-------------------------------
----------------------------
Episode 18 Warisan Ratu Mesir
1
Ketersiksaan yang teramat sangat menjerat Pendekar Slebor,
manakala asap beracun telah menelusup ke rongga paru-parunya. Andika saat ini
tengah terjebak dalam lorong yang dimasukinya di dalam Piramida Tonggak Osiris*Dalam
petualangannya di dunia keras persilatan, udah beberapa kali Pendekar Slebor
berurusan dengan racun terganas di dunia. Namun kali ini, dia merasakan siksaan
yang tak terbandingkan dari pada seluruh racun yang pernah berurusan dengannya.
Sekujur permukaan kulit Andika
seperti disayat sekian juta sembilu. Darahnya seakan digarang dalam tungku
membara. Kepalanya seolah hendak meletus, membuncahkan isinya. Tulang-tulangnya
terasa diremuk-redam.
Dan serat-serat dagingnya
bagai dilarikan sekawanan serigala lapar Pendekar Slebor benar-benar amat
tersiksa, memaksa untuk melolongkan jeritan sekeras mungkin.
Seandainya saja
kerongkongannya tak tersekat. Dan akibatnya rintihan lirih pun tak mampu
dikeluarkan.
Siksaan paling menyakitkan
bagi benteng ketahanan diri Andika selama ini. Jika masih bisa membandingkan,
siksaan itu mungkin setara dengan keadaan saat Pendekar Slebor harus menerima
terjangan lidah-lidah petir kala mencoba menyembuhkan Ratu Lebah di suatu bukit
(Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Sepasang Bidadari
Merah").
Beruntung, pengalamannya
menjerang siksaan gempuran lidah petir, melatih benteng kekuatan dalam dirinya
agar bisa bertahan dalam siksaan paling menyakitkan.
Kuat dalam menggulati maut
untuk mempertahankan secuil kesadarannya. Seperti saat ini.
Dalam detik-detik seperti
itulah sisa-sisa kesadaran Pendekar Slebor terbangkit. Dia langsung teringat
pada tabung air minum pemberian si Gila Petualang. Beberapa waktu lalu, Andika
terasuki racun ganas dalam air di tabung itu. Setelah meneguk kembali air dalam
labung, racun justru dapat ditawarkan (Baca episode sebelumnya: "Undangan
Ratu Mesir").
Ingat akan hal itu,
cepat-cepat Andika meraih tabung kulit dari ikat pinggang pakaiannya. Dengan
gerak tak terarah, mulut tabung itu didekatkan ke bibirnya. Lalu air di
dalamnya pun diteguk.
Gluk Gluk Gluk Gluk begitu
empat tegukan masuk dalam kerongkongan, justru merasakan hal yang dahsyat.
Apa yang terbetik dalam
pikiran ternyata tak selalu selaras kenyataan. Bukannya siksaan itu menjadi
berkurang.
Sebaliknya malah semakin
dahsyat dan menyakitkan Kesakitan memuncak. Di lain sisi, benteng pertahanan
dirinya justru jatuh semakin rapuh. Kesadarannya nyaris hilang....
Bagaimana mungkin lagi tubuh
seseorang bisa bertahan manakala terasa sudah rnenjadi serpih-ui ? Hingga
akhirnya.... "Wuaaa" Diawali lompatan teriakan menggelegar, Andika
merasakan dunia rnenjadi gelap gulita.
***
"Andika Andika Di mana
kau, Andika?" panggil Nofret was-was. Dari ruangan yang dimasukinya,
lamat-lamat telinganya menangkap selenting jeritan. Meski samar, pemilik suara
itu masih mampu dikenalinya.
Tampaknya, antara satu ruangan
dengan ruangan lain yang kini dimasukj masing-masing undangan Ratu Mesir
mempunyai hubungan. Buktinya suara jeritan Andika sampai ke ruangan yang
dimasuki Nolret. Padahal, antara satu ruangan dengan yang lain disekat dinding
yang luar biasa tebal (Baca episode scbelumnya: "Piramida Kematian").
"Apa yang sesungguhnya
terjadi pada Andika?" gumam Nofret galau.
Pemuda itu selama ini semakin
dekat saja merasuki relung hati Nofret.
Omongannya, kegagahannya,
keacuhannya, dan sikap jantannya terhadap wanita membuat Nofret tak mungkin
mengusik perasaan itu.
Wajar saja gadis ini pun
rnenjadi was was bukan main mendengar leriakan tadi.
Sama seperti ruangan yang
dimasuki Pendekar Slebor, ruangan yang dimasuki Nofret pun hanya semacam ruang
kosong yang luas. Tanpa lukisan-lukisan Mesir Kuno seperti di ruangan lain.
Juga tanpa satu perabotan pun.
Lapang, yang ada hanya
ketegangan, teka-teki, dan aroma maut Menyadari pemuda yang menawan hatinya
berada dalam cengkeraman bahaya, Nofret memutuskan untuk meninggalkan saja
ruangan besar itu. Ton, ruang yang sedang diselidikinya ternyata tidak ada
apa-apa. Barangkali itu sekadar pengalih perhatian dari ruangan yang bisa
membawa mereka menuju Ruang Penyimpan Benda Pusaka.
Segera Nofret berbalik, dan
berlari menuju pintu.
Belum tiga langkah kakinya
beranjak, mendadak sesuatu di luar perkiraan terjadi Tiba-tiba saja____ Wsss
Apa yang terjadi? Serupa yang dialami Andika, Nofret pun mengalami kejadian
seperti itu. Dari setiap celah dinding batu, menyembur kabut putih tebal
bergumpal-gumpal. Tak ada bagian ruang yang luput, termasukdi bagian pintu
masuk.
Piramida ini memang terlalu
banyak menerkam mereka dengan kejadian tak terduga. Teka-teki sulit diraba.
Bahkan bagi Nofret sendiri,
salah seorang keturunan Pendeta 'Ka' yang dipercayakan ratu untuk memelihara
Piramida Tonggak Osiris.
Pandangan Nofret dalam sekejap
terhalang. Sulit baginya menentukan kembali, ke mana arah pintu kcluar.
Sementara, dia sudah telanjur
memutar badan ke segenap arah, manakala menyaksikan gumpalan asap putih tebal
kian mengepung. Kejadian selanjutnya tak sulit diduga. Asap itu memang asap
beracun yang juga telah memangsa Pendekar Slebor. Kalau seorang pendekar yang
sudah begitu kenyang deraan siksa luar biasa itu saja dapat dilumpuhkan,
bagaimana dengan si dara Mesir yang sesungguhnya tak memiliki bekal ilmu bela
diri apa-apa? Sebentar saja, tubuh molek Nofret terkulai. Luruh di lantai
***
Andika siuman. Begitu matanya
terbuka perlahanlahan, dirinya didapati berada di sebuah tempat asing.
Terlalu asing. Jauh bertolak
belakang dengan suasana dalam piramida.
Semula Pendekar Slebor mengira
s udah terdampar di alam lain. Sesial-sialnya, dia sudah ditemani gerombolan
cacing tanah, mengingat betapa ganas racun yang telah merasuki tubuhnya.
Syukur sekali, hal itu tidak
terjadi pada diri Andika.
Rasanya, hatinya yakin kalau
masih tetap berada di dunia.
Biarpun suasana tempatnya kini
belum pernah disaksikan sebelumnya.
"Di mana aku?" desis
Andika setengah merutuk.
"Kenapa aku jadi berada
di tempat yang....” Anak muda itu tak bisa memaparkan kalimatnya lagi begitu
bangkit dari berbaringnya ini. Sulit baginya untuk menjelaskan dengan kata yang
paling tepat. bagaimana keadaan tempat. Semuanya terlihat begitu menawan.
Ruang yang memiliki kolam
bening, Iniuga beraneka jenis, lukisan-lukisan padat pesona, bahkan
sangkar-sangkar besar yang di dalamnya puluhan burung dalam berbagai ukuran dan
bermacam warna.
Ketika mengamati kolam, mata
Andika dihidangkan pantulan lembut dasar kolam dari pualam putih. Cahaya dari
kubah bangunan besar di atasnya, terjun langsung tanpa geming ke permukaan
kolam berbentuk bundar itu.
Tepat di tengah kolam, berdiri
bisu arca seorang wanita cantik berpakaian kebesaran. Tangan kanan patung yang
menjulur gemulai ke depan, memegang setangkai tanaman poppy*. Bibirya tampak
mengembang. Sulit mengartikan, apakah itu adalah sebentuk senyum atau seringai.
Dan meskipun hanya patung, matanya seolah membersitkan kekejian yang tergabung
rnenjadi satu dengan gelora nafsu. "Arca siapa pula ini? Mungkinkah patung
itu adalah Sang Ratu seperti yang dimaksud Nofret?" gumam Andika, begitu
telah berdiri.
Dengan badan masih terasa
lemas, anak muda sakti dari tanah Jawa ini mencoba menggerakkan kaki menuju
kolam.Namun mendadak langkahnya terputus manakala menyaksikan sesuatu di sudut
ruangan besar tersebut.
Tampak sebuah peti mati
kebesaran Mesir Kuno tergolek di atas batu altar....
"Apakah aku tengah berada
di ruang penyimpanan jenazah ratu itu?" bisik Andika ragu. bertanya pada
diri sendiri.
Niat Pendekar Slebor untuk
mendekati kolam diurungkan. Kini langkah kakinya malah disorongkan ke arah peti
mati. Lambat tapi pasti. Andika kian mendekati peti yang kepala penutupnya
berukiran bentuk wajah seorang wanita. Mirip dengan wajah patung di tengah
kolam.
Sementara mendekat, jantung
anak muda ini berdebar-debar kacau. Entah kenapa, dia sendiri tak tahu.
Seolah ada sebuab pengaruh
kasap mata dari peti mati tempat pembalsaman yang langsung menelusup ke dalam
sudut hatinya.
Sampai akhirnya langkah Andika
tcrhenti. berdiri tanpa gerak di sisi altar batu. Belum tahu, apa yang barus
dilakukannya lagi. Sedangkan sepasang matanya terus mengamati lekat-lekat
ukiran timbul wajah wanita di penutup peti yang mc ngenakan mahkota yang
ujungnya berbentuk kepala ular sendok. Lama. Cukup lama Andika terdiam macam
orang bodoh. Sampai disadari kalau dia harus berbuat sesuatu.
Lalu tangannya pun mulai
terjulur ke penutup peti.
Sesaat Andika ragu. Dan
tangannya pun terhenti di udara.
"Mestikah aku
membukanya?" gumam pemuda mi l.imat. "Apakah dengan membukanya, aku
telah Iancang mengusik peti mati seorang wanita yang begitu diagungkan
Nofret?" Jika terlalu lama menimbang, Andika merasa dirinya semakin tampak
bodoh. Karena itu diputuskannya untuk melanjutkan niat semula. Tangannya
bergerak kembali.
Penutup peti itu ternyata tak
terlalu sulit dibuka, meskipun agak berat. Celah kecil seputar peti tercipta
Sementara detak jantung Andika semakin tak menentu.
Bersama suara geseran halus,
penutup peti pun terkuak lebar-lebar. Cahaya matahari yang membias dari kubah
bangunan menerobos masuk ke dalam peti. Dengan mata kepala sendiri,Andika
melihat sosok seseorang.
Dan....
Blam Seketika itu juga
Pendekar Slebor melepas kembali penutup peti. Beratnya penutup menciptakan
kegaduhan, manakala bertumbukan dengan badan peti.
Anak muda itu kontan tersurut
mundur ke belakang.
Betapa sulit menggambarkan
wajahnya saat itu. Matanya berhenti berkedip. Mulutnya setengah terbuka.
Wajahnya sebentar merah, sebentar memucat. Sepertinya dia baru saja menyaksikan
satu pemandangan yang benar-benar membuatnya terperanjat sekaligus demikian
risih.
"Tak mungkin...,"
desis Andika seraya menggelengkan kepala.
Sungguh wajar kalau Andika
bertingkah sedemikian rupa, karena apa yang baru saja dilihatnya memang sesuatu
yang tak mungkin. Sebab, di dalam peti mati tempat pembalsaman mayat pembesar
wanita Mesir itu tampak sosok yang sudah begitu dikenal.... Nofret Nofret
terbujur diam dengan tangan terbentang lurus di sisi tubuhnya. Itu yang membuat
Pendekar Slebor benar-benar tersentak. Di samping itu, ada yang lebih gila
sehingga membuatnya menjadi demikian bergegas menutup kembali penutup peti
mati. Nofret yang terlihat di dalam peti ternyata berpakaian amat tipis, tembus
pandang.
Di balik pakaian tipis nya
tubuh Nofret membayang polos tanpa selembar benang pun Sekelebatan, Andika
menyaksikan pemandangan mendebarkan tadi. Disaksikan pula, bagaimana kulit
sehalus sutera milik wanita itu kian menggoda dalam kesamaran kain putih yang
tembus pandang.
"Ini sinting. Ini
kelewatan sinting. Atau aku memang sudah menjadi sinting gara-gara racun
itu" rutuk Andika lagi dengan wajah kebingungan. Tangannya tanpa sadar
menggaruk-garuk jidat berkali-kali. Seolah, di jidatnya sudah tumbuh kudis
paling ganas.
Selagi pemuda dari Lembah
Kutukan ini diberondong rasa keheranannya, penutup peti mati pembalsaman
perlahan terbuka kembali. Kali ini, bukan lagi perbuatan Andika. Pendekar
Slebor sendiri tak tahu, perbuatan siapa. Dia hanya terpaku dengan tangan lupa
diturunkan dari jidat.
Grrr.... Blam Peti pun
menganga sudah. Penutupnya yang seherat seekor anak kerbau jatuh berdebam di
sisi altar. Padahal, penutup seberat itu cuma didorong sebelah tangan halus
dari dalam peti. Tangan sejernih susu, serta berjari selentik ranting pohon
sorga....
"O, Tuhan.... Apa yang
bakal terjadi?" gerutu Andika dalam hati.
Keterpanaan Pendekar Slebor
makin parah saja.
Apalagi menyaksikan jerak
gemulai tangan lentik dari dalam peti. Lalu lamat-lamat, sebentuk wajah yang
mempesona muncul dari sana.
Andika tidak salah lihat Itu
memang wajah Nofret
***
2
Ibarat seorang nakhoda yang
telah mengarungi banyak samudera, selaku seorang pendekar muda, Andika pun
sudah banyak menjalani ragam kehidupan dunia persilatan.
Kebengisan, darah,
pembantaian, sudah menjadi hal biasa yang kerap ditelannya.
Tapi kalau bicara soal
perempuan secantik bidadari berpakaian tembus pandang, itu bisa lain perkara
Bisa jadi, seumur-umur baru dialaminya. Dan tahu sendiri, seorang pemuda yang
masih memiliki luapan darah muda seperti Andika bisa langsung mati berdiri
menyaksikan pemandangan yang baru kali ini disaksikan.
Untunglah pemuda brengsek itu
termasuk kebal guncangan. Andika tidak sempat mati berdiri, cuma saja seperti
orang kehilangan otak. Dia tergolong tolol dengan mulut menganga serta lubang
hidung kembang-kempis.
Apalagi ketika Nofret bangkit
dari dalam peti.
Dengan gerak amat lamban,
wanita itu melangkah keluar peti. Saat kaki jenjangnya terangkat, tersingkaplah
pemandangan yang membuat jantung Pendek.n Slebor seperti hendak ambrol seketika
"Mati aku" pekik Pendekar Slebor dalam hati. Itu pun kalau Andika
masih ingat untuk memekik dalam hati....
Kemudian perlahan, sarat
kegemulaian Nofret melangkah satu-satu menuju Andika. Setiap kali sebelah
kakinya melangkah, terciptalah lenggokan lembut menakjubkan di sekitar pinggul
padatnya yang lebih menggetarkan lagi. Saat buah dada sekal yang samar tampak
di balik pakaian tembus pandang itu ikut bergetar, seolah menyanyikan sesuatu
yang asing.
Andika mcnahan napas,
sekuat-kuatnya tanpa sadar.
Dia seperti takut kalau
dadanya akan segera rontok mendapati tayangan di depan matanya.
Sambil memejam-mejamkan mata
ogah-ogahan' bibir Andika menggumamkan sesuatu.
'Ini bukan pribadi Nofret
sesungguhnya...." Andika memang memiliki firasat, kalau Nofret yang
dihadapi kini bukan Nofret yang dikenalnya. Dia wanita itu sedang dirasuki satu
kekuatan jahat Tampak sekali dari kilalan cahaya matanya yang bersinar
mcnggiurkan, sekaligus menyiratkan kekejian. Tak beda dengan....
Andika tiba-tiba teringat
patung di tengah-tengah kolam."Ya Tatapan matanya berkesan mirip dengan
mata patung itu.... Jangan-jangan, Nofret sedang dirasuki roh ratunya,"
desis Andika agak bergidik.
"Andika...."
terdengar panggilan mendesah meluncur dari bibir ranum Nofret. Wanita itu telah
menghentikan langkahnya.
Kini dia berdiri dalam keadaan
amat menantang sekitar lima tombak di depan Pendekar Slebor.
Untuk yang kesekian kalinya,
Andika tercekat.
Desahan suara itu seperti
datang dari masa yang begitu jauh. Datang dari suatu tempat Iain. Datang dengan
sebuah pengaruh hebat yang merangsak relung hatl Andika, lalu mencoba menguasai
garbanya.
Desahan itu seperti pernah
didengar Pendekar Slebor manakala hampir pingsan akibat asap beracun.
Bukankah yang didengarnya dulu
adalah suara gaib Sang Ratu? Kalau begitu. Andika makin yakin. Nofret telah
dirasuki Sang Ratu "Andika...." Kembali terdengar desahan.
Pengaruhnya lebih kuat daripada sebelumnya. Bahkan sekujur kulit Andika menjadi
bergetar. Ada pula hujaman kuat yang mengepung batinnya dengan rasa dingin yang
sulit dipahami.
"Andika..." Bahkan
kini menyusul gejolak birahi yang mendadak. menempati aliran darah pemuda itu.
Bergolak..., bergejolak Andika berjuang mengenyahkan pengaruh itu.
Tapi makin berkutat
menentangnya, dia makin kehilangan kendali diri.
Tanpa bisa dihindari Andika
tertegun. Matanya dipaksa untuk terus menikmati lekuk-lekuk tubuh Nofret,
melalap jenjang sepasang kaki yang berdiri setengah membentang, melahapi
sepasang bukit indah yang bergerak berirama naik turun....
Jalan napas pendekar muda itu
mulai memburu, mendesah, mendengus... Sementara, desahan napas Nofret lerus
saja memanggil-manggil. Tanpa kalimat, tapi cukup diartikan, Andika
mendekatlah....
Tanpa disadari, Andika
melangkah lambat-lambat menuju Nofret. Matanya terus saja lekat ke lekuk-lekuk
nan padat dan sintal di depannya. Semakin dekat, napas pemuda itu kian memburu.
Bahkan terdengar seperti mendengus-dengus.
Lalu kefjka jarak sudah
demikian dekat, Nofret menggelinjang di ringi desah panjang. Bibir ranum
perawan Mesir ini membuka, di antara desah bergelombang.
Matanya yang berbulu lentik
dipejamkan. sementara, kepalanya menengadah. Seakan hatinya begitu berhasrat
menikmati rabaan di sekujur tubuhnya. Gerak tubuhnya adalah bahasa yang begitu
mudah dipahami. Sebuah isyarat, agar Andika segera menyergap, mendekap, dan
mencumbunya sepanas mungkin Bahasa tubuh menggiurkan itu cepat ditangkap birahi
Pendekar Slebor. Dan nampaknya pendekar muda ini berada di bawah pengaruh
tenungan nafsu roh halus dalam diri Nofret.
"Ahhh..." Desah
padat gairah dari bibir Nofret pun makin memburu, manakala tangan kekar Andika
sudah memagut leher dara yang menengadah ini. Lalu, ditariknya perlahan kepala
gadis itu kewajahnya. Bibir Pendekar Slebor pun siap mengulum atau melumat
seluruh bibir ranum Nofret.
Plak Mendadak satu tamparan
amat keras memancung seluruh desah birahi Nofret. Andikalah yang melakukannya.
Tepat pada saat pagutan mulai
melalap bibir hangat Nofret. sebentuk kesadaran dari dasar hatinya bergeliat,
berontak, terhadap pengaruh tenung gaib.
Kesadaran itu menyeruak deras
ke benak Pendekar Slebor. Amat deras "Ini tidak benar Kau akan terus
terjerumus bila mengikuti gelora nafsumu Kau akan menjadi pecundang, Andika
Pecundang dari nafs u arwah seorang wanita jahat" teriakan dari dasar hati
terdengar, dan hanya bisa dimengerti Andika.
Setelah itu, akal sehat Pendekar
Slebor kembali seutuhnya. Agar tak ada lagi godaan yang nyaris membuatnya lupa
daratan, tak heran kalau Andika terpaksa menampar pipi Nofret. Maksudnya tentu
saja hendak menyadarkann gadis itu dan kerasukannya.
Kalau hal itu yang diharapkan,
Andika justru keliru.
Masalahnya, arwah yang
menguasai garba Nofret bukanlah wanita biasa. Ratu penguasa Piramida Tonggak
Osiris adalah wanita ahli sihir yang menjadi junjungan puluhan ahli sihir mesir
lain pada zamannya. Satu tamparan keras tangan Andika, tak bisa begitu saja
mengenyahkannya.
"Ghhh..." Entah
menggeram, entah mendesis, Nofret menatap jalang ke arah Andika dengan segenap
kilatan kekejian di kedua bola mata lentiknya. Pandangan yang merejam langsung
mata Andika.
Selanjutnya....
"Hiaaa" Tiba-tiba saja Nofret mengibaskan tangan kanannya.
Dan.... "Akhhh..."
Brak Tubuh Andika melayang tinggi seperti tanpa bobot dihempas sebelah tangan
Nofret. Dan itu dilakukan seperti sedang melempar uang logam Derasnya luncuran
tubuh Andika ke belakang, baru berhenti setelah dihadang tembok sebelah selatan
yang jaraknya lebih dari dua puluh depa Bahkan sebagian dinding batu alam itu
masih sempat gompal cukup dalam, seukuran tubuh yang menimpanya.
***
Sesuai kesepakatan, para
undangan Ratu Mesir yang berpencar untuk memasuki ke sembilan ruangan.
harus berkumpul kembali ke
tempat semula. Dari sembilan orang yang memasuki ruangan-ruangan itu, hanya
enam yang kembali. Tiga orang di antaranya menghilang begitu saja. Mereka
adalah, Pendekar Slebor, Nofret, dan si Gila Petualang.
"Andika mana?" tanya
Ying Lien pada Chin Liong.
begutu mereka sudah berkumpul
kembali di persimpangan lorongyangmemiliki banyak pintu masuk.
Mala wanita Cina itu memang
buta. Tapi peraaannya demikian peka. Nalurinya yang tajam merasakan ada kckurangan
di antara mereka. Dan telinganya yang tajam tak mendengar tarikan napas pemuda
pujaannya itu.
"Dia belum kembali,"
sahut Chin Liong, tampak cemas.Wajah Ying Lien pun berubah. Perasaan tak
enaknya terbukti. Wajahnya kini tak kalah cemas dibanding Chin Iiong. Chin
Liong tentu saja tahu, apa penyebabnya. Bukan sekedar rasa persahabatan yang
mengikat erat hati Ying Iien terhadap pemuda urakan itu, tapi juga cinta.
Mungkin saja selama ini Ying Lien masih mampu menyembunyikan perasaannya pada
Andika. Namun unluk saat seperti sekarang, tidak lagi.
"Ayo kita cari dia, C hin
Liong" ajak Ying Lien bergegas. Dan bergegas pula ditariknya tangan Chin
Liong.
Pemuda tampan dari Cina yang
ditarik menahannya.
"Tak perlu, Ying
Lien...," sergah Chin Liong. "Aku dan Hiroto sudah menyusul ke
ruangan yang dimasukinya...." "Lalu? Apa yang terjadi padanya?"
serobot Ying Iien Chin Liong menggeleng dengan wajah kusam.
"Dia tak kami temukan.
Raib begitu saja tanpa jejak ..." sahut Chin Liong lagi.
Dada Ying Lien naik-turun.
Sulit mencoba menutupi perasaan khawatirnya terhadap keselamatan pemuda yang
dikaguminya. "Kalau begitu, biar aku mencari lagi," tandas Ying Lien
agak marah.
Sekali lagi Chin Liong
menahannya.
"Kau sudah tak percaya
lagi padaku, Ying Lien?" sikap Chin Liong agak menyudutkan.
Sebenarnya C hin Liong tidak
sedikit pun tersinggung dengan sikap putri junjungannya yang sudah seperti
saudara kandung sendiri itu. Biar bagaimanapun harus dimakluminya rasa kagum
dan cinta Ying Lien yang demikian meraksasa terhadap diri Pendekar Slebor.
Kalaupun Chin Liong
menahannya, itu karena tidak mau Ying Lien hanya mengikuti perasaan gundahnya.
Selaku putri sekaligus tokoh
persilatan Cina yang disegani, perasaan seperti itu bisa amat membahayakan
dirinya sendiri. Padahal di dalam piramida yang mulai disadari penuh intaian
maut, seseorang harus benar benar memiliki ketenangan mantap dalam mengatasi
semua ancaman.
"Bukannya aku tidak
mempercayaimu. Aku hanya tidak yakin kalau Andika menghilang begitu saja"
sergah Ying Lien.
Suara wanita itu meninggi dan
kasar di telinga Chin Liong.
Setelah itu, barulah Ying Lien
menyadari kebodohannya.
"Maafkan aku, Chin
Liong..," ucap Ying Lien melemah. "Aku tadi begitu...."
"Ya, aku mengerti," potong Chin Liong. "Ada dua orang lagi dari
anggota rombongan kita yang tidak kembali," sela Hiroto. "Nona Nofret
dan Tuan Gila Petualang." "Kau punya gagasan unluk tindakan kita
selanjutnya, Hiroto San*?" tanya Chin Liong. Hiroto sesaat berpikir keras
"Aku tidak tahu lagi, apa yang harus kita perbuat setelah nona pemandu
kita menghilang. Semula, kita bertujuan ke sini karena hendak mengejar tuan
para ahli sihir Sang Ratu. Sekarang, orang itu sama sekali tidak ditemukan.
Sementara dua orang yang sudah sempat melihat isi peta piramida ini, telah hilang
entah ke mana. Maka rasanya kita akan menemui kesulitan besar untuk menemukan
ruang penyimpanan benda-benda pusaka para ahli sihir itu...," papar Hiroto
lanjang-lebar. Padahal, biasanya dia paling sedikit berbicara.
"Hiroto benar,"
timpal Kenjiro. "Kita menemui jalan buntu.""Tapi aku tidak
mengatakan kalau kita akan menyerah," sergah Hiroto. "Sudah pasti
kita akan menemui kesulitan besar, tapi harus tetap berusaha" Selaku
seorang ksatria Jepang, pantang bagi Hiroto untuk menyerah kecuali kematian
menghadang.
"Apa kita akan membiarkan
orang seperti Tuan Kepala Kacang berbuat seenaknya dengan benda-benda pusaka
itu?" susul Hiroto, seperti hanya ditujukan pada saudara sepupunya yang
mulai putus asa.
"Atau membiarkan Tuan
Pendekar Slebor yang kita kagumi itu mendapat celaka?" Kenjiro menggeleng
lamat. Seperti kata sepupunya, tadi, memang tidak pantas membiarkan seorang
kawan sealiran yang sama-sama menjunjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan,
terperosok dalam bahaya maut.
Lebih-lebih Kenjiro sendiri
mulai mengagumi sikap perwira Pendekar Slebor yang diperlihatkan selama ini.
"Kalau begitu, mari kita
cari mereka" putus Chin Liong menyemangati.
"Ayuuuuuh...” koar
Pendekar Dungu seenaknya. Tak kapok-kapoknya dia. Padahal gara-gara
teriakannya, pintu-pintu jebakan membuka waktu itu.
***
3
Bukan kekuatan biasa yang
melontarkan Andika, hingga membuat tubuhnya terhempas semudah dan sejauh itu.
Namun begitu, bukan Pendekar Slebor kalau hanya hempasan demikian menjadi
pecundang. Apalagi sudah berapa banyak kejadian yang lebih berat menghantamnya.
Dengan terhuyung limbung,
Pendekar Slebor mencoba bangkit. Hantaman teramat keras antara tubuhnya dengan
dinding batu alam membuatnya memuntahkan darah segar.
Untuk mengenyahkan
pandangannya yang kabur, anak muda berhati baja itu menggeleng-gelengkan kepala
keras.
Tangannya mendekap bagian dada
yang terasa nyeri minta ampun.
"Nof.., ret, sadarlah....
Ini aku, Andika" ucap Andika tertatih.
Disana, wanita yang dimaksud
malah memamerkan seringai tipis.
"Ha-ha-ha... hi-hi-hi"
Dan seringai itu pun kemudian berkembang menjadi tawa meninggi, memantul ke
segenap penjuru dinding ruangan luas ini.
"Nofret" Andika
berusaha membentak, meski dalam keIcrsengalan napasnya.
"Lawan pengaruh arwah
dalam garbamu Lawan, Nofret Aku tahu kau mampu Dan aku tahu pula, kau
sebenarnya bisa mengenali aku. Hanya kau tak bisa berbuat apa-apa di bawah
cengkeraman arwah keparat itu" cecar Andika, berusaha membangkitkan
kembali kesadaran Nofret.
"Hi-hi-hi.... Kau pikir,
sedang berurusan dengan siapa, jejaka tampan? Kau berada di wilayah
kekuasaanku.
Kau pun berada di tempat
pemakamanku Artinya, kau tak memiliki kesempatan sedikit pun untuk
mengungguliku Tidak juga untuk mcmpengaruhi gadis yang kutumpangi ini"
sergah arwah dalam jasad Nofret. Suaranya masih dikentarai Andika sebagai suara
Nofret.Tapi gaya bicaranya benar-benar bukan lagi milik gadis itu.
"Apa maumu sebenarnya,
arwah perempuan jalang?" tanya Andika terdengar mencerca.
"Apa mauku?
Hi-hi-hi...." Bukannya menjawab, arwah Ratu Mesir itu malah
memperdengarkan tawa nyaring kembali.
Usai menertawai ucapan
Pendekar Slebor, gadis yang sedang kerasukan ini menancapkan pandangannya
dalam-dalam ke manik mata Andika. Pandangan yang merasukkan segenap kilatan
jahatnya.
"Pemuda tampan tanah
Jawa...," panggil Nofret kembali. Nada bicaranya terdengar tetap menggoda.
"Nofretmu sudah tak bisa
berbuat apa-apa lagi. Dia telah kukuasai sepenuhnya.
Sekarang kau berhadapan
denganku. Hetepheres*'." Arwah Ratu Mesir dalam jasad "Nofret yang
mengaku bernama Hetepheres itu terkikik kembali.
"Apa maumu dari kami
sebenarnya?" tanya Andika terdengar sinis.
"Sekadar mencari
kesenangan," sahut Ratu Hetepheres, enteng.
"Dengan melakukan
pembunuhan keji...?" cibir Andika."Apa lagi? Bukankah banyak manusia
begitu bergairah menyaksikan darah sesama? Apa anehnya jika aku pun menyenangi
itu," kilah Ratu Hetepheres.
"Kesenangan sinting"
maki Andika, muak. "Kau mempermaikan nyawa banyak orang yang telah kau
undang sendiri. Dan hanya orang sinting yang sudi melakukannya"
"Kalau kau menganggap tindakanku sinting, lalu apa yang akan kau
lakukan?" leceh Hetepheres, menantang.
Sudut bibirnya meninggi.
Sebelah matanya mengerling.
"Cuma ada satu hal yang
terpikir di benakku saat ini," tegas Pendekar Slebor geram. "Mengembalikanmu
ke neraka" "Hi-hi-hi.... Apa kau seperkasa Ra*? Atau seangkuh Horus*?
Atau segagah Ptah*?" ejek Hetepheres melengking.
Pendekar Slebor membusungkan
dada. Biarpun nyerinya masih menjalar sampai ke lubang hidung sekalipun, dia
tak peduli. Akan dihadapinya cemoohan arwah wanita itu dengan kesombongannya
yang mulai kumat."Seperkasanya manusia. adalah aku Segagah-gagahnya
manusia adalah aku Seangkuh-angkuhnya manusia adalah aku Kau mau apa?"
Pendekar Slebor menantang balik, walaupun bibirnya meringis, ringis.
"Hi-hi-hi.... Kalau
begitu, biar kubuktikan Hih..." Seketika itu juga, Hetepheres yang
menumpang di tubuh Nofret mengacungkan telunjuk ke arah Pendekar Slebor.
Wesss. .
Seketika serangkum kekuatan
yang memanjang lurus bagai tombak tanpa wujud pun melesat hendak memangsa
tenggorokan Andika. Kekuatan yang berpendar putih menimbulkan bunyi manakala
bergesekan hebat dengan udara di sekitarnya.
Serangan awal itu bukan
sekadar permainan sihir.
Pendekar Slebor bisa merasakan
itu.
Menurut perkiraannya, serangan
Hetepheres semacam tenaga dalam langka berkekuatan inti es yang telah diperkuat
sekian kali lipat. Kebekuannya terasa sekali menguasai segenap ruangan.
Sungguh satu kedigdayaan yang
bertolak belakang dengan keadaan Mesir yang dikuasai gurun. Andika sempat
terheran, bagaimana seorang ratu dari daerah gurun bisa menguasai kekuatan
kutub bumi seperti itu? Apakah hal itu tidak janggal? Terbetik tanya singkat di
hati anak muda ini.
Andika yakin, ada sesuatu
rahasia tersembunyi di balik ilmu 'Inti Es'. Kalau saja tidak dalam keadaan
bertarung, tentu akan dipikirkannya lebih jauh.
Seandainya terkena, tubuh
Pendekar Slebor tak hanya membeku. Lebih dari itu, tubuh bisa langsung
mengalami pengerasan terparah dalam sekejap. Akibatnya, seluruh daging, tulang
dan serat' tubuhnya yang membeku, akan menjadi retak-retak. Tak jauh berbeda
sepotong arca terhajar godam raksasa Makin kentara saja bahaya maut yang
terkandung dalam serangan itu, ketika Andika sempat melihat dinding-dinding
ruangan dirayapi serpihan putih, mengikuti gerak laju pukulan inti es Ratu
Mesir. Mudah diduga, tentu saja akibat kelembaban udara yang membeku demikian
cepat.
Sadar bahaya besar mengancam,
Pendekar Slebor menghindar dengan tiga kali salto manis di udara.
Selagi tubuh Pendekar Slebor
masih berputaran di udara dengan tubuh menekuk ke depan, serangan susulan Ratu
Mesir merangsak kembali. Lebih cepat, legih ganas, dan lebih bernafsu. Biarpun
raut wajah wanita cantik itu tak sedikit pun mengalami perubahan. Tetap dingin,
sedingin serangannya.
Wizzz Kelincahan Pendekar
Slebor dalam menentukan keselamatannya untuk serangan ini memang sedang diuji.
Dan sungguh mengejutkan, dia
merasa kehilangan kelincahan secara mendadak. Sekujur sendinya seperti
terkunci.
Urat-uratnya terasa melemah
hingga menyulitkannya bergerak. Padahal saat itu. saat yang paling genting
baginya.
Apa yang sesungguhnya terjadi
pada Pendekar Slebor? Apa akal pemuda berotak cemerlang ini untuk menyelamatkan
diri kali ini? Sementara. pukulan 'Inti Es' Hetepheres berkelebat cepat menuju,
di rongga kepala anak muda itu pun melintas tak kalah cepat sebersit sinar
terbang. Sebuah akal agar bisa lolos dari kebekuan mematikan
"Hiaaa..." Tak tahu apa maksudnya. Pendekar Slebor berteriak keras.
Amat keras.
Mungkinkah Andika telah putus
asa? Tidak Sebagai seorang pendekar muda yang kerap tertantang untuk
mengerahkan kecemerlangan otaknya dalam keadaan genting seperti itu, Andika pun
rupanya sedang melakukan siasat tempur guna mementahkan serangan sulit lawan.
Teriakan Pendekar Slebor yang
di si tenaga dalam tak tanggung-tanggung, menyebabkan getaran keras langsung
merebak ke segenap dinding Salah satu batu besar penyusun langit-langit
mengalami getaran paling hebat, karena dengan sengaja tenaga dalam pada
teriakannya diarahkan ke sana. Maka...
Grrr.... Grakhhh Celah
langit-langit yang memang sudah renggang karena penyusutan bebatuannya akibat
hawa beku Hetepheres, dapat dengan mudah lepas tersentak tenaga dalam teriakan
tadi.
Dan mendadak, satu batu besar
langit-langit yang menjadi sasaran teriakan, segera terlepas amat mudah.
Melunc ur jatuh, lalu menjadi
sasaran pukulan 'Inti Es' Ratu Mesir. Blazzz ltulah siasat cantik yang
terpercik cepat di otak enter si pendekar urakan. Tanpa kecerdikan itu,
mustahil Andika menghindari terjangan serangan kedua lawannya Jleg Pendekar
Slebor dengan susah payah akhirnya dapat hinggap di atas bongkahan batu
persegi, yang runtuh tak jauh dari tempat berdiri Ratu Mesir ini.
Batu yang demikian besar telah
diselimuti salju setebal satu jengkal Kalau batu saja sudah demikian, apalagi
tubuh manusia? "Cerdik? Sungguh cerdik" puji Hetepheres dengan raut
wajah bertolak belakang. Bengis serta dingin.
"Kubilang juga apa...?
Aku memang manusia paling perkasa, paling gagah, paling angkuh. Sekarang, boleh
kau tambahkan kalau aku manusia paling cerdik" kata Pendekar Slebor
sesumbar.
Dan dia berusaha
menyembunyikan keanehan yang menimpa, saat kelincahannya yang amat tersohor di
dunia persilatan hilang.
"Tapi tak cukup cerdik
untuk lolos dari kematian di tanganku" dengus Hetepheres, gusar. Dia
merasa dewa-dewanya disepelekan anak muda itu.
“Kenapa tidak? Di dunia ini,
kunyuk yang paling dungu, bangsat yang paling tolol, serta warga kutu koreng
yang paling bodoh pun, bisa lolos dari tanganmu. Hua-ha-ha" ejek Pendekar
Slebor makin menjadi.
Hetepheres menggeram, sarat
ancaman. Murka sudah dia, terpancing semua kata-kata pedas anak muda ceriwis
ini.
Namun justru itu yang
sesungguhnya diharapkan Andika. Selalu Dalam pertarungan, kekalapan lawan
selalu menjadi satu keuntungan baginya. Sudah berkali-kali dia memetik
keuntungan dari Sana. Dengan begitu. lawan cenderung bertarung tanpa
perhitungan masak. Cerdik juga dia? Tapi, sekali ini Andika kecele. Lawan
cantiknya bukannya kalap membabi-buta. tapi malah kembali terlawa cekikikan.
"Hi-hi-hi..."
"Sundal" rutuk Andika. "Siasatnya hanya jadi bahan tertawaan.
Apa hari ini nasibnya memang sedang apes? "Coba-coba memancing
kemarahanku, pemuda tampan? Mau membuat aku sebagai bulan-bulanan kecerdikanmu?
Hi-hi-hi... Kau tak tahi, siapa aku? Aku seorang ratu yang mengerti arti
kekuasaan. Bagiku, tak boleh seorang pun mempengaruhi...," urai Hetepheres
melantun nyaring. Matanya menyipit-nyipit karena dirayapi kesenangan.
"Kecuali aku"
Mcndadak terdengar sahutan seseorang di ruangan itu. Andika menoleh. Tapi,
Hetepheres tidak. Sepertinya arwah wanita dalam garba Nofret itu tahu, siapa
yang telah hadir di antara mereka.
Andika menyaksikan kehadiran
orang yang menyahuti dengan mata menyipit. Tajam lirikannya, menyelidiki ke
arah lelaki yang berdiri di dekat dinding di belakang Hetepheres. Andika yakin,
di dinding itu tentu ada jalan rahasia. Dan dari jalan rahasia ilu orang itu
keluar.
Hanya Andika tak bisa menduga,
siapa sesungguhnya lelaki itu? Dia mengenakan topeng kepala serigala, seperti
para Pendeta Mesir Kuno yang memimpin upacara kematian. Pakaiannya seperti
dalam lukisan Dewa Anubis*, yang pernah Andika lihat di salah satu dinding
ruangan piramida.
"Siapa dia?" bisik
Pendekar Slebor....
***
4
Tak mudah bagi Andika untuk
menduga, siapa sebenarnya orang bertopeng kepala serigala. Apalagi teka-teki
tentang piramida dan tujuan Ratu Mesir mengundang mereka masih belum
terpecahkan. Juga, mengenai si Kepala Kacang yang menghilang begitu saja
membawa peta rahasia.
Andika jadi bertanya-tanya
dalam hati, apa mungkin orang bertopeng kepala serigala itu Kepala Kacang?
Namun rasanya tidak mungkin, karena lelaki sesat pemuja setan itu juga anggota
rombonga nundangan. Dalam waktu yang demikian cepat, tak mungkin bisa begitu dekat
dengan Hetepheres.
Malah kini keakraban
Hetepheres dengan orang bertopeng serigala itu disaksikan Andika sendiri. Tak
lama setelah mendengar suara lelaki bertopeng, wanita itu lantas berbalik.
Didekatinya lelaki itu dengan sehimpun kemanjaannya. Senyumnya yang menggoda,
masih diiringi lenggokan pinggul padatnya dan tatapan yang menggapai birahi.
Begitu mesra, dirangkulnya lelaki bertopeng itu tanpa kesungkanan atau
kesangsian secuil pun. Jelas-jelas itu membuat Andika menyangsikan praduganya.
"Siapa kau?" tanya
Andika, menyelidik. Lelaki bertopeng tak segera menyahut. Dicumbunya dahulu
Hetepheres dalam satu ciuman berapi-api, memaksa Andika membuang pandangan ke
arah lain dengan sikap muak. "Apa masih perlu menanyakan siapa aku? Karena
sebentar lagi kau akan segera menemui kematian, pendekar muda tanah
Jawa...," kata lelaki bertopeng setelah memamerkan pertunjukan mesum.
Suara terserap topeng besar
itu membuat Andika sulit mengenalinya. Terdengar berat dan dalam. Namun semua
patahan kalimatnya masih cukup jelas ditangkap telinganya.
"Kalau kau tak sudi
menyebutkan siapa dirimu, jangan salahkan aku bila menyebutmu seenaknya. .
Kira-kira, apa cukup bagus kalau kau kupanggil si Congor Panjang? Atau, lebih
manis bila kupanggil Manusia Iler? Seperti serigala yang kebanjiran liur
menemukan bangkai?" leceh Andika asal bunyi.
"Aku Pangeran
Anubis" kilah lelaki bertopeng yang mengaku bernama Pangeran Anubis.
"Wuah" Andika
sengaja melonjak, Bibirnya membulat, sengaja hcndak mengolok-olok.
"Tak kusangka, hari ini
aku beruntung berhadapan dengan dua orang besar sekaligus. Yang Pertama,
seorang ratu gelandangan. Habisnya, dia tak punya rumah, sampai harus menempati
'rumah' kawan gadisku yang bernama Nofret.
Kedua, seorang pangeran
tampan, Terlalu tampannya, sampai-sampai merasa harus meminjam wajah binatang
rakus. He-he-he.... Wajahmu diloakkan ke mana, heh?" ejek Andika seenak
udelnya. Sampai -sampai dia lupa kalau saat ini berada disarang macan.
"Teruskan berceloteh
sepuasnya, pendekar besar mulut. Gunakan kesempatan untuk berbicara sesukanya,
sebelum maut menjemput nyawamu" desis Pangeran Anubis sarat ancaman,
disusul berhembusnya asap putih tebal dari bawah kakinya.
Asap itu seketika menutupi
tubuh Pangeran Anubis serta Hetepheres yang masih menguasai diri Nofret.
Bahkan sampai mengurung mereka
pekat-pekat.
Pandangan Andika pun jadi
terjegal. Tubuh keduanya dilihatnya lagi. Bahkan sekadar batang hi-dung
sekalipun. Apalagi karena asap itu demikian pe-dih, seperti hendak mencongkel
matanya.
Andika mencoba menahan napas.
Dia curiga asap itu mengandung racun ganas. Namun ketika perlahan-lahan asap
menjadi samar dan menghilang, barulah disadari kalau itu hanya dimanfaatkan
untuk mengelabuinya.
Begitu pandangan Pendekar
Slebor terang kembali Pangeran Anubis dan Hetepheres telah raib dari lempatnya
"Kadal" maki pendekar muda urakan itu seraya mengebutkan tangan,
menepis sisa asap yang masih berkeliaran semena-mena di depan wajahnya.
"Bisa-bisanya si Congor Panjang itu menghilang setelah mengancamku..."
Ancaman? Saat itu juga Andika menilai-nilai maksud kata-kata terakhir Pangeran
Anubis.
"Katanya aku akan
dijemput maut?" bisik Andika mulai dirambati ketegangan.
"Sebodoh-bodohnya orang sesat, tak akan mungkin meninggalkan ancaman
kosong belaka. Pasti akan terjadi sesuatu di ruangan ini" Dalam ruangan
besar ini, tubuh Pendekar Slebor tak bergerak sama sekali. Hanya sepasang bola
matanya yang berkeliaran, mewaspadai keadaan di sekitamya.
Ruangan kini lengang. Terlalu
tenang, seperti tenangnya permukaan air kolam di pusat ruangan.
Semenlara itu Patung Sang Ratu
seperti menatap Pendekar Slebor tajam-tajam dalam ketegangan yang kian memuncak
seperti ini.
Lamat, mata Andika mulai
menangkap ketidakberesan pada permukaan air kolam. Permukaan yang Semula tenang
tanpa riak, kini mulai bergetaran membentuk gelombang kecil. Gelombang itu kian
lama bertambah besar. Dan pada waktunya, bisa dirasakannya sendiri adanya
getaran hebat dikawal gemuruh luar biasa yang menyesaki ruangan.
"Modar aku Apa bangunan
raksasa ini akan runtuh?" maki Andika mulai kelimpungan.
Yang disangka Pendekar Slebor
memang tidak terjardi. Tapi yang tidak diharapkan pun bukan berarti tak ada.
Grrrrh...
Brol l...
Mendadak, terdengar suara
bergemuruh riuh dari empat penjuru. Bahkan empat bagian dinding di penjuru yang
berbeda, jebol seketika. Batu alam besar di dinding tak bedanya gundukan kapur
yang terhajar kekuatan sepuluh ekor banteng kedaton. Lebur bertebaran menjadi
debu, menghamburkan serpihan yang begitu halus ke tengah-tengah ruangan tempat
Andika berdiri.
Dengan sigap, tangan pemuda
itu terangkat untuk melindungi matanya dari serpihan debu. Namun, justru ini
menjadi satu kesalahan. Begitu matanya mengerjap sedikit saja, empat terjangan
di luar kelaziman menyerbu dari empat tempat sekaligus. Tepat keluar dari
lubang besar menganga di dinding Terlebih, saat ini keadaan Andika cukup sulit,
karena seluruh bagian tubuhnya masih terasa kaku. Andai saja kemampuan ilmu
meringankan tubuhnya tidak sedang terbelenggu sesuatu, serangan itu pasti dapat
dielakkan dengan mata terpejam. Sayangnya, tubuhnya terasa semakin sulit
digerakkan secara leluasa.
Akibatnya....
Des Des Des Des
"Aaakhhh..." Mulut Pendekar Slebor mengeluh berat tertahan.
Sungguh tak diduga serangan
akan datang demikian cepat.
Kala itu juga, empat bagian
tubuhnya terasa porak-poranda. Apa yang baru saja menghajarnya, Andika belum
tahu persis. Bahkan untuk menduga saja begitu sulit, akibat rasa sesakyang luar
biasa.
Empat hajaran tadi amat keras
mendarat di tubuh Pendekar Slebor. Hanya karena datang dari empat arah yang
berbeda, tubuh pemuda itu jadi tertahan di tempat.
Seluruh tenaga Pendekar Slebor
langsung terasa terkuras lemas. Sambil mendekap bagian dadanya, tubuhnya
meluruk lunglai perlahan. dan hanya bisa bertahan dengan kedua lututnya.
Untunglah dalam keadaan
seperti itu serangan berikut tak segera menerjang. Masih sempat-sempatnya
Andika mensyukurinya. Biapun tak urung, dia mengutuk panjang-lebar di hati.
Samar-samar, pandangan Andika mulai pulih. Agar lebih cepat rnenjadi jelas, kepalanya
digerak-gerakkan dan kelopak matanya dikerjap-kerjapkan. Pandangannya kian
jelas. Sekarang dia benar-benar harus mengutuk dari mulut, begitu melihat apa
yang baru saja menyerangnya.
Sekitar tiga tombak di
sekeliling Pendekar Slebor, telah berdiri empat sosok yang tak hanya
menggidikkan, tapi juga menjijikkan. Empat mayat yang sudah membusuk Dua di
antaranya, Andika mengenal sebagai, Hakim Tanpa Wajah dan Suami si Manyar
Wanita. Sedang dua mayat hidup lain, sama sekali sulit dikenali. Di samping kulit
dan daging keduanya sudah demikian hancur tercabik, pakaiannya pun sudah tak
berbentuk. Sehiruh kulit wajah mereka bahkan sudah terkelupas sama sekali.
"Dedemit pengangguran
mana yang kurang kerjaan menghidupkan bangkai-bangkai busuk ini" serapah
Andika jijik.
Nyaris saja seluruh isi perut
Pendekar Slebor bergolak bendak keluar. Bau bangkai-bangkai itu bukan hanya
menusuk hidung, tapi juga mengobrak-abrik 'jeroan'nya Andika mempersiapkan
segalanya termasuk mengerahkan hawa murni agar rasa sakit yang diderita dapat
sedikit dikurangi. Sekaligus, untuk menguasai rasa mual yang berontak dari
dalam.
Otot tangan Pendekar Slebor
pun menegang.
Kepalanya bergerak ke depan.
Satu kepalan bersiaga di dada. Perlahan-lahan pendekar muda urakan itu pun
bangkit dari simpuhnya. Matanya siaga mengawasi keempat sosok menjijikkan yang
masih terpaku tanpa gerak sampai ke ujung jari sekalipun.
Kesiagaan Pendekar Slebor yang
penuh rmenjadi beralasan, ketika erangan menyayat terdengar dari tenggorokan
keempat mayat hidup itu diiringi terkaman mereka yang bertenaga sepuluh ekor
gajah luka.
"Nggghhhrrr"
"Andika Andika Pak Tua Petualang..." "Nona Nofret Nona
Nofret" "Hei i di mana kalian?" Teriakan sambung-menyambung,
timpang-tindih, dan susul-menyusul, mengisi lorong demi lorong serta ruang demi
ruang yang dilewati para undangan Ratu Mesir.
Entah sudah berapa lama mereka
berputar-pular, menjelajahi segenap ruangan piramida. Namun tiga orang yang
dicari tak kunjung ditemukan.
Sudah sejak lama Kenjiro,
pemuda Jepang berbadan gempal itu menggerutu panjang-pendek. Kakinya sudah tak
kuat menahan tubuh yang kelebihan hehan. Lelah yang dirasakannya sudah sampai
ke ujung pusarnya. Perutnya jadi mual, matanya berkunang-kunang.
Sementara Pendekar Dungu tak
kebagian siksaan seperti itu. Meski usianya sudah seantik keris pusaka Empu
Gandring, untuk soal tenaga nyatanya tak kalah dengan yang muda-muda. Cuma, ya
itu. Cerewetnya minta ampun. Satu kali melangkah, ocehannya sudah dua belas
kalimat. Ada-ada saja yang diucapkan. Tanya inilah, itulah.
Masih mending kalau
pertanyaannya sedikit waras. Masa' di piramida seperti ini jamban segala
ditanyakan? Kalau kebetulan di dinding ruangan ada lukisan, tangannya pun
mengangguk-angguk khusuk.
"Ah Ceritanya kurang
seru" gumam Pendekar Dungu.
Dasar ctak lelaki bangkotan
ini sudah karatan. Apa dipikir lukisan peradaban Mesir Kuno itu sejenis cerita
bergambar? Saat ini Chin Liong yang berjalan paling depan menghentikan langkah
tiba-tiba. Dari perubahan wajahnya terlihat kalau pemuda itu menemukan sesuatu
yang mengejutkan.
Yang dicari lain, yang
ditemukan lain. Antara percaya dan tidak, seluruh anggota rombongan menyaksikan
dengan mata kepala sendiri sesosok mayat lerbujur kaku di sebuah lubang
dinding. Batu besar yang menjadi salah satu penyusun dinding telah terlepas,
membentuk lubang setinggi setengah manusia. Di dalam lubang itulah mereka
menemukan mayat si Kepala Kacang dalam keadaan duduk tertelungkup, seperti bayi
dalam rahim.
Harus diakui, kematian tokoh
pemuja setan itu benar mengerikan. Tubuhnya membeku, dengan daging
terpecah-pecah mengeras layaknya tanah kering kerontang.
Dengan masih tersisanya
butiran-butiran putih seperti salju, seorang yang tahu banyak tentang ilmu
kesaktian angkat bicara setelah lama mereka terpaku.
"Pukulan 'Inti Es',"
kata Chin Liong, berpendapat.
"Aku heran, bagaimana
ilmu yang demikian langka bisa membunuh lelaki itu di tempat tandus seperti
ini. Ini sejenis ilmu yang dikembangkan di daerah yang sangat jauh dari tempat
ini...." Salah seorang lain, lebih tertarik pada papirus yang masih
tergenggam erat di tangan Kepala Kacang.
"Hei? Bukankah itu peta
yang dimaksud Andika San," seru Kenjiro, si lelaki berbadan subur sepupu
Hiroto.
"Ya, benar," tukas
Hiroto.
Chin Liong yang berada paling
dekat dengan mayat segera menjemput papirus tersebut. Dibukanya gulungan
papirus, untuk meyakinkan benda itu memang benar peta yang dimaksud.
Sesaat meneliti, Chin Liong
pun tampak mengangguk pasti.
"Benar. Ini memang peta
itu," kata pemuda dari Cina ini rriernberitahukan yang lain.
"Apakah kau tak merasa
ada satu keganjilan, Chin Liong San?" tanya Hiroto. "Lelaki ini
dibunuh seseorang di dalam piramida. Tapi, kenapa si pembunuh tidak mengambil
peta yang sebenarnya begitu berharga?" "Kau benar, Hiroto San,"
timpal Chin Liong. "Ini benar-benar ganjil.
Seolah-olah, ada satu rencana
tersembunyi untuk menjebak kita semua. Tapi, aku sendiri belum bisa menduga,
apa jebakan itu...." Kedua ksatria muda itu saling tatap. "Sebaiknya,
kita lanjutkan dulu pencarian kita," landas Chin Liong, memutuskan.
Pencarian masih dilanjutkan.
Dengan atau tanpa gerutuan-gerutuan Kenjiro. Begitu tekad mereka. Tapi sampai
sejauh itu, tak sedikit pun tanda-tanda bakal menemukan ketiga orang yang
dicari.
Sampai akhirnya, mereka
dihadang lorong buntu.
Biarpun hampir semua mencoba
menemukan tomboltombol rahasia yang mungkin tersembunyi, tetap tak menemukan
jalan lain.
"Buntu. Lorong ini
benar-benar buntu" rutuk Chin Liong, mulai gusar.
Karena kegusarannya, Chin
Liong meninju dinding di sisi kiri. Bukh Dan tiba-tiba saja, tepat di tempat
Chin Liong mendaratkan tinju kesalnya, dinding luar biasa tebalnya itu pecah
berhamburan. Ada tenaga hebat telah menabraknya dari arah dalam. Akibat tenaga
dcrongan, bahkan mampu melempar deras tubuh Chin Liong ke belakang.
Semuanya terkejut. Sementara
Pendekar Dungu malah sudah mencak-mencak serabutan.
Chin Liong tak mengalami luka
parah, biarpun terlempar cukup jauh. Pemuda Cina itu segera bangkit dengan
terheran-heran. Tak mungkin dinding itu haincur karena pukulannya yang tak
bertenaga tadi.
Dan mereka lebih terkejut
lagi, manakala menyaksikan sesuatu yang baru saja menjebol dinding.
***
5
Kalau jerat maut selalu
mengintai, kalau bau kematian kerap datang tak terduga, kalau tangan-tangan
pencabut nyawa mengendap-endap membawa ancaman.
siapa yang akan menduga kalau
tubuh Pendekar Slebor yang menjebol dinding batu itu? Semua para undangan
mengira, jebolnya dinding scbagai bentuk ancaman lain dari Piramida Tonggak
Osiris.
"Andika" teriak Ying
Lien khawatir teramat sangat, mendapati pemuda pujaan hatinya terbanting
keras-keras di Iantai lorong dalam keadaan mengenaskan.
Warna merah telah menyapu
pakaian bagian dada pemuda itu. Pakaiannya tak karuan lagi. Koyak-moyak di
sana-sini.
Dengan kecemasannya. Ying Lien
menghambur kearah Andika yang telentang lunglai. Tampak tubuh Pendekar Slebor
menggeliat samar menahan kesakitan.
Andika mengeluh berat di
dekapan tangan halus Ying Lien.
"Apa yang terjadi,
Andika?" susul Ying Lien. Mata gadis ilu hampir saja tak kuasa membendung
kesedihan tak terkirakan. Kesedihan yang mengoyak deras dari hati yang
tertambat pada Andika.
"Pakai tanya lagi?"
gerutu anak muda urakan itu meringis-ringis. "Kan kau sudah lihat aku
sedang hancur-hancuran...." "Aku tahu. Tapi, kenapa?" "He-he-he...
hekh" Andika berusaha tertawa. Tapi rasa sakit di dadanya segera
memenggal. "Kau tak akan percaya...." Anak muda itu berusaha bangkit
tertatih-tatih. "Nasibku sedang apes hari ini.
Sampai-sampai, bangkai-bangkai
pun memusuhiku...," sambung Andika setengah ngawur.
"Aku lak mengerti
maksudmu.'" tukas Ying Lien.
"Sebentar lagi kau pasti
mengerti," ucap Andika seraya mcmusatkan perhatian pada lubang besar di
dinding yang baru saja jebol. Bibir anak muda itu komatkamit, menghitung.
"Satu..., dua..., tiga. .
" bisik Andika. Brol l...
Pada hitungan ketiga, lubang
di dinding jebol bertambah besar. Untuk kedua kalinya, semua anggota rombongan
terkejut.
Lalu dari lubang bermunculan
satu persatu sosok yang sebelumnya menggempur Pendekar Slebor. Empat mayat
hidup bau busuk Mereka melangkah terseret, mendekati rombongan. Gerakan semua
makhluk itu begitu kaku. Selagi melangkah, sendi lutut mereka seperti sudah tak
bisa menekuk lagi Semuanya bergerak tegak, bagai empat arca bernyawa.
"Mundur Semuanya mundur"
bentak Andika.
Rahangnya mengeras. Gigi
geriginya bergemeletukan.
"Bangkai-bangkai slompret
itu harus membayar perbuatannya terhadapku Dendam kesumat Aku dendam"
"Buju buneng Seenaknya kau meremehkan orang tua, yaaah," sela
Pendekar Dungu sewot. "Memangnya hanya kau saja yang mampu menjitaki
mereka" Pendekar Dungu menunjuk-nunjuk seru pada keempat mayat hidup yang
terus melangkah ke dekatnya.
Kebetulan sekali, orang tua
bebal ini paling dekat.
Sementara tangannya
menuding-nuding sembarangan, kepalanya sendiri menoleh pada Andika di belakang.
Dan karena kelewat keasyikan, tanpa disadari jarinya sudah mencolok telak-telak
hidung membusuk salah satu mayat.
"E e, mak Ih
Amit-amit..., amit-amit" sentak Pendekar Dungu.
Seketika lelaki cebol ini
menarik tangannya dalam-dalam. Bahunya bergetar seperti orang yang baru selesai
membuang hajat kecfl. Dengan terjing-kat-jingkat, jari telunjuknya tadi
disentak-sentaknya.
"Lembek..., lembek"
teriak Pendekar Dungu selagi menjauhi para mayat.
Andika maju.
"Sudah kubilang, mereka
bagianku" rutuk Andika, masih dibakar kedongkolan.
'Tapi, aku bukannya takut,
Iho," bisik Pendekar Dungu di telinga Andika. Gayanya sok khusuk.
"Aku cuma geli...."Bahu Andika mengedik-ngedik. Kalau soal geli,
Andika juga merasa geli melihat bibir si bangkotan yang selusuh gombal
menggelitiki daun telinga "Nah..., tuh-tuh Mereka mendekatimu" seru
Pendekar Dungu blingsatan.
"Izinkan aku membereskan
mereka, Andika San" sergah Hiroto di belakang Andika sambil membungkuk
hormat. Andika menoleh.
"Mereka masih punya
hutang satu bogem sial padaku. Tapi kalau kau memang berniat menagihnya buatku,
kupersilakan," ujar Andika. Sikap hormat ksatria negeri Sakura itu
membuatnya tak enak untuk menolak.
Hiroto membungkuk dalam-dalam,
scbagai tanda terima kasih.
Zrang Lelaki dari Nipon ini
pun meloloskan samurai panjangnya. Bisa jadi, Hiroto tak mau bertele-tele
menghadapi keempat mayat menjijikkan yang hanya akan menunda-nunda waktu yang
lebih penting dan darurat.
Bukankah mereka masih harus
mencari Nofret dan si Gila Petualang? Dengan genggaman dua tangan kuat-kuat
pada gagang pedang, Hiroto mengangkat senjatanya tinggi-tinggi. "Hai
i" Diawali teriakan berapi-api, pemuda ini menerjang satu mayat hidup yang
melangkah paling depan.
Craz Sekali tebas, kepala si
mayat hidup langsung terpental dari leher, jatuh menggelinding di lantai dan
tergolek di salah satu sudut. Tak ada sepercik darahpun membasahi.
Kepala mayat itu memang tak
bergerak lagi. Namun tubuh tanpa kepala di depan Hiroto, nyatanya masih bisa
bertindak di luar perkiraannya.
Wukh Satu sambaran tangan
mayat itu menebas udara lurus lurus. S.isarannya kepala Hiroto. Namun kecekatan
pemuda Nipon ini menyelamatkan dirinya dari sambaran cepat. Tubuhnya merunduk
sedikit. Begitu tangan mayat itu lewat di atas kepala, samurai Hiroto kembali
berkelebat.
Traz Bruk Lantai lorong untuk
kedua kalinya dijatuhi potongan tubuh membusuk. Kalau manusia biasa, tentunya
korban tebasan samurai Hiroto akan segera ambruk. Karena yang dihadapinya kali
ini bukan lagi manusia, maka tebasan kedua pun tak berarti Hiroto berhasil
menghabisinya.
Wukh Lagi-Iagi serangkum angin
amat keras mendesir, ketika sebelah tangan si mayat hidup mencoba mengepruk
batok kepala Hiroto. Dua kali usahanya untuk menjatuhkan mayat hidup telah
gagal. Dan kini mendapat serangan dahsyat.
Ini membuat kegeraman Hiroto
melonjak.
Setelah berhasil berkelit
lincah dengan melompat ke belakang, wajah sedingin es Hiroto menegang.Matanya
menyipit. Dahi dan pangkal hidungnya berkerut.
"Haaai i..." Bersamaan
satu teriakan kedua, Hiroto mengerahkan segenap tenaga tebasannya pada samurai.
Gerakan senjatanya memancung
lurus-lurus dari atas ke bawah.
Srat Rupanya Hiroto
benar-benar sedang geram Tebasannya telah membuat tubuh mayat itu terbelah
menjadi dua bagian memanjang Kalau kaki dan tubuhnya sudah terpisah seperti
itu, tak mungkin lagi bagi si mayat hidup untuk bisa berdiri.
Tamatnya satu mayat, menjadi
awal bagi Hiroto untuk meladeni mayat hidup lain. Kedua kaki pemuda Jepang ini
berjalan bersilangan teratur. Sementara, matanya menghunus ke arah satu mayat
lain yang makin dekat padanya. Sedangkan samurainya terbentang ke
depan."Heaaaat." Srat Srat Srat Entah berapa kali tebasan di akukan
Hiroto.
Kecepatan kelebatan samurainya
yang luar biasa mempersulit siapa pun untuk menghitung Yang jelas begitu
selesai, badan mayat tadi sudan terpotong-potong menjadi beberapa bagian
sebesar kepalan tangan.
Lalu dua mayat lain mendapat
bagian yang sama.
Satu persatu. Sampai akhirnya,
lorong menjadi senyap kembali. Sedangkan di lantai, sudah berserakan
potong-potongan tubuh mayat. Sebagian masih saja bandel bergemik-gemik. Plok
Plok Plok "Hasil kerja yang bagus"puji Manyar Wanita genit.
Rupanya wanita itu sudah tak
ingat lagi pada suaminya. Padahal di antara mayat-mayat yang baru saja
terpotong-potong adalah suaminya.
"Setuju" teriak
Pendekar Dungu. "Kalau gerak-anmu secepat itu, ada baiknya kau yang
menyunatku. Biar cepat beres. Dan, aku tak tcrsiksa terlalu lama...."
Hiroto mengernyitkan kening.
Mana mengerti pemuda Jepang
ini dengan maksud Pendekar Dungu tentang sunat-menyunat. Kalaupun mengerti,
bagaimana bisa percaya kalau orang sebangkotan itu belum juga di....
Waktu bergeser terus.
Penggalan demi penggalan waktu membawa para undangan Ratu Mesir pada tepat
tengah malam. Lambat namun pasti. Dan ketika tengah malah benar-benar telah
tiba, apa yang sesungguhnya bakal terjadi? Masih terngiang jelas di benak semua
anggota rombongan yang tersisa pada papirus berisi pesan penuh teka-teki dari
Ratu Hetepheres yang dibacakan Nofret ketika itu.
Intinya, mereka akan
dihadapkan pada suatu peristiwa puncak yang menjadi 'hidangan' dari si penguasa
Piramida Tonggak Osiris. Hidangan yang tak sekadar untuk pemuas. Lebih dari
itu, hidangan yang bakal mereka terima bisa jadi hidangan maut Sementara itu,
menjelang purnama menempati singgasananya di puncak langit bebas, dua sosok
terlihat di sebuah kuil kuno besar yang jauh dari Piramida Tonggak Osiris. Dari
bentuk tubuh masing-masing, jelas kalau mereka adalah dua manusia berbeda
jenis. Satu pria, sedang yang lain wanita. Si wanita adalah Ratu Hetepheres.
Sementara si lelaki tak lain Pangeran Anubis, tokoh yang masih rnenjadi
teka-teki bagi Pendekar Slebor yang sempat bertemu dengannya.
Kuil itu berada tak jauh dari
bibir Sungai Nil, di kebisuan gurun luas. Sebuah kuil yang usianya setua
Piramida Tonggak Osiris.
Bangunan kuil ini cukup
tinggi. Tiang-tiang batu besar menjadi rangka bangunan. Siapa pun akan berdetak
heran, bagaimana cara orang-orang Mesir Kuno itu menyusun batu-batu tiang
raksasa? Tak mungkin mereka mengangkat batu yang lebih besar dari rangkulan
enam-tujuh orang itu begitu saja.
Menurut cerita sejarah, batuan
raksasa penyusun tiang-tiang kuil itu disusun dengan bantuan timbunan pasir.
Setiap satu bagian berdiri,
segera ditimbun pasir gurun di sekelilingnya. Dengan begitu, para pekerja dapat
menyeret batu raksasa lain sebagai bagian selanjutnya.
Tepat di kaki salah satu tiang
besar di muka kuil, Nofret yang dikuasai Hetepheres dan Pangeran Anubis berdiri
diam mematung. Terpaan angin gurun mengusik pikiran masing-masing, tanpa bisa
mengusik kebekuan mereka. Rambut panjang wanita ilu sesekali menutupi wajah
jelitanya. Itu pun tetap tak membuatnya terganggu.
Sepasang bola mata dua manusia
berbeda jenis itu menohok dingin pada purnama berkabang di dinding langit.
Berkedip pun seperti sudah tidak perlu lagi, karena begitu tajamnya mereka
menatap. Di bawahnya, Sungai Nil memamerkan riaknya.
Cahaya lamat purnama jatuh.
lalu berpantul dalam pecahan-pecahan kecil pada permukaannya. Namun begitu,
suasana tak menjadi syahdu. Bahkan terbangun kesan menyeramkan, sulit
digambarkan.
Purnama sebentar lagi berada
di puncak singgasananya. Tepat tegak lurus di angkasa.
Begitu Sang Ratu Malam itu
tiba, tangan Pangeran Anubis tiba-tiba terungkit tinggi. Telapak tangannya
membuka lebar ke arah benda raksasa angkasa tersebut.
Saat berikutnya, mencelat
sebentuk mantera-mantera mendirikan bulu roma dari mulut lelaki bertopeng
kepala serigala itu.
"Wahai para serdadu dari
masa yang demikian tua Wahai para serdadu Ratu Penguasa Gurun serta Raja-raja
Mesir nan perkasa Wahai kalian yang terbujur lama di dasar permukaan Sungai
Nil. Bangkitlah Bangkitlah memenuhi panggilanku Sebentar Pangeran Anubis
menghentikan manteranya.
Sehimpun kekuatan batinnya
seketika mengalir di setiap manteranya, membuat suasana kian menegang.
"Bersama kalian aku akan
menegakkan kembali kejayaan penguasa kalian yang kini berada dalam genggamanku
Ooo, Hapi* bebaskan mereka untukku Serahkan padaku agar mereka mengabdi
untukku" Begitlu suasana telah terkunci kelengangan.
mendadak bertiup deru angin
kencang yang tak teratur dari segenap penjuru mata angin. Riuh seketika
menguasai wilayah itu.
Pasir diterbangkan liar
memberangus kehampaan. Awan gelap pun meringkus cahaya purnama yang kian
memucat.
Permukaan Sungai Nil yang
semula beriak kecil, kini mulai membentuk beberapa pusaran di beberapa tempat.
Pusaran air itu lama-kelamaan
membesar dan membesar.
Sampai akhirnya, gelombang
saling bertumbukan tak terkendali. Suasana makin dilantak keriuhan Kala
selanjutnya, bermunculanlah kepala-kepala manusia dari gelombang pusaran
permukaan sungai. Jumlahnya bahkan mungkin ratusan. Munc ul segerombolan demi
segerombolan dari beberapa tempat berbeda.
Ketika awan gelap enyah dari
wajah purnama, cahaya pun jatuh bebas kembali ke permukaan Sungai Nil.
Maka, terlihatlah wajah-wajah
yang muncul itu dengan lebih jelas. Wajah-wajah yang sudah sulit dikatakan
sebagai wajah manusia, dan sebagian masih terbalut kain balseman. Juga,
terbalut tumbuhan liar sungai Seperti gerombolan binatang melata dari dasar
bumi, mereka semua mulai bergerak ke tepian sungai.
Arahnya, menuju tempat berdiri
Pangeran Anubis dan Nofret.Begitu daratan mulai dijejaki, mereka segera
melangkah amat kaku menghampiri orang yang baru saja mengundang. Di tangan
masing-masing mayat hidup yang telah tergolek sekian ratus tahun di dasar
sungai ilu, tergenggam berbagai jenis senjata khas pasukan Kerajaan Mesir Kuno.
Dari lembing berkarat yang mirip arit panjang, belati-belati besar, pedang yang
tengahnya meramping, sampai kapak-kapak serta gada yang semuanya berbentuk
khas. "Terus.... Berjalanlah kalian dengan kepatuhan yang mcmbatu dalam
kematian. Bersiaplah mengab-di pada Tuan baru yang akan menitah kalian untuk
membantai para korban. Hisap tempurung mereka Kunyah jantung mereka"
Seperti tak peduli pada Ratu Hetepheres dan Pangeran Anubis, mayat-mayat dari
dasar Sungai Nil itu melangkah terseret menuju Piramida Tonggak Osiris.
"Ha-ha-ha....
Hi-hi-hi..." Lalu melengkinglah tawa meninggi, meningkahi riuh suasana
yang mulai mclamal.
***
6
"Aku heran, kenapa kau
seperti baru saja dipecundangi oleh empat mayat itu, Andika?" tanya Chin
Liong ingin tahu.
Sungguh sulit bagi pemuda Cina
itu untuk mempercayai kalau Andika sampai terlempar dan menjebol dinding dalam
keadaan babak-belur, hanya menghadapi empat mayat itu. Sebab jika
dibanding-bandingkan, kedigdayaan Andika sesuugguhnya berada di atas Hiroto.
"Sial kau Bukannya
menolongku malah meledek" semprot Andika. Masih saja Pendekar Slebor
dongkol dengan semua keapesan yang memamah dirinya mentah-mentah.
Chin Liong tertawa kecil.
Ditinjunya bahu Andika.
"Aku bukannya hendak
meledekmu, kepala batu Aku hanya heran. Apa kau tak merasa heran terhadap
keadaanmu waktu itu?" kata Chin Liong lagi.
"Kalau dipikir-pikir, aku
memang jadi tak habis pilar.
Kenapa aku seperti kehilangan
kelincahan saat itu.
Dengan mudah bangkai-bangkai
busuk itu menjadikan aku bulan-bulanan Slompret betulan" rutuk Andika.
"Kau bersedia ceritakan
apa saja yang telah kau alami?" lanjut Chin Liong lagi.
Sementara itu, Ying Lien
merawat luka-luka Andika di sisinya."Biang kerok sekali kau, ah Kenapa tak
kau biarkan dulu perawatan Putrimu ini kunikmati?" bentak Andika
sewot.Ying Lien hanya bisa tersipu. Dia maklum sekali terhadap sifat urakan
pemuda yang telah lama dikenalnya (Baca episode: "Pengejaran Ke
Cina").
Chin Liong jadi agak mangkel
mendapati sikap Andika seperti itu. Iseng-iseng, diusilinya Pendekar Slebor.
Bagian dada pemuda tanah jawa
yang memar terhantam pukulan mayat hidup, dijentiknya dengan sedikit penyaluran
tenaga dalam. Tik "Adaaaou Slompret Apa-apaan kau ini?" maki Andika
dengan wajah benar-benar matang, menahan sakit.
"Itu sekadar untuk
memastikan, jenis pukulan apa yang telah menimpamu," kilab Chin Liong
puas.
"Asal kau tahu, Ying Lien
amat hebat dalam ilmu pengobatan negeri kami yangjempolan Aku sekadar membantu
saja untuk mencari tahu jenis pukulan yang...." "Ah, diam kau"
penggal Andika melotot.
"Tadi kau katakan, kalau
tubuhmu seperti kehilangan kelincahan, bukan?" sela Ying Lien, begitu
selesai memberorehi luka memar Andika dengan ramuan Cina yang dibawa.
Sedangkan untuk luka dalam,
Andika menolak mentah-mentah pertolongan siapa pun untuk menyalurkan hawa murni
ke tubuhnya. Dia masih mampu Begitu katanya dengan sikap keras kepala.
Sebelumnya dia malah bersikeras untuk ditinggal saja. Biar yang lain terus
melanjutkan pencarian ruang rahasia penyimpanan pusaka ahli sihir.
"Eh Kau dengar juga
perbincangan sialku dengan panglima perangmu yang juga sial ini, ya?"
tukas Andika acuh. "Aku kira, kau terlalu asyik memijat-mijat dadaku"
"Mau cepat-cepat membereskan masalah ini, atau tidak?" tanya Ying
Lien ketus. "Makin lama kita di piramida ini, segalanya makin menjadi
runyam saja" Andika memberengut.
"Iya-iya Aku tahu
itu" gerutu Pendekar Slebor.
"Nah Kalau begitu, jawab
pertanyaanku...." "Aku memang merasa seperti kehilangan kelincahan
waktu itu...," mulai Pendekar Slebor sungguh-sungguh.
"Maksudmu, kau merasa
seluruh tubuhmu menjadi demikian kaku?" "Lho? Kau tahu?" Ying
Lien terdiam. Matanya menerawang kearah lain.
"Aneh...," gumam
gadis ini.
"Aneh apa? Bagaimana
anehnya?" desak Andika.
Dari berbaringnya, dia
bangkit.
Duduk berselonjor menghadap
Ying Lien. "Aku hanya teringat pada satu ramuan dari negeri asalku yang
mampu membuat otot-otot dan sendi menjadi amat kaku. Sebenarnya, ramuan itu
dibuat para Biksu Cina untuk pengobatan. Namun beberapa orang sesat justru
menambahkan beberapa bahan, sehingga malah menjadi racun yang tak mematikan.
Namun, bisa membuat seseorang tokoh hebat rnenjadi tak berdaya...," papar
Ying Lien. "Apa mungkin ramuan seperti itu sudah ditemukan pula oleh para
ahli sihir Mesir?" "Atau...," sela Andika, dengan mata menatap
Ying Lien seperti mencurigai sesuatu. "Ramuan yang kuterima memang berasal
dari negerimu" "Kau mau menjelaskan apa maksudmu, Andika san?,"
sela Hiroto ikut angkat bicara. Dia menjadi tertarik pada pembicaraan mereka.
Lalu Andika pun menceritakan
dengan singkat semua kejadian yang telah menimpa. Dari kepulan asap tebal yang
membuat kesadarannya hilang sampai bentroknya dengan Nofret yang dikuasai roh
Hetepheres.
"Tunggu..., tunggu,"
tukas Chin Liong. "Kau tadi hei kata telah lerkena asap tebal yang membuat
kesadranmu hilang, bukan?" "Betul" Chin Liong menjentikkan jari.
Matanya melirik Ying Lien penuh arti.
"Hei-hei Kenapa kalian
jadi main mata seperti itu.
Jelaskan saja padaku, apa
maksudmu?" ujar Andika mulai kambuh lagi dia.
"Bukankah Ying Lien telah
mengatakan padamu perihal ramuan pelumpuh itu?" Chin Liong malah balik
bertanya.
Andika mengangguk,
membenarkan.
"Tampaknya, dugaanmu
memang benar, Andika." lanjut Chin Liong. "Asal kau tahu, ramuan dari
negeri kami itu sebenarnya dapat terbagi dalam dua bagian terpisah.
Satu ramuan diberikan melalui
perantara asap yang masuk ke paru-paru, lalu menyebar ke seluruh tubuh melalui
darah korbannya. Sedangkan sebagian lain harus diberikan melalui minuman. Jika
keduanya bersatu dalam tubuh si korban, barulah keampuhan ramuan itu bekerja..."
"Tapi, Andika hanya menghisap asap itu saja...," sergah Ying Lien,
mulai ragu.
"Tidak" sergah
Andika pula. Wajah Pendekar Slebor berubah kaku. Sepertinya baru saja disadari
sebuah kesalahan amat besar yang telah mereka semua lakukan.
"Aku memang meminum
sesuatu, saat asap itu terhisap" Andika bergegas mengeluarkan kantung
minuman dari kulit yang telah diberikan si Gila Petualang padanya.
"Ini..., aku meminum air
dari dalam tabung kulit ini" Andika menepuk bahu Chin Liong. "Biar
aku menebak sesuatu. Chin Liong. Apakah bila ramuan dalam bentuk cairan
diminum, orang itu akan merasakan panas luar biasa?" Chin Liong menautkan
alis.
"Bagaimana kau bisa
tahu?" susul Chin Liong, malah bertanya lagi.
"Dan jika ramuan cair itu
diteguk untuk kedua kalinya, maka pengaruh amat membakar itu akan
memunah?" papar Andika lagi, pasti.
Sekali lagi Chin Liong agak
terperangah.
"Sekarang, rasanya aku
sudah tahu, siapa 'biang borok' semua ini" tuntas Andika geram...
***
Sementara ilu segerombolan
makhluk mengerikan sekaligus menjijikkan mulai menerjang-nerjang pasir gurun
lewat seretan kakinya. Mereka terus melangkah seperti rayapan sepas ukan
prajurit dari neraka, menuju Piramida Tonggak Osiris.
Merekalah tentara perang
andalan sebuah trah* Kerajaan Mesir Kuno yang telah mati selama berabad-abad
yang lalu. Ketika Sang Raja mati, para prajurit setia itu pun merelakan nyawa
untuk mengiringi Sang Raja ke hadapan Osiris dengan melakukan bunuh diri
bersama. Karena diyakini. Sang Raja yang diagungkan akan memerlukan mereka
sebagai para punggawa di kehidupan yang lain.
Lalu usai pembalsaman jenasah
Sang Raja, jenasah para prajurit itu pun dibalsem. Dan karena raja mereka amat
memuja Dewa Hapi, Dewa Sungai Nil maka mayat mereka dibalsem dan ditenggelamkan
ke dalam sungai itu pula.
Kini, mereka dibangkitkan
kembali oleh kekuatan hitam Pangeran Anubis.
Sementara itu, Pangeran Anubis
sendiri sudah tidak terlihat lagi di antara mereka. Demikian juga Hetepheres.
Angin gurun yang saat itu
bertiup garang, tak bisa menahan satu mayat hidup pun. Kain pembungkus tubuh
mereka yang sudah terkoyak tak karuan, menjadi permainan empuk angin yang
bertiup. Debu berbaur pasir pun mengembang di udara, sepanjang perjalanan
akibat seretan langkah berat seluruh makhluk menggiriskan itu.
Sekian lama mengarungi gurun
dingin, Piramida Tonggak Osiris pun akhirnya terlihat di kejauhan. Pucuknya
seperti hendak menusuk bulan. Penuh kesan angkuh, dingin, dan memendam
teka-teki.
"Nggg. ."
"Srrr...srrr.. " Gumaman berlendir yang tumpang-tindih para mayat
hidup ditingkahi desis pasir terseret kaki. Rombongan ganjil itu kian dekat ke
tujuan.
Kini mereka pun tiba tepat di
depan tangga raksasa yang memanjang. Satu ujungnya bersambungan dengan pintu
masuk besar, yang sebelumnya tidak pernah dimasuki rombongan undangan. Memang
saat itu, rombongan undangan masuk melalui satu pintu rahasia.
Semua mayat hidup berdiri
dalam barisan tak teratur. Sebagian besar berdiri tanpa bisa tegak. Meski telah
menjalani pembalsaman, masa yang sudah sangat tua rupanya telah membuat tubuh
mereka rusak juga.
Cukup lama para mayat balseman
terdiam seperti itu. Mereka baru mulai bergerak kembali. ketika pintu besar di
atas sana perlahan terkuak menimbulkan bunyi bergemuruh dalam.
Kalau tadi gumaman berlendir
mereka didampingi desis pasir, kini berganti diiringi langkah-langkah berat
meniti anak tangga batu raksasa memanjang. J uga, ramai ditingkahi denting
senjata sebagian pasukan aneh, ketika terseret di setiap anak tangga.
Suasana menegangkan lengkap
sudah.
Dan ketika pintu besar mulai
terkatup perlahan, sepasukan mayat hidup itu pun tertelan di kegelapan
piramida.
"Ha-ha-ha..."
Seiring dengan itu, terdengar tawa terbahak seseorang yang membahana merangsak
suasana. Tawa kepuasan yang meluncur entah dari arah mana.
"Hua-ha-ha... Sempurna
sudah semuanya Sekarang aku benar-benar menikmati hidupku Aku puas Puasss
Ha-ha-ha..." Kini gurun bisu. Hanya angin yang masih mendesah-desah resah.
***
"Keluar Kita harus keluar
dari tempat keparat ini" seru Andika tiba-tiba.
Baru saja para undangan ini
selesai membicarakan kejadian yang menimpa diri pendekar muda itu.
"Keluar? Apa
maksudmu?" tanya Ying Lien, tak paham."Ini semua hanya perangkap maut
untuk kita Kalau kita terus di sini, itu artinya hanya mempertaruhkan nyawa untuk
hal yang sia-sia"seru Andika lagi, meledak-ledak.
Yang lain untuk sesaat saling
pandang. Bagi beberapa orang yang sudah mengenal baik pendekar satu itu,
keputusan yang meledak mendadak barusan itu tidak bisa dianggap main-main.
Terutama Chin Liong dan Ying Lien. Mereka amat tahu, bagaimana tajamnya
pengamatan Andika terhadap satu perkara pelik sekalipun. Teka-teki yang mungkin
luput ditangkap orang lain, seringkali bisa dipecahkan secara mengejutkan.
Tapi, kedua orang itu merasa
kali ini Andika luput akan satu hal.
"Bagaimana dengan Nona
Nofret, Andika?" tanya Ying Lien, mengingatkan pemuda itu.
"Astaga... Kenapa aku
jadi seceroboh ini," desis Andika mengutuk diri sendiri Pendekar Slebor
meninju telapak tangannya sendiri dengan geram. Sekarang dia dihadapkan pada
dua keputusan yang sama-sama sulit. Pertama, mereka harus segera pergi dari
sana, jika tak ingin ada korban tcrgeletak lagi. Jika mereka pergi, maka Nofret
harus ditinggalkan. Di lain sisi, jika memutuskan untuk mencari Nofret, apakah
mereka bisa menyelamatkan diri dari sekian jebakan maut yang mungkin belum
ditemukan? "Jadi bagaimana, Andika San?" tanya Hiroto, meminta
keputusan Andika. Ksatria Jepang itu memang sangat menaruh rasa hormat pada
Pendekar Slebor.
Andika menggeleng lamat.
"Aku tak bisa memutuskan
persoalan ini sendiri. Scmuanya tergantung kalian. Jika lebih banyak yang
memutuskan untuk mencari Nofret atau sebaliknya, maka itulah keputusanku
juga...," jawab Andika, mencoba bijak.
Sesaat, seluruh anggota
rombongan saling berpandangan kembali. Masing-masing seperti meminta keputusan
pada yang lain. Kecuali, si tua bangkotan Pendekar Dungu. Menurut perkiraannya,
semua orang sedang main pelotot-pelotoran. Makanya, dia pun menebar
pelototannya kian kemari.
Sampai akhirnya mereka semua
kembali menatap Andika.
"Hei, jangan menatapku
seperti itu" sergah Andika.
"Aku tidak bisa mengambil
keputusan sendiri. Dan, bukankah sudah kukatakan?" Andika menarik-narik
kain pusaka bercorak-caturnya tanpa maksud. "Kalau aku, sih.... Jelas hendak
mencari Nofret," kata Pendekar Slebor malu-malu. Chin Liong tersenyum
samar.
"Rasanya, kita semua pun
berpikir begitu, Andika," ujar pemuda Cina kawan dekat Pendekar Slebor
ini, mewakili semua suara.
" Apa benar begitu?"
tanya Andika. ingin meyakinkan.
Jawabannya adalah anggukan
setiap anggota rombongan.
"Kalau begitu, ma.. .
" Grrr...
"Hei Awas" teriak
Manyar Wanita, memperingati Andika ketika lantai tempai dipijak tiba-tiba saja
terkuak.
Kalimat Andika sendiri sudah
terpancung sejak tadi.
Namun dia jadi terkesiap luar
biasa. Untunglah pengaruh ramuan yang mcmbuat kelincahannya lumpuh telah
dipunahkan keahlian obat-obatan Ying Lien.
Sigap dan begitu tangkas,
Aidika melepas kain pusaka yang kebetulan sedang digenggamnya. Begitu lepas
dari bahu, dilecutkannya kain pusaka itu ke arah Chin Liong.
Chin Liong pun tahu, Andika
tak bermaksud menyerangnya. Satu-satunya maksud adalah meminta bantuannya. Maka
dengan cepat disambut lecutan kain pusaka Pendekar Slebor.
tap Ujung kain itu berhasil dicengkeram
Chin Liong.
Dengan begitu, Andika pun
selamat dari telanan lubang.
Sebelum dia sendiri menghentak
tubuh untuk kembali ke atas, sesuatu amat cepat mencengkeram pergelangan
kakinya. Cengkeraman, yang kukuh seakan hendak meremukkan…..
***
7
"Sinting Apa-apaan ini
maki Pendekar Slebor kalap.
Rasanya, Andika tak suka
menumpuk dosa. Tapi, kenapa selalu dia yang apes "Ada apa lagi,
Andika?" tanya Ying Lien Matanya yang buta membuatnya sulit menduga apa
yang sesungguhnya terjadi dalam lubang. Kecuali. suara-suara aneh yang
terdengar.
"Ada mayat-mayat hidup
lagi" teriak Andika melengking.
Di bawah lubang yang ternyata
bersambung dengan lorong lain, dua prajurit Mesir Kuno berusaha membetot kaki
Andika untuk masuk ke dalam lorong. Satu di antaranya sudah siap menghujam
punggung Andika dengan tombak berkarat.
"Tahan sebentar, Chin
Liong Akan kudepak bangkai sialan ini" seru Andika lagi.
Chin Liong berkutat sekuat
tenaga. Kalau dia saja merasakan bagaimana kuatnya tarikan dari lubang,
bagaimana lagi Andika? Tapi sepertinya, pemuda itu sudah rnenjadi kebal
penderitaan. Padahal, saat itu tubuhnya sudah seperti hendak terbelah dua.
"Nih, makan" bentak
Andika, seraya menggerakkan sepenuh tenaga pada sebelah kakinya yang masih
bebas.
Dugh Mayat hidup yang hendak
menusuk Pendekar Slebor rnenjadi sasaran empuk. Kepalanya langsung remuk,
menerima depakan bertenaga dalam tinggi warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat
kesepuluh. Sebagian kepalanya bahkan berhamburan menjijikkan.
Sayang Tindakan Andika tidak
berarti banyak.
Bukankah kejadian sebelumnya
pun begitu? Mayat-mayat hidup yang dibantai Hiroto, tak segera ambruk kalau
benar-benar belum dirajam sama sekali.
Begitu pula mayat hidup korban
tendangan Pendekar Slebor. Tombak di tangannya tetap siap menembus punggung
pendekar muda tanah Jawa ini.
Andika kontan terbelalak,
menyadari kesalahan yang baru saja dibuatnya.
"Tarik Tarik" teriak
Pendekar Slebor kelimpungan pada Chin Liong.
Mendapat sahabatnya yang
kelimpungan, Chin Liong pun mengerahkan segenap sisa tenaganya. Kali ini, dia
mendapat bantuan Hiroto.
"Heeaa" Hiroto dan
Chin Liong berteriak berbarengan. Tapi...
Crap "Adauw" Sekejap
dari teriakan keduanya, Pendekar Slebor dipaksa berteriak sekeras-kerasnya
pula. Bagaimana tidak, bila dua kekuatan hebat ketika itu bertarung dalam arah
berbeda melalui tubuhnya? Memang sentakan kuat Hiroto dan Chin Liong berhasil
mengungguli tarikan tangan beberapa mayat hidup pada kaki Andika. Namun
sayangnya, mata tombak berkarat milik mayat hidup yang hancur kepalanya sempat
menembus paha Pendekar Slebor.Begitu tubuh Andika tertarik keluar lubang, Chin
Liong meringis ngeri. Bukan karena meliat tombak yang masih menancap di paha
sobatnya, melainkan ada sekitar cnam potongan tangan setengah membusuk menempel
di kaki Andika.
"Bangkai sial Sudah tak
punya kepala masih juga bisa membuatku susah" rutuk Andika geram sekali.
Dicabutnya tombak dari paha
kiri. Kemudian, masih dengan mengumpat-umpat disingkirkannya potongan-potongan
tangan tadi.
"Sebaiknya kau memberikan
pil pemunah racun pada Andika, Ying Lien...,' ucap Chin Liong. "Bukan
mustahil kalau tombak itu beracun." Ying Lien segera mengeluarkan sebuah
tabung kecil dari kantung pakaiannya. Lalu dikeluarkannya dua butir pil kecil
berwarna ungu dari tabung ke telapak tangannya, disodorkan pada Andika.
Andika baru hendak mcnjulurkan
tangan, ketika tiba-tiba saja ada tangan yang lain dari belakang menepak tangan
Ying Lien. Pak Seketika pil-pil tadi terpental tinggi, setelah itu lebur
menghantam langit-langit lorong.
Begitu Andika menoleh, tampak
tiga mayat hidup telah berdiri terkatung. Wajah yang sudah tak berbentuk lagi,
membuat Andika jadi terperanjat.
"Mak" seru Andika
nyaris terlonjak. Wuk Kalau tak ingin kepalanya lepas, Andika harus segera
memutus keterperanjatannya cepat-cepat. Karena tanpa memberi kesempatan pada
Pendekar Slebor untuk menarik napas lagi, tiga mayat hidup dari dasar Sungai
Nil itu melabraknya dengan senjata masing-masing.
"Bagaimana bisa
bangkai-bangkai itu melompati lubang penghuhung antara lorong?" tanya Chin
Liong, terheran.
"Bagaimana bisa kau diam
saja?" hardik Andika.
Lagi-lagi Pendekar Slebor
dibuat kalap menyadari nasibnya yang naas kembali.
"Baru saja terluka, sudah
dikeroyok bangkai-bangkai sialan" rutuk Andika membatin. "Yang lain
dulu, kenapa...." Seketika Pendekar Slebor mencelat ringan ke samping,
menghindari sabetan lembing satu mayat hidup.
"Mundur, Andika Kau haras
menelan dahulu pil-pil dari Ying Lien Biar aku yang menghadapi mereka"
seru Chin Liong.
"Wal , bagus itu Kenapa
tidak dari dulu saja?" tukas Andika, tetap jengkel.
Begitu kata-katanya habis,
Andika bersalto enteng beberapa putaran ke belakang. Tepat ketika Andika
bergerak, Chin Liong meluruk ke depan dengan tendangan terbangnya.
"Hiaaa" Des Dada satu mayat hidup terhantam, membuat makhluk itu
terjengkang ke belakang menuju lubang.
Beberapa mayat hidup yang baru
saja hendak merayap naik ke atas lubang langsung tertimpa tubuhnya. Sehingga,
mereka terjatuh kembali ke lorong di bawah.
"Hai it" Hiroto tak
tinggal diam. Ksatria Jepang itu sudah menggenggam samurai erat. Sambil
berteriak, samurainya diayunkan beberapa kali di udara.
Zing... zing.. zing Ketika
satu mayat hidup hendak menghadang larinya, samurai panjang berkilat pemuda
Nipon itu pun menyambut. Bles Leher si mayat hidup tertembus hingga setengah
samurai. Hiroto tak ingin menarik senjatanya dari leher lawan. Dia tahu,
tindakannya akan sia-sia. Lawan tentu tak akan ambruk begitu saja. Maka...
Srrrt Hiroto menekan kuat-kuat samurainya ke ba-wah.
Begitu sayatan samurai
melewati selangkangan, Hiroto menariknya cepat. Dan setelah itu, dibabatkannya
ke atas.
Tas Kepala mayat hidup itu
menggelinding. Sementara, tubuhnya terbelah dua. Tumbang ke dua sisi berbeda
Amukai Samurai Negeri Sakura itu tidak terputus hingg.i di situ. Seperti
sebelumnya, Hiroto pun menyerang tak lazim dengan keberingasan seekor macan
liar.
Sisa satu mayat hidup yang
sebenarnya lebih dekat dengan Chin Liong malah langsung dirangsak Hiroto.
Seakan, dia tidak ingin
memberi kesempatan pada rekan barunya.
Zing Trang Sabetan samurai
Hiroto ke dada dihadang keras oleh pedang besar li. tangan si mayat hidup.
Tangan yang lain mcncoba menyambar kepala Hiroto. Sambarannya seperti cakar
seekor elang. Cepat serta tak terduga.
Hiroto merunduk. Namun tak
luput. Srat Gulungan rambut Hiroto tersambar juga. Dan adalah hal bodoh jika
kepalanya dihentak untuk melepaskan cengkeraman lawan. Bisa-bisa kulit
kepalanya terkelupas. Pemuda Jepang ini tidak bisa memenggal tangan mayat hidup
dengan samurainya. Kala itu, samurainya sendiri berada daiam keadaan mati untuk
melakukan tebasan kual, agar bisa memutuskan lengan itu.
Biar bagaimanapun, tindakan
tepat harus segera dilakukan. Kalau tidak, kepala Hiroto bisa dipeluntir tangan
berkekuatan hebat tersebut. "Hiaaat..." Disertai teriakan meninggi.
cepat Hiroto melepas satu tangannya pada gagang samurai. Dengan tangan itu,
diloloskannya pedang pendek dari pinggangnya. Dan seketika langsung ditebasnya
tangan mayat hidup manakala sedang berusaha memutir kepalanya.
Bet Tras Tangan mayat hidup
sekejap saja terpotong sebatas siku. Dan itu cukup untuk menyelamatkan kepala
Hiroto sendiri. Selanjutnya dengan dua senjata di sepasang tangannya dibuatnya
kepakan ke arah dalam.
Set Bret Dua sayatan Hiroto
melintang di dada mayat hidup.
Kalau lawannya adalah manusia
biasa, sudah bisa dipastikan akan segera tergeletak tanpa nyawa. Namun seperti
sebelumnya, sayatan dalam melintang itu pun belum berarti banyak. Mayat hidup
itu tetap bisa melakukan serangan balasan. Bahkan tidak sedikit pun tenaganya
berkurang.
Zing Pedang besar di satu
tangan mayat hidup yang masih utuh menebas lurus ke wajah Hiroto. Gerakannya
sungguh kaku, namun begitu cepat. Jika terlambat sedikil saja berkelit, kulit
wajah Hiroto sudah pasti tcrsayat.
Bahkan mungkin saja kepalanya
akan terbelah.
"Hai i" Sambil
memutar tubuh ke belakang, Hiroto mcngayunkan samurainya ke atas. Tas Dengan
satu gerakan, Hiroto telah memetik dua hasil sekaligus. Wajahnya selamat dari
tebasan pedang, dan juga berhasil membuat tangan lawannya kembali terputus
"Sekarang, kau hanya bisa menunggu kubabat habis" geram Hiroto kesal.
Lalu dengan teriakan yang
khas, Hiroto melempar pedang pendeknya dengan tangan kiri. Zing Jlep Pedang
pendek Hiroto menembus dada mayat hidup itu. Tenaga dorongnya memaksa si mayat
hidup tersurut ke belakang. Tepat pada saat itu, ada mayat hidup Iain yang baru
berhasil naik dari lubang.
Tak ayal lagi, mata pedang
yang menembus di punggung mayat hidup pertama menghujam dadanya juga. Bles
Kesempatan itu digunakan Hiroto sebaik mungkin.
Setelah melempar teriakan
pertarungan sekali lagi, tubuhnya mencelat tinggi-tinggi menuju dua mayat hidup
yang tertembus pedang pendeknya rnenjadi satu.
Begitu meluncur turun, tangan
Hiroto langsung menebaskan samurai yang mungkin jarang sekali dikerahkan hingga
sebatas itu.
"Heaaa" Tras Sekejap
bunyi sayatan tajam terdengar. Kejap berikutnya, tubuh prajurit masa lampau itu
terpenggal dua 'Sekali tepuk dua lalat' Sebelum potongan tubuh dua mayat itu
jatuh, dengan penuh ketangkasan Hiroto menyambar pedang pendeknya kembali.
Begitu mendarat di tanah,
Hiroto kembali bersiaga penuh, menanti serangan berikut. Belum ada lagi mayat
hidup yang ingin dibabatnya. Hanya telinganya menangkap kekisruhan di belakang
sana, di mana anggota rombongan lain berada.
Hiroto langsung menoleh, dan
betapa terkesiapnya dia, melihat kejadian baru. Ternyata anggota rombongan lain
sedang digempur habis olehi sepasukan mayat hidup dalam jumlah tak terbilang.
Entah, berapa ratus. Dan, entah pula datangdarimana.
Seakan-akan makhlukmakhluk
menjijikkan itu tembus dari celah dinding "Pantos saja tak ada yang
memberi bantuan ketika rambutku tercengkeram," desis Hiroto, seraya
meyibakkan rambutnya yang sudah kehilangan pengikat. Masih terasa pedih di bagian
kulit kepala.
Mata berkelopak sempit Hiroto
sejenak mencari cari liar. Ada salah satu anggota rombongan yang tak tcrlihat.
"Ke mana Andika
San?" gumam pemuda Jepang ini was-was.
Setahu Hiroto, pendekar muda
tanah Jawa yang dikaguminya itu dalam keadaan terluka yang tidak bisa dianggap
remeh. Karena bukan tidak mungkin, dia sudah dirasuki racun ganas seperti kata
Chin Liong sebelumnya.
"Hiroto San, di
belakangmu" Teriakan Ying Lien menyadarkan Hiroto. Dengan badannya
dijatuhkan ke depan. Selang sekedipan.
melunc ur terkaman satu mayat
hidup di atasnya.
Sempat Hiroto memuji Ying
Lien. Bagaimana gadis itu tahu kalau ada mayat hidup yang hendak membokong dari
belakang? Padahal Ying Lien buta….?
***
8
Kemana Andika sebenarnya?
Ketika serbuan besar-besaran pasukan mayat hidup menyesaki lorong, sesuatu
memancing perhatian anak muda sakti dari tanah Jawa itu. Dia melihat sekelebat
bayangan di tikungan lorong udara. Meski hanya sekilas, masih bisa dikenali
kalau orang yang terlihat adalah Nofret.
Tanpa peduli pada amukan
mayat-mayat hidup, Andika langsung mengejar Nofret. Tak dipedulikan lagi luka
menganga di paha kiri. Darah terus saja merembes celana panjang hijaunya.
Bahkan tak lagi terpikir kemungkinan racun ganas dari masa lampau yang bisa
saja mulai merambahi aliran darahnya....
Empat mayat hidup yang dikenal
sebagai mummi, mencoba menghadang Pendekar Slebor. Tak mudah untuk
menyingkirkan, karena makhluk-makhluk yang dibangkitkan dari kematian hampir
seluruhnya memendam kekuatan hitam. Dan ini membuat mereka lebih tangguh
daripada seekor gajah jantan gila. Bahkan lebih gila daripada amukan banteng
edan Sewaktu mereka menggebraknya, Andika merasa harus mengerahkan kesaktian
tanpa tanggung-tanggung.
Sekejapan waktu baginya
amatlah penting, kalau tak mau kehilangan Nofret kembali.
"Manusia-manusia borok
slompret" damprat Andika seraya melecutkan kain pusakanya ke dua penjuru.
Satu sabetan Pendekar Slebor
telah disalurkan tenaga sakti tingkat kesembilan belas. Tak tanggung-tanggung
pula, dalam satu sabetan tangannya membuat sekian getaran.
Cletar Tas Tas Tas Dua serdadu
mayat hidup rnenjadi makanan empuk senjata pusaka Pendekar Slebor. Satu sabetan
lain manakala mengenai sasaran, membuat dua bangkai itu sekejap mata
terpotong-potong rnenjadi sepuluh bagian Tak bedanya irisan-irisan roti.
"Biar mampus benaran kalian" maki Andika se-saat sebelum dua mummi
lain menerjangnya. "Hgrrr" Cletar-cletar Menyambut serangan dua lawan
yang lain, Pendekar Slebor pun tak sudi berlama-lama. Dengan kain pusaka pula, dua
bangkai dari masa lalu itu mengalami nasib serupa.Belum sempat potongan
menjijikkan itu berserakan di lantai lorong, tubuh pendekar muda ini sudah
mencelat amat cepat. Diterobosnya arus serbuan para mumi secepat lepas dari bus
ur dan selincah seekor walet di antara bukit karang. Andika berlari dengan
memanfaatkan kepala mereka sebagai titian "Hei Anak muda kualat"
semprot Pendekar Dungu, ketika kepalanya sempat menjadi satu pijakan. Dia
memang hampir tersaru di antara mayat-mayat hidup itu.
"Maaf. Pak Tua Aku kira
kau salah satu bangkai sial itu" seru Andika, seraya terus memompa
kecepatan.
Kelokan lorong utara telah
dilewati Andika. Kehandalan ilmu lari cepatnya yang tersohor, telah membawa
Pendekar Slebor amat jauh dari tempal semula. Tapi, buruannya tak terlihat sama
sekali.
"Ke mana Nofret?"
bisik Andika dengan napas turun naik. Pendekar Slebor kini berhenti di satu
lorong lembab berkabut. Lorong yang diyakininya baru sekali ini dilewati.
Tak mungkin aku salah lihat
Tadi itu memang Nofret," gumam Andika, mencoba meyakinkan diri.
"Tapi, bagaimana mungkin
tak juga kutemukan? Aku sudah mengerahkan segenap kemampuan lari cepatku
Mestinya, dia sudah terkejar karena sama sekali tak memiliki kedigdayaan
apa-apa kec uali sihir. Apa mungkin karena jasadnya masih dikuasai roh jahat
Hetepheres?" "Kau mencari aku?" Mendadak terdengar sebuah suara
di ujung lorong lembab. Cepat Andika menegaskan pandangannya. Kabut yang
bergentayangan lamban, membuat cahaya obor-obor di sepanjang lorong tak berdaya.
Dalam pandangan samar-samar Andika melihat sesosok tubuh berdiri di kejauhan
sana. Seorang wanita. Dan lagi-lagi, Andika mengenali bentuk tubuh itu.
"Nofret, kaukah
itu?" seru Andika keras. Tak ada jawaban.
"Nofret? Apakah kau sudah
sadar?" panggil Andika, mencoba kembali.
Tak ingin pemuda ini bertindak
ceroboh dengan menghampiri langsung sosok di kejauhan sana. Dia yakin, yang
dilihatnya memang Nofret. Namun di lain sisi, dia pun yakin setiap saat jebakan
maut bisa mengganyangnya.
'Andika...." Suara sosok
itu kembali terdengar, menyusuri lorong. Kemudian memantul di antara dinding,
dan tiba di telinga Andika sebagai suara Nofret.
Andika makin yakin kalau telah
menemukan Nofret Namun hatinya belum c ukup yakin, apakah Nofret yang terlihat
kini memang benar-benar Nofret atau masih di bawah kekuasaan Hetepheres.
"Jawab pertanyaanku,
Nofret Apakah kau sudah sadar?" seru Andika.
"An-di-ka.... Tolong
aku...." Pendekar Slebor tergugu kaku. Suara Nofret yang terdengar kali
ini begitu memelas.
"Andika. tolonglah"
Suara Nofret menanjak. " tolong, Andika" Makin meninggi suara itu,
lalu melengking....
"Andika.. tolong
aku" Andika terkesiap. Dia hendak segera menghambur ke arah Nolret, tapi
nalurinya mengingatkan akan satu bahaya keraguannya benar-benar menguasainya
saat itu.
Kabut mendadak menebal,
menyergap pandangan Pendekar Slebor. Sosok Nofret di kejauhan sana tertelan.
Saat itu pula, Andika
menyadari kalau dirinya bisa kehilangan jejak lagi.
Tanpa peduli resiko yang siap
memamahnya, Andika mengempos ilmu lari cepatnya kembali. Tapi begitu kabut
tebal yang lembab terlewati, Nofret sudah tak ada lagi di tempatnya...
"Bangsat congek Kunyuk
bodong, babi botaaak" sumpah serapah kasar pun berhamburan dari mulut
Pendekar Slebor. Kakinya menjejak-jejak geram ke lantai lorong, sampai tak
sadar kalau akibat tindakannya telah membuat lantai batu amat keras rnenjadi
hancur berhamburan.
"Jangan kau coba
mempermainkan aku, Pangeran Anubis Aku tahu siapa sesungguhnya dirimu Aku tahu
Kau memang sejenis ular kadut pengecut Keluarlah kau Hadapi aku seperti seorang
lelaki jantan Jangan bisanya hanya bersembunyi dan main belakang"
"Ha-ha-ha..." Jawaban yang didapat pendekar ceriwis itu hanya tawa
seorang lelaki.
"Apa benar kau telah
memecahkan teka-teki yang paling besar dari seluruh rencanaku, Anak Muda?"
tanya suara itu, menggema.
Suara itu terdengar berat dari
arah belakang, begitu dekat di belakang Andika.
Pendekar muda itu sendiri
terkesiap. Merasa akan dibokong, tubuhnya berbalik sigap.
Tak seorang pun ditemukan
Pendekar Slebor.
Sepanjang pandangannya, hanya
bentangan lorong berkabut yang terlihat. Rupanya suara tadi dikirim lewat ilmu
'Pengirim Suara' jarak jauh yang demikian sempurna.
"Lihatlah Betapa pengec
utnya kau" rutuk Andika kalap tertahan.
"Ha-haha..." Tawa
membahana mengisi lorong lagi. "Lalu apa maumu, Anak Muda? Kau ingin
langsung berhadapan denganku? T ak usah tergesa.... Permainan ini belum lagi
tuntas...." Ucapan itu berpindah kcmbali ke belakang Andika.
Seperti sebelumnya, terdengar
begitu dekat. Seolah-olah, orang yang berkata persis berdiri di be-lakangnya.
Keledai dungu pun tak mau
terperosokdalam lubang yang sama. Begitu pikir Andika. Dia yakin, ucapan itu
pun sekadar suara yang dikirim dari jarak jauh dengan sempurna. Oleh sebab itu,
tubuhnya tak berbalik.
Namun, justru dengan keputusan
itu, Pendekar Slebor telah terperosok dalam lubang yang baru. Orang yang dikira
berbicara dari jauh, ternyata memang benar-benar telah berdiri hanya selangkah
di belakangnya "Apa kau ingin menarik tantanganmu tadi, Anak Muda?
Bukankah kau ingin berhadapan langsung denganku?" kata Pangeran Anubis
dengan tangan terlipat di depan dada.
Mendengar kalimat terakhir
lelaki itu, barulah Andika sadar sepenuhnya kalau telah melakukan kesalahan
baru.
Demikian cepat darahnya
berdesir te-gang. Segenap ototnya mengejang. Tubuhnya mesti secepat mungkin
dilempar ke depan. Namun terlambat.... Des "Aaakh,.." Pendekar Slebor
seketika merasakan bagaimana punggungnya terhantam telapak tangan.
Bila kesadarannya langsung
hilang saat itu, tentu tak akan tersiksa apa-apa. Dan Andika sama sekali tidak
ingin kehilangan kesadaran, biar kepalanya bagai diganduli dunia sekalipun.
Justru karena itu, dia pun harus menikmati bagaimana hebatnya siksaan rasa
sesak amat sangat yang mendera sekujur dadanya akibat hantaman tadi.
"Khoek" Darah kehitam-hitaman termuntah dari mulut Pendekar Slehor
begitu tubuhnya terjerembab dalam keadaan tertelungkup. Nyaris saja kepalanya
tak bisa diangkat.
"Bagaimana? Apa kau sudah
bisa menikmati seluruh rencana besarku?" cemooh si pembokong, tanpa rasa
malu sedikit jua.
Andika bangkit terseok.
Dadanya didekapnya dengan wajah menahan sakit.
"Lihatah dirimu? Betapa
kau sudah tidak punya harga diri lagi," cemooh Andika membalas.
"Harga diri? Apa yang kau
tahu tentang harga diri? Aku tahu betul tentang harga diriku. Karena itu pula,
aku melakukan semua ini...," kata Pangeran Anubis, agak bergetar.
Di balik topeng serigala
lelaki itu, Andika bisa menangkap geliat kekecewaannya. Kekecewaan karena apa ?
Itu yang belum dapat diraba.
"Kau tak memerlukan
topeng jelekmu lagi. Kenapa benda itu tak ditanggalkan saja. Apa kau merasa,
aku belum tahu siapa dirimu sebenarnya?" kata Andika, mencoba menyudutkan.
"Aku percaya, kau telah
tahu aku yang sebenarnya.
Di antara sekian banyak pendekar
kenamaan dunia, kau termasuk memii ki ketajaman otak yang patut mendapat
pujian...." "Kalau begitu, tunggu apa lagi? Kau malu karena selama
ini wajahmu digunakan hanya untuk kedok tabiat terpujimu. Lalu, kau pakai
topeng pula untuk menutupi kepalsuanmu, Itu artinya, selama ini kau hanya
mengenakan topeng. Kau selamanya tak pernah memi iki muka. Kau manusia tak
bermuka, yang bersikap baik di depan. Namun, di belakang menerkam.... Kau tak
lebih berharga dari kotoranku" leceh Pendekar Slebor, tak hanya menyakitkan
telinga, tapi juga perasaan orang.
Tapi, benar kata Andika
barusan. Orang di depannya agaknya sudah tak memi iki muka. Tanpa rasa malu,
dan tak lebih berharga dari kotoran manusia. Mestinya, dia akan terbakar
mendengar kata-kata Andika. Nyatanya, justru tidak. Seolah-olah hati lelaki itu
sudah sekeras batu.
"Buat apa membuka topeng
ini? Karena aku tahu, kau adalah anak muda berotak cemerlang. Jadi, aku tak
akan membuka topeng ini secepatnya. Kau tahu, kenapa? Karena bukan tidak
mungkin kau belum tahu siapa aku.
Lalu, kau pun bersiasat
seolah-olah tahu agar aku membuka topeng ini. Hm..., siasat cerdik"
"Kau memaksaku untuk menyebut siapa dirimu sesungguhnya?" desis
Andika terpatah-patah. Kemuakan pada sikap lelaki itu membuat rasa sakit didadanya
makin menjadi-jadi.
"Baik," pulus Andika
tegas. "Kau adalah si Gila Petualang Lelaki tua berhati bus uk yang
berkulit orang suci Kau sesungguhnya tak beda dengan Dua Rahib Dari Tibet
Bangkai yang terbungkus kain putih "Hmh..." Terdengar dengusan samar
di balik topeng kepala serigala Pangeran Anubis.
"Kau memang berotak
encer, Anak Muda...," puji Pangeran Anubis terdengar gusar.
Kegusaran lelaki itu terlihat
jelas manakala melepas topeng kepala serigalanya dengan kasar. Lalu,
terlihatlah wajah di balik topeng itu. Samar di antara sapuan cahaya obor
lamat. Wajah si Gila Petualang Andika menyeringai.
Dugaannya tak meleset.
"Bagaimana kau bisa
membongkar rahasiaku, Anak Muda?" tanya si Gila Petualang. Nadanya
terdengar gusar.
Lagi-lagi Pendekar Slebor
menyeringai. mengejek si Gila Petualang yang sebelumnya begitu dihormati.
Andika tidak merasa menang. Apalah arti kemenangan yang didapat dengan
mengalahkan orang lain. Bagi Andika, kemenangan sejati diperoleh dengan
mengalahkan diri sendiri. Kalaupun mulutnya menyeringai, itu karena kemunafikan
si Gila Petualang pantas menerima ejekan.
"Kau masih berminat untuk
mengetahui, bagaimana aku bisa memecahkan teka-teki konyolmu?" tantang
Andika enteng.
Rasa sakit di dada Pendekar
Slebor mulai mengabur. Selama itu, dicobanya mengerahkan hawa murni diam-diam
ke bagian dadanya, agar luka dalamnya dapat diatasi.
Si Gila Petualang hanya
menatap anak muda yang berdiri sembilan tombak di depannya dengan sinar mata
menusuk.
"Kau ingat dengan ini?
Kata Andika memulai lagi sambil mengeluarkan kantong minuman dari kulit dari
balik pakaian. "Kau yang memberikan ini padaku, bukan? Dari dua sahabat
Cinaku, aku tahu kalau minuman ini adalah bagian ramuan yang bisa me-lumpuhkan
jaringan otot. Kau tentunya telah mempelajarinya ketika bertualang ke Negeri
Cina...." (Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah episode sebelumnya:
"Undangan Ratu Mesir").
Andika menimang-nimang kantong
minuman di tangannya.
"Di samping itu, apa kau
pikir aku tak akan heran ketika Hetepheres mengerahkan ilmu 'Inti Es'nya.
Bukankah kcsaktian itu
dikembangkan amat jauh dari tempat ini. Hanya ada satu kemungkinan, kalau ilmu
itu sampai disini. Seseorang telah membawanya ke tempat ini. Di antara kita
semua, hanya kau satu-satunya yang telah banyak menjelajahi negeri orang.
Termasuk, asal ilmu kesaktian itu, bukan?" lanjut Andika panjang lebar.
Andika mendehem-dehem
menyaksikan perubahan wajah si Gila Petualang. Lelaki itu tampak terbakar
kemarahan.
"Kecurigaanku sebenarnya
sudah terbetik, ketika kapal armada Cina milik Ying Lien sedang menyusuri
Sungai Nil. Gerombolan Kuda Nil yang tak lazim bckerjasama untuk menenggelamkan
kapal, mengingatkanku pada gerombolan elang-elangmu Bukankah di antara awak
kapal, hanya kau yang bisa melatih dengan baik binatang-binatang liar yang
dimanfaatkan untuk tujuan tertentu? He-he-he.... aku betul lagi, ya?"
(Baca episode sebelumnya: "Piramida Kematian") Plok Plok Plok Andika
lalu bertepuk tangan. Bukan sekadar hendak memuji kecerdikannya sendiri, tapi
sudah pasti untuk melecehkan lawannya separah mungkin.
Biar kemarahannya meledak.
Kalau sudah begitu, dia bisa mengambil sedikit keuntungan.... "Benar
katamu dulu.'Seharusnya, kita selalu ber-hati-hati pada siapa pun. Wajah yang
bagus, tidak selamanya mencerminkan diri yang baik'...," lanjut Pendekar
Slebor.
setengah mengolok-olok.
"Kau memang berhasil
membongkar rahasiaku.
Anak Muda. Tapi, bukan dengan
begitu semuanya usai.
Permainan belum tuntas
seluruhnya. Bukankab itu sudah kukatakan tadi?" sergah si Gila Petualang,
meledak-ledak.
Sifat-sifat bejatnya kini
terlihat jelas.
"O-o Kau rupanya begitu
dongkol denganku, karena telah mengacaukan rencana puncakmu, bukan?" Si
Gila Petualang menghempas napas. "Kau akan tahu, apakah rencana puncak
milikku benar-benar telah kau kacaukan. Atau, sebenarnya rencana puncakku baru
saja dimulai Ha-ha-ha..." "Bah Apa bukan sebaliknya? Rencanamu justru
sudah hancur lebur seperti bubur. Tipu dayamu sudah tak berguna, seperti tak
bergunanya peta rahasia tentang tempat penyimpanan pusaka para ahli sihir yang
sebenarnya tak pernah ada Dengan peta buatanmu itu tentu kau ingin menggiring
kami memasuki jebakan demi jebakan, bukan?" "Pemuda keparat"
"Hua-ha Andika membayar gelak tawa si Gila Petualang dengan gelaknya pula.
"Kau boleh menganggap
rencanaku telah berantakan Tapi, tidak bagiku. Aku puas karena telah menebus
sakit hatiku pada dunia persilatan" tandas si Gila Petualang.
"Kasihan anak Emak,...
Kau sakit hati?" “Tutup bacotmu, Anak Muda Kau dan seluruh undangan telah
mewakili dunia persilatan untuk membayar sakit hatiku Aku puas Puas Kau tahu,
kenapa aku bertualang? Sebelum aku bertualang, kehadiranku tak diterima
orang-orang dunia persilatan. Mereka hanya menganggapku sampah tak berarti. Tak
berdaya apa-apa dan tak berguna apa-apa. Aku banyak dipermainkan orang-orang
persilatan seenaknya.
Aku pun memendam kebencian
yang membakar hatiku. Lalu, aku bertualang.
Semula, untuk melarikan diri
dari segenap cemooh orang persilatan.
Setelah itu, tcrpikir olehku
untuk mengumpulkan kesaktian dan ilmu, yang nantinya akan berguna untuk
membalas sakit hatiku"
***
9
"Sayang sekali, rupanya
kau hanya disesati perasaanmu sendiri, Pak Tua" Kalimat Andika melunak
mendengar penuturan terakhir si Gila Petualang. Kini anak muda itu bisa melihat
jelas perkara sebenarnya.
Seketika timbul ah rasa
prihatinnya.
Sebenarnya lelaki tua itu
hanyalah korban permainan dunia yang memuakkan. Begitu, pikir Andika.
Ya, sekadar korban. Sayang,
dia mengambil jalan salah untuk menyelamatkan diri sendiri....
"Tidak semua warga dunia
persilatan bersikap seperti itu padamu. Apakah kau tak merasa, bagaimana aku,
Ying Lien, dan Chin Liong begitu menghormatimu sebelum semua ini terjadi?"
"Bagiku, sikap kalian sudah terlambat" tegas si Gila Petualang.
Andika mengbela napas.
"Jangan kau membiarkan hatimu membatu, Pak Tua.. ," bujuk Pendekar
Slebor.
"Aku tak peduli Dendamku
sudah berkarat Seperti besi yang sudah tak mungkin lagi dibersihkan Aku hanya
puas, bila telah melaksanakan pemba-lasan dendam ini" teriak si Gila
Petualang parau.
"Pak tua Belum terlambat
untuk mcnghentikan semua kegilaan ini.... Rasanya kami bisa mengerti beban apa
yang kau tanggung sclama ini." bujuk Andika lagi.
" Tidak Sudah kuputuskan
untuk menuntaskan semua ini. Kalian yang mewakili dunia persilatan, harus
mcmbayar lunas seluruh sakit hatiku Kalian akan hancur lebur bersama piramida
ini" Begitu kala-katanya selesai, si Gila Petualang berkelebat.
"Pak Tua, tunggu"
Seruan Pendekar Slebor sia-sia. Lelaki tua yang sempat dihormatinya telah menerjang
dengan satu pukulan maut ke arah Pendekar Slebor.
Wukh Untuk serangan pembuka,
Andika tak mau ambil akibat terlalu banyak. Dia memang sudah mengenal si Gila
Petualang. Tapi, belum cukup mengetahui sampai di mana tingkat kesaktiannya.
Secepat mungkin Andika
berkelit.
Tubuhnya dimiringkan ke
samping.
Salah satu kckhasan jurus
milik Pendekar Slebor adalah gerakannya yang terlihat awut-awutan. Termasuk
cakarnya menghindari scrangan. Si penyerang tak akan menyangka, kalau Pendekar
Slebor sedang menghindar.
Yang terlihat justru seperti
sedang terhuyung limbung.
"Haih" Selagi tubuh
si Gila Petualang yang selama ini mengaku sebagai Pangeran Anubis menyorong ke
depan, kaki Andika membuat sapuan kilat. Dalam keadaan begitu, si tua itu akan
dirugikan oleh tenaganya sendiri. Tubuhnya bisa terpelanting karena jegalan
kaki Pendekar Slebor.
Namun yang dihadapi pemuda
dari tanah Jawa ini bukan tokoh kacangan.
Si Gila Petualang sudah
menjelajahi lima benua dan lima samudera. Bisa di-bayangkan, sudah berapa
banyak ilmu ditimba? "Eaaa" Sekali menjejak saja, tubuh lelaki tua
itu sudah berputaran di udara, menghindari sapuan kaki Pendekar Slebor.Selagi
di udara, biasanya pertahanan seseorang akan lemah. Itu sering diperhatikan
Andika. Tahu si tua itu sedang melayang, Pendekar Slebor memanfaatkannya.
Secepat kilat tangannya
disibak ke atas. Punggung tangannya yang menekuk seperti tangan seekor kera,
mencoba menanduk si Gila Petualang di udara.
Bet Pada saat yang sama, si
Gila Petualang pun melancarkan tinju keduanya. Akibatnya....
Daghhhl Benturan tangan
bertenaga dahsyat tadi pun sudah pasti mengakibatkan kedahsyatan tak kalah
menggiriskan.
Tubuh si Gila Petualang kontan
terlonjak lebih tinggi ke udara, kemudian meluncur cepat dan menghantam
langit-langit lorong. Bagian yang terkena menjadi hancur berlubang sedalam
bagian tubuhnya yang melesak hingga sebatas dada. Kini tinggal bagian bawah
badannya yang tergantung-gantung.
Andika sendiri mengalami
akibat yang tidak kalah parah. Kalau si Gila Petualang melesak di
langit-langit, Pendekar Slebor melesak di lantai lorong. Sama-sama sebatas
bahu, seperti juga dialami lawannya. Jelas, pada saat terjadi benturan, tingkat
tenaga dalam yang dikeluarkan seimbang.
Tak lama berselang keduanya
sama-sama mencelat dari lubang masing-masing.
Si Gila Petualang menggunakan
sepasang tangannya untuk mencelat, sedangkan Pendekar Slebor menggunakan kaki.
"Pak tua, tunggu"
ulang Andika, berusaha menahan serangan lebih lanjut si Gila Petualang.
"Kenapa, Anak Muda? Kau
takut menghadapiku? Bukankah kau memiliki nama besar di dunia persilatan?"
leceh si Gila Petualang tanpa sedikit pun luka di tubuhnya bagian lain. Padahal
kekerasan langit-langit lorong bisa meremukkan tulang seekor badak.
"Sadarlah, Pak Tua. Belum
lerlambat bagimu untuk menyadari kalau sebuah dendam tak berguna untuk
dimuntahkan... Kau bertindak pada alamat yang salah.
Menuntut dendam pada
orang-orang yang keliru...," ujar Andika."Siapa peduli pada
kckeliruan. Dunia ini pun telah bertindak keliru padaku. Kenapa aku dilahirkan,
kalau akhirnya disingkirkan? Bukankah itu kekeliruan? Lalu, apa salahnya aku
membuat satu kekeliruan pula agar puas" balas si tua ini.
"Janganlah kau menghujat
Tuhan, Pak Tua... "Aku hanya menghujat manusia-manusia yang telah
mcngasingkan diriku seperti sampah Tak menggubris kehadiranku seperti anjing
buduk" teriak si Gila Petualang.
"Tidak semua orang, Pak
Tua.. . Tidak semuaya...." "Phuih..." Dengan napas turun-naik
digebah kemurkaan, si Gila Petualang mcmbuang ludah.
"Kau membuatku muak
dengan kebijakanmu, Anak Muda... Aku sebenarnya iri padamu," kata lelaki
tua mi mengakhiri perdebatan yang diselingi pertarungan singkat.
Sk-u-l.ih ilu kembali si Gila
Petualang menggen-jnl lubuhnya. Namun sekali ini, dia tak hendak mela-ktikan
gcmpuran. Dia hanya menyingkir, entah ke mana. Lalu, tubuhnya menghilang di
antara kabut yang tcrhuyung.
"Pak Tua" panggil
Andika, tapi sia-sia. Andika mengeluh. Napasnya dilepas dalam desah.
Andai saja Pendekai Slebor
tahu sebab musabab lelaki itu melakukan ini semua, tentu akan lebih suka
memaklumi.
***
10
Sementara itu, pertarungan
sengit antara para undangan dengan mayat-mayat hidup masih saja bergejolak.
Ketidak seimbangan dalam jumlah, tidaklah berarti ada satu yang terkalahkan.
Rombongan para undangan ternyata sanggup mcladeni gempuran serdadu Mesir Kuno
yang bangkit kembali dari kematian Sudah demikian banyak potongan bangkai
menumpuki lantai lorong. Namun jumlah mereka seperti tidak pernah menyusut.
Kalau keadaan seperti itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin pihak para
undangan akan kehabisan tenaga. Artinya, cepat atau lambat, mereka akan menjadi
bulan-bulanan serbuan bangkai-bangkai hidup "Kita harus segera menyingkir
Tak mungkin kita terus membantai mereka. Tenaga kita terbatas. Sedangkan jumlah
mereka seperti tak terbatas" pekik Ying Lien di antara kepungan gencar
lawannya yang menjijikkan "Ya Aku pun berpikir begitu, Nona" teriak
Kenjiro yang sudah bermandi peluh.
Lelaki Jepang bertubuh tambun
itu berkali-kali nyaris terbabat senjata. Dengan tubuh besar seperti itu, dia
lebih cepat menjadi lelah ketimbang yang lain. Untunglah Hiroto, saudara
sepupunya selatu siap melindungi.
"Bagaimana menurutmu,
Hiroto?" teriak Kenjiro pada ksatria pcrkasa yang mengamuk dengan
samurainya.
Hiroto tidak sedikit pun
menggubris. Baginya tidak ada kata mundur dalam satu pertarungan. Baginya, mati
lebih terhormat daripada jadi pengec ut.
"Aku tahu, bukanlah
kebiasaanmu untuk mundur dari pertarungan, Hiroto San. Tapi kau tentunya tak
ingin ada anggota kita yang akan menjadi korban, bukan?" timpal Chin
Liong, mengingatkan Hiroto.
"Kalau begitu, cepatlah
kalian menyingkir Aku akan buka jalan bagi kalian" putus Hiroto,
mengejutkan yang lain. Lalu, lelaki itu bertcriak amat keras. Teriakan-nya
terlalu kacau, hingga terdengar meraung-raung. Tubuhnya digenjot tinggi-tinggi
ke barisan depan serbuan para mayat hidup. Dan di tengah-tengah kepungan itu,
dia hinggap.
Sekejap kemudian. Hiroto
mengamuk sejadi-jadinya.
Samurainya berdesing kian
kemari, seakan memiliki mata sendiri. Satu gerakan seperti melahirkan sekian
sabetan maut. Dua-tiga mummi pun terpenggal Wukh-zing-zing "Cepat kalian
menyingkir Aku akan menghambat mereka" seru Hiroto di antara desingan
tajam samurainya.
"Bagaimana kami bisa
meninggalkan kau sendiri?" sergah Chin Liong kacau.
"Jangan pikirkan aku Satu
korban lebih baik, daripada keseluruhan" "Tidak bisa Aku tidak akan
membiarkan hal itu" tolak Chin Liong.
"Tapi hanya ini
satu-satunya kesempatan agar kalian bisa lotos Hargai usahaku, Chin Liong San"
Chin Liong ragu. Di belakang mereka, jalan sudah terbuka.
Ying Lien dan Manyar Wanita
barusaja menuntaskan enam mummi yang menghambat.
Sementara, arus serangan di
depan diputus amukan membabi buta Hiroto.
"Cepat pergii "
hardik Hiroto menangkap sekelebat keragu raguan C hin Liong. "Selamatkan
sepupuku Karena kalau aku mati, dia harus bisa pulang ke Jepang agar bisa
mengabari keluargaku" Chin Liong tercekat, sadar, Hiroto memang benar.
Hanya itu satu satunya harapan
agar yang lain bisa lolos.
Kalau Chin Liong bersikeras
mendampingi Hiroto, siapa yang akan melindungi yang lain? Bukannya Chin Liong
tak percaya pada Ying Lien. Tapi biar bagaimanapun, gadis tangguh itu buta
Semen-lam, Manyar Wanita belumlah cukup tangguh dibanding Ying Lien. Pendekar
Dungu? Ah Bagaimana mengharap lelaki tua berotak kerbau itu untuk memimpin yang
lain? "Baik" putus Chin Liong akhirnya.
"Selamat bertarung,
Hiroto San. Aku tak akan memaafkanmu, kalau kau tak bisa bertemu kami lagi
dalam keadaan selamat" Sempat-sempatnya bibir Hiroto menampilkan senyum
samar mendengar ucapan Chin Liong.
***
Masih di lorong lembab
berkabut, sekali lagi Andika menyaksikan Nofret.
Kalau sebelumnya tampak
sekelebatan, kali ini Nofret muncul di ujung lorong. Diam sebentar, kemudian
mulai melangkah satu-satu ke arah Andika.Pakaian amat tipis yang dikenakan
gadis itu membuat bola mata Andika membulat semakin besar.
Apalagi di balik pakaian itu.
lekuk liku tubuhnya jelas terlihat tanpa selembar benang lagi menutupinya.
Pakaian tipis itu berkibar perlahan, seiring langkah Nofret. Seketika jantung
Pendekar muda itu semakin berdebar tak karuan.
Pemuda berbaju hijau itu
sungguh tak mengerti.
Mengapa Nofret masih memakai
baju tipis yang pernah dilihatnya ketika berada dalam pengaruh Hetepheres? "Nofret...,"
sebut pemuda itu ragu-ragu. Tidak bisa dijamin kalau saat itu Nofret
benar-benar 'Nofret'. Besar kemungkinan dirinya saat itu adalah Hetepheres
"Ya, Andika.... Ini aku," sahut gadis ini lamat. Bibirnya mendesah
perlahan.
Kini, tubuh gadis itu berdiri
dalam keadaan sangat menggiurkan, sekitar sepuluh depa dari tempat Andika.
"Bagaimana bisa...?"
gumam Andika seraya menatap tajam. Selagi pemuda dari Lembah Kutukan ini
diberondong rasa keheranannya, Nofret memutarkan lehernya ke belakang perlahan
dengan mata terpejam rapat. Gerakan gadis itu seakan menggelinjang nikmat.
"Wuih Nofret..."
pekik Andika dalam hati.
Sungguh, pemuda itu hampir
tidak kuat menahan beban tubuhnya. Kedua lututnya gemetar menyaksikan semua
itu.
Kemudian, penuh kegemulaian
Nofret melangkah perlahan menuju Andika. Setiap kali kakinya melangkah,
terbentuk gerakan lembut menakjubkan di seputar pinggul padatnya. Dan yang
lebih mendebarkan jantung, buah dada ranum yang nampak samar-samar di balik
pakaian tipis itu pun ikut bergetar, seolah menjanjikan sesuatu pada Andika.
Andika memejamkan mata,
sebisa-bisanya. Tanpa sadar hal itu dilakukannya, seperti takut kalau dirinya
tak kuat menahan 'panggilan Nofret' yang luar biasa "Kau sudah
sadar?" tanya Andika parau, masih memejamkan mala.
"Apa yang terjadi
sesungguhnya terhadap diriku, Andika?" Nofret balik bertanya. Langkahnya
membawa tubuhnya semakin dekat pada Pendekar Slebor.
"Apa kau tak ingat?"
susul Andika. Kali ini pendekar muda itu memberanikan diri membuka matanya.
Nofret berhenti lima depa dari
tempat Andika. Bibir merah menantang milik perawan Mesir itu bergerak perlahan,
di antara desah gelombang napasnya. Matanya yang indah menatap tembus ke bola
mata Andika, seakan begitu mendambakan belaian pemuda dari Lembah Kutukan ini.
Tanpa sadar, Andika melangkah.
Matanya tak lepaslepas memandang tubuh putih Nofret yang memi iki buah dada
padat dan pinggul menggiurkan. Semakin dekat, napas pemuda itu kian memburu.
"Apa saja yang kau alami,
Nofret?" tanya pemuda urakan itu yang rupanya masih mempunyai nalar di
saat-saat genting begini.
"Yang aku ingat, aku
dikepung asap tebal di satu ruangan yang kumasuki. Setelah itu. aku tak ingat
apa-apa lagi...," tutur Nofret Andika mencoba mendekat lagi. "Kau
yakin tak apa-apa?" tanya Andika lebih lanjut. "Aku..., aku merasa
tubuhku begitu letih. Aku merasa ada sesuatu yang membebaniku sebelumnya."
Andika makin mendekat.
"Ceritakan padaku, apa
yang kau rasakan sebelumnya?" Nolret terdiam sesaat. Ada sesuatu yang
dicoba diangkat dari benaknya.
"Ingat ingatlah...,"
sambung Andika hati-hati.
Pemuda dari Iembah Kuti.kan
itu rupanya tengah berusaha keras menghilangkan letupan gairah yang sedang
menyergapnya. Karena itu dia lebih menekankan ke mana Nofret selama ini,
daripada terus memandangngi sekujur tubuh menantang milik gadis Mesi itu.
"Aku..., aku merasa
diriku terkunci waktu itu. Aku melihatmu.
Lalu, aku menyerangmu.
Itu bukan kemauanku,
Andika.... Itu bukan kemauanku.... Aku sendiri berusaha menahannya, tapi tak
kuasa...." Setelah itu terdengar isak kecil Nofret. Andika tersentuh.
Seketika itu juga gairahnya terkikis habis begitu melihat butir air bening di
pelupuk mata gadis jelita di hadapannya. Yakinlah Pendekar Slebor kini, kalau
Hclephercs telah meninggalkan diri Noliel. Enlah, apa sebabnya. Mungkin karena
rencana datangnya telah hancur.
Saat itu, Nofret butuh
dukungan semangat dari seseorang. Jiwanya tentu terguncang atas seluruh
kejadian teramat dahsyat yang baru kali ini dialami. Begitu pikir Andika. Maka,
cepal-cepat Andika menghampirinya.
Tubuh jelita Nofret lalu
didekap eral-erat dan hangat.
Dicobanya memberikan
kctenangan ke dalam diri gadis itu.
Nofret pun membalas dekapan si
perjaka. Wajahnya dipendam dalam-dalam di dada bidang Andika. Di sana, isaknya
termuntahkan.
"Sudahlah.... Kau tidak
apa-apa...," ucap Andika lembut."Tapi, semua ini begitu mengerikan,
Andika," isak Nofret."Kau akan baik-baik saja. Percayalah. Aku
berrjanji akan menjagamu." hibur Andika.
Di dada bidang si pemuda
perkasa, cukup lama seguk kecil Nofret terulur lamat. Agar lebih memberi rasa
tenang, Andika membelai-belai rambut hitam Nofret lembut. Pemuda itu tidak
memikirkan lagi tubuh halus di balik baju tipis yang berada dalam dekapannya.
Yang ada dalam benaknya, kini hanya ingin menenteramkannya.
Sekarang? Ya, sekarang. Masa'
dalam keadaan demikian, niat usilnya harus muncul? Apalagi melihat tubuh Nofret
yang begitu menantang.
" Nofret..," sebut
Andika setelah sekian lama ncrlalu.
"Boleh aku bcrtanya
sedikit padamu?" Nofret mengangkat wajahnya yang sembab. "Kau pernah
dengar nama Hctepheres?" sambung Andika.
Wajah Nofret berubah.
Ada ketakutan menghujamnya.
'Tak lis il lakuL Katakan saja
padaku." "Beliala Ratuku, Andika. Penguasa Piramida Tonggak Osiris
ini...," jelas Nofret nyaris berbisik. "Aku merasa, dia masih hidup.
Karena, di piramida yang rnenjadi tempat pemakamannya ini, tak pernah ditemukan
jenazah." Sementara berbicara, tangan Nolret bergerak lambat di belakang
punggung Andika. Lambat. Jarinya terbuka, menegang kaku. Telapak tangannya
menghadap punggung Andika, siap menghujamkan satu pukulan 'Inti Es' Sementara,
si calon korban yang berjuluk Pendekar Slebor ini belum juga sadar. Padahal
maut siap melalapnya Dan.... Des "Khghhh" Mendadaksaja terasa bagai
ada sebongkah besar salju kutub utara merasuki dada Pendekar Slebor Rasa
sakitnya luar biasa. Lebih hebat daripada rajaman seribu tombak bermata kembar
Di samping itu, karena terlalu dingin yang terasa, di dada Andika justru malah
terjadi siksaan panas luar biasa.
Masih dalam dekapan Nofret,
tubuh Andika melorot lunglai."Hetepheres... roh wanita keparathhh Rupanya
kau masih berada dalam diri Nofret" rutuk Andika terbata.
Wajah Pendekar Slebor
mendongak lemah.
Membiru. Bibirnya segera
rnenjadi pecah-pecah. Dalam gigilan yang teramat sangat, diberangusnya mata
wanita itu dengan tatapan sembilu.
"Kau salahbesar,
Andika.... Ratu Hetepheres sesungguhnya tak pernah ada" sentak Nofret,
amat sangat mengejutkan Pendekar Slebor. Lebih mengejutkan dari pukulan
mendadak yang luar biasa dinginnya tadi.
"Ap-pa...,
mak-sudmu?" "Aku adalah aku, Andika. Nofret Hetepheres hanyalah
sebagian dari rencana yang dijalankan guruku. Si Gila Petualang Sebagai seorang
murid, sudah sepantasnya membantu untuk melunasi sakit hatinya pada dunia
persilatan" "Asta-ga... Ja-di, semua ini benar-benar sudah dialur
demikian matang?" keluh Andika, mulai me-nyadari maksud perkataan si Gila
Petualang.
Bukankah sebelumnya lelaki tua
itu mengatakan, kalau rencana besarnya belum seluruhnya hancur? "Apa kau
tak merasa ganjil jika roh seorang wanita yang telah mati ratusan tahun lalu,
bisa mempelajari ilmu ‘inti Es’ yang diturunkan si Gila Petualang,
guruku?" Terjagalah Andika.dari kebodohannya. Hajaran demi hajaran
leka-teki rangsangan demi rangsangannya, dan ancaman maut yang begitu rumit,
membuatnya lupa menyadari hal sekecil itu Padahal, kesalahan kecil bisa berarti
amat besar Berarti, ancaman buat nyawanya sendiri serta nyawa undangan lain.
Siapa pun bisa lengah oleh
musuh dalam selimut.
Tcrmasuk diri Pendekar Slebor sendiri.
Termasuk para undangan lain....
"Apa maumu sejkarang,
Nofret?" tanya Andika dirasuki kekecewaan dan penderitaan. Gigilan
tubuhnya makin mcnghebat. Bahkan sempat membuat kaki Nofret yang menyangganya
ikut bergetar.
"Aku harus membunuh. Itu
perintah guruku. Semua yang diundang ke tempat ini harus disingkirkan, agar
guruku puas. Sekaligus agar namanya tetap baik di dunia persilatan...,"
papar Nofret dingin.
Masih bersimpuh lemah di lutut
Nofret, Andika mencoba mengucapkan kalimat dari dasar hatinya untuk menggugah
hati Nofret.
"Sungguh tak kusangka
akan begini akhirnya, Nofret Kukira, kau adalah gadis yang patut kucintai. Apa
kau tak tahu. aku telah memendam benih-benih perasaan tak terlukiskan dalam
dirimu?" pancing Pendekar Slebor, lirih.
"Maafkan aku, Andika. Aku
tidak bisa membohongi diri. Aku pun sebenarnya menanam benih cinta padamu.
Tapi, aku sama sekali tidak
ingin mengecewakan guru.
Sekali lagi, maaf bila semua
rasa cinta padamu kubunuh.
Dan nyatanya, aku berhasil
membunuhnya meski dengan amat sulit...," tutur Nofret tetap dingin.
Nampaknya, benar kata gadis
itu. Dia telah berhasil membunuh seluruh benih cinta yang berkecambah di
hatinya terhadap si perjaka perkasa. Pendekar Slebor.
Andika meneruskan tatapannya.
Dia tahu, seorang yang telah memiliki benih cinta tentu akan tersentuh hatinya
bila menatap langsung mata orang yang dicintai.
Namun, Nofret menyadarinya.
Dihindarinya tatapan menghujam Andika, dengan membuangnya jauh-jauh ke tempat
lain.
Begilu tangan Nofret
terangkat, sekonyong-konyong udara di sekitarnya berubah dingin membekukan. Uap
di sekitar tangan gadis itu bahkan telah berubah mcnjadi butiran-butiran es
kecil. Siap meremukkan batok kepala Andika Dalam keadaan lemah seperti itu,
bagaimana cara Pendekai Slebor menyelamatkan diri? "Hihl" Tanpa
menoleh lagi, sepasang tangan berhawa memkukan Nofret turun deras ke sisi-sisi
kepala Pendekar Slebor.Bagi Andika sendiri. jangankan menghindar.
Mengangkat tangan untuk
menangkis hantaman maut Nofret saja, sudah begitu sulit. Tubuhnya sudah
setengah membeku. Tapi. siapa lagi yang hendak menyelamatkan
dirinya?"Wahai, Penguasa Semesta Beri aku kekuatan" mohon Andika
dalam hati dalam kejap-kejap menentukan.
Setelah itu. Pendekar Slebor
memusatkan seluruh perhatian kesatu titik terdalam direlung hatinya. Dia harus
berontak dari kebekuan itu "Heaaa" Beriring teriakan mengguntur yang
menggetar dinding lorong. Andika memecah kekakuan dalam dirinya.
Penghimpunan tenaga sakti yang
dipusatkan, menentang belenggu kebekuan dalam tubuhnya.
Plak Dan Andika berhasil
menjegal hantaman tangan Nofret. Bahkan dalam sekejap, langannya bergerak.
Sisa tenaga sakti di tangan
digunakan dalam selang waktu yang begitu singkat, untuk menghajar ulu hati
gadis jelita ini.
Dugh "Aaakh" Nolret
kontan memekik. Tubuhnya kontan terlempar deras ke belakang dan baru bertienti
meluncur ketika dinding batu alam kokoh menghadang. Dan bagian belakang
kepalanya pun terbentur keras.
Krak Terdengar suara tengkorak
yang retak. Sesudah itu sunyi. Nofret melorot perlahan, di sisi tembok tanpa
nyawa.
Malaikat maut terlalu cepat
menjemput dara mempesona yang telah menjadi tumbal kebejatan gurunya.
"Nofret.... Nofret.
.," panggil Andika masih dalam gigil.
Ingin sekali pemuda itu
memburu ke tubuh Nofret.
Mendekap dan memeluk
erat-erat. Biar bagaimanapun, Andika sadar kalau gadis yang sempat menitipkan
pesona dan tanda-tanda cinta itu sebenarnya hanyalah korban. Tak lebih dari
itu.
Apa mau dikata? Yang bisa
diperbuat Pendekar Slebor hanya menyilangkan tangan di dada. Rasa dingin masih
terus merajamnya. Tubuhnya menyusut sampai tertelungkup rapat.
"Nofret..., maafkan
aku...." Masih sempat terdengar desis lirih pemuda itu.
***
Hari masih muda, mulai
menggeliat di luar Piramida Tonggak Osiris. Matahari menampakkan tepinya yang
matang kemerahan. Gurun cukup ramah. Sejuk adalah sapanya.
Pagi itu, sisa para undangan
berhasil keluar dari piramida yang telah menuntut sekian tumbal nyawa.
Andika ditemukan rombongan
Chin Liong yang berusaha keluar dari tempat terkutuk itu.
Si Gila Petualang sendiri
pergi meninggalkan piramida dengan bara tetap mcmbakar di dada. Rencana
besarnya telah luluh lantak. Namun dia masih memelihara sehimpun dendam. Itu
sebabnya para undangan dapat keluar dengan mudah setelah kepergiannya.
Di laut lepas sana. ada
peisjalangan maut baru menanti mereka….., Tunggu serial Pendekar Slebor
Selanjutnya PEROMPAK-PEROMPAK LAUT CINA