-------------------------------
----------------------------
Episode 19 Perompak Perompak Laut Cina
1
Laut Merah. Bentangan samudera
yang membelah bagian daratan Asia dengan Afrika, mencerminkan kekuasaan Tuhan
Pencipta Alam Semesta. Alunnya terkadang jinak memainkan ombak yang bergulung
lunak. Namun, tak jarang menjadi liar, dengan gelombang-gelombang yang besar.
Dari muara Sungai Nil, sebuah kapal layar besar memasuki kawasan Laut Merah.
Dari lambang di bentangan layarnya yang menjulang, menandakan kalau kapal ini
bagian dari armada perang Cina. Dengan tulisan huruf Cina besar berla-tar
belakang lukisan seekor naga. Bentuknya begitu gagah. Berukuran lebih dari lima
belas kali lima puluh lima tombak.
Warna kapal itu masih cerah.
Namun bukan berarti belum lama dibuat. Justru kapal itu adalah kapal berusia
cukup tua, dan memiliki sejarah sendiri bagi kerajaan yang diperkukuhnya.
Bisa jadi kendaraan perang
samudera itu telah mengalami pemugaran.
Jangan heran kalau kapal
armada Cina ini memulai pelayaran dari kawasan bagian daratan Afrika. Jawaban
yang pasti, karena para penumpangnya baru saja menghadiri sebuah misi dari Ratu
Mesir. Putri Ying Lien salah satu dari ketu-runan penguasa Cina beserta
panglima perangnya, menjadi pimpinan perjalanan (Untuk mengetahui lebih
jelasnya, bacalah episode: "Undangan Ratu Mesir").
Di antara para awak kapal,
tampak seorang pemuda gagah berpakaian hijau pupus. Rambutnya panjang sebahu
tak teratur. Dengan penampilan begitu acuh, dia berdiri di satu sudut bibir
geladak. Tamparan angin deras yang mengguliri permukaan samudera, ditentangnya dengan
raut wajah tanpa gemik. Ketajaman sinar matanya seperti larut dalam nada
persahabatan alam. Sesekali terdengar tarikan napasnya di kepungan tiupan bayu.
Anak muda perkasa itu tak lain
dari Andika. Di dunia persilatan, dia amat tersohor sebagai Pendekar Slebor.
Sebagai salah seorang undangan Ratu Mesir, Andika melakukan pelayaran bersama
armada Cina.
"Apa yang sedang kau
renungkan Andika?" sapa seseorang di belakang Andika.
Kebekuan pemuda itu kontan
terusik. Kepalanya menoleh. Ditemukannya seorang pemuda sebaya berwajah tak
kalah tampan, bermata sipit.
Pakaiannya memperlihatkan
kalau pemuda itu adalah seorang pembesar Kerajaan Cina.
"Ah, kau Chin
Liong...," desah Andika seraya mengembalikan pandangan ke samudera bebas
di depan sana.
"Kau belum jawab
pertanyaanku...," sindir Chin Liong menanggapi keacuhan sahabatnya da-ri
tanah Jawa.
"Ada perlu? Rasanya, kau
hanya berbasabasi saja," tukas Andika.
Chin Liong tertawa. Harus
diakui, sahabatnya memang benar. Dan harus diakui pula, Andika memang memiliki
pengamatan setajam mata pisau.
"Ya, aku memang hanya
berbasa-basi. Tapi, apa itu dosa?" canda pemuda bermata sipit itu seraya
menjajarkan tubuh di sisi Pendekar Slebor.
"Aku hanya sedang
merenungi hidup," kata Andika lagi.
Chin Liong menunggu.
"Kau lihat itu,"
sambung Andika seraya mengacungkan jari jauh ke samudera. "Hidup tidak
beda dengan napas samudera. Terkadang bergejolak buas terkadang sarat
kedamaian. Kita terlalu sulit menduga, apa yang bakal terjadi. Lebih-lebih
mendiktenya. Kau tahu, kenapa? Karena hanya ada satu-satunya Pendikte
Hidup." "Tuhan?" "Yak" "Aku tak rugi bersahabat
denganmu, Andika...," puji Chin Liong. "Kau bukan hanya sering
membuatku tertawa, tapi juga kerap mengajakku berpikir bijak...."
"Dan aku justru merasa rugi bersahabat denganmu, kalau kau terus saja
memujiku seperti itu," seloroh Andika.
Mereka tertawa kecil. Saling
menertawai diri yang sering kali terhanyut kehidupan begitu sa-ja. Jarang
sekali ada kesempatan buat mereka untuk merenung seperti sekarang. Seperti
jarangnya mereka tertawa lepas bersama.
Tertawa lepas bersama? Andai
setiap makhluk bumi bisa berbagi suka seperti itu, tentu bumi ini bisa disulap
menjadi sorga dalam sekejap. Bukan lagi tempat bagi si keji untuk membantai
yang lain. Bukan tempat penguasa mengunyah yang lemah. Bukan neraka bersimbah
darah. Dan Andika pun merenung kembali.
"Bagaimana nasib kawan
kita, Hiroto ya?" cetus Ching Liong, memberangus kebungkaman mereka di
antara debur ombak yang menanduk lambung kapal.
"Itu yang kumaksud dengan
ucapanku tadi. Bukankah hidup begitu sulit diduga? Mestinya, orang sebaik
Hiroto tak mengalami nasib buruk di piramida laknat itu," geram Andika
terdengar merutuk. "Sementara si Gila Petualang yang mestinya mendapat
hukuman, lolos begitu saja entah ke mana" (Untuk mengetahui seluk-beluk
kedua tokoh itu, bacalah episode: "Warisan ratu Mesir").
"Kau yakin Hiroto menemui
ajal di sana?" tanya Chin Liong, seperti bertanya pada diri sendiri.
Seraya menghempas napas, Andika menghela bahu.
"Cuma Tuhan yang tahu,
bagaimana nasibnya," desah pemuda tampan itu. "Kasihan ke-luarganya
di Jepang...." "Hm.... Aku tak tahu dia punya keluarga," gumam
Chin Liong. "Semula aku pun begitu. Sampai Kenjiro, sepupunya, bercerita
padaku," ucap Andika.
Sementara itu, kapal terus
membelah samudera.
Mentari senja menguning jauh
di sana. Setengah tubuhnya, seakan tercelup dalam garis batang kaki langit.
Pantulan sinar lembut raja siang yang menjinak, memanjang di sepanjang
gelombang kecil.
Malam pun rebah. Hari berlari
dan berganti.
Selama ini, pelayaran dengan
tujuan tanah Jawa berjalan tanpa kendala. Sebagaimana rencana sebelum
meninggalkan negeri Mesir, kapal layar Kerajaan Cina milik Putri Ying Lien akan
mengantarkan Andika serta si bangkotan Pendekar Dungu kembali ke tempat asal. Kalau
Andika semula dijemput, sudah sepantasnya diantar pulang. Begitu menurut Ying
Lien kala itu (Tentang kisah awal keberangkatan mereka, bacalah episode:
"Undangan Ratu Mesir").
Setelah berlabuh sejenak di
bandar Sunda Kelapa, kapal itu akan meneruskan pelayaran ke negeri Cina.
Sayangnya, segala sesuatu tak
selalu berjalan mulus hingga titik akhir. Ketika itu, sinar mentari menebar
lembayung ke cakrawala. Senja telah menua pada hari kesekian. Kapal layar
angker itu kini telah memasuki Laut Cina Selatan.
Dan, terjadi peristiwa yang
benar-benar tak diharapkan. Pendekar Slebor, Chin Liong, Ying Lien, dan
beberapa awak kehormatan lain ketika itu sedang mengulur perbincangan hangat.
Sampai seluruh perbincangan mendadak terpancung teriakan nakhoda kapal dari geladak.
"Tuan Panglima Akan ada
badai hebat dari barat laut Kita tak bisa melanjutkan perjalanan, karena
lintasan kapal membelah daerah itu" Chin Liong tak terlihat terlalu
terkejut.
Hanya raut wajahnya yang
membersitkan kekecewaan. Bukan badai hebat yang disayangkan harus terjadi.
Melainkan, menyayangkan kepulangannya akan terlambat dihadang badai. Padahal,
hatinya sudah begitu rindu kampung halaman.
"Bagaimana, Panglima?
Apakah kita akan tetap pada arah sekarang, atau memotong jalur?" tanya
nakhoda kembali, meminta keputusan Chin Liong selaku panglima perang kerajaan.
"Kita harus memotong
jalur Aku tak mau mempertaruhkan nyawa seluruh awak kapal" putus Chin
Liong, tegas.
"Siappp, Panglima"
Selesai menyahuti perintah Chin Liong, nakhoda itu memberi aba-aba pada seorang
juru mudi untuk memutar arah, menghindari bentrokan dengan badai hebat yang
gejalanya terbaca nakoda tadi. Namun seperti penuturan Andika, alam memang
sulit diduga. Selang sekian lama setelah arah pelayaran dibelokkan ke jalur
lain, arakan awan hitam pekat sudah terlihat dari arah barat laut. Amat pekat
Di kejauhan, arakan awan penjinjing badai itu seperti bergerak tenang. Namun di
balik kete-nangannya, sesungguhnya sedang bergerak amat cepat satu ancaman yang
paling ditakuti setiap pelaut ulung sekalipun Di antara kepungan awan legam
pekat itu, berkali-kali terlontar kerjapan-kerjapan lidah petir, menukik
langsung ke permukaan laut.
"Nakhoda Apakah badai itu
bergerak ke arah kita?" tanya Chin Liong berteriak pada seorang awak di
menara tiang kapal.
"Benar, Panglima"
"Apakah kita bisa menghindarinya?" "Kita sudah mencobanya,
Panglima. Tapi, badai itu rupanya bergerak terlalu cepat di luar
perhitungan" "Jadi kita tak bisa menghindar lagi?" tanya Chin
Liong, meminta kepastian. Wajah berwiba-wanya mulai terlihat tegang, meskipun
sudah berusaha setenang mungkin.
"Kita tidak bisa
membelokkan arah kapal ini ke mana-mana lagi Badai itu terlihat cepat
datang" "Apa saranmu, Nakhoda?" "Sebaiknya kita
bersiap-siap Kita harus bertahan sementara" sahut nakhoda itu kembali.
"Ya, cepat
laksanakan" Setelah itu, dari tiang kapal yang dijadikan sebagai menara
pengawas, terdengar aba-aba keras si nakhoda.
"Turunkaaan layaaar"
Sesaat berikutnya, sudah terdengar keriuhan layar besar diturunkan cepat,
diimbangi hi-ruk-pikuk para awak kapal yang bersiap-siap menghadapi serbuan
badai hebat.
Riuh-rendah di luar, memancing
Putri Ying Lien keluar dari ruang kehormatannya. Gadis buta ini berjalan dengan
wajah terpaku ke depan, Putri Ying Lien pun segera mendekati tempat Chin Liong
dan Pendekar Slebor berdiri.
"Akan ada badai,"
ucap Chin Liong, menyambut kehadiran Ying Lien di dekatnya.
Tak tampak banyak perubahan
pada wajah dara terhormat Cina itu. Dia tetap tenang, seakan tidak akan terjadi
apa-apa. Kalaupun ada perubahan, hanya sebatas kerutan tipis di antara
rentangan sepasang alis hitamnya.
"Apakah badai
hebat?" tanya Ying Lien pa-da nakhoda.
Lelaki berbadan kekar
berpakaian prajurit laut Cina itu baru saja menuruni tangga tali yang menjulur
sepanjang tiang layar.
"Menurut perkiraanku
begitu, Tuan Putri," sahut si nakhoda hormat.
"Bisa dihindari?"
susul Ying Lien, seperti mengulangi pertanyaan Chin Liong sebelumnya.
"Tidak, Tuan Putri."
"Tak ada lagi yang bisa kita perbuat sekarang ini, kecuali bertahan,"
tambah Chin Liong.
"Sayang, kau tidak bisa
melihat, Ying Lien.... Badai besar itu semakin deras menghampiri arah
ki-ta" "Aku bisa merasakannya," ucap Ying Lien, tanpa sedikit
pun menganggap perkataan panglima perangnya yang sudah seperti saudara kandung
sendiri sebagai penghinaan.
"Sebaiknya kau masuk ke
ruanganmu kembali, Ying Lien," saran Andika, turut buka suara. "Itu
saranmu sebagai seorang sahabat, atau sebagai seorang tamu yang merasa harus
menghormatiku?" gurau Ying Lien ringan, seolah hendak sedikit melekang
ketegangan yang terus saja menanjak, mengiringi bergeraknya badai di kejauhan.
"Aku rasa, hanya karena
kau tak pantas saja berada di sini," sahut Pendekar Slebor.
Baru saja setelah Ying Lien
masuk ke ruang kehormatannya, badai pun unjuk gigi. Angin amat kencang
menderu-deru seperti hendak menulikan telinga. Gelombang terus saja tumbuh
membesar. Ayunannya mula-mula hanya menggoyang kapal besar armada Cina itu.
Namun waktu berikutnya, kapal mulai diombang-ambing, terayun kian kemari.
Tamparan demi tamparan gelombang menghantami lambung kapal. Dan ketika ombak
kian menggila, kapal seperti hendak ditelan begitu saja....
2
Apa yang bisa disombongkan
manusia dalam menghadapi amukan alam seperti ini? Apalagi dalam genggaman
gelegak badai samudera? Kecongkakan manusia tak berlaku di sana. Yang ada hanya
rasa waswas atas jangkauan tangantangan pencabut nyawa dari langit....
Begitulah cara Tuhan memperingati makhluknya yang terlalu rakus akan dosa.
Berbeda dengan seluruh
tantangan yang pernah diladeni Pendekar Slebor, tantangan kali ini tampaknya
terlalu berat. Bukan manusia bejat dengan kesaktian hebat yang harus
dihadapinya.
Lebih dari itu, Andika harus
menghadapi ancaman bahaya yang sesungguhnya tidak mungkin ditentang seorang
pun. Badai laut maha dahsyat Begitu dengus sang badai memuncak, ombak pun
menjelma bagai tangan-tangan raksasa yang siap menepak lebur kapal layar milik
Putri Ying Lien. Kini segala kesan kegagahan dan keangkeran angkutan perang
laut itu menjadi tak berarti apa-apa.
Langit kelam tampak makin
matang. Rapat sudah mega gelap membungkusnya. Di antara gerak berduyun
gerombolan awan menyeramkan itu, terus terbersit gencar lidah-lidah petir.
Suasana terpuruk dalam
keriuhan meninggi. Deru angin ribut menyerbu dalam arah simpang-siur, bertarung
dengan gelegar liar guntur pengiring kerjapan kilat. Belum lagi debur sehim-pun
gelombang raksasa yang bergolak. Belum pula debam menggila, ketika lambung
kapal ditanduk ombak.
Sesakti-saktinya manusia,
Andika masih punya selaksa akal cerdik untuk dapat menaklukkannya. Namun dalam
menghadapi amukan alam? Yang paling hebat bisa dilakukannya berdoa dalam
kepasrahan memuncak Alam memang selalu mewakili kehendak Rabbi. Kalau Sang
Penguasa telah berkehendak, daya apa lagi yang bisa diperbuat manusia selain
berdoa dan pasrah? Memang pemuda sakti dari tanah Jawa itu pernah pula
menjajaki kemurkaan alam, dalam tahap penyempurnaan kesaktiannya di Lembah
Kutukan. Kalaupun bisa selamat dari gempuran dahsyat sejuta lidah petir di
sana, semata-mata bukan karena kesaktiannya. Melainkan, Tuhan telah berkehendak
dirinya tetap hidup lalu berjuang menegakkan panji keadilan.
Namun begitu, Andika tahu
pasti kalau tidak boleh menyerah begitu saja pada keadaan.
Ya, dia harus berjuang,
seperti juga yang lain. Ini bukan masalah menentang kehendak Sang Penguasa,
melainkan berusaha mempertahankan nyawa sebagai titipan paling berharga
dari-Nya.
Maka ketika segulung ombak
raksasa menerjang tinggi menggapai langit yang seolah siap menanduk hancur
tiang layar besar kapal, Pendekar Slebor dipaksa menghadapinya.
"Andika Ombak besar itu
akan menghancurkan kapal kita" teriak Chin Liong, yang saat itu sedang
memeras tenaga mengendalikan kemudi bersama Pendekar Slebor.
Tahu kapal akan menjadi lumpuh
tanpa tiang layar, pendekar muda itu segera melepas pegangannya pada badan
kemudi. Sekali bergerak dia telah melompat tangkas menyongsong terjangan ombak.
"Hiaaahhh" Dalam
deru angin yang mengacaukan seluruh pakaian dan rambut, tubuh Pendekar Slebor
melayang deras tak kalah cepat dengan gerak tandukan ombak raksasa. Di udara,
tangannya yang mengepal keras mengejang rapat di sisi dada. Otot-otot di
sekujur tubuhnya bagai berubah menjadi kawat-kawat liat.
Andika memang sedang memompa
tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan dalam tubuhnya, hingga tingkat
kesembilan belas.... Sa-tu tingkatan tenaga sakti yang begitu disegani di
seantero persilatan yang sanggup memporak-porandakan bukit karang Sekejap
selanjutnya....
"Hih" Deb Dari
keadaan rapat di sisi rusuk, tangan pemuda itu mengembang singkat bersama
gemeretak persendiannya. Telapak tangan yang semula terkepal, sekejap membuka.
Saat yang sama, se-himpun kekuatan tenaga dorongan terlepas searah hempasan
tangannya. Tenaga dorongan itu bergerak gagah melebar, siap membuat benteng kasapmata
untuk menahan tandukan ombak Pyuar Sungguh mengagumkan, ternyata ombak raksasa
itu langsung tertahan sebelum sempat merejang tiang kapal. Ubun-ubun gelombang
raksasa itu malah terburai, menjadi cipratan halus, tak kalah halus dengan
bulir-bulir hujan yang saat ini sedang berpesta.
Untuk hasil itu, Pendekar
Slebor tidak luput dari akibat tak ringan. Sesungguhnya pengerahan tenaga sakti
warisan dari buyutnya hingga tingkat kesembilan belas, adalah tindakan amat
berbahaya. Jika tubuhnya saat ini tidak siap di-banjiri tenaga sakti taraf
puncak, maka kekuatan itu malah bisa memakannya sendiri.
Hal yang ditakutkan Pendekar
Slebor memang tak terjadi. Namun, benturan dahsyat antara gelombang raksasa
sebesar gunung dengan sebentuk kekuatan yang tak tanggung-tanggung, tentu saja
sanggup menghempasnya amat jauh ke belakang.
Bagai seorang yang baru saja
tersentak ledakan amat hebat, tubuh pemuda ksatria itu meluncur tajam ke
belakang. Kalau semula ombak yang mengancam tiang kapal, kini justru tubuh
Pendekar Slebor sendiri menjadi ancaman. Luncuran tubuhnya secara tak sengaja
mengarah pada tiang layar....
"Andika" seru Chin
Liong was-was. Digebah kekhawatiran teramat sangat, pemuda Cina yang menjadi
sahabat Pendekar Slebor itu melepas pula pegangan pada kendali kapal. Tubuhnya
menerjang ke muka, menyambut luncuran tubuh Andika.
Memang, bukan tiang kapal yang
dikhawatirkan Chin Liong saat itu. Andika bisa terluka parah akibat benturan
hebat dengan tiang. Itu yang paling ditakutkannya.
"Heaaa" Berangkai
teriakan tertahan Chin Liong, tubuh dua pemuda gagah itu bertumbukan di
angkasa.
Dugh "Akh" Terlalu
besarnya tenaga dorong badan Andika, menyebabkan Chin Liong terhantam meski
sudah mengerahkan sebisanya segenap kecepatan dan tenaga.
Usaha Chin Liong tak berarti
banyak. Karena begitu tubuhnya terbentur, dia pun ikut meluncur menuju tiang
kapal.
Dakh Seketika bokong Chin
Liong terhantam badan tiang layar utama kapal. Dia rupanya rela menjadi tumbal
pengganti yang seharusnya diterima Andika, sahabatnya. Sungguh suatu
pengorbanan seorang ksatria muda sejati bagi sang sahabat Tiang utama kapal
selamat dari keruntuhan. Tenaga dorongan telah melunak, setelah Chin Liong
berusaha menahan luncuran tubuh Andika Namun biar begitu, tetap tak cukup lunak
bagi bokong pemuda Cina ini. Bagian tubuhnya terasakan seperti baru saja
dihajar tiga puluh tangan besar algojo-algojo.
Selang setelah dua pemuda itu
tersuruk di lantai geladak, Chin Liong memuntahkan darah segar. "Kau...,
kau tid-dak apa-ap-pa, Andika?" tanya Chin Liong tersendat.
Masih saja pemuda bermata
sipit ini mengkhawatirkan keadaan sahabatnya, sementara dia sendiri terluka tak
kalah parah.
Andika beringsut bangkit.
Sedang Chin Liong terhimpit di belakangnya. Sambil berpegangan pada tambang
besar jangkar serta memegangi lengan Chin Liong agar tak berombang-ambing
ayunan menggila kapal, Andika berbalik menghadap pada sahabatnya.
"Mestinya aku yang
bertanya begitu padamu, Tolol Kenapa kau jadi begitu bodoh menyambut luncuran
tubuhku? Apa kau sudah begitu kasmaran padaku?" seloroh pemuda urakan ini
masih dengan ringisan sakit di bibirnya.
Agak susah payah, Chin Liong
menanggapi celotehan ngawur sahabatnya dengan senyum rapuh. Dadanya saja masih
terasa remuk. Lantas, bagaimana dia bisa tersenyum lepas? Tapi sungguh mati,
kalau pun begitu rasanya pemuda bermata sipit ini memang harus sedikit geli
dengan perkataan brengsek Andika. Bagaimana bisa pemuda tanah Jawa ini sempat
bergurau dalam keadaan yang demikian genting seperti sekarang? "Kau masih
bisa bangkit atau tetap ngejogrok seperti kakek pikun salah makan?" sembur
Andika lagi.
Chin Liong berusaha bangkit.
Tapi luka yang diderita terlalu parah untuk membuatnya bisa bangkit.
"Ah, sudahlah.... Jangan
kau paksakan Kalau kau paksa-paksa, nanti malah berhembus keluar sesuatu yang
tak diharapkan dari belakangmu" kata Andika lagi, dengan suara tinggi.
Bicara kurang kuat sedikit
saja, suaranya akan tertelan gemuruh badai.
"Kau tidak apa-apa,
Panglima?" tanya seorang prajurit yang bersusah-payah merayap mendekati
tempat Andika dan Chin Liong.
"Sebaiknya, kau bawa
panglimamu masuk Dia harus dirawat segera" tukas Andika, tepat di telinga
si prajurit.
"Apa, Tuan?" tanya
prajurit berkumis tikus itu seraya menaikkan sebelah tangannya ke sisi telinga.
Matanya menyipit. Sudut bibirnya terangkat. Tampaknya, telinganya memang tak
mendengar ucapan Andika barusan.
"Bawa panglimamu masuk?
Dia butuh perawatan?" ulang Andika lebih keras dan lebih dekat ke telinga
prajurit tadi. "Hah? Apa?" Minta tobat Andika menyumpah-nyumpah
sendiri. Ini bukan lagi persoalan gemuruh badai yang menelan suaranya. Ini
pasti perkara kuping si prajurit yang mampet Dasar budek "Bawa
panglimaaamuuu ke dalaaam" ulang Andika sekali lagi. Kali ini dengan mata
melotot Mulut si prajurit yang sudah maju semakin menyorong ke depan.
"Baik-baik, Tuan"
lanjut prajurit ini sambil membantu Chin Liong berdiri.
Sementara badai terus saja
mengamuk.
Kapal layar mereka masih saja
dijadikan bulanbulanan ombak. Sebentar terombang ke sini, sebentar terambing ke
sana. Berkali-kali kendaraan samudera itu oleng begitu curam. Tandukan-tandukan
gencar gelombang setinggi sepuluh kaki, terus saja menghujam lambung kapal.
Untung saja tak ada gelombang
meraksasa seperti yang Andika papaki. Dan untung pula, kapal berusia tua itu
ternyata masih mampu membuktikan keperkasaannya. Tidak karam, meski sudah
demikian dipermainkan.
Para awak kapal yang
bertanggung jawab pada pelayaran, terus berkutat menimba air laut yang berhasil
masuk ke dalam lambung. Sebagian lain menguras tenaga untuk menarik tali kayu
gulungan layar, agar tidak liar bergerak ke mana-mana. Sementara yang lain pun
berjuang dengan tugas lain pula. Pendekar muda tanah Jawa bernama Andika, tetap
bertahan bersama mereka. Sampai suatu ketika, Pendekar Slebor disentak suatu pemandangan
aneh. Di antara gelegak tarian angker ombak raksasa, lamat-lamat terlihat
seseorang bergerak cepat. Gerakannya demikian ringan, seakan sosok itu sedang
berlari-lari di hamparan padang datar saja. Sesaat bayangan orang itu tertelan
gapaian ombak. Dan kala gulungan ombak melandai, sosok itu pun tersingkap
kembali.
Andika mengerjap-ngerjapkan
kelopak mata. Bukan karena tidak jelas melihat sosok itu melainkan kurang yakin
apakah matanya sudah melihat khayalan? Atau, memang benar-benar menyaksikan
peristiwa itu...?
3
"Benarkah aku telah
melihat seseorang bergerak bagai hantu di antara sibakan-sibakan gelombang? Di
antara amukan badai menggila? Di antara menggunungnya ombak yang mungkin
setinggi sekitar sembilan kaki itu?" Pendekar Slebor jadi tak habis pikir.
Sulit baginya untuk percaya. Dan itu sama sulitnya untuk meyakinkan kalau yang
dilihatnya adalah manusia. Siapa tahu, itu hanya hantu laut gentayangan. Kalau
manusia, mau apa sendirian di tengah-tengah memuncaknya kemurkaan alam tanpa
perahu atau sampan kecil sekalipun? Dan, bagaimana pula dia bisa menaklukkan
badai dahsyat seperti mempermainkannya...? Guna meyakinkan penglihatannya,
Pendekar Slebor lantas saja menarik kerah baju seorang awak kapal Kerajaan
Cina. Kerasnya menarik, sampai-sampai mata si prajurit mendelik akibat
tercekik.
"Adha apha, Tuan
Pendehekhar..., ekh" rintih si prajurit mengenaskan.
Mata laki-laki yang meski
bermata sipit itu makin mendelik saja, ketika agak terhuyung karena olengan
kapal. Padahal tangannya masih mencengkeram leher bajunya, lidah si prajurit
naas itu pun mulai menjulur-julur.
"Coba kau perhatikan ke
sana" perintah Andika. Ditunjukkannya alunan gelombang liar jauh di sana.
"Iya-iya, Tuan
Pendekar... Tapi, lepaskan dulu kerah bajuku," pinta prajurit tadi dengan
suara memelas.
Andika sadar. Cepat dilepas
cengkeramannya. "Sekarang kau perhatikan baik-baik. Tadi, aku melihat
seseorang di sana..." lanjut Andika.
Sambil berpegangan pada bibir
geladak karena ngeri ditelan ombak raksasa, prajurit itu menatap mata Andika
tajam-tajam. Sinar matanya diliputi kebingungan yang tak kalah dahsyat dengan
badai saat ini.
"Ah Tuan Pendekar pasti
sedang bergurau" seru prajurit ini keras untuk mengalahkan gemuruh ombak
dan gelegar guntur.
Andika melotot.
"Apa kau melihat
tampangku seperti sedang bercanda?" bentak pendekar muda itu dengan nada
dongkol.
Si prajurit meringis, jadi
serba salah. Mau tidak menuruti, Andika adalah sahabat dekat panglimanya.
Bahkan Tuan Putri junjungannya. Salah-salah, bisa tidak dapat pesangon jika
pensiun nanti. Dan kalau dituruti, dia bisa kelihatan sinting. Masa' di
tengah-tengah amukan ombak segila itu, ada orang? Dan prajurit ini hanya bisa
menggeleng pelan. Pelan sekali, agar Andika tak melihat.
"Jangan melongo Mending
bacotmu bagus kalau sedang bengong begitu" hardik Andika, mendapati si
prajurit masih saja menatapnya serba salah.
"Tapi, Tuan Pendekar....
He-he-he.... Gima-na," "Malah cengengesan lagi" Dengan terpaksa,
akhirnya prajurit itu menuruti juga perintah Andika. Dan biar pun menggerutu
sampai mulutnya berbusa, dia tak akan menang.
"Tapi.... Ya, ampun...
Sementara orang lain kelimpungan, masa' memelototi ombak?" gerutu prajurit
ini lagi dalam hati. Maklum, pendekar sakti di sebelahnya masih mendelik
habishabisan. Masih untung kalau hanya teriak-teriak.
Kalau sampai mengamuk kan bisa
berabe....
Sampai lama prajurit berbibir
mancung itu mengamati arah yang ditunjuk Andika. Namun, tak juga dia
menyaksikan orang yang dimaksud.
Dalam hati, dia semakin yakin
kalau pendekar di sebelahnya sedang sakit mata.
"Tuh, kan Aku bilang juga
apa... Tidak ada, Tuan Pendekar..." tukas prajurit ini membe-ranikan diri,
menyudahi perintah Andika. Matanya memang sudah berkunang-kunang menyaksikan
ayunan ombak tak beraturan yang buasnya minta ampun.
"Aku belum tanya"
bentak Andika.
Wajah lelaki yang dibentak
langsung saja memucat. Sudah perutnya terasa bagai hendak dikuras karena mual,
mendapat bentakan telengas pula. Bagaimana tidak pucat? Sampai akhirnya, Andika
menggeleng.
"Ah, sudahlah Mungkin aku
memang salah lihat" kata Pendekar Slebor keras supaya bisa didengar
prajurit tadi.
Si prajurit lega. Ditariknya
napas dalamdalam. Setelah itu....
"Khoeeekh..."
Prajurit ini muntah di tempat
***
Menjelang pagi hari, badai baru mereda.
Samudera ini bersahabat
kembali. Bila sebelumnya penuh gejolak, kini tenang bagai hamparan kaca
berwarna kebiruan yang disaput warna merah saga dari pantulan ramah mentari
muda. Angin segan-segan berhembus, menciptakan riakriak halus di permukaan
laut.
Benarkah ancaman telah lalu?
Sungguhkah bahaya telah terlintas? Tidak Bagi kapal layar Kerajaan Cina, Laut
Cina Selatan rupanya masih menyiapkan ancaman baru. Ancaman kali ini, bisa saja
menuntut tumbal nyawa dan cucuran darah Belum lagi layar utama ditarik sampai
ke puncak oleh awak yang telah demikian lelah berjuang semalam suntuk....
"Laporkan pada Panglima
Chin Liong Tampaknya, kita akan dihadang kapal perompak" Terdengar
teriakan nakhoda yang berada di menara tiang utama, tentang adanya bahaya baru.
Syaraf para awak yang baru
saja mengendur menjadi tegang kembali. Layar yang belum sempat ditarik ke
puncak tiang, dipaksa lebih cepat mengembang. Entah, bagaimana ancaman seperti
itu seperti memompa kekuatan mereka kembali. Beberapa awak yang menarik tali
layar, mendadak memperlihatkan tenaga mereka kembali. Bersama teriakan-teriakan
berirama, layar berlambang naga itu pun mengembang.
Seorang prajurit segera
memasuki ruang dalam kapal dengan langkah tergesa-gesa. Dan segera dimasukinya
ruang kehormatan. Niatnya hendak menemui Chin Liong. Tapi orang yang dimaksud
tidak ada di sana. Pemuda itu masih berada dalam ruang perawatan dalam
pengawasan tabib istana.
"Ada apa, Prajurit?"
tanya Putri Ying Lien yang saat itu berada di sana. Biarpun buta,
pendengarannya bisa membedakan seseorang dari helaan napas, langkah, atau
gesekan pakaian sekalipun.
Merasa telah membuat terkejut
junjungannya, prajurit tadi segera menghaturkan maaf. "Hamba hendak
melaporkan keadaan darurat pada Panglima, Tuan Putri," lapor prajurit itu.
"Keadaan darurat
apa?" tanya Ying Lien.
"Kita berpapasan dengan
kapal perompak, Tuan Putri." Seketika Putri Ying Lien bangkit dari kursi
kebesarannya. Begitu juga, empat perwira tinggi yang bersamanya.
"Perwira Naga Cepat
laporkan pada Panglima Chin Liong," perintah Ying Lien, lugas dan tegas.
Perwira Naga yang diperintah ragu sejenak.
"Tapi, Tuan Putri....
Apakah tidak sebaiknya jika Panglima tidak diberitahu?" tutur Perwira
Naga, ragu.
"Kenapa?" Ying Lien
melengak. Kembali lelaki yang berjuluk Perwira Naga itu ragu.
"Mohon maaf, Tuan
Putri.... Sebenarnya hamba diperintah panglima agar merahasiakan hal ini,"
ucap Perwira Naga berusaha mengelak dari pertanyaan Ying Lien.
Setelah menimbang sejenak,
Perwira Naga cepat memberitahukan tentang keadaan Chin Liong kepada
junjungannya. Pada saat-saat genting seperti itu, keputusan yang lambat akan
sangat berbahaya.
"Semalam ketika terjadi
badai, Panglima Chin Liong mendapat cedera, Tuan Putri," lanjut Perwira
Naga, memberitahukan.
Ying Lien menggeleng-geleng.
Dia tahu maksud Chin Liong. Pemuda yang sudah seperti saudara kandungnya itu
tentu tak ingin membuatnya khawatir.
"Sekarang beliau ada di
ruang perawatan, Tuan Putri," tambah Perwira Naga cepat.
"Kalau begitu, jangan
beritahu dia," putus Ying Lien. "Dan sebaiknya, kita cepat keluar
kalau tak ingin didahului kawanan perompak itu" Lalu mereka semua keluar
tergesa. "Seberapa jauh jarak mereka dengan kapal kita, Andika?"
tanya Ying Lien pada Pendekar Slebor di atas geladak.
Pendekar muda tanah Jawa itu
sedang berdiri waspada, memperhatikan kapal layar besar dikejauhan.
"Cukup jauh. Aku sendiri
belum jelas melihat lambang di layar kapal itu," sahut Pendekar Slebor,
tanpa menoleh.
"Nakhoda" panggil
Ying Lien. Tangannya memberi isyarat kecil, meminta nakhoda membe-rikan
teropong.
Teropong berpindah tangan.
Dari nakhoda ke Ying Lien yang segera diteruskan pada Andika.
"Coba kau perhatikan,
lambang apa yang ada di layar kapal itu," pinta Ying Lien pada Andika.
Sementara Andika sibuk
mengintai dari lubang teropong dengan satu mata menyipit, awak kapal yang lain
menanti tegang. Tak satu pun yang berhasrat buka suara.
"Ular kepala
dua...," kata Andika dengan teropong masih menempel.
"Apa?" usik Ying
Lien. Pendekar Slebor menurunkan teropong.
"Lambang pada layar kapal
itu bergambar ular berkepala dua," ulang Andika, menegaskan.
Wajah beberapa prajurit
langsung berubah, demi mendengar Andika menyebutkan lambang kapal yang
dimaksud. Mereka sebenarnya para prajurit pilihan yang keberaniannya tak
diragukan lagi. Namun tak urung hati mereka bergetar mengetahui akan berhadapan
dengan....
"Ular Laut Kepala
Kembar...," gumam Perwira Naga yang berdiri tepat di belakang Andika.
"Benar, Perwira,"
sela nakhoda. "Semula aku pun tak percaya akan berhadapan dengan kawanan
perompak yang paling ditakuti di Laut Cina Selatan ini, ketika melihat dari
teropong di menara." Perwira Naga menatap Ying Lien, menunggu keputusan
junjungannya.
"Apa masih mungkin bagi
kita untuk menghindar?" tanya Ying Lien.
Seperti juga Chin Liong, Ying
Lien lebih mengkhawatirkan keselamatan penumpang kapalnya. "Sudah tak
mungkin, Tuan Putri," jawab nakhoda. "Arah angin tak mengizinkan kita
untuk menghindar. Lagi pula, jarak antara kapal kita dengan kapal perompak
sudah terbilang dekat..." "Hei? Apa tak ada di antara kalian yang mau
cerita padaku, ada apa ini sebenarnya? Kenapa kalian jadi demikian kaku? Apa di
kapal ini ada upacara mengheningkan cipta untuk menghadapi perompak?"
cerocos Andika, seenaknya.
Maklum saja bila Pendekar
Slebor berbicara seperti itu. Sebab dia belum pernah mendengar kabar angin
tentang nama menggetarkan kawanan perampok Ular Laut Kepala Kembar.
Empat perwira di dekat Andika
saling menatap. Satu sama lain saling menimbang, siapa di antara mereka yang
akan menceritakan tentang kawanan perompak paling ditakuti diseantero Laut Cina
Selatan "Biar aku yang menceritakan pada Tuan Pendekar," cetus
seorang perwira berbadan tinggi besar. Maka, mulailah lelaki itu menuturkan
ceri-tanya. Singkat dan padat.
***
Dalam bentangan maha luas Laut Cina Selatan,
di antara pergantian kemurkaannya serta kejinakannya, puluhan kapal perompak
berkeliaran. Masing-masing menjadi penguasa di wilayah perairan tertentu.
Bagi kapal-kapal dagang, Laut
Cina Selatan dianggap amat rawan. Bahkan menjadi momok para pelaut yang sudah
mengarungi tujuh samudera sekalipun. Karena setiap saat, bisa saja di-jegal
kapal-kapal perompak.
Amat santer kekejian dan
ketelengasan para perompak Laut Cina Selatan. Berkali-kali telah terjadi
pembantaian besar-besaran terhadap awak kapal dagang yang mencoba
mempertahankan harta dari jarahan. Dan bila sudah terlibat perang laut,
biasanya perompak-perompak Laut Cina Selatan tak akan sudi membiarkan hidup
korbannya barang seorangpun. Setiap korban akan mengalami nasib demikian. Mati
dengan dada terbelah, leher terpenggal, atau tubuh direjang puluhan tombak.
Di antara semua kapal
perompak, Ular Laut Kepala Kembar yang paling ditakuti. Mereka kawanan perompak
terkeji di antara yang keji.
Terkejam di antara yang kejam.
Dan, terbiadab di antara yang biadab....
Kapal layar penyamun itu
selalu terlihat seperti hantu laut. Tepatnya, seperti istana hantu laut. Kalau
ada nakhoda yang melihatnya untuk pertama kali, maka pasti akan mengira kalau
kapal itu adalah kapal mati yang terkatungkatung di lautan lepas. Layarnya
masih tetap membentang, namun sudah kusam, penuh koyakan di sana-sini. Lambung
kapal pun sudah ditumbuhi tumbuhan laut, serta gumpalan karang tak terawat.
Tepi geladak pada beberapa bagian sudah terpatah-patah. Pondok di atas geladak
diselimuti kabang-kabang dan sarang laba-laba.
Warna kapal itu muram,
menyiratkan kebisuan menggidikkan. Dan yang paling khas dari semua itu, kapal
Ular Laut Kepala Kembar menebarkan bau bangkai menusuk yang merebak sampai amat
jauh Sehingga, membuat setiap orang yang baru pertama kali melihat menjadi
semakin yakin kalau kapal itu adalah kapal mati.
Namun yang lebih ganjil adalah
awak kapalnya. Kapal sebesar dan seangker itu, nyatanya hanya ditempati tiga
penghuni. Semuanya ganjil.
Semuanya sulit dimengerti.
Orang pertama, dipanggil Ular
Merah. Disebut begitu, karena seluruh kulitnya berwarna merah. Wajahnya buruk,
sekaligus menjijikkan.
Hidungnya besar dan membengkok
ke kiri. Dari lubangnya selalu keluar lamban lendir yang tak pernah dibuangnya.
Tidak juga dibersihkan. Warna hijau kekuningan lendir dari hidungnya makin
jelas terlihat, karena warna merah kulitnya. Mulutnya lebar ke samping. Sedang
matanya begitu cekung. Apalagi dengan kening yang terlalu membengkak.
Yang kedua, berjuluk Ular
Belang. Kalau melihat kulitnya yang juga berwarna tak karuan, julukan Ular
Belang memang pantas untuknya.
Dibanding Ular Merah, orang
satu ini bertubuh lebih kecil. Matanya picak dengan muka lebar. Di dahinya ada
gambar ular yang memanjang hingga ke ubun-ubun kepalanya yang botak.
Yang terakhir adalah si
Manusia Ular. Sulit sekali orang melihatnya. Dia terlalu tersembunyi, karena
selalu tak bersama dua lelaki lainnya.
Bahkan tak seorang pun tahu,
bagaimana rupa si Manusia Ular. Baik penampilan, atau suaranya. * * * Andika
selesai mendengarkan penuturan perwira di dekatnya. Belum. Cerita belum lagi
selesai. Bagi si perwira, masih teramat banyak cerita tentang sekawanan
perompak Ular Laut Kepala Kembar. Kalaupun penuturannya mesti terpenggal,
karena kapal penyamun yang dimaksud sudah kian dekat.
Diiringi gumpalan kabut tebal
seputih kapas pembalut mayat, kapal Ular Laut Kepala Kembar terus mendekati.
Bentuknya bertambah jelas. Sementara saat ini angin seperti mati. Tak ada
hembusan yang membuat kapal layar itu bergerak lebih cepat. Suasana makin penuh
kengerian, dalam laju lamban kabut.
Di kapal Kerajaan Cina,
seluruh awak mematung tegang. Kalau bisa, napas pun mungkin akan ditahan. Bagi
hampir seluruh awak dari Kerajaan Cina, kapal perompak Ular Laut Kepala Kembar
tak beda istana hantu laut. Banyak desas-desus santer tentangnya. Tentang
kekuatan aneh yang menyelubunginya. Tentang si Manusia Ular yang tak terlihat,
yang sebenarnya sosok ka-satmata yang belum jelas bentuknya. Tentang
suara-suara seram dan jeritan dari dalam kapal.
Tentang....
"Kunyuk Ini kapal orang,
apa kapal setan...?.'" rutuk Andika, memecah ketegangan. Ba-rangkali hanya
Pendekar Slebor satu-satunya orang di atas geladak yang masih saja acuh.
Sebenarnya, Andika pun merasa
merinding. Tapi yang namanya Pendekar Slebor, paling benci kalau dirinya
dikuasai perasaan-perasaan tak menentu seperti itu. Gerutuan tadi tentu saja
sekadar untuk mengusir ketegangan yang mengepung dirinya sedemikian rupa.
Yang lain seperti tidak
menanggapi gerutuan ngawurnya. Mereka masih terpaku pada kapal Ular Laut Kepala
Kembar.
"Yang Mulia Tuan Putri,
tampaknya kita kedatangan tamu lain," lapor seorang prajurit, ti-ba-tiba.
Ying Lien cepat menoleh.
"Apa maksudmu?"
Prajurit tadi berbalik lalu menunjuk ke belakang kapal. Jauh di sana, sudah
terlihat sekitar lima belas kapal layar lain. Semuanya bergerak pada arah yang
lama..., kapal Kerajaan Cina "Siapa mereka?" tanya Perwira Naga,
terpancing.
"Menurut pengamatan
hamba, mereka semua para perompak Laut Cina Selatan..,?" "Gila
Bagaimana mereka bisa berada di sini pada saat yang sama?" maki perwira
lain.
"Dan, tampaknya mereka
menginginkan kita...," tambah Perwira Naga, mendesis. "Entah
kenapa...?"
4 Ketegangan memuncak,
manakala dari belakang kapal Kerajaan Cina sekitar lima belas kapal perompak
lain mulai membentuk pagar melingkar. Dalam jarak seratus depa, armada penyamun
samudera itu mengepung.
Tak ada lagi jalan lolos.
Hanya ada satu pilihan bagi seluruh awak kapal Kerajaan Cina, yakni menghadapi
mereka Paling tidak, bertahan untuk tidak dibantai. Berjuang untuk harapan
hidup yang begitu tipis. Seperti seekor banteng menghadapi belasan singa lapar.
Sementara, Pendekar Dungu,
sudah muncul dari pintu lambung kapal. Geraknya lamban.
Matanya yang sayu, masih
dibebani tahi mata sebesar ujung kelingking. Seraya menggeliat seperti seekor
ular kadut tua yang baru saja terjaga dari tidur panjangnya, si keropos itu
menguap lebar-lebar seperti hendak menghirup seluruh udara di atas samudera.
"Huaaahhhkkkhhh..?"
Ksatria lapuk ini melangkah terseret. Dengan malas-malas matanya dikucek. Usai
menguap sekali lagi, dia mulai cengar-cengir.
"Hm... nyam-nyam-nyam....
Ada apa ini? Banyak kapal ngumpul, ya? Siapa yang sunatan...?" Gumaman
Pendekar Dungu berubah menjadi makian tak kentara, ketika....
"Apakah kalian
orang-orang Kerajaan Cina?" Mendadak, dari salah satu kapal penyamun
terlontar teriakan membahana.
"Kualat kau Sialan Aku
orang tua Jantungku sudah soak Jadi jangan berteriak-teriak seenaknya"
bentak Pendekar Dungu. Kaget bukan main lelaki keropos ini. Sampai-sampai
merasa perlu mengurut dada kerempengnya.
"Hoiii Kalian tuli semua?
Aku bertanya, apakah kalian orang-orang Kerajaan Cina?" Dari seberang
sana, seorang pemimpin penyamun yang tak mendapatkan jawaban mengulang teriakannya.
Kali ini dibumbui kata-kata kasar. Andika jadi mengkelap juga, mendengar
kekasaran barusan.
"Bukan Kami orang-orang
dari kerajaan antah berantah" sahut Pendekar Slebor, diawali dengusan
kesal.
"Jangan main-main dengan
kami" Terlempar kembali seruan berang dari satu kapal. Tepatnya dari mulut
seorang kepala penyamun berkepala klimis. Brewok kasar memenuhi dahunya yang
berbentuk persegi. Wajahnya tak kalah jelek dengan orang-orang paling jelek.
Apalagi, juga dipenuhi
sayatan-sayatan melebar.; Pakaian hitam-hitam besar menutupi tubuhnya yang
besar. Lelaki berpenampilan garang itu berdiri di antara jajaran anak buahnya
di tepi kapal.
Di kapal lain, para perompak
yang berjumlah puluhan pun berdiri di pinggiran kapal masing-masing. Tak ada
satu pun dari mereka yang memperlihatkan kelengahan. Seluruhnya siap dengan
senjata di genggaman.
Suasana memang semakin
membara. "Siapa yang berkoar-koar tak sopan itu? Tunjuk tangan" sela
Pendekar Dungu sewot.
Kemudian kepala lelaki berotak
bebal itu menoleh pada Andika.
"Hey..., hey Siapa
namamu?" tanya Pendekar Dungu dengan jari ditempelkan ke kening.
Andika menoleh kecil.
"Bilang sama orang yang
berkoar tadi Kalau tak berhenti berteriak, dia akan ku.... Akan ku..., akan
kuapakan, ya? Buju buneng Padahal, tadi aku ingat akan kuapakan dia" oceh
Pendekar Dungu.
"Bagaimana kalau kita
jewer telinganya, Pak Tua?" ledek Andika, menanggapi kesewotan Pendekar
Dungu.
"Jangan Lebih seru, kalau
disunat saja" "Ha-ha-ha" Andika kontan tergelak.
"He-he-he" Pendekar
Dungu menimpali dengan kekehan jeleknya.
"Atau kita cabuti bulu
anunya, eh Maksudku, bulu keteknya" "Hie-he-he...."
"Hush" Hanya dua lelaki beda usia itu yang tampak meriah sendiri. Ya,
hanya mereka. Sementara, yang lain hanya memperhatikan dengan pandangan
bingung. Apanya yang lucu dalam suasana setegang ini? Pikir awak kapal dari
Kerajaan Cina itu.
Selagi Andika dan Pendekar
Dungu ramai dengan tawa mereka, mendadak saja merebak lengking ganjil dari
kapal Ular Laut Kepala Kembar. Tak cukup disebut mirip jeritan, tak juga suara
dengking binatang.
Terdengar pendek saja
lengkingan itu mendesak udara. Tapi, cukup melabrak setiap telinga.
"Aaa..."
"Aaakh..." Ibarat malaikat maut yang menjelma dalam bentuk suara,
beberapa orang di atas kapal berbeda langsung memekik kesakitan. Mereka
mendekap telinga rapat-rapat. Sedang sebagian yang lain langsung menemui ajal.
Tubuh mereka tersentak sekejap, seakan dialiri tegangan amat tinggi. Dari
lubang telinga tak henti-hentinya mengalir darah meski tubuh mereka sudah bergelimpangan
Korban di kapal Kerajaan Cina milik Ying Lien jatuh empat orang. Semuanya
prajurit. Andi-ka yang tak siap akan serangan ini tak sempat melindungi para
prajurit malang itu. Kalau saja bisa lebih cepat sedikit saja memapaki kekuatan
suara barusan lewat tenaga saktinya di udara, tentu mereka tak perlu menjadi
korban.
Pendekar Slebor sendiri harus
menutup pendengarannya rapat-rapat dengan tangannya, itu pun ditambah pula
dengan pengerahan hawa murni dari dalam. Sedikit terlambat saja, gendang
telinganya bisa pecah Begitu juga Ying Lien, empat perwira Cina, dan beberapa
orang lain yang cukup memiliki tenaga dalam tinggi. Bahkan Pendekar Dungu yang
tergolong tokoh kawakan.
"Jin botak mana yang
nekat main-main denganku?" sentak Pendekar Slebor kalap dan agak pongah.
Kulit mukanya memerah pertanda kegusaran hebat.
"Jadi itu tadi suara jin
botak, ya?" tanya Pendekar Dungu, lugu. Mata lelaki keropos ini membesar
seperti uang gobangan. Mungkin sudah banyak jin yang dilihatnya sepanjang umur
yang demikian uzur. Tapi kalau jin botak? "Ih Kupikir tadi itu suara
kentutmu, Anak Muda...," tambah si tua bangka lagi, pada Andika.
Pendekar Slebor seperti tak
peduli pada ketololan Pendekar Dungu. Mata anak muda ini jelalatan mengawasi
kapal Ular Laut Kepala Kembar yang melintang di depan kapal Kerajaan Cina.
Belum ada sedikit pun
tanda-tanda kehidupan di sana. Tak ada seorang pun yang terlihat. Bahkan seekor
nyamuk pun Jadi, itu tadi suara apa? Atau suara siapa? "Hoi... Siapa pun
kau, yang telah berteriak sembarangan Tampakkan dirimu Apa kau punya wajah yang
terlalu jelek, hingga malu memperlihatkan?" pancing Andika.
Belum juga ada perubahan.
Andika mulai merasa
dipermainkan.
"Ini tak bisa
didiamkan" rutuk Pendekar Slebor seperti bicara sendiri.
"Sudah ada korban yang
jatuh. Aku tak bisa mendiamkan begitu saja...." Kemudian Pendekar Slebor
beranjak dari tempatnya.
"Apa yang kau ingin
lakukan, Andika?" tanya Ying Lien ketika mendengar langkah kaki Andika.
"Kau lihat saja nanti.
Kita akan tahu, apakah penghuni kapal itu benar-benar punya nyali untuk
berhadapan denganku secara ksatria" "Jadi kau ingin memasuki kapal
itu, Andika?" tebak Ying Lien.
Andika tak menjawab. Terus
saja kakinya melangkah ke hidung kapal layar.
"Andika Ada apa ini?
Kenapa aku tak diberitahu sama sekali?" Mendadak saja Chin Liong muncul
dari pintu lambung kapal. Di belakangnya, dua prajurit dan seorang tabib Cina
tua tergesa-gesa men-gekorinya.
Andika menoleh. Tak disangka
Chin Liong sudah tampak membaik.
"Maaf, Putri.... Aku
sudah berusaha menahan Panglima Chin Liong agar tidak keluar dari kamarnya.
Tapi...," lapor seorang prajurit yang mengikuti Chin Liong keluar dengan
suara terputus. Namun, kata-kata itu segera disambut acungan tangan oleh Ying
Lien.
"Tidak apa-apa,"
kata Ying Lien.
"Aku mendengar suara aneh
memekakkan tadi. Itu sebabnya aku merasa harus keluar.
Lengkingan tadi bukan suara
main-main. Itu serangan hebat yang hanya bisa diberitahu?" cecar Chin
Liong lagi Pemuda bermata sipit ini merasa telah diacuhkan demikian rupa. Padahal,
selaku panglima kerajaan, dia yang paling berwenang dalam mengatasi angkatan
perang dan putrinya.
"Aku sengaja tak
memberitahukanmu, setelah mengetahui kau mengalami luka cukup parah saat
terjadi badai," sahut Ying Lien, memberi alasan. "Kau menganggapku
begitu lemah?" sengit Chin Liong, setengah berbisik.
Sekali lagi, Chin Liong harus
tetap menjaga kehormatan putrinya yang sesungguhnya sudah seperti saudara
kandung sendiri.
"Aku tidak bermaksud
begitu," kilah Ying Lien tetap tenang.
"Tapi...." Chin
Liong masih ingin bersikeras. Sungguh mati hatinya tersinggung dengan perlakuan
terhadap dirinya. Mana tanggung jawabnya sebagai seorang panglima kalau tak
berada paling depan, saat keadaan darurat seperti sekarang? Apalagi ketika
melihat dengan mata kepala sendiri kapal-kapal perompak telah mengurung kapal
mereka. Dan satu lagi, kapal Ular Laut Kepala Kembar benar-benar memaksanya
terkesiap.
"Putri, Tuan Andika
melompat ke laut.
Tampaknya dia ingin menyatroni
kapal Ular Laut Kepala Kembar" Pertengkaran kecil dua anak muda
berpengaruh dari Kerajaan Cina itu terpenggal laporan Perwira Naga.
"Apa?" Ying Lien dan Chin Liong berseru berbarengan.
Mereka berdua sudah kenal baik
Andika sejak lama. Pemuda itu pula yang telah membantu penumpasan pemberontak
yang merongrong Kerajaan Cina, yang hendak direbut dari tangan ayah Ying Lien.
Dan Pendekar Slebor sudah bagai pahlawan bagi keduanya. Khususnya, pahlawan di
hati (Untuk lebih jelasnya, baca episode: "Pengejaran Ke Cina").
Mereka juga cukup tahu,
bagaimana sifat Pendekar Slebor. Ya, keras kepalanya. Ya, keacuhannya. Bahkan
urakannya. Termasuk, kenekatannya yang kelewat batas.
Tapi yang akan disatroninya
sekarang adalah kapal Ular Laut Kepala Kembar Satu-satunya cerita menggidikkan
yang bertahan selama puluhan tahun menggerayangi kawasan Laut Cina Selatan
"Aku tak percaya ini," desis Chin Liong.
"Dulu, dia menantang
terang-terangan Empat Penguasa Penjuru Angin yang menguasai napas dunia
persilatan Daratan Cina. Kini, dia hendak mendatangi sarang manusia setengah
siluman di kapal itu?" Chin Liong jadi bergidik menyadari betapa nekatnya
Pendekar Slebor. Sewaktu menghadapi Empat Penguasa Penjuru Angin, Pendekar
Slebor bertarung di daratan. Dan kalau sekarang, pemuda ini berada di atas
wilayah kekuasaan Ular Laut Kepala Kembar. Padahal, segenap kekuatan gelap
dasar laut sahabatnya membentengi kapal hantu itu. "Apa yang harus kita
lakukan, Chin Liong?" tanya Ying Lien tertekan.
Wanita ini berusaha menguasai
perasaan kacaunya. Jangan tanya, bagaimana khawatirnya Ying Lien terhadap
pemuda yang telah menanam benih cinta teramat dalam pada relung batinnya.
Pandangan seluruh awak kapal
Kerajaan Cina kini terpusat pada tubuh Andika. Tak hanya mereka. Namun, ratusan
pasang mata lain dari kapal-kapal perompak pun mengawasi dengan takjub. Sedang
anak muda yang menjadi pusat perhatian meluncur mantap namun pasti, di atas
kain pusaka bercorak caturnya. Dengan tangan bersilang di dada, tubuhnya
mendekati tujuan perlahan. Entah, bagaimana caranya Pendekar Slebor membuat
kain pusakanya meluncur di permukaan laut seperti itu, Bagi para perompak,
kapal Ular Laut Kepala Kembar tak sekadar kapal penyamun. Penghuninya adalah
penguasa Laut Cina Selatan yang diliputi teka-teki tak pernah tersingkapkan.
Mereka adalah orang-orang yang sulit diterka maksudnya. Manusia-manusia yang
sudah dianggap setengah siluman Sewaktu hendak mengepung armada Cina, para
penyamun dari kapal-kapal lain itu sebenarnya dibuat terkesiap menyaksikan ada
kapal Ular Laut Kepala Kembar telah menghadang di depan. Itu sebabnya, sejak
semula mereka hanya berani mengepung kapal armada Cina tanpa berniat melakukan
tindakan lebih lanjut.
"Aku...," Chin Liong
kehabisan kata. "Jelasnya, Andika dalam ancaman maut Dan aku tak ingin
membiarkannya berjuang sendiri menghadapi mereka" "Kau tidak akan
menyusul Andika, bukan?" tanya Ying Lien ragu.
Chin Liong menggeleng.
Wajahnya kaku, berusaha membunuh rasa ngeri yang menyeruak di dalam dirinya.
"Aku memang akan
menyusulnya," tandas pemuda Cina itu.
5
Selama hidup, Chin Liong tak
pernah menyangka akan mengalami pengalaman sehebat sekaligus mendebarkan
seperti pernah dialaminya bersama Andika. Dengan kali ini, berarti dia dua kali
sudah berurusan dengan tokoh-tokoh berke-saktian tak terukur. Semuanya selalu
pada saat bersama pendekar muda besar adat itu.
Apa ini semacam keberuntungan
yang dibawa Andika, atau malah kesialan? Chin Liong tidak tahu. Bahkan tidak
mau tahu. Yang jelas, sekarang dia harus bersiap-siap menghadapi maut.
Kemungkinan dirinya akan tewas
pasti sangat besar meskipun bersama seorang pendekar muda besar yang bukan
hanya kesaktiannya yang dapat diandalkan, tapi juga kecerdikannya.
"Andika, tunggu"
teriak Chin Liong, seraya melompat ke permukaan laut yang beriak kecil
memainkan ketegangan yang terus saja berkecamuk. Andika dipaksa menoleh ke
belakang. Sudah pasti kenal betul suara yang memanggilnya.
Dan dia pun tahu pasti keadaan
Chin Liong saat ini. Pasti sahabatnya itu masih belum siap bertarung. Apalagi,
ini menyangkut pertarungan luar biasa. Padahal kemarin malam Chin Liong baru
saja terluka cukup parah.
"Hey? Aku tak pernah
menyuruhmu menjadi sinting seperti aku" bentak Andika ketika melihat
sahabatnya mendarat pada perahu kecil yang sebelumnya telah diturunkan dua
orang prajurit dari sisi kapal. "Apa yang kau ingin lakukan?"
Urat-urat leher Pendekar Slebor sampai menyembul keluar, karena terlalu keras
berteriak.
Sedangkan Chin Liong sendiri
tak ingin menanggapi teriakan-teriakan Andika. Dikayuhnya perahu, sambil
berdiri. Dia bukanlah tokoh macam Andika yang mampu memanfaatkan benda-benda
ringan untuk mengapung di atas permukaan air.
Namun, jangan pernah
meremehkan keberaniannya. Perahu Chin Liong telah tersampir pedang pusaka
terhebat dari Daratan Cina. Pedang Pusaka Langit Mungkin hanya itu satu-satunya
andalannya, selain harapan takdir dari Yang Maha Kuasa. Dengan Pedang Pusaka
Langit, pemuda Cina ini mampu meningkatkan kekuatan tenaga dalamnya hingga
sepuluh kali lebih kuat. Sementara pedang itu sendiri memiliki ketajaman
melebihi logam-logam terunggul dari perut bumi. Tebasannya akan berbentuk sinar
berwarna merah bata, mengandung tenaga panas dari batuan bintang luar angkasa.
Dan jika ditebaskan pada baja, ma-ka niscaya sasarannya akan mudah terpotong
layaknya lilin terbabat potongan besi membara (Baca kisah pedang pusaka ini
dalam episode: "Pusaka Langit" dan "Pengejaran Ke Cina").
"Aku tanya, apa yang
hendak kau lakukan?" ulang Andika sengit.
Karena dikayuh lewat
pengerahan tenaga dalam, perahu Chin Liong pun melaju cepat menyusul.
"Kau lihat, aku seperti
hendak melakukan apa?" kata Chin Liong balik bertanya, menanggapi
pertanyaan dongkol Andika.
"Sial Kau kan masih
terluka dalam?" "Bukan alasan buatku untuk mundur" "Tapi,
aku tidak mau kau mampus secara konyol di kapal itu, tahu?" "Aku akan
mati sebagai pahlawan di sana" timpal Chin Liong, terhadap kekasaran
Andika.
Dia tampaknya terpancing.
"Kau mau kembali, apa
tidak?" "Tidak Sekali maju ke medan laga, aku tak berniat
mundur" "Mau, apa tidak?" "Jangan memaksaku, Andika"
"Jadi, kau tak mau kembali?" "Tidak" "Yaaa,
sudah...."' Andika meluncur lagi acuh tak acuh, seperti tak pernah terjadi
apa-apa. Di lain sisi, Chin Liong masih terengah-engah mengatur napas. Hatinya
gusar bukan main. Kalau tengkorak kepalanya dari kerupuk, sudah pasti
ubun-ubunnya akan dibobol aliran darahnya Tak ada lagi tarikan napas, Andika
sudah tiba dekat sisi lambung kapal Ular Laut Kepala Kembar. Tanpa suara
berarti, tubuhnya melompat manis ke atas kapal seraya menyambar kain pusakanya.
Tep Ringan sekali pagar kapal dijadikan Andika sebagai tempat berpijak. Sambil
menunggu Chin Liong tiba, dipasangnya kuda-kuda waspada. Matanya berkeliaran
mengawasi setiap sudut kapal.
Masih tetap bisu seperti
sebelumnya. Debu di lantai geladak, pecahan-pecahan papan kapal, kabang-kabang,
sarang laba-laba, tulang-tulang berserakan, noda-noda darah mengering.... Kapal
itu benar-benar tak bedanya kapal hantu Tak begitu lama, Chin Liong tiba pula
di sisi yang sama. Lelaki sipit berwajah tampan ini melompat ringan ke sisi
Andika berdiri.
"Kau menemukan
sesuatu?" tanya Chin Liong, tanpa menoleh.
Seperti dituntun naluri
kependekaran dalam dirinya, mata pemuda itu turut berkeliaran ke segenap sudut
kapal.
Andika menggeleng. "Belum
ada satu kecoak pun kulihat," sahut Pendekar Slebor seenak dengkul.
"Apakah kita akan masuk
ke dalam kapal?" tanya Chin Liong, meminta pendapat.
Andika seperti belum kenyang
membuat Chin Liong gusar. Maka tanpa menjawab, dia sudah melompat menuju pintu
ruang dalam kapal.
Sementara dalam hati, Chin
Liong menyumpah-nyumpah. Lalu segera disusulnya Andika.
* * * Ada satu keganjilan
dirasakan para awak kapal armada Kerajaan Cina. Ketika itu, mereka sedang
menanti tegang Andika dan Chin Liong yang memasuki kapal Ular Laut Kepala
Kembar.
Dan kini dari kejauhan, salah
seorang awak melaporkan adanya kapal baru yang terlihat.
Salah seorang perwira kemudian
mengawasi melalui teropong. Dikira ada satu kapal perompak lagi yang muncul.
Kalau benar, maka harapan untuk lolos akan semakin tipis. Ternyata, dugaannya
meleset. Menurut pengamatannya, kapal itu ternyata adalah armada dagang dari
Gujarat. Anehnya, tak ada satu kapal perompak pun berminat menghadangnya.
Padahal, mereka bisa mengejarnya. Mengingat, kapal dari Gujarat itu berukuran
lebih kecil dari kapal-kapal mereka.
Apa mungkin karena ukuran
kapal itu tak mengundang selera? Tidak mungkin Para perompak itu tentu lebih
tahu, ada lebih banyak benda-benda berharga yang bisa didapatkan di sebuah
kapal dagang, biarpun ukurannya tak seberapa besar. "Lalu, kenapa mereka
tak menggubris?" bisik perwira yang masih memegang teropong.
Sampai kapal dagang Gujarat
itu menjauh, seluruh kapal-kapal perompak di sekeliling kapal Kerajaan Cina itu
tetap tak beranjak.
"Benar-benar aneh,"
tanggap Ying Lien, mendengar laporan perwira tadi. "Sepertinya mereka
semua mengincar sesuatu di kapal kita...." "Sesuatu yang sama-sama
diinginkan," timpal Perwira Naga.
"Tapi, apa? Kita tak
membawa emas permata dalam perjalanan ini," tukas perwira lain.
"Apa kita tidak tahu
sesuatu yang mereka ketahui?" gumam Ying Lien, bertanya.
"Bagaimana, Putri?"
tanya Perwira Naga.
"Entahlah. Aku sulit
membaca maksud mereka...." "Ya, terlalu sulit. Pada dasarnya, kita
tak memiliki apa-apa untuk dibegal. Lalu apa lagi yang mereka inginkan?"
desis Perwira Naga.
***
Sementara itu, Andika sudah mulai menapaki
anak tangga menuju ruang dalam kapal Ular Laut Kepala Kembar. Suasana makin
menegang.
Degup jantungnya kian berdetak
lebih kencang.
Memasuki lambung kapal,
kelengangan meringkus. Tak ada selintas bunyi apa pun. Sampaisampai, detak
jantung Andika dapat terdengar.
Agar tak melahirkan bunyi
mencurigakan, sengaja pendekar muda ini mengerahkan ilmu meringankan tubuh
sampai tingkat tertentu.
Langkahnya menjadi demikian
tinggi, tak akan melahirkan derit pada kayu keropos apa pun.
Beberapa anak tangga
terlewati. Tubuhnya sudah masuk sepenuhnya ke perut kapal penuh teka-teki ini.
Di belakangnya, Chin Liong menyusul. Ksatria Kerajaan Cina ini memang tak
sehebat Pendekar Slebor dalam menguasai berat tubuhnya. Namun, dia masih cukup
mampu berjalan tanpa suara.
Keadaan di dalam sana
remang-remang.
Nyaris gelap. Bau menusuk
hidung langsung menguak hidung mereka berdua. Bau bangkai yang menebar, membuat
perut Andika dan Chin Liong sampai terasa diaduk-aduk. Mereka pasti muntah,
kalau tak segera mengatur napas.
Ketika Andika menjejakkan kaki
pada dasar ruangan, tiba-tiba saja bau bangkai busuk memupus. Selanjutnya,
digantikan bau yang tak kalah menusuk. Sulit dipastikan, bau apa itu.
Yang jelas, Chin Liong sampai
tak bisa bertahan dari serangan memuakkan ini.
Segera pemuda sipit itu
memburu keluar.
Di luar, isi perutnya langsung
dimuntahkan.
Andika sendiri berusaha
bertahan. Bukannya Pendekar Slebor tak merasakan hal yang sama seperti dialami
Chin Liong. Hanya untuk hal bebauan, nampaknya Andika punya kelebihan.
Dulu, dia memang gelandangan
kotapraja yang sudah bersahabat akrab dengan segala jenis bau busuk. Entah bau
kotoran parit kotapraja, atau bau ketiak setan belang Dengan sedikit pengaturan
napas dan penyaluran hawa murni dalam paru-parunya, Pendekar Slebor akhirnya
bisa mengenyahkan rasa mual. Namun belum lagi lega, satu bayangan berkelebat
melintas amat cepat di hadapannya. Andika terkesiap. Kuda-kuda siap tempur yang
sejak semula dipersiapkan, segera dibentuk menjadi jurus pertahanan. Dan....
Wrrrsss Apa gerangan yang
terjadi? Andika belum bisa memastikannya. Dia sendiri sama sekali belum
merasakan ada serangan. Telinganya hanya mendengar desisan sember dari arah
kelebatan bayangan tadi.
Sampai akhirnya....
6
Mendadak pandangan Pendekar
Slebor
menjadi pekat sama sekali,
tanpa dapat melihat apa-apa. Tak juga berkas sinar sekedip pun. Tak pula
disadari, apa yang terjadi sesungguhnya.
Sampai penglihatannya kembali
jelas dengan tiba-tiba, bersama rasa pedih di wajahnya.
Saat itulah Andika dengan
jelas melihat kembali kelebatan bayangan tadi. Sosok itu bukanlah seseorang,
tapi seekor kelelawar besar hitam seukuran elang yang berkelebat amat cepat.
Rupanya, kelelawar itu yang
telah menyergap wajahnya demikian cepat, manakala Pendekar Slebor sendiri belum
benar-benar siap menghindar. Wajahnya tertutup kelelawar besar itu, sehingga
dia tak melihat apa-apa.
Kini Pendekar Slebor merasakan
pedih yang merasuki wajah diakibatkan cakaran binatang laknat itu
"Binatang slompret" maki Andika giris.
Tangan Andika segera mendekap
luka di kedua pipinya yang memanjang. Amat pedih terasa.
"Bagaimana binatang itu
bisa bergerak demikian cepat?" desis Andika lebih lanjut.
Hanya ada satu-satunya
kemungkinan. Binatang itu pasti peliharaan seseorang yang sudah terlatih. Kalau
tidak, mana mungkin seorang pendekar yang memiliki naluri begitu tajam seper-ti
Andika bisa terkecoh? Ruang dalam pengap serta lembab itu diricuhi kembali oleh
kepak liar si kekelawar. Makhluk buruk itu bergerak lincah dari satu sudut, ke
sudut lain. Sebentar tubuhnya menggelantung di sudut dinding kayu buram kapal,
sebentar kemudian bergerak kembali. Suaranya memekikmekik ramai, seolah hendak
mencoba menggertak tamu tak diundang yang baru saja berhasil dilukainya....
"Aku bukan mencarimu,
Slompret Memangnya aku bego Suara lengkingan yang telah membunuh beberapa awak
kapal sahabatku, pasti bukan teriakanmu yang jelek itu" sumpah se-rapah
Andika meluncur selincah gerak si kelelawar. "Keiiikh" Si kelelawar menyahuti
dengan pekikannya. Memang bukan suara bertenaga luar biasa yang telah
menyebabkan kematian beberapa awak kapal Kerajaan Cina.
Andika hendak melangkah.
Berurusan dengan hewan tak berotak seperti itu malah akan membuang waktunya
percuma. Tapi baru saja kakinya beranjak, binatang tadi menyambarnya kembali.
Dan terlalu tolol kalau
Pendekar Slebor harus terkecoh dua kali oleh seekor kelelawar. Maka hanya
dengan mencondongkan badan ke belakang, tubuhnya sudah selamat dari cakaran
hewan menjengkelkan itu.
"Pergi Pergi kataku
Jangan coba menghalangi langkahku" bentak Andika.
Pendekar Slebor ngotot hendak
melangkah lagi. Dan lagi-lagi kelelawar itu melakukan sambaran cepat.
"Keuikh" Wrrr
"Eeh Kepala batu juga kau, ya?" dengus Pendekar Slebor.
Habis sudah kesabaran Andika.
Wajahnya yang sudah tercakar, masih pula dihalanghalangi.
Maka sewaktu si kelelawar
besar mencoba mengoyak dada bidangnya, Andika bergerak cepat. Jangankan
binatang itu, kelebetan seekor walet pun tak akan luput dari gerak tangannya.
Sehingga....
Prek Dengan sepasang tangan
yang telapaknya terbuka lebar, Pendekar Slebor berhasil mengepruk binatang
penggangu itu.
"Rasakan Biar jadi
perkedel kau" rutuk Pendekar Slebor ketika kelelawar masih dalam himpitan
tangannya.
Puas Andika puas. Pikirnya,
binatang itu telah remuk menjadi setumpuk daging empuk.
Namun, dugaannya justru
meleset. Sewaktu tangannya dibuka, binatang pengganggu yang tadinya tak
bergerak itu mendadak menggeliat. Lalu.... "Wadau Slompreeet" Andika
berjingkat-jingkat seraya mengibasnyibakkan tangan, begitu kelelawar itu
menggigit jari kelingkingnya Kalau saja Andika terlambat, mengebutkan tangan,
sudah pasti jari kelingkingnya putus Sesudah berhasil mempecundangi, binatang
itu buron begitu saja. Masuk lebih dalam ke ruangan lambung kapal pengap
bercahaya lamat.
"Kau baik-baik
saja?" Tiba-tiba meluncur suara Chin Liong dari belakangnya. Pemuda sipit
ini tadi masuk tergesa-gesa, setelah bersemadi sekian lama untuk mempersiapkan
diri agar tidak dikalahkan bau memuakkan di dalam sana.
Andika meringis-ringis.
"Tidak apa-apa,"
kata Pendekar Slebor.
"Ada binatang kurang
kerjaan mengerjai aku" "Ha-ha-ha" Chin Liong tertawa.
"Kenapa tertawa? Kau
pikir lucu?" "Tentu saja Seumur-umur, tak pernah terpikir olehku
kalau pendekar besar sepertimu masih bisa kecolongan oleh seekor
binatang...," seloroh Chin Liong.
"Ah Itu sih bisa-bisaku
saja...," hindar Andika, pura-pura.
Mereka lalu mulai memasuki
ruang demi ruang di dalam kapal Ular Laut Kepala Kembar.
Sejak peristiwa penyerangan si
kelelawar, kedua pemuda itu mulai bisa menguasai ketegangan.
Saraf mereka agak mengendur,
setelah menertawai kesialan Andika. Sewaktu mulai memeriksa setiap ruang dalam
lorong kapal, ketegangan itu datang lagi. Bahkan, lebih parah daripada
sebelumnya.
Walau begitu, mereka tak lagi
menemukan ancaman. Tak juga hadangan dari seekor kelelawar buas tadi. Yang
ditemukan hanya ruangruang kosong tak terurus. Remang-remang dan pengap.
Jauh di luar gambaran sebuah
kapal layar perompak paling ditakuti yang mestinya menimbun harta rampasan di
beberapa ruangan, yang mereka temukan justru serakan tulang-belulang manusia di
sana-sini. Debu tebal dimana-mana.
Sementara jajahan sarang
laba-laba tampak hampir memenuhi di setiap sudut.
Di mana pun dalam lambung kapal
itu, bau bangkai busuk terus mengikuti kedua anak muda ini.
"Aku tak percaya
ini," bisik Chin Liong seperti bergumam sendiri. "Bagaimana mungkin
kapal itu dihuni perompak ulung. Bahkan paling ulung...." Lain yang
dipikirkan Chin Liong, lain pula Pendekar Slebor. Ada satu keganjilan yang
terasa olehnya. Kalau tujuan mereka datang ke kapal adalah hendak menuntut
keadilan pada awak kapal yang telah membuat beberapa orang tewas, lalu ke mana
awak kapal itu? Benak Andika mulai mereka-reka.
"Kau yakin kita telah
memeriksa seluruh ruangan dalam kapal ini, Chin Liong?" tanya Andika,
ragu.
"Ya Kenapa?"
"Apa kau temukan awaknya?" susul Andika lagi. Chin Liong menggeleng.
Otaknya mencoba meraba maksud pertanyaan sahabatnya. "Apa tak terasa
aneh?" Ya Tentu saja Chin Liong merasakan pula keanehan itu. Itu pun
setelah Andika mengajukan pertanyaannya.
"Benar," desis Chin
Liong, menyadari satu kesalahan yang telah mereka buat. Kesalahan apa, dia
sendiri masih sulit mengungkapnya.
Hanya saja, terasa ada yang
tidak beres.
"Ingat kelelawar yang
menyerangku?" susul Andika.
Chin Liong mengangguk.
"Kenapa dengan binatang
itu, Andika?" tuntut Chin Liong, terburu-buru.
Pertanyaan penasaran Chin
Liong tak mendapat jawaban. Karena, Andika lebih bergegas memburu ke pintu keluar.
Bahkan dia sempat mendorong tubuh Chin Liong, karena begitu terburu-buru.
"Andika Ada apa
sebenarnya?" seru Chin Liong begitu mereka hampir tiba di geladak.
Chin Liong yakin larinya
Andika yang memburu bukan karena ketakutan. Bukan sifat pemuda itu untuk
dikalahkan rasa takut sebesar apa pun. Tapi, apa? "Bangsat" damprat
Andika ketika tiba di luar. Mata Pendekar Slebor yang jalang meman-dang ke arah
kapal armada Cina Ying Lien. Di sa-na, sedang terjadi pertarungan antara
prajurit, perwira Kerajaan Cina dan Ying Lien, melawan dua lelaki berwajah
buruk.
"Astaga Bagaimana Dua
Ular Laut itu bisa tiba di kapal kita?" sentak Chin Liong terperangah tak
alang kepalang, begitu ikut menyaksikan apa yang terjadi.
Untuk kedua kalinya,
pertanyaan pemuda Cina itu tak digubris Pendekar Slebor. Karena, pendekar muda
tanah Jawa itu sudah melompat ke laut.
Chin Liong menyusul di
belakang. Dengan cara yang sama seperti sebelumnya, mereka kembali ke kapal
armada Kerajaan Cina.
Bagaimana Andika bisa tahu
kalau Dua Ular Laut telah menyeberang ke kapal mereka? Sederhana saja, menurut
Andika. Dengan tidak ditemukannya penghuni kapal, berarti Dua Ular Laut telah
pergi. Sewaktu Andika dan Chin Liong baru saja hendak memasuki ruang dalam
kapal, kelelawar yang bisa dipastikan sebagai hewan peliharaan Dua Ular Laut,
mencoba menahan Andika. Jelas, maksudnya agar kedua tuannya sempat meninggalkan
kapal. Andika menyadarinya, setelah teringat pada kelelawar buas yang tiba-tiba
saja meninggalkannya....
***
Kerusuhan maut berkobar telah cukup lama,
sampai Andika dan Chin Liong menyadarinya. Di atas kapalnya, Ying Lien harus
menghadapi Ular Merah seorang diri. Di lain sisi, empat perwira serta para
prajurit sungsang-sumbel menghadapi gempuran Ular Belang.
Kalau pertarungan Ular Belang
dengan lawan-lawannya meledak dengan jurus-jurus keras, pertarungan Ying Lien
melawan Ular Merah lain lagi. Ke-duanya mengadu kesaktian, tanpa sedikit pun
melakukan gempuran jurus-jurus.
Ying lien yang memiliki
pendengaran teramat peka, dipaksa bertahan mati-matian didesak lengkingan demi
lengkingan tinggi kelelawar besar yang menggelantung di lengan membentang si
Ular Merah, Rupanya kali ini Andika salah menduga tentang satu hal. Ternyata
memang lengkingan kelelawar itu yang telah membunuh beberapa prajurit
sebelumnya.
Dengan bantuan tenaga sakti
tuannya, jeritan kelelawar itu mampu mengoyak-ngoyak jaringan otak seorang
berilmu cetek Itu sebabnya, Andika tak menyangka sama sekali bila si kelelawar
bisa menghasilkan lengkingan maut. Sebab, saat bertemu kelelawar itu tuannya
tak ada di tempat "Keeeiiik" Entah untuk yang keberapa kali
lengkingan kelelawar besar di tangan Ular Merah terlepas. Setiap kali
terdengar, Ying Lien langsung tersentak hebat. Tubuhnya mengejang, seperti
seseorang yang dilabrak petir.
Wajah gadis cantik itu sudah
membiru, pertanda memaksakan seluruh tenaganya untuk melawan desakan
lengkingan. Tangannya menutup rapat-rapat telinga. Mungkin pengerahan tenaga
saja, terasa tak cukup baginya. Bahkan kini, matanya terpejam menahan sakit.
Pada lengkingan berikutnya,
mengalir darah kental kehitaman dari lubang hidung Ying Lien. Lalu dari
sela-sela bibir tipisnya, cepat ketika tubuhnya tersentak kembali.
Benteng pertahanan putri Cina
itu kian merapuh. Kuda-kudanya mulai bergetar melemah, lalu mulai pula
tersimpuh.
Genting. Keadaannya semakin
genting.
"Keeeiiikh"
"Ahhh...." Pada sentakan terakhir, Ying lien pun terpuruk ke depan.
Tubuhnya lunglai, tersujud di lantai geladak. Sekali lagi lengkingan menggebah,
maka akan pecahlah gendang telinga gadis ini.
Bisa-bisa indera
pendengarannya yang selama ini sudah menjadi pengganti indera penglihatannya,
akan hilang. Atau lebih parah lagi, dia bisa kehilangan satu-satunya yang
dimiliki. Nyawa
***
Betapa murkanya Pendekar
Slebor. Begitu kakinya menjejak geladak, langsung disuguhkan pemandangan
mengenaskan. Tampak Ying Lien sudah terpuruk lunglai di lantai kayu geladak
yang telah dinodai darahnya.
Kontan si pendekar kelotokan
ini mencakmencak tak karuan. Disemburnya Ular Merah dengan makian paling kasar
yang pernah didengar manusia sepanjang zaman.
"Ying Lien" seru
Chin Liong di sisi Pendekar Slebor, setelah matanya pun menemukan tubuh gadis
itu.
Kemudian Chin Liong menghambur
ke arah Ying Lien. Disanggahnya tubuh lunglai gadis itu di dada bidangnya.
Ying Lien mengeluh lamat.
"Tenang, Ying Lien....
Kau akan selamat," bisik Chin Liong, terduduk di lantai geladak.
Napas pemuda sipit ini turun
naik memburu, diberontaki perasaan tak karuan. Murka, gundah, trenyuh, dan
kegeraman. Semuanya campur-aduk. Kemudian, diletakkannya kepala putri Cina ini
di lantai geladak. Hati-hati sekali.
"Akan kubunuh kau,
Keparat" geram Chin Liong kemudian kepada Ular Merah yang masih berdiri
dingin sekitar tujuh depa di sisi kanannya.
Chin Liong bangkit bersama
bara kemarahan di segenap dada. Kedua telapak tangannya mengepal kuat-kuat,
seakan hendak meremukkan jari-jemarinya sendiri. Diawali gemeletuk rahangnya,
diterkamnya Ular Merah dengan membabi buta. "Chin Liong, tunggu"
Andika mencoba menahan. Sayang terlambat. Chin Liong sudah meluncur deras ke
arah calon lawannya. Tubuhnya mengejang di udara, tak bedanya sebatang tombak
baja. Tangan kanannya mengacung lurus ke depan. Satu tangan yang lain merapat
di dada.
Dengan kepalan tangan kanan,
hendak diremukkannya kepala Ular Merah seketika.
"Kheeeaaa" Pendekar
Slebor tersentak ngeri. Tindakan Chin Liong justru bisa berakibat buruk untuk
dirinya sendiri. Dan Andika yakin itu. Dia ingin menyergap serangan Chin Liong,
tapi sudah tak mungkin.
Wuhhh "Ugh" Benar saja.
Dalam sekejap, terdengar sentakan napas Chin Liong di udara. Tubuhnya lantas
terlempar kembali ke belakang, satu depa sebelum terjangannya tiba di kepala
Ular Merah.
Anak muda itu seperti baru
saja melanggar benteng liar tak terlihat Di udara, mulut Chin Liong
menyemburkan darah. Setelah melewati jarak delapan tombak, tubuhnya siap
berdebam di lantai geladak tempat tombak para prajurit.
Sementara, Andika tak mau
kehilangan kesempatan untuk kedua kalinya. Seketika tubuhnya digenjot. Cepat
bagai kilat, disusulnya luncuran tubuh Chin Liong.
Tap Chin Liong berhasil
disambar Andika. Kalau tidak, pasti akan dipanggang tiga tombak besar yang
disusun terbalik.
"Bagaimana dia bisa
melakukannya?" lirih Chin Liong dalam bopongan Andika. "Aku tak
melihatnya bergerak. Tapi, kenapa dia membuatku terpental balik?"
"Pelajaran buatmu, Chin Liong Jangan sekali pun kau bertarung dengan
amarah tak terkendali." Bukannya menjawab, Andika malah mengkhotbahi Chin
Liong.
"Bagaimana kau bisa tahu
kalau aku dalam bahaya?" tanya Chin Liong lagi, sewaktu Andika menurunkan
tubuhnya di lantai geladak.
Tangan Chin Liong memegangi
dadanya yang terasa baru tertimpa godam ribuan kati.
"Kalau dia bisa
memanfaatkan udara untuk menyalurkan tenaga saktinya pada lengkingan kelelawar,
sudah pasti pula bisa memanfaatkan udara untuk membuat benteng tenaga sakti di
sekitar tubuhnya," papar Andika, pasti.
Chin Liong tersadar kini.
Dalam hati, memuji lagi kecerdikan Andika.
"Kau tak apa-apa?"
susul Andika.
Chin Liong menggeleng.
"Tidak," kata pemuda
ini, lirih dan tersendat. "Akan kuberi pelajaran orang berkulit merah itu
seperti pinggiran koreng," janji Andika pa-da Chin Liong. "Dan,
hutangku padamu sudah lunas, bukan?" Tentu saja maksud Andika adalah
tindakan Chin Liong yang berusaha menolongnya pada saat terjadi badai.
Sebetulnya, Andika pun
merasakan kemurkaan yang tak kalah menggelegak ketimbang Chin Liong. Bagaimana
tidak murka? Ying Lien adalah salah seorang sahabat dekatnya, di samping Chin
Liong. Inginnya Pendekar Slebor langsung mengumbar kemarahannya pada si Ular
Merah. Tapi pengalamannya selama ini telah mengajarkan, bahwa mengikuti hawa
nafsu tak terkendali hanya bakal merugikan diri sendiri. Hati boleh terbakar.
Tapi, kepala harus tetap sejernih te-laga Sementara Ular Merah masih tetap
mematung dingin, Pendekar Slebor melangkah mendekat. Ketika jaraknya terpaut
sekitar enam langkah lagi, Andika berhenti.
"Apa maumu
sebenarnya?" tanya Andika, tetap menjaga ketenangan.
"Bukan urusanmu,"
desis Ular Merah singkat. "Jangan yakin dulu" "Kau bukan orang
Kerajaan Cina. Lebih baik menyingkir" "Siapapun kau, apa pun katamu,
bagaimanapun warna kulit jelekmu, urusan mereka adalah urusanku" tandas
Andika, seraya menunjuk ke arah Ying Lien dan Chin Liong.
"Kau rupanya tak tahu
sedang berhadapan dengan siapa...," cibir Ular Merah, pongah. Walau
begitu, wajahnya tak berubah banyak. Tetap mempertahankan kebekuan yang membuat
Andika jadi muak melihatnya.
"Kau tidak tahu, sedang
berhadapan dengan siapa rupanya...," sahut Andika, membalik kata-kata Ular
Merah.
"Jangan membuang-buang
waktuku" "He-he-he...," Andika malah terkekeh.
"Jangan membentak seperti
itu. Wajahmu jadi lebih jelek daripada seekor anjing panu yang sedang
menggonggong" "Aku Ular Merah, penguasa Laut Cina Selatan"
gertak Ular Merah. Sepertinya, dia hendak mencoba menciutkan nyali Andika
dengan menyebut nama besarnya.
Sayang seribu kali sayang.
Yang digertak bukan anak kemarin sore, tapi Andika. Seorang pendekar yang
mungkin paling masa bodoh di antara orang-orang yang paling acuh di jagat raya
ini. Lagi pula, mana Andika peduli pada nama besar yang sebenarnya baru kali
ini didengarnya? Kalaupun pernah didengarnya, bisa saja tetap menganggap
gertakan Ular Merah sekadar cacimaki kecoa mabuk "He-he-he...."
Pendekar Slebor terkekeh lagi.
"Kalau boleh menasihati,
sebaiknya kau cepat-cepat ganti nama. Nama Ular Merah tidak membawa
keberuntungan bagimu. Sebaiknya pakai saja nama Kunyuk Merah. Nyamuk Merah,
Cacing Merah, atau...." "Bangsat" potong Ular Merah, membentak.
"A... Bangsat Merah juga
bagus itu" Selesai mengombang-ambingkan kegusaran Ular Merah, Andika
mengulang kekehnya.
Terdengar begitu meremehkan.
"Sebaiknya kau
mampus" geram Ular Merah. Selama mengobrak-abrik wilayah Laut Cina
Selatan, baru kali ini Ular Merah menemukan seseorang yang begitu lancar
menginjak-injak kepalanya dengan seruntun ledekan. Jadi, bagaimana tidak gusar?
"Kau akan menyesal telah mengejekku" desis Ular Merah mengancam,
seraya membuka satu gerak.
Andika meringis. Sekaranglah
gilirannya memberi pelajaran manusia pinggiran koreng ini.
Begitu pikirnya.
Wuk-wuk-wuk-wukh Ular Merah
memutar telapak tangannya.
Ya, hanya telapak tangannya.
Seperti seorang sedang mengaduk adonan tepung. Tampak tak bertenaga. Bahkan
kelelawar besar yang menggelantung dilengannya sama sekali tidak terusik. Meski
begitu, gerak yang terlihat ringan ternyata menghasilkan bunyi seperti seratus
bilah golok yang diayun berbareng Di lain pihak, Andika tak ingin meremehkan
calon lawannya. Namun bisa saja sikapnya seolah-olah memang ia meremehkan. Lalu
saat memasuki pertarungan, semuanya harus dihadapi dengan perhitungan amat
matang, sekaligus kecermatan paling tinggi. Sebab, ini perkara nya-wa Begitu
bunyi pertama gerak tangan Ular Merah lahir, Andika sudah memompa kekuatan
tenaga saktinya ke sekujur badan. Dan menjelang pengerahan tenaga menuju
puncak, akan dihasil-kan satu selubung tenaga sakti warisan buyutnya yang kerap
menjadi momok bagi tokoh-tokoh sesat tingkat atas Cara itu pula yang sering
digunakan Andika untuk membentuk benteng pertahanan tembus pandang, ketika
harus berhadapan dengan beberapa datuk sesat. Termasuk juga, saat dirinya harus
bertahan di Lembah Kutukan di antara hujan petir dalam menjalani penyempurnaan
(Baca kisahnya pada episode perdana: "Lembah Kutukan").
Tak heran, Andika sempat
mengendus siasat tempur Ular Merah saat Chin Liong mencoba menerjangnya.
Perlahan, membersit sinar
keperakan lamat-lamat dari segenap pori-pori kulit Pendekar Slebor. Sinar
lembut yang menyebar, membentuk selubung dalam jarak satu lengan dari tubuhnya.
Karena matahari siang sudah
naik cukup tinggi, sinar keperakan itu jadi tak begitu kentara. Dan justru hal
itu yang diinginkan Andika. Rencananya, dia akan memberi sedikit kejutan pada
kepongahan si Ular Merah.
Dengan tangan bersilang di
dada, Pendekar Slebor seperti menunggu dengan santai serangan Ular Merah. Bibir
tipisnya bahkan sempatsempatnya tersenyum tipis. Dibilang mencibir sulit.
Disebut meringis, apalagi "Hih" Setelah mendengus, Ular Merah
mengibaskan tangannya ke depan.
Wesss Seketika serangkum angin
pukulan bergerak kilat menuju Andika. Sekejap mata saja, angin pukulan itu
nyaris menyergap Pendekar Slebor. Namun begitu sampai pada jarak satu lengan
dari tubuhnya, angin pukulan itu tiba-tiba tertahan. Lalu, secepatnya memantul
balik ke arah tuannya.
Wusss Terperangah bukan main
si Ular Merah mendapati kenyataan ini. Matanya kontan terbuka lebar-lebar,
lebih lebar daripada lubang hidungnya yang besar. Mulutnya membuka. Nyaris
saja, ingus yang malas dibersihkan di atas bibirnya menerjang masuk ke mulut.
"Eaaah Dengan
berjumpalitan sungsang-sumbel, Ular Merah menghindari angin pukulannya sendiri.
Sialnya lagi, angin pukulan itu ternyata tak memupus bila belum menelan korban.
Angin pukulan tadi terus meluncur ke satu arah pasti.
Dan.... Brakh
"Wuaaa" Satu kapal perompak yang kebetulan mengapung di sisi depan
kapal Kerajaan Cina menjadi sasaran. Tepi geladak yang terbuat dari kayu
pilihan langsung luluh lantak bertebaran ke dalam laut. Beberapa perompak yang
kebetulan pula berdiri di sana, tak ampun lagi berpentalan di udara setinggi
delapan depa Sejak menyadari kalau Dua Ular Laut telah tiba di kapal Kerajaan
Cina, para perompak itu tak berani berbuat macam-macam. Mereka hanya menunggu
dan menunggu. Jika kebetulan bisa memanfaatkan keadaan, mereka akan segera
merebutnya. Ibarat memancing di air keruh, siapa tahu apa-apa yang diminati di
kapal sasaran tanpa sengaja jatuh ke tangan mereka.
"Hue-he-heee, ngik
Terkejut? Apa tadinya dikira hanya kau saja yang bisa membuat benteng tenaga
sakti? Makanya jangan terlalu pongah Besar kepala akan membuatmu ketemu
batunya" ejek Pendekar Slebor.
Ular Merah mendengus amat
gusar begitu mendarat di lantai kapal. Kelelawar di tangannya kini telah
lenyap, terbang ketika Ular Merah berjumpalitan. Dan binatang itu terus
mengepakkan sayapnya, memasuki lambung kapal hantu.
Kini darah Ular Merah tak lagi
berdesir, melainkan mendidih. Kulit wajahnya bertambah memerah.
"Sekarang kulitmu tak
lagi seperti pinggiran koreng," ucap Andika, seperti menyesal kehilangan
bahan ejekan. "Baguslah kalau begitu. Kulitmu sekarang lebih bagus.
Setidak-tidaknya, masih mirip warna bibir banci kampung Hee-hehe"
Bertambah dongkol saja Ular Merah.
"Burung nuri, terbang
tinggi...," senandung Andika, sambil meliuk-liukkan tubuhnya meniru-kan
gaya seorang banci kesiangan.
Kini cuping hidung Ular Merah
tampak mekar-kuncup diejek sedemikian rupa Sebentar saja urat-urat lehernya
menonjol. Sesaat lagi, tentu teriakan geramnya akan merebak di angkasa.
Dan sebelum hal itu terjadi,
laut tiba-tiba saja berubah. Sebentuk gelombang amat besar terlihat dikejauhan.
Amat besar, seolah-olah ada gunung sedang menuju tempat kapal-kapal mereka.
Gemuruh besar pun tiba. Kalau
di kejauhan saja suara gelombang itu sudah demikian bergemuruh, apalagi sudah
tiba? Padahal saat ini, tak ada badai terjadi.
Bahkan cuaca cerah. Langit
bersih, dengan awan putih berpilin halus. Kalau bukan badai, lalu apa...?
8
Perhatian semua mata dari
semua awak kapal saat ini dipaksa beralih ke arah ombak besar. Pertempuran
panas di kapal armada Cina pun kontan terpancung. Tak ada yang tak
terheran-heran dengan kejadian itu. Ombak besar tanpa badai? Yang tak kalah
mengejutkan adalah pemandangan di satu bagian ubun-ubun ombak.
Gulungan meraksasa air laut
itu, ternyata sedang ditunggangi seseorang di atasnya Belum jelas, bagaimana
rupa atau penampilan orang itu. Yang pasti, sikapnya terlihat begitu santai.
Berdiri ringan, dan sesekali tubuhnya mencelat lincah dari satu bagian ke
bagian lain. Ombak makin dekat bergulung. Makin dekat, makin jelas saja rupa
penunggang ombak. Andika sendiri mulai mengenali, siapa orang itu. Lamat-lamat
ingatannya bi-sa membandingkan sosok orang yang kini dilihatnya dengan yang
dilihat di malam hari ketika terjadi badai.
Ya Memang dia orangnya Dan
Andika yakin itu. Sampai akhirnya, gulungan ombak menggi-la tiba. Anehnya,
begitu tak kurang dari seratus tombak sebelum benar-benar sampai, ombak besar
itu menyusut dan menyusut cepat. Hingga yang tersisa hanya riak-riak kecil
mengusik kap-al-kapal.
Kini, semua orang bisa melihat
jelas sosok mengagumkan tadi. Ternyata, dia seorang tua bangka berkaki satu.
Kulitnya bersisik seperti ikan. Termasuk, wajahnya yang selalu basah
berkeriput.
Pakaian lelaki tua itu terbuat
dari ganggang laut menjijikkan. Terlihat seperti jubah basah, berlumut yang
tercabik-cabik.
Siapakah tokoh penuh teka-teki
itu? Dialah Setan Laut Itulah julukan santernya. Bagi petualang-petualang laut
serta para perompak, namanya sudah tak asing lagi. Bahkan boleh dibilang,
dialah satu-satunya tokoh papan puncak yang paling ditakuti di Laut Cina
Selatan.
Pamor perompak Ular Laut
Kepala Kembar pun hanya seujung kuku, jika dibandingkan nama besarnya Setan
Laut benar-benar sesuai julukannya.
Di samping ditakuti karena
kesaktian yang tak kepalang tanggung, juga karena sudah seperti penghuni
samudera. Banyak kabar burung yang santer mengatakan bahwa, Setan Laut dapat
menyelam amat lama di dasar laut, sampai kedalaman yang sudah tak mungkin lagi
dicapai manusia. Kedalaman yang bisa membuat dada seorang penyelam kawakan
pecah, ternyata biasa diarunginya dengan mata terpejam Seperti layaknya
penghuni laut, lelaki tua ini pun memangsa hewan-hewan laut untuk makanan
sehari-hari. Jelasnya, dia hidup di dalam samudera Hanya karena jarang sekali
muncul, maka yang terdengar lebih santer justru nama perompak Ular Laut Kepala
Kembar.
Demi mengetahui tokoh tua itu
yang hadir, tanpa sadar para perompak beringsut mundur dari tempat berdiri
masing-masing. Sementara Dua Ular Laut pun tak urung melakukan tindakan sama.
"Hati-hati terhadap orang
itu, Andika" desis Chin Liong, setelah bisa bangkit tertatih lalu
menghampiri Pendekar Slebor.
"Apa maksudmu?"
tanya Andika setengah berbisik.
"Ular Laut Kepala Kembar
mungkin saja begitu ditakuti para perompak lain. Tapi, lelaki ini bukan sekadar
menjadi momok. Bisa dibilang, dialah yang sesungguhnya menggenggam wilayah Laut
Cina Selatan. Itu selentingan yang pernah kudengar," papar Chin Liong
tersendat, masih menahan rasa sakit di dadanya. Luka lama akibat benturan
dengan tiang besar kapal saja belum pulih benar, sudah mendapat lagi luka dalam
baru. Tentu saja hal ini menyebabkan rasa sakitnya sulit ditekan.
Chin Liong sejenak terdiam.
Dalam raut wajah menderita, dia mengingat-ingat.
"Setan Laut...,"
cetus pemuda sipit ini lamat. "Siapa yang kau maki?" tanya Andika
heran, tak menangkap maksud Chin Liong.
"Maksudku, julukan lelaki
tua itu..;." "Ooo.... Kukira, kau memakiku. Jadi julukannya..., siapa
tadi?" "Setan Laut," ulang Chin Liong, susah payah.
"Pantas rupanya pun tak
jauh beda dengan dedemit," gumam pendekar muda tanah Jawa ini.
Sepertinya, dia sudah siap
menghidangkan 'senjata pertama' dalam menghadapi setiap lawan.
Ocehan-ocehan menjengkelkan *
* * Masih menjadi teka-teki bagi setiap awak kapal armada Kerajaan Cina, apa
sesungguhnya yang diincar para perompak di kapal mereka. Padahal perompak Ular
Laut Kepala Kembar sudah turut ambil bagian. Dan kini, datang pula datuk sesat
Laut Cina Selatan Kalau mereka yakin tak ada barang berharga di kapal, mungkin
memang benar. Tapi kalau barang tak ternilai harganya sudah pasti ada.
Lantas, benda apa? Kalau emas
permata, mereka tak mengangkutnya. Harta, biasanya menjadi incaran. Tapi begitu
ada mangsa lebih empuk yang tak lain kapal dagang dari Gujarat kenapa didiamkan?
Untuk mengetahui teka-teki di balik penghadang orang-orang sesat dari laut Cina
Selatan ini, memang harus mundur ke masa sekitar dua ratus tahun lalu....
Pada masa itu, hidup seorang
panglima armada Laut Cina bernama Ju-Hai. Keperkasaannya di lautan terkenal
demikian angker. Dia gagah bagai naga. Gesit bagai elang. Lalu, terse-matlah
julukan Panglima Naga Samudera....
Selama menjadi panglima armada
Laut Cina, Ju-Hai memimpin pasukannya tanpa terkalahkan dalam pertempuran
berkali-kali. Pengacau digasaknya. Pemberontak disapunya. Bajak laut dan
perompak dibabat bersih.
Maka jadilah Ju-Hai seorang
momok yang ditakuti lawan serta disegani kawan. Dengan dukungan pasukan lautnya
yang menjunjung teguh nilai-nilai perjuangan, namanya kian melambung saja.
Selaku panglima, Ju-Hai nyatanya sulit di-bedakan dengan para prajuritnya.
Pakaiannya tak mencolok. Bahkan, boleh dibilang sederhana. Malah terkadang
lebih mirip seorang prajurit, ketimbang perwira tinggi. Hanya satu kekhasan
yang membedakan penampilannya dengan prajurit sendiri. Dia selalu membawa
tameng kayu berbentuk bulat, bergambar bayangan Naga Langit.
Dalam setiap medan
pertarungan, dari yang ringan sampai yang terberat, Ju-Hai tak pernah sekalipun
melepas tameng itu. Sampai suatu hari, armadanya terlibat pertarungan melawan
armada perompak yang paling kuat di masa itu. Entah bagaimana, tanpa sengaja
Ju-Hai meninggalkan tameng Naga Langit itu di tempat peristirahatannya.
Akibatnya pada puncak pergolakan peperangan, Ju-Hai menjadi salah satu korban.
Dia gugur sebagai perwira tinggi terhormat dalam mempertahankan kehormatan
negeri atas rongrongan para pengacau Kematian Ju-Hai lalu dihubunghubungkan
dengan tameng yang ditinggalnya.
Banyak orang kemudian menduga,
keberuntungan Ju-Hai dalam peperangan-peperangan sebelumnya terletak pada
tameng yang dibawanya.
Orang-orang negeri itu yang
memang percaya, semakin yakin saja ketika tameng itu dicari di tempat
peristirahatan Ju-Hai, tapi tak ditemukan. Sekian lama upaya pencarian
dilakukan.
Baik dari pihak kerajaan yang
berniat menjadikan tameng itu sebagai prasasti tentang keperwiraan Ju-Hai,
maupun pihak lain yang ingin memiliki 'keberuntungan'.
Dan tameng itu memang tak
pernah ditemukan. Sampai, seorang perwira yang dekat dengan Ju-Hai menemukan
keanehan pada kapal perang yang dipakai Panglima Naga Samudera itu, beberapa
tahun sejak kematiannya. Di situ bagian lambung kanan kapal, terbentuk bayangan
Naga Langit. Persis seperti gambar di tameng milik Ju-Hai. Maka, menyusul pula
kepercayaan bahwa tameng Panglima Ju-Hai yang hilang, kini telah menyatu pada
lambung kapal.
Si perwira tak menyebarkan
tentang apa yang dilihatnya. Hanya ada satu orang yang kebetulan turut
mengetahui ketika si perwira tanpa sadar diawasi seorang musuh besar Ju-Hai.
Dan perwira itu pun akhirnya terbunuh.
Kini, kapal itulah yang
dipergunakan Ying Lien dan Chin Liong untuk melakukan pelayaran ke Mesir.
Sedangkan musuh besarnya, pemimpin perompak yang telah mengalahkan Ju-Hai,
mengerahkan anak buahnya untuk bisa membegal kapal tadi.
Jadi, rahasia itu selama ini
hanya tersebar di kalangan perompak. Sementara, kalangan istana tetap tak
pernah tahu.
Siapa si pemimpin perompak?
Lelaki itulah yang kini dikenal sebagai Setan Laut. Gembong dari segala gembong
perompak Laut Cina Selatan yang sampai kini tetap hidup. Padahal, kisah itu
terjadi dua ratus tahun yang lalu
***
Siang makin jalang. Sinarnya menyengat garang.
Laut Cina Selatan tetap
tenang. Hanya gelombang kecil tak berarti menimang-nimang kapal-kapal.
Di bawah sengatan sinar matahari,
Setan Laut berdiri tegak sambil bersidekap. Biarpun usianya sudah begitu tua,
tubuhnya tak terlihat keropos.
Melihat lelaki yang
menggetarkan hati hampir semua orang di tempat itu, diam-diam Andika menjadi
kagum juga. Kalau dibandingbanding, ilmu meringankan tubuh pendekar muda itu
jauh di bawah Setan Laut.
Untuk meniti laut saja, Andika
masih membutuhkan kain pusaka atau bilah kayu seperti pernah dilakukannya di
Sungai Nil sewaktu ada serangan dari gerombolan Kuda Nil (Baca kisahnya dalam
episode: "Piramida Kematian"). Sedangkan Setan Laut hanya menggunakan
alas kaki, dari sejenis kulit ikan besar.
Kalau ilmu meringankan
tubuhnya saja sudah sehebat itu, apalagi kesaktiannya yang lain? "Kau,
Ular Merah Juga kau, Ular Belang Menyingkirlah dari kapal itu" hardik
Setan Laut tiba-tiba.
Suara tokoh amat tua ini
mengguntur, lebih mengejutkan daripada salakan guntur saat badai.
"Ha-ha-ha-haaa" Meledaklah tawa Setan Laut. Tak jelas, apa yang
ditertawakan. Sampai akhirnya dia sendiri mengungkapkannya. "Hanya aku
yang berhak atas tameng itu? Hanya aku Berpuluh-puluh tahun aku menanti saat
seperti ini Menanti kapal itu melintasi Laut Cina Selatan, setelah sekian lama
hanya menjadi benda sejarah" Setan Laut mengangkat kedua tangannya dari
dada. Saat tangannya bergerak, tersibak pusaran air laut di sekitar tempat
berdirinya. Sungguh, kekuatan tenaga dalamnya telah demikian sempurna dan
menyatu dengan dirinya Sehingga, setiap gerakannya mengandung tenaga hebat
meski tanpa disengaja.
"Kalian dengar. Hanya aku
yang berhak memilikinya Akulah yang telah membunuh JuHai dengan tanganku
sendiri" lanjut Setan Laut.
Wajah Setan Laut yang basah
berlendir tampak mengeras. Matanya yang kelabu menyeluruh, melempar tatapan
beringas ke arah kapal armada Cina.
"Kenapa kalian belum juga
beranjak dari sana? Apa kalian tak mendengar perintahku?" bentak Setan
Laut murka. Sudah pasti bentakannya ditujukan pada dua lelaki dari kapal Ular
Laut Kepala Kembar. Saking kuatnya bentakan Setan Laut, kapal-kapal di
sekitarnya menjadi terguncang beberapa kali ayunan. Malah, Dua Ular Laut ikut
tersentak tiga tindak ke belakang.
Telinga keduanya seperti baru
disengat petir.
Dengan tangan mendekap
telinga, tubuh mereka tertunduk ke depan. Mereka berusaha menguasai rasa sakit
yang menyengat amat sangat pada pendengaran.
Anehnya, hanya mereka berdua
yang merasakannya. Sementara, puluhan orang lain di sekitar tempat itu sama
sekali tidak merasakan sakit di telinga. Artinya, tenaga suara itu hanya
dipusatkan ke arah Dua Ular Laut. Biar begitu, tak urung mampu membuat
kapal-kapal bergoyang Makin kagum saja Pendekar Slebor pada kesaktian Setan
Laut. Dalam hati, Andika bertanya ragu. Sanggupkah meladeni kesaktian si tua
itu? "Kami tak akan menyingkir dari tempat ini Setan Laut," tandas Ular
Merah, mengejutkan puluhan perompak di sana. Apa dua lelaki itu sudah ingin
pensiun menjadi begal? Membantah Setan Laut sama artinya mengundang si pencabut
nyawa Wajah Setan Laut mengeras. Keriput basah wajahnya merapat. Sesaat
kemudian....
"Ha-ha-haaa" Setan
Laut tertawa lagi, lalu wajahnya mengeras kembali.
"Kalian memang ingin
mati" geram Setan Laut. Berat, terseret dan mengandung ancaman maut.
"Sejak kedatangan kami semula dengan niat untuk mendapatkan tameng itu
pula Kalau sudah melangkah, kami pantang mundur. Kami siap menanggung akibat
apa pun, asal bisa mendapatkan tameng itu" tegas Ular Belang yang selama
ini tidak sepatah pun melepas ucapan.
"Mhhh.... Kalian siap
bertaruh nyawa rupanya," desis Setan Laut.
Nada bicara lelaki tua itu
melembut. Tapi, tetap dengan tekanan mengandung ancaman terbahaya di kawasan
samudera luas ini.
"Bagaimana dengan
kalian?" Suara si tua meninggi kembali. Pertanyaannya kali ini ditujukan
pada para perompak lain. "Apa kalian telah siap bertarung nyawa seperti
mereka berdua untuk mendapatkan tameng itu?" lanjut Setan Laut.
Seperti segerombolan lalat
terkena gebah, para perompak di kapal masing-masing langsung tersentak. Mereka
tersadar dari keterpanaan menyaksikan secara langsung tokoh yang selama ini
hanya sempat didengar dari desas-desus. Sebentar saja, mereka serabutan tak
karuan.
Satu persatu, jangkar kapal
mereka terangkat. Layar pun terkembang. Secara bergiliran, kapal-kapal mereka
meninggalkan tempat.
Sampai akhirnya, kepungan pada
kapal armada Cina kini tak ada lagi. Kecuali, kapal Ular Laut Kepala Kembar.
Bayu membawa mereka menjauh.
Menjauh..., dan menjauh. Sampai bentuk kapal mereka hanya berbentuk titik-titik
hitam di hamparan lautan.
9
Apa mau dikata? Jika
orang-orang keras bertemu, maka yang cenderung lahir adalah kekerasan pula.
Demikian pula halnya Setan Laut dan Dua Ular Laut. Sementara Setan Laut
bersikeras memerintahkan kedua saingannya pergi, Dua Ular Laut malah bersikeras
tetap di sana Rupanya, mereka telah dikuasai nafsu untuk memiliki tameng pusaka
di lambung kapal armada Kerajaan Cina. Maka pertarungan pun sulit dihindari
lagi. Apalagi ketika Setan Laut sengaja hendak mempermainkan kedua saingannya.
Seperti hendak membuktikan
kalau dirinyalah yang memiliki tenaga dalam paling tinggi.
Setan Laut melakukan bentakan
tanpa kata.
Hanya erangan, tapi jauh lebih
hebat daripada teriakan seratus raksasa langit "Hrrr" Seketika Ular
Merah dan Ular Belang yang masih di kapal armada Cina terangkat perlahan ke
atas.
Selanjutnya, tubuh dua lelaki
buruk rupa itu melayang menuju kapal mereka sendiri. Bukan main Rupanya, si tua
itu hendak memulangkan kedua saingannya ke kapal mereka dengan cara tersendiri
Bagi Dua Ular Laut, bukankah cara seperti itu tak lebih dari penghinaan
besar-besaran? Ma-ka di tengah jalan antara kapal armada Cina dengan kapal
mereka, keduanya menggabungkan tenaga suara bersama. Pada saat, tubuh mereka
masih mengapung.
"Hum" Teriakan
mengguntur Ular Merah dan Ular Belang terlepas dari kerongkongan. Bumi bagai
digebah gempa. Suara erangan Setan Laut langsung tertindih gabungan suara
mereka.
Andika sendiri mulai
geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah mereka. Sejak beberapa saat lalu, Ular
Merah juga telah menyombongkan kehebatannya dalam mengalirkan tenaga sakti di
udara melalui suara. Dan lagi-lagi, kini kejadian serupa disuguhkannya. Apa
orang-orang laut memang punya kebiasaan berteriak seperti camar kurang kerjaan?
Pemuda itu hanya merutuk dalam hati.
Biar begitu, Andika bersyukur
juga. Karena dengan demikian, jadi punya waktu untuk menolong Chin Liong dan
Ying Lien. Dan tampaknya, adu tenaga suara itu hanya ditujukan pada lawan
masing-masing. Paling tidak, Pendekar Slebor bi-sa mencari jarak yang aman dari
medan adu tenaga suara itu. Bergegas dipilihnya tempat terjauh dari
pertarungan. Dan hasilnya, hawa murninya pun mulai bisa disalurkan sekaligus ke
tubuh Chin Liong dan Ying Lien....
Pada saat yang sama, adu
kesaktian Dua Ular Laut dan Setan Laut semakin memanas.
Benturan tenaga suara Setan
Laut dengan tenaga Dua Ular Laut menyebabkan tenaga mereka lari ke tempat lain.
Tanpa terlihat, benturan tenaga mereka terpantul ke permukaan laut. Dan, hal
mengagumkan pun berlangsung....
Byarrr....
Air laut beterbangan dalam
gumpalangumpalan raksasa yang lentur di udara. Tak hanya itu. Berpuluh-puluh
ikan langsung mati, ikut terangkat bersamaan gumpalan air laut ke udara.
Beberapa lama, seluruh gumpalan itu mengapung. Setelah kekuatan suara teriakan
tadi menyusut, barulah semuanya berjatuhan kembali, menciptakan semburat air ke
mana-mana.
Suatu pamer kesaktian yang
cukup mengagumkan Paling tidak, begitu menurut Andika.
Anak muda itu baru saja
selesai mengobati luka dalam dua sahabatnya.
Tapi, bukan berarti pemuda
berselempang kain pusaka bercorak catur di bahunya ini menjadi bergetar.
"Andika...," panggil
Chin Liong, di sisinya.
Pendekar Slebor menoleh.
Keasyikannya menonton pertunjukan cuma-cuma terusik.
"Ada apa?" tanya
Pendekar Slebor.
Chin Liong melepas Pedang
Pusaka Langit dari ikatan punggungnya. Diasungkannya benda sakti itu kepada
sahabatnya.
Pendekar Slebor mengerutkan
dahi, tak mengerti dengan semua itu.
"Apa maksudnya ini? Kau
minta kusunat dengan pedang ini?" seloroh Pendekar Slebor.
Chin Liong menggeleng.
Bibirnya meringis.
Terkadang, sahabatnya yang
berotak encer itu terkesan tolol sekali.
"Pegang pedang itu.
Pergunakan kalau kau nanti harus bertarung melawan Setan Laut...," ujar
Chin Liong.
Andika mendorong kembali
sodoran pedang dari sahabatnya.
"Kau lihat, aku belum
berhadapan dengan buyutnya cumi-cumi itu, bukan?" tolak Andika halus.
Sebenarnya Andika tahu, benda itu bisa sangat berarti untuk Chin Liong, jika
harus menghadapi keadaan genting.
"Tidak Aku menyerahkan
pedang ini bukan hanya untuk menghadapi Setan Laut Pedang ini menjadi milikmu
sekarang," tutur Chin Liong, mantap. Tak terlihat rasa kehilangannya.
"He-he-he. Kau bergurau,
ya? Sahabat slompret, kau ya" tukas Andika.
"Dia sungguh-sungguh,
Andika," sela Ying Lien, di sisi Chin Liong.
Andika terbengong.
Ketampanannya jadi buron entah ke mana. Yang terlihat hanya ketololan di
sekujur wajahnya.
"Tap..." "Tak
usah menolaknya kalau kau tak ingin mengecewakan kami" terabas Ying Lien,
seraya turun menyodorkan Pedang Pusaka Langit di tangan Chin Liong.
"Tap..." "Kau
harus menerimanya, Andika Kau lebih memerlukan ketimbang kami. Lagi pula,
kerajaan kami sudah aman. Pedang ini tidak dibutuhkan lagi, kecuali jadi
semacam mahkota tak berguna," terabas Chin Liong, kali ini begitu ada
kesempatan.
"Tap..." Kata-kata
Andika belum selesai, ketika suara pertarungan antara Dua Ular Laut dan Setan
Laut kembali memecah angkasa.
Dan kini tampak tubuh Dua Ular
Laut mendadak menukik. Mereka tentu tak mau menjadi bahan tertawaan siapa pun,
jika harus ditelan air laut. Maka mereka cepat mengadu telapak tangan di udara.
Lalu, dorongan yang diberikan masing-masing dimanfaatkan untuk berputar ringan
di udara.
Tep Begitu lembut keduanya
hinggap di pinggiran geladak kapal Ular Laut Kepala Kembar, diiringi cibiran
melecehkan di bibir Setan Laut.
"Permainan kalian cukup
hebat. Tapi, belum benar-benar hebat kalau hanya bisa meladeni tenaga suara
main-mainku" Selesai berkata, sebelah kaki orang tua berpakaian ganggang
laut itu menghentak keras ke permukaan laut.
Pyar Seketika itu pula, air
laut tersibak. Gulungan besar ombak setinggi lebih dari enam kaki menerjang
kapal Ular Laut Kepala Kembar. Jika tinggi badan kapal Ular Laut Kepala Kembar
hanya empat kaki, maka yang akan terjadi tentu sudah bisa diduga. Ombak ciptaan
Setan Laut akan menelan bulat-bulat kapal itu Wurrr Bagai tangan raksasa dari
dasar lautan, ombak besar tadi siap menampar mentah-mentah sasarannya.
Sementara Dua Ular Laut tentu
saja tak sudi kapal mereka dikoyak hantaman gelombang Setan Laut. Tepat ketika
ombak besar tinggal menelan kapal, mereka menunduk menjerit sekeraskerasnya.
Bukan. Bukan jeritan ngeri yang diperdengarkan....
"Eiii..."
Kemungkinan besar mereka menjerit seperti itu karena sedang menggabungkan
tenaga dalam. Tapi, nyatanya tidak. Mereka tidak bermaksud meladeni adu
kesaktian Setan Laut lebih jauh, karena sadar dengan lawan yang dihadapi.
Seorang yang tidak hanya besar
namanya, tapi juga memang sudah terbukti kesaktiannya selama ini. Melawan
kekuatannya, seolah sama tololnya untuk menghentikan amukan badai. Setan Laut
laksana Nyai Roro Kidul dari Pantai Selatan Jawa. Laksana Neptunus pada dongeng
Yunani Kuno Jadi, untuk apa mereka berteriak? Jawaban segera mencuat, manakala
dari badan kapal Ular Laut Kepala Kembar menyeruak seberkas bola api, tak
selayaknya pijaran api.
Warnanya terang menyilaukan,
memanjang lurus menombak langit.
Ubun-ubun ombak raksasa di
atas kapal Ular Laut Kepala Kembar pun ditembusnya. Sekerdip mata kemudian....
Pyar Seperti ditepis ekor
berkekuatan seekor naga langit, ombak besar tadi langsung tersibak kembali.
Jutaan gentong air menyembur liar di udara ke segenap penjuru, lalu menukik
kembali ke samudera dalam bentuk bulir-bulir air tak berdaya. Hujan setempat
seperti sedang mengguyur wilayah sekitarnya.
Setan Laut terperangah.
Andika, Ying Lien, dan Chin
Liong tak kalah terkejut.
Apa yang sesungguhnya telah
terjadi? Tanya hati masing-masing. Apa yang telah dilakukan Dua Ular Laut,
hingga mampu merontokkan serangan dahsyat si Setan Laut? Tidak Mereka tidak
melakukan apa pun, untuk memburaikan ombak raksasa tadi. Seseorang lain yang
telah melakukannya. Atau lebih tepatnya..., sesosok makhluk lain Sebab, seusai
buliran air laut itu tuntas menyatu kembali ke samudera, muncul wujud baru dari
bersitan sinar jingga menyilaukan tadi.
Sosok besar bersisik perak
setinggi dua kali manusia. Matanya sebengis ular. Lidahnya yang ber-cabang,
menjulur-julur cepat keluar. Di atas kepalanya yang berambut, menegak barisan
sirip tajam. Ketika mulutnya membuka, tampaklah taring yang juga sama persis
dengan taring ular.
Sosok itu berdiri mengagumkan
di atas permukaan laut. Tak satu pun pelampung, kecuali, dua pasang kaki
berselaput.
Dialah ular laut ketiga yang
selama ini menjadi teka-teki tak terjamah....
Demi menyaksikan wujud
mengerikan yang baru saja muncul, tak alang-kepalang Setan Laut tersentak.
Lelaki tua itu tersurut mundur dua de-pa. Wajah berlendirnya berubah warna.
Mata kelabunya membesar penuh Sosok itu dikenalnya sebagai....
"Guru" pekik Setan
Laut tertahan.
Sekarang, ganti Dua Ular Laut
terperangah. Guru? Begitu bisik hati mereka....
"Kalian adalah murid
paling bodoh yang pernah kumiliki" hardik sosok mengerikan yang terkenal
sebagai si Manusia Ular sangar, menggebah nyali siapa pun. "Bagaimana
kalian saling baku hantam dengan saudara seperguruan sendiri" "Ampun,
Guru Kami sungguh tidak menyangka kalau lelaki itu adalah kakak seperguruan
kami yang pernah Guru perintah untuk dicari," jawab Ular Merah tergagap
dengan wajah memucat.
"Guru Bagaimana kau bisa
hidup kembali?" selak Setan Laut, tak kalah tergagap.
Andika, Chin Liong, Ying Lien,
serta awak lain di kapal armada Cina sana menjadi bergidik teramat sangat. Dua
tokoh begal laut paling ditakuti, siap menyatu dengan lelaki sakti momok Laut
Cina Selatan. Kalau begitu, bagaimana nasib mereka?
10
Si Manusia Ular sesungguhnya
adalah seorang lelaki penganut ilmu sesat yang telah mati.
Ilmu sesatnya didapat dari
sumber kekuatan hitam Laut Cina Selatan. Dan akibatnya dia menjadi manusia
terkutuk. Kematiannya tidak berarti akhir hidupnya. Karena begitu jasadnya
ditelan liang lahat, dia pun berubah wujud menjadi manusia setengah siluman
ular.
Dari liang lahatnya, si
Manusia Ular bangkit kembali menuju sumber kekuatan hitam Laut Cina Selatan.
Bersama kutukan, dia beradababad terapung-apung dalam sekian juta daur badai.
Terkatung-katung dalam ketidakpastian menyiksa tentang hidupnya.
Kutukan atas dirinya harus
dihentikan.
Untuk itu, si Manusia Ular
harus menemukan kekuatan lain yang mampu mengenyahkan jasad, sekaligus
kesaktiannya. Ada satu-satunya benda untuk melaksanakan tujuannya, yakni tameng
sakti naga terbang yang kini menyatu dengan kapal Kerajaan Cina.
Untuk mendapatkannya, ternyata
tak mungkin bagi si Manusia Ular. Belenggu dua alam membuatnya tak lagi bebas
seperti layaknya manusia biasa. Satu-satunya cara adalah mengangkat murid.
Maka, seorang pemuda murtad
pun dididiknya. Beberapa tahun kemudian, pemuda itu lahir sebagai begal paling
hebat di seantero Laut Cina Selatan. Dia pula yang telah meruntuhkan kebesaran
armada Laut Cina di bawah pimpinan Ju-Hai.
Masa terus bergulir. Si pemuda
yang ditugasi gurunya untuk mendapatkan Tameng Naga Terbang, nyatanya belum
juga berhasil mengemban perintah gurunya. Si pemuda merasa bersalah, karena itu
langsung bersumpah tak akan meninggalkan samudera Cina Selatan sebelum tameng
itu didapatkan.
Sementara itu, mengetahui
murid pertamanya belum cukup mendapatkan Tameng Naga Terbang, Si Manusia Ular
pun mengangkat dua murid lain.
Murid pertama kini dikenal
sebagai Setan Laut. Sedang dua lainnya adalah Ular Merah dan Ular Belang....
"Aku memerintahkan kalian
untuk mendapatkan tameng itu. Bukan untuk saling hantam" bentak si Manusia
Ular, memancung sangkalansangkalan memuakkan ketiga muridnya. "Sekarang,
kalian telah melihat tameng itu di depan mata. Jadi, tinggal merebutnya dari
mereka" Si Manusia Ular langsung mengacungkan tangan ke lambung bawah
kapal armada Cina milik Ying Lien.
Selanjutnya sosok si Manusia
Ular berubah kembali menjadi cahaya jingga benderang. Membersit di angkasa
sejenak, lalu menyelinap kembali ke kapal hantu.
"Sinting" maki
Andika, begitu meneliti bagian kapal yang ditunjuk si Manusia Ular.
"Apa maksudmu?"
tanya Chin Liong, memburu ke dekat Andika melongok.
"Lihat itu...," ujar
Andika setengah tertekan. "Kalau diperhatikan baik-baik, kau akan
menyaksikan adanya bentuk tameng bulat bergambar bayangan naga terbang di
bagian itu...." "Lalu?" "Ah Jangan tolol, Chin Liong Kalau
mereka menginginkan bagian itu, artinya mereka akan membelahnya. Bagaimana bisa
berlayar mengarungi samudera seganas ini, kalau lambung kapal kita
berlubang?" "Astaga..." desis Chin Liong bergidik.
Pemuda ini baru sadar kalau
kini benarbenar dihadapkan pada pembantaian keji. Mereka harus memilih mati
untuk mempertahankan kapal, atau mati tenggelam di tengah-tengah laut
"Terpaksa kita harus menghadapi mereka, Andika," desah Chin Liong
digerayangi kekhawatiran terhadap keselamatan awak kapalnya.
Andika memukul tangannya
sendiri geramgeram. "Keliru," sergah Pendekar Slebor, mengejutkan
Chin Liong.
Ying lien dan yang lain di
sekitarnya menjadi tak mengerti, apa maksud pemuda itu yang memang sering sulit
diduga.
"Bagaimana yang terbaik
menurutmu, Andika?" sela Ying Lien.
Pendekar Slebor, si pemuda
gagah yang begitu dipuja-pujanya, bukan sekadar ksatria menawan hati. Dia juga
sudah seperti panglima tertinggi yang kecemerlangan akalnya amat dibutuhkan
dalam memecahkan keadaan paling genting. "Hanya aku saja yang akan
menghadapi mereka" tandas Andika, mantap. "Sementara ku-hadapi
mereka, kalian harus cepat menaikkan layar dan pergi dari tempat ini." Sinar
mata Pendekar Slebor berkilat. Sinar mata itu pernah dilihat Chin Liong ketika
Andika menghadapi momok paling menakutkan di negeri Cina yang berjuluk Empat
Penguasa Penjuru Angin. Kilatan mata seorang yang siap mempertaruhkan nyawa
"Aku tak setuju Kau terlalu gila jika menyangka kami sudi membiarkanmu
berjuang seorang diri menghadapi mereka" terabas Ying Lien, seperti
memekik.
Gadis ini begitu takut
kehilangan satusatunya pemuda yang pernah menukikkan rindu ke dasar batinnya.
"Tak ada kata gila dalam
kegentingan seperti ini, Ying Lien," desis Andika, tak bergeming dari
keteguhan keputusannya.
"Andika..., bagaimana
mungkin...." "Kalian harus pergi" ledak Andika, menggidikkan.
Wajah Pendekar Slebor sudah
sematang gejolak lahar. Tidak ada yang bisa memburaikan kekerasannya. Tak ada
Tak seorang pun. Satu sifat yang memang tak mungkin lepas dari kepribadian si
perjaka berhati baja.
"Kalau begitu, aku akan
menemanimu," putus Chin Liong, agak tersedak.
Gadis ini begitu ragu, apakah
usulannya diterima sahabatnya. Sementara Chin Liong bahkan tak sanggup menatap
langsung mata terbakar Andika. Dia begitu kalut, gundah, dan entah apa lagi.
Antara rasa kagum, serta rasa haru yang menyelinap diam-diam, menyadari
sahabatnya bersedia sepenuh hati mengorbankan jiwa demi keselamatan mereka.
"Chin Liong, tatap
aku...," ujar Andika terseret. Matanya menghunus lurus ke mata Chin Liong.
Chin Liong meneguhkan hati, untuk menatap Andika.
"Dengar aku baik-baik.
Kalian harus pergi semua. Semua, termasuk kau. Dan kau tak perlu khawatir
padaku. Percayalah pada Tuhan. Aku akan selamat...," tandas Pendekar
Slebor satu-satu. Kata-kata yang sepertinya terjejak langsung ke sanubari
setiap awak kapal lain.
Diam-diam, Ying Lien
membendung genangan bening di matanya. Apa pun yang dikatakan Andika tentang
keselamatannya, Ying Lien sadar kalau itu sekadar kata menghibur. Paling tidak
agar mereka berbesar hati. Agar mereka rela kehilangan seorang sahabat. Begitu
rusuh hati Ying Lien. "Saat sekarang ini, aku tak mau seorang pun membantah.
Kalau kau menemaniku, bagaimana Ying Lien jika dihadang kawanan perompak yang
telah meninggalkan tempat ini? Bukankah kau sebagai panglima diperlukan untuk
keselamatan putrimu dan para awakmu," tutur Andika lagi, mulai melamat.
Seolah dia memohon penger-tian yang sulit diterima.
Bagaimana Chin Liong sanggup
menerima permohonan seorang sahabat yang ingin mempertaruhkan nyawa demi mereka
semua? Tapi jangan seorang pun menolak kalimat Andika saat itu. Akan percuma
saja. Hatinya bagai baja murni bernyawa. Tak lagi berubah, saat telah menemukan
bentuknya. Dia juga permata hidup yang membersitkan kemilau mengagumkan meski
harus tenggelam ke dasar samudera....
Ying Lien tak kuasa lagi
menahan bendungan rasa nyeri di dadanya. Sulit dipercaya kalau wanita sekokoh
dia akhirnya kehilangan benteng diri ketika melangkah terbata. Dia ingin
menghambur, tapi kebutaannya tak memungkinkan.
Dengan langkah tersuruk,
dimasukinya ruang dalam kapal. Lamat-lamat, terdengar isak halusnya.... Andika
bukan tak peduli. Dia hanya tak ingin peduli. Dalam keadaan yang menyangkut
banyak nyawa, seluruh kecamuk perasaan harus ditinggalkannya.
Srang Dengan raut wajah sulit
tergambarkan, Andika mengeluarkan Pedang Pusaka Langit yang baru saja diterima
dari sarungnya. Sinar merah baranya membuncah, merayapi kekerasan wajah pemuda
perkasa tanah Jawa saat ini, "Apa pun yang terjadi, aku akan menghadapi
mereka" desis Pendekar Slebor dengan tatapan terhujam di ujung pedang. * *
* "Hadapi aku" seru Pendekar
Slebor.
Baru saja kaki Andika menyentuh
permukaan laut dengan bantuan kain pusaka bercorak catur miliknya, di
belakangnya kapal armada Cina mulai bergerak lamban. Seolah begitu berat
meninggalkan seorang sahabat. Dengan pandangan sembab Ying Lien, dan dengan
berpasangpasang mata sarat rasa kapal Kerajaan Cina itu terus bergerak lambat.
"Percuma kau menahanku
Aku tetap akan bisa mengejar kapal itu, Apa kau lupa, lautan ini adalah wilayah
kekuasaanku?" leceh Setan Laut.
Andika tersenyum sinis.
"Kau tidak akan bisa
mengejarnya..., kecuali aku luput menggorok lehermu" dengus Pendekar
Slebor.
"Sudahlah, Kak Tak ada
gunanya lagi banyak bicara dengan orang sok pahlawan ini" seru Ular Merah
di atas kapalnya.
Setan Laut melirik Ular Merah.
Baru pertama kali itu bibirnya tersenyum tawar. Mungkin juga selama
hidupnya....
"Kau benar...,"
tanggap Setan Laut. Lalu....
"Wet-deb-deb" Bunyi
sekeras hembusan badai meledakledak di antara sapuan-sapuan tangan Setan Laut.
Untuk cepat menuntaskan tugasnya yang begitu lama tertunda, kesaktian
pamungkasnya langsung dikerahkan. Kesaktian apalagi yang hendak dikerahkan?
Sulit diduga Sementara, Andika memang sudah siap.
"Suing" Pedang
Pusaka Langit di tangan teracung di depan dada. Sinar mata Pendekar Slebor
merah membara, menyapu wajah berlendir Setan Laut.
Sehingga, wajah pemuda dari
tanah Jawa terlihat demikian angker.
Begitu memperhatikan
jelas-jelas pedang di tangan Pendekar Slebor, ketiga murid si Manusia Ular
mendadak terpesona terhadap keindahan-nya. Tak hanya bercahaya merah bara
memukau yang tak dimiliki pedang lain, bentuknya pun demikian memancing decak
kagum. Gagangnya berbentuk naga. Sepuhannya dari emas. Sedangkan bentuk
batangnya memiliki beberapa lekukan di ujung, bagai ekor naga.
"Hey? Bukankah itu Pedang
Pusaka Langit yang menggegerkan dunia persilatan sekian abad lalu? Bagaimana
bisa pedang itu di tangan pemuda ingusan ini?" desis Ular Merah, tak
percaya raut wajahnya seperti seorang yang menyaksikan keindahan sorga.
Jika Setan Laut untuk sejenak
menghentikan pengerahan kesaktiannya, lain lagi dengan Pendekar Slebor. Dengan
serta-merta, diterjangnya Setan Laut.
"Heaaa" Kain pusaka
bercorak catur Pendekar Slebor meluncur deras di permukaan laut. Di atasnya,
berkelebat kilatan sinar pedang membentuk pola rumit menyilaukan.
Setan Laut sempat terkesiap.
Tak pernah disangka kalau pemuda yang baru dikenalnya itu sanggup melakukan
gerakan demikian sempurna. Matanya yang jeli dapat menangkap kalau gerak pedang
itu tak beraturan. Bahkan cenderung, ngawur. Namun di balik itu, terpendam
kehebatan tak terukur Andika memang sedang mengerahkan jurus-jurus sakti
ciptaannya 'Mengubak Hujanan Petir Membabi-buta', jurus yang sulit diterka ke
mana arahnya, dan apa yang diincarnya.
"Siapa anak muda
ini?" bisik Setan Laut samar sebelum melipat tangan ke dada, hendak
menghindari ayunan sinar merah bara dari Pedang Pusaka Langit.
Swing "Bangsat"
Setan Laut terpaksa melempar tubuhnya ke belakang, ketika tiba-tiba saja gerak
ayunan pedang itu berubah tak terduga ke lehernya. Padahal semula disangka
tangannya saja yang terancam.
"Kak Kita harus
membantunya Aku merasa anak muda ini sama sekali tidak bisa dianggap main-main.
Lebih-lebih dengan Pedang Pusaka Langit di tangannya" usul Ular Belang, di
sisi lain. "Ya Aku pun berpikir begitu" tanggap Ular Merah, sungguh-sungguh.
Maka, mereka segera meraih
belahan kayu terbengkalai dari geladak kapal. Dengan kayu di masing-masing
kaki, mereka meluncur menuju medan laga.
Setibanya di dekat Pendekar
Slebor, mereka segera saja meruntunkan jurus tingkat tinggi.
Sayang, kurungan kelebatan
pedang Andika langsung menghambat seketika.
Swing-swing-swing Berkali-kali
ketiga murid si Manusia Ular mencoba menembus benteng merah bara yang
berseliweran bagai kerjapan petir di siang bolong di sekujur tubuh Andika. Dan
berkali-kali pula mereka gagal. Bahkan Pendekar Slebor sanggup menitipkan
sabetan berbahaya yang sungsangsumbel dihindari ketiganya.
Menjelang sembilan puluh
jurus, benteng itu belum lagi terjebol. Sementara, Setan Laut mulai khawatir
kalau kapal akan pergi terlalu jauh. Kalau sekali ini luput lagi, bagaimana
harus mempertanggungjawabkan pada sang guru? "Jahanam Bagaimana dia bisa
bergerak secepat itu" rutuk Setan Laut, murka bukan main. Jika
dihitung-hitung kembali, gerakan murka Pendekar Slebor mungkin amat sulit
ditembus. Setan Laut sendiri kurang yakin dengan gerakannya, jika menilik
setiap kelebatan pedang yang sanggup menyesakkan udara sekitarnya dengan hawa
panas membakar.
"Jangan hadapi dia dengan
jurus-jurus kalian Dia punya kehebatan lebih pada gerakannya" seru Setan
Laut, memperingati kedua saudara seperguruannya. "Kekuatan kita harus
dis-atukan, lalu gempur dia" Ketiga orang itu cepat mengambil sikap
masing-masing. Dikurungnya Andika dari tiga jurusan berbeda. Sementara orang
yang dikurung sudah tak peduli apa-apa lagi, mengamuk membabi-buta. Tak peduli
apakah akan menebas lawan atau sekadar angin Sesaat berikutnya....
"Gempur" Slash Tiga
berkas cahaya memanjang yang berwarna serupa langsung mencelat dari telapak
tangan tiga lawan Pendekar Slebor. Dari tiga jurusan berbeda, secara
berbarengan berkas-berkas cahaya hitam keunguan tadi menerjang benteng
kelebatan sinar pedang Pendekar Slebor.
Kekalapan Andika membuatnya
tidak menyadari bahaya. Hingga....
Desh Bagai tiga bunyi yang
menyatu, terdengar suara keras ketika tiga cahaya itu melanda tubuh Pendekar
Slebor.
Andika tersentak di tempat.
Dia tak terpental, karena masing-masing sinar menekannya dari arah lain.
Gerak liar Pedang Pusaka
Langit terhenti seketika. Kuda-kudanya limbung, wajahnya memucat. Lamat-lamat,
terdengar gemeletuk rahang.
Tampaknya, Pendekar Slebor
demikian tersiksa akibat serangan ketiga lawannya barusan. Dan ini membuat
pandangannya kehilangan kekuatan.
Alam mendadak gelap. Kalau
datang serangan berikutnya, Pendekar Slebor pasti tak tahu harus bergerak ke
mana. Atau, bagaimana caranya berkelit. Seluruh tubuhnya seperti mati seketika,
di-berangus rasa tercabik-cabik.
Hanya keteguhan hati yang
membuat Pendekar Slebor masih bertahan pada kuda-kudanya.
Hal yang ditakutkan akhirnya terjadi
juga.
Untuk kedua kalinya, ketiga
lawan Pendekar Slebor mengirim kembali berkas-berkas cahaya hitam keunguan....
Slash Desh "Akh"
Andika hanya sempat memekik kecil. Setelah itu tubuhnya semakin limbung. Tanpa
dapat ditahan, dia tersurut ke permukaan laut. Dan samudera pun segera menelan
tubuh pemuda itu bulat-bulat.
Sepi.... Angin mendesis-desis
mengutuki tiga manusia laknat yang masih berdiri dengan senyum samar
masing-masing.
"Tunggu apa lagi? Ayo
kita segera menyusul kapal itu" cetus Ular Belang, meretakkan ke-heningan.
Dua saudara seperguruannya
mengangguk. Baru saja Dua Ular Laut hendak melompat ke kapal, tiba-tiba saja...
"Aiii" Glar Dengan
mata kepala sendiri, Dua Ular Laut menyaksikan kapal hantu mereka lebur
berkeping-keping. Bilahan papannya berhamburan ke segala penjuru, jauh dari
tempat semula. Tulang-belulang di dalamnya ikut berpentalan. Kapal besar itu
seakan baru saja diledakkan mesiu berpe-ti-peti. Di antara hamburan pecahan
papan, terlihat kelebatan seekor kelelawar hitam terbang jalang ke angkasa.
Geraknya seperti ketakutan.
Dalam selang yang teramat
singkat, sesosok bayangan lain berkelebat dari dasar laut. Dan bayangan itu
meluncur lurus menyusul gerak kelelawar raksasa di udara.
"Heaaa" Crash
Bersama bentangan seberkas sinar merah bara, tubuh kelelawar tadi terbelah dua.
Darahnya tersembur, dan jatuh tertelan keluasaan samudera. Disusul, dua
potongan tubuhnya..., Menjelang potongan bangkai kelelawar tertelan lautan,
seberkas cahaya jingga menyilaukan terlepas dari tubuh binatang itu dikawal
dengking amat santer yang mirip suara pembunuh para awak kapal sebelumnya.
Detak-detak waktu selanjutnya,
tiga momok Laut Selatan memperdengarkan dengkingan pula. Mereka bergelinjangan
liar, bersama potongan-potongan sinar hitam keunguan yang menyeruak dari
seluruh pori-pori kulit.
Plumb Suara lembut permukaan
dasar laut menjadi pertanda tertelannya tubuh mereka ke dasar samudera. Dan
mereka pasti akan menjadi santapan hewan-hewan laut pemangsa setelah menjadi
pemangsa bengis terhadap sesama.
Di salah satu pecahan bangkai
kapal, Andika terduduk kuyu tanpa gairah. Wajahnya tak bersinar, tapi
memperlihatkan kelegaan teramat sangat. Ketika serangan sinar ketiga lawannya,
Pendekar Slebor memang telah kehilangan kesadaran sama sekali. Namun di dalam
laut, sesuatu yang sama sekali tak disangka langsung terjadi.
Pedang Pusaka Langit yang
memiliki keampuhan melipatgandakan kehebatan seseorang menjadi sepuluh kali
lipat, mendadak saja bergetar di genggaman tangan Andika.
Saat yang sama, tenaga sakti
di tubuh pemuda itu bergejolak dan bergejolak, untuk melipatgandakan tenaga
Pendekar Slebor. Pada puncaknya, Andika tersadar.
Sesaknya napas di dalam air,
membuat Andika secepatnya menuju permukaan. Dan saat itulah Pendekar Slebor
melihat sesuatu mencurigakan pada bagian lambung kapal Ular Laut Kepala Kembar.
Andika melihat ada berkas-berkas sinar jingga menyilaukan yang bergerak-gerak
di dalamnya.
Terbetik dugaan kuat, bahwa
sinar yang diyakininya sebagai wujud manusia ular itulah yang telah memberi
kesaktian pada tiga lawannya. Maka, Andika pun langsung menghantam kapal itu
dengan puncak tenaga sakti yang kini sudah menjadi berlipat sepuluh kali.
Begitu hancur, berkas sinar yang ternyata berubah menjadi seekor kelelawar
langsung menyerang.
Dugaan Pendekar Slebor tidak
meleset.
Dengan kematian sang kelelawar
yang menjadi jasad bersemayam nya si Manusia Ular, maka hubungan antara alam
kasar pun terputus. Dan, terputus pula kesaktian yang telah dilimpahkan pada
ketiga muridnya....
Hal yang sama pernah dialami
Andika ketika berhadapan dengan Manusia Dari Pusat Bumi.
Itu sebabnya, dia bisa begitu
cepat menduga (Untuk lebih jelas tentang hal itu, bacalah episode:
"Manusia Dari Pusat Bumi", "Pengadilan Perut Bumi", dan
"Bayang-bayang Gaib").
"Andika...." Suara
lembut menegurnya.
Andika menoleh kuyu. Tampak
Chin Liong bersama Ying Lien tengah mengendarai perahu kecil. Wajah gadis Cina
jelita itu sudah basah.
Ketika Andika naik ke perahu,
Ying Lien menghambur ke dadanya. Tangis harunya kontan tertumpah di sana....
SELESAI