-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 23 Kemelut Di Karang Galuh
1
Senja itu cuaca tampak
mendung. Kesunyian menyelimuti daerah sekitar Hutan Merawan. Angin yang menerpa
dedaunan menimbulkan suara gemerisik. Di mana-mana tampak dedaunan kering
berserakan. Langit gelap. Suasana kian mencekam ketika beberakali terdengar
suara guntur menggelegar, diiringi kilat-kilat petir yang menyambar.
Pada sebuah tanah yang agak
lapang di dalam hutan itu tampak seorang pemuda sedang bersila menghadapi dua
buah kuburan yang nisannya nampak sudah rusak. Pemuda itu nampak sedang
tepekur, wajahnya penuh kesedihan. Matanya menatapi kedua kuburan itu. Wajah
pemuda itu belum begitu jelas, karena kepalanya yang masih tertunduk.
Namun dilihat dari pakaian
yang dikenakannya, tak salah lagi, pemuda itu adalah Sena Manggala atau yang
dikenal dengan julukan Pendekar Gila.
Kini Sena tampak bersujud di
samping kuburan itu. Ternyata itulah kuburan tempat kedua orangtuanya
bersemayam. Dalam hatinya pemuda itu meminta restu dan kekuatan serta keselamatan
dalam menjalankan tugas kehidupan sebagai pendekar yang bertanggung jawab
menegakkan kebenaran dan keadilan.
“Maafkan anakmu ini, Ayah,
Ibu... Karena baru kali ini aku bisa datang kemari,” gumam Sena perlahan dengan
perasaan sedih. Pendekar muda berwajah tampan itu sepertinya berat untuk segera
meninggalkan tempat itu, walaupun sudah hampir setengah hari dirinya bersila di
samping kuburan kedua orang-tuanya. Seakan-akan tak dipedulikannya malam yang
hampir tiba. Kalau saja tak ingat akan tugasnya yang masih perlu diselesaikan,
mungkin Sena tak akan beranjak dari tempat itu.
Perlahan-lahan Sena mulai
berdiri. Namun matanya tak lepas, terus menatap kedua kuburan itu.
Sampai akhirnya ia berdiri
tegak.
“Kalau saja kedua orangtuaku
masih hidup, alangkah bahagianya aku. Ayah, Ibu, lindungi dan berilah kekuatan
pada anakmu ini” ujar Sena dalam hati. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam.
Sementara itu langit mulai
gelap. Petir sebentar-sebentar menyambar permukaan bumi. Suaranya keras
menyakitkan telinga. Angin pun semakin kencang tertiup menerpa dedaunan pohon
dan wajah Sena. Rambutnya yang panjang sebahu tersapu angin, hingga sebagian
menutupi wajah Sena. Namun pemuda berompi kulit ular itu membiarkannya.
Matanya terus memandangi kedua
nisan itu.
“Aku pergi dulu, Ayah,
Ibu...,” ucap Sena pelan sekali.
Kemudian tubuhnya melesat
pergi, bagai burung elang terbang ke udara. Rupanya Sena mengerahkan ilmu lari
'Sapta Bayu'. Hingga dalam waktu singkat pendekar muda itu sudah berada di luar
Hutan Merawan.
Di sebuah dataran luas yang
sunyi Sena berjalan cepat ke arah timur. Saat itu malam pun mulai tiba.
Terpaksa Sena harus mencari
tempat untuk bermalam. Langkahnya semakin dipercepat agar segera sampai di desa
terdekat.
Malam makin sunyi dan sepi.
Tidak ada seorang manusia pun yang berjalan di malam itu, kecuali Sena.
Ketika Sena sampai di suatu
jalan lurus yang di kanan kirinya terbentang sawah yang luas, hati Sena sedikit
lega karena merasa yakin sudah dekat dengan daerah pedesaan.
Sena memang merasa masih asing
dengan daerah itu. Karena ketika dirinya datang mengunjungi kuburan
orangtuanya, dia datang dari arah barat, Dan karena ingin melanjutkan
petualangan ke timur Pulau Jawa maka Sena lewat jalan yang belum pernah
dilaluinya.
“Kurasa tak jauh lagi di depan
sana ada desa,”
gumam Sena dalam hati.
Pemuda gagah itu terus
melangkahkan kakinya dengan mantap dan lebih cepat lagi. ***
Sena masih melangkah
menyelusuri jalan
pematang sawah, ketika
tiba-tiba ada sosok bayangan berkelebat di depan matanya. Karena suasana malam
gelap, bayangan itu hanya nampak hitam. Sena menghentikan langkahnya. Matanya
memandang ke sekeliling mencoba mengawasi keadaan. Begitu pula telinganya,
dipasang untuk mendengar. Namun sesaat kemudian pemuda berambut gondrong itu kembali
mengayunkan langkah dengan mantap. Matanya memandang lurus ke depan, seakan tak
menghiraukan apa pun yang baru saja dilihatnya.
Ketika sampai perempatan jalan
menuju desa, tiba-tiba matanya melihat lagi dua sosok bayangan berkelebat.
Namun, Sena tetap tenang tak menanggapi sedikit pun. Kakinya terus melangkah
dengan mantap. Tangannya mulai menggaruk-garuk kepala dan mulutnya
tersenyum-senyum cengengesan.
“Hi hi hi...”
Sena mengambil jalan yang ke
kanan. Di kanan-kiri sepanjang jalan itu ditumbuhi pepohonan rindang dan semak
belukar.
“Berhenti...”
Suara bentakan keras tiba-tiba
terdengar, disusul kemunculan dua sosok bayangan menghadang di depan Sena.
Sena berhenti. Tangannya
menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Kilatan petir sekejap menerangi
tempat itu. Saat itu Sena dapat melihat kedua orang yang berdiri lima tombak di
hadapannya.
Wajah mereka seperti kera.
Sedangkan pakaian keduanya serba hitam dengan ikat pinggang merah.
Rambut mereka terurai panjang
melewati bahu.
Kedua sosok berwajah kera itu
tampak memegang golok bergigi seperti gergaji di ujungnya.
“Hah? Manusia kera...” gumam
Sena setelah sempat mengamati kedua penghadang itu sambil menggaruk-garuk
kepalanya.
Dua penghadang itu dikenal
dengan nama
'Sepasang Manusia Kera' yang
ditakuti orang-orang Kadipaten Singa Raja dan para tuan tanah.
“Apa maksud tujuanmu memasuki
daerah ini?”
tanya salah seorang dari
mereka yang bertubuh agak tinggi.
“Hi hi hi... Aku hanya ingin
lewat, Kisanak,” jawab Sena dengan cengengesan, “Kalau boleh tahu, apa nama
desa ini?”
“Bohong Apa maksud tujuanmu?
Untuk apa kau datang kemari? jawab” bentak yang lebih pendek. Suaranya lebih
kasar dan keras.
“Hi hi hi lucu sekali Bukankah
sudah kukatakan, aku hanya ingin lewat. Aku tak punya maksud lain,”
jawab Sena sambil cengengesan
dan menggaruk-garuk kepala. Melihat sikap Sena itu, orang yang bertanya menjadi
geram, dan ingin segera menyerang. Namun kawannya segera melarang dengan
merentangkan tangan kanan.
“Orang gila Sebaiknya kau
bilang terus terang
Apa tujuanmu datang ke Desa
Karang Galuh ini?”
tanya manusia kera bertubuh
tinggi, yang mencegah temannya, ketika hendak menyerang Sena.
Sena tak langsung menjawab.
Mulutnya cengar-cengir sambil tangan kanannya menggaruk-garuk kepala.
“Jawab Sebelum hilang kesabaran
kami...”
bentak orang yang bertubuh
agak pendek. Dirinya memang berperangai lebih keras dibandingkan kawannya.
“Hi hi hi... Lucu sekali,
Kisanak Apa yang kukatakan tadi rasanya sudah jelas terdengar di telinga
kalian,” sahut Sena agak sinis. Hal itu membuat kedua orang bermuka kera itu
bertambah marah.
Hampir bersamaan dengan suara
geledek yang di-dahului kilatan cahaya kedua orang berwajah kera itu melesat
menyerang. Lompatan cepat yang mereka lakukan mirip kera.
Sena terkesima sesaat, karena
serangan kedua manusia kera itu begitu cepat. Jurus-jurusnya pun aneh, seperti
gerakan kera. Kedua golok berkelebat cepat memburu di muka Sena.
Wrt Wrt Wrt
“Hah? Hi hi hi...”
Pendekar Gila cepat melompat
mundur untuk mengelak, lalu membalas dengan tendangan kedua kakinya.
“Hea...”
Degk Degk
“Huk”
“Ukh”
Kedua manusia kera itu
terhuyung dua tombak ke belakang terkena tendangan. Pendekar Gila kembali
cengengesan. Kedua manusia kera itu makin geram dan marah, melihat tingkah laku
lawan yang dianggap mengejek mereka. Cepat-cepat keduanya membenarkan
kedudukan. Mata mereka yang tajam menatap penuh kegeraman.
“Kurang ajar Kubunuh kau,
Bocah Edan” dengus keduanya hampir bersamaan.
Kedua manusia kera itu,
kemudian mengeluarkan jurus-jurus pembukaan dengan gerakan mirip kera.
Keduanya menggaruk-garuk
ketiak sambil merundukkan kepala.
“Nguk... Nguk...”
“Nguk...”
Sena mengerutkan kening,
melihat jurus-jurus lucu dan aneh kedua manusia kera itu. Seakan-akan tengah
memikirkan sesuatu. Kemudian cengengesan sambil meniru gaya mereka. Kedua
manusia kera itu kembali menyerangnya dengan terus berteriak seperti kera.
Dengan cepat kedua manusia
kera melancarkan pukulan maut. Sebentar kemudian gerakan mereka berubah
mencakar dan menendang ke tubuh Sena.
“Nguk...”
“Nguk...”
Melihat serangan yang cepat
dan membahayakan, dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala Pendekar
Gila segera berkelit. Kemudian dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' segera
melancarkan serangan balasan.
“Nguk...”
“Hi hi hi... Hea...”
Plakkk Brettt
Tangan mereka beradu, saling
pukul dan tangkis dengan cepat. Salah seorang dari manusia kera membabatkan
goloknya ke kaki Pendekar Gila. Sedangkan satunya lagi menebas kepala. Kalau
saja yang dihadapi bukan Pendekar Gila, golok-golok itu sudah memutuskan kaki
dan kepala lawan. Namun dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata biasa
pendekar itu melenting ke udara sambil kakinya menendang kedua manusia kera
itu.
Degk Degk
“Aaa...”
“Ukh...”
Kedua manusia kera itu
terhuyung dua tombak ke belakang. Keduanya saling pandang. Lalu kembali membuat
gerakan untuk menyerang Pendekar Gila.
“Aha, Kisanak sebaiknya kita
tak perlu adu kekuatan begini Aku tak bermaksud jahat, percayalah” ujar
Pendekar Gila berusaha untuk tak melanjutkan bentrokan dengan kedua lawannya.
Namun rupanya kedua manusia
kera itu tak menghiraukan ucapan Pendekar Gila. Mereka kembali menyerang dengan
jurus-jurus maut. Kedua manusia kera itu membabatkan golok mereka dengan cepat.
Golok itu bagaikan kipas
diputar, kemudian ditusuk-kan ke tubuh Pendekar Gila.
Wrttt
“Hea...”
Wrttt “Aits He he he...”
Pendekar Gila mengelak dengan
melompat ke atas dan bersalto di udara. Kemudian Pendekar Gila mendaratkan
kakinya lima tombak dari kedua manusia kera yang kini berada di belakang
Pendekar Gila.
“Nguik... Ger”
“Heaaa... Herrr”
Kedua manusia kera itu pun
berbalik cepat dengan berjumpalitan di tanah. Keduanya bagai seekor kera,
bergulingan di tanah sambil menyerang.
Suara mereka yang keras
seperti kera sedang ngamuk.
Wuttt Wuttt
Kedua manusia kera itu
membabatkan golok menyerang lawan.
Pendekar Gila mengelak dengan
merundukkan kepala, kemudian dengan cepat kedua kakinya direntangkan
lebar-lebar ke tanah. Sehingga serangan lawan melewati kepalanya. Pada saat
kedua manusia kera itu berada di atasnya, dengan cepat Pendekar Gila
melancarkan serangan dengan pukulan 'Gila Menari Menepuk Lalat'.
Deg Deg
“Aaa...”
“Hrrr...”
Kedua manusia kera itu
terpekik. Tubuh mereka terdorong ke belakang, lalu bergulingan sampai akhirnya
membentur batang pohon besar.
Brak
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Hi hi hi... Ha ha ha...
Lucu... Lucu sekali...”
Darah meleleh di sela bibir
kedua manusia kera itu. Keduanya merasakan sesak di dada. Namun, seperti tak
menghiraukan keadaan, mereka segera bangkit berdiri. Dengan geram mata kedua
manusia kera itu menatap Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
“Jangan kau anggap kami tak
dapat menangkap-mu, Pemuda Gila” dengus salah seorang dari manusia kera itu
sambil membuat kuda-kuda untuk menyiapkan jurus lain. Kedua tangan mereka
menjulur ke depan. Sedang kedua kaki mereka bergeser, bersamaan bergerak ke
depan. Tangan-tangan terbalur pakaian hitam itu bergerak-gerak bagaikan menari.
Kemudian bersamaan dengan hentakan keras kaki mereka terdengar teriakan keras
menggelegar....
“Hea... Hrrr...”
Wusss Wusss
Serangan angin ganas, datang
dari telapak tangan kedua manusia kera itu. Itulah jurus 'Topan Beracun', Ilmu
andalan kedua manusia kera itu. Pendekar Gila nelompat ke udara. Serangan itu
dapat dihindari.
Namun keduanya segera mengejar
Pendekar Gila dengan melompat pula ke udara. Terjadilah pertarungan di udara
beberapa saat lamanya. Kedua manusia kera itu mengapit di sebelah kanan dan
kiri Pendekar Gila.
“Hea...”
“Grrr. .”
Setelah saling pukul dan
tangkis. Pendekar Gila akhirnya sempat memasukkan pukulan ke dada kedua manusia
kera itu.
Degk
“Akh..”
“Akh...” Bersamaan dengan
terdengarnya pekikan
panjang, tubuh kedua manusia
kera terlempar jauh dan bergulingan di tanah. Dengan cepat Pendekar Gila
meluncur. Dengan ringan kakinya mendarat di atas tanah. Mulutnya cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
“Aha, Kisanak sekalian Kurasa
antara kita tak ada urusan apa-apa,” ujar Pendekar Gila dengan tingkah lakunya
yang masih konyol.
Belum sempat kedua manusia
kera itu berkata, Pendekar Gila telah melesat meninggalkan tempat itu. Saat itu
petir menyambar-nyambar, dengan kilatnya yang menerangani bumi. Kedua manusia
kera menggeram, merasa kecewa atas kekalahan mereka dengan pemuda bertingkah
laku seperti orang gila. Kedua manusia kera itu masih mematung dengan mata
menatap ke arah melesatnya Pendekar Gila. Seakan mereka tengah bertanya-tanya,
siapa sebenarnya pemuda gila itu.
“Dimas Anila, siapa sebenarnya
pemuda itu? Rasa-rasanya aku pernah mendengar namanya yang disebut-sebut banyak
orang.”
“Maksud Kakang Anggada...?”
tanya Anila dengan kening berkerut.
“Aku pernah mendengar namanya.
Nama gelarnya yang sama dengan tingkah lakunya,” tutur Anggada.
“Maksud Kakang, Pendekar
Gila?”
“Benar.”
“Kurasa juga begitu, Kang.”
“Kau yakin, Dimas Anila?”
tanya Anggada.
“Entahlah,” sahut Anila.
“Kalau begitu, kita selidiki
saja”
“Ayo, Kakang”
Kedua manusia kera yang
ternyata bernama Anila dan Anggada segera melesat dari tempat itu.
Keduanya menembus kegelapan
malam yang
nampaknya akan segera turun
hujan.
***
Pagi nampak sangat cerah.
Seperti biasa, Desa Karang Galuh yang aman dan subur itu mulai nampak sibuk.
Penduduk desa berlalu-lalang dengan ke-sibukan masing-masing. Di desa itu udara
cukup sejuk, karena terletak di kaki Gunung Anjasmara.
Sena nampak tengah duduk di
serambi depan sebuah rumah bilik cukup besar, yang terletak agak di tengah
desa. Tidak jauh dari rumah tempat Sena berada, ada sebuah kedai nasi. Di kedai
itu nampak empat lelaki sedang bersantap.
“Aku sangat berterima kasih
padamu, Ki. Karena kau telah sudi menerimaku bermalam di rumah ini...,”
ucap Sena dengan sopan dan
kalem. Tidak menunjukkan tingkah lakunya yang seperti orang gila.
“Ah... Itu biasa bapak lakukan
pada orang yang membutuhkan, Nak. Asal kau bermaksud baik,”
jawab Ki Praba, yang tak lain
Kepala Desa Karang Galuh itu.
“Terima kasih, Ki” ucap Sena
sambil menganggukkan kepala, “Saya sangat senang melihat desa yang aman
tenteram seperti Desa Karang Galuh ini.
Tentunya semua ini tak luput
dari kepemimpinan Ki lurah sebagai kepala desa...”
Ki Praba hanya mengusap-usap
jenggotnya yang tak begitu panjang. Wajahnya nampak kalem, penuh kebapakan tapi
tegas. Dari bentuk tubuh dan pancaran sinar matanya, menyiratkan bahwa dirinya
memiliki ilmu silat yang cukup lumayan. Meski begitu, lelaki tua itu sangat
ramah. Dan itu sebabnya penduduk Desa Karang Galuh sangat menghormati dan
menyegani Ki Praba.
“Ah, bisa saja, Nak Sena.
Sebenarnya bukan bapak saja yang membuat desa ini aman dari gangguan
orang-orang jahat,” tutur Ki Praba dengan polos.
“Oh... jadi, siapa yang
membantu Bapak dalam mengamankan desa ini?” tanya Sena ingin tahu sambil
mengangguk-anggukkan kepala.
“Ada dua saudara. Sanjaya dan
Purnama yang selalu membantuku,” jawab Ki Praba. Sena mengangguk-anggukkan
kepala perlahan. Mulutnya tersenyum ramah menggambarkan rasa kagum terhadap
lelaki tua, kepala desa itu.
“Ah, beruntung Ki Praba
memiliki warga desa seperti mereka berdua. Aku ikut senang men-dengarnya.
Sayang aku belum bisa berkenalan dengan mereka,” ujar Sena dengan ramah.
Mulutnya tersenyum dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
“Biasanya Sanjaya dan Purnama
datang kemari, jika ada sesuatu masalah. Keduanya selalu minta pendapat
padaku,” tutur Ki Praba dengan tenang.
“Selamat pagi, Ki...?”
Terdengar suara dari samping
rumah. Ki Praba menoleh untuk mengetahui siapa yang baru saja memberi salam.
“Selamat pagi Nah, ini dia
orang yang kukatakan tadi, Sena,” kata Ki Praba dengan wajah gembira, lalu
menyilakan kedua bersaudara Sanjaya dan Purnama.
Sejenak Sanjaya dan Purnama
menatap wajah Sena dengan pandangan penuh selidik. Seakan keduanya menaruh
curiga pada tamu Ki Praba.
Sena yang merasa dicurigai
hanya tersenyumsenyum. Sebentar kemudian berubah cengengesan sambil tangannya
menggaruk-garuk kepala. Sikapnya itu membuat, Sanjaya dan adiknya mengerutkan
kening. Matanya semakin tajam menatap wajah Sena. Kemudian kedua lelaki yang
memakai pakaian serba kuning itu saling pandang. Tampaknya mereka merasa tak
senang menyaksikan tingkah laku Sena yang konyol itu.
“Hhh” Sanjaya yang berkumis
tebal dengan blangkon hitam mendesah. Sementara adiknya hanya menarik napas
dalam-dalam. Sepertinya Purnama berusaha sabar.
Memang di antara kedua kakak
beradik itu, ada perbedaan. Kalau Sanjaya berwatak keras dan cepat marah,
sebaliknya Purnama agak penyabar.
Keadaan semakin kaku di antara
mereka.
Beruntung Ki Praba cepat
tanggap.
“Ayo, duduklah Kebetulan kami
sedang membicarakan kalian berdua...,” kata Ki Praba sambil menggeser duduknya
di dekat Sena. Mereka duduk di bale-bale lebar beralaskan tikar pandan.
Mendengar ucapan Ki Praba,
kedua bersaudara itu saling pandang. Keduanya seakan kurang senang.
Namun karena Ki Praba sudah
dianggap seperti orang-tua sendiri, Sanjaya dan Purnama menurut.
Mereka duduk di sebelah kiri
Ki Praba, berhadapan dengan Sena.
“Nak Sena ini, ingin
berkenalan dengan kalian.
Tadi kuceritakan sedikit
tentang kalian berdua. Nak Sena merasa ikut senang desa ini aman karena kalian
berdua...,” tutur Ki Praba membuka per-cakapan.
“Terima kasih, Kisanak Kami
berdua juga ingin berkenalan dengan Kisanak,” sambut Sanjaya sambil menatap
Sena dengan pandangan menyelidik.
Sena yang ditatap begitu hanya
tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala. Sementara Purnama yang lebih
tenang hanya diam menundukkan kepala.
“Namaku Sanjaya, dan ini
adikku Purnama...,”
kata Sanjaya memperkenalkan
diri.
“Aku Sena. Senang aku dapat
bertemu dan berkenalan dengan kalian berdua. Sebab orang-orang macam kalian
sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang lemah dan perlu pertolongan, untuk
ke-tenteraman desanya,” kata Sena bernada memuji.
“Terima kasih...,” sahut
Sanjaya datar, “Namun kalau boleh aku tahu, apa tujuan Kisanak datang ke Desa
Karang Galuh ini...?”
“Nak Sena hanya menumpang
nginap di rumah ini tadi malam,” sela Ki Praba. “Kebetulan semalam Nak Sena ini
ketemu bapak di kedai sebelah. Dia perlu tempat untuk bermalam. Dan bapak tahu,
Nak Sena bukan orang jahat. Percayalah, Sanjaya...”
Sanjaya manggut-manggut. Namun
tatapannya masih menunjukkan perasaan curiga. Sena melawan tatapan mata
Sanjaya. Sesaat keduanya saling tatap dengan tajam. Namun, akhirnya Sanjaya
mengalihkan pandangannya ke wajah Ki Praba.
“Ki Lurah, sudah waktunya aku
mohon pamit Terima kasih atas segala kesediaan dan keramahan dalam menerimaku
untuk bermalam di sini,” kata Sena tiba-tiba, “Aku harus segera pergi. Masih
banyak tugas yang harus saya kerjakan.”
Sena bangkit dari duduknya.
“Lho, kok buru-buru...? Bapak
tak keberatan kalau Nak Sena mau tinggal di desa ini satu dua hari lagi...,”
sahut Ki Praba dengan penuh
persahabatan. Lelaki tua itu lalu berdiri dari duduknya serta diikuti Sanjaya
dan Purnama.
“Mungkin kisanak ini ada tugas
yang sangat penting, Ki,” sindir Sanjaya dengan nada sinis.
“Ah, kamu ini...,” ujar Ki
Praba sambil memegang bahu Sanjaya.
Sena hanya nyengir kuda
mendengar ucapan Sanjaya. Hatinya sudah mengerti apa maksud ucapan Sanjaya itu.
Namun dirinya membalas dengan senyuman sambil menggaruk-garuk kepala.
“Terima kasih, Ki Mungkin lain
waktu aku mampir kemari. Aku mohon diri...,” kata Sena sambil menyalami tangan
Ki Praba. Kemudian mengangguk pada Sanjaya dan Purnama yang memandanginya
dengan pandangan agak sinis.
Baru saja Sena melangkahkan
kakinya dua tindak, tiba-tiba....
“Tolong... Tolong...
Tolong...”
Terdengar teriak seorang
wanita setengah baya yang berlari ketakutan menuju rumah Ki Lurah Praba.
Sena menghentikan langkahnya.
Matanya mem-perhatikan wanita setengah baya yang berlari mendekati Ki Praba.
Sanjaya dan Purnama nampak sedikit cemas. Matanya terus menatap tajam pada
Sena.
“Tolong, Ki Tolong, Ranti
dibawa oleh Raden Kumbara bersama anak buahnya” kata wanita itu sambil
menangis.
“Raden Kumbara? dari mana kau
tahu, kalau dia Kaden Kumbara?” tanya Ki Praba, kaget.
“Lelaki muda itu menyebutkan
namanya Membawa Ranti dengan kereta kuda. Mereka juga membunuh suamiku, Ki”
ujar Nyi Karti sambil terus menangis.
Kontan Sanjaya dan Purnama melesat
cepat bagai terbang, tanpa permisi dulu pada Ki Praba.
Sena segera mendekati Ki Praba
yang masih berusaha menenangkan Nyi Karti. Wanita setengah baya itu terus
menangis. Hal itu karena mencemas-kan anak gadisnya, yang pasti tidak akan
kembali lagi. Dirinya tahu kalau Ranti, anaknya akan dijadikan gundik setelah
direnggut keperawanannya oleh Raden Kumbara.
“Ki Lurah, kalau boleh aku
bertanya, siapakah Raden Kumbara itu? Dari kadipaten atau kerajaan mana?” tanya
Sena ingin tahu.
“Hm... Dia sebenarnya bukan
raden. Dia manusia yang berkhianat” jawab Ki Praba dengan suara sedikit
bergetar, menunjukkan kemarahannya.
Mendengar ucapan Kepala Desa
Karang Galuh itu Sena mengerutkan kening, tak mengerti.
“Apa maksud Ki Lurah...?”
tanya Sena dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Panjang ceritanya, Nak Sena.
Sebaiknya kita menyusul Sanjaya dan Purnama dulu” ajak Ki Praba.
Sena masih merasa heran.
Kenapa tiba-tiba desa yang katanya aman dan tenteram ini, tiba-tiba saja kacau
karena ulah seorang yang disebut Raden Kumbara.
“Siapa Raden Kumbara itu?”
tanya Sena dalam hati.
“Nyi Karti tunggulah di sini
Biar aku menyusul mereka...,” ujar Ki Praba berusaha menenangkan hati Nyi Karti
yang masih terus menangis sedih. “Nyimas, tolong jaga Nyi Karti” seru Ki Praba
kepada istrinya yang keluar ketika mendengar tangis Nyi Karti. Wanita itu hanya
menganggukkan kepala.
“Ayo, Nyi” ajak Nyi Praba
sambil membimbing masuk wanita berusia lima puluh tahun itu. Dengan langkah
cepat, Ki Praba segera pergi diikuti Sena menuju utara desa, arah yang dituju
Sanjaya dan Purnama.
*** 2
Kereta kuda yang membawa Ranti
dipacu kencang oleh sang Kusir. Di belakang kereta itu enam orang penunggang
kuda mengiringi. Mereka semua berpakaian hijau-hijau dengan blangkon yang juga
berwarna hijau. Keenam pengawal itu bersenjata golok berukuran panjang,
terselip di pinggang. Tampang mereka garang, semuanya berkumis tebal.
Sesampai di jalan yang cukup
lapang menuju pantai, tiba-tiba kereta kuda itu berhenti. Kuda-kuda yang
menarik kereta itu mengangkat kedua kaki depan sambil meringkik.
Dua orang lelaki yang tak lain
Sanjaya dan Purnama, menghadang lajunya kereta kuda. Hal itu membuat kusir
kereta kuda itu terkejut, hingga jatuh bergulingan ke tanah.
Sedangkan di dalam kereta itu
terdengar teriakan Ranti yang meratap ketakutan.
“Tolong... Tolong...”.
Sanjaya yang berwatak lebih
keras dan cepat naik darah dibandingkan Purnama, segera membabatkan goloknya ke
kusir kuda itu.
“Mampus kau Heaaa...” bentak
Purnama.
Wrt
Crak
“Aaa...”
Seketika kusir kereta kuda itu
terkapar tewas ber-lumuran darah. Golok Sanjaya mendarat telak di lehernya.
Tidak lama kemudian keluarlah lelaki muda bertampang culas dengan sedikit kumis
di bibirnya, wajahnya yang bengis menunjukkan jiwanya yang licik.
“Bedebah Siapa yang telah
berani melawanku”
dengus lelaki berpakaian hitam
yang baru keluar dari kereta.
“Kami” bentak Sanjaya gusar.
Matanya menatap tajam wajah Raden Kumbara, seakan menyimpan kebencian yang
meluap-luap. Gigi-giginya saling gemerutuk menahan kegeraman.
Lelaki berusia sekitar tiga
puluh tahun, bermuka bengis yang di tangannya memegang keris, seketika
memandang kedua kakak beradik itu. Mata lelaki yang mengaku sebagai Raden
Kumbara itu terbelalak, selelah tahu siapa yang menghadangnya.
“Hai..., Cecurut-cecurut..
Jangan coba-coba men-dekatiku. Wanita ini akan kugorok lehernya...” ancam Raden
Kumbara dengan pongahnya, sambil mendekap Ranti dengan menempelkan keris di
leher gadis cantik itu.
“Biadab kau, Kumbara
Pengkhianat...” dengus Sanjaya dengan geram dan marah, “Dimas Purnama, Kita
harus menggunakan siasat untuk menghadapinya, dia sangat licik”
Purnama mengangguk. Matanya
terus menatap tajam wajah Raden Kumbara yang mulai melangkah mundur, membawa
Ranti dengan ancaman akan membunuhnya.
Enam orang anak buah Raden
Kumbara segera mengepung Sanjaya dan Purnama dengan senjata terhunus.
“Tunggu apa lagi... Habisi
kedua monyet busuk itu” perintah Raden Kumbara pada anak buahnya yang menunggu
perintahnya.
Keenam anak buahnya langsung menyerang
Sanjaya yang masih dengan tenang berdiri di tempatnya.
“Serang...” teriak pimpinan
dari keenam anak buah Raden Kumbara itu.
“Heaaa...”
Trang Trang Trang
Senjata mereka saling beradu.
Sanjaya nampak dengan tenang menghadapi keenam anak buah Raden Kumbara. Dirinya
hanya berkelit ke kiri dan ke kanan, serta melompat mundur dan menangkis
serangan mereka. Kemudian sesekali melancarkan serangan balik yang mematikan.
“Heaaa...”
“Aaa...”
“Ukh...”
Maka terdengarlah teriakan
kematian dari anak buah Raden Kumbara yang ilmu silatnya memang jauh di bawah
Sanjaya. Sehingga hanya dalam beberapa gebrakan Sanjaya sudah dapat menghabisi
empat orang.
Sementara itu Purnama
melenting ke udara sambil bersalto, mencoba menghadang Raden Kumbara yang
berusaha lari dari tempat itu menuju pantai.
“Heaaa...”
Raden Kumbara terkejut ketika
ia berbalik ternyata Purnama sudah ada di hadapannya. Dituding-kan kerisnya
lurus ke arah Purnama yang dengan tenang melangkah mendekati. Lelaki berpakaian
serba hitam itu melangkah mundur sambil mengancam Purnama.
“Ha ha ha... Kau mau jadi
pahlawan untuk gadis ini, hah? Gadis ini akan jadi gundikku. Tak ada seorang
pun yang bisa menghalangiku He he he...”
ujar Raden Kumbara sambil
menempelkan keris ke leher Ranti yang sudah makin pucat wajahnya.
Karena begitu ketakutan gadis
itu nampak seperti pasrah, tak berdaya.
Raden Kumbara terus mundur
menuju pantai. Di sana terlihat sebuah perahu berukuran besar tertambat di
pinggiran pantai.
“Rupanya bangsat ini sudah
menyiapkan perahu untuk membawa Ranti ke Pulau Neraka itu...”
gumam Purnama dalam hati.
Raden Kumbara terus menyeret
Ranti dengan kasar menuju perahu itu. Purnama pun terus mengawasi gerak-gerik
Raden Kumbara sambil menahan rasa geram.
Sementara itu Sanjaya terus
berusaha melumpuh-kan dua pengawal Raden Kumbara yang ilmu silatnya lumayan
tangguh. Dengan cepat Sanjaya membabatkan golok bergigi itu ke perut kedua
lawannya.
“Heaaa... Mampus kau...” seru
Sanjaya dengan penuh kegeraman.
Wret Jrabs
“Aaakh...”
“Aaa...”
Perut kedua pengawal Raden
Kumbara terkoyak lebar terbabat senjata Sanjaya. Namun orang kepercayaan Kepala
Desa Karang Galuh itu tampaknya belum puas. Dengan bengis kembali dibabarkan
goloknya ke leher kedua lawan.
Crak Crak
“Aaa...”
Darah segar muncrat dari leher
kedua pengawal Raden Kumbara yang terjungkal ke tanah. Mereka langsung tewas
seketika dengan leher putus.
Sanjaya tertawa puas, kemudian
melesat meninggalkan dua mayat tersebut. ***
Baru saja Sanjaya pergi, Ki
Praba dan Sena tiba di tempat itu.
“Ya, Tuhan...” gumam Ki Praba
ketika melihat keenam pengawal Raden Kumbara yang mati dengan keadaan
mengerikan. Apalagi ketika melihat dua di antara enam mayat itu kepalanya
putus.
Sena menggaruk-garuk kepala
melihat mayat-mayat tergeletak di jalan itu, Ki Praba tiba-tiba melesat cepat
meninggalkan Sena. Melihat kepala desa itu telah hilang dari dekatnya, Sena
cengengesan.
“Hebat juga lelaki tua
itu...,” gumamnya dalam hati.
Kemudian Sena pun melesat
dengan ilmu lari
'Sapta Bayu'-nya. Bagai
terbang Sena melesat dari tempat itu.
Sementara itu di tepi Pantai
Karang, Raden Kumbara sudah berada di atas perahu. Namun ketika siap membawa
kabur Ranti, tiba-tiba saja lelaki muda itu terpekik keras. Bersamaan dengan
itu Ranti terlepas dari pegangannya. Gadis malang itu terjatuh di dalam perahu.
Rupanya senjata rahasia yang sempat dilontarkan Purnama mendarat telak di bahu
Raden Kumbara.
Ranti yang terbebas dari
ancaman Raden
Kumbara dengan ketakutan
berusaha lari meninggalkan pesisir.
Raden Kumbara yang kesakitan,
tak mampu mengejar Ranti, sehingga gadis itu dengan aman berlari berusaha
menjauhi perahu Raden Kumbara.
Kesempatan itu dipergunakan
Purnama dengan baik. Tubuhnya melesat bagai seekor elang menuju perahu untuk
menyelamatkan Ranti. Namun sial baginya, Raden Kumbara rupanya telah mengetahui
maksud Purnama. Maka...,
“Heaaa...”
Bukkk Plakk
Purnama tak menyangka kalau
Raden Kumbara akan dapat menyerangnya setelah terkena senjata rahasianya.
Sehingga dirinya tak mampu melakukan gerakan untuk menghindar ketika pukulan
telapak tangan Raden Kumbara mendarat di dadanya.
“Huk”
Purnama terhuyung ke belakang
lalu terjengkang ke pasir pantai. Sambil merintih, tangannya meraba dada yang
berbekas telapak tangan biru kehitaman.
Seketika mata Purnama
terbelalak kaget.
“Hah? Pukulan 'Tapak Maut'”
gumam Purnama sambil menahan sakit
Tepat ketika Purnama
menghadapi keadaan bahaya, Sanjaya datang. Melihat adiknya dalam keadaan
terluka parah Sanjaya langsung menyerang Raden Kumbara dengan sabetan dan
tusukan goloknya.
Raden Kumbara yang sudah
berada di pasir pantai dengan cepat melakukan lompatan untuk mengelak sambil
balas menyerang dengan sebatang kerisnya ke rusuk Sanjaya yang berada di
sebelah kirinya.
Sanjaya tersentak kaget
mendapat serangan balik dari Raden Kumbara.
“Heaaa...”
Bret
Baju Sanjaya tersambar keris
Raden Kumbara.
Robek Kalau saja Sanjaya
terlambat mengelak ke belakang, tak pelak lagi rusuknya akan tergores senjata
tajam itu. “Bangsat Hampir igaku remuk” gumam Sanjaya dalam hati.
Kemudian Sanjaya kembali
dengan kuda-kudanya untuk siap melakukan serangan dengan jurus mautnya. Kaki
kanan dan kirinya bergerak perlahan ke kanan dan ke kiri. Sedang tangannya yang
memegang golok dipermainkan dengan cepat, diputarnya hingga golok itu bagai
kipas.
Wukkk Wukkk
Sementara itu, Raden Kumbara
tak mau kalah.
Dirinya juga mempersiapkan
kuda-kuda yang mantap.
Kaki kirinya diangkat sambil
ditekuk, kemudian diturunkan kembali dengan mantap bersama dengan gerakan
tangannya yang memegang keris. Tampaknya lelaki berpakaian serba hitam itu
hendak mengerahkan jurus ampuhnya.
Mata kedua lelaki ini saling
tatap dengan tajam.
Tak berkedip sedetik pun.
Sebab sekali berkedip saja serangan lawan dapat membuyarkan dirinya. Setelah
cukup lama mereka berpandangan dan mempersiapkan kuda-kuda, tiba-tiba keduanya
saling memekik keras.
“Heaaa...”
“Heaaa...”
Trangngng
Keduanya sama-sama menyerang
maju, dan saling papak. Golok dan keris beradu. Saling tebas dan tusuk. Sanjaya
kemudian melenting ke udara sambil membabatkan goloknya ke kepala Raden
Kumbara.
Wrettt
“Ukh...” pekik Raden Kumbara.
Blangkonnya rusak dan terlepas
dari kepala.
Sehingga rambutnya terurai.
Belum lagi Raden Kumbara sempat melancarkan serangan balik, Sanjaya sudah
mendahului dengan tendangan keras ke punggungnya
“Heaaa...”
Bluk
“Akh...”
Raden Kumbara terhuyung-huyung
hingga me-nabrak perahu yang masih berada di atas pasir pantai. Sanjaya yang
sudah sangat marah dan benci terhadap Raden Kumbara, kembali melancarkan
serangan susulan.
“Heaaa... Sekarang mampus kau,
Pengkhianat”
teriak Sanjaya sambil melompat
ke tubuh Raden Kumbara yang berusaha mengelak serangan Sanjaya.
Namun, karena Raden Kumbara
sudah terluka, babatan golok Sanjaya yang cepat bagai kilat menyambar leher
Raden Kumbara....
Jrabs
“Aaa...”
Leher Raden Kumbara terkoyak
hampir putus
Namun tak hanya sampai di
situ. Sanjaya yang sudah kalap dan dihinggapi oleh kebencian yang mendalam
menghujani tusukan ke perut dan membabat tangan kanan Raden Kumbara yang masih
menggenggam keris.
Crak Crakkk
Darah segar muncrat ke wajah
dan pakaian Sanjaya. Raden Kumbara mati dengan keadaan mengerikan. Tangan
kanannya putus dengan masih menggenggam keris. Sanjaya tertawa terbahak-bahak.
Hatinya benar-benar merasa puas.
Kemudian diambilnya keris
dalam genggaman tangan Raden Kumbara yang sudah kaku itu dengan jalan memotong
jari-jarinya dengan bengis dan sadis sekali. Diselipkan keris itu ke pinggang
dengan tangan kirinya. Sanjaya mengangkat goloknya hendak memotong kepala Raden
Kumbara.
“Tunggu...”
Terdengar seruan dari seorang
lelaki Suara itu begitu berwibawa. Sanjaya mengurungkan niatnya.
Kepalanya menoleh ke belakang.
Ternyata Ki Praba yang berseru tadi. Di belakangnya nampak Sena tengah
menggaruk-garuk kepalanya, sambil memandangi mayat Raden Kumbara yang
tergeletak di dekat perahu dengan leher hampir putus.
“Aku tak menyangka kalau kau
akan melakukan semua ini dengan keji, Sanjaya,” ucap Ki Praba dengan nada suara
agak marah.
“Dia pantas mendapat ganjaran
seperti ini, Ki.
Sudah banyak harta, nyawa,
serta kemerdekaan kita diinjak-injak oleh kelompok orang-orang yang mengaku
seorang raden, ini. Yang sebenarnya adalah pengkhianat-pengkhianat Kadipaten
Singa Raja,”
jawab Sanjaya dengan napas
terengah-engah.
Dadanya naik turun pertanda
kemarahannya yang menggelegak.
“Aku mengerti. Tapi bagaimana
nantinya, jika terdengar ayah Raden Kumbara bahwa putranya mati oleh orang
Karang Galuh” ujar Ki Praba sambil menunjuk ke wajah Sanjaya. Lalu bergeleng
kepala,
“baru berjalan lima bulan ini
desa kita aman.... Kini kembali akan menjadi neraka bagi kita...,” tambahnya
sambil terus menggeleng-gelengkan kepala.
Sementara itu Sena sedang
menolong Purnama yang sudah nampak pucat dan agak kebiruan. Lelaki berpakaian
kuning itu terkena racun keris Raden Kumbara. Sena berusaha menyembuhkan dan
menghilangkan racun itu dengan ilmu 'Penawar Racun Ungu'. Tangan Sena menotok
bagian tubuh tempat racun itu bersarang. Tubuh Purnama bergoncang bagai kena
setrum bertegangan tinggi. Mulutnya berteriak-teriak keras, mendengar itu,
Sanjaya dan Ki Praba segera mendekati Sena yang sedang mengobati Purnama.
“Hai... Kau Mau kau apakan
adikku? Kau rupanya orang-orang dari Pulau Neraka itu...” bentak Sanjaya marah
dan ingin menyerang Sena. Namun Ki Praba cepat melarang dengan menahan Sanjaya.
Sanjaya tak berani melawan,
karena Ki Praba sudah seperti orangtuanya sendiri. Karena sejak Sanjaya dan
Purnama jadi anak-anak yatim, Ki Praba yang tak mempunyai keturunan, mengangkat
mereka sebagai anak angkat.
Sanjaya hanya dapat menahan
rasa cemas, khawatir terhadap keadaan adiknya.
Setelah beberapa lama Sena
mengobati, Purnama yang tadinya pucat, kini nampak mulai sehat kembali.
Wajahnya sudah kembali berubah
segar. Bahkan sesaat kemudian Purnama tertidur dengan tenang.
Sanjaya menarik napas lega.
Begitu pula Ki Praba.
Lelaki tua itu menyalami Sena.
“Nak Sena..., kalau ada
kata-kata yang lebih ber-harga dari terima kasih, itulah yang akan kuucapkan
kepadamu...,” ujar Ki Praba dengan wajah gembira.
“Ah, sudah kewajiban bagiku
menolong sesama manusia, Ki. Bukan hanya Purnama, tapi semua orang yang perlu
pertolongan... “ jawab Sena dengan santai sambil mengusap wajahnya yang
berkeringat, setelah mengeluarkan tenaga dalam cukup banyak.
“Begitu mulia hatimu, Nak
Sena...” puji Ki Praba lagi sambil menepuk-nepuk bahu Sena yang hanya cengar
cengir. “Jangan terlalu memujiku, Ki Aku hanyalah manusia biasa yang bisa saja
melakukan kesalahan.
Semua ini kehendak Yang Maha
Kuasa. Tanpa bantuan dan kehendak-Nya, tak mungkin aku bisa menyembuhkan
Purnama...,” ujar Sena dengan mantap.
Ki Praba manggut-manggut
sambil memegangi jenggotnya. Lelaki tua itu nampak begitu kagum akan jawaban
Sena yang tulus dan polos itu.
“Baru kali ini kudengar ucapan
anak muda seperti ini.... Siapa sebenarnya pemuda gagah ini. Walaupun tingkah
lakunya terkadang seperti orang sinting, gila..., tapi...,” ujar Ki Praba dalam
mulai bertanya-tanya sendiri.
Sanjaya pun mulai sadar, bahwa
Sena bukanlah pemuda sembarangan. Dan dirinya pun tak lupa mengucapkan terima
kasih pada Sena, dan ber-jabatan tangan erat, menunjukkan bahwa keduanya
mengikat persahabatan yang dalam.
Ki Praba memandangi dengan
hati penuh gembira dan haru. Lelaki tua itu tersenyum-senyum.
“Jaya...,” panggil Ki Praba
pada Sanjaya.
“Ya, Ki...”
“Sebaiknya kita kubur dulu
mayat Raden Kumbara itu... Biar pun jahat, pernah melukai hati dan memeras
kita, dia juga manusia.... Ayo” perintah Ki Praba lalu melangkah mendekati
mayat Raden Kumbara, diikuti Sanjaya dan Sena.
“Oh, ya. Ke mana si Ranti...?”
tanya Sanjaya yang tiba-tiba teringat gadis anak Nyi Karti itu.
“He he he... Kulihat gadis itu
tadi sudah pergi meninggalkan tempat ini,” sahut Sena dengan cengengesan.
“Iya. Mungkin dia tak tega
menyaksikan tindakanmu, Sanjaya,” ujar Ki Praba.
Setelah mengubur mayat Raden
Kumbara tak jauh dari pantai itu, Sena dan Sanjaya menggotong Purnama yang
belum sadarkan diri.
*** 3
Malam-itu suasana Desa Karang
Galuh yang biasanya tenang, seketika diselimuti ketegangan. Semenjak kejadian
tadi pagi, yang menyebabkan tewasnya Raden Kumbara, para penduduk terutama Ki
Praba justru tak tenang. Hal itu karena mereka takut kalau-kalau pimpinan Raden
Kumbara yang tiada lain Kala Bendana akan kembali memerintah anak buahnya untuk
membuat kekacauan di Desa Karang Galuh.
Malam itu, di rumah kepala
desa, nampak masih ada tiga orang berkumpul. Dua duduk di bale-bale, sedangkan
seorang lagi ngobrol bersama Ki Praba di dalam. Kedua orang yang duduk di
bale-bale, tak lain Purnama dan Sena, sedangkan yang tengah berbincang di dalam
bersama Ki Praba, tiada lain Sanjaya.
Purnama bersandar di dinding
rumah, duduk bersila. Sedangkan Sena duduk di sebelah kanannya.
“Hhh... Aku telah berhutang
budi padamu,” desah Purnama lirih dengan penuh perasaan terima kasih.
Wajahnya menoleh kepada Sena
yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Aha, mengapa kau bicara
begitu, Kisanak?” tanya Sena seraya menggeleng-gelengkan kepala.
“Ya, jika tidak kau tolong,
mungkin aku sudah mati.”
“Aha, tidak juga, Kisanak.
Kurasa, aku bukan apa-apa. Semua hanya karena Hyang Widi semata,” ujar Sena
dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. “Ya, aku tahu. Tapi kalau tak
ada kau dan Ki Praba, tak mungkin ada orang yang bisa menyembuhkan dan membunuh
racun keris milik Raden Kumbara,” kata Purnama masih tetap berkeyakinan, kalau
semua perbuatan Sena merupakan budi baik yang tak terhingga.
“Aha, lupakanlah”
Beberapa saat kemudian,
keduanya terdiam.
Hanya perasaan dan pikiran
mereka yang berbicara.
Keduanya saling tatap penuh
persahabatan.
Kemudian di bibir keduanya
mengurai senyum.
“Ah, tak kusangka, kalau
pemuda bertingkah laku gila ini memiliki budi pekerti yang luhur,” gumam
Purnama dalam hati, “Sungguh bukan sembarangan pendekar. Betapa berdosanya aku,
yang semula menaruh syak wasangka yang tak baik kepadanya.”
“Aha, kau termenung,
kenapa...?” tanya Sena sambil mengambil bulu burung yang terselip di ikat
pinggang. Kemudian dikorek telinganya dengan bulu burung. Tampak mulutnya
cengar-cengir kegelian.
Matanya merem-melek memandang
wajah Purnama yang menggeleng-geleng kepala sambil mendesah berat.
“Tidak..., tidak apa-apa,”
sahut Purnama lirih, berusaha menutupi apa yang sebenarnya berkecamuk dalam
pikirannya.
“Ah ah ah... Kurasa tak baik
melamun, Kisanak,”
seloroh Sena sambil terus mengorek
telinga. Mulutnya cengengesan, membuat Purnama tersenyum menggeleng-gelengkan
kepala.
Purnama benar-benar tersindir
mendengar selorohan yang diucapkan Sena. Namun hatinya senang, karena tiba-tiba
merasa terhibur kelucuan Sena. “Aha, kalau boleh kutahu, mengapa kakakmu
Sanjaya begitu benci pada Raden Kumbara? Sampai-sampai tadi pagi Sanjaya
seperti hendak melumatkan Raden Kumbara. Sepertinya ada dendam di hatinya...,”
tanya Sena berusaha ingin tahu.
Tersentak Purnama mendengar
ucapan Sena.
Keningnya mengerut, matanya
menyipit memandang Sena dengan agak menyelidik. Namun Sena nampak masih tenang,
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Aha, janganlah berprasangka
buruk, Kisanak Aku hanya ingin tahu. Mungkin kita sejalan, karena aku pun tak senang
pada penindasan dan pemerasan terhadap kaum lemah,” ujar Sena sebelum Purnama
menyahut. Sena melihat tatapan mata Purnama agak menaruh prasangka tak baik
terhadap dirinya.
Purnama tercenung diam.
Sepertinya dia tengah berpikir dan menerka-nerka siapa Sena sebenarnya.
Setelah yakin kalau Sena bukan
orang yang patut dicurigai, dengan helaan napas panjang, Purnama menuturkan apa
yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya dan Sanjaya.
“Baiklah, sahabat. Aku akan
menceritakan padamu mengenai kami berdua, juga mengenai desa ini.
Karena semua kejadian ini ada
sangkut pautnya,”
ujar Purnama.
***
Lima tahun yang silam, Sanjaya
dan Purnama pulang dari mencari kayu di hutan. Hal itu dilakukan mereka setiap
tiga hari sekali. Istri Sanjaya yang bernama Lestari, anak Tumenggung Kalisewu,
selalu menyambut kedatangan suami dan adik iparnya dengan senyum manis dan
ramah. Hal itu menjadikan rasa lelah kedua kakak-beradik itu hilang.
Antara Sanjaya dan Lestari
sangat saling men-cintai. Hal itu dibuktikan Lestari, yang sudi meninggalkan
ketumenggungan dan kekayaan untuk hidup miskin bersama lelaki yang sangat
dicintainya.
Namun, hubungan mereka tidak
direstui orangtua Lestari.
Setelah kabur dari
ketumenggungan, Sanjaya dan istri serta adiknya hidup di lereng bukit yang jauh
dari keramaian. Hal itu dimaksudkan agar orang-orang ketumenggungan tak ada
yang tahu tempat mereka.
Di lereng Bukit Kadal, mereka
hidup bersama dua tetangga lain. Beruntung kedua tetangga mereka sangat baik,
bahkan menganggap anak pada mereka.
Hari demi hari kehidupan
mereka tenang, terlepas dari perasaan was-was. Hal itu karena mereka terlarut
dalam suasana kekeluargaan yang erat, yang satu sama lain tolong-menolong.
Hingga sampai pada suatu hari....
“Purnama,” panggil Sanjaya
pada adiknya.
“Ada apa, Kang?”
“Aku tiba-tiba mendapat
firasat tak baik,” desah Sanjaya dengan wajah diluputi kecemasan. Sepertinya
ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Hal itu membuat Purnama mengerutkan kening,
menatap pada kakaknya dengan perasaan tak mengerti.
“Tentang apa, Kang?” tanya
Purnama ingin tahu.
“Duduklah dulu” perintah
Sanjaya.
Purnama menurut duduk di
samping kakaknya yang tampak murung. Beberapa kali Sanjaya menarik napas
dalam-dalam, atau terkadang menengadah ke atap rumahnya. Seakan-akan hatinya
sangat berat untuk berbicara. “Katakanlah, Kang” pinta Purnama.
“Aku mendapat firasat, kalau
orang-orang jahat akan datang ke tempat kita,” desah Sanjaya setelah termenung
agak lama. Mendengar ucapan itu Purnama tersentak kaget.
“Maksudmu, Kang” tanya Purnama
semakin penasaran.
“Entahlah, sejak kakakmu
melahirkan, perasaanku mengatakan bencana akan datang.”
“Mungkin itu hanya perasaanmu,
Kang. Karena kau sangat menyanyangi Mbakyu Lestari,” tukas Purnama berusaha
menghibur Sanjaya dari ke-gelisahan.
“Mungkin juga,” tukas Sanjaya,
“Kuharap tak ada apa-apa.”
“Begitu juga denganku, Kang.”
“Ah, sudahlah Hari sudah
larut, bukankah kita besok akan mencari kayu?” ujar Sanjaya mengingatkan
adiknya.
“Biarlah aku saja yang pergi,
Kang Sementara Kakang tetap di rumah saja menjaga mbakyu,” kata Purnama
mengusulkan. Dirinya tak ingin Lestari yang baru tiga bulan melahirkan harus
ditinggal seorang diri. Meski di tempat itu ada Ki Praba dan Nyi Bawok serta
suaminya. Namun alangkah baiknya jika Sanjaya menjaga istri dan bayinya.
“Itu gampang. Sekarang
tidurlah.”
Purnama menuruti kata-kata
kakaknya. Dia pun berlalu meninggalkan Sanjaya yang masih duduk termenung
memikirkan firasatnya.
*** Purnama menarik napas
dalam-dalam, seakan-akan berusaha mengisi rongga paru-parunya yang kering.
Sedangkan Pendekar Gila nyengir dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya
melihat perubahan wajah Purnama, yang tengah mengenang kejadian pahit yang
pernah dialami.
“He he he...” Sena tertawa
terkekeh-kekeh.
Purnama mencoba tersenyum,
meski senyumannya terasa sangat hambar. Matanya menatap wajah Pendekar Gila
yang bertingkah laku konyol. Kemudian Purnama tersenyum-senyum. Ada perasaan
senang, bisa berteman dengan pemuda lucu yang mampu menghibur hatinya di kala
duka seperti itu.
“Aha, lalu bagaimana
selanjutnya?” tanya Sena ingin tahu. Purnama tersenyum.
“Baiklah, kurasa tak ada
salahnya kau mengetahui semuanya.”
Setelah menarik napas
dalam-dalam, Purnama pun melanjutkan ceritanya.
Pagi itu, Purnama melihat
kebimbangan di wajah kakaknya. Hal itu membuat Purnama mengerutkan kening.
Dirinya yang sudah siap mencari kayu, melangkah menghampiri Sanjaya.
“Kang, kalau Kakang bimbang,
biarlah aku saja yang pergi mencari kayu” pinta Purnama.
Sanjaya menghela napas
panjang, kemudian ia menggelangkan kepala sambil memandang wajah adiknya.
“Tidak, Adikku. Aku akan turut
bersamamu.”
“Tapi, Kang. Bagaimanapun
Kakang harus menjaga mbakyu dan Ragil. Mereka baru tiga bulan lepas dari
perjuangan hidup,” Purnama berusaha mencegah niat kakaknya. “Lagi pula,
bukankah Kakang merasa ada firasat tak enak?” Sanjaya menarik napas
dalam-dalam. Seolah-olah dirinya masih dalam kebimbangan. Saat itu Nyi Tarsih
dan suaminya datang. Seperti biasanya, kedua suami istri itu setiap pagi
berkunjung untuk menjenguk bayi Sanjaya. Keduanya memang sangat menyayangi
Ragil, dan menganggap cucu mereka sendiri.
Sanjaya menuturkan pada Nyi
Bawok dan suaminya, bahwa dia dalam keadaan bimbang untuk pergi mencari kayu.
Hal itu karena dia masih memikirkan istri dan anaknya.
“Ah, Nak Sanjaya tak perlu
khawatir. Biarlah kami yang menjaga mereka Pergilah mencari kayu
Percayalah, kami akan menjaga
keduanya dengan sebaik mungkin” saran Nyi Bawok berusaha menenangkan hati
Sanjaya.
Sanjaya tercenung. Sepertinya
tengah mempertimbangkan saran Nyi Tarsih.
“Baiklah kalau begitu, Nyi.
Tolong jaga mereka”
ujar Sanjaya.
Kemudian Sanjaya melangkah
mendekati Lestari yang sedang menidurkan bayinya. “Diajeng, hati-hati, ya
Kakang pergi mencari kayu.”
“Kakang juga harus hati-hati,”
sahut Lestari.
Pagi itu juga, Sanjaya dan
Purnama pergi untuk mencari kayu bakar.
***
Dari kedua belah mata Purnama,
nampak meleleh air mata. Sepertinya Purnama merasa duka, jika mengingat
kejadian yang pernah dialaminya.
Melihat hal itu, Sena meringis.
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Disimpannya bulu burung di ikat pinggang.
Wajahnya pun turut berduka. “Oh, kenapa kau sedih, Kisanak?” tanya Sena dengan
wajah sedih. Namun secepat itu pula, kembali pada tingkahnya yang konyol.
Cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Melihat tingkah laku Sena yang
lucu, meski menangis Purnama tersenyum juga. Dirinya benar-benar tak mengerti,
mengapa Sena yang tadi ber-sedih tiba-tiba tersenyum-senyum.
“Benar-benar gila” pikir
Purnama dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Aha, kurasa tak sebaiknya
menangis, Kisanak. Hi hi hi... Zaman ini memang aneh. Hi hi hi... lucu sekali,”
gumam Sena dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Purnama menarik napas
dalam-dalam. Disekanya air mata yang meleleh. Bibirnya semakin melebarkan
senyum, geli menyaksikan ucapan dan tingkah laku pemuda mirip orang gila di
sampingnya. Baru kali ini Purnama melihat tingkah laku konyol itu.
“Ah, kau memang benar-benar
mampu menghibur orang yang sedang sedih, Kisanak,” ujar Purnama polos, memuji
Sena yang semakin cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Ah ah ah... Memang aku gila.
Tetapi, kurasa ada yang lebih gila. Ya, orang-orang yang berhasrat besar dengan
keduniaan. Hi hi hi... Bukankah begitu, Kisanak?” tanya Sena masih cengengesan.
“Ya, kau benar, Pendekar.”
“Aha, mengapa kau panggil aku
pendekar? Sebut saja kawan atau Sena. Hi hi hi...”
“Baiklah,” sahut Purnama.
“Aha, lalu apa yang terjadi
selanjutnya?” tanya Sena ingin tahu.
Purnama tak langsung bercerita.
Lama dirinya terdiam dengan mata menatap lepas ke depan.
Dihelanya napas dalamnya.
“Kejadian keji itu kami tak
tahu. Tapi kami men-dengarnya dari Ki Kerta, yang masih hidup dan menyaksikan
kejadian itu dengan sembunyi.”
Purnama menarik napas dalam-dalam.
Kemudian menceritakan apa yang diceritakan Ki Kerta kepadanya.
Sore itu Lestari merasa tak
betah diam di rumah, badannya terasa tambah lemas kalau tak bekerja.
Maka dirinya segera membawa
bakul berisi pakaian kotor untuk dicuci di sungai.
“Lho... Mau ke mana kamu
Lestari...?” tanya Nyi Bawok yang sedang memberesi kayu-kayu bakar di halaman
rumahnya.
“Mau mencuci pakaian kotor,
Nek...” jawab Lestari lemah sambil melangkah mendekati wanita tua itu.
“Sudah... Sudah... Cari
penyakit. Kamu kan sudah dipesan sama suamimu? Agar jangan ke mana-mana,” kata
Nyi Bawok mengingatkan Lestari. “Dan lagi anakmu di dalam sendirian..., walah
Tari, Tari...?
Bagaimana kamu ini. Ayo,
jangan pergi, nanti aku kena salah kalau kamu pergi... Sana masuk lagi...”
kata Nyi Bawok dengan nada
memerintah pada Lestari.
“Tapi Nek... saya juga ingin
mandi. Badan terasa panas dan tak enak rasanya. Sebentar kok Nek....
Tolong jagakan si Ragil ya,
Nek...” kata Lestari.
Nyi Bawok menghela napas
panjang dan meng-gelengkan kepala, tanda tak menyetujui maksud Lestari. Namun
Lestari dengan manjanya meminta agar N Bawok mau memberikan izin untuknya.
“Kamu ini memang bandel Tari
Tapi Nenek juga kasihan. Baiklah..., tapi jangan lama-lama Tuh, lihat
mendung...” ujarnya pada Lestari sambil menunjuk ke atas. Langit memang mulai
mendung. Walaupun biasanya sinar matahari masih dapat menerangi bumi.
Lestari tertawa senang karena
Nyi Bawok meng-izinkannya.
“Terima kasih, Nek...”
Selesai berkata demikian,
Lestari segera berlalu meninggalkan Nyi Bawok sambil membawa bakul tempat
pakaian kotor. Perempuan muda itu menuju sungai yang ada di bawah bukit, tak
berapa jauh dari rumahnya.
Kaki Lestari menuruni jalan
setapak yang berumput. Langkah kakinya cepat. Dan tak lama kemudian Lestari
sudah sampai di sungai yang tak begitu besar. Airnya jernih dan bersih. Di
pinggir sungai itu ada batu-batu hitam. Di situlah Lestari mencuci
pakaian-pakaian kotor itu. Selesai mencuci Lestari mulai mandi dengan hanya
mengenakan kain sarungnya.
Tanpa disadarinya sepasang
mata mengamati tubuh mulus yang sedang mandi itu dari balik semak-semak di
seberang sungai.
Lestari masih asyik mandi
dengan tenang sambil bersenandung kecil, menggosoki tubuh dan wajahnya.
Kemudian dibenamkan wajahnya ke air sungai yang jernih itu. Lalu timbul lagi
dengan menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, meremas-remas rambutnya
yang panjang dengan kedua belah tangannya.
Setelah merasa cukup segar
merendam di air sungai itu, Lestari segera mengeringkan tubuhnya dengan kain
kering. Menggelung rambut sedemikian rupa, lalu melangkah meninggalkan tempat
itu.
Wajahnya nampak puas, karena
merasa segar habis mandi. Kembali Lestari melangkahkan kakinya di jalan setapak
yang berumput itu. Namun kali ini ia menaiki jalan yang menanjak menuju rumahnya.
Tanpa dia sadari, ada
langkah-langkah kaki mengikuti jejaknya. Dan ketika Lestari ingin mencapai
bukit, kakinya tiba-tiba menginjak duri pohon.
“Aaa...”
Lestari memekik lirih, lalu
menghentikan langkah dan mengangkat kaki kirinya yang menginjak duri tadi.
Darah keluar tak begitu banyak ketika duri di telapak kaki dicabutnya.
“Aneh, tak biasanya ada duri
di jalan...?” gumam nya dalam hati.
Setelah selesai mengikat kaki
yang terkena duri dengan sobekan kain bekas mengeringkan badan tadi, Lestari
kembali melanjutkan langkah menuju rumah.
“Hah...?”
Lestari sangat terkejut ketika
melihat kandang ayam dan tempat penyimpanan kayu bakar
berantakan. Segera Lestari
berlari menuju rumahnya.
Dengan, perasaan cemas dan
khawatir.
Benar, ketika Lestari masuk
rumah, anaknya tak ada di tempat tidurnya. Dengan panik Lestari kembali keluar.
“Nek... Nek Bawok...” panggil
Lestari sambi berlari menuju rumah Nyi Bawok yang tak jauh dari rumahnya.
Karena ia pikir bayinya pasti ada di rumah Nyi Bawok.
Namun apa yang dilihatnya
sangat mengejutkan.
Nyi Bawok bersama suaminya Ki
Harja telah mati dengan leher terbabat senjata tajam. Kedua orang itu terkapar
di lantai pondoknya.
“Hah? Aaaa..”
Lestari menjerit karena
ketakutan dan kaget.
Kakinya segera berlari ke luar
sambil berteriak minta tolong.
Pada saat itu Ki Kerta yang
sejak tadi bersembunyi di semak-semak, ingin menolong dan memberitahukan
Lestari. Namun dirinya takut. Karena empat orang lelaki tak dikenal telah
membunuh Nyi Bawok dan Ki Harja.... Serta menyandera bayi Lestari yang baru
berumur tiga bulan itu.
Ketika Lestari ingin kembali
ke rumahnya, tiba-tiba muncul lelaki muda berwajah culas dengan kumis tipis di
atas bibirnya. Matanya menatap penuh birahi sambil tertawa terbahak-bahak. Di
tangan kirinya menjinjing bayi Lestari.
“Siapa kau? Kembalikan
anakku...” bentak Lestari dengan marah. Lalu mencoba merebut anaknya lari
tangan lelaki muda itu. Namun lelaki itu mempermainkan Lestari dengan
tertawa-tawa men-jauhinya sambil menjinjing anak yang tak berdosa itu.
“Ha ha ha...” lelaki muda itu
tertawa-tawa diikuti ketiga temannya yang berpakaian serba hijau dengan ikat
kepala hitam. Wajah ketiganya tak sedap di-pandang alias buruk rupa. Salah
seorang bermata juling. Ketiganya bersenjatakan tombak.
Lelaki yang menjinjing bayi
Lestari rupanya pimpinan mereka. Dilihat dari pakaiannya, lebih bagus.
Kepalanya ditutupi blangkon
hitam. Rambutnya dibiarkan lepas sepanjang bahu. Sedang bajunya yang hitam
berlengan panjang. Kancing bagian atas sengaja dibuka, hingga terlihat dadanya
yang penuh bulu itu, terselip sebilah keris di pinggangnya. “Kau tentunya
sangat sayang dengan anakmu ini, bukan...? He he he...” ejek lelaki muda itu.
Lestari menangis sambil terus
berusaha mendapatkan bayinya. Wanita itu mencakar dan me-mukuli lelaki muda
itu. Namun tiba-tiba Lestari didorongnya dengan kasar, hingga terhuyung dan
jatuh. Kainnya yang hanya diikatkan sampai ke dada dengan mudah terlepas dan
terselip. Tubuh kuning dan kedua paha, serta betisnya yang mulus jelas terlihat
oleh keempat lelaki itu.
Mata mereka membelalak melihat
keindahan tubuh Lestari yang cantik itu. Keempatnya menelan ludah. Lestari yang
sadar kalau kainnya terlepas, dengan cepat merapikannya kembali. Lalu lari ke
dalam rumah bermaksud ingin mengambil golok.
Ketika Lestari keluar memegang
golok, salah seorang berpakaian hijau yang bermata juling merenggutnya dengan
kasar. Lestari berontak sambil berteriak-teriak. Karena lelaki itu lebih kuat
usaha Lestari sia-sia. Namun karena didorong tekadnya untuk menyelamatkan diri
dan mengambil anaknya, wanita itu akhirnya berhasil, digigitnya lengan lelaki
juling itu.
Lalu dengan cepat membabatkan
goloknya sembarangan menyerang lelaki juling itu.
“Aaa... ukkk” pekikan panjang
terdengar dari lelaki juling. Perutnya ternyata tergores golok Lestari.
Dan melihat wanita itu mulai
kalap. Lelaki lainnya segera melompat dan mengepung Lestari. Karena Lestari tak
punya ilmu silat, dalam sekejap wanita itu dapat dijinakkan oleh kedua lelaki
berpakaian hijau.
Kaki Lestari dipegang kedua
lelaki berbaju hijau yang berhasil menangkapnya, kemudian direntangkan
lebar-lebar dengan paksa. Kedua tangannya direntang pula, lalu diikat di tanah.
Lestari berusaha memberotak, tapi sia-sia. Sambil menjinjing bayi, lelaki muda
berpakaian hitam melangkah dengan pongah mendekati tubuh Lestari yang sudah
terikat di tanah itu. Kedua anak buahnya memegangi kaki Lestari. Lelaki juling
yang dilukai Lestari memegangi kedua tangan wanita itu sambil menjulurkan
lidah, serta mengancam Lestari dengan tombaknya.
“Lepaskan Lepaskan...
Tolooong, tolooong...”
teriakan Lestari tak ada yang
mendengar. Karena tempat itu sangat terpencil dari desa mana pun.
Akhirnya wanita malang itu
hanya menerima kenyataan yang sangat menyedihkan.
Lelaki muda itu menyetubuhi
Lestari sepuas-puas hatinya. Setelah puas, ketiga anak buahnya pun diberi
kesempatan menikmati secara bergantian.
Sampai akhirnya Lestari
pingsan. Dengan darah terus mengucur dari kedua selangkangan.
Setelah itu Lestari dilepas
begitu saja. Dan bayi yang tak berdosa itu ditaruh di dekat ibunya yang tak
berdaya. Namun, entah dari mana Lestari mendapatkan kekuatan, tubuhnya
menggeliat bangkit lalu menyerang salah seorang berpakaian hijau dengan
menusukkan golok yang sempat dipungut di tanah.
Jrabs
“Aaa...”
Tusukan Lestari yang sepenuh
tenaga itu tembus ke dada lelaki itu. Ambruklah tubuh lelaki berpakaian hijau
itu. Namun, ketika Lestari hendak membabatkan pedang lagi, tiba-tiba sebuah
pukulan keras mendarat di dadanya.
“Akh...”
Lestari terpekik keras dan
tubuhnya langsung roboh ke belakang. Dan menindih bayinya Kontan bayi itu mati.
Melihat Lestari mati bersama bayinya, lelaki muda itu memerintahkan anak
buahnya agar segera pergi.
“Ayo, kita segera kembali ke
seberang Tapi kita perlu mengambil hadiah pekerjaan ini. Lalu kita habisi
sekalian tumenggung bodoh itu...” perintah lelaki muda bertampang culas itu.
“Ya... Kita habisi Tumenggung
Kalisewu itu bersama seluruh anak buahnya. Kita kuras harta mereka Ha ha ha...”
sahut si juling dengan tertawa terbahak-bahak.
Dengan cepat mereka
meninggalkan tempat itu.
Ki Kerta yang sejak tadi
menyaksikan kejadian itu, tak mampu berbuat apa-apa. Sekujur tubuhnya
gemetaran. Rasanya tak kuat berdiri.
Sementara itu langit makin
gelap, awan hitam bergulung bagai ombak laut. Dan sebentar-sebentar geledek dan
petir menyambar. Seakan langit akan runtuh Angin pun bertiup sangat kencang.
Hingga pondok Lestari dan lainnya bagai hendak roboh terkena tiupan angin yang
sangat kencang itu.
Ki Kerta masih saja
bersembunyi di tempatnya, dengan tubuh gemetaran. Matanya menatap mayat Lestari
yang tertelungkup di tanah menindih bayinya.
Ki Kerta berusaha berdiri,
tapi terasa berat. Mungkin karena rasa takut yang berlebihan, serta kesedihan
melihat kejadian mengenaskan dan biadab tadi.
Kembali petir menyambar,
diiringi suara guntur mengelegar. Awan hitam berarak-arakan tertiup angin
semakin menambah suasana yang mencekam saat itu.
Dari arah barat tampak dua
lelaki memanggul kayu bakar berjalan menuju rumah Lestari. Kedua orang itu tak
lain Sanjaya dan Purnama. Wajah mereka nampak kelelahan. Keringat membasahi
kening dan mukanya, walaupun udara saat itu dingin karena hembusan angin yang
kencang.
Ketika Purnama dan Sanjaya
memasuki pagar halaman rumah, mereka tersentak kaget bukan kepalang. Sanjaya
menatap tubuh wanita yang begitu dikenalnya tertelungkup dengan darah di bagian
perut.
“Lestari... Tari...?” teriak
Sanjaya setelah sadar kalau yang dilihat ternyata istrinya.
Dengan gemetaran Sanjaya
membalikkan tubuh Lestari yang telah mati. Dan...
“Hah...? Anakku, anakku...?”
Sanjaya makin membelalakkan mata ketika melihat bayinya telah mati tertindih
tubuh Lestari.
“Hah...? Setan, Iblis siapa
yang berani berbuat semua ini Aaahhh... Oh, Gusti Gusti... Kenapa tidak diriku
saja yang menjadi korban kebiadapan manusia itu... Keluar kau Iblis, dedemit...
Ayo hadapi akuuu..., keluaaar...”
Sanjaya berteriak-teriak
karena marah, jengkel, menyesal, dan kecewa. Bagai orang gila, lari ke sana
kemari dengan memegang golok terhunus. Purnama berusaha mencegahnya. Namun
justru dipukul dan ditendangnya.
“Sabar, Kang Sabarlah...”
Purnama coba menenangkan kakaknya. Namun Sanjaya tetap saja ngamuk, semua yang
ada di depannya ditendang dan dihancurkan. Matanya merah bagai banteng marah.
Giginya beradu,
bergemeretakan. Dadanya naik turun dengan cepat. Menandakan lelaki itu sangat
marah.
Saat itu muncul Ki Kerta dari
balik semak-semak.
“Nak Purnama... tolong
Tolooong saya..., Nak Purnama...” seru Ki Kerta yang berusaha berdiri, tapi
jatuh lagi. Purnama menoleh ke asal suara panggilan itu, setelah mencari
sebentar, muncul kembali kepala Ki Kerta dari balik semak-semak.
“Hah? Ki Kerta...?” pekik
Purnama lirih, lalu melompat.
Dalam sekejap Purnama telah
sampai di dekat Ki Kerta. Purnama segera menggotong Ki Kerta.
Sementara itu Sanjaya masih
mengamuk. Setelah hujan mulai turun, barulah Sanjaya agak sadar. Dirinya
berlutut di dekat mayat Lestari. Dipeluknya tubuh Lestari lalu digendongnya
sang Bayi yang tak berdosa itu. Sungguh hancur hati dan perasaan Sanjaya.
Di-ciuminya pipi bayi itu berulang-ulang.
“Oh, Gusti..., tunjukkan siapa
yang melakukan semua ini Aku harus membuat pembalasan... Oh, anakku Maafkan
ayahmu...” Sanjaya memeluk bayinya penuh kasih sayang dan kembali menciumi.
Purnama yang telah membawa
masuk Ki Kerta ke pondok, kembali keluar menghampiri Sanjaya. Kakinya ikut
berjongkok, memandangi kakaknya dengan perasaan iba.
“Kang, sebaiknya Mbakyu
Lestari kita bawa masuk Kasihan dia...,” ucap Purnama kemudian dengan suara
pelahan.
Sanjaya tak menjawab dan tidak
menoleh sedikit pun. Lelaki yang malang itu terus saja menciumi bayinya. Lalu
memandangi mayat istrinya yang cantik dan berhati mulia itu.
“Kalau saja aku tak membawanya
pergi..., tak mungkin semua ini terjadi Aku telah berdosa,”
gumam Sanjaya lirih sekali.
Hujan semakin deras. Petir
menyambar, menambah suasana makin keruh dan mencekam. Langit semakin gelap oleh
awan hitam yang bergayut.
Segelap hati Sanjaya saat itu.
“Kang, kasihan istrimu. Hujan semakin deras...,”
ajar Purnama lagi. Namun
Sanjaya tetap diam, hanya memandangi wajah istrinya yang telah menjadi mayat
itu. Purnama yang merasa tak tahan melihat mayat kakak iparnya tergeletak dan
basah diguyur hujan, segera mengangkatnya. Dibawanya tubuh basah berlumur darah
itu ke dalam pondoknya.
Sanjaya rupanya kaget dan
sadar. Dengan meng-gendong mayat bayinya, Sanjaya pun berdiri dan melangkah
pelahan ke pondoknya. Sehari setelah penguburan Lestari, Sanjaya suka
menyendiri. Setiap hari duduk melamun di makam istrinya. Nafsu makannya
berkurang, tidak mau kerja lagi kecuali termenung dan menyendiri. Keadaan
seperti itu berjalan hampir sebulan. Untung Ki Praba datang ketika mendengar
peristiwa itu.
“Jaya..., sebaiknya kau
lupakan peristiwa itu Kalau terus-menerus begini tak akan ada habisnya,”
nasihat Ki Praba dengan nada berat. “Sekarang, sebaiknya kau mulai memperdalam
ilmu silatmu. Untuk membalas dendammu demi istri dan anakmu,” lanjut Ki Praba.
Sanjaya yang masih duduk
bersila di atas potongan batang pohon besar di dalam pondoknya hanya menghela
napas panjang.
“Menurut keterangan Ki Kerta,
sebelum mereka pergi menyebutkan kata ke seberang. Dan menyebut juga Tumenggung
Kalisewu, orangtua istri kakakmu bukan begitu Purnama?” tanya Ki Praba sambil
menoleh ke Purnama.
“Benar, Ki,” jawab Purnama
perlahan sambil mengangguk.
“Jelas sudah. Setelah aku
mendengar berita itu aku dan beberapa penduduk desa menyelidiki keadaan
Ketumenggungan Kalisewu. Ternyata Ketumenggungan Kalisewu telah musnah porak
poranda. Pangeran Cakra dan Tumenggung Rogo Kusuma, ayah Lestari mati terbunuh”
tutur Ki Praba tegas.
“Hah? Mati...?” gumam Sanjaya
kaget dan tak mengerti. Matanya terbelalak menatap Ki Praba dan Purnama
bergantian. Dengan kening berkerut mulutnya terbuka sepertinya ingin menanyakan
sesuatu, tapi tak bisa keluar suaranya.
“Kau tentu heran, dan bertanya
siapa pembunuh itu, bukan?” ujar Ki Praba tiba-tiba, “Pembunuhnya tak lain
orang yang dibayar oleh orangtua Lestari untuk membunuhmu” sambung Ki Praba.
Sanjaya kembali terkejut,
matanya terbelalak lebar. Dadanya naik turun dengan cepat, menahan amarah.
Dirinya masih belum bisa mengeluarkan kata-kata.
“Tapi karena kau tak ada, dan
melihat istrimu yang cantik itu. Manusia-manusia biadab itu membunuh Lestari
setelah menggauli Lestari,” sejenak Ki Praba menghentikan kata-katanya. Lelaki
itu tahu kalau hati Sanjaya sedang menahan marah dan dendam yang amat besar.
“Dan Lestari yang juga sudah
kuanggap sebagai anakku akhirnya menemui ajalnya. Karena ia kena pukulan lelaki
itu, setelah Lestari berhasil membunuh salah satu dari mereka...” ucap Ki Praba
lagi mengakhirinya.
“Siapa lelaki itu, Ki?” tanya
Sanjaya dengan suara bergetar.
Ki Praba tak segera menjawab.
Lelaki itu menatap sejenak wajah Sanjaya. Kemudian mengalihkan pandangan ke
tempat lain seraya menghela napas panjang.
“Beruk Ireng Salah satu dari
tiga bersaudara dalam kelompok Serigala Hitam Rupanya orang-orang yang dibayar
oleh Tumenggung Rogo Kusuma, mertuamu itu berkhianat Mereka menghancurkan
ketumenggungan itu dengan licik dan keji....”
“Beruk Ireng” Sanjaya geram.
Giginya bergemeretak. Sedang matanya membeliak tajam.
Jemari tangannya mengepal
kuat, seakan menahan amarah yang menggelegak.
*** 4
Selesai bercerita panjang
lebar, Purnama lalu bergerak turun dari bale-bale. Kemudian melangkah mendekati
tiang penyangga rumah bilik itu. Kedua tangannya dilipat di dadanya. Matanya
menatap jauh kegelapan malam. Ditariknya napas dalam-dalam.
Seakan-akan hatinya kembali
sedih teringat peristiwa lima tahun silam.
Sena manggut-manggut, lalu
menggaruk-garuk kepalanya.
“Ah mengharukan.... Lalu
bagaimana nasib dan kelanjutan Ketumenggungan Kalisewu...?” tanya Sena lagi.
Purnama menoleh ke wajah Sena,
lalu kembali memandang ke depan.
“Ketumenggungan itu dikuasai
kelompok Serigala Hitam bersaudara. Karena dendam kami yang membara. Maka aku
dan Kakang Sanjaya, dibantu penduduk desa, melawan mereka. Kami serang mereka
ketika tengah mengadakan pesta gila
Tengah malam, Ketika mereka
mabuk dan tertidur karena minuman tuak, kami menyerang. Dengan mudah kami dapat
membasmi manusia-manusia pengkhianat dan pemeras itu. Beruk Ireng yang
terbangun mendengar ribut-ribut, keluar dari sebuah kamar dalam keadaan mabuk.
Dan Kakang Sanjaya yang melihatnya tak memberikan kesempatan
Dihabisi si Beruk Ireng dengan
memenggal kepalanya. Kemudian tubuhnya dicincang. Habis...”
Purnama menghentikan
kata-katanya sejenak, ditariknya napas panjang. “Kalau saja Beruk Ireng dalam
keadaan sadar, tak mungkin Kakang Sanjaya dapat mengalahkannya. Sebab ilmu
Beruk Ireng cukup tinggi Namun sayang, kami tak dapat menemukan Raden Kumbara
dan saudara tertuanya, yaitu Kala Bendana Ilmunya sangat tinggi. Dan dialah
dalang semua kejahatan ini”
“Jadi sejak itu mereka lalu
mencari tempat di seberang? Atau...,” tanya Sena ingin tahu.
“Ya. Mereka tinggal di pulau
seberang sana. Dan orang-orang rimba persilatan menjuluki dengan nama Pulau
Neraka,” jawab Purnama.
“Tapi bagaimana tadi dia
mendapatkan kereta kuda dan beberapa kuda? Dan kenapa Raden Kumbara tiba-tiba
muncul dengan sengaja memancing kekeruhan lagi?” tanya Sena.
Mendengar pertanyaan Sena,
Purnama jadi berpikir. Dirinya sendiri merasa agak aneh. Lalu Purnama menoleh
ke wajah Sena dan melangkah ke bale-bale lagi, lalu duduk di pinggirnya.
“Aku sendiri masih
mencari-cari jawabannya,”
sahut Purnama dengan nada
datar.
“Dan aku heran, mengapa baru
sekarang mereka membalas dendam itu. Semestinya kalau mereka memang orang-orang
yang memiliki ilmu silat tinggi, akan segera membalas kalian” ujar Sena mencoba
memberi pendapat pada Purnama.
Purnama manggut-manggut sambil
memegang keningnya. Pemuda itu masih berpikir keras.
“Mungkinkah mereka menyusun
kekuatan Karena semua antek-anteknya telah kami habisi. Tinggal Raden Kumbara
dan Kala Bendana yang saat itu tak kami temukan. Sebenarnya mereka tak memiliki
ilmu silat yang tinggi. Hanya keberanian dan kelicikan yang membuat mereka
disegani dan dianggap jago di rimba persilatan...” ujar Purnama setelah
mendapatkan jawaban dan dugaan. Purnama kembali berdiri dan mondar-mandir
dengan kedua tangannya di belakang. Kepalanya tertunduk menatapi lantai tanah.
“Aha Pendapatmu agak masuk
akal. Tapi kita harus tetap waspada. Dan perlu aku beritahukan, kemarin malam
ketika aku hendak memasuki Desa Karang Galuh ini, aku dicegat dua manusia yang
mirip kera Apakah mereka itu orang Serigala Hitam...?”
tanya Sena.
Mendengar keterangan Sena,
Purnama merasa kaget. Segera dibalikkan tubuhnya menghadap ke Sena. Matanya
menatap wajah Sena seakan menyelidik. Lalu kembali membuang muka dan
mondar-mandir.
Melihat sikap Purnama, Sena
tercenung. Keningnya tampak terkemyit, dan menggaruk-garuk kepala dengan tangan
kanan. Kemudian cengar-cengir sendiri.
“Apakah pertanyaanku tadi
menyinggung perasa-annya? Atau...,” gumam Sena lirih. Sambil terus
menggaruk-garuk kepalanya.
Pada saat itu keluarlah Ki
Praba dari dalam rumah.
“Rupanya kalian berdua sangat
akrab. Apa yang sedang kalian obrolkan...?” tanya Ki Praba seraya tersenyum.
“Kami hanya bercerita tentang
masa lalu, Ki.
Untuk menghilangkan kantuk.
Sebab kita harus berjaga-jaga. Siapa tahu orang-orang Serigala Hitam menyerang
kita,” jawab Purnama sambil menundukkan kepala. Purnama maupun Sanjaya sangat
menghargai kepala desa yang telah dianggap orangtua mereka.
Mendengar jawaban Purnama, Ki
Praba hanya manggut-manggut sambil memegangi jenggotnya.
“Bagus Malam ini memang terasa
panjang bagi kita. Seakan tak akan berganti pagi. Ini semua merupakan cobaan
dan ujian bagi kita semua. Benar kan, Nak Sena...?” tanya Ki Praba kemudian.
Matanya menatap Sena.
“Benar, Ki,” jawab Sena
singkat. Ki Praba tersenyum. Lalu kembali masuk ke rumahnya. Kali ini Purnama
yang mengikutinya.
“Sebentar aku ambilkan minum
di dalam...” kata Purnama pada Sena yang masih duduk bersila di bale-bale. Sena
hanya menganggukkan kepala.
“Kenapa Purnama tampak
terkejut dan gelisah ketika aku tanya tentang kedua manusia kera?” kata Sena
dalam hati. “Ada apa sebenarnya? Atau...?”
Sena lalu kembali cengengesan
sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepala.
***
Malam terlewati tanpa kejadian
apa-apa. Suasana di Desa Karang Galuh tampak sepi dan sunyi. Tak seperti
hari-hari sebelum kejadian penculikan Ranti anak Nyi Karti.
Sore harinya ketika penduduk
tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ki Praba, Sena, Sanjaya, dan
Purnama tengah terlibat dalam perbincangan di serambi depan rumah kepala desa
itu.
Tiba-tiba terdengar derap
kaki-kaki kuda memasuki Desa Karang Galuh. Sepuluh orang penunggang kuda,
lengkap dengan senjata
tombak menggebah kuda mereka
memasuki mulut desa.
Pakaian mereka beraneka ragam.
Ada yang coklat, hitam, merah, hijau, dan abu-abu Tampang mereka yang tampak
garang terhias kumis tebal. Semua mengenakan ikat kepala berwarna-warni.
Ketika memasuki desa, sepuluh
orang berkuda itu berpencar. Dengan teriakan-teriakan keras mereka mengobrak-abrik
rumah para penduduk Melukai orang yang berlarian ketakutan. Mereka tak
segan-segan membabat dan menusuk, serta memukulkan tombak masing-masing ke
tubuh penduduk desa yang berpapasan. Tak peduli lelaki atau perempuan.
Dengan bengis mereka dibunuh
dan dilukai.
Jeitan dan teriakan
orang-orang desa didengar Ki Praba, Sena, dan Purnama. Keempat orang itu
terkejut. Namun Sena tampak lebih tenang. Sena tak segera bangkit. Bahkan
justru menggaruk-garuk kepalanya seperti merasa gatal.
Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama
melesat keluar dari serambi rumah.
Crak Crak
“Aaa...”
“Ukh...”
“Tolooong... Tolooong...”
Teriakan dan jeritan kematian
terdengar di sana-sini. Dan orang-orang berkuda itu seperti kesetanan, tanpa
belas kasihan sedikit pun. Mereka terus memporak-porandakan desa itu.
“Heaaa...”
Sanjaya dan Purnama segera
melompat sambil bersalto ke tempat orang-orang berkuda. Sanjaya dan Purnama
menghadang mereka sambil membabatkan goloknya dengan geram dan ganas
Crakkk Jrabs “Aaakh...”
“Ukh...”
Dua orang dari gerombolan itu
terpelanting dari punggung kuda ketika golok Sanjaya dan Purnama membabat perut
mereka. Kedua kakak-beradik itu kemudian berpencar, sama-sama menghadapi lawan.
Ketika Sanjaya sedang
bertarung dan berhasil menjatuhkan salah seorang dari kuda, tiba-tiba dari
belakang, seorang lawan yang lain melarikan kudanya dengan kencang. Tampaknya
lelaki bersenjata tombak itu hendak menerjang Sanjaya.
“Heaaa...”
Namun belum sempat orang
berkuda itu menerjang dan menusukkan tombaknya tahu-tahu terpekik keras.
Tubuhnya terjungkal dengan kepala pecah membentur tanah.
Sanjaya yang baru sadar,
menoleh cepat. Dilihatnya orang itu sudah mati. Lalu dengan cepat lelaki muda
berpakaian serba kuning itu menghadapi lawannya yang sudah terluka sabetan goloknya.
“Manusia macam kalian ini
mesti mampus...”
dengus Sanjaya. Dengan geram
orang kepercayaan kepala desa itu melesat menyerang. Tombak dan golok saling
beradu.
Trang Trang Trang
Dukkk
“Ukh...”
Orang itu terpekik ketika
tinju Sanjaya mendarat telak dirusuknya. Seketika tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang dengan mulut meringis kesakitan. Sanjaya tak ingin memberi kesempatan
pada lawannya. Tangannya kembali membabatkan goloknya dengan sekuat tenaga.
Jrab Jrabs Perut dan leher
penjahat itu hampir putus Darah segar muncrat membasahi sekujur tubuhnya yang
telah terkapar tak bernyawa. Melihat lawannya telah roboh Sanjaya mengalihkan
perhatian ke tempat pertempuran lain. Tampak Purnama, adiknya tengah berusaha
menghadapi dua orang lawan.
“Heat...”
Trak Trakkk
Dengan gesit dan tangkas
Purnama menghadang serangan dua lawannya yang sudah turun dari kuda.
Golok Purnama beradu keras,
dengan dua tombak lawan. Lalu dengan cepat sekali kakinya menendang perut lawan
sambil berputar.
“Hea...”
Bluk Bluk
“Aaakh...”
Kedua lawan itu terhuyung,
namun segera kembali memasang kuda-kuda dan siap menyerang secara bersamaan.
“Heaaa...”
“Heaaa...”
“Heh?”
Kedua penjahat itu tersentak
kaget, ketika melihat Purnama tiba-tiba melenting ke udara. Tubuh terbalut pakaian
serba kuning itu melesat cepat sambil membabatkan goloknya ke leher kedua
lawan.
Jrab Brettt
“Aaakh...”
Pekikan keras terdengar dari
kedua lelaki itu ketika golok Purnama membabat telak leher mereka.
Telah lima orang dari
gerombolan berkuda tewas di tangan kedua kakak-beradik itu.
Tak jauh dari rumah kepala
desa, tampak Ki Praba tengah menghadapi dua lawan yang masih berada di punggung
kuda. Ki Praba yang memiliki ilmu silat cukup lumayan dapat mengimbangi kedua
lawannya.
“Hah? Mampus kau, Kakek Tua”
seru salah seorang penunggang kuda sambil menusukkan tombak ke dada Ki Praba.
Kepala Desa Karang Galuh itu menoleh sambil tetap mencekal kuat tombak lawan
yang lain.
Wuttt
Ki Praba mengelak dengan
merebahkan badan disertai tarikan kuat tangan kanannya yang mengunci tombak
lawan. Sehingga tombak itu dapat dikuasai Ki Praba.
Melihat Ki Praba telentang di
tanah sambil memegang tombak, penjahat yang gagal mencederai lelaki tua itu
bergerak. Dengan cepat ditancapkan tombaknya ke dada Ki Praba.
Namun bersamaan dengan itu
tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat cepat merenggut tubuh kepala desa itu
dari ancaman maut.
Entah kapan sosok penolong Ki
Praba itu melancarkan serangan. Gerakannya yang begitu cepat tak tertangkap
mata biasa. Ki Praba sendiri tersentak kaget melihat lawannya tiba-tiba telah
ambruk dengan dada hangus seperti terbakar.
Ternyata Sena yang menolong Ki
Praba dari bahaya kematian. Pemuda berompi kulit ular itu mengamankan kepala
desa di serambi rumahnya.
Lalu dengan cepat kembali
melesat ke arena pertempuran.
Gerombolan itu kini tinggal
tiga orang. Nampaknya ketiganya memiliki ilmu yang tak boleh diremehkan.
Nyatanya Sanjaya dan Purnama
yang menghadapi mereka nampak terus terdesak dan kewalahan.
Permainan tombak mereka tampak
begitu sempurna. Dibabatkan ke sana kemari dengan cepat dan terkadang
diputar-putarnya tombak itu hingga seperti baling-baling.
“Heaaa...”
“Hah...”
Wuttt Wuttt
Trang Trang Trang
Dentang nyaring terdengar
beberapa kali ketika senjata mereka saling beradu keras.
“Aaa...” tiba-tiba Purnama
terpekik. Ternyata rusuknya terserempet ujung tombak lawan. Darah segar
mengucur. Namun pemuda itu kembali menyerang dibantu kakaknya yang mengetahui
bahwa Purnama terluka.
Namun ketiga lawan tampaknya
mampu membaca serangan yang dilancarkan kedua kakak-beradik berpakaian kuning
itu. Sehingga tanpa menemui kesulitan, ketiga orang jahat itu mematahkan
serangan Purnama dan Sanjaya.
“Heaaa...”
“Heaaa...”
Teriakan-teriakan keras
menggelegar mengiringi serangan mereka.
Trang Trang Trang Crabs Jrabs
“Hukh..”
“Aaa...”
Pekikan keras terdengar
susul-menyusul. Dada Sanjaya tertusuk tombak lawan. Begitu pula yang dialami
Purnama. Wajahnya tersambar tombak hingga robek dan mengucurkan darah. Pada
saat kedua bersaudara ini sudah mulai terhuyung-huyung menahan sakit, ketiga
orang itu secara serentak melancarkan serangan, tanpa memberi ampun.
“Heaaa...” “Heaaa...”
Ketiga anggota gerombolan itu
melompat cepat ke udara untuk menghabisi nyawa Sanjaya dan Purnama. Namun tanpa
diduga sama sekali sesosok bayangan berkelebat begitu cepat memapak serangan
dahsyat mereka.
Pletak
Blukkk
“Akh...”
“Aaa...”
Kejadian itu berlangsung
begitu cepat. Dalam sekejap mata ketiga anggota gerombolan jahat telah
bergelimpangan tewas di tanah. Di antara ketiga mayat itu berdiri seorang
pemuda berpakaian rompi dari kulit ular. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Gila.
Sanjaya dan Purnama yang telah
terluka sempat tersentak kaget. Apalagi ketika mata mereka melihat benda yang
digenggam pemuda bertingkah laku aneh itu. Sena tersenyum lucu sambil memegangi
Suling Naga Saktinya.
Keterkejutan pun dialami Ki
Praba. Kepala desa itu tengah memegangi tangannya yang terluka karena terinjak
kaki-kaki kuda, ketika tadi menjatuhkan diri menghindari serangan musuh. Dari
serambi rumahnya Ki Praba sempat melihat senjata Sena yang tadi dipergunakan
untuk menghabisi ketiga lawannya.
Sebuah suling berkepala ular
naga
“Sudah kuduga dari semula....
Pemuda gagah ini bukan pemuda biasa. Benda yang digenggamnya itu menunjukkan
siapa Nak Sena sebenarnya. Nak Sena ini...,” gumam Ki Praba lirih sambil
manggut-manggut.
Nampaknya lelaki tua itu telah
tahu, kalau Sena tak lain si Pendekar Gila dari Goa Setan. Murid Singo Edan
yang sudah kesohor di dunia persilatan. Sepuluh mayat nampak bergeletakan di
sana-sini.
Sena masih berdiri di
tempatnya. Matanya memandangi mayat-mayat dengan perasaan tak karuan.
Hatinya merasa iba pada
penduduk desa yang lemah, menjadi korban para durjana tak dikenal itu.
“Apa ini ada hubungannya
dengan kematian Raden Kumbara...?” gumam Sena dalam hati.
Ketika Sanjaya dan Purnama
mendekatinya, Sena menyelipkan kembali Suling Naga Sakti ke pinggang.
“Terima kasih... Pendekar...,”
ucap Sanjaya dengan lemah.
Sena yang disebut pendekar
tampak mengerutkan kening. Lalu menggaruk-garuk kepalanya.
“Ah ah ah... Kenapa kau
menyebutku
pendekar...?” tanya Sena
sambil menggeleng-geleng kepala dan cengengesan.
“Kau pantas disebut, pendekar,
Sena...”
Terdengar suara Ki Praba yang
berjalan mendekati mereka.
Sena dan Sanjaya, serta
Purnama menoleh pada Ki Praba. Sena kembali menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan. Hal itu membuat Ki Praba makin yakin terhadap dugaannya.
“Bukan saja karena Nak Sena
telah membantu dan menolong kami. Tapi karena benda yang terselip di pinggangmu
itu. Aku mengenal benda itu milik seseorang yang sangat kukagumi sampai saat
ini.
Dan kaulah Pendekar Gila dari
Goa Setan, murid Singo Edan” ucap Ki Praba jelas dan mantap.
“Ah ah ah... Ki Praba mungkin
salah. Aku hanya seorang pemuda biasa dan bodoh” sahut Sena sambil cengengesan.
Ki Praba menepuk bahu Sena,
lalu merangkulnya.
“Aku bagaikan mimpi bertemu
dengan murid Singo Edan yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
Dan kuharap kau mau tinggal di
desa ini sesuka hati, Nak Sena... Bagaimana, Jaya, Purnama”
“Kami berdua bukan hanya
setuju, Ki. Bahkan dengan sangat hormat mengharapkan Pendekar mau mengabulkan
permohonan kami,” jawab Sanjaya dengan wajah berseri-seri penuh harap.
“Bukankah kita telah saling
akrab? Walaupun semula kami berdua merasa curiga terhadap Pendekar...,” sahut
Purnama menyambung kata-kata kakaknya.
“Benar,” Kembali Sanjaya
membenarkan, “Maafkan atas kecurigaan kami itu...”
Pendekar Gila hanya tertawa
sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap wajah Purnama dan Sanjaya dengan
mulut cengengesan.
“Sudah pernah kukatakan kepada
Purnama
bahwa aku tak ingin melihat
orang lemah tertindas, diperas, dan disakiti. Aku sangat senang dapat berkawan,
bahkan menjalin persaudaraan dengan kalian berdua. Juga semua penduduk di desa
ini. Tapi aku tak bisa tinggal lebih lama di sini...,” ujar Sena.
Mendengar ucapan akhir Sena
wajah mereka nampak berubah, penuh kekecewaan. Harapan mereka agar pendekar itu
bisa memberikan ketenangan bagi warga Desa Karang Galuh.
Melihat itu, Sena memahami dan
harinya
tergugah.
“Tapi..., demi Ki Praba dan
kalian, serta semua penduduk Desa Karang Galuh..., aku setuju. Tapi mungkin
hanya satu atau dua hari saja...,” ujar Sena seraya cengengesan.
Walaupun merasa kurang puas
dengan jawaban Sena. Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama nampak sedikit gembira.
Setidak-tidaknya mereka dapat terhibur. Dan dapat bertukar pikiran dengan Sena
yang mereka segani dan kagumi.
Sena merangkul Sanjaya dan
Purnama, dengan penuh keakraban.
“Ayolah, kita kembali ke rumah...”
ajak Ki Praba kemudian.
“Bagaimana dengan mayat-mayat
ini, Ki?” tanya Purnama.
“Oh, ya. Sebaiknya kita
bereskan dan kita kubur mereka,” jawab Kepala Desa Karang Galuh itu.
Maka bergegaslah mereka
mengumpulkan para penduduk untuk menguburkan mayat-mayat itu.
***
Sore telah berganti malam.
Suasana di Desa Karang Galuh nampak mulai tenang. Terdengar suara gamelan dari
salah satu rumah penduduk. Gending yang dibawakan begitu meresap, lalu mengalun
merdu suara seorang wanita yang diiringi gending Jawa itu.
Nyanyian itu menggambarkan
kesuburan desa dan gagahnya pendekar pelindung kaum lemah. Gamelan dan gending
mengalun terus sampai jauh malam.
“Alangkah senang dan
tenteramnya hati, jika kita dapat merasakan keadaan seperti ini
selama-lamanya...” ujar seorang lelaki yang duduk di serambi rumah bersama
beberapa orang warga desa lainnya.
'Ya..., aku selalu berdoa agar
pendekar itu tetap tinggal di desa ini...” sahut seorang pemuda yang duduk di
sisinya.
“Tapi, kurasa cukup Den
Sanjaya dan Purnama saja. Keduanya juga memiliki ilmu yang cukup lumayan,”
sahut yang lainnya.
“Benar. Tapi kau lihat tadi.
Kalau saja pendekar itu tak cepat bertindak, tentu Den Sanjaya dan Purnama akan
dapat dikalahkan oleh orang-orang jahat itu.
Bahkan mungkin juga Ki Lurah,”
sahut yang lain lagi.
“Ya, gerakan dan serangan yang
dilakukan sukar dilihat dengan mata. Tahu-tahu lawan sudah ambruk, mati”
Kemudian mereka kembali
terdiam, mendengarkan gending yang masih tetap berkumandang itu.
Malam itu Desa Karang Galuh
tampak tenang dan aman. Walaupun ada sebagian penduduk yang sedih, karena suami
atau anak mereka tewas dalam pertarungan tadi sore.
Sementara di rumah Ki Praba,
tampak Sena, Sanjaya, Purnama, dan Ki Praba tengah terlihat dalam pembicaraan
di ruang tengah. Mereka duduk bersila di lantai beralaskan tikar. Meski ada
meja kursi di ruangan cukup luas itu, mereka memilih duduk di lantai.
Itulah kebiasaan Ki Praba jika
sedang merunding-kan atau membicarakan suatu masalah yang penting.
Suasana terasa lebih akrab dan
tidak kaku.
Di luar suasana gelap. Angin
bertiup lebih kencang, menghembuskan hawa dingin. Gemerisik dedaunan dan angin
menerpa dinding rumah Ki Praba terdengar di antara sayup-sayup alunan gamelan.
Lampu-lampu rumah penduduk
sudah mulai
dipadamkan. Hanya obor-obor
bambu yang ter-pancang di depan rumah penduduk masih menyala terang. Apinya
bergoyang-goyang tertiup angin malam.
Sementara itu alunan gamelan
sudah tak terdengar lagi. Suasana berubah sepi. Dingin dan mencekam. Namun di
rumah kepala desa masih menyala lampu ruangan tengah. Ki Praba masih
berbincang-bincang dengan Sena serta kakak beradik Sanjaya dan Purnama.
“Menurutku kejadian tadi ada
hubungannya dengan kematian Raden Kumbara. Aku yakin mereka orang-orang dari
Serigala Hitam pimpinan Kala Bendana. Dan kabarnya ia mendapat bantuan dari
orang-orang aliran hitam lain...,” tutur Ki Praba perlahan.
“Tapi apa sebenarnya maksud
tujuan mereka, Ki...?” tanya Sanjaya seperti orang bodoh.
“Kamu ini apa sudah linglung?
Pertama Raden Kumbara terbunuh olehmu. Kedua, tampaknya Kala Bendana berhasrat
tetap ingin menguasai desa kita yang subur ini...,” ujar Ki Praba.
“Tapi, mereka yang lebih dulu
mencari gara-gara
Memancing kemarahan kita
dengan membawa Ranti seenaknya tanpa ada basa-basi pada Ki Praba. Dan juga
pantas Kakang Sanjaya membunuhnya, karena Raden Kumbara adalah saudara Beruk
Ireng yang dengan keji membunuh Kak Lestari,” sahut Purnama membela kakaknya.
“Aku mengerti..., aku
mengerti. Tapi desa kita akan dibumihanguskan Mereka kini sangat kuat.
Bagaimana nanti nasib penduduk
desa ini...? Ini yang sangat aku khawatirkan Bukan karena aku takut terhadap
mereka. Mereka memang harus dimusnah-kan. Tapi bagaimana caranya untuk melawan
mereka...?” tutur Ki Praba dengan suara bergetar cemas.
Keempat lelaki itu diam tak
bersuara beberapa saat. Hanya wajah-wajah mereka yang menunjukkan ketegangan
dan cemas. Namun Sena tampak tenang. Tangan kanannya mengusap-usap kening, lalu
menggaruk-garuk kepala, sambil mulutnya cengengesan.
“Apakah ada maksud lain,
selain mereka ingin menguasai Desa Karang Galuh ini, Ki?” tanya Sena membuka
kesunyian.
“Aku rasa tak ada. Memang aku
mendengar kabar, bahwa mereka telah mengumpulkan kekuatan untuk menguasai
desa-desa di Jawadwipa ini. Mereka ingin memusnahkan tokoh-tokoh aliran putih
dengan cara mereka,” tutur Kepala Desa Karang Galuh memberikan keterangan.
“Menurut kabar, kelompok Serigala Hitam pun bersekutu dengan Purba Kelakon.
Pimpinan orang-orang aliran
sesat Purba Kelakon memiliki ilmu dalam tiga puluh dua jurus yang tak terlihat;
Alias semu Selain itu dia pun memiliki serbuk beracun; yang mematikan. Tak
sampai lima belas langkah, orang yang terkena serbuk racun
'Pemunah Jiwa' akan mati
Mungkin hanya Nak Sena yang dapat melawan racun ganas itu...,” ujar Ki Praba
seraya menatap wajah Sena.
“Aku tak tahu, Ki Lurah. Apa
diriku mampu melawan racun itu. Walaupun aku menguasai ilmu pemunah racun
seperti itu. Kekuatan racun ber-macam-macam...,” jawab Sena kalem.
Mendengar jawaban Sena, Ki
Praba mengangguk-angguk sambil mengusap jenggotnya. Sementara, Sanjaya dan
Purnama nampak cemas dan menundukkan kepala.
Pada saat mereka terdiam
tiba-tiba Sena melesat ke atas atap rumah, hingga jebol.
“Hih”
Brukkk
Sanjaya, Purnama, dan Ki Praba
hanya mampu terperangah melihat gerakan Sena melesat.
Ternyata di atas rumah kepala
desa ada sesosok tubuh manusia berwajah kera berpakaian serba hitam yang tengah
berusaha kabur. Rupanya orang itu tadi mendengarkan pembicaraan mereka.
“Kau lagi rupanya” bentak Sena
pada orang bermuka kera itu, yang pernah menghadang Sena ketika memasuki Desa
Karang Galuh tiga hari yang lalu.
Tokoh bermuka kera itu
tiba-tiba menyerang Sena dengan senjata rahasia. Pendekar Gila terkesiap
dibuatnya. Namun, karena dirinya memiliki ilmu yang cukup tinggi, senjata
rahasia yang dilemparkan manusia kera itu melesat. Pendekar Gila melenting ke
udara sambil bersalto berulang kali. Kemudian sangat ringan kakinya mendarat di
atap rumah di belakang manusia berwajah kera itu. Pendekar Gila segera membalas
dengan tendangan dan pukulan yang cepat ke dada dan muka lawannya.
Plakkk Blukkk
“Ukh...”
Lelaki bermuka kera itu
terpekik, ketika tendangan dan pukulan Pendekar Gila mendarat di punggungnya.
Namun seakan tak merasa sakit, tubuhnya segera bangkit. Kemudian dengan cepat
goloknya menyabet kaki Pendekar Gila. Secepat kilat Pendekar Gila melompat
meluncurkan tendangan.
Plak
Kembali tendangan Pendekar
Gila mendarat wajah lawannya. Karena terdesak, orang bermuka kera itu melompat
turun sambil bersalto ke tanah. Pendekar Gila mengejarnya. Belum sampai kaki
orang bermuka kera itu menginjak tanah, Pendekar Gila sudah mendahului, dengan
menendang sambil berputar ke muka dan dada lawan.
“Heaaa...”
Blukkk
“Aaa...”
Orang bermuka kera itu
tersungkur bergulingan di tanah. Tangannya memegangi dada. Darah segar keluar
dari mulutnya. Pendekar Gila segera menghampiri dan memegang baju orang itu.
“Katakan, apa maksudmu
mengintai dan mendengarkan kami bicara? Siapa yang menyuruhmu?”
tanya Pendekar Gila dengan
geram.
Pada saat itu Ki Praba,
Sanjaya, dan Purnama.
Sudah berada di dekat Pendekar
Gila, berdiri memandangi orang bermuka kera itu.
“Ayo, katakan Kalau tidak kau
kubunuh...” bentak Sanjaya dengan keras sambil mengacungkan goloknya ke kepala
orang bermuka kera itu.
“Ayo, katakan Kami tak akan
membunuhmu...,”
kata Sena lagi. Nadanya lebih
perlahan.
Belum sempat orang bermuka
kera itu memberikan jawaban, tiba-tiba berontak. Sanjaya bermaksud menjambak
rambutnya. Namun alangkah terkejutnya mereka semua. Ternyata rambut itu lepas
dari kepalanya.
“Hah?”
Semua membelalakkan mata.
Karena ternyata orang itu mengenakan topeng. Dan seorang wanita muda berparas
cantik yang tak lain Ranti tampak tersentak pula.
“Ya, Gusti...” gumam Ki Praba.
Belum sempat mereka menanyakan
sesuatu pada Ranti, tiba-tiba mata gadis itu mendelik dan mulutnya terbuka
lebar, dengan lidah terjulur panjang. Sesaat tubuhnya berkelojotan, tapi
kemudian diam tak bergerak. Mati
“Ilmu setan...” gumam Pendekar
Gila lirih.
“Apa hubungan Ranti dengan
mereka...?” tanya Sanjaya pada dirinya sendiri.
“Ranti diperalat oleh Purba
Kelakon yang menguasai ilmu sesat. Ilmu setan, ilmu sihir Dan Ranti sudah
dimasuki pikiran dan kekuatan gaib manusia itu. Mengerikan...,” tutur Ki Praba
sambil menggeleng kepala.
“Kalau begitu mungkin Nyi
Karti juga diperalat mereka, Ki,” kata Purnama yang teringat akan Nyi Karti,
ibunya Ranti.
“Bisa jadi. Ayo, kita cari Nyi
Karti,” ajak Ki Praba.
Mereka segera pergi dengan
cepat ke rumah Nyi Karti.
“Aku yakin mereka juga ingin
membunuhku...,”
ujar Sena dalam hati.
***
Ketika Sanjaya dan Purnama
memasuki rumah Nyi Karti, ternyata wanita separo baya itu telah mati dengan
keadaan mengerikan. Dadanya berlubang, seperti terhantam senjata tajam.
“Ya, Gusti...” gumam Ki Praba.
Lelaki itu kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Biadab...” dengus Sanjaya
dengan geram.
“Lalu siapa orang bertopeng
kera satu lagi...?”
tanya Sena dalam hati.
Sena menggaruk-garuk kepala.
Sepertinya tak menghiraukan keadaan yang sudah mulai mencekam dan seram itu.
Pemuda berompi kulit ular itu nampak tak sedikit pun merasa tegang. Dirinya
bahkan terus cengengesan. “Bagaimana menurut pendapatmu, Nak Sena?”
tanya Ki Praba yang nampak
mulai gelisah.
Sena menggaruk-garuk kepala.
Sejenak matanya menatap Sanjaya dan Purnama sambil cengengesan.
“Sebelum penduduk menjadi
korban lagi,
sebaiknya kita melakukan
penyelidikan secepat mungkin ke tempat mereka. Apa ada yang tahu di mana sarang
manusia-manusia keparat itu...?” tanya Sena ingin tahu.
“Kami belum tahu dengan jelas.
Karena mereka sangat pintar. Tak seorang pun mengetahui sarang mereka dengan
pasti. Namun menurut perasaanku di dua tempat itu. Pertama di seberang, di
Pulau Neraka. Dan satu lagi di bekas bangunan tempat tinggal Pangeran Cakra
Sentana. Karena waktu Raden Kumbara menculik Ranti, datang dengan kereta kuda
bekas milik Pangeran Cakra Sentana”
kata Sanjaya memberikan
keterangan.
“Hm...” Sena manggut-manggut
sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Lalu tertawa-tawa sendiri,
membuat ketiga orang yang me-nemaninya bingung serta merasa aneh melihat Sena.
Namun ketiganya segera
memaklumi.
“Kita harus merencanakan
sesuatu...” usul Sena sambil melangkah dan menggaruk-garuk kepala tanpa
mempedulikan ketiga orang yang diajak bicara.
Melihat Sena yang seperti
orang acuh itu, Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama terpaksa beranjak dari tempatnya
dan mengikutinya. Sena terus berjalan menuju rumah Ki Praba.
“Pendekar ini memang aneh.
Namun menyenangkan...,” gumam Sanjaya lirih.
Tiba-tiba Sena menghentikan
langkahnya, demikian juga Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama. “Aku sudah menemukan
cara untuk menemukan sarang mereka...,” kata Sena dengan wajah ceria sambil
menggaruk-garuk kepala. “Ssst Ssst...” lalu Sena membisikkan sesuatu ke telinga
Sanjaya.
Sanjaya mengangguk dan
tersenyum.
Pada saat itu sepasang mata
mengamati gerak-gerik mereka dari balik semak-semak, tak jauh dari rumah Ki
Praba. Kemudian sepasang mata itu melesat hilang di kegelapan malam.
Sena bersama Ki Praba,
Sanjaya, dan Purnama lalu masuk rumah Ki Praba. Suasana kembali sunyi, sepi,
dan makin mencekam. Hanya suara binatang-binatang malam yang terdengar, memecah
keheningan malam yang gelap gulita.
*** 5
Sinar matahari pagi
menghangatkan bumi. Suasana cerah melingkupi sekitar pantai. Angin yang bertiup
kencang dari laut menerpa pepohonan. Ombak laut tampak bergulung-gulung
berkejaran menuju pantai.
Seakan hendak mendorong sebuah
perahu yang tengah berlayar perlahan menuju daratan. Tak lama kemudian perahu
yang tidak terlalu besar itu telah sampai di pantai.
Dari perahu itu tampak
berlompatan tiga orang lelaki berwajah garang. Baru saja berjalan beberapa
langkah ketiganya dikejutkan adanya suara seperti tiupan suling di kejauhan.
“Heh, suara suling...” desis
salah seorang dari ketiga lelaki yang berusia sekitar empat puluh tahun,
berpakaian rompi belang merah hitam.
“Ya Suara suling itu aneh,”
sambung lelaki bermuka lonjong, tapi hampir mirip dengan yang pertama. Hanya
berbeda pada hidungnya yang besar, meski mancung.
“Kurasa itu bukan suling
biasa,” sambut lelaki berbadan agak pendek dengan cambang bauk lebat.
Ketiga lelaki itu terkenal
dengan julukan 'Tiga Mata Setan'.
Tiga Mata Setan merupakan anak
buah Purba Kelakon yang ditugaskan untuk datang ke Desa Karang Galuh. Orang pertama
dari Tiga Mata Setan bernama Tangkur Wulung. Yang kedua bernama Braja Wulun.
Dan yang ketiga bernama Barong Wulung.
Ketiganya bersenjatakan sama,
rantai besi berduri. Sementara itu suara suling makin terdengar jelas di
telinga mereka. Tiga Mata Setan segera melangkah ke darat.
“Suara suling itu membuat
kupingku bisa tuli...”
sungut Tangkur Wulung sambil
matanya mencari-cari dari mana asal suara suling itu.
“Kenapa kau pusingkan suara
suling itu. Tujuan kita mencari makan, perempuan, dan harta” sahut Braja Wulung
yang berjalan di sisi kirinya.
Suara suling makin jelas lagi
ketika ketiganya telah melewati beberapa gubuk milik penduduk di pinggir pantai
itu dan terus naik ke daratan yang lebih tinggi.
Tiba-tiba Barong Wulung yang
bertubuh paling besar itu menghentikan langkah. Sepertinya ada sesuatu yang
dilihatnya. Hal itu dilakukan pula kedua kawannya. Ketiganya melihat seorang
pemuda bertengger di pohon besar dan rindang.
“Sepertinya aku kenal pemuda
yang memainkan suling di atas cabang pohon itu. Hati-hati, kalau dugaanku benar
kita harus menangkapnya” ujar Barong Wulung. Matanya terus menatap tajam pemuda
berpakaian rompi dari kulit ular yang terus meniup sulingnya.
“Siapa pemuda itu Kakang
Barong...?” tanya Braja Wulung sambil melemparkan pandangan ke atas pohon.
“Dia Pendekar Gila yang kita
cari. Kau lupa bahwa Kala Bendana akan memberikan hadiah pada siapa pun yang
dapat menangkap Pendekar Gila itu hidup atau mati, untuk diserahkan padanya...
He he he...”
jawab Barong Wulung sambil
memelintir kumisnya.
“Kalau begitu kita segera
ringkus pemuda itu..., kata Tangkur Wulung yang berbadan lebih kecil dari dua
temannya. “Kau jangan gegabah Pemuda itu bukan pendekar sembarangan, bisa-bisa
kita yang jadi korbannya”
jawab Barong Wulung. “Kita berpencar
Kalian berdua harus selalu siap dan bergerak cepat jika aku dalam kesulitan.
Ayo, kita mulai pekerjaan kita”
Pemuda yang tengah meniup
suling memang tak salah lagi, dia Sena Manggala atau lebih dikenal dengan
julukan si Pendekar Gila. Pemuda tampan berambut gondrong itu masih asyik
mengalunkan lagu merdu dengan Suling Naga Saktinya. Seakan-akan tak
menghiraukan sama sekali ada tiga orang yang tengah mengancam jiwanya. Tak
bergeming sedikit pun dari tempatnya. Tubuhnya dengan enak berbaring di sebatang
cabang pohon dengan kaki terjuntai ke bawah, Barong Wulung makin dekat dari
tempat Sena berada. Ketika lelaki bertubuh besar dan berkumis melintang itu
berada sekitar delapan tombak dari pohon tiba-tiba melancarkan serangan kilat.
Tangannya yang kokoh besar melontarkan senjata berupa rantai ke tubuh Sena yang
masih terbaring di atas cabang pohon.
Srattt Crakkk... .
Suara yang ditimbulkan dari
lontaran senjata itu keras sekali, dan senjata yang berupa baja bulat berduri
itu menghantam batang pohon di dekat kepala Pendekar Gila.
Namun tanpa terkejut sedikit
pun, kepala Pendekar Gila dengan perlahan menoleh ke Barong Wulung yang tertawa
terbahak-bahak. Tiba-tiba Pendekar Gila ikut tertawa-tawa sambil
menggaruk-garuk kepala. Lalu mulutnya cengengesan persis orang gila.
“Hi hi hi... Kau rupanya punya
mainan yang menarik, Kisanak” seru Pendekar Gila dari atas pohon. Tampak
tangannya menggaruk-garuk kepala.
Mendengar ucapan Pendekar
Gila, Barong Wulung terbelalak marah. Kemudian dengan geram melangkah mendekati
pohon tempat Pendekar Gila bertengger.
“Hei Kau pemuda gila, turun...
Jangan berlagak bodoh kau Tunjukkan kebolehanmu Aku sengaja datang untuk
mencincangmu, Pendekar Gila” teriak Barong Wulung sambil menuding-nudingkan
tangannya ke atas pohon.
“Hi hi hi... Lucu sekali orang
ini He he he... Ha ha ha... Pagi-pagi aku bertemu badut berkumis melintang Hi
hi hi...” ejek Pendekar Gila yang kini telah duduk di cabang pohon menghadap
Barong Wulung.
Sementara itu dari dua arah
kiri dan kanan Pendekar Gila muncul Tangkur Wulung dan Braja Wulung sambil
memutar-mutarkan bola baja berduri terikat rantai. Keduanya tersenyum sinis
dengan mata merah membara.
“Ha ha ha... Hi hi hi...”
Pendekar Gila tertawa-tawa
terus sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah laku aneh itu membuat Tiga Mata
Setan semakin geram.
“Orang gila Mulutmu perlu
merasakan senjataku ini...”
Selesai berkata begitu, Barong
Wulung dengan cepat melancarkan serangan dengan menghantam-kan senjatanya ke
kepala Pendekar Gila.
Srattt Wrettt Wusss
Hembusan angin dari lontaran
ketiga senjata berbentuk bola duri itu terasa menyentakkan dedaunan.
Namun Pendekar Gila dengan
cepat pula menjatuhkan tubuhnya sambil bersalto ke belakang beberapa kali untuk
mengelakkan serangan dahsyat itu.
Blarrr Brakkk
Suara ledakan terdengar ketika
dua bola berduri itu menghantam batang pohon. Seketika batang pohon itu hancur
dan roboh. Bagai tersambar petir.
Sementara itu, Pendekar Gila
sudah mendaratkan kakinya di tanah. Dengan cengengesan tangan kanannya
menepuk-nepuk pantat sambil gelang-geleng kepala. Tingkah lakunya yang lucu,
persis orang gila.
“Hi hi hi... Ternyata kalian
ini pengecut. Tak cocok dengan badan kalian yang seperti kebo,” ejek Pendekar
Gila.
Mendengar ejekan itu, wajah
Tiga Mata Setan berubah merah. Dengan cepat dan geram Braja Wulung melontarkan
senjatanya menyerang Pendekar Gila. Serangan dahsyat kali ini disertai
pergerakan tenaga dalam yang kuat.
“Nih rasakan..., mampus kau,
Gila Heaaa...”
Bola baja berduri itu melesat
cepat. Deru anginnya terasa menggetarkan. Namun Pendekar Gila dengan cepat
mengelak, hanya dengan memiringkan tubuhnya ke samping. Kemudian dengan cepat
pula pemuda itu melancarkan serangan balasan yang tak terduga sama sekali.
“Heaaa...”
Wusss
Plakkk
“Ugkh...”
Braja Wulung terpekik ketika
pukulan jarak jauh yang dilancarkan Pendekar Gila menghantamnya, tubuhnya
terhuyung beberapa tombak ke belakang. Melihat kawannya terjatuh, Barong Wulung
dan Tangkur Wulung kaget. Mereka kian murka. Matanya membelalak lebar merah
menahan geram. Mata itu bagai mempunyai kekuatan gaib, mampu mengeluarkan sinar
merah. Diiringi teriakan keras menggelegar Barong Wulung dan Tangkur Wulung
bergerak menyerang.
“Heaaa...”
“Heaaa...”
Melihat sinar merah yang cukup
membahayakan itu, Pendekar Gila segera mencabut senjata andalannya. Dengan
cepat dan kuat Suling Naga Sakti dihentakkan untuk memapak sinar merah serta
gempuran bola baja berduri yang meluncur menyerangnya.
Trakkk
Jglarrr.
“Uaaakhhh...”
Teriakan panjang terdengar
dari kedua Mata Setan itu. Karena tangkisan Pendekar Gila dengan Suling Naga
Saktinya mampu membalikkan serangan mereka. Sehingga sinar merah dari mata
Barong Wulung dan Tangkur Wulung berbalik dan menghantam tubuh mereka. Maka tak
ayal lagi, tubuh kedua Mata Setan terpental deras sekitar lima tombak ke
belakang. Sementara itu, Pendekar Gila tetap berdiri dengan kuda-kudanya yang
mantap.
Dengan cengengesan matanya
menatap kedua lawan yang terkapar tak berkutik. Dada kedua lelaki berwajah
garang itu hangus terhantam kekuatan senjata mereka.
Sementara itu Barong Wulung
yang tadi terkena pukulan jarak jauh, berusaha bangkit dan hendak menyerang
Pendekar Gila. “Hei... Kalau kau masih ingin hidup jangan coba-coba melawanku”
ujar Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. “Kau rupanya
orang-orang Beruk Ireng dan Kala Bendana...”
Tiga Mata Setan tak menjawab
karena masih merasa kesakitan. Mereka saling mendekap dada dengan mulut
meringis-ringis.
Pada saat itu tiba-tiba muncul
Sanjaya dengan wajah geram menatap ketiga begundal. Begitu pula Purnama yang
muncul dari arah lain.
Sanjaya yang mengenali Tiga
Mata Setan dengan bengis menatap mereka penuh dendam.
“Apa benar ketiga orang ini
antek-antek Kala Bendana dan Purba Kelakon?” tanya Pendekar Gila pada Sanjaya.
“Hm...,benar, Pendekar. Mereka
manusia keparat yang harus kita hukum setimpal dengan perbuatan mereka selama
ini. Ketiga orang inilah yang menjadi mata-mata serta tukang cari
perempuan-perempuan desa untuk dipersembahkan kepada Purba Kelakon si penganut
ilmu setan itu” tutur Sanjaya dengan geram. Seakan-akan sudah tak sabar untuk
memusnahkan Tiga Mata Setan.
Sena menggangguk-angguk sambil
menggaruk kepala dengan cengengesan. Kemudian menyelipkan Suling Naga Saktinya
di pinggang.
“Tapi kita tidak boleh menghukum
sendiri.
Sebaiknya mereka kita bawa ke
desa agar diadili...”
ujar Sena.
“Hhh... Aku kurang setuju,
Sena. Percuma orang macam mereka ini diadili. Dan aku punya rencana...,”
sanggah Purnama yang dari tadi
diam.
Purnama mendekati Sena dan
membisikkan sesuatu di telinganya. Sena mengerutkan kening, lalu tertawa-tawa
sambil menggaruk-garuk kepala.
Setelah itu tangannya
menepuk-nepuk pantat, persis seperti kera.
“Hi hi hi.... He he he...
Ternyata saudara yang satu ini punya gagasan baik. Coba kau beritahu
Sanjaya...” ujar Pendekar Gila sambil terus menggaruk-garuk kepala.
Purnama pun segera membisikkan
hal yang sama pada kakaknya. Sanjaya mengerutkan kening lalu menganggukkan
kepala menyetujui rencana adiknya.
“Hei Kalau kalian masih ingin
hidup, tunjukkan di mana pimpinan kalian bersembunyi saat ini? Cepat katakan
atau kalian pilih mati” perintah Sanjaya dengan suara keras.
Tiga Mata Setan diam, tak
menjawab. Seakan-akan mereka lebih memilih mati daripada hidup.
Karena mereka pikir sama saja.
Tiga Mata Setan bungkam sambil menundukkan kepala.
Melihat ketiganya seperti tak
menghiraukan per-mintaannya, Sanjaya makin marah. Dengan geram ditendangnya
salah seorang dari Tiga Mata Setan.
Namun Pendekar Gila cepat
melarang ketika Sanjaya hendak melakukan lagi.
“Tunggu Sanjaya Sabarlah,
lebih baik kita lepas saja mereka. Tak ada gunanya lagi orang macam begini.
Biarlah mereka pergi...” ujar Pendekar Gila sambil mengedipkan mata pada
Sanjaya. Sanjaya mengerti maksud isyarat itu.
“Tidak, Pendekar. Jangan
seenaknya kita melepas orang-orang ini Mereka nanti akan terus berbuat
seenaknya. Tunggu apa lagi Sebaiknya kita kubur mereka di sini Atau kita bunuh
saja, baru kita ikat di pohon, biar semua orang tahu Dan pasti pimpinan mereka
akan murka, lalu kita dapat menangkapnya,”
ujar Sanjaya dengan penuh
emosi dan marah.
“Tenang, tenang Kita tak boleh
gegabah dan bertindak di luar batas. Aku yakin mereka akan memberitahukan di
mana sarang mereka sebenarnya,” sahut Sena dengan kalem sambil cengar-cengir dan
terus menggaruk-garuk kepala.
Purnama sudah mengerti maksud
Sena. Matanya melirik pada Sanjaya dan menghela napas dalam-dalam. Sena,
Sanjaya, dan Purnama sudah mempunyai cara dan rencana untuk memancing Tiga Mata
Setan.
Sena kemudian berjongkok,
dengan perlahan bertanya pada Barong Wulung yang tertua dari ketiganya.
“Kisanak, sebaiknya Kisanak
memberitahukan, di mana Kala Bendana dan Purba Kelakon berada. Kami ingin
kejujuran Kisanak. Kami akan melepaskan kalian bertiga. Percayalah...
Bagaimana?”
Tiga Mata Setan tetap bungkam,
tak mau memberitahu atau buka mulut. Bahkan tiba-tiba mereka mengeluarkan
sesuatu dari pinggangnya dan dengan cepat menelannya. Dan..., tak beberapa lama
kemudian Tiga Mata Setan kejang-kejang dan mukanya membiru. Matanya melotot
bagai mau keluar... Mati
Sena mengetahui maksud mereka.
Dengan cepat berusaha menghalangi. Namun terlambat karena racun yang mereka
telan itu telah bekerja dengan kecepatan luar biasa. Itulah racun 'Pencabut
Nyawa'
Rupanya Tiga Mata Setan itu
sangat setia akan janji sumpah mereka. Mungkin karena pengaruh ilmu sihir milik
Purba Kelakon.
“Rupanya mereka telah terkena
ilmu sihir manusia setan itu. Sampai
ketiganya rela mati demi sang
Pemimpin mereka yang murka itu. Gila Gila...”
dengus Sanjaya geram. Purnama
menggeleng-gelengkan kepala tak mengerti. Sedangkan Sena menggaruk-garuk kepala
sambil cengar-cengir....
“Hhh.. Kita terlambat,” desah
Sanjaya merasa kecewa sekali, karena tak dapat mengorek keterangan dari Tiga
Mata Setan.
“Aha, kau benar Kita terlambat,”
sahut Sena.
Ketiganya terdiam sesaat,
sepertinya sedang mencari jalan lain untuk mendapat keterangan mengenai markas
Purba Kelakon dan Kala Bendana berada.
“Jika mereka senantiasa
menghilangkan jejak sulit bagi kita untuk dapat menemukan tempat mereka,”
gumam Purnama sambil menghela
napas pelan.
“Kau benar, Dimas. Kalau
mereka selalu bunuh diri seperti ini kita tak akan dapat menemukan markas
mereka,” timpal Sanjaya dengan wajah menggambarkan kejengkelan. Selama ini,
dendamnya pada Kala Bendana dan para begundalnya yang telah membunuh istri dan
anaknya beberapa tahun yang lalu terus berkobar-kobar di dada.
Sena nampak masih tak
menanggapi ucapan ke-iua kakak-beradik itu. Dirinya masih berpikir keras
sendiri. Meskipun mulutnya tampak cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Matanya memandang lepas ke arah utara, tempat Pulau Neraka nerada. Di
tempat itu Kala Bendana dan antek-anteknya bersembunyi.
Sebenarnya Sena ingin
berangkat ke tempat itu, tapi menurut kabar, tempat itu sangat sulit ditempuh.
Di samping jauh dan keadaannya
sangat berbahaya, markas mereka pun sangat tersembunyi.
“Aha, mengapa tak kukirim saja
mayat ketiga orang ini?” gumam Sena dalam hati, “Bukankah de ngan sampainya
ketiga mayat ini ke markas mereka, akan dapat membuat Kala Bendana mengirim
anak buahnya untuk datang lagi?”
Sena semakin cengengesan
dengan tangan
kembali menggaruk-garuk
kepala. Sambil menepuk-nepuk kening dengan tangan kiri Sena melangkah mendekati
Sanjaya dan Purnama yang masih diam tercenung. Keduanya nampak masih memikirkan
bagaimana un tuk dapat mengundang Kala Bendana dan antek-anteknya datang ke
desa itu.
“Aha, mengapa kalian masih
juga melamun?”
tanya Sena dengan tingkah
lakunya yang konyol.
Mulutnya cengengesan,
sedangkan tangannya menggaruk-garuk kepala.
“Kami sedang berpikir,
bagaimana caranya dapat mengundang Kala Bendana dan Purba Kelakon datang ke
desa ini,” jawab Sanjaya dengan tangan mengepal.
“Aha, apakah kalian siap kalau
mereka datang?'
tanya Sena, yang membuat
kakak-beradik Sanjaya dan Purnama mengerutkan kening dan memandai lekat
wajahnya.
“Apa maksudmu, Sena?” tanya
Purnama.
“Apa kau mengira kami takut
pada Kala Bendana dan Purba Kelakon?” sergah Sanjaya, sepertinya me rasa tak
senang dirinya diremehkan Sena.
“Aha, kurasa bukan itu
maksudku,” tukas Sena.
Mulutnya tetap cengengesan
dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. Matanya kembali memandang ke utara.
Tampak lautan membentang luas dan di tengahnya terdapat sebuah pulau karang
yang disebut Pulau Neraka.
“Lalu...?” desak Sanjaya. Sena
tak langsung menjawab. Dirinya merenung sejenak dengan kening mengerut.
Ditengadahkan wajahnya memandang ke langit yang biru bening.
Dihelanya napas dalam-dalam.
Kemudian dihempas-kan secara perlahan.
“Hi hi hi... Kalian memang tak
takut pada Kala Bendana dan Purba Kelakon. Namun, bagaimana dengan warga desa
ini?” tanya Sena, balik bertanya sambil memandang lekat wajah kakak-beradik
itu.
Keduanya terdiam, seakan-akan
merenungkan kata-kata yang diucapkan Sena.
Apa yang dikatakan Sena benar.
Kedua kakak-beradik itu memang tak akan takut terhadap Kala Bendana dan Purba
Kelakon. Tetapi, bagaimana dengan penduduk desa yang tak berdosa? Tentunya Kala
Bendana dan Purba Kelakon tak datang sendirian. Sudah barang tentu mereka akan
membawa laskar. Dan bukan tak mungkin kalau laskarnya akan membuat kerusuhan.
Bukankah dengan begitu rakyat yang akan menanggung akibatnya?
Sanjaya menghela napas pelan.
Matanya kini memandang ke arah Pulau Neraka, tempat markas Kala Bendana berada.
“Kau memang benar, Sena.
Memang, kalau Kala Bendana datang bersama pasukan sudah barang tentu rakyat
akan turut terlibat di dalamnya,” desah Sanjaya menyadari akan kekeliruannya
dalam berpikir. Selama ini dirinya selalu diperbudak nafsu dan dendam, yang
membuatnya tak mampu berpikir secara jernih. Yang lipikirkan hanyalah
pembalasan dendam dan kebencian, serta antipati terhadap Kala Bendana dan Purba
Kelakon serta antek-anteknya yang telah membuat mah tangganya berantakan.
“Ya. Aku pun merasa ucapan
Sena benar. Tetapi, kalau Kala Bendana dan Purba Kelakon belum kita tumpas,
desa ini tak akan pernah aman,” tutur Purnama.
“Sena tersenyum seraya
mengangguk-anggukkan kepala. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
Matanya masih menatapi langit
yang biru.
Angin bertiup lembut, menerpa
rambut ketiganya.
Sena dan dua kakak-beradik
Sanjaya dan Purnama masih berdiri mematung di tempat itu. Mereka masih
merenungkan bagaimana cara yang baik untuk menumpas Kala Bendana dan Purba
Kelakon serta antek-anteknya tanpa harus melibatkan penduduk desa.
“Bagaimana kalau kita
menantang Kala
Bendana?” tanya Sanjaya
meminta saran, tentu kepada Sena. Karena tatapan matanya kini tertuju kepada
Sena yang masih cengengesan dengan tangan menggaruki garuk kepala.
“Bagaimana, Saudara Sena?”
tanya Purnama me-'
minta kepastian pendapat dari
Pendekar Gila.
“Aha, kalau memang itu sudah
menjadi keputusan kalian, aku hanya setuju,'“, sahut Sena, 'Tapi, apakah
kalian yakin Kala Bendana mau
datang seorang diri?”i Sanjaya dan Purnama kembali diam dan salinjjj pandang.
Kening keduanya mengerut. Hati mereka kembali bimbang. Memang ucapan Sena
benar. TentJ
Kala Bendana yang licik, tak
akan bersedia datang se»' orang diri. Sudah barang tentu, Kala Bendana akan
datang bersama anak buahnya. Hal itu sudah dapat dipikirkan, karena kebanyakkan
tokoh sesat berla” seperti itu. Mereka tak akan menghargai jiwa ksatria.
Mereka akan menghalalkan
segala macam cara.
Yang ada dalam benak mereka,
hanyalah kemenangan dan kepuasan.
“Benar juga katamu, Sena. Bukan
menjadi rahasia umum lagi, kalau tokoh hitam akan menghalalkan segala cara,”
gumam Sanjaya sambil menggaruk-garuk kepala. Dihelanya napas panjang-panjang,
seakan berusaha membuang perasaan gemasnya yang selalu melekat di dada.
“Lalu apa yang harus kita
lakukan, Sena? Kami tak bisa menunggu sampai datangnya para dewa yang akan
menolong kami,” ujar Purnama dengan penuh harap terhadap gagasan Sena yang akan
mampu memberi pandangan baik bagi mereka dan warga Desa Karang Galuh.
“Aha, kurasa hanya ada satu
jalan,” ujar Sena yang langsung mendapat tanggapan dari kakak-beradik itu.
“Apa itu, Sena?” tanya
keduanya bersamaan sambil memandang penuh harap ke wajah Sena.
Sena tak langsung menjawab.
Mulutnya tampak cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Tatapan
matanya kini tertuju kepada mayat Tiga Mata Setan yang tergeletak tak jauh dari
mereka.
Sepertinya ada sesuatu gagasan
untuk menggunakan mayat ketiganya dalam menempuh jalan bagi mereka.
“Hi hi hi... Kalian lihat tiga
mayat itu?”
'Ya,” sahut Sanjaya dengan
kening mengerut, tak mengerti maksud Sena yang sebenarnya. Begitu pula halnya
dengan Purnama, dia masih belum mengerti maksud Sena. Matanya menatap Sena
dengan pandangan tak mengerti. Keningnya mengerut, berlipat-lipat. Mulutnya
bungkam, menunggu jawaban dari Sena yang masih cengengesan itu. “Untuk apa
mayat mereka?”
“Aha, aku ada akal Dengan
mayat mereka, tentunya Kala Bendana akan marah. Dia akan mengirim pasukan. Kita
tinggal menunggu mereka,”
ujar Sena membeberkan
gagasannya.
“Aku belum mengerti,” dengus
Sanjaya.
“Ya Katakanlah apa sebenarnya
rencanamu itu”
pinta Purnama yang masih
bingung.
Sena tak langsung menjawab.
Mulutnya nyengir kuda, sedang matanya memandang lepas ke lautan luas. Kemudian
tangannya menepuk-nepuk pantat.
Ditariknya napas dalam-dalam,
kemudian dihempas-kan penahan.
“Baik..., hi hi hi... Akan
kuterangkan,” ujar Sena.
Kemudian setelah cengengesan
dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala sesaat, dirinya mulai menjelaskan.
“Dengan ketiga mayat itu, kita akan memancing Kala Bendana, agar keluar. Kita
kirim ketiga mayat itu ke Pulau Neraka.”
“Dengan apa?” sela Sanjaya tak
sabar.
“Ya Siapa yang akan membawa
mereka ke sana?”
tanya Purnama masih belum
mengerti.
“Aha, kurasa kita tak perlu
repot mengutus seseorang. Ketiga mayat itu, kita kirim dengan menggunakan
peti,” sahut Sena.
Sanjaya dan Purnama melongo
bengong mendengar penuturan Sena. Mereka tak menyangka, kalau Sena berpikiran
begitu tajam. Padahal pemuda berpakaian rompi kulit ular itu persis orang gila.
Namun ternyata pikirannya
sangat tajam.
“Bagaimana, Kisanak?” tanya
Sena.
“Aku setuju,” sahut Sanjaya.
“Aku juga,” sahut Purnama
menimpali.
“Aha, kini semuanya sudah kita
sepakati. Kita tinggal meminta pendapat pada Ki Lurah. Bagaimanapun Ki Praba
merupakan orang tua di desa ini. Sudah selayaknya dia kita mintai pendapat,”
tutur Sena.
“Bagaimana dengan ketiga mayat
itu?” tanya Sanjaya, “Aku khawatir ada orang yang akan membawanya. Bukankah
dengan begitu gagal rencana kita?”
Sena memonyongkan mulutnya.
Kemudian
cengengesan dengan tangan
kembali menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap ketiga mayat itu, kemudian
menengadah ke langit, seakan mencari sesuatu di atas sana.
“Aha, kalau begitu, kita harus
membawanya,” kata Sena sambil menoleh pada Sanjaya dan Purnama yang saling
pandang. “Bagaimana?”
“Baiklah.”
Mereka segera mengangkat
seorang satu mayat Tiga Mata Setan. Ketiganya kemudian melangkah menuju rumah
Kepala Desa Karang Galuh, untuk meminta pendapat orang tua itu atas rencana
mereka.
Di timur, mentari nampak
merangkak perlahan naik menyinari bumi. Penduduk Desa Karang Galuh pun
kelihatan mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing. *** 6
Siang dengan terik mentari
yang panas bagaikan hendak memanggang bumi dan seisinya. Namun orang-orang
penduduk Desa Karang Galuh nampak tetap bekerja. Mereka bagaikan tak mengenal
lelah, terus bekerja untuk mengolah hidup dan kehidupan.
Mereka bertani sibuk di sawah.
Yang nelayan tampak tengah mempersiapkan jaring dan perahunya.
Pemandangan seperti itulah
yang tampak setiap hari di Desa Karang Galuh yang memang tak jauh letaknya dari
pantai.
Di bale-bale bambu di rumah Ki
Praba nampak empat lelaki duduk bersila. Di hadapan mereka, terdapat empat
cangkir kopi dengan dua piring ubi rebus yang hjngat Keempat lelaki itu, tiga
masih muda sedangkan seorang lagi tua. Mereka tiada lain Ki Praba, Sanjaya,
Purnama, dan Sena. Nampaknya mereka tengah berbincang-bincang.
Di ruangan depan rumah Kepala
Desa Karang Galuh itu tampak tergeletak tiga sosok mayat. Ketiga mayat itu tak
lain Tiga Mata Setan. Ketiga mayat itu sedang dijaga beberapa penduduk desa
yang sengaja diundang Ki Praba.
“Apa rencana kalian?” tanya Ki
Praba seraya mengangkat cangkir kopinya. Matanya memandang satu persatu wajah
tiga lelaki muda yang ada di hadapannya. Kemudian tatapan mata lelaki tua itu,
tertuju pada wajah Sanjaya.
“Kami mempunyai rencana
mengirim ketiga mayat anak buah Kala Bendana, Ki,” sahut Sanjaya. Ki Praba
mengerutkan kening. Matanya menyipit, masih menatap wajah Sanjaya. Kepalanya
mengangguk-angguk, sedangkan tangannya membelai-belai jenggot yang tak begitu
panjang dan berwarna keputihan.
“Dengan apa?”
“Dengan peti kayu, Ki,” sahut
Purnama.
“Untuk apa...?” kini tatapan
mata lelaki tua Kepala Desa Karang Galuh tertuju pada Purnama yang menjawab
pertanyaannya tadi.
“Saudara Sena yang akan
menjelaskannya, Ki,”
ujar Purnama melimpahkan
jawaban pada Sena yang masih cengengesan sambil menundukkan kepala.
Sedangkan tangannya kini
menggaruk-garuk kepala.
Sementara tangan kirinya,
mempermainkan tikar yang terbuat dari-pandan.
“Katakanlah, Nak Sena” pinta
Ki Praba ingin tahu apa yang direncanakan Sena. Pemuda tampan berambut gondrong
yang mengikat kepalanya dengan kulit ular itu masih tampak cengengesan. Setelah
mengelus-elus rompinya yang juga terbuat dari kulit ular, pendekar yang sangat
kesohor di rimba persilatan itu muiai membuka mulut
“Aha, begini, Ki. Selama ini,
kita tak dapat menumpas gerombolan Kala Bendana. Hal itu karena kita tak mampu
menghadapinya secara langsung.
Kabarnya persembunyian mereka
sulit ditembus.
Untuk itulah kami bermaksud
mengirim mayat Tiga Mata Setan. Aku berharap Kala Bendana akan keluar dari
sarang dan menghadapi kita. Hal ini kuanggap cara paling tepat untuk dapat
menghadapi dan menumpasnya....”
Ki Praba sejenak terdiam
dengan kening mengerut Nampaknya lelaki tua itu tengah mempertimbangkan gagasan
Sena. Bagaimanapun, sebagai kepala desa dirinya harus mempertimbangkan segala
sesuatu sebelum melakukan tindakan. Karena semuanya menyangkut keselamatan
hidup warga desanya.
“Dengan kata lain, kalian akan
menantang Kala Bendana dan Purba Kelakon ke desa ini?” tanya Ki Praba.
“Begitulah, Ki,” sahut
Sanjaya. “Bagaimana jika yang datang anak buahnya?” “Aha, itu memang yang kami
inginkan,” jawab Sena.
“Maksudmu...?” tanya Ki Praba
masih tak mengerti.
“Aha, bukankah dengan
kedatangan anak
buahnya, kita akan semakin
ringan? Semakin banyak anak buah Kala Bendana yang tertumpas, semakin kecil
kekuatannya. Cepat atau lambat Kala Bendana akan keluar,” ujarnya dengan mulut
cengengesan sambil tangan kirinya masih mempermainkan tikar pandan.
Ki Praba mengangguk-anggukkan
kepala, mendengar keterangan Sena. Seulas senyum
mengembang di bibirnya yang
tua. Seakan gagasan Sena memberi jalan terang baginya, untuk -dapat melepaskan
desa dan penduduknya dari ancaman Kala Bendana yang selama ini masih terus
meng-hantui.
“Bagaimana, Ki?” tanya Sanjaya
meminta
kepastian.
“Gagasan yang bagus” puji Ki
Praba, “Aku setuju.”
“Aha, terima kasih,” sahut
Sena sambil menundukkan kepala.
“Kalau begitu, kita harus
membuat peti untuk ketiga mayat itu,” kata Purnama.
“Benar Sebaiknya, kita
kumpulkan warga desa untuk membantu kita membuat peti,” usul Ki Praba.
“Kami setuju,” jawab Sanjaya.
“Kamil...” seru Ki Praba
memanggil salah seorang penduduk desanya yang sedang menjaga ketiga mayat Tiga
Mata Setan.
“Saya, Ki” sahut seorang
lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan, dengan perawakan kurus tinggi.
Lelaki yang dipanggil Kamil melangkah mendekati tempat kepala desanya dan Sena
serta kakak-beradik Sanjaya dan Purnama berada. Kemudian lelaki itu menjura,
memberi hormat, “Ada apa, Ki?”
“Aku perintahkan agar seluruh
warga desa berkumpul di sini,” ujar Ki Praba.
“Baik, Ki. Sekarang juga, Ki
Lurah?” sahut Kamil.
“Ya sekarang. Kapan lagi?”
“Baik, akan saya laksanakan.”
Setelah menjura memberi hormat
pada keempat lelaki yang duduk di bale-bale, Kamil pun beriari-lari untuk
memberitahukan pada penduduk Desa Karang Galuh akan panggilan Ki Praba.
Sedangkan temannya yang lain, segera membunyikan kentongan panggilan.
Dalam sekejap saja, semua
penduduk desa yang mendengar suara kentongan ditabuh dengan keras,
berduyun-duyun datang ke rumah kepala desa. Di wajah mereka, tergambar
ketidakmengertian akan panggilan itu.
Ki Praba, Sanjaya, dan Sena
atau Pendekar Gila sepontan bangun dari duduknya melihat warga desa
berbondong-bondong datang. Sesaat kemudian halaman rumah Kepala Desa Karang
Galuh telah dipadati warga desa. Terdengar mulut-mulut mereka bertanya-tanya.
“Ada apa Ki Lurah memanggil
kami?” salah seorang warga bertanya. “Apakah Kala Bendana hendak menyerang desa
kita?”
“Tidak Bahkan kitalah yang
akan menumpas gerombolan Kala Bendana” sahut Ki Praba dengan mata
berbinar-binar, merasa gembira melihat warganya masih menurut dan sangat patuh
terhadap semua aturan.
“Apakah kita mampu, Ki Lurah?”
warga yang lain bertanya.
Ki Praba tersenyum, kemudian
menoleh ke wajah Sanjaya, Purnama, dan Sena.
“Kalian lihat, tiga orang anak
buah Kala Bendana telah mati di tangan Sena. Berarti kekuatan Kala Bendana
dapat kita kurangi. Maka itu pula, aku mengundang saudara-saudara untuk datang.
Aku ingin meminta dukungan pada seluruh warga desa untuk membuat peti bagi
ketiga mayat itu” ujar Ki Praba sambil menunjuk mayat-mayat Tiga Mata Setan
yang tergeletak di sisi kanan depan rumah dan sedang dijaga sepuluh warga desa.
Semua warga seketika memandang
ke arah tiga mayat yang ditunjuk Ki Praba. Mata mereka membelalak, setelah tahu
siapa ketiga mayat itu.
Tanpa sadar, dari mulut mereka
serentak terdengar menyebut gelar ketiganya.
“Tiga Mata Setan...?”
“Benar Mereka Tiga Mata Setan,
yang selama ini kita takuti. Namun dengan adanya Pendekar Gila di desa kita
ini, kita tak perlu takut pada mereka,” ujar Ki Praba sambil menoleh ke wajah
Sena yang cengengesan memandang ke langit dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Seketika semua warga kembali tersentak kaget mendengar Ki Praba menyebut
Pendekar Gila. Tentu saja para warga terkejut melihat pendekar muda yang sangat
kesohor itu ada di rumah kepala desa.
“Pendekar Gila?” seru warga.
“Ya”
“Apakah kau tidak hanya
berusaha menenangkan hati kami, Ki Lurah?” tanya warga desa tak percaya kalau
di desa mereka telah datang Pendekar Gila.
Pendekar yang namanya
akhir-akhir ini menjadi perbincangan dan sangat dikenal baik di kalangan rimba
persilatan maupun orang-orang biasa.
“Tidak Aku tak pernah
berdusta. Lihat oleh kalian sendiri Yang berdiri di sebelah kiri Purnama,
adalah Pendekar Gila, murid Singo Edan dari Goa Setan,”
tutur Ki Praba memperkenalkan
Sena pada warga desanya. Orang-orang semakin membuka mata dengan mulut
ternganga, setelah tahu kalau selama ini orang yang bertingkah laku gila di
desanya ternyata pendekar sakti.
Secara serentak semua warga
desa menjura, padahal tak ada yang memerintah. Mereka baru menyadari kalau
pemuda berpakaian rompi kulit ular itu Pendekar Gila.
“Terimalah hormat kami, Tuan
Pendekar” seru beberapa orang yang di barisan depan.
“Aha, mengapa kalian berlaku
begitu? Aku bukanlah dewa, yang patut kalian sembah. Aku manusia seperti
kalian. Aku datang, karena panggilan nurani-ku, yang tak suka pada tindak
kejahatan. Marilah, kita bahu-membahu menghancurkan kejahatan” ujar Sena dengan
tingkah lakunya yang konyol persis orang gila. Sambil berkata begitu mulutnya
cengengesa sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kanan.
“Setuju...”
“Kami siap” “Perintahkan pada
kami Kami telah siap menjalankan perintah Demi keselamatan warga desa...
Demi Desa Karang Galuh”
“Ya, kita ganyang Kala
Bendana”
“Kita tumpas kejahatan...”
Sorak-sorai yang gemuruh riuh
warga desa tampak bersemangat menyambut Pendekar Gila, laksana air bah yang tak
terbendung lagi. Mereka mengeluarkan perasaan yang selama ini terpendam, karena
tekanan rasa takut terhadap Kala Bendana yang mempunyai mata-mata di mana-mana.
Namun dengan adanya Sena, semangat warga desa, yang semula hampir padam, kini
menyala berkobar.
“Terima kasih... terima kasih
atas kesediaan kali an. Namun belum saatnya kita berperang. Aku hanya meminta
kalian, untuk membuatkan tiga peti.
Kemudian, kuharap semua warga
berwaspada dan selalu siap. Karena jika ketiga peti mati itu sampai di tempat
Kala Bendana, bukan tak mungkin Kala Bendana akan mengirim pasukan,” ujar Ki
Praba penuh wibawa. Peringatan itu tampaknya disambut baik seluruh warga desa.
Mereka mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.
“Kapan kami membuat peti, Ki
Lurah?” tanya warga.
“Bila mungkin, saat ini juga”
sahut Sanjaya. “Baik.
Kami akan membuatnya” Warga
desa dengan hati penuh harap agar di nya terbebas dari Kala Bendana, segera
bekerja. Mereka langsung menebang pohon.
Ada yang membelah, Ada yang
menggergaji. Ada yang menghaluskan serta membuat dan merancang.
Mereka bekerja dengan penuh
semangat, bergotong royong.
Ketika mentari bergeser agak
ke barat, tiga peti yang diminta kepala desa pun telah selesai dibuat.
Warga Desa Karang Galuh segera
memasukkan ketiga mayat itu ke dalam peti. Kemudian mereka langsung menggotong
ketiga peti itu ke tepi laut Dengan menggunakan getek, ketiga peti mati yang
berisi mayat Tiga Mata Setan dialirkan ke tengah.
“Kita harus senantiasa siap”
ujar Ki Praba kembali memperingatkan warga desanya.
“Kami siap...” sahut seluruh
warga sambil mengangkat ke atas tangan kanan yang memegang golok.
Di laut, getek yang membawa
tiga peti mati, perlahan-lahan terus bergerak ke tengah. Cepat atau lambat
getek itu pasti akan ditemukan para anak buah Kala Bendana di Pulau Neraka
sana.
***
Senja telah datang, sinar
mentari redup tak sepanas ketika siang. Di Pulau Neraka, nampak dua orang
prajurit bersenjatakan tombak sedang mengawasi sekitar pulau itu. Mata mereka
yang tajam, memandang ke selatan. Tampaklah samar-samar daratan tanah Jawa yang
hijau. Ketika keduanya menajamkan pandangan ke lautan, tiba-tiba keduanya
dikejutkan dengan adanya sebuah getek atau rakit yang menuju Pulau Neraka,
tempat mereka berada. Di atas rakit itu, terdapat tiga peti mati.
“Kala Kuning Lihat, ada tiga
peti di atas rakit”
seru Kala Hijau pada temannya
sambil menunjuk ke laut. Rakit itu bergerak perlahan, semakin mendekat ke
tepian Pulau Neraka.
“Hai, benar Siapakah yang
telah mengirim peti mati itu?” gumam Kala Kuning dengan mata masih menatap
rakit yang di atasnya terdapat tiga peti.
“Apakah Tiga Mata Setan yang
mengirimnya, karena mereka telah berhasil membunuh Ki Praba serta dua saudara
Sanjaya dan Purnama?” tanya Kala Hijau menerka-nerka. Matanya terus menatap
tajam rakit pembawa tiga peti mati.
“Mungkin juga. Sebaiknya kau
lapor pada pimpinan, biar aku menunggu di sini” usul Kala Kuning.
“Baiklah kalau begitu.”
Kala Hijau pun bergegas
meninggalkan tepian Pulau Neraka untuk melaporkan hal itu pada ketuanya, Kala
Bendana. Sementara, Kala Kuning menunggu sampai rakit itu menepi, untuk
mengetahui apa isi peti mati itu.
Kala Hijau dengan terburu-buru
melangkah ke; markasnya, di mana tiga pimpinannya berada. Saat itu, Kala
Bendana, Braga Kunta dan Purba Kelakon tengah berkumpul. Nampaknya ketiga
pimpinan Gerombolan Iblis Merah sedang membicarakan sesuatu.
“Ampun Ketua, Kalau Hijau
menghadap,” seru lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan wajaH garang
berpakaian hijau. Kala Hijau menjura hormat.
Ketiga pimpinan Gerombolan
Iblis Merah seketika menghentikan pembicaraan mereka. Ketiganya langsung
menoleh kepada Kala Hijau.
“Ada apa, Kala Hijau?” tanya
lelaki bermuka kasar dengan cambang bauk tebal yang tak lain Ka Bendana.
“Kami melihat rakit membawa
tiga peti mati,” ujar Kala Hijau melaporkan. “Hm, apakah kalian telah memeriksa
isinya?”
tanya lelaki bertubuh gagah
berpakaian serba hitam.
“Belum, Ketua. Itu sebabnya
hamba menghadap,”
jawab Kala Hijau.
“Baiklah, kami akan segera ke
sana,” kali ini yang berkata lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun
dengan jenggot dan kumis tebal yang tak lain Purba Kelakon.
Ketiga lelaki yang memimpin
Gerombolan Iblis Merah itu melangkah meninggalkan ruang per-temuan, keluar dari
tempat itu. Kala Hijau mengikuti di belakang. Mereka melangkah menuju tempat
Kala Hijau dan Kala Kuning bertugas hari itu.
“Hm, mungkinkah Tiga Mata
Setan telah berhasil menunaikan tugasnya?” gumam Kala Bendana.
“Mungkin juga, Kakang. Tetapi,
mengapa hanya tiga? Tidak sekalian dengan Pendekar Gila?” tanya Braja Kunta,
lelaki berusia sekitar enam puluh tahun, mengenakan pakaian coklat
Pertanyaannya seperti bergumam padajdiri sendiri. Matanya memandang ke rakit
yang semakin mendekat ke pantai.
“Cepat kau panggilkan
teman-temanmu untuk menarik rakit itu ke sini” perintah lelaki berjubah ungu
dan mengenakan blangkon batik berwarna hitam yang bernama Purba Kelakon.
“Baik, Ketua” jawab Kala
Kuning. Tanpa di-perintah kedua kalinya, Kala Kuning segera berkelebat pergi
untuk memanggil rekan-rekannya. Tidak lama kemudian, Kala Kuning telah kembali
datang dengan dua puluh orang anak buah Gerombolan Iblis Merah. Gerombolan
Iblis Merah merupakan nama baru gabungan antara anak buah Kala Bendana dengan
Purba Kelakon.
“Kala Kuning, tarik rakit itu
dan angkat peti itu...” perintah Kala Bendana.
“Daulat, Ketua”
Kala Kuning dan kedua puluh
rekannya segera menceburkan diri ke laut untuk menarik rakit yang jaraknya
tinggal lima belas tombak dari daratan.
Kedua puluh satu anak buah
Kala Bendana segera berenang mendekati rakit. Kemudian mereka menarik dan
mendorong rakit kayu itu, semakin mendekat ke pimpinan mereka yang menunggu di
daratan.
Rakit itu pun sampai. Kala
Bendana dan dua ketua lainnya segera mendekati anak buah yang mengangkat rakit
ke daratan.
Kala Bendana segera membuka
satu persatu peti mati itu. Seketika mata mereka membelalak, setelah tahu isi
peti mati itu. Dari mulut mereka mendesis, menyebutkan nama ketiga orang yang
telah mati.
“Tiga Mata Setan...”
“Kurang ajar Mereka
benar-benar mencari penyakit Berani benar mereka menghinaku” dengus Kala
Bendana geram. Gigi-giginya saling beradu, menandakan kemarahannya sudah tak
terbendung lagi. Tangannya mengepal-ngepal; sepertinya siap meremukkan batok
kepala orang yang telah berani mengirim mayat ketiga anak buah kepadanya, “Akan
kuremukkan batok kepalanya”
“Sabar, Adi Kala Bendana Kita
tidak boleh terbawa perasaan kita,” ujar Purba Kelakon berusaha menyabarkan
rekannya yang tampak sudah sangat marah, “Kau harus ingat. Tentunya orang yang
mengirim Tiga Mata Setan bukanlah tokoh sembarangan. Tiga Mata Setan bukan
orang-orang sembarangan. Ilmu mereka jelas tinggi. Namun mengapa mereka sampai
mati dengan muka gosong?”
Kala Bendana terdiam. Namun
wajahnya masih menggambarkan amarah yang meluap-luap. Dia benar-benar merasa
dihina oleh orang yang mengirim ketiga peti mati beserta isinya.
“Benar, Kakang. Apa yang
dikatakan Kakang Purba Kelakon memang benar. Jelas yang melakukan semua ini,
bukan orang sembarangan seperti Ki Praba dan dua bersaudara Sanjaya dan
Purnama.
Hm, aku jadi yakin, tentunya
pendekar itu ada di Desa Karang Galuh,” gumam Braga Kunta, bekas anggota
Gerombolan Serigala Hitam itu. Braga Kunta adalah kawan seperguruan dengan
Beruk Ireng yang dibunuh Sanjaya dalam pesta gila.
“Bagaimana kau bisa yakin
kalau ini semua tindakan Pendekar Gila...?” tanya Kala Bendana dengan kening
mengerut, belum percaya.
“Kau lihat wajah mereka
seperti terbakar, Kakang?”
“Ya”
“Kau tahu, kenapa mereka,
Kakang?”
“Tidak” sahut Kala Bendana
cepat.
Braga Kunta menarik napas
dalam-dalam.
Matanya menatap tajam pada
mayat Tiga Mata Setan. Ada dua kemungkinan yang sedang dipikirkan.
Kala Bendana memandangi wajah
adik seperguruannya yang nampak kalem, seakan ada sesuatu yang sedang
dipikirkan Braga Kunta.
“Ada dua kemungkinan yang
menjadikan ketiganya mati.”
“Apa itu?” desak Kala Bendana
ingin tahu.
“Pertama, mereka menyerang
dengan ilmu Mata Setan, dan ditangkis oleh Suling Naga Sakti milik Pendekar
Gila...,” tutur Braga Kunta. “Ah, bagaimana mungkin hanya sebuah suling bisa
mengembalikan sinar api mereka?” bantah Kala Bendana tak percaya.
Braga Kunta tersenyum sambil
menghela napas, kemudian digeleng-gelengkan kepalanya.
“Memang kalau belum melihat
dengan mata kepala sendiri, sulit untuk dipercaya, Kakang. Suling itu memang
merupakan senjata sakti bagi Pendekar Gila. Itu pula yang menjadikannya semakin
bertambah sakti,” jawab Braga Kunta.
“Hm,” gumam Kala Bendana tak
jelas, “Lalu kemungkinan kedua?”
Braga Kunta tak langsung
menjawab. Kembali dia menghela napas panjang, berusaha menenangkan hatinya.
Bagaimanapun dirinya belum pernah bentrok melawan Pendekar Gila. Namun
setidaknya tokoh dalam Serigala Hitam ini sering mendengar sepak terjang
pendekar muda itu. Dan selama ini, di-dengarnya kalau pendekar muda itu belum
ada yang mampu mengalahkannya. Itu juga yang membuat Braga Kunta merasa cemas,
karena bagaimanapun tidak mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan pendekar
murid Singo Edan penghuni Goa Setan itu
“Kemungkinan kedua, Tiga Mata
Setan terkena sinar sakti dari sepasang mata kepala Naga di Suling Naga Sakti
milik Pendekar Gila.”
“Heh?”
“Hah?” Kala Bendana dan Purba
Kelakon
tersentak mendengar penuturan
Braga Kunta.
Mereka baru mendengar tentang
suling yang mampu mengeluarkan sinar sakti. Selama ini, mereka menganggap
senjata-senjata mereka yang berbentuk caping maut dan sangat besar merupakan
senjata-senjata sakti, dan tak ada lagi senjata sakti lainya. “Lalu apa yang
harus kita lakukan?” tanya Bendana minta pendapat dari adik seperguruannya yang
lebih cerdas dibandingkan dengan dirinya.
“Kita kirim pasukan ke Desa
Karang Galuh.
Sebisanya, harus ada yang
hidup untuk melaporkan pada kita akan apa yang sebenarnya ada di Desa Karan
Galuh,” usul Braga Kunta.
“Benar Aku setuju,” sambut
Purba Kelakon.
“Baiklah kalau begitu. Kala
Hijau, kau pimpin d puluh orang untuk menyerbu ke Desa Karang Galuh.
Sebisanya, kau harus memberi
laporan ke sini” pe rintah Kala Bendana.
“Baik, Ketua” jawab Kala
Hijau. Sore itu pula, Kala Hijau dengan dua puluh anak buah Gerombolan Iblis
Merah berangkat untuk mela kukan penyerbuan ke Desa Karang Galuh sekali
memeriksa benar tidaknya kalau Pendekar Gilaa di desa tersebut.
*** 7
Malam baru saja tiba dengan
gelap yang menyelimuti bumi. Begitu pula keadaan di Desa Karang Galuh, gelap
bagaikan sebuah kelambu raksasa yang membentang dan menyelimuti desa itu.
Namun, lain dengan malam-malam biasa yang sepi, malam itu Desa Karang Galuh
kelihatan masih hidup. Masih banyak warga yang berlalu-lalang di pantai. Atau
di dalam desa yang terletak di pesisir laut itu.
Semenjak sore Sena, Sanjaya,
dan Purnama berada di rumah Ki Praba. Seperti biasanya, mereka duduk-duduk di
bale-bale bambu di ruang tengah.
Malam itu mereka menyusun
rencana untuk dapat menghancurkan Gerombolan Iblis Merah. Namun saat itu, bukan
hanya keempat orang pendekar saja.
Ada sekitar sepuluh orang
warga desa ikut berbincang-bincang bersama kepala desa mereka.
“Apakah Nak Sena yakin kalau
Kala Bendana akan mengirim pasukannya?” tanya Ki Praba seperti belum yakin,
kalau Kala Bendana akan mengirim pasukan.
“Aha, kurasa begitu, Ki.
Dengan kematian tiga orang utusannya, Kala Bendana akan marah,” jawab Sena
dengan mulut cengengesan.
“Hm, tetapi sudah malam,
mereka belum datang,”
gumam Ki Praba melemparkan
pandangan ke utara.
Jarak rumah Ki Praba dengan
pesisir, tidak begitu jauh. Hanya sekitar seratus tombak.
“Mungkin Kala Bendana sedang
mengatur siasat.
“Ya Kurasa begitu,” Purnama
menimpali. “Bagaimanapun penjagaan di pesisir harus kuat. Kita juga harus siap
jika Kala Bendana menggunakan siasat yang di luar dugaan kita. Bukan begitu,
Kakang Sena?” Kali ini Purnama menyebut kakang terhadap Pendekar Gila, sebagai
tanda hormatnya.
“Aha, kau benar, Purnama. Bisa
saja Kala Bendana melakukan serangan tidak dari laut.
Mungkin saja dari arah timur,
barat, ataupun selatan,” jawab Pendekar Gila. Jawaban itu membuat Ki Praba
mengangguk-anggukkan kepala.
“Parlan, apakah batas desa
telah dijaga ketat?”
tanya Ki Praba kepada
utusannya yang bernama Parlan.
“Sudah, Ki.” jawab Parlan
tegas.
“Bagus Kurasa kita memang
harus waspada.
Selain licik, mereka terkenal
bengis dan buas. Mereka tak segan-segan membunuh siapa saja, tanpa mengenal
belas kasihan,” gumam Ki Praba.
Tiba-tiba dari arah utara
seorang penduduk desa nampak berlari-lari menuju rumah. Hal itu membu?
orang-orang yang berada di
rumah kepala desa seketika menoleh kepada lelaki, berusia sekitar tiga puluh
tahun yang menuju ke tempat itu.
“Musuh datang, Ki Lurah,” seru
lelaki kurus ber kumis tipis itu dengan napas tersengal-sengal.
“Hm, benar juga dugaanmu, Nak
Sena. Mari, kita sambut kedatangan mereka Parlan, perintahkan para para penjaga
batas desa untuk ke pesisir”
perintah Praba kepada Parlan.
“Baik, Ki Lurah.”
“Ah ah ah... Kurasa malam ini
kita akan pesta dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
“Kita harus ke pesisir.
Ayo...” ajak Ki Praba.
Mereka pun segera berlarian
menuju pesisir untuk menyambut kedatangan anak buah Gerombolan Iblis Merah.
Sedangkan Parlan, kini berlari untuk meng-hubungi rekan-rekannya yang bertugas
menjaga di perbatasan Desa Karang Galuh.
***
Dari arah utara, masih dalam
jarak sekitar seratus tombak nampak sebuah perahu berlayar menuju ke pesisir.
Di dalam perahu itu, terlihat dua puluh satu orang mengenakan pakaian serba
hitam dengan wajah tertutup kain ala ninja. Di punggung mereka, bertengger
pedang panjang.
“Jangan kita serang dulu,
sebelum mereka turun”
perintah Ki Praba pada warga
desa yang bersembunyi di balik rerumputan tinggi yang tumbuh di pesisir pantai.
Sedangkan Sena, kini dengan tenang duduk bertengger di sebuah cabang pohon
besar.
Mata Sena terus mengawasi
gerak-gerik pasukan berpakaian hitam yang masih berada di atas perahu.
Mulutnya cengengesan,
tangannya menggaruk-garuk kepala. Sengaja Sena naik ke pohon, agar dapat
memantau gerak-gerik kedua puluh satu orang yang semakin bertambah dekat ke
pesisir.
“Aha, kurasa sebentar lagi
akan ada pesta besar,”
jumam Sena dengan mulut
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya kemudian memandang
rerumputan yang paling dekat dengan pantai, empat Sanjaya dan Purnama, serta Ki
Praba berada. Orang-orang berpakaian serba hitam itu berlompatan turun dari
perahu, karena telah sampai di depan. Mata mereka memandang tajam ke sekeliling
tempat itu. Kemudian seorang yang berjalan di depan menggerakkan tangan kanan,
memerintah pada kedua puluh temannya agar bergerak maju.
Mereka baru saja berjalan
sekitar sepuluh langkah meninggalkan perahu ketika tiba-tiba dari semak-semak
terdengar seruan Ki Praba memerintah pada warganya untuk menyerang.
“Serang...”
“Hea”
“Yea”
Dari semak-semak yang lebat,
bermunculan warga desa dengan senjata terhunus menyerang dua puluh satu manusia
berpakaian hitam. Pasukan ber-selubung kain hitam itu tersentak kaget. Lalu
segera mencabuti pedang yang tersampir di pundak masing-masing.
“Serbu” perintah Kala Hijau
terdengar. Tangan-nnya bergerak memberi isyarat agar menyerang.
Kedua puluh anak buah segera
merangsek maju memapak serangan dari warga Desa Karang Galuh.
Srtttl Srttt
“Heaaa...”
Trang Trang Trang
“Heaaa...”
Malam itu pun pertarungan seru
tak dapat di-cegah. Mereka membaur dalam persabungan nyawa yang menggariskan.
Siapa yang lengah, akan menemui ajal. Suasana di pesisir yang semula tenang dan
indah seketika berubah menjadi ajang pertarungan. Jeritan-jeritan kematian dan
pekikan menyerang, terdengar membelah kegelapan malam.
Kemarahan seluruh warga Desa
Karang Galuh seperti menemukan tempat pelampiasan. Mereka bertemu dengan
sepasukan berpakaian hitam yang marah karena Tiga Mata Setan terbunuh.
Sena masih bertengger di atas
cabang sebuah pohon sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Matanya terus menyaksikan pertarungan seru itu. Digeleng-gelengkan kepalanya,
seakan berusaha membuang perasaan hatinya yang sedih. Sedih melihat nyawa-nyawa
manusia harus melayang. Sedih melihat keangkaramurkaan senantiasa datang
menjarah dan menyusahkan manusia yang tidak berdosa. Seperti yang sedang
dialami warga Desa Karang Galuh.
“Jagat Dewa Batara Sampai
kapan pertumpahan darah berakhir?” gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
“Bantu Ki Lurah Serang...”
dari arah timur, dua puluh warga langsung membantu Ki Praba menghadapi pasukan
yang
dikirim Kala Bendana.
“Hea”
Wrttt
Trangngng
Dentang suara benturan pedang,
golok, dan keris terus terdengar memecah keheningan malam.
Teriakan dan pekikan keras
penuh kemarahan ber-baur dengan suara ombak laut.
Cras
“Akh...”
Bersamaan jeritan itu,
menggelepar sesosok tubuh manusia, terbanting di pasir. Sesaat tubuh itu
menge-ang sekarat, kemudian diam bersimbah darah.
Meski dikeroyok puluhan warga
desa, nampaknya anak buah Kala Bendana tidak gentar sedikit pun.
Mereka terus menghadang
serangan dengan penuh keberanian. Pedang panjang di tangan mereka bergerak
cepat membabat dan menangkis seran golok warga desa yang juga kalap.
Pertarungan semakin seru. Seakan-akan tak ada tanda bakal berhenti. Sementara
angin laut bertiup kencang. Dingin mencekam.
“Habisi mereka...” teriak
Sanjaya dengan lantang, kemudian tubuhnya berkelebat menghadang Kala Hijau yang
sedang mengamuk sambil menebaskan pedangnya menyerang lima warga desa yang
menyerangnya,
“Aku lawanmu Hea...”
Dengan penuh kemarahan dan
dendam, Sanjaya segera menyerang Kala Hijau. Pedang di tangannya bergerak cepat
dengan jurus 'Tapak-Tapak Dewa Air'
Gerakan pedang di tangan
Sanjaya, tak ubahnya se perti air yang mengalir. Sekali serangan gagal,
tahu-tahu pedangnya telah kembali menyerang dengan tusukan dan tebasan ke tubuh
lawan. Cepat dan beruntun
“Heaaa...”
Wuttt Wuttt
“Aits...” Kala Hijau tersentak
kaget, segera dimiringkan tubuhnya ke samping kiri mengelak. Hal itu membuat
tusukan pedang Sanjaya melesat beberapa jari di samping kanannya. Namun belum
juga Kala Hijau mengubah kedudukan, dengan cepat Sanjaya telah mengirimkan
sebuah tendangan kaki kanannya.
“Yea”
Wrettt
“Heh?” Kala Hijau tersentak
kaget, tak menyangka kalau lawan akan menyerang dengan tendangan Dirinya
berusaha menangkis dengan membabatkan pedang ke kaki lawan.
“Hih...”
Wuttt
Sanjaya segera menarik kaki
kanannya dengan cepat. Kemudian menyusulkan pukulan tangan kirinya ke dada
lawan secepat pedang lawan terangkat.
“Hea”
Degk
“Ukh...” Kala Hijau melenguh
tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Matanya memandang ke
sekelilingnya, berusaha mencari Pendekar Gila.
Namun tak dilihatnya Pendekar
Gila berada di tempat itu.
“Hm, aku harus pergi untuk
memberitahukan pada Ketua, bahwa di sini tak ada Pendekar Gila,” gumam hati
Kala Hijau sambil berusaha mengelakkan serangan-serangan Sanjaya yang cepat dan
mematikan.
“Mampuslah kau, Bajingan
Hea...” dengan di-landasi perasaan marah dan dendam, Sanjaya terus menyerang.
Pedang di tangannya menyambar-nyabar ke tubuh Kala Hijau. Namun, dengan cepat
Kala Hijau melentingkan tubuh ke atas. Kemudian dengan lompatan ' Harimau'-nya
Kala Hijau melesat menuju laut. Dan tanpa rasa takut, Kala Hijau langsung
mencebur ke laut.
Byurrr
“Hai, mau lari ke mana kau,
Bajingan” bentak Sanjaya seraya mengejar. Namun tubuh Kala Hijau telah
menghilang, tenggelam ke dalam laut. Sanjaya tak peduli, terus memandangi laut
tempat tubuh Kala Hijau tenggelam, menunggu sampai Kala Hijau muncul.
Lama sekali Sanjaya menunggu,
tetapi Kala Hijau tak juga muncul ke permukaan. Kala Hijau bagaikan tenggelam
di dasar laut Merasa lawan sudah tak aka muncul lagi, Sanjaya pun kembali
berkelebat ke tempat pertempuran. ***
Pertarungan semakin seru,
dengan kehadiran Sanjaya yang langsung mengganas. Namun, pertempuran kini
nampak tak seimbang lagi. Kedua puluh lawan, mulai terdesak. Apalagi dengan
kehadiran Sanjaya. Pedang di tangan pemuda berpakaian kuning itu bagaikan haus
darah. Sekali berkelebat, seketika itu pula nyawa melayang.
“Hea”
Wrt
“Akh...” satu orang lawan
terbabat pedang Sanjaya. Perutnya terkoyak dengan usus terburai keluar. Tubuh
lelaki berpakaian hitam itu meregang.
Kemudian menggelepar-gelepar
dan diam tak bernyawa.
Sanjaya dan Purnama bagaikan
dua ekor banteng teriuka. Marah Pedang di tangan mereka, bergerak cepat dengan
jurus andalan 'Sepasang Pedang Dewa Angin'. Jurus itu sangat dahsyat, terbukti
pedang di tangan kedua kakak-beradik itu bagaikan menghilang. Yang nampak hanya
kilatan-kilatan samar.
“Heaaa”
“Yeaaa”
Wrt Wrttt
Dengan jurus pemungkas,
Sanjaya dan Purnama terus merangsek lawan-lawannya. Pedang mereka menebas dan
menusuk sangat cepat. Sehingga sulit bagi lawan untuk dapat mengelakkan
serangan mereka.
Wrttt
Brettt
“Akh...” kembali pedang di
tangan Sanjaya meminta korban. Kali ini leher lawannya sebagai sasaran. Leher
itu hampir putus. Darah menyembur deras. Sesaat tubuh korban menggelepar,
kemudian diam. Tewas
Purnama pun tak mau kalah.
Dengan jurus yang sama pemuda itu bergerak cepat menusukkan pedang ke lawan-lawannya.
Gerakan menusuknya sangat cepat. Sehingga lawan tak mampu bergerak untuk
mengelak.
“Hea”
Wrttt
Blesss
“Aaakh...” seorang lawan
tertembus pedang di tangan Purnama sampai ke punggung. Dan ketika Purnama
mencabut pedangnya, saat itu pula nampak tubuh bagian dada lawan berlubang dan
menyem-burkan darah deras, membasahi sekujur tubuh. Lelaki berpakaian hitam itu
terbelalak. Tubuhnya menge-jang, kemudian ambruk mencium tanah dan mati.
Di pihak lain, Ki Praba dan
warga desa pun tak mau kalah. Mereka mengamuk dengan ganas, men-desak
lawan-lawannya.
“Bunuh semuanya..” teriak Ki
Praba.
“Habisi mereka...” warga
menyahuti dengan mengangkat senjata mereka. Salah seorang warga membawa
pentungan sepanjang lengan. Dipentung-kannya kayu itu ke rubuh manusia
berpakaian hitam dari belakang.
Pletakkk
“Aduh...” orang itu menjerit.
Pedangnya terlepas.
Kemudian tangannya langsung
memegangi kepala yang pecah akibat pentungan salah seorang warga desa. Tubuhnya
berputar-putar sambil terus mendekap kepalanya yang pecah. Darah merembes
keluar bercampur otak. Tubuhnya melemas, lalu ambruk mencium pasir pantai.
Pendekar Gila yang masih
bertengger di atas cabang pohon tak mau tinggal diam. Ketika ada salah seorang
lawan melenting ke udara, dengan cepat tangannya bergerak menyambar pakaian
orang itu.
Trep
“Hi hi hi... Mau lari ke mana,
Kawan?” tanya Sena sambil cengengesan dengan tangan kiri menggaruk-garuk
kepala. Diangkatnya tubuh orang itu tinggi-tinggi. Kemudian dengan mengerahkan
tenaga dalam dilemparkan tubuh orang itu ke atas.
Werrr
“Wuaaa... Tolooong...” tubuh
orang itu terlontar ke atas, kemudian menukik ke bawah dengan cepat Kepalanya
berada di bawah. Sehingga ketika sampai di tanah, tubuh itu langsung menancap
dengan kepala terbenam di tanah.
“Hua ha ha...” Sena tertawa
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala, menganggap kejadian itu sebuah
lelucon. “Lucu... Lucu sekali Ada juga orang yang main akrobat dalam
pertempuran seperti ini.”
Sisa pasukan berpakaian hitam
yang tinggal lima orang itu, kini semakin bertambah ketakutan. Apalagi setelah
mereka tahu kalau Pendekar Gila ada di situ.
Mereka merasa telah ditipu
mentah-mentah oleh Pendekar Gila, yang bersembunyi dan bertengger di cabang
pohon.
“Heaaa”
Salah seorang dari kelima
menusia berpakaian hitam itu melesa hendak menyerang Pendekar Gila, namun
ketika tubuhnya sedang melayang ke atas, Ki Praba mendadak membabatkan
pedangnya ke atas.
“Hih” Wrt
Cras
“Akh...” orang yang melayang
hendak menyerang Pendekar Gila seketika terbanting. Perutnya me-nganga,
tersambar pedang kepala desa itu.
“Hua ha ha...” Pendekar Gila
tertawa-tawa sambil berjingkrakan seperti seekor kera di atas pohon, “Ah ah ah,
kau telah berjasa padaku, Ki.”
Ki Praba hanya tersenyum
melihat tingkah laku Sena yang konyol. Yang lain bertempur, Pendekar Gila
justru berjingkrakan sambil tertawa terbahak-bahak dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Kalau saja yang bertingkah begitu bukan Pendekar Gila,
Kepala Desa Karang Galuh itu tentu marah dan menganggap orang itu pengecut yang
hanya berani sembunyi.
Pertarungan semakin tak
seimbang. Empat orang berpakaian hitam terdesak semakin hebat Apalagi dua di
antara gerombolan itu kini harus menghadapi Sanjaya dan Purnama yang berilmu di
atas mereka.
“Hea”
Dengan penuh amarah Sanjaya
menggebrak.
Dengan jurus 'Angin Menuai
Bunga' pemuda itu membabatkan pedangnya ke tubuh lawan yang semakin kewalahan.
Lawan kini bagaikan tak diberi kesempatan sedikit pun untuk melakukan serangan.
Bahkan kini untuk mengelak pun
seperti kehilangan ruang geraknya. Ke mana dia melesat, ke situ pula pedang
Sanjaya memburu. Sampai akhirnya....
“Heaaa...”
Bret
“Akh... pedang Sanjaya kembali
memakan korban.
Tubuh lawan sesaat menggelepar
dengan perut mem-burai. Kemudian diam tak bernyawa. Bersamaan dengan itu pula,
Purnama pun menusukkan pedangnya ke leher lawan.
“Hea”
Suiiit Bret
“Akh...”
Leher lawan pun seketika
tertembus pedang Purnama, hingga hampir putus. Dalam sekejap saja, kini anak
buah Kala Bendana habis tak tersisa lagi.
Warga Desa Karang Galuh bersorak-sorai
penuh kemenangan, meski pengorbanan di pihak mereka tidak sedikit
“Hidup Ki Praba...”
“Hidup dua pendekar
bersaudara...”
“Hidup Desa Karang Galuh...”
Warga desa segera mengangkat
tubuh Ki Praba, dan membawanya ke desa. Mereka bagaikan melupakan apa yang baru
saja terjadi, bahkan melupakan korban-korban yang bergeletakan ke pasir pantai.
Warga desa terus mengarak
kepala desa mereka berkeliling desa dengan penuh kegembiraan.
*** 8
Kala Hijau yang luput dari
kematian setelah bertarung melawan warga Desa Karang Galuh, dengan ilmu
'Katak'-nya berhasil mencapai
Pulau Neraka. Namun begitu, dadanya terasa sakit akibat pukulan Sanjaya.
Dengan sisa-sisa tenaganya
Kala Bendana terus berusaha menuju Pulau Neraka, tempat markasnya berada.
“Ukh Sakit sekali dadaku,”
keluh Kala Hijau sambil terus berenang.
“Hai? Kala Hijau, kaukah
itu...?” terdengar suara Kala Kuning berseru.
“Ukh Tolong aku, Kuning,”
pinta Kala Hijau sambil menggapai-gapaikan tangan kanannya.
Kala Kuning yang saat itu
sedang jaga bersama Kala Merah dan Kala Biru segera mendekat dan menolong Kala
Hijau. Mereka memapah tubuh Kala Hijau yang lemas ke darat Kemudian ketiganya
mengantar Kala Hijau menemui pimpinan mereka, di dalam markas.
Saat itu Kala Bendana tengah
merenung seorang diri, menunggu kedatangan salah seorang anak buahnya. Dirinya
terkejut, ketika Kala Hijau dengan dipapah tiga temannya datang menghadap.
“Kala Hijau, kau telah pulang.
Bagaimana keadaan di Desa Karang Galuh...?” tanya Kala Bendana.
“Ampun, Ketua. Di sana tak ada
Pendekar Gila.
Yang ada hanya Sanjaya dan
Purnama. Namun begitu, ternyata ilmu silat Sanjaya dan Purnama sangat tinggi.
Entah bagaimana nasib kedua puluh rekan hamba,” Kala Hijau melaporkan sambil
meringis-ringis menahan rasa sakit di dadanya.
“Apakah kau yakin, di sana tak
ada Pendekar Gila?” tiba-tiba dari dalam muncul Braga Kunta diikuti Purba
Kelakon.
“Yakin, Ketua. Hamba telah
berusaha mencari Pendekar Gila, tapi memang tak ada;” ujar Kala Hijau
meyakinkan.
“Hm...” gumam Braga Kunta tak
jelas. Diangguk-anggukkan kepalanya, seperti percaya. Namun kemudian
menggeleng-geleng dengan bibir mengurai senyum, “Aku tak percaya, Kala Hijau.
Betapapun kehebatan Sanjaya dan Purnama, mereka tak akan mungkin dapat
mengalahkan Tiga Mata Setan”
ujarnya dengan sinis.
“Tapi, Ketua...”
“Kau tak tahu, kalau Pendekar
Gila mungkin sengaja sembunyi, dengan harapan dapat memancing kami,” ujar Purba
Kelakon dengan senyum sinis mengembang di bibirnya. Kepalanya
menggeleng-geleng, tak percaya.
“Jelas, Pendekar Gila memang
menantang kami”
timpal Braga Kunta dengan
suara penuh ketegasan.
“Kita harus ke sana Masak
menghadapi Pendekar Gila kita akan kalah?” dengus Kala Bendana tak sabar. Ingin
rasanya Kala Bendana segera berangkat ke Desa Karang Galuh, untuk bertemu
dengan Pendekar Gila. Dirinya memang belum pernah bertemu dengan Pendekar Gila.
Sehingga ingin menjajaki sampai sejauh mana ilmu silat pendekar muda, yang
namanya sangat kesohor itu.
“Sabar, Kakang Kita....”
Belum selesai Braga Kunta
berkata, Kala Bendana telah menukasnya dengan cepat. “Braga Kunta, sejak kapan
kau menjadi pengecut, heh? Kalau kau takut menghadapi Pendekar Gila, biar aku
sendiri yang menghadapinya Kau dan Kakang Purba Kelakon menghadapi Ki Praba
dengan dua orang cecunguknya” sentak Kala Bendana keras dan tajam. Sehingga
Braga Kunta tak dapat berkata-kata, untuk membantah. Dirinya tahu bagaimana
sifat kakak seperguruannya. Jika sudah menentukan, maka tak ada yang bakal
mampu menghalanginya.
“Aku tak takut, Kakang”
“Kalau begitu, kita segera ke
sana”
“Malam ini juga...?” tanya
Purba Kelakon.
“Ya Malam ini juga.”
Malam itu juga, Kala Bendana
dan sepuluh anak buahnya berangkat ke Desa Karang Galuh untuk melakukan
penyerbuan kedua. Kala Bendana tak sabar lagi untuk segera menyingkirkan Ki
Praba dan dua kakak-beradik Sanjaya dan Purnama. Dengan menggunakan perahu,
mereka pun berangkat menyeberangi laut menuju selatan.
***
Di rumah Kepala Desa Karang
Galuh, malam itu penduduk desa nampak berkumpul. Setelah kemenangan atas
pertarungan melawan anak buah Kala Bendana, mereka hendak melakukan syukuran.
Mereka sibuk dengan kegiatan
di rumah Ki Praba.
Acara syukuran atas kemenangan
mereka bertarung melawan anak buah Kala Bendana baru saja hampir dilakukan.
Namun ketika Ki Praba hendak membaca doa tiba....
“Tolooong... Tolooong...”
Dari arah barat, terdengar
jeritan ketakutan seorang wanita. Hal itu membuat semua orang yang berkumpul di
rumah Ki Praba tersentak kaget.
Serentak mereka saling
pandang, kemudian bangkit dan segera berhamburan keluar.
Di sebelah barat nampak api
berkobar-kobar.
Sepertinya tengah terjadi
kebakaran. Dari arah yang sama, beberapa orang wanita berlarian menuju rumah
kepala desa.
“Aha, kurasa itu bukan
kebakaran biasa, Ki,” ujar Sena dengan mata menyipit serta kening mengerut
Firasatnya sebagai seorang pendekar, mengatakan bahwa kebakaran di sebelah
barat Desa Karang Galuh, bukan kebakaran biasa. Pasti ada yang sengaja
membakar. Telinganya yang tajam, mendengar suara gelak tawa seseorang yang
bersuara besar dan keras di tempat kebakaran itu.
“Maksudmu?” tanya Ki Lurah
Praba.
“Apakah Kala Bendana memiliki
suara berat dan keras?” Pendekar Gila balik bertanya.
“Benar,” sahut Sanjaya.
“Aha, kalau begitu mereka
datang, Ki Lurah”
“Kala Bendana...?” hampir
semua tersentak kaget mendengar, ucapan Sena.
“Benar Kala Bendana datang,”
jawab Sena tegas.
Mereka semakin tersentak
kaget, ketika lima orang wanita yang berlari menuju rumah Ki Lurah
berteriak-teriak menyebut nama Kala Bendana.
“Tolong, Ki Lurah Kala Bendana
mengamuk, mencari Ki Lurah dan Pendekar Gila...” salah seorang dari wanita
penduduk Desa Karang Galuh menuturkan dengan wajah cemas.
“Hm, mengapa tak langsung ke
rumahku saja?”
gumam Ki Lurah Praba.
“Mereka membakari rumah,
memperkosa anak kami,” tutur yang lain.
“Aha, jelas ini tak bisa
didiamkan, Ki. Aku akan ke sana,” ujar Sena. Kemudian sebelum Ki Praba sempat
berkata, tubuhnya telah melesat laksana terbang menghilang di kegelapan malam.
“Kita harus membantunya
Ayo...” ajak Ki Praba.
Kini semua bergerak menuju
tempat kobaran api kebakaran.
***
Kala Bendana dan anak buahnya
benar-benar
melampiaskan kemarahan dengan
membakar rumah-rumah penduduk. Menyeret anak gadis, kemudian dengan biadab
memperkosa di tempat terbuka, disaksikan anak buahnya.
“Hua ha ha...” Kala Bendana
tertawa terbahak-bahak setelah melampiaskan nafsu setannya pada seorang gadis.
“Mana Pendekar Gila, hadapi aku
Lihat Pendekar Gila, aku Kala
Bendana telah datang menantangmu Keluarlah kau, Pangecut.”
Braga Kunta saudara
seperguruannya hanya mampu menghela napas panjang mendengar seruan Kala Bendana
yang sangat keterlaluan. Bagaimana pun, Braga Kunta merasa kalau kakak
seperguruannya terlalu sombong dan takabur. Apalagi dengan memperkosa gadis,
yang merupakan pantangan baginya. Namun Kala Bendana nampaknya tak peduli.
Keangkuhan dan kesombongannya, telah membuat Kala Bendana merasa, di dunia ini
tak ada yang sakti, kecu
“Ayo, keluarlah Pendekar Gila,
Pengecut Hua ha ha... Rupanya Pendekar Gila hanya seekor kecoa busuk yang
pengecut dan penakut Hua ha ha...” Kala Bendana tertawa terbahak-bahak disertai
dengan ejakan dan hinaan yang ditujukan pada Pendekar Gila.
“Hua ha ha... Lucu sekali...,
lucu sekali Ada babi tolol yang berteriak di tengah malam”
Tiba-tiba terdengar suara
mengejek dari kejauhan.
Hal itu membuat Kala Bendana
dan para anak buahnya tersentak kaget. Suara itu dirasakan begitu keras hingga
memekakkan telinga yang mendengar.
“Pendekar Gila...” seru Braga
Kunta yang merasa yakin kalau suara itu milik Pendekar Gila.
“Cuih Kalau kau benar Pendekar
Gila, keluarlah”
tantang Kala Bendana, “Apa kau
tak melihat, aku memperkosa gadis Kalau kau memang berani, hadapi aku”
teriaknya dengan suara lantang.
“Aku di sini, Babi Tolol. Hi
hi hi...”
Kala Bendana dan anak buahnya
semakin
terperanjat. Mata mereka
terbelalak ketika entah dari mana, tiba-tiba Pendekar Gila telah berdiri di
belakang Kala Bendana berjarak sekitar tiga tombak.
Tingkahnya cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala dengan tangan.
Dilihat dari cara keluar dan
kemunculannya yang tiba-tiba dan tak diketahui, seharusnya Kala Bendana
menyadari kalau ilmu pemuda bertingkah laku gila itu tinggi. Namun, kesombongan
dan kecongkakan, telah menyebabkan Kala Bendana tak mau membuka mata. Bahkan
dia semakin bertambah angkuh.
“Hm, jadi kau Pendekar Gila
itu?” bentak Kala Bendana dengan mata membelalak tajam pada Pendekar Gila.
Wajah Pendekar Gila pun telah
berubah merah.
Hal itu sebagai tanda kalau
hatinya telah marah, menyaksikan semua tindakan Kala Bendana yang sangat
biadab.
“Ya Aku Pendekar Gila,” jawab
Sena dengan tegas. Meski masih cengengesan, wajahnya yang merah membara tak
dapat menyembunyikan
kemarahan. “Percuma kau
memiliki ilmu setinggi langit, Kala Bendana, kalau kesombongan dan keangkaramurkaan
tak dapat kau atasi”
“Cuih Lancang sekali kau
berani mengguruiku, Bocah Edan” bentak Kala Bendana, tak menaruh rasa takut
sedikit pun pada Pendekar Gila yang sudah memuncak amarahnya.
“Hm, jadi kau tak mau sadar,
Kala Bendana?”
“Phuih... Lagakmu seperti
seorang resi Hadapi aku, jangan banyak mulut Akan kukirim kau ke akherat sana
Dan di sana kau boleh mengajar para dedemit Hua ha ha...” ejek Kala Bendana
yang semakin membuat Pendekar Gila bertambah marah.
“Aku layani tantanganmu, Kala
Bendana
Waspadalah”
Baik Kala Bendana maupun
Pendekar Gila kini menyurut mundur tiga tindak. Semua orang yang ada di situ,
kini membentuk lingkaran. Mereka yang semula hendak bertarung, kini hanya
menjadi penonton. Mereka semua hendak menyaksikan duel Kala Bendana melawan
Pendekar Gila.
“Bersiaplah untuk mampus,
Bocah Edan Hea...”
Kala Bendana langsung
menggebrak dengan jurus andalannya 'Serigala Iblis Merangsek Rusa'. Tangannya
mencengkeram ke sana kemari. Namun dengan enteng Pendekar Gila berkelit.
Tubuhnya meliuk-iiui sana menari, disertai dengan pukulan telapak tangan.
“Hea”
Plakkk
“Ukh” Tubuh Kala .Bendana yang
gendut besar itu terhuyung-huyung ke belakang, terkena pukulan telapak tangan
Pendekar Gila. Matanya terbelalak kaget Hampir tak percaya kalau pemuda
bertingkah laku gila itu dalam segebrakan saja mampu menghantam-kan pukulan
aneh ke dadanya.
“Cuih Jangan dikira kau akan
menang melawanku, Bocah Edan Terimalah ajian 'Lumpur Maut'-
ku. Hea...”
Zrttt
“Aits” dengan cepat Pendekar
Gila melentingkan tubuh ke atas untuk mengelak. Namun Kala Bendana tak mau
membiarkan Pendekar Gila lepas dari ajian mautnya. Lelaki bertubuh gendut itu
mencecar dengan ajian 'Lumpur Maut'-nya.
“Hea”
Zrttt Zrttts
“Aits” Pendekar Gila melompat
dan berjumpalitan mengelakkan hantaman ajian maut itu. Sehingga serangan itu
menerjang sebatang pohon. Aneh
Pohon yang terhantam ajian itu
seketika mengecil dan semakin kecil sampai akhirnya hilang. “Demi setan Aku tak
bisa terus begini” dengusnya.
Pendekar Gila segera mencabut
Suling Naga Saktinya, kemudian dengan cepat dibabatkan tepat pada ajian 'Lumpur
Maut' yang meluncur mem-burunya.
Zrttt
Wrt
'Lumpur Maut' itu seketika
berbalik ke pemiliknya.
Kala Bendana tersentak kaget
Dengan mata terbelalak dirinya berusaha menghindar. Kala Bendana sungguh tak
menyangka akan mendapat serangan balik dari ajiannya. Tanpa ampun lagi,
tubuhnya harus menjadi sasaran ajiannya sendiri.
Zrttt
“Tobaaat...” Kala Bendana
menjerit setinggi langit dan berusaha melepaskan diri dari lumpur mautnya.
Namun, lumpur hitam itu telah
menggulungnya.
Kejadian aneh pun terjadi.
Tubuh Kala Bendana semakin lama semakin kecil dan akhirnya hilang bersama
lumpur maut itu.
Melihat pimpinan mereka mati,
para anak buah Kala Bendana pun segera menyerah. Bahkan Braga Kunta yang
mendahului menyerah bersama Purba Kelakon.
Mereka digiring ke balai desa,
untuk mendapat hukuman yang setimpal.
Pagi telah datang, ketika
Pendekar Gila meminta izin untuk meneruskan perjalanannya mengembara.
Ki Praba, Purnama, dan Sanjaya
serta warga Desa Karang Galuh berusaha mencegah. Namun akhirnya mereka melepas
juga kepergian Pendekar Gila.
Mereka memahami tanggung jawab
yang diemban Pendekar Gila sebagai penegak dan pembela kebenaran.... SELESAI