Pendekar Slebor Episode 19 Perompak Perompak Laut Cina

Pendekar Slebor Episode 19 Perompak Perompak Laut Cina
Pijar El
-------------------------------
----------------------------

Episode 19 Perompak Perompak Laut Cina

1
Laut Merah. Bentangan samudera yang membelah bagian daratan Asia dengan Afrika, mencerminkan kekuasaan Tuhan Pencipta Alam Semesta. Alunnya terkadang jinak memainkan ombak yang bergulung lunak. Namun, tak jarang menjadi liar, dengan gelombang-gelombang yang besar. Dari muara Sungai Nil, sebuah kapal layar besar memasuki kawasan Laut Merah. Dari lambang di bentangan layarnya yang menjulang, menandakan kalau kapal ini bagian dari armada perang Cina. Dengan tulisan huruf Cina besar berla-tar belakang lukisan seekor naga. Bentuknya begitu gagah. Berukuran lebih dari lima belas kali lima puluh lima tombak.

Warna kapal itu masih cerah. Namun bukan berarti belum lama dibuat. Justru kapal itu adalah kapal berusia cukup tua, dan memiliki sejarah sendiri bagi kerajaan yang diperkukuhnya.

Bisa jadi kendaraan perang samudera itu telah mengalami pemugaran.

Jangan heran kalau kapal armada Cina ini memulai pelayaran dari kawasan bagian daratan Afrika. Jawaban yang pasti, karena para penumpangnya baru saja menghadiri sebuah misi dari Ratu Mesir. Putri Ying Lien salah satu dari ketu-runan penguasa Cina beserta panglima perangnya, menjadi pimpinan perjalanan (Untuk mengetahui lebih jelasnya, bacalah episode: "Undangan Ratu Mesir").

Di antara para awak kapal, tampak seorang pemuda gagah berpakaian hijau pupus. Rambutnya panjang sebahu tak teratur. Dengan penampilan begitu acuh, dia berdiri di satu sudut bibir geladak. Tamparan angin deras yang mengguliri permukaan samudera, ditentangnya dengan raut wajah tanpa gemik. Ketajaman sinar matanya seperti larut dalam nada persahabatan alam. Sesekali terdengar tarikan napasnya di kepungan tiupan bayu.

Anak muda perkasa itu tak lain dari Andika. Di dunia persilatan, dia amat tersohor sebagai Pendekar Slebor. Sebagai salah seorang undangan Ratu Mesir, Andika melakukan pelayaran bersama armada Cina.

"Apa yang sedang kau renungkan Andika?" sapa seseorang di belakang Andika.

Kebekuan pemuda itu kontan terusik. Kepalanya menoleh. Ditemukannya seorang pemuda sebaya berwajah tak kalah tampan, bermata sipit.

Pakaiannya memperlihatkan kalau pemuda itu adalah seorang pembesar Kerajaan Cina.

"Ah, kau Chin Liong...," desah Andika seraya mengembalikan pandangan ke samudera bebas di depan sana.

"Kau belum jawab pertanyaanku...," sindir Chin Liong menanggapi keacuhan sahabatnya da-ri tanah Jawa.

"Ada perlu? Rasanya, kau hanya berbasabasi saja," tukas Andika.

Chin Liong tertawa. Harus diakui, sahabatnya memang benar. Dan harus diakui pula, Andika memang memiliki pengamatan setajam mata pisau.

"Ya, aku memang hanya berbasa-basi. Tapi, apa itu dosa?" canda pemuda bermata sipit itu seraya menjajarkan tubuh di sisi Pendekar Slebor.

"Aku hanya sedang merenungi hidup," kata Andika lagi.

Chin Liong menunggu.

"Kau lihat itu," sambung Andika seraya mengacungkan jari jauh ke samudera. "Hidup tidak beda dengan napas samudera. Terkadang bergejolak buas terkadang sarat kedamaian. Kita terlalu sulit menduga, apa yang bakal terjadi. Lebih-lebih mendiktenya. Kau tahu, kenapa? Karena hanya ada satu-satunya Pendikte Hidup." "Tuhan?" "Yak" "Aku tak rugi bersahabat denganmu, Andika...," puji Chin Liong. "Kau bukan hanya sering membuatku tertawa, tapi juga kerap mengajakku berpikir bijak...." "Dan aku justru merasa rugi bersahabat denganmu, kalau kau terus saja memujiku seperti itu," seloroh Andika.

Mereka tertawa kecil. Saling menertawai diri yang sering kali terhanyut kehidupan begitu sa-ja. Jarang sekali ada kesempatan buat mereka untuk merenung seperti sekarang. Seperti jarangnya mereka tertawa lepas bersama.

Tertawa lepas bersama? Andai setiap makhluk bumi bisa berbagi suka seperti itu, tentu bumi ini bisa disulap menjadi sorga dalam sekejap. Bukan lagi tempat bagi si keji untuk membantai yang lain. Bukan tempat penguasa mengunyah yang lemah. Bukan neraka bersimbah darah. Dan Andika pun merenung kembali.

"Bagaimana nasib kawan kita, Hiroto ya?" cetus Ching Liong, memberangus kebungkaman mereka di antara debur ombak yang menanduk lambung kapal.

"Itu yang kumaksud dengan ucapanku tadi. Bukankah hidup begitu sulit diduga? Mestinya, orang sebaik Hiroto tak mengalami nasib buruk di piramida laknat itu," geram Andika terdengar merutuk. "Sementara si Gila Petualang yang mestinya mendapat hukuman, lolos begitu saja entah ke mana" (Untuk mengetahui seluk-beluk kedua tokoh itu, bacalah episode: "Warisan ratu Mesir").

"Kau yakin Hiroto menemui ajal di sana?" tanya Chin Liong, seperti bertanya pada diri sendiri. Seraya menghempas napas, Andika menghela bahu.

"Cuma Tuhan yang tahu, bagaimana nasibnya," desah pemuda tampan itu. "Kasihan ke-luarganya di Jepang...." "Hm.... Aku tak tahu dia punya keluarga," gumam Chin Liong. "Semula aku pun begitu. Sampai Kenjiro, sepupunya, bercerita padaku," ucap Andika.

Sementara itu, kapal terus membelah samudera.

Mentari senja menguning jauh di sana. Setengah tubuhnya, seakan tercelup dalam garis batang kaki langit. Pantulan sinar lembut raja siang yang menjinak, memanjang di sepanjang gelombang kecil.

Malam pun rebah. Hari berlari dan berganti.

Selama ini, pelayaran dengan tujuan tanah Jawa berjalan tanpa kendala. Sebagaimana rencana sebelum meninggalkan negeri Mesir, kapal layar Kerajaan Cina milik Putri Ying Lien akan mengantarkan Andika serta si bangkotan Pendekar Dungu kembali ke tempat asal. Kalau Andika semula dijemput, sudah sepantasnya diantar pulang. Begitu menurut Ying Lien kala itu (Tentang kisah awal keberangkatan mereka, bacalah episode: "Undangan Ratu Mesir").

Setelah berlabuh sejenak di bandar Sunda Kelapa, kapal itu akan meneruskan pelayaran ke negeri Cina.

Sayangnya, segala sesuatu tak selalu berjalan mulus hingga titik akhir. Ketika itu, sinar mentari menebar lembayung ke cakrawala. Senja telah menua pada hari kesekian. Kapal layar angker itu kini telah memasuki Laut Cina Selatan.

Dan, terjadi peristiwa yang benar-benar tak diharapkan. Pendekar Slebor, Chin Liong, Ying Lien, dan beberapa awak kehormatan lain ketika itu sedang mengulur perbincangan hangat. Sampai seluruh perbincangan mendadak terpancung teriakan nakhoda kapal dari geladak.

"Tuan Panglima Akan ada badai hebat dari barat laut Kita tak bisa melanjutkan perjalanan, karena lintasan kapal membelah daerah itu" Chin Liong tak terlihat terlalu terkejut.

Hanya raut wajahnya yang membersitkan kekecewaan. Bukan badai hebat yang disayangkan harus terjadi. Melainkan, menyayangkan kepulangannya akan terlambat dihadang badai. Padahal, hatinya sudah begitu rindu kampung halaman.

"Bagaimana, Panglima? Apakah kita akan tetap pada arah sekarang, atau memotong jalur?" tanya nakhoda kembali, meminta keputusan Chin Liong selaku panglima perang kerajaan.

"Kita harus memotong jalur Aku tak mau mempertaruhkan nyawa seluruh awak kapal" putus Chin Liong, tegas.

"Siappp, Panglima" Selesai menyahuti perintah Chin Liong, nakhoda itu memberi aba-aba pada seorang juru mudi untuk memutar arah, menghindari bentrokan dengan badai hebat yang gejalanya terbaca nakoda tadi. Namun seperti penuturan Andika, alam memang sulit diduga. Selang sekian lama setelah arah pelayaran dibelokkan ke jalur lain, arakan awan hitam pekat sudah terlihat dari arah barat laut. Amat pekat Di kejauhan, arakan awan penjinjing badai itu seperti bergerak tenang. Namun di balik kete-nangannya, sesungguhnya sedang bergerak amat cepat satu ancaman yang paling ditakuti setiap pelaut ulung sekalipun Di antara kepungan awan legam pekat itu, berkali-kali terlontar kerjapan-kerjapan lidah petir, menukik langsung ke permukaan laut.

"Nakhoda Apakah badai itu bergerak ke arah kita?" tanya Chin Liong berteriak pada seorang awak di menara tiang kapal.

"Benar, Panglima" "Apakah kita bisa menghindarinya?" "Kita sudah mencobanya, Panglima. Tapi, badai itu rupanya bergerak terlalu cepat di luar perhitungan" "Jadi kita tak bisa menghindar lagi?" tanya Chin Liong, meminta kepastian. Wajah berwiba-wanya mulai terlihat tegang, meskipun sudah berusaha setenang mungkin.

"Kita tidak bisa membelokkan arah kapal ini ke mana-mana lagi Badai itu terlihat cepat datang" "Apa saranmu, Nakhoda?" "Sebaiknya kita bersiap-siap Kita harus bertahan sementara" sahut nakhoda itu kembali.

"Ya, cepat laksanakan" Setelah itu, dari tiang kapal yang dijadikan sebagai menara pengawas, terdengar aba-aba keras si nakhoda.

"Turunkaaan layaaar" Sesaat berikutnya, sudah terdengar keriuhan layar besar diturunkan cepat, diimbangi hi-ruk-pikuk para awak kapal yang bersiap-siap menghadapi serbuan badai hebat.

Riuh-rendah di luar, memancing Putri Ying Lien keluar dari ruang kehormatannya. Gadis buta ini berjalan dengan wajah terpaku ke depan, Putri Ying Lien pun segera mendekati tempat Chin Liong dan Pendekar Slebor berdiri.

"Akan ada badai," ucap Chin Liong, menyambut kehadiran Ying Lien di dekatnya.

Tak tampak banyak perubahan pada wajah dara terhormat Cina itu. Dia tetap tenang, seakan tidak akan terjadi apa-apa. Kalaupun ada perubahan, hanya sebatas kerutan tipis di antara rentangan sepasang alis hitamnya.

"Apakah badai hebat?" tanya Ying Lien pa-da nakhoda.

Lelaki berbadan kekar berpakaian prajurit laut Cina itu baru saja menuruni tangga tali yang menjulur sepanjang tiang layar.

"Menurut perkiraanku begitu, Tuan Putri," sahut si nakhoda hormat.

"Bisa dihindari?" susul Ying Lien, seperti mengulangi pertanyaan Chin Liong sebelumnya.

"Tidak, Tuan Putri." "Tak ada lagi yang bisa kita perbuat sekarang ini, kecuali bertahan," tambah Chin Liong.

"Sayang, kau tidak bisa melihat, Ying Lien.... Badai besar itu semakin deras menghampiri arah ki-ta" "Aku bisa merasakannya," ucap Ying Lien, tanpa sedikit pun menganggap perkataan panglima perangnya yang sudah seperti saudara kandung sendiri sebagai penghinaan.

"Sebaiknya kau masuk ke ruanganmu kembali, Ying Lien," saran Andika, turut buka suara. "Itu saranmu sebagai seorang sahabat, atau sebagai seorang tamu yang merasa harus menghormatiku?" gurau Ying Lien ringan, seolah hendak sedikit melekang ketegangan yang terus saja menanjak, mengiringi bergeraknya badai di kejauhan.

"Aku rasa, hanya karena kau tak pantas saja berada di sini," sahut Pendekar Slebor.

Baru saja setelah Ying Lien masuk ke ruang kehormatannya, badai pun unjuk gigi. Angin amat kencang menderu-deru seperti hendak menulikan telinga. Gelombang terus saja tumbuh membesar. Ayunannya mula-mula hanya menggoyang kapal besar armada Cina itu. Namun waktu berikutnya, kapal mulai diombang-ambing, terayun kian kemari. Tamparan demi tamparan gelombang menghantami lambung kapal. Dan ketika ombak kian menggila, kapal seperti hendak ditelan begitu saja....

2
Apa yang bisa disombongkan manusia dalam menghadapi amukan alam seperti ini? Apalagi dalam genggaman gelegak badai samudera? Kecongkakan manusia tak berlaku di sana. Yang ada hanya rasa waswas atas jangkauan tangantangan pencabut nyawa dari langit.... Begitulah cara Tuhan memperingati makhluknya yang terlalu rakus akan dosa.

Berbeda dengan seluruh tantangan yang pernah diladeni Pendekar Slebor, tantangan kali ini tampaknya terlalu berat. Bukan manusia bejat dengan kesaktian hebat yang harus dihadapinya.

Lebih dari itu, Andika harus menghadapi ancaman bahaya yang sesungguhnya tidak mungkin ditentang seorang pun. Badai laut maha dahsyat Begitu dengus sang badai memuncak, ombak pun menjelma bagai tangan-tangan raksasa yang siap menepak lebur kapal layar milik Putri Ying Lien. Kini segala kesan kegagahan dan keangkeran angkutan perang laut itu menjadi tak berarti apa-apa.

Langit kelam tampak makin matang. Rapat sudah mega gelap membungkusnya. Di antara gerak berduyun gerombolan awan menyeramkan itu, terus terbersit gencar lidah-lidah petir.

Suasana terpuruk dalam keriuhan meninggi. Deru angin ribut menyerbu dalam arah simpang-siur, bertarung dengan gelegar liar guntur pengiring kerjapan kilat. Belum lagi debur sehim-pun gelombang raksasa yang bergolak. Belum pula debam menggila, ketika lambung kapal ditanduk ombak.

Sesakti-saktinya manusia, Andika masih punya selaksa akal cerdik untuk dapat menaklukkannya. Namun dalam menghadapi amukan alam? Yang paling hebat bisa dilakukannya berdoa dalam kepasrahan memuncak Alam memang selalu mewakili kehendak Rabbi. Kalau Sang Penguasa telah berkehendak, daya apa lagi yang bisa diperbuat manusia selain berdoa dan pasrah? Memang pemuda sakti dari tanah Jawa itu pernah pula menjajaki kemurkaan alam, dalam tahap penyempurnaan kesaktiannya di Lembah Kutukan. Kalaupun bisa selamat dari gempuran dahsyat sejuta lidah petir di sana, semata-mata bukan karena kesaktiannya. Melainkan, Tuhan telah berkehendak dirinya tetap hidup lalu berjuang menegakkan panji keadilan.

Namun begitu, Andika tahu pasti kalau tidak boleh menyerah begitu saja pada keadaan.

Ya, dia harus berjuang, seperti juga yang lain. Ini bukan masalah menentang kehendak Sang Penguasa, melainkan berusaha mempertahankan nyawa sebagai titipan paling berharga dari-Nya.

Maka ketika segulung ombak raksasa menerjang tinggi menggapai langit yang seolah siap menanduk hancur tiang layar besar kapal, Pendekar Slebor dipaksa menghadapinya.

"Andika Ombak besar itu akan menghancurkan kapal kita" teriak Chin Liong, yang saat itu sedang memeras tenaga mengendalikan kemudi bersama Pendekar Slebor.

Tahu kapal akan menjadi lumpuh tanpa tiang layar, pendekar muda itu segera melepas pegangannya pada badan kemudi. Sekali bergerak dia telah melompat tangkas menyongsong terjangan ombak.

"Hiaaahhh" Dalam deru angin yang mengacaukan seluruh pakaian dan rambut, tubuh Pendekar Slebor melayang deras tak kalah cepat dengan gerak tandukan ombak raksasa. Di udara, tangannya yang mengepal keras mengejang rapat di sisi dada. Otot-otot di sekujur tubuhnya bagai berubah menjadi kawat-kawat liat.

Andika memang sedang memompa tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan dalam tubuhnya, hingga tingkat kesembilan belas.... Sa-tu tingkatan tenaga sakti yang begitu disegani di seantero persilatan yang sanggup memporak-porandakan bukit karang Sekejap selanjutnya....

"Hih" Deb Dari keadaan rapat di sisi rusuk, tangan pemuda itu mengembang singkat bersama gemeretak persendiannya. Telapak tangan yang semula terkepal, sekejap membuka. Saat yang sama, se-himpun kekuatan tenaga dorongan terlepas searah hempasan tangannya. Tenaga dorongan itu bergerak gagah melebar, siap membuat benteng kasapmata untuk menahan tandukan ombak Pyuar Sungguh mengagumkan, ternyata ombak raksasa itu langsung tertahan sebelum sempat merejang tiang kapal. Ubun-ubun gelombang raksasa itu malah terburai, menjadi cipratan halus, tak kalah halus dengan bulir-bulir hujan yang saat ini sedang berpesta.

Untuk hasil itu, Pendekar Slebor tidak luput dari akibat tak ringan. Sesungguhnya pengerahan tenaga sakti warisan dari buyutnya hingga tingkat kesembilan belas, adalah tindakan amat berbahaya. Jika tubuhnya saat ini tidak siap di-banjiri tenaga sakti taraf puncak, maka kekuatan itu malah bisa memakannya sendiri.

Hal yang ditakutkan Pendekar Slebor memang tak terjadi. Namun, benturan dahsyat antara gelombang raksasa sebesar gunung dengan sebentuk kekuatan yang tak tanggung-tanggung, tentu saja sanggup menghempasnya amat jauh ke belakang.

Bagai seorang yang baru saja tersentak ledakan amat hebat, tubuh pemuda ksatria itu meluncur tajam ke belakang. Kalau semula ombak yang mengancam tiang kapal, kini justru tubuh Pendekar Slebor sendiri menjadi ancaman. Luncuran tubuhnya secara tak sengaja mengarah pada tiang layar....

"Andika" seru Chin Liong was-was. Digebah kekhawatiran teramat sangat, pemuda Cina yang menjadi sahabat Pendekar Slebor itu melepas pula pegangan pada kendali kapal. Tubuhnya menerjang ke muka, menyambut luncuran tubuh Andika.

Memang, bukan tiang kapal yang dikhawatirkan Chin Liong saat itu. Andika bisa terluka parah akibat benturan hebat dengan tiang. Itu yang paling ditakutkannya.

"Heaaa" Berangkai teriakan tertahan Chin Liong, tubuh dua pemuda gagah itu bertumbukan di angkasa.

Dugh "Akh" Terlalu besarnya tenaga dorong badan Andika, menyebabkan Chin Liong terhantam meski sudah mengerahkan sebisanya segenap kecepatan dan tenaga.

Usaha Chin Liong tak berarti banyak. Karena begitu tubuhnya terbentur, dia pun ikut meluncur menuju tiang kapal.

Dakh Seketika bokong Chin Liong terhantam badan tiang layar utama kapal. Dia rupanya rela menjadi tumbal pengganti yang seharusnya diterima Andika, sahabatnya. Sungguh suatu pengorbanan seorang ksatria muda sejati bagi sang sahabat Tiang utama kapal selamat dari keruntuhan. Tenaga dorongan telah melunak, setelah Chin Liong berusaha menahan luncuran tubuh Andika Namun biar begitu, tetap tak cukup lunak bagi bokong pemuda Cina ini. Bagian tubuhnya terasakan seperti baru saja dihajar tiga puluh tangan besar algojo-algojo.

Selang setelah dua pemuda itu tersuruk di lantai geladak, Chin Liong memuntahkan darah segar. "Kau..., kau tid-dak apa-ap-pa, Andika?" tanya Chin Liong tersendat.

Masih saja pemuda bermata sipit ini mengkhawatirkan keadaan sahabatnya, sementara dia sendiri terluka tak kalah parah.

Andika beringsut bangkit. Sedang Chin Liong terhimpit di belakangnya. Sambil berpegangan pada tambang besar jangkar serta memegangi lengan Chin Liong agar tak berombang-ambing ayunan menggila kapal, Andika berbalik menghadap pada sahabatnya.

"Mestinya aku yang bertanya begitu padamu, Tolol Kenapa kau jadi begitu bodoh menyambut luncuran tubuhku? Apa kau sudah begitu kasmaran padaku?" seloroh pemuda urakan ini masih dengan ringisan sakit di bibirnya.

Agak susah payah, Chin Liong menanggapi celotehan ngawur sahabatnya dengan senyum rapuh. Dadanya saja masih terasa remuk. Lantas, bagaimana dia bisa tersenyum lepas? Tapi sungguh mati, kalau pun begitu rasanya pemuda bermata sipit ini memang harus sedikit geli dengan perkataan brengsek Andika. Bagaimana bisa pemuda tanah Jawa ini sempat bergurau dalam keadaan yang demikian genting seperti sekarang? "Kau masih bisa bangkit atau tetap ngejogrok seperti kakek pikun salah makan?" sembur Andika lagi.

Chin Liong berusaha bangkit. Tapi luka yang diderita terlalu parah untuk membuatnya bisa bangkit.

"Ah, sudahlah.... Jangan kau paksakan Kalau kau paksa-paksa, nanti malah berhembus keluar sesuatu yang tak diharapkan dari belakangmu" kata Andika lagi, dengan suara tinggi.

Bicara kurang kuat sedikit saja, suaranya akan tertelan gemuruh badai.

"Kau tidak apa-apa, Panglima?" tanya seorang prajurit yang bersusah-payah merayap mendekati tempat Andika dan Chin Liong.

"Sebaiknya, kau bawa panglimamu masuk Dia harus dirawat segera" tukas Andika, tepat di telinga si prajurit.

"Apa, Tuan?" tanya prajurit berkumis tikus itu seraya menaikkan sebelah tangannya ke sisi telinga. Matanya menyipit. Sudut bibirnya terangkat. Tampaknya, telinganya memang tak mendengar ucapan Andika barusan.

"Bawa panglimamu masuk? Dia butuh perawatan?" ulang Andika lebih keras dan lebih dekat ke telinga prajurit tadi. "Hah? Apa?" Minta tobat Andika menyumpah-nyumpah sendiri. Ini bukan lagi persoalan gemuruh badai yang menelan suaranya. Ini pasti perkara kuping si prajurit yang mampet Dasar budek "Bawa panglimaaamuuu ke dalaaam" ulang Andika sekali lagi. Kali ini dengan mata melotot Mulut si prajurit yang sudah maju semakin menyorong ke depan.

"Baik-baik, Tuan" lanjut prajurit ini sambil membantu Chin Liong berdiri.

Sementara badai terus saja mengamuk.

Kapal layar mereka masih saja dijadikan bulanbulanan ombak. Sebentar terombang ke sini, sebentar terambing ke sana. Berkali-kali kendaraan samudera itu oleng begitu curam. Tandukan-tandukan gencar gelombang setinggi sepuluh kaki, terus saja menghujam lambung kapal.

Untung saja tak ada gelombang meraksasa seperti yang Andika papaki. Dan untung pula, kapal berusia tua itu ternyata masih mampu membuktikan keperkasaannya. Tidak karam, meski sudah demikian dipermainkan.

Para awak kapal yang bertanggung jawab pada pelayaran, terus berkutat menimba air laut yang berhasil masuk ke dalam lambung. Sebagian lain menguras tenaga untuk menarik tali kayu gulungan layar, agar tidak liar bergerak ke mana-mana. Sementara yang lain pun berjuang dengan tugas lain pula. Pendekar muda tanah Jawa bernama Andika, tetap bertahan bersama mereka. Sampai suatu ketika, Pendekar Slebor disentak suatu pemandangan aneh. Di antara gelegak tarian angker ombak raksasa, lamat-lamat terlihat seseorang bergerak cepat. Gerakannya demikian ringan, seakan sosok itu sedang berlari-lari di hamparan padang datar saja. Sesaat bayangan orang itu tertelan gapaian ombak. Dan kala gulungan ombak melandai, sosok itu pun tersingkap kembali.

Andika mengerjap-ngerjapkan kelopak mata. Bukan karena tidak jelas melihat sosok itu melainkan kurang yakin apakah matanya sudah melihat khayalan? Atau, memang benar-benar menyaksikan peristiwa itu...?

3
"Benarkah aku telah melihat seseorang bergerak bagai hantu di antara sibakan-sibakan gelombang? Di antara amukan badai menggila? Di antara menggunungnya ombak yang mungkin setinggi sekitar sembilan kaki itu?" Pendekar Slebor jadi tak habis pikir. Sulit baginya untuk percaya. Dan itu sama sulitnya untuk meyakinkan kalau yang dilihatnya adalah manusia. Siapa tahu, itu hanya hantu laut gentayangan. Kalau manusia, mau apa sendirian di tengah-tengah memuncaknya kemurkaan alam tanpa perahu atau sampan kecil sekalipun? Dan, bagaimana pula dia bisa menaklukkan badai dahsyat seperti mempermainkannya...? Guna meyakinkan penglihatannya, Pendekar Slebor lantas saja menarik kerah baju seorang awak kapal Kerajaan Cina. Kerasnya menarik, sampai-sampai mata si prajurit mendelik akibat tercekik.

"Adha apha, Tuan Pendehekhar..., ekh" rintih si prajurit mengenaskan.

Mata laki-laki yang meski bermata sipit itu makin mendelik saja, ketika agak terhuyung karena olengan kapal. Padahal tangannya masih mencengkeram leher bajunya, lidah si prajurit naas itu pun mulai menjulur-julur.

"Coba kau perhatikan ke sana" perintah Andika. Ditunjukkannya alunan gelombang liar jauh di sana.

"Iya-iya, Tuan Pendekar... Tapi, lepaskan dulu kerah bajuku," pinta prajurit tadi dengan suara memelas.

Andika sadar. Cepat dilepas cengkeramannya. "Sekarang kau perhatikan baik-baik. Tadi, aku melihat seseorang di sana..." lanjut Andika.

Sambil berpegangan pada bibir geladak karena ngeri ditelan ombak raksasa, prajurit itu menatap mata Andika tajam-tajam. Sinar matanya diliputi kebingungan yang tak kalah dahsyat dengan badai saat ini.

"Ah Tuan Pendekar pasti sedang bergurau" seru prajurit ini keras untuk mengalahkan gemuruh ombak dan gelegar guntur.

Andika melotot.

"Apa kau melihat tampangku seperti sedang bercanda?" bentak pendekar muda itu dengan nada dongkol.

Si prajurit meringis, jadi serba salah. Mau tidak menuruti, Andika adalah sahabat dekat panglimanya. Bahkan Tuan Putri junjungannya. Salah-salah, bisa tidak dapat pesangon jika pensiun nanti. Dan kalau dituruti, dia bisa kelihatan sinting. Masa' di tengah-tengah amukan ombak segila itu, ada orang? Dan prajurit ini hanya bisa menggeleng pelan. Pelan sekali, agar Andika tak melihat.

"Jangan melongo Mending bacotmu bagus kalau sedang bengong begitu" hardik Andika, mendapati si prajurit masih saja menatapnya serba salah.

"Tapi, Tuan Pendekar.... He-he-he.... Gima-na," "Malah cengengesan lagi" Dengan terpaksa, akhirnya prajurit itu menuruti juga perintah Andika. Dan biar pun menggerutu sampai mulutnya berbusa, dia tak akan menang.

"Tapi.... Ya, ampun... Sementara orang lain kelimpungan, masa' memelototi ombak?" gerutu prajurit ini lagi dalam hati. Maklum, pendekar sakti di sebelahnya masih mendelik habishabisan. Masih untung kalau hanya teriak-teriak.

Kalau sampai mengamuk kan bisa berabe....

Sampai lama prajurit berbibir mancung itu mengamati arah yang ditunjuk Andika. Namun, tak juga dia menyaksikan orang yang dimaksud.

Dalam hati, dia semakin yakin kalau pendekar di sebelahnya sedang sakit mata.

"Tuh, kan Aku bilang juga apa... Tidak ada, Tuan Pendekar..." tukas prajurit ini membe-ranikan diri, menyudahi perintah Andika. Matanya memang sudah berkunang-kunang menyaksikan ayunan ombak tak beraturan yang buasnya minta ampun.

"Aku belum tanya" bentak Andika.

Wajah lelaki yang dibentak langsung saja memucat. Sudah perutnya terasa bagai hendak dikuras karena mual, mendapat bentakan telengas pula. Bagaimana tidak pucat? Sampai akhirnya, Andika menggeleng.

"Ah, sudahlah Mungkin aku memang salah lihat" kata Pendekar Slebor keras supaya bisa didengar prajurit tadi.

Si prajurit lega. Ditariknya napas dalamdalam. Setelah itu....

"Khoeeekh..." Prajurit ini muntah di tempat
***
 Menjelang pagi hari, badai baru mereda.

Samudera ini bersahabat kembali. Bila sebelumnya penuh gejolak, kini tenang bagai hamparan kaca berwarna kebiruan yang disaput warna merah saga dari pantulan ramah mentari muda. Angin segan-segan berhembus, menciptakan riakriak halus di permukaan laut.

Benarkah ancaman telah lalu? Sungguhkah bahaya telah terlintas? Tidak Bagi kapal layar Kerajaan Cina, Laut Cina Selatan rupanya masih menyiapkan ancaman baru. Ancaman kali ini, bisa saja menuntut tumbal nyawa dan cucuran darah Belum lagi layar utama ditarik sampai ke puncak oleh awak yang telah demikian lelah berjuang semalam suntuk....

"Laporkan pada Panglima Chin Liong Tampaknya, kita akan dihadang kapal perompak" Terdengar teriakan nakhoda yang berada di menara tiang utama, tentang adanya bahaya baru.

Syaraf para awak yang baru saja mengendur menjadi tegang kembali. Layar yang belum sempat ditarik ke puncak tiang, dipaksa lebih cepat mengembang. Entah, bagaimana ancaman seperti itu seperti memompa kekuatan mereka kembali. Beberapa awak yang menarik tali layar, mendadak memperlihatkan tenaga mereka kembali. Bersama teriakan-teriakan berirama, layar berlambang naga itu pun mengembang.

Seorang prajurit segera memasuki ruang dalam kapal dengan langkah tergesa-gesa. Dan segera dimasukinya ruang kehormatan. Niatnya hendak menemui Chin Liong. Tapi orang yang dimaksud tidak ada di sana. Pemuda itu masih berada dalam ruang perawatan dalam pengawasan tabib istana.

"Ada apa, Prajurit?" tanya Putri Ying Lien yang saat itu berada di sana. Biarpun buta, pendengarannya bisa membedakan seseorang dari helaan napas, langkah, atau gesekan pakaian sekalipun.

Merasa telah membuat terkejut junjungannya, prajurit tadi segera menghaturkan maaf. "Hamba hendak melaporkan keadaan darurat pada Panglima, Tuan Putri," lapor prajurit itu.

"Keadaan darurat apa?" tanya Ying Lien.

"Kita berpapasan dengan kapal perompak, Tuan Putri." Seketika Putri Ying Lien bangkit dari kursi kebesarannya. Begitu juga, empat perwira tinggi yang bersamanya.

"Perwira Naga Cepat laporkan pada Panglima Chin Liong," perintah Ying Lien, lugas dan tegas. Perwira Naga yang diperintah ragu sejenak.

"Tapi, Tuan Putri.... Apakah tidak sebaiknya jika Panglima tidak diberitahu?" tutur Perwira Naga, ragu.

"Kenapa?" Ying Lien melengak. Kembali lelaki yang berjuluk Perwira Naga itu ragu.

"Mohon maaf, Tuan Putri.... Sebenarnya hamba diperintah panglima agar merahasiakan hal ini," ucap Perwira Naga berusaha mengelak dari pertanyaan Ying Lien.

Setelah menimbang sejenak, Perwira Naga cepat memberitahukan tentang keadaan Chin Liong kepada junjungannya. Pada saat-saat genting seperti itu, keputusan yang lambat akan sangat berbahaya.

"Semalam ketika terjadi badai, Panglima Chin Liong mendapat cedera, Tuan Putri," lanjut Perwira Naga, memberitahukan.

Ying Lien menggeleng-geleng. Dia tahu maksud Chin Liong. Pemuda yang sudah seperti saudara kandungnya itu tentu tak ingin membuatnya khawatir.

"Sekarang beliau ada di ruang perawatan, Tuan Putri," tambah Perwira Naga cepat.

"Kalau begitu, jangan beritahu dia," putus Ying Lien. "Dan sebaiknya, kita cepat keluar kalau tak ingin didahului kawanan perompak itu" Lalu mereka semua keluar tergesa. "Seberapa jauh jarak mereka dengan kapal kita, Andika?" tanya Ying Lien pada Pendekar Slebor di atas geladak.

Pendekar muda tanah Jawa itu sedang berdiri waspada, memperhatikan kapal layar besar dikejauhan.

"Cukup jauh. Aku sendiri belum jelas melihat lambang di layar kapal itu," sahut Pendekar Slebor, tanpa menoleh.

"Nakhoda" panggil Ying Lien. Tangannya memberi isyarat kecil, meminta nakhoda membe-rikan teropong.

Teropong berpindah tangan. Dari nakhoda ke Ying Lien yang segera diteruskan pada Andika.

"Coba kau perhatikan, lambang apa yang ada di layar kapal itu," pinta Ying Lien pada Andika.

Sementara Andika sibuk mengintai dari lubang teropong dengan satu mata menyipit, awak kapal yang lain menanti tegang. Tak satu pun yang berhasrat buka suara.

"Ular kepala dua...," kata Andika dengan teropong masih menempel.

"Apa?" usik Ying Lien. Pendekar Slebor menurunkan teropong.

"Lambang pada layar kapal itu bergambar ular berkepala dua," ulang Andika, menegaskan.

Wajah beberapa prajurit langsung berubah, demi mendengar Andika menyebutkan lambang kapal yang dimaksud. Mereka sebenarnya para prajurit pilihan yang keberaniannya tak diragukan lagi. Namun tak urung hati mereka bergetar mengetahui akan berhadapan dengan....

"Ular Laut Kepala Kembar...," gumam Perwira Naga yang berdiri tepat di belakang Andika.

"Benar, Perwira," sela nakhoda. "Semula aku pun tak percaya akan berhadapan dengan kawanan perompak yang paling ditakuti di Laut Cina Selatan ini, ketika melihat dari teropong di menara." Perwira Naga menatap Ying Lien, menunggu keputusan junjungannya.

"Apa masih mungkin bagi kita untuk menghindar?" tanya Ying Lien.

Seperti juga Chin Liong, Ying Lien lebih mengkhawatirkan keselamatan penumpang kapalnya. "Sudah tak mungkin, Tuan Putri," jawab nakhoda. "Arah angin tak mengizinkan kita untuk menghindar. Lagi pula, jarak antara kapal kita dengan kapal perompak sudah terbilang dekat..." "Hei? Apa tak ada di antara kalian yang mau cerita padaku, ada apa ini sebenarnya? Kenapa kalian jadi demikian kaku? Apa di kapal ini ada upacara mengheningkan cipta untuk menghadapi perompak?" cerocos Andika, seenaknya.

Maklum saja bila Pendekar Slebor berbicara seperti itu. Sebab dia belum pernah mendengar kabar angin tentang nama menggetarkan kawanan perampok Ular Laut Kepala Kembar.

Empat perwira di dekat Andika saling menatap. Satu sama lain saling menimbang, siapa di antara mereka yang akan menceritakan tentang kawanan perompak paling ditakuti diseantero Laut Cina Selatan "Biar aku yang menceritakan pada Tuan Pendekar," cetus seorang perwira berbadan tinggi besar. Maka, mulailah lelaki itu menuturkan ceri-tanya. Singkat dan padat.
***
 Dalam bentangan maha luas Laut Cina Selatan, di antara pergantian kemurkaannya serta kejinakannya, puluhan kapal perompak berkeliaran. Masing-masing menjadi penguasa di wilayah perairan tertentu.

Bagi kapal-kapal dagang, Laut Cina Selatan dianggap amat rawan. Bahkan menjadi momok para pelaut yang sudah mengarungi tujuh samudera sekalipun. Karena setiap saat, bisa saja di-jegal kapal-kapal perompak.

Amat santer kekejian dan ketelengasan para perompak Laut Cina Selatan. Berkali-kali telah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap awak kapal dagang yang mencoba mempertahankan harta dari jarahan. Dan bila sudah terlibat perang laut, biasanya perompak-perompak Laut Cina Selatan tak akan sudi membiarkan hidup korbannya barang seorangpun. Setiap korban akan mengalami nasib demikian. Mati dengan dada terbelah, leher terpenggal, atau tubuh direjang puluhan tombak.

Di antara semua kapal perompak, Ular Laut Kepala Kembar yang paling ditakuti. Mereka kawanan perompak terkeji di antara yang keji.

Terkejam di antara yang kejam. Dan, terbiadab di antara yang biadab....

Kapal layar penyamun itu selalu terlihat seperti hantu laut. Tepatnya, seperti istana hantu laut. Kalau ada nakhoda yang melihatnya untuk pertama kali, maka pasti akan mengira kalau kapal itu adalah kapal mati yang terkatungkatung di lautan lepas. Layarnya masih tetap membentang, namun sudah kusam, penuh koyakan di sana-sini. Lambung kapal pun sudah ditumbuhi tumbuhan laut, serta gumpalan karang tak terawat. Tepi geladak pada beberapa bagian sudah terpatah-patah. Pondok di atas geladak diselimuti kabang-kabang dan sarang laba-laba.

Warna kapal itu muram, menyiratkan kebisuan menggidikkan. Dan yang paling khas dari semua itu, kapal Ular Laut Kepala Kembar menebarkan bau bangkai menusuk yang merebak sampai amat jauh Sehingga, membuat setiap orang yang baru pertama kali melihat menjadi semakin yakin kalau kapal itu adalah kapal mati.

Namun yang lebih ganjil adalah awak kapalnya. Kapal sebesar dan seangker itu, nyatanya hanya ditempati tiga penghuni. Semuanya ganjil.

Semuanya sulit dimengerti.

Orang pertama, dipanggil Ular Merah. Disebut begitu, karena seluruh kulitnya berwarna merah. Wajahnya buruk, sekaligus menjijikkan.

Hidungnya besar dan membengkok ke kiri. Dari lubangnya selalu keluar lamban lendir yang tak pernah dibuangnya. Tidak juga dibersihkan. Warna hijau kekuningan lendir dari hidungnya makin jelas terlihat, karena warna merah kulitnya. Mulutnya lebar ke samping. Sedang matanya begitu cekung. Apalagi dengan kening yang terlalu membengkak.

Yang kedua, berjuluk Ular Belang. Kalau melihat kulitnya yang juga berwarna tak karuan, julukan Ular Belang memang pantas untuknya.

Dibanding Ular Merah, orang satu ini bertubuh lebih kecil. Matanya picak dengan muka lebar. Di dahinya ada gambar ular yang memanjang hingga ke ubun-ubun kepalanya yang botak.

Yang terakhir adalah si Manusia Ular. Sulit sekali orang melihatnya. Dia terlalu tersembunyi, karena selalu tak bersama dua lelaki lainnya.

Bahkan tak seorang pun tahu, bagaimana rupa si Manusia Ular. Baik penampilan, atau suaranya. * * * Andika selesai mendengarkan penuturan perwira di dekatnya. Belum. Cerita belum lagi selesai. Bagi si perwira, masih teramat banyak cerita tentang sekawanan perompak Ular Laut Kepala Kembar. Kalaupun penuturannya mesti terpenggal, karena kapal penyamun yang dimaksud sudah kian dekat.

Diiringi gumpalan kabut tebal seputih kapas pembalut mayat, kapal Ular Laut Kepala Kembar terus mendekati. Bentuknya bertambah jelas. Sementara saat ini angin seperti mati. Tak ada hembusan yang membuat kapal layar itu bergerak lebih cepat. Suasana makin penuh kengerian, dalam laju lamban kabut.

Di kapal Kerajaan Cina, seluruh awak mematung tegang. Kalau bisa, napas pun mungkin akan ditahan. Bagi hampir seluruh awak dari Kerajaan Cina, kapal perompak Ular Laut Kepala Kembar tak beda istana hantu laut. Banyak desas-desus santer tentangnya. Tentang kekuatan aneh yang menyelubunginya. Tentang si Manusia Ular yang tak terlihat, yang sebenarnya sosok ka-satmata yang belum jelas bentuknya. Tentang suara-suara seram dan jeritan dari dalam kapal.

Tentang....

"Kunyuk Ini kapal orang, apa kapal setan...?.'" rutuk Andika, memecah ketegangan. Ba-rangkali hanya Pendekar Slebor satu-satunya orang di atas geladak yang masih saja acuh.

Sebenarnya, Andika pun merasa merinding. Tapi yang namanya Pendekar Slebor, paling benci kalau dirinya dikuasai perasaan-perasaan tak menentu seperti itu. Gerutuan tadi tentu saja sekadar untuk mengusir ketegangan yang mengepung dirinya sedemikian rupa.

Yang lain seperti tidak menanggapi gerutuan ngawurnya. Mereka masih terpaku pada kapal Ular Laut Kepala Kembar.

"Yang Mulia Tuan Putri, tampaknya kita kedatangan tamu lain," lapor seorang prajurit, ti-ba-tiba.

Ying Lien cepat menoleh.

"Apa maksudmu?" Prajurit tadi berbalik lalu menunjuk ke belakang kapal. Jauh di sana, sudah terlihat sekitar lima belas kapal layar lain. Semuanya bergerak pada arah yang lama..., kapal Kerajaan Cina "Siapa mereka?" tanya Perwira Naga, terpancing.

"Menurut pengamatan hamba, mereka semua para perompak Laut Cina Selatan..,?" "Gila Bagaimana mereka bisa berada di sini pada saat yang sama?" maki perwira lain.

"Dan, tampaknya mereka menginginkan kita...," tambah Perwira Naga, mendesis. "Entah kenapa...?"

4 Ketegangan memuncak, manakala dari belakang kapal Kerajaan Cina sekitar lima belas kapal perompak lain mulai membentuk pagar melingkar. Dalam jarak seratus depa, armada penyamun samudera itu mengepung.

Tak ada lagi jalan lolos. Hanya ada satu pilihan bagi seluruh awak kapal Kerajaan Cina, yakni menghadapi mereka Paling tidak, bertahan untuk tidak dibantai. Berjuang untuk harapan hidup yang begitu tipis. Seperti seekor banteng menghadapi belasan singa lapar.

Sementara, Pendekar Dungu, sudah muncul dari pintu lambung kapal. Geraknya lamban.

Matanya yang sayu, masih dibebani tahi mata sebesar ujung kelingking. Seraya menggeliat seperti seekor ular kadut tua yang baru saja terjaga dari tidur panjangnya, si keropos itu menguap lebar-lebar seperti hendak menghirup seluruh udara di atas samudera.

"Huaaahhhkkkhhh..?" Ksatria lapuk ini melangkah terseret. Dengan malas-malas matanya dikucek. Usai menguap sekali lagi, dia mulai cengar-cengir.

"Hm... nyam-nyam-nyam.... Ada apa ini? Banyak kapal ngumpul, ya? Siapa yang sunatan...?" Gumaman Pendekar Dungu berubah menjadi makian tak kentara, ketika....

"Apakah kalian orang-orang Kerajaan Cina?" Mendadak, dari salah satu kapal penyamun terlontar teriakan membahana.

"Kualat kau Sialan Aku orang tua Jantungku sudah soak Jadi jangan berteriak-teriak seenaknya" bentak Pendekar Dungu. Kaget bukan main lelaki keropos ini. Sampai-sampai merasa perlu mengurut dada kerempengnya.

"Hoiii Kalian tuli semua? Aku bertanya, apakah kalian orang-orang Kerajaan Cina?" Dari seberang sana, seorang pemimpin penyamun yang tak mendapatkan jawaban mengulang teriakannya. Kali ini dibumbui kata-kata kasar. Andika jadi mengkelap juga, mendengar kekasaran barusan.

"Bukan Kami orang-orang dari kerajaan antah berantah" sahut Pendekar Slebor, diawali dengusan kesal.

"Jangan main-main dengan kami" Terlempar kembali seruan berang dari satu kapal. Tepatnya dari mulut seorang kepala penyamun berkepala klimis. Brewok kasar memenuhi dahunya yang berbentuk persegi. Wajahnya tak kalah jelek dengan orang-orang paling jelek.

Apalagi, juga dipenuhi sayatan-sayatan melebar.; Pakaian hitam-hitam besar menutupi tubuhnya yang besar. Lelaki berpenampilan garang itu berdiri di antara jajaran anak buahnya di tepi kapal.

Di kapal lain, para perompak yang berjumlah puluhan pun berdiri di pinggiran kapal masing-masing. Tak ada satu pun dari mereka yang memperlihatkan kelengahan. Seluruhnya siap dengan senjata di genggaman.

Suasana memang semakin membara. "Siapa yang berkoar-koar tak sopan itu? Tunjuk tangan" sela Pendekar Dungu sewot.

Kemudian kepala lelaki berotak bebal itu menoleh pada Andika.

"Hey..., hey Siapa namamu?" tanya Pendekar Dungu dengan jari ditempelkan ke kening.

Andika menoleh kecil.

"Bilang sama orang yang berkoar tadi Kalau tak berhenti berteriak, dia akan ku.... Akan ku..., akan kuapakan, ya? Buju buneng Padahal, tadi aku ingat akan kuapakan dia" oceh Pendekar Dungu.

"Bagaimana kalau kita jewer telinganya, Pak Tua?" ledek Andika, menanggapi kesewotan Pendekar Dungu.

"Jangan Lebih seru, kalau disunat saja" "Ha-ha-ha" Andika kontan tergelak.

"He-he-he" Pendekar Dungu menimpali dengan kekehan jeleknya.

"Atau kita cabuti bulu anunya, eh Maksudku, bulu keteknya" "Hie-he-he...." "Hush" Hanya dua lelaki beda usia itu yang tampak meriah sendiri. Ya, hanya mereka. Sementara, yang lain hanya memperhatikan dengan pandangan bingung. Apanya yang lucu dalam suasana setegang ini? Pikir awak kapal dari Kerajaan Cina itu.

Selagi Andika dan Pendekar Dungu ramai dengan tawa mereka, mendadak saja merebak lengking ganjil dari kapal Ular Laut Kepala Kembar. Tak cukup disebut mirip jeritan, tak juga suara dengking binatang.

Terdengar pendek saja lengkingan itu mendesak udara. Tapi, cukup melabrak setiap telinga.

"Aaa..." "Aaakh..." Ibarat malaikat maut yang menjelma dalam bentuk suara, beberapa orang di atas kapal berbeda langsung memekik kesakitan. Mereka mendekap telinga rapat-rapat. Sedang sebagian yang lain langsung menemui ajal. Tubuh mereka tersentak sekejap, seakan dialiri tegangan amat tinggi. Dari lubang telinga tak henti-hentinya mengalir darah meski tubuh mereka sudah bergelimpangan Korban di kapal Kerajaan Cina milik Ying Lien jatuh empat orang. Semuanya prajurit. Andi-ka yang tak siap akan serangan ini tak sempat melindungi para prajurit malang itu. Kalau saja bisa lebih cepat sedikit saja memapaki kekuatan suara barusan lewat tenaga saktinya di udara, tentu mereka tak perlu menjadi korban.

Pendekar Slebor sendiri harus menutup pendengarannya rapat-rapat dengan tangannya, itu pun ditambah pula dengan pengerahan hawa murni dari dalam. Sedikit terlambat saja, gendang telinganya bisa pecah Begitu juga Ying Lien, empat perwira Cina, dan beberapa orang lain yang cukup memiliki tenaga dalam tinggi. Bahkan Pendekar Dungu yang tergolong tokoh kawakan.

"Jin botak mana yang nekat main-main denganku?" sentak Pendekar Slebor kalap dan agak pongah. Kulit mukanya memerah pertanda kegusaran hebat.

"Jadi itu tadi suara jin botak, ya?" tanya Pendekar Dungu, lugu. Mata lelaki keropos ini membesar seperti uang gobangan. Mungkin sudah banyak jin yang dilihatnya sepanjang umur yang demikian uzur. Tapi kalau jin botak? "Ih Kupikir tadi itu suara kentutmu, Anak Muda...," tambah si tua bangka lagi, pada Andika.

Pendekar Slebor seperti tak peduli pada ketololan Pendekar Dungu. Mata anak muda ini jelalatan mengawasi kapal Ular Laut Kepala Kembar yang melintang di depan kapal Kerajaan Cina.

Belum ada sedikit pun tanda-tanda kehidupan di sana. Tak ada seorang pun yang terlihat. Bahkan seekor nyamuk pun Jadi, itu tadi suara apa? Atau suara siapa? "Hoi... Siapa pun kau, yang telah berteriak sembarangan Tampakkan dirimu Apa kau punya wajah yang terlalu jelek, hingga malu memperlihatkan?" pancing Andika.

Belum juga ada perubahan.

Andika mulai merasa dipermainkan.

"Ini tak bisa didiamkan" rutuk Pendekar Slebor seperti bicara sendiri.

"Sudah ada korban yang jatuh. Aku tak bisa mendiamkan begitu saja...." Kemudian Pendekar Slebor beranjak dari tempatnya.

"Apa yang kau ingin lakukan, Andika?" tanya Ying Lien ketika mendengar langkah kaki Andika.

"Kau lihat saja nanti. Kita akan tahu, apakah penghuni kapal itu benar-benar punya nyali untuk berhadapan denganku secara ksatria" "Jadi kau ingin memasuki kapal itu, Andika?" tebak Ying Lien.

Andika tak menjawab. Terus saja kakinya melangkah ke hidung kapal layar.

"Andika Ada apa ini? Kenapa aku tak diberitahu sama sekali?" Mendadak saja Chin Liong muncul dari pintu lambung kapal. Di belakangnya, dua prajurit dan seorang tabib Cina tua tergesa-gesa men-gekorinya.

Andika menoleh. Tak disangka Chin Liong sudah tampak membaik.

"Maaf, Putri.... Aku sudah berusaha menahan Panglima Chin Liong agar tidak keluar dari kamarnya. Tapi...," lapor seorang prajurit yang mengikuti Chin Liong keluar dengan suara terputus. Namun, kata-kata itu segera disambut acungan tangan oleh Ying Lien.

"Tidak apa-apa," kata Ying Lien.

"Aku mendengar suara aneh memekakkan tadi. Itu sebabnya aku merasa harus keluar.

Lengkingan tadi bukan suara main-main. Itu serangan hebat yang hanya bisa diberitahu?" cecar Chin Liong lagi Pemuda bermata sipit ini merasa telah diacuhkan demikian rupa. Padahal, selaku panglima kerajaan, dia yang paling berwenang dalam mengatasi angkatan perang dan putrinya.

"Aku sengaja tak memberitahukanmu, setelah mengetahui kau mengalami luka cukup parah saat terjadi badai," sahut Ying Lien, memberi alasan. "Kau menganggapku begitu lemah?" sengit Chin Liong, setengah berbisik.

Sekali lagi, Chin Liong harus tetap menjaga kehormatan putrinya yang sesungguhnya sudah seperti saudara kandung sendiri.

"Aku tidak bermaksud begitu," kilah Ying Lien tetap tenang.

"Tapi...." Chin Liong masih ingin bersikeras. Sungguh mati hatinya tersinggung dengan perlakuan terhadap dirinya. Mana tanggung jawabnya sebagai seorang panglima kalau tak berada paling depan, saat keadaan darurat seperti sekarang? Apalagi ketika melihat dengan mata kepala sendiri kapal-kapal perompak telah mengurung kapal mereka. Dan satu lagi, kapal Ular Laut Kepala Kembar benar-benar memaksanya terkesiap.

"Putri, Tuan Andika melompat ke laut.

Tampaknya dia ingin menyatroni kapal Ular Laut Kepala Kembar" Pertengkaran kecil dua anak muda berpengaruh dari Kerajaan Cina itu terpenggal laporan Perwira Naga. "Apa?" Ying Lien dan Chin Liong berseru berbarengan.

Mereka berdua sudah kenal baik Andika sejak lama. Pemuda itu pula yang telah membantu penumpasan pemberontak yang merongrong Kerajaan Cina, yang hendak direbut dari tangan ayah Ying Lien. Dan Pendekar Slebor sudah bagai pahlawan bagi keduanya. Khususnya, pahlawan di hati (Untuk lebih jelasnya, baca episode: "Pengejaran Ke Cina").

Mereka juga cukup tahu, bagaimana sifat Pendekar Slebor. Ya, keras kepalanya. Ya, keacuhannya. Bahkan urakannya. Termasuk, kenekatannya yang kelewat batas.

Tapi yang akan disatroninya sekarang adalah kapal Ular Laut Kepala Kembar Satu-satunya cerita menggidikkan yang bertahan selama puluhan tahun menggerayangi kawasan Laut Cina Selatan "Aku tak percaya ini," desis Chin Liong.

"Dulu, dia menantang terang-terangan Empat Penguasa Penjuru Angin yang menguasai napas dunia persilatan Daratan Cina. Kini, dia hendak mendatangi sarang manusia setengah siluman di kapal itu?" Chin Liong jadi bergidik menyadari betapa nekatnya Pendekar Slebor. Sewaktu menghadapi Empat Penguasa Penjuru Angin, Pendekar Slebor bertarung di daratan. Dan kalau sekarang, pemuda ini berada di atas wilayah kekuasaan Ular Laut Kepala Kembar. Padahal, segenap kekuatan gelap dasar laut sahabatnya membentengi kapal hantu itu. "Apa yang harus kita lakukan, Chin Liong?" tanya Ying Lien tertekan.

Wanita ini berusaha menguasai perasaan kacaunya. Jangan tanya, bagaimana khawatirnya Ying Lien terhadap pemuda yang telah menanam benih cinta teramat dalam pada relung batinnya.

Pandangan seluruh awak kapal Kerajaan Cina kini terpusat pada tubuh Andika. Tak hanya mereka. Namun, ratusan pasang mata lain dari kapal-kapal perompak pun mengawasi dengan takjub. Sedang anak muda yang menjadi pusat perhatian meluncur mantap namun pasti, di atas kain pusaka bercorak caturnya. Dengan tangan bersilang di dada, tubuhnya mendekati tujuan perlahan. Entah, bagaimana caranya Pendekar Slebor membuat kain pusakanya meluncur di permukaan laut seperti itu, Bagi para perompak, kapal Ular Laut Kepala Kembar tak sekadar kapal penyamun. Penghuninya adalah penguasa Laut Cina Selatan yang diliputi teka-teki tak pernah tersingkapkan. Mereka adalah orang-orang yang sulit diterka maksudnya. Manusia-manusia yang sudah dianggap setengah siluman Sewaktu hendak mengepung armada Cina, para penyamun dari kapal-kapal lain itu sebenarnya dibuat terkesiap menyaksikan ada kapal Ular Laut Kepala Kembar telah menghadang di depan. Itu sebabnya, sejak semula mereka hanya berani mengepung kapal armada Cina tanpa berniat melakukan tindakan lebih lanjut.

"Aku...," Chin Liong kehabisan kata. "Jelasnya, Andika dalam ancaman maut Dan aku tak ingin membiarkannya berjuang sendiri menghadapi mereka" "Kau tidak akan menyusul Andika, bukan?" tanya Ying Lien ragu.

Chin Liong menggeleng. Wajahnya kaku, berusaha membunuh rasa ngeri yang menyeruak di dalam dirinya.

"Aku memang akan menyusulnya," tandas pemuda Cina itu.

5
Selama hidup, Chin Liong tak pernah menyangka akan mengalami pengalaman sehebat sekaligus mendebarkan seperti pernah dialaminya bersama Andika. Dengan kali ini, berarti dia dua kali sudah berurusan dengan tokoh-tokoh berke-saktian tak terukur. Semuanya selalu pada saat bersama pendekar muda besar adat itu.

Apa ini semacam keberuntungan yang dibawa Andika, atau malah kesialan? Chin Liong tidak tahu. Bahkan tidak mau tahu. Yang jelas, sekarang dia harus bersiap-siap menghadapi maut.

Kemungkinan dirinya akan tewas pasti sangat besar meskipun bersama seorang pendekar muda besar yang bukan hanya kesaktiannya yang dapat diandalkan, tapi juga kecerdikannya.

"Andika, tunggu" teriak Chin Liong, seraya melompat ke permukaan laut yang beriak kecil memainkan ketegangan yang terus saja berkecamuk. Andika dipaksa menoleh ke belakang. Sudah pasti kenal betul suara yang memanggilnya.

Dan dia pun tahu pasti keadaan Chin Liong saat ini. Pasti sahabatnya itu masih belum siap bertarung. Apalagi, ini menyangkut pertarungan luar biasa. Padahal kemarin malam Chin Liong baru saja terluka cukup parah.

"Hey? Aku tak pernah menyuruhmu menjadi sinting seperti aku" bentak Andika ketika melihat sahabatnya mendarat pada perahu kecil yang sebelumnya telah diturunkan dua orang prajurit dari sisi kapal. "Apa yang kau ingin lakukan?" Urat-urat leher Pendekar Slebor sampai menyembul keluar, karena terlalu keras berteriak.

Sedangkan Chin Liong sendiri tak ingin menanggapi teriakan-teriakan Andika. Dikayuhnya perahu, sambil berdiri. Dia bukanlah tokoh macam Andika yang mampu memanfaatkan benda-benda ringan untuk mengapung di atas permukaan air.

Namun, jangan pernah meremehkan keberaniannya. Perahu Chin Liong telah tersampir pedang pusaka terhebat dari Daratan Cina. Pedang Pusaka Langit Mungkin hanya itu satu-satunya andalannya, selain harapan takdir dari Yang Maha Kuasa. Dengan Pedang Pusaka Langit, pemuda Cina ini mampu meningkatkan kekuatan tenaga dalamnya hingga sepuluh kali lebih kuat. Sementara pedang itu sendiri memiliki ketajaman melebihi logam-logam terunggul dari perut bumi. Tebasannya akan berbentuk sinar berwarna merah bata, mengandung tenaga panas dari batuan bintang luar angkasa. Dan jika ditebaskan pada baja, ma-ka niscaya sasarannya akan mudah terpotong layaknya lilin terbabat potongan besi membara (Baca kisah pedang pusaka ini dalam episode: "Pusaka Langit" dan "Pengejaran Ke Cina").

"Aku tanya, apa yang hendak kau lakukan?" ulang Andika sengit.

Karena dikayuh lewat pengerahan tenaga dalam, perahu Chin Liong pun melaju cepat menyusul.

"Kau lihat, aku seperti hendak melakukan apa?" kata Chin Liong balik bertanya, menanggapi pertanyaan dongkol Andika.

"Sial Kau kan masih terluka dalam?" "Bukan alasan buatku untuk mundur" "Tapi, aku tidak mau kau mampus secara konyol di kapal itu, tahu?" "Aku akan mati sebagai pahlawan di sana" timpal Chin Liong, terhadap kekasaran Andika.

Dia tampaknya terpancing.

"Kau mau kembali, apa tidak?" "Tidak Sekali maju ke medan laga, aku tak berniat mundur" "Mau, apa tidak?" "Jangan memaksaku, Andika" "Jadi, kau tak mau kembali?" "Tidak" "Yaaa, sudah...."' Andika meluncur lagi acuh tak acuh, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Di lain sisi, Chin Liong masih terengah-engah mengatur napas. Hatinya gusar bukan main. Kalau tengkorak kepalanya dari kerupuk, sudah pasti ubun-ubunnya akan dibobol aliran darahnya Tak ada lagi tarikan napas, Andika sudah tiba dekat sisi lambung kapal Ular Laut Kepala Kembar. Tanpa suara berarti, tubuhnya melompat manis ke atas kapal seraya menyambar kain pusakanya. Tep Ringan sekali pagar kapal dijadikan Andika sebagai tempat berpijak. Sambil menunggu Chin Liong tiba, dipasangnya kuda-kuda waspada. Matanya berkeliaran mengawasi setiap sudut kapal.

Masih tetap bisu seperti sebelumnya. Debu di lantai geladak, pecahan-pecahan papan kapal, kabang-kabang, sarang laba-laba, tulang-tulang berserakan, noda-noda darah mengering.... Kapal itu benar-benar tak bedanya kapal hantu Tak begitu lama, Chin Liong tiba pula di sisi yang sama. Lelaki sipit berwajah tampan ini melompat ringan ke sisi Andika berdiri.

"Kau menemukan sesuatu?" tanya Chin Liong, tanpa menoleh.

Seperti dituntun naluri kependekaran dalam dirinya, mata pemuda itu turut berkeliaran ke segenap sudut kapal.

Andika menggeleng. "Belum ada satu kecoak pun kulihat," sahut Pendekar Slebor seenak dengkul.

"Apakah kita akan masuk ke dalam kapal?" tanya Chin Liong, meminta pendapat.

Andika seperti belum kenyang membuat Chin Liong gusar. Maka tanpa menjawab, dia sudah melompat menuju pintu ruang dalam kapal.

Sementara dalam hati, Chin Liong menyumpah-nyumpah. Lalu segera disusulnya Andika.

* * * Ada satu keganjilan dirasakan para awak kapal armada Kerajaan Cina. Ketika itu, mereka sedang menanti tegang Andika dan Chin Liong yang memasuki kapal Ular Laut Kepala Kembar.

Dan kini dari kejauhan, salah seorang awak melaporkan adanya kapal baru yang terlihat.

Salah seorang perwira kemudian mengawasi melalui teropong. Dikira ada satu kapal perompak lagi yang muncul. Kalau benar, maka harapan untuk lolos akan semakin tipis. Ternyata, dugaannya meleset. Menurut pengamatannya, kapal itu ternyata adalah armada dagang dari Gujarat. Anehnya, tak ada satu kapal perompak pun berminat menghadangnya. Padahal, mereka bisa mengejarnya. Mengingat, kapal dari Gujarat itu berukuran lebih kecil dari kapal-kapal mereka.

Apa mungkin karena ukuran kapal itu tak mengundang selera? Tidak mungkin Para perompak itu tentu lebih tahu, ada lebih banyak benda-benda berharga yang bisa didapatkan di sebuah kapal dagang, biarpun ukurannya tak seberapa besar. "Lalu, kenapa mereka tak menggubris?" bisik perwira yang masih memegang teropong.

Sampai kapal dagang Gujarat itu menjauh, seluruh kapal-kapal perompak di sekeliling kapal Kerajaan Cina itu tetap tak beranjak.

"Benar-benar aneh," tanggap Ying Lien, mendengar laporan perwira tadi. "Sepertinya mereka semua mengincar sesuatu di kapal kita...." "Sesuatu yang sama-sama diinginkan," timpal Perwira Naga.

"Tapi, apa? Kita tak membawa emas permata dalam perjalanan ini," tukas perwira lain.

"Apa kita tidak tahu sesuatu yang mereka ketahui?" gumam Ying Lien, bertanya.

"Bagaimana, Putri?" tanya Perwira Naga.

"Entahlah. Aku sulit membaca maksud mereka...." "Ya, terlalu sulit. Pada dasarnya, kita tak memiliki apa-apa untuk dibegal. Lalu apa lagi yang mereka inginkan?" desis Perwira Naga.
***
 Sementara itu, Andika sudah mulai menapaki anak tangga menuju ruang dalam kapal Ular Laut Kepala Kembar. Suasana makin menegang.

Degup jantungnya kian berdetak lebih kencang.

Memasuki lambung kapal, kelengangan meringkus. Tak ada selintas bunyi apa pun. Sampaisampai, detak jantung Andika dapat terdengar.

Agar tak melahirkan bunyi mencurigakan, sengaja pendekar muda ini mengerahkan ilmu meringankan tubuh sampai tingkat tertentu.

Langkahnya menjadi demikian tinggi, tak akan melahirkan derit pada kayu keropos apa pun.

Beberapa anak tangga terlewati. Tubuhnya sudah masuk sepenuhnya ke perut kapal penuh teka-teki ini. Di belakangnya, Chin Liong menyusul. Ksatria Kerajaan Cina ini memang tak sehebat Pendekar Slebor dalam menguasai berat tubuhnya. Namun, dia masih cukup mampu berjalan tanpa suara.

Keadaan di dalam sana remang-remang.

Nyaris gelap. Bau menusuk hidung langsung menguak hidung mereka berdua. Bau bangkai yang menebar, membuat perut Andika dan Chin Liong sampai terasa diaduk-aduk. Mereka pasti muntah, kalau tak segera mengatur napas.

Ketika Andika menjejakkan kaki pada dasar ruangan, tiba-tiba saja bau bangkai busuk memupus. Selanjutnya, digantikan bau yang tak kalah menusuk. Sulit dipastikan, bau apa itu.

Yang jelas, Chin Liong sampai tak bisa bertahan dari serangan memuakkan ini.

Segera pemuda sipit itu memburu keluar.

Di luar, isi perutnya langsung dimuntahkan.

Andika sendiri berusaha bertahan. Bukannya Pendekar Slebor tak merasakan hal yang sama seperti dialami Chin Liong. Hanya untuk hal bebauan, nampaknya Andika punya kelebihan.

Dulu, dia memang gelandangan kotapraja yang sudah bersahabat akrab dengan segala jenis bau busuk. Entah bau kotoran parit kotapraja, atau bau ketiak setan belang Dengan sedikit pengaturan napas dan penyaluran hawa murni dalam paru-parunya, Pendekar Slebor akhirnya bisa mengenyahkan rasa mual. Namun belum lagi lega, satu bayangan berkelebat melintas amat cepat di hadapannya. Andika terkesiap. Kuda-kuda siap tempur yang sejak semula dipersiapkan, segera dibentuk menjadi jurus pertahanan. Dan....

Wrrrsss Apa gerangan yang terjadi? Andika belum bisa memastikannya. Dia sendiri sama sekali belum merasakan ada serangan. Telinganya hanya mendengar desisan sember dari arah kelebatan bayangan tadi.

Sampai akhirnya....

6
Mendadak pandangan Pendekar Slebor
menjadi pekat sama sekali, tanpa dapat melihat apa-apa. Tak juga berkas sinar sekedip pun. Tak pula disadari, apa yang terjadi sesungguhnya.

Sampai penglihatannya kembali jelas dengan tiba-tiba, bersama rasa pedih di wajahnya.

Saat itulah Andika dengan jelas melihat kembali kelebatan bayangan tadi. Sosok itu bukanlah seseorang, tapi seekor kelelawar besar hitam seukuran elang yang berkelebat amat cepat.

Rupanya, kelelawar itu yang telah menyergap wajahnya demikian cepat, manakala Pendekar Slebor sendiri belum benar-benar siap menghindar. Wajahnya tertutup kelelawar besar itu, sehingga dia tak melihat apa-apa.

Kini Pendekar Slebor merasakan pedih yang merasuki wajah diakibatkan cakaran binatang laknat itu "Binatang slompret" maki Andika giris.

Tangan Andika segera mendekap luka di kedua pipinya yang memanjang. Amat pedih terasa.

"Bagaimana binatang itu bisa bergerak demikian cepat?" desis Andika lebih lanjut.

Hanya ada satu-satunya kemungkinan. Binatang itu pasti peliharaan seseorang yang sudah terlatih. Kalau tidak, mana mungkin seorang pendekar yang memiliki naluri begitu tajam seper-ti Andika bisa terkecoh? Ruang dalam pengap serta lembab itu diricuhi kembali oleh kepak liar si kekelawar. Makhluk buruk itu bergerak lincah dari satu sudut, ke sudut lain. Sebentar tubuhnya menggelantung di sudut dinding kayu buram kapal, sebentar kemudian bergerak kembali. Suaranya memekikmekik ramai, seolah hendak mencoba menggertak tamu tak diundang yang baru saja berhasil dilukainya....

"Aku bukan mencarimu, Slompret Memangnya aku bego Suara lengkingan yang telah membunuh beberapa awak kapal sahabatku, pasti bukan teriakanmu yang jelek itu" sumpah se-rapah Andika meluncur selincah gerak si kelelawar. "Keiiikh" Si kelelawar menyahuti dengan pekikannya. Memang bukan suara bertenaga luar biasa yang telah menyebabkan kematian beberapa awak kapal Kerajaan Cina.

Andika hendak melangkah. Berurusan dengan hewan tak berotak seperti itu malah akan membuang waktunya percuma. Tapi baru saja kakinya beranjak, binatang tadi menyambarnya kembali.

Dan terlalu tolol kalau Pendekar Slebor harus terkecoh dua kali oleh seekor kelelawar. Maka hanya dengan mencondongkan badan ke belakang, tubuhnya sudah selamat dari cakaran hewan menjengkelkan itu.

"Pergi Pergi kataku Jangan coba menghalangi langkahku" bentak Andika.

Pendekar Slebor ngotot hendak melangkah lagi. Dan lagi-lagi kelelawar itu melakukan sambaran cepat.

"Keuikh" Wrrr "Eeh Kepala batu juga kau, ya?" dengus Pendekar Slebor.

Habis sudah kesabaran Andika. Wajahnya yang sudah tercakar, masih pula dihalanghalangi.

Maka sewaktu si kelelawar besar mencoba mengoyak dada bidangnya, Andika bergerak cepat. Jangankan binatang itu, kelebetan seekor walet pun tak akan luput dari gerak tangannya.

Sehingga....

Prek Dengan sepasang tangan yang telapaknya terbuka lebar, Pendekar Slebor berhasil mengepruk binatang penggangu itu.

"Rasakan Biar jadi perkedel kau" rutuk Pendekar Slebor ketika kelelawar masih dalam himpitan tangannya.

Puas Andika puas. Pikirnya, binatang itu telah remuk menjadi setumpuk daging empuk.

Namun, dugaannya justru meleset. Sewaktu tangannya dibuka, binatang pengganggu yang tadinya tak bergerak itu mendadak menggeliat. Lalu.... "Wadau Slompreeet" Andika berjingkat-jingkat seraya mengibasnyibakkan tangan, begitu kelelawar itu menggigit jari kelingkingnya Kalau saja Andika terlambat, mengebutkan tangan, sudah pasti jari kelingkingnya putus Sesudah berhasil mempecundangi, binatang itu buron begitu saja. Masuk lebih dalam ke ruangan lambung kapal pengap bercahaya lamat.

"Kau baik-baik saja?" Tiba-tiba meluncur suara Chin Liong dari belakangnya. Pemuda sipit ini tadi masuk tergesa-gesa, setelah bersemadi sekian lama untuk mempersiapkan diri agar tidak dikalahkan bau memuakkan di dalam sana.

Andika meringis-ringis.

"Tidak apa-apa," kata Pendekar Slebor.

"Ada binatang kurang kerjaan mengerjai aku" "Ha-ha-ha" Chin Liong tertawa.

"Kenapa tertawa? Kau pikir lucu?" "Tentu saja Seumur-umur, tak pernah terpikir olehku kalau pendekar besar sepertimu masih bisa kecolongan oleh seekor binatang...," seloroh Chin Liong.

"Ah Itu sih bisa-bisaku saja...," hindar Andika, pura-pura.

Mereka lalu mulai memasuki ruang demi ruang di dalam kapal Ular Laut Kepala Kembar.

Sejak peristiwa penyerangan si kelelawar, kedua pemuda itu mulai bisa menguasai ketegangan.

Saraf mereka agak mengendur, setelah menertawai kesialan Andika. Sewaktu mulai memeriksa setiap ruang dalam lorong kapal, ketegangan itu datang lagi. Bahkan, lebih parah daripada sebelumnya.

Walau begitu, mereka tak lagi menemukan ancaman. Tak juga hadangan dari seekor kelelawar buas tadi. Yang ditemukan hanya ruangruang kosong tak terurus. Remang-remang dan pengap.

Jauh di luar gambaran sebuah kapal layar perompak paling ditakuti yang mestinya menimbun harta rampasan di beberapa ruangan, yang mereka temukan justru serakan tulang-belulang manusia di sana-sini. Debu tebal dimana-mana.

Sementara jajahan sarang laba-laba tampak hampir memenuhi di setiap sudut.

Di mana pun dalam lambung kapal itu, bau bangkai busuk terus mengikuti kedua anak muda ini.

"Aku tak percaya ini," bisik Chin Liong seperti bergumam sendiri. "Bagaimana mungkin kapal itu dihuni perompak ulung. Bahkan paling ulung...." Lain yang dipikirkan Chin Liong, lain pula Pendekar Slebor. Ada satu keganjilan yang terasa olehnya. Kalau tujuan mereka datang ke kapal adalah hendak menuntut keadilan pada awak kapal yang telah membuat beberapa orang tewas, lalu ke mana awak kapal itu? Benak Andika mulai mereka-reka.

"Kau yakin kita telah memeriksa seluruh ruangan dalam kapal ini, Chin Liong?" tanya Andika, ragu.

"Ya Kenapa?" "Apa kau temukan awaknya?" susul Andika lagi. Chin Liong menggeleng. Otaknya mencoba meraba maksud pertanyaan sahabatnya. "Apa tak terasa aneh?" Ya Tentu saja Chin Liong merasakan pula keanehan itu. Itu pun setelah Andika mengajukan pertanyaannya.

"Benar," desis Chin Liong, menyadari satu kesalahan yang telah mereka buat. Kesalahan apa, dia sendiri masih sulit mengungkapnya.

Hanya saja, terasa ada yang tidak beres.

"Ingat kelelawar yang menyerangku?" susul Andika.

Chin Liong mengangguk.

"Kenapa dengan binatang itu, Andika?" tuntut Chin Liong, terburu-buru.

Pertanyaan penasaran Chin Liong tak mendapat jawaban. Karena, Andika lebih bergegas memburu ke pintu keluar. Bahkan dia sempat mendorong tubuh Chin Liong, karena begitu terburu-buru.

"Andika Ada apa sebenarnya?" seru Chin Liong begitu mereka hampir tiba di geladak.

Chin Liong yakin larinya Andika yang memburu bukan karena ketakutan. Bukan sifat pemuda itu untuk dikalahkan rasa takut sebesar apa pun. Tapi, apa? "Bangsat" damprat Andika ketika tiba di luar. Mata Pendekar Slebor yang jalang meman-dang ke arah kapal armada Cina Ying Lien. Di sa-na, sedang terjadi pertarungan antara prajurit, perwira Kerajaan Cina dan Ying Lien, melawan dua lelaki berwajah buruk.

"Astaga Bagaimana Dua Ular Laut itu bisa tiba di kapal kita?" sentak Chin Liong terperangah tak alang kepalang, begitu ikut menyaksikan apa yang terjadi.

Untuk kedua kalinya, pertanyaan pemuda Cina itu tak digubris Pendekar Slebor. Karena, pendekar muda tanah Jawa itu sudah melompat ke laut.

Chin Liong menyusul di belakang. Dengan cara yang sama seperti sebelumnya, mereka kembali ke kapal armada Kerajaan Cina.

Bagaimana Andika bisa tahu kalau Dua Ular Laut telah menyeberang ke kapal mereka? Sederhana saja, menurut Andika. Dengan tidak ditemukannya penghuni kapal, berarti Dua Ular Laut telah pergi. Sewaktu Andika dan Chin Liong baru saja hendak memasuki ruang dalam kapal, kelelawar yang bisa dipastikan sebagai hewan peliharaan Dua Ular Laut, mencoba menahan Andika. Jelas, maksudnya agar kedua tuannya sempat meninggalkan kapal. Andika menyadarinya, setelah teringat pada kelelawar buas yang tiba-tiba saja meninggalkannya....
***
 Kerusuhan maut berkobar telah cukup lama, sampai Andika dan Chin Liong menyadarinya. Di atas kapalnya, Ying Lien harus menghadapi Ular Merah seorang diri. Di lain sisi, empat perwira serta para prajurit sungsang-sumbel menghadapi gempuran Ular Belang.

Kalau pertarungan Ular Belang dengan lawan-lawannya meledak dengan jurus-jurus keras, pertarungan Ying Lien melawan Ular Merah lain lagi. Ke-duanya mengadu kesaktian, tanpa sedikit pun melakukan gempuran jurus-jurus.

Ying lien yang memiliki pendengaran teramat peka, dipaksa bertahan mati-matian didesak lengkingan demi lengkingan tinggi kelelawar besar yang menggelantung di lengan membentang si Ular Merah, Rupanya kali ini Andika salah menduga tentang satu hal. Ternyata memang lengkingan kelelawar itu yang telah membunuh beberapa prajurit sebelumnya.

Dengan bantuan tenaga sakti tuannya, jeritan kelelawar itu mampu mengoyak-ngoyak jaringan otak seorang berilmu cetek Itu sebabnya, Andika tak menyangka sama sekali bila si kelelawar bisa menghasilkan lengkingan maut. Sebab, saat bertemu kelelawar itu tuannya tak ada di tempat "Keeeiiik" Entah untuk yang keberapa kali lengkingan kelelawar besar di tangan Ular Merah terlepas. Setiap kali terdengar, Ying Lien langsung tersentak hebat. Tubuhnya mengejang, seperti seseorang yang dilabrak petir.

Wajah gadis cantik itu sudah membiru, pertanda memaksakan seluruh tenaganya untuk melawan desakan lengkingan. Tangannya menutup rapat-rapat telinga. Mungkin pengerahan tenaga saja, terasa tak cukup baginya. Bahkan kini, matanya terpejam menahan sakit.

Pada lengkingan berikutnya, mengalir darah kental kehitaman dari lubang hidung Ying Lien. Lalu dari sela-sela bibir tipisnya, cepat ketika tubuhnya tersentak kembali.

Benteng pertahanan putri Cina itu kian merapuh. Kuda-kudanya mulai bergetar melemah, lalu mulai pula tersimpuh.

Genting. Keadaannya semakin genting.

"Keeeiiikh" "Ahhh...." Pada sentakan terakhir, Ying lien pun terpuruk ke depan. Tubuhnya lunglai, tersujud di lantai geladak. Sekali lagi lengkingan menggebah, maka akan pecahlah gendang telinga gadis ini.

Bisa-bisa indera pendengarannya yang selama ini sudah menjadi pengganti indera penglihatannya, akan hilang. Atau lebih parah lagi, dia bisa kehilangan satu-satunya yang dimiliki. Nyawa
***
Betapa murkanya Pendekar Slebor. Begitu kakinya menjejak geladak, langsung disuguhkan pemandangan mengenaskan. Tampak Ying Lien sudah terpuruk lunglai di lantai kayu geladak yang telah dinodai darahnya.

Kontan si pendekar kelotokan ini mencakmencak tak karuan. Disemburnya Ular Merah dengan makian paling kasar yang pernah didengar manusia sepanjang zaman.

"Ying Lien" seru Chin Liong di sisi Pendekar Slebor, setelah matanya pun menemukan tubuh gadis itu.

Kemudian Chin Liong menghambur ke arah Ying Lien. Disanggahnya tubuh lunglai gadis itu di dada bidangnya.

Ying Lien mengeluh lamat.

"Tenang, Ying Lien.... Kau akan selamat," bisik Chin Liong, terduduk di lantai geladak.

Napas pemuda sipit ini turun naik memburu, diberontaki perasaan tak karuan. Murka, gundah, trenyuh, dan kegeraman. Semuanya campur-aduk. Kemudian, diletakkannya kepala putri Cina ini di lantai geladak. Hati-hati sekali.

"Akan kubunuh kau, Keparat" geram Chin Liong kemudian kepada Ular Merah yang masih berdiri dingin sekitar tujuh depa di sisi kanannya.

Chin Liong bangkit bersama bara kemarahan di segenap dada. Kedua telapak tangannya mengepal kuat-kuat, seakan hendak meremukkan jari-jemarinya sendiri. Diawali gemeletuk rahangnya, diterkamnya Ular Merah dengan membabi buta. "Chin Liong, tunggu" Andika mencoba menahan. Sayang terlambat. Chin Liong sudah meluncur deras ke arah calon lawannya. Tubuhnya mengejang di udara, tak bedanya sebatang tombak baja. Tangan kanannya mengacung lurus ke depan. Satu tangan yang lain merapat di dada.

Dengan kepalan tangan kanan, hendak diremukkannya kepala Ular Merah seketika.

"Kheeeaaa" Pendekar Slebor tersentak ngeri. Tindakan Chin Liong justru bisa berakibat buruk untuk dirinya sendiri. Dan Andika yakin itu. Dia ingin menyergap serangan Chin Liong, tapi sudah tak mungkin.

Wuhhh "Ugh" Benar saja. Dalam sekejap, terdengar sentakan napas Chin Liong di udara. Tubuhnya lantas terlempar kembali ke belakang, satu depa sebelum terjangannya tiba di kepala Ular Merah.

Anak muda itu seperti baru saja melanggar benteng liar tak terlihat Di udara, mulut Chin Liong menyemburkan darah. Setelah melewati jarak delapan tombak, tubuhnya siap berdebam di lantai geladak tempat tombak para prajurit.

Sementara, Andika tak mau kehilangan kesempatan untuk kedua kalinya. Seketika tubuhnya digenjot. Cepat bagai kilat, disusulnya luncuran tubuh Chin Liong.

Tap Chin Liong berhasil disambar Andika. Kalau tidak, pasti akan dipanggang tiga tombak besar yang disusun terbalik.

"Bagaimana dia bisa melakukannya?" lirih Chin Liong dalam bopongan Andika. "Aku tak melihatnya bergerak. Tapi, kenapa dia membuatku terpental balik?" "Pelajaran buatmu, Chin Liong Jangan sekali pun kau bertarung dengan amarah tak terkendali." Bukannya menjawab, Andika malah mengkhotbahi Chin Liong.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku dalam bahaya?" tanya Chin Liong lagi, sewaktu Andika menurunkan tubuhnya di lantai geladak.

Tangan Chin Liong memegangi dadanya yang terasa baru tertimpa godam ribuan kati.

"Kalau dia bisa memanfaatkan udara untuk menyalurkan tenaga saktinya pada lengkingan kelelawar, sudah pasti pula bisa memanfaatkan udara untuk membuat benteng tenaga sakti di sekitar tubuhnya," papar Andika, pasti.

Chin Liong tersadar kini. Dalam hati, memuji lagi kecerdikan Andika.

"Kau tak apa-apa?" susul Andika.

Chin Liong menggeleng.

"Tidak," kata pemuda ini, lirih dan tersendat. "Akan kuberi pelajaran orang berkulit merah itu seperti pinggiran koreng," janji Andika pa-da Chin Liong. "Dan, hutangku padamu sudah lunas, bukan?" Tentu saja maksud Andika adalah tindakan Chin Liong yang berusaha menolongnya pada saat terjadi badai.

Sebetulnya, Andika pun merasakan kemurkaan yang tak kalah menggelegak ketimbang Chin Liong. Bagaimana tidak murka? Ying Lien adalah salah seorang sahabat dekatnya, di samping Chin Liong. Inginnya Pendekar Slebor langsung mengumbar kemarahannya pada si Ular Merah. Tapi pengalamannya selama ini telah mengajarkan, bahwa mengikuti hawa nafsu tak terkendali hanya bakal merugikan diri sendiri. Hati boleh terbakar. Tapi, kepala harus tetap sejernih te-laga Sementara Ular Merah masih tetap mematung dingin, Pendekar Slebor melangkah mendekat. Ketika jaraknya terpaut sekitar enam langkah lagi, Andika berhenti.

"Apa maumu sebenarnya?" tanya Andika, tetap menjaga ketenangan.

"Bukan urusanmu," desis Ular Merah singkat. "Jangan yakin dulu" "Kau bukan orang Kerajaan Cina. Lebih baik menyingkir" "Siapapun kau, apa pun katamu, bagaimanapun warna kulit jelekmu, urusan mereka adalah urusanku" tandas Andika, seraya menunjuk ke arah Ying Lien dan Chin Liong.

"Kau rupanya tak tahu sedang berhadapan dengan siapa...," cibir Ular Merah, pongah. Walau begitu, wajahnya tak berubah banyak. Tetap mempertahankan kebekuan yang membuat Andika jadi muak melihatnya.

"Kau tidak tahu, sedang berhadapan dengan siapa rupanya...," sahut Andika, membalik kata-kata Ular Merah.

"Jangan membuang-buang waktuku" "He-he-he...," Andika malah terkekeh.

"Jangan membentak seperti itu. Wajahmu jadi lebih jelek daripada seekor anjing panu yang sedang menggonggong" "Aku Ular Merah, penguasa Laut Cina Selatan" gertak Ular Merah. Sepertinya, dia hendak mencoba menciutkan nyali Andika dengan menyebut nama besarnya.

Sayang seribu kali sayang. Yang digertak bukan anak kemarin sore, tapi Andika. Seorang pendekar yang mungkin paling masa bodoh di antara orang-orang yang paling acuh di jagat raya ini. Lagi pula, mana Andika peduli pada nama besar yang sebenarnya baru kali ini didengarnya? Kalaupun pernah didengarnya, bisa saja tetap menganggap gertakan Ular Merah sekadar cacimaki kecoa mabuk "He-he-he...." Pendekar Slebor terkekeh lagi.

"Kalau boleh menasihati, sebaiknya kau cepat-cepat ganti nama. Nama Ular Merah tidak membawa keberuntungan bagimu. Sebaiknya pakai saja nama Kunyuk Merah. Nyamuk Merah, Cacing Merah, atau...." "Bangsat" potong Ular Merah, membentak.

"A... Bangsat Merah juga bagus itu" Selesai mengombang-ambingkan kegusaran Ular Merah, Andika mengulang kekehnya.

Terdengar begitu meremehkan.

"Sebaiknya kau mampus" geram Ular Merah. Selama mengobrak-abrik wilayah Laut Cina Selatan, baru kali ini Ular Merah menemukan seseorang yang begitu lancar menginjak-injak kepalanya dengan seruntun ledekan. Jadi, bagaimana tidak gusar? "Kau akan menyesal telah mengejekku" desis Ular Merah mengancam, seraya membuka satu gerak.

Andika meringis. Sekaranglah gilirannya memberi pelajaran manusia pinggiran koreng ini.

Begitu pikirnya.

Wuk-wuk-wuk-wukh Ular Merah memutar telapak tangannya.

Ya, hanya telapak tangannya. Seperti seorang sedang mengaduk adonan tepung. Tampak tak bertenaga. Bahkan kelelawar besar yang menggelantung dilengannya sama sekali tidak terusik. Meski begitu, gerak yang terlihat ringan ternyata menghasilkan bunyi seperti seratus bilah golok yang diayun berbareng Di lain pihak, Andika tak ingin meremehkan calon lawannya. Namun bisa saja sikapnya seolah-olah memang ia meremehkan. Lalu saat memasuki pertarungan, semuanya harus dihadapi dengan perhitungan amat matang, sekaligus kecermatan paling tinggi. Sebab, ini perkara nya-wa Begitu bunyi pertama gerak tangan Ular Merah lahir, Andika sudah memompa kekuatan tenaga saktinya ke sekujur badan. Dan menjelang pengerahan tenaga menuju puncak, akan dihasil-kan satu selubung tenaga sakti warisan buyutnya yang kerap menjadi momok bagi tokoh-tokoh sesat tingkat atas Cara itu pula yang sering digunakan Andika untuk membentuk benteng pertahanan tembus pandang, ketika harus berhadapan dengan beberapa datuk sesat. Termasuk juga, saat dirinya harus bertahan di Lembah Kutukan di antara hujan petir dalam menjalani penyempurnaan (Baca kisahnya pada episode perdana: "Lembah Kutukan").

Tak heran, Andika sempat mengendus siasat tempur Ular Merah saat Chin Liong mencoba menerjangnya.

Perlahan, membersit sinar keperakan lamat-lamat dari segenap pori-pori kulit Pendekar Slebor. Sinar lembut yang menyebar, membentuk selubung dalam jarak satu lengan dari tubuhnya.

Karena matahari siang sudah naik cukup tinggi, sinar keperakan itu jadi tak begitu kentara. Dan justru hal itu yang diinginkan Andika. Rencananya, dia akan memberi sedikit kejutan pada kepongahan si Ular Merah.

Dengan tangan bersilang di dada, Pendekar Slebor seperti menunggu dengan santai serangan Ular Merah. Bibir tipisnya bahkan sempatsempatnya tersenyum tipis. Dibilang mencibir sulit. Disebut meringis, apalagi "Hih" Setelah mendengus, Ular Merah mengibaskan tangannya ke depan.

Wesss Seketika serangkum angin pukulan bergerak kilat menuju Andika. Sekejap mata saja, angin pukulan itu nyaris menyergap Pendekar Slebor. Namun begitu sampai pada jarak satu lengan dari tubuhnya, angin pukulan itu tiba-tiba tertahan. Lalu, secepatnya memantul balik ke arah tuannya.

Wusss Terperangah bukan main si Ular Merah mendapati kenyataan ini. Matanya kontan terbuka lebar-lebar, lebih lebar daripada lubang hidungnya yang besar. Mulutnya membuka. Nyaris saja, ingus yang malas dibersihkan di atas bibirnya menerjang masuk ke mulut.

"Eaaah Dengan berjumpalitan sungsang-sumbel, Ular Merah menghindari angin pukulannya sendiri. Sialnya lagi, angin pukulan itu ternyata tak memupus bila belum menelan korban. Angin pukulan tadi terus meluncur ke satu arah pasti.

Dan.... Brakh "Wuaaa" Satu kapal perompak yang kebetulan mengapung di sisi depan kapal Kerajaan Cina menjadi sasaran. Tepi geladak yang terbuat dari kayu pilihan langsung luluh lantak bertebaran ke dalam laut. Beberapa perompak yang kebetulan pula berdiri di sana, tak ampun lagi berpentalan di udara setinggi delapan depa Sejak menyadari kalau Dua Ular Laut telah tiba di kapal Kerajaan Cina, para perompak itu tak berani berbuat macam-macam. Mereka hanya menunggu dan menunggu. Jika kebetulan bisa memanfaatkan keadaan, mereka akan segera merebutnya. Ibarat memancing di air keruh, siapa tahu apa-apa yang diminati di kapal sasaran tanpa sengaja jatuh ke tangan mereka.

"Hue-he-heee, ngik Terkejut? Apa tadinya dikira hanya kau saja yang bisa membuat benteng tenaga sakti? Makanya jangan terlalu pongah Besar kepala akan membuatmu ketemu batunya" ejek Pendekar Slebor.

Ular Merah mendengus amat gusar begitu mendarat di lantai kapal. Kelelawar di tangannya kini telah lenyap, terbang ketika Ular Merah berjumpalitan. Dan binatang itu terus mengepakkan sayapnya, memasuki lambung kapal hantu.

Kini darah Ular Merah tak lagi berdesir, melainkan mendidih. Kulit wajahnya bertambah memerah.

"Sekarang kulitmu tak lagi seperti pinggiran koreng," ucap Andika, seperti menyesal kehilangan bahan ejekan. "Baguslah kalau begitu. Kulitmu sekarang lebih bagus. Setidak-tidaknya, masih mirip warna bibir banci kampung Hee-hehe" Bertambah dongkol saja Ular Merah.

"Burung nuri, terbang tinggi...," senandung Andika, sambil meliuk-liukkan tubuhnya meniru-kan gaya seorang banci kesiangan.

Kini cuping hidung Ular Merah tampak mekar-kuncup diejek sedemikian rupa Sebentar saja urat-urat lehernya menonjol. Sesaat lagi, tentu teriakan geramnya akan merebak di angkasa.

Dan sebelum hal itu terjadi, laut tiba-tiba saja berubah. Sebentuk gelombang amat besar terlihat dikejauhan. Amat besar, seolah-olah ada gunung sedang menuju tempat kapal-kapal mereka.

Gemuruh besar pun tiba. Kalau di kejauhan saja suara gelombang itu sudah demikian bergemuruh, apalagi sudah tiba? Padahal saat ini, tak ada badai terjadi.

Bahkan cuaca cerah. Langit bersih, dengan awan putih berpilin halus. Kalau bukan badai, lalu apa...?

8
Perhatian semua mata dari semua awak kapal saat ini dipaksa beralih ke arah ombak besar. Pertempuran panas di kapal armada Cina pun kontan terpancung. Tak ada yang tak terheran-heran dengan kejadian itu. Ombak besar tanpa badai? Yang tak kalah mengejutkan adalah pemandangan di satu bagian ubun-ubun ombak.

Gulungan meraksasa air laut itu, ternyata sedang ditunggangi seseorang di atasnya Belum jelas, bagaimana rupa atau penampilan orang itu. Yang pasti, sikapnya terlihat begitu santai. Berdiri ringan, dan sesekali tubuhnya mencelat lincah dari satu bagian ke bagian lain. Ombak makin dekat bergulung. Makin dekat, makin jelas saja rupa penunggang ombak. Andika sendiri mulai mengenali, siapa orang itu. Lamat-lamat ingatannya bi-sa membandingkan sosok orang yang kini dilihatnya dengan yang dilihat di malam hari ketika terjadi badai.

Ya Memang dia orangnya Dan Andika yakin itu. Sampai akhirnya, gulungan ombak menggi-la tiba. Anehnya, begitu tak kurang dari seratus tombak sebelum benar-benar sampai, ombak besar itu menyusut dan menyusut cepat. Hingga yang tersisa hanya riak-riak kecil mengusik kap-al-kapal.

Kini, semua orang bisa melihat jelas sosok mengagumkan tadi. Ternyata, dia seorang tua bangka berkaki satu. Kulitnya bersisik seperti ikan. Termasuk, wajahnya yang selalu basah berkeriput.

Pakaian lelaki tua itu terbuat dari ganggang laut menjijikkan. Terlihat seperti jubah basah, berlumut yang tercabik-cabik.

Siapakah tokoh penuh teka-teki itu? Dialah Setan Laut Itulah julukan santernya. Bagi petualang-petualang laut serta para perompak, namanya sudah tak asing lagi. Bahkan boleh dibilang, dialah satu-satunya tokoh papan puncak yang paling ditakuti di Laut Cina Selatan.

Pamor perompak Ular Laut Kepala Kembar pun hanya seujung kuku, jika dibandingkan nama besarnya Setan Laut benar-benar sesuai julukannya.

Di samping ditakuti karena kesaktian yang tak kepalang tanggung, juga karena sudah seperti penghuni samudera. Banyak kabar burung yang santer mengatakan bahwa, Setan Laut dapat menyelam amat lama di dasar laut, sampai kedalaman yang sudah tak mungkin lagi dicapai manusia. Kedalaman yang bisa membuat dada seorang penyelam kawakan pecah, ternyata biasa diarunginya dengan mata terpejam Seperti layaknya penghuni laut, lelaki tua ini pun memangsa hewan-hewan laut untuk makanan sehari-hari. Jelasnya, dia hidup di dalam samudera Hanya karena jarang sekali muncul, maka yang terdengar lebih santer justru nama perompak Ular Laut Kepala Kembar.

Demi mengetahui tokoh tua itu yang hadir, tanpa sadar para perompak beringsut mundur dari tempat berdiri masing-masing. Sementara Dua Ular Laut pun tak urung melakukan tindakan sama.

"Hati-hati terhadap orang itu, Andika" desis Chin Liong, setelah bisa bangkit tertatih lalu menghampiri Pendekar Slebor.

"Apa maksudmu?" tanya Andika setengah berbisik.

"Ular Laut Kepala Kembar mungkin saja begitu ditakuti para perompak lain. Tapi, lelaki ini bukan sekadar menjadi momok. Bisa dibilang, dialah yang sesungguhnya menggenggam wilayah Laut Cina Selatan. Itu selentingan yang pernah kudengar," papar Chin Liong tersendat, masih menahan rasa sakit di dadanya. Luka lama akibat benturan dengan tiang besar kapal saja belum pulih benar, sudah mendapat lagi luka dalam baru. Tentu saja hal ini menyebabkan rasa sakitnya sulit ditekan.

Chin Liong sejenak terdiam. Dalam raut wajah menderita, dia mengingat-ingat.

"Setan Laut...," cetus pemuda sipit ini lamat. "Siapa yang kau maki?" tanya Andika heran, tak menangkap maksud Chin Liong.

"Maksudku, julukan lelaki tua itu..;." "Ooo.... Kukira, kau memakiku. Jadi julukannya..., siapa tadi?" "Setan Laut," ulang Chin Liong, susah payah.

"Pantas rupanya pun tak jauh beda dengan dedemit," gumam pendekar muda tanah Jawa ini.

Sepertinya, dia sudah siap menghidangkan 'senjata pertama' dalam menghadapi setiap lawan.

Ocehan-ocehan menjengkelkan * * * Masih menjadi teka-teki bagi setiap awak kapal armada Kerajaan Cina, apa sesungguhnya yang diincar para perompak di kapal mereka. Padahal perompak Ular Laut Kepala Kembar sudah turut ambil bagian. Dan kini, datang pula datuk sesat Laut Cina Selatan Kalau mereka yakin tak ada barang berharga di kapal, mungkin memang benar. Tapi kalau barang tak ternilai harganya sudah pasti ada.

Lantas, benda apa? Kalau emas permata, mereka tak mengangkutnya. Harta, biasanya menjadi incaran. Tapi begitu ada mangsa lebih empuk yang tak lain kapal dagang dari Gujarat kenapa didiamkan? Untuk mengetahui teka-teki di balik penghadang orang-orang sesat dari laut Cina Selatan ini, memang harus mundur ke masa sekitar dua ratus tahun lalu....

Pada masa itu, hidup seorang panglima armada Laut Cina bernama Ju-Hai. Keperkasaannya di lautan terkenal demikian angker. Dia gagah bagai naga. Gesit bagai elang. Lalu, terse-matlah julukan Panglima Naga Samudera....

Selama menjadi panglima armada Laut Cina, Ju-Hai memimpin pasukannya tanpa terkalahkan dalam pertempuran berkali-kali. Pengacau digasaknya. Pemberontak disapunya. Bajak laut dan perompak dibabat bersih.

Maka jadilah Ju-Hai seorang momok yang ditakuti lawan serta disegani kawan. Dengan dukungan pasukan lautnya yang menjunjung teguh nilai-nilai perjuangan, namanya kian melambung saja. Selaku panglima, Ju-Hai nyatanya sulit di-bedakan dengan para prajuritnya. Pakaiannya tak mencolok. Bahkan, boleh dibilang sederhana. Malah terkadang lebih mirip seorang prajurit, ketimbang perwira tinggi. Hanya satu kekhasan yang membedakan penampilannya dengan prajurit sendiri. Dia selalu membawa tameng kayu berbentuk bulat, bergambar bayangan Naga Langit.

Dalam setiap medan pertarungan, dari yang ringan sampai yang terberat, Ju-Hai tak pernah sekalipun melepas tameng itu. Sampai suatu hari, armadanya terlibat pertarungan melawan armada perompak yang paling kuat di masa itu. Entah bagaimana, tanpa sengaja Ju-Hai meninggalkan tameng Naga Langit itu di tempat peristirahatannya. Akibatnya pada puncak pergolakan peperangan, Ju-Hai menjadi salah satu korban. Dia gugur sebagai perwira tinggi terhormat dalam mempertahankan kehormatan negeri atas rongrongan para pengacau Kematian Ju-Hai lalu dihubunghubungkan dengan tameng yang ditinggalnya.

Banyak orang kemudian menduga, keberuntungan Ju-Hai dalam peperangan-peperangan sebelumnya terletak pada tameng yang dibawanya.

Orang-orang negeri itu yang memang percaya, semakin yakin saja ketika tameng itu dicari di tempat peristirahatan Ju-Hai, tapi tak ditemukan. Sekian lama upaya pencarian dilakukan.

Baik dari pihak kerajaan yang berniat menjadikan tameng itu sebagai prasasti tentang keperwiraan Ju-Hai, maupun pihak lain yang ingin memiliki 'keberuntungan'.

Dan tameng itu memang tak pernah ditemukan. Sampai, seorang perwira yang dekat dengan Ju-Hai menemukan keanehan pada kapal perang yang dipakai Panglima Naga Samudera itu, beberapa tahun sejak kematiannya. Di situ bagian lambung kanan kapal, terbentuk bayangan Naga Langit. Persis seperti gambar di tameng milik Ju-Hai. Maka, menyusul pula kepercayaan bahwa tameng Panglima Ju-Hai yang hilang, kini telah menyatu pada lambung kapal.

Si perwira tak menyebarkan tentang apa yang dilihatnya. Hanya ada satu orang yang kebetulan turut mengetahui ketika si perwira tanpa sadar diawasi seorang musuh besar Ju-Hai. Dan perwira itu pun akhirnya terbunuh.

Kini, kapal itulah yang dipergunakan Ying Lien dan Chin Liong untuk melakukan pelayaran ke Mesir. Sedangkan musuh besarnya, pemimpin perompak yang telah mengalahkan Ju-Hai, mengerahkan anak buahnya untuk bisa membegal kapal tadi.

Jadi, rahasia itu selama ini hanya tersebar di kalangan perompak. Sementara, kalangan istana tetap tak pernah tahu.

Siapa si pemimpin perompak? Lelaki itulah yang kini dikenal sebagai Setan Laut. Gembong dari segala gembong perompak Laut Cina Selatan yang sampai kini tetap hidup. Padahal, kisah itu terjadi dua ratus tahun yang lalu
***
 Siang makin jalang. Sinarnya menyengat garang.

Laut Cina Selatan tetap tenang. Hanya gelombang kecil tak berarti menimang-nimang kapal-kapal.

Di bawah sengatan sinar matahari, Setan Laut berdiri tegak sambil bersidekap. Biarpun usianya sudah begitu tua, tubuhnya tak terlihat keropos.

Melihat lelaki yang menggetarkan hati hampir semua orang di tempat itu, diam-diam Andika menjadi kagum juga. Kalau dibandingbanding, ilmu meringankan tubuh pendekar muda itu jauh di bawah Setan Laut.

Untuk meniti laut saja, Andika masih membutuhkan kain pusaka atau bilah kayu seperti pernah dilakukannya di Sungai Nil sewaktu ada serangan dari gerombolan Kuda Nil (Baca kisahnya dalam episode: "Piramida Kematian"). Sedangkan Setan Laut hanya menggunakan alas kaki, dari sejenis kulit ikan besar.

Kalau ilmu meringankan tubuhnya saja sudah sehebat itu, apalagi kesaktiannya yang lain? "Kau, Ular Merah Juga kau, Ular Belang Menyingkirlah dari kapal itu" hardik Setan Laut tiba-tiba.

Suara tokoh amat tua ini mengguntur, lebih mengejutkan daripada salakan guntur saat badai. "Ha-ha-ha-haaa" Meledaklah tawa Setan Laut. Tak jelas, apa yang ditertawakan. Sampai akhirnya dia sendiri mengungkapkannya. "Hanya aku yang berhak atas tameng itu? Hanya aku Berpuluh-puluh tahun aku menanti saat seperti ini Menanti kapal itu melintasi Laut Cina Selatan, setelah sekian lama hanya menjadi benda sejarah" Setan Laut mengangkat kedua tangannya dari dada. Saat tangannya bergerak, tersibak pusaran air laut di sekitar tempat berdirinya. Sungguh, kekuatan tenaga dalamnya telah demikian sempurna dan menyatu dengan dirinya Sehingga, setiap gerakannya mengandung tenaga hebat meski tanpa disengaja.

"Kalian dengar. Hanya aku yang berhak memilikinya Akulah yang telah membunuh JuHai dengan tanganku sendiri" lanjut Setan Laut.

Wajah Setan Laut yang basah berlendir tampak mengeras. Matanya yang kelabu menyeluruh, melempar tatapan beringas ke arah kapal armada Cina.

"Kenapa kalian belum juga beranjak dari sana? Apa kalian tak mendengar perintahku?" bentak Setan Laut murka. Sudah pasti bentakannya ditujukan pada dua lelaki dari kapal Ular Laut Kepala Kembar. Saking kuatnya bentakan Setan Laut, kapal-kapal di sekitarnya menjadi terguncang beberapa kali ayunan. Malah, Dua Ular Laut ikut tersentak tiga tindak ke belakang.

Telinga keduanya seperti baru disengat petir.

Dengan tangan mendekap telinga, tubuh mereka tertunduk ke depan. Mereka berusaha menguasai rasa sakit yang menyengat amat sangat pada pendengaran.

Anehnya, hanya mereka berdua yang merasakannya. Sementara, puluhan orang lain di sekitar tempat itu sama sekali tidak merasakan sakit di telinga. Artinya, tenaga suara itu hanya dipusatkan ke arah Dua Ular Laut. Biar begitu, tak urung mampu membuat kapal-kapal bergoyang Makin kagum saja Pendekar Slebor pada kesaktian Setan Laut. Dalam hati, Andika bertanya ragu. Sanggupkah meladeni kesaktian si tua itu? "Kami tak akan menyingkir dari tempat ini Setan Laut," tandas Ular Merah, mengejutkan puluhan perompak di sana. Apa dua lelaki itu sudah ingin pensiun menjadi begal? Membantah Setan Laut sama artinya mengundang si pencabut nyawa Wajah Setan Laut mengeras. Keriput basah wajahnya merapat. Sesaat kemudian....

"Ha-ha-haaa" Setan Laut tertawa lagi, lalu wajahnya mengeras kembali.

"Kalian memang ingin mati" geram Setan Laut. Berat, terseret dan mengandung ancaman maut. "Sejak kedatangan kami semula dengan niat untuk mendapatkan tameng itu pula Kalau sudah melangkah, kami pantang mundur. Kami siap menanggung akibat apa pun, asal bisa mendapatkan tameng itu" tegas Ular Belang yang selama ini tidak sepatah pun melepas ucapan.

"Mhhh.... Kalian siap bertaruh nyawa rupanya," desis Setan Laut.

Nada bicara lelaki tua itu melembut. Tapi, tetap dengan tekanan mengandung ancaman terbahaya di kawasan samudera luas ini.

"Bagaimana dengan kalian?" Suara si tua meninggi kembali. Pertanyaannya kali ini ditujukan pada para perompak lain. "Apa kalian telah siap bertarung nyawa seperti mereka berdua untuk mendapatkan tameng itu?" lanjut Setan Laut.

Seperti segerombolan lalat terkena gebah, para perompak di kapal masing-masing langsung tersentak. Mereka tersadar dari keterpanaan menyaksikan secara langsung tokoh yang selama ini hanya sempat didengar dari desas-desus. Sebentar saja, mereka serabutan tak karuan.

Satu persatu, jangkar kapal mereka terangkat. Layar pun terkembang. Secara bergiliran, kapal-kapal mereka meninggalkan tempat.

Sampai akhirnya, kepungan pada kapal armada Cina kini tak ada lagi. Kecuali, kapal Ular Laut Kepala Kembar.

Bayu membawa mereka menjauh. Menjauh..., dan menjauh. Sampai bentuk kapal mereka hanya berbentuk titik-titik hitam di hamparan lautan.

 9
Apa mau dikata? Jika orang-orang keras bertemu, maka yang cenderung lahir adalah kekerasan pula. Demikian pula halnya Setan Laut dan Dua Ular Laut. Sementara Setan Laut bersikeras memerintahkan kedua saingannya pergi, Dua Ular Laut malah bersikeras tetap di sana Rupanya, mereka telah dikuasai nafsu untuk memiliki tameng pusaka di lambung kapal armada Kerajaan Cina. Maka pertarungan pun sulit dihindari lagi. Apalagi ketika Setan Laut sengaja hendak mempermainkan kedua saingannya.

Seperti hendak membuktikan kalau dirinyalah yang memiliki tenaga dalam paling tinggi.

Setan Laut melakukan bentakan tanpa kata.

Hanya erangan, tapi jauh lebih hebat daripada teriakan seratus raksasa langit "Hrrr" Seketika Ular Merah dan Ular Belang yang masih di kapal armada Cina terangkat perlahan ke atas.

Selanjutnya, tubuh dua lelaki buruk rupa itu melayang menuju kapal mereka sendiri. Bukan main Rupanya, si tua itu hendak memulangkan kedua saingannya ke kapal mereka dengan cara tersendiri Bagi Dua Ular Laut, bukankah cara seperti itu tak lebih dari penghinaan besar-besaran? Ma-ka di tengah jalan antara kapal armada Cina dengan kapal mereka, keduanya menggabungkan tenaga suara bersama. Pada saat, tubuh mereka masih mengapung.

"Hum" Teriakan mengguntur Ular Merah dan Ular Belang terlepas dari kerongkongan. Bumi bagai digebah gempa. Suara erangan Setan Laut langsung tertindih gabungan suara mereka.

Andika sendiri mulai geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah mereka. Sejak beberapa saat lalu, Ular Merah juga telah menyombongkan kehebatannya dalam mengalirkan tenaga sakti di udara melalui suara. Dan lagi-lagi, kini kejadian serupa disuguhkannya. Apa orang-orang laut memang punya kebiasaan berteriak seperti camar kurang kerjaan? Pemuda itu hanya merutuk dalam hati.

Biar begitu, Andika bersyukur juga. Karena dengan demikian, jadi punya waktu untuk menolong Chin Liong dan Ying Lien. Dan tampaknya, adu tenaga suara itu hanya ditujukan pada lawan masing-masing. Paling tidak, Pendekar Slebor bi-sa mencari jarak yang aman dari medan adu tenaga suara itu. Bergegas dipilihnya tempat terjauh dari pertarungan. Dan hasilnya, hawa murninya pun mulai bisa disalurkan sekaligus ke tubuh Chin Liong dan Ying Lien....

Pada saat yang sama, adu kesaktian Dua Ular Laut dan Setan Laut semakin memanas.

Benturan tenaga suara Setan Laut dengan tenaga Dua Ular Laut menyebabkan tenaga mereka lari ke tempat lain. Tanpa terlihat, benturan tenaga mereka terpantul ke permukaan laut. Dan, hal mengagumkan pun berlangsung....

Byarrr....

Air laut beterbangan dalam gumpalangumpalan raksasa yang lentur di udara. Tak hanya itu. Berpuluh-puluh ikan langsung mati, ikut terangkat bersamaan gumpalan air laut ke udara. Beberapa lama, seluruh gumpalan itu mengapung. Setelah kekuatan suara teriakan tadi menyusut, barulah semuanya berjatuhan kembali, menciptakan semburat air ke mana-mana.

Suatu pamer kesaktian yang cukup mengagumkan Paling tidak, begitu menurut Andika.

Anak muda itu baru saja selesai mengobati luka dalam dua sahabatnya.

Tapi, bukan berarti pemuda berselempang kain pusaka bercorak catur di bahunya ini menjadi bergetar.

"Andika...," panggil Chin Liong, di sisinya.

Pendekar Slebor menoleh. Keasyikannya menonton pertunjukan cuma-cuma terusik.

"Ada apa?" tanya Pendekar Slebor.

Chin Liong melepas Pedang Pusaka Langit dari ikatan punggungnya. Diasungkannya benda sakti itu kepada sahabatnya.

Pendekar Slebor mengerutkan dahi, tak mengerti dengan semua itu.

"Apa maksudnya ini? Kau minta kusunat dengan pedang ini?" seloroh Pendekar Slebor.

Chin Liong menggeleng. Bibirnya meringis.

Terkadang, sahabatnya yang berotak encer itu terkesan tolol sekali.

"Pegang pedang itu. Pergunakan kalau kau nanti harus bertarung melawan Setan Laut...," ujar Chin Liong.

Andika mendorong kembali sodoran pedang dari sahabatnya.

"Kau lihat, aku belum berhadapan dengan buyutnya cumi-cumi itu, bukan?" tolak Andika halus. Sebenarnya Andika tahu, benda itu bisa sangat berarti untuk Chin Liong, jika harus menghadapi keadaan genting.

"Tidak Aku menyerahkan pedang ini bukan hanya untuk menghadapi Setan Laut Pedang ini menjadi milikmu sekarang," tutur Chin Liong, mantap. Tak terlihat rasa kehilangannya.

"He-he-he. Kau bergurau, ya? Sahabat slompret, kau ya" tukas Andika.

"Dia sungguh-sungguh, Andika," sela Ying Lien, di sisi Chin Liong.

Andika terbengong. Ketampanannya jadi buron entah ke mana. Yang terlihat hanya ketololan di sekujur wajahnya.

"Tap..." "Tak usah menolaknya kalau kau tak ingin mengecewakan kami" terabas Ying Lien, seraya turun menyodorkan Pedang Pusaka Langit di tangan Chin Liong.

"Tap..." "Kau harus menerimanya, Andika Kau lebih memerlukan ketimbang kami. Lagi pula, kerajaan kami sudah aman. Pedang ini tidak dibutuhkan lagi, kecuali jadi semacam mahkota tak berguna," terabas Chin Liong, kali ini begitu ada kesempatan.

"Tap..." Kata-kata Andika belum selesai, ketika suara pertarungan antara Dua Ular Laut dan Setan Laut kembali memecah angkasa.

Dan kini tampak tubuh Dua Ular Laut mendadak menukik. Mereka tentu tak mau menjadi bahan tertawaan siapa pun, jika harus ditelan air laut. Maka mereka cepat mengadu telapak tangan di udara. Lalu, dorongan yang diberikan masing-masing dimanfaatkan untuk berputar ringan di udara.

Tep Begitu lembut keduanya hinggap di pinggiran geladak kapal Ular Laut Kepala Kembar, diiringi cibiran melecehkan di bibir Setan Laut.

"Permainan kalian cukup hebat. Tapi, belum benar-benar hebat kalau hanya bisa meladeni tenaga suara main-mainku" Selesai berkata, sebelah kaki orang tua berpakaian ganggang laut itu menghentak keras ke permukaan laut.

Pyar Seketika itu pula, air laut tersibak. Gulungan besar ombak setinggi lebih dari enam kaki menerjang kapal Ular Laut Kepala Kembar. Jika tinggi badan kapal Ular Laut Kepala Kembar hanya empat kaki, maka yang akan terjadi tentu sudah bisa diduga. Ombak ciptaan Setan Laut akan menelan bulat-bulat kapal itu Wurrr Bagai tangan raksasa dari dasar lautan, ombak besar tadi siap menampar mentah-mentah sasarannya.

Sementara Dua Ular Laut tentu saja tak sudi kapal mereka dikoyak hantaman gelombang Setan Laut. Tepat ketika ombak besar tinggal menelan kapal, mereka menunduk menjerit sekeraskerasnya. Bukan. Bukan jeritan ngeri yang diperdengarkan....

"Eiii..." Kemungkinan besar mereka menjerit seperti itu karena sedang menggabungkan tenaga dalam. Tapi, nyatanya tidak. Mereka tidak bermaksud meladeni adu kesaktian Setan Laut lebih jauh, karena sadar dengan lawan yang dihadapi.

Seorang yang tidak hanya besar namanya, tapi juga memang sudah terbukti kesaktiannya selama ini. Melawan kekuatannya, seolah sama tololnya untuk menghentikan amukan badai. Setan Laut laksana Nyai Roro Kidul dari Pantai Selatan Jawa. Laksana Neptunus pada dongeng Yunani Kuno Jadi, untuk apa mereka berteriak? Jawaban segera mencuat, manakala dari badan kapal Ular Laut Kepala Kembar menyeruak seberkas bola api, tak selayaknya pijaran api.

Warnanya terang menyilaukan, memanjang lurus menombak langit.

Ubun-ubun ombak raksasa di atas kapal Ular Laut Kepala Kembar pun ditembusnya. Sekerdip mata kemudian....

Pyar Seperti ditepis ekor berkekuatan seekor naga langit, ombak besar tadi langsung tersibak kembali. Jutaan gentong air menyembur liar di udara ke segenap penjuru, lalu menukik kembali ke samudera dalam bentuk bulir-bulir air tak berdaya. Hujan setempat seperti sedang mengguyur wilayah sekitarnya.

Setan Laut terperangah.

Andika, Ying Lien, dan Chin Liong tak kalah terkejut.

Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Tanya hati masing-masing. Apa yang telah dilakukan Dua Ular Laut, hingga mampu merontokkan serangan dahsyat si Setan Laut? Tidak Mereka tidak melakukan apa pun, untuk memburaikan ombak raksasa tadi. Seseorang lain yang telah melakukannya. Atau lebih tepatnya..., sesosok makhluk lain Sebab, seusai buliran air laut itu tuntas menyatu kembali ke samudera, muncul wujud baru dari bersitan sinar jingga menyilaukan tadi.

Sosok besar bersisik perak setinggi dua kali manusia. Matanya sebengis ular. Lidahnya yang ber-cabang, menjulur-julur cepat keluar. Di atas kepalanya yang berambut, menegak barisan sirip tajam. Ketika mulutnya membuka, tampaklah taring yang juga sama persis dengan taring ular.

Sosok itu berdiri mengagumkan di atas permukaan laut. Tak satu pun pelampung, kecuali, dua pasang kaki berselaput.

Dialah ular laut ketiga yang selama ini menjadi teka-teki tak terjamah....

Demi menyaksikan wujud mengerikan yang baru saja muncul, tak alang-kepalang Setan Laut tersentak. Lelaki tua itu tersurut mundur dua de-pa. Wajah berlendirnya berubah warna. Mata kelabunya membesar penuh Sosok itu dikenalnya sebagai....

"Guru" pekik Setan Laut tertahan.

Sekarang, ganti Dua Ular Laut terperangah. Guru? Begitu bisik hati mereka....

"Kalian adalah murid paling bodoh yang pernah kumiliki" hardik sosok mengerikan yang terkenal sebagai si Manusia Ular sangar, menggebah nyali siapa pun. "Bagaimana kalian saling baku hantam dengan saudara seperguruan sendiri" "Ampun, Guru Kami sungguh tidak menyangka kalau lelaki itu adalah kakak seperguruan kami yang pernah Guru perintah untuk dicari," jawab Ular Merah tergagap dengan wajah memucat.

"Guru Bagaimana kau bisa hidup kembali?" selak Setan Laut, tak kalah tergagap.

Andika, Chin Liong, Ying Lien, serta awak lain di kapal armada Cina sana menjadi bergidik teramat sangat. Dua tokoh begal laut paling ditakuti, siap menyatu dengan lelaki sakti momok Laut Cina Selatan. Kalau begitu, bagaimana nasib mereka?

10
Si Manusia Ular sesungguhnya adalah seorang lelaki penganut ilmu sesat yang telah mati.

Ilmu sesatnya didapat dari sumber kekuatan hitam Laut Cina Selatan. Dan akibatnya dia menjadi manusia terkutuk. Kematiannya tidak berarti akhir hidupnya. Karena begitu jasadnya ditelan liang lahat, dia pun berubah wujud menjadi manusia setengah siluman ular.

Dari liang lahatnya, si Manusia Ular bangkit kembali menuju sumber kekuatan hitam Laut Cina Selatan. Bersama kutukan, dia beradababad terapung-apung dalam sekian juta daur badai. Terkatung-katung dalam ketidakpastian menyiksa tentang hidupnya.

Kutukan atas dirinya harus dihentikan.

Untuk itu, si Manusia Ular harus menemukan kekuatan lain yang mampu mengenyahkan jasad, sekaligus kesaktiannya. Ada satu-satunya benda untuk melaksanakan tujuannya, yakni tameng sakti naga terbang yang kini menyatu dengan kapal Kerajaan Cina.

Untuk mendapatkannya, ternyata tak mungkin bagi si Manusia Ular. Belenggu dua alam membuatnya tak lagi bebas seperti layaknya manusia biasa. Satu-satunya cara adalah mengangkat murid.

Maka, seorang pemuda murtad pun dididiknya. Beberapa tahun kemudian, pemuda itu lahir sebagai begal paling hebat di seantero Laut Cina Selatan. Dia pula yang telah meruntuhkan kebesaran armada Laut Cina di bawah pimpinan Ju-Hai.

Masa terus bergulir. Si pemuda yang ditugasi gurunya untuk mendapatkan Tameng Naga Terbang, nyatanya belum juga berhasil mengemban perintah gurunya. Si pemuda merasa bersalah, karena itu langsung bersumpah tak akan meninggalkan samudera Cina Selatan sebelum tameng itu didapatkan.

Sementara itu, mengetahui murid pertamanya belum cukup mendapatkan Tameng Naga Terbang, Si Manusia Ular pun mengangkat dua murid lain.

Murid pertama kini dikenal sebagai Setan Laut. Sedang dua lainnya adalah Ular Merah dan Ular Belang....

"Aku memerintahkan kalian untuk mendapatkan tameng itu. Bukan untuk saling hantam" bentak si Manusia Ular, memancung sangkalansangkalan memuakkan ketiga muridnya. "Sekarang, kalian telah melihat tameng itu di depan mata. Jadi, tinggal merebutnya dari mereka" Si Manusia Ular langsung mengacungkan tangan ke lambung bawah kapal armada Cina milik Ying Lien.

Selanjutnya sosok si Manusia Ular berubah kembali menjadi cahaya jingga benderang. Membersit di angkasa sejenak, lalu menyelinap kembali ke kapal hantu.

"Sinting" maki Andika, begitu meneliti bagian kapal yang ditunjuk si Manusia Ular.

"Apa maksudmu?" tanya Chin Liong, memburu ke dekat Andika melongok.

"Lihat itu...," ujar Andika setengah tertekan. "Kalau diperhatikan baik-baik, kau akan menyaksikan adanya bentuk tameng bulat bergambar bayangan naga terbang di bagian itu...." "Lalu?" "Ah Jangan tolol, Chin Liong Kalau mereka menginginkan bagian itu, artinya mereka akan membelahnya. Bagaimana bisa berlayar mengarungi samudera seganas ini, kalau lambung kapal kita berlubang?" "Astaga..." desis Chin Liong bergidik.

Pemuda ini baru sadar kalau kini benarbenar dihadapkan pada pembantaian keji. Mereka harus memilih mati untuk mempertahankan kapal, atau mati tenggelam di tengah-tengah laut "Terpaksa kita harus menghadapi mereka, Andika," desah Chin Liong digerayangi kekhawatiran terhadap keselamatan awak kapalnya.

Andika memukul tangannya sendiri geramgeram. "Keliru," sergah Pendekar Slebor, mengejutkan Chin Liong.

Ying lien dan yang lain di sekitarnya menjadi tak mengerti, apa maksud pemuda itu yang memang sering sulit diduga.

"Bagaimana yang terbaik menurutmu, Andika?" sela Ying Lien.

Pendekar Slebor, si pemuda gagah yang begitu dipuja-pujanya, bukan sekadar ksatria menawan hati. Dia juga sudah seperti panglima tertinggi yang kecemerlangan akalnya amat dibutuhkan dalam memecahkan keadaan paling genting. "Hanya aku saja yang akan menghadapi mereka" tandas Andika, mantap. "Sementara ku-hadapi mereka, kalian harus cepat menaikkan layar dan pergi dari tempat ini." Sinar mata Pendekar Slebor berkilat. Sinar mata itu pernah dilihat Chin Liong ketika Andika menghadapi momok paling menakutkan di negeri Cina yang berjuluk Empat Penguasa Penjuru Angin. Kilatan mata seorang yang siap mempertaruhkan nyawa "Aku tak setuju Kau terlalu gila jika menyangka kami sudi membiarkanmu berjuang seorang diri menghadapi mereka" terabas Ying Lien, seperti memekik.

Gadis ini begitu takut kehilangan satusatunya pemuda yang pernah menukikkan rindu ke dasar batinnya.

"Tak ada kata gila dalam kegentingan seperti ini, Ying Lien," desis Andika, tak bergeming dari keteguhan keputusannya.

"Andika..., bagaimana mungkin...." "Kalian harus pergi" ledak Andika, menggidikkan.

Wajah Pendekar Slebor sudah sematang gejolak lahar. Tidak ada yang bisa memburaikan kekerasannya. Tak ada Tak seorang pun. Satu sifat yang memang tak mungkin lepas dari kepribadian si perjaka berhati baja.

"Kalau begitu, aku akan menemanimu," putus Chin Liong, agak tersedak.

Gadis ini begitu ragu, apakah usulannya diterima sahabatnya. Sementara Chin Liong bahkan tak sanggup menatap langsung mata terbakar Andika. Dia begitu kalut, gundah, dan entah apa lagi. Antara rasa kagum, serta rasa haru yang menyelinap diam-diam, menyadari sahabatnya bersedia sepenuh hati mengorbankan jiwa demi keselamatan mereka.

"Chin Liong, tatap aku...," ujar Andika terseret. Matanya menghunus lurus ke mata Chin Liong. Chin Liong meneguhkan hati, untuk menatap Andika.

"Dengar aku baik-baik. Kalian harus pergi semua. Semua, termasuk kau. Dan kau tak perlu khawatir padaku. Percayalah pada Tuhan. Aku akan selamat...," tandas Pendekar Slebor satu-satu. Kata-kata yang sepertinya terjejak langsung ke sanubari setiap awak kapal lain.

Diam-diam, Ying Lien membendung genangan bening di matanya. Apa pun yang dikatakan Andika tentang keselamatannya, Ying Lien sadar kalau itu sekadar kata menghibur. Paling tidak agar mereka berbesar hati. Agar mereka rela kehilangan seorang sahabat. Begitu rusuh hati Ying Lien. "Saat sekarang ini, aku tak mau seorang pun membantah. Kalau kau menemaniku, bagaimana Ying Lien jika dihadang kawanan perompak yang telah meninggalkan tempat ini? Bukankah kau sebagai panglima diperlukan untuk keselamatan putrimu dan para awakmu," tutur Andika lagi, mulai melamat. Seolah dia memohon penger-tian yang sulit diterima.

Bagaimana Chin Liong sanggup menerima permohonan seorang sahabat yang ingin mempertaruhkan nyawa demi mereka semua? Tapi jangan seorang pun menolak kalimat Andika saat itu. Akan percuma saja. Hatinya bagai baja murni bernyawa. Tak lagi berubah, saat telah menemukan bentuknya. Dia juga permata hidup yang membersitkan kemilau mengagumkan meski harus tenggelam ke dasar samudera....

Ying Lien tak kuasa lagi menahan bendungan rasa nyeri di dadanya. Sulit dipercaya kalau wanita sekokoh dia akhirnya kehilangan benteng diri ketika melangkah terbata. Dia ingin menghambur, tapi kebutaannya tak memungkinkan.

Dengan langkah tersuruk, dimasukinya ruang dalam kapal. Lamat-lamat, terdengar isak halusnya.... Andika bukan tak peduli. Dia hanya tak ingin peduli. Dalam keadaan yang menyangkut banyak nyawa, seluruh kecamuk perasaan harus ditinggalkannya.

Srang Dengan raut wajah sulit tergambarkan, Andika mengeluarkan Pedang Pusaka Langit yang baru saja diterima dari sarungnya. Sinar merah baranya membuncah, merayapi kekerasan wajah pemuda perkasa tanah Jawa saat ini, "Apa pun yang terjadi, aku akan menghadapi mereka" desis Pendekar Slebor dengan tatapan terhujam di ujung pedang. * * *  "Hadapi aku" seru Pendekar Slebor.

Baru saja kaki Andika menyentuh permukaan laut dengan bantuan kain pusaka bercorak catur miliknya, di belakangnya kapal armada Cina mulai bergerak lamban. Seolah begitu berat meninggalkan seorang sahabat. Dengan pandangan sembab Ying Lien, dan dengan berpasangpasang mata sarat rasa kapal Kerajaan Cina itu terus bergerak lambat.

"Percuma kau menahanku Aku tetap akan bisa mengejar kapal itu, Apa kau lupa, lautan ini adalah wilayah kekuasaanku?" leceh Setan Laut.

Andika tersenyum sinis.

"Kau tidak akan bisa mengejarnya..., kecuali aku luput menggorok lehermu" dengus Pendekar Slebor.

"Sudahlah, Kak Tak ada gunanya lagi banyak bicara dengan orang sok pahlawan ini" seru Ular Merah di atas kapalnya.

Setan Laut melirik Ular Merah. Baru pertama kali itu bibirnya tersenyum tawar. Mungkin juga selama hidupnya....

"Kau benar...," tanggap Setan Laut. Lalu....

"Wet-deb-deb" Bunyi sekeras hembusan badai meledakledak di antara sapuan-sapuan tangan Setan Laut. Untuk cepat menuntaskan tugasnya yang begitu lama tertunda, kesaktian pamungkasnya langsung dikerahkan. Kesaktian apalagi yang hendak dikerahkan? Sulit diduga Sementara, Andika memang sudah siap.

"Suing" Pedang Pusaka Langit di tangan teracung di depan dada. Sinar mata Pendekar Slebor merah membara, menyapu wajah berlendir Setan Laut.

Sehingga, wajah pemuda dari tanah Jawa terlihat demikian angker.

Begitu memperhatikan jelas-jelas pedang di tangan Pendekar Slebor, ketiga murid si Manusia Ular mendadak terpesona terhadap keindahan-nya. Tak hanya bercahaya merah bara memukau yang tak dimiliki pedang lain, bentuknya pun demikian memancing decak kagum. Gagangnya berbentuk naga. Sepuhannya dari emas. Sedangkan bentuk batangnya memiliki beberapa lekukan di ujung, bagai ekor naga.

"Hey? Bukankah itu Pedang Pusaka Langit yang menggegerkan dunia persilatan sekian abad lalu? Bagaimana bisa pedang itu di tangan pemuda ingusan ini?" desis Ular Merah, tak percaya raut wajahnya seperti seorang yang menyaksikan keindahan sorga.

Jika Setan Laut untuk sejenak menghentikan pengerahan kesaktiannya, lain lagi dengan Pendekar Slebor. Dengan serta-merta, diterjangnya Setan Laut.

"Heaaa" Kain pusaka bercorak catur Pendekar Slebor meluncur deras di permukaan laut. Di atasnya, berkelebat kilatan sinar pedang membentuk pola rumit menyilaukan.

Setan Laut sempat terkesiap. Tak pernah disangka kalau pemuda yang baru dikenalnya itu sanggup melakukan gerakan demikian sempurna. Matanya yang jeli dapat menangkap kalau gerak pedang itu tak beraturan. Bahkan cenderung, ngawur. Namun di balik itu, terpendam kehebatan tak terukur Andika memang sedang mengerahkan jurus-jurus sakti ciptaannya 'Mengubak Hujanan Petir Membabi-buta', jurus yang sulit diterka ke mana arahnya, dan apa yang diincarnya.

"Siapa anak muda ini?" bisik Setan Laut samar sebelum melipat tangan ke dada, hendak menghindari ayunan sinar merah bara dari Pedang Pusaka Langit.

Swing "Bangsat" Setan Laut terpaksa melempar tubuhnya ke belakang, ketika tiba-tiba saja gerak ayunan pedang itu berubah tak terduga ke lehernya. Padahal semula disangka tangannya saja yang terancam.

"Kak Kita harus membantunya Aku merasa anak muda ini sama sekali tidak bisa dianggap main-main. Lebih-lebih dengan Pedang Pusaka Langit di tangannya" usul Ular Belang, di sisi lain. "Ya Aku pun berpikir begitu" tanggap Ular Merah, sungguh-sungguh.

Maka, mereka segera meraih belahan kayu terbengkalai dari geladak kapal. Dengan kayu di masing-masing kaki, mereka meluncur menuju medan laga.

Setibanya di dekat Pendekar Slebor, mereka segera saja meruntunkan jurus tingkat tinggi.

Sayang, kurungan kelebatan pedang Andika langsung menghambat seketika.

Swing-swing-swing Berkali-kali ketiga murid si Manusia Ular mencoba menembus benteng merah bara yang berseliweran bagai kerjapan petir di siang bolong di sekujur tubuh Andika. Dan berkali-kali pula mereka gagal. Bahkan Pendekar Slebor sanggup menitipkan sabetan berbahaya yang sungsangsumbel dihindari ketiganya.

Menjelang sembilan puluh jurus, benteng itu belum lagi terjebol. Sementara, Setan Laut mulai khawatir kalau kapal akan pergi terlalu jauh. Kalau sekali ini luput lagi, bagaimana harus mempertanggungjawabkan pada sang guru? "Jahanam Bagaimana dia bisa bergerak secepat itu" rutuk Setan Laut, murka bukan main. Jika dihitung-hitung kembali, gerakan murka Pendekar Slebor mungkin amat sulit ditembus. Setan Laut sendiri kurang yakin dengan gerakannya, jika menilik setiap kelebatan pedang yang sanggup menyesakkan udara sekitarnya dengan hawa panas membakar.

"Jangan hadapi dia dengan jurus-jurus kalian Dia punya kehebatan lebih pada gerakannya" seru Setan Laut, memperingati kedua saudara seperguruannya. "Kekuatan kita harus dis-atukan, lalu gempur dia" Ketiga orang itu cepat mengambil sikap masing-masing. Dikurungnya Andika dari tiga jurusan berbeda. Sementara orang yang dikurung sudah tak peduli apa-apa lagi, mengamuk membabi-buta. Tak peduli apakah akan menebas lawan atau sekadar angin Sesaat berikutnya....

"Gempur" Slash Tiga berkas cahaya memanjang yang berwarna serupa langsung mencelat dari telapak tangan tiga lawan Pendekar Slebor. Dari tiga jurusan berbeda, secara berbarengan berkas-berkas cahaya hitam keunguan tadi menerjang benteng kelebatan sinar pedang Pendekar Slebor.

Kekalapan Andika membuatnya tidak menyadari bahaya. Hingga....

Desh Bagai tiga bunyi yang menyatu, terdengar suara keras ketika tiga cahaya itu melanda tubuh Pendekar Slebor.

Andika tersentak di tempat. Dia tak terpental, karena masing-masing sinar menekannya dari arah lain.

Gerak liar Pedang Pusaka Langit terhenti seketika. Kuda-kudanya limbung, wajahnya memucat. Lamat-lamat, terdengar gemeletuk rahang.

Tampaknya, Pendekar Slebor demikian tersiksa akibat serangan ketiga lawannya barusan. Dan ini membuat pandangannya kehilangan kekuatan.

Alam mendadak gelap. Kalau datang serangan berikutnya, Pendekar Slebor pasti tak tahu harus bergerak ke mana. Atau, bagaimana caranya berkelit. Seluruh tubuhnya seperti mati seketika, di-berangus rasa tercabik-cabik.

Hanya keteguhan hati yang membuat Pendekar Slebor masih bertahan pada kuda-kudanya.

Hal yang ditakutkan akhirnya terjadi juga.

Untuk kedua kalinya, ketiga lawan Pendekar Slebor mengirim kembali berkas-berkas cahaya hitam keunguan....

Slash Desh "Akh" Andika hanya sempat memekik kecil. Setelah itu tubuhnya semakin limbung. Tanpa dapat ditahan, dia tersurut ke permukaan laut. Dan samudera pun segera menelan tubuh pemuda itu bulat-bulat.

Sepi.... Angin mendesis-desis mengutuki tiga manusia laknat yang masih berdiri dengan senyum samar masing-masing.

"Tunggu apa lagi? Ayo kita segera menyusul kapal itu" cetus Ular Belang, meretakkan ke-heningan.

Dua saudara seperguruannya mengangguk. Baru saja Dua Ular Laut hendak melompat ke kapal, tiba-tiba saja...

"Aiii" Glar Dengan mata kepala sendiri, Dua Ular Laut menyaksikan kapal hantu mereka lebur berkeping-keping. Bilahan papannya berhamburan ke segala penjuru, jauh dari tempat semula. Tulang-belulang di dalamnya ikut berpentalan. Kapal besar itu seakan baru saja diledakkan mesiu berpe-ti-peti. Di antara hamburan pecahan papan, terlihat kelebatan seekor kelelawar hitam terbang jalang ke angkasa. Geraknya seperti ketakutan.

Dalam selang yang teramat singkat, sesosok bayangan lain berkelebat dari dasar laut. Dan bayangan itu meluncur lurus menyusul gerak kelelawar raksasa di udara.

"Heaaa" Crash Bersama bentangan seberkas sinar merah bara, tubuh kelelawar tadi terbelah dua. Darahnya tersembur, dan jatuh tertelan keluasaan samudera. Disusul, dua potongan tubuhnya..., Menjelang potongan bangkai kelelawar tertelan lautan, seberkas cahaya jingga menyilaukan terlepas dari tubuh binatang itu dikawal dengking amat santer yang mirip suara pembunuh para awak kapal sebelumnya.

Detak-detak waktu selanjutnya, tiga momok Laut Selatan memperdengarkan dengkingan pula. Mereka bergelinjangan liar, bersama potongan-potongan sinar hitam keunguan yang menyeruak dari seluruh pori-pori kulit.

Plumb Suara lembut permukaan dasar laut menjadi pertanda tertelannya tubuh mereka ke dasar samudera. Dan mereka pasti akan menjadi santapan hewan-hewan laut pemangsa setelah menjadi pemangsa bengis terhadap sesama.

Di salah satu pecahan bangkai kapal, Andika terduduk kuyu tanpa gairah. Wajahnya tak bersinar, tapi memperlihatkan kelegaan teramat sangat. Ketika serangan sinar ketiga lawannya, Pendekar Slebor memang telah kehilangan kesadaran sama sekali. Namun di dalam laut, sesuatu yang sama sekali tak disangka langsung terjadi.

Pedang Pusaka Langit yang memiliki keampuhan melipatgandakan kehebatan seseorang menjadi sepuluh kali lipat, mendadak saja bergetar di genggaman tangan Andika.

Saat yang sama, tenaga sakti di tubuh pemuda itu bergejolak dan bergejolak, untuk melipatgandakan tenaga Pendekar Slebor. Pada puncaknya, Andika tersadar.

Sesaknya napas di dalam air, membuat Andika secepatnya menuju permukaan. Dan saat itulah Pendekar Slebor melihat sesuatu mencurigakan pada bagian lambung kapal Ular Laut Kepala Kembar. Andika melihat ada berkas-berkas sinar jingga menyilaukan yang bergerak-gerak di dalamnya.

Terbetik dugaan kuat, bahwa sinar yang diyakininya sebagai wujud manusia ular itulah yang telah memberi kesaktian pada tiga lawannya. Maka, Andika pun langsung menghantam kapal itu dengan puncak tenaga sakti yang kini sudah menjadi berlipat sepuluh kali. Begitu hancur, berkas sinar yang ternyata berubah menjadi seekor kelelawar langsung menyerang.

Dugaan Pendekar Slebor tidak meleset.

Dengan kematian sang kelelawar yang menjadi jasad bersemayam nya si Manusia Ular, maka hubungan antara alam kasar pun terputus. Dan, terputus pula kesaktian yang telah dilimpahkan pada ketiga muridnya....

Hal yang sama pernah dialami Andika ketika berhadapan dengan Manusia Dari Pusat Bumi.

Itu sebabnya, dia bisa begitu cepat menduga (Untuk lebih jelas tentang hal itu, bacalah episode: "Manusia Dari Pusat Bumi", "Pengadilan Perut Bumi", dan "Bayang-bayang Gaib").

"Andika...." Suara lembut menegurnya.

Andika menoleh kuyu. Tampak Chin Liong bersama Ying Lien tengah mengendarai perahu kecil. Wajah gadis Cina jelita itu sudah basah.

Ketika Andika naik ke perahu, Ying Lien menghambur ke dadanya. Tangis harunya kontan tertumpah di sana....
SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar