-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 15 Durjana
Berparas Dewa
1
Pagi nampak cerah. Langit biru
tak berawan terhampar di atas Desa Swargadana. Di sebelah selatan desa itu
tampak membentang gunung yang membiru indah dari timur sampai ke barat Di
sebelah barat, rimbun pepohonan yang menghijau menambah asri pemandangan.
Sedangkan di sebelah timur dan utara, sejauh mata memandang tampak tanah
persawahan hijau yang luas.
Sungai kecil nampak
meliuk-liuk seperti ular raksasa, menghiasi Desa Swargadana. Membuat keadaan
desa itu bertambah indah laksana surga bagi penduduknya.
Penduduk Desa Swargadana
sebagian besar mencari nafkah dengan berdagang dan bertani. Wajar kalau desa
itu cukup ramai dikunjungi para pelancong. Di samping ingin melihat keadaan
pemandangan desa, biasanya mereka juga berdagang di desa itu.
Desa Swargadana dipimpin
seorang kepala desa yang cukup disegani. Berbudi pekerti luhur, adil dalam
memutuskan segala perkara, juga tidak tamak.
Bahkan sikap rela berkorban
bagi kepentingan desa melekat erat dalam jiwanya.
Ki Baya Kitri, nama kepala
desa itu. Seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun. Bertubuh tinggi
tegap dengan wajah yang selalu mencerminkan kesabaran dan ketenangan jiwanya.
Matanya tajam, setajam mata burung elang. Penampilannya sederhana.
Ki Baya Kitri memiliki seorang
anak gadis cantik bernama Arum Sari. Kecantikan gadis itu sangat terkenal di
seluruh Desa Swargadana. Bukan hanya di desa itu saja kecantikan Arum Sari
terkenal, tapi bahkan sampai ke seluruh Kadipaten Blambangkara yang dipimpin
Adipati Sepa Waroagung.
Pagi itu langit tampak cerah.
Seorang pemuda tampan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun berpakaian ungu,
melangkah menyelusuri jalanan di Desa Swargadana. Saat itu telah ramai orang
berjalan menuju Desa Swargadana.
Hampir semua orang yang
berpapasan dengan pemuda tampan berpakaian ungu itu menghentikan langkah. Mulut
mereka berdecak kagum, melihat ketampanannya. Namun, pemuda yang bernama
Galapati itu terus melangkah, seolah tak menghiraukan kekaguman semua orang yang
melihatnya.
"Ck ck ck... Tampan
sekali pemuda itu," gumam seorang wanita setengah baya berbaju kuning
dengan mulut berdecak kagum. "Kalau aku masih muda, ingin rasanya aku
menjadi kekasihnya." "Iya, ya. Pemuda kok tampan begitu," sambung
temannya, wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun dengan kening lebar dan
berpakaian merah muda.
Galapati tak menghiraukan
suara orang-orang yang membicarakan dirinya. Kakinya terus saja melangkah,
menyelusuri jalan ranah di Desa Swargadana yang indah dan berudara sejuk. Kini
kakinya melangkah ke selatan, menuju rumah Kepala Desa Swargadana. Tak lama
kemudian, Galapati telah sampai di depan halaman rumah Ki Baya Kitri. Tampak
dua orang berpakaian biru tua dengan wajah garang tengah bercakap-cakap. Rambut
mereka yang lebat ditutup kain biru mirip blangkon.
Yang seorang berbadan besar,
mukanya dihiasi cambang bauk lebat. Sedangkan yang seorang lagi hanya dihiasi
kumis tebal melintang.
"Selamat pagi..."
sapa Galapati.
Kedua orang berbadan tinggi
besar yang tentunya pengawal Ki Baya Kitri seketika menghentikan percakapan
mereka. Keduanya langsung memandang orang yang menyapa mereka. Kemudian dengan
kening berkerut dan menatap tajam wajah Galapati, mereka mendekat "Selamat
pagi..." sahut keduanya hampir bersa-maan.
"Ada apa, Kisanak?"
tanya lelaki bercambang bauk. Matanya masih menatap tajam Galapati yang tampak
tenang menghadapi kedua orang berwajah garang itu.
"Saya mau bertemu kepala
desa," sahut Galapati.
"Kisanak siapa? Dari mana
dan ada urusan apa ingin bertemu dengan kepala desa?" tanya Raparata,
orang yang berkumis melintang.
Galapati tersenyum, masih
menunjukkan ketenangan. Meski dua orang yang sedang dihadapi bertampang sangar,
nampaknya Galapati tak merasa takut sedikit pun. Sikapnya tenang, bahkan tetap
tersenyum. Beruntung wajahnya sangat tampan, sehingga tak segera membuat kedua
pengawal Ki Baya Kitri marah. Keduanya seakan terpesona melihat ketampanan
Galapati.
"Aku ingin melamar
kerja," jawab Galapati.
"Apa kepandaianmu,
Kisanak?" tanya Rarapita, lelaki bercambang bauk. "Tak pantas orang
setampan dirimu melamar kerja kasar. Sedangkan di sini tak ada kerjaan yang
ringan." "Apa pun pekerjaannya, aku sanggup. Meski mencari rumput
sekalipun, aku sanggup. Karena aku memang sudah terbiasa melakukannya,"
jawab Galapati berusaha meyakinkan keduanya.
Dua orang pengawal Ki Baya
Kitri mengerutkan kening. Mata mereka memperhatikan dengan seksama wajah
Galapati, seperti tak percaya mendengar jawaban Galapati. Bagaimana mungkin
pemuda tampan dengan tubuh yang tak begitu berotot mampu melakukan pekerjaan
kasar? Pikir keduanya, masih belum yakin dengan apa yang dikatakan Galapati.
Galapati tersenyum, seperti
mengerti apa yang sedang dipikirkan kedua pengawal kepala desa itu.
"Kalian sepertinya
menyangsikan tubuhku," gu-mamnya menyentakkan kedua pengawal Ki Baya
Kitri.
"Ya. Kami tak yakin, kau
akan sanggup bekerja keras," tukas Raparata.
Galapati kembali tersenyum.
Kepalanya digelenggelengkan. Lalu setelah menghela napas panjang, dengan bibir
masih mengurai senyum dia berkata, "Kurasa, kalian memandang orang hanya
dari luar saja." "Apa maksudmu, Kisanak?" tanya Rarapita.
"Ya, kalian menganggap
hanya kalian yang mampu melakukan pekerjaan berat. Sedangkan orang-orang
sepertiku, kalian anggap lemah dan tiada daya untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat," sahut Galapati dengan tenang. Bahkan senyumnya
semakin mengembang di bibirnya.
"Ada apa, Rarapita?"
Tiba-tiba dari dalam terdengar suara berat yang sepertinya keluar dari mulut
seorang lelaki tua. Tak lama kemudian, muncul seorang lelaki berusia sekitar
lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi tegap, dan bermata tajam. Namun raut wajahnya
menggambarkan ketenangan dan kesabaran. Tentunya lelaki berusia sekitar lima
puluh tahun ini tak lain Ki Baya Kitri, Kepala Desa Swargadana.
"Maaf, Ki. Ada seorang
pemuda yang hendak melamar pekerjaan di sini," sahut lelaki bercambang
bauk yang bernama Rarapita.
"Hm, mana...?" tanya
Ki Baya Kitri.
"Itu, Ki," sahut
Rarapita sambil menunjuk Galapati yang masih berhadapan dengan rekannya.
Galapati tersenyum, kemudian
membungkukkan badannya ketika Ki Baya Kitri memandang dirinya. Hal itu membuat
kepala desa itu membalas tersenyum, kemudian melangkah mendekati Galapati.
"Kau mau melamar kerja di
sini, Bocah?" tanya Ki Baya Kitri.
"Benar, Ki."
"Apa kebisaanmu?" "Saya tak bisa apa-apa, Ki. Maka itu, menjadi
tukang arit rumput pun mau," sahut Galapati. Tindak tanduknya yang penuh
rasa hormat, membuat Ki Baya Kitri semakin mengerutkan kening. Lelaki muda itu
tampak heran melihat sikap yang ditunjukkan pemuda tampan itu. Tindak-tanduknya
mencerminkan kalau dirinya bukan orang bodoh, melainkan cermin jiwa seseorang
yang memiliki ilmu serta budi pekerti.
Hm, kurasa dia bukan pemuda
sembarangan.
Dari sikap dan tindak
tanduknya, jelas dia orang yang berpendidikan serta berbudi pekerti baik. Gumam
Ki Baya Kitri dalam hati. Matanya masih memperhatikan secara seksama pemuda
tampan di hadapannya. Kepalanya manggut-manggut, seakan sedang mendalami siapa
sebenarnya pemuda itu.
"Benarkah kau mau menjadi
tukang rumput?" tanya Ki Baya Kitri belum percaya dengan kesanggupan
pemuda tampan yang berdiri dengan sikap hormat di hadapannya. Mata lelaki tua
itu masih memandang penuh selidik terhadap pemuda itu. Tatapannya seakan hendak
memastikan siapa sesungguhnya pemuda tampan itu.
"Benar, Ki. Saya memang
ingin bekerja demi mendapatkan sesuap nasi guna melangsungkan
kehidupanku," jawab Galapati sambil membungkukkan badan, berusaha
meyakinkan Ki Baya Kitri.
Ki Baya Kitri masih memandangi
dengan penuh seksama, seperti masih berpikir siapa sebenarnya pemuda itu.
"Hm, baiklah kalau itu
yang kau inginkan. Siapa namamu, Anak Muda...?" tanya Ki Baya Kitri.
"Nama saya
Galapati," jawab Galapati masih menunjukkan sikap hormat.
"Dari manakah asalmu,
Anak Muda...?" "Saya dari Parang Gumilar, Ki," jawab Galapati.
"Hm.... Baiklah, mulai
saat ini kuterima kau menjadi tukang rumput di sini." "Terima kasih,
Ki." Tiga kali Galapati membungkukkan badan, menjura hormat dan
mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Baya Kitri menerimanya sebagai
tukang rumput di rumahnya.
"Raparata dan Rarapita
akan menunjukkan tempat tinggalmu. Mereka juga akan memberitahukan padamu
aturan-aturan di sini," tutur Ki Baya Kitri.
"Baik, Ki," sahut
Rarapita dan Raparata.
"Antar dia ke
tempatnya" perintah Ki Baya Kitri.
"Baik, Ki."
"Galapati, ikut kami" ajak Rarapita.
Galapati pun menurut,
mengikuti kedua pengawal Ki Baya Kitri. Mereka akan menunjukkan di mana pemuda
itu harus tinggal dan segala macam kebiasaan, aturan, dan larangan yang
berlaku. Pemuda tampan itu tersenyum. Entah apa arti senyumnya.
Kakinya terus melangkah,
mengikuti kedua pengawal Ki Baya Kitri menuju belakang rumah.
"Kita tinggal di sini,
Gala," ujar Rarapati sambil membuka pintu rumah yang ada di belakang rumah
Ki Baya Kitri. Sebuah rumah yang cukup besar. Di samping itu, terdapat sebuah
kandang kuda. Di dalamnya ada tiga ekor kuda besar dan kekar.
"Hm...," gumam
Galapati tak jelas. Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, seperti ada
sesuatu yang tengah dicarinya.
"Hal-hal yang tak boleh
kau langgar antara lain, kau tak boleh masuk ke rumah induk. Kedua, jangan
sekali-kali kau berusaha membuat keributan di sini.
Karena, jika hal itu terjadi,
kau akan berhadapan dengan kami," sambung Raparata.
"Hm, baik," sahut
Galapati.
"Mari masuk" ajak
Rarapita.
Mereka segera masuk ke rumah
itu. Kemudian membereskan barang-barang di rumah yang bakal ditempati Galapati
dan kedua pengawal Ki Baya Kitri.
***
Galapati mengurusi ketiga kuda milik Ki Baya
Kitri. Pemuda itu sedang menyikat tubuh kuda dan memberi makan, ketika seorang
gadis cantik berusia sekitar dua puluh dua tahun, bertubuh langsing dengan
kulit bersih, keluar dari rumah induk. Gadis berpakaian serba hijau itu,
mengerutkan keningnya ketika melihat seorang pemuda tampan sedang memberi makan
dan menyikat tubuh kuda milik ayahnya.
"Siapa pemuda itu?"
tanya gadis cantik yang tak lain Arum Sari. Dengan wajah tertegun, Arum Sari
melangkah mendekati kandang kuda, berusaha melihat dari dekat siapa pemuda
tampan itu.
Mara Arum Sari menyipit ketika
semakin dekat dengan pemuda tampan itu. Wajah pemuda tampan itu bagaikan wajah
Dewa Kamajaya. Elok, bersih, dan bercahaya terang. Seketika hati Arum Sari
tergoda ingin berkenalan dengan pemuda itu.
"Hm...," gumam Arum
Sari berusaha menarik perhatian, dengan harapan pemuda itu akan menghentikan
pekerjaannya dan menoleh padanya. Namun ternyata harapannya sia-sia. Pemuda
berpakaian serba ungu yang di kepalanya tertutup kain ungu membentuk sudut ke
atas itu, tetap melakukan pekerjaannya tanpa menghiraukan orang yang menggumam.
Bahkan pemuda itu kini bekerja
semakin giat.
Gerakan tangannya yang
menyikat tubuh kuda, terlihat lincah. Hal itu membuat putri Ki Baya Kitri
semakin terpesona melihat ketampanan dan cara kerja pemuda itu. Hasrat hatinya
ingin berkenalan dengan pemuda itu kian menggebu. Namun Galapati masih tetap
tak acuh. Seakan-akan tak melihat kehadiran Arum Sari.
"Ehem..." Arum Sari
mendehem lebih keras.
Galapati tersentak, seketika
dia menghentikan kerjanya. Lalu dengan tersipu-sipu sambil menunduk, Galapati
membungkukkan badannya menghormat "Maaf, Den Putri Hamba tidak tahu,"
ujar Galapati masih menunjukkan hormatnya. Tangannya disatukan di dada. Kepalanya
menunduk, seperti tak berani beradu pandang dengan gadis berpakaian hijau di
hadapannya.
"Ah, tak apa...,"
sahut Arum Sari sambil tersenyum. "Kau orang baru di sini?"
"Benar, Den Putri." "Ah, mengapa kau memanggilku begitu? Panggil
saja namaku, Arum Sari" ujar Arum Sari mulai mem-perkenalkan dirinya.
"Rasanya tidak pantas,
Den Putri Arum Sari. Bagaimanapun juga, Den Putri anak majikan saya. Manalah
mungkin sebagai hamba saya berlaku tak sopan?" tutur Galapati, semakin
membuat Arum Sari bertambah mengerutkan kening. Mata lembut gadis itu memandang
tak berkedip pada Galapati. Seakan tak percaya mendengar penuturan pemuda
tampan itu. Hm.... Dilihat dari rata caranya dalam berbicara dan
bertindak-tanduk, jelas dia bukan pemuda keba-nyakan. Tapi, mengapa dia mau
menjadi tukang rumput? Gumam Arum Sari dalam hati dengan mata masih
memperhatikan Galapati yang menundukkan kepala. "Siapa namamu...?"
tanya Arum Sari.
"Nama hamba yang bodoh
ini Galapati, Den Putri." "Galapati, jangan kau panggil aku dengan
sebutan Den Putri Aku bukan anak raja. Panggil saja namaku" pinta Arum
Sari dengan bibir masih mengurai senyum.
Ada sesuatu perasaan yang
tiba-tiba muncul di hati gadis itu, setelah melihat ketampanan pemuda itu,
serta tindak-tanduknya yang sopan dan santun.
Mata Arum Sari lebih jelas
menatap penuh rasa kagum pada Galapati. Tatapannya tidak sekadar tatapan
seorang majikan pada kacungnya. Tak jemu-jemunya Arum Sari memandang penuh
perhatian pada wajah pemuda tampan di hadapannya. Sementara itu Galapati pun
tampak mulai mencuri-curi pandang.
"Galapati," desis
Arum Sari memanggil nama pemuda tampan yang tanpa disadari telah menyentuh
jiwanya.
"Hamba, Den Putri."
"Galapati...," kembali Arum Sari memanggil.
"Hamba, Den Putri,"
sahut Galapati masih menundukkan kepala, menjadikan Arum Sari gemas. Dia ingin
Galapati menatap wajahnya, tanpa membungkuk-bungkuk seperti itu.
"Galapati...," desis
Arum Sari lebih keras.
"Hamba, Den Putri,"
jawab Galapati. Kali ini matanya memandang Arum Sari, sehingga mata keduanya saling
bertatapan. Darah Arum Sari berdesir halus, ketika matanya bertatapan dengan
mata Galapati.
Mulutnya terperangah,
menyaksikan ketampanan wajah pemuda berpakaian ungu itu.
Arum Sari terpaku, mematung
dengan mata berkedip, memandang Galapati yang berusaha tersenyum.
Perlahan-lahan Arum Sari membuka mulutnya tersenyum malu-malu. Malah kini
kepalanya ditolehkan, berusaha tidak melihat tatapan mata pemuda itu.
Ah Tampan sekali Bagaikan dewa
yang baru turun dari kahyangan Desis hati Arum Sari dengan masih tersipu malu,
membuang muka ke bawah.
Ketika kedua muda-mudi itu
tengah terlibat dalam getaran aneh di hati mereka, tiba-tiba terdengar suara Ki
Baya Kitri berseru.
"Galapati, siapkan kereta
dan kudanya..." "Baik, Ki" sahut Galapati tersentak.
"Arum, kenapa kau di
situ? Ayo masuk..." perintah Ki Baya Kitri memanggil putrinya agar
meninggalkan kandang kuda.
"Baik, Rama," sahut
Arum Sari. "Galapati, ku-tunggu kau." Usai berkata begitu, Arum Sari
pun segera meninggalkan kandang kuda.
Sementara Galapati hanya
terbengong mendengar kata-kata Arum Sari. Kutunggu? Apa maksudnya? Tanya
Galapati dalam hati, berusaha memahami maksud ucapan Galapati. Mungkinkah
dia.... Ah, kurasa begitu.
Galapati tersenyum. Tangannya
bergerak cepat, melepaskan ikatan tali kuda yang diminta Ki Baya Kitri.
Pikirannya masih terus diliputi bayangan gadis cantik anak Ki Baya Kitri yang
baru saja mengatakan hendak menunggu. Meskipun kata-kata itu tak jelas
maksudnya, Galapati sudah menduga-duga apa yang sebenarnya dikehendaki gadis itu.
Dan hal itulah sebenarnya yang ditujunya. Kedatangannya ke Desa Swargadana dan
melamar kerja di rumah Ki Baya Kitri pun sebetulnya hanya kedok belaka.
Tujuannya hanya satu, mengambil hati gadis cantik anak Ki Baya Kitri Setelah
melepaskan tali-temali pengikat kereta kuda, Galapati pun segera menuntun
kereta kuda itu menuju tempat Ki Baya Kitri berada.
"Ini, Ki." "Hm,
bagus. Tak percuma kau kuterima kerja di sini, Galapati. Tapi perlu kau
ketahui, jangan sesekali menggoda anakku. Karena Arum tak pantas bersand-ing
denganmu." Ki Baya Kitri segera menggandeng istrinya, membawa naik ke
kereta. Tak lama kemudian kuda-kuda itu telah berjalan menghela kereta yang
dinaiki tuannya. "Ck ck ck... Heaaa..." Galapati hanya tersenyum
kecut mendengar ancaman Ki Baya Kitri, kemudian dia melangkah kembali ke rumah
di belakang, tempat dirinya berteduh.
2
Pucuk dicinta ulam tiba,
begitu pepatah mengatakan. Hal itu pun terjadi pada diri Galapati.
Kehadi-rannya di Desa Swargadana sebenarnya hanya untuk memikat anak Ki Baya
Kitri yang terkenal cantik jelita.
Dan apa yang diharapkannya,
kini terpenuhi. Meski belum sepenuhnya. Namun tanda-tanda keberhasilan telah
mulai nampak.
Berawal dari pertemuan di
kandang kuda, keduanya merasakan getaran jiwa yang lain. Setiap kali mereka
berusaha mengadakan pertemuan dengan secara sembunyi-sembunyi, agar tidak
diketahui Ki Baya Kitri dan kedua pengawalnya yang selalu menjaga ke-tat Arum
Sari jika Ki Baya Kitri pergi.
Benih-benih asmara terus
tumbuh. Di hati Arum Sari benih-benih itu tulus dan agung. Sedangkan di hati
Galapati, hanyalah sebagai sandaran sementara.
Malam telah larut dengan
kegelapan yang menyelimuti bumi. Angin malam bertiup lembut, membisikkan
kesyahduan. Bulan purnama bersinar terang, menampakkan keindahan di langit biru
yang cerah.
Sesosok tubuh mengendap-endap,
keluar dari rumah belakang. Matanya memandang liar ke sekelilingnya yang sepi.
Samar-samar terdengar suara orang bercakap-cakap di depan rumah induk, tempat
Arum Sari tidur. Suara itu tentu berasal dari pengawal Ki Baya Kitri yang
tengah berjaga-jaga, karena kepala de-sa itu sedang pergi menghadiri perkawinan
salah seorang warga desa.
Dari kejauhan, sayup-sayup
terdengar suara gamelan mengalun merdu, berasal dari pesta perkawinan
berlangsung. Dan ke tempat itulah Ki Baya Kitri pergi untuk menghadiri dan
memberi restu atas perkawinan salah seorang anak warga desanya.
Sosok bayangan ungu terus
mengendap-endap, memperhatikan ke tempat pengawal Ki Baya Kitri berada.
Kemudian setelah merasa aman, bayangan ungu itu berlari dengan ringan menuju
kamar tempat Arum Sari berada.
"Hm, kurasa mereka sedang
asyik ngobrol," gumam bayangan ungu yang tak lain Galapati. Matanya
diarahkan sesaat ke tempat kedua pengawal Ki Baya Kitri tengah berjaga.
Kemudian setelah yakin keduanya tak melihat, Galapati mulai mendekat ke jendela
kamar Arum Sari.
Tok, tok, tok...
Pelan sekali suara ketukan
jari tangan Galapati ke daun jendela di kamar Arum Sari. Dengan harapan tak
terdengar telinga kedua pengawal Ki Baya Kitri.
Jendela terbuka pelan. Lalu
nampaklah seraut wajah cantik yang tak lain Arum Sari.
"Ayo masuk" ajak
Arum Sari sambil membentangkan daun jendela lebar-lebar.
"Kau belum tidur?"
tanya Galapati.
"Belum. Aku menunggumu,
Gala," desis Arum Sari lirih, kemudian membantu Galapati naik ke jendela.
Lalu setelah Galapati masuk, pelan-pelan Arum Sari menutup jendela kamarnya.
"Bagaimana kalau ayahmu
tahu, Arum?" tanya Galapati.
"Ayah biasanya pulang
pagi kalau ada acara begitu. Ayolah, jangan lama-lama" ajak Arum Sari.
Gadis yang hatinya sudah
dilanda gejolak itu tampak tak sabar. Tangannya yang lembut segera membuka
pakaiannya. Hal itu membuat Galapati terbelalak, memandangi tubuh Arum Sari
yang kini polos tanpa tertutup sehelai benang pun.
Galapati pun segera mendekap
tubuh Arum Sari, kemudian dibimbingnya ke tempat tidur. Lalu dengan penuh
birahi, digelutinya tubuh Arum Sari.
Keduanya terus bergumul dengan
napas memburu dan tersengal-sengal. Desahan-desahan birahi pun mulai terdengar
dari kedua mulut mereka yang tubuhnya terus dibasahi peluh.
Sementara di luar, kedua orang
penjaga rumah Ki Baya Kitri nampak masih bercakap-cakap. Keduanya masih belum
menyadari apa yang sebenarnya kini tengah terjadi di dalam kamar Arum Sari.
"Kalau saja tak ada bocah
itu, tentunya kita bisa ikut dengan Ki Baya Kitri, nonton hiburan," gumam
Raparata.
"Iya. Padahal Tandak Ki
Begol terkenal cantikcantik dan bahenol," sambung Rarapita.
"Ah, udara malam semakin
dingin lagi," keluh Raparata.
"Ya, namanya tugas. Kita
harus menjalankan dengan sebaik mungkin. Eh, ngomong-ngomong, di mana anak muda
itu? Bukankah lebih baik kita ajak ngobrol-ngobrol?" "Ayo, kita ajak
dia" ajak Raparata.
Keduanya beranjak meninggalkan
halaman depan rumah Ki Baya Kitri untuk memanggil Galapati.
Namun, ketika keduanya
melintas di samping kamar Arum Sari, seketika keduanya menghentikan langkah.
Mata mereka terbelalak, ketika
mendengar suara desah napas dan rintihan-rintihan kenikmatan di dalam kamar
itu.
"Hei, suara siapa
itu?" gumam Raparata.
"Kurang ajar Pasti pemuda
itu," dengus Rarapita geram. "Kau periksa rumah belakang Biar aku
menunggu di sini." Raparata segera melesat cepat menuju rumah belakang
untuk memeriksa apakah Galapati masih ada atau tidak. Seketika matanya
membelalak bercampur marah, setelah tak mendapatkan Galapati di sana.
"Kurang ajar Ditolong malah lancang memasuki kamar Arum Sari," dengus
Raparata.
Raparata kembali berlari
menghampiri Rarapita yang menjaga di samping jendela kamar Arum Sari.
"Bagaimana?" tanya
Rarapita.
"Dia tak ada."
"Kurang ajar Galapati, keluar kau..." bentak Rarapita gusar, setelah
yakin kalau yang ada di dalam kamar Arum Sari tiada lain pemuda tampan yang
bernama Galapati. Dengan geram didobraknya jendela kamar itu.
Mata keduanya membelalak,
menyaksikan dua sosok tubuh telanjang bulat tengah bergumul di tempat tidur.
Seketika mendidih darah kedua pengawal Ki Baya Kitri yang sudah ditugasi untuk
menjaga rumah dan melindungi Arum Sari.
"Kurang ajar Lancang
sekali kau, Galapati" bentak Rarapita marah.
"Kubunuh kau, Pemuda
Keparat" dengus Raparata. Galapati dan Arum Sari tersentak kaget. Keduanya
buru-buru mengenakan pakaian. Kemudian Galapati berusaha lari melalui jendela
dengan melompati kedua orang penjaga rumah Ki Baya Kitri.
Wsss "Bangsat Kubunuh
kau..." maki Rarapita sambil merundukkan kepala agar tak tersambar
tendangan kaki Galapati, yang melesat cepat. Dengan cepat Rarapita mencabut
golok di pinggangnya.
Srt Wrt Rarapita membabatkan
goloknya ke arah Galapati yang melesat di atas tubuhnya. Tapi gerakan pemuda
itu sangat gesit dan cepat, sehingga luput dari babatan golok lawan.
"Hih" Galapati
bersalto beberapa kali di atas kedua penjaga rumah Ki Baya Kitri. Kemudian
dengan tersenyum-senyum tenang, kakinya mendarat di tanah berjarak lima tombak
dari kedua pengawal Ki Baya Kitri.
"Ha ha ha... Kalian
rupanya ngiri, ya?" ejek Galapati sambil tertawa bergelak-gelak, semakin
membuat Rarapita dan Raparata mendengus marah.
"Bedebah Rupanya dugaanku
selama ini benar.
Katakan, siapa kau sebenarnya,
Bocah Keparat" bentak Raparata.
Galapati hanya tersenyum
sinis, lalu mencibir bibir, mengejek kedua lelaki bertubuh tinggi besar pengawal
kepala desa itu.
"Ha ha ha... Dasar
orang-orang berotak kerbau Kini aku puas, kalianlah yang menanggung semuanya.
Nah, selamat tinggal,"
usai berkata begitu, Galapati bermaksud pergi meninggalkan tempat itu, namun
dengan cepat kedua pengawal Ki Baya Kitri melesat mengejar.
"Hei, Keparat Jangan
harap kau bisa lari dari si-ni Heaaa..." "Yeaaa..." Dengan marah
kedua pengawal Ki Baya Kitri melesat mengejar Galapati yang masih tampak
tenang. Di tangan keduanya golok terhunus siap dibabatkan ke tubuh pemuda
tampan itu. Kini Raparata dan Rarapita telah menghadang, lalu dengan cepat pula
keduanya membabatkan golok ke tubuh Galapati.
Wrt Wrt...
"Eits" Dengan gesit
Galapati mengelak. Tubuhnya dirundukkan, lalu dengan cepat pula diegoskan ke
samping. Dan golok kedua lawan pun hanya menderu di sampingnya.
"Hih" Galapati yang
sudah terlepas dari babatan golok lawan, dengan cepat melancarkan tendangan
keras disertai membalik tubuh dengan cepat "Heaaa..." Wrt Rarapita
dan Raparata tersentak menyaksikan tendangan lawan yang sangat cepat. Mata
mereka membelalak lebar, dengan cepat mereka melompat mundur mengelakkan
tendangan lawan yang keras dan cepat "Eits" "Kurang ajar Rupanya
kau memang bukan pemuda sembarangan, Bocah Tapi jangan harap kau bisa lolos
dari Sepasang Golok Gerhana. Yeaaa..." "Yeaaa..."
***
Setelah mengetahui kalau lawan mereka bukan
pemuda sembarangan, kedua pengawal Ki Baya Kitri yang berjuluk Sepasang Golok
Gerhana kini tak mainmain lagi. Dengan mengeluarkan jurus 'Golok Gerhana
Menyeka Mendung' mereka melesat menyerang Galapati. Wut Wut..
Golok di tangan mereka menderu
cepat melakukan serangan dari dua arah. Rarapita menyerang dari depan.
Sedangkan Raparata menyerang dari belakang lawan.
"Buntung lehermu,
Keparat" "Hih" Wut Golok Rarapita menderu. Dengan cepat Galapati
mengelak ke samping, kemudian melancarkan satu tendangan kaki kanannya ke
lambung lawan.
"Hih"
"Haits" Rarapita tersentak kaget, ketika merasakan angin tendangan
yang menderu keras ke arahnya. Dari deru angin tendangannya, jelas kalau lawan
bukan pemuda berilmu rendah. Paling tidak lawan memiliki tenaga dalam yang
sempurna, setaraf dengannya.
Melihat Rarapita terdesak,
Raparata pun tak tinggal diam. Dirinya yang menyerang dari belakang segera
bergerak dengan tebasan goloknya ke kepala lawan.
"Pecah kepalamu, Bocah
Iblis Hiaaa..." Wrt Galapati menarik mundur serangan terhadap Rarapita.
Kemudian dengan memutar cepat tubuhnya, tendangan kaki kanan yang cepat dan
keras berbalik menyerang lawan di belakangnya. Tubuhnya dimiringkan ke samping
kiri sambil menunduk, mengelakkan babatan golok lawan.
Wut Serangan golok luput, tak
mengenai sasaran di tubuhnya. Galapati cepat membalas dengan tendangan keras,
menggunakan jurus 'Jangka Maut'. Kakinya menderu begitu cepat, memburu tubuh
lawan.
Ke mana lawan lari, kakinya
terus mengejar tiada hen-ti.
"Hiaaa..." Wrt
Raparata terkejut mendapatkan serangan begitu gencar. Kaki lawan yang bergerak
bagaikan tak mengenal lelah, terus berkelebat begitu cepat dan keras memburu
tubuhnya. Ke mana tubuh Raparata mengelak, kaki Galapati terus memburu.
"Celaka Ilmu
setan..." maki Raparata kaget sambil terus bergerak mengelakkan
serangan-serangan yang dilancarkan Galapati yang terus memburu diri-nya.
Rarapita yang melihat saudara
seperguruannya terdesak, segera melesat menyerang. Golok di tangannya
digerakkan bagaikan baling-baling yang berputar cepat, dengan jurus 'Golok
Gerhana Mengebut Kabut'.
"Heaaa..." Wut Wut
"Hancur tubuhmu, Bocah Yeaaa..." Golok di tangan Rarapita berkelebat
begitu cepat, membabat dan menusuk ke tubuh lawan. Angin kebutannya terasa
menyentak dan menderu keras di atas kepala Galapati.
"Hats Hih..."
Galapati merundukkan tubuhnya ke bawah, bergerak membalik untuk mengelakkan
serangan. Kemudian dengan cepat pula Galapati balas menyerang dengan pukulan
tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya, kini bergerak memapak serangan yang
datang dari belakang. Itulah jurus 'Tarian Jigor Maut'. Sebuah jurus yang
menyerupai tarian jaipong. Namun, dari pukulan tangan Galapati, menderu angin
yang sangat keras. "Yeaaa..." "Heaaa..." "Hih"
Kedua pengawal Ki Baya Kitri kini mengeluarkan segenap kemampuan mereka untuk
dapat mengalahkan pemuda tampan yang kini telah berlaku kurang ajar terhadap
tuannya. Golok di tangan mereka menderu keras. Silih berganti menyerang begitu
cepat ke tubuh lawan yang terus mengelak, memapak, dan sesekali balas
menyerang.
Pertarungan terus berlangsung
semakin seru.
Kedua orang pengawal kepala
desa itu terus menyerang dengan sabetan-sabetan golok mereka yang cepat dan
mengarah pada bagian-bagian mematikan tubuh lawan.
"Heaaa"
"Yeaaa..." Wrt Wrt "Aits Hih..." Dengan cepat Galapati
berkelit. Tubuhnya merunduk, lalu dengan meliuk cepat Galapati mengibaskan
tangannya ke tubuh lawan. Serangkum angin pukulan pun menderu, menyentakkan
kedua lawannya. "Hih" "Haits...." Keduanya melompat ke
belakang, mengelakkan pukulan Galapati. Kemudian kembali menyerang dengan
gerakan yang lebih cepat dan keras dalam jurusjurus pamungkas andalan mereka.
"'Cinde Buana Purnama'.
Heaaa...." "Yeaaa...." Dengan jurus 'Cinde Buana Purnama'
keduanya melesat cepat, membabatkan golok ke tubuh lawan disertai pengerahan
tenaga dalam yang sempurna.
Menyaksikan kedua lawannya
telah mengeluarkan jurus pamungkas, Galapati segera bergerak mencabut sesuatu
dari batik bajunya.
Wrt Sebuah kipas lebar
berwarna ungu kini tergenggam di tangan Galapati. Kemudian dengan jurus
'Kipasan Sayap Kumbang' Galapati memapaki serangan kedua lawannya. Kipas
mautnya yang bernama Kipas Iblis Racun Kelabang Ungu digerakkan membentuk putaran
cepat.
Wrt Prak, prak
"Akh..." "Heh?" Rarapita dan Raparata tersentak kaget, lalu
melompat mundur. Mata mereka terbelalak kaget, ketika melihat golok di tangan
mereka telah patah menjadi dua. Keduanya menatap bengis pada lawan yang tampak
tersenyum dan mencibirkan bibir.
"Kini terimalah kematian
kalian Heaaa..." Wrt Sring, sring Kedua pengawal Ki Baya Kitri itu
tersentak ketika melihat dari kebutan kipas Galapati, melesat beberapa bilah
pisau kecil berkilatan putih memburu mereka. Pisau-pisau itu menyebarkan hawa
beracun yang sangat menyesakkan dada.
"Awas"
"Celaka" Keduanya melenting dan berjumpalitan di udara, mengelakkan
serangan-serangan pisau kecil yang mengandung racun ganas. Mata Rarapita dan
Raparata terbelalak lebar, ngeri menyaksikan pisau-pisau kecil yang terus
memburu tubuh mereka. Sampai akhirnya....
Jlep, jlep "Akh..."
"Aaa..." Keduanya menjerit. Tubuh mereka terhuyunghuyung ke belakang
dengan mata semakin terbelalak lebar. Dua bilah pisau kecil menghunjam di paha
dan perut kedua pengawal kepala desa itu.
"Ha ha ha... Mampuslah
kalian" Galapati tertawa terbahak-bahak. Kemudian tanpa mengenal belas
kasihan sedikit pun, pemuda tampan itu kembali mengibaskan kipas mautnya ke
arah kedua lawannya yang sudah tak berdaya.
Wrt "Kau Akh..." keduanya
terpekik, lalu ambruk dengan leher tergores hampir putus. Darah mengucur deras,
dari goresan di leher mereka.
Galapati tertawa
terbahak-bahak, lalu dengan tenang berlalu meninggalkan tempat itu.
"Kakang, tunggu..."
seru Arum Sari mengejar.
"Cuh Pergi Aku tak butuh
kau lagi. Ha ha ha..." "Kakang..." Arum Sari berusaha memeluk
kaki Galapati.
Namun, dengan kasar pemuda itu
mendorong tubuh Arum Sari hingga terjengkang dan menangis, meratapi nasibnya
yang malang. Kegadisannya telah diserahkan pada Galapati, tapi dirinya kini
dicampakkan begitu saja.
3
Ki Baya Kitri yang tengah
menikmati hiburan berupa tandak tiba-tiba merasakan hatinya tak tenang.
Batinnya seketika gelisah.
Pikiran lelaki berusia lima puluh tahun itu, tiba-tiba tertuju ke rumahnya.
Firasat hatinya mengatakan ada sesuatu kejadian buruk di rumahnya.
"Ada apa, Kakang?"
tanya Sariti, istri Ki Baya Kitri, melihat kegelisahan suaminya.
Perhatian Sariti kini tertuju
ke arah suaminya yang semakin kelihatan gelisah. Padahal di tempat itu tandak
masih terus main. Goyangan pinggul para pe-nari tandak yang melenggak-lenggok,
cukup menggiurkan. Namun, suaminya seperti tak bergairah sedikit pun untuk
turun, menari dengan tandak-tandak yang bahenol.
"Entahlah, Diajeng.
Tiba-tiba pikiranku teringat di rumah. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang
terjadi di rumah," gumam Ki Baya Kitri.
"Apakah mau pulang,
Kakang?" tanya Sariti.
"Ya. Pikiranku tak
tenang. Tentu ada kejadian yang tak menyenangkan di rumah." "Kalau
begitu, ayolah kita
pulang" ajak Sariti.
Keduanya segera berpamitan
pada tuan rumah.
Keduanya bergegas menuju ke
kereta. Tak lama kemudian, keduanya telah meninggalkan tempat perkawinan.
Dengan kereta kuda, Ki Baya Kitri dan istrinya menembus keremangan malam
menjelang pagi menuju rumahnya.
"Hatiku benar-benar
gelisah, Diajeng," kata Ki Baya Kitri sambil menghela tali kuda-kudanya
yang terus melaju menembus kegelapan malam.
"Tenanglah, Kakang Semoga
tak terjadi apa-apa di rumah" kata istrinya berusaha menenangkan sang
Suami.
Kuda-kuda itu terus berjalan
menarik kereta, menembus malam di bawah keremangan cahaya bulan. Tiba-tiba kuda
mereka meringkik, seperti melihat sesuatu di hadapannya. Hal itu membuat Ki
Baya Kitri mengerutkan kening. Kemudian dengan mata memandang ke depan. Tampak
sesosok tubuh mengenakan pakaian ungu melangkah tenang. Mata Ki Baya Kitri
semakin terbelalak, ketika tahu siapa pemuda yang tengah melangkah menyelusuri
kegelapan malam.
"Galapati... Hei, mau ke
mana kau?" tanya Ki Baya Kitri dengan mata terbelalak.
"Ha ha ha.... Apa yang
kau tanyakan, Ki? Jelas aku akan pergi sesuai kemauan langkah kakiku"
sahut Galapati tanpa rasa hormat sedikit pun. Bahkan kini sikapnya tampak
angkuh. Bibirnya mencibir sinis, membuat Ki Baya Kitri mendengus marah.
"Bocah tak tahu diuntung
Ditanya baik-baik, malah menjawab dengan pongah. Minggat kau..." bentak Ki
Baya Kitri marah.
"Ha ha ha... Itu memang
yang kuinginkan, Orang Tua Tolol Aku memang ingin pergi. Muak aku bersama
kalian" "Bangsat Lancang sekali mulutmu Kau perlu dihajar, Bocah
Yeaaa..." Ki Baya Kitri yang muak melihat sikap dan mendengar ucapan
Galapati melompat menyerang. Hal itu rupanya sudah diduga Galapati, yang dengan
cepat dan ringan bergerak mengelitkan serangan.
"Hih Uts"
"Kuhancurkan kepalamu yang keras kepala, Bocah Heaaa..." Ki Baya
Kitri kembali bergerak menyerang. Tangannya menyambar-nyambar dengan cepat ke
arah kepala Galapati. Sambaran tangannya mengeluarkan angin pukulan yang keras.
Dengan jurus 'Camar Laut Memburu Ikan', Ki Baya Kitri terus menyerang. Lelaki
tua itu berusaha tak memberi kesempatan sekali pun pada lawan untuk dapat
membalas serangan.
"Yeaaa..."
"Haits Hih..." Setelah dapat melepaskan diri dari serangan Ki Baya
Kitri, dengan cepat Galapati balas menyerang.
Tangan dan kakinya bergerak
cepat susul-menyusul, menyerang Ki Baya Kitri. Lelaki tua itu tersentak.
"Eits Celaka..."
pekik Ki Baya Kitri kaget dengan mata melotot, melihat serangan yang
dilancarkan pemuda tampan berpakaian ungu itu. Selama ini memang telah
diduganya kalau Galapati bukan pemuda biasa. Namun kini Ki Baya Kitri harus
membuka mata.
Dugaannya yang mengatakan
Galapati bukan pemuda sembarangan, terbukti sudah. Bahkan dirinya dibuat kaget
melihat serangan gencar pemuda itu. Gerakangerakan menyerang yang dilancarkan
Galapati ternyata dengan jurus-jurus yang tak sembarangan.
"Heaaa..."
"Haits Bocah iblis Siapa kau sebenarnya?" bentak Ki Baya Kitri
setelah berhasil mengelakkan serangan yang dilancarkan Galapati.
"Ha ha ha... Kini rupanya
kau baru membuka mata, Orang Tua Dungu Siapa sebenarnya aku. Yang jelas kau
harus mampus di tanganku. Heaaa..." Dengan jurus 'Tarian Jigor Maut',
Galapati bergerak menyerang. Kedua tangannya bergerak laksana menari, memapak
sambil memukul dengan cepat ke tubuh Ki Baya Kitri yang bergerak mengelakkan
serangan-serangan gencar itu.
Orang tua itu benar-benar tak
mengira kalau pemuda tampan berpakaian ungu itu memiliki jurusjurus yang
membahayakan. Beruntung gerakannya masih gesit, sehingga serangan lawan yang
mematikan dapat dielakkan. Nyawanya yang hampir terancam, kini terlepas dari
maut. Tapi bukan berarti jiwanya terus terbebas dari maut yang kini memburunya.
Serangan Galapati tak berhenti, terus mendesak dan memburu tubuhnya.
"Heaaa..."
"Haps" Pertarungan keduanya semakin seru. Malam yang semula tenang,
seketika berubah riuh karena suara-suara jeritan mereka dalam menyerang.
Melihat suaminya kini tampak
kewalahan menghadapi lawan, Sariti berteriak-teriak memanggil penduduk desa.
Seketika warga desa berdatangan ke tempat pertarungan.
"Tolong... Tolooong..."
Orang-orang desa yang tengah menonton tandak pun seketika berlarian menuju
tempat itu setelah mendengar suara teriakan Sariti. Dengan membawa senjata
berupa golok, warga Desa Swargadana memburu ke arah mereka.
"Ada apa, Nyi
Lurah?" "Tolong, Ki Lurah sedang berkelahi," jawab Sariti sambil
menunjuk ke arah tempat pertarungan. Seketika warga Desa Swargadana memburu ke
asal suara pertarungan itu.
"Tangkap pemuda itu"
seru Ki Baya Kitri setelah melihat warga desanya berdatangan.
"Heaaa..."
"Cincang..." "Tangkap" Warga desa yang patuh dan sangat
menghormati kepala desanya segera menyerbu Galapati. Hal itu membuat Galapati
kini harus menghadapi keroyokan warga Desa Swargadana.
Pertarungan semakin seru.
Penduduk Desa Swargadana terus merangsek, berusaha menangkap Galapati. Ketika
pertarungan tengah berlangsung seru, tiba-tiba dari arah timur tampak seorang
gadis berpakaian hijau berlari-lari sambil menangis.
"Arum... Ada
apa...?" tanya Ki Baya Kitri.
"Rama.... Oh, Rama. Arum
kini tak ada artinya lagi, Rama...," keluh gadis itu masih menangis.
"Ibu, maafkan Arum...." "Ada apa, Anakku?" tanya Sariti
sambil memeluk tubuh anaknya penuh kasih sayang. Dibelai-belainya rambut putri
satu-satunya itu dengan lembut "Arum telah ternoda, Bu."
"Apa?" terbelalak mata Ki Baya Kitri dan Sariti mendengar pengakuan
Arum Sari.
"Siapa yang telah lancang
berani menodaimu, Arum?" tanya Ki Baya Kitri dengan amarah yang
bera-pi-api. Matanya membelalak lebar penuh amarah. Giginya saling beradu,
mengeluarkan suara gemerutuk "Dia..., Galapati...." "Kurang ajar
Kubunuh kau, Galapati Heaaa...." Ki Baya Kitri yang semakin kalap, melesat
dengan keris terhunus. Keris yang mengeluarkan sinar jingga bernama Ki Kebo
Werda, berkelebat cepat dan menderu memburu Galapati yang tengah sibuk
menghadapi keroyokan warga Desa Swargadana.
"Yeaaa...."
"Bunuh bajingan itu" teriak Ki Baya Kitri sambil melesat menyerang
Galapati dengan keris pusakanya.
"Heaaa..."
"Hm...," Galapati yang sudah menduga lawan akan mengeluarkan senjata
pusakanya, tanpa sungkan-sungkan lagi segera mencabut kipas mautnya.
Wrt Sing Sing...
Jlep Jlep "Wuaaa..."
"Aaa..." Pekikan kematian seketika terdengar. Lima orang warga desa
tersungkur dengan dada tertancap pisaupisau maut itu. Tubuh mereka sesaat
mengejang, kemudian ambruk tanpa nyawa dengan mata melotot mengerikan.
"Bedebah Kubunuh kau,
Keparat" maki Ki Baya Kitri semakin bertambah kalap, menyaksikan bagaimana
pemuda itu dengan seenaknya membunuh lima warga desanya.
"Yeaaa..."
"Heaaa..." Trang "Ukh" Ki Baya Kitri terpekik kesakitan.
Tubuhnya terdorong ke belakang dengan mata melotot tegang. Tangannya tergetar
hebat ketika kerisnya berbenturan dengan senjata Galapati. Keris sakti yang
bernama Ki Kebo Werda tak berarti menghadapi kipas maut berwarna ungu di tangan
pemuda tampan itu.
"Ha ha ha... Percuma
kalian menghadapiku" teriak Galapati sombong.
Semuanya kini hanya terpaku
diam, ketika menyaksikan bagaimana Ki Baya Kitri hampir tergetar menghadapi
pemuda tampan itu. Nyali mereka seketika menciut, apalagi setelah melihat lima
orang warganya mati mengerikan.
***
"Hua ha ha..." Ketika semua warga
Desa Swargadana terdiam mematung, takut menghadapi Galapati, mendadak mereka
dikejutkan suara gelak tawa membahana.
Suara tawa itu bagaikan berada
di sekitar tempat itu. Pemilik suara seolah-olah ada di mana-mana. Sehingga
suara tawa itu terdengar bersahut-sahutan.
"Hua ha ha... Kasihan
sekali, ada tikus tertangkap basah. Hi hi hi..." suara itu mirip ucapan
orang gila, menyindir Galapati.
"Bedebah Siapa kau?
Keluarlah, tunjukkan mukamu" bentak Galapati marah, merasa ucapan itu
tertuju padanya. Matanya memandang liar ke sekeliling tempat itu. Kipas maut
masih tergenggam di tangannya, siap untuk dikibaskan jika ada orang yang berani
menyerang.
"Hua ha ha... Rupanya
seperti itu mukamu? Hi hi hi..." "Setan Keluar kau? Tunjukkan mukamu,
Pengecut Hih..." Wrt Swing, swing...
Puluhan pisau-pisau kecil
meluncur ke pepohonan di sekitar tempat itu, ketika kipas di tangan Galapati
dikibaskan.
"Aha, percuma saja kau
membuang-buang mainanmu, Tikus Busuk Aku ada di belakangmu." Bukan hanya
Galapati yang tersentak kaget dengan mata terbelalak, melainkan semua yang ada
di tempat itu merasa heran. Mereka benar-benar kaget, karena tak melihat
berkelebatnya tubuh pemuda berpakaian rompi kulit ular yang bertingkah laku
seperti orang gila.
"Pemuda gila Siapa
kau?" bentak Galapati sengit, karena merasa pemuda bertingkah gila itu
telah turut campur urusannya.
"Hi hi hi..." Pemuda
berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila itu
tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu dengan mulut cengengesan,
matanya membeliak.
"Aha, siapa diriku,
kurasa tak jadi masalah. Yang pasti, penduduk desa ini benar-benar muak dengan
tampangmu." Terbelalak mata Galapati mendengar ucapan Sena. Nafasnya
mendengus dengan gigi bergemerutuk keras. "Jangan ikut campur urusanku,
Pemuda Gila" dengus Galapati sengit.
"Aha, aku tak akan ikut
campur, kalau tindakanmu tak sewenang-wenang," sahut Sena sambil
cengengesan dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. Kemudian diambilnya
bulu burung, lalu digunakan untuk mengilik telinganya. Mulutnya semakin
nyengir, dengan mata terpejam.
"Benar Dia harus
dihukum..." seru seorang penduduk desa.
"Dia telah membuat onar
di desa ini..." sambung yang lainnya.
Semakin marah Galapati
mendengar penuturan Pendekar Gila. Mulutnya mendengus geram. Dengan mata
terbelalak, pemuda tampan itu menatap liar penuh kebencian. Sementara itu Sena
masih cengengesan sambil mengorek telinga dengan bulu burung.
"Kurang ajar Kau mencari
mampus, Pemuda Gila Heaaa..." Merasa lawan bukanlah orang sembarangan,
Galapati kini tak tanggung-tanggung menyerang Pendekar Gila. Kipas mautnya
dikibaskan-kibaskan menderu keras, mengeluarkan racun yang sangat ganas.
Wrt "Haits He he
he..." Pendekar Gila dengan cengengesan bergerak cepat mengelakkan
serangan lawan. Tubuhnya meliukliuk cepat seperti menari, sesekali tangannya
menepuk ke dada lawan. Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Sebuah
jurus 'Ilmu Silat Si Gila' yang amat dahsyat. Gerakannya yang seperti orang
menari, nampaknya lamban dan lemah. Namun ternyata cukup mengejutkan lawan,
maupun orang-orang desa.
"Gila Jurus apa yang
dilakukan pemuda itu?" gumam Ki Baya Kitri dengan mata terbelalak,
menyaksikan jurus silat aneh yang dilakukan Pendekar Gila.
"Gerakannya sangat lamban
dan lemah. Tapi mampu mengejar gerakan lawan. Benar-benar jurus hebat."
"Heaaa..." Wrt Galapati kembali berusaha merangsek dengan kibasan
kipas mautnya yang mengandung racun kelabang ungu. Dari kibasan kipas itu,
keluar gulungan asap ungu yang memburu Pendekar Gila.
"Hi hi hi..." Sena
masih cengengesan sambil bergerak meliukkan tubuh. Tangannya sesekali menepuk
ke dada lawan. Dia seperti tak terpengaruh sedikit pun oleh asap racun kelabang
ungu yang keluar dari kipas maut Galapati. Hal itu membuat Galapati mengerutkan
kening, merasa heran menyaksikan lawannya tak terpengaruh asap beracun itu.
Padahal kalau orang lain, tentu sudah mati berdiri.
Hei, dia sepertinya tak mempan
terhadap racun kelabang ungu yang keluar dari kipas ku Desis Galapati dalam
hati dengan mata melotot, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Mungkin kurang
banyak. Akan ku coba mengerahkan tenaga dalam.
"Heaaa..." Wrt,
wrt...
Kipas maut itu kembali
dikibaskan ke arah Pendekar Gila. Kali ini semakin cepat. Asap ungu beracun pun
semakin bertambah banyak keluar.
"Haits He he he..."
Pendekar Gila bergerak meliuk ke samping kanan, dengan tubuh miring. Kemudian
dengan cepat tangannya menepuk ke arah dada lawan.
"Hih"
"Edan" maki Galapati kaget sambil melompat mundur, ketika angin
tepukan tangan lawan begitu keras menderu. Baru angin pukulan saja, Galapati
telah merasakan hentakan yang sangat keras dan terasa panas.
"Hi hi hi... Kenapa diam,
Tikus Busuk? Hi hi hi.." Sena tertawa cekikikan dengan mulut cengengesan.
"Cuih Jangan kira aku akan kalah olehmu, Pemuda Gila Heaaa..." Wrt,
wrt Galapati kembali mengebutkan kipas mautnya ke arah Pendekar Gila.
Membelalak mata warga desa melihat kibasan kipas pemuda berparas seperti Dewa Kamajaya
itu.
"Hei, dari kipasnya
keluar pisau..." "Lihat, ada kabutnya..." "Awas
serangan..." Warga Desa Swargadana tersentak kaget, mereka berusaha
mengelakkan serangan pisau-pisau kecil yang keluar dari kipas maut di tangan
Galapati.
Swing, swing...
"Setan Pengecut.."
maki Sena sambil bersalto mengelakkan puluhan pisau yang meluncur ke tubuhnya.
Pisau-pisau itu meleset, tak menerjang dirinya. Tapi, senjata-senjata tajam itu
meluncur ke arah warga desa yang tak sempat bergerak menghindar. Hingga....
Jlep, jlep
"Wuaaa..." "Akh..." Jeritan-jeritan kematian seketika
terdengar dari sepuluh warga desa. Di dada dan leher mereka tertancap
pisau-pisau kecil beracun. Saat itu juga, pemuda berpakaian ungu melesat cepat
meninggalkan tempat pertarungan, ketika warga desa sibuk mengelakkan
pisau-pisau beracunnya.
"Pemuda gila, tunggulah
balasan ku" "Kurang ajar Mau lari ke mana kau, Tikus Busuk" maki
Sena sambil melesat mengejar. Namun mendadak puluhan pisau berkelebatan dan
menderu ke arahnya.
Swing, swing...
"Hop Setan...
Dengan berjumpalitan ke atas,
tangan Pendekar Gila bergerak cepat, menangkapi pisau-pisau belati yang meluruk
cepat di depannya.
Tap, tap...
"Kurang ajar Hi hi hi...
Mainan anak-anak," Se-na tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ke mana kau pergi, Tikus?" Pendekar Gila pun segera berkelebat,
memburu Galapati. Tak lama kemudian seorang gadis berbaju hijau yang tak lain
Arum Sari melesat dengan isak tangis.
"Galapati, tunggulah
pembalasanku" Malam semakin gelap, ketika Ki Baya Kitri dan istrinya serta
warga Desa Swargadana mengejar Arum Sari. "Arum, Anakku Tunggu..."
seru Sariti.
4
Pagi yang cerah. Matahari
bersinar menerangi bumi. Cahayanya terasa hangat di tubuh. Semilir angin pagi
menghembuskan hawa yang menambah sejuk suasana. Sementara kicau burung-burung
di pepohonan semakin menambah tenteram dan damai Hutan Jalarak.
"Hoa..." seorang
pemuda berpakaian rompi kulit ular menggeliat dari tidurnya di atas sebuah
cabang pohon. "Huh, ke mana perginya tikus itu? Cepat sekali."
Pendekar Gila menggeliat, bangun dari tidurnya.
Lalu duduk di cabang pohon.
Mulutnya nyengir, kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala. Dibenarkan ikat
kepalanya yang juga terbuat dari kulit ular.
"Wua Pulas sekali aku
tidur," gumam Sena.
Baru saja hendak turun dari
cabang pohon, ketika dilihatnya dari kejauhan lima orang lelaki tua berpakaian
jubah warna-warni melangkah ke arahnya.
Wajah mereka menggambarkan
ketegangan. Tampaknya ada sesuatu yang tengah mereka masalahkan.
"Aha, ada apa orang-orang
tua itu?" tanya Sena pada diri sendiri sambil cengengesan. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Matanya masih memandang ke arah lima lelaki tua yang
membisu dengan wajah menggambarkan ketegangan.
"Kita tentukan di
sini" lelaki berpakaian merah tua membuka suara. Lelaki ini berusia
sekitar tujuh puluh tahun. Rambutnya sudah memutih dengan ikat di atas kepala.
Jenggotnya yang panjang telah putih.
"Heh Kau kira gampang
mengatur pertarungan, Gondra" dengus lelaki berjubah biru yang bernama Ki
Gendala. Lelaki ini juga berusia sekitar tujuh puluh tahun. Rambutnya terurai
lurus. Dan hidungnya yang mancung berhias kumis putih. Matanya hampir tertutup
alis panjang dan lebat "Benar Menurut perjanjian, kita tak boleh
menentukan sendiri-sendiri. Kita harus mencari orang lain untuk dijadikan
penilai," sambut lelaki berjubah coklat. Lelaki ini berusia sekitar enam
puluh delapan tahun. Rambutnya masih banyak yang hitam.
"Hm.... Bagaimana mungkin
di hutan sepi seperti ini kita bisa mencari manusia?" gumam lelaki tua
bernama Gondra, yang di tangannya tergenggam senjata berupa sapu lidi
bertangkai kayu cendana hijau. Dia lebih dikenal dengan julukan Sapu Buana.
"Hm.... Benar juga. Mana
ada manusia di Hutan Jalarak ini?" sambung lelaki berjubah abu-abu yang
menggenggam senjata berupa cambuk berekor lima.
Itu sebabnya dia lebih
terkenal dengan julukan Cambuk Panca Geni. Kelima ekor cambuknya dapat
mengeluarkan api jika dilecut dengan kekuatan tenaga dalam yang sempurna.
"Hm.... Lalu bagaimana
kalau tak ada orang yang dijadikan penilai?" tanya lelaki berusia sekitar
enam puluh enam tahun yang berpakaian jubah warna loan-ing keemasan. Di tangan
lelaki ini tergenggam sebilah pedang yang memiliki tiga lekukan. Pedang itu
bernama Pedang Weling Giling.
Melihat kelima lelaki tua itu
kebingungan mencari penilai, Pendekar Gila yang sejak tadi memperhatikan
tingkah laku mereka segera melompat turun dari atas pohon.
"Hop Hi hi hi..."
Kelima lelaki tua itu tersentak ketika tiba-tiba seorang pemuda bertampang gila
dengan baju rompi kulit ular telah berada di antara mereka.
"Siapa kau, Anak
Muda?" tanya lelaki berjubah merah.
"Hi hi hi... Lucu sekali
kalian. Kalian sudah tua seharusnya tinggal memikirkan akherat. Mengapa masih
memikirkan hal-hal duniawi? Hi hi hi... Lucu seka-li," gumam Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Lalu dengan seenaknya
kepalanya digeleng-gelengkan dengan mulut masih cengengesan.
"Bocah, apa urusanmu?
Kami memang sedang mencari penilai. Kalau kau mau, kami akan mengangkatmu
menjadi penilai," ujar lelaki tua berjubah coklat. Kening lelaki ini
berkerut, begitu juga kawankawan-nya. Mereka heran melihat tingkah laku pemuda
di hadapannya yang seperti orang gila.
"Penilai...? Hi hi hi....
Penilai apa?" tanya Sena masih konyol. Matanya dipelototkan. Kemudian
nyengir sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, Bocah Edan Jelas
pengawas pertarungan yang akan kami lakukan, Tolol" sentak lelaki berjubah
abu-abu.
"Tolol? Hi hi hi...?
Kalian rupanya tolol? Ah, kurasa kalian bukan tolol, tapi pikun. Hua ha
ha..." Se-na makin menjadi-jadi konyolnya. Sambil berjingkrakan yang
membuat mata kelima lelaki tua itu melotot dengan kening berkerut, Sena
menggaruk-garuk kepala. "Bocah gendeng" maki lelaki berjubah biru.
"Kalau kau tak mau, pergilah" "Pergi? Aha, enak sekali kau
mengusirku, Ki. Hi hi hi... Sejak kapan kau menyewa hutan ini? Hi hi
hi..." Kelima lelaki tua itu kembali mengerutkan kening, menyaksikan
kekonyolan pemuda di hadapannya.
Mereka semakin bertambah
heran, dan berusaha menduga-duga siapa sebenarnya pemuda bertingkah laku
seperti orang gila itu "Bocah sinting, kaukah yang berjuluk Pendekar
Gila?" akhirnya lelaki tua berjubah biru tua bertanya, ketika pikirannya
teringat ciri-ciri Pendekar Gila.
"Hi hi hi.. Gila? Ah,
rupanya kalian gila. Kasihan, pantas sekali sudah tua kalian mau berkelahi.
Padahal kalian tinggal
menunggu ajal. Seharusnya kalian mengabdi pada Hyang Widhi." "Dasar
bocah sinting" dengus lelaki tua berjubah merah, jengkel. "Pendekar
Gila, bagaimanapun juga kami telah tahu siapa kau sebenarnya. Nah, maukah kau
menjadi penilai?" Pendekar Gila nyengir, kemudian dengan tangan
menggaruk-garuk kepala mulutnya cengengesan. Kepalanya digeleng-gelengkan,
seakan-akan tak percaya kalau orang-orang tua yang seharusnya sudah tak
memikirkan keduniawian, masih saja bertingkah seperti orang muda.
"Bagaimana, Pendekar
Gila?" tanya lelaki berjubah coklat.
"Aha, baiklah. Tapi, aku
mau bertanya dulu pada kalian." "Tentang apa?" tanya lelaki
berjubah biru.
"Apakah kalian melihat
pemuda berusia sekitar dua puluh tujuh tahun mengenakan pakaian serba ungu?
Kepalanya terikat kain ungu pula?" tanya Sena.
Kelima lelaki tua itu
mengerutkan kening. Mulut mereka seperti terbungkam mendengar pertanyaan
Pendekar Gila. Mata mereka menatap wajah Pendekar Gila. Hal itu menjadikan
Pendekar Gila turut mengerutkan kening. Kemudian cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Aha, kenapa kalian
diam?" "Maksudmu, Galapati?" tanya lelaki berjubah abu-abu.
"Aha, aku tak tahu siapa
namanya. Tapi mungkin dia," sahut Sena.
"Kalau Galapati yang kau
cari, kami pun sedang mencarinya. Justru karena anak itu kami hendak saling
bertarung," tutur Ki Gondra.
"Aha, kenapa kalian
hendak saling bertarung?" tanya Sena seraya membelalakkan mata.
"Di antara kami berlima
saling menyalahkan." "Saling menyalahkan? Hi hi hi... Lucu
sekali" "Ya. Kami merasa murid kami salah," tutur Ki Gondra yang
berjubah merah? "Kami senantiasa merasa, kalau semua tindakan Galapati
disebabkan ketidakbecusan kami mendidiknya." "Benar. Kami selalu
salah-menyalahkan, karena merasa di antara kami berlima ada yang bersalah dalam
mendidiknya," sambung Ki Gendala.
Pendekar Gila bengong,
mendengar penuturan orang tua itu. Kemudian mulutnya kembali cengengesan sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Hi hi hi.... Lucu sekali
kalian. Mengapa hanya karena tikus busuk itu kalian hendak saling bunuh?"
tanya Sena, tertarik ingin tahu.
"Karena kami tak mau
dituduh sembarangan," sahut lelaki berjubah abu-abu yang terkenal dengan
julukan Cambuk Panca Geni.
"Aha, kalau boleh ku
tahu, siapa sesungguhnya kalian ini? Dan ada hubungan apa dengan tikus busuk
itu?" tanya Sena.
"Aku Gendala,"
lelaki tua berjubah biru memper-kenalkan diri.
"Aku Gondra," kata
lelaki berjubah merah.
"Aku Sandika,"
tambah lelaki berjubah abu-abu.
"Aku Wilakupa," sambung
yang berjubah coklat "Dan aku Karadena," terakhir lelaki berjubah
kuning emas.
"Baiklah, tentunya kalian
telah mengenal namaku," kata Sena. "Kini aku ingin tahu, ada hubungan
apa kalian dengan Galapati?" "Kami adalah gurunya," sahut
Gendala.
"Aha, jadi kalian
gurunya? Kebetulan sekali, aku harus menangkap kalian," kata Sena.
"Sabar, Pendekar Gila.
Memang kami gurunya.
Tapi justru kamilah yang kini
tengah disibukkan oleh tingkah lakunya. Kami mendidik Galapati dengan
il-mu-ilmu yang baik," tutur Sandika. "Tapi, rupanya watak anak itu
sangat buruk. Dia telah membuat semua pendekar menganggap kami tak ada artinya.
Bahkan melebihi sampah"
"Ya Semua pendekar menuduh kami yang salah.
Mereka meminta kami agar
menyerahkan bocah keparat itu," sambung Karadena.
"Aha, lalu apa maksud
kalian hendak saling bunuh?" tanya Sena.
Sesaat kelima lelaki tua itu
diam dan saling berpandangan. Napas mereka terasa sangat berat. Wajah mereka
seketika berubah muram, seakan merasakan beban dalam batin. Beban jiwa sebagai
guru, yang telah membuahkan murid laknat. Mereka sebenarnya sebagai tokoh tua
sakti berhaluan lurus. Tapi murid mereka justru bertindak durjana dan
menimbulkan petaka.
***
"Hm... Baiklah, Pendekar Gila. Kami akan
menceritakan padamu siapa sebenarnya Galapati," akhirnya Ki Gendala, orang
tertua di antara kelima lelaki tua itu membuka suara.
"Aha, kalau kau memang
berkenan, ceritakanlah," pinta Sena.
Sesaat orang tua itu terdiam
sambil menghela napas panjang-panjang. Kemudian dengan menundukkan kepala
sebentar, lalu mendongakkannya ke atas, Ki Gendala mulai menceritakan siapa
Galapati sebenarnya.
"Lima belas tahun yang
lalu, kami menemukan seorang anak berusia sekitar dua belas tahun. Bocah itu
ditemukan ketika kami sedang melakukan perjalanan melintas Bukit Kapuran
Kuning. Bocah itu kami temukan bersama seorang mayat wanita yang keadaannya
mengenaskan. Nampaknya wanita itu habis diperkosa. Di tempat itu juga kami
menemukan kereta dengan dua ekor kuda yang sudah mati. Kami tak tahu, siapa
ayah bocah itu. Namun, akhirnya kami ketahui kalau bocah itu tiada lain bocah
hasil hubungan gelap. Dan yang telah membunuh ibunya ternyata si bocah itu
sendiri yang tak ingin masalahnya terbongkar...." "Hm, menarik
sekali. Lalu, mengapa Galapati bertabiat buruk seperti itu?" tanya Sena.
"Itu yang tidak kami
mengerti," sahut Ki Gendala dengan menarik napas panjang. "Mungkin
Galapati dendam? Kami tak tahu. Tapi kalau dendam, sekarang ayahnyalah yang
dijadikan pelampiasan dendam.
Hm..., kini dia justru menjadi
durjana pemetik bunga," desah Ki Gendala, setengah mengeluh.
"Mulanya Galapati hanya
mengatakan ingin kerja. Secara diam-diam dia mencuri sebuah kipas besar, sebuah
senjata sakti," tutur Ki Gandra menambahkan.
"Benar. Sungguh kami tak
menyangka kalau ilmu yang kami berikan, digunakan untuk kejahatan,"
sambung Ki Wilakupa.
Pendekar Gila terdiam. Hanya
mulutnya yang cengengesan dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. Kemudian
kepalanya didongakkan ke atas, menatap langit pagi yang bening.
"Pendekar Gila, kalau
boleh kami tahu, mengapa kau mencari murid durjana itu?" tanya Ki
Karadena.
"Aha, seperti apa yang
kalian katakan. Dia telah membuat petaka di Desa Swargadana. Galapati telah menghancurkan
masa depan putri Kepala Desa Swargadana...," tutur Sena.
"Kurang ajar Jelas bocah
itu tak boleh dibiarkan. Celakalah kalau Galapati masih gentayangan"
dengus Ki Sandika. Wajahnya nampak memerah karena marah. Nafasnya
tersengal-sengal. "Jelas, ini salah kalian" "Enak saja kau
ngomong" dengus Ki Wilakupa.
"Kaulah yang tidak becus
mendidiknya." "Huh, kau yang memanjakannya" bantah Ki Sandika.
"Hi hi hi... Lucu kalian
ini. Bagaimana kalian akan menyelesaikan masalah ini, kalau malah saling bertengkar?"
tanya Sena.
"Karena dia yang telah
memanjakan bocah laknat itu" dengus Ki Sandika sambil menuding Ki
Wilakupa. "Kurang ajar Bukankah kau yang selalu membelanya, sehingga anak
itu keras kepala" dengus Ki Wilakupa tak mau kalah.
"Aha, kalian benar-benar
seperti anak kecil. Hi hi hi... Lucu sekali dunia ini. Semakin tua, kalian
malah semakin lucu. Kalian persis anak-anak kecil. Saling menyalahkan,"
gumam Sena dengan masih cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kurasa, ini bukan cara yang baik menyelesaikan masalah." Kedua
lelaki tua yang semula bersitegang dan bahkan telah siap untuk melakukan
pertempuran, seketika menghentikan perselisihan itu.
"Lalu, apa yang harus
kami lakukan?" tanya Ki Karadena.
"Aha, kenapa kalian
seperti orang bodoh? Jelas kita harus mencarinya," sahut Sena.
"Ya ya ya.... Kau benar,
Pendekar Gila. Kita harus segera mencarinya," sambut Ki Wilakupa.
"Memang benar.
Bagaimanapun juga, bocah itu harus mendapat hukuman yang setimpal," dengus
Ki Sandika.
"Baiklah, Kisanak
sekalian. Kini tak ada waktu lagi Kita harus secepatnya mencari Galapati.
Kuharap kalian mau membuang perselisihan itu. Carilah murid kalian Aku pun akan
mencarinya. Nah, sampai ketemu lagi." Usai berkata begitu, Pendekar Gila
segera melesat meninggalkan kelima lelaki tua berjubah itu untuk melanjutkan
perburuannya mencari Galapati.
"Bagaimana dengan
kita?" tanya Ki Gendala ingin tahu. "Kita pun harus mencarinya,"
sahut Ki Wilakupa "Ayo" ajak Ki Gendala.
Kelima lelaki tua itu pun
segera meninggalkan Hutan Jalarak guna mencari murid mereka yang telah murtad.
***
5
Kadipaten Blambangkara yang
berbatasan dengan Gunung Bromo dan Desa Kates Kemba di sebelah timur serta
Hutan Barumba di sebelah barat, sore itu tampak tenang. Di depan kadipatenan
tampak empat orang penjaga pintu gerbang tengah mondar-mandir.
Keempat penjaga pintu gerbang
itu memegang senjata berupa tombak.
Sore itu, Adipati Sepa
Woroagung sedang menerima seorang tamu. Tamunya tak lain mertua dan istri
keduanya yang bernama Getri Anitia.
Di sebuah ruangan besar tempat
yang biasa digunakan Adipati Sepa Woroagung untuk menjamu tamu, nampak seorang
lelaki berusia sekitar enam puluh tahun berpakaian jingga. Lelaki tua berwajah
tenang dan sabar itu tak lain Ki Kayaputaka, mertua Adipati Sepa Woroagung.
Wajah lelaki tua itu terhias kumis dan jenggot putih yang tak terlalu tebal.
Dilihat dari pakaian yang dikenakan, Kayaputaka tentunya orang dari rimba
persilatan.
Duduk di hadapan Ki
Kayaputaka, seorang lelaki bertubuh gemuk dengan kepala agak botak di atasnya.
Hidungnya besar dan bercambang
bauk lebat. Dialah Adipati Sepa Woroagung Sang Adipati berusia sekitar lima
puluh tahun. Sorot mata yang tajam, mencerminkan kewibawaannya.
Di samping kiri sang Adipati,
duduk seorang wanita muda berusia sekitar dua puluh delapan tahun.
Wajah wanita itu cantik.
Matanya yang bening terhias bulu-bulu mata lentik dan alis tipis. Wanita
berkulit mulus yang mengenakan kain setinggi dada atau ang-kin berwarna hijau
tua berhias kuning emas itu, tak lain Getri Anitia. Istri kedua sang Adipati,
putri Ki Kayaputaka.
"Bagaimana keadaan di
perguruan, Rama?" tanya Adipati Sepa Woroagung penuh rasa hormat
"Baik Atas doa restu Kanjeng Adipati, kami selalu dalam keadaan sehat, tak
kurang satu apa pun...," sahut Ki Kayaputaka.
"Syukurlah kalau begitu,
Rama Kami merasa senang, jika Perguruan Lembah Barada tenang dan maju,"
ujar Adipati Sepa Woroagung.
"Tentunya Rama datang
kemari karena ada keperluan, Kakang," selak Getri Anitia.
"Benarkah begitu,
Rama?" tanya Adipati Sepa Woroagung.
Ki Kayaputaka tersenyum
mendengar ucapan anaknya. Sebentar letak duduknya dibetulkan, kemudian setelah
menghela napas dalam-dalam, Ki Kayaputaka berkata.
"Apa yang dikatakan
istrimu benar, Kanjeng." "Kalau boleh aku tahu, apakah yang menjadi
keperluan Rama?" Kembali Ki Kayaputaka terdiam. Sepertinya ada keraguan di
hati lelaki tua itu untuk mengutarakan maksud kedatangannya ke kadipaten.
Melihat keraguan mertuanya, Adipati Sepa Woroagung kembali berkata,
"Katakanlah, Rama Dalam keadaan ini, aku adalah menantumu, bukan Kanjeng
Adipati," ujar Adipati Sepa Woroagung berusaha meyakinkan sang Mertua.
"Maaf sebelumnya, kalau
nanti ucapanku salah," pinta Ki Kayaputaka.
"Tidak apa, Rama.
Katakanlah" "Baiklah. Sebenarnya aku hanya ingin memohon kesediaan
Kanjeng Adipati untuk menerima murid saya bekerja di kadipaten ini saja,"
kata Ki Kayaputaka seraya menundukkan kepala.
"O, hanya itu. Kukira
apa. Baiklah, Rama. Aku akan menerimanya. Kapan murid Rama akan datang?"
tanya Adipati Sepa Woroagung.
"Mungkin lusa,"
jawab Ki Kayaputaka.
"Baiklah, aku akan
menyambut dan menerimanya." "Terima kasih, Kanjeng. Kalau begitu, aku
permi-si." "Apa tak sebaiknya Rama menginap barang satu malam?
Sekalian lusa menyambut kedatangan murid Rama?" tanya Adipati Sepa
Woroagung.
"O, terima kasih.
Tentunya dia tak akan datang, kalau belum kuberi kabar. Rama permisi
pulang." "Hati-hati, Rama" pesan Getri Anitia, "Apakah
perlu prajurit, Rama? Untuk mengawal Rama," kata Adipati Sepa Woroagung
menawarkan.
"Ah, tidak usah. Terima
kasih." Orang tua itu pun berlalu, meninggalkan bangsal kadipaten diiringi
anak dan menantunya.
Tak berapa lama setelah
keberangkatan Ki Kayaputaka, nampak seorang pemuda berpakaian serba ungu dengan
kepala diikat kain membentuk sudut ke atas segitiga berwarna ungu pula
melangkah menuju Kadipaten Blambangkara.
Wajah pemuda itu sangat
tampan, elok bagaikan wajah seorang dewa yang baru turun dari kahyangan.
Matanya yang bening menambah
ketampanan pemuda itu. Pemuda berpakaian ungu yang tak lain Galapati, semakin
dekat dengan pintu gerbang Kadipaten Blambangkara. Di bibir Galapati
tersungging senyuman.
Dengan mantap dan tenang
kakinya terus melangkah.
"Siapa kau? Dan ada
keperluan apa datang kemari?" bentak salah seorang dari prajurit jaga di
pintu gerbang kadipaten.
"Namaku Galapati. Aku
murid Ki Kayaputaka," jawab Galapati.
"Apa maksud
kedatanganmu?" tanya prajurit yang lain. Suaranya tak setajam prajurit
pertama, karena mendengar jawaban bahwa pemuda tampan itu murid Ki Kayaputaka.
"Aku hendak menyusul
guru." Keempat prajurit jaga itu saling pandang, mendengar jawaban pemuda
tampan di hadapan mereka. Mereka tak habis pikir.
Bukankah Ki Kayaputaka baru
saja berlalu? Bagaimana mungkin pemuda tampan ini tidak bertemu dengan gurunya?
"Anak muda, Ki Kayaputaka baru saja pulang.
Apakah kau tak bertemu di
jalan?" tanya prajurit yang berkumis lebat "Ah, benarkah?" tanya
Galapati pura-pura kaget.
"Ya",sahut
prajurit berkumis lebat.
"O, rupanya aku
berselisih jalan dengan guruku," keluh Galapati.
"Ada apa, Raka?"
Tiba-tiba dari dalam terdengar suara Adipati Sepa Woroagung.
"Ampun, Kanjeng Ada
seorang anak muda mengaku murid Ki Kayaputaka" sahut prajurit berkumis
lebat yang dipanggil Raka.
"Apa? Murid Rama?"
"Benar, Kanjeng." "Suruh dia masuk" Kembali terdengar suara
Adipati Sepa Woroagung memerintah prajuritnya agar memberi jalan pada Galapati.
"Silakan masuk" kata
Raka.
"Terima kasih."
Dengan bibir mengurai senyum, Galapati melangkah masuk. Seketika matanya
tertumbuk pada sepasang mata lembut milik seorang wanita berparas cantik.
Wanita itu tak lain Getri Anitia.
Hm.... Inikah yang bernama
Getri Anitia? Tanya Galapati dalam hati. Sungguh cantik wajahnya. Tak kusangka,
akhirnya kutemukan juga wanita secantik ini. "Anak muda, apakah benar kau
murid Rama Kayaputaka?" tanya Adipati Sepa Woroagung, menyentakkan
Galapati dari lamunannya.
Sesaat Galapati terdiam.
Matanya mencuri pandang ke wajah Getri Anitia yang juga tengah memandang
dirinya dengan kening berkerut. Sepertinya wani-ta cantik itu tengah berpikir,
mencoba mengingatingat para murid ayahnya.
Dengan sembunyi-sembunyi agar
tak diketahui Adipati Sepa Woroagung, Galapati berusaha memberi isyarat agar
wanita cantik itu menganggukkan kepala jika nanti ditanya suaminya.
"Benar, Kanjeng."
"Siapa namamu, Anak Muda?" "Galapati, Kanjeng."
"Hm...," gumam Adipati Sepa Woroagung sambil mengangguk-anggukkan
kepala. Kemudian wajahnya menoleh dan memandang istrinya. "Diajeng, apa
benar murid Rama ada yang bernama Galapati?" Getri Anitia terdiam sesaat.
Matanya melirik Galapati yang mengedipkan mata. Hal itu membuat Getri Anitia
nampak bingung. Darahnya berdesir halus, ketika beradu pandang dengan pemuda
itu.
Getri Anitia masih terdiam
bimbang. Dia ingin mengatakan tidak. Tapi entah mengapa, setelah menatap wajah
pemuda tampan itu, tiba-tiba hatinya terlekat rasa belas kasihan. Bahkan Getri
Anitia merasa takut kalau pemuda itu akan mendapat hukuman.
Bahkan mungkin dihukum
gantung.
Kembali Getri Anitia mencuri
pandang ke arah Galapati yang menganggukkan kepala.
"Bagaimana, Diajeng?
Apakah kau ingat kalau di perguruan Rama ada nama Galapati?" tanya Adipati
Sepa Woroagung.
"Ya. Hamba ingat
Kangmas." "Jadi ada?" "Benar, Kangmas."
"Hm...," kembali Adipati Sepa Woroagung bergumam tak jelas. Lalu
pandangannya kembali tertuju pada Galapati yang masih berdiri menunggu
keputusannya. "Galapati, Rama baru saja pulang. Kedatangannya ke sini,
semata-mata untuk meminta padaku agar kau diterima bekerja di sini. Tapi aku
belum ta-hu, jabatan apa yang sekiranya cocok untukmu." "Ampun,
Kanjeng Adipati... Kalau memang diperkenankan, hamba ingin menjadi ketua
prajurit di kadipaten ini," kata Galapati, menyentakkan Adipati Sepa
Woroagung. Sungguh di luar dugaannya kalau pemuda tampan yang kelihatannya
pemuda biasa dan berilmu tidak begitu tinggi, meminta jabatan begitu tinggi.
Sedangkan Ki Kayaputaka saja belum tentu sanggup menjabat pimpinan prajurit
kadipaten.
"Apakah kau tidak
bergurau, Galapati?" tanya Adipati Sepa Woroagung dengan kening berkerut
dan mata menyipit. Hatinya sungguh bingung dan tak mengerti mendengar
permintaan pemuda tampan itu.
"Tidak, Kanjeng."
"Kau tahu, bagaimana beratnya tugas pimpinan prajurit?"
"Sendika, Kanjeng," jawab Galapati seraya menganggukkan kepala.
"Hm...." Adipati
Sepa Woroagung kembali bergumam tak jelas mendengar ucapan Galapati. Matanya
masih menatap tajam wajah Galapati, seperti berusaha meyakinkan hatinya akan
kemampuan pemuda tampan di hadapannya.
"Galapati...."
"Daulat, Kanjeng." "Sesungguhnya di sini telah ada pimpinan
prajurit. Namun, jika kau mampu mengalahkannya, aku akan menerima
permintaanmu," ujar Adipati Sepa Woroagung.
Sebenarnya maksud Adipati Sepa
Woroagung hanyalah mau menyingkirkan pemuda ini. Hatinya tak suka dengan apa
yang ditunjukkan pemuda itu.
Hanya saja karena Adipati Sepa
Woroagung memandang pada mertuanya, maka hanya dengan cara halus bisa
menyingkirkan pemuda tampan ini.
Kalau Adipati Sepa Woroagung
menyingkirkan Galapati dengan kekerasan, jelas dia tak ingin mertuanya marah.
Tapi jika dengan adu tanding melawan Kebo Wulung, bukankah dia bisa bertanggung
jawab pada mertuanya? Adipati Sepa Woroagung akan mengatakan kalau Galapati
mati dalam ujian. Itu sebabnya dia bermaksud mengadu Galapati dengan Kebo
Wulung. "Bagaimana, Galapati?" "Hamba sanggup, Kanjeng." "Hm,
begitu...?" "Daulat, Kanjeng," "Baik Bersiaplah di
pelajaran" perintah Adipati Sepa Woroagung.
"Sendika..."
Galapati sekali lagi mencuri pandang ke wajah Getri Anitia yang menjadikan
wanita cantik istri Adipati Sepa Woroagung kembali berdesir dadanya. Sesaat
kemudian pemuda itu melangkah dengan mantap menuju pelataran. Tenang sekali
pemuda itu melangkah.
Sementara itu, hati Getri
Anitia semakin bergetar hebat. Wanita itu bingung dan tak mengerti mengapa
getaran itu terus melanda hatinya. Tiba-tiba pula ada rasa takut, kalau-kalau
pemuda tampan itu akan mengalami kekalahan.
Getri Anitia tahu persis siapa
Kebo Wulung. Seorang tokoh persilatan yang sakti dan kejam. Kebo Wulung tak
pernah melepaskan lawannya dalam keadaan hidup. Itu sebabnya selama puluhan
tahun, Kebo Wulung masih memegang pimpinan prajurit dan belum terkalahkan.
Di samping itu, Kebo Wulung
juga teman dekat Adipati Sepa Woroagung. Tentunya sang Adipati akan membelanya,
jika keadaan memang mendesak.
Kini, seorang pemuda yang
kelihatannya tak memiliki kepandaian tinggi dan mengaku murid Ki Kayaputaka
telah dengan berani menantang Kebo Wulung. Bukankah pemuda itu hanya mencari
mati saja? Pikir Getri Anitia, antara cemas dan berharap pemuda itu segera
membatalkan kesanggupannya.
Galapati tak mencabut
ucapannya. Bahkan semakin bertambah mantap melangkah ke pelataran Hal itu
membuat hati Getri Anitia bertambah was-was. Entah mengapa, sejak pandangan
pertama, hatinya merasakan sesuatu keanehan. Getri Anitia begitu terpesona
melihat ketampanan pemuda itu.
Adipati Sepa Woroagung dan
Getri Anitia serta dua dayang melangkah menuju tempat duduk yang disediakan
khusus untuk menyaksikan pertarungan.
"Prajurit..." seru
Adipati Sepa Woroagung memanggil para prajuritnya yang tengah berkumpul di
bangsal prajurit Seketika dari bangsal sisi kanan bangunan utama kadipaten,
bermunculan puluhan prajurit lengkap dengan senjata. Mereka langsung menghadap
Adipati Sepa Woroagung dan menyembah. "Buat lingkaran" "Daulat,
Kanjeng" Tanpa diperintah dua kali, puluhan prajurit itu langsung membuat
lingkaran. Sedangkan Kebo Wulung kini berdiri di samping tempat duduk Adipati
Se-pa Woroagung. Lelaki bertubuh tinggi tegap dan bermata tajam itu bersidekap.
Wajahnya yang garang dengan cambang bauk dan hidung besar menatap penuh
kebencian pada Galapati. Napas Kebo Wulung mendengus keras. Mulutnya
menyeringai sinis.
"Kuremukkan batok
kepalamu, Bocah Sombong" dengus Kebo Wulung sambil memukul-mukulkan
kepalan tangannya ke telapak tangan yang lainnya. "Kau rupanya mencari
mampus" "Kebo Wulung, seperti apa yang tadi kukatakan, jika pemuda
itu mampu mengalahkanmu, maka dialah pengganti mu. Kau mengerti, Kebo
Wulung?" tanya Adipati Sepa Woroagung sambil mengedipkan mata pada Kebo
Wulung memberi isyarat Getri Anitia yang mengerti isyarat suaminya, semakin
berdebar jantungnya. Rasa cemas dan takut kalau Galapati tewas di tangan Kebo
Wulung, membuatnya gelisah. Bahkan keringat dingin kini telah membasahi
keningnya.
"Daulat, Kanjeng. Akan
kuremukkan batok kepalanya yang sombong itu" dengus Kebo Wulung murka.
"Kau telah siap,
Galapati?" tanya Adipati Sepa Woroagung.
"Hamba telah siap sejak
tadi, Kanjeng. Ingin sekali hamba melabrak kerbau dungu itu," ujar
Galapati sinis dengan suara sombong.
Kebo Wulung tentu saja
bertambah geram. Tak sabar menunggu pertarungan dimulai.
"Sombong kau, Bocah
Bersiaplah untuk mampus" geram Kebo Wulung. Matanya semakin tajam, penuh
bara api amarah terhadap Galapati.
"Kalian tak perlu
sesumbar yang tidak-tidak.
Yang penting, kalian harus
bisa mengalahkan lawan.
Karena siapa yang menang,
dialah yang akan menjadi pimpinan prajurit," ujar Adipati Sepa Woroagung.
"Nah, mulailah"
Mendengar perintah itu, Kebo Wulung yang sudah marah sejak mendengar ejekan dan
tingkah laku Galapati langsung melesat, menggebrak dengan serangan dahsyat
"Jaga kepalamu, Bocah Heaaa..." Dengan jurus 'Tanduk Kerbau Menjegal
Nyawa', Kebo Wulung bergerak menyerang. Kedua tangannya mengepal, bagaikan
sepasang tanduk Kemudian silih berganti menyerang dengan pukulan-pukulan keras
disertai tenaga dalam. Deru angin pukulannya saja mampu menyentakkan lawan.
"Haits Hih..."
"Yeaaa" Melihat lawan menyerang dengan jurus andalan, tanpa
sungkan-sungkan Galapati pun langsung memapaki serangan lawan dengan jurus
andalan yang bernama 'Tan Jidor Maut'.
"Yeaaa..." Kedua
tangannya bergerak laksana menari. Satu di belakang, satunya menyerang ke depan
begitu cepat dan beruntun. Tubuhnya agak merendah dengan salah satu kaki
setengah ditekuk. Gerakannya mirip tarian jaipongan. Namun hentakan-hentakan
tangannya yang menyerang ke depan diikuti tenaga dalam yang sempurna, hingga
menimbulkan angin pukulan menderu keras.
"Heaaa..."
"Yeaaa..." Kebo Wulung memajukan tangan kanannya, menyeruduk dengan
pukulan keras. Namun, dengan cepat Galapati berkelit ke samping. Tubuhnya agak
merunduk. Kemudian dengan cepat pula, pemuda tampan itu balas menyerang dengan
hentakan punggung tangan kanan ke dada lawan.
Wrt "Heits Hih..."
"Heaaa..." Dengan gerakan memutar, Kebo Wulung melancarkan sapuan
kaki kanannya mengarah ke kaki Galapati.
"Haits Hap" Galapati
segera melompat ke atas menghindari sapuan kaki lawannya.
Kebo Wulung cepat menarik
tangan kanannya.
Lalu segera memiringkan tubuh
ke samping, membentuk setengah lingkaran. Tangan kirinya dihentakkan, membentuk
siku dari bawah ke atas, menangkis hentakan tangan kanan lawan. Kemudian dengan
gerak memutar, Kebo Wulung melancarkan sapuan kaki kanannya mengarah ke kaki
Galapati.
"Heaaa..."
"Haits Hap" Bergantian keduanya saling menyerang dengan pukulan dan
tendangan yang disertai tenaga dalam.
Gerakan tubuh mereka begitu
cepat. Sehingga tubuh keduanya tampak tak jelas. Kini yang tampak hanya
bayangan warna pakaian mereka. Bayangan ungu dan biru tua berkelebat saling
serang. Kedua bayangan itu berusaha mendesak lawan dengan serangan-serangan
dahsyat dan mematikan.
"Heaaa..."
"Yeaaat..." Wut Semua mata yang menonton, melotot tak berkedip
menyaksikan pertarungan seru itu. Pelataran kadipaten yang semula rapi dan
bersih, kini berantakan.
Rerumputan berserakan
terinjak-injak kaki mereka.
Suasana yang tenang pun
terpecah oleh pekikanpekikan dari keduanya yang bertarung, maupun dari para
prajurit yang menyaksikan
***
6
Pertarungan masih berlangsung
seru, meski suasana alam mulai gelap. Mentari telah tenggelam di balik bumi
sebelah barat. Meski begitu, tak menghambat keduanya untuk tetap bertarung.
"Heaaa..."
"Yeaaa....'" Galapati kini bergerak dengan jurus 'Tari Tipak Tilu'.
Sebuah gerak gabungan antara tangan dan kaki.
Tangan Galapati menyilang
membentuk gunting. Kakinya pun melakukan hal yang sama, saling menyilang.
Kemudian dengan tangan dibuka mengembang ke samping, kaki kiri pun ditarik ke
samping membentuk siku.
"Yeaaa..."
"Heaaa..." Melihat lawan membuka serangan dengan jurus baru, Kebo
Wulung pun segera mengeluarkan jurus yang tak kalah hebatnya. Jurus 'Kerbau
Menanduk Gunung' yang merupakan jurus pamungkas mulai digerakkan Kedua
tangannya menggenggam, kemudian digerakkan dari bawah ke atas laksana menanduk.
Disusul dengan pukulan keras kedua tangan lurus ke depan. Kedua kakinya pun
bergerak, merentang lebar, lalu ditarik dan diletakkan ke depan.
"Yeaaa..."
"Heaaa..." Keduanya kembali bergerak, berusaha saling mengalahkan.
Dengan jurus-jurus andalan, tangan mereka bergerak cepat melakukan serangan.
Galapati menepiskan tangan kanan dengan tepukan pertama.
Disusul dengan gerakan tangan
kiri menepuk, begitu seterusnya secara beruntun.
Kebo Wulung pun tak kalah
diam. Tangan kanannya dihentakkan dari arah bawah, membentuk siku mengarah ke
wajah lawan. Lalu disusul dengan tangan kirinya, memukul lurus ke dada lawan.
Plak "Hih"
"Ahhh..." Secara bergantian menyerang dan menangkis keduanya terus
bergerak menyerang. Hal itu membuat para prajurit yang menyaksikan semakin
tercengang.
Adipati Sepa Woroagung
berdecak kagum. Tak menyangka kalau Galapati yang masih muda dan kelihatannya
belum berpengalaman ternyata mampu mengimbangi setiap serangan yang dilancarkan
Kebo Wulung. Apalagi selama ini mereka mengenal Kebo Wulung sebagai kepala
prajurit yang ganas dan tak pernah terkalahkan.
"Ck ck ck... Sungguh
pertarungan yang hebat.
Pantas Galapati berani
sesumbar. Ternyata pemuda itu patut diperhitungkan," gumam Adipati Sepa
Woroagung sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Sementara Getri Anitia yang
hatinya telah terpaut pada ketampanan Galapati, kini berharap pemuda itu dapat
mengalahkan Kebo Wulung. Entah mengapa, hatinya bersorak girang melihat
Galapati mampu mengimbangi serangan-serangan yang dilancarkan Kebo Wulung. Rasa
cemas akan kekalahan pemuda itu, seketika lenyap, berganti dengan rasa kagum.
Bibirnya mengurai senyum. Senyum yang penuh arti.
Sementara, Kebo Wulung
terbelalak kaget ketika mengetahui tenaga dalam lawan ternyata mampu
mengimbangi tenaga dalamnya. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan, untuk menarik
tangannya yang dalam cengkeraman tangan Galapati.
"Hih..." Bret Akibat
tarikan disertai tenaga dalam yang kuat, seketika itu juga daging tangan Kebo
Wulung terkelupas. Darah mengucur keluar dari luka besetan itu.
Semua mata terbelalak, tak
percaya menyaksikan kejadian di hadapan mereka. Baru kali ini mereka
menyaksikan kulit terbeset oleh cengkeraman tangan.
Tentunya cengkeraman tangan
itu dikerahkan dengan tenaga dalam yang lebih kuat, sehingga mampu membeset
kulit tangan lawan.
"Akh..." Kebo Wulung
memekik tertahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Matanya yang tajam
terbelalak, menatap tegang tangannya yang mengucurkan darah.
"Bagaimana, Kebo Wulung?
Apakah kau belum mengakui kekalahanmu?" tanya Galapati bertambah congkak.
Bibirnya tersenyum sinis, mengejek Kebo Wulung.
"Kurang ajar Cuih Jangan
harap Kebo Wulung menyerah begitu saja Mari kita teruskan" tantang Kebo
Wulung. Kemudian tangannya bergerak cepat, menyambar senjata yang tersandar di
tembok. Sebuah senjata berbentuk kapak dengan gagang panjang. Kapak besar bermata
dua itu telah banyak merenggut korban. Tak ada lawan yang dapat selamat dari
kapak itu. Menyaksikan lawan telah mengeluarkan senjata, dengan bibir masih
mengurai senyum Galapati pun mulai menarik senjata dari balik bajunya.
Srt Sebuah kipas besar berwarna
ungu kini telah terbuka lebar di tangan Galapati. Dengan senyum sinis, pemuda
tampan itu mengipas-ngipaskan senjatanya ke tubuh. Hal itu menjadikan Kebo
Wulung bertambah marah, merasa diejek dan diremehkan.
"Cuih Kau kira kipas
butut macam itu akan mampu menghadapi Kapak Mata Malaikat ku," dengus Kebo
Wulung.
"Hm, kita buktikan, Kebo
Wulung" "Cuh Kubelah kepalamu, Bocah Sombong Yeaaa..."
"Yeaaa..." Dengan kapak besar bermata dua Kebo Wulung kini melesat.
Kapaknya diangkat ke atas, kemudian dengan cepat diayunkan ke tubuh Galapati.
Namun belum juga kapak besar itu menurun, Galapati telah lebih dahulu
menggerakkan kipas mautnya.
Wrt Swing, swing...
Kebo Wulung tersentak mendapat
serangan cepat dan begitu tiba-tiba. Dengan cepat lelaki bertubuh besar itu
menarik serangannya. Diputarnya kapak bermata dua membentuk baling-baling untuk
melindungi tubuhnya dari ancaman pisau-pisau kecil yang melesat ke tubuhnya.
Trak, trak Wrt Trak
"Heaaa..." Setelah pisau-pisau kecil itu berguguran tersapu kapaknya,
Kebo Wulung yang semakin bernafsu, dengan cepat mengayunkan kapaknya.
Wrt "Haits" Galapati
membuang tubuh ke samping dengan melompat. Kemudian dengan tubuh masih agak
miring Galapati balas menyerang dengan kibasan kipasnya. Wrt Asap ungu
bergulung-gulung keluar dari kipas maut. Asap itu bergerak mengejar tubuh Kebo
Wulung, membuat lelaki bertubuh tinggi besar dan berwajah garang itu berubah
pucat. Matanya terbelalak, setelah tahu asap apa yang keluar dari kipas maut
itu.
"Racun Kelabang
Ungu..." Ketika lawan dalam keadaan terkejut menyaksikan racun yang
berbentuk asap ungu yang keluar dari kipas mautnya, dengan cepat Galapati
melesat. Kemudian dengan cepat pula kipasnya dikebutkan ke leher lawan.
Bret Cras "Wuaaa..."
lolongan kesakitan seketika terdengar dari mulut Kebo Wulung. Sesaat tubuh
lelaki bertubuh besar itu bergetar hebat. Lalu ambruk dengan tubuh membiru.
Lehernya terkoyak hampir putus Tepuk sorak terdengar dari para penonton. Namun,
ada di antara mereka yang terdiam, tak senang menyaksikan kejadian itu. Seperti
halnya Adipati Sepa Woroagung yang terbungkam dengan mengulum bibir.
Dia mengira Kebo Wulung akan
mampu mengalahkan Galapati, ternyata justru keadaannya terbalik. Kebo Wulung
harus menerima kematian.
Saat itu juga, pengangkatan
pimpinan prajurit dilangsungkan. Senyum mengembang di bibir Galapati, begitu
pula dengan Getri Anitia. Keduanya dengan mencuri pandang, berusaha saling
mengisyaratkan sesuatu yang ada dalam hati mereka.
***
Sementara itu, kelima lelaki tua berjubah yang
tengah mencari Galapati tiba di Desa Kembar Pacung.
Kelima lelaki tua sakti yang
juga guru Galapati, pagi itu tengah melintasi persawahan di sebelah utara Desa
Kembar Pacung, ketika terdengar suara isak tangis seorang wanita.
"Hei, kudengar ada
seorang wanita menangis," seru Ki Gendala.
"Hm, benar. Pagi-pagi
begini ada suara tangis," ujar Ki Wilatika.
"Bagaimana kalau kita
cari?" ajak Ki Gondra.
Kelima lelaki tua itu pun
segera menuju asal suara tangis itu. Tak lama kemudian, mereka menemukan
seorang gadis berpakaian hijau sedang menangis sesenggukan seorang din di tepi
sungai, di sebuah dangau yang ada di persawahan itu.
"Kenapa kau menangis
seorang diri di sini, Nak?" tanya Ki Gendala sambil mendekati gadis cantik
berpakaian hijau yang ternyata Arum Sari.
Arum Sari menyeka air matanya.
Kemudian, dipandanginya kelima orang tua di hadapannya.
"Aku..., aku.... Oh, aku
sudah tak ada artinya, Ki" keluh Arum Sari.
"Heh, apa maksudmu?"
tanya Ki Wilakupa dengan kening berkerut "Aku..., aku benci pada pemuda
itu. Dialah yang telah menghancurkan masa depanku. Aku ingin mencari seorang
guru, agar dapat membalas sakit hatiku," ujar Arum Sari sambil terus
terisak-isak "Siapa pemuda yang kau maksud, Nak?" tanya Ki Sandika.
"Galapati, Ki. Dia telah
menghancurkan masa depanku. Hu hu hu..." "Hhh... Bocah keparat itu
lagi Ng.... Siapa namamu? Dan dari mana asalmu, Nak?" tanya Ki Karadena.
"Namaku Arum Sari, Ki. Aku berasal dari Desa Swargadana." Terbeliak
mata kelima lelaki tua berjubah itu mendengar ucapan Arum Sari. Seketika mereka
teringat akan ucapan Pendekar Gila, yang menceritakan kalau putri Kepala Desa
Swargadana pun telah menjadi korban Galapati.
"Heh, apa kau putri
Kepala Desa Swargadana?" tanya Ki Gendala.
"Benar, Ki. Dari mana kau
tahu?" Arum Sari balik bertanya.
"Kami tahu dari Pendekar
Gila, bahwa putri Kepala Desa Swargadana telah menjadi korban bocah keparat
itu," jawab Ki Wilakupa.
"Ki, tolonglah aku
Tunjukkan padaku, di mana aku dapat menemukan guru yang sakti. Aku ingin
membalas dendam pada pemuda biadab itu," pinta Arum Sari.
"Benarkah kau mau
berguru?" tanya Ki Gendala.
"Benar, Ki."
"Hm..,," Ki Gendala menggumam tak jelas. Matanya menoleh dan menatap
keempat rekannya, sepertinya Ki Gendala bermaksud minta pendapat temantemannya.
Mereka mengangguk, menyetujui apa yang direncanakan Ki Gendala.
"Baiklah, Nak. Kami akan
mengangkatmu sebagai murid. Kami akan mengajarkan semua ilmu yang kami miliki
padamu. Kelak setelah selesai mempelajari semua, kami mengharap kau mau mencari
Galapati.
Bocah laknat itu harus
ditangkap," ujar Ki Wilakupa.
"Ah..., benarkah?"
Arum Sari tersentak gembira mendengar ucapan Ki Wilakupa.
"Ya. Kami terima kau
sebagai murid," tegas Ki Gondra.
"Oh, terimalah hormatku,
Guru Akan kulaksanakan perintah Guru." Arum Sari segera bersujud di
hadapan kelima lelaki tua berjubah di depannya.
"Bagaimana kalau kita
langsung menggembleng bocah ini?" usul Ki Wilakupa.
"Setuju..." sahut
yang lainnya.
"Nah, apakah kau sanggup
berlatih sekarang?" tanya Ki Wilakupa.
"Sanggup, Guru,"
jawab Arum Sari penuh semangat "Baiklah. Kita berlatih sekarang. Nah, ikut
aku" ajak Ki Wilakupa.
Ki Wilakupa mengajak Arum Sari
ke tanah lapang yang ada di tempat itu. Sementara yang lain membuat rumah dari
kayu dan jerami. Mereka ingin membuat tempat itu sebagai pesanggrahan
sementara, selama mencari Galapati sekaligus mendidik Arum Sari. Karena untuk
kembali ke perguruan mereka, terlalu jauh bagi Arum Sari.
Mulai saat itu Arum Sari
berlatih. Ki Wilakupa memperagakan jurus-jurus ilmu silatnya, sedangkan Arum
Sari mengikutinya. Didorong semangat dan dendam dalam jiwanya, Arum Sari dapat
mengikuti gerakan ilmu silat yang diperagakan Ki Wilakupa.
"Heaaa..."
"Yeaaa..." Tubuh keduanya bergerak cepat, dalam jurusjurus ilmu
silat. Bahkan ketika Ki Wilakupa berhenti, Arum Sari masih terus melakukan
gerakan, mempelajari jurus-jurus yang tadi diberikan Ki Wilakupa.
Secara bergantian kelima
lelaki tua itu memberikan jurus-jurus ilmu silatnya. Tak jemu-jemunya Arum Sari
menerimanya. Semakin lama bahkan gadis itu tampak semakin memperlihatkan
semangatnya.
Terus-menerus berusaha keras
mempelajari jurusjurus silat dari kelima lelaki tua berpakaian jubah yang telah
mengangkat Arum Sari sebagai murid.
***
Keesokan paginya, di Bukit Semut Abang tampak
seorang pemuda berpakaian rompi kuning keemasan tengah melangkah tenang di
bawah sinar matahari pagi yang hangat. Di punggung pemuda berusia sekitar dua
puluh lima tahun itu tersandang sebilah pedang.
Dilihat dari pedang dan
pakaian yang dikenakan, pemuda itu tentunya orang persilatan.
Pemuda itu bernama Sunatra,
murid Ki Kayaputaka yang hendak menuju Kadipaten Blambangkara.
Dia pergi ke sana atas
perintah gurunya, yang kemarin lusa datang ke Kadipaten Blambangkara.
Sunatra tengah melangkah
melintasi Bukit Semut Abang, ketika tiba-tiba dari arah samping kanan berdesing
puluhan anak panah.
Swing, swing...
"Hop Heaaa..."
Sunatra cepat melompat dan bersalto, mengelakkan serangan tak terduga yang
meluncur ke arahnya.
Tubuhnya berjumpalitan di
udara beberapa kali, sebelum kemudian mendarat dengan mulus di tanah. Tangannya
dengan cekatan berhasil menangkap beberapa anak panah. Matanya yang tajam,
mengawasi sekelilingnya, berusaha mencari asal serangan itu.
"Pengecut Keluarlah
kalian" bentak Sunatra sengit Swing, swing...
Jawaban dari seruan Sunatra,
berupa puluhan anak panah melesat memburu tubuhnya. Melihat serangan itu,
Sunatra kembali melompat dan berjumpalitan untuk mengelak.
"Hop Kurang ajar
Hih..." Dengan tubuh masih berjumpalitan di udara, tangannya dengan cepat
melolos pedang yang tersandang di punggung.
Srt "Heaaa..." Wrt
Trak, trak...
Dalam sekali kebut, puluhan
anak panah terbabat pedang dan berpentalan di tanah.
"Pengecut Keluarlah
kalian" seru Sunatra sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu
Seketika, dari balik semak-semak tak jauh dari Sunatra berada, bermunculan
puluhan prajurit Kadipaten Blambangkara yang dipimpin seorang pemuda berwajah
tampan mengenakan pakaian ungu.
"Apa maksud kalian
menyerangku?" tanya Sunatra. "Kau harus dibunuh" dengus pemuda
berpakaian ungu yang tak lain Galapati.
"Hm.... Antara kita tak
pernah terjadi sengketa.
Guru malah menyuruhku untuk
menemui Kanjeng Adipati," ujar Sunatra merasa heran dan tak mengerti.
"Untuk apa? Dan siapa
gurumu?" tanya Galapati.
"Guruku Ki Kayaputaka."
"Bohong Rupanya kau hendak menipu kami Prajurit bunuh dia Dialah si hidung
belang itu..." se-ru Galapati.
Sunatra tersentak kaget
mendengar perintah dan tuduhan padanya sebagai si durjana. Sunatra hendak
membantah, tapi puluhan prajurit telah menyerang, hingga dia tak sempat berkata
lagi. Hanya ada satu jalan, menghadapi mereka.
"Heaaa..."
"Yeaaa..." Sunatra segera menggerakkan pedangnya dengan jurus 'Badai
Mendera Buana'. Pedangnya bergerak laksana badai yang kencang, memapaki
serangan golok dan tombak yang dilancarkan para prajurit Kadipaten
Blambangkara.
Wrt Trang Prak
"Ihhh..." Dalam sekali sabetan, beberapa senjata di tangan para
prajurit itu patah menjadi dua. Kenyataan itu membuat para prajurit terbelalak
dan melompat mundur. "Kurang ajar Akulah lawanmu Yeaaa..." Galapati
yang melihat anak buahnya tak mampu mengalahkan Sunatra, segera melesat
menyerang pemuda murid Ki Kayaputaka itu. Serangannya tak tanggung-tanggung
lagi. Langsung dikeluarkannya jurus andalannya yang bernama jurus 'Tari Ronggeng
Menjerat'. Tangannya bergerak menari, dengan kipas maut berwarna ungunya.
Wrt Dari gerakan kipas itu,
keluar gulungan asap ungu yang melesat mengejar Sunatra. Sunatra tersentak
kaget, ketika tahu asap yang keluar dari kipas maut itu.
"Racun Kelabang Ungu...?"
pekiknya sambil melompat mundur, kemudian dengan cepat pedangnya diputar dengan
jurus 'Kincir Menyapu Kabut'. Pedang di tangan kanan Sunatra bergerak cepat,
berputar laksana kincir.
Wrt Asap ungu beracun seketika
tersapu. Cahaya gemerlap terbias ketika pedang Sunatra berputar begi-tu cepat
dan keras.
"Heaaa..."
"Yeaaa...." Galapati melesat memburu lawan. Kipas mautnya dikibaskan
dengan tenaga dalam penuh. Kemudian dengan secepat kilat dihentakkan.
Wrt Swing, swing...
Puluhan pisau-pisau kecil terlontar
dan melesat.
Sunatra tersentak kaget. Belum
sempat dirinya terbebas dari serangan Racun Kelabang Ungu, mendadak harus
menghadapi serangan pisau-pisau kecil yang keluar dari kipas besar di tangan
lawan.
"Hais Hih..." Tubuh
Sunatra melompat dengan berjumpalitan di udara, mengelakkan serangan
pisau-pisau kecil itu Pedangnya terus berkelebat cepat, berputar laksana kincir
untuk menangkis serangan pisau-pisau kecil, sekaligus menepiskan asap beracun
yang juga terus memburu dirinya.
Wut Wut "Heaaa..."
Sunatra terus mengelakkan pedangnya sambil berjumpalitan mengelakkan serangan
lawan. Dia kini benar-benar kewalahan menghadapi gempuran lawan yang tak
henti-hentinya. Serangan lawan begitu terpa-du, antara racun dan asap,
pisau-pisau, dan kibasankibasan kipasnya yang begitu cepat dan keras.
"Heaaa..." Wrt Wrt
Galapati terus memburu lawan dengan kipas mautnya yang mengeluarkan asap
beracun ganas.
Keadaan ini semakin membuat
Sunatra bertambah kelabakan. Sampai pada suatu ketika....
Wrt Swing Jlep "Akh..."
Tubuh Sunatra terhuyung-huyung, ketika pahanya tertancap pisau maut Wajahnya
memucat dengan mata terbelalak tegang. Tubuh pemuda itu terus limbung ke
belakang. Sekujur tubuhnya terasa tergetar hebat akibat hunjaman pisau beracun
itu.
"Ha ha ha... Mampuslah
kau....' Hiaaa...." Galapati melesat hendak menghabisi nyawa Sunatra.
Tubuhnya berkelebat cepat memburu Sunatra.
Kipas maut di tangannya
bergerak cepat dan melebar, membentuk mata kapak besar yang siap memenggal
leher lawan.
"Hiaaa..." "Oh,
matilah aku" keluh Sunatra dengan wajah semakin bertambah pucat Kipas maut
itu semakin mendekat ke tubuh Sunatra yang sudah dalam keadaan terdesak hebat.
Sesaat lagi, tentunya nyawa Sunatra akan melayang. Tapi.... "Hi hi hi....
Orang jahat Heaaa...." Ketika nyawa Sunatra dalam keadaan terancam,
tiba-tiba tampak sesosok bayangan pemuda berambut panjang dengan pakaian rompi
kulit ular berkelebat dan menghantamkan suling berkepala naga ke kipas maut
Galapati.
Wut Bret "Akh"
Galapati tersentak. Tubuhnya terdorong beberapa tindak ke belakang. Matanya
membelalak, karena pinggir kipasnya rusak akibat berbenturan dengan Suling Naga
Sakti di tangan pemuda bertingkah laku seperti orang gila yang tak lain
Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Tikus busuk
Rupanya tindakanmu benar-benar busuk Hi hi hi..." Sena tertawa cekikikan
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kau?" mata Galapati
terbelalak setelah tahu siapa yang telah merusakkan kipas mautnya.
"Hi hi hi.... Mau lari ke
mana kau, Tikus Busuk?" dengus Sena dengan gerak-gerik yang masih seperti
orang gila.
"Kurang ajar Kau harus
mampus, Pendekar Gila Serang dia" perintah Galapati pada prajurit-prajurit
kadipaten, yang seketika itu bergerak menyerang Pendekar Gila.
"Ukh..." Sunatra
mengeluh, merasakan dadanya sakit. Hal itu membuat Pendekar Gila yang hendak
memapaki serangan lawan segera mengurungkan niatnya. Dengan bertingkah laku
seperti kera, Pendekar Gila melesat ke arah tubuh Sunatra, lalu dibopongnya
tubuh murid Ki Kayaputaka itu.
"Hi hi hi... Kurasa belum
saatnya kau ku jitak, Tikus Busuk Aku harus menolong dia dulu," Sena pun
dengan cepat melesat meninggalkan tempat itu sambil memondong tubuh Sunatra.
"Bedebah Jangan
lari..." bentak Galapati sambil memburu Sena. Namun, Pendekar Gila yang
menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu' dalam sekejap telah lenyap dari pandangan.
Kini tinggal Galapati yang mencaci-maki seorang diri. "Kita
pulang..." Prajurit-prajurit Kadipaten Blambangkara menurut, kembali ke
kadipaten meninggalkan Bukit Semut Abang.
7
Pendekar Gila terus membopong
tubuh Sunatra meninggalkan Bukit Semut Abang. Kini dia terus menuju barat.
Pendekar Gila berusaha mencari tempat aman untuk menyelamatkan nyawa pemuda itu
dari racun ganas yang menjalar di tubuhnya.
"Hi hi hi... Tahanlah
sedikit, Sobat Kerahkan tenaga murnimu agar kau bisa bertahan sampai di tempat
yang aman," pinta Sena sambil terus mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu',
yang membuat tubuhnya bagaikan angin melesat kencang.
"Kisanak, kaukah yang
berjuluk Pendekar Gila?" tanya Sunatra sambil berusaha menahan jalan darahnya.
Tangannya bergerak menotok urat di pahanya yang terkena pisau beracun.
"Hua ha ha... Terlalu
tinggi sebutan itu untuk-ku, Sobat. Ah, hanya orang-orang saja yang menyebutku
begitu," sahut Sena masih terus berlari.
"Oh, beruntung sekali aku
bisa bertemu denganmu, Pendekar Gila. Selama ini, aku membayangkan kalau kau
sudah tua dengan rambut putih panjang dan jenggot putih." Pendekar Gila
tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Sunatra yang membayangkan kalau
dirinya telah tua. Kepalanya digeleng-gelengkan, kemudian tangan kirinya
menggaruk-garuk kepala.
"Tak kusangka, kalau
pendekar yang namanya tersohor di tanah Jawa Dwipa ini masih begitu muda.
Seusia denganku," lanjut
Sunatra.
Pendekar Gila kembali tertawa
sambil terus melesat membawa tubuh Sunatra semakin jauh dari kaki Bukit Semut
Abang.
Tak begitu lama kemudian,
Pendekar Gila yang masih membopong tubuh Sunatra tiba di sebuah pegunungan.
Mereka kini berada di dekat sebuah sungai membentang lebar yang membagi dua
wilayah. Itulah Sungai Cipakuyu. Di sebelah timur, tempat kini Pendekar Gila
berada merupakan Desa Cipatukan. Sedangkan di sebelah barat, di seberang sungai
adalah batas Desa Cibalawa. Sungai itu sangat lebar, tapi tak ada satu pun
rakit.
Hm.... Tak ada jalan lain,
kecuali dengan ilmu lari di atas air Gumam Sena dalam hati. "Hop
Heaaa..." Enak sekali Pendekar Gila menerjunkan tubuh ke sungai. Mata
Sunatra terbelalak, ketika melihat ka-ki Pendekar Gila menapak di atas
permukaan air, tak terendam apalagi tenggelam bersama tubuhnya. Itulah
kelebihan Pendekar Gila dengan ilmunya yang bernama 'Peringan Raga'. Ilmu yang
dapat membuat tubuhnya seringan kapas itu diperoleh dari gurunya, Singo Edan,
ketika Sena digembleng di Goa Setan.
Ck ck ck.. Benar-benar
pendekar sejati. Segala jenis ilmu dimilikinya. Gumam Sunatra berdecak kagum
dalam hati, menyaksikan betapa ringannya tubuh Pendekar Gila melangkah di atas
air sungai. Padahal pundaknya memanggul tubuh Sunatra, yang berbadan kekar,
sama seperti badan Pendekar Gila. Namun bagaikan tanpa beban barang sedikit
pun.
Pendekar Gila melangkah sambil
tertawa-tawa.
Tangan kirinya menggaruk-garuk
kepala. Sesekali kakinya melompat-lompat, kemudian melejit bagaikan terbang dan
hinggap di tepian sungai sebelah barat "Hop" "Wuah, baru kali
ini mataku terbuka, Pendekar Gila. Sungguh selama ini aku tak tahu tingginya
gunung dan dalamnya laut. Rupanya kau benar-benar pendekar sejati," gumam
Sunatra memuji.
"Aha, jangan terlalu
memujiku, Sobat Tingginya gunung, tentu masih ada yang lebih tinggi, Dalamnya laut,
tentu masih ada yang lebih dalam. Begitu juga dengan ilmu yang dimiliki
manusia. Setinggi-tingginya ilmu manusia, tentu ada lagi yang lebih tinggi.
Hanya Hyang Widhi yang berada di atas segalanya," tutur Pendekar Gila,
semakin membuat Sunatra bertambah kagum mendengarnya. Tak pernah dia sangka,
Pendekar Gila yang ilmunya bagaikan setinggi langit masih tetap merendah.
Padahal kalau pendekar lainnya, tentu akan merasa sombong.
"Sungguh baru kali ini
kutemui seorang pendekar yang berhati mulia sepertimu, Pendekar Gila."
"Aha, panggil saja aku Sena, Sobat," ujar Sena.
"Ya. Baru kali ini
kutemui orang sepertimu, Sena. Meskipun ilmumu bagaikan setinggi langit, tapi
kau tetap berbudi luhur." "Hi hi hi.. Ilmu tinggi bisa menyesatkan,
Sobat." "Namaku Sunatra." "Ya, ilmu tinggi dapat
menyesatkan pemiliknya, Sunatra. Sedangkan budi pekerti yang tinggi, akan
senantiasa mengingatkan kita pada Hyang Widhi, yang telah mencipta alam semesta
ini. Sehingga kita akan selalu merasa kecil, jika dibandingkan dengan kekuasaan-Nya."
Sunatra semakin bertambah kagum mendengar tutur kata Pendekar Gila.
"Aha, kita sudah sampai.
Kurasa tempat ini aman untuk mengobati lukamu, Sunatra," ujar Sena ketika
keduanya sampai di Hutan Waru Kerap.
Pendekar Gila meletakkan tubuh
Sunatra di sebatang pohon dan beralaskan rerumputan. Kemudian tubuhnya melesat
ke dalam hutan untuk mencari daun waru ungu, yang bisa menyembuhkan Racun
Kelabang Ungu.
"Aha, kita sudah sampai.
Kurasa tempat ini aman untuk mengobati lukamu, Sunatra," ujar Sena ketika
keduanya sampai di Hutan Waru Kerap Pendekar Gila meletakkan tubuh Sunatra
dengan sangat hati-hati di bawah sebatang pohon yang beralaskan rerumputan.
Tak lama kemudian, Pendekar
Gila telah kembali membawa beberapa helai daun waru ungu. Daun waru berwarna
ungu itu digilasnya dengan telapak tangan sampai hancur dan berair. Segera Sena
meneteskan air dari remasan daun waru ungu di paha Sunatra yang masih tertancap
pisau beracun.
"Akh..." Sunatra
terpekik. Pahanya yang terkena tetesan air daun waru ungu dirasakan bagai
terbakar. Tubuhnya menggelepar-gelepar menahan rasa sakit yang tiada tara.
Sena cengengesan. Kemudian
disobeknya celana Sunatra di sekitar bagian paha sebelah kiri.
Bret "Hm...," gumam
Sena. Tangannya dengan cepat mencabut pisau kecil beracun. Dan setelah pisau
ter-cabut, daun waru yang sudah hancur kembali diusapkan ke sekeliling bekas
pisau beracun itu menancap. "Akh..." Sunatra kembali memekik keras,
merasakan rasa sakit yang hebat. Tubuhnya menggelepar-gelepar, lalu diam
pingsan.
"He he he..." Sena
tertawa, kemudian dihelanya napas panjang-panjang. Setelah itu segera pergi
menjauh dari tempat itu. Duduk di bawah sebatang pohon waru yang rindang sambil
meniup Suling Naga Sakti dengan merdu. Suara itu mendendangkan lagu penghayatan
pada alam yang diteruskan dengan lagu kerinduan akan pertemuan.
Aku ibarat sebuah perahu Yang
tengah mengarungi samudera luas Terombang-ambing ombak dan gelombang Tapi
perahu kecil Hu terus berlabuh....
Saat itu Sunatra tampak
menggeliat, sadar dari pingsannya. Murid Ki Kayaputaka itu tersenyum ceria.
Nampaknya luka beracun yang
tadi dirasakan, kini telah hilang. Bahkan bekas biru racun telah lenyap sama
sekali.
Sunatra bangun dengan
tertatih-tatih, melangkah mendekati Pendekar Gila yang masih hanyut dengan
tiupan Suling Naga Saktinya.
"Merdu sekali suara yang
kau dendangkan, Sena." "Aha, rupanya kau telah pulih, Sunatra.
Syukurlah kalau begitu" "Apakah kita akan meneruskan perjalanan,
Sena?" tanya Sunatra.
"Hm, kurasa tidak. Kau
harus memulihkan tenaga dahulu," jawab Sena dengan tangan menggarukgaruk
kepala. Matanya menatap ke timur, tampak mentari merangkak naik. "Mungkin
lusa kita baru berangkat" "Tapi, aku telah pulih, Sena."
"Ah, sabarlah Kita dalam kedudukan yang sulit.
Bisa saja tikus busuk itu akan
mengerahkan seluruh prajurit untuk memusuhi kita. Aha, sejak tadi kita tak tahu
dari mana asal kita," tukas Sena mengalihkan pembicaraan.
Sunatra tersenyum, senang
hatinya melihat tingkah laku Pendekar Gila. Kemudian setelah duduk di
sampingnya, Sunatra pun menceritakan siapa dirinya dan asalnya. Juga
diceritakan tempat yang hendak dituju hingga bertemu dengan Galapati.
"Guru mengutus ku pergi
ke Kadipaten Blambangkara, karena guru ingin aku bisa menjaga putrinya Getri
Anitia yang menjadi istri Kanjeng Adipati Blambangkara. Namun rupanya guru tak
tahu, kalau ada seorang lelaki durjana yang telah mengaku sebagai muridnya,
hingga Kanjeng Adipati menerimanya." "Kau yakin Galapati mengaku
sebagai murid Ki Kayaputaka?" tanya Sena.
"Ya, karena guru mengatakan
bahwa hanya muridnyalah yang akan diterima di Kadipaten Blambangkara."
"Hm, kurasa ada maksud lain, mengapa tikus busuk itu mengaku murid
gurumu," gumam Sena dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala.
"Ya Mungkinkah...."
"Tepat" sentak Sena seraya bangun dari duduknya. "Tentu tikus
itu mengincar istri Kanjeng Adipati.
Keparat Ini tak boleh
dibiarkan" "Ya. Maka itu, kita lanjutkan saja perjalanan ki-ta"
ajak Sunatra.
"Hm, baiklah. Ayo"
ajak Sena.
Keduanya pun segera melangkah,
meninggalkan Hutan Waru Kerap untuk menuju Kadipaten Blambangkara.
"Apakah Kanjeng Adipati
akan percaya?" tiba-tiba Sena menghentikan langkah. "Kurasa jika
hanya kita, Kanjeng Adipati tak akan percaya. Bisa-bisa malah kita yang dituduh
hendak membuat keonaran." Sunatra tercenung dengan kepala
menganggukangguk. Apa yang dikatakan Pendekar Gila memang ada benarnya. Adipati
Sepa Woroagung belum mengenalnya. Begitu juga Getri Anitia, tentunya tak yakin
bahwa dirinya murid Ki Kayaputaka, ayahnya.
"Kau benar, Sena. Tentu
kalau kita yang ke sana, sulit sekali untuk dipercaya," kata Sunatra.
"Lalu bagaimana?"
"Bagaimana kalau kita menemui guruku?" "Aha, usul yang
bagus" sahut Sena. "Ayo, jangan buang-buang waktu" Keduanya yang
tadi berhenti melangkah, kini meneruskan langkah kakinya. Tapi mereka kini tak
bermaksud ke Kadipaten Blambangkara, melainkan hendak menemui guru Sunatra, Ki
Kayaputaka.
***
Sementara di lain tempat di Desa Kembar
Pacung, nampak seorang gadis berpakaian pendekar berwarna hijau, tengah
berlatih ilmu silat. Semangat yang didorong dendam terhadap Galapati, membuat
gadis cantik bernama Arum Sari itu bagaikan tak mengenal lelah sedikit pun. Dia
terus saja berlatih, tiada hentinya.
"Heaaa..." Tubuh
gadis itu melompat ke sana kemari, menggerakkan jurus-jurus ilmu silat yang
diajarkan kelima lelaki tua yang mengangkatnya sebagai murid.
Bahkan kelima lelaki tua
berjubah itu kini mengawasi Arum Sari dalam berlatih. Kelimanya
mengangguk-anggukkan kepala, melihat perkembangan ilmu silat yang dipelajari
sang Murid.
"Hm, tak kusangka dia
akan begitu cepat menyerap ilmu-ilmu silat kita " gumam Ki Karadena yang
pedangnya tengah digunakan untuk latihan Arum Sari.
Pedang berlekuk tiga yang
bernama Ki Weling Giling itu semakin bertambah hebat dalam genggaman tangan
Arum Sari.
"Ya. Tak kita sangka
kalau gadis itu begitu bersemangat. Ilmu silat yang seharusnya dipelajari dalam
satu purnama, dia mampu menguasai dalam beberapa hari saja...," tambah Ki
Wilakupa.
"Mungkin karena dendamnya
pada Galapati, yang membuatnya begitu bersemangat dalam mempelajari ilmu-ilmu
silat yang kita berikan. Bagaikan tak mengenal lelah," gumam Ki Gendala.
Gadis itu berkelebat cepat,
menggerakkan jurusjurus yang dipelajari dari kelima lelaki tua berilmu tinggi.
Arum Sari bagaikan tak mengenal lelah sedikit pun. Dia terus berlatih tiada
henti. Hal itu menambah senang dan kagum kelima gurunya.
"Heaaa..." Dengan
jurus 'Tarian Ronggeng Melempar Bunga' Arum Sari kembali bergerak. Kedua
tangannya menari-nari dengan lincah, seperti seorang ronggeng yang sedang
menari. Pedang berkeluk tiga bergerak menusuk dan membabat ke depan, seperti
sedang menyerang ke arah lawan.
"Hup Heaaa...." Wrt
Arum Sari terus menekuni jurus-jurus 'Tarian Ronggeng Melempar Bunga'.
Tangannya terus bergerak menari-nari, diikuti liukan tubuhnya yang lemah
gemulai. Tapi dari gerakan-gerakan kedua tangan dan tubuhnya, mengeluarkan
angin kencang yang menderu dan menerpa keras. Sampai-sampai rerumputan yang ada
di sekelilingnya bergoyang keras.
"Yeaaa...." Wut
Wut...
Tubuh Arum Sari terus
meliuk-liuk dengan indah, menari-nari disertai sabetan-sabetan pedangnya yang
menderu. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah menghilang, terbungkus gerakan
tarian yang gemulai dan cepat "Hm, tinggal memperdalam tenaga dalamnya.
Bocah itu benar-benar akan
menjadi seorang pendekar yang tak dapat diremehkan," gumam Ki Wilakupa
sambil mengangguk-anggukkan kepala. Hatinya merasa kagum menyaksikan kelincahan
gerakan silat yang sedang diperagakan muridnya.
"Ya. Jika dia benar-benar
telah memperdalam tenaga dalamnya, kurasa akan menjadi gadis berilmu tinggi.
Ah, rupanya jurus-jurus yang kita ciptakan, memang cocok untuk seorang wanita,
bukan seorang lelaki," sambung Ki Gondra.
"Ya ya. Jurus-jurus itu
memang cocok untuk seorang wanita. Dan rupanya kita telah menemukannya,"
gumam Ki Sandika.
Begitulah, setiap hari Arum
Sari berlatih dengan tekun tanpa mengenal lelah. Bahkan hari ini, dia bagaikan
tak merasakan lelah sedikit pun. Gadis itu terus memperdalam semua ilmu yang
diajarkan kelima gurunya, dengan harapan secepat mungkin akan dapat mengalahkan
Galapati, membalas sakit hatinya atas tindakan Galapati yang telah
menghancurkan masa depannya.
Mentari pagi telah mulai
tinggi pertanda hari telah siang. Tapi Arum Sari bagaikan tak mau berhenti.
Dia terus berlatih dan
berlatih. Keringat telah bercu-curan membasahi tubuh dan tenaganya pun telah
terkuras. Namun, tampaknya gadis itu tak menghiraukannya.
Kelima gurunya semakin
mengerutkan kening, menyaksikan latihan murid mereka yang tak hendak berhenti.
Meski mentari terik memanggang tubuh, Arum Sari tetap saja berlatih.
Baru ketika hari menjelang
sore, Arum Sari nampak menghentikan latihannya. Tubuhnya terlihat sangat letih,
membuat kelima gurunya merasa iba.
"Arum, jangan kau paksa
tenagamu, Nak Berlatihlah yang wajar saja" tutur Ki Gendala.
"Benar, Nak. Tanpa
memaksa tenagamu, asalkan giat berlatih, dalam waktu singkat kau akan mampu
menguasai semua ilmu yang kami ajarkan," sambung Ki Wilakupa.
"Tapi, Guru. Saya ingin
segera mencari pemuda laknat itu. Rasanya hati saya tak tenteram jika belum
membuat perhitungan dengannya," sahut Arum Sari.
Kelima gurunya
menggeleng-gelengkan kepala. Di bibir mereka tersungging senyuman. Mereka
bangga bercampur tak suka jika ilmu yang mereka turunkan hanya untuk
melampiaskan dendam.
"Arum, ilmu bukanlah
untuk balas dendam. Jika kau ingin menjadi pendekar seperti Pendekar Gila,
il-mu hanyalah untuk menolong yang lemah," kembali Ki Gendala bertutur.
"Tak ada artinya ilmu manusia jika dibandingkan dengan ilmu Hyang Widhi,
Nak" Arum Sari menundukkan kepala mendengar penuturan Ki Gendala. Hatinya
diliputi dendam yang dalam. Dendam terhadap pemuda laknat yang telah merenggut
keperawanannya dengan seenaknya. Dia telah menyerahkan hatinya, juga segenap
jiwa raga, bahkan kehormatannya, tapi pemuda itu malah mencampakkan begitu
saja, seperti sampah tak berguna.
"Apakah tak boleh
membalas dendam, Guru?" tanya Arum Sari.
"Boleh, tapi harus ada
batasnya, Nak," sahut Ki Wilakupa.
"Baiklah, Guru. Saya akan
selalu mengingat hal itu." "Kita istirahat Ayo" ajak Ki Gendala.
Mereka berlalu meninggalkan
tempat itu, ketika matahari tampak telah tergelincir di balik bumi sebelah
barat.
8
Hubungan cinta gelap antara
Galapati dengan Getri Anitia terus berlanjut. Meski hubungan itu masih berkisar
antara pandangan mata dan berbincangbincang secara sembunyi-sembunyi, tapi
cukup membuat hati Getri Anitia senantiasa bergetar hebat. Tatapan mata pemuda
tampan itu laksana panah asmara, menusuk lubuk hatinya.
Pagi bertemu, malam mereka selalu
dilanda kerinduan yang hebat. Selama itu, Getri Anitia selalu menolak setiap
kali Galapati mengajaknya berhubungan sebadan. Hal itu karena Getri Anitia
takut kalau suaminya mengetahui perbuatan mereka.
Keduanya tak tahu, kalau
sebenarnya hubungan mereka telah diketahui secara diam-diam oleh Adipati Sepa
Woroagung. Tapi sejauh itu, Adipati Sepa Woroagung berusaha menyembunyikannya.
Hal itu dikarenakan belum ada tanda-tanda kalau keduanya menjurus pada
perbuatan yang jauh.
Suatu hari, Adipati Sepa Woroagung
yang ingin menjebak keduanya, memanggil Galapati dan para prajurit Kadipaten
Blambangkara. Mereka dikumpulkan di bangsal kadipaten.
"Para prajurit sekalian,
Baginda Raja Arwa Muda memanggilku untuk membicarakan sesuatu hal. Untuk itu,
aku diharapkan datang ke istana kerajaan.
Jadi selama aku di kerajaan,
tampuk pimpinan kadipaten kuserahkan pada Panglima Galapati," kata Adipati
Sepa Woroagung. "Bagaimana, Galapati?" "Sendika mengemban tugas,
Kanjeng," sahut Galapati.
"Yang kedua, aku diundang
hanya seorang diri, karena mungkin masalah ini sangat rahasia sekali.
Jadi istriku tak boleh ikut
bersamaku. Kembali aku berikan tanggung jawab sepenuhnya pada Galapati.
Bagaimana, Galapati? Kau
sanggup...?" tanya Adipati Sepa Woroagung dengan mata menatap tajam
Galapati yang menundukkan kepala.
"Sanggup, Kanjeng."
"Bagus. Dengan kekuasaan di tanganmu, kupercaya kau akan menjalankan semua
tugas dengan baik.
Nah, Diajeng. Aku mohon pamit.
Mungkin dua atau tiga hari aku berada di kerajaan," ujar Adipati Sepa
Woroagung pada istrinya.
"Baik, Kangmas."
"Galapati, kupercayakan semuanya padamu. Jaga kadipaten dan isinya dengan
sebaik mungkin." "Sendika, Kanjeng." Dengan diantar lima orang
prajurit pilihan yang memang tak suka pada Galapati, Adipati Sepa Woroagung pun
meninggalkan kadipaten. Sebenarnya dia bukan mau ke kerajaan, melainkan ingin
menyelidiki desas-desus mengenai hubungan pimpinan prajuritnya dengan sang
Istri.
Selama ditinggal Adipati Sepa
Woroagung, untuk sementara tampuk pimpinan di Kadipaten Blambangkara berada di
tangan Galapati.
Saat itu, ketika hari
menjelang sore, Galapati yang menjadi pimpinan di Kadipaten Blambangkara
menggantikan Adipati Sepa Woroagung memanggil para prajuritnya yang berjumlah
dua puluh orang. Mereka berkumpul di bangsal, di tempat Adipati Sepa Woroagung
tadi mengundang mereka berkumpul.
"Prajurit, kuperintahkan
pada kalian untuk mengadakan penyerangan ke Desa Swargadana. Cari orang yang
bernama Ki Baya Kitri. Sebagian lagi, cari Pendekar Gila. Bunuh dia kalau
melawan," katanya memerintahkan pada kedua puluh prajuritnya.
Para prajurit kadipaten
tersentak kaget mendengar perintah itu. Mereka tahu, Ki Baya Kitri adalah
Kepala Desa Swargadana. Hanya mereka tak mau berurusan dengan Pendekar Gila,
yang sudah sering didengar kehebatannya. Tapi untuk membantah, mereka juga tak
berani.
"Panglima, kalau boleh
hamba tahu, untuk apa kita menangkap Ki Baya Kitri?" tanya salah seorang
prajurit "Jangan banyak tanya" bentak Galapati marah.
"Di sini akulah yang
menjadi pimpinan kalian. Maka itu, kuharap kalian jangan membantah"
"Ampun, Panglima. Bukannya hamba bermaksud membantah, tapi apa yang
Panglima katakan dan perintahkan, tak pernah kami dengar dari Kanjeng Adipati,
" prajurit bertubuh tegap dengan kumis tebal kembali berbicara. Sepertinya
dia tak takut sedikit pun pada panglimanya.
"Cuih Berani benar kau,
Wangga Sekali lagi kau berani menentangku, tak akan kuampuni Cepat ker-jakan
perintahku, jangan sampai aku marah" dengus Galapati mengancam.
Para prajurit yang memang
sudah tahu bagaimana kehebatan ilmu Galapati ketika menghadapi Kebo Wungu,
akhirnya mereka takut juga. Mereka tak ingin nyawanya menjadi seperti Kebo
Wungu.
Dengan menggerutu dalam hati,
kedua puluh prajurit itu pun menurut Mereka segera meninggalkan kadipaten untuk
menjalankan perintah yang dikatakan Galapati, selaku pemegang tampuk pimpinan
Kadipaten Blambangkara.
Sepeninggal kedua puluh
prajuritnya, Galapati segera mengunci pintu gerbang kadipaten. Di bibirnya
tersungging senyuman, karena sudah terbayang bagaimana di akan puas bergelut
dengan Getri Anitia yang cantik itu. Berulang kali dia telah mencoba, tapi
selama ini Getri Anitia berusaha menolaknya. Dan selama ini Galapati hanya
mampu mengkhayal, membayangkan kemesraan bersama wanita cantik itu.
"Akhirnya kudapatkan juga
tubuhmu, Getri. Ah, telah lama aku mengkhayalkan saat-saat seperti ini.
Akhirnya tercapai juga
cita-citaku," gumam Galapati sambil melangkah masuk ke kadipaten yang kini
sepi.
Tak ada siapa-siapa di
kadipaten, kecuali dirinya dan Getri Anitia beserta dayang-dayang yang
berjumlah empat orang.
Urusan para dayang itu
gampang. Mereka dibentak saja pasti takut. Atau diberi sedikit imbalan mereka
akan menurut tutup mulut. Apalagi, nampaknya para dayang juga memberi angin
pada Galapati yang tampan. Asal mereka diberi bagian, sudah barang tentu mereka
akan senang.
Galapati kini melangkah menuju
kamar Getri Anitia. Sejak kepergian suaminya, Getri Anitia belum muncul juga.
Sepertinya wanita cantik itu, berusaha menunjukkan pengabdian dan kesetiaan pada
sang Suami.
Tanpa permisi lebih dahulu,
Galapati yang sudah bernafsu sekali ingin bisa secepatnya merenggut kepuasan
dari istri adipati itu mendorong pintu kamar.
Hal itu menjadikan keempat
dayang yang sedang membantu Getri Anitia berdandan tersentak kaget "Kau,
Galapati. Ada apa...?" tanya Getri Anitia dengan mata membelalak. Dia tak
menduga kalau Galapati akan berani masuk ke kamarnya. Mulutnya ternganga,
dengan kepala menggeleng-geleng.
"Hm...," Galapati
menggumam tak jelas. Di bibirnya mengurai senyum, yang semakin menambah
ketampanan wajahnya. Kakinya melangkah masuk, mendekati Getri Anitia yang
semakin terperanjat menyaksikan perbuatan Galapati.
"Galapati, jangan
sembrono Ini kamar Kanjeng Adipati," ujar Getri Anitia berusaha
menyadarkan Galapati dari segala tindakannya yang telah lancang, masuk ke kamar
Adipati Sepa Woroagung.
Galapati bagaikan tak
mendengar peringatan Getri Anitia. Ditutupnya pintu kamar itu, lalu dikuncinya.
Kemudian dibuangnya anak kunci itu keluar lewat kisi-kisi jendela. Hal itu
semakin membuat Getri Anitia mengerutkan kening, tak mengerti apa sebenarnya
yang dikehendaki Galapati. Sedangkan keempat dayang kini hanya mampu terdiam,
menyudutkan tubuh ke sudut kamar itu.
"Galapati, apa-apaan
kau?" bentak Getri Anitia, berusaha menyadarkan pemuda itu. Dia memang
me-naruh hati pada pemuda itu, namun untuk melakukan perbuatan yang melanggar
susila, Getri Anitia masih berpikir. Namun kini, Galapati mendatangi kamarnya,
dengan tatapan mata penuh birahi. Menjadikan Getri Anitia kaget, tak menyangka
kalau semua akan berjalan begitu rupa. Dia tak menyangka kalau tanggapan
Galapati lebih dari sekadar main mata, tersenyum, berbincang-bincang.
Galapati tak berkata. Kakinya
semakin mendekat ke tubuh Getri Anitia. Sorot matanya tajam, mengandung nafsu
yang membara. Kemudian tangannya bergerak, menotok keempat dayang.
Tuk, tuk, tuk...
"Ukh"
"Akh..." Keempat dayang itu mengeluh lirih, seketika tubuh mereka
mematung dengan mulut tak mampu digerakkan. Hanya mata mereka saja yang masih
membuka, memandang tegang ke arah Galapati yang menyeringai dan semakin dekat
dengan Getri Anitia.
"He he he... Kalian
menontonlah dulu. Hm, Getri. Ku tahu selama ini kau menginginkan saat-saat
seperti ini, bukan? Mengapa kau sepertinya tak butuh? Ku tahu, suamimu tak
mampu memberimu kepuasan...," kata Galapati sambil membuka bajunya.
"Tidak, Gala. Jangan kau
lakukan ini" keluh Getri Anitia berusaha mundur. Namun, ruangan kamar itu
terasa sempit, membuat gerakan tubuh Getri Anitia terbentur di tempat tidur.
Galapati tersenyum
menyeringai. Kakinya semakin melangkah maju, mendekati Getri Anitia yang
membelalakkan mata. Wanita itu memang mencintai Galapati, tapi tak mengharapkan
hal seperti ini. Hatinya masih sadar, bahwa dia bersuami. Tak pantas seorang
wanita bersuami melakukan hubungan badan, bukan dengan suaminya sendiri.
"Jangan, Gala Ku mohon,
jangan lakukan itu Aku memang mencintaimu, tapi janganlah kau
melakukannya," ratap Getri Anitia sambil naik ke tempat tidur. "He he
he... Mengapa ada kesempatan hendak kita sia-siakan, Getri? Kau dan aku saling
mencintai, bukan? Ayolah, Manis Kita nikmati kesempatan ini" Galapati
segera menerkam tubuh Getri Anitia.
Wanita itu menjerit, berguling
ke samping untuk mengelitkan terkaman itu.
"Auw, tidak... Gala, ku
mohon jangan lakukan itu Aku takut, Kanjeng Adipati datang," ratap Getri
Anitia berusaha menyadarkan Galapati yang sudah bernafsu dan kerasukan setan.
"Tak peduli. Aku tak
takut dengan lelaki tua itu.
Aku harus mendapatkanmu,
Getri," gumam Galapati sambil mengulurkan tangannya menangkap tangan Getri
Anitia.
Ditariknya tangan lembut itu,
kemudian direnggutnya tubuh wanita istri Adipati Sepa Woroagung ke atas tempat
tidur.
"Gala, jangan Nanti
Kanjeng Adipati datang," keluh Getri Anitia berusaha menyadarkan Galapati.
Namun pemuda itu tetap tak peduli. Dia telah diburu nafsu birahi yang
menggebu-gebu. Bahkan dengan beringas dan kelihatan tak sabar, ditariknya
pakaian Getri Anitia.
Bret "Awu Nakal kau,
Gala" "Aku tak sabar, Manis." Bret "Uh, jangan kasar begitu,
Gala" Melihat Getri Anitia kini nampak menurut, Galapati semakin bertambah
nafsu. Matanya menatap tajam ke mata Getri Anitia yang redup, membalas tatapan
mata pemuda itu. Bahkan kini Getri Anitia mulai mendekatkan wajahnya ke wajah
pemuda itu. Getri Anitia seakan-akan pasrah. Apalagi dalam hatinya juga
tersimpan kerinduan akan kejantanan seperti yang kini ditunjukkan Galapati.
***
"Rupanya kau harus kukerasi, Getri,"
bisik Galapati sambil menciumi wajah wanita cantik istri Adipati Sepa Woroagung
yang kini telah pasrah dan membiarkan pakaiannya dilucuti.
"Kau nekat,
Gala...," desis Getri Anitia.
"Hm, karena dirimu,
Sayang. Kaulah yang membuatku nekat. Sejak pertama kali bertemu, setiap malam
aku tak dapat tidur, Getri," tutur Galapati merayu. Tangannya
membelai-belai rambut Getri Anitia yang panjang terurai bergelombang. Matanya
yang tajam menatap penuh nafsu ke mata Getri Anitia yang redup.
"Aku pun begitu, Gala.
Oh, kalau saja kita bertemu dulu, sebelum aku dilamar Kanjeng Adipati, tentunya
kita tak main kucing-kucingan seperti ini, Gala." Galapati tersenyum
sambil tangannya bergerak liar, membelai-belai dan meremas dua buah bukit
montok di dada Galapati, yang menjadikan wanita cantik istri Adipati Sepa
Woroagung mendesis kenikmatan.
"Kini pun, kita akan
menikmatinya, Sayang," rayu Galapati dengan tangan masih terus bergerak
liar, merambah ke sekujur tubuh wanita cantik itu.
Mulutnya pun dengan lincah
terus mencium dan menjilati tubuh mulus Getri Anitia.
"Tapi, bagaimana dengan
keempat dayang itu, Gala? Aku takut, mereka akan menuturkan pada Kanjeng
Adipati," desak Getri Anitia merasa was-was, karena di kamar itu ada empat
saksi mata. Meskipun dalam keadaan tertotok, jelas mereka melihat apa yang
dilakukannya bersama Galapati.
"Mereka masalah gampang,
Getri," gumam Galapati. Kemudian wajahnya didekatkan. Keduanya saling
kulum. Lalu dilanjutkan dengan gelutan-gelutan yang mengundang birahi.
"Jangan, Gala..."
desis Getri Anitia, ketika Gala-pari hendak melangkah lebih jauh.
Sementara itu, di luar kamar
Pendekar Gila dan Sunatra serta gurunya yang bernama Ki Kayaputaka melesat ke
kadipaten. Ketiganya datang dari arah barat. Dari arah utara, muncul Arum Sari
dan kelima lelaki tua gurunya. Sedangkan dari arah timur muncul Adipati Sepa
Woroagung bersama para prajuritnya.
Rupanya mereka tidak pergi ke
Desa Swargadana, melainkan menyusul sang Adipati yang bersembunyi di Desa
Karajenar.
"Kanjeng Adipati..."
seru para pendekar melihat Adipati Sepa Woroagung berada di luar.
"Ssst... Jangan
ribut," desis Adipati Sepa Woroagung mengingatkan mereka. "Tentunya
durjana itu tengah berbuat tidak senonoh. Aku harus segera masuk."
"Baiklah, Kanjeng. Kami akan berjaga-jaga di luar kadipaten." Adipati
Sepa Woroagung pun segera melesat masuk, diikuti para prajuritnya. Seketika
nafasnya memburu dengan jantung berdebar, tak mampu menahan amarah mendengar
desah dan rintihan dari kamarnya.
Kedua manusia yang diburu
nafsu iblis itu terus menggebu-gebu. Sampai akhirnya, keduanya mengeluh panjang
dengan tubuh meregang. Sesaat kemudian, keduanya terkulai dengan keringat
membanjir.
Tiba-tiba....
"Bedebah Rupanya kau
benar-benar iblis Tangkap durjana itu..." Dari luar terdengar suara
teriakan Adipati Sepa Woroagung memerintahkan para prajuritnya.
Galapati dan Getri Anitia tersentak
mendengar seruan itu. Wajah Getri Anitia pucat pasi ketakutan.
Namun Galapati bagaikan tak
menghiraukannya. Malah dengan tenang pakaiannya dikenakan, lalu tanpa
mempedulikan Getri Anitia, Galapati segera pergi lewat jendela kamar.
"Selamat tinggal, Getri
Ha ha ha... Akhirnya aku puas. Terima kasih atas pelayananmu"
"Bajingan Hu hu hu... Durjana" maki Getri Anitia sambil menangisi
semua yang telah terjadi. Dia hendak memburu Galapati, tapi tiba-tiba....
Swing, swing...
Jlep "Aaakh..."
Getri Anitia terpekik keras, ketika dua pisau kecil yang keluar dari kipas maut
Galapati menghunjam tubuhnya yang masih telanjang. Sesaat tubuh Getri Anitia
mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa.
Adipati Sepa Woroagung yang
mendengar jeritan istrinya langsung mendobrak pintu kamar. Matanya terbelalak
ketika menyaksikan istrinya tewas dengan tubuh tertancap dua bilah pisau
beracun.
"Kurang ajar
Prajurit.." "Daulat Kanjeng" "Cari bajingan itu dan
bunuh" perintah Adipati Sepa Woroagung.
"Daulat, Kanjeng"
Prajurit-prajurit itu pun segera berlompatan keluar mengejar Galapati. Mereka
segera menyebar ke segenap arah di sekitar kadipaten. Namun mereka tak
menemukan adanya Galapati di sekitar kadipaten. Sepertinya pemuda itu telah
pergi jauh, meninggalkan Kadipaten Blambangkara.
"Kejar keluar..."
perintah salah seorang prajurit pada teman-temannya. Mereka segera memburu
keluar lingkungan kadipaten.
"Itu dia Tangkap durjana
itu..." teriak para prajurit ketika melihat Galapati melompat keluar
melalui pagar tembok yang mengelilingi lingkungan kadipaten.
"Heaaa..." Para
prajurit yang sudah marah terhadap Galapati dan terlebih dengan kejadian itu,
langsung memburu Galapati. Tapi belum juga sampai, Galapati dengan cepat
mengibaskan kipasnya ke arah mereka.
"Heaaa..." Wrt
Swing, swing...
Jlep, jlep...
"Aaakh..."
"Wuaaa..." Pekikan-pekikan kematian seketika terdengar ketika puluhan
pisau maut menghujani tubuh para prajurit Galapati hendak melesat pergi, ketika
tiba-tiba....
"Mau lari ke mana kau,
Iblis?"
9
Seorang gadis cantik
berpakaian hijau dan berambut dikepang ekor kuda telah menghadang langkah
Galapati dengan pedang lekuk tiga di tangan. Di belakang gadis itu, berdiri
lima lelaki tua yang sangat mengejutkan Galapati. Sedangkan di samping kanan
sebelah gadis berbaju hijau itu, berdiri seorang pemu-da bertingkah laku
seperti orang gila yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Di samping Pendekar Gila,
berdiri dengan sorot mata tajam lelaki muda berusia sebaya dengan Galapati.
Lelaki berpakaian rompi kuning keemasan itu tak lain Sunatra, murid Ki
Kayaputaka.
Berdiri di samping kiri Arum
Sari, seorang lelaki tua berjubah kuning keemasan. Lelaki tua itu ternyata Ki
Kayaputaka, ayah Getri Anitia, istri Adipati Sepa Woroagung.
"Hm..., bagus Rupanya
kalian telah kumpul menjadi satu. Itu memang yang kuinginkan. Dengan begitu,
aku tak susah-susah membinasakan kalian" dengus Galapati, sepertinya tidak
merasa takut sedikit pun terhadap mereka, yang terdiri dari para pendekar rimba
persilatan dan berilmu tinggi.
"Hi hi hi.... Hebat Hebat
sekali keberanianmu, Kisanak. Padahal kau seperti tikus yang sedang dike-pung
kucing. Ah ah ah.... Ternyata tikus itu sangat berani. Hi hi hi..."
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Matanya
memandang tajam ke arah Galapati yang balas memandang ke arahnya.
"Pendekar Gila, kuharap
kau jangan ikut campur dengan urusanku" bentak Galapati.
"Aha, kurasa jika kau mau
menyerah dan menerima hukuman apa yang kau jalani, aku tak akan turut campur,
Tikus Busuk Hua ha ha..." Sena tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrakan
seperti seekor monyet "Kurang ajar Kau yang pertama harus kubunuh,
Pendekar Gila Heaaa..." Amarah Galapati yang terdesak oleh keadaan meledak
seketika. Dengan kipas maut, segera diserangnya Pendekar Gila.
Wrt "Hi hi hi... Kurasa
malam ini tidak panas, Tikus Busuk. Untuk apa kau main-main dengan kipas
bututmu?" ejek Sena sambil berkelit ke samping, mengelakkan serangan yang
dilancarkan Galapati. Tubuhnya meliuk cepat, melompat ke sana kemari bagaikan
menari. Melihat Pendekar Gila membiarkan Galapati menyerang, Arum Sari yang
dendamnya pada pemuda itu tak tertahankan lagi kini melompat maju. Pedang
berkeluk tiga yang ada di tangannya bergerak menyerang Galapati.
"Pendekar Gila, biar
iblis ini bagianku" dengus Arum Sari sambil membabatkan pedangnya
menyerang Galapati.
Wrt Trang "Hih"
"Aits..." Galapati terdorong dua langkah ke belakang. Begitu juga
dengan Arum Sari. Matanya terbelalak, merasakan hawa panas ketika berbenturan
dengan kipas maut di tangan Galapati. Namun dendamnya yang membara, tak
membuatnya takut. Bahkan semakin bertambah nafsu, Arum Sari berusaha membunuh
lawan secepat mungkin.
"Keparat Kubunuh kau
Heaaa..." "Yeaaa..." Dengan jurus ‘Tarian Sinden Maut’ Arum Sari
langsung menggebrak Galapati. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, diikuti
gerakan kedua tangannya yang lembut dan lemah gemulai. Kemudian pedang di
tangannya mulai berkelebat menusuk dan membabat ke tubuh lawan.
"Hih"
"Yeaaa..." Melihat Arum Sari mengeluarkan jurus-jurus yang telah
dikenalnya, seketika Galapati tersenyum mengejek. Dia menganggap jurus-jurus
itu tiada artinya sama sekali dibandingkan dengan jurus-jurus miliknya.
Meskipun sama-sama dari didikan kelima orang tua sakti. Apalagi dengan kipas
beracun di tangannya, tak perlu dia takut Kipas itu telah terbukti
kehebatannya.
"Percuma kau mengeluarkan
jurus bututmu, Arum Ha ha ha..." ejek Galapati sambil balas menyerang.
Kipas di tangannya dikebutkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Bersamaan
dengan itu, dari kebutan kipas itu melesat asap ungu bergulung dan memburu Arum
Sari.
"Awas, Arum Racun itu
sangat berbahaya" seru Ki Gendala mengingatkan muridnya.
"Ha ha ha... Orang tua
tolol Kenapa tak sekalian maju, biar aku lebih cepat mengirim kalian ke
akherat" teriak Galapati sombong. Kipas maut di tangannya dikebutkan
semakin cepat, membuat asap ungu semakin banyak keluar dari kebutan kipas itu.
"Keparat
Kubunuh kau..." Adipati
Sepa Woroagung yang begitu marah akibat nasib yang diterima istrinya, segera
melesat menyerang Galapati. Di tangan kanannya tergenggam sebuah senjata berupa
gada berduri yang langsung dihantamkan ke arah Galapati dari belakang.
Wrt "Remuk kepalamu,
Keparat Hih..." "Haits" Galapati segera memiringkan tubuh ke
samping. Gada itu meleset di sisi kanannya. Kemudian dengan cepat, kipas
mautnya dikebutkan ke tubuh Adipati Sepa Woroagung.
Wrt Swing Tiga pisau kecil
beracun melesat ke arah lawan.
Adipati Sepa Woroagung yang
tersentak kaget berusaha mengelakkan serangan, tapi tubuhnya yang terlalu gemuk
membuat gerakannya agak lamban.
"Celaka" pekik
Adipati Sepa Woroagung dengan mata terbelalak tegang, menyaksikan dua bilah
pisau melesat ke tubuhnya. Namun, ketika nyawa Adipati Sepa Woroagung terancam,
Pendekar Gila yang sigap segera melentingkan tubuh ke atas. Bersalto beberapa
kali di udara, lalu dengan cepat tubuhnya menukik ke bawah sambil memukulkan
Suling Naga Sakti.
Wut Trang Pluk, pluk Dua bilah
pisau beracun itu terpental, karena tersambar Suling Naga Sakti di tangan
Pendekar Gila.
"Oh, terima kasih, Tuan
Pendekar. Pemuda durjana itu harus segera kubunuh Dia telah membunuh istriku,
setelah merayu dan menyetubuhinya" seru Adipati Sepa Woroagung hendak
kembali menyerang.
Tapi Pendekar Gila segera
mencegahnya.
"Kanjeng Adipati tak usah
turun tangan. Biarkan kami yang mencoba mengatasi," ujar Sena.
"Tapi dia telah
menghancurkan semuanya, Tuan Pendekar." "Hi hi hi... Ah ah ah.... Aku
pun tahu itu, Kanjeng. Tenanglah Hanya ketenangan yang akan menyelesaikan
masalah ini tanpa harus merenggut banyak korban," tutur Sena. Kemudian
tubuhnya kembali melesat ke arah para pendekar yang tengah menyaksikan
pertarungan antara kakak beradik seperguruan karena dendam.
Mendengar putrinya tewas di
tangan Galapati, Ki Kayaputaka mendengus marah. Tanpa menghiraukan kalau
Galapati kini tengah bertarung melawan Arum Sari, Ki Kayaputaka langsung
melesat menyerang dengan senjatanya yang berupa tombak bermata dua.
"Kubunuh kau, Iblis
Laknat Heaaa..." Kini pertarungan semakin bertambah seru, dengan masuknya
Ki Kayaputaka ke arena. Arum Sari yang tadi terdesak gempuran-gempuran
Galapati, kini agak terbebas karena serangan Galapati tertuju pada Ki
Kayaputaka.
"Hm, kau pun harus
mampus, Orang Tua Hih..." Wrt Galapati mengibaskan kipas mautnya. Dan saat
itu juga, gumpalan asap ungu mengandung racun semakin bertambah banyak. Asap
ungu itu terus meluruk ke tubuh Ki Kayaputaka. Orang tua berjubah kuning
keemasan itu tersentak kaget. Nafasnya terasa agak sesak, akibat racun yang
keluar dari kipas maut di tangan lawan.
Ki Kayaputaka berusaha
menyerang dengan menyodokkan mata tombak ke tubuh lawan. Tapi dengan cepat
Galapati membabatkan kipasnya memapak tombak lawan.
Wrt Trak "Akh..." Ki
Kayaputaka tersentak kaget dengan mata terbelalak, menyaksikan senjata
andalannya terbabat kipas besar berwarna ungu di tangan lawan.
Belum juga Ki Kayaputaka
hilang kagetnya, Galapati telah kembali mengebutkan kipas besarnya ke tubuh
orang tua berjubah kuning keemasan itu.
Wrt "Celaka" pekik
Ki Kayaputaka dengan mata terbelalak, ketika ujung kipas yang tajam berkelebat
ke lehernya. Orang tua itu telah pasrah ketika tiba-tiba Arum Sari membabatkan
pedang lekuk tiganya memapaki kipas yang mengancam nyawa Ki Kayaputaka.
"Heaaa..." Wrt Trang
"Akh..." Arum Sari terpekik, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang
dengan dada terasa sakit. Matanya membelalak tegang, menatap tajam pada
Galapati yang hanya tergontai dua langkah. Tampak di mulut gadis itu meleleh
darah merah, yang menandakan kalau gadis itu terluka dalam.
Melihat muridnya terluka,
kelima orang tua sakti berjubah itu segera memburu Arum Sari. Kelimanya segera
membawa gadis itu agar menjauh dari pertempuran.
"Pendekar Gila, tak ada
waktu lagi. Hanya kaulah yang kami harapkan bisa meringkus bocah keparat
itu" seru Ki Gendala sambil membawa tubuh muridnya menjauh.
"Hi hi hi... Apakah tidak
sebaiknya kalian?" tanya Sena dengan tingkah lakunya yang konyol.
"Bukankah kalian guru-gurunya?" "Kami tak ada waktu lagi
Kupasrahkan keparat itu padamu," sahut Ki Wilakupa.
"Hi hi hi.... Lucu sekali
kalian ini Aha, tapi baiklah. Bagaimanapun juga, aku berkewajiban mengamankan
tikus busuk ini," ujar Sena, yang membuat Galapati mendengus marah.
"Jangan banyak omong,
Pendekar Gila Mari kita buktikan Yeaaa..." Galapati langsung menggebrak
dengan jurus andalannya 'Tari Tipak Tilu'. Tangannya bergerak cepat, menepak
bergantian dengan tenaga dalam penuh ke arah Pendekar Gila.
***
Mendapat serangan lawan yang bersenjatakan
kipas maut beracun, tak membuat Pendekar Gila gentar. Meski dia tahu kipas
besar itu bukan senjata sembarangan, Pendekar Gila dengan tenang bergerak
mengelak. Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan menari, mengimbangi gerakan lawan.
Hanya saja kalau lawan bergerak cepat dan garang, Pendekar Gila bergerak lamban
dan halus. Sesekali tangannya menepuk ke dada lawan. Itulah jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'. Salah satu jurus dari 'Ilmu Silat Si Gila' yang sangat
aneh dan dahsyat "Hi hi hi... Mau nubruk kodok, Tikus Busuk? Hi hi
hi..." Dengan masih tertawa cekikikan, Pendekar Gila terus berkelit dengan
tubuh meliuk-liuk seperti mena-ri. Tubuhnya agak dibungkukkan ke bawah,
kemudian ketika melihat kesempatan, tangannya ditepukkan ke dada lawan.
"Yeaaa..."
"Heaaa..." Kini semuanya tak ada yang berani ikut campur.
Semua hanya bisa menyaksikan
bagaimana Pendekar Gila bergerak mengelakkan serangan-serangan gencar yang
dilancarkan Galapati.
Sekeliling Kadipaten
Blambangkara yang semula hening dan sepi, seketika berubah menjadi riuh. Banyak
pepohonan yang gugur daunnya akibat kibasankibasan maut di tangan Galapati.
Serangan Galapati semakin
bertambah keras dan garang, setelah beberapa kali serangannya tak mampu
bersarang di tubuh lawan. Serangannya yang ganas, bagaikan tak berarti sama
sekali bagi Pendekar Gila, hal itu membuat Galapati kian penasaran, apalagi melihat
gerakan ilmu silat Pendekar Gila yang aneh. Gerakan ilmu silat Pendekar Gila
sepertinya lemah, tapi ketika menyerang sentakannya terasa sangat kuat.
"Yeaaa..."
"Heaaa..." Wrt Galapati terus mengibaskan kipas mautnya dengan cepat.
Kebutannya mengeluarkan angin panas, menderu keras ke tubuh Pendekar Gila. Tapi
dengan cepat Pendekar Gila berkelit, meliukkan tubuhnya ke bawah. Kemudian
disusul dengan tepukan yang menyentakkan lawan.
"Kurang ajar Aku akan
bertaruh nyawa denganmu, Pendekar Gila Heaaa..." Wrt "Uts Hi hi hi...
Apa maumu, kuterima, Tikus Busuk. Hi hi hi..." Dengan masih bertingkah
laku seperti orang gila, Sena terus berkelit mengelakkan kibasan kipas maut
lawan yang dia tahu cukup berbahaya. Kemudian setelah terbebas dari kipas lawan,
dengan cepat Pendekar Gila balas menyerang dengan jurus 'Si Gila Melempar
Batu'.
Tangan Pendekar Gila bergerak
bagaikan melempar dengan cepat dan susul-menyusul. Galapati tersentak kaget.
Dari gerakan tangan lawan, angin menderu susul-menyusul, menghujani tubuhnya.
Mendapatkan serangan aneh itu,
Galapati tak tinggal diam. Kipasnya semakin dibuka lebar-lebar.
Lalu dengan mengerahkan
tenaga, kipasnya dikibaskan dengan jurus 'Ekor Merak Merintang Angin'.
"Yeaaa..." Wrt
Glarrr...
Dua kekuatan bertemu,
menimbulkan suara menggelegar. Tanah di atas pertemuan dua kekuatan itu hancur
bagai terkena ledakan. Baik Pendekar Gila maupun Galapati melompat lima langkah
ke belakang.
Sesaat keduanya saling
bertatapan dengan pandangan mata tajam.
"Hi hi hi..." Sena
tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya semakin
membuat Galapati bertambah marah. Tubuhnya berjingkrakan seperti seekor kera
kegirangan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar Kubunuh kau,
Pendekar Gila Heaaa..." Tubuh Galapati melesat memburu Pendekar Gila.
Kipas mautnya kini siap untuk
dikibaskan. Dengan jurus 'Braga Wreda' yang mengandalkan kipas mautnya,
Galapati menerjang Pendekar Gila.
"Heaaa..." "Hi
hi hi... Ada juga tikus bisa loncat," ejek Pendekar Gila. Lalu dengan
cepat tubuhnya digerakkan memutar ke kiri dengan jurus 'Si Gila Melepas
Lilitan'.
"Yeaaa..." Wrrrs...
"Yeaaa..." Wrt Kipas
maut dikibaskan cepat dan menghentak ke tubuh Pendekar Gila yang berputar
dengan cepat. Melihat lawan mengibaskan kipasnya, Pendekar Gila yang tak mau
mati percuma, segera mencabut Suling Naga Sakti. Kemudian dengan cepat kipas
lawan dipapakinya.
"Heaaa..."
"Yeaaa..." Wrt Prak "Akh..." Galapati tersentak. Tubuhnya
terlontar ke belakang. Bersalto beberapa kali di udara, kemudian dengan agak
terhuyung mendarat di tanah. Matanya terbelalak, menyaksikan ujung kipasnya
hancur akibat berbenturan dengan Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
"He he he... Kenapa kau
masih memegangi kipas bututmu, Tikus?" ejek Sena sambil cengengesan.
"Cuh Jangan kira aku
dapat kau kalahkan, Pendekar Gila Mari kita tentukan, siapa yang melayang ke
akherat" dengus Galapati marah.
"Hi hi hi... Rupanya kau
tak betah hidup di dunia ini, Tikus Busuk?" sahut Sena, yang membuat
Galapati kian bertambah marah. Napas Galapati mendengus keras. Gigi-giginya
beradu, menimbulkan suara gemerutuk keras. Wajahnya memerah, terbakar api
amarahnya.
"Bedebah Kubunuh kau,
Pendekar Gila Yeaaa..." Wrt Swing, swing...
Puluhan pisau kecil beracun,
seketika melesat dari kipas maut beracun yang ujungnya telah hancur.
Pisau-pisau kecil itu meluncur
dan memburu Pendekar Gila.
"Edan Permainanmu rupanya
masih ada, Tikus Busuk Hi hi hi..." Sambil melompat ke atas mengelakkan
seranganserangan pisau-pisau maut itu, Pendekar Gila mengirimkan pukulan
saktinya ke arah lawan.
'"Inti Api'.
Heaaa..." Wsss...
Segulungan api membara melesat
ke tubuh Galapati. Pemuda berpakaian ungu itu tersentak, lalu dengan cepat
menggerakkan kipasnya ke atas untuk menangkis serangan itu.
Wrt Protsss 'Inti Api' yang
dilancarkan Pendekar Gila tak bermanfaat sama sekali. Pukulan sakti itu musnah,
tersapu kibasan kipas Galapati. Bahkan kini deru kipas itu kembali memburu
Pendekar Gila.
"Yeaaa..." Wrt,
wrt...
Galapati melesat cepat dengan
kipas maut di tangannya, membabat Pendekar Gila yang masih melayang di udara.
Kipas yang mengeluarkan angin pukulan panas, terus memburu leher Pendekar Gila.
Melihat Galapati menyerang
dengan cepat dan ganas Sena segera memapaki serangan lawan. Suling Naga Sakti
yang sejak tadi telah tergenggam di tangannya, segera ditempelkan di bibir.
Kepala Naga Sakti diarahkan ke tubuh lawan. Kemudian ditiupnya dengan suara
melengking tinggi.
Slarts...
Dua larik sinar merah kecil
keluar dari kedua mata kepala Naga Sakti. Kedua sinar merah itu terus melesat
memburu Galapati.
Melihat dua larik sinar merah
memburu dirinya, dengan cepat Galapati merundukkan tubuh. Kemudian dengan cepat
pula kipasnya dikibaskan, berusaha menghalau kedua sinar merah itu.
"Yeaaa..." Slarts
Glarrr...
Ledakan dahsyat menggelegar
terdengar, ketika sepasang sinar merah menghantam kipas maut di tangan
Galapati. Tubuh Galapati terlempar ke belakang tiga tombak. Matanya terbelalak,
menyaksikan kipas mautnya hancur berantakan, bahkan hangus terbakar sinar merah
yang keluar dari kepala Naga Sakti. Bukan hanya Galapati yang membelalakkan
mata, tapi semua orang yang menyaksikan kehebatan Suling Naga Sakti di tangan
Pendekar Gila, turut tak-jub dan kagum dengan mulut melongo.
Merasakan kipas mautnya tak
ada manfaatnya lagi, seketika ciutlah nyali Galapati. Pemuda itu berusaha lari
meninggalkan arena pertarungan, namun Arum Sari yang sudah pulih dari luka
dalamnya segera mengejar.
"Mau lari ke mana,
Bajingan?" Kejar-mengejar antara Arum Sari dengan Galapati pun terjadi.
Diikuti para pendekar yang sejak tadi menyaksikan pertarungan itu. Bahkan
Adipati Sepa Woroagung turut berlari mengikuti mereka.
***
Galapati yang sudah tak memiliki kehebatan
setelah senjata andalannya hancur berantakan, terus berlari. Dia tak hendak
mati konyol.
"Jangan lari,
Pengecut" seru Arum Sari sambil terus mengejar Galapati yang terus
berlari.
Pendekar Gila terus mengikuti
mereka yang memburu Galapati. Sebenarnya Galapati bisa saja dikejarnya, namun
Pendekar Gila menyadari kalau kini yang berurusan dengan Galapati tak lain Arum
Sari dan kelima gurunya serta Adipati Sepa Woroagung, dan juga Ki Kayaputaka.
Sehingga Pendekar Gila hanya mengikuti gerakan mereka mengejar Galapati.
Arum Sari yang sudah marah
terus mempercepat larinya, disusul kelima gurunya dan Adipati Sepa Woroagung
serta Ki Kayaputaka. Sedangkan Pendekar Gila dan Sunatra nampak berada di
belakang mereka.
Galapati yang ketakutan terus
berlari, sampai akhirnya dia kini tiba di tepi laut Kecemasan semakin membayang
di wajahnya, karena kini tak ada lagi ba-ginya untuk kabur. Di hadapannya
terbentang lautan luas. "Tak ada tempat bagimu, Biadab" bentak Arum
Sari dengan sengit.
Merasa tak ada lagi jalan
untuk meloloskan diri, Galapati dengan nekat menyerang Arum Sari.
"Kalian harus mampus
Heaaa...." "Yeaaa...." Wrt Arum Sari yang sudah kalap, dengan
cepat memapaki serangan Galapati dengan babatan pedangnya.
Hingga Galapati yang menyerang
disertai rasa cemas, tak mampu mengelak dari tebasan pedang Arum Sari.
Cras "Aaakh..."
Galapati terpekik, ketika tangan kanannya terbabat pedang berlekuk tiga di
tangan Arum Sari. Tidak hanya sampai di situ, dengan geram Arum Sari kembali
membabatkan pedangnya ke leher Galapati.
"Kubunuh kau, Bajingan
Heaaa..." Wrt Crak "Aaa..." Lolongan kematian terdengar dari
mulut Galapati, ketika pedang berlekuk tiga menebas lehernya. Seketika kepala
Galapati menggelinding. Tubuhnya yang berlumur darah sesaat meregang, kemudian
ambruk tanpa nyawa.
"Ha ha ha... Kini aku
puas Puas..." teriak Arum Sari bagaikan orang gila sambil mencengkeram
kepala Galapati. Lalu dibawanya kepala pemuda itu berlari meninggalkan para
pendekar yang terlongong bengong. Semua menghela napas, merasa iba menyaksikan
beban batin yang diderita Arum Sari. Bahkan Pendekar Gila nampak sedih
menyaksikan penderitaan Arum Sari. Gadis cantik itu akhirnya harus mengalami
guncangan jiwa yang berat.
"Hyang Jagat Dewa Batara,
semoga Kau memberi ketabahan padanya," gumam Sena masih terpaku di tempat
itu bersama Adipati Sepa Woroagung, Ki Kayaputaka dan muridnya serta para
prajurit Kadipaten Blambangkara. Sementara, kelima orang tua sakti kini
mengejar Arum Sari.
Gelombang laut terdengar pilu,
ketika dari ufuk timur lamat-lamat terlihat sinar kuning kemerahan muncul di
atas permukaan laut.
Pendekar Gila, Adipati Sepa
Woroagung, dan Ki Kayaputaka serta Sunatra melangkah perlahan meninggalkan
pesisir laut pasir putih.
SELESAI