-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 21 Kitab Ajian Dewa
1
Di pagi buta yang dingin
suasana tampak remang-remang. Kabut merayap menyelimuti bumi. Dari kejauhan
terdengar beberapa kali ayam jantan berkokok. Sementara itu pula, samar-samar
terdengar derap langkah kaki-kaki kuda menembus keheningan pagi.
“Hea... Hea... Heaaa...”
Dari suara teriakan sang
Pengendali, kuda-kuda itu tampaknya terus dipacu agar berlari lebih kencang.
Gemuruh kaki-kaki kuda itu
semakin jelas terdengar. Ternyata dari arah timur tampak samar-samar sebuah
kereta tengah melintas di jalan berbatu, menuju Pegunungan Sasakan.
“Hea..., hea...”
Kusir kereta itu terus
menggebah kuda-kudanya agar berlari semakin kencang. Lelaki berusia sakitar
empat puluh lima tahun dengan wajah nampak lugu itu, sesekali menoleh ke
belakang. Seakan ada sesuatu yang ditakutkan.
Kuda-kuda penarik kereta yang
sedang merangkak di jalan menanjak itu sambil terus berlari, nampak kepayahan.
Sesekali terdengar ringkikannya yang keras sambil terus berlari perlahan-lahan.
“Hea, hea, hea...”
Sang Kusir terus berteriak
sambil menghentak-hentakkan tali kekang di tangannya. Kereta beroda empat itu
ternyata mengangkut seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun yang
memangku putranya. Wajah wanita cantik berpakaian merah jingga itu
menggambarkan kedukaan yang bercampur dengan rasa takut. Seolah-olah ada
sesuatu yang tengah dicemaskan dalam hatinya.
“Hhh... Aku tak habis pikir,
kenapa ketiga lelaki itu menghabisi nyawa suamiku secara kejam,” gumam wanita
itu dalam hati. “Tapi, kalau aku tak salah dengar, tadi mereka menanyakan
tentang sebuah kitab. Kitab...? Kita apa yang mereka ributkan itu...?
Setahuku Kakang Karto Pari tak
pernah berbuat jahat. Suamiku lelaki yang baik...”
Wanita itu terus bergelut
dengan pikirannya sendiri. Semetara itu kereta berkuda yang tengah melintas di
jalan terjal dan berbatu-batu, tampak terguncang ke kanan dan kiri.
“Nyi... Nyi Ambar...”
terdengar suara sang Kusir memanggil wanita di dalam kereta itu.
“Ada apa, Kakang
Trenggana...?” sahut wanita yang dipanggil Nyi Ambar. Wanita itu masih memeluk
bocah berusia lima tahunan di pangkuannya. “Ya, ya..., aku tahu Aku masih
mengawasi terus ke belakang,” ujarnya.
Ambar Sari memang tetap terus
mengawasi ke belakang. Hatinya khawatir kalau para lelaki yang telah membunuh
suaminya akan mengejar kereta itu.
“Ibu, hendak ke manakah kita?”
tanya bocah kecil itu sambil menatap wajah ibunya penuh perhatian.
“Entahlah, Purbaya... Mungkin
Trenggana akan membawa kita ke rumah pamanmu,” jawab sang Ibu lirih dengan
tatapan penuh kasih.
“Masih jauhkah rumah paman
dari sini, Bu...?”
tanya bocah kecil yang
ternyata bernama Purbaya itu.
Wajahnya yang mungil tampak
cemas, seperti juga sang Ibu yang terus memeluknya penuh kasih. “Masih, Anakku
Mungkin setengah hari perjalanan lagi,” sahut Ambar Sari.
Ambar Sari masih memeluk
anaknya sambil
sesekali menoleh ke belakang
dengan pandangan cemas. Hatinya takut kalau ketiga orang yang mengejarnya akan
terus mengikuti.
Di depan, kusir kereta bernama
Trenggana itu terus beruaha menjalankan kereta melalui jalan yang menanjak.
Kini kereta itu melaju,
menelusuri jalanan yang tidak rata. Jalanan berbatuan yang sangat sulit untuk
dilintasi. Tetapi Trenggana terus berusaha mengen-dalikan kuda-kuda itu dengan
sebaik mungkin. Di wajahnya masih tergambar perasaan takut, kalau ketiga orang
yang mengejarnya akan dapat menyusul kereta mereka.
“Hea, hea, heaaa...”
“Kakang Trenggana, tak
dapatkah kau percepat sedikit lagi lari keretanya?” tanya Ambar Sari sambil
membelai-belai rambut Purbaya, ketika tiba-tiba matanya melihat tiga lelaki
penungang kuda tengah mengejar kereta itu. Seketika hatinya tersetak kaget
“Kakang Trenggana..., lihatlah
di belakang Mereka mengejar kita, Kang.”
Tanpa banyak kata, Trenggana
segera menghentak tali kekang kuda. Setelah dicambuk dua kali binatang-binatang
itu langsung berlari lebih kencang.
“Hea, hea, heaaa...”
Trak Trak...
Ketika sampai di jalan yang
agak rata, kuda-kuda penarik kereta itu berlari kian kencang. Sementara itu
ketiga lelaki berwajah beringas yang memburunya, terus menggebah kuda-kuda
tunggangan mereka.
“Hea, hea...” Suara teriakan
mereka terdengar ditingkahi gemuruh dan bunyi gemeretak bebatuan kecil,
tersepak kaki-kaki kuda. Kabut tipis yang menyelimuti jalan berbatu di Pegunungan
Sasakan serta hawa dingin yang menusuk tulang sumsum tak mereka hiraukan.
Ketiga lelaki berwajah beringas itu terus menggebah kuda mereka, mengejar
kereta yang sudah mulai tampak di depan.
Kereta yang ditarik dua ekor
kuda itu terus melaju dengan cepat. Kini kereta itu tampak semakin bertambah
cepat, karena jalanan mulai menurun.
“Hea, hea...”
Namun kenyataan pahit tetap
harus dialami keluarga Kerto Pati. Betapapun kuda-kuda penarik kereta itu dapat
berlari kencang, tetap tak mampu menandingi kecepatan ketiga kuda di belakang.
Sehingga, pada sebuah tikungan
jalan yang cukup tajam ketiga lelaki yang mengejar berhasil menyusul.
Bahkan akhirnya mereka
menghadang di depan kereta itu.
“Hop...”
“Ha ha ha...”
“Kenapa kalian menghadang
kami?” tanya Ambar Sari dengan suara membentak. Matanya melotot menatap ketiga
lelaki bermuka garang yang masih duduk di punggung kuda.
“He he he... Kau tampak
semakin cantik jika marah begitu, Ambar. Hm... Menyenangkan sekali.
Mungkin di atas ranjang pun
kau akan segalak itu. He he he...” gumam lelaki berkepala botak dan berhidung
mancung. Alis matanya yang tebal bergerak-gerak ke atas. Dengan senyum nakal
lelaki bernama Watu Gunung itu menatap penuh nafsu pada Ambar Sari. “Ambar
Katakan, di mana kau simpan Kitab Ajian Dewa?” tanya lelaki bertubuh gempal.
“Orang-orang tua tak tahu
malu” suara bentakan terdengar dari mulut Purbaya yang masih dalam pelukan sang
Ibu. Bocah kecil itu sepertinya tak merasa takut sama sekali. Bahkan matanya
yang indah tampak menatap penuh kebencian pada ketiga lelaki garang di depan
keretanya. “Telah kalian bunuh ayah. Kini, kalian menghadang kami Apa
sebenarnya yang kalian inginkan dari kami?”
Ketiga lelaki berwajah garang
itu tersentak kaget mendengar bentakan Purbaya. Mereka tak
menyangka, kalau bocah sekecil
itu akan berani.
Bahkan sedikit pun tak tampak
rasa takut di wajah mungil bocah itu.
“He he he... Kau terlalu
berani, Bocah?” sentak lelaki bermata sipit dan berkumis melintang. Lelaki
berpakaian seperti kulit harimau itu melotot tajam pada Purbaya.
“Ambar Katakan, di mana kitab
itu kau simpan
Atau anakmu akan kulempar ke
dasar jurang itu”
ancam lelaki berkepala botak
yang ternyata bernama Sodra.
Mendengar pertanyaan Sodra,
seketika Ambar Sari terdiam. Dia berusaha mengingat-ingat kitab macam apa. Dia
memang pernah mendengar dari Kerto Pati, suaminya tentang sebuah kitab yang
dititipkan oleh Pendekar Gila, yang katanya kitab itu harus diberikan pada
murid dari Pendekar Gila itu. Sejak saat itulah, Pendekar Gila menghilang.
“Mungkinkah kitab itu yang
ditanyakan mereka?”
tanya Ambar Sari dalam hati.
“Aku tak tahu” sentak Ambar
Sari sengit
“He he he... Kami tak percaya.
Bagaimanapun, kau istri Kerto Pati. Kau tentu tahu di mana suamimu menyimpan
kitab itu” tukas Lombang lelaki berusia empat puluhan yang mengenakan pakaian
ungu.
“Terserah kalian Yang pasti,
aku tak tahu tentang kitab yang kalian kehendaki itu” bentak Ambar Sari tanpa
rasa takut sedikit pun. Tangannya mendekap tubuh Purbaya, berusaha melindungi
sang Anak dari ancaman ketiga lelaki bertampang beringas itu.
“Ha ha ha...”
Ketiga lelaki bermuka garang
itu tertawa terbahak-bahak. Kemudian melompat dan segera mendekati kereta.
Melihat gelagat yang tidak
menguntungkan.
Trenggana yang tak ingin
majikannya celaka tampak geram dan marah. Dengan berani, kusir kereta itu
melompat lalu menatap wajah Sodra.
“Hea”
Sodra yang tak menduga akan
mendapat serangan mendadak itu tersetak kaget Dia berusaha mengelakkan serangan
dengan memiringkan tubuh ke samping kiri. Namun tak urung dagunya terkena
tendangan Trenggana.
Begkh
“Ukh Setan Kau mencari mati,
Kusir Keparat”
dengus Sodra dengan tubuh
terhuyung-huyung ke belakang. Mulutnya meringis kesakitan.
Melihat temannya diserang
dengan dahyat,
Lombang dan Watu Gunung menggeram
sengit.
Keduanya segera berlari
mengejar Trenggana yang telah siap berdiri tegak.
“Kusir keparat Rupanya kau
mencari mampus”
dengus Lombang geram. Mata
lelaki berpakaian seperti kulit macan itu melotot marah.
“Kupecahkan batok kepalamu,
Kusir Keparat” bentak Watu Gunung sambil melesat melancarkan pukulan tangan
kanan ke tubuh Trenggana.
“Hih? Uts...” dengan cepat
Trenggana menggeser kaki kanan ke samping. Kemudian diikuti dengan memiringkan
tubuh. Namun hampir bersamaan dengan gerakan itu Trenggana melancarkan sebuah
tendangan kaki kiri.
Wut
“Uts” dengan cepat Watu Gunung
mengelit.
Sementara itu kaki kirinya
melancarkan sebuah tendangan keras, dilanjutkan dengan jotosan tangan kanan ke
dada Trenggana.
“Hih Heaaa...”
Pertarungan Trenggana melawan
ketiga orang yang mengeroyoknya bertambah seru. Ternyata kusir kereta itu bukan
orang sembarangan. Badannya yang kurus, dengan gesit berkelebat ke sana kemari
mengelakkan serangan ketiga lawannya.
Melihat Trenggana memberi
isyarat agar Ambar Sari dan anaknya pergi. Wanita itu tak menyia-nyiakan waktu.
Diajaknya Purbaya pergi meninggalkan tempat itu.
“Ayo Purbaya, kita harus
secepatnya meninggalkan tempat ini” ajak Ambar Sari sambil menggandeng tangan
anaknya pergi meninggalkan tempat itu.
“Bagaimana dengan Paman
Trenggana, Bu?
Kasihan dia sendirian. Nanti
dibunuh ketiga orang jahat itu,” ujar Purbaya berusaha berhenti. Tetapi Ambar
Sari terus menarik tangannya. Bocah itu terus menoleh ke belakang, meyakinkan
pertarungan antara Trenggana dengan ketiga lelaki bermuka bengis itu sampai di
mana.
“Biarlah, Purbaya Paman
Trenggana telah
menyuruh kita segera pergi,”
kata Ambar Sari sambil terus menggandeng tangan anaknya agar mengikuti
langkahnya.
“Tapi, Bu. Kita harus
menolongnya”
“Tidak mungkin, Anakku. Kita
tak memiliki kekuatan untuk melawan mereka. Ayo cepat...” ajak Ambar Sari
sambil menarik tangan Purbaya yang hendak berhenti.
Dengan masih menoleh ke tempat
pertarungan antara Trenggana dan ketiga orang bermuka bengis itu, Purbaya pun
mengikuti langkah kaki ibunya.
Kedua ibu dan anak itu dengan
tergesa-gesa berlari.
Kaki Purbaya tampak
terseret-seret mengikut langkah sang Ibu. Mereka terus berlari ke selatan
menuju hutan belantara Gandracupa yang membentang seperti menutupi Pegunungan
Sasakan. ***
Pertarungan antara Trenggana
melawan ketiga orang pengeroyoknya masih berjalan seru. Sang Kusir yang nampak
lugu dan bodoh, ternyata mampu bertahan dari gempuran ketiga lelaki bengis itu.
Malah terkadang dia mampu
balas menyerang dengan tak kalah cepat. Tangannya bergerak memukul ke sana
kemari. Disusul dengan tendangan-tendangan keras kedua kakinya.
Ketiga lawannya yang tidak
menyangka akan menemukan lawan cukup tangguh itu, tersentak kaget. Mereka tak
menduga sama sekali kalau kusir kereta itu memiliki ilmu silat yang cukup
tinggi.
“Kurang ajar Punya isi juga
kau, Kusir Keparat”
dengus Sodra sengit. Kemudian
dengan cepat, direntangkan kedua tangannya ke atas dengan jari-jari membentuk
paruh menghadap ke bawah. Itulah jurus 'Paruh Gagak Mematuk'. Sesaat kemudian
kedua tangan yang masih membentuk paruh itu bergerak begitu cepat menyerang ke
seluruh bagian tubuh Trenggana.
Namun, Trenggana yang mendapat
serangan
ganas itu tak tampak gugup.
Dengan cepat diegoskan kakinya dan memiringkan tubuh ke kanan dan kiri
menghindari serangan yang dilancarkan Sodra.
Wrt
“Hait Hih...?” dengan cepat
Trenggana melancarkan tendangan keras yang menjadikan lawan tersentak kaget.
Sodra berusaha mengelit, tetapi dengan cepat Trenggana kembali melancarkan
serangan dengan kaki kirinya. Begitu cepat tendangan susulan itu, membuat Sodra
tersentak kaget. Lelaki berpakaian merah tua hendak bergerak menghindar tetapi
terlambat. Tendangan kaki kiri Trenggana yang tak terduga, menghantam telak di
janggutnya.
Degkh
“Ukh” Sodra terpekik.
Kepalanya terdongak ke belakang dengan darah meleleh dari sela bibirnya.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang dengan mulut meringis-ringis menahan sakit.
“Kurang ajar Kubunuh kau,
Kusir Keparat”
dengus Watu Gunung seraya
melesat maju
menyerang dengan pukulan
telapak tangan kanan yang disebut 'Telapak Naga'.
“Heaaa...”
Tangan kanan Watu Gunung
bergerak cepat,
menyerang ke dada Trenggana.
Namun, dengan cepat Trenggana memiringkan tubuh ke samping kiri.
Lalu dengan cepat pula,
menangkis dengan tangan kanan. Bersamaan dengan itu kaki kanannya melancarkan
tendangan keras.
“Hea”
Trak
Wrt
Tendangan kaki kanan Trenggana
melesat ke dada lawan. Namun dengan cepat Watu Gunung segera mundur selangkah.
Kemudian digerakkan tangan kirinya memapak serangan, disusul sebuah pukulan
keras tangan kanan ke dada lawan.
Prak
“Hea”
“Hih”
Melihat lawan bergerak cepat
memapak serangannya, Trenggana tak tinggal diam. Tangannya segera menangkap
serangan balasan yang dilakukan Sodra.
Wrt
Trep
Tangan keduanya saling pegang,
berusaha
menarik tubuh lawan. Namun
kekuatan keduanya tampak berimbang. Keduanya segera melanjutkan serangan dengan
kedua kaki. Sementara tangan mereka masih saling berpegangan, lalu mencengkeram
pergelangan tangan lawan masingmasing.
“Hea” Trenggana berusaha
membetot tangannya yang berada dalam cengkeraman Watu Gunung.
Sedangkan kaki kanannya
bergerak menendang.
Namun dengan kuat, Watu Gunung
tetap men-
cengkeram tangan lawan.
Sementara itu kaki kirinya bergerak memapaki tendangan kaki Trenggana.
“Hea”
Trak
Dua kaki saling beradu, namun
keduanya masih terus mencengkeram tangan. Trenggana berusaha menghentakkan
sikunya ke muka Watu Gunung.
Namun Watu Gunung segera balas
menyikut ke wajah Trenggana.
Melihat keduanya masih terus
bertarung dengan cara seperti itu. Sodra dan Lombang yang sudah tak sabar
segera mencabut pedang dari warangkanya.
Mata mereka menatap penuh
kebengisan pada Trenggana.
Srt Srt
“Mampuslah kau, Kusir Keparat
Heaaa...” Sodra melesat dengan pedang siap menusuk ke punggung Trenggana.
Sedangkan Lombang kini bergerak dari arah samping. Pedang di tangan kanannya,
menebas ke leher Trenggana.
Melihat kedua lawannya
melakukan serangan dari belakang, Trenggana sekali lagi berusaha melepaskan
cengkeraman tangan Watu Gunung. Kaki-kakinya terus bergerak menendang kaki Watu
Gunung.
Namun nampaknya Watu Gunung
tak mau melepaskan cengkeramannya pada tangan Trenggana.
Sementara kakinya juga terus
menangkis tendangan Trenggana.
Trak
“Hih Heaaa...” sambil
berteriak keras Trenggana berusaha membanting tubuh lawan sambil membungkuk.
Namun pertahanan lelaki berpakaian ungu itu, tampak begitu kuat. Sehingga
meskipun telah mengerahkan seluruh kemampuannya Trenggana tak berhasil
membanting tubuh Watu Gunung. Tubuhnya mulai basah karena keringat yang
bercucuran.
Sementara kedua lawannya yang
lain telah berada semakin dekat untuk melakukan serangan.
“Yeaaa...”
“Heaaa...” Sodra dan Lombang
telah siap melakukan
serangan dengan pedang di
tangan masing-masing.
“Celaka...” pekik Trenggana
semakin tegang, menyaksikan kedua lawannya semakin bertambah cepat memburu
dirinya. Pedang di tangan mereka yang berkilat tajam, bagaikan siap memenggal
kepala serta tubuhnya. Dikerahkan seluruh tenaga dalam-nya, tetapi cengkeraman
Watu Gunung benar-benar kuat.
“Heaaa...”
Wrt
Sodra dan Lombang melancarkan
serangan cepat dengan membabatkan pedang.
Cras Jrab
“Akh...” tanpa ampun lagi,
leher dan punggung Trenggana tertebas dan tertusuk pedang kedua lawannya. Kusir
yang malang itu, limbung dengan darah mengucur membasahi tubuhnya. Sesaat
kemudian tubuhnya ambruk dan tak berkutik lagi.
“Hm, akhirnya mampus juga
kusir tolol ini,” dengus Watu Gunung sambil menendang tubuh Trenggana yang
terkulai berlumuran darah.
Ketiga lelaki berwajah beringas
itu tertawa terbahak-bahak, menunjukkan kesombongan. Mereka seperti melupakan
Ambar Sari dan Purbaya yang lari dari tempat itu. Dengan kuat Watu Gunung
menendang mayat Trenggana ke jurang.
“Hua ha ha... Kini tak ada
lagi yang menghalangi kita untuk menanyai Ambar,” ujar Lombang. Namun seketika
matanya membelalak, ketika mengawasi ke dalam kereta yang telah kosong. “Hai,
ke mana Ambar?”
“Hah? Dia telah pergi. Kurang
ajar... Kita harus cari dia” dengus Sodra seraya melesat pergi ke timur diikuti
kedua tangannya. Mereka hendak mengejar Ambar Sari dan anaknya. *** 2
Ambar Sari yang menggandeng
Purbaya terus berlari berusaha menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang
jahat yang telah membunuh Kerto Pati. Wanita cantik berpakaian merah jingga itu
seperti tak kenal lelah, terus menggandeng tangan anaknya. Padahal napasnya
telah tersengal-sengal setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh.
“Ayo Purbaya Kita harus cepat
agar mereka tak dapat mengejar kita,” ajak Ambar Sari terus menyeret tangan
anaknya. Sementara Purbaya yang masih kecil itu tampak terengah-engah dan
kelelahan mengikuti lari sang Ibu yang terus menyeretnya, karena ketakutan.
“Bu, kenapa sih mereka
mengejar kita dan membunuh ayah?” tanya Purbaya dengan suara tersengal-sengal
sambil terus berlari. Wajah bocahnya tampak penasaran. Hatinya bingung kenapa
para penjahat itu membunuh sang Ayah lalu mengejar ibunya.
“Mereka memang orang jahat,
Anakku. Cepatlah, jangan banyak tanya dulu tentang hal itu yang penting kita
harus segera sampai di rumah pamanmu,” ajak Ambar Sari sambil terus menggandeng
tangan Purbaya. Kedua ibu dan anak itu kini tengah melintasi semak-semak di
hutan yang membentang di kaki Pegunungan Sasakan.
“Mengapa mereka jahat terhadap
kita, Bu? Bukankah kita tak pernah bersalah pada mereka?” tanya bocah
berpakaian rompi biru tua itu sambil terus melangkah. Bocah kecil itu menatap
wajah sang Ibu yang tampak diliputi rasa cemas. Kening Purbaya mengerut, karena
belum juga mengerti, mengapa ibunya tampak ketakutan. Dalam hatinya terbersit
sebuah pertanyaan. Mengapa orang-orang itu membunuh ayahnya dan kini mengejar
mereka?
“Kau belum mengerti, Anakku.
Mereka memang orang jahat yang sangat kejam. Sudahlah, ayo kita teruskan” ajak
Ambar Sari sambil terus menggandeng tangan anaknya.
“Tapi, Bu. Kakiku sakit
sekali. Aku ingin istirahat dulu di sini,” pinta Purbaya sambil meringis
menahan rasa sakit. Ternyata telapak kakinya tertusuk onak dan duri. Tampak
darah menetes dari telapak kaki bocah itu.
Ambar Sari semakin bingung.
Bagaimanapun dirinya harus segera meninggalkan tempat itu. Namun, anaknya
nampak sangat letih, setelah berjalan hampir setengah hari.
Mata Ambar Sari menatap ke
sekelilingnya, takut kalau ketiga orang penjahat itu mengejarnya.
“Hhh... Haruskah aku memberi
tahu, di mana Kitab Ajian Dewa berada?” gumam Ambar Sari dalam hati. “Tetapi
Kangmas Kerto Pati menyuruhku agar tidak memberitahukannya. Namun jika aku
tidak memberi tahu, aku takut mereka akan terus mengejarku.”
“Bu, mengapa Ibu termenung?
Ibu memikirkan ayah...?” tanya Purbaya dengan mata menatap tajam wajah ibunya.
Bocah kecil itu seakan merasa kasihan melihat kesedihan dan ketakutan sang Ibu
karena kematian ayahnya.
“Ah, tidak..., Ibu tidak
apa-apa. Kita lanjutkan ya, Sayang?” ajak sang Ibu sambil menggandeng tangan
Purbaya untuk meneruskan perjalanan. “Bagaimana dengan Paman Trenggana, Bu?”
“Entahlah. Kita harus
memikirkan nasib kita, Anakku.”
“Apakah paman juga dibunuh
seperti ayah, Bu?”
“Entahlah, Anakku. Ibu tak
tahu yang penting harus selamat. Itu yang ibu pikirkan. Ayo...” ajak Ambar Sari
sambil terus menggandeng tangan anaknya.
Bocah kecil itu menurut. Meski
kakinya sakit lertusuk onak dan duri, Purbaya tetap saja melangkah. Sepertinya
anak itu mengerti keadaan.
Namun baru beberapa langkah
keduanya berjalan, tiba-tiba....
“He he he... Mau lari ke mana
kau, Ambar?” di hadapan mereka, telah berdiri tiga lelaki bermuka garang.
“Orang jahat Mengapa kalian
mengejar kami?”
bentak Purbaya lantang. Bocah
kecil itu sepertinya tak takut sama sekali pada ketiga orang yang
meng-hadangnya. Matanya menatap tajam wajah ketiga lelaki di hadapannya.
“Bocah sontoloyo Lancang
mulutmu. Kalau saja kau sudah besar. Hhh... Kurobek mulutmu” bentak Watu Gunung
garang. Gigi-giginya bergemerutuk menahan marah, mendengar bentakan bocah kecil
itu.
“Sabar, Watu Gunung Kita tidak
perlu mereka.
Yang kita perlukan hanya Kitab
Ajian Dewa,” tukas Lombang berusaha menenangkan Watu Gunung.
Kemudian dengan bibir mengurai
senyum yang dibuat-buat. Lelaki berpakaian kulit harimau itu melangkah
mendekati Ambar Sari.
“Ambar, katakan-lah di mana
suamimu menyimpan Kitab Ajian Dewa” ujarnya perlahan. “Sudah kukatakan, aku tak
peduli dengan kitab yang kau maksudkan. Aku tak tahu” jawab Ambar Sari sambil
memegangi tangan Purbaya, agar anak itu tak jauh-jauh dari dirinya.
Ketiganya tertawa
terkekeh-kekeh. Mata mereka yang garang, menatap tajam kedua ibu dan anak yang
masih berdiri sekitar tiga tombak di hadapannya.
Sementara Ambar Sari dan
Purbaya menatap
penuh kebencian pada ketiga
lelaki beringas itu yang telah membuat mereka menderita.
“He he he... Masihkah kau tak
mau mengatakan di mana kitab itu disimpan, Ambar?” tanya Sodra dengan senyum
sinis mengembang di bibirnya. Lelaki itu kemudian memerintahkan dengan isyarat
kepala pada kedua temannya agar menangkap Purbaya.
Purbaya yang melihat kedua
orang jahat itu hendak menangkap dirinya, segera melepaskan diri dari genggaman
ibunya. Kemudian dia mendahului memburu kedua orang yang hendak menangkap.
Ingatan Purbaya kembali
melayang pada sang Ayah yang pernah mengajarinya ilmu silat. Sehingga bocah
kecil yang cerdas itu, berusaha melakukan apa yang pernah diajarkan Kerto Pati.
Apalagi saat ini, dirinya dalam keadaan terancam bahaya. Nalurinya sebagai
seorang bocah, seakan menuntunnya untuk nekat melakukan sesuatu.
“Bocah setan” maki Watu Gunung
geram, ketika secara tak terduga Purbaya menyeruduk ke tubuhnya.
Hampir saja dirinya
terjengkang, kalau tidak dengan segera mengelit ke samping kiri. Kemudian
dengan penuh kegeraman, Watu Gunung dan Lombang
segera memburu bocah kecil
itu.
“Hea”
Purbaya dengan cepat menubruk
kedua lelaki yang hendak menangkap tubuhnya. Sehingga Watu
Gunung dan Lombang saling
bertubrukan satu sama lain.
Brukkk
“Aduh”
“Akh...”
Tubuh kedua lelaki itu
terjengkang dengan mulut meringis kesakitan. Melihat Purbaya yang tampak
tersenyum dan cengengesan Watu Gunung dan Lombang semakin geram dan marah.
“Bocah setan Kuhancurkan
kepalamu” dengus Lombang seraya bangkit dari duduknya. Lalu dengan menggeram.
Lombang dan Watu Gunung kembali memburu Purbaya. Kedua lelaki bertampang seram
itu tampak sangat bemafsu untuk menangkap bocah kecil yang berani mengejek
mereka.
Sementara itu, Sodra tampak
mendekati Ambar Sari. Matanya yang beringas, menatap tajam wajah Ambar Sari
yang semakin ketakutan. Mata lelaki berpakaian ungu itu tak hanya menggambarkan
keberingasan semata, tetapi juga diliputi nafsu yang membara terhadap
kecantikan Ambar Sari.
“He he he... Sebentar lagi
anakmu akan mati di tangan kedua temanku. Dan kau..., he he he... Kau akan
bersenang-senang denganku, Ambar. Tetapi jika kau mau mengatakan di mana Kerto
Pati menyimpan Kitab Ajian Dewa, maka kau dan anakmu akan selamat,” ujar Sodra
seraya tertawa terkekeh-kekeh.
Kakinya melangkah mendekati
Ambar Sari. Wanita cantik itu melangkah mundur dengan mata menatap penuh
kebencian pada Sodra.
“Jangan... Jangan lakukan itu”
pinta Ambar Sari sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya yang sayu
tampak membelalak ketakutan. Apalagi ketika melihat Purbaya yang masih diburu
kedua lelaki yang tampak begitu marah dan bernafsu meringkusnya.
“He he he... Kau dan anakmu
akan kami lepaskan, asalkan kau mau mengatakan di mana Kitab Ajian Dewa itu
disembunyikan suamimu,” Sodra dengan mulut masih menyeringai, tersenyum sinis
dan memandang dengan tatapan garang.
“Sungguh, aku tak tahu.”
“Bohong” bentak Sodra sambil
terus melangkah mendekati Ambar Sari yang kian mundur ketakutan.
Matanya terpicing memandang
wajah wanita
cantik yang kian merasa tegang
itu. “Kau istrinya, kau tentu tahu di mana Kerto Pati menyimpan kitab itu”
“Kitab itu bukan milik kalian
Kitab itu memiliki si Gila yang dititipkan pada suamiku yang akan disampaikan
pada murid atau cucu murid si Gila dari Goa Setan,” tukas Ambar Sari berusaha
menjelaskan, bahwa Sodra dan kedua temannya tak berhak atas kitab pusaka itu.
“He he he... Kau tahu kalau
kitab itu milik si Gila.
Bukankah Kerto Pati yang
memberi tahu? Suamimu pun tentu memberi tahu, di mana kitab itu dia
sembunyikan, bukan...?” tanya Sodra sambil terus melangkah mendekati Ambar
Sari. Wanita itu semakin melangkah mundur ketakutan. Matanya membelalak tegang,
ketika menyadari dirinya telah berada di tepi jurang yang sangat dalam.
Melihat Ambar Sari dalam
keadaan tegang, Sodra semakin terkekeh. Dia tahu kalau wanita itu kini dalam
keadaan panik, karena kakinya telah berada di tepi jurang.
“He he he... Mau ke mana kau,
Manis? Sebaiknya kau katakan di mana kitab sakti itu,” pinta Sodra dengan
senyum sinis masih menghias di bibirnya.
Matanya melotot menatap dengan
menelengkan kepala meledek Ambar Sari yang tampak semakin ketakutan.
“Tidak Aku tidak tahu...” seru
Ambar Sari sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rasa tegang dan panik, tergambar
jelas di wajahnya yang kuning langsat dan bersih. Kepalanya sesekali menoleh ke
belakang. Tampaklah jurang dalam dan terjal membentang. Lalu kembali menatap
wajah Sodra yang masih berdiri lima tombak di hadapannya.
Namun sepertinya Sodra merasa
khawatir, kalau Ambar Sari akan nekat terjun ke jurang. Kalau hal itu terjadi,
tak ada lagi kesempatan baginya untuk menikmati tubuh bahenol wanita itu. Dan
yang jelas dia akan kehilangan jejak untuk mencari Kitab Ajian Dewa yang
disembunyikan Kerto Pati.
Sementara itu, Purbaya masih
terus berusaha melepaskan diri dari kejaran kedua orang yang terus berusaha
menangkapnya. Anak itu semakin bertambah jauh dari Ambar Sari, sang Ibu yang
bagaikan telor di ujung tanduk. Berdiri membelakangi jurang terjal yang dalam.
Sementara di hadapannya Sodra, bagaikan harimau lapar yang siap menerkam mangsa.
Lombang dan Watu Gunung terus
berlari mengejar Purbaya yang lari ke selatan, jauh dari Hutan Gandracupa.
“Mau lari ke mana, Bocah
Setan” dengus Watu Gunung sambil terus mengejar Purbaya yang terus berlari
berusaha menyelamatkan diri. Kini ketiganya sampai ke Lembah Karangkati. Lembah
yang sangat angker dan terkenal sebagai lembah maut. Banyak tulang-belulang
tampak berserakan di sana-sini, menambah suasana Lembah Karangkati semakin
menyeramkan.
Dengan sekuat tenaga Purbaya
terus berlari.
Dirinya tak peduli dengan
pemandangan yang tampak di depan mata. Baginya yang penting dapat menyelamatkan
diri dari pengejaran kedua lelaki jahat itu. Bocah kecil itu bagaikan tak
merasa takut sedikit pun. Hanya sesekali kakinya tampak ber-jingkat, setiap
kakinya menendang atau menginjak tulang-belulang yang berserakan. Kemudian
dengan telapak tangan, Purbaya menutup hidungnya dari bau busuk yang menyengat
sambil terus menelusuri Lembah Karangkati.
“Heh? Bocah itu lari ke Lembah
Karangkati”
pekik Lombang dengan mata
membelalak.
“Bocah setan Berani sekali dia
lari ke lembah itu.
Huh, mampuslah kau di situ,
Bocah” dengus Watu Gunung dengan mata tak kalah membelalaknya.
Dirinya tahu kalau lembah itu
merupakan tempat yang angker. Lembah yang dihuni entah makhuk seperti apa. Yang
jelas selama ini belum ada orang yang bisa selamat di lembah itu.
“Apakah tidak kita kejar saja
bocah itu, Kakang?”
tanya Lombang bimbang. Matanya
tak lepas
mengawasi Lembah Karangkati
yang terbentang di bawahnya. Sedangkan si bocah kecil Purbaya terus berlari ke
tengah-tengah lembah.
“Huh, mau mencari mampus
Biarkan saja bocah setan itu mampus di sana Ayo kita temui Sodra” ajak Watu
Gunung sambil melangkah meninggalkan Bukit Katesan yang memisahkan Hutan
Gandracupa
dengan Lembah Karangkati di
bawahnya *** “He he he... Anakmu sudah mati, Ambar Sari.
Menyerahlah Lebih baik kau mau
jadi istri ketua kami. Ketua kami tentu akan merasa senang jika kau menjadi
istrinya,” ujar Sodra berusaha membujuk Ambar Sari. Maksudnya agar wanita itu
tak nekat bunuh diri terjun ke jurang.
“Tidak Tidak mungkin... Oh,
Purbayaaa..., hu hu hu... Kalian jahat Kalian bajingan Bunuh aku sekalian
Bunuuuh...” Ambar Sari berteriak sejadi-jadinya, setelah mendengar anaknya
mati. Seketika tubuhnya lemas. Gairah untuk hidup kini hilang.
Baginya tak ada lagi artinya
hidup, kalau sudah tak punya siapa-siapa lagi. Tak punya suami. Tak punya anak
yang sangat dicintai dan menjadi tumpuan hidup setelah sang Suami tewas
terbunuh.
Ambar Sari merasakan dunia
tiba-tiba berubah gelap. Tanah yang dipijaknya serasa bergoyang cepat.
Tubuhnya limbung. Namun,
sebelum tubuhnya jatuh, dengan cepat Sodra melompat menangkapnya. Maka Ambar
Sari pun jatuh pingsan dalam pelukan lelaki berpakaian merah itu.
“Bagaimana anak itu?” tanya
Sodra.
“Dia lari ke Lembah
Karangkati,” sahut Watu Gunung.
“Hm... Mencari mati,” gumam
Sodra.
“Apakah tidak kita buktikan
lagi?” tanya Lombang.
“Untuk apa? Kita tak perlu
bocah itu. Yang kita perlukan Kitab Ajian Dewa. Dan yang tahu hanya Ambar Sari.
Lagi pula, Wanara pasti akan senang jika kita beri Ambar Sari sebagai
istrinya,” tutur Sodra sambil tersenyum. Matanya memperhatikan seluruh lekuk
tubuh wanita cantik itu dengan penuh nafsu.
Apalagi ketika menatap bibir
ranum milik Ambar Sari.
Jantungnya terasa berdebar
keras. Hasrat kelelakiannya bergejolak hebat bagaikan air mendidih.
“Sebelum diserahkan pada
Wanara, sebaiknya kita dulu yang mencicipinya, Sodra” usul Watu Gunung sambil
meleletkan lidahnya. Dirinya pun merasakan gejolak birahi yang menggelegar di
dalam liwanya.
“Benar Lebih baik kita dulu
yang mencicipinya”
sambung Lombang.
Ketiganya tertawa
terkekeh-kekeh. Kemudian mereka pun menggarap tubuh Ambar Sari di tempat yanga
sepi dan tidak memungkinkan untuk dilalui orang. Mereka bergantian melakukannya
dengan kepuasan.
Ambar Sari yang diperkosa
ketiga lelaki itu, hanya dapat mengeluh dan merintih kesakitan. Sampai
akhirnya, tubuhnya kembali terkulai pingsan.
Setelah puas memperkosa tubuh
Ambar Sari
dengan gelak tawa Sodra, Watu
Gunung, dan Lombang segera menggebah kuda meninggalkan Pegunungan Sasakan.
Mereka membawa Ambar Sari untuk diserahkan kepada Wanara.
Sementara itu, Purbaya yang
berada di Lembah Karangkati nampak kebingungan. Dari empat penjuru angin,
muncul kabut hitam yang pekat. Kemunculan kabut-kabut hitam itu diikuti
hembusan angin kencang dan dingin serta suara-suara yang sangat aneh. Hal itu
membuat bocah itu ketakutan. Matanya terbelalak menatap ke sekelilingnya yang
kini semakin menyeramkan.
“Oh, apa yang akan terjadi di
sini? Semuanya gelap. O, Jalan yang tadi kulalui, kini tertutup kabut.
O, ibu, apa yang terjadi
padamu?” keluh Purbaya kebingungan. Matanya semakin membeliak tegang, menatap
kabut hitam yang seperti mengepung tubuhnya. “Hua ha ha... Nyem nyem nyem...”
dari dalam kabut-kabut hitam itu, keluar suara tawa keras menggelegar. Suara
tawa yang membuat bulu kuduk Purbaya meremang berdiri. Tengkuknya terasa
dingin, kaku karena takut.
Mata Purbaya terus mengawasi
dengan rasa takut ke sekitarnya tampak sunyi mencekam. Hanya kabut hitam saja
yang terus mendekat dan mengepung dirinya. Seakan kabut-kabut hitam yang tadi
mengeluarkan suara itu, hendak mencengkeram tubuhnya yang kecil.
“Makhluk yang ada di dalam
kabut, kalau kau mau memangsaku, mangsalah Mangsalah aku...” tantang Purbaya.
Dirinya nekat memberanikan diri karena merasa telah terjepit. Matanya yang
semula nampak redup dan tegang, kini menatap beringas. “Aku sudah tak punya
ayah dan ibu. Kalau kau mau, mangsalah aku Ayo..., makanlah tubuhku”
“Hua ha ha... Nyem nyem
nyem...” kembali suara menyeramkan itu terdengar bergema. Seolah-olah berasal
dari semua arah. Namun Purbaya seperti tak merasa takut sedikit pun. Bocah
kecil itu menatap tajam ke sekelilingnya. Kabut hitam itu terus mengepung
dirinya.
“Hoi... Makhluk yang ada di
dalam kabut, keluarlah Makanlah aku, kalau kau ingin memangsaku
Ayo...” tantang Purbaya dengan
lantang. Matanya terus menatap tajam ke sekeliling. Kabut hitam itu tampak
semakin tebal dan berarak-arak bergerak mengepung tubuh bocah itu.
“Hua ha ha... Kau berani
menginjakkan kaki di lembah ini, Bocah Maka kau memang akan menjadi mangsaku”
suara bergema yang berasal dari balik kabut-kabut hitam kembali terdengar.
“Mangsalah Aku tak takut...” tantang Purbaya dengan berani. Matanya kini
mengawasi kabut hitam yang datangnya dari arah selatan. Hatinya yakin, suara
itu berasal dari selatan.
“Bocah bandel Kau benar-benar
minta mati...”
dengus suara berat bergema
menyeramkan itu.
“Ya Kalau kau memang mau
memangsaku,
mangsalah Aku kini hanya
sebatang kara. Ayah dan ibuku mati dibunuh orang-orang jahat Untuk apa lagi aku
hidup...? Tak ada gunanya aku hidup” seru Purbaya dengan lantang.
“Hm... Nyem nyem nyem...”
kabut-kabut itu bergerak semakin mendekat. Dari dalam kabut hitam yang kini
mengapung mendadak muncul sebuah tangan hitam legam dan besar. Tangan itu
menjulur keluar hendak menangkap tubuh bocah itu. Namun Purbaya tampak tetap
tenang. Tak ada rasa gentar menghadapi ancaman maut itu.
Tangan hitam legam berkuku
panjang dan runcing itu, semakin dekat dengan tubuh Purbaya. Hampir saja,
tangan-tangan hitam besar berkuku tajam menyeramkan itu mencengkeram dan
mungkin akan mencabik-cabik tubuh Purbaya. Namun tiba-tiba sebuah bayangan
putih berkelebat menerobos kabut hitam sambil melontarkan pukulan beruntun ke
arah kedua tangan hitam legam yang keluar dari kabut itu.
Wrt
Glar Glarrr...
Wrt
Suara ledakan menggelegar
terdengar, ketika sosok bayangan putih itu berkelebat sambil menghantamkan
serangan cepat. Seketika itu pula bayangan putih yang ternyata seorang lelaki
bertubuh bungkuk dan berjubah putih menyambar tubuh Purbaya. Secepat kilat
lelaki itu melesat ke barat meninggalkan Lembah Karangkati. ***
Sudra, Watu Gunung, dan
Lombang telah sampai di Hutan Selapetir, tempat kediaman pimpinan mereka. Di
hutan itu Wanara tengah menunggu hasil pekerjaan anak buahnya mencari Kitab
Ajian Dewa.
Dari luar terdengar suara
derap langkah kaki kuda menuju markas tempat Wanara menunggu ketiga anak
buahnya. Dengan cepat Wanara melangkah keluar, untuk menemui ketiga anak
buahnya.
“Siapa yang kalian bawa?”
tanya Wanara.
Wanara ternyata manusia
bermuka kera. Tubuhnya yang besar mengenakan jubah hitam. Matanya tampak
berwama merah, dengan hidung
agak pesek.
“Istri Kerto Pati” sahut Watu
Gulung.
“Benar, Ketua. Kami
membawanya, dengan
harapan ketua sudi
menerimanya,” sambung Sodra.
“Bodoh Tolol... Yang
kubutuhkan bukan wanita, tetapi Kitab Ajian Dewa” bentak Wanara sengit dengan
mata membara merah. Mulutnya yang
menyeringai, menunjukkan
gigi-giginya yang kuning-kekuningan. Di kanan dan kiri mulutnya tampak sepasang
taring.
Ketiga anak buahnya terdiam.
Tak seorang pun yang berani menjawab bentakan Wanara. Bahkan beradu pandang pun
mereka tak berani. Ketiganya menundukkan kepala, seperti ketakutan.
Wanara memperhatikan wanita
cantik di punggung kuda yang ditunggangi Watu Gunung. Matanya bersinar-sinar,
ketika melihat bagian pakaian Ambar Sari tersingkap. Kejantanannya seketika
menyeruak. Napasnya mendengus, bergolak penuh nafsu.
“Bawa dia ke kamar” perintahnya.
Ketiga anak buah Wanara segera melompat. Watu Gunung mengangkat tubuh Ambar
Sari melangkah masuk ke kamar tempat tidur Wanara. Tak lama kemudian, Watu
Gunung telah kembali keluar.
“Sudah, Ketua,” ujar Watu
Gunung.
“Bagaimana hasil kalian?”
tanya Wanara.
“Tak berhasil, Ketua. Wanita
itu lebih baik memilih mati, daripada mengatakan tempat penyimpanan kitab
tersebut. Itu sebabnya kami membawanya kemari. Bukankah jika Ketua yang
menangani siapa tahu dia akan membuka mulut?” ujar Lombang sambil tersenyum-senyum.
“Diam Bodoh... Menghadapi
seorang wanita saja kalian tak becus” maki Wanara. “Lalu bagaimana anaknya?”
“Mungkin mati, Ketua,” jawab
Sodra dengan kepala masih menunduk.
“Hm, dari mana kalian tahu?”
“Bocah itu lari ke Lembah
Karangkati, Ketua,”
sahut Sodra.
Wanara mengangguk-anggukkan
kepala. Kemudi-an dengan mengegoskan kepala, Wanara memerintahkan pada ketiga
anak buahnya untuk me-
ninggalkan tempat itu. Setelah
ketiga anak buahnya berlalu, Wanara segera masuk ke kamar di mana tubuh Ambar
Sari dibaringkan.
Setelah menutup pintu kamar
Wanara menatap tubuh Ambar Sari. Lelaki berwajah mirip kera itu tampaknya
terpukau kecantikan Ambar Sari. Mulut Wanara menyeringai. Matanya semakin
bersinar-sinar penuh nafsu melihat paha Ambar Sari yang
tersingkap. Paha mulus itu
sangat menggairahkan dan menantangnya.
“Hm, benar-benar menggiurkan”
gumam Wanara sambil melangkah mendekati tempat tidur di mana tubuh Ambar Sari
masih terbaring diam. Dipandangi sekujur tubuh Ambar Sari, kemudian dengan buas
tangannya yang berkuku panjang merenggut pakaian Ambar Sari.
Bret
“Auh” Ambar Sari tersentak
kaget. Matanya membelalak, melihat manusia bermuka kera dengan mata penuh nafsu
menatap tubuhnya. Wanita itu menyurut mundur ketakutan.
“Tiga orang anak buah manusia
bermuka kera itu telah memperkosaku. Kini manusia bermuka kera ini pun hendak
memperkosaku,” pikir Ambar Sari sambil menyurut mundur ketakutan.
“He he he... Tak kuduga, kalau
tubuhmu sangat menggiurkan, Manis...,” ujar Wanara sambil membuka pakaiannya
sendiri, yang menjadikan Ambar Sari semakin ketakutan.
“Jangan Tidaaak...” teriak
Ambar Sari sambil terus menyurut mundur.
“He he he... Suamimu sudah
mati. Sebaiknya kau menjadi istriku” ujar Wanara sambil melangkah, mendekati
Ambar Sari yang semakin ketakutan.
“Tidak Jangaaan...” pekik
Ambar Sari berusaha menolak, ketika Wanara dengan buas menubruknya.
Namun karena Ambar Sari lemas,
Wanara dengan mudah dapat menubruknya. Kemudian dengan buas lelaki berwajah
kera itu menggeluti tubuhnya dengan diselingi bisikan merayu.
“Cah Ayu, kalau kau mau
menjadi istriku. Kau akan enak. Katakanlah, di mana Kerto Pati menyimpan Kitab
Ajian Dewa itu,” bisik Wanara sambil terus menggeluti tubuh Ambar Sari yang
terus berusaha berontak dan meronta.
“Tidak Lepaskan... Aku tak
tahu Aku tak mau...”
teriak Ambar Sari sambil terus
berusaha melepaskan diri dari dekapan Wanara. Namun karena tubuhnya lemas dan
kehabisan tenaga tak mampu melawan.
“He he he... Baiklah, Cah Ayu.
Mungkin kali ini kau tak mau mengatakan di mana kitab itu berada. Tapi suatu
saat, kau harus mengatakannya,” kata Wanara semakin buas menggeluti tubuh Ambar
Sari yang telah telanjang.
Ambar Sari masih berusaha
memberontak, tetapi tetap tak mampu. Akhirnya Ambar Sari hanya bisa merintih
dan menangis, menyesali nasibnya yang malang. Suami mati, anak entah bagaimana
nasibnya. Dirinya pun harus menjadi budak pemuas nafsu manusia-manusia keji
itu.
Ambar Sari masih menangis,
ketika Wanara
dengan tertawa senang berlalu
meninggalkan kamar dan menutup pintunya setelah terlebih dahulu berkata kalau
sejak saat itu Ambar Sari dijadikan istrinya.
Ingin Ambar Sari berontak,
tetapi tak kuasa. Dia hanya seorang wanita yang lemah, yang tak dapat berbuat
apa-apa untuk melepaskan cengkeraman tangan para penjahat itu. *** 3
Waktu berjalan terus. Musim
demi musim terlewati.
Dua puluh tahun telah berlalu
sejak terbunuhnya Kerto Pati. Sampai saat ini Wanara dan ketiga rekannya masih
terus berusaha mencari Kitab Ajian Dewa yang belum juga dapat ditemukan. Bahkan
kini mereka telah membentuk sebuah perkumpulan besar dengan nama Partai Kera
Hitam, yang diketuai Wanara.
Partai Kera Hitam tidak hanya
berusaha mencari Kitab Ajian Dewa semata. Kumpulan itu pun melakukan aksi yang
biadab dan keji. Merampok, menculik para gadis, membunuh dan macam-macam
tindakan sesat. Tak tanggung-tanggung, hampir seluruh wilayah Desa Kranggan dan
sekitarnya di-kuasai Partai Kera Hitam. Nama gerombolan itu, menjadi momok yang
menyeramkan bagi warga Desa Kranggan dan sekitarnya.
Di Hutan Selapetir, tempat
markas Partai Kera Hitam berada, saat itu Wanara tengah duduk di atas
singgasana, didampingi gadis-gadis cantik. Di hadapannya, duduk bersila para
anak buahnya.
Mereka duduk berderet. Di
depan, tiga orang lelaki bermuka garang dengan pakaian merah, biru, dan loreng
harimau. Mereka tiada lain Sodra, Lombang, dan Watu Gunung.
Ketiga lelaki beringas itu,
kini bukan lagi orang dua puluh tahun silam. Ilmu mereka telah banyak mengalami
perkembangan. Sejalan dengan per-tambahan usia, ilmu mereka semakin tinggi dan
sempurna. Ketiganya menjadi tangan kanan Wanara sejak lebih dari dua puluh
tahun Silam. Hal itu juga dialami Wanara. Manusia berwajah mirip kera itu dalam
usianya yang telah mencapai enam puluh lima tahu merupakan tokoh tua yang
sakti. Ilmu kedig-dayaannya sulit dicari tandingan. Tak mengherankan kalau
kedudukannya sebagai Pimpinan Partai Kera Hitam semakin kuat.
Sore itu, nampaknya mereka
tengah mengadakan pertemuan membahas masalah lama, mengenai Kitab Ajian Dewa
yang sampai saat ini belum juga diketemukan. Ambar Sari yang telah menjadi
istri resmi bahkan sebagai permaisuri Wanara, masih tetap bungkam. Dia selalu
menolak jika ditanya tentang kitab tersebut.
“Sodra, Lombang, dan kau, Watu
Gunung.
Sebarkan pengumuman ke segenap
penjuru wilayah Kadipaten Banureja. Siapa yang tahu rumah Rupaksi, harus
melapor ke sini Juga kuperingatkan pada kalian semua, cari orang yang bernama
Rupaksi...”
“Untuk apa, Ketua...?” tanya
Sodra dengan kening mengerut.
“Bodoh Kudengar, dialah yang
dititipi Kerto Pati, Kitab Ajian Dewa,” sentak Wanara dengan suara keras. Sodra
seketika menundukkan kepala. “Bawa beberapa orang anak buah Sementara kau,
Lombang. Tanyakan pada Ki
Lurah Janur Biru, apakah dia sudah bosan hidup Kalau dia masih ingin hidup,
perintahkan agar segera membayar upeti dari pertanian”
“Baik, Ketua. Akan saya
laksanakan,” sahut Lombang sambil menganggukkan kepala.
“Bawa sepuluh orang untuk
mengobrak-abrik Desa Kecipir, jika Ki Lurah Janur Biru masih saja membandel”
perintah Wanara dengan tegas.
“Akan saya laksanakan dengan
baik,” jawab Lombang.
“Bagus... Watu Gunung, kau
kuperintahkan untuk mengundang tokoh-tokoh hitam rimba persilatan.
Sekaligus menyebar udangan dan
pemberitahuan mengenai Kitab Ajian Dewa. Tulis dalam
pengumuman itu, kalau kitab
tersebut milik kita”
“Baik, Ketua Akan segera saya
laksanakan,”
jawab Watu Gunung. Tubuh
lelaki berkepala botak itu tampak semakin gempal. Kumis dan jenggot tebal,
membuat tampangnya semakin seram dan garang.
“Yang lainnya, kuperintahkan
tetap bekerja seperti biasa Kumpulkan harta sebanyak mungkin, untuk mendirikan
sebuah partai besar Selama Wanara masih menjadi pimpinan kalian, Partai Kera
Hitam tak akan dapat tertandingi perguruan maupun partai lainnya. Tundukkan
semua perguruan dan partai yang ada di wilayah Kadipaten Banureja”
“Hidup Ketua...”
“Hidup Kera Hitam...”
“Hidup Ketua Wanara...”
Anak buah Partai Kera Hitam
yang berjumlah puluhan, seketika berteriak-teriak menyerukan sanjungan. Hal itu
membuat Wanara semakin tertawa bangga. Dipeluknya gadis-gadis cantik di samping
kanan dan kirinya. Gadis-gadis itu menurut, sepertinya malah senang diciumi
lelaki bermuka kera itu.
Mereka semua merupakan
gadis-gadis culikan.
Sebenarnya mereka benci pada
Wanara dan anak buahnya. Namun mereka tak mampu berbuat banyak, karena lemah.
Jangankan mereka yang hanya wanita, orang lelaki saja banyak yang menjadi
korban keganasan Wanara dan anak buahnya. Itu sebabnya gadis-gadis itu hanya
pasrah, membiarkan tubuh mereka menjadi pemuas nafsu Wanara. Hanya ada satu
harapan bagi mereka, yang penting tidak disingkirkan atau dengan kata lain
dibunuh.
Dari luar, seorang gadis muda
berusia sekitar dua puluh tahun melangkah masuk. Gadis berambut panjang diikat
ekor kuda yang di punggungnya tersandang golok, melangkah dengan mantap.
Matanya yang tajam menatap
tajam para anak buah Partai Kera Hitam. Mendadak mereka semua terdiam.
Seluruh anak buah Partai Kera
Hitam tak ada yang berani untuk beradu pandang dengan gadis itu.
“Ada apa, Seruni?” tanya
Wanara pada gadis berpakaian merah jingga yang melangkah mantap sambil menatap
tajam ke sekeliling ruangan itu.
“Ayah, ada dua orang lelaki
yang mau menghadang Ayah,” ujar Seruni, “Mereka katanya ingin bergabung dengan
partai kita.”
“Hm, begitu. Di mana mereka?”
tanya Wanara.
“Mereka ada di luar.”
“Suruh mereka masuk.”
“Baik, Ayah.”
Gadis cantik serta muda belia
namun ilmu
goloknya yang tinggi itu
menjura hormat, yang dibalas dengan anggukan kepala serta senyum di bibir
Wanara. Kemudian Seruni melangkah keluar, untuk menemui kedua tamunya.
Di pintu gerbang Partai Kera
Hitam, nampak dua orang berusia sekitar tiga puluh tahun berdiri dengan sabar
menunggu. Satu lagi seorang lelaki bermuka bulat dengan badan agak pendek dan
gemuk.
Satunya lagi berbadan tegap,
dengan wajah tampan namun sinis. Yang bertubuh gemuk, rambutnya diikat ekor
kuda. Di punggungnya tersandang caping lebar. Dia bernama Sungo Karu. Sementara
yang tampan namun sinis, yang di punggungnya terdapat sebuah tongkat terbuat
dari kayu cendana, bernama Ketawang
Seruni nampak kelaur dari
bangunan utama
markas Partai Kera Hitam.
Gadis itu langsung menemui kedua lelaki muda berusia sekitar tiga puluh tahunan
yang tersenyum melihat kedatangan-nya.
“Bagaimana, Ni?” tanya Sungo
Karu.
“Ayahku menerima kalian.
Kalian dipersilakan masuk,” jawab Seruni dengan wajah acuh.
“Terima kasih,” sahut keduanya
sambil melangkah masuk, setelah kedua penjaga pintu gerbang membuka tombak yang
semula disilangkan. Mata keduanya menatap ke sekeliling bangunan utama yang
nampak megah. Seakan ada sesuatu yang menjadi perhatian mereka.
“Mampukah aku melakukan tugas
ini?” tanya Ketawang dalam hati. Matanya masih mengawasi sekeliling bangunan
markas Partai Kera Hitam yang dijaga ketat. “Semua penjuru dijaga ketat. Hm,
tapi ini semua tugas dari guru. Aku harus menyelidiki, apakah Nyi Ambar Sari
masih hidup.”
Sambil terus melangkah,
Ketawang yang sebenarnya murid Resi Rupaksi terus berusaha mempelajari tempat
itu. Matanya mengawasi dan mencari-cari jalan yang digunakan untuk lari kalau
saat kepergok.
Namun tampaknya lingkungan ini
tertutup rapat.
Semua jalan dijaga ketat empat
orang prajurit.
Seperti halnya Ketawang, Sungo
Karu pun tengah berpikir unguk mencari jalan keluarnya jika penyusupan yang
mereka lakukan ini terbongkar.
“Celaka Semua tempat di sini
dijaga ketat. Hm, apakah aku dan Ketawang mampu menambus
benteng Partai Kera Hitam yang
kokoh ini? Guru, kami mengharap doa darimu, agar kami berhasil menunaikan
tugas,” gumam Sungo Karu dalam hati.
Dia merasa kecut juga
menyaksikan pertahanan dan penjagaan di lingkungan markas Partai Kera Hitam.
Tak lama kemudian keduanya
sampai di pelataran markas Partai Kera Hitam. Tiba-tiba dari dalam muncul para
anak buah Wanara yang bermuka berangasan membuat lingkaran besar. Sepertinya
mereka telah diperintahkan untuk mengurung kedua orang tamu itu.
“Hm, apa-apaan ini, Nisanak?”
tanya Ketawang tak mengerti, melihat puluhan anak buah Partai Kera Hitam telah
mengurung mereka. Mata Ketawang mengawasi orang-orang berpakaian rompi merah
yang di tangan mereka telah siap senjata berupa golok dan pedang.
Seruni tersenyum, sepertinya
tak peduli dengan kekagetan Ketawang dan Sungo Karu.
“Untuk menjadi anggota Partai
Kera Hitam, kalian harus mendapatkan ujian dulu,” ujar Seruni tenang.
Bibirnya yang merah mengurai
senyum dingin. “Apa kalian siap?”
Ketawang dan Sungo Karu saling
pandang,
kemudian keduanya beralih
menatap wajah Seruni yang masih tersenyum dingin.
“Kalau memang ini caranya kami
siap” sahut Ketawang.
“Bagus” dari dalam terdengar
seruan keras, diikuti kemunculan seorang lelaki berusia sekitar enam puluh lima
yang berwajah mirip kera. Di belakang lelaki berjubah hitam yang tak lain
Wanara itu melangkah. Tiga lelaki yang berusia sebaya dengan Pimpinan Partai
Kera Hitam itu tak lain, Sodra, Watu Gunung, dan Lombang.
Wanara dan ketiga anak buahnya
terbahak-bahak.
Mereka menatapi dua lelaki
muda berpakaian kembar hijau lumut panjang sampai lutut yang telah dikepung
anak buah Partai Kera Hitam. Keempatnya kemudian mendekati Ketawang dan Sungo Karu
yang berusaha tenang.
“Sebutkan nama kalian”
perintah Wanara.
“Namaku Ketawang. Orang sering
menyebutku si Toya Sakti,” sahut Ketawang memperkenalkan diri sambil menjura
hormat.
“Tentunya manusia bermuka kera
inilah yang bernama Wanara,” gumam Ketawang dalam hati. “Dia berilmu tinggi.
Menurut guru, ilmu silumannya mampu menjelmakan diri menjadi seekor kera
raksasa.”
“Hua ha ha... Nama yang bagus,
dan tentunya ilmumu pun tidak mengecewakan,” gumam Wanara sambil tertawa
terbahak-bahak, hingga tampaklah gigi-giginya yang dihiasi sepasang taring
tajam.
“Sekarang namamu, Bogel?”
“Namaku, Sungo Karu. Orang
biasa menyebutku si Caping Maut,” jawab Sungo Karu sambil menjura hormat.
“Hua ha ha... Seharusnya
namamu bukan Sungo Karu, tetapi Bulus...” ejek Wanara sambil tertawa
terbahak-bahak, diikuti ketiga tangan kanannya.
“Kurang ajar” maki Sungo Karu
dalam hati.
“Sayang, guru memesanku harus
hati-hati terhadap keempat orang ini. Tentunya ketiga orang itu tangan kanan
Wanara. Yang tinggi itu, tentunya Sodra. Yang berkepala botak di tangan, pasti
Watu Gunung, dan yang bertubuh kekar pasti yang bernama Lombang.
Hm, mereka bukanlah tokoh
sembarangan. Sayang Kitab Ajian Dewa tak dapat kami pelajari. Kalau saja Kitab
Ajian Dewa dapat kami pelajari, sudah kuhancurkan partai tekutuk ini”
Meski di dalam hati mencaci
maki pada keempat tokoh tua itu Sungo Karu tak dapat berbuat apa-apa.
Di samping sedang menyamar,
dirinya juga menyadari kalau ilmunya belum tentu bisa menandingi keempat lelaki
kejam dan sadis itu. Itu sebabnya Sungo Karu hanya menundukkan kepala,
membiarkan Wanara dan ketiga tangan kanannya mengejek.
“Jadi kalian telah siap untuk
diuji..?” tanya Wanara.
“Kami siap” sahut kedua kakak
beradik seperguruan dengan mantap sambil menganggukkan kepala. Kemudian mata
mereka mengedarkan
pandangan memperhatikan
puluhan lelaki berwajah beringas, yang telah siap menunggu perintah.
“Bagus..., bagus” seru Wanara
sambil menganggukkan kepala. “Untuk ujian pertama, kalian harus mampu
menghadapi lawan sebanyak lima orang”
“Kami siap” sahut keduanya
hampir bersamaan.
“Bagus” Wanara segera
menggerakkan kepala, memerintah pada sepuluh orang anak buahnya untuk maju.
“Terserah kalian mau memakai cara apa. Kalau perlu gunakan senjata kalian.”
“Terima kasih. Kami coba
menggunakan tangan kosong,” jawab Ketawang, yang membuat Wanara dan ketiga
tangan kanannya membelalak. Mereka tak menyangka, kalau kedua lelaki muda itu
berani menghadapi lima anak buah Partai Kera Hitam yang terkenal beringas dan
kejam hanya dengan mengandalkan tangan kosong.
“Hua ha ha... Hebat Apakah
kalian telah berpikir masak-masak? Ingat, nyawa bagi Partai Kera Hitam tak ada
artinya sama sekali” ujar Wanara mencoba mengingatkan pada calon anggota
barunya. “Jika kalian kalah, nyawa sebagai taruhan dalam uji coba ini. Untuk
itu, pikirkan sekali lagi.”
“Kami sudah siap dengan tangan
kosong,” tegas Sungo Karu.
“Hua ha ha Baiklah kalau
begitu.”
Setelah memberi isyarat pada
kesepuluh anak buahnya, Wanara segera mundur bersama ketiga tangan kanannya serta
anaknya. ***
Sepuluh orang anak buah Partai
Kera Hitam telah mencabut golok dan pedang mereka. Kini kesepuluh orang itu
terbagi dua kelompok. Lima orang mengepung Ketawang, sedang lima orang lagi
mengepung Sungo Karu. Namun Ketawang dan
Sungo Karu tampak masih
tenang. Dengan tajam mata keduanya mengawasi setiap gerak-gerik kelima
lawannya.
“Heaaa”
Wrt
Kesepuluh anak buah Partai
Kera Hitam memulai menyerang dengan senjata. Golok dan pedang di tangan mereka,
membabat dan menusuk tubuh lawan. Namun Ketawang dan Sungo Karu dengan gesit
bergerak mengelit. Tubuh keduanya melesat cepat, disusul dengan tendangan dan
pukulan tangan.
“Hea”
“Yea”
Ketawang dan Sungo Karu
sengaja tak mengeluarkan jurus 'Elang Sakti', karena jurus itu tentunya sudah
dikenal keempat tokoh utama Partai Kera Hitam. Karena mereka pernah bentrok
dengan paman seperguruan mereka, Kerto Pati.
Ketawang dan Sungo Kartu kini
bergerak meng-atasi serangan lawan dengan jurus 'Walang Keket'.
Sebuah jurus ciptaan sang Guru
yang dipersiapkan untuk keduanya, sebelum ditugaskan menyusup ke markas Partai
Kera Hitam.
Tangan dan kaki kedua lelaki
berpakaian hijau itu bagaikan kaki-kaki dan sayap belalang. Gerakan mereka
gesit dan lincah. Sebentar melesat menyerang dengan cakaran dan hantaman,
kemudian melejit mengelak.
Wanara dan ketiga tangan
kanannya dibuat kagum dengan jurus yang dipakai Ketawang dan Sungo Karu.
Meski tubuh Sungo Karu seperti
kura-kura besar gemuk dan pendek, namun dengan jurus 'Walang Keket', Sungo Karu
ternyata mampu bergerak cepat.
Tubuhnya melompat ke sana
kemari, dengan sesekali menendang dan mencakar ke dada lawan-lawannya Degkh
Crat
“Akh...” jeritan keras
terdengar susul-menyusul dari kelima anak buah Partai Kera Hitam. Muka mereka
tergores cakaran tangan Ketawang dan Sungo Karu. Sementara lawan yang terhantam
tendangan kaki terpental ke belakang dengan mulut meringis kesakitan.
Plok Plok Plok...
Wanara bertepuk tangan,
diikuti seluruh anak buahnya. Lelaki bermuka kera itu menyeringai senang,
melihat kehebatan ilmu kedua lelaki muda itu. Hanya dalam beberapa gebrakan,
keduanya mampu menjatuhkan ke lima anak buah Partai Kera Hitam.
“Hebat... Hebat Kalian memang
bukan orang sembarangan. Hm, tapi itu ujian pertama. Ada dua ujian yang akan
kalian hadapi. Bagaimana, apa kalian telah siap dengan ujian terakhir?” tanya
Wanara seraya tersenyum menatap kedua tamunya itu.
“Kami siap” sahut Ketawang
yakin.
“Ayah, biar aku yang menguji
mereka” usul Seruni.
Matanya menatap tajam wajah
kedua lelaki di hadapannya. Bibirnya yang merah menyunggingkan senyum
meremehkan.
“Nah, dengar Kalian akan
berhadapan dengan anakku. Apakah kalian siap...?” tanya Wanara sambil
tersenyum.
“Siap” sahut Sungo Karu.
“Baik Seruni...” seru Wanara
seraya meng-gelengkan kepala memerintahkan putrinya itu.
“Baik, Ayah.”
Seruni maju dua tindak,
berhadap-hadapan
dengan kedua lawannya.
Ketawang dan Sungo Karu masih belum tahu, siapa gadis cantik muda belia di
hadapannya. Menurut cerita guru mereka, Ambar Sari hanya memiliki seorang anak
lelaki yang entah hidup atau mati. Tetapi kini keduanya berhadapan dengan
seorang gadis yang menyebut ayah terhadap Wanara.
Padahal Wanara hanya kawin
dengan Ambar Sari.
Gadis-gadis lain, hanya
sebagai pemuas nafsu belaka.
“Kalian telah siap?” tanya
Seruni.
“Ya” sahut Ketawang.
“Apa yang kalian inginkan?
Tangan kosong, atau senjata?” tantang Seruni.
“Tangan kosong” jawab Sungo
Karu. “Baik. Sebagai tamu dan akan menjadi anggota baru, kalian boleh menyerang
lebih dahulu sekaligus berdua”
Ketawang dan Sungo Karu tersentak
kaget mendengar tantangan itu. Mereka tak menduga, kalau Seruni akan berani
menantang mereka langsung berdua.
“Benar-benar nekat dan sombong
gadis ini,”
gumam Ketawang dalam hati.
Matanya menatap tajam wajah Seruni, seolah-olah tak percaya kalau gadis belia
itu akan berlaku gegabah terhadap mereka berdua.
“Kenapa kalian diam? Ayo,
lakukanlah” tantang Seruni dengan angkuhnya. Gadis itu seakan menganggap kedua
lelaki di hadapannya tak berarti sama ekali. Bahkan sikapnya tampak sangat
meremehkan Ketawang dan Sungo Karu.
“Baiklah. Jangan menyesal jika
tubuhmu yang mulus tersentuh tangan kami” jawab Ketawang sambil bergerak maju
menyerang Seruni dengan jurus
'Walang Keket Mencolek Daun'.
Tangannya bergerak laksana kaki belalang yang menyibak dedaunan, menyerang dada
gadis cantik itu.
“Cabul” maki Seruni seraya
berkelit ke samping, kemudian dengan cepat gadis itu mengeluarkan jurus
'Tarian Bius Seribu'. Tubuhnya
bergerak gemulai tapi cepat. Tangannya meliuk-liuk seperti melakukan gerakan
tari Bali. Matanya melotot dan bergerak-gerak dengan lincah.
Dari jurus-jurus mirip tarian
itu, menimbulkan rangkaian gerakan yang menantang dan merangsang.
Hal itu membuat Ketawang dan
Sungo Karu tersentak kaget. Mata mereka melotot, dengan jakun turun naik. Melihat
kedua lawannya terpengaruh gerakannya, Seruni tersenyum. Memang hal itulah yang
di-kehendaki. Karena dengan begitu, dirinya akan mudah menjatuhkan kedua
lawannya.
Ketawang tersentak kaget,
ketika sebuah
hentakan keras dilakukan
Seruni. Dengan cepat Ketawang melompat mundur. Matanya membelalak, tak percaya
dengan apa yang baru saja dialami.
Sementara Sungo Karu yang
masih terpengaruh gerakan tubuh gemulai itu, tak mampu lagi mengelakkan
tamparan tangan kiri Seruni. Tanpa ampun lagi, tangan mulus milik Seruni yiang
disaluri tenaga dalam menghantam pipi kanan.
Prat
“Akh” Sungo Karu terpekik.
Tubuhnya yang gemuk dan bulat seperti kura-kura, terhuyung ke belakang dengan
mata melotot kaget. Dari sela bibirnya, meleleh darah segar.
“Hi hi hi...” Seruni tertawa
cekikikan. Hatinya puas telah dapat mempecundangi salah seorang dari kedua
lawannya. Gadis itu kini berdiri dengan sikap angkuh. Senyum sinis menghias di
bibirnya, seakan menantang kedua lawan untuk kembali maju.
“Hati-hati, Sungo Ternyata
jurusnya mengandung bius yang akan membuat kita terpengaruh. Kita harus membuat
pandangan ke tempat lain. Mari kita serang lagi Heaaa...” Ketawang kembali
bergerak dengan jurus 'Walang Keket Merentang Sayap'. Kedua tangannya
direntangkan, kemudian secara bergantian menyerang tubuh Seruni dengan cepat
dan beruntun.
Sungo Karu yang sudah terkena
tamparan Seruni, tak mau tinggal diam. Dengan jurus 'Walang Keket Menggigit
Daun' dirinya bergerak menyerang. Kedua tangannya bagaikan mulut seekor
belalang yang hendak menggigit daun.
Mendapat serangan beruntun
dari kedua lawan, Seruni kembali melakukan gerakan jurus 'Tarian Bius Seribu'.
Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari. Namun Ketawang dan Sungo Karu yang sudah
tahu
kehebatan jurus itu, tak mau
menatap tubuh Seruni.
Sambil membuang pandangan ke
tempat lain, keduanya terus menyerang.
Seruni tersentak kaget karena
tak menyangka, kalau lawan telah tahu kelemahan jurusnya. Dengan cepat Seruni
melentingkan tubuh ke atas. Setelah bersalto beberapa kali akhirnya mendarat dengan
ringan di tanah.
“Cukup” seru Wanara, “Kalian
telah lulus Kini kalian resmi menjadi anggota Partai Kera Hitam.''
“Terima kasih,” jawab keduanya
sambil menjura hormat
“Sebagaimana biasanya, maka
hari ini kita akan merayakan penerimaan anggota baru Mari...”
Hari itu, Partai Kera Hitam
pun mengadakan pesta untuk merayakan masuknya anggota baru. Semua anggota
Partai Kera Hitam bergembira.
Hanya seorang wanita berusia
sekitar lima puluh tahun yang tampak termenung seorang diri. Wanita tengah baya
yang masih menampakkan kecantikan-nya itu, tiada lain Ambar Sari.
Dari kedua mata wanita
setengah baya itu, mengalir mata. Hatinya sedih jika melihat anaknya, Seruni
yang adat dan kesombongannya menyerupai sang ayah, Wanara. Ingatannya kembali
melayang pada anak lelakinya, Purbaya. Yang entah hidup atau mati. *** 4
Goa Kalong yang terletak di
Pegunungan Kapur pagi itu terasa dingin. Namun seorang pemuda berambut putih
keperakan nampak masih menggelantung di dinding goa dengan kaki di atas, tak
ubahnya seperti seekor kelelawar. Tubuh pemuda itu sangat kekar.
Wajahnya tampan dan bersih.
Dari tubuhnya yang menggelantung dengan tangan bersidekap, menetes air bening
turun lewat kaki ke rambutnya yang putih perak.
Ketika itu dari dalam goa,
muncul seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh lima tahun. Lelaki
berjubah seperti pakaian resi warna putih sesaat berdiri memperhatikan pemuda
yang menggelantung di atasnya. Lelaki tua berambut putih itu, tak lain Resi
Turangga Weni. Salah seorang resi sakti yang puluhan tahun silam namanya
sejajar dengan Pendekar Gila dari Goa Setan, guru dari Sena.
“Purbaya, sudah cukup kau
melakukan semadi.
Empat puluh hari lamanya kau
melakukan hal seperti itu. Sekarang bangunlah, Anakku” perintah Resi Turangga
Weni.
Perlahan-lahan mata pemuda
berambut keperakan yang dipanggil Purbaya membuka, kemudian memandang Resi
Turangga Weni.
Resi Turangga Weni tersenyum.
“Turunlah, Cucuku Hari ini,
semuanya telah selesai. Dua puluh tahun sudah kau berada di Goa Kalong ini.”
“Eyang menyuruhku?” tanya
Purbaya. “Benar. Turunlah”
Purbaya berjumpalitan sesaat
di udara, kemudian dengan ringan mendarat di depan gurunya sambil melakukan
sembah. Hal itu membuat Resi Turangga Weni tersenyum semakin senang melihat
tingkah laku muridnya yang sopan.
“Ada gerangan apa Eyang Guru
membangunkan semadiku?” tanya Purbaya setelah melakukan sembah.
Resi Turangga Weni memegang
pundak Purbaya yang bertelanjang dada. Di bibirnya masih mengurai senyum
kekagumam pada sang Murid. Dielus-elusnya pundak Purbaya yang masih berlutut di
hadapan sang guru. Ada gambaran rasa cinta kasih di wajah lelaki tua itu.
“Cucuku, dua puluh tahun sudah
kau berada di Goa Kalong. Semua ilmu yang kuajarkan, telah kau serap semua.
Bahkan ajian 'Rambut Api' yang selama ini belum pernah kuperdalami. Tetapi
syukurlah, akhirnya kau yang berjodoh dengan ajian itu” tutur Resi Turangga
Weni sambil terus membelai-belai pundak Purbaya. Wajahnya ditengadahkan,
memandang ke langit-langit goa yang meneteskan air bening dan menebarkan hawa dingin.
“Kini saatnya bagimu turun gunung, mengamalkan semua yang telah kau peroleh di
sini” ujarnya dengan suara pelan.
“Tapi, Eyang...?” Purbaya
hendak menolak apa yang disarankan eyang gurunya. Sepertinya pemuda itu tidak
ingin berpisah dengan Resi Turangga Weni, juga Goa Kalong yang telah dua puluh
tahun menjadi tempat tinggalnya.
Resi Turangga Weni tersenyum
sambil meng-
geleng-gelengkan kepala.
Tangannya masih membelai-belai rambut pemuda tampan yang berwarna putih
keperakan itu.
“Kau tidak bisa begitu,
Cucuku. Ada pertemuan, tentu ada perpisahan. Ada kehidupan, pasti ada kematian.
Cepat atau lambat, usia manusia akan terus bertambah. Jangan sia-siakan usiamu
Gunakanlah kesempatan hidup
yang hanya sebentar ini. Untuk mengabdi pada kebenaran dan keadilan,”
tutur Resi Turangga Weni
menasihatkan.
“Saya mengerti, Eyang.”
“Syukurlah kalau begitu” ujar
Resi Turangg Weni dengan mengangguk-anggukkan kepala, “Sekarang mandilah dulu
di telaga. Aku telah mempersiapkan pakaian untukmu.”
“Baik, Eyang.”
Purbaya pun segera melangkah
keluar dari Goa Kalong untuk mandi di telaga yang tak jauh dari goa itu. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Purbaya yang sudah empat puluh hari tak mandi,
langsung menceburkan diri ke telaga. Dia mandi sepuas-puasnya.
Dari dalam goa, Resi Turangga
Weni keluar membawa setumpuk pakaian warna putih dengan ikat pinggang merah
menyala.
“Ini pakaianmu, Purbaya.
Setelah mandi, pakailah
Kemudian temui aku di dalam”
perintah Resi Turangga Weni. Ditaruhnya pakaian itu di tepi telaga kemudian
lelaki itu kembali melangkah meninggalkan telaga, menuju goa.
Resi Turangga Weni duduk di
atas sebuah batu besar dan rata dalam Goa Kalong itu. Tidak lama kemudian, dari
luar muncul Purbaya yang telah mengenakan jubah putih terbuat dari serat benang
sutera. Ikat pinggangnya yang merah menyala, semakin menambah kegagahan pemuda
tampan itu.
“Duduklah”
“Terima kasih, Eyang.” Purbaya
pun segera duduk bersila di hadapan Resi Turangga Weni. Rambutnya yang putih
keperakan dibiarkan terurai panjang.
Udara di dalam Goa Kalong
seketika terasa segar.
Ada sesuatu yang keluar dari
rambut keperakan pemuda tampan itu. Sehingga membuat suasana di dalam Goa
Kalong terasa segar, seakan dari rambut Purbaya, menghembuskan hawa hangat yang
mampu menekan hawa dingin.
“Purbaya, Cucuku. Kurasa tak
banyak yang akan kusampaikan padamu, sebagai bekal perjalananmu.
Hanya satu pesanku. Janganlah
dirimu menjadi sombong dan takabur. Kesombongan dan
ketakaburan akan membuat kita
celaka. Menurut kabar yang kudengar, ibumu masih hidup. Tapi entah di mana...,”
tutur Resi Turangga Weni.
Mendengar ucapan sang Guru,
Purbaya seketika tersentak kaget. Matanya terbelalak seakan-akan tak percaya
pada apa yang baru didengarnya. “Ibu masih hidup?”
“Benar, Anakku. Itu yang
pernah kudengar.”
“O, syukurlah Ingin sekali aku
bertemu dengan-nya. Apakah mungkin ibu juga tahu kalau aku masih hidup, Eyang?”
tanya Purbaya ingin tahu.
“Entahlah, Cucuku. Tapi kau
memiliki kalung ini.
Tentunya jika ibumu melihat,
dia akan ingat. Kini, berangkatlah Tegakkan kebenaran dan keadilan. Tak ada
yang dapat Eyang berikan padamu untuk bekal.
Hanya doa Eyang yang akan
menyertaimu...,” tutur Resi Turangga Weni.
''Terima kasih, Eyang. Aku
mohon pamit” pinta Purbaya sambil melakukan sembah. Sedangkan Resi Turangga
Weni dengan penuh kasih membelai rambutnya.
“Hati-hatilah, Cucuku”
Dengan menahan perasaan sedih
Purbaya
melangkah meninggalkan Resi
Turangga Weni dan Goa Kalong. Dalam hatinya berjanji, akan menegak-kan
kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.
Namun, kini tujuan utama akan
mencari sang Ibu yang menurut berita masih hidup.
“Di manakah ibu?” gumam
Purbaya, sambil terus melangkah keluar dari dalam goa. Sesaat pemuda itu
berdiri mematung di depan mulut goa, menatap ke langit yang biru dan bening.
Kemudian setelah menoleh ke belakang memandang Goa Kalong.
Purbaya kembali meneruskan
langkah menuruni Pegunungan Kapur.
Dengan langkah mantap dan
pasti, pemuda
berambut panjang putih
keperakan itu terus melangkah menelusuri lereng Pegunungan Kapur.
Dirinya tak tahu harus ke
mana, hanya mengikuti ke mana kaki melangkah. Rasa rindu ingin bertemu ibunya,
membuat langkah Purbaya semakin mantap.
Dengan berlari-lari kecil,
pemuda itu terus menuruni lereng Pegunungan Kapur yang tampak putih dan kering tertimpa
terik matahari.
Pegunungan Kapur memang
tandus. Di sana sini yang tampak hanya bebatuan kapur dan granit.
Hanya di sekitar Goa Kalong
tumbuh pepohonan yang tak begitu rimbun, karena tanah di situ memang agak
subur. Maka jika dilihat dari kejauhan, Pegunungan Kapur hanya sebagian
puncaknya yang ditumbuhi pepohonan rimbun, sedangkan lainnya hanya bebatuan
kapur dan gramit.
Sesampainya di bawah lereng
Pegunungan Kapur, Purbaya sesaat berhenti. Dirinya nampak bingung harus
melangkah ke mana, karena belum pernah tahu di mana Desa Kranggan, tempat
kelahirannya.
Desa yang akan senantiasa
diingat. Di mana dirinya dan kedua orangtuanya tinggal, hidup aman sejahtera
dan berbahagia sampai akhirnya para penjahat itu datang mengacau dan membunuh
ayahnya, Kerto Pati.
Empat orang lelaki, yang salah
satunya bermuka kera datang ke rumahnya. Mereka mengeroyok ayahnya, setelah
menanyakan Kitab Ajian Dewa. Sang Ayah, akhirnya mati, di tangan keempat lelaki
jahat itu.
Ingatan Purbaya kembali
melayang. Semua
kejadian semasa dirinya
berusia lima tahun, kembali terlintas dalam benaknya. Dari kematian sang Ayah,
sampai kematian kusir kereta yang bernama Trenggana dan entah bagaimana nasib
ibunya.
“Ibu, mungkin kau menyangka
aku telah mati. O, ingin sekali aku bertemu denganmu, Bu. Kerinduan selama dua
puluh tahun kupendam, karena aku tak tahu harus berbuat apa,” desah Purbaya
lirih sambil menghela napas dalam-dalam. Ditatapnya sinar mentari pagi yang
terasa hangat. Kemudian mata pemuda tampan berambut putih keperakan itu menatap
ke sekeliling.
Di kejauhan tampak desa-desa
kecil terhampar di bawah. Pepohonan tumbuh subur menutup desa-desa yang tampak
di sebelah utara, barat, dan timur.
Seketika itu pula pikiran
Purbaya kembali teringat Desa Kranggan yang dua puluh tahun lalu ditinggal-kan.
Entah seperti apa desa itu kini.
Setelah menghela napas
dalam-dalam, kini
Purbaya kembali meneruskan
langkahnya untuk mengembara dan mencari ibunya yang menurut Eyang Resi Turangga
Weni masih hidup. Sekaligus mencari pembunuh sang Ayah yang dianggapnya telah
membuat kehancuran keluarganya. ***
Siang itu suasana terasa aneh,
matahari sangat panas, menyengat dan seakan hendak memanggang seluruh makhluk
bumi. Tampak para peladang mulai berteduh di bawah pepohonan di sekitar ladang mereka.
Terik matahari siang itu, juga dirasakan penduduk Desa Kranggan. Mereka mulai
menghentikan pekerjaan dan pulang ke rumah masing-masing.
Berkumpul kembali dengan anak
istri mereka, dan berlindung dari terik matahari yang begitu panas.
Di tengah suasana panas itu
nampak seorang pemuda berambut panjang keperakan tengah
melangkah dengan tenang.
Pemuda berjubah putih itu seakan-akan tak merasa kepanasan sedikit pun.
Tak ada keringat yang keluar
dari tubuhnya. Matahari yang begitu terik sepertinya tak berarti baginya.
Pemuda yanga tiada lain
Purbaya itu, terus melangkah menelusuri jalan tanah yang membelah Desa Kranggan
untuk mencari kedai. Perutnya yang empat puluh hari melakukan tapa, terasa
begitu lapar. Tadi ketika dia hendak meninggalkan Goa Kalong, dirinya lupa
untuk mengisi perut.
Purbaya masih melangkah, tak
menghiraukan panas terik yang menyengat. Ternyata seluruh tubuhnya memang tak
merasakan hawa panas sedikit pun.
Hal itu dikarenakan pengaruh
dari rambutnya yang seperti mengandung air serta mengeluarkan hawa sejuk dan
segar. Tak jauh dari tempat Purbaya berada, tampak sebuah kedai yang ramai
pengunjungnya. Semua orang yang melihat pemuda itu melangkah bagaikan
terkesima. Mata mereka kini tertuju pada pemuda berambut keperakan tampak segar.
Tanpa keringat bercucuran, tanpa rasa lelah dan kepanasan.
Padahal, terik matahari
bagaikan hendak
memanggang.
Di antara para penduduk Desa
Kranggan yang tengah berteduh di dalam kedai itu, tampak seorang pemuda
berambut gondrong memakai rompi kulit ular. Pemuda bertingkah laku aneh itu tak
lain Sena Manggala atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Gila. Di
sampingnya berdiri seorang gadis cantik
berpakaian hijau daun.
Pendekar Gila tampak mengerutkan kening sambil cengengesan menatap Purbaya.
Gadis di samping Pendekar Gila
yang ternyata Mei Lie tampak heran. Orang-orang di kedai itu semakin heran, tak
terkecuali Pendekar Gila dan Mei Lie ketika Purbaya berada semakin dekat dengan
mereka. Hal itu karena tiba-tiba ada hawa sejuk berhembus dari rambut keperakan
milik pemuda itu.
“Aha, kau merasakan sesuatu
keanehan, Mei Lie?”
tanya Sena sambil
menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan sambil menoleh pada wajah Mei
Lie.
“Ya, aku merasakan hawa yang
sejuk. Kurasa pemuda itulah sumbernya. Lihat, Kakang Rambutnya seperti berair,”
gumam Mei Lie.
''Ya ya ya, kurasa memang
dialah yang penyebab-nya. Aha, baru kali ini kulihat orang yang mampu
mengeluarkan hawa sejuk,” gumam Sena dengan tangan tetap menggaruk-garuk
kepala. Mulutnya cengengesan, dengan mata menatap Purbaya yang kini semakin
bertambah dekat dengan kedai.
“Kurasa dia bukan orang
sembarangan, Kakang,”
tukas Mei Lie sambil terus
memperhatikan Purbaya yang tampak mulai dikerumuni orang-orang desa.
Pemuda berambut keperakan itu
kini berada di depan kedai lalu duduk di dipan bambu.
Melihat orang-orang bertambah
banyak
mengerumuni Purbaya, Pendekar
Gila bangkit dari duduknya, lalu melangkah mendekati kerumunan itu.
“Aha, bubarlah semua...
Bubar...” perintah Sena pada orang-orang yang mengerumuni Purbaya.
Mereka menganggap pemuda
berambut keperakan itu orang aneh yang patut ditonton.
Para warga desa dan anak-anak
yang berkumpul mengelilingi Purbaya seketika bubar meninggalkan kedai. Mereka
bersorak-sorai, mengolok-olok Purbaya. Namun pemuda berambut keperakan itu
sepertinya tak marah. Justru tampak tersenyum-senyum.
“Hush Pergi-pergi...” bentak
Mei Lie dengan mata melotot, membuat anak-anak kecil yang tadi masih
berolok-olok langsung bubar meninggalkan tempat itu.
“Aha, kurasa lebih baik kita
ke dalam, Kisanak”
ajak Sena dengan tingkah
lakunya yang persis orang gila. “Kulihat kau pun lapar. Ayolah... Ah ah ah...”
“Terima kasih. Kau baik
sekali, Kisanak. Namaku Purbaya,” ujar Purbaya memperkenalkan diri. Keningnya
mengerut menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila yang aneh itu.
“Aha, namaku Sena Manggala.
Dan temanku ini bernama Mei Lie,” Pendekar Gila memperkenalkan diri dan nama
kekasihnya. “Hm, sudah kuduga, kalau Nini Mei Lie orang Cina,” tukas Purbaya
berseloroh.
“Aha, tepat sekali. Dia memang
dari Cina. Tetapi sekarang hidup di dusun. Hi hi hi...” Sena menimpali seloroh
Purbaya yang membuat Mei Lie melotot sengit.
Ketiganya tersenyum.
“Aha, mari masuk” ajak Sena
sambil membimbing Purbaya melangkah masuk ke kedai. Kemudian pemuda itu diajak
duduk di sampingnya. “Pelayan, beri Kisanak ini makanan yang enak”
“Baik, Tuan.”
Pelayan kedai segera mengambil
makanan yang dipesan Pendekar Gila. Tidak lama kemudian, pelayan itu telah
kembali dengan membawakan makanan.
“Ini pesanan, Tuan.”
“'Terima kasih. Taruhlah di
sini” perinta Sena yang segera dilaksanakan pelayan kedai itu. “Silakan,
Kisanak”
“Kalian...?” tanya Purbaya.
“Kami baru saja,” jawab Mei
Lie sambil tersenyum menganggukkan kepala. “Bersantaplah yang enak”
“Terima kasih.”
Purbaya pun menyantap makanan
itu dengan
lahap. Sehingga dalam waktu
sebentar saja makanan telah habis tak tersisa.
“Mau tambah, Kisanak?” tanya
Sena.
“Ah tidak, terima kasih,”
sahut Purbaya sambil tersenyum.
“Aha, kalau kau memang masih lapar,
nambahlah
Biar aku yang membayar
semuanya,” ujar Sena ramah.
''Terima kasih. Cukup Kalau
nambah, kurasa perutku tak akan sanggup menampungnya,” jawab Purbaya sambil
tersenyum, membuat Sena dan Mei Lie turut tersenyum.
“Maaf, ng..., Purbaya. Kalau
boleh kami tahu, hendak ke manakah tujuanmu?” tanya Mei Lie.
Purbaya terdiam sesaat.
Ditariknya napas dalam-dalam. Kemudian diedarkan matanya ke sekeliling kedai,
seperti tengah mencari sesuatu. Kemudian dengan helaan napas panjang, pemuda
itu menceritakan tujuannya.
“Aku ingin mencari kampung
halamanku, sekaligus mencari ibuku yang kabarnya masih hidup. Lalu yang kedua,
aku bermaksud mencari Kitab Ajian Dewa yang dahulu dititipkan Pendekar Gila
pada ayahku.
Entah di mana kitab itu berada
sekarang. Aku khawatir orang-orang jahat yang membunuh ayahku berhasil
mendapatkannya,” tutur Purbaya. Wajah pemuda itu menyiratkan kepedihan dalam
hatinya.
“Pendekar Gila...?” tanya Mei
Lie dengan kening mengerut, sepertinya hendak meyakinkan pendengarannya.
''Ya” sahut Purbaya. “Dulu,
ketika ayahku masih hidup, ayahku pernah bercerita tentang seorang pendekar
yang tingkah lakunya persis orang gila. Itu sebabnya dia dikenal dengan sebutan
Pendekar Gila.
Antara ayahku, dengan Pendekar
Gila saling ber-sahabat. Pada masa hendak menghilang dari rimba persilatan,
Pendekar Gila menitipkan Kitab Ajian Dewa pada ayahku. Dia berpesan agar ayah
memberitahukan kitab itu kepada murid atau keturunan-nya kelak.”
Mei Lie semakin mengernyitkan
kening, mendengar penuturan Purbaya. Kemudian matanya menatap wajah Pendekar
Gila yang tampak cengengesan, sepertinya tak peduli penuturan pemuda berambut
keperakan di hadapannya.
“Apakah Nini Mei Lie kenal
dengan pendekar sakti itu?” tanya Purbaya seraya menatap wajah gadis cantik
itu.
“Ya.”
“O, syukurlah Aku ingin
meminta maaf atas nama ayahku, yang tidak bisa menjaga barang titipannya.
Tetapi mungkin juga masih
disimpan ayahku. Hanya ibuku yang tahu, di mana kitab itu disimpan,” ujar
Purbaya. “Kalau boleh saya tahu, di mana pendekar itu?”
“Bukankah ada di sampingmu?”
tanya Mei Lie sambil menoleh dan tersenyum pada Pendekar Gila yang hanya
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Seketika Purbaya membelalakkan
mata kaget.
Hatinya hampir tak percaya
kalau orang yang di sampingnya ternyata Pendekar Gila. Pemuda itu segera
menoleh dan menatap wajah Sena yang tampak tersenyum-senyum.
“O, maafkanlah kebutaanku,
Tuan Pendekar
Sungguh tak pernah kusangka,
kalau aku bisa bertemu dengan Pendekar Gila,” ujar Purbaya sambil menjura
“Aha, kau salah, Kisanak.
Mungkin yang dimaksud ayahmu adalah guruku. Memang semua pendekar yang keluar
dari Goa Setan, akan dijuluki orang sebagai Pendekar Gila. Eyang guru, guruku,
dan aku...,” tutur Sena menjelaskan. “Semua mendapat julukan Pendekar Gila.”
Purbaya mengangguk-anggukkan
kepala, men-
dengar penuturan Sena tentang
gelar Pendekar Gila.
Namun meski dulu yang menjadi
sahabat ayahnya adalah guru Sena. Purbaya tetap merasa, tak salah jika minta
maaf pada Sena. Karena dirinya merasa Kitab Ajian Dewa yang hingga kini belum
diketemukan, merupakan hak Sena sebagai murid Pendekar Gila.
“Meskipun kau muridnya, aku
merasa sepantasnya minta maaf, karena kitab itu belum bisa kuberikan padamu,”
ujar Purbaya.
“Aha tak menjadi masalah,
Kisanak. Bukankah kita bisa mencarinya bersama-sama?” sahut Sena berusaha
meyakinkah Purbaya, agar pemuda berambut keperakan itu tenang dan tidak merasa
bersalah.
“Terima kasih atas kebaikanmu,
Pendekar.”
“Aha, mengapa kau sebut
pendekar? Namaku
Sena?” ujar Sena dengan
cengengesan sambil tangannya menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat Mei Lie
melotot gemas dan mencubit pinggang kekasihnya. Pendekar Gila terpekik karena
kesakitan.
Sementara Purbaya tampak
tersenyum-senyum melihat tingkah keduanya.
“Dasar gila” sungut Mei Lie.
“Hi hi hi... Bukankah aku gila
karenamu?” goda Sena yang semakin membuat Mei Lie melotot gemas.
Ketika mereka tengah bercanda,
tiba-tiba....
“Tolong... Tolooong...”
Tiba-tiba terdengar teriakan
seorang wanita dari arah barat.
“Heh?”
“Aha, ada apa gerangan?” gumam
Sena.
“Pasti gerombolan Partai Kera
Hitam” sahut pemilik kedai. Mendengar hal itu Sena, Mei Lie, dan Purbaya
mengerutkan kening.
“Gerombolan Partai Kera Hitam?
Apa maksudmu, Ki?” tanya Mei Lie ingin tahu. “Gerombolan kejam yang selalu
berusaha ingin berkuasa dan mencari seseorang di desa ini,” tutur pemilik kedai
menjelaskan. Baik Pendekar Gila, Mei Lie, maupun Purbaya sama-sama tercengang
mendengar penjelasan pemilik kedai itu.
“Tolong... Tolooong...” suara
teriakan itu pun terdengar lagi, bahkan semakin dekat dari kedai. Hal itu
membuat Purbaya, Pendekar Gila, dan Mei Lie langsung melesat keluar ingin tahu
apa yang terjadi. *** 5
Dari arah barat, nampak
segerombolan lelaki berwajah garang berpakaian rompi merah menyala.
Mereka tengah mengejar seorang
gadis cantik jelita berpakaian biru laut. Gadis itu berlari terbirit-birit
ketakutan, karena sepuluh lelaki beringas terus memburunya, tanpa menghiraukan
jeritan ketakutan.
“'Tolong... Tolooong...”
Semua warga Desa Kranggan yang
semula berada di jalanan atau di sawah, seketika langsung bersembunyi. Mereka
tidak berusaha menolong gadis yang tengah dicekam rasa takut itu, melainkan
bersembunyi. Hal itu karena para penduduk tahu gerombolan itu adalah Partai
Kera Hitam.
Gadis cantik berambut panjang
itu terus berlari semakin ketakutan, karena tak seorang pun warga desa yang
menolongnya. Sambil menjerit-jerit ketakutan dia terus berlari, berusaha
meninggalkan pengejarnya.
“Tolong... Tuan, tolong...”
seru gadis itu ketika melihat tiga orang di depan kedai. Hatinya benar-benar
berharap pertolongan dari ketiga orang yang tidak bersembunyi seperti warga
desa lainnya.
“Aha, ada tikus-tikus yang
sedang memburu mangsa Hi hi hi... Lucu sekali” gumam Sena dengan cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
“Tolong Tuan Mereka mau
menangkapku,” ratap gadis cantik itu pada Pendekar Gila.
Ingatan Mei Lie seketika
melayang pada suatu peristiwa ketika dia baru tiba di Tanah Jawa Dwipa. Saat
itu dirinya dikejar-kejar gerombolan Segara Wedi.
Kemarahannya seketika meledak.
Harga dirinya sebagai seorang wanita, bagaikan memberontak.
Matanya menatap garang pada
kesepuluh lelaki yang berlari-lari menuju kedai.
“Nisanak, siapa mereka?” tanya
Mie Lie.
“Mereka gerombolan Partai Kera
Hitam. Tolonglah saya... Saya tak mau dijadikan budak nafsunya.
Tolonglah saya, Ni Pendekar,”
ratap gadis cantik itu pada Mie Lie.
“Mundurlah, biar aku yang
menghadapi mereka”
ujar Mei Lie geram.
Sementara Pendekar Gila dan
Purbaya masih tenang. Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk
kepala. Sepertinya merasa tenang, melihat kekasihnya kini melangkah maju.
Hatinya tak merasa khawatir terhadap Mei Lie, karena paham benar gadis cantik
yang mempunyai julukan angker
'Bidadari Pencabut Nyawa
Iblis' itu.
“Tuan Pendekar..., mengapa
kita berdiam diri? Kita harus membantu Nini Mei Lie,” ujar Purbaya, merasa
heran melihat Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Aha, biarkan saja, Kisanak
Kita lihat saja dulu,”
sahut Pendekar Gila sambil
tersenyum-senyum, melihat Mei Lie melangkah mantap menghadang kesepuluh lelaki
bermuka beringas.
“He he he... Kawan-kawan,
rupanya kita melepaskan burung merpati, kini dapat burung merak indah,”
teriak pimpinan gerombolan
dari Partai Kera Hitam pada rekan-rekannya yang terbahak-bahak melihat gadis
cantik berada di depan mereka.
“Hm, kau menginginkan aku?”
tanya Mei Lie sambil tersenyum dan mengerlingkan mata.
“Bukan hanya kami. Pimpinan
kami pun tentu senang, jika kami dapat membawamu ke markas,”
sahut lelaki bertubuh tinggi
tegap dengan wajah ditumbuhi cambang bawuk lebat itu.
“Baik, tangkaplah aku kalau
kalian sanggup”
tantang Mei Lie sambil
tersenyum mengejek. Namun matanya menatap garang anak buah Partai Kera Hitam.
“He he he..., apa susahnya
menangkap burung merak seindah dirimu, Nini?” sahut Kuncupala, pimpinan
gerombolan itu sambil terkekeh. Lelaki bercambang bauk itu meremehkan Mei Lie.
Kalau saja dirinya tahu siapa gadis Cina itu, tentunya akan berpikir seribu
kali untuk menghadapinya.
“Hm, begitu? Tangkaplah kalau
bisa” tantang Mei Lie dengan senyum sinis di bibirnya.
“He he he... Tangkap burung
merak itu” perintah Kuncupala pada anak buahnya.
“Hea”
Lima orang segera mengepung
Mei Lie. Kemudian dengan beringas, langsung menubruk Mie Lie.
Namun, dengan cepat Mie Lie
melompat ke atas, sehingga kelimanya saling berbenturan satu sama lain.
Brukkk
“Aaa...”
“Ha ha ha...” Mei Lie tertawa
terbahak-bahak melihat kelima lelaki yang hendak menangkapnya saling
bertabrakan. Tampak tiga orang mengusap-usap kepala karena benjol. “Kalian
seperti menangkap kodok. Ha ha ha...”
“Hi hi hi... Lucu..., lucu
sekali” gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala, melihat kejadian itu. Purbaya
pun yang semula diam dan tegang, takut kalau-kalau Mie Lie tertangkap kini tertawa
terbahak-bahak.
“Ah, rupanya aku yang belum
berpengalaman ini, mesti belajar banyak dari kalian, Tuan Pendekar,”
gumam Purbaya sambil
menggeleng-geleng kepala kagum pada Mei Lie. Matanya yang tajam memandang
sambil menertawakan kelima anak buah Partai Kera Hitam yang meringis-ringis
kesakitan.
Merasa ditertawakan oleh
Pendekar Gila, Purbaya, dan Mei Lie. Kuncupala sang Pimpinan gerombolan tampak
semakin marah.
“Kurang ajar Kubunuh kalian
Ayo..., habisi mereka” perintahnya sambil menggerakkan tangan.
Para anak buahnya segera
merangsek dan
menyerang Pendekar Gila dan
Purbaya.
“Aha, kita akan main-main Mei
Lie, minggirlah dulu Atau masuklah ke dalam kedai, biar kami main-main dengan
cecurut-cecurut ini” seru Sena sambil tersenyum cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
“Kurang ajar Lancang sekali
mulutmu, Pemuda Gila Bunuh mereka...” teriak Kuncupala sambil melesat. Para
anak buahnya segera mencabut pedang masing-masing.
Srt Srt
“Hi hi hi...” Sena tertawa
cekikikan, melihat tiga orang dari anak buah Partai Kera Hitam menghunus pedang
dan mengurung Pendekar Gila.
“Hea”
Wrt Wrt
Ketiga anak buah Partai Kera
Hitam langsung menggebrak dengan sabetan dan babatan pedang mereka ke tubuh
lawan. Namun dengan masih cengengesan Pendekar Gila segera bergerak mengelak.
Tubuhnya dirundukkan, lalu meliuk. Bersamaan dengan gerakan itu kaki kirinya
menyapu ke kaki lawan.
Wrt
Ketiga orang yang menyerang
melompat ke
belakang, mengelakkan
tendangan Pendekar Gila.
Mereka saling pandang sesaat,
lalu melesat melancarkan serangan lagi. Ketiga pedang tampak berkelebatan dan
berputar serta membabat tubuh Pendekar Gila.
“Hea”
“Putus lehermu, Pemuda Gila
Hih...”
Wrt
“Uts Aha, kurang tepat, Tikus
Busuk Hih...”
Sena langsung bergerak dengan
jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari sambil
cengengesan, kemudian disusul dengan tepukan tangannya ke dada lawan. Sedangkan
kaki kirinya menyerang dengan gerakan menebas dada lawan yang menyerang.
Ketiga lawannya yang menyerang
terkesima
melihat gerakan ilmu silat
pemuda bertingkah laku gila. Mereka menyangka gerakan lambat dan lemah yang
dilancarkan Pendekar Gila akan mudah mereka tembus. Dengan cepat mereka
merangsek masuk, membabatkan pedang ke tubuh Pendekar Gila.
“Yea”
Wrt Wrt
“Uts Hi hi hi... Ini untukmu,
Kecoa” Pendekar Gila kembali meliuk, kemudian tangan kanan dan kirinya
dihentakkan ke samping melakukan tepukan.
Dua orang yang menyerangnya
tersentak kaget.
Mereka tak menyangka kalau
gerakan yang kelihatan pelan dan lemah, ternyata memiliki kekuatan dan
kecepatan luar biasa.
“Celaka”
“Heits...”
Ketiga orang anggota Partai
Kera Hitam yang menyerang Sena tersentak kaget dengan mata membelalak tegang.
Mereka berusaha mengelakkan tepukan dan sapuan kaki lawan. Namun ternyata gerakan
yang dilancarkan Pendekar Gila datang begitu cepat. Sehingga....
“Akh...”
Dua orang terpekik. Tubuh
mereka terpental deras ke belakang, bagaikan terdorong suatu kekuatan dahsyat.
Tubuh keduanya terus melayang ke belakang, sampai akhirnya menerjang pohon
pinang.
Brak
“Ukh...” terdengar erangan
dari mulut mereka yang tampak mengeluarkan darah. Sementara seorang lagi, kini
terpelanting akibat kakinya ter-sambar tendangan keras Pendekar Gila. Orang ini
pun meringis-ringis. Tulang pantatnya bagaikan remuk, karena tubuhnya bagaikan
dibanting dengan keras.
“Hi hi hi... Kenapa kau
meringis, Kisanak? Aha, sakit...?” tanya Sena meledek. Kemudian tertawa
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
Lelaki berwajah beringas itu
membelalakkan mata melihat tingkah Pendekar Gila.
“Pendekar Gila...” pekiknya
kaget.
“Hi hi hi... Gila? Aha, kau
gila rupanya, Kisanak.
Pantas..., pantas, kau
meringis-ringis kesenangan.
Padahal kau tentu sakit.
Tetapi kau tampak girang,”
gumam Pendekar Gila sambil
masih cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Melihat sikap Sena, lelaki
berwajah beringas itu tampak tegang, takut kalau Pendekar Gila akan
membunuhnya.
Melihat Pendekar Gila semakin
mendekati dirinya orang itu kian tegang. Sehingga dengan cepat kakinya melangkah
mundur tapi terasa sakit. Matanya melotot karena tegang dan panik.
“Jangan... Jangan...” teriak
lelaki bertubuh tinggi dengan hidung besar dan berambut kumal. Dirinya terus
beringsut menggeser pantat yang kesakitan.
Matanya masih menatap nanar pada
Sena yang hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, melangkah mendekat
lelaki berhidung besar itu.
“Aha, kau seperti kesenangan,
Kisanak. Hi hi hi..., lucu sekali Lucu...” tukas Pendekar Gila sambil terus
melangkah maju, membuat lawannya bertambah tegang. Perasaan takut yang terus
mendera jiwanya, membuat lelaki tinggi kurus dengan hidung besar itu nekat.
“Heaaa...”
Diiringi teriakan keras,
lelaki itu melompat menyerang dengan mengayunkan pedang. Namun dengan cepat,
Pendekar Gila merundukkan tubuh dengan kepala dan sebagian badan condong ke
muka. Hal itu mengakibatkan serangan lawan meleset. Kemudian, dengan cepat
ditangkapnya kaki lawan yang tengah melayang di atasnya.
Trap
“Heaaa...” dengan pengerahan
tenaga dalam dilemparkan tubuh lawan ke angkasa.
Wrt
“Akh... Tolong...” teriak
lelaki berhidung besar itu ketakutan. Tubuhnya melenting tinggi sekali.
Kemudian menukik ke bawah
dengan deras. Sampai akhirnya, jatuh dengan kepala menancap di tanah persawahan
yang basah dan berair.
Jrot
“Hi hi hi... Ha ha ha...”
Pendekar Gila tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala, melihat kejadian yang
dianggapnya sangat lucu. Kemudian dengan tenang melangkah ke bangku di depan
kedai, lalu duduk dengan santai sambil meniup Suling Naga Sakti. Dialunkan lagu
sendu dan mendayu biru.
Sementara pertarungan antara
Mei Lie dan
Purbaya melawan ketujuh anak
buah Partai Kera Hitam masih berjalan seru. Mei Lie dan Purbaya masih
mengandalkan tangan kosong, membiarkan lawan menyerang dengan senjata. Sejauh
itu mereka tampak hanya mengelak sambil sesekali balas menyerang dengan tangan
kosong
“Hea”
Wrt
Sebuah babatan pedang menderu
ke kepala
Purbaya. Hal itu membuat
pemuda itu segera memutar kepala untuk mengelak. Namun sungguh di luar dugaan,
tiba-tiba rambut panjang keperakan di kepala Purbaya mengeluarkan sinar putih
keperakan.
Sinar itu langsung melesat
menerjang orang yang hendak menyerang dari belakang.
Sudah barang tentu orang-orang
tersentak kaget melihat kejadian itu. Bahkan Pendekar Gila yang sedang santai
dengan meniup Suling Naga Saktinya terlonjak dengan mata melotot. Seakan-akan
dirinya tak percaya, kalau rambut Purbaya yang keperakan itu dapat mengeluarkan
sinar keperakan.
Srattt...
Bret
“Akh...” pekikan keras
terdengar dari orang-orang yang terhantam sinar itu. Betapa dahsyat kekuatan
sinar keperakan dari rambut Purbaya. Kulit tubuh yang terkena serangan itu
langsung terkelupas dan gosong seperti terbakar. Mulut mereka mengerang-erang
menahan panas dan rasa sakit yang hebat.
Melihat kejadian itu, lima
orang anak buah Partai Kera Hitam yang masih hidup berusaha kabur dari tempat
pertempuran karena ketakutan. Melihat gelagat lawan-lawannya dengan cepat
Purbaya segera bergerak mencegat mereka.
“Mau lari ke mana kalian?”
bentak Purbaya geram.
“Ampun Jangan bunuh kami…”
ratap pimpinan mereka sambil bersujud ketakutan, mengharap ampunan Purbaya.
“Hm, manusia macam kalian tak
ada ampunan
Terimalah kematian kalian
Heaaa...”
Dengan cepat Purbaya
menggerakkan kepala ke arah lima lelaki yang masih memegang pedang dan golok.
Seketika itu juga rambut panjangnya berkelebat memancarkan cahaya berkilauan.
Dan dari kilatan cahaya menyilaukan itu melesat sinar putih keperakan. Itulah
ajian 'Rambut Api' Purbaya.
“Heaaa...”
Wuttt
Slats Slats
“Akh...” Lima orang terpekik
bersamaan ketika sinar yang melesat dari ajian 'Rambut Api' Purbaya menghantam
telak tubuh mereka. Seketika tubuh kelima lelaki beringas itu meleleh hingga
ber-sembulan tulang-belulang dengan cairan merah kehitaman. Seketika suasana
berubah hening, tak ada lagi suara erangan atas atau jeritan kesakitan.
Karena kelima anak buah Partai
Kera Hitam langsung mati saat sinar keperakan menghantam tubuh mereka.
Pendekar Gila dan Mei Lie
terlonjak kaget.
Keduanya tidak menduga kalau
Purbaya akan berbuat seperti itu. Pendekar Gila hanya mampu menarik napas,
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dirinya sebenarnya tak setuju jika Purbaya
menghabisi nyawa mereka. Karena orang-orang itu tadi telah meratap minta ampun.
“Ah ah ah... Kawan, mengapa
kau lakukan itu?
Bukankah mereka sudah minta
ampun?” tanya Sena dengan meringis sambil menggaruk-garuk kepala.
“Maafkan aku, Kawan. Hatiku
telah terbawa perasaan, ketika tiba-tiba teringat kejadian dua puluh tahun
silam. Manakala orang-orang jahat yang mungkin pimpinan mereka membunuh ayah,
serta membuat keluargaku berantakan,” tutur Purbaya seakan menyesali
tindakannya.
Pendekar Gila menghela napas
dalam-dalam.
Kemudian dengan cengengesan
sambil tangan kanan menggaruk-garuk kepala, diliriknya Mei Lie yang hanya diam
membisu, seakan tak berniat meng-ucapkan kata-kata.
“Adi Purbaya, mungkin jalan
hidupmu masih lumayan dibandingkan nasibku. Ayah dan ibuku mati dibantai.
Sedangkan kau masih punya ibu.
Bersyukurlah, karena kau masih
punya kesempatan untuk dapat bertemu dengan ibumu,” tutur Sena sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
“Sedangkan aku, tak punya
siapa-siapa. Memang menurut cerita paman dan bibiku masih hidup. Tapi..., entah
di mana.”
Purbaya terdiam mendengar
cerita yang dituturkan Pendekar Gila. Hatinya merasa tutur kata pendekar itu
sangat bijaksana dan menunjukkan ketabahan serta kesabaran. Dirinya sendiri
baru saja terpancing amarah. Padahal penderitaannya, belum seberapa
dibandingkan yang dialami Pendekar Gila (Untuk lebih jelasnya, silakan ikuti
serial Pendekar Gila dalam episode pertamanya yang berjudul 'Suling Naga
Sakti').
“Ah ah ah, sudahlah Semua
telah terjadi. Tak perlu kita sesalkan dan permasalahkan. Oh, aku lupa untuk
membayar makanan yang tadi kita makan.
Ayo...” ajak Sena sambil
melangkah menuju ke kedai.
Setelah membayar makanan yang
telah mereka makan, Pendekar Gila kembali keluar menemui Purbaya yang tengah
duduk di serambi depan kedai.
Mei Lie mengikuti di
belakangnya.
“Sekarang, hendak ke mana kau
pergi?”
“Hm..., sebenarnya aku akan
pergi ke Desa Kranggan untuk mencari kuburan ayahku.”
“Desa Kranggan? Bukankah ini
Desa Kranggan?”
balik Mei Lie bertanya,
nadanya menjelaskan pada Purbaya kalau desa di mana mereka kini berada adalah
desa yang tengah dicari oleh Purbaya.
“O, jadi ini Desa Kranggan?”
tanya Purbaya.
“Benar, Adi Purbaya...,” sahut
Mei Lie tersenyum pada Purbaya.
“Ke arah manakah kalian hendak
melangkah?”
tanya Purbaya seraya menatap
wajah Mei Lie dan Pendekar Gila bergantian.
“Aha, entahlah. Kami berdua
hanyalah
pengembara. Kami pergi tanpa
tujuan yang pasti,”
jawab Sena tersenyum
cengengesan sambil menoleh ke wajah Mei Lie. Gadis itu tersenyum dan
mengangguk.
“Baiklah, kalau begitu. Aku
hendak tinggal beberapa saat di desa ini. Kalau ada umur panjang, mungkin kita
akan bertemu lagi. Bukan begitu, Tuan Pendekar?” tanya Purbaya.
“Aha, benar juga katamu, Adi
Purbaya. Baiklah, aku dan Mei Lie memohon pamit,” ujar Sena.
“Sampai jumpa lagi, Purbaya,”
sahut Mei Lie sambil melangkah seiring dengan Sena, meninggalkan Purbaya.
Pemuda itu berdiri mematung, menatap langkah sepasang pendekar meninggalkan
tempat itu.
“Sungguh seorang pendekar yang
berbudi luhur.
Meski tingkah lakunya seperti
orang gila, jiwanya sangat agung. Semoga kita bisa bertemu lagi, Tuan Pendekar
Dan semoga aku akan segera mendapatkan kitab milikmu,” gumam Purbaya sambil
melangkah meninggalkan pelataran kedai.
Orang-orang yang ada di kedai
itu tampak
memperhatikan sambil
menggeleng-geleng kepala.
Mereka semua merasa kagum
terhadap kehebatan pemuda berambut keperakan itu.
“'Tuan Pendekar, Tunggu...”
seru gadis cantik yang tadi ditolongnya. Gadis itu berlari mengejar Purbaya
yang seketika berhenti, lalu menoleh ke belakang.
“Ada apa, Nisanak?” tanya
Purbaya.
“Tadi ku-dengar kau mengatakan
dari Desa
Kranggan ini. Siapakah,
kakang...?”
“Namaku Purbaya.”
“Hah? Kau Purbaya...? Purbaya
anak Paman Kerto Pati?” tanya gadis cantik itu berusaha menegaskan.
Matanya terbelalak, seakan tak
percaya pada apa yang baru saja didengar.
“Benar. Siapakah kau,
Nisanak?” tanya Purbaya ingin tahu.
“Aku Suheni, anak Ki Marno.
Kepala Desa
Kranggan ini,” jawab gadis
berpakaian biru laut itu. “O, jadi kau Suheni? Tak kusangka, kita bisa bertemu
lagi” gumam Purbaya sambil menggeleng-geleng kepala. “Bagaimana kabar Paman
Marno dan Bibi Sami?”
“Ayah dan ibu, mati dibantai
mereka. Ayah menolak memberi upeti pada Partai Kera Hitam yang dipimpin Wanara.
Orang itu juga yang dulu membunuh Paman Kerto Pati,” tutur Suheni. Mendengar
penuturan gadis cantik itu Purbaya tersentak kaget dengan mata terbelalak.
Orang yang menghabisi nyawa ayahnya ternyata masih hidup. Dihelanya napas
dalam-dalam, seakan-akan berusaha mereda-kan amarahnya.
“Sudah kuduga, kalau kesepuluh
orang tadi anak buah si manusia kera itu,” gumam Purbaya,
“Beruntung Sena menasihatiku.
Kalau tidak mungkin aku tak dapat menahan amarah.”
Purbaya menunduk sedih, ketika
teringat pada peristiwa yang pernah terjadi dua puluh tahun silam.
Suheni pun terdiam, seakan
mulutnya terasa kelu tak dapat berkata lagi.
“Apakah kau tahu, di mana
ibuku?”
“Entahlah, Purbaya Aku tak
tahu. Tapi, mungkin Paman Gendo mengetahuinya,” ujar Suheni. “Sebaiknya kau
menginap di sini dulu, Purbaya.”
“Baiklah. Aku akan ke kuburan
ayah dulu,” ujar Purbaya sambil melangkah diiringi Suheni menuju ke arah barat,
tempat dulu rumahnya berada.
Semua orang yang sejak tadi
memperhatikan Purbaya bercakap-cakap dengan Suheni seketika mengikuti langkah
pemuda itu. Mereka seketika merasa memiliki gairah hidup lagi, setelah tahu
siapa pemuda berambut putih keperakan itu.
“Hidup Purbaya...” “Hidup
Malaikat Berambut Perak...”
Para warga mengelu-elukan
kedatangan Purbaya ke Desa Kranggan. Kini semua harapan warga tertumpu pada
Purbaya. Mereka mengharap pemuda itu akan mampu membela Desa Kranggan dari
ancaman Partai Kera Hitam.
“Hidup Purbaya...”
“Hidup Malaikat Berambut
Perak...”
“Hidup anak Kerto Pati...”
Warga Desa Kranggan terus
mengikuti ke mana langkah Purbaya pergi. Orang-orang yang berada di dalam rumah
pun bermunculan keluar, ingin melihat anak Kerto Pati yang telah kembali.
Suasana Desa Kranggan seketika menjadi riuh. Para penduduk seakan-akan merasa
baru saja terjaga dari mimpi buruk, setelah dua puluh tahun lebih dicekam
ketakutan. *** 6
Pendekar Gila dan Mei Lie
masih melangkah menelusuri jalanan di tepi Sungai Blongkeng yang membelah Hutan
Kenjer Kuning. Kedua muda-mudi itu sekali-sekali bercanda ria sambil menikmati
indahnya suasana senja yang sejuk. Di atas pepohonan di sepanjang tepian sungai
terdengar suara kicau burung-burung yang hendak pulang ke sarangnya.
Betapa gembiranya Mei Lie saat
itu setelah lama berpisah dengan Pendekar Gila. Rasa rindu yang selama ini
dipendamnya, dicurahkan pada pemuda tampan namun tingkah lakunya seperti orang
gila itu.
“Ayo kejar, Kakang...” seru
Mei Lie sambil lari, setelah mencubit pinggang kekasihnya. Sena tampak
meringis-ringis kesakitan, akibat cubitan itu.
“Hi hi hi... Akan kukejar ke
mana pun kau pergi, Mei Lie Sayang...” seru Sena sambil berlari mengejar Mei
Lie yang berlari sambil tertawa-tawa.
Kedua sejoli itu terus
berkejaran dengan diselingi canda ria. Suasana sore itu dirasakan bertambah
indah. Alam sekelilingnya seakan turut bergembira menyaksikan kebahagiaan
keduanya.
“Ayo Kakang, kejar aku...” Mei
Lie kembali berseru sambil terus berlari dengan tawanya yang merdu.
“Aha, akan kukejar” seru Sena
sambil kembali berlari mengejar. Keduanya terus berkejar-kejaran.
Tak terasa keduanya sampai di
tengah Hutan Kenjer Kuning. Namun tiba-tiba Mei Lie berhenti. Keningnya
berkerut karena mendadak kupingnya mendengar suara kaki-kaki menginjak
dedaunan.
Kresek Krak
“Hm” gumam Mei Lie sambil
memasang telinga tajam-tajam, berusaha meyakinkan pendengarannya.
Matanya yang lembut dan sayu
menatap tajam ke sekelilingnya. Kepalanya meneleng seakan-akan ingin memastikan
dari mana asal suara-suara itu.
“Aha, ada apa, Mei Lie...?”
tanya Sena yang melihat Mei Lie nampak diam dengan mata terpicing dan dahi
berkernyit.
“Ssst” Mei Lie memberi isyarat
pada Pendekar Gila agar diam.
Sena nyengir sambil
menggaruk-garuk kepala.
Kemudian dia pun memasang
telinganya dengan tajam, untuk mendengar apa yang diisyaratkan kekasihnya.
Kresek
Krek
Pendekar Gila cengengesan,
mendengar suara langkah kaki menginjak dedaunan kering.
“Hi hi hi... Rupanya ada babi
hutannya juga, Mei Lie” tukas Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Mei Lie
melototkan mata gemas. Dicubitnya pinggang Sena, yang membuat Sena meringis.
“Cerewet Diam dulu...” sungut
Mei Lie dengan wajah cemberut. Pendekar Gila semakin
cengengesan. Tetapi gadis
cantik itu, tidak cemberut lagi. Bahkan diam sambil tersenyum. “Diam Nanti
mereka lari”
“Aha, keluarlah kalian jika
tidak ingin kulempar dengan tanah” seru Sena yang membuat Mei Lie mendengus
kesal bercampur geram.
Seketika dari balik semak-semak
muncul lima lelaki berpakaian coklat tua lengan panjang. Rambut mereka panjang,
diikat dengan kain membentuk segitiga. Namun wajah kelima lelaki berwajah
bersih itu tak menggambarkan kebengisan sebagaimana layaknya para penjahat. Ada
perasaan sabar tergambar di wajah mereka.
“Siapa kalian?” tanya salah
seorang yang berkumis tipis.
“Aha, kami hanya petualang
biasa. Kami tak membawa apa-apa,” jawab Sena sambil tersenyum-senyum dan
menggaruk-garuk kepala. Kelima lelaki muda itu mengerutkan kening, menyaksikan
tingkah laku Pendekar Gila.
Sejenak Pendekar Gila dan Mei
Lie saling tatap dengan kelima lelaki berambut panjang itu.
“Kami adalah Lima Jelanga dari
Sawo Jajar.
Apakah kalian utusan
gerombolan Partai Kera Hitam yang ditugaskan untuk mengejar kami?” tanya
Jelanga Patra, yang merupakan orang tertua dari kelimanya.
“Hi hi hi... Apakah pantas
kami sebagai anak buah Partai Kera Hitam?” tanya Sena sambil tersenyum dan
menggeleng-geleng kepala. Lalu matanya memandang Mei Lie yang juga tersenyum
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Kisanak, kami sendiri tak
kenal dengan
gerombolan Partai Kera Hitam
itu. Ah, mengapa kalian mesti takut pada gerombolan itu?” tanya Mei Lie semakin
tertarik ingin tahu.
“Hm, semua orang sepertinya
merasa takut pada gerombolan Partai Kera Hitam. Apa sebenarnya yang terjadi?”
tanya Mei Lie dalam hati. Dirinya merasa heran karena sudah dua kali ini
mendengar Partai Kera Hitam disebut. Pertama di Desa Kranggan, ketika seorang
gadis lari ketakutan hendak diculik gerombolan dari Partai Kera Hitam. Dan
sekarang, kelima orang itu pun sepertinya takut dengan Partai Kera Hitam.
Kelima Jelanga dari Sawo Jajar
nampak belum percaya. Kelimanya memperhatikan dengan
seksama, kedua muda-mudi
berada lima tombak di hadapannya. Mereka merasa pemuda itu mirip orang gila.
Sedang yang satu lagi seorang wanita yang tampaknya bukan bangsa pribumi.
“Benarkah kalian bukan
orang-orang Partai Kera Hitam?” tanya Jelanga Patri, seakan-akan ingin
memastikan, kalau kedua orang itu benar-benar bukan anggota Partai Kera Hitam
yang terkenal ganas dan kejam.
“Aha, kalian lucu sekali
Kalian tampaknya tak percaya pada kami. Kalau begitu, lebih baik kami pergi.
Ayo Mei Lie” ajak Sena dengan cengengesan.
Mendengar nama Mei Lie
disebut, kelima Jelanga dari Sawo Jajar membelalakkan mata. Kening mereka
mengerut. Sepertinya mereka sedang mengingat-ingat sesuatu. Ketika Mei Lie
bersama Pendekar Gila hendak melangkah pergi, Jelanga Kantra berseru.
“Bidadari Pencabut Nyawa
Iblis, tunggu...”
Pendekar Gila dan Mei Lie seketika
tersentak kaget lalu menghentikan langkah. Keduanya mengerutkan kening,
mendengar seruan dari Jelanga Kantra, yang menyebut gelar Mei Lie.
Kelima Jelanga dari Sawo Jajar
segera memburu Mei Lie dan Pendekar Gila. Mereka segera menjura hormat bersama.
Melihat sikap kelima lelaki yang belum dikenalnya itu Pendekar Gila
mengernyitkan kening. Namun mulutnya kembali cengengesan.
“Aha, kenapa kalian ini?”
tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. “Maafkan kami Terimalah hormat kami
Sungguh hal yang bodoh dan tolol tak tahu kalau di hadapan kami telah berdiri
dua pendekar sakti,” ujar Jelanga Patra, sambil memimpin keempat saudara
seperguruannya memberi hormat.
“Aha, sudahlah Tak perlu
kalian berlaku begitu.
Kami manusia biasa seperti
kalian,” ujar Sena tersenyum.
“Benar Kisanak sekalian. Tak
perlu Kisanak berlaku merendah seperti itu. Oh ya, kalau boleh kami tahu, siapa
Kisanak sekalian? Dan mengapa ada di dalam hutan?” tanya Mei Lie ingin tahu.
Jelanga Patra menghela napas
dalam-dalam
seraya memejamkan mata,
seakan-akan hendak menekan perasaannya. Kemudian mulai menuturkan kenapa mereka
berada di dalam Hutan Kenjer Kuning.
“Kami berlima sedang menjaga
Ki Rupaksi, guru kami yang terluka parah akibat bentrok dengan gerombolan dari
Partai Kera Hitam. Wanara ketua Partai Kera Hitam terus menginginkan para anak
buahnya mencari Kitab Ajian Dewa yang berada di tangan Ki Rupaksi...”
Pendekar Gila dan Mei Lie
serta keempat adik seperguruan Jelanga Patra terdiam. Di wajah kelima Jelanga
dari Sawo Jajar tampak kedukaan yang dalam.
“Akhirnya guru kami harus
mengalami luka dalam yang parah...,” lanjut Jelanga Patra. “Sedangkan Kitab
Ajian Dewa kini telah berpindah ke tangan Wanara...
Mei Lie tampak
mengangguk-anggukkan kepala, seakan memahami penuturan murid Ki Rupaksi itu.
Sementara itu Pendekar Gila
hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. “Dengan luka dalam yang berat,
guru kami bawa ke tempat ini. Kami berusaha menolong guru, menyembuhkan luka
dalam, tetapi tak mampu.
Lukanya terlalu berat. Kalau
saja guru sudah bertemu dengan Tuan, mungkin kematiannya akan tenang.
Karena guru pernah berkata,
akan sangat menyesal jika mati belum bertemu dengan Pendekar Gila.
Karena Ki Rupaksi merasa
berhutang budi, serta harus bertanggung jawab pada Pendekar Gila atas kitab
itu,” ujar Jelanga Patra mengakhiri ceritanya.
''Aha, kalau
begitu Ki Rupaksi ada di
sini?” tanya Sena.
“Benar, Tuan Pendekar.”
“Boleh kami bertemu?” tanya
Mei Lie.
“Tentu saja, mari” ajak
Jelanga Patra.
Mei Lei dan Sena diantar
kelima Jelanga dari Sawo Jajar memasuki Hutan Kenjer Kuning, tempat Ki Rupaksi
berada. Keduanya dibawa ke sebuah gubuk yang sangat tersembunyi letaknya hingga
sulit diketemukan orang Iain.
Di depan gubuk, terdapat empat
orang yang berpakaian merah muda lengan panjang dengan ikat kepala sama seperti
yang dipakai Lima Jelanga dari Sawo Jajar. Mereka langsung menjura dan memberi
jalan, ketika Pendekar Gila dan Mei Lei da tang.
Di sebuah pembaringan kayu
seorang lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun tampak terkulai lemas,
itulah Ki Rupaksi. Di dadanya yang tak tertutup nampak terdapat goresan-goresan
hitam seperti terbakar, karena terpukul ketika bertarung melawan anak buah
Wanara.
Pendekar Gila dan Mei Lie
mendekati Ki Rupaksi yang tampak lemah sekali.
“Guru..., guru, kami datang,”
bisik Jelanga Patra. Mata tua Ki Rupaksi perlahan-lahan membuka.
Kemudian memandang dengan
tatapan kosong pada sang Murid yang berjongkok di sampingnya.
“Ada... apa, Patra...?” tanya
Ki Rupaksi dengan uara berat dan lemah sekali. “Kau... Oh..., apakah
gerombolan... itu datang...?”
“'Tidak, Guru. Kami membawa
Pendekar Gila,”
bisik Jelanga Patra lirih.
“Pen..., dekar Gila?” tanya Ki
Rupaksi lirih. “Huk
Huk...”
“Benar, Guru. Lihatlah...”
Jelanga Patra pun menoleh pada kedua tamunya yang berdiri dua tombak dari
pembaringan sang Guru. Pendekar Gila yang mengerti maksud Jelanga Patra segera
melangkah mendekati Ki Rupaksi diikuti Mei Lie.
Sesaat keduanya terdiam,
menatapi wajah lelaki tua itu.
“Ki Rupaksi, apa yang
terjadi?” tanya Sena.
“Pendekar... Gila..., huk...
Benar..., kah kau Pendekar Gi..., la...?” tanya Ki Rupaksi dengan suara
terputus-putus. Tangannya memegangi dadanya yang terasa sakit.
“Aku muridnya, Ki,” jawab
Pendekar Gila pelan sambil mengerahkan tenaga dalam yang disalurkan lewat
kerongkongannya. Hal itu dimaksudkan untuk memberi pendengaran Ki Rupaksi agar
jelas. Itulah ilmu 'Penyusup Suara'.
“O..., syukurlah kau akhirnya
datang... Tetapi..., aku tak mampu menjaga kitab itu...,” keluh Ki Rupaksi
lirih, hampir tak terdengar, “Mereka..., mereka telah mengambilnya. Aku...
minta maaf, Pendekar Gila”
“Ah, sudahlah, Ki Kau tak
perlu memikirkan hal itu. Kalau memang kitab itu jodoh, tentu mereka akan mampu
mempelajarinya. Tetapi jika tidak, mereka pun tak akan mampu memaksakan,” tutur
Pendekar Gila berusaha menenangkan dan memberi semangat pada Ki Rupaksi agar
tetap bertahan hidup.
“Benar, Ki. Dan kalau begitu,
kau adalah adik Ki Kerto Pati, ayah Purbaya, bukan...?” tanya Mei Lie yang juga
ingin memberi semangat hidup pada lelaki tua yang berbaring lemah dalam
sakitnya.
“Purbaya...? O, sungguh malang
nasibnya. Entah di mana anak itu kini,” keluh Ki Rupaksi lirih. Dari kedua
matanya, mengalir air mata.
“Dia masih hidup, Ki,” ujar
Mei Lie, “Bahkan kami telah bertemu.”
“O..., syukurlah.”
Sesaat mereka terdiam dalam
kebisuan dan
kesedihan, menyaksikan
penderitaan Ki Rupaksi.
Hanya karena Kitab Ajian Dewa
yang dititipkan Pendekar Gila dari Goa Setan, membuat dirinya kini menderita.
Sena benar-benar merasa turut prihatin terhadap kejadian itu. Namun juga merasa
tertarik ingin tahu kitab macam apa sebenarnya yang dititipkan gurunya,
sehingga menjadi rebutan di kalangan rimba persilatan.
“Pendekar Gila...”
“Saya, Ki.”
“Kuminta padamu, jagalah
Purbaya. Dialah
penerus kami satu-satunya,
setelah Kerto Pati dan aku tak ada. Beritahukan padanya, kalau ibunya masih
hidup. Kini berada di markas Partai Kera Hitam, dijadikan istri Ketua Partai
Kera Hitam.
Uhuk... Jaga pula Ketawang dan
Sungo Karu,” pesan Ki Rupaksi kepada Pendekar Gila.
“Di mana keduanya, Ki?” tanya
Sena ingin tahu.
“Kami akan berusaha.”
“Keduanya sedang mengemban tugas, menye-
lamatkan Nyi Ambar Sari
dari... Wanara. Oh...” Ki Rupaksi terkulai lemas. Nyawanya melayang
meninggalkan raga.
“Guru... Guru, jangan
tinggalkan kami...” para murid dari Perguruan Sawo Jajar menangis
memanggil-manggil sang Guru
yang telah pergi untuk selamanya. Begitupun lima Jelanga dari Sawo Jajar.
Mereka tak dapat menahan sedih
atas kepergian Ki Rupaksi.
Pendekar Gila dan Mei Lie
tampak menundukkan kepala sebagai penghormatan pada Ki Rupaksi.
“Kera Hitam... Hm, siapakah
sebenarnya Pimpinan Partai Kera Hitam?” tanya Sena dalam hati. Dia pun turut
sedih, melihat kematian Ki Rupaksi yang juga sahabat gurunya. Sebagai pewaris
Kitab Ajian Dewa, Pendekar Gila merasa turut bertanggung jawab atas kitab itu.
“Mengapa guru tak mengatakan padaku, kalau dia memiliki Kitab Ajian Dewa yang
dititipkan pada seseorang? Mungkinkah dia lupa?”
Sore itu pula, mayat Ki
Rupaksi dikebumikan.
Dengan rasa duka yang dalam
para muridnya turut menghadiri upacara pemakaman itu. Namun ketika mereka
tengah melakukan doa terakhir, tiba-tiba....
“Heaaa...” ***
Serangan yang datang tiba-tiba
itu, cukup menyentakkan semua yang berada di sekitar kuburan Ki Rupaksi. Tidak
terkecuali Pendekar Gila dan Mei Lie.
“Awas...” teriak Mei Lie
mengingatkan pada murid-murid Ki Rupaksi yang juga terkejut mendapatkan
serangan secara tiba-tiba. Perasaan duka cita yang dalam serta perhatian yang
tertuju pada kuburan Ki Rupaksi membuat mereka tak menyadari kalau ada yang
mengawasi dari jauh.
“Hea...”
“Hea...”
Dua puluh lelaki berwajah
beringas dan berpakaian sama melakukan serangan mendadak
dengan pedang. Hal itu membuat
kesepuluh murid Ki Rupaksi berlompatan dan bergulingan untuk mengelakkan
serangan itu. Kemudian dengan cepat, mereka mencabut senjata masing-masing.
Srt
“Hea”
Trang Trang
Suara pekikan keras bercampur
dengan dentang nyaring dari pedang dan golok yang saling beradu, seketika
memecahkan suasana hening di Hutan Kenjer Kuning. Sesaat kemudian
jeritan-jeritan kematian menyusul. Suasana hening senja itu berubah riuh dan
ramai. Perasaan duka cita di hati para murid Ki Rupaksi beruah menjadi
kemarahan yang hebat. Bagaikan banteng-banteng terluka mereka menghadang lawan
yang ternyata anak buah Partai Kera Hitam. Apalagi ketika menyadari di pihak
mereka ada Pendekar Gila dan si Bidadari Pencabut Nyawa Iblis.
“Hea”
“Yea”
Trang Trang
Suara dentangan pedang semakin
membisingkan.
Dua puluh anak buah Partai
Kera Hitam yang ganas, terus menggebrak dengan babatan dan tusukan pedang.
Namun kesepuluh murid Ki Rupaksi yang sudah marah pun tak tinggal diam. Mereka
menghadang dan membalas
serangan dengan tak kalah ganas.
“Hea”
“Yea”
Mei Lie yang juga menjadi sasaran
keberingasan orang-orang Partai Kera Hitam tak tinggal diam.
Segera dicabutnya Pedang
Bidadari yang mampu mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan.
Kemudian dengan jurus-jurus
'Bidadari'nya, gadis itu berkelebat memapaki serangan lawan-lawannya.
“Yea”
Trang Trang
Dengan pekikan nyaring Mei Lie
melompat
menerjang lawan-lawannya.
Tubuhnya melesat ke sana kemari menangkis dan menyerang dengan cepat.
Trak Trak
“Hah?”
“Heh?”
Dua orang yang berhadapan
dengan Mei Lie
tersentak kaget, ketika pedang
mereka patah terbabat Pedang Bidadari. Mereka sesaat terbelalak keheranan,
sehingga ketika Mei Lie membabatkan pedangnya lagi, tanpa ampun mereka tak
sempat bergerak mengelak. Dan....
“Hea”
Wrt
Jrab Jrab
“Akh...” kedua lawannya
terpekik keras. Tubuh kedua lelaki berwajah beringas itu tampak masih utuh,
seperti tak berbekas babatan pedang. Mereka berdiri tegak mematung. Namun
sesaat kemudian, ketika ada angin kencang bertiup tubuh mereka tibatiba telah
lebur menjadi serpihan-serpihan debu.
Sementara itu, Pendekar Gila
pun tampak dengan ringan menghadapi kedua penyerangnya. Sambil cengengesan dan
sesekali menggaruk-garuk kepalanya, Pendekar Gila terus bergerak mengelakkan
serangan-serangan kedua lawannya.
“Hea”
Wrt Wrt
“Hi hi hi... Kurang ajar,
Kecoa Busuk Ini untuk kalian” dengan meliukkan tubuh, Pendekar Gila segera
menepuk dada kedua lawannya yang karena melakukan serangan dada mereka terbuka.
“Hih...”
Plak Plak
“Wua...”
Pekikan keras seketika
terdengar, ketika serangan Pendekar Gila mendarat telak di dada kedua lawannya.
Bagaikan didorong suatu kekuatan tenaga yang hebat kedua tubuh lelaki itu
terpental deras ke belakang.
Brak Brak
Tubuh keduanya terhenti ketika
menerjang pohon-pohon jati besar.
“Akh...” pekik kematian
terdengar ketika tubuh kedua lelaki itu ambruk. Darah muncrat dari mulut|
mereka yang hancur karena
membentur batang pohon jati. Sementara itu Pendekar Gila tampak hanya
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Di pihak murid Ki Rupaksi,
nampaknya
pertarungan mereka malawan
keenam belas anak buah Partai Kera Hitam berjalan seimbang. Empat murid
Perguruan Sawo Jajar mati. Sedangkan di pihak lawan, delapan orang telah
bergelimpangan tewas tak jauh dari kuburan Ki Rupaksi. Kini tinggal enam orang
melawan delapan anggota Partai Kera Hitam.
Mengetahui teman-temannya
banyak yang mati, apalagi melihat Pendekar Gila dan Mei Lei telah menyelesaikan
pertarungan, kedelapan anak buah Partai Kera Hitam merasa takut. Pertarungan
mereka dibebani perasaan takut, kalau-kalau Mei Lie dan Pendekar Gila membantu
kelima murid Ki Rupaksi Hal itu mengakibatkan pertarungan mereka nampak kacau
dan kurang mantap.
“Hea...”
Cras
“Akh”
Tiga orang anggota Partai Kera
Hitam terbabat pedang murid-murid Ki Rupaksi. Tinggal lima orang lagi yang masih
hidup. Namun, tampaknya nyali mereka semakin ciut, sehingga gerakan mereka kian
tak beraturan. Pertahanan yang mereka lakukan pecah dan kian melemah. Sehingga
akhirnya dalam waktu sebentar mereka telah terbabat habis, jatuh bergelimpangan
dan tewas.
“Sayang, semua mati,” gumam
Sena sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
“Ya. Padahal kita mestinya
menangkap hidup-hidup salah satu dari mereka untuk menanyakan di mana markas
Partai Kera Hitam,” sahut Mei Lie sepertinya menyesal, tak dapat menangkap
salah satu dari anggota Partai Kera Hitam.
“Kurasa hutan ini sudah tak
aman lagi, Kisanak,”
ujar Sena memberi keterangan.
“Sebaiknya kalian segera pergi dari sini Kami akan meneruskan perjalanan untuk
mencari markas Partai Kera Hitam dan sekaligus melaksanakan pesan Ki Rupaksi.”
“Baiklah, Tuan Pendekar.
Selamat jalan dan selamat berjuang Semoga Hyang Widhi senantiasa bersama
kalian,” ucap Jelanga Patra.
“Terima kasih,” sahut Mei Lie
dengan tersenyum, lalu mengajak Pendekar Gila utuk segera beranjak meninggalkan
tempat itu. Dengan diikuti pandangan mata kelima murid Ki Rupaksi, kedua
pendekar itu melesat meninggalkan Hutan Kenjer Kuning.
Sepeninggal Pendekar Gila dan
Mei Lie, Lima Jelanga dari Sawo Jajar nampak masih menatap makam gurunya.
Perasaan duka masih menggurat di wajah mereka.
“Guru, kami berjanji akan
membalas semua ini”
ujar Jelanga Patra dengan
suara berat menahan perasaan. “Tunggulah pembalasan kami, Wanara...”
lanjutnya dengan mengepalkan
tangan dan meng-gertakkan gigi.
Setelah melakukan sembah di
depan makam Ki Rupaksi Lima Jelanga dari Sawo Jajar itu
meninggalkan Hutan Kenjer
Kuning untuk mencari markas Partai Kera Hitam. *** 7
Betapa marahnya Wanara,
setelah mendengar kabar banyak anak buahnya yang mati di tangan se-pasang
pendekar muda. Ditambah pula rencana-ren-cana yang senantiasa kandas, karena
digagalkan seorang pemuda berambut keperakan. Kemarahannya
semakin menjadi-jadi. Segala
rencana yang dijalan-kan selalu saja telah diketahui orang yang akan dijadikan
sasaran. Seolah-olah ada pihak tertentu yang telah dengan sengaja membocorkan
rencana
Pimpinan Partai Kera Hitam
itu.
“Sodra, Lombang, dan Watu
Gunung, kalian kuutus untuk memimpin semua anak buah. Sodra, cari sepasang
pendekar muda-mudi dan pemuda
berambut keperakan Lombang,
kau dan anak buahmu cari tahu, siapa yang telah menjadi musuh dalam selimut
Bunuh dia... Watu Gunung, kau kutugaskan untuk meminta upeti kepada semua
kepala desa yang ada di sekitar Hutan Palapiring ini.
Bila membangkang, bakar
desanya”
“Baik, Ketua” sahut ketiganya
serentak.
“Kerjakan sekarang juga”
“Akan kami lakukan,” jawab
ketiganya sambil menjura. Kemudian ketiga tangan kanan Wanara bersama anak
buahnya meninggalkan markas Partai Kera Hitam.
Wanara benar-benar dibuat
marah atas kejadian-kejadian merugikan perkumpulannya. Dirinya tak habis pikir,
siapa sebenarnya tiga pemuda yang telah membunuh banyak anak buahnya, serta
menggagalkan semua rencananya. Pimpinan Partai Kera Hitam juga tak habis pikir,
siapa yang telah membocorkan semua rencananya.
Dengan terburu-buru, Wanara
berjalan menuju bangunan yang terletak di sebelah kanan bangunan utama, tempat
tinggal Ambar Sari istrinya. Tiba-tiba ada dorongan untuk bertanya pada Ambar
Sari tentang kecurigaannya terhadap orang dalam sebagai pelaku pembocoran
rencana selama ini.
Ambar Sari tampak duduk di
tempat tidur dalam kamarnya. Wanita berusia sekitar lima puluh lima tahun yang
masih menampakkan kecantikan wajahnya itu setiap hari selalu mengurung diri.
Dirinya tak pernah keluar dari kamar jika tak ada hal yang sangat penting. Di
dalam kamar itu, Ambar Sari ditemani tiga orang wanita seusianya, yang
ditugaskan Wanara untuk menghibur.
Tok Tok Tok
Pintu kamar diketuk dari luar.
Ketiga dayang yang menemani Ambar Sari segera menyingkir ke samping.
Sesaat kemudian pintu terbuka.
Dari luar masuk Wanara dengan mata menatap tajam pada Ambar Sari. Wanita itu
diam, membalas dengan tatapan mata sayu.
“Nyi, kuharap kau jangan
menyembunyikan
sesuatu terhadapku. Katakan,
siapa yang selalu membocorkan rahasia rencanaku?” tanya Wanara dengan napas
memburu. Matanya yang merah, terus menatap tajam wajah Ambar Sari. Namun wanita
itu bagaikan tak merasa takut sedikit pun. Matanya yang sendu membalas tatapan
sang Suami.
“Aku tak tahu,” sahut Ambar
Sari lirih.
“Bohong Siapa lagi yang
menjadi musuh dalam selimut di sini, kalau bukan kau?” tuduh Wanara dengan
suara keras. Kakinya melangkah mendekati Ambar Sari yang nampak mulai
ketakutan. Napas lelaki berwajah kera itu tersengal-sengal karena diliputi
amarah yang meluap-luap.
“Bunuh aku, kalau kau ingin
membunuhku”
dengus Ambar Sari. “Aku sudah
dari dulu benci padamu Juga orang-orangmu yang telah membunuh suamiku, bahkan
anakku yang masih kecil”
“Diam” bentak Wanara geram.
Matanya mem-
belalak semakin merah membara.
“Kau tentu tahu, siapa sepasang muda-mudi yang akhir-akhir ini telah banyak
membantai anak buahku.”
“Aku tak tahu” sentak Ambar
Sari.
Plak
“Akh...” sebuah tamparan keras
mendarat di pipi Ambar Sari. Wanita cantik itu terhempas ke kasur.
“Katakan, siapa mereka? Dan
siapa pula pemuda berambut keperakan yang selalu menggagalkan semua rencanaku”
bentak Wanara dengan suara keras.
“Aku tak tahu” jawab Nyi Ambar
dengan suara terisak-isak menangis, merasakan rasa sakit di pipinya akibat
tamparan tangan Wanara.
“Masih juga kau tak mengaku,
Setan Betina
Hih...” Wanara mengangkat
tangannya, hendak memukul Ambar Sari. Namun....
“Ayah Hentikan...”
Dari luar muncul gadis cantik
berwajah sinis yang tak lain Seruni. Gadis itu langsung memeluk Ambar Sari.
Kemudian dengan berani matanya menatap tajam wajah sang Ayah. Napas gadis itu
memburu, karena tengah dilanda perasaan marah.
“Kalau Ayah mau menyakiti ibu,
bunuhlah aku
Bunuhlah.... Ayah” tantang
Seruni dengan tangan masih memeluk tubuh ibunya.
“Seruni, kau tak boleh berkata
begitu, Nak” sahut Ambar Sari menasihati anaknya. “Dia ayahmu.”
“Aku tahu, Bu. Ibu pun ibuku.
Tak rela hatiku jika Ibu menderita. Lebih baik aku yang mati, kalau harus Ibu
yang mati. Ibu telah lama menderita,” sergah Seruni sambil terus memeluk tubuh
ibunya.
Kemudian matanya yang tajam
menatap lekat Wanara sang Ayah yang berwajah kera. Gadis itu seakan-akan hendak
menentang perbuatan ayahnya yang selalu menyakiti sang Ibu. “Ayah Sekali lagi
kulihat Ayah menyakiti ibu, aku tak akan tinggal diam,” ujarnya seraya menatap
tajam.
Wanara menghela napas. Entah
mengapa jika gadis cantik itu telah mengancamnya, tiba-tiba hatinya melemah.
Dirinya memang sangat
menyayangi Seruni. Bahkan bila
anak itu meminta bulan dan bintang, mungkin akan diusahakan mendapatkannya agar
sang Anak senang.
“Kau tak tahu, Anakku Ibumu
telah mengkhianati Partai Kera Hitam,” desah Wanara berusaha memberi pengertian
pada anak kesayanganya itu.
“Bohong Aku tahu, setiap hari
ibu berada di dalam kamar. Ibu tak pernah pergi ke mana-mana” bantah Seruni tak
percaya. “Mungkin anak buah Ayah yang telah melakukan pengkhianatan”
Wanara kembali menghela napas
dalam-dalam.
Dirinya tak dapat berbuat
apa-apa, jika Seruni telah ikut campur dengan urusan ini.
“Ayah jangan menuduh
sembarangan. Itu sebabnya aku selalu mengingatkan, agar hati-hati terhadap
anggota baru. Tetapi Ayah selalu meremehkan urusan sepele seperti itu. Ayah
menganggap hal itu tak berarti bagi Ayah,” ujar Seruni seakan memojokkan
Wanara.
Wanara terdiam, dirinya tak
mampu mengelak dari tuduhan-tuduhan yang dilontarkan anaknya. Bagaimanapun
juga, apa yang dikatakan Seruni ada benarnya. Selama ini, dirinya terlalu
mempercayakan semua anak buahnya. Sehingga seenaknya saja menerima anggota
baru, tanpa diteliti dengan seksama terlebih dahulu.
“Cobalah Ayah pikir Apakah tak
mungkin, seorang, dua orang, atau bahkan lebih dari separuh anggota kita
menjadi mata-mata,” tukas Seruni berusaha menyadarkan sang Ayah. “Janganlah
Ayah menuduh ibu yang tak tahu apa-apa.”
“Hm” Wanara menggumam tak
jelas. Ditariknya napas dalam-dalam, seakan berusaha menenangkan perasaannya
yang diliputi kemarahan. Pikirannya mulai terbuka untuk mencoba menuruti apa
yang dikatakan Seruni.
“Benar juga,” gumam Wanara
dalam hati. “Apa yang dikatakan anakku, benar. Keparat Siapa yang telah berani
menyusup ke dalam markasku?”
“Bagaimana, Ayah?” tanya
Seruni.
Wanara tak menjawab. Dirinya
hanya mampu
mengangguk-anggukkan kepala.
Wanara sepertinya membenarkan kata-kata Seruni. Kemudian setelah menghela napas
panjang, lelaki tua itu melangkah keluar meninggalkan kamar Ambar Sari.
Pikirannya masih diliputi kejengkelan dan kemarahan. Terlebih-lebih jika ingat
akan tiga anak muda yang sepak terjangnya sangat membahayakan kedudukan
Pimpinan Partai Kera Hitam
itu.
Wanara melangkah menuju
bangunan utama, yang menjadi markas Partai Kera Hitam. Dengan lesu dirinya
kembali duduk di singgasananya. Matanya memperhatikan sekitar ruangan yang
cukup luas dan sepi, tak ada seorang pun berada dalam ruangan itu selain
dirinya.
“Hhh Mengapa aku harus takut
terhadap mereka?
Wanara tak akan dapat
terkalahkan Hua ha ha...”
bagaikan orang gila, Wanara
tertawa terbahak-bahak.
Setelah puas tertawa-tawa.
Lelaki berwajah kera itu bangkit dari duduknya. Kakinya melangkah ke ruangan khusus.
Tempat yang hanya dirinya boleh memasuki. Tak seorang pun dari para anggota
maupun ketiga tangan kanannya boleh masuk tanpa seizin darinya. Di dalam
ruangan khusus itulah. Kitab Ajian Dewa yang berhasil direbut dari Ki Rupaksi
tersimpan.
Wanara melangkah dengan
mantap. Dirinya ingin sekali mempelajari isi kitab sakti itu. Jika telah mampu
memecahkan semua isi Kitab Ajian Dewa.
Wanara akan menjadi orang yang
paling sakti di dunia persilatan. Tak seorang pun akan mampu mengalah-kannya,
karena dirinya akan dapat disejajarkan dengan dewa.
Krekkk
Wanara membuka pintu. Matanya
mengawasi ke dalam ruangan khusus tempat menyimpan segala macam senjata pusaka
dan kitab-kitab sakti. Namun, tiba-tiba hatinya tersentak kaget dengan mata
terbelalak ketika melihat kotak penyimpanan Kitab Ajian Dewa telah terbuka.
“Heh?”
Wanara segera berlari untuk
melihat isi kotak.
Betapa marah dan gusarnya
lelaki berwajah kera itu, ketika melihat isi kotak telah hilang.
“Kurang ajar Siapa yang telah
berani mencuri Kitab Ajian Dewa” geram Wanara dengan napas memburu. Dadanya
naik turun karena marah.
Sementara kedua telapak tangan
terkepal, gigi-giginya bergemeretukan menahan geram.
Brakkk
Dibantingnya pintu kamar
khusus itu dengan keras, kemudian berlari keluar menuju singgasana.
Matanya yang merah, semakin
membara. Dirinya benar-benar murka. Karena Kitab Ajian Dewa yang telah didapat
dengan perjuangan selama dua puluh tahun lebih itu kembali dicuri.
“Bedebah Benar apa yang
dikatakan Seruni. Ada pengkhianatan di dalam Partai Kera Hitam. Hm, kuremukkan
kepalanya” dengus Wanara bertambah marah dan geram, merasa telah dikhianati.
Tangan kanan terkepal, lalu memukul-mukul telapak tangan kirinya.
Plok Plok
Wanara bertepuk dua kali.
Sesaat kemudian berdatangan beberapa anak buahnya yang masih berada di
lingkungan markas. Mereka langsung menyembah, kemudian duduk di lantai dengan
kepala menunduk. Hanya Ambar Sari dan Seruni yang berdiri tanpa rasa takut,
meski keduanya mengetahui Wanara tengah murka.
“Katakan, siapa di antara
kalian yang tahu pencuri Kitab Ajian Dewa? Jawab...” bentak Wanara dengan
keras. Matanya yang membara, mengawasi satu persatu orang-orang yang berkumpul
di ruangan itu.
“Ampun Ketua, kami tak tahu,”
sahut mereka serempak.
“Bodoh... Percuma kalian hidup
Heaaa...”
dengan geram Wanara
mengeluarkan ajian 'Sabut Beracun'nya. Lalu tanpa diduga sang Pimpinan
menghantamkan ajian itu. Wrt
“Ayah Hentikan...” teriak
Seruni berusaha menyadarkan ayahnya. Namun bagaikan kesetanan Wanara menghantam
semua orang yang ada di hadapannya, Seruni dan Ambar Sari.
Bluk Bluk
“Wuaaa...”
“Akh...'.'
Lolongan kematian terdengar
susul-menyusul.
Dada mereka, tergurat
goresan-goresan hitam legam.
Tampak dari mulut orang-orang
itu menyemburkan darah segar. Dalam sekejap saja semua telah ambruk
bergelimpangan dengan mata membelalak seperti menahan rasa sakit yang mendera.
“Ayah Mengapa Ayah melakukan
ini? Belum tentu mereka bersalah” bentak Seruni menentang tindakan sang Ayah
yang dianggapnya terlalu biadab dan kejam.
Wanara tak menjawab. Dirinya
hanya diam sambil menundukkan kepala, karena benar-benar tak mampu menahan
amarahnya.
“Tinggalkan aku, Seruni
Tinggalkan Ayah di sini...”
desah Wanara dengan suara
bergetar. Kemudian dihelanya napas dalam-dalam seakan berusaha membuang
perasaan amarah yang terus-menerus membakar jiwa.
Seruni dan ibunya tak
membantah. Keduanya segera meninggalkan Wanara yang masih terduduk di
singgasananya. Sedangkan di hadapannya, terkapar kaku puluhan manusia mati.
Mereka adalah para prajurit dan gadis-gadis yang selama ini dijadikan pemuas
nafsunya. *** Senja yang cerah membiaskan cahaya merah di langit sebelah barat.
Dari arah timur nampak dua orang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun
berlari-lari cepat menuju Desa Kendal. Wajah kedua lelaki yang ternyata
Ketawang dan Sungo Karu menyiratkan ketegangan. Di punggung Ketawang,
terpondong bungkusan yang tak lain Kitab Ajian Dewa. Mereka baru saja mengambil
dari kamar khusus di markas Partai Kera Hitam.
“Kita harus segera sampai di
Desa Kendal dan bertemu dengan Ki Jambe Biru,” ujar Ketawang dengan napas
terengah-engah. Sementara Sungo Karu yang berlari di sampingnya seperti tak
menghiraukan ucapan itu, karena napasnya juga terus memburu.
“Guru kita kabarnya telah
mati, Adi Ketawang,”
Sungo Karu menyela.
“Ya Wanara benar-benar iblis
Ingin rasanya aku meremukkan batok kepalanya,” sahut Ketawang dengan sengitnya.
Sekali-sekali wajahnya menoleh ke belakang, takut kalau ada yang mengikuti
mereka.
Kalau saja Wanara dan ketiga
tangan kanannya tidak turut serta dalam penyerangan ke Padepokan Sawo Jajar,
tentunya guru mereka, Ki Rupaksi tak akan mengalami kematian. Keduanya mungkin
juga bisa menolong guru mereka dan membasmi
gerombolan Partai Kera Hitam.
Namun, waktu itu penyerbuan langsung dipimpin Wanara dan ketiga tangan
kanannya.
Keduanya merasa sedih dan
menyesal kerena tak dapat menyaksikan kematian sang Guru. Selama ini mereka
diutus Ki Rupaksi untuk menyusup ke markas Partai Kera Hitam. Sehingga ketika
gerombolan itu menyerang guru mereka Ketawang dan Sungo Karu tak dapat
membantu.
“Wanara keparat Tunggulah
pembalasanku”
dengus Ketawang geram, ketika
kembali teringat bagaimana dengan kekejian Wanara membokong gurunya dengan
pukulan 'Sabut Beracun'nya yang dahsyat. Mungkin jika tidak dibokong, Ki
Rupaksi akan mampu mengelakkan serangan itu.
“Kita harus menitipkan kitab
ini terlebih dahulu, Ketawang. Nanti malam, kita harus melakukan perhitungan
dengan Wanara,” saran Sungo Karu.
“Tapi, bagaimana dengan Nyi
Ambar Sari?
Bukankah kita juga diperintahkan
untuk menjaga-nya?” tanya Ketawang bimbang. “Kalau kita harus bentrok dengan
mereka, aku khawatir terhadap keselamatan Nyi Ambar Sari..., Kakang Sungo.”
“Itu tak menjadi masalah,
Ketawang. Bukankah Nyi Ambar Sari belum dicurigai? Kalau sampai kita kalah,
semoga saja ada pendekar sakti yang akan meng-hancurkan Partai Kera Hitam
biadab itu” ujar Sungo Karu berusaha membesarkan hati saudara seperguruannya
itu.
Tidak lama kemudian, Ketawang
dan Sungo Karu sampai di perbatasan Desa Kendal. Namun, baru saja keduanya
berlari memasuki Desa Kendal, tiba-tiba mereka dikejutkan bentakan keras.
“Berhenti...”
Kedua kakak beradik
seperguruan itu tersentak.
Mata mereka terbelalak
mengawasi sekelilingnya.
Saat itu, dari balik pepohonan
dan semak belukar muncul anak buah Partai Kera Hitam, diikuti pimpinannya yang
tiada lain Watu Gulung.
“Kalian...?” seru Ketawang
tersentak kaget.
“He he he... Rupanya kalian
berdua pengkhianat busuk itu. Tak kusangka,” gumam Watu Gunung dengan tertawa
terkekeh-kekeh sambil menggeleng-geleng, “Sayang, kini kalian harus mampus”
“Cuih” Ketawang meludah,
“Jangan kira semudah itu, Watu Gunung Kaulah yang harus mampus, sebagai penebus
nyawa guru kami”
“Hm, rupanya kalian murid Ki
Rupaksi”
“Benar Kami rela bersabung
nyawa guna membasmi manusia-manusia keji macam kalian” dengus Sungo Karu
sengit. Matanya menatap tajam dua puluh anak buah Partai Kera Hitam yang telah
mengepung mereka.
“Huah Hebat sekali sesumbarmu,
Kura-kura Jelek” bentak Watu Gunung. “Habisi mereka...”
serunya kepada para anak buah.
Mendengar perintah dari sang
Pimpinan, kedua puluh anak buahnya langsung mencabut senjata.
Kemudian dengan cepat mereka
langsung menyerang Ketawang dan Sungo Karu.
“Hea”
“Yea”
“Tak ada jalan lain, Kang
Sungo,” desah Ketawang.
“Ya Terpaksa, sekarang pun
boleh”
Srt Srt
Kedua kakak beradik
seperguruan itu langsung mencabut senjata masing-masing. Sungo Karu dengan
cepat melemparkan capingnya yang lebar menyerang mereka yang menyerbu.
“Heaaa...”
Wrrr...
Caping besar itu berputar cepat,
bergerak menyerang kedua puluh orang lawannya. Dari putaran caping itu, keluar
angin besar yang mampu menyentakkan lawan.
“Heaaa” Melihat caping itu
berputar cepat hendak
menyerang, anak buah Partai
Kera Hitam secepat kilat membabatkan pedang. Namun....
Wrt
Crakkk Crakkk
“Aaakh...” empat orang anak
buah Partai Kera Hitam terpekik keras, ketika caping besar itu menerjang tangan
mereka yang memegang pedang.
Empat tangan mereka putus,
berjatuhan ke tanah dengan, darah menyembur. Tubuh mereka ambruk lalu
bergulingan kesakitan sambil memegangi tangan yang terpotong.
“Kurang ajar Kubunuh kalian
Heaaa...” dengan penuh amarah, Watu Gunung melesat melakukan serangan. Pedang
di tangannya, berkelebat cepat dalam jurus 'Seribu Tangan Iblis'. Seketika
pedang itu bagaikan digerakkan seribu tangan. Begitu pula dengan
serangan-serangan tangan kirinya, sangat cepat dan beruntun.
Sungo Karu dan Ketawang
tersentak kaget,
menyaksikan jurus yang begitu
cepat. Keduanya segera bergerak mengelak sambil balas menyerang dengan senjata
masing-masing.
Ketawang memutar toyanya
dengan cepat, hingga menimbulkan angin yang keras. Sedangkan Sungo Karu terus
memutar capingnya di depan tubuh, sebagai tameng.
“Hea”
“Yea”
Jlegar”
“Akh...” tubuh Ketawang dan
Sungo Karu
terpental ke belakang,
melayang bagaikan diterbang-kan angin. Hampir saja tubuh keduanya membentur
pohon. Namun tiba-tiba sosok bayangan berkelebat cepat menangkap tubuh mereka.
Bersamaan dengan kejadian itu muncul pula sosok bayangan lain di belakang mereka.
Trep Trep
“Kakang Sena...”
“Aha, kita bersua lagi,
Purbaya,” sahut Sena ketika melihat orang yang menolong lelaki gemuk seperti
kura-kura ternyata Purbaya.
“Nini Mei Lie, selamat bertemu
lagi” sapa Purbaya seraya tersenyum.
“Terima kasih,” sahut Mei Lie
sambil menghentikan langkahnya. Kini mereka bertiga berdiri tiga tombak di
hadapan anak buah Partai Kera Hitam.
Watu Gunung dan para anak
buahnya terbelalak melihat siapa yang datang menolong kedua pengkhianat itu.
“Sepasang pendekar dan pemuda
berambut
keperakan” gumam mereka dengan
mata mem-
belalak. *** 8
Pendekar Gila, Mei Lie, dan
Purbaya masih berdiri, tenang. Pendekar Gila menurunkan tubuh Ketawang yang
dipondongnya. Begitu pula dengan Purbaya.
“Mengapa, Kisanak berurusan
dengan kera-kera iblis itu...?” tanya Purbaya kepada Ketawang. Matanya kemudian
menatap para anak buah Partai Kera Hitam. Ketika matanya beradu pandang dengan
mata Watu Gunung, Purbaya menarik napas dalam-dalam.
Ingatannya tiba-tiba melayang
pada peristiwa dua puluh tahun silam. Dirinya dan sang Ibu dikejar-kejar tiga
orang rekan Wanara. Purbaya masih ingat, salah satunya Watu Gunung.
“Mereka orang jahat, Kisanak.
Guru kami telah mereka bunuh dengan keji,” sahut Sungo Karu dengan mata
berapi-api, menatap tajam wajah Watu Gunung serta anak buahnya.
“Aha, siapakah guru kalian?”
tanya Sena menyela.
“Ki Rupaksi,” jawab Ketawang
seraya menoleh wajah Pendekar Gila.
“Aha, kalau begitu, bukankah
kalian Ketawang dan Sungo Karu?” tanya Sena berusaha memastikan.
Ketawang dan Sungo Karu
mengerutkan kening.
Keduanya heran, karena pemuda
itu telah mengenal mereka.
“Dari mana Tuan tahu? Siapakah
Tuan sebenarnya?” tanya Ketawang menatap Pendekar Gila lalu beralih ke wajah
Mei Lie di sampingnya.
“Namaku Mei Lie, sedangkan temanku
Sena
Manggala. Kami telah bertemu
dengan guru kalian, ketika dalam keadaan sekarat. Kemudian Ki Rupaksi
menceritakan tentang kalian,” tutur Mei Lie.
Kemudian, dengan singkat Mei
Lie menceritakan tentang Ki Rupaksi, yang menyangkut juga masalah Purbaya.
“Jadi, pamanku telah
meninggal?” sela Purbaya dengan wajah sedih, setelah tahu kalau Ki Rupaksi
ternyata pamannya. Kemudian wajahnya menoleh ke Ketawang dan Sungo Karu.
“Kalian berdua saudara seperguruan,” ujarnya.
Ketawang dan Sungo Karu merasa
terharu dapat bertemu dengan anak Ki Kerto Pati, saudara guru mereka. Begitu
pula Purbaya tak akan mampu menahan rasa harunya. Namun...
“Hea...”
Tiba-tiba gerombolan itu
merangsek maju
menyerang dengan ganas.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang ingin membiarkan kawan-kawan mereka
melepas kerinduan, segera
melesat. Keduanya bergerak cepat memapaki serangan beringas itu. Tak
tanggung-tanggung lagi Pendekar Gila dan Mei Lie langsung mencabut senjata
masing-masing.
“Hea”
“Hea”Yea”
Wrt Wrt
Trang Trang
Mei Lie yang dikenal dengan
julukan Bidadari Pencabut Nyawa Iblis, dengan Pedang Bidadarinya membabat
pedang lawan yang menyerangnya.
Kemudian dengan cepat,
melakukan serangan balasan.
“Hea”
Wrt
Cras “Akh...” jeritan kematian
terdengar, ketika Pedang Bidadari yang digerakkan dengan jurus 'Bidadari
Menebas Gunung' membabat tubuh lawan.
Sementara itu Pendekar Gila
tampak menghadapi keroyokan itu. Tingkah lakunya yang konyol, membuat
lawan-lawannya bertambah penasaran. Sepuluh orang serentak menyerbu dengan senjata
bergerak menebas dan menusuk tubuh Pendekar Gila.
“Pecah kepalamu...”
“Hancur tubuhmu, Bocah Edan
Hih...”
Wrt Wrt
“Hi hi hi... Aha, masih belum,
Kisanak” ejek Sena sambil mengelak dengan membungkukkan badan.
Sementara tangannya memegangi
kepala, seakan ketakutan. “Wadau... Galak sekali kalian...”
Pendekar Gila bergerak seperti
orang mabuk.
Kemudian tampak tubuhnya
memutar mengelakkan serangan lawan. Itulah jurus 'Dewa Mabuk Menjerat Sukma'
yang dipadu dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan Benang'.
“Hi hi hi... Weee...” Pendekar
Gila mengejek sambil bergerak sempoyongan mirip orang mabuk.
Gerakan itu membuat kesepuluh
lawannya semakin nafsu untuk segera dapat mengalahkan Pendekar Gila. Secara
serentak mereka langsung menyerang dengan babatan pedang.
“Hea...”
Wrt Wrt
Dengan cepat Pendekar Gila,
menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Kedua kakinya direntangkan, kemudian bergerak
menyapu kaki-kaki lawan. Hal itu membuat kesepuluh lawannya yang hendak
menyerang, tersentak kaget. Mereka tak sempat mengelakkan sapuan kaki Pendekar
Gila yang menggunakan jurus 'Dewa Mabuk Menjerat Sukma'.
Wuttt
“Wadauw...”
Kesepuluh orang lawannya yang
hendak
menyerang, seketika
terjengkang ke belakang. Kaki mereka diterjang sapuan kaki Pendekar Gila.
“Hi hi hi... Lucu sekali
kalian Mengapa kalian tak melihat ke bawah?” ejek Sena tertawa cekikikan sambil
menggaruk-garuk kepala. Sementara tangan kanannya yang masih memegang Suling
Naga Sakti memukul-mukulkan perlahan suling itu ke pahanya.
Betapa marahnya kesepuluh orang
lawannya, diejek Pendekar Gila. Segera mereka bangkit, kemudian serentak
kembali melakukan serangan.
“Hea”
“Hi hi hi... Belum kapok juga
kalian?” seru Sena sambil melompat ke atas dengan jurus 'Si Gila Terbang
Mencengkeram Mangsa'. Setelah bersalto dengan cepat menotokkan kepala Suling
Naga Sakti ke kepala lawan-lawannya. “Ini untuk kalian Hi hi hi”
Pletak
“Wadauw...”
“Hi hi hi... Ini untukmu”
Pendekar Gila semakin cepat bergerak, sambil memukulkan Suling Naga Sakti ke
kepala lawan-lawannya.
Pletak Pletak
Suara benturan Suling Naga
Sakti yang memukul kepala terdengar beberapa kali. Jeritan-jeritan kesakitan
keluar dari mulut mereka yang terpukul.
Tangan lawan tampak saling
memegangi kepala masing-masing seakan membuang rasa sakit.
“Aduh...”
“Tobat”
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala. Telunjuknya menuding sepuluh
orang yang kini meraung-raung kesakitan.
Purbaya, Ketawang, dan Sungo
Karu yang melihat tingkah laku Pendekar Gila dan kesepuluh lawannya yang kini sedang
kesakitan, tak dapat menahan tawa.
Mereka tertawa
terpingkal-pingkal, melihat kelucuan dan kekonyolan Pendekar Gila.
Watu Gunung yang menyaksikan
kesepuluh anak buahnya dibuat konyol, tampak menggeram marah.
“Kubunuh kau, Gila Hea...”
Wrt
Lelaki tua itu melesat
melakukan serangan cepat.
“Aha, rupanya biang kecoanya
turun. Hi hi hi...”
ejek Sena sambil berkelit
dengan melebarkan kaki kiri ke samping. Sedangkan
yang kanan ditekuk.
Namun kemudian dengan cepat
tubuhnya berputar ke samping.
Wesss
Serangan Watu Gunung meleset
beberapa jengkal dari rusuk kiri Pendekar Gila. Pendekar Gila cepat balas
menyerang dengan mengangkat lutut kanannya ke atas. Tak ampun tubuh Watu Gunung
yang tengah melesat tak sempat mengelak.
Degkh
“Ukh...” Watu Gunung terpekik
lirih, ketika perutnya terhantam lutut Pendekar Gila. Tubuh lelaki tua itu
terpental dan jatuh ke tanah. Matanya tampak semakin beringas. “Kurang ajar
Kubunuh kau, Gila
Heaaa...”
“Hi hi hi...” sambil tertawa
cekikikan Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya meliuk laksana menari, kemudian
disertai sebuah tepukan ke dada Watu Gunung.
“Hah?” Watu Gunung tersentak
kaget, merasakan ada hawa tepukan dari tangan Pendekar Gila yang begitu kuat.
Hampir saja dirinya terkena hantaman tepukan itu, kalau saja dia tak segera
mengelak.
“Jurus siluman...”
“He he he... Lucu sekali kau,
Ki” sahut Sena meledak sambil turun bergerak dengan jurus 'Gila Menari Menepuk
Lalat'. Watu Gunung semakin tersentak kaget. Tubuhnya bersalto ke belakang
mengelak. Namun belum sampai kakinya menginjak tanah, tiba-tiba tepukan telah
memburunya.
Plok
“Heh?” Watu Gunung tersentak,
dia kembali melentingkan tubuhnya mengelakkan serangan yang dilancarkan
Pendekar Gila. “Seraaang...” teriak Watu Gunung kepada para anak buahnya.
Serentak kesepuluh anak buah
yang sudah tak merasa sakit lagi, bergerak menyerang. Namun dengan cepat
Pendekar Gila melejit ke atas, kemudian Suling Naga Sakti kembali mematuki
kepala lawan satu persatu.
Pletak
“Akh...”
Pletak
“Waduh”
Kesepuluh pengeroyoknya kembali
dibuat kalang kabut seraya menjerit-jerit kesakitan. Tubuh mereka berputaran
sambil memegangi kepalanya yang sakit dan berdenyut-denyut.
“Hua ha ha.. Pendekar Gila
tertawa terbahak-bahak. Begitu pula Purbaya, Ketawang, dan Sungo Karu, yang tak
kuat menahan tawanya melihat kejadian lucu itu.
Sementara itu, di sisi lain
Mei Lei masih terus bertarung dengan sengitnya. Dua orang kini menggebrak Mei
Lei dengan sabetan dan tusukan pedangnya. Dengan cepat Mei Lie merundukkan
kepala, lalu..., menggeser kaki kiri ke samping. Tubuhnya bergerak bagaikan
menari dengan cepat. Sedangkan pedang diarahkan ke dada lawan yang ada di
depan.
Sementara telapak tangan
kirinya menghantam ke arah selangkangan lawan yang ada di samping.
“Heaaa”
Pekikan keras mengiringi serangan
cepat Mei Lie.
Crab
Jrot
“Akh”
“Wua” dua orang terpekik
keras, yang satu dadanya bolong terkena tusukan pedang. Sedangkan satunya lagi
kini memegangi kemaluannya yang terkena hantaman telapak tangan Mei Lie.
Keduanya langsung sekarat dan mati.
Melihat rekannya mati, tidak
membuat anggota Partai Kera Hitam lainnya gentar. Bahkan kini empat orang
dengan ganas menggebrak Mei Lie, secara bersamaan. Mereka menyerang dari empat
arah, dengan tebasan dan tusukan pedang. Namun, dengan cepat Mei Lie mengelak,
lalu dengan cepat dikeluarkan jurus 'Tebasan Sukma'. Sebuah jurus pamungkas
yang selama ini belum ada tandingannya dalam jurus pedang.
“Hea”
Wut Wut
Pedang Bidadari di tangan Mei
Lie bergerak memutar. Kelihatan gerakan pedang itu lambat.
Namun ternyata begitu cepat
menggores leher keempat lawannya.
Cras Cras
“Akh?” “Ukh?” empat lawannya
memekik tertahan.
Mereka pun terbelalak kaget
melihat leher masing-masing tetap utuh bagai tak terluka.
Bahkan Watu Gunung pun
tercengang dengan
mulut ternganga menyaksikan
kejadian yang sangat aneh itu. Padahal matanya melihat persis kalau ujung
pedang di tangan gadis Cina itu membabat leher keempat anak buahnya.
Rasa kaget Watu Gunung belum
habis, ketika tiba-tiba terjadi sesuatu yang lebih mengejutkan lagi.
Tubuh keempat anak buahnya
yang semula berdiri tegak dan utuh seketika lebur menjadi debu ketika angin
bertiup.
“Hah? O, ilmu apa yang
digunakannya?” gumam Watu Gunung dengan mata membelalak kaget, menyaksikan hal
aneh yang baru saat ini dilihatnya.
Dirinya juga jago memainkan
pedangnya. Namun, baru kali ini dia melihat sebuah jurus pedang yang aneh dan
sangat hebat. “Celaka... Jelas gadis ini bukan gadis sembarangan Anak-anak,
mundur...”
Mendengar perintah dari
pimpinan, anak buah Partai Kera Hitam segera ambil langkah seribu.
“Hoi, mau lari ke mana kalian”
bentak Purbaya geram. Kemudian digerakkan rambutnya. Seketika itu juga melesat
sinar putih keperakan dari rambutnya yang panjang.
Slats Slats
Sinar keperakan itu melesat
cepat memburu sisa gerombolan dari Partai Kera Hitam yang hendak melarikan
diri. Dalam sekejap dua larik sinar itu menerjang orang yang paling belakang.
Jrat
“Akh...” kesepuluh anak buah
Watu Gunung mengerang-erang kesakitan. Sinar keperakan yang menerjang tadi
ternyata begitu dahsyat. Tubuh mereka meleleh bagaikan lilin yang terbakar.
Melihat kejadian itu Ketawang dan Sungo Karu terbelalak karena perasaan heran,
kaget, dan ngeri
menyaksikan kejadian
menggiriskan itu.
Melihat Watu Gunung dapat
lolos dari hantaman
'Rambut Api'nya Purbaya hendak
mengejar. Namun dengan cepat Pendekar Gila mencegah.
“Biarkan dia hidup. Karena
dialah yang akan memberitahukan pada Wanara,” cegah Sena sambil memegang bahu
Purbaya. Pemuda berambut
keperakan ini menurut.
''Tapi dia salah seorang pembunuh
ayahku, Sena,”
kata Purbaya.
“Aha, itu suatu kebetulan.
Bukankah dengan begitu, tentunya kera-kera jelek yang membunuh ayahmu akan
keluar. Ah ah ah Kita tak perlu susah-susah mencari mereka” gumam Sena sambil
cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala.
Kemudian diselipkan Suling
Naga Sakti ke ikat pinggangnya.
''Kakang Purbaya, siapakah
kedua Tuan Pendekar ini?” tanya Ketawang.
“Ini Sena Manggala yang lebih
dikenal dengan julukan Pendekar Gila. Sedangkan yang ini, Mei Lie yang juga
berjuluk Bidadari Pencabut Nyawa Iblis,”
kata Purbaya memperkenalkan
nama dan julukan keduanya.
“O, ampunilah kami, Pendekar
Gila Sungguh dari tadi kami tak menyangka kalau di hadapan kami, ternyata dua
pendekar yang namanya menjadi buah bibir semua tokoh rimba persilatan,” desah
Ketawang sambil menjura hormat, diikuti Sungo Karu.
“Aha, janganlah Kisanak berdua
berlaku begitu terhadap kami. Kami juga manusia seperti kalian,”
sahut Sena sambil cengengesan
dan menggaruk-garuk kepala.
“Benar, Kisanak. Jangan kalian
terlalu memuji kami dengan gelar itu. Gelar belum tentu
menggambarkan sifat manusia
yang menyandangnya.
Kebaikan budi pekerti, itu
yang paling utama,”
sambung Mei Lie. Ketawang dan
Sungo Karu semakin bertambah kagum terhadap kedua sejoli pendekar itu.
“Pendekar, kebetulan sekali
kita bertemu. Guru berpesan, jika bertemu Pendekar Gila kami harus menyerahkan
Kitab Ajian Dewa ini,” Ketawang segera melepas kain yang digendong di
punggungnya.
Kemudian diberikannya Kitab
Ajian Dewa pada Sena.
“Ini Kitab Ajian Dewa milik
gurumu.”
Pendekar Gila menerimanya,
kemudian sambil menggaruk-garuk kepala matanya mengamati dengan teliti kitab
itu.
“Sungguh bukan kitab
sembarangan. Hm, pantas kalau kitab ini menjadi rebutan,” gumam Sena dalam
hati, merasa kagum melihat kitab yang berisikan ajian-ajian sakti.
“Aha, terima kasih Betapa
telah banyak sekali jasa kalian. Sekian lama menjaga kitab ini dengan
mempertaruhkan jiwa dan nyawa kalian. Aha, dengan apa aku harus membalas
kebaikan kalian?” tanya Pendekar Gila sambil mendesah pelan, lalu memperhatikan
kembali Kitab Ajian Dewa yang masih dalam genggamannya.
“Oh, tidak mengapa, Pendekar.
Bagaimanapun antara guru kita telah terjalin persahabatan. Sebagai sahabat,
sewajarnya kita harus bantu-membantu,”
sahut Ketawang sambil mengurai
senyum, “Oh ya, Kakang Purbaya. Bibi Ambar berada di markas Partai Kera Hitam.”
“Heh...?”
Purbaya tersentak hatinya
mendengar sang Ibu masih ada. Perasaan rindu yang selama dua puluh tahun
dipendam, kembali menyeruak keluar
mengusik hatinya. Namun
sementara itu pula jantungnya berdegub keras. Darah di kepala bagaikan mendidih
karena dendam kesumatnya yang tiba-tiba pula terbangkit, ketika teringat
peristiwa yang mengakibatkan keluarganya berantakan.
“Apakah ibu dalam keadaan
sehat?” tanya
Purbaya dengan suara bergetar.
“Bibi dalam keadaan sehat.
Bibi pernah bercerita pada kami, kalau bibi selalu teringat pada Kakang.
Bibi menyangka Kakang telah
meninggal,” tutur Sungo Karu.
Purbaya menghela napas
dalam-dalam. Ingatannya kembali melayang ke masa dua puluh tahun yang silam.
“Sudah kuduga, kalau ibu akan
menyangka aku telah mati” gumam Purbaya dengan wajah sedih.
Ingin sekali dirinya menemui
sang Ibu untuk mencurahkan rasa rindunya.
“Aha, kurasa kita harus segera
mengatur recana.
Partai Kera Hitam bukan partai
kecil. Kita harus hati-hati dan menghimpun pendukung untuk melakukan
penyerbuan...” kata Sena menjelaskan.
“Benar” sambut Mei Lie, “Kita
harus mengumpulkan warga desa yang selama ini menderita, tertindas
keangkaramurkaan. Kita harus segera membasmi kebiadan ini” seru Mei Lie.
Tengah mereka
berbincang-bincang, dari empat penjuru muncul para lurah diikuti warga desanya.
Kepala Desa Kranggan, Kepala Desa Sangitan, dan Kepala Desa Kendal melangkah
mendekati Pendekar Gila dan kawan-kawannya. Sesaat kemudian muncul pula dari
utara dan timur beberapa lurah yang juga disertai para warga desanya. Ada yang
mengherankan, entah siapa yang memberitahu mereka kalau Pendekar Gila dan
Purbaya hendak menyerbu markas Partai Kera Hitam.
“Kami ikut...”
“Kami siap membantu kalian”
“Kami telah bosan ditindas
Partai Kera Hitam”
“Tumpas Partai Kera Hitam...”
Pendekar Gila, Mei Lie,
Purbaya, Sungo Karu, dan Ketawang tercengang mendengar ucapan serta kesungguhan
di wajah orang-orang desa itu. Mereka tak tahu, siapa yang telah mengerahkan
para kepala desa dan warganya untuk memberontak terhadap Partai Kera Hitam.
“Hi hi hi... Lucu sekali Baru
saja kami hendak mengumpulkan kalian. Tetapi kalian telah datang sendiri,”
gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
“Kami telah dihubungi Lima
Jelanga dari Sawo Jajar” seru Ki Jambe Biru, Kepala Desa Kendal.
“Aha, rupanya murid-murid Ki
Rupaksi Di mana mereka?” tanya Sena.
“Kami di sini, Pendekar” jawab
Lima Jelanga dari Sawo Jajar yang baru datang dari arah selatan.
“Adik Jelanga...” seru
Ketawang dan Sungo Karu hampir bersamaan, melihat kelima adik seperguruan
mereka telah datang.
“Semua telah berkumpul. Kurasa
cukup untuk melakukan penyerbuan, Kakang,” kata Mei Lie.
“Aha, kau benar Kita tinggal
memimpin mereka dan membagi menjadi kelompok-kelompk,” usul Pendekar Gila
dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. “Bagaimana, Adi Purbaya?”
“Aku setuju, Tuan Pendekar.
Kita memang harus secepatnya menumpas Partai Kera Hitam,” sahut Purbaya.
“Setuju...” sahut para warga
desa serentak.
“Hidup Malaikat Berambut
Perak...” seru warga Desa Kranggan yang dipimpin seorang lurah baru.
“Hidup Penegak Keadilan...”
sambut warga desa lainnya.
“Hi hi hi... Baiklah, kita
bagi menjadi lima. Masing-masing bergerak dari arah selatan, barat, dan timur.
Dan satu kelompok lagi bersiap
di depan markas,”
ujar Sena mengatur
kelompok-kelompok penyerangan.
“Kakang, apakah tidak
sebaiknya kita ke sana lebih dahulu?” tanya Mei Lie mengusulkan.
“Aha, benar. Kami berlima akan
berangkat lebih dahulu ke sana. Kalian menyusul...” kata Sena.
“Setuju...” sahut semua warga
desa.
“Aha, kita akan memburu kera.
Hi hi hi...”
Pendekar Gila tertawa
cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian mereka berlima segera
meninggalkan Desa Kendal. Tidak lama para warga desa yang dipimpin Lima Jelanga
dari Sawo Jajar pun melangkah menyusul. ***
Sementara di Markas Partai
Kera Hitam, Wanara sedang memimpin anak buahnya yang telah kembali setelah
melakukan tugas mereka. Dua orang tangan kanannya, Sodra dan Lombang, juga ada
di situ. Hanya Watu Gunung yang belum datang.
“Ke mana Watu Gunung?” tanya
Wanara.
“Bukankah dia sedang
menjalankan tugasnya di Kendal, Ketua?” sahut Sodra balik bertanya.
“Hm, mengapa sampai saat ini
belum datang juga?” gumam Wanara dengan wajah cemas,
“Barangkali dia mengalami
kesulitan?”
“Entahlah. Kalau memang benar,
tentu ketiga anak muda itu berada di Desa Kendal,” sahut Lombang.
“Kalau begitu, kita akan
melakukan sapu bersih terhadap kelima desa di sekitar Hutan Palapiring. Biar
mereka tahu siapa kita” dengus Wanara masih menduga ketiga pendekar muda itu
kembali membuat rencananya berantakan. Belum lagi memikirkan pengkhianatan yang
telah masuk ke dalam
markasnya.
Ketika mereka memikirkan Watu
Gunung yang mencemaskannya, tiba-tiba dari luar terdengar suara penjaga
berseru, memberitahukan kalau Watu Gunung telah datang.
“Watu Gunung datang...”
“Hm, dia akhirnya datang juga”
gumam Wanara.
Dari luar, nampak Watu Gunung
tergesa-gesa melangkah masuk. Wajahnya pucat pasi dilanda rasa takut. Hal itu
membuat semua yang ada di dalam ruangan markas memperhatikan Watu Gunung.
“Watu Gunung, ke mana anak
buahmu?” tanya Wanara dengan kening mengerut menatap wajah Watu Gunung nampak
begitu tegang dan pucat, seperti diburu hantu.
“Ampun Ketua, tiga pendekar
muda itu ada di Desa Kendal. Kami bentrok dengan mereka. Tetapi pemuda berambut
keperakan itu sangat hebat. Rambut peraknya mampu mengeluarkan sinar yang panas
laksana petir” tutur Watu Gunung.
Semua mata terbelalak, mendengar
penuturan Watu Gunung. Mereka memang akhir-akhir ini mendengar sepak terjang
ketiga pendekar muda yang di antaranya pemuda berambut keperakan. Namun mereka
tak menduga, kalau pemuda berambut keperakan itu mampu mengeluarkan sinar panas
membara.
“Bodoh Menghadapi anak-anak
muda saja kau tak becus” bentak Wanara marah, “Percuma dua puluh tahun kau
bersamaku, Watu Gunung.”
“Ampun, Ketua Mereka memang
bukan anak
muda sembarangan,” ujar Watu
Gunung.
“Bodoh” bentak Wanara dengan
penuh amarah.
Napasnya mendengus keras.
Tangannya mengepal, menandakan kalau hatinya sangat merah. “Kau tak ada
gunanya, Watu Gunung”
“'Tapi, Ketua...”
“Tapi apa?” sentak Wanara
geram, “Kau akan mengelak dengan mengatakan mereka itu manusia-manusia sakti.
Hua ha ha... Tak ada yang lebih sakti dari Wanara”
Semua terdiam, tak ada yang
berani menyahuti.
Para anak buahnya benar-benar
takut, kalau Wanara akan semakin bertambah marah. Mereka tahu, kalau sang
Pimpinan sudah marah, tak ada ampunan lagi.
Hukuman mati pasti tak terelakan.
“Sodra, Lombang, kuperintahkan
kalian agar mempersiapkan pasukan. Kita gempur Desa Kendal
Tangkap ketiga pendekar muda
itu Seruni...”
“Saya, Ayah,” sahut Seruni.
“Kutugaskan kau membunuh dua orang pengkhianat itu” perintah Wanara. “Siapa
yang Ayah maksudkan?” tanya Seruni ingin tahu.
“Ketawang dan Sungo Karu”
sahut Wanara,
“Dialah yang telah mencuri
Kitab Ajian Dewa.”
“Hm, semula memang sudah
kuduga, Ayah. Aku sudah tak percaya semenjak mereka hendak menjadi anak buah
Partai Kera Hitam,” dengus Seruni dengan mata menatap tajam.
Semua anak buah Partai Kera
Hitam kembali terdiam, tak seorang pun yang berani membuka suara. Suasana di
tempat itu seketika hening dan tegang. Semua dicekam ketakutan kalau Wanara
sampai murka. Mereka tahu siapa lelaki berwajah mirip kera itu.
Wanara bangkit dari duduknya,
lalu melangkah hilir mudik dengan tangan mengepal. Wajahnya diselimuti amarah
yang meluap-luap. Dirinya merasa semua sepak terjang Partai Kera Hitam
akhir-akhir ini banyak gagal akibat ketiga pendekar muda itu.
“Kuperintahkan pada semuanya,
cari dan bunuh ketiga pendekar muda itu” perintah Wanara dengan penuh amarah.
Seakan tak sabar ingin segera melihat ketiga pendekar muda itu mati.
“Hua ha ha... Kau tak usah
susah-susah mencari kami, Wanara Kami telah datang...” terdengar suara seorang
anak muda berseru dari luar.
“Mereka datang...” seru Watu
Gunung.
Wanara dan anak buahnya
langsung berhamburan keluar, untuk melihat siapa yang telah berani berteriak
lantang itu. *** 9
Di halaman markas Partai Kera
Hitam telah berdiri tenang lima orang muda. Dua di antara mereka yang telah
dikenal di kalangan perkumpulan itu, Ketawang dan Sungo Karu. Sedang tiga orang
lagi bagi Wanara masih asing, karena baru kali ini dilihatnya. Satu pemuda
berpakaian rompi kulit ular bertingkah laku seperti orang gila. Di sampingnya
seorang gadis Cina yang cantik dengan pedang tersandang di punggungnya. Dan di
sebelah kanan gadis cantik itu berdiri tegap seorang pemuda bertubuh gagah
mengenakan jubah putih. Rambutnya yang panjang tergerai, berwarna keperakan.
“Hi hi hi... Aneh sekali.
Sekarang ada monyet memimpin manusia,” ujar Sena sambil cengengesan dengan
tangan menggaruk-garuk kepala.
“Cuih Bocah edan Kalian berani
datang ke markas Partai Kera Hitam Berarti kalian mencari mampus” dengus Wanara
geram. Matanya yang merah menatap tajam wajah Pendekar Gila yang cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
“Hi hi hi... Lucu sekali kau,
Monyet Kurasa kedatangan kami, justru mau berburu monyet sepertimu” seru Sena
sambil tertawa terbahak-bahak. Melihat sikap pemuda gila di depannya.
Wanara semakin geram dan
marah.
“Bocah edan Tutup mulutmu...”
bentak Wanara dengan suara keras.
“Aha, lucu sekali Ada kera
bisa berbicara seperti manusia. He he he...”
“Nguiiik... Grrr...”
Suara lengkingan keras
memekakkan telinga, tiba-tiba keluar dari mulut Wanara, disusul dengan suara
geraman menggelegar. Pepohonan di sekitar tempat markas itu bergetar hebat.
Dedaunan berguguran.
Bumi dan bangunan-bangunan
markas terguncang seperti terjadi gempa. Sementara itu para anak buah Partai
Kera Hitam saling menutupi telinga masing-masing sambil memutar-mutar kepala.
Tampaknya mereka tak mampu menahan getaran akibat suara yang dikeluarkan dengan
tenaga dalam sangat kuat itu. Beberapa orang di antara mereka terdengar
merintih dan menjerit kesakitan.
Mei Lie dan Purbaya tampak
mengerahkan tenaga dalam untuk menahan getaran suara Wanara. Begitu juga yang
lainnya. Bahkan yang tak kuat langsung jatuh berlutut. Namun, Pendekar Gila
justru tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
Dengan cepat dicabutnya Suling
Naga Sakti lalu ditiupnya.
Suara Suling Naga Sakti
mengalun. Mulanya lembut, tetapi semakin lama semakin keras, menyentak dan
melengking melambung tinggi.
“Nguiiing...”
Glarrr...
Ledakan dahsyat menggelegar
terdengar, ketika suara Suling Naga Sakti beradu dengan suara jeritan Wanara.
Tubuh Wanara tampak terhuyung beberapa langkah ke belakang dengan mata
membelalak kaget. Hatinya tak percaya kalau ajian 'Teriakan Kera Mengguncang
Buana'nya dapat ditandingi suara suling pemuda gila itu.
“Kurang ajar Bunuh mereka...”
teriak Wanara memerintah anak buahnya. Serentak semua anak buahnya bergerak
maju menyerbu Pendekar Gila dan keempat kawannya.
Melihat lawan mulai menyerang,
Mei Lie segera mencabut Pedang Bidadari dari punggungnya. Begitu juga dengan
Ketawang dan Sungo Karu keduanya segera melepas senjata mereka lalu memapaki
serangan lawan.
“Hea”
“Yea”
Bagaikan Bidadari Pencabut
Nyawa, Mei Lie dengan Pedang Bidadari-nya langsung menggempur sepuluh orang
anak buah Partai Kera Hitam yang menyerang dirinya. Pedang di tangannya
bergerak cepat, membabat ke arah lawan-lawannya.
Wrt
Bret
“Akh” pekikan kematian
terdengar, bersamaan ambruknya serang anak buah Partai Kera Hitam yang
menyerang Mei Lie. Lehernya terpenggal.
Sementara Pendekar Gila yang
menghadapi
keroyokan empat orang tokoh
utama Partai Kera Hitam, tampak dengan cepat bergerak lincah ke sana ke-mari.
Serangan-serangan yang dilancarkan Watu Gunung, Sodra, Lombang, dan Wanara
bukanlah serangan enteng. Keempatnya yang telah mendengar sepak terjang
pendekar muda itu, tak mau bertindak ceroboh. Mereka langsung menggebrak dengan
serangan-serangan dahsyat dan memarikan.
“Hi hi hi.. Kalian tidak
ubahnya kera-kera kelaparan” ejek Pendekar Gila. Mendengar ejekan lawan,
keempat orang itu semakin sengit dan marah.
Apalagi Wanara, yang merasa
kalau manusia kera itu langsung meledak kemarahannya. “Grrr Kurang ajar Kusobek
mulutmu, Bocah Edan
Hea...”
Dengan jurus 'Cengkeraman
Cakar Kera' Wanara melesat menyerang Pendekar Gila. Tangannya membentuk cakar,
bergerak mencakar ke tubuh lawan.
Pendekar Gila segera bergerak
mundur serta bergerak ke kanan dan kiri mengelakkan serangan itu.
Kemudian dengan mulut
cengengesan Pendekar Gila segera membalas serangan lewat jurus 'Gila Menari
Menepuk Lalat'.
“Hea”
Wrt
Wanara tersentak kaget sambil
melompat mundur untuk mengelakkan tepukan tangan lawan. Matanya terbelalak
seakan tak percaya kalau tepukan yang kelihatannya pelan, ternyata menimbulkan
angin keras dan menyentakkan.
“Haits... Bedebah Gila Jurus
gila..” gumam Wanara sambil melompat mundur. Matanya semakin membelalak, kaget
melihat serangan yang dilancarkan lawan. Jurus-jurus yang dilakukan Pendekar
Gila kelihatan lambat dan pelan, tetapi ternyata mampu memburu gerakannya yang
cepat.
Pendekar Gila tertawa
cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala, melihat lawannya terkejut.
Tingkahnya yang konyol,
membuat Wanara bertambah marah.
“Serang dia...” teriak Wanara
pada ketiga tangan kanannya. Sodra, Lombang dan Watu Gunung
serentak langsung merangsek
Pendekar Gila.
“Hea”
“Yea”
Watu Gunung dengan jurus
'Gempa Gunung'nya bergerak menyerang. Kedua tangannya mengepal, lalu secara
bersamaan menghantam dada lawan.
Namun dengan cepat dan masih
cengengesan, Pendekar Gila merentangkan kaki kiri. Kemudian dalam keadaan
tubuhnya miring bertumpu pada kaki kanan yang di tekuk, Pendekar Gila bergerak
cepat menepuk. Telapak tangannya yang terbuka
memapaki pukulan Watu Gunung.
“Hea”
Glarrr...
“Ukh...” pekikan tertahan
terdengar diringi terpentalnya tubuh Watu Gunung. Dari mulutnya muncrat darah
merah. Kedua tangannya tampak gosong bagaikan terbakar. Tubuh lelaki tua
berkepala botak itu terus melesat ke belakang. Dan...
Brak...
Seketika kepala Watu Gunung
pecah, setelah menghantam tembok gapura. Tanpa suara erangan tubuh berlumuran
darah itu tewas. Kepalanya pecah berantakan di atas gapura.
Wanara, Sodra dan Lombang
tersentak kaget dengan mata terbelalak. Mereka hampir tak percaya, kalau
'Pukulan Gempa Gunung' yang memiliki kekuatan penghancur gunung ternyata mampu
ditahan pukulan pemuda gila itu. Ketiganya menggeleng-geleng kepala kagum
bercampur heran melihat pukulan yang tampaknya begitu lemah dan lamban ternyata
mengandung kekuatan dahsyat sekali.
“Kurang ajar Kau telah
membunuh anak buahku
Kau harus mati Seraaang...”
teriak Wanara memerintah Sodra dan Lombang agar segera
membunuh Pendekar Gila.
“Hea”
“Yea” Melihat ketiganya
melancarkan serangan
Pendekar Gila dengan cepat
bergerak untuk menghindari. Kemudian dengan jurus 'Dewa Mabuk Menjerat Sukma'
dirinya balas menyerang ketiga lawannya. Gerakan yang seperti seorang mabuk,
membuat ketiga lawan tertarik untuk melancarkan serangan. Mereka menyangka
gerakan Pendekar Gila tak memiliki kekuatan untuk bertahan.
“'Jalaraga' Heaaa...” dengan
pukulan andalan bernama 'Jalaraga' Sodra melesat menyerang.
Tangannya kini terbalut
gulungan sinar biru berkabut Kehebatan pukulan itu mampu membunuh lawan dalam
sekejap. Karena pukulan itu sebenarnya mengandung 'Racun Biru' yang sangat
ganas.
“'Palagendana'... Heaaa...”
Lombang pun tak tinggal diam, segera mengerahkan pukulan saktinya dengan
membuka telapak tangan. Tiba-tiba cahaya seperti warna pelangi bergulung-gulung
keluar dari telapak tangan Lombang. Sinar berwarna-warni dan membentuk tali
tambang itu melingkar-lingkar di seputar tubuh Pendekar Gila.
Melihat kedua orang lawan
telah mengeluarkan pukulan sakti, Pendekar Gila justru malah tertawa
terbahak-bahak. Namun kemudian disatukan kedua telapak tangannya di depan dada.
Lalu direntangkan ke atas, disusul dengan tarikan napas dalam-dalam sambil
menarik kedua tangan sampai ke pinggang.
Itulah pembuka jurus sakti 'Si
Gila Melebur Gunung Karang'.
“Hea”
“Yea”
“Heaaa...” Sodra dan Lombang
melesat bersamaan melakukan serangan dengan pukulan sakti mereka. Pendekar Gila
dengan cepat memiringkan tubuh untuk mengelak, lalu dengan menyalurkan tenaga
dalam penuh, dihantamkan telapak tangannya.
“Hea...”
Wrt
Glar
Suara ledakan terdengar ketika
pukulan Pendekar Gila mengenai sasaran.
“Akh...”
“Wua...”
Sodra dan Lombang menjerit
keras diiringi tubuh mereka bergetar hebat. Dan tiba-tiba kedua lelaki tua itu
berubah retak-retak bagaikan patung batu yang hampir pecah. Kemudian dengan
diikuti jeritan menyayat, tubuh mereka hancur menjadi debu dan berhamburan di
tanah.
Semua mata yang menyaksikan
kejadian itu
terbelalak ngeri. Kehebatan
pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang' memang tak dapat dianggap remeh.
Jangankan manusia atau hewan,
gunung karang saja dapat hancur menjadi debu terkena pukulan itu.
Wanara bertambah murka
menyaksikan kedua
anak buahnya telah mati secara
mengerikan. Dengan menggeram, tubuhnya melompat melancarkan
serangan terhadap lawannya.
Namun tampaknya Pendekar Gila mengetahui gerakan cepat Wanara.
Dengan cepat tubuhnya bergerak
untuk mengelak.
Serangan-serangan dahsyat
saling dilancarkan.
Keduanya merasa lawan bukan
orang sembarangan.
Sehingga baik Pendekar Gila
maupun Wanara tak ingin bertindak gegabah. Pukulan demi pukulan yang dahsyat
dan menggetarkan terus berlangsung seru.
Orang-orang yang menyaksikan
pertarungan itu menggeleng-geleng kepala kagum. Baru kali ini mereka
menyaksikan sebuah pertarungan yang hebat. Bumi bagaikan terlanda gempa.
Bergetar dan terguncang. ***
Di sisi lain, pertarungan pun
masih berjalan dengan seru. Mei Lie terus mengamuk dengan jurus-jurus
'Bidadari'nya yang sangat ampuh dan dahsyat.
Pedangnya setiap bergerak,
pasti diikuti jeritan-jeritan kematian.
Wrt Wrt Cras
“Akh...” dua orang ambruk
dengan nyawa
melayang, tertebas Pedang
Bidadari di tangan Mei Lei.
Sementara itu Ketawang dan
Sungo Karu pun tak kalah hebat, tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk
menggempur para anak buah Partai Kera Hitam.
Dengan senjata andalan berupa
caping Sungo Karu terus menggebrak pertahanan lawan. Ketawang pun dengan
toyanya tampak merajalela membabat dan memukul setiap lawan yang menyerang.
Wuttt Wuttt...
Pletak
Wrrrs...
Crak
“Akh...” lengkingan kematian
terdengar susul-menyusul, ketika senjata toya dan tudung caping menghantam anak
buah Partai Kera Hitam.
Melihat kejadian itu Wanara
semakin bertambah marah. Dengan menggeram, lelaki berwajah mirip kera itu
melesat melakukan serangan.
“Hea Kubunuh kalian” dengus
Wanara geram sambil melompat dengan jurus 'Kera Menerkam Mangsa'. Tubuhnya
laksana seekor kera, menerkam tubuh Pendekar Gila.
Sementara itu, Seruni dengan
pedang terhunus telah menyerang Purbaya.
“Hea”
Teriakan keras membubung
tinggi mengiringi serangan yang dilakukan Seruni.
“Seruni, jangan Dia
kakakmu...”
Tiba-tiba terdengar seruan
seorang wanita setengah baya, yang tiada lain Ambar Sari. Wanita tua itu merasa
yakin, kalau pemuda berambut keperakan itu Purbaya, anaknya. Hal itu karena
Ambar Sari tiba-tiba melihat kalung di leher Purbaya berjubah putih.
Kalung inilah yang mendadak
membangkitkan ingatannya terhadap sang Anak yang hilang dua puluh tahun silam.
Seruni yang hendak melakukan
serangan, tersentak kaget ketika mendengar seruan ibunya. Begitu pula dengan
Purbaya, hatinya terkejut bukan kepalang. Sehingga segera menghentikan
serangan.
Matanya menoleh ke tempat asal
suara. Dilihatnya seorang wanita setengah baya berlari-lari meng-hampiri
mereka.
“Hentikan Dia kakakmu, Seruni
Purbaya,
Anakku... Seruni ini adikmu,”
ujar Ambar Sari dengan suara bergetar. Hal itu karena baru kali ini matanya
dapat melihat sang Anak. Sementara hatinya masih diliputi rasa takut kalau
kedua anak itu akan saling membunuh.
“Ibu...” Seruni dan Purbaya
berteriak keras.
Keduanya langsung memburu
Ambar Sari yang jatuh lemas. Keduanya segera memeluk tubuh ibu mereka.
“Ibu, ini Purbaya, Bu” desah
Purbaya berusaha meyakinkan kalau wanita setengah baya itu ibunya.
“Anakku,” dengan tangis
berderai, Nyi Ambar Sari langsung memeluk Purbaya.
Seruni hanya mampu menundukkan
kepala, tak tahu harus berbuat apa, setelah tahu kalau Purbaya ternyata kakak
kandungnya. Seorang pemuda yang selama beberapa hari ini begitu dimusuhi sang
Ayah.
Sementara itu, Mei Lie masih
nampak mengamuk.
Pedang di tangannya bergerak
cepat, membabat lawan-lawannya dengan jurus 'Tarian Badadari Menyapu
Gelombang'.
“Hea”
Wrt Wrt
Cras Cras
“Akh...”
Sekali Pedang Bidadari di
tangan Mei Lie
berkelebat, seketika tiga
orang lawan harus terjatuh.
Mei Lie benar-benar seperti
Bidadari Pencabut Nyawa. Pedangnya bergerak cepat hingga tak nampak bentuk
aslinya.
Pertarungan masih berjalan
dengan seru, ketika dari luar tembok markas terdengar suara teriakan keras.
“Seraaang...”
“Serbuuu...”
“Hancurkan Partai Kera
Hitaaam...”
“Hancurkan keangkaramurkaan...”
Bersamaan dengan seruan itu,
pintu gapura terjebol. Tidak hanya dari pintu gapura, melainkan dari samping
dan belakang tembok berlompatan para warga desa. Dengan bermacam-macam senjata
mereka langsung menyerbu ke halaman markas Partai Kera Hitam yang menjadi ajang
pertarungan.
Trang Trang Jleb
“Akh” jeritan kematian
terdengar susul-menyusul, semakin membuat suasana malam di markas Partai Kera
Hitam bertambah riuh. Tembok-tembok
bangunan markas dirobohkan.
Markas itu hancur berantakan.
Semakin larut, pertarungan
semakin bertambah seru. Namun, di pihak Partai Kera Hitam tampaknya semakin
terdesak.
Melihat keadaan itu Wanara
tampak begitu murka.
Diiringi suara menggeram keras
perlahan-lahan tubuhnya membesar. Semakin lama semakin
membesar, hingga berubah
menjadi sesosok makhluk menyeramkan. Rambutnya yang panjang tampak kumal dan
gembel. Wajahnya yang seram dihiasi mata merah membara dan sepasang gigi taring
panjang di mulut
“Grrr Kuhancurkan kalian” seru
Wanara dengan penuh amarah. Kemudian tangannya bergerak menyambar ke tempat
pertarungan. Sepuluh warga desa seketika tercengang, lalu diremasnya sampai
remuk.
Pendekar Gila tersentak kaget,
menyaksikan kejadian itu. Kakinya segera melangkah mundur.
“Mundur semua...” seru
Pendekar Gila.
Mendengar perintah itu, Mei
Lie, dan semua warga desa langsung bergerak mundur ketakutan.
“Grrr Kubunuh kalian semua
Kuhancurkan...”
Wrt Wrt
Tangan Wanara yang besar dan
berbulu lebat hitam kembali menyerang Pendekar Gila. Namun dengan cepat,
Pendekar Gila melancarkan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
“Hea” Wrt
Jras
Pukulan sakti itu menghantam
telapak wajah Wanara. Sesaat tubuh besar dan berbulu itu terhuyung ke belakang.
Namun dengan cepat sosok tubuh aneh itu kembali tegak berdiri. Bahkan kemudian
langsung melancarkan serangan lebih cepat. Kedua tangannya yang besar dan kekar
serta berbulu menyambar cepat.
Wrt
“Setan Ini untukmu 'Inti Api'.
Heaaa...” Pendekar Gila langsung mengirimkan pukulan sakti 'Inti Api' ke wajah
Wanara. Dari telapak tangannya keluar serangkum api yang langsung memburu
Wanara.
Zrot
Byar
Api itu seketika membakar
wajah Wanara. Sambil menggeram, lelaki bertubuh raksasa itu memukul-mukulkan
telapak tangan mematikan apa yang menyala di wajahnya. Setelah api padam,
dengan geram Wanara kembali mengamuk. Tangannya
semakin cepat menyambar dan
mencengkeram tubuh para warga desa yang tampak ketakutan. Seketika puluhan
orang terpelanting dan bergelimpangan di tanah.
Purbaya yang melihat kejadian
itu, segera melesat melakukan serangan.
“Wanara, aku lawanmu Heaaa...”
Wrt
Rambut Purbaya yang panjang
dan keperakan dikibaskan dengan kuat. Seketika dari rambut itu keluar selarik
sinar keperakan, yang langsung menerjang tubuh Wanara yang besar dan berbulu.
Srrrts... Glarrr... Tubuh
Wanara seketika terbakar. Namun, tidak meleleh seperti lawan-lawan tubuh
Purbaya terdahulu. Bahkan dengan cepat Wanara
memadamkan api yang membakar
tubuhnya. Sesaat kemudian matanya yang besar dan melotot
mengeluarkan api yang langsung
melesat memburu Purbaya.
Srattt...
“Haits Celaka...” pekik
Purbaya kaget sambil melompat mengelakkan serangan ganas itu.
“Aha, kita harus bersatu, Adi
Purbaya. Mari kita tumpas iblis ini” seru Pendekar Gila yang telah melesat
sambil membawa suling Naga Saktinya.
“Hea...”
Wrt
Suling Naga Sakti itu bagaikan
hidup, meliuk-liuk menghadap ke tubuh Wanara yang besar. Lalu tiba-tiba
menghantam ke dada Wanara.
Desss
“Wua Kuremukkan tubuhmu,
Pendekar Gila
Grrr...'' bentak Wanara sambil
menggerakkan tangan menyambar tubuh Pendekar Gila yang tengah melesat. Namun
dari arah kiri Purbaya melancarkan serangan dengan 'Rambut Api'nya.
“Hea”
Srat Srat..
Byarrr...
“Grrr... Kurang ajar Kalian
akan kuremukan”
Dengan membabi buta, Wanara
menggerakkan
kedua tangan berusaha
menangkap kedua lawannya.
Namun dengan cepat Pendekar
Gila dan Purbaya saling bergerak ke samping. Sehingga sambaran tangan manusia
itu tak mengenai sasaran. Hal itu menjadikan Wanara semakin geram karena murka.
“Mundur semua... Kalian mundur...” seru Pendekar Gila. Dirinya tak ingin
teman-temannya dan para warga desa menjadi korban keganasan manusia kera
raksasa itu.
“Mundur...” seru Mei Lie turut
berteriak.
Mendengar perintah dari kedua
pendekar itu, para warga desa berlarian keluar dari lingkungan markas Partai Kera
Hitam.
Pertarungan antara Pendekar
Gila dan Purbaya melawan Wanara semakin bertambah seru. Kedua pendekar itu
terus melancarkan pukulan-pukulan sakti mereka untuk menumpas Wanara yang
semakin merajalela mengamuk. Namun, semua pukulan sakti, bagaikan tiada artinya
sama sekali bagi Pimpinan Partai Kera Hitam.
Mei Lie yang melihat hal itu,
merasa tak sabar.
Sambil mengayunkan Pedang
Bidadari gadis itu segera melompat turut menyerang dengan jurus
'Tebasan Batin'. Pedangnya
berkelebat cepat menebas tangan kiri Wanara yang hendak
menyambar Pendekar Gila.
“Kakang, kubantu Heaaa...”
Wrt
Jrabs...
Tebasan Pedang Bidadari
mendarat telak di tangan kiri Wanara. Penggalan lengan besar dan berbulu lebat
itu terpental ke tanah. Sesaat kemudian, ketika angin bertiup cukup kencang
lengan itu hancur menjadi debu dan berhamburan.
“Aha, kau hebat juga, Mei Lie
Hi hi hi...” seru Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan dan menggaruk-garuk
kepala, “Purbaya, tangan kanannya bagianku atau baginmu...?”
“Biar aku, Tuan Pendekar”
jawab Purbaya. Kemudian dengan cepat dikibaskan rambutnya.
Seketika rambut panjang
keperakan itu bergerak cepat menyabet tangan kanan Wanara.
Srats
Crakkks
“Wua Grrr...”
Tangan kanan Wanara putus
tersabet rambut Purbaya. Dengan hilangnya kedua tangan, tubuh Wanara yang besar
itu tampak lucu.
“Aha, kini giliranku” Pendekar
Gila yang telah memegang Suling Naga Sakti segera meniup dengan suara
melengking. Tiba-tiba dari kedua mata Naga Sakti keluar selarik sinar merah
yang langsung melesat memburu tubuh Wanara.
Srt
Brets
“Akh...”
Pekikan keras menggelegar
seketika terdengar ketika sinar merah dari mata Naga Sakti menerjang tubuh
Wanara. Asap putih seketika mengepul diikuti lengan melelehnya kulit serta
tulang-belulang tubuh raksasa Wanara.
Melihat manusia kera itu
binasa, seketika semua warga desa kembali menyerbu ke dalam. Mereka yang
dendam, bagaikan tak menghiraukan pada Pendekar Gila, Mei Lie, dan Purbaya.
Mereka langsung membantai sisa-sisa anggota Partai Kera Hitam. Hanya Seruni dan
Ambar Sari yang dibiarkan hidup. Keduanya kini saling bertangisan dan
berpelukan dengan Purbaya.
Saat itu pula, Purbaya
diangkat sebagai pimpinan di markas bekas Pertai Kera Hitam yang diganti dengan
sebutan Perguruan Rambut Perak.
Pagi datang menghembuskan hawa
yang dingin, ketika Pendekar Gila dan Mei Lie meneruskan pengembaraan.
“Mengapa tidak tinggal
beberapa hari di sini, Tuan Pendekar?” tanya Purbaya seraya menatap wajah
Pendekar Gila dan Mei Lie.
“Aha, masih banyak tugas yang
harus kami emban, Adi Purbaya. Semoga kita dapat bertemu lagi” ujar Pendekar
Gila menggandeng tangan Mei Lie
melangkah meninggalkan martars
Perguruan Rambut Perak.
SELESAI