Pendekar Slebor Episode 18 Warisan Ratu Mesir

Pendekar Slebor Episode 18 Warisan Ratu Mesir
Pijar El
-------------------------------
----------------------------

Episode 18 Warisan Ratu Mesir

1
Ketersiksaan  yang teramat sangat menjerat Pendekar Slebor, manakala asap beracun telah menelusup ke rongga paru-parunya. Andika saat ini tengah terjebak dalam lorong yang dimasukinya di dalam Piramida Tonggak Osiris*Dalam petualangannya di dunia keras persilatan, udah beberapa kali Pendekar Slebor berurusan dengan racun terganas di dunia. Namun kali ini, dia merasakan siksaan yang tak terbandingkan dari pada seluruh racun yang pernah berurusan dengannya.

Sekujur permukaan kulit Andika seperti disayat sekian juta sembilu. Darahnya seakan digarang dalam tungku membara. Kepalanya seolah hendak meletus, membuncahkan isinya. Tulang-tulangnya terasa diremuk-redam.

Dan serat-serat dagingnya bagai dilarikan sekawanan serigala lapar Pendekar Slebor benar-benar amat tersiksa, memaksa untuk melolongkan jeritan sekeras mungkin.

Seandainya saja kerongkongannya tak tersekat. Dan akibatnya rintihan lirih pun tak mampu dikeluarkan.

Siksaan paling menyakitkan bagi benteng ketahanan diri Andika selama ini. Jika masih bisa membandingkan, siksaan itu mungkin setara dengan keadaan saat Pendekar Slebor harus menerima terjangan lidah-lidah petir kala mencoba menyembuhkan Ratu Lebah di suatu bukit (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Sepasang Bidadari Merah").

Beruntung, pengalamannya menjerang siksaan gempuran lidah petir, melatih benteng kekuatan dalam dirinya agar bisa bertahan dalam siksaan paling menyakitkan.

Kuat dalam menggulati maut untuk mempertahankan secuil kesadarannya. Seperti saat ini.

Dalam detik-detik seperti itulah sisa-sisa kesadaran Pendekar Slebor terbangkit. Dia langsung teringat pada tabung air minum pemberian si Gila Petualang. Beberapa waktu lalu, Andika terasuki racun ganas dalam air di tabung itu. Setelah meneguk kembali air dalam labung, racun justru dapat ditawarkan (Baca episode sebelumnya: "Undangan Ratu Mesir").

Ingat akan hal itu, cepat-cepat Andika meraih tabung kulit dari ikat pinggang pakaiannya. Dengan gerak tak terarah, mulut tabung itu didekatkan ke bibirnya. Lalu air di dalamnya pun diteguk.

Gluk Gluk Gluk Gluk begitu empat tegukan masuk dalam kerongkongan, justru merasakan hal yang dahsyat.

Apa yang terbetik dalam pikiran ternyata tak selalu selaras kenyataan. Bukannya siksaan itu menjadi berkurang.

Sebaliknya malah semakin dahsyat dan menyakitkan Kesakitan memuncak. Di lain sisi, benteng pertahanan dirinya justru jatuh semakin rapuh. Kesadarannya nyaris hilang....

Bagaimana mungkin lagi tubuh seseorang bisa bertahan manakala terasa sudah rnenjadi serpih-ui ? Hingga akhirnya.... "Wuaaa" Diawali lompatan teriakan menggelegar, Andika merasakan dunia rnenjadi gelap gulita.


***
"Andika Andika Di mana kau, Andika?" panggil Nofret was-was. Dari ruangan yang dimasukinya, lamat-lamat telinganya menangkap selenting jeritan. Meski samar, pemilik suara itu masih mampu dikenalinya.

Tampaknya, antara satu ruangan dengan ruangan lain yang kini dimasukj masing-masing undangan Ratu Mesir mempunyai hubungan. Buktinya suara jeritan Andika sampai ke ruangan yang dimasuki Nolret. Padahal, antara satu ruangan dengan yang lain disekat dinding yang luar biasa tebal (Baca episode scbelumnya: "Piramida Kematian").

"Apa yang sesungguhnya terjadi pada Andika?" gumam Nofret galau.

Pemuda itu selama ini semakin dekat saja merasuki relung hati Nofret.

Omongannya, kegagahannya, keacuhannya, dan sikap jantannya terhadap wanita membuat Nofret tak mungkin mengusik perasaan itu.

Wajar saja gadis ini pun rnenjadi was was bukan main mendengar leriakan tadi.

Sama seperti ruangan yang dimasuki Pendekar Slebor, ruangan yang dimasuki Nofret pun hanya semacam ruang kosong yang luas. Tanpa lukisan-lukisan Mesir Kuno seperti di ruangan lain. Juga tanpa satu perabotan pun.

Lapang, yang ada hanya ketegangan, teka-teki, dan aroma maut Menyadari pemuda yang menawan hatinya berada dalam cengkeraman bahaya, Nofret memutuskan untuk meninggalkan saja ruangan besar itu. Ton, ruang yang sedang diselidikinya ternyata tidak ada apa-apa. Barangkali itu sekadar pengalih perhatian dari ruangan yang bisa membawa mereka menuju Ruang Penyimpan Benda Pusaka.

Segera Nofret berbalik, dan berlari menuju pintu.

Belum tiga langkah kakinya beranjak, mendadak sesuatu di luar perkiraan terjadi Tiba-tiba saja____ Wsss Apa yang terjadi? Serupa yang dialami Andika, Nofret pun mengalami kejadian seperti itu. Dari setiap celah dinding batu, menyembur kabut putih tebal bergumpal-gumpal. Tak ada bagian ruang yang luput, termasukdi bagian pintu masuk.

Piramida ini memang terlalu banyak menerkam mereka dengan kejadian tak terduga. Teka-teki sulit diraba.

Bahkan bagi Nofret sendiri, salah seorang keturunan Pendeta 'Ka' yang dipercayakan ratu untuk memelihara Piramida Tonggak Osiris.

Pandangan Nofret dalam sekejap terhalang. Sulit baginya menentukan kembali, ke mana arah pintu kcluar.

Sementara, dia sudah telanjur memutar badan ke segenap arah, manakala menyaksikan gumpalan asap putih tebal kian mengepung. Kejadian selanjutnya tak sulit diduga. Asap itu memang asap beracun yang juga telah memangsa Pendekar Slebor. Kalau seorang pendekar yang sudah begitu kenyang deraan siksa luar biasa itu saja dapat dilumpuhkan, bagaimana dengan si dara Mesir yang sesungguhnya tak memiliki bekal ilmu bela diri apa-apa? Sebentar saja, tubuh molek Nofret terkulai. Luruh di lantai 
***
Andika siuman. Begitu matanya terbuka perlahanlahan, dirinya didapati berada di sebuah tempat asing.

Terlalu asing. Jauh bertolak belakang dengan suasana dalam piramida.

Semula Pendekar Slebor mengira s udah terdampar di alam lain. Sesial-sialnya, dia sudah ditemani gerombolan cacing tanah, mengingat betapa ganas racun yang telah merasuki tubuhnya.

Syukur sekali, hal itu tidak terjadi pada diri Andika.

Rasanya, hatinya yakin kalau masih tetap berada di dunia.

Biarpun suasana tempatnya kini belum pernah disaksikan sebelumnya.

"Di mana aku?" desis Andika setengah merutuk.

"Kenapa aku jadi berada di tempat yang....” Anak muda itu tak bisa memaparkan kalimatnya lagi begitu bangkit dari berbaringnya ini. Sulit baginya untuk menjelaskan dengan kata yang paling tepat. bagaimana keadaan tempat. Semuanya terlihat begitu menawan.

Ruang yang memiliki kolam bening, Iniuga beraneka jenis, lukisan-lukisan padat pesona, bahkan sangkar-sangkar besar yang di dalamnya puluhan burung dalam berbagai ukuran dan bermacam warna.

Ketika mengamati kolam, mata Andika dihidangkan pantulan lembut dasar kolam dari pualam putih. Cahaya dari kubah bangunan besar di atasnya, terjun langsung tanpa geming ke permukaan kolam berbentuk bundar itu.

Tepat di tengah kolam, berdiri bisu arca seorang wanita cantik berpakaian kebesaran. Tangan kanan patung yang menjulur gemulai ke depan, memegang setangkai tanaman poppy*. Bibirya tampak mengembang. Sulit mengartikan, apakah itu adalah sebentuk senyum atau seringai. Dan meskipun hanya patung, matanya seolah membersitkan kekejian yang tergabung rnenjadi satu dengan gelora nafsu. "Arca siapa pula ini? Mungkinkah patung itu adalah Sang Ratu seperti yang dimaksud Nofret?" gumam Andika, begitu telah berdiri.

Dengan badan masih terasa lemas, anak muda sakti dari tanah Jawa ini mencoba menggerakkan kaki menuju kolam.Namun mendadak langkahnya terputus manakala menyaksikan sesuatu di sudut ruangan besar tersebut.

Tampak sebuah peti mati kebesaran Mesir Kuno tergolek di atas batu altar....

"Apakah aku tengah berada di ruang penyimpanan jenazah ratu itu?" bisik Andika ragu. bertanya pada diri sendiri.

Niat Pendekar Slebor untuk mendekati kolam diurungkan. Kini langkah kakinya malah disorongkan ke arah peti mati. Lambat tapi pasti. Andika kian mendekati peti yang kepala penutupnya berukiran bentuk wajah seorang wanita. Mirip dengan wajah patung di tengah kolam.

Sementara mendekat, jantung anak muda ini berdebar-debar kacau. Entah kenapa, dia sendiri tak tahu.

Seolah ada sebuab pengaruh kasap mata dari peti mati tempat pembalsaman yang langsung menelusup ke dalam sudut hatinya.

Sampai akhirnya langkah Andika tcrhenti. berdiri tanpa gerak di sisi altar batu. Belum tahu, apa yang barus dilakukannya lagi. Sedangkan sepasang matanya terus mengamati lekat-lekat ukiran timbul wajah wanita di penutup peti yang mc ngenakan mahkota yang ujungnya berbentuk kepala ular sendok. Lama. Cukup lama Andika terdiam macam orang bodoh. Sampai disadari kalau dia harus berbuat sesuatu.

Lalu tangannya pun mulai terjulur ke penutup peti.

Sesaat Andika ragu. Dan tangannya pun terhenti di udara.

"Mestikah aku membukanya?" gumam pemuda mi l.imat. "Apakah dengan membukanya, aku telah Iancang mengusik peti mati seorang wanita yang begitu diagungkan Nofret?" Jika terlalu lama menimbang, Andika merasa dirinya semakin tampak bodoh. Karena itu diputuskannya untuk melanjutkan niat semula. Tangannya bergerak kembali.

Penutup peti itu ternyata tak terlalu sulit dibuka, meskipun agak berat. Celah kecil seputar peti tercipta Sementara detak jantung Andika semakin tak menentu.

Bersama suara geseran halus, penutup peti pun terkuak lebar-lebar. Cahaya matahari yang membias dari kubah bangunan menerobos masuk ke dalam peti. Dengan mata kepala sendiri,Andika melihat sosok seseorang.

Dan....

Blam Seketika itu juga Pendekar Slebor melepas kembali penutup peti. Beratnya penutup menciptakan kegaduhan, manakala bertumbukan dengan badan peti.

Anak muda itu kontan tersurut mundur ke belakang.

Betapa sulit menggambarkan wajahnya saat itu. Matanya berhenti berkedip. Mulutnya setengah terbuka. Wajahnya sebentar merah, sebentar memucat. Sepertinya dia baru saja menyaksikan satu pemandangan yang benar-benar membuatnya terperanjat sekaligus demikian risih.

"Tak mungkin...," desis Andika seraya menggelengkan kepala.

Sungguh wajar kalau Andika bertingkah sedemikian rupa, karena apa yang baru saja dilihatnya memang sesuatu yang tak mungkin. Sebab, di dalam peti mati tempat pembalsaman mayat pembesar wanita Mesir itu tampak sosok yang sudah begitu dikenal.... Nofret Nofret terbujur diam dengan tangan terbentang lurus di sisi tubuhnya. Itu yang membuat Pendekar Slebor benar-benar tersentak. Di samping itu, ada yang lebih gila sehingga membuatnya menjadi demikian bergegas menutup kembali penutup peti mati. Nofret yang terlihat di dalam peti ternyata berpakaian amat tipis, tembus pandang.

Di balik pakaian tipis nya tubuh Nofret membayang polos tanpa selembar benang pun Sekelebatan, Andika menyaksikan pemandangan mendebarkan tadi. Disaksikan pula, bagaimana kulit sehalus sutera milik wanita itu kian menggoda dalam kesamaran kain putih yang tembus pandang.

"Ini sinting. Ini kelewatan sinting. Atau aku memang sudah menjadi sinting gara-gara racun itu" rutuk Andika lagi dengan wajah kebingungan. Tangannya tanpa sadar menggaruk-garuk jidat berkali-kali. Seolah, di jidatnya sudah tumbuh kudis paling ganas.

Selagi pemuda dari Lembah Kutukan ini diberondong rasa keheranannya, penutup peti mati pembalsaman perlahan terbuka kembali. Kali ini, bukan lagi perbuatan Andika. Pendekar Slebor sendiri tak tahu, perbuatan siapa. Dia hanya terpaku dengan tangan lupa diturunkan dari jidat.

Grrr.... Blam Peti pun menganga sudah. Penutupnya yang seherat seekor anak kerbau jatuh berdebam di sisi altar. Padahal, penutup seberat itu cuma didorong sebelah tangan halus dari dalam peti. Tangan sejernih susu, serta berjari selentik ranting pohon sorga....

"O, Tuhan.... Apa yang bakal terjadi?" gerutu Andika dalam hati.

Keterpanaan Pendekar Slebor makin parah saja.

Apalagi menyaksikan jerak gemulai tangan lentik dari dalam peti. Lalu lamat-lamat, sebentuk wajah yang mempesona muncul dari sana.

Andika tidak salah lihat Itu memang wajah Nofret 
***
2
Ibarat seorang nakhoda yang telah mengarungi banyak samudera, selaku seorang pendekar muda, Andika pun sudah banyak menjalani ragam kehidupan dunia persilatan.

Kebengisan, darah, pembantaian, sudah menjadi hal biasa yang kerap ditelannya.

Tapi kalau bicara soal perempuan secantik bidadari berpakaian tembus pandang, itu bisa lain perkara Bisa jadi, seumur-umur baru dialaminya. Dan tahu sendiri, seorang pemuda yang masih memiliki luapan darah muda seperti Andika bisa langsung mati berdiri menyaksikan pemandangan yang baru kali ini disaksikan.

Untunglah pemuda brengsek itu termasuk kebal guncangan. Andika tidak sempat mati berdiri, cuma saja seperti orang kehilangan otak. Dia tergolong tolol dengan mulut menganga serta lubang hidung kembang-kempis.

Apalagi ketika Nofret bangkit dari dalam peti.

Dengan gerak amat lamban, wanita itu melangkah keluar peti. Saat kaki jenjangnya terangkat, tersingkaplah pemandangan yang membuat jantung Pendek.n Slebor seperti hendak ambrol seketika "Mati aku" pekik Pendekar Slebor dalam hati. Itu pun kalau Andika masih ingat untuk memekik dalam hati....

Kemudian perlahan, sarat kegemulaian Nofret melangkah satu-satu menuju Andika. Setiap kali sebelah kakinya melangkah, terciptalah lenggokan lembut menakjubkan di sekitar pinggul padatnya yang lebih menggetarkan lagi. Saat buah dada sekal yang samar tampak di balik pakaian tembus pandang itu ikut bergetar, seolah menyanyikan sesuatu yang asing.

Andika mcnahan napas, sekuat-kuatnya tanpa sadar.

Dia seperti takut kalau dadanya akan segera rontok mendapati tayangan di depan matanya.

Sambil memejam-mejamkan mata ogah-ogahan' bibir Andika menggumamkan sesuatu.

'Ini bukan pribadi Nofret sesungguhnya...." Andika memang memiliki firasat, kalau Nofret yang dihadapi kini bukan Nofret yang dikenalnya. Dia wanita itu sedang dirasuki satu kekuatan jahat Tampak sekali dari kilalan cahaya matanya yang bersinar mcnggiurkan, sekaligus menyiratkan kekejian. Tak beda dengan....

Andika tiba-tiba teringat patung di tengah-tengah kolam."Ya Tatapan matanya berkesan mirip dengan mata patung itu.... Jangan-jangan, Nofret sedang dirasuki roh ratunya," desis Andika agak bergidik.

"Andika...." terdengar panggilan mendesah meluncur dari bibir ranum Nofret. Wanita itu telah menghentikan langkahnya.

Kini dia berdiri dalam keadaan amat menantang sekitar lima tombak di depan Pendekar Slebor.

Untuk yang kesekian kalinya, Andika tercekat.

Desahan suara itu seperti datang dari masa yang begitu jauh. Datang dari suatu tempat Iain. Datang dengan sebuah pengaruh hebat yang merangsak relung hatl Andika, lalu mencoba menguasai garbanya.

Desahan itu seperti pernah didengar Pendekar Slebor manakala hampir pingsan akibat asap beracun.

Bukankah yang didengarnya dulu adalah suara gaib Sang Ratu? Kalau begitu. Andika makin yakin. Nofret telah dirasuki Sang Ratu "Andika...." Kembali terdengar desahan. Pengaruhnya lebih kuat daripada sebelumnya. Bahkan sekujur kulit Andika menjadi bergetar. Ada pula hujaman kuat yang mengepung batinnya dengan rasa dingin yang sulit dipahami.

"Andika..." Bahkan kini menyusul gejolak birahi yang mendadak. menempati aliran darah pemuda itu. Bergolak..., bergejolak Andika berjuang mengenyahkan pengaruh itu.

Tapi makin berkutat menentangnya, dia makin kehilangan kendali diri.

Tanpa bisa dihindari Andika tertegun. Matanya dipaksa untuk terus menikmati lekuk-lekuk tubuh Nofret, melalap jenjang sepasang kaki yang berdiri setengah membentang, melahapi sepasang bukit indah yang bergerak berirama naik turun....

Jalan napas pendekar muda itu mulai memburu, mendesah, mendengus... Sementara, desahan napas Nofret lerus saja memanggil-manggil. Tanpa kalimat, tapi cukup diartikan, Andika mendekatlah....

Tanpa disadari, Andika melangkah lambat-lambat menuju Nofret. Matanya terus saja lekat ke lekuk-lekuk nan padat dan sintal di depannya. Semakin dekat, napas pemuda itu kian memburu. Bahkan terdengar seperti mendengus-dengus.

Lalu kefjka jarak sudah demikian dekat, Nofret menggelinjang di ringi desah panjang. Bibir ranum perawan Mesir ini membuka, di antara desah bergelombang.

Matanya yang berbulu lentik dipejamkan. sementara, kepalanya menengadah. Seakan hatinya begitu berhasrat menikmati rabaan di sekujur tubuhnya. Gerak tubuhnya adalah bahasa yang begitu mudah dipahami. Sebuah isyarat, agar Andika segera menyergap, mendekap, dan mencumbunya sepanas mungkin Bahasa tubuh menggiurkan itu cepat ditangkap birahi Pendekar Slebor. Dan nampaknya pendekar muda ini berada di bawah pengaruh tenungan nafsu roh halus dalam diri Nofret.

"Ahhh..." Desah padat gairah dari bibir Nofret pun makin memburu, manakala tangan kekar Andika sudah memagut leher dara yang menengadah ini. Lalu, ditariknya perlahan kepala gadis itu kewajahnya. Bibir Pendekar Slebor pun siap mengulum atau melumat seluruh bibir ranum Nofret.

Plak Mendadak satu tamparan amat keras memancung seluruh desah birahi Nofret. Andikalah yang melakukannya.

Tepat pada saat pagutan mulai melalap bibir hangat Nofret. sebentuk kesadaran dari dasar hatinya bergeliat, berontak, terhadap pengaruh tenung gaib.

Kesadaran itu menyeruak deras ke benak Pendekar Slebor. Amat deras "Ini tidak benar Kau akan terus terjerumus bila mengikuti gelora nafsumu Kau akan menjadi pecundang, Andika Pecundang dari nafs u arwah seorang wanita jahat" teriakan dari dasar hati terdengar, dan hanya bisa dimengerti Andika.

Setelah itu, akal sehat Pendekar Slebor kembali seutuhnya. Agar tak ada lagi godaan yang nyaris membuatnya lupa daratan, tak heran kalau Andika terpaksa menampar pipi Nofret. Maksudnya tentu saja hendak menyadarkann gadis itu dan kerasukannya.

Kalau hal itu yang diharapkan, Andika justru keliru.

Masalahnya, arwah yang menguasai garba Nofret bukanlah wanita biasa. Ratu penguasa Piramida Tonggak Osiris adalah wanita ahli sihir yang menjadi junjungan puluhan ahli sihir mesir lain pada zamannya. Satu tamparan keras tangan Andika, tak bisa begitu saja mengenyahkannya.

"Ghhh..." Entah menggeram, entah mendesis, Nofret menatap jalang ke arah Andika dengan segenap kilatan kekejian di kedua bola mata lentiknya. Pandangan yang merejam langsung mata Andika.

Selanjutnya.... "Hiaaa" Tiba-tiba saja Nofret mengibaskan tangan kanannya.

Dan.... "Akhhh..." Brak Tubuh Andika melayang tinggi seperti tanpa bobot dihempas sebelah tangan Nofret. Dan itu dilakukan seperti sedang melempar uang logam Derasnya luncuran tubuh Andika ke belakang, baru berhenti setelah dihadang tembok sebelah selatan yang jaraknya lebih dari dua puluh depa Bahkan sebagian dinding batu alam itu masih sempat gompal cukup dalam, seukuran tubuh yang menimpanya.


***
Sesuai kesepakatan, para undangan Ratu Mesir yang berpencar untuk memasuki ke sembilan ruangan.

harus berkumpul kembali ke tempat semula. Dari sembilan orang yang memasuki ruangan-ruangan itu, hanya enam yang kembali. Tiga orang di antaranya menghilang begitu saja. Mereka adalah, Pendekar Slebor, Nofret, dan si Gila Petualang.

"Andika mana?" tanya Ying Lien pada Chin Liong.

begutu mereka sudah berkumpul kembali di persimpangan lorongyangmemiliki banyak pintu masuk.

Mala wanita Cina itu memang buta. Tapi peraaannya demikian peka. Nalurinya yang tajam merasakan ada kckurangan di antara mereka. Dan telinganya yang tajam tak mendengar tarikan napas pemuda pujaannya itu.

"Dia belum kembali," sahut Chin Liong, tampak cemas.Wajah Ying Lien pun berubah. Perasaan tak enaknya terbukti. Wajahnya kini tak kalah cemas dibanding Chin Iiong. Chin Liong tentu saja tahu, apa penyebabnya. Bukan sekedar rasa persahabatan yang mengikat erat hati Ying Iien terhadap pemuda urakan itu, tapi juga cinta. Mungkin saja selama ini Ying Lien masih mampu menyembunyikan perasaannya pada Andika. Namun unluk saat seperti sekarang, tidak lagi.

"Ayo kita cari dia, C hin Liong" ajak Ying Lien bergegas. Dan bergegas pula ditariknya tangan Chin Liong.

Pemuda tampan dari Cina yang ditarik menahannya.

"Tak perlu, Ying Lien...," sergah Chin Liong. "Aku dan Hiroto sudah menyusul ke ruangan yang dimasukinya...." "Lalu? Apa yang terjadi padanya?" serobot Ying Iien Chin Liong menggeleng dengan wajah kusam.

"Dia tak kami temukan. Raib begitu saja tanpa jejak ..." sahut Chin Liong lagi.

Dada Ying Lien naik-turun. Sulit mencoba menutupi perasaan khawatirnya terhadap keselamatan pemuda yang dikaguminya. "Kalau begitu, biar aku mencari lagi," tandas Ying Lien agak marah.

Sekali lagi Chin Liong menahannya.

"Kau sudah tak percaya lagi padaku, Ying Lien?" sikap Chin Liong agak menyudutkan.

Sebenarnya C hin Liong tidak sedikit pun tersinggung dengan sikap putri junjungannya yang sudah seperti saudara kandung sendiri itu. Biar bagaimanapun harus dimakluminya rasa kagum dan cinta Ying Lien yang demikian meraksasa terhadap diri Pendekar Slebor.

Kalaupun Chin Liong menahannya, itu karena tidak mau Ying Lien hanya mengikuti perasaan gundahnya.

Selaku putri sekaligus tokoh persilatan Cina yang disegani, perasaan seperti itu bisa amat membahayakan dirinya sendiri. Padahal di dalam piramida yang mulai disadari penuh intaian maut, seseorang harus benar benar memiliki ketenangan mantap dalam mengatasi semua ancaman.

"Bukannya aku tidak mempercayaimu. Aku hanya tidak yakin kalau Andika menghilang begitu saja" sergah Ying Lien.

Suara wanita itu meninggi dan kasar di telinga Chin Liong.

Setelah itu, barulah Ying Lien menyadari kebodohannya.

"Maafkan aku, Chin Liong..," ucap Ying Lien melemah. "Aku tadi begitu...." "Ya, aku mengerti," potong Chin Liong. "Ada dua orang lagi dari anggota rombongan kita yang tidak kembali," sela Hiroto. "Nona Nofret dan Tuan Gila Petualang." "Kau punya gagasan unluk tindakan kita selanjutnya, Hiroto San*?" tanya Chin Liong. Hiroto sesaat berpikir keras "Aku tidak tahu lagi, apa yang harus kita perbuat setelah nona pemandu kita menghilang. Semula, kita bertujuan ke sini karena hendak mengejar tuan para ahli sihir Sang Ratu. Sekarang, orang itu sama sekali tidak ditemukan. Sementara dua orang yang sudah sempat melihat isi peta piramida ini, telah hilang entah ke mana. Maka rasanya kita akan menemui kesulitan besar untuk menemukan ruang penyimpanan benda-benda pusaka para ahli sihir itu...," papar Hiroto lanjang-lebar. Padahal, biasanya dia paling sedikit berbicara.

"Hiroto benar," timpal Kenjiro. "Kita menemui jalan buntu.""Tapi aku tidak mengatakan kalau kita akan menyerah," sergah Hiroto. "Sudah pasti kita akan menemui kesulitan besar, tapi harus tetap berusaha" Selaku seorang ksatria Jepang, pantang bagi Hiroto untuk menyerah kecuali kematian menghadang.

"Apa kita akan membiarkan orang seperti Tuan Kepala Kacang berbuat seenaknya dengan benda-benda pusaka itu?" susul Hiroto, seperti hanya ditujukan pada saudara sepupunya yang mulai putus asa.

"Atau membiarkan Tuan Pendekar Slebor yang kita kagumi itu mendapat celaka?" Kenjiro menggeleng lamat. Seperti kata sepupunya, tadi, memang tidak pantas membiarkan seorang kawan sealiran yang sama-sama menjunjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan, terperosok dalam bahaya maut.

Lebih-lebih Kenjiro sendiri mulai mengagumi sikap perwira Pendekar Slebor yang diperlihatkan selama ini.

"Kalau begitu, mari kita cari mereka" putus Chin Liong menyemangati.

"Ayuuuuuh...” koar Pendekar Dungu seenaknya. Tak kapok-kapoknya dia. Padahal gara-gara teriakannya, pintu-pintu jebakan membuka waktu itu.


***
3
Bukan kekuatan biasa yang melontarkan Andika, hingga membuat tubuhnya terhempas semudah dan sejauh itu. Namun begitu, bukan Pendekar Slebor kalau hanya hempasan demikian menjadi pecundang. Apalagi sudah berapa banyak kejadian yang lebih berat menghantamnya.

Dengan terhuyung limbung, Pendekar Slebor mencoba bangkit. Hantaman teramat keras antara tubuhnya dengan dinding batu alam membuatnya memuntahkan darah segar.

Untuk mengenyahkan pandangannya yang kabur, anak muda berhati baja itu menggeleng-gelengkan kepala keras.

Tangannya mendekap bagian dada yang terasa nyeri minta ampun.

"Nof.., ret, sadarlah.... Ini aku, Andika" ucap Andika tertatih.

Disana, wanita yang dimaksud malah memamerkan seringai tipis.

"Ha-ha-ha... hi-hi-hi" Dan seringai itu pun kemudian berkembang menjadi tawa meninggi, memantul ke segenap penjuru dinding ruangan luas ini.

"Nofret" Andika berusaha membentak, meski dalam keIcrsengalan napasnya.

"Lawan pengaruh arwah dalam garbamu Lawan, Nofret Aku tahu kau mampu Dan aku tahu pula, kau sebenarnya bisa mengenali aku. Hanya kau tak bisa berbuat apa-apa di bawah cengkeraman arwah keparat itu" cecar Andika, berusaha membangkitkan kembali kesadaran Nofret.

"Hi-hi-hi.... Kau pikir, sedang berurusan dengan siapa, jejaka tampan? Kau berada di wilayah kekuasaanku.

Kau pun berada di tempat pemakamanku Artinya, kau tak memiliki kesempatan sedikit pun untuk mengungguliku Tidak juga untuk mcmpengaruhi gadis yang kutumpangi ini" sergah arwah dalam jasad Nofret. Suaranya masih dikentarai Andika sebagai suara Nofret.Tapi gaya bicaranya benar-benar bukan lagi milik gadis itu.

"Apa maumu sebenarnya, arwah perempuan jalang?" tanya Andika terdengar mencerca.

"Apa mauku? Hi-hi-hi...." Bukannya menjawab, arwah Ratu Mesir itu malah memperdengarkan tawa nyaring kembali.

Usai menertawai ucapan Pendekar Slebor, gadis yang sedang kerasukan ini menancapkan pandangannya dalam-dalam ke manik mata Andika. Pandangan yang merasukkan segenap kilatan jahatnya.

"Pemuda tampan tanah Jawa...," panggil Nofret kembali. Nada bicaranya terdengar tetap menggoda.

"Nofretmu sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia telah kukuasai sepenuhnya.

Sekarang kau berhadapan denganku. Hetepheres*'." Arwah Ratu Mesir dalam jasad "Nofret yang mengaku bernama Hetepheres itu terkikik kembali.

"Apa maumu dari kami sebenarnya?" tanya Andika terdengar sinis.

"Sekadar mencari kesenangan," sahut Ratu Hetepheres, enteng.

"Dengan melakukan pembunuhan keji...?" cibir Andika."Apa lagi? Bukankah banyak manusia begitu bergairah menyaksikan darah sesama? Apa anehnya jika aku pun menyenangi itu," kilah Ratu Hetepheres.

"Kesenangan sinting" maki Andika, muak. "Kau mempermaikan nyawa banyak orang yang telah kau undang sendiri. Dan hanya orang sinting yang sudi melakukannya" "Kalau kau menganggap tindakanku sinting, lalu apa yang akan kau lakukan?" leceh Hetepheres, menantang.

Sudut bibirnya meninggi. Sebelah matanya mengerling.

"Cuma ada satu hal yang terpikir di benakku saat ini," tegas Pendekar Slebor geram. "Mengembalikanmu ke neraka" "Hi-hi-hi.... Apa kau seperkasa Ra*? Atau seangkuh Horus*? Atau segagah Ptah*?" ejek Hetepheres melengking.

Pendekar Slebor membusungkan dada. Biarpun nyerinya masih menjalar sampai ke lubang hidung sekalipun, dia tak peduli. Akan dihadapinya cemoohan arwah wanita itu dengan kesombongannya yang mulai kumat."Seperkasanya manusia. adalah aku Segagah-gagahnya manusia adalah aku Seangkuh-angkuhnya manusia adalah aku Kau mau apa?" Pendekar Slebor menantang balik, walaupun bibirnya meringis, ringis.

"Hi-hi-hi.... Kalau begitu, biar kubuktikan Hih..." Seketika itu juga, Hetepheres yang menumpang di tubuh Nofret mengacungkan telunjuk ke arah Pendekar Slebor.

Wesss. .

Seketika serangkum kekuatan yang memanjang lurus bagai tombak tanpa wujud pun melesat hendak memangsa tenggorokan Andika. Kekuatan yang berpendar putih menimbulkan bunyi manakala bergesekan hebat dengan udara di sekitarnya.

Serangan awal itu bukan sekadar permainan sihir.

Pendekar Slebor bisa merasakan itu.

Menurut perkiraannya, serangan Hetepheres semacam tenaga dalam langka berkekuatan inti es yang telah diperkuat sekian kali lipat. Kebekuannya terasa sekali menguasai segenap ruangan.

Sungguh satu kedigdayaan yang bertolak belakang dengan keadaan Mesir yang dikuasai gurun. Andika sempat terheran, bagaimana seorang ratu dari daerah gurun bisa menguasai kekuatan kutub bumi seperti itu? Apakah hal itu tidak janggal? Terbetik tanya singkat di hati anak muda ini.

Andika yakin, ada sesuatu rahasia tersembunyi di balik ilmu 'Inti Es'. Kalau saja tidak dalam keadaan bertarung, tentu akan dipikirkannya lebih jauh.

Seandainya terkena, tubuh Pendekar Slebor tak hanya membeku. Lebih dari itu, tubuh bisa langsung mengalami pengerasan terparah dalam sekejap. Akibatnya, seluruh daging, tulang dan serat' tubuhnya yang membeku, akan menjadi retak-retak. Tak jauh berbeda sepotong arca terhajar godam raksasa Makin kentara saja bahaya maut yang terkandung dalam serangan itu, ketika Andika sempat melihat dinding-dinding ruangan dirayapi serpihan putih, mengikuti gerak laju pukulan inti es Ratu Mesir. Mudah diduga, tentu saja akibat kelembaban udara yang membeku demikian cepat.

Sadar bahaya besar mengancam, Pendekar Slebor menghindar dengan tiga kali salto manis di udara.

Selagi tubuh Pendekar Slebor masih berputaran di udara dengan tubuh menekuk ke depan, serangan susulan Ratu Mesir merangsak kembali. Lebih cepat, legih ganas, dan lebih bernafsu. Biarpun raut wajah wanita cantik itu tak sedikit pun mengalami perubahan. Tetap dingin, sedingin serangannya.

Wizzz Kelincahan Pendekar Slebor dalam menentukan keselamatannya untuk serangan ini memang sedang diuji.

Dan sungguh mengejutkan, dia merasa kehilangan kelincahan secara mendadak. Sekujur sendinya seperti terkunci.

Urat-uratnya terasa melemah hingga menyulitkannya bergerak. Padahal saat itu. saat yang paling genting baginya.

Apa yang sesungguhnya terjadi pada Pendekar Slebor? Apa akal pemuda berotak cemerlang ini untuk menyelamatkan diri kali ini? Sementara. pukulan 'Inti Es' Hetepheres berkelebat cepat menuju, di rongga kepala anak muda itu pun melintas tak kalah cepat sebersit sinar terbang. Sebuah akal agar bisa lolos dari kebekuan mematikan "Hiaaa..." Tak tahu apa maksudnya. Pendekar Slebor berteriak keras. Amat keras.

Mungkinkah Andika telah putus asa? Tidak Sebagai seorang pendekar muda yang kerap tertantang untuk mengerahkan kecemerlangan otaknya dalam keadaan genting seperti itu, Andika pun rupanya sedang melakukan siasat tempur guna mementahkan serangan sulit lawan.

Teriakan Pendekar Slebor yang di si tenaga dalam tak tanggung-tanggung, menyebabkan getaran keras langsung merebak ke segenap dinding Salah satu batu besar penyusun langit-langit mengalami getaran paling hebat, karena dengan sengaja tenaga dalam pada teriakannya diarahkan ke sana. Maka...

Grrr.... Grakhhh Celah langit-langit yang memang sudah renggang karena penyusutan bebatuannya akibat hawa beku Hetepheres, dapat dengan mudah lepas tersentak tenaga dalam teriakan tadi.

Dan mendadak, satu batu besar langit-langit yang menjadi sasaran teriakan, segera terlepas amat mudah.

Melunc ur jatuh, lalu menjadi sasaran pukulan 'Inti Es' Ratu Mesir. Blazzz ltulah siasat cantik yang terpercik cepat di otak enter si pendekar urakan. Tanpa kecerdikan itu, mustahil Andika menghindari terjangan serangan kedua lawannya Jleg Pendekar Slebor dengan susah payah akhirnya dapat hinggap di atas bongkahan batu persegi, yang runtuh tak jauh dari tempat berdiri Ratu Mesir ini.

Batu yang demikian besar telah diselimuti salju setebal satu jengkal Kalau batu saja sudah demikian, apalagi tubuh manusia? "Cerdik? Sungguh cerdik" puji Hetepheres dengan raut wajah bertolak belakang. Bengis serta dingin.

"Kubilang juga apa...? Aku memang manusia paling perkasa, paling gagah, paling angkuh. Sekarang, boleh kau tambahkan kalau aku manusia paling cerdik" kata Pendekar Slebor sesumbar.

Dan dia berusaha menyembunyikan keanehan yang menimpa, saat kelincahannya yang amat tersohor di dunia persilatan hilang.

"Tapi tak cukup cerdik untuk lolos dari kematian di tanganku" dengus Hetepheres, gusar. Dia merasa dewa-dewanya disepelekan anak muda itu.

“Kenapa tidak? Di dunia ini, kunyuk yang paling dungu, bangsat yang paling tolol, serta warga kutu koreng yang paling bodoh pun, bisa lolos dari tanganmu. Hua-ha-ha" ejek Pendekar Slebor makin menjadi.

Hetepheres menggeram, sarat ancaman. Murka sudah dia, terpancing semua kata-kata pedas anak muda ceriwis ini.

Namun justru itu yang sesungguhnya diharapkan Andika. Selalu Dalam pertarungan, kekalapan lawan selalu menjadi satu keuntungan baginya. Sudah berkali-kali dia memetik keuntungan dari Sana. Dengan begitu. lawan cenderung bertarung tanpa perhitungan masak. Cerdik juga dia? Tapi, sekali ini Andika kecele. Lawan cantiknya bukannya kalap membabi-buta. tapi malah kembali terlawa cekikikan.

"Hi-hi-hi..." "Sundal" rutuk Andika. "Siasatnya hanya jadi bahan tertawaan. Apa hari ini nasibnya memang sedang apes? "Coba-coba memancing kemarahanku, pemuda tampan? Mau membuat aku sebagai bulan-bulanan kecerdikanmu? Hi-hi-hi... Kau tak tahi, siapa aku? Aku seorang ratu yang mengerti arti kekuasaan. Bagiku, tak boleh seorang pun mempengaruhi...," urai Hetepheres melantun nyaring. Matanya menyipit-nyipit karena dirayapi kesenangan.

"Kecuali aku" Mcndadak terdengar sahutan seseorang di ruangan itu. Andika menoleh. Tapi, Hetepheres tidak. Sepertinya arwah wanita dalam garba Nofret itu tahu, siapa yang telah hadir di antara mereka.

Andika menyaksikan kehadiran orang yang menyahuti dengan mata menyipit. Tajam lirikannya, menyelidiki ke arah lelaki yang berdiri di dekat dinding di belakang Hetepheres. Andika yakin, di dinding itu tentu ada jalan rahasia. Dan dari jalan rahasia ilu orang itu keluar.

Hanya Andika tak bisa menduga, siapa sesungguhnya lelaki itu? Dia mengenakan topeng kepala serigala, seperti para Pendeta Mesir Kuno yang memimpin upacara kematian. Pakaiannya seperti dalam lukisan Dewa Anubis*, yang pernah Andika lihat di salah satu dinding ruangan piramida.

"Siapa dia?" bisik Pendekar Slebor....


***
4
Tak mudah bagi Andika untuk menduga, siapa sebenarnya orang bertopeng kepala serigala. Apalagi teka-teki tentang piramida dan tujuan Ratu Mesir mengundang mereka masih belum terpecahkan. Juga, mengenai si Kepala Kacang yang menghilang begitu saja membawa peta rahasia.

Andika jadi bertanya-tanya dalam hati, apa mungkin orang bertopeng kepala serigala itu Kepala Kacang? Namun rasanya tidak mungkin, karena lelaki sesat pemuja setan itu juga anggota rombonga nundangan. Dalam waktu yang demikian cepat, tak mungkin bisa begitu dekat dengan Hetepheres.

Malah kini keakraban Hetepheres dengan orang bertopeng serigala itu disaksikan Andika sendiri. Tak lama setelah mendengar suara lelaki bertopeng, wanita itu lantas berbalik. Didekatinya lelaki itu dengan sehimpun kemanjaannya. Senyumnya yang menggoda, masih diiringi lenggokan pinggul padatnya dan tatapan yang menggapai birahi. Begitu mesra, dirangkulnya lelaki bertopeng itu tanpa kesungkanan atau kesangsian secuil pun. Jelas-jelas itu membuat Andika menyangsikan praduganya.

"Siapa kau?" tanya Andika, menyelidik. Lelaki bertopeng tak segera menyahut. Dicumbunya dahulu Hetepheres dalam satu ciuman berapi-api, memaksa Andika membuang pandangan ke arah lain dengan sikap muak. "Apa masih perlu menanyakan siapa aku? Karena sebentar lagi kau akan segera menemui kematian, pendekar muda tanah Jawa...," kata lelaki bertopeng setelah memamerkan pertunjukan mesum.

Suara terserap topeng besar itu membuat Andika sulit mengenalinya. Terdengar berat dan dalam. Namun semua patahan kalimatnya masih cukup jelas ditangkap telinganya.

"Kalau kau tak sudi menyebutkan siapa dirimu, jangan salahkan aku bila menyebutmu seenaknya. . Kira-kira, apa cukup bagus kalau kau kupanggil si Congor Panjang? Atau, lebih manis bila kupanggil Manusia Iler? Seperti serigala yang kebanjiran liur menemukan bangkai?" leceh Andika asal bunyi.

"Aku Pangeran Anubis" kilah lelaki bertopeng yang mengaku bernama Pangeran Anubis.

"Wuah" Andika sengaja melonjak, Bibirnya membulat, sengaja hcndak mengolok-olok.

"Tak kusangka, hari ini aku beruntung berhadapan dengan dua orang besar sekaligus. Yang Pertama, seorang ratu gelandangan. Habisnya, dia tak punya rumah, sampai harus menempati 'rumah' kawan gadisku yang bernama Nofret.

Kedua, seorang pangeran tampan, Terlalu tampannya, sampai-sampai merasa harus meminjam wajah binatang rakus. He-he-he.... Wajahmu diloakkan ke mana, heh?" ejek Andika seenak udelnya. Sampai -sampai dia lupa kalau saat ini berada disarang macan.

"Teruskan berceloteh sepuasnya, pendekar besar mulut. Gunakan kesempatan untuk berbicara sesukanya, sebelum maut menjemput nyawamu" desis Pangeran Anubis sarat ancaman, disusul berhembusnya asap putih tebal dari bawah kakinya.

Asap itu seketika menutupi tubuh Pangeran Anubis serta Hetepheres yang masih menguasai diri Nofret.

Bahkan sampai mengurung mereka pekat-pekat.

Pandangan Andika pun jadi terjegal. Tubuh keduanya dilihatnya lagi. Bahkan sekadar batang hi-dung sekalipun. Apalagi karena asap itu demikian pe-dih, seperti hendak mencongkel matanya.

Andika mencoba menahan napas. Dia curiga asap itu mengandung racun ganas. Namun ketika perlahan-lahan asap menjadi samar dan menghilang, barulah disadari kalau itu hanya dimanfaatkan untuk mengelabuinya.

Begitu pandangan Pendekar Slebor terang kembali Pangeran Anubis dan Hetepheres telah raib dari lempatnya "Kadal" maki pendekar muda urakan itu seraya mengebutkan tangan, menepis sisa asap yang masih berkeliaran semena-mena di depan wajahnya. "Bisa-bisanya si Congor Panjang itu menghilang setelah mengancamku..." Ancaman? Saat itu juga Andika menilai-nilai maksud kata-kata terakhir Pangeran Anubis.

"Katanya aku akan dijemput maut?" bisik Andika mulai dirambati ketegangan. "Sebodoh-bodohnya orang sesat, tak akan mungkin meninggalkan ancaman kosong belaka. Pasti akan terjadi sesuatu di ruangan ini" Dalam ruangan besar ini, tubuh Pendekar Slebor tak bergerak sama sekali. Hanya sepasang bola matanya yang berkeliaran, mewaspadai keadaan di sekitamya.

Ruangan kini lengang. Terlalu tenang, seperti tenangnya permukaan air kolam di pusat ruangan.

Semenlara itu Patung Sang Ratu seperti menatap Pendekar Slebor tajam-tajam dalam ketegangan yang kian memuncak seperti ini.

Lamat, mata Andika mulai menangkap ketidakberesan pada permukaan air kolam. Permukaan yang Semula tenang tanpa riak, kini mulai bergetaran membentuk gelombang kecil. Gelombang itu kian lama bertambah besar. Dan pada waktunya, bisa dirasakannya sendiri adanya getaran hebat dikawal gemuruh luar biasa yang menyesaki ruangan.

"Modar aku Apa bangunan raksasa ini akan runtuh?" maki Andika mulai kelimpungan.

Yang disangka Pendekar Slebor memang tidak terjardi. Tapi yang tidak diharapkan pun bukan berarti tak ada. Grrrrh...

Brol l...

Mendadak, terdengar suara bergemuruh riuh dari empat penjuru. Bahkan empat bagian dinding di penjuru yang berbeda, jebol seketika. Batu alam besar di dinding tak bedanya gundukan kapur yang terhajar kekuatan sepuluh ekor banteng kedaton. Lebur bertebaran menjadi debu, menghamburkan serpihan yang begitu halus ke tengah-tengah ruangan tempat Andika berdiri.

Dengan sigap, tangan pemuda itu terangkat untuk melindungi matanya dari serpihan debu. Namun, justru ini menjadi satu kesalahan. Begitu matanya mengerjap sedikit saja, empat terjangan di luar kelaziman menyerbu dari empat tempat sekaligus. Tepat keluar dari lubang besar menganga di dinding Terlebih, saat ini keadaan Andika cukup sulit, karena seluruh bagian tubuhnya masih terasa kaku. Andai saja kemampuan ilmu meringankan tubuhnya tidak sedang terbelenggu sesuatu, serangan itu pasti dapat dielakkan dengan mata terpejam. Sayangnya, tubuhnya terasa semakin sulit digerakkan secara leluasa.

Akibatnya....

Des Des Des Des "Aaakhhh..." Mulut Pendekar Slebor mengeluh berat tertahan.

Sungguh tak diduga serangan akan datang demikian cepat.

Kala itu juga, empat bagian tubuhnya terasa porak-poranda. Apa yang baru saja menghajarnya, Andika belum tahu persis. Bahkan untuk menduga saja begitu sulit, akibat rasa sesakyang luar biasa.

Empat hajaran tadi amat keras mendarat di tubuh Pendekar Slebor. Hanya karena datang dari empat arah yang berbeda, tubuh pemuda itu jadi tertahan di tempat.

Seluruh tenaga Pendekar Slebor langsung terasa terkuras lemas. Sambil mendekap bagian dadanya, tubuhnya meluruk lunglai perlahan. dan hanya bisa bertahan dengan kedua lututnya.

Untunglah dalam keadaan seperti itu serangan berikut tak segera menerjang. Masih sempat-sempatnya Andika mensyukurinya. Biapun tak urung, dia mengutuk panjang-lebar di hati. Samar-samar, pandangan Andika mulai pulih. Agar lebih cepat rnenjadi jelas, kepalanya digerak-gerakkan dan kelopak matanya dikerjap-kerjapkan. Pandangannya kian jelas. Sekarang dia benar-benar harus mengutuk dari mulut, begitu melihat apa yang baru saja menyerangnya.

Sekitar tiga tombak di sekeliling Pendekar Slebor, telah berdiri empat sosok yang tak hanya menggidikkan, tapi juga menjijikkan. Empat mayat yang sudah membusuk Dua di antaranya, Andika mengenal sebagai, Hakim Tanpa Wajah dan Suami si Manyar Wanita. Sedang dua mayat hidup lain, sama sekali sulit dikenali. Di samping kulit dan daging keduanya sudah demikian hancur tercabik, pakaiannya pun sudah tak berbentuk. Sehiruh kulit wajah mereka bahkan sudah terkelupas sama sekali.

"Dedemit pengangguran mana yang kurang kerjaan menghidupkan bangkai-bangkai busuk ini" serapah Andika jijik.

Nyaris saja seluruh isi perut Pendekar Slebor bergolak bendak keluar. Bau bangkai-bangkai itu bukan hanya menusuk hidung, tapi juga mengobrak-abrik 'jeroan'nya Andika mempersiapkan segalanya termasuk mengerahkan hawa murni agar rasa sakit yang diderita dapat sedikit dikurangi. Sekaligus, untuk menguasai rasa mual yang berontak dari dalam.

Otot tangan Pendekar Slebor pun menegang.

Kepalanya bergerak ke depan. Satu kepalan bersiaga di dada. Perlahan-lahan pendekar muda urakan itu pun bangkit dari simpuhnya. Matanya siaga mengawasi keempat sosok menjijikkan yang masih terpaku tanpa gerak sampai ke ujung jari sekalipun.

Kesiagaan Pendekar Slebor yang penuh rmenjadi beralasan, ketika erangan menyayat terdengar dari tenggorokan keempat mayat hidup itu diiringi terkaman mereka yang bertenaga sepuluh ekor gajah luka.

"Nggghhhrrr" "Andika Andika Pak Tua Petualang..." "Nona Nofret Nona Nofret" "Hei i di mana kalian?" Teriakan sambung-menyambung, timpang-tindih, dan susul-menyusul, mengisi lorong demi lorong serta ruang demi ruang yang dilewati para undangan Ratu Mesir.

Entah sudah berapa lama mereka berputar-pular, menjelajahi segenap ruangan piramida. Namun tiga orang yang dicari tak kunjung ditemukan.

Sudah sejak lama Kenjiro, pemuda Jepang berbadan gempal itu menggerutu panjang-pendek. Kakinya sudah tak kuat menahan tubuh yang kelebihan hehan. Lelah yang dirasakannya sudah sampai ke ujung pusarnya. Perutnya jadi mual, matanya berkunang-kunang.

Sementara Pendekar Dungu tak kebagian siksaan seperti itu. Meski usianya sudah seantik keris pusaka Empu Gandring, untuk soal tenaga nyatanya tak kalah dengan yang muda-muda. Cuma, ya itu. Cerewetnya minta ampun. Satu kali melangkah, ocehannya sudah dua belas kalimat. Ada-ada saja yang diucapkan. Tanya inilah, itulah.

Masih mending kalau pertanyaannya sedikit waras. Masa' di piramida seperti ini jamban segala ditanyakan? Kalau kebetulan di dinding ruangan ada lukisan, tangannya pun mengangguk-angguk khusuk.

"Ah Ceritanya kurang seru" gumam Pendekar Dungu.

Dasar ctak lelaki bangkotan ini sudah karatan. Apa dipikir lukisan peradaban Mesir Kuno itu sejenis cerita bergambar? Saat ini Chin Liong yang berjalan paling depan menghentikan langkah tiba-tiba. Dari perubahan wajahnya terlihat kalau pemuda itu menemukan sesuatu yang mengejutkan.

Yang dicari lain, yang ditemukan lain. Antara percaya dan tidak, seluruh anggota rombongan menyaksikan dengan mata kepala sendiri sesosok mayat lerbujur kaku di sebuah lubang dinding. Batu besar yang menjadi salah satu penyusun dinding telah terlepas, membentuk lubang setinggi setengah manusia. Di dalam lubang itulah mereka menemukan mayat si Kepala Kacang dalam keadaan duduk tertelungkup, seperti bayi dalam rahim.

Harus diakui, kematian tokoh pemuja setan itu benar mengerikan. Tubuhnya membeku, dengan daging terpecah-pecah mengeras layaknya tanah kering kerontang.

Dengan masih tersisanya butiran-butiran putih seperti salju, seorang yang tahu banyak tentang ilmu kesaktian angkat bicara setelah lama mereka terpaku.

"Pukulan 'Inti Es'," kata Chin Liong, berpendapat.

"Aku heran, bagaimana ilmu yang demikian langka bisa membunuh lelaki itu di tempat tandus seperti ini. Ini sejenis ilmu yang dikembangkan di daerah yang sangat jauh dari tempat ini...." Salah seorang lain, lebih tertarik pada papirus yang masih tergenggam erat di tangan Kepala Kacang.

"Hei? Bukankah itu peta yang dimaksud Andika San," seru Kenjiro, si lelaki berbadan subur sepupu Hiroto.

"Ya, benar," tukas Hiroto.

Chin Liong yang berada paling dekat dengan mayat segera menjemput papirus tersebut. Dibukanya gulungan papirus, untuk meyakinkan benda itu memang benar peta yang dimaksud.

Sesaat meneliti, Chin Liong pun tampak mengangguk pasti.

"Benar. Ini memang peta itu," kata pemuda dari Cina ini rriernberitahukan yang lain.

"Apakah kau tak merasa ada satu keganjilan, Chin Liong San?" tanya Hiroto. "Lelaki ini dibunuh seseorang di dalam piramida. Tapi, kenapa si pembunuh tidak mengambil peta yang sebenarnya begitu berharga?" "Kau benar, Hiroto San," timpal Chin Liong. "Ini benar-benar ganjil.

Seolah-olah, ada satu rencana tersembunyi untuk menjebak kita semua. Tapi, aku sendiri belum bisa menduga, apa jebakan itu...." Kedua ksatria muda itu saling tatap. "Sebaiknya, kita lanjutkan dulu pencarian kita," landas Chin Liong, memutuskan.

Pencarian masih dilanjutkan. Dengan atau tanpa gerutuan-gerutuan Kenjiro. Begitu tekad mereka. Tapi sampai sejauh itu, tak sedikit pun tanda-tanda bakal menemukan ketiga orang yang dicari.

Sampai akhirnya, mereka dihadang lorong buntu.

Biarpun hampir semua mencoba menemukan tomboltombol rahasia yang mungkin tersembunyi, tetap tak menemukan jalan lain.

"Buntu. Lorong ini benar-benar buntu" rutuk Chin Liong, mulai gusar.

Karena kegusarannya, Chin Liong meninju dinding di sisi kiri. Bukh Dan tiba-tiba saja, tepat di tempat Chin Liong mendaratkan tinju kesalnya, dinding luar biasa tebalnya itu pecah berhamburan. Ada tenaga hebat telah menabraknya dari arah dalam. Akibat tenaga dcrongan, bahkan mampu melempar deras tubuh Chin Liong ke belakang.

Semuanya terkejut. Sementara Pendekar Dungu malah sudah mencak-mencak serabutan.

Chin Liong tak mengalami luka parah, biarpun terlempar cukup jauh. Pemuda Cina itu segera bangkit dengan terheran-heran. Tak mungkin dinding itu haincur karena pukulannya yang tak bertenaga tadi.

Dan mereka lebih terkejut lagi, manakala menyaksikan sesuatu yang baru saja menjebol dinding.


***
5
Kalau jerat maut selalu mengintai, kalau bau kematian kerap datang tak terduga, kalau tangan-tangan pencabut nyawa mengendap-endap membawa ancaman.

siapa yang akan menduga kalau tubuh Pendekar Slebor yang menjebol dinding batu itu? Semua para undangan mengira, jebolnya dinding scbagai bentuk ancaman lain dari Piramida Tonggak Osiris.

"Andika" teriak Ying Lien khawatir teramat sangat, mendapati pemuda pujaan hatinya terbanting keras-keras di Iantai lorong dalam keadaan mengenaskan.

Warna merah telah menyapu pakaian bagian dada pemuda itu. Pakaiannya tak karuan lagi. Koyak-moyak di sana-sini.

Dengan kecemasannya. Ying Lien menghambur kearah Andika yang telentang lunglai. Tampak tubuh Pendekar Slebor menggeliat samar menahan kesakitan.

Andika mengeluh berat di dekapan tangan halus Ying Lien.

"Apa yang terjadi, Andika?" susul Ying Lien. Mata gadis ilu hampir saja tak kuasa membendung kesedihan tak terkirakan. Kesedihan yang mengoyak deras dari hati yang tertambat pada Andika.

"Pakai tanya lagi?" gerutu anak muda urakan itu meringis-ringis. "Kan kau sudah lihat aku sedang hancur-hancuran...." "Aku tahu. Tapi, kenapa?" "He-he-he... hekh" Andika berusaha tertawa. Tapi rasa sakit di dadanya segera memenggal. "Kau tak akan percaya...." Anak muda itu berusaha bangkit tertatih-tatih. "Nasibku sedang apes hari ini.

Sampai-sampai, bangkai-bangkai pun memusuhiku...," sambung Andika setengah ngawur.

"Aku lak mengerti maksudmu.'" tukas Ying Lien.

"Sebentar lagi kau pasti mengerti," ucap Andika seraya mcmusatkan perhatian pada lubang besar di dinding yang baru saja jebol. Bibir anak muda itu komatkamit, menghitung.

"Satu..., dua..., tiga. . " bisik Andika. Brol l...

Pada hitungan ketiga, lubang di dinding jebol bertambah besar. Untuk kedua kalinya, semua anggota rombongan terkejut.

Lalu dari lubang bermunculan satu persatu sosok yang sebelumnya menggempur Pendekar Slebor. Empat mayat hidup bau busuk Mereka melangkah terseret, mendekati rombongan. Gerakan semua makhluk itu begitu kaku. Selagi melangkah, sendi lutut mereka seperti sudah tak bisa menekuk lagi Semuanya bergerak tegak, bagai empat arca bernyawa.

"Mundur Semuanya mundur" bentak Andika.

Rahangnya mengeras. Gigi geriginya bergemeletukan.

"Bangkai-bangkai slompret itu harus membayar perbuatannya terhadapku Dendam kesumat Aku dendam" "Buju buneng Seenaknya kau meremehkan orang tua, yaaah," sela Pendekar Dungu sewot. "Memangnya hanya kau saja yang mampu menjitaki mereka" Pendekar Dungu menunjuk-nunjuk seru pada keempat mayat hidup yang terus melangkah ke dekatnya.

Kebetulan sekali, orang tua bebal ini paling dekat.

Sementara tangannya menuding-nuding sembarangan, kepalanya sendiri menoleh pada Andika di belakang. Dan karena kelewat keasyikan, tanpa disadari jarinya sudah mencolok telak-telak hidung membusuk salah satu mayat.

"E e, mak Ih Amit-amit..., amit-amit" sentak Pendekar Dungu.

Seketika lelaki cebol ini menarik tangannya dalam-dalam. Bahunya bergetar seperti orang yang baru selesai membuang hajat kecfl. Dengan terjing-kat-jingkat, jari telunjuknya tadi disentak-sentaknya.

"Lembek..., lembek" teriak Pendekar Dungu selagi menjauhi para mayat.

Andika maju.

"Sudah kubilang, mereka bagianku" rutuk Andika, masih dibakar kedongkolan.

'Tapi, aku bukannya takut, Iho," bisik Pendekar Dungu di telinga Andika. Gayanya sok khusuk. "Aku cuma geli...."Bahu Andika mengedik-ngedik. Kalau soal geli, Andika juga merasa geli melihat bibir si bangkotan yang selusuh gombal menggelitiki daun telinga "Nah..., tuh-tuh Mereka mendekatimu" seru Pendekar Dungu blingsatan.

"Izinkan aku membereskan mereka, Andika San" sergah Hiroto di belakang Andika sambil membungkuk hormat. Andika menoleh.

"Mereka masih punya hutang satu bogem sial padaku. Tapi kalau kau memang berniat menagihnya buatku, kupersilakan," ujar Andika. Sikap hormat ksatria negeri Sakura itu membuatnya tak enak untuk menolak.

Hiroto membungkuk dalam-dalam, scbagai tanda terima kasih.

Zrang Lelaki dari Nipon ini pun meloloskan samurai panjangnya. Bisa jadi, Hiroto tak mau bertele-tele menghadapi keempat mayat menjijikkan yang hanya akan menunda-nunda waktu yang lebih penting dan darurat.

Bukankah mereka masih harus mencari Nofret dan si Gila Petualang? Dengan genggaman dua tangan kuat-kuat pada gagang pedang, Hiroto mengangkat senjatanya tinggi-tinggi. "Hai i" Diawali teriakan berapi-api, pemuda ini menerjang satu mayat hidup yang melangkah paling depan.

Craz Sekali tebas, kepala si mayat hidup langsung terpental dari leher, jatuh menggelinding di lantai dan tergolek di salah satu sudut. Tak ada sepercik darahpun membasahi.

Kepala mayat itu memang tak bergerak lagi. Namun tubuh tanpa kepala di depan Hiroto, nyatanya masih bisa bertindak di luar perkiraannya.

Wukh Satu sambaran tangan mayat itu menebas udara lurus lurus. S.isarannya kepala Hiroto. Namun kecekatan pemuda Nipon ini menyelamatkan dirinya dari sambaran cepat. Tubuhnya merunduk sedikit. Begitu tangan mayat itu lewat di atas kepala, samurai Hiroto kembali berkelebat.

Traz Bruk Lantai lorong untuk kedua kalinya dijatuhi potongan tubuh membusuk. Kalau manusia biasa, tentunya korban tebasan samurai Hiroto akan segera ambruk. Karena yang dihadapinya kali ini bukan lagi manusia, maka tebasan kedua pun tak berarti Hiroto berhasil menghabisinya.

Wukh Lagi-Iagi serangkum angin amat keras mendesir, ketika sebelah tangan si mayat hidup mencoba mengepruk batok kepala Hiroto. Dua kali usahanya untuk menjatuhkan mayat hidup telah gagal. Dan kini mendapat serangan dahsyat.

Ini membuat kegeraman Hiroto melonjak.

Setelah berhasil berkelit lincah dengan melompat ke belakang, wajah sedingin es Hiroto menegang.Matanya menyipit. Dahi dan pangkal hidungnya berkerut.

"Haaai i..." Bersamaan satu teriakan kedua, Hiroto mengerahkan segenap tenaga tebasannya pada samurai.

Gerakan senjatanya memancung lurus-lurus dari atas ke bawah.

Srat Rupanya Hiroto benar-benar sedang geram Tebasannya telah membuat tubuh mayat itu terbelah menjadi dua bagian memanjang Kalau kaki dan tubuhnya sudah terpisah seperti itu, tak mungkin lagi bagi si mayat hidup untuk bisa berdiri.

Tamatnya satu mayat, menjadi awal bagi Hiroto untuk meladeni mayat hidup lain. Kedua kaki pemuda Jepang ini berjalan bersilangan teratur. Sementara, matanya menghunus ke arah satu mayat lain yang makin dekat padanya. Sedangkan samurainya terbentang ke depan."Heaaaat." Srat Srat Srat Entah berapa kali tebasan di akukan Hiroto.

Kecepatan kelebatan samurainya yang luar biasa mempersulit siapa pun untuk menghitung Yang jelas begitu selesai, badan mayat tadi sudan terpotong-potong menjadi beberapa bagian sebesar kepalan tangan.

Lalu dua mayat lain mendapat bagian yang sama.

Satu persatu. Sampai akhirnya, lorong menjadi senyap kembali. Sedangkan di lantai, sudah berserakan potong-potongan tubuh mayat. Sebagian masih saja bandel bergemik-gemik. Plok Plok Plok "Hasil kerja yang bagus"puji Manyar Wanita genit.

Rupanya wanita itu sudah tak ingat lagi pada suaminya. Padahal di antara mayat-mayat yang baru saja terpotong-potong adalah suaminya.

"Setuju" teriak Pendekar Dungu. "Kalau gerak-anmu secepat itu, ada baiknya kau yang menyunatku. Biar cepat beres. Dan, aku tak tcrsiksa terlalu lama...." Hiroto mengernyitkan kening.

Mana mengerti pemuda Jepang ini dengan maksud Pendekar Dungu tentang sunat-menyunat. Kalaupun mengerti, bagaimana bisa percaya kalau orang sebangkotan itu belum juga di....

Waktu bergeser terus. Penggalan demi penggalan waktu membawa para undangan Ratu Mesir pada tepat tengah malam. Lambat namun pasti. Dan ketika tengah malah benar-benar telah tiba, apa yang sesungguhnya bakal terjadi? Masih terngiang jelas di benak semua anggota rombongan yang tersisa pada papirus berisi pesan penuh teka-teki dari Ratu Hetepheres yang dibacakan Nofret ketika itu.

Intinya, mereka akan dihadapkan pada suatu peristiwa puncak yang menjadi 'hidangan' dari si penguasa Piramida Tonggak Osiris. Hidangan yang tak sekadar untuk pemuas. Lebih dari itu, hidangan yang bakal mereka terima bisa jadi hidangan maut Sementara itu, menjelang purnama menempati singgasananya di puncak langit bebas, dua sosok terlihat di sebuah kuil kuno besar yang jauh dari Piramida Tonggak Osiris. Dari bentuk tubuh masing-masing, jelas kalau mereka adalah dua manusia berbeda jenis. Satu pria, sedang yang lain wanita. Si wanita adalah Ratu Hetepheres. Sementara si lelaki tak lain Pangeran Anubis, tokoh yang masih rnenjadi teka-teki bagi Pendekar Slebor yang sempat bertemu dengannya.

Kuil itu berada tak jauh dari bibir Sungai Nil, di kebisuan gurun luas. Sebuah kuil yang usianya setua Piramida Tonggak Osiris.

Bangunan kuil ini cukup tinggi. Tiang-tiang batu besar menjadi rangka bangunan. Siapa pun akan berdetak heran, bagaimana cara orang-orang Mesir Kuno itu menyusun batu-batu tiang raksasa? Tak mungkin mereka mengangkat batu yang lebih besar dari rangkulan enam-tujuh orang itu begitu saja.

Menurut cerita sejarah, batuan raksasa penyusun tiang-tiang kuil itu disusun dengan bantuan timbunan pasir.

Setiap satu bagian berdiri, segera ditimbun pasir gurun di sekelilingnya. Dengan begitu, para pekerja dapat menyeret batu raksasa lain sebagai bagian selanjutnya.

Tepat di kaki salah satu tiang besar di muka kuil, Nofret yang dikuasai Hetepheres dan Pangeran Anubis berdiri diam mematung. Terpaan angin gurun mengusik pikiran masing-masing, tanpa bisa mengusik kebekuan mereka. Rambut panjang wanita ilu sesekali menutupi wajah jelitanya. Itu pun tetap tak membuatnya terganggu.

Sepasang bola mata dua manusia berbeda jenis itu menohok dingin pada purnama berkabang di dinding langit. Berkedip pun seperti sudah tidak perlu lagi, karena begitu tajamnya mereka menatap. Di bawahnya, Sungai Nil memamerkan riaknya.

Cahaya lamat purnama jatuh. lalu berpantul dalam pecahan-pecahan kecil pada permukaannya. Namun begitu, suasana tak menjadi syahdu. Bahkan terbangun kesan menyeramkan, sulit digambarkan.

Purnama sebentar lagi berada di puncak singgasananya. Tepat tegak lurus di angkasa.

Begitu Sang Ratu Malam itu tiba, tangan Pangeran Anubis tiba-tiba terungkit tinggi. Telapak tangannya membuka lebar ke arah benda raksasa angkasa tersebut.

Saat berikutnya, mencelat sebentuk mantera-mantera mendirikan bulu roma dari mulut lelaki bertopeng kepala serigala itu.

"Wahai para serdadu dari masa yang demikian tua Wahai para serdadu Ratu Penguasa Gurun serta Raja-raja Mesir nan perkasa Wahai kalian yang terbujur lama di dasar permukaan Sungai Nil. Bangkitlah Bangkitlah memenuhi panggilanku Sebentar Pangeran Anubis menghentikan manteranya.

Sehimpun kekuatan batinnya seketika mengalir di setiap manteranya, membuat suasana kian menegang.

"Bersama kalian aku akan menegakkan kembali kejayaan penguasa kalian yang kini berada dalam genggamanku Ooo, Hapi* bebaskan mereka untukku Serahkan padaku agar mereka mengabdi untukku" Begitlu suasana telah terkunci kelengangan.

mendadak bertiup deru angin kencang yang tak teratur dari segenap penjuru mata angin. Riuh seketika menguasai wilayah itu.

Pasir diterbangkan liar memberangus kehampaan. Awan gelap pun meringkus cahaya purnama yang kian memucat.

Permukaan Sungai Nil yang semula beriak kecil, kini mulai membentuk beberapa pusaran di beberapa tempat.

Pusaran air itu lama-kelamaan membesar dan membesar.

Sampai akhirnya, gelombang saling bertumbukan tak terkendali. Suasana makin dilantak keriuhan Kala selanjutnya, bermunculanlah kepala-kepala manusia dari gelombang pusaran permukaan sungai. Jumlahnya bahkan mungkin ratusan. Munc ul segerombolan demi segerombolan dari beberapa tempat berbeda.

Ketika awan gelap enyah dari wajah purnama, cahaya pun jatuh bebas kembali ke permukaan Sungai Nil.

Maka, terlihatlah wajah-wajah yang muncul itu dengan lebih jelas. Wajah-wajah yang sudah sulit dikatakan sebagai wajah manusia, dan sebagian masih terbalut kain balseman. Juga, terbalut tumbuhan liar sungai Seperti gerombolan binatang melata dari dasar bumi, mereka semua mulai bergerak ke tepian sungai.

Arahnya, menuju tempat berdiri Pangeran Anubis dan Nofret.Begitu daratan mulai dijejaki, mereka segera melangkah amat kaku menghampiri orang yang baru saja mengundang. Di tangan masing-masing mayat hidup yang telah tergolek sekian ratus tahun di dasar sungai ilu, tergenggam berbagai jenis senjata khas pasukan Kerajaan Mesir Kuno. Dari lembing berkarat yang mirip arit panjang, belati-belati besar, pedang yang tengahnya meramping, sampai kapak-kapak serta gada yang semuanya berbentuk khas. "Terus.... Berjalanlah kalian dengan kepatuhan yang mcmbatu dalam kematian. Bersiaplah mengab-di pada Tuan baru yang akan menitah kalian untuk membantai para korban. Hisap tempurung mereka Kunyah jantung mereka" Seperti tak peduli pada Ratu Hetepheres dan Pangeran Anubis, mayat-mayat dari dasar Sungai Nil itu melangkah terseret menuju Piramida Tonggak Osiris.

"Ha-ha-ha.... Hi-hi-hi..." Lalu melengkinglah tawa meninggi, meningkahi riuh suasana yang mulai mclamal.


***
6
"Aku heran, kenapa kau seperti baru saja dipecundangi oleh empat mayat itu, Andika?" tanya Chin Liong ingin tahu.

Sungguh sulit bagi pemuda Cina itu untuk mempercayai kalau Andika sampai terlempar dan menjebol dinding dalam keadaan babak-belur, hanya menghadapi empat mayat itu. Sebab jika dibanding-bandingkan, kedigdayaan Andika sesuugguhnya berada di atas Hiroto.

"Sial kau Bukannya menolongku malah meledek" semprot Andika. Masih saja Pendekar Slebor dongkol dengan semua keapesan yang memamah dirinya mentah-mentah.

Chin Liong tertawa kecil. Ditinjunya bahu Andika.

"Aku bukannya hendak meledekmu, kepala batu Aku hanya heran. Apa kau tak merasa heran terhadap keadaanmu waktu itu?" kata Chin Liong lagi.

"Kalau dipikir-pikir, aku memang jadi tak habis pilar.

Kenapa aku seperti kehilangan kelincahan saat itu.

Dengan mudah bangkai-bangkai busuk itu menjadikan aku bulan-bulanan Slompret betulan" rutuk Andika.

"Kau bersedia ceritakan apa saja yang telah kau alami?" lanjut Chin Liong lagi.

Sementara itu, Ying Lien merawat luka-luka Andika di sisinya."Biang kerok sekali kau, ah Kenapa tak kau biarkan dulu perawatan Putrimu ini kunikmati?" bentak Andika sewot.Ying Lien hanya bisa tersipu. Dia maklum sekali terhadap sifat urakan pemuda yang telah lama dikenalnya (Baca episode: "Pengejaran Ke Cina").

Chin Liong jadi agak mangkel mendapati sikap Andika seperti itu. Iseng-iseng, diusilinya Pendekar Slebor.

Bagian dada pemuda tanah jawa yang memar terhantam pukulan mayat hidup, dijentiknya dengan sedikit penyaluran tenaga dalam. Tik "Adaaaou Slompret Apa-apaan kau ini?" maki Andika dengan wajah benar-benar matang, menahan sakit.

"Itu sekadar untuk memastikan, jenis pukulan apa yang telah menimpamu," kilab Chin Liong puas.

"Asal kau tahu, Ying Lien amat hebat dalam ilmu pengobatan negeri kami yangjempolan Aku sekadar membantu saja untuk mencari tahu jenis pukulan yang...." "Ah, diam kau" penggal Andika melotot.

"Tadi kau katakan, kalau tubuhmu seperti kehilangan kelincahan, bukan?" sela Ying Lien, begitu selesai memberorehi luka memar Andika dengan ramuan Cina yang dibawa.

Sedangkan untuk luka dalam, Andika menolak mentah-mentah pertolongan siapa pun untuk menyalurkan hawa murni ke tubuhnya. Dia masih mampu Begitu katanya dengan sikap keras kepala. Sebelumnya dia malah bersikeras untuk ditinggal saja. Biar yang lain terus melanjutkan pencarian ruang rahasia penyimpanan pusaka ahli sihir.

"Eh Kau dengar juga perbincangan sialku dengan panglima perangmu yang juga sial ini, ya?" tukas Andika acuh. "Aku kira, kau terlalu asyik memijat-mijat dadaku" "Mau cepat-cepat membereskan masalah ini, atau tidak?" tanya Ying Lien ketus. "Makin lama kita di piramida ini, segalanya makin menjadi runyam saja" Andika memberengut.

"Iya-iya Aku tahu itu" gerutu Pendekar Slebor.

"Nah Kalau begitu, jawab pertanyaanku...." "Aku memang merasa seperti kehilangan kelincahan waktu itu...," mulai Pendekar Slebor sungguh-sungguh.

"Maksudmu, kau merasa seluruh tubuhmu menjadi demikian kaku?" "Lho? Kau tahu?" Ying Lien terdiam. Matanya menerawang kearah lain.

"Aneh...," gumam gadis ini.

"Aneh apa? Bagaimana anehnya?" desak Andika.

Dari berbaringnya, dia bangkit.

Duduk berselonjor menghadap Ying Lien. "Aku hanya teringat pada satu ramuan dari negeri asalku yang mampu membuat otot-otot dan sendi menjadi amat kaku. Sebenarnya, ramuan itu dibuat para Biksu Cina untuk pengobatan. Namun beberapa orang sesat justru menambahkan beberapa bahan, sehingga malah menjadi racun yang tak mematikan. Namun, bisa membuat seseorang tokoh hebat rnenjadi tak berdaya...," papar Ying Lien. "Apa mungkin ramuan seperti itu sudah ditemukan pula oleh para ahli sihir Mesir?" "Atau...," sela Andika, dengan mata menatap Ying Lien seperti mencurigai sesuatu. "Ramuan yang kuterima memang berasal dari negerimu" "Kau mau menjelaskan apa maksudmu, Andika san?," sela Hiroto ikut angkat bicara. Dia menjadi tertarik pada pembicaraan mereka.

Lalu Andika pun menceritakan dengan singkat semua kejadian yang telah menimpa. Dari kepulan asap tebal yang membuat kesadarannya hilang sampai bentroknya dengan Nofret yang dikuasai roh Hetepheres.

"Tunggu..., tunggu," tukas Chin Liong. "Kau tadi hei kata telah lerkena asap tebal yang membuat kesadranmu hilang, bukan?" "Betul" Chin Liong menjentikkan jari. Matanya melirik Ying Lien penuh arti.

"Hei-hei Kenapa kalian jadi main mata seperti itu.

Jelaskan saja padaku, apa maksudmu?" ujar Andika mulai kambuh lagi dia.

"Bukankah Ying Lien telah mengatakan padamu perihal ramuan pelumpuh itu?" Chin Liong malah balik bertanya.

Andika mengangguk, membenarkan.

"Tampaknya, dugaanmu memang benar, Andika." lanjut Chin Liong. "Asal kau tahu, ramuan dari negeri kami itu sebenarnya dapat terbagi dalam dua bagian terpisah.

Satu ramuan diberikan melalui perantara asap yang masuk ke paru-paru, lalu menyebar ke seluruh tubuh melalui darah korbannya. Sedangkan sebagian lain harus diberikan melalui minuman. Jika keduanya bersatu dalam tubuh si korban, barulah keampuhan ramuan itu bekerja..." "Tapi, Andika hanya menghisap asap itu saja...," sergah Ying Lien, mulai ragu.

"Tidak" sergah Andika pula. Wajah Pendekar Slebor berubah kaku. Sepertinya baru saja disadari sebuah kesalahan amat besar yang telah mereka semua lakukan.

"Aku memang meminum sesuatu, saat asap itu terhisap" Andika bergegas mengeluarkan kantung minuman dari kulit yang telah diberikan si Gila Petualang padanya.

"Ini..., aku meminum air dari dalam tabung kulit ini" Andika menepuk bahu Chin Liong. "Biar aku menebak sesuatu. Chin Liong. Apakah bila ramuan dalam bentuk cairan diminum, orang itu akan merasakan panas luar biasa?" Chin Liong menautkan alis.

"Bagaimana kau bisa tahu?" susul Chin Liong, malah bertanya lagi.

"Dan jika ramuan cair itu diteguk untuk kedua kalinya, maka pengaruh amat membakar itu akan memunah?" papar Andika lagi, pasti.

Sekali lagi Chin Liong agak terperangah.

"Sekarang, rasanya aku sudah tahu, siapa 'biang borok' semua ini" tuntas Andika geram...


***
Sementara ilu segerombolan makhluk mengerikan sekaligus menjijikkan mulai menerjang-nerjang pasir gurun lewat seretan kakinya. Mereka terus melangkah seperti rayapan sepas ukan prajurit dari neraka, menuju Piramida Tonggak Osiris.

Merekalah tentara perang andalan sebuah trah* Kerajaan Mesir Kuno yang telah mati selama berabad-abad yang lalu. Ketika Sang Raja mati, para prajurit setia itu pun merelakan nyawa untuk mengiringi Sang Raja ke hadapan Osiris dengan melakukan bunuh diri bersama. Karena diyakini. Sang Raja yang diagungkan akan memerlukan mereka sebagai para punggawa di kehidupan yang lain.

Lalu usai pembalsaman jenasah Sang Raja, jenasah para prajurit itu pun dibalsem. Dan karena raja mereka amat memuja Dewa Hapi, Dewa Sungai Nil maka mayat mereka dibalsem dan ditenggelamkan ke dalam sungai itu pula.

Kini, mereka dibangkitkan kembali oleh kekuatan hitam Pangeran Anubis.

Sementara itu, Pangeran Anubis sendiri sudah tidak terlihat lagi di antara mereka. Demikian juga Hetepheres.

Angin gurun yang saat itu bertiup garang, tak bisa menahan satu mayat hidup pun. Kain pembungkus tubuh mereka yang sudah terkoyak tak karuan, menjadi permainan empuk angin yang bertiup. Debu berbaur pasir pun mengembang di udara, sepanjang perjalanan akibat seretan langkah berat seluruh makhluk menggiriskan itu.

Sekian lama mengarungi gurun dingin, Piramida Tonggak Osiris pun akhirnya terlihat di kejauhan. Pucuknya seperti hendak menusuk bulan. Penuh kesan angkuh, dingin, dan memendam teka-teki.

"Nggg. ." "Srrr...srrr.. " Gumaman berlendir yang tumpang-tindih para mayat hidup ditingkahi desis pasir terseret kaki. Rombongan ganjil itu kian dekat ke tujuan.

Kini mereka pun tiba tepat di depan tangga raksasa yang memanjang. Satu ujungnya bersambungan dengan pintu masuk besar, yang sebelumnya tidak pernah dimasuki rombongan undangan. Memang saat itu, rombongan undangan masuk melalui satu pintu rahasia.

Semua mayat hidup berdiri dalam barisan tak teratur. Sebagian besar berdiri tanpa bisa tegak. Meski telah menjalani pembalsaman, masa yang sudah sangat tua rupanya telah membuat tubuh mereka rusak juga.

Cukup lama para mayat balseman terdiam seperti itu. Mereka baru mulai bergerak kembali. ketika pintu besar di atas sana perlahan terkuak menimbulkan bunyi bergemuruh dalam.

Kalau tadi gumaman berlendir mereka didampingi desis pasir, kini berganti diiringi langkah-langkah berat meniti anak tangga batu raksasa memanjang. J uga, ramai ditingkahi denting senjata sebagian pasukan aneh, ketika terseret di setiap anak tangga.

Suasana menegangkan lengkap sudah.

Dan ketika pintu besar mulai terkatup perlahan, sepasukan mayat hidup itu pun tertelan di kegelapan piramida.

"Ha-ha-ha..." Seiring dengan itu, terdengar tawa terbahak seseorang yang membahana merangsak suasana. Tawa kepuasan yang meluncur entah dari arah mana.

"Hua-ha-ha... Sempurna sudah semuanya Sekarang aku benar-benar menikmati hidupku Aku puas Puasss Ha-ha-ha..." Kini gurun bisu. Hanya angin yang masih mendesah-desah resah.


***
"Keluar Kita harus keluar dari tempat keparat ini" seru Andika tiba-tiba.

Baru saja para undangan ini selesai membicarakan kejadian yang menimpa diri pendekar muda itu.

"Keluar? Apa maksudmu?" tanya Ying Lien, tak paham."Ini semua hanya perangkap maut untuk kita Kalau kita terus di sini, itu artinya hanya mempertaruhkan nyawa untuk hal yang sia-sia"seru Andika lagi, meledak-ledak.

Yang lain untuk sesaat saling pandang. Bagi beberapa orang yang sudah mengenal baik pendekar satu itu, keputusan yang meledak mendadak barusan itu tidak bisa dianggap main-main. Terutama Chin Liong dan Ying Lien. Mereka amat tahu, bagaimana tajamnya pengamatan Andika terhadap satu perkara pelik sekalipun. Teka-teki yang mungkin luput ditangkap orang lain, seringkali bisa dipecahkan secara mengejutkan.

Tapi, kedua orang itu merasa kali ini Andika luput akan satu hal.

"Bagaimana dengan Nona Nofret, Andika?" tanya Ying Lien, mengingatkan pemuda itu.

"Astaga... Kenapa aku jadi seceroboh ini," desis Andika mengutuk diri sendiri Pendekar Slebor meninju telapak tangannya sendiri dengan geram. Sekarang dia dihadapkan pada dua keputusan yang sama-sama sulit. Pertama, mereka harus segera pergi dari sana, jika tak ingin ada korban tcrgeletak lagi. Jika mereka pergi, maka Nofret harus ditinggalkan. Di lain sisi, jika memutuskan untuk mencari Nofret, apakah mereka bisa menyelamatkan diri dari sekian jebakan maut yang mungkin belum ditemukan? "Jadi bagaimana, Andika San?" tanya Hiroto, meminta keputusan Andika. Ksatria Jepang itu memang sangat menaruh rasa hormat pada Pendekar Slebor.

Andika menggeleng lamat.

"Aku tak bisa memutuskan persoalan ini sendiri. Scmuanya tergantung kalian. Jika lebih banyak yang memutuskan untuk mencari Nofret atau sebaliknya, maka itulah keputusanku juga...," jawab Andika, mencoba bijak.

Sesaat, seluruh anggota rombongan saling berpandangan kembali. Masing-masing seperti meminta keputusan pada yang lain. Kecuali, si tua bangkotan Pendekar Dungu. Menurut perkiraannya, semua orang sedang main pelotot-pelotoran. Makanya, dia pun menebar pelototannya kian kemari.

Sampai akhirnya mereka semua kembali menatap Andika.

"Hei, jangan menatapku seperti itu" sergah Andika.

"Aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Dan, bukankah sudah kukatakan?" Andika menarik-narik kain pusaka bercorak-caturnya tanpa maksud. "Kalau aku, sih.... Jelas hendak mencari Nofret," kata Pendekar Slebor malu-malu. Chin Liong tersenyum samar.

"Rasanya, kita semua pun berpikir begitu, Andika," ujar pemuda Cina kawan dekat Pendekar Slebor ini, mewakili semua suara.

" Apa benar begitu?" tanya Andika. ingin meyakinkan.

Jawabannya adalah anggukan setiap anggota rombongan.

"Kalau begitu, ma.. .

" Grrr...

"Hei Awas" teriak Manyar Wanita, memperingati Andika ketika lantai tempai dipijak tiba-tiba saja terkuak.

Kalimat Andika sendiri sudah terpancung sejak tadi.

Namun dia jadi terkesiap luar biasa. Untunglah pengaruh ramuan yang mcmbuat kelincahannya lumpuh telah dipunahkan keahlian obat-obatan Ying Lien.

Sigap dan begitu tangkas, Aidika melepas kain pusaka yang kebetulan sedang digenggamnya. Begitu lepas dari bahu, dilecutkannya kain pusaka itu ke arah Chin Liong.

Chin Liong pun tahu, Andika tak bermaksud menyerangnya. Satu-satunya maksud adalah meminta bantuannya. Maka dengan cepat disambut lecutan kain pusaka Pendekar Slebor.

tap Ujung kain itu berhasil dicengkeram Chin Liong.

Dengan begitu, Andika pun selamat dari telanan lubang.

Sebelum dia sendiri menghentak tubuh untuk kembali ke atas, sesuatu amat cepat mencengkeram pergelangan kakinya. Cengkeraman, yang kukuh seakan hendak meremukkan…..


***
7
"Sinting Apa-apaan ini maki Pendekar Slebor kalap.

Rasanya, Andika tak suka menumpuk dosa. Tapi, kenapa selalu dia yang apes "Ada apa lagi, Andika?" tanya Ying Lien Matanya yang buta membuatnya sulit menduga apa yang sesungguhnya terjadi dalam lubang. Kecuali. suara-suara aneh yang terdengar.

"Ada mayat-mayat hidup lagi" teriak Andika melengking.

Di bawah lubang yang ternyata bersambung dengan lorong lain, dua prajurit Mesir Kuno berusaha membetot kaki Andika untuk masuk ke dalam lorong. Satu di antaranya sudah siap menghujam punggung Andika dengan tombak berkarat.

"Tahan sebentar, Chin Liong Akan kudepak bangkai sialan ini" seru Andika lagi.

Chin Liong berkutat sekuat tenaga. Kalau dia saja merasakan bagaimana kuatnya tarikan dari lubang, bagaimana lagi Andika? Tapi sepertinya, pemuda itu sudah rnenjadi kebal penderitaan. Padahal, saat itu tubuhnya sudah seperti hendak terbelah dua.

"Nih, makan" bentak Andika, seraya menggerakkan sepenuh tenaga pada sebelah kakinya yang masih bebas.

Dugh Mayat hidup yang hendak menusuk Pendekar Slebor rnenjadi sasaran empuk. Kepalanya langsung remuk, menerima depakan bertenaga dalam tinggi warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat kesepuluh. Sebagian kepalanya bahkan berhamburan menjijikkan.

Sayang Tindakan Andika tidak berarti banyak.

Bukankah kejadian sebelumnya pun begitu? Mayat-mayat hidup yang dibantai Hiroto, tak segera ambruk kalau benar-benar belum dirajam sama sekali.

Begitu pula mayat hidup korban tendangan Pendekar Slebor. Tombak di tangannya tetap siap menembus punggung pendekar muda tanah Jawa ini.

Andika kontan terbelalak, menyadari kesalahan yang baru saja dibuatnya.

"Tarik Tarik" teriak Pendekar Slebor kelimpungan pada Chin Liong.

Mendapat sahabatnya yang kelimpungan, Chin Liong pun mengerahkan segenap sisa tenaganya. Kali ini, dia mendapat bantuan Hiroto.

"Heeaa" Hiroto dan Chin Liong berteriak berbarengan. Tapi...

Crap "Adauw" Sekejap dari teriakan keduanya, Pendekar Slebor dipaksa berteriak sekeras-kerasnya pula. Bagaimana tidak, bila dua kekuatan hebat ketika itu bertarung dalam arah berbeda melalui tubuhnya? Memang sentakan kuat Hiroto dan Chin Liong berhasil mengungguli tarikan tangan beberapa mayat hidup pada kaki Andika. Namun sayangnya, mata tombak berkarat milik mayat hidup yang hancur kepalanya sempat menembus paha Pendekar Slebor.Begitu tubuh Andika tertarik keluar lubang, Chin Liong meringis ngeri. Bukan karena meliat tombak yang masih menancap di paha sobatnya, melainkan ada sekitar cnam potongan tangan setengah membusuk menempel di kaki Andika.

"Bangkai sial Sudah tak punya kepala masih juga bisa membuatku susah" rutuk Andika geram sekali.

Dicabutnya tombak dari paha kiri. Kemudian, masih dengan mengumpat-umpat disingkirkannya potongan-potongan tangan tadi.

"Sebaiknya kau memberikan pil pemunah racun pada Andika, Ying Lien...,' ucap Chin Liong. "Bukan mustahil kalau tombak itu beracun." Ying Lien segera mengeluarkan sebuah tabung kecil dari kantung pakaiannya. Lalu dikeluarkannya dua butir pil kecil berwarna ungu dari tabung ke telapak tangannya, disodorkan pada Andika.

Andika baru hendak mcnjulurkan tangan, ketika tiba-tiba saja ada tangan yang lain dari belakang menepak tangan Ying Lien. Pak Seketika pil-pil tadi terpental tinggi, setelah itu lebur menghantam langit-langit lorong.

Begitu Andika menoleh, tampak tiga mayat hidup telah berdiri terkatung. Wajah yang sudah tak berbentuk lagi, membuat Andika jadi terperanjat.

"Mak" seru Andika nyaris terlonjak. Wuk Kalau tak ingin kepalanya lepas, Andika harus segera memutus keterperanjatannya cepat-cepat. Karena tanpa memberi kesempatan pada Pendekar Slebor untuk menarik napas lagi, tiga mayat hidup dari dasar Sungai Nil itu melabraknya dengan senjata masing-masing.

"Bagaimana bisa bangkai-bangkai itu melompati lubang penghuhung antara lorong?" tanya Chin Liong, terheran.

"Bagaimana bisa kau diam saja?" hardik Andika.

Lagi-lagi Pendekar Slebor dibuat kalap menyadari nasibnya yang naas kembali.

"Baru saja terluka, sudah dikeroyok bangkai-bangkai sialan" rutuk Andika membatin. "Yang lain dulu, kenapa...." Seketika Pendekar Slebor mencelat ringan ke samping, menghindari sabetan lembing satu mayat hidup.

"Mundur, Andika Kau haras menelan dahulu pil-pil dari Ying Lien Biar aku yang menghadapi mereka" seru Chin Liong.

"Wal , bagus itu Kenapa tidak dari dulu saja?" tukas Andika, tetap jengkel.

Begitu kata-katanya habis, Andika bersalto enteng beberapa putaran ke belakang. Tepat ketika Andika bergerak, Chin Liong meluruk ke depan dengan tendangan terbangnya. "Hiaaa" Des Dada satu mayat hidup terhantam, membuat makhluk itu terjengkang ke belakang menuju lubang.

Beberapa mayat hidup yang baru saja hendak merayap naik ke atas lubang langsung tertimpa tubuhnya. Sehingga, mereka terjatuh kembali ke lorong di bawah.

"Hai it" Hiroto tak tinggal diam. Ksatria Jepang itu sudah menggenggam samurai erat. Sambil berteriak, samurainya diayunkan beberapa kali di udara.

Zing... zing.. zing Ketika satu mayat hidup hendak menghadang larinya, samurai panjang berkilat pemuda Nipon itu pun menyambut. Bles Leher si mayat hidup tertembus hingga setengah samurai. Hiroto tak ingin menarik senjatanya dari leher lawan. Dia tahu, tindakannya akan sia-sia. Lawan tentu tak akan ambruk begitu saja. Maka... Srrrt Hiroto menekan kuat-kuat samurainya ke ba-wah.

Begitu sayatan samurai melewati selangkangan, Hiroto menariknya cepat. Dan setelah itu, dibabatkannya ke atas.

Tas Kepala mayat hidup itu menggelinding. Sementara, tubuhnya terbelah dua. Tumbang ke dua sisi berbeda Amukai Samurai Negeri Sakura itu tidak terputus hingg.i di situ. Seperti sebelumnya, Hiroto pun menyerang tak lazim dengan keberingasan seekor macan liar.

Sisa satu mayat hidup yang sebenarnya lebih dekat dengan Chin Liong malah langsung dirangsak Hiroto.

Seakan, dia tidak ingin memberi kesempatan pada rekan barunya.

Zing Trang Sabetan samurai Hiroto ke dada dihadang keras oleh pedang besar li. tangan si mayat hidup. Tangan yang lain mcncoba menyambar kepala Hiroto. Sambarannya seperti cakar seekor elang. Cepat serta tak terduga.

Hiroto merunduk. Namun tak luput. Srat Gulungan rambut Hiroto tersambar juga. Dan adalah hal bodoh jika kepalanya dihentak untuk melepaskan cengkeraman lawan. Bisa-bisa kulit kepalanya terkelupas. Pemuda Jepang ini tidak bisa memenggal tangan mayat hidup dengan samurainya. Kala itu, samurainya sendiri berada daiam keadaan mati untuk melakukan tebasan kual, agar bisa memutuskan lengan itu.

Biar bagaimanapun, tindakan tepat harus segera dilakukan. Kalau tidak, kepala Hiroto bisa dipeluntir tangan berkekuatan hebat tersebut. "Hiaaat..." Disertai teriakan meninggi. cepat Hiroto melepas satu tangannya pada gagang samurai. Dengan tangan itu, diloloskannya pedang pendek dari pinggangnya. Dan seketika langsung ditebasnya tangan mayat hidup manakala sedang berusaha memutir kepalanya.

Bet Tras Tangan mayat hidup sekejap saja terpotong sebatas siku. Dan itu cukup untuk menyelamatkan kepala Hiroto sendiri. Selanjutnya dengan dua senjata di sepasang tangannya dibuatnya kepakan ke arah dalam.

Set Bret Dua sayatan Hiroto melintang di dada mayat hidup.

Kalau lawannya adalah manusia biasa, sudah bisa dipastikan akan segera tergeletak tanpa nyawa. Namun seperti sebelumnya, sayatan dalam melintang itu pun belum berarti banyak. Mayat hidup itu tetap bisa melakukan serangan balasan. Bahkan tidak sedikit pun tenaganya berkurang.

Zing Pedang besar di satu tangan mayat hidup yang masih utuh menebas lurus ke wajah Hiroto. Gerakannya sungguh kaku, namun begitu cepat. Jika terlambat sedikil saja berkelit, kulit wajah Hiroto sudah pasti tcrsayat.

Bahkan mungkin saja kepalanya akan terbelah.

"Hai i" Sambil memutar tubuh ke belakang, Hiroto mcngayunkan samurainya ke atas. Tas Dengan satu gerakan, Hiroto telah memetik dua hasil sekaligus. Wajahnya selamat dari tebasan pedang, dan juga berhasil membuat tangan lawannya kembali terputus "Sekarang, kau hanya bisa menunggu kubabat habis" geram Hiroto kesal.

Lalu dengan teriakan yang khas, Hiroto melempar pedang pendeknya dengan tangan kiri. Zing Jlep Pedang pendek Hiroto menembus dada mayat hidup itu. Tenaga dorongnya memaksa si mayat hidup tersurut ke belakang. Tepat pada saat itu, ada mayat hidup Iain yang baru berhasil naik dari lubang.

Tak ayal lagi, mata pedang yang menembus di punggung mayat hidup pertama menghujam dadanya juga. Bles Kesempatan itu digunakan Hiroto sebaik mungkin.

Setelah melempar teriakan pertarungan sekali lagi, tubuhnya mencelat tinggi-tinggi menuju dua mayat hidup yang tertembus pedang pendeknya rnenjadi satu.

Begitu meluncur turun, tangan Hiroto langsung menebaskan samurai yang mungkin jarang sekali dikerahkan hingga sebatas itu.

"Heaaa" Tras Sekejap bunyi sayatan tajam terdengar. Kejap berikutnya, tubuh prajurit masa lampau itu terpenggal dua 'Sekali tepuk dua lalat' Sebelum potongan tubuh dua mayat itu jatuh, dengan penuh ketangkasan Hiroto menyambar pedang pendeknya kembali.

Begitu mendarat di tanah, Hiroto kembali bersiaga penuh, menanti serangan berikut. Belum ada lagi mayat hidup yang ingin dibabatnya. Hanya telinganya menangkap kekisruhan di belakang sana, di mana anggota rombongan lain berada.

Hiroto langsung menoleh, dan betapa terkesiapnya dia, melihat kejadian baru. Ternyata anggota rombongan lain sedang digempur habis olehi sepasukan mayat hidup dalam jumlah tak terbilang. Entah, berapa ratus. Dan, entah pula datangdarimana.

Seakan-akan makhlukmakhluk menjijikkan itu tembus dari celah dinding "Pantos saja tak ada yang memberi bantuan ketika rambutku tercengkeram," desis Hiroto, seraya meyibakkan rambutnya yang sudah kehilangan pengikat. Masih terasa pedih di bagian kulit kepala.

Mata berkelopak sempit Hiroto sejenak mencari cari liar. Ada salah satu anggota rombongan yang tak tcrlihat.

"Ke mana Andika San?" gumam pemuda Jepang ini was-was.

Setahu Hiroto, pendekar muda tanah Jawa yang dikaguminya itu dalam keadaan terluka yang tidak bisa dianggap remeh. Karena bukan tidak mungkin, dia sudah dirasuki racun ganas seperti kata Chin Liong sebelumnya.

"Hiroto San, di belakangmu" Teriakan Ying Lien menyadarkan Hiroto. Dengan badannya dijatuhkan ke depan. Selang sekedipan.

melunc ur terkaman satu mayat hidup di atasnya.

Sempat Hiroto memuji Ying Lien. Bagaimana gadis itu tahu kalau ada mayat hidup yang hendak membokong dari belakang? Padahal Ying Lien buta….? 
***
8
Kemana Andika sebenarnya? Ketika serbuan besar-besaran pasukan mayat hidup menyesaki lorong, sesuatu memancing perhatian anak muda sakti dari tanah Jawa itu. Dia melihat sekelebat bayangan di tikungan lorong udara. Meski hanya sekilas, masih bisa dikenali kalau orang yang terlihat adalah Nofret.

Tanpa peduli pada amukan mayat-mayat hidup, Andika langsung mengejar Nofret. Tak dipedulikan lagi luka menganga di paha kiri. Darah terus saja merembes celana panjang hijaunya. Bahkan tak lagi terpikir kemungkinan racun ganas dari masa lampau yang bisa saja mulai merambahi aliran darahnya....

Empat mayat hidup yang dikenal sebagai mummi, mencoba menghadang Pendekar Slebor. Tak mudah untuk menyingkirkan, karena makhluk-makhluk yang dibangkitkan dari kematian hampir seluruhnya memendam kekuatan hitam. Dan ini membuat mereka lebih tangguh daripada seekor gajah jantan gila. Bahkan lebih gila daripada amukan banteng edan Sewaktu mereka menggebraknya, Andika merasa harus mengerahkan kesaktian tanpa tanggung-tanggung.

Sekejapan waktu baginya amatlah penting, kalau tak mau kehilangan Nofret kembali.

"Manusia-manusia borok slompret" damprat Andika seraya melecutkan kain pusakanya ke dua penjuru.

Satu sabetan Pendekar Slebor telah disalurkan tenaga sakti tingkat kesembilan belas. Tak tanggung-tanggung pula, dalam satu sabetan tangannya membuat sekian getaran.

Cletar Tas Tas Tas Dua serdadu mayat hidup rnenjadi makanan empuk senjata pusaka Pendekar Slebor. Satu sabetan lain manakala mengenai sasaran, membuat dua bangkai itu sekejap mata terpotong-potong rnenjadi sepuluh bagian Tak bedanya irisan-irisan roti. "Biar mampus benaran kalian" maki Andika se-saat sebelum dua mummi lain menerjangnya. "Hgrrr" Cletar-cletar Menyambut serangan dua lawan yang lain, Pendekar Slebor pun tak sudi berlama-lama. Dengan kain pusaka pula, dua bangkai dari masa lalu itu mengalami nasib serupa.Belum sempat potongan menjijikkan itu berserakan di lantai lorong, tubuh pendekar muda ini sudah mencelat amat cepat. Diterobosnya arus serbuan para mumi secepat lepas dari bus ur dan selincah seekor walet di antara bukit karang. Andika berlari dengan memanfaatkan kepala mereka sebagai titian "Hei Anak muda kualat" semprot Pendekar Dungu, ketika kepalanya sempat menjadi satu pijakan. Dia memang hampir tersaru di antara mayat-mayat hidup itu.

"Maaf. Pak Tua Aku kira kau salah satu bangkai sial itu" seru Andika, seraya terus memompa kecepatan.

Kelokan lorong utara telah dilewati Andika. Kehandalan ilmu lari cepatnya yang tersohor, telah membawa Pendekar Slebor amat jauh dari tempal semula. Tapi, buruannya tak terlihat sama sekali.

"Ke mana Nofret?" bisik Andika dengan napas turun naik. Pendekar Slebor kini berhenti di satu lorong lembab berkabut. Lorong yang diyakininya baru sekali ini dilewati.

Tak mungkin aku salah lihat Tadi itu memang Nofret," gumam Andika, mencoba meyakinkan diri.

"Tapi, bagaimana mungkin tak juga kutemukan? Aku sudah mengerahkan segenap kemampuan lari cepatku Mestinya, dia sudah terkejar karena sama sekali tak memiliki kedigdayaan apa-apa kec uali sihir. Apa mungkin karena jasadnya masih dikuasai roh jahat Hetepheres?" "Kau mencari aku?" Mendadak terdengar sebuah suara di ujung lorong lembab. Cepat Andika menegaskan pandangannya. Kabut yang bergentayangan lamban, membuat cahaya obor-obor di sepanjang lorong tak berdaya. Dalam pandangan samar-samar Andika melihat sesosok tubuh berdiri di kejauhan sana. Seorang wanita. Dan lagi-lagi, Andika mengenali bentuk tubuh itu.

"Nofret, kaukah itu?" seru Andika keras. Tak ada jawaban.

"Nofret? Apakah kau sudah sadar?" panggil Andika, mencoba kembali.

Tak ingin pemuda ini bertindak ceroboh dengan menghampiri langsung sosok di kejauhan sana. Dia yakin, yang dilihatnya memang Nofret. Namun di lain sisi, dia pun yakin setiap saat jebakan maut bisa mengganyangnya.

'Andika...." Suara sosok itu kembali terdengar, menyusuri lorong. Kemudian memantul di antara dinding, dan tiba di telinga Andika sebagai suara Nofret.

Andika makin yakin kalau telah menemukan Nofret Namun hatinya belum c ukup yakin, apakah Nofret yang terlihat kini memang benar-benar Nofret atau masih di bawah kekuasaan Hetepheres.

"Jawab pertanyaanku, Nofret Apakah kau sudah sadar?" seru Andika.

"An-di-ka.... Tolong aku...." Pendekar Slebor tergugu kaku. Suara Nofret yang terdengar kali ini begitu memelas.

"Andika. tolonglah" Suara Nofret menanjak. " tolong, Andika" Makin meninggi suara itu, lalu melengking....

"Andika.. tolong aku" Andika terkesiap. Dia hendak segera menghambur ke arah Nolret, tapi nalurinya mengingatkan akan satu bahaya keraguannya benar-benar menguasainya saat itu.

Kabut mendadak menebal, menyergap pandangan Pendekar Slebor. Sosok Nofret di kejauhan sana tertelan.

Saat itu pula, Andika menyadari kalau dirinya bisa kehilangan jejak lagi.

Tanpa peduli resiko yang siap memamahnya, Andika mengempos ilmu lari cepatnya kembali. Tapi begitu kabut tebal yang lembab terlewati, Nofret sudah tak ada lagi di tempatnya...

"Bangsat congek Kunyuk bodong, babi botaaak" sumpah serapah kasar pun berhamburan dari mulut Pendekar Slebor. Kakinya menjejak-jejak geram ke lantai lorong, sampai tak sadar kalau akibat tindakannya telah membuat lantai batu amat keras rnenjadi hancur berhamburan.

"Jangan kau coba mempermainkan aku, Pangeran Anubis Aku tahu siapa sesungguhnya dirimu Aku tahu Kau memang sejenis ular kadut pengecut Keluarlah kau Hadapi aku seperti seorang lelaki jantan Jangan bisanya hanya bersembunyi dan main belakang" "Ha-ha-ha..." Jawaban yang didapat pendekar ceriwis itu hanya tawa seorang lelaki.

"Apa benar kau telah memecahkan teka-teki yang paling besar dari seluruh rencanaku, Anak Muda?" tanya suara itu, menggema.

Suara itu terdengar berat dari arah belakang, begitu dekat di belakang Andika.

Pendekar muda itu sendiri terkesiap. Merasa akan dibokong, tubuhnya berbalik sigap.

Tak seorang pun ditemukan Pendekar Slebor.

Sepanjang pandangannya, hanya bentangan lorong berkabut yang terlihat. Rupanya suara tadi dikirim lewat ilmu 'Pengirim Suara' jarak jauh yang demikian sempurna.

"Lihatlah Betapa pengec utnya kau" rutuk Andika kalap tertahan.

"Ha-haha..." Tawa membahana mengisi lorong lagi. "Lalu apa maumu, Anak Muda? Kau ingin langsung berhadapan denganku? T ak usah tergesa.... Permainan ini belum lagi tuntas...." Ucapan itu berpindah kcmbali ke belakang Andika.

Seperti sebelumnya, terdengar begitu dekat. Seolah-olah, orang yang berkata persis berdiri di be-lakangnya.

Keledai dungu pun tak mau terperosokdalam lubang yang sama. Begitu pikir Andika. Dia yakin, ucapan itu pun sekadar suara yang dikirim dari jarak jauh dengan sempurna. Oleh sebab itu, tubuhnya tak berbalik.

Namun, justru dengan keputusan itu, Pendekar Slebor telah terperosok dalam lubang yang baru. Orang yang dikira berbicara dari jauh, ternyata memang benar-benar telah berdiri hanya selangkah di belakangnya "Apa kau ingin menarik tantanganmu tadi, Anak Muda? Bukankah kau ingin berhadapan langsung denganku?" kata Pangeran Anubis dengan tangan terlipat di depan dada.

Mendengar kalimat terakhir lelaki itu, barulah Andika sadar sepenuhnya kalau telah melakukan kesalahan baru.

Demikian cepat darahnya berdesir te-gang. Segenap ototnya mengejang. Tubuhnya mesti secepat mungkin dilempar ke depan. Namun terlambat.... Des "Aaakh,.." Pendekar Slebor seketika merasakan bagaimana punggungnya terhantam telapak tangan.

Bila kesadarannya langsung hilang saat itu, tentu tak akan tersiksa apa-apa. Dan Andika sama sekali tidak ingin kehilangan kesadaran, biar kepalanya bagai diganduli dunia sekalipun. Justru karena itu, dia pun harus menikmati bagaimana hebatnya siksaan rasa sesak amat sangat yang mendera sekujur dadanya akibat hantaman tadi. "Khoek" Darah kehitam-hitaman termuntah dari mulut Pendekar Slehor begitu tubuhnya terjerembab dalam keadaan tertelungkup. Nyaris saja kepalanya tak bisa diangkat.

"Bagaimana? Apa kau sudah bisa menikmati seluruh rencana besarku?" cemooh si pembokong, tanpa rasa malu sedikit jua.

Andika bangkit terseok. Dadanya didekapnya dengan wajah menahan sakit.

"Lihatah dirimu? Betapa kau sudah tidak punya harga diri lagi," cemooh Andika membalas.

"Harga diri? Apa yang kau tahu tentang harga diri? Aku tahu betul tentang harga diriku. Karena itu pula, aku melakukan semua ini...," kata Pangeran Anubis, agak bergetar.

Di balik topeng serigala lelaki itu, Andika bisa menangkap geliat kekecewaannya. Kekecewaan karena apa ? Itu yang belum dapat diraba.

"Kau tak memerlukan topeng jelekmu lagi. Kenapa benda itu tak ditanggalkan saja. Apa kau merasa, aku belum tahu siapa dirimu sebenarnya?" kata Andika, mencoba menyudutkan.

"Aku percaya, kau telah tahu aku yang sebenarnya.

Di antara sekian banyak pendekar kenamaan dunia, kau termasuk memii ki ketajaman otak yang patut mendapat pujian...." "Kalau begitu, tunggu apa lagi? Kau malu karena selama ini wajahmu digunakan hanya untuk kedok tabiat terpujimu. Lalu, kau pakai topeng pula untuk menutupi kepalsuanmu, Itu artinya, selama ini kau hanya mengenakan topeng. Kau selamanya tak pernah memi iki muka. Kau manusia tak bermuka, yang bersikap baik di depan. Namun, di belakang menerkam.... Kau tak lebih berharga dari kotoranku" leceh Pendekar Slebor, tak hanya menyakitkan telinga, tapi juga perasaan orang.

Tapi, benar kata Andika barusan. Orang di depannya agaknya sudah tak memi iki muka. Tanpa rasa malu, dan tak lebih berharga dari kotoran manusia. Mestinya, dia akan terbakar mendengar kata-kata Andika. Nyatanya, justru tidak. Seolah-olah hati lelaki itu sudah sekeras batu.

"Buat apa membuka topeng ini? Karena aku tahu, kau adalah anak muda berotak cemerlang. Jadi, aku tak akan membuka topeng ini secepatnya. Kau tahu, kenapa? Karena bukan tidak mungkin kau belum tahu siapa aku.

Lalu, kau pun bersiasat seolah-olah tahu agar aku membuka topeng ini. Hm..., siasat cerdik" "Kau memaksaku untuk menyebut siapa dirimu sesungguhnya?" desis Andika terpatah-patah. Kemuakan pada sikap lelaki itu membuat rasa sakit didadanya makin menjadi-jadi.

"Baik," pulus Andika tegas. "Kau adalah si Gila Petualang Lelaki tua berhati bus uk yang berkulit orang suci Kau sesungguhnya tak beda dengan Dua Rahib Dari Tibet Bangkai yang terbungkus kain putih "Hmh..." Terdengar dengusan samar di balik topeng kepala serigala Pangeran Anubis.

"Kau memang berotak encer, Anak Muda...," puji Pangeran Anubis terdengar gusar.

Kegusaran lelaki itu terlihat jelas manakala melepas topeng kepala serigalanya dengan kasar. Lalu, terlihatlah wajah di balik topeng itu. Samar di antara sapuan cahaya obor lamat. Wajah si Gila Petualang Andika menyeringai.

Dugaannya tak meleset.

"Bagaimana kau bisa membongkar rahasiaku, Anak Muda?" tanya si Gila Petualang. Nadanya terdengar gusar.

Lagi-lagi Pendekar Slebor menyeringai. mengejek si Gila Petualang yang sebelumnya begitu dihormati. Andika tidak merasa menang. Apalah arti kemenangan yang didapat dengan mengalahkan orang lain. Bagi Andika, kemenangan sejati diperoleh dengan mengalahkan diri sendiri. Kalaupun mulutnya menyeringai, itu karena kemunafikan si Gila Petualang pantas menerima ejekan.

"Kau masih berminat untuk mengetahui, bagaimana aku bisa memecahkan teka-teki konyolmu?" tantang Andika enteng.

Rasa sakit di dada Pendekar Slebor mulai mengabur. Selama itu, dicobanya mengerahkan hawa murni diam-diam ke bagian dadanya, agar luka dalamnya dapat diatasi.

Si Gila Petualang hanya menatap anak muda yang berdiri sembilan tombak di depannya dengan sinar mata menusuk.

"Kau ingat dengan ini? Kata Andika memulai lagi sambil mengeluarkan kantong minuman dari kulit dari balik pakaian. "Kau yang memberikan ini padaku, bukan? Dari dua sahabat Cinaku, aku tahu kalau minuman ini adalah bagian ramuan yang bisa me-lumpuhkan jaringan otot. Kau tentunya telah mempelajarinya ketika bertualang ke Negeri Cina...." (Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah episode sebelumnya: "Undangan Ratu Mesir").

Andika menimang-nimang kantong minuman di tangannya.

"Di samping itu, apa kau pikir aku tak akan heran ketika Hetepheres mengerahkan ilmu 'Inti Es'nya.

Bukankah kcsaktian itu dikembangkan amat jauh dari tempat ini. Hanya ada satu kemungkinan, kalau ilmu itu sampai disini. Seseorang telah membawanya ke tempat ini. Di antara kita semua, hanya kau satu-satunya yang telah banyak menjelajahi negeri orang. Termasuk, asal ilmu kesaktian itu, bukan?" lanjut Andika panjang lebar.

Andika mendehem-dehem menyaksikan perubahan wajah si Gila Petualang. Lelaki itu tampak terbakar kemarahan.

"Kecurigaanku sebenarnya sudah terbetik, ketika kapal armada Cina milik Ying Lien sedang menyusuri Sungai Nil. Gerombolan Kuda Nil yang tak lazim bckerjasama untuk menenggelamkan kapal, mengingatkanku pada gerombolan elang-elangmu Bukankah di antara awak kapal, hanya kau yang bisa melatih dengan baik binatang-binatang liar yang dimanfaatkan untuk tujuan tertentu? He-he-he.... aku betul lagi, ya?" (Baca episode sebelumnya: "Piramida Kematian") Plok Plok Plok Andika lalu bertepuk tangan. Bukan sekadar hendak memuji kecerdikannya sendiri, tapi sudah pasti untuk melecehkan lawannya separah mungkin.

Biar kemarahannya meledak. Kalau sudah begitu, dia bisa mengambil sedikit keuntungan.... "Benar katamu dulu.'Seharusnya, kita selalu ber-hati-hati pada siapa pun. Wajah yang bagus, tidak selamanya mencerminkan diri yang baik'...," lanjut Pendekar Slebor.

setengah mengolok-olok.

"Kau memang berhasil membongkar rahasiaku.

Anak Muda. Tapi, bukan dengan begitu semuanya usai.

Permainan belum tuntas seluruhnya. Bukankab itu sudah kukatakan tadi?" sergah si Gila Petualang, meledak-ledak.

Sifat-sifat bejatnya kini terlihat jelas.

"O-o Kau rupanya begitu dongkol denganku, karena telah mengacaukan rencana puncakmu, bukan?" Si Gila Petualang menghempas napas. "Kau akan tahu, apakah rencana puncak milikku benar-benar telah kau kacaukan. Atau, sebenarnya rencana puncakku baru saja dimulai Ha-ha-ha..." "Bah Apa bukan sebaliknya? Rencanamu justru sudah hancur lebur seperti bubur. Tipu dayamu sudah tak berguna, seperti tak bergunanya peta rahasia tentang tempat penyimpanan pusaka para ahli sihir yang sebenarnya tak pernah ada Dengan peta buatanmu itu tentu kau ingin menggiring kami memasuki jebakan demi jebakan, bukan?" "Pemuda keparat" "Hua-ha Andika membayar gelak tawa si Gila Petualang dengan gelaknya pula.

"Kau boleh menganggap rencanaku telah berantakan Tapi, tidak bagiku. Aku puas karena telah menebus sakit hatiku pada dunia persilatan" tandas si Gila Petualang.

"Kasihan anak Emak,... Kau sakit hati?" “Tutup bacotmu, Anak Muda Kau dan seluruh undangan telah mewakili dunia persilatan untuk membayar sakit hatiku Aku puas Puas Kau tahu, kenapa aku bertualang? Sebelum aku bertualang, kehadiranku tak diterima orang-orang dunia persilatan. Mereka hanya menganggapku sampah tak berarti. Tak berdaya apa-apa dan tak berguna apa-apa. Aku banyak dipermainkan orang-orang persilatan seenaknya.

Aku pun memendam kebencian yang membakar hatiku. Lalu, aku bertualang.

Semula, untuk melarikan diri dari segenap cemooh orang persilatan.

Setelah itu, tcrpikir olehku untuk mengumpulkan kesaktian dan ilmu, yang nantinya akan berguna untuk membalas sakit hatiku" 
***
9
"Sayang sekali, rupanya kau hanya disesati perasaanmu sendiri, Pak Tua" Kalimat Andika melunak mendengar penuturan terakhir si Gila Petualang. Kini anak muda itu bisa melihat jelas perkara sebenarnya.

Seketika timbul ah rasa prihatinnya.

Sebenarnya lelaki tua itu hanyalah korban permainan dunia yang memuakkan. Begitu, pikir Andika.

Ya, sekadar korban. Sayang, dia mengambil jalan salah untuk menyelamatkan diri sendiri....

"Tidak semua warga dunia persilatan bersikap seperti itu padamu. Apakah kau tak merasa, bagaimana aku, Ying Lien, dan Chin Liong begitu menghormatimu sebelum semua ini terjadi?" "Bagiku, sikap kalian sudah terlambat" tegas si Gila Petualang.

Andika mengbela napas. "Jangan kau membiarkan hatimu membatu, Pak Tua.. ," bujuk Pendekar Slebor.

"Aku tak peduli Dendamku sudah berkarat Seperti besi yang sudah tak mungkin lagi dibersihkan Aku hanya puas, bila telah melaksanakan pemba-lasan dendam ini" teriak si Gila Petualang parau.

"Pak tua Belum terlambat untuk mcnghentikan semua kegilaan ini.... Rasanya kami bisa mengerti beban apa yang kau tanggung sclama ini." bujuk Andika lagi.

" Tidak Sudah kuputuskan untuk menuntaskan semua ini. Kalian yang mewakili dunia persilatan, harus mcmbayar lunas seluruh sakit hatiku Kalian akan hancur lebur bersama piramida ini" Begitu kala-katanya selesai, si Gila Petualang berkelebat.

"Pak Tua, tunggu" Seruan Pendekar Slebor sia-sia. Lelaki tua yang sempat dihormatinya telah menerjang dengan satu pukulan maut ke arah Pendekar Slebor.

Wukh Untuk serangan pembuka, Andika tak mau ambil akibat terlalu banyak. Dia memang sudah mengenal si Gila Petualang. Tapi, belum cukup mengetahui sampai di mana tingkat kesaktiannya.

Secepat mungkin Andika berkelit.

Tubuhnya dimiringkan ke samping.

Salah satu kckhasan jurus milik Pendekar Slebor adalah gerakannya yang terlihat awut-awutan. Termasuk cakarnya menghindari scrangan. Si penyerang tak akan menyangka, kalau Pendekar Slebor sedang menghindar.

Yang terlihat justru seperti sedang terhuyung limbung.

"Haih" Selagi tubuh si Gila Petualang yang selama ini mengaku sebagai Pangeran Anubis menyorong ke depan, kaki Andika membuat sapuan kilat. Dalam keadaan begitu, si tua itu akan dirugikan oleh tenaganya sendiri. Tubuhnya bisa terpelanting karena jegalan kaki Pendekar Slebor.

Namun yang dihadapi pemuda dari tanah Jawa ini bukan tokoh kacangan.

Si Gila Petualang sudah menjelajahi lima benua dan lima samudera. Bisa di-bayangkan, sudah berapa banyak ilmu ditimba? "Eaaa" Sekali menjejak saja, tubuh lelaki tua itu sudah berputaran di udara, menghindari sapuan kaki Pendekar Slebor.Selagi di udara, biasanya pertahanan seseorang akan lemah. Itu sering diperhatikan Andika. Tahu si tua itu sedang melayang, Pendekar Slebor memanfaatkannya.

Secepat kilat tangannya disibak ke atas. Punggung tangannya yang menekuk seperti tangan seekor kera, mencoba menanduk si Gila Petualang di udara.

Bet Pada saat yang sama, si Gila Petualang pun melancarkan tinju keduanya. Akibatnya....

Daghhhl Benturan tangan bertenaga dahsyat tadi pun sudah pasti mengakibatkan kedahsyatan tak kalah menggiriskan.

Tubuh si Gila Petualang kontan terlonjak lebih tinggi ke udara, kemudian meluncur cepat dan menghantam langit-langit lorong. Bagian yang terkena menjadi hancur berlubang sedalam bagian tubuhnya yang melesak hingga sebatas dada. Kini tinggal bagian bawah badannya yang tergantung-gantung.

Andika sendiri mengalami akibat yang tidak kalah parah. Kalau si Gila Petualang melesak di langit-langit, Pendekar Slebor melesak di lantai lorong. Sama-sama sebatas bahu, seperti juga dialami lawannya. Jelas, pada saat terjadi benturan, tingkat tenaga dalam yang dikeluarkan seimbang.

Tak lama berselang keduanya sama-sama mencelat dari lubang masing-masing.

Si Gila Petualang menggunakan sepasang tangannya untuk mencelat, sedangkan Pendekar Slebor menggunakan kaki.

"Pak tua, tunggu" ulang Andika, berusaha menahan serangan lebih lanjut si Gila Petualang.

"Kenapa, Anak Muda? Kau takut menghadapiku? Bukankah kau memiliki nama besar di dunia persilatan?" leceh si Gila Petualang tanpa sedikit pun luka di tubuhnya bagian lain. Padahal kekerasan langit-langit lorong bisa meremukkan tulang seekor badak.

"Sadarlah, Pak Tua. Belum lerlambat bagimu untuk menyadari kalau sebuah dendam tak berguna untuk dimuntahkan... Kau bertindak pada alamat yang salah.

Menuntut dendam pada orang-orang yang keliru...," ujar Andika."Siapa peduli pada kckeliruan. Dunia ini pun telah bertindak keliru padaku. Kenapa aku dilahirkan, kalau akhirnya disingkirkan? Bukankah itu kekeliruan? Lalu, apa salahnya aku membuat satu kekeliruan pula agar puas" balas si tua ini.

"Janganlah kau menghujat Tuhan, Pak Tua... "Aku hanya menghujat manusia-manusia yang telah mcngasingkan diriku seperti sampah Tak menggubris kehadiranku seperti anjing buduk" teriak si Gila Petualang.

"Tidak semua orang, Pak Tua.. . Tidak semuaya...." "Phuih..." Dengan napas turun-naik digebah kemurkaan, si Gila Petualang mcmbuang ludah.

"Kau membuatku muak dengan kebijakanmu, Anak Muda... Aku sebenarnya iri padamu," kata lelaki tua mi mengakhiri perdebatan yang diselingi pertarungan singkat.

Sk-u-l.ih ilu kembali si Gila Petualang menggen-jnl lubuhnya. Namun sekali ini, dia tak hendak mela-ktikan gcmpuran. Dia hanya menyingkir, entah ke mana. Lalu, tubuhnya menghilang di antara kabut yang tcrhuyung.

"Pak Tua" panggil Andika, tapi sia-sia. Andika mengeluh. Napasnya dilepas dalam desah.

Andai saja Pendekai Slebor tahu sebab musabab lelaki itu melakukan ini semua, tentu akan lebih suka memaklumi.


***
10
Sementara itu, pertarungan sengit antara para undangan dengan mayat-mayat hidup masih saja bergejolak. Ketidak seimbangan dalam jumlah, tidaklah berarti ada satu yang terkalahkan. Rombongan para undangan ternyata sanggup mcladeni gempuran serdadu Mesir Kuno yang bangkit kembali dari kematian Sudah demikian banyak potongan bangkai menumpuki lantai lorong. Namun jumlah mereka seperti tidak pernah menyusut. Kalau keadaan seperti itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin pihak para undangan akan kehabisan tenaga. Artinya, cepat atau lambat, mereka akan menjadi bulan-bulanan serbuan bangkai-bangkai hidup "Kita harus segera menyingkir Tak mungkin kita terus membantai mereka. Tenaga kita terbatas. Sedangkan jumlah mereka seperti tak terbatas" pekik Ying Lien di antara kepungan gencar lawannya yang menjijikkan "Ya Aku pun berpikir begitu, Nona" teriak Kenjiro yang sudah bermandi peluh.

Lelaki Jepang bertubuh tambun itu berkali-kali nyaris terbabat senjata. Dengan tubuh besar seperti itu, dia lebih cepat menjadi lelah ketimbang yang lain. Untunglah Hiroto, saudara sepupunya selatu siap melindungi.

"Bagaimana menurutmu, Hiroto?" teriak Kenjiro pada ksatria pcrkasa yang mengamuk dengan samurainya.

Hiroto tidak sedikit pun menggubris. Baginya tidak ada kata mundur dalam satu pertarungan. Baginya, mati lebih terhormat daripada jadi pengec ut.

"Aku tahu, bukanlah kebiasaanmu untuk mundur dari pertarungan, Hiroto San. Tapi kau tentunya tak ingin ada anggota kita yang akan menjadi korban, bukan?" timpal Chin Liong, mengingatkan Hiroto.

"Kalau begitu, cepatlah kalian menyingkir Aku akan buka jalan bagi kalian" putus Hiroto, mengejutkan yang lain. Lalu, lelaki itu bertcriak amat keras. Teriakan-nya terlalu kacau, hingga terdengar meraung-raung. Tubuhnya digenjot tinggi-tinggi ke barisan depan serbuan para mayat hidup. Dan di tengah-tengah kepungan itu, dia hinggap.

Sekejap kemudian. Hiroto mengamuk sejadi-jadinya.

Samurainya berdesing kian kemari, seakan memiliki mata sendiri. Satu gerakan seperti melahirkan sekian sabetan maut. Dua-tiga mummi pun terpenggal Wukh-zing-zing "Cepat kalian menyingkir Aku akan menghambat mereka" seru Hiroto di antara desingan tajam samurainya.

"Bagaimana kami bisa meninggalkan kau sendiri?" sergah Chin Liong kacau.

"Jangan pikirkan aku Satu korban lebih baik, daripada keseluruhan" "Tidak bisa Aku tidak akan membiarkan hal itu" tolak Chin Liong.

"Tapi hanya ini satu-satunya kesempatan agar kalian bisa lotos Hargai usahaku, Chin Liong San" Chin Liong ragu. Di belakang mereka, jalan sudah terbuka.

Ying Lien dan Manyar Wanita barusaja menuntaskan enam mummi yang menghambat.

Sementara, arus serangan di depan diputus amukan membabi buta Hiroto.

"Cepat pergii " hardik Hiroto menangkap sekelebat keragu raguan C hin Liong. "Selamatkan sepupuku Karena kalau aku mati, dia harus bisa pulang ke Jepang agar bisa mengabari keluargaku" Chin Liong tercekat, sadar, Hiroto memang benar.

Hanya itu satu satunya harapan agar yang lain bisa lolos.

Kalau Chin Liong bersikeras mendampingi Hiroto, siapa yang akan melindungi yang lain? Bukannya Chin Liong tak percaya pada Ying Lien. Tapi biar bagaimanapun, gadis tangguh itu buta Semen-lam, Manyar Wanita belumlah cukup tangguh dibanding Ying Lien. Pendekar Dungu? Ah Bagaimana mengharap lelaki tua berotak kerbau itu untuk memimpin yang lain? "Baik" putus Chin Liong akhirnya.

"Selamat bertarung, Hiroto San. Aku tak akan memaafkanmu, kalau kau tak bisa bertemu kami lagi dalam keadaan selamat" Sempat-sempatnya bibir Hiroto menampilkan senyum samar mendengar ucapan Chin Liong.


***
Masih di lorong lembab berkabut, sekali lagi Andika menyaksikan Nofret.

Kalau sebelumnya tampak sekelebatan, kali ini Nofret muncul di ujung lorong. Diam sebentar, kemudian mulai melangkah satu-satu ke arah Andika.Pakaian amat tipis yang dikenakan gadis itu membuat bola mata Andika membulat semakin besar.

Apalagi di balik pakaian itu. lekuk liku tubuhnya jelas terlihat tanpa selembar benang lagi menutupinya. Pakaian tipis itu berkibar perlahan, seiring langkah Nofret. Seketika jantung Pendekar muda itu semakin berdebar tak karuan.

Pemuda berbaju hijau itu sungguh tak mengerti.

Mengapa Nofret masih memakai baju tipis yang pernah dilihatnya ketika berada dalam pengaruh Hetepheres? "Nofret...," sebut pemuda itu ragu-ragu. Tidak bisa dijamin kalau saat itu Nofret benar-benar 'Nofret'. Besar kemungkinan dirinya saat itu adalah Hetepheres "Ya, Andika.... Ini aku," sahut gadis ini lamat. Bibirnya mendesah perlahan.

Kini, tubuh gadis itu berdiri dalam keadaan sangat menggiurkan, sekitar sepuluh depa dari tempat Andika.

"Bagaimana bisa...?" gumam Andika seraya menatap tajam. Selagi pemuda dari Lembah Kutukan ini diberondong rasa keheranannya, Nofret memutarkan lehernya ke belakang perlahan dengan mata terpejam rapat. Gerakan gadis itu seakan menggelinjang nikmat.

"Wuih Nofret..." pekik Andika dalam hati.

Sungguh, pemuda itu hampir tidak kuat menahan beban tubuhnya. Kedua lututnya gemetar menyaksikan semua itu.

Kemudian, penuh kegemulaian Nofret melangkah perlahan menuju Andika. Setiap kali kakinya melangkah, terbentuk gerakan lembut menakjubkan di seputar pinggul padatnya. Dan yang lebih mendebarkan jantung, buah dada ranum yang nampak samar-samar di balik pakaian tipis itu pun ikut bergetar, seolah menjanjikan sesuatu pada Andika.

Andika memejamkan mata, sebisa-bisanya. Tanpa sadar hal itu dilakukannya, seperti takut kalau dirinya tak kuat menahan 'panggilan Nofret' yang luar biasa "Kau sudah sadar?" tanya Andika parau, masih memejamkan mala.

"Apa yang terjadi sesungguhnya terhadap diriku, Andika?" Nofret balik bertanya. Langkahnya membawa tubuhnya semakin dekat pada Pendekar Slebor.

"Apa kau tak ingat?" susul Andika. Kali ini pendekar muda itu memberanikan diri membuka matanya.

Nofret berhenti lima depa dari tempat Andika. Bibir merah menantang milik perawan Mesir itu bergerak perlahan, di antara desah gelombang napasnya. Matanya yang indah menatap tembus ke bola mata Andika, seakan begitu mendambakan belaian pemuda dari Lembah Kutukan ini.

Tanpa sadar, Andika melangkah. Matanya tak lepaslepas memandang tubuh putih Nofret yang memi iki buah dada padat dan pinggul menggiurkan. Semakin dekat, napas pemuda itu kian memburu.

"Apa saja yang kau alami, Nofret?" tanya pemuda urakan itu yang rupanya masih mempunyai nalar di saat-saat genting begini.

"Yang aku ingat, aku dikepung asap tebal di satu ruangan yang kumasuki. Setelah itu. aku tak ingat apa-apa lagi...," tutur Nofret Andika mencoba mendekat lagi. "Kau yakin tak apa-apa?" tanya Andika lebih lanjut. "Aku..., aku merasa tubuhku begitu letih. Aku merasa ada sesuatu yang membebaniku sebelumnya." Andika makin mendekat.

"Ceritakan padaku, apa yang kau rasakan sebelumnya?" Nolret terdiam sesaat. Ada sesuatu yang dicoba diangkat dari benaknya.

"Ingat ingatlah...," sambung Andika hati-hati.

Pemuda dari Iembah Kuti.kan itu rupanya tengah berusaha keras menghilangkan letupan gairah yang sedang menyergapnya. Karena itu dia lebih menekankan ke mana Nofret selama ini, daripada terus memandangngi sekujur tubuh menantang milik gadis Mesi itu.

"Aku..., aku merasa diriku terkunci waktu itu. Aku melihatmu.

Lalu, aku menyerangmu.

Itu bukan kemauanku, Andika.... Itu bukan kemauanku.... Aku sendiri berusaha menahannya, tapi tak kuasa...." Setelah itu terdengar isak kecil Nofret. Andika tersentuh. Seketika itu juga gairahnya terkikis habis begitu melihat butir air bening di pelupuk mata gadis jelita di hadapannya. Yakinlah Pendekar Slebor kini, kalau Hclephercs telah meninggalkan diri Noliel. Enlah, apa sebabnya. Mungkin karena rencana datangnya telah hancur.

Saat itu, Nofret butuh dukungan semangat dari seseorang. Jiwanya tentu terguncang atas seluruh kejadian teramat dahsyat yang baru kali ini dialami. Begitu pikir Andika. Maka, cepal-cepat Andika menghampirinya.

Tubuh jelita Nofret lalu didekap eral-erat dan hangat.

Dicobanya memberikan kctenangan ke dalam diri gadis itu.

Nofret pun membalas dekapan si perjaka. Wajahnya dipendam dalam-dalam di dada bidang Andika. Di sana, isaknya termuntahkan.

"Sudahlah.... Kau tidak apa-apa...," ucap Andika lembut."Tapi, semua ini begitu mengerikan, Andika," isak Nofret."Kau akan baik-baik saja. Percayalah. Aku berrjanji akan menjagamu." hibur Andika.

Di dada bidang si pemuda perkasa, cukup lama seguk kecil Nofret terulur lamat. Agar lebih memberi rasa tenang, Andika membelai-belai rambut hitam Nofret lembut. Pemuda itu tidak memikirkan lagi tubuh halus di balik baju tipis yang berada dalam dekapannya. Yang ada dalam benaknya, kini hanya ingin menenteramkannya.

Sekarang? Ya, sekarang. Masa' dalam keadaan demikian, niat usilnya harus muncul? Apalagi melihat tubuh Nofret yang begitu menantang.

" Nofret..," sebut Andika setelah sekian lama ncrlalu.

"Boleh aku bcrtanya sedikit padamu?" Nofret mengangkat wajahnya yang sembab. "Kau pernah dengar nama Hctepheres?" sambung Andika.

Wajah Nofret berubah.

Ada ketakutan menghujamnya.

'Tak lis il lakuL Katakan saja padaku." "Beliala Ratuku, Andika. Penguasa Piramida Tonggak Osiris ini...," jelas Nofret nyaris berbisik. "Aku merasa, dia masih hidup. Karena, di piramida yang rnenjadi tempat pemakamannya ini, tak pernah ditemukan jenazah." Sementara berbicara, tangan Nolret bergerak lambat di belakang punggung Andika. Lambat. Jarinya terbuka, menegang kaku. Telapak tangannya menghadap punggung Andika, siap menghujamkan satu pukulan 'Inti Es' Sementara, si calon korban yang berjuluk Pendekar Slebor ini belum juga sadar. Padahal maut siap melalapnya Dan.... Des "Khghhh" Mendadaksaja terasa bagai ada sebongkah besar salju kutub utara merasuki dada Pendekar Slebor Rasa sakitnya luar biasa. Lebih hebat daripada rajaman seribu tombak bermata kembar Di samping itu, karena terlalu dingin yang terasa, di dada Andika justru malah terjadi siksaan panas luar biasa.

Masih dalam dekapan Nofret, tubuh Andika melorot lunglai."Hetepheres... roh wanita keparathhh Rupanya kau masih berada dalam diri Nofret" rutuk Andika terbata.

Wajah Pendekar Slebor mendongak lemah.

Membiru. Bibirnya segera rnenjadi pecah-pecah. Dalam gigilan yang teramat sangat, diberangusnya mata wanita itu dengan tatapan sembilu.

"Kau salahbesar, Andika.... Ratu Hetepheres sesungguhnya tak pernah ada" sentak Nofret, amat sangat mengejutkan Pendekar Slebor. Lebih mengejutkan dari pukulan mendadak yang luar biasa dinginnya tadi.

"Ap-pa..., mak-sudmu?" "Aku adalah aku, Andika. Nofret Hetepheres hanyalah sebagian dari rencana yang dijalankan guruku. Si Gila Petualang Sebagai seorang murid, sudah sepantasnya membantu untuk melunasi sakit hatinya pada dunia persilatan" "Asta-ga... Ja-di, semua ini benar-benar sudah dialur demikian matang?" keluh Andika, mulai me-nyadari maksud perkataan si Gila Petualang.

Bukankah sebelumnya lelaki tua itu mengatakan, kalau rencana besarnya belum seluruhnya hancur? "Apa kau tak merasa ganjil jika roh seorang wanita yang telah mati ratusan tahun lalu, bisa mempelajari ilmu ‘inti Es’ yang diturunkan si Gila Petualang, guruku?" Terjagalah Andika.dari kebodohannya. Hajaran demi hajaran leka-teki rangsangan demi rangsangannya, dan ancaman maut yang begitu rumit, membuatnya lupa menyadari hal sekecil itu Padahal, kesalahan kecil bisa berarti amat besar Berarti, ancaman buat nyawanya sendiri serta nyawa undangan lain.

Siapa pun bisa lengah oleh musuh dalam selimut.

Tcrmasuk diri Pendekar Slebor sendiri. Termasuk para undangan lain....

"Apa maumu sejkarang, Nofret?" tanya Andika dirasuki kekecewaan dan penderitaan. Gigilan tubuhnya makin mcnghebat. Bahkan sempat membuat kaki Nofret yang menyangganya ikut bergetar.

"Aku harus membunuh. Itu perintah guruku. Semua yang diundang ke tempat ini harus disingkirkan, agar guruku puas. Sekaligus agar namanya tetap baik di dunia persilatan...," papar Nofret dingin.

Masih bersimpuh lemah di lutut Nofret, Andika mencoba mengucapkan kalimat dari dasar hatinya untuk menggugah hati Nofret.

"Sungguh tak kusangka akan begini akhirnya, Nofret Kukira, kau adalah gadis yang patut kucintai. Apa kau tak tahu. aku telah memendam benih-benih perasaan tak terlukiskan dalam dirimu?" pancing Pendekar Slebor, lirih.

"Maafkan aku, Andika. Aku tidak bisa membohongi diri. Aku pun sebenarnya menanam benih cinta padamu.

Tapi, aku sama sekali tidak ingin mengecewakan guru.

Sekali lagi, maaf bila semua rasa cinta padamu kubunuh.

Dan nyatanya, aku berhasil membunuhnya meski dengan amat sulit...," tutur Nofret tetap dingin.

Nampaknya, benar kata gadis itu. Dia telah berhasil membunuh seluruh benih cinta yang berkecambah di hatinya terhadap si perjaka perkasa. Pendekar Slebor.

Andika meneruskan tatapannya. Dia tahu, seorang yang telah memiliki benih cinta tentu akan tersentuh hatinya bila menatap langsung mata orang yang dicintai.

Namun, Nofret menyadarinya. Dihindarinya tatapan menghujam Andika, dengan membuangnya jauh-jauh ke tempat lain.

Begilu tangan Nofret terangkat, sekonyong-konyong udara di sekitarnya berubah dingin membekukan. Uap di sekitar tangan gadis itu bahkan telah berubah mcnjadi butiran-butiran es kecil. Siap meremukkan batok kepala Andika Dalam keadaan lemah seperti itu, bagaimana cara Pendekai Slebor menyelamatkan diri? "Hihl" Tanpa menoleh lagi, sepasang tangan berhawa memkukan Nofret turun deras ke sisi-sisi kepala Pendekar Slebor.Bagi Andika sendiri. jangankan menghindar.

Mengangkat tangan untuk menangkis hantaman maut Nofret saja, sudah begitu sulit. Tubuhnya sudah setengah membeku. Tapi. siapa lagi yang hendak menyelamatkan dirinya?"Wahai, Penguasa Semesta Beri aku kekuatan" mohon Andika dalam hati dalam kejap-kejap menentukan.

Setelah itu. Pendekar Slebor memusatkan seluruh perhatian kesatu titik terdalam direlung hatinya. Dia harus berontak dari kebekuan itu "Heaaa" Beriring teriakan mengguntur yang menggetar dinding lorong. Andika memecah kekakuan dalam dirinya.

Penghimpunan tenaga sakti yang dipusatkan, menentang belenggu kebekuan dalam tubuhnya.

Plak Dan Andika berhasil menjegal hantaman tangan Nofret. Bahkan dalam sekejap, langannya bergerak.

Sisa tenaga sakti di tangan digunakan dalam selang waktu yang begitu singkat, untuk menghajar ulu hati gadis jelita ini.

Dugh "Aaakh" Nolret kontan memekik. Tubuhnya kontan terlempar deras ke belakang dan baru bertienti meluncur ketika dinding batu alam kokoh menghadang. Dan bagian belakang kepalanya pun terbentur keras.

Krak Terdengar suara tengkorak yang retak. Sesudah itu sunyi. Nofret melorot perlahan, di sisi tembok tanpa nyawa.

Malaikat maut terlalu cepat menjemput dara mempesona yang telah menjadi tumbal kebejatan gurunya.

"Nofret.... Nofret. .," panggil Andika masih dalam gigil.

Ingin sekali pemuda itu memburu ke tubuh Nofret.

Mendekap dan memeluk erat-erat. Biar bagaimanapun, Andika sadar kalau gadis yang sempat menitipkan pesona dan tanda-tanda cinta itu sebenarnya hanyalah korban. Tak lebih dari itu.

Apa mau dikata? Yang bisa diperbuat Pendekar Slebor hanya menyilangkan tangan di dada. Rasa dingin masih terus merajamnya. Tubuhnya menyusut sampai tertelungkup rapat.

"Nofret..., maafkan aku...." Masih sempat terdengar desis lirih pemuda itu.


***
Hari masih muda, mulai menggeliat di luar Piramida Tonggak Osiris. Matahari menampakkan tepinya yang matang kemerahan. Gurun cukup ramah. Sejuk adalah sapanya.

Pagi itu, sisa para undangan berhasil keluar dari piramida yang telah menuntut sekian tumbal nyawa.

Andika ditemukan rombongan Chin Liong yang berusaha keluar dari tempat terkutuk itu.

Si Gila Petualang sendiri pergi meninggalkan piramida dengan bara tetap mcmbakar di dada. Rencana besarnya telah luluh lantak. Namun dia masih memelihara sehimpun dendam. Itu sebabnya para undangan dapat keluar dengan mudah setelah kepergiannya.

Di laut lepas sana. ada peisjalangan maut baru menanti mereka….., Tunggu serial Pendekar Slebor Selanjutnya PEROMPAK-PEROMPAK LAUT CINA

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar