-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 18 Dendam Mahesa Lanang
1
Malam baru saja tiba. Bulan
purnama bersinar terang di langit yang biru tanpa awan. Bocah-bocah kecil masih
tampak bermain petak umpet. Suara tawa ceria menyemarakkan suasana malam itu.
Mereka berlarian ke sana kemari, saling kejar dan bersembunyi di pelataran
rumah.
Sementara itu, di rumah
Tarbiun nampak banyak orang berkunjung. Sepertinya ada hiburan ronggeng di
rumah juragan itu. Sudah menjadi kebiasaan, jika besok akan diadakan karapan
sapi, pemilik sapi pasti akan mengadakan suatu kenduri yang bertujuan untuk
memanjatkan doa kemenangan bagi pertandingan besok. Hal itu juga dilakukan
Tarbiun.
"Silakan, Cak. Jangan
malu-malu" kata Tarbiun mempersilakan teman-temannya yang datang untuk
turut berpesta.
"Terima kasih,"
sahut para tamu yang rata-rata dari kalangan persilatan. Mereka segera
menempatkan diri di kursi-kursi panjang yang telah disediakan.
Ronggeng belum dimulai, masih
terlalu sore.
"Bagaimana pertandingan
besok? Apa sapimu telah siap, Biun...?" tanya Ki Jenar, tokoh tua di Desa
Cadas Putih. Hampir setiap akan diadakan karapan sapi, Ki Jenar selalu
diundang. Lelaki tua itu diminta untuk memberi doa dan memimpin upacara sakral,
tu-juannya memohon kemenangan bagi sapi yang akan dipertandingkan.
"Sudah, Ki. Namun begitu,
saya pikir kurang sempurna jika belum diberi jejampi," jawab Tarbiun
dengan tubuh membungkuk hormat.
Meski Tarbiun seorang saudagar
kaya di Desa Cadas Putih, sikapnya sangat hormat terhadap Ki Jenar. Hal itu
bukan saja karena Ki Jenar dianggap sesepuh di desa itu, melainkan bantuan yang
sering diberikan pada dirinya. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun yang
selalu membawa tongkat bergagang kepala ular itu telah banyak memberikan
bantuan kepada Tarbiun. Warga Desa Cadas Putih mengenal Ki Jenar sebagai dukun.
Kemenangan demi kemenangan
diperoleh Tarbiun atas bantuan jejampi yang diberikan Ki Jenar.
Tarbiun pun percaya, kalau
lelaki tua yang selalu berpakaian coklat muda dengan ikatan kain membentuk
sorban di kepala itu memiliki ilmu yang tinggi.
"He he he... Bisa saja
kau, Biun Sebenarnya aku ini bukan apa-apa. Aku manusia biasa sepertimu.
Atas kehendak Hyang Widi saja,
sapimu menang. Di samping itu, tahun kemarin sapimu memang hebat," gumam
Ki Jenar sambil terkekeh-kekeh. Tubuhnya yang kurus dan agak bungkuk itu,
terguncangguncang oleh tawanya. Matanya pun semakin menyipit, urat pipinya
tertarik karena suara tawanya.
Tarbiun turut tertawa
mendengar suara tawa Ki Jenar yang lucu sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Sedangkan kedua centeng Tarbiun, hanya nyengir.
"Apa bisa kita lakukan
sekarang, Ki?" tanya Tarbiun.
"Heh, bisa juga,"
jawab Ki Jenar.
"Kalau begitu, biarlah
kami siapkan semuanya, Ki." "Ya ya... Siapkan saja semua seperti
biasanya," tutur Ki Jenar. "Kau tentu masih ingat apa yang harus
disiapkan untuk pemberian jampi." "Ingat, Ki." Tarbiun segera
melangkah meninggalkan tempat itu. Namun Ki Jenar kembali memanggilnya. Tarbiun
langsung menghentikan langkahnya, dan berbalik ke arah Ki Jenar.
"Ada apa lagi, Ki?"
"Ke sini sebentar" perintah Ki Jenar.
Tarbiun menurut, mendekati Ki
Jenar, meski tak tahu apa yang sebenarnya hendak dikatakan orang tua itu.
"Biun, apa penari ronggengnya cantik-cantik?" bisik Ki Jenar.
"Oh, jelas, Ki"
jawab Tarbiun seraya berseru.
Mata Ki Jenar melotot,
memandang tajam Tarbiun yang tersentak kaget. Dia tak mengerti, mengapa orang
tua itu seakan marah kepadanya.
"Ada apa, Ki?" tanya
Tarbiun masih belum mengerti.
"Jangan berisik"
bentak Ki Jenar masih berbisik. "Ooo...," gumam Tarbiun sambil
tersenyum-senyum.
"Bawa ke kamar satu,
ya?" pinta Ki Jenar.
"Beres, Ki."
"Nah, sekarang kau siapkan semuanya" perintah Ki Jenar.
Tarbiun tersenyum, lalu segera
beranjak dari tempat itu, meninggalkan Ki Jenar.
"Dasar orang tua genit
Sudah tua masih saja minta yang aneh-aneh," gumam Tarbiun setengah
menggerutu. "Terlalu juga Ki Jenar itu, sudah punya anak istri masih mau
melalap daun muda." Tarbiun melangkah sambil menggelenggelengkan kepala,
masuk ke rumah diikuti kedua centengnya. Dia akan mempersiapkan sesaji yang
digunakan untuk mengadakan upacara sakral, pemberian jampi-jampi kepada
sapinya.
Tak lama kemudian, Tarbiun
dengan kedua orang centengnya telah kembali dengan membawa sesaji di atas tiga
nampan besar. Dua nampan itu berisi nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya.
Sedang yang satu berupa sepotong kepala kerbau yang tak dimasak. "Sudah,
Ki. Semua sudah siap," ujar Tarbiun setelah sampai di depan Ki Jenar.
"Ayo, bawa ke
kandang" perintah Ki Jenar pada Tarbiun dan kedua centengnya agar membawa
sesaji ke kandang sapi yang akan diperlombakan besok Tarbiun dan kedua
centengnya segera membawa sesaji ke kandang sapi, diikuti para undangan yang
hendak menyaksikan jalannya upacara.
Setelah sampai di kandang
sapi, Ki Jenar segera mengambil tempat untuk memimpin upacara sakral itu.
Ketiga sesaji itu diletakkan sekitar dua tombak di depan sapi yang akan
diperlombakan.
Semua yang turut hadir di
sekitar kandang sapi diam tanpa suara. Mereka dalam keadaan khidmat.
Sementara, Ki Jenar telah duduk
bersila dengan mata terpejam rapat. Mulutnya komat-kamit, mengucapkan mantera
yang sulit diikuti.
"Golapa golani
gahgong.... Kias-kias sapi ge-long.... Karap kamenangana sakarap sapikalasa...
Tarbiun...." Sesudah mengucapkan kata-kata aneh dan sulit dimengerti
sebanyak tujuh kali, Ki Jenar meniupkan mulutnya sebanyak tiga kali ke sapi
itu.
Aneh sekali Setelah tertiup,
sapi itu menggeram. Seolah-olah merasakan ada sesuatu yang berpengaruh di dalam
tubuh dan nalurinya. Mata binatang itu ter-belalak menatap tajam pada Ki Jenar.
Kemudian terdengar dengusan beberapa kali disertai gerakan kaki yang liar dan
aneh.
Orang-orang tersentak kaget,
menyaksikan dengan rasa tegang keanehan itu. Mereka heran mengapa sapi itu
mendadak berubah ganas dan beringas.
"Ki..." desis
Tarbiun dengan mata membelalak, menyaksikan keanehan yang dialami sapinya.
Matanya sesaat memandang ke arah Ki Jenar yang telah bangkit dari duduk
silanya. Lelaki tua berpakaian coklat itu tersenyum dingin membalas tatapan
Tarbiun yang keheranan.
"He he he..., tenang Tak
ada apa-apa," ujar Ki Jenar sambil terkekeh. Kemudian kakinya melangkah
mendekati sapi yang masih beringas. Seperti ada sesuatu yang tengah dirasakan
binatang itu.
Orang-orang semakin tegang,
takut kalau sapi itu mengamuk dan menerjang lelaki tua bertubuh bungkuk itu.
Namun sambil terkekeh-kekeh, Ki Jenar dengan tenang melangkah menghampiri
binatang yang masih mendengus-dengus itu.
"Tenang..., tenanglah,
Manis Jangan takut" ujar Ki Jenar dengan tangan membelai-belai kepala sapi
itu.
Kejadian aneh kembali terjadi.
Sapi yang tadi kelihatan beringas dan liar itu mendadak menurut.
Malah melenguh lirih,
seakan-akan mengerti dan takut kepada Ki Jenar. Matanya yang garang, berubah
redup. Bahkan kini sapi itu menundukkan kepalanya, takluk pada belaian tangan
lelaki tua bertongkat kepa-la ular itu.
"Besok kau harus menang,
Lanang" gumam Ki Jenar berbisik di telinga sapi milik Tarbiun yang bernama
Lanang. "Kau harus menunjukkan pada semua orang, bahwa kaulah yang paling
gagah dan kuat" "Hmmm... oaaa..." Sapi itu melenguh, seolah-olah
mengucapkan sesuatu yang membuat Ki Jenar terkekeh sambil mengangguk-angguk.
Tangannya masih mengelus-elus kepala binatang bertubuh kekar dan besar itu.
"Semua sudah beres,"
ujar Ki Jenar sambil melangkah diikuti orang-orang meninggalkan kandang sapi.
Setelah selesai acara pemberian jampi-jampi, acara hiburan ronggeng pun
dimulai. Para tamu yang sejak tadi menunggu, langsung turun, menari dengan para
ronggeng sesuai dengan pilihan. Mereka menari dengan gembira. Sesekali
istirahat sambil menenggak tuak. Suasana yang semula dingin, seketika berubah
hangat. Beberapa tamu telah mabuk karena tuak dan kecantikan penari-penari
ronggeng.
Sedangkan Ki Jenar telah
menghilang dari keramaian. Lelaki tua itu masuk ke kamar, tempat seorang penari
ronggeng telah dipersiapkan untuk melayani permintaannya.
Semua orang yang ada di rumah
Tarbiun bagaikan tak peduli pada apa yang diperbuat Ki Jenar dengan wanita
penari ronggeng dalam kamar di rumah Tarbiun. Mereka tak berani mengganggunya.
Di samping Ki Jenar memang memiliki ilmu yang tinggi, lelaki tua itu juga
disegani masyarakat Desa Cadas Putih.
"Ayo, Cak. Jangan
malu-malu Minum tuaknya..." seru Tarbiun mempersilakan pada para tamu.
Sementara malam kian larut,
bulan pun semakin terang. Hiburan Ronggeng pun kian semarak. Banyak di antara
para tamu yang terkapar di tempat pesta karena mabuk. Tinggal beberapa orang
jawara yang masih bertahan. Mereka terus berjoget, mengiringi lenggok-lenggok
para penari ronggeng yang membangkitkan gairah. Sesekali tangan para jawara
yang berjoget bergerak nakal, menepak pantat penari ronggeng yang bahenol.
Di sebuah kamar, Ki Jenar
nampak masih asyik bersenda gurau dengan seorang penari ronggeng.
Wanita cantik itu tersenyum
manja, sambil menggoda Ki Jenar yang berusaha memeluk tubuhnya.
"Ayo, Manis... He he
he... Jangan menggodaku," gumam Ki Jenar sambil kembali menggerakkan
tangannya, berusaha menangkap tubuh wanita itu.
"Auw Kau nakal, Ki,"
jerit wanita itu sambil berlari ke sudut kamar lain. Senyumnya mengembang di
bibir, seakan menggoda. Hal itu membuat Ki Jenar semakin bernafsu. Lelaki tua
itu kembali bergerak, berusaha menangkap tubuh wanita bahenol di hadapannya.
"Kena kau He he he..., ayolah, Manis Jangan terus menggodaku," seru
Ki Jenar sambil menggandeng tangan wanita itu.
Sementara wanita cantik yang
tubuhnya tertutup kain kebaya kuning itu mengeluh manja. Ki Jenar yang sudah
tak kuat menahan ledakan nafsunya, terus menggandeng tangannya ke tempat tidur.
Tak lama kemudian, kamar itu
kembali sunyi.
Hanya sesekali terdengar suara
kekehan Ki Jenar dan keluhan-keluhan manja dari penari ronggeng.
***
Malam terus merangkak di bawah cahaya purnama.
Ronggeng di rumah Tarbiun masih berlangsung, walau telah banyak yang mabuk dan
tertidur. Kini tinggal lima orang jawara yang masih menari, mengikuti goyang
pinggul para penari ronggeng yang seakanakan tak membuat mereka ngantuk.
Terlebih-lebih melihat pantat para penari yang bahenol, selalu membangkitkan
gairah dan nafsu di dada para jawara itu.
Di kejauhan tampak seorang
pemuda bertubuh tegap dengan rambut gondrong melangkah mendekati rumah Tarbiun
yang masih ramai. Meskipun gamelan yang mengiringi tarian kelima Jawara Desa
Cadas Putih tidak sekencang tadi. Mungkin penabuh gamelan juga sudah lelah,
setelah sekian lama mengiringi para penari ronggeng. Namun suasana semarak
masih me-warnai halaman rumah besar Tarbiun.
"Hm, ternyata di sini
tempatnya," gumam pemuda yang kepalanya terikat kain batik itu. Matanya
menatap tajam ke tempat para penari ronggeng. Seakan memperlihatkan kekuatan
yang dimiliki. Wajah pemuda itu tampan, tapi sorot matanya sangat tajam dan
garang. Sorot mata itu seolah memancarkan sesuatu yang terpendam dalam
batinnya.
Pemuda itu terus melangkah
mendekat. Matanya masih menatap tajam pada kelima jawara yang tampak tak peduli
dengan kedatangannya, dan terus menari. Pemuda tampan itu melangkah, lalu
berdiri di salah satu sudut tiang atap tempat pergelaran ronggeng itu. Matanya
memperhatikan kelima jawara yang menari. "Siapa kau, Kisanak? Mau menari?
Ayolah..." ajak salah seorang jawara yang berkumis melintang.
Badannya yang tinggi besar
terbungkus pakaian hitam dengan kaos dalam loreng merah putih.
"Inikah rumah Ki Tarbiun?
Juragan keparat itu?" tanya pemuda itu dingin, seakan mengandung hawa
kebencian.
Pertanyaan itu membuat kelima
jawara yang masih menari tersentak kaget, dan menghentikan tariannya. Mata
kelima jawara itu menatap tajam pada pemuda itu.
"Jaga mulutmu, Anak Muda
Jangan sembarangan kau berkoar di sini" bentak Jaroi sengit.
Pemuda bertelanjang dada
dengan tubuh kekar itu tersenyum sinis, sepertinya tak peduli dengan bentakan
Jaroi. Dengan sikap tenang, kakinya melangkah mendekat.
"Kenapa...? Tarbiun
memang juragan keparat" dengus pemuda itu dengan senyum sinis masih
melekat di bibirnya.
"Bocah kurang ajar Jaga
mulutmu Apa kau sudah bosan hidup, berani menghina teman kami?" bentak
Satori sengit dengan mata melotot penuh amarah. Pemuda itu semakin melebarkan
senyum sinisnya. Jaroi dan teman-temannya kian marah. Mata mereka melotot
dengan napas mendengus geram.
"Kurang ajar Siapa
namamu?" bentak Kampani.
"Hm, rupanya kalian
cecunguk Tarbiun. Huh, aku Banteng Sumenep," jawab pemuda itu dengan
dengusan penuh kebencian. "Aku datang untuk menagih nyawa juragan kalian"
"Kurang ajar Lancang sekali mulutmu" dengus Jumeri seraya melangkah
maju dengan tangan siap mencengkeram pundak pemuda itu.
Pemuda yang mengaku bernama
Banteng Sumenep itu tetap tenang, tak ada gelagat untuk menghindar. Bibirnya
masih mengurai senyum sinis, dengan tatapan tajam ke wajah Jumeri yang semakin
mendekat Trep Kedua tangan Jumeri yang membentuk cakar mencengkeram kedua
pundak pemuda bertubuh kekar itu. Namun pemuda yang mengaku sebagai Banteng
Sumenep itu masih tenang. Malah semakin lebar tersenyum.
"Kubunuh kau, Bocah"
dengus Jumeri, marah.
"Hm, mampukah?"
tanya Banteng Sumenep, seakan sengaja menantang Jawara Desa Cadas Putih Itu.
"Kurang ajar
Heaaa..." Tangan kanan Jumeri terangkat, lalu dengan mengerahkan tenaga
dalam, ditamparnya kepala pemuda itu.
Prak "Ha ha ha..."
"Akh" Jumeri meringis kesakitan sambil melangkah ke belakang. matanya
terbelalak tegang. Dirasakan tangannya seperti remuk akibat memukul kepala
lawan. Sedangkan Banteng Sumenep yang dipukul malah tertawa terbahak-bahak.
"Heh?"
"Hah...?" Kelima Jawara Desa Cadas Putih benar-benar dibuat kaget,
menyaksikan kejadian itu. Mereka tahu pukulan Jumeri bukanlah sembarangan.
Jangankan kepala manusia, kepala kerbau pun akan hancur terhantam pukulannya.
Namun, pukulan 'Geledek Sewu' yang dimiliki Jumeri, bagaikan tak berarti sama
sekali bagi pemuda itu.
"Begitukah kehebatan
seorang jawara?" tanya Banteng Sumenep sambil mencibir penuh ejekan.
Matanya menatap tajam lima jawara yang masih diliputi keheranan. Mendadak
mereka bertambah marah mendengar ejekan pemuda itu.
"Keparat Siapa kau
sebenarnya, Bocah" bentak Jaroi dengan kumis turun naik, menahan
kemarahan. "Siapa? Tuli kau Sudah kukatakan, aku Banteng Sumenep. Aku
datang untuk menagih hutang nyawa majikanmu" sahut Banteng Sumenep semakin
keras. Sementara para penari ronggeng dan penabuh gamelan sudah menyingkir.
Mereka pun takut setelah menyaksikan bagaimana keampuhan pemuda, yang tak
mempan pukulan Jumeri.
Sedangkan Tarbiun dan
orang-orang yang sudah tidur, seketika terbangun mendengar suara ributribut di
halaman rumahnya. Mereka kini membuat lingkaran, mengepung Banteng Sumenep.
***
2
Tarbiun yang tak mengenal
siapa sebenarnya pemuda itu nampak mengerutkan kening. Kakinya kini melangkah
mendekati kelima Jawara Desa Cadas Putih, yang masih menghadapi si Banteng
Sumenep. Mereka nampak siap mengeroyok pemuda bertelanjang dada itu.
Tarbiun mengangkat tangan
kanannya ke atas, yang membuat kelima jawara menyurut mundur. Kemudian dengan
senyum mengembang di bibir, lelaki gemuk berwajah bulat berusia sekitar lima
puluh tahun itu mendekati sang Pemuda.
"Kisanak, siapakah kau
sebenarnya? Dan dari mana, serta punya urusan apa kemari...?" tanya
Tarbiun dengan suara tenang dan berusaha ramah.
Pemuda yang mengaku bernama
Banteng Sumenep itu tersenyum. Wajahnya masih menunjukkan ketenangan. Dihelanya
napas dalam-dalam dengan mata menatap lekat ke arah Tarbiun.
"Kaukah yang bernama
Tarbiun?" "Ya, ada apa?" "Aku datang untuk menagih
nyawamu," sahut Banteng Sumenep.
Terbelalak mata Tarbiun
mendengar ucapan pemuda itu. Begitu pula dengan kelima jawaranya, mereka
bertambah geram pada pemuda itu. Hampir saja kelimanya maju untuk menghajar
pemuda yang kurang ajar itu, namun Tarbiun dengan cepat melarangnya dengan
mengangkat tangan kanannya.
"Kisanak, apa salahku
sehingga kau hendak menuntut nyawaku?" tanya Tarbiun masih dengan suara
tenang.
"Masihkah kau belum
mengaku salah, Tarbiun? Bukankah kau yang telah membunuh ayahku?" bentak
Banteng Sumenep.
Tarbiun terbelalak kaget
mendengar tuduhan pemuda itu.
"Siapa kau
sebenarnya?" "Aku Mahesa Lanang, anak Ki Simbar Kanginan," jawab
pemuda itu.
"Rasanya, aku tak kenal
dengan ayahmu, Kisanak," jawab Tarbiun dengan suara masih tenang. Matanya
memandang tajam dengan tatapan penuh selidik. Hatinya merasa heran, karena
selama ini tak pernah berhubungan dengan orang yang bernama Simbar Kanginan.
Siapa Simbar Kanginan itu?
Tanya Tarbiun dalam hati. Selama ini aku tak pernah punya urusan dan
sangkut-paut dengan orang itu. Angin apa yang membuat pemuda ini datang mau
menuntut kematianku? "Huh, kau masih saja mau mungkir, Tarbiun"
bentak Mahesa Lanang. "Tidak ingatkah kau dengan kejadian dua puluh tahun
silam? Ketika terjadi pembunuhan di arena karapan?" Tarbiun yang merasa
tak pernah mengalami, atau lupa dengan kejadian dua puluh tahun silam
mengerutkan keningnya. Matanya memandang penuh tanda tanya pada pemuda gagah
bertelanjang dada yang ada di hadapannya.
"Dua dasa warsa
silam...?" gumam Tarbiun perlahan.
"Ya. Ketika kau dan
teman-temanmu membunuh seorang lelaki yang menjadi musuh bebuyutanmu, karena
sapi miliknya tak pernah terkalahkan. Lelaki itu dibunuh bersama istrinya saat
menonton karapan sapi. Beruntung seseorang berhasil menyelamatkan putranya yang
masih berusia lima tahun," tutur Mahesa Lanang.
Tarbiun masih mengerutkan
kening. Dia berusaha mengingat-ingat peristiwa yang pernah terjadi dua puluh
tahun silam. Namun, pikirannya tetap tak ingat akan kejadian itu. Hatinya tak
merasa pernah melakukan pembunuhan terhadap orang yang bernama Simbar Kanginan.
Lagi pula, dua puluh tahun yang silam dia belum mengikuti kegiatan karapan
sapi, karena memang belum kaya seperti sekarang ini.
"Aku tak pernah berurusan
dengan ayahmu, Bocah. Lagi pula, dua puluh tahun silam aku belum ikut kegiatan
karapan sapi," tutur Tarbiun.
"Hm, rupanya kau mau lari
dari hutang nyawa, Tarbiun. Bukankah di Desa Cadas Putih ini, hanya ada satu
nama Tarbiun?" tanya Mahesa Lanang.
"Ya, memang. Tetapi aku
tak tahu siapa sebenarnya kau dan ayahmu," sahut Tarbiun.
Jengkel juga orang tua gemuk
itu, karena Mahesa Lanang tetap menuduhnya melakukan semua tindakan sampai
ayahnya tewas. Padahal dua puluh tahun yang silam, dia tak tahu apa-apa tentang
karapan, selain hanya sebagai penonton biasa.
"Jadi kau tak mau
mengaku, Tarbiun?" "Tidak Jangan kau paksa aku, Bocah Atau kau akan
menghadapi jawara-jawaraku dan orang Desa Cadas Putih ini?" gertak Tarbiun
sengit.
Mahesa Lanang tersenyum,
sepertinya tak takut mendengar ancaman Tarbiun. Matanya memandang tajam pada
kelima jawara yang tadi hendak mengeroyoknya. Seakan ingin melihat sampai di
mana kehebatan kelima jawara itu.
"Juragan, bocah sombong
ini memang patut dihajar. Serahkan saja bocah ini pada kami," ujar Jaroi.
"Benar, Juragan. Bocah
sombong ini telah menghina Juragan. Dia harus dihajar..." sambut Jumeri
yang penasaran setelah dipecundangi pemuda itu.
Pukulannya yang dahsyat tak
berarti apa-apa bagi pemuda itu.
Banteng Sumenep tersenyum
mendengar ucapan para jawaranya. Seakan dirinya tak memandang sebelah mata pun
pada kelima jawara itu.
"Baiklah, Tarbiun. Kau
telah menolak semua yang kutuduhkan. Bagaimanapun juga, di Desa Cadas Putih
ini, hanya ada satu Tarbiun. Kau harus mati di tanganku," ancam Mahesa
Lanang dengan suara dingin dan datar.
Tarbiun dan kelima jawaranya
membelalakkan mata marah. Begitu juga dengan orang-orang yang berada di tempat
itu, kaget bercampur heran mendengar ucapan Mahesa Lanang.
Mereka merasa pemuda itu
terlalu sombong, karena di samping Tarbiun masih ada lima jawara yang memiliki
kepandaian dan kemampuan teruji.
Meski sehebat apa pun, melawan
kelima jawara Tarbiun bukan hal yang gampang dan mudah. Bahkan mungkin pemuda
itulah yang bakal tewas.
"Pemuda kurang ajar
Rupanya kau mencari masalah" bentak Tarbiun yang kini marah, setelah
berusaha sabar tetapi Mahesa Lanang tetap saja tak mau mengerti.
"Kuperintahkan, segera pergi dari sini, sebelum habis kesabaranku"
"Hm, kau tak bisa mengusirku begitu saja, Tarbiun. Sebelum kau mampus di
tanganku," dengus Ma-laga Lanang dengan mata menatap garang pada Tarbiun.
Matanya nampak memerah. Dari hidung dan telinganya, keluar angin deras
sebagaimana layaknya seekor banteng yang marah.
"Kurang ajar Tangkap
dia..." seru Tarbiun pa-da kelima centengnya.
"Memang pemuda itu patut
dihajar, Juragan" dingus Jaroi.
"Serahkan pada kami"
kata Ropii. Kelima jawara itu segera merangsek maju, berusaha menangkap Banteng
Sumenep. Namun belum pula mereka sampai, pemuda itu telah mendahului menyerang.
Tangannya bergerak cepat, memukul dan mancengkeram ke tubuh lima jawara itu yang
dengan cepat bergerak mengelak. "Hiaaa..." "Heaaa..."
Orang-orang yang ada di tempat itu seketika mundur beberapa langkah, untuk
memberi ruang gerak bagi mereka yang bertarung. Mereka pun sepertinya tak mau
terkena sasaran pukulan dari pertarungan itu. "Kubunuh kau, Bocah"
bentak Jaroi sambil menyerang maju dengan pukulan tangan kanannya.
Namun, Banteng Sumenep tak
menunjukkan gerakan untuk mengelak. Mulutnya malah menyeringai, dan membiarkan
lawan menghantam pukulannya.
Degk "Ukh" Jaroi
terpekik, tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang dengan mulut
meringis.
Tangannya dirasakan panas
bagai terbakar, akibat memukul dada lawan. Mata Jaroi terbelalak, tak percaya
dengan apa yang dirasakannya. Begitu pun dengan empat temannya serta Tarbiun.
Mereka benarbenar dibuat kaget, menyaksikan bagaimana Mahesa Lanang tak
mengalami apa-apa setelah menerima pukulan maut Jaroi. Pemuda itu hanya
tersenyum mengejek. "Hanya sebegitu kehebatanmu, Centeng Tolol?"
dengus Mahesa Lanang. Nada suaranya sangat dingin, sepertinya mengejek Jaroi.
"Cuih Sombong kau,
Bocah" dengus Jaroi marah, merasa malu karena di hadapan majikannya dia
tak mampu menunjukkan sesuatu yang berarti.
"Hm, tunjukkan kalau kau
masih memiliki yang lebih dari itu, ayo" tantang Mahesa Lanang seraya
senyum. "Kurang ajar Terimalah pukulan ‘Jalaprage-ni’ku. Heaaa..."
Jaroi yang sudah marah, segera mengeluarkan pukulan saktinya. Tangannya kini
berubah merah membara. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, Jaroi
menghantamkan pukulan dahsyat ke dada Mahesa Lanang.
"Heaaa..." Wrt Degk
"Aaakh..." Jaroi kembali terpekik keras. Tangannya dirasakan bagai
menghantam batu karang yang sangat kuat. Tubuhnya kembali terhuyunghuyung ke
belakang dengan mata terbelalak kaget, menatap tegang Banteng Sumenep yang
masih tersenyum. Sedikit pun tubuhnya tak bergeming mendapat pukulan dahsyat
lawan.
"Hm, hanya sebegitukah
kekuatanmu, Centeng? Kini terimalah balasanku" ujar Mahesa Lanang seraya
melangkah mendekati tubuh Jaroi. Senyum masih mengembang di bibirnya, seolah-olah
tak tergambar ke-marahan sedikit pun di wajahnya.
"Aku sudah siap"
jawab Jaroi menantang. Dianggapnya pemuda itu hanya mengandalkan kebesaran
tenaga, sedangkan ilmu silat dan tenaga dalamnya kosong. Sehingga, Jaroi masih
diam, menunggu serangan lawan.
"Benarkah kau sudah
siap?" Mahesa Lanang kembali bertanya.
"Huh, apa kau kira akan
mampu mengalahkanku?" dengus Jaroi sengit Mahesa Lanang tersenyum sinis,
kedua kakinya melangkah mendekati Jaroi. Sementara, keempat teman Jaroi dan
Tarbiun menatap penuh ketegangan pada Jaroi. Meski tahu siapa Jaroi sebenarnya,
tapi entah mengapa mereka merasa tegang menyaksikan penampilan pemuda itu.
"Bersiaplah, Centeng
Heaaa..." Tangan pemuda itu mencengkeram pundak Jaroi, kemudian dengan
cepat kepalanya diadukan dengan kepala Jaroi.
"Heaaa..." Jaroi
menyangka Mahesa Lanang akan mati menghadapi tenaga dalamnya. Maka segera
tenaga dalamnya dikerahkan untuk menahan benturan kepala lawan.
"Heaaa..." Brakkk "Akh..." Mata semua orang yang ada di
tempat itu terbeliak menyaksikan kepala Jaroi hancur berantakan akibat
berbenturan dengan kepala Mahesa Lanang. Seketika berhambur ke luar otak dan
darah dari kepala Jaroi.
Tubuh Jaroi terpental ke
belakang, menggelepar-gelepar sesaat, kemudian diam, mati dalam keadaan yang
mengerikan. Kenyataan itu semakin membuat berang semua orang yang menyaksikan.
Keempat Jawara lainnya marah, melihat tindakan pemuda itu.
Mahesa Lanang tersenyum kecut,
menatap mayat Jaroi yang tak karuan dengan kepala pecah. Sedangkan keempat
Jawara temannya semakin marah, setelah kematian Jaroi. Dengan mulut mendengus
geram, mereka serentak maju menyerang Mahesa Lanang. "Kubunuh kau, Bocah
Yeaaa..." Jumeri melesat dengan serangan dahsyat ke tubuh Mahesa Lanang.
Disusul ketiga kawannya merangsek sambil menyerang.
"Heaaa..."
"Yeaaat.." "Kubunuh kau, Bocah Yeaaa..." Jumeri melesat
dengan serangan dahsyatnya ke tubuh Mahesa Lanang. Disusul ketiga kawannya
bergerak merangsek.
"Heaaa... Yeaaat.."
Melihat keempat jawara itu menyerang, Mahesa Lanang tidak berusaha mengelak.
Dia hanya tersenyum dan tetap berdiri di tempatnya Melihat keempat jawara itu
menyerang, Mahesa Lanang tidak berusaha mengelak. Sambil tersenyum tetap
berdiri di tempatnya, seakan siap untuk menerima hantaman tangan keempat jawara
itu.
Degk Degk...
"Ukh"
"Akh..." Keempat lelaki bertubuh besar yang menyerang itu mengeluh,
tubuh mereka terhuyung-huyung ke belakang dengan mata terbelalak. Mereka tak
percaya, kalau pukulan-pukulan mereka yang sudah terbukti kehebatannya, tak
mempan bagi Mahesa Lanang.
Bahkan mulut pemuda itu
menyeringai, mengejek keempat lawannya.
"Hanya sebegitukah
kemampuan kalian?" tanya Mahesa Lanang dengan tersenyum. Matanya yang
merah, menatap tajam keempat jawara yang terpaku, penuh rasa heran bercampur
geram menyaksikan senyum pemuda itu.
"Bedebah Kubunuh kau,
Bocah Sombong" geram Jumeri marah. Tubuh lelaki itu melesat maju dengan
tangan siap menyerang. Namun, dengan cepat Mahesa Lanang menangkapnya.
Trap "Heaaa..."
Mahesa Lanang dengan cepat menyentakkan tangan Jumeri. Kemudian lelaki
berpakaian hitam itu diangkatnya. Dan....
"Heaaa..." Wrrrt
Brak "Aaakh..." Jumeri terpekik, ketika tubuhnya dengan keras
dibanting ke tanah. Tulang-belulangnya bagaikan remuk, akibat bantingan yang
sangat keras itu. Sesaat Jumeri meregang, kemudian diam tanpa nyawa.
Suasana bertambah riuh.
Jeritan-jeritan ketakutan dari para penari ronggeng dan penabuh gamelan
terdengar memecah suasana malam. Tarub atau atap tempat pergelaran ronggeng
ambruk dan hancur. Seketika itu pula orang-orang yang mabuk, terperanjat dan
bangun karena dikagetkan suara jeritan itu.
Menyaksikan mayat Jaroi dan
Jumeri, orangorang yang baru bangun itu marah. Mereka tak menghiraukan siapa
pemuda itu, dan bagaikan tak melihat bagaimana Jumeri dibanting sampai mati
dengan tulang remuk. Mereka langsung menghunus senjata mengepung Mahesa Lanang.
"Tangkap pemuda itu,
jangan sampai lolos..." teriak Tarbiun pada orang-orang yang ada di
rumahnya untuk menangkap Mahesa Lanang.
"Aku tak akan lari,
sebelum mencabut nyawamu" sahut Mahesa Lanang seraya maju menghadang
orang-orang yang hendak menangkap dan menyerangnya. Pemuda bertelanjang dada
dengan tubuh kekar itu bagaikan tak takut meskipun menghadapi lawan bersenjata.
Dengan langkah tegap Mahesa Lanang terus menghadang mereka.
"Heaaa..." Trak Begk
Bacokan dan tusukan senjata yang dilakukan para pengeroyoknya tak berarti sama
sekali. Tubuh Banteng Sumenep tak mempan apalagi tergores senjata lawan. Bahkan
beberapa senjata tajam itu patah, bagai menghantam benda keras yang kuat.
Prak "Heh...?" Semua
mata yang menyerang terbelalak, seolah-olah tak percaya pada apa yang terjadi.
Mereka segera melompat mundur dengan mata masih menatap tegang pada Mahesa
Lanang yang masih tersenyum mengejek.
"He he he... Apa ada
senjata lain yang lebih hebat dari itu?" tantang Mahesa Lanang dengan
sombong. Kakinya terus melangkah mendekat ke arah Tarbiun yang kian tegang,
menyaksikan pemuda itu menghampirinya.
"Jangan hanya diam Serang
dia..." perintah Tarbiun. Hatinya semakin tegang setelah menyadari kalau
pemuda itu tak mempan senjata.
Orang-orang yang melihat
Banteng Sumenep hendak mendekati segera berusaha menghadang. Namun dengan
sekali menghentakkan tangan, pemuda itu mampu membuat lawan yang menghadang
langsung berhamburan terpental ke mana-mana.
"Kau harus mampus,
Tarbiun" dengus Mahesa Lanang setelah menyingkirkan orang-orang yang
menghadangnya. Matanya yang merah, menatap tajam wajah Tarbiun yang mundur
ketakutan. Tarbiun bagaikan dihadapkan pada malaikat maut yang siap merenggut
nyawanya.
"Oh Apa salahku, Anak
Muda? Mengapa kau hendak membunuhku...?" ratap Tarbiun dengan perasaan
tegang, menyaksikan pemuda bertubuh kekar itu semakin dekat dengannya. Mahesa
Lanang tersenyum dingin, seakan-akan tak mau memberi ampun sedikit pun pada
Tarbiun.
"Kau harus mampus,
Tarbiun" dengus Mahesa Lanang. Giginya bergemeretuk keras menahan amarah.
"Ki Jenar, tolong..." jerit Tarbiun berusaha memanggil orang tua
sakti yang diharapkan mampu menolongnya. Namun, lelaki tua itu sepertinya
terlelap dalam tidurnya, bersama wanita penari ronggeng.
Sementara itu, Banteng Sumenep
telah berada di depan Tarbiun dan siap mencengkeram pundak lelaki setengah baya
itu.
Trep "Tidak Ampun"
Tarbiun menjerit dan meratap pada pemuda bertubuh kekar itu. Namun Banteng
Sumenep tak mempedulikan ratapan Tarbiun. Direnggutnya kepala lelaki bertubuh
gemuk itu, lalu dibenturkan dengan kepalanya sendiri.
Prak "Akh..."
Tarbiun terpekik keras. Kepalanya hancur dengan otak dan darah berhamburan.
Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar setelah Mahesa Lanang melepaskan
cengkeramannya, tapi kemudian diam tak berkutik se-lamanya.
Orang-orang yang menyaksikan
kematian Tarbiun seketika menjerit-jerit ketakutan. Mereka berhamburan,
meninggalkan rumah saudagar kaya itu.
Banteng Sumenep tersenyum.
Kemudian dengan tenang meninggalkan rumah Tarbiun, menembus malam yang
menjelang pagi.
***
3
Pagi-pagi penduduk Desa Cadas
Putih berdatangan ke rumah Tarbiun untuk membuktikan kabar yang ramai tersiar
di desa itu. Mereka mendengar dari beberapa orang yang semalam begadang di
rumah saudagar itu, bahwa ada banteng mengamuk.
"Apa? Banteng...? Banteng
mengamuk?" tanya salah seorang warga desa, ketika mendengar berita bahwa
Juragan Tarbiun dan kelima jawaranya mati diamuk banteng.
"Ah Masa dengan seekor
banteng kelima jawara itu kalah? Rasanya tak mungkin" sambung yang
lainnya, tak percaya pada berita kematian Tarbiun dan kelima jawaranya.
"Dasar tolol Bukan
banteng sembarangan yang menyerang mereka di rumah Juragan Tarbiun," sahut
orang yang menceritakan masalah itu pada kedua rekannya.
"Lalu banteng apa?"
tanya lelaki kurus itu tak mengerti maksud kawannya.
"Iya, banteng mana
lagi?"
sambung yang bertubuh gendut
"Yang ku maksud, julukan orang Pemuda berbadan kekar dan tak mempan dengan
senjata. Kepalanya pun sangat kuat," tutur Sabian. "Pemuda itu
mengaku bernama Mahesa Lanang. Ng..., dia juga berjuluk Banteng Sumenep."
Berbondong-bondong mereka berdatangan ke rumah Juragan Tarbiun untuk melayat
dan menyaksikan, apa yang sebenarnya terjadi di rumah Juragan Tarbiun. Di
antara kerumunan orang yang hendak melihat mayat di rumah Juragan Tarbiun ada
seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular. Tingkah laku pemuda itu mengundang
perhatian orang-orang yang datang ke rumah Tarbiun.
"Ah ah ah..., rupanya di
sini ada banteng mengamuk," gumam pemuda berpakaian rompi kulit ular, yang
ternyata Sena Manggala, atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Gila.
Mulutnya yang tampak cengengesan, membuat semua orang yang ada di rumah Tarbiun
seketika mengalihkan pandangan pada pemuda yang bertingkah laku seperti orang
gila itu.
Sena menggaruk-garuk
kepalanya. Dengan masih cengengesan, diperhatikan mayat-mayat yang pecah
kepalanya. Kepala mereka seperti habis diadu dengan batu karang yang besar dan
kuat "Hi hi hi... Di sini tak ada karang, tetapi kepala mereka pecah
seperti membentur karang. Ah, aneh sekali...," kembali Sena bergumam
sambil menggeleng-gelengkan kepala, menyaksikan kejadian itu. Tangannya
menggaruk-garuk kepala, dengan mulut masih cengengesan.
Setelah memperhatikan dengan
seksama keadaan tubuh mayat-mayat di rumah Juragan Tarbiun, dengan cengengesan
Sena meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan. Namun, tiba-tiba
langkahnya terhenti, ketika dilihatnya seorang wanita cantik berpakaian merah
tua berlari tergesa-gesa menuju rumah Tarbiun. Sepertinya ada sesuatu yang
hendak dilakukan wanita cantik itu.
"Ah, mengapa harus
kupikirkan? Siapa pun dia, kurasa orang biasa," gumam Sena sambil
melanjutkan langkah kakinya, meninggalkan tempat itu. Baru saja kakinya
berjalan beberapa langkah, tiba-tiba dari belakang terdengar suara seorang
wanita memanggilnya.
"Tuan, tunggu..."
Suara yang merdu itu cukup membuat Sena menghentikan langkahnya. Tubuhnya
langsung berbalik, dan memandang ke asal suara tadi. Pemilik suara itu ternyata
gadis cantik berpakaian merah tua yang tadi dilihatnya. Gadis itu berlari-lari
menghampiri Pendekar Gila.
Sena cengengesan dengan mata
memandang gadis cantik itu. Lalu tangannya kembali menggarukgaruk kepala. Gadis
cantik berusia sekitar dua puluh empat tahun itu mengerutkan keningnya, melihat
tingkah pemuda tampan di depannya. Mata gadis itu menatap tajam wajah Sena.
Gadis itu seperti hendak memastikan siapa lelaki muda berusia sebaya dengan
dirinya itu.
"Aha, ada gerangan apa
kau memanggilku, Nisanak?" tanya Sena, masih dengan cengengesan. Kepalanya
kini mendongak ke atas, menatap langit biru.
Tampak sekawanan burung
terbang ke utara menimbulkan suara yang ramai.
"Kaukah yang berjuluk
Pendekar Gila?" tanya gadis itu agak ragu-ragu.
Sena mengerutkan kening.
Kemudian tertawa terbahak-bahak, hingga tubuhnya ikut terguncangguncang. Lalu
tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Aha, terlalu tinggi
julukan itu bagiku, Nisanak.
Namaku Sena. Hanya orang-orang
saja yang memberiku julukan Pendekar Gila. Padahal julukan itu terlalu tinggi
bagi orang setolol dan sebodoh diriku," gumam Sena masih cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. "Jadi benar kau Pendekar Gila?" tanya
gadis cantik itu memastikan.
"Aha, terserah kau saja,
Nisanak," jawab Sena seenaknya. Sikapnya yang persis orang tolol, membuat
gadis cantik itu menarik napas keheranan. Ada perasaan gemas terlintas di
wajahnya, melihat tingkah laku dan ucapan Pendekar Gila yang konyol.
"Namaku Kinanti,"
ujar gadis itu memperkenalkan dirinya. Kemudian setelah memperhatikan Sena
dengan seksama, Kinanti melanjutkan kata-katanya.
"Aku mendapat pesan dari
guruku, jika menjumpaimu agar mengajak ke padepokannya." "Hi hi
hi..., siapa gurumu, Nisanak?" tanya Se-na sambil cengengesan.
"Guruku Ki Windu
Ajar," jawab Kinanti.
Pendekar Gila mengerutkan
keningnya. Dia belum pernah bertemu orang yang dimaksud Kinanti. Hal itu
membuat Sena nyengir, dan tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Lalu
kepalanya digelenggelengkan sambil tertawa cekikikan.
"Ah ah ah... Ada apa
gerangan hingga gurumu memanggilku, Nisanak?" "Entahlah.... Yang
pasti, guru mengundangmu," jawab Kinanti agak ketus. Gadis itu tampak
gemas mendengar pertanyaan dan tingkah laku Pendekar Gila.
"Aha, kau nampak
cemberut, Nisanak? Hi hi hi..., tak baik cemberut Nanti kecantikanmu
hilang," goda Sena sambil masih cengengesan.
Kinanti semakin merengut,
matanya melotot lebar. Hal itu membuat Sena tertawa terbahak-bahak dengan
tangan menggaruk-garuk kepala.
"Dasar gila" maki
Kinanti. "Guru menunggu kedatanganmu. Ayo ikut aku" "Hi hi hi...
Ke mana, Ni?" goda Sena semakin membuat Kinanti jengkel dan kesal. Namun,
Pendekar Gila malah tertawa terbahak-bahak, merasa senang menggoda gadis cantik
itu. Saat itu pula ingatannya kembali melayang pada Mei Lie yang ditinggalkan
di rumah Ki Gede Mantingan.
Gadis itu hampir mirip dengan
Mei Lie. Hanya hidungnya yang lebih mancung. Rambutnya pun berombak panjang,
mirip dengan rambut Mei Lie. Hal itu pula yang membuat Sena tertarik untuk
menggoda Kinanti. "Sinting Ayo cepat ikut aku" sentak Kinanti yang
kian kesal melihat tingkah laku dan ucapan Pendekar Gila. Hati gadis itu agak
berdebar, ketika matanya beradu pandang dengan Pendekar Gila. Meski bertingkah
laku seperti orang gila, tapi ketampanannya cukup membuat hati wanita itu
berdebar-debar.
"Aha, kenapa kau terlalu
memaksa, Nisanak? Tapi baiklah," ujar Sena.
Tanpa banyak berkata lagi,
Kinanti segera mengajak Pendekar Gila menuju kediaman gurunya. Keduanya lalu
berlari meninggalkan Desa Cadas Putih menuju Pegunungan Blige, tempat kediaman
Ki Windu Ajar. Meski belum mengerti apa yang hendak dilakukan Ki Windu Ajar
pada dirinya, Pendekar Gila menuruti, karena dilihatnya ada tanda-tanda baik.
Kakinya terus berlari mengikuti ke mana Kinanti pergi.
***
Pendekar Gila terus mengikuti Kinanti yang
mengajak ke tempat kediaman gurunya. Keduanya seakan tak merasa lelah, terus
berlari. Hal itu karena Kinanti ingin segera sampai ke tempat gurunya.
Begitu juga dengan Pendekar
Gila yang masih penasaran dan ingin tahu siapa guru gadis cantik itu, berusaha
ingin cepat sampai. Meski keduanya baru bertemu, tapi Pendekar Gila melihat
gadis itu bermaksud baik. Itu pula yang membuatnya tak merasa sungkan.
"Aha, masih jauhkah tempat gurumu, Ni?" tanya Sena sambil terus
menggoda. Sesekali larinya diperlambat, sehingga gadis itu harus memperlambat
larinya. Namun tiba-tiba melesat cepat, sampai Kinanti tak mampu mengejarnya.
"Dasar gila" gerutu
Kinanti. "Hei, tunggu..." Kinanti berseru sambil mengejar Pendekar
Gila yang tertawa terbahak-bahak dengan menggarukgaruk kepala.
"Hua ha ha... Lucu sekali
kau, Ni Mengapa kau seperti burung pipit yang patah sayapnya?" "Dasar
gila, sebel" maki Kinanti yang terpaksa tersenyum juga melihat tingkah
laku pemuda konyol itu.
"Hi hi hi.... Sebel? Ah
ah ah, bahaya kalau begi-tu" gumam Sena yang membuat Kinanti mengerutkan
kening, tak mengerti maksud ucapan Pendekar Gila.
"Bahaya...? Bahaya
kenapa, Sena?" tanya Kinanti. "Aha, bukankah sebel artinya senang
betul? Hi hi hi..." Kinanti agak tersentak mendengar ucapan Sena barusan.
Wajahnya yang tampak memerah tampak tersipu malu. Matanya membelalak, tapi
bukan karena marah. "Kinanti, ada apa...?" Kinanti dan Sena tersentak
kaget ketika tibatiba terdengar suara orang menyapa. Keduanya segera menoleh ke
asal suara itu. Tampaklah seorang pemuda tampan bertelanjang dada, berusia
sekitar dua puluh lima tahun melangkah mendekat ke arah mereka berdua.
"Eh, Kakang Mahesa Kau di sini, Kakang?" sa-pa Kinanti sambil
tersenyum manis melihat pemuda bertelanjang dada yang dipanggilnya Mahesa.
"Sena, ini kakak seperguruanku. Namanya Mahesa Lanang.
Tapi sering disebut Banteng
Sumenep." "Aha, sungguh sebuah keberuntungan bagiku, bisa berkenalan
denganmu, Kakang Mahesa," sahut Sena dengan tingkah laku yang masih
konyol. Mulutnya cengengesan, dengan sesekali nyengir kuda. Tangannya
menggaruk-garuk kepala, seperti kebanyakan kutu. "O, inikah yang biasa
disebut Pendekar Gila, Kinanti?" tanya Mahesa Lanang tersenyum-senyum,
melihat tingkah laku Sena yang aneh, seperti orang gi-la.
"Benar, Kakang. Dialah
yang dimaksud guru," jawab Kinanti menjelaskan. "Apakah guru ada,
Kakang?" "Oh, ada. Guru tengah menunggu kalian," sahut Mahesa
Lanang. Matanya yang tajam, sejenak menatap lekat pada Pendekar Gila. Seakan-akan
ada sesuatu yang menarik perhatian Mahesa Lanang pada diri Pendekar Gila.
"Terima kasih, Kakang
Ayo, Sena" ajak Kinanti pada Pendekar Gila. "Kau mau ke mana,
Kakang?" ta-nyanya kemudian pada Mahesa Lanang.
"Aku ingin jalan-jalan,
cari angin," jawab Mahesa Lanang. Matanya masih menatap lekat Pendekar
Gila yang masih cengengesan sambil garuk-garuk kepala.
Bahkan tingkahnya semakin
bertambah konyol, membuat Mahesa Lanang tersenyum kecut sambil berlalu
meninggalkan mereka.
Pegunungan Blige yang terletak
di sebelah utara Desa Karang Tengah membentang dari barat ke timur. Pegunungan
itu tampak seperti mengurungi Desa Karang Tengah. Di lereng Pegunungan Blige,
tepatnya di Desa Karang Tengah, ada sebuah padepokan yang bernama Padepokan
Gedangan Lor. Di padepokan itulah Ki Windu Ajar tinggal bersama murid-muridnya,
yang tengah menuntut ilmu.
Lereng Pegunungan Blige tampak
sangat indah.
Di sekelilingnya tumbuh
pepohonan menghijau. Saat itu memang sedang musim semi, di mana daun-daun mulai
bersemi, yang membuat suasana di lereng Pegunungan Blige bertambah indah.
Kinanti dan Pendekar Gila
segera menaiki lereng pegunungan itu, tempat kediaman Ki Windu Ajar.
Keduanya berlari-lari kecil,
sambil tertawa-tawa seperti dua orang bocah yang sedang bercengkerama.
Tak lama kemudian, keduanya
sampai di Padepokan Gedangan Lor.
"Ayo Sena," ajak
Kinanti ketika Pendekar Gila masih memandangi puluhan murid Ki Windu Ajar yang
sedang berlatih ilmu silat. Pendekar Gila menggarukgaruk kepala sambil
cengengesan. Hal itu membuat Kinanti tersenyum sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
Keduanya segera masuk ke
padepokan. Di dalam tampak seorang lelaki tua berambut putih dengan jenggot
serta kumis putih duduk bersila. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun
dengan pakaian seperti resi itu tersenyum ketika melihat kedatangan Pendekar
Gi-la. Kemudian lelaki berpakaian resi warna hijau itu bangun dari duduknya.
"O, selamat datang di
Pulau Madura, Pendekar Gila Lama sekali aku ingin bertemu denganmu.
Silakan..." ajak Ki Windu Ajar mempersilakan tamunya duduk. Pendekar Gila
pun menurut duduk. Kemudian dengan cengengesan sambil garuk-garuk kepala,
matanya memandang ke sekeliling tempat itu. Tampak senjata-senjata pusaka
bergelantungan di sekitar ruangan itu. Di belakang tubuh Ki Windu Ajar,,
berdiri dua batang tombak. Di samping kanan dan kiri, tergantung sepasang
pedang.
"Aha, terima kasih atas
sambutanmu yang ramah dan baik ini, Ki. Terlebih dengan Ni Kinanti. Hi hi
hi..." ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan, membuat
Kinanti merengut dengan pipi merona merah.
Ki Windu Ajar yang melihat
muridnya tersipu malu, turut tersenyum-senyum. Sepertinya lelaki tua berpakaian
jubah hijau tua itu senang, melihat muridnya akrab dengan Pendekar Gila.
"Aha, kalau boleh kutahu,
ada apa gerangan Ki Ajar memanggilku...?" tanya Sena berusaha
sungguh-sungguh, setelah tersenyum-senyum dan cengengesan.
Ki Windu Ajar sesaat terdiam.
Dihelanya napas dalam-dalam, seolah-olah hendak menenangkan perasaan. Sejenak
matanya memandang lepas ke sekitar padepokannya.
"Pendekar Gila, sudah
lama aku mengharapkan kau datang ke Pulau Madura ini. Sebenarnya aku ingin
sekali minta padamu agar bersedia memberikan bimbingan pada muridku
Kinanti," tutur Ki Windu Ajar, seraya menoleh ke arah Kinanti Gadis cantik
berpakaian merah tua itu menundukkan kepala, dengan rona merah menghias di
wajahnya. Matanya berbinar-binar, seperti ada sesuatu yang terkandung dalam
hatinya. Dengan malu-malu Kinanti mengangkat kepalanya, lalu melirik Pendekar
Gila yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, lucu sekali kau, Ki
Mengapa harus aku yang kau percaya? Bukankah kau memiliki murid yang telah
berpengalaman?" kilah Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala dan
cengengesan.
Kinanti menundukkan kepala,
merasa berdebar hatinya. Dia khawatir kalau pendekar muda itu akan menolak
untuk diikuti olehnya. Di sisi lain hatinya, Kinanti juga merasa ada sesuatu
yang aneh. Perasaan yang sulit diucapkan dengan kata-kata. Hanya dirinya
sendiri yang dapat mengerti, apa sebenarnya yang terkandung di dalam batinnya.
"Maksudmu Mahesa Lanang,
Pendekar Gila?" balik Ki Windu Ajar bertanya.
"Aha, benar. Muridmu yang
bernama Mahesa Lanang," jawab Sena dengan tangan kembali menggaruk-garuk
kepala. Mulutnya nyengir kuda. Melihat itu Ki Windu Ajar tersenyum-senyum,
seraya menghela napas dalam-dalam.
"Rasanya aku tak tega
kalau Kinanti harus bersamanya," gumam Ki Windu Ajar. Raut wajahnya
seketika berubah muram, seperti ada sesuatu yang terpendam dalam batinnya.
"Aha, mengapa begitu, Ki?
Bukankah Mahesa Lanang kakak seperguruan Kinanti sendiri...?" tanya Sena
sambil mengernyitkan kening dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala.
Ki Windu Ajar terdiam
sepertinya sangat sulit untuk menjawab pertanyaan yang baru dilontarkan
Pendekar Gila. Ada sesuatu yang seakan disembunyikan di dalam perasaan lelaki
tua itu.
"Entahlah. Aku tak sehati
dengan Mahesa. Aku tak tega, kalau Kinanti berada dengan Mahesa Lanang,"
ujar Ki Windu Lanang. "Bagaimana, Pendekar Gila? Apakah kau bersedia
membimbing dan membagi pengalaman pada muridku?" Pendekar Gila
menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan, mendengar permintaan Ki Windu
Ajar. Dia seakan-akan merasa jengah, kalau harus berjalan dengan seorang gadis.
Apalagi belum begitu lama dia mengenalnya. Sedangkan dengan Mei Lie saja dia
sering merasa tak enak.
Ah, aneh sekali orang tua ini
Bagaimana mungkin aku harus berjalan dengan seorang gadis? Gumam Sena dalam
hati, merasa heran dengan permintaan Ki Windu Ajar yang begitu percaya kalau
dia pemuda baik-baik. Ah Haruskah aku menerimanya...? "Bagaimana, Pendekar
Gila? Maukah kau berjalan bersama muridku?" desak Ki Windu Ajar, dengan
mata menatap wajah Pendekar Gila. Ki Windu Ajar benar-benar mengharap dengan
sepenuh hati, akan kesediaan Pendekar Gila untuk menuntun muridnya mencari
pengalaman di dunia persilatan.
"Ah ah ah, kau percaya
padaku, Ki?" tanya Se-na dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala.
Kemudian melirik Kinanti, yang
tersipu malu.
"Ya, aku merasa tenang
jika muridku bersamamu, Pendekar Gila." "Aha, namaku Sena, Ki,"
tukas Sena cepat, memperkenalkan namanya.
"Begitulah, Sena. Aku
rasa, lebih aman jika Kinanti bersamamu." "Aha, kalau memang begitu,
baiklah. Sekarang aku mohon pamit, Ki. Karena aku harus segera meneruskan
perjalanan," ujar Sena sambil berdiri.
"Guru, aku mohon
doamu" pinta Kinanti.
"Hati-hatilah Doaku
menyertai kalian." Setelah menjura, Sena dan Kinanti segera keluar dari
Padepokan Gedangan Lor tempat kediaman Ki Windu Ajar. Dan terus meninggalkan
Pegunungan Blige.
***
4
Pendekar Gila dan Kinanti
telah sampai di perbatasan Desa Karang Tengah. Keduanya tengah melintasi Bukit
Sandang Batari, ketika tiba-tiba dari balik rerimbunan pohon berlompatan empat
sosok tubuh berselubung kain hitam di kepala. Di tangan keempat orang
berpakaian coklat itu tergenggam clurit tajam yang berkilat putih keperakan.
"Berhenti..." Salah
seorang dari keempat orang berselubung hitam membentak. Tubuh keempatnya sama
tinggi dan tegap. Mata mereka yang tampak beringas menatap tajam pada Pendekar
Gila.
"Hi hi hi.. Ada
kelelawar-kelelawar jelek yang menghadang kita, Kinanti. Lihat muka mereka lucu
sekali, bukan?" Sena tertawa sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah
lakunya yang seperti orang gila, membuat orang-orang berselubung hitam itu
mendengus sengit "Kaukah yang bernama Pendekar Gila?" bentak lelaki
yang mungkin pimpinan atau orang yang paling tua dari keempatnya. Matanya
menatap tajam, seakan penuh amarah terhadap Pendekar Gila yang masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hua ha ha... Siapa yang
gila? Kalian yang gila?" sahut Sena dengan cengengesan. "Aha, pantas
sekali kalau kalian gila. Rupanya kalian malu, sehingga menutupi muka. Hi hi
hi..." Mata keempat lelaki berselubung kain hitam itu membelalak mendengar
ucapan Pendekar Gila. Mereka mendengus, semakin sengit menyaksikan tingkah laku
Pendekar Gila yang dianggap sebagai hinaan.
"Kurang ajar Kau terlalu
berani dengan Catur Demit, Pendekar Gila" bentak Ranjani yang ternyata
pimpinan Catur Demit. Matanya tambah garang menatap wajah Pendekar Gila.
Pendekar Gila kembali tertawa
terkekeh, tangannya menggaruk-garuk kepala. Lalu mulutnya cengengesan sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Ditatapnya sejenak wajah Kinanti, seakan-akan
berusaha memberi tahu pada gadis itu. Kinanti hanya tersenyum-senyum melihat
tingkah lakunya yang konyol, sambil memegang pedang yang telah tercabut dari
warangkanya.
"Kinanti, mereka itulah
yang dinamakan kelelawar. Hi hi hi... Lucu bukan?" Sena mengejek sambil
memonyongkan mulutnya. Kemudian kembali tertawa terbahak-bahak sambil
berjingkrak-jingkrak seperti seekor kera.
"Bocah edan Rupanya kau
perlu berkenalan dengan Catur Demit" bentak Ranjani semakin marah
mendengar ucapan dan tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan menjengkelkan.
Mendengar bentakan keras
Ranjani, Pendekar Gila malah tertawa semakin keras sambil menggarukgaruk
kepala, lalu berjingkrakan. Hal itu membuat Kinanti yang sudah tak sabar,
segera hendak maju.
"Sena, biar kubereskan
mereka" "Aha, mereka memang perlu diusir. Karena mereka sering
menakut-nakuti bayi. Hi hi hi..." ejek Sena sambil tertawa cekikikan.
"Kurang ajar Kubunuh kau,
Bocah Edan" bentak Ranjani. Kemudian tangan kanannya bergerak, memberi
perintah pada ketiga temannya agar segera menyerang Pendekar Gila.
"Aha, rupanya kalian
mencari mati, Kelelawar Jelek Hi hi hi..." "Kubunuh kau, Bocah Edan
Heaaa..." Keempat Catur Demit langsung menyerang Pendekar Gila.
Wrt "Aha, galak sekali
kalian Wuah, bahaya kalian main-main clurit," ejek Sena sambil menggeser
kaki ki-ri ke samping, lalu membungkukkan tubuh untuk mengelakkan serangan.
Clurit lawan menderu di atas tubuhnya.
"Sena, kita tak boleh
main-main. Mereka harus segera disingkirkan" seru Kinanti sambil bergerak
memapaki serangan dua lawannya.
"Heaaa..." Wrt
Pedang di tangan Kinanti bergerak cepat, membabat dan menusuk ke tubuh
lawannya. Hal itu sempat membuat kedua lawannya tersentak kaget. Keduanya
segera melompat mundur, kemudian dengan cepat pula memutar golok untuk
menangkis serangan pedang gadis itu.
"Haits Heaaa..."
Trang Trang "Yeaaa..." Dua dentangan keras terdengar secara beruntun
ketika pedang Kinanti membentur dua clurit yang berkelebat di depannya.
Bagaikan macan betina, tubuh Kinanti terus bergerak cepat dan lincah dengan
pedang berkelebat menyerang dua orang lawannya. Pedangnya berputar bagaikan
baling-baling yang bergerak cepat, menyerang dengan sabetan-sabetan dan tusukan
keras mengarah ke tempat-tempat yang mematikan.
"Heaaa" Wrt Pedang
di tangan gadis cantik bergaun merah tua itu tak pernah berhenti. Tangannya
terus bergerak memutar pedang, membabat, dan menusuk ke dada dan pinggang kedua
lawannya.
Keganasan Kinanti dalam
melakukan seranganserangannya, membuat kedua lawan harus terbelalak kaget.
Mereka tak menyangka, kalau gadis itu akan lebih garang daripada Pendekar Gila.
"Celaka, Gento Ternyata
kita salah serang," se-ru Sampian pada temannya, karena merasa serangan
Kinanti lebih berbahaya dibandingkan dengan pemuda bertingkah laku seperti
orang gila, yang kini menghadapi kedua orang temannya.
Serangan-serangan Pendekar
Gila memang nampaknya lemah dan pelan. Namun, kalau saja mereka merasakan
sendiri, akan mengalami kesulitan untuk dapat menerobos pertahanan dan
membuyar-kan serangan Pendekar Gila. Hal itu dapat diketahui, dari kedua orang
teman mereka yang tersentak kaget dengan mata membelalak. Kedua lawan Pendekar
Gila sepertinya tak percaya kalau gerakan yang seperti menari dan lemah
ternyata sangat kuat dan cepat "Hi hi hi..." Sambil tertawa-tawa,
Pendekar Gila terus melancarkan serangannya dengan jurus ‘Si Gila Menari Menepuk
Lalat’. Sebuah jurus dari 'Ilmu Silat Si Gila' yang sangat dahsyat, meskipun
kelihatan lemah dan lamban.
Gerakan Pendekar Gila yang
seperti tak mengandung kekuatan membuat kedua lawan merasa penasaran. Mereka
segera menggebrak dengan sabetan clurit dan tendangan kaki ke tubuh lawan yang
masih bertangan kosong. Tubuh Pendekar Gila masih meliukliuk seperti menari.
"Hancur kepalamu,
Pendekar Gila" "Buntung lehermu" Wrt Srt Pendekar Gila menarik
tubuh ke belakang, lalu meliuk dan merendah mengelak dari serangan senjata
lawan. Dan ketika mendapat kesempatan agak luang, segera tangannya ditepukkan
ke dada lawan.
"Heaaa Hi hi hi...
Hih..." Wsss "Eit Jurus edan" maki salah seorang dari lawannya
dengan mata terbelalak kaget, ketika merasakan tepukan tangan Pendekar Gila.
Meski gerakan tangan itu tampak pelan, tetapi angin yang ditimbulkan terasa
kuat dan menyentak. Cepat-cepat kedua lawannya melompat ke belakang, saling
pandang dengan mata membelalak kaget "Ilmu siluman" maki temannya.
"Ya. Aneh sekali Padahal gerakannya
sangat pelan dan lemah," gumam Kadri.
"Apa kita akan
membiarkannya, Kadri?" Kadri menghela napas berat. Lelaki itu seolaholah
tengah berusaha mendalami apa sebenarnya yang dilakukan pemuda bertingkah laku
seperti orang gila itu. Sementara Pendekar Gila malah tertawa terbahakbahak
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Mata Kadri menatap tajam wajah Pendekar
Gila. Dia merasa heran dan marah melihat gerak-gerik dan jurus pemuda itu.
"Hi hi hi... Kalian nampaknya seperti kelelawar yang ketakutan. Lucu
sekali, mengapa kalian menangis. Hi hi hi..." ejek Sena sambil
menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan. Sesekali pandangan matanya ke
atas, seakan memandang langit yang biru.
"Bocah edan Jangan kira
kami kalah olehmu" dengus Kadri semakin penasaran dan sengit, menyaksikan
tingkah laku Pendekar Gila yang konyol, dan menjengkelkan.
"Hi hi hi Aha, kurasa aku
tak menyuruh kalian mengalah. Ah, kalian lucu sekali..." ejek Sena sambil
cekikikan.
"Kurang ajar Mulutmu
harus dibeset, Pendekar Gila" bentak Ranjani sengit.
"Hi hi hi, kalian minta
kubeset mulutnya? Aha, baiklah kalau itu yang kalian minta. Ayo..." sahut
Se-na.
"Kurang ajar
Heaaa..." Wut "Yeaaa..." Kadri dan Ranjani yang sudah tak sabar
melihat tingkah laku Pendekar Gila, segera kembali melesat dengan serangan yang
lebih dahsyat. Kali ini keduanya mulai mengerahkan jurus pamungkas yang
dinamakan jurus 'Sepasang Demit Menculik Perawan'.
Wrt "Hi hi hi..."
Sambil tertawa cekikikan Pendekar Gila segera menarik tubuh ke belakang. lalu
meliuk ke samping dengan tubuh agak merunduk, serta menarik kedua tangan dengan
telapak tangan membuka. Telapak tangannya diletakkan ke sisi pinggang, lalu
dengan cepat dan bergantian dihentakkan ke arah kedua lawan. Itulah jurus 'Si
Gila Melempar Batu'.
Wrt "Akh" "Ukh
Ilmu setan..." maki Ranjani, ketika tiba-tiba tubuhnya tak mampu bergerak
maju. Karena dari kedua telapak tangan Pendekar Gila yang bergerak seperti
melempar, keluar angin kencang yang menghantam tubuh mereka.
Bugk, bugk...
"Aduh Ilmu setan" maki
Kadri.
"Akh..." Kedua
lawannya terdesak oleh lemparanlemparan aneh yang dilakukan Pendekar Gila. Hal
itu membuat Sena tertawa terbahak-bahak kegelian. Kepalanya yang
tergeleng-geleng digaruk-garuk dengan tangan kirinya.
Sementara itu, kedua orang
yang menyerang Kinanti turut terbelalak kaget, menyaksikan jurus aneh yang
dilakukan Pendekar Gila.
Dalam keadaan kedua lawannya
lengah, Kinanti bergerak cepat melakukan serangan. Dengan ganas pedangnya
dibabatkan ke tubuh lawan.
"Heaaa..." Wrt
"Hait Awaaas..." seru Gento mengingatkan Sampian yang segera berkelit
kemudian dengan cepat pula Gento balas menyerang dengan sabetan senjata
cluritnya.
"Heaaa..." Wrt Trang
Dua senjata yang beradu, menimbulkan dentang nyaring yang diiringi percikan
api. Kedua lelaki berselubung melompat ke belakang. Kinanti merasakan tangannya
agak gemetar. Hal itu membuat kedua lawannya segera tahu sampai di mana
kekuatan tenaga dalam gadis itu.
"Serang lagi, Gento"
ajak Sampian.
"Ayo Rupanya gadis ini
tak seberapa ilmunya dibandingkan pemuda gila itu," sahut Gento.
"Heaaa"
"Yeaaat.." Kedua lelaki berselubung hitam itu kembali melesat
menyerang Kinanti. Clurit di tangan mereka bergerak cepat siap membabat
Kinanti.
***
Kinanti yang tak menyangka kalau akan diserang
begitu cepat dan dahsyat secara bersamaan, tersentak kaget. Matanya terbelalak,
ketika clurit lawan berkelebat dengan cepat dan mengarah ke bagian tubuh yang
mematikan.
"Heaaa..." Wrt
"Celaka" pekik Kinanti dengan mata terbelalak.
Hatinya mulai merasa tak bakal
dapat bergerak leluasa mengelakkan serangan kedua lawan. Dalam keadaan yang
membahayakan dan mengancam nyawa Kinanti, tiba-tiba....
"Heaaa..." Sesosok
bayangan berkelebat cepat, berjumpalitan di udara beberapa kali. Kemudian
dengan ringan, sosok bertelanjang dada itu menggerakkan tangan ke clurit yang
mengancam nyawa Kinanti.
Tep, tep Begitu cepat tangan
orang itu merenggut kedua gagang clurit kedua lawan Kinanti.
Des Ukh "Akh" Dua
orang yang menyerang Kinanti terpekik lirih. Tubuh mereka terhuyung beberapa langkah
ke belakang. Clurit mereka kini telah beralih ke tangan seorang pemuda
bertelanjang dada. Pemuda itu tersenyum, lalu dengan enaknya mematahkan kedua
clurit di tangannya bagaikan mematahkan sepotong kayu.
Trak Trak Semakin terbelalak
saja mata kedua orang lawan Kinanti, saat menyaksikan pemuda bertubuh tinggi
tegap itu dengan mudah mampu mematahkan clurit mereka.
"Kakang Mahesa..."
seru Kinanti, setelah tahu siapa lelaki yang menolongnya.
"Minggat kalian dari
sini, atau Mahesa Lanang akan membunuh kalian" bentak Mahesa Lanang dengan
mata menatap tajam dua orang lawan Kinanti yang dengan takut-takut bangun, lalu
lari tunggang langgang. Melihat kedua temannya lari, dua orang yang mengeroyok
Pendekar Gila seketika turut kabur ketakutan. "Husy..., husy... Hua ha
ha... Lucu sekali kalian..." seru Sena sambil tertawa terbahak-bahak
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Dengan cengengesan tubuhnya berbalik,
lalu memandang Kinanti dan Mahesa Lanang. Lelaki bertubuh tegap itu memandang
dengan tersenyum-senyum pada Pendekar Gila. Pendekar Gila melangkah mendekati
Kinanti yang masih berdiri di samping Mahesa Lanang. Mulutnya cengengesan,
seperti orang tak waras. Hal itu membuat Kinanti tersenyum-senyum kegelian.
"Aha, selamat berjumpa
lagi, Mahesa Lanang O, terima kasih atas bantuanmu" ujar Sena sambil
membungkukkan tubuh, memberi hormat. Sedangkan tangan kirinya menggaruk-garuk
kepala. Sehingga nampak lucu gerakan menjura hormatnya di depan Mahesa Lanang.
Kinanti tersenyum, bahkan
tertawa tawa cekikikan menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila. Gadis itu
menggeleng-gelengkan kepala dengan mata berbinar-binar.
"Hm, kurasa guru memberi
tanggung jawab pada orang yang salah," gumam Mahesa Lanang. "Untuk
melindungi diri sendiri saja tak becus, apalagi melindungi adik
seperguruanku?" Pendekar Gila dan Kinanti tersentak mendengar ucapan
Mahesa Lanang. Mata mereka terbelalak, tak percaya kalau Mahesa Lanang akan
berkata begitu.
Meski ucapan Mahesa Lanang
terasa menyakitkan, Pendekar Gila malah tertawa terbahak-bahak.
"Ah ah ah, memang aku ini
tolol Melindungi diri sendiri saja belum becus. Ah, dasar tolol..." gumam
Sena sambil cengengesan. Kepalanya didongakkan ke langit, sambil
menggaruk-garuk kepala. "Tapi..., ah, kurasa kesombongan sangat buruk akibatnya.
Kesombongan seseorang akan membuat mata hati tak mampu melihat
kelemahannya." Mahesa Lanang menarik napas dalam-dalam, merasa ucapan
Pendekar Gila telah menyindirnya.
Namun, pemuda bertelanjang
dada itu nampak berusaha menahan amarahnya. Dia berusaha tersenyum, meski
senyumnya terasa datar dan terpaksa.
"Hm, kurasa aku tak
angkuh dan merasa besar, Pendekar Gila. Aku bicara atas dasar kenyataan,"
jawab Mahesa Lanang tegas.
"Aha, kurasa aku tak
mengatakan kau angkuh atau sombong. Tetapi, bagaimanapun juga, tak baik orang
terlalu merendahkan orang lain, yang akan menimbulkan sikap sombong
tadi...," sahut Pendekar Gila dengan cengengesan. "Jika orang telah
terkena pengaruh iblis, dia akan lupa segalanya. Lupa pada diri sendiri, juga
pada Hyang Widi." "Hm, kau memang pintar bertutur kata, Pendekar
Gila. Pantas, kalau adik seperguruanku dalam sekejap saja sudah jatuh cinta
padamu," cibir Mahesa Lanang, yang membuat Kinanti mendelik marah.
"Kakang Mahesa, jangan
asal ngomong" dengus Kinanti.
"Kau kini berani padaku,
Kinanti?" "Ah ah ah, sudahlah... Kenapa kalian mesti ribut-ribut
Kurasa tak baik seorang kakak beradik seperguruan bertengkar," ujar Sena
berusaha melerai keduanya. "Mahesa, kurasa kami harus melanjutkan
perjalanan." "Hendak kau ajak ke mana Kinanti?" tanya Mahesa
Lanang. Nada suaranya menunjukkan rasa tak senang. Matanya menatap wajah
Kinanti yang cemberut diam.
"Aha, seperti yang guru
kalian katakan, Kinanti akan ikut bertualang bersamaku," jawab Sena dengan
cengengesan.
"Hm, begitu?" tanya
Mahesa Lanang.
"Ya," tegas Kinanti.
"Aku ingin mencari pengalaman hidup di rimba persilatan."
"Baiklah. Hati-hatilah kalian" pesan Mahesa Lanang sambil melesat
pergi, membuat Kinanti dan Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudahlah, Sena. Tak usah
kau pikirkan Memang begitu sifatnya," ujar Kinanti sambil melangkah
mendekati Sena yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Keduanya
pun segera melanjutkan perjalanan.
***
Mahesa Lanang terus berlari menuju Hutan
Pengantin, tempat Catur Demit berada. Sampai di tempat tujuan, dilihatnya hutan
itu sangat sepi. Seakan keempat Catur Demit telah pergi dari hutan itu.
Mereka merasa takut,
kalau-kalau Mahesa Lanang akan memburu mereka.
"Kurang ajar Catur Demit,
keluar kalian" teriak Mahesa Lanang dengan geram. Kakinya melangkah dengan
tenang, memasuki Hutan Pengantin.
Tak ada jawaban yang
terdengar. Mahesa Lanang mendengus sengit, dengan mata merah memandang penuh
beringas ke sekeliling hutan itu. Dia benar-benar marah, merasa dipermainkan
Catur Demit.
"Catur Demit, keluar
kalian Atau kuobrakabrik tempat kalian?" seru Mahesa Lanang sambil terus
melangkah masuk ke Hutan Pengantin.
Srak Terdengar suara kaki
menginjak daun kering di samping kanan dan kiri Mahesa Lanang. Seketika
wajahnya menoleh ke asal suara itu. Nafasnya mendengus laksana banteng terluka
dan marah.
"Kurang ajar Keluar
kalian, cepat..." bentak Mahesa Lanang. Suaranya menggelegar, memecahkan
kesunyian Hutan Pengantin. Burung-burung yang ada di hutan itu, seketika
beterbangan.
"Ada apa kau berteriak-teriak
begitu, Mahesa?" tanya Ranjani, pimpinan Catur Demit.
Mahesa Lanang menoleh ke asal
suara. Dilihatnya telah berdiri empat lelaki berwajah garang. Empat lelaki yang
telah diperintahnya agar membunuh Pendekar Gila, tetapi gagal.
"Cuih Menghadapi pemuda
edan saja kalian tak becus Kalian malah berani berlagak di hadapanku"
dengus Mahesa Lanang sengit. Matanya menatap tajam keempat Catur Demit.
"Dia berilmu tinggi,
Mahesa," sahut Ranjani.
"Cuih" Mahesa Lanang
kembali meludah. Matanya garang menatap keempat lelaki di depannya.
"Kalian lebih
takut Pendekar Gila daripada
padaku, heh?" Keempat Catur Demit menghela napas dalam-dalam, berusaha
tenang dan menahan sabar.
"Kalian tak ubahnya kecoa
busuk yang tak ada gunanya" ejek Mahesa Lanang sambil mencibir.
Mendengar ejekan itu, Catur
Demit marah. Gigi-gigi mereka bergemerutuk keras menahan geram.
Keempatnya merasa harga diri
mereka telah dilecehkan, bahkan diinjak-injak Mahesa Lanang. Mereka memang
telah gagal menunaikan tugas, tapi mereka tak rela kalau Mahesa Lanang terus
menghina seperti itu.
"Mahesa Lanang, kami
sudah sabar. Selama ini, kami selalu menurut. Tetapi rupanya kau semakin
menginjak-injak harga diri kami," dengus Gento sengit.
Matanya tak kalah tajam
menatap wajah Mahesa Lanang. Mahesa Lanang mencibirkan bibirnya, mengejek
mereka.
"Masih juga kalian punya
harga diri. Hm, harga diri kalian sama dengan bangkai busuk bagiku Dan kalian
tentunya sudah tahu, apa yang harus kalian lakukan, bukan?" dengus Mahesa
Lanang masih menunjukkan kebengisannya.
"Tidak Kami tak mau bunuh
diri," sahut Gento, lelaki bertubuh gemuk dan berwajah bulat ditumbuhi
cambang bauk lebat.
"Hm, jadi kalian
menantangku?" "Terserah. Yang jelas, kami tak mau diperbudak lagi,
Mahesa" sahut Kadri.
"Kurang ajar Heaaa..."
Dengan penuh amarah, Mahesa Lanang melesat menyerang Catur Demit. Kedua
tangannya melayang, kemudian berusaha mencengkeram pundak salah seorang Catur
Demit itu.
"Heaaa..."
"Awas" seru Ranjani mengingatkan ketiga rekannya agar segera
mengelakkan serangan Mahesa Lanang. Namun ternyata salah seorang di antara
mereka kurang cepat dalam bergerak. Sehingga....
Trep Tangan Mahesa Lanang
mencengkeram pundak Sampian. Kemudian dengan sekuat tenaga, mengadukan
kepalanya dengan kepala Sampian. Maka....
Prak "Akh..."
Sampian menjerit keras. Dia tak mampu melakukan perlawanan, karena gerakan
Mahesa Lanang begitu cepat. Tubuhnya terpental ke belakang dengan kepala pecah
berantakan. Sesaat tubuhnya mengejang sekarat, kemudian ambruk dan tewas.
Menyaksikan temannya tewas,
tiga orang dari Catur Demit segera menyerang Mahesa Lanang dengan
pukulan-pukulan sakti mereka yang dinamakan 'Sambar Warang Demit'. Tangan
mereka merah membara seperti mengandung api.
"Heaaa"
"Yeaaat.." "Mampus kau, Mahesa Heaaa..." Tubuh mereka
melesat dari tiga arah. Setelah berjumpalitan, ketiganya menukik dan
menghantamkan pukulan maut ke tubuh Mahesa Lanang.
"Hm...," Mahesa
Lanang bergumam sambil mencibir. Dia tak berusaha berkelit bahkan dadanya
dibusungkan, agar dihantam ketiga lawannya.
Bugk Bugk...
Tiga pukulan sakti bergantian
memukul tubuh dan kepala Mahesa Lanang. Namun pemuda itu malah tertawa
terbahak-bahak. Sementara ketiga lawan terpental ke belakang dengan darah
meleleh dari mulut mereka.
"Ukh"
"Benar-benar ilmu iblis" dengus Gento. "Apa usaha kita, Kakang
Ranjani?" tanya Kadri putus asa.
"Kita serang lagi dengan
aji 'Lebur Geni'," ajak Ranjani.
"Ayo Heaaa..."
"Yeaaa..." "He he he... Keluarkan seluruh kesaktian kalian.
Sebelum kalian mampus..." seru Mahesa Lanang sambil tertawa terkekeh
dengan membusungkan dadanya. Degk Degk Bugk Tiga pukulan kembali mendarat telak
di tiga bagian tubuh Mahesa Lanang.
"Hah...?" Ketiga
orang Catur Demit kembali terpental deras ke belakang dengan menyemburkan darah
dari mulut. Mereka tak mampu menghancurkan tubuh Mahesa Lanang dengan ajian
'Lebur Geni'. Malah kini mereka terkena serangan balik dari ajian itu.
"Hoak..." "Ha
ha ha..." Ketiga orang dari Catur Demit muntah darah dengan wajah pucat
pasi. Mereka belum percaya dengan apa yang baru saja dialami. Pukulan maut yang
mereka hantamkan ke tubuh Mahesa Lanang, bukanlah pukulan sembarangan. Pukulan
itu mampu meleburkan gunung. Namun, Mahesa Lanang tak mempan.
Bahkan kini tertawa
terbahak-bahak sambil melangkahkan kaki menghampiri Kadri yang semakin tegang.
"Jangan..., ampuni
selembar nyawaku," ratap Kadri mengharap Mahesa Lanang mau mengampuni.
"Hm, kuberi kau
ampun." Trep Mahesa Lanang mencengkeram pundak Kadri, kemudian
membangunkannya dari duduk. Hal ini membuat lelaki itu semakin ketakutan.
"Jangan....
Ampun...." Belum selesai ucapan Kadri, Mahesa Lanang telah mendahului
mengadukan kepala Kadri dengan kepalanya.
Prak "Aaakh..."
Pekikan kematian melengking terdengar dari mulut Kadri. Kepalanya pecah.
Tubuhnya terpental ke belakang dengan darah berhamburan dari mulut hidung, dan
telinga. Otaknya keluar, bersama dengan darah. Sesaat tubuhnya mengejang
sekarat, kemudian mati. Melihat dua orang temannya telah tewas, tumbuh semangat
dalam jiwa Ranjani dan Gento. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, keduanya bangun
dan menyerang. Mungkin mereka berpikir lebih baik melawan, ketimbang merengek
minta ampun yang pada akhirnya juga mati di tangan Mahesa Lanang.
"Mahesa Lanang,
kupertaruhkan nyawaku untuk melawanmu. Heaaa..." Ranjani melesat, diikuti
Gento dengan pukulan 'Sambar Warang Demit'nya.
"Heaaa..."
"Yeaaa..." Mahesa Lanang menggeram. Kedua tangannya digerakkan ke
atas dengan jari-jari terbuka.
Kemudian dengan erangan keras,
disertai dengusan yang mengeluarkan angin dari hidung dan telinga, Mahesa
Lanang melesat memapaki serangan lawan.
"Heaaa" Wrt Prak
Prak "Aaa..." "Aaakh" Ranjani dan Gento menjerit, ketika
tangan Mahesa Lanang menghantam dada mereka sampai jebol.
Tubuh keduanya terpental deras
ke belakang dengan darah muncrat dari mulut. Tubuh mereka membentur pohon, lalu
ambruk dan tewas dalam keadaan mengerikan. Mahesa Lanang mencibir, lalu dengan
senyum dingin kakinya melangkah meninggalkan keempat mayat Catur Demit yang
terkapar dalam keadaan tubuh mengenaskan. Hutan Pengantin kembali sepi, seakan
turut berbelasungkawa atas kematian penghuninya.
***
5
Malam menyelimuti Desa
Bangkalan yang terletak di sebelah utara Desa Cadas Putih. Dengan adanya
kematian Tarbiun, maka karapan sapi yang rencananya dilakukan tadi pagi,
terpaksa diundur. Hal itu karena para pemilik sapi peserta karapan turut
berbelasungkawa atas kematian Tarbiun. Padahal Tarbiun merupakan juara
bertahan, yang harus mempertahankan sapinya agar dapat memenangkan
pertandingan.
Namun karena Tarbiun
meninggal, kini pertandingan karapan harus dimulai dengan perebutan juara lagi.
Hal itu juga harus dibicarakan para peserta yang akan mengikutsertakan sapinya
dalam karapan nanti.
Malam itu, Ki Jenar nampak
gelisah. Lelaki tua ini tak habis pikir, mengapa Tarbiun dan kelima jawaranya
dapat dibunuh dengan mudah. Padahal kelima jawara Tarbiun bukan orang-orang
sembarangan. Mereka merupakan jawara-jawara pilihan yang dibayar cukup mahal.
Bahkan pemilihannya pun tak tanggung-tanggung harus melalui persambungan nyawa.
Jadi kelima jawara itu
merupakan para tokoh yang telah mampu menghabisi nyawa para tokoh saingan
mereka. Namun, centeng-centeng itu tak dapat berbuat banyak menghadapi seorang
pemuda yang mengaku berjuluk Banteng Sumenep.
"Hm, siapa sebenar
Banteng Sumenep itu?" gumam Ki Jenar lirih. "Betapa hebat pemuda itu,
hingga mampu mengalahkan lima orang jawara Tarbiun." Ki Jenar masih
termangu dengan pikirannya.
Entah mengapa, semenjak
kejadian yang menyangkut masalah Tarbiun, hati dan pikirannya tak dapat tenang.
Batinnya selalu disergap gelisah dan merasa bersalah, karena pada waktu
kejadian itu, dirinya enak-enakan tidur bersama seorang wanita. Padahal malam
itu suasana pasti sangat ribut. Mungkin tubuhnya terlalu penat setelah bercumbu
dengan seorang penari ronggeng.
Malam terus merangkak.
Meskipun cahaya bulan masih terang, suasana mencekam seakan hendak membinasakan
kehidupan di Desa Bangkalan. Suara binatang malam, seperti turut menyemarakkan
malam di bawah temaram cahaya bulan. Angin malam juga berhembus seakan-akan membisikkan
suatu cerita kehidupan.
Ki Jenar masih gelisah. Nyi
Awing, istrinya bukan tak memperhatikan sikap suaminya. Kini matanya menatap
tajam wajah Ki Jenar. Rasa cemburu pun menggeluti hati Nyi Awing. Dia sudah
menduga apa sebenarnya yang dipikirkan suaminya. Wanita itu juga tahu benar
bahwa suaminya seorang tua-tua keladi.
"Mikir perempuan lain ya,
Kang...?" tanya Nyi Awing dengan tatapan mata penuh curiga. Wanita berusia
sekitar lima puluh tahun itu bangun dari tidurnya, lalu duduk dengan mata masih
memandangi sang Suami. Ki Jenar mendesah lirih, lalu menatap wajah, sang Istri
dengan pandangan jengkel.
"Kamu itu, Nyi Jangan
suka berprasangka buruk" bentaknya tak senang dituduh memikirkan gadis
lain. "Aku berpikir, siapa sebenarnya orang yang telah mengalahkan kelima
jawara Tarbiun? Padahal, kelimanya bukan orang sembarangan." "Lho,
bukankah Kakang di sana waktu kejadian itu?" tanya Nyi Awing dengan kening
berkerut, mendengar ucapan suaminya yang semakin membuatnya curiga. Hatinya
semakin curiga, kalau-kalau suaminya kemarin malam bukan mencari nafkah,
melainkan hanya bersenang-senang dengan perempuan.
Ki Jenar tersentak kaget,
mendengar pertanyaan istrinya. Dia tak menduga, kalau istrinya akan bertanya
seperti itu. Hampir saja terbongkar belangnya, kalau saja Ki Jenar tak segera
memperbaiki ucapannya.
"Maksudku, aku juga
melihat kejadian itu.
Wuah, tak kusangka kalau masih
muda begitu mampu mengalahkan lima jawara sekaligus. Padahal kelima jawara itu
orang-orang pilihan," ujar Ki Jenar sambil menggeleng-gelengkan kepala,
sepertinya merasa kagum akan kehebatan pemuda itu.
Nyi Awing mengerutkan kening,
matanya masih menatap tajam Ki Jenar yang terduduk dengan helaan napas panjang.
Seakan-akan berusaha hendak menunjukkan bagaimana perasaannya menyaksikan
kejadian kemarin malam itu, agar istrinya tak lagi menaruh perasaan curiga.
"Lalu mengapa kau
gelisah?" tanya Nyi Awing masih belum juga percaya pada suaminya. Seakan
ra-sa curiga masih tetap membelit di hati wanita berpakaian kebaya kuning itu.
"Gelisah? Ah, kurasa aku
tak gelisah," kilah Ki Jenar berusaha menutupi perasaannya. Dicobanya
untuk tersenyum, walau sangat terpaksa. Pikirannya masih berkecamuk tentang
pemuda yang mengaku berjuluk Banteng Sumenep.
Nyi Awing menggeleng-gelengkan
kepala dengan bibir tersenyum tipis, menyaksikan tingkah laku suaminya.
"Kalau tak memikirkan apa-apa, tidurlah Sudah malam. Udara tak baik untuk
kesehatanmu, Kang," ujar Nyi Awing, berusaha menasihati suaminya yang
tampak masih gelisah.
Ki Jenar menghela napas,
berusaha perlahanlahan hendak merebahkan tubuhnya ke tempat tidur.
Namun, tiba-tiba....
Brak Terdengar suara pintu
rumah Ki Jenar didobrak dari luar. Suami istri itu tersentak kaget. Ki Jenar
yang semula hendak membaringkan tubuh untuk tidur, terlonjak kaget. Begitu juga
dengan Nyi Awing.
"Hei, siapa itu?"
teriak Ki Jenar seraya bangun dari tempat tidur. Disambarnya tongkat bergagang
ular, kemudian diikuti istrinya Ki Jenar melangkah keluar untuk melihat apa
yang sebenarnya terjadi.
Mata Ki Jenar terbelalak,
ketika seorang pemuda bertelanjang dada telah berdiri di dalam rumahnya.
"Selamat malam, Ki
Jenar..." sapa pemuda itu dengan senyum mengembang, seakan menunjukkan
keramahan. Namun, dilihat dari matanya yang merah membara, jelas pemuda itu
tengah diliputi perasaan marah. Hal itu yang membuat Ki Jenar dan Nyi Awing
mengerutkan kening, memandang tajam pemuda yang berdiri sekitar tiga tombak di
hadapan mereka.
"Siapa kau, Anak Muda?
Mengapa malammalam begini datang, dengan cara yang aneh?" tanya Ki Jenar
agak marah. Anak muda itu dianggapnya terlalu berani dan kurang ajar.
"Aku...?" pemuda
bertubuh tegap dan bertelanjang dada itu balik bertanya, seakan tak mendengar
jelas apa yang ditanyakan Ki Jenar. "Aku Banteng Sumenep." Terbelalak
mata Ki Jenar dan Nyi Awing, setelah tahu siapa pemuda yang berdiri di hadapan
mereka. Sedangkan Banteng Sumenep malah tersenyumsenyum, seakan menghina dan
mengejek lelaki tua itu.
"Jadi, kau...?"
Belum juga Ki Jenar habis berkata, pemuda bertubuh tegap itu telah mendahului.
"Ya Akulah Banteng
Sumenep, yang akan mencabut nyawa busukmu" bentak pemuda yang bernama asli
Mahesa Lanang itu.
Semakin membelalak mata Ki
Jenar, mendengar ucapan Mahesa Lanang. Apalagi Nyi Awing. Wanita tua itu
semakin pucat pasi wajahnya. Meskipun saat itu sedang benci pada suaminya yang
tua-tua keladi, tapi mendengar ancaman pemuda itu, rasa kesetiaan sebagai
seorang istri tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Bagaimanapun juga, hatinya
merasa takut kalau harus ditinggal mati Ki Jenar.
"Lancang sekali mulutmu,
Bocah Ada urusan apa denganku?" bentak Ki Jenar antara kaget dan marah.
Mata lelaki tua yang menjadi seorang dukun itu melotot garang. Sepertinya tak
merasa takut sedikit pun pada Mahesa Lanang.
Mahesa Lanang atau Banteng
Sumenep mencibir. Matanya yang merah, menatap tajam wajah Ki Jenar. Seolah-olah
dengan tatapan itu Mahesa Lanang ingin menusuk dada lelaki tua bertubuh bungkuk
itu.
"Sudah kukatakan, aku
datang untuk mencabut nyawa busukmu, Orang Tua" "Apa urusan
kita?" bentak Ki Jenar masih belum mengerti alasan Mahesa Lanang hendak
membunuhnya. Padahal dia dan pemuda itu belum pernah ada sangkut paut apa pun.
"Hm, masih saja kau tak
ingat, Tua Bangka Tidak ingatkah kau dengan peristiwa dua puluh tahun yang
silam? Ketika terjadi pembunuhan terhadap seorang lelaki di arena pertandingan
karapan? Kejadian itu telah menyebabkan seorang anak berusia lima tahun hidup
terlunta-lunta" tutur Mahesa Lanang menjelaskan.
Ki Jenar dan Nyi Awing
terdiam, tak berkata sepatah kata pun. Tampaknya lelaki tua itu tengah berusaha
mengingat-ingat kejadian dua puluh tahun yang silam. Namun Ki Jenar tak juga
dapat mengingat peristiwa yang dimaksud Mahesa Lanang. Dia merasa tak pernah
melakukan kekejian itu.
"Aku tak ingat. Siapa
nama lelaki yang terbunuh itu?" tanya Ki Jenar masih diliputi
ketidakmengertian, serta rasa jengkel pada pemuda yang mengaku Banteng Sumenep.
"Simbar Kanginan.... Kau
ingat dengan nama itu, Orang Tua Keparat?" dengus Mahesa Lanang. Matanya
semakin tajam, menatap lekat Ki Jenar. Sedangkan lelaki tua itu masih terpaku
dengan kening berkerut, tengah berusaha mengingat-ingat apa yang dikatakan
Mahesa Lanang.
"Simbar
Kanginan...?" desis Ki Jenar, berusaha mengingat-ingat nama itu.
"Ya Simbar Kanginan,
seorang juragan di Sumenep yang kalian bantai pada saat pertandingan karapan
sapi, dua puluh tahun silam," dengus Mahesa Lanang, berusaha mengingatkan
kejadian-kejadian yang pernah terjadi dua puluh tahun silam, yang juga
mengakibatkan dirinya terkatung-katung hidup tanpa orang tua.
Semakin mengerut kening Ki
Jenar, mendengar penuturan Mahesa Lanang. Dia merasa tak pernah melakukan semua
itu, atau barangkali tidak ingat sama sekali. Namun Ki Jenar merasa tak pernah
melakukan tindakan biadab itu. Tak ada tindakan pembantaian yang melibatkan
dirinya, pada dua puluh tahun yang silam.
Mengapa bocah ini
datang-datang menuntut balas? Hm, kurasa ada yang tak beres. Mungkin ada yang
bermaksud mengadu domba antara bocah ini denganku, juga dengan Tarbiun Gumam Ki
Jenar dalam hati. Matanya masih menatap tajam pada Mahesa Lanang.
"Bagaimana, Ki? Apakah
kau telah siap untuk mati..." tanya Mahesa Lanang dengan suara penuh
kebencian pada lelaki tua di depannya. Matanya semakin tajam, menatap bengis
wajah Ki Jenar.
"Cuih, sombong Jangan
kira aku takut menghadapimu, Anak Muda" dengus Ki Jenar sengit, sementara
istrinya masih diam. Ada perasaan takut menyelinap di benak Nyi Awing. Melihat
tatapan mata Mahesa Lanang, Nyi Awing sudah menduga kalau pemuda itu bukan
pemuda sembarangan.
"Bagus kalau memang begitu,"
ujar Mahesa Lanang dengan suara sinis. "Bersiaplah Apakah kau akan
menyerangku dulu, Ki? Silakan...." "Sombong" dengus Ki Jenar.
"Kau kira dirimu dewa, terlalu besar kepala kau, Anak Muda" "Aku
tidak besar kepala, Ki. Jika aku yang menyerang lebih dahulu, takkan ada
kesempatan bagimu membalas seranganku," ujar Banteng Sumenep dengan senyum
sinis masih mengembang di bibir-nya.
"Huh, baik kalau itu
maumu, Bocah Bersiaplah"
***
Ki Jenar menyurut mundur tiga langkah, diikuti
istrinya yang khawatir terhadap nasib suaminya.
Meski dia tahu suaminya bukan
orang sembarangan, tetapi dibandingkan dengan usia lawannya, jelas tenaga
suaminya berada jauh di bawah pemuda itu.
"Hati-hati, Kang Kulihat
hawa membunuh terpancar dari matanya," bisik Nyi Awing, berusaha
mengingatkan suaminya agar tidak gegabah menghadapi pemuda itu.
"Hm, jangan khawatir, Nyi
Akan kurobek mulut besarnya," dengus Ki Jenar sengit "Hm, kenapa kau
masih diam, Ki? Apa akan kau biarkan nyawamu melayang...?" tanya Mahesa
Lanang masih dengan senyum sinis menghias di bibirnya. "Cuih Kurang ajar
Bersiaplah Heaaa..." Ki Jenar kemudian melesat menyerang Mahesa Lanang
dengan memutar tongkat berkepala ularnya.
Tongkat itu bergerak cepat,
hingga mengeluarkan angin yang menderu-deru dan terasa panas. Namun Mahesa
Lanang masih tetap tenang, dengan bibir masih mengulas senyum. Pemuda itu sama
sekali tak takut menghadapi gebukan tongkat Ki Jenar.
"Heaaa..." Wrt
Tongkat di tangan Ki Jenar terus berputar, kemudian dengan keras menghantam ke
tubuh Mahesa Lanang.
Begk Begk "Ukh..."
Ki Jenar tersentak kaget, dan segera melompat ke belakang, ketika melihat apa
yang terjadi. Mahesa Lanang hanya tersenyum, seakan tak merasakan apaapa.
Meskipun lelaki tua itu menghantamkan tongkatnya dengan tenaga dalam penuh. Padahal,
dulu pernah sebuah batu karang sebesar kerbau dapat dihancurkan dengan tongkat
kayu bergagang ular itu. Tapi kini, Ki Jenar harus membuka mata lebar-lebar.
Istrinya juga terperangah menyaksikan apa yang terjadi.
Dia seakan berada di alam
mimpi, menyaksikan kejadian itu. Bocah itu tak mempan digebuk tongkat saktinya
Nyi Awing tahu kehebatan tongkat suaminya, namun kini tongkat itu tak berarti
sama sekali. Tubuh pemuda itu seperti baja yang sangat kuat tak mempan dipukul
tongkat kayu berwarna hitam itu.
"Kang..." desis Nyi
Awing menyaksikan suaminya limbung beberapa langkah ke belakang dengan wajah
pucat. Wanita tua itu segera menubruk tubuh suaminya, takut kalau Ki Jenar
mengalami hal-hal yang tak diinginkan. "Kau tak apa-apa, Kang?"
"Tidak, Nyi. Hm, dia bukan pemuda sembarangan, Nyi. Tubuhnya seperti kebal
terhadap segala macam senjata," desis Ki Jenar dengan napas terengah,
bagaikan habis berlari kencang.
"Bagaimana, Ki? Apakah
kau masih ingin menyerang lagi? Karena kuberi kau kesempatan tiga kali,"
ujar Mahesa Lanang dengan keangkuhannya.
"Cuih Jangan dikira kau
sudah menang, Bocah Bersiaplah menghadapi seranganku yang kedua.
'Wilang Waling'.
Heaaa..." Tubuh Ki Jenar kembali melesat dengan tangan bergerak cepat
bagaikan berputar. Telapak tangannya mendadak berubah hijau kekuningan.
"Hm, ilmu kuno kau
gunakan, Ki," ujar Mahesa Lanang. Kemudian tenaga dalamnya disalurkan ke
seluruh tubuh.
"Heaaa..." Tubuh Ki
Jenar semakin melesat dengan cepat, memburu tubuh Mahesa Lanang. Tangannya yang
menyala dan berwarna hijau kekuningan telah terbuka, lalu bergerak memutar
begitu cepat laksana balingbaling. "Heaaa..." Degk Degk
"Ukh" Ki Jenar kembali terpekik pendek, tubuhnya terlontar ke
belakang. Meleleh darah segar dari mulutnya. Matanya membelalak tegang, tak
percaya pada apa yang tengah dialami.
"Kakang..." Nyi
Awing berseru kaget, menyaksikan tubuh suaminya terpelanting ke belakang.
Beruntung Ki Jenar masih bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya, sehingga tak
menghantam dinding rumahnya.
Dengan berjumpalitan beberapa
kali, Ki Jenar mendarat di lantai. Sesaat tubuhnya terhuyung tiga langkah ke
belakang.
"Kau..." Mahesa
Lanang tersenyum kecut. Matanya masih menatap tajam wajah Ki Jenar. Wajah
lelaki tua itu semakin pucat pasi, seperti tanpa dialiri darah. Pukulan 'Wilang
Waling'nya yang terkenal mampu meleburkan dan memporak-porandakan hutan, tak
berarti sama sekali bagi tubuh Mahesa Lanang.
"Bagaimana, Ki? Kau masih
ada satu kesempatan lagi untuk menyerangku," kata Mahesa Lanang dengan
senyum datar, menunjukkan kesombongannya. Dadanya semakin dibusungkan, seakan
hendak menunjukkan kekokohan tubuhnya.
"Cuih Kini giliranmu,
Bocah Aku telah siap" kata Ki Jenar marah, merasa direndahkan.
"Hm, begitu...?"
"Ya Aku siap" "Bagus Bersiaplah untuk mati, Ki." Mahesa
Lanang menarik napas dalam-dalam, kemudian dengan tenang kakinya melangkah
mendekati Ki Jenar yang tegang. Begitu pula Nyi Awing, dicekam ketegangan
menyaksikan apa yang bakal terjadi pada suaminya. Mahesa Lanang terus
melangkah, kemudian kedua tangannya direntangkan. Telapak tangannya dibuka
saling berhadapan. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam, Mahesa Lanang
menghentakkan kedua telapak tangannya.
"Heaaa" Prak
"Akh..." "Kakang..." Nyi Awing menjerit, ketika menyaksikan
kepala suaminya hancur berantakan terhantam telapak tangan pemuda itu.
"Bajingan Kubunuh kau, Bocah Edan" Mahesa Lanang tersenyum, lalu
melesat pergi tanpa menghiraukan kemarahan Nyi Awing yang sesenggukan menangisi
kematian suaminya.
***
6
Tak lama setelah kepergian
Mahesa Lanang dari rumah Ki Jenar, tampak dua orang muda berjalan menyelusuri
keremangan malam. Kedua orang muda itu tak lain Pendekar Gila dan Kinanti yang
sejak kemarin mengikutinya. Malam itu mereka masih berjalan dalam usaha mencari
tempat penginapan. Tiba-tiba keduanya tersentak kaget, ketika mendengar suara
isak tangis seorang wanita di tengah malam.
"Sena, suara apa
itu?" keluh Kinanti seraya me-rapatkan diri ke tubuh Pendekar Gila.
Seakan-akan gadis cantik itu merasa takut, mendengar suara rintihan tangis
seorang wanita tua.
"Hi hi hi..." Sena
tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ah ah ah, kenapa kau takut,
Kinanti? Kurasa wanita itu sedang sedih. Ayo, kita cari dari arah mana suara
itu" "Tidak, Sena Aku takut" "Takut..? Aha, takut kenapa? Bukankah
seharusnya yang kau takuti justru seorang lelaki sepertiku.
Hi hi hi..." Sena tertawa
cekikikan, membuat Kinanti cemberut. Lalu dengan gemas dicubitnya pinggang
Pendekar Gila hingga bertambah cekikikan.
"Ah ah ah, sudahlah Kita
harus segera melihat, apa yang terjadi pada wanita tua itu," ajak Sena
sambil menggandeng tangan Kinanti menuju ke tempat asal suara tangisan.
Suara isak tangis Nyi Awing
masih terdengar, menunjukkan kesedihan. Namun tangisnya terhenti, ketika
terdengar suara Pendekar Gila menyapa.
"Selamat malam, Nyai.
Kenapa Nyai menangis di tengah malam begini?" tanya Sena.
Nyi Awing menatap tajam wajah
Pendekar Gila.
Sepertinya hendak menyelidiki
siapa pula pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu.
"Aha, kau tak perlu
cemas, Nyai. Aku bukan pemuda jahat..," ujar Sena ketika menyaksikan sorot
mata ketakutan Nyi Awing.
"Siapa kalian?"
tanya Nyi Awing masih memperhatikan kedua muda-muda itu. "Apakah kalian
teman pemuda yang telah membunuh suamiku?" Pendekar Gila dan Kinanti mengerutkan
kening, kemudian saling pandang. Mereka tampaknya berusaha ingin tahu, siapa
pemuda yang dimaksudkan Nyi Awing.
"Aha, apakah tadi memang
ada seorang pemuda datang ke rumahmu, Nyai?" tanya Sena masih cengengesan.
Tiba-tiba Pendekar Gila membelalakkan mata, ketika melihat sesosok tubuh lelaki
tua tergeletak di depan wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu.
Kepala lelaki tua itu pecah,
sampai keluar otaknya bercampur dengan darah.
"Ya, tadi seorang pemuda
bertelanjang dada datang. Dia mengaku berjuluk Banteng Sumenep. Dan..., dia
membunuh suamiku... Hu hu hu..." Nyi Awing menceritakan apa yang telah
terjadi dan menimpa suaminya. Pendekar Gila dan Kinanti kembali mengerutkan
kening saling pandang.
"Banteng
Sumenep...?" gumam Kinanti.
"Benar, Nini," tegas
Nyi Awing.
"Aha, kau kenal nama itu,
Kinanti?" tanya Se-na.
Kinanti mengulum bibir
dalam-dalam, sepertinya hendak menahan perasaannya yang dalam. Dia kenal betul
siapa sebenarnya Banteng Sumenep, yang tiada lain Mahesa Lanang. Kinanti tak
habis pikir, mengapa Mahesa Lanang harus membunuh orang? Padahal setahunya,
Mahesa Lanang bukan seorang pembunuh. Dahulu kakak seperguruannya itu sangat
pengalah.
"Ya," jawab Kinanti
sambil menganggukkan kepala. "Siapa, Kinanti?" tanya Sena penasaran.
"Kakang Mahesa
Lanang," jawab Kinanti. Pendekar Gila tersentak kaget mendengar jawaban
Kinanti.
"Aha, benarkah Banteng
Sumenep itu kakak seperguruanmu...?" tanya Sena belum yakin dengan yang
dikatakan Kinanti. Matanya memandang gadis itu, dengan tangan masih menggaruk-garuk
kepala.
Mulutnya cengengesan, seakan
merasa lucu. Itulah tanda kalau Pendekar Gila tengah merasakan kebingungan.
"Ya. Kakang Mahesa Lanang
memang mendapat julukan Banteng Sumenep, karena dia berasal dari Desa
Sumenep," tutur Kinanti berusaha meyakinkan Pendekar Gila.
Sena semakin nyengir dan
menggaruk-garuk kepala, mendengar keterangan Kinanti. Pikirannya bertambah tak
mengerti, mengapa murid Ki Windu Ajar melakukan perbuatan sekeji itu? Apa
alasan Mahesa Lanang membunuh orang? Itu yang menjadi pertanyaan Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Lucu sekali
dunia ini," gumam Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Malah kini garukannya semakin cepat.
"Lucu, bagaimana mungkin Mahesa Lanang berbuat sekeji itu?"
"Itulah yang sedang kupikirkan, Sena," sahut Kinanti setengah
bergumam. "Selama ini, aku tak pernah melihat keganjilan-keganjilan Kakang
Mahesa. Tapi kini, sepertinya aku bagaikan mimpi." Pendekar Gila
tersenyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia merasa dihadapkan pada
masalah yang aneh dan sulit untuk diselesaikan. Sehingga teringat kembali
kejadian yang dialami di Kerajaan Telaga Emas. Di mana Joko Galing pun
mengalami kesesatan. Padahal guru Joko Galing beraliran lurus (Untuk lebih jelasnya,
silakan ikuti serial Pendekar Gila dalam episode "Pengkhianatan Joko
Galing").
Ah ah ah, mungkinkah
masalahnya sama dengan yang dialami Joko Galing? Gumam Sena dalam hati.
Pendekar Gila belum mengerti, kenapa Ki Windu Ajar yang terkenal bijaksana dan
merupakan tokoh tua yang disegani di Pulau Madura, mempunyai murid durjana
seperti Mahesa Lanang.
"Nyai, bisakah kau
menunjukkan ciri-ciri pemuda itu yang lain?" tanya Kinanti, ingin
meyakinkan dugaannya. Hal itu dikarenakan banyak pemuda di Pulau Madura yang
bertubuh tegap dan bertelanjang dada. Siapa tahu ada pemuda lain yang
mengaku-aku sebagai Mahesa Lanang.
"Ciri-cirinya, dia
memakai kalung berbandul bulat terbuat dari kayu," kata Nyi Awing
menjelaskan apa yang sempat dilihatnya pada pemuda itu.
"Apakah bandulnya ada
gambar timbulnya, Nyai?" tanya Kinanti lagi.
"Be..., benar. Kau begitu
tahu, Nisanak. Hm, kau temannya, ya?" tanya Nyi Awing kembali merasa takut
kalau-kalau kedua anak muda itu teman pemuda yang telah membunuh suaminya.
"Aha, jangan takut, Nyai.
Bagaimanapun juga, orang yang telah membunuh suamimu harus ditangkap,"
tukas Sena berusaha menenangkan hati wanita setengah baya itu.
"Benar, Nyai. Meski teman
kami, tetapi dia bersalah. Kami harus menangkapnya," sambung Kinanti,
membuat Nyi Awing nampak agak tenang.
"Aha Kami rasa, kami
harus segera mengejarnya, Nyai. Ah, maafkan kami kalau tak bisa membantu untuk
mengubur mayat suamimu," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Benar, Nyai. Kami harus
cepat mengejarnya," sambung Kinanti. "Tapi, apa alasan Banteng
Sumenep membunuh suamimu, Nyai?" Nyi Awing tidak menyahut, kepalanya
menggeleng karena tak tahu mengapa Banteng Sumenep memusuhi suaminya.
"Jadi Nyai tak
tahu?" desak Kinanti.
"Tidak. Aku hanya
mendengar, Banteng Sumenep mengatakan tentang kejadian dua puluh tahun yang
silam di pertandingan karapan sapi. Menurutnya Ki Jenar terlibat," tutur
Nyi Awing.
"Apa? Ki Jenar?"
tanya Kinanti kaget "Jadi suami Nyai ini bernama Ki Jenar...?"
"Benar, Nini. Kau seperti kaget, kenapa?" tanya Nyi Awing ingin tahu,
ketika mendengar suara Kinanti yang nampaknya kaget mendengar nama suaminya.
"Hm, Ki Jenar yang
menjadi dukun itu?" tegas Kinanti. "Ya, lihatlah sendiri,
Nisanak" Kinanti mendekati mayat lelaki tua yang tergeletak dengan kepala
pecah. Matanya terbeliak, setelah tahu kalau lelaki tua agak bungkuk itu benar
Ki Jenar. "Heran, mengapa Kakang Mahesa membunuh Ki Jenar?" gumam
Kinanti. Seakan pertanyaan itu ditujukan pada diri sendiri.
Sementara Pendekar Gila hanya
cengengesan mendengar gumaman Kinanti. Dia pun tak habis pikir mengapa Mahesa
Lanang yang dididik Ki Windu Ajati melakukan perbuatan keji. Padahal gurunya
bukan orang bodoh dan sesat.
Ah Manusia memang aneh Gumam
Sena dalam hati. Jadi semua tergantung dari jiwanya. Sehebat apa pun guru
mendidik, kalau orang itu memang ber-jiwa sesat tak akan mungkin bisa dirubah
Pendekar Gila cengengesan sambil menggelenggelengkan kepala. Dia masih tak
habis pikir. Mahesa Lanang pernah menunjukkan keangkuhannya. Namun tak tampak
di wajahnya gambaran seseorang yang membunuh secara keji.
"Mungkin Juragan Tarbiun
dan kelima jawaranya juga dibantai Mahesa Lanang, Kinanti," tukas Sena.
"Tentunya begitu, karena kudengar pelakunya juga Banteng Sumenep. Sayang,
aku belum melihat dengan mata kepalaku sendiri," gumam Kinanti.
"Kalau saja melihat secara langsung, aku tak akan tinggal diam."
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya
memandang ke atas rumah. Genteng rumah tampak samar-samar dalam kegelapan.
Kemudian tatapan matanya dialihkan pada sosok Ki Jenar.
"Aha, kalau benar semua
ini perbuatan Mahesa Lanang, kita harus segera ke padepokanmu, Kinanti,"
usul Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
"Untuk apa, Sena?"
"Hi hi hi... Kau ini lucu sekali, Kinanti. Jelas kita harus segera memberi
tahu Ki Windu Ajar tentang kejadian ini. Bukan begitu, Anak Manis?"
seloroh Pendekar Gila yang membuat Kinanti cemberut. Mulutnya bersungut-sungut.
Melihat hal itu Pendekar Gila semakin menjadi-jadi menggodanya.
"Ayo Sena, kita harus segera
ke padepokan" ajak Kinanti sambil menggandeng tangan Sena. "Nyai,
kami permisi." Kedua muda-mudi itu pun melesat, meninggalkan rumah Ki
Jenar. Tak lama kemudian warga Desa Bangkalan berdatangan ke rumah Ki Jenar.
***
Pagi yang sejuk dihembus angin semilir basah.
Desa Wetan Progo yang berada
di sebelah timur Desa Bangkalan nampak ramai. Sudah banyak orang yang berlalu
lalang untuk melakukan tugas mereka seharihari. Sebuah kedai yang terletak di
sebelah selatan Desa Wetan Progo dibuka dan nampak telah ada satu dua
pengunjungnya. Tak lama kemudian, kedai itu ramai dikunjungi para pengunjung
yang mungkin bermaksud sarapan pagi.
Pendekar Gila dan Kinanti yang
dalam perjalanan ke Pegunungan Blige kini nampak melangkah dari arah barat.
Keduanya baru saja keluar dari perbatasan antara Desa Wetan Progo dan Desa
Bangkalan.
"Wuah, kurasa kita harus
istirahat dulu, Kinanti. Perutku lapar sekali," usul Sena sambil
menepuk-nepuk perutnya yang terasa lapar.
Semua mata orang yang lewat di
jalanan Desa Wetan Progo, segera tertuju pada Pendekar Gila dan Kinanti. Mereka
sepertinya heran, melihat seorang wanita muda dan cantik berjalan dengan
seorang pemuda gila. Bahkan hampir semua orang yang berpapasan dengan Pendekar
Gila tersenyum-senyum melihat tingkah laku Sena yang persis orang gila.
"Kok mau-maunya ya, gadis
cantik jalan sama pemuda tak waras," celoteh seorang lelaki muda
berpakaian kuning loreng hijau.
"Iya, ya? Seperti tak ada
pemuda lain. Yang waras dan gagahkan banyak," sahut temannya yang
mengenakan baju rompi coklat kehitaman. "Atau dengan aku...." Mereka
tertawa-tawa, membuat Kinanti tersinggung dan hampir marah. Beruntung Pendekar
Gila segera menasihati agar Kinanti menahan diri.
"Aha, biarkan apa kata
mereka Hi hi hi..., memang dunia ini gila," ujar Sena dengan tertawa
cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tapi mereka kurang ajar,
Sena." "Aha, sudahlah
Perutku sudah sangat
lapar," ajak Sena sambil menggandeng tangan Kinanti. Gadis itu hanya
menggerendeng. Masalahnya, Kinanti masih jengkel mendengar ucapan orang-orang
tadi.
"Kau terlalu halus,
Sena" rungut Kinanti.
"Orang-orang seperti itu
harus dihajar." "Aha, mengapa kau yang marah, Kinanti? Ah,
sudahlah... Yang penting mereka tak menginjak-injak harga diri, bukan?"
tukas Sena sambil terus menggandeng tangan gadis itu, menjauhi orang-orang yang
masih tertawa-tawa memperhatikan tingkah lakunya.
Dengan masih bersungut-sungut,
Kinanti menuruti Pendekar Gila. Keduanya menuju ke kedai.
Kinanti dan Sena sampai di
kedai. Keduanya lalu masuk dan mencari tempat duduk. Seperti di luar tadi,
semua mata orang di dalam kedai pun kini tertuju pada Sena dan Kinanti. Mereka
juga bergumam ketika melihat wanita cantik yang bergandeng tangan dengan orang
gila. Namun berbeda dengan orangorang di luar, mereka hanya berani
menggerendeng pelan, khawatir kedua muda-muda itu tersinggung lalu menimbulkan
keributan di dalam kedai.
Seorang pelayan mendatangi
tempat duduk Pendekar Gila dan Kinanti. Pelayan itu pun mengerutkan kening,
melihat tingkah laku pemuda yang persis orang gila.
"Aha, kenapa kau diam,
Ki?" tanya Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Kemudian
diliriknya Kinanti yang hanya terdiam menundukkan kepala. Mungkin hatinya tak
enak melihat orang-orang di kedai itu memperhatikan dirinya.
"Pesan apa Tuan?"
"Aha, kami pesan makanan apa saja yang ada di sini," jawab Sena.
Pelayan kedai mengerutkan
kening, mendengar permintaan Pendekar Gila. Begitu pula dengan Kinanti, hatinya
terkejut mendengar permintaan itu.
"Aha, mengapa masih diam,
Ki? Cepatlah sedikit Aku sudah lapar sekali," ujar Sena dengan suara agak
membentak, membuat pelayan kedai bertambah mengkerut. Cepat-cepat lelaki
berusia sekitar empat puluh tahun itu langsung bergegas pergi untuk
mengambilkan pesanan tamunya yang seperti orang gila itu.
Tidak lama kemudian, pelayan
kedai telah muncul dengan membawa senampan besar makanan yang dipesan. Kinanti
terbelalak melihat makanan itu.
"Hei, siapa yang mau
makan sebanyak itu?" tanya Kinanti kaget seraya menoleh ke wajah Pendekar
Gila yang tertawa sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, tak apa. Bukankah
hari ini kita mau pesta? Hua ha ha.... Aha, ayo kita makan" ajak Sena.
"Taruh di meja, Ki" Pelayan kedai yang masih heran melihat tingkah
laku Pendekar Gila, hanya mampu bengong dan menuruti apa yang diperintahkan.
Setelah meletakkan semua
makanan pesanan, pelayan kedai pun berlalu meninggalkan kedua tamunya sambil
menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum.
"Dasar bocah edan,"
gumam pelayan kedai itu seraya melangkah meninggalkan Pendekar Gila dan Kinanti
yang mulai menyantap makanan. Semua yang ada di kedai kini memperhatikan
Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menyantap makanan.
"Hi hi hi... Aha, nikmat
sekali. Hm, kenyang perutku" gumam Sena seraya mengusap-usap perutnya.
Sementara Kinanti semakin melotot, gemas melihatnya. Tiba-tiba dari pintu luar,
masuk lima sosok lelaki berwajah garang. Kelima lelaki berusia sekitar tiga
puluh sampai empat puluh tahun itu mengenakan pakaian merah saga. Wajah mereka
dihiasi dengan cambang bauk, dan rata-rata hampir sama garang serta jeleknya.
Mereka terkenal dengan sebutan Lima Iblis dari Gempolan.
Semua orang yang ada di kedai
seketika membelalakkan mata tegang, melihat kehadiran mereka.
Hanya Sena dan Kinanti yang
kelihatan tenang, seakan-akan tak peduli dengan kehadiran kelima lelaki
berwajah garang itu.
"Lima Iblis dari
Gempolan..." desis orang-orang di kedai dengan mata melotot tegang.
***
7
Orang-orang di dalam kedai
seperti dihantui perasaan takut, melihat Lima Iblis dari Gempolan. Semua telah
kenal benar siapa kelima lelaki itu. Kelimanya terkenal sangat garang dan
bengis. Lima Iblis dari Gempolan juga sering melakukan pemerasan terhadap siapa
saja, tak pandang bulu.
"Jangan pergi Kami tak
akan membiarkan seorang pun pergi dari kedai ini" seru Sarpajani, atau
lebih dikenal dengan sebutan Iblis Bersenjatakan Cakar.
Karena dia memang menggunakan
senjata berbentuk cakar terbuat dari baja murni.
Beberapa orang yang semula
hendak angkat kaki dari kedai itu seketika kembali duduk. Tak seorang pun yang
berani bangun dari bangkunya.
Lima Iblis dari Gempolan
melangkah masuk, mata mereka menatap garang ke sekeliling ruangan kedai.
Sepertinya ada seseorang yang sedang dicari.
"Siapa di antara kalian
yang dikenal dengan sebutan Pendekar Gila?" tanya Sarpajani dengan suara
ditekan berat.
"Hua ha ha... Lucu
sekali, pagi-pagi begini ada kecoa berkoar. Ah ah ah, membuat perutku yang
kenyang jadi mual," gumam Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Kemudian
tubuhnya berbalik dan tetap duduk sambil menatap Lima Iblis dari Gempolan.
"Kaukah yang berjuluk
Pendekar Gila?" bentak Sarpajani.
"Hi hi hi...? Kau gila Ah
ah ah, mengapa kau gila masuk-masuk ke kedai?" sahut Sena sambil tertawa
cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu dengan cengengesan, kepalanya
digeleng-gelengkan.
Matanya masih menatap tajam
lima lelaki berwajah garang yang kini melangkah mendekat ke tempat duduknya.
"Rupanya pemuda sinting ini yang kita cari," tukas Sarpajani pada
keempat rekannya.
"Benar, tak salah
lagi," sahut Kurutuma. "Ciri-ciri yang dikatakan pimpinan kita memang
sama." "Ya. Tak salah lagi," sambung Karasenta.
"Hm, Bocah Sinting.
Bersiaplah untuk mampus" dengus Sarpajani, membuat Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak sambil menggeleng-menggeleng kepala. Lalu dengan cengengesan,
rambut di belakang telinganya digaruk-garuk.
"Ah, mengapa kalian minta
mampus cepatcepat...?" tanya Sena, membalikkan kata-kata mereka.
Lima Iblis dari Gempolan
membelalakkan mata, mendengar jawaban konyol Pendekar Gila. Napas mereka
mendengus, menahan geram.
"Bocah edan Rupanya kau
belum kenal siapa Lima Iblis dari Gempolan. Sehingga mulutmu lancang
sekali" dengus Karasenta dengan mata memerah karena marah.
"Hi hi... Bukankah kalian
kecoa-kecoa busuk yang suka mengganggu ketenangan orang. Hi hi..." Sena
tertawa cekikikan, sementara Kinanti telah bangun dari duduknya. Matanya
menatap marah pada Lima Iblis dari Gempolan yang menunjukkan kebengisan.
"Kaukah yang berjuluk
Pendekar Gila?" bentak Sarpajani, salah seorang anggota Lima Iblis dari
Gempolan. "Hi hi...? Kau gila? Ah ah ah, mengapa orang gila masuk-masuk ke
kedai?" sahut Sena cekikikan. Sambil berkata demikian, matanya terus
menatapi lima lelaki berwajah garang yang melangkah mendekatinya.
"Hei, Bajingan Jangan
sembarangan bicara" bentak Kinanti tak kalah garang. "Siapa yang
menyuruh kalian? Katakan cepat, sebelum pedangku berbicara" Lima Iblis
dari Gempolan tertawa terbahakbahak mendengar bentakan Kinanti. Kinanti tentu
saja bertambah sengit melihat sikap kelima lelaki di hadapannya.
"Kurang ajar Kubunuh
kalian" dengus Kinanti semakin marah, merasa diremehkan. Tangannya
bergerak, meraba ke gagang pedang.
Cring "Aha, tenang dulu,
Kinanti Biarkan kecoakecoa busuk itu pergi dulu" kata Sena, menyabarkan
Kinanti. "Hi hi hi... Kuperintahkan pada kalian, pergi-lah Wuah, mual
perutku melihat tampang kalian." "Cuih Jangan kira kami akan pergi
sebelum membawa kepalamu, Bocah Edan" dengus Sarpajani sengit. "Hm,
atau kau berikan saja gadis itu pada ka-mi Maka nyawa busukmu yang tak ada
artinya akan kami lepaskan," sambung Kumara Gupa.
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak mendengar permintaan Kumara Gupa. Kemudian sambil cengengesan
dan menggaruk-garuk kepala, diliriknya Kinanti yang melotot marah.
"Aha, mereka
menginginkanmu, Kinanti." "Cuih Jangan bermimpi di siang bolong,
Kunyuk Cepat angkat kaki dari sini, atau terpaksa pedangku membabat leher
kalian" bentak Kinanti garang. "Ah, galak sekali kau, Nisanak.
Semakin membuatku penasaran. Apa di atas tempat tidur kau juga galak begitu?"
sahut Kumara Gupa. Matanya nakal, memandang tubuh Kinanti yang memang sintal.
"Kurang ajar Rupanya
bukan leher, melainkan mulutmu yang harus kurobek dengan pedangku" dengus
Kinanti. Kemudian dengan didahului pekikan keras, gadis cantik itu melesat
menyerang Kumara Gupa.
"Kubunuh kau, Iblis
Heaaa..." Wrt Dengan jurus 'Kembang Mayang' Kinanti membabat dan
menusukkan pedang ke tubuh lawan. Kumara Gupa yang tidak menyangka kalau gadis
cantik itu memiliki ilmu pedang yang cukup tinggi tersentak.
Dengan cepat tubuhnya berkelit
ke samping kiri, sambil melancarkan pukulan tangan kosong ke dada Kinanti.
"Yeaaat Galak juga kau, Ni." "Jangan banyak mulut Kurobek
mulutmu, Iblis Hih..." Kinanti menusukkan pedang ke wajah Kumara Gupa,
lalu dengan cepat dihentakkan ke samping. Dilanjutkan dengan sabetan ke kanan,
kemudian diarahkan dari atas ke bawah. Sebuah gerak ilmu silat yang lincah dan
begitu cepat. Melihat gerakan pedang yang berkelebat di depannya, Kumara Gupa
kembali tersentak.
Wrt "Haits Boleh juga
permainan pedangmu, Nisanak..." gumam Kumara Gupa sambil mengegoskan kaki
kanan ke samping, lalu menggerakkan kaki kiri ke belakang. Sedangkan tangannya
kini diletakkan menyilang dengan telapak tangan terbuka lalu memukul ke dada
Kinanti. Inilah jurus ‘Seling Belikat Iblis’.
"Yeaaa..." Wrt
Kinanti yang sudah marah terus berusaha menyerang dengan gencar, bagaikan
seekor macan betina mengamuk. Pedang di tangannya terus berkelebat menusuk dan
membabat dengan keras dan mengarah pada bagian-bagian yang mematikan.
Hm, ilmu pedang gadis ini
bukan sembarangan.
Untung dia belum berpengalaman
Kalau saja dia sudah berpengalaman, celakalah aku Gumam Kumara Gupa dalam hati
sambil terus berkelit mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan Kinanti.
"Heaaa..." Wrt
Kinanti terus bergerak, menyerang dengan sabetan dan babatan pedangnya. Namun
karena terlalu bernafsu, mengakibatkan serangannya tak terarah.
Kumara Gupa jelas melihat
kelemahan itu. Sehingga tanpa menyia-nyiakan kesempatan, dia bergerak menyerang
ke dada Kinanti.
"Hih" Degk
"Akh" Kinanti memekik tertahan. Tubuhnya terpental deras ke belakang.
Melihat tubuh Kinanti
melayang, Pendekar Gila melompat. Lalu dengan cepat ditangkapnya tubuh gadis
itu. "Aha, kalian hanya berani dengan seorang wanita, Kecoa-kecoa
Busuk" dengus Sena marah. "Pergi-lah kalian dari sini"
"Cuih Jangan kira kami takut denganmu, Bocah Edan" dengus Sarpajani
sengit "Hua ha ha... Rupanya kalian kecoa-kecoa yang sudah bosan hidup
Enyahlah kalian dari hadapanku Muak sekali aku melihat tampang kalian"
bentak Sena benar-benar marah, ketika tahu kalau Kinanti ternyata terluka
dalam. Wajahnya tampak merah dan bersinar-sinar, bagaikan diliputi api membara.
"Hah?" Semua yang
ada di kedai tersentak kaget. Mata mereka terbelalak heran melihat perubahan
wajah Pendekar Gila. Orang-orang tak mengira, kalau pemuda bertingkah laku gila
itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Wajahnya bisa berubah diselimuti bara
api. Sebuah pemandangan yang aneh dan mengerikan.
Namun Lima Iblis dari Gempolan
bagaikan tak peduli pada perubahan wajah Pendekar Gila yang bersinar merah
membara. Bahkan kini dari ubun-ubun pemuda bertingkah laku gila itu
mengeluarkan asap ungu. "Hua ha ha... Rupanya kalian memang kecoa-kecoa
busuk yang bandel Cepat minggat dari sini, sebelum kesabaranku hilang"
bentak Sena masih memondong tubuh Kinanti yang pingsan akibat terhantam pukulan
Kumara Gupa.
"Sudah kukatakan, kami
tak akan pergi sebelum membawa kepalamu, Pendekar Gila" bentak Sarpajani.
"Hua ha ha... Lucu sekali kalian, Kecoa-kecoa Busuk Aneh. Rupanya kalian mencari
penyakit," ujar Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya semakin
membara merah. Kini dengan tenang kakinya melangkah mendekati kelima lawannya.
Matanya yang menyala merah, menyorot tajam Lima Iblis dari Gempolan. "Huh,
jangan kira kami takut dengan ilmu sihirmu, Bocah Edan" dengus Kurutuma.
Srt Kurutuma mencabut
cluritnya, lalu nekat melesat dan menyerang Pendekar Gila. Cluritnya disabetkan
ke tubuh Pendekar Gila dengan jurus 'Clurit Sambar Nyawa'.
Wrt Jleg "Hei, dia
menghilang" seru Kurutuma, ketika tiba-tiba Pendekar Gila raib dari
pandangannya. Hal itu membuatnya kebingungan. Begitu juga keempat temannya,
mereka kelabakan mencari Pendekar Gila.
"Dia bisa
menghilang?" gumam Sarpajani keheranan. "Hua ha ha... Aku ada di sini
Lucu sekali kalian, mengapa kebingungan...?" ejek Sena sambil
tertawa-tawa. Di tangannya tak ada lagi tubuh Kinanti, entah ditaruh di mana
gadis itu. Hal itu membuat Lima Iblis dari Gempolan semakin kebingungan.
Bukan hanya Lima Iblis dari
Gempolan yang tersentak kaget menyaksikan kejadian aneh itu. Semua yang ada di
kedai membelalak keheranan dan seakan tak percaya pada apa yang baru dilihat.
Pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu menghilang, dan tiba-tiba muncul
lagi tanpa tubuh Kinanti.
"Ck ck ck... Siapa
sebenarnya bocah edan itu?" tanya seorang pengunjung kedai berdecak kagum,
menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila.
***
"Huh, ilmu sihir Jangan kira kami seperti
anak kecil, Bocah Edan. Kami tak bisa ditakut-takuti ilmu sihirmu" dengus
Sarpajani sengit "Hi hi hi..., sihir? Ah, kalau kalian punya ilmu sihir,
ingin sekali aku menontonnya," ejek Sena seenaknya, yang membuat Lima
Iblis dari Gempolan bertambah marah.
"Kurang ajar Kubunuh kau,
Bocah Serang dia..." perintah Kurutuma.
Srt Srt..
Lima Iblis dari Gempolan
mencabut senjata masing-masing. Sarpajani dengan senjata berupa cakar. Kurutuma
dengan cluritnya. Kumara Gupa dengan tongkat peraknya. Sedangkan kedua orang
lainnya menggunakan pedang dan golok.
"Aha, bahaya kalian
bermain-main dengan senjata. Bukankah sebaiknya kalian simpan...?" ujar
Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Cuih Jangan banyak omong
Serang..." perintah Sarpajani seraya melesat menyerang Pendekar Gila,
diikuti keempat temannya.
"Heaaa..."
"Yeaaat.." "Putus lehermu, Bocah Edan Heaaa..." Kelima
lelaki beringas itu serentak menyerang dengan gerakan memutar cepat membentuk
lingkaran.
Mereka mengitari tubuh
Pendekar Gila yang masih tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Heaaa..." Kurutuma
membabatkan cluritnya ke tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Pendekar Gila
berkelit ke samping. Kemudian berputar dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'
sambil tangannya bergerak cepat menyerang dengan tamparan dan hantaman.
"Yeaaa..." Wrt
"Hi hi hi..." Dengan masih cekikikan, Pendekar Gila terus bergerak
mengelitkan serangan kelima lawannya. Tubuhnya berputar bagai gasing ke arah
kiri. Tangan dan kakinya tak diam, bergerak menyerang lawan.
Wrt Plak "Aduh"
Sarpajani terpekik ketika pipinya merasakan hawa panas akibat tamparan tangan
Pendekar Gila. Tubuh lelaki itu terhuyung beberapa langkah ke belakang dengan
tangan kiri memegangi pipi yang merah berbekas telapak tangan Pendekar Gila.
Keempat rekannya berusaha
menyerang, tapi Pendekar Gila dengan jurus ‘Si Gila Menari Menepuk Lalat’ telah
mendahului. Sambil meliuk-liuk tubuhnya bergerak merangsek lawan.
"Heaaa..."
"Yeaaa..." Wrt "Haits Hi hi hi.,.." Sena meliukkan tubuh,
untuk mengelakkan serangan. Kemudian dengan cepat tangannya bergerak menepuk
dada Kurutuma.
"Celaka Jurus
siluman" maki Kurutuma tersentak kaget. Dia tak menyangka kalau jurus
silat yang dilakukan lawan ternyata sangat berbahaya. Karena gerakan yang
dilakukan Pendekar Gila kelihatannya pelan dan lemah, tapi nyatanya mampu
mengejar tubuhnya.
"Heaaa" Degk
"Wuaaa..." Kurutuma terpekik, ketika telapak tangan Pendekar Gila
mendarat di dadanya. Gerakan menepuk yang tampaknya pelan itu, seketika mampu
mendorong tubuh Kurutuma sampai terpental jauh.
Tubuh lelaki gagah itu terus
melayang. Dan....
Brak "Akh..." Tubuh
Kurutuma menjebol dinding kedai. Jeritan kematian menandai kematiannya.
Tubuhnya remuk setelah menghantam pohon besar di belakang kedai.
Melihat Kurutuma tewas di
tangan Pendekar Gila, semakin memuncak kemarahan keempat orang dari Lima Iblis
dari Gempolan.
"Kurang ajar Kubunuh kau,
Bocah Edan Heaaa..." Sarpajani yang sudah merasakan tamparan Pendekar
Gila, kini nekat melakukan serangan. Ketiga temannya pun tak tinggal diam,
segera membantu.
Keempatnya serentak merangsek
dengan ganas. Senjata di tangan mereka berkelebatan cepat membabat dan menusuk
ke sekujur tubuh Pendekar Gila.
Mendapat serangan begitu cepat
dan secara serentak, tidak membuat Pendekar Gila merasa kewalahan. Bahkan
mulutnya terus tertawa mengejek lawan.
Tentu saja orang-orang yang
ada di kedai terbengongbengong menyaksikan tingkah laku konyol itu. Menghadapi
keroyokan empat orang yang terkenal buas, pemuda bertingkah laku gila itu masih
sempat tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan tak menghiraukan serangan lawan
mengancam nyawanya.
"Hi hi hi... Heit Galak
sekali kalian. Hi hi hi..." Pendekar Gila terus berkelebat, mengelakkan
serangan dengan jurus 'Kera Berayun Menyerang Mangsa'. Tubuhnya melompat ke
sana kemari bagaikan berayun, lalu disusul cengkeraman tangannya.
Gerakan itu dilakukan dengan
tertawa-tawa, sambil sesekali kakinya menendang ke belakang.
Dugk "Ukh Setan..."
maki Jalaparang, ketika bagian belakang kepalanya terkena tendangan Pendekar
Gila.
Tubuhnya tersuruk ke arah
pengunjung kedai yang segera berhamburan menghindar.
Brak Akhirnya, tubuh
Jalaparang menghantam meja.
Mulutnya berdarah setelah
membentur tepi meja yang terbuat dari kayu jati itu.
"Hi hi hi... Kenapa kau
makan meja, Kecoa Hua ha ha..." Sena tertawa cekikikan sambil terus
melompat, lalu mencengkeram jenggot lawan di hadapannya. Bret
"Wadauw..." Kumara Gupa menjerit keras, ketika jenggotnya dihentakkan
tangan Pendekar Gila hingga tercabut. Darah mengucur keluar dari dagunya.
Kumara Gupa berputar-putar,
sambil memegangi dagunya yang berdarah.
Membelalak mata Sarpajani dan
Jarapala, menyaksikan kedua temannya kini terluka parah hanya karena tendangan
dan cakaran pemuda bertingkah laku gila. Seketika nyali keduanya ciut. Tanpa
berkata lagi mereka pun melesat meninggalkan kedai, tanpa menghiraukan
bagaimana nasib kedua temannya.
Pendekar Gila tertawa
terkekeh-kekeh sambil melangkah mendekati kedua musuhnya yang masih
mengerang-erang kesakitan. Sambil menggaruk-garuk kepala, dipegangnya pundak
Jalaparang.
"Aha, katakan siapa yang
menyuruh kalian membunuhku?" Melihat Pendekar Gila hendak memaksa
Jalaparang agar menjawab, Kumara Gupa yang marah karena jenggotnya tercabut,
segera melesat menyerang Pendekar Gila dengan senjata terhunus.
"Mampus kau, Bocah Setan
Heaaa..." Pendekar Gila menggeser kakinya ke samping, sambil menarik tubuh
Jalaparang. Tak pelak lagi, tubuh Kumara Gupa menghantam meja. Dagunya yang
berdarah, membentur tepian meja.
Dugk "Wadauw..."
Kumara Gupa menjerit keras, merasakan sakit yang hebat. Tubuhnya
menggelepargelapar, lalu pingsan.
"Aha, lihat hasil ulah
temanmu Katakan, siapa yang menyuruhmu?" bentak Sena dengan wajah
beringas, memancarkan sinar merah membara.
"Banteng...,
Sumenep," jawab Jalaparang. Matanya memandang ke sekeliling dengan
perasaan takut, kalau orang yang menyuruhnya ada di tempat itu.
"Aha, sudah kuduga. Nah,
kau boleh pergi. Cepat bawa temanmu pergi dari hadapanku" bentak Se-na
garang, membuat mereka semakin ketakutan. Tanpa dibentak dua kali, lelaki
bertubuh besar itu segera memanggul tubuh temannya. Lalu melesat meninggalkan
kedai, diikuti gelak tawa Pendekar Gila.
Semua orang yang ada di kedai,
kini menundukkan kepala. Mereka sepertinya takut, setelah tahu bagaimana pemuda
bertingkah laku seperti orang gila itu dapat mengalahkan Lima Iblis dari
Gempolan.
"Aha, maafkan atas
semuanya, Ki Kalau boleh kuganti, berapa semuanya?" tanya Sena, hendak
membayar semua kerusakan di kedai itu.
"O, tak usah, Tuan. Tak
apa-apa. Biarlah semua nanti saya yang menanggungnya. Tetapi, saya mengharap
cepatlah Tuan pergi. karena, kami takut teman-teman mereka datang," ujar
lelaki pemilik kedai.
"Aha, kenapa takut, Ki?
Kalau kau benar, tak perlu takut. Tapi baiklah, aku akan segera pergi. Izinkan
aku mengambil teman wanitaku yang kusembunyikan di kamarmu," ujar Sena.
Pemilik kedai membelalakkan
mata, tak percaya dengan apa yang dikatakan Pendekar Gila barusan. Hei,
bagaimana mungkin pemuda ini menaruh temannya di kamar? Tak kulihat tadi dia
masuk Gumam pemilik kedai, dalam hati. Hatinya heran dengan apa yang dilakukan
Pendekar Gila. "Jadi...?" "Ya. Terpaksa aku memasukkan temanku
di kamarmu, Ki. Aha, maafkan atas kelancanganku" "Tak apa.
Ambillah" sahut pemilik kedai.
"Aha, terima kasih,
Ki." Pendekar Gila segera melesat mengambil Kinanti yang disembunyikan di
kamar pemilik kedai. Sesaat kemudian dia telah kembali keluar dengan memondong
tubuh Kinanti.
"Terima kasih, Ki"
Pendekar Gila menjura, kemudian melesat meninggalkan kedai itu. Semua mata yang
ada di kedai, menatap penuh kekaguman pada pemuda bertingkah laku gila itu.
***
8
Sambil membawa tubuh Kinanti,
Pendekar Gila terus berlari dengan mengerahkan ajian 'Sapta Bayu'.
Hal itu dilakukan, karena
harus secepatnya sampai di Padepokan Gedangan Lor, yang terletak di Desa Karang
Tengah di lereng Pegunungan Blige. Sena harus menjumpai Ki Windu Ajar untuk
memberitahukan apa yang kini terjadi di Pulau Madura. Pendekar Gila ingin
menaruh Kinanti. Hatinya merasa rikuh dan jengah, kalau harus terus berjalan
didampingi seorang gadis.
'"Sapta Bayu'.
Heaaa..." Wsss Pendekar Gila melesat melebihi kecepatan angin, sehingga
dalam sekejap saja tubuhnya telah melesat jauh meninggalkan Desa Wetan Progo.
Kini jarak Pegunungan Blige, tinggal beberapa ratus pal lagi.
"Hm, sebentar lagi
sampai," gumam Sena. Lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, melesat
naik ke lereng Pegunungan Blige.
Ki Windu Ajar tersentak kaget
ketika melihat Pendekar Gila kembali dengan membawa Kinanti yang terluka dalam.
"Oh, apa yang terjadi,
Sena?" tanya Ki Windu Ajar. "Maafkan aku, Ki Ternyata aku telah
menunjukkan ketidakmampuanku menjaga Kinanti," sahut Sena. "Ayo
masuk," ajak Ki Windu Ajar. Dengan masih membopong tubuh Kinanti, Pendekar
Gila melangkah masuk mengikuti Ki Windu Ajar. Kemudian tubuh Kinanti
dibaringkan di atas sebuah tempat tidur.
Ki Windu Ajar segera memeriksa
pukulan yang mengena di dada muridnya. Sedangkan Pendekar Gila, kini duduk di
ruang depan menunggu sampai selesainya pengobatan yang dilakukan Ki Windu Ajar.
Tidak lama kemudian, Ki Windu
Ajar telah kembali keluar dengan wajah kelihatan letih. Nampaknya orang tua itu
telah mengerahkan tenaga dalam, untuk menyembuhkan luka dalam muridnya. Ki
Windu Ajar duduk di depan Pendekar Gila yang bersila.
"Apa yang telah terjadi
dengan Kinanti, Sena?" tanya Ki Windu Ajar pada Pendekar Gila yang
menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Kemudian dengan masih
menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila menceritakan apa yang terjadi pada
Kinanti.
Diceritakan pada Ki Windu
Ajar, kalau mereka telah bentrok dengan Lima Iblis dari Gempolan yang
diperintah seseorang untuk membunuhnya. Kinanti bertarung, sampai akhirnya
terkena pukulan.
"Kau tahu, siapa yang
telah memerintah kelima iblis itu, Sena?" "Aha, entahlah. Aku tak
berani menduga," sahut Sena. Kemudian terdiam dengan wajah memendam
sesuatu yang sepertinya hendak disampaikan. Hal itu membuat Ki Windu Ajar
mengerutkan keningnya.
"Sepertinya ada yang
hendak kau tuturkan, Sena. Katakanlah" pinta Ki Windu Ajar, setelah
memperhatikan wajah Pendekar Gila yang seakan memendam sesuatu.
"Aha, memang benar apa
yang kau katakan, Ki.
Sebenarnya aku hendak menunggu
sampai Kinanti sadar. Biar dialah yang menceritakan semuanya," ujar Sena
sambil menggaruk-garuk kepala. "Tetapi, tak apalah aku yang menceritakan
semuanya." Sena menggaruk-garuk kepalanya, kemudian diambilnya Suling Naga
Sakti. Dipandanginya suling itu dengan pandangan mata seperti sendu.
"Suling ini sebagai tanda
jiwaku. Apabila aku salah, maka suling inilah yang akan menghukumku," ujar
Sena sambil meletakkan Suling Naga Sakti di dipan. Hal itu membuat Ki Windu
Ajar mengerutkan kening, tak mengerti mengapa Pendekar Gila melakukan sumpah di
depan senjata pusakanya.
"Aha, mengapa kau
bersumpah, Sena? Aku percaya pada apa yang akan kau katakan. Simpanlah suling
saktimu itu," perintah Ki Windu Ajar.
"Aha, tidak mengapa, Ki.
Soalnya hal ini menyangkut kebenaran dan kejujuran. Juga menyangkut masalah
muridmu," kata Sena.
"Masalah
muridku...?" tanya Ki Windu Ajar setengah bergumam dengan kening berkerut
"Katakanlah, apa yang sebenarnya terjadi, Sena?" Pendekar Gila terdiam
sesaat. Wajahnya kelihatan gelisah, seperti ada sesuatu yang sedang berkecamuk
dalam dadanya.
"Sebenarnya ini
masalahmu, Ki. Salah seorang muridmu, yang bernama Mahesa Lanang."
"Mahesa Lanang? Apa yang telah terjadi dengan Mahesa Lanang?" tanya
Ki Windu Ajar. Matanya semakin tajam menatap wajah Pendekar Gila. Seakan ingin
tahu, apa yang sedang dipikirkannya.
"Aha, itulah yang sedang
kupikirkan, Ki. Aku tak habis pikir, mengapa Mahesa Lanang berlaku keji,"
tukas Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Keji? Keji
bagaimana?" "Mahesa Lanang telah membunuh, Ki." Seketika Ki
Windu Ajar tersentak kaget mendengar ucapan Pendekar Gila. Bagaikan disengat
kalajengking, tubuhnya terlonjak dengan mata menatap tajam Pendekar Gila.
"Dia telah
membunuh...?" gumam Ki Windu Ajar seperti tak percaya.
"Benar, Guru. Kakang
Mahesa telah membunuh Ki Jenar dan Ki Tarbiun serta lima jawaranya," sahut
Kinanti yang telah keluar dan langsung angkat bicara. Hal itu membuat Ki Windu
Ajar kembali tersentak. Sedangkan gadis itu kini duduk di samping Pendekar Gila
yang masih tersenyum-senyum.
"Oh, celakalah dia"
desah Ki Windu Ajar marah, setelah mendengar kalau muridnya telah melakukan
sebuah kekejian. Mata lelaki tua itu memandang ke atas. Dihelanya napas
panjang-panjang, seakan berusaha menyabarkan hatinya. "Hhh... Aku tak
pernah menduga, kalau dia akan terpengaruh pamannya." "Maksud,
Guru...?" tanya Kinanti.
"Mahesa Lanang datang ke
padepokan ini diantar seorang bernama Supramarta. Dia pimpinan Bajak Laut Selat
Madura. Orang itu memang punya hubungan kekerabatan dengan ayah Mahesa Lanang.
Supramarta dan ayah Mahesa Lanang memang bersikap baik terhadapku. Mereka
senantiasa berusaha menghormati. Itu sebabnya Supramarta datang ke Padepokan
Gedangan Lor mengharapkan agar Mahesa Lanang dapat dididik di sini." Ki
Windu Ajar menceritakan riwayat Ki Windu Ajar.
"Sebelumnya, antara
Supramarta denganku telah terjadi kesepakatan perjanjian. Perjanjian itu berisi
bahwa Supramarta tak boleh mengganggu-gugat Mahesa Lanang. Dia juga tak boleh memberi
tahu siapa sebenarnya orangtua anak itu...." "Aha, apakah benar ayah
Mahesa Lanang dibantai ketika pertandingan karapan sapi itu, Ki?" selak
Sena ingin tahu.
"Sebenarnya itu salah,
Sena. Ayah Mahesalah yang mendahului membuat keributan. Entah mengapa,
tiba-tiba dia mengamuk, setelah sapinya kalah. Dia membunuh banyak orang.
Karapatra, Tarbiun, Ki Jenar yang juga berada di tempat itu akhirnya berusaha
menenangkan Ki Simbar Kanginan, ayah Mahesa," tutur Ki Windu Ajar.
Dihelanya napas panjang-panjang, seakan hendak menenangkan perasaan.
"Ah ah ah.... Kalau
begitu, tentunya ada hal lain tentang Kakang Mahesa, Ki?" Sena semakin
ingin tahu banyak tentang siapa sebenarnya Mahesa Lanang dan mengapa pemuda itu
membunuh Tarbiun dan Ki Jenar.
Ki Windu Ajar akhirnya
menuturkan semua yang pernah terjadi sekitar dua puluh tahun silam.
Simbar Kanginan yang tak dapat
ditenangkan, akhirnya mati di tangan Tarbiun, Ki Jenar, dan Karapatra.
Mungkin itulah yang menjadi
alasan Mahesa membunuh mereka. Dendam. Ya, dendam kesumat atas kematian
orangtuanya.
"Hm.... Tapi, kurasa ada
yang tak beres. Mungkin Supramarta bermaksud mempengaruhi
kemenakannya...," ujar Ki Windu Ajar mengakhiri ceritanya.
"Ini tak bisa dibiarkan,
Sena" "Siapakah yang telah memberi tahu Mahesa tentang kematian
ayahnya...?" tanya Sena setelah terdiam mendengar cerita Ki Windu Ajar.
Ki Windu Ajar sesaat terdiam.
Dihelanya napas dalam-dalam. kemudian pandangannya dilayangkan ke halaman
padepokan.
"Memang dulu aku pernah
memberitahukan padanya, tentang kejadian yang dialami keluarganya.
Tetapi aku pun menegaskan,
bahwa semua adalah salah orangtuanya. Aku juga menekankan, agar dia tidak
menyimpan dendam," kata Ki Windu Ajar.
"Aha, apakah Mahesa
menurut?" tanya Sena semakin ingin tahu.
"Ya. Mahesa sangat
penurut padaku. Itu pula yang membuatku sayang padanya. Sehingga tanpa
ragu-ragu aku menurunkan aji 'Kepala Baja' pada-nya," tutur Ki Windu Ajar.
Pendekar Gila menarik napas
dalam-dalam, setelah mendengar semuanya.
Mungkinkah pamannya yang
mempengaruhi? Menurut Ki Windu Ajar, pamannya seorang bajak laut.
Hm, bisa jadi. Tetapi, mungkin
ada yang lainnya yang mempengaruhi dia? Tanya Sena dalam hati, bimbang untuk
menuduh siapa yang berhak disalahkan dalam hal ini. "Aha, kalau begitu,
mungkinkah pamannya yang mempengaruhi, Ki?" tanya Sena.
"Mungkin juga,"
gumam Ki Windu Ajar. "Tetapi kini yang lebih penting, kita harus segera
menyadar-kan Mahesa. Kalau dia menuruti kata-kata pamannya, tentunya semua
orang di Madura ini menjadi musuhnya. Karena saat itu, hampir semua orang
menonton karapan sapi. Dan pada waktu itu, memang semua turut serta menyerang
Simbar Kanginan yang mengamuk membabi-buta." Sena nyengir dengan tangan
menggaruk-garuk kepala, mendengar penuturan Ki Windu Ajar. Sepertinya Pendekar
Gila merasa bingung dengan semua yang terjadi. Jelas kalau masalah dendam,
siapa pun akan senantiasa terbakar hatinya. Sulit bagi orang yang mendendam
melupakan dendamnya. Malah terkadang dendam akan terbawa sampai mati.
"Kita harus segera
mencegahnya, Sena," usul Ki Windu Ajar.
"Aha, memang itu yang
sedang kupikirkan, Ki.
Bagaimanapun juga dia muridmu.
Kaulah yang lebih bertanggung jawab akan semuanya," ujar Pendekar Gi-la.
Mulutnya masih nyengir dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Ki Windu Ajar mengangguk-anggukkan
kepala, membenarkan apa yang dikatakan Pendekar Gila; Bagaimanapun juga, dialah
yang paling bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan muridnya.
"Ya ya, aku mengerti
maksudmu, Sena. Memang akulah yang harus bertanggung jawab atas semua perbuatan
muridku. Marilah kita cari Mahesa Sudah tiga hari dia tak pulang," ajak Ki
Windu Ajar seraya bangkit dari duduknya. Kemudian mereka bertiga pun melangkah
meninggalkan padepokan.
***
Sementara itu, di Hutan Ganggang Palang nampak
Mahesa Lanang tengah mendamprat keempat orang suruhannya yang tergolong dalam
kelompok Lima Iblis dari Gempolan. Lima Iblis dari Gempolan tak mampu membunuh
Pendekar Gila. Bahkan salah seorang di antara mereka tewas di tangan Pendekar
Gila.
"Bodoh Menghadapi seorang
pemuda gila saja kalian tak becus..." maki Mahesa Lanang marah.
"Mengapa kalian tidak
ikut mampus saja bersama Kurutuma?" Keempat lelaki bertampang garang
dengan cambang bauk tebal, terdiam menundukkan kepala.
Mereka tak berani menjawab
bentakan Mahesa Lanang. Bahkan beradu pandang pun mereka tak berani.
Mahesa Lanang menarik napas
dalam-dalam.
Kakinya melangkah memutari
keempatnya yang tertunduk diam. Matanya menatap tajam keempat orang anggota
Lima Iblis dari Gempolan yang diam membisu.
"Kenapa kalian hanya
diam? Kenapa kalian lari? Tidak ikut saja mampus bersama Kurutuma?" bentak
Mahesa Lanang sengit, dengan mata melotot penuh kebencian. "Percuma kalian
hidup, karena kalian sudah tahu apa hukuman bagi kalian." Keempat lelaki
berwajah garang itu tersentak kaget. Mata mereka
terbelalak ketakutan,
mendengar ancaman Mahesa Lanang. Mereka tahu siapa Mahesa Lanang. Setiap
ucapannya tak pernah main-main. Jika Mahesa Lanang mengatakan hukuman, sudah
barang tentu mereka akan menerima hukuman yang sangat berat. Tak ada pilihan
bagi mereka, kecuali kematian yang mengerikan. Percuma saja mereka melawan,
karena Mahesa Lanang tak mempan pukulan atau senjata apa pun.
"Ampunilah kami, Mahesa.
Biarkan kami berusaha sekali lagi," ratap Sarpajani mencoba mengharap
ampunan dari Mahesa Lanang. Dia berpikir, lebih baik mati bertarung melawan
pemuda bertingkah laku gila, daripada harus mati dihukum Mahesa Lanang.
Mahesa Lanang mencibir,
mendengar ratapan Sarpajani. Matanya menatap tajam wajah Sarpajani, yang
seketika kembali menundukkan kepala, tak berani beradu pandang dengannya.
"Siapa lagi yang mau
meminta ampunan?" tanya Mahesa Lanang dengan suara pelan. Seakanakan
ampunan itu akan diberikan pada mereka berempat. "Kami, Mahesa..."
sahut ketiga teman Sarpajani bersamaan.
"Hm, bagus" kata
Mahesa Lanang dengan bibir menyunggingkan senyum sinis. Kakinya melangkah
mendekati keempat anggota Lima Iblis dari Gempolan itu. Lalu....
"Ini ampunan untukmu,
Sarpa" Trep Mahesa Lanang merenggut pundak Sarpajani, lalu dengan segenap
kekuatan, kepalanya diadu dengan kepala Sarpajani. Maka....
Prak "Aaa..."
Sarpajani memekik keras, ketika kepalanya diadu dengan kepala Mahesa Lanang.
Dalam sekali adu saja, kepalanya hancur berantakan. Dan ketika tangan Mahesa
Lanang melepas cengkeraman-nya, tubuh Sarpajani terhuyung dengan kepala hancur.
Darah dan otak berhamburan keluar.
Bruk Tubuh Sarpajani jatuh,
kemudian mengejang sesaat sebelum diam dan mati. Hal itu membuat ketiga
temannya terbelalak semakin ketakutan.
"Ampunilah kami"
ratap mereka seraya bersu-jud dan menyembah di kaki Mahesa Lanang. Ketiganya
menangis, mengharap ampunan.
Mahesa Lanang tersenyum sinis,
menunjukkan keangkuhan dan kesombongannya. Matanya masih menatap tajam tiga
lelaki bercambang bauk yang masih meratap tangis sambil mencium kakinya. Tangan
Mahesa Lanang kini menangkap pundak Kumara Gupa.
Trep "Ampun..., ampunilah
nyawaku" ratap Kumara Gupa dengan tangis ketakutan. Matanya menatap penuh
ketakutan ke wajah Mahesa Lanang yang masih tersenyum sinis.
"Aku ampuni kau, Kumara
Gupa. Ini ampunan dariku..." Wrt Prak "Aaakh..." jerit Kumara
Gupa melengking tinggi, ketika kepalanya dibenturkan ke kepala Mahesa Lanang.
Darah muncrat bersamaan dengan otaknya.
Tubuhnya terhuyung mundur
jatuh ke tanah, berkelojotan sesaat sebelum sampai ajalnya.
Kedua orang rekannya yang
menyaksikan hal itu, tak kuasa lagi melihatnya. Keduanya segera lari untuk
menyelamatkan diri.
"Mau lari ke mana kalian,
Bangsat?" dengus Mahesa Lanang seraya melesat mengejar keduanya.
Mahesa Lanang semakin marah melihat
kedua orang itu lari. Dengan segenap tenaga, terus dikejarnya kedua lelaki yang
ketakutan setengah mati itu.
Bruk Kedua orang anggota Lima
Iblis dari Gempolan itu tersentak kaget, ketika tubuh mereka menabrak sesosok
tubuh yang sedang melangkah dan hendak menuju ke arah yang berlawanan dengan
mereka.
"Aduh Kau...?"
Membelalak mata Karasenta ketika melihat siapa yang ditabraknya. Seorang pemuda
bertingkah laku seperti orang gila yang tak lain Pendekar Gila. Di sam-pingnya,
seorang lelaki tua berusia tujuh puluh tahun dengan jubah seperti resi yang
tiada lain Ki Windu Ajar. Satu lagi gadis cantik yang tak lain Kinanti, tengah
melotot sengit menatap keduanya. Dan yang terakhir dan berdiri di belakang
adalah seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun dengan wajah bengis.
Namun, matanya menggambarkan
ketenangan dan kesabaran. Lelaki berpakaian rompi biru laut ini tak lain paman
Mahesa Lanang. Dialah pimpinan Bajak Laut Selat madura, yang bernama
Supramarta.
"Hi hi hi.... Mengapa
kalian seperti cecurut dikejar kucing? Sampai tak melihat ada orang...?"
tanya Sena sambil tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Di mana Mahesa?"
bentak Supramarta, paman Mahesa Lanang.
Rupanya sebelum menuju ke
Hutan Ganggang Palang, Pendekar Gila dan Ki Windu Ajar serta Kinanti menuju
kediaman Supramarta. Supramarta yang merasa tidak mempengaruhi Mahesa Lanang
dan merasa malu, langsung marah mendengar cerita dari Ki Windu Ajar. Pemimpin
Bajak Laut Selat Madura itu sengaja datang hendak menghajar kemenakannya.
"Dia sedang mengejar
kami," jawab Karasenta dengan wajah masih ketakutan.
"Aha, mengapa kalian
dikejarnya? Ah ah ah...
Mungkin kalian mencuri. Hi hi
hi..." tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tidak. Kami tak mencuri
apa-apa. Dia marah, setelah kami tak berhasil membunuh Tuan," jawab
Karasenta sambil memandang wajah Pendekar Gila, yang masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Hm, jadi selama ini kau
diburu kecoa-kecoa ini, Sena?" tanya Supramarta dengan mata membelalak
marah. Merasa malu atas tindakan kemenakannya, Supramarta hendak menghajar
kedua orang itu. Namun dengan cepat Pendekar Gila mencegahnya.
"Aha, sudahlah Kurasa
mereka pun tak akan melakukannya jika tak ada yang menyuruh."
"Ampunilah kami Kami benar-benar takut, karena Mahesa hendak membunuh
kami," kata Karasenta. "Dua orang teman kami telah dibunuhnya."
"Hm...," gumam Supramarta tak jelas. Dihelanya napas dalam-dalam.
"Apa yang sebenarnya dike-hendaki Mahesa?" "Dia bermaksud
mendirikan kerajaan, untuk memberontak pada Kerajaan Banyuwangi," tutur
Karasenta. "Dia merasa tahu kalau masih ada Pendekar Gi-la, usahanya akan
terhalang. Untuk itu, dia selalu berusaha menyingkirkan Pendekar Gila."
"Kurang ajar Dasar anak setan Di mana dia sekarang?" bentak
Supramarta. Dia hendak berlari memburu ke Hutan Ganggang Palang, ketika Ki
Windu Ajar mencegahnya.
"Sabar, Supramarta.
Menghadapi Mahesa, kita tak boleh gegabah. Apalagi kini dia memiliki aji
'Banteng Kranda' yang membuat tubuhnya kebal dari senjata dan pukulan
sakti," tutur Ki Windu Ajar.
Semua mata membelalak,
mendengar penuturan Ki Windu Ajar. Hanya Pendekar Gila yang tampak tenang.
Bahkan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Walau Sena tahu kehebatan
ajian yang dimiliki Mahesa Lanang, tapi sehebat apa pun manusia, tentu ada
kelemahannya.
"Lalu apa yang harus
diperbuat, Guru?" tanya Kinanti. Ki Windu Ajar menghela napas panjang,
sepertinya dia pun dalam kebimbangan.
"Memang aku yang salah,
memberinya ajian itu. Tetapi, bagaimanapun juga kita harus bisa menjinakkan
Mahesa. Sangat berbahaya jika dia dibiarkan dengan cita-citanya itu,"
gumam Ki Windu Ajar setengah mengeluh, merasa berdosa atas tindakan muridnya.
"Apakah tidak ada kelemahannya, Ki?" tanya Supramarta.
"Aha, Hyang Widi
menciptakan manusia atas kelebihan dan kekurangannya, Ki Supra," sahut
Sena.
"Bagaimanapun juga, semua
manusia memiliki kekurangan." "Benar apa yang kau katakan, Sena.
Tetapi, dia hanya bisa dikalahkan dengan ajian yang aneh saja.
Sebuah jurus yang mungkin
tidak masuk di akal," kata Ki Windu Ajar setengah bergumam, sepertinya
dirinya tak yakin kalau ajian itu masih ada di dunia ini.
"Aha, ajian apa itu,
Ki?" tanya Sena.
"Ajian itu dimiliki
bangsa kera. Sedangkan kera yang memiliki pukulan itu, sering disebut Kera
Sakti...." "Kera Sakti..,?" tanya Sena dengan kening berkerut
"Ya," sahut Ki Windu Ajar.
"Aha, apakah nama ajian
itu, Ki?" '"Tamparan Sukma'," sahut Ki Windu Ajar.
"Hi hi hi..." Sena
tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat semua yang ada
di tempat itu memandang dengan penuh ketidakme-ngertian.
"Ada apa, Sena? Apakah
kau tahu pukulan itu?" tanya Ki Windu Ajar.
"Aha, sedikit, Ki. Ah,
tapi akan kucoba dengan cara yang baik. Bagaimanapun juga, kita sama-sama
manusia. Kita harus saling sayang-menyayangi," ujar Sena yang membuat
semuanya mengerutkan kening, tak percaya kalau pemuda gila itu bisa bertutur
kata bagus. Ada rasa kagum tergambar di wajah mereka pada Pendekar Gila.
"Kau benar, Sena. Hyang
Widi mencipta kita, memang untuk mengasihi satu sama lain. Tetapi jika orang
yang hendak dikasihi tak mau dan malah melawan, apa salahnya kita
bertindak?" tanya Ki Windu Ajar.
"Ayo, kita ke
tempatnya" ajak Ki Supramarta.
Belum juga mereka melangkah,
terdengar suara Mahesa Lanang berseru menyuruh mereka jangan ikut campur
urusannya.
"Jangan bergerak Kuharap
kalian tak perlu turut campur urusanku, kalau tak ingin mampus" ancam
Mahesa Lanang, yang menjadikan semuanya tersentak kaget. Hanya Sena yang
tertawa terbahakbahak sambil menggeleng-gelengkan kepala.
***
9
"Hua ha ha... Lucu sekali
kau, Mahesa. Kami masih hidup, bagaimana mungkin tak bergerak?" seru Sena
sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan mulut masih cengengesan.
Mahesa Lanang yang memang
sudah tak suka pada Pendekar Gila mendengus sengit Matanya menatap tajam penuh
kebencian.
"Huh, rupanya kau hanya
seorang pengecut, Pendekar Gila Apa kau kira aku takut dengan kau panggil
mereka? Hm, jangan harap aku akan takut" dengus Mahesa Lanang dengan mata
semakin tajam, diliputi hawa permusuhan dan kebencian yang mendalam.
Seakan-akan dirinya tak senang melihat kehadiran Pendekar Gila di Pulau Madura.
Ki Windu Ajar, Kinanti, dan Ki
Supramarta mendengus marah mendengar ucapan Mahesa Lanang.
Bagaimanapun juga, ucapan
pemuda itu pada Pendekar Gila sangat keterlaluan. Mahesa Lanang seakan tidak
memandang sebelah mata pun pada Sena, yang namanya sangat disegani di rimba
persilatan.
"Lancang sekali mulutmu,
Mahesa" bentak Ki Supramarta marah.
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak sambil tangannya menggaruk-garuk kepala. Seakan-akan dirinya tak
tersinggung atau marah dihina seperti itu.
Bahkan tingkah lakunya yang
konyol, semakin menjadi-jadi. Kini tubuhnya bagaikan seekor kera,
berjingkrak-jingkrak sambil menggaruk kepala dan tubuh.
Kemudian tangannya
menepuk-nepuk pantat.
"Ah ah ah... Kurasa
bukanlah aku yang pengecut. Aha, mungkin kau yang pengecut, Mahesa.
Sayang sekali kau berilmu
tinggi, kalau besar kepala seperti itu," ujar Sena yang membuat Mahesa
Lanang semakin bertambah marah.
"Cuih Kuperingatkan
padamu, cepat pergi dari sini, sebelum hilang kesabaranku" bentak Mahesa
Lanang dengan wajah membara. Dari hidung dan telinganya, keluar angin, layaknya
seekor banteng marah.
"Aha, rupanya kaulah
Banteng Sumenep itu, Mahesa Ah ah ah... Sepantasnya kau bukan banteng, tetapi
seekor kerbau sombong," ejek Sena sambil tersenyum-senyum dengan tangan
masih menggarukgaruk kepala. Hal itu membuat Mahesa Lanang semakin marah,
mendengus dengan mengeluarkan angin semakin keras dari hidung dan telinganya.
"Kurang ajar Kubunuh
kalian Heaaa..." Mahesa Lanang segera bergerak menyerang ke arah mereka.
Sambil menyeruduk dengan kepala, tangannya bergerak memukul.
"Aha, kau mirip seekor
kerbau Hi hi hi..." "Awas..." seru Kinanti mengingatkan pada
semuanya untuk mengelak. Seketika semuanya berlompatan, mengelitkan serangan
Mahesa Lanang dengan jurus 'Banteng Ketaton Menanduk'.
Wrt Brak Kepala Mahesa Lanang
membentur sebatang pohon. Pohon itu ambruk terseruduk kepala Mahesa Lanang.
Sedangkan kepalanya bagaikan tak mengalami apa-apa. Sesaat kemudian pemuda
berjuluk Banteng Sumenep itu kembali mendengus dan menatap penuh kebencian pada
Pendekar Gila.
"Kuhancurkan tubuhmu,
Pendekar Gila Heaaa..." "Aha, lucu sekali kau, Mahesa Ah ah ah,
pantas namamu Kerbau Dungu. Tak tahunya kau memang dungu..." ejek Sena
sambil bergerak mengelitkan serangan yang dilancarkan Mahesa Lanang. Tubuhnya
melompat ke atas dengan jurus 'Si Gila Terbang Mencengkeram Mangsa'.
Wsss Tubuh Mahesa Lanang yang
menyerang, menyuruk maju ke depan. Dengan cepat Pendekar Gila mengelak dengan
lompatan ke atas. Kemudian secara cepat pula, ditendangnya pantat lawan.
Begk "Heaaa..."
Tangan Pendekar Gila mendorong tubuh lawan, yang membuat Mahesa Lanang terus
melaju dan tak mampu berhenti. Dan....
Brak Suasana Hutan Ganggang
Palang seketika riuh.
Banyak pohon hancur terkena
serangan-serangan Mahesa Lanang. Namun kepala pemuda itu bagaikan tak mengalami
sakit atau luka. Padahal pohon-pohon besar itu bertumbangan terseruduk
kepalanya.
"Kurang ajar
Heaaa..." "Aha, kau seperti kerbau dungu yang kian tolol Mahesa"
seru Sena sambil tertawa terbahak-bahak.
Tingkah lakunya kian konyol,
membuat kemarahan lawan semakin memuncak. Banteng Sumenep menyerang dengan
membabi-buta. Tangannya bergerak cepat, menghantam ke sana kemari.
"Awas Mundur..."
seru Ki Windu Ajar, mengingatkan pada Kinanti dan Ki Supramarta agar mundur.
Lelaki tua itu tahu kehebatan
serangan Mahesa Lanang. Hal itu dapat dilihat dari pohon-pohon yang hancur dan
tumbang.
Mereka benar-benar mengkhawatirkan
Pendekar Gila yang kelihatannya masih tenang-tenang saja.
Padahal serangan yang
dilancarkan Mahesa Lanang sudah mencapai puncaknya.
"Heaaa..." Mahesa
Lanang kembali menyerang dengan pukulan-pukulan mautnya yang mampu
menghancurkan pohon besar. Namun, dengan cepat Pendekar Gila bergerak mengelit
ke samping. Sehingga serangan lawan kembali lolos. Hampir saja tubuh Mahesa
Lanang kembali menubruk pohon, kalau saja tak segera membalik. "Bedebah
Jangan hanya bisa mengelak saja, Kunyuk" maki Mahesa Lanang dengan geram,
karena sejak tadi Pendekar Gila hanya bergerak menghindar.
Seakan-akan tak berani beradu
dengannya secara ksatria. "Aha, jadi apa maumu, Kerbau Dungu? Hi hi
hi..." "Pengecut Ternyata namamu hanya kecoa busuk" dengus
Mahesa Lanang.
"Hi hi hi... Kau ingin
aku menyerangmu, Mahesa?" "Ya Kita buktikan, siapa yang kuat"
tantang Mahesa Lanang dengan mata membelalak tajam, menatap penuh kebengisan
pada Pendekar Gila.
"Hua ha ha... Lucu sekali
kau, Mahesa Ah ah ah, kesombongan itu yang akan mencelakakanmu."
"Cuih Jangan banyak omong. Mari kita bertarung secara ksatria" bentak
Mahesa Lanang menantang. "Aha, boleh." Pendekar Gila melangkah
mendekati Mahesa Lanang dengan masih cengengesan. Tangannya kembali
menggaruk-garuk kepala, seperti tak merasa takut sama sekali. Hal itu membuat
Ki Windu Ajar dan Ki Supramarta serta yang lainnya terbelalak kaget. Mereka
benar-benar tak mengerti, mengapa Pendekar Gila malah menerima tantangan Mahesa
Lanang.
"Celaka Sena" desis
Kinanti dengan wajah cemas. Matanya tak berkedip memandang Pendekar Gila yang
masih cengengesan sambil melangkah mendekati Mahesa Lanang. "Guru, kita
harus membantu Sena" "Tenanglah, Kinanti Kita lihat saja apa yang
akan dilakukan Sena...," ujar Ki Windu Ajar berusaha menenangkan muridnya
yang kelihatan sangat gelisah, takut kalau-kalau Pendekar Gila mendapat celaka.
"Apakah itu tak
membahayakan dirinya, Ki?" tanya Ki Supramarta. "Aku khawatir akan
keselamatan Pendekar Gila." "Tenanglah, Ki Kalaupun Pendekar Gila
kalah, itu berarti kita pun akan mengalami nasib yang sama," tutur Ki
Windu Ajar dengan mencoba tersenyum, berusaha menenangkan keadaan orang-orang
di sekelilingnya. Semua menarik napas panjang-panjang, kemudian menghentikannya
ketika melihat Pendekar Gila semakin bertambah dekat dengan Mahesa Lanang.
Pendekar Gila masih saja
cengengesan sambil bertingkah laku konyol, seakan tak takut sama sekali. Hal
itu membuat Mahesa Lanang bertambah geram.
"Hi hi hi... Apa yang kau
inginkan, Mahesa?" tanya Sena.
"Kita tentukan dengan
cara ksatria." "Maksudmu...?" "Jangan pura-pura bodoh Kita
tentukan dengan sepuluh kali pukulan. Jika dalam sepuluh kali pukulan kau bisa
menahannya, maka aku kalah," ujar Mahesa Lanang menunjukkan kejantanannya.
Matanya menatap tajam penuh kebencian pada Pendekar Gila yang masih cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. "Aha, baiklah. Siapa yang akan memulai,
Mahesa?" tanya Sena dengan tingkah laku konyol. Mulutnya masih
cengengesan. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala, sedangkan tangan kirinya mengorek
telinga. "Kita bergantian," sahut Mahesa Lanang tegas.
"Hi hi hi..." Sena
tertawa. "Aha, baiklah. Lalu siapa yang akan mendahului?"
"Kau" "Aku? Aha, baiklah. Kuharap kau siap, Mahesa."
"Huh, sombong Lakukanlah..." tantang Mahesa Lanang.
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak. Kakinya bergerak mundur selangkah. Matanya masih menatap tajam
Mahesa Lanang.
Aku tahu, dia kebal terhadap
pukulan. Tapi akan kucoba dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Gumam
Sena dalam hati dengan mata masih menatap lekat wajah Mahesa Lanang.
"Lakukanlah, Pendekar
Gila Aku ingin tahu, seberapa hebat pukulanmu" tantang Mahesa Lanang.
"Baik. Bersiaplah
Heaaa..." Wrt Degk Sena membelalakkan mata, menyaksikan apa yang terjadi.
Pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang' yang dahsyat tak berarti sama sekali
bagi lawan. Tubuh Mahesa Lanang jangankan hancur lebur, luka pun tidak. Mahesa
Lanang hanya tergontai tiga langkah ke belakang dengan mulut menyungging
senyum.
"Ha ha ha... Ternyata
hanya segitu kemampuanmu, Pendekar Gila Hua ha ha..." Mahesa Lanang
tertawa mengejek.
"Hua ha ha..." Sena
turut tertawa sambil berjingkrakan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Hal
itu membuat semua yang ada di tempat itu bengong keheranan, tak mengerti dengan
tingkah lakunya yang konyol. Mahesa Lanang pun seketika terdiam. Sejenak
memeriksa tubuhnya. Sepertinya takut kalau-kalau ada yang luka.
"Diam" bentak Mahesa
Lanang marah, setelah melihat tubuhnya tak mengalami apa-apa. "Kini
gili-ranku, Pendekar Gila" "Hi hi hi... Aha, kurasa pukulanmu pun
seringan kapas" ejek Sena sambil tertawa cekikikan.
"Kurang ajar Terimalah
'Laksa Gempa'ku.
Heaaa..." Wrt Degk
"Ukh..." Sena mengeluh. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Darah
meleleh di bibirnya. Matanya terasa berkunang-kunang. Namun meski dalam keadaan
luka, mulutnya masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Celaka, Guru Kita harus
mencegahnya" sentak Kinanti tak sabar. Gadis itu hendak melompat, tapi
dengan cepat Ki Windu Ajar mencegahnya.
"Jangan, Kinanti Ku yakin
Sena tak apa-apa." "Tapi dia kelihatannya luka dalam, Guru,"
bantah Kinanti.
"Tenanglah, Kinanti Kita
lihat saja. Kau lihat, Sena masih cengengesan. Itu tandanya dia belum
parah." "Apakah harus menunggu parah?" tanya Kinanti cemas.
"Kita harus menolongnya, Guru" "Sudah kukatakan, percuma kau
menolongnya.
Mahesa bukan lawan kita. Kalau
sampai Sena tewas, akulah yang akan menyerang Mahesa lebih dahulu, untuk
menebus dosa-dosaku," sahut Ki Windu Ajar berusaha menenangkan muridnya.
Kinanti menurut diam,
memperhatikan apa yang bakal terjadi dengan hati gelisah dan berdebardebar.
***
Sementara Sena kini dengan masih cengengesan
berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya.
Sedangkan Mahesa Lanang
semakin tergelak tawanya, merasa telah menang dan mampu membuat Pendekar Gila
luka dalam.
"Ha ha ha... Itu belum
seberapa, Pendekar Gila" seru Mahesa Lanang.
"Hua ha ha... Aku juga
belum merasakan seberapa, Mahesa," balas Sena tertawa terbahak-bahak tak
kalah keras. Lalu melangkah mendekati Mahesa Lanang yang mendengus marah.
"Kini giliranmu"
dengus Mahesa Lanang.
"Aha, menyenangkan sekali
Bersiaplah..." Sena melangkah setindak ke belakang. Ditariknya kedua
tangan ke belakang, kemudian digerakkan ke atas. Itulah jurus 'Si Gila Membelah
Awan'. Mulutnya dimonyongkan, seirama dengan gerakan kedua tangan. Kemudian
kembali kedua tangannya ditarik dan diletakkan di pinggang "Heaaa..."
Bleg Pukulan Pendekar Gila tak berarti sama sekali.
Mahesa Lanang tertawa
terbahak-bahak, seperti kegelian. Hal itu membuat semua yang melihat
membelalakkan mata kian lebar. Namun Pendekar Gila malah ikut-ikutan tertawa
keras.
"Bersiaplah, Pendekar
Gila Kini kau harus mampus di tanganku" Usai berkata begitu, Mahesa Lanang
segera mencengkeram pundak Sena. Hal itu membuat semua yang melihat tersentak
kaget. Mahesa Lanang kini telah mempersiapkan serangan mautnya dengan ajian
'Kepala Baja'nya yang mampu menghancurkan batu karang. "Celaka, Guru"
pekik Kinanti tegang, menyaksikan Mahesa Lanang telah mengeluarkan ajian
pamungkasnya yang sangat berbahaya.
Sena yang telah melindungi
seluruh bagian tubuhnya dengan tenaga inti gabungan, ‘Inti Salju’, ‘Inti Api’,
dan 'Inti Bayu' nampak melangkah tenang. Sepertinya Pendekar Gila kini merasa
percaya diri akan kemampuannya. Matanya memandang dengan tajam ke arah Mahesa
Lanang, yang mendengus laksana banteng terluka.
Ki Windu Ajar dan Ki
Supramarta hanya mampu menggigit bibir. Mereka pun merasakan ketegangan yang
mendera jiwa, takut kalau kepala Pendekar Gila akan pecah. Namun Pendekar Gila
malah kelihatan masih tenang, bahkan tertawa-tawa.
"Heaaa"
"Heaaa..." Brak Dua kepala itu saling berbenturan dengan keras,
menjadikan keduanya terlontar beberapa tombak ke belakang, dan membentur pohon.
Beberapa batang pohon besar bertumbangan terhantam tubuh Mahesa Lanang dan
Pendekar Gila.
Glarrr Brakkk Terdengar
ledakan keras diiringi tumbangnya beberapa pohon besar. Semua mata membelalak,
tak percaya kalau Pendekar Gila mampu menahan diri.
Kepalanya tak pecah, seperti
apa yang mereka takutkan. Bahkan Mahesa Lanang yang kini nampak meringis-ringis,
menahan sakit.
"Hua ha ha... Bagaimana,
Mahesa? Masihkah kau akan meneruskan sampai sepuluh kali?" tanya Sena
sambil tertawa terbahak-bahak, dengan tangan menggaruk-garuk kepala yang agak
pusing akibat benturan dengan kepala Mahesa Lanang.
"Huh Kau pun tak akan
mampu membunuhku, Pendekar Gila" dengus Mahesa Lanang sengit.
"Aha, kau terlalu
sombong, Mahesa Kusarankan, lebih baik kau menyerah pada gurumu untuk
mempertanggungjawabkan perbuatanmu" "Cuih Jangan mengguruiku,
Pendekar Gila Ayo, kita tentukan siapa yang harus melayang ke akhirat"
tantang Mahesa Lanang dengan sengit.
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak mendengar tantangan Mahesa Lanang yang sombong itu.
Lalu kepalanya
digeleng-gelengkan dengan mulut cengengesan.
"Aha, kau terlalu sombong
dan takabur, Mahesa. Baiklah kalau itu yang kau inginkan." Setelah berkata
begitu, Pendekar Gila pun melangkah beberapa tindak ke belakang. Matanya
terpejam, dicabutnya Suling Naga Sakti yang terselip di pinggang. Ditiupnya
suling itu, mengalunkan suara yang mendayu-dayu. Sedangkan kakinya bergerak
dengan langkah-langkah yang teratur. Itulah jurus 'Tamparan Sukma'.
Semua mata terbelalak,
menyaksikan apa yang dilakukan Pendekar Gila.
"Jurus 'Tamparan
Sukma'" seru Ki Windu Ajar kaget. "Dia menguasai jurus itu..."
"Heaaa..." Dengan mengandalkan sukmanya, Pendekar Gila bergerak
menyerang tubuh Mahesa Lanang. Tangan kanannya menampar pelan, sementara tangan
kirinya masih memegang Suling Naga Sakti yang ditiup dengan suara melengking
tinggi.
Mahesa Lanang tersentak.
Tubuhnya hendak mengelit, namun terlambat. Tanpa ampun lagi....
Glarrr...
"Wuaaa...
Tobaaat..." Glarrr Tubuh Mahesa Lanang meledak dan hancurlebur.
Orang-orang terbelalak kaget bukan kepalang Pendekar Gila terdiam sesaat,
kemudian kembali bertingkah konyol dengan kepala menggelenggeleng. Lalu dengan
pelan, duduk bersila, meniup Suling Naga Sakti dengan irama yang sedih,
menuturkan betapa malangnya kehidupan manusia.
"Sena..." seru
Kinanti sambil berlari mendekati Pendekar Gila yang duduk sambil meniup Suling
Naga Sakti yang berirama duka. Seakan dirinya merasa sedih, atas kemungkaran
Mahesa Lanang.
Mentari perlahan-lahan
merangkak semakin tinggi, menandakan hari telah siang. Ketika terik mentari
memanggang bumi, Pendekar Gila dengan diiringi tatapan sendu Kinanti berlalu
meninggalkan Hutan Ganggang Palang.
"Sena..." seru
Kinanti.
Sesaat Sena menghentikan
langkahnya, tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian melambaikan
tangan dan meneruskan langkah untuk mengembara.
"Semoga dia senantiasa
dalam lindungan Hyang Widi" gumam Ki Windu Ajar. "Sudahlah, Kinanti
Dia memang bukan milikmu. Kau harus rela berpisah dengannya." Kinanti
hanya mengangguk dan menurut, ketika gurunya mengajak meninggalkan tempat itu.
Kaki gadis cantik itu melangkah lesu meninggalkan Hutan Ganggang Palang dengan
perasaan haru.
SELESAI