-------------------------------
----------------------------
Episode 17 Piramida Kematian
1
Langit merah saga. Matahari
terjerembab lelah di ufuk barat negeri Mesir. Pucuk Piramida Tonggak Osiris*
seolah menusuk tajam langit biru, dingin dan angkuh, di sisi hawa panas yang
beranjak naik dari hamparan pasir gurun. Di dalam perut bangunan tua dari zaman
sebelum masehi itu, beberapa orang rimba persilatan manca negara telah hadir.
Di antara mereka, tak ada yang tahu apa yang bakal menimpa.
Tonggak Osiris. Sebuah nama
yang disematkan pada
piramida ini, sepertinya tak
lebih dari satu isyarat yang samar bahwa para tokoh persilatan ini siap
memasuki moncong Sang Osiris, Dewa Kematian
Satu nyawa tokoh persilatan
telah menjadi tumbal.
Hakim Tanpa Wajah. Tokoh
kawakan yang malang
melintang sejak puluhan tahun
silam, telah kehilangan nyawa semudah seekor cacing tergilas panas mentari.
Tokoh sesat sakti yang dulu
sering membuat jatuh
bangun dan banyak meminta
nyawa para tokoh persilatan itu saja mudah sekali dapat terbang ke neraka.
Lantas, ancaman maut macam apa yang sebenarnya harus
dihadapi para undangan yang
terdiri dari tokoh-tokoh silat manca negara. Dan apa pula yang harus dihadapi
pemuda sakti tanah Jawa berjuluk Pendekar Slebor?
Setelah mata semua undangan
menyaksikan ba-
gaimana mayat Hakim Tanpa
Wajah diaduk-aduk dalam
gejolak pasir panas di lobang
Ruang Para Dewa, Andika menghela napas panjang (Untuk mengetahui lebih jelas
tentang kejadian tersebut, baca episode sebelumnya:
"Undangan Ratu Mesir).
"Aku tak tahu, kenapa
mayat si tua itu harus muncul di lobang yang tiba-tiba terbentuk dalam ruang
ini. Hanya aku yakin, semua ini tidak begitu saja terjadi...," desah
Andika.
"Bisa kau
jelaskan maks ud
ucapanmu,
Tuan
Pendekar?"
cetus
Hiroto,
mengajukan
pertanyaan. Sebenarnya,
hatinya pun memendam kecurigaan yang
sama.
Andika sejenak mengedarkan
sepasang bola mata
bermuatan wibawa miliknya,
pada setiap orang di sana.
Pada Nofret, matanya menatap
lebih lama. Sepertinya, anak muda itu hendak menekankan bahwa perkataan
selanjutnya ditujukan untuk
gadis Mesir cantik jelita, anak juru kunci makam kuno ini.
"Dari bentuknya, aku tahu
lorong ini sengaja dibuat dan dirancang agar bisa berhubungan dengan gurun di
luar piramida. Itu artinya, ada seseorang atau sekelompok orang yang telah
membangunnya untuk tujuan-tujuan
tertentu...."
"Jangan berbicara
sembarangan, Tuan" potong Nofret membuat kata-kata Pendekar Slebor
terhenti.
Andika menoleh tenang, seperti
sebelumnya. Kembali matanya menatap wajah luar biasa anak Pendeta 'Ka' itu.
Tapi tak ada kilatan sinar
menyudutkan.
"Kenapa kau harus marah?
Aku sama sekali tidak menuduhmu. Lagi pula, tidak sedap rasanya gadis secantik
Nona memasang wajah berang seperti itu...," tukas Andika, mencoba
menangkal kegusaran Nofret.
Mendengar ucapan urakan
Andika, Chin Liong di
belakangnya hanya bisa
tersenyum tipis kentara. Dia tahu, penyakit mata keranjang sahabatnya sudah
mulai kumat lagi. Hanya saja, kasihan Putri Ying Lien. Wajah putri junjungannya
itu menjadi merah kusam.
"Aku
tidak
merasa
dituduh.
Aku
hanya
memperingatkan, seharusnya
berhati-hati berbicara. Apa kau sadar ucapanmu barusan seolah-olah mencurigai
Ratu Kami telah merencanakan kejahatan untuk kalian
semua...," ujar Nofret
berapi-api.
"Tampaknya begitu,"
timpal Andika. Seolah kejadian yang menimpa Hakim T anpa Wajah sama sekali
tidak bisa membuat nyali anak muda itu menciut.
Mata berbulu lentik Nofret
mulai menampakkan serat cahaya kegusaran kembali. "Nasibmu bisa seburuk
orang tua itu, T uan" tandas gadis itu seperti berbisik terseret.
Sama sekali Nofret tak bermaks
ud mengancam
Andika. Dan memang, pemuda itu
tak pernah mengundang kemuakan dalam dirinya. Sebaliknya, sejak Pendekar Slebor
berusaha menolong Hakim Tanpa Wajah yang
sesungguhnya adalah musuh
besarnya, dasar hati Nofret mulai ditumbuhi benih-benih rasa yang sulit
diungkapkan.
Kalaupun kata-katanya berkesan
mengancam, sebenarnya hanya ingin mengingatkan.
Dalam keyakinan Nofret
terpendam kepercayaan
bahwa para Raja Mesir akan
menjadi Dewa setelah mati.
Dan sudah pasti, seorang Ratu
akan menjelma menjadi seorang Dewi. Perkataan sembarangan yang ditujukan
pribadi Sang Ratu yang telah mati, bisa berarti kutukan mengerikan
"Mati urusan lain, Nona.
Yang harus diperjelas, apakah kami ke sini hanya untuk menjadi umpan rencana
keji seseorang, atau apa?" kilah Andika, masih juga santai.
Setenang tiupan semilir bayu.
"Maaf, Nona," sela
Putri Ying Lien.
Mungkin cuma Chin Liong saja
yang bisa mengendus
alasan gadis itu menyela
perdebatan antara Nofret dan Andika. Cemburu Demikian seloroh Chin Liong dalam
hati.
"Apakah tak sebaiknya
pertengkaran tak berarti ini dihentikan. Dan alangkah baiknya bila kita
meneruskan niat kita semula. Bukankah kita hendak mengambil
gulungan papirus*?"
lanjut Putri Ying Lien.
Gadis
itu mengingatkan mereka semua
pada
gulungan papirus yang menurut
Nofret berisi pesan dari ratunya. Dan pesan itu akan memperjelas, apa tujuan
mereka diundang masuk ke bangunan kuno nan megah,
sekaligus memendam sehimpun
teka-teki ini.
Karena pendapat Putri Ying
Lien ada benarnya, Andika pun mengalihkan perhatian ke arah dinding ruang
tempat gulungan papirus tua yang menyembul dari mulut lukisan Dewa Anubis, Dewa
Penjaga Kematian. Sebelumnya. niat Andika urung karena terciptanya lobang pasir
panas besar tempat bangkai Hakim Tanpa Wajah muncul.
"Biar aku." sergah
Nofret melihat pemuda berlagak sengak itu mulai mendekati gulungan papirus.
"Nona," panggil
Andika. "Bukankah tadi sudah kuminta agar aku saja yang menjemput gulungan
papirus itu?" "Aku tak suka kalau Ratuku dicurigai," ujar
Nof¬ret.
"Akan kubuktikan kalau
pesan dalam papirus ypng ditinggalkan Ratu tak akan mengancam nyawa siapa
pun"
Sepertinya gadis itu menjadi
amat tersinggung dengan setiap kecurigaan beberapa tamunya. Namun baru dua
langkah kaki Nofret bertindak, Pendekar Slebor sudah mencekal tangan halusnya.
"Kau jangan berjudi
dengan dirimu sendiri, Nona"
kata Andika setengah
menghardik.
Gadis itu tak berkata apa-apa.
Hanya ditatapnya
tajam-tajam tangan
kokoh
Andika
yang mencekal
pergelangannya. Di matanya,
tangan pemuda itu me-
lukiskan kegagahan orangnya.
Nofret jadi sempat merutuki diri
sendiri,
karena
masih
sempat-sempatnya
membayangkan hal itu.
Namun begitu, Nofret menyadari
kalau semua itu
karena jarang bergaul dengan
pria. Selaku anak seorang Pendeta 'Ka' yang terhormat, dia berusaha sebisa
mungkin untuk menjaga kehormatan keluarga. Sayangnya, justru hal itu membuatnya
kehilangan banyak kesempatan untuk
mengenal pemuda atau mengenal
makna cinta.
Jika hari ini ada seorang
pemuda yang untuk pertama kali dalam hidup menyentuh pergelangan tangannya,
sudah barang tentu ada desir
halus yang merambat di segenap aliran darah gadis itu. Desir yang sulit
dipahami.
Tapi, Nofret tetap bisa
merasakan kehangatannya.
Karena itu pula wajah jelita gadis
pemandu itu
menampakkan semu merah. Rasa
hangat itu rupanya
menjalari pula wajah
menawannya.
"Maaf, Nona," ucap
Andika bergegas, kemudian melepaskan cekalannya. "Bukan maksudku untuk
berbuat lancang pada Nona."
Nofret tak sempat menanggapi
ucapan maaf pemuda
di dekatnya. Gadis ini terialu
sibuk menyembunyikan wajahnya yang mematang dari sergapan mata Andika dan para
undangan lain.
"Tolonglah, Nona. Beri
aku kesempatan untuk
mewakilimu mengambil gulungan
papirus itu," lanjut Pendekar Slebor dengan nada melandai, membujuk.
"Benar, Nona,"
timpal Hiroto. "Asal Nona tahu, seorang pendekar seperti Tuan Andika
sangat menghormati wanita.
Kalaupun dia bersikeras untuk
mengambilkan papirus itu, aku yakin semata-mata karena dorongan jiwa
ksatrianya.
Bukan atas dasar kecurigaan
pada niat ratu Nona
mengundang kami."
Pujian Hiroto pasti membuat
lobang hidung pemuda
urakan kepala batu itu menjadi
kembang-kempis. Dijamin
"Bukan begitu..., Tuan
Andika?" cetus Hiroto agak mendadak.
Bibir tipis Andika bergerak
kian kemari. Apa yang mau diucapkan, dia sendiri bingung. Pujian Hiroto tadi
membuatnya mati kutu
"Yaaahhh, barangkali
begitu," jawab Andika sekenanya disertai sebaris cengiran serba salah.
Di bibir Nofret, saat itu
terbetik senyum amat samar melihat tingkah Pendekar Slebor. Begitu cepatkah
pesona pemuda urakan ini mengusik sanubarinya?
"Baiklah...," putus
Nofret singkat.
Untuk kedua kalinya, gadis
jelita itu mengurungkan niat untuk mengambil gulungan papirus di dinding. Dia
pun kembali ke tempat berdiri semula.
"Apa
lagi
yang kau tunggu,
Pendekar Mata
Keranjang?" bisik Chin
Liong di telinga Andika. Dia melihat mata anak muda urakan itu masih saja
menegaskan bibir ranum Nofret.
"Jangan
pura-pura.
Kau
sendiri
sebenarnya
menginginkan dia juga,
kan?" balas Andika dengan berbisik pula, sambil mengedikkan alisnya.
Wajah Chin Liong bersungut.
Andika acuh saja.
Kakinya lantas
melangkah
mendekati dinding berlukiskan
Dewa Anubis. Sebelum tangannya
menjemput sembulan gulungan
papirus,
kepalanya menoleh pada orang
di sekitarnya. Dengan raut wajah sungguh-sungguh, tampak sekali Pendekar Slebor
hendak memperingatkan mereka semua agar bersiap-siap menghadapi setiap
kemungkinan yang bakal terjadi.
Kembali wajahnya dipalingkan
pada gulungan papirus. Usai mengatur napas beberapa tarikan, tangan kanannya
pun terjulur.
Saat ini semua saraf pada
setiap orang mengejang
tegang.
Sret
Tanpa kesulitan sama sekali,
Andika meloloskan
gulungan papirus tua tadi. Ya
Tanpa kesulitan sedikit pun
Bahkan ketika benda itu sudah
tergenggam ketat di
telapak tangannya pun, tak ada
bahaya mengancam
seperti dugaannya.
Mendapati kenyataan ini,
Nofret merasa lega. Kalau saja dia sejenis wanita berperangai buruk,
tentu.bibirnya sudah menyunggingkan seringai kemenangan.
Agak risih, Pendekar Slebor
menoleh pada Nofret.
"Rasanya, aku sudah salah
duga," ucap Andika seperti hendak menghaturkan permintaan maaf secara tak
langsung. Lalu disodorkannya
gulungan papirus pada Nofret.
Belum lagi benda itu berpindah
tangan, wanita hitam manis dari Sepasang Manyar yang berada di sudut paling
belakang, menerobos ke depan. Yang dituju, Andika dan Nofret.
"Awas" teriak wanita
ini melengking.
Berbarengan dengan itu, dari
lobang pada mulut
lukisan Dewa Anubis tempat
gulungan papirus berasal, menyembur uap berwarna kehijauan yang demikian cepat
menyergap ke tempat Pendekar Slebor dan Nofret. Seandainya Sepasang Manyar
wanita tadi tak segera
menyergap, sudah bisa
dibayangkan apa yang bakal
menimpa.
Sepasang Manyar wanita berusia
sekitar empat
puluhan. Biar begitu,
penampilannya masih tetap menarik perhatian kaum lelaki. Kerutan kecil di
sebagian kening dan sisi hidungnya, justru membuatnya terlihat manis.
Kulitnya yang gelap tak
membuatnya kehilangan pesona.
Apalagi dengan rambutnya yang
panjang lurus terjulur, di mbangi sepasang bola mata bulat nan jeli.
Sebagai seorang pawang
binatang berbisa, Sepasang
Manyar wanita memiliki
penciuman yang terlatih untuk membaui jenis tertentu. Sementara yang lain tak
menyadari
kehadiran
ancaman
maut
karena
tak
mendengar s uara mencurigakan,
penciuman wanita itu justru menangkap bau sejenis racun ular paling ganas. Dan
begitu tahu dari mana s umber bau tersebut, tindakan cepat pun langsung
diambilnya.
"Cepat ambil jarak"
seru Sepasang Manyar wanita kembali, begitu Pendekar Slebor yang membopong
Nofret berhasil menyentak tubuhnya untuk bangkit.
Mereka semua mengambil jarak.
Termasuk, Sepasang
Manyar wanita.
"Sungguh perangkap keji
sekaligus licik," maki Sepasang Manyar wanita . "Setelah kalian
merasa aman, barulah bisa itu tersembur keluar tanpa bunyi. Apakah itu bukan
perangkap licik?"
Kata-kata
Sepasang
Manyar
wanita
terdengar
meledak-ledak tak terkendali.
Kelihatannya dia sewot.
Matanya kemudian mendelik
Andika yang masih mengatur napas.
"Tunggu apa lagi?"
bentak wanita itu.
"Tunggu apa?" tauya
Andika, yang dipelototi dengan wajah heran.
Mata wanita hitam manis yang
terkenal bermulut
ccrewet itu bertambah
membesar.
"Kau baru saja
kuselamatkan, bukan? Mestinya sejak tadi menghaturkan terima kasih padaku"
sembur Sepasang Manyar wanita dengan kata-kata melengkingnya.
"Ya ya ya. Terima
kasih" ucap Andika sekenanya.
Sepasang Manyar wanita
tersenyum lebar-lebar. Dia
merasa tersanjung setinggi
langit, mendapat penghargaan dari seorang pemuda setampan Pendekar Slebor.
Di sudut lain ruangan ini,
suami Sepasang Manyar
wanita mengawasi tingkah genit
istrinya. Dia terlihat masih lugu. Sepertinya pula, berada di bawah pengaruh
istrinya.
Itu terlihat jelas dari tatapan
matanya yang menyerah pasrah jika harus bertumbukan dengan mata si istri.
Tubuhnya kecil, tak seimbang
bila dibanding istrinya yang tinggi semampai serta berpinggul padat. Rambutnya
kriting kusam. Wajahnya pun tak bisa dibilang tampan. Wajahnya terlihat
kebodoh-bodohan seperti wajah seorang pemabuk, meski tak bisa pula dibilang
buruk. Entah, apa yang menarik dalam dirinya sehingga wanita itu sudi
diperistri.
Lelaki bertampang mengenaskan
itu merasa sikap
istrinya tadi sebagai ancaman
yang bisa merusak
hubungan lahir-batin suami
istri. Maka dengan sok wibawa, lelaki bertubuh kecil dan berwajah Senin-Kamis
itu mendekati istrinya.
"Kau baik-baik saja,
Sayang?" tegur lelaki itu sepenuh hati, dengan suara mendayu.
"Baik Sekarang diam kau,
Tai Kucing" maki Manyar Wanita, menggebuk jantung sang suami sampai hendak
putusYah..., memang nasibnya beristrikan perempuan bertabiat nenek sihir
***
Andaikata tahu hendak ke mana
garis hidup
menjejak, maka tak akan pernah
ada orang yang
membiarkan diri masuk ke dalam
nasib buruk. Garis hidup memang selalu sulit diterka.
Jika hari ini nasib
membentangkan kebaikan, siapa
tahu besok akan digelar keburukan?
Begitu pula yang terjadi pada
para undangan. Tak
satu pun di antara mereka
sebelumnya menduga akan
menghadapi ancaman maut,
ketika tiba di perut piramida.
Dan cepat atau lambat,
akhirnya mereka bisa
menemukan
kesimpulan
sendiri.
Dengan
kematian
mengenaskan Hakim T anpa
Wajah, ditambah jebakan licik semburan bisa ular, kecurigaan mereka kian beralasan.
Pendekar Slebor yang memiliki
ketajaman pikir dan
kepekaan menangkap
ketidakberesan, makin yakin bahwa perjalanan di dalam piramida akan semakin
mengundang bahaya maut. Selangkah demi selangkah.
Untuk mundur, mereka sudah
telanjur. Pantang bagi
tokoh jajaran teratas
persilatan dari beberapa belahan dunia untuk beringsut mundur layaknya
pecundang.
"Aku tidak ingin kau
tersinggung lagi jika kuungkapkan lagi kecurigaanku, Nona," tutur Pendekar
Slebor, setelah suasana
bisa
tenang
kembali.
"Lebih
baik
kau
membacakan naskah papirus itu
bagi kami sekarang."
Sebenarnya Nofret sendiri tak
bisa mengerti.
Mungkinkah memang Ratunya yang
telah merencanakan
jebakan demi jebakan kejam
yang telah disaksikan
sendiri? Padahal dengan keras
dia hendak membela
kehormatan junjungannya.
"Ayo, tunggu apa lagi
Nona," desak Andika, tanpa tekanan.
Meski dengan perasaan
tersudut, Nofret akhirnya
mau juga membaca gulungan
papirus di tangannya.
"Jika masa menggulung
diri lalu menua, tiba saatnya aku yang abadi di alam para Dewa untuk menggelar
upacara hari kematianku. Ya Kalian semua adalah para undangan istimewa yang
akan menghadiri upacara hari kematianku. Tepatnya, hari ini
Sebagai tanda penghargaanku
atas kesudian kalian semua datang memenuhi undanganku, seusai "upacara
besar" nanti, kalian akan kusuguhkan sesuatu yang istimewa. Sekarang,
nikmati saja seluruh isi istana terakhirku ini..."
Sang Ratu Agung
Nofret mengakhiri pembacaan
naskah papirus. Ruang
kembali dikekang sepi. Benak
semua yang ha-dir
diberondong pertanyaan demi
pertanyaan, tentang makna isi gulungan papirus.
*** 2
Pesan Sang Ratu sudah
dibacakan Nofret. Namun,
para undangan tetap tak bisa
tepat menentukan, apa tujuan mereka diundang ke dalam Piramida Tonggak Osiris.
Menurut gulungan papirus,
mereka diundang untuk
menghadiri upacara kematian
Sang Ratu. Upacara macam apa pula yang menunggu?
"Jadi apa lagi yang harus
kita perbuat sekarang, Nona?" cetus Kenjiro, lelaki Jepang bertubuh
tambun. Dia tak sabar menunggu Nofret bicara lebih lanjut.
"Sesuai pesan dari
mendiang ayahku, setelah
mengetahui isi pesan Sang
Ratu, kalian akan kuantar menuju ruang para undangan...," tutur Nofret.
"Lalu, kapan upacara yang
dimaksud dalam papirus tadi?" timpal Sepasang Manyar.
"Tengah malam nanti. Untuk
itu, kalian harus
menunggu dulu di ruang para
undangan, sampai waktu upacara tiba. Setelah kalian tiba di sana, maka tugasku
pun selesai...."
"Hei Apa maksudmu?"
sentak Kenjiro. "Kalau kau pergi, berarti kami akan terjebak di dalam sini
Sementara hanya kau yang tahu seluk beluk tempat itu. Bagaimana kalau terjadi
hal-hal mengerikan lagi? Apa kau memang sengaja ingin mengumpankan kami pada
kekejian
ratumu?"
Wajah Kenjiro yang merah kian
matang. Kalau saja
sepupunya yang berwibawa,
Hiroto tak mencegah, tentu mulutnya akan terus menyemburkan bentakan-bentakan
keras tak sopan pada Nofret.
"Hati-hati bicara,
Tuan" balas Nofret setengah menghardik.
Wajah gadis itu ikut memerah.
Pada saat seperti itu, Pendekar
Sleborlah
yang
paling
suka
menikmati
perubahan wajah gadis Mesir
ini. Di matanya, Nofret makin terlihat mempesona dengan semu merah wajahnya,
serta menggemaskan dengan beliakan mata indahnya. "Aku tahu, Nona ini
hanya menjalankan tugasnya, Kenjiro.
Aku yakin itu," tukas
Hiroto, berusaha menyurutkan kegusaran saudara sepupunya yang memang sulit
mengendalikan perasaan.
"Bukan begitu,
Nona?"
"Ya, benar Aku pun
berpendapat begitu. Tak baik kita menyalahkan Nona ini." Yang menyahuti
justru Andika.
Raut wajahnya dibuat sewibawa
mungkin. Mau apa lagi dia, kalau bukan hendak menarik perhatian si dara Mesir
yang membuatnya terpana pada pandangan pertama
Ketengikan Andika terbaca mata
tajam Chin Liong.
Sebagai lelaki yang sama-sama
memiliki gejolak darah muda, tentu saja siasat gombal sahabatnya cepat bisa
dibacanya.
Dengan agak dongkol bercampur
geli di hati. Chin
Liong menyikut Andika sampai
meringis-ringis. Tampang wibawa pada wajahnya pun jadi mental entah ke mana.
Sekarang dia malah terlihat
seperti orang yang telat masuk jamban
"Sekarang, ayolah kita
segera ke ruang yang Nona maksud tadi. Aku sepenuhnya percaya," ujar
Andika lagi buru-buru, takut ringisannya sempat tertangkap mata Nofret.
"Sebelum
kuantar
ke sana,
sebaiknya kalian
mencamkan kata-kataku. Jangan
sekali lagi mengatakan hal yang tak pantas pada Sang Ratu.... Bukankah sudah
kukatakan sebelumnya, bahwa perkataan senonoh kalian akan membuat Ratu menjadi
murka. Akibatnya, adalah seperti yang menimpa orang tua itu," papar Nofret
agak panjang.
Mata setiap undangan kembali
tertuju bersama-sama
pada mayat Hakim Tanpa Wajah
dalam lubang berpasir di tengah ruangan.
"Hey Apa iya Ratu yang
sudah modar ratusan tahun lalu, bisa bertindak pada kita yang hidup?"
bisik Andika pelan sekali, berseloroh pada Chin Liong.
Chin Liong mendelik.
"Kenapa mulutmu tak bisa diam saja Kau mau bernasib seperti tua keparat
itu?" bisik pemuda Cina ini membalas.
"Aku hanya ingin tahu.
Kalau benar begitu, ingin rasanya aku berkencan dengan Sang Ratu. Pasti dia
jauh lebih cantik daripada Nofret. He he he," seloroh Andika, sambil
mengerlingkan mata.
Chin Liong
menggeleng-gelengkan kepala.
Selagi dua pemuda'gagah lain
bangsa itu kasak-kusuk tak kentara....
"Kita kehilangan dua
orang undangan" seru gadis itu, mengejutkan Chin Liong dan Andika.
Sepasang mata bulat berbulu lentiknya mencari-cari ke segenap ruangan.
Mau tak mau yang lain pun
mengikuti. Mereka semua
mencoba memastikan, siapa di
antara para undangan yang tidak ada lagi di tempatnya.
"Dua Biksu Dari
Tibet...," desis Andika, menyimpulkan.
Ya Dua biksu aneh itu sudah
tak ada lagi di tempatnya
Mereka hilang seperti ditelan
bumi tanpa jejak sedikit pun
"Ada di antara kalian
yang melihat mereka pergi?"
tukas Pendekar Slebor mencoba
mengendalikan keadaan.
Sebagian menggeleng. Si Kepala
Kacang yang
berperangai amat dingin hanya
diam menantang pan-
dangan Pendekar Slebor. Bagi
Andika, itu sudah cukup sebagai isyarat kalau lelaki itu pun tak tahu menahu
tetang kepergian Dua Biksu Dari Tibet.
Tubuh si Kepala Kacang paling
tinggi di antara yang lain. Kulitnya pucat, berambut lurus dan kaku sepanjang
bahu. Dengan pakaian yang terlalu sesak berbentuk
balutan kain perca berwarna
kelabu. tubuhnya jadi tampak makin jangkung. Ciri-ciri yang paling mudah
dikenali dari dirinya adalah, bentuk wajahnya tak sesuai tubuhnya.
Kepalanya terlalu kecil
bertengger di lehernya.
"Jadi mereka
menghilang," desis Kenjiro. membuat suasana kian mencekam.
"Bagus" bentak
Andika. Kekesalannya mendadak terlompat, disusul caci maki khasnya. "Kecoa
jelek, kutu buduk, biang koreng Apa yang sesungguhnya terjadi?" Dua Biksu
Dari Tibet adalah para pertapa yang
mengasingkan diri dari
keduniawian. Itu terlihat jelas dari penampilan mereka. Dengan kepala gundul
bertanda
bulatan-bulatan kecil, serta
pakaian layaknya para biksu.
Namun ada yang tidak pantas
pada diri mereka
selaku biksu. Mereka selalu
membawa tasbih terbuat dari tempurung tengkorak manusia yang telah dikecilkan
dengan ramuan khusus Selain
itu, sinar mata mereka pun tampak membersitkan kekejian tak terbatas. Semacam
kekejian yang dibungkus kulit bagus....
Mereka jelas dua biksu murtad
yang lari dari ajaran luhur. Mereka lebih suka menyatukan diri dengan
kedurjanaan. Kalaupun mereka
masih berpe-nampilan
sebagai biksu, itu sekadar
kedok semata.
Kini pertanyaan muncul, ke
manakah mereka?
Di ruang lain pada sayap utara
Piramida Tonggak
Osiris, tampak dua lelaki
biksu itu. Ketika tadi para undangan lain sedang sibuk berdebat, salah seorang
biksu ini menyandarkan tubuh pada satu belahan batu dinding.
Seketika batu dinding itu
melesak masuk. Lalu tanpa disadarinya, sebuah mulut lorong menganga perlahan.
Halus tanpa suara.
Pada saat itu, hanya ada
telinga seseorang yang
masih sanggup menangkapnya.
Orang itu, Putri Ying Lien.
Indera pendengarannya yang
amat terlatih dan sudah menjadi mata kedua baginya, membuat Putri Ying Lien
begitu peka untuk menangkap suara yang paling halus sekalipun. Sayang, karena
perhatiannya demikian terpusat pada perdebatan yang terjadi, dia jadi tidak
begitu memperhatikan.
Sebenarnya, Dua Biksu Dari
Tibet pun tak tahu
sesuatu yang terjadi, karena
ketidaksengajaan salah seorang dari mereka. Sampai salah seorang melihat lubang
menganga dan timbul keingin tahuannya. Lalu dengan diam-diam, dia pun mengajak
rekannya untuk memasuki lorong itu tanpa memberitahukan terlebih dahulu pada
yang lain. "Kenapa kita tak memberitahu yang lain?" tanya biksu
berhidung pesek, ketika keduanya sudah di tengah lorong setinggi kurang dari
satu tombak.
"Kau jangan bodoh Apa kau
tak tahu, bahwa piramida adalah
kuburan
para
pembesar
Mesir.
Menurut
kepercayaan mereka, seorang
yang mati akan menjalani hidup di alam lain. Itu sebabnya, mereka menyertakan
harta yang mati ke dalam piramida...," papar biksu bertengkuk tebal,
seperti tengkuk sapi benggala.
Biksu berhidung pesek
menyeringai. Dengan cepat
maksud rekannya bisa
tertangkap. "Harta...," desis biksu berhidung pesek dengan kilatan
mata rakus.
"Dan bisa jadi lorong
rahasia ini adalah jalan menuju ruang penyimpanan harta ratu itu.
Ha-ha-ha" kata biksu bertengkuk tebal tergelak.
Lalu secepatnya wajah
bengisnya berubah sangar
kembali.
Setelah berjalan
terbungkuk-bungkuk selama lebih
dari sepeminum teh mengikuti
lorong berliku-liku tak menentu, mereka akhirnya tiba di ujung lorong. Sebuah
dinding tebal buntu menghadang mereka.
"Sial" maki biksu
berhidung pesek. "Sungsang sumbel kita menyusuri lorong keparat
menyusahkan diri, tak tahunya hanya menemukan jalan buntu" makinya berat
menyentak-nyentak.
Biksu Punuk Tebal tak
cepat-cepat menanggapi
gerutuan rekannya. Matanya
jelalatan cepat, menca-ri-cari sesuatu.
"Kau sepertiriya tak
kesal?" tanya biksu berhidung pesek, mengungkapkan keheranannya.
"Tutup saja bacotmu.
Bantu aku menemukan
sesuatu...."
"Sesuatu apa?"
"Apa pun yang tampaknya
mencurigakan," jawab Biksu Punuk Tebal, sementara matanya terus mencari ke
segenap dinding.
"Aku tak melihat ada
sesuatu yang mencurigakan pada dinding tua berlumut tebal ini...."
"Jangan banyak mulut Cari saja"
Dengan menggerutu tak kentara,
biksu berhidung
pesek menuruti perintah
rekannya.
Lama mereka mencari sampai
bokong keduanya
terasa panas dan linu, karena
sudah demikian lama
merunduk seperti kakek-kakek
uzur.
"Tunggu-tunggu"
sergah Biksu Punuk Tebal ti-ba-tiba.
"Kau menemukan
sesuatu?"
Biksu Punuk Tebal menggeleng.
"Kalau tidak menemukan
apa-apa, kenapa mesti
berhonti" sentak biksu
berhidung pesek dongkol.
"Tolol Tentu saja kita
tak akan menemukan apa-apa"
balas Biksu Punuk Tebal
sengit.
"Kalau begitu, buat apa
pula meminta aku mencari-cari sesuatu mencurigakan segala macam Sial"
dengus biksu berhidung pesek tak kalah sengit.
"Maksudku, kau lihat
dinding ini," ujar Biksu Punuk Tebal seraya menyentuhkan tangannya pada
dinding di hadapan mereka.
"Kau pikir, dari tadi itu
aku melototi apa? Pantatmu?"
"Lihatlah lumut tebal
ini" penggal Biksu Punuk Tebal.
Tak dipedulikannya kata-kata
kasar rekannya barusan.
"Pikir Pakai otakmu
dengan benar Lumut ini tak akan tumbuh di tempat kering. Apalagi pira¬mida ini
berada di tengah gurun"
"Jadi maksudmu apa?"
Biksu Punuk Tebal mendengus.
"Itu artinya, dinding ini
berhubungan dengan tempat lembab...," jelas Biksu Punuk Tebal agak
bertekanan. Kesal dia menghadapi kemandekan otak rekannya.
"Tapi itu sama sekali tak
berhubungan dengan jalan yang hendak kita temukan" sergah biksu berhidung
pesek, makin keras berbicara. Bibirnya sampai menjadi begitu mancung. Semburan
ludahnya pun setia menyertainya.
"Jangan membentak-bentak
begitu rupa Aku muak melihat bentuk bibirmu yang jelek itu" sembur Biksu
Punuk Tebal. "Sekarang kau diam Jangan banyak bacot lagi kalau tak ingin
kita baku hantam di tempat sempit ini"
Biksu Punuk Tebal mulai
meneliti kembali dinding
buntu di depannya. Dengan
menyadari adanya lumut di dinding, hatinya semakin yakin ada ruang lain yang berhawa
lembab di balik dinding itu. Karenanya pula, dia terus mencari-cari. Sampai
akhirnya lelaki berwajah bengis itu membuat kesimpulan jitu yang bisa membawa
mereka menembus lorong buntu tersebut.
"Dapat" seru Biksu
Punuk Tebal tertahan.
*** 3
"Jangan Kuminta kau
jangan pergi mencari Dua Biksu Dari Tibet sendiri" cegah Pendekar Slebor
pada Nofret, setibanya mereka semua di ruang para undangan yang telah disiapkan
ratusan tahun lalu, ke-tika Sang Ratu masih hidup.
Cegahan ini dilontarkan karena
menurut penilaian
Pendekar Slebor, dua biksu itu
memendam kejahatan di balik topeng sucinya. Seringkali pemuda berotak jernih
itu bisa menilai tabiat bejat seseorang hanya dari sinar matanya. Andika memang
selalu berpegang teguh pada pendapat, bahwa mata adalah jendela jiwa. Dari
sinar mata kedua lelaki Tibet itu pula, dia menangkap secara samar-samar
keangkaramurkaan.
"Aku harus
mencarinya" tandas Nofret dengan tegas.
Bukan apa-apa, selama semua
undangan belum tiba
di ruang para undangan, dara
menawan itu merasa masih digelayuti tanggung jawab penuh terhadap keselamatan
mereka.
Langkah tergesa Nofret segera
dihadang tubuh
Pendekar Slebor. Pemuda tampan
itu terang-terangan menutup jalan bagi gadis ini dengan dada bidangnya.
"Tidak kataku" tegas
Andika seraya menggeleng.
Nofret menghujamkan tatapannya
pada mata elang
Andika. Seakan, mata yang
telah banyak menggetarkan sanubari para wanita itu tak membuatnya goyah.
"Kau tak tahu apa-apa
tentang piramida ini. Seperti juga kedua lelaki Tibet itu," kata Nofret
dengan segenap tekanan. "Mereka bisa berbuat yang tidak diperkenankan Sang
Ratu. Kalau itu terjadi, akan parah akibatnya."
Sekali lagi Pendekar Slebor
menggelengkan kepala.
Kalau sebelumnya menggeleng
karena sikap tidak setuju niat Nofret mencari Dua Biksu Dari Tibet, maka kali
ini karena mulai bosan mendengar perkataan Nofret tentang segala macam tetek
bengek yang berkaitan dengan
ratunya. "Sejak kami
tiba, selalu saja itu yang kau ucapkan: Tentang ratumu yang akan murka jika
kami bertindak gegabah. Apa kau menganggap kami ini hanya sejenis kambing
congek yang diatur seenaknya. Aku tahu, kami tamu di sini. Tapi, tidak dengan
cara yang kelewatan seperti ini" kata Andika, meletup-letup. Nadanya pun
mulai meninggi.
Dan baru saja kata-kata
Pendekar Slebor berakhir,
mendadak, ruangan bagai
digebah oleh satu kekuatan raksasa dari dasar bumi. Dinding berguncang, lantai
bergetar. Serpihan-serpihan pasir berjatuhan, menghujani semua orang di ruangan
ini.
Sebentar kemudian, ruangan
kembali tenang. Hanya
sisa debu yang melayang
lamban, menuju lantai.
Sementara
mata
tajam
Andika
tak
bergerak
menghujam langit-langit
dinding. Dia khawatir getaran berikutnya lebih menggila lagi. Kalau itu
terjadi, semua harus bersiap-siap menghindari reruntuhan ruangan. Tapi itu tak
terjadi. Getaran benar-benar telah enyah.
Nofret menatap Andika
lekat-lekat. Setelah itu,
ditatapnya undangan lain satu
persatu.
"Kalian lihat sendiri
bukan? Tuan muda ini telah lancang mengatakan hal yang tak semestinya pada diri
Sang Ratu. Itu sebabnya, bangunan ini menjadi tergetar.
Sang Ratu gusar. Untung saja
dia hanya memberi
peringatan...," papar
Nofret padat keyakinan.
"Kau hendak mengatakan
kalau getaran itu karena aku telah menyinggung ratumu?" tanya Andika
dengan wajah masih saja melempar kesan ketidakpercayaan.
"Kau masih tetap tak
percaya rupanya...," kata Nofret lagi. "Itu terserahmu, Tuan Muda.
Sekarang, kuminta dengan hormat agar kau tidak menghalangi jalanku. Aku hendak
mencari Dua Biksu Dari Tibet."
Lagi-lagi Pendekar Slebor
menggeleng. Menghadapi
anak muda sekeras kepala dia,
jangan harap mau
mengalah
Nofret menjadi agak gusar.
Cuping hidungnya yang bangir agak terungkit. Sepasang kelopak matanya pun
membesar. Padahal, itu justru amat disukai Andika.
Bagaimana tidak? Dua bola mata
indah itu seperti
lengkung sepasang purnama yang
berkabut, manakala
memperlihatkan kemarahan....
Melihat wajah Nofret yang
memerah, pendekar
urakan itu malah
tersenyum-senyum menjengkelkan. Siapa yang tak akan bertambah kesal?
"A..., a. Sebaiknya
kemarahanmu disimpan, Nona. Itu hanya akan membuat tenaga sia-sia...,"
cegah Andika melihat gelagat kemarahan Nofret akan me-ningkat.
"Kalau begitu, kenapa kau
tak cepat memberiku jalan?"
Gadis Mesir itu sepertinya
masih berusaha bersikap sepantas mungkin, selaku tuan rumah yang dipercaya
ratunya.
"Baik. Aku setuju kau
mencari dua lelaki T ibet itu.
Asal, bersedia kukawal. Ini
sekadar untuk menjaga
keselamatanmu, Nona,"
usul Andika.
Entah, apa maunya pemuda ini.
Bisa jadi dia memang bersungguh-sungguh untuk menjaga keselamatan Nofret.
Tapi bukan mustahil pula, cuma
akal-akalannya untuk bisa lebih dekat dengan Nofret Dasar bulus
Nofret mengangguk tanpa perlu
menunggu lebih
lama. Baginya, lebih cepat
menemukan dua lelaki yang dianggap hilang itu adalah lebih baik.
Keduanya pun melangkah
meninggalkan ruangan.
Menjelang pintu keluar yang
terhubung dengan lorong piramida, Chin Liong memperlihatkan senyum salut pada
Pendekar Slebor. Ketampanan pemuda Cina ini dengan Andika mungkin setara. Tapi
kalau soal kelihaian
menundukkan wanita, Chin Liong
mungkin cuma dianggap kentut oleh pendekar slompret itu.
Lain Chin Liong, lain pula si
tua bangka Pendekar
Dungu. Si keropos satu itu
malah lantas berseru
seenaknya.
"Cihuii Begitu baru
namanya pemuda kutu kupret" Ruang rahasia penyimpanan harta. Di situlah
Dua
Biksu Dari Tibet tiba, setelah
berhasil menemukan satu jalan rahasia lain. Dugaan Biksu Punuk T ebal nyatanya
bukan sekadar isapan jempol. Sejauh ini dia benar.
Tentang jalan rahasia yang
berhubungan dengan ruang rahasia penyimpanan harta. Juga, pintu rahasia yang
berada di dinding buntu.
Kini, mereka berada di sebuah
ruang besar. Pada
pusat ruangan, terbentang
kolam lebar. Piramida satu ini tampaknya dirancang sedemikian rupa, sehingga
memiliki ruang-ruang istimewa yang berbeda dengan piramida lain.
Pemandangan yang paling
memikat terletak pada
sekeliling kolam. Di sana,
terdapat peti-peti perhiasan emas permata
"Kau lihat itu...,"
tunjuk Biksu Hidung Pesek takjub.
Seperti pula rekannya, mata
biksu itu pun seperti tak ingin berkedip menyaksikan tutup-tutup peti menganga
karena isinya terlalu sesak. Ukuran peti pun tidak main-main. Orang saja bisa
tertelan di dalamnya. Pada penutup peti, beberapa rantai emas menjulur keluar.
Ada pula kalung bertahtakan jamrud,
permata,
dan
berlian
Semuanya berkilat-kilat
menggoda mata Dua Biksu Dari Tibet
"Aku kaya" teriak
Biksu Punuk Tebal meledak-ledak, tak bisa lagi membendung desakan
kegembiraannya.
"Apa maksudmu?"
sergah Biksu Hidung Pesek demi mendengar seruan rekannya. "Kau bilang
'aku'? Jadi, kau anggap cuma kau saja yang bisa memiliki semua harta itu?"
Tanpa melirik sedikit pun pada
rekannya, Biksu Punuk Tebal menyeringai dalam satu kelebatan raut wajah yang
keji.
"Ya Aku rasa semua harta
harus dipastikan menjadi milikku...," tandas Biksu punuk Tebal.
"Kau...," ucap Biksu
Hidung Pesek ragu.
"Ya Aku tak ingin
membaginya denganmu. Karena itu, aku harus menyingkirkanmu Bersiaplah...."
Bukan
main
berangnya
Biks u
Hidung
Pesek
mendengar niat busuk temannya.
Meskipun hatinya
sebusuk rekannya itu, namun di
benaknya sama sekali tak terbetik untuk menyerakahi harta yang ditemukan.
Selama ini, dia bisa mempercayai rekannya. Dan kalau kini kenyataan memaparkan
hal yang lain, tentu saja hatinya menjadi amat murka.
"Keparat sial Biar
mampuslah kau" maki Biksu Hidung Pesek seraya mengayunkan tasbih besar
yang
terbuat dari tengkorak manusia
yang dikecilkan.
"Huiaaa"
Wuk
Saat itu juga pertarungan pun
meledak. Kelihatannya akan berlangsung seru, karena mereka sama-sama tokoh
jajaran atas dunia persilatan di Tibet. Diundangnya mereka ke Piramida Tonggak
Osiris, sudah bisa dijadikan bukti kalau mereka masuk hitungan. Karena semua
undangan adalah tokoh papan atas.
Sabetan pertama tasbih menyeramkan
Biksu Hidung
Pesek hanya memakan angin,
karena rekan yang kini
berbalik arah menjadi
musuhnya, dapat berkelit tangkas ke samping tanpa kesulitan. Sehingga kepala
gundulnya selamat dari kehancuran.
Sementara ayunan bertenaga
kelewat kuat tasbih
Biksu Punuk Tebal telanjur
meluruk tajam ke bawah. Dan lantai di dekatnya pun terhajar.
Brak
Seolah baru saja ditimpa godam
raksasa seberat
ribuan kati,
lantai itu menjadi hancur
berkeping.
Pecahannya berhamburan deras
ke segenap penjuru,
laksana pecahan benda langit
yang memasuki selubung udara bumi. Sebagian pecahan merangsak peti-peti harta
di seputar kolam. Peti-peti itu tak bedanya daun kering tertembus bara api
Bahkan pecahannya sanggup melesak ke dalam, dan langsung tembus keluar peti.
Padahal, di dalamnya terdapat banyak batu dan logam mulia yang kekerasannya
tidak diragukan. Sebagian pecahan lain mencoba menembus tubuh
Biksu Punuk Tebal dan Biksu
Hidung Pesek. Ada lebih dari lima keping pecahan mengancam beberapa bagian
tubuh mereka. Namun semua itu dapat dipatahkan keduanya
dengan cara memukau.
Biksu Punuk Tebal menyambut
setiap pecahan
dengan jentikan-jentikan jari.
Tampak ringan tindakannya.
Seakan, seekor lebah pun tak
akan mati bila terkena.
Namun hasilnya sendiri
ternyata amat jauh dari itu. Setiap keping pecahan langsung menjadi butiran
debu halus
Selain itu, gerakannya pun
hanya dalam satu kelebatan cepat. Pada saat itu, sepasang tangannya seperti
berubah menjadi beberapa pasang. Jika saat itu ada seorang tokoh jajaran atas
menyaksikan gebrakannya, pasti akan
berdecak kagum. Bagaimana
tidak? Bagi Biksu Punuk
Tebal, kedudukannya saat itu
sudah bisa dibilang mati langkah setelah berkelit menghindari sabetan tasbih
lawannya.
Sementara Biksu Hidung Pesek
mementahkan
pecahan lantai akibat ulahnya
dengan caranya sendiri.
Sama menakjubkan dan tak kalah
hebat. Setiap pecahan disambut dengan mulut. Satu demi satu dengan gerak
demikian cepat, sehingga setiap pecahan langsung
tersusun di mulutnya.
Begitu seluruh ancaman pecahan
lantai dituntaskan, Biksu Hidung Pesek menghadiahkan benda-benda di
mulutnya kepada Biksu Punuk
Tebal.
"Phuaaah"
Suara semburan terdengar.
Sekian kejap dalam
selang yang teramat tipis,
pecahan dari mulut Biksu Hidung Pesek berkelebat menusuk udara kembali. Lebih
hebat serta mengancam dari sebelumnya. Hanya kali ini, Biksu Punuk Tebal yang
siap dijadikan sasaran empuk.
Kali ini, Biksu Punuk Tebal
tidak ingin main-main lagi.
Dia tahu tingkat kesaktian
rekannya. Selama di Tibet, banyak sudah kejahatan yang mereka lakukan. Karena
itu, dia amat tahu apa yang dilakukan Biksu Hidung Pesek. Kesimpulan cepat
didapat, rekannya yang menjadi lawan hendak mengadu tenaga dengan perantara
pecahan lantai
Segera saja Biksu Punuk Tebal
meloloskan tasbihnya yang serupa dengan milik Biksu Hidung Pesek dari
lehernya. Dan....
Slash Prak
Sekali kebut, seluruh kepingan
kembali lebur menjadi butiran debu tanpa daya.
Biksu Hidung Pesek semakin
berang. Dilancarkannya
satu serangan susulan, dengan
kekuatan berlipat ganda.
Dan tentu saja, lebih
mengancam.
Tidak ada satu kembangan jurus
yang diperlihat-kan.
Seperti dugaan Biks u Punuk
Tebal, dia memang hendak menjajal kekuatan dengan mengadu tenaga dalam.
Tampaknya lelaki botak
berhidung jelek itu tak ingin tanggung-tanggung. Jika gagal dalam gempuran
pertama, akan dibuatnya gempuran kedua.
"Rrrhhh..."
Dari mulut Biksu Hidung Pesek,
melompat erangan
sumbang menyakitkan telinga.
Seiring dengan itu, kedua tangannya, mengepak-ngepak, seperti gerakan sayap
burung rajawali raksasa.
"Kaaarrrkkk"
Berikutnya, mulut Biksu Hidung
Pesek kembali
melempar suara asing yang
berbeda daripada sebelumnya.
Yang terakhir, amat mirip
makhluk angkasa. Begitu keras suaranya, bahkan sempat membuat dinding ruang
bawah tanah besar itu menjadi bergetar. Sebagian susunan batu menjadi
bersembulan tak teratur, seakan baru saja
dihantam seribu godam.
Sepertinya, tak ada gendang
telinga yang bisa
raenahan getaran suara buruk
itu. Kecuali, orang-orang yang telah berhasil menempatkan diri dalam jajaran
teras percaturan dunia persilatan.
Namun, Biksu Punuk Tebal
adalah salah satunya.
Lelaki itu tak tampak
terpengaruh oleh suara yang
melantakkan itu. Baginya, itu
bukanlah serangan yang sesungguhnya.
Biksu Punuk Tebal amat tahu,
siapa Biksu Hidung
Pesek. Seorang datuk yang
disejajarkan dengan dirinya, dalam rimba keras persilatan Tibet. Setelah sekian
lama memporak-porandakan dunia persilatan Tibet dalam
mencari pengakuan tertinggi
dalam dunia sesat, sekali ini tampaknya mereka harus mengakhiri semuanya.
"Kepak Rajawali
Merah...," teriak Biksu Punuk Tebal nyaris mendesis.
Di rimba persilatan Tibet,
kesaktian milik Biksu Hidung Pesek sudah demikian menggetarkan hati. Dalam
banyak kesempatan, sudah banyak tokoh jajaran atas yang
kehilangan nyawa dalam
menghadapi kesaktiannya.
Dengan mata kepala sendiri,
Biksu Punuk Tebal kerap menyaksikannya ketika mereka masih sama-sama malang
melintang dalam dunia persilatan.
Kehebatan kesaktian Biksu
Hidung Pesek, memang
tidak tampak nyata dari
gerakannya. Semua gerakannya tampak sederhana saja. Namun jangan terkecoh Di
balik sepele itu, tangan-tangan maut siap menjemput Begitu kepakan tangannya
terpenggal, dan begitu teriakan
rajawalinya diperdengarkan,
maka....
Wuwuwukkk
Sebentuk tenaga dalam sepanas
semburan naga
membersit dari sepanjang
lengan Biksu Hidung Pesek.
Panas yang terkandung membuat
udara di sekitarnya
terbakar. Maka, terwujudlah
garis-garis cahaya merah yang bersusun-susun di udara, membentuk kepakan sayap
rajawali merah
Garis-garis tenaga berwarna
merah itu melesat deras menuju tubuh Biksu Punuk Tebal. Bahkan langsung
mengepung dari arah depan,
seperti tak me-nyisakan ruang sedikit pun untuk menghindar.
Sekian kejap dari terlepasnya
tenaga 'Kepakan
Rajawali Merah', Biksu Punuk
Tebal membangun benteng pertahanan. Tasbih di tangannya dilemparkan ke atas.
Tiga tombak ketika tasbih terlempar, kepalanya mendongak mengikuti arah benda
itu. Berikutnya, sebelah tangannya sudah membentang lurus searah tasbihnya.
"Hoooii hhh"
Diawali seruan, dari telapak
tangan Biksu Punuk Tebal yang terangkat tinggi menyembur liar segenap tenaga
sakti berbentuk kabut berwarna jingga. Kabut itu langsung menyergap tasbihnya
hingga terkurung oleh warna jingga yang terus mengembang. Maka tampaklah tasbih
itu kini berubah menjadi bola-bola lampu mengapung yang berpijar jingga, amat
menikam mata.
Empat depa dari tempat berdiri
Biksu Punuk Tebal,
kekuatan 'Kepakan Rajawali
Merah' pun bertemu semburat jingga menyilaukan dari tasbih Biksu Punuk Tebal di
udara.
Srat Srat Srat
Benturan dua kekuatan sakti
terjadi menciptakan
tekanan raksasa ke satu bagian
ruangan. Di bagian tempat dua cahaya itu bertumbukan, dinding dan lantai
menjadi retak dalam sekejap. Lalu, runtuh pula dalam sekejap
Hingga terbentuklah sebentang parit
yang melingkari ruangan, dari lantai, dinding susunan batu, hingga
langit-langitnya
Sementara tubuh kedua orang
yang berseteru
terpental deras. Luncuran
tubuh mereka baru berhenti ketika
dinding
yang
sulit
diduga
ketebalannya
menghambat.
Sama-sama terseok, keduanya
cepat bangkit. Dinding ruangan memang tergali, membentuk parit sedalam lengan
akibat bentrokan tenaga sakti tadi. Memang, benturan kesaktian itu sanggup
melebur seratus prajurit kekar sekaligus. Lalu bagaimana kedua lelaki bengis itu?
Mereka hanya terbatuk-batuk dengan darah kental kehitaman pada mulut dan hidung
"Debu..., kau akan
menjadi debu Pesek. Jangan menyangka telah bisa mengukur kemampuanku. Se-lama
ini kau tak pernah tahu, aku memiliki kehebatan simpanan lain yang akan kugunakan
untuk mengirimmu ke neraka"
geram Biksu Punuk Tebal. Agar
lawannya lebih terhina, sengaja tangan Biksu
Punuk Tebal menunjuk ke arah
debu bekas kepingan lantai yang kini berserakan. Pada saat itulah, matanya
tertumbuk pada parit korban bentrokan tenaga sakti mereka, di dinding sebelah
barat. Maka seketika wajah lelaki
bertampang bengis itu berubah
seketika.
Semula, Biksu Hidung Pesek
menyangka lawannya
hendak mengecohnya dengan raut
wajah itu. Kalau arah pandangan lawan di kutinya, mungkin Biksu Punuk Tebal
akan menyerang.
"Kau tak bisa meliciki
aku, Punuk Tebal Kelicikanmu selama ini hanya jadi barang basi bagiku"
leceh Biksu Hidung Pesek dengan bibir menyeringai.
Tapi setelah itu, Biksu Hidung
Pesek dipaksa juga
untuk menoleh, manakala dari parit
sekitar setengah langkah di belakangnya terasa satu gerakan yang ganjil
Dan betapa terperanjatnya
dia....
Dengan mata yang berkelopak
sempit, Biksu Hidung
Pesek menyaksikan ribuan ekor
ular dalam beragam
ukuran dan warna.
Binatang-binatang melata itu mendesis-desis dalam sebuah lubang yang berukuran
tiga kali tombak. Semuanya menggeliat menjijikkan, sekaligus menggidikkan
saling tumpang-tindih dan saling libat, mengelilingi sebuah peti amat tua yang
berpenutup tidak lazim. Penutupnya adalah, seekor ular raksasa yang melingkar
di atas peti besar itu. Panjangnya ular bersisik keperakan itu mungkin sekitar
sepuluh tombak. Sedang lebar tubuhnya sebesar lebar lingkaran kepala manusia
Berbeda dengan tumpukan
ular-ular di sekeliling peti, ular raksasa itu tampak beku dalam kesangarannya.
Kepalanya tergolek diam di
lingkaran tubuhnya. Biar begitu, bola matanya yang berpijar merah tetap
terbuka, memaparkan keganasan terpendam.
*** 4
Pendekar Slebor dan Nofret
kembali ke Ruang Para
Dewa. Menurut pertimbangan
mereka, ruang itu adalah jalan terbaik untuk mencari tahu, ke mana Dua Biksu
Dari Tibet menghilang. Dari situ, mungkin bisa dilacak.
Memasuki Ruang Para Dewa,
Andika dan Nofret
sudah tidak menyaksikan lagi
lubang besar berpasir di pusat ruangan yang sudah menghilang di balik lantai.
Sekarang ruang itu tampak
terang, sejinak seekor singa kekenyangan.
"Apa usulmu untuk memulai
pencarian mereka?"
tanya Pendekar Slebor pada
Nofret.
"Aku masih belum
tahu," jawab gadis Mesir ini.
"Bagaimana denganmu?"
Sejenak Pendekar Slebor
berpikir.
"Ada baiknya, kita
meneliti tempat mereka berdiri waktu itu," usul Andika. Kecemerlangan
pikirannya tak membutuhkan waktu lama, untuk membuat keputusan
tepat.
Nofret tersenyum lepas, dan
terlihat oleh Andika. Lega rasa hati Pendekar Slebor diberi senyum seperti itu
untuk pertama kalinya.
Benar-benar untuk pertama
kali,
semenjak Nofret muncul. Selama
ini gadis berparas bak bidadari Mesir itu hanya memajang wajah sungguh-sungguh.
Kalaupun pernah tersenyum pada Andika, itu pun senyum yang terlalu samar.
Andika membalas senyum Nofret
barusan.
"Kenapa kau
tersenyum?" tanya Pendekar Slebor ingin tahu."Tidak apa-apa,"
elak Nofret.
Sebenarnya gadis Mesir ini
sendiri kurang tahu alasan apa yang membuatnya tersenyum. Barangkali saat
berdua seperti itu, Nofret merasa bisa sedikit lebih akrab dengan seorang
pemuda yang untuk pertama kalinya menawarkan suatu desir halus ke relung
hatinya.
"Apa usulku tadi
menggelikan?" susul Andika, masih juga penasaran.
Nofret menggeleng. Untuk
menghindari desakan
pandangan pemuda itu, sengaja
matanya melirik ke
segenap ruangan seperti sedang
meneliti.
"Yah, sudahlah. Kenapa
aku jadi ngawur.... Bukankah tujuan kita ke sini hendak melacak hilangnya Dua
Biksu Dari Tibet" tukas Andika kemudian.
"Hm.... Aku yakin, dua
lelaki itu tadi berdiri di sana"
Tangan Pendekar Slebor
menunjuk ke satu sudut
ruangan, tempat Dua Biksu Dari
T ibet berdiri ketika para undangan hendak mendengar dibacakannya gulungan
papirus oleh Nofret.
Keduanya segera menggiring
langkah ke sana.
Dengan teliti sekali, mereka
mulai memperhatikan jengkal demi jengkal tempat tersebut. Ya lantainya, ya
dindingnya.
Seujung kuku pun tak ada yang
luput dari perhatian mereka.
"Aku tak melihat
apa-apa," ujar Nofret, setelah sekian lama diusik kejenuhan.
"Tak melihat apa-apa,
bukan berarti tak ada apa-apa,"
kata Pendekar Slebor penuh
keyakinan.
Sekilas Nofret melirik pemuda
di sebelahnya. Setelah sekian jauh, gadis ini mulai bisa membaca pribadi pemuda
itu. Di samping memiliki ketampanan, kemantapan, dan kekerasan tekad, Nofret
juga sudah tahu kalau Pendekar Slebor memiliki kecemerlangan pikiran. Kalau
tiba-tiba Andika berkata seperti itu, tentu punya alasan kuat.
"Kau sepertinya lebih
tahu dariku," usik Nofret.
Di telinga Andika, kalimat itu
seperti gurauan.
"Hey? Kau sudah berani
bergurau pula" seru Pendekar Slebor dalam hati. Dia girang bukan main.
Disadari, gadis yang membuat
dadanya berdebur-
debur keras itu mulai merasa
dekat dengannya. Andika menoleh.
"Aku hanya menduga,
Nona.... Ah Apa aku tak bisa memanggil namamu?" kata Pendekar Slebor.
Nofret menggeleng. Andika mengira, gelengan itu sebagai penolakan.
Padahal, Nofret menggeleng
hanya karena tak sadar
menanggapi sikap acuh Andika,
sisi lain yang telah pula ditangkapnya.
"Nofret...," sebut
Nofret, datar.
"Apa?"
"Nofret.
Itu
namaku,"
ulang
Nofret
dibumbui
penegasannya.
"Ooo," bibir Andika
membulat. "Kalau begitu, panggil aku Andika. Rasanya, hidupku suka
kembang-kempis, tak teratur kalau terlalu sering dipanggil 'tuan'."
Nofret tersenyum lepas lagi.
Sedang, hati Pendekar Slebor
berbunga-bunga
lagi.
Rupanya,
Nofret
tak
sesombong dugaan Andika
sebelumnya.
"Jadi kau tadi hendak
berkata apa padaku..., Andika?"
tanya Nofret memulai kembali.
"Kita tadi hanya
memperhatikan tempat ini saja, bukan? Kau mestinya tahu kalau tempat ini
dibangun dengan sekian banyak pintu, jalan, dan tempat rahasia."
"Jadi maksudmu?"
Andika tak menjawab. Hanya
tangannya menjulur ke
arah dinding. Sebagian demi
sebagian, dinding di
depannya mulai diraba,
ditekan-tekan, dan terkadang diketuk-ketuk.
"Hey? Kau jangan berdiam
diri begitu Kau seperti menyaksikan orang buta yang hendak mencari pintu keluar
saja" gurau Andika, melihat Nofret hanya memperhatikan.
Nofret tersipu. Dia pun mulai
melakukan hal yang
sama seperti Andika.
Sampai akhirnya....
"He-he-he. Kubilang juga
apa," tukas Andika, setengah menggumam.
"Kau menemukan
sesuatu?"
Perhatian Nofret beralih.
Cepat wajahnya dipalingkan ke arah Andika sungguh-sungguh.
Namun Andika malah
cengengesan.
"Kau lihat saja
ini," ujar pemuda itu lagi. Tangan Pendekar Slebor lalu membuat tekanan
pada
satu belahan batu besar
penyusun dinding. Sebentar kemudian, terbuka sebuah lubang tak begitu besar
berupa pintu rahasia.
"Bagaimana
menurutmu?" tanya pemuda urakan itu.
Alisnya terungkit pada Nofret.
"Sungguh Aku sendiri pun
tak pernah menyangka,"
tegas Nofret. Secara tak
langsung, sebenarnya dia hendak memuji kejelian Pendekar Slebor. "Rupanya
Ratu Yang Mulia membangun piramida ini demikian istimewa...."
"Kita masuk? Mungkin Dua
Biksu Dari Tibet itu menghilang dari tempat ini...?" tanya Andika.
Nofret menyetujui. Dan
keduanya pun memasuki
lorong.
Di tempat lain, tepatnya di
Ruang Para Undangan,
beberapa orang lain menanti
tanpa sepatah kata pun.
Wajah mereka rata-rata tetap
mencerminkan ketenangan.
Tapi, tidak hati mereka.
Hampir semuanya gelisah,
meskipun tak tahu kenapa harus
gelisah.
Di satu s udut, hanya si
bangkotan Pendekar Du-ngu yang tampaknya begitu menikmati suasana. Sementara
yang lain berdiri atau berjalan hilir-mudik, lelaki tua berotak bebal ini duduk
bersandar pada kursi besar dari logam bersepuh emas, serta bertahtakan batuan
mulia. Pada sandaran kursi terdapat lukisan yang menggambarkan kehidupan
pembesar Mesir. Dengan penuh lagak, kakinya diangkat berun-cang-ucang. Matanya
jelalatan ke sana kemari. Se-sekali terlantun senandungnya yang terdengar
se¬perti gerutuan lapar.
Tepat pada jajaran kursi yang
salah satunya diduduki Pendekar Dungu, membentang meja besar dari pualam
halus. Seperangkat piring
jamuan ada di atas nya. Kosong, tanpa makanan.
Pendekar Dungu membayangkan
pada perlengkapan
makan itu tergolek sekian
jenis makanan. Termasuk, kambing guling besar yang masih mengepulkan asap. Nah
Lihatlah air liurnya mulai
merembes lancar membasahi dagu kendornya.
"Sudah demikian lama
Andika dan gadis itu pergi.
Sampai saat ini, mereka belum
juga kembali. Apa tidak mungkin telah terjadi apa-apa pada mereka?" bisik
Chin Liong pada Putri Ying Lien.
Sementara Putri Ying Lien
hanya memperdengarkan
tarikan napas halus.
"Bagaimana kalau kita
menyusul mereka?" usul Chin Liong."Aku pun berpikir begitu,"
sela si Gila Petualang, mendukung usul Chin Liong barusan.
"Ahhh Aku sih enakkan di
sini saja" serobot Pendekar Dungu." Di sini sudah nyaman, kok. Cuma
sayang, tidak ada makanan sedikit pun. Wuh Pelit juga tuan rumah, ya...
""Kalau kita mencari Andika dan gadis itu, bagaimana dengan undangan
yang lain?" tanya Putri Ying Lien kemudian.
"Mereka punya keputusan
sendiri, bukan?" kata Chin Liong. "Kita tanyakan saja mereka, apa mau
ikut atau tetap tinggal di ruangan ini...."
Putri Ying Lien mengangguk.
Lebih baik memang
begitu. Demikian pikirnya.
Chin Liong pun menanyakan
mereka. Sebagian besar
dari mereka ternyata hendak
turut. Hanya dua orang yang sepertinya enggan. Suami Manyar Wanita dan Pendekar
Dungu.
"Kau jangan bertingkah
macam-macam, Suami-ku"
hardik Manyar Wanita ketus.
"Kalau aku keluar, kau harus turut keluar"
Suara wanita cerewet itu
melengking menyesaki
ruangan. Jadi, bukan cuma
suaminya yang merasa pekak.
"Aku...," kata
lelaki kecil itu, takut-takut. "Aku apa?"
potong Manyar Wanita.
"Aku..., capek sekali, Yang." "Capek
Capek Tai kucinglah kau Dasar
lelaki tidak punya kemauan"
Sang suami mengecap-ngecap
mulut antara ngeri dan tidak peduli. Sebenarnya, bukan alasan tadi yang
membuatnya enggan untuk ikut
serta bersama yang lain.
Dia hanya cemburu pada Andika.
Pikirnya, kalau sekarang istrinya sudi turut serta mencari sepasang anak muda
itu, tentu hanya karena dorongan kegenitannya pada Pendekar Slebor.
"Ya sudah, kalau tak mau
ikut. Biar mati saja kau di ruangan ini di makan ulat" serapah Manyar
Wanita pedas-pedas.
Sementara suami Manyar Wanita
menggerutu tak
kentara.
Kini perdebatan kecil membuat
pusing itu se-lesai.
Maka rombongan yang hendak
mencari Pendekar Slebor segera keluar ruangan.
"Tunggu Aku ikut"
teriak Pendekar Dungu.
Lelaki uzur berotak kerbau itu
berubah pikiran. Sambil meringis-ringis ngeri, kepalanya menoleh pa¬da suami si
Manyar Wanita.
"Aku tak mau kualat pada
istrimu Kalau aku tak turut, jangan-jangan aku dimakan ulat sepertimu juga. Hi
iyyy...."
Lalu Pendekar Dungu
pontang-panting menyusul
rombongan.
Baru saja rombongan itu
melangkah menyusuri lorong sekitar lima puluh langkah.... "Aaa..."
Niat mereka kontan terjegal
ketika dari ruang yang baru saja ditinggalkan melompat lengkingan menusukyang
menerobos sepanjang lorong. Semuanya agak tercekat.
Apa yang terjadi?
Setelah terdiam sesaat, Manyar
Wanita menyadarkan
mereka semua dengan jeritan
kaleng rombengnya.
"Wuaaa Suamikuuuh Ada apa
dengan suamiku di ruangan ituuuh?"
Lalu Manyar Wanita berlari
memburu liar menuju
Ruang Para Undangan. Sementara
yang lain menyusul di belakangnya.
Apa yang mereka saksikan di
Ruang Para Undangan
benar-benar memaksa untuk
bergidik, memaksa untuk menghentikan kedipan mata, dan memaksa bulu-bulu
halus di tengkuk meremang
hebat....
Suami Manyar Wanita ditemukan
telah menjadi
mayat, terbujur lunglai di
atas meja besar di antara perlengkapan makan dari perak. Seluruh tubuhnya
digerayangi ulat-ulat kecil,
merayap dan menggerogoti dagingnya sedikit demi sedikit
Kontan saja Manyar Wanita
terduduk sambil meraung-
raung di tempat. Kakinya
menjejak-jejak ke lantai, dan tangannya mengaduk-aduk rambut panjangnya
sendiri.
Cara menangisnya ternyata
lebih tengik daripada seorang bocah kampung. Padahal, belum lama dia yang
justru menyumpahi suaminya pedas-pedas.
Wanita hitam manis bertubuh
molek itu bangkit, dan langsung
menghambur
ke
dekat
meja.
Dengan
berangasan, dikebutnya habis
setiap ulat-ulat yang menggerogoti tubuh suaminya dengan ujung lengan baju.
Setiap ulat yang terkena
kebutannya, langsung mencelat ke dinding, lalu hancur memercikkan lendir
menjijikkan berwarna hijau kemerahan.
"Sudah kubilang tadi Kau
mestinya ikut kami Coba kalau ikut, kau tentu tak akan mengalami nasib sejelek
ini.
Dasar lelaki tak punya kemauan
Tai kucinglah kau Hik-hik-hik...," sembur Manyar Wanita di antara isaknya.
Di lain sisi, Hiroto dan Chin
Liong segera menyelidiki keadaan ruangan. Tanpa sebab, sesuatu tak akan mungkin
terjadi. Demikian pikir keduanya. Mereka memastikan dalam ruangan itu ada
sesuatu bahaya tersembunyi yang telah meminta tumbal nyawa suami si Manyar
wanita.
Sekian
lama
keduanya
mencari,
Chin
Liong
menemukan sesuatu.
“Hiroto” Panggil Chin Liong,
tanpa menoleh. Wajahnya tegang tertuju pada satu arah.
Hiroto mendekat. Dengan serta
merta, pandangannya
pun mengikuti arah tatapan
Chin Liong Selanjutnya, dia ikut tertegun.
*** 5
"Apa pertarungan ini
perlu dilanjutkan? Atau, kita bekerja sama kembali untuk mencari tahu apa isi
peti yang dijaga ular-ular itu?" tanya Biksu Hidung Pesek mengajukan
penawaran pada Biksu Punuk Tebal.
Keduanya memang masih di ruang
penyimpanan
harta, dan telah menghentikan
pertarungan.
Biksu Punuk Tebal memainkan
bibir. Sejenak dia
berpikir.
"Untuk bisa mengambil
peti yang dijaga binatang-binatang keparat ini, rasanya dibutuhkan dua
orang...,"
putus
Biksu
Punuk
Tebal
kemudian,
menanggapi
pertanyaan Biksu Hidung Pesek.
"Jadi?" tanya Biksu
Hidung Pesek, ingin ketegasan.
"Jadi..., kita berteman
lagi Ha-ha-ha"
"Ya, usulbagus
Ha-ha-ha" Dasar keduanya berhati culas, licik, dan serakah Puas tertawa,
mereka mulai memikirkan cara mendapatkan peti yang dimaksud. Cukup lama mereka
hilir-mudik dalam ruang yang porak-poranda itu. Setiap langkah selalu saja
dibayang-bayangi suara desis ular-ular dari lubang di dasar lantai.
"Hah..."
Akhirnya, Biksu Punuk Tebal
yang memiliki otak lebih encer dibanding lelaki Tibet yang lain berseru
tertahan.
Wajahnya berbinar, ketika
ingat sesuatu.
"Bagaimana?" tanya
Biksu Hidung Pesek ingin tahu.
Biksu Punuk Tebal mendekat,
lalu mulai mema-
parkan rencananya.
"Kau masih ingat, kalau
di antara kita ada sepasang suami istri pawang binatang berbisa?"
Biksu Hidung Pesek mengangguk.
Rasanya, maksud
rekannya yang belum lama
menjadi lawan itu mulai bisa diduga.
"Otakmu memang sial,
Punuk Tebal Ha-ha-ha" puji Biksu Hidung Pesek.
"Ha-ha-ha Itulah
aku" sambut Biksu Punuk Tebal tak kalah meledak, dengan mulut terbuka
lebar. Saat itulah dengan kecepatan tak terhingga, Biksu
Punuk Tebal menyemburkan
ludahnya yang diser-tai
tenaga dalam tinggi, tepat ke
kerongkongan Biksu Hidung Pesek. Dan.. .
Bres
Sekelebat bunyi halus
menghentikan semuanya
ketika ludah itu menghantam
kerongkongannya. Mata
Biksu Hidung Pesek kontan
mendelik.
Sepanjang
hidungnya. baru kali itu
matanya yang berkelopak sempit terbuka demikian lebar. Biji matanya saat itu
juga memerah seiring wajahnya yang mematang.
Napas lelaki itu
terseret-seret dalam tarikan-tarikan tak terkendali. Mulutnya memperdengarkan
suara-suara yang tak jelas. Lalu tubuhnya terhuyung, ambruk dan..., matiTinggal
Biksu Punuk Tebal menertawai kebodohan lelaki sesat naas itu. Tawanya terulur
lagi menyesaki ruangan, meramaikan desisan ular-ular dari dasar lubang.
"Itulah kehebatan
simpanan yang kumaksud, Tolol"
maki Biksu Punuk Tebal seiring
kilatan mata liciknya.
"Kelicikanku.... Hanya
kelicikanku yang tak pernah kau sadari selalu kumiliki dan menjadi salah satu
andalanku
Kau pikir, aku akan sudi
meminta bantuan pada suami istri pawang binatang itu? Itu sama artinya bersedia
membagi temuan kita pada mereka Jangan lagi mereka. Dengan kau pun, aku tak sudi"
Sambil terus
menyumpah-nyumpah, Biksu Punuk
Tebal menyeret bangkai bekas
rekannya ke dekat lubang ular. Dilepasnya tubuh Biksu Punuk Tebal, lalu
dicabiknya memanjang. Setiap cabikan lalu disimpul menjadi satu, hingga
terbentuklah tali cu-kup panjang. Kemudian, kasar sekali, bangkai Biksu Hidung
Pesek di katkan pada satu ujungnya.
Usai melakukan itu, Biksu
Punuk Tebal melakukan
salah satu tindakan terkeji
yang pernah dilakukan tokoh persilatan....
Bangkai bekas
kawannya dicabik-cabik
dengan cakarnya, hingga
kulitnya tersayat-sayat dan dagingnya tercacah-cacah.
"Sekarang kau akan
menjadi umpan ular-ular lapar itu, Lelaki Tolol" desis Biksu Punuk Tebal.
Bersama sebentang seringai,
bangkai Biksu Hidung
Pesek ditendang ke dalam
lubang. Sementara tangan
Biksu Punuk Tebal memegangi
satu ujung tali dari jubah tadi. Disambut desisan ramai ratusan ekor ular
ber-bisa, bangkai Biksu Hidung Pesek merambat turun. Sedangkan dari atas, Biksu
Punuk Tebal mengulur tali sedikit demi sedikit.
Kelihatannya, Biksu Punuk
Tebal akan memancing
makhluk-makhluk melata itu
untuk berkumpul di satu tempat. Semuanya berjalan sesuai rencana, ketika
bangkai Biksu Hidung Pesek sudah menyentuh satu sudut lubang.
Maka seketika ratusan ekor
ular berbisa di dalamnya langsung memburu. Ganas,liar, dan bernafsu. Sampai tak
ada lagi yang tersisa di dekat peti, kecuali ular paling besar yang menutupi
mulut peti dengan tubuhnya.
"Bagus..., bagus
Santaplah sampai kenyang daging manusia tolol itu" desis Biksu Punuk Tebal
samar di antara desisan ular.
Tampak bangkai bekas Biksu
Hidung Pesek kini tak
lagi kelihatan bentuknya. Yang
tampak hanya gelinjang ular-ular bersisik menjijikkan, yang tertimbun menjadi
satu mengerubungi bangkai Biksu Hidung Pesek.
Binatang-binatang lapar itu
terlalu asyik menikmati serpihan daging bangkai. Sementara di atas sana, Biksu
Punuk Tebal sudah bersiap mengirim satu pukulan
berhawa panas dari kedua
telapak tangannya. Dan ketika kedua telapak tangannya dihentak-kan....
Wussshhh
Sekejap mata saja, serangkum
angin panas, me-
nyapu gerombolan binatang
melata itu. Bahkan membuat mereka jadi daging panggang yang memanjang dan
menghitam. Sebagian masih bisa
bergelinjangan. Bukan lagi karena dorongan nafsu menelan cacahan daging
bangkai, tapi karena meregang maut bersama kepulan asap tebal berwarna gelap.
Pada saat bersamaan, hewan
besar di atas peti
menjadi terjaga dari
kenyenyakannya. Kepalanya perlahan bergerak, karena terusik asap tebal dan hawa
panas pukulan Biksu Punuk Tebal. Saat itu juga desisannya yang keras dan berat
menyusul terdengar.
Biksu Punuk Tebal menjadi
tegang. Terlebih, ketika kepala ular itu menegak ke arahnya dengan juluran
lidah mengancam.
"Zzz..."
"Ayo, binatang keparat
Kejar aku keluar lubang"
tantang Biksu Punuk Tebal.
Tangannya terayun-ayun di udara, menggoda si ular besar.
Sedikit pun tak ada tanggapan
dari si ular. Binatang itu tetap diam dengan sehimpun ancaman di balik kilatan
matanya.
Hal ini membuat Biksu Punuk
Tebal menjadi gusar
bukan main. Padahal, dia sudah
begitu ingin mengetahui isi peti yang dikawal si ular besar.
"Ayo, tunggu apa lagi?
Keluar kau dari lubangmu Ular keparat" hardik laki-laki itu bernafsu.
Si ular hanya menggerakkan
kepala ke belakang
seperti gerakan siaga. Setelah
itu, tubuhnya mematung kembali.
"Ooo, kau ingin agar aku
yang turun ke lubangmu?
Heh? Jangan harap aku setolol
itu Kau akan kupanggang seperti kawanmu yang lain Nih, makan"
Sekali lagi Biks u Punuk Tebal
melepas pukulan
berhawa panas ke dasar lubang.
Wussshhh
Kalau ular-ular yang lain
dengan mudah menjadi
sasaran pukulan, ular besar
satu ini tidak. Pada dasarnya dia justru dalam keadaan siaga penuh, manakala
mengetahui ada manusia berdiri
di atas lubang. Berbeda sekali dengan ular-ular yang kini hanya menjadi
tumpukan daging panggang.
Seketika
si
ular
besar
dengan
tangkas menggelengkan kepala
ke sisi. Maka pukulan berhawa panas Biksu Punuk Tebal pun luput.
"Keparat Pintar juga kau,
ya Nih terima kembali"
Untuk kiriman selanjutnya,
Biksu Punuk Tebal
melepas tiga pukulan berhawa
panas sekaligus dari
sepasang telapak tangannya.
Segemulai penari, menyusul
lolosnya serangan Biksu Punuk Tebal, ular besar itu mengulur tubuh. Dengan
serta merta, kepalanya menjulur tangkas. Siap mematuk dada Biksu Punuk Tebal.
Kalau tak ingin mati di
tempat, Biksu Punuk Tebal
harus segera menghindar. Saat
itu juga dia bersalto ke belakang lebih cepat dari patukan ular. Padahal,
patukan hewan itu hampir sulit di kuti mata.
Kala itulah, Biksu Punuk Tebal
melihat kesempatan
emas terbentang di depan mata.
Langsung disambarnya kepala hewan besar itu di udara dengan tasbihnya yang
menyeramkan.
Whuk
Prak
Tepat di ubun-ubun batok
kepala binatang besar itu, satu biji tasbih ganjil Biksu Punuk Tebal mendarat
mantap.
Langsung meremukkan kepala
ular itu dalam sekejap.
"Hua-ha-ha.... Kau sama
bodohnya dengan si Pesek
Memang itu yang kumau, hewan
tolol. Begitu kau
terpancing keluar, aku pun
akan menyambutmu dengan kematian...," celoteh Biksu Punuk Tebal, pu-as.
Sekarang mata lelaki licik ini
beralih kembali ke dasar lubang. Tepatnya, pada peti yang tergolek di sana.
Peti itu tak lagi tertutup. Isinya bisa terlihat jelas oleh mata bengis lelaki
Tibet itu. Menyaksikan isi peti, bibirnya langsung tersungging. Dia menemukan
sesuatu yang amat berharga, yakni sebuah papirus tua yang berisi peta piramida.
Di salah satu bagian lukisan
peta, ada yang mengusik keingintahuan lelaki licik ini. Bagian piramida dalam
peta itu ditandai lukisan tongkat kebesaran Raja Mesir dari tinta emas.
Sementara, ruang penyimpanan harta justru tidak mendapatkan tanda khusus apa
pun.
Hal ini benar-benar mengundang
keingintahuan Biksu Punuk Tebal.
"Lukisan tongkat
kebesaran bermakna kekuasaan,"
gumam Biksu Punuk Tebal.
"Kalau begitu, tentu ruangan itu adalah tempat yang berhubungan dengan
kekuasaan.
"Dan apa pun benda itu,
yang jelas pasti lebih berharga dari pada seluruh harta di ruangan ini"
Dengan kesimpulan itu,
kelicikan Biks u Punuk Tebal pun berlanjut. Saat itu timbul rencana untuk
menculik Nofret, yang akan dipaksa menjadi penuntun menuju
ruangan bertanda tongkat
kebesaran dalam peta
***
Sementara itu, Pendekar Slebor
dan Nofret telah
memasuki lorong rahasia menuju
Ruang Penyimpanan
Harta. Setelah berjalan sekian
lama dengan terbungkuk-bungkuk, akhirnya mereka tiba juga di ruangan.
"Apa yang terjadi di
ruangan ini?" gumam Andika menyaksikan ruangan porak-poranda, seakan baru
saja diobrak-abrik seekor naga luka.
Biksu Punuk Tebal sudah tak
terlihat lagi di sana. "Ini ruang penyimpanan harta Ratu Yang Mulia,"
gumam Nofret tak kentara. Namun, cukup bisa ditangkap telinga Andika.
"Kau tahu ruangan
ini?" tanya pemuda itu. Nofret mengangguk.
"Aku hanya tak tahu kalau
ada jalan rahasiayang menghubungkan Ruang Para Dewa dengan ruang ini,"
jelas gadfe itu.
Andika melangkah lebih ke
dalam. Dan Nofret
mengikuti. Mereka melihat
peti-peti harta masih berada di sekitar kolam buatan di pusat ruang besar bawah
tanah ini.
"Kalau mereka mengincar
harta, kenapa semuanya masih ada di sini?" gumam Nofret, lagi-lagi.
"Atau mereka mendapatkan
sesuatu yang lain, lalu mereka tak berniat lagi pada harta-harta itu,"
tukas Andika.
Pemuda itu sudah berdiri di
tepi sebuah lubang besar di bagian lain lantai. Lubang tempat peti yang dijaga
gerombolan ular. Pandangannya tertuju ke sana.
Nofret mendekati Andika.
"Kau tahu tempat apa ini?"
tanya Andika. Dahi Nofret
berkerut. Matanya yang lentik mengawasi tegas-tegas lubang itu. Sepertinya, dia
hendak mencari keterangan di dalam sana tentang sesuatu yang belum diketahui.
Peti besar yang kini kosong melompong, serta bangkai ratusan ular dan bangkai
seorang tak dikenal yang masih mengepul-kan asap tipis, tak sedikit pun
membuatnya bisa me-nyimpulkan apa yang telah terjadi.
"Kau belum tahu?"
susul Andika. "Aneh..., mestinya ayahku memberitahukan aku tentang lorong
rahasia dan lubang ini," keluh Nofret.
Secara tak langsung gadis
Mesir sudah menjawab
pertanyaan Andika barusan. Dia
memang belum tahu
sedikit juga tentang tempat
yang dimaksud.
Andika menggelengkan kepala.
Biarpun matanya tak
ditujukan pada Nofret, namun
gelengan itu dimaksudkan untuk gadis di sisinya.
"Atau, ayahmu memang
tidak pernah mengetahuinya,"
duga Pendekar Slebor.
Nofret mengalihkan pandangan
ke arah Andika.
Matanya agak menyipit.
Perkataan Andika ditangkap
telinganya sebagai tudingan
terselubung terhadap ratunya.
"Maksudmu, kau hendak
menuduh Yang Mulia Ratu yang telah merencanakan ini semua? Lagi-lagi, kau
membuatku tak suka,
‘Tuan’," kata Nofret bertekanan.
Kesepakatan untuk memanggil
nama mereka satu
sama lain,
seperti sengaja
diberangusnya
dengan
menyebut Andika 'tuan'.
"Hey? Ini bukan masalah
suka atau tidak, Nona,"
sahut Andika agak terpancing
kegusaran Nofret. "Ini masalah nyawa banyak orang yang menjadi undangan
Ratumu. Aku tak akan pernah sudi
membiarkan seseorang menzalimi pihak lain...."
"Mulutmu semakin lancang,
Tuan Muda."
Tekanan kata Nofret kian
meninggi. "Kuperingatkan,
kelancangan
mulutmu
akan
berakibat buruk"
Seperti tak peduli pada
peringatan Nofret, Andika
berbalik acuh.
"Alasan itu lagi,"
gerutu Pendekar Slebor.
Andika memang bosan dengan
alasan Nofret yang
entah untuk ke berapa kali
didengarnya.
"Aku yakin, bukan hanya
karena kau khawatir pada keselamatan kami, para undangan, melainkan terlalu
berhati-hati dalam mengabdikan diri pada Ratumu.. Kau mesti tahu, kehati-hatian
yang berlebihan sama buruknya dengan kecerobohan...," sindir Andika,
ringan saja. Namun menghujam langsung ke dalam hati sanubarj Nofret.
"Cukup Aku sudah tidak
bisa lagi bersamamu" putus Nofret.
Benteng kesabaran gadis ini
sudah tak bisa lagi
dipertahankan. Kontan bobol
oleh ucapan pemuda urakan bermulut ceriwis itu. Maka dengan wajah merah padam,
gadis Mesir mempesona itu berbalik. Ditinggalkannya Andika menuju lorong.
"Mau ke mana kau?"
tegur Andika.
"Aku akan mencari dua
lelaki Tibet itu di ruangan lain"
sahut Nofret agak bergetar,
membendung kegusaran.
Pendekar Slebor hanya bisa
mengangkat bahu tinggi-
tinggi. Dasar perempuan Maki
Pendekar Slebor membatin.
Penasaran dengan keadaan ruangan
yang demikian
semrawut, Andika mencoba
memusatkan perhatian untuk menyelidikinya. Usahanya sia-sia, karena....
"Aaauuu..."
Dari arah lorong tertangkap
jeritan keras Nofret.
"Nofret...,"
desis
Pendekar
Slebor
terperanjat.
Sepenuh kesigapan, Andika
mengayunkan kedua kakinya.
Jangan tanya lagi, bagaimana
segenap ilmu lari cepatnya yang demikian dikagumi di kalangan persilatan
dikerahkan.
Karena hanya dalam
sekelebatan, tubuhnya sudah
menghilang dari ruangan.
Seperti anak panah bermata,
Andika menyusuri lorong dalam kecepatan menggila. Ketinggian lorong yang
memaksa badannya membungkuk,
tak menghalangi
kecepatannya.
Memang gadis itu sempat
membuatnya dongkol.
Bahkan sampai sekarang pun
masih memendam perasaan itu. Dalam hal ini, urusan menjadi lain sama sekali.
Keselamatan nyawa gadis itu
mungkin saja terancam. Soal nyawa, bukanlah perkara suka atau tidak suka.
Bukankah begitu yang dikatakan pada Nofret belum lama ini?
Dalam waktu singkat, lesatan
tubuh pemuda itu
sudah hampir mencapai tengah-tengah
lorong. Sejauh itu, tak terlihat sesuatu yang mencurigakan. Tidak juga Nofret,
atau siapa pun. Kosong Hanya kosong yang didapat
pandangannya,
kecuali
dinding
lorong
yang
terus
memanjang dan mengurung.
"Bangsat bau
kemenyan" maki Andika kalap.
Pendekar Slebor sadar kalau
telah kecolongan.
Bukankah Nofret belum begitu
lama meninggalkan
ruangan penyimpanan harta? Tak
mungkin dia berjalan sampai setengah lorong Artinya, Andika berlari terlalu
jauh dari tempat kejadian
"Tapi, kenapa aku tak
menemukan apa-apa se-
panjang lorong yang
kulalui?" gumam Andika, kehilangan akal.
*** 6
Apa yang sesungguhnya terjadi
terhadap Nofret?
Andika tak tahu pasti. Tapi
seseorang mengetahuinya amat jelas. Karena, dialah yang membuat ulah.
Biksu Punuk Tebal Sesuai
rencananya, dia langsung menyergap Nofret di dalam lorong.
Biksu Punuk Tebal tahu, para
undangan yang lain
akan mencarinya. Maka, dia pun
menanti sampai Nofret melewati lorong. Pada kesempatan pertama, rencananya tak
berjalan mulus. Karena, dilihatnya Nofret sedang menyusuri lorong bersama
Pendekar Slebor. Kalau
pendekar tanah Jawa yang
kesaktiannya sudah kesohor sampai ke seberang lautan itu turut campur,
rencananya bisa makin ruwet. Bahkan mungkin terancam.
Karena itu, Biksu Punuk Tebal
menunggu kesempatan
kedua. Tepat ketika Nofret
kembali menyusuri lorong tanpa kawalan Andika, langsung di-sergapnya dengan
cepat.
Kalaupun Pendekar Slebor tak
berhasil menemukan
jejak hilangnya Nofret, hal
ini karena Biksu Punuk Tebal menyergap gadis itu dari salah satu pintu rahasia
lorong yang diketahuinya dari peta.
"Lepaskan aku Kurang ajar
kau" maki Nofret di atas bahu Biksu Punuk Tebal.
Lelaki gundul berbadan agak
gempal itu membawa
Nofret ke sebuah ruangan
tersembunyi dalam keadaan tertotok. Kemudian diturunkannya tubuh gadis itu
dengan kasar."Apa maumu sebenarnya?" tanya Nofret keras.
Wajahnya bukan main merah
matang, disesaki kemarahan.
Seringai khas Biksu Punuk
Tebal mengambang di
bibirnya.
"Kau cantik, Nona. Bahkan
bisa amat menggiurkan.
Tapi aku tak berminat untuk
berbuat macam-macam
padamu...," kata Biksu
Punuk Tebal, berdiri berkacak pinggang di depan Nofret yang dibiarkan
tergeletak tanpa tenaga. "Lalu, apa maumu?" ulang Nofret, lebih
melengking.
Tenang tapi pasti, Biksu Punuk
Tebal mengeluarkan
gulungan papirus berisi peta
piramida dari balik jubahnya.
"Kau lihat ini...,"
ujar Biksu Punuk Tebal penuh ketegasan seraya mendekati Nofret. Dibentangkannya
peta itu persis dua jengkal di depan wajah Nofret. "Lihat baik-baik tanda
tongkat kebesaran di peta ini"
Melihat papirus itu, raut
wajah Nofret berubah. Dia tampak begitu terperanjat.
"Dari mana kau dapatkan
itu?" tanya gadis ini memburu.
"Aku tak bertanya untuk
mendapat pertanyaan pula"
hardik Biksu Punuk Tebal
tiba-tiba. Menggelegar dan padat kegusaran. "Jawab pertanyaanku Dan,
jangan banyak tanya Aku tak sabar meladeni orang bermulut rewel"
Dengan berani, Nofret
menantang tatapan beringas
Biksu Punuk Tebal.
"Kau akan segera menemui
Dewa Anubis untuk
diadili" geram gadis itu.
Plak
Satu tamparan keras menimpa
pipi halus Nofret.
Sangat pedas dirasakan. Namun
begitu, dia termasuk beruntung. Biksu Punuk Tebal tak bermaksud cepat-cepat
menghabisinya.
Tamparan
tadi dilakukannya
hanya
menggunakan tenaga luar.
"Bukankah sudah
kukatakan, bahwa aku tak sabar menghadapi orang yang banyak mulut," cemooh
Biksu Punuk Tebal dengan bibir mencibir memuakkan.
Sebelum berkata lagi, biksu
murtad itu menjemput
wajah Nofret dengan tangannya.
Dicengkeramnya dagu gadis jelita ini geram-geram.
"Katakan padaku, apa yang
kau tahu tentang tempat dalam peta bertanda tongkat kebesaran itu" bentak
Biksu Punuk Tebal dengan kelopak mata membeliak.
"Aku tidak tahu...,"
sahut Nofret datar, dan diucapkan satu-satu.
"Perempuan laknat"
bentakBiksu Punuk Tebal, lalu.... Plak
"Aaah"
Tamparan Biksu Punuk Tebal
sekali ini dibarengi
ledakan kemurkaannya. Biarpun
tak mengerahkan tenaga dalam, namun tetap saja berakibat tak ringan bagi Nofret
yang sebenarnya tak memiliki kepandaian bela diri sedikit pun. Didahului
pekikan tertahan, kepala Nofret yang semula tersandar di dinding, terkulai di
lantai. Sebelah pipinya menjadi memar. Sedangkan dari sudut bibir
ranumnya, mengalir darah
segar. Tamparan keras itu nyaris saja membuatnya pingsan.
Tanpa kenal kasihan, tangan
kekar Biksu Punuk Tebal mencengkeram baju sutera putri Nofret di bagian
dadanya.
"Katakan
padaku,
Nona
Katakan
Sebelum
kesabaranku benar-benar
habis" ancam lelaki Tibet ini seraya mendekatkan wajah lunglai Nofret ke
wajah
bengisnya.
Kelopak mata Nofret bergerak
kuyu dan lamban.
Lamban pula kepalanya
menggeleng.
"Cari tahulah di neraka
sana...," sahut Nofret lirih.
"Perempuan lacur
Mampuslah kau" maki Biksu Punuk Tebal.
Tubuh Nofret dihempaskan ke
lantai kembali. Lalu
Biksu Punuk Tebal cepat
mengangkat telapak tangannya tinggi-tinggi. Untuk hantaman kali ini, agaknya
Nofret akan menerima hajaran bertenaga dalam. Rahangnya akan
remuk, dan lehernya akan
retak.
"Hih"
Tap
Sesuatu yang tak pernah
terduga Biksu Punuk Tebal
mendadak terjadi begitu saja.
Tangannya yang siap
melunc ur deras ke wajah
memelas Nofret tiba-tiba terhenti di udara. Terasa ada tangan kekar ber-otot
yang
menghadangnya....
"Kalau beraninya hanya
pada perempuan, kenapa kau tak menjadi tikus koreng saja...," ejek si
pemilik tangan yang tenyata Pendekar Slebor.
Rupanya dengan agak susah
payah, akhirnya Andika
bisa menemukan jejak Biksu
Punuk Tebal sampai tiba pula di
ruang
ini.
Bagaimana
Pendekar
Slebor
bisa
menemukannya?
Dengan kecerdikan akalnya, Andika
menduga kalau
ruang
rahasia
dapat
terbuka
dengan
mendorong
dindingnya. Dan Andika sadar
bahwa hilangnya Nofret, masih berada di sekitar lorong. Berarti, di balik
dinding lorong, terdapat ruangan.
Berpikir demikian,
disertai ilmu lari cepatnya,
Pendekar Slebor melesat ke
arah tempat dia tadi bersama Nofret sambil tangannya memukul-mukul sekuat
tenaga pada dinding-dinding lorong di kanan dan kirinya. Hasilnya, salah satu
dinding lorong terbuka. Dan, di sanalah dia menemukan Biksu Punuk T ebal yang
tengah mengancam keselamatan Nofret.
Sementara itu, kalau Nofret
menyambut kedatangan
Pendekar Slebor dengan
rintihan lemah, Biksu Punuk Tebal sudah pasti lain lagi. Bibirnya
terungkit-ungkit bersama hidungnya. Niatnya yang terjegal untuk menghajar habis
Nofret membuat darahnya kian mendidih sampai ke ubun-ubun.
"Kau akan mampus bersama
perempuan lacur itu, Pendekar Slebor" dengus lelaki Tibet ini seraya
membabat cengkeraman tangan Pendekar Slebor dengan tasbih
ganjilnya. Wuk
Seperti tak disengaja, santai
saja Pendekar Slebor melepas cekalan tangan pada tangan Biksu Punuk Tebal pada
saat tasbih itu tinggal berjarak setengah jengkal lagi.
Hebatnya, senjata maut itu
sama sekali tak menyentuh, bahkan sekadar kulit tangan pemuda itu. Lalu dengan
sikap acuh seakan tidak sedang menghadapi seorang
lawan pun, dihampirinya
Nofret.
"Kau tidak apa-apa,
Nofret?" tanya Pendekar Slebor dikawal senyum kebodoh-bodohan. Wuk
Saat yang sama, Biksu Punuk
Tebal memburu lagi dengan senjata mautnya. Pendekar Slebor yang sedang
berjongkok untuk membebaskan Nofret dari totokan,
hendak dibokongnya.
Tuk
Hanya beberapa kedipan
berselang setelah terdengar suara halus totokan di tubuh Nofret, tubuh Pendekar
Slebor bergerak memutar amat cepat. Lalu disusul
kelebatan tangannya.
Wuk-cletar
Sekedip mata, tasbih Biksu
Punuk Tebal menjadi
berpentalan ke segenap
penjuru. Salah satu bijinya yang terbuat dari tengkorak manusia kontan lebur
laksana batu kapur tertimpa reruntuhan gunung
Kalau senjatanya yang selama
ini begitu dibanggakan hancur demikian rupa, tentu saja ledakan ke-murkaan
Biksu Punuk Tebal tak bisa terelakkan lagi. Tokoh sesat jajaran atas di tanah
Tibet ini kalap sehebat-hebatnya.
"Jangan merasa sudah
hebat, Anak Ingusan" geram Biksu Punuk Tebal sarat tekanan serta getaran.
Andika menanggapinya dengan
ringisan bodoh.
"Kau belum lagi merasakan
kesaktian-kesaktianku yang lain" tambah Biksu Punuk Tebal, amat mengancam.
"Dan kau juga belum
merasakan terkencing-kencing di celana? He-he-he...." ejek Pendekar
Slebor, tambah menjengkelkan.
Biksu Punuk Tebal mendengus
berat. Dihirupnya
napas dalam-dalam. Amat dalam.
Bahkan kemampuan
seorang berparu-paru besar
sekalipun, tak akan sanggup melakukannya. Yang terjadi selanjutnya benar-benar
mustahil bagi pandangan Pendekar Slebor.
Dada Biksu Punuk Tebal menjadi
menggelembung,
dart terus menggelembung.
Besarnya bahkan lebih dari perut seorang wanita hamil tua
Andika pernah memang mendengar
tentang ke-
hebatan ilmu-ilmu Tibet yang
begitu handal menguasai pengaturan tubuh. Seorang yang bisa membangkitkan
tenaga petir dalam tubuhnya.
Ada juga yang bisa berjalan di atas bara tanpa luka. Dan sebagainya. Tapi kalau
menggembungkan dada sampai sebesar itu?
Keterperangahan Pendekar
Slebor dipancung oleh
teriakan serak tercabik yang
keluar dari kerongkongan Biksu Punuk Tebal. Terdengar menyakitkan, seolah
lelaki licik ini mengalami siksaan luar biasa.
"Astaga Apa dadanya akan
meledak?" gumam Pendekar Slebor ngeri.
Saat berikutnya, Pendekar
Slebor segera tahu. Biksu Punuk Tebal itu bukanlah hendak bunuh diri karena
harga dirinya terinjak-injak oleh perbuatan Pendekar Slebor yang berhasil
melebur
senjatanya,
tapi
justru
sedang
mengerahkan satu ilmu langka
yang bisa saja hanya
pernah dipakai beberapa kali dalam
seumur hidup
"Khiaaarrrhhh"
Berkawal teriakan kedua yang
menyakitkan. Mulut
Biksu Punuk Tebal menyemburkan
gumpalan-gumpalan
udara berkekuatan tiga ekor
banteng luka Setiap
gumpalan udara sebesar kepalan
tangan, sepertinya
meluruk tanpa tenaga. Terlalu
lamban bagi seorang
pendekar berilmu tinggi
seperti Pen¬dekar Slebor.
Andika bisa menyaksikannya.
Tapi dia menyangsikan
kesan remeh yang terlihat.
Sebagai pendekar muda yang sudah cukup kenyang menelan asam garam dunia
persilatan, dia tentu saja tak
mau ceroboh.
Untuk menjajaki bagaimana
kekuatan gumpalan
udara yang disemburkan Biksu
Punuk Tebal, Pendekar Slebor tidak berusaha menghindar. Anak muda itu justru
menghadang gumpalan udara itu dengan sapuan senjata pusakanya dengan kekuatan
setengah dari seluruh
warisan Pendekar Lembah
Kutukan.
Wuthhh Blup
Sapuan kain bercorak catur
bertenaga dahsyat yang
sesungguhnya sanggup memporak
porandakan tembok
setebal dua tombak itu,
ternyata seperti melabrak asap.
Gumpalan udara yang dikirim
Biksu Punuk Tebal sama sekali tidak terjegal. Akibatnya.... Blap
Dada Pendekar Slebor pun
langsung menjadi sasaran
empuk. Tubuhnya tidak terlihat
terpental atau tersentak.
Sebaliknya, sekujur otot di
tubuhnya pada saat itu juga menjadi kaku. Terkunci sebentuk kekuatan yang sulit
dimengerti
Di samping itu, Andika
merasakan kebekuan yang
menggigit ganas. Rasa dingin
yang jauh lebih hebat daripada gunung es kutub selatan
Mata Andika hanya bisa
membeliak manakala
gumpalan udara yang lain terus
mendekat. Satu gumpalan saja, telah membuatnya menjadi membeku. Bagaimana
pula jika ada satu gumpalan
lain menerpa? Tentu dia benar-benar akan menjadi patung es. Kaku, retak-retak.
dan kehilangan nyawa
Saat itu juga Pendekar Slebor
mencoba untuk
mengempos seluruh tenaga sakti
tingkat puncak ke
segenap tubuhnya, untuk
melantakkan kebekuan yang
menguncinya. Ternyata usahanya
sia-sia. Sepertinya, tenaga sakti tingkat kesembilan belasnya pun membeku
Pada saat-saat antara hidup
dan mati seperti itu, tak ada lagi yang bisa diperbuat pendekar muda ini selain
menyerahkan semuanya kepada kekuatan Sang Penguasa Alam.Dan kejadian tak
terduga terjadi....
"Waaa"
Biji mata Biksu Punuk Tebal
saat itu seperti hendak melempar keluar. Raut wajahnya sulit digambarkan. Yang
jelas menggambarkan seseorang yang sedang menderita rasa sakit hebat sepanjang
hidupnya. Mulutnya terbuka amat lebar, seperti hendak merobek rahangnya
sendiri.
Sementara,
sepasang
tangannya
mendekap
selangkangannya yang dibanjiri
warna merah.
Pendekar Sleborkah yang telah
melakukannya? Tidak
Pemuda sakti pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan itu sendiri tengah terkungkung dalam satu kekuatan tak
nampak yang berisi hawa sedingin es. Dan kalau tiba-tiba Biksu Punuk Tebal
menjadi begitu, bagaimana Pendekar Slebor tak terperanjat?
Merasa yakin ada orang lain
dalam ruangan itu,
Andika
dalam
keterpakuannya
hanya
mencari-cari
waspada.
Hasilnya,
telinga
Pendekar
Slebor
hanya
mene¬mukan kesunyian dan
matanya hanya menelan
tubuh Biksu Punuk Tebal yang
sudah ambruk menjadi
bangkai. Bahkan sampai cukup
lama menanti, Andika tetap tak menemukan apa-apa atau siapa-sia-pa....
"Itu tadi perbuatanku,
Andika...," cetus Nofret di belakangnya.
Andika tak cepat menoleh. Dia
masih terpaku dengan mulut terkuak, walaupun sebenarnya kini kungkungan yang
membelenggu dirinya telah sirna. Dia tengah berusaha meyakinkan diri kalau baru
saja salah mendengar ucapan Nofret barusan.
"Aku yang melakukannya,
Andika. Lelaki itu terlalu berhati binatang untuk tetap dibiarkan
hidup...," tandas Nofret, masih tetap dengan suara lirih.
Barulah Andika berbalik
perlahan.
"Kau yang
melakukannya?" ulang Andika. Raut wajahnya digelayuti kesan ketidak
percayaan. Terlihat jelas dari pangkal hidungnya yang agak berkerut.
Nofret bangkit tertatih.
"Ya" sahut gadis itu
tanpa menoleh.
"Tapi...."
Andika tak bisa melanjutkan
kalimatnya karena tubuh Nofret keburu ambruk. Dan dia harus cepat menyergapnya.
*** 7
Sepertinya seluruh kejadian
dalam Piramida Tonggak Osiris telah digerayangi teka-teki. Kejadian demi
kejadian makin terseret dalam pusaran membingungkan. Untuk
seorang berotak cemerlang
seperti Pendekar Slebor pun semuanya masih demikian samar. Belum lagi sebentuk
pertanyaan dapat disingkap, pertanyaan yang berikutnya sudah menjelma di depan
mata.
"Bagaimana mungkin kau
bisa melakukannya pada lelaki busuk itu? Padahal, aku sama sekali tak menangkap
gerakanmu? Telingaku yang kuyakin tergolong peka pun, tak menangkap suara
gerakan apa-apa? Lalu, bagaimana kau bisa melakukannya?" be-rondong Andika
pada Nofret.
Nofret yang telah siuman
setelah Andika me-
nyalurkan hawa murni untuk
mengembalikan kesegaran tubuhnya, menatap Andika lekat-lekat. Mereka masih di
ruangan yang sama.
"Ayahku seorang Pendeta
'Ka' sekaligus seorang ahli sihir, Andika. Sebagai anak tunggalnya, aku
diwarisi pula ilmu itu...," tutur Nofret.
Mulut Nofret membuka.
Sekarang, rasanya dia
mengerti.
"Jadi kau menggunakan
sihir?" tanya Pendekar Slebor seperti tak menghendaki jawaban.
Sinar mata Andika mulai tampak
mencurigai Nofret
kembali, seperti
sebelum-sebelumnya.
"Kau menggunakan sihirmu
untuk membunuh biksu palsu dari Tibet itu.... Bagaimana dengan Hakim Tanpa
Wajah? Lelaki tua yang mati di lubang berpasir itu?" desak Andika mulai
pula menyudutkan.
Anak muda itu bangkit dari
sisi Nofret yang masih
setengah berbaring di lantai.
Kemudian kakinya melangkah ke satu sudut ruangan.
"Kau jangan menuduhku
sembarangan, Andika"
sergah Nofret.
Gadis ini memang sudah bosan
disudutkan terus seperti itu. Karenanya, perasaannya pun makin tak
terkendali
bila
pemuda
yang
sebenarnya
telah
menanamkan benih-benih cinta
di lubuk hatinya itu mulai kembali dengan segala kecurigaannya.
"Aku memang yang membunuh
biksu Tibet palsu itu dengan kemampuan sihirku.
Sewaktu
perhatiannya
terpusat padamu, dengan ilmu
sihir aku menciptakan ular dari tongkatku ini. Dan ular itu diam-diam merayap,
lalu melalap kelaki-lakian Biksu Punuk Tebal. Tapi, terus terang, selama kalian
tiba, baru kali ini aku menggunakannya...,"
sangkal Nofret, membela diri.
"Kau ingin berkata bahwa
kematian Hakim Tanpa Wajah bukan perbuatanmu?"
"Ya" tegas Nofret.
"Lalu..., siapa yang
berbuat?" Andika menatap Nofret tajam-tajam.
Dari sinar sepasang mata
berbulu lentik itu, Andika mencoba menilai apakah Nofret berdusta. Nyatanya,
tak secercah pun ditemukan sebersit kedustaan.
Wajah Nofret berubah. Mendadak
gadis itu bangkit.
Didekatinya mayat Biksu Punuk
Tebal. Dari salah satu telapak tangan mayat itu, dipungutnya selembar papirus.
"Barangkali papirus ini
bisa menjawabnya," kata Nofret seperti bergumam.
Pendekar Slebor tertarik.
Dihampirinya Nofret. Lama Andika hanya menunggu gadis Mesir itu mengamati peta
di atas lembaran papirus. Beberapa kali warna wajahnya berubah.
Beberapa kali
pula hendak
mengajukan
pertanyaan, namun selalu
dicegah Nofret dengan isyarat tangan.
"Kali bisa membuatku mati
penasaran kalau terus begitu" sentak Andika dongkol setengah edan.
"Katakan padaku, apa yang kau temukan pada papirus itu. Dan, ceritakan
pula kenapa benda itu ada di tangan biksu sundal ini"
"Tampaknya...,"
desah Nofret terputus, ragu untuk meneruskan kalimat. "Waduuuh"
gerutu Andika. Ditamparnya kening sendiri keras-keras. "Kau benar-benar
mau membuatku mati penasaran, ya?"
Cukup lama Nofret menatap mata
elang pemuda di
dekatnya. Seakan dia hendak
meminta dorongan agar bisa meneruskan kalimat.
"Ayo, katakan. Apa pun
yang bakal terjadi, aku siap membantumu. Asal, kau berada di pihak yang
benar" ujar Andika, mendorong semangat Nofret.
Puas memadati paru-parunya
dengan udara, lalu
menghempaskannya lewat
hembusan panjang, Nofret mau juga mengatakan pada Andika hal yang mengusik
dirinya, setelah membaca papirus tadi.
"Tampaknya dugaanmu
benar, Andika. Mungkin
Ratuku lah yang telah
merencanakan semua ini...," tutur Nofret seperti berbisik amat hati-hati.
"Apa isinya? Apa isinya? Jangan terus membuat teka-teki seperti ini,
Nofret?"
desak Andika, bergegas.
"Peta pada papirus ini
menjelaskan tentang seluruh rancang bangun Piramida Tonggak Osiris,...
Nofret membisu dahulu. Dan ini
membuat Andika
makin gemas saja.
"Juga tentang rencana
bangun semua jalan dan
tempat rahasia yang aku
sendiri tak pernah tahu. Dari tanda-tandanya, aku bisa tahu kalau beberapa
tempat memang sengaja diciptakan jebakan-jebakan maut tanpa ampun...,"
lanjut gadis itu.
Pendekar muda yang sebenarnya
telah kenyang
menelan sekian kisah kengerian
dunia persilatan itu pun sempat bergidik mendengar penuturan Nofret. Bukan
apa-apa. Mereka di dalam bangunan kuno ini tak lebih orang-orang asing yang
buta. Ibarat binatang buruan buta, mereka akan begitu mudah menjadi santapan
mata panah si pemburu
Jari telunjuk Nofret menunjuk
tanda
tongkat
kebesaran Raja Mesir pada satu
bagian peta.
"Kau lihat gambar
ini?" tanya gadis itu tanpa mengharapkan jawaban Andika. "Tanda itu
adalah lambang kekuasaan tertinggi. Kalau tanda itu disematkan di salah satu
ruangan dalam peta, artinya...."
"Ruangan ini berhubungan
erat dengan kekuasaan lertinggi," sela Andika menyimpulkan. "Atau
dengan kata lain, seorang yang bisa memasuki ruangan itu akan
mendapatkan
kekuasaan...."
"Ya" sahut Nofret,
singkat.
"Apa nama ruang
itu?"
Nofret meneliti papirus.
"Ruang Pusaka Para Ahli
Sihir Ratu," sebut gadis ini kemudian, setelah membaca sebaris tulisan
Mesir Kuno.
***
Nofret serta para undangan
telah berkumpul kembali
ke Ruang Para Undangan. Jumlah
mereka kini menyusut menjadi sepuluh orang. Empat orang lainnya, Hakim Tanpa
Wajah, Dua Biksu Dari Tibet, dan suami si Manyar Wanita, sudah menjadi tumbal
bagi Piramida Tonggak Osiris.
Sebelum menuju ke sana, Andika
meminta Nofret
untuk merahasiakan dahulu
perihal peta yang didapat dari tangan Biksu Punuk Tebal. Sebab bukan tidak
mungkin di antara para undangan lain ada yang berhasrat untuk mendapatkannya.
Kalau itu terjadi, maka pertumpahan darah bisa pula tak terelakkan.
Baru saja tiba, Pendekar
Slebor sudah dihadapkan
pada berita kematian mendadak
suami si Manyar Wanita yang mengerikan.
"Wuaaa... Hik-hik-hik
Suami jelekku mati tanpa permisi lagi," lapor Manyar Wanita, langsung
menghambur ke dada bidang Andika.
Maksud wanita ini cuma mau
mengadu pada
pendekar muda yang membuat
dadanya kebat-kebit. Tapi karena terlalu berlebihan, justru malah terlihat
seperti orang hendak melantakkan tulang-belulang Pendekar
Slebor. Andika dipeluknya
erat-erat, tak ketinggalan pula diguncang-guncangkannya keras-keras.
Tinggal Andika meringis-ringis
dengan napas Senin-
Kamis....
"Apa yang terjadi
sebenarnya?" tanya Andika, setelah Manyar wanita berhasil 'dijinakkan'.
"Kejadiannya begitu
cepat. Ketika kami hendak menyusul kalian, lelaki yang tinggal sendiri di
ruangan itu tiba-tiba menjerit. Begitu kami memburu ke sini, yang didapat cuma
mayat yang sudah dikerubungi ulat-ulat menjijikkan," cerita Hiroto. Padat
dan tak bertele-tele.
Pendekar Slebor
manggut-manggut. Entah percaya,
entah tidak.
"Kami sudah mencoba
menyelidiki, tapi tak berhasil,"
tambah Hiroto dengan wajah
kecewa.
Andika melirik Chin Liong.
Maksudnya meminta
kepastian ksatria Cina yang
sekaligus sahabatnya. Chin Liong mengangguk, menyetujui seluruh cerita Hiroto.
Dari sini, baru Pendekar Slebor percaya penuh pada cerita tadi.
"Apa kau menemukan
sesuatu?" tanya Andika pada Chin Liong.
Chin Liong menggeleng.
Wajahnya juga kecewa,
seperti Hiroto.
"Kau punya otakyang
jernih, Andika. Aku justru berharap, kau dapat memecahkan teka-teki ini,"
keluh Chin Liong."Ya... huu-hik-hik," timpal Manyar Wanita.
"Pokoknya aku harus tahu, kenapa suamiku tiba-tiba jadi bangkai. Ya
Biarpun dia jelek, kan tetap
bisa jadi teman tidur... hu-hi-hik-hik...."
Nofret menarik pangkal lengan
Andika. Diajaknya
pemuda itu ke sudut ruangan.
Dari wajahnya, jelas sekali kalau gadis itu hendak berbicara empat mata dengan
Pendekar Slebor.
Sambil mengikuti langkah
Nofret, mata Andika
mengawasi tangan halus
dara Mesir yang masih
memegangi pangkal lengan.
Sudah berani rupanya gadis ini memegang. Begitu bisik hati Andika, senang.
Sadar kalau tindakannya diamati, Nofret menjadi
jengah. Dilepaskannya pegangan
tangannya.
"Kenapa dilepas? Aku
memperhatikannya bukan
berarti tak suka" goda
Andika urakan. Nofret hanya bisa tersenyum sungkan. "Ada apa? Kau
mengetahui sesuatu?"
tanya Andika kemudian, saat
mereka sudah cukup aman dari jangkauan pendengarannya yang lain.
"Peta tadi," bisik
Nofret teramat halus di dekat telinga Andika.
Hidung Pendekar Slebor sampai
bisa mencium aroma
tubuhnya. Bahkan dikhawatirkan
bisa melempar anganangan pemuda itu melayang ke hal yang bukan-bukan.
"Kalau di ruang ini
terdapat juga jebakan rahasia, tentu kita bisa memastikan bentuk jebakan itu,
dan di mana di tempatkannya...," sambung Nofret.
Karena terlalu menikmati
keharuman tubuh Nofret,
pendekar muda urakan ini jadi
tak begitu memperhatikan apa yang diucapkan Nofret. Matanya menerawang jauh
entah ke mana. Napasnya dita-rik panjang-panjang. Dasar kadal
"Kau paham maks
udku?" tanya Nofret agak bingung, karena pemuda itu tampak seperti
memikirkan hal yang lain.
"Ah ah, apa? Apa?"
Andika malah bertanya tergagap.
"Peta itu," ulang
Nofret agak kesal.
Andika seperti
orang linglungsebentar.
Untung
otaknya memang cukup handal
untuk menyimpulkan
dengan cepat perkataan
lerakhir Nofret.
Biarpun,
selebihnya sama sekali dia
tidak mendengar.
"O, iya. Peta itu"
Nofret mengurungkan niat untuk
mengeluarkan
papirus dari balik bajunya.
"Lebih baik kita meneliti
peta itu di luar," usul Nofret.
"Sikap kita nanti malah
akan menimbulkan kecurigaan...."
"O, iya. Di luar"
bisik Andika, lagi-lagi membeo.
Belum sempat mereka tiba di
mulut pintu....
"Berikan peta itu padakuuu..."
Mendadak seseorang bergerak kaku bagai mayat baru
bangkit dari kubur menghadang
mereka. Suaranya
terdengar berat dan serak
menyeramkan. Bahkan hampir-hampir sulit ditangkap.
Nofret nyaris memekik melihat
siapa orang itu. Untung saja tangannya segera mendekap mulut. Sementara
matanya membelalak ngeri.
Meski tak separah Nofret, Pendekar Slebor dipaksa tercekat juga. Orang yang
menghadang mereka ternyata...
Biksu Punuk Tebal
Sebentuk pusaran pertanyaan
langsung berkecamuk
dalam benak kedua anak muda
itu. Bukankah Biksu Punuk Tebal sudah mati? Bagaimana mungkin masih bisa
berjalan ke tempat ini? Atau
mereka telah salah
memeriksa mayatnya?
"Berikan ituuuhhh
padakuuu...," pinta Biksu Punuk Tebal.Kaki lelaki yang kini mayat hidup
itu melangkah satu-satu, terseret dan tersendat. Wajahnya sudah tidak
mencerminkan kehidupan lagi. Kecuali, pijar dingin dari dasar manik matanya
yang bagai lentera dari alam kubur
Nofret tersekat mundur.
Tangannya masih mendekap
mulut. Wajahnya diberangus
ketakutan teramat sangat.
Sementara Pendekar Slebor
berusaha menenangkan
diri Nofret. Didekapnya tubuh
gadis itu erat-erat ke dada bidangnya. Lalu dia pun mulai mengatur langkah ke
belakang. Pendekar Slebor
hendak menyusun kesiagaan bila mayat hidup itu menerkam....
*** 8
Tepat seperti dugaan Pendekar
Slebor, mayat hidup
itu ternyata benar-benar
melakukan serangan. Dibarengi teriakan, mayat hidup Biksu Punuk Tebal menerkam
Andika dan Nofret. Tangannya
mengejang ke depan.
Mulutnya membuka lebar,
memperlihatkan barisan giginya seakan siap mengunyah daging korban.
"Khrrrhhh"
Dengan gerakan sigap, Pendekar
Slebor mendorong
Nofret ke belakang. Baginya,
untuk menghadapi serangan macam itu tidaklah terlalu sulit. Tapi kalau masih
ada Nofret di pelukannya, persoalan jadi lain.
Yakin kalau Nofret sudah cukup
aman, pendekar
muda tanah Jawa itu langsung
memasang kuda-kuda
sambutan. Sewaktu terkaman
mayat hidup itu sampai, cepat tubuhnya disingkirkan ke samping.
Terkaman liar mayat Biksu
Punuk Tebal Iolos.
Tubuhnya meluruk begitu saja
ke sisi Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor hendak
mengirimkan satu babatan
telapak tangannya ke belakang
kepala mayat hidup itu.
Namun, belum lagi tangannya
bergerak, jasad mati Biksu Punuk Tebal sudah ambruk di tanah. Di lantai tubuh
itu mengejang-ngejang
sejenak,
kemudian
diam
tidak
berkutik.
Andika yang baru siap memasang
jurus babatan
tangan menjadi terdiam tak
mengerti. Hanya sampai di situkah kekuatan Biksu Punuk Tebal? Semula dikiranya
dia akan menerkam serentetan serangan maut yang dahsyat.
Untuk meyakinkan diri kalau
mayat Biksu Punuk Tebal tak akan bangkit kembali, Andika mencoba membalik
tubuh yang tertelungkup itu
dengan se-belah kakinya.
Begitu mayat membalik,
Pendekar Slebor langsung
menelan pemandangan menjijikkan.
Tampak wajah serta leher mayat
Biksu Punuk Tebal
sudah digerogoti ulat-ulat
kecil. Binatang-binatang kecil itu meliuk-liuk dalam lobang yang dibuat pada
kulit mayat Biksu Punuk Tebal Belum lagi lendir berwarna kuning kental di
sekeliling ulat-ulat kecil itu....
Andika sendiri sampai hendak
muntah. Pemandangan
itu terlalu menjijikkan.
Bahkan bagi seorang yang biasa berkalang bangkai sekalipun
Yang paling repot menyaksikan
keadaan mayat Biksu
Punuk Tebal adalah Manyar
Wanita. Kembali wanita itu memulai teriakan-teriakan kaleng rombengnya yang
diramaikan pula dengan isak
senyaring denging bagi hutan.
"Wuaaa Ya Seperti itu
suamiku tadi Suamiku tersayang jadi makanan ulat-ulat kecil... hik-hik-hik
Kenapa orang sejelek dia mesti mengalami nasib senaas itu, ya?
Hih-hik-hik... huuu"
"Apa yang sesungguhnya
terjadi pada Dua Biksu Dari Tibet itu, Andika?" tanya si Gila Petualang,
mencoba mengalihkan perhatian pada pemandangan menjijikkan di tengah ruangan.
"Menurut perkiraanku,
mereka hendak mencoba
berbuat
culas.
Tanpa
sengaja,
mereka
mungkin
menemukan jalan rahasia yang
menghubungkan ke ruang penyimpanan harta. Lalu, mereka memutuskan untuk
memisahkan diri dari
rombongan, dan mengambil harta di ruang penyimpanannya...," cerita Andika.
"Lalu?" susul si
Gila Petualang.
"Seorang dari mereka
tampaknya menemui ajal di ruang itu. Sedang yang seorang lagi...."
Andika tak meneruskan
laporannya. Dia baru sadar,
kalau terus meruntut kejadian
yang telah diketahuinya.
Maka pada akhirnya, peta yang
sengaja dirahasiakan pun akan terangkat ke permukaan.
"Kenapa dengan yang
seorang lagi?" tanya si Gila Petualang karena rasa penasarannya jadi
terusik.
Andika masih ragu. Benaknya
menimbang-nimbang,
apakah sudah bisa mencentakan
perihal peta piramida pada orang lain, selain dirinya dan Nofret. Bukannya
Andika tak percaya dengan orang tua itu, tapi hanya mencoba untuk berhati-hati.
Sebab kalau rahasia itu bocor, akibatnya akan terlalu buruk. Bisa jadi, ada
salah seorang anggota rombongan yang menjadi mata gelap demi
mendengar ada satu ruang
tempat penyimpanan benda
pusaka para ahli sihir Raja
Mesir. Bukankah di bagian mana pun di dunia ini, iblis selalu siap menghasut
hati-hati yang rapuh?
Pertimbangan-pertimbangan
dalam benak Pendekar
Slebor mendadak terpenggal
ketika....
"Aaa"
Tiba-tiba dari arah belakang,
terdengar suara jeritan takut yang dikenalnya sebagai suara Nofret.
Andika cepat berbalik.
"Nofret...," desis
Pendekar Slebor.
Saat itu juga Pendekar Slebor
melihat gadis yang
dimaksud sedang dibekap di
bagian lehernya oleh laki-laki berjuluk Kepala Kacang dari belakang. Wajah
menawan yang sebelumnya sudah pucat kini semakin pucat dibawah ancaman senjata
lelaki jangkung di belakangnya. Di tangan Kepala Kacang, tergenggam sebuah lempeng
logam
berbentuk taji yang tajam luar
biasa. Benda berwarna perak itu digenggam tepat di antara jari telunjuk dan
tengah, seperti kuku Bima dalam cerita pewayangan. Ujung runcingnya sendiri
menempel tepat di tenggorokan Nofret.
Sehingga memaksa gadis itu
menengadah ngeri.
"Apa maksudmu dengan
semua ini, Kepala Kacang?"
tanya Chin Liong tak habis
pikir.
Sama sekali pemuda sahabat
Andika itu tak men-
duga kalau lelaki jangkung
yang selama ini lebih banyak diam ternyata memendam kebengisan.
Kepala Kacang tak menjawab.
Wajah pucatnya saja
yang bergerak-gerak. Sedangkan
matanya terarah lurus pada Pendekar Slebor.
"Hey? Tampaknya kau mulai
menyukai ketam-
pananku, atau bagaimana?"
koar Andika, mencoba menenangkan suasana tegang.
"Jangan berpura-pura padaku,
Pendekar Slebor Kalau kau bisa berdusta pada mereka, jangan harap bisa berdusta
padaku" bentak Kepala Kacang, disertai geraman.
"Dusta? Dusta pada siapa?
Apa ada yang merasa telah kudustai?" cerocos Andika lagi, berpura-pura
tidak paham maksud Kepala Kacang. Padahal, dia sudah bisa menduga apa yang
sedang di ncar Kepala Kacang dengan menyandera Nofret.
"Berikan gulungan papirus
itu padaku" ujar Kepala Kacang dengan bentakan bergema.
Andika maju mendekat beberapa
tindak.
"Papirus? Di sini banyak sekali
papirus. Papirus mana lagi yang kau maksud?"
Masih saja Andika mencoba
bermain kucing-kucingan.
Sementara itu, mata elangnya
meneliti siaga, menanti kelengahan lawan.
"Jangan coba teruskan
langkahmu, Pendekar Slebor
Kau akan menyesal seumur hidup,
jika leher mulus gadis ini tertembus senjataku," ancam lelaki jangkung
berwajah pucat itu.
Andika mengangkat bahu.
Wajahnya sengaja dibuat-
buat. Terkadang meringis
bodoh, terkadang pula memaju-majukan
bibirnya.
Tujuannya,
tentu
saja
hendak
memancing kemarahan si Kepala
Kacang. Kalau darah
lelaki jangkung berkepala
kecil itu sudah menggelegak ke ubun-ubun, maka kewaspadaannya biasanya menjadi
melemah. Saat itulah mungkin
menjadi saat yang tepat pagi Andika untuk menyergapnya.
Sebenarnya, Pendekar Dungu
yang terus tekun duduk
dengan kepala terangguk-angguk
mengantuk, bisa saja melakukan tindakan cepat. Selaku tokoh tua yang tak
tertandingi, kecepatan geraknya bisa amat menentukan untuk menyelamatkan
Nofret.
Sayang seribu, bahkan sejuta
kali sayang.... Pendekar bangkotan itu terlalu dungu untuk memikirkan tindakan
apa yang mesti dilakukan. Jangan lagi untuk bertindak.
Untuk menentukan, apakah si
Kepala Kacang adalah
musuh yang harus dibasmi atau
bukan saja, dia masih kebingungan sendiri.
Kalau orang lain digelayuti
ketegangan untuk mencari cara membebaskan Nofret, si tua itu kini malah memulai
kerja sehari-harinya. Mengupil hidung
"Apa kau pikir aku tak
mendengar kasak-kusukmu dengan gadis cantik ini barusan?" cibir si Kepala
Kacang.
"Semuanya bisa jelas
tertangkap sekaligus"
Putri Ying Lien yang berdiri
tak begitu jauh dari tempat si Kepala Kacang menahan Nofret, menjadi
mengerutkan dahi. Kalau telinganya yang begitu terlatih saja ternyata tak
sanggup menjaring bisik-bisik Andika dengan Nofret, bagaimana lagi kepekaan
pendengarannya lelaki jangkung itu? Sebenarnya kalau Putri Ying Lien atau
Andika tahu, mereka akan segera memaklumi. Si Kepala Kacang adalah salah
seorang pemuja iblis sejati. Apa yang dilihatnya, adalah seperti apa yang sanggup
dilihat makhluk-makhluk terkutuk. Dan apa yang didengarnya, adalah segala apa
yang bisa didengar makhluk-makhluk terkutuk. Seperti juga apa yang
dipikirkannya....
Untuk menyatukan kesaktian
setan dalam dirinya,
setiap catur purnama, lelaki
berpenampilan seperti mayat itu akan memburu manusia untuk dijadikan santapan
malam Ya Hanya lewat
kebiadaban, dia bisa tetap
menyatukan diri dengan makhluk
jahanam pujaannya....
Jadi, jangan lagi Pendekar
Slebor dan Nofret berbisik di ujung ruangan itu dengan suara yang demikian
halus.
Berbisik di seberang lautan
pun, si Kepala Kacang mungkin masih sanggup mendengarnya.
"Cepat tunggu apa lagi
Serahkan peta piramida itu padaku" bentak Kepala Kacang, murka besar.
"Atau...."
Si Kepala Kacang langsung
menyeret ujung sen-
jatanya ke kulit leher Nofret.
Maka tersayatlah kulit halus itu cukup dalam, mengalirkan darah..., merah
membentang panjang.
Nofret memekik. Sedang Andika
tercekat. Mulailah
darah Pendekar Slebor
menggelegak. Tindakan itu dianggapnya sebagai perbuatan pengecut. Andika memang
paling muak terhadap manusia pengecut. Tapi jauh lebih muak terhadap manusia
yang berbuat semena-mena
terhadap orang selemah Nofret.
Kalau kedua-duanya ada dalam sosok si Kepala Kacang, maka jangan harap mata
elang Andika tak berkilat-kilat saat menatapnya.
"Segores lagi kau melukai
gadis itu, tubuhmu akan kucincang menjadi daging paling halus yang pernah
ada"
ancam pemuda dari Lembah
Kutukan itu seiring getaran kuat pada setiap penggal katanya.
"Kalau kau tak memberikan
papirus itu padaku, maka bukan saja gadis ini akan kuhadiahkan goresan. Bahkan
aku bersedia membelah lehernya dan kuhisap otaknya"
tandas si Kepala Kacang tak
main-main.
Terlihat jelas dari gerak
bibir laki-laki berkepala kecil itu yang melekuk memperlihatkan sepasang gigi
taring.
Dengan menarik napas sesak
akibat harus mem-
bendung kemarahan, Andika mau
tak mau mengeluarkan juga peta piramida yang di nginkan si Kepala Kacang.
"Lemparkan itu padaku
Jangan coba macam-macam
Nyawa gadis ini tergantung tindakanmu,
Pendekar Slebor"
lanjut si Kepala Kacang
memberi perintah sekaligus peringatan.
Pendekar Slebor menurut.
Dilemparnya gulungan
papirus di tangannya
hati-hati.
Begitu tiba di depannya,
tangan si Kepala Kacang
yang masih bebas segera
menangkap. Sementara, tangan yang lain masih tetap menempelkan senjatanya di
leher Nofret.
"Menyingkir dari tempaimu
berdiri, Pendekar Slebor"
perintah lelaki jangkung itu
lagi.
Andika menuruti kembali. Masih
dengan tatapan
menghujam mata lawan, kakinya
melangkah menepi.
Setelah terbuka jalan baginya,
si Kepala Kacang pun meninggalkan ruangan dengan tetap menyandera Nofret.
Amat berhati-hati lelaki
pemuja iblis itu menyurutkan langkah, menuju pintu keluar. Sekilas setelah
tubuh lelaki iblis tadi menghilang di balik dinding. Tiba-tiba....
"Aaagrrrh..."
Mendadak segenap tempat itu
disentak oleh erangan
tinggi
menggemuruh.
Begitu
keras
sehingga
sulit
dibedakan, apakah berasal dari
pita suara Nofret atau si Kepala Kacang.
Mendengarnya, jantung Pendekar
Slebor seperti
herldak berhenti berdetak.
Khawatir sekali pemuda itu pada keselamatan Nofret yang semenjak dikenalnya
terus saja menyihir perasaannya ke segenap sudut hatinya.
Saat itu juga, Andika langsung
memburu ke pintu
ruangan. Tindakan itu pun dilakukan
yang lain. Kecuali Pendekar Dungu, tentu saja. Lelaki tua berotak bebal itu
masih terus sibuk 'membenahi' kotoran hidungnya yang masih saja menumpuk tebal
meski sudah dicukil-cukil sekian waktu.
Di balik pintu, tepatnya
sekitar lima tombak di lorong yang menghubungkan Ruang Para Undangan dengan
ruang lain, tampak si Kepala Kacang sedang meronta-ronta serabutan dengan
sekujur tubuh diselubungi api besar
Tak jauh darinya, Nofret
berdiri lurus dalam keadaan tegang. Matanya yang tajam menusuk setiap gerakan
liar orang yang baru saja menyanderanya. Mata yang
sebelumnya selembut serat
sutera itu, kini berubah menjadi sekeras baja, seberingas naga wanita
Semuanya dicerna dalam otak
cemerlang Pendekar
Slebor. Dengan cepat, otaknya
mengambil kesimpulan pula bahwa si Kepala Kacang baru saja kena batunya. Andika
yakin, Nofret sedang mengerahkan kekuatan sihir dari sepasang matanya
"Modar Biar modarlah kau
Tinggal pilih Mau jadi daging panggang, kambing guling..., atau guling panggang
yang diguling-guling Hie-he-he" sorak Andika.
Kewibawaannya sebagai pendekar
dengan nama
besar, menguap begitu saja.
Memang begitulah dia. Tak heran kalau dirinya disematkan dengan julukan
Pendekar Slebor
Dari belakang Andika, si
bangkotan berotak bebal
tiba-tiba menyeruduk.
"Ada apa ini? Ada apa
ini?" tanya Pendekar Du¬ngu dengan wajah berseri. "Aku dengar tadi
ada yang menyebut-nyebut kambing guling?"
Kegembiraan Pendekar Slebor
cepat berakhir. Tak
lama kemudian, si Kepala
Kacang tampaknya bisa
menguasai keadaan....
Dengan mata kepala sendiri,
mereka menyaksikan
bagaimana si Kepala Kacang
dapat mementah-kan
kekuatan sihir Nofret dengan
kekuatan hitam nya....
*** 9
Apa yang dipertontonkan antara
Nofret dengan si
Kepala Kacang benar-benar
memukau. Selesai para
undangan lain terpana
menyaksikan bagaimana tubuh
lelaki berkepala kecil itu
tiba-tiba dikepung api besar, kini mereka diseret ke terpanaan lain. Si Kepala
Kacang tiba-tiba meregang dalam kobaran warna merah yang menggila.
Kulit tubuhnya sudah meleleh,
memunculkan gelembunggelembung lemak berwarna putih kemerahan. Pakaiannya pun
sudah tak lagi berbentuk, menyatu dengan kelupasan kulitnya
Saat selanjutnya, dari
kerongkongan pemuja iblis itu terlompat keluar suara aneh bagai senandung
upacara para makhluk halus.
"Ngg.. , ngggssshhhsss. .
"
Asing, lamat, tapi juga
menusuk.
Lalu, kepungan api ciptaan
Nofret menjauh perlahan.
Seakan dari tubuh si Kepala
Kacang keluar lapisan kaca yang membentengi dirinya dari kepungan api.
Jengkal demi jengkal, kepungan
api ciptaan Nofret
menjauh dan menjauh. Ketika
jaraknya sudah mencapai sekitar tiga tombak, kobaran api itu mendadak pupus
ditelan kabut hitam pekat yang mendadak muncul.
Mengambang lamat dan bergulir
lamban.
Dari setiap jengkal gumpalan
kabut, bersembu-lanlah jutaan ulat-ulat berlendir kuning kental menjijikkan.
Persis, seperti ulat-ulat yang menggerogoti bangkai Biksu Punuk Tebal dan
laki-laki suami dari Manyar Wanita
Kini jelas sudah, kalau
kematian suami Manyar
Wanita adalah perbuatan si Kepala
Kacang. Jauh di dasar benak hitamnya, pemuja iblis itu rupanya tak bisa
mengendalikan hasrat haus
darahnya
Memang. Sementara para
undangan menanti tengah
malam menjelang, pada saat
yang sama purn-ma keempat telah jatuh. Itulah waktu bagi si Kepala Kacang untuk
mempersembahkan satu nyawa manusia bagi para iblis. Mau tak mau dia harus
mencari tumbal ilmu sesatnya. Dan nasib buruk ahirnya jatuh menimpa suami
Manyar Wanita.
Dialah yang dianggap cocok
oleh si Kepala Kacang sebagai tumbal.
Begitu bola mata besar si
Kepala Kacang sudah tak
berkelopak lagi melirik
Nofret, gumpalan kabut itu melayang cepat menuju Nofret.
"Nofret Menyingkir dari
sana" teriak Pendekar Slebor memperingati.
Tapi, Nofret sepertinya tidak
ambil peduli. Gadis itu tetap berdiri lurus, menatap lawannya.
Pendekar Slebor tentu saja tak
akan membiarkan
gadis yang disenanginya itu
menjadi korban kesekian dari ulat-ulat iblis peliharaan si Kepala Kacang.
Segenap tenaga tubuhnya melesat memburu ke arah Nofret.
"Hiaaa"
Grap
Seketika Pendekar Slebor
menyergap tubuh sintal
Nofret dalam gerakan singa
menerkam. Usahanya tidak sia-sia. Hanya berjarak sekitar setengah jengkal,
kabut hitam pekat itu menebas atas kepala Nofret.
Kedua anak muda itu
bergulingan di lantai. Andika
sudah tak peduli lagi, apakah
dadanya menyentuh dada padat menantang milik Nofret. Atau, bahkan menindihnya.
Yang
ada
dalam
pikirannya
saat
itu
hanyalah
menyelamatkan Nofret. Apalagi
ketika tanpa diduga, kabut hitam pekat si Kepala Kacang menaburkan ulat-ulat
dari dalamnya ke lantai tempat Pendekar Slebor dan Nofret bergulingan.
Makin kelimpungan saja
Pendekar Slebor. Dia
bergulingan lincah kian
kemari, bersama tubuh Nofret yang dirangkul erat-erat.
Setiap ulat yang bisa
dihindari, melesak masuk ke
lantai dari batu pualam yang
kerasnya tidak diragukan.
Seakan batu alam itu tak Iebih
dari hamparan lilin dijatuhi percikan bara.
"Hiak-hiak" Pendekar
Dungu mencak-mencak tak karuan. " Wih, seru nih Aku paling suka acara
mesum seperti itu" koar lelaki bebal itu masih juga ngaco.
Di sudut lain, hamburan
ulat-ulat dari kabut hitam makin lebat mencecar.
Zesss Zesss Klap-klap
Bunyi pualam tertembus lendir
beracun yang panas
luar biasa berseliweran di
sekitar tubuh sepasang anak muda itu.
Kini sudah saatnya bagi Andika
untuk melepaskan
kain pusaka bercorak caturnya.
Keadaan sudah tak
memungkinkan lagi baginya
untuk sekadar menghindar.
Secepat tangannya bergerak,
secepat itu pula kain
bercorak caturnya dikebutkan
beberapa kali.
Srat Cletar-cletar Prat
Kelebatan cepat kain pusaka
itu membentuk pa-yurig, melindungi Pendekar Slebor dan Nofret. Pualam mungkin
bisa dijadikan makanan empuk lendir beracun ulat-ulat itu.
Tapi, tidak bagi Kain Pusaka
Pendekar Slebor.
Setiap kali binatang-binatang
dari alam kegelapan itu menyentuh senjata Pendekar Slebor, setiap kali pula
terdengar bunyi halus seperti sesuatu yang lembek
tertimpa benda keras.
Makin banyak ulat menghujani
kain pusaka itu, maka makin sering terdengar suara halus tadi. Sementara asap
tipis berwarna kuning pun mulai menggumpal di atas putarannya. Panas lendir
beracun yang tak mampu
menembus kekuatan kain pusaka
Pendekar Slebor
rupanya penyebabnya.
Sampai suatu ketika....
"Khiaaa"
Sekujur urat leher Andika
meregang tegang. Pita
suaranya
meluncurkan
jeritan,
pertanda
amukan
kemarahan. Kemudian disusul
sebuah dorongan tenaga dalam tingkat ke sembilan belas terlepas dari satu
tangan.
Sasarannya, adalah kabut gelap
kental.
Brash Sekedip mata saja, kabut
buatan Kepala Kacang si
pemuja iblis berhamburan
menjadi pecahan-pecahan kecil.
Setelah menghambur dalam
bentuk yang semakin kecil, seluruh kabut itu pupus.
Kini tak ada lagi bunyi-bunyi
anehyang membuat mual siapa pun pendengarnya. Tak ada lagi. Ruangan berubah
sunyi. Andika yang mengira si Kepala Kacang akan
mengirim serangan susulan,
sudah tak menemukan lelaki itu lagi di tempatnya.
"Ke mana biang borok
itu?" umpat Andika membatin.
Plok Plok Plok
Sahutannya adalah suara
tepukan ramai Pendekar
Dungu.
"Tegang-tegang Ayo, siapa
yang tidak tegang pasti sudah tidak waras...," celoteh lelaki bebal ini
semakin ngawur.
***
"Kepala Kacang Kita harus
segera mengejar lelaki itu, Andika" sergah Nofret, setelah keadaan menjadi
tenang kembali. "Dia telah tahu ruang penyimpanan Pusaka Para Ahli Sihir
Raja Dengan ilmu iblisnya yang kini dimiliki saja, dia sudah demikian
berbahaya. Apalagi jika berhasil mendapatkan benda-benda pusaka itu"
Tak seperti kebiasaannya yang
hanya sedikit
berbicara, Nofret kali ini
terlihat meledak-ledak. Bisa jadi karena begitu khawatir akan terjadi bencana
besar
menimpa banyak orang, jika
manusia pemuda iblis macam Kepala Kacang mendapatkan kekuatan tambahan.
“Ya, aku sadar. Bukankah
karena itu pula peta di atas papirus.itu menyebut-nyebut tentang kekuasaan
tertinggi”
sahut Andika menanggapi. Dia
berusaha untuk setenang mungkin.
"Sejak tadi aku mendengar
kalian menyebutkan
tentang peta. Peta apa yang
kalian maksud?" tanya Kenjiro, menyela. Lelaki bertubuh gempal dari negeri
Sakura itu selalu saja sulit untuk menahan keingintahuannya. Tak seperti Hirono
yang berpembawaan lebih tenang dan mantap?
Karena merasa sudah tak
berguna lagi dirahasiakan, Pendekar Slebor akhirnya menceritakan dengan singkat
tentang peta yang didapat ketika bersama Nofret.
"Astaga...," desis
Putri Ying Lien. "Kalau begitu, benar kata Nofret. Lelaki itu harus segera
dicegah" Wajah gadis dari Cina ini sekhawatir Nofret.
Andika menautkan alis
legamnya. Biarpun berusaha
tetap
tenang,
tak
urung
wajahnya
menyiratkan
kekhawatiran pula.
"Tapi, masalahnya kita
tak memiliki peta itu lagi,"kata Nofret, terdengar putus asa.
"Jangan khawatir
Sebelumnya, aku sudah khawatir peta itu jatuh ke tangan seorang berhati iblis
di .intara kita.
Karena itu, diam-diam aku
membuat salinannya. Kupikir, seandainya peta itu jatuh ke tangan orang sesat,
aku masih bisa berbuat sesuatu...," papar Andika ringan.
"Mana salinan itu,
Andika?" tanya Chin Liong hergegas.
Chin Liong melihat Andika yang
terlalu acuh itu
membuatnyajadi agak tak sabar.
Bukan apa-apa. Dia
hanya khawatir si Kepala
Kacang berhasil mendapatkan benda-benda pusaka seperti ucapan Nofret tadi.
Andika menunjuk keningnya.
"Di sini," jelas
Pendekar Slebor singkat.
*** 10
Ruang penyimpanan Pusaka Para
Ahli Mesir Raja
terletak jauh di dasar gurun.
Letaknya beberapa kali lebih dalam daripada ruang penyimpanan harta. Tampaknya
piramida kuno itu benar-benar
dirancang secara istimewa oleh pemiliknya.
Tak terlalu sulit untuk sampai
di ruang itu sebe-
narnya. Namun karena selama
ini dirahasiakan, ruangan itu tak pernah ada yang tahu.
Nofret selaku orang yang
dipercaya untuk memandu
para undangan pun, baru kali
itu mengetahui. Bahkan mungkin ayahnya yang seorang Pendeta 'Ka' pun tak
pernah mengetahui.
Halang-rintang pun tak pernah
muncul sepanjang
lorong menurun, menuju ruang
tersebut. Sungguh tak sebagaimana mestinya ruang yang teramat rahasia.
Biasanya si empunya bangunan
akan membuat
semacam jebakan-jebakan yang
menghambat orang lain, bila hendak memasukinya. Anehnya, lorong menuju ruang itu
justru tidak memiliki pengaman sedikitpun
Keadaan ini memereikkan kec
urigaan di dasar benak Pendekar Slebor. Namun setelah dipikir ulang, bisa saja
Sang Ratu pemilik piramida sengaja merancang seperti itu, agar tidak
menimbulkan kecurigaan kalau lorong ini menuju sebuah ruang penyimpanan benda
paling penting.
Secara
beriringan,
rombongan
undangan
itu
menyusuri lorong sempit
menurun berliku-liku. Makin ke dalam, mereka seperti sedang menyusuri labirin
tak berujung pangkal. Melelahkan dan menyebalkan.
"Slompret Kenapa kalian
seperti tidak punya kerjaan berjalan di selokan tikus seperti ini, sih?"
gerutu Pendekar Dungu, mulai uring-uringan. Dengkul tuanya mulai tak bisa
diajak berdamai, setelah sekian lama berjalan.
Untung saja ada Putri Ying
Lien di dekatnya. Setiap kali si tua bangka itu hendak macam-macam, gadis itu
menjawil bahunya. Diberinya tua bangka berotak bebal ini senyum kecil agak
menggoda. Kalau sudah begitu,
Pendekar Dungu akan
membusungkan dada datarnya
hebat-hebat, walaupun sebenarnya
terasa dipaksakan.
"Kira-kira, sampai berapa
jauh lagi kita berjalan?"
tanya Kenjiro sesak.
Napas lelaki asal negeri
Matahari Terbit itu turun naik tak teratur. Bagi orang bertubuh tambun seperti
dia, perjalanan seperti itu benar-benar menjadi siksaan.
"Apa kita tak salah
jalan? Apa yang kita masuki ini justru jalan tak berujung pangkal yang cuma
jebakan?
Apa...," lanjut Kenjiro.
"Apa tak sebaiknya kau
mengunci mulut?" sambar Pendekar Slebor.
Sudah dongkol mendengar
keluhan seorang tua
bangka, ada lagi keluhan
manusia kelebihan lemak Maki Andika dalam hati.
Sampai
akhirnya
penyusuran
yang
memang
memuakkan itu berakhir, ketika
Pendekar Slebor yang berada paling depan mengangkat tangan memberi aba-aba
untuk berhenti.
"Ada apa?" tanya Chin
Liong berbisik.
"Aku tak tahu, apakah
kita sudah tiba di ruang penyimpanan benda pusaka atau tidak. Yang jelas, aku
menemukan pintu yang menjadi jalan masuk menuju satu ruang besar," lapor
Andika, berbisik pula.
"Manusia iblis itu ada di
sana?"tanya Nofret menyela.
Andika menggeleng.
"Ada yang aneh dengan
ruang itu...," duga pemuda Lembah Kutukan itu. Matanya lekat mengawasi
segenap ruangan dari sisi pintu.
Chin Liong yang berdiri tepat
di belakang Andika jadi kepingin tahu. Dengan hati-hati, dia ikut mengintip
dari sisi pintu."Aku tidak melihat apa pun yang aneh. Ruang itu hahkan
tidak ada apa-apa...," kata Chin Liong, menduga pula. "Justru karena
tidak ada apa-apa di sana, aku mengatakan aneh" sergah Andika. "Apa
kau tak mem-bandingkan dengan ruangan-ruangan lain yang penuh
segala tetek bengek.
Sementara, dinding ruangan satu ini bahkan tidak memiliki lukisan seperti
ruangan lain...."
"Heyyy Slompret benaran
Kenapa jalannya jadi mandek" seru Pendekar Dungu di deretan paling
belakang.
Andika mengeraskan rahangnya.
Geram sekali hatinya pada tua bangka itu. Sementara orang lain sudah berusaha
berhati-hati, bahkan harus berbicara secara berbisik-bisik pula, si bebal itu
malah seenaknya teriak-teriak
Kegeraman Andika pada
kelancangan bacot si
bangkotan memang beralasan.
Begitu suara serak seperti beduk pecah milik Pendekar Dungu berpantul di
sisi-sisi lorong.... Grrrhhh
Mendadak saja lorong tempat
mereka berdiri
bergetar. Getaran amat hebat
yang pernah dirasakan selama berada dalam Piramida Tonggak Osiris...
Drrrhhh...
Lalu dinding sebelah kiri
mereka menyusul terkuak
besar. Tinggi kuakan sekitar
empat tombak. Sedang
lebarnya sekitar lima tombak.
Dinding dari susunan batu alam yang tebalnya luar biasa itu kini membentuk satu
pintu masuk lain. Artinya, mereka kini menemukan dua ruang. Salah satunya,
harus dipilih untuk dimasuki....
Tidak hanya sampai di situ. Di
sisi dinding yang lain pun secara berurutan membentuk pintu-pintu baru,
berukuran sama disertai
getaran pula. Setiap kali satu pintu sepenuhnya terkuak, menyusul pintu yang
lain di seberangnya. Terus begitu, hingga seluruh pintu kini berjumlah
sembilan.
"Hm.... Permainan puncak
tampaknya baru saja
dimulai...," gumam Andika
disertai ringisan kecele.
Dugaan Pendekar Slebor kalau
lorong itu tak memiliki halang rintang apa-apa, ternyata meleset. Untuk sampai
di ruang yang dituju, satu-satunya cara adalah memilih salah satu pintu masuk.
Bukan tidak mustahil kalau salah masuk, mereka malah dihadang tangan Dewa
Osiris. Dewa Kematian...,
"Bagaimana selanjutnya
Andika, San*? tanya Hiroto, meminta pertimbangan Pendekar Slebor.
Andika garuk-garuk kepala.
Otak encernya entah
kenapa menjadi beku menghadapi
rentetan teka-leki
memusingkan di bangunan kuno
ini. Asal jangan sampai sebeku Pendekar Dungu saja. Kata batin Andika,
menghibur diri sendiri.
"Bagaimana Andika?"
ulang Chin Liong.
"Kali ini, apa sebaiknya
ditanyakan pada Nofret saja?"
kilah pendekar muda tanah Jawa
itu.
Memang siapa tahu, gadis Mesir
itu memiliki
pertimbangan lain yang lebih
baik. Padahal kalau mau jujur, Andika mengakui kalau pikirannya sudah demikian
mumet.
Nofret tak buru-buru
menanggapi. Mata lentik nan
jelinya sibuk mengawasi setiap
pintu yang mem-bentang di sekitar mereka.
"Begini saja...,"
kata Nofret akhirnya. "Kita bagi rombongan menjadi sembilan. Karena jumlah
kita persis sembilan orang, maka setiap orang akan memasuki satu
pintu...."
"Gila Ini namanya berjudi
dengan nyawa" bantah Kenjiro.
"Tapi, hanya itu
kesempatan kita agar cepat tiba di ruang penyimpanan benda pusaka. Bukankah
kita tak ingin si Kepala Kacang mendahului kita?" sergah Nofret, memberi
alasan jitu.
Yang lain diam tanda setuju.
Dan suka tak suka,
Kenjiro pun terpaksa
menyetujui.
Kini, mulailah mereka
memisahkan diri. Masing-
masing memasuki satu pintu.
Apa pun yang terjadi dalam ruang yang dimasuki, akan menjadi tanggung jawab
masing-masing
untuk
menghadapinya.
Termasuk,
kemungkinan bentrok dengan si
Kepala Kacang. Atau, bentangan jebakan demi jebakan maut yang sejak semula
selalu mengintai. Untuk menjaga hal-hal yang tidak di nginan, Pendekar Slebor
mengusulkan agar mereka berkumpul kembali ke tempat semula dalam waktu sekian
lama. Jika salah satu tidak ada yang kembali ke ruang semula, maka yang lain
akan segera menyusul.
Usul Pendekar Slebor
disetujui. Biarpun, hanya satu-dua orang yang menanggapinya dengan
sung-guh-sungguh.
Namun kebanyakan mereka merasa
harga dirinya terusik, selaku orang persilatan.
***
Pendekar Slebor mulai
melangkahkan kakinya ke
ruang pertama. Ruang besar
yang polos itu tetap ilingin menyambut kehadirannya. Tanpa lukisan dan tanpa
seonggok perabotan, bukan
berarti ruang itu tak mungkin menghadirkan ancaman seperti ruang-ruang lain.
Kejelian naluri kependekaran anak muda itu tetap masih mampu merasakan adanya
bahaya tersembunyi. Diam, tapi setiap saat bisa berakibat sangat buruk.
Seluruh kesiagaan diri
Pendekar Slebor terbangun.
Jika setiap langkah bisa
berarti kematian, maka pada setiap langkah pun, dia mencoba waspada.
Andika berhenti sebentar,
setiap kali kakinya
melakukan jejakan ringan di
lantai. Matanya mengawasi tajam seluruh ruangan. Tangannya siap di depan dada,
dalam bentuk kuda-kuda siap tarung. Kalau tidak terjadi apa-apa, barulah
memulai langkah selanjutnya.
Pada langkah yang kesekian....
Psss
Tiba-tiba
bergulung-gulung
asap
kelabu
pekat
berhembus dari seluruh celah
dinding batu. Begitu gencar.
Sampai dalam waktu tak terlalu
lama, seisi ruangan sudah habis terkepung.
Andika cepat memutus
pernapasannya. Urat dadanya
ditahan kuat-kuat. Tak ada
seorang pun yang akan sudi mencari bahaya dengan menarik napas dalam ruangan
berbau maut seperti itu. Andika sendiri sudah begitu yakin kalau asap itu
mengandung racun. Bisa saja, salah satu racun terganas yang pernah ada di bumi
ini.
Dengan perhitungan asap pekat
itu akan bertahan
lama dalam ruangan, Pendekar
Slebor memutuskan untuk segera meninggalkan tempat ini. Sekuat-kuatnya
paru-paru Andika tak akan sanggup bertahan sampai sepeminuman teh.
Perhitungannya ternyata tak
semulus dalam benak.
Belum lagi kaki Pendekar
Slebor digenjot, asap tebal tadi sudah mengaburkan pintu keluar. Bahkan saat
berikutnya, pintu keluar benar-benar tak lagi nampak. Di sana-sini hanya ada
kepekatan yang tersaput warna kelabu.
Dalam kepungan keadaan menjengkelkan
seperti itu,
biasanya Pendekar Slebor akan
menyemburkan makian-
makian manis. Tapi, sekarang
ini jangan sekali mencoba-coba Sedikit saja membuka jalan napas, asap itu akan
langsung melabrak dinding paru-parunya
Kelimpungan. Hanya itu yang bisa
diperbuat anak
muda urakan ini. Matanya
berkeliaran, terus mencari jalan keluar. Tapi, tetap tak ditemukan. Tubuh nya
bergerak tak kalah liar. Tangannya menyibak-nyibak asap, mencoba membuat jalan
pada pandangannya. Juga tetap sia-sia.
Sementara itu waktu merangkak
cepat, mendalangi
Pendekar Slebor dengan juluran
tangan mautnya. Dan sementara itu pula, udara dalam paru-paru Andika sudah
tidak bisa lagi dipertahankan.
Dada anak muda itu menjadi
sesak luar biasa. Otot-
otot di bagian dadanya mulai merontaki
dirinya dengan gelialan rasa nyeri. Akibat kekurangan udara, kepalanya pun
mulai berkunang-kunang. Sekejap lagi, saraf di paru-parunya akan menarik udara,
tanpa bisa lagi dikendalikan.
Anak muda itu siap menghirup
asap dalam ruangan
Dalam saat-saat di mana Andika
sudah tak bisa lagi menguasai dirinya, terdengar bisikan seorang wanita.
Warna suaranya halus menggoda.
Sekaligus, lamat
menggidikkan....
"Sementara menunggu tepat tengah malam, kalian tidak pemah menyadari kalau
tengah malam itu sudah terlampaui Yang kalian telah alami, itulah yang
kujadikan hidangan. Namun jangan mengira tak ada hidangan lain....
Karena upacara akan segera
dimulai
** *
Apakah yang bakat terjadi pada
diri sang pendekar
muda tanah Jawa itu? Hidangan
apa lagi yang akan ditemui Andika, dan para undangan lain?
Apakah yang didengar Pendekar
Slebor adalah bisikan Ratu Mesir dari zaman sebelum masehi? Ataukah, wanita itu
sebenarnya masih hidup?
Jangan lewatkan ketegangan
selanjutnya dalam
episode:
WARISAN RATU MESIR
Selesai