-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 26 Undangan Maut
1
Hutan Bambu yang semula riuh
oleh pertarungan seru, seketika bagaikan mati. Semua terdiam dengan mata
memandang kedua Maling Budiman yang sudah sangat mereka kenali. Para prajurit
Kerajaan Surya Langit terkejut, setelah tahu siapa sebenarnya maling budiman
yang selama ini selalu menutupi wajah dengan cadar. Bagaikan ada yang
memerintah, pertarungan seketika terhenti. Semua tertegun, dengan mata berusaha
memperjelas penglihatan terhadap kedua maling itu.
Perdana Menteri Giri Gantra
masih terpaku duduk di pelana kudanya. Matanya melotot kaget. Tanpa sadar, dari
mulutnya mendesiskan nama pemuda berpakaian biru.
"Pangeran Prapanca,
kau...?" "Pangeran..." seru yang lainnya turut tersentak kaget,
setelah tahu lelaki yang tadi mengenakan cadar biru penutup wajah. Serta merta
para prajurit melemparkan pandangan keheranan pada Perdana Menteri Giri Gantra,
seakan mereka ingin bertanya, apa sebenarnya yang terjadi.
"Perdana Menteri,
bagaimana mungkin ini terjadi?" tanya Resi Wisangkara yang juga diliputi
rasa heran dan tak mengerti.
"Ya, mengapa bisa
begini?" sambung Gagak Se-lo. "Bukankah dulu Tuan mengatakan Kanjeng
Pangeran sudah mangkat?" Perdana Menteri Giri Gantra kebingungan. Kini dia
benar-benar merasa terpojok. Namun begitu, sifatnya yang licik tidak begitu
saja mau mengalah. Otaknya yang licik, berpikir keras untuk menghadapi semua.
Belum juga perdana menteri membuka suara, Pendekar Gila telah mendahului.
"Hi hi hi... Kau sekarang
seperti kebingungan, Perdana Menteri? Ah ah ah, jelas kau menyembunyikan
sesuatu," tukas Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala.
"Tutup mulutmu, Bocah
Gila" bentak Perdana Menteri Giri Gantra sengit. Matanya melotot marah ke arah
Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kaulah yang harus
menutup mulut, Perdana Menteri" sergah Pangeran Prapanca dengan bentakan.
"Kau telah membohongi
semua rakyat, dengan mengatakan aku telah mati" "Tidak" teriak
Perdana Menteri Giri Gantra.
"Kau bukan Pangeran
Prapanca. Kau penjahat yang menyamar sebagai Pangeran Prapanca. Putra mahkota telah
meninggal dunia" Pangeran Prapanca tersenyum sinis, mendengar ucapan
Perdana Menteri Giri Gantra. Mata Pangeran Prapanca menatap tajam wajah Perdana
Menteri Giri Gantra. Kemudian mengalihkan ke wajah Resi Wisangkara, Gagak Selo,
dan Ki Naga Wilis, serta Pangli-ma Utama Rawa Sekti.
"Apakah kalian akan
percaya dengan omongannya?" tanya Pangeran Prapanca, yang menjadikan semua
pendekar pengikut Perdana Menteri Giri Gantra masih terdiam. Mereka sepertinya
masih bingung dengan kejadian ini. "Aku Pangeran Prapanca, Putra Mahkota
Kerajaan Surya Langit, yang berhak untuk mendapatkan takhta kerajaan" "Tidak
Kau bukan pangeran" sahut Perdana Menteri Giri Gantra berusaha
mempengaruhi orangorangnya, agar tak percaya dengan yang dikatakan Pangeran
Prapanca. "Tidak mungkin seorang pangeran berbuat jahat, mencuri, dan
membunuh pejabatpejabat kerajaan" "Cuih..." Pangeran Prapanca
meludah. "Sungguh berbisa mulutmu, Perdana Menteri Kalau saja kau tidak
melakukan kejahatan dengan menindas rakyat, aku tak akan melakukan pekerjaan
ini Kau benar-benar iblis Kau injak rakyat demi kepentingan pribadimu" "Bohong..."
teriak Perdana Menteri Giri Gantra.
"Kau benar-benar bukan
Pangeran Prapanca, tetapi pencuri Kau terlalu banyak berbuat salah. Kau harus dihukum
Karena telah mengganggu keamanan rakyat Kerajaan Surya Langit. Kau harus
ditangkap" Pangeran Prapanca tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan
Perdana Menteri Giri Gantra. Matanya memandang penuh kebencian ke arah orang kepercayaan
Prabu Awangga itu.
"Perdana Menteri licik
Kau kira dengan cara seperti itu, kau dapat lari dari tanggung jawabmu?" dengus
Pangeran Prapanca dengan senyum sinis. Hal itu menjadikan Perdana Menteri Giri
Gantra semakin sengit "Tangkap mereka..." teriak Perdana Menteri
Gi-ri Gantra memerintah pada tokoh persilatan juga para prajurit yang ikut
bersamanya. Namun tak seorang pun yang mau bertindak. Mereka masih saja terdiam
dalam kebimbangan. Bahkan mereka kini memandang tajam pada Perdana Menteri Giri
Gantra yang semakin bertambah marah, menyaksikan para prajurit tak ada yang
menanggapi perintahnya. "Kurang ajar Kalian akan mendapatkan hukuman, jika
tak mau melaksanakan tugas" "Kami tak peduli dengan ocehanmu, Perdana
Menteri" Resi Wisangkara angkat bicara.
"Ya Kami berpihak pada
Pangeran Prapanca," sambung Gagak Selo tegas. "Selama ini, kami telah
kau bohongi, Perdana Menteri" "Tutup mulut kalian Prajurit, serang
mereka..." teriak Perdana Menteri Giri Gantra marah. "Bunuh mereka
semua..." Prajurit kerajaan yang tersisa dua puluh orang itu, sesaat
bimbang. Mereka merasa bingung harus berbuat apa, karena lawan yang mereka
hadapi kini terdiri dari pendekar-pendekar tangguh. Di samping itu, mereka tahu
bahwa di sana memang ada Pangeran Prapanca. Pangeran yang sebenarnya berhak
atas takhta kerajaan.
"Prajurit, apa kalian
tuli, heh? Serang mereka..." Kembali Perdana Menteri Giri Gantra
berteriak, memerintah pada para prajuritnya agar menyerang.
"Jangan hiraukan dia,
Prajurit Aku Prapanca.
Kalian jangan ragu Akulah
pewaris takhta kerajaan" teriak Pangeran Prapanca, yang semakin membuat para
prajurit kian kebingungan. Mereka terhenti di tengah jalan, ragu-ragu untuk
melakukan tindakan.
"Kurang ajar Serang
mereka dan bunuh semua..." teriak Perdana Menteri Giri Gantra. Namun para
prajurit tetap tak ada yang melakukan tindakan apa pun. Bahkan tiba-tiba mereka
berbalik, hendak menyerbu Perdana Menteri Giri Gantra.
"Gusti Pangeran,
perintahkan pada kami untuk menangkap perdana menteri keparat itu. Kami akan segera
menangkapnya, dan bila perlu, kami akan memenggal kepalanya" seru pimpinan
prajurit dengan lantang.
Mendengar ucapan pimpinan
prajurit, seketika Perdana Menteri Giri Gantra tersentak kaget. Wajahnya pucat
pasi. Lalu tanpa banyak kata, kudanya segera d gebah meninggalkan Hutan Bambu.
Para prajurit hendak mengejar,
namun dengan cepat Pangeran Prapanca melarang.
"Jangan dikejar Biarkan
dia hidup" "Tetapi, ini sangat berbahaya, Pangeran," kata lelaki
bertelanjang dada berusia sekitar empat puluh tahun dengan kumis tebal.
"Perdana menteri itu sangat berbahaya." "Aku tahu. Biarkan dia
pergi Yang penting, kita kini harus menghimpun kekuatan. Menghadapi kerajaan,
bukanlah hal yang mudah," tutur Pangeran Prapanca pada prajurit-prajurit
kerajaan. "Kumohon, su-dilah Tuan-Tuan Pendekar mau membantu kami." "Aha,
tak usah kau pinta, Kanjeng Pangeran Dengan senang hati kami akan
membantumu," sahut Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Matanya melirik ke wajah Mei Lie, yang tengah memasukkan Pedang Bidadari ke
warangkanya. Sena pun segera memasukkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggang.
"Terima kasih, aku pun tentu saja tak melupa-kanmu. Pendekar Gila."
kata Pangeran Prapanca sambil menjura. "Kalian berdua telah menolong kami.
Nah, bagaimana dengan yang lain? Apakah Tuan-Tuan juga sudi mendukung
perjuanganku?" Resi Wisangkara melangkah mendekati Pangeran Prapanca.
Kemudian lelaki tua berkepala botak itu melakukan sembah, diikuti para pendekar
yang lain.
"Kami berada di belakangmu,
Kanjeng Pangeran," kata Resi Wisangkara sambil menyembah. "Kaulah
pewaris takhta Kerajaan Surya Langit yang sebenarnya. Kami tunduk dan pasrah
padamu." "Ya. Kami akan selalu di belakangmu," sambung Gagak
Selo.
"Benar, Pangeran. Izinkan
kami mengabdi padamu," tambah Ki Naga Wilis. Rupanya tokoh sesat ini
menyadari kedudukannya yang terjepit. Apalagi kini dia tahu, kedua maling
budiman ternyata Pangeran Prapanca dan temannya, Pranala. Apalagi setelah tahu,
kalau di antara mereka terdapat Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa,
sepasang pendekar yang sudah sangat terkenal.
"Bagaimana denganmu,
Panglima?" tanya Pangeran Prapanca yang ditujukan pada Panglima Rawa Sekti,
karena sejak tadi lelaki bertubuh tinggi itu hanya diam. Sepertinya dia dalam
kebimbangan untuk memilih.
"Saya pun turut di
belakangmu, Kanjeng Pangeran," jawab Panglima Rawa Sekti sambil bersujud.
"Terima kasih. Bangunlah
kalian semua. Di sini, tak ada peraturan seperti di kerajaan. Aku, Pendekar
Gila, Bidadari Pencabut Nyawa, dan kalian semua, sama saja hak dan
kewajibannya. Kita sama-sama akan menumpas keangkaramurkaan," tutur
Pangeran Prapanca.
"Benar Lihatlah rakyat
yang sangat menderita.
Mereka sangat membutuhkan
uluran tangan kita. Selama ini, mereka sangat tertindas," kata Pranala
menambahkan. "Apakah kita akan menutup mata, menyaksikan penderitaan
rakyat?" Semua yang berada di Hutan Bambu itu mengangguk-anggukkan kepala.
Tampaknya mereka memaklumi apa yang dihasratkan Pangeran Prapanca sebagai putra
mahkota.
"Terima kasih atas
perhatian kalian semua," ka-ta Pangeran Prapanca sambil tersenyum senang.
"Pendekar Gila, bagaimana menurutmu yang baik untuk kami lakukan? Apakah
kami harus menyerang ke kerajaan?" Ditanya begitu, Pendekar Gila
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Diliriknya Mei Lie yang kini berdiri
di sampingnya. Seakan ingin meminta pendapat dari kekasihnya. Mei Lie hanya
tersenyum sambil mengangkat bahu, sepertinya menyerahkan semua persoalan dan
pendapat pada Sena.
"Hi hi hi... Lucu sekali
Mengapa aku yang bodoh dan gila dimintai pendapat?" tanya Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Apakah nanti pendapatku
tidak sama gilanya dengan keadaanku?" "Ah, kau selalu merendah,
Pendekar Gila," ujar Pangeran Prapanca sambil tersenyum. Dia tahu siapa sebenarnya
Pendekar Gila. Meski tingkah lakunya aneh seperti orang gila, namun dalam hal
yang sungguh-sungguh, pendapat dan pikirannya tak kalah dengan orang waras yang
berpendidikan tinggi.
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak ketika mendengar ucapan Pangeran Prapanca. Kepalanya digeleng-gelengkan,
sambil digaruk-garuk dengan tangan kanannya. Tingkah lakunya benar-benar
konyol, mengundang semua orang yang ada di tempat itu tersenyum-senyum.
"Ah ah ah, bagaimana ya?
Aku orang tolol, mengapa harus dimintai pendapat?" gumam Sena masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Untuk kedua kalinya, diliriknya Mei
Lie, seakan meminta pendapat. Namun Mei Lie hanya tersenyum sambil mengangkat
bahu, yang membuat Sena semakin keras menggaruk-garuk kepalanya. "Ah,
kenapa aku jadi begini?" "Ayolah, Sena Kau adalah penasihat kami,
untuk itu kami mengharap nasihat darimu," desak Pangeran Prapanca.
"Benar, Sena. Kaulah yang
kami rasa pantas memberi nasihat dan saran-saran bagi kami," sambung
Pranala dengan mulut tersenyum, melihat tingkah laku Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Aneh sekali,
mengapa mesti aku? Aku sendiri sedang bingung, tak tahu harus bagaimana. Niatku
sebenarnya ingin menemui guru. Tapi ada masalah yang menghambat perjalananku.
Dan kini, kalian memintaku untuk mengeluarkan pendapat. Ah ah ah, lucu..., lucu
sekali" Sena menggelenggelengkan kepala sambil menggaruk-garukkan tangannya
di kepala.
"Bagaimana dengan Nini
Mei Lie?" tanya Prana-la. Dia berharap Mei Lie akan bisa memberi pandangan
bagi mereka. "Kalau Nini Mei Lie ada pandangan bagi kami, kami sangat
berharap sekali." Mei Lie hanya tersenyum mendengar ucapan Pranala. Dia
merasa kalau pendapat dan pikirannya selalu sama dengan kekasihnya. Ke mana
Pendekar Gila pergi, dia tentu akan mengikuti. Dengan kata lain, Mei Lie telah
menyerahkan segalanya pada Pendekar Gila. "Aku hanya terserah pada Kakang
Sena," jawab Mei Lie. "Aha, mengapa mesti aku?" tanya Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Wuah wuah, bagaimana
mungkin aku menjadi tumpuanmu? Kurasa, pangeranlah yang lebih berwenang dalam
masalah ini.
"Baiklah kalau
begitu," sahut Pangeran Prapanca. "Kalau memang tak ada yang bermaksud
memberi saran, aku akan memberi tugas pada semuanya." "Katakanlah,
Pangeran Tugas apa pun, akan kami lakukan," sambut pimpinan prajurit.
"Ya. Katakanlah, kami
akan patuh menjalankan perintahmu," timpal Ki Naga Wilis.
"Baik. Aku tak ingin
terjadi pertumpahan darah. Karena perang sebenarnya akan menjadikan rakyat
menderita," tutur Pangeran Prapanca, yang menjadikan semuanya membelalak
kaget. Mereka hampir tak percaya, kalau Pangeran Prapanca akan berlaku begitu
baiknya. Padahal dirinya tahu sang Ayah serta keluarganya telah jatuh dalam
perebutan kekuasaan.
Pangeran Prapanca pun
menyadari kalau penguasa kerajaan yang sekarang telah menyelewengkan kekuasaannya.
"Tapi, Pangeran,"
selak Pranala. "Bukankah Pangeran yang berhak atas takhta kerajaan? Kalau takhta
kerajaan dibiarkan dipegang orang-orang durjana, rakyat tak akan pernah
aman." Semua terdiam mendengar ucapan Pranala, termasuk juga Pangeran
Prapanca. Mereka benarbenar tak menduga kalau Pranala yang pendiam mengerti
masalah kerajaan. Wawasannya pun nampak maju.
"Hal yang kedua, tentunya
para penguasa akan semakin bertindak semena-mena. Mereka akan berusaha memburu
kita, karena mereka menganggap kita takut," sambung Pranala.
"Kau memang benar,
Pranala. Namun, kurasa ada jalan lain selain dengan cara pertempuran. Tentunya
kau masih ingat kata-kata guru, kalau pertarungan sesungguhnya bukan
penyelesaian yang baik," ujar Pangeran Prapanca mengingatkan saudara seperguruannya.
"Aku masih ingat,
Pangeran. Namun, bukankah guru juga mengatakan, perjuangan membela kebenaran
dan keadilan selalu saja membutuhkan pengorbanan," kilah Pranala.
"Hm, kau benar. Tapi, aku
tak ingin mendahului. Bagaimana kalau aku mengutus Pendekar Gila dan Mei Lie
untuk menyampaikan pesanku pada raja?" tanya Pangeran Prapanca meminta
pendapat "Aha, aku siap, Pangeran," jawab Sena dengan cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian diliriknya Mei Lie, sepertinya ingin
mengetahui tanggapan gadis itu.
"Aku pun siap,"
jawab Mei Lie tegas.
"Terima kasih," ucap
Pangeran Prapanca. "Baiklah, besok aku meminta bantuan kalian berdua,
untuk menyampaikan surat pada Baginda Raja Awangga." "Aha, akan kami
laksanakan, Pangeran," sahut Sena. "Mari masuk Kita rundingkan
rencana selanjutnya di dalam saja. Anggaplah gubuk ini sebagai istana
kita" kata Pangeran Prapanca setengah bercanda sambil mempersilakan
rekan-rekannya agar masuk ke gubuk yang selama ini menjadi tempat persembunyiannya.
Tanpa membantah, mereka pun
menurut masuk ke gubuk itu. Kemudian mereka duduk di atas tikar pandan yang
tergelar lebar di ruangan itu.
***
Sementara itu, Perdana Menteri Giri Gantra telah
sampai di dekat istana. Wajahnya pucat, setelah menempuh perjalanan dalam
ketakutan dan marah.
Napasnya tersengal-sengal.
Kuda yang ditunggangi, dipacu cepat. Sehingga keempat penjaga pintu gerbang istana
hampir tertabrak kudanya.
"Aku harus bisa mengambil
hati baginda," desis Perdana Menteri Giri Gantra sambil turun dari
kudanya. Kemudian lelaki bermuka bengis dan mengenakan pakaian kebesaran istana
itu melangkah tergesagesa memasuki Istana Kerajaan Surya Langit. Dia langsung
menghadap Baginda Raja Awangga, yang saat itu tengah duduk di singgasananya,
dikelilingi dayang-dayang cantik.
"Ampun, Baginda Hamba
menghadap" "Ada apa, Paman Perdana Menteri?" tanya Baginda Raja
Awangga dengan kening berkerut, menyaksikan ketegangan tergambar di wajah
perdana menterinya. "Hm.... Tampaknya ada berita buruk? Apakah kedua
maling itu lagi?" "Benar, Baginda," sahut Perdana Menteri Giri
Gantra seraya menyembah.
"Katakanlah, ada apa
dengan kedua maling itu?" Perdana Menteri Giri Gantra sejenak terdiam.
Sepertinya dia tengah mengatur
rencana, bagaimana sebaiknya menuturkan perihal Pangeran Prapanca pada baginda
raja. Dia harus bisa mengambil hati Baginda Raja Awangga, agar memusuhi
Pangeran Prapanca dan teman-temannya.
"Ampun, Baginda
Sesungguhnya, kedua maling itu tiada lain...." Sampai di sini, Perdana
Menteri Giri Gantra tak meneruskan ucapannya. Hal itu membuat Baginda Raja
Awangga merasa penasaran. Hatinya ingin tahu apa sebenarnya yang telah terjadi.
"Ada apa, Perdana
Menteri? Siapa sebenarnya kedua maling itu?" desak Baginda Raja Awangga
ingin tahu. "Ampun, Baginda Ternyata kedua maling itu, tiada lain Pangeran
Prapanca dan sahabatnya, Pranala," tutur Perdana Menteri Giri Gantra.
"Apa?" mata Baginda
Raja Awangga membelalak, mendengar penuturan Perdana Menteri Giri Gantra. Dia
sama sekali tak menduga kalau Pangeran Prapanca ternyata masih hidup.
"Mengapa dia masih hidup? Bukankah telah kuutus seseorang untuk membunuhnya?"
"Entahlah, Baginda. Yang pasti, kini beberapa pendekar berpihak kepadanya,
termasuk Pendekar Gila dan kekasihnya Bidadari Pencabut Nyawa," ujar
Perdana Menteri Giri Gantra. Kemudian dengan sing-kat diceritakan semua yang
terjadi di Hutan Bambu (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Pendekar
Gi-la dalam episode "Sepasang Maling Budiman").
"Hm...," gumam
Baginda Raja Awangga lirih.
Tangannya membelai jenggotnya
yang panjang. Matanya memandang lepas keluar lewat pintu istana. Tersirat di
wajahnya suatu perasaan kekhawatiran. Namun, tentu saja hal itu tak
diperlihatkan jelas di depan perdana menterinya. Pangeran Prapanca yang
harusnya telah tiada, tiba-tiba muncul. Kalau sampai rakyat tahu, tentu mereka
akan berpihak pada putra mahkota itu. Jelas, baginya ini suatu ancaman yang tak
boleh dianggap sepele. Ini merupakan masalah besar. Masalah negara, bahkan
hidup dan matinya.
Baginda Raja Awangga dan
Perdana Menteri Giri Gantra sesaat terdiam. Nampaknya mereka sedang berpikir
untuk mencari jalan keluar guna menyingkirkan Pangeran Prapanca dari Kerajaan
Surya Langit.
Bahkan bila perlu, putra
mahkota itu harus dibunuh tanpa sepengetanuan rakyat Kerajaan Surya Langit.
"Apa yang harus kita
perbuat, Perdana Menteri?" tanya Baginda Raja Awangga seraya menatap
dengan kening berkerut pada Perdana Menteri Giri Gantra.
"Kita harus menyingkirkan
dia dan temantemannya, Baginda" "Caranya...?" Sesaat Perdana
Menteri Giri Gantra terdiam.
Dia pun belum tahu, bagaimana
cara menyingkirkan Pangeran Prapanca dan Pranala serta teman-temannya tanpa
harus melibatkan rakyat kerajaan. Karena jika sampai rakyat mengetahui,
tentunya mereka tak akan tinggal diam. Rakyat pasti akan melakukan pemberontakan.
Apalagi selama ini, rakyat hidup dalam kesengsaraan, akibat penindasan yang
dilakukan para pembesar kerajaan.
"Bagaimana kalau kita
undang mereka, Baginda," ujar Perdana Menteri Giri Gantra.
"Lalu...?" tanya
Baginda Awangga belum mengerti maksud perdana menterinya.
"Jika kita mengundangnya,
kita tidak harus berhadapan langsung dengan mereka. Kita akan mengundang
jago-jago persilatan, untuk menghadapi mereka," kata Perdana Menteri Giri
Gantra menjelaskan.
Namun, tampaknya Baginda Raja
Awangga belum jelas dengan rencana yang diterapkan perdana menterinya.
"Uraikan semua, Perdana
Menteri Aku belum jelas, apa yang sebenarnya hendak kau lakukan," pinta
Baginda Raja Awangga.
Perdana Menteri Giri Gantra
menyembah, kemudian mulai menjelaskan rencana yang akan diterapkannya.
"Hamba akan mengundang
jago-jago dari kerajaan lain, guna menghadapi para pendekar yang membantu
Pangeran Prapanca. Kemudian ketika mereka sedang melakukan pertarungan sebagai
hiburan dalam penyambutan kerajaan atas kedatangan putra mahkota, yang lain
akan bergerak untuk menangkap. Kalau Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya
tertangkap, maka suasana akan kembali aman. Rakyat tidak tahu siapa sebenarnya
si Maling Budiman itu, juga tentang kejadian di istana." Baginda Raja
Awangga diam mendengarkan gagasan Perdana Menteri Giri Gantra. Kepalanya tampak
mengangguk-angguk, seakan berkenan mendengar pendapat itu.
"Begitulah rencana hamba,
Baginda," kata Perdana Menteri Giri Gantra mengakhiri penuturannya.
"Hm, bagus Aku setuju
dengan maksudmu," ujar Baginda Raja Awangga sambil tersenyum-senyum.
Jenggotnya yang panjang
dibelai-belai sambil kepalanya terus manggut-manggut. Matanya bersinarsinar,
seperti merasa senang. "Tak percuma kau kua-ngkat menjadi Perdana Menteri,
Giri Gantra. Ternyata pikiranmu masih bisa kuandalkan. Ha ha ha..." "Terima
kasih, Baginda. Kita harus secepatnya mengundang mereka untuk datang kemari.
Karena kalau terlambat, bisa-bisa merekalah yang akan mendahului kita,"
lanjut Perdana Menteri Giri Gantra, seakan-akan tak sabar ingin segera dapat
meringkus Pangeran Prapanca.
"Lalu, bagaimana dengan
rencana perkawinan anakku?" tanya Baginda Raja Awangga. "Pesta
perkawinan itu, akan dilaksanakan dua minggu lagi, Perdana Menteri." "Serahkan
pada hamba, Baginda. Sebelum pesta perkawinan itu berlangsung,
penjahat-penjahat pasti sudah tertangkap...," jawab Perdana Menteri Giri
Gantra tegas.
"Baiklah..., baiklah. Aku
serahkan semuanya padamu," ujar Baginda Raja Awangga. Kemudian mereka
tertawa terbahak-bahak, seperti merasa yakin akan dapat menangkap Pangeran
Prapanca dan teman-temannya.
***
2
Pagi telah datang dengan sinar
matahari yang menghangatkan bumi, ketika sepasang pendekar melangkah di jalan
selebar tiga tombak, menuju Istana Kerajaan Surya Langit. Sepasang pendekar
yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila dan Mei Lie itu tengah
menjalankan tugas. Mereka diutus Pangeran Prapanca untuk menyampaikan surat
pada Baginda Raja Awangga.
Dengan langkah tenang dan
mantap, keduanya mulai memasuki alun alun depan istana. Namun ketika hendak
memasuki pintu gerbang istana, empat prajurit bersenjata tombak menghadang
mereka "Berhenti" perintah salah seorang prajurit.
Pendekar Gila dan Mei Lie
menurut berhenti.
Mata mereka memandangi keempat
prajurit yang menyilangkan tombak, menghadang langkah mereka.
Seorang prajurit bermuka
beringas dengan tubuh kekar melangkah mendekat "Siapa kalian? Dan ada
kepentingan apa?" tanya prajurit bermuka garang itu tegas.
"Hi hi hi... Kami diutus
Pangeran Prapanca, untuk menyampaikan surat pada Baginda Raja Awangga,"
jawab Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Lalu
melirik Mei Lie yang menganggukkan kepala.
"Siapa kalian?"
sentak prajurit bertubuh tegap itu.
"Aha, apakah perlu sebuah
nama?" sahut Sena masih cengengesan.
"Anak gila, siapa pun
yang masuk istana semua harus diketahui. Siapa namanya, dari mana, dan keperluannya.
Jangan berlaku kurang ajar di kerajaan, mengerti?" bentak prajurit itu
merasa kesal dengan tingkah laku Pendekar Gila.
"Hm, baiklah. Aku Mei
Lie, dan temanku Sena Manggala. Kami diutus Pangeran Prapanca untuk menyampaikan
surat pada Baginda Raja Awangga. Sudah jelas?" tanya Mei Lie dengan senyum
sinis. Nampaknya Mei Lei tak suka melihat sikap prajurit itu, yang terlalu
angkuh dan lancang. Sena sudah menjelaskan maksudnya, namun prajurit itu tetap
saja ngotot. Bahkan matanya memandang nakal pada Mei Lie. Benar-benar kurang
ajar Kalau saja Pangeran Prapanca tak melarang bentrok dengan prajurit-prajurit
kerajaan, ingin sekali Mei Lie menyobek mulut atau mata prajurit ini.
"Baiklah, tunggu
sebentar" jawab prajurit itu sambil melangkah pergi meninggalkan Pendekar
Gila dan Mei Lie yang dijaga oleh tiga orang temannya.
Pendekar Gila dan Mei Lie
nampak tenang. Mereka memang telah dipesan agar tak melakukan pertarungan.
Keduanya hanya diperintahkan untuk membawa surat dari Pangeran Prapanca. Dan
Pangeran Prapanca meminta Pendekar Gila dan Mei Lie tak menyerang jika tidak
diserang.
Tidak lama kemudian prajurit
yang menghadap raja kembali keluar. Kali ini dia bersama Perdana Menteri Giri
Gantra, yang tersenyum ramah pada Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Oh, rupanya Tuan-Tuan
Pendekar yang datang," sapa Perdana Menteri Giri Gantra dengan ramah,
seakan berusaha menunjukkan bagaimana sebenarnya keadaan istana dan menutupi
keburukan orang-orang istana. "Silakan... Baginda telah menunggu
kedatangan kalian." "Terima kasih," jawab keduanya seraya
menjura hormat. Kemudian dengan diantar Perdana Menteri Gi-ri Gantra, keduanya
menuju ke istana untuk menemui Baginda Raja Awangga.
Baginda Raja Awangga nampaknya
sudah berada di singgasananya. Bibirnya mengurai senyum, setelah melihat
kedatangan Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Selamat datang di
istanaku," sambut Baginda Raja Awangga dengan ramahnya.
Pendekar Gila dan Mei Lie
langsung memberi sembah, lalu duduk bersila di hadapan Baginda Raja Awangga.
"Ampun, Baginda Kami
datang untuk menyampaikan pesan dari Pangeran Prapanca," kata Sena sambil
menyodorkan gulungan daun lontar yang diba-wanya. Baginda Raja Awangga segera
menerima surat itu. Dibukanya gulungan daun lontar itu dan dibaca.
Bibir sang Baginda mengurai
senyum, setelah membaca surat yang disampaikan kedua utusan Pangeran Prapanca.
Dipandanginya kedua pemuda dan pemudi yang duduk dan menundukkan kepala.
"Jadi, Pangeran Prapanca
meminta agar rakyat dibebaskan dari pajak? Serta kekayaan kerajaan untuk kepentingan
rakyat?" tanya Baginda Raja Awangga dengan bibir masih tersenyum. Namun
senyum itu nampak sangat sinis.
"Kami tak tahu, Baginda.
Kami hanya menjalankan tugas semata-mata," jawab Sena sambil cengengesan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Hm, baiklah. Aku akan
menyetujui permintaan Pangeran Prapanca. Namun aku tak ingin hanya utusan yang
datang. Aku berharap Pangeran Prapanca datang sendiri ke istana. Bukankah lebih
baik orang yang bersangkutan datang menghadap sendiri?" tanya Baginda Raja
Awangga. Di bibirnya masih mengurai senyum, seakan berusaha menunjukkan
keramahannya.
"Kami hanya utusan,
Baginda," ujar Mei Lie.
"Apa yang akan
disampaikan, akan kami sampaikan." "Bagus. Sampaikan pada Pangeran
Prapanca Kami pihak istana sangat mengharapkan kedatangannya," kata
Baginda Raja Awangga sambil memandang sejenak pada perdana menterinya yang
tersenyum.
"Kami akan menjamunya,
sesuai dengan kebiasaan istana. Bagaimanapun, dia tetap seorang pangeran."
"Akan hamba sampaikan," jawab Sena sambil menyembah. "Hamba
mohon pamit" "Hamba pun mohon pamit," sambut Mei Lie sambil
mengikuti Pendekar Gila menyembah. Kemudian Pendekar Gila dan Mei Lie bangun
dari duduk bersila. Sambil menyembah mereka melangkah mundur. Meskipun keduanya
utusan Pangeran Prapanca yang dalam hal ini merupakan musuh kerajaan, mereka
tetap berlaku sopan santun di istana.
"Sampaikan salamku pada
Pangeran Prapanca Usahakan agar dia segera sampai di istana secepat mungkin"
kata Baginda Raja Awangga mengingatkan, sebelum Pendekar Gila dan Mei Lie
meninggalkan ruang balai istana.
***
Mei Lie dan Pendekar Gila telah keluar dari istana
kerajaan. Keduanya kini tengah menyelusuri jalanan yang sudah jauh dari istana.
Seperti biasanya, mereka senantiasa bercanda ria di dalam perjalanan.
Langit cerah pagi hari dan
sinar matahari yang hangat seakan menemani mereka dalam menempuh perjalanan
pulang, setelah menyampaikan pesan dari Pangeran Prapanca.
"Ah, akhirnya kita harus
terlibat juga, Mei," ka-ta Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Seharusnya, kita hampir sampai di tempat guru." "Kenapa
Kakang tadinya tak meneruskan perjalanan saja? Kalau saja Kakang tak ikut
campur dengan urusan Pangeran Prapanca, tentu kita hampir sampai," ujar
Mei Lie sambil melangkah di samping kekasihnya.
Sesekali Mei Lie menoleh ke
wajah Sena. Tidak pernah jemu-jemunya gadis itu memandangi wajah sang Kekasih.
Meski cengengesan, namun wajahnya yang tampan tetap tampak. Meski Sena seperti
orang gila, Mei Lie merasa damai jika berada di sampingnya.
"Ah ah ah, semua Hyang
Widi yang mengatur, Mei Lie. Aku hanya manusia, tak kuasa menolak segala yang
telah digariskan," kata Sena seraya menarik napas panjang. Sesaat matanya
memandang wajah Mei Lie. "Ah, sudahlah Sudah telanjur basah, apa salahnya
kita sekalian menyelaminya." "Kalau memang itu sudah menjadi
keputusan, aku pun turut bersamamu, Kakang," desah Mei Lie sambil
menyandarkan kepalanya di pundak kanan Pendekar Gila. "Terus terang
kukatakan, aku sangat tenang jika berada di sampingmu." Sena tersenyum.
Lalu dengan lembut diusapnya rambut Mei Lie. Keduanya terus melangkah dengan
hati berbunga. Jalinan cinta kasih yang mereka bina, semakin terasa di
saat-saat seperti ini. Di mana mereka hanya berdua, dengan ditemani suasana
alam yang tenang dan damai.
"Mungkinkah selamanya
kita akan selalu bersama, Kakang?" Pertanyaan Mei Lie yang tiba-tiba itu
menyentakkan Sena dari lamunannya. Seketika Pendekar Gila menghentikan langkah,
matanya memandang lekat wajah Mei Lie.
"Mengapa kau bertanya
begitu, Mei Lie?" tanya Sena dengan kening mengerut, kaget mendengar
pertanyaan yang baru saja dilontarkan kekasihnya.
"Kakang Sena, semenjak
kita bertemu, aku sudah merasakan jatuh cinta padamu. Dalam hati kecilku, aku
berjanji untuk mengabdi padamu," tutur Mei Lie dengan polos. Matanya
membalas tatapan Pendekar Gila. Gadis itu seakan ingin meminta kepastian dari
kekasihnya.
"Aku mengerti, Mei Lie.
Tapi, mengapa kau bertanya seperti itu? Aku pun tak ingin kita berpisah.
Namun semua tetap tergantung
Hyang Widi, kita tak mungkin bisa menentangnya," ujar Sena sambil membelai
rambut kekasihnya. Dia berusaha menenangkan hati Mei Lie.
"Maafkan aku,
Kakang" "Tak mengapa. Ayolah, perjalanan masih panjang Kita tak bisa
berlama-lama di tempat seperti ini," ajak Sena, merasa kalau di tempat
sepi dan senyap seperti itu bahaya akan senantiasa datang tiba-tiba. Apalagi di
kanan kiri jalan yang mereka lewati, tertutup pepohonan dan semak belukar.
Pendekar Gila dan Mei Lie
terus melangkah ke barat, untuk meneruskan perjalanan. Namun, baru beberapa
langkah mereka meneruskan perjalanan, mendadak dari balik semak-semak
bermunculan beberapa sosok tubuh berpakaian hitam dengan muka tertutup. Di
tangan mereka, tergenggam senjata.
"Berhenti..." teriak
seorang lelaki bertubuh tinggi besar dengan senjata berupa gada berduri.
Nampaknya lelaki ini, merupakan pimpinan dari empat orang lelaki lainnya. Mata
lelaki tinggi besar Ini, memandang tajam wajah Pendekar Gila dan Mei Lie yang saling
pandang, setelah keduanya berhenti.
"Aha, mimpi apa kita
semalam, Mei? Tidak ada hujan dan angin, tahu-tahu mendapat durian jatuh,"
tukas Sena sambil tertawa terbahak-bahak dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Kulihat, ada niat tak baik pada mereka, Mei Lie." "Benar,
Kakang. Buktinya mereka menutupi muka," sahut Mei Lie sambil turut tertawa
gelak. Matanya yang seperti burung elang, memandangi satupersatu kelima lelaki
berwajah tertutup kain hitam.
Sehingga hanya sepasang mata
mereka yang nampak, beringas menunjukkan kalau kelima orang itu bukan orang
baik-baik.
"Kurang ajar Lancang
sekali mulut kalian" bentak lelaki tinggi besar bersenjata gada berduri.
Matanya semakin tajam, menatap Pendekar Gila dan Mei Lie. Seakan-akan lelaki
ini hendak menelan keduanya bulat-bulat "Jawab pertanyaanku, benarkah
kalian yang bergelar Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa...?" "Hm,
untuk apa kami menjawab pertanyaanmu," dengus Mei Lie sengit. "Apakah
pantas orang bertanya menyembunyikan wajahnya di balik topeng? Bukalah topeng
kalian Baru kami akan menjawab pertanyaanmu" "Sundel Berani benar kau
berkoar di daerah kekuasaan kami, heh? Apakah kalian tak kenal, kalau Lima
Gagak dari Lembah Bangkai tak akan pernah mengampuni orang yang telah berani
lancang?" sentak lelaki bersenjata gada berduri dengan suara keras.
Nampaknya lelaki ini sangat
marah mendengar ucapan Mei Lie yang seperti meremehkannya.
"Ah ah ah, rupanya kita
bertemu dengan binatang pemakan bangkai, Mei Lie? Hi hi hi..., lucu sekali Baru
kali ini, aku melihat binatang pemakan bangkai menyembunyikan wajahnya,"
Pendekar Gila mengejek sambil tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala.
"Meski mereka binatang
pemangsa bangkai, aku tak akan takut Mereka tidak sopan, tentunya mereka
bermaksud
tidak baik, Kakang,"
sahut Mei Lie dengan senyum sinis. Matanya masih memandangi Lima Gagak dari
Lembah Bangkai yang tampak semakin marah, mendengar tantangan dari Mei Lie.
Walau mereka menduga gadis Cina ini tak lain si Bidadari Pencabut Nyawa, tapi
tak merasa takut sedikit pun.
Apalagi mereka memang datang
untuk menguji. Sampai di mana ilmu Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa
yang tersohor itu.
"Kurang ajar Rupanya
kalian mencari penyakit, berani menantang Lima Gagak dari Lembah Bangkai" dengus
pimpinan lelaki bertopeng itu. Gada berduri di tangan kanannya diangkat.
Pendekar Gila dan Mei Lie
menyangka kalau lelaki tinggi besar itu hendak menyerang. Itu sebabnya keduanya
segera menyurut mundur dua tindak, siap untuk menghadapi serangan Lima Gagak
Dari Lembah Bangkai. Namun dugaan mereka melesat, ternyata....
"Serang..." Tiba-tiba
pimpinan Lima Gagak dari Lembah Bangkai berteriak memerintah. Saat itu pula,
dari balik semak-semak muncul puluhan anak panah melesat cepat memburu Pendekar
Gila dan Mei Lie.
Swing Swing...
"Awas, Mei..." seru
Sena mengingatkan sambil melompat bersalto, menghindari puluhan anak panah yang
meluncur ke arahnya. Kemudian dengan tertawa terbahak-bahak sambil tangan kiri
menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila telah berdiri tegap. Tangan kanannya
berhasil menangkap lima batang anak panah yang memburunya.
Tep Tep Tep "Hi hi hi...
Kiranya mainan anak-anak. Biarlah kukembalikan pada kalian Hih..." Pendekar
Gila melemparkan kelima anak panah yang berhasil ditangkapnya sambil bersalto.
Seketika itu pula, kelima anak panah itu melesat cepat ke semak-semak belukar.
Swing Swing "Awas..."
membelalak mata pimpinan Lima Gagak dari Lembah Bangkai, karena tak menyangka
luncuran anak panah itu melebihi kecepatan semula. Sehingga, dari lesatan
kelima anak panah itu terdengar desingan keras diikuti deru angin.
Swer Jlep "Akh. ." Terdengar
jeritan kematian dari balik semaksemak. Rupanya ada seseorang yang terlambat mengelak.
Sehingga anak panah yang dilemparkan Pendekar Gila, menghunjam di dadanya.
Sesaat orang bertopeng hitam meregang berdiri, dengan anak panah menancap di
dada. Bahkan anak panah itu tembus sampai punggung. Tubuh lelaki itu ambruk dan
menggelepargelepar menahan rasa sakit. Sesaat kemudian tak nampak gerakannya,
karena nyawanya telah melayang. Sementara itu, Mei Lie yang nampak tak sabaran
itu dengan cepat mencabut Pedang Bidadarinya.
Pedang yang mengeluarkan sinar
kuning kemerahmerahan itu, dengan cepat ditebaskan ke depan memapak anak panah
yang meluncur ke tubuhnya.
"Heaaa..." Wrt Trak Sekali
kibas, belasan anak panah tersambar Pedang Bidadari. Seketika belasan anak
panah itu berpentalan dan jatuh ke tanah. Hampir semuanya patah jadi dua. Tak
sebatang anak panah pun dapat menembus pertahanan Mei Lie yang menggunakan
jurus 'Sapuan Tameng Bidadari'. Bahkan semua mata terbelalak, menyaksikan
kehebatan sapuan Pedang Bidadari di tangan Mei Lie. Baru kali ini, mereka
melihat jurus pedang yang sangat hebat.
"Ayo keluarkan semua
senjata kalian" tantang Mei Lie, penuh kemarahan. Dirinya benar-benar tak suka
dengan cara pengecut seperti yang dilakukan lawan-lawannya kali ini. Kalau dulu
Segoro Wedi dan anak buahnya bisa berbuat sekehendak hati terhadapnya, Mei Lie
kini bukanlah Mei Lie yang dulu. Gadis Cina itu kini telah memiliki kepandaian
yang tinggi.
Bahkan dirinya sebagai pewaris
jurus-jurus Pedang Bidadari yang dahsyat dan belum tertandingi hingga saat ini.
"Ah ah ah, rupanya kau
benar-benar senang dengan permainan ini, Mei," ujar Sena dengan
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya dengan terpicing menatapi
Lima Gagak dari Lembah Bangkai yang masih terkesiap setelah menyaksikan gebrakan
Mei Lie.
"Cuih Meski nama kalian
setinggi langit, tapi Lima Gagak dari Lembah Bangkai, takkan mengalah" dengus
pimpinan Lima Gagak dari Lembah Bangkai sengit. "Gagak Kuru, dan kau Gagak
Pilangan, hadapi pemuda gila itu dibantu oleh sebagian prajurit Sementara Gagak
Kabungan dan Gagak Pancalan, hadapi gadis Cina itu. Tangkap dia
hidup-hidup" "Baik" sahut keempatnya. "Serang mereka"
perintah Gagak Kuru pada dua puluh anak buahnya yang seketika berhamburan
keluar dari semak-semak.
Mereka langsung menyerang
Pendekar Gila dengan senjata panah. "Hea..." Wrrt Sing Swing Puluhan
anak panah kembali berdesingan, memburu tubuh Pendekar Gila. Namun dengan
cepat, pemuda berpakaian rompi dari kulit ular itu bergerak.
Tubuhnya melenting ke atas
dengan jurus 'Si Gila Terbang Menyambar Ayam' Tubuhnya bagaikan terbang, berjumpalitan
melakukan salto. Kemudian dengan paduan jurus 'Kera Gila Melempar Batu',
Pendekar Gila menyapu puluhan anak panah yang menderu ke tubuhnya.
"Yeaaa..." Wrrr Serangkum
angin kencang, menderu ketika tangan Pendekar Gila bergerak cepat seperti
melempar batu. Tangan kanan dan kirinya, bergerak tak berhenti dan bergantian.
Puluhan anak panah yang melesat memburu tubuhnya, seketika berpentalan jatuh.
Sebagian lagi berbalik meluncur ke tempat pemiliknya.
"Awas panah....'"
teriak Gagak Kuru mengingatkan anak buahnya, yang seketika serabutan keluar berusaha
menyelamatkan diri dari hujan anak panah yang berbalik memburu mereka. Meskipun
para anak buah Gagak dari Lembah Bangkai telah berusaha menyelamatkan diri,
tetap saja ada beberapa orang yang harus menerima senjata mereka sendiri.
Jlep Jlep "Wuaaa...."
"Aduhhh..." Tiga orang terpekik keras, ketika dada dan wajah mereka
tertancap anak panah. Darah mengucur deras, keluar dari tancapan anak panah
beracun. Tubuh mereka seketika jatuh bergelimpangan ke tanah.
Sesaat kemudian ketiganya
telah tewas dengan tubuh kaku. Sementara itu, Mei Lie menghadapi Gagak Kabungan
dan Gagak Pancalan yang dibantu sepuluh anak buah, nampak tak segan-segan
melakukan serangan. Pedang Bidadari di tangannya, digerakkan dengan jurus
'Tebasan Bidadari Memenggal Gunung'.
Pedang bergerak datar dengan
kecepatan luar biasa.
Sehingga membuat lawan yang
hendak menyerang, tersentak kaget. Mereka berusaha mundur, namun tak urung
pedang Mei Lie harus memakan korban.
"Heaaat..." Wrt Cras
Cras...
"Akh..." Dalam
sekali gebrak empat lawan menjerit kesakitan. Dengan tubuh terhuyung-huyung
mereka mendekap perutnya yang tersambar Pedang Bidadari.
Seketika darah bercucuran dari
perut, membasahi kaki dan tanah di tempat pertarungan.
Mata mereka membeliak,
kemudian dari mulut keluar darah merah kehitaman. Hal itu tampak dari topeng
mereka yang merembeskan darah. Keempat orang itu pun ambruk dan tewas hampir
bersamaan.
***
Dalam satu gebrakan saja delapan orang telah menjadi
korban. Namun nampaknya Lima Gagak dari Lembah Bangkai tak gentar sama sekali.
Bahkan kini kelimanya turut maju, membantu anak buah yang tinggal dua puluh
tiga orang menyerang Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Rupanya kau bukan gadis
sembarangan. Hadapilah aku Heaaa..." Gagak Pandera, yang merupakan
pimpinan dari Lima Gagak dari Lembah Bangkai menghantamkan gada berdurinya ke
tubuh Mei Lie. Desiran angin yang keluar dari ayunan gada itu, sangat keras.
Nampaknya gada berduri itu, diayunkan dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup
tinggi.
Wrrrt "Haits Hea..."
Dengan cepat gadis bergaun hijau itu meliukkan tubuh ke samping kiri. Sehingga
gada lawan tak mampu mencapai sasaran. Dan ketika gada lawan hampir saja
menyambar kakinya, dengan cepat Mei Lie menarik kaki kanannya. Lalu dengan
cepat pedangnya dibabatkan ke tubuh lawan yang lain sambil kakinya menendang ke
perut lawan yang saat itu dalam keadaan doyong ke depan, melakukan serangan.
"Heaaa..." Wrt Cras
Cras...
Tak ampun lagi Pedang Bidadari
menyambar mangsa.
Begk "Akh..." "Aduh..."
Dua orang menjerit dengan leher terbabat pedang. Leher mereka hampir putus,
mengeluarkan darah yang menyembur deras. Sedangkan Gagak Pandera yang terkena
tendangan, terpekik lalu tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap
perutnya. Mata Gagak Pandera membeliak. Mulutnya meringis. Perutnya yang
terkena tendangan dirasakan mual dan nyeri sekali.
"Setan Betina" Caci
maki keluar dari mulut Gagak Pandera sambil menahan marah dan sakit.
"Kurang ajar Kau memang pantas untuk dibunuh, Iblis Betina" "Hua
ha ha... Kaulah yang iblis" sahut Mei Lie sambil tertawa terbahak-bahak.
Hal itu membuat Pendekar Gila yang sedang bertarung dengan lawanlawannya turut
tertawa terbahak-bahak dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Baru kali ini,
dirinya melihat Mei Lie tertawa lepas. Padahal, biasanya Mei Lie hanya
tersenyum. Nampaknya gadis itu benar-benar senang dapat menunjukkan
kehebatannya di hadapan sang Kekasih.
"Aha, hari ini kau nampak
senang sekali, Mei Lie," gumam Pendekar Gila sambil bergerak dengan jurus
‘Si Gila Menari Menepuk Lalat’, mengelakkan serangan-serangan lawan. Tubuhnya
meliuk-liuk laksana orang yang sedang menari. Sesekali tangannya bergerak
menepuk ke dada lawan yang ada di depan dan samping kanan kirinya. Meski
gerakannya kelihatan lamban dan lemah, ternyata mampu membuat lawanlawannya
tersentak kaget.
"Pecah kepalamu, Bocah Edan"
dengus Gagak Kuru sambil menghantam gada berdurinya menyerang Pendekar Gila.
Wss "Uts He he
he..." Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Pendekar Gila segera meliukkan tubuh
ke samping. Kemudian dengan gerakan aneh dan sulit diduga, Sena menghantamkan
telapak tangan menepuk ke dada lawan yang ada di sampingnya. Gerakannya nampak
lambat, namun dalam sekali gerak, mampu menepuk empat dada lawan.
Plak Plak Plak...
"Wuaaa..." "Aaa..."
Keempat orang yang terhantam telapak tangan Pendekar Gila menjerit keras. Tubuh
mereka terpental ke belakang bagaikan dilempar oleh kekuatan yang dahsyat.
Keempat tubuh terus melayang dan baru berhenti ketika menerjang pohon jati.
Brak "Engkh..." Keempat
lelaki bertopeng itu jatuh ke tanah dan langsung tak bergerak lagi.
Menyaksikan anak buahnya
banyak yang mati, Gagak Pandera dari Lembah Bangkai mulai merasa takut. Mereka
nampaknya menyadari, kalau kedua pendekar itu memang bukan tandingan.
"Mundur..." teriak
Gagak Pandera memerintah pada anak buahnya yang tersisa. Dengan cepat para anak
buah lari meninggalkan tempat pertarungan. Mereka semua menyadari kehebatan
kedua pendekar muda itu. Maka karena ketakutan, semua lari tunggang langgang
dari tempat itu.
Semula Mei Lei hendak mengejar
mereka, namun dengan cepat Pendekar Gila melarangnya.
"Aha, mengapa mesti
capai-capai mengejar mereka, Mei? Bukankah masih ada tugas yang lebih penting?
Tentunya pangeran tengah menunggu-nunggu kedatangan kita," ujar Sena
mengingatkan kekasihnya.
Mei Lie pun mengurungkan niat
untuk mengejar. Dimasukkan Pedang Bidadari ke warangkanya.
Kemudian kakinya melangkah di
samping Pendekar Gila, untuk meneruskan perjalanan mereka guna melaporkan tugas
pada Pangeran Prapanca.
***
3
Mentari sore yang redup
membiaskan cahaya kuning penuh kedamaian. Sinarnya menyelusup di sela-sela daun
bambu, menerangi suasana di dalam Hutan Bambu. Angin sore yang bertiup lembut
membawa hawa sejuk menambah keindahan sore itu. Burungburung berkicau riang,
berterbangan pulang ke sarangnya.
Saat itu, Pendekar Gila dan
Mei Lie telah sampai di pinggir Hutan Bambu, tempat Pangeran Prapanca dan
teman-temannya berada. Agak ke dalam dari Hutan Bambu, empat prajurit yang kini
berpihak pada Pangeran Prapanca tampak berjaga lengkap dengan senjata mereka.
"Siapa?" seru salah
seorang prajurit ketika Pendekar Gila dan Mei Lie melangkah memasuki Hutan
Bambu.
"Kami" sahut Mei Lie.
"Pangeran sudah menunggu
kedatangan kalian" kembali terdengar suara dari dalam.
Pendekar Gila tampak
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, melangkah tenang bersama kekasihnya
memasuki Hutan Bambu. Mata mereka memandang lurus ke depan. Kaki mereka
melangkah dengan ringan. Kalau orang yang belum berilmu tinggi, sulit untuk
mendengar langkah-langkah kaki Pendekar Gila dan Mei Lie. Hal itu dilakukan,
sengaja untuk menguji sampai seberapa tinggi kewaspadaan para prajurit jaga.
Tampaknya para prajurit jaga
benar-benar mengerahkan kewaspadaan mereka. Hal itu dapat diketahui dari
pendengaran dan naluri serta perasaan mereka yang mampu menangkap gerakan
Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Hua ha ha... Bagus...
Rupanya kalian benarbenar menjaga kewaspadaan," seru Sena sambil tertawa
terbahak-bahak. Suaranya menggema di sekitar Hutan Bambu, menjadi orang-orang
yang berada di dalam gubuk segera tahu kalau Pendekar Gila telah datang.
Pangeran Prapanca, Pranala, Ki Naga Wilis, Gagak Selo, Tirta Kayon, Resi
Wisangkara dan Panglima Rawa Sekti yang berada di dalam gubuk segera keluar.
Mereka ingin menyambut
kedatangan Pendekar Gila dan Mei Lie yang menjadi duta. Mulanya mereka mengkhawatirkan
keselamatan kedua pendekar itu.
Mereka takut kalau Pendekar
Gila dan Mei Lie ditangkap pihak istana. Itu sebabnya setelah mendengar suara
tawa Pendekar Gila, serta merta mereka keluar untuk menyambut kedatangannya.
"Selamat datang
kembali" mereka menyambut dengan tersenyum senang, menyaksikan Pendekar
Gila dan Mei Lie datang tanpa kurang satu apa pun.
"Aha, terima kasih Atas
doa restu kalian, kami bisa kembali tanpa kurang satu apa pun. Hi hi
hi..." jawab Sena sambil tertawa cekikikan. Tangannya menggaruk-garuk
kepala, sambil matanya memandang wajah Mei Lie.
"Ya, kami rasa atas doa
kalian sehingga kami bisa kembali dengan tak kurang satu apa pun," sambung
Mei Lie dengan bibir mengurai senyum. Dibalasnya tatapan mata Pendekar Gila.
"Hm..., dari penuturan
kalian, nampaknya kalian mengalami halangan," ujar Pangeran Prapanca ingin
tahu, apa yang sebenarnya terjadi.
"Kalau boleh kami tahu,
apa gerangan yang telah terjadi?" tanya Pranala menambahkan.
"Hi hi hi... Kalian
seperti ahli nujum. Bagaima-na mungkin kalian bisa menduga begitu? Padahal kami
belum menceritakan apa pun pada kalian," jawab Pendekar Gila sambil
tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Semua yang menyaksikan tingkah
laku Pendekar Gila tersenyum-senyum. Kalau saja mereka tak ingat sedang
berhadapan dengan pendekar sakti yang saat ini belum ada tandingannya, mungkin
akan tertawa geli melihat tingkah laku Sena. Beruntung mereka menyadari, kalau
yang ada di hadapannya tak lain Pendekar Gila. Seorang pendekar muda yang akhirakhir
ini tengah ramai dibicarakan di kalangan rimba persilatan.
"Ah, bisa saja kau,
Sena," sahut Pangeran Prapanca malu, disindir begitu oleh Pendekar Gila,
"Apa-lah artinya kami, dibandingkan dengan kalian yang mempunyai nama
besar." "Hi hi hi... Lucu sekali, Mei. Ada seorang pangeran sangat
merendah. Ah, sudahlah, mari kita masuk Kita ngobrol di dalam saja," ajak
Sena sambil melangkah seiring dengan Mei Lie.
Pangeran Prapanca, Pranala dan
rekanrekannya segera mengikuti kedua pendekar itu masuk ke gubuk. Mereka segera
duduk di atas tikar pandan yang digelar lebar di ruangan itu. Wajah mereka
berse-ri, meski belum tahu apa sebenarnya yang terjadi. Hal itu karena tingkah
laku Pendekar Gila yang konyol dan lucu, mengundang mereka untuk tersenyum.
"Bagaimana tugas
kalian?" tanya Pangeran Prapanca membuka percakapan, setelah semua duduk.
"Aha, kurasa beres,
Pangeran. Baginda telah menerima surat yang Pangeran kirim," jawab Sena dengan
tingkah laku yang masih konyol, cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Benar, Pangeran,"
sambung Mei Lie. "Kami telah bertemu langsung dengan Baginda Raja Awangga.
Dan kami telah menyerahkan
surat yang Pangeran tulis." "Lalu, bagaimana tanggapan baginda?"
Pangeran Prapanca ingin tahu, bagaimana tanggapan Baginda Raja Awangga yang
sebenarnya masih ada hubungan saudara dengannya. Karena Awangga merupakan adik
dari Prabu Jayawangga, ayahanda Pangeran Prapanca yang sampai kini belum diketahui
nasibnya. Meski gurunya mengatakan ayahanda dan ibundanya meninggal ketika
terjadi pemberontakan, namun Pangeran Prapanca tak percaya begitu saja akan
berita itu. Pangeran Prapanca merasa ada sesuatu yang tidak beres di dalam
istana. Namun sampai sejauh ini dirinya belum bisa membuktikan ketidakberesan
tersebut, lantaran belum mendapatkan bukti-bukti yang kuat.
"Baginda menerima,"
jawab Mei Lie. "Namun baginda meminta syarat" "Hm... Apa
syaratnya?" tanya Pangeran Prapanca ingin tahu.
"Pangeran diminta datang
ke istana," jawab Mei Lie, yang menyebabkan semua yang ada di tempat itu terdiam.
Mereka seketika saling pandang, kemudian memandang dengan perasaan cemas pada
Pangeran Prapanca.
"Kanjeng Pangeran, kalau
hamba diperkenankan mengeluarkan pendapat," Resi Wisangkara seketika
angkat bicara.
"Katakanlah, Paman
Resi" "Sebaiknya, Pangeran jangan menuruti katakata Baginda
Awangga" "Kenapa begitu?" tanya Pangeran Prapanca ingin
penjelasan, karena dia memang belum tahu apa yang menyebabkan Resi Wisangkara
melarang dirinya ke istana. "Bukankah baginda nampaknya menyadari
kekeliruannya selama ini?" "Hamba rasa, ini hanya suatu siasat, Pangeran,"
tukas Resi Wisangkara berusaha mengingatkan Pangeran Prapanca.
"Maksud Paman Resi?"
"Aha, kurasa Resi Wisangkara benar, Pangeran." Pendekar Gila menyela
sebelum Resi Wisangkara yang masih kebingungan sempat menjawab. Hal itu menjadikan
Resi Wisangkara menghela napas, merasa lega ada orang yang membantunya
menyampaikan maksud perkataannya.
"Tolong kau jelaskan
padaku, Sena" pinta Pangeran Prapanca dengan penuh persahabatan.
"Kurasa, kaulah yang bisa menerangkan letak dari semua kea-nehan undangan
Paman Awangga kepadaku." Pendekar Gila masih cengengesan dan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Sesaat dihelanya napas. Kemudian melirik Mei Lie yang
duduk di sampingnya. Setelah memandang ke atas, menatap sirap daun bambu
sebagai penutup gubuk itu, Sena mulai menceritakan apa yang telah terjadi.
Diceritakan, kalau secara
diam-diam dia melihat Baginda Raja Awangga berbisik-bisik dengan Perdana
Menteri Giri Gantra. Setelah itu, baginda nampak tersenyum sinis. Sambil
membelai-belai jenggotnya yang panjang, baginda meminta agar Sena dan Mei Lie menyampaikan
maksudnya, mengundang Pangeran Prapanca untuk datang ke istana Kerajaan Surya
Langit Hal kedua, ketika mereka pulang ke Hutan Bambu, di perjalanan mereka
dicegat segerombolan lelaki berkedok kain hitam yang dipimpin Gagak dari Lembah
Bangkai. Nampaknya ada hubungan kejadian yang tak dapat dipisahkan, antara
bisik-bisik Perdana Menteri Giri Gantra dengan pengeroyokan itu.
"Begitulah ceritanya,
Pangeran. Tetapi... Ah, kurasa semua keputusan ada di tanganmu, Pangeran,"
ujar Sena mengakhiri ceritanya.
"Benar, Pangeran. Ketika
kami pulang, kami dihadang hampir tiga puluh orang. Entah dari mana mereka itu.
Yang pasti, mereka nampaknya menghendaki nyawa kami," sambung Mei Lie,
yang membuat semua mengangguk-anggukkan kepala.
"Aha, aku lupa. Apakah di
antara kalian ada yang mengenali julukan Lima Gagak dari Lembah Bangkai?"
tanya Sena dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Semua yang ada di tempat itu
mengerutkan kening. Nampaknya mereka berusaha mengingat-ingat julukan Lima
Gagak dari Lembah Bangkai. Namun nampaknya tak ada yang mengenal julukan itu.
Bahkan kini pandangan mereka tertuju pada Gagak Selo, yang memiliki nama hampir
sama dengan julukan gerombolan itu.
"Bagaimana dengan Paman
Gagak Selo? Apakah Paman mengenal mereka...?" tanya Pangeran Prapanca
sambil memandangi Gagak Selo.
"Apakah ada yang menyebut
nama di antara mereka?" tanya Gagak Selo dengan mata memandang Pendekar
Gila dan Mei Lie.
"Aha, aku ingat. Orang
yang tinggi besar yang merupakan pimpinan mereka, menyebut temannya Gagak Kuru.
Dan orang itu sendiri, menyebut namanya Gagak Pandera," sahut Pendekar
Gila, "Aha, bagaimana, Ki Gagak Selo? Apakah kau kenal dengan mereka?"
"Hm, kurang ajar sekali mereka Berani mereka memakai nama gagak. Nama yang
merupakan pemberian guru kami," gumam Gagak Selo sengit "Kalau aku
bertemu dengan mereka, ingin rasanya menyobek mulut mereka yang telah berani
lancang menyebut nama gagak." Gagak Selo benar-benar geram, karena secara
tidak langsung nama pemberian guru mereka telah dicemarkan orang-orang yang tak
bertanggung jawab.
"Jadi, Paman Gagak Selo
tak mengenal mereka?" tanya Pangeran Prapanca meminta kepastian.
"Memang aku pun berasal
dari Lembah Bangkai. Namun aku sama sekali tak kenal dengan orang yang mengaku
bernama Gagak Pandera dan Gagak Kuru," jawab Gagak Selo, menegaskan.
"Kalau Pangeran mengizinkan, hamba akan mencari mereka. Akan kuantarkan
kepala mereka ke hadapan Pangeran. " "Tidak usah, Paman Belum saatnya
kita melakukan tindakan. Yang perlu kita pikirkan saat ini, bagaimana sebaiknya
menanggapi undangan baginda raja," ujar Pangeran Prapanca berusaha
menyabarkan Gagak Selo yang begitu marah karena merasa namanya dicemarkan oleh
orang-orang yang mengaku dari Perguruan Gagak Sakti.
"Hamba akan menuruti
perintah Kanjeng Pangeran. " "Terima kasih, Paman," jawab
Pangeran Prapanca sambil tersenyum puas, menyaksikan Gagak Selo kini nampak
tenang. "Kembali pada masalah semu-la. Bagaimana? Apakah ada yang bisa
memberiku saran?" "Ampunilah hamba, Kanjeng Pangeran" Panglima
Rawa Sekti yang sejak tadi diam, seketika angkat bicara. Hal itu menjadikan
pandangan Pangeran Prapanca kini tertuju ke wajah Panglima Rawa Sekti.
"Katakanlah, Paman
Panglima" Lelaki setengah baya bertelanjang dada itu menundukkan kepala.
Kemudian perlahan kepalanya didongakkan memandang ke atas, sambil menghela
napas perlahan, seakanakan ingin membuang kegelisahan hatinya.
"Ampun, Kanjeng Pangeran
Hamba mohon beribu-ribu ampun, karena selama ini hamba tidak menuturkan apa
yang sebenarnya telah terjadi," ujar Panglima Rawa Sekti dengan suara
bergetar dan agak parau. "Tentang apa, Paman?" "Tentang Gusti
Prabu, Pangeran." "Hm, kenapa dengan ayahanda?" "Sesungguhnya,
Prabu Jayawangga masih hidup. Beliau kini ditahan di dalam penjara bawah tanah oleh
Baginda Awangga atas perintah Panglima Utama Giri Gantra," tutur Panglima
Rawa Sekti.
Mendengar cerita itu Pangeran
Prapanca dan semua yang ada di dalam gubuk membelalakkan mata terkejut. Mereka
tak menyangka, kalau Prabu Jayawangga masih hidup.
"Paman Panglima,
ceritakanlah apa sebenarnya yang telah terjadi di istana" pinta Pangeran
Prapanca karena merasa penasaran.
***
Panglima Rawa Sekti sesaat terdiam. Ditolehkan
wajah ke Resi Wisangkara, yang sebenarnya juga tahu. Dan sepertinya Panglima
Rawa Sekti ingin meminta pendapat dari Resi Wisangkara. Setelah melihat Resi
Wisangkara mengaggukkan kepala, Panglima Rawa Sekti mulai menceritakan semua
yang terjadi di istana. Malam itu, Awangga yang masih menjabat sebagai perdana
menteri mengumpulkan para pembesar istana. Hadir di situ, Giri Gantra yang
waktu itu masih Panglima Utama, Resi Wisangkara, Panglima Rawa Sekti dan para
pembesar lain. Nampaknya Perdana Menteri Awangga mengundang mereka, karena ada masalah
penting.
"Apakah kalian tahu
mengapa kuundang ke ruang pertama ini?" tanya Perdana Menteri Awangga
membuka ucapan, membelah kesunyian malam yang dingin. Semua yang datang tidak
menjawab. Mereka diam, karena memang belum mengerti maksud Perdana Menteri
Awangga mengundang malam itu.
"Dengar oleh kalian
baik-baik Raja kini tak bisa berbuat apa-apa. Baginda Raja tak lebihnya bangkai
yang tiada guna. Dia sama sekali tak memperhatikan kita. Untuk apa menjadi
pejabat tinggi kerajaan, kalau kita dalam keadaan yang pas-pasan. Raja hanya
mementingkan rakyat sedangkan kita, tak pernah dipikirkan," tutur perdana
Menteri Awangga berapi-api. Matanya yang tajam, memandangi satu-persatu wajah orang
yang datang pada pertemuan itu. Mereka semua terdiam sambil menundukkan kepala.
Hanya Panglima Utama Giri Gantra yang masih tenang, bahkan tersenyum-senyum.
Semua tak ada yang bicara,
karena tak tahu apa yang sebenarnya terencana dalam pikiran Perdana Menteri
Awangga dan Panglima Utama Giri Gantra.
"Untuk itulah, kuundang
semuanya datang ke sini. Kita harus mengganti raja, kalau kita ingin hidup
makmur dan serba kecukupan. Kita tak ingin hidup seperti ini selamanya,
bukan?" tanya Perdana Menteri Awangga.
"Benar" sahut
Panglima Utama Giri Gantra, "Kita tak ubahnya gembel dan pengemis. Untuk
apa hidup seperti ini? Bahkan kerajaan seakan menutup semuanya bagi kita.
Sehingga kita tak dapat bertindak.
Bahkan perdagangan dengan
kerajaan luar pun ditutup. Apakah kita akan diam terus? Membiarkan anak cucu
kita menderita?" "Lalu, apa yang hendak Perdana Menteri lakukan?"
tanya Resi Wisangkara mencoba memberanikan diri. "Kita harus menggulingkan
kekuasaan raja, dengan seolah-olah terjadi pemberontakan. Kemudian, dengan
pura-pura tak mengerti, kita hancurkan pemberontakan itu. Lalu kita sebar
pengumuman, kalau baginda raja telah terbunuh dalam pemberontakan.
Bukankah dengan begitu, kita
akan bebas dari tuntutan rakyat?" ujar Perdana Menteri Awangga menjelaskan
gagasannya.
"Kita korbankan banyak
prajurit dan rakyat, Tuan Perdana Menteri" kata Panglima Rawa Sekti.
"Aku tak setuju" "Aku
juga" sambut Resi Wisangkara.
"Kalian boleh tak setuju.
Tapi ingat, kalian akan mendapatkan hukuman mati di tiang gantungan" ancam
Panglima Utama Giri Gantra, yang membuat Panglima Rawa Sekti dan Resi
Wisangkara terdiam. Mata mereka membelalak, mendengar ancaman itu. Mereka tahu,
kedudukan mereka akan benarbenar terpepet, kalau tak setuju dengan rencana perdana
menteri dan panglima utama.
"Bagaimana...?"
tanya Perdana Menteri Awang-ga dengan senyum sinis, Panglima Rawa Sekti dan
Resi Wisangkara tak dapat berkata apa-apa. Keduanya benar-benar tak setuju
dengan rencana yang mereka anggap gila dan sadis. Namun mereka tak dapat
berbuat apa-apa dalam ancaman perdana menteri dan panglima utama.
"Ingat oleh kalian. Jika
kalian mau membantu rencanaku, maka pangkat kalian akan kunaikkan. Di samping
itu, kalian akan menjadi orang kaya. Berlimpah harta dan wanita. Apakah itu
tidak kalian inginkan?" tanya Perdana Menteri Awangga merayu dengan
janji-janjinya yang tinggi. "Selama ini, kalian tak pernah merasakan
kenikmatan duniawi. Kalian hanya memiliki satu istri. Kalian tak bebas untuk
mencari wanita sesuka hati kalian, karena kalian dalam kekuasaan undang-undang
raja, yang sebenarnya raja sendiri tak pernah melaksanakan undang-undang
tersebut" "Perdana Menteri... Kau bisa bicara begitu, apakah kau bisa
membuktikannya?" tanya Resi Wisangkara dengan tegas. Sebenarnya sebagai
resi, Resi Wisangkara merasa undang-undang yang dibuat oleh Prabu Jayawangga
benar. Karena dengan undangundang tersebut, maka para pembesar istana tidak bertindak
sewenang-wenang. Mereka akan terikat oleh hukum yang tertulis. Dan menurut
pandangan mereka, baginda tak pernah salah. Kalau baginda memiliki selir, itu
sudah menjadi hal yang wajar. Karena setiap raja memang berhak memiliki selir.
Perdana Menteri Awangga
tersenyum sinis.
"Kau meminta bukti,
Resi?" tanyanya.
"Ya" "Baik aku
akan menguraikan bukti-bukti yang kau inginkan. Seharusnya kau ingat, aku
adalah adiknya," kata Perdana Menteri Awangga sambil tersenyum sinis.
"Tetapi baiklah, akan kubeberkan semua keburukan kakakku. Dia adalah
lelaki yang pengecut, sehingga tak pernah berani mengambil resiko. Dia juga suka
keluyuran di tempat-tempat pelacuran. Suka mabuk dan berjudi. Raja macam itukah
yang kalian anggap baik?" "Hentikan" teriak Resi Wisangkara
sambil berdiri. Matanya yang tajam menatap wajah perdana menteri. "Tak
sepantasnya kau berkata begitu, Perdana Menteri Baginda adalah yang mulia"
"Duduk, Resi Atau prajurit-prajurit itu akan menyeretmu" ancam
Panglima Utama, yang menjadikan Panglima Rawa Sekati seketika bangkit dari duduknya.
"Panglima, kau tak bisa
berlaku kasar pada Resi. Kalau sampai hal itu terjadi, maka terkutuklah kau"
dengus Panglima Madya Rawa Sekti, memprotes ucapan panglima utamanya yang
dianggap telah menghina orang-orang istana yang seharusnya dihormati dan
dijunjung tinggi.
"Duduk, Rawa Sekti Kau
ada di bawahku Aku berhak memecatmu Jangan berlaku kurang ajar terhadapku"
bentak Panglima Utama Giri Gantra sambil melotot. Telunjuknya menunjuk wajah
Rawa Sekti yang masih duduk di kursi.
"Kau memang pimpinanku.
Namun begitu, aku tak setuju dengan ucapanmu yang menghina orangorang
istana" balas Panglima Madya Rawa Sekti tak mau kalah.
"Hm, hebat Baru kali ini
aku mendengar ada orang yang masih menghormati para pejabat istana.
Baik, aku minta maaf Kini
kuminta dengan hormat, kalian duduk" perintah Panglima Utama Giri Gantra
tegas. Panglima Madya Rawa Sekti dan Resi Wisangkara pun akhirnya menurut
duduk, walau dengan pandangan sinis tak senang, mendengar ucapan dan tindakan
panglima utama.
"Dengar oleh kalian semua
Besok malam, sebelum fajar menyingsing, kalian harus bisa melakukan sandiwara.
Kami telah mempersiapkan orang-orang yang akan melakukan pemberontakan.
Sedangkan penumpasannya, akan dipimpin olehku langsung" kata Perdana
Menteri Awangga.
"Ingat Jangan sekali-kali
berusaha membangkang dan membuka rahasia, karena hal itu berarti nyawa kalian
yang menjadi taruhannya," sambung Panglima Utama Giri Gantra. "Jika
ada yang berani melakukan tindakan bodoh itu, kalian akan mendapatkan hukuman
yang menyakitkan. Kalianlah yang akan dituduh sebagai pemberontak" Semua
tak ada yang berani membuka mulut.
Sampai pertemuan selesai tak
ada yang berkata sepatah kata pun. Nampaknya ancaman Panglima Utama Giri Gantra
dan Perdana Menteri Awangga, benarbenar membuat para undangan tak berani
bertindak atau menolak, karena berarti akan menjerumuskan diri mereka sendiri.
Keesokan harinya, tepat
seperti apa yang diatur oleh Panglima Utama Giri Gantra, pemberontakan terjadi.
Orang-orang yang sudah disiapkan, melakukan aksi pemberontakan. Sekilas, tak
nampak kalau semuanya sudah diatur. Mereka bekerja dengan rapi, menculiki para
pembesar istana yang masih mengabdi pada baginda raja. Mereka membunuh para
pembesar istana. Bahkan patih dan hulubalang kerajaan diculik dan dibunuh.
Ketika pemberontakan
berlangsung, orangorang yang juga sudah diatur oleh panglima utama dan perdana
menteri segera bergerak. Nyawa manusia bagaikan tak berarti. Mereka saling
bantai, hanya untuk memerankan sebuah sandiwara yang sudah dibuat oleh Giri
Gantra dan Awangga. Dan akhirnya para pemberontak yang hendak menggulingkan
kekuasaan raja dapat ditumpas.
Prabu Jawangga dan permaisuri
yang sudah mengungsi, dipaksa kembali ke istana. Lalu baginda diteror dengan
pertanyaan-pertanyaan dan tuduhantuduhan yang menyudutkan kedudukannya. Sampai akhirnya
baginda jatuh sakit, lalu bersama sang Permaisuri dimasukkan ke sebuah kamar,
yang sebenarnya penjara di bawah tanah. Begitu pula dengan para pengikut
baginda yang masih setia, dijebloskan ke penjara bawah tanah.
"Kami benar-benar
menyesali diri sendiri, karena tak berdaya. Kami tak dapat berbuat
apa-apa," ujar Panglima Rawa Sekti dengan air mata berlinang. "Namun
begitu, secara diam-diam, kami selalu berusaha memberi makanan pada baginda.
Setiap hari kami berharap, semoga datang Dewa Penolong yang akan membebaskan
Baginda Jawangga. Sampai akhirnya, kami menemukan Kanjeng Pangeran." "Kalau
sekiranya kami salah, kami siap untuk menerima hukuman, Kanjeng Pangeran,"
sambung Resi Wisangkara dengan kepala menunduk.
Pangeran Prapanca terdiam
mendengar ucapan mereka. Hatinya terenyuh sekali, jika mengingat nasib ayahanda
dan ibundanya yang mungkin menderita.
Dirinya sama sekali tak
menyangka, kalau pamannya sampai hati melakukan kekejian itu. Padahal ayahandanya,
sangat sayang pada sang Adik, Awangga. Namun balasan dari Awangga justru
sebaliknya.
"Bedebah Aku tak
menyangka kalau pamanku akan berbuat keji begitu" dengus Pangeran Prapanca
sambil menggenggam tangannya kuat-kuat.
"Tapi, kami rasa otak
dari semuanya tiada lain Panglima Utama Giri Gantra, Kanjeng Pangeran,"
tukas Ki Rawa Sekti.
"Dari mana Paman
tahu?" "Sesungguhnya, Panglima Utama Giri Gantra yang mempunyai
ambisi menjadi raja. Dia akan terus mempengaruhi Baginda Awangga, sambil
akhirnya baginda dapat dikendalikan. Memang di mata rakyat Baginda Awangga yang
menjadi raja. Namun sesungguhnya, semua roda pemerintahan ada di tangan Giri
Gantra yang kemudian diangkat perdana menteri," tutur Rawa Sekti.
"Hal itu bisa kita ketahui, dari cara-cara melaksanakan roda pemerintahan.
Semua menuruti apa yang dikatakan Perdana Menteri Giri Gantra.
Hm..., tentu saja hamba banyak
tahu keadaan istana, Kanjeng Pangeran." Pangeran Prapanca
mengangguk-anggukkan kepala. Tadi mungkin dirinya lupa kalau Rawa Sekti merupakan
seorang Panglima Utama di Kerajaan Surya Langit "Hm, gumam Pangeran
Prapanca. "Lalu apa yang harus kita lakukan? Kalau aku tak memenuhi undangan
baginda, bukankah akan dikatakan pengecut?" tanya Pangeran Prapanca
meminta pendapat dari teman-temannya.
"Jadi Kanjeng Pangeran
tetap akan memenuhi undangan Baginda Raja Awangga...?" tanya Resi
Wisangkara dengan tatapan mata cemas, karena sudah menduga kalau semua ini
sebenarnya sudah diatur.
"Tentunya semuanya sudah
diatur oleh Perdana Menteri licik itu, Pangeran. Hamba tahu kelicikan Giri
Gantra jauh sebelum terjadi pemberontakan." "Aku pun mengerti, Paman
Resi. Mereka boleh saja melakukan kelicikan. Namun kita tak boleh mundur hanya
karena kelicikan mereka" kata Pangeran Prapanca. Nadanya sangat yakin
kalau dirinya akan dapat menghadapi kelicikan yang akan dilakukan Perdana
Menteri Giri Gantra dan Baginda Awangga.
"Tapi, Kanjeng
Pangeran," Panglima Rawa Sekti kembali angkat bicara.
Wajahnya masih menggambarkan
kebimbangan dan rasa cemas, takut kalau-kalau Pangeran Prapanca akan mengalami
hal yang tidak diinginkan.
"Tapi apa, Paman?"
tanya Pangeran Prapanca.
"Hamba mohon, Kanjeng
Pangeran sudi mempertimbangkannya lagi, agar tidak menyesal di kemudian hari.
Karena mereka benar-benar bukan manusia lagi," tutur Panglima Rawa Sekti
mengingatkan.
"Bagaimana kalau kita
datang ke sana bareng?" "Apakah nanti tak akan mengundang kesalahpahaman?"
tanya Pangeran Prapanca, "Lebih baik, biar aku, Pranala, Sena dan Mei Lie
yang berangkat. Kalau sampai terjadi sesuatu terhadap kami, aku mohon Paman dan
lainnya mengumpulkan bala bantuan. Semua kuserahkan pada Paman." "Kalau
memang itu keputusan Kanjeng Pangeran, hamba tak bisa menentang," kata
Rawa Sekti seraya membungkuk hormat "Besok, kami akan berangkat. Jika
dalam dua hari kami tak pulang, kuserahkan pada Paman untuk menentukan
tindakan," ujar Pangeran Prapanca memutuskan. Semua tak ada yang
membantah. Semua kini patuh dengan apa yang menjadi keputusan Pangeran Prapanca.
***
4
Jago-jago dari dua kerajaan
yang diundang oleh Perdana Menteri Giri Gantra berdatangan ke Kerajaan Surya
Langit. Nampaknya Perdana Menteri Giri Gantra, hendak melaksanakan apa yang
telah direncanakan, yaitu menyingkirkan Pangeran Prapanca dan para pengikutnya.
Jago-jago persilatan yang
berasal dari Kerajaan Tirta Buana dan Banyu Bumi kebanyakan tokoh-tokoh golongan
hitam. Di antara mereka tampak Sepasang Toya Setan, si Mata Tunggal, Kala
Prana, Jembel Pilarang, Jenggot Naga, Kati Asem, dan Hiwa Krana. Delapan tokoh
aliran hitam ini memiliki ilmu dan kedigdayaan tinggi. Tak mengherankan kalau
nama mereka sudah sangat dikenal dan disegani di kerajaan masingmasing.
Kedelapan tokoh aliran hitam ini, bersama tokoh-tokoh hitam lainnya nampak
tengah berkumpul di alun-alun kerajaan. Mereka menunggu Perdana Menteri Giri
Gantra yang akan memberikan pen jelasan tentang apa yang akan mereka lakukan.
Dari dalam istana, muncul
Baginda Raja Awangga dan Perdana Menteri Giri Gantra, diiringi para punggawa
dan prajurit kerajaan. Di bibir Perdana Menteri Giri Gantra, tersungging sebuah
senyuman.
Nampaknya sang Perdana Menteri
merasa yakin, kalau yang dia rencanakan akan berhasil.
"Dengan tokoh-tokoh hitam
ini, tak akan mungkin Pangeran Prapanca dan teman-temannya dapat lolos,"
ujar Perdana Menteri Giri Gantra pada Baginda Raja Awangga.
"Apa kau yakin?" "Hamba
yakin, Baginda." "Apa kau telah menguji mereka." "Belum,"
jawab Perdana Menteri Giri Gantra dengan bibir masih mengurai senyum.
"Tetapi, mereka merupakan tokoh-tokoh yang namanya cukup kon-dang. Selama
ini, mereka berpengaruh di kerajaan mereka masing-masing." "Hm,"
gumam Baginda Raja Awangga turut tersenyum. Tangan kanannya membelai-belai
jenggot yang panjang putih. Matanya memperhatikan dari kejauhan para tokoh
hitam persilatan yang sudah menunggu kedatangannya.
Baginda Raja Awangga dengan
diiringi perdana menteri, terus melangkah ke alun-alun. Kemudian Baginda Raja
Awangga naik ke panggung yang sudah disiapkan, diikuti Perdana Menteri Giri
Gantra.
Semua tokoh aliran hitam yang
ada di alunalun, seketika melakukan sembah. Mereka sujud di hadapan Baginda
Raja Awangga yang telah berdiri di atas mimbar.
"Perdana Menteri, apa
rencanamu selanjutnya?" tanya Baginda Raja Awangga kepada Perdana Menteri Giri
Gantra yang berdiri di sampingnya.
"Mereka akan kita
tugaskan pada tempattempat yang telah ku atur. Sebagian dari mereka, akan kita
adu dengan Pangeran Prapanca dan temantemannya. Kalau mereka ternyata mengalami
kekalahan, maka kita akan menangkap Pangeran Prapanca dan teman-temannya,"
tutur Perdana Menteri Giri Gantra menjelaskan rencananya. "Bukankah dengan
begitu, kita akan mudah menangkap mereka. Kita tak perlu menguras tenaga. Ha ha
ha..." Sang Raja turut tertawa mendengar penuturan perdana menterinya.
Kepalanya mengangguk-angguk, menandakan setuju dengan rencana yang akan dilakukan
Perdana Menteri Giri Gantra.
Baginda Raja Awangga nampak
masih memandangi semua tokoh persilatan di hadapannya. Mereka masih tetap
berdiri tenang menunggu apa yang hendak disampaikan oleh raja. Baginda Raja
Awangga tersenyum senang menyaksikan semuanya. Hatinya benarbenar merasa senang
atas usaha perdana menterinya.
Bagaimanapun dirinya tak
menghendaki kedudukannya sebagai pemimpin Kerajaan Surya Langit tergulingkan.
"Apakah kalian sudah
mengerti apa yang akan kalian lakukan?" tanya Baginda Raja Awangga.
"Belum, Baginda..."
sahut beberapa tokoh. Sedang lainnya hanya menggeleng-geleng kepala.
"Hm," gumam Baginda
Raja Awangga. Matanya masih memandang ke sekelilingnya. Sementara itu para
tokoh persilatan undangan itu menanti perintah yang harus mereka lakukan.
"Baiklah..., dengar baik-baik Kalian semua kuundang, semata-mata untuk menjalankan
tugas yang berat. Kalian harus bisa melakukannya." "Baginda... Kalau
hamba boleh tahu, tugas apa yang harus kami lakukan?" tanya salah seorang
tokoh persilatan yang berdiri di depan.
Baginda Raja Awangga tak
segera menjawab.
Sesaat penguasa Kerajaan Surya
Langit itu terdiam lalu menolehkan wajah pada Perdana Menteri Giri Gantra.
Ketika perdana menteri itu mengaggukkan kepala, Baginda Raja Awangga kembali
berkata. "Kalian kutu-gaskan untuk menangkap seseorang yang nanti akan datang
ke istana ini." "Siapa orangnya, Paduka?" tanya yang lain,
karena belum tahu yang dimaksud sang Raja.
"Pangeran Prapanca dan
teman-temannya. Di antara mereka, terdapat seorang pemuda bertingkah laku
seperti orang gila yang sering disebut sebagai Pendekar Gila. Juga seorang
gadis Cina yang dikenal dengan julukan Bidadari Pencabut Nyawa," tutur
Baginda Raja Awangga.
Semua mata membeliak, setelah
tahu siapa yang harus dihadapi. Nama Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa,
bukanlah nama yang asing bagi mereka. Keduanya telah mereka dengar sejak lama.
Tokoh muda di rimba
persilatan. Namun kemampuan pemuda gila itu cukup membuat siapa saja harus berpikir
seribu kali untuk melawannya. Meskipun di antara para tokoh yang diundang Raja
Awangga belum pernah berhadapan secara langsung dengan tokoh yang telah
menggemparkan rimba persilatan itu.
"Bagaimana? Apakah kalian
siap?" tanya Baginda Raja Awangga.
Namun nampaknya tak satu pun
di antara tokoh itu yang berani menjawab. Semua diam. Kebisuan saat itu membuat
Baginda Raja Awangga mengerutkan kening dan kembali bertanya.
"Bagaimana? Apakah kalian
sanggup menghadapi mereka?" "Hei, mengapa kalian diam?" Kali ini
Perdana Menteri Giri Gantra yang bertanya dengan suara keras. Tokoh kedua dalam
kerajaan itu tampaknya tak sabar menyaksikan mereka yang hanya membisu.
Rencananya harus segera dilaksanakan.
"Kalau kalian tak
sanggup, katakan terus terang Biar urusannya cepat beres" "Sanggup,
Tuan Perdana Menteri..." sahut semua tokoh persilatan serentak. "Kami
sanggup..." "Bagus kalau begitu Sekarang kalian boleh bubar untuk
bersiap siaga di tempat yang telah kutentukan" perintah Perdana Menteri
Giri Gantra Pada para tokoh persilatan. Mereka pun langsung bubar untuk bersiap-siap
di tempat yang telah ditentukan Perdana Menteri Giri Gantra.
***
Mentari semakin condong ke sebelah barat. Suasana
di Kerajaan Surya Langit masih terasa panas.
Sementara angin bertiup
kencang, seakan-akan hendak menyapu orang-orang yang kini mengelilingi tempat
pertemuan. Yang sekaligus sebagai arena pertarungan. Wajah-wajah mereka nampak
tegang, menantikan Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya. Baginda Raja Awangga
dan Perdana Menteri Giri Gantra pun tak luput dari perasaan cemas dan tegang.
"Apakah kau pasti, kalau
mereka akan memenuhi undanganku?" tanya Baginda Raja Awangga pada Perdana
Menteri Giri Gantra.
Perdana menteri itu tak
langsung menjawab.
Dihelanya napas panjang, lalu
mencoba tersenyum meskipun tampak kaku karena dipaksakan dan bercampur tegang.
"Sabar Baginda Raja
Mereka pasti datang, hamba merasakan itu..." "Hm... Semoga perasaanmu
itu benar" gumam Baginda Raja Awangga sambil memegangi dagunya.
Kemudian suasana kembali
hening, tegang. Mata semua orang yang ada di situ memandang ke pintu gerbang
istana. Pintu ruangan pertemuan pun terbuka lebar. Ruang pertemuan besar itu
terletak di tengahtengah istana kerajaan.
Kedelapan tokoh aliran hitam,
Sepasang Toya Setan, si Mata Tunggal, Jembel Pilarang, Kala Prana, Jenggot Naga
dan Kati Asem, serta Hiwa Krana pun nampak tegang dan cemas. Perasaan cemas dan
tegang itu tentu tak begitu saja dapat dihilangkan, kare-na mereka semua
mendengar langsung dari Baginda Raja Awangga, bahwa Pendekar Gila dan
kekasihnya, Bidadari Pencabut Nyawa turut datang dalam acara pertemuan penting
itu. Ya, pertemuan yang akan dihadiri pewaris utama atas Kerajaan Surya Langit,
Pangeran Prapanca.
Sementara itu Pangeran
Prapanca, Pranala, Pendekar Gila, dan Mei Lie dalam perjalanan menuju Istana
Kerajaan Surya Langit. Mereka melalui hutan dan bukit cadas.
Pangeran Prapanca dan Pranala
berjalan di depan, sedangkan Pendekar Gila berada di belakang mereka. Semua
meningkatkan kewaspadaan. Hanya Pendekar Gila sendiri yang bersikap tenang,
bahkan tampak cengengesan, serta menggaruk-garuk kepala. Mei Lie menghela napas
panjang dan menggelengkan kepala, melihat kekasihnya itu.
Angin berhembus kencang
menyapu wajah mereka. Namun keempatnya terus melangkah dengan mantap, menuruni
dan menaiki perbukitan.
"Hi hi hi..." Tiba-tiba
Pendekar Gila tertawa cekikikan sendiri. Hal itu membuat Pangeran Prapanca,
Pranala, dan juga Mei Lie merasa heran. Ketiganya mengerutkan kening.
"Ada apa Sena...?"
tanya Pangeran Prapanca, setelah menghentikan langkah. Keningnya berkerut memandangi
Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Rupanya kita
akan bermain-main sebentar, Pangeran," jawab Sena sambil menggaruk-garuk
kepala.
"Apa maksudmu?"
tanya Pangeran Prapanca, tak mengerti.
Belum sempat Pendekar Gila
menjawab, tibatiba muncul tiga orang bertopeng hitam. Pakaian mereka pun serba
hitam dengan lengan panjang dan ikat pinggang putih. Salah satu dari ketiga
orang bertopeng itu memakai ikat kepala belang-belang kuning hitam, dengan
rambut yang panjang sebatas bahu dibiarkan lepas. Sedangkan dua lainnya tanpa
ikat kepala. Rambutnya tertutup.
"Aha..., ternyata
dugaanku tak salah, Pangeran," ucap Sena dengan cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala. Mei Lie segera maju dengan tangan siap mencabut pedang.
Demikian pula Pranala, Pangeran Prapanca. Hanya Pendekar Gila yang nampak
tenang dan terus tertawa sambil menggaruk-garuk kepala.
Tingkahnya seperti orang gila.
"Kisanak Apa maksudmu
menghadang kami...?" tegur Pangeran Prapanca pada ketiga orang bertopeng
itu.
Orang yang berikat kepala
kuning hitam tampak berkacak pinggang dengan angkuh. Matanya yang tampak dari
dua lubang, menatap tajam.
"Kalau ingin selamat,
sebaiknya urungkan niat kalian meneruskan perjalanan..." ujar orang
bertopeng, dan berambut panjang sebahu itu dengan suara ramah. Pangeran
Prapanca mengerutkan kening, tak mengerti maksud ucapan lelaki bertopeng itu.
Wajahnya menoleh ke Pendekar Gila, seakan meminta Pendekar Gila agar
menjawabnya.
Pendekar Gila hanya
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Lalu tertawa-tawa sendiri.
"Hi hi hi.. Lucu Kenapa
kalian bicara seenaknya, menyuruh kami mengurungkan perjalanan ini? Aneh
sekali" "Ya Jangan seenaknya bicara Sebaiknya kalian menyingkir,
sebelum aku marah" sambung Pranala dengan nada marah sambil melangkah
maju. Namun Pangeran Prapanca menahan dengan tangan kirinya. "Sabar,
Pranala" cegah Pangeran Prapanca.
"Kisanak, kami tak ingin
bertengkar dengan kalian.
Namun kami harus segera
meneruskan perjalanan.
Karena waktu sudah
mendesak..." "Hm..., Pangeran rupanya tak mengerti. Juga Pendekar
Gila, yang biasanya memiliki naluri tajam.
Kenapa seakan-akan tak
berguna? Bagaimanapun juga, aku harus dapat mendesak mereka. Paling tidak menghambat
perjalanan mereka," gumam orang bertopeng yang berikat kepala seperti ular
weling itu. Nampaknya orang ini pimpinan dari kedua temannya. Tanpa menjawab
lagi, orang itu mengangkat tangan kanan memberi perintah kedua temannya agar
menyerang.
Maka terjadilah pertarungan.
Tanpa mengetahui masalahnya, Pangeran Prapanca dan kawankawannya terpaksa
menghadapi ketiga penghadang bertopeng hitam itu.
"Heaaa..." "Yeaaat.."
Mereka saling serang dan tangkis. Tampaknya pihak Pangeran Prapanca tak ingin
hambatan ini terlalu lama. Semua, termasuk Pendekar Gila segera mengeluarkan
kepandaian mereka.
Namun baru beberapa jurus,
tiba-tiba....
"Pangeran... Sebaiknya
biar saya yang menghadapi mereka bersama Mei Lie..." seru Sena sambil
memerintah Pangeran Prapanca agar mundur. "Kau juga Pranala.
Mundur..." "Heaaa..." Pendekar Gila dan Mei Lie segera
menghadang ketiga orang bertopeng itu. Mei Lie menghadapi dua orang tanpa
kewalahan. Gerakan tubuhnya sangat lincah mengelak dan menyerang masih dengan
tangan kosong. Merasa kewalahan, kedua orang bertopeng itu segera melakukan
serangan secara serentak terhadap Mei Lie. "Heaaa..." "Yeaaah..."
"Hup" Teriakan-teriakan keras seketika terdengar, memecah keheningan
siang menjelang senja di daerah perbukitan itu.
Degk "Ukh..." "Aaakh..."
Dua pukulan beruntun Mel Lie mendarat di tengkuk dan dada lawan. Ketika kedua
orang bertopeng itu menyerang, rupanya Mei Lie sudah menyiapkan jurus ampuhnya.
Mei Lie melenting ke udara sambil bersalto. Dan sebelum mendarat gadis itu melancarkan
pukulan ke tengkuk dan dada lawanlawannya.
Kedua orang bertopeng yang
dihadapi Mei Lie terhuyung dan jatuh terguling. Mei Lie tersenyum mengejek
menyaksikan kedua lawannya yang terguling kesakitan.
Sejurus kemudian, kedua lelaki
bertopeng itu bangkit berdiri. Keduanya lalu membuat gerakan jurus-jurus
andalan. Mereka bersama-sama mengangkat kedua tangan ke atas kepala sambil
mengepal. Kemudian dilanjutkan dengan merentang lalu menjulurkan yang kanan ke
depan. Dengan jemari membentuk cakar, mereka mengeluarkan jurus 'Cakar Harimau'.
Sementara itu Mei Lie tampak
tersenyum menyaksikan gerakan kedua lawannya. Namun dia tetap tak menganggap
remeh. Dengan tenang segera mempersiapkan diri untuk memapaki serangan lawan.
"Heaaa..." "Yeaaat.."
Kedua lelaki bertopeng hitam itu melesat melakukan serangan.
"Hiaaat.." Dengan
cepat Mei Lie pun melompat memapaki serangan itu.
Plak Plak Tangan-tangan mereka
beradu dan saling pukul di udara. Kemudian sama-sama mendarat. Namun kedua
lawan Mei Lie dengan gerakan cepat bersamasama melompat memburu Mei Lie bagai
gerakan harimau menerkam mangsa.
Melihat itu dengan cepat Mei
Lie berguling ke depan menjauhi serangan lawan, sambil mencabut pedang
saktinya. Kemudian dengan cepat pula Mei Lie membabatkan pedangnya ke tubuh
kedua lawan.
"Hiaaa..." Srat Tampaknya
kedua lelaki bertopeng itu mengetahui kalau Mei Lie mencabut pedang saktinya.
Dengan cepat keduanya bergerak menjauhi Mei Lie.
"Gawat... Pedang
Bidadari" gumam salah seorang lawannya.
Sementara itu, Pendekar Gila
pun tak mau kalah. Lawan yang dihadapi tampaknya memiliki ilmu lebih tinggi
dibandingkan kedua kawannya. Namun Pendekar Gila nampak ringan menghadapi
lawannya. Gerakannya kelihatan lamban, tapi ternyata begitu cepat hingga
membuat lelaki berambut panjang sebahu itu tampak kewalahan.
Tampaknya lelaki berkedok kain
hitam itu tidak bersungguh-sungguh dalam menghadapi Pendekar Gila. Hal itu
dapat dirasakan oleh Pendekar Gila sendiri.
Sebab ketika Pendekar Gila
sengaja membuka pertahanannya, lelaki berambut panjang itu tak segera menyerang.
Bahkan menarik pukulannya yang sudah melesat. "Aha, aneh kenapa serangannya
tidak dilanjutkan?" tanya Sena dalam hati sambil cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala.
Pendekar Gila mencoba
melancarkan serangan dengan jurus-jurusnya, bermaksud agar lawan meladeni
dengan sungguh-sungguh. Namun tetap saja lelaki berpakaian serba hitam itu
hanya menangkis dan membalas dengan serangan yang tak berarti.
"Huh Benar-benar aneh
orang ini. Apa maksudnya...?" gumam Sena keheranan dan merasa agak kesal.
Lelaki bertopeng dan berambut panjang dengan ikat kepala kuning itu mulai
melakukan serangan.
Pendekar Gila merasa senang
mendapat perlawanan itu. Maka dengan gesit dan tenang, Pendekar Gila mengelak
dan secara perlahan balik menyerang.
Pertarungan sudah menginjak
jurus kesepuluh.
Namun masih tampak seimbang.
Kalau saja Pendekar Gila menghadapi dengan sungguh-sungguh, sudah sejak tadi
lawan akan dapat ditaklukkan. Namun Pendekar Gila merasakan, bahwa lelaki
bertopeng itu tidak mau saling menciderai, atau bentrok. Itu terlihat dari cara
lawannya melancarkan serangan.
Dan akhirnya kecemasan dan
dugaan Pendekar Gila terbukti, ketika lawan semakin terdesak. Pendekar Gila
yang sudah tak sabar mengeluarkan Suling Naga Sakti. Sementara Mei Lie mulai
mempermainkan pedang saktinya. Ketiga orang bertopeng itu kabur, tak
melanjutkan pertarungan dengan Pendekar Gila dan Mei Lie. "Hah...?" Pendekar
Gila mengerutkan kening, demikian juga Mei Lie ketika melihat ketiga lelaki
bertopeng hitam itu lari, lalu menghilang dengan cepat "Aneh Lucu... Hi hi
hi..." gumam Pendekar Gi-la sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
"Siapa sebenarnya mereka
itu, Kakang?" tanya Mei Lie pada Sena.
Pendekar Gila hanya
menggelengkan kepala.
Mulutnya cengengesan sambil
terus tertawa-tawa geli sendiri. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala.
Pangeran Prapanca dan Pranala
mendekati Pendekar Gila dan Mei Lie. Mereka pun belum mengerti siapa ketiga
orang bertopeng hitam itu.
"Apa kau tahu, Sena,
siapa mereka sebenarnya? Lawan ataukah kawan...?" tanya Pangeran Prapanca
setelah berada di dekat Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Ah ah ah Aku belum tahu,
Pangeran. Tapi bagiku, tindakan mereka memang terasa aneh," jawab Sena
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sepertinya mereka
bermaksud baik, Pangeran...," sambung Mei Lie kemudian.
Pangeran Prapanca
manggut-manggut, sambil memegangi dagunya. Keningnya berkerut tajam, seperti
tengah berpikir keras. Siapa ketiga orang bertopeng hitam itu.
"Kita harus tetap
waspada, Pangeran. Kita semua tahu bahwa tempat ini termasuk wilayah Kerajaan
Surya Langit. Mungkin ketiga orang tadi suruhan perdana menteri penjilat
itu..." ujar Pranala dengan nada dingin.
"Mungkin juga,"
sahut Pangeran Prapanca pelan, lalu menarik napas panjang. "Bagaimana
dengan pendapatmu, Sena?" Sena tak langsung menjawab. Tangannya menggaruk-garuk
kepala sambil cengengesan. Matanya melirik ke wajah Mei Lie.
"Aha Perasaanku mengatakan
kalau mereka tak bermaksud menculik atau melukai Pangeran. Tapi betul juga kita
harus tetap waspada." Pangeran Prapanca manggut-manggut tanda mengerti.
Kembali napasnya ditarik panjang-panjang.
"Sebaiknya kita lanjutkan
perjalanan Aku yakin Baginda Raja Awangga telah menunggu kita." Mereka
lalu segera bergerak bersama, melanjutkan langkah kaki menuju Kerajaan Surya
Langit.
***
Sesampainya di Kerajaan Surya Langit Pangeran
Prapanca dan kawan-kawannya disambut dengan ramah oleh Baginda Raja Awangga.
Namun Pendekar Gila dan Mei Lie merasakan suasana yang tidak wajar.
Begitu pula dengan Pranala
yang lak tersenyum sedikit pun. "Silakan, silakan... Duduklah di tempat
yang telah kami sediakan, mari..." Baginda Raja Awangga dengan ramah
mempersilakan mereka. Para undangan lain nampak seperti biasa. Memberikan salam
pada Pangeran Prapanca penuh hormat. Sedangkan Pendekar Gila terus cengengesan
dan menggaruk-garuk kepala. Dia tak peduli sedang berhadapan dengan siapa.
Kebiasaan tingkah lakunya yang konyol bagaikan tak bisa dicegah.
Perdana Menteri Giri Gantra
yang licik dan penjilat itu pun bersikap ramah sekali. Namun Pranala tak
menggubris, bahkan matanya membelalak tajam, ketika Perdana Menteri Giri Gantra
menyilakan duduk Baginda Raja Awangga bicara panjang lebar dengan Pangeran
Prapanca. Dia meminta maaf atas tindakan Perdana Menteri Giri Gantra. Kemudian mengharap
Pangeran Prapanca dapat melupakan semua peristiwa yang sudah berlalu. Apapun
keinginan sang Putra Mahkota itu akan dipenuhi, asal bersedia menerima syarat
Baginda Raja Awangga.
"Apa syarat yang ingin
Baginda katakan pada kami?" tanya Pangeran Prapanca dengan kening berkerut.
"Hm..., tak sulit,"
jawab Baginda Raja Awangga.
Lalu dia berbisik pada Perdana
Menteri Giri Gantra.
"Begini. Kalau kalian
sanggup mengalahkan jago-jago silat yang telah bergabung denganku, kalian boleh
ambil alih takhta kerajaan ini... Bagaimana, setuju?" Perdana Menteri Giri
Gantra dan lainnya tertawa-tawa mengejek. Pranala sudah nampak tak sabar.
Dengan geram pedangnya
dicabut. Namun Pangeran Prapanca cepat menahannya.
"Sabar, Pranala Kita
harus hadapi dengan hari sabar dan kepala dingin...." Sementara itu
Pendekar Gila dan Mei Lie yang mendengar ucapan Baginda Raja Awangga agak kaget.
Namun keduanya tampak tenang.
Pendekar Gila tampak hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Tingkahnya yang seperti orang
gila, membuat para undangan merasa heran.
"Bagaimana menurutmu,
Sena?" tanya Pangeran Prapanca seraya menoleh ke wajah Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Lucu, lucu
sekali Tapi kita harus hadapi dan terima keinginan mereka. Kita bukan orang-orang
pengecut, Pangeran...," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan terus
cengengesan.
"Bagaimana...?"
kembali Baginda Raja Awangga bertanya.
"Kami dengan senang hati
menerima syarat itu..." jawab Pangeran Prapanca dengan tekad yang mantap.
"Ha ha ha... Bagus, bagus
Itu memang jawaban yang kutunggu-tunggu. Perdana Menteri Giri Gantra..."
seru Baginda Raja Awangga.
"Ya, Baginda,..,"
jawab Perdana Menteri Giri Gantra sambil menjura.
"Segera siapkan dan
laksanakan pertarungan..." "Baik, Baginda" Perdana Menteri Giri
Gantra lalu berdiri. Dengan pongahnya, dia memerintahkan para tokoh persilatan
aliran hitam yang sudah diatur olehnya.
"Hai... Kalian para tokoh
yang kuundang Majulah ke depan, dan laksanakan perintahku Sesuai dengan rencana
kita... Ha ha ha..." Maka satu persatu para tokoh yang telah ditunjuk,
muncul. Mereka bergerak maju ke arena yang sudah disediakan. Mereka tak lain,
si Mata Tunggal, Sepasang Toya Setan, Kala Prana, Jembel Pilarang, Jenggot Naga,
Kati Asem dan Hiwa Krana.
Pendekar Gila yang melihat
kedelapan tokoh persilatan aliran hitam itu, hanya cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala.
"Rupanya mereka sudah
merencanakan, Kakang. Kita harus waspada," kata Mei Lie pada kekasihnya.
"Akan kuhabisi orang-orang penjilat itu" "Aha, Pangeran. Rupanya
mereka sudah merencanakan semua ini. Lucu Dan aku sudah duga, kalau mereka
minta bantuan kunyuk-kunyuk itu...," ujar Pendekar Gila sambil menunjuk
kedelapan tokoh aliran hitam yang berada di tempat itu. "Pranala, Mei Lie Ayo
kita sambut kunyuk-kunyuk ini Hi hi hi..." Pendekar Gila melompat ke
depan, disusul Mei Lie dan Pranala. Sedangkan Pangeran Prapanca masih sempat
berdiam diri seperti tengah berpikir. Pendekar Gila berdekatan dengan Mei Lie,
sedangkan Pranala berdekatan dengan Pangeran Prapanca.
"Hi hi hi... Kita bagi
dua..." seru Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
"Mei Lie, kau bergabung
dengan pangeran, biar Pranala bersamaku" Dengan cepat Mei Lie bergeser ke
dekat Pangeran Prapanca. Setelah dekat, diberikannya isyarat agar Pranala
bergabung bersama Pendekar Gila. Kini sudah terbagi dua kelompok. Pendekar Gila
bersama Pranala, untuk menghadapi empat lawan tangguh. Mereka terdiri dari si
Mata Tunggal, Jenggot Naga, Jembel Pilarang, dan Kala Prana. Sedangkan Mei Lie
dan Pangeran Prapanca menghadapi Sepasang Toya Setan, Kati Asem, Hiwa Krana.
"Hm..." gumam
Pangeran Prapanca sambil mengerutkan kening dan menoleh ke arah Mei Lie yang berada
di samping kirinya. "Lawan kita bukan orang sembarangan, Mei Lie. Kita
harus hati-hati" "Tenang, Pangeran Aku sudah tak tahan ingin menghajar
orang-orang penjilat ini" sahut Mei Lie dengan suara geram. Tangannya
telah memegang Pedang Bidadari dan diarahkan lurus ke depan.
"Heaaa..." "Hiaaat..."
Pertarungan terjadi. Dengan pedangnya, Mei Lie bergerak cepat memapaki serangan
Sepasang Toya Setan.
Trak Trak...
"Heaaa..." Wut Wut..
Percikan api mencelat ketika
Pedang Bidadari Mei Lie membentur Toya Setan. Tidak sampai di situ, Mei Lie
terus merangsek lawannya. Dia tahu kalau kedua lawan terkejut, ketika Pedang
Bidadari menebas dengan cepat bagai baling-baling, dalam jurus 'Tebasan Pedang
Bidadari'.
"Hah,..?" sentak
Sepasang Toya Setan. Keduanya tampak mengerutkan kening. Lalu segera melancarkan
serangan berikutnya. Namun Mei Lie tiba-tiba melesat dan bersalto di udara,
laksana seekor burung seriti yang lincah. Tangan kirinya bergerak melakukan
pukulan dan tangkisan. Sedangkan tangan kanan menebaskan pedang sangat cepat,
sampai bentuk senjata itu tak terlihat.
"Heaaat..." Wut Wut..
Pedang di tangan Mei Lie
menebas tubuh kedua lawan yang ada di samping kiri dan kanannya. Untung Sepasang
Toya Setan merupakan tokoh berilmu silat yang cukup tangguh. Kalau tidak pasti
telah mati, dengan tubuh terbelah dua. Namun keduanya tak luput dari cidera.
Lengan kiri dan kanan kedua tokoh bersenjata toya itu tergores pedang Mei Lie.
Dari mulut mereka terdengar rintihan kesakitan ketika saling melompat
menghindari Mei Lie.
Sementara itu Pangeran
Prapanca dengan sigap menghadapi Kati Asem dan Hiwa Krana.
Pangeran Prapanca ternyata
bukan orang sembarangan. Dengan gesit dan cepat Pangeran Prapanca memapaki
serangan lawannya. Baik Kati Asem maupun Hiwa Krana masih ingin mengandalkan
kekuatan tenaga dalam. Terbukti kedua tokoh hitam itu tak mengeluarkan senjata
apapun.
Pangeran Prapanca yang nampak
sudah sangat marah, dengan jurus-jurus mautnya menyerang kedua lawan. Wut Wut..
Degk Degk "Ukh..." Serangkum
angin melesat dari tangan Pangeran Prapanca. Hal itu cukup membuat Kati Asem
dan Hiwa Krana tersentak kaget. Keduanya melompat cepat saling menghindar untuk
menyelamatkan diri.
"Hm.., ternyata pangeran
ini memiliki ilmu yang lumayan. Hati-hati, Kawan" ujar Kati Asem pada Hiwa
Krana.
"Hm..." Hiwa Krana
hanya mendengus pelan.
Kati Asem serta Hiwa Krana
kembali menyerbu Pangeran Prapanca. Menghadapi satu saja keduanya sudah merasa
keteter. Apalagi kalau menghadapi dua lawan sekaligus. Terpaksa mereka harus
bertindak cepat dan hati-hati. Sekali salah gerakan atau langkah, tak ampun lagi.
Serangan putra mahkota itu ternyata sangat berbahaya Sambil berkelebat
mengelak, Pangeran Prapanca berteriak agar Kati Asem dan Hiwa Krana menghentikan
perlawanan. Namun dua orang tokoh aliran hitam itu tak mau berhenti begitu
saja. Apalagi Baginda Raja Awangga menjanjikan kedudukan terhormat di Kerajaan
Surya Langit. Tanpa ragu-ragu mereka bertekad mempertaruhkan nyawa.
Keduanya makin memperhebat
serangan masing-masing. Namun, tampaknya baik Kati Asem maupun Hiwa Krana
semakin terdorong oleh perasaan marah dan nafsu membunuh. Sehingga kurang
menyadari kalau hal itu justru mengurangi kewaspadaan.
Dua kali pukulan keras
Pangeran Prapanca bersarang di tubuh Kati Asem dan Hiwa Krana. Disusul satu
jotosan Pangeran Prapanca menghantam rusuk Kati Asem. Dan satu tendangan keras
juga menghantam rusuk Hiwa Krana.
"Hiaaa..." Blak Plak
"Aaakh..." Kati Asem dan Hiwa Krana tampak terhuyunghuyung. Mulut
keduanya meringis kesakitan. Salah satu pukulan Pangeran Prapanca telah membuat
tubuh mereka terluka dalam.
Di lain tempat, Pendekar Gila
bersama Pranala tampak tak mendapatkan kesulitan untuk menghadapi keempat
lawannya. Pendekar Gila bagai menari dan seakan tak bersungguh-sungguh
menghadapi lawanlawannya. Si Mata Tunggal dan Jenggot Naga tambah geram dan
marah. Padahal sebenarnya sebelum bertanding mereka mempunyai perasaan ragu dan
segan menghadapi Pendekar Gila. Karena sudah lama mereka tahu kalau pendekar
muda itu sangat disegani baik oleh tokoh hitam maupun putih.
"Aha, kalian rupanya
hanya besar mulut dan bertampang seram Tapi, tak punya nyali Ayo maju..." ejek
Pendekar Gila sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Meskipun dalam
keadaan bertarung, pemuda berpakaian rompi kulit ular itu masih saja sempat
bertingkah laku konyol, seperti orang gila.
"Hhh..." Jenggot
Naga memutar tangan kiri ke belakang, lalu menyentakkan ke depan. Sedang tangan
kanannya ditarik ke belakang, kemudian diputar dengan jari-jari terbuka.
Setelah itu dihentakkan lurus ke depan.
Gerakan itu merupakan pembuka
dari jurus 'Sampar Naga'. Menyaksikan lawan telah membuka jurus andalan,
Pendekar Gila justru tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bersiaplah, Pendekar
Gila" dengus Jenggot Naga yang semakin sewot menyaksikan tingkah konyol Sena.
Hatinya kian marah dan geram menghadapi lawan yang ternyata mempunyai gerakan lamban
dan lemah, bagaikan tak bertenaga.
"Sejak tadi aku sudah
siap..." jawab Sena tenang. Si Mata Tunggal pun tak tinggal diam, segera membuka
jurus mautnya yang dinamakan 'Mata Malaikat Pencabut Nyawa'. Dari mata dan
telapak tangannya mulai mengeluarkan asap merah. Sementara itu, Pendekar Gila
yang menyaksikan ilmu si Mata Tunggal hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi... Ternyata ilmu kalian cukup aneh dan hebat Hi hi hi..."
ujar Pendekar Gila dengan nada mengejek. "Ayo..., akan kulayani kalian
dengan senang hati" Semua tokoh hitam yang berada di dalam ruang
pertempuran itu terbelalak. Mereka merasa kagum dan keheranan menyaksikan
tingkah laku Pendekar Gila yang konyol. Pemuda tampan berambut gondrong dan
berpakaian rompi kulit ular itu seakan tak merasa takut sama sekali. Padahal
lawan-lawannya kali ini sudah sangat dikenal sebagai tokoh berilmu tinggi.
Namun bagi yang tahu, tingkah laku konyol itu merupakan pembuka jurus ‘Si Gila
Menari Menepuk Lalat’. Jurus aneh yang sering membuat lawan terkesima, heran,
bahkan terkejut.
Orang-orang yang menyaksikan
ulah Sena merasa yakin dan berpikiran kalau Pendekar Gila akan dapat
ditaklukkan kedua lawannya.
Tubuh Pendekar Gila tampak
mulai menyurut dua langkah ke belakang. Sambil tertawa-tawa, tubuhnya
meliuk-liuk seperti menari. Kedua tangannya bergerak lemah gemulai.
"Heaaa..." Jenggot
Naga memekik keras untuk membuka serangan, mendahului si Mata Tunggal yang
masih berjaga-jaga. Tubuhnya melesat ke depan, memburu tubuh Pendekar Gila.
Tangan kanannya membentuk siku dengan kepalan ke atas. Sedangkan tangan kiri diputar,
lalu dihentakkan menghantam dada lawan.
Melihat lawan melakukan
serangan, dengan cepat Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangan kanannya
diangkat lurus ke atas dengan telapak saling berhadapan. Kaki kanan diangkat
membentuk siku, la-lu direntangkan ke kanan. Hal itu diikuti dengan gerakan
membuka kedua telapak tangannya. Selanjutnya terlihat gerakan menari. Tangan
kanan masih di atas, sedangkan tangan kiri lurus ke bawah.
"Yeaaat..." Dengan menggunakan jurus pembuka 'Kera Gila Melempar
Batu'. Gerakannya seperti seekor kera yang tengah melemparkan batu ke tubuh
lawan. Dari gerakan itu, keluar serangkum angin yang mampu menahan gerak lawan.
"Yeaaat..." "Heaaa..."
Jenggot Naga dan si Mata Tunggal kini samasama melesat untuk melakukan
serangan. Tangan dan kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan tubuh.
Secara bergantian dan cepat tangan mereka melakukan serangan dan pertahanan.
Sedangkan kedua kaki mereka saling menyapu ke kaki lawan.
"Heaaat... Mampus kau,
Pendekar Gila Yeaaa..." Sambil membentak keras, Jenggot Naga melesat cepat
melancarkan serangan. Tangan kanannya memukul ke dada Pendekar Gila. Sedangkan
tangan kirinya membentuk pertahanan.
"Uts... Hih" Dengan
cepat Pendekar Gila menarik kaki kanan lalu melangkah ke depan disusul dengan
pukulan telapak tangan.
"Hah...? Edan" maki
Jenggot Naga kaget. Segera serangannya ditarik dengan cepat, sementara tangan
kirinya memapak serangan lawan. Setelah itu, kakinya digerakkan menendang.
Pendekar Gila meliukkan
tubuhnya ke bawah.
Secepat kilat tangannya
menyambar kaki lawan. Hal itu memaksa Jenggot Naga menarik serangan dengan cepat.
Matanya semakin membelalak menyaksikan jurus Pendekar Gila yang semakin
sempurna. Jurus itu membuat nyalinya makin kecil.
Melihat Jenggot Naga mulai
kecut, si Mata Tunggal merangsek ke depan menyerang Pendekar Gila dengan geram.
Pendekar Gila dengan tenang melompat, mengelak dari serangan lawan. Rupanya si
Mata Tunggal melancarkan serangan dahsyatnya. Dari matanya keluar sinar merah,
bagai api, meluncur cepat ke tubuh lawan. Namun Pendekar Gila dengan cepat mengelak.
Sehingga tanpa diduga, serangan sinar merah yang mengandung hawa panas itu
melesat dan menerjang orang-orang yang duduk di pinggir arena pertempuran.
"Heaaa..." Slats Brets
"Aaakh..." Para tokoh aliran hitam yang menyaksikan di pinggir arena
pertarungan semua terkejut. Hampir tak percaya mereka menyaksikan kekuatan hawa
panas yang keluar dari mata si Mata Tunggal yang mampu menewaskan beberapa
orang dalam seketika. Bahkan tubuh mereka hangus bagai terbakar "Hi hi
hi... Boleh juga kunyuk ini" ular Pendekar Gila dengan nada mengejek
sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Melihat serangannya gagal, si
Mata Tunggal makin kesal dan penasaran. Kini dengan membabi buta lelaki
bertubuh besar dan bermata satu itu merangsek Pendekar Gila.
"Heaaa..." "Hi
hi hi..." Pendekar Gila cekikikan melihat kemarahan lawannya. Dengan
meliuk-liuk bagai menari, pemuda berwajah tampan dan berompi kulit ular ini
mengelak dari serangan ganas lawan. Kemudian dengan gerakan yang tampak lemah
dan lamban, tiba-tiba tendangan keras Pendekar Gila mendarat di perut si Mata
Tunggal.
"Hih" Bugk "Aaakh..."
Si Mata Tunggal memekik keras. tubuhnya terjungkal keras ke tanah. Pendekar
Gila dengan tingkahnya yang konyol tertawa-tawa dan berjingkrakan bagai kera.
Tangannya menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat.
Para tokoh persilatan yang
berada di ruang pertemuan besar itu terkagum-kagum. Dengan penuh keheranan
mereka memperhatikan, seakan tak ingin melewatkan sedikit pun pertarungan itu.
Mulut mereka ternganga dan sesekali berdecak kagum.
"Ck ck ck.." "Benar-benar
gila dan hebat pemuda itu" Perdana Menteri Giri Gantra berbisik-bisik pada
Baginda Raja Awangga yang nampak cemas dan tegang. Karena jago-jagonya ternyata
hampir semuanya terpecundangi. Padahal kedelapan tokoh itu memiliki ilmu yang cukup
tinggi.
"Sebaiknya kita lekas
perintahkan prajurit dan jago lainnya untuk menangkap mereka, Baginda. Kalau
tidak, gawat" bisik Perdana Menteri Giri Gantra pada Baginda Raja Awangga.
Baginda menganggukkan kepala
tanda setuju, sambil menyeka keringat di keningnya. Menahan cemas dan
ketegangan dirinya. Sebab kalau Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya ternyata
menang, tahta Kerajaan Surya Langit akan jatuh pada putra mahkota itu.
Pranala pun dengan tangan
kosong terus menghadapi lawannya. Kaki tangannya memukul dan menendang lawan
yang sudah terdesak. Jembel Pilarang nampak terhuyung-huyung lalu jatuh
tertelungkup kena tendangan Pranala yang sangat keras. Sedangkan Kala Prana
yang sudah lebih dulu kena pukulan 'Braja Sakti' milik Pranala muntah darah
sambil memegangi dadanya yang terasa sesak.
Melihat tokoh-tokoh undangan
itu mulai berjatuhan, Perdana Menteri Giri Gantra segera memerintahkan para
prajurit dan orang-orang andalannya untuk menangkap Pangeran Prapanca dan kawankawannya.
Termasuk Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Hah...? Apa-apaan
ini" Gumam Mei Lie gusar.
Sambil melompat mendekati
Pendekar Gila yang tengah menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Sepertinya
tak peduli dengan keadaan saat itu.
"Kakang Sena,
bertindaklah Kalau tidak..." Belum sempat Mei Lie meneruskan katakatanya,
tiba-tiba sebatang tombak meluncur ke tubuhnya. Dengan cepat Mei Lie
menyabetkan pedangnya. Wret Trak Tombak itu terhantam Pedang Bidadari dan berbalik
meluncur ke pemiliknya.
"Aaakh..." Tombak
menancap ke tubuh pemiliknya yang saat itu langsung tewas Pertempuran masal
terjadi. Pendekar Gila, Mei Lie, Pangeran Prapanca dan Pranala menghadapi puluhan
prajurit kerajaan dan para tokoh silat yang sangat tangguh. Pendekar Gila dan
Mei Lie terpusat pikirannya untuk menyelamatkan Pangeran Prapanca, hanya
berusaha mengusir dan menghalangi orangorang yang ingin menangkap putra mahkota
itu. Hingga keduanya tak sempat melancarkan serangan balik yang mematikan.
Pendekar Gila khawatir Pangeran Prapanca akan cedera.
Keadaan ini menyebabkan para
prajurit kerajaan berhasil mendesak Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya.
Pendekar Gila yang masih nampak cengengesan dan hanya sesekali berupaya
melancarkan serangan mautnya, untuk menghalau para prajurit dan tokoh
persilatan. Lalu kembali membentengi Pangeran Prapanca.
Tiba-tiba melesat sesosok
tubuh berambut panjang tak beraturan. Sosok ini merupakan tokoh hitam yang
sangat menyeramkan. Matanya mencorong bagaikan mata setan. Namun wajahnya mirip
orang hutan. Kuku-kukunya tajam dan runcing. Dialah Setan dari Rimba Merawan Pendekar
Gila tersentak dan cepat melenting ke udara, ketika dirasakan ada serangan dari
belakang.
"Heaaa..." Wuuut
Wuuut "Hi hi hi... Aha, rupanya ada tamu tak diundang membokongku. Hi hi
hi..., lucu sekali" ejek Pendekar Gila pada Setan dari Rimba Merawan.
Makhluk berwajah seperti gorila itu marah.
"Grrr..." "Kau
kunyuk raksasa Beraninya menyerang dari belakang. Ayo maju Aku ingin main-main
denganmu. Hi hi hi..." Pendekar Gila kembali mengejek sambil
menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
"Grrr... Grrr..." Setan
dari Rimba Merawan menggeram lalu menerjang Pendekar Gila. Dengan kuku-kukunya
yang runcing dan beracun, makhluk aneh itu menyerang.
Wrets Wrets "Grrr...
Grrr..." "Hi hi hi.... Hebat juga ilmu kunyuk raksasa ini,"
gumam Pendekar Gila sambil mengelak, dengan bersalto ke belakang. Kemudian
secara tiba-tiba Pendekar Gila melancarkan serangan balik dengan jurus 'Kera
Gila Melempar Batu'. Seketika melesat serangkum angin yang mampu menahan gerak
lawan.
Tubuh Setan dari Rimba Merawan
bagai terdorong angin dahsyat. Lalu dengan gerakan cepat Pendekar Gila
menyambar makhluk berwajah gorila itu.
"Heaa..." Wret "Aaakh...
Grrr... Uaaak.." Bluk...
Setan dari Rimba Merawan
mengerang kesakitan, ketika cengkeraman tangan Pendekar Gila mendarat di
kepalanya. Sementara sapuan kaki Pendekar Gila mampu menjatuhkan tubuhnya yang
besar itu.
Namun Setan dari Rimba Merawan
masih mampu melakukan perlawanan. Kedua tangannya yang besar dan kokoh serta
berkuku tajam, menyambar bagian bawah tubuh Pendekar Gila.
"Grrr... Heaaa..." Wret
"Aits... Heaaa" Pendekar Gila melenting ke atas. Lalu bagai elang
menyambar mangsa tubuhnya meliuk. Ketika mendarat dan masih dalam keadaan
meliuk tangannya menyambar cepat kaki lawan. Hal itu memaksa Setan dari Rimba
Merawan menarik serangan dengan cepat.
Matanya semakin membelalak
menyaksikan jurus Pendekar Gila yang semakin membahayakan.
"Edan Pemuda gila ini
benar-benar berilmu tinggi," gumam Setan dari Rimba Merawan dalam hati.
Pendekar Gila terus menyerang.
Gerakannya yang seperti kera, terlihat lucu dan lamban. Namun ternyata
serangannya sangat cepat. Tangannya menepuk ke tubuh lawan secara gencar dan
susulmenyusul.
"Grrr... Benar-benar
jurus berbahaya" gerutu Setan dari Rimba Merawan tersentak kaget,
mendapatkan serangan yang aneh. Dilihatnya gerakan tangan dan kaki Pendekar
Gila itu lambat. Namun kalau dirinya tak cepat berkelit, cakaran dan tepukan
tangan Pendekar Gila tentu menghajar tubuhnya.
"Heaaa..." Wrrrs...
"Hah" Setan dari
Rimba Merawan lebih terkejut lagi ketika merasakan gerakan lambat itu mampu
mengeluarkan angin pukulan yang menderu keras. Bagaikan topan besar angin itu
menerpa tubuhnya yang besar.
Setan dari Rimba Merawan
cepat-cepat memutar tubuhnya. Kemudian dengan gerakan cepat pula, makhluk
bermuka seperti gorila itu melontarkan pukulan ke dada Pendekar Gila.
"Yeaaa..." Wut Setan
dari Rimba Merawan rupanya kini tahu gelagat. Dirinya yang semula memandang
rendah Pendekar Gila, kini tak berani lagi meremehkannya. Serangannya yang
menggunakan jurus-jurus ular pun dipergencar susul-menyusul. Kedua tangannya
mematuk dan menampar ke dada dan muka lawan.
Pendekar Gila dengan cepat
melompat lalu meliuk ke bawah, ketika tangan lawan mematuk ke wajahnya.
Dimiringkan tubuhnya ke belakang, ketika tangan lawan menampar keras ke
dadanya. Kakinya bergerak lincah, menjejak berganti-ganti. Sedangkan tangannya
berusaha memapak dan menyambar kaki lawan yang turut menyerang.
Ruangan tempat pertemuan di
istana itu telah berantakan. Meja kursi banyak yang hancur. Di sana sini
terjadi pertarungan seru. Baginda Raja Awangga segera mencari perlindungan. Dua
pengawal membentengi. Ditambah lima orang pengawal lainnya, berada di depan.
Sementara itu Mei Lie pun tak
tinggal diam.
Dengan gesit dan cepat gadis
cantik itu menggerakkan Pedang Bidadari menghalau lawan-lawannya. Dalam beberapa
gebrakan Mei Lie mampu membuat kocarkacir prajurit kerajaan yang menyerangnya.
"Hiaaa..." Wut Wut Kibasan
pedang Mei Lie mengeluarkan angin kencang dan hawa panas. Hal itu membuat lawanlawannya
ketakutan dan menyingkir. Namun gadis bergaun hijau itu tetap saja memburu
dengan kibasan pedangnya.
Kembali pada pertarungan
Pendekar Gila melawan Setan dari Rimba Merawan, yang semakin seru.
Sejauh itu keduanya masih
memperlihatkan ketangguhan. Pendekar Gila kali ini bergerak menyerang dengan
jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Kedua tangannya menyapu ke atas, kemudian
menyentak bareng ke depan dengan telapak tangan terbuka. Kaki-kakinya menyapu
dan menendang bertubi-tubi ke arah lawan.
"Yeaaa..." "Uts...
Heaaat... Grrr..." Setan dari Rimba Merawan segera melejit ke samping.
Kemudian dengan gerakan membentuk setengah putaran, tangannya mematuk ke wajah
Pendekar Gila. Lalu, setelah melihat Pendekar Gila mengges-er kaki ke samping,
Setan dari Rimba Merawan melontarkan tamparan tangan kiri ke dada Pendekar Gila.
Wuttt Tangan kiri Setan dari
Rimba Merawan menderu cepat, mengarah ke dada lawan. Sedangkan Pendekar Gila
yang tidak menyangka lawan akan kembali menyerang dengan cepat, tersentak
kaget. Matanya membelalak ketika menyadari dirinya mati langkah.
Sehingga dengan cepat Pendekar
Gila menyapukan tangan kanan untuk memapak tamparan lawan. Gerakan tangannya
seperti membelah dengan cepat "Heaaa..." Setan dari Rimba Merawan
menarik tamparan tangan kirinya. Lalu mengganti serangan dengan tendangan kaki
kanan ke selangkangan lawan. Sedangkan tangan kanannya, kini kembali mematuk ke
wajah Pendekar Gila.
Mendapat serangan cepat,
Pendekar Gila segera melompat dengan berjumpalitan ke belakang. Sementara
tubuhnya di udara, kakinya menjejak cepat ke tanah. Kemudian dengan tubuh
membalik, Pendekar Gila menyatukan pukulan tangannya, lalu menyerang ke tubuh
lawan.
"Yeaaat.." Dengan
tubuh meluncur cepat, Pendekar Gila kini balik menyerang. Tangannya mencakar
Setan dari Rimba Merawan, yang menangkis dengan cepat setiap pukulan yang
dilancarkan Pendekar Gila.
"Heaaa..." Tangan
mereka kini bergantian memukul dan menangkis serangan lawan. Pendekar Gila
terus melakukan serangan dengan tubuh melayang di udara. Sedangkan tubuh Setan
dari Rimba Merawan terus mundur sambil menangkis serangan lawan dan sesekali balas
menyerang.
Orang-orang yang tak ikut
bertarung, membelalakkan mata. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka.
Termasuk Baginda Raja Awangga, yang mengintip dari balik tubuh pengawalnya.
Dengan tubuh melayang laksana
terbang, Pendekar Gila terus meluncur sambil melancarkan pukulan dan terkadang
menangkis serangan lawan.
"Heaaa..." Mata
Setan dari Rimba Merawan terbelalak lebar, dirinya tak sempat mengelak serangan
lawan.
Hingga akhirnya hanya bisa
menangkis.
Plak "Aaakh..." Tubuh
Setan dari Rimba Merawan terpekik keras. Tubuhnya yang besar terhuyung-huyung
ke belakang sambil memegangi kepala.
Tapi, baru saja Pendekar Gila
hendak melakukan serangan susulan, segera diurungkannya. Hal itu karena
tiba-tiba Pangeran Prapanca terkurung oleh prajurit dan tokoh aliran hitam.
Pendekar Gila yang melihat
itu, segera melesat dengan bersalto ke udara untuk membantu Pangeran Prapanca.
"Heaaa..." Dalam
sekejap saja Pendekar Gila telah berada di antara kepungan para prajurit
kerajaan, membantu Pangeran Prapanca. Secepat itu pula tangan dan kakinya
langsung bergerak memapak dan menyerang prajurit yang berusaha menyerbu
Pangeran Prapanca.
Melihat keadaan Pangeran
Prapanca, Mei Lie pun segera melompat meninggalkan lawan-lawannya.
Dengan cepat dibabatkan
pedangnya menghalau para puluhan prajurit kerajaan yang mengepung Pangeran Prapanca.
"Heaaat..." Wret
Wret Cras Cras Cras "Aaakh... Aaa..." Maka bergelimpanganlah lima
orang sekaligus, tertebas pedang Mei Lie. Nampak kelima orang itu seakan tak
mengalami luka. Namun sesaat kemudian tubuh kelima prajurit itu roboh. Terbelah
dua.
Tiba-tiba melompat dua orang
tokoh aliran hitam, Pakasti dan Sangkulawa bersiap menyerang Mei Lie. Namun Mei
Lie telah siap memapaki serangan kedua lawannya. Ia melenting ke udara, lalu
menukik, sambil menebaskan pedangnya ke tubuh lawan.
Cras Cras "Aaakh..."
"Uaaa..." Seketika tubuh kedua tokoh hitam itu roboh dan terbelah dua.
Namun keadaan kini berubah.
Pendekar Gila memberikan isyarat, agar lebih mementingkan keselamatan Pangeran
Prapanca.
Sementara itu, Perdana Menteri
Giri Gantra memerintahkan anak buahnya untuk menutup semua pintu istana.
"Tutup semua gerbang...
Kepung mereka Tangkaaap..." seru Perdana Menteri Giri Gantra, sambil
berlari menyelamatkan diri.
Pangeran Prapanca dan
kawan-kawan kini benar-benar terdesak dan terkepung. Puluhan prajurit kerajaan
dibantu tokoh-tokoh hitam rimba persilatan terus merangsek. Hal itu tampaknya
mampu memaksa Pendekar Gila kewalahan.
Pendekar Gila segera mencari
akal untuk berbuat sesuatu. Namun ketika hendak mencabut Suling Naga Sakti-nya,
tiba-tiba muncul tiga lelaki bertopeng, yang langsung masuk ke arena
pertempuran. Ketiganya membantu Pendekar Gila untuk menyelamatkan Pangeran
Prapanca. Sesaat kemudian menyusul pula sesosok lelaki bertubuh raksasa ke
tempat pertarungan di dalam istana itu. Sosok bertubuh raksasa itu tak lain
Buto Gege yang rupanya telah bergabung dengan ketiga lelaki bertopeng hitam itu.
Pertempuran semakin seru. Satu
di antara ketiga lelaki berkedok itu dengan cepat menyambar Pangeran Prapanca
yang tampak telah terluka lengan kirinya oleh keris salah seorang tokoh silat.
Lelaki berkedok, dengan ikat kepala belang kuning hitam itu membawa lari
Pangeran Prapanca yang terluka. Melihat itu Pendekar Gila cepat menyusul,
diikuti oleh Mei Lie. Sedangkan Pranala, Buto Gege, dan dua orang berkedok masih
menghadapi lawan-lawannya. Berusaha menahan prajurit dan orang-orang aliran
hitam yang terus dengan beringas menyerang mereka.
Tiba-tiba Buto Gege
melemparkan suatu benda ke tanah yang menimbulkan asap ungu mengandung racun.
Asap itu mengepul di seluruh tempat pertarungan. Kesempatan itu digunakan
Pranala dan kedua lelaki berkedok untuk kabur. Sementara Buto Gege menyusul
belakangan setelah sempat melukai Giri Gantra. Hingga perdana menteri licik dan
penjilat itu tak kuat lagi berdiri. Karena Buto Gege mengangkat lalu membantingnya
keras ke tanah. Mungkin kakinya patah.
"Kejar mereka... Cepat..
Kejaaar..." teriak Perdana Menteri Giri Gantra sambil memegangi kaki kirinya
yang dirasakan seperti patah.
Sedangkan Baginda Raja Awangga
kalangkabut, kebingungan dan lari ke dalam. Penguasa Kerajaan Surya Langit itu
berusaha menyelamatkan diri, karena suasana semakin kacau-balau. Belasan prajurit
tewas seketika terserang racun yang dilemparkan Buto Gege. Beberapa tokoh hitam
pun tak ampun lagi, seperti Hiwa Krana dan Kati Asem tak luput dari maut Sedangkan
yang lain luka-luka diamuk kemarahan manusia raksasa itu.
***
5
Mentari telah turun di ufuk
barat Sinarnya tampak kemerahan. Lelaki berkedok hitam melesat bagai terbang
membawa tubuh Pangeran Prapanca. Sedangkan di belakang nampak pemuda berambut
gondrong dan berpakaian rompi dari kulit ular mengikuti dengan cepat. Pemuda
itu tak lain Pendekar Gila. Dengan ilmu 'Sapta Bayu' Pendekar Gila terus
mengejar.
"Tunggu... Kisanak"
seru Pendekar Gila setelah dapat menghadang orang berkedok yang membawa Pangeran
Prapanca yang telah ditotoknya.
Mei Lie pun yang tadi
mengikuti dan jarak belasan tombak, kini telah sampai. Bahkan telah berada di
samping Pendekar Gila. Keduanya kini berhadapan dengan lelaki bertopeng yang
memanggul tubuh Pangeran Prapanca.
"Kisanak, siapa kau
sebenarnya?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Matanya menatap lelaki berkedok hitam itu.
"Kenapa kau membantu
kami...?" tanya Mei Lie kemudian, karena lelaki berkedok itu tak juga
menjawab. "Jawabannya ada di goa sana. Sebaiknya kalian memberi aku jalan.
Waktu kita sangat sempit," jawab lelaki berkedok hitam. Setelah itu
tubuhnya melesat cepat. Tanpa banyak pikir Pendekar Gila dan Mei Lie langsung
mengikutinya. Hati keduanya masih diliputi pertanyaan.
"Siapa lelaki itu
sebenarnya...?" gumam Pendekar Gua sambil berlari mengejar lelaki berkedok
yang membawa Pangeran Prapanca.
Sementara itu dalam jarak
beberapa puluh tombak telah tampak Buto Gege. Pranala, dan dua lelaki berkedok
tengah melesat menuju arah yang sama.
Mereka pun terus mengejar
lelaki berkedok yang membawa Pangeran Prapanca.
Sesampainya di depan sebuah goa
yang nampak sunyi, Pendekar Gila dan Mei Lie berhenti. Keduanya mengawasi
sekeliling goa yang tampak sepi dan teduh. Karena di sekitarnya tumbuh
pepohonan besar dan rindang.
"Hm..." gumam Sena,
lalu menoleh kepada Mei Lie kekasihnya.
"Kenapa kita tak langsung
masuk saja, Kakang?" tanya Mei Lie sudah tak sabar.
"Aha, kau benar, Mei Lie.
Ayo, kita masuki goa itu..." Keduanya segera melangkah memasuki goa itu.
Tak lama kemudian Buto Gege,
Pranala, serta dua lelaki bertopeng datang dan masuk pula.
Ruangan di dalam goa itu
ternyata sangat bersih dan tampak rapi. Di dalam ruangan yang cukup luas itu
ada sebuah batu besar. Duduk di atasnya seorang wanita buta dengan tongkat di
tangan kirinya.
Wanita setengah baya itu
menyambut Pendekar Gila dan Mei Lie dengan ramah. Sedang di sampingnya telah
duduk bersila lelaki berkedok yang membawa Pangeran Prapanca.
Pendekar Gila dan Mei Lie
memberi hormat pada wanita buta itu. Lalu mata keduanya sekilas memandangi
Pangeran Prapanca yang sudah sadar. Putra mahkota itu duduk di sebelah kiri
wanita buta yang ternyata Nyi Kemuning Sari bekas kekasih Singo Edan guru Sena
Manggala.
Sena dan Mei Lie merasa heran
melihat Pangeran Prapanca begitu tenang, bahkan tampak gembira.
Sedangkan lelaki berkedok itu
ternyata Ki Jalna Wangga.
"Kau...?" Pendekar
Gila tersentak kaget ketika Ki Jalna Wangga membuka kedoknya. Ki Jalna Wangga
yang juga berjuluk si Pukulan Petir menganggukkan kepala pada Pendekar Gila
yang tampak belum mengerti. Namun tiba-tiba pendekar muda itu tertawa dan cengengesan
sambil menggeleng-geleng kepala.
"Kau tak membuang sedikit
pun tingkah laku gurumu, Anak Muda..." terdengar suara parau dari mulut
wanita buta itu.
Mendengar ucapan itu, Sena
jadi kaget dan mengerutkan kening. Lalu menoleh ke Mei Lie. Mei Lie mengangkat
kedua bahunya, karena merasa heran.
Bagaimana bisa tahu kalau
Pendekar Gila sedang berlaku begitu. Padahal wanita itu buta.
"Heh...?" Sena tak
bisa melanjutkan kata-katanya. Sebab Nyi Kemuning Sari seakan bisa melihat dan
mengenal gurunya, Singo Edan.
"Hi hi hi... Lucu... Lucu
sekali Siapa Nyisanak sebenarnya?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk
kepala dan cengengesan.
Pada saat itu Buto Gege,
Pranala, dan dua lelaki berkedok masuk ke ruangan itu. Kedua lelaki berkedok
itu pun segera melepas kedoknya. Mereka ternyata bekas pengawal kerajaan, yang
bergabung dengan Ki Jalna Wangga.
Pendekar Gila dan Mei Lie semakin
heran dan bingung. Apalagi ketika Buto Gege berkata, "Nyi.., in-ilah murid
Kakang Singo Edan Dan itu kekasihnya. " "Aku sudah tahu, Adi Buto
Gege. Aku merasa seakan tengah berhadapan dengan Kakang Singo Edan...,"
sahut wanita seumur Singo Edan itu.
"Hi hi hi...
Tadi...," ucapan Sena terputus. Lalu kembali menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan.
Mei Lie pun nampak bingung.
"Sena, kemarilah Aku pun
ingin melepas rinduku pada Kakang Singo Edan melalui dirimu. Kau tidak
keberatan, bukan?" tanya Nyi Kemuning Sari kemudian.
Pendekar Gila lalu segera
menjura, kemudian perlahan kakinya melangkah maju mendekati Nyi Kemuning Sari.
Setelah Sena berada di depannya, Nyi Kemuning Sari meletakkan telapak tangan ke
pipi Pendekar Gila. Dengan lembut diusap-usapnya pipi Sena. "Sena, hatiku
merasa lega. Kerinduanku pada Kakang Singo Edan sedikit terobati melalui
dirimu." terdengar suara itu sedikit bergetar. Menandakan rasa haru yang
dalam.
"Ah... Maafkan aku Nyi
Guru... Tingkahku yang kurang sopan tadi...." "Ooo..., Sena. Tak
perlu kau ucapkan itu Aku sudah lega, karena akhirnya kau datang ke tempatku.
Semua ini Hyang Widi yang
telah mengaturnya...," ujar Nyi Kemuning Sari sambil tersenyum gembira.
Di-usapnya wajah Sena tiga kali. Lalu melepaskannya perlahan. Wanita buta itu
seakan melihat dengan jelas wajah pemuda murid bekas kekasihnya.
"Aha... Bagaimana Nyi
Guru bisa tega meninggalkan Eyang Guru Singo Edan? Hingga dia sendirian," tanya
Sena memberanikan diri.
Nyi Kemuning Sari
menggelengkan kepala sambil tertawa terkekeh-kekeh. Namun kemudian tiba-tiba wajahnya
berubah sedih. Pendekar Gila dan Mei Lie saling pandang merasa terharu. Melihat
wajah wanita buta itu, hati keduanya semakin terenyuh.
"Dua puluh tahun yang
silam aku dan Kakang Singo Edan menjalin cinta kasih. Seperti kau saat ini
bersama gadismu. Tapi rupanya nasib membuat kami berpisah.... Kami sama-sama
keras. Sampai akhirnya suatu peristiwa yang tak kami inginkan terjadi...;"
"Peristiwa apakah itu Nyi Guru...?" tanya Sena ingin tahu sambil
menggaruk-garuk kepala.
Nyi Kemuning Sari tak langsung
menjawab.
Wanita tua itu menghela napas
panjang. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan.
"Aku terbius omongan
lelaki bernama Ki Wangsa Dewa. Dia menghasutku, bahwa Kakang Singo Edan akan
memperistri gadis bernama Laraswati. Aku percaya, karena suatu hari aku melihat
sendiri Kakang Singo Edan berjalan bersama Laraswati...," sejenak Nyi Kemuning
Sari menghentikan ceritanya.
Pendekar Gila dan Mei Lie,
serta yang ada di situ diam, mendengarkan dengan seksama. Mei Lie yang sesama
wanita mulai merasa iba mendengar cerita Nyi Kemuning Sari. Demikian juga Sena.
"Tapi rupanya itu hanya
siasat Wangsa Dewa, yang diam-diam menyukai diriku. Laraswati, ternyata sengaja
disuruh oleh Wangsa Dewa untuk merayu Kakang Singo Edan. Sampai akhirnya
terjadi pertarungan, antara Kakang Singo dan Wangsa Dewa. Wangsa Dewa dapat
ditaklukkan, dan dibunuhnya...," kembali Nyi Kemuning Sari menghentikan
tutur katanya. Dihelanya napas panjang. Kemudian menatap wajah Pendekar Gila
dan Mei Lie.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang
merasa ditatap, menundukkan kepala, dengan perasaan tak menentu.
Demikian juga yang lainnya
semua menunggu kelanjutan cerita Nyi Kemuning Sari.
"Aku merasa bersalah,
telah percaya akan omongan orang yang sebenarnya musuh Kakang Singo. Karena
rasa malu dan penuh penyesalan, aku dengan rela membutakan kedua mataku
ini...," Nyi Kemuning Sari meneteskan air mata. "Aku tak ingin
melihat dunia yang penuh dengan kebohongan, kejahatan, dan kedengkian. Dan ini
telah menjadi sumpahku, bahwa aku bayar semua kebodohan dan kekerasan hatiku
dengan membutakan mataku." Pendekar Gila, Mei Lie dan yang ada terdiam.
Membuat suasana di dalam goa
itu hening. Hanya perasaan hari mereka yang berbicara.
"Tapi, hatiku sebenarnya
masih ingin Kakang Singo Edan mau menerima dan memaafkan kebodohanku ini. Dan
karena akulah, hingga Kakang Singo Edan, sengaja mengurung diri di dalam Goa
Setan. Karena ia merasa wanita yang dikasihi mengkhianatinya...." Sampai
di situ Nyi Kemuning Sari menutup ceritanya. Pendekar Gila menarik napas
dalam-dalam.
Mei Lie menghapus air matanya
yang tak kuasa dibendung. Gadis itu merasa terharu mendengar cerita Nyi Kemuning
Sari. Juga Pangeran Prapanca. Dan semua yang ada di goa itu.
"Aku senang, Sena. Bahwa
murid Kakang Singo yang gagah memiliki ilmu yang tiada tandingannya." Sesaat
mereka diam. Hening seisi ruangan goa itu. Sementara itu, Pangeran Prapanca tengah
berpikir keras, bagaimana cara menyusup masuk ke dalam Kerajaan Surya Langit.
Karena tentunya mereka telah mengetahui jati dirinya. Apalagi Pendekar Gila dan
Mei Lie, yang sangat menyolok baik tingkah laku maupun penampilan mereka
sebagai pendekar.
"Sekarang bagaimana cara
kita untuk menyusup ke dalam Kerajaan Surya Langit. Agar lebih mudah mengetahui
rencana mereka...?" tanya Pangeran Prapanca pada Pendekar Gila.
Pendekar Gila menggaruk-garuk
kepala sambil cengengesan. Lalu menoleh ke wajah Ki Jalna Wangga.
Karena di samping seorang
pendekar tokoh tua, Ki Jalna Wangga pun pasti banyak mengetahui selukbeluk
istana Kerajaan Surya Langit. Sebab lelaki berusia enam puluhan itu pernah
mengabdi di istana ketika masih diperintah Prabu Jawangga. Ki Jalna Wangga yang
dipandang Pendekar Gila, langsung mengerti.
"Bagaimana menurutmu, Ki
Jalna Wangga...?" tanya Pendekar Gila.
"Aku saat ini belum bisa
memberikan jawaban.
Karena sejak aku meninggalkan
kerajaan, dan mengasingkan diri di Bukit Yuyu aku tak pernah memasuki kerajaan.
Jadi aku tidak bisa memastikan dari mana yang paling aman, untuk menyusup ke
dalam istana," kata Ki Jalna Wangga memberikan penjelasan (Untuk mengetahui
lebih jelas tentang Jalna Wangga dan Nyi Kemuning Sari, baca Pendekar Gila
dalam episode "Sepasang Maling Budiman").
"Benar kata Ki Jalna
Wangga," sahut Pangeran Prapanca. "Mereka pasti telah merubah
penjagaan lebih ketat. Apalagi dengan kejadian tadi." Sesaat mereka diam.
Tak ada yang bersuara.
Masing-masing sedang berpikir
mencari jalan yang terbaik. "Bagaimana kalau kita menyamar sebagai rakyat
biasa. Dengan memakai pakaian desa...?" usul Mei Lie. Suaranya memecah
kesunyian. Pangeran Prapanca nampak mengangguk-anggukkan kepala. Sedangkan
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dan tertawa-tawa sendiri. Kemudian menatap
Mei Lie yang ada di sebelah kirinya. Sena nampak bangga dengan pendapat Mei Lie.
"Aku rasa usul kekasihmu
ini ada benarnya, Sena...," ujar Nyi Kemuning Sari mendukung usul Mei Lie.
Mei Lie hanya tersenyum manis,
sambil menatap Sena, pemuda idamannya.
"Bagaimana menurutmu,
Sena?" tanya Pangeran Prapanca. "Juga kalian semua...?" "Kami
setuju saja. Usul Mei Lie bisa diterima.
Namun suatu tindakan yang
cukup berbahaya. Kalau salah satu tertangkap, gagallah rencana kita,"
tukas Pangeran Prapanca.
"Ya. Karena itu kita
harus susun serapi mungkin. Orang di luar kita jangan ada yang mengetahui rencana
ini," sambung Ki Jalna Wangga kemudian.
Nyi Kemuning Sari
manggut-manggut, lalu menghentakkan tongkatnya pelan. Wajahnya tersenyum.
"Kalian harus bersatu dan
sehati. Demi tercapainya cita-cita dan maksud baik ini. Itu saja pesanku.
Aku pun akan membantu
kalian," kata Nyi Kemuning Sari dengan suara sedikit serak, penuh wibawa.
"Terima kasih,
Nyi..." kata Pangeran Prapanca sambil menjura.
"Pangeran, saya khawatir
kalau orang-orang kerajaan murka, karena kejadian tadi. Dan kemudian mereka
menyerang Hutan Bambu, markas kita," ujar Pranala tiba-tiba. "Apakah
tak sebaiknya kita sekarang kembali ke Hutan Bambu...?" "Benar juga.
Tapi kita harus berunding pada kawan-kawan yang lain. Bagaimana menurutmu, Sena?"
tanya Pangeran Prapanca.
"Sebaiknya Nyi Guru yang
memberikan keputusan," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana menurut
pendapat Nyi Guru?" "Hm..., sebenarnya aku merasa berat kalau sekarang
kalian akan pergi. Hari sudah mulai gelap. Lagi pula kalian belum menyusun
rencana. Tapi kalau kalian akan pergi juga, aku tak bisa melarang," jawab
Nyi Kemuning Sari tegas.
"Kalau begitu, kita
bermalam di sini saja. Besok pagi-pagi kita berangkat ke Hutan Bambu, untuk memberitahukan
kawan-kawan kita. Rencana itu kita rundingkan di sini," kata Pangeran
Prapanca memutuskan. Karena ia tahu Nyi Kemuning Sari bermaksud baik. Dan
wanita tua itu lebih tahu segalanya dari mereka. Sementara itu, malam merambahi
permukaan bumi. Sepi menjadi mahkota malam yang gelap. Kabut dingin berarak
lambat, seperti iring-iringan pengantar jenazah. Mencekam Sayup-sayup terdengar
suara burung hantu, yang meningkahi suara binatang malam.
6
Fajar telah datang. Kesunyian
dirobek oleh suara jerit dan teriakan seorang lelaki yang berlari ketakutan ke
timur. Tampak tubuhnya luka parah. Rupanya lelaki itu baru keluar dari Hutan
Bambu.
Begitu cepat lari orang ini,
karena ketakutannya. Suara teriakan terdengar terputus-putus. Napasnya nampak
terengah-engah.
Sampai mentari mulai meninggi,
lelaki yang berumur kira-kira tiga puluh delapan tahun ini masih berlari
terseok-seok Dari arah timur muncul beberapa orang, di balik lembah. Mereka tak
lain rombongan Pangeran Prapanca yang terdiri Pangeran
Prapanca, Sena, Mei Lie, Ki
Jalna Wangga, Buto Gege serta dua lelaki teman Ki Jalna Wangga, yaitu Manik
Jingga dan Manik Belang.
Orang-orang tampak terkejut
melihat sosok tubuh yang tergeletak tak jauh di depan.
Pranala segera mendahului yang
lain mendekati laki-laki yang tergeletak itu. Disusul Ki Jalna Wangga, Pendekar
Gila, dan Mei Lie. Alangkah terkejurnya Pranala, setelah membalikkan tubuh
lelaki yang tubuhnya penuh luka kena goresan golok.
"Hah? Ya Gusti Hyang
Jagat Dewa Batara Ludira..." gumam Pranala setelah mengenali lelaki itu.
Pangeran Prapanca segera
mendekati dan berjongkok di dekat lelaki yang ternyata bernama Ludira itu.
Prajuritnya, yang menjadi pimpinan prajurit dari kelompok Pangeran Prapanca.
"Ludira...,"
terdengar suara Pangeran Prapanca lirih. Wajahnya nampak sedih. "Ludira,
apa yang telah terjadi. Katakan...." Ludira perlahan-lahan membuka
matanya, napasnya tampak sesak. Bibirnya yang kering, karena kehausan tampak
gemetaran. Perlahan mulutnya terbuka, untuk bicara. Namun tak terdengar suara
sedikit pun. Pangeran Prapanca, dibantu Pendekar Gila berusaha memberikan
kekuatan pada Ludira dengan mengantar tenaga dalam ke tubuhnya. Sesaat Ludira mulai
bisa bicara lirih. Terputus-putus.
"Pang... eran... akh.
Ma... maafkan sa... ya.
Akh..." "Ya, aku
telah memaafkanmu. Katakan, apa yang telah terjadi di Hutan Bambu?" tanya
Pangeran Prapanca cemas.
"Mer... mereka...
menghan... curkan markas kitaaa... aaakh..." Suara Ludira
tersendat-sendat. Lalu setelah berucap, laki-laki itu perlahan menutup matanya
kembali dan menghembuskan napas yang terakhir.
Gemeretak suara gigi Pangeran
Prapanca, menahan amarah. Jari-jarinya mengepal keras. Matanya nanar memandang
ke depan.
"Biadab... Akan kubalas
perbuatanmu ini, Paman Awangga" dengus Pangeran Prapanca dengan suara
geram.
"Pasti rencana perdana
menteri laknat itu Aku bersumpah akan mencabik-cabik hatinya" kata Ki Jalna
Wangga, sengit.
"Aku pun tak akan
membiarkannya hidup lebih lama di dunia ini..." tambah Pranala tak kalah
geram.
"Sebaiknya, kita cepat
melihat keadaan Hutan Bambu," ujar Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala.
Tak banyak bicara lagi, mereka
segera pergi ke Hutan Bambu. Setelah menguburkan mayat Ludira.
Sesampainya di Hutan Bambu,
Pangeran Prapanca dan kawan-kawan tampak sangat terpukul hatinya, melihat mayat
berserakan di sana-sini. Apalagi ketika melihat orang-orang kepercayaan, dan
andalannya seperti Ki Naga Wilis, Panglima Gagak Selo, Resi Wisangkara, serta
Tirta Kayon. Mati dengan sangat menyedihkan.
"Kurang ajar Benar-benar
biadab..." geram Pangeran Prapanca marah. Hatinya benar-benar seperti
dicabik-cabik, melihat kejadian mengenaskan itu.
"Rupanya mereka menyerang
pada malam hari, atau menjelang pagi. Semua di luar perkiraan kita," sambut
Sena dengan nada penuh penyesalan. Sambil menggaruk-garuk kepala, dan nampak
kesal.
Mayat-mayat prajurit ada yang
terpotong lehernya, hingga hampir putus. Ada pula kedua kakinya yang telah
buntung. Sangat mengerikan Darah berceceran di mana-mana. Bau amis dan kematian
pun menyeruak di dalam Hutan Bambu itu.
Pangeran Prapanca terduduk di
atas sebatang pohon besar yang telah tumbang. Putra Mahkota Kerajaan Surya
Langit itu seakan-akan semakin tak tahan menyaksikan kebiadaban orang-orang
kerajaan. Tampak wajahnya termenung penuh rasa haru.
Pendekar Gila mengisyaratkan
agar segera menguburkan mayat bekas para tokoh kerajaan itu.
Mereka adalah Ki Naga Wilis,
Panglima Rawa Sekti, Resi Wisangkara, Tirta Kayon, serta puluhan prajurit yang
membelot dari istana. Mayat-mayat itu akhirnya dikebumikan secara masal.
Mentari semakin tinggi,
sinarnya semakin panas menyengat tubuh mereka. Pangeran Prapanca masih tampak
termenung, seakan tak mampu untuk membuang perasaan dukanya, karena telah
kehilangan bala tentara yang dengan rela bersedia mendukung perjuangannya
merebut takhta kerajaan yang hilang.
***
Di pihak kerajaan, Perdana Menteri Giri Gantra
tengah mencak-mencak. Hal itu karena orangorangnya tak berhasil menemukan
Pangeran Prapanca.
Begitu juga dengan Baginda
Raja Awangga. Pemegang tampuk kekuasaan Kerajaan Surya Langit itu tampak khawatir
kalau takhtanya akan terguling dan jatuh ke tangan putra mahkota, Pangeran
Prapanca.
"Perdana Menteri macam
apa kau...? Aku sudah bosan dengan kata-katamu" dengus Baginda Raja
Awangga dengan nada marah. "Kau bilang, orang-orang pilihanmu cukup
tangguh. Buktinya? Menangkap Prapanca dan kawan-kawannya, yang hanya segelintir
saja tak becus Aku tak mau tahu. Pokoknya kau harus dapat menangkap Pangeran
Prapanca, hidup atau mati Kalau tidak, kau sebagai gantinya..." tambah
Baginda Raja Awangga sambil menggebrak meja.
Perdana Menteri Giri Gantra
tak bisa berkata apa-apa lagi. Wajahnya tampak merah, malu. Semua jago golongan
hitam yang disewanya ada di situ. Perdana Menteri Giri Gantra sangat
terinjak-injak martabatnya. Apalagi ada dua jago aliran hitam, yang kurang
setuju dengan tindakannya dalam memerintah secara seenaknya. Mereka adalah
Jenggot Naga dan si Mata Tunggal.
Keduanya bermaksud
mengundurkan diri dari kelompok perdana menteri licik itu.
"Perdana Menteri, kami
berdua tak sanggup lagi ikut dalam penyerangan ke Hutan Bambu. Kami akan kembali
ke padepokan kami masing-masing," ujar Jenggot Naga dengan suara parau.
"Benar" tambah si
Mata Tunggal.
"Ha ha ha... Enak saja
kau bicara begitu Kau pikir kalian berdua bisa begitu saja melepas tanggung jawab,
dan perjanjian dengan pihak kerajaan? Huh" bentak Baginda Raja Awangga
setelah mendengar ucapan Jenggot Naga dan si Mata Tunggal.
Jenggot Naga dan si Mata
Tunggal tak dapat menentang. Keduanya diam dengan perasaan jengkel.
"Giri Gantra..." "Hamba,
Baginda." "Aku ingin hari ini juga kau kembali ke Hutan Bambu.
Tangkap, dan bila perlu bunuh Prapanca Aku tak mau tahu bagaimana caramu. Dan
ingat jangan kembali, sebelum kau berhasil membawanya hidup atau mati"
ucap Baginda Raja Awangga dengan suara lantang.
"Baik, Baginda. Kami
mohon diri..." sahut Perdana Menteri Giri Gantra sambil menjura hormat
pada Baginda Raja Awangga.
Perdana Menteri Giri Gantra
mengangkat tangan kanan, sebagai isyarat pada pengikut-pengikutnya agar segera
berangkat.
Seketika para jago dan para
prajurit kerajaan bergegas meninggalkan ruangan itu.
Setelah keberangkatan Perdana
Menteri Giri Gantra dan pasukannya, Permaisuri Raja Awangga muncul dengan raut
wajah yang menunjukkan kecemasan. Wanita cantik itu mendekati sang Baginda Raja
Awangga, yang masih bertopang dagu, memikirkan nasibnya. Jika nanti Pangeran
Prapanca berhasil mengalahkan pasukannya, tak tahu bagaimana nasibnya sebagai
raja. Apalagi kalau mengingat nama Pendekar Gila yang turut mendukung
perjuangan kemenakannya merebut takhta kerajaan. Kemarin telah disaksikannya
sendiri, bagaimana pendekar muda itu dengan mudah mampu menghadapi Jenggot Naga
dan si Mata Tunggal. Padahal pendekar bertingkah laku seperti orang gila itu
belum mencabut Suling Naga Saktinya.
Sungguh suatu yang menakutkan
bagi sang Raja.
"Kangmas Awangga. Apakah
tidak sebaiknya, Kangmas menyerahkan takhta kerajaan ini pada Pangeran
Prapanca?" ujar permaisuri dengan lemah lembut, sambil mengusap perlahan
bahu Baginda Raja Awangga.
"Hm..." gumam
Baginda Raja Awangga seraya memegangi jenggotnya yang putih. Wajahnya menoleh pada
sang Permaisuri sambil menghela napas.
"Aku mempunyai firasat
buruk, Kangmas. Sebaiknya batalkan saja niatmu itu..." saran permaisuri
dengan kesedihan.
"Ah Dimas jangan ganggu
pikiranku Aku tak mungkin menarik kembali perintahku. Lagi pula, Perdana
Menteri Giri Gantra sudah berangkat. Dan aku tidak akan menyerahkan takhta
kerajaan ini pada siapa pun. Apalagi pada Prapanca..." jawab Baginda Raja
Awangga dengan suara berat Sang Permaisuri hanya diam. Tampak dari matanya
menetes air bening. Wanita itu tak mampu menahan perasaan sedih dan
kekhawatirannya terhadap suasana kerajaan itu.
"Sebaiknya Dimas
istirahat saja Aku ingin menenangkan pikiran," ujar Baginda Raja Awangga
lagi.
Nadanya kesal.
Sambil menangis, sang
Permaisuri meninggalkan Baginda Raja Awangga. Hati permaisuri itu sangat sedih
bercampur cemas yang sangat dalam.
Sementara Baginda Raja Awangga
memandangi kepergiannya dari belakang. Kemudian dia bangkit dari duduknya. Lalu
mondar-mandir, dengan kedua tangan di belakang. Dua orang pengawal kerajaan
tampak berada di ruangan itu, menjaga sang Raja.
"Pengawal..." seru
Baginda Raja Awangga tiba-tiba.
"Hamba, Baginda,"
sahut seorang pengawal sambil menjura.
"Antarkan aku ke ruang
siksa bawah tanah" perintah Baginda Raja Awangga, lalu melangkah pergi meninggalkan
singgasana. Diikuti dua pengawalnya.
***
Ruang siksa bawah tanah, hanya diterangi lampu
obor yang tergantung pada dinding temboknya.
Hawa di dalam lembab sekali.
Di sebelah kanan ruangan yang tak seberapa luas itu tampak sebuah tiang gantungan.
Salah satu ruang siksa tampak
dijaga seorang berkepala botak, bertubuh besar dengan wajah bengis.
Di dalam ruangan itu tampak
seorang lelaki berusia enam puluh tahunan bertubuh kurus dengan rambut dan
jenggot panjang yang telah memutih. Lelaki itu ternyata Prabu Jayawangga,
mantan penguasa Kerajaan Surya Langit yang digulingkan oleh Baginda Raja Awangga.
Wajah ayahanda Pangeran Prapanca itu menyiratkan suatu penderitaan berat telah
menghimpit jiwanya. Matanya tampak cekung. Wajahnya pucat pasi tanpa rona ceria
sedikit pun. Derita panjang telah meluluh lantakkan jiwanya sebagai seorang
raja yang sangat dicintai rakyatnya.
Prabu Jayawangga tampak
terkulai dengan beralaskan kain tebal yang sudah usang. Napasnya terdengar
berat, sepertinya dirasakan sangat sesak.
Pada ruang penjara yang lain
nampak para tawanan, bekas prajurit dan tokoh-tokoh istana yang setia dengan
Prabu Jayawangga. Ada delapan orang di dalam ruangan yang lebih lebar dari
tempat sang Raja.
Kedelapan orang itu nampak
masih agak sehat. Dua di antara mereka masih muda. Sedangkan enam lainnya berumur
sekitar empat puluh tahunan.
Penjara itu pun dijaga seorang
berbadan tinggi besar dan berwajah angker. Hidungnya yang besar tampak kembang
kempis. Matanya yang tajam terus mengawasi sekeliling tempat itu. Tangannya
yang besar memegang cambuk.
Tak lama kemudian datang
Baginda Raja Awangga, dikawal dua prajurit kerajaan. Penjaga cepat memberi
hormat, dengan membungkukkan badan.
"Buka ruangan itu"
perintah Baginda Raja Awangga pada penjaga yang berkepala botak.
Penjaga segera membuka pintu
penjara yang terbuat dari besi itu. Suara pintu besi itu terdengar menyakitkan
telinga. Prabu Jayawangga nampak masih terkulai lemas, seakan tak mendengar
apa-apa.
"Hei Bangun... Ayo
bangun" bentak penjaga sambil mengguncang-guncangkan tubuh lelaki tua itu.
Dengan malas Prabu Jayawangga
membuka mata, lalu bergerak bangun dengan perlahan.
Baginda Raja Awangga
menatapnya dengan wajah sinis. Tak ada rasa belas kasihan. Bahkan dengan kasar
ditendangnya tubuh Prabu Jayawangga "Hei, Tua Bangka Dengar, sebentar lagi
aku akan lebih berkuasa. Kerajaan Surya Langit tetap menjadi milikku. Dan
putramu, tak lama lagi mampus di tangan orang-orangku. Ha ha ha... Dan kau akan
mati dalam penjara ini. Ha ha ha..." Baginda Raja Awangga tertawa keras
dan terbahak-bahak sambil berkacak pinggang.
"Tak ada orang yang
berani menentangku. Akulah raja sejati. Kau kini jadi budakku Ha ha ha... Dan
hanya akulah yang pantas menjadi Raja Surya Langit.." Baginda Raja Awangga
nampak tertawa-tawa seperti orang kurang waras. Semua itu untuk menutupi
kecemasan dan kekhawatirannya yang amat besar.
Sebenarnya Baginda Raja
Awangga merasa cemas, bahwa takhtanya akan dapat diruntuhkan oleh Pangeran
Prapanca yang dibantu Pendekar Gila. Oleh karena itu, tak mengherankan kalau
sesungguhnya hatinya tak tenang.
Sedangkan Prabu Jayawangga
hanya diam dan menunduk, lalu ambruk, ketika Baginda Raja Awangga menendangnya.
"Beri makan orang tua ini
sebanyakbanyaknya Karena tak lama lagi dia akan mati..." se-ru Baginda
Raja Awangga pada penjaga.
"Baik, Baginda
Raja...," jawab penjaga sambil menjura.
Baginda Raja Awangga lalu
pergi meninggalkan penjara itu dengan wajah muram. Diikuti oleh dua pengawalnya.
Sementara lelaki tua berambut putih panjang dan berjenggot putih itu nampak
kembali terkulai "Aku setiap malam berdoa, meminta pada Hyang Widhi. Agar
Kerajaan Surya Langit kembali direbut oleh putraku...." Terdengar suara
lirih dari dalam penjara yang pengap dan lembab itu.
"Ya. Karena Pangeran
Prapanca-lah yang lebih pantas menjadi raja di Kerajaan Surya Langit Karena ia
putra mahkota. Hanya karena kelicikan dan keseraka-han Awangga dan Giri Gantra
berhasil menghasut rakyat, untuk menjatuhkan Kanjeng Prabu." Terdengar
suara lain dari ruang penjara di sebelahnya. Suasana hening, sehingga
suara-suara itu terdengar meskipun agak lirih.
"Kalau nanti Pangeran
Prapanca berhasil merebut kerajaan ini, aku bersumpah akan memotong rambutku
yang panjang ini. Sebagai tanda syukur.
Dan, akan kusobek perut Giri
Gantra yang buncit itu" sambung yang lainnya dengan suara geram.
Lalu para tahanan
tertawa-tawa. Seakan mereka merasa yakin kalau Pangeran Prapanca bakal memperoleh
kemenangan.
Tiba-tiba penjaga marah
mendengar suara tawa mereka. Maka dengan keras penjaga membentak. Namun
orang-orang itu tetap saja tertawa terbahakbahak. Maka penjaga membuka pintu,
lalu masuk dan menghajar orang-orang itu. Keributan terjadi. Orangorang itu
melawan. Namun akhirnya menyerah, karena penjaga menggunakan cambuk untuk
menyiksa mereka. Begitulah keadaan penjara bawah tanah. Orang luar tak tahu apa
yang terjadi di dalam ruangan bawah tanah itu. Tak tahu bagaimana kejamnya
orang-orang Baginda Raja Awangga.
***
7
Matahari telah condong ke arah
barat pertanda hari menjelang sore. Angin berhembus semilir, ditingkahi suara
kicau burung yang pulang ke sarang.
Dari kejauhan tampak
serombongan pasukan bergerak ke barat. Rombongan pasukan itu dipimpin Perdana
Menteri Giri Gantra. Rombongan terbagi empat kelompok yang dipimpin empat kaki
tangan Perdana Menteri Giri Gantra. Yaitu Jembel Pilarang, Kala Prana, memimpin
kelompok di depan. Sedangkan sekitar dua puluh lima tombak di belakang mereka,
telah siap tiga kelompok yang masing-masing dipimpin Sepasang Toya Setan, Kati
Asem, Hiwa Krana dan si Mata Tunggal berpasangan dengan Jenggot Naga.
Jika kelompok terdepan
menghadapi bahaya, maka tiga kelompok yang ada di belakang akan segera membantu.
Sungguh suatu siasat perang yang hebat.
Untuk melaksanakan siasat itu,
tak tanggungtanggung hampir lima puluh prajurit diikutsertakan.
Dan telah tertanam perintah di
benak mereka, untuk menangkap Pangeran Prapanca hidup atau mati. Jika gagal,
sudah dapat dibayangkan akibatnya. Mereka akan dihukum penggal kepala Mata para
prajurit terus mengawasi daerah Hutan Bambu, yang sudah semakin dekat. Nampak
di wajah mereka tersirat ketegangan.
Pasukan kerajaan yang dipimpin
Perdana Menteri Giri Gantra semakin dekat Kini mereka sudah berada di mulut
Hutan Bambu yang tampak sunyi dan sepi. Tak terdengar suara orang, maupun
burung.
Pasukan Kerajaan itu terus
maju, mendekati Hutan Bambu. Mereka tampaknya tak menaruh rasa curiga sedikit
pun kalau Pangeran Prapanca dan kawan-kawan mengetahui kedatangan mereka.
Ketika pasukan prajurit
kerajaan memasuki Hutan Bambu, tiba-tiba kelompok paling depan mundur kembali.
Ternyata dari dalam hutan menghadang prajurit lain berjumlah sekitar dua puluh
orang. Mere-ka dipimpin Ki Jalna Wangga dan Pranala, serta Manik Jingga.
Perdana Menteri Giri Gantra terkejut bukan main. Wajahnya mendadak berubah
pucat. Apalagi ketika dia tahu kalau pasukannya telah terkepung. Di belakang
mereka, telah berjajar setengah lingkaran pa-ra pemuda dan orang tua penduduk
desa. Mereka bersenjatakan golok, tombak, dan pentungan. Tampak di depan
pasukan penduduk desa itu Mei Lie dan Manik Belang. Namun mereka tak melihat
Pangeran Prapanca maupun Pendekar Gila.
Perdana Menteri Giri Gantra
semakin cemas dan ketakutan. Keringat telah membasahi wajahnya yang nampak
pucat dan ketakutan. Hatinya hampir tak percaya apa yang tampak di depan mata.
Perdana Menteri Giri Gantra
sama sekali tak menyangka kalau Pangeran Prapanca ternyata telah mempersiapkan
pasukan sebanyak itu. Pihak kerajaan tak pernah berpikir kalau Pendekar Gila
yang terus mendampingi sang Pangeran telah ikut mengatur siasat hebat ini.
Pendekar Gila memang memberi saran kepada putra mahkota itu agar mempersiapkan
jebakan. Karena nalurinya mengatakan bahwa pasukan kerajaan akan mendahului,
menyerbu Hutan Bambu.
Kini pasukan kerajaan telah
terkepung para pendukung Pangeran Prapanca. Perlahan tapi pasti, pasukan yang
dipimpin Mei Lie dan Manik Belang telah bersiap siaga, mendekati mereka.
Sedangkan dari dalam Hutan Bambu prajurit yang dipimpin Ki Jalna Wangga,
Pranala, dan Manik Jingga terus mendesak pasukan Kerajaan Surya Langit.
Sehingga, kini pasukan Kerajaan Surya Langit benar-benar terkurung. Tak bisa
bergerak. Maju mereka dihadang Mei Lie dan pasukannya, mundur pun Ki Jalna
Wangga dan orangorangnya telah siap tempur.
"Tak kusangka Ki Jalna
Wangga memihak pada Pangeran Prapanca...," gumam Perdana Menteri Giri
Gantra dengan bibir gemetar. Dia merasa cemas melihat kekuatan Pangeran
Prapanca makin kuat. Perdana Menteri Giri Gantra tahu kehebatan ilmu Ki Jalna Wangga.
"Ha ha ha... Hi hi hi...
Lucu Lucu sekali kau, Perdana Menteri Mukamu kenapa jadi seperti tikus sawah...?
Hi hi hi..." Tiba-tiba terdengar tawa mengejek dari seseorang. Perdana
Menteri Giri Gantra semakin cemas dan takut. Sebentar-sebentar tangannya
mengelap keringat di kening. Tak lama kemudian, berkelebat dua sosok bayangan
melesat begitu cepat Werrr Perdana Menteri Giri Gantra makin gemetaran, melihat
kedua sosok bayangan itu. Kedua sosok bayangan itu ternyata Pendekar Gila dan
Pangeran Prapanca. Mereka berdua sengaja memisahkan diri dari kelompok Mei Lie
dan Ki Jalna Wangga. Pendekar Gila dan Pangeran Prapanca berdiri dekat dengan
pasukan kerajaan yang dipimpin Perdana Menteri Giri Gantra. "Ah ah ah...
Kenapa kau pucat Giri Gantra...? Rupanya tikus-tikus busuk ini terperangkap,
Pangeran. Hi hi hi..." ujar Pendekar Gila sambil cekikikan dan
menggaruk-garuk kepala.
Belum selesai ejekan Pendekar
Gila, terdengar lagi dari arah belakang.
"Aku sudah berjanji untuk
mencabut nyawamu, Giri Gantra Manusia macam kau harus menerima ganjaran yang
setimpal..." suara Ki Jalna Wangga terdengar lantang dan penuh amarah.
Perdana Menteri Giri Gantra semakin tak berkutik. Keringat dingin mulai membasahi
sekujur tubuhnya.
"Kini tiba saatnya kau
dan orang-orangmu menyerah..." teriak Pranala dari jarak sekitar lima
belas tombak.
"Tidak... Tidak. Ayo
serang..." perintah Perdana Menteri Giri Gantra pada pasukannya.
Namun para prajurit kerajaan
tak langsung menyerang. Juga si Mata Tunggal dan Jenggot Naga yang tadi minta
mengundurkan diri. Kedua tokoh persilatan itu diam. Namun para jago aliran
hitam lainnya, seperti Jembel Pilarang, Sepasang Toya Setan, Setan dari Rimba
Merawan, dan Hiwa Krana, mulai bergerak maju. Sambil memerintahkan para
prajurit Pertempuran antara dua kekuatan pun pecah.
Para prajurit Kerajaan Surya
Langit bertempur melawan pasukan yang mendukung perjuangan Pangeran Prapanca.
Mereka kebanyakan orang desa yang bersenjatakan golok, bambu runcing, kapak,
parang, dan sebagainya.
Sedangkan para tokoh
persilatan aliran hitam, menghadapi para pendekar yang bergabung dengan Pangeran
Prapanca.
"Hi hi hi... Mari kita sambut
tikus-tikus itu" ajak Pendekar Gila sambil cekikikan. "Heaaa..."
"Serbuuu..." Mulai terdengar jeritan melengking tinggi. Seketika
Hutan Bambu yang semula hening berubah ramai.
Hiruk-pikuk dan dentang suara
senjata beradu pun terdengar memecah suasana. Sesaat kemudian, tampak
berjatuhan korban dari kedua belah pihak. Darah pun tampak, berceceran mewarnai
tanah tempat pertempuran.
Pendekar Gila dan kawan-kawan
pendukung Pangeran Prapanca pun mulai bergerak menghalau setiap lawan yang
menyerang dan membunuh putra mahkota itu. Pedang di tangan mereka berkelebatan cepat.
Bagaikan malaikat pencabut nyawa memburu setiap lawan yang menyerang.
Pembantaian yang dilakukan
pihak kerajaan pun tak kalah hebatnya. Jembel Pilarang dan Hiwa Krana, serta
Setan dari Rimba Merawan, tampak semakin buas dan beringas, membantai prajurit
Pangeran Prapanca.
Pendekar Gila dengan
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, meliuk-liuk mengelak setiap serangan
lawan yang berusaha menggebraknya. Lima orang panglima rendah kerajaan dengan
golok di tangan, membabat Pendekar Gila yang nampak tenang dan menggaruk-garuk
kepala.
"Heaaa...." Wret
Wret "Hi hi hi..." Pendekar Gila justru tertawa-tawa, dan bertingkah
aneh. Tubuhnya melenting ke udara. Kemudian dengan jurus 'Si Gila Terbang
Menyambar Ayam' tahu-tahu kaki kanan dan tangannya sudah menghajar kelima lawan.
Plak Bukkk..
"Aaakh..." "Aaau..."
Seketika kelima panglima itu terpental dengan tubuh berputar, lalu jatuh.
Kelimanya langsung tak berkutik lagi.
Pendekar Gila mengerutkan
kening dan menggaruk-garuk kepala. Namun tiba-tiba dari belakang, kembali lima
orang andalan kerajaan menyerang Pendekar Gila. Rupanya Pendekar Gila sudah
mengetahuinya. Dengan gerakan cepat, sebelum serangan lawan sampai, Pendekar
Gila telah mendahului dalam jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Pukulan
telapak tangannya yang tampak lemah dan lamban sempat membuat lawan tersentak
kaget. Maka....
Plak Bukkk "Aaa..." "Aaakh..."
Serangan itu mendarat telak di dada kelima lawan. Tak ampun lagi, tubuh kelima
prajurit kerajaan itu bergulingan dan tak berkutik lagi.
Sementara itu, Ki Jalna Wangga
atau si Pukulan Petir berusaha menangkap Perdana Menteri Giri Gantra yang
hendak kabur. Namun empat prajurit kerajaan menghadangnya. Dengan golok, mereka
babat ke tubuh Ki Jalna Wangga. Lelaki tua berambut panjang itu tampaknya tak
ingin berlama-lama menghadapi keroco-keroco itu. Dengan gerak cepat Ki Jalna Wangga
melenting, lalu memutar tubuh di udara. Dengan cepat pula kakinya menghajar
keempat prajurit yang menyerangnya.
"Heaaa..." Plak
Bukkk "Aaa..." "Wadau..." Seketika keempat prajurit itu
terjungkal tak bernyawa lagi. Ki Jalna Wangga terus melompat, mengejar Perdana
Menteri Giri Gantra yang berusaha kabur. Beberapa kali tubuhnya yang terbalut
jubah coklat itu melenting, melewati lawan yang berusaha menghadang. Lalu
ketika hampir berhasil menangkap, tiba-tiba Sepasang Toya Setan menghadang Ki
Jalna Wangga. Sepasang Toya Setan bergerak dengan cepat memutar senjata mereka
hingga menimbulkan dengungan yang memekakkan telinga.
Ki Jalna Wangga tersentak
mendapat serangan tiba-tiba itu. Beruntung dia tetap waspada sehingga dengan
cepat mendoyongkan tubuhnya ke samping.
Serangan pun terelakkan.
Kemudian, tanpa berpikir panjang, Ki Jalna Wangga langsung balas menyerang dengan
pukulan lurus, disertai tenaga dalam yang kuat. "Heaaa..." Wuuut "Hah...?"
Sepasang Toya Setan tersentak kaget. Hampir saja pukulan lawan menghunjam ulu
hati, kalau saja keduanya tidak cepat berkelit dengan memutar tubuh.
Sementara tangan yang memegang
toya turut bergerak menangkis pukulan lawan.
"Hih..." Prak "Aaa..."
Dua toya beradu dengan tangan Ki Jalna Wangga. Dari benturan keras itu terpecik
bunga api.
Ternyata Ki Jalna Wangga
menggunakan jurus 'Pukulan Petir' andalannya. Lalu kedua pemilik senjata itu
dengan cepat melompat ke belakang. Wajah Sepasang Toya Setan berubah pucat,
ketika tangannya dirasakan bergetar akibat benturan dengan tangan Ki Jalna
Wangga. Bahkan mereka merasa ada hawa panas seperti terbakar di dada. Keduanya
sadar kalau lawan bukan orang sembarangan. Tenaga dalam lawan ternyata berada
jauh di atas mereka. Sepasang Toya Setan tak menduga akan hal itu.
Sesaat mata mereka saling
berpandangan.
Nampak ketenangan di wajah Ki
Jalna Wangga. Sepertinya si Pukulan Petir itu tak merasa kesakitan atas benturan
tadi. Hal itu membuat Sepasang Toya Setan semakin penasaran bercampur marah.
Keduanya mendengus, kemudian kembali melakukan serangan.
"Heaaa..." Sepasang
Toya Setan melesat cepat menyerang.
Ki Jalna Wangga segera
bergerak mundur mengelak sambil mengegoskan kaki kanan dan kin, lalu dengan cepat
balik menyerang. Kedua tangannya menghantam dan menyambar dengan cepat dan
beruntun ke bagian tubuh yang mematikan.
Sepasang Toya Setan yang tahu
kehebatan ‘Pukulan Petir’, berusaha menghindari bentrokan. Keduanya berusaha
menjaga jarak. Namun tiba-tiba Sepasang Toya Setan terkejut ketika serangan Ki
Jalna Wangga berkelebat cepat dan keras ke tubuh mereka.
"Heh...? Gawat
Celaka..." pekik salah satu da-ri Sepasang Toya Setan. Dia tak menyangka
kalau lawan yang semula dianggap enteng ternyata memiliki serangan yang sangat
berbahaya. Kalau tidak hatihati, dalam beberapa gebrakan saja mereka dapat dikalahkan.
Ki Jalna Wangga yang melihat
Sepasang Toya Setan tampak kewalahan, tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan
'Pukulan Petir'nya, secara tiba-tiba Ki Jalna Wangga menghantam tubuh lawan.
"Heaaa..." Glarrr "Aaa..."
"Wuaaa..." Sebuah ledakan terdengar, ketika 'Pukulan Petir' yang
dilancarkan Ki Jalna Wangga menghantam tubuh Sepasang Toya Setan. Tak ampun
lagi, kedua lelaki kekar bersenjata toya itu terpental beberapa tombak ke
belakang. Jeritan keras terdengar dari mulut keduanya, karena menahan rasa
sakit yang hebat. Kedua tubuh itu bergulingan di tanah dengan dada gosong
seperti terbakar. Sesaat kemudian Sepasang Toya Setan tewas dengan tubuh kaku.
Ki Jalna Wangga menghela napas
dalam-dalam, lalu segera melesat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Maksudnya tak lain mengejar Perdana Menteri Giri Gantra, yang melarikan diri
dari tempat pertempuran.
Di tempat lain, nampak Mei Lie
dikeroyok Jembel Pilarang dan Hiwa Krana. Pertarungan mereka sudah berjalan
cukup lama. Nampaknya Mei Lie belum mau menaklukkan atau membunuh lawannya.
Gadis Cina itu belum mengeluarkan jurus ampuhnya, jurus 'Pedang Tebasan Batin'.
yang mampu menghancurleburkan tubuh lawan dengan sentuhan Pedang Bidadari.
"Heaaa..." Mei Lie melenting ke udara ketika dua lawannya menyerang
dengan menusukkan pedang ke dada Mei Lie. Setelah mendarat dengan sempurna,
Bidadari Pencabut Nyawa itu membuka serangan cepat. Pedangnya diputar begitu
cepat hingga menyerupai baling-baling. Dari gerakan pedang itu keluar suara menderu
yang keras. Pedang itu mampu mengeluarkan sinar kuning kemerahan.
"Hah?" Jembel
Pilarang dan Hiwa Krana terbelalak kaget, menyaksikan jurus maut itu. Namun
keduanya tak mau mengalah begitu saja. Dengan cepat mereka membuka jurus-jurus
andalan.
"Heaaa..." "Hiaaat..."
Trang Trang Pedang mereka beradu, mengeluarkan percikan api. Kemudian dengan
cepat dan sukar ditangkap mata biasa, Mei Lie tiba-tiba melenting dan bersalto
beberapa kali di udara. Tangan kirinya bergerak memukul ke depan. Sementara
pedangnya berkelebat menebas ke tubuh kedua lawan.
"Hiaaa..." Wut Crab "Akh..."
"Heaaa..." "Hiaaat..." Pekikan tertahan keluar dari mulut
Jembel Pilarang dan Hiwa Krana. Keduanya pun tak mampu menutupi keterkejutan
mereka. Betapa tidak? Tubuh mereka tak terluka sedikit pun. Padahal jelas
tertebas Pedang Bidadari. Namun sesaat kemudian kedua tubuh lelaki itu terbelah
jadi dua dan ambruk ke tanah.
Yang lebih mengejutkan, tubuh
keduanya tiba-tiba hancur menjadi debu. Itulah akibat jurus 'Pedang Tebasan
Batin' Para prajurit yang sedang bertarung sempat terkejut dengan membelalakkan
mata. Mereka merasa takjub bercampur ketakutan. Dan kesempatan itu digunakan
oleh pasukan Pangeran Prapanca untuk menyerang dan menghabisi prajurit Kerajaan
Surya Langit.
"Serang... Majuuu...
Hantam mereka..." seru para pendukung Pangeran Prapanca.
Pertempuran semakin seru.
Banyak di antara para prajurit yang membabi-buta karena marah. Mayat pun
bergelimpangan di sana-sini, dalam keadaan mengerikan. Darah segar tercecer di
mana-mana, membasahi tanah di Hutan Bambu itu.
Buto Gege dan Pranala pun tak
kalah perkasanya. Keduanya telah banyak merobohkan lawanlawannya. Demikian juga
dengan Manik Jingga dan Manik Belang, yang dengan gigih menghadapi prajurit kerajaan.
Si Mata Tunggal dan Jenggot
Naga, yang sebelumnya sudah menentang Perdana Menteri Giri Gantra, dan ingin
mengundurkan diri, menyerah begitu saja ketika Pranala hendak membunuh mereka.
"Aku menyerah. Tapi
jangan bunuh aku Semua ini kulakukan, karena tekanan dari Baginda Raja Awangga
dan perdana menteri pengecut itu. Ampuni kami..."" ujar Jenggot Naga
memohon pada Pranala.
"Benar, Kisanak. Ampunilah
kami Kami berjanji tak akan mengganggu Pangeran Prapanca" sambung si Mata
Tunggal.
"Tidak... Kalian
antek-antek kerajaan. Aku tak bisa mengampuni" Jenggot Naga dan si Mata
Tunggal saling pandang. Pasrah. Pranala mengangkat pedangnya tinggitinggi. Dan
ketika pedang itu diayunkan ke tubuh kedua lawannya, tiba-tiba sesosok bayangan
berkelebat cepat. "Tunggu..." Suara itu keluar dari mulut Mei Lie
yang sudah berada di dekat Pranala. Gadis itu berusaha mencegah Pranala yang
sudah tak mampu menahan dendamnya.
"Hei...? Apa maksudmu
menghalangiku, Mei Lie...?" tanya Pranala dengan nada kurang senang.
"Sabar Pranala Kita tak
boleh membunuh atau melukai lawan yang sudah menyerah dan minta ampun...,"
ujar Mei Lie dengan sabar dan tenang, mencoba menyadarkan Pranala.
"Benar apa kata Nini Mei
Lie. Sebaiknya, biar kedua orang ini kita bebaskan. Apalagi keduanya telah
menjelaskan, bahwa sebenarnya sudah merasa muak dengan perdana menteri pengecut
itu," tambah Buto Gege yang baru saja menaklukkan lawan-lawannya.
"Tidak... Tidak Kalian
jangan bermurah hati pada kedua orang ini Aku harus membunuh mereka..."
tegas Pranala penuh kemarahan dan dendam.
"Baiklah kalau itu yang
kau kehendaki. Tapi ingat, jangan harap aku dan Pendekar Gila akan terus membantumu.
Huh" sungut Mei Lie, lalu bergegas pergi. Begitu juga dengan Buto Gege.
Sambil menggelengkan kepala, lelaki bertubuh raksasa itu kembali menghadapi
orang-orang kerajaan yang semakin berkurang. Demikian pula Mei Lie. Gadis Cina
itu tampak kesal. Maka ketika lima orang prajurit kerajaan menghadangnya,
langsung dibabat.
"Heaaa..." Cras Cras
"Aaa..." Jeritan kematian terus terdengar menyayat hati. Namun mereka
tak menghiraukan. Pertarungan semakin seru. Pihak kerajaan tampak mulai
mengendur dan terdesak. Para tokoh aliran hitam yang disewa Kerajaan Surya
Langit, satu persatu bertumbangan. Tewas Pangeran Prapanca tak kalah lincah dan
gagah.
Beberapa orang lawan telah
berhasil dilumpuhkannya.
Tendangan dan pukulannya tak
kenal ampun, terus menghajar setiap lawan yang berusaha menangkapnya.
"Kalian mencari mampus" dengus Pangeran Prapanca gusar, kemudian
tanpa banyak kata lagi tubuhnya berkelebat melabrak dua orang lawannya. Mereka
merupakan tokoh aliran hitam yang cukup berilmu lumayan, Kali Wangsa dan Catur
Abang. Keduanya berasal dari Partai Iblis dari selatan.
"Awas..." pekik
Catur Abang dengan mata membelalak menyaksikan serangan yang begitu mendadak
dan cepat. Tangannya mendorong Kali Wangsa, sedangkan tubuhnya dengan cepat
dibuang ke kiri untuk mengelakkan tusukan lawan. Ternyata dugaannya meleset
Pangeran Prapanca dengan sangat cepat dan sulit diduga melancarkan sebuah
tendangan keras.
"Heaa..." Deg "Aaa..."
Tak ampun lagi, tendangan yang disertai tenaga dalam tinggi itu mendarat telak
di lambung Catur Abang. Tubuh lelaki berpakaian merah itu terdorong deras ke
belakang. Sehingga akhirnya membentur sebuah batu besar.
Brukkk Kepala Catur Abang
langsung pecah dan berhamburan di tanah. Seketika itu juga Catur Abang tewas
Hal itu membuat Kali Wangsa seketika terkejut.
Sulit sekali diikuti gerakan yang
dilakukan Pangeran Prapanca. Dan belum juga hilang rasa kaget di hatinya,
tiba-tiba dikejutkan oleh serangan cepat yang dilakukan putra mahkota itu.
Sebuah tusukan keris melesat ke dadanya. Mau tak mau Kali Wangsa segera menjatuhkan
diri untuk mengelakkan serangan itu.
Tangannya yang terasa sakit
langsung digerakkan, memukul ke arah selangkangan lawan yang dengan cepat
memapaskan kerisnya ke bawah.
"Edan Celaka..."
pekik Kali Wangsa.
Kali Wangsa berusaha menarik
pukulannya, tapi tebasan keris lawan ternyata jauh lebih cepat dibanding
gerakannya. Tanpa ampun lagi, keris Pangeran Prapanca menyambar tangan Kali
Wangsa.
Cras "Aaa..." Pekik
kesakitan pun keluar dari mulut Kali Wangsa. Disusul dengan sebuah tendangan
cepat menghantam dadanya. Tak ayal lagi, tubuh Kali Wangsa terpental enam
tombak, dan melintir. Kemudian ambruk dan tewas Sementara itu, Pendekar Gila
tampak tengah bertarung melawan Setan dari Rimba Merawan. Makhluk bertubuh
besar dan berkepala seperti gorila itu tampaknya menyimpan dendam kesumat pada
Pendekar Gila. Hal itu karena dalam pertarungan di dalam Istana Kerajaan Surya
Langit kemarin, Pendekar Gila sempat membuatnya malu di depan Baginda Raja Awangga.
Bahkan tangan kirinya terluka.
"Kali ini kau tak akan
bisa berbuat banyak, Pemuda Gila..." rungut Setan dari Rimba Merawan
sambil membuka serangan. Tubuhnya melesat ke depan dengan tangan menyambar
cepat. Tangan kanannya membentuk siku dengan kepalan ke atas. Sedangkan tangan
kirinya diputar, lalu dihentakkan menghantam dada lawan.
Melihat lawan melakukan
serangan, dengan cepat Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangannya diangkat
lurus ke atas dengan telapak saling berhadapan. Kaki kanan diangkat sampai ke
lutut, lalu direntang ke kanan, diikuti gerakan membuka kedua telapak tangan.
Selanjutnya terlihat gerakan seperti menari. Tangan kanan masih di atas,
sedangkan tangan kiri lurus ke bawah.
"Yeaaat.." Dengan menggunakan
jurus 'Kera Gila Merambah Rimba' Pendekar Gila berteriak nyaring, lalu dengan
cepat tubuhnya melesat ke depan. Tangan kanannya yang semula di atas, kini
menyibak ke depan. Sedangkan tangan kirinya diangkat ke atas lalu diteruskan memukul
ke tubuh lawan.
"Yeaaa..." "Heaaa..."
Dua tokoh berilmu tinggi itu kini telah samasama melesat untuk melakukan
serangan. Tangan dan kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan tubuh.
Tangan keduanya bergantian melakukan serangan dan pertahanan. Sedangkan kedua
kaki saling menyapu ke kaki lawan.
"Ha ha ha... Akhirnya kau
akan mampus, Pendekar Gila. Yeaaa..." Dengan suara lantang penuh
keangkuhan, Setan dari Rimba Merawan melesat cepat melakukan serangan. Tangan kanannya
menghantam dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kiri membentuk pertahanan di depan
wajah.
"Uts... Hih Hi hi
hi..." Pendekar Gila menggeser kaki kanan ke samping dan kaki kiri ke
kanan, lalu dilangkahkan ke depan. Diikuti pukulan keras telapak tangan.
"Huh? Edan..." maki
Setan dari Rimba Merawan kaget. Segera ditariknya pukulan tangan kanan, lalu
diganti dengan tangkisan tangan kiri. Setelah itu, kakinya digerakkan menendang.
Pendekar Gila meliukkan tubuhnya
ke bawah.
Tangannya bergerak menyambar
kaki lawan. Hal itu memaksa manusia berwajah gorila itu menarik serangan dengan
cepat. Matanya semakin membelalak menyaksikan jurus Pendekar Gila yang aneh.
"Hah...? Jurus apa
itu?" gumam Setan dari Rimba Merawan kaget, seraya melangkah ke belakang, mengelakkan
cengkeraman yang dilakukan Pendekar Gila. Kemudian makhluk aneh itu menyodorkan
pukulan tangan kanannya ke tulang rusuk Pendekar Gila.
"Heaaa..." "Weits
Hi hi hi,.." Pendekar Gila menggeser kaki kiri. Tubuhnya dimiringkan ke
kanan. Menjadikan pukulan tangan lawan melesat di depan. Kemudian dengan cepat
serangan tangan kirinya dilontarkan ke samping.
"Hah...?" Setan dari
Rimba Merawan melotot kaget. Tubuhnya melompat cepat sambil bersalto ke
belakang, mengelakkan serangan Pendekar Gila.
"Edan Pemuda gila ini
benar-benar berilmu tinggi Baru kali ini aku mendapat lawan tangguh," gumam
Setan dari Rimba Merawan dalam hati. Namun lelaki yang tubuhnya ditumbuhi
bulu-bulu kasar ini pun memiliki ilmu silat yang tinggi. Bahkan juga memiliki
ilmu setan yang sangat berbahaya.
***
8
"Hi hi hi... Aha, kenapa
kau bengong...? Heaaa..." Pendekar Gila tertawa cekikikan mengejek sambil
melancarkan serangan. Setan dari Rimba Merawan kembali tersentak kaget
mendapatkan serangan yang aneh. Dilihatnya gerakan tangan dan kaki pendekar
muda itu lambat. Namun jika dia tidak cepat berkelit, tentu cakaran dan tepukan
tangan Pendekar Gila akan menghajar tubuhnya.
"Heaaa..." Wrets "Heh?"
Setan dari Rimba Merawan lebih terkejut lagi ketika merasakan gerakan lemah
bagai tak bertenaga itu ternyata mampu mengeluarkan angin menderu keras.
Sehingga dirasakan bagai topan, menyentakkan tubuhnya.
"Heaaa..." Setan
dari Rimba Merawan cepat-cepat memutar tubuhnya. Kemudian dengan gerakan cepat
pula sosok lelaki berwajah seperti gorila itu melontarkan pukulan telapak
tangan ke dada Pendekar Gila. Kemudian disusul dengan gerakan tangan seperti
mematuk begitu cepat dan beruntun ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Tampaknya Setan dari Rimba Merawan telah mengerahkan jurus-jurus ularnya.
Pendekar Gila yang menggunakan
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', tampak meliuk ke sana kemari menghindari
patukan jurus ular lawannya. Setelah itu tampak tubuhnya meliuk diikuti langkah
kaki sambil berusaha menyambar kaki lawan.
Namun mendadak tangan Setan
dari Rimba Merawan menyambar ke dadanya hingga menimbulkan deru angin keras.
Sedangkan Pendekar Gila yang tak menyangka lawan akan melanjutkan serangan,
tampak agak terperanjat. Matanya membelalak, mengetahui kalau dirinya mati
langkah. Namun dengan cepat Pendekar Gila menjulurkan tangan kanan, memapak tamparan
lawan. Gerakannya seperti membelah dengan cepat. "Heaaat..." Wret Setan
dari Rimba Merawan menarik tamparan tangan kirinya. Lalu disusul dengan sebuah
tendangan keras ke selangkangan lawan. Sementara tangan kanannya kini kembali
mematuk ke wajah Pendekar Gila.
Mendapatkan serangan cepat,
Pendekar Gila segera melompat dengan bersalto ke belakang. Dengan tubuh berada
di udara, kakinya menjejak batang sebuah pohon. Kemudian dengan tubuh membalik,
kedua tangannya disatukan, melakukan serangan dengan meluncur ke tubuh lawan.
Inilah jurus 'Si Gila Terbang Menerkam Mangsa', yang biasa digunakan Sena untuk
menyerang lawan dari atas.
"Heaaa..." Wuttt Dengan
tubuh meluncur cepat, Pendekar Gila kini balik menyerang. Tangannya memburu
tubuh Setan dari Rimba Merawan, yang menangkis dengan cepat setiap pukulannya.
"Heaaa..." Trak Plak
Tangan mereka bergantian memukul dan menangkis serangan lawan. Pendekar Gila
terus merangsek dengan tubuh meluncur di udara. Sedangkan tubuh Setan dari
Rimba Merawan terus mundur, sambil menangkis dan membalas serangan lawan.
Tubuh Pendekar Gila terus
melayang di udara dalam jurus 'Si Gila Terbang Menerkam Mangsa'. Kakinya
terkadang berputar untuk menendang.
"Heaaat..." Kalau
saja lawannya bukan Setan dari Rimba Merawan yang berilmu tinggi dan banyak
pengalaman, tentu dalam beberapa gebrakan saja akan kewalahan menghadapi
serangan-serangan aneh yang dilancarkan pemuda berpakaian rompi kulit ular itu.
Namun kini yang dihadapi
Pendekar Gila tampaknya tokoh yang tak dapat dianggap remeh. Terbukti sudah
beberapa jurus pertarungan berlangsung, tokoh berwajah mirip gorila itu masih
tampak tegar dan belum terdesak sedikit pun (Setan dari Rimba Merawan tak lain
saudara seperguruan Ki Catrik Ireng, dalam episode "Duel di Puncak
Lawu"). Jadi jurus yang digunakan Setan dari Rimba Merawan sama dengan
jurus Ki Catrik Ireng. Dia memiliki jurus andalan ‘Naga Mencakar Langit’.
"Ah, ternyata dugaanku
benar. Jurus-jurus orang ini pernah kuhadapi," gumam Pendekar Gila dalam
hati, sambil terus menyerang.
"Yeaaat.." Pendekar
Gila melempar tubuh ke belakang.
Lalu kakinya menjejak ke atas
batu cadas dan berdiri dengan kedudukan siap melakukan serangan lanjutan.
Tangannya bergerak bagaikan
kera yang hendak melempar. Tangan kanan diangkat ke atas setengah menekuk,
sedangkan tangan kirinya di perut, dengan jari-jari mencengkeram.
Pendekar Gila mengeluarkan
jurus 'Kera Gila Melempar Batu'. Melihat itu, Setan dari Rimba Merawan
mengerutkan kening. Tubuhnya yang besar segera berkelebat untuk menyerang.
Tangan kanannya membentuk kepala ular. Sedangkan tangan kirinya direntangkan ke
samping dengan jari-jari membentuk cengkeraman. Setelah itu tangan kanan dan
kiri bergantian melakukan patukan dan cengkeraman. Itulah jurus ‘Naga Mencakar
Langit’, jurus andalan Setan dari Rimba Merawan.
"Yeaaa..." Wret Wret
"Heaaa..." Tubuh keduanya melesat maju, siap melakukan serangan
berikutnya.
***
Pertarungan kedua tokoh berilmu tinggi itu semakin
seru. Sementara, prajurit dan orang-orang andalan Kerajaan Surya Langit telah
banyak yang mati.
Mayat-mayat pun tampak
bergelimpangan di manamana. Bau anyir darah mulai menusuk hidung. Namun
pertempuran masih terus berlanjut.
Prajurit Kerajaan Surya Langit
dan beberapa orang andalan mulai terdesak mundur. Ada yang lari tunggang-langgang
menyelamatkan diri.
Kini gerakan yang dilakukan
Pendekar Gila mirip seekor kera tengah melempar batu. Gerakannya menimbulkan
deru angin keras.
Sedangkan Setan dari Rimba
Merawan tak mau tinggal diam. Tangan kanannya laksana kepala ular naga, mematuk
dan menyambar ke wajah dan dada lawan. Sedangkan tangan kirinya mencakar dan menghantam.
"Yeaaat..." "Uts
Heaaa..." Keduanya terus berkelebat cepat dengan tangan bergantian
melakukan serangan dan tangkisan.
Kaki mereka pun tak tinggal
diam, bergerak cepat ke sana kemari, melakukan serangan dengan tendangan dan
sapuan.
Trak "Yeaaat..." "Hop..."
Setiap kali tangan dan kaki mereka beradu, terdengar suara keras memekakkan
telinga. Dan tubuh keduanya melompat ke belakang. Namun tanpa membuang-buang
waktu, mereka langsung melesat menyerang.
"Yeaaat...." "Heaaa..."
Tangan Pendekar Gila terus bergerak cepat seperti sedang melempar. Menghasilkan
deru angin kencang ke arah lawan, laksana gelombang angin topan yang
susul-menyusul.
Namun Setan dari Rimba Merawan
tak hanya diam melihat serangan itu. Mulutnya mendesis, tangan kanannya
bergerak laksana kepala naga. Terkadang naik, lalu membuka untuk menangkis
serangan. Disusul cakaran tangan kiri ke dada Pendekar Gila.
"Sss... Heaaa...." Tubuh
keduanya berkelebat cepat. Kini mereka semakin menambah daya serang. Dalam
sekejap saja, tubuh keduanya bagaikan menghilang. Yang nampak hanya kelebatan
bayangan tubuh yang bergerak sangat cepat.
Telapak tangan mereka kini
bergerak cepat, memutar-mutar dan kemudian kembali menghentak ke depan. Kaki
mereka tak tinggal diam, menendang dan menyapu ke kaki dan tubuh lawan.
"Yeaaat.." Prak
Plak..
"Heaaa..." Keduanya
melesat cepat dengan tangan siap beradu. Tubuh mereka melayang laksana elang di
udara, untuk menghantamkan pukulan ke tubuh lawan.
Wut Glarrr....
Terdengar ledakan keras
menggelegar. Tubuh keduanya terlempar beberapa tombak ke belakang.
"Ukh..." Pendekar
Gila mengeluh tertahan setelah menginjakkan kakinya di bibir jurang.
Sementara Setan dari Rimba
Merawan yang juga telah menapakkan kedua kakinya di atas tanah, dengan licik
langsung melancarkan pukulan 'Waringin Sungsang' andalannya.
"Mampus kau, Pendekar
Gila Heaaa..." Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya kalau lawan
akan menyerang dengan jurus andalan.
Sebisanya dikeluarkannya
pukulan 'Inti Brahma'. Dari tangannya terpancar sinar membara membuat sekelilingnya
panas.
Wut Glarrr "Aaakh..."
Pendekar Gila memekik keras. Tubuhnya terlempar jauh ke dalam jurang. Sedangkan
Setan dari Rimba Merawan terdorong dengan keadaan terluka dalam. Dari bibirnya
meleleh darah kehitaman.
Mei Lie yang sempat melihat
kejadian itu, tersentak kaget. Matanya terbelalak lebar, cemas.
"Sena..." pekik Mei
Lie khawatir sambil melompat ke tepi jurang. "Kakang Senaaa..." Tak
terdengar sahutan dari bawah jurang. Mei Lie semakin cemas, dan marah. Tubuhnya
cepat dibalikkan. Matanya menatap tajam Setan dari Rimba Merawan yang masih
mengerang kesakitan. Dengan wajah merah, Mei Lie tak dapat menahan amarahnya.
"Bangsat... Kubunuh kau,
Setan..." pekik Mei Lie.
Secepat kilat tubuh Mei Lie
melesat bagai terbang, sambil mengangkat Pedang Bidadari ke atas kepala.
"Heaaat..." "Hah?" Mata Setan dari Rimba Merawan melotot.
Dengan sisa kekuatan, dia berusaha mengelak. Tubuhnya berguling ke samping. Mei
Lie terus mencecar dengan sabetan pedangnya yang sukar dilihat mata siapa pun.
Tebasan pedang Mei Lie dengan
jurus 'Pedang Tebasan Batin' berkelebat memburu tubuh lawan.
"Heaaat..." Cras
Cras "Aaakh..." Setan dari Rimba Merawan memekik kaget, karena
dirasakannya pedang itu menggoresnya. Namun tak tampak ada luka sedikit pun.
Matanya terbelalak heran. Namun kemudian tubuhnya terbelah menjadi dua, ambruk
ke tanah. Matilah Setan dari Rimba Merawan yang cukup sakti itu. Sesaat
kemudian tubuhnya tiba-tiba hancur bagai abu.
Orang-orang yang melihat
kejadian itu ternganga, kagum, dan ngeri. Termasuk Pangeran Prapanca dan
kawan-kawan.
"Ilmu pedang yang dahsyat
'Pedang Tebasan Batin'?" gumam Pangeran Prapanca kagum. Kakinya melangkah
mendekati Mei Lie yang tampak masih garang. Pedangnya masih terhunus di depan
dada.
"Hi hi hi..." Tiba-tiba
terdengar tawa seseorang dari belakang Mei Lie. Mei Lie tahu dan mengenal suara
tawa itu. Gadis itu cepat berbalik. Dan, wajahnya yang tadi garang, sekejap
berubah ceria.
"Kakang Sena..."
pekiknya, lalu lari menghampiri Pendekar Gila yang masih tertawa-tawa, sambil menggaruk-garuk
kepala.
Mei Lie memeluk Sena penuh
kasih sayang. Sedangkan Sena masih saja tertawa dan cengengesan.
Lalu menggaruk-garuk kepala.
"Kau konyol Bikin aku
sedih...," kata Mei Lie sedikit manja.
Pada saat itu pula pasukan
kerajaan pun mundur, lalu lari tunggang langgang. Orang-orang Pangeran Prapanca
bergerak cepat mengejar. Begitu Setan dari Rimba Merawan mati di tangan Mei
Lie, pasukan Kerajaan Surya Langit makin kecut dan segera mengambil langkah
seribu. Karena mereka tak lagi memiliki tokoh sakti.
"Sebaiknya kita cepat ke
kerajaan, Pangeran" usul Pranala mengingatkan.
"Benar. Ayo kita segera
pergi..." sahut Pangeran Prapanca.
Mereka kemudian segera pergi
meninggalkan Hutan Bambu, menuju Istana Kerajaan Surya Langit Pasukan pendukung
Pangeran Prapanca yang masih hidup, terus mengejar prajurit kerajaan yang kabur
sambil berteriak-teriak.
"Bunuh... Ayo kejar...
Hancurkan... Hidup Pangeran Prapanca Hiduuup..." Suara-suara itu terus
terdengar, sampai mereka memasuki Kota Kerajaan Surya Langit.
***
Sementara itu Ki Jalna Wangga telah sampai di istana.
Tokoh berusia enam puluhan itu dihadang para pengawal Kerajaan Surya Langit.
Namun dengan tenang dia menghadapi lawan-lawannya. Dia yakin lawan berada
setingkat di bawahnya dalam hal kemampuan ilmu silat.
"Heaaat.." "Yeaaa..."
Tiba-tiba para prajurit menyerbu dengan ganas.
Plak Plak "Aaakh..."
"Aaa..." Sekali gebrak tiga pengawal jatuh, tak bernyawa lagi.
Kemudian Ki Jalna Wangga mendobrak pintu gerbang istana dengan tendangan kuat
disertai tenaga dalam. Brakkk "Kraaak..." Pintu gerbang Kerajaan
Surya Langit ambruk.
Dengan cepat Ki Jalna Wangga mengejar
Perdana Menteri Giri Gantra yang berusaha masuk ke pendopo utama.
"Heaaat..." "Hait" Deg Deg "Aaakh..." Perdana
Menteri Giri Gantra memekik keras, punggungnya terkena tendangan Ki Jalna
Wangga.
Tubuhnya terhuyung-huyung,
lalu jatuh bergulingan.
Sambil mengerang. Namun dia
masih sempat mengelak, ketika Ki Jalna Wangga yang penuh dendam dan kemarahan
kembali menyerangnya. Perdana Menteri Giri Gantra berguling ke samping,
mengelakkan serangan itu. Lalu bangkit dan lari seraya berteriak pada pa-ra
prajurit yang ada dalam istana.
"Tolooong... Pengawal...
Ada perampok Tangkap..." Perdana Menteri Giri Gantra terus berlari
memasuki istana, sambil memegangi dadanya. Darah segar tampak keluar dari
mulutnya, akibat luka dalam yang parah.
Ki Jalna Wangga makin geram.
Bagai banteng mengamuk, dihabisinya semua lawan yang menghadang. Kaki dan
tangannya menghantam dan menendang prajurit yang berani melawan.
"Yeaaat.." "Heaaat.."
Deg Deg Deg Plak Plak "Mampus kalian..." dengus Ki Jalna Wangga geram.
Lelaki berambut panjang yang juga dikenal dengan julukan si Pukulan Petir itu
seperti tak ingin memberi ampun pada lawan-lawannya.
Mayat-mayat mulai berjatuhan,
korban amukan Ki Jalna Wangga yang sudah kalap itu. Kerajaan Surya Langit jadi
kacau-balau, berantakan diamuk Ki Jalna Wangga. Meskipun sudah lama
mengasingkan diri dari dunia persilatan, Ki Jalna Wangga ternyata masih mampu
menunjukkan kemampuannya. Belasan tahun Ki Jalna Wangga bersembunyi di Bukit
Yuyu dekat Desa Kaliamba (Untuk lebih jelasnya, baca serial Pendekar Gila dalam
episode "Sepasang Maling Budiman"). Baginda Raja Awangga panik dan
cemas. Demikian juga permaisuri, setelah Perdana Menteri Giri Gantra
menjelaskan keadaan kerajaan saat itu.
"Bodoh Kau hanya bermulut
besar, Giri Gantra... Ternyata aku salah mengangkatmu menjadi perdana menteri
Sekarang pergi hadapi Jalna Wangga.
Jangan biarkan dia memasuki
ruangan ini... Atau aku sendiri yang membunuhmu...? Pergi..." bentak
Baginda Raja Awangga dengan mata melotot. Mukanya merah menahan amarah.
Perdana Menteri Giri Gantra
tak bisa berbicara apa-apa lagi. Dengan wajah pucat kakinya melangkah pergi
dari tempat itu. Baginda Raja Awangga mencabut kerisnya, hendak pergi ke
penjara bawah tanah, tempat ayah Pangeran Prapanca, bekas Raja Kerajaan Surya
Langit ditahan.
"Kangmas... Mau ke mana
kau...?" tegur permaisuri sambil menghadang Baginda Raja Awangga.
"Jangan halangi aku,
Dimas" ujar Baginda Raja Awangga dengan nada marah. "Aku harus
membunuh tua bangka itu Harus... Sebelum aku mati di tangan Prapanca" "Kau...
Kau tak boleh melakukan hal itu, Kangmas. Dosamu sudah terlalu banyak Kangmas, jangan
lakukan hal itu..." cegah permaisuri sambil menangis.
Namun Baginda Raja Awangga tak
peduli. Tangannya disentakkan, menyingkirkan permaisuri.
"Huh..." "Kangmas..."
pekik permaisuri, melihat kepergian suaminya. Dia tak kuasa mencegahnya.
Baginda Raja Awangga dengan
wajah merah dan murka, terus melangkah ke ruang bawah tanah, ditemani dua orang
pengawalnya.
Sementara itu, Pangeran
Prapanca dan kawankawan telah tiba di Istana Kerajaan Surya Langit Ki Jalna
Wangga yang melihat kedatangan Pangeran Prapanca, nampak gembira. Lelaki tua
itu memberi isyarat, memberi tahu kalau Baginda Raja Awangga ada di dalam
istana.
"Saya yang akan menangkap
perdana menteri itu, Pangeran. Dan Pangeran urus Baginda Raja Awangga...."
Pangeran Prapanca menepuk bahu Ki Jalna Wangga. Lalu melesat ke dalam istana.
Pendekar Gila dan Mei Lie pun melesat mengikuti Pangeran Prapanca. Sedangkan
yang lain menghadapi pengawal dan para prajurit kerajaan.
Suasana Kerajaan Surya Langit
saat ini benarbenar mengerikan. Pertempuran seru tak dapat dihindari. Prajurit
dengan beringas bertempur melawan para pendukung Pangeran Prapanca. Istana
porak poranda. Darah tumpah di istana. Kemarahan tak tertahan lagi. Peperangan
telah pecah kembali.
***
Baginda Raja Awangga benar-benar sudah murka.
Tak mengenal perikemanusiaan lagi. Sebelum membunuh ayah Pangeran Prapanca,
terlebih dulu ia mau menghabisi para pengikut Prabu Jayawangga yang berada
dalam penjara bawah tanah.
"Keluarkan mereka.
Cincang, lalu bunuh Penggal kepalanya" perintah Baginda Raja Awangga
dengan mata melotot lebar.
Penjaga segera membuka pintu,
lalu dengan paksa menyeret orang-orang keluar, sambil mencambukinya. Satu
persatu orang-orang tahanan itu hendak dipenggal kepalanya. Baginda Raja
Awangga sendiri melangkah dan membuka pintu penjara tempat Prabu Jayawangga
berada.
Lelaki berusia enam puluh
tahunan itu meringkuk, ketika pintu penjara dibuka dengan keras. Seakan
jantungnya terasa sakit. Samar-samar dipandanginya lelaki yang ada di ambang
pintu penjara itu. Baginda Raja Awangga berdiri dengan angkuh. Di tangan kanannya
tergenggam sebilah keris.
"Saat ini aku harus
membunuhmu, Tua Bangka... Agar aku puas. Puas Ha ha ha..." ujar Baginda
Raja Awangga seperti orang kesurupan. Tertawa-tawa sendiri, bicara sendiri,
lalu kerisnya dihunus. Kemudian melangkah mendekati Prabu Jayawangga. Baginda
Raja Awangga cepat mencengkeram lelaki tua itu.
"Huh" Dengan tangan
kiri Baginda Raja Awangga mengangkat tubuh mantan raja yang sebenarnya
ka-kaknya sendiri itu. Sedang tangan kanannya yang menggenggam keris, diangkat
ke atas. Kemudian diayunkan hendak menusuk ke dada lelaki tua itu. Namun belum
sempat keris itu menyentuh tubuh ayah Pangeran Prapanca, tiba-tiba sebuah benda
memukul tangan Baginda Raja Awangga yang menggenggam keris.
Plak "Hah...?" pekik
Baginda Raja Awangga kaget.
Keris di tangannya terlepas
dan jatuh. Kepalanya sege-ra menoleh ke belakang. Tiba-tiba sebuah pukulan mendarat
di wajahnya. Sebuah benda keras yang ternyata tongkat dari kayu besi. Seketika
Baginda Raja Awangga ambruk.
"Hi hi hi... Itulah
ganjaran bagi orang durjana.
Hi hi hi..." Suara
seorang wanita tua, yang tak lain Nyi Kemuning Sari, bekas kekasih Singo Edan.
Nyi Kemuning Sari kemudian dengan gerakan cepat menotok tubuh Baginda Raja
Awangga. Hingga lelaki itu tak bisa lagi bergerak. Seperti mati.
Tak lama kemudian muncul
Pangeran Prapanca, Pendekar Gila, dan Mei Lie. Ketiganya terkejut melihat mayat
sudah bergelimpangan di ruangan itu. Ternyata dua penjaga dan delapan pengawal
tewas dengan kepala pecah. Mengerikan Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala
sambil cengar-cengir. Mei Lie mengerutkan kening, merasa heran. Sedangkan
Pangeran Prapanca menghambur ke dalam penjara, mencari ayahnya. Namun tak
ditemukan.... Pangeran Prapanca nampak cemas dan kebingungan.
"Sena... Mei Lie Ayahku
tak ada... Apakah dia..." Pangeran Prapanca tak sempat meneruskan
ka-ta-katanya. Karena tiba-tiba terkejut oleh tawa seorang wanita. Pangeran
Prapanca mencari asal suara. Begitu juga Mei Lie. Namun Sena hanya cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. Dia sudah tahu siapa wanita itu. Dan tahu, kalau
ayah Pangeran Prapanca selamat.
"Hi hi hi... Kalian semua
masih kurang pintar, dan kurang cepat bertindak..," ujar Nyi Kemuning Sari
yang muncul langsung memaki ketiga pendekar muda itu.
"Nyi Kemuning
Sari...?" Pangeran Prapanca tersentak. Pendekar Gila dan Mei Lie lalu
menjura, memberi hormat pada Nyi Kemuning Sari.
"Maafkan kami,
Nyi..," ujar Sena kemudian. La-lu kembali menggaruk-garuk kepala.
"Saya juga mohon maaf,
Nyi..." sambung Mei Lie.
"He he he... sudahlah
Yang penting kalian selamat. Dan semua ini menjadi pelajaran bagi kalian.
Sena... Kalau Kakang Singo
Edan tahu muridnya ceroboh, dia akan menghukummu...." Pendekar Gila hanya
diam dan terus menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana Nyi tahu-tahu
sudah berada di sini...?" tanya Pangeran Prapanca keheranan. "Dan di
manakah ayahku, Nyi...?" "Hm..., Anak Muda. Tak usah kau tanya bagaimana
aku bisa berada di sini, sebelum kalian datang.
Aku telah mengetahui, sebelum
kalian tahu," jelas Nyi Kemuning Sari. "Dan kau Prapanca, tak usah
cemas, temuilah ayahmu Aku amankan dia di sana...," kata Nyi Kemuning Sari
lagi sambil menunjuk ke sebuah pintu. "Oh... Terima kasih, Nyi.... Terima
kasih..." Pangeran Prapanca menjura, lalu cepat berlari ke pintu yang
ditunjuk Nyi Kemuning Sari.
Pendekar Gila dan Mei Lie
tampak gembira.
Tangan Mei Lie memegang tangan
Sena dengan lembut. Gadis Cina itu tersenyum manis pada kekasihnya yang hanya
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. "Sena, Mei Lie. Ayo, kita lihat
bagaimana keadaan di luar..." ajak Nyi Kemuning Sari, lalu melesat
mendahului muda-mudi itu. Pendekar Gila dan Mei Lie merasa kagum dan bangga
melihat kekasih gurunya yang sudah tua, namun masih gesit dan berilmu tinggi.
Kerajaan Surya Langit yang
dipimpin Baginda Raja Awangga telah runtuh. Baginda Raja Awangga kini
tertangkap sebagai tawanan Pangeran Prapanca yang kini menjadi Raja Kerajaan
Surya Langit. Namun Perdana Menteri Giri Gantra yang licik dan berhati kejam
itu, ternyata dengan licik dapat lolos, kabur entah ke mana.
Rakyat dan para pejabat
kerajaan bergembira ria menyambut bangkitnya kembali Kerajaan Surya Langit Ki
Jalna Wangga dari Pranala diangkat menjadi perdana menteri dan panglima perang.
Pesta kemenangan, dirayakan
dengan meriah.
Pendekar Gila dan Mei Lie pun
nampak gembira.
Begitu Juga Nyi Kemuning Sari,
serta adiknya Buto Gege.
Ternyata kebajikan akhirnya
dapat meruntuhkan, mengalahkan dan menumpas kejahatan. Kerajaan Surya Langit
kini kembali menjadi kerajaan yang aman dan sejahtera, di bawah kekuasaan Prabu
Prapanca.
SELESAI