-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 19 Murka Sang Iblis
1
Senja itu di Desa Pakis tengah
terjadi pertarungan seru antara Ki Angkara, seorang bekas penduduk desa itu,
melawan Kepala Desa Pakis, Ki Lurah Padri. Ki Angkara yang juga dikenal sebagai
seorang lintah darat itu melampiaskan dendam pada Ki Lurah Padri, karena kepala
desa itu memberikan anak gadisnya kepada Kandanu.
Kejadian itu dirasa memang
aneh, karena ketika Ki Angkara datang ke Desa Pakis, warga desa menyambut
dengan gembira. Lelaki tua itu dianggap orang baik, karena banyak membantu
mereka yang lemah, dengan memberi pinjaman.
Namun, lama kelamaan warga
banyak yang merasa keberatan. Jika dalam kurun waktu yang telah ditentukan,
mereka tak mampu mengembalikan pinjaman, maka dikenakan bunga yang tinggi Kian
hari warga yang berhutang pada Ki Angkara kian menderita dan sengsara. Bukan
saja karena perekonomian warga semakin tertekan. Jika warga tak mampu membayar
utang, Ki Angkara pun tak segansegan menyiksa.
Apalagi ketika pembelian hasil
panen dilakukan secara ijon, penderitaan warga Desa Pakis semakin hebat. Sampai
ketika seorang pemuda bemama Kandanu kembali ke Desa Pakis.
Kandanu yang tahu orang tuanya
juga korban Ki Angkara, dengan gigih berusaha menumpas kekejaman Ki Angkara.
Kemarahan Kandanu semakin
memuncak, setelah tahu bahwa Ki Angkara yang menyebabkan kematian orang tuanya
Apalagi ketika mendengar Ki Angkara hendak memperistri Murti Dewi, kekasihnya.
Mengetahui Kandanu membenci
lelaki tua yang Juga berjuluk Iblis Berkedok Dewa itu, warga menjadi berani.
Mereka segera angkat senjata berusaha mengusir Ki Angkara.
Sore itu Ki Angkara tsngah
membabi buta, melabrak serta membunuh setiap orang yang berani melawan dan
menghalanginya.
'Heaaa.." Bukkk Plak
Pukulan dan tsndangan keras Ki Angkara terus menghajar orang-orang yang berani
melawan dan menghalangi.
"Aaakh..." Pekikan
keras terdengar menyayat, disusul tubuhtubuh bergelimpangan berlumuran darah.
Di Sana sini yang dilewati Ki Angkara tampak mayatmayat terkapar mengenaskan.
Ki Lurah Padri yang juga memiliki llmu silat cukup lumayan pun tak mampu
menghalangi tindakan Ki Angkara yang penuh dendam itu.
Lima orang keamanan desa yang
memiliki ilmu silat tinggi, dengan sekali gebrak saja tak berdaya menghadapi
keganasan Iblis Berkedok Dewa itu.
Darah berceceran di mana-mana,
menimbulkan bau anyir. Korban semakin banyak yang bergelimpangan, mati dalam
keadaan mengenaskan. Ada yang terbabat lehemya sampei putus, ada yang kepalanya
terbelah, dan ada pula yang dadanya hangus terbakar surtn berbakas telapak
tangan Ki Angkara. Karena lelaki bengis itu menggunakan ilmu 'Pukulan Iblis
Berbisa'.
Ki Lurah Padri hampir saja
menjadi korban, kalau tak segera melompat mundur.
"'Pukula Iblis
Berbisa'," desah Ki Lurah Padri dengan mata menatap nanar pada Ki Angkara.
Ki Lurah Padri lalu mengambil
tindakan untuk mengamankan diri Hal itu dilakukan bukan karena takut mati, tapi
karena merasa harus segera memberi kabar pada Kandanu, menantunya yang saat itu
berada di istana kerajaan.
"Karto..." seru Ki
Lurah Padri memanggil seorang pemuda yang hendak turut mengeroyok Ki Angkara.
Pemuda itu segera menghampiri Ki Lurah Padri yang berada di belakang sebuah
rumah penduduk.
Kau segera ke istana dan beri
tahu Kandanu..., cepat'" Karto segera berlari menjalankan perintah kepala
desanya. Ki Lurah Padri agak lega, pemuda itu telah melesat pergi dari Desa
Pakis, menuju istana untuk memberi tahu Kandanu tentang kejadian itu.
Mendung yang sejak tadi
bergayut di langit kian menebal, membuat suasana Desa Pakis semakin tercekam.
Apalagi sebentar-sebentar suara petir terdengar seakan hendak memecahkan bumi.
Pembantaian masih terus
berlangsung. Iblis Berkedok Dewa semakin merajalela membunuh orangorang desa.
"Mampus kalian...
Heaaa..." geram Ki Angkara dengan mata melotot memancarkan sinar
kebencian. "Kemana lurahmu yang tukang bohong itu...?" Sambil berkata
begitu, Ki Angkara terus menghajar dan menghantam orang-orang yang
mengeroyoknya. Golok dan senjata lain dengan mudah dipatahkan, lalu dihantamkan
ke pemiliknya.
"Aaakh..."
"Wuaaa..." Sementara itu, Ki Lurah Padri tengah berusaha
mcnyelamatkan putrinya, Murti Dewi, yang sedang hamil muda.
"Cepat, Murti.... Kita
harus segera pergi.
Cepat... Sebelum iblis itu
menangkap kita. Ayo, cepat.." perintah Ki Lurah Padri cemas pada anaknya.
Murti Dewi dengan perasaan
tegang terus berlari mengikuti ayahnya. Ki Lurah Padri cepat memegang lengan
Murti Dewi yang nampak ketakutan. Mereka terus berlari menembus hujan lebat,
berusaha menjauhi rumah yang akan disatroni Ki Angkara.
Hujan pun turun semakin deras,
bagai disiram dari atas. Pembantaian masih berlangsung. Teriakan dan jeritan
panjang tiada henti, terdengar di sana sini. Dan kini Ki Angkara telah sampai
dekat rumah Ki Lurah Padri yang telah sepi. Beberapa wanita tua muda berlarian
sambil menangis dan menjerit mencari suami atau anak mereka yang mungkin tewas
dalam pertempuran menghadapi keberingasan Iblis Berkedok Dewa.
Iblis Berkedok Dewa memasuki
rumah Ki Lurah Padri dengan cara menghancurkan pintu rumah itu. Pada saat yang
bersamaan, tiba-tiba dari arah timur nampak beberapa lelaki penunggang kuda
memasuki Desa Pakis. Derap kaki-kaki kuda bergemuruh, seakan bersaing dengan
suara hujan lebat. Sepuluh prajurit dengan seragam kerajaan berwama kuning
menggebah terus kuda mereka.
Seolah-olah mereka tak sabar
untuk segera sampai di Desa Pakis.
Kuda putih yang berada paling
depan ditunggangi seorang lelaki gagah perkasa. Dilihat dari pakaiannya, lelaki
itu adalah seorang senapati atau panglima perang kerajaan. Dialah Senapati
Kandanu yang juga berjuluk Macan Kaligis.
Ki Angkara yang mengetahui
kedatangan pasukan prajurit kerajaan, segera melesat pergi dengan hati geram
dan marah. Lelaki tua beijubah merah darah itu terus melesat menembus lebatnya
hujan.
Senapati Kandanu memerintahkan
anak buahnya untuk memeriksa rumah Ki Lurah Padri.
Ternyata rumah besar itu telah
kosong. Beberapa peralatan rumah tampak hancur berantakan.
Mengetahui keadaan sepi di
rumah mertuanya, Senapati Kandanu melompat dari punggung kuda. Kemudian mencoba
masuk ke rumah.
"Kau temukan istriku dan
Ki Lurah...?" tanya Senapati Kandanu pada anak buahnya yang telah
memeriksa dalam rumah.
"Tidak seorang pun di
dalam rumah ini, Senapati," jawab prajurit itu.
Mendengar jawaban itu,
Senapati Kandanu tersentak kaget dan cemas. Sejenak dia berpikir, lalu segera
memerintahkan anak buahnya untuk mencari ke seluruh penjuru desa.
"Kau beri tahu yang lain,
cari sampai ketemu..." perintah Senapati Kandanu kepada anak buahnya agar
memberi tahu prajurit lain yang tidak ikut ke rumah Ki lurah Padri.
"Baik, Senapati"
Setelah prajurit itu pergi, Senapati Kandanu masih memutar pikiran, ke mana
istri dan mertuanya pergi. Hatinya semakin diliputi kecemasan, karena sang
Istri tengah hamil.
"Keparat tua bangka itu
Kubunuh kau, Iblis..." Kemudian dengan hati diliputi amarah dan kecemasan,
Senapati Kandanu menggebah kuda, meninggalkan rumah Ki Lurah Padri, untuk
menyusul para anak buahnya yang telah menyebar mengejar Iblis Berkedok Dewa.
Iblis Berkedok Dewa ternyata
memang sengaja membuat keonaran di Desa Pakis. Hal itu dilakukan dengan tujuan
untuk membuat malu Senapati Kandanu yang telah mempersunting Murti Dewi.
Lelaki tua itu pun telah lama
menyimpan dendam dan amarah pada Kepala Desa Pakis. Ki Lurah Padri dianggapnya
telah berkhianat dan berbohong padanya.
Dahulu, sebelum Murti Dewi
yang menjadi Kembang Desa Pakis dipinang Senapati Kandanu, Iblis Berkedok Dewa
yang juga lintah darat itu telah beberapa kali mempengaruh] Ki Lurah Padri agar
menyerahkan putrinya untuk dijadikan istri.
Berulang kali bujukan
dilakukan, tapi Ki Lurah Padri selalu menolak dengan halus. Alasannya, putrinya
belum berminat menikah atau berumah tangga.
Ki Angkara rupanya mengerti
dan tetap bersedia menunggu. Namun manakala mendengar bahwa orang yang diharapkan
ternyata dipersunting Senapati Kandanu, Ki Angkara marah bukan kepalang.
Dendamnya semakin membara setelah Murti Dewi dinikahi Senapati Kandanu. Itulah
sebabnya setelah menghilang dari Desa Pakis, Iblis Berkedok Dewa selalu membuat
keonaran di desa yang dipimpin Ki Lurah Padri itu Berulangkali lelaki tua itu
selalu lolos dari kejaran Senapati Kandanu dan prajurit kerajaan.
Belakangan diketahui kalau Ki
Angkara menjadi mata-mata Kerajaan Kelabang Sewu, sebuah kerajaan yang berada
di bawah kekuasaan Kerajaan Mandra Kulawa. Kerajaan Kelabang Sewu ingin
memisahkan diri dari kekuasaan Kerajaan Mandra Kulawa. Namun cita-cita itu
selalu terkubur, apalagi setelah panglima perang Kerajaan Mandra Kulawa
dipegang Senapati Kandanu, si Macan Kaligis Malam telah tiba, tapi hujan belum
reda.
Seakanakan hendak turut
menyembunyikan jejak Iblis Berkedok Dewa. Sementara itu, Senapati Kandanu atau
Macan Kaligis hampir putus asa. Di wajahnya nampak kecemasan bercampur amarah
terhadap tindakan Iblis Berkedok Dewa.
Namun, ketika Senapati Kandanu
baru saja memerintahkan para anak buahnya untuk kembali berkumpul, tiba-tiba
dari arah selatan tampak dua orang berlarian menembus hujan. Keduanya menuju
para prajurit kerajaan yang dipimpin Senapati Kandanu. Kedua orang itu ternyata
Ki Lurah Padri dan Murti Dewi, yang tampak pucat dan basah kuyup.
Melihat siapa yang datang,
Senapati Kandanu segera menghambur menyambut istrinya.
Dipeluknya wanlta yang tengah
hamil muda itu dengan kelegaan hati dan rasa kasih sayang.
Sementara, dua orang prajurit
membimbing Ki Lurah Padri membawa ke rumahnya. Senapati Kandanu pun segera
menuntun istrinya, masuk ke rumah.
"Maafkan Kakang,
Murti...," bisik Senapati Kandanu pada Murti Dewi. Lalu direbahkannya sang
istri di ranjang. Dikeringkan sekujur tubuh istrinya yang masih pucat dan
lemas. Tak lama kemudian wanita cantik itu tertidur kelelahan.
Malam terus merangkak. Di luar
hujan mulai reda. Murti Dewi pun mulai kembali sehat setelah tertidur pulas
cukup lama. Senapati Kandanu yang menunggui selama sang Istri tidur, segera
mendekat dan duduk di tepi ranjang.
"Kakang...
Kakang..." suara Murti Dewi terdengar lirih dan lembut memanggil suaminya.
"Ya, Diajeng. Ini
Kakang," sahut Senapati Kandanu sambil mengusap lembut kepala Murti Dewi
dengan penuh kasih sayang. Bibirnya tersenyum gembira melihat istrinya tampak
mulai segar.
"Aku takut,
Kakang...," desah Murti Dewi sambil meremas tangan Senapati Kandanu.
"Tenang, Diajeng Yang
penting kau selamat.
Kakang yang salah. Maafkan
Kakang... Sekarang tak perlu kau takut dan khawatir. Kakang akan selalu
bersamamu, Diajeng...," Senapati Kandanu mencoba menenangkan istrinya yang
tampak masih diliputi kecemasan.
Murti Dewi tersenyum manis
seraya memegangi pipi sang Suami dengan jari tangannya yang halus. Senapati
Kandanu lalu mencium lembut kening Murti Dewi. Wanita cantik itu tersenyum
bahagia.
"Kakang, mudah-mudahan
bayi dalam perut ini lahir dengan selamat.. Aku khawatir nanti...," Murti
Dewi tak meneruskan ucapannya karena Senapati Kandanu menutup bibirnya dengan
jari telunjuk sambil tersenyum serta menggelengkan kepala. Kemudian dipeluknya
erat-erat tubuh sang Istri dengan penuh kasih sayang.
"Jangan kau mempunyai
perasaan begitu, Diajeng. Percayalah pada Hyang Widhi, bayi itu akan lahir
dengan sehat, tanpa kekurangan apa pun..." Senapati Kandanu menghibur
istrinya.
Murti Dewi takut akan
keselamatan bayinya, karena dirinya mengalami jatuh dua kali sewaktu tadi
berlari untuk bersembunyi di luar desa. Itulah yang kecemasan dan ketakutan di
hatinya, jika sang Bayi kelak lahir.
Senapati Kandanu memeluk dan
menciumi sang Istri dengan penuh kasih, terus berusaha menenangkan hati Murti
Dewi. Sementara, di luar malam semakin larut. Kegelapan menyelimuti Desa Pakis.
Hujan rintik-rintik menambah suasana mencekam di desa yang baru saja mengalami
pembantaian oleh seorang tokoh sakti durjana.
Di tengah kegelapan malam dan
rinai gerimis, tampak para warga desa dibantu para prajurit kerajaan inulai
mengumpulkan mayat-mayat yang tewas oleh nmukan Iblis Berkedok Dewa.
Malam itu juga mereka
menguburkan para korban diiringi derai tangis dan air mata seluruh warga Desa
Pakis. Obor-obor bambu terpancang di sekitar pemakaman, seakan turut
menyaksikan duka cita warga Desa Pakis.
***
Semenjak peristiwa mengenaskan itu, Senapati
Kandanu memutuskan untuk lebih sering mengunjungi Desa Pakis, menjenguk
istrinya yang tengah hamil. Atau kadang kadang, kalau terpaksa dirinya tak bisa
datang karena urusan di istana kerajaan, terpaksa mengutus beberapa prajurit
untuk mengawasi Ki Lurah Padri dan Murti Dewi, istrinya.
Tak terasa beberapa purnama
telah berlalu.
Kini kandungan Murti Dewi
telah sampai waktunya untuk melahirkan. Sore itu, Senapati Kandanu pun datang
ke rumah mertuanya, Ki Lurah Padri.
Setelah menemui Istrinya yang
berada di kamar ditemani Nyi Ipah, seorang dukun bayi, Senapati Kandanu
berbincangbincang dengan Ki Lurah Padri di serambi depan rumah.
"Aku ikut bersalah, Nak
Senapati. Aku tak berte rus terang pada Ki Angkara waktu itu. Tapi apa aku juga
bersalah kalau menolak permintaan lelaki tua itu meminang Murti...?" ujar
Ki Lurah Padri membuka permasalahan yang telah lama terpendam di hati. Wajahnya
nampak muram, cemas.
"Tidak, Rama. Menolak
atau menerima adalah hak Rama. Ki Angkara memang manusia berhati iblis yang periu
ditumpas Aku telah berjanji dan bersumpah untuk membunuhnya, bila tertangkap
nanti. Dia telah berani membuat onar di desa ini dengan ilmu hitamnya. Aku
harus menangkapnya, cepat atau lambat.." ujar Senapati Kandanu
sungguh-sungguh.
Ki Lurah Padri diam.
Dihisapnya rokok kawungnya, kemudian perlahan-lahan dihembuskan asapnya.
Senapati Kandanu pun diam. Keadaan sejenak hening.
Waktu berputar begjtu cepat,
malam pun datang menyelimuti bumi. Awan hitam menutupi bulan yang bersinar
terang. Bumi berubah redup, menambah suasana mencekam.
Malam itu Senapati Kandanu dan
Ki Lurah Padri kembali meneruskan pembicaraan mereka. Nyi Ipah yang memang
masih kerabat dekat dengan Ki Lurah Padri malam itu tetap menjaga Murti Dewi.
Perempuan tua itu mengeluarkan
minuman dan makanan untuk Ki Lurah Padri dan menantunya, Senapati Kandanu.
"Sampai di mana obrolan
kita tadl..?" tanya Ki Lurah Padri pada Senapati Kandanu.
"Ng..., soal ilmu yang
dimiliki Ki Angkara, Rama," jawab Senapati Kandanu.
"Hm..., ya. Aku tak habis
pikir, dari mana dia mendapatkan ilmu aneh itu." "Ya, begitulah,
Rama. Yang jelas Ki Angkara telah menguasai ilmu sesat itu Namun sedikit pun
aku tak takut. Apalagi kini pihak Kerajaan Mandra Kulawa telah mendengar bahwa
si Iblis Berkedok Dewa itu merupakan mata-mata dari Kerajaan Kelabang Sewu.
Berarti Ki Angkara, jelas musuh Kerajaan Mandra Kulawa. Dan sebagai senapati
yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketenteraman rakyat, aku harus
menangkap hidup atau mati Ki Angkara" Ki Lurah Padri manggut-manggut,
tanda mengerti clan membenarkan ucapan menantunya.
"Ya, ya. Tapi Nak
Senapati tetap harus waspada dan hati-hati, menghadapi manusia licik seperti Ki
Angkara itu. Manusia seperti dia itu pandai mengutamakan berbagai tipu
muslihat.
Apalagi kudengar dia juga
pandai menyamar," ujar Ki Lurah Padri, tampak mencemaskan menantunya.
Senapati Kandanu nampak tak
langsung menjawab, la sedikit kaget mendengar penjelasan Ki Lurah Padri. Dia
tampak berpikir sejenak.
"Hmm... , aku justru
belum tahu tentang itu, Rama. Namum plhak kerajaan telah memutuskan untuk
membinasakan Iblis itu. Aku sendiri turut merasa berdosa terhadap penduduk Desa
Pakis yang telah banyak menjadi korban kebiadabannya.
Untuk itu, aku pertaruhkan
nynwa demi menangkap Ki Angkara..." ujar Senapati Kandanu yang telah
diliputi amarah, dan malu, akibat ulah Iblis Berkedok Dewa.
Ya.. ya.. Aku memaklumi
perasaanmu, sebagai seorang abdi Kerajaan Mandra Kulawa. Tapi sekati lagi, aku
berpesan agar kau lebih tenang menghadapi masalah iril. Dengan ketenangan jiwa
kau akan lebih inampu mencari siasat untuk menaklukkan manusia iluijana seperti
Ki Angkara.
Semoga Hyang Widhi berpihak
pada kita...." "Terima kasih, Rama Aku akan mencoba melaksanakan
nasihat Rama...," jawab Senapati Kandanu sambil mengangguk penuh rasa
hormat terhadap mertuanya.
Sejenak keduanya kembali diam.
Suasana hening menyelimuti malam. Hanya bunyi jangkrik dan sesekali celetukan
burung hantu terdengar memecah keheningan. Ki Lurah Padri meneguk kopinya.
Sementara Senapati Kandanu nampak tengah memikirkan sesuatu.
***
2
Air hujan yang mengguyur Desa
Pakis sejak sore, membuat desa yang indah itu seketika bagaikan mati. Kesunyian
terus mencekam bersama datangnya hawa dingin yang menusuk tulang sumsum.
Sesekali hujan berhenti, tapi kemudian tercurah kembali.
Sementara itu di dalam
kamamya, Murti Dewi tengah berjuang mati-matian menghadapi kelahiran anaknya.
"Aduh, Nyi Oh, sakit
sekali..." keluh Murti Dewi.
Wanita cantik itu terus
mengeluh dan mengaduh kvwkltan. Napasnya tersengal-sengal.
Keringat membanjiri sekujur
tubuhnya, meskipun hawa dingin menyelimuti malam itu. Namun perasaan dan
upayanya untuk mampu mengeluarkan jabang bayi di dalam perut telah membuat
tubuh wanita cantik itu basah kuyup.
"Sabar, Murti...
Sabar..." bisik Nyi Nipah, sang dukun bayi, sambi terus berusaha membantu
Murti Dewi mengeluarkan bayi dalam kandungannya.
"Ayo, Murti... Cepat
sedikit..., ayo..." Nyi terus memberi semangat, agar Murti Dewi
menghempaskan napasnya karena kepala bayi itu telah mulai keluar.
"Hmh , ahhh Ohhh..."
Murti Dewi menurut, segera dikerahkan seluruh tenaganya untuk dapat
mengeluarkan sang bayi yanq sudah mulai keluar kepalanya.
"Terus, Mur Ayo,
terus" seru Nyi Nipah memberi semanyat, supaya Murti Dewi tak menghentikan
hempasan tenaganya.
Wajah wanita muda itu kini
nampak tegang dan pucat. Keringat terus membanjiri selurah tubuhnya. Meskipun
tubuhnya tampak letih, Murti Dewi terus berusaha mengeluarkan jabang bayinya.
Dihempaskan tenaganya dan....
"Oaaa... Oaaa..."
Terdengar suara bayi memecah keheningan malam, seakan hendak membelah kegelapan
malam dan suara hujan.
Seketika Senapati Kandanu
berucap syukur kepada Sang Hyang Widhi. Hatinya diliputi perasaan bahagia yang
tak terkira. Wajah Senapati Kerajaan Mandra Kulawa itu tampak ceria, karena
sang Anak yang ditunggunya telah lahir dengan selamat.
"Nak Senapati, ke sini
Lihat anakmul Besar dan tampan, bukan?" tanya Nyi Nipah sambil menimang
bayi yang masih dengan ari-arinya. "Aku melihat ada kelebihan pada bayi
ini." "Ah, Nyi Nipah ada-ada saja...," sahut Senapati Kandanu
seraya tersenyum.
"Nak Senapati ini dikasih
tahu orang tua tidak percaya. Cobalah perhatikan anakmu...." "Benar
kata Nyi Nipah, Nak Kandanu," Ki Lurah Padri menimpali.
Senapati Kandanu hanya
menyunggingkan senyum. Bagi dirinya, mempunyai keistimewaan atau tidak, yang
jelas anaknya kelak harus dapat mewarisi watak yang baik Dalam hatinya,
Senapati Kandanu berharap anaknya kelak akan menjadi orang yang dapat
diandalkan. Anak yang berbakti kepada orang tua, negara, dan Hyang Widhi.
"Semuanya saya serahkan
pada Hyang Widhi, Rama," ujar Senapati Kandanu menanggapi ucapan
mertuanya.
Ki Lurah Padri dan Nyi Nipah
menganggukanggukkan kepala. Dalam hati, mereka merasa bangga akan kerendahan
hati Senapati Kandanu.
Meskipun seorang pendekar dan
punya kedudukan tinggi di kerajaan, lelaki muda itu tak pemah angkuh dan tinggi
hati.
Senapati Kandanu memang sangat
dihormati dan dihargai penduduk Desa Pakis. Maklum, karena dialah satu-satunya
orang Desa Pakis yang mampu membuat harum nama desanya. Dan pembangunan Desa
Pakis ini kian maju semenjak Kandanu menjadi pembesar diKerajaan Mandra Kulawa.
Kini Desa Pakis bukan desa
yang terbelakang seperti satu atau dua dasawarsa silam. Desa Pakis kini
merupakan desa yang ramai, tidak sedikit saudagar kaya bertempat tinggal di
desa yang aman dan tentram itu. Ketenteraman dan keamanan Desa Pakis . dan
sekitarnya itu tak dapat dilepaskan dari jasa Senapati Kandanu yang mengirim
pasukan prajurit ke desa itu empat kali dalam satu purnama.
Senapati Kandanu menikah
dengan Murti Dewi dua tahun yang silam, tepatnya ketika Senapati Kandanu
kembali ke Desa Pakis. Mulai saat itu pula Desa pakis mengalami banyak
perubahan.
Ketenangan dan ketenteraman
warga Desa Pakis kian bertambah pula semenjak menghilangnya Ki Angkara. Lintah
darat yang kejam itu kini tak hanya dimusuhi warga desa Pakis, tapi merupakan
musuh Kerajaan Mandra Kulawa. Iblis Berkedok Dewa itu kini menjadi buronan para
prajurit kerajaan.
Betapa bangga dan bahagia
seluruh warga Desa Pakis. Mereka semakin bangga dan kagum terhadap Senapati
Kandanu.
Sementara itu, tanpa
sepengetahuan warga Desa Pakis yang sedang dilanda kebahagiaan dan baru
menyambut kelahiran bayi pertama dari pasangan yang sangat dipuja-puja, Iblis
Berkedok Dewa masih berupaya terus mencari cara membalas dendam pada Ki Lurah
Padri.
Iblis Berkedok Dewa belum puas
sebelum mampu membalas dendam terhadap Ki Lurah Padri dan Senapati Kandanu.
Lelaki tua itu terus berupaya mencari cara membuat malu Senapati Kandanu di
mata rakyat Kerajaan Mandra Kulawa.
Meskipun untuk melaksanakan
maksud itu Ki Angkara harus menghadapi rintangan berat, menghadapi para
prajurit kerajaan di bawah pimpinan Senapati Kandanu.
Kemarahan Iblis Berkedok Dewa
semakin menjadi-jadi setelah salah seorang anak buahnya memberi kabar bahwa
Murti Dewi telah melahirkan anak Kandanu.
Mendengar berita tidak
menyenangkan itu, Ki Angkara segera memeras otak, mencari jalan untuk membuat
keonaran.
Sementara Ki Angkara sendiri
mulai kesal setelah menyadari bahwa dirinya menjadi buronan Kerajaan Mandra
Kulawa.
"Mungkinkah ini
tanda-tanda kelak ia akan menjadi orang besar seperti ayahnya?" ujar Nyi
Nipah. Pertanyaan itu seperti ditujukan pada diri sendiri. "Cobalah Kakang
Padri pegang tulang belakang anak ini yang tampak begitu kokoh." Sebagai
seorang kakek, Ki Lurah Padri pun menu rut memegang tubuh cucunya. Dielusnya
perlahan bagian belakang tubuh bayi itu.
"Benar apa katamu,
Nyi" seru Ki Lurah Padri girang.
"Sudah kuduga, bahwa bayi
ini kelak akan menjadi seorang pemuda yang bakal menyamai ayahnya."
Senapati Kandanu hanya tersenyum-senyum mendengar ucapan kedua orang tua itu.
Walau begitu dalam hatinya memang mengharapkan bahwa anaknya kelak akan menjadi
orang yang baik, paling tidak akan dapat mampu menggantikan dirinya. "Oh,
Hyang Widhi, puji syukur hamba panjatkan ke hadiratMu," bisik Senapati
Kandanu berdoa dalam hati.
Senapati Kandanu sebenarnya
ingin sekali menimang bayinya, tapi merasa belum mampu, karena terlalu kasar
dirinya untuk ukuran tubuh seorang bayi.
'Nyi Nipah, apa boleh aku
menengok istriku?" tanya Senapati Kandanu.
"Ya, boleh. Memangnya
kenapa?" Nyi Nipah balik bertanya.
"Ah, tldak apa-apa. Aku
hanya takut kalaukalau nanti akan membuat istriku lemah saja." Kau ini
ada-ada saja, Nak Kandanu. Justru istrimu akan bertambah semangat bila
didampingimu," tukas Nyi Nipah.
Senapatl Kandanu tersipu-sipu
melihat Nyi Nipah menyunggingkan senyum menggoda.
Kemudian dia segera
meninggalkan ruangan tengah dan masuk ke kamar Muill Dewi.
Breeet Pintu kamar terbuka.
“Kakang..” desis Murti Dewi
lirih.
Senapati Kandanu tersenyum,
lalu melangkahkan kakinya perlahan menghampiri istrinya yang masih berbaring.
Wajah Murti Dewi tampak letih, setelah susah payah berjuang melahirkan sang
Bayi. Menurut orang tua, melahirkan sama saja dengan berjuang menentukan hidup
atau mati. Nyawa sebagai taruhan dalam melahirkan. Hal itu juga dialami Murti
Dewi, yang saat itu baru pertama kali melahirkan.
Senapati Kandanu mendekat,
lalu perlahan duduk di tepi ranjang tempat istrinya terbaring.
Murti Dewi menatapnya dengan
pandangan sayu.
"Hm, kau sudah melihat
anak kita, Kakang?" "Sudah." "Bagaimana, Kakang?"
Senapati Kandanu tidak menjawab, hanya tersenyum. Perlahan dengan lembut
diciuminya kening Murti Dewi. Matanya menatap penuh pancaran kasih sayang pada
istrinya.
"Anak kita laki-laki,
mirip denganku," jawab Kandanu dengan bangga, membuat Murti Dewi mencibir.
"Hm, kau tak percaya, Diajeng?" "Bukan tak percaya, Kakang. Aku
percaya, kok." Senapati Kandanu tersenyum, begitu juga Murti Dew. Keduanya
nampak sangat bahagia.
Kemudian keduanya terdiam,
seakan hanya dengan tatapan mata sudah cukup bagi suami istri itu untuk
menyatakan apa yang ada dalam hati masingmasing.
"Oaaa... Oaaa..."
"Dengarlah tangisnya, Diajeng." "Ya. Tangisnya keras. Dia ingin
.menunjukkan bahwa dirinya mampu," jawab Murti Dewi.
"Kelak, mungkin dia akan
melebihiku, Diajeng," ujar Senapati Kandanu seraya menggeleng-gelengkan
kepala.
"Ya. Semoga saja,
Kakang...." Untuk kedua kalinya suami istri itu terdiam tanpa kata, dan
hanya napas mereka saja yang terdengar mendesah berat.
Sementara itu di luar
tamu-tamu tampak berdatangan walau hujan masih belum reda.
Kedatangan para tamu membuat
pembantupembantu Ki Lurah Padri bertambah repot. Namun begitu, di wajah para
pelayan nampak keceriaan .
Karena dengan begitu mereka
akan turut menikmati segala macam makanan yang belum tentu tiap hari mereka
rasakan.
"Wah, kini kau telah
dlpanggil kakek, Adi Padri," ujar Ki Purba, seorang sesepuh desa, yan
masih saudara seperguruan dengan Ki Lurah Padri.
"Usiamu kini makin
bertambah, tapi telah ada calon penerusmu." "Ah, Kakang Purba bisa
saja," gumam Ki Lurah Padri mencoba berkelakar. "Bukankah memang
seharusnya begitu, Kakang?" 'Tepat. Sebagai orang tua, kita memang harus
menyadari bahwa sudah dekat dengan masa istirahat kita. Jangan seperti Ki
Angkara yang kini entah di mana rimbanya." "Maksudmu, Kakang?"
tanya Ki Lurah Padri.
"Kau toh mengerti, Adi
Padri. Ki Angkara dulu pemah tergila-gila pada putrimu. Bayangkan saja, kalau
hal itu terjadi...." Ki Lurah Padri menarik napas dalam-dalam.
"Memang, Ki Angkara
sepertinya tak menyadari usia. Seharusnya di usia yang setua itu, Ki Angkara
sadar, bahwa dirinya tak akan lama lagi hidup di dunia." , Percakapan dua
orang seperguruan itu terhenti, ketika nampak rombongan dari kelurahan lain
datang. Di antara mereka tampak Ki Lurah Rejo Sari, Muntilan, Ki Serono, serta
lurah-lurah lainnya yang semua merupakan kawan-kawan Ki Lurah Padri.
Namun kedatangan mereka bukan
sematamata karena Ki Lurah Padri, melainkan karena Macan Kaligis. Sebagai lurah
yang desanya termasuk dalam wilayah Kerajaan Mandra Kulawa, sudah sepantasnya
mereka datang menjenguk, dan turut menyatakan rasa bahagia atas kelahiran putra
Senapati Kandanu.
"Eh, ada tamu jauh...?
Apa kabar semuanya?" tanya Ki Lurah Padri menyambut para tamu.
"Bagaimana keadaan rakyat
di desa kalian. Mudahmudahan selalu dalam kemuliaan." "Regitulah
seperti apa yang kau lihat, Ki Padri," jawab Lurah Muntilan. "Kami
datang sebagai pernyataan rasa suka cita atas kelahiran cucumu, Ki."
"Terima kasih. Sungguh kalian merupakan kawankawan yang selalu memberikan
bantuan dan memberikan kebahagiaan." Ki Lurah Padri segera mempersilakan
kelima lurah agar duduk di kursi yang telah disediakan.
Sementara dirinya pun harus
segera menemui para tamu yang lainnya. Kelima lurah itu pun dijamu dengan
ditemani sesepuh Desa Pakis, Ki Purba.
Namun kedatangan para tamu itu
tampaknya cukup mengherankan tuan rumah. Entah siapa yang telah memberitahukan
pada mereka, bahwa Maean Kaligis telah mempunyai putra. Memang rasarasanya
tidak masuk akal kalau mereka tahu sendiri, karena kebanyakan para tamu datang
dari jauh.
Dari tempat yang harus
menempuh peijalanan mungkin sehari penuh. Kabar itu layaknya disampaikan sehari
atau dua hari yang lalu.
"Kalau boleh aku
bertanya, kapankah Ki Lurah sekalian mendengar kabar suka cita ini?" Ki
Purba yang cerdik, mencoba mencari keterangan dari kelima lurah yang kini
ditemaninya. Lelaki tua itu berharap akan mampu menjawab dugaan hatinya. Karena
dia telah menduga adanya sesuatu yang kurang berkenan di hatinya.
Kelima lurah itu saling
pandang, sepertinya kaget mendengar pertanyaan itu.
"Kami diberi tahu seorang
lelaki tua yang mengaku mempunyai hubungan dekat dengan Ki Padri," jawab
Ki Lurah Sura Gading.
Mendengar jawaban itu, Ki
Purba tercengang.
Seketika keningnya berkerut
karena heran.
"Lelaki tua...?"
desis Ki Purba kaget.
"Benar," sahut Ki
Lurah Muntilan. "Dia mengatakan bahwa dirinya masih ada hubungan saudara
dengan Ki Padri." "Ah..." pekik Ki Purba lirih.
"Kenapa, Ki? tanya Ki
Reja Sanga, melihat keterkejutan Ki Purba. "Apa ada yang tidak beres,
Ki?" Ki Purba menganggukkan kepala membuat kelima lurah itu seketika
membeliakkan mata.
"Jadi semua omongan orang
itu dusta?" tanya kelimanya serentak.
"Tidak semuanya,"
jawab Ki Purba.
Kelima lurah itu makin tak
mengerti. Ki Purba yang tahu gelagat, saat melihat kelimanya terkejut segera
menerangkan maksudnya.
"Memang benar apa yang
dikatakan orang itu.
Akan tetapi orang itu bukanlah
sanak saudara kami." "Heh? Mengapa Ki Purba berkata begitu?"
tanya Ki Lurah Reja Sanga tak yakin. "Sedangkan orang itu mengatakan bahwa
dirinya adalah sanak saudara Ki Padri." Ki Purba terdiam, sulit untuk
menerka siapa sebenarnya orang itu.
Bersamaan dengan
ketidakmampuan Ki Purba menjawab segala pertanyaan kelima lurah itu, dari dalam
tampak Macan Kaligis keluar. Serta merta para tamu bangkit dari tempat duduk
Tanpa diperintah, mereka menjura hormat.
"Salam sejahtera dan suka
cita kami ucapkan, Kanjeng Senapati" "Oh, selamat datang Ki Lurah
sekalian Terima kasih atas segalanya" sambut Senapati Kandanu sadar bahwa
dirinya jauh lebih muda bila dibandingkan kelima lurah itu. Sepantasnya dirinya
menaruh hormat pada mereka. "Silakan duduk" Kelima lurah itu pun
kembali duduk. Kali ini kelimanya ditemani langsung orang yang mereka hormati,
Senapati Kandanu. Mereka kini diam.
Tiada seorang pun di antara
mereka yang berani membuka kata terlebih dulu untuk mengawali pembicaraan. Di
mata kelima
lurah itu, Senapati Kandanu
merupakan orang yang amat disegani.
Padahal bagi Senapati Kandanu
sendiri merekalah yang sepantasnya dihormati. Pertama mereka sebagai tamu,
kedua mereka orang-orang tua yang mempunyai pengalaman serta wawasan yang jauh
lebih banyak djbanding dengan dirinya. Hanya karena soal nasib yang membedakan
dirinya dengan kelima lurah tersebut.
"Ki Lurah sekalian, kalau
ini tidak menyinggung hati Ki Lurah, saya ingin bertanya," akhirnya
Senapati Kandanu membuka keheningan yang menyelimuti mereka.
"Tentang apakah, Kanjeng
Senapati?" Ki Lurah Purwa Jati yang menimpali balik bertanya. Ki Purwa
Jati memang orang yang paling tua di antara kelimanya. "Katakanlah kalau
memang itu sangat penting bagi Kanjeng Senapati." Senapati Kandanu terdiam
sejenak, mengerutkan kening.
"Maaf Kalau boleh aku
tahu, dari siapa Ki Lurah sekalian tahu, istriku hari ini melahirkan?"
tanya Senapati Kandanu setelah memandang kelimanya satu persatu.
Kelima lurah itu tak segera
menjawab.
Mereka menghela napas
dalam-dalam lalu saling pandang sejenak.
"Kami diberi tahu seorang
lelaki tua," jawab Ki Purwa Jati.
"Orang tua?"
Senapati Kandanu balik bertanya dengan kening berkerut.
"Ya" jawab Ki Purwa
Jati. "Orang tua berjubah merah" Senapati Kandanu dan Ki Purba
tersentak mendengar penuturan Ki Purwa Jati. Mata keduanya terbelalak. Mereka
nampak seperti tak percaya pada ucapan Ki Purwa Jati.
"Bagaimana mungkin Ki
Angkara berani lancang menampilkan diri?" tanya Senapati Kandanu dalam
hati. "Mungkinkah ia menyamar? Ah, tak mungkin" "Kapan berita
itu sampai Ki Lurah?" tanya Ki Purba kemudian.
"Dua malam yang
lalu," jawab Ki Purwa Jati.
Senapati Kandanu terdiam.
Pandangan matanya dllemparkan pada Ki Purba. Ki Purba yang menangkap tatapan
itu, sepertinya juga tidak tahu harus berbuat apa. Lelaki tua itu tak mengerti
apa yang harus dilakukan. Untuk menangkap Ki Angkara, jelas dia tak tahu
keberadaannya.
"Ki Lurah sekalian Kalau
kalian tahu orang itu, harap tangkap. Bukankah Ki Lurah telah mendengar
pengumuman dari kerajaan?" tanya Senapati Kandanu.
Kelima lurah dan beberapa tamu
yang mendengar ucapan Maean Kaligis, tersentak kaget.
"Jadi...?" Ki Purwa
Jati hendak bertanya ketika dengan cepat Senapati Kandanu menyahut.
"Ya Dialah Ki Angkara,
orang yang kini tengah diburu pihak kerajaan setelah berbuat onar di sini dan
terbuka kedoknya sebagai mata-mata.
Dia juga sering disebut Iblis
Berkedok Dewa," papar Senapati Kandanu.
Kelima lurah itu
mengangguk-anggukkan kepala.
"Bila Ki Lurah sekalian
mampu menangkapnya hidup atau mati, akan mendapatkan imbalan dari Kanjeng Gusti
Galih Waskita." Kelima lurah itu nampak gembira mendengar imbalan yang
dijanjikan raja bila mampu menangkap Ki Angkara. Mereka telah membayangkan
bagaimana mereka akan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi bila dapat
melaksanakan tugas itu "Baiklah, akan kami perhatikan apa yang Kanjeng
Senapati katakan," jawab Ki Purwa Jati yang diikuti keempat lurah lain.
"Kami juga tak dapat
lama-lama di sini" tambah Ki Sura Gendring.
"Oh, mengapa mesti
buru-buru?" Senapati Kandanu mencoba mencegah.
"Maafkan kami Kami harus
mengurus apa yang kami lakukan menjelang kunjungan Kanjeng Gusti Galih Waskita
untuk memeriksa desa kami" Ki Purwa Jati kembali menjawab.
"Baiklah Hati-hatilah,
dan ingat Ki Lurah, bahwa sudah menjadi tugas kita menangkap penjahat
kerajaan" tegas Senapati Kandanu.
"Akan kami perhatikan,
Kanjeng Senapati," jawab kelimanya serempak.
Kelima lurah itu segera mohon
pamit, pada Ki Padri dan Ki Purba. Setelah menimang sang Bayi yang nampak
tenang, mereka menjura hormat pada Senapati Kandanu, lalu meninggalkan rumah
Kepala Desa Pakis.
***
3
Kelima lurah yang pulang dari
rumah Ki Lurah Padri tampak beijalan diiringi para pengawal mereka masing
masing. Rombongan itu baru saja melewati tapal batas Desa Pakis.
"Bagaimana menurutmu,
Kakang Purwa Jati?" tanya Ki Reja Sanga.
"Apa maksudmu, Adi
Sanga?" "Itu, mengenai Ki Angkara yang menjadi buronan kerajaan.
Apakah kita tak ikut mencari? Siapa tahu kita yang beruntung mendapatkan
imbalan Itu, Kakang." Ki Purwa Jati terdiam memikirkan pendapat Ki Reja
Sanga. Sebenarnya dalam hati Ki Purwa Jati tak punya keinginan untuk
mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi, seperti yang diharapkan keempat lurah
lainnya. Memang bagi Ki Purwa Jati yang sudah tua, apalah arti jabatan tinggi.
Bahkan dirinya merasa sudah pantas melepaskan segala urusan duniawi.
"Sebenarnya aku juga
tertarik, tapi usiaku tidaklah memungkinkan untuk terus memegang Jabatan yang
lebih tinggi. Untuk jabatan lurah saja, kurasa sudah terlalu berat
bagiku," jawab Ki Purwa Jati polos. "Tapi, aku akan berusaha membantu
kalian." "Kalau begitu, Kakang Purwa bersedia membantu kami,"
kata Ki Sura Gandring.
"Aku akan berusaha,"
jawab Ki Purwa Jati.
"Karena ini menyangkut
urusan kerajaan. Sekalian membantu jika kalian benar-benar berminat dengan
tugas Int." "Ah, terima kasih sebelumnya, Kakang Purwa" ujar Ki
Kuncara, yang paling muda di antara kelima lurah itu.
Kelimanya terus melangkah
menyusuri jalan becek, hingga alas kaki mereka kotor oleh lumpur.
Kelima lurah itu terdiam. Tak
satu pun yang berbicara. Begitu juga kesepuluh orang pengawal mereka. Semua
membisu, seakan-akan tengah hanyut dalam pikiran masing-masing. Hanya suara
langkah kaki mereka yang terdengar di tengah kegelapan malam yang dingin.
Tiba-tiba sesosok bayangan
berkelebat di hadupan mereka. Kelima belas orang itu tampak tersentak kaget,
ketika mendadak sesosok tubuh telah menghadang langkah mereka.
"Hah Siapa kau...?"
bentak Ki Sura Gandring seraya menghentikan langkah.
"Ha ha ha... Ternyata kalian
orang-orang yang sangat menghormati senapati kerajaan itu. Ha ha ha...l
Tentunya kalian telah membuktikan bahwa Senapati Kandanu benar telah mendapat
keturunan, bukan?" terdengar suara keras dari sosok yang berdiri di depan
kelima lurah itu.
Tampak di depan mata kelima
lurah itu, seorang lelaki tua berjubah merah darah. Pancatan sinar matanya
menunjukkan bahwa lelaki tua itu memiliki ilmu tinggi.
"Tentunya kalian mendapat
petuah-petuah dari Senapati Kandanu, bukan?" "Hm Kau... Kau Iblis
Berkedok Dewa" Ki Reja Sanga tersentak.
"Kebetulan Kebetulan
sekali kau muncul, Iblis" lambah Ki Kuncara.
"Haaa... Apa maksudmu, Ki
Lurah?" tanya lelaki berjubah merah yang temyata Iblis Berkedok Dewa.
Matanya melotot tajam pada Ki Kuncara.
"Kami hendak mencarimu
untuk ditangkap..." jawab Ki Purwa Jati.
"Menangkapku? Hua ha
ha... Kalian ini lucu dan aneh," sahut Iblis Berkedok Dewa dengan
menyipitkan mata seraya tertawa seenaknya. "Apa aku tak salah
dengar?" "Tidak Kau tak salah dengar Kami memang akan meringkusmu untuk
diserahkan pada kerajaan" jawab IS Purwa Jati tenang. "Kau merupakan
musuh keraaan" "Ha ha ha... Gila..., gila Kalian temyata benarbenar
orang lucu dan aneh. Kalian anjing penjilat raja..." dengus Ki Angkara
dengan membelalakkan mata menatap tajam kelima lurah itu.
"Bangsat Lancang kau,
Iblis" maki Ki Kuncara geram. "Manusia busuk Lintah darat
Seraaang..." Ki Kuncara tampaknya tak sabar untuk bertele-tele mengadu
mulut. Tangannya dikibaskan, memberikan isyarat pada kesepuluh pengawalnya agar
menyerang, Melihat perintah itu, kesepuluh pengawal melesat maju mengepung si
Iblis Berkedok Dewa.
"He he he... Mengapa
meski cecungukcecunguk ini yang maju? Bukankah lebih baik kalian?" Ki
Angkara terkekeh, seolah-olah tak memandang sebelah mata pun pada kesepuluh
pengawal lima lurah itu. Bahkan ucapan Ki Angkara itu seakan engejek pada
kelima lurah itu.
"Dasar manusia iblis
Belum sepantasnya kami maju.." gertak Ki Kuncara marah. Sementara keempat
lurah lain masih tampak tenang tanpa tanggapan. Mereka hanya mengawasi
gerak-gerik Iblis Berkedok Dewa.
"Pintar... Pintar sekali
kalian. He he he...
Baik, kalau itu yang kalian
inginkan Hiaaa..." Tanpa banyak kata lagi, Ki Angkara melesat menyerang
kesepuluh pengawal itu. Kaki dan tangannya bergerak begitu cepat, sepertinya
ingin segera menjatuhkan kesepuluh pengawal lurah.
Namun kesepuluh pengawal lurah
itu tampaknya bukan orang-orang sembarangan. Gerakan mereka tampak lincah dan
gesit Tangan Iblis Berkedok Dewa menyodok ke depan, bergerak ke kanan dan kiri.
Itulah jurus 'Sapuan Iblis'. Dari pukulan dan tendangan yang cepat menimbulkan
deru angin keras. Bersamaan dengan serangan-serangan yang keras dan cepat tubuh
lelaki berjubah merah itu tampak bergerak ke sana kemari menghindari para
pengawal lurah itu.
"Mampus kau..." seru
Ki Angkara.
Wut..." "Belum,
Iblis Laknat" sahut Sawar seraya tangannya bergerak mencengkeram ke tubuh
lawan.
Wret Iblis Berkedok Dewa
rupanya tahu gerakan lawan. Sehingga dengan cepat tangannya ditarik sambi
menyikut musuh di belakangnya yang hendak menyerang. Sementara kaki kanannya
mengayun ke depan, menggantikan tangan yang ditatik ke belakang. Gerakan Iblis
Berkedok Dewa ini begitu cepat, sehingga kedua orang yang diserangnya tak
sempat bergerak menghindar. Keduanya nampak mati langkah, sehingga gerakan
mereka nampak kaku dan lambat. Hal Itu membuat kedua pengawal itu tak mampu
mengelak. Dan....
Wuttt Bukkk Bukkk..."
"Aaa..." "Wuaaa..." Sawar dan Parmin terpekik keras, ketika
tangan dan kaki lawan mendarat telak di wajah dan bawah perut mereka. Kedua
pengawal lurah itu terhuyung-huyung dengan mulut meringis kesakitan.
Melihat kedua kawan mereka
mendapat serangan lawan, kedelapan pengawal lain segera melompat menyerang
secara serempak. Dengan kemampuan yang ada, mereka melakukan serangan.
Empat orang menyerang dari
depan, sedangkan empat orang lain siap menggempur Iblis Berkedok Dewa dari
belakang.
"Heaaa..."
"Yeaaa..." Empat pasang tangan dari keempat pengawal lurah bergerak
menyerang. Meskipun serangan yang dilancarkan tampak cepat dan ganas, tapi
Iblis Berkedok Dewa dengan enak berkelebat ke sana kemari mengelakkan
pukulan-pukulan gencar itu.
"Yeaaa..." Wut
Kembali empat orang lainnya menyerang dengan cakaran tangan. Namun seperti
empat rekannya yang mendahului menyerang, mereka tak mampu mendaratkan serangan
ke tubuh lawan.
Bahkan kini Iblis Berkedok
Dewa mampu melancarkan serangan balasan dengan tendangan dan pukulan secara
cepat dan beruntun.
Jurus yang digunakan Iblis
Berkedok Dewa sungguh aneh, tampak kaku dan tak beraturan.
Namun dalam setiap gerakan
mampu menimbulkan desir nngin keras. Hal itu menandakan kekuatan tenaga dalam
yang dikerahkan dalam setiap serangan.
"Heaaa..." Wut
Tangan Iblis Berkedok Dewa menjulur ke depan. ltulah jurus 'Cakar Iblis',
sebuah jurus yang sukar untuk diikuti karena kecepatan gerakannya.
Tidak ketinggalan, kedua
kakinya nampak menekuk agak rendah, membuat tubuh lelaki beijubah merah itu
selalu lepas dari serangan lawan.
"Mampus kau..."
bentak Ki Angkara seraya menjulurkan tangan kanannya agak panjang ke depan.
Wret Flak Plak
"Akh..." Pekikan tertahan terdengar dari dua pengawal lurah yang
terhantam serangan tangan Iblis Berkedok Dewa. Dirasakan hawa panas menjalar ke
tubuh mereka yang seketika membeliak.
Bahkan kemudian dirasakan
tulangnya bagaikan remuk.
"Heaaa..." Ki
Angkara kembali melancarkan serangan keras dengan pukulan tangan. Dengan cepat
kedua orang yang terluka itu melompat ke belakang mengelakkan serangan.
Kemudian dua pengawal lain telah melesat menggantikan serangan kedua teman mereka
yang terluka.
Kelima lurah yang menyaksikan
pertarungan para pengawal mereka melawan Iblis Berkedok Dewa tampaknya merasa
khawatir. Mereka mulai menyadari bahwa lelaki berjubah merah itu bukan lawan
sembarangan.
"Rasanya kita harus turun
tangan, Kakang" ujar Ki Reja Sanga pada Ki Purwa Jati.
"Hm... Kau benar. Kalau
kita tak segera turun tangan, aku yakin mereka tak mampu mengalahkan manusia
iblis itu...," sahut Ki Purwa Jati.
"Tapi, apa tak sebaiknya
kita serang sekarang?" tanya Ki Kuncara, menimpali. "Kurasa dalam
keadaan seperti sekarang ini kita sangat tepat untuk menyerangnya."
"Nanti kita akan dibilang pengecut," sahut Ki Sura Gandring.
"Alaaah... Mengapa Kakang
Sura berpikir sampai sejauh itu? Dalam menghadapi musuh seperti itu, kita tak
perlu banyak memikirkan pengecut atau tidak," Ki Serana yang dari tadi
diam kini ikut menimpali. Hatinya sudah tak sabar untuk segera membekuk Ki
Angkara. "Ayo kita serang Hiaaat..." Keempat lurah tersentak melihat
Ki Serana telah mendahului menyerang.
"Ha ha ha... Hebat Kalau
begini aku suka.
Ayo yang lain, maju agar aku
kirim kalian ke neraka..." Sambil berteriak begitu, tangan Iblis Berkedok
Dewa bergerak menyambar. Sementara kaki kanannya menendang ke belakang.
Dukkk Bukkk
"Aaah..." Pekikan keras kembali memecahkan keheningan malam ketika
dua orang pengawal terhantam serangan Iblis Berkedok Dewa.
Keduanya mengerang kesakitan,
lalu jatuh ke tanah.
Melihat hal itu, kelima lurah
segera melancarkan serangan. Kini Iblis Berkedok Dewa harus menghadapi orang-orang
yang mungkin ilmunya lebih tinggi dibanding kesepuluh pengawal mereka.
Kelima lurah secara serentak
melakukan serangan gencar. Hal itu membuat Iblis Berkedok Dewa terkesiap kaget.
"Heaaa..." Wut Ki
Purwa Jati mengibaskan tangan ke depan, mencoba membabat wajah lawan. Namun
gerakan cepat itu tampak tak lepas dari perhatian Iblis Berkedok Dewa. Lelaki
tua berjubah merah itu segera melompat ke belakang mengelakkan pukulan Ki Purwa
Jati.
Melihat lawan bergerak mundur,
para pengawal lurah segera merangsek dari belakang.
Namun Iblis Berkedok Dewa
begitu awas matanya.
Dengan cepat kedua tangannya
dikibaskan untuk memapak serangan dari para pengawal.
Wut Plak Plak...
"Akh..."
"Wuaaa..." Enam orang pengawal lurah terpekik keras.
Tangan mereka melepuh seperti
terbakar. Hawa panas seketika menjalar ke seluruh tubuh. Entah ilmu macam apa
yang dikeluarkan Ki Angkara.
Keenam pengawal lurah itu
mengerang menahan sakit sambil melangkah mundur. Sementara itu kelima lurah
langsung menggebrak dengan serangan gencar.
"Heaaa..."
Teriakan,keras mengiringi serangan gencar kelima lurah.
Wret Bukkk "Aaah..."
Ki Reja Sanga teipekik keras. Tubuhnya sempoyongan ke belakang ketika tangan
Iblis Berkedok Dewa menghantam telak dadanya.
Seketika dadanya dirasakan
panas dan perih. Dia semakin tersentak kaget dengan mata terbelalak ketika di
dadanya menggurat hitam bekas tangan Iblis Berkedok Dewa.
'"Pukulan Iblis
Berbisa'...," desis Ki Reja Sanga pelan.
"He he he... Kau tahu
juga, Ki Lurah Sebaiknya kalian segera minggat dari sini" Ki Angkara
tertawa mengejek sambil tangannya terus bergerak memapak dan menyerang.
Sementara keempat lurah lain
tampak lebih berhatihati meng-hadapi lelaki berjubah merah itu. Iblis Berkedok
Dewa ternyata bukan lawan sembarangan, melainkan seorang yang sangat berbahaya
dengan ilmu 'Pukulan Iblis Berbisa'nya.
Wut "Awas..." Ki
Purwa Jati memperingatkan pada ketiga rekannya untuk hati-hati.
Keempat lurah dengan cepat
melompat mundur. Namun ternyata serangan Iblis Berkedok Dewa hanya tipuan
belaka. Serangan itu sebenarnya ditujukan kepada keenam pengawal yang telah
kembali menyerang. Sungguh suatu gerakan yang sukar diduga. Begitu cepat lelaki
betjubah merah itu memutar tubuh sambil memapak serangan lawan.
Keenam pengawal lurah
tersentak kaget mendapati serangan cepat dan tiba-tiba itu.
Mereka berusaha mengelak, tapi
gerakan tangan Iblis Berkedok Dewa ternyata datang lebih cepat.
Sehingga....
"Heaaa..." Buk Buk
"Aaa..." "Wuaaa..." Jeritan kematian terdengar
susul-menyusul, ketika dada keenam pengawal terhantam tangan Iblis Berkedok
Dewa. Tubuh mereka terlontar beberapa langkah ke belakang, dengan dada hangus
bagai terbakar. Lalu terbanBng beberapa tombak di depan Ki Angkara. Mulut
keenam lelaki muda itu mengerang-erang. Sejenak mereka berkelojotan, tapi
kemudian diam dan mati.
Kini tinggal kelima lurah yang
masih mampu bertahan. Mata mereka menatap nanar pada keenam pengawal yang
terkapar tak bemyawa lagi.
Belum sempat rasa kaget mereka
lenyap, tiba-tiba Iblis Berkedok Dewa telah melesat melakukan serangan.
"Terimalah 'Pukulan Iblis
Berbisa'ku. Hiaaa..." "Bedebah Kubunuh kau, Keparat" geram Ki
Purwa Jati. "Seraaang..." Keempat lurah segera menyerbu melakukan
serangan. Sementara itu Ki Reja Sanga yang terluka dadanya tidak ikut melakukan
serangan.
"Hiaaat.."
Wuttt" Wret Tangan dan kaki keempat lurah secara serentak melakukan
serangan. Sementara Iblis Berkedok Dewa tampak lebih berwaspada menghadapi
keempat lawannya.
Tubuhnya berkelebat ke kanan
dan kin berusaha mengelakkan serangan gencar yang terus mencecar ke tubuhnya.
“Hiaa….” "Plak “Buk Ki
Purwa Jati dan Ki Kuncara berhasil mendaratkan dua pukulan telak ke tubuh Iblis
Berkedok Dewa. Seketika tubuh lelaki berjubah merah itu terhuyung-huyung
beberapa langkah ke samping, lalu terjatuh ke tanah. Dua pukulan lawan mendarat
telak di dada dan IhVlian rusuknya.
Namun dengan cepat tubuhnya
telah kembali bangkit berdiri. Tampak tangannya meraba dada dan tulang rusuk
yang dirasakan amat nyeri "Kurang ajar Kalian berani menentangku,
Cecunguk" geram Iblis Berkedok Dewa. Lalu tubuhnya melesat berusaha
membalas serangan keempat lurah.
Melihat kegeraman Iblis
Berkedok Dewa, keempat lurah tampak tenang.
Dengan mengandalkan jurusjurus
ringan, mereka bergerak untuk mengelakkan serangan membabi-buta lawan.
Namun sesekali mereka masih
mampu melakukan serangan ke tubuh lelaki berjubah merah itu.
"Hiaaa... Kubunuh
kalian..." Wret Dengan kedua tangan membentuk cakar, Iblis Berkedok Dewa
melesat melakukan serangan dahsyat Yang dituju Ki Purwa Jati. Lelaki berjubah merah
itu tampaknya mampu membaca bahwa kekuatan lawan berada pada Ki Purwa Jati.
Sementara itu, Ki Purwa Jati
pun mengetahui gelagat lawan. Maka dengan cepat dia melakukan gerakan untuk
mengatasi serangan Iblis Berkedok Dewa.
"'Laksa Genta'...
Hiaaa..." Dengan jurus 'Laksa Genta' Ki Purwa Jati melen ting ke udara
untuk melakukan serangan dahsyat Ketiga lurah yang lain segera menyusul. Kini
keempat sekawan itu melayang di udara.
"Hiaaa..."
"Yeaaah..." Iblis Berkedok Dewa yang segera mengetahui bahaya bakal
mengancam dirinya, dengan cepat mencelat untuk mengatasi serangan lawan.
Tampaklah lima sosok tubuh
melesat begitu cepat dan melayang di udara. Seketika lima kekuatan tenaga dalam
bertemu dan saling beradu.
Glarrr...
Seketika itu pula sebuah
ledakan keras menggelegar terdengar memekakkan telinga, ketika keempat kekuatan
beradu dengan kekuatan Iblis Berkedok Dewa. Keempat tubuh lurah melayang tak
tentu arah, lalu terjatuh sekitar delapan tombak dari tempat pertarungan.
Keempatnya tak mampu lagi
bangkit, karena seketika itu pula nyawa mereka telah melayang dari raga. Di
dada masing-masing tergambar tanda telapak tangan Iblis Berkedok Dewa.
"Huk...l Huaaak...,
akhhh..." Iblis Berkedok Dewa memuntahkan darah, seolah-olah hendak
membuang rasa sakit yang mendera sekujur tubuh.
Setelah muntah, lelaki
berjubah merah itu segera bangkit berdiri lalu melesat meninggalkan kelima
belas mayat yang terkapar di tanah basah.
Angin malam menderu, hujan
makin deras, seakan-akan turut menyaksikan kejadian mengenaskan yang dialami
lima lurah dan kesepuluh pengawal mereka.
***
4
Pagi terasa sangat sejuk.
Angin yang bertiup lembut, membelai dedaunan. Di antara kicauan burungburung di
pepohonan terdengar suara suling mengalun merdu menyeruak memecahkan suasana
pagi itu. Alunan itu seakan-akan ditiup seseorang yang hatinya tengah hanyut
dalam penghayatan terhadap keindahan atam.
Di sebelah barat, tampak
seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular tengah duduk di bawah sebuah pohon
rindang, pada sebatang akar yang mencuat di atas tanah. Pemuda yang tak lain
Sena Manggala, atau lebih dikenal dengan julukan Pendekar Gila itu nampak
begitu asyik meniup Suling Naga Saktinya. Melantunkan lagu merdu, lagu pujaan
terhadap indahnya alam.
Akar pohon tempat duduk
Pendekar Gila berada di tepi sebuah telaga, di sekitar Hutan Randu Kembar.
Karena begitu jerruh air telaga yang tak seberapa luas itu tampak berkilauan
ditimpa sinar matahari pagj. Menciptakan sebuah panorama indah laksana pelangi,
menghiasi sekitar hutan itu.
Mei Lie Andai kau ada di
sampingku Ingin aku bercerita Tentang indahnya dunia ini Tentang sepinya hatiku
ini Itulah bait-bait syair yang tengah didendangkan Pendekar Gila, sebagai
pelipur sepi hatinya. Kemudian ditiupnya kembali Suling Naga Sakti, mengalunkan
irama lembut mendayu sukma.
Seakan burung pun turut
terharu, mendengar nyanyian yang dialunkan suling itu. Alam hening, angin
semilir lembut, seakan turut merasakan pilu hati Pendekar Gila.
Namun tiba-tiba dari kejauhan
tampak lima orang penunggang kuda berlari menuju telaga tempat Pendekar Gila
berada. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, kelima orang itu adalah para
prajurit Mereka terburu-buru, menggebah kuda tunggangan agar terus berlari.
Wajah para prajurit itu lampak diliputi kecemasan, seakan ada sesuatu yang
terjadi.
"Hai, sepertinya mereka
prajurit Kerajaan Mandra Kulawa. Ada apa mereka nampak terburuburu...?"
gumam Sena seraya menghentikan tiupan sulingnya. Matanya memperhatikan lima
prajurit Kerajaan Mandra Kuwala yang semakin dekat dengan telaga tempat dirinya
berada.
"Hop Kita istirahat di
sini dulu.." seru salah seorang prajurit yang bertubuh tinggi tegap dengan
kumis tebal.
Dilihat dari pakaian yang
dikenakannya, lelaki ini tentu sebagai pimpinan dari keempat prajurit lainnya.
Kelima prajurit itu pun
menghentikan kuda mereka. Kemudian segera turun dari punggung kuda, lalu
melangkah mendekat ke arah Pendekar Gila yang masih duduk sambil meniup Suling
Naga Sakti.
"Kisanak, suara sulingmu
merdu sekali. Terasa sejuk dan menyentuh jiwa," ujar pimpinan prajurit
dengan bibir tersenyum. Pimpinan prajurit itu melangkah, lalu duduk di samping
Pendekar Gila yang segera menghentikan tiupan sulingnya.
"Aha, terima kasih Hanya
begitulah yang dapat kulakukan," sahut Sena sambil menggarukgaruk kepala,
sedangkan mulutnya nyengir. Hal itu membuat pimpinan prajurit mengerutkan
kening, sepertinya kaget melihat tingkah laku pemuda yang persis orang gila
itu.
"Hai, kaukah yang sering
disebut sebagai Pendekar Gila, Kisanak...?" tanya pimpinan prajurit
Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila, seakan hendak meyakinkan kalau
pemuda di hadapannya memang Pendekar Gila.
Pendekar Gila cengengesan
sambil menggarukgaruk kepala. Dimasukkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya.
Lalu dengan tersenyum-senyum lucu mi rip orang gila, Sena bangkit dari
duduknya.
"Ah ah ah, terlalu
tinggi, Tuan Senapati Namaku Sena.
Hanya orang-orang sering
menyebutkan Pendekar Gila. Hi hi hi... Mungkin karena aku gila," ujar Sena
sambil menggaruk-garuk kepala.
"O, sungguh tak kusangka
Terimalah salam kami, Pendekar Gila Maaf jika kami mengganggumu" ujar
pimpinan prajurit itu sambil menjura hormat Tindakan itu membuat keempat
prajurit lain turut melakukan hai yang sama.
"Janganlah Tuan Pendekar
sebut diriku sebagai Tuan Senapati Karena sesungguhnya aku ini sebagai senapati
rendah. Masih ada seorang senapati di atasku. Namaku Braja." "Ah ah
ah, sudahlaK Tak perlu kalian berlaku begitu" ujar Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Seharusnya akulah yang
memberi hormat pada kalian. Bukan malah sebaliknya." Melihat sikap ramah
yang ditunjukkan Pendekar Gila, kelima prajurit itu langsung berubah sikap.
Lalu mereka duduk di samping Pendekar Gila, sambil menikmati keindahan pagi
yang sejuk.
"Pagi ini sangat
indah," gumam Senapati Braja sambil melepaskan pandang ke telaga yang
aimya jemih. "Sungguh, pagi akan semakin bertambah in¬dah, jika kau mau
mendendangkan irama sulingmu, Tuan Pendekar. Kudengar suara sulingmu sangat
merdu. Cocok sekali dengan suasana pagi ini." Pendekar Gila hanya
cengengesan dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala. Matanya turut
memandang ke telaga yang tampak tenang.
Lalu tangannya memungut sebuah
kerikil dan langsung dilemparkan ke telaga. Seketika, gelombang air
melingkarlingkar di tepinya.
"Aha, kurasa tiupan
sulingku sangat sumbang, Tuan Senapati. Apalah artinya aku yang bodoh
ini," jawab Sena berusaha merendahkan diri.
"Ah, kau terlalu
merendahkan diri, Sena," tukas Senapati Braja. "Apa salahnya, jika
sekali lagi kami mendengamya?" Pendekar Gila tertawa sambil menggarukgaruk
kepala mendengar ucapan Senapati Braja.
Lalu kaki nya melangkah menuju
akar pohon yang menonjol tempat duduknya tadi. Diambilnya Suling Naga Sakti,
lalu kembali ditiupnya, mengalunkan irama merdu mendayu-dayu.
Senapati Braja dan keempat
prajuritnya mengangguk-anggukkan kepala menikmati irama merdu yang ditiupkan
Pendekar Gila. Mereka bagaikan diajak untuk menghayati indahnya alam,
sampai-sampai ini mereka lupa akan tujuan yang sebenarnya. Sukma mereka bagai
hanyut, bersama alunan irama suling Pendekar Gila.
"Aha, kiranya Tuan
Senapati ada kepentingan.
Mengapa harus bersantai-santai
di sini?" tanya Sena mencoba mengingatkan Senapati Braja.
"O, benar. Aha, mendengar
irama sulingmu, membuatku terhanyut dan lupa akan tugas yang tengah
kuemban," gumam Senapati Braja sambil tersenyum dengan kepala
menggeleng-geleng. Kalau saja Pendekar Gila tidak segera menyadarkan, sudah
pasti dirinya dan keempat prajurit lain akan tetap berada di tepi telaga itu.
"Hi hi hi... Tuan
Senapati, kalau boleh aku tahu, hendak ke mana tujuan Tuan?" tanya Sena,
tanpa mengurangi rasa hormatnya.
"Aku hendak mengunjungi
Desa Pakis, terutama ke rumah Ki Lurah Padri. Ini merupakan tugas semenjak
istri Senapati Kandanu melahirkan," jawab Senapati Braja.
"Aha, jadi Kanjeng
Senapati Kandanu telah dikaruniai putra...?" tanya Sena, agak terkejut.
"Begitulah, Tuan
Pendekar." "O..., aku turut bersuka cita kalau begitu.
Kuharap putranya kelak akan
jadi anak yang baik.
Anak yang menuruni sifat
ksatria ayahnya," ujar Sena setengah bergumam.
"Terima kasih, semoga
begitulah anak itu kelak" sahut Senapati Braja. "Apakah Tuan Pendekar
berkenan berangkat ke sana bersama kami?" Sena masih cengengesan sambil
menggarukgaruk kepala. Matanya memandang ke langit yang bening, biru menghampar
luas.
"Ah ah ah, terima kasih
Gampang, nanti aku menyusul," jawab Sena, menolak secara halus.
"Baiklah kalau begitu,
kami berangkat sekarang Semoga Hyang Widhi mempertemukan kita kembali,"
kata Senapati Braja sambil menjura hormat, diikuti keempat prajurit lainnya. Lalu
setelah Pendekar Gila membalas menjura, kelima prajurit Kerajaan Mandra Kulawa
itu melangkah menuju ke kuda mereka yang sedang merumput di tepi telaga.
Pendekar Gila berdiri
mematung, memandangi kelima prajurit itu. Tangannya menggaruk-garuk kepala, dengan
mulut cengengesan. Suling Naga Saktinya dimasukkan ke ikat pinggangnya kembali.
"Hati-hati,
Senapati" seru Sena mengingatkan.
"Terima kasih" sahut
Senapati Braja sambil naik ke kudanya. Kemudian dengan melambaikan tangan,
kelima prajurit itu menggebah kuda mereka meninggalkan tepi telaga, menuju ke
barat.
Pendekar Gila tersenyum sambil
menganggukanggukkan kepala melepas kepergian kelima prajurit Kerajaan Mandra
Kulawa.
Pendekar Gila kembali duduk
sambil memandang ke telaga. Sesaat dirinya termenung.
Ingatannya melayang pada Mei
Lie, gadis Cina yang sangat dicintainya, tapi kini jauh di mata.
"Ah, Mei Lie....
Mungkinkah kau rindu padaku?" gumam Sena dengan masih termenung,
membayangkan saat-saat indah bersama gadis Cina itu. Entah mengapa kini tiba-tiba
ingatannya pada Mei Lie menggugah persaannya, membangkitkan kerinduan yang
sangat dalam.
Belum lenyap ketermenungan
Pendekar Gila, tiba-tiba telinganya mendengar derap langkah kaki kuda dari arah
barat. Sena tersentak, ketika melihat seorang prajurit datang dengan wajah
diliputi rasa takut "Aha, ada apa, Kisanak? Di mana Senapati Braja ?"
tanya Pendekar Gila dengan kening berkerut, merasa rasa heran karena kedatangan
prajurit yang tidak bersama temannya.
"Tuan Pendekar, tolong
Tolong..., Senapati Braja ..." "Aha, kau begitu gugup. Ada
apa...?" Prajurit berusia sekitar empat puluh tahun itu menghela napas
dalam-dalam, berusaha menenangkan perasaannya. Beberapa kali hal itu dilakukan,
tapi jantungnya tetap berdegup keras dengan napas tersengal-sengaL "Kami
dihadang seorang lelaki tua yang mengaku bemama Iblis Berkedok Dewa. Dia...,
dia menyerang kami. Kini, dia masih bertarung dengan Senapati Braja dan
teman-taman," tutur prajurit itu dengan suara terbata-bata, dan napas
tersengalsengal.
"Aha, yang menurut cerita
Senapati Kandanu, si lintah sawah itu? Hi hi hi..." Sena tertawa cekikikan
sambil menutupi mulutnya.
"Lintah darat, Tuan
Pendekar" sahut prajurit itu, akan-akan ingin membenarkan ucapan Pendekar
Cilia "Aha, benar Lintah darat. Ah ah ah Rupanya dia masih suka menghisap
darah. Hi hi hi..." kembali IVndekar Gila tertawa cekikikan sambil
menutupi mulut dengan telapak tangannya.
"Cepatlah, Tuan Pendekar
Aku khawatir temanteman dan Panglima tak mampu menghadapinya" desak
prajurit itu tak sabar.
Wajahnya tampak semakin tcgang
mencemaskan keempat kawannya.
"Aha, ayolah"
"Naik kudaku, Tuan" "Aha, terima kasih." Pendekar Gila
langsung melompat. Dan setelah bersalto beberapa kali, dengan ringan hinggap di
punggung kuda yang tinggi besar warna coklat tua itu.
"Hap" Trep
"Heaaa..." Kuda itu melesat, membawa Pendekar Gila dan prajurit
kerajaan, menuju ke tempat Senapati Braja dan ketiga prajuritnya sedang
bertarung melawan Iblis Berkedok Dewa.
"Hea... Cepat lari, Puyuh
Hea..." prajurit itu terus menggebah kudanya, dengan harapan segera sampai
di tempat tujuan.
"Hua ha ha... Mana bisa
kuda ini lari kencang, Prajurit? Dia keberatan," ujar Sena. "Kasihan
dia Dia pun punya perasaan." 'Tapi kita harus segera sampai, Tuan
Pendekar." "Aha, terserah kau saja, Prajurit." "Hayo,
Puyuh. Cepat sedikit Hea he..." Kuda bernama Puyuh itu bagaikan memahami
perintah tuannya. Seketika larinya bertambah kencang, terus melesat ke arah
barat.
Sementara itu di tengah Hutan
Randu Kembar nampak sebuah pertarungan sengit tengah berlangsung seru. Seorang
lelaki tua berjubah merah tengah menghadapi empat orang prajurit Kerajaan
Mandra Kulawa.
"Kalian harus mampus,
Cecunguk" bentak Ki Angkara sambil bergerak mencakar Senapati Braja.
Wrt "Hits" Senapati
Braja segera menarik tubuh ke belakang, lalu dengan cepat kerisnya dibabatkan,
untuk memapak tangan lawan yang berkelebat di depan wajah. Lalu diteruskan
dengan tusukan ke dada lawan.
"Heaaa..." Wrt
"Eits Kuhancurkan kepalamu, Senapati Keparat Hih..." Iblis Berkedok
Dewa kembali bergerak menghindar, sambil melancarkan tendangan keras ke depan.
Kemudian dengan cepat, disambung sebuah hantaman tangan kanan ke dada Senapati
Braja.
"Celaka" pekik
Senapati Braja, karena tersentak kaget mendapatkan serangan yang begitu cepat
Dia berusaha mengelakkan serangan dengan membabatkan kerisnya. Namun serangan
lawan datang terlalu cepat untuk dielakkan.
Wrt "Heaaa..."
Tangan Ki Angkara hampir saja mencengkeram dada Senapati Braja. Namun dengan
cepat para prajuritnya yang telah terluka dalam akibat hantaman Iblis Berkedok
Dewa bangkit dan dengan tombak menyerang lelaki tua beijubah merah itu.
"Heaaa..." Wrt
"Haps Kurang ajar Rupanya kalian cari mampus Hih..." Karena
serangannya pada Senapati Braja gagal, Iblis Berkedok Dewa langsung
menghantamkan pukul-an jarak jauh kepada tiga prajurit Kerajaan Mandra Kulawa.
Srtt Bruk "Aaa..."
"Wuaaa..." Ketiga prajurit itu terpekik keras, ketika tubuh mereka
hangus terhantam pukulan jarak jauh Iblis Berkedok Dewa. Kenyataan itu membuat
Senapati Braja bertambah marah. Matanya membelalak penuh amarah, dengan napas
mendengus.
"Bedebah Kupertaruhkan
nyawaku untuk membunuhmu, Iblis Heaaa..." Dengan amarah yang meluap-luap,
Senapati Braja kembali melesat menyerang. Keris di tangannya ditusukkan ke dada
lawan, kemudian disabetkan ke samping kiri dan kanan. Hal itu membuat Ki
Angkara harus melompat ke sana kemari, guna mengelitkan serangan cepat itu.
Senapati Braja terus mencecar
lawan dengan tusukan dan sabetan keris. Namun kemarahan yang tak terkendali,
membuat serangan-serangannya tak terarah. Sabetan dan tusukan keras senjatanya
tak menemukan sasaran. Bahkan Ki Angkara kini tampak semakin berada di atas
angin karena mampu membaca serangan lawan.
"Heaaa..." Wut..
Senapati Braja benar-benar tak
mampu menguasai keadaan. Dia terus menyerang dengan membabi-buta, bagaikan tak
memperhitungkan tenaganya. Walau uslanya masih lebih muda dibandingkan dengan
Kl Angkara, ilmu silat dan tenaga dalam yang dimiliki belumlah sebanding dengan
Iblis Berkedok Dewa. Hal ini nampaknya tak diperhatikan, sehingga Senapati
Braja semakin ganas melakukan serangan dengan mengerahkan tenaga dalam.
Melihat kemampuan lawan yang
semakingoyah, Iblis Berkedok Dewa tampak begitu mudah bergerak kesana kemari
mengelakkan serangan.
Selain itu, dalam beberapa
kesempatan lelaki tua itu mampu melancarkan serangan balasan dengan jurus
'Pukulan Cakar Iblis'.
"Heaaa..." Wret
Alts" Senapati Braja berusaha mengelitkan serangan lawan. Kakinya melompat
ke samping kanan, lalu dengan repat tangan kin memapaki cakaran tangan lawan
Wrt Trak Akh..." Senapati Braja menjerit, ketika pergelangan tangan
klrlnya terasa patah akibat berbenturan dengan tangan lawan. Senapati Braja
melompat ke belakang dengan mata mendelik kaget. Seakan-akan dirinya tak
percaya, tangannya yang kokoh dan besar dapat patah akibat henturan dengan
lelaki tua itu.
"Klnl saatnya kau mampus,
Senapati Busuk" dengus Iblis Berkedok Dewa sambil melesat, siap melakukan
serangan pamungkas untuk mengakhiri pertarungan itu. "Heaaa .." Tubuh
Iblis Berkedok Dewa berkelebat, lalu dengan cepat melakukan serangan dahsyat ke
tubuh Senapati Braja. Jurus 'Pukulan Arang Neraka' yang dikerahkan Ki Angkara
mampu membuat tangan lelaki tua itu tampak hitam bagaikan arang. Lalu tiba-tiba
dari telapak tangannya keluar asap seperti bekas pembakaran.
"Heaaa..." Wrt
"Celaka mati aku..." pekik Senapati Braja dengan mata terbelalak
nanar, menyaksikan lawan telah dekat dengan tubuhnya. Kerongkongannya bagaikan
kering, tak setetes ludah pun yang membasahi.
"Heaaa... Mampuslah kau,
Senapati Keparat Hih" Degk "Aaakh..." Senapati Braja menjerit
keras.
Tubuhnya terpental deras ke
belakang, melayang bagaikan terbang. Saat itu pula, sesosok bayangan berkelebat
menangkap tubuh Senapati Braja.
Trep "Pendekar Gila
Kubunuh kau Hih..." Iblis Berkedok Dewa melihat Pendekar Gila yang
menolong Senapati Braja, segera mengirimkan pukulan jarak jauhnya yang bernama
'Kelabang Iblis'.
Wrets "Haits Hi hi
hi..." Sambil memondong tubuh Senapati Braja, Pendekar Gila beijumpalitan
mengelakkan serangan yang dilancarkan Iblis Berkedok Dewa. Sehingga pukulan
jarak jauh itu melesat lewat bawah kakinya.
Dan....
Brak Suara berderak keras
terdengar ketika pukulan itu menghantam sebatang pohon.
Belum sempat mendaratkan
kakinya di tanah, Pendekar Gila sempat melancarkan sebuah serangan dengan jurus
'Si Gila Melempar Batu'.
Wret "Celaka Aku harus
pergi Hih.." Ki Angkara melesat ke samping, mengelakkan hantaman angin
yang dilancarkan Pendekar Gila.
Kemudian balas menyerang
sambil melompat mening galkan tempat itu.
"Hih" "Aha, mau
lari ke mana kau, Lintah Sawah Hi hi hi..." Pendekar Gila beijumpalitan,
kemudian dengan cepat mengelakkan serangan lawan. Sinar biru melesat beberapa
jengkal di bawahnya. Dan ...
Glarrr...
Suara menggelegar keras
terdengar, ketika sinar biru dari tangan Iblis Berkedok Dewa menghantam
sebatang pohon randu besar hingga tumbang. Pendekar Gila terus melesat berusaha
mengejar, tapi lelaki tua beijubah merah itu telah menghilang dari Hutan Ran¬du
Kembar.
"Bukan main Cepat sekali
lintah itu pergi" maki Sena sambil melangkah ke tempat semula.
"Aha, kenapa kau diam
saja, Prajurit? Turunlah dari kudamu" Prajurit itu pun menurut turun, lalu
membantu Sena mengurusi Senapati Braja yang terluka parah. Pendekar Gila segera
membuka pakaian Senapati Kerajaan Mandra Kulawa itu, setelah memeriksa detak
jantungnya, ternyata masih ada.
"Aha, pukulan iblis"
gumam Sena setelah melihat bekas pukulan yang membekas di dada Senapati Braja.
Sebuah gambar telapak tangan berwarna hitam legam bagaikan terbakar.
Pendekar Gila cengengesan
sambil menggarukgaruk kepala. Sedangkan prajurit itu tampak masih cemas.
Matanya menatap ke sekeliling Hutan Randu Kembar. Seakan-akan merasa takut
kalaukalau Iblis Berkedok Dewa akan muncul lagi dan menyerang mereka.
"Aha, kenapa kau masih
bengong, Prajurit? Cepat carikan daun randu kuning. Hanya dengan daun itu nyawa
Senapati Braja dapat diselamatkan," kata Sena sambil menggaruk-garuk
kepala.
Prajurit itu masih bingung dan
takut, sehingga hanya bisa diam dan bengong. Di wajahnya tergurat kecemasan dan
rasa takut kalau-kalau Iblis Berkedok Dewa akan muncul dan menyerang.
"Aha, mengapa kau seperti
kerbau dungu, Prajurit Cepatlah kau cari daun randu itu. Atau kau jagalah
Senapati, blar aku yang mencarinya," ujar Sena agak jengkel, melihat
prajurit itu hanya diam.
"Ba..., baik Aku akan
mencarinya," sahut prajurit itu menggeragap. Kemudian segera melangkah
meninggalkan Pendekar Gila dan Senapati Braja untuk mencari daun randu kuning.
***
5
Pendekar Gila menoleh ke sana kemari
sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala, karena prajurit yang disuruh
mencari daun randu kuning belum juga datang.
"Ah, ke mana prajurit
itu?" gumam Sena merasa heran dengan prajurit yang disuruh mencari daun
randu kuning. Padahal keadaan Senapati Braja sudah sangat mengkhawatirkan
Lelaki berusia hampir setengah baya itu hanya mampu merintih lirih, merasakan
sakit hebat. Tubuhnya pun sangat panas, bagaikan dipanggang di atas perapian.
Pendekar Gila benar-benar
merasa gelisah, menyaksikan keadaan Senapati Braja. Keringat terus membanjir,
membasahi keningnya.
Hal itu menandakan betapa
panas tubuh Senapati Braja.
Namun prajurit yang mencari
daun randu kuning belum juga muncul. Padahal sudah lama Pendekar Gila
menunggunya.
"Aha, ke mana dia pergi...?"
gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Sesekali dilihatnya Senapati Braja
yang masih mengerang-erang kesakitan. Untung Pendekar Gila telah menotok tubuh
senapati itu. Sehingga rasa sakit pun agak berkurang. Kalau saja tubuh Senapati
Brzga masih dalam keadaan terbebas, tak akan mampu menahan rasa sakit yang
tiada taranya itu.
Sena kembali mengawasi ke
sekelilingnya, berusaha mencari prajurit itu. Namun belum ada tandatanda akan
muncul. Hal itu membuatnya semakin kebingungan, merasa heran dengan apa yang
terjadi. Kalau tetjadi sesuatu, prajurit itu tentu menjerit, meminta tolong.
Namun dari tadi tidak didengamya suara apa pun. Lagi pula menurut dugaannya
Iblis Berkedok Dewa pasti telah meninggalkan Hutan Randu Kembar itu.
"Serahkan senapati itu pada
kami" Pendekar Gila tersentak kaget, ketika tibatiba terdengar suara
seseorang membentak dari belakangnya. Dengan cepat, sambil menggendong tubuh
Senapati Braja, tubuhnya cepat dibalikkan ke belakang. Matanya membelalak kaget
ketika melihat dua orang berkepala botak dengan tubuh gemuk dan bersenjatakan
kapak besar telah menyandera sang Prajurit "Hua ha ha.... Rupanya ada dua
ekor babi yang datang tanpa diundang," seru Sena sambil tertawa
terbahak-bahak. Hal itu tentu saja membuat mata kedua lelaki berkepala botak
itu mendadak marah.
Dua lelaki berusia empat puluh
lima tahunan itu mendengus geram. Mata mereka melotot penuh kemarahan. Sambil
menekan gigi karena geram, hingga terdengar suara bergemeretuk keras.
"Kurang ajar Jangan
main-main dengan Sepasang Jalak Neraka, Bocah Edan" bentak Jalak Kuning,
yang di lehernya terikat kain kuning keemasan. Matanya semakin melotot lebar,
dengan tangan kanan memegang senjata kapak besar. Hal itu membuat prajurit yang
ditahannya semakin ketakutan.
Mendengar bentakan itu,
Pendekar Gila justru tertawa kian keras. Masih memondong tubuh Senapati Braja,
Sena menggaruk-garu kepala denga tangan kiri dan mulutnya cengengesa "Aha
rupanya aku sedang berhadapan dengan dua jalak botak Hi hi hi..."
"Kurang ajar" dengus Jalak Biru geram.
"Rupanya kau ngin kami
menggorok leher prajurit ini, Bocah" "Wawww, jangan .. Lebih baik,
kalian gorok leher kalian sendiri. Hi hi hi..." Sea kembali tertawa
meledek. Tentu saja Sepasang Jalak Neraka bertambah marah.
"Kurang ajar Kau berani
menghina Sepasang Jalak Neraka, Bocah Edan Apa kau sudah memiliki nyawa
rangkap, heh?" bentak Jalak Kuning dengan napas mendengus keras.
Gigi-giginya saling beradu, menimbulkan suara bergemerutuk keras. Tangan
kirinya yang menjepit leher prajurit, semakin ditekankan.
“Aduh sakit Oh, Tuan Pendekar.
Tolonglah saya" ratap prajurit itu, dengan wajah pucat ketakutan.
"Kau dengar, Bocah Edan
Temanmu ini meminta tolong padamu Cepat, serahkan senapati itu pada kami. Atau
nyawa prajurit ini akan melayang" bentak Jalak Biru mengancam. Mata kapak
besar yang tajam itu ditempelkan ke leher sang Prajurit yang semakin ketakutan.
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala, melihat ketakutan sang
Prajurit. Seakan tak peduli dengan perasaan yang dialami prajurit itu.
"Aha, silakan kalian
berbuat sesuka hati terhadap prajurit itu Hi hi hi... Bukankah memang prajurit
itu tak ada artinya?" tanya Sena yang membuat prajurit llu bertambah
membelalakkan matanya. Wajahnya memucat bagaikan tak berdarah, mendengar ucapan
Pendekar Gila.
Sepasang Jalak Neraka
tersentak kaget, merasa telah dipecundangi pemuda gila di hadapan mereka.
Memang benar, prajurit itu tak berarti sama sekali bagi mrreka.
"Pintar juga bocah edan
ini" gumam Jalak Kuning dalam hati. Bukankah Senapati Braja yang
dibutuhkan mereka? Untuk apa seorang prajurit yang tak ada artinya. Namun
Sepasang Jalak Neraka tak mau kalah gertak. Mereka menatap tajam wajah Pendekar
Gila yang masih tertawa cengengesan sambil menggaruk garuk kepala dengan tangan
kirinya.
"Hua ha ha... Ambillah
nyawanya untuk kalian" seru Sena sambil masih tertawa terbahakbahak,
kemudian memonyongkan mulutnya ke depan.
Brut Pendekar GBa kembali
tertawa keras. Melihat ledekan itu, Sepasang Jalak Neraka bertambah marah.
Gigi-glgi mereka beradu, mengeluarkan suara gemenitukan menahan geram.
"Kurang ajar Kubunuh kau,
Bocah Edan" dengus Jalak Biru seraya maju menyerang. Kapak besar yang
bergagang panjang dibabatkan ke tubuh Pendekar Gila.
Wrets...
"Aha, aku bukan pohon,
Jalak Botak Hi hi hi..." sambil menggoda, Pendekar Gila melompat ke atas
dengan tetap memondong tubuh Senapati Braja. "Eittss…" Jalak biru
yang sudah marah segera memburu ke mana Pendekar Gila melesat. Kemudian kembali
kapak besarnya dibabatkan menyerang Pendekar Gila.
Wret "Putus lehermu,
Bocah Edan" "Eits Aha, tak segampang itu, Jalak Botak Hi hi
hi..." Pendekar Gila kembali melompat ke atas, sehingga kapak besar itu
menderu di bawahnya.
Tubuhnya lalu hinggap pada
sebuah cabang pohon randu. Mulutnya tetap tertawa-tawa sambil menggoda dengan
menjulur-julurkan lidah.
"Setan" Melihat
Pendekar Gila berada di atas, Jalak Kuning mendorong tubuh prajurit ke depan
sampai tersuru'k dan jatuh mencium tanah. Lalu dengan penuh amarah, lelaki
berpakaian kuning itu melompat ke atas.
"Heaaa Kucincang tubuhmu,
Bocah Edan" Tubuh Jalak Kuning melesat ke atas, tetapi dengan cepat Sena
melompat ke cabang pohon randu yang lain sambil menunggingkan pantatnya,
disertal suara kentut yang keluar dari mulutnya.
Lalu kembali tertawa terbahak-bahak,
yang membuat Sepasang Jalak Neraka semakin marah.
"Bocah edan Kubunuh kau
Heaaa..." Jalak Kuning kembali melesat sambil mengayungkan kapak besarnya,
membabat tubuh Pendekar Gila. Namun lagi-lagi dengan cepat Pendekar Gila telah
melesat pergi dari cabang pohon itu. Sehingga yang menjadi sasaran kapak Jalak
Kuning cabang pohon itu.
Wrt Crak "Akh..."
Jalak Kuning terpekik, karena keseimbangan tubuhnya seketika hilang Tubuhnya
meluncur dengan kepala di bawah. Hal itu membuat Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak, menyaksikan kejadian lucu itu. Beruntung Jalak Kuning segera
dapat menguasai diri. Tubuhnya bersalto tiga kali di udara, lalu dengan ringan
menapakkan kedua kakinya di atas tanah.
Jleg "Hua ha ha...
Makanya, punya badan jangan seperti kerbau..." ujar Sena berolok-olok.
"Cuih Kurang ajar Turun
kau, Bocah Edan" dengUus Jalak Biru sengit.
"Aha, naiklah Bukankah
kalian tak bisa naik? Hi hi hi... Tubuh kalian yang gembrot itu, tak akan dapat
naik," goda Sena sambil tertawa terbahakbahak.
Kemudian mulutnya
dimonyongkan, sedangkan ta¬ngan kirinya melambai-lambai "Wek..."
"Kurang ajar Kuhancurkan kepalamu, Bocah Edan Heaaa..." Jalak Biru
meiesat ke atas, memburu Pendekar Gila. Kapak besar di tangannya, menderu
membabat ke tubuh Pendekar Gila.
Wrt "Eits" Pendekar
Gila melompat meninggalkan cabang pohon itu dan betjumpalitan sambil memanggul
tubuh Senapati Braja. Tangannya memberi isyarat pada prajurit agar segera
berlalu pergi.
"Mau lari ke mana,
Prajurit Tolol Hih..." bentak Jalak Kuning sambil mencengkeram leher
prajurit itu. Lalu...
Tuk Tuk Tuk Tiga kali jari
telunjuk Jalak Kuning menoto'k punggung sang Prajurit. Seketika membuat tubuh
prajurit Itu tak mampu bergerak. Pendekar Gila kini merasa harus berjuang untuk
dapat membebaskan prajurit itu dari totokan.
"Hm, sulit juga. Prajurit
itu tertotok.
Sedangkan Senapati Braja dalam
keadaan luka," gumam Pendekar Gila dalam hati sambil terus mengawasi kedua
lawannya yang semakin bernafsu ingin cepat membunuhnya. Tak ada jalan lain, aku
harus menggunakan barang ini.
Srt Pendekar Gila segera
meloloskan Suling Naga Sakti dari ikat pinggangnya. Kemudian dilemparkan ke
bawah, dekat Sepasang Jalak Neraka.
Glarrr...
Ledakan dahsyat menggelegar
terdengar, disertai asap kuning tebal. Sekelika Sepasang Jalak Neraka melangkah
mundur. Dari gumpalan asap kuning Itu, samar-samar tampak sesosok ular besar
berwarna kuning keemasan.
"Szzz..."
"Wuaaa Tolooong..." Sepasang Jalak Neraka serta-merta lari
terbiritbirit, ketika tiba-tiba di hadapan mereka telah muncul seekor ular naga
besar berwarna kuning keemasan yang mulutnya membuka lebar seakan hendak mene
lan keduanya.
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak, kemudian dengan tenaga dalam tangannya menarik Suling Naga
Sakti yang berubah kembali menjadi suling. Setelah itu sambil tertawa, Pendekar
Gila melayang turun.
Tuk Tuk Tuk Tiga kali Pendekar
Gila membuka totokan di tubuh sang Prajurit, sehingga prajurit itu bisa
bergerak seperti sedia kala. Tetapi baru saja sadar, prajurit itu terkulai
kembali, pingsan dengan wajah pucat. Rupanya kehadiran Naga Sakti, menjadikan
jiwanya terguncang.
Pendekar Gila hanya
menggeleng-gelengkan kepala, kemudian direnggutnya tubuh sang Prajurit dan
dibawanya pergi meninggalkan Hutan Randu Kembar yang rusak akibat pertarungan
tadi.
***
Sena terus berlari membawa dua sosok tubuh di
pundaknya. Dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu', dalam sekejap saja dia
telah berada jauh. Kini dia telah sampai di depan pintu gerbang Kerajaan Mandra
Kulawa.
"Berhenti Siapa kau? Dan
ada keperluan apa kau ke istana?" tanya prajurit jaga sambil menyilangkan
tombaknya, menghalangi langkah Sena.
"Hi hi hi... Aha, apakah
kalian tak melihat kedua teman kalian dalam keadaan luka dalam?" tanya
Sena sambil cengengesan.
Keempat prajurit jaga pintu
gerbang mengerutkan kening, lalu memeriksa dua tubuh yang berada di atas pundak
Sena.
"Senapati Braja dan
Tamtama Galatra..." pekik keempat prajurit jaga dengan mata membelalak
kaget.
"Apa yang terjadi pada
mereka? Di mana yang lainnya?" tanya prajurit yang bertubuh gemuk dan
berwajah bulat.
"Aaakh... Aduh,
panaaas..." "Aaakh..." Senapati Braja menjerit, ketika daun
randu kuning dioleskan di lukanya. Asap mengepul, keluar dari luka di dada
sebelah kiri itu Tubuh Senapati Braja menggeliat-geliat kesakitan.
Namun Pendekar Gila tak
menghiraukannya. Kini telapak tangannya disatukan di dada Senapati Braja yang
terluka.
Getaran kuat terjadi, ketika
Pendekar Gila menarik racun yang melekat di luka itu Sedangkan Senapati Braja
menjerit melengking dan keras, bagaikan tengah meregang nyawa. Tubuhnya
menggeliat-geliat liar. Keringat sebesar biji biji jagung, deras keluar dari
seluruh pori-pori tubuhnya.
"Hm... ng....
Hops..." Pendekar Gila terus mengerahkan tenaga dalam nya, untuk menarik
racun yang melekat di tubuh Senapati Braja. Tangannya yang disaluri tenaga
dalam, tergetar dengan hebat. Dari kepalanya, keluar asap ungu
bergulung-gulung.
Lama sekali Pendekar Gila
melakukan hal itu, sampai akhirnya tubuh Senapati Braja turut membara dan
terkulai pingsan, ketika kedua tangannya dilepas dari dada senapati itu.
"Bukan manusia
sembarangan," gumam Senapati Kandanu, menyaksikan apa yang diperbuat
Pendekar Gila. Dia tahu sangat berat untuk melakukan pekerjaan yang seperti
itu. Namun Pendekar Gila tak kelihatan letih sedikit pun. Lebih mengejutkan,
ketika asap ungu keluar dari ubunubunnya yang tidak lain Racun Kabut Ungu.
Sebuah racun dahsyat, tapi
Pendekar Gila dapat menguasai dan menjinakkannya. Padahal, selama seratus
tahun, tak seorang pun yang tahan terhadap Racun Kabut Ungu.
Pendekar Gila tampak masih
duduk bersila sambil mengatur pernapasan yang sudah tersengalsengal, setelah
melakukan pekerjaan yang sangat melelahkan itu. Kini dengan sikap duduk seperti
bersemadi Pendekar Gila mengheningkan cipta.
Senapati Kandanu kembali
membelalakkan mata, ketika melihat tubuh Pendekar Gila membara merah bagaikan
diselimuti api. Ruangan di sekitar tempat itu, seketika bertambah terang oleh
cahaya merah yang keluar dari tubuh Pendekar Gila.
"Hei, apa lagi yang
dilakukannya?" gumam Senapati Kandanu dalam hati dengan kedua mata
terbelalak kaget, hampir tak percaya dengan apa yang kini dilihatnya.
Setelah kejadian itu
berlangsung agak lama, Pendekar Gila akhimya membuka mata perlahan.
Dihelanya napas panjang,
berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya guna menggantikan yang di
paruparunya. Dan sesaat kembali mulutnya cengengesan, dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
"Sena, Baginda telah
menunggu," ujar Senapati Kandanu.
"Aha, ayolah" ajak
Sena seraya bangkit dari duduknya. Lalu bersama Senapati Kandanu melangkah
meninggalkan barak menuju bangunan utama istana.
Keduanya langsung menyembah,
ketika sampai di hadapan Prabu Galih Waskita "Silakan duduk, Pendekar
Gila" "Terima kasih, Baginda" Sena pun.duduk bersila di hadapan
Prabu Galih Waskita. Kepalanya ditundukkan, berusaha bertingkah laku sopan.
"Ada apa gerangan Baginda
mengundangku?"
***
Malam kembali bergayut menyelimuti bumi.
Desa Ngadireja pun sepi,
bagaikan desa yang mati.
Warga Desa Ngadireja tengah
dilanda perasaan berkabung, duka yang dalam. Selama tiga pumama belakangan ini,
desa mereka dijarah gerombolan pengacau yang mengaku diperintah Pendekar Gila.
Sementara itu, Pendekar Gila
nampak sedang terbaring di atas dipan. Matanya belum t«rpejam.
Sejak kemarin dirinya berada
di Desa Ngadireja, menginap di kedai Ki Lampit. Malam kemarin dilalui dengan
tenang, tak ada tanda-tanda kemunculan gerombolan yang mengaku anak buahnya.
Seakan mereka tahu, kalau Pendekar Gila berada di desa itu.
Di samping Pendekar Gila di
sebuah dipan lain tampak Ki Lampit tengah berbaring pula. Orang tua ltu pun
belum tidur. Malam itu Ki Lampit masih bertanya tanya dalam hati. Siapa
sebenarnya pemuda bertingkah laku gila yang kerjanya cepat dan tengah
membantunya dalam pekeijaan di kedainya. Semua pekerjaan diambil alih pemuda
bertingkah laku gila itu.
Kadang kala Ki Lampit ingin
tertawa, jika melihat tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan lucu. Namun
dirinya selalu menahannya, takut kalau-kalau pemuda bertingkah laku gila itu
akan tersinggung. Jika hal itu terjadi, dia akan kerepotan seperti kemarin
lusa. Padahal semenjak Pendekar Gila bersamanya, pekerjaan menjadi ringan.
"Dua hari kita bersama,
tetapi selama ini aku belum tahu siapa kau sebenarnya," gumam Ki Lampit
dengan tarikan napasnya yang berat.
"Semenjak kau berada di
sini, aku merasa aneh." "Aha, apa yang kau anggap aneh, Ki?"
tanya Sena seraya bangun dari pembaringan. Mulutnya cengengesan. Lalu tangannya
mengambil bulu burung di ikat pinggangnya. Kemudian dikorek telinga kanannya
dengan bulu burung itu. Mulut nyengir merasa kenikmatan.
"Gerombolan itu, biasanya
datang tujuh hari sekali. Tetapi semenjak kau datang, mereka tidak datang.
Sepertinya, kehadiranmu membuat mereka takut." Pendekar Gila tertawa
mendengar penuturan Ki Lampit, yang dianggapnya terlalu mengada ada.
Bagaimana mungkin orang tahu
dirinya di Desa Ngadireja. Lagi pula, mengapa gerombolan itu harus takut
terhadapnya. Pendekar Gila menggelenggelengkan kepala, dengan tangan kiri
menggarukgaruk kepala.
"Hi hi hi... Lucu sekali
kau, Ki. Bagaimana mungkin mereka takut pada orang gila sepertiku? mengatas
namakan Pendekar Gila," tutur Ki Lampit Pendekar Gila tersentak mendengar
cerita Ki Lampit. Bahwa namanya dijadikan sebagai biang keladi pembunuhan itu.
Kemudian sambil cengengesan, ditariknya napas dalam dalam. Ada perasaan marah
dan jengkel dalam hatinya.
"Hi hi hi..., lucu sekali
Mengapa orang-orang semakin suka melakukan hal-hal aneh? Lucu sekali..."
gumam Pendekar Gila sambil menggeleng gelengkan kepala. Dirinya merasa tak
habis pikir mengapa penjahat lebih suka menggunakan gelarnya untuk melakukan
aksi kejahatannya.
"Kau tak takut,
Pendekar?" tanya Ki Lampit "Hi hi hi..., takut? Mengapa harus takut?
Hyang Widhi akan senantiasa melindungi orang yang benar, Ki. Kalau kita tak
salah, mengapa harus takut?" Sena balik bertanya dengan masih cengengesan.
"Ah, kau memang sangat
bijaksana, Pendekar.
Sungguh jahat orang-orang yang
telah mencemarkan nama baikmu. Mereka tidak ubahnya iblis" dengus Ki
Lampit, sepertinya turut jengkel mendengar berita Pendekar Gila dijadikan kedok
kejahatan.
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala, seakan-akan melihat kelucuan.
Namun dilihat dari sinar matanya, jelas hatinya benar-benar marah. Merasa telah
dipermainkan seenak nya oleh para durjana.
"Ini tidak bisa
didiamkan. Para warok pun tentu menuduh aku pelakunya," gumam Pendekar
Gila dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ah, sudahlah, Ki Malam
telah larut.
Tidurlah dahulu, nanti kau
sakit" ujar Sena kepada Ki Lampit nqar segera tidur. Dirinya tak ingin
orang tua sebatang kara itu akan mengalami sakit.
"Kau...?" "Hi
hi hi..., nanti aku pun tidur," sahut Pendekar Gila Ki Lampit pun segera
merebahkan tubuh.
Perlahan lahan dipejamkan
matanya. Dan tidak lama kemudian, lelaki tua itu telah pulas dalam tempat
tidur. Sedangkan Pendekar Gila nampak masih duduk sambil menyandarkan tubuh
pada dinding.
Mulutnya masih cengengesan,
dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Benaknya masih memikirkan
tentang semua kejadian yang mengaitkan julukannya.
Pendekar Gila menengadahkan
wajah ke atas, seakan hendak mencari sesuatu. Dihelanya napas dalamdalam,
berusaha menenangkan perasaannya.
"Hyang Jagat Dewa Batara,
semoga Engkau inemberi kekuatan pada hambamu ini" desahnya lirih, sambil
memejamkan mata perlahan.
Malam semakin larut suasana
pun bertambah sepi. Tiba-tiba dari arah barat terdengar suara jeritan memecah
keheningan malam. D'isusul suara gelak tawa.
"Tolong...
Rampok..." "Hua ha ha... Jangan melawan Kami anak buah Pendekar Gila.
Percuma kalian melawan..." Sena yang mendengar gelarnya disebut, tersentak
kaget. Dengan bibir tersenyum, tubuhnya melesat cepat meninggalkan kamar bilik
di kedai Ki Lampit.
"Hi hi hi... Pucuk
dicinta ulam tiba. Rupanya apa yang dikatakan Ki Lampit benar. Aha, malam ini
aku lkan berburu kecoa-kecoa busuk" dengus Pendekar Gila sambil terus
melesat menuju tempat asal jeritan.
Sementara warga desa masih
hiruk-pikuk ketakutan ditingkahi dengan suara jerit kematian, di tempat yang
sepi Caraka Wanda nampak semakin beringas. Matanya menyala-nyala menatap tubuh
gadis cantik yang kini setengah telanjang.
"Lepaskan aku
Tolooong..." "He he he... Jangan takut, Manis Kita akan menikmati
indahnya malam ini," ujar Caraka Wanda sambil berusaha menggeluti tubuh
gadis cantik kembang Desa Ngadireja. Namun tiba-tiba..., "Hua ha ha...
Begitukah tingkah anak buah Pendekar Gila? Ah ah ah, lucu sekali. Kecoa-kecoa
busuk mengaku anak buah Pendekar Gila..." dari kegelapan, terdengar suara
tawa susul-menyusul, Pendekar Gila.
Caraka Wanda dan Jabil
tersentak kaget.
Keduanya langsung menoleh ke
tempat datangnya suara pemuda itu. Mata mereka membelalak tegang Apalagi Caraka
Wanda yang telah kenal siapa pemilik suara itu "Pendekar Gila...?"
desis Caraka Wanda dengan mata membelalak tegang.
"Dia ada di sini?"
tanya Jabil tak kalah kaget dan tegang, setelah tahu siapa yang tertawa itu.
"Aha, apa kabar, Ki
Sanak...?" tahu-tahu Pendekar Gila telah berdiri beijarak satu tombak di
samping mereka. Hal itu semakin membuat keduanya terlonjak kaget karena tak
tahu kapan dan dari mana datangnya. Gadis yang hendak diperkosa bangkit dan
langsung berlari ke belakang Pendekar Gila. Tetapi Ayu Wuni pun kelihatannya
masih takut, setelah tahu siapa pemuda bertingkah laku gila itu.
"Kau...? Kau Pendekar
Gila...?" tanyanya dengan mata terbelalak ketakutan.
"Hua ha ha... Jangan
takut, Ni Sanak Aku memang Pendekar Gila, tetapi bukan pimpinan para kecoa
busuk itu Hi hi hi... Lucu sekali. Rupanya kecoa-kecoa busuk kini pada
bertingkah," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
Ditatapnya kedua lelaki
bermata jalang itu dengan tajam. Kemudian dengan cengengesan, tangannya
menggaruk-garuk kepala. Lalu dipandangi gadis cantik yang berpakaian telah compang<amping
akibat reng gutan tangan Caraka Wanda.
"Aha, tak kusangka, kalau
anak seorang warok berbuat sekeji ini. Hi hi hi... lucu sekali. Dunia ini
memang semakin lama semakin bertambah gila," gumam Pendekar Gila dengan
mulut masih cengengesan.
Sedangkan tangannya tetap
menggaruk-garuk kepala. Lalu diambil Suling Naga Sakti. Ditiupkan dengan merdu,
mendendangkan nyanyian tentang seekor anak domba yang berusaha menjadi
serigala. Anak domba itu terus berusaha agar bisa jadi serigala. Sampai
akhimya, anak si domba membabi buta.
"Cuih Lancang sekali kau,
Pendekar Gila" bentak Cakra Wanda dengan napas mendengus, "Jangan
kira aku tak mengerti nyanyian sulingmu" "Hi hi hi.. Ah, baguslah
kalau kau mengerti.
Rupanya kau anak warok yang
pintar. Sayang..., sayang sekali perbuatanmu tak sesuai dengan pribadi orang
tuamu," ujar Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan dengan kepala
menggelenggeleng, seakan sangat menyesalkan atas perbuatan Caraka Wanda.
"Cuih" Caraka Wanda
membuang ludah jengkel.
Mata Ayu Wuni terus
memperhatikan pertarungan itu dengan harap-harap cemas. Takut kalau kalau
pemuda tampan bertingkah gila kalah.
"Heaaa..." Wret Wret
Pedang di tangan Caraka Wanda dan Jabil menderu dengan cepat ke tubuh Pendekar
Gila.
Tetapi dengan cepat pula,
Pendekar Gila mundurkan kaki kanan. Kemudian menggeser kaki kiri agak merentang
sambil meliukkan tubuh.
"Celaka..." pekik
kedua lawannya kaget, karena pedang mereka tetap belum berhasil bersarang di
tubuh lawan. Bahkan pedang itu kini melesat ke tubuh temannya. Mata keduanya
terbelalak tegang, menyadari gerakan masing-masing yang kacau.
Melihat kedua lawannya dalam
keadaan mati langkah, sambil menggaruk garuk kepala Pendekar Gila menendangkan
kaki kanan ke tubuh Jabil.
Sementara tangan kiri,
menghantam tubuh Caiaka Wanda.
"Hi hi hi .. Hea..."
Caraka Wanda dan Jabil yang mati langkah, tersentak kaget. Keduanya
kebingungan. Kalau meneruskan membabatkan pedang dapat membahayakan kawannya.
Sedang kalau berhenti jelas gerakan Pendekar Gila akan lebih leluasa menyerang.
"Hea" Dalam
kebingungan dan kagetnya, Caraka Wanda melentingkan tubuh ke belakang untuk
mengelak. Sehingga Jabil yang teriambat, tak ampun lag menjadi sasaran
tendangan kaki Pendekar Gila.
Begk "Akh..." Jabil
memekik keras. Tubuhnya terlontar deras ke belakang, bagaikan didorong sebuah
kekuatan yang dahsyat Tubuh itu baru berhenti, ketika menghantam pepohonan
bambu.
Gosrak "Akh" Tanpa
ampun lagi, Jabil terjepit batang batang bambu. Sesaat Jabil meregang, kemudian
terkulai mati.
Menyaksikan temannya tewas,
Caraka Wanda bertambah beringas. Dengan napas mendengus keras, lelaki muda itu
kembali bergerak menyerang.
Jurus, 'Semilir Angin Meniup
Daun Kering' segera dikeluarkan. Nampaknya Caraka Wanda sudah tak sabar lagi
untuk membinasakan Pendekar Gila.
"Heaaa..." Wrt
Wrt...
Pedang di tangan Caraka Wanda
bergerak laksana angin yang bertiup semilir. Kelebatannya sangat halus dan
pelan. Hal itu karena Caraka Wanda menggunakan tenaga dalam yang cukup tinggi,
juga pengerahan batin yang sempurna.
Kakinya melangkah secara
beraturan, seperti memakai hitungan-hitungan tertentu.
Melihat jurus yang dilakukan
Caraka Wanda, seketika Pendekar Gila mengerutkan kening.
Dengan memandang lewat sudut
mata sambil nyengir, pikirannya berusaha mengingat-ingat gerakan yang dilakukan
Caraka Wanda.
"Hm, bukankah itu gerakan
Macan Barong yang kulihat di Ponorogo?" tanya Pendekar Gila dalam hati
brrusaha mengingat-ingat gerakangerakan yang dilakukan Caraka Wanda. "Aha,
benar Itu gerakan yang dilakukan Macan Barong Hm, kalau begitu yang menjadi
Maean Barong tentunya pemuda ini." "Pendekar Gila, kau harus mampus
Bersiaplah" dengus Caraka Wanda.
"Bocah Edan Kubunuh kau
Hea..." seorang anak buah Surotama membabatkan golok ke tubuh lawan yang
sedang menungging. Namun dengan jurus „Gila Mabuk Mencabut Rumput‟ Pendekar
Gila segera bergerak mengelit. Tubuhnya seperti orang gila yang sedang mabuk.
Jumpalitan ke sana kemari, dengan tangan bergerak mencengkeram dan memukul
Sedangkan kedua kakinya bergerak melakukan serangan dengan lutut dan tendangan
"Hi hi hi Heaaa..." Dugk "Ukh..." orang yang berada di
belakang terjengkang, karena terkena tendangan kaki kiri Pendekar Gila.
Mulutnya meringis kesakitan dan tampak darah mengalir dari sela bibir.
Tangannya memegangi dada yang terasa nyeri hebat. Bahkan dirasakan pukulan
keras tadi meremukkan tulang rusuknya.
Pertarungan semakin seru.
Gerombolan itu langsung mengeroyok Pendekar Gila.
"Hea" Wuttt
"Uts He he he..." Pendekar Gila tertawa terkekeh sambil terus
bergerak dengan jurus 'Gila Mabuk Mencabut Rumput' digabung dengan jurus 'Gila
Menari Menepuk Lalat'. Suling Naga Sakti di tangannya, bergerak dengan cepat
menangkis serangan lawan. Dilanjutkan dengan memukul ke dada, dan punggung
lawan yang terdekat "Mampus kau, Pendekar Gila Hea..." Wuttt
"Uts He he he... Ini bagianmu, Kecoa Tolol" Pendekar Gila mengelakkan
serangan lawan dengan meliuk ke samping. Kemudian bergerak ke belakang tubuh
lawan dengan cepat, sambil memukulkan Suling Naga Sakti ke punggung lawan.
Begk "Akh..."
pekikan tertahan terdengar ketika seorang lawan terpukul Suling Naga Sakti.
Tulang punggungnya dirasakan remuk. Mulutnya meringis.
Dari sela bibimya meleleh
darah. Kemudian tubuh orang itu ambruk ke tanah.
Pertarungan semakin seru.
Sepertinya gerombolan Caraka
Wanda dan Surotama tak takut sedikit pun. Mereka terus menyerang dengan sabetan
dan tusukan pedang serta gdok, "Heat" Wuttt Wuttt
"Haiiit.." Dengan cepat Pendekar Gila mengelit dengan merundukkan
tubuh. Kemudian dengan cepat pula dipukulkan Suling Naga Saktinya ke tubuh
lawan.
Wuttt "Heh?" orang
itu tersentak kaget dengan mata membeliak. Dirinya berusaha menghindar tetapi
gerak yang dilancarkan Pendekar Gila sangat cepat. Sehingga..., Begk
"Wua..." Korban kembali jatuh dengan tulang iga remuk akibat gebukan
Suling Naga Sakti.
Kenyataan itu membuat Caraka
Wanda dan Surotama bertambah marah dan beringas.
"Kubunuh kau, Pendekar
Gila..." Surotama melompat ke depan. Dengan jurus 'Serimpi Kipasan Maut'
Surotama membabatkan pedangnya ke tubuh Pendekar Gila.
Warga Desa Ngadireja yang
semula merasa takut, akhimya mendatangi tempat pertarungan menyertai kepala
desa. Mereka angsung membantu Pendekar Gila yang dianggap telah menyelamatkan
desa mereka.
Gerombolan penjahat yang
menjarah Desa Ngadireja akhimya terjepit. Bahkan kini, Pendekar Gila dengan
cepat menggebukkan Suling Naga Sakti ke punggung Surotama.
Bukkk "Akh... Ukh...
Tubuh Surotama
menggeliat-geliat karena punggungnya remuk terhantam Suling Naga Sakti.
Dari mulutnya muncrat darah
segar. Selamanya mulut lelaki muda itu mengerang-erang sebelum akhirnya mati.
Melihat pimpinan mereka mati,
keenam anggota gerombolan yang masih hidup, semakin panik. Dalam sekejap mata,
mereka dapat didesak para warga Desa Ngadireja.
"Mampuslah kalian
Hea..." Jrab Jrabs "Akh..." lengkingan kematian, seketika
terdengar susul-menyusu Dengan ganas karena marah para warga Desa Ngadireja
membantai habis anggota gerombolan yang mengatasnamakan Pendeka Gila sebagai
pimpinan.
Ki Lampit tertatih-tatih
mendekati Pendekar Gila. Di bibirnya tersungging senyuman. Orang tua yang
sebenarnya Kepala Desa Ngadireja itu merasa senang atas kemenangan mereka.
"Kau, Ki?" Pendekar
Gila terkejut melihat Ki Lampit yang semula tua renta kini tampak wajah
aslinya, setelah membuka kedok. Ki Lampit ternyata seorang lelaki bertubuh
tegap, berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya cukup tampan terhias jenggot
dan kumis tipis.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Tuan Pendekar" "Aku tak mengerti, siapa kau
sebenarnya, Ki?" tanya Pendekar Gila dengan mulut nyengir serta ta¬ngan
menggaruk-garuk kepala.
Ki Lampit memegang pundak
Pendekar Gila, lalu sambil melangkah lelaki setengah baya itu menceritakan
siapa dirinya. Diceritakan, mengapa harus menyamar, karena dirinya takut
kepergok Pendekar Gila yang kabarnya menjadi pimpinan gerombolan itu. Ki Lampit
merasa tak akan mampu menghadapi Pendekar Gila yang kesohor dengan
kesaktiannya.
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi tiba-tiba tawanya
terhenti, ketika matanya melihat sesosok bayangan kuning berkelebat
mencurigakan. Mata yang lain mungkin tak melihat karena suasana gelap.
"Hai, tunggu..."
teriak Pendekar Gila.
Kemudian dengan menggunakan
ilmu larinya segera mengejar sosok bayangan kuning itu. Dalam sekejap saja
Pendekar Gila telah berhasil menghadang orang itu. "Aha, mau lari ke mana
kau? Hi hi hi..." "Ampun, jangan bunuh saya" ratap lelaki muda
berpakaian kuning sambil bersujud di depan Pendekar Gila. "Saya hanya
diperintah tiga warok Ponorogo." "Kau juga anggota mereka?" tanya
Pendekar Gila.
"Be... benar."
"Jadi kalian diperintah tiga warok Ponorogo untuk membuat keonaran di desa
ini?" tanya Pendekar Gila tegas, walau mulutnya masih cengengesan.
Pendekar Gila melesat cepat.
Sehingga ketika keduanya melihat ke depan lagi, pemuda yang diikuti telah
menghilang entah ke mana.
"Heh?"
"Lho...?l" Kastro dan Jawir tersentak kaget. Mata keduanya terbelalak
dengan mulut terlongong bengong, kehe ranan.
"Dia hilang" gumam
Jawir.
"Mungkin dia
dedemit," tukas Kastro.
"Aha, mana ada dedemit
pagi-pagi begini?" bantah Jawir tak percaya.
"Buktinya dia
hilang," sahut Kastro sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat
itu. Namun, Pendekar Gila telah benar-benar hilang. "Kalau dia lari, mana
ada yang bisa lari secepat angin?" 'lya, ya? Kok aneh...?" kini Jawir
menganggukanggukkan kepala dengan mulut masih bengong.
"Vvah, untung dia tak
jahat Coba kalau jahat, kita sudah dlcekik," ujar Kastro bergidik.
"Hih..., benar Kalau dia
jahat, kita pasti dicekiknya," sahut Jawir seraya mengedarkan pandangannya
dengan rasa takut "Ayo, kita pergi Siapa tahu siluman itu masih di
sini," ajak Kastro.
Keduanya pun segera lari
tunggang langgang, meninggalkan perbatasan Desa Babareja.
***
Warok Gandu Pala tertawa terkekeh-kekeh,
merasa senang setelah mendengar ketiga warok tua yang juga sesepuh di Desa
Ponorogo itu akhirnya dapat juga diadu domba.
Semua anak buahnya mengerutkan
kening, tak mengerti mengapa Warok Gandu Pala tertawatawa. Padahal banyak anak
buahnya yang mati di tangan Pendekar Gila. Nampaknya para pengikutnya tidak
memahami jalan pikiran yang telah direncanakan sang Ketua.
"Nanti malam, kita
kembali mengadakan gerakan. Bunuh kedua calon lurah yang masih ada"
perintah Warok Gandu Pala sambil tertawa terbahak-bahak. "Kalau mereka sudah
lenyap semua, bukankah aku yang akan menduduki kursi kepala desa?" Semua
anak buahnya yang tersisa Ema belas orang itu tertawa mengikuti pimpinannya
yang juga tertawa terbahak-bahak "Benar, Ketua Kalau Ketua menjadi Kepala
Desa Ponorogo, kita akan enak...," ujar Sumogiri, "Bukan begitu
teman-teman?" "Benar" sahut keempat belas rekannya, termasuk
Sekati yang juga berada di tempat itu.
Gadis itu nampak lebih banyak
diam, semenjak hamil. Hal itu mungkin karena hatinya merasa berdosa, telah
membohongi sang Ayah. Juga terhadap Pendekar Gila yang telah difitnahnya.
Hati nurani Sekati mulai
tergugah. Batinnya yang semula tertutup, kini terbuka. Dirinya merasa, semua
tindakannya selama ini suatu perbuatan yang salah. Begitu berani menentang sang
Ayah. Juga Paman Warok Sura Pati dan Warok Sito Kuta.
"O, mengapa aku seperti
ini? Mengapa harus menuruti setiap ucapan Paman Warok Gandu Pala?" keluh
Sekati dalam hati, merasakan kesalahannya selama ini. Kini dirinya bagaikan
baru terbuka mata hatinya yang selama ini tertutup kabut gelap.
Selama ini, Sekati terpengaruh
janji-janji muluk dan rayuan gombal Warok Gandu Pala. Sampai akhimya, peristiwa
itu terjadi. Ketika semua anak buah tengah menjalankan perintah tinggallah
mereka berdua. Warok Gandu Pala menggagahinya.
Mulanya Sekati berusaha
melawan, tetapi ketika matanya beradu dengan mata Warok Gandu Pala, tiba-tiba
hatinya luluh. Dibiarkan tubuhnya digeluti orang yang mengaku sebagai pamannya
sendiri.
Semenjak itu, Warok Gandu Pala
selalu berusaha mendapatkan kepuasan dari Sekati. Dan anehnya, gadis itu
bagaikan tak mampu melawan.
Sekati pasrah, membiarkan
kehormatannya direnggut.
Membiarkan tubuhnya dijadikan
pelampiasan nafsu lelaki yang dianggap sebagai paman sendiri, karena sesama
warok seperti ayahnya.
Sampai akhirnya, Sekati hamil.
Semula hatinya sangat takut, lalu mengadukan kehamilannya pada Warok Gandu
Pala. Namun tanggapan Warok Gandu Pala justru membuat hatinya sakit. Warok
Gandu Pala menyuruhnya untuk memfitnah Pendekar Gila dan mengadukan pada ayahnya,
kalau kehamilan itu perbuatan Pendekar Gila. Bukankah dengan begitu, ketiga
warok tua bangka itu akan memusuhi bahkan membunuh Pendekar Gila?"
"O, kasihan Pendekar Gila. Dia tak tahu apaapa, terlalu polos, dan tak
mengerti apa yang terijadi," keluh Sekati dalam hati. Lamunannya terus
mengalir, teringat akan Pendekar Gila yang bertingkah laku konyol dan persis
orang gila.
"Mengapa harus dia yang
menjadi korban fitnah? Tentunya ayah tak akan membiarkannya begitu saja.
Entah kenapa Sekati mau
mengaku Pendekar Gila yang melakukannya. Perlahan-lahan, bayangan kejadian
kemarin tergambar kembali dalam benak Warok Singo Lodra.
Dirinya baru saja pulang dari
kebun, ketika langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya mendengar suara
Sekati muntah-muntah. Dengan kening mengerut, Warok Singo Lodra melangkah
mendekati anaknya yang sedang muntah di samping rumah.
"Sekati, kenapa
kau?" Sekati tersentak kaget. Dengan mata memandang takut, gadis itu
bangun dari jongkoknya. Lalu kakinya melangkah mundur dengan wajah pucat karena
takut.
"Anakku, kau tak perlu
takut pada ayah.
Katakan, apa yang sebenarnya
terjadi...?" tanya Warok Singo Lodra dengan suara pelan, berusaha
menenangkan sang Anak.
Sekati langsung menangis.
Dipeluknya eraterat tubuh sang Ayah. Hal itu membuat hati Warok Singo Lodra
ierenyuh da luluh. Dengan lembut, dibelai-belainya rambut Sekati.
"Anakku, ceritakanlah apa
yang telah terjadi" pinta Warok Singo Lodra dengan tangan masih
membelai-belai rambut anaknya.
Perlahan-lahan Sekati
mendongak. Ditatapnya dalam-dalam wajah sang Ayah. Tangisnya masih berderai,
bahkan semakin sesenggukan. Hati Warok Singo Lodra pun luluh-lantak dan merasa
kasihan.
Dibimbingnya sang Anak masuk
ke rumah.
Kemudian diajaknya duduk.
"Ceritakanlah,
Anakku" "Apakah Ayah tak akan marah?" tanya Sekati takut.
Warok Singo Lodra berusaha
tersenyum.
Digeleng-gelengkan kepalanya,
berusaha meyakinkan sang Anak agar mau menceritakan apa sebenarnya yang
terjadi.
"Sekati hamil,
Ayah." "Apa?" bagaikan disengat kalajengking Warok Singo Lodra
terbelalak kaget. Lelaki tua itu tersentak bangkit dari duduknya. Dengan napas
tersengal karena perasaan marah dan terkejut mata Warok Singo Lodra menatap
tajam anaknya.
Sementara Sekati hanya mampu
menangis dengan menundukkan kepala dalam-dalam.
"Siapa yang menghamilimu,
Sekati? Akan kulabrak dia" ."Pendekar Gila, Ayah"
"Hah?" semakin membelalak mata Warok Singo Lodra, mendengar jawaban
anaknya. Dihelanya napas dalam-dalam lalu dihembuskan dengan kuat.
Kedua tangannya mengepal keras
sambil menggemeretakkan gigi menahan geram.
Warok Singo Lodra melangkah
bimbang dengan hati dilanda amarah. Tangan kanannya masih mengepal. Matanya
memandang tajam pada anaknya yang masih menangis sambil menundukkan kepala.
"Kapan hai itu
terjadi?" tanya Warok Singo Lodra.
"Tiga bulan yang lalu,
Ayah," jawab Sekati dengan masih menangis sambil menundukkan kepala.
"Kurang ajar Pendekar
Gila keparat" maki Warok Singo Lodra geram. Napas tuanya kian memburu,
bagaikan harimau marah. Matanya semakin memerah karena marah, "Sekati, kau
tidak berbohong?" "Sungguh, Ayah. Sekati rela mati, jika
berdusta," jawab gadis cantik berbaju kuning muda itu sambil terisak-isak.
"Pendekar Gila, telah
cukup aku menahan amarah. Ternyata kau menggunakan nama besarmu untuk perbuatan
terkutuk Tak akan kubiarkan kau mempermainkan anakku seakan mengharapkan
kesaksian langit biru pada janji dan tekadnya.
Ketiga warok lainnya terdiam
mendengar ucapan Warok Singo Lodra. Bagaimanapun ilmu mereka masih di bawah
Warok Singo Lodra. Mereka juga menganggap kalau pimpinan para warok itu yang
harus dituakan karena memang dirinya orang pertama dan paling tua di kalangan
warok Ponorogo.
"Kini tak ada persoalan
lagi. Kita harus menguburkan mayat-mayat itu" ujar Warok Singo Lodra.
"Kita sebagai orang-orang tua dan dihormati yang menjadi panutan harus
memberi contoh baik.
Ayo bantu warga" Tanpa
membantah, ketiga warok lain segera mengikuti Warok Singo Lodra mengurusi
mayatmayat di rumah Ki Renda Peksa.
6
Semenjak kelahiran putra
Senapati Kandanu, Desa Pakis bertambah ramai. Prajurit kerajaan bergantian
menjaga desa itu, apalagi kini Prabu Galih Waskita sendiri yang memerintahkan
penjagaan terhadap Desa Pakis. Prabu Galih Waskita telah tahu kalau Ki Angkara
mendendam pada panglima utama kerajaan, karena cintanya yang gagal untuk
mendapatkan Murti Dewi. Siapa tahu setelah anak Senapati Kandanu lahir, Ki
Angkara akan membuat kerusuhan lagi. Atau menculik bayi itu. ltulah yang
dikhawatirkan pihak kerajaan.
Malam menyelimuti Desa Pakis,
menghamparkan kegelapan yang sepi. Rumah-rumah penduduk sudah tertutup rapat,
hanya di rumah Ki Lurah Padri yang masih ramai Masih banyak orang serta
beberapa prajurit yang sedang berjaga-jaga.
Malam terus merangkak dengan
kegelapan serta kesepian yang menyelimutinya. Angin yang berhembus pelan,
meniup dedaunan, menimbulkan suara gemerisik, Hal itu membuat suasana malam
bertambah mencekam.
Malam telah agak larut, ketika
dari arah selatan Desa Pakis nampak berkelebat sesosok bayangan merah menuju
rumah keluarga Ki Lurah Padri. Bayangan merah itu terus melesat dengan cepat,
lalu menyelinap di balik pepohonan, ketika nampak dua orang prajurit tengah
memeriksa ke sekeliling rumah Ki Lurah Padri diikuti dua orang jawara kepala
desa itu.
Hmm, semakin banyak juga
prajurit kerajaan," gumam bayangan merah yang ternyata Ki Angkara.
Matanya mengawasi dua orang
prajurit yang masih berjalan, memeriksa sekeliling. "Aku harus membungkam
mereka." Empat orang itu terus melangkah, memeriksa sekelilingnya. Mata
mereka dipasang terus dengan kewaspadaan, seakan tak ingin kecolongan.
"Ini yang terakhir,"
desis Ki Angkara perlahan.
Kemudian dengan ringan
tubuhnya bergerak, mencengkeram prajurit yang melangkah paling depan.
"Hop" Trep
"Hih" Prajurit itu berusaha meronta, tetapi dengan cepat KI Angkara
telah mendahului membungkam mulutnya dengan tiga totokan.
Tuk Tuk Tuk Seketika prajurit
itu terkulai. Ki Angkara segera menyeret ke semak-semak. Kemudian kembali
melesat cepat, memburu ketiga orang yang masih melangkah.
Srt "Hai Siapa itu?"
Rupanya salah seorang dari mereka melihat bayangan Ki Angkara berkelebat,
sehingga berteriak membentak. Hal itu membuat kedua temannya langsung
menghentikan langkah. Mereka langsung mengawasi pepohonan yang tumbuh di
sekitar tempat itu.
"Ada apa, Kapin?"
"Kulihat ada orang mengikuti kita," sahut lelaki yang disusul dengan
jerit kematian.
"Heaaa" Crab
"Akh..." "Lancang sekali kau, Ki Angkara" bentak Ki Purba
sengit seraya merentangkan tangannya, menghalangl langkah Ki Angkara yang
hendak masuk.
Na¬mun, lelaki tua berjubah merah
itu tak peduli.
Malah dengan enaknya,
ditepiskannya tangan Ki Purba.
"Minggir Jangan halangi
aku" Hal itu tentu membuat Ki Lurah Padri dan Ki Purba marah. "Kurang
ajar Lancang sekali kau, Angkara Hih.. " Lurah Padri bergerak cepat,
tangannya mendorong dada Ki Angkara disertai tenaga dalam yang cukup kuat,
sehingga menyebabkan lelaki tua berjubah merah itu tersentak Cepat-cepat dia
mundur, mengelakkan dorongan itu.
Wsss "Ukh Hebat juga
tenaga dalammu, Ki," ejek Ki Angkara sambil mengelak.
Ki Lurah Padri agak terhuyung
ke depan.
Beruntung dengan cepat lelaki
tua berbaju coklat itu segera mampu menguasai diri. Sehingga luput dari jatuh.
"Kurang ajar Kau
benar-benar iblis. Pergi dari sini, sebelum kupanggilkan para prajurit"
bentak Ki Lurah Padri sengit "Panggil prajurit yang sudah pada
mampus" ejek Ki Angkara, yang seketika membuat kedua orang tua itu
bertambah marah.
Sementara orang-orang yang di
dalam kini keluar, setelah mendengar suara ribut-ribut.
Melihat Ki Angkara ada di
tempat itu, lima warga desa yang masih berada di rumah Ki Lurah Padri seketika
berhamburan menyerang Ki Angkara.
"Tangkap iblis
itu..." perintah Ki Purba seraya merangsek turut menyerang dengan sengit.
"Jangan biarkan lolos
Jika kalian bisa menangkap nya, maka kalian akan mendapatkan pahala dari
baginda raja" seru Ki Lurah Padri memberi semangat pada kelima warga
desanya yang serentak mencabut golok dan menyerang Iblis Berkedok Dewa itu.
"He he he... Bagus
Sebelum baginda raja kalian memberi hadiah pada kalian, maka aku lebih dahulu
memberikan. Heaaa..." Dengan jurus 'Iblis Merenda Api' Ki Angkara
berlelebat menyerang lima warga desa yang dibantu Ki Lurah Padri dan Ki Purba.
"Heaaa..."
"Jangan beri dia kesempatan" teriak Ki Purba mengingatkan pada kelima
warga, sedangkan dirinya langsung menyerang Ki Angkara dengan jurus 'Belahan
Jagat'. Sebuah jurus yang cukup berbahaya bagi lawan. Tangan Ki Purba bergerak
bagaikan hendak membelah dada Ki Angkara.
Sesekali disertai dengan
hentakan-hentakan pukulan dan tendangan.
"Heaaa" "Hih
Ini untukmu..." Dengus Ki Angkara sambil menghantamkan tangan kanannya ke
arah lima warga desa yang menyerang, setelah merundukkan tubuh incngelakkan
babatan golok lawan.
Wrt Plak "Wuaaa..."
Salah seorang warga desa itu menjerit, terkena hantaman tangan Ki Angkara.
Tubuhnya terpental ke belakang, lalu ambruk dalam keadaan telah tewas.
"Bedebah Kubunuh kau,
Iblis" dengus Ki Lurah Padri marah Ki Lurah Padri dan Ki Angkara kini
samasama melenting ke atas. Dalam keadaan tubuh melayang di udara, keduanya
saling melancarkan pukulan dengan jurus andalan masing-masing. Ki Lurah Padri
dengan jurus 'Bayu Menyibak Mega', sedangkan Ki Angkara tetap dengan jurus
'Seribu Tangan Iblis'.
"Heaaa..."
"Yeaaat..." Keduanya mengawali serangan dahsyat dengan teriakan keras
membahana, memecahkan kesunyian malam.
Prat Glarrr...
"Aaakh..." Ki Lurah
Padri menjerit keras. Darah muncrat dari mulutnya. Lalu tubuhnya terlontar
deras ke belakang tak ada keseimbangan, hingga akhimya terbanting di atap
rumahnya sampai jebol.
Brak "Ayah..." jerit
Murti Dewi, ketika melihat tubuh ayahnya jatuh di rumah dalam keadaan
mengenaskan. Wanita cantik yang baru saja melahirkan itu langsung menubruk
tubuh ayahnya, menangisi kematian sang Ayah.
Nyi Nipah yang mendengar
tangisan Murti Dewi segera masuk.
"Kakang..." Nyi
Nipah pun mendekat, lalu menangisi kematian Ki Lurah Padri yang mengerikan.
Kepala lelaki setengah baya itu pecah dengan dada hancur
***
Sementara itu di luar pertarungan masih
betjalan dengan seru, walaupun kini Ki Angkara lebih menguasai jalannya
pertarungan. Hal itu karena Ki Purba dalam keadaan luka parah. Namun sesepuh
Desa Pakis itu benar-benar tahan. Dengan sisa-sisa tenaganya dia terus bergerak
menyerang.
"Kau pun harus mati,
Purba Hiaaa..." tangan Ki Angkara bergerak, menghantam ke dada Ki Purba.
Ki Purba berusaha menghindar,
tetapi luka dalamnya menyebabkan gerakannya lambat Sehingga....
Jret Degk "Aaakh..."
Ki Purba terpekik keras seraya memuntahkan darah segar dari mulutnya. Sebuah
pukulan keras berhasil menghantam dadanya. Tubuhnya terpental deras ke
belakang, lalu terbanting ke tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi.
"He he he... Kini tak ada
lagi penghalang bagiku untuk memiliki Murti Dewi," gumam Ki Angkara sambil
melangkah mendekat ke pintu rumah, melangkahi majat-mayat bergelimpangan
mengerikan.
"Lelaki busuk Keparat Kau
bunuh ayahku Kau bunuh pamanku" maki Murti Dewi, ketika melihat Iblis
Berkedok Dewa mendekat ke rumah.
"He he he..." Ki
Angkara terkekeh. Matanya menatap penuh nafsu pada Murti Dewi. Terlebih,
setelah melahirkan wajah putri Ki Lurah Padri itu tampak cantik. Hal itu
menambah nafsu Ki Angkara. "He he he.... Kau semakin menggairahkan saja,
Manis" "Cuih Kubunuh kau" dengus Murti Dewi sambil melesat
melakukan serangan dengan sebilah pisau. Namun, dengan cepat Ki Angkara
menangkap tangan menyerang Murti Dewi.
Aku tak layak bagimu,
Kakang," rintih Murti Dewi sambil berusaha bangkit, lalu melangkah
meninggalkan tempat tidur. Kakinya terus melangkah ke belakang, menuju dapur.
Diambilnya sebilah pisau, lalu menangis lagi.
Murti Dewi terus menangis. Dia
merasa harga dirinya tak ada lagi di mata Senapati Kandanu, suaminya.
Ditatapnya pisau tajam di genggaman tangannya.
"Kakang Kandanu, maafkan
aku. Sungguh, aku tak kuasa melawannya. Selamat tinggal, Kakang..." Pisau
dapur itu kini diangkatnya tlnggi-tinggi.
Kemudian dengan sekuat tenaga,
dihunjamkan ke dadanya....
"Murti, jangan..."
Nyi Nipah yang sudah siuman, dengan tertatih-tatih berusaha mencegah tindakan
Murti Dewi. Namun pisau itu begitu cepat. Sehingga....
Crab "Aaakh...
Nyi..." Murti Dewi mengerang panjang, ketika pisau di tangannya telah
menusuk dadanya.
"Murti..." Nyi Nipah
menjerit keras, lalu memeluk tubuh Murti Dewi yang limbung ke samping. Wanita
tua itu menangis sesenggukan, mendekap tubuh Murti Dewi yang sekarat.
"Nyi..., katakana pada
Kakang Kandanu.
Dia..., dia telah
memperkosaku. Selamat tinggal, Nyi.... Akh..." "Murti
Tidaaak..." Nyi Nipah terus menjeritjerit.
"Malam itu, para tetangga
yang semula tak berani mendekat, berdatangan ke rumah Ki Lurah Padri. Mereka
pun tiba-tiba merasa marah dan kasihan melihat mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Cari iblis itu Kita
harus berani menghadapinya" perintah salah seorang warga desa dengan geram
setelah mendengar cerita Nyi Nipah.
"Hubungi Kanjeng Senapati
Kandanu" perintah yang lain.
Malam itu semua sibuk. Ada
yang mencari Ki Angkara, ada yang menolong Nyi Nipah, dan mengurusi para korban
yang tewas. Sementara beberapa orang berangkat ke Kerajaan Mandra Kulawa untuk
mengabarkan pada Senapati Kandanu.
Senapati Kandanu benar-benar
terguncang jiwanya, setelah melihat keadaan mayat istrinya.
Murti Dewi mati bunuh diri
setelah diperkosa Ki Angkara, sedangkan bayinya kini hilang entah ke mana.
Menurut Nyi Nipah, bayinya dibawa kabur Ki Angkara.
"Ki Angkara keparat Belum
tenang batinku sebelum mencungkil kedua mata dan mencabut jantungnya..."
teriak Senapati Kandanu bersumpah.
Dengan membawa kemarahan dan
dendam kesumat pada Ki Angkara, si Macan Kaligis itu menggebah kudanya. Dia
benar-benar bertekad mencari Iblis Berkedok Dewa yang telah menghancurkan
kehidupan rumah tangganya.
"Hea Heaaa..."
Senapati Kandanu terus menggebah kudanya dengan cepat, melesat ke selatan
menuju Gunung Paparan. Kini dia telah sampai di perbatasan Desa Babareja.
Matahari merangkak semakin
tinggi. Kedai yang berada di sebelah barat Desa Babareja siang itu nampak tamai
dikunjungi orang. Di depan kedai, seekor kuda putih besar dan kekar tertambat
di bawah pohon mangga besar. Kuda itu tengah merumput, Sedangkan pemiliknya,
yang tak lain Senapati Kandanu berada di dalam kedai Saat itu, si Macan Kaligis
tengah kalut setelah kematian istrinya dan sang Bayi yang hilang entah ke mana.
Senapati Kerajaan Mandra Kulawa itu tampak tengah menenggak arak, seakan-akan
berusaha menenangkan pikirannya. Sudah tiga guci arak diminumnya, tapi
kekalutan pikiran bukan kian berkurang, bahkan terasa semakin membuatnya pusing
tak karuan.
Brak Macan Kaligis menggebrak
meja di depannya.
Seketika meja kayu itu
terpecah jadi dua. Tiga guci arak terjatuh dan pecah, berhamburan di lantai.
Orang-orang yang tengah
menikmati santapan di kedai itu tersentak kaget. Namun, mereka langsung diam.
Tak satu pun yang berani berucap kata, ketika mengetahui orang itu senapati
yang paling dihormati di Kerajaan Mandra Kulawa.
"Siapa di antara kalian
yang tahu persembunyian Ki Angkara?" tanya Senapati Kandanu dengan mata
merah, menatap tajam pada semua orang dalam kedai.
Semua terdiam, tak satu pun
yang berani membuka mulut Hal itu membuat Senapati Kandanu semakin marah.
Tangannya kembali menggebrak meja yang ada di sampingnya.
"Jawab..." Brak
Pukulan keras yang kedua menghancurkan meja kayu jati itu. Mata Macan Kaligis
yang merah menatap semua yang ada di kedai itu.
"Siapa yang berani
mencari Ki Angkara, keluar lah" Dari luar terdengar suara lantang
seseorang.
Mendengar seruan itu, semua
pengunjung kedai berhamburan ke luar untuk membuktikan siapa orang yang telah
lancang dan berani menantang mereka.
Senapati Kandanu yang melihat
kudanya mati tertusuk sebilah pisau, turut keluar bersama Pendekar Gila, untuk
melihat siapa yang telah membunuh kudanya.
***
8
Lima lelaki berwajah garang
berdiri di sebelah se latan kedai. Dua orang lelaki bertubuh besar dengan
kepala botak, Mereka sudah dikenal Pendekar Gila, bahkan pernah bentrok di
Hutan Randu Kembar. Keduanya tidak lain Sepasang Jalak Neraka. Satu Jalak
Kuning, yang memakai kain selempang kuning keemasan terikat di leher. Sedang
yang lain Jalak Biru, dengan kain pengikat leher berwarna biru.
Sedang tiga lelaki lainnya,
sama-sama berambut kasar dan kotor. Wajah mereka yang garang, ditumbuhi cambang
bauk tebal. Yang pertama tangan kirinya terbuat dari baja. Karena itu, dia
dikenal sebagai si Tangan Baja. Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun ini
masih tampak gagah, dengan pakaian lengan panjang berwarna merah.
Orang kedua bertubuh gemuk,
dengan kaki sebelah pincang dan terbuat dari baja. Lelaki ini terkenal dengan
sebutan si Kaki Baja.
Orang ketlga, nampaknya Iain
dari keduanya.
Dia tidak cacat tangan atau
kaki. Namun, lehernya bengkok ke kiri. Senjata yang digunakan si Leher Patah
ini berupa tombak bergerigi. Mereka dikenal dengan julukan Tiga Demit Cacat.
Pisau yang menancap di leher
kuda milik Senapati Kandanu merupakan senjata si Kaki Baja.
Hal itu dapat dilihat dari
banyaknya pisau yang melekat di tubuhnya, menyilang di depan dada sampai ke
bawah.
"Aha, rupanya mereka lagi
Hi hi hi... Apa kabar kalian, Jalak Botak?" sapa Sena dengan tertawa
cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
Jalak Kuning menoleh pada
Jalak Biru, seperti hendak mengatakan sesuatu. Begitu halnya dengan Jalak Biru.
Keduanya merasa kaget melihat pemuda gila itu.
"Kita jangan menghadapi
dia Biar Tiga Demit Cacat saja yang menghadapinya," bisik Jalak Kuning.
"Ya. Percuma saja kita menghadapinya,"
sahut Jalak Biru dengan berbisik pula. Kemudian keduanya kembali mengawasi
orang-orang yang keluar dari kedai, lalu mengalihkan pandangan mereka pada
Senapati Kandanu yang menggendong bayi.
"Kurasa senapati itu
bagian kita, Jalak Biru," bisik Jalak Kuning.
"Ya. Lebih baik
menghadapi dia, kelirnbang menghadapi pemuda gila itu," sahut Jalak Biru,
juga dengan berbisik.
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak mendengar bisik bisik Sepasang Jalak Neraka.
Sementara para penduduk yang
ikut bersama Senapati Kandanu, tampak sudah tak sabar. Mata mereka menatap
tajam pada Sepasang Jalak Neraka dan Tiga Demit Cacat.
"Kanjeng Senapati, biar
kami ringkus mereka" pinta warga desa penuh semangat.
"Izinkan kami menangkap
iblis-iblis itu, Kanjeng Senapati" sambung yang lain.
"Hm...," gumam
Senapati Kandanu dengan mata masih menatap tajam pada lima orang di depannya.
"Siapa kalian?"
"Itu tak penting Kanjeng Senapati. Yang jelas kami akan menghalangi usaha
kalian menangkap Ki Angkara," sahut si Tangan Baja.
"Aha, rupanya kalian
antek lintah sawah itu.
Hi Hi hi... Kebetulan sekali.
Kalau begitu kalian tak ubahnya cecurut busukl Hi hi hi..." sergah Sena
sambil tertawa cekikikan. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Bocah edan, tutup
mulutmu Jangan sampai kusobek mulutmu" bentak si Kaki Baja dengan mata
membelalak marah, napasnya mendengus keras.
"Hi hi hi... Ah ah ah,
seharusnya mulut kalian yang disobek. Agar tak lancang seperti itu. Hi hi
hi..." Sena masih menunjukkan kekonyolan.
Mulutnya dimonyongkan ke
depan.
"Bocah edan Kubunuh
kau" dengus si Leher Patah tak kalah sengit, sambil menggerak-gerakkan
lehemya yang bengkok, sehingga nampak lucu. Hal itu pula yang membuat Pendekar
Gila semakin memperkeras tawanya.
"Hua ha ha... Rupanya ada
juga lintah yang kena penyakit ayan..." ujar Sena sambil
menggelenggelengkan kepala. Lalu menirukan gerakan seperti orang terkena
penyakit ayan. Sudah barang tentu Tiga Demit Cacat marah melihat sikap konyol
itu.
"Bocah edan Kubunuh
kau..." dengus si Kaki Baja.
"Hi hi hi..." Sena
masih saja bertingkah konyol.
Kakinya dijalankan pincang,
meniru si Kaki Baja.
Tangannya dipengkorkan meniru
si Tangan Baja, sedangkan lehemya dibengkokkan. Sehingga keadaannya semakin
lucu dan konyol. Apalagi ditambah dengan mulutnya yang sesekali monyong,
sesekali nyengir.
Tiga Demit Cacat semakin marah
Sementara itu, Sepasang Jalak Neraka tak dapat berbuat banyak. Keduanya telah
tahu keberadaan Pendekar Gila. Itu sebabnya mereka lebih baik menghadapi
Senapati Kandanu dan warga desa.
"Kubunuh kau, Bocah Edan
Heaaa.." si Tangan Baja melesat maju, berusaha menyerang Pendekar Gila.
Melihat lawan telah memulai,
si Macan Kaligis yang memang sudah marah, tak tinggal diam.
"Serang..." Warga
desa yang mendengar seruan Senapati Kandanu, seketika bergerak dengan senjata
masingmasing. Mereka tidak merasa dihantui perasaan takut sedikit pun, terus
merangsek kelima lelaki berwajah bengis itu.
"Heaaa..."
"Serbu..." "Cincang..." "Jangan biarkan mereka
hidup..." seru warga desa yang penuh amarah itu sambil bergerak maju
melancarkan serangaa Dalam sekejap saja, halaman kedai yang semula tenang,
berubah menjadi ajang per-tarungan yang sengit. Debu beterbangan, tanah
ha¬laman kedai berhamburan. Suara dentang senjata dan pekikan-pekikan keras
seakan memecahkan suasana siang di Desa Babareja.
Pendekar Gila kini bergerak
mengelit dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk
laksana menari, dengan sesekali tangannya menepuk ke dada lawan.
"Heaaa..."
"Yeaaat..." Si Tangan Baja yang sudah sengit pada Pendekar Gila,
terus menyerang dengan sabetan tangannya yang terbuat dari baja. Dengan
menggunakan jurus 'Garukan Cakar Maut', si Tangan Baja terus bergerak
menyerang. Tangan kirinya yang cacat, bergerak menggaruk dan mencakar ke tubuh
Pendekar Gila. Sedangkan tangan kanannya memukul.
"Yeaaat"
"Hih" Si Tangan Baja menyambarkan cakarnya ke wajah lawan. Tetapi
dengan cepat Pendekar Gila meliukkan tubuh ke bawah untuk mengelakkan serangan
itu. Kemudian disusul serangan dengan sebuah tepukan kedada lawan.
"Hih" "Eits" Dengan cepat si Tangan Baja melompat ke
samping. Matanya membelalak kaget, karena tak menyangka gerak lawan yang
kelihatannya lambat tahutahu mampu mengejarnya.
Pendekar Gila cengengesan,
kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah Kenapa kau,
Lintah Sawah...? Hi hi hi..." seru Sena sambil tertawa cekikikan Mulutnya
monyong, kemudian kakinya kembali digerakkan pincang. Tangannya agak ditekuk
menyerupai tangan pengkor. Sedangkan lehernya dibengkokkan ke kiri.
Kemudian kakinya melangkah,
menimbulkan tingkah laku lucu dan konyol.
"Cuih" si Tangan
Baja meludah. Matanya memandang penuh amarah kepada Pendekar Gila yang
meledeknya. "Jangan harap aku takut menghadapimu, Bocah Edan"
"Hi hi hi... Kurasa aku tak perlu kau takuti, Lintah Busuk Aku manusia,
bukan pemakan lintah..." tukas Sena sambil memonyongkan mulut dengan
tingkah konyol, seperti orang cacat kaki, tangan, dan leher.
"Setan gila
Heaaa..." Si Tangan Baja kembali berkelebat menyerang ke tubuh Pendekar
Gila. Kali ini si Kaki Baja dan si Leher Patah pun membantu. Sepertinya kedua
orang cacat lainnya lebih suka menyerang Pendekar Gila. Walau mereka sedang
menghadapi serangan warga desa yang-dibantu Senapati Kandanu.
"Kubantu kau, Tangan
Baja" seru si Kaki Baja sambil menendang ke tubuh Pendekar Gila yang
dengan cepat bergerak menghindar. Kemudian dengan cepat pula balas menyerang ke
arah si Kaki Baja.
"Hi hi hi... Kakimu kaku
sekali, Lintah Sawah Ah, biar kulemaskan. Hih..." Pendekar Gila bergerak,
tangannya menangkap kaki milik si Kaki Baja. Namun, si Leher Patah telah
menyerangnya dengan senjata tombak cakranya.
Wrt "Haps" Pendekar
Gila cepat menarik serangan ke belakang, kemudian mengalihkan serangan pada si
Leher Patah yang tadi menyerangnya. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari,
menjadikan serangan lawan selalu gagal dan melesat di samping atau di atas
tubuhnya. Lalu dengan gerakan aneh, tangannya menepuk ke dada lawan.
"Hah...?"
"Aits" Si Leher Patah tersentak kaget dengan mata terbelalak, ketika
secara tiba-tiba dan aneh tepukan tangan Pendekar Gila hampir menjangkau
dadanya.
Si Leher Patah melompat ke
belakang, mengelak. Disusul si Tangan Baja yang ganti menyerang dengan sabetan
tangannya yang terbuat dari baja.
"Heaaa..." Wrt
"Ats" Pendekar Gila segera menggeser kakinya ke samping, dan
meliukkan tubuhnya ke bawah. Lalu sambil berbalik, kakinya menendang lawan yang
me¬nyerang. Disusul dengan hentakan telapak tangan kanan ke dada lawan yang
lain. Sebuah serangan balik yang cepat dan mengejutkan.
"Heh?" Si Tangan Baja
tersentak kaget dengan mata melotot. Dia berusaha berkelit, tetapi karena kaget
membuatnya mati langkah. Tanpa ampun lagi, tendangan kaki kiri Pendekar Gila
menghantam di perutnya.
Begk "Ukh" tubuh si
Tangan Baja terlontar ke belakang, lalu jatuh terduduk dengan mulut meringis
kesakitan.
"Kurang ajar Kubunuh kau,
Bocah Edan" dengus si Kaki Baja sambil menyerang dengan
tendangan-tendangan kilatnya. Kakinya yang terbuat dari baja, bergerak
menendang dengan cepat secara beruntun. Hal itu membuat Pendekar Gila agak
kerepotan, bergerak meliuk dan melompat ke sana kemari menghindari tendangan
cepat itu.
"HihI Heaaa..."
"Yeaaa..." Belum sempat dapat menguasai keadaan dari serangan yang
dilakukan si Kaki Baja, si Leher Patah telah bergerak membantu dengan tusukan
tombak cakranya. Hal itu semakin membuat Pendekar Gila harus menghadapi dua
lawan sekaligus.
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak, diserang secara bersamaan seperti itu Dia bukannya takut,
justru tingkahnya yang gila semakin menjadijadi. Dengan meniru gaya ketiga
orang lawannya, Sena terus bergerak menyerang dan mengelakkan serangan lawan.
***
Sementara itu di sisi lain, pertarungan pun
masih berjalan seru. Senapati Kandanu meski dengan mendekap sang Bayi, masih
mampu memimpin pertarungan. Bahkan Jalak Biru dibuat kaget, karena tak
menyangka ilmu Maean Kaligis begitu hebat. Gerakangerakan senapati itu masih
gesit dan lincah meskipun sambil menggendong bayi.
"Yeaaa..." Senapati
Kandanu dengan jurus cakarnya yang dinamakan 'Kumbang Mencakar Mendung' bergerak
menyerang Jalak Biru. Tangan kirinya masih menggendong bayi, hanya dengan
tangan kanan dan kakinya Senapati Kandanu menyerang.
Namun julukan yang
disandangnya sebagai Maean Kaligis, benarbenar bukan julukan kosong.
Senapati muda itu bagaikan
seekor harirnau yang garang, menyerang ke sana kemari tak mau memberikan
kesempatan lawan.
"Hm, rupanya nama Macan
Kaligis bukan nama kosong," gumam Jalak Biru sambil berkelit ke samping,
mengelakkan serangan yang dilancarkan Sena pati Kandanu. Kemudian dengan cepat,
kapak besarnya diayunkan ke tubuh lawan.
Wrt Melihat lawan mengayunkan
kapak, Senapati Kandanu segera bergerak mengelak ke samping.
Merundukkan tubuhnya, lalu
dengan cepat lompat ke belakang.
Jreb Senjata besar itu
menghunjam di tanah, menyebabkan tanah yang terkena hancur dan berhamburan.
Senapati Kandanu segera menarik pedangnya yang sejak tadi melekat di punggung.
Sring "Yeaaa..."
"Heaaat..." Kembali keduanya melesat, hendak melakukan serangan lagi.
Dengan pedang, Senapati Kandanu bergerak tak kalah cepat jika dibandingkan
ketika tangan kosong. Pedangnya bergerak sangat cepat, hingga mengeluarkan
angin menderu. Pedang itu pun bagaikan menghilang, tinggal bayangan putih
berkelebatan saja yang kelihatan.
"Heh?" Jalak Biru
tersentak kaget dengan mata melotot, menyaksikan serangan yang dilancarkan
Senapati Kandanu. Dia tak menyangka kalau lawannya yang membawa bayi mampu
melakukan gerakan silat begitu sempurna dan cepat, tanpa terganggu sedikit pun.
"Yeaaa..." "Ukh
Hiaaa..." Trang Dua senjata beradu, disertai lompatan keduanya mengelitkan
serangan selanjutnya.
Kemudian disertai pekikan
menggelegar, keduanya kembali bergerak.
Senapati Kandanu memutar
pedangnya dengan cepat, lalu bergerak menusuk dan membabat. Sedang kan Jalak
Biru kini tak mau diam. Lelaki gagah itu bergerak menyerang dengan kapak
besarnya, membabat dan mengayun ke tubuh lawan.
'Yeaaa..." "Heaaa
t..." Trang "Ukh" Jalak Biru terpekik pelan, ketika tangannya
terasa kesemutan setelah senjatanya beradu dengan pedang Senapati Kandanu.
Meski tubuhnya lebih besar daripada Senapati Kandanu, tetapi ternyata tenaga
dalamnya berada setingkat di bawah Senapati Kandanu. Hal itu dirasakannya,
setelah saling beradu kekuatan dalam benturan.
Mata Jalak Biru membelalak,
hampir tak percaya dengan apa yang terjadi.
Senapati Kandanu mendengus
sengit, kembali memutar pedangnya dengan jurus pamungkas 'Rayuan Angin Gunung'.
Pedang di tangannya bagaikan mengalun, laksana angin yang tertiup ke
pegunungan, lalu turun dengan desingan yang menggiris hati.
Jalak Biru tersentak. Hatinya
merasa tergetar melihat jurus yang kini dilakukan si Maean Kaligis.
Sungguh tak menyangka kalau
Senapati Kandanu telah menguasai jurus yang hebat itu. Perpaduan antara jurus
angin bergerak dengan langkah harimau.
"Hm, rupanya dia memang
bukan sembarangan senapati" gumam Jalak Biru dalam hati, dengan mata
menatap tak berkedip pada lawannya yang bergerak dalam jurus 'Rayuan Angin
Gunung'nya.
"Bersiaplah, Jalak
Biru" dengus Senapati Kandanu.
"Aku telah siap"
sahut Jalak Biru.
"Bagus Yeaaa..."
"Heaaa..." Keduanya kembali bergerak, melakukan serangan.
Bayi yang berada di gendongan
Senapati Kandanu seakan mengerti kalau ayahnya sedang bertarung. Bayi itu tak
menangis, malah tersenyum.
Seakan-akan ingin memberi
semangat pada ayahnya untuk menumpas lawan. Hal itu juga yang membuat Senapati
Kandanu semakin bersemangat. Dia bergerak laksana seekor harimau marah,
disertai dengan babatan pedangnya yang semakin cepat.
"Yeaaa..." Wut Wut
Pedang di tangan Senapati Kandanu terus berputar cepat, kemudian dilanjutkan
dengan tusukan dan babatan.
Melihat serangan lawan yang
sangat cepat, Jalak Biru segera mengubah jurusnya. Dengan jurus 'Jalak
Merentang Sayap Mematuk' dia melesat cepat. Kapak besar di tangannya diangkat
tinggitinggi, siap untuk membelah tubuh lawannya.
"Yeaaa..." Wrt Trang
Benturan dua senjata terjadi, tapi serangan tetap berlangsung terus.
Trak Wrt "Ih
Celaka..." pekik Jalak Biru, ketika senjatanya terpenggal pedang Senapati
Kandanu.
Senapati Kandanu semakin buas,
menyaksikan lawan sudah tak bersenjata lagi. Pedang di tangannya terus memburu,
membabat, dan menusuk dengan cepat. Hal itu membuat Jalak Biru semakin
kewalahan. Dia hanya mampu mengelak dan melompat ke sana kemari.
"Heaaa..." Wrt Bret
"Aaakh..." Jalak Biru menjerit panjang, ketika perutnya yang gendut
terbabat pedang Senapati Kandanu. Darah muncrat keluar, tubuh Jalak biru
terhuyung ke belakang dengan mata membelalak.
"Kau...? Akh..."
Tubuh Jalak Biru akhirnya ambruk lalu tewas.
Darah bersimbah, keluar dari
perutnya yang luka lebar.
***
Sementara itu, warga desa yang menghadapi
Jalak Kuning kini semakin berkurang jumlahnya.
Warga yang semula ada dua
puluh lima orang, kini tinggal sepuluh. Mayat-mayat warga desa telah
bergelimpangan, menemui ajal tersambar kapak besar di tangan Jalak Kuning.
Jalak Kuning yang semakin
bertambah beringas terus menyerang. Kapak besarnya terus terayun dan membelah
tubuh lawan.
"Heaaa..." Crak
"Aaa..." Kembali terdengar jeritan kematian dari warga desa yang
tersambar kapak besar Jalak Kuning. Darah semakin membanjiri tempat
pertarungan. Namun, warga desa bagaikan tak takut sedikit pun. Mereka terus
bergerak menyerang, seakan telah siap untuk mati.
"Serang terus..."
Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara perintah. Diikuti suara derap kaki
kuda dan derap lari orang menuju ke tempat itu Seketika mereka memandang ke
asal suara itu. Nampak prajurit kerajaan yang dipimpin Senapati Braja datang.
Mereka dalam jumlah yang cukup
besar.
Tergetar hati keempat orang
lawan, melihat prajurit-prajurit Kerajaan Mandra Kulawa berdatangan. Mereka
hendak lari, tapi dari arah selatan terdengar suara perintah untuk menyerang.
"Jangan takut Kami
datang..." teriak seseorang yang tiada lain Adipati Branjang memerintah
pada keempatnya agar tidak lari.
Nampaknya Adipati Branjang
yang sudah terpengaruh Ki Angkara, kembali bermaksud melakukan pemberontakan.
"Serang..."
"Hadang mereka..." teriak Senapati Braja.
Tak terelakkan lagi,
pertarungan sengit antara dua kekuatan besar itu pun terjadi. Kini halaman
kedai dan sekelilingnya semakin riuh. Suara gaduh pertarungan dua prajurit yang
berusaha saling bantai satu sama lain.
Pendekar Gila yang melihat
akan terjadi banyak korban, segera mempercepat serangannya pada tiap lawan.
Dengan menggunakan jurus 'Si Gila Terbang Mencengkeram Mangsa' Pendekar Gila
kini melabrak tiga orang law&nnya.
"Heaaa..."
"Eits Heaaa..." Pertarungan semakin seru, karena Tiga Demit Cacat
merasa diberi semangat dengan kehadiran prajurit Kadipaten Branjang. Ketiganya
tak kalah cepat, menyerang ke arah Pendekar Gila.
Wrt Si Tangan Baja menyerang
dengan menghantamkan tangan bajanya ke tubuh Sena.
Namun, dengan cepat Pendekar
Gila berkelit ke samping, lalu melesat ke atas laksana terbang, kemudian
kembali menukik dengan kedua kaki langsung menginjak pundak si Tangan Baja.
Trep "Hi hi hi.. Enak
sekafi berdiri di pundakmu, Lintah Sawah" kata Sena sambil menari-nari di
atas pundak si Tangan Baja yang terus berusaha menyerang ke atas. Namun, dengan
enaknya Pendekar Gila menangkis dan memukul "Heaaa..." Trep "Hih
Pertarungan keduanya terus terjadi. Setiap kali si Tangan Baja menyerang,
dengan cepat Pendekar Gila menangkap dan menangkisnya.
Melihat temannya dalam
kesulitan, si Kaki Baja dan si Leher Patah menggeram marah.
Kemudian keduanya melesat
menyerang Pendekar Gila.
"Heaaa..."
"Yeaaa..." Si Kaki Baja dengan tendangannya yang secepat kilat,
sedangkan si Leher Patah menyerang dengan tombak cakranya.
"Hua ha ha..."
Pendekar Gila tertawa terbahakbahak sambil menggaruk-garuk kepala, kemudian
menari-nari, membuat kedua penyerangnya semakin geram. Namun, ketika keduanya
semakin dekat, dengan cepat tubuhnya melenting ke atas. Sehingga....
Degk Crak "Aaakh..."
Si Tangan Baja terpekik keras ketika kepala dan dadanya terkena serangan kedua
temannya.
Kepalanya tertusuk tombak
cakra di tangan si Leher Patah. Sedangkan dadanya terkena tendangan si Kaki
Baja. Dari mulut si Tangan Baja, muncrat darah segar. Matanya mendelik.
"Kalian...? Ukh"
"Heh?" "Hah?" Kedua temannya terbelalak kaget, menyaksikan
si Tangan Baja sekarat. Keduanya tak menyangka, kalau serangan mereka mengenai
temannya. Sedangkan Pendekar Gila kini tertawa terbahak-bahak di atas po¬hon.
"Hua ha ha... Kenapa
kalian membunuh teman? All ah ah, jahat sekali kalian..." seru Sena sambil
memonyongkan mulut, mengejek si Kaki Baja dan si I rlier Patah yang semakin
beringas.
"Bocah edan Turun
kau..." seru si Leher Patah sengit.
"Aha, naiklah kalau
mau" jawab Sena dengan tertawawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk
kepala.
"Kurang ajar.
Heaaa..." "Yeaaa..." Si Kaki Baja dan si Leher Patah melesat
menyerang dari dua arah ke atas. Tubuh mereka melesat, kemudian menghantam
Pendekar Gila bersamaan. Saat itu pula, ketika jarak mereka semakin dekat,
Pendekar Gila meneelat ke atas dan turun. Maka....
"Heaaa..." Brak
Glarrr "Aaa..." "Wuaaa..." Si Kaki Baja dan si Leher Patah
menjerit keras. Tubuhnya keduanya terlontar ke belakang dengan mulut
memuncratkan darah akibat serangan mereka sendiri. Wajah si Kaki Baja
morat-marit terkena sabetan senjata si Leher Patah. Sedangkan si Leher Patah
dadanya jebol, terkena tendangan si Kaki Baja. Keduanya ambruk ke tanah dengan
keadaan sekarat, lalu diam tak berkutik. Mati Melihat teman-temannya tewas,
Jalak Kuning dan para prajurit Kadipaten Branjang hendak kabur. Tetapi Pendekar
Gila dengan cepa menangkap salah seorang prajurit Kadipaten Branjang.
"Aha, katakan di mana Ki
Angkara berada?" bentak Sena dengan geram.
"Ampun, jangan bunuh
aku" ratap prajuri Kadi¬paten Branjang itu dengar wajah pucat.
"Cepat katakan Di mana Ki
Angkara bersembunyi" bentak Senapati Kandanu sambil menempelkan pedangnya
di leher prajurit itu.
"Ba..., baik. Akan aku
katakan. Tetapi ampunilah aku,” ratap prajurit itu.
Baik. Ayo katakan" dengus
Senapati Braja tak sabar.
"Dia...." Belum juga
prajurit itu selesai berbicara, tibatiba brhuapa buah senjata rahasia menderu
dan menghunjam di dadanya. "Akh..." "Kurang ajar. Lintah darat
keparat Jangan lari..." seru Sena yang melihat bayangan merah berkelebat.
Kita ikuti" ajak Senapati
Kandanu.
Para prajurit Kerajaan Mandra
Kulawa pun segera bergerak untuk mengikuti Pendekar Gila yang melesat mengejar
Ki Angkara.
Suasana di depan kedai kembali
sepi. Hanya mayat-mayat bergelimpangan tampak berlumuran darah lalam keadaan
mengenaskan.
Matahari telah condong ke arah
barat, dengan membawa semilirnya angin sore.
***
Sesosok bayangan melesat tepat ketika kaki
Iblis Berkedok Dewa hendak menglnjak bayi itu.
Wusss...
Crap "Kurang ajar Siapa
yang berani mengambil bayi itu?" dengus Ki Angkara, ketika bayi merah yang
hendak diinjaknya telah lenyap, bersamaan berkelebatnya sesosok bayangan yang
melesat begjtu cepat "Hua ha ha... Rupanya kau benar-benar lintah keparat
Terhadap bayi saja, kau masih tega" seru Pendekar Gila yang telah bertengger
pada cabang sebuah pohon sangat besar sambil menggendong bayi itu. "Cup,
Sayang. Diam... Tenang, akan kujinakkan lintah keparat itu." "Cuih
Jangan banyak bicara kau, Bocah Edan Heaaa..." Iblis Berkedok Dewa
langsung menghantamkan sebuah pukulan jarak jauh yang bernama 'Gandra Iblis',
terarah ke tubuh Pendekar Gila yang bertengger di atas cabang pohon.
Slats Selark sinar merah
kekuningan melesat cepat memburu Pendekar Gila. Melihat serangan dahsyat itu,
Sena segera melompat dari cabang pohon tempatnya bertengger Glarrr Brak Sebuah
ledakan menggelegar, diiringi hancurnya cabang pohon besar itu, terhantam sinar
merah dari tangan Iblis Berkedok Dewa. Sementara Pendekar Gila telah bertengger
di atas sebuah batu besar.
"Hua ha ha..." Sena
tertawa terbahak-bahak sambil memonyongkan mulutnya. "Aha, hebat juga kau,
Lintah Sawah Hi hi hi..." "Setan gila, kubunuh kau Heaaa..." Ki
Angkara kembali melontarkan pukulan jarak jauh menyerang Pendekar Gila.
Serangkum sinar biru berkilauan melesat begitu cepat. Itulah pukulan 'Kelabang
Maut Seribu', yang mengandung racun ganas.
"Aha, rupanya kau
mengajak main-main, Ki. Ba ik... Hi hi hi..." ujar Pendekar Gila seraya
menghentakkan telapak tangan kanan, setelah menariknya ke belakang terlebih
dahulu. Dan...
Wusss...
Dari telapak tangan Pendekar
Gila, keluar serangkum angin kencang yang melesat begitu cepat. Angin itu
bergulung-gulung bagaikan badai, hingga menerbangkan dedaunan. Bahkan beberapa
batang pohon besar tumbang, terhempas pukulan 'lnti Bayu' itu. Angin membadai
itu terus melesat dan bergulung-gulung menangkis sinar biru.
Werrrs...
Brats "Hah?" Iblis
Berkedok Dewa tersentak kaget, ketika sinar biru yang terhantam pukulan 'lnti
Bayu' berbalik melesat ke tubuhnya. Dengan cepat lelaki tua berjubah merah itu
melesat, lalu lenyap di antara pepohonan Hutan Welir.
Slats Glarrr...
Brak Suara menggelegar
terdengar, lalu beberapa batang pohon besar bertumbangan. Sekejap pohon itu
mengepulkan asap, bagaikan terbakar.
Kemudian kering kerontang
menghitam. Sungguh dahsyat pukulan yang dilontarkan Ki Angkara, itu sebabnya
dirinya lebih mengutamakan keselamatan bayi dalam gendongannya.
9
Cahaya bulan purnama menerangi
sekitar Lembah Tengkorak. Sebuah lembah yang tak pemah diinjak manusia, karena
dikenal angker. Menurut cerita, Lembah Tengkorak didiami makhluk halus yang
jahat. Namun di tengah cahaya temaram bulan, nampak sesosok bayangan merah
berkelebat menuju lembah itu Sosok bayangan merah yang tak lain Iblis Berkedok
Dewa itu berhenti di dekat sebuah jurang. Entah mengapa Ki Angkara memilih
Lembah Tengkorak, dan berhenti di pinggir jurang.
Kemudian matanya menatap jauh
ke utara, tempat dia tadi berasal.
"Garpala... Garpala...
Apakah kau mendengar panggilanku?" seru Ki Angkara berteriak-teriak ke
bawah jurang.
"Ha ha ha... Aku
mendengar Ada apa, Angkara?" terdengar suara berat dan menggema dari dalam
jurang. Itu mungkin suara Garpala. Dari suaranya yang terdengar begitu keras
dan menggema, jelasdia bukan tokoh sembarangan.
"Keluarlah, Garpala Aku
membutuhkan bantuan mu," seru Ki Angkara.
"Hm, kau mengganggu
tidurku saja, Angkara.
Ada apa...?" bersamaan
dengan pertanyaan itu, sesosok tubuh tinggi besar melesat ke atas dan berdiri
di hadapan Ki Angkara. Tinggi makhluk yang dipanggil Garpala ini dua kali lipat
dibandlngkan Ki Angkara.
Mata makhluk raksasa yang
hanya mengenakan celana cawat itu besar berwarna merah dengan alis tebal.
Mulutnya menyeringai, dengan hiasan taring yang panjang dan runcing.
Rambutnya kotor dan
berantakan. Di tangannya yang besar dan kekar, tergenggam sebuah senjata gada
sebesar paha manusia dewasa, penuh dengan duri-duri tajam.
"Ada apa kau memanggilku,
Angkara?" tanya Garpala dengan napas yang terdengar keras.
"Aku butuh
bantuanmu." "Katakan, apa yang harus kulakukan." "Pendekar
Gila mengejarku." "Hua ha ha... Dengan bocah edan saja kau takut,
Angkara Hm, mana bocah murid Singo Edan itu?" tanya Garpala.
"Mungkin sebentar lagi
dia sampai, Garpala." "Bagus Akan kuremukkan tulang tubuhnya.
Ha ha ha..." Garpala
tertawa terbahak-bahak membuat taringnya yang runcing mencuat ke luar.
"Hua ha ha... Aha, ada
raksasa di sini. Lucu sekali," tiba-tiba dari arah utara terdengar suara
Pendekar Gila.
Iblis Berkedok Dewa dan
Garpala seketika tersentak kaget.
"Dia datang,
Garpala." "Huah, bagus Bocah edan, keluar kau" seru Garpala
menantang. "Hadapi aku" "Hua ha ha... Rupanya raksasa
dungu" Bersamaan dengan ucapan itu, sesosok bayangan berkelebat. Tiba-tiba
Pendekar Gila telah berdiri sekitar llina tombak di depan Garpala dengan mulut
cengengesan.
"Hm, rupanya ini yang
bernama Pendekar Gila?" dengus Garpala dengan mata melotot garang,
berwarna merah membara. Napasnya yang mendengus besar, menyentakkan Pendekar
Gila.
"Hi hi hi.. Dasar raksasa
dungu Mau saja kau diperalat lintah sawah itu. Ah ah ah, memang kalian
sama-sama jahat" ujar Sena yang membuat Garpala menggeram marah.
"Kurang ajar Kuhancurkan
kepalamu, Bocah Edan" Wut Dengan agak membungkuk, Garpala mengayunkan
gadanya ke arah Pendekar Gila.
Namun dengan cepat, Sena
mencelat ke samping mengelakkan serangan itu.
Bruk Tanah yang terkena
hantaman gada Garpala berhamburan. Kalau saja Pendekar Gila tidak segera
berkelit, sudah pasti tubuhnya akan remuk terhantam gada berduri di tangan
raksasa itu.
"Hi hi hi... Dasar
raksasa dungu Aku di sini..." seru Sena sambil mencibir. Kemudian
pantatnya ditunggingkan, meledek Garpala. Hal itu membuat Garpala bertambah
marah.
"Ghrrr... Kuhancurkan
tubuhmu, Bocah Edan" Wut Garpala kembali menghantamkan gadanya yang besar
ke tubuh Pendekar Gila. Namun lagi-lagi dengan cepat Pendekar Gila melesat
mengelakkan serangan senjata besar itu. Sehingga tanah yang dipijaknya yang
menjadi sasaran.
Bruk "Ghrrr... Kau
benar-benar membuatku marah, Bocah Edan" Tangan Garpala bergerak hendak
mencengkeram pundak Pendekar Gila. Namun secepat kilat Pendekar Gila mencelat
mengelak.
Lalu tertawa terbahak-bahak
sambil menghantamkan pukulan ke perut raksasa itu.
Bugk "He he he..."
Garpala terkekeh, merasa seperti dipijit.
Pukulan yang mampu meremukkan
batu sebesar badan kerbau itu tak berarti sama sekali bagi Garpala. Bahkan
sambil tertawa terbahakbahak raksasa itu kembali menyerang. Tangannya bergerak
menceng-keram ke tubuh Pendekar Gila.
Sementara dari arah utara,
bermunculan Senapati Kandanu dan Senapati Braja serta para prajuritnya ke
tempat itu. Mereka langsung membantu Pendekar Gila, menyerang Garpala.
Sedangkan si Macan Kaligis dan
Senapati Braja langsung menyerang Ki Angkara, dibantu beberapa orang prajurit.
Lembah Tengkorak berubah riuh
karena pertarungan itu. Debu-debu dan batu kecil, beterbangan terkena sapuan
dan tendangan mereka yang bertarung.
"Ghrrr... Bagus Dengan
majunya kalian, maka aku akan semakin banyak makan daging manusia" seru
Garpala sambil bergerak menyerang para prajurit yang membantu Pendekar Gila.
Gada di tangannya diayunkan, memukul ke arah lawan.
Wrt Jrt "Tobaaat..."
"Wuaaa..." Dua orang prajurit terkena hantaman gada Garpala Tubuh
mereka hancur seketika, terhunjam duriduri tajam di gada itu. Darah muncrat
dari tubuh yang hancur berantakan.
"Ghrrr..." Garpala
kembali mengayunkan gadanya menyam bar para prajurit yang menyerang. Kembali
jeritan kematian terdengar dari tiga orang prajurit.
Tubuh mereka terbanting
beberapa tombak ke belakang, terhantam pukulan gada Garpala.
"Aha, celaka kalau begini"
gumam Sena dengan kening berkerut, menyaksikan banyaknya korban di pihak
prajurit kerajaan. "Ah, kalau begini terus pasti akan celaka. Prajurit
kerajaan tak mampu menghadapi raksasa itu." Pendekar Gila terus berkelebat
sambil melontarkan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang' ke arah raksasa
Garpala, yang sedang sibuk menghadapi keroyokan para prajurit.
Duk...
Tubuh Garpala tergontai ke
belakang, terkena hantaman Pendekar Gila. Mulutnya menyeringai, menunjukkan
taringnya yang tajam dan runcing.
Namun, tubuhnya tak mengalami
luka sedikit pun.
"Celaka... Dia kebal
terhadap pukulan," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Sedangkan Garpala yang terkena
pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang' kini semakin marah. Dia langsung
mengamuk membabi-buta. Gada berduri di tangannya, menghantam para prajurit yang
berada di dekatnya.
Wrt Bug "Aaakh..."
Jeritan kematian seketika menggema, keluar dari mulut para prajurit yang
terhantam gada Garpala yang terus mengamuk.
Pendekar Gila, kuremukkan
tubuhmu" maki Garpala semakin buas. Dia berusaha menyerang kea rah Sena.
Tangannya bergerak, berusaha
mencengkeram tubuh Pendekar Gila.
Wiit 'Eits… Hih..."
Sambil melompat, Pendekar Gila melontarkan pukulan 'lnti Bayu'. Seketika angin
kencang menderu menyerbu tubuh Garpala. Tubuh besar raksasa itu terdorong kuat
ke belakang.
"Ghrrr... Kubunuh kau,
Bocah Edan" Wusss Garpala menghantamkan gadanya ke tubuh Sena, tetapi
dengan cepat dapat dielakkan.
Pendekar Gila segera mencabut
Suling Naga Sakti dari ikat pinggangnya, lalu dihantamkan untuk memapak gada
besar itu.
Bletak...
Glarrr...
Suara gemeretak keras
terdengar dari benturan dua senjata. Menyaksikan kejadian itu, Garpala
tersentak kaget.
"Hah? “Hancur...?"
gumam Garpala bengong, melihat gadanya hancur berantakan setelah beradu dengan
suling kecil di tangan Pendekar Gila.
"Hua ha ha... Raksasa
dungu Tolol Pergi dari sini, sebelum kami membuat tubuhmu menjadi sate"
ancam Sena dengan terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ghrrr... Mulutmu lancang
sekali, Bocah Edan Hmh..." Dengan mendengus sengit, Garpala kembali
melancarkan serangan ke arah Pendekar Gila dengan tangan kanannya. Sedangkan
tangan kirinya, memu kul ke arah prajurit yang menyerang. Wrt "Eits"
Pendekar Gila melompat dan mengelitkan serangan, kemudian balas menyerang
dengan ajian 'Inti Api' ke wajah raksasa itu. Para prajurit yang tak dapat
menghindar, terhantam sambaran tangan Garpala. Tiga orang prajurit mati dalam
keadaan tubuh remuk, sedangkan lima orang lainnya terpental lalu jatuh, tapi
hanya pingsan.
Wusss Gulungan api mendera ke
wajah Garpala, membuat raksasa itu tersentak kaget. Matanya membelalak merah,
melihat gulungan api menderu ke wajahnya. Cepat-cepat Garpala menghempaskan
napasnya, meniup gulungan api itu.
Wusss...
Serangkum angin menderu,
membuat gulungan api itu berbalik melesat ke arah Pendekar Gila.
Beruntung Pendekar Gila cepat
berkelit.
"Eits Raksasa sialan Ini
untukmu Heaaa..." Pendekar Gila segera mengarahkan kepala Naga Sakti ke
wajah Garpala Kemudian ditiupnya dengan suara keras dan melengking.
Slats Sepasang sinar merah
melesat keluar dari mata kepala Naga Sakti, dan terus meluncur cepat memburu
Garpala. Raksasa itu tersentak dengan mata membelalak lebar.
"Hah...?" Jret
"Tobaaat..." Garpala menjerit keias, ketika matanya terkena sepasang
sinar mata Naga Sakti.
Tubuhnya langsung terpental ke
jurang dengan jeritan menggelegar.
Brukkk...
Suara keras jatuhnya tubuh
Garpala, mampu mengguncang Lembah Tengkorak. Tubuh raksasa itu terkapar di
dasar jurang dengan kepala hancur setelah terhempas di batu cadas besar.
***
Sementara itu, pertarungan antara Ki Angkara
melawan dua senapati dibantu lima prajurit kerajaan, masih berlangsung seru.
Nampaknya, meski dikeroyok
tujuh orang, Ki Angkara sulit untuk dikalahkan. Seranganserangannya malah
membuat Senapati Kandanu dan Senapati Braja terkejut Malah kedua panglima itu
dibuat kalang-kabut dengan serangan-serangan dahsyat Iblis Berkedok Dewa.
Sebenarnya Macan Kaligis pun memiliki jurus yang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan
dengan jurus 'Cakar Iblis Beracun' yang tengah digunakan lawannya. Namun 'Cakar
Ib6s Beracun' yang dilontarkan Ki Angkara mengandung racun ganas, membuat
Senapati Kandanu
dan Senapati Braja tak mampu
berbuat banyak Tubuh mereka belum sempat menghindar, hawa racun yang
menyesakkan dada telah menyengat. Hal itu mengakibatkan keduanya mengurungkan
serangan yang hendak dilancarkan.
"Mampuslah kalian.
Heaaa..." Ki Angkara yang melihat kedua lawannya nampak tidak berani
melakukan serangan dengan jarak dekat, kini semakin berada di atas angin.
Tubuhnya berke¬lebat cepat,
menyerang dengan cakaran-cakaran yang mengandung racun ganas.
Wrt "Celaka, Kakang
Kandanu Kita tak bisa begini terus-menerus. Dia mengeluarkan racun ganas"
gumam Senapati Braja dengan mata membelalak, menyaksikan serangan lawan yang
sangat membahayakan.
Senapati Kandanu bagaikan tak
peduli dengan ucapan Senapati Braja. Dan dengan nekat pedangnya dicabut, lalu
bergerak menyerang memapaki serangan Ki Angkara.
Hawa racun yang keluar dari
serangan tangan Ki Angkara, menyentakkan Senapati Kandanu.
Namun hatinya yang telah
terbakar dendam itu bagaikan tak menghiraukan keadaan. Dengan masih menggendong
anaknya, Maean Kaligis terus melakukan pedawanan dengan serangan cepat
"Heaaa..." "Celaka Kakang Kandanu..." Senapati Braja
berusaha menghalangi, tetapi Senapati Kandanu telah melesat dengan pedangnya.
Pendekar Gila yang menyaksikan
hai yang membahayakan itu, dengan cepat melesat.
Tubuhnya bersalto sambil
menghantamkan pukulannya ke tubuh Ki Angkara.
"Heaaa..." Glarrr...
Ledakan dahsyat menggelegar
terdengar, ketika dua telapak tangan mereka saling beradu. Ki Angkara
terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang dengan mata terbelalak.
"Kau...?" "Aku
lawanmu, Ki Angkara" dengus Sena yang masih berdiri tegak dengan senyum
menyeringai. "Kanjeng Senapati, kurasa iblis ini tak bisa dibiarkan
lama-lama." Senapati Kandanu hanya mampu mengangguk.
Dia dan Senapati Braja memang
merasa kewalahan menghadapi Iblis Berkedok Dewa, yang memiliki beberapa pukulan
andalan berbahaya. Dalam beberapa jurus saja lelaki tua berjubah merah itu
telah berhasil menggempur beberapa prajurit.
"Aha, kau memang iblis,
Ki Angkara.
Perbuatanmu sangat biadab.
Dengan bayi saja, kau akan tega membunuhnya," kata Sena dengan mata tajam,
me¬natap lekat ke wajah Ki Angkara. Lelaki tua itu masih mematung dengan mata
tajam membalas tatapan Pendekar Gila.
"Cuih Jangan kira kau
akan kebal terhadap racunku, Pendekar Gila Heaaa..." Ki Angkara yang
merasa racunnya mampu membinasakan Pendekar Gila, langsung melesat menyerang
dengan jurus andalannya, 'Cakar Iblis Beracun'. Tangannya bergerak dengan
cepat, mencakar ke tu buh Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Sena meliukkan
tubuhnya bagaikan menari, mengelakkan serangan yang dilancarkan Iblis Berkedok
Dewa itu.
"Hi hi hi... Rupanya kau
gesit juga di darat.
Aha, padahal biasanya hidup di
sawah," ejek Sena, memancing amarah lawan "Kubunuh kau, Bocah Edan
Heaaa..." Seketika tangan Ki Angkara mengeluarkan asap biru,
bergulung-gulung menyelimuti tempat pertarungan. Namun, asap beracun itu
bagaikan tak berarti sama sekali bagi Pendekar Gila yang memang kebal terhadap
semua jenis racun.
Ditembusnya asap beracun itu,
kemudian dengan cepat menyerang dengan tepukan ke dada lelaki tua itu.
"Heaaa..." Wrt
"Heh...?" Ki Angkara tersentak. Kaki kirinya segera ditarik ke
samping. Lalu tubuhnya didoyongkan ke kanan, mengelakkan serangan lawan.
Kemudian dengan cepat kaki kanannya menendang ke dada Pendekar Gila.
"Yeaaa..." Wrt
Melihat Ki Angkara menendang, Pendekar Gila langsurg melompat ke atas. Kemudian
dengan jurus 'Si Gila Terbang Mencengkeram Mangsa' Sena menyerang.
Kedua tangannya bagaikan
cengkeraman yang kuat, mengarah ke wajah Ki Angkara.
"Eits" Ki Angkara
menyambarkan cakaran ke atas, ketika tangan Pendekar Gila hendak menceng¬keram
wajahnya.
Plak Dua telapak tangan saling
beradu, membuat kaki Ki Angkara tergetar. Sedangkan Pendekar Gila terpental,
berjumpalitan tiga kali di udara, lalu dengan ringannya mendarat. Tawanya
kembali menggelegar keras, diikuti gerak-gerik konyolnya.
"Cuih Bedebah
Heaaa..." Ki Angkara yang semakin murka, kembali melesat dengan jurs
'Pukulan Iblis Berbisa'.
Tangannya menghitam legam,
bagaikan sebuah arang. Hawa panas menyengat, bagaikan hendak memanggang sekeliling
tempat itu.
"Pukulan 'lnti Salju'.
Heaaa..." Pendekar Gila mengangkat kedua tangan ke atas, lalu dengan
mengerahkan tenaga dalam, ditariknya ke bawah dan ditaruh di pinggang.
Kemudian dengan didahului
pekik menggelegar, tubuhnya melesat menyerang.
"Heaaa..." Dua orang
dengan jurus-jurus pamungkas andalan masing-masing, saling menyerang. Hawa
panas dan dingin yang dikeluarkan keduanya beradu menjadi satu. Seakan kedua
hawa murni itu hendak saling mengalahkan.
"Heaaa..."
"Yeaaat.." Tubuh orang-orang yang berada di Lembah Tengkorak tergetar
merasakan pengaruh dari pertarungan dua tenaga dalam yang sama-sama
mengeluarkan hawa mumi.
Rintik hujan salju yang turun
dan langit, terus berjatuhan berusaha mengurung tubuh Ki Angkara.
Namun, orang tua itu dengan
cepat menggerakkan tangannya yang sudah disaluri ajian 'Pukulan Iblis
Ber¬bisa'. Salju-salju itu meleleh, tersapu kibasan tangan Ki Angkara.
"Kubunuh kau, Bocah Edan
Heaaa..." Tubuh Ki Angkara yang sudah terbebas dari salju, melesat
menerjang Pendekar Gila dengan pukulan maut. Melihat hal itu, Sena segera
mencabut Suling Naga Sakti. Kemudian dengan meniup suling, tubuhnya melesat
sambil mengarahkan mata Naga Sakti ke kaki Ki Angkara.
Slats Jret Jret
"Akh" Ki Angkara memekik tertahan, ketika kakinya terkena hantaman
sinar merah yang keluar dari sepasang mata Naga Sakti. Lututnya seketika le
mas, membuat Ki Angkara terjatuh berlutut, Ki Angkara mengerang, berusaha
bangkit Namun kedua lututnya yang terkena hantaman sepasang sinar merah itu,
bagaikan membatu dan tak dapat digerakkan.
"Bocah edan, lepaskan
totokanmu Kita bertarung sampai mati" dengus Ki Angkara penuh amarah,
dengan mata membara merah. Dia berusaha menghantamkan pukulan, tetapi
kekuatannya bagaikan hilang. Tak ada tenaga sama sekali.
"Hi hi hi... Lintah darat
keparat, aku bukan berurusan denganmu. Masih ada yang hendak berurusan
denganmu" seru Sena. "Kanjeng Senapati, si lakan.." Senapati
Kandanu mendengus sengit Dengan pedang terhunus, kakinya melangkah mendekati Ki
Angkara yang bertambah ketakutan.
"Tidak Jangan...
Ampuuun..." ratap Ki Angkara dengan wajah pucat pasi, membiaskan rasa
takut yang tiada terkira.
"Ki Angkara Aku
bersumpah, akan mencungkil kedua biji matamu. Akan mengambil jantungmu yang
busuk Heaaa..." Senapati Kandanu mengangkat pedang ke atas, lalu....
Crat Crat "Aaa..."
Ki Angkara melolong setinggi langit, ketika ujung pedang Senapati Kandanu
mencungkil kedua biji matanya. Darah keluar dari kelopak mata yang sudah
berlubang. Tubuh berjubah merah itu menggelepar-gelapar menahan sakit yang tak
terkira, dengan kedua tangan memegangi matanya yang telah keluar.
"Kini jantungmu, Ki"
"Tidaaak... Jangan..." Ki Angkara meratap, memohon ampun. Namun
Senapati Kandanu tak peduli. Kembali pedangnya diangkat Lalu....
Wrt Crab Bret
"Aaa..." Ki Angkara kembali melolong selinggi langit.
Dan lolongan kali ini,
merupakan yang terakhir.
Dadanya terbelah lebar. Saat
itu pula, Senapati Kandanu mencengkeramkan tangannya ke jantung Ki Angkara.
Ditariknya jantung lelaki tua berhati iblis itu sampai putus.
Bret "Istriku... Semoga
kau dan orang-orang yang menjadi korban iblis ini tenang di alam sana..."
teriak Senapati Kandanu sambil mengangkat jantung Ki Angkara ke atas
tinggi-tinggi.
Semua terdiam. Tak ada yang
berkata sepatah kata pun.
***
Malam menjelang pagi dengan hawa dingin,
menjadi saksi akhir dari kehidupan Iblis Berkedok Dewa. Satu persatu, mereka
meninggalkan Lembah Tengkorak yang akhirnya sepi. Tinggal Senapati Kandanu,
Senapati Braja, dan Sena yang masih berdiri mematung.
"Kita pulang, Kakang
Senapati," ajak Senapati Braja, menyentakkan Senapati Kandanu dari
lamunan.
"Oh..." desah
Senapati Kandanu setengah mengeluh. "Sena, Baginda tentunya akan memberimu
hadiah. Man..." ajak Senapati Kandanu.
"Aha, terima kasih.
Sampaikan saja salamku pada Baginda," jawab Pendekar Gila. "Aku akan
meneruskan pengembaraanku." "Tidakkah kau ingin menetap di istana,
Sena?" tanya Senapati Braja.
"Aha, kurasa tidak. Atau
mungkin belum saatnya. Tugasku masih banyak. Nah, selamat tinggal..." Usai
berkata begitu, Pendekar Gila melesat meninggalkan kedua senapati yang hanya
mampu berdecak kagum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Sungguh pendekar yang
arif dan bijaksana..." gumam Senapati Braja sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
"Ya. Belum pernah kutemui
pendekar yang tanpa pamrih seperti dia," sambung Senapati Kandanu dengan
mata masih menatap kepergian Pendekar Gila dari hadapan mereka.
Di ufuk timur, tampak bias
merah di kaki langit. Pertanda pagi hampir menjelang. Kedua senapati itu
menghela napas panjang, kemudian melangkah meninggalkan Lembah Tengkorak.
Meninggalkan mayatmayat yang
bergelimpangan.
SELESAI