Serial Pendekar Gila episode 13 Kalung Keramat Warisan Iblis

Serial Pendekar Gila episode 13 Kalung Keramat Warisan Iblis
Firman Raharja
-------------------------------
----------------------------

Serial Pendekar Gila episode 13 Kalung Keramat Warisan Iblis

1
Sore hari itu pertempuran seru terjadi di halaman Kadipaten Pakisaji. Mayat bergelimpangan mengerikan di sekitar tempat itu. Jeritan para prajurit terdengar menyayat hati.

Lelaki tinggi besar berjubah hitam sedang mengamuk. Kuku-kukunya yang panjang dan tajam mencengkeram prajurit Kadipaten Pakisaji dengan ganas.

Orang itu membunuh dengan mudah, karena memiliki ilmu yang sangat tinggi.

"Aaakh..." "Ukh..." Jeritan kematian senantiasa terdengar. Dan lelaki berwajah sangat seram itu tertawa tergelak-gelak.

Alisnya tebal. Kumis dan jenggotnya juga lebat. Sedang-kan matanya memerah bagai darah, tajam menatap setiap orang.

"Ha ha ha..." Lelaki itu tampak puas melihat mayat-mayat bergelimpangan di halaman Kadipaten Pakisaji.

Sudah puluhan prajurit dibunuhnya. Mereka memang tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi kesaktian lawan. Setangguh-tangguhnya seorang prajurit, tak akan mampu menandingi tokoh golongan hitam seperti lelaki berwajah setan itu.

Sedangkan orang yang dapat diandalkan untuk menghadapi lawan yang ganas itu tidak ada sama sekali. Para senapati yang memiliki kesaktian lebih tinggi dari para prajurit saat itu tidak berada di sana. Mereka sedang mengejar seseorang yang telah melakukan pembunuhan terhadap Adipati Prakasi. Pemimpin mereka itu dibunuh dengan cara keji. Lehernya tertembus oleh kerisnya sendiri setelah terlibat pertarungan seru  dengan lawan yang membunuhnya.

Maka tak pelak lagi, lelaki berwajah setan itu dengan leluasa memporak-porandakan Kadipaten Pakisaji.

"Ha ha ha... Aku puas Aku puas Satu persatu akan kuhancurkan kadipaten-kadipaten yang kuat di tanah Jawa Dwipa ini. Ha ha ha..." Lelaki berwajah setan itu terus tertawa-tawa sambil menghajari prajurit yang menyerangnya. Menendang dan membanting mereka dengan seenaknya, tanpa belas kasihan sedikit pun. Seperti membunuh sekawanan kelinci saja. Jiwa manusia seperti tak berarti baginya.

Sebagian prajurit yang tak memiliki nyali, kabur meninggalkan kadipaten. Sedangkan para penduduk kalang-kabut berlarian tunggang-langgang sambil berjeritan. Para wanita, anak-anak berteriak dan menangis. Karena suami atau ayahnya mati dibunuh lelaki berwajah setan itu.

Ada lima prajurit yang memiliki ilmu silat agak lumayan coba melawannya berbarengan.

"Heaaat..." Golok-golok kelima prajurit itu membabat ke tubuh lelaki berjubah serba hitam itu. Namun begitu membabat tubuh lelaki berwajah setan itu golok-golok itu malah patah dua.

"Hah...?" "Ha ha ha..." lelaki berwajah setan itu tertawa tergelak-gelak.

Lima prajurit yang menyerang menjadi keheranan. Wajah mereka seketika pucat pasi. Seluruh tubuh kelima prajurit itu gemetaran. Mereka mau lari, tapi tak bisa. Kaki mereka mendadak terasa berat. Maka lelaki berwajah setan dengan amat mudah menghajar kelima prajurit itu sampai mati.

 Jeritan panjang dari kelima prajurit malang itu terdengar menyayat hati. Mereka terjerembab ke tanah dengan tubuh berlumuran darah. Seorang wanita berlari sambil berteriak-teriak dan menangis, menghampiri mayat suaminya yang baru saja dibunuh lelaki berwajah setan itu.

"Kakang... Kakang..." seru wanita itu sambil menangis, meratapi kematian suaminya.

Lelaki berwajah setan malah tertawa melihat wanita itu meratapi suaminya yang baru saja terbunuh.

"Ha ha ha.... Kau tak perlu lagi menangisi suamimu. Aku bersedia menjadi penggantinya. Ha ha ha..." kata lelaki berwajah setan dengan suara yang besar menakutkan.

"Kau manusia biadab" teriak wanita itu seraya berdiri Tangan kanan wanita itu telah menggapai golok yang tergeletak di tanah. Lalu diserangnya lelaki berwajah setan. Namun dengan mudah lelaki itu memegang lengannya dan dengan sekali totok, dia telah pingsan.

"Akh..." pekik wanita itu perlahan.

"Kau akan jadi santapan ku hari ini, Perempuan Ayu. Ha ha ha..." Dengan langkah tenang lelaki itu pergi dari halaman Kadipaten Pakisaji. Sementara para penduduk yang melihatnya makin ketakutan. Mereka hanya mengintip dari balik pohon dan semak-semak di sekitar kadipaten yang telah porak-poranda itu.

Sampai di ujung jalan, lelaki berwajah setan itu tiba-tiba menghilang.

Barulah orang-orang yang tadi bersembunyi berhamburan keluar. Para wanita dan anak-anak menangis mencari suami atau orangtua mereka yang  mungkin mati dibunuh lelaki tadi.

Sementara mereka dilanda kesedihan, lima senapati bersaudara muncul. Kelimanya berpakaian sama, dengan blangkon menutupi kepala mereka. Dan di pinggang masing-masing terselip semacam senjata kelewang.

"Ya, Gusti... Apa yang telah terjadi...?" gumam Sentanu, orang tertua dari lima bersaudara itu.

Mereka segera berlari menghampiri kerumunan dengan perasaan tak karuan.

"Apa yang telah terjadi, Kisanak..?" tanya Sentanu pada seorang prajurit yang sempat lolos dari tangan lelaki berwajah setan.

"Ma... manusia setan itu.... Di... dia datang lagi.... Akh...," prajurit itu tak kuasa lagi meneruskan ucapannya. Kemudian dia terkulai tanpa nyawa lagi.

Rupanya luka-luka di sekujur tubuhnya tak tertahan lagi.

"Edan Biadab... Tak salah lagi, ini pasti perbuatan si Rekso" desis Sentanu perlahan. Wajahnya tampak penuh kesedihan bercampur kemarahan.

"Benar-benar binatang Bukan manusia yang membunuh demikian keji...," gerutu Sancaka yang berdiri di sebelah kanan Sentanu.

"Siapa kiranya yang berbuat ini semua, Kakang...?" tanya Sandika pada Sentanu.

"Rekso Bagaspati" jawab Sentanu tegas. Wajahnya tampak penuh geram dan dendam. "Kita harus cepat mencarinya. Sudah tiga bulan terakhir kejadian seperti ini terjadi di kadipaten lain." "Rupanya Rekso ingin menghancurkan orangorang perguruan aliran putih, agar maksudnya terlaksana...," sahut Sancaka penuh geram. Telapak tangannya mengepal kuat-kuat. Sedangkan dadanya naik turun dengan cepat, menandakan kemarahannya sudah  memuncak.

"Kita kecolongan, Kakang...," keluh Sandika dengan suara lirih.

"Ya.... Mari kita makamkan jasad mereka....

Kumpulkan semua prajurit yang masih hidup untuk menguburkan prajurit dan penduduk yang mati," perintah Sentanu pada adik-adiknya.

"Baik, Kakang...," keempat adiknya menjawab bersamaan. Lalu mereka segera pergi untuk mengumpulkan prajurit yang masih hidup.

Sentanu kembali memandangi jasad para prajurit. Ia berjongkok perlahan dengan perasaan yang tak karuan. Ia merasa bersalah telah meninggalkan Adipati Prakasi.

"Aku merasa bersalah, semestinya aku tak pergi bersama keempat adikku...," keluh Sentanu.

***
Pagi itu udara tak begitu terik. Angin semilir menyapu lembah yang menghijau. Sepasang kaki melangkah mantap menapaki jalan berumput di lereng lembah itu. Kaki tersebut milik seorang pemuda bertubuh tegap dan berwajah ganteng. Rambutnya sedikit ikal, panjang sebatas bahu. Tubuhnya ditutup rompi kulit ular sanca dengan suling berkepala naga keemasan di pinggangnya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Gila atau Sena Manggala.

Sena tampak riang pagi itu. Pemuda itu tertawa-tawa kecil sambil menggaruk-garuk kepala, dan sesekali menepuk-nepuk pantat. Tingkahnya memang mirip orang gila. Terkadang dia berjingkrak-jingkrak, seperti monyet.

"Daerah ini tampaknya cukup nyaman dan aman. Mudah-mudahan di depan, di bawah lembah ini  ada desa. Aku sudah lapar...," gumam Sena, berbicara pada diri sendiri.

Sena kemudian menuruni jalan yang berbelokbelok. Di kanan dan kirinya berjajar pepohonan. Sesampai di bawah, pada dataran yang rata dan luas, Sena berhenti sejenak. Ia memandang ke sekeliling.

"Hi hi hi.... Sepi. Tapi aku suka tempat ini. Kalau saja perutku tidak keroncongan, ingin rasanya aku beristirahat lama di sini," kata Sena.

Sambil tertawa-tawa sendiri tak beda dengan orang gila, Sena terus menyapukan pandangan ke sekeliling daerah itu.

"Hah...?" serunya tertahan.

Sena tampak gembira ketika matanya melihat sebuah telaga yang cukup besar di depan kanannya.

Sena segera berlari kecil mendekati sambil tertawa dan berjingkrakan.

"Sebaiknya aku menyegarkan badan dulu di telaga ini...," gumam Sena. Tangannya mempermainkan air telaga yang bening dan dingin itu.

Tapi baru saja Sena hendak membuka pakaian, pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah di belakangnya. Sena sengaja tak segera bertindak, seakan ia tak mendengar suara itu. Sena terus membersihkan wajahnya dengan air telaga itu.

Rupanya Sentanu bersaudara muncul dari balik baru dan semak di sekitar tempat itu. Kelima lelaki itu melompat gagah di belakang tubuh Pendekar Gila.

"Hai Kisanak..." tegur Sentanu dengan nada tinggi.

Sena acuh, seakan tidak mendengar seruan tadi. Dia tetap saja membersihkan wajah dan lengannya dengan air telaga.

"Hei Apa kau tuli...?" bentak Sentanu kemudian, karena tegurannya tidak diacuhkan Sena.

 Sancaka yang berwatak agak keras dan mudah marah, segera melangkah mendekati Sena. Dengan kasar ditariknya rompi Sena. Namun tubuh pemuda itu tidak bergeming sedikit pun.

"Hah... ?" Sancaka jadi kaget dan heran. Matanya membelalak. "Edan Orang ini rupanya bukan orang biasa...." Sentanu dan ketiga saudaranya yang lain juga ikut heran dan bertanya-tanya dalam hati. Siapa pemuda berompi kulit ular sanca itu? "Hi hi hi...." Tubuh Sena tiba-tiba berbalik lalu dengan gerakan lemah ia bangkit sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Tentu saja Sancaka yang berada di dekatnya menjadi kaget. Kakinya menyurut satu tombak dari Sena.

Kelima bersaudara itu mengerutkan kening menyaksikan ulah Sena yang seperti orang tak waras.

Sentanu saling pandang dengan saudara-saudaranya.

"Mungkin orang ini jelmaan Rekso, Kakang.

Bukankah Rekso dapat berubah wujud...? ujar Sandika mengingatkan Sentanu.

"Benar, Kakang. Kita harus waspada...," timpal Sumbaga.

Sentanu hanya mengangguk perlahan.

"Kisanak... Siapa kau dan dari mana asalmu?" tanya Sentanu dengan nada agak tinggi pada Sena.

"Hi hi hi..." Sena kembali tertawa sambil menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat. Membuat Sentanu dan keempat adiknya kembali mengerutkan kening.

Mereka benar-benar dibuat terheran-heran.

"Hei... Apa kau tuli? Aku tahu kau coba mengelabui aku, Rekso" bentak Sentanu sambil menuding ke arah Sena.

 Sena yang mendengar ucapan Sentanu jadi mengerutkan kening.

"Rekso...?" gumam Sena tak mengerti. Lalu bibirnya cengengesan seraya berjingkrak-jingkrak "Hi hi hi..." "Keparat Ditanya malah cengengesan..." Sentanu mulai marah.

"Sebaiknya kita ringkus dia, Kakang...," kata Sancaka dengan geram.

Di bentak oleh Sancaka begitu rupa tidak menjadikan Sena takut. Dia bertingkah semakin menggila.

Tubuhnya melompat-lompat sambil menggaruk-garuk kepala dan menepuk pantat, disertai derai tawa geli.

"Kurang ajar Ini tak bisa dibiarkan, Kakang..." seru Sancaka lagi. Ia cepat mencabut kelewangnya, diikuti ketiga saudaranya. Hanya Sentanu yang agak tenang.

"Tunggu. Kalian jangan gegabah..." sergah Sentanu, melarang keempat adiknya yang sudah menghunus kelewang. Mereka pun telah mengurung Sena.

Sancaka yang dicegah oleh Sentanu merasa kesal. Giginya bergemerutuk menahan kekesalan. Demikian pula dengan yang lain.

"Kisanak, sebelum kesabaran kami hilang, katakan siapa kau dan apa tujuanmu memasuki daerah ini...?" tanya Sentanu dengan suara keras.

"Apakah ada larangan untuk memasuki daerah ini?" Sena balik bertanya dengan tingkah masih seperti orang gila.

"Kurang ajar... Tangkap..." seru Sentanu memerintahkan adik-adiknya untuk menangkap Sena.

Tampaknya dia telah kehilangan kesabaran.

Keempat lelaki yang telah mengurung Sena segera melompat serempak sambil mengayunkan kelewangnya.

 "Heaaa..." "Mampus kau, Orang Gila..." teriak Sancaka.

Namun belum lagi senjata mereka sampai ke tubuhnya, dengan cepat Sena melompat ke udara sambil bersalto melewati empat lelaki bersaudara itu.

"Hah...?" Keempatnya berseru heran. Biasanya jurus itu tak pernah gagal menundukkan lawan. Tapi kali ini serangan mereka gagal. Melihat serangan adik-adiknya gagal, Sentanu segera melompat membantu mereka.

Kini kelima bersaudara itu dengan serempak menyerang Sena yang tetap cengengesan dan menggarukgaruk kepala.

"Heaaat..." Wut Wut Wut...

Suara kelewang mendesing di atas kepala Pendekar Gila yang merunduk. Sedangkan Sentanu yang belum mencabut kelewangnya menghantamkan pukulan tangan kosong ke arah wajah Pendekar Gila yang sedang merunduk. Namun pendekar muda itu sudah mengetahuinya. Dipapakinya pukulan Sentanu dengan serangan balik yang cepat, yang sukar dilakukan oleh orang lain. Karena saat itu Sena dalam posisi merunduk. Jika bukan dia, tak mungkin dapat melakukan serangan balik itu.

Dengan gerakan yang terlihat pelan, tapi sebenarnya cepat, Sena menghentakkan kedua telapak tangannya.

"Heaaa..." Blarrr "Akh..." Sentanu memekik, tubuhnya terhuyung tiga tombak ke belakang.

Sena lalu cepat berkelit sambil bersalto beberapa kali di tanah. Kemudian dengan gerakan cepat ia sudah berdiri tiga tombak di depan lawan-lawannya.

 Empat dari kelima lelaki yang menamakan diri mereka Kelewang Maut itu segera menyerang Sena kembali. Namun Sena tetap tenang. Tubuhnya tak bergerak sedikit pun. Dia tak menghindar dari serangan keempat Kelewang Maut.

"Heaaa..." Wut Wut...

"Heaaat..." Hanya dengan memiringkan tubuh ke kanan dan kiri, Pendekar Gila mengelakkan sabetan keempat kelewang yang mengarah ke leher dan dadanya. Diakhiri dengan lompatan, Sena menendang sambil berputar di udara.

Krak Desss "Aaakh..." Tendangan sepasang kaki Pendekar Gila tepat menghajar kepala keempat Kelewang Maut. Mereka berjatuhan diiringi jerit kesakitan.

Melihat keempat adiknya gagal menangkap Sena dan malah mendapat cidera, Sentanu bangkit dan mencabut kelewangnya. Tak dipedulikannya rasa sakit yang masih bersarang di dadanya.

"Pemuda gila Kali ini kau tak akan lolos dari tanganku. Ayo kita adu ilmu satu lawan satu" tantang Sentanu dengan geram.

Sentanu mulai mengumpulkan tenaga dalamnya dengan merentangkan kedua tangannya lebarlebar bagai elang akan terbang. Sedangkan kedua kakinya membuat kuda-kuda yang mantap. Kelewang di tangan kanannya dengan cepat dipermainkan di atas kepala. Kemudian dengan gerakan membabat, Sentanu memperagakan jurus-jurus mautnya. Jurus 'Kelewang Maut Mencabut Nyawa'.

"Hi hi hi.... Kisanak.... Maaf, aku sebenarnya ti-  dak mau berselisih dengan kalian. Masih banyak hal penting yang harus kukerjakan. Maaf, aku tak ada waktu lagi meladeni kalian...," kata Sena dengan gayanya yang khas. Lalu secepat kilat tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu.

Sentanu menjadi jengkel bukan main.

"Sancaka, Sandika... Sumbaga, Sumirta. Ayo kita kejar pemuda gila itu..." serunya cepat.

Maka kelima Kelewang Maut itu pun melesat mengejar Sena, meninggalkan tempat itu 

2

Lima bersaudara Kelewang Maut masih mengejar Pendekar Gila. Sudah cukup jauh berlari. Namun tak ada tanda-tanda kalau orang yang diburu akan terkejar.

Aneh? Pemuda gila itu begitu cepat menghilang. Ilmu apa yang digunakannya? Padahal aku dan adik-adikku telah menggunakan tenaga dalam penuh Gumam Sentanu dalam hari. Nafasnya naik turun, keringat membasahi kening dan tubuhnya. Begitu pula dengan keempat adiknya.

"Dugaanku tak meleset, Kakang. Orang gila itu pasti jelmaan Rekso Bagaspati yang kita cari. Manusia laknat" geram Sancaka. Walaupun wajahnya tampak kelelahan.

"Yah, Kakang. Kalau bukan Rekso, siapa lagi? Manusia biasa tidak mungkin secepat itu menghilang...," tambah Sandika sambil menyeka keringat di keningnya.

"Ya. Tapi kalau kuperhatikan perlawanannya terhadap kita, tampaknya dia tak bermaksud mencide-  rai atau membunuh kita. Sedangkan kita semua tahu kalau Rekso tidak pernah membiarkan lawannya hidup. Apalagi kabur seperti pemuda itu...," ucap Sentanu pada adik-adiknya. Sentanu berpikir keras. Siapa sebenarnya pemuda berompi kulit ular sanca itu.

Belum lagi Sentanu mendapatkan jawaban, tiba-tiba Sancaka yang berwatak keras dan gampang marah berkata, "Kakang tak usah ragu. Orang gila itu pasti Rekso Bagaspati. Kita harus segera meringkusnya hidup atau mati Rasanya kita berdosa kalau tidak dapat meringkus atau membunuhnya. Penduduk Pakisaji telah banyak mati dibunuh manusia iblis itu. Jadi kita harus berani berkorban juga demi kebenaran dan ketenteraman rimba persilatan." Sentanu menganggukkan kepala perlahan sambil memegang dagu.

"Benar. Tapi kita harus hati-hati, tak boleh gegabah. Kita harus memakai otak, jangan hanya dengan kekuatan. Namun menurut perasaanku, pemuda yang bertingkah aneh seperti orang gila itu...." "Bukan Rekso... Begitu maksud Kakang?" potong Sancaka cepat sebelum Sentanu meneruskan kalimatnya.

Sentanu menatap Sancaka tajam-tajam, lalu kepalanya mengangguk perlahan.

"Kakang tak usah berkhayal. Sebaiknya kita cepat mencari manusia iblis itu. Kalau tidak, hidup kita seperti dalam neraka..." sungut Sancaka.

"Benar, Kakang. Kita juga harus bisa melenyapkan kalung keramat itu. Kalau tidak, Rekso akan kebal terus. Dia akan lebih sering melakukan pembunuhan dan menculik gadis-gadis desa, demi kekebalannya," sambung Sandika dengan nada lebih lunak dari Sancaka.

 "Aku mengerti. Dan kita harus memusnahkan manusia iblis itu. Tapi kita harus jujur, bahwa sebenarnya kekuatan kita belum tentu mampu mengalahkan Rekso yang berilmu sangat tinggi. Apalagi dengan benda keramat berupa kalung itu," tutur Sentanu mengingatkan adik-adiknya.

"Tapi kita sudah sepakat untuk berkorban melawan manusia keparat itu" kembali Sancaka menegaskan dengan penuh emosi.

Rupanya tanpa sepengetahuan mereka, seseorang duduk dengan santai di atas cabang pohon yang besar. Dia dengan tenang mendengar seluruh percakapan Lima Kelewang Maut. Orang itu tak lain Sena Manggala. Bibirnya cengar-cengir mendengar perdebatan lima bersaudara di bawahnya. Sambil mengorekngorek telinganya dengan bulu ayam, Sena terus mengawasi mereka.

"Hi hi hi..." Tiba-tiba tawa Sena meledak, karena rasa geli di telinganya. Hingga orang yang berada di bawah tersentak kaget dan mencari-cari asal suara tawa itu.

Kelima Kelewang Maut berpencar seraya memandangi sekeliling tempat itu. Sentanu akhirnya menemukan Sena yang tampak tak peduli dirinya diketahui oleh kelima bersaudara itu. Dia terus asyik tertawa-tawa geli sambil mengorek telinga dengan bulu ayam. Entah kapan Sena mendapatkan bulu ayam itu.

Sancaka yang sudah tak sabar segera melenting ke atas. Lelaki itu bermaksud menghajar Sena. Namun belum sempat Sancaka membabatkan kelewangnya, Pendekar Gila yang terlihat acuh tiba-tiba saja menendang. Kakinya mendarat tepat di tangan kanan Sancaka yang menggenggam kelewang. Senjata itu jatuh disusul tubuh Sancaka. Rupanya Sena melancarkan pukulan tangan kirinya dengan cepat setelah menen-  dang.

dan....

 Melihat Sancaka gagal, Sentanu menjadi murka  "Heaaa..." Sentanu melompat sambil membabatkan kelewangnya. Namun Sena sudah siap menghadapi serangan itu. Dengan cepat tubuhnya dijatuhkan, seperti pesenam. Ia berkelit lincah di cabang pohon itu. Dengan kepala di bawah, kedua kakinya ditekuk dan bertahan di cabang pohon. Akibatnya kelewang Sentanu hanya menghajar pangkal cabang pohon tersebut.

Krak Cabang pohon itu patah. Namun tubuh Pendekar Gila sudah bersalto turun. Lalu mendarat dengan mantap di tanah berumput.

Di bawah, Sena sudah ditunggu oleh Sumbaga, Sumirta dan Sandika. Ketiganya langsung menyerang Sena.

Wut Wut "Heaaa..." Sena menangkis serangan mereka dengan kedua tangan dan terkadang merunduk atau berkelit bagai belut. Kelewang-kelewang itu nyaris mengenai leher Pendekar Gila. Sabetan dan tusukan ketiganya begitu cepat dan beragam, membuat Sena tak bisa main-main. Maka dengan cerdik Sena melompat ke udara lalu bersalto melewati ketiganya. Pendekar Gila mendarat di dekat Sancaka yang sudah siap menantinya. Pendekar Gila bergerak mundur dan kelima Kelewang Maut cepat mengurungnya.

Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala sambil tertawa cengengesan. Kemudian kepalanya menggeleng berulang-ulang.

"Kalian ini lucu. Hi hi hi.... Sudah kukatakan aku tak mau ribut dengan kalian...."  "Kali ini kami sudah tidak dapat memberi ampun kepada orang macam kau Aku tak bisa kau kelabui, Rekso..." bentak Sentanu geram.

"Rekso...?" ulang Sena sambil mengerutkan kening. "Hei... Kau menyebut namaku Rekso? Hi hi hi.....

Benar-benar lucu. Edan" "Kau yang edan Sengaja kau rubah wujud mu seperti itu agar kami tak mengenalmu. Kami bukan orang-orang bodoh, Rekso... Kau boleh pergi setelah menyerahkan kalung keramat penyebar maut itu padaku, sebelum kesabaran kami hilang..." timpal Sentanu gusar.

"Ayo serahkan kalung keramat Safir Mata Iblis itu" ancam Sandika yang berada tepat di depan Sena.

Sambil menggaruk-garuk kepala, Sena mencoba berpikir. Tapi belum sempat menemukan jawaban, seorang dari lima Kelewang Maut kembali membentak dengan suara keras.

"Jangan kau coba mencari jalan untuk menipu kami, Rekso Sebaiknya cepat kau serahkan kalung itu..." "Hi hi hi... Kalian ini memang orang-orang bodoh Kalian tahu? Namaku bukan Rekso Enak saja namaku dirubah. Hi hi hi..." kata Sena. Kali ini dia agak kesal. Nada suaranya terdengar tinggi dan berwibawa.

Sejenak Sentanu dan keempat adiknya saling pandang. Suara Sena yang penuh wibawa, membuat mereka mengerutkan kening. Suara Sena tadi seolah suara dewa yang mengingatkan mereka.

Namun Sancaka cepat berujar dengan penuh kemarahan.

"Kami sudah tak bisa memperpanjang kesabaran lagi. Sebaiknya cepat kau serahkan kalung keramat itu..."  Sena.

 Sancaka menghunus kelewangnya ke wajah  "Sabar, Kisanak. Sabar...." "Aaah.... Jangan banyak mulut Kau telah membunuh prajurit-prajurit Kadipaten Pakisaji dan Adipati Prakasi dengan keji Kini kau harus menerima pembalasan..." Suara Sancaka terdengar lantang penuh kemarahan. Seketika itu juga mereka mengurung Pendekar Gila.

Sena yang dikurung bukannya gentar, dia malah cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantatnya, persis orang gila.

"Kalian ini memang orang-orang yang suka membuat keonaran dan tidak bersahabat. Menuduh orang seenaknya Aku belum pernah membunuh. Apalagi datang ke Kadipaten Pakisaji. Aku baru mendengar nama kadipaten itu dari mulut kalian Dan aku tidak memiliki kalung keramat yang kalian sebut-sebut itu..." bantah Sena santai.

Kemudian dicabutnya Suling Naga Sakti dari ikat pinggangnya. Diangkatnya tinggi-tinggi benda itu.

Mendadak selarik sinar membias dari kepala naga berwarna keemasan itu. "Yang kumiliki hanya ini...." Lima Kelewang Maut mendadak terkesiap saat mata mereka melihat sinar yang menggetarkan membersit dari mata naga di pangkal suling itu. Dengan warna sinar keperakan, sinar itu menyilaukan mata mereka.

Sentanu yang tertua dari kelima bersaudara itu ingin menanyakan sesuatu. Tapi karena keempat adiknya sudah tak sabar untuk meringkus Sena, maka Sentanu terpaksa ikut menyerang dengan membabatkan kelewangnya berbareng ke arah Sena.

Pendekar Gila dengan cepat melenting ke atas.

 Maka tebasan kelima orang itu hanya membabat angin. Sedangkan Pendekar Gila sudah bertengger pada sebuah cabang pohon sambil menggaruk-garuk kepala dan mulut cengengesan.

Kelima penyerangnya jadi semakin kesal. Serentak mereka menyerang Sena dengan cepat. Tubuh kelima orang itu melompat ke arah Pendekar Gila sambil menghunjamkan kelewangnya dengan ganas.

Secepat itu pula Sena melenting dan turun kembali dengan ringan.

Orang-orang ini rupanya tidak bisa dikasih hati. Hampir saja perutku jadi sasaran senjata mereka Gerutu Sena dalam hari. Begitu kaki para pengeroyok mendarat di tanah, mereka langsung menyerbu Sena lagi dengan lebih ganas.

Namun Pendekar Gila dengan cepat merebahkan tubuhnya ke belakang dibarengi dengan tendangan kaki kanannya ke seorang lawan yang berada di depan. Tak pelak lagi, perut orang itu bagai dihantam benda yang berat. Dia terpental deras lima tombak ke belakang.

Melihat saudaranya terluka, empat orang lainnya makin kalap. Dengan memutar-mutar senjata, mereka mengurung Sena untuk memulai jurus ampuh mereka. Namun Pendekar Gila yang tak mau lebih lama lagi berurusan dengan kelima bersaudara itu, segera membuka jurus mautnya. Setelah mencium Suling Naga Saktinya, Sena mempermainkan suling itu dengan gerakan bagai menari.

Pada saat Sena hendak menghentakkan Suling Naga Sakti ke para lawannya, tiba-tiba Sentanu berseru, "Tunggu, Kisanak... Tunggu" Seruan Sentanu membuat keempat saudaranya bingung. Mereka saling pandang tak mengerti.

 "Ada apa, Kakang...?" tanya Sancaka kesal.

"Diam kau..." bentak Sentanu, Sena sebenarnya memang tak ingin menggunakan Suling Naga Saktinya untuk menghancurkan kelima orang itu.

Sejenak kelimanya saling pandang. Sena kembali menggaruk-garuk kepala. Suling Naga Saktinya yang berada dalam genggaman tangan kanannya diturunkan.

"Kisanak, siapa kau sebenarnya?" tanya Sentanu, dengan suara tak segarang tadi.

Sena tak langsung menjawab. Tangannya malah menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Dipandanginya kelima orang yang masih dalam keheranan itu.

"Hi hi hi.... Baiklah kalau kalian ingin tahu siapa aku sebenarnya. Yang jelas aku bukan Rekso seperti yang kalian tuduhkan padaku, Aku Sena, Sena Manggala...." Kelimanya saling pandang dengan mata yang bersinar terkejut.

"Sena Manggala...?" ulang Sentanu perlahan.

"Kisanak, kalau kami boleh tahu, apa nama senjata, yang Kisanak miliki itu?" Sena hanya cengar-cengir bodoh.

"Hi hi hi.... Kalian ini seperti anak kecil. Pakai tanya segala. Ini hanya sebuah suling. Guruku memberi nama Suling Naga Sakti," ucap Sena sambil cengengesan.

Lima orang di sekelilingnya tersentak kaget bukan main. Mereka lagi-lagi saling pandang.

"Sudah kuduga ketika kulihat kepala suling tadi...," gumam Sentanu lirih.

"Oh.... Kalau begitu, Kisanak adalah Pendekar Gila?"  Sena tak menjawab meski ucapan orang di depannya memang benar. Sena malah menggaruk-garuk kepala.

"Maaf..., kami telah salah sangka. Harap Tuan Pendekar mau memaafkan kami. Hanya saja, apakah Tuan Pendekar dapat menjelaskan maksud kehadiran Tuan Pendekar di kawasan kami...?" Sena sebenarnya ingin lekas-lekas meninggalkan tempat itu. Namun diam-diam dia pun ingin mengetahui lebih jauh siapa Rekso Bagaspati. Juga tentang kalung keramat yang sempat didengarnya dari kelima bersaudara itu.

"Sebelum ku jelaskan maksud dan tujuanku.

Aku ingin tahu, Siapa kalian sebenarnya?" tanya Sena sambil menyelipkan Suling Naga Sakti ke pinggang.

"Kami lima bersaudara dari Kadipaten Pakisaji.

Aku yang tertua. Namaku Sentanu. Kami dikenal dengan julukan Lima Kelewang Maut." Sena mengernyitkan kening. Tangannya menggaruk-garuk kepala.

"Melihat pakaian dan wajah kalian, aku percaya kalian adalah orang-orang persilatan dari aliran putih.

Tapi gerak-gerik kalian siang ini tidak beda dengan gerombolan perampok. Tidak kusangka, kalian yang selama ini disegani ternyata bertindak memalukan." "Kami memang salah," ucap Sentanu. "Semua terjadi karena kejengkelan kami sudah di puncaknya.

Kami bermaksud menangkap hidup atau mati manusia Iblis bernama Rekso Bagaspati, serta melenyapkan kalung keramat pembawa petaka itu. Walaupun kami harus mengorbankan nyawa sekalipun." "Benar, Tuan Pendekar. Kadipaten Pakisaji diporak-porandakan. Adipati Prakasi dibunuh dengan keji, demikian juga penduduk dan prajurit kadipaten.

Sedangkan wanita-wanitanya diculik untuk pemuas  nafsu iblisnya," sambung Sancaka. Kali ini suaranya tak segarang sebelum dia tahu siapa pemuda berompi kulit ular sanca itu.

"Edan Benar-benar edan..." maki Sena. Rasa bencinya timbul setelah mendengar penuturan Sentanu dan Sencaka.

"Kalau Tuan Pendekar mau membantu kami untuk menangkap atau membunuh Rekso Bagaspati, serta merebut kalung pembawa petaka itu..., kami sangat berterima kasih." Sena tak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sambil menggaruk-garuk kepala. Dan sambil tersenyum, kepalanya digelengkan.

"Kami sangat mengharapkan Tuan Pendekar mau membantu kami. Kami berlima tak mungkin dapat mengalahkan manusia iblis itu." Pendekar Gila menatap tajam Sentanu, lalu memandang yang lainnya satu persatu.

"Aku bukannya tidak mau membantu kalian.

Tapi aku pun banyak pekerjaan yang lebih berat dari apa yang kalian hadapi...," tolak Sena berbohong.

Sebenarnya, Pendekar Gila tertarik juga akan keterangan Sentanu tadi. Tapi dia ingin menyelidiki sendiri kebenaran cerita Sentanu. Sena pun paling benci dan murka jika ada orang semacam Rekso Bagaspati itu.

Sentanu dan keempat saudaranya tampak kecewa. Itu terlihat dari wajah mereka yang lusuh dan tak bersemangat. Hanya Sentanu yang bisa sedikit meredam kekecewaannya.

Sementara itu Sena telah melangkah jauh meninggalkan mereka. Menaiki lembah ke arah timur.

Sentanu dan keempat saudaranya memandang kepergian Pendekar Gila dengan perasaan masingmasing. Yang pasti mereka kecewa akan sikap Pende-  kar Gila.

"Kita tak bisa mendesaknya. Tingkah laku seorang pendekar tersohor terkadang memang aneh, misterius. Tapi aku yakin Pendekar Gila punya cara tersendiri untuk menumpas kejahatan, demi ketenteraman rimba persilatan ini...," kata Sentanu seperti berdesah.

3
Sinar matahari yang semula bersinar terang, mulai berubah kemerahan. Tanda hari menjelang senja. Saat itu Sena tengah melangkahkan kakinya memasuki sebuah kedai makan yang cukup luas.

Di sana ada beberapa meja berukuran besar dan sedang. Sena cepat-cepat mengambil tempat paling sudut. Selama seharian penuh dia memang menahan lapar. Itu sebabnya Sena tampak agak bergegas.

Perutnya sudah tidak bisa diajak berdamai lagi. Sena segera memesan makanan.

Selang beberapa saat, makanan datang. Sena segera menyantap makanan dengan lahap. Dia tak mempedulikan sekelilingnya. Yang penting perutnya bisa cepat terisi.

Tapi nafsu makannya jadi agak menurun ketika tanpa sengaja matanya memandang lelaki bercaping pandan. Pakaiannya serba hitam, dan juga kotor.

Apakah orang itu yang bernama Rekso Bagaspati? Tanya Sena dalam hari. Dia menghentikan makannya. Kemudian tangannya dicuci dengan air yang telah disediakan dalam kobokan terbuat dari tanah liat Mata Sena terus memandangi lelaki bercaping itu.

 Melihat gerak-geriknya yang aneh dan mencurigakan.... Ah, kenapa aku jadi pusing? Kata Sena lagi dalam hati. Lalu dia mencoba mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil meneguk air minumnya.

Tapi ketika Sena menoleh kembali ke arah orang bercaping tadi, ternyata lelaki itu telah menghilang.

"Hah? Edan... Ke mana manusia itu?" gumam Sena kesal.

Matanya terus menyapu ke seluruh ruangan.

Tapi, lelaki itu tak juga ditemukannya. Mungkin lelaki bercaping itu ke belakang untuk buang air kecil. Begitu pikir Sena. Namun setelah cukup lama menunggu, lelaki bercaping itu tak muncul-muncul.

"Ki..." Sena segera memanggil pemilik kedai dan cepat membayar makanan dan minuman.

"Terima kasih, Den," kata pemilik kedai sambil menerima uang dari Sena.

Sena pun segera bangkit dan keluar dari kedai.

Sejenak Sena berhenti di ambang pintu masuk kedai, matanya menyapu ke sekeliling dengan tajam. Setelah itu barulah dia melangkah meninggalkan tempat itu untuk mengejar lelaki bercaping tadi.

"Setan alas... Ke mana kunyuk itu pergi?" maki Sena seraya terus memburu cepat.

Sementara itu sang Surya makin condong ke barat. Sinarnya semakin memerah. Menjadikan suasana tidak seterang tadi. Angin pun terasa dingin oleh angin semilir.

Ketika sampai di ujung jalan dekat sebuah bangunan kosong, Sena menghentikan langkahnya.

Dia menggaruk-garuk kepala, kemudian menghela napas panjang.

"Edan, benar-benar iblis Baru saja tadi kulihat dia berbelok ke sini..." rutuk Sena kesal ketika me-  nyadari buruannya telah menghilang.

Baru saja Sena akan melangkah pergi, tiba-tiba sesosok bayangan muncul menghadangnya. Sena agak terkejut. Tapi sesaat kemudian mulutnya cengengesan sambil tangannya menggaruk-garuk kepala.

"Aku tidak suka ada orang yang menguntit ku..." ucap orang bercaping itu dengan nada suara yang tegas dan berat.

"Hi hi hi.... Ternyata kau memiliki ilmu yang tinggi.... Maaf kan aku," jawab Sena dengan tenang sambil cengar-cengir.

"Karena kau telah lancang membuntuti ku, maka kau harus menerima ganjaran...." Selesai berkata demikian, lelaki bercaping itu segera melancarkan pukulan ke arah Sena.

"Heaaa..." Wut Wut Sena tersentak kaget. Serangan lelaki bercaping itu ternyata begitu cepat. Hampir saja dadanya terkena pukulan. Untunglah Pendekar Gila tidak lengah. Dengan satu gerakan indah, dia bergerak ke samping.

Serangannya yang hanya mengenai angin, membuat lelaki bercaping itu makin penasaran.

"Heaaat.. Rasakan ini, Pemuda Edan" Kembali lelaki bercaping itu menyusulkan pukulan kedua, ketiga, dan seterusnya. Namun Pendekar Gila hanya berkelit dan menangkis dengan tangan kiri atau kanan untuk meladeni serangan cepat itu.

Namun dalam hati, Sena sesungguhnya mengakui kemampuan lawan. Apalagi kalau menilik dari tendangan dan pukulan lawan yang keras, mematikan serta menimbulkan suara angin yang kencang.

Wut Wut Karena serangannya tidak mengenai sasaran, lelaki bercaping itu berusaha kabur. Namun Sena ce-  pat bertindak menghalangi lelaki itu. Dia melompat melewati tubuh lelaki bercaping itu, lalu mendarat tepat di hadapannya. Namun lelaki yang dihadang itu dengan cepat pula menghindar. Tubuhnya melompat ke belakang Sena.

Kesabaran Pendekar Gila habis. Dengan jengkel dia kembali menghadang dan langsung meninju ke dada orang berbaju serba hitam itu. Dia hanya ingin menjatuhkannya. Karena itu serangannya hanya dilakukan dengan tenaga luar yang keras, ditambah sedikit tenaga dalam. Namun saat tangan kirinya hampir menyentuh tubuh lawan, lelaki bercaping lebar itu sudah berkelebat cepat sekali. Tubuhnya mengelak ke samping kiri. Lalu dia segera melepas serangan balasan berupa tusukan dua jari ke leher Sena. Entah mau menotok atau menusuk tembus batang leher Pendekar Gila.

Perkelahian akhirnya berlanjut kembali. Kali ini malah lebih seru.

Setelah mengelakkan tusukan jari yang ganas itu Sena menghantamkan sikut kirinya ke rusuk lawan. Namun lagi-lagi lawannya berhasil mementahkan serangan itu dengan satu kemplangan deras ke batok kepala Sena. Pendekar Gila cepat mengelak dengan memiringkan tubuhnya ke samping.

Hebat juga orang ini. Batok kepalaku hampir remuk dibuatnya Gumam Sena dalam hati.

Setelah berkelahi hampir dua belas jurus, Pendekar Gila segera menyadari bahwa dalam ilmu silat dan tenaga dalam, lawan jauh berada di bawahnya.

Tapi satu hal yang membuat orang itu sulit dikalahkan. Dia memiliki kecepatan gerak yang luar biasa.

Tubuhnya dengan ringan berkelebat kian kemari. Kalau saja yang dihadapinya bukan Pendekar Gila, mungkin sudah berapa kali orang berbaju serba hitam  itu berhasil menggebuk lawan tandingnya.

Enam belas jurus telah dilampaui. Pendekar Gila mulai dapat mencium kelelahan lawannya. Ternyata lawan yang dihadapinya memang masih mentah dalam pengalaman. Maka Sena pun mulai melancarkan serangan-serangan tipuan.

Pendekar Gila mulai menari dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Sedangkan lelaki bercaping kini mengeluarkan jurus andalannya yang bernama 'Tapak Sakti'.

Pada suatu saat pukulan 'Tapak Sakti' orang bercaping meluncur ganas ke dada Sena. Anehnya, Sena belum juga terlihat hendak berkelit. Bahkan ketika pukulan itu tinggal sejengkal lagi dari dadanya.

Rupanya dia sengaja melakukan itu untuk menjajal kekuatan tenaga dalam lawan. Tapi Sena tidak mau sembarangan, dia pun telah mengerahkan tenaga dalam untuk membentengi dadanya.

Bukkk Jotosan keras tepat melanda dada Sena. Tubuhnya berguncang keras. Sambil menahan sakit, Pendekar Gila melihat lawannya mundur. Apakah orang itu turut merasakan sakit pada tangan kanannya? Yang jelas tangannya yang semula mengepal membentuk tinju, kini merenggangkan jari-jarinya keluar, tanda dia dijalari rasa sakit. Di saat itulah Pendekar Gila menyergap ke depan. Gerakannya seperti hendak membuntal pinggang lawan. Tetapi tanpa diduga tangan kirinya tiba-tiba melayang ke atas lalu menarik lepas caping lebar di kepala lawan. Mulut orang itu mengeluarkan suara tertahan ketika caping yang terbuat dari daun pandan lepas dari kepalanya.

Dan secepat kilat orang itu melesat pergi meninggalkan Sena yang belum sempat melihat jelas wajah lelaki itu.

 Sena menggerutu kesal sambil memegangi caping di tangan kirinya.

"Dasar belut Hari ini aku mendapat sial. Tapi apakah dia benar si Rekso itu?" tanya Sena pada diri sendiri. Kemudian dia menggaruk-garuk kepala sambil menepuk-nepuk pantat.

Sena memandangi caping pandan itu sejenak.

Lalu tubuhnya berbalik dan berjalan menuju desa kembali untuk bermalam dan istirahat, setelah sekian hari kurang tidur. Sena mengayunkan langkah dengan mantap. Tangan kirinya masih memegang caping lebar tadi.

Malam pun mulai datang, suasana di Desa Pandawa tampak tenang sekali. Lampu-lampu yang terbuat dari bambu yang diberi sumbu tertancap di depan rumah penduduk desa. Angin berhembus kencang menambah sejuknya udara di malam yang tenang itu.

***
Esok paginya Sena tampak sudah meninggalkan Desa Pandawa. Dia melangkah cepat menuruni lereng bukit menuju timur. Terkadang dia melompat dengan ringan untuk memotong jalan.

Wajah Pendekar Gila pagi itu tampak segar.

Langkah dan lompatan kakinya menggambarkan keriangan. Sesekali tubuhnya melompat di antara bebatuan. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sempurna sekali, lompatan Sena bagai seekor rusa yang melesat. Tubuhnya melompat dan melayang dengan ringan, lalu hinggap di atas sebuah batu besar yang agak tinggi.

Sesaat Sena berhenti. Matanya memandang sekeliling tempat itu. Sekilas dia terbayang akan Mei Lie,  gadis ayu dan lugu dari Cina. Ingin rasanya Sena cepat menemui Mei Lie. Namun tugas dan petualangannya belum selesai.

Saat Sena merenungi masa-masa pertemuannya dengan Mei Lie sambil memandang ke arah pemandangan di bawah sana, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat dengan cepat.

Sena merasakan itu. Dia tersentak dari lamunannya. Bergegas tubuhnya berbalik, sedangkan matanya menyapu sekeliling tempat itu. Sesaat kemudian ia menghela napas panjang.

Ah.... Mungkin hanya perasaanku. Atau memang ada orang yang sedang memperhatikan ku? Pikirnya kemudian. Pendekar Gila lalu menggaruk-garuk kepala dengan tangan kirinya seraya cengengesan. Tapi baru saja kakinya hendak melangkah untuk melanjutkan perjalanan, tiba-tiba....

"Tuan Pendekar...." seru seseorang dari arah belakang.

Suara itu seperti dikenali Sena. Dia menghentikan langkahnya. Perlahan kepalanya menoleh. Ternyata Sentanu dan ketiga adiknya.

"Tuan Pendekar...." Dengan terengah-engah Sentanu berkata. Wajahnya tampak kelelahan dan memendam beban.

"Kau...? Ada apa, Sobat?" tanya Sena kalem.

"Rekso membunuh adik kami yang bernama Sancaka. Kami sempat bentrok dengan manusia iblis itu," cerita Sentanu penuh getar pada suaranya. Sejenak Sentanu menghentikan ucapannya.

Sena menggaruk-garuk kepala, dia merasa iba sekaligus heran.

"Itu sebabnya kami mencarimu. Dengan jujur kami mengaku kalau kami tak mampu melawannya.

Kami terpaksa lari menghindar...," kembali Sentanu  men-jelaskan pada Sena.

Apakah orang bercaping itu benar jelmaan Rekso...? Atau...? Sena menerka-nerka sendiri dalam hari.

Karena dia mendengar dari keterangan Sentanu ketika pertama kali bertemu, bahwa Rekso memiliki kepandaian menyamar.

"Kapan kalian bertemu dengannya?" tanya Sena pada Sentanu.

"Kemarin, menjelang magrib... Dia muncul dengan tiba-tiba untuk menghadang kami, ketika kami berusaha mencari Tuan Pendekar...," jawab Sentanu tegas dan jelas.

Sena mengangguk-angguk. Kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala. Keningnya berkerut. Matanya memandangi Sentanu dan ketiga saudaranya.

"Kami merasa gagal total dan malu Kami tidak akan kembali ke kadipaten...," kata Sentanu dengan nada lemah dan suara serak.

Sena merasa ikut bersalah tidak membantu mereka. Tapi dia tak ingin diikuti Sentanu bersaudara.

Dia hanya ingin menyelidiki di mana sarang Rekso Bagaspati. Lagi pula, saat itu Sena belum percaya penuh pada keterangan Sentanu. Tapi kini dia mulai percaya padanya. Apalagi mendengar Sancaka, adik Sentanu yang paling berani dan berilmu lebih tinggi dari ketiga adiknya yang lain telah tewas di tangan Rekso Bagaspati.

Sena menghela napas dalam-dalam. Kembali dipandanginya Sentanu dan ketiga adiknya.

"Kisanak. Maafkan aku. Namun bukan aku bermaksud buruk. Aku sebenarnya mau membelamu, dengan caraku sendiri. Harap Kisanak mengerti dan memaklumi ku...," tutur Sena.

"Kami dapat mengerti, Tuan Pendekar Kami bersyukur kalau Tuan Pendekar memang mau mem-  bantu kami untuk melenyapkan manusia iblis itu," ucap Sentanu sambil menjura pada Sena.

"Kisanak jangan menjura begitu. Aku bukan raja atau raden. Aku sama seperti kalian, hanya orang biasa...," cegah Sena tegas.

Sejenak mereka terdiam. Tak ada yang bicara.

Tangan Sena kembali menggaruk-garuk kepala seraya cengar-cengir.

"Apakah orang-orang aliran putih tidak mau bersatu untuk melawan Rekso Bagaspati...?" tanya Sena pada Sentanu "Pada purnama yang lalu telah diadakan pertemuan rahasia para tokoh persilatan se-Jawa Tengah di Pantai Parangtritis. Pertemuan juga dihadiri oleh sesepuh persilatan terkemuka dari selatan dan utara.

Kami telah setuju untuk menumpas Rekso dan merebut kalung itu. Namun tak ada di antara kami yang berhasil...," kata Sentanu, menjelaskan pada Sena.

Sena memegang bahu Sentanu dengan lembut "Percayalah, Kisanak... Dengan keyakinan dan percaya diri, kita akan dapat menemukan manusia iblis itu. Dan aku akan memusnahkannya. Namun kita harus mempergunakan akal untuk menaklukkan manusia macam Rekso...," ucap Sena, memberi semangat pada Sentanu.

"Ya.... Terima kasih, Tuan Pendekar. Rasanya hari ini hati kami mulai lega. Karena Tuan Pendekar mau bekerja sama dengan kami. Kalau ingin mendapatkan kemenangan, kita memang harus berani berkorban. Dan Sancaka mati demi saya dan adik-adik saya yang lain.... Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan, Tuan Pendekar?" tanya Sentanu, setelah terdiam beberapa saat.

"Mari kita mencari tempat bicara yang nyaman.

Hm.....Apakah di dekat sini ada kedai untuk istirahat  dan melepas lelah? Tentunya Kisanak cukup lelah, bukan?" tanya Sena bersahabat.

"Ada di balik bukit itu," jawab Sentanu sambil menunjuk ke suatu tempat.

Kemudian, kelima lelaki itu segera menuju kedai yang dimaksud Sentanu. Tak berapa lama berjalan, mereka pun tiba.

Kedai itu tampak dipadati pengunjung. Dari luar sudah terdengar suara tawa gaduh di dalam rumah makan itu. Suara tawa itu terlontar dari mulut tiga orang berparas angker dan buruk di salah satu meja. Salah seorang yang bertingkah angkuh, berpakaian merah menyerupai jubah dengan pakaian dalam berwarna hitam, celana hitam serta ikat kepala merah dengan bulatan-bulatan hitam. Rambutnya terurai panjang tak teratur sebatas bahu. Wajahnya panjang dengan hidung mancung ke bawah. Kumisnya tipis.

Sedangkan tubuhnya sedikit kurus. Matanya cekung dan garang, bagai mata setan. Dia dikenal dengan julukan Muka Setan atau si Pedang Akherat.

Penduduk di desa itu rata-rata tidak suka pada si Muka Setan. Selain kejam, penindas kaum lemah, orang itu juga selalu membuat onar. Kesombongannya berpangkal dari kepandaiannya memainkan pedang.

Selain ayahnya, hanya dia jago pedang kelas satu di tanah Jawa, begitu koarnya. Karena itu semua orang harus hormat dan tunduk padanya. Harus melakukan apa saja yang dimintanya.

Sambil mempertunjukkan kebolehannya main pedang, si Muka Setan yang nama sebenarnya Ronggo Lawe, tertawa-tawa sambil memegang kendi arak di tangan kirinya.

Kedua temannya berpakaian sama seperti Ronggo Lawe. Hanya saja berlengan pendek dan tidak memakai ikat kepala. Rambut keduanya terlepas pan-  jang tak teratur dengan alis tebal dan sinar mata garang. Bibirnya pun tebal seperti bibir kuda. Wajah keduanya, persegi empat, buruk sekali.

Dengan pedangnya, Ronggo Lawe membabat lalat yang beterbangan di ruangan kedai. Sudah berpuluh-puluh lalat dapat dibabatnya. Bayangkan, bagaimana kalau manusia? Tiba-tiba Ronggo Lawe menendang salah satu kursi yang ada di dekatnya.

"Kalian lihat semua Jangan ada yang berkedip.

Lalat-lalat ini perlu dibikin mampus" serunya.

Dengan gerakan cepat sambil tertawa-tawa seperti pemabuk, Ronggo Lawe kembali memamerkan kebolehannya. Para pengunjung yang memang benci, tak menghiraukannya. Hanya sebagian saja dari mereka yang menyaksikan. Ini membuat Ronggo Lawe marah. Tanpa banyak mulut lagi, segera dihampirinya salah seorang yang tak sudi melihat kebolehannya.

Tengkuk orang yang sedang menikmati makanannya itu ditendang, hingga makanan yang ada di mulutnya tersembur keluar bersama cairan merah dari mulutnya. Seketika orang itu tak bergerak lagi.

Setelah itu Ronggo Lawe tertawa. tergelakgelak. Pada saat itulah Sena, Sentanu dan ketiga saudaranya memasuki kedai itu. Mereka segera duduk di meja paling luar dekat pintu masuk, karena hanya meja itu yang masih kosong. Saat itu pula beberapa orang bergegas keluar dengan wajah ketakutan. Sekilas Pendekar Gila melirik Ronggo Lawe yang sedang mempermainkan pedangnya.

Sena dan Sentanu bersaudara segera duduk dengan tenang. Namun sesaat kemudian, Sentanu membisikkan sesuatu ke telinga Sena. Pendekar Gila mengerutkan kening sambil menggaruk-garuk kepala.

Kemudian Sentanu berbisik pada saudara-saudaranya.

 Wajah mereka tampak jadi waspada.

"Ternyata di rimba persilatan banyak orang edan" gumam Sena sambil cengar-cengir.

Salah seorang dari anak buah Ronggo Lawe rupanya mengenali Sena setelah melihat pakaiannya.

Namun orang itu terlihat sedikit ragu. Matanya terus mengawasi gerak-gerik Sena dan Sentanu bersaudara.

Seorang pelayan segera menghampiri meja Sena. Tapi baru saja pelayan itu melangkah, salah seorang anak buah Ronggo Lawe yang tadi mengawasi Sena, segera melarangnya dan mendorong pelayan itu dengan kasar.

"Kau tak perlu melayani orang asing itu. Biar aku yang melayaninya," kata anak buah Ronggo Lawe yang bernama Kebo Ireng pada pelayan. Lalu dengan langkah tegap, dihampirinya meja Sena dan kawankawan.

Sena menyambut Kebo Ireng dengan ramah, mengajaknya duduk sambil cengengesan. Sedangkan Sentanu bersaudara sedikit tegang.

"Silakan, Kisanak..," hatur Sena menyilakan Kebo Ireng yang bibirnya tebal mirip bibir kuda itu.

Tapi Kebo Ireng membalasnya dengan kasar. Ia menggebrak meja dengan tangan kanannya yang kekar dan berbulu lebat Brak "Ha ha ha..." Kebo Ireng tertawa tertawa-tawa bangga. Sena ikut tertawa dan menggaruk-garuk kepala, tapi Sentanu sebaliknya. Ia menjadi marah dan berdiri hendak menyerang Kebo Ireng. Tapi segera dicegah oleh Sena; dengan merentangkan tangan kirinya.

"Sabar, Sobat. Tenanglah Memang di rimba persilatan saat ini banyak orang-orang edan" Mendengar ucapan Sena, kontan saja Kebo  Ireng, naik pitam. Tanpa basa-basi lagi, Kebo Ireng mengantarkan pukulan ke dada Sena. Pukulan yang tiba-tiba dan dahsyat itu dielakkan Sena hanya dengan memiringkan tubuh ke samping kanan disertai tangkisan tangan kanannya yang langsung mengunci lengan Kebo Ireng. Disusul dengan hentakan tangan kirinya yang keras.

"Akh..." Brak Kebo Ireng terpental tiga tombak dan jatuh di atas meja dekat Ronggo Lawe yang kaget dibuatnya.

Meja itu hancur tertimpa tubuh Kebo Ireng yang besar.

Sena kembali cengengesan sambil menggarukgaruk kepala. Sementara itu, Sentanu dan saudarasaudaranya makin tegang. Mereka kian waspada.

"Kalian tak perlu ikut campur. Biar kuselesaikan sendiri. Orang-orang macam ini perlu diberi pelajaran," ucap Sena pada Sentanu dan saudaranya.

"Hei Setan mana yang berani menciderai kawanku" seru Ronggo Lawe dengan mata melotot lebar sambil menghunus pedang.

Sementara, para pengunjung yang berada di situ diam seribu bahasa. Di dalam hati, mereka merasa senang dan gembira kalau ada orang yang bisa menghajar Ronggo Lawe dan kawan-kawannya.

"Pemuda gila itu ternyata hebat, ya?" bisik seorang pengunjung kedai pada temannya.

"Ya.... Biar tahu rasa si muka buruk itu. Mampus kau" timpal yang lain, ikut berbisik Ronggo Lawe sudah berada di dekat meja Sena.

Dengan geram dan angkuh, kaki kanannya diangkat ke atas meja, tepat di depan wajah Sena. Sena hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Seakan tak menghiraukan tindakan Ronggo Lawe.

"Hei, Kunyuk Rupanya kau tidak sayang pada  nyawamu" hardik Ronggo Lawe seraya mengusapusap dada dan tertawa-tawa. "Kau rupanya punya nyali besar, Orang Asing. Ha ha ha..." Sena tak melihat tangan lelaki berwajah buruk itu bergerak, tahu-tahu dirasakannya sambaran angin di atas kepalanya. Seekor lalat naas yang melayang mengitari kepala Sena terbabat putus, lalu jatuh pada permukaan meja di hadapannya.

Gerakan ilmu pedang yang luar biasa cepat "Kau memang hebat, Kisanak..," puji Sena dengan tingkah seperti orang gila. Namun nadanya terdengar mengejek Ronggo Lawe tahu kalau dia diejek. Dengan marah sekali ditendangnya Sena, dibarengi dengan babatan pedang.

Dengan cepat namun tampak gemulai, Pendekar Gila mengelak dan tahu-tahu Sena sudah duduk di atas kursi lain. Pemuda itu tertawa-tawa dan menggaruk-garuk kepalanya. Membuat Ronggo Lawe makin naik pitam.

"Orang asing keparat" bentak Ronggo Lawe.

"Kau rasakan pedangku ini. Heaaa..."
4

Sena yang diserang mengelak dengan merebahkan tubuhnya ke belakang. Gerakannya seperti sangat pelan, bagai sedang menari dengan menundukkan kepala. Lalu tubuhnya berkelebat ke kanan sambil menyapukan kaki ke pinggang Ronggo Lawe.

Buk Ronggo Lawe memekik dan tersentak. Sama sekali tidak diduganya kalau dalam keadaan demikian  Pendekar Gila bisa melakukan serangan balik dengan cepat. Sementara kedua teman Ronggo Lawe hanya menonton sambil meneguk arak. Keduanya merasa yakin kalau akan mampu mengalahkan Pendekar Gila.

Sedangkan Sentanu dan ketiga saudaranya tetap mengawasi dengan sikap waspada. Sentanu yakin kalau Sena akan mudah mengatasi Ronggo Lawe.

"Hi hi hi..." Pendekar Gila tertawa-tawa mengejek sambil menggaruk-garuk kepala dan menepuk pantatnya seperti monyet. Membuat Ronggo Lawe semakin marah.

"Mampus kau, Pemuda Gila Heaaa..." Swing Swing Dua sabetan dan tusukan mengarah ke dada Sena.

"Phuih Hanya tusukan dan sabetan tipuan Hi ha ha..." ejek Sena sambil cengengesan, dan menggaruk-garuk kepala.

Ronggo Lawe terkesiap. Serangan yang dilancarkan tadi memang hanya merupakan satu tipuan.

Bagaimana lawan bisa mengetahuinya? Edan, dia bisa membaca tipuan ku Kunyuk Siapa orang sinting ini? Umpat Rongga Lawe dalam hati. Dia mulai berhati-hati untuk menyerang.

Para pengunjung yang menyaksikan pertarungan itu tampak merasa senang melihat Ronggo Lawe dipermainkan oleh pemuda bertingkah gila itu. Wajah mereka berbinar-binar, mendukung Pendekar Gila.

"Rasakan kau Orang jahat harus dikasih ganjaran..." umpat salah seorang yang ada di kedai itu.

"Iya Biar tahu rasa Modar kau..." timpal teman di sebelahnya sambil mencibir. Sedangkan pemilik kedai hanya tersenyum-senyum, tak lagi setegang tadi.

Setelah mementahkan serangan Ronggo Lawe,  Pendekar Gila dengan cepat menyiapkan pukulan yang dahsyat dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Jarijari tangannya mengembang lurus ke atas. Mulanya menyatu, kemudian direntangkan melebar. Diteruskan dengan menghantam ke atas dengan telapak tangan.

Namun tidak sepenuhnya Sena menggunakan jurus itu. Dia tidak mau membunuh Ronggo Lawe.

Sepasang tangan Sena menyapu dalam gerakan gelombang. Kecepatannya sangat luar biasa. Tangannya terlihat menjadi berpuluh-puluh pasang serta bergelombang dahsyat menciptakan angin deras yang mengejutkan Ronggo Lawe. Keterpanaan lawan dimanfaatkan Pendekar Gila dengan baik. Tangan kanannya mendadak terlontar dari gerak gelombang yang diciptakannya, lalu menghajar telak dada lawan. Tak pelak lagi tubuh Ronggo Lawe terpental keluar dari kedai itu dan membentur pohon besar di halaman kedai.

"Ternyata kepandaianmu hanya sedikit, tapi mulutmu besar Ayo bangun" bentak Sena setelah tiba di hadapan Ronggo Lawe.

Mulut Ronggo Lawe tampak memuntahkan darah segar, demikian juga dari lubang hidung, dan telinganya.

"Manusia pemeras seperti kau memang harus mendapat ganjaran setimpal" lanjut Sena dengan nada mengejek. Tangan kanannya merenggut rambut Ronggo Lawe yang sudah tak berdaya itu.

Sementara itu, Kebo Ireng dan Kebo Ijo yang melihat pemimpin mereka dicundangi, segera mengambil langkah seribu. Sedangkan penduduk yang tadi berada di dalam kedai malah menyerbu ke luar. Mereka beramai-ramai meminta agar Sena membunuh Ronggo Lawe. Kalau tidak, manusia durjana itu akan kembali memeras dan menindas orang-orang lemah.

"Bunuh saja, Tuan Pendekar Bunuh..." seru  mereka beramai-ramai.

Mendengar teriakan orang-orang itu, Sena dan Sentanu yang telah berada di sampingnya mengerutkan kening dan saling pandang.

"Apakah orang ini masih mempunyai pemimpin?" tanya Sentanu ingin tahu.

"Ayahnya sendiri pemimpinnya. Tapi kami tak pernah melihat wujud ayah Ronggo Lawe," sahut seorang pemuda di dekat Sentanu.

"Kalian tahu siapa nama ayahnya Ronggo Lawe?" tanya Sentanu tak sabar.

"Orang-orang menyebutnya Penguasa Jagat...

Hanya itu yang kami tahu," jawab yang lain.

Tangan kiri Sena menggaruk-garuk kepala, sementara bibirnya cengar-cengir. Sedang tangan kanannya yang merenggut kepala Ronggo Lawe direnggangkan. Tubuh Ronggo Lawe pun jatuh lemas di tanah.

Nafasnya tampak sesak Dan di saat semuanya sedang berpikir, tiba-tiba sesosok bayangan hitam besar berkelebat cepat disertai angin kencang menerpa mereka. Bayangan itu melepas pukulan berupa selarik sinar ungu yang menggumpal bagai asap. Kemudian segera menyambar beberapa orang di sana, termasuk Pendekar Gila, Sentanu dan saudara-saudaranya.

Serangan yang mendadak itu membuat Pendekar Gila tak sempat menghindar, namun dia masih bisa menangkis dan menyerang dengan pukulan 'Inti Api'.

Ledakan besar pecah di tempat itu, menciptakan lidah api yang membersit terang, karena serangan bayangan tadi bentrok dengan pukulan 'Inti Api' milik Pendekar Gila. Setelah sinar akibat ledakan itu hilang, Ronggo Lawe pun lenyap entah ke mana. Hanya asap tebal mengepul di tempat Ronggo Lawe tadi tergeletak  Pendekar Gila memulihkan kembali tenaga dalamnya yang banyak terkuras, akibat bentrokan pukulan tadi. Setelah usai, didekatinya Sentanu yang tergeletak akibat pukulan maut milik sosok tak dikenal tadi.

"Bagaimana keadaanmu, Kisanak?" tanya Sena perlahan, sambil memegangi bahu Sentanu.

"Dadaku sesak sekali. Ohhh... Mungkinkah tadi Rekso?" "Entahlah...." Sentanu memegangi dadanya. Darah segar meleleh dari sudut bibirnya.

"Bisa kami menumpang di tempatmu, Ki?" tanya Sena pada pemilik kedai.

"Oh, dengan senang hati, Tuan Pendekar. Kami akan siapkan segala keperluan, Tuan. Karena Tuan Pendekar telah menyelamatkan kami semua...," jawab pemilik kedai dengan sangat gembira. Dia merasa aman kalau Sena dan Sentanu bersaudara bisa tinggal bersamanya.

Hari makin sore. Sinar matahari makin memerah dan condong ke arah barat. Sena mengobati luka dalam Sentanu dengan ramuan-ramuan dedaunan disertai tenaga dalamnya. Rupanya Sentanu masih dapat diselamatkan.

"Kau terkena Racun Pemusnah Jiwa... Tapi untung kau segera mendapatkan perawatan. Kalau tidak..." "Hah? Racun Pemusnah Jiwa...?" ujar Sentanu memotong ucapan Sena. "Kalau memang benar... tak salah lagi Sosok bayangan itu adalah Rekso... Karena kematian salah seorang saudara seperguruanku juga akibat Racun Pemusnah Jiwa, tatkala kami mencoba menangkap si keparat itu beberapa bulan lalu." Sementara itu, Sena tetap mengobati Sentanu  dengan ilmu 'Pelebur Racun’ yang didapat dari gurunya. Sengaja Sena tak menanggapi ucapan Sentanu.

Dia tidak ingin perhatiannya saat menyalurkan ilmu 'Pelebur Racun' jadi terpecah hingga bisa membahayakan diri Sentanu sendiri.

Malam pun tiba. Suasana di Desa Pandawa nampak sunyi mencekam. Tak ada seorang pun yang keluar rumah atau duduk-duduk di teras rumah mereka. Para penduduk masih diliputi rasa takut dan khawatir dengan munculnya orang tua Ronggo Lawe yang menyebut dirinya, Penguasa Jagat Namun kedai yang sekaligus menjadi tempat tinggal pemiliknya tampak masih menyalakan lenteranya. Pertanda orang yang berada di dalam kedai itu masih belum tidur, walaupun hari makin larut malam.

Sentanu sudah kelihatan segar. Lelaki itu duduk di atas balai-balai ditemani oleh ketiga adiknya.

Sedangkan Sena berdiri di dekat jendela sambil bersidekap, memandang ke luar. Pemilik kedai dengan hati senang menyiapkan minuman dan makanan untuk mereka. Dibantu seorang bocah lelaki yang bertubuh kurus tanpa baju. Pemilik kedai yang nampak lugu dan sedikit penakut itu lalu membawa minuman dan ubi rebus ke tempat duduk Sentanu bersaudara.

"Silakan diminum, Tuan-tuan.... Maaf kalau kurang berkenan di hati Tuan-tuan. Maklum makanan desa.... He he he...," ujar pemilik kedai dengan sopan sambil membungkukkan tubuh.

Pemilik kedai segera pergi setelah memberi hormat, diikuti oleh bocah kecil di belakangnya. Sentanu bergerak mengambil cangkir yang terbuat dari kayu dan menuangkan air di dalam teko tanah liat ke cangkirnya, kemudian diikuti oleh ketiga adiknya.

Pada saat itu Sena seakan merasakan keganjilan dalam kedai itu. Telinganya lamat-lamat menang-  kap bisikan halus suara gurunya.

"Sena, jangan kau minum air itu. Minuman itu mengandung racun..." Sena tersentak mendengar suara itu. Cepat tubuhnya berbalik dan bermaksud untuk mencegah Sentanu bersaudara agar tidak meminum air yang disuguhkan pemilik kedai. Namun terlambat Sentanu dan ketiga saudaranya ternyata baru saja selesai meneguk air teh itu.

"Ya, Gusti..." desis Sena penuh penyesalan.

Tak sampai satu menit kemudian, wajah Sentanu dan ketiga saudaranya mulai pucat, dan membiru. Dan sesaat kemudian, darah segar keluar dari mulut, hidung, telinga dan mata mereka.

"Aaakh... To... tolong.... Aaa..." Tubuh keempat bersaudara itu kejang-kejang dengan mata melotot "Kisanak, kuatkan dirimu. Aku akan menolongmu..." Sena segera bersila di dekat Sentanu yang sekarat untuk mengumpulkan hawa murninya. Dia mulai melawan racun ganas yang telah memasuki tubuh Sentanu. Beberapa saat kemudian keringat keluar dari pori-porinya. Tubuhnya mulai berasap dan segera tangan kanannya ditempelkan ke dada Sentanu.

Tubuh Sentanu bergetar bagai orang terkena tegangan listrik yang besar. Begitu pun tubuh Sena yang tengah mengeluarkan ilmu 'Inti Sukma'. Tubuhnya bergetar kencang.... Dan tiba-tiba terdengar teriakan yang menyayat dari mulut Sentanu, bagai memecah kesunyian malam yang mencekam. Dibarengi dengan hentakan telapak tangan Sena yang mengeluarkan sinar ungu bercampur sinar kuning. Sinar kuning itu adalah Racun Pemusnah Jiwa.

Sena mengangkat sinar itu, kemudian tangan-  nya dihentakkan dengan keras ke arah jendela. Bauran dua sinar itu melesat dan sungguh aneh, sinar tadi mengeluarkan lengkingan nyaring. Seperti suara kambing yang sedang disembelih Sinar ungu bercampur kuning itu meledak. Kembali menjadi sosok makhluk halus yang menyeramkan, lalu menghilang di kegelapan malam.

Sena menarik napas panjang, dia merasa lega.

Peluh membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Sedangkan Sentanu kini tertidur. Di dadanya tampak tanda merah kebiruan. Sena membuka matanya perlahan, memandangi tubuh Sentanu yang masih tergeletak di balai-balai bambu. Sentanu memang dapat diselamatkan oleh Sena, namun ketiga adiknya tak tertolong. Mereka tewas dengan seluruh tubuh membiru.

Sena bergerak bangun dan mencari pemilik rumah makan itu. Namun tak seorang pun ia temui di kamar. Ternyata di dalam kamar pemilik kedai tak ada tempat tidur atau lemari. Kecuali sebuah kuburan tua yang tanahnya berlubang.

"Ya, Gusti... Iblis keparat itu rupanya telah mencoba menipuku...," gumam Sena dengan kesal. Ketika kakinya hendak melangkah ke luar, tiba-tiba terdengar ucapan ganjil.

"He he he... Anak Muda, ternyata kau mudah terkecoh. Hidupmu tak akan lama, Anak Muda. He he he..." Suara itu terdengar sangat menyeramkan. Ketika Sena memusatkan pikirannya sambil memejamkan mata, dilihatnya bayangan wajah Ronggo Lawe yang menyeramkan itu menyeringai menatap dirinya. Sena segera menghentakkan tangan kanannya ke depan dengan mengerahkan pukulan 'Inti Api’. Bersamaan dengan itu terdengar teriakan keras yang sangat keras, ketika api dari telapak tangan Sena membakar kubur-  an tua itu. Jeritan panjang yang menyeramkan terus terdengar. Kemudian Sena segera keluar. Ia cepat membopong tubuh Sentanu yang masih tertidur pulas.

Dibawanya tubuh Sentanu keluar dari kedai misterius itu dengan ilmu lari 'Sapta Bayu'. Bagai kilat, tubuhnya meluncur seperti anak panah menjauhi rumah makan itu. Sementara itu kedai yang ditinggalkannya sudah mulai terbakar oleh api yang dikeluarkan tangan Sena. Dan suara jeritan perlahan-lahan menghilang, tertelan asap hitam.

Sena kini sudah berdiri di atas bukit dengan membopong tubuh Sentanu, jauh dari tempat tadi. Matanya memandangi rumah makan yang masih terbakar. Api membubung tinggi bagai menerangi kegelapan malam yang mencekam itu.

"Rupanya iblis-iblis itu ingin menguasai manusia dengan cara apa saja. Aku harus lebih hati-hati dan waspada...," desah Sena perlahan. Lalu tubuhnya melesat kembali dengan membawa Sentanu.

***
Mentari pagi kembali menerangi bumi. Angin laut bertiup sepoi-sepoi menerpa daun nyiur. Daundaun itu bergerak bagai menari-nari. Kicau burung laut membangunkan Sena yang tidur di bawah pohon nyiur di pesisir pantai. Di sebelahnya masih terbujur tubuh Sentanu.

Sena berdiri tegak. Sejenak otot-ototnya yang kaku dilemaskan. Ia melakukan gerakan-gerakan indah beberapa kali untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Lalu duduk bersila, memusatkan pikiran dengan memejamkan mata. Tubuhnya menghadap Laut Banjaran, tak bergerak bagai patung, walaupun angin kencang menerpanya.

 Tak berapa lama kemudian, barulah Sena membuka mata dan menarik napas panjang. Lalu menoleh ke arah Sentanu. Lelaki itu tampak mulai bisa menggerakkan badannya, walaupun perlahan. Bibir Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.

"Uh... Di mana aku...?" Terdengar suara Sentanu ketika matanya dibuka dan bergerak bangun sambil memegangi dadanya yang masih merasa sakit.

"Kau telah bebas dari maut, Sobat," kata Sena yang masih bersila di tempatnya semula.

"Ke mana ketiga adik-adikku, Tuan Pendekar...?" tanya Sentanu ingin tahu.

Sena mengalihkan pandangan ke laut lepas.

Dari dia mulai menceritakan tentang pemilik kedai yang menghidangkan minuman beracun, sampai ia menemukan kuburan tua dalam kamarnya. Sentanu langsung dapat menebak kalau ketiga adiknya tewas karena racun yang dicampur pada minuman itu.

"Maafkan aku, karena tak dapat menolong jiwa adik-adikmu...," sesal Sena setelah mengakhiri ceritanya.

"Aku bisa mengerti. Kau telah menyelamatkan jiwaku, Tuan Pendekar. Terima kasih. Aku akan membalas segala kebaikanmu...," ujar Sentanu dengan suara masih terdengar lemah.

"Ah Janganlah kau berterima kasih padaku.

Kau harus mengucapkannya pada Yang Maha Kuasa.

Aku hanya perantara. Semua nasib dan umur manusia hanya Sang Hyang Widhi yang menetapkan." Selesai berkata begitu, Sena segera bangkit mendekati Sentanu.

"Bagaimana dadamu? Apakah masih terasa nyeri?" tanya Sena kemudian.

"Agak lebih enak, namun tubuhku masih le-  mas...," jawab Sentanu perlahan.

"Sebaiknya kau istirahat beberapa hari. Biar kau kuantar pulang." "Tidak usah. Terima kasih.... Aku dapat pulang sendiri. Aku sudah cukup merepotkan Tuan Pendekar...." "Jangan lagi kau menyebutku Tuan Pendekar.

Panggil saja aku Sena," ujar Sena.

"Baiklah." "Ayolah, biar kau kuantar sampai perbatasan desa ini...," kata Sena, sambil bergerak membantu Sentanu bangun. Sentanu masih terlihat lemas, membuat Pendekar Gila tak tega melepas lelaki itu pulang sendiri ke Kadipaten Pakisaji.

"Sobat, biarlah aku menemanimu ke kadipaten.

Aku tak ingin terjadi lagi hal yang tak diharapkan menimpa dirimu." Dengan tulus Sena berkata pada lelaki di sampingnya. Sentanu terharu mendengar ucapan Sena.

"Oh, Gusti... Ternyata masih ada orang yang mau berbaik hari menolongku. Terima kasih, Sena...," Sentanu memeluk Sena dengan penuh kegembiraan bercampur haru.

Pendekar Gila hanya cengengesan dan membalas pelukan Sena. Setelah melepas pelukan, Sena menggaruk-garuk kepala seperti kebiasaannya. Kedua lelaki itu kemudian melangkah menuruni jalan yang landai menuju arah barat.

 5
Goa Neraka tampak menyeramkan meskipun diterangi obor di beberapa bagian dindingnya. Karena hampir di setiap sudut dinding terpajang tengkorak  manusia dan tubuh binatang buas yang diawetkan.

Seperti ular sebesar paha manusia yang melingkar tepat di atas sebuah singgasana yang terdapat di dalam ruangan goa. Ular sanca yang telah dikeringkan itu bagai masih hidup dengan mulut menganga. Tak kurang dari sepuluh meter panjang ular langka itu. Goa Neraka adalah goa tempat tinggal Rekso Bagaspati.

Saat itu dia sedang duduk di singgasananya. Wajahnya tampak memerah karena menahan amarah. Dan tibatiba Rekso Bagaspati berdiri sambil mendengus keras.

"Huh" Kemudian Rekso Bagaspati mondar-mandir dengan langkah lebar. Tangan kirinya terus mengusapusap kumisnya yang lebat, sedang tangan kanannya bertolak pinggang. Langkahnya yang berdebam keras seperti akan meruntuhkan dinding goa itu.

"Ghrrr.... Bodoh Gegabah Seharusnya kau bisa membunuhnya Dan aku heran, kenapa pemuda gila itu dapat mengetahui racun yang kau campur dalam minuman itu? Mungkin kau memancing kecurigaan pemuda itu, Ronggo..." hardik Rekso Bagaspati dengan suara menggema.

"Ampuni aku, Ayah. Tapi seingatku, pemuda itu berdiri di dekat jendela dan tidak mempedulikan ku..., jawab Ronggo Lawe sambil menunduk, tak berani menatap wajah ayah angkatnya.

"Aneh, benar-benar aneh Rupanya pemuda sinting itu memiliki ilmu cukup tinggi. Mungkinkah pemuda itu yang kita cari...?" Sejenak Rekso Bagaspati berpikir dan duduk kembali di singgasananya.

"Ha ha ha.... Aku ingat pada jurus dan lagaknya. Ya, tak salah lagi. Dia pasti Pendekar Gila yang tersohor itu" "Pendekar Gila?" ulang Ronggo Lawe kaget. La-  lu menatap Rekso Bagaspati yang masih tertawa tergelak-gelak.

"Kali ini aku tak akan gagal mengupas kulitnya Ha ha ha.... Ronggo Kemari kau" perintah Rekso Bagaspati.

Ronggo Lawe segera mendekati. Kemudian Rekso Bagaspati membisikkan sesuatu pada anak angkatnya. Ronggo Lawe mengangguk-angguk sambil tersenyum, tanda setuju.

"Suatu rencana yang sempurna, Ayah. Ha ha ha..." "Ingat pesanku tadi. Kali ini jangan sampai gagal. Kita akan lebih leluasa kalau Pendekar Gila mampus Aku akan menguasai jagat ini, rimba persilatan ini. Ha ha ha..." Suara tawa Rekso Bagaspati menggema sampai keluar goa yang terletak di dalam hutan angker itu.

Binatang-binatang yang malam itu sedang tertidur, mendadak terbangun mendengar tawa manusia iblis itu. Binatang yang telah dikeringkan di dalam goa itu seperti ikut tertawa juga. Sementara ular sanca yang melingkar di atas singgasana Rekso Bagaspati pun bagai hidup. Matanya memancarkan sinar merah darah, dan lidahnya seakan menjulur panjang keluar, menjilati kepala Rekso Bagaspati yang berada tepat di bawahnya.

Tawa Rekso Bagaspati perlahan-lahan hilang.

Suasana kembali sepi mencekam. Kemudian Rekso Bagaspati bangkit dan melangkah ke sebuah pintu goa yang tertutup. Dengan menghentakkan tangan kanannya ke dinding pintu itu, seketika pintu itu terbuka.

Asap merah bercampur biru mengepul ke luar. Rekso Bagaspati melangkah masuk, lalu pintu tertutup kembali.

Di dalam ruangan yang cukup luas, terdapat  sebuah ranjang bulat berukuran lebar yang cukup untuk empat orang. Ranjang itu terbuat dari batu-batu besar yang ditata sedemikian rupa. Di atasnya tertumpuk dedaunan yang telah dikeringkan sebagai kasur, dan dialasi oleh kulit rusa. Di kanan dan kiri ranjang aneh itu ada obor besar untuk menerangi ruangan.

Begitu Rekso Bagaspati merebahkan tubuhnya di ranjang itu, empat wanita muda yang cantik-cantik masuk dari pintu-pintu rahasia. Pakaian mereka minim dengan bagian dada dan bawah hanya ditutupi kulit binatang. Keempatnya langsung naik ke atas ranjang mereka siap melayani nafsu Rekso Bagaspati yang luar biasa. Tak heran karena Rekso Bagaspati setengah manusia, setengah setan Ia titisan setan dengan kalung Safir Bermata Iblis Dengan buasnya Rekso Bagaspati menerkam, menciumi dan menggeluti salah seorang dari empat perempuan muda itu. Sedang yang lain terus membangkitkan birahi Rekso Bagaspati dengan segala cara. Mereka harus bisa memuaskan Rekso Bagaspati dan menuruti semua kehendaknya. Kalau tidak, perempuanperempuan itu akan lebih cepat dibunuh dan darah serta dagingnya dimakan untuk memperpanjang ilmu setan Rekso Bagaspati.

Setiap bulan purnama, pasti akan ada korban untuk persembahan bagi guru Rekso Bagaspati yang tak lain arwah bekas pemimpin orang-orang aliran setan yang dikenal dengan sebutan Dedemit Kolobendono. Ia baru menampakkan dirinya jika Rekso Bagaspati telah menyediakan darah perawan Wujudnya sangat menyeramkan. Akibatnya Rekso Bagaspati harus mendapatkan darah perawan bila waktunya tiba. Jika tidak, dia akan kehilangan ilmu sekaligus jiwanya.

Seringkali Rekso Bagaspati turun sendiri untuk mencari darah perawan. Itu sebabnya Rekso Bagaspati  sangat ingin sekali memusnahkan Pendekar Gila yang selalu membela kaum lemah. Dan Pendekar Gila merupakan musuh utamanya Dan harus dibinasakan dengan segala cara.

***
Sena Manggala berada di Kadipaten Pakisaji, tempat Sentanu tinggal. Tampak dia baru saja ingin meninggalkan kadipaten itu setelah mengantar Sentanu. Karena dia harus kembali meneruskan pencarian jejak Rekso Bagaspati.

"Sebenarnya kami ingin menahanmu tinggal satu-dua hari lagi di sini. Tapi kami tak bisa memaksa.

Namun demikian, sudilah kau mampir lagi ke tempat yang sederhana ini," ujar Sentanu, melepas kepergian Sena.

Sena hanya tersenyum sambil menggarukgaruk kepala.

"Terima kasih. Kalau Tuhan mengizinkan, aku akan kembali kemari," jawab Sena bersahabat.

Selesai berkata begitu, Pendekar Gila segera melangkah pergi. Sentanu memperhatikannya dengan penuh haru, mengiringi kepergian Sena. Seraya melangkah, Sena melambaikan tangan. Dan dibalas oleh Sentanu dan beberapa muridnya. Perpisahan yang sangat mengharukan bagi mereka. Namun mereka sama-sama menyadari, bahwa sebagai manusia, mereka tidak bisa menghindar dari perpisahan. Terlebih perpisahan tersebut terjadi karena Sena harus melanjutkan tugasnya untuk menegakkan kebenaran.

Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', dalam sekejap tubuh Sena telah berada di pesisir Pantai Banjaran, di mana sehari sebelumnya dia bermalam di tempat itu bersama Sentanu.

 Sejenak Sena menghentikan larinya. Matanya memandang ke sekeliling tempat itu. Kemudian perjalanannya diteruskan. Sena tiba di perbukitan yang tampak sepi.

Sementara itu matahari yang tadi berada di sebelah timur, kini telah berada di atas kepala Sena. Terik matahari membuat Pendekar Gila menyeka keringat yang membasahi keningnya. Kemudian tubuhnya melesat pergi ke arah timur.

Ketika Sena sampai di tempat lapang yang dikelilingi batu cadas, terdengar keributan dari arah bawah tempatnya berdiri. Hal itu mengundang perhatian pemuda tampan itu. Bergegas tubuhnya mencelat ke pinggir jurang. Dari tempat itu, mata Sena dapat melihat seorang wanita berbaju warna biru muda tengah dikeroyok dua lelaki berwajah bengis.

Ditilik dari penampilan dan sikap kedua lelaki itu, tampaknya mereka bermaksud merampok sekaligus hendak menggagahi gadis yang dikeroyok.

Wanita yang rambutnya digelung dengan sebagian sisa rambutnya dibiarkan terurai di bagian belakangnya, tampak gesit menangkis atau menyerang kedua perampok yang bertingkah konyol itu. Pedang wanita itu beradu dengan senjata perampok yang berbentuk tombak bermata tiga dengan panjang hanya setengah tombak biasa.

Karena kain yang dikenakan wanita itu memiliki belahan di depan tanpa celana panjang di baliknya maka ketika kakinya menendang tinggi, terlihat jelas paha dan betisnya yang putih dan mulus.

Saat itu kedua pengeroyoknya sesaat menghentikan serangan. Mata mereka langsung melotot menyaksikan keindahan yang luar biasa tersebut.

Melihat lawannya terkesima, wanita yang dikeroyok tak menyia-nyiakan kesempatan baik yang dimi-  likinya.

"Heaaa..." Dengan cepat wanita itu membabatkan pedangnya ke arah kedua perampok itu. Kontan saja mereka yang menghentikan serangannya karena terpana akan kemulusan paha dan betis wanita ayu itu, menjadi pucat.

Seorang dari mereka yang terlambat menghindar hampir saja tergores ujung pedang wanita itu, kalau saja temannya tidak menubruknya ke samping dengan cepat "Hah? Hampir saja leherku amblas" maki lelaki yang hampir terbabat lehernya itu.

Mereka segera siap menyerang wanita itu kembali. Keduanya melabrak serentak dengan senjata masing-masing, seolah begitu bernafsu untuk menjadikan wanita itu sebagai bulan-bulanan mereka.

Pedang perempuan itu kembali beradu dengan tombak bermata tiga milik para penyerangnya. Namun kemampuannya untuk bertahan menghadapi senjatasenjata maut itu tidaklah lama. Kedudukannya makin tidak menguntungkan, dikepung dari dua penjuru.

Sampai akhirnya sinar putih berkelebat di depan hidung wanita itu dari atas ke bawah dan....

Bret Bret Bret..

Ketika wanita itu memandang ke bawah, ternyata tiga kancing bajunya tersingkap lebar. Sepasang mata lelaki botak dan kawannya langsung membelalak menyaksikan satu pemandangan yang begitu menggiurkan.

Wanita itu cepat-cepat menutupi pakaiannya seraya melompat mundur. Si botak tertawa tergelakgelak dan tampak dia menelan ludah, lalu menjulurkan lidahnya. Belum sempat wanita itu merapikan pakaian atasnya, tiba-tiba terdengar derap langkah kuda  menuju tempat itu.

Ternyata pengendaranya adalah seorang lelaki berwajah jelek dan berikat kepala kulit macan tutul.

Mata sebelah kirinya rusak seperti bekas bacokan. Wajahnya yang persegi dihiasi alis tebal, hidung lebar dan kumis lebat yang panjang. Tak terlihat keramahan di bibir penunggang kuda itu, terlebih untuk memperlihatkan senyum. Dialah pemimpin dua orang yang mengeroyok wanita itu. Pundaknya menyandang pedang, tanpa memakai baju. Dadanya yang berbulu lebat bagai orang utan membuat perempuan itu makin dilanda ketakutan. Apalagi ketika lelaki yang baru datang itu dengan kasar menarik tubuhnya ke atas kuda.

"Ha ha ha.... Kakang, kau datang tepat pada waktunya Untuk menikmati santapan lezat ini, bukan...? Ha ha ha..." sambut lelaki berkepala botak sambil memegangi perutnya yang buncit tanpa tertutup baju "Jangan... Lepaskan... lepaskan" teriak perempuan itu sambil berusaha berontak ketika hendak dinaikkan ke punggung kuda.

"He he he.... Jangan nakal, Manis.... Nanti kau akan merasakan nikmatnya surga dunia.... Ha ha ha..." ujar lelaki berkepala botak. Didorong dan diremasnya pantat perempuan yang padat itu agar dapat segera naik ke punggung kuda milik pemimpinnya.

"Auw Kurang ajar" bentak perempuan itu seraya terus meronta liar.

Tanpa rasa kasihan, lelaki yang berada di atas punggung kuda terus menjambak rambut perempuan itu.

"Akh..." Perempuan itu memekik kesakitan. Pada saat itu lelaki berkepala botak dengan kuat mendorong tubuhnya ke atas kuda sampai terduduk di depan lelaki  berwajah jelek "Dimas berdua tunggu di sini. Aku akan menikmati betina ini sepuas-puasnya. Setelah itu, baru Dimas berdua boleh ambil," ujar lelaki berwajah jelek itu, setelah menotok wanita di depannya.

Selesai berkata demikian, lelaki itu melarikan kudanya. Tapi baru saja kudanya dilarikan lima tombak, tiba-tiba muncul seseorang menghadang lari kudanya.

"Bangsat.. Siapa kau...? Kurang ajar" bentak orang itu keras dengan suara serak. Matanya mendelik marah sekali "Kau yang kurang ajar, Lelaki Pengecut Kau hanya berani sama perempuan Manusia macam kalian memang perlu diberi pelajaran" umpat Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala serta cengengesan. Tingkahnya yang aneh seperti orang gila itu membuat lelaki berwajah jelek marah karena merasa dihina begitu rupa.

"Kau benar-benar cari mampus, Pemuda Sinting Kau bicara seenaknya. Apa kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa?" geramnya penuh amarah.

"Dengan orang utan yang tidak mengerti adat He he he..." jawab Sena disusul tawa mengejek "Bangsat Minggir kau, atau..." Lelaki itu tak melanjutkan ucapannya. Dia bermaksud langsung menerjang Sena dengan kudanya. Namun entah kenapa kuda itu tak mau bergerak, seakan takut pada Pendekar Gila yang berdiri tenang tempatnya sambil menggaruk-garuk kepala. Tubuhnya tak bergerak sejengkal pun.

Mau tak mau orang itu melompat cepat dari kuda. Diikuti dengan jatuhnya tubuh perempuan malang yang masih tertotok kaku.

Lelaki berkepala botak beserta kawannya sege-  ra mengurung pemuda tampan namun bertingkah aneh yang mencari perkara. Senjata mereka terhunus di tangan masing-masing. Tombak bermata tiga seperti mengancam tubuh Sena dengan pantulan sinar di ujung-ujungnya.

Tapi hal itu sama sekali tidak membuat Sena bergeming dari tempatnya.

"Orang-orang utan ini kenapa jadi marahmarah tak karuan? Hi hi hi..." ejek Sena.

"Setan alas" Amarah lelaki berwajah jelek itu meledak.

"Kau mau mengantar nyawa pada Baga Sura" Sret Lelaki berwajah jelek yang mengaku bernama Baga Sura itu menghunus pedangnya "Cincang saja tubuhnya, Kakang..." seru lelaki berkepala botak sambil memainkan tombak bermata tiganya, diikuti temannya yang ternyata bisu. Lelaki itu hanya bisa tertawa dan mengangguk.

Baga Sura mengayunkan pedangnya di depan hidung Sena. Pendekar Gila hanya menundukkan kepala. Lalu dengan gerakan yang sukar ditangkap mata, tubuhnya berkelebat ke kanan dan menghantamkan pukulan ke rusuk Baga Sura.

Des "Aaa..." Baga Sura memekik panjang. Tubuhnya terhuyung lima tombak ke belakang. Lelaki berkepala botak dan temannya tersentak dan mulai ragu untuk menyerang Pendekar Gila yang tetap cengengesan mengejek mereka.

"Ternyata kalian hanya orang-orang besar mulut Tak cocok dengan tampang seram kalian" ejek Sena lagi, lalu tertawa riuh rendah.

Baga Sura yang masih sempoyongan berusaha  menyerang Sena kembali. Dia tidak peduli lagi pada darah segar yang menetes dari mulutnya. Matanya mendelik penuh amarah, siap melabrak "Heaaa..." Baga Sura membabatkan pedangnya beberapa kali dengan cepat sambil menerjang ke wajah. Pedangnya berkelebat bertubi-tubi. Ilmu pedangnya asing dan aneh di mata Sena. Tapi Pendekar Gila mampu menghadapinya dengan ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Gerakannya seperti lamban, namun sebenarnya tidak. Itu karena ilmu yang dimiliki Sena sangat tinggi.

Akibatnya tebasan pedang Baga Sura hanya membabat angin dan batang pohon.

Cras Pendekar Gila bersalto beberapa kali di udara.

Kemudian kakinya mendarat ke tanah dengan ringan di belakang Baga Sura. Dicoleknya punggung Baga Sura dari belakang.

Baga Sura membalik cepat. Dia kaget. Saat itu Sena menyentakkan pukulan yang tak begitu keras di dada Baga Sura.

Desss Baga Sura kembali terpental ke belakang dan membentur anak buahnya yang berkepala botak yang sejak tadi hanya menonton. Melihat ketangguhan ilmu silat Pendekar Gila, nyali lelaki berkepala botak itu jadi menciut. Dia segera memutuskan untuk cepat-cepat menggotong Baga Sura yang terkulai tanpa daya.

Sementara itu wanita yang belum diketahui namanya masih tergeletak di tempatnya dalam keadaan tertotok. Sena segera menghampirinya dan dengan satu gerakan, Sena melenyapkan totokan itu. Wanita yang berparas cantik dan bertubuh bahenol itu tersadar.

"Oh... Ke mana manusia-manusia keparat  itu?" seru perempuan itu, lalu dia berdiri dan membereskan pakaiannya yang koyak.

Sena diam tak menjawab. Pendekar muda itu nampak acuh saja melihat tingkah perempuan di dekatnya.

"Tentunya Tuan yang telah menolongku. Terima kasih. Aku tak akan lupa membalas kebaikan Tuan...," ucap perempuan itu dengan suara lembut sambil mendekati Sena yang terus menggaruk-garuk kepala. "Namaku Sekarsari.... Tuan siapa?" Pendekar Gila segan menjawab pertanyaan wanita yang mengaku bernama Sekarsari itu. Kakinya malah melangkah menjauhi tempat itu.

"Sebaiknya kau pergi. Pulanglah ke desamu.

Hari sudah menjelang malam. Tak baik seorang perempuan berjalan bersama laki-laki. Lagi pula, aku bukan laki-laki yang suka ditemani perempuan." Mendengar tutur kata Sena, Sekarsari hanya tersenyum. Perempuan itu makin mendekati Sena yang terus berjalan meninggalkannya. Merasa tidak dipedulikan, Sekarsari mulai mencari akal. Sejenak dia berpikir sambil terus menguntit Sena.

Beberapa hari ini aku menemukan orang yang aneh-aneh. Pertama orang bercaping dengan pakaian sama dengan Rekso Bagaspati yang begitu saja menghilang. Kini aku bertemu perempuan yang cukup cantik. Tapi aku merasakan ada sesuatu yang aneh pada diri perempuan yang mengaku bernama Sekarsari ini.

Ah... Dunia makin tua. Makin banyak orang aneh Gerutu Sena dalam hati sambil melangkah. Sena terus berpikir tentang manusia-manusia aneh yang begitu muncul terus menghilang. Seperti halnya orang bercaping yang ditemuinya di kedai.

"Aaa..." Tiba-tiba terdengar jeritan Sekarsari yang mem-  buat Sena menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Dilihatnya perempuan muda yang cantik dengan dandanan seronok itu terjatuh. Sepasang tangannya memegangi kaki kanannya yang mungkin terkilir atau digigit binatang. Sena tak langsung menghampiri. Pemuda itu hanya menggaruk-garuk kepala sambil cengar-cengir.

"Tolong... Tolong kakiku, Tuan. Aduh....

Huuu..." rengek Sekarsari. Wajahnya tampak menahan sakit. Sena yang memang tidak bisa melihat wanita dalam kesusahan, mau tak mau melangkah mendekati Sekarsari yang sedang meringis kesakitan.

"Tolong kakiku, Tuan... Di bagian ini terasa kejang," ujar Sekarsari sambil menunjuk bagian pahanya yang tersingkap dengan tangan kanan. Paha mulus itu terlihat jelas di mata Sena. Sena membuang muka sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu dia kembali berdiri dan melangkah meninggalkan Sekarsari. Ternyata Sekarsari hanya berpura-pura, karena dia tak ingin ditinggal oleh Sena. Sekarsari tersenyum genit seraya menggigit bibirnya. Kemudian dia bangkit mengejar Sena yang sudah tiga tombak di depannya.

"Apakah Tuan marah padaku?" tanya Sekarsari setelah berada di samping Sena.

Sena tak menjawab. Pandangannya lurus ke depan. Wajahnya tampak kesal.

"Maafkan aku, Tuan. Tapi bukan maksudku mempermainkan Tuan. Aku hanya tak ingin ditinggal sendirian di daerah yang penuh dengan orang-orang jahat ini," ujar Sekarsari dengan suara masih lembut Sena menghentikan langkahnya, lalu menatap Sekarsari dengan pandangan menyelidik. Tatapan mata Sena tajam, bagai menembus sukma perempuan itu.

Sekarsari yang dipandang demikian rupa jadi gugup.

Kepalanya segera menunduk. Sena malah cengengesan  dan menggaruk-garuk kepala.

"Kau belum menceritakan kenapa kau sampai dihadang oleh orang-orang tadi. Lalu, apa tujuanmu memasuki daerah rawan ini?" tanya Sena menyelidik.

Nada suaranya tegas.

"Mungkin... aku akan menjawab pertanyaanmu, jika kau lebih dulu mau menerangkan siapa dirimu dan mengapa mau menolongku," ungkap Sekarsari dengan suara lebih tegas. Tak selembut tadi.

Sena menggaruk-garuk kepalanya lagi, lalu menggeleng-geleng.

Kau tak perlu tahu namaku, aku hanya manusia biasa yang tak tentu tujuan. Dan kau tanya kenapa aku mau menolongmu? Itu memang sudah kewajibanku. Aku selalu rela menolong orang yang lemah dan tertindas. Begitulah aku...," tutur Sena tanpa maksud menyombong.

"Untung aku bertemu dengan Tuan. Kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi santapan manusiamanusia keparat tadi. Sekali lagi ku mohon Tuan mau memberi tahu nama Tuan. Biar hatiku lega...," ucap Sekarsari setengah mendesak.

Sena memandang wajah perempuan muda itu dalam-dalam. Kemudian kepalanya menganggukangguk.

"Baiklah. Aku Sena.... Dan, sekarang kuminta kau menjelaskan tujuanmu. Kalau tidak, aku akan segera pergi. Banyak hal yang harus kuselesaikan," kata Sena agak mengancam.

"Baik..," ujar Sekarsari. "Aku datang dari jauh, dari sebuah perkampungan nelayan di Pantai Selatan.

Letaknya tak jauh dari Kadipaten Pakisaji. Sedangkan tujuanku ke tempat ini untuk mencari seseorang." "Mencari seseorang?" ulang Sena. "Siapa orang itu? Suamimu? Atau...?"  Sena mengerutkan kening dan menggarukgaruk kepala.

"Rekso Bagaspati" jawab Sekarsari mantap.

Pendekar Gila terkejut mendengar jawaban perempuan cantik itu.

"Ada urusan apa kau dengannya? Soal kalung keramat itu juga, atau apa?" "Bagaimana kau tahu tentang kalung itu...?" tanya Sekarsari. Dia juga tampak terkejut "Kalung itu tak habis-habisnya menimbulkan malapetaka" Sena jadi makin ingin tahu tentang siapa dan apa tujuan wanita itu.

"Jadi kau tahu banyak tentang kalung itu...? tanya Sena.

Yang ditanya tidak menjawab.

"Ayo, jawablah. Mungkin kita bisa bekerja sama...," bujuk Sena, "Dunia ini, terutama rimba persilatan, penuh liku-liku dan bahaya. Malapetaka mengancam setiap saat. Apalagi bagi kami, kaum hawa..." "Ucapanmu mungkin benar. Hanya saja, tentu kau mempunyai alasan untuk mencari Rekso Bagaspati yang juga pernah mau membunuhku...," ujar Sena menjelaskan.

Sekarsari yang mendengar keterangan Sena jadi mengerutkan kening. Ditatapnya Sena dengan pandangan tajam, seakan menyelidik kebenaran ucapan Sena. Lalu setelah merasa kalau Sena berkata jujur, Sekarsari menarik napas panjang. Pandangannya dialihkan ke depan. Matanya menerawang jauh.

"Aku ingin membunuh Rekso Bagaspati" Jawaban Sekarsari itu membuat Sena kaget Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Dia merasa Sekarsari terlalu nekat.

"Membunuh orang seperti Rekso Bagaspati bu-  kan soal mudah. Apalagi kau seorang perempuan. Bukan aku merendahkan ilmumu. Kau tahu lebih banyak tentang kesaktian kalung keramat itu, bukan?" Sekarsari kembali berpaling ke arah Sena. Perempuan cantik itu menyeringai.

"Jika kita memakai otak, apa pun pasti bisa dilakukan." Sena mengangguk-angguk. "Dia telah membunuh suamiku" ujar Sekarsari kembali. Nada suaranya begitu geram.

"Ooo... Urusan dendam kesumat rupanya?" kata Sena pula. "Tapi mengapa sampai Rakso Bagaspati membunuh suamimu?" "Dia merampas kalung itu Kalung itu milik suamiku" "Apa...?" Sena kembali terkejut "Kalung itu mulanya milik Kakang Waskita, suamiku...," tutur Sekarsari kemudian. Suaranya agak tersendat.

Sena kembali mengangguk-angguk. Kemudian dia menghela napas panjang. Sena tampak tertarik dengan ucapan Sekarsari tadi.

"Apakah kau tahu dari mana suamimu mendapatkan kalung keramat itu...?" tanya Sena tiba-tiba, membuat Sekarsari agak kaget.

Wanita itu mengerutkan kening. Ditatapnya wajah Sena penuh selidik. Sena yang dipandangi seperti itu hanya menggaruk-garuk kepala dan tersenyum.

Setelah berpikir beberapa saat dan menganggap pendekar yang telah menyelamatkannya adalah orang baik-baik, maka Sekarsari memulai ceritanya.

"Sepuluh tahun silam, suamiku bertengkar denganku. Malam harinya dia pergi ke Pantai Karang Loh. Seperti biasa, jika habis bertengkar denganku, suamiku melakukan hal demikian. Dia menyendiri,  untuk menghindari pertengkaran lebih jauh. Suamiku sebenarnya sangat mencintai ku. Hanya terkadang aku sering tak tahan dengan kemiskinan yang kami alami.... Itulah yang terkadang membuatku suka marahmarah." Sejenak Sekarsari menghentikan ceritanya. Wajahnya menampakkan kesedihan yang dalam. Bola matanya yang bening, kini sudah digenangi air mata.

Setelah menyeka air mata, Sekarsari kembali melanjutkan ceritanya.

"Sejak itu Kakang Waskita menghilang entah ke mana. Saat itu hidupku terasa seperti neraka. Untung para tetangga senasib, semuanya baik terhadapku.

Mereka semua memperhatikan keadaanku. Dan rupanya suamiku ingin membahagiakan aku. Dia mencari ilmu dengan bertapa di sebuah goa di tepian Pantai Selatan. Tapi dia selalu gagal. Godaan selalu menghalanginya. Akhirnya suamiku pergi ke sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Kandaran. Di pulau itulah suamiku mendapatkan satu benda keramat berupa kalung iblis dengan rantai kayu hitam bermata safir. Menurut suamiku, seorang lelaki tua renta mula-mula muncul di hadapannya. Dan secara perlahan lelaki tua itu berubah wujud menjadi sosok makhluk menyeramkan.

Makhluk itu tinggi besar bagai raksasa. Wajahnya dipenuhi dengan darah serta bertaring. Matanya berlubang seperti tengkorak. Telinganya panjang. Mengerikan Suamiku mula-mula takut, tubuhnya gemetaran, dan wajahnya pucat. Namun secara mendadak ketakutannya hilang begitu saja ketika makhluk menakutkan itu menghembuskan napas yang bau amis Makhluk itu berjalan di atas air laut menghampiri suamiku yang masih duduk bersila di dalam sebuah goa karang di tepian pantai pulau itu...." Sejenak Sekarsari menghentikan ceritanya. Dia  menarik napas panjang. Sementara Sena memperhatikan wanita itu sambil menggaruk-garuk kepala. Cukup aneh dan mengerikan juga ceritanya.... Nilai Sena dalam hati. Matanya dengan tajam menatap Sekarsari.

"Lalu, bagaimana selanjutnya?" tanya Sena perlahan.

Sekarsari menoleh ke arah Sena. Sejenak ditatapnya pemuda gagah itu. Kemudian Sekarsari memulai ceritanya lagi.

"Menurut suamiku, makhluk itu bisa berubahubah wujud. Sebelum, memberi kalung itu, makhluk itu mencoba tekad suamiku. Kalau suamiku gagal, dia akan mati. Tapi kalau berhasil, kalung keramat itu akan menjadi miliknya. Makhluk ini menjelma menjadi seorang wanita yang sangat cantik. Dengan segala cara dia mencoba merayu agar iman suamiku runtuh. Tapi ternyata suamiku tabah. Setiap cobaan lain yang lebih menyeramkan dan menggiurkan dapat dilawan oleh suamiku. Sampai akhirnya kalung berkekuatan gaib itu diberikan pada suamiku. Menurutnya, ketika kalung keramat itu ada di pangkuannya, seluruh badannya terasa panas dingin beberapa saat. Namun kemudian kembali seperti biasa dan dia merasa lebih segar dan kuat..." Sena yang mendengarkan mengangguk-angguk tanda mengerti.

"Sungguh aku salut akan ketabahan suamimu.

Lalu, bagaimana ceritanya kalung itu bisa jatuh ke tangan orang lain...?" tanya Sena ingin tahu lebih jauh.

Sekarsari menghela napas panjang. Kemudian memulai kembali cerita tentang suaminya.

"Rupanya kesaktian dan keampuhan kalung keramat itu sudah tersebar ke mana-mana. Terutama ke telinga Pangeran Pari Ongso yang tamak. Dia orang yang paling tergiur untuk memiliki kalung keramat itu.

 Dengan berbagai cara dia berusaha agar suamiku mau menyerahkan kalungnya. Suamiku dibujuk dengan imbalan harta, uang, serta kedudukan yang terhormat di kadipaten. Namun suamiku menolaknya. Karena kami ingin ketenangan. Apalagi aku sedang hamil tua.

Lagi pula, suamiku termasuk salah seorang yang paling benci pada Pangeran Pari Ongso. Karena pangeran itu licik. Sifatnya buruk, tidak ada belas kasihan pada rakyat kecil." Kembali Sekarsari menghentikan ceritanya. Dia menelan ludah sejenak. Kesempatan itu digunakan Sena untuk bertanya lagi.

"Lalu, bagaimana tindakan pangeran itu selanjutnya? Dan juga suamimu?" "Pangeran menyewa jawara-jawara untuk membunuh suamiku serta menteror ku. Tapi suamiku selalu dapat mengalahkan orang-orang sewaan Pangeran Pari Ongso. Karena rencananya selalu gagal, maka dengan licik dia pura-pura bertobat akan perbuatannya. Setelah suamiku tahu kalau yang merencanakan pembunuhan terhadap dirinya adalah Pangeran Pari Ongso. Dasar suamiku orang yang lugu serta mudah memaafkan. Maka suamiku tak jadi membunuh pangeran itu. Dengan siasat liciknya, pada suatu malam pangeran mengundang suamiku untuk merayakan persahabatan mereka. Tapi ternyata suamiku diracuni oleh pangeran. Minuman untuk suamiku diberi bubuk racun ganas. Seketika suamiku sekarat dan mati, maka dengan mudah kalung keramat itu pindah ke tangan Pangeran Pari Ongso.... Kematian suamiku mengejutkan semua orang, terlebih diriku. Sedangkan mayat suamiku tak dapat ditemukan," Sekarsari menghentikan ceritanya. Tanpa terasa dia telah menangis.

Sena yang melihatnya jadi merasa iba. Beberapa saat hening, hanya isak tangis Sekarsari yang terde-  ngar.

 "Setelah Pangeran Pari Ongso mendapatkan kalung itu, dia menghilang entah ke mana. Tumenggung Adipura yang mengetahui kebusukannya, dibunuhnya juga. Aku telah kehilangan segalanya. Sementara itu kandungan ku semakin membesar. Aku jatuh sakit..." Sena makin iba mendengar akhir cerita Sekarsari. Dia coba menenangkan hati Sekarsari dengan memegang bahu wanita itu dengan lembut "Maaf.... Seharusnya aku tak menanyakan lebih jauh padamu, Sekar...." "Tidak apa-apa...," sahut Sekarsari sambil menggelengkan kepalanya. "Biar kau mengerti keadaanku sebenarnya.... Bayiku mati begitu lahir...." Kembali Sekarsari terisak-isak. Sedih saat teringat masa silamnya. Sementara Sena hanya menghela napas panjang seraya menggeleng perlahan. Wajahnya masih tampak terharu.

"Manusia iblis itu harus dilenyapkan secepatnya," gumam Sena geram.

Sekarsari masih terisak-isak. Disekanya air mata yang membasahi pipinya dengan kain.

"Setelah seminggu melahirkan bayiku, aku meninggalkan Desa Karang Loh untuk menghilangkan kenangan buruk yang ku alami. Pikiranku kacau. Kuikuti langkah kaki. Jika sudah merasa lelah, baru aku istirahat di mana saja...." "Kenapa kau tidak mencari handai taulan atau sanak saudara?" tanya Sena lembut dan hati-hati, takut kalau Sekarsari tersinggung.

"Aku tak mempunyai siapa-siapa lagi. Aku anak tunggal...," jawab Sekarsari lemah. "Di benakku saat itu hanya ada satu tekad untuk membalas dendam pada Pangeran Pati Ongso yang telah tersohor dengan nama Rekso Bagaspati... Tapi aku tak memiliki ke-  pandaian ilmu silat. Didorong oleh tekad dan rasa dendam yang membara dalam diriku, aku mencari tahu di mana tempat perguruan silat yang paling tersohor....

Sampai ujung dunia pun aku akan datangi, asal aku bisa menjadi pendekar wanita yang tangguh. Namun harapanku selalu gagal. Rasanya tidak ada titik terang dalam kehidupanku...." Sekarsari menarik napas panjang. Dipandanginya Sena sebentar dengan tatapan sayu. Sementara Sena hanya diam. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala. Bibirnya tersenyum tulus. Sungguh malang nasib wanita ini... Kata Sena dalam hati.

"Rupanya Hyang Widhi masih memberikan ujian padaku. Semua orang sepertinya jijik bila bertemu denganku, karena pakaianku seperti gembel. Rasanya saat itu aku ingin mati saja. Habis cobaan satu, muncul cobaan lain yang lebih menyakitkan...." Sejenak Sekarsari menghentikan ucapannya.

"Pernah suatu hari menjelang magrib, aku bermaksud berteduh di sebuah gubuk kecil di luar sebuah desa, jauh dari rumah penduduk. Baru saja ku rebahkan badan untuk melepas lelah, tiba-tiba muncul tiga lelaki berbadan kekar dan berwajah garang dengan memakai baju serba hitam. Ketiganya menerkam dengan buas. Mereka hendak memperkosaku. Aku tak kuasa melawan, walaupun seluruh tenagaku sudah ku kerahkan. Jangankan tiga orang yang memegang ku, satu orang pun aku tak sanggup. Apalagi saat itu mereka memegang kedua kaki dan tanganku, lalu direntangkan lebar-lebar. Sangat mengerikan" Kembali Sekarsari menghentikan kata-katanya.

Dia bergidik sendiri.

"Aku hanya bisa berteriak minta tolong, minta dikasihani oleh mereka. Namun manusia-manusia itu seakan sudah diselimuti nafsu birahi yang besar. Me-  reka tak menghiraukan lagi ucapanku. Mereka makin ganas.... Namun pada saat kritis, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat bagai angin kencang. Dan seketika ketiga lelaki yang hendak memperkosaku tergeletak tanpa nyawa lagi. Selanjutnya aku sudah tak ingat apa-apa lagi, aku pingsan. Tahu-tahu aku sudah berada di sebuah pondok di lereng gunung. Di situlah aku mendapatkan pelajaran ilmu silat dari seorang lelaki tua.... Aku merasa senang sekali...," Sekarsari mengakhiri ceritanya yang cukup panjang itu dengan menarik napas lega.

Sena tersenyum. Dia merasa ikut senang mendengar cerita Sekarsari, wanita malang itu. Kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala.

"Lalu, sekarang kau hendak ke Tawang Sewu untuk membalas dendam atas kematian suamimu...?" Walau tak menjawab, tapi Sena tahu perempuan itu membenarkan ucapannya "Lebih baik kau kembali ke desa dan melupakan Pangeran Pari Ongso yang kini menjadi Rekso Bagaspati itu. Susah untuk menandinginya. Apalagi kalung keramat itu masih di tangannya. Tentu kau tahu keampuhan kalung maut itu, bukan? Salah-salah kau sendiri yang celaka" "Aku memang sudah siap untuk menyusul suamiku," sahut Sekarsari.

Sena menggaruk-garuk kepala.

"Apakah kau berniat mendapatkan kalung itu kembali?" tanya Sena kemudian.

"Kalaupun kudapat, kalung sakti itu akan kukembalikan ke asalnya. Dibuang ke dalam laut..." "Tidak mudah mendapatkan kalung itu kembali. Tidak gampang mencari Rekso Bagaspati, manusia seribu muka yang kini menguasainya.... Dan mana aku tahu kalau kau bukan Rekso Bagaspati yang me-  nyamar menjadi perempuan...?" Ucapan Sena itu membuat Sekarsari tersentak.

Ditatapnya Sena dengan pandangan menyelidik seraya menghela napas panjang. Sena yang dipandang begitu hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.

"Tapi aku percaya kalau kau bukan Rekso Bagaspati. Wajah dan sinar matamu menunjukkan kau adalah seorang pendekar yang cukup disegani. Hanya tingkah Tuan agak aneh. Dan itu yang mengingatkan aku pada berita di rimba persilatan tentang munculnya Pendekar Gila...," ucap Sekarsari kemudian.

Kini Sena-lah yang tersentak mendengar tutur kata Sekarsari yang seperti tahu siapa dia sebenarnya.

Sena jadi makin cepat menggaruk-garuk kepala sambil cengar-cengir. Lalu dia tertawa-tawa pada Sekarsari yang terus mengawasi gerak-gerik Sena.

"Kau bicara apa? Lucu-lucu sekali. Bicaramu ngelantur" ujar Sena. Lalu dia melangkah pergi. Sekarsari segera memburunya, lalu berjalan di sebelah kiri Sena.

"Apakah Tuan mau membantuku untukmenemukan dan memusnahkan manusia yang bernama Rekso Bagaspati itu...?" "Sebaiknya kau jangan panggil aku tuan.... Aku hanya orang biasa. Panggil saja Sena...," kata Sena.

"Baik, Sena. Tapi kau belum menjawab maksud ku...," tukas Sekarsari kemudian.

"Oya..., ya...." "Jadi kita pergi sama-sama mencarinya?" "Kita katamu?" tanya Sena.

Sekarsari tersenyum manis.

"Bukankah kau mau membantuku untuk mencari dan menumpas Rekso Bagaspati...? Dan seperti yang kau katakan, tak mungkin aku sendiri bisa menemukan dan mengalahkan manusia iblis itu...."  Sena terus menggaruk-garuk kepala. Dia tampak bingung sekali. Bagaimana caranya agar Sekar tidak bersamanya dalam mencari Rekso Bagaspati? Belum sempat Sena mendapatkan cara, Sekarsari dengan nada memohon kembali berucap.

"Kalau kau tak mau membantuku dan membiarkan aku berjalan bersamamu, aku akan bunuh diri...," ujar Sekarsari seraya mengeluarkan pedang dari sarungnya.

"Eh Tunggu... Tunggu..." cegah Sena yang tak tega menyaksikan Sekarsari mau bunuh diri. Sebenarnya Sena hanya mencoba sampai di mana kemantapan hati Sekarsari. "Baiklah. Tapi, aku ingin kau menyamar sebagai laki-laki. Sebab aku risih berjalan bersama perempuan. Apalagi secantik kau, bisa terjadi macam-macam." "Hm.... Usul yang bagus Tapi, di mana aku bisa mendapatkan kumis dan jenggot palsu...?" keluh Sekarsari pada Sena.

"Iya, ya. Hm..., gampang. Kita mampir di Desa Tegal Sari. Itu, di bawah bukit sana...." Sekarsari mengangguk dan tersenyum. Sena tak banyak kata lagi. Kakinya diayunkan meninggalkan tempat itu diikuti Sekarsari.

 6
Sena dan Sekarsari yang telah memasuki sebuah desa mengamati daerah sekitarnya. Tampaknya desa itu biasa-biasa saja. Kesibukan para penduduknya seperti desa-desa lain yang aman dan tenteram.

Mereka berlalu-lalang dengan kesibukan masingmasing.

Namun di sudut jalan dekat warung kopi, terli-  hat sekumpulan orang yang sedang berjudi. Pakaian dan wajah mereka menunjukkan kalau mereka bukan orang baik-baik. Sepertinya bukan penduduk desa itu.

Dan hampir semuanya menyandang golok di pinggang.

Sambil minum, mereka terus berjudi. Tingkah laku mereka sungguh tak sedap dipandang mata. Bila ada gadis desa yang sedang lewat, tak segan-segan mereka menggoda atau menjamah tubuh gadis itu dengan kasar. Bahkan pada saat Sena dan Sekarsari melintasi tempat judi itu, mata keduanya sempat melihat seorang dari penjudi yang tidak ikut bermain sedang merangkul seorang wanita muda dengan paksa seraya menciumi dan meremas-remas buah dadanya. Wanita itu hanya bisa menangis sambil mengeluh. Sementara orang-orang yang lewat tak ada yang berani melarang atau membela wanita muda itu.

"Keparat Ternyata orang edan ada di manamana. Aku yakin mereka itu komplotan lelaki yang mengeroyokku tadi..." kata Sekarsari dengan geram.

Tanpa banyak omong lagi, dia melesat ke arah para penjudi itu.

Sena yang tak menduga sama sekali tindakan Sekarsari, tak sempat mencegah. Dia hanya dapat memperhatikan dari tempatnya. Sena ingin tahu, sampai di mana keberanian dan kepandaian ilmu silat Sekarsari yang sesungguhnya.

"Hei, Monyet Lepaskan wanita itu" bentak Sekarsari sambil bertolak pinggang pada orang-orang yang sedang menggerayangi tubuh wanita muda tadi Orang yang sedang mempermainkan wanita itu kaget, termasuk orang yang sedang berjudi. Mereka menoleh ke arah Sekarsari yang menatap dengan pandangan sinis.

"Phuih Kalian manusia laknat yang perlu diberi pelajaran... Lepaskan wanita itu kataku" bentak Se-  karsari lagi karena lelaki kurang ajar itu belum melepaskan wanita yang baju bagian atasnya sudah terbuka. Lelaki itu berkumis dan bercambang lebat dengan satu mata kirinya ditutup kain hitam. Codetnya melintang di pipi sebelah kanannya.

"He he he..." Lelaki itu malah tertawa tergelak-gelak sambil terus menciumi wanita di pelukannya.

"Kalau kau ingin merasakan ciuman dan remasanku juga, kemarilah He he he...," ujar lelaki bermata satu, menggoda Sekarsari. Yang lain jadi tertawa terbahak-bahak. Sebagian dari para penjudi itu kini berpaling dan menghadap ke arah Sekarsari.

"He he he... Edan, ini baru santapan lezat Ayo..., kemarilah, Manis. Jangan galak-galak. He he he..." celetuk seorang penjudi sambil menoleh ke arah Sekarsari. Lalu dia bergerak bangkit, setelah melempari kartunya ke atas meja, diikuti yang lain.

Kini mereka menghentikan permainan judi. Semua berdiri dengan tingkah laku yang memuakkan Sekarsari. Konyol dan kurang ajar.

"Biasanya wanita yang galak malah lebih panas mainnya..." seloroh orang berperut gendut dan berwajah persegi dengan ikat kepala menutupi seluruh rambutnya.

Lantas saja semua tertawa tergelak-gelak, Sekarsari sudah tak sabar. Tiba-tiba tubuhnya menyergap orang yang memegangi wanita desa. Dengan cepat pula Sekarsari melancarkan pukulan beruntun disusul dengan tendangan keras ke arah perut dan wajah orang itu.

"Aaa.... Ukh..." Dengan gesit Sekarsari melakukan pengamanan terhadap wanita desa itu. Dibawanya dia menjauhi tempat itu. Lalu Sekarsari kembali menghadapi para  penjudi.

Keenam penjudi itu menjadi marah melihat temannya dipermalukan di depan orang-orang desa yang sedang berlalu lalang.

"Bangsat Wanita ini rupanya mau cari mampus. Mau dikasih kenikmatan malah cari perkara Serang.,." perintah orang berpakaian lebih bagus dari kelima lelaki lain. Rambutnya panjang melebihi bahu, serta berikat kepala hitam yang menutupi bagian rambut atasnya. Bajunya lengan panjang berwarna hijau tua, celana hitam dan ikat pinggang lebar dari kulit. Di pinggangnya terselip golok panjang.

Lima penjudi itu serentak menyerang Sekarsari dengan membacokkan golok masing-masing. Namun Sekarsari cepat meloncat seraya mencabut pedangnya.

Wanita itu hinggap di atas meja judi.

Wut Wut...

Lima batang golok segera membabat kaki Sekarsari. Sekarsari kembali melenting ke udara sambil menendang dengan sepasang kakinya ke arah dua orang yang berada di kiri dan kanannya.

Buk Buk..

"Hukh" "Akh..." Kedua lelaki yang terkena tendangan Sekarsari terhuyung dua tombak ke belakang. Sekarsari berdiri tegak kembali di atas meja judi tadi dengan senyum mengejek "Ayo..., maju kalian semua Kau juga" tantang Sekarsari sambil menunjuk ke arah orang berbaju hitam yang sejak tadi hanya melihat kawannya bertarung melawan Sekarsari.

Melihat semua itu, Sena yang masih berdiri tempatnya hanya cengengesan sambil menggaruk garuk kepala.

 "Boleh juga ilmu silat perempuan misterius ini" gumam Sena pada diri sendiri.

Sementara itu pemimpin para penjudi yang berbaju hijau, telah ikut menyerang Sekarsari dengan menebaskan golok panjangnya dengan cepat. Batok kepala Sekarsari pasti akan tertebas, jika dia terlambat mengelak "Edan" maki Sekarsari sambil bersalto ke belakang. Lalu dia kembali berdiri. Dan tanpa menunggu lama, Sekarsari balik menyerang dengan sabetan pedangnya. Secepat kilat senjatanya membabat ke tubuh lawan. Wajah orang yang berikat kepala hitam bagai bajak laut itu langsung pucat.

Melihat pemimpinnya dalam keadaan genting, kelima kawannya kembali menyerang Sekarsari dengan golok. Sekarsari yang sudah benar-benar muak dengan orang-orang keparat itu segera memapaki serangan lawan. Dengan mempermainkan pedangnya sedemikian rupa, dia menangkis golok-golok yang diarahkan kepadanya.

Trang Trang...

Pedang dan golok beradu, hingga menciptakan pijaran api. Sementara golok di tangan kelima lawan patah, lalu terlepas dari genggaman mereka. Mendapati kenyataan itu, kelima penjudi yang bertampang seram dan buruk itu kaget bukan kepalang. Kelimanya saling pandang. Mereka tampak mulai gentar. Perlahan-lahan mereka melangkah mundur seraya memandang Sekarsari yang berdiri dengan tertawa mengejek "Ayo, maju. Atau aku yang maju untuk memelukmu Katanya tadi kalian ingin menikmati tubuhku, ayo..." ujar Sekarsari sinis.

Kelima penjudi tadi tak menjawab. Mereka terpaku.

Tiba-tiba lelaki berbaju hijau tanpa diduga me-  nyerang Sekarsari dari belakang. Namun Sekarsari rupanya sudah menduganya. Dengan cepat tubuhnya me-loncat ke udara, lalu berbalik arah sambil menghunus pedangnya. Dan ditebasnya pedang tersebut ke dada lawan dengan cepat.

Sret Cras "Aaakh..." Orang berbaju hijau memekik. Dadanya tersayat. Belum sempat lawan balik menyerang, Sekarsari sudah menendang telak ke dada dan wajah orang berbaju hijau itu. Kembali lawan memekik dengan tubuh terpental tiga tombak ke belakang. Tubuhnya langsung membentur meja judi.

Brak Orang itu tak berkutik lagi. Sementara itu, kelima kawannya berusaha melarikan diri. Namun Pendekar Gila segera menghadang mereka.

"Hei, kalian belum meminta maaf pada wanita itu. Cepat kembali" perintah Sena penuh wibawa.

Kelima orang yang belum mengenal Sena, menurut saja seperti anak sapi. Kini orang-orang yang semula ditakuti penduduk desa, tak ubahnya seperti tikus.

Sena hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala memandangi kelima orang yang berjalan ke arah Sekarsari sambil menatap lelaki berbaju hijau yang masih pingsan dengan darah mengucur dari mulutnya. Sedangkan dadanya membiru akibat tendangan Sekarsari tadi.

Sekarsari menoleh ke arah Sena. Sena memberikan isyarat Sekarsari mengangguk. Lalu kembali melihat kelima lelaki yang terbungkuk-bungkuk mendekatinya.

"Hei Cepat kalian ke sini" bentak Sekarsari "Kalian sudah membuat penduduk desa ini ketakutan  dan menderita. Kini kalian harus menerima ganjaran" "Ampun... ampuni kami. Kami tidak akan berbuat buruk lagi...," ratap lelaki bermata satu. Diikuti teman-temannya.

"Kau tadi yang mengganggu wanita itu? Matamu yang tinggal satu itu lebih baik ku butakan sekalian, biar kau tidak dapat melihat tubuh wanita yang montok dan cantik.." ancam Sekarsari sambil menghunuskan pedangnya ke mata lelaki bermata satu.

Kontan lelaki itu menyembah bersujud di kaki Sekarsari.

"Ampun... ampuni saya.... Ampuni saya. Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi," rengeknya dengan tubuh gemetaran, karena ujung pedang Sekarsari masih berada di dekat matanya. Peluh membasahi wajah lelaki itu.

"Ha ha ha.... Dasar lelaki kerdil Hei, sekarang aku tanya, siapa yang menyuruhmu memeras orang desa dan berbuat seenak udel mu di sini?" bentak Sekarsari kemudian.

Sementara itu lelaki berbaju hijau mulai sadar.

Dengan meringis dia berusaha bangkit, namun tubuhnya masih terasa sakit. Tapi ketika melihat Sekarsari mengancam kawannya, secara diam-diam dan licik dia ingin mengambil kesempatan itu untuk menyerang Sekarsari dari belakang. Dengan cepat dia bangkit dan membabatkan golok panjangnya ke leher Sekarsari.

Namun belum sempat pedang itu mendarat di leher Sekarsari....

"Aaa..." Sekarsari kaget dan berbalik sambil melompat mundur selangkah. Terlihatlah tubuh orang yang hendak membokongnya mengejang dengan mata melotot.

Setelah itu dia tewas.

Sekarsari memandang Sena. Pemuda yang di-  pandang hanya cengar-cengir sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu dia melangkah menuju kedai kopi.

Sekarsari menghela napas panjang. Ia tahu kalau Sena yang menyelamatkan jiwanya. Kemudian tubuhnya berbalik ke arah kelima orang tadi.

"Pergi kalian Katakan pada pemimpin kalian, bahwa aku menunggu di desa ini. Cepat pergi atau kubunuh kalian" perintah Sekarsari keras. Kontan kelima orang itu kabur bagai dikejar setan, keluar dari Desa Tegal Sari.

Pemilik kedai dan orang-orang yang melihat kejadian tadi tampak kagum pada kehebatan Sekarsari.

Tapi mereka tidak berani menunjukkan kegembiraan.

Terlihat dari wajah mereka yang tegang, seperti ada sesuatu yang membuat mereka takut "Terima kasih. Kau telah menyelamatkan jiwaku," ucap Sekarsari ketika sudah berada di dekat Sena.

Pendekar Gila tak menjawab. Dia tetap diam sambil cengar-cengir, membuat Sekarsari merasa agak kesal karena terima kasihnya seolah tidak ditanggapi Sena. Tapi akhirnya Sekarsari mengerti sifat Sena yang aneh dan terkadang seperti orang gila itu.

"Sekarang apa rencana kita selanjutnya? Apakah kita perlu tinggal di sini untuk satu-dua hari?" tanya Sekarsari pada Sena.

Sena tak langsung menjawab. Dia hanya memandang Sekarsari demikian rupa. Sekilas terbayang wajah Mei Lie yang sangat dikasihi dan dicintainya.

Sena tersenyum sendiri.

Melihat senyum Sena yang begitu manis, Sekarsari jadi mengerutkan kening. Justru dia yang merasa risih. Wajahnya jadi bersemu merah. Kepalanya ditundukkan.

"Kenapa kau memandangku begitu, Sena?"  tanya Sekarsari perlahan.

Sena yang mendengar pertanyaan perempuan itu jadi tersentak dari lamunannya.

"Oh.... Apa kau bilang tadi... He he he..." Sena balik bertanya seraya menggaruk-garuk kepala. Wajahnya tampak memerah juga. Dia merasa Sekarsari tahu apa yang sedang dipikirkannya.

Keduanya lalu diam. Sekarsari tidak menjawab pertanyaan Sena. Dia hanya mengulum bibirnya. Bibirnya yang kini basah karena dikulum, nampak semakin menggairahkan.

"Sebaiknya kita mencari tahu tentang para penjudi tadi," usul Sena tiba-tiba. "Ki, siapa orang yang menjadi kepala desa di sini?" lanjut Sena, bertanya pada pemilik kedai.

"Oh, rumahnya di sebelah sana, Den. Ki Sapto namanya. Dia seorang muslim yang taat beribadah.

"Terima kasih, Ki. Permisi...," ucap Sena setelah membayar pemilik warung itu.

Setelah Sena dan Sekarsari berlalu, penduduk Desa Tegal Sari mulai ramai membicarakan keduanya.

Mereka pada umumnya merasa senang dengan kehadiran Sena dan Sekarsari. Penduduk desa itu memang sangat membutuhkan orang-orang semacam mereka.

Kalau tidak, ketenangan tak akan kunjung datang.

Mereka akan selalu was-was dan ketakutan setiap saat. Sebab, orang-orang semacam penjudi-penjudi tadi akan datang lagi setiap waktu.

Sena dan Sekarsari akhirnya bertemu dengan Ki Sapto, Kepala Desa Tegal Sari. Mereka dipersilakan masuk oleh Ki Sapto yang sebagian rambutnya telah memutih. Dengan blangkon dan berbaju lengan panjang serta kain seperti layaknya orang Jawa, Ki Sapto menerima Sena dan Sekarsari dengan ramah.

"Silakan, silakan... " sambut Ki Sapto.

 "Terima kasih, Ki," jawab Sekarsari perlahan.

Setelah mereka duduk, barulah Ki Sapto menjelaskan keadaan Desa Tegal Sari.

"Mereka memang orang-orang biadab, tak ada orang lain yang dapat melawan mereka. Aku sendiri bukannya tidak berani.... Tapi, percuma saja menentang. Mereka didalangi oleh manusia yang berilmu tinggi. Aku tidak mau penduduk desa ini dibantai....

Itu sebabnya selama ini aku hanya bisa menahan sakit di dada. Rasanya aku sudah tidak bisa menangis lagi jika mendengar atau melihat gadis-gadis desa ini diculik untuk dijadikan persembahan manusia iblis itu." "Persembahan? Siapa manusia iblis yang Ki Sapto maksud?" Sena tampak sangat ingin tahu. Begitu pula Sekarsari. Wajah wanita itu mulai sedikit tegang.

"Siapa lagi kalau bukan Rekso Bagaspati. Gadis-gadis itu dipersembahkan sebagai tumbal ilmu setannya. Setiap bulan purnama manusia iblis itu melakukannya. Jika dia tidak mendapatkan gadis-gadis yang masih perawan, ilmunya akan hilang...," jawab Ki Sapto, setelah menghela napas sejenak "Tak salah lagi. Pasti ini berkaitan dengan kalung keramat keparat itu" potong Sekarsari penuh gejolak kemarahan. "Di mana sarang manusia iblis itu, Ki?" "Aku tidak bisa menjelaskan. Manusia itu bagai setan. Tidak seorang pun yang tahu di mana sarangnya.... Inilah yang merepotkan," jawab Ki Sapto sambil memegangi keningnya. Lelaki setengah baya itu tampaknya sedang berpikir.

Sekarsari menarik napas panjang. Kepalanya menoleh ke arah Sena yang tengah menggaruk-garuk kepala.

Ki Sapto terdiam, seakan digelayuti kekhawati-  ran setelah memberi tahu semua hal tadi pada Sena dan Sekarsari. Sena tahu, apa yang sedang dipikirkan Ki Sapto.

"Ki Sapto tidak usah takut. Tak ada orang yang akan mengganggu Aki," tutur Sena pada Ki Sapto.

"Kalau diizinkan, biarlah malam ini kami menginap di rumahmu, Ki," timpal Sekarsari, memutuskan dengan tiba-tiba.

Sena tentu saja menjadi tersentak. Dia sempat mendelik ke arah Sekarsari yang dianggapnya lancing.

Sekarsari hanya mencibir pada Sena.

"Ooo.... aku malah lebih senang kalau kalian berdua mau bermalam di rumah yang jelek ini...," jawab Ki Sapto penuh kegembiraan. "Ayo, silakan diminum Den..." "Terima kasih, Ki...," kata Sekarsari sambil menganggukkan kepala.

Sena menarik napas panjang. Dia menggelenggeleng sambil menggaruk-garuk kepala.

Malam pun tiba perlahan. Sepi mencekam hari yang kian kelam. Suasana sangat angker. Tak seorang pun berani keluar rumah. Sebagian lampu rumah sudah dipadamkan. Padahal hari baru lepas magrib.

Angin bertiup kencang dari arah hutan di sebelah barat Desa Tegal Sari. Disertai lolongan anjing hutan yang melengking panjang.

Sena terlihat berada di serambi rumah Ki Sapto. Pemuda itu duduk bersila di atas sebuah balai-balai beralaskan tikar yang agak usang. Matanya menatap tajam ke depan. Seperti patung, ia tak bergerak sedikit pun. Rupanya Sena sedang memusatkan pikirannya.

Dari pintu tampak Sekarsari muncul. Sesaat wanita itu berhenti memandangi Sena yang sedang bersemadi. Sekarsari tak ingin mengganggu. Dia sen-  gaja menunggu sampai Sena selesai.

Setelah Sena selesai bersemadi, barulah Sekarsari mendekati dan duduk di sebelahnya. Sena menggeser tubuhnya agak jauh dari Sekarsari. Namun Sekarsari tidak tersinggung, karena dia tahu kalau Sena memang tidak seperti lelaki lain.

"Kenapa kau belum juga tidur?" tanya Sena datar.

"Belum ngantuk. Kau sendiri...?" Sekarsari balik bertanya. Suaranya terdengar manja.

Sena makin kesal. Ingin rasanya dia pergi meninggalkan perempuan itu, tapi dia tidak mau melukai perasaan wanita. Jadi dia hanya bisa menahan hati sambil menggaruk-garuk kepala.

"Penduduk desa ini rupanya begitu takut dengan Rekso. Lihat, semua pintu rumah tertutup rapat.

Sepi, sepi sekali. Mungkinkah Rekso malam ini akan muncul seperti ucapan Ki Sapto tadi sore?" Sekarsari langsung bicara soal Desa Tegal Sari yang dilanda bencana yang diciptakan Rekso Bagaspati dan anak buahnya.

"Kita tunggu saja. Tapi menurut firasat ku, Rekso tak mungkin muncul. Dia akan muncul pada bulan purnama nanti," jawab Sena.

"Kalau begitu, sekitar empat hari lagi. Tapi perasaanku berkata lain. Dia akan muncul malam ini.

Karena dia tahu kita sedang berada di sini untuk mencarinya," ujar Sekarsari mantap dan penuh keyakinan.

Baru saja Sekarsari selesai berkata, tiba-tiba terlihat selarik sinar kemerahan meluncur dari ujung desa sebelah barat. Sena segera bangkit. Demikian pula Sekarsari. Malah Wanita itu hendak bergegas pergi.

Namun Sena cepat menahannya sambil memberi isyarat agar Sekarsari duduk kembali.

"Aaa..."  Tiba-tiba saja terdengar jeritan yang mengejutkan Sena dan Sekarsari dari dalam rumah Ki Sapto.

Sena segera melesat masuk ke dalam rumah, disusul oleh Sekarsari.

Apa yang mereka lihat? Tubuh istri Ki Sapto kaku membiru. Sedangkan Ki Sapto tampak tertunduk menghadapi mayat istrinya. Terdengar desah napas dan isak tangis Ki Sapto yang masih membelakangi Sena dan Sekarsari.

Tanpa curiga apa-apa, Sekarsari segera mendekati Ki Sapto. Baru saja dia menyentuh punggung lelaki setengah baya yang dikenal sebagai muslim yang taat beribadah, mendadak dia berbalik dan menyerang Sekarsari.

Wajah Ki Sapto tidak lagi terlihat lembut dan soleh. Wajahnya telah berubah garang, dengan mata merah serta gigi yang dibasahi darah.

Sekarsari segera terkena pukulan dan terpental tiga tombak ke belakang. Tubuhnya membentur dinding rumah dari bilik hingga jebol. Sena yang melihat hal itu, dengan cepat menghadang Ki Sapto yang hendak menyerang Sekarsari. Dengan pukulan beruntun, Pendekar Gila menghantam dada Ki Sapto yang rupanya telah dirasuki roh Rekso Bagaspati.

Rupanya, sinar merah tadi yang menjadi penyebab, bisik Sena dalam hati sambil terus melancarkan serangan.

Satu tendangan kaki kanan Sena tepat mengenai ulu hati Ki Sapto. Lelaki itu mengerang. Suara yang terdengar bukan seperti manusia. Erangannya bagai erangan makhluk halus yang melengking aneh.

Sena segera mengumpulkan tenaga dalamnya untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Kesiagaan Sena ternyata beralasan. Tiba-tiba jari telunjuk Ki Sapto retak-retak dan mengeluarkan  selarik sinar merah yang meluncur ke arah Sena. Pendekar Gila cepat memapak sinar itu dengan menghentakkan kedua telapak tangannya.

"Heaaa..." Blar Blar Terdengar ledakan yang dahsyat. Tubuh Sena terhuyung selangkah ke belakang. Dan Ki Sapto tampak pucat. Kemudian secara tiba-tiba tubuhnya menjadi biru. Bibirnya menyeringai sebelum tubuhnya ambruk. Bersamaan dengan itu, terdengar gelak tawa dari seseorang. Dan Pendekar Gila segera berbalik, ternyata Rekso Bagaspati telah menampakkan wujudnya yang asli. Dengan pongah manusia iblis itu berdiri memandang Sena dengan tajam. Tangan kirinya tampak menenteng tubuh Sekarsari.

Sena terbelalak melihat Sekarsari dalam cengkeraman Rekso Bagaspati.

"Ha ha ha.... Ternyata Pendekar Gila yang tersohor di rimba persilatan sangat mudah tertipu oleh ku. Ha ha ha... Kini sudah saatnya kau mati, Pendekar Gila. Dan aku akan lebih leluasa melaksanakan keinginan untuk menguasai jagat. Ha ha ha..." ejek Rekso Bagaspati sambil tertawa tergelak-gelak.

Pendekar Gila hanya menggaruk-garuk kepala.

Meski begitu dia tetap waspada dan siap melancarkan serangan ke arah Rekso Bagaspati. Tapi sebelum Pendekar Gila melancarkan serangan, dari tubuh Rekso Bagaspati tiba-tiba bermunculan manusia-manusia aneh mirip mayat hidup dengan tubuh dan wajah berlumuran darah.

Sena agak terkejut menyaksikan lima orang mengerikan keluar dari tubuh Rekso Bagaspati. Gelak tawa Rekso Bagaspati masih terdengar. Seakan mengejek dan ingin membuyarkan perhatian Pendekar Gila.

Namun Pendekar Gila tak menghiraukan.

 Dengan gerakan cepat, Pendekar Gila mengelakkan serangan makhluk jelmaan itu. Tubuhnya bersalto ke udara, disusul dengan pukulan dan tendangannya.

Des Des Rekso Bagaspati jejadian itu terpekik ketika serangan Sena mengenai sasaran. Namun sesaat kemudian mereka kembali menyerang Sena dari semua arah. Pendekar Gila segera mengerahkan kembali pukulan dan tendangannya sambil melompat "Heaaa..." Des, des...

Herannya makhluk-makhluk itu tetap kebal terhadap pukulan dan tendangan Sena. Tanpa terasa, pertarungan telah berlangsung jauh di luar rumah Ki Sapto.

Kini Pendekar Gila mengerahkan tenaga dalamnya, setelah bersalto menjauhi kelima makhluk itu.

Dengan gerakan cepat Sena mengangkat kedua tangannya, lalu langsung menghentakkan tangan kanannya ketika lawan-lawannya menyerang bersamaan.

"Heaaa..." Selarik sinar merah membara yang keluar dari tangan Pendekar Gila menghajar kelima makhluk jejadian itu.

Glarrr...

"Aaarghhh..." Makhluk-makhluk jejadian itu kontan saja terbakar. Sesaat kemudian mereka hilang, berganti dengan asap ungu yang bergulung di depan Sena.

Gelak tawa Rekso Bagaspati kembali terdengar bagai mengguncang bumi.

"Ha ha ha... Pendekar Gila Kali ini kau berhasil mengalahkan aku, tapi kau tak akan bisa membunuhku... Ha ha ha..."  Disertai hembusan angin yang kencang, suara Rekso Bagaspati perlahan-lahan menghilang. Keadaan kembali sepi.

Setelah itu Pendekar Gila melesat kembali ke rumah Ki Sapto. Ternyata rumah itu telah terbakar habis. Sementara itu orang-orang desa menjerit, seraya berhamburan ke luar rumah, karena rumah mereka tiba-tiba ikut terbakar.

Perempuan, lelaki yang muda dan tua menjerit atau menangis minta tolong. Sena sangat terenyuh melihat semua kejadian tersebut. Segera dia membantu penduduk untuk memadamkan api. Dengan ilmunya, Sena akhirnya dapat memadamkan api yang membakar rumah-rumah penduduk Desa Tegal Sari.

"Terima kasih, Den. Terima kasih.... Kalau tidak ada Aden, mungkin kami sudah tak memiliki apa-apa lagi," ucap seorang lelaki tua sambil menggendong cucu perempuannya yang bertelanjang dada.

"Sudahlah, Ki. Sekarang tenangkan dulu hatimu. Biarlah saya yang akan membereskan rumahmu," ujar Sena tenang. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala. Setelah itu, dia berlalu dari tempat berkerumun para penduduk desa untuk melanjutkan perjalanannya mencari Rekso Bagaspati.

Seorang lelaki muda tiba-tiba mengejar Sena.

Setelah dekat, tubuhnya membungkuk memberi hormat.

"Maaf, Tuan Pendekar.... Nama saya Guntoro....

Saya ingin memberitahukan sesuatu pada Tuan Pendekar," ujar lelaki muda yang mengaku bernama Guntoro itu.

Sena mengerutkan kening seraya menatap tajam pemuda itu.

"Ada apa?" tanya pendek.

"Saya diutus seseorang untuk menyampaikan  pesan pada Tuan Pendekar." "Pesan? Dari siapa?" tanya Sena heran.

"Dia tidak menyebutkan namanya. Tapi ini pesannya," kata Guntoro sambil mengulurkan secarik surat yang terbuat dari daun kering.

Sena mengambil surat itu dari tangan Guntoro.

Dibacanya isi surat itu.

Pendekar Gila Kalau kau ingin temanmu selamat, kau harus menemuiku besok di Bukit Tengkorak menjelang magrib.

Rekso Bagaspati Selesai membaca surat, Sena menarik napas dalam-dalam sambil menggaruk-garuk kepala. Tapi begitu hendak berkata dengan pemuda yang membaca surat itu, si pemuda yang bernama Guntoro tadi menghilang entah ke mana. Sena jadi kaget. Dia memandang ke sekeliling tempat itu dengan tajam, tapi pemuda itu tak terlihat olehnya.

Sena segera berkelebat meninggalkan Desa Tegal Sari. Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', Sena sudah berada di suatu tempat yang asing baginya. Tempat tersebut seakan tidak berpenghuni. Sedangkan tanahnya gersang. Batu-batu cadas yang menjulang tinggi menambah keangkeran dan kesan gersang daerah itu 
7
Sena terus melangkah menuruni jalan berdebu di antara tebing cadas. Hari semakin sore ketika Sena memasuki sebuah desa kecil yang porak-poranda.

Langkahnya dihentikan. Dipandanginya sekeliling desa kecil itu. Yang tampak hanya serakan mayat-mayat di  sana-sini. Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.

Ia menggelengkan kepala.

"Edan Ini pasti perbuatan Rekso dan antekanteknya... Huh..." rutuk Sena.

Asap mengepul hampir di seluruh desa. Entah apa nama desa itu, Sena sendiri tak mengenalnya. Sena kembali melangkah perlahan. Diperhatikannya sesosok mayat perempuan dengan seorang anak kecil yang mati secara mengerikan di sebelahnya. Muka dan dadanya hancur. Darah di tubuh keduanya telah mengering.

"Keparat.. Aku harus cepat membinasakan manusia iblis itu" desis Sena penuh luapan kemarahan.

Tiba-tiba sebuah gerobak besar muncul dari ujung desa sebelah utara. Sena segera waspada. Pandangannya tak lepas pada gerobak yang ditarik dua ekor kuda.

Binatang-binatang itu tampak letih. Itu bisa terlihat ketika kedua kuda penarik gerobak berhenti di depan sebuah reruntuhan rumah di ujung jalan desa itu.

Sena cepat mendekati gerobak itu. Kusirnya seorang lelaki muda beralis tebal dan berbibir dower turun dari gerobak. Mata sebelah kanannya rusak. Dia tampak acuh, seakan tak melihat Sena yang berada setengah tombak dari gerobak "Kisanak. Barang apa yang kau bawa?" tanya Sena ingin tahu.

Kusir yang ditanya hanya angkat bahu sambil terus melangkah.

"Kalau mau tahu, periksa saja," ucapnya sera, tanpa memandang Sena.

Sena mengerutkan kening, lalu menggarukgaruk kepala. Orang ini aneh Gumam Sena dalam hati. Lalu didekatinya gerobak itu untuk diperiksa. Tan-  gannya segera menyingkap sebuah karung. Sena terkejut. Matanya membelalak.

"Mayat manusia" desisnya.

Pendekar Gila menoleh ke arah di mana kusir tadi berada. Namun kusir gerobak itu sudah lenyap entah ke mana. Suasana jadi makin mencekam. Hatinya jadi sedikit was-was.

"Kurang ajar, aku telah masuk daerah kekuasaan Rekso. Dia ingin mencoba ilmu setannya... Edan" maki Sena setengah berteriak.

Sena cepat melesat meninggalkan tempat itu.

Baru saja kakinya mendarat di tanah, tiba-tiba beberapa benda tajam berbentuk anak panah meluncur ke arahnya. Sena yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan dengan cepat memapaki senjata-senjata beracun itu. Kedua telapak tangannya dihentakkan hingga ajian 'Si Gila Melebur Gunung Karang' menghantam senjata-senjata itu.

Glar Glar Kilatan cahaya merah melebur senjata-senjata itu hingga hancur. Bersamaan dengan itu, terdengar pekikan panjang di kejauhan. Disusul dengan jatuhnya lima orang dengan tubuh terbakar.

Sena mundur beberapa langkah dan memandangi lima tubuh tak dikenal. Rupanya merekalah penyerang Sena tadi. Ketika senjatanya hancur oleh serangan balik Sena, pemiliknya pun terbakar dan mati.

Pendekar Gila menarik napas panjang-panjang sambil menggaruk-garuk kepala.

"Antek-antek Rekso lagi. Orang-orang ini sudah dirasuki ilmu setan Rekso, hingga menjadi buas dan tak memiliki perasaan lagi," gumam Sena pada diri sendiri.

Sementara itu hari mulai gelap. Sena kembali melanjutkan perjalanannya untuk memenuhi tantan-  gan Rekso Bagaspati sekaligus menyelamatkan Sekarsari. Angin berhembus kencang menerpa wajah Sena yang makin tegang dan keras. Tak ada senyum sedikit pun di bibirnya. Dia hanya memikirkan bagaimana cara melenyapkan Rekso Bagaspati, manusia setengah setan itu.

***
Di dalam goa tempat Rekso Bagaspati bermukim tampak sedang diadakan pesta menyambut keberhasilan Rekso Bagaspati membawa Sekarsari. Pesta berlangsung cukup meriah.

Lima gadis berpakaian minim sedang menari.

Tariannya sangat erotis dan berbau mesum. Sedangkan Ronggo Lawe dan beberapa orang lain asyik berpasangan dengan wanita-wanita muda yang hanya mengenakan kain panjang dan penutup dada tipis berwarna hitam.

Tingkah laku anak buah Rekso Bagaspati sudah tak karuan. Hampir di setiap sudut pasangan lelaki dan wanita bergumul dan bercumbu secara bebas.

Sedangkan Rekso Bagaspati yang sedang menikmati tarian erotis, ditemani oleh empat wanita muda yang berpakaian minim juga. Tubuh setengah tiduran, sementara empat wanita itu mengerumuninya. Sebentarsebentar dia merangkul dan menciumi wanita-wanita itu dengan rakus sambil sesekali meneguk arak.

Di tengah-tengah arena tari terdapat semacam sumur berisi darah manusia yang telah menjadi tumbal ilmu setan Rekso Bagaspati. Di sebelah kanan terlihat Sekarsari telentang dengan kedua tangan dan kaki terikat. Pakaiannya sudah tampak lusuh dan terkoyak-koyak.

Tarian terus berjalan hingga tengah malam. Se-  bagian dari mereka sudah mabuk, namun tarian makin erotis dan berani. Orang-orang yang bermesraan sudah tak menghiraukan lagi tarian itu. Mereka asyik bergumul di kamar-kamar goa yang beralaskan dedaunan kering.

Rekso Bagaspati mendekati Sekarsari yang makin lemah keadaannya.

"Kau ternyata amat cantik dan menawan, Sekar...," ucap Rekso Bagaspati sambil menggerakkan tangannya ke tubuh Sekarsari. Kemudian dengan rakus leher Sekarsari diciuminya.

Sekar yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi hanya pasrah dalam tangis.

"He he he.... Kalau kau menangis, aku makin bernafsu untuk segera menikmati tubuhmu yang kenyal ini. He he he... Tapi belum saatnya. Ha ha ha..." Kembali Rekso Bagaspati menggerayangi tubuh Sekarsari, hingga wanita cantik itu menggelinjang.

"Phuih" Sekarsari meludahi wajah Rekso Bagaspati.

Orang yang diludahi tidak marah. Tangannya malah kian ganas menggerayangi tubuh Sekarsari membuat wanita itu terus menggelinjang.

"Auw..." Sekarsari memekik tertahan dan berusaha berontak, namun sia-sia. Rekso Bagaspati yang makin bernafsu menahan tubuh Sekarsari agar tidak bergerak, dan dia mulai menciumi tubuh Sekarsari sepuas puasnya.

"Oh, Gusti. Beri aku kekuatan. Aku bersumpah akan mencincang tubuh manusia laknat ini," rintih Sekarsari dalam hati.

Tiba-tiba bahu Rekso Bagaspati ditepuk seseorang dari belakang. Rekso Bagaspati tersentak dan langsung berbalik.

 "Bangsat Ada apa...?" bentak Rekso Bagaspati dengan mata melotot Ternyata Ronggo Lawe yang menepuknya.

"Pendekar Gila telah masuk perangkap kita Ayah," lapor Ronggo Lawe pada Rekso Bagaspati "Ha ha ha.... Sebentar lagi Pendekar Gila akan mampus Ronggo, kau habisi pemuda gila itu. Jangan sampai gagal. Cepat" perintah Rekso Bagaspati.

Ronggo Lawe segera berlalu dengan wajah yang terlihat setengah mabuk.

Setelah Ronggo Lawe tidak terlihat lagi, Rekso Bagaspati kembali melirik Sekarsari.

"Kau masih akan kusimpan untuk nanti. Setelah Pendekar Gila mampus, aku baru akan menikmati tubuhmu yang bahenol ini. Ha ha ha..." kata Rekso Bagaspati. Kemudian dia berlalu sambil terus tertawa tergelak-gelak.

***
Sesosok bayangan hitam berkelebat di antara pepohonan hutan belantara. Malam mulai akan berganti pagi. Saat itu suasana di sekitar sarang Resi Bagaspati tampak sepi. Bayangan hitam itu terus melesat bagai anak panah yang dilepas dari busurnya. Sesekali bayangan hitam itu berhenti sebentar, sepertinya mengamati keadaan di sekelilingnya. Setelah itu dia kembali melesat cepat bagai terbang.

Ketika sosok bayangan itu menubruk salah satu ranting pohon beringin, melesatlah bambu-bambu runcing ke tubuhnya.

Zing Zing..

Rupanya orang itu memilik panca indera keenam yang kuat serta ilmu yang tinggi. Hanya dalam waktu singkat, dia dapat mengelak dari hunjaman je-  bakan itu.

"Keparat Rupanya hutan ini banyak perangkap Aku harus lebih waspada" dengus orang itu. Lalu tubuhnya kembali melesat bagai anak panah. Orang itu terus ke arah goa tempat tinggal Rekso Bagaspati.

Orang itu tak lain Pendekar Gila.

Sena mengamati tempat itu, dan merasakan keganjilan dengan indera keenamnya yang begitu tajam. Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala.

"Hm.... Rupanya Rekso ingin menjebakku. Dan dia tahu kalau aku ingin datang lebih awal dari rencana dalam surat itu...," gumam Sena lirih.

Selesai berpikir, Sena cepat melesat ke arah jalan menuju kediaman Rekso Bagaspati. Namun tibatiba saja dua buah senjata rahasia berupa bintang sebesar piring kecil meluncur ke arah Pendekar Gila.

Swing Swing "Heaaat..." Sena melejit dengan bersalto ke udara, dibarengi hentakan tangan kanannya ke arah senjata rahasia tadi. Selarik sinar keperakan langsung menghantam senjata-senjata itu.

Wesss Senjata itu berbalik arah dan....

"Aaa..." Lengkingan dari dua orang pembokongnya membuat Sena tertawa di udara. Setelah itu tubuhnya kembali mendarat ke tanah.

Tak lama berselang, muncul makhluk-makhluk aneh dari berbagai penjuru, Sena kaget. Dia segera mengerahkan ilmunya. Ditariknya napas dalam-dalam dan mulai siap menyerang.

Makhluk-makhluk ini tak boleh diberi hati. Aku harus segera membereskan mereka Tekad Sena dalam hari. Langsung saja Pendekar Gila melancarkan seran-  gan jarak jauh. Kembali selarik sinar keperakan meluncur dari kedua telapak tangannya, lalu menghantam makhluk-makhluk aneh itu.

Blarrr Makhluk-makhluk itu terbakar oleh pukulan 'Inti Api' yang digabung dengan 'Inti Bayu'. Tubuh mereka kemudian meleleh bagai lilin, dan akhirnya menjadi abu.

Bersamaan dengan itu angin kencang menyapu tubuh Pendekar Gila. Dia menahan dengan menggerakkan kedua tangannya ke depan.

"Hm.... Asap ini mengandung racun. Bangsat..." geramnya.

Sena segera mengeluarkan ajian 'Pelebur Racun’ disertai ilmu 'Si Gila Membelah Angkasa'. Maka terjadilah perang yang dahsyat antara ilmu Pendekar Gila dengan ilmu Ronggo Lawe yang belum menampakkan diri Darrr Ledakan dahsyat terjadi setelah sinar keperakan beradu dengan sinar merah kebiru-biruan. Bersamaan dengan itu sesosok tubuh yang dikenal sebagai Ronggo Lawe muncul. Dengan beringas dia langsung menyerang Pendekar Gila.

Serangkaian angin menyapu ganas ke arah Sena. Sena segera mengelak dengan memiringkan tubuhnya ke belakang, disusul oleh tendangan kaki kanannya ke dada Ronggo Lawe, sambil bersalto ke belakang. Ronggo Lawe tahu akan serangan itu. Dia sigap mengelak dengan melompat setombak ke belakang.

Pada saat itulah, Pendekar Gila dengan gerakan yang sukar diikuti mata, melesat ke arah Ronggo Lawe dengan dua pukulan hebat.

Duk Duk "Akh... Hukh..."  "Akh... Hukh..." Tubuh Ronggo Lawe terpental tiga tombak. Mulutnya kini menyemburkan darah kental. Matanya melotot garang.

"Kau tak akan bisa lolos, Pendekar Gila Heaaa..." bentaknya seraya bangkit untuk menyerang kembali.

8
Sena berkelebat menghindari serangan Ronggo Lawe yang mulai tak terarah serta penuh emosi. Seraya cengengesan, Sena menepuk kedua tangannya lalu mengejek Ronggo Lawe.

"Ha ha ha.... Manusia jelek Kau ini berkelahi seperti orang mabuk Mana bisa melawanku...." Ronggo Lawe sekali lagi melancarkan serangan ke arah Pendekar Gila. Dia membuat gerakan aneh.

Kedua kakinya melebar agak ditekuk. Kedua tangannya pun direntangkan ke atas. Kemudian tubuhnya melompat dibarengi dengan teriakan nyaring.

"Heaaa..." Pendekar Gila yang sudah siap, segera memapaki serangan itu dengan tenaga dalamnya yang sempurna. Sena juga melompat ke udara. Dan terjadilah pertarungan di udara beberapa saat. Keduanya saling pukul dan tangkis. Namun dengan cerdik Sena dapat menyarangkan pukulannya ke dada Ronggo Lawe.

Blasss "Aaa... ukh" pekik Ronggo Lawe. Tubuhnya terpental cukup jauh, lalu menimpa tanah.

Namun begitu Ronggo Lawe masih kuat bangkit. Sesaat Ronggo Lawe tampak mengumpulkan kembali tenaga dalamnya. Dan....

 "Heaaa..." Serangan Ronggo Lawe kini terarah kembali.

Hampir saja rusuk Sena tersodok oleh jarinya yang menegang. Namun Sena yang memang sudah tahu akan serangan itu segera membalas sambil meloncat, dia melepas tendangan kaki kanan, disusul tendangan kaki kiri.

Des Des Tendangan Pendekar Gila tepat mengenai rahang dan dada Ronggo Lawe. Tak pelak lagi tubuh Ronggo Lawe terhuyung hebat lima tombak ke belakang. Sena yang melihat Ronggo Lawe mulai goyah, kembali menyerang dengan tendangan dan pukulan bertubi-tubi. Hingga akhirnya Ronggo Lawe menyerah.

"Di mana Rekso? Katakan cepat Atau kupatahkan lehermu," bentak Sena.

"Aku... aku... ti... tidak tahu," jawab Ronggo Lawe lemah. Dadanya sudah hangus terbakar.

"Rupanya kau lebih suka mati" Sena tak berniat memberi ampun lagi. Dia mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, hendak menghantam kepala Ronggo Lawe. Tapi....

"Tunggu..." seru Ronggo Lawe.

Sena mengurungkan niatnya.

"Dia... dia ada di goa itu..." kata Ronggo Lawe dengan suara yang sudah makin melemah.

"Arah mana? Cepat katakan..." "Sana...," jawabnya singkat sambil menunjuk ke arah utara.

Selesai memberi tahu, Ronggo Lawe menghembuskan napas terakhirnya.

Sena mencampakkan tubuh Ronggo Lawe ke tanah. Lalu tubuhnya melesat cepat dari tempat itu.

Sena memasuki hutan belantara yang makin angker. Pepohonan besar mengelilingi daerah itu. Se-  sekali tubuhnya melenting ke udara, bila dirasanya ada jebakan-jebakan yang mematikan di depan.

"Setan belang. Rupanya di sekitar tempat ini banyak perangkap yang sangat berbahaya...," rutuk Sena.

Saat itu langit sudah membiru, tanda sang Surya sebentar lagi akan muncul menerangi bumi. Sena kini sudah masuk ke dalam sarang Rekso Bagaspati dengan ilmu menghilangnya. Ajian 'Tanpa Wujud'. Tubuhnya menembus dinding goa yang angker. Ketika Sena keluar, dia telah berada di ruang yang hanya diterangi oleh satu obor besar di dinding goa itu.

Sementara itu Rekso Bagaspati sedang tidur nyenyak. Tampaknya manusia iblis itu kelelahan karena telah mencumbu empat wanita muda semalam suntuk. Dan dia merasa yakin kalau Pendekar Gila akan dapat diringkus oleh Ronggo Lawe dan anak buahnya.

Paling tidak musuhnya itu akan terganyang oleh jebakan-jebakannya. Maka dalam dirinya tak ada rasa curiga sedikit pun. Padahal Sena sudah berada di dalam sarangnya.

Sena memasuki ruangan lain. Dengan ilmu meringankan tubuh dia berjalan ringan, hingga seperti melayang. Dilewatinya lorong yang lebarnya satu meter. Di kanan dan kirinya banyak pintu-pintu. Sena berhenti sejenak untuk memeriksa pintu-pintu itu. Dalam sekejap dia dapat membuka salah satu pintu.

Dilihatnya seorang lelaki dan dua wanita dalam keadaan bugil bagai bayi-bayi yang tidur dengan pulas.

Mereka saling peluk.

Sena menarik napas panjang dan segera keluar.

Dia menggelengkan kepala dan cengengesan, lalu menggaruk-garuk kepalanya sambil melangkah ke pintu lain. Kamar lain pun tak jauh berbeda dengan kamar tadi. Hanya di kamar yang ke sekian, terlihat seo-  rang wanita muda cantik telentang dalam keadaan bugil. Dia dirangkul oleh dua orang lelaki berparas buruk. Kembali Sena menarik napas panjang dan bergumam lirih.

"Edan Edan... Dunia sudah edan Terkutuklah kalian, Manusia-manusia Bejat" Semua yang dilihat Sena itu tak lain orangorang yang telah terkena ilmu sihir dan pengaruh setan Rekso Bagaspati. Sengaja mereka dibuat menjadi lupa diri dan tidak mempunyai perasaan.

Sena terus menyelidiki ruangan demi ruangan sambil mencari Sekarsari. Ketika Sena memasuki sebuah ruangan yang luas, matanya melihat Sekarsari dalam keadaan yang menyedihkan sekali. Sena membelalakkan mata.

"Ya, Gusti" desahnya.

Cepat Sena melompat dan melepas ikatannya.

Di ruangan itu berserakan empat pasang pria dan wanita yang juga dalam keadaan bugil. Mereka saling tindih, menjijikkan. Sena segera menyadarkan Sekarsari yang tampaknya pingsan karena kelaparan dan kehausan.

"Sekar.... Sekar, sadarlah...," suara Sena seperti berbisik di telinga Sekarsari.

"Akh..." pekik Sekarsari tiba-tiba.

Sena cepat menutup mulutnya.

"Ssst...," cegah Sena seraya memberi isyarat.

Sekar masih belum sadar betul. Ia hanya terpaku melihat Sena. Dia seperti tak percaya. Namun setelah Sena memegang pipinya dan dia pun memegang tangan Sena perlahan, barulah Sekarsari yakin kalau orang di depannya adalah Sena.

"Oh, Sena...," keluh Sekarsari, serak dari lirih sekali. Dipeluknya Sena erat-erat "Terima kasih. Dengan apa aku harus membalas semua ini...?"  "Ssst... Sebaiknya kita cepat pergi. Kita tak akan dapat melawan Rekso di dalam tempat ini." Selesai berkata begitu, cepat Sena membopong tubuh Sekarsari yang masih belum pulih benar. Tubuh Sena melesat menembus dinding goa.

***
Setelah Sekarsari sudah pulih betul tenaganya, Sena segera mengajak Sekarsari pergi dari tempat itu.

Namun tiba-tiba muncul seseorang menghadang mereka. Bagaikan burung elang turun dari udara, orang itu menjejak tanah di depan Sekarsari dan Sena.

Sena mengernyitkan kening ketika orang itu makin jelas di matanya.

"Kau...?" gumam Sena sambil menunjuk orang yang berdiri dengan tegap. Orang yang kini berdiri di hadapan Sena dan Sekar adalah lelaki bercaping yang pernah bentrok dengan Sena beberapa waktu lalu.

"Kau kaget melihatku, Pendekar Muda?" tanya lelaki bercaping dengan suara berat.

Sekarsari yang mendengar suara lelaki bercaping itu menjadi berkerut keningnya. Matanya menatap tajam pada lelaki bercaping itu.

"Siapa kau, Kisanak? Aku sepertinya mengenai suaramu," tanya Sekarsari pada lelaki bercaping itu.

"Ha ha ha... Cah ayu ini rupanya masih ingat dengan suaraku. Bagus, bagus...," sahut lelaki bercaping sambil mengusap-usap dagunya.

Sekarsari makin penasaran. Kakinya melangkah lebih dekat ke depan sambil terus menatap lelaki bercaping itu. Sena jadi agak bingung.

"Kau mengenalnya...?" tanya Sena pada Sekarsari Sekarsari tak menjawab. Dia hanya meman-  dangi lelaki di depannya.

"Kalau kau mengenalku, tunjukkan wajahmu.

Atau aku yang harus membuka caping itu dengan paksa...," ucap Sekarsari seraya bergerak hendak menggapai caping lelaki itu. Namun belum lagi tangan Sekarsari sampai, entah kapan lelaki itu menggerakkan tangannya. Dan tahu-tahu tangan Sekarsari telah dicengkeramnya.

"He he he.... Cah ayu ini memang nakal. Minta dihajar, ya?" Sekarsari yang mulai ingat pada suara itu serta panggilan cah ayu, mendadak berubah. Kalau tadi wajah Sekarsari garang dan sinis, kini menjadi cerah lalu dengan gerakan silat yang indah, dilepasnya cengkeraman tangan lelaki bercaping itu. Disusul dengan gerakan tangan kanannya yang menyambar caping itu.

Entah kenapa lelaki bercaping itu seakan membiarkan Sekarsari menyerangnya. Lelaki itu hanya menangkis dengan lemah serangan Sekarsari.

Setelah caping itu terlepas dan berpindah di tangan Sekarsari, wajah lelaki tua berambut panjang itu terlihat jelas. Dialah Ki Kinasih, guru Sekarsari.

Lelaki setengah baya itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Itu terlihat dari sorot matanya. Wajahnya menunjukkkan kesabaran. Pembawaannya tenang. Namun cukup tegas bila menghadapi sesuatu persoalan. Dan dia sangat menyayangi Sekarsari.

Sena mengerutkan kening, lalu menggarukgaruk kepala ketika melihat Sekarsari langsung memeluk, kemudian bersujud pada lelaki tua yang gagah itu.

Lelaki itu memegang bahu Sekarsari dan membawanya berdiri.

"Kau adalah muridku satu-satunya, Cah Ayu.

Eyang sangat khawatir akan keselamatanmu...," ucap Ki Kinasih dengan penuh kasih pada Sekarsari.

 "Saya mohon ampun telah pergi tanpa memberi tahu Eyang. Hukumlah saya, Eyang...," ucap Sekarsari dengan menunduk dalam.

"He he he.... Siapa yang mau menghukum mu, Cah Ayu.... Eyang malah bangga mempunyai murid walau seorang wanita, tapi pemberani. Eyang sebenarnya sudah tahu rencanamu. He he he...." Sekarsari tampak gembira. Dia kembali bersujud, kemudian menjelaskan pada Ki Kinasih siapa Sena sebenarnya. Sekarsari menceritakan semuanya tentang kebaikan Sena. Lelaki tua yang gagah itu mengangguk-angguk sambil memegangi jenggot putihnya yang panjang.

"Eyang juga sudah pernah bertemu dengan pemuda gagah ini, Cah Ayu. Malah Eyang sempat bentrok dengannya...," tutur Ki Kinasih.

"Jadi Eyang pernah berkelahi dengan Sena...?" tanya Sekarsari kaget. Sekarsari menoleh ke arah Sena yang menggaruk-garuk kepala sambil cengar-cengir.

"Rupanya kita hanya salah paham. Pemuda gagah ini mengira aku ini Rekso He he he.... Sudahlah.

Yang penting persoalanmu sekarang sudah jelas. Nah kita tidak boleh lama-lama di tempat terpuruk ini. Ayo kita bicara kan soal Rekso di tempat lain...," ajak Ki Kinasih, begitu berwibawa dan tegas. Selesai bicara, mereka cepat pergi dari tempat itu.

Sementara itu Rekso Bagaspati terbangun. Dia merasakan sesuatu yang tak beres. Matanya mendadak melotot lebar dan merah.

"Ghrrr...." Rekso Bagaspati menggeram bagai harimau. Tiba-tiba goa di mana dia berada berguncang keras bagai gempa bumi. "Setan alas.... Siapa yang berani menggangguku di pagi buta ini...?" Rekso Bagaspati cepat mengenakan jubahnya dan memakai kalung keramat ke lehernya. Dilihatnya  sejenak keempat wanita muda yang masih tertidur dalam keadaan bugil. Lalu Rekso Bagaspati melangkah keluar dari kamar maksiat itu. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat Sekarsari tak ada di ruang penyiksaan.

"Kurang ajar... Kenapa bisa terjadi? Pasti ini perbuatan pemuda gila itu" geram Rekso Bagaspati.

Kemudian dia melompat keluar dari goa itu dengan kemarahan meluap-luap.

Sementara itu di suatu tempat, tak jauh dari kediaman Rekso Bagaspati, Sena, Sekarsari dan Ki Kinasih sedang menunggu kedatangan Rekso Bagaspati.

Sena dan Sekarsari berada di depan, sedangkan Ki Kinasih di belakang mereka.

"Ingat, Sekar. Kau harus dapat mengambil kalung itu, begitu ada kesempatan. Biar Sena mengacaukan perhatiannya. Dan aku menunggu kesempatan untuk menghabisi manusia iblis itu," ucap Ki Kinasih tegas pada Sekarsari.

"Baik, Eyang," jawab Sekarsari singkat. Lalu matanya melirik Sena.

Angin kencang tiba-tiba menerpa mereka disusul dengan erangan aneh memecah kesunyian pagi buta itu. Disusul dengan tawa yang menggelegar.

"Ha ha ha... Kalian manusia-manusia mencari mampus Ha ha ha..." Sena cepat memejamkan matanya. Kemudian dengan gerakan cepat, kedua tangannya diangkat ke atas diselingi gerakan seperti menari. Dengan cepat pula Sena melancarkan pukulan 'Tamparan Sukma' yang dahsyat.

Blarrr...

Pukulan Sena tepat mengenai raga Rekso Bagaspati yang tak terlihat itu.

"Aaa..."  Pekikan panjang bergema. Seketika itu juga wujud Rekso muncul. Tubuhnya terhuyung-huyung karena terkena pukulan Sena. Sedangkan tangannya memegangi dada yang luka membiru. Namun manusia iblis itu bagai memiliki tubuh sekokoh baja. Dia kembali siap untuk menyerang Sena.

"Bangsat Kau menyerangku sebelum waktu yang ku tentukan Terimalah kematianmu, Pemuda Gila... Heaaat..." Blarrr...

Percikan sinar merah menyebar di udara, karena Sena memapaki serangan lawan. Sena cepat melenting ke udara sambil bersalto, dan mendarat dengan mantap ketika Rekso Bagaspati menyerangnya lagi.

Rekso Bagaspati yang melihat Sena sudah ada di darat, kembali melancarkan serangan. Sena pun kembali mengelak dengan melenting ke udara. Dan kali ini dia balas menyerang, Kepala Rekso Bagaspati jadi sasaran.

Plak, plak "Aaargh..." Rekso Bagaspati kembali memekik dan mengerang bagai harimau luka. Melihat keadaan Rekso Bagaspati yang masih terhuyung, Sena kembali menghajarnya dengan tendangan kaki kanannya yang cukup keras.

"Heaaat.." Bukkk "Aaargh..." Tubuh Rekso Bagaspati terpental lima tombak dengan deras ke belakang. Lalu membentur pepohonan yang tumbuh di sekitar situ. Sekarsari yang melihat kesempatan itu cepat menyerangnya, tapi Rekso Bagaspati telah mengetahui. Maka tergoreslah lengan Sekarsari oleh kuku-kuku Rekso Bagaspati yang tajam.

 "Akh..." pekik Sekarsari.

Melihat itu Sena kembali menyerang. Namun Rekso Bagaspati melompat mundur. Manusia iblis ini cukup cerdik juga. Kalau saja dia tidak mundur, niscaya dia akan terkena pukulan dahsyat Pendekar Gila.

Melihat hal itu, Ki Kinasih dan Sekarsari segera mengambil kesempatan untuk menyerang Rekso Bagaspati yang sedang didesak Sena. Guru dan murid itu melompat bagai terbang menyerang Rekso Bagaspati yang membelakangi mereka.

"Heaaat.." "Hiaaa..." Desss Plakkk "Ghrrr..." Rekso Bagaspati hanya mengerang dan cepat berbalik sambil balas menyerang ke arah Sekarsari dan Ki Kinasih. Pukulan Ki Kinasih dan Sekarsari hanya menimbulkan memar di punggungnya. Sedangkan serangan balik Rekso Bagaspati, dengan mengibaskan jubah dan cakarannya, kembali mengenai dada Sekarsari. Sementara Ki Kinasih sempat tergores kuku tajam Rekso Bagaspati di lengan kirinya.

"Hah? Kuku itu beracun" desis Ki Kinasih. Lalu segera Ki Kinasih melompat mendekati Sekarsari yang mulai terserang racun kuku Rekso Bagaspati. Keringat mengucur membasahi kening wanita itu.

"Cah Ayu.... Pusatkan pikiranmu. Eyang akan mengeluarkan racun itu...," ucap Ki Kinasih setelah membawa Sekarsari ke tempat yang agak jauh.

Rekso Bagaspati mengejar Ki Kinasih dan Sekarsari. Namun Sena tak sudi membiarkan lawan pergi begitu saja. Dia segera melesat memburu Rekso Bagaspati yang masuk ke dalam hutan.

Sena tak menunggu lama lagi, begitu dia melihat Rekso Bagaspati. Cepat diserangnya manusia iblis  itu dengan pukulan 'Inti Api'. Namun Rekso Bagaspati yang kebal itu cepat mengelak. Hingga serangan Sena hanya mengenai pepohonan besar.

Glarrr Ledakan keras terdengar ketika pukulan Sena menghantam pohon. Rekso Bagaspati tertawa tergelakgelak. Sementara Sena menggaruk-garuk kepala, lalu dengan cepat melesat kembali untuk menyerang Rekso Bagaspati dengan pukulan beruntun ke arah dada dan leher lawan dengan gerakan yang lemah gemulai bagai menari. Namun sebenarnya gerakan itu cepat sekali.

Membuat Rekso Bagaspati kali ini kerepotan mengelak serangan yang dilancarkan Sena dengan jurus-jurus dahsyat dan aneh sambil tetap cengengesan.

Plak Plak Pukulan Pendekar Gila kali ini masuk dengan telak ke ulu hati Rekso Bagaspati disusul dengan tendangan kaki kanan Sena yang dahsyat ke rahang Rekso Bagaspati.

"Aaargkh..." Rekso Bagaspati memekik keras.

Pendekar Gila tak memberi kesempatan lagi pada.

Rekso Bagaspati yang masih terhuyung tiga tombak ke belakang sambil memegangi ulu hatinya. Dengan satu hentakan, tubuhnya meluruk ke arah lawan. Namun ketika tubuh Sena masih di udara, tiba-tiba Rekso Bagaspati memapaki serangan itu. Kontan Sena terkejut.

Karena Rekso Bagaspati mengeluarkan ilmu setannya dengan melancarkan serangan balik yang dahsyat. Dari ujung kukunya keluar dua larik sinar merah bagai anak panah mengarah ke mata Sena. Pendekar Gila cepat bersalto sambil menyerang balik dengan menghentakkan tangan kanannya untuk melepas pukulan 'Si Gila Menyibak Mega'. Dan serangan keduanya beradu.

Glarrr...

 Ledakan dahsyat kembali terdengar. Bagai sinar matahari, percikan ledakan itu menerangi hutan di pagi buta.

Ki Kinasih yang sedang menyembuhkan luka Sekarsari menjadi tersentak. Dia menoleh ke arah suara ledakan itu.

"Mereka mengadu ilmu.... Aku harus membantu Pendekar Gila.... Cah Ayu, kuatkan dirimu, Eyang segera kembali..." Selesai bicara pada Sekarsari yang nampak belum pulih dari luka yang diderita, Ki Kinasih melesat pergi Pertarungan Pendekar Gila dan Rekso Bagaspati makin seru. Mereka saling adu ilmu. Pendekar Gila kini mulai mengeluarkan jurus-jurus saktinya untuk melawan ilmu setan Rekso Bagaspati yang sulit ditaklukkan, disebabkan kekuatan yang ada pada kalung dl lehernya.

Sena kini menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu' untuk mempermainkan Rekso Bagaspati yang mulai tak terarah serangannya. Sena sengaja menguras dan membangkitkan amarah Rekso Bagaspati. Hingga manusia iblis itu makin ceroboh, membuat Sena tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala.

"Pendekar Gila... Kali ini kau akan mampus di tanganku.... Heaaa" Rekso Bagaspati kembali menyerang. Tapi Sena selalu menghindar sambil sekali-kali melancarkan serangan balik yang membuat Rekso Bagaspati makin terdesak Pada saat Rekso Bagaspati mulai goyah, tibatiba Ki Kinasih muncul dengan melompat lalu menginjak kedua bahunya. Secepat kilat dia menundukkan kepalanya dan dengan cepat tangan Ki Kinasih menyambar kalung di leher Rekso Bagaspati. Kalung itu  terlepas. Kini benda pembawa malapetaka itu berada dalam cengkeraman tangan Ki Kinasih. Namun naas bagi Ki Kinasih, karena secepat itu pula Rekso Bagaspati mematahkan tangan Ki Kinasih yang mencengkeram kalung keramat itu.

Krak "Aaakh..." Ki Kinasih menjerit kesakitan. Tangan kanannya putus. Kalung keramat itu terlepas. Rekso Bagaspati hendak segera mengambilnya. Namun Pendekar Gila lebih cepat. Dengan kesaktiannya, kalung keramat itu dapat diamankan, sekaligus meraih tubuh Ki Kinasih. Sena segera membawa tubuh lelaki tua itu ke tempat yang aman.

Rekso Bagaspati kini makin murka. Dia mengeluarkan pedang saktinya, lalu segera mengejar Sena.

"Ki, tenanglah di sini. Biar kuhadapi manusia iblis itu...," ucap Sena. Setelah merebahkan Ki Kinasih di bawah pohon besar. Sena segera melesat pergi.

Sementara itu, dengan kalap Rekso Bagaspati menghunus pedang saktinya.

"Akan kucincang kau, Pendekar Gila Ayo keluar Hadapi aku secara jantan" seru Rekso Bagaspati penuh amarah. Matanya makin merah membara, bagai serigala.

Pendekar Gila hanya menggaruk-garuk kepala.

Dia kini berdiri di atas cabang pohon menyaksikan Rekso Bagaspati yang geram.

"Aku di sini, Monyet" seru Sena sambil memamerkan kalung di tangannya.

Rekso Bagaspati mendongak ke atas. Matanya melotot garang. Lalu tanpa banyak bicara tubuhnya melesat ke atas sambil menghunus pedang ke arah Pendekar Gila yang masih berada di cabang pohon.

Pendekar Gila telah siap menghadapi serangan Rekso  Bagaspati. Rekso Bagaspati tiba-tiba membabat kaki Sena yang berdiri di cabang pohon. Sena melompat turun sambil bersalto melewati kepala manusia iblis, itu.

Dan ketika dia berada di belakang Rekso Bagaspati, dengan cepat Sena menyarangkan pukulan ke punggungnya.

Blasss "Aaa..." Kembali Rekso Bagaspati menjerit panjang. Tubuhnya melayang jatuh ke tanah, bersamaan dengan mendaratnya kaki Sena di tanah. Pendekar Gila berdiri tiga tombak di depan Rekso Bagaspati yang jatuh telentang.

Namun manusia iblis itu masih bisa bangun.

Dia terlihat masih kuat, walaupun kalung keramat itu tidak lagi ada pada dirinya. Kembali pedang Rekso Bagaspati menyambar kepala Sena.

Sena mengelak dengan merunduk lalu bersalto dua kali ke belakang. Bagai burung garuda, Pendekar Gila yang berada di udara menukik dengan kedua tangannya menghantarkan pukulan jarak jauh ke arah Rekso Bagaspati.

Rekso Bagaspati mengetahuinya. Dia memapaki dengan melompat pula sambil membabatkan pedangnya ke arah Sena yang masih dalam keadaan menukik.

Hampir saja leher Sena tertebas pedang Rekso Bagaspati. Untung pedang itu lebih dulu menebas cabang pohon. Hingga Sena masih dapat mengelak sambil melompat turun. Melihat lawannya mendarat, Rekso cepat menyerang Sena dengan jurus-jurus pedang saktinya.

Swing Swing Sabetan pedang yang begitu cepat dan dahsyat membuat Sena harus melenting ke udara beberapa kali sambil melancarkan serangan balik yang tak kalah  dahsyatnya.

Blar Blar Suara beradunya pukulan Pendekar Gila dengan pedang Rekso Bagaspati begitu keras, sehingga menyakitkan telinga Ki Kinasih yang berusaha bangkit sambil memegangi tangan kanannya yang buntung.

Darah terus mengucur keluar. Dengan sedikit sempoyongan, Ki Kinasih mencari Sekarsari yang ditinggalkannya tadi. Sebentar-sebentar matanya melihat ke arah Sena yang bertempur dengan Rekso Bagaspati.

Sementara Sekarsari sendiri sudah mulai pulih tenaganya. Wanita muda itu tampak mengumpulkan kembali tenaga dalamnya dengan bersemadi beberapa saat. Dia duduk bersila dengan kedua tangan bersidekap dan mata terpejam.

Sementara Pendekar Gila makin seru bertarung dengan Rekso Bagaspati. Pedang lelaki iblis itu kini mengeluarkan sinar biru, sangat menyilaukan mata Pendekar Gila. Sinar itu bagai ingin membutakan mata Sena. Maka dengan cepat Pendekar Gila mengeluarkan pukulan 'Inti Api' yang dirangkai dengan 'Inti Bayu'.

Hingga terjadilah suatu pemandangan yang sangat aneh. Pedang Rekso Bagaspati terbakar dan mendadak angin topan dan sinar perak menghantam tubuh Rekso Bagaspati dengan dahsyat "Aaa..." 
9
Rekso Bagaspati memekik panjang. Tubuhnya terpental enam tombak dari tempat semula. Pedang pun terlepas dari genggamannya. Kemudian tubuhnya membentur pohon besar.

Bug...

 Pohon itu retak, namun tubuh Rekso Bagaspati tak sedikit pun terluka. Pendekar Gila yang melihat kejadian itu jadi agak heran dan bertanya-tanya dalam hati. Edan Padahal kalung keramat itu ada di tanganku... Ilmu apa lagi yang dimiliki manusia laknat ini? Pada saat Sena sedang berpikir, tiba-tiba Rekso Bagaspati meloncat bagai seekor harimau menyerang mangsa. Karuan saja Pendekar Gila kaget. Dengan cepat tubuhnya dimiringkan ke samping sambil memukulkan tangan kanannya ke iga Rekso Bagaspati.

Desss "Ukhhh..." Rekso Bagaspati mengerang kesakitan. Namun manusia setengah setan ini tetap saja kuat. Malah dia makin garang, walaupun kali ini sudah tampak lelah, sedangkan darah terus meleleh dari mulut dan hidungnya. Anehnya, darah itu bukan berwarna merah namun kuning kental. Sena yang melihat hal itu yakin kalau Rekso Bagaspati kali ini bukan manusia lagi melainkan iblis berwujud manusia Dan tanpa diduga oleh Sena, kalung yang diselipkan di pinggangnya telah berada di tangan Rekso Bagaspati kembali.

"He he he.... Pendekar Gila, ternyata kau kurang jeli. Ha ha ha.... Kini saatnya kau mampus Kalung ini akan membunuhmu.... Ha ha ha..." Selesai berkata begitu, mata Rekso Bagaspati kini memancarkan api merah menyala yang tertuju pada Sena.

Sena dengan cepat kembali melenting ke udara, menghindari semburan api yang keluar dari mata Rekso Bagaspati.

Edan Dia menggunakan ilmu setan Rutuk Sena dalam hati sambil terus bersalto di udara, mengelakkan serangan dahsyat Rekso Bagaspati.

Sedangkan Rekso Bagaspati tak tinggal diam.

 Dengan cakaran dan tendangan, dia menyusul ke udara. Kini kedua tokoh sakti itu bertarung di atas cabang pohon.

Dua pukulan keras Sena bersarang di tubuh Rekso Bagaspati. Menyusul satu jotosan menghantam rusuknya. Rekso Bagaspati jatuh ke tanah. Tetapi sebelum menyentuh tanah, tubuhnya terbang kembali untuk menyerang Sena dengan cakaran dan tendangan ke dada. Kali ini Pendekar Gila terkena tendangan Rekso Bagaspati. Sena melompat turun sambil bersalto. Sejenak dadanya yang terasa sesak diusap. Namun Sena segera mengumpulkan lagi tenaga dalamnya.

Dengan menghela napas dalam-dalam seraya menggerakkan kedua tangannya ke depan. Dan dua larik sinar putih kemerahan meluncur cepat lalu menghantam tubuh Rekso Bagaspati yang baru saja mendarat Blarrr Blarrr Ledakan keras kembali terdengar. Rekso Bagaspati terpental jauh keluar hutan dengan dada hangus "Aaargh... Setan alas Kurang ajar kau, Pendekar Gila Kau tak akan bisa membunuhku" Sena mengejar Rekso Bagaspati yang terhantam pukulannya. Tanpa mereka sadari, kini keduanya berada di tepi Laut Selatan. Ombak tinggi memburu menuju pantai, kemudian menerpa tubuh Rekso Bagaspati yang telah berdiri sambil tertawa terbahakbahak.

Edan Ilmu apa lagi yang berada dalam tubuh manusia iblis ini...? Gumam Sena dalam hati sambil menggaruk-garuk kepala. Pendekar Gila terus mengawasi setiap gerak lawan dengan sikap waspada. Kudakudanya tertanam kuat di pasir pantai. Pada saat itu muncul Sekarsari dan Ki Kinasih dari arah barat. Melihat kedatangan mereka, Rekso Bagaspati tiba-tiba  melayang bagai elang untuk menyambar Sekarsari yang tidak dalam keadaan siaga penuh. Sambil menyambar Sekarsari, kaki Rekso Bagaspati menendang Ki Kinasih. Disusul dengan menghantamkan kalung maut ke kepala Ki Kinasih.

Ki Kinasih cepat menjatuhkan tubuhnya sambil berguling ke pasir pantai. Lalu berdiri kembali dengan memasang kuda-kuda.

Melihat Sekarsari dibawa Rekso Bagaspati ke atas karang yang menjulang di tepian pantai, Sena cepat bertindak. Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', Pendekar Gila berhasil menghadang Rekso Bagaspati yang membopong Sekarsari dalam keadaan tertotok.

"Ha ha ha.... Kalau kau maju selangkah lagi kubunuh wanita ini" ancam Rekso Bagaspati pada Sena yang kini berdiri di hadapannya.

"He he he.... Terserah kau, Manusia Keparat Wanita itu tak berguna bagiku... Bunuh saja Yang pasti aku akan membunuhmu pula" pancing Sena sambil mengejek dengan tingkah laku seperti orang gila.

"Huh Seharusnya kau sudah mampus di hutan itu" bentak Rekso Bagaspati dengan geram. Tanpa disadari, kegeramannya membuat dia lengah. Kesempatan itu ingin segera dimanfaatkan Sena.

Sebelum Sena melancarkan serangan, tiba-tiba Ki Kinasih melenting ke udara untuk menyerang Rekso Bagaspati dengan tendangan dan pukulan dahsyat Rekso Bagaspati yang sempat terkejut memapaki serangan lawan dengan tangan kanannya, lalu tubuhnya melompat ke batu karang yang lain di belakang. Ki Kinasih terus mengejar. Mau tak mau Rekso Bagaspati melemparkan tubuh Sekarsari ke pasir. Setelah merasa lebih leluasa, cepat dihadapinya serangan lawan. Dua pukulan keras Rekso Bagaspati bersarang  di tubuh Ki Kinasih serta satu cakaran di wajahnya.

Buk Buk Cras "Aaa..." Ki Kinasih memekik keras sambil memegangi wajahnya yang tergores kuku beracun Rekso Bagaspati. Namun Ki Kinasih tak mau mundur.

Kepalang tanggung Mati pun aku rela demi kebenaran... Tekad Ki Kinasih dalam hati.

Lelaki itu kembali menyerang Rekso Bagaspati dengan jurus-jurus ampuhnya. Sementara racun di wajahnya yang tergores, mulai menjalar sedikit demi sedikit Cepat atau lambat maut pasti akan merenggutnya. Di lain sisi, Sena sedang berusaha membuka totokan pada tubuh Sekarsari.

"Kau tetap di sini, biar aku yang membereskan manusia iblis itu" cegah Sena ketika Sekar ingin turut menyerang Rekso begitu terbebas dari totokan.

"Tidak Aku harus membunuh manusia keparat itu Agar dendam ku terkabul..." sahut Sekar dengan tegas.

Lalu tubuh wanita itu melesat ke arah Rekso Bagaspati yang sedang mendesak gurunya. Dengan pedangnya, Sekarsari membabat tubuh Rekso Bagaspati sambil melompat, sekaligus melancarkan senjata rahasianya dengan menghentakkan tangan kiri. Maka meluncurlah beberapa benda tajam bagai kepala anak panah. Satu di antara senjata rahasia itu mengenai kening Rekso Bagaspati. Lelaki iblis itu mengerang keras. Namun dia cepat mencabut senjata yang menancap di keningnya dan melemparkannya kembali ke arah Sekarsari.

Sekarsari kelabakan karena serangan balik itu begitu cepat. Pada saat yang gawat itu, Pendekar Gila kembali menyelamatkan nyawa Sekarsari. Sena melan-  carkan pukulan jarak jauh ke arah senjata rahasia yang menuju ke tubuh Sekarsari. Senjata itu hancur disertai percikan sinar kemerahan.

Mendapat kenyataan itu, Rekso Bagaspati makin marah. Dengan berteriak keras dia merentangkan kalung keramat di tangannya. Sejenak matanya dipejamkan. Sesaat kemudian, tubuhnya perlahan berubah menjadi besar bagai raksasa.

"Ilmu setan Edan.... Sekar kau harus lebih berhati-hati...." seru Sena sambil menggerakkan kedua tangannya untuk mengumpulkan tenaga dalam.

Sementara itu, Ki Kinasih masih tampak tertunduk lemah di batu karang. Sebagian tubuhnya bagai terkena percikan ombak. Wajahnya mulai membiru. Sekar yang melihat keadaannya menjadi was-was. Segera dia berlari mendekati Ki Kinasih.

"Eyang... Eyang Guru...," keluh Sekarsari dengan sedih.

"Jangan kau menambah kesedihan dan kepahitan, Cah Ayu. Kuatkan hatimu. Aku yakin Pendekar Gila akan bisa menumpas Rekso. Untuk itu kau harus selalu siap membantunya. Jika ada kesempatan, pergunakanlah untuk merebut kalung itu," pesan Ki Kinasih. "Jangan cengeng Eyang tak suka punya murid cengeng." Sekarsari mengangguk. Dipeluknya tubuh Ki Kinasih. Kemudian dia berdiri dan melesat ke arah pertarungan kembali.

***
Sekarsari mendaratkan kakinya di pasir. Lalu segera melabrak Rekso Bagaspati dari arah kanan.

Rekso Bagaspati yang tengah bertarung dengan Sena sempat melihatnya. Maka dengan cepat Rekso Bagas-  pati yang sudah menjadi raksasa melancarkan pukulan dengan tangan kanannya ke arah Sekarsari yang tak menduga sama sekali.

Blarrr "Aaa..." pekik Sekarsari panjang.

Tubuh wanita itu terpental lima tombak ke belakang, kemudian membentur karang. Pada kesempatan itu Sena melancarkan serangan dahsyat bertubitubi ke arah Rekso Bagaspati. Hingga manusia iblis itu terdesak dan tubuhnya jatuh ke laut Namun tubuh raksasa itu kembali bangkit dari dalam air laut. Pendekar Gila yang sudah mengeluarkan berbagai jurus, namun belum mampu menghabisi manusia iblis itu, segera melompat dengan bersalto ke udara. Dilancarkannya serangan dahsyat dengan pukulan-pukulan mematikan ke tubuh lawan, kemudian menukik.

Rekso Bagaspati dengan tangannya ingin menyambar tubuh Sena yang masih melayang di udara.

Namun Pendekar Gila dengan cepat melenting ke belakang tubuh lawan, dan tusukan jari tangannya tepat bersarang di tengkuk Rekso Bagaspati "Aaarghhh..." Rekso Bagaspati mengamuk sambil mengerang keras. Bumi terasa bergetar karena erangannya.

Pendekar Gila mendaratkan kakinya di permukaan air laut. Bagai di atas tanah saja, Pendekar Gila berlari di sana. Lalu melompat kembali untuk menendang tubuh Rekso Bagaspati yang baru berbalik ke arahnya.

Desss Tendangan Pendekar Gila menghajar telak dada lawan. Tubuh Rekso Bagaspati terhuyung dengan darah berwarna kuning tersembur dari mulut, hidung dan matanya. Sebagian tubuhnya hangus karena pu-  kulan 'Inti Api' Sena. Melihat kesempatan baik Sena berteriak pada Sekarsari yang terbengong menyaksikan kesaktiannya.

"Sekar, cepat ambil kalung itu Cepat...." Mendengar teriakan itu, Sekarsari bagai tersadar dari mimpi. Dengan cepat dia bangkit. Padahal tubuhnya sudah lemah karena terbentur baru karang, mengakibatkan kepala bagian belakangnya mengeluarkan darah. Didorong rasa dendam yang luar biasa, Sekarsari seakan mendapatkan kekuatan baru. Dia menyambar kalung di leher Rekso Bagaspati yang sedang limbung.

Disusul dengan sabetan pedangnya berkali-kali ke tubuh Rekso Bagaspati. Dan diakhiri dengan tusukan ke jantung manusia iblis itu.

"Mampus kau, Manusia Keparat Mampus kau... Mampus...." Bagai orang kerasukan, Sekarsari terus menghujani tubuh Rekso Bagaspati yang sudah tak berdaya itu hingga darah berwarna kuning memerciki wajahnya. Bersamaan dengan itu, tubuh Rekso Bagaspati hangus terbakar menjadi abu.

Sekarsari berdiri sambil mengangkat kalung di tangannya tinggi-tinggi.

"Huh Ha ha ha.... Kakang Waskita, aku telah melunasinya.... Aku telah membunuhnya, Kakang Waskita.... Hi hi hi...." Bagai orang kehilangan akal, Sekarsari berteriak-teriak kegirangan.

Sena yang melihat Sekarsari bagai orang gila segera mendekatinya. Namun herannya ketika dekat, dilihatnya wajah Sekarsari berubah garang. Matanya me-merah, memancarkan kebencian.

"Hah? Sekar...?" seru Sena keheranan. Melihat gelagat yang aneh dan keadaan Sekarsari yang berubah itu, Sena segera teringat akan ucapan Sentanu  tentang kalung setan itu.

Siapa pun orangnya, jika telah memegang kalung penyebar maut itu, watak dan perangainya pasti akan berubah. Sebab kalung itu sangat berbahaya.

Terkecuali bagi Pendekar Gila atau Sena. Karena dia memiliki kemurnian hati serta ilmu 'Tamparan Sukma' Selain dapat mengalahkan setan, siluman, atau makhluk halus, ilmu 'Tamparan Sukma' sangat ampuh sebagai benteng bagi dirinya.

Sena mengerutkan kening. Matanya terus menatap tajam pada Sekarsari yang menggenggam kalung penyebar maut di tangan kanannya.

"Sekar... Kau sadar, Sekar? Ini aku Sena...," kata Sena tegas sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"Ha ha ha.... Hi hi hi..." Tiba-tiba Sekarsari tergelak-gelak. Matanya menatap tajam pada Sena. Wajah Sekarsari yang penuh dengan darah berwarna kuning itu makin tampak seram.

Sementara itu ombak laut semakin ganas menerpa tepian pantai dan bongkahan karang di tepi pantai. Cuaca kini berubah mendung. Angin bertiup kencang sekali, menciptakan gemuruh yang menambah keangkeran suasana.

Sena mundur beberapa langkah sambil terus mengamati keadaan Sekarsari yang makin berubah.

Wajahnya yang ayu tiba-tiba menjadi menakutkan Dia menyeringai pada Sena.

Aneh? Kalau begitu kalung keramat penyebar maut memang dapat cepat merubah watak dan wajah seseorang.... Sungguh menakutkan... Desis Sena dalam hati. Hm.... Aku harus cepat memusnahkan kalung itu.

"Sekar...?" tegur Sena, masih mencoba memastikan apakah Sekarsari masih sadar. Ternyata Sekar-  sari malah memelototi Sena. Berbarengan kalung itu dikenakan di lehernya, Sekarsari berucap garang.

"Ha ha ha.... Aku yang berkuasa Akulah orang tersakti di dunia persilatan. Dan kau Pendekar Gila yang tersohor akan mati di tanganku... Ha ha ha..." Selesai berkata begitu, terdengar petir menyambar. Sekarsari menyeringai menakutkan. Wajah sudah berubah seram.

"Aneh..." gumam Sena.

Kini keadaan makin gelap. Awan hitam yang telah menutupi sekitar pantai itu. Sungguh aneh dan menakjubkan. Kemudian hujan pun turun, namun tak deras. Disertai petir yang bersahutan.

"Heaaa..." Sekarsari menyerang Pendekar Gila dengan pedangnya. Serangannya yang cepat dan membabi buta itu dihadapi oleh Sena dengan tenang. Sambil melompat mundur, Sena mengelakkan serangan Sekar yang telah dipengaruhi ilmu setan kalung pembawa maut itu.

"Sekar?" pekik Ki Kinasih, saat melihat muridnya berubah seperti itu. "Ini harus segera dihentikan..." Ki Kinasih memaksakan diri untuk berdiri. Racun iblis yang telah menyerangnya masih dapat ditahan dengan kesaktian yang dimiliki, walaupun hanya untuk sesaat. Dengan tertatih-tatih dia berlari mendekati arena pertarungan yang bakal meletus antara Sena dan Sekarsari. Ki Kinasih berusaha menengahi mereka. Dia berdiri di tengah, di antara Sena dan Sekarsari. Namun Sekarsari yang telah dirasuki ilmu setan Rekso Bagaspati malah menghantam Ki Kinasih.

Desss "Ugkh..." Ki Kinasih terpental dan jatuh ke pasir. Mulut-  nya mengeluarkan darah segar.

"Sekar..." desah Ki Kinasih lirih sambil memegangi dadanya yang sesak. Dia tak tahu kalau muridnya telah dirasuki Rekso Bagaspati. Di dalam tubuh Sekarsari ada Rekso Bagaspati yang sebenarnya belum mati. Darah berwarna kuning yang mengenai wajah dan badan Sekarsari, menyebabkan roh Rekso Bagaspati masuk ke dalam tubuhnya. Ditambah dengan kalung penyebar maut yang kini dipakai Sekarsari, Rekso Bagaspati semakin kuat menguasai Sekarsari.

Sena yang telah mengetahui siapa lawan yang dihadapinya kini, tak sungkan-sungkan lagi untuk melancarkan pukulan-pukulan saktinya ke arah Sekarsari. Dia sangat tahu kalau jurus-jurus pedang yang digunakan Sekarsari bukanlah jurus pedang yang dimilikinya. Tapi jurus pedang setan milik Rekso Bagaspati.

"Ha ha ha... Kini giliranmu mati di tanganku, Pendekar Gila..." Suara Sekarsari berubah besar seperti suara Rekso Bagaspati. Kini Sena makin yakin. Tubuhnya terus melesat dan menghindar dari serangan Sekarsari.

Sambil melancarkan serangan balik, Pendekar Gila terus mencari kelemahan lawan.

Edan Aku tak boleh main-main lagi. Bisa gawat Gerutu Sena dalam hati.

Setelah mematahkan serangan lawan, Pendekar Gila menerjang ke wajah. Tangan kanan dan kirinya bergerak seperti menari, namun sebenarnya sangat cepat. Dia menangkis dan menyarangkan pukulan ke tubuh Sekarsari. Tanpa diduga tiba-tiba Sekarsari menyerang Sena dengan gerakan yang sukar diikuti mata.

Untung Sena memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Secepat kilat dia mengelakkan semua serangan Sekarsari. Di sini tampak kalau ilmu pedang  Sekarsari yang bercampur dengan ilmu pedang Rekso Bagaspati sangat berbahaya dan membingungkan Pendekar Gila.

***
Sekarsari memutar pedangnya dengan cepat hingga sinar kebiruan tampak bergulung-gulung. Dicobanya menerobos ke depan untuk membuyarkan serangan Sena yang seolah-olah membuntal dirinya.

Namun usahanya tak kunjung berhasil, walaupun dia sudah mengerahkan seluruh kepandaian dan ilmu setannya. Karena yang dihadapinya bukanlah pendekar picisan, tapi Pendekar Gila Sena malah masih sempat menepak punggung Sekarsari dengan jurus 'Si Gila Menari Sambil Menepuk Lalat'. Hingga tubuh Sekarsari terhuyung-huyung dan jatuh ke laut. Namun cepat pula Sekarsari bangkit. Dengan ganas dia menyerang Sena dengan jurusjurus pedang setannya yang aneh. Sabetannya begitu cepat ke kanan dan ke kiri. Disusul sabetan dari atas ke bawah dan sebaliknya.

Pendekar Gila terpaksa bersalto di udara beberapa kali dan menghindar lebih jauh untuk mengatur siasat. Menentukan serangan balik yang mantap. Sebab dia tidak bisa melawan Sekarsari dengan cara langsung. Karena yang dihadapinya kini bukanlah seorang wanita muda yang mempunyai perasaan, melainkan manusia jejadian Aku harus mendapatkan kalung itu lebih dahulu Tekad Sena dalam hati.

Setelah berpikir begitu, Sena segera memapaki serangan Sekarsari yang makin cepat dan terarah.

"Edan" maki Sena sambil merobohkan tubuhnya ke belakang, karena tahu-tahu ujung pedang Se-  karsari sudah berada di dekat lehernya. Ketika Sekarsari membabatkan pedangnya ke tubuh Sena yang masih rebah di pasir, Pendekar Gila lebih cepat menghantam rusuk kanan Sekarsari dengan telak.

Buk "Aaa.... Uhk" Sekarsari menjerit. Jeritannya terdengar seperti suara Rekso Bagaspati, bukan suara seorang wanita.

Darah keluar dari mulutnya. Setelah itu Sekarsari makin menggila menyerang lawan. Kali ini tidak hanya dengan pedang, tapi dibarengi senjata rahasianya. Beberapa buah senjata rahasia keluar dari telapak tangan kiri Sekarsari.

Swing, swing...

Namun Pendekar Gila telah siap dengan serangan yang bertubi-tubi itu. Tubuhnya melenting ke udara sambil menangkap senjata rahasia berupa benda tajam seperti mata panah yang sangat beracun. Dengan kedua tangannya, Sena berhasil menangkap empat senjata rahasia itu. Secepat kilat, Sena mengembalikan benda itu ke arah lawan.

Swing, swing...

Trang, trang...

Dua benda itu dapat ditangkis dengan pedangnya, namun dua lagi meluncur tak terelakkan ke arah Sekar. Satu menancap pada kening, sedang yang lain bersarang di leher, tepat memutuskan rantai kalung keramat itu.

"Aaa... Aaakh..." Lolong kematian terdengar berkali-kali begitu senjata itu menancap. Dengan cepat Sena menyambar kalung yang terlepas dari leher Sekarsari. Lalu membuangnya ke laut Kalung keramat warisan iblis itu melayang cepat menuju permukaan laut yang berombak. Tatkala  mata kalung dari safir itu menyentuh air laut, ledakan membahana terdengar. Kekuatan ledakannya bagai jerit seribu iblis di malam buta.

Bersamaan dengan meledaknya kalung penyebar maut, saat itu pula terdengar tawa Rekso Bagaspati. Dari tubuh Sekarsari yang sekarat manusia iblis itu keluar. Mula-mula berbentuk asap, lama kelamaan bentuknya makin jelas.

Sementara itu tubuh Sekarsari menggelepargelepar seperti kambing disembelih. Kulit tubuhnya membiru, dengan kening pecah. Sebelum tewas, sempat terdengar desah suaranya.

"Terima kasih, Sena.... Maafkan aku, Kakang Waskita.... Egkkk.." Sekarsari menghembuskan napas terakhirnya dengan sangat menyedihkan. Sena menutup mata Seka yang melotot. Dia menarik napas panjang. Matanya memandang ke lautan bebas. Ombak bergulung tinggi saling berkejaran. Di sana terlihat Rekso Bagaspati hidup kembali setelah memakai raga Sekarsari dan menyerap ilmunya.

"Manusia iblis itu benar-benar keparat" rutuk Sena geram. Kali ini Pendekar Gila sangat marah. Matanya mulai bersinar bagai api. Lalu dia menyeringai.

Dengan kemarahan yang telah sampai di ubun-ubun Pendekar Gila melabrak Rekso Bagaspati Kembali terjadi pertarungan seru dan sengit antara Sena dan Rekso Bagaspati. Mereka saling pukul dari tendang. Ilmu Rekso Bagaspati semakin bertambah, walaupun kalung penyebar maut telah musnah.

Ternyata Rekso Bagaspati mendapat kekuatan setan yang lebih dahsyat setelah menyerap darah Sekarsari.

Pendekar Gila tak henti-hentinya melakukan salto ke belakang untuk menghindari serangan dahsyat Rekso Bagaspati. Serangan Rekso Bagaspati kini  makin berbahaya. Pukulan, cakaran serta tenaga dalamnya makin hebat, karena ilmu Sekarsari menjadi satu dengan ilmu iblis Rekso Bagaspati. Semua jurus milik Pendekar Gila dapat dielakkan, bahkan kini Pendekar Gila mulai terdesak. Dan pada jurus ke dua puluh, Pendekar Gila malah terkena pukulan lawan, tepat di dadanya. Hingga, dia terhuyung tiga tombak ke belakang.

"Ukh... Edan Dadaku terasa panas" keluh Sena sesaat "Ha ha ha... Pendekar Gila, kini saatnya kau kukirim ke neraka" Selesai berkata begitu, secepat kilat Rekso Bagaspati melepas pukulan mautnya ke arah Sena yang masih menahan rasa sakit Glarrr Ledakan keras terdengar, pertanda beradunya ilmu mereka. Sinar merah dan putih yang menyilaukan terlihat. Tubuh Rekso Bagaspati terpental jauh membentur karang. Sedangkan tubuh Sena tetap di tempatnya, masih dalam keadaan seperti orang bersujud dengan kedua kaki ditekuk ke belakang. Kedua tangannya masih meregang ke depan. Wajahnya mengeras saat menahan pukulan Rekso Bagaspati tadi. Keringat membasahi kening Pendekar Gila. Kemudian Pendekar Gila berdiri dengan cepat setelah memulihkan tenaga dalamnya yang telah banyak dikeluarkan untuk menghadapi ketangguhan Rekso Bagaspati.

Di lain tempat Rekso Bagaspati tampak mengerang seraya berusaha bangun. Dadanya terlihat seperti terbakar, akibat pukulan 'Inti Api' yang disatukan dengan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Namun Rekso Bagaspati tak juga tewas "Hm... Kali ini kau akan mampus, Manusia iblis" geram Sena, menunggu terjangan lawan. Dia yakin  Rekso Bagaspati akan dapat bangkit kembali. Untuk itu, dia siap siaga menghadapi serangan Rekso Bagaspati berikutnya.

Benar juga dugaan Sena. Rekso Bagaspati merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Kakinya memasang kuda-kuda yang kuat, lalu kaki kirinya dinaikkan. Sedangkan sepasang tangannya kini dikedepankan dalam keadaan mengepal kuat. Seluruh ototototnya keluar serta giginya bergemeretak keras, menandakan kemarahannya. Matanya bagai api merah membara. Kemudian kaki yang diangkat tadi dihentakkan ke pasir dengan keras, hingga menimbulkan guncangan bagai gempa Pendekar Gila hanya menggaruk-garuk kepala.

Namun begitu dia tetap waspada dan siap menghadapi setiap serangan Rekso Bagaspati.

Bumi berguncang, disusul tawa yang aneh Rekso Bagaspati. Tawa itu membuat telinga Sena sakit.

Pendekar Gila cepat tanggap. Dia segera melancarkan serangan 'Tamparan Sukma' untuk menghentikan tawa aneh itu. Ternyata berhasil. Namun secepat itu pula Rekso menyerang Pendekar Gila dengan tendangan yang keras. Kalau saja Pendekar Gila terlambat mengelak, tubuhnya pasti akan remuk. Karena tendangan itu disertai tenaga dalam yang sangat kuat. Untunglah tendangan itu hanya mengenai batu karang di belakangnya. Batu karang itu hancur. Sedangkan Pendekar Gila telah berdiri di atas batu karang yang berada di pinggir laut.

Rekso Bagaspati makin naik darah. Tubuhnya segera melesat ke atas dan terjadi pertarungan yang seru. Rekso Bagaspati menyambar kaki Sena. Sedangkan Pendekar Gila hanya mengangkat kaki kanannya lalu langsung menendang rahang lawan yang menunduk.

 "Hih" Rekso Bagaspati mendongak untuk menghindari tendangan Pendekar Gila. Belum sempat lawan bernapas lega. Dia terus mengejar. Sena menghentakkan tangan kanannya ke dada Rekso Bagaspati.

Degk Tubuh Rekso Bagaspati jatuh ke laut. Sena tak berhenti sampai di situ. Hingga terjadilah pertarungan di atas lautan lepas.

Terkadang Pendekar Gila melenting ke udara dan kembali mendarat di permukaan air laut. Bagaikan jalan di tanah saja, kedua tokoh itu saling bertukar jurus. Serangan-serangan Rekso Bagaspati tampak makin tak terarah, walaupun tetap ganas dan berbahaya. Rupanya Pendekar Gila menguras tenaga Rekso Bagaspati dengan mempermainkannya. Dengan cepat pukulan mautnya disarangkan tepat ke rusuk kiri Rekso Bagaspati. Namun manusia iblis itu hanya memekik sebentar dan kembali balik menghantam tubuh Pendekar Gila yang sempat lengah.

Desss "Ukh..." Pendekar Gila tersentak. Belum juga hilang rasa kagetnya, Rekso Bagaspati sudah menyerang kembali dengan cakaran-cakarannya.

Bret Bret Sena terluka di dadanya. Mau tak mau Sena segera melompat ke belakang dengan terlebih dulu menyarangkan serangan kilatnya. Rekso Bagaspati kaget dan satu tendangan kaki kanan Sena masuk, tepat di rusuk kirinya.

Desss Manusia iblis itu terpental. Pada kesempatan itu, Sena mengumpulkan tenaga dalam untuk menyembuhkan luka cakaran Rekso Bagaspati yang bera-  cun. Untung dia memiliki ilmu penawar racun ungu.

Kalau tidak Sena akan menemui ajalnya, sebab racun itu sangat ganas. Dengan sekali usap luka itu pun lenyap. Tanpa ada bekas goresan.

Sedangkan Rekso Bagaspati yang terkena tendangan Sena tadi, masih mengerang dan berusaha bangkit. Tenaganya mulai berkurang. Tampak dan gerakan silatnya yang sudah tak kukuh lagi. Hal itu membuat Rekso Bagaspati memutuskan untuk mengeluarkan jurus pamungkasnya. 'Ilmu Seribu Wujud'.

Gerakannya aneh dan tiba-tiba. Mata Sena bagai melihat berpuluh Rekso Bagaspati di hadapannya.

"Hah? Edan 'Ilmu Seribu Wujud'" desis Pendekar Gila, agak tersentak. Segera dia menyiapkan pukulan 'Si Gila Menyibak Mega'.

"Heaaa..." Sena melepas pukulan 'Si Gila Menyibak Mega' ke arah Rekso Bagaspati yang menjadi banyak itu.

Blar Blar...

Pukulan Pendekar Gila mengenai beberapa wujud Rekso Bagaspati dan yang terkena langsung hilang. Namun makin banyak Rekso Bagaspati yang terkena pukulannya, makin banyak pula Rekso Bagaspati lain yang muncul. Membuat Pendekar Gila jadi mengerutkan kening. Namun dia kemudian merangkum pukulan 'Si Gila Menyibak Mega' dengan pukulan 'Inti Bayu'. Seketika gulungan angin topan menyapu tubuh Rekso Bagaspati.

Glarrr Selarik sinar keperakan terlihat. Dan pekikan panjang terdengar dari mulut Rekso Bagaspati. Tubuh manusia iblis itu seperti dililit oleh tali yang tak terlihat, karena pukulan 'Inti Bayu' itulah yang mengikat tubuh Rekso Bagaspati.

"Aaa.... Akh. Lepaskan aku, Pemuda Gila" seru  Rekso Bagaspati geram.

"He he he... Kau katanya mau membunuhku?| Tapi ternyata sebaliknya. Aku yang akan memusnahkan mu, Manusia Iblis" ejek Sena sambil menggarukgaruk kepala. Kemudian didekatinya Rekso Bagaspati dengan sikap waspada, kalau-kalau sikap Rekso Bagaspati hanya tipu muslihat. Benar saja Begitu Sena sudah berada setengah tombak di depannya, mendadak Rekso Bagaspati menyemburkan sesuatu ke wajah Sena. Untung Pendekar Gila memiliki perasaan dan gerakan yang cepat. Dia merebahkan tubuhnya ke belakang.

Semburan ludah itu ternyata beracun. Terbukti ketika mengenai batang pohon yang tumbuh di pesisir pantai, pohon itu langsung hangus Rekso Bagaspati yang melihat Pendekar Gila masih rebah cepat menyerang kembali. Dia melompat bagai macan kumbang sambil mencakar ke wajah dan dada Sena. Namun Pendekar Gila sudah tahu kalau Rekso Bagaspati akan menyerangnya. Dia bersalto ke belakang kemudian melompat mundur dua belas tombak. Dan dengan cepat dan sukar dilihat oleh mata biasa, tubuh Pendekar Gila berputar bagai gangsing ke arah Rekso Bagaspati yang matanya terbelalak. Manusia iblis itu benar-benar terkejut. Dia, tak sempat bereaksi atau mengelakkan serangan kilat Pendekar Gila.

Glarrr...

Pukulan Pendekar Gila bersarang telak di dada Rekso Bagaspati. Dada itu remuk.

Glarrr...

Pada saat pukulan itu bersarang, tubuh Pendekar Gila cepat melenting ke udara. Ketika sampai di atas kepala Rekso Bagaspati, dengan cepat Pendekar Gila turun sambil menghantam batok kepala manusia iblis itu.

 Glarrr...

Kepala Rekso Bagaspati terbelah dua. Manusia iblis itu menjerit keras. Suaranya bagai memecah bumi. Tubuhnya roboh, lalu menggelepar-gelepar seperti kambing disembelih.

Beberapa saat kemudian, pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang' yang dapat menghancurkan batu karang itu, menghancurkan tubuh Rekso Bagaspati bagai abu.

Kini hanya cairan kuning kental yang membentuk tubuh Rekso Bagaspati. Kemudian perlahan-lahan cairan kuning itu berubah menjadi tengkorak Rekso Bagaspati yang hangus seperti terbakar dan mengeluarkan asap ungu. Kemudian asap itu melayang tertiup angin. Itulah roh makhluk jahat yang bersarang dalam tubuh dan jiwa Rekso Bagaspati.

***
Langit yang semula gelap diselimuti hujan rintik-rintik, kini kembali terang benderang. Awan hitam telah berganti dengan awan putih bersih di langit yang membiru. Hujan pun reda.

Sena merunduk dalam di sisi jenazah Sekarsari yang terbujur kaku dan membiru. Tak ada yang bisa diucapkannya saat itu, kecuali kata maaf karena telan terpaksa membunuh wanita itu. Bersama tiupan angin Sena mengucapkan penyesalannya dalam desah panjang.

Digotongnya mayat wanita itu dengan perasaan galau. Sena meninggalkan tempat itu, membawa mayat Sekarsari untuk dikuburkan di tempat yang layak di luar Desa Tegal Sari. Di belakangnya Ki Kinasih mengikuti dengan langkah tersuruk-suruk. Kepala lelaki tua itu terlihat merunduk dalam. Bukan luka yang  membuatnya teramat menderita, melainkan kepergian seorang murid kesayangannya yang kini membujur dalam bopongan Sena.

 SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar