Serial Pendekar Gila episode 26 Undangan Maut

Serial Pendekar Gila episode 26 Undangan Maut
Firman Raharja
-------------------------------
----------------------------

Serial Pendekar Gila episode 26 Undangan Maut
1

Hutan Bambu yang semula riuh oleh pertarungan seru, seketika bagaikan mati. Semua terdiam dengan mata memandang kedua Maling Budiman yang sudah sangat mereka kenali. Para prajurit Kerajaan Surya Langit terkejut, setelah tahu siapa sebenarnya maling budiman yang selama ini selalu menutupi wajah dengan cadar. Bagaikan ada yang memerintah, pertarungan seketika terhenti. Semua tertegun, dengan mata berusaha memperjelas penglihatan terhadap kedua maling itu.

Perdana Menteri Giri Gantra masih terpaku duduk di pelana kudanya. Matanya melotot kaget. Tanpa sadar, dari mulutnya mendesiskan nama pemuda berpakaian biru.

"Pangeran Prapanca, kau...?" "Pangeran..." seru yang lainnya turut tersentak kaget, setelah tahu lelaki yang tadi mengenakan cadar biru penutup wajah. Serta merta para prajurit melemparkan pandangan keheranan pada Perdana Menteri Giri Gantra, seakan mereka ingin bertanya, apa sebenarnya yang terjadi.

"Perdana Menteri, bagaimana mungkin ini terjadi?" tanya Resi Wisangkara yang juga diliputi rasa heran dan tak mengerti.

"Ya, mengapa bisa begini?" sambung Gagak Se-lo. "Bukankah dulu Tuan mengatakan Kanjeng Pangeran sudah mangkat?" Perdana Menteri Giri Gantra kebingungan. Kini dia benar-benar merasa terpojok. Namun begitu, sifatnya yang licik tidak begitu saja mau mengalah. Otaknya yang licik, berpikir keras untuk menghadapi semua. Belum juga perdana menteri membuka suara, Pendekar Gila telah mendahului.

"Hi hi hi... Kau sekarang seperti kebingungan, Perdana Menteri? Ah ah ah, jelas kau menyembunyikan sesuatu," tukas Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.

"Tutup mulutmu, Bocah Gila" bentak Perdana Menteri Giri Gantra sengit. Matanya melotot marah ke arah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Kaulah yang harus menutup mulut, Perdana Menteri" sergah Pangeran Prapanca dengan bentakan.

"Kau telah membohongi semua rakyat, dengan mengatakan aku telah mati" "Tidak" teriak Perdana Menteri Giri Gantra.

"Kau bukan Pangeran Prapanca. Kau penjahat yang menyamar sebagai Pangeran Prapanca. Putra mahkota telah meninggal dunia" Pangeran Prapanca tersenyum sinis, mendengar ucapan Perdana Menteri Giri Gantra. Mata Pangeran Prapanca menatap tajam wajah Perdana Menteri Giri Gantra. Kemudian mengalihkan ke wajah Resi Wisangkara, Gagak Selo, dan Ki Naga Wilis, serta Pangli-ma Utama Rawa Sekti.

"Apakah kalian akan percaya dengan omongannya?" tanya Pangeran Prapanca, yang menjadikan semua pendekar pengikut Perdana Menteri Giri Gantra masih terdiam. Mereka sepertinya masih bingung dengan kejadian ini. "Aku Pangeran Prapanca, Putra Mahkota Kerajaan Surya Langit, yang berhak untuk mendapatkan takhta kerajaan" "Tidak Kau bukan pangeran" sahut Perdana Menteri Giri Gantra berusaha mempengaruhi orangorangnya, agar tak percaya dengan yang dikatakan Pangeran Prapanca. "Tidak mungkin seorang pangeran berbuat jahat, mencuri, dan membunuh pejabatpejabat kerajaan" "Cuih..." Pangeran Prapanca meludah. "Sungguh berbisa mulutmu, Perdana Menteri Kalau saja kau tidak melakukan kejahatan dengan menindas rakyat, aku tak akan melakukan pekerjaan ini Kau benar-benar iblis Kau injak rakyat demi kepentingan pribadimu" "Bohong..." teriak Perdana Menteri Giri Gantra.

"Kau benar-benar bukan Pangeran Prapanca, tetapi pencuri Kau terlalu banyak berbuat salah. Kau harus dihukum Karena telah mengganggu keamanan rakyat Kerajaan Surya Langit. Kau harus ditangkap" Pangeran Prapanca tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Perdana Menteri Giri Gantra. Matanya memandang penuh kebencian ke arah orang kepercayaan Prabu Awangga itu.

"Perdana Menteri licik Kau kira dengan cara seperti itu, kau dapat lari dari tanggung jawabmu?" dengus Pangeran Prapanca dengan senyum sinis. Hal itu menjadikan Perdana Menteri Giri Gantra semakin sengit "Tangkap mereka..." teriak Perdana Menteri Gi-ri Gantra memerintah pada tokoh persilatan juga para prajurit yang ikut bersamanya. Namun tak seorang pun yang mau bertindak. Mereka masih saja terdiam dalam kebimbangan. Bahkan mereka kini memandang tajam pada Perdana Menteri Giri Gantra yang semakin bertambah marah, menyaksikan para prajurit tak ada yang menanggapi perintahnya. "Kurang ajar Kalian akan mendapatkan hukuman, jika tak mau melaksanakan tugas" "Kami tak peduli dengan ocehanmu, Perdana Menteri" Resi Wisangkara angkat bicara.

"Ya Kami berpihak pada Pangeran Prapanca," sambung Gagak Selo tegas. "Selama ini, kami telah kau bohongi, Perdana Menteri" "Tutup mulut kalian Prajurit, serang mereka..." teriak Perdana Menteri Giri Gantra marah. "Bunuh mereka semua..." Prajurit kerajaan yang tersisa dua puluh orang itu, sesaat bimbang. Mereka merasa bingung harus berbuat apa, karena lawan yang mereka hadapi kini terdiri dari pendekar-pendekar tangguh. Di samping itu, mereka tahu bahwa di sana memang ada Pangeran Prapanca. Pangeran yang sebenarnya berhak atas takhta kerajaan.

"Prajurit, apa kalian tuli, heh? Serang mereka..." Kembali Perdana Menteri Giri Gantra berteriak, memerintah pada para prajuritnya agar menyerang.

"Jangan hiraukan dia, Prajurit Aku Prapanca.

Kalian jangan ragu Akulah pewaris takhta kerajaan" teriak Pangeran Prapanca, yang semakin membuat para prajurit kian kebingungan. Mereka terhenti di tengah jalan, ragu-ragu untuk melakukan tindakan.

"Kurang ajar Serang mereka dan bunuh semua..." teriak Perdana Menteri Giri Gantra. Namun para prajurit tetap tak ada yang melakukan tindakan apa pun. Bahkan tiba-tiba mereka berbalik, hendak menyerbu Perdana Menteri Giri Gantra.

"Gusti Pangeran, perintahkan pada kami untuk menangkap perdana menteri keparat itu. Kami akan segera menangkapnya, dan bila perlu, kami akan memenggal kepalanya" seru pimpinan prajurit dengan lantang.

Mendengar ucapan pimpinan prajurit, seketika Perdana Menteri Giri Gantra tersentak kaget. Wajahnya pucat pasi. Lalu tanpa banyak kata, kudanya segera d gebah meninggalkan Hutan Bambu.

Para prajurit hendak mengejar, namun dengan cepat Pangeran Prapanca melarang.

"Jangan dikejar Biarkan dia hidup" "Tetapi, ini sangat berbahaya, Pangeran," kata lelaki bertelanjang dada berusia sekitar empat puluh tahun dengan kumis tebal. "Perdana menteri itu sangat berbahaya." "Aku tahu. Biarkan dia pergi Yang penting, kita kini harus menghimpun kekuatan. Menghadapi kerajaan, bukanlah hal yang mudah," tutur Pangeran Prapanca pada prajurit-prajurit kerajaan. "Kumohon, su-dilah Tuan-Tuan Pendekar mau membantu kami." "Aha, tak usah kau pinta, Kanjeng Pangeran Dengan senang hati kami akan membantumu," sahut Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Matanya melirik ke wajah Mei Lie, yang tengah memasukkan Pedang Bidadari ke warangkanya. Sena pun segera memasukkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggang. "Terima kasih, aku pun tentu saja tak melupa-kanmu. Pendekar Gila." kata Pangeran Prapanca sambil menjura. "Kalian berdua telah menolong kami. Nah, bagaimana dengan yang lain? Apakah Tuan-Tuan juga sudi mendukung perjuanganku?" Resi Wisangkara melangkah mendekati Pangeran Prapanca. Kemudian lelaki tua berkepala botak itu melakukan sembah, diikuti para pendekar yang lain.

"Kami berada di belakangmu, Kanjeng Pangeran," kata Resi Wisangkara sambil menyembah. "Kaulah pewaris takhta Kerajaan Surya Langit yang sebenarnya. Kami tunduk dan pasrah padamu." "Ya. Kami akan selalu di belakangmu," sambung Gagak Selo.

"Benar, Pangeran. Izinkan kami mengabdi padamu," tambah Ki Naga Wilis. Rupanya tokoh sesat ini menyadari kedudukannya yang terjepit. Apalagi kini dia tahu, kedua maling budiman ternyata Pangeran Prapanca dan temannya, Pranala. Apalagi setelah tahu, kalau di antara mereka terdapat Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa, sepasang pendekar yang sudah sangat terkenal.

"Bagaimana denganmu, Panglima?" tanya Pangeran Prapanca yang ditujukan pada Panglima Rawa Sekti, karena sejak tadi lelaki bertubuh tinggi itu hanya diam. Sepertinya dia dalam kebimbangan untuk memilih.

"Saya pun turut di belakangmu, Kanjeng Pangeran," jawab Panglima Rawa Sekti sambil bersujud.

"Terima kasih. Bangunlah kalian semua. Di sini, tak ada peraturan seperti di kerajaan. Aku, Pendekar Gila, Bidadari Pencabut Nyawa, dan kalian semua, sama saja hak dan kewajibannya. Kita sama-sama akan menumpas keangkaramurkaan," tutur Pangeran Prapanca.

"Benar Lihatlah rakyat yang sangat menderita.

Mereka sangat membutuhkan uluran tangan kita. Selama ini, mereka sangat tertindas," kata Pranala menambahkan. "Apakah kita akan menutup mata, menyaksikan penderitaan rakyat?" Semua yang berada di Hutan Bambu itu mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya mereka memaklumi apa yang dihasratkan Pangeran Prapanca sebagai putra mahkota.

"Terima kasih atas perhatian kalian semua," ka-ta Pangeran Prapanca sambil tersenyum senang. "Pendekar Gila, bagaimana menurutmu yang baik untuk kami lakukan? Apakah kami harus menyerang ke kerajaan?" Ditanya begitu, Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Diliriknya Mei Lie yang kini berdiri di sampingnya. Seakan ingin meminta pendapat dari kekasihnya. Mei Lie hanya tersenyum sambil mengangkat bahu, sepertinya menyerahkan semua persoalan dan pendapat pada Sena.

"Hi hi hi... Lucu sekali Mengapa aku yang bodoh dan gila dimintai pendapat?" tanya Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.

"Apakah nanti pendapatku tidak sama gilanya dengan keadaanku?" "Ah, kau selalu merendah, Pendekar Gila," ujar Pangeran Prapanca sambil tersenyum. Dia tahu siapa sebenarnya Pendekar Gila. Meski tingkah lakunya aneh seperti orang gila, namun dalam hal yang sungguh-sungguh, pendapat dan pikirannya tak kalah dengan orang waras yang berpendidikan tinggi.

Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak ketika mendengar ucapan Pangeran Prapanca. Kepalanya digeleng-gelengkan, sambil digaruk-garuk dengan tangan kanannya. Tingkah lakunya benar-benar konyol, mengundang semua orang yang ada di tempat itu tersenyum-senyum.

"Ah ah ah, bagaimana ya? Aku orang tolol, mengapa harus dimintai pendapat?" gumam Sena masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Untuk kedua kalinya, diliriknya Mei Lie, seakan meminta pendapat. Namun Mei Lie hanya tersenyum sambil mengangkat bahu, yang membuat Sena semakin keras menggaruk-garuk kepalanya. "Ah, kenapa aku jadi begini?" "Ayolah, Sena Kau adalah penasihat kami, untuk itu kami mengharap nasihat darimu," desak Pangeran Prapanca.

"Benar, Sena. Kaulah yang kami rasa pantas memberi nasihat dan saran-saran bagi kami," sambung Pranala dengan mulut tersenyum, melihat tingkah laku Pendekar Gila.

"Hi hi hi... Aneh sekali, mengapa mesti aku? Aku sendiri sedang bingung, tak tahu harus bagaimana. Niatku sebenarnya ingin menemui guru. Tapi ada masalah yang menghambat perjalananku. Dan kini, kalian memintaku untuk mengeluarkan pendapat. Ah ah ah, lucu..., lucu sekali" Sena menggelenggelengkan kepala sambil menggaruk-garukkan tangannya di kepala.

"Bagaimana dengan Nini Mei Lie?" tanya Prana-la. Dia berharap Mei Lie akan bisa memberi pandangan bagi mereka. "Kalau Nini Mei Lie ada pandangan bagi kami, kami sangat berharap sekali." Mei Lie hanya tersenyum mendengar ucapan Pranala. Dia merasa kalau pendapat dan pikirannya selalu sama dengan kekasihnya. Ke mana Pendekar Gila pergi, dia tentu akan mengikuti. Dengan kata lain, Mei Lie telah menyerahkan segalanya pada Pendekar Gila. "Aku hanya terserah pada Kakang Sena," jawab Mei Lie. "Aha, mengapa mesti aku?" tanya Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.

"Wuah wuah, bagaimana mungkin aku menjadi tumpuanmu? Kurasa, pangeranlah yang lebih berwenang dalam masalah ini.

"Baiklah kalau begitu," sahut Pangeran Prapanca. "Kalau memang tak ada yang bermaksud memberi saran, aku akan memberi tugas pada semuanya." "Katakanlah, Pangeran Tugas apa pun, akan kami lakukan," sambut pimpinan prajurit.

"Ya. Katakanlah, kami akan patuh menjalankan perintahmu," timpal Ki Naga Wilis.

"Baik. Aku tak ingin terjadi pertumpahan darah. Karena perang sebenarnya akan menjadikan rakyat menderita," tutur Pangeran Prapanca, yang menjadikan semuanya membelalak kaget. Mereka hampir tak percaya, kalau Pangeran Prapanca akan berlaku begitu baiknya. Padahal dirinya tahu sang Ayah serta keluarganya telah jatuh dalam perebutan kekuasaan.

Pangeran Prapanca pun menyadari kalau penguasa kerajaan yang sekarang telah menyelewengkan kekuasaannya.

"Tapi, Pangeran," selak Pranala. "Bukankah Pangeran yang berhak atas takhta kerajaan? Kalau takhta kerajaan dibiarkan dipegang orang-orang durjana, rakyat tak akan pernah aman." Semua terdiam mendengar ucapan Pranala, termasuk juga Pangeran Prapanca. Mereka benarbenar tak menduga kalau Pranala yang pendiam mengerti masalah kerajaan. Wawasannya pun nampak maju.

"Hal yang kedua, tentunya para penguasa akan semakin bertindak semena-mena. Mereka akan berusaha memburu kita, karena mereka menganggap kita takut," sambung Pranala.

"Kau memang benar, Pranala. Namun, kurasa ada jalan lain selain dengan cara pertempuran. Tentunya kau masih ingat kata-kata guru, kalau pertarungan sesungguhnya bukan penyelesaian yang baik," ujar Pangeran Prapanca mengingatkan saudara seperguruannya.

"Aku masih ingat, Pangeran. Namun, bukankah guru juga mengatakan, perjuangan membela kebenaran dan keadilan selalu saja membutuhkan pengorbanan," kilah Pranala.

"Hm, kau benar. Tapi, aku tak ingin mendahului. Bagaimana kalau aku mengutus Pendekar Gila dan Mei Lie untuk menyampaikan pesanku pada raja?" tanya Pangeran Prapanca meminta pendapat "Aha, aku siap, Pangeran," jawab Sena dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian diliriknya Mei Lie, sepertinya ingin mengetahui tanggapan gadis itu.

"Aku pun siap," jawab Mei Lie tegas.

"Terima kasih," ucap Pangeran Prapanca. "Baiklah, besok aku meminta bantuan kalian berdua, untuk menyampaikan surat pada Baginda Raja Awangga." "Aha, akan kami laksanakan, Pangeran," sahut Sena. "Mari masuk Kita rundingkan rencana selanjutnya di dalam saja. Anggaplah gubuk ini sebagai istana kita" kata Pangeran Prapanca setengah bercanda sambil mempersilakan rekan-rekannya agar masuk ke gubuk yang selama ini menjadi tempat persembunyiannya.

Tanpa membantah, mereka pun menurut masuk ke gubuk itu. Kemudian mereka duduk di atas tikar pandan yang tergelar lebar di ruangan itu.

***
 Sementara itu, Perdana Menteri Giri Gantra telah sampai di dekat istana. Wajahnya pucat, setelah menempuh perjalanan dalam ketakutan dan marah.

Napasnya tersengal-sengal. Kuda yang ditunggangi, dipacu cepat. Sehingga keempat penjaga pintu gerbang istana hampir tertabrak kudanya.

"Aku harus bisa mengambil hati baginda," desis Perdana Menteri Giri Gantra sambil turun dari kudanya. Kemudian lelaki bermuka bengis dan mengenakan pakaian kebesaran istana itu melangkah tergesagesa memasuki Istana Kerajaan Surya Langit. Dia langsung menghadap Baginda Raja Awangga, yang saat itu tengah duduk di singgasananya, dikelilingi dayang-dayang cantik.

"Ampun, Baginda Hamba menghadap" "Ada apa, Paman Perdana Menteri?" tanya Baginda Raja Awangga dengan kening berkerut, menyaksikan ketegangan tergambar di wajah perdana menterinya. "Hm.... Tampaknya ada berita buruk? Apakah kedua maling itu lagi?" "Benar, Baginda," sahut Perdana Menteri Giri Gantra seraya menyembah.

"Katakanlah, ada apa dengan kedua maling itu?" Perdana Menteri Giri Gantra sejenak terdiam.

Sepertinya dia tengah mengatur rencana, bagaimana sebaiknya menuturkan perihal Pangeran Prapanca pada baginda raja. Dia harus bisa mengambil hati Baginda Raja Awangga, agar memusuhi Pangeran Prapanca dan teman-temannya.

"Ampun, Baginda Sesungguhnya, kedua maling itu tiada lain...." Sampai di sini, Perdana Menteri Giri Gantra tak meneruskan ucapannya. Hal itu membuat Baginda Raja Awangga merasa penasaran. Hatinya ingin tahu apa sebenarnya yang telah terjadi.

"Ada apa, Perdana Menteri? Siapa sebenarnya kedua maling itu?" desak Baginda Raja Awangga ingin tahu. "Ampun, Baginda Ternyata kedua maling itu, tiada lain Pangeran Prapanca dan sahabatnya, Pranala," tutur Perdana Menteri Giri Gantra.

"Apa?" mata Baginda Raja Awangga membelalak, mendengar penuturan Perdana Menteri Giri Gantra. Dia sama sekali tak menduga kalau Pangeran Prapanca ternyata masih hidup. "Mengapa dia masih hidup? Bukankah telah kuutus seseorang untuk membunuhnya?" "Entahlah, Baginda. Yang pasti, kini beberapa pendekar berpihak kepadanya, termasuk Pendekar Gila dan kekasihnya Bidadari Pencabut Nyawa," ujar Perdana Menteri Giri Gantra. Kemudian dengan sing-kat diceritakan semua yang terjadi di Hutan Bambu (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gi-la dalam episode "Sepasang Maling Budiman").

"Hm...," gumam Baginda Raja Awangga lirih.

Tangannya membelai jenggotnya yang panjang. Matanya memandang lepas keluar lewat pintu istana. Tersirat di wajahnya suatu perasaan kekhawatiran. Namun, tentu saja hal itu tak diperlihatkan jelas di depan perdana menterinya. Pangeran Prapanca yang harusnya telah tiada, tiba-tiba muncul. Kalau sampai rakyat tahu, tentu mereka akan berpihak pada putra mahkota itu. Jelas, baginya ini suatu ancaman yang tak boleh dianggap sepele. Ini merupakan masalah besar. Masalah negara, bahkan hidup dan matinya.

Baginda Raja Awangga dan Perdana Menteri Giri Gantra sesaat terdiam. Nampaknya mereka sedang berpikir untuk mencari jalan keluar guna menyingkirkan Pangeran Prapanca dari Kerajaan Surya Langit.

Bahkan bila perlu, putra mahkota itu harus dibunuh tanpa sepengetanuan rakyat Kerajaan Surya Langit.

"Apa yang harus kita perbuat, Perdana Menteri?" tanya Baginda Raja Awangga seraya menatap dengan kening berkerut pada Perdana Menteri Giri Gantra.

"Kita harus menyingkirkan dia dan temantemannya, Baginda" "Caranya...?" Sesaat Perdana Menteri Giri Gantra terdiam.

Dia pun belum tahu, bagaimana cara menyingkirkan Pangeran Prapanca dan Pranala serta teman-temannya tanpa harus melibatkan rakyat kerajaan. Karena jika sampai rakyat mengetahui, tentunya mereka tak akan tinggal diam. Rakyat pasti akan melakukan pemberontakan. Apalagi selama ini, rakyat hidup dalam kesengsaraan, akibat penindasan yang dilakukan para pembesar kerajaan.

"Bagaimana kalau kita undang mereka, Baginda," ujar Perdana Menteri Giri Gantra.

"Lalu...?" tanya Baginda Awangga belum mengerti maksud perdana menterinya.

"Jika kita mengundangnya, kita tidak harus berhadapan langsung dengan mereka. Kita akan mengundang jago-jago persilatan, untuk menghadapi mereka," kata Perdana Menteri Giri Gantra menjelaskan.

Namun, tampaknya Baginda Raja Awangga belum jelas dengan rencana yang diterapkan perdana menterinya.

"Uraikan semua, Perdana Menteri Aku belum jelas, apa yang sebenarnya hendak kau lakukan," pinta Baginda Raja Awangga.

Perdana Menteri Giri Gantra menyembah, kemudian mulai menjelaskan rencana yang akan diterapkannya.

"Hamba akan mengundang jago-jago dari kerajaan lain, guna menghadapi para pendekar yang membantu Pangeran Prapanca. Kemudian ketika mereka sedang melakukan pertarungan sebagai hiburan dalam penyambutan kerajaan atas kedatangan putra mahkota, yang lain akan bergerak untuk menangkap. Kalau Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya tertangkap, maka suasana akan kembali aman. Rakyat tidak tahu siapa sebenarnya si Maling Budiman itu, juga tentang kejadian di istana." Baginda Raja Awangga diam mendengarkan gagasan Perdana Menteri Giri Gantra. Kepalanya tampak mengangguk-angguk, seakan berkenan mendengar pendapat itu.

"Begitulah rencana hamba, Baginda," kata Perdana Menteri Giri Gantra mengakhiri penuturannya.

"Hm, bagus Aku setuju dengan maksudmu," ujar Baginda Raja Awangga sambil tersenyum-senyum.

Jenggotnya yang panjang dibelai-belai sambil kepalanya terus manggut-manggut. Matanya bersinarsinar, seperti merasa senang. "Tak percuma kau kua-ngkat menjadi Perdana Menteri, Giri Gantra. Ternyata pikiranmu masih bisa kuandalkan. Ha ha ha..." "Terima kasih, Baginda. Kita harus secepatnya mengundang mereka untuk datang kemari. Karena kalau terlambat, bisa-bisa merekalah yang akan mendahului kita," lanjut Perdana Menteri Giri Gantra, seakan-akan tak sabar ingin segera dapat meringkus Pangeran Prapanca.

"Lalu, bagaimana dengan rencana perkawinan anakku?" tanya Baginda Raja Awangga. "Pesta perkawinan itu, akan dilaksanakan dua minggu lagi, Perdana Menteri." "Serahkan pada hamba, Baginda. Sebelum pesta perkawinan itu berlangsung, penjahat-penjahat pasti sudah tertangkap...," jawab Perdana Menteri Giri Gantra tegas.

"Baiklah..., baiklah. Aku serahkan semuanya padamu," ujar Baginda Raja Awangga. Kemudian mereka tertawa terbahak-bahak, seperti merasa yakin akan dapat menangkap Pangeran Prapanca dan teman-temannya.

***
 2
Pagi telah datang dengan sinar matahari yang menghangatkan bumi, ketika sepasang pendekar melangkah di jalan selebar tiga tombak, menuju Istana Kerajaan Surya Langit. Sepasang pendekar yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila dan Mei Lie itu tengah menjalankan tugas. Mereka diutus Pangeran Prapanca untuk menyampaikan surat pada Baginda Raja Awangga.

Dengan langkah tenang dan mantap, keduanya mulai memasuki alun alun depan istana. Namun ketika hendak memasuki pintu gerbang istana, empat prajurit bersenjata tombak menghadang mereka "Berhenti" perintah salah seorang prajurit.

Pendekar Gila dan Mei Lie menurut berhenti.

Mata mereka memandangi keempat prajurit yang menyilangkan tombak, menghadang langkah mereka.

Seorang prajurit bermuka beringas dengan tubuh kekar melangkah mendekat "Siapa kalian? Dan ada kepentingan apa?" tanya prajurit bermuka garang itu tegas.

"Hi hi hi... Kami diutus Pangeran Prapanca, untuk menyampaikan surat pada Baginda Raja Awangga," jawab Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Lalu melirik Mei Lie yang menganggukkan kepala.

"Siapa kalian?" sentak prajurit bertubuh tegap itu.

"Aha, apakah perlu sebuah nama?" sahut Sena masih cengengesan.

"Anak gila, siapa pun yang masuk istana semua harus diketahui. Siapa namanya, dari mana, dan keperluannya. Jangan berlaku kurang ajar di kerajaan, mengerti?" bentak prajurit itu merasa kesal dengan tingkah laku Pendekar Gila.

"Hm, baiklah. Aku Mei Lie, dan temanku Sena Manggala. Kami diutus Pangeran Prapanca untuk menyampaikan surat pada Baginda Raja Awangga. Sudah jelas?" tanya Mei Lie dengan senyum sinis. Nampaknya Mei Lei tak suka melihat sikap prajurit itu, yang terlalu angkuh dan lancang. Sena sudah menjelaskan maksudnya, namun prajurit itu tetap saja ngotot. Bahkan matanya memandang nakal pada Mei Lie. Benar-benar kurang ajar Kalau saja Pangeran Prapanca tak melarang bentrok dengan prajurit-prajurit kerajaan, ingin sekali Mei Lie menyobek mulut atau mata prajurit ini.

"Baiklah, tunggu sebentar" jawab prajurit itu sambil melangkah pergi meninggalkan Pendekar Gila dan Mei Lie yang dijaga oleh tiga orang temannya.

Pendekar Gila dan Mei Lie nampak tenang. Mereka memang telah dipesan agar tak melakukan pertarungan. Keduanya hanya diperintahkan untuk membawa surat dari Pangeran Prapanca. Dan Pangeran Prapanca meminta Pendekar Gila dan Mei Lie tak menyerang jika tidak diserang.

Tidak lama kemudian prajurit yang menghadap raja kembali keluar. Kali ini dia bersama Perdana Menteri Giri Gantra, yang tersenyum ramah pada Pendekar Gila dan Mei Lie.

"Oh, rupanya Tuan-Tuan Pendekar yang datang," sapa Perdana Menteri Giri Gantra dengan ramah, seakan berusaha menunjukkan bagaimana sebenarnya keadaan istana dan menutupi keburukan orang-orang istana. "Silakan... Baginda telah menunggu kedatangan kalian." "Terima kasih," jawab keduanya seraya menjura hormat. Kemudian dengan diantar Perdana Menteri Gi-ri Gantra, keduanya menuju ke istana untuk menemui Baginda Raja Awangga.

Baginda Raja Awangga nampaknya sudah berada di singgasananya. Bibirnya mengurai senyum, setelah melihat kedatangan Pendekar Gila dan Mei Lie.

"Selamat datang di istanaku," sambut Baginda Raja Awangga dengan ramahnya.

Pendekar Gila dan Mei Lie langsung memberi sembah, lalu duduk bersila di hadapan Baginda Raja Awangga.

"Ampun, Baginda Kami datang untuk menyampaikan pesan dari Pangeran Prapanca," kata Sena sambil menyodorkan gulungan daun lontar yang diba-wanya. Baginda Raja Awangga segera menerima surat itu. Dibukanya gulungan daun lontar itu dan dibaca.

Bibir sang Baginda mengurai senyum, setelah membaca surat yang disampaikan kedua utusan Pangeran Prapanca. Dipandanginya kedua pemuda dan pemudi yang duduk dan menundukkan kepala.

"Jadi, Pangeran Prapanca meminta agar rakyat dibebaskan dari pajak? Serta kekayaan kerajaan untuk kepentingan rakyat?" tanya Baginda Raja Awangga dengan bibir masih tersenyum. Namun senyum itu nampak sangat sinis.

"Kami tak tahu, Baginda. Kami hanya menjalankan tugas semata-mata," jawab Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.

"Hm, baiklah. Aku akan menyetujui permintaan Pangeran Prapanca. Namun aku tak ingin hanya utusan yang datang. Aku berharap Pangeran Prapanca datang sendiri ke istana. Bukankah lebih baik orang yang bersangkutan datang menghadap sendiri?" tanya Baginda Raja Awangga. Di bibirnya masih mengurai senyum, seakan berusaha menunjukkan keramahannya.

"Kami hanya utusan, Baginda," ujar Mei Lie.

"Apa yang akan disampaikan, akan kami sampaikan." "Bagus. Sampaikan pada Pangeran Prapanca Kami pihak istana sangat mengharapkan kedatangannya," kata Baginda Raja Awangga sambil memandang sejenak pada perdana menterinya yang tersenyum.

"Kami akan menjamunya, sesuai dengan kebiasaan istana. Bagaimanapun, dia tetap seorang pangeran." "Akan hamba sampaikan," jawab Sena sambil menyembah. "Hamba mohon pamit" "Hamba pun mohon pamit," sambut Mei Lie sambil mengikuti Pendekar Gila menyembah. Kemudian Pendekar Gila dan Mei Lie bangun dari duduk bersila. Sambil menyembah mereka melangkah mundur. Meskipun keduanya utusan Pangeran Prapanca yang dalam hal ini merupakan musuh kerajaan, mereka tetap berlaku sopan santun di istana.

"Sampaikan salamku pada Pangeran Prapanca Usahakan agar dia segera sampai di istana secepat mungkin" kata Baginda Raja Awangga mengingatkan, sebelum Pendekar Gila dan Mei Lie meninggalkan ruang balai istana.

***
 Mei Lie dan Pendekar Gila telah keluar dari istana kerajaan. Keduanya kini tengah menyelusuri jalanan yang sudah jauh dari istana. Seperti biasanya, mereka senantiasa bercanda ria di dalam perjalanan.

Langit cerah pagi hari dan sinar matahari yang hangat seakan menemani mereka dalam menempuh perjalanan pulang, setelah menyampaikan pesan dari Pangeran Prapanca.

"Ah, akhirnya kita harus terlibat juga, Mei," ka-ta Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Seharusnya, kita hampir sampai di tempat guru." "Kenapa Kakang tadinya tak meneruskan perjalanan saja? Kalau saja Kakang tak ikut campur dengan urusan Pangeran Prapanca, tentu kita hampir sampai," ujar Mei Lie sambil melangkah di samping kekasihnya.

Sesekali Mei Lie menoleh ke wajah Sena. Tidak pernah jemu-jemunya gadis itu memandangi wajah sang Kekasih. Meski cengengesan, namun wajahnya yang tampan tetap tampak. Meski Sena seperti orang gila, Mei Lie merasa damai jika berada di sampingnya.

"Ah ah ah, semua Hyang Widi yang mengatur, Mei Lie. Aku hanya manusia, tak kuasa menolak segala yang telah digariskan," kata Sena seraya menarik napas panjang. Sesaat matanya memandang wajah Mei Lie. "Ah, sudahlah Sudah telanjur basah, apa salahnya kita sekalian menyelaminya." "Kalau memang itu sudah menjadi keputusan, aku pun turut bersamamu, Kakang," desah Mei Lie sambil menyandarkan kepalanya di pundak kanan Pendekar Gila. "Terus terang kukatakan, aku sangat tenang jika berada di sampingmu." Sena tersenyum. Lalu dengan lembut diusapnya rambut Mei Lie. Keduanya terus melangkah dengan hati berbunga. Jalinan cinta kasih yang mereka bina, semakin terasa di saat-saat seperti ini. Di mana mereka hanya berdua, dengan ditemani suasana alam yang tenang dan damai.

"Mungkinkah selamanya kita akan selalu bersama, Kakang?" Pertanyaan Mei Lie yang tiba-tiba itu menyentakkan Sena dari lamunannya. Seketika Pendekar Gila menghentikan langkah, matanya memandang lekat wajah Mei Lie.

"Mengapa kau bertanya begitu, Mei Lie?" tanya Sena dengan kening mengerut, kaget mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan kekasihnya.

"Kakang Sena, semenjak kita bertemu, aku sudah merasakan jatuh cinta padamu. Dalam hati kecilku, aku berjanji untuk mengabdi padamu," tutur Mei Lie dengan polos. Matanya membalas tatapan Pendekar Gila. Gadis itu seakan ingin meminta kepastian dari kekasihnya.

"Aku mengerti, Mei Lie. Tapi, mengapa kau bertanya seperti itu? Aku pun tak ingin kita berpisah.

Namun semua tetap tergantung Hyang Widi, kita tak mungkin bisa menentangnya," ujar Sena sambil membelai rambut kekasihnya. Dia berusaha menenangkan hati Mei Lie.

"Maafkan aku, Kakang" "Tak mengapa. Ayolah, perjalanan masih panjang Kita tak bisa berlama-lama di tempat seperti ini," ajak Sena, merasa kalau di tempat sepi dan senyap seperti itu bahaya akan senantiasa datang tiba-tiba. Apalagi di kanan kiri jalan yang mereka lewati, tertutup pepohonan dan semak belukar.

Pendekar Gila dan Mei Lie terus melangkah ke barat, untuk meneruskan perjalanan. Namun, baru beberapa langkah mereka meneruskan perjalanan, mendadak dari balik semak-semak bermunculan beberapa sosok tubuh berpakaian hitam dengan muka tertutup. Di tangan mereka, tergenggam senjata.

"Berhenti..." teriak seorang lelaki bertubuh tinggi besar dengan senjata berupa gada berduri. Nampaknya lelaki ini, merupakan pimpinan dari empat orang lelaki lainnya. Mata lelaki tinggi besar Ini, memandang tajam wajah Pendekar Gila dan Mei Lie yang saling pandang, setelah keduanya berhenti.

"Aha, mimpi apa kita semalam, Mei? Tidak ada hujan dan angin, tahu-tahu mendapat durian jatuh," tukas Sena sambil tertawa terbahak-bahak dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Kulihat, ada niat tak baik pada mereka, Mei Lie." "Benar, Kakang. Buktinya mereka menutupi muka," sahut Mei Lie sambil turut tertawa gelak. Matanya yang seperti burung elang, memandangi satupersatu kelima lelaki berwajah tertutup kain hitam.

Sehingga hanya sepasang mata mereka yang nampak, beringas menunjukkan kalau kelima orang itu bukan orang baik-baik.

"Kurang ajar Lancang sekali mulut kalian" bentak lelaki tinggi besar bersenjata gada berduri. Matanya semakin tajam, menatap Pendekar Gila dan Mei Lie. Seakan-akan lelaki ini hendak menelan keduanya bulat-bulat "Jawab pertanyaanku, benarkah kalian yang bergelar Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa...?" "Hm, untuk apa kami menjawab pertanyaanmu," dengus Mei Lie sengit. "Apakah pantas orang bertanya menyembunyikan wajahnya di balik topeng? Bukalah topeng kalian Baru kami akan menjawab pertanyaanmu" "Sundel Berani benar kau berkoar di daerah kekuasaan kami, heh? Apakah kalian tak kenal, kalau Lima Gagak dari Lembah Bangkai tak akan pernah mengampuni orang yang telah berani lancang?" sentak lelaki bersenjata gada berduri dengan suara keras.

Nampaknya lelaki ini sangat marah mendengar ucapan Mei Lie yang seperti meremehkannya.

"Ah ah ah, rupanya kita bertemu dengan binatang pemakan bangkai, Mei Lie? Hi hi hi..., lucu sekali Baru kali ini, aku melihat binatang pemakan bangkai menyembunyikan wajahnya," Pendekar Gila mengejek sambil tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.

"Meski mereka binatang pemangsa bangkai, aku tak akan takut Mereka tidak sopan, tentunya mereka bermaksud
tidak baik, Kakang," sahut Mei Lie dengan senyum sinis. Matanya masih memandangi Lima Gagak dari Lembah Bangkai yang tampak semakin marah, mendengar tantangan dari Mei Lie. Walau mereka menduga gadis Cina ini tak lain si Bidadari Pencabut Nyawa, tapi tak merasa takut sedikit pun.

Apalagi mereka memang datang untuk menguji. Sampai di mana ilmu Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa yang tersohor itu.

"Kurang ajar Rupanya kalian mencari penyakit, berani menantang Lima Gagak dari Lembah Bangkai" dengus pimpinan lelaki bertopeng itu. Gada berduri di tangan kanannya diangkat.

Pendekar Gila dan Mei Lie menyangka kalau lelaki tinggi besar itu hendak menyerang. Itu sebabnya keduanya segera menyurut mundur dua tindak, siap untuk menghadapi serangan Lima Gagak Dari Lembah Bangkai. Namun dugaan mereka melesat, ternyata....

"Serang..." Tiba-tiba pimpinan Lima Gagak dari Lembah Bangkai berteriak memerintah. Saat itu pula, dari balik semak-semak muncul puluhan anak panah melesat cepat memburu Pendekar Gila dan Mei Lie.

Swing Swing...

"Awas, Mei..." seru Sena mengingatkan sambil melompat bersalto, menghindari puluhan anak panah yang meluncur ke arahnya. Kemudian dengan tertawa terbahak-bahak sambil tangan kiri menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila telah berdiri tegap. Tangan kanannya berhasil menangkap lima batang anak panah yang memburunya.

Tep Tep Tep "Hi hi hi... Kiranya mainan anak-anak. Biarlah kukembalikan pada kalian Hih..." Pendekar Gila melemparkan kelima anak panah yang berhasil ditangkapnya sambil bersalto. Seketika itu pula, kelima anak panah itu melesat cepat ke semak-semak belukar.

Swing Swing "Awas..." membelalak mata pimpinan Lima Gagak dari Lembah Bangkai, karena tak menyangka luncuran anak panah itu melebihi kecepatan semula. Sehingga, dari lesatan kelima anak panah itu terdengar desingan keras diikuti deru angin.

Swer Jlep "Akh. ." Terdengar jeritan kematian dari balik semaksemak. Rupanya ada seseorang yang terlambat mengelak. Sehingga anak panah yang dilemparkan Pendekar Gila, menghunjam di dadanya. Sesaat orang bertopeng hitam meregang berdiri, dengan anak panah menancap di dada. Bahkan anak panah itu tembus sampai punggung. Tubuh lelaki itu ambruk dan menggelepargelepar menahan rasa sakit. Sesaat kemudian tak nampak gerakannya, karena nyawanya telah melayang. Sementara itu, Mei Lie yang nampak tak sabaran itu dengan cepat mencabut Pedang Bidadarinya.

Pedang yang mengeluarkan sinar kuning kemerahmerahan itu, dengan cepat ditebaskan ke depan memapak anak panah yang meluncur ke tubuhnya.

"Heaaa..." Wrt Trak Sekali kibas, belasan anak panah tersambar Pedang Bidadari. Seketika belasan anak panah itu berpentalan dan jatuh ke tanah. Hampir semuanya patah jadi dua. Tak sebatang anak panah pun dapat menembus pertahanan Mei Lie yang menggunakan jurus 'Sapuan Tameng Bidadari'. Bahkan semua mata terbelalak, menyaksikan kehebatan sapuan Pedang Bidadari di tangan Mei Lie. Baru kali ini, mereka melihat jurus pedang yang sangat hebat.

"Ayo keluarkan semua senjata kalian" tantang Mei Lie, penuh kemarahan. Dirinya benar-benar tak suka dengan cara pengecut seperti yang dilakukan lawan-lawannya kali ini. Kalau dulu Segoro Wedi dan anak buahnya bisa berbuat sekehendak hati terhadapnya, Mei Lie kini bukanlah Mei Lie yang dulu. Gadis Cina itu kini telah memiliki kepandaian yang tinggi.

Bahkan dirinya sebagai pewaris jurus-jurus Pedang Bidadari yang dahsyat dan belum tertandingi hingga saat ini.

"Ah ah ah, rupanya kau benar-benar senang dengan permainan ini, Mei," ujar Sena dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya dengan terpicing menatapi Lima Gagak dari Lembah Bangkai yang masih terkesiap setelah menyaksikan gebrakan Mei Lie.

"Cuih Meski nama kalian setinggi langit, tapi Lima Gagak dari Lembah Bangkai, takkan mengalah" dengus pimpinan Lima Gagak dari Lembah Bangkai sengit. "Gagak Kuru, dan kau Gagak Pilangan, hadapi pemuda gila itu dibantu oleh sebagian prajurit Sementara Gagak Kabungan dan Gagak Pancalan, hadapi gadis Cina itu. Tangkap dia hidup-hidup" "Baik" sahut keempatnya. "Serang mereka" perintah Gagak Kuru pada dua puluh anak buahnya yang seketika berhamburan keluar dari semak-semak.

Mereka langsung menyerang Pendekar Gila dengan senjata panah. "Hea..." Wrrt Sing Swing Puluhan anak panah kembali berdesingan, memburu tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat, pemuda berpakaian rompi dari kulit ular itu bergerak.

Tubuhnya melenting ke atas dengan jurus 'Si Gila Terbang Menyambar Ayam' Tubuhnya bagaikan terbang, berjumpalitan melakukan salto. Kemudian dengan paduan jurus 'Kera Gila Melempar Batu', Pendekar Gila menyapu puluhan anak panah yang menderu ke tubuhnya.

"Yeaaa..." Wrrr Serangkum angin kencang, menderu ketika tangan Pendekar Gila bergerak cepat seperti melempar batu. Tangan kanan dan kirinya, bergerak tak berhenti dan bergantian. Puluhan anak panah yang melesat memburu tubuhnya, seketika berpentalan jatuh. Sebagian lagi berbalik meluncur ke tempat pemiliknya.

"Awas panah....'" teriak Gagak Kuru mengingatkan anak buahnya, yang seketika serabutan keluar berusaha menyelamatkan diri dari hujan anak panah yang berbalik memburu mereka. Meskipun para anak buah Gagak dari Lembah Bangkai telah berusaha menyelamatkan diri, tetap saja ada beberapa orang yang harus menerima senjata mereka sendiri.

Jlep Jlep "Wuaaa...." "Aduhhh..." Tiga orang terpekik keras, ketika dada dan wajah mereka tertancap anak panah. Darah mengucur deras, keluar dari tancapan anak panah beracun. Tubuh mereka seketika jatuh bergelimpangan ke tanah.

Sesaat kemudian ketiganya telah tewas dengan tubuh kaku. Sementara itu, Mei Lie menghadapi Gagak Kabungan dan Gagak Pancalan yang dibantu sepuluh anak buah, nampak tak segan-segan melakukan serangan. Pedang Bidadari di tangannya, digerakkan dengan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Gunung'.

Pedang bergerak datar dengan kecepatan luar biasa.

Sehingga membuat lawan yang hendak menyerang, tersentak kaget. Mereka berusaha mundur, namun tak urung pedang Mei Lie harus memakan korban.

"Heaaat..." Wrt Cras Cras...

"Akh..." Dalam sekali gebrak empat lawan menjerit kesakitan. Dengan tubuh terhuyung-huyung mereka mendekap perutnya yang tersambar Pedang Bidadari.

Seketika darah bercucuran dari perut, membasahi kaki dan tanah di tempat pertarungan.

Mata mereka membeliak, kemudian dari mulut keluar darah merah kehitaman. Hal itu tampak dari topeng mereka yang merembeskan darah. Keempat orang itu pun ambruk dan tewas hampir bersamaan.

***
 Dalam satu gebrakan saja delapan orang telah menjadi korban. Namun nampaknya Lima Gagak dari Lembah Bangkai tak gentar sama sekali. Bahkan kini kelimanya turut maju, membantu anak buah yang tinggal dua puluh tiga orang menyerang Pendekar Gila dan Mei Lie.

"Rupanya kau bukan gadis sembarangan. Hadapilah aku Heaaa..." Gagak Pandera, yang merupakan pimpinan dari Lima Gagak dari Lembah Bangkai menghantamkan gada berdurinya ke tubuh Mei Lie. Desiran angin yang keluar dari ayunan gada itu, sangat keras. Nampaknya gada berduri itu, diayunkan dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.

Wrrrt "Haits Hea..." Dengan cepat gadis bergaun hijau itu meliukkan tubuh ke samping kiri. Sehingga gada lawan tak mampu mencapai sasaran. Dan ketika gada lawan hampir saja menyambar kakinya, dengan cepat Mei Lie menarik kaki kanannya. Lalu dengan cepat pedangnya dibabatkan ke tubuh lawan yang lain sambil kakinya menendang ke perut lawan yang saat itu dalam keadaan doyong ke depan, melakukan serangan.

"Heaaa..." Wrt Cras Cras...

Tak ampun lagi Pedang Bidadari menyambar mangsa.

Begk "Akh..." "Aduh..." Dua orang menjerit dengan leher terbabat pedang. Leher mereka hampir putus, mengeluarkan darah yang menyembur deras. Sedangkan Gagak Pandera yang terkena tendangan, terpekik lalu tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya. Mata Gagak Pandera membeliak. Mulutnya meringis. Perutnya yang terkena tendangan dirasakan mual dan nyeri sekali.

"Setan Betina" Caci maki keluar dari mulut Gagak Pandera sambil menahan marah dan sakit. "Kurang ajar Kau memang pantas untuk dibunuh, Iblis Betina" "Hua ha ha... Kaulah yang iblis" sahut Mei Lie sambil tertawa terbahak-bahak. Hal itu membuat Pendekar Gila yang sedang bertarung dengan lawanlawannya turut tertawa terbahak-bahak dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Baru kali ini, dirinya melihat Mei Lie tertawa lepas. Padahal, biasanya Mei Lie hanya tersenyum. Nampaknya gadis itu benar-benar senang dapat menunjukkan kehebatannya di hadapan sang Kekasih.

"Aha, hari ini kau nampak senang sekali, Mei Lie," gumam Pendekar Gila sambil bergerak dengan jurus ‘Si Gila Menari Menepuk Lalat’, mengelakkan serangan-serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk laksana orang yang sedang menari. Sesekali tangannya bergerak menepuk ke dada lawan yang ada di depan dan samping kanan kirinya. Meski gerakannya kelihatan lamban dan lemah, ternyata mampu membuat lawanlawannya tersentak kaget.

"Pecah kepalamu, Bocah Edan" dengus Gagak Kuru sambil menghantam gada berdurinya menyerang Pendekar Gila.

Wss "Uts He he he..." Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Pendekar Gila segera meliukkan tubuh ke samping. Kemudian dengan gerakan aneh dan sulit diduga, Sena menghantamkan telapak tangan menepuk ke dada lawan yang ada di sampingnya. Gerakannya nampak lambat, namun dalam sekali gerak, mampu menepuk empat dada lawan.

Plak Plak Plak...

"Wuaaa..." "Aaa..." Keempat orang yang terhantam telapak tangan Pendekar Gila menjerit keras. Tubuh mereka terpental ke belakang bagaikan dilempar oleh kekuatan yang dahsyat. Keempat tubuh terus melayang dan baru berhenti ketika menerjang pohon jati.

Brak "Engkh..." Keempat lelaki bertopeng itu jatuh ke tanah dan langsung tak bergerak lagi.

Menyaksikan anak buahnya banyak yang mati, Gagak Pandera dari Lembah Bangkai mulai merasa takut. Mereka nampaknya menyadari, kalau kedua pendekar itu memang bukan tandingan.

"Mundur..." teriak Gagak Pandera memerintah pada anak buahnya yang tersisa. Dengan cepat para anak buah lari meninggalkan tempat pertarungan. Mereka semua menyadari kehebatan kedua pendekar muda itu. Maka karena ketakutan, semua lari tunggang langgang dari tempat itu.

Semula Mei Lei hendak mengejar mereka, namun dengan cepat Pendekar Gila melarangnya.

"Aha, mengapa mesti capai-capai mengejar mereka, Mei? Bukankah masih ada tugas yang lebih penting? Tentunya pangeran tengah menunggu-nunggu kedatangan kita," ujar Sena mengingatkan kekasihnya.

Mei Lie pun mengurungkan niat untuk mengejar. Dimasukkan Pedang Bidadari ke warangkanya.

Kemudian kakinya melangkah di samping Pendekar Gila, untuk meneruskan perjalanan mereka guna melaporkan tugas pada Pangeran Prapanca.

***
 3
Mentari sore yang redup membiaskan cahaya kuning penuh kedamaian. Sinarnya menyelusup di sela-sela daun bambu, menerangi suasana di dalam Hutan Bambu. Angin sore yang bertiup lembut membawa hawa sejuk menambah keindahan sore itu. Burungburung berkicau riang, berterbangan pulang ke sarangnya.

Saat itu, Pendekar Gila dan Mei Lie telah sampai di pinggir Hutan Bambu, tempat Pangeran Prapanca dan teman-temannya berada. Agak ke dalam dari Hutan Bambu, empat prajurit yang kini berpihak pada Pangeran Prapanca tampak berjaga lengkap dengan senjata mereka.

"Siapa?" seru salah seorang prajurit ketika Pendekar Gila dan Mei Lie melangkah memasuki Hutan Bambu.

"Kami" sahut Mei Lie.

"Pangeran sudah menunggu kedatangan kalian" kembali terdengar suara dari dalam.

Pendekar Gila tampak cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, melangkah tenang bersama kekasihnya memasuki Hutan Bambu. Mata mereka memandang lurus ke depan. Kaki mereka melangkah dengan ringan. Kalau orang yang belum berilmu tinggi, sulit untuk mendengar langkah-langkah kaki Pendekar Gila dan Mei Lie. Hal itu dilakukan, sengaja untuk menguji sampai seberapa tinggi kewaspadaan para prajurit jaga.

Tampaknya para prajurit jaga benar-benar mengerahkan kewaspadaan mereka. Hal itu dapat diketahui dari pendengaran dan naluri serta perasaan mereka yang mampu menangkap gerakan Pendekar Gila dan Mei Lie.

"Hua ha ha... Bagus... Rupanya kalian benarbenar menjaga kewaspadaan," seru Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema di sekitar Hutan Bambu, menjadi orang-orang yang berada di dalam gubuk segera tahu kalau Pendekar Gila telah datang. Pangeran Prapanca, Pranala, Ki Naga Wilis, Gagak Selo, Tirta Kayon, Resi Wisangkara dan Panglima Rawa Sekti yang berada di dalam gubuk segera keluar.

Mereka ingin menyambut kedatangan Pendekar Gila dan Mei Lie yang menjadi duta. Mulanya mereka mengkhawatirkan keselamatan kedua pendekar itu.

Mereka takut kalau Pendekar Gila dan Mei Lie ditangkap pihak istana. Itu sebabnya setelah mendengar suara tawa Pendekar Gila, serta merta mereka keluar untuk menyambut kedatangannya.

"Selamat datang kembali" mereka menyambut dengan tersenyum senang, menyaksikan Pendekar Gila dan Mei Lie datang tanpa kurang satu apa pun.

"Aha, terima kasih Atas doa restu kalian, kami bisa kembali tanpa kurang satu apa pun. Hi hi hi..." jawab Sena sambil tertawa cekikikan. Tangannya menggaruk-garuk kepala, sambil matanya memandang wajah Mei Lie.

"Ya, kami rasa atas doa kalian sehingga kami bisa kembali dengan tak kurang satu apa pun," sambung Mei Lie dengan bibir mengurai senyum. Dibalasnya tatapan mata Pendekar Gila.

"Hm..., dari penuturan kalian, nampaknya kalian mengalami halangan," ujar Pangeran Prapanca ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi.

"Kalau boleh kami tahu, apa gerangan yang telah terjadi?" tanya Pranala menambahkan.

"Hi hi hi... Kalian seperti ahli nujum. Bagaima-na mungkin kalian bisa menduga begitu? Padahal kami belum menceritakan apa pun pada kalian," jawab Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.

Semua yang menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila tersenyum-senyum. Kalau saja mereka tak ingat sedang berhadapan dengan pendekar sakti yang saat ini belum ada tandingannya, mungkin akan tertawa geli melihat tingkah laku Sena. Beruntung mereka menyadari, kalau yang ada di hadapannya tak lain Pendekar Gila. Seorang pendekar muda yang akhirakhir ini tengah ramai dibicarakan di kalangan rimba persilatan.

"Ah, bisa saja kau, Sena," sahut Pangeran Prapanca malu, disindir begitu oleh Pendekar Gila, "Apa-lah artinya kami, dibandingkan dengan kalian yang mempunyai nama besar." "Hi hi hi... Lucu sekali, Mei. Ada seorang pangeran sangat merendah. Ah, sudahlah, mari kita masuk Kita ngobrol di dalam saja," ajak Sena sambil melangkah seiring dengan Mei Lie.

Pangeran Prapanca, Pranala dan rekanrekannya segera mengikuti kedua pendekar itu masuk ke gubuk. Mereka segera duduk di atas tikar pandan yang digelar lebar di ruangan itu. Wajah mereka berse-ri, meski belum tahu apa sebenarnya yang terjadi. Hal itu karena tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan lucu, mengundang mereka untuk tersenyum.

"Bagaimana tugas kalian?" tanya Pangeran Prapanca membuka percakapan, setelah semua duduk.

"Aha, kurasa beres, Pangeran. Baginda telah menerima surat yang Pangeran kirim," jawab Sena dengan tingkah laku yang masih konyol, cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.

"Benar, Pangeran," sambung Mei Lie. "Kami telah bertemu langsung dengan Baginda Raja Awangga.

Dan kami telah menyerahkan surat yang Pangeran tulis." "Lalu, bagaimana tanggapan baginda?" Pangeran Prapanca ingin tahu, bagaimana tanggapan Baginda Raja Awangga yang sebenarnya masih ada hubungan saudara dengannya. Karena Awangga merupakan adik dari Prabu Jayawangga, ayahanda Pangeran Prapanca yang sampai kini belum diketahui nasibnya. Meski gurunya mengatakan ayahanda dan ibundanya meninggal ketika terjadi pemberontakan, namun Pangeran Prapanca tak percaya begitu saja akan berita itu. Pangeran Prapanca merasa ada sesuatu yang tidak beres di dalam istana. Namun sampai sejauh ini dirinya belum bisa membuktikan ketidakberesan tersebut, lantaran belum mendapatkan bukti-bukti yang kuat.

"Baginda menerima," jawab Mei Lie. "Namun baginda meminta syarat" "Hm... Apa syaratnya?" tanya Pangeran Prapanca ingin tahu.

"Pangeran diminta datang ke istana," jawab Mei Lie, yang menyebabkan semua yang ada di tempat itu terdiam. Mereka seketika saling pandang, kemudian memandang dengan perasaan cemas pada Pangeran Prapanca.

"Kanjeng Pangeran, kalau hamba diperkenankan mengeluarkan pendapat," Resi Wisangkara seketika angkat bicara.

"Katakanlah, Paman Resi" "Sebaiknya, Pangeran jangan menuruti katakata Baginda Awangga" "Kenapa begitu?" tanya Pangeran Prapanca ingin penjelasan, karena dia memang belum tahu apa yang menyebabkan Resi Wisangkara melarang dirinya ke istana. "Bukankah baginda nampaknya menyadari kekeliruannya selama ini?" "Hamba rasa, ini hanya suatu siasat, Pangeran," tukas Resi Wisangkara berusaha mengingatkan Pangeran Prapanca.

"Maksud Paman Resi?" "Aha, kurasa Resi Wisangkara benar, Pangeran." Pendekar Gila menyela sebelum Resi Wisangkara yang masih kebingungan sempat menjawab. Hal itu menjadikan Resi Wisangkara menghela napas, merasa lega ada orang yang membantunya menyampaikan maksud perkataannya.

"Tolong kau jelaskan padaku, Sena" pinta Pangeran Prapanca dengan penuh persahabatan. "Kurasa, kaulah yang bisa menerangkan letak dari semua kea-nehan undangan Paman Awangga kepadaku." Pendekar Gila masih cengengesan dan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Sesaat dihelanya napas. Kemudian melirik Mei Lie yang duduk di sampingnya. Setelah memandang ke atas, menatap sirap daun bambu sebagai penutup gubuk itu, Sena mulai menceritakan apa yang telah terjadi.

Diceritakan, kalau secara diam-diam dia melihat Baginda Raja Awangga berbisik-bisik dengan Perdana Menteri Giri Gantra. Setelah itu, baginda nampak tersenyum sinis. Sambil membelai-belai jenggotnya yang panjang, baginda meminta agar Sena dan Mei Lie menyampaikan maksudnya, mengundang Pangeran Prapanca untuk datang ke istana Kerajaan Surya Langit Hal kedua, ketika mereka pulang ke Hutan Bambu, di perjalanan mereka dicegat segerombolan lelaki berkedok kain hitam yang dipimpin Gagak dari Lembah Bangkai. Nampaknya ada hubungan kejadian yang tak dapat dipisahkan, antara bisik-bisik Perdana Menteri Giri Gantra dengan pengeroyokan itu.

"Begitulah ceritanya, Pangeran. Tetapi... Ah, kurasa semua keputusan ada di tanganmu, Pangeran," ujar Sena mengakhiri ceritanya.

"Benar, Pangeran. Ketika kami pulang, kami dihadang hampir tiga puluh orang. Entah dari mana mereka itu. Yang pasti, mereka nampaknya menghendaki nyawa kami," sambung Mei Lie, yang membuat semua mengangguk-anggukkan kepala.

"Aha, aku lupa. Apakah di antara kalian ada yang mengenali julukan Lima Gagak dari Lembah Bangkai?" tanya Sena dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.

Semua yang ada di tempat itu mengerutkan kening. Nampaknya mereka berusaha mengingat-ingat julukan Lima Gagak dari Lembah Bangkai. Namun nampaknya tak ada yang mengenal julukan itu. Bahkan kini pandangan mereka tertuju pada Gagak Selo, yang memiliki nama hampir sama dengan julukan gerombolan itu.

"Bagaimana dengan Paman Gagak Selo? Apakah Paman mengenal mereka...?" tanya Pangeran Prapanca sambil memandangi Gagak Selo.

"Apakah ada yang menyebut nama di antara mereka?" tanya Gagak Selo dengan mata memandang Pendekar Gila dan Mei Lie.

"Aha, aku ingat. Orang yang tinggi besar yang merupakan pimpinan mereka, menyebut temannya Gagak Kuru. Dan orang itu sendiri, menyebut namanya Gagak Pandera," sahut Pendekar Gila, "Aha, bagaimana, Ki Gagak Selo? Apakah kau kenal dengan mereka?" "Hm, kurang ajar sekali mereka Berani mereka memakai nama gagak. Nama yang merupakan pemberian guru kami," gumam Gagak Selo sengit "Kalau aku bertemu dengan mereka, ingin rasanya menyobek mulut mereka yang telah berani lancang menyebut nama gagak." Gagak Selo benar-benar geram, karena secara tidak langsung nama pemberian guru mereka telah dicemarkan orang-orang yang tak bertanggung jawab.

"Jadi, Paman Gagak Selo tak mengenal mereka?" tanya Pangeran Prapanca meminta kepastian.

"Memang aku pun berasal dari Lembah Bangkai. Namun aku sama sekali tak kenal dengan orang yang mengaku bernama Gagak Pandera dan Gagak Kuru," jawab Gagak Selo, menegaskan. "Kalau Pangeran mengizinkan, hamba akan mencari mereka. Akan kuantarkan kepala mereka ke hadapan Pangeran. " "Tidak usah, Paman Belum saatnya kita melakukan tindakan. Yang perlu kita pikirkan saat ini, bagaimana sebaiknya menanggapi undangan baginda raja," ujar Pangeran Prapanca berusaha menyabarkan Gagak Selo yang begitu marah karena merasa namanya dicemarkan oleh orang-orang yang mengaku dari Perguruan Gagak Sakti.

"Hamba akan menuruti perintah Kanjeng Pangeran. " "Terima kasih, Paman," jawab Pangeran Prapanca sambil tersenyum puas, menyaksikan Gagak Selo kini nampak tenang. "Kembali pada masalah semu-la. Bagaimana? Apakah ada yang bisa memberiku saran?" "Ampunilah hamba, Kanjeng Pangeran" Panglima Rawa Sekti yang sejak tadi diam, seketika angkat bicara. Hal itu menjadikan pandangan Pangeran Prapanca kini tertuju ke wajah Panglima Rawa Sekti.

"Katakanlah, Paman Panglima" Lelaki setengah baya bertelanjang dada itu menundukkan kepala. Kemudian perlahan kepalanya didongakkan memandang ke atas, sambil menghela napas perlahan, seakanakan ingin membuang kegelisahan hatinya.

"Ampun, Kanjeng Pangeran Hamba mohon beribu-ribu ampun, karena selama ini hamba tidak menuturkan apa yang sebenarnya telah terjadi," ujar Panglima Rawa Sekti dengan suara bergetar dan agak parau. "Tentang apa, Paman?" "Tentang Gusti Prabu, Pangeran." "Hm, kenapa dengan ayahanda?" "Sesungguhnya, Prabu Jayawangga masih hidup. Beliau kini ditahan di dalam penjara bawah tanah oleh Baginda Awangga atas perintah Panglima Utama Giri Gantra," tutur Panglima Rawa Sekti.

Mendengar cerita itu Pangeran Prapanca dan semua yang ada di dalam gubuk membelalakkan mata terkejut. Mereka tak menyangka, kalau Prabu Jayawangga masih hidup.

"Paman Panglima, ceritakanlah apa sebenarnya yang telah terjadi di istana" pinta Pangeran Prapanca karena merasa penasaran.

***
 Panglima Rawa Sekti sesaat terdiam. Ditolehkan wajah ke Resi Wisangkara, yang sebenarnya juga tahu. Dan sepertinya Panglima Rawa Sekti ingin meminta pendapat dari Resi Wisangkara. Setelah melihat Resi Wisangkara mengaggukkan kepala, Panglima Rawa Sekti mulai menceritakan semua yang terjadi di istana. Malam itu, Awangga yang masih menjabat sebagai perdana menteri mengumpulkan para pembesar istana. Hadir di situ, Giri Gantra yang waktu itu masih Panglima Utama, Resi Wisangkara, Panglima Rawa Sekti dan para pembesar lain. Nampaknya Perdana Menteri Awangga mengundang mereka, karena ada masalah penting.

"Apakah kalian tahu mengapa kuundang ke ruang pertama ini?" tanya Perdana Menteri Awangga membuka ucapan, membelah kesunyian malam yang dingin. Semua yang datang tidak menjawab. Mereka diam, karena memang belum mengerti maksud Perdana Menteri Awangga mengundang malam itu.

"Dengar oleh kalian baik-baik Raja kini tak bisa berbuat apa-apa. Baginda Raja tak lebihnya bangkai yang tiada guna. Dia sama sekali tak memperhatikan kita. Untuk apa menjadi pejabat tinggi kerajaan, kalau kita dalam keadaan yang pas-pasan. Raja hanya mementingkan rakyat sedangkan kita, tak pernah dipikirkan," tutur perdana Menteri Awangga berapi-api. Matanya yang tajam, memandangi satu-persatu wajah orang yang datang pada pertemuan itu. Mereka semua terdiam sambil menundukkan kepala. Hanya Panglima Utama Giri Gantra yang masih tenang, bahkan tersenyum-senyum.

Semua tak ada yang bicara, karena tak tahu apa yang sebenarnya terencana dalam pikiran Perdana Menteri Awangga dan Panglima Utama Giri Gantra.

"Untuk itulah, kuundang semuanya datang ke sini. Kita harus mengganti raja, kalau kita ingin hidup makmur dan serba kecukupan. Kita tak ingin hidup seperti ini selamanya, bukan?" tanya Perdana Menteri Awangga.

"Benar" sahut Panglima Utama Giri Gantra, "Kita tak ubahnya gembel dan pengemis. Untuk apa hidup seperti ini? Bahkan kerajaan seakan menutup semuanya bagi kita. Sehingga kita tak dapat bertindak.

Bahkan perdagangan dengan kerajaan luar pun ditutup. Apakah kita akan diam terus? Membiarkan anak cucu kita menderita?" "Lalu, apa yang hendak Perdana Menteri lakukan?" tanya Resi Wisangkara mencoba memberanikan diri. "Kita harus menggulingkan kekuasaan raja, dengan seolah-olah terjadi pemberontakan. Kemudian, dengan pura-pura tak mengerti, kita hancurkan pemberontakan itu. Lalu kita sebar pengumuman, kalau baginda raja telah terbunuh dalam pemberontakan.

Bukankah dengan begitu, kita akan bebas dari tuntutan rakyat?" ujar Perdana Menteri Awangga menjelaskan gagasannya.

"Kita korbankan banyak prajurit dan rakyat, Tuan Perdana Menteri" kata Panglima Rawa Sekti.

"Aku tak setuju" "Aku juga" sambut Resi Wisangkara.

"Kalian boleh tak setuju. Tapi ingat, kalian akan mendapatkan hukuman mati di tiang gantungan" ancam Panglima Utama Giri Gantra, yang membuat Panglima Rawa Sekti dan Resi Wisangkara terdiam. Mata mereka membelalak, mendengar ancaman itu. Mereka tahu, kedudukan mereka akan benarbenar terpepet, kalau tak setuju dengan rencana perdana menteri dan panglima utama.

"Bagaimana...?" tanya Perdana Menteri Awang-ga dengan senyum sinis, Panglima Rawa Sekti dan Resi Wisangkara tak dapat berkata apa-apa. Keduanya benar-benar tak setuju dengan rencana yang mereka anggap gila dan sadis. Namun mereka tak dapat berbuat apa-apa dalam ancaman perdana menteri dan panglima utama.

"Ingat oleh kalian. Jika kalian mau membantu rencanaku, maka pangkat kalian akan kunaikkan. Di samping itu, kalian akan menjadi orang kaya. Berlimpah harta dan wanita. Apakah itu tidak kalian inginkan?" tanya Perdana Menteri Awangga merayu dengan janji-janjinya yang tinggi. "Selama ini, kalian tak pernah merasakan kenikmatan duniawi. Kalian hanya memiliki satu istri. Kalian tak bebas untuk mencari wanita sesuka hati kalian, karena kalian dalam kekuasaan undang-undang raja, yang sebenarnya raja sendiri tak pernah melaksanakan undang-undang tersebut" "Perdana Menteri... Kau bisa bicara begitu, apakah kau bisa membuktikannya?" tanya Resi Wisangkara dengan tegas. Sebenarnya sebagai resi, Resi Wisangkara merasa undang-undang yang dibuat oleh Prabu Jayawangga benar. Karena dengan undangundang tersebut, maka para pembesar istana tidak bertindak sewenang-wenang. Mereka akan terikat oleh hukum yang tertulis. Dan menurut pandangan mereka, baginda tak pernah salah. Kalau baginda memiliki selir, itu sudah menjadi hal yang wajar. Karena setiap raja memang berhak memiliki selir.

Perdana Menteri Awangga tersenyum sinis.

"Kau meminta bukti, Resi?" tanyanya.

"Ya" "Baik aku akan menguraikan bukti-bukti yang kau inginkan. Seharusnya kau ingat, aku adalah adiknya," kata Perdana Menteri Awangga sambil tersenyum sinis. "Tetapi baiklah, akan kubeberkan semua keburukan kakakku. Dia adalah lelaki yang pengecut, sehingga tak pernah berani mengambil resiko. Dia juga suka keluyuran di tempat-tempat pelacuran. Suka mabuk dan berjudi. Raja macam itukah yang kalian anggap baik?" "Hentikan" teriak Resi Wisangkara sambil berdiri. Matanya yang tajam menatap wajah perdana menteri. "Tak sepantasnya kau berkata begitu, Perdana Menteri Baginda adalah yang mulia" "Duduk, Resi Atau prajurit-prajurit itu akan menyeretmu" ancam Panglima Utama, yang menjadikan Panglima Rawa Sekati seketika bangkit dari duduknya.

"Panglima, kau tak bisa berlaku kasar pada Resi. Kalau sampai hal itu terjadi, maka terkutuklah kau" dengus Panglima Madya Rawa Sekti, memprotes ucapan panglima utamanya yang dianggap telah menghina orang-orang istana yang seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi.

"Duduk, Rawa Sekti Kau ada di bawahku Aku berhak memecatmu Jangan berlaku kurang ajar terhadapku" bentak Panglima Utama Giri Gantra sambil melotot. Telunjuknya menunjuk wajah Rawa Sekti yang masih duduk di kursi.

"Kau memang pimpinanku. Namun begitu, aku tak setuju dengan ucapanmu yang menghina orangorang istana" balas Panglima Madya Rawa Sekti tak mau kalah.

"Hm, hebat Baru kali ini aku mendengar ada orang yang masih menghormati para pejabat istana.

Baik, aku minta maaf Kini kuminta dengan hormat, kalian duduk" perintah Panglima Utama Giri Gantra tegas. Panglima Madya Rawa Sekti dan Resi Wisangkara pun akhirnya menurut duduk, walau dengan pandangan sinis tak senang, mendengar ucapan dan tindakan panglima utama.

"Dengar oleh kalian semua Besok malam, sebelum fajar menyingsing, kalian harus bisa melakukan sandiwara. Kami telah mempersiapkan orang-orang yang akan melakukan pemberontakan. Sedangkan penumpasannya, akan dipimpin olehku langsung" kata Perdana Menteri Awangga.

"Ingat Jangan sekali-kali berusaha membangkang dan membuka rahasia, karena hal itu berarti nyawa kalian yang menjadi taruhannya," sambung Panglima Utama Giri Gantra. "Jika ada yang berani melakukan tindakan bodoh itu, kalian akan mendapatkan hukuman yang menyakitkan. Kalianlah yang akan dituduh sebagai pemberontak" Semua tak ada yang berani membuka mulut.

Sampai pertemuan selesai tak ada yang berkata sepatah kata pun. Nampaknya ancaman Panglima Utama Giri Gantra dan Perdana Menteri Awangga, benarbenar membuat para undangan tak berani bertindak atau menolak, karena berarti akan menjerumuskan diri mereka sendiri.

Keesokan harinya, tepat seperti apa yang diatur oleh Panglima Utama Giri Gantra, pemberontakan terjadi. Orang-orang yang sudah disiapkan, melakukan aksi pemberontakan. Sekilas, tak nampak kalau semuanya sudah diatur. Mereka bekerja dengan rapi, menculiki para pembesar istana yang masih mengabdi pada baginda raja. Mereka membunuh para pembesar istana. Bahkan patih dan hulubalang kerajaan diculik dan dibunuh.

Ketika pemberontakan berlangsung, orangorang yang juga sudah diatur oleh panglima utama dan perdana menteri segera bergerak. Nyawa manusia bagaikan tak berarti. Mereka saling bantai, hanya untuk memerankan sebuah sandiwara yang sudah dibuat oleh Giri Gantra dan Awangga. Dan akhirnya para pemberontak yang hendak menggulingkan kekuasaan raja dapat ditumpas.

Prabu Jawangga dan permaisuri yang sudah mengungsi, dipaksa kembali ke istana. Lalu baginda diteror dengan pertanyaan-pertanyaan dan tuduhantuduhan yang menyudutkan kedudukannya. Sampai akhirnya baginda jatuh sakit, lalu bersama sang Permaisuri dimasukkan ke sebuah kamar, yang sebenarnya penjara di bawah tanah. Begitu pula dengan para pengikut baginda yang masih setia, dijebloskan ke penjara bawah tanah.

"Kami benar-benar menyesali diri sendiri, karena tak berdaya. Kami tak dapat berbuat apa-apa," ujar Panglima Rawa Sekti dengan air mata berlinang. "Namun begitu, secara diam-diam, kami selalu berusaha memberi makanan pada baginda. Setiap hari kami berharap, semoga datang Dewa Penolong yang akan membebaskan Baginda Jawangga. Sampai akhirnya, kami menemukan Kanjeng Pangeran." "Kalau sekiranya kami salah, kami siap untuk menerima hukuman, Kanjeng Pangeran," sambung Resi Wisangkara dengan kepala menunduk.

Pangeran Prapanca terdiam mendengar ucapan mereka. Hatinya terenyuh sekali, jika mengingat nasib ayahanda dan ibundanya yang mungkin menderita.

Dirinya sama sekali tak menyangka, kalau pamannya sampai hati melakukan kekejian itu. Padahal ayahandanya, sangat sayang pada sang Adik, Awangga. Namun balasan dari Awangga justru sebaliknya.

"Bedebah Aku tak menyangka kalau pamanku akan berbuat keji begitu" dengus Pangeran Prapanca sambil menggenggam tangannya kuat-kuat.

"Tapi, kami rasa otak dari semuanya tiada lain Panglima Utama Giri Gantra, Kanjeng Pangeran," tukas Ki Rawa Sekti.

"Dari mana Paman tahu?" "Sesungguhnya, Panglima Utama Giri Gantra yang mempunyai ambisi menjadi raja. Dia akan terus mempengaruhi Baginda Awangga, sambil akhirnya baginda dapat dikendalikan. Memang di mata rakyat Baginda Awangga yang menjadi raja. Namun sesungguhnya, semua roda pemerintahan ada di tangan Giri Gantra yang kemudian diangkat perdana menteri," tutur Rawa Sekti. "Hal itu bisa kita ketahui, dari cara-cara melaksanakan roda pemerintahan. Semua menuruti apa yang dikatakan Perdana Menteri Giri Gantra.

Hm..., tentu saja hamba banyak tahu keadaan istana, Kanjeng Pangeran." Pangeran Prapanca mengangguk-anggukkan kepala. Tadi mungkin dirinya lupa kalau Rawa Sekti merupakan seorang Panglima Utama di Kerajaan Surya Langit "Hm, gumam Pangeran Prapanca. "Lalu apa yang harus kita lakukan? Kalau aku tak memenuhi undangan baginda, bukankah akan dikatakan pengecut?" tanya Pangeran Prapanca meminta pendapat dari teman-temannya.

"Jadi Kanjeng Pangeran tetap akan memenuhi undangan Baginda Raja Awangga...?" tanya Resi Wisangkara dengan tatapan mata cemas, karena sudah menduga kalau semua ini sebenarnya sudah diatur.

"Tentunya semuanya sudah diatur oleh Perdana Menteri licik itu, Pangeran. Hamba tahu kelicikan Giri Gantra jauh sebelum terjadi pemberontakan." "Aku pun mengerti, Paman Resi. Mereka boleh saja melakukan kelicikan. Namun kita tak boleh mundur hanya karena kelicikan mereka" kata Pangeran Prapanca. Nadanya sangat yakin kalau dirinya akan dapat menghadapi kelicikan yang akan dilakukan Perdana Menteri Giri Gantra dan Baginda Awangga.

"Tapi, Kanjeng Pangeran," Panglima Rawa Sekti kembali angkat bicara.

Wajahnya masih menggambarkan kebimbangan dan rasa cemas, takut kalau-kalau Pangeran Prapanca akan mengalami hal yang tidak diinginkan.

"Tapi apa, Paman?" tanya Pangeran Prapanca.

"Hamba mohon, Kanjeng Pangeran sudi mempertimbangkannya lagi, agar tidak menyesal di kemudian hari. Karena mereka benar-benar bukan manusia lagi," tutur Panglima Rawa Sekti mengingatkan.

"Bagaimana kalau kita datang ke sana bareng?" "Apakah nanti tak akan mengundang kesalahpahaman?" tanya Pangeran Prapanca, "Lebih baik, biar aku, Pranala, Sena dan Mei Lie yang berangkat. Kalau sampai terjadi sesuatu terhadap kami, aku mohon Paman dan lainnya mengumpulkan bala bantuan. Semua kuserahkan pada Paman." "Kalau memang itu keputusan Kanjeng Pangeran, hamba tak bisa menentang," kata Rawa Sekti seraya membungkuk hormat "Besok, kami akan berangkat. Jika dalam dua hari kami tak pulang, kuserahkan pada Paman untuk menentukan tindakan," ujar Pangeran Prapanca memutuskan. Semua tak ada yang membantah. Semua kini patuh dengan apa yang menjadi keputusan Pangeran Prapanca.

***
 4
Jago-jago dari dua kerajaan yang diundang oleh Perdana Menteri Giri Gantra berdatangan ke Kerajaan Surya Langit. Nampaknya Perdana Menteri Giri Gantra, hendak melaksanakan apa yang telah direncanakan, yaitu menyingkirkan Pangeran Prapanca dan para pengikutnya.

Jago-jago persilatan yang berasal dari Kerajaan Tirta Buana dan Banyu Bumi kebanyakan tokoh-tokoh golongan hitam. Di antara mereka tampak Sepasang Toya Setan, si Mata Tunggal, Kala Prana, Jembel Pilarang, Jenggot Naga, Kati Asem, dan Hiwa Krana. Delapan tokoh aliran hitam ini memiliki ilmu dan kedigdayaan tinggi. Tak mengherankan kalau nama mereka sudah sangat dikenal dan disegani di kerajaan masingmasing. Kedelapan tokoh aliran hitam ini, bersama tokoh-tokoh hitam lainnya nampak tengah berkumpul di alun-alun kerajaan. Mereka menunggu Perdana Menteri Giri Gantra yang akan memberikan pen jelasan tentang apa yang akan mereka lakukan.

Dari dalam istana, muncul Baginda Raja Awangga dan Perdana Menteri Giri Gantra, diiringi para punggawa dan prajurit kerajaan. Di bibir Perdana Menteri Giri Gantra, tersungging sebuah senyuman.

Nampaknya sang Perdana Menteri merasa yakin, kalau yang dia rencanakan akan berhasil.

"Dengan tokoh-tokoh hitam ini, tak akan mungkin Pangeran Prapanca dan teman-temannya dapat lolos," ujar Perdana Menteri Giri Gantra pada Baginda Raja Awangga.

"Apa kau yakin?" "Hamba yakin, Baginda." "Apa kau telah menguji mereka." "Belum," jawab Perdana Menteri Giri Gantra dengan bibir masih mengurai senyum. "Tetapi, mereka merupakan tokoh-tokoh yang namanya cukup kon-dang. Selama ini, mereka berpengaruh di kerajaan mereka masing-masing." "Hm," gumam Baginda Raja Awangga turut tersenyum. Tangan kanannya membelai-belai jenggot yang panjang putih. Matanya memperhatikan dari kejauhan para tokoh hitam persilatan yang sudah menunggu kedatangannya.

Baginda Raja Awangga dengan diiringi perdana menteri, terus melangkah ke alun-alun. Kemudian Baginda Raja Awangga naik ke panggung yang sudah disiapkan, diikuti Perdana Menteri Giri Gantra.

Semua tokoh aliran hitam yang ada di alunalun, seketika melakukan sembah. Mereka sujud di hadapan Baginda Raja Awangga yang telah berdiri di atas mimbar.

"Perdana Menteri, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Baginda Raja Awangga kepada Perdana Menteri Giri Gantra yang berdiri di sampingnya.

"Mereka akan kita tugaskan pada tempattempat yang telah ku atur. Sebagian dari mereka, akan kita adu dengan Pangeran Prapanca dan temantemannya. Kalau mereka ternyata mengalami kekalahan, maka kita akan menangkap Pangeran Prapanca dan teman-temannya," tutur Perdana Menteri Giri Gantra menjelaskan rencananya. "Bukankah dengan begitu, kita akan mudah menangkap mereka. Kita tak perlu menguras tenaga. Ha ha ha..." Sang Raja turut tertawa mendengar penuturan perdana menterinya. Kepalanya mengangguk-angguk, menandakan setuju dengan rencana yang akan dilakukan Perdana Menteri Giri Gantra.

Baginda Raja Awangga nampak masih memandangi semua tokoh persilatan di hadapannya. Mereka masih tetap berdiri tenang menunggu apa yang hendak disampaikan oleh raja. Baginda Raja Awangga tersenyum senang menyaksikan semuanya. Hatinya benarbenar merasa senang atas usaha perdana menterinya.

Bagaimanapun dirinya tak menghendaki kedudukannya sebagai pemimpin Kerajaan Surya Langit tergulingkan.

"Apakah kalian sudah mengerti apa yang akan kalian lakukan?" tanya Baginda Raja Awangga.

"Belum, Baginda..." sahut beberapa tokoh. Sedang lainnya hanya menggeleng-geleng kepala.

"Hm," gumam Baginda Raja Awangga. Matanya masih memandang ke sekelilingnya. Sementara itu para tokoh persilatan undangan itu menanti perintah yang harus mereka lakukan. "Baiklah..., dengar baik-baik Kalian semua kuundang, semata-mata untuk menjalankan tugas yang berat. Kalian harus bisa melakukannya." "Baginda... Kalau hamba boleh tahu, tugas apa yang harus kami lakukan?" tanya salah seorang tokoh persilatan yang berdiri di depan.

Baginda Raja Awangga tak segera menjawab.

Sesaat penguasa Kerajaan Surya Langit itu terdiam lalu menolehkan wajah pada Perdana Menteri Giri Gantra. Ketika perdana menteri itu mengaggukkan kepala, Baginda Raja Awangga kembali berkata. "Kalian kutu-gaskan untuk menangkap seseorang yang nanti akan datang ke istana ini." "Siapa orangnya, Paduka?" tanya yang lain, karena belum tahu yang dimaksud sang Raja.

"Pangeran Prapanca dan teman-temannya. Di antara mereka, terdapat seorang pemuda bertingkah laku seperti orang gila yang sering disebut sebagai Pendekar Gila. Juga seorang gadis Cina yang dikenal dengan julukan Bidadari Pencabut Nyawa," tutur Baginda Raja Awangga.

Semua mata membeliak, setelah tahu siapa yang harus dihadapi. Nama Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa, bukanlah nama yang asing bagi mereka. Keduanya telah mereka dengar sejak lama.

Tokoh muda di rimba persilatan. Namun kemampuan pemuda gila itu cukup membuat siapa saja harus berpikir seribu kali untuk melawannya. Meskipun di antara para tokoh yang diundang Raja Awangga belum pernah berhadapan secara langsung dengan tokoh yang telah menggemparkan rimba persilatan itu.

"Bagaimana? Apakah kalian siap?" tanya Baginda Raja Awangga.

Namun nampaknya tak satu pun di antara tokoh itu yang berani menjawab. Semua diam. Kebisuan saat itu membuat Baginda Raja Awangga mengerutkan kening dan kembali bertanya.

"Bagaimana? Apakah kalian sanggup menghadapi mereka?" "Hei, mengapa kalian diam?" Kali ini Perdana Menteri Giri Gantra yang bertanya dengan suara keras. Tokoh kedua dalam kerajaan itu tampaknya tak sabar menyaksikan mereka yang hanya membisu. Rencananya harus segera dilaksanakan.

"Kalau kalian tak sanggup, katakan terus terang Biar urusannya cepat beres" "Sanggup, Tuan Perdana Menteri..." sahut semua tokoh persilatan serentak. "Kami sanggup..." "Bagus kalau begitu Sekarang kalian boleh bubar untuk bersiap siaga di tempat yang telah kutentukan" perintah Perdana Menteri Giri Gantra Pada para tokoh persilatan. Mereka pun langsung bubar untuk bersiap-siap di tempat yang telah ditentukan Perdana Menteri Giri Gantra.

***
 Mentari semakin condong ke sebelah barat. Suasana di Kerajaan Surya Langit masih terasa panas.

Sementara angin bertiup kencang, seakan-akan hendak menyapu orang-orang yang kini mengelilingi tempat pertemuan. Yang sekaligus sebagai arena pertarungan. Wajah-wajah mereka nampak tegang, menantikan Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya. Baginda Raja Awangga dan Perdana Menteri Giri Gantra pun tak luput dari perasaan cemas dan tegang.

"Apakah kau pasti, kalau mereka akan memenuhi undanganku?" tanya Baginda Raja Awangga pada Perdana Menteri Giri Gantra.

Perdana menteri itu tak langsung menjawab.

Dihelanya napas panjang, lalu mencoba tersenyum meskipun tampak kaku karena dipaksakan dan bercampur tegang.

"Sabar Baginda Raja Mereka pasti datang, hamba merasakan itu..." "Hm... Semoga perasaanmu itu benar" gumam Baginda Raja Awangga sambil memegangi dagunya.

Kemudian suasana kembali hening, tegang. Mata semua orang yang ada di situ memandang ke pintu gerbang istana. Pintu ruangan pertemuan pun terbuka lebar. Ruang pertemuan besar itu terletak di tengahtengah istana kerajaan.

Kedelapan tokoh aliran hitam, Sepasang Toya Setan, si Mata Tunggal, Jembel Pilarang, Kala Prana, Jenggot Naga dan Kati Asem, serta Hiwa Krana pun nampak tegang dan cemas. Perasaan cemas dan tegang itu tentu tak begitu saja dapat dihilangkan, kare-na mereka semua mendengar langsung dari Baginda Raja Awangga, bahwa Pendekar Gila dan kekasihnya, Bidadari Pencabut Nyawa turut datang dalam acara pertemuan penting itu. Ya, pertemuan yang akan dihadiri pewaris utama atas Kerajaan Surya Langit, Pangeran Prapanca.

Sementara itu Pangeran Prapanca, Pranala, Pendekar Gila, dan Mei Lie dalam perjalanan menuju Istana Kerajaan Surya Langit. Mereka melalui hutan dan bukit cadas.

Pangeran Prapanca dan Pranala berjalan di depan, sedangkan Pendekar Gila berada di belakang mereka. Semua meningkatkan kewaspadaan. Hanya Pendekar Gila sendiri yang bersikap tenang, bahkan tampak cengengesan, serta menggaruk-garuk kepala. Mei Lie menghela napas panjang dan menggelengkan kepala, melihat kekasihnya itu.

Angin berhembus kencang menyapu wajah mereka. Namun keempatnya terus melangkah dengan mantap, menuruni dan menaiki perbukitan.

"Hi hi hi..." Tiba-tiba Pendekar Gila tertawa cekikikan sendiri. Hal itu membuat Pangeran Prapanca, Pranala, dan juga Mei Lie merasa heran. Ketiganya mengerutkan kening.

"Ada apa Sena...?" tanya Pangeran Prapanca, setelah menghentikan langkah. Keningnya berkerut memandangi Pendekar Gila.

"Hi hi hi... Rupanya kita akan bermain-main sebentar, Pangeran," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.

"Apa maksudmu?" tanya Pangeran Prapanca, tak mengerti.

Belum sempat Pendekar Gila menjawab, tibatiba muncul tiga orang bertopeng hitam. Pakaian mereka pun serba hitam dengan lengan panjang dan ikat pinggang putih. Salah satu dari ketiga orang bertopeng itu memakai ikat kepala belang-belang kuning hitam, dengan rambut yang panjang sebatas bahu dibiarkan lepas. Sedangkan dua lainnya tanpa ikat kepala. Rambutnya tertutup.

"Aha..., ternyata dugaanku tak salah, Pangeran," ucap Sena dengan cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Mei Lie segera maju dengan tangan siap mencabut pedang. Demikian pula Pranala, Pangeran Prapanca. Hanya Pendekar Gila yang nampak tenang dan terus tertawa sambil menggaruk-garuk kepala.

Tingkahnya seperti orang gila.

"Kisanak Apa maksudmu menghadang kami...?" tegur Pangeran Prapanca pada ketiga orang bertopeng itu.

Orang yang berikat kepala kuning hitam tampak berkacak pinggang dengan angkuh. Matanya yang tampak dari dua lubang, menatap tajam.

"Kalau ingin selamat, sebaiknya urungkan niat kalian meneruskan perjalanan..." ujar orang bertopeng, dan berambut panjang sebahu itu dengan suara ramah. Pangeran Prapanca mengerutkan kening, tak mengerti maksud ucapan lelaki bertopeng itu. Wajahnya menoleh ke Pendekar Gila, seakan meminta Pendekar Gila agar menjawabnya.

Pendekar Gila hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Lalu tertawa-tawa sendiri.

"Hi hi hi.. Lucu Kenapa kalian bicara seenaknya, menyuruh kami mengurungkan perjalanan ini? Aneh sekali" "Ya Jangan seenaknya bicara Sebaiknya kalian menyingkir, sebelum aku marah" sambung Pranala dengan nada marah sambil melangkah maju. Namun Pangeran Prapanca menahan dengan tangan kirinya. "Sabar, Pranala" cegah Pangeran Prapanca.

"Kisanak, kami tak ingin bertengkar dengan kalian.

Namun kami harus segera meneruskan perjalanan.

Karena waktu sudah mendesak..." "Hm..., Pangeran rupanya tak mengerti. Juga Pendekar Gila, yang biasanya memiliki naluri tajam.

Kenapa seakan-akan tak berguna? Bagaimanapun juga, aku harus dapat mendesak mereka. Paling tidak menghambat perjalanan mereka," gumam orang bertopeng yang berikat kepala seperti ular weling itu. Nampaknya orang ini pimpinan dari kedua temannya. Tanpa menjawab lagi, orang itu mengangkat tangan kanan memberi perintah kedua temannya agar menyerang.

Maka terjadilah pertarungan. Tanpa mengetahui masalahnya, Pangeran Prapanca dan kawankawannya terpaksa menghadapi ketiga penghadang bertopeng hitam itu.

"Heaaa..." "Yeaaat.." Mereka saling serang dan tangkis. Tampaknya pihak Pangeran Prapanca tak ingin hambatan ini terlalu lama. Semua, termasuk Pendekar Gila segera mengeluarkan kepandaian mereka.

Namun baru beberapa jurus, tiba-tiba....

"Pangeran... Sebaiknya biar saya yang menghadapi mereka bersama Mei Lie..." seru Sena sambil memerintah Pangeran Prapanca agar mundur. "Kau juga Pranala. Mundur..." "Heaaa..." Pendekar Gila dan Mei Lie segera menghadang ketiga orang bertopeng itu. Mei Lie menghadapi dua orang tanpa kewalahan. Gerakan tubuhnya sangat lincah mengelak dan menyerang masih dengan tangan kosong. Merasa kewalahan, kedua orang bertopeng itu segera melakukan serangan secara serentak terhadap Mei Lie. "Heaaa..." "Yeaaah..." "Hup" Teriakan-teriakan keras seketika terdengar, memecah keheningan siang menjelang senja di daerah perbukitan itu.

Degk "Ukh..." "Aaakh..." Dua pukulan beruntun Mel Lie mendarat di tengkuk dan dada lawan. Ketika kedua orang bertopeng itu menyerang, rupanya Mei Lie sudah menyiapkan jurus ampuhnya. Mei Lie melenting ke udara sambil bersalto. Dan sebelum mendarat gadis itu melancarkan pukulan ke tengkuk dan dada lawanlawannya.

Kedua orang bertopeng yang dihadapi Mei Lie terhuyung dan jatuh terguling. Mei Lie tersenyum mengejek menyaksikan kedua lawannya yang terguling kesakitan.

Sejurus kemudian, kedua lelaki bertopeng itu bangkit berdiri. Keduanya lalu membuat gerakan jurus-jurus andalan. Mereka bersama-sama mengangkat kedua tangan ke atas kepala sambil mengepal. Kemudian dilanjutkan dengan merentang lalu menjulurkan yang kanan ke depan. Dengan jemari membentuk cakar, mereka mengeluarkan jurus 'Cakar Harimau'.

Sementara itu Mei Lie tampak tersenyum menyaksikan gerakan kedua lawannya. Namun dia tetap tak menganggap remeh. Dengan tenang segera mempersiapkan diri untuk memapaki serangan lawan.

"Heaaa..." "Yeaaat.." Kedua lelaki bertopeng hitam itu melesat melakukan serangan.

"Hiaaat.." Dengan cepat Mei Lie pun melompat memapaki serangan itu.

Plak Plak Tangan-tangan mereka beradu dan saling pukul di udara. Kemudian sama-sama mendarat. Namun kedua lawan Mei Lie dengan gerakan cepat bersamasama melompat memburu Mei Lie bagai gerakan harimau menerkam mangsa.

Melihat itu dengan cepat Mei Lie berguling ke depan menjauhi serangan lawan, sambil mencabut pedang saktinya. Kemudian dengan cepat pula Mei Lie membabatkan pedangnya ke tubuh kedua lawan.

"Hiaaa..." Srat Tampaknya kedua lelaki bertopeng itu mengetahui kalau Mei Lie mencabut pedang saktinya. Dengan cepat keduanya bergerak menjauhi Mei Lie.

"Gawat... Pedang Bidadari" gumam salah seorang lawannya.

Sementara itu, Pendekar Gila pun tak mau kalah. Lawan yang dihadapi tampaknya memiliki ilmu lebih tinggi dibandingkan kedua kawannya. Namun Pendekar Gila nampak ringan menghadapi lawannya. Gerakannya kelihatan lamban, tapi ternyata begitu cepat hingga membuat lelaki berambut panjang sebahu itu tampak kewalahan.

Tampaknya lelaki berkedok kain hitam itu tidak bersungguh-sungguh dalam menghadapi Pendekar Gila. Hal itu dapat dirasakan oleh Pendekar Gila sendiri.

Sebab ketika Pendekar Gila sengaja membuka pertahanannya, lelaki berambut panjang itu tak segera menyerang. Bahkan menarik pukulannya yang sudah melesat. "Aha, aneh kenapa serangannya tidak dilanjutkan?" tanya Sena dalam hati sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.

Pendekar Gila mencoba melancarkan serangan dengan jurus-jurusnya, bermaksud agar lawan meladeni dengan sungguh-sungguh. Namun tetap saja lelaki berpakaian serba hitam itu hanya menangkis dan membalas dengan serangan yang tak berarti.

"Huh Benar-benar aneh orang ini. Apa maksudnya...?" gumam Sena keheranan dan merasa agak kesal. Lelaki bertopeng dan berambut panjang dengan ikat kepala kuning itu mulai melakukan serangan.

Pendekar Gila merasa senang mendapat perlawanan itu. Maka dengan gesit dan tenang, Pendekar Gila mengelak dan secara perlahan balik menyerang.

Pertarungan sudah menginjak jurus kesepuluh.

Namun masih tampak seimbang. Kalau saja Pendekar Gila menghadapi dengan sungguh-sungguh, sudah sejak tadi lawan akan dapat ditaklukkan. Namun Pendekar Gila merasakan, bahwa lelaki bertopeng itu tidak mau saling menciderai, atau bentrok. Itu terlihat dari cara lawannya melancarkan serangan.

Dan akhirnya kecemasan dan dugaan Pendekar Gila terbukti, ketika lawan semakin terdesak. Pendekar Gila yang sudah tak sabar mengeluarkan Suling Naga Sakti. Sementara Mei Lie mulai mempermainkan pedang saktinya. Ketiga orang bertopeng itu kabur, tak melanjutkan pertarungan dengan Pendekar Gila dan Mei Lie. "Hah...?" Pendekar Gila mengerutkan kening, demikian juga Mei Lie ketika melihat ketiga lelaki bertopeng hitam itu lari, lalu menghilang dengan cepat "Aneh Lucu... Hi hi hi..." gumam Pendekar Gi-la sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.

"Siapa sebenarnya mereka itu, Kakang?" tanya Mei Lie pada Sena.

Pendekar Gila hanya menggelengkan kepala.

Mulutnya cengengesan sambil terus tertawa-tawa geli sendiri. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala.

Pangeran Prapanca dan Pranala mendekati Pendekar Gila dan Mei Lie. Mereka pun belum mengerti siapa ketiga orang bertopeng hitam itu.

"Apa kau tahu, Sena, siapa mereka sebenarnya? Lawan ataukah kawan...?" tanya Pangeran Prapanca setelah berada di dekat Pendekar Gila dan Mei Lie.

"Ah ah ah Aku belum tahu, Pangeran. Tapi bagiku, tindakan mereka memang terasa aneh," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.

"Sepertinya mereka bermaksud baik, Pangeran...," sambung Mei Lie kemudian.

Pangeran Prapanca manggut-manggut, sambil memegangi dagunya. Keningnya berkerut tajam, seperti tengah berpikir keras. Siapa ketiga orang bertopeng hitam itu.

"Kita harus tetap waspada, Pangeran. Kita semua tahu bahwa tempat ini termasuk wilayah Kerajaan Surya Langit. Mungkin ketiga orang tadi suruhan perdana menteri penjilat itu..." ujar Pranala dengan nada dingin.

"Mungkin juga," sahut Pangeran Prapanca pelan, lalu menarik napas panjang. "Bagaimana dengan pendapatmu, Sena?" Sena tak langsung menjawab. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Matanya melirik ke wajah Mei Lie.

"Aha Perasaanku mengatakan kalau mereka tak bermaksud menculik atau melukai Pangeran. Tapi betul juga kita harus tetap waspada." Pangeran Prapanca manggut-manggut tanda mengerti. Kembali napasnya ditarik panjang-panjang.

"Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan Aku yakin Baginda Raja Awangga telah menunggu kita." Mereka lalu segera bergerak bersama, melanjutkan langkah kaki menuju Kerajaan Surya Langit.

***
 Sesampainya di Kerajaan Surya Langit Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya disambut dengan ramah oleh Baginda Raja Awangga. Namun Pendekar Gila dan Mei Lie merasakan suasana yang tidak wajar.

Begitu pula dengan Pranala yang lak tersenyum sedikit pun. "Silakan, silakan... Duduklah di tempat yang telah kami sediakan, mari..." Baginda Raja Awangga dengan ramah mempersilakan mereka. Para undangan lain nampak seperti biasa. Memberikan salam pada Pangeran Prapanca penuh hormat. Sedangkan Pendekar Gila terus cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Dia tak peduli sedang berhadapan dengan siapa. Kebiasaan tingkah lakunya yang konyol bagaikan tak bisa dicegah.

Perdana Menteri Giri Gantra yang licik dan penjilat itu pun bersikap ramah sekali. Namun Pranala tak menggubris, bahkan matanya membelalak tajam, ketika Perdana Menteri Giri Gantra menyilakan duduk Baginda Raja Awangga bicara panjang lebar dengan Pangeran Prapanca. Dia meminta maaf atas tindakan Perdana Menteri Giri Gantra. Kemudian mengharap Pangeran Prapanca dapat melupakan semua peristiwa yang sudah berlalu. Apapun keinginan sang Putra Mahkota itu akan dipenuhi, asal bersedia menerima syarat Baginda Raja Awangga.

"Apa syarat yang ingin Baginda katakan pada kami?" tanya Pangeran Prapanca dengan kening berkerut.

"Hm..., tak sulit," jawab Baginda Raja Awangga.

Lalu dia berbisik pada Perdana Menteri Giri Gantra.

"Begini. Kalau kalian sanggup mengalahkan jago-jago silat yang telah bergabung denganku, kalian boleh ambil alih takhta kerajaan ini... Bagaimana, setuju?" Perdana Menteri Giri Gantra dan lainnya tertawa-tawa mengejek. Pranala sudah nampak tak sabar.

Dengan geram pedangnya dicabut. Namun Pangeran Prapanca cepat menahannya.

"Sabar, Pranala Kita harus hadapi dengan hari sabar dan kepala dingin...." Sementara itu Pendekar Gila dan Mei Lie yang mendengar ucapan Baginda Raja Awangga agak kaget.

Namun keduanya tampak tenang. Pendekar Gila tampak hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.

Tingkahnya yang seperti orang gila, membuat para undangan merasa heran.

"Bagaimana menurutmu, Sena?" tanya Pangeran Prapanca seraya menoleh ke wajah Pendekar Gila.

"Hi hi hi... Lucu, lucu sekali Tapi kita harus hadapi dan terima keinginan mereka. Kita bukan orang-orang pengecut, Pangeran...," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan terus cengengesan.

"Bagaimana...?" kembali Baginda Raja Awangga bertanya.

"Kami dengan senang hati menerima syarat itu..." jawab Pangeran Prapanca dengan tekad yang mantap.

"Ha ha ha... Bagus, bagus Itu memang jawaban yang kutunggu-tunggu. Perdana Menteri Giri Gantra..." seru Baginda Raja Awangga.

"Ya, Baginda,..," jawab Perdana Menteri Giri Gantra sambil menjura.

"Segera siapkan dan laksanakan pertarungan..." "Baik, Baginda" Perdana Menteri Giri Gantra lalu berdiri. Dengan pongahnya, dia memerintahkan para tokoh persilatan aliran hitam yang sudah diatur olehnya.

"Hai... Kalian para tokoh yang kuundang Majulah ke depan, dan laksanakan perintahku Sesuai dengan rencana kita... Ha ha ha..." Maka satu persatu para tokoh yang telah ditunjuk, muncul. Mereka bergerak maju ke arena yang sudah disediakan. Mereka tak lain, si Mata Tunggal, Sepasang Toya Setan, Kala Prana, Jembel Pilarang, Jenggot Naga, Kati Asem dan Hiwa Krana.

Pendekar Gila yang melihat kedelapan tokoh persilatan aliran hitam itu, hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.

"Rupanya mereka sudah merencanakan, Kakang. Kita harus waspada," kata Mei Lie pada kekasihnya. "Akan kuhabisi orang-orang penjilat itu" "Aha, Pangeran. Rupanya mereka sudah merencanakan semua ini. Lucu Dan aku sudah duga, kalau mereka minta bantuan kunyuk-kunyuk itu...," ujar Pendekar Gila sambil menunjuk kedelapan tokoh aliran hitam yang berada di tempat itu. "Pranala, Mei Lie Ayo kita sambut kunyuk-kunyuk ini Hi hi hi..." Pendekar Gila melompat ke depan, disusul Mei Lie dan Pranala. Sedangkan Pangeran Prapanca masih sempat berdiam diri seperti tengah berpikir. Pendekar Gila berdekatan dengan Mei Lie, sedangkan Pranala berdekatan dengan Pangeran Prapanca.

"Hi hi hi... Kita bagi dua..." seru Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.

"Mei Lie, kau bergabung dengan pangeran, biar Pranala bersamaku" Dengan cepat Mei Lie bergeser ke dekat Pangeran Prapanca. Setelah dekat, diberikannya isyarat agar Pranala bergabung bersama Pendekar Gila. Kini sudah terbagi dua kelompok. Pendekar Gila bersama Pranala, untuk menghadapi empat lawan tangguh. Mereka terdiri dari si Mata Tunggal, Jenggot Naga, Jembel Pilarang, dan Kala Prana. Sedangkan Mei Lie dan Pangeran Prapanca menghadapi Sepasang Toya Setan, Kati Asem, Hiwa Krana.

"Hm..." gumam Pangeran Prapanca sambil mengerutkan kening dan menoleh ke arah Mei Lie yang berada di samping kirinya. "Lawan kita bukan orang sembarangan, Mei Lie. Kita harus hati-hati" "Tenang, Pangeran Aku sudah tak tahan ingin menghajar orang-orang penjilat ini" sahut Mei Lie dengan suara geram. Tangannya telah memegang Pedang Bidadari dan diarahkan lurus ke depan.

"Heaaa..." "Hiaaat..." Pertarungan terjadi. Dengan pedangnya, Mei Lie bergerak cepat memapaki serangan Sepasang Toya Setan.

Trak Trak...

"Heaaa..." Wut Wut..

Percikan api mencelat ketika Pedang Bidadari Mei Lie membentur Toya Setan. Tidak sampai di situ, Mei Lie terus merangsek lawannya. Dia tahu kalau kedua lawan terkejut, ketika Pedang Bidadari menebas dengan cepat bagai baling-baling, dalam jurus 'Tebasan Pedang Bidadari'.

"Hah,..?" sentak Sepasang Toya Setan. Keduanya tampak mengerutkan kening. Lalu segera melancarkan serangan berikutnya. Namun Mei Lie tiba-tiba melesat dan bersalto di udara, laksana seekor burung seriti yang lincah. Tangan kirinya bergerak melakukan pukulan dan tangkisan. Sedangkan tangan kanan menebaskan pedang sangat cepat, sampai bentuk senjata itu tak terlihat.

"Heaaat..." Wut Wut..

Pedang di tangan Mei Lie menebas tubuh kedua lawan yang ada di samping kiri dan kanannya. Untung Sepasang Toya Setan merupakan tokoh berilmu silat yang cukup tangguh. Kalau tidak pasti telah mati, dengan tubuh terbelah dua. Namun keduanya tak luput dari cidera. Lengan kiri dan kanan kedua tokoh bersenjata toya itu tergores pedang Mei Lie. Dari mulut mereka terdengar rintihan kesakitan ketika saling melompat menghindari Mei Lie.

Sementara itu Pangeran Prapanca dengan sigap menghadapi Kati Asem dan Hiwa Krana.

Pangeran Prapanca ternyata bukan orang sembarangan. Dengan gesit dan cepat Pangeran Prapanca memapaki serangan lawannya. Baik Kati Asem maupun Hiwa Krana masih ingin mengandalkan kekuatan tenaga dalam. Terbukti kedua tokoh hitam itu tak mengeluarkan senjata apapun.

Pangeran Prapanca yang nampak sudah sangat marah, dengan jurus-jurus mautnya menyerang kedua lawan. Wut Wut..

Degk Degk "Ukh..." Serangkum angin melesat dari tangan Pangeran Prapanca. Hal itu cukup membuat Kati Asem dan Hiwa Krana tersentak kaget. Keduanya melompat cepat saling menghindar untuk menyelamatkan diri.

"Hm.., ternyata pangeran ini memiliki ilmu yang lumayan. Hati-hati, Kawan" ujar Kati Asem pada Hiwa Krana.

"Hm..." Hiwa Krana hanya mendengus pelan.

Kati Asem serta Hiwa Krana kembali menyerbu Pangeran Prapanca. Menghadapi satu saja keduanya sudah merasa keteter. Apalagi kalau menghadapi dua lawan sekaligus. Terpaksa mereka harus bertindak cepat dan hati-hati. Sekali salah gerakan atau langkah, tak ampun lagi. Serangan putra mahkota itu ternyata sangat berbahaya Sambil berkelebat mengelak, Pangeran Prapanca berteriak agar Kati Asem dan Hiwa Krana menghentikan perlawanan. Namun dua orang tokoh aliran hitam itu tak mau berhenti begitu saja. Apalagi Baginda Raja Awangga menjanjikan kedudukan terhormat di Kerajaan Surya Langit. Tanpa ragu-ragu mereka bertekad mempertaruhkan nyawa.

Keduanya makin memperhebat serangan masing-masing. Namun, tampaknya baik Kati Asem maupun Hiwa Krana semakin terdorong oleh perasaan marah dan nafsu membunuh. Sehingga kurang menyadari kalau hal itu justru mengurangi kewaspadaan.

Dua kali pukulan keras Pangeran Prapanca bersarang di tubuh Kati Asem dan Hiwa Krana. Disusul satu jotosan Pangeran Prapanca menghantam rusuk Kati Asem. Dan satu tendangan keras juga menghantam rusuk Hiwa Krana.

"Hiaaa..." Blak Plak "Aaakh..." Kati Asem dan Hiwa Krana tampak terhuyunghuyung. Mulut keduanya meringis kesakitan. Salah satu pukulan Pangeran Prapanca telah membuat tubuh mereka terluka dalam.

Di lain tempat, Pendekar Gila bersama Pranala tampak tak mendapatkan kesulitan untuk menghadapi keempat lawannya. Pendekar Gila bagai menari dan seakan tak bersungguh-sungguh menghadapi lawanlawannya. Si Mata Tunggal dan Jenggot Naga tambah geram dan marah. Padahal sebenarnya sebelum bertanding mereka mempunyai perasaan ragu dan segan menghadapi Pendekar Gila. Karena sudah lama mereka tahu kalau pendekar muda itu sangat disegani baik oleh tokoh hitam maupun putih.

"Aha, kalian rupanya hanya besar mulut dan bertampang seram Tapi, tak punya nyali Ayo maju..." ejek Pendekar Gila sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Meskipun dalam keadaan bertarung, pemuda berpakaian rompi kulit ular itu masih saja sempat bertingkah laku konyol, seperti orang gila.

"Hhh..." Jenggot Naga memutar tangan kiri ke belakang, lalu menyentakkan ke depan. Sedang tangan kanannya ditarik ke belakang, kemudian diputar dengan jari-jari terbuka. Setelah itu dihentakkan lurus ke depan.

Gerakan itu merupakan pembuka dari jurus 'Sampar Naga'. Menyaksikan lawan telah membuka jurus andalan, Pendekar Gila justru tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.

"Bersiaplah, Pendekar Gila" dengus Jenggot Naga yang semakin sewot menyaksikan tingkah konyol Sena. Hatinya kian marah dan geram menghadapi lawan yang ternyata mempunyai gerakan lamban dan lemah, bagaikan tak bertenaga.

"Sejak tadi aku sudah siap..." jawab Sena tenang. Si Mata Tunggal pun tak tinggal diam, segera membuka jurus mautnya yang dinamakan 'Mata Malaikat Pencabut Nyawa'. Dari mata dan telapak tangannya mulai mengeluarkan asap merah. Sementara itu, Pendekar Gila yang menyaksikan ilmu si Mata Tunggal hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala. "Hi hi hi... Ternyata ilmu kalian cukup aneh dan hebat Hi hi hi..." ujar Pendekar Gila dengan nada mengejek. "Ayo..., akan kulayani kalian dengan senang hati" Semua tokoh hitam yang berada di dalam ruang pertempuran itu terbelalak. Mereka merasa kagum dan keheranan menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila yang konyol. Pemuda tampan berambut gondrong dan berpakaian rompi kulit ular itu seakan tak merasa takut sama sekali. Padahal lawan-lawannya kali ini sudah sangat dikenal sebagai tokoh berilmu tinggi. Namun bagi yang tahu, tingkah laku konyol itu merupakan pembuka jurus ‘Si Gila Menari Menepuk Lalat’. Jurus aneh yang sering membuat lawan terkesima, heran, bahkan terkejut.

Orang-orang yang menyaksikan ulah Sena merasa yakin dan berpikiran kalau Pendekar Gila akan dapat ditaklukkan kedua lawannya.

Tubuh Pendekar Gila tampak mulai menyurut dua langkah ke belakang. Sambil tertawa-tawa, tubuhnya meliuk-liuk seperti menari. Kedua tangannya bergerak lemah gemulai.

"Heaaa..." Jenggot Naga memekik keras untuk membuka serangan, mendahului si Mata Tunggal yang masih berjaga-jaga. Tubuhnya melesat ke depan, memburu tubuh Pendekar Gila. Tangan kanannya membentuk siku dengan kepalan ke atas. Sedangkan tangan kiri diputar, lalu dihentakkan menghantam dada lawan.

Melihat lawan melakukan serangan, dengan cepat Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangan kanannya diangkat lurus ke atas dengan telapak saling berhadapan. Kaki kanan diangkat membentuk siku, la-lu direntangkan ke kanan. Hal itu diikuti dengan gerakan membuka kedua telapak tangannya. Selanjutnya terlihat gerakan menari. Tangan kanan masih di atas, sedangkan tangan kiri lurus ke bawah. "Yeaaat..." Dengan menggunakan jurus pembuka 'Kera Gila Melempar Batu'. Gerakannya seperti seekor kera yang tengah melemparkan batu ke tubuh lawan. Dari gerakan itu, keluar serangkum angin yang mampu menahan gerak lawan.

"Yeaaat..." "Heaaa..." Jenggot Naga dan si Mata Tunggal kini samasama melesat untuk melakukan serangan. Tangan dan kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan tubuh. Secara bergantian dan cepat tangan mereka melakukan serangan dan pertahanan. Sedangkan kedua kaki mereka saling menyapu ke kaki lawan.

"Heaaat... Mampus kau, Pendekar Gila Yeaaa..." Sambil membentak keras, Jenggot Naga melesat cepat melancarkan serangan. Tangan kanannya memukul ke dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya membentuk pertahanan.

"Uts... Hih" Dengan cepat Pendekar Gila menarik kaki kanan lalu melangkah ke depan disusul dengan pukulan telapak tangan.

"Hah...? Edan" maki Jenggot Naga kaget. Segera serangannya ditarik dengan cepat, sementara tangan kirinya memapak serangan lawan. Setelah itu, kakinya digerakkan menendang.

Pendekar Gila meliukkan tubuhnya ke bawah.

Secepat kilat tangannya menyambar kaki lawan. Hal itu memaksa Jenggot Naga menarik serangan dengan cepat. Matanya semakin membelalak menyaksikan jurus Pendekar Gila yang semakin sempurna. Jurus itu membuat nyalinya makin kecil.

Melihat Jenggot Naga mulai kecut, si Mata Tunggal merangsek ke depan menyerang Pendekar Gila dengan geram. Pendekar Gila dengan tenang melompat, mengelak dari serangan lawan. Rupanya si Mata Tunggal melancarkan serangan dahsyatnya. Dari matanya keluar sinar merah, bagai api, meluncur cepat ke tubuh lawan. Namun Pendekar Gila dengan cepat mengelak. Sehingga tanpa diduga, serangan sinar merah yang mengandung hawa panas itu melesat dan menerjang orang-orang yang duduk di pinggir arena pertempuran.

"Heaaa..." Slats Brets "Aaakh..." Para tokoh aliran hitam yang menyaksikan di pinggir arena pertarungan semua terkejut. Hampir tak percaya mereka menyaksikan kekuatan hawa panas yang keluar dari mata si Mata Tunggal yang mampu menewaskan beberapa orang dalam seketika. Bahkan tubuh mereka hangus bagai terbakar "Hi hi hi... Boleh juga kunyuk ini" ular Pendekar Gila dengan nada mengejek sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.

Melihat serangannya gagal, si Mata Tunggal makin kesal dan penasaran. Kini dengan membabi buta lelaki bertubuh besar dan bermata satu itu merangsek Pendekar Gila.

"Heaaa..." "Hi hi hi..." Pendekar Gila cekikikan melihat kemarahan lawannya. Dengan meliuk-liuk bagai menari, pemuda berwajah tampan dan berompi kulit ular ini mengelak dari serangan ganas lawan. Kemudian dengan gerakan yang tampak lemah dan lamban, tiba-tiba tendangan keras Pendekar Gila mendarat di perut si Mata Tunggal.

"Hih" Bugk "Aaakh..." Si Mata Tunggal memekik keras. tubuhnya terjungkal keras ke tanah. Pendekar Gila dengan tingkahnya yang konyol tertawa-tawa dan berjingkrakan bagai kera. Tangannya menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat.

Para tokoh persilatan yang berada di ruang pertemuan besar itu terkagum-kagum. Dengan penuh keheranan mereka memperhatikan, seakan tak ingin melewatkan sedikit pun pertarungan itu. Mulut mereka ternganga dan sesekali berdecak kagum.

"Ck ck ck.." "Benar-benar gila dan hebat pemuda itu" Perdana Menteri Giri Gantra berbisik-bisik pada Baginda Raja Awangga yang nampak cemas dan tegang. Karena jago-jagonya ternyata hampir semuanya terpecundangi. Padahal kedelapan tokoh itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.

"Sebaiknya kita lekas perintahkan prajurit dan jago lainnya untuk menangkap mereka, Baginda. Kalau tidak, gawat" bisik Perdana Menteri Giri Gantra pada Baginda Raja Awangga.

Baginda menganggukkan kepala tanda setuju, sambil menyeka keringat di keningnya. Menahan cemas dan ketegangan dirinya. Sebab kalau Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya ternyata menang, tahta Kerajaan Surya Langit akan jatuh pada putra mahkota itu.

Pranala pun dengan tangan kosong terus menghadapi lawannya. Kaki tangannya memukul dan menendang lawan yang sudah terdesak. Jembel Pilarang nampak terhuyung-huyung lalu jatuh tertelungkup kena tendangan Pranala yang sangat keras. Sedangkan Kala Prana yang sudah lebih dulu kena pukulan 'Braja Sakti' milik Pranala muntah darah sambil memegangi dadanya yang terasa sesak.

Melihat tokoh-tokoh undangan itu mulai berjatuhan, Perdana Menteri Giri Gantra segera memerintahkan para prajurit dan orang-orang andalannya untuk menangkap Pangeran Prapanca dan kawankawannya. Termasuk Pendekar Gila dan Mei Lie.

"Hah...? Apa-apaan ini" Gumam Mei Lie gusar.

Sambil melompat mendekati Pendekar Gila yang tengah menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Sepertinya tak peduli dengan keadaan saat itu.

"Kakang Sena, bertindaklah Kalau tidak..." Belum sempat Mei Lie meneruskan katakatanya, tiba-tiba sebatang tombak meluncur ke tubuhnya. Dengan cepat Mei Lie menyabetkan pedangnya. Wret Trak Tombak itu terhantam Pedang Bidadari dan berbalik meluncur ke pemiliknya.

"Aaakh..." Tombak menancap ke tubuh pemiliknya yang saat itu langsung tewas Pertempuran masal terjadi. Pendekar Gila, Mei Lie, Pangeran Prapanca dan Pranala menghadapi puluhan prajurit kerajaan dan para tokoh silat yang sangat tangguh. Pendekar Gila dan Mei Lie terpusat pikirannya untuk menyelamatkan Pangeran Prapanca, hanya berusaha mengusir dan menghalangi orangorang yang ingin menangkap putra mahkota itu. Hingga keduanya tak sempat melancarkan serangan balik yang mematikan. Pendekar Gila khawatir Pangeran Prapanca akan cedera.

Keadaan ini menyebabkan para prajurit kerajaan berhasil mendesak Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya. Pendekar Gila yang masih nampak cengengesan dan hanya sesekali berupaya melancarkan serangan mautnya, untuk menghalau para prajurit dan tokoh persilatan. Lalu kembali membentengi Pangeran Prapanca.

Tiba-tiba melesat sesosok tubuh berambut panjang tak beraturan. Sosok ini merupakan tokoh hitam yang sangat menyeramkan. Matanya mencorong bagaikan mata setan. Namun wajahnya mirip orang hutan. Kuku-kukunya tajam dan runcing. Dialah Setan dari Rimba Merawan Pendekar Gila tersentak dan cepat melenting ke udara, ketika dirasakan ada serangan dari belakang.

"Heaaa..." Wuuut Wuuut "Hi hi hi... Aha, rupanya ada tamu tak diundang membokongku. Hi hi hi..., lucu sekali" ejek Pendekar Gila pada Setan dari Rimba Merawan. Makhluk berwajah seperti gorila itu marah.

"Grrr..." "Kau kunyuk raksasa Beraninya menyerang dari belakang. Ayo maju Aku ingin main-main denganmu. Hi hi hi..." Pendekar Gila kembali mengejek sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.

"Grrr... Grrr..." Setan dari Rimba Merawan menggeram lalu menerjang Pendekar Gila. Dengan kuku-kukunya yang runcing dan beracun, makhluk aneh itu menyerang.

Wrets Wrets "Grrr... Grrr..." "Hi hi hi.... Hebat juga ilmu kunyuk raksasa ini," gumam Pendekar Gila sambil mengelak, dengan bersalto ke belakang. Kemudian secara tiba-tiba Pendekar Gila melancarkan serangan balik dengan jurus 'Kera Gila Melempar Batu'. Seketika melesat serangkum angin yang mampu menahan gerak lawan.

Tubuh Setan dari Rimba Merawan bagai terdorong angin dahsyat. Lalu dengan gerakan cepat Pendekar Gila menyambar makhluk berwajah gorila itu.

"Heaa..." Wret "Aaakh... Grrr... Uaaak.." Bluk...

Setan dari Rimba Merawan mengerang kesakitan, ketika cengkeraman tangan Pendekar Gila mendarat di kepalanya. Sementara sapuan kaki Pendekar Gila mampu menjatuhkan tubuhnya yang besar itu.

Namun Setan dari Rimba Merawan masih mampu melakukan perlawanan. Kedua tangannya yang besar dan kokoh serta berkuku tajam, menyambar bagian bawah tubuh Pendekar Gila.

"Grrr... Heaaa..." Wret "Aits... Heaaa" Pendekar Gila melenting ke atas. Lalu bagai elang menyambar mangsa tubuhnya meliuk. Ketika mendarat dan masih dalam keadaan meliuk tangannya menyambar cepat kaki lawan. Hal itu memaksa Setan dari Rimba Merawan menarik serangan dengan cepat.

Matanya semakin membelalak menyaksikan jurus Pendekar Gila yang semakin membahayakan.

"Edan Pemuda gila ini benar-benar berilmu tinggi," gumam Setan dari Rimba Merawan dalam hati.

Pendekar Gila terus menyerang. Gerakannya yang seperti kera, terlihat lucu dan lamban. Namun ternyata serangannya sangat cepat. Tangannya menepuk ke tubuh lawan secara gencar dan susulmenyusul.

"Grrr... Benar-benar jurus berbahaya" gerutu Setan dari Rimba Merawan tersentak kaget, mendapatkan serangan yang aneh. Dilihatnya gerakan tangan dan kaki Pendekar Gila itu lambat. Namun kalau dirinya tak cepat berkelit, cakaran dan tepukan tangan Pendekar Gila tentu menghajar tubuhnya.

"Heaaa..." Wrrrs...

"Hah" Setan dari Rimba Merawan lebih terkejut lagi ketika merasakan gerakan lambat itu mampu mengeluarkan angin pukulan yang menderu keras. Bagaikan topan besar angin itu menerpa tubuhnya yang besar.

Setan dari Rimba Merawan cepat-cepat memutar tubuhnya. Kemudian dengan gerakan cepat pula, makhluk bermuka seperti gorila itu melontarkan pukulan ke dada Pendekar Gila.

"Yeaaa..." Wut Setan dari Rimba Merawan rupanya kini tahu gelagat. Dirinya yang semula memandang rendah Pendekar Gila, kini tak berani lagi meremehkannya. Serangannya yang menggunakan jurus-jurus ular pun dipergencar susul-menyusul. Kedua tangannya mematuk dan menampar ke dada dan muka lawan.

Pendekar Gila dengan cepat melompat lalu meliuk ke bawah, ketika tangan lawan mematuk ke wajahnya. Dimiringkan tubuhnya ke belakang, ketika tangan lawan menampar keras ke dadanya. Kakinya bergerak lincah, menjejak berganti-ganti. Sedangkan tangannya berusaha memapak dan menyambar kaki lawan yang turut menyerang.

Ruangan tempat pertemuan di istana itu telah berantakan. Meja kursi banyak yang hancur. Di sana sini terjadi pertarungan seru. Baginda Raja Awangga segera mencari perlindungan. Dua pengawal membentengi. Ditambah lima orang pengawal lainnya, berada di depan.

Sementara itu Mei Lie pun tak tinggal diam.

Dengan gesit dan cepat gadis cantik itu menggerakkan Pedang Bidadari menghalau lawan-lawannya. Dalam beberapa gebrakan Mei Lie mampu membuat kocarkacir prajurit kerajaan yang menyerangnya.

"Hiaaa..." Wut Wut Kibasan pedang Mei Lie mengeluarkan angin kencang dan hawa panas. Hal itu membuat lawanlawannya ketakutan dan menyingkir. Namun gadis bergaun hijau itu tetap saja memburu dengan kibasan pedangnya.

Kembali pada pertarungan Pendekar Gila melawan Setan dari Rimba Merawan, yang semakin seru.

Sejauh itu keduanya masih memperlihatkan ketangguhan. Pendekar Gila kali ini bergerak menyerang dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Kedua tangannya menyapu ke atas, kemudian menyentak bareng ke depan dengan telapak tangan terbuka. Kaki-kakinya menyapu dan menendang bertubi-tubi ke arah lawan.

"Yeaaa..." "Uts... Heaaat... Grrr..." Setan dari Rimba Merawan segera melejit ke samping. Kemudian dengan gerakan membentuk setengah putaran, tangannya mematuk ke wajah Pendekar Gila. Lalu, setelah melihat Pendekar Gila mengges-er kaki ke samping, Setan dari Rimba Merawan melontarkan tamparan tangan kiri ke dada Pendekar Gila.

Wuttt Tangan kiri Setan dari Rimba Merawan menderu cepat, mengarah ke dada lawan. Sedangkan Pendekar Gila yang tidak menyangka lawan akan kembali menyerang dengan cepat, tersentak kaget. Matanya membelalak ketika menyadari dirinya mati langkah.

Sehingga dengan cepat Pendekar Gila menyapukan tangan kanan untuk memapak tamparan lawan. Gerakan tangannya seperti membelah dengan cepat "Heaaa..." Setan dari Rimba Merawan menarik tamparan tangan kirinya. Lalu mengganti serangan dengan tendangan kaki kanan ke selangkangan lawan. Sedangkan tangan kanannya, kini kembali mematuk ke wajah Pendekar Gila.

Mendapat serangan cepat, Pendekar Gila segera melompat dengan berjumpalitan ke belakang. Sementara tubuhnya di udara, kakinya menjejak cepat ke tanah. Kemudian dengan tubuh membalik, Pendekar Gila menyatukan pukulan tangannya, lalu menyerang ke tubuh lawan.

"Yeaaat.." Dengan tubuh meluncur cepat, Pendekar Gila kini balik menyerang. Tangannya mencakar Setan dari Rimba Merawan, yang menangkis dengan cepat setiap pukulan yang dilancarkan Pendekar Gila.

"Heaaa..." Tangan mereka kini bergantian memukul dan menangkis serangan lawan. Pendekar Gila terus melakukan serangan dengan tubuh melayang di udara. Sedangkan tubuh Setan dari Rimba Merawan terus mundur sambil menangkis serangan lawan dan sesekali balas menyerang.

Orang-orang yang tak ikut bertarung, membelalakkan mata. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Termasuk Baginda Raja Awangga, yang mengintip dari balik tubuh pengawalnya.

Dengan tubuh melayang laksana terbang, Pendekar Gila terus meluncur sambil melancarkan pukulan dan terkadang menangkis serangan lawan.

"Heaaa..." Mata Setan dari Rimba Merawan terbelalak lebar, dirinya tak sempat mengelak serangan lawan.

Hingga akhirnya hanya bisa menangkis.

Plak "Aaakh..." Tubuh Setan dari Rimba Merawan terpekik keras. Tubuhnya yang besar terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi kepala.

Tapi, baru saja Pendekar Gila hendak melakukan serangan susulan, segera diurungkannya. Hal itu karena tiba-tiba Pangeran Prapanca terkurung oleh prajurit dan tokoh aliran hitam.

Pendekar Gila yang melihat itu, segera melesat dengan bersalto ke udara untuk membantu Pangeran Prapanca.

"Heaaa..." Dalam sekejap saja Pendekar Gila telah berada di antara kepungan para prajurit kerajaan, membantu Pangeran Prapanca. Secepat itu pula tangan dan kakinya langsung bergerak memapak dan menyerang prajurit yang berusaha menyerbu Pangeran Prapanca.

Melihat keadaan Pangeran Prapanca, Mei Lie pun segera melompat meninggalkan lawan-lawannya.

Dengan cepat dibabatkan pedangnya menghalau para puluhan prajurit kerajaan yang mengepung Pangeran Prapanca.

"Heaaat..." Wret Wret Cras Cras Cras "Aaakh... Aaa..." Maka bergelimpanganlah lima orang sekaligus, tertebas pedang Mei Lie. Nampak kelima orang itu seakan tak mengalami luka. Namun sesaat kemudian tubuh kelima prajurit itu roboh. Terbelah dua.

Tiba-tiba melompat dua orang tokoh aliran hitam, Pakasti dan Sangkulawa bersiap menyerang Mei Lie. Namun Mei Lie telah siap memapaki serangan kedua lawannya. Ia melenting ke udara, lalu menukik, sambil menebaskan pedangnya ke tubuh lawan.

Cras Cras "Aaakh..." "Uaaa..." Seketika tubuh kedua tokoh hitam itu roboh dan terbelah dua.

Namun keadaan kini berubah. Pendekar Gila memberikan isyarat, agar lebih mementingkan keselamatan Pangeran Prapanca.

Sementara itu, Perdana Menteri Giri Gantra memerintahkan anak buahnya untuk menutup semua pintu istana.

"Tutup semua gerbang... Kepung mereka Tangkaaap..." seru Perdana Menteri Giri Gantra, sambil berlari menyelamatkan diri.

Pangeran Prapanca dan kawan-kawan kini benar-benar terdesak dan terkepung. Puluhan prajurit kerajaan dibantu tokoh-tokoh hitam rimba persilatan terus merangsek. Hal itu tampaknya mampu memaksa Pendekar Gila kewalahan.

Pendekar Gila segera mencari akal untuk berbuat sesuatu. Namun ketika hendak mencabut Suling Naga Sakti-nya, tiba-tiba muncul tiga lelaki bertopeng, yang langsung masuk ke arena pertempuran. Ketiganya membantu Pendekar Gila untuk menyelamatkan Pangeran Prapanca. Sesaat kemudian menyusul pula sesosok lelaki bertubuh raksasa ke tempat pertarungan di dalam istana itu. Sosok bertubuh raksasa itu tak lain Buto Gege yang rupanya telah bergabung dengan ketiga lelaki bertopeng hitam itu.

Pertempuran semakin seru. Satu di antara ketiga lelaki berkedok itu dengan cepat menyambar Pangeran Prapanca yang tampak telah terluka lengan kirinya oleh keris salah seorang tokoh silat. Lelaki berkedok, dengan ikat kepala belang kuning hitam itu membawa lari Pangeran Prapanca yang terluka. Melihat itu Pendekar Gila cepat menyusul, diikuti oleh Mei Lie. Sedangkan Pranala, Buto Gege, dan dua orang berkedok masih menghadapi lawan-lawannya. Berusaha menahan prajurit dan orang-orang aliran hitam yang terus dengan beringas menyerang mereka.

Tiba-tiba Buto Gege melemparkan suatu benda ke tanah yang menimbulkan asap ungu mengandung racun. Asap itu mengepul di seluruh tempat pertarungan. Kesempatan itu digunakan Pranala dan kedua lelaki berkedok untuk kabur. Sementara Buto Gege menyusul belakangan setelah sempat melukai Giri Gantra. Hingga perdana menteri licik dan penjilat itu tak kuat lagi berdiri. Karena Buto Gege mengangkat lalu membantingnya keras ke tanah. Mungkin kakinya patah.

"Kejar mereka... Cepat.. Kejaaar..." teriak Perdana Menteri Giri Gantra sambil memegangi kaki kirinya yang dirasakan seperti patah.

Sedangkan Baginda Raja Awangga kalangkabut, kebingungan dan lari ke dalam. Penguasa Kerajaan Surya Langit itu berusaha menyelamatkan diri, karena suasana semakin kacau-balau. Belasan prajurit tewas seketika terserang racun yang dilemparkan Buto Gege. Beberapa tokoh hitam pun tak ampun lagi, seperti Hiwa Krana dan Kati Asem tak luput dari maut Sedangkan yang lain luka-luka diamuk kemarahan manusia raksasa itu.

***
 5
Mentari telah turun di ufuk barat Sinarnya tampak kemerahan. Lelaki berkedok hitam melesat bagai terbang membawa tubuh Pangeran Prapanca. Sedangkan di belakang nampak pemuda berambut gondrong dan berpakaian rompi dari kulit ular mengikuti dengan cepat. Pemuda itu tak lain Pendekar Gila. Dengan ilmu 'Sapta Bayu' Pendekar Gila terus mengejar.

"Tunggu... Kisanak" seru Pendekar Gila setelah dapat menghadang orang berkedok yang membawa Pangeran Prapanca yang telah ditotoknya.

Mei Lie pun yang tadi mengikuti dan jarak belasan tombak, kini telah sampai. Bahkan telah berada di samping Pendekar Gila. Keduanya kini berhadapan dengan lelaki bertopeng yang memanggul tubuh Pangeran Prapanca.

"Kisanak, siapa kau sebenarnya?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Matanya menatap lelaki berkedok hitam itu.

"Kenapa kau membantu kami...?" tanya Mei Lie kemudian, karena lelaki berkedok itu tak juga menjawab. "Jawabannya ada di goa sana. Sebaiknya kalian memberi aku jalan. Waktu kita sangat sempit," jawab lelaki berkedok hitam. Setelah itu tubuhnya melesat cepat. Tanpa banyak pikir Pendekar Gila dan Mei Lie langsung mengikutinya. Hati keduanya masih diliputi pertanyaan.

"Siapa lelaki itu sebenarnya...?" gumam Pendekar Gua sambil berlari mengejar lelaki berkedok yang membawa Pangeran Prapanca.

Sementara itu dalam jarak beberapa puluh tombak telah tampak Buto Gege. Pranala, dan dua lelaki berkedok tengah melesat menuju arah yang sama.

Mereka pun terus mengejar lelaki berkedok yang membawa Pangeran Prapanca.

Sesampainya di depan sebuah goa yang nampak sunyi, Pendekar Gila dan Mei Lie berhenti. Keduanya mengawasi sekeliling goa yang tampak sepi dan teduh. Karena di sekitarnya tumbuh pepohonan besar dan rindang.

"Hm..." gumam Sena, lalu menoleh kepada Mei Lie kekasihnya.

"Kenapa kita tak langsung masuk saja, Kakang?" tanya Mei Lie sudah tak sabar.

"Aha, kau benar, Mei Lie. Ayo, kita masuki goa itu..." Keduanya segera melangkah memasuki goa itu.

Tak lama kemudian Buto Gege, Pranala, serta dua lelaki bertopeng datang dan masuk pula.

Ruangan di dalam goa itu ternyata sangat bersih dan tampak rapi. Di dalam ruangan yang cukup luas itu ada sebuah batu besar. Duduk di atasnya seorang wanita buta dengan tongkat di tangan kirinya.

Wanita setengah baya itu menyambut Pendekar Gila dan Mei Lie dengan ramah. Sedang di sampingnya telah duduk bersila lelaki berkedok yang membawa Pangeran Prapanca.

Pendekar Gila dan Mei Lie memberi hormat pada wanita buta itu. Lalu mata keduanya sekilas memandangi Pangeran Prapanca yang sudah sadar. Putra mahkota itu duduk di sebelah kiri wanita buta yang ternyata Nyi Kemuning Sari bekas kekasih Singo Edan guru Sena Manggala.

Sena dan Mei Lie merasa heran melihat Pangeran Prapanca begitu tenang, bahkan tampak gembira.

Sedangkan lelaki berkedok itu ternyata Ki Jalna Wangga.

"Kau...?" Pendekar Gila tersentak kaget ketika Ki Jalna Wangga membuka kedoknya. Ki Jalna Wangga yang juga berjuluk si Pukulan Petir menganggukkan kepala pada Pendekar Gila yang tampak belum mengerti. Namun tiba-tiba pendekar muda itu tertawa dan cengengesan sambil menggeleng-geleng kepala.

"Kau tak membuang sedikit pun tingkah laku gurumu, Anak Muda..." terdengar suara parau dari mulut wanita buta itu.

Mendengar ucapan itu, Sena jadi kaget dan mengerutkan kening. Lalu menoleh ke Mei Lie. Mei Lie mengangkat kedua bahunya, karena merasa heran.

Bagaimana bisa tahu kalau Pendekar Gila sedang berlaku begitu. Padahal wanita itu buta.

"Heh...?" Sena tak bisa melanjutkan kata-katanya. Sebab Nyi Kemuning Sari seakan bisa melihat dan mengenal gurunya, Singo Edan.

"Hi hi hi... Lucu... Lucu sekali Siapa Nyisanak sebenarnya?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.

Pada saat itu Buto Gege, Pranala, dan dua lelaki berkedok masuk ke ruangan itu. Kedua lelaki berkedok itu pun segera melepas kedoknya. Mereka ternyata bekas pengawal kerajaan, yang bergabung dengan Ki Jalna Wangga.

Pendekar Gila dan Mei Lie semakin heran dan bingung. Apalagi ketika Buto Gege berkata, "Nyi.., in-ilah murid Kakang Singo Edan Dan itu kekasihnya. " "Aku sudah tahu, Adi Buto Gege. Aku merasa seakan tengah berhadapan dengan Kakang Singo Edan...," sahut wanita seumur Singo Edan itu.

"Hi hi hi... Tadi...," ucapan Sena terputus. Lalu kembali menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.

Mei Lie pun nampak bingung.

"Sena, kemarilah Aku pun ingin melepas rinduku pada Kakang Singo Edan melalui dirimu. Kau tidak keberatan, bukan?" tanya Nyi Kemuning Sari kemudian.

Pendekar Gila lalu segera menjura, kemudian perlahan kakinya melangkah maju mendekati Nyi Kemuning Sari. Setelah Sena berada di depannya, Nyi Kemuning Sari meletakkan telapak tangan ke pipi Pendekar Gila. Dengan lembut diusap-usapnya pipi Sena. "Sena, hatiku merasa lega. Kerinduanku pada Kakang Singo Edan sedikit terobati melalui dirimu." terdengar suara itu sedikit bergetar. Menandakan rasa haru yang dalam.

"Ah... Maafkan aku Nyi Guru... Tingkahku yang kurang sopan tadi...." "Ooo..., Sena. Tak perlu kau ucapkan itu Aku sudah lega, karena akhirnya kau datang ke tempatku.

Semua ini Hyang Widi yang telah mengaturnya...," ujar Nyi Kemuning Sari sambil tersenyum gembira. Di-usapnya wajah Sena tiga kali. Lalu melepaskannya perlahan. Wanita buta itu seakan melihat dengan jelas wajah pemuda murid bekas kekasihnya.

"Aha... Bagaimana Nyi Guru bisa tega meninggalkan Eyang Guru Singo Edan? Hingga dia sendirian," tanya Sena memberanikan diri.

Nyi Kemuning Sari menggelengkan kepala sambil tertawa terkekeh-kekeh. Namun kemudian tiba-tiba wajahnya berubah sedih. Pendekar Gila dan Mei Lie saling pandang merasa terharu. Melihat wajah wanita buta itu, hati keduanya semakin terenyuh.

"Dua puluh tahun yang silam aku dan Kakang Singo Edan menjalin cinta kasih. Seperti kau saat ini bersama gadismu. Tapi rupanya nasib membuat kami berpisah.... Kami sama-sama keras. Sampai akhirnya suatu peristiwa yang tak kami inginkan terjadi...;" "Peristiwa apakah itu Nyi Guru...?" tanya Sena ingin tahu sambil menggaruk-garuk kepala.

Nyi Kemuning Sari tak langsung menjawab.

Wanita tua itu menghela napas panjang. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan.

"Aku terbius omongan lelaki bernama Ki Wangsa Dewa. Dia menghasutku, bahwa Kakang Singo Edan akan memperistri gadis bernama Laraswati. Aku percaya, karena suatu hari aku melihat sendiri Kakang Singo Edan berjalan bersama Laraswati...," sejenak Nyi Kemuning Sari menghentikan ceritanya.

Pendekar Gila dan Mei Lie, serta yang ada di situ diam, mendengarkan dengan seksama. Mei Lie yang sesama wanita mulai merasa iba mendengar cerita Nyi Kemuning Sari. Demikian juga Sena.

"Tapi rupanya itu hanya siasat Wangsa Dewa, yang diam-diam menyukai diriku. Laraswati, ternyata sengaja disuruh oleh Wangsa Dewa untuk merayu Kakang Singo Edan. Sampai akhirnya terjadi pertarungan, antara Kakang Singo dan Wangsa Dewa. Wangsa Dewa dapat ditaklukkan, dan dibunuhnya...," kembali Nyi Kemuning Sari menghentikan tutur katanya. Dihelanya napas panjang. Kemudian menatap wajah Pendekar Gila dan Mei Lie.

Pendekar Gila dan Mei Lie yang merasa ditatap, menundukkan kepala, dengan perasaan tak menentu.

Demikian juga yang lainnya semua menunggu kelanjutan cerita Nyi Kemuning Sari.

"Aku merasa bersalah, telah percaya akan omongan orang yang sebenarnya musuh Kakang Singo. Karena rasa malu dan penuh penyesalan, aku dengan rela membutakan kedua mataku ini...," Nyi Kemuning Sari meneteskan air mata. "Aku tak ingin melihat dunia yang penuh dengan kebohongan, kejahatan, dan kedengkian. Dan ini telah menjadi sumpahku, bahwa aku bayar semua kebodohan dan kekerasan hatiku dengan membutakan mataku." Pendekar Gila, Mei Lie dan yang ada terdiam.

Membuat suasana di dalam goa itu hening. Hanya perasaan hari mereka yang berbicara.

"Tapi, hatiku sebenarnya masih ingin Kakang Singo Edan mau menerima dan memaafkan kebodohanku ini. Dan karena akulah, hingga Kakang Singo Edan, sengaja mengurung diri di dalam Goa Setan. Karena ia merasa wanita yang dikasihi mengkhianatinya...." Sampai di situ Nyi Kemuning Sari menutup ceritanya. Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.

Mei Lie menghapus air matanya yang tak kuasa dibendung. Gadis itu merasa terharu mendengar cerita Nyi Kemuning Sari. Juga Pangeran Prapanca. Dan semua yang ada di goa itu.

"Aku senang, Sena. Bahwa murid Kakang Singo yang gagah memiliki ilmu yang tiada tandingannya." Sesaat mereka diam. Hening seisi ruangan goa itu. Sementara itu, Pangeran Prapanca tengah berpikir keras, bagaimana cara menyusup masuk ke dalam Kerajaan Surya Langit. Karena tentunya mereka telah mengetahui jati dirinya. Apalagi Pendekar Gila dan Mei Lie, yang sangat menyolok baik tingkah laku maupun penampilan mereka sebagai pendekar.

"Sekarang bagaimana cara kita untuk menyusup ke dalam Kerajaan Surya Langit. Agar lebih mudah mengetahui rencana mereka...?" tanya Pangeran Prapanca pada Pendekar Gila.

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Lalu menoleh ke wajah Ki Jalna Wangga.

Karena di samping seorang pendekar tokoh tua, Ki Jalna Wangga pun pasti banyak mengetahui selukbeluk istana Kerajaan Surya Langit. Sebab lelaki berusia enam puluhan itu pernah mengabdi di istana ketika masih diperintah Prabu Jawangga. Ki Jalna Wangga yang dipandang Pendekar Gila, langsung mengerti.

"Bagaimana menurutmu, Ki Jalna Wangga...?" tanya Pendekar Gila.

"Aku saat ini belum bisa memberikan jawaban.

Karena sejak aku meninggalkan kerajaan, dan mengasingkan diri di Bukit Yuyu aku tak pernah memasuki kerajaan. Jadi aku tidak bisa memastikan dari mana yang paling aman, untuk menyusup ke dalam istana," kata Ki Jalna Wangga memberikan penjelasan (Untuk mengetahui lebih jelas tentang Jalna Wangga dan Nyi Kemuning Sari, baca Pendekar Gila dalam episode "Sepasang Maling Budiman").

"Benar kata Ki Jalna Wangga," sahut Pangeran Prapanca. "Mereka pasti telah merubah penjagaan lebih ketat. Apalagi dengan kejadian tadi." Sesaat mereka diam. Tak ada yang bersuara.

Masing-masing sedang berpikir mencari jalan yang terbaik. "Bagaimana kalau kita menyamar sebagai rakyat biasa. Dengan memakai pakaian desa...?" usul Mei Lie. Suaranya memecah kesunyian. Pangeran Prapanca nampak mengangguk-anggukkan kepala. Sedangkan Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dan tertawa-tawa sendiri. Kemudian menatap Mei Lie yang ada di sebelah kirinya. Sena nampak bangga dengan pendapat Mei Lie.

"Aku rasa usul kekasihmu ini ada benarnya, Sena...," ujar Nyi Kemuning Sari mendukung usul Mei Lie.

Mei Lie hanya tersenyum manis, sambil menatap Sena, pemuda idamannya.

"Bagaimana menurutmu, Sena?" tanya Pangeran Prapanca. "Juga kalian semua...?" "Kami setuju saja. Usul Mei Lie bisa diterima.

Namun suatu tindakan yang cukup berbahaya. Kalau salah satu tertangkap, gagallah rencana kita," tukas Pangeran Prapanca.

"Ya. Karena itu kita harus susun serapi mungkin. Orang di luar kita jangan ada yang mengetahui rencana ini," sambung Ki Jalna Wangga kemudian.

Nyi Kemuning Sari manggut-manggut, lalu menghentakkan tongkatnya pelan. Wajahnya tersenyum.

"Kalian harus bersatu dan sehati. Demi tercapainya cita-cita dan maksud baik ini. Itu saja pesanku.

Aku pun akan membantu kalian," kata Nyi Kemuning Sari dengan suara sedikit serak, penuh wibawa.

"Terima kasih, Nyi..." kata Pangeran Prapanca sambil menjura.

"Pangeran, saya khawatir kalau orang-orang kerajaan murka, karena kejadian tadi. Dan kemudian mereka menyerang Hutan Bambu, markas kita," ujar Pranala tiba-tiba. "Apakah tak sebaiknya kita sekarang kembali ke Hutan Bambu...?" "Benar juga. Tapi kita harus berunding pada kawan-kawan yang lain. Bagaimana menurutmu, Sena?" tanya Pangeran Prapanca.

"Sebaiknya Nyi Guru yang memberikan keputusan," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.

"Bagaimana menurut pendapat Nyi Guru?" "Hm..., sebenarnya aku merasa berat kalau sekarang kalian akan pergi. Hari sudah mulai gelap. Lagi pula kalian belum menyusun rencana. Tapi kalau kalian akan pergi juga, aku tak bisa melarang," jawab Nyi Kemuning Sari tegas.

"Kalau begitu, kita bermalam di sini saja. Besok pagi-pagi kita berangkat ke Hutan Bambu, untuk memberitahukan kawan-kawan kita. Rencana itu kita rundingkan di sini," kata Pangeran Prapanca memutuskan. Karena ia tahu Nyi Kemuning Sari bermaksud baik. Dan wanita tua itu lebih tahu segalanya dari mereka. Sementara itu, malam merambahi permukaan bumi. Sepi menjadi mahkota malam yang gelap. Kabut dingin berarak lambat, seperti iring-iringan pengantar jenazah. Mencekam Sayup-sayup terdengar suara burung hantu, yang meningkahi suara binatang malam.

6
Fajar telah datang. Kesunyian dirobek oleh suara jerit dan teriakan seorang lelaki yang berlari ketakutan ke timur. Tampak tubuhnya luka parah. Rupanya lelaki itu baru keluar dari Hutan Bambu.

Begitu cepat lari orang ini, karena ketakutannya. Suara teriakan terdengar terputus-putus. Napasnya nampak terengah-engah.

Sampai mentari mulai meninggi, lelaki yang berumur kira-kira tiga puluh delapan tahun ini masih berlari terseok-seok Dari arah timur muncul beberapa orang, di balik lembah. Mereka tak lain rombongan Pangeran Prapanca yang terdiri Pangeran
Prapanca, Sena, Mei Lie, Ki Jalna Wangga, Buto Gege serta dua lelaki teman Ki Jalna Wangga, yaitu Manik Jingga dan Manik Belang.

Orang-orang tampak terkejut melihat sosok tubuh yang tergeletak tak jauh di depan.

Pranala segera mendahului yang lain mendekati laki-laki yang tergeletak itu. Disusul Ki Jalna Wangga, Pendekar Gila, dan Mei Lie. Alangkah terkejurnya Pranala, setelah membalikkan tubuh lelaki yang tubuhnya penuh luka kena goresan golok.

"Hah? Ya Gusti Hyang Jagat Dewa Batara Ludira..." gumam Pranala setelah mengenali lelaki itu.

Pangeran Prapanca segera mendekati dan berjongkok di dekat lelaki yang ternyata bernama Ludira itu. Prajuritnya, yang menjadi pimpinan prajurit dari kelompok Pangeran Prapanca.

"Ludira...," terdengar suara Pangeran Prapanca lirih. Wajahnya nampak sedih. "Ludira, apa yang telah terjadi. Katakan...." Ludira perlahan-lahan membuka matanya, napasnya tampak sesak. Bibirnya yang kering, karena kehausan tampak gemetaran. Perlahan mulutnya terbuka, untuk bicara. Namun tak terdengar suara sedikit pun. Pangeran Prapanca, dibantu Pendekar Gila berusaha memberikan kekuatan pada Ludira dengan mengantar tenaga dalam ke tubuhnya. Sesaat Ludira mulai bisa bicara lirih. Terputus-putus.

"Pang... eran... akh. Ma... maafkan sa... ya.

Akh..." "Ya, aku telah memaafkanmu. Katakan, apa yang telah terjadi di Hutan Bambu?" tanya Pangeran Prapanca cemas.

"Mer... mereka... menghan... curkan markas kitaaa... aaakh..." Suara Ludira tersendat-sendat. Lalu setelah berucap, laki-laki itu perlahan menutup matanya kembali dan menghembuskan napas yang terakhir.

Gemeretak suara gigi Pangeran Prapanca, menahan amarah. Jari-jarinya mengepal keras. Matanya nanar memandang ke depan.

"Biadab... Akan kubalas perbuatanmu ini, Paman Awangga" dengus Pangeran Prapanca dengan suara geram.

"Pasti rencana perdana menteri laknat itu Aku bersumpah akan mencabik-cabik hatinya" kata Ki Jalna Wangga, sengit.

"Aku pun tak akan membiarkannya hidup lebih lama di dunia ini..." tambah Pranala tak kalah geram.

"Sebaiknya, kita cepat melihat keadaan Hutan Bambu," ujar Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.

Tak banyak bicara lagi, mereka segera pergi ke Hutan Bambu. Setelah menguburkan mayat Ludira.

Sesampainya di Hutan Bambu, Pangeran Prapanca dan kawan-kawan tampak sangat terpukul hatinya, melihat mayat berserakan di sana-sini. Apalagi ketika melihat orang-orang kepercayaan, dan andalannya seperti Ki Naga Wilis, Panglima Gagak Selo, Resi Wisangkara, serta Tirta Kayon. Mati dengan sangat menyedihkan.

"Kurang ajar Benar-benar biadab..." geram Pangeran Prapanca marah. Hatinya benar-benar seperti dicabik-cabik, melihat kejadian mengenaskan itu.

"Rupanya mereka menyerang pada malam hari, atau menjelang pagi. Semua di luar perkiraan kita," sambut Sena dengan nada penuh penyesalan. Sambil menggaruk-garuk kepala, dan nampak kesal.

Mayat-mayat prajurit ada yang terpotong lehernya, hingga hampir putus. Ada pula kedua kakinya yang telah buntung. Sangat mengerikan Darah berceceran di mana-mana. Bau amis dan kematian pun menyeruak di dalam Hutan Bambu itu.

Pangeran Prapanca terduduk di atas sebatang pohon besar yang telah tumbang. Putra Mahkota Kerajaan Surya Langit itu seakan-akan semakin tak tahan menyaksikan kebiadaban orang-orang kerajaan. Tampak wajahnya termenung penuh rasa haru.

Pendekar Gila mengisyaratkan agar segera menguburkan mayat bekas para tokoh kerajaan itu.

Mereka adalah Ki Naga Wilis, Panglima Rawa Sekti, Resi Wisangkara, Tirta Kayon, serta puluhan prajurit yang membelot dari istana. Mayat-mayat itu akhirnya dikebumikan secara masal.

Mentari semakin tinggi, sinarnya semakin panas menyengat tubuh mereka. Pangeran Prapanca masih tampak termenung, seakan tak mampu untuk membuang perasaan dukanya, karena telah kehilangan bala tentara yang dengan rela bersedia mendukung perjuangannya merebut takhta kerajaan yang hilang.

***
 Di pihak kerajaan, Perdana Menteri Giri Gantra tengah mencak-mencak. Hal itu karena orangorangnya tak berhasil menemukan Pangeran Prapanca.

Begitu juga dengan Baginda Raja Awangga. Pemegang tampuk kekuasaan Kerajaan Surya Langit itu tampak khawatir kalau takhtanya akan terguling dan jatuh ke tangan putra mahkota, Pangeran Prapanca.

"Perdana Menteri macam apa kau...? Aku sudah bosan dengan kata-katamu" dengus Baginda Raja Awangga dengan nada marah. "Kau bilang, orang-orang pilihanmu cukup tangguh. Buktinya? Menangkap Prapanca dan kawan-kawannya, yang hanya segelintir saja tak becus Aku tak mau tahu. Pokoknya kau harus dapat menangkap Pangeran Prapanca, hidup atau mati Kalau tidak, kau sebagai gantinya..." tambah Baginda Raja Awangga sambil menggebrak meja.

Perdana Menteri Giri Gantra tak bisa berkata apa-apa lagi. Wajahnya tampak merah, malu. Semua jago golongan hitam yang disewanya ada di situ. Perdana Menteri Giri Gantra sangat terinjak-injak martabatnya. Apalagi ada dua jago aliran hitam, yang kurang setuju dengan tindakannya dalam memerintah secara seenaknya. Mereka adalah Jenggot Naga dan si Mata Tunggal.

Keduanya bermaksud mengundurkan diri dari kelompok perdana menteri licik itu.

"Perdana Menteri, kami berdua tak sanggup lagi ikut dalam penyerangan ke Hutan Bambu. Kami akan kembali ke padepokan kami masing-masing," ujar Jenggot Naga dengan suara parau.

"Benar" tambah si Mata Tunggal.

"Ha ha ha... Enak saja kau bicara begitu Kau pikir kalian berdua bisa begitu saja melepas tanggung jawab, dan perjanjian dengan pihak kerajaan? Huh" bentak Baginda Raja Awangga setelah mendengar ucapan Jenggot Naga dan si Mata Tunggal.

Jenggot Naga dan si Mata Tunggal tak dapat menentang. Keduanya diam dengan perasaan jengkel.

"Giri Gantra..." "Hamba, Baginda." "Aku ingin hari ini juga kau kembali ke Hutan Bambu. Tangkap, dan bila perlu bunuh Prapanca Aku tak mau tahu bagaimana caramu. Dan ingat jangan kembali, sebelum kau berhasil membawanya hidup atau mati" ucap Baginda Raja Awangga dengan suara lantang.

"Baik, Baginda. Kami mohon diri..." sahut Perdana Menteri Giri Gantra sambil menjura hormat pada Baginda Raja Awangga.

Perdana Menteri Giri Gantra mengangkat tangan kanan, sebagai isyarat pada pengikut-pengikutnya agar segera berangkat.

Seketika para jago dan para prajurit kerajaan bergegas meninggalkan ruangan itu.

Setelah keberangkatan Perdana Menteri Giri Gantra dan pasukannya, Permaisuri Raja Awangga muncul dengan raut wajah yang menunjukkan kecemasan. Wanita cantik itu mendekati sang Baginda Raja Awangga, yang masih bertopang dagu, memikirkan nasibnya. Jika nanti Pangeran Prapanca berhasil mengalahkan pasukannya, tak tahu bagaimana nasibnya sebagai raja. Apalagi kalau mengingat nama Pendekar Gila yang turut mendukung perjuangan kemenakannya merebut takhta kerajaan. Kemarin telah disaksikannya sendiri, bagaimana pendekar muda itu dengan mudah mampu menghadapi Jenggot Naga dan si Mata Tunggal. Padahal pendekar bertingkah laku seperti orang gila itu belum mencabut Suling Naga Saktinya.

Sungguh suatu yang menakutkan bagi sang Raja.

"Kangmas Awangga. Apakah tidak sebaiknya, Kangmas menyerahkan takhta kerajaan ini pada Pangeran Prapanca?" ujar permaisuri dengan lemah lembut, sambil mengusap perlahan bahu Baginda Raja Awangga.

"Hm..." gumam Baginda Raja Awangga seraya memegangi jenggotnya yang putih. Wajahnya menoleh pada sang Permaisuri sambil menghela napas.

"Aku mempunyai firasat buruk, Kangmas. Sebaiknya batalkan saja niatmu itu..." saran permaisuri dengan kesedihan.

"Ah Dimas jangan ganggu pikiranku Aku tak mungkin menarik kembali perintahku. Lagi pula, Perdana Menteri Giri Gantra sudah berangkat. Dan aku tidak akan menyerahkan takhta kerajaan ini pada siapa pun. Apalagi pada Prapanca..." jawab Baginda Raja Awangga dengan suara berat Sang Permaisuri hanya diam. Tampak dari matanya menetes air bening. Wanita itu tak mampu menahan perasaan sedih dan kekhawatirannya terhadap suasana kerajaan itu.

"Sebaiknya Dimas istirahat saja Aku ingin menenangkan pikiran," ujar Baginda Raja Awangga lagi.

Nadanya kesal.

Sambil menangis, sang Permaisuri meninggalkan Baginda Raja Awangga. Hati permaisuri itu sangat sedih bercampur cemas yang sangat dalam.

Sementara Baginda Raja Awangga memandangi kepergiannya dari belakang. Kemudian dia bangkit dari duduknya. Lalu mondar-mandir, dengan kedua tangan di belakang. Dua orang pengawal kerajaan tampak berada di ruangan itu, menjaga sang Raja.

"Pengawal..." seru Baginda Raja Awangga tiba-tiba.

"Hamba, Baginda," sahut seorang pengawal sambil menjura.

"Antarkan aku ke ruang siksa bawah tanah" perintah Baginda Raja Awangga, lalu melangkah pergi meninggalkan singgasana. Diikuti dua pengawalnya.

***
 Ruang siksa bawah tanah, hanya diterangi lampu obor yang tergantung pada dinding temboknya.

Hawa di dalam lembab sekali. Di sebelah kanan ruangan yang tak seberapa luas itu tampak sebuah tiang gantungan.

Salah satu ruang siksa tampak dijaga seorang berkepala botak, bertubuh besar dengan wajah bengis.

Di dalam ruangan itu tampak seorang lelaki berusia enam puluh tahunan bertubuh kurus dengan rambut dan jenggot panjang yang telah memutih. Lelaki itu ternyata Prabu Jayawangga, mantan penguasa Kerajaan Surya Langit yang digulingkan oleh Baginda Raja Awangga. Wajah ayahanda Pangeran Prapanca itu menyiratkan suatu penderitaan berat telah menghimpit jiwanya. Matanya tampak cekung. Wajahnya pucat pasi tanpa rona ceria sedikit pun. Derita panjang telah meluluh lantakkan jiwanya sebagai seorang raja yang sangat dicintai rakyatnya.

Prabu Jayawangga tampak terkulai dengan beralaskan kain tebal yang sudah usang. Napasnya terdengar berat, sepertinya dirasakan sangat sesak.

Pada ruang penjara yang lain nampak para tawanan, bekas prajurit dan tokoh-tokoh istana yang setia dengan Prabu Jayawangga. Ada delapan orang di dalam ruangan yang lebih lebar dari tempat sang Raja.

Kedelapan orang itu nampak masih agak sehat. Dua di antara mereka masih muda. Sedangkan enam lainnya berumur sekitar empat puluh tahunan.

Penjara itu pun dijaga seorang berbadan tinggi besar dan berwajah angker. Hidungnya yang besar tampak kembang kempis. Matanya yang tajam terus mengawasi sekeliling tempat itu. Tangannya yang besar memegang cambuk.

Tak lama kemudian datang Baginda Raja Awangga, dikawal dua prajurit kerajaan. Penjaga cepat memberi hormat, dengan membungkukkan badan.

"Buka ruangan itu" perintah Baginda Raja Awangga pada penjaga yang berkepala botak.

Penjaga segera membuka pintu penjara yang terbuat dari besi itu. Suara pintu besi itu terdengar menyakitkan telinga. Prabu Jayawangga nampak masih terkulai lemas, seakan tak mendengar apa-apa.

"Hei Bangun... Ayo bangun" bentak penjaga sambil mengguncang-guncangkan tubuh lelaki tua itu.

Dengan malas Prabu Jayawangga membuka mata, lalu bergerak bangun dengan perlahan.

Baginda Raja Awangga menatapnya dengan wajah sinis. Tak ada rasa belas kasihan. Bahkan dengan kasar ditendangnya tubuh Prabu Jayawangga "Hei, Tua Bangka Dengar, sebentar lagi aku akan lebih berkuasa. Kerajaan Surya Langit tetap menjadi milikku. Dan putramu, tak lama lagi mampus di tangan orang-orangku. Ha ha ha... Dan kau akan mati dalam penjara ini. Ha ha ha..." Baginda Raja Awangga tertawa keras dan terbahak-bahak sambil berkacak pinggang.

"Tak ada orang yang berani menentangku. Akulah raja sejati. Kau kini jadi budakku Ha ha ha... Dan hanya akulah yang pantas menjadi Raja Surya Langit.." Baginda Raja Awangga nampak tertawa-tawa seperti orang kurang waras. Semua itu untuk menutupi kecemasan dan kekhawatirannya yang amat besar.

Sebenarnya Baginda Raja Awangga merasa cemas, bahwa takhtanya akan dapat diruntuhkan oleh Pangeran Prapanca yang dibantu Pendekar Gila. Oleh karena itu, tak mengherankan kalau sesungguhnya hatinya tak tenang.

Sedangkan Prabu Jayawangga hanya diam dan menunduk, lalu ambruk, ketika Baginda Raja Awangga menendangnya.

"Beri makan orang tua ini sebanyakbanyaknya Karena tak lama lagi dia akan mati..." se-ru Baginda Raja Awangga pada penjaga.

"Baik, Baginda Raja...," jawab penjaga sambil menjura.

Baginda Raja Awangga lalu pergi meninggalkan penjara itu dengan wajah muram. Diikuti oleh dua pengawalnya. Sementara lelaki tua berambut putih panjang dan berjenggot putih itu nampak kembali terkulai "Aku setiap malam berdoa, meminta pada Hyang Widhi. Agar Kerajaan Surya Langit kembali direbut oleh putraku...." Terdengar suara lirih dari dalam penjara yang pengap dan lembab itu.

"Ya. Karena Pangeran Prapanca-lah yang lebih pantas menjadi raja di Kerajaan Surya Langit Karena ia putra mahkota. Hanya karena kelicikan dan keseraka-han Awangga dan Giri Gantra berhasil menghasut rakyat, untuk menjatuhkan Kanjeng Prabu." Terdengar suara lain dari ruang penjara di sebelahnya. Suasana hening, sehingga suara-suara itu terdengar meskipun agak lirih.

"Kalau nanti Pangeran Prapanca berhasil merebut kerajaan ini, aku bersumpah akan memotong rambutku yang panjang ini. Sebagai tanda syukur.

Dan, akan kusobek perut Giri Gantra yang buncit itu" sambung yang lainnya dengan suara geram.

Lalu para tahanan tertawa-tawa. Seakan mereka merasa yakin kalau Pangeran Prapanca bakal memperoleh kemenangan.

Tiba-tiba penjaga marah mendengar suara tawa mereka. Maka dengan keras penjaga membentak. Namun orang-orang itu tetap saja tertawa terbahakbahak. Maka penjaga membuka pintu, lalu masuk dan menghajar orang-orang itu. Keributan terjadi. Orangorang itu melawan. Namun akhirnya menyerah, karena penjaga menggunakan cambuk untuk menyiksa mereka. Begitulah keadaan penjara bawah tanah. Orang luar tak tahu apa yang terjadi di dalam ruangan bawah tanah itu. Tak tahu bagaimana kejamnya orang-orang Baginda Raja Awangga.

***
 7
Matahari telah condong ke arah barat pertanda hari menjelang sore. Angin berhembus semilir, ditingkahi suara kicau burung yang pulang ke sarang.

Dari kejauhan tampak serombongan pasukan bergerak ke barat. Rombongan pasukan itu dipimpin Perdana Menteri Giri Gantra. Rombongan terbagi empat kelompok yang dipimpin empat kaki tangan Perdana Menteri Giri Gantra. Yaitu Jembel Pilarang, Kala Prana, memimpin kelompok di depan. Sedangkan sekitar dua puluh lima tombak di belakang mereka, telah siap tiga kelompok yang masing-masing dipimpin Sepasang Toya Setan, Kati Asem, Hiwa Krana dan si Mata Tunggal berpasangan dengan Jenggot Naga.

Jika kelompok terdepan menghadapi bahaya, maka tiga kelompok yang ada di belakang akan segera membantu. Sungguh suatu siasat perang yang hebat.

Untuk melaksanakan siasat itu, tak tanggungtanggung hampir lima puluh prajurit diikutsertakan.

Dan telah tertanam perintah di benak mereka, untuk menangkap Pangeran Prapanca hidup atau mati. Jika gagal, sudah dapat dibayangkan akibatnya. Mereka akan dihukum penggal kepala Mata para prajurit terus mengawasi daerah Hutan Bambu, yang sudah semakin dekat. Nampak di wajah mereka tersirat ketegangan.

Pasukan kerajaan yang dipimpin Perdana Menteri Giri Gantra semakin dekat Kini mereka sudah berada di mulut Hutan Bambu yang tampak sunyi dan sepi. Tak terdengar suara orang, maupun burung.

Pasukan Kerajaan itu terus maju, mendekati Hutan Bambu. Mereka tampaknya tak menaruh rasa curiga sedikit pun kalau Pangeran Prapanca dan kawan-kawan mengetahui kedatangan mereka.

Ketika pasukan prajurit kerajaan memasuki Hutan Bambu, tiba-tiba kelompok paling depan mundur kembali. Ternyata dari dalam hutan menghadang prajurit lain berjumlah sekitar dua puluh orang. Mere-ka dipimpin Ki Jalna Wangga dan Pranala, serta Manik Jingga. Perdana Menteri Giri Gantra terkejut bukan main. Wajahnya mendadak berubah pucat. Apalagi ketika dia tahu kalau pasukannya telah terkepung. Di belakang mereka, telah berjajar setengah lingkaran pa-ra pemuda dan orang tua penduduk desa. Mereka bersenjatakan golok, tombak, dan pentungan. Tampak di depan pasukan penduduk desa itu Mei Lie dan Manik Belang. Namun mereka tak melihat Pangeran Prapanca maupun Pendekar Gila.

Perdana Menteri Giri Gantra semakin cemas dan ketakutan. Keringat telah membasahi wajahnya yang nampak pucat dan ketakutan. Hatinya hampir tak percaya apa yang tampak di depan mata.

Perdana Menteri Giri Gantra sama sekali tak menyangka kalau Pangeran Prapanca ternyata telah mempersiapkan pasukan sebanyak itu. Pihak kerajaan tak pernah berpikir kalau Pendekar Gila yang terus mendampingi sang Pangeran telah ikut mengatur siasat hebat ini. Pendekar Gila memang memberi saran kepada putra mahkota itu agar mempersiapkan jebakan. Karena nalurinya mengatakan bahwa pasukan kerajaan akan mendahului, menyerbu Hutan Bambu.

Kini pasukan kerajaan telah terkepung para pendukung Pangeran Prapanca. Perlahan tapi pasti, pasukan yang dipimpin Mei Lie dan Manik Belang telah bersiap siaga, mendekati mereka. Sedangkan dari dalam Hutan Bambu prajurit yang dipimpin Ki Jalna Wangga, Pranala, dan Manik Jingga terus mendesak pasukan Kerajaan Surya Langit. Sehingga, kini pasukan Kerajaan Surya Langit benar-benar terkurung. Tak bisa bergerak. Maju mereka dihadang Mei Lie dan pasukannya, mundur pun Ki Jalna Wangga dan orangorangnya telah siap tempur.

"Tak kusangka Ki Jalna Wangga memihak pada Pangeran Prapanca...," gumam Perdana Menteri Giri Gantra dengan bibir gemetar. Dia merasa cemas melihat kekuatan Pangeran Prapanca makin kuat. Perdana Menteri Giri Gantra tahu kehebatan ilmu Ki Jalna Wangga.

"Ha ha ha... Hi hi hi... Lucu Lucu sekali kau, Perdana Menteri Mukamu kenapa jadi seperti tikus sawah...? Hi hi hi..." Tiba-tiba terdengar tawa mengejek dari seseorang. Perdana Menteri Giri Gantra semakin cemas dan takut. Sebentar-sebentar tangannya mengelap keringat di kening. Tak lama kemudian, berkelebat dua sosok bayangan melesat begitu cepat Werrr Perdana Menteri Giri Gantra makin gemetaran, melihat kedua sosok bayangan itu. Kedua sosok bayangan itu ternyata Pendekar Gila dan Pangeran Prapanca. Mereka berdua sengaja memisahkan diri dari kelompok Mei Lie dan Ki Jalna Wangga. Pendekar Gila dan Pangeran Prapanca berdiri dekat dengan pasukan kerajaan yang dipimpin Perdana Menteri Giri Gantra. "Ah ah ah... Kenapa kau pucat Giri Gantra...? Rupanya tikus-tikus busuk ini terperangkap, Pangeran. Hi hi hi..." ujar Pendekar Gila sambil cekikikan dan menggaruk-garuk kepala.

Belum selesai ejekan Pendekar Gila, terdengar lagi dari arah belakang.

"Aku sudah berjanji untuk mencabut nyawamu, Giri Gantra Manusia macam kau harus menerima ganjaran yang setimpal..." suara Ki Jalna Wangga terdengar lantang dan penuh amarah. Perdana Menteri Giri Gantra semakin tak berkutik. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya.

"Kini tiba saatnya kau dan orang-orangmu menyerah..." teriak Pranala dari jarak sekitar lima belas tombak.

"Tidak... Tidak. Ayo serang..." perintah Perdana Menteri Giri Gantra pada pasukannya.

Namun para prajurit kerajaan tak langsung menyerang. Juga si Mata Tunggal dan Jenggot Naga yang tadi minta mengundurkan diri. Kedua tokoh persilatan itu diam. Namun para jago aliran hitam lainnya, seperti Jembel Pilarang, Sepasang Toya Setan, Setan dari Rimba Merawan, dan Hiwa Krana, mulai bergerak maju. Sambil memerintahkan para prajurit Pertempuran antara dua kekuatan pun pecah.

Para prajurit Kerajaan Surya Langit bertempur melawan pasukan yang mendukung perjuangan Pangeran Prapanca. Mereka kebanyakan orang desa yang bersenjatakan golok, bambu runcing, kapak, parang, dan sebagainya.

Sedangkan para tokoh persilatan aliran hitam, menghadapi para pendekar yang bergabung dengan Pangeran Prapanca.

"Hi hi hi... Mari kita sambut tikus-tikus itu" ajak Pendekar Gila sambil cekikikan. "Heaaa..." "Serbuuu..." Mulai terdengar jeritan melengking tinggi. Seketika Hutan Bambu yang semula hening berubah ramai.

Hiruk-pikuk dan dentang suara senjata beradu pun terdengar memecah suasana. Sesaat kemudian, tampak berjatuhan korban dari kedua belah pihak. Darah pun tampak, berceceran mewarnai tanah tempat pertempuran.

Pendekar Gila dan kawan-kawan pendukung Pangeran Prapanca pun mulai bergerak menghalau setiap lawan yang menyerang dan membunuh putra mahkota itu. Pedang di tangan mereka berkelebatan cepat. Bagaikan malaikat pencabut nyawa memburu setiap lawan yang menyerang.

Pembantaian yang dilakukan pihak kerajaan pun tak kalah hebatnya. Jembel Pilarang dan Hiwa Krana, serta Setan dari Rimba Merawan, tampak semakin buas dan beringas, membantai prajurit Pangeran Prapanca.

Pendekar Gila dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, meliuk-liuk mengelak setiap serangan lawan yang berusaha menggebraknya. Lima orang panglima rendah kerajaan dengan golok di tangan, membabat Pendekar Gila yang nampak tenang dan menggaruk-garuk kepala.

"Heaaa...." Wret Wret "Hi hi hi..." Pendekar Gila justru tertawa-tawa, dan bertingkah aneh. Tubuhnya melenting ke udara. Kemudian dengan jurus 'Si Gila Terbang Menyambar Ayam' tahu-tahu kaki kanan dan tangannya sudah menghajar kelima lawan.

Plak Bukkk..

"Aaakh..." "Aaau..." Seketika kelima panglima itu terpental dengan tubuh berputar, lalu jatuh. Kelimanya langsung tak berkutik lagi.

Pendekar Gila mengerutkan kening dan menggaruk-garuk kepala. Namun tiba-tiba dari belakang, kembali lima orang andalan kerajaan menyerang Pendekar Gila. Rupanya Pendekar Gila sudah mengetahuinya. Dengan gerakan cepat, sebelum serangan lawan sampai, Pendekar Gila telah mendahului dalam jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Pukulan telapak tangannya yang tampak lemah dan lamban sempat membuat lawan tersentak kaget. Maka....

Plak Bukkk "Aaa..." "Aaakh..." Serangan itu mendarat telak di dada kelima lawan. Tak ampun lagi, tubuh kelima prajurit kerajaan itu bergulingan dan tak berkutik lagi.

Sementara itu, Ki Jalna Wangga atau si Pukulan Petir berusaha menangkap Perdana Menteri Giri Gantra yang hendak kabur. Namun empat prajurit kerajaan menghadangnya. Dengan golok, mereka babat ke tubuh Ki Jalna Wangga. Lelaki tua berambut panjang itu tampaknya tak ingin berlama-lama menghadapi keroco-keroco itu. Dengan gerak cepat Ki Jalna Wangga melenting, lalu memutar tubuh di udara. Dengan cepat pula kakinya menghajar keempat prajurit yang menyerangnya.

"Heaaa..." Plak Bukkk "Aaa..." "Wadau..." Seketika keempat prajurit itu terjungkal tak bernyawa lagi. Ki Jalna Wangga terus melompat, mengejar Perdana Menteri Giri Gantra yang berusaha kabur. Beberapa kali tubuhnya yang terbalut jubah coklat itu melenting, melewati lawan yang berusaha menghadang. Lalu ketika hampir berhasil menangkap, tiba-tiba Sepasang Toya Setan menghadang Ki Jalna Wangga. Sepasang Toya Setan bergerak dengan cepat memutar senjata mereka hingga menimbulkan dengungan yang memekakkan telinga.

Ki Jalna Wangga tersentak mendapat serangan tiba-tiba itu. Beruntung dia tetap waspada sehingga dengan cepat mendoyongkan tubuhnya ke samping.

Serangan pun terelakkan. Kemudian, tanpa berpikir panjang, Ki Jalna Wangga langsung balas menyerang dengan pukulan lurus, disertai tenaga dalam yang kuat. "Heaaa..." Wuuut "Hah...?" Sepasang Toya Setan tersentak kaget. Hampir saja pukulan lawan menghunjam ulu hati, kalau saja keduanya tidak cepat berkelit dengan memutar tubuh.

Sementara tangan yang memegang toya turut bergerak menangkis pukulan lawan.

"Hih..." Prak "Aaa..." Dua toya beradu dengan tangan Ki Jalna Wangga. Dari benturan keras itu terpecik bunga api.

Ternyata Ki Jalna Wangga menggunakan jurus 'Pukulan Petir' andalannya. Lalu kedua pemilik senjata itu dengan cepat melompat ke belakang. Wajah Sepasang Toya Setan berubah pucat, ketika tangannya dirasakan bergetar akibat benturan dengan tangan Ki Jalna Wangga. Bahkan mereka merasa ada hawa panas seperti terbakar di dada. Keduanya sadar kalau lawan bukan orang sembarangan. Tenaga dalam lawan ternyata berada jauh di atas mereka. Sepasang Toya Setan tak menduga akan hal itu.

Sesaat mata mereka saling berpandangan.

Nampak ketenangan di wajah Ki Jalna Wangga. Sepertinya si Pukulan Petir itu tak merasa kesakitan atas benturan tadi. Hal itu membuat Sepasang Toya Setan semakin penasaran bercampur marah. Keduanya mendengus, kemudian kembali melakukan serangan.

"Heaaa..." Sepasang Toya Setan melesat cepat menyerang.

Ki Jalna Wangga segera bergerak mundur mengelak sambil mengegoskan kaki kanan dan kin, lalu dengan cepat balik menyerang. Kedua tangannya menghantam dan menyambar dengan cepat dan beruntun ke bagian tubuh yang mematikan.

Sepasang Toya Setan yang tahu kehebatan ‘Pukulan Petir’, berusaha menghindari bentrokan. Keduanya berusaha menjaga jarak. Namun tiba-tiba Sepasang Toya Setan terkejut ketika serangan Ki Jalna Wangga berkelebat cepat dan keras ke tubuh mereka.

"Heh...? Gawat Celaka..." pekik salah satu da-ri Sepasang Toya Setan. Dia tak menyangka kalau lawan yang semula dianggap enteng ternyata memiliki serangan yang sangat berbahaya. Kalau tidak hatihati, dalam beberapa gebrakan saja mereka dapat dikalahkan.

Ki Jalna Wangga yang melihat Sepasang Toya Setan tampak kewalahan, tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan 'Pukulan Petir'nya, secara tiba-tiba Ki Jalna Wangga menghantam tubuh lawan.

"Heaaa..." Glarrr "Aaa..." "Wuaaa..." Sebuah ledakan terdengar, ketika 'Pukulan Petir' yang dilancarkan Ki Jalna Wangga menghantam tubuh Sepasang Toya Setan. Tak ampun lagi, kedua lelaki kekar bersenjata toya itu terpental beberapa tombak ke belakang. Jeritan keras terdengar dari mulut keduanya, karena menahan rasa sakit yang hebat. Kedua tubuh itu bergulingan di tanah dengan dada gosong seperti terbakar. Sesaat kemudian Sepasang Toya Setan tewas dengan tubuh kaku.

Ki Jalna Wangga menghela napas dalam-dalam, lalu segera melesat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Maksudnya tak lain mengejar Perdana Menteri Giri Gantra, yang melarikan diri dari tempat pertempuran.

Di tempat lain, nampak Mei Lie dikeroyok Jembel Pilarang dan Hiwa Krana. Pertarungan mereka sudah berjalan cukup lama. Nampaknya Mei Lie belum mau menaklukkan atau membunuh lawannya. Gadis Cina itu belum mengeluarkan jurus ampuhnya, jurus 'Pedang Tebasan Batin'. yang mampu menghancurleburkan tubuh lawan dengan sentuhan Pedang Bidadari. "Heaaa..." Mei Lie melenting ke udara ketika dua lawannya menyerang dengan menusukkan pedang ke dada Mei Lie. Setelah mendarat dengan sempurna, Bidadari Pencabut Nyawa itu membuka serangan cepat. Pedangnya diputar begitu cepat hingga menyerupai baling-baling. Dari gerakan pedang itu keluar suara menderu yang keras. Pedang itu mampu mengeluarkan sinar kuning kemerahan.

"Hah?" Jembel Pilarang dan Hiwa Krana terbelalak kaget, menyaksikan jurus maut itu. Namun keduanya tak mau mengalah begitu saja. Dengan cepat mereka membuka jurus-jurus andalan.

"Heaaa..." "Hiaaat..." Trang Trang Pedang mereka beradu, mengeluarkan percikan api. Kemudian dengan cepat dan sukar ditangkap mata biasa, Mei Lie tiba-tiba melenting dan bersalto beberapa kali di udara. Tangan kirinya bergerak memukul ke depan. Sementara pedangnya berkelebat menebas ke tubuh kedua lawan.

"Hiaaa..." Wut Crab "Akh..." "Heaaa..." "Hiaaat..." Pekikan tertahan keluar dari mulut Jembel Pilarang dan Hiwa Krana. Keduanya pun tak mampu menutupi keterkejutan mereka. Betapa tidak? Tubuh mereka tak terluka sedikit pun. Padahal jelas tertebas Pedang Bidadari. Namun sesaat kemudian kedua tubuh lelaki itu terbelah jadi dua dan ambruk ke tanah.

Yang lebih mengejutkan, tubuh keduanya tiba-tiba hancur menjadi debu. Itulah akibat jurus 'Pedang Tebasan Batin' Para prajurit yang sedang bertarung sempat terkejut dengan membelalakkan mata. Mereka merasa takjub bercampur ketakutan. Dan kesempatan itu digunakan oleh pasukan Pangeran Prapanca untuk menyerang dan menghabisi prajurit Kerajaan Surya Langit.

"Serang... Majuuu... Hantam mereka..." seru para pendukung Pangeran Prapanca.

Pertempuran semakin seru. Banyak di antara para prajurit yang membabi-buta karena marah. Mayat pun bergelimpangan di sana-sini, dalam keadaan mengerikan. Darah segar tercecer di mana-mana, membasahi tanah di Hutan Bambu itu.

Buto Gege dan Pranala pun tak kalah perkasanya. Keduanya telah banyak merobohkan lawanlawannya. Demikian juga dengan Manik Jingga dan Manik Belang, yang dengan gigih menghadapi prajurit kerajaan.

Si Mata Tunggal dan Jenggot Naga, yang sebelumnya sudah menentang Perdana Menteri Giri Gantra, dan ingin mengundurkan diri, menyerah begitu saja ketika Pranala hendak membunuh mereka.

"Aku menyerah. Tapi jangan bunuh aku Semua ini kulakukan, karena tekanan dari Baginda Raja Awangga dan perdana menteri pengecut itu. Ampuni kami..."" ujar Jenggot Naga memohon pada Pranala.

"Benar, Kisanak. Ampunilah kami Kami berjanji tak akan mengganggu Pangeran Prapanca" sambung si Mata Tunggal.

"Tidak... Kalian antek-antek kerajaan. Aku tak bisa mengampuni" Jenggot Naga dan si Mata Tunggal saling pandang. Pasrah. Pranala mengangkat pedangnya tinggitinggi. Dan ketika pedang itu diayunkan ke tubuh kedua lawannya, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat cepat. "Tunggu..." Suara itu keluar dari mulut Mei Lie yang sudah berada di dekat Pranala. Gadis itu berusaha mencegah Pranala yang sudah tak mampu menahan dendamnya.

"Hei...? Apa maksudmu menghalangiku, Mei Lie...?" tanya Pranala dengan nada kurang senang.

"Sabar Pranala Kita tak boleh membunuh atau melukai lawan yang sudah menyerah dan minta ampun...," ujar Mei Lie dengan sabar dan tenang, mencoba menyadarkan Pranala.

"Benar apa kata Nini Mei Lie. Sebaiknya, biar kedua orang ini kita bebaskan. Apalagi keduanya telah menjelaskan, bahwa sebenarnya sudah merasa muak dengan perdana menteri pengecut itu," tambah Buto Gege yang baru saja menaklukkan lawan-lawannya.

"Tidak... Tidak Kalian jangan bermurah hati pada kedua orang ini Aku harus membunuh mereka..." tegas Pranala penuh kemarahan dan dendam.

"Baiklah kalau itu yang kau kehendaki. Tapi ingat, jangan harap aku dan Pendekar Gila akan terus membantumu. Huh" sungut Mei Lie, lalu bergegas pergi. Begitu juga dengan Buto Gege. Sambil menggelengkan kepala, lelaki bertubuh raksasa itu kembali menghadapi orang-orang kerajaan yang semakin berkurang. Demikian pula Mei Lie. Gadis Cina itu tampak kesal. Maka ketika lima orang prajurit kerajaan menghadangnya, langsung dibabat.

"Heaaa..." Cras Cras "Aaa..." Jeritan kematian terus terdengar menyayat hati. Namun mereka tak menghiraukan. Pertarungan semakin seru. Pihak kerajaan tampak mulai mengendur dan terdesak. Para tokoh aliran hitam yang disewa Kerajaan Surya Langit, satu persatu bertumbangan. Tewas Pangeran Prapanca tak kalah lincah dan gagah.

Beberapa orang lawan telah berhasil dilumpuhkannya.

Tendangan dan pukulannya tak kenal ampun, terus menghajar setiap lawan yang berusaha menangkapnya. "Kalian mencari mampus" dengus Pangeran Prapanca gusar, kemudian tanpa banyak kata lagi tubuhnya berkelebat melabrak dua orang lawannya. Mereka merupakan tokoh aliran hitam yang cukup berilmu lumayan, Kali Wangsa dan Catur Abang. Keduanya berasal dari Partai Iblis dari selatan.

"Awas..." pekik Catur Abang dengan mata membelalak menyaksikan serangan yang begitu mendadak dan cepat. Tangannya mendorong Kali Wangsa, sedangkan tubuhnya dengan cepat dibuang ke kiri untuk mengelakkan tusukan lawan. Ternyata dugaannya meleset Pangeran Prapanca dengan sangat cepat dan sulit diduga melancarkan sebuah
tendangan keras.

"Heaa..." Deg "Aaa..." Tak ampun lagi, tendangan yang disertai tenaga dalam tinggi itu mendarat telak di lambung Catur Abang. Tubuh lelaki berpakaian merah itu terdorong deras ke belakang. Sehingga akhirnya membentur sebuah batu besar.

Brukkk Kepala Catur Abang langsung pecah dan berhamburan di tanah. Seketika itu juga Catur Abang tewas Hal itu membuat Kali Wangsa seketika terkejut.

Sulit sekali diikuti gerakan yang dilakukan Pangeran Prapanca. Dan belum juga hilang rasa kaget di hatinya, tiba-tiba dikejutkan oleh serangan cepat yang dilakukan putra mahkota itu. Sebuah tusukan keris melesat ke dadanya. Mau tak mau Kali Wangsa segera menjatuhkan diri untuk mengelakkan serangan itu.

Tangannya yang terasa sakit langsung digerakkan, memukul ke arah selangkangan lawan yang dengan cepat memapaskan kerisnya ke bawah.

"Edan Celaka..." pekik Kali Wangsa.

Kali Wangsa berusaha menarik pukulannya, tapi tebasan keris lawan ternyata jauh lebih cepat dibanding gerakannya. Tanpa ampun lagi, keris Pangeran Prapanca menyambar tangan Kali Wangsa.

Cras "Aaa..." Pekik kesakitan pun keluar dari mulut Kali Wangsa. Disusul dengan sebuah tendangan cepat menghantam dadanya. Tak ayal lagi, tubuh Kali Wangsa terpental enam tombak, dan melintir. Kemudian ambruk dan tewas Sementara itu, Pendekar Gila tampak tengah bertarung melawan Setan dari Rimba Merawan. Makhluk bertubuh besar dan berkepala seperti gorila itu tampaknya menyimpan dendam kesumat pada Pendekar Gila. Hal itu karena dalam pertarungan di dalam Istana Kerajaan Surya Langit kemarin, Pendekar Gila sempat membuatnya malu di depan Baginda Raja Awangga. Bahkan tangan kirinya terluka.

"Kali ini kau tak akan bisa berbuat banyak, Pemuda Gila..." rungut Setan dari Rimba Merawan sambil membuka serangan. Tubuhnya melesat ke depan dengan tangan menyambar cepat. Tangan kanannya membentuk siku dengan kepalan ke atas. Sedangkan tangan kirinya diputar, lalu dihentakkan menghantam dada lawan.

Melihat lawan melakukan serangan, dengan cepat Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangannya diangkat lurus ke atas dengan telapak saling berhadapan. Kaki kanan diangkat sampai ke lutut, lalu direntang ke kanan, diikuti gerakan membuka kedua telapak tangan. Selanjutnya terlihat gerakan seperti menari. Tangan kanan masih di atas, sedangkan tangan kiri lurus ke bawah.

"Yeaaat.." Dengan menggunakan jurus 'Kera Gila Merambah Rimba' Pendekar Gila berteriak nyaring, lalu dengan cepat tubuhnya melesat ke depan. Tangan kanannya yang semula di atas, kini menyibak ke depan. Sedangkan tangan kirinya diangkat ke atas lalu diteruskan memukul ke tubuh lawan.

"Yeaaa..." "Heaaa..." Dua tokoh berilmu tinggi itu kini telah samasama melesat untuk melakukan serangan. Tangan dan kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan tubuh. Tangan keduanya bergantian melakukan serangan dan pertahanan. Sedangkan kedua kaki saling menyapu ke kaki lawan.

"Ha ha ha... Akhirnya kau akan mampus, Pendekar Gila. Yeaaa..." Dengan suara lantang penuh keangkuhan, Setan dari Rimba Merawan melesat cepat melakukan serangan. Tangan kanannya menghantam dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kiri membentuk pertahanan di depan wajah.

"Uts... Hih Hi hi hi..." Pendekar Gila menggeser kaki kanan ke samping dan kaki kiri ke kanan, lalu dilangkahkan ke depan. Diikuti pukulan keras telapak tangan.

"Huh? Edan..." maki Setan dari Rimba Merawan kaget. Segera ditariknya pukulan tangan kanan, lalu diganti dengan tangkisan tangan kiri. Setelah itu, kakinya digerakkan menendang.

Pendekar Gila meliukkan tubuhnya ke bawah.

Tangannya bergerak menyambar kaki lawan. Hal itu memaksa manusia berwajah gorila itu menarik serangan dengan cepat. Matanya semakin membelalak menyaksikan jurus Pendekar Gila yang aneh.

"Hah...? Jurus apa itu?" gumam Setan dari Rimba Merawan kaget, seraya melangkah ke belakang, mengelakkan cengkeraman yang dilakukan Pendekar Gila. Kemudian makhluk aneh itu menyodorkan pukulan tangan kanannya ke tulang rusuk Pendekar Gila.

"Heaaa..." "Weits Hi hi hi,.." Pendekar Gila menggeser kaki kiri. Tubuhnya dimiringkan ke kanan. Menjadikan pukulan tangan lawan melesat di depan. Kemudian dengan cepat serangan tangan kirinya dilontarkan ke samping.

"Hah...?" Setan dari Rimba Merawan melotot kaget. Tubuhnya melompat cepat sambil bersalto ke belakang, mengelakkan serangan Pendekar Gila.

"Edan Pemuda gila ini benar-benar berilmu tinggi Baru kali ini aku mendapat lawan tangguh," gumam Setan dari Rimba Merawan dalam hati. Namun lelaki yang tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu kasar ini pun memiliki ilmu silat yang tinggi. Bahkan juga memiliki ilmu setan yang sangat berbahaya.

***
 8
"Hi hi hi... Aha, kenapa kau bengong...? Heaaa..." Pendekar Gila tertawa cekikikan mengejek sambil melancarkan serangan. Setan dari Rimba Merawan kembali tersentak kaget mendapatkan serangan yang aneh. Dilihatnya gerakan tangan dan kaki pendekar muda itu lambat. Namun jika dia tidak cepat berkelit, tentu cakaran dan tepukan tangan Pendekar Gila akan menghajar tubuhnya.

"Heaaa..." Wrets "Heh?" Setan dari Rimba Merawan lebih terkejut lagi ketika merasakan gerakan lemah bagai tak bertenaga itu ternyata mampu mengeluarkan angin menderu keras. Sehingga dirasakan bagai topan, menyentakkan tubuhnya.

"Heaaa..." Setan dari Rimba Merawan cepat-cepat memutar tubuhnya. Kemudian dengan gerakan cepat pula sosok lelaki berwajah seperti gorila itu melontarkan pukulan telapak tangan ke dada Pendekar Gila. Kemudian disusul dengan gerakan tangan seperti mematuk begitu cepat dan beruntun ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Tampaknya Setan dari Rimba Merawan telah mengerahkan jurus-jurus ularnya.

Pendekar Gila yang menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', tampak meliuk ke sana kemari menghindari patukan jurus ular lawannya. Setelah itu tampak tubuhnya meliuk diikuti langkah kaki sambil berusaha menyambar kaki lawan.

Namun mendadak tangan Setan dari Rimba Merawan menyambar ke dadanya hingga menimbulkan deru angin keras. Sedangkan Pendekar Gila yang tak menyangka lawan akan melanjutkan serangan, tampak agak terperanjat. Matanya membelalak, mengetahui kalau dirinya mati langkah. Namun dengan cepat Pendekar Gila menjulurkan tangan kanan, memapak tamparan lawan. Gerakannya seperti membelah dengan cepat. "Heaaat..." Wret Setan dari Rimba Merawan menarik tamparan tangan kirinya. Lalu disusul dengan sebuah tendangan keras ke selangkangan lawan. Sementara tangan kanannya kini kembali mematuk ke wajah Pendekar Gila.

Mendapatkan serangan cepat, Pendekar Gila segera melompat dengan bersalto ke belakang. Dengan tubuh berada di udara, kakinya menjejak batang sebuah pohon. Kemudian dengan tubuh membalik, kedua tangannya disatukan, melakukan serangan dengan meluncur ke tubuh lawan. Inilah jurus 'Si Gila Terbang Menerkam Mangsa', yang biasa digunakan Sena untuk menyerang lawan dari atas.

"Heaaa..." Wuttt Dengan tubuh meluncur cepat, Pendekar Gila kini balik menyerang. Tangannya memburu tubuh Setan dari Rimba Merawan, yang menangkis dengan cepat setiap pukulannya.

"Heaaa..." Trak Plak Tangan mereka bergantian memukul dan menangkis serangan lawan. Pendekar Gila terus merangsek dengan tubuh meluncur di udara. Sedangkan tubuh Setan dari Rimba Merawan terus mundur, sambil menangkis dan membalas serangan lawan.

Tubuh Pendekar Gila terus melayang di udara dalam jurus 'Si Gila Terbang Menerkam Mangsa'. Kakinya terkadang berputar untuk menendang.

"Heaaat..." Kalau saja lawannya bukan Setan dari Rimba Merawan yang berilmu tinggi dan banyak pengalaman, tentu dalam beberapa gebrakan saja akan kewalahan menghadapi serangan-serangan aneh yang dilancarkan pemuda berpakaian rompi kulit ular itu.

Namun kini yang dihadapi Pendekar Gila tampaknya tokoh yang tak dapat dianggap remeh. Terbukti sudah beberapa jurus pertarungan berlangsung, tokoh berwajah mirip gorila itu masih tampak tegar dan belum terdesak sedikit pun (Setan dari Rimba Merawan tak lain saudara seperguruan Ki Catrik Ireng, dalam episode "Duel di Puncak Lawu"). Jadi jurus yang digunakan Setan dari Rimba Merawan sama dengan jurus Ki Catrik Ireng. Dia memiliki jurus andalan ‘Naga Mencakar Langit’.

"Ah, ternyata dugaanku benar. Jurus-jurus orang ini pernah kuhadapi," gumam Pendekar Gila dalam hati, sambil terus menyerang.

"Yeaaat.." Pendekar Gila melempar tubuh ke belakang.

Lalu kakinya menjejak ke atas batu cadas dan berdiri dengan kedudukan siap melakukan serangan lanjutan.

Tangannya bergerak bagaikan kera yang hendak melempar. Tangan kanan diangkat ke atas setengah menekuk, sedangkan tangan kirinya di perut, dengan jari-jari mencengkeram.

Pendekar Gila mengeluarkan jurus 'Kera Gila Melempar Batu'. Melihat itu, Setan dari Rimba Merawan mengerutkan kening. Tubuhnya yang besar segera berkelebat untuk menyerang. Tangan kanannya membentuk kepala ular. Sedangkan tangan kirinya direntangkan ke samping dengan jari-jari membentuk cengkeraman. Setelah itu tangan kanan dan kiri bergantian melakukan patukan dan cengkeraman. Itulah jurus ‘Naga Mencakar Langit’, jurus andalan Setan dari Rimba Merawan.

"Yeaaa..." Wret Wret "Heaaa..." Tubuh keduanya melesat maju, siap melakukan serangan berikutnya.

***
 Pertarungan kedua tokoh berilmu tinggi itu semakin seru. Sementara, prajurit dan orang-orang andalan Kerajaan Surya Langit telah banyak yang mati.

Mayat-mayat pun tampak bergelimpangan di manamana. Bau anyir darah mulai menusuk hidung. Namun pertempuran masih terus berlanjut.

Prajurit Kerajaan Surya Langit dan beberapa orang andalan mulai terdesak mundur. Ada yang lari tunggang-langgang menyelamatkan diri.

Kini gerakan yang dilakukan Pendekar Gila mirip seekor kera tengah melempar batu. Gerakannya menimbulkan deru angin keras.

Sedangkan Setan dari Rimba Merawan tak mau tinggal diam. Tangan kanannya laksana kepala ular naga, mematuk dan menyambar ke wajah dan dada lawan. Sedangkan tangan kirinya mencakar dan menghantam.

"Yeaaat..." "Uts Heaaa..." Keduanya terus berkelebat cepat dengan tangan bergantian melakukan serangan dan tangkisan.

Kaki mereka pun tak tinggal diam, bergerak cepat ke sana kemari, melakukan serangan dengan tendangan dan sapuan.

Trak "Yeaaat..." "Hop..." Setiap kali tangan dan kaki mereka beradu, terdengar suara keras memekakkan telinga. Dan tubuh keduanya melompat ke belakang. Namun tanpa membuang-buang waktu, mereka langsung melesat menyerang.

"Yeaaat...." "Heaaa..." Tangan Pendekar Gila terus bergerak cepat seperti sedang melempar. Menghasilkan deru angin kencang ke arah lawan, laksana gelombang angin topan yang susul-menyusul.

Namun Setan dari Rimba Merawan tak hanya diam melihat serangan itu. Mulutnya mendesis, tangan kanannya bergerak laksana kepala naga. Terkadang naik, lalu membuka untuk menangkis serangan. Disusul cakaran tangan kiri ke dada Pendekar Gila.

"Sss... Heaaa...." Tubuh keduanya berkelebat cepat. Kini mereka semakin menambah daya serang. Dalam sekejap saja, tubuh keduanya bagaikan menghilang. Yang nampak hanya kelebatan bayangan tubuh yang bergerak sangat cepat.

Telapak tangan mereka kini bergerak cepat, memutar-mutar dan kemudian kembali menghentak ke depan. Kaki mereka tak tinggal diam, menendang dan menyapu ke kaki dan tubuh lawan.

"Yeaaat.." Prak Plak..

"Heaaa..." Keduanya melesat cepat dengan tangan siap beradu. Tubuh mereka melayang laksana elang di udara, untuk menghantamkan pukulan ke tubuh lawan.

Wut Glarrr....

Terdengar ledakan keras menggelegar. Tubuh keduanya terlempar beberapa tombak ke belakang.

"Ukh..." Pendekar Gila mengeluh tertahan setelah menginjakkan kakinya di bibir jurang.

Sementara Setan dari Rimba Merawan yang juga telah menapakkan kedua kakinya di atas tanah, dengan licik langsung melancarkan pukulan 'Waringin Sungsang' andalannya.

"Mampus kau, Pendekar Gila Heaaa..." Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya kalau lawan akan menyerang dengan jurus andalan.

Sebisanya dikeluarkannya pukulan 'Inti Brahma'. Dari tangannya terpancar sinar membara membuat sekelilingnya panas.

Wut Glarrr "Aaakh..." Pendekar Gila memekik keras. Tubuhnya terlempar jauh ke dalam jurang. Sedangkan Setan dari Rimba Merawan terdorong dengan keadaan terluka dalam. Dari bibirnya meleleh darah kehitaman.

Mei Lie yang sempat melihat kejadian itu, tersentak kaget. Matanya terbelalak lebar, cemas.

"Sena..." pekik Mei Lie khawatir sambil melompat ke tepi jurang. "Kakang Senaaa..." Tak terdengar sahutan dari bawah jurang. Mei Lie semakin cemas, dan marah. Tubuhnya cepat dibalikkan. Matanya menatap tajam Setan dari Rimba Merawan yang masih mengerang kesakitan. Dengan wajah merah, Mei Lie tak dapat menahan amarahnya.

"Bangsat... Kubunuh kau, Setan..." pekik Mei Lie.

Secepat kilat tubuh Mei Lie melesat bagai terbang, sambil mengangkat Pedang Bidadari ke atas kepala. "Heaaat..." "Hah?" Mata Setan dari Rimba Merawan melotot. Dengan sisa kekuatan, dia berusaha mengelak. Tubuhnya berguling ke samping. Mei Lie terus mencecar dengan sabetan pedangnya yang sukar dilihat mata siapa pun.

Tebasan pedang Mei Lie dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin' berkelebat memburu tubuh lawan.

"Heaaat..." Cras Cras "Aaakh..." Setan dari Rimba Merawan memekik kaget, karena dirasakannya pedang itu menggoresnya. Namun tak tampak ada luka sedikit pun. Matanya terbelalak heran. Namun kemudian tubuhnya terbelah menjadi dua, ambruk ke tanah. Matilah Setan dari Rimba Merawan yang cukup sakti itu. Sesaat kemudian tubuhnya tiba-tiba hancur bagai abu.

Orang-orang yang melihat kejadian itu ternganga, kagum, dan ngeri. Termasuk Pangeran Prapanca dan kawan-kawan.

"Ilmu pedang yang dahsyat 'Pedang Tebasan Batin'?" gumam Pangeran Prapanca kagum. Kakinya melangkah mendekati Mei Lie yang tampak masih garang. Pedangnya masih terhunus di depan dada.

"Hi hi hi..." Tiba-tiba terdengar tawa seseorang dari belakang Mei Lie. Mei Lie tahu dan mengenal suara tawa itu. Gadis itu cepat berbalik. Dan, wajahnya yang tadi garang, sekejap berubah ceria.

"Kakang Sena..." pekiknya, lalu lari menghampiri Pendekar Gila yang masih tertawa-tawa, sambil menggaruk-garuk kepala.

Mei Lie memeluk Sena penuh kasih sayang. Sedangkan Sena masih saja tertawa dan cengengesan.

Lalu menggaruk-garuk kepala.

"Kau konyol Bikin aku sedih...," kata Mei Lie sedikit manja.

Pada saat itu pula pasukan kerajaan pun mundur, lalu lari tunggang langgang. Orang-orang Pangeran Prapanca bergerak cepat mengejar. Begitu Setan dari Rimba Merawan mati di tangan Mei Lie, pasukan Kerajaan Surya Langit makin kecut dan segera mengambil langkah seribu. Karena mereka tak lagi memiliki tokoh sakti.

"Sebaiknya kita cepat ke kerajaan, Pangeran" usul Pranala mengingatkan.

"Benar. Ayo kita segera pergi..." sahut Pangeran Prapanca.

Mereka kemudian segera pergi meninggalkan Hutan Bambu, menuju Istana Kerajaan Surya Langit Pasukan pendukung Pangeran Prapanca yang masih hidup, terus mengejar prajurit kerajaan yang kabur sambil berteriak-teriak.

"Bunuh... Ayo kejar... Hancurkan... Hidup Pangeran Prapanca Hiduuup..." Suara-suara itu terus terdengar, sampai mereka memasuki Kota Kerajaan Surya Langit.

***
 Sementara itu Ki Jalna Wangga telah sampai di istana. Tokoh berusia enam puluhan itu dihadang para pengawal Kerajaan Surya Langit. Namun dengan tenang dia menghadapi lawan-lawannya. Dia yakin lawan berada setingkat di bawahnya dalam hal kemampuan ilmu silat.

"Heaaat.." "Yeaaa..." Tiba-tiba para prajurit menyerbu dengan ganas.

Plak Plak "Aaakh..." "Aaa..." Sekali gebrak tiga pengawal jatuh, tak bernyawa lagi. Kemudian Ki Jalna Wangga mendobrak pintu gerbang istana dengan tendangan kuat disertai tenaga dalam. Brakkk "Kraaak..." Pintu gerbang Kerajaan Surya Langit ambruk.

Dengan cepat Ki Jalna Wangga mengejar Perdana Menteri Giri Gantra yang berusaha masuk ke pendopo utama. "Heaaat..." "Hait" Deg Deg "Aaakh..." Perdana Menteri Giri Gantra memekik keras, punggungnya terkena tendangan Ki Jalna Wangga.

Tubuhnya terhuyung-huyung, lalu jatuh bergulingan.

Sambil mengerang. Namun dia masih sempat mengelak, ketika Ki Jalna Wangga yang penuh dendam dan kemarahan kembali menyerangnya. Perdana Menteri Giri Gantra berguling ke samping, mengelakkan serangan itu. Lalu bangkit dan lari seraya berteriak pada pa-ra prajurit yang ada dalam istana.

"Tolooong... Pengawal... Ada perampok Tangkap..." Perdana Menteri Giri Gantra terus berlari memasuki istana, sambil memegangi dadanya. Darah segar tampak keluar dari mulutnya, akibat luka dalam yang parah.

Ki Jalna Wangga makin geram. Bagai banteng mengamuk, dihabisinya semua lawan yang menghadang. Kaki dan tangannya menghantam dan menendang prajurit yang berani melawan.

"Yeaaat.." "Heaaat.." Deg Deg Deg Plak Plak "Mampus kalian..." dengus Ki Jalna Wangga geram. Lelaki berambut panjang yang juga dikenal dengan julukan si Pukulan Petir itu seperti tak ingin memberi ampun pada lawan-lawannya.

Mayat-mayat mulai berjatuhan, korban amukan Ki Jalna Wangga yang sudah kalap itu. Kerajaan Surya Langit jadi kacau-balau, berantakan diamuk Ki Jalna Wangga. Meskipun sudah lama mengasingkan diri dari dunia persilatan, Ki Jalna Wangga ternyata masih mampu menunjukkan kemampuannya. Belasan tahun Ki Jalna Wangga bersembunyi di Bukit Yuyu dekat Desa Kaliamba (Untuk lebih jelasnya, baca serial Pendekar Gila dalam episode "Sepasang Maling Budiman"). Baginda Raja Awangga panik dan cemas. Demikian juga permaisuri, setelah Perdana Menteri Giri Gantra menjelaskan keadaan kerajaan saat itu.

"Bodoh Kau hanya bermulut besar, Giri Gantra... Ternyata aku salah mengangkatmu menjadi perdana menteri Sekarang pergi hadapi Jalna Wangga.

Jangan biarkan dia memasuki ruangan ini... Atau aku sendiri yang membunuhmu...? Pergi..." bentak Baginda Raja Awangga dengan mata melotot. Mukanya merah menahan amarah.

Perdana Menteri Giri Gantra tak bisa berbicara apa-apa lagi. Dengan wajah pucat kakinya melangkah pergi dari tempat itu. Baginda Raja Awangga mencabut kerisnya, hendak pergi ke penjara bawah tanah, tempat ayah Pangeran Prapanca, bekas Raja Kerajaan Surya Langit ditahan.

"Kangmas... Mau ke mana kau...?" tegur permaisuri sambil menghadang Baginda Raja Awangga.

"Jangan halangi aku, Dimas" ujar Baginda Raja Awangga dengan nada marah. "Aku harus membunuh tua bangka itu Harus... Sebelum aku mati di tangan Prapanca" "Kau... Kau tak boleh melakukan hal itu, Kangmas. Dosamu sudah terlalu banyak Kangmas, jangan lakukan hal itu..." cegah permaisuri sambil menangis.

Namun Baginda Raja Awangga tak peduli. Tangannya disentakkan, menyingkirkan permaisuri.

"Huh..." "Kangmas..." pekik permaisuri, melihat kepergian suaminya. Dia tak kuasa mencegahnya.

Baginda Raja Awangga dengan wajah merah dan murka, terus melangkah ke ruang bawah tanah, ditemani dua orang pengawalnya.

Sementara itu, Pangeran Prapanca dan kawankawan telah tiba di Istana Kerajaan Surya Langit Ki Jalna Wangga yang melihat kedatangan Pangeran Prapanca, nampak gembira. Lelaki tua itu memberi isyarat, memberi tahu kalau Baginda Raja Awangga ada di dalam istana.

"Saya yang akan menangkap perdana menteri itu, Pangeran. Dan Pangeran urus Baginda Raja Awangga...." Pangeran Prapanca menepuk bahu Ki Jalna Wangga. Lalu melesat ke dalam istana. Pendekar Gila dan Mei Lie pun melesat mengikuti Pangeran Prapanca. Sedangkan yang lain menghadapi pengawal dan para prajurit kerajaan.

Suasana Kerajaan Surya Langit saat ini benarbenar mengerikan. Pertempuran seru tak dapat dihindari. Prajurit dengan beringas bertempur melawan para pendukung Pangeran Prapanca. Istana porak poranda. Darah tumpah di istana. Kemarahan tak tertahan lagi. Peperangan telah pecah kembali.

***
 Baginda Raja Awangga benar-benar sudah murka. Tak mengenal perikemanusiaan lagi. Sebelum membunuh ayah Pangeran Prapanca, terlebih dulu ia mau menghabisi para pengikut Prabu Jayawangga yang berada dalam penjara bawah tanah.

"Keluarkan mereka. Cincang, lalu bunuh Penggal kepalanya" perintah Baginda Raja Awangga dengan mata melotot lebar.

Penjaga segera membuka pintu, lalu dengan paksa menyeret orang-orang keluar, sambil mencambukinya. Satu persatu orang-orang tahanan itu hendak dipenggal kepalanya. Baginda Raja Awangga sendiri melangkah dan membuka pintu penjara tempat Prabu Jayawangga berada.

Lelaki berusia enam puluh tahunan itu meringkuk, ketika pintu penjara dibuka dengan keras. Seakan jantungnya terasa sakit. Samar-samar dipandanginya lelaki yang ada di ambang pintu penjara itu. Baginda Raja Awangga berdiri dengan angkuh. Di tangan kanannya tergenggam sebilah keris.

"Saat ini aku harus membunuhmu, Tua Bangka... Agar aku puas. Puas Ha ha ha..." ujar Baginda Raja Awangga seperti orang kesurupan. Tertawa-tawa sendiri, bicara sendiri, lalu kerisnya dihunus. Kemudian melangkah mendekati Prabu Jayawangga. Baginda Raja Awangga cepat mencengkeram lelaki tua itu.

"Huh" Dengan tangan kiri Baginda Raja Awangga mengangkat tubuh mantan raja yang sebenarnya ka-kaknya sendiri itu. Sedang tangan kanannya yang menggenggam keris, diangkat ke atas. Kemudian diayunkan hendak menusuk ke dada lelaki tua itu. Namun belum sempat keris itu menyentuh tubuh ayah Pangeran Prapanca, tiba-tiba sebuah benda memukul tangan Baginda Raja Awangga yang menggenggam keris.

Plak "Hah...?" pekik Baginda Raja Awangga kaget.

Keris di tangannya terlepas dan jatuh. Kepalanya sege-ra menoleh ke belakang. Tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di wajahnya. Sebuah benda keras yang ternyata tongkat dari kayu besi. Seketika Baginda Raja Awangga ambruk.

"Hi hi hi... Itulah ganjaran bagi orang durjana.

Hi hi hi..." Suara seorang wanita tua, yang tak lain Nyi Kemuning Sari, bekas kekasih Singo Edan. Nyi Kemuning Sari kemudian dengan gerakan cepat menotok tubuh Baginda Raja Awangga. Hingga lelaki itu tak bisa lagi bergerak. Seperti mati.

Tak lama kemudian muncul Pangeran Prapanca, Pendekar Gila, dan Mei Lie. Ketiganya terkejut melihat mayat sudah bergelimpangan di ruangan itu. Ternyata dua penjaga dan delapan pengawal tewas dengan kepala pecah. Mengerikan Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil cengar-cengir. Mei Lie mengerutkan kening, merasa heran. Sedangkan Pangeran Prapanca menghambur ke dalam penjara, mencari ayahnya. Namun tak ditemukan.... Pangeran Prapanca nampak cemas dan kebingungan.

"Sena... Mei Lie Ayahku tak ada... Apakah dia..." Pangeran Prapanca tak sempat meneruskan ka-ta-katanya. Karena tiba-tiba terkejut oleh tawa seorang wanita. Pangeran Prapanca mencari asal suara. Begitu juga Mei Lie. Namun Sena hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Dia sudah tahu siapa wanita itu. Dan tahu, kalau ayah Pangeran Prapanca selamat.

"Hi hi hi... Kalian semua masih kurang pintar, dan kurang cepat bertindak..," ujar Nyi Kemuning Sari yang muncul langsung memaki ketiga pendekar muda itu.

"Nyi Kemuning Sari...?" Pangeran Prapanca tersentak. Pendekar Gila dan Mei Lie lalu menjura, memberi hormat pada Nyi Kemuning Sari.

"Maafkan kami, Nyi..," ujar Sena kemudian. La-lu kembali menggaruk-garuk kepala.

"Saya juga mohon maaf, Nyi..." sambung Mei Lie.

"He he he... sudahlah Yang penting kalian selamat. Dan semua ini menjadi pelajaran bagi kalian.

Sena... Kalau Kakang Singo Edan tahu muridnya ceroboh, dia akan menghukummu...." Pendekar Gila hanya diam dan terus menggaruk-garuk kepala.

"Bagaimana Nyi tahu-tahu sudah berada di sini...?" tanya Pangeran Prapanca keheranan. "Dan di manakah ayahku, Nyi...?" "Hm..., Anak Muda. Tak usah kau tanya bagaimana aku bisa berada di sini, sebelum kalian datang.

Aku telah mengetahui, sebelum kalian tahu," jelas Nyi Kemuning Sari. "Dan kau Prapanca, tak usah cemas, temuilah ayahmu Aku amankan dia di sana...," kata Nyi Kemuning Sari lagi sambil menunjuk ke sebuah pintu. "Oh... Terima kasih, Nyi.... Terima kasih..." Pangeran Prapanca menjura, lalu cepat berlari ke pintu yang ditunjuk Nyi Kemuning Sari.

Pendekar Gila dan Mei Lie tampak gembira.

Tangan Mei Lie memegang tangan Sena dengan lembut. Gadis Cina itu tersenyum manis pada kekasihnya yang hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. "Sena, Mei Lie. Ayo, kita lihat bagaimana keadaan di luar..." ajak Nyi Kemuning Sari, lalu melesat mendahului muda-mudi itu. Pendekar Gila dan Mei Lie merasa kagum dan bangga melihat kekasih gurunya yang sudah tua, namun masih gesit dan berilmu tinggi.

Kerajaan Surya Langit yang dipimpin Baginda Raja Awangga telah runtuh. Baginda Raja Awangga kini tertangkap sebagai tawanan Pangeran Prapanca yang kini menjadi Raja Kerajaan Surya Langit. Namun Perdana Menteri Giri Gantra yang licik dan berhati kejam itu, ternyata dengan licik dapat lolos, kabur entah ke mana.

Rakyat dan para pejabat kerajaan bergembira ria menyambut bangkitnya kembali Kerajaan Surya Langit Ki Jalna Wangga dari Pranala diangkat menjadi perdana menteri dan panglima perang.

Pesta kemenangan, dirayakan dengan meriah.

Pendekar Gila dan Mei Lie pun nampak gembira.

Begitu Juga Nyi Kemuning Sari, serta adiknya Buto Gege.

Ternyata kebajikan akhirnya dapat meruntuhkan, mengalahkan dan menumpas kejahatan. Kerajaan Surya Langit kini kembali menjadi kerajaan yang aman dan sejahtera, di bawah kekuasaan Prabu Prapanca.

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar