itu bahkan sudah berada setingkat di bawah tokoh kelas atas Cina. Itu
sebabnya, mereka diangkat sebagai perwira yang diandalkan.
Diandalkan? Kata itu sekarang
sepertinya hanya jadi pepesan kosong.
Tanpa banyak keributan, si
penculik sanggup membuat mereka tak berdaya. Bahkan kini tidak diketahui, ke
mana mereka.
Mata Chin Liong tiba-tiba
tertumbuk tanpa sengaja pada suatu yang tak wajar. Tampak langit-langit kamar
agak mencembung keluar. Ada beban yang terlalu berat membuatnya begitu.
Tangan Chin Liong pun merambat
menuju pedang di punggungnya.
Kemudian prajurit yang sudah
terbebas dari totokan diisyaratkan untuk bersiaga.
Lembut sekali. Tanpa
melahirkan suara sedikit pun, pedang panjang Chin Liong terangkat dari
sarungnya dan dihunuskan di depan dada. Dia pun mulai mendekat ke bawah
langiat-langit kamar, dengan langkah sangat ringan. Seekor tikus pun mungkin
tak bisa mendengar langkahnya.
Padahal, belahan-belahan
lantai kayu kamar akan berderit bila diinjak kecil sekali pun.
Tetap dengan mata tak berkedip
yang terpusat pada langit-langit kamar, Chin Liong tiba tepat di bawah bagian
yang dicurigai. Kemudian lambat tapi pasti, mata pedangnya terayun ringan ke
belakang. Dan....
Sing Trash
Seperti membeset kulit pelepah
pisang, mata pedang Chin Liong bergerak amat cepat, menyambar langit-langit.
Sekejap berikutnya, terdengar bunyi berderak riuh akibat patahan langit-langit
kamar.
Krak Bruk-bruk
Dua tubuh jatuh berdebam meninju
lantai kayu. Ternyata, mereka adalah dua perwira yang semula dikira hilang oleh
Chin Liong
Masih dengan sikap waspada,
Chin Liong meneliti kedua perwira itu dengan tatapannya. Dada keduanya masih
berkembang-kempis teratur.
Wajah mereka pun tak terlihat
lebam. Juga, tak ada tanda-tanda kalau mereka mengalami luka dalam. Keadaan
mereka tak beda orang yang sedang tertidur pulas.
Chin Liong memasukkan pedang
ke dalam sarungnya, lalu berjongkok di dekat dua tubuh perwira tadi. Sebentar
dia meraba salah satu bagian tubuh mereka.
"Hm.... Totokan hebat
yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.
Ditempatkan pada bagian yang
demikian tersembunyi, membuat mereka kehilangan keseimbangan pada bagian otak
yang mengatur keadaan jaga seseorang. Sial Aku sendiri pun belum sanggup
mempelajarinya" rutuk Chin Liong, jengkel bukan main.
Pemuda itu berdiri lemas.
Bagaimana dia bisa menolong Putri Ying Lien, sementara untuk membebaskan dua
perwira dari totokan saja sudah tak sanggup?
Mendadak wajah Chin Liong berubah
tegang kembali. Mata sipitnya tak berkedip. Bola matanya bergerak ke satu arah
di bagian kamar. Dia ingat sesuatu.
"Astaga.... Pedang Pusaka
Langit," desis pemuda itu.
Setelah itu bagai orang
kesetanan, Chin Liong memburu ke tempat yang menjadi tujuan pandangannya
barusan. Di sana, ada sebuah peti baja yang terkunci dari gembok baja pula.
Chin Liong cukup lega, melihat
peti baja maupun gemboknya masih dalam keadaan wajar. Biar begitu, hatinya
tetap tak akan puas jika belum meneliti dalamnya. Cepat dikeluarkannya anak
kunci dari balik pakaian.
Maka peti pun dibuka.
Seketika itu pula, mata Chin
Liong membeliak. Wajahnya berubah-ubah cepat. Pucat, memerah dadu, lalu memucat
lagi. Cetusan rasa kegeraman yang berbaur menjadi satu dengan rasa kekhawatiran.
Bagaimana tidak jadi was-was?
Sementara Putri Ying Lien belum lagi diketahui rimbanya, pedang pusaka kerajaan
pun hilang Pedang itu adalah pedang sakti yang amat langka. Seseorang bisa
melipat gandakan kesaktiannya sepuluh kali, bila memiliki pedang itu.
Adalah sebuah bencana jika
pedang pusaka itu jatuh ke tanah orang-orang sesat
"Sial..., sial...,
sial" maki Chin Liong.
Pemuda ini tidak bisa lagi
membendung kemarahannya. Pertahanan dirinya sudah ambrol. Darahnya terasa
seperti hendak menjebol ubun-ubun.
"Ada apa, Panglima?"
tukas seorang prajurit sambil mendekat tergesa.
Chin Liong tak cepat menjawab,
karena sibuk mengatur napasnya yang memburu.
"Pedang Pusaka Langit pun
telah hilang...," kata Chin Liong mendesis berat.
Prajurit itu terbelalak. Dia
pun tak kalah was-wasnya, kalau pedang itu sampai jatuh ke salah tangan. Negeri
ini bisa menjadi tempat pembantaian biadab. Kalau itu terjadi, maka merekalah
orang-orang yang pertama kali harus bertanggung jawab.
"Bagaimana mungkin,
Panglima?" ucap si prajurit. Matanya yang sipit kian menyipit.
"Bukankah peti dan kuncinya masih dalam keadaan baik?"
Chin Liong menggeleng lunglai.
Kemarahan telah menguras tenaganya sccara berlebihan.
"Aku tak tahu. Tampaknya
kita berurusan dengan seorang yang amat lihai. Dia sanggup menotok perwira kita
tanpa bisa dibebaskan. Kini pun kita tahu, dia juga mampu mencuri pedang pusaka
tanpa merusak peti baja atau membobol kuncinya. Manusia macam apa yang bisa
melakukan semua itu dalam waktu demikian cepat, Prajurit.'"
Si prajurit meringis ngeri.
Timbul lagi bayangan dalam benaknya.
tentang hantu penginapan yang
bergentayangan....
Lalu, tengkuk si prajurit pun
meremang. Dia bergidik, sampai bahunya pun mengedik-ngedik tanpa disadari.
"Apa benar perkiraanku, Panglima...,"
prajurit itu berbisik hati-hati di dekat Chin Liong.
Chin Liong menoleh, meminta
jawaban.
"Mungkin benar semuanya
dilakukan hantu penginapan ini...."
Chin Liong menggelengkan
kepala. Mana ada hantu memerlukan pedang?
"Kerahkan seluruh pasukan.
Termasuk sebagian prajurit yang masih berjaga di kapal Malam ini juga, kita
cari Putri Ying Lien dan Pedang Pusaka Langit" tandas Chin Liong kemudian.
*** 4
Malam ini juga, hampir seluruh
pasukan dikerahkan Panglima Chin Liong untuk mencari Putri Ying Lien. Bahkan
dengan hormat, dia pun meminta bantuan pasukan dari penguasa setempat. Kalau
sebelumnya mendapat bantuan untuk mencari Pendekar Slebor, tapi kali ini
mendapat bantuan besar-besaran untuk mencari Putri Ying Lien dan Pedang Pusaka
Langit.
Agar tak terjadi keresahan di
kalangan penguasa setempat, sengaja hilangnya Pedang Pusaka Langit
dirahasiakan. Chin Liong hanya mengutarakan permohonan bantuan untuk mencari
Putri Ying Lien. Itu saja.
Sinar bulan mendukung
pencarian. Bentuknya membulat penuh begitu anggun. Sinarnya merambah ke segenap
sela-sela pepohonan.
Dini hari nyaris mati. Subuh
makin dekat. Ayam-ayam jantan sudah memperdengarkan kokok gagahnya, siap
menyambut fajar yang sebentar lagi menampakkan diri. Sejauh itu, pencarian
belum menemukan titik terang.
Seluruh penjuru wilayah telah
ditelusuri. Sudut-sudut kotapraja, lembah, bahkan hutan di pingiran kotapraja
tak luput disatroni.
Hasilnya, tetap nihil. Tak ada
setitik petunjuk pun.
Hambatan utama, karena
pencarian dilakukan malam hari. Untuk bertanya-tanya saja sulit. Mengingat,
hampir seluruh warga terlelap di kediaman masing-masing. Padahal keterangan
dari setiap orang amat diperlukan dalam satu usaha pencarian.
Membangunkan mereka pun tak
ada gunanya. Penculikan dilakukan pada malam yang sudah cukup Iarut, saat orang
lebih suka mendekati pembaringan. Di samping sakti, si penculik pun sepertinya
amat lihai memanfaatkan suasana.
Chin Liong pun mengakui
kehebatan kerja penculiknya, meski gusar setengah mampus. Artinya, persoalan
yang harus dihadapi bukanlah sepele. Ini persoalan besar, menyangkut calon
musuh yang besar pula.
Tak mungkin penjahat ketengan
mampu melaksanakan kerja sesempurna itu.
"Benar-benar nasib buruk
sedang menjerat kita," gerutu Chin Liong ketika seorang perwiranya
melaporkan hasil pencarian. "Baru saja tiba di negeri orang, kita sudah
dipecundangi demikian jauh...."
Namun Chin Liong bukan
termasuk orang yang gampang patah semangat.
Sebagai seorang ksatria yang
mendapat kepercayaan tinggi dalam pemerintahan kerajaan, pantang baginya
memiliki mental keropos. Dia hanya khawatir, bahkan teramat khawatir, pada
keselamatan Putri Ying Lien. Pertama, karena Putri Ying Lien adalah seorang
Ratu kerajaan yang amat dicintai rakyat dengan kepemimpinan yang adil dan
bijaksana.
Kedua, karena Putri Ying Lien
sejak kecil sudah begitu dekat dengannya. Sempat pula pemuda itu mencintai
Putri Ying Lien. Namun, gadis itu selalu menegaskan kalau Chin Liong hanya
dianggap sebagai saudara semata.
"Jadi bagaimana
selanjutnya, Panglima?" tanya si perwira, agak sungkan mengusik
keterpakuan Chin Liong mengenang masa-masa manisnya dulu bersama Putri Ying
Lien, semasa di perguruan.
"Aku harap, tak perlu
memaksakan para prajurit dan tak terlalu menyusahkan tuan rumah...," kata
Chin Liong seperti bergumam.
"Maksud, Panglima?"
"Aku mau pencarian terus
dilakukan. Paling tidak, sampai kita mendapat secercah keterangan tentang Tuan
Putri kita," kata Chin Liong menegaskan.
"Kalau itu kehendak
Panglima, kami akan menjalankannya."
Si perwira, segera beranjak.
Sebelum jauh benar, dia menoleh sejenak.
"Asal kau tahu saja,
Panglima.... Aku dan seluruh prajurit lebih suka kalau diperintahkan untuk
terus mencari. Kau tahu sebabnya? Karena, kami begitu mencintai Yang Mulia
Putri Ying Lien...," tambahnya dengan raut wajah prihatin.
Chin Liong tersenyum tawar.
"Kau benar,
Perwira," timpalnya, sama tawar.
Sewaktu hari nyaris disapu
warna jingga pucat sang mentari pagi, perkembangan terjadi. Seorang prajurit
berkuda dari pihak tuan rumah dengan tergopoh-gopoh mendatangi Chin Liong yang
sedang menyusuri pinggiran hutan karet.
"Tuan Chin Liong Aku
diperintah Adipati untuk melaporkan tentang Yang Mulia Putri Ying Lien,"
lapor orang itu.
"Teruskan," perintah
Chin Liong dengan mata berbinar di antara garis kekhawatiran wajahnya.
"Orang kami telah
menemukan Yang Mulia Putri Ying Lien...."
"Benarkah itu?"
sentak Chin Liong, terlonjak. Tanpa sadar, laporan yang belum lagi dituntaskan
telah dipenggalnya.
"Tapi, dia berada dalam
kekuasaan seseorang," sambung orang yang melapor.
"Bagaimana
keadaannya?" susul Chin Liong, tergesa.
"Kami belum bisa
memastikan, karena hanya salah seorang dari kami yang melihat seseorang berlari
membopong wanita berpakaian dan berwajah mirip dengan gambaran Tuan tentang Putri
Ying lien"
"Berlari? Artinya,
penculik itu kini sedang dikejar?"
Si pelapor menggelengkan
kepala ragu.
"Sulit, Tuan. Dia
bergerak seperti demit. Waktu itu, kami hanya para prajurit yang berkemampuan
tak seberapa."
Wajah Chin Liong menampakkan
kekecewaan kembali.
"Tapi, kami tahu arah
orang itu berlari"
Secercah harapan kembali
tersembul di bias wajah pemuda Cina itu.
"Kalau begitu, cepat
katakan ke mana arahnya? Biar aku sendiri yang akan mencoba mengejar"
Lelaki di depannya menautkan
alis.
"Tapi, Tuan. Apa Tuan
sejak tadi tak melihat seseorang mencurigakan?"
"Apa maksudmu,
Prajurit?"
"Aku justru berkuda di
sini, karena hendak mencoba menguntit orang itu. Sampai, aku bertemu
Tuan...."
"Jadi..., orang itu
sebenarnya berlari ke arah sini?" sentak Chin Liong dengan mata agak
membesar.
Tanpa sempat menyaksikan
anggukan orang yang melapor....
"Hua ha ha he he
heee..."
Chin Liong bersama satu
perwira dan empat prajurit tersentak dengan suara tawa seseorang yang demikian
menggelegar, memporakkan suasana pagi yang damai.
Chin Liong terperangah. Sigap
sekali tubuhnya diputar ke arah melompatnya suara tawa. Sekedip dari geraknya,
tangan kanannya menyambar gagang pedang dari punggung. Lalu, menghunuskannya
dengan kuda-kuda siap tarung.
Keterperangahan yang lebih
besar harus ditelannya begitu
menyaksikan, siapa orang yang
datang. Orang itulah yang menculik Putri Ying Lien.
Matanya menyaksikan tubuh
gadis itu di bahunya. Tapi, benarkah semua itu akan tetap menjadi persoalan?
Karena orang yang berdiri dan masih tertawa terpingkal-pingkal adalah....
Pendekar Slebor.
"Apa maksudmu dengan
semua ini, Andika?" semprot Chin Liong.
Dikatakan gusar, tidak.
Dibilang gembira pun sulit. Jantung Chin Liong nyaris tersobek gara-gara
khawatir pada keselamatan Putri Ying Lien.
Bahkan khawatir pula pada
bencana yang bakal menimpa tanah Jawa, karena Pedang Pusaka Langit. Sekarang
setelah dia bertemu penculiknya, orang itu justru adalah pendekar muda yang
sedang diharap-harapnya.
"Hey, jangan mengomeliku
dengan bahasa Tiongkokmu" kelakar Andika.
"Aku bilang, apa-apaan
kau ini?" ralat Chin Liong, sembari menyarungkan pedang kembali. Lalu,
dihampirinya Andika.
"Tanyakanlah pada Tuan
Putrimu sendiri' jawab Andika, masih dengan sisa cengirnya yang sungguh mati
tak bagus Diturunkannya tubuh Putri Ying Lien yang sebenarnya tidak apa-apa
itu.
"Apa kau baru kenal
Pendekar Slebor, Chin Liong?" ujar Putri Ying Lien disertai senyum tipis
yang ditangkap Chin Liong sebagai senyum senang.
"Rupanya dia sudah tahu
kalau kita ke sini. Dan dia pun ingin membuat kejutan, yang sedikit sinting
untukmu. Mulanya aku menganggap semua itu terlalu konyol. Tapi kau tahu
sendiri...."
Kepala Putri Ying Lien menoleh
ke arah Andika.
"Pendekar kita ini
terlalu keras kepala untuk di-
tolak..."
Sampai di situ Chin Liong
hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Benar kata Putri Ying Lien
barusan. Ini benar-benar kejutan yang tidak hanya sedikit sinting, tapi
benar-benar gila Hatinya jengkel, campur aduk dengan gemas. Pantas saja Pedang
Pusaka Langit bisa menghilang, sementara petinya atau pun kuncinya tidak
mengalami kerusakan sedikit pun. Bodoh sekali dia Bukankah cuma Putri Ying Lien
yang memegang kunci peti pedang itu?
"Heee Kau mau memelukku
atau hendak menjitak kepalaku, karena sempat kubuat begadang semalam
suntuk?" tukas Andika enteng saja.
Sepertinya Pendekar Slebor tak
pernah berdosa telah menyusahkan begitu banyak orang, hanya untuk mewujudkan
gurauannya yang kelewatan.
"Rasanya aku ingin
meninju keningmu, Andika" seru Chin Liong, tak bersungguh-sungguh.
"Kalau begitu,
silakan.... Mungkin dengan begitu sifat urakanku akan sembuh."
Chin Liong tertawa renyah.
Andika malah tergelak besar. Lalu, keduanya berangkulan akrab.
"Aku rindu kau, Pemuda
Brengsek" umpat Chin Liong.
"Heran Aku justru
tidak...."
Dengan gemas, perut Andika
dihadiahkan bogem oleh Chin Liong.
"Dan kau perlu tahu pula,
Tuan Putri kita pun pasti amat rindu padamu.
Buktinya, dia mau diajak
jalan-jalan olehmu semalam suntuk. Kau tidak melakukan yang bukan-bukan padanya.
kan?" bisik Chin Liong.
"Chin Liong" bentak
Putri Ying Lien, rikuh. Telinganya yang selama ini menjadi pengganti matanya,
telah menangkap bisikan halus Chin Liong.
Kali ini Chin Liong sempat
tergelak. ***
"Jadi apa maksud kalian
mengunjungiku? Sekadar berkunjung, atau ada maksud yang lebih penting?"
tanya Andika ketika pada keesokan harinya, mereka berada di kapal kerajaan
Putri Ying Lien. Ketika kawan seperjuangan itu duduk saling berhadapan di ruang
kebesaran Putri Ying Lien, di atas kursi masing-masing.
Putri Ying Lien bangkit dari
kursinya. Agak merayap, didekatinya sebuah laci besar di dinding kayu ruangan.
"Sebelum kuberitahu, aku
ingin memperlihatkan sesuatu padamu, Andika...," kata gadis itu.
Dari dalam laci besar
berukiran Cina, putri jelita itu mengeluarkan segulungan papirus.
"Kau pernah melihat
ini?" tanya Putri Ying Lien pada Andika.
Andika menggeleng.
Putri Ying Lien lantas
menghampiri tempat duduk Andika.
"Ini adalah papirus,
sarana menulis orang-orang Mesir. Seorang perwira kerajaanku mendapatkannya
dari seekor burung gurun. Lihatlah isinya"
Andika menerima gulungan
papirus hati-hati dari tangan Putri Ying Lien.
Dari rupanya, papirus itu
sepertinya sudah demikian tua dan rapuh.
Maka dengan hati-hati pula,
pemuda itu membukanya.
Papirus terbentang. Dan mata
Andika pun menyaksikan sebuah lukisan piramida serta patung singa berkepala
manusia. Ditambah gambar tangan manusia yang seolah-olah mempersilakan masuk ke
dalam piramida.
"Kau diundang ke Mesir,
Ying Lien...," ungkap Andika, mengutarakan pendapatnya.
"Ya Aku pun berpendapat
sama denganmu" kata Chin Liong.
"Lalu, apa hubungannya
denganku?" tanya Andika kemudian.
Putri Ying Lien duduk kembali
di kursinya.
"Aku berniat mengajakmu
ke Mesir, Andika," ucap gadis itu.
"Mengajakku? Kalian yang
diundang, kenapa aku harus diajak?"
"Firasatku mengatakan,
kami akan membutuhkan pertolonganmu di sana...," papar Putri Ying Lien,
mengemukakan alasan.
"Ooo, jadi bukan karena
kau ingin bersamaku?"
Putri Ying Lien menaikkan sudut
bibirnya. Gadis ini termasuk tahan menerima godaan si urakan, Pendekar Slebor.
"Panglima Chin Liong
Panglima"
Tiba-tiba seorang perwira
masuk ke dalam ruangan tergesa-gesa.
"Ada apa?" tanya
Chin Liong.
"Burung gurun itu Aku
melihatnya kembali sedang berputar-putar tepat di atas kapal kita" *** 5
Jauh di atas ubun-ubun kapal
layar, seekor burung gurun tampak melanglang angkasa, membawa keangkuhan dan
ancaman yang sulit dimengerti. Burung inilah yang juga pernah dilihat salah
seorang perwira Kerajaan Cina, dan terlihat oleh Kenjiro dan Hiroto di negeri
Sakura.
Andika, Putri Ying Lien, Chin
Liong serta para perwira dan prajurit berdiri diam seperti tersihir atas
kedatangan burung itu. Mereka memandangi dengan mata mencerminkan kesan
kekaguman, sekaligus kengerian.
"Kau yakin burung itu
yang kau lihat?" tanya Andika pada perwira di sisinya.
Perwira yang ditanya
mengangguk pasti.
"Bagaimana menurutmu
tentang burung itu, Andika?" tanya Chin Liong.
"Memang ganjil. Tak
semestinya burung gurun seperti itu berkeliaran di tanah Jawa...," simpul
Andika cepat.
"Tak semestinya juga
berkeliaran di atas wilayah kami," timpal Putri Ying Lien.
Biarpun gadis ini tidak
melihat langsung rupa burung itu, namun bisa tahu dari penjelasan perwira yang
melapor padanya beberapa waktu lalu.
Lalu semuanya kembali mengunci
mulut serempak, seakan takut kehilangan burung yang masih tetap melayang-layang
berputar jauh di atas kapal. Sampai akhirnya....
"Hey, lihat" seru
seorang prajurit di buritan tiba-tiba. Tangannya menunjuk ke arah lain dengan
sinar mata takjub tak terkira.
Seperti diberi aba-aba, semua
yang berada di sana menoleh serempak ke arah yang ditunjuk prajurit ladi.
Bersamaan pula mereka dipaksa takjub. Ratusan burung elang tampak melayang
gagah menuju satu titik..., burung gurun
"Apa lagi ini?"
tanya Andika, tak habis pikir. Setelah itu dia hanya bisa mengikuti apa yang
terjadi.
Ratusan elang perkasa yang
merentang sayap lebar-lebar mengendarai bayu, makin dekat pada burung gurun.
Mulanya berbondong bondong tanpa suara seperti kawanan ksatria angkasa bisu.
Ketika jarak makin dekat, jeritan lantang terdengar susul menyusul,
tindih-menindih.
"Kiiing Kiiing"
Mereka yang menyaksikan makin
takjub. Benar-benar pertunjukan yang jarang terjadi. Tak lazim burung-burung
elang terbang berkawanan seperti itu, membentuk susunan terbang yang sepertinya
begitu teratur rapi.
Naluri bahaya dari seekor
burung gurun memperingati. Burung dari tempat yang jauh itu bisa merasakan,
kalau kawanan elang hendak menyerang dirinya. Karena itu, sayapnya dikepak
kuat-kuat. Dite-jangnya udara, terbang sepenuh tenaga untuk menjauh dari
tempatnya semula.
Kawanan elang itu tak
membiarkan calon korban menyingkir begitu saja.
Satu-satunya tujuan sepertinya
hanya mendapatkan tubuh calon korban untuk direncah ramai-ramai dengan cakar
tajam mereka.
Seekor burung elang yang
paling besar mengepak sayap lebih kuat, memisahkan diri dari kelompoknya. Penuh
kesan gagah laksana seekor panglima perang di medan laga, dibuatnya satu
tukikan tajam ketika jaraknya sudah cukup dekat dengan sasaran.
"Kiiing"
Dari arah atas, burung elang
itu membuka cakarnya lebar-lebar. Dan punuk burung gurun pun langsung menjadi
tempat mendarat cakar elang itu.
Namun tak begitu mudah rupanya
bagi sang elang untuk menundukkan burung gurun yang sebenarnya tak kalah ganas.
Belum lagi cakar sang elang merejam, burung berkepala nyaris gundul itu membuat
gerakan menyamping.
Sebentar burung nyaris gundul
ini memutar tubuh. Lalu tubuhnya melayang deras, berhadapan dengan arah terbang
sang elang.
Dua ekor burung yang sama
besar kini siap saling mencabik atau mematuk di udara. Sampai pada saatnya...,
"Kaaakkk"
"Kiiing"
Keduanya sama-sama melepas
teriakan menusuk angkasa. Saat yang sama cakar mereka menyambar ke tubuh satu
sama lain. Sang elang bisa merobek dada lawannya. Burung gurun pun berhasil
menyarangkan cakarnya ke dada sang elang. Maka gerakan terbang keduanya sejenak
limbung.
Burung gurun yang terkenal
tangguh lebih dapat menguasai keadaan.
Otot-otot sayapnya mampu
membuat gerakan keseimbangan terbangnya kembali, meski dadanya sudah terembesi
darah.
Secepatnya, burung itu
memanfaatkan kelimbungan sang elang.
Didahului teriakan serak,
diburunya lawan dari arah belakang.
Sayang Pada kala itu pula,
kawanan burung elang yang lain sudah tiba.
Cakar-cakar mereka langsung
bergantian mencabik. Beberapa di antara nya malah mencengkeram tubuh burung
gurun kuat-kuat. Sampai akhirnya, burung gurun itu tak berdaya lagi.
Bulu-bulunya bertebaran tertiup angin, melayang-layang lunglai seperti nyawa
burung gurun yang ikut melayang direnggut cabikan cakar dan paruh sang elang.
Sementara itu orang-orang di
atas kapal tertegun. Mereka seperti menyaksikan sandiwara manusia yang
dimainkan secara nyata oleh para makhluk di atas sana. Bukankah manusia pun
kerap begitu? Saling mencabik, cakar-mencakar untuk mencari kepuasan dan
kemenangan dengan darah sesama?
Selagi mereka tertegun,
kawanan burung elang yang mencengkeram tubuh burung gurun menjatuhkan bangkai
itu ke geladak kapal.
"Aku tak mengerti, apa
maksud kawanan elang itu. Aku yakin mereka adalah burung-burung
terlatih...," bisik Andika seraya menghampiri bangkai burung gurun.
Pada kaki burung itu, Andika
menemukan gulungan papirus seperti pernah didapatkan Putri Ying Lien. Maka
dengan segera dibukanya.
Diperlihatkan isi papirus itu
pada Putri Ying Lien.
"Papirus dengan isi yang
sama...." ucap Chin Liong, memberitahu Putri Ying Lien.
"Ya Papirus dengan isi
yang sama" Tiba-tiba terdengar suara orang lain menimpali. Dan tahu-tahu
saja, orang itu sudah ikut hadir di antara mereka.
Andika langsung menoleh ke
arah orang itu, dan kontan terkejut. Orang itu sudah dikenalnya beberapa hari
lalu. Benarkah cuma dia saja yang mengenal si pendatang baru itu? Tidak
Nyatanya, Putri Ying Lien pun agak terkesiap mendengar suara itu. Termasuk,
Chin Liong....
"Kau rupanya, Pak Tua
Penggembala Tak kukira kau akan bertandang juga ke kapal sahabatku ini"
sambut Andika ramah. Lelaki yang baru datang memang Penggembala Tua, yang
pernah ditemui Pendekar Slebor beberapa waktu lalu.
"Selamat berjumpa lagi,
Orang Tua" sapa Chin Liong hangat. Dari caranya melempar salam jelas
sekali kalau dia sudah cukup mengenalnya.
"Kau mengenalnya?"
tanya Andika pada Chin Liong.
"Ya Beberapa waktu lalu,
dia tinggal cukup lama di kerajaan kami.
Selama disana, dia banyak
memberi banyak pelajaran baik pada para perwira, serta para tabib
kami...," Putri Ying Lien yang menyahuti pertanyaan Andika.
"Ah Jangan dengarkan
ucapan yang berlebihan itu" sergah si orang tua, merasa risih mendapat
semua sanjungan Putri Ying Lien. "Aku hanya seorang petualang kecil, yang
mencoba menyusuri setiap jengkal tanah di bumi yang telah ditempati
manusia...."
"Petualang?" Andika
berbisik sendiri.
Rasanya Pendekar Slebor sempat
mendengar desas-desus tentang seorang tokoh golongan putih yang sudah begitu
banyak melanglangi wajah bumi. Hampir setiap jengkal tanah berpenghuni telah
dijejaki.
Karena itu pula, dia
disebut-sebut sebagai si Gila Petualang. Disebut gila, bukan berarti otaknya terganggu.
Justru karena dia begitu tergila-gila untuk terus berjalan, sepanjang bumi
masih berputar pada sumbunya. Dan sepanjang usianya masih memungkinkan,
tentunya.
"Kebetulan sekali kau ada
di sini, Orang Tua Bagaimana kalau kau kuajak serta? Bukankah pengalamanmu bisa
menjadi penuntun yang baik untuk perjalanan kami?" Putri Ying Lien
menawarkan.
"Bicara soal
keberangkatan kita ke Mesir, aku jadi teringat pada papirus ini," sela
Andika. "Aku menemukannya terikat di kaki burung gurun tadi. Bagaimana
menurutmu, Pak Tua?" tanya Andika.
Diserahkannya gulungan papirus
di tangan pada laki-laki penggembala yang ternyata berjuluk si Gila Petualang.
Si Gila Petulang mengamati
sesaat.
"Benar.... Ini memang
dari negeri Mesir sana. Usianya pun sudah begitu tua...," ungkap orang tua
itu kemudian. "Hm.... Jadi aku memang tak salah lihat. Burung yang
direncah elang-elangku memang burung gurun."
"Jadi elang-elang tadi
milikmu?" cetus Andika.
"Ah Aku hanya memelihara
dan melatih. Tak ada yang bisa memiliki mereka secara mutlak. Mereka punya
kebebasan dan naluri hidup sendiri."
Tiba-tiba pemuda dari Lembah
Kutukan ini tersenyum seraya menjentikkan jarinya.
"Sekarang aku tahu,
kenapa kau dulu mengatakan bebek-bebek milikmu sudah habis dimakan. Rupanya,
sudah kaujadikan santapan elang-elangmu itu bukan? Maaf kalau waktu itu aku
menggangumu
penggembala... bebek He he he.
Rupanya kau hanya hendak memberi makan binatang-binatang peliharaanmu yang
hebat itu." ***
Sementara di tempat lain
rupanya tengah berlangsung pertarungan puncak antara dua tokoh sesepuh
persilatan yang bisa dibilang sama-sama sinting. Keduanya punya sifat berbeda.
Yang satu begitu dingin, seperti gumpalan es kutub utara. Sedang yang lain
begitu lugu. Biar sifat berbeda, mereka tetap memiliki kesamaan. Di samping
sama-sama tua bangka, juga sama-sama memiliki kelainan otak. Alias, kurang
waras
Nama keduanya amat santer di
dunia persilatan beberapa puluh tahun yang lalu sebagai dua orang seteru. Yang
satu berjuluk Hakim Tanpa Wajah. Dan yang lain berjuluk Pendekar Dungu.
Beberapa waktu yang lalu,
mereka mulai unjuk gigi lagi. Meskipun, sebenarnya sudah sama-sama kehabisan
'gigi' (Baca episode: "Manusia Dari Pusat Bumi" dan "Pengadilan
Perut Bumi").
Hakim Tanpa Wajah yang
berhasil lolos dari ancaman muridnya sendiri di Pengadilan Perut Bumi beberapa
waktu yang lalu, rupanya tetap penasaran terhadap Pendekar Dungu. Dari dulu
hingga sekarang, bahkan bila siap terjun ke liang lahat sekalipun, dia akan
tetap ingin mempecundangi Pendekar Dungu. Karena saat masa jayanya dulu,
Pendekar Dungu adalah salah satu orang yang tak bisa ditundukkannya
Hari itu, setelah mencari
demikian lama dan mendongkolkan, Hakim Tanpa Wajah akhirnya berhasil menjumpai
si bangkotan bebal musuh lamanya. Dan tanpa salam pertemuan atau basa-basi
lagi, langsung saja diterjangnya Pendekar Dungu.
"He he he Biar mampus
kau, Bangkotan" seru Hakim Tanpa Wajah seiring satu sambaran pukulan
intinya.
Saat itu pertarungan mereka
sudah memasuki juus ke seratus dua belas.
"Eee Kau saja yang mampus,
sana" balas Pendekar Dungu dengan bibir maju-mundur sambil membalas
sambaran dengan depakan kaki, setelah lebih dahulu menghindar.
Hakim Tanpa Wajah melayang ke
belakang, lalu berdiri cukup jauh dari lawannya. Sedangkan Pendekar Dungu tak
memburu. Sepertinya dia sudah mulai jenuh dengan pertarungan yang demikian
lama, tapi belum juga membawa hasil.
"Mana kawan jelekmu si
Manusia Berbulu Hitam? Biar kukepruk kepalanya sekalian Bukankah waktu itu
kalian sudah bisa berjalan bersama, seperti anjing kura dan kucing kudis yang
insaf" cemooh Hakim Tanpa Wajah.
Pendekar Dungu berpikir
sebentar.
"Aku tak tahu, ke mana si
biang monyet itu.... Apa kau tahu, ke mana dia? Apa tak mungkin dia sedang
mengeritingkan bulu-bulunya?"
ucapnya, polos sekali. Orang
bebal seperti dia, mana tahu kalau dirinya tadi sedang dicemooh.
Hakim Tanpa Wajah menyeringai.
Sulit dikatakan senyum, sulit juga dikatakan geram. Bibirnya yang begitu
tersembunyi menjadi terlihat menjijikkan.
"Sebenarnya cuma dongkol
yang kutelan, kalau berurusan denganmu.
Tapi tololnya, entah kenapa
aku masih saja penasaran denganmu, otak udang sial" dengus Hakim Tanpa
Wajah.
"Yang tolol aku, bukan
kau Berani-beraninya kau mengaku tolol padaku?"
"Kaaak"
Tiba-tiba terdengar suara
serak di angkasa. Keduanya sama-sama menoleh. Kalau burung biasa, jangan harap
mereka akan peduli. Yang satu ini, lain sama sekali. Begitu menurut pikiran
mereka masing-masing.
"Idih, burung apa
itu?" seru Pendekar Dungu. "Jeleknya kok bisa nyaingi aku, ya?"
Begitu menyaksikan rupa burung
yang mereka lihat, keduanya seperti kehilangan semangat untuk melanjutkan
pertarungan. Masing-masing tidak peduli lagi pada kelengahan satu sama lain.
Ada semacam kekuatan pesona yang dimiliki burung itu.
"Aneh juga..., baru kali
ini aku melihat burung seperti itu? Burung dari mana?" bisik Hakim Tanpa
Wajah membatin. Alisnya yang tak kentara jadi bertaut.
Tak lama berikutnya, sesuatu
dijatuhkan burung itu dari kakinya.
Wajah Pendekar Dungu berbinar.
Tak tahu, apa yang sedang
dipikirkannya saat itu. Bisa
jadi, dikira si burung menjatuhkan buah dari sorga.
"Tangkap Tangkap"
seru Pendekar Dungu blingsatan.
Bersemangat dia memburu ke
arah luncuran jatuh benda tadi. Biarpun terbilang keropos, larinya masih lebih
lincah daripada biang kadal buduk
"Dapat" teriak
Pendekar Dungu setelah benda tadi disergapnya. "Apa ini Oiii, apa ini? Aku
dapat rejeki..., aku dapat rejeki"
"Berikan padaku"
ucap Hakim Tanpa Wajah penuh tekanan dengan Wajah mengancam.
Pendekar Dungu mencibir.
Dibukanya benda yang ternyata gulungan papirus. Wajahnya lantas cemberut,
begitu tak menemukan apa-apa di dalam-nya.
"Benda bau pesing Kau mau
ini? Nih, makan" dengus Pendekar Dungu seraya melempar kertas itu pada
Hakim Tanpa Wajah.
Hakim Tanpa Wajah
menangkapnya, lalu memperhatikan seksama.
Beberapa saat kemudian,
kepalanya mengangguk-angguk. Ada sesuatu yang didapatkan dari gambar di
papirus. Sebentar kemudian, dicampakkannya papirus itu, lalu pergi begitu saja
dengan wajah sungguh-sungguh.
Tinggal si bangkotan berotak
bebal yang terbengong sendiri.
Ditatapnya lama-lama papirus
di tanah. Lalu, diambilnya benda itu.
Perlahan-lahan dibukanya
papirus, dan dipelototinya sekian lama.
Beberapa saat kemudian
kepalanya tampak mengangguk-angguk.
Seperti Hakim Tanpa Wajah, Pendekar
Dungu juga mencampakkan pula papirus tadi ke tanah, lalu ngeloyor pergi. Apakah
dia telah pula mendapatkan sesuatu? Mustahil Otak sebesar tempurung dengkul
miliknya, tak mungkin mencerna maksud di papirus. Dia cuma latah meniru lagak
Hakim Tanpa Wajah barusan *** 6
Siang itu, kapal layar Cina
milik Putri Ying Lien siap meniti samudera bebas kembali. Mesir sebagai tujuan
utama, memenuhi undangan yang penuh teka teki dari seorang penguasa yang juga
tak jelas. Siapa dia?
Dan mengapa mengundang banyak
tokoh persilatan untuk memasuki piramidanya? Bukankah amat aneh, kalau piramida
itu sendiri sebenarnya adalah sebuah makam raksasa? Mungkinkah penguasa Mesir
yang mengundang telah mati?
Teka-teki besar tak perlu
dijawab secepatnya. Yang harus mereka lakukan cuma tiba secepatnya di sana.
Layar terkembang lebar,
berkibar-kibar disapu sang bayu. Teriakan-teriakan riuh para awak kapal
terdengar. Sauh pun sudah diangkat.
Bersama Pendekar Slebor serta
si Gila Petualang, kapal perang Cina ini meninggalkan dermaga.
Langit memayungi samudera
dengan wajah cerahnya. Sampai ke kaki langit sana, mega-mega tipis saja yang
tampak ramah. Angin pun berhembus bersahabat, cukup untuk menuntun kapal layar
melaju lurus.
Burung-burung pemburu
ikan-ikan kecil terbang riang, seakan menyampaikan ucapan selamat jalan.
Di punggung kapal, Pendekar
Slebor berdiri menyendiri, menatap tepian dermaga yang kian menjauh. Ada
perasaan kehilangan dalam dirinya saat itu. Perasaan yang sama, seperti ketika
meninggalkan tanah Jawa menuju negeri Cina dahulu.
"Selalu tak enak
meninggalkan tanah kelahiran, bukan?" usik seseorang di belakangnya.
Ternyata si Gila Petualang
telah berada di sana. Sama-sama berdiri, melepas pandangan jauh ke dermaga yang
mulai mengabur.
"Aku pun merasakan hal yang
sama, setiap kali harus melanglang ke negeri orang. Biar bagaimanapun, tanah
pertiwi tetap membuat kita selalu rindu untuk kembali. Sepertinya darah kita
adalah darah yang mengalir dalam tubuh Tanah Pertiwi...," papar orang tua
itu, terdengar agak lirih.
"Tapi kenapa kau tetap
terus melanglang buana?" tanya Andika.
"Karena bumi ini luas,
Anak Muda. Biar cinta pada tempat kelahiran, kita tak bisa menjadi katak dalam
tempurung"
Andika tertawa kecil.
"Benar katamu, Orang Tua," katanya. "O, ya....
Bisa kau bercerita sedikit
tentang papirus itu? Kudengar dari Putri Ying Lien, kau pernah menyinggahi
negeri Mesir. Sedikit banyak kau tentu tahu makna gambar dalam papirus itu,
bukan?" susul Andika.
"Mesir...," si Gila
Petualang menarik napas dan diam sesaat. "Negeri yang punya banyak
teka-teki. Tentang kuburan raksasa para rajanya, tentang kuil-kuilnya. Tapi,
kau tak akan menanyakan itu bukan? "
"Ya Khususnya tentang
piramida," tegas Andika.
Si Gila Petualang
menggelengkan kepala.
"Aku tak tahu banyak
tentang itu. Selama di sana, aku tak pernah masuk ke dalamnya, meskipun begitu
berhasrat. Tak bisa sembarang orang masuk kesana, karena kuburan kebesaran
seperti itu selalu di jaga seorang Pendeta 'Ka'...."
"Pendeta 'Ka'?"
ulang Andika, langsung tergugah keingintahuannya.
"Seorang yang mendapat
amanat untuk mengadakan misa 'Ka', sekaligus sebagai pemelihara kuburan
itu...."
Andika tercenung.
"Kalau undangan itu
benar-benar datang dari seorang penguasa Mesir, tentu kita akan bertemu orang
seperti itu," gumam Andika seperti berkata pada diri sendiri.
Pendekar Slebor memang begitu
ingin tahu tentang negeri asing yang disebut kawan seperjalanan di sisinya
sebagai negeri yang begitu banyak mengandung teka-teki.
"Hey Siapa kau? Kenapa
bisa ada di sini?"
Tiba-tiba terdengar hardikan
seorang dari ruang bawah gudang kapal.
Andika dan si Gila Petualang
cepat-cepat menuju tempat keributan.
Setibanya di sana, Pendekar
Slebor menyaksikan seseorang yang sudah tak asing lagi, dengan bentuk tubuhnya
yang melengkung seperti tongkat. Wajahnya lucu, namun menyebalkan. Dan orang
tua ini pernah membuatnya dongkol setengah mampus.
"Pendekar Dungu?"
sebut anak muda itu, seperti tak percaya pada penglihatannya.
Sementara orang tua yang
dipanggil namanya malah sedang terbang dibawa mimpi di antara tumpukan
gentong-gentong anggur Cina. Salah satu gentong sudah berlubang. Sebagian besar
isinya berceceran.
Jangan tanya, ke mana perginya
sebagian yang lain. Si bangkotan bebal itu tentu sudah menggasaknya sampai
mabuk
Kalau lantai gudang basah
dengan genangan anggur, maka dagu keriput tua bangka itu basah dengan genangan
air liurnya. Begitu nyenyaknya, sampai-sampai mulutnya yang menganga lupa
dikunci hingga seperti lubang tikus sawah.
Pendekar muda dari tanah Jawa
itu menggeleng-gelengkan kepala. Tak disangka akan bertemu kembali dengan orang
yang bisa membuatnya mati berdiri Kini, si tua itu ikut pula dalam kapal.
Artinya, mau tidak mau, dia pun mesti diajak serta memenuhi undangan penguasa
Mesir.
"Sial...," rutuk
hati Andika membatin.
"Biar orang tua tak tahu
adat ini kubuang ke laut, Tuan Pendekar"
Prajurit yang barusan
menghardik meminta persetujuan Andika.
Wajahnya garang sekali dengan
warna merah.
Mendengar ucapannya, Andika
jadi tertawa.
"Jangan...," cegah
pendekar muda itu. "Jangan-jangan, malah kau yang dilempar jauh-jauh ke
tengah laut...."
Mendengar ada nada kesungguhan
dalam kata-kata Pendekar Slebor, si prajurit meringis. Bergidik juga
mendengarnya. Kalau seorang pendekar kesohor seperti Pendekar Slebor berkata
begitu, berarti si keropos yang kelihatan lemah itu sebenarnya memiliki
kehebatan setara dengannya. Atau mungkin juga lebih tinggi
"Ya Kurasa aku pun belum
tentu sanggup melakukannya," timpal si Gila Petualang jujur dan seadanya.
Dia cukup kenal tokoh yang lebih dahulu melabrak dunia persilatan, sebelum
dirinya itu.
Nah Makin meringis saja
prajurit tadi
"Kalau begitu, biarkan
dia tertidur pulas di sana sampai terjaga. Suruh orang mengawasi. Kalau sudah
terjaga, cepat beritahu aku," perintah Andika.
Si prajurit mengangguk cepat.
Kemudian, Pendekar Slebor dan si Gila Petualang pun naik ke buritan. ***
Mesir kala itu sebenarnya
merupakan tempat yang bisa disebut mempesona. Begitu memasuki Sungai Nil,
terpampanglah pemandangan yang menjerat perasaan. Warna biru pucat terhampar di
sepanjang sungai besar ini. Pantulan mentari menciptakan kepingan-kepingan
cahaya, seperti ribuan cermin kecil berkerlap-kerlip.
Di sepanjang sungai itu,
banyak terhampar tanah pertanian yang memanfaatkan aliran sungai untuk
pengairan. Tak seperti perkiraan Andika sebelumnya, kalau negeri itu cuma
dipenuhi gurun dan gurun semata.
Melalui sungai itu, kapal Cina
ini terus menyusur menuju tebing barat Sungai Nil. Tepatnya, di daerah
'Thebes'. Menurut si Gila Petualang yang lebih banyak mampu menerjemahkan makna
gambar-gambar di papirus, mereka pasti ke sana. Di sanalah mereka akan menemui
piramida yang dituju.
Sepanjang aliran sungai, para
awak kapal kerap menyaksikan binatang raksasa penghuninya bermunculan.... Buaya
dan kuda nil Malah beberapa kali, lambung kapal menumbuk tubuh para makhluk
perkasa nan buas itu.
Pada beberapa tempat di tepian
sungai yang disesaki tumbuhan liar seperti alang-alang, segerombolan buaya yang
berukuran lebih dari dua kali tubuh manusia, sedang berjemur dengan mulut
menganga.
Keelokan bentuk kuda nil yang
menjadi penghuni khas Sungai Nil, menjadi pusat perhatian segenap awak kapal.
Sebagian dari mereka memang baru pertama kali menyaksikan dengan mata kepala
sendiri binatang itu. Kecuali, si Gila Petualang tentunya
"Apa nama binatang besar
bertampang tolol itu, Pak Tua?" tanya Andika pada si Gila Petualang.
Didahului senyum lebar
mendengar pertanyaan yang terdengar ketolol-tololan Andika, si Gila Petualang
berpaling ke wajah Pendekar Slebor.
"Yang kutahu, namanya
Kuda Nil. Sesuai tempat hidup mereka, Sungai Nil...," sahut si Gila
Petualang masih disertai senyum. "Kau bilang tampang mereka tolol
barusan?"
Andika mengangguk.
"Kau jangan salah sangka.
Di balik wajah dungu itu, mengalir darah dingin yang tak kalah dibanding seekor
buaya luka...," ungkap si Gila Petualang sungguh-sungguh.
Mendadak tawa Andika meledak.
Keras, dan memekakkan. Sampai-sampai dua serdadu Cina di sebelahnya terlonjak
"Kenapa?" tanya si
Gila Petualang, heran.
"Aku hanya ingat Pendekar
Dungu si tua tamu kita. Kau menjelaskan tentang binatang itu, seolah-olah
sedang membicarakan dirinya yang bebal, tapi bisa berbahaya karena
ketololannya," sambung Andika disertai tawa. Namun....
Dukh
Tawa Pendekar Slebor tidak
memanjang ketika sesuatu menimpa kapal besar Cina itu. Dari sisi lambung kiri
kapal, sebentuk dorongan amat kuat membuat kapal besar itu oleng kuat ke satu
sisi.
Dukh
"Apa kita menabrak
sesuatu?" tanya Pendekar Slebor pada nakhoda.
Dukh Dukh
Saat yang sama, kejadian seperti
tadi terulang kembali. Lebih keras dan hebat
"Kita tidak menabrak
apa-apa. Justru kita yang ditabrak..., oleh sekawanan binatang sungai"
Nakhoda di atas geladak
kemudinya memberi sahutan yang memaksa Andika dan si Gila Petualang
terperangah.
"Apa telingaku sudah
diberaki cecak?" gumam Pendekar Slebor, tak percaya pada apa yang
didengarnya.
Berbarengan dengan gumamannya,
anak muda itu mencelat lincah ke sisi seberang kapal di mana tumbukan terjadi.
Saat itu juga mata Pendekar
Slebor mendelik, menyaksikan permukaan sungai di bawah sana mana-kala melengok.
Ada sekitar lima puluh ekor Kuda Nil sedang menghantami lambung kapal
"Aku pasti sudah
sinting" rutuk Andika, menyumpahi diri sendiri
Sungguh mati dia tak bisa
mempercayainya.
"Ada apa, Anak Muda? Kau
seperti melihat dedemit sungai?" tanya si Gila Petualang, bergegas
menghampiri.
"Aku rasa, aku memang
melihat dedemit sungai yang iseng-iseng menyamar menjadi binatang bertampang
tolol itu" gerutu Andika dengan mata tak berkedip, menyaksikan hewan-hewan
raksasa penghuni sungai itu menguak mulut bergantian, lalu melempar suara berat
berdegam menggetarkan. Setelah itu secara bersamaan mereka mulai menanduki
lambung kapal kembali.
"Sulit dipercaya"
desis si Gila Petualang. Saat orang tua itu tiba, Chin Liong pun sudah sampai
pula di sisinya.
"Jelaskan padaku, Orang
Tua Apakah binatang-binatang bertampang tolol itu memang punya kebiasaan jelek
seperti itu?" tanya Andika.
"Mereka memang suka
mengganggu perahu. Tapi, tidak dengan cara serempak seperti ini. Mereka seperti
ada yang memerintah" sahut si Gila Petualang, menjelaskan.
Mata Chin Liong menyergap
wajah si Gila Petualang.
"Seperti elang-elangmu
dulu?"
Si Gila Petualang membenarkan
dengan isyarat kepala.
Dukh
Sekali lagi kapal layar
menjadi oleng. Dorongan keras para makhluk air, telah menyeretnya menuju tepi
yang bertebing. Alamat buruk pasti akan terjadi bila kapal melabrak tepian
sungai itu. Bukan lagi kawanan binatang yang memecahkan lambung kapal,
melainkan gigir-gigir tebing
"Tuan Panglima Apa yang
harus kami perbuat?" teriak nakhoda kalang-kabut. "Kapal ini bisa
karam, kalau sampai menghantam gigir tepian sungai"
"Kendalikan kemudi"
seru Chin Liong.
"Tak bisa Binatang itu
terlalu kuat mendorong kapal kita"
Saat itu, semua orang menjadi
tegang. Bagi orang seperti Pendekar Slebor, si Gila Petualang, Chin Liong, atau
Putri Ying Lien, keadaan itu tak terlalu menyulitkan. Meskipun gigir sungai
bertebing tinggi dan curam, mereka masih dapat melenting-lenting di
permukaannya menggunakan ilmu meringankan tubuh masing-masing.
Namun bagaimana dengan para
awak kapal lain? Mereka belum tentu mampu menundukkan tebing securam itu,
dengan kemampuan ilmu meringankan tubuh. Sementara kalau mereka tidak melompat,
kapal akan segera menabrak gigir sungai dan segera pula karam. Kalau itu
terjadi, maka akan menjadi santapan buaya-buaya besar Sungai Nil
Chin Liong seperti kehilangan
akal. Sama sekali di benaknya tak terbetik cara untuk memecahkan masalah yang
mengancam jiwa awak kapalnya. Kekalutan anak buahnya justru menambah kekacauan
otaknya untuk berpikir jernih.
"Siapkan pasukan pemanah
Hujani binatang-binatang itu" perintah Chin Liong, tanpa dapat menemukan
cara lain. Padahal tindakan yang diperintahkannya bisa membuat makhluk-makhluk
air liar itu malah bertambah liar.
Berbeda dengan Pendekar Slebor
yang otaknya begitu terlatih untuk tetap berputar dalam keadaan gawat. Dia sama
sekali tidak terpengaruh dengan riuh rendah kekalutan awak kapal.
Benak anak muda itu bergulat
pikir sejenak. Se-mentara itu, mata elangnya jelalatan tangkas kian kemari,
meneliti cepat keadaan yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan.
Di lain sisi, pasukan pemanah
Kerajaan Cina sudah siap membentuk barisan di sisi kiri kapal. Mereka mengunggu
aba-aba dari Chin Liong, andaikata gerombolan Kuda Nil mulai melabrak lambung
kapal kembali.
Sampai akhirnya mata Pendekar
Slebor menghujam di kejauhan, pada segerombolan buaya besar yang sebelumnya
sedang berjemur di tepian tumbuhan sejenis ilalang. Dia pun mendapatkan sinar
terang di benaknya. Sebuah akal yang jelas-jelas amat konyol"
"Tunggu" seru Andika
pada pasukan pemanah. "Jangan sekalipun melepaskan anak panah pada mereka
Mereka belum tentu mati dengan anak panah kalian yang terlalu kecil untuk
ukuran tubuh mereka Bisa-bisa, mereka malah tambah sinting"
"Lalu apa yang hendak
kita perbuat?" tanya Chin Liong berteriak dengan kening berkerut.
Bagaimana pemuda Cina ini
tidak mulai kalut kalau kapal sudah demikian dekat dengan gigir sungai.
Padahal, dia amat bertanggung jawab pada keselamatan anak buahnya.
"Kau lihat saja
nanti" ujar Pendekar Slebor disertai sebaris senyum konyolnya yang khas.
Chin Liong dipaksa meringis
melihat senyum itu. Bagaimana mungkin dia masih bisa tersenyum, pada saat
genting seperti ini?
Kalau yang lain sedang
bertanya-tanya tentang tindakan yang hendak dilakukan Andika, anak muda itu
malah berlari kilat menuju pintu gudang anggur.
"Hey Bukan saatnya
bergurau lagi, Andika" hardik Chin Liong.
Sayang, Pendekar Slebor sudah
menghilang ke dalam mulut gudang.
Singkat waktu, Andika sudah
keluar dengan menyeret tubuh seseorang: Pendeka Dungu
"Lepaskan aku, Pemuda
Sundal Apa yang ingin kau lakukan padaku?
Hehhh..." oceh Pendekar
Dungu tak kentara.
Pengaruh anggur yang diminum
Pendekar Dungu kelewat banyak, membuatnya dalam keadaan setengah sadar.
"Kau benar-benar sinting,
Andika Aku tak paham, apa yang hendak kau lakukan?" cecar Chin Liong, tak
menerima tingkah Pendekar Slebor yang dianggap aneh dan tengik.
Pendekar Slebor hanya
menjentikkan tangan, lalu mengambil sepasang kayuh perahu. Dipatahkannya gagang
kedua benda itu, lalu patahan bagian kepalanya dijepitkan ke dalam alas
kakinya. Setelah itu, masih dengan mencengkeram leher baju Pendekar Dungu,
Andika melompat ke sungai
Dengan kepala kayuh itulah,
anak muda sakti yang memiliki ilmu meringankan tubuh amat disegani semua
kalangan, meluncur cepat di permukaan sungai Secara bergantian, sebelah kakinya
digunakan untuk mengayuh. Sedang yang lain, digunakan untuk menjaga
keseimbangan tubuhnya.
Cepat seperti luncuran benda
di permukaan salju, Pendekar Slebor menuju tepian jauh di sana, tempat
segerombolan buaya besar sedang berjemur. Sementara di tangan kanannya,
Pendekar Dungu megap-megap di permukaan air.
"Hoi..., Anak Sundal Glep
Kau akan membunuhku yahhh, glep... glep"
Setibanya di dekat gerombolan
buaya, mulut Pendekar Slebor membuat suara-suara riuh. Para buaya raksasa pun
terpancing. Mereka mulai terjun sungai dengan mata bersinar rakus.
Sesaat setelah semua binatang
berdarah dingin itu masuk ke sungai, Andika mulai memain-mainkan tubuh Pendekar
Dungu di tangan kanannya. Diseret-seretnya tubuh kurus orang tua berotak bebal
itu ke kiri dan ke kanan pada permukaan air sungai.
Meski mabuk berat, Pendekar
Dungu rupanya masih bisa mengenali makhluk-makhluk yang meluncur deras ke arah
mereka. Mata sayunya mendelik sebesar uang logam. Bibirnya yang lebih kusut
dari kain gombal, berkibar-kibar mencerocoskan makian kalang-kabut.
"Maaf, Orang Tua Kami
dalam bahaya. Dan aku butuh kerjasamamu"
ucap Andika, tenang.
Kerjasama katanya? Ya, akalnya
memang tengik. Andika sengaja hendak menggiring kawanan buaya itu ke arah kanan
Kuda Nil. Kalau kedua kawanan binatang itu bertemu, sudah bisa dipastikan akan
saling membunuh. Itu berarti ada kesempatan bagi nakhoda kapal untuk
mengendalikan arah kapal kembali. Dan sebagai umpan untuk memancing kawanan
buaya... ya, Pendekar Dungu Malang nian nasib si tua keropos itu....
Kawanan buaya cepat tiba di
dekat Andika dan Pendekar Dungu. Begitu moncong salah satu buaya mulai menganga
besar tepat di depan tubuh Pendekar Dungu, Andika segera menariknya menuju arah
kapal kembali.
Sekarang, si Pendekar Slebor
menuju kapal dengan bala bantuan di belakangnya
"Hup"
Pendekar Slebor melompat
kembali ke atas kapal bersama Pendekar Dungu begitu tiba. Sedangkan di bawah
sana, terjadi pergulatan berdarah yang menakjubkan antara segerombolan buaya
besar dengan Kuda Nil perusuh Akal tengiknya ternyata berhasil
Sang nakhoda pun kini bisa
mengendalikan kembali kapalnya, sampai bisa melewati tepian sungai bergigir
tajam.
"Terima kasih banyak,
Orang Tua. Kalau tak ada kau, tentu banyak awak kapal yang menjadi makanan
siang para buaya...," seloroh Andika, pada Pendekar Dungu.
"Tai kucing kau"
bentak Pendekar Dungu sewot setengah modar.
Kapal armada Cina melaju
terus. Tanpa diketahui para awaknya, seorang wanita menatap di kejauhan dari
atas perahu khas Mesir. Matanya menyiratkan sehimpun kebengisan, mengikuti ekor
kapal yang terus menjauh. ***
Pada akhirnya kapal Kerajaan
Cina itu tiba juga di tempat yang dituju.
Untuk mencapai piramida yang
dimaksudkan dalam papirus, mereka harus menyambung perjalanan dengan berkuda
sekitar tiga hari ke bentangan gurun wilayah barat.
Pada saat yang sama, seorang
wanita cantik tampak berjalan menempuh padang pasir di utara, menuju piramida
tujuan rombongan Pendekar Slebor. Sulit dipercaya, seorang wanita seperti dia
sudi menerjang kegarangan gurun yang tak memberi kesempatan manusia untuk
hidup.
Jauh dari oase*, jauh pula
dari perkampungan penduduk. Sementara, setiap saat bisa saja lahir badai gurun
yang menerjang dahsyat disertai angin berpasirnya.
Perempuan itu berpakaian tak
lazim untuk orang Mesir. Sementara, wajahnya justru menunjukkan kalau dia
adalah penduduk asli negeri itu.
Matanya bulat berbulu lentik.
Mengerling atau tidak, tetap akan tampak menggoda. Hidungnya bangir
menggemaskan, dipersolek bibir yang merekah menggiurkan. Tak ada olesan sedikit
pun di wajahnya. Tapi, itu pun sudah cukup membuat dirinya mempesona, dengan
rambut yang mencolok. Pakaian putihnya hanya terbuat dari sejenis gaun bahan
sutera yang diikat sabuk linen warna biru tua. Di atas pasir gurun yang bisa
mematangkan sebutir telur dalam waktu singkat, wanita itu berjalan tanpa alas
kaki Kulit kakinya yang putih mulus tak sedikit pun tampak melepuh. Di samping
itu, ada hal yang tak lazim bagi perempuan cantik seperti dia. Di tangannya
tergenggam sebatang tongkat besar berpilin. Ujungnya berbentuk kepala ular
kobra dari bahan logam berwarna perak keemasan.
Perempuan itu bernama Nofret,
anak seorang Pendeta 'Ka' yang menguasai sejumlah sihir. Ayahnya telah mati
lima belas tahun lalu.
Dengan kematian itu, Nofret
mewarisi seluruh mantera-mantera sihirnya.
Nofret tergolong jarang sekali
bicara. Dia akan berkata seperlunya.
Satu kata yang diucapkan, bisa
berarti banyak.
Ayahnya adalah pemelihara
piramida yang kini hendak didatanginya.
Sebelum mati, si ayah berpesan
padanya bahwa pada bulan pertama musim panas hari ke empat belas, tepatnya hari
ini, akan datang para undangan dari berbagai penjuru buana. Mereka datang untuk
memenuhi undangan Sang Ratu, yang jasadnya kini bersemayam di perut piramida.
"Undangan itu dibuat,
ketika nyawa Sang Ratu beberapa saat lagi hendak dijemput Dewa Osiris*"
tutur ayahnya waktu itu.
Ketika itu, si Pendeta 'Ka'
tua sedang sekarat. Nyawanya sudah tiba demikian dekat. Sebab itu, dia
memutuskan untuk segera
mewasiatkannya.
"Kau beruntung mendapat
kesempatan ini, anakku. Undangan itu dibuat berabad-abad yang lalu. Dan
akhirnya wasiat itu jatuh ke tanganmu.
Tepat ketika hari penentuan
undangan itu...," lanjutya tersengal.
"Untuk apa Sang Ratu
mengirim undangan itu, Ayah?" tanya Nofret ingin tahu.
"Itu bukan
urusanmu," sergah ayahnya setengah menghardik. "Jangan gegabah
menanyakan maksud Sang Ratu...."
"Maafkan aku, Ayah,"
sesal Nofret.
Setelah itu, ayah Nofret pun
wafat. Tugas untuk melaksanakan segala wasiat mengenai undangan Sang Ratu kini
berada di atas bahu Nofret.
Biarpun, dia tidak menjadi
seorang Pendeta 'Ka*.
Dan untuk maksud itulah,
Nofret menuju makam raksasa Sang Ratu.
Dalam hal ini, dia
berkewajiban menyambut para tamu, serta untuk mengantar tamu masuk ke dalam
piramida yang selama ini belum pernah sekali pun dimasukinya.
Ada apa di dalam sana? Hati
Nofret tak kunjung padam membeberkan pertanyaan. Ya Ada apa di dalam sana? Apa
maksud Sang Ratu mengundang tokoh-tokoh sakti dari berbagai penjuru bumi?
Sambil tetap melangkah, Nofret
terus bertanya-tanya. Jantungnya berdetak-detak kuat. Terasa ada suatu alamat
buruk yang bakal terjadi.... ***
"Hey Kutu congek kalian
semua Kenapa aku ditinggal begitu saja?"
Pendekar Dungu tergopoh-gopoh
menyusul rombongan Putri Ying Lien.
Berhari-hari si bangkotan
bebal melakukan hal yang luar biasa. Tidur sepanjang perjalanan menuju Mesir.
Artinya, dia telah bermimpi indah selama berminggu-minggu seperti bangkai.
Andai saja air liur kentalnya terus mengalir, tentu sudah sebanyak isi gentong
anggur besar Manusia satu itu memang aneh.
Tak begitu lama, Pendekar Dngu
sudah berhasil mengejar iring-iringan kendaraan kuda. Begitu sampai, langsung
disemprotnya Pendekar Slebor habis-habisan.
"Bilang padaku Kau mulai
culas, ya? Em-em-em.., dasar anak muda kualat kau, ya? Kau pemuda kualat apa
bukan, sih?"
Bisa-bisanya Pendekar Dungu
menyalahkan Andika atas kesalahan yang diperbuatnya sendiri.
Andika melirik jengkel, tak
ingin meladeni kesintingan orang tua aneh itu.
"Bagaimana kau bisa
menyusul kami, Orang Tua?" alih Andika.
"Bisa menyusul
kalian?" tanya Pendekar Dungu bodoh sekali. "Bagaimana bisa menyusul
kalian?"
Bola mata orang tua berotak
udang itu berputar-putar. Sedang berpikir keras rupanya.
"O Tentu saja kau bisa
mengikuti kami. Kau melihat jejak kami, bukan?"
susul Andika.
Dalam hati, Andika jadi geli
sendiri. Tumben, si orang tua bebal ini bisa memakai otaknya.
"Kalau tak salah, sewaktu
aku terbangun, tahu-tahu saja kulihat kalian berjalan di depanku...,"
sahut Pendekar Dungu setelah Andika cukup bisa menunggu jawabannya.
Ternyata, jawaban Pendekar
Dungu nyatanya jauh dari perkiraan.
Andika kontan menepak kening
keras-keras. Jadi, orang tua itu berjalan tanpa sadar dalam keadaan tidur Yang
lebih gila lagi, dia menemukan rombongan hanya kebetulan. Bukan karena otaknya
yang mulai siuman dari ketololannya yang kelewat batas itu
"Jadi sekarang hendak ke
mana?" tanya Pendekar Dungu lagi.
"Apa kau belum tahu
tujuan kami? Kupikir kau pun mendapat undangan dari Ratu Mesir...," Andika
mengeluarkan papirus dari balik pakaiannya.
"Seperti ini."
Tanpa perlu disodorkan lagi,
tangan kurus berbungkus kulit keriput Pendekar Dungu menyambar papirus itu.
Hampir saja lembaran rapuh itu sobek.
Lama mata abu-abu si tua bebal
itu memperhatikan papirus. Dibolak-baliknya lembaran itu. Di balik..., lalu
dibolak. Andika sendiri jadi pusing lihat tingkahnya.
"Kau pernah mendapatkan
itu dari seekor burung gurun?" tanya Andika, mulai tak sabar.
Disebut-sebut soal burung,
barulah Pendekar Dungu teringat. Memang, kalau menyangkut 'burung' saja dia
baru ingat....
"Eee, iya-iya-iya.
Burung, ya? Pasti binatang jelek itu yang kau maksud.
Aku memang pernah melihatnya.
Dan... hei Dia melempar benda seperti ini pada kami" seru si tua berotak
tumpul, sambil melambai-lambaikan papirus di udara.
"Kami?" Andika
mengernyitkan dahi. "Kalau begitu, kau tidak sendiri waktu itu?"
"Sendiri? Siapa
sendiri?"
"Kau...."
"Aku? O, iya"
"Dengan siapa.?"
"Siapa? Siapa dengan
siapa?" tanya Pendekar Dungu.
Makin lama bicara dengan
Pendekar Dungu, makin ruwet saja otak Andika dibuatnya. Jangan-jangan, bisa
saja dia jadi bertukar dengan ketololannya.
"Waktu itu kau dengan
siapa, Pak Tua?" ulang Andika keras, agak jengkel.
"O, aku.... Iya Tentu
saja aku dengan si muka jeIek itu..."
"Iya, siapa?"
"Mmm... nyem-nyem Rasanya
sih, si Hakim Tanpa Wajah...."
Pendekar muda buyut Pendekar
Lembah Kutukan itu agak terperanjat juga mendengar Hakim Tanpa Wajah
disebutkan. Setahu dia, orang itu telah mati ketika terjadi pertarungan besar
melawan murid murtadnya di Pengadilan Perut Bumi (Baca episode: Cermin Alam
Gaib").
Berarti, urusan di negeri ini
akan menjadi ruwet kalau Hakim Tanpa Wajah pun memenuhi undangan Ratu Mesir
"Jadi, manusia bejat
berhati kentut itu masih hidup," bisik Andika.
"Ah Aku tidak kentut,
kok" sergah Pendekar Dungu. Otaknya memang sudah turun ke dengkul *** 7
Piramida yang dituju Pendekar
Slebor dan rombongan terlihat angker dari kejauhan. Setelah menempuh perjalanan
berkuda setengah hari, mereka akhirnya tiba.
Piramida Tonggak Osiris nama
bangunan tua itu. Dari jarak lebih seribu tombak, terlihat samar-samar awan
mengurung puncaknya yang berbentuk runcing. Mengagumkan bahwa maha karya
manusia itu hanya tercipta dari susunan batu-batu besar.
Setiap mata yang baru pertama
kali melihat pasti terpana. Mereka tak peduli lagi pada tiupan angin keras yang
menggangu penglihatannya, kecuali si Gila Petualang. Biar begitu, tak urung
juga dia memandangi tanpa berkedip. Seakan, dia merasa tak pernah melihat
sebelumnya.
"Kita telah tiba di
Piramida Tonggak Osiris," seru si Gila Petualang.
"Mungkin saja seorang
Pendeta 'Ka' telah menanti kita...."
"Tapi, Orang Tua,"
selak Chin Liong yang berkuda tepat di sisi Andika dan Putri Ying Lien.
"Apakah pendeta yang kau maksud lebih dari satu orang?"
"Apa maksudmu?" si
Gila Petualang balik bertanya.
Chin Liong menunjuk jauh ke piramida
sana. Matanya yang sipit, makin menyipit.
"Coba perhatikan
baik-baik. Bukankah di kaki piramida itu ada beberapa orang berdiri di
sana?" ujar Chin Liong.
Si Gila Petualang mengikuti
arah telunjuk Chin Liong. Benar Dia melihat ada beberapa orang di sana.
"Tampaknya kita telah
kedahuluan. Kuduga, mereka juga undangan seperti kita," simpul pendekar
yang selalu melanglang buana dari satu tempat ke tempat lain itu.
Mereka terus bergerak. Sampai
akhirnya, tiba di dekat orang-orang yang telah lebih dahulu tiba. Di sana, ada
orang-orang berbeda penampilan dari negeri yang berbeda pula. Jumlah mereka
sebenarnya bisa dihitung dengan jari.
Dua orang di antaranya adalah
Kenjiro dan Hiroto dari negeri Sakura.
Tapi di antara lima orang
lainnya, si Hakim Tanpa Wajah tak terlihat.
"Apakah Hakim Tanpa Wajah
tidak datang karena perjalanan yang begitu jauh membelah samudera luas?
Rasanya, tidak mungkin. Orang seperti dia pasti akan memenuhi undangan Sang
Ratu Mesir. Apalagi ini menyangkut nama besar para tokoh ksatria dunia,"
kata Andika dalam hati.
"Selamat datang"
sambut Hiroto dalam bahasa Nipon tanpa senyum.
Di antara mereka, cuma Hiroto
dan Kenjiro saja yang nampak ramah.
Keduanya membungkukkan badan
memberi penghormatan. Kalaupun bibir Hiroto tampak kering dari senyum, itu
karena jiwa Samurainya.
"Senang berjumpa
Anda" balas si Gila Petualang dalam bahasa Jepang yang tak kalah kental.
Pengetahuan bahasa si Gila
Petualang sempat membuat orang dalam rombongan Putri Ying Lien menjadi kagum.
Termasuk, Andika. Entah kalau Pendekar Dungu. Petualangannya selama ini rupanya
telah membekalkan banyak hal pada dirinya. Beberapa bahasa dari beberapa negeri
sudah dikuasainya cukup mahir. Di samping, ilmu-ilmu obat-obatan, racun, ilmu
bela diri, dan olah kanuragan.
"Arigato gozaimash*"
hatur Hiroto, berbareng Kenjiro saudara sepupunya.
"Apakah kau sudah bertemu
seorang Pendekar 'Ka', Tuan?" tanya si Gila Petualang. Dia agak heran,
kenapa mereka masih menunggu di kaki piramida.
"Belum-belum" jawab
Hiroto tangkas.
Baru saja dibicarakan, Nofret
selaku orang yang mengemban tugas ayahnya pun datang dari kejauhan. Mula-mula,
mata Pendekar Slebor yang menemukannya.
"Chin Liong Apa aku tidak
salah lihat? Apa ini cuma bayanganku karena panas gurun?" bisik Andika
pada Chin Liong.
Dengan ujung matanya, Andika
menunjuk seorang gadis berpakaian putih yang terlihat anggun di kejauhan.
Rambut hitam legamnya menggelepar-gelepar diusik angin. Dia seperti bidadari
yang terdampar di keganasan gurun.
Tak beda dengan Andika, Chin Liong
pun langsung terdiam direnggut keterpesonaan.
"Aku rasa kita berdua
telah melihat khayalan...," desis Chin Liong.
Wajah Nofret benar-benar
sebentuk keagungan, bagi mata Chin Liong.
"Kalian kenapa
kasak-kusuk seperti itu? Apa yang sedang kalian bicarakan?" sela Putri
Ying Lien.
"Kau tak akan percaya
bila kukatakan...," ucap Andika, terputus.
Matanya masih saja tak
berkedip mengikuti gerak langkah gemulai Nofret.
Hembusan angin gurun mengusili
belahan pakaian linen gadis menakjubkan itu. Sekelebatan, tersingkaplah
kehalusan kaki jenjang dengan kepadatannya. Kulit paha Nofret yang sebening
susu, memantulkan sinar gerak mentari menjadi lembut.
Chin Liong dan Andika makin
terpana.
"Tak percaya apa?"
tanya Putri Ying Lien bingung.
"Bayangan seorang
bidadari...," sahut Chin Liong.
Tak tahu, apa maksud pemuda
Cina ini mengucapkan itu. Dia tidak ingin bergurau. Tapi entah kenapa, justru
kata itu yang diucapkannya.
Bukankah bodoh sekali
terdengar kalau dua orang melihat
'fatamorgana' yang sama?
"Kalian yakin, kalau
tidak terkena demam akibat hawa gurun?" tukas Putri Ying Lien agak
khawatir.
"Tidak, Putri," sela
si Gila Petualang.
Orang tua itu pun sudah
menyaksikan kedatangan Nofret di kejauhan.
Hanya karena sudah tidak muda
lagi, sehingga dia masih mampu menguasai diri menyaksikan pancaran mempesona
diri Nofret.
"Mereka hanya melihat
pemandangan mempesona...," sambung si Gila Petualang.
Sementara Nofret makin dekat
dengan gerak gemulai memukau. Kini, semua orang yang berdiri di sekitar piramida
telah memusatkan perhatian kepada dirinya. Keanggunannya melangkah seakan
menyihir mereka semua menjadi patung hidup.
Nofret kian dekat.
"Pak Tua Bisa kau katakan
pada wanita itu kalau aku, pendekar muda dari tanah Jawa ingin berkenalan
dengannya?" bisik Andika, pada si Gila Petualang.
Si Gila Petualang melirik.
"Kenapa bukan kau
saja?" tanya orang tua itu seraya tersenyum lebar.
"Mana bisaaa.... Aku
tidak tahu sama sekali bahasa Mesir" kata Andika, memaksa. "Lagi
pula...."
Orang tua itu menunggu.
"Lagi pula, mana bisaaa
aku menyapa perawan sejelita dia tanpa kata-kata gagap...."
Setelah itu Andika meringis
sendiri.
"Atas nama Yang Mulia
Ratu di makam sana, aku ditugaskan untuk menyambut kedatangan kalian...,"
ucap Nofret setiba di dekat para undangan.
Tatapan mata gadis itu amat
tegas dan berwibawa. Ketampanan Andika yang sudah seringkali membuat banyak
gadis terpaksa terbengong pun, tak bisa mengusik ketegaran sinar matanya.
Andika merasa diremehkan
ketika mata lentik yang legam Nofret hanya sekilas menatapnya. Bahkan beralih
kepada yang lain.
"Sombong juga rupanya
dia," nilai Andika dengan bibir sedikit mencibir.
"Sesungguhnya, apa maksud
Ratumu mengundang kami ke tempat ini?"
tanya si Gila Petualang
menyela sambutan Nofret.
"Aku tidak pernah tahu.
Bahkan ayahku yang menjadi Pendeta 'Ka' pun, tak mengetahui. Tugasku hanya
mengantar kalian memasuki makam Ratu Yang Mulia. Bisa jadi, kalian akan tahu
segalanya di dalam sana...," jawab Nofret ringkas dan padat.
"Ya Kenapa kita tak masuk
saja ke dalam sana Aku sendiri sudah tak sabar menyaksikan harta peninggalan
Sang Ratu yang pasti begitu berlimpah dalam sana"
Tiba-tiba terdengar sebuah
suara seseorang yang mengguntur. Tidak sulit menentukan asal suara di tempat
yang begitu terbuka. Asalnya, dari puncak piramida.
Semua mata serentak
mengarahkan mata ke sana. Mereka pun bisa melihat seorang laki-laki tua buruk
rupa. Jenggot dan rambutnya amat panjang. Dialah si Hakim Tanpa Wajah yang
sedang duduk santai tepat di pucuk bangunan raksasa ini.
Berbeda dengan mata yang lain,
mata Nofret tampak berkilat-kilat gusar menyaksikan ulah Hakim Tanpa Wajah.
Pipi halusnya berubah warna. Meskipun air mukanya masih tetap mantap.
"Kuharap kau mau turun
dari sana, Orang Tua" ujar Nofret memperingatkan dengan suara halus, tapi
menghunus. Terlebih tatapan matanya.
Hakim Tanpa Wajah malah
cengengesan.
"He he he hek.... Apa
katanya? Bukannya aku tuli, Nona. Aku hanya tak mengerti kata-kata yang kau
ucapkan"
"Dia minta kau turun dari
sana, Hakim Tanpa Wajah" jelas si Gila Petualang, mencoba membantu
menyampaikan permintaan Nofret barusan.
"Dia minta aku
turun?"
Mata cekung dan besar milik
Hakim Tanpa Wajah terbelalak seraya melalap bentuk tubuh yang menggiurkan milik
Nofret.
"Kalau aku sudah turun,
apa yang diinginkannya dariku?" sambung Hakim Tanpa Wajah, bernada cabul.
"Kalau kau tak segera
turun...."
Ucapan Nofret terputus,
terhalang kegusaran yang menanjak cepat.
Kalimatnya diucapkan dalam
bahasa Melayu yang terpatah-patah. Semua yang ada di sana, termasuk si Gila
Petualang, tak pernah menduga kalau Nofret cukup menguasai bahasa Melayu.
Memang, semenjak meninggalkan
sang ayah lima belas tahun yang lalu, Nofret merasa perlu mempelajari beberapa
bahasa, sehubungan tugasnya untuk menyambut beberapa tokoh persilatan dari
berbagai belahan bumi yang diundang ke Piramida Tonggak Osiris. Bahasa Melayu
adalah salah satu di antaranya.
"Kalau aku tak segera
turun, kenapa?" tantang Hakim Tanpa Wajah, kian keterlaluan.
"Kenapa kau tak menuruti
saja permintaan Nona ini, Kakek Jelek"
hardik Andika. Hatinya ikut
mengkelap menelan sikap memuakkan tokoh tua yang pernah berurusan dengannya.
"Pendekar Slebor.... Anak
muda yang sok dan merasa telah begitu hebat. Jangan mencoba mengambil hati
perempuan cantik ini...," kata Hakim Tanpa Wajah, malah mencemooh.
Andika mendengus.
"Kalau kau memang tak
bisa bersikap selaku tamu yang baik, maka aku sudi memberimu pelajaran. Biar
kau bisa tahu sedikit tatakrama"
bentak Pendekar Slebor.
Di atas sana, Hakim Tanpa
Wajah lagi-lagi memperdengarkan kekehnya.
"Apa yang mau kau
perbuat, heh?" tantang Hakim Tanpa Wajah pada Andika.
Tantangan ini benar-benar
membuat semua undangan yang hadir di sana menjadi bertambah muak. Bagaimana
mereka tidak muak? Tingkah Hakim Tanpa Wajah justru membuang-buang waktu mereka
untuk segera memasuki piramida. Padahal, rasa penasaran mereka sudah demikian
menggebu-gebu.
Diawali gemerutuk giginya,
Pendekar Slebor hendak menegaskan ancamannya. Namun, baru saja kalimatnya
hendak terlepas....
Wussshhh
Mendadak angin rasaksa
berkejaran cepat menerjangkan pasir gurun yang panas. Orang-orang yang ada di
sana bahkan nyaris terseret, karena tidak menduga akan ada tiupan sekencang
itu. Akibat paling parah dialami Hakim Tanpa Wajah. Pucuk piramida tempatnya hinggap,
sepertinya menjadi sasaran utama tiupan angin kencang itu. Tubuh kerempengnya
tersentak. Hampir saja dia tergelincir, kalau saja kesigapannya yang begitu
terlatih sebagi tokoh dedengkot tidak menolongnya.
Menurut pengamatan si Gila
Petualang yang sudah cukup mengenal keadaan gurun di Mesir, angin seperti itu
terhitung ganjil. Terjangan badai gurun memang memiliki kekuatan seperti itu.
Tapi, yang terjadi barusan bukanlah badai gurun. Sepanjang pengalamannya, dia
tak pernah melihat badai gurun terjadi dalam waktu yang begitu singkat.
Seolah-olah, ada raksasa kasap
mata yang terbatuk mendadak.
Belum lagi keterkejutan mereka
tuntas, kejadian lain yang tak kalah mengherankan terjadi. Sekitar empat depa
dari sekeliling pucuk piramida, bermunculan begitu saja ribuan ular berbisa
Semua mata tak sedikit pun
menyaksikan gerombolah besar ular itu keluar dari celah-celah batu piramida.
Seperti juga angin yang mengawalinya, ular-ular itu pun muncul mendadak tanpa
diketahui
Binatang-binatang bersisik
menjijikkan itu merayap di dinding curam piramida tanpa terjatuh. Arah utamanya
adalah tempat hinggap Hakim Tanpa Wajah. Mereka mendesis-desis ramai. Semuanya
menegakkan kepala, menuju sasaran dengan lidah yang menjulur-julur. Sepertinya,
mereka merayap tanpa kesulitan. Lebih mantap daripada rayapan seekor cecak
sekali pun.
Demi menyaksikan semua makhluk
mengancam itu, mata cekung dan besar Hakim Tanpa Wajah jadi bertambah besar.
Kalau saja alis panjangnya tak menghalangi, tentu wajahnya akan terlihat lebih
memuakkan.
"Sihir Ini sihir"
teriak Hakim Tanpa Wajah kelimpungan.
Kaki kurus Hakim Tanpa Wajah
yang selangsing batang pohon singkong dan sekeriput gombal bau terangkat-angkat
di atas pantatnya. Bibirnya yang diramaikan kerut-merut menjadi berkibar-kibar,
karena terlalu kencang berteriak.
Tingkah serabutan Hakim Tanpa
Wajah sesungguhnya bisa membuat siapa pun yang melihatnya menjadi
terpingkal-pingkal sampai sakit perut. Sayang, daya pesona gerombolan ular
melata di dekatnya lebih kuat. Para undangan di bawah piramida hanya bisa
membisu dengan kelopak mata tak berkedip, menyaksikan kerepotan Hakim Tanpa
Wajah.
Keanehan lain segera menyusul,
begitu Hakim Tanpa Wajah cepat-cepat melompat dari pucuk piramida. Gerombolan
makhluk berbisa yang hampir tiba, mendadak hilang begitu saja. Tak ada yang
tahu, ke mana perginya.
"Sudah kubilang itu sihir
Aku tahu itu memang sihir" semprot Hakim Tanpa Wajah tak tahu pada siapa,
setibanya di bawah. "Tak mungkin ular sebanyak itu menghilang begitu
saja"
"Kalau tahu sihir, kenapa
harus minggat dari tempatmu tadi?" ledek Pendekar Slebor. "Kau tahu,
ular-ular itu bukan sungguhan, bukan?"
Hakim Tanpa Wajah mendongak
kesal pada anak muda itu. Benar juga kata pemuda ini.Kalau dia tahu itu cuma
permainan sihir, kenapa merasa harus minggat?
"Apakah kau sudah sadar,
kalau sekarang kau ternyata bodoh?" tambah Pendekar Slebor lagi.
"Ya Aku di sini"
sahut Pendekar Dungu bersemangat, seraya mengacungkan jari tinggi-tinggi. Salah
alamat dia....
*** 8
"Semua itu pasti
perbuatanmu, Anak Perawan" tuding Hakim Tanpa Wajah beringasan.
Ditujukannya tuduhan itu pada Nofret. "Kalau begitu, kau harus kuadili Kau
mesti menerima hukumanku"
Nofret tampak hanya melirik
lelaki tua bertampang buruk itu dengan tatapan dingin. Kelopak matanya yang
menawan agak menyipit, menerima semua tuduhan yang dilimpahkan Hakim Tanpa
Wajah. Meski memiliki sihir, Nofret sendiri heran atas kejadian tadi.
Jelas-jelas, dia tak merasa telah melepaskan kekuatan sihirnya pada Hakim Tanpa
Wajah.
Kalau bukan dia lalu siapa?
"Jangan merasa tidak
melakukan kesalahan, Anak Perawan Kau siap menjalani pengadilanku" bentak
Hakim Tanpa Wajah kembali sontak.
"Sudah Tutup saja bacotmu
yang rata itu, Orang Tua Jelek Aku sudah muak melihat sikapmu yang sok
menghakimi" terabas Pendekar Slebor.
Sejak berurusan pertama kali
dengan tokoh dedengkot aliran sesat itu, Andika sudah demikian benci. Banyak
tokoh aliran putih yang punya nama harum harus mati di tangannya, hanya karena
tingkah sinting orang tua itu.
Sewaktu terjadi keributan besar
di Pengadilan Perut Bumi antara Hakim Tanpa Wajah melawan muridnya sendiri yang
berjuluk Manusia Dari Pusat Bumi, Andika menyangka lelaki bangkotan itu sudah
terlempar ke dasar neraka. Nyatanya, tidak. Karena tanpa diduga hari ini, dia
harus menelan kembali semua sifat tengik Hakim Tanpa Wajah.
Tapi sebenarnya justru bukan
itu yang membuat pemuda sakti dari tanah Jawa ini merasa perlu mencampuri
suasana panas yang terbangun antara Hakim Tanpa Wajah dengan Nofret. Kalau mau
sedikit jujur, tentu Andika akan mengakui kalau sebenarnya hanya ingin mendapat
perhatian dari Nofret, wanita bak bidadari yang membuat dadanya berdebur-debur
kencang.
Dasar hidung belang
"Kau pun akan turut
kuadili, karena telah lancang mencampuri urusanku dengan perawan ini" sergah
Hakim Tanpa Wajah pada Andika.
"Selalu itu saja yang kau
tudingkan padaku Masih saja kau merasa menjadi Hakim dari segala Hakim?"
dengus Andika. "Di mataku, kau tak lebih dari orang sinting yang gila
kuasa Atau monyet tak punya otak yang merasa paling berhak mengatur
manusia." '
"Kau benar-benar anak
sundal yang mesti kuhukum gantung" geram Hakim Tanpa Wajah.
Tak biasanya Hakim Tanpa Wajah
memperlihatkan kemarahan besar.
Mungkin karena baru
dipermalukan di depan hidung tokoh-tokoh dunia manakala serabutan menghindari
dari serbuan gerombolan ular.
"Kau mau melakukannya?
Ayo, tunggu apa lagi?" tantang Pendekar Slebor.
Pertikaian besar menyangkut
adu kesaktian tingkat tinggi antara dua tokoh berbeda usia sekaligus berbeda
jalan itu tampaknya tidak bisa dihindari lagi. Namun, mendadak saja sesuatu
yang ganjil terjadi.
Dari beberapa tempat di
sekeliling Hakim Tanpa Wajah berdiri, mendadak pasir tersibak layaknya kembang
api bertaburan. Bahkan diikuti pula dengan suara-suara nyaring yang
meletak-letak, seolah ada berpuluh benda yang dimasukkan dalam kuali berisi
minyak mendidih.
Kalau Pendekar Slebor saja
dibuat terperanjat, apalagi Hakim Tanpa Wajah. Selaku tokoh dedengkot dunia
persilatan yang sudah kenyang makan asam garam, tubuhnya langsung berkelit siaga,
setiap kali pasir panas di sekitarnya meletak. Walaupun hingga sejauh itu,
hanya belum mengancamnya.
"Apa lagi ini?"
rutuk hati si tua berwajah buruk itu, gusar. "Kenapa selalu aku yang
menjadi sasaran setiap kejadian ganjil di sini?"
Belum lagi tuntas bunyi bising
letupan-letupan tadi, permukaan pasir tempat Hakim Tanpa Wajah berdiri
tiba-tiba melesak cepat. Saat itu juga jutaan kati pasir begitu saja tersedot
ke dasar bumi.
Tanpa dapat dicegah, tubuh
kerempeng Hakim Tanpa Wajah tersedot ke bawah. Dia kelimpungan bukan main.
Lebih kelimpungan daripada saat diserbu gerombolan ular aneh.
Segenap kemampuan, Hakim Tanpa
Wajah mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya untuk
menyelamatkan diri dari sedotan pasir longsor tersebut. Namun, ternyata
kehandalan ilmu meringankan tubuhnya yang sanggup melenting di atas selembar
daun, belum cukup menolong. Karena dengan tiba-tiba, tumpukan pasir di
sekelilingnya menyergap sepasang kaki kurus Hakim Tanpa Wajah. Bahkan
menghimpitnya sekuat himpitan
dua gunung karang kokoh.
Hakim Tanpa Wajah harus
bertindak sesegera mungkin, kalau tubuhnya tak ingin terus tertelan longsoran
pasir yang membentuk lubang bergaris lingkar besar itu. Timbunan pasir di
bagian kakinya harus dihantam dengan pukulan tingkat tinggi. Barangkali dengan
begitu, cengkeraman pada kakinya bisa diatasi.
"Heaaakh"
Seiring teriakan serak
melengking, Hakim Tanpa Wajah merangsakkan serangkum tenaga dalam andalannya.
Tenaga Sakti Pembelah Bumi Satu ilmu pukulan amat dahsyat yang sempat hilang
puluhan tahun, bersama menghilangnya Hakim Tanpa Wajah. Dengan kemunculannya
belakangan ini, maka pukulan yang menjadi ciri khasnya pun turut muncul
kembali.
Keistimewaannya, sanggup
memaksa batu karang sekeras apa pun lebur menjadi bubuk Saat dikerahkan, bumi
bagai digoncang oleh naga raksasa di perut bumi....
Jassshhh
Timbunan pasir yang terus
menghimpit sepasang kaki Hakim Tanpa Wajah menjadi sasaran ilmu pukulan.
Sebentar saja, bagian itu berhamburan ke mana-mana. Butir-butir pasir halus
menjadi semakin halus, hingga sanggup diterbangkan angin lembut sekalipun.
Dengan perhitungan matang,
Hakim Tanpa Wajah merencanakan untuk mengerahkan kembali ilmu meringankan
tubuhnya pada saat itu. Sayang, rencana hanya tinggal rencana. Belum sempat
tubuhnya digenjot, serbuan beribu kati pasir yang lain lebih cepat menelan
sebagian tubuhnya, hingga sebatas pinggang. Maka keadaan Hakim Tanpa Wajah
makin genting
Cepat sekali sedotan pasir
dari dasar bumi ini menelan sebagian demi sebagian tubuh lelaki tua itu. Tak
ada tiga kedipan mata, pasir sudah menelannya hingga sebatas leher. Sementara
tokoh tua nan angkuh kini tak bisa lagi berbuat apa-apa. Jangankan untuk
mengerahkan kesaktiannya. Untuk mengemikkan jarinya saja tak mampu. Sementara
himpitan yang teramat menyesakkan juga terasa memanggang sekujur kulit
tubuhnya. Sehingga memaksa pita suara Hakim Tanpa Wajah melempar teriakan
menggidikkan.
"Huaaah"
Andika masih terdiam. Kejap
berikutnya dia menyumpahi diri sendiri, karena hanya terpaku seperti orang
kehilangan akal. Bukankah saat itu ada seseorang yang membutuhkan uluran
tangannya? Ya Andika amat tahu, siapa Hakim Tanpa Wajah. Tokoh tua sesat
berhati keji dan haus darah. Mungkin memang lebih baik dia mati, daripada harus
menyumpakkan bumi ini dengan tabiat iblisnya.
Tapi biar bagaimanapun, Andika
tak bisa berdiam diri. Saat itu, Hakim Tanpa Wajah berada dalam keadaan lemah.
Dia bukan lagi pihak yang harus dimusuhi, melainkan pihak yang mesti ditolong.
Maka dengan cepat, Pendekar
Slebor memutuskan untuk menolong Hakim Tanpa Wajah.
Dengan kelincahan yang lebih
indah dan gesit daripada gerak seekor walet, tubuh pemuda sakti itu melenting
ke pasir berlubang yang hanya memunculkan wajah pucat pasi milik Hakim Tanpa
Wajah.
Di atas pasir yang terus
bergerak menurun ke perut bumi, kaki Pendekar Slebor hinggap ringan. Agar tidak
turut tersedot gerakan pasir, sepasang kakinya bergerak-gerak ke belakang,
mengimbangi luncuran pasir.
"Mau apa kau, Anak Muda
Sundal?" bentak Hakim Tanpa Wajah parau.
"Diam Jangan bergerak
kalau kau tak ingin cepat tertelan pasir ini"
balas Pendekar Slebor, lebih
keras lagi. "Aku akan berusaha menolongmu"
Dalam keadaan di ujung tanduk
seperti itu, masih juga si tua berpikiran tak waras itu tertawa terkekeh, meski
terdengar dipaksakan.
"He-he-hekkk Kau terlalu
berhati mulia untuk hidup di dunia yang nista ini, Anak Sundal"
Tanpa ingin mendengarkan
ucapan berbau pujian sekaligus cemoohan tadi, Pendekar Slebor mengempos segenap
tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan hingga tingkat sembilan belas. Dan
ini merupakan tingkat pamungkas tenaga sakti yang dimilikinya
"Hiaaahhh"
Sepasang tangan Pendekar
Slebor yang mengejang di sisi-sisi dada dengan telapak tangan terbuka ke atas,
seketika menghujam ke pasir yang terus bergerak. Andika tahu, tak akan mudah
menembus pasir yang kelihatannya rapuh itu. Kalau si tokoh tua yang pernah
menguasai napas dunia hitam tanah Jawa saja tidak bisa berbuat banyak, dia
tentu juga tak bisa tanggung-tanggung untuk menembusnya.
Blas
Sepasang tangan Pendekar
Slebor berhasil menembus ke dalam pasir hingga sebatas lutut, tepat dua lengkal
di kedua sisi kepala Hakim Tanpa Wajah. Sengaja daerah itu yang ditujunya,
karena Pendekar Slebor berniat hendak meraih tangan Hakim Tanpa Wajah. Mungkin
dengan cara itu, tubuh musuhnya bisa ditarik keluar dari himpitan pasir hidup
Memang himpitan pasir bergerak
bisa ditembusnya. Dan memang pula, kedua pergelangan tangan Hakim Tanpa Wajah
berhasil diraih di dasar pasir. Tapi selanjutnya, tidak mudah bagi pendekar
muda berhati pualam ini menarik Hakim Tanpa Wajah. Begitu tangannya siap
dihentakkan keluar, jutaan butiran pasir di sekelilingnya seperti memiliki
perekat kuat, menahan Hakim Tanpa Wajah ketat-ketat.
"Gila" desis
Pendekar Slebor, tak bisa membendung keterkejutan.
"He-he-he-hek Kenapa?
Kaget anak muda sundal?" cemooh Hakim Tanpa Wajah. Padahal, Andika berani
bertaruh nyawa untuk
menyelamatkan jiwa semata
wayangnya.
Sekali lagi Andika mengerahkan
segenap tenaga sakti warisan dari buyutnya. Mulutnya tanpa disadari melempar
teriakan mengguntur, karena begitu ngotot mengerahkan tenaga dalam. Namun itu
pun tak banyak membawa hasil. Tangannya hanya bergeser tak lebih dari setengah
kuku
Sementara itu, pasir makin
liar menimbun dari segenap penjuru lingkaran. Kalau sebelumnya Hakim Tanpa
Wajah masih bisa berceloteh menyakitkan telinga, kali ini tidak bisa lagi.
Mulutnya sudah tersumpal pasir. Kepalanya kian tenggelam.
Dengan bertambahnya pasir yang
menguruk, tubuh Pendekar Slebor pun ikut terkubur sebagian demi sebagian. Yang
masuk ke dalam timbunan pasir bergerak kini tidak lagi sebatas siku, melainkan
sudah beringsut hingga sebatas bahu
Tentu saja hal itu
mencemaskan. Bukan saja Pendekar Slebor sendiri, tapi juga orang-orang yang
menyaksikan pergulatan maut mereka dari atas.
"Andika Cepat menyingkir
dari tempat itu Sebentar lagi tentu pasir akan menguburmu kalau tak segera
pergi" seru Chin Liong memperingati.
Kalau Andika khawatir dengan
nyawa bejat Hakim Tanpa Wajah, justru Chin Liong khawatir dengan keselamatan
nyawa sahabatnya. Seperti juga si Gila Petualang, dan Putri Ying Lien. Meski
buta, gadis itu bisa merasakan apa yang sesungguhnya sedang berlangsung.
Biar begitu, Pendekar Slebor
masih juga bersikeras menarik keluar tubuh si lelaki tua berwatak bejat dari
sana. Keringat sebesar biji jagung sudah menyapu basah seluruh wajah dan
tubuhnya. Wajah tampannya tampak memerah saga, akibat terlalu memaksakan tenaga
tarikan pada tangannya.
"Percuma kau hendak
menariknya dari sana, Tuan" teriak Nofret yang sejak tadi hanya
memperhatikan semua itu. "Kalau masih tetap sayang nyawa, cepat kau lepas
tanganmu dari tubuh orang itu. Sebenarnya, hanya dia yang menjadi sasaran
kemarahan Sang Ratu"
Selesai Nofret memperingati,
kepala Hakim Tanpa Wajah pun tertelan urukan pasir liar. Di lain pihak, tubuh
Pendekar Slebor pun sudah terkubur hingga pinggul.
Kalau nyawa anak muda itu
sudah di ujung tanduk, bagaimana pula nyawa Hakim Tanpa Wajah? Terlalu sulit
dibayangkan. Bisa jadi, si tua renta berjiwa bejat itu sudah remuk redam
dihimpit pasir. Mestinya dengan begitu, Andika melepas cengkeramannya pada
pergelangan tangan Hakim Tanpa Wajah. Tapi itu tidak dilakukannya. Dia terlalu
keras kepala untuk melakukannya, biarpun tahu kalau nyawanya bisa saja ikut
dihempaskan ke dasar bumi.
Sampai akhirnya, tarikan pasir
dari dasar bumi menyentak cengkeraman Pendekar Slebor. Maka pergelangan tangan
Hakim Tanpa Wajah pun terlepas. Usaha hidup dan matinya tidak membawa hasil
sama sekali.
Tak ada lagi yang harus
dilakukan Andika sekarang, kecuali menyelamatkan diri sendiri.
Sewaktu Chin Liong dan si Gila
Petualang hendak terjun pula ke lubang pasir bergerak untuk menolong, Pendekar
Slebor telah menggenjot tubuhnya. Anehnya, saat itu tidak mengalami kesulitan
sedikit pun.
Bahkan tidak merasakan ada
cengkeraman ketat yang menjerat, seperti saat tangannya hendak menarik keluar
Hakim Tanpa Wajah. *** 9
Bisu. Hanya kebisuan memanjang
dipertahankan sekian lama oleh semua yang hadir di sekitar lubang pasir, tempat
tertelannya Hakim Tanpa Wajah. Tak ada lagi gemerisik ramai jutaan butir pasir
yang membentuk lubang dalam. Alam seperti ikut bisu. Angin pun enggan untuk
sekadar merangkak.
Tak seorang pun bisa menduga,
kapan maut menjemput. Begitu pikir masing-masing. Dan sebagian besar orang di
situ amat tahu, siapa Hakim Tanpa Wajah. Julukannya telah menggetarkan tanah
Jawa dengan tabiat anehnya yang menebar santer hingga ke negeri-negeri di
seberang laut.
Seperti beberapa tokoh sakti
kawakan tanah Jawa, Hakim Tanpa Wajah kerap menjadi bahan pembicaraan kalangan
ksatria atau para durjana di beberapa negeri. Kesaktiannya digembar- gemborkan
orang-orang sealiran. Sebaliknya, malah disayangkan oleh orang-orang yang
berlawanan aliran.
Kalau kini Hakim Tanpa Wajah
mati, maka tuntaslah sebuah cerita besar tentang seorang tokoh sakti mandraguna
bertabiat ganjil. Tapi, mereka tetap saja sulit mempercayai. Benarkah si tokoh
besar aliran sesat itu sungguh telah tiada? Dengan cara kematian yang begitu
mudah pula?
Mereka masih sulit percaya.
"Dia harus menerima
hukuman atas sikapnya yang terlalu lancang pada tempat peristirahatan suci Sang
Ratu...?" jelas Nofret memecah kebisuan.
"Apa maksudmu,
Nona?" tanya si Gila Petualang.
Mata bulat berbulu hitam lebat
Nofret mengarahkan pandangan ke arah piramida. Sejenak terdengar desah napas
halusnya.
"Aku tak suka kalian
menatapku dengan pandangan curiga seperti itu...,"
lanjut Nofret. "Bukan aku
yang melakukannya."
Yang lain menunggu. Mata
mereka menatap, seolah menuntut jawaban selanjutnya.
"Ratu.... Sang Ratu yang
telah menentukan hukuman bagi orang tua tadi...," ucap Nofret, lebih
terdengar seperti desah berisi kekhawatiran.
Entah mengapa bulu kuduk
orang-orang di sekitarnya seperti diusik tangan-tangan halus. Semuanya
meremang, mendengar penuturan terakhir gadis jelita mempesona itu.
Kalau di luar piramida saja
pengaruh kekuatan gaib Sang Ratu begitu dahsyat, apalagi sudah berada di dalam
sana? Lalu, apa yang sebenarnya akan mereka hadapi? Tanya hati masing-masing.
Bergidik. Mereka yakin, seyakin-yakinnya, bahwa sesaat lagi akan menghadapi
sebentuk peristiwa yang belum pernah diperkirakan sebelumnya. Ya, mereka yakin
itu
"Jadi, bagaimana
selanjutnya, Nona?" tanya Hiroto tegas.
Selaku seorang Samurai sejati,
Hiroto tak mau terlalu lama dihanyut perasaan asing yang sulit dipahami.
"Kita akan masuk ke dalam
piramida," putus Nofret singkat. ***
Tepat ketika gurun
berbukit-bukit dijajah terik mentari tengah hari, para undangan memasuki
Piramida Tonggak Osiris.
Nofret sebagai seorang yang
diberi tanggung jawab untuk memandu para tamu, melangkah lebih dahulu mendekati
sisi utara piramida. Di belakangnya, para undangan mengikuti dalam barisan tak
teratur.
Sekitar dua puluh langkah dari
dinding sisi utara piramida, Nofret memaku langkah. Bagai sepotong tonggak
anggun, tubuhnya mematung sejenak tepat di atas sebongkah batu datar berbentuk
bundar. Di atas batu setebal tiga jengkal dengan lebar lingkaran sebesar dua
tombak, terdapat guratan-guratan tulisan Mesir Kuno serta gambar-gambar yang
aneh bagi setiap mata undangan.
Di sanalah Nofret tepekur
dengan kepala mendongak tinggi. Kemudian tangannya lambat-lambat membentang
dari sisi tubuhnya. Makin tinggi dan tinggi, hingga akhirnya menjulang seolah
hendak menggapai langit pucat. Lalu, tongkat berpilin keperakan di tangannya
membersitkan pantulan sinar garang matahari, yang menerobos langsung tepat ke
setiap manik-manik mata para undangan.
Dari bibir ranum gadis itu
meluncur mantera-mantera. Seperti juga guratan di atas batu, mantera itu pun
sulit dipahami. Terdengar seperti sealun senandung, dari masa ratusan tahun
yang silam. Mengalun dengan nada naik turun. Sebentar mendayu, sebentar
meninggi.
Pada ujung mantera, tangan
Nofret perlahan turun kembali ke kedua sisi tubuhnya. Dari keterpakuannya ke
langit pucat, pandangannya beralih ke satu bagian dinding utara piramida.
Dibanding seluruh batu penyusun dinding piramida, bagian itu tampak berbeda
dari yang lain.
Terlihat lebih besar, juga
lebih tua. Ukurannya dua kali lebih besar daripada batu penyusun lain.
Setelah lama menatap, barulah
tangan kanan Nofret bergerak lambat, namun berkekuatan. Tongkat kunonya
diketukkan beberapa kali, tepat di lubang kecil dangkal di atas batu.
Duk Duk Duk...
Pada ketukan kesekian kali,
bukan lagi suara batu bertumbukan dengan ujung tongkatnya yang terdengar.
Melainkan, telah hadir pula suara lain yang lebih mengguruh sangar, berat,
serta menggema. Seakan, suara itu berasal dari abad yang terkubur begitu lama.
Grrrhhhkkk
Setiap mata para undangan
untuk kesekian kalinya disuguhkan peristiwa menakjubkan. Mata mereka seperti
tak ingin berkedip, jika tak mau kehilangan kesempatan langka menyaksikan,
bagaimana sebuah rancang bangun raksasa dari kebesaran daya pikir manusia,
membukakan pintu bagi mereka untuk masuk ke dalam perutnya
Rupanya, batu yang paling
besar di dinding utara piramida ini merupakan gerbang masuk ke pemakaman
kebesaran Sang Ratu. Geseran lamban batu ke bawah, melahirkan suara bergemuruh
tadi.
Padahal di sisi selatan
bangunan terdapat undakan tangga batu yang membentang dalam jarak puluhan depa.
Sepertinya dinding yang baru terbuka tadi adalah jalan rahasia untuk masuk ke
dalamnya.
"Mari," ajak Nofret
begitu singkat seperti kebiasaannya.
Ketika menoleh ke arah para
undangan, tanpa sengaja mata gadis jelita itu bertumbukan dengan sepasang mata
Andika. Memang, di antara mereka, hanya pemuda itu yang paling rajin
mencuri-curi pandangan ke arah Nofret. Barangkali hatinya masih penasaran pada
sikap dingin Nofret yang dianggap terlalu angkuh. Atau bisa juga merasa kagum
mendapatkan kemantapan sikap Nofret. Jadi, tak hanya di sudut lahirnya saja
wanita itu bisa dikagumi Andika.
Kejap itulah Nofret menangkap
jelas, bagaimana pesona memancar dari mata berkesan garang tapi bersinar
lembut. Mata yang menyampaikan padanya sebuah sapaan ksatria. Sebetik
ketertegunan merambatinya, tertenung oleh wibawa pandangan mata muda dari tanah
Jawa ini.
Sesaat kemudian, Nofret
menjadi agak jenggah manakala matanya ternyata tak mampu mengalahkan kekokohan
sinar mata Pendekar Slebor.
Biar begitu, tak sedikit pun
hal itu membuat Nofret menjadi kikuk.
Dengan pasti, kakinya
melangkah mendahului para undangan untuk memasuki mulut gerbang piramida.
Ketertarikan dalam diri Andika pun membesar.
"Heh Kita sebenarnya mau
ke mana, sih?"
Teguran si tua berotak kerbau Pendekar
Dungu di belakang
mengejutkan Andika.
Keterpanaan Andika pada diri Nofret jadi terbang entah ke mana.
"Dasar tua bangka
slompret" maki Pendekar Slebor dalam hati.
"Kau tuli, ya? Aku tanya,
kita hendak ke mana?" ulang Pendekar Dungu sewot, karena tidak diladeni
Andika.
"Kandang dedemit"
sahut Andika mangkel.
"Dedemit Mesir? Pasti
tampangnya sejelek aku juga, ya?" gumam si bangkotan lugu. Otaknya memang
susah membedakan, mana ucapan sungguh-sungguh dan mana umpatan. Memang sudah
nasibnya.... ***
Selain rombongan Kerajaan Cina
di bawah pimpinan Putri Ying Lien dan Chin Liong, Pendekar Slebor, si Gila
Petualang, Hiroto, dan Kenjiro, Pendekar Dungu, siapa lagi undangan yang
mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam piramida?
Ada lima orang lain yang
selama terjadi keributan kecil di luar piramida hanya diam memperhatikan setiap
langkah kejadian.
Orang pertama sulit
ditentukan, dari negeri mana asalnya. Pakaiannya sama sekali tidak mewakili
salah satu budaya di muka buana. Tubuhnya paling tinggi di antara yang lain.
Kulitnya pucat. Rambutnya lurus dan kaku, sepanjang bahu. Dengan pakaian yang
terlalu sesak berbentuk balutan kain perca berwarna kelabu, tubuhnya jadi
tampak makin jangkung.
Ciri-ciri yang paling mudah
dikenali dari dirinya adalah, bentuk wajahnya yang tak sesuai ukuran tubuhnya.
Kepalanya terlalu kecil bertengger di leher. Seperti buah apel yang tumbuh di
pucuk pohon beringin
Pada Nofret, dia
memperkenalkan diri sebagai Kepala Kacang. Satu julukan yang menggelikan untuk
sifatnya yang sesungguhnya sangat mengerikan.
Tanpa diketahui siapa pun,
Kepala Kacang adalah salah seorang pemuja iblis sejati. Setiap catur purnama,
tokoh aneh ini akan memburu seorang manusia untuk dijadikan santapan malam
Dengan melakukan hal itu, ilmu-ilmu sesat yang didapatnya dari makhluk durjana
bisa tetap dikuasai.
Orang kedua dan ketiga adalah
sepasang suami istri yang datang dari negeri tetangga Mesir. Terlihat sekali
dari perawakan dan wajah mereka yang khas. Berkulit hitam, serta sama-sama
memiliki hidung mancung.
Yang wanita berusia lebih tua
daripada si suami. Kalau suaminya masih berusia sekitar dua puluhan, wanita itu
berusia sekitar empat puluhan.
Biar begitu, penampilannya
masih tetap menarik perhatian. Kerutan kecil di sebagian kening dan sisi hidungnya,
justru membuatnya terlihat bertambah manis. Kulit gelapnya tak menghilangkan
pesonanya. Apalagi dengan rambut yang panjang lurus terjulur, diimbangi
sepasang bola mata bulat nan jeli.
Sayangnya, semua itu tidak
diikuti tabiat yang mempesona. Tabiat wanita ini lebih mirip seorang nenek
sihir cerewet yang akan mampus kalau tak bicara sebentar saja
Sementara, suaminya terlihat
masih lugu. Sepertinya pula, dia berada di bawah pengaruh istrinya. Itu
terlihat jelas dari tatapan matanya yang menyerah pasrah, jika harus
bertumbukan mata dengan si istri.
Tubuhnya kecil, tak seimbang
istrinya yang tinggi semampai serta berpinggul padat. Rambutnya keriting kusam.
Wajahnya pun tak bisa dibilang tampan, meski tak bisa pula dibilang buruk.
Entah, apa yang menarik dalam dirinya sehingga si wanita sudi diperistri.
Si istri mengenakan pakaian
kurung dari kain halus, berwarna kuning terang. Sedangkan si suami mengenakan
pakaian kurung pula. Hanya dengan warna berbeda. Coklat pucat.
Pada waktu perkenalan, mereka
menyebut nama mereka masing-masing.
Nama mereka sulit untuk
diingat, karena begitu rumit diucapkan. Biar tak ada kecanggungan dalam
memanggil, Pendekar Slebor sambil berkelakar menghadiahi mereka satu julukan
Sepasang Manyar.
Alasannya, karena mereka sama-sama
hitam seperti bulu burung Manyar. Dan si perempuannya pun secerewet hewan kecil
itu Dasar jodoh Mereka ternyata senang-senang saja....
Sebenarnya Sepasang Manyar
adalah suami isri pawang binatang melata dari kalajengking sampai ular berbisa.
Dan jangan dikira dengan penampilan seperti itu, mereka tidak membawa binatang
taklukan.
Tepat di balik baju kurung
masing-masing yang besar itu, justru tersembunyi empat puluh jenis binatang
yang paling berbisa di seantero jagad
Sementara itu, dua orang lain
amat tertutup. Selama tiba di sana, hanya tepat empat kata yang di ucapkan
secara berbarengan.
"Kami Pertapa Dari
Tibet," begitu mereka memperkenalkan diri.
Setelah itu, mereka bungkam
kembali. Seolah, mulut keduanya memiliki kunci.
Pertapa Dari Tibet memang
biksu. Terlihat jelas dari penampilan mereka. Dengan kepala gundul, bertanda
bulatan-bulatan kecil. Dan yang lebih meyakinkan lagi, mengenakan pakaian
layaknya para biksu.
Ada yang tidak pantas dari
diri mereka selaku biksu. Mereka selalu membawa tasbih yang terbuat dari
tempurung tengkorak manusia yang telah dikecilkan dengan ramuan khusus Selain
itu, sinar mata mereka pun tampak membersitkan kekejian tak terbatas. Semacam
kekejian yang dibungkus kulit yang bagus....
Ada rahasia yang mereka sembunyikan.
Kalau mereka belum
membukanya, maka siapa yang
bisa menduga? *** 10
Piramida Tonggak Osiris adalah
sebuah maha karya manusia yang mengagumkan. Kesan tersebut yang pertama kali
didapat para undangan.
Dari gerbang masuk, mula-mula
para undangan menyusuri lorong panjang persegi yang berliku. Di sepanjang
dinding lorong terdapat lukisan yang bercerita banyak tentang peradaban Mesir
Kuno pada zaman
berkuasanya Sang Ratu. Tak ada
seorang pun yang mengerti tentang gambar serta tanda-tanda itu. Tapi mereka
tetap takjub pada ketinggian nilai seninya.
Makin mengikuti lorong, mereka
merasakan kalau langit-langit di atas makin memendek. Begitu seterusnya, hingga
mereka harus berjalan membungkuk. Tak ada yang tahu, kenapa sebagian lorong
dirancang dan dibangun demikian pendek.
Sampai akhirnya, mereka tiba
di ujung lorong. Di sana ditemukan satu jalan masuk tanpa pintu. Tingginya, tak
lebih dari pinggul orang dewasa.
Karena itu, mereka harus
membungkuk cukup dalam untuk melewatinya.
Selaku pemandu, Nofret masuk
lebih dahulu.
"Ini yang disebut Ruang
Para Dewa," papar wanita jelita ini, setibanya di dalam ruangan sebesar
pendopo itu.
Seperti juga dinding lorong,
dinding ruang ini pun dipenuhi gambar berwarna buram. Jika memperhatikan dengan
teliti, sedikit banyak mereka bisa menduga kalau gambar-gambar itu menceritakan
tentang berbagai upacara keagamaan serta gambar-gambar perwujudan Dewa menurut
kepercayaan penduduk Mesir. Di samping itu, banyak terdapat patung dalam
berbagai bentuk di sekitar ruangan.
"Mengapa kau membawa kami
ke ruangan ini?" tanya Hiroto, tak bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Di ruang inilah, kita
akan mendapatkan amanat Sang Ratu. Dari ruangan ini pula nanti kita akan tahu,
apa gerangan tujuan Sang Ratu mengundang kalian," ungkap Nofret,
mengulangi pesan terakhir mendiang ayahnya.
Sementara yang lain menunggu
penuturan Nofret selanjutnya. Di hati masing-masing sudah membuncah pertanyaan
yang enggan dilontarkan, bagaimana cara gadis itu mendapatkan amanat yang
diberikan oleh seorang wanita yang telah mati berabad-abad yang lalu?
"Bagaimana caranya?"
Akhirnya mulut lancang
Pendekar Dungu tak bisa dibendung lagi.
Didahului tawanya yang kaku
dan lebih mirip orang sakit perut, si tua bangka berotak udang itu bertanya.
Sementara dara Mesir itu tak
segera menjawab. Dia lebih suka memperlihatkan langsung, bagaimana amanat yang
sudah terkubur dalam senjang waktu yang demikian renta itu didapatkannya.
Perlahan namun pasti, kaki
jenjang Nofret melangkah ke tengah-tengah ruangan. Pada lantai pualam tempatnya
berdiri terdapat gambar besar matahari yang dilukiskan secara sederhana, namun
mengandung banyak kesan. Tepat di pusat gambar matahari, terdapat ceruk kecil
yang pas sekali dengan ukuran tongkatnya. Dimasukkannya tongkat berpilin itu ke
dalam ceruk, sampai berdiri tegak.
Usai begitu, tak ada lagi yang
dilakukan Nofret. Dia diam membatu, dengan mata menatap satu lubang sebesar
uang logam di langit-langit ruangan.
Melihat hal itu, mulut
Pendekar Dungu kembali tak bisa diajak bungkam lebih lama lagi.
"Sedang apa dia? Hah-hah
Sedang apa dia?" tanya Pendekar Dungu serampangan pada setiap orang yang
ada di dekatnya.
Pendekar Slebor yang kebetulan
paling dekat dengannya, sampai terkena semburan air liurnya.
Andika menggerutu.
"Bukankah justru kau yang
bertanya tadi?" rutuk Pendekar Slebor agak sengit.
"Aku bertanya? Bertanya
apa? Yang ingin kutahu, 'bagaimana caranya kita buang hajat di tempat tertutup
yang sumpek ini'" sangkal si bangkotan berotak karatan ini, lugu dan
menyebalkan.
Andika hanya bisa
menggeleng-geleng. Modal utama untuk menghadapi
'makhluk langka' sejenis
Pendekar Dungu, ya hanya ketabahan
Waktu terus melangkah.
Sementara para undangan menunggu tindakan Nofret selanjutnya. Ketika lewat dua
kali waktu sepeminuman teh, barulah mereka mulai bisa meraba maksud dara jelita
itu.
Dari lubang sebesar mata uang
di langit-langit ruangan, pada saat itu menelusup seberkas sinar memanjang yang
tepat menghujam ke arah ceruk tempat tongkat Nofret. Rupanya, sinar itu adalah
cahaya matahari yang menembus langsung, tepat ketika garis edarnya berhadapan
dengan arah lubang yang menghubungkan luar piramida dengan ruangan ini.
Kekurangan cahaya dari
ruangan, menyebabkan berkas cahaya yang menerobos dari luar itu menjadi tampak
jelas, membentuk jejak terang memanjang. Sehingga, terciptalah sudut tajam
antara ujung tongkat Nofret dengan sinar tadi.
Beracu pada sudut itulah
Nofret mendorong tongkatnya, hingga sejajar jejak cahaya memanjang. Ketika
batang tongkat bersinggungan tepat dengan bentangan cahaya, sesuatu tiba-tiba
saja terjadi....
Tepat pada moncong gambar Dewa
Anubis*, perwujudan Dewa dengan sosok manusia berkepala serigala, tersembullah
sebentuk tabung sepanjang satu jengkal.
Pendekar Slebor yang memiliki
ketajaman otak, cepat dapat menduga kalau tabung itu semacam tempat menyimpanan
papirus. Dan dia agak sedikit bertanya dalam hati, kenapa tabung itu harus
keluar dari gambar moncong Dewa Anubis, Dewa Kematian?
Pertanyaan itu pula yang
mengusik diri Nofret, demi menyaksikan hal tadi. Ada sebentuk ketakutan
tersirat di wajahniya. Ketakutan yang berat, tanpa bisa disembunyikan
kecantikannya.
Dan Andika menangkap keanehan
itu. Termasuk, si Gila Petualang yang cukup banyak mengetahui tentang
kepercayaan orang-orang Mesir Kuno.
Dari laki-laki tua itu pula
Andika sempat mengetahui tentang Dewa Anubis.
"Aku rasa ada yang
mengganggu pikiranmu, bukan?" usik Andika.
Si gadis pemandu mengangguk
samar. Kelopak matanya menyipit, masih tetap terpaku tepat ke arah tabung di
gambar mahkota Dewa Anubis.
"Jangan katakan padaku,
kalau kejadian ini sebagai pertanda adanya ancaman maut bagi kami," desah
si Gila Petualang ragu.
Sepertinya dia mengucapkan
demikian berat pada Nofret. Bukannya petualang kawakan itu takut. Dia hanya tak
menyangka kalau lawatan mereka akan disimbahi anyir darah, atau sambutan
kematian demi kematian
Nofret menoleh pada si Gila
Petualang. Sepertinya dia sulit membenarkan pertanyaan ragu si tua tadi.
Sesulit dia menyangkalnya.
Selaku anak seorang Pendeta
'Ka', Nofret amat tahu satu-satunya makna di balik gambar Dewa Anubis....
Kematian
"Kau belum menjawab
pertanyaan beliau, Nona," desak Kenjiro yang sejak pertama tidak membuka
suara.
Meski sama sekali tak memahami
apa yang terjadi, namun Kenjiro tidak terlalu bodoh untuk mengendus
ketidakberesan pada sikap Nofret,si Gila Petualang, dan Andika.
Lelaki berbadan boros sepupu
Hiroto itu, tentu saja tidak sudi Nofret hanya menjawabnya dengan lirikan
datar. Hatinya tidak puas. Karena itu, hendak didekatinya Nofret untuk mendesaknya.
Tapi sebelum niatnya kesampaian, Hiroto sudah mencegah.
"Biarkan dia
menyelesaikan dulu tugasnya," bisik Samurai muda itu pada Kenjiro.
Dengan bersungut, Kenjiro
menurut.
Untuk memperjelas kecurigaan,
satu-satunya jalan terbaik bagi mereka adalah mengetahui, apa isi pesan pada
papirus di dalam tabung.
Nofret pun melangkah tegang ke
tabung yang tersembul barusan.
Langkahnya seperti
terhambat-hambat geliat kecemasan dalam dirinya.
Setibanya di dekat gambar Dewa
Anubis, tangan halusnya hendak menjangkau tabung. Namun, tiba-tiba Andika
menahannya.
"Tunggu, Nona" seru
Andika. Cepat didekatinya gadis itu.
Nofret mengurungkan niat.
Kepalanya mengikuti kedatangan pemuda tampan itu di sisinya. Sedangkan, matanya
seolah mewakili pertanyaan tak terungkap, kenapa pemuda itu mencegahnya.
"Kau tak perlu bertanya
kenapa aku menahanmu," ujar Andika seperti tahu pikiran Nofret.
"Gambar itu sudah cukup bagiku untuk waspada, terhadap kemungkinan buruk
yang bisa saja terwujud sekejap mata."
"Lalu apa maksudmu?"
tanya si gadis Mesir itu, bertanya.
"Aku hanya tak ingin kau
menjadi korban," jelas Andika kemudian.
"Biarpun aku tahu kau
anak seorang Pendeta 'Ka' sekalipun...."
Mata Nofret, entah kenapa jadi
berkilat gusar. Ucapan Andika telah menyinggungnya.
"Kau telah mencurigai
Ratuku, Tuan," ungkap Nofret tegas.
Mata elang Pendekar Slebor
menantang pandangan gusar Nofret.
"Aku tahu, kau sebenarnya
cemas pada tabung Dewa Anubis itu. Kau tak bisa memungkiri. Aku bisa melihat
dari pandangan matamu. Bukankah mata adalah jendela jiwa yang sulit
berdusta?" kata Pendekar Slebor menyudutkan, sambil menyeringai.
Pendekar Slebor kemudian
melepaskan tatapan Nofret yang
mengundang debur hebat di
dada.
"Kalaupun kau berkata
seperti tadi padaku, itu semata-mata karena kau memiliki sikap hormat pada
Ratumu. Aku dapat memakluminya. Tapi, jangan harap aku akan berdiam diri
membiarkan kau celaka," sambung Andika, sok jadi pahlawan.
Sejenak sinar mata anggun
Nofret berubah. Ada semacam getaran aneh yang segera ditekannya kembali
dalam-dalam. Sebagai wanita, biar bagaimanapun, hatinya tak bisa menghindari
dari kekaguman pada jiwa ksatria seorang jejaka. Apalagi, jejaka itu begitu
menawan seperti Pendekar Slebor.
"Jadi apa maumu?"
tanya Nofret. Nada bicaranya tak setajam sebelumnya.
"Izinkan aku mengambilkan
tabung itu untukmu, Nona," pinta Andika, sungguh-sungguh.
Nofret ragu sesaat. Karena
pandangan mata si Gila Petualang yang memiliki wibawa kuat mendesaknya untuk
meluluskan permintaan Andika, akhirnya kepalanya mengangguk lambat.
"Kuminta kau mengambil
jarak," kata Andika lagi.
Sekali lagi, Nofret menuruti
anjuran Pendekar Slebor. Tidak ada salahnya dia memberi kesempatan pada orang
lain, demi kepentingan mereka bersama.
Tujuh tindak setelah Nofret
menyingkir dari depan gambar Dewa Anubis, Andika pun mempersiapkan diri
sepenuhnya untuk menarik tabung.
Waktu terseret seperti ayunan
langkah para pencabut nyawa, ketika mereka menanti tangan kekar Pendekar Slebor
menjemput tabung di dinding. Perlahan, tangan kanan Andika menjangkaunya.
Belum lagi tabung ditarik
Andika....
Zzz
Mendadak terdengar desisan
hingar bingar yang mencuat dari dasar ruangan. Amat bergemuruh, seolah ada naga
perut bumi hendak mengamuk
Tak ada yang tak terkejut
mendengarnya. Terlebih karena mereka begitu tegang menanti apa yang bakal
terjadi bila Andika menarik tabung dari dinding.
Dengan kewaspadaan penuh,
Pendekar Slebor mengurungkan niat menjemput tabung. Tubuhnya memasang kuda-kuda
siaga, mengarah pada pusat suara desisan barusan.
Apa yang sesungguhnya terjadi?
Tepat dua depa dari tempat
Andika berdiri tegang, terbentuk sebuah lubang besar menganga dalam. Di dasar
lubang terlihat gerakan pasir seperti buncahan lahar gunung berapi. Gerakan
liarnyalah yang menimbulkan desis bernada tinggi.
Sekian kejap setelah mulut
lubang menganga, Andika menyaksikan dengan mata kepala sendiri tubuh seseorang
muncul dari gelegak pasir berhawa panas di dalamnya. Tubuh yang sudah
kehilangan nyawa, dan hampir-hampir kehilangan bentuk aslinya. Hancur seperti
diinjak-injak gerombolan 'buto ijo'
"Hakim Tanpa
Wajah...," desis Pendekar Slebor. disergap keterpanaan. ***
Edit by : Angon
Apa yang sesungguhnya telah
terjadi pada diri Hakim Tanpa Wajah?
Dasar piramida tampaknya
berhubungan dengan gurun di luar. Kalau begitu, ada apa sesungguhnya di dasar
piramida itu?
Lalu, apa pula yang akan
dihadapi Pendekar Slebor jika mengambil bahaya untuk menarik tabung papirus
dari dinding? Terbuktikah kecurigaannya?
Benarkah para undangan Ratu
Mesir akan menghadapi ancaman maut yang tak terduga dalam bangunan kuno raksasa
itu? Teka-teki apa yang sesungguhnya akan ditunjukkan Sang Ratu untuk menyambut
para undangan?
Apa yang disembunyikan
sepasang biksu dari Tibet dalam diam mereka yang bengis? Bagaimana pula
Sepasang Manyar dan si Kepala Kacang?
Ikuti kelanjutan kisah ini
dalam episode:
PIRAMIDA KEMATIAN
Selesai
Catatan:
*Kendo = ilmu pedang.
*Papirus = sejenis kertas yang digunakan bangsa Mesir Kuno untuk
menulis.
*Oase = mata air di tengah gurun.
*Osiris = Dewa Kematian menurut kepercayaan Mesir Kuno.
*Arigato gozaimash = terima kasih.
*Dewa Anubis = Dewa Penjaga Kematian bertubuh manusia berkepala
serigala, yang mengadili 120 jiwa setelah mati menurut kepercayaan Mesir Kuno.