Peristiwa Burung Kenari (Hua Mei Niao) Bab 11. Kepergok Penjaga Sin Cui Kiong

Peristiwa Burung Kenari (Hua Mei Niao) Bab 11. Kepergok Penjaga Sin Cui Kiong
Peristiwa Burung Kenari
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 11. Kepergok Penjaga Sin Cui Kiong

Suara gemericik air tepat berada di bawah kaki Hiong nio cu, saat mana kedua tangannya sedang memegangi kantong kulit itu, sementara mulutnya sedang meniupkan angin sekuat-kuatnya ke dalam kantong kulit itu.

Seperti balon cepat sekali kantong kulit itu sudah melembung besar, bundar mirip benar dengan sebuah ban dalam sebuah truk.

Baru sekarang Coh Liu-hiang sadar dan paham, batinnya: “Kiranya kantong kulit itu dia gunakan sebagai rakit, lalu naik rakit kulit ini berdayung ke dalam Sin cui kiong mengikuti arus air.” betul juga dilihatnya Hiong nio cu sudah menaruh rakit kulit itu diatas air, lalu diulurkan sebelah kakinya untuk mencoba kekuatan daya tahan rakit kulit ini, lalu pelan-pelan dia melangkah masuk dan duduk didalamnya.

Kejap lain kulit ini terang akan bergerak mengikuti arus air yang mengalir cukup deras, disaat Coh Liu-hiang kebingungan dan kehabisan akal, cara bagaimana dirinya harus menguntit lebih jauh, tak nyana tiba-tiba terdengar cuara “Cesss” sigap sekali Hiong nio cu mencelat keluar dari rakit kulitnya, pakaian sarinya yang serba putih laksana salju itu beterbangan terhembus angin seolah-olah sudah senyawa dengan kabut putih yang memenuhi udara.

Sementara rakit kulit itu berputar-putar secepat roda di permukaan air, semakin putar semakin kecil, kira-kira setelah berputar tujuh delapan belas kali, lalu terdengar “blup” rakit kulit itu mencelat naik ke udara.

Agaknya secara diam-diam ada seseorang yang bertangan jahil menyambit dengan sesuatu sehingga rakit kulit yang penuh diisi hawa itu bocor, seperti ban yang bocor maka rakit kulit itu lantas berputar-putar dengan cepat.

Dalam pada itu Hiong nio cu sudah mencelat naik ke daratan, sorot matanya memancarkan rasa kaget dan keheranan, tiba-tiba dia membanting kaki, baru saja dia hendak putar tubuh melarikan diri, ditengah-tengah tebalnya kabut di sebelah depan sana tiba-tiba terdengar suara tawa yang lirih merdu. Sebuah suara yang genit aleman berkata: “Kau sudah kemari, kenapa harus berlalu?”

Maka terdengar pula suara air tersiak, tahu-tahu sebuah sampan meluncur mendatangi melawan arus muncul ditengah-tengah kabut tebal, di ujung sampan berdiri sesosok bayangan putih yang berperawakan ramping menggiurkan, di tangannya memegang sebuah galah panjang, cepat sekali sampan itu sudah merapat ke daratan, maka seringan burung walet badannya melayang naik kehadapan Hiong nio cu.

Hiong nio cu menghela napas, ujarnya: “Ternyata kau.”

Gadis baju putih itu tersenyum, katanya: “Benar, kau tak menduga bukan? Tapi aku sudah tahu pasti kau akan datang, maka siang-siang sudah kutunggu kau disini!”

Lembah nan tersembunyi, kabut tebal, air mengalir, seperti perempuan kenyataan laki-laki, benggolan jahat kalangan Kangouw bangkit kembali dari liang kuburnya, semua ini sungguh merupakan serangkaian kejadian yang misterius dan sukar diterima oleh nalar sehat.

Tahu-tahu ditengah kabut tebal itu muncul pula sebuah sampan dengan perempuan cantik laksana bidadari, sehingga Coh Liu-hiang yang menyaksikan ditempat sembunyinya merasa kaki tangan menjadi dingin.

Apakah semua yang disaksikan ini kenyataan? Atau khayalan? Siapapun sukar membedakan. Terasa olehnya perempuan serba putih ini sedemikian berisi, cantik dan montok gemulai lagi, seolah-olah indah tiada bandingan lagi keayuannya, tapi kabut terlalu tebal, dari jarak di tempatnya sembunyi, sukar melihat jelas siapa gerangan gadis jelita ini.

Lama Hiong nio cu berdiam diri, lalu katanya menghela napas. Sebetulnya aku tak ingin kemari, tapi aku dipaksa untuk datang kemari.

Tiba-tiba gadis itu menghentikan tawanya katanya: “Memangnya kau sudah lupa akan sumpahmu sendiri pada masa lalu?” Mendengar suara ini terasa oleh Coh Liu-hiang bahwa dia sudah kenal betul dengan suara ini. Maka dilihatnya gadis itu berdiri berhadapan dengan Hiong nio cu yang sama serba putih, dinilai dandanan, gaya dan kecantikannya dua-duanya laksana pinang dibelah dua.

“Aku tak pernah lupa.” sahut Hiong nio cu rawan. “Tapi aku hanya ingin menengok kuburan putriku saja.”

Gadis baju putih itu berkata: “Apa sih yang patut kau lihat, toh hanya segundukan tanah kuning melulu, kalau kau ingin melihat pergilah tengok kuburan-kuburan para gadis yang pernah kau nodai, bukankah kuburan di kolong langit ini sama saja?” kata-katanya ini mendadak runcing dan menusuk pendengaran, setelah mendengar kata ini baru Coh Liu-hiang sadar bahwa perempuan ini ternyata adalah Kionglam Yan, karena mimpipun Coh Liu-hiang tak pernah membayangkan, perempuan kaku dingin disaat mengatakan kata-katanya yang pedas itu masih bisa tertawa.

Tak kira didengarnya Kionglam Yan cekikikan lagi katanya lembut: “Maaf ya, bukan sengaja aku hendak melukai hatimu dengan kata-kata sekasar itu, jangan kau marah padaku! Aku… selanjutnya pasti takkan kukatakan lagi!”

Kembali Coh Liu-hiang dibuat sangsi akan pendengaran kupingnya. Betapapun dia takkan percaya Kionglam Yan bakal mengucapkan kata-kata seperti itu. Tapi perempuan ini terang adalah Kionglam Yan, dengan langkah gemulai dia mendekati Hiong nio cu, Hiong nio cu hanya berdiri mematung di tempatnya, entah apa yang sedang berkecamuk didalam benaknya?

Kionglam Yan unjuk senyuman mekar, katanya lembut: “Apakah aku berhadapan dengan muka aslimu? Tak heran dia selalu mengatakan wajahku hampir mirip dengan mukamu, malah jauh lebih mirip kau dari putrimu sendiri.”

Mendadak Hiong nio cu angkat kepala, tanyanya: “Dia… dia sering menyinggung diriku di hadapanmu?”

“Hm! Kionglam Yan menjawab dengan suara aleman. Pelan-pelan dia bergerak jalan mengelilingi Hiong nio cu, satu putaran lalu berhenti di depannya pula, sepasang mata yang jeli dan bening bundar tanpa berkedip menatap muka orang, katanya pelan-pelan: “Apa kau pun sering teringat kepadanya?”

Hiong nio cu menghela napas, katanya: “Beberapa tahun belakangan ini, siapapun sudah kulupakan semua.”

Kionglam Yan cekikikan lagi, katanya: “Tipis sekali cintamu, tidakkah kau tahu betapa orang memikirkan kau sampai pergi mati datang hidup, kau sebaliknya melupakan orang sama sekali, memangnya tiada seorangpun dalam jagat ini yang benar-benar dapat menggerakkan atau menimbulkan seleramu?”

“Tidak ada.” sahut Hiong nio cu. Pelan-pelan dia menggigit bibir, sikap dan gayanya mirip benar dengan seorang gadis aleman yang malu-malu.

“Baru sekarang aku tahu kau sebetulnya memang seorang siluman yang pandai memelet orang, tak perlu heran bahwa sekian banyak gadis-gadis cantik yang rela menjadi korban keisenganmu, sampai aku… akupun…” agaknya mukanya menjadi merah, kepala tertunduk kedua tangan mengucek-ngucek ujung bajunya.

Terpancar sinar terang dari biji mata Hiong nio cu, katanya lembut: “Kaupun kenapa?”

Tertunduk semakin dalam kepala Kionglam Yan, katanya: “Orang lain sering bilang kau paling memahami keinginan perempuan, memangnya kau belum tahu akan keinginanku? Memangnya kau belum tahu akan isi hatiku?”

Pelan-pelan Hiong nio cu menarik tangannya tiba-tiba dia lepas tangan pula, katanya menghela napas panjang: “Lebih baik kalau aku tidak mengerti saja.”

“Kenapa?”

“Karena kau berbeda dengan kebanyakan gadis lainnya, aku tidak bisa… tidak bisa menodai kau.”

“Tapi aku inipun seorang perempuan, akupun ingin… ingin…”

“Dalam pandanganku, selamanya kau adalah sedemikian halus, hangat, suci dan agung begitu molek dan lincah, asal bisa mengawasimu dari kejauhan hatiku sudah puas.”

Umpamanya gadis-gadis remaja sama suka mendengar omongan seperti ini, setiap gadis pasti mengharap pandangan laki-laki terhadapnya pasti berbeda dengan pandangan orang lain, semua sama mengharap laki-laki memuja mencintainya. Gadis remaja yang sedang mekar bila setelah mendengar bujuk rayu sehalus ini dia masih kuasa menolak keinginannya, sungguh merupakan suatu kejadian yang aneh. Diam-diam Coh Liu-hiang merasa beruntung dan terhibur juga, untung bahwa tiada seorang hidung belang yang sedang mencuri dengar percakapan ini. Jikalau para hidung belang mencuri belajar kata-kata rayuan selembut itu, entah berapa banyak gadis-gadis suci dalam dunia ini yang bakal menjadi korban.

Tapi setelah berpikir-pikir lagi, mau tidak mau Coh Liu-hiang tertawa getir sendiri, pikirnya: “Seorang laki-laki bila dia berbakat dinamakan hidung belang, dengan sendirinya dia sudah pandai merangkai kata-kata mutiara yang lebih mengasyikkan, buat apa harus mencuri belajar dari orang lain?”

Bintang-bintang sudah kelap-kelip di cakrawala. Di bawah pancaran sinar bintang sesejuk ini, perempuan yang paling kuat imannya pun akhirnya pasti runtuh, dan menjadi lemas, saat itu Kionglam Yan sudah rebah didalam pelukan Hiong nio cu.

Sambil mengelus rambutnya berkata Hiong nio cu pelan-pelan: “Tentunya kau tahu, kita tak mungkin hidup berdampingan selamanya.”

“Aku tahu.”

“Kau tidak menyesal?”

“Aku pasti tak menyesal, asal bisa menikmati sekali saja, sehingga meninggalkan kenangan abadi sepanjang masa, umpama aku harus segera mampus akupun suka rela.”

Hiong nio cu tidak banyak kata lagi, jari-jarinya sudah masuk ke dalam pakaian tipis orang, mulai menggeremet dari satu ke lain tempat, menyelusuri tanah tandus yang halus terus naik ke lembah hangat merambat ke atas bukit dan memelintir puting nan bundar kenyal laksana buah anggur.

Coh Liu-hiang meski bukan seorang Kuncu, namun dia tidak tega melihat adegan romantis yang merangsang ini, pelan-pelan dan hati-hati dia membalik badan rebah terlentang, bintang-bintang seperti sedang berkedip-kedip main mata sama dia.

Kionglam Yan gadis yang di pandangannya suci agung ternyata perempuan cabul yang rela menyerahkan kemurniannya sendiri. Akan tetapi gadis remaja setelah menanjak dalam usia ini, memangnya siapa pula yang tak mendambakan buaian asmara?

Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, mengelus dada, diam-diam tertawa getir, Seolah-olah dia sendiri amat menyesal, kenapa dirinya dulu melepas kesempatan yang baik itu.

Tak tahan Coh Liu-hiang menoleh lihat ke arah sana, tampak Hiong nio cu sedang bangkit berduduk di atas sampan kecil itu, sahutnya menghela napas: “Akupun merasa berat untuk pergi, tapi waktu amat mendesak, aku harus pergi.”

“Kau hendak mencari kuburan anak King mu…?”

“Bagaimana juga jelek-jelek aku ini ayahnya, adalah pantas aku menengok keadaannya terakhir kali.”

Tak usah kau tergesa-gesa, nanti ku ajak kau kesana, hayolah… sekarang…” sebuah tangan putih halus tampak terulur keluar dari dalam sampan, Hiong nio cu tertarik rebah lagi memang sejak tadi dia menunggu ucapan Kionglam Yan ini.
Sudah tentu Coh Liu-hiang cukup tahu bahwa Hiong nio cu memang sedang memperalat dia, sedang memancing kata-katanya ini, tapi bukan saja dia tak bisa membongkar isi hati orang, diapun tak kuasa mencegah adegan romantis berlangsung, karena Kionglam Yan sendiri yang menyerahkan diri secara suka rela.

Dia cukup tahu bila seorang gadis sudah bertekad untuk menjajal atau menikmati yang ingin dia rasakan itu, siapapun jangan harap bisa mencegah keinginannya itu, kalau tidak umpama dia tak membunuhmu, maka dia akan membencimu seumur hidup.

Sampan kecil yang berlabuh itu tiba-tiba bergoyang-goyang, dari pelan semakin keras seolah-olah ada gempa bumi atau riak air yang gemericik itu menjadi bergolak, angin malam yang menghembus sepoi-sepoi diselingi suara rintihan dan keluhan yang merangsang hati dan membaurkan pikiran.

Sinar bintang semakin redup. Terpaksa Coh Liu-hiang sudah memejamkan mata. Tapi kedua telinganya tak bisa dicegah untuk mendengarkan. Sesaat kemudian terdengar bisikan Kionglam Yan, berkata: “Kau sungguh… hebat, tak heran para gadis rela mati untuk kau, tak heran selamanya dia tak bisa melupakan kau, mungkin sampai ajalnyapun takkan melupakan kau.”

Mendengar sampai di sini, Coh Liu-hiang dibuat heran pula, Si dia yang dimaksud oleh Kionglam Yan sebenarnya siapa? Apakah kekasih Hiong-nio cu?

Deru napas Hiong nio cu semakin memburu terdengar suaranya mendengus-dengus “Kau pun pintar sekali!”

“Apa aku lebih baik dari dia?”

“Kenapa kau selalu menyinggung dia, memangnya kau dan diapun…”

Tiba-tiba Kionglam Yan tertawa terpingkal-pingkal, katanya: “Tahukah kau kenapa aku ingin bergaul dengan kau?”

Agaknya Hiong nio cu melengak, katanya: “Memangnya kau lantaran dia?”

“Benar, lantaran dia memilikimu, maka aku pun harus memilikimu.” baru saja lenyap kata-katanya ini, sekonyong-konyong Hiong nio cu mengeluarkan jeritan yang menyayat hati.

Keruan kaget Coh Liu-hiang bukan kepalang, sigap sekali dia membalik badan dan melongok kesana, tampak dengan badan telanjang bulat Hiong nio cu tengah berdiri dari atas sampan, dengan sekujur badan gemetar dia menyurut mundur keujung sampan.

Dibawah pancaran sinar bintang, ditengah kabut tebal, tampak kulit dadanya yang putih halus dan bidang itu, berlepotan darah, dan masih menyembur dengan deras.

Terdengar Kionglam Yan masih tertawa-tawa terkekeh-kekeh, katanya: “Kenapa kau kaget, aku hanya ingin memiliki hatimu, akan kukorek hatimu untuk kulihat biar jelas.”

Dengan kedua tangan Hiong nio cu mendekap luka-luka di dadanya, suaranya gemetar: “Kau… kenapa kau harus berbuat demikian?”

“Masa kau belum tahu? Kau masih kira aku betul-betul menyukai kau?” tanyanya masih terkekeh-kekeh, tiba-tiba diapun mencelat berdiri, di bawah penerangan bintang, potongan badan gadis yang ramping montok kelihatannya laksana tembus cahaya seperti terbuat batu jade. Akan tetapi raut mukanya justru dilumuri hawa siluman yang sadis, pancaran sinar matanya yang indah penuh diliputi kebencian dan nafsu membunuh yang sadis, ditatapnya Hiong nio cu lekat-lekat, katanya: “Biar kuberitahu kepadamu terus terang, sejak lama aku sudah ingin membunuhmu, aku tak tahan setiap kali mendengar dia menyinggung dirimu di hadapanku, dikatakan betapa miripku dengan kau setiap kali dia menyinggung dirimu, serasa aku hampir gila dibuatnya.”

Hiong nio cu berkata terputus putus dengan gemetar: “Kau… kau cemburu? Memangnya kau benar-benar jatuh cinta kepadanya?”

“Kenapa aku tak boleh mencintainya?” sentak Kionglam Yan. “Kenapa tidak boleh?”

Hiong nio cu mengawasinya dengan pandangan kesima dan kaget! Pelan-pelan ia roboh.

Kini Coh Liu-hiang lebih kebingungan lagi, si “dia” yang diperbincangkan oleh kedua orang ini entah lelaki atau perempuan, susah dimengerti oleh Coh Liu-hiang, kalau dia lelaki, masakah mungkin dia orang adalah kekasih Hiong nio cu? Memangnya Hiong nio cu juga sering main homoseks? Sebaliknya kalau dia adalah perempuan, kenapa pula Kionglam Yan bisa jatuh hati kepadanya? Memangnya Kionglam Yan biasa bermain lesbian dengan sesama jenis?

Sungguh sukar Coh Liu-hiang untuk menentukan hubungan satu sama lain diantara kedua orang ini dengan si dia itu. Sungguh hubungan yang misterius dan rumit serta sukar dijajagi hubungan ketiga orang ini.

Maka terdengar “Byuur!” badan Hiong nio cu yang telanjang itu tercebur ke dalam air, penyesalan dan bertobat selama dua puluh tahun, akhirnya tetap tak bisa mencuci bersih dosa-dosa yang pernah diperbuatnya. Betapapun akhirnya dia mampus ditangan seorang perempuan.

Berdiri di ujung sampan, dengan mendelong Kionglam Yan mengawasi aliran air di bawah penerangan sinar bintang. Dilain saat diapun terjun ke dalam air, setiap jengkal setiap senti kulit badan dari rambut sampai ke kaki dia cuci dengan teliti dan bersih, setelah dia mengenakan pakaiannya lagi, dia kelihatan tetap agung dan suci.

Malam semakin berlarut, kabut malah menipis. Suara air tersiak pula, sampan kecil itu mulai berlaju di permukaan air terus mengalir cepat mengikuti aliran air.

Tanpa banyak pikir lagi, dengan hati-hati Coh Liu-hiang sedang membenamkan diri ke dalam ini, Orang sering bilang ilmu Ginkangnya tiada tandingan di seluruh kolong langit, dia sendiri sebaliknya berpendapat kepandaian renang didalam airnya justru jauh lebih sempurna dari ilmu Ginkangnya di daratan. Umpama ikan-ikan yang pandai berlompatan selulup ke dalam airpun takkan bergerak selincah dan secepat dia.

Sampan itu berlalu di depan permukaan air, dia selulup didalam air menguntit di belakang secara diam-diam, dia yakin dan percaya, Kionglam Yan pada saat dan dalam keadaan seperti ini tak menyadari bahwa dirinya sedang dikuntit seseorang. Maklumlah siapapun orangnya setelah selesai menikmati surga dunia perasaannya pasti berobah rada kebal dan kurang peka.

Sepanjang jalan dari pinggiran aliran sungai kecil ini pasti dihiasi pemandangan yang mengasyikkan ditimpah sinar bintang diselimuti kabut tebal, meski Coh Liu-hiang berada didalam air, dan tak bisa menikmati keindahan panorama ini, namun dia bisa membayangkan, memangnya sesuatu yang dibayangkan itu selamanya jauh lebih cantik, indah dari kenyataannya itu sendiri.

Entah berapa lama dan betapa jauh kejar mengejar secara diam-diam itu berlangsung, tahu-tahu didapati oleh Coh Liu-hiang sampan kecil itu membelok ke sebuah selokan gunung, rumput-rumput air di dasar selokan gunung ini lebih banyak, malah terasa lebih dingin dan mengeluarkan semacam bau yang menyeramkan. Sebetulnya ingin dia menongolkan kepalanya di permukaan air untuk melihat beberapa kejap lagi dia lantas mendengar suara sampan itu sudah mendekati dermaga dan orangnya pun sudah mendarat.

Dia tetap tak menongolkan kepalanya, memang Coh Liu-hiang belum pernah mencoba tahu berapa lama sebenarnya dirinya tahan berada didalam air, yang terang Song Thiam-ji selalu beranggapan bahwa dirinya bisa mendunia di bawah air, memang jauh lebih tenang dan tentram daripada di daratan. Lama pula dia menunggu, masih tetap tak mendengar suatu apa-apa. maka dia mencomot sebongkah rumput air untuk menutupi kepalanya, pelan-pelan dia pentang kedua matanya yang masih sedikit di bawah permukaan air untuk melihat keadaan di atas.

Dia akhirnya melihat Sin cui kiong. Ini bukan lembah gunung didalam kehidupan manusia lebih mirip kalau dikatakan sebuah gambar lukisan panorama yang paling indah dikolong langit ini.

Teringat oleh Coh Liu-hiang akan cerita Soh Yong-yong, bahwa didalam lembah gunung ini terdapat ratusan jenis burung-burung besar kecil, kini burung-burung sedang tertidur, namun orang-orang penghuni lembah ini justru belum tertidur. Diantara celah-celah dedaunan di dalam hutan laksana lukisan itu, kelihatan titik titik sinar api yang membayangkan bentuk bangunan pondok-pondok berloteng dan gubuk-gubuk mini yang dibangun dengan bentuk yang berseni, pagar bambu dan atap alang-alang, terbayang pula panorama indah dari curahan air yang tumpah dari langit.

Air terjun itu tumpah dari tempat ketinggian sehingga jatuhnya air yang berhamburan laksana benang sutra dan butiran-butiran mutiara itu amat deras, anehnya air terjun yang begitu besar seperti dituang dari langit ini setelah airnya tumpah memenuhi danau kecil di sebelah bawahnya, getaran tumpahnya air tak menimbulkan suara berisik, malah kedengarannya seperti irama petikan harpa yang merdu sehingga amat mengasyikkan dan menyejukkan kalbu, terang sekali didalam danau itu pasti dipasangi apa sehingga mengurangi tekanan derasnya air mengerojok dari atas.

Ditengah hembusan angin lalu, sayup-sayup terdengar pula suara rengketan bambu yang melambai ditiup angin, dikombinasi dengan suara gemericiknya air, sehingga lembah gunung nan indah laksana sebuah lukisan gambar ini terasa begitu aman tentram dan sejuk.

Tapi teringat pula oleh Coh Liu-hiang akan peringatan bibi Soh Yong-yong yang bilang: “Jikalau kau sembarang mondar-mandir didalam lembah ini, seketika kau akan ketimpa kemalangan” ditempat aman dan tentram seperti ini, darimana pula datangnya malapetaka?

Lapat-lapat Coh Liu-hiang sudah mendapat firasat kelihatannya lembah ini memang tenang dan tentram, hakikatnya Sin cui kiong bukanlah sebuah tempat suci bersih seperti yang tersiar diluaran. Pasti di lembah ini tersembunyi suatu rahasia besar yang menakutkan dan mengejutkan masyarakat umumnya bila segalanya sudah terbongkar.

Kedatangan ini bukan saja hendak memberi penjelasan salah paham kepada Cui bo “induk air” im ki, diapun sudah bertekad untuk menyelidiki rahasia yang terpendam itu, maka segala gerak-gerik dan langkahnya harus amat hati-hati dan perhitungan dengan seksama.

Sampan kecil itu masih terapung di atas air terikat seutas tali yang ditambatkan pada sebuah pohon. namun Kionglam Yan pula sudah tak kelihatan bayangannya. Lembah sebesar ini, tenggelam didalam suasana hening tak kelihatan bayangan seorangpun, Coh Liu-hiang jadi ragu-ragu dan kebingungan dari mana dia harus mulai bergerak atau turun tangan.

Setelah menimang-nimang sebentar, tiba-tiba teringat akan pengalaman Bu Hoa seperti yang diceritakan Cay Tok hing menurut buku catatan Bu Hoa sendiri, setiap persoalan yang terjadi, semuanya bersumber dari sebuah kuil Nikoh kecil didalam lembah ini. Waktu dia mendongak ke atas sana, benar juga di kaki bukit sana memang terdapat sebuah kuil kecil.

Apakah Induk Air bersemayam didalam kuil kecil itu? Coh Liu-hiang sudah bertekad apapun yang terjadi dia akan masuk terlebih dulu ke kuil kecil itu.
Sinar pelita didalam kuil amat guram, mata apinya yang kelap-kelip sebesar kacang laksana kunang-kunang yang kelap-kelip dimalam hari.

Hampir setengah jam Coh Liu-hiang menghabiskan waktu untuk menyusup tiba kearah kuil kecil itu, dia yakin dirinya pasti tak mengeluarkan suara yang lebih keras dari bunyi nyamuk terbang. Meski dari pinggir sungai ke kuil kecil itu bukan jarak yang jauh, tapi di kolong langit ini kecuali Coh Liu-hiang seorang, mungkin tiada orang kedua mencapai ke tempat tujuannya.

Kuil kecil ini terbenam di dalam kesunyian tak kelihatan bayangan seorangpun, segalanya bersih tak berdebu, sampai pun undakan batu di luar pintu kuilpun tercuci bersih sampai mengkilap laksana kaca, sehingga orang bisa bercermin di sana. Sebuah pelita dengan mata api sebesar kacang, kelap-kelip di depan sebuah kain gordyn yang menjuntai turun menutup pemujaan di sebelah dalamnya. Cukup lama Coh Liu-hiang sudah memeriksa keadaan sekelilingnya dengan cermat, setelah yakin di sekitarnya memang tiada orang, baru dia berani mencelat masuk ke dalam.

Dia tahu didalam kuil kecil ini pasti terdapat sebuah jalan rahasia di bawah tanah, bukan mustahil menembus ke tempat kediaman Induk Air Im ki, tapi dimanakah letak dari mulut jalan rahasia itu? Di depan meja pemujaan terdapat dua buah kasur bundar ini? Dengan hati-hati Coh Liu-hiang memindahkan kedua kasur bundar tempat duduk samadhi itu. tapi bawah kasur itu dan ini merupakan batu yang rata pula, dengan menghela napas dia merasa kecewa dan putus asa, pelan-pelan sorot matanya beralih ke arah tempat pemujaan yang teraling kain gordyn. Tak tahan dia sudah ulurkan tangan hendak menyingkap kain gordyn itu.
Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar helaan napas. Helaan napas ini amat lirih, tetapi bagi pendengaran Coh Liu-hiang sekarang helaan napas ini laksana guntur yang menggelegar di pinggir telinganya, ingin dia mundur, tapi dia insaf sudah tak keburu lagi mengundurkan diri.

Di bawah penerangan api kuning itu, tampak olehnya sesosok bayangan putih laksana sukma gentayangan saja tahu-tahu orang mucul dari bawah tanah, kini orang sedang berdiri tegak di tempatnya mengawasi Coh Liu-hiang. Terdengar orang menghela napas serta berkata: “Sudah dua puluh tahun tempat ini tak pernah mengalirkan darah, buat apa kau ingin mati di sini?”

Dengan tertawa getir Coh Liu-hiang kucek-kucek hidungnya, sahutnya: “Bicara terus terang, aku sih tidak ingin mati.” kini dilihatnya dengan jelas orang adalah perempuan yang amat cantik, cuma sang waktu yang tak kenal kasihan sudah meninggalkan bekas yang tak kenal perasan, sungguh amat kasihan.

Walaupun sorot matanya dingin kaku, namun tidak mengandung nafsu membunuh atau maksud jahat. Apakah dia ini Induk Air Im Ki yang amat ditakuti oleh tokoh-tokoh silat di seluruh jagat itu? Nyonya cantik pertengahan umur yang berpakaian serba putih ini tengah berdiri tenang mengawasinya.
Coh Liu-hiang unjuk tawa dibuat-buat, katanya pula: “Kedatangan Wanpwe kemari tidak lebih hanya ingin berhadapan langsung dan melihat muka Kiong-cu sekali saja.”

Nyonya ayu serba putih itu geleng-geleng kepala, ujarnya: “Aku bukan orang yang ingin kalian temui, kalau tidak masakah kau sekarang masih bisa hidup?”

Berkilat mata Coh Liu-hiang, tanyanya : “Lalu Cianpwe adalah…”

“Orang yang sudah dekat ajal, buat apa kau tanyakan nama orang lain?”

“Kalau Cianpwe hendak bunuh aku, kenapa tidak segera turun tangan?”

“Aku tak bisa turun tangan. Didalam dunia ini aku hanya punya seorang famili, masakah aku tega membunuh lelaki pujaan hatinya?”

Tergerak hati Coh Liu-hiang, tanyanya: “Cianpwe tahu aku adalah…”

Tertawa getir nyonya ayu itu, ujarnya pula: “Kecuali Coh Liu-hiang si Maling Romantis, dalam dunia ini siapa yang mampu mendatangi tempat ini? Memangnya siapa pula yang bernyali begitu besar?

Coh Liu-hiang menjura dengan hormat, katanya: “Sudah lama Wanpwe dengan Yong-ji mengatakan tentang kau orang tua, hari ini dapat berhadapan dengan kau orang tua sungguh merupakan keberuntungan dan nasib baik Wanpwe.”

“Akupun pernah dengar Yong-ji bercerita tentang dirimu, jikalau bukan kau, entah Yon-ji bakal keluyuran kemana dan jadi apa sekarang, untuk membalas budi kebaikanmu itu maka sekarang akupun tidak akan mempersulit dirimu.” lalu dia celingukan ke sekeliling, katanya lebih lanjut: “Untung hari ini giliranku berjaga dan meronda, orang lain tidak akan datang kemari, lekas kau menyingkir.”

“Wanpwe sudah berada di sini, betapapun Wanpwe ingin berhadapan dengan Im-kiong cu.”

Nyonya setengah umur itu seketika menarik muka, katanya bengis: “Selamanya kau takkan bisa menemuinya, kecuali kau memang sudah bertekad hendak mati disini.”

“Mohon kau orang tua suka memberi penerangan jalan, Wanpwe sudah amat berterima kasih, soal lain, sekali kali Wanpwe takkan berani mohon bantuan dan mencapaikan Cianpwe.”

Bahwasanya nyonya setengah umur tidak hiraukan dirinya, katanya mengulap tangan: “Lekas pergi, terlambat sedikit, kau tidak akan bisa lolos lagi, lekas.”

Seolah-olah Coh Liu-hiang tidak mengerti apa yang dianjurkan orang, katanya sambil bersoja: “Wanpwe tahu di sini ada sebuah jalan rahasia.”

“Jalan rahasia?” berubah muka nyonya pertengahan umur, “Jalan rahasia apa?”
Melihat dirinya menyinggung “jalan rahasia” muka orang lantas berubah hebat.

Coh Liu-hiang tahu bahwa jalan rahasia itu pasti mempunyai arti yang amat besar sekali. Maka dia semakin membandel, katanya unjuk tawa: “Kalau di sini tiada jalan rahasia, kau orang tua muncul darimana?”

Agaknya nyonya pertengahan umur menjadi gusar, dampratnya: “Memangnya kau sudah bosan hidup?”

“Kalau Cianpwe tak mau menerangkan, terpaksa Wanpwe biar mati di sini saja.”
Dengan tajam nyonya setengah tua ini menatap Coh Liu-hiang lekat-lekat, sungguh belum pernah dia berhadapan dengan lelaki sekukuh ini, lebih tak pernah terbayang olehnya dalam keadaan genting ada orang masih dapat tersenyum simpul seriang itu.

Tapi Coh Liu-hiang memang amat tabah dan berani, orang tak menjawab, diapun berdiri diam dan menunggu dengan sabar. Pada saat itulah suara paduan musik yang mengalun sayup-sayup itu seperti menjadi cepat dan keras laksana butiran air hujan yang berjatuhan di atas daun pisang, seperti mutiara yang bergelimpangan di atas nampan berderai cepat tak putus-putus.

Rona muka nyonya tua ini seketika berubah pula, tanyanya dengan kereng: “Siapa lagi yang datang bersama kau?”

“Hanya Wanpwe seorang saja, tiada…”

Gelisah dan gugup air muka nyonya setengah tua ini tukasnya: “Irama musik memberi tanda ada orang luar yang menerjang masuk ke dalam lembah, jikalau bukan teman-temanmu memangnya siapa mereka?”

Baru sekarang Coh Liu-hiang betul-betul terkejut, baru sekarang pula dia tahu betapa kuat penjagaan pihak Sin cui kiong, sampaipun irama musik laksana lagu-lagu dewata itupun merupakan alat pertanda untuk memberi isyarat bagi mereka.
Cepat sekali nyonya setengah tua ini melangkah ke ambang pintu, lalu melongok keluar, cepat sekali dia sudah mundur kembali, katanya bengis: “Meski sekarang orangnya belum tiba tapi begitu isyarat musik mengalun tinggi, semua petugas akan segera menempati pos-pos penjagaan masing-masing siapapun kalau berani masuk selangkah ke dalam lembah, jangan harap dia dapat kembali pula, kenapa tak lekas kau berlalu, kau tetap tinggal di sini memangnya kaupun ingin menyeret aku ke dalam jurang nista?”

Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: “Kalau lembah ini sudah menjadi lembah buntu, mungkin burungpun takkan bisa terbang lolos, lalu Wanpwe harus menyingkir kemana?”

“Kau… boleh kau mencari sesuatu tempat dulu untuk sembunyi sementara, setelah kejadian berlalu, akan ku usahakan bantu kau keluar.”

Berputar biji mata Coh Liu-hiang, katanya sambil mengucek-ngucek hidung: “Jikalau Wanpwe sembarangan bertindak, mungkin setiap langkah bakal menghadapi mara bahaya. Wanpwe juga tak tahu kemana menyembunyikan diri lebih baik, kecuali Cianpwe mau memberitahu jalan rahasia itu, biarlah Wanpwe sembunyi disana sementara.”

“Jalan rahasia, jalan rahasia apa?” dengus nyonya setengah tua membanting kaki gegetun. “Kau hanya tahu di sini ada jalan rahasia, tahukah kau sentral daripada jalan rahasia ini berada di kamar tidur Kiongcu, orang hanya bisa keluar dari dalam, tak bisa masuk dari luar.”

Coh Liu-hiang tertegun, seketika hatinya mencelos.

Tatkala itu, irama musik yang cepat mulai lamban lagi tapi Coh Liu-hiang sudah tahu didalam irama musik yang kalem ini, setiap langkah orang yang memasuki lembah ini selalu diincar oleh mara bahaya yang menantikan, diapun tahu sikap gelisah nyonya setengah tua dihadapannya ini jelas bukan pura-pura belaka, pihak Sin cui kiong bila tahu dia bersekongkol dengan musuh menghianati perguruan, dapatlah dibayangkan akibat yang harus dia terima.

Maka Coh Liu-hiang tak banyak bicara lagi, katanya dengan menjura: “Terima kasih akan petunjuk Cianpwe.” belum habis ucapannya badannya sudah berputar, melesat keluar.

Nyonya setengah tua agaknya hendak mengejar keluar, tapi segera dia hentikan langkah pula, dari sorot kedua matanya yang indah itu terpancar rasa derita yang tak terperikan, katanya seperti menyesal: “Yong-ji jangan kau salahkan aku, bukan aku tak ingin menolongnya, sebetulnya aku sendiripun tak kuasa lagi menolongnya.” dia tahu begitu Coh Liu-hiang melangkah keluar dari kuil kecil ini itu berarti dia melangkah ke arah kematiannya.

Malam sudah berlarut lagi, setiap tempat sama gelap semua kelihatan adalah tempat baik untuk menyembunyikan diri, tapi Coh Liu-hiang tahu ditempat tempat gelap itulah bukan mustahil tersembunyi perangkap-perangkap yang bisa merenggut jiwa orang, setiap tempat yang kelihatannya amat tersembunyi mungkin pula bakal memancing orang masuk ke dalam jebakan, selangkah saja bila dia salah injak, bukan mustahil jiwa bakal melayang seketika.

Akan tetapi dia tak bisa berdiri demikian saja, lembah nan indah dan permai ini, boleh dikata tiada suatu tempat yang cocok untuk dirinya berpijak.
Hembusan angin melambaikan daun-daun pohon, seolah-olah didengarnya lambaian pakaian orang yang mendatangi terhembus angin tiba-tiba tampak oleh Coh Liu-hiang dari kejauhan sesosok bayangan putih berkelebat, tujuannya adalah tempatnya ini.

Bila dirinya sedikit ayal, jejak dan bayangannya pasti dilihat orang itu.
Di bawah pancaran sinar bintang-bintang yang bertaburan diangkasa raya, permukaan air danau yang tenang itu laksana sebongkah cermin besar nan memutih perak amat semarak.

Cepat sekali tiba-tiba Coh Liu-hiang meluncur kearah danau kecil itu. Permukaan danau yang tenang itu hanya menimbulkan riak tak berarti dari pusaran air yang berkembang semakin membesar, belum lagi riak air kembali menjadi tenang, tahu-tahu sesosok bayangan putih sudah melayang datang.
Bayangan putih ini boleh dikata hampir sama cantiknya dengan Kionglam Yan gaya luncuran badannya begitu gemulai dan indah, biji matanya yang bening mengerling tajam sekilas dia mengerut kening, serunya perlahan: “Sam-ci.”

Nyonya setengah tua dalam kuil segera melangkah keluar menyongsong kedatangannya, sahutnya : “Ada apa?”

“Barusah seperti kulihat ada sesosok bayangan orang, adakah Sam-ci mendengar sesuatu suara di sini?”

“Lho, kok tidak.” sahut nyonya setengah tua tertawa. “irama musik memberi peringatan jelas orang luar belum lagi masuk lembah mana bisa tiba di sini.”

Berkilat tajam pandangan gadis ini, mulutnya menggumam: “Memangnya aku yang salah lihat? Aneh juga.”

Nyonya tua setengah umur tertawa dingin katanya: “Kio-moay, meski sepasang mata malammu amat lihay, tapi aku toh bukan orang picak atau tuli, jikalau di sini ada orang, masakah sedikitpun aku tidak melihat atau mendengar suara?”

Gadis itu segera unjuk tawa, katanya: “Sam-ci kenapa marah, aku hanya bertanya sambil lalu saja.”

Baru sekarang nyonya setengah tua unjuk tawa juga katanya: “Hati-hati memang baik, cuma kalau benar disini ada orang luar, kemanakah dia? Memangnya dia bisa menghilang?”

“Memangnya! Kecuali dia terjun ke dalam danau, kalau tidak kapanpun dia menyembunyikan diri pasti akan menyentuh tombol peringatan, tapi, bila benar dia berani terjun ke danau, sedikitnya toh mengeluarkan suara, kecuali dia memang siluman ikan.” lalu dia mengulap tangan kepada nyonya setengah tua, katanya pula: “Tamunya mungkin segera akan tiba, biar aku pergi periksa ke tempat lain, Sam-ci boleh kau mulai mempersiapkan diri. Kalau orang berani menerjang masuk kemari, betapapun kita jangan mengecewakan mereka.” tampak laksana burung bangau melayang cepat sekali bayangan putihnya sudah melesat lewat dari permukaan danau, dalam sekejap sudah menghilang tak kelihatan lagi.

Mengawasi permukaan danau nyonya setengah tua ini melongo sekian lamanya, katanya seorang diri: “Melarikan diri dari kematian, terhitung nasibmu baik, mara bahaya masih selalu mengintai, hati-hati dan waspadalah.”

Begitu selulup ke dalam air, jantung Coh Liu-hiang masih berdetak dengan keras. Dalam waktu sesingkat tadi, boleh dikata antara mati dan hidup sudah tiada jaraknya lagi, tapi sekarang dia sudah selamat, paling tidak selamat sementara waktu.

Aneh benar air danau ini, luar biasa bening, seolah-olah dirinya berada di dunia kaca, sinar bintang-bintang diangkasa dengan jelas dapat terlihat dari dasar danau. Dasar danau ini ditaburi pasir putih seperti berlomba dengan bintang-bintang diangkasa, pasir-pasir inipun kelap-kelip memancarkan sinar.
Di dasar danau boleh dikata Coh Liu-hiang sebebas di atas daratan menghirup hawa nan segar. Entah di lautan teduh, sungai atau kali, danau, sampaipun danau air asin, serta air keruh di Kanglam, terhadap sifat-sifat setiap air yang berbeda satu sama lain ini, boleh dikata Coh Liu-hiang sudah amat paham seperti memahami jari-jarinya.

Dunia indah yang aneh-aneh di dasar air, justru merupakan tempat tamasya paling disenangi. Setiap tetumbuhan atau binatang yang hidup di dasar air, seolah-olah sudah menjadi teman baiknya, sembarang waktu dia bisa menyebut atau memanggil satu persatu nama-nama yang pernah dilihatnya.

Akan tetapi saat ini didalam relung hatinya seperti mendapat firasat jelek, hatinya tidak tentram. Danau kecil didalam lembah permai ini ternyata merupakan danau mati, didalam air ternyata tiada satupun binatang atau tetumbuhan yang hidup, tiada ikan, udang atau keong dan sebangsanya, sampaipun rumput-rumput airpun tidak kelihatan.

Coh Liu-hiang merasa seolah-olah dirinya berada di dalam kota yang asing dan sunyi tak berbentuk meski kota ini serba rapi, bersih dan teratur namun bayangan seorang pendudukpun tidak kelihatan.

Danau kecil ini sekelilingnya ditaburi atau dipagari batu-batu raksasa warna putih dan hijau, air terjun yang tercurah dari atas berjatuhan di permukaan air hingga menimbulkan banyak buih-buih besar kecil yang berenceng seperti mutiara. Kalau orang lain dapat selulup dan sembunyi didalam dasar danau yang tenang dan seindah ini pasti merasa dirinya amat aman takkan mengalami gangguan apapun. Tapi Coh Liu-hiang justru merasa tempat ini rada ganjil dan menunjukkan gejala-gejala yang kurang benar, setelah dia berhasil menemukan suatu tempat sembunyi yang dirasa aman dan terahasia diantara celah-celah batu-batu besar barulah deburan jantungnya mulai mereda dan legalah hatinya.
Selanjutnya teringat olehnya dua hal yang terasa amat aneh sekali. Kalau toh rahasia di sini hanya bisa masuk tak bisa keluar, lalu untuk apa Induk Air Im Ki membikin jalan rahasia di bawah tanah ini? Bertepatan dengan kehadiran dirinya, ada lain orang pula yang menerjang masuk ke dalam Sin cui kiong, memangnya siapakah mereka?

Badan Coh Liu-hiang kebetulan persis bisa menyusup masuk ke celah-celah batu itu, kedua batu raksasa ini masing-masing ada sebagian yang menongol keluar di permukaan air, tak tahan Coh Liu-hiang juga ingin menongolkan kepalanya keluar untuk melihat keadaan di daratan. Dengan rebah miring memiringkan badan hanya kedua matanya saja yang menongol ke luar, bayangan gelap kedua batu besar ini kebetulan melindungi dirinya, terasa olehnya bahwa keadaan dan tempat persembunyiannya ini amat tepat dan baik sekali, orang takkan gampang menemukan persembunyiannya.

Bahwasanya dia memang amat getol ingin tahu siapa sebenarnya orang lain yang berani meluruk ke dalam Sin cui kiong ini. Suasana dalam lembah tetap tenang dan tentram, dengan rebah didalam air, hanya memperlihatkan separo mukanya saja untuk memandang lembah ini, perasaannya sungguh jauh berbeda dengan perasaan waktu dirinya berada didalam lembah tadi. Segala pemandangan yang terlihat dari sini seolah-olah berada ditempat yang jauh, lebih samar-samar, seluruhnya seperti bukan pemandangan yang nyata, hanya mirip sebuah lukisan, sebuah impian belaka.

Tapi Coh Liu-hiang tiada selera untuk menikmati keindahan panorama laksana lukisan atau impian ini, dia hanya memperhatikan tempat-tempat gelap yang amat misterius dan ganas itu. Sampai detik ini, dia masih belum membayangkan seorang manusiapun.

Agaknya ia tak perlu menunggu terlalu lama, tiba-tiba dilihatnya tiga sosok bayangan orang laksana anak panah pesatnya dari tempat yang berjauhan dimulut lembah sana menerjang masuk, ilmu Ginkang ketiga orang ini sama-sama tinggi dan hebat. Agaknya ketiganya sama-sama nekad dan merasa tak perlu main sembunyi-sembunyi lagi, langsung mereka kembangkan kemahiran masing-masing, dengan gesit dan enteng serta cepat sekali meluncur ke arah air terjun itu.

Di bawah penerangan cahaya bintang, raut muka mereka hanya kelihatan berkelebat sekejap ditengah kegelapan, tiba-tiba terkesiap darah Coh Liu-hiang, hampir saja dia menenggak sekumur air danau. Ternyata ketiga bayangan orang itu adalah Ui Loh-ce, Oh Thi-hoa dan Cay Tok-hing.

Bertepatan dengan kedatangan mereka, dari empat penjuru serempak bermunculan puluhan bayangan serba putih, ada yang berdiri dibawah pohon, ada pula yang melambai lambai berterbangan terhembus angin laksana serombongan setan gentayangan.

Agaknya Oh Thi-hoa, Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing bertigapun amat kaget, cepat sekali mereka anjlok turun dari tengah udara, serempak tancap kaki di salah satu batu besar yang berada di sisi danau. Tiga orang sama berdiri beradu punggung, siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Tapi orang-orang serba putih itu tidak menubruk maju menyerang mereka, mereka hanya berdiri dikejauhan dan mengawasi mereka diam saja, keheningan yang aneh mencekam perasaan sehingga napaspun segera sesak.

Dasar berangasan akhirnya Oh Thi-hoa yang nyeletuk lebih dulu dengan lantang: “Apakah tempat ini adalah Sin cui kiong?”

Entah siapa yang menjawab dari tempat kejauhan dengan nada dingin: “Kalau kalian sudah berani masuk kemari, memangnya masih belum tahu tempat apa di sini sebenarnya?”

Oh Thi-hoa ngakak dulu baru menjawab: “Bagi orang pertama yang datang bertandang ke tempat orang, adalah jamak kalau pakai basa-basi lebih dulu apakah tidak salah tempat yang didatanginya.”

“Kau tepat mencari tempat yang kau tuju.” jawab seseorang.

Seorang yang lain menambahkan: “Kalian orang dari mana? Untuk keperluan apa dan ada petunjuk apa pula?”

Suara pembicara orang terakhir rada lembut dan tahu sopan santun, dari tempat persembunyiannya Coh Liu-hiang tahu bahwa suara terakhir ini diucapkan nyonya setengah umur yang dihadapinya tadi didalam kuil.

Agaknya Oh Thi-hoa masih ragu-ragu. Ui Loh-ce lantas berkata lantang: “Cayhe Ui Loh-ce dari Liu-ciu yang ini adalah angkatan tertua dari Kaypang Cay Toh-hing Cay-loyacu dan yang termuda ini adalah Oh Thi-hoa yang menggemparkan seluruh jagat.”

Diam-diam Coh Liu-hiang tertawa geli ditempat persembunyiannya, batinnya: “Memang tidak malu orang ini disebut seorang Kuncu, setiap kata-katanya jujur dan sesuai dengan kenyataan.”

Memangnya Ui Loh ce, Cay Tok hing dan Oh Thi-hoa masing-masing merupakan tokoh-tokoh silat yang sama-sama menjagoi didalam bidangnya masing-masing, mereka adalah para tokoh-tokoh besar yang pernah menggetarkan dunia persilatan, boleh dikata sebagai orang gagah yang dapat menggemparkan sebuah kota meski mereka cukup hanya membanting-banting kaki saja.

Akan tetapi mendengar perkenalan nama-nama mereka, murid-murid Sin cui kiong itu tiada yang memberikan reaksi apa-apa, nyonya setengah umur yang serba putih juga hanya mengiakan sekali, katanya: “Bagus sekali, silahkan kalian menanggalkan senjata, tunggulah hukuman yang kita putuskan!”

Oh Thi-hoa terloroh-loroh dengan menengadah, serunya: “Meletakkan senjata terima di hukum? Apa-apaan ucapanmu ini? Sungguh aku tidak tahu apa maksudmu?”

Berkerut alis nyonya setengah umur itu, katanya menghela napas ringan: “Semutpun takut mati, memangnya kalian memang ingin mampus?”

Agaknya Ui Loh-ce kuatir Oh Thi-hoa terlalu kurang ajar, segera dia menyela dengan bersoja: “Kedatangan Cayhe bertiga tak bermaksud jahat, kami hanya ingin mencari dua teman kami”

“Teman apa?” kedengaran bengis dan berwibawa teriakan nyonya setengah umur, “Tahukah kau tempat apa ini? Darimana ada dua temanmu di sini?”

“Sudah tentu mereka bukan murid-murid perguruan kalian, namun…”

Berobah rona muka nyonya setengah umur, tukasnya: “Disini terang tak ada orang luar yang berani kemari, di seluruh kolong langit siapapun tiada yang punya nyali sebesar gunung seperti kalian berani ditengah malam buta rata ini menyelundup ke dalam Sin Cui kiong.

Ui Loh-ce dan Oh Thi-hoa beradu pandang sebentar, raut muka mereka amat prihatin dan rada tegang. Berkata Ui Loh-ce dengan kereng: “Mungkin mereka belum kemari.”

Oh Thi-hoa ikut menimbrung dengan tawa dingin: “Kau kira mereka seperti kau, ini adalah Kongcu, memangnya mereka mau bicara dengan jujur dan blak-blakan seperti kau?”

Gadis yang meronda di sepanjang pinggiran danau itu tiba-tiba mencelat keluar, bentaknya bengis: “Kalian orang-orang yang sudah dekat ajal, hakekatnya kita tak perlu banyak bicara lagi dengan kalian.”

Belum sempat Ui Loh ce buka suara, Cay Tok hing sudah tak kuasa menahan gusar, bentaknya: “Aku orang tua memangnya malas bicara dengan kalian, lekas panggil Induk Air Im Ki keluar untuk berhadapan dengan kami.”

Gadis itu tertawa dingin, ejeknya: “Baik setelah mampus, akan kubawa kalian menghadap kepada Beliau.”

Belum lagi gadis ini bicara habis, Coh Liu-hiang sudah tahu perkelahian takkan dapat dielakkan lagi, karena orang lain mungkin bisa merasa dongkol dan marah oleh kekasaran pihak Sin cui kiong, tapi Oh Thi-hoa justru terhadap siapapun dia tidak mau dibikin marah. Betul juga belum lagi ucapan gadis berakhir, tiba-tiba terdengar dua kali hardikan laksana geledek. Oh Thi-hoa dan Cay Tok hing tanpa berjanji serentak menerjang maju.

Cay Toh hing menggunakan sebatang pentung pendek, memang bagi murid-murid Kaypang yang biasa kelana di Kangouw, kecuali bergaman Pak-kau-pang “pentung penggebuk anjing” dilarang menggunakan alat senjata macam lainnya. Itulah undang-undang dan peraturan tradisi sejak cikal bakal pendiri Kaypang dulu.

Sementara Oh Thi-hoa bisanya teramat agulkan diri dengan sepasang telapak tangannya, setiap kali berhadapan bergebrak dengan musuh belum pernah dia menggunakan senjata, tapi sekarang entah darimana dia memperoleh sebilah golok lepit. Golok lepit ini selalu tersembunyi dibalik lengan bajunya kini begitu sinar golok berkelebat, jurus Pat hong hing ih ternyata dilancarkan dengan perbawa yang hebat luar biasa, jelas permainan dan tipu-tipu goloknya takkan lebih asor dari tokoh ahli golok yang manapun dikolong langit.

Coh Liu-hiang tahu orang memang sengaja hendak pamer sekaligus hendak mengatasi dan menundukkan gerak-gerik gemulai pihak Sin cui kiong yang lincah laksana air mengalir dengan kekerasan ilmu goloknya yang kuat, jadi dia menampilkan keunggulan kepandaiannya untuk menandingi ilmu lunak mengatasi kekerasan pihak Sin cui kiong.

Nyonya setengah tua serba putih itu jadi naik pitam, bentaknya: “Selama duapuluh tahun, selamanya tak ada orang yang berani main senjata ditempat ini, sungguh tidak kecil nyali kalian.” ditengah seruan aba-abanya, tahu-tahu tujuh delapan gadis yang serba putih pula serentak terjun ke dalam gelanggang, masing-masing menyerang kepada Cay Tok hing dan Oh Thi-hoa. Gerak-gerik mereka ternyata memang sangat lincah dan gemulai seperti orang sedang menari, tapi kegesitan dengan ilmu Ginkang yang tinggi sungguh amat luar biasa.

Ui Loh ce lekas berteriak: “Ada omongan marilah dibicarakan, kenapa harus main kekerasan?” Sayang belum lagi habis kata-katanya tahu-tahu tiga orang sudah mengelilingi dirinya, bayangan telapak tangan laksana kupu-kupu yang menari-nari diantara rumpun kembang, dari delapan penjuru angin serempak sama menepuk dan menghajar ke atas badannya. Apa boleh buat terpaksa Ui Loh-ce melolos pedangnya, “Sring” laksana naga berpekik, sebatang pedang panjang yang kemilau dengan sinarnya yang mencorong terang berubah selarik bianglala. Meski ilmu silatnya mengutamakan mantap dan berat, tapi tidak malu dia dinamakan sebagai seorang Sosiawan, tapi jurus dan tipu permainan pedangnya sungguh tak kalah ganas dan keji. Lwekangnya tinggi pula memang tidak malu dia dijunjung sebagai maha guru silat yang ahli dalam bidang ilmu pedang pada jaman kini.

Irama musik dikejauhan kembali menjadi cepat, agaknya mereka sudah insaf, ketiga orang yang mereka hadapi sulit ditundukkan, maka ditengah irama musik yang sayup-sayup itu hawa pedang dan sinar golok sudah berkelebatan memenuhi seluruh lembah permai ini.

Empat orang yang menghadapi Oh Thi-hoa agaknya yang paling makan tenong dan mati kutu, soalnya Ui Loh ce dan Cay Toh hing tahan gengsi dan anggap kedudukan tinggi dan angkatan tua, maka mereka turun tangan dengan perhitungan dan tak terlalu keji.

Sebetulnya Oh Thi-hoa menguatirkan keselamatan jiwa Coh Liu-hiang, besar niatnya hendak merobohkan semua murid-murid Sin cui kiong, maka serangan goloknya tak mengenal kasihan lagi. Tampak permainan goloknya laksana naga terbang, golok diputar seperti harimau ngamuk, meski permainan telapak tangan murid-murid Sin cui kiong mempunyai perubahan ribuan variasi rumit dan susah dijajagi, namun mereka tetap terdesak di bawah angin.

Maklumlah meski murid-murid perempuan Induk Air Im Ki ini mendapat didikan langsung dari ilmu kepandaian gurunya yang tiada taranya itu, apa boleh buat mereka tak punya pengalaman tempur, maka sering mereka selalu kehilangan inisiatif dan kena didahului oleh Oh Thi-hoa.

Sebaliknya Oh Thi-hoa, Cay Tok hing sama-sama merupakan tokoh silat yang entah sudah digembleng berapa ratus atau ribuan kali didalam pertempuran di medan laga, bukan saja mereka pasti tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang paling baik, malah setiap jurus tipu yang dilancarkan pasti diperhitungkan dengan tepat dan telak, setiap orang sama tahu pada detik yang bagaimana harus melontarkan serangan apa, yang diserang adalah titik kelemahan pihak lawan.
Maka menurut situasi pertempuran sekarang ini, meski pihak Oh Thi-hoa unggul di atas angin, akan tetapi umpama nanti mereka benar memperoleh kemenangan, apa pula guna manfaatnya?

Induk air Im Ki sendiri belum lagi unjukan diri, nyonya setengah umur, Kionglam Yan dan mungkin tenaga-tenaga andalan yang diutamakan dalam kekuatan Sin cui kiong sekarang belum lagi muncul semua dan ikut turun tangan. Cepat atau lambat yang pasti pihak Oh Thi-hoa bertiga yang akhirnya akan kalah.

Saking tegang hampir saja Coh Liu-hiang lupa diri hendak keluarkan setengah badannya ke permukaan air. Baru sekarang dia benar-benar menyadari, melihat orang lain atau teman baiknya sendiri bergebrak dengan orang, sungguh jauh lebih tegang dari diri sendiri yang turun gelanggang. Maka ingin rasanya segera terjang keluar terjun ke tengah pertempuran, tapi diapun tahu bila dirinya berbuat demikian, maka mereka berempat mungkin bakal sama-sama terkubur ditempat ini.

Untuk mengakhiri pertempuran dan membereskan segala persoalan Coh Liu-hiang berpendapat dia harus selekasnya menemukan titik kelemahan Induk Air Im Ki lalu secara tak terduga baru menyergap dan membekuknya. Dia sudah memperhitungkan cepat atau lambat Im Ki sendiri pasti akan muncul. Asal orang muncul, maka dia pasti muncul maka dia pasti bisa mencari kesempatan. Kalau Coh Liu-hiang amat gelisah dan gundah ditempat persembunyiannya, sebaliknya murid-murid Sin cui kiong jauh lebih gelisah lagi. Biasanya mereka terlalu mengagulkan diri, selamanya tidak pandang sebelah mata kepada siapapun, mereka sama berpendapat asal salah satu diantara mereka mau turun tangan, dengan mudah akan bisa meringkus musuh satu persatu.

Diluar dugaan hari ini mereka justru kebentur tiga tokoh-tokoh puncak persilatan yang sama memiliki ilmu silat yang tak terukur tingginya, untung mereka terdiri dari murid-murid Sin cui kiong kalau ditempat lain perduli dimanapun, pastilah siang-siang sudah diinjak-injak dan diratakan dengan bumi oleh mereka bertiga. Bila ketiga orang ini bergabung dan berjuang mati-matian, dikolong langit ini mungkin sulit dicari tandingan yang lebih kuat dari kekuatan kerja sama mereka bertiga.

Sekonyong-konyong terdengar suara keluhan kaget, seorang gadis baju putih tiba-tiba bersalto menjerit mundur ke belakang, tangan kirinya memegangi lengan kanan, darah segar mengucur deras dari celah-celah jarinya.

Oh Thi-hoa terloroh-loroh seperti orang kesurupan: “Kalau tidak pandang kau ini seorang perempuan, tebasanku ini sudah merenggut jiwanya.”

Gadis yang dipanggil Kin moay itu tertawa dingin: “Golokmu, deras tak bertenaga, berangasan tak punya tipu daya, ilmu silat seperti ini, berani juga buat jual lagak?”

Oh Thi-hoa tertawa, ujarnya: “Kalau demikian, ilmu silatmu tentu boleh sekali, hayolah maju, aku ingin melihat.”

“Memangnya kau harus melihat kepandaianku.” damprat Kin moay. Ditengah hardikannya tahu-tahu dia sudah terjun ke dalam arena pertempuran, tiga gadis yang lain sebenarnya sudah serempak melontarkan serangan, tapi sepasang tangan dengan jari-jari runcing Kiu moay tahu-tahu sudah menyelonong tiba di depan mata Oh Thi-hoa lebih dulu.

Oh Thi-hoa menegakkan goloknya dengan punggung menghadap keluar, tajam goloknya terus membalik dan dipelintir ke arah muka, jikalau serangan Kiu moay ini tidak segera diurungkan atau ditarik kembali, jari-jarinya yang halus dan manis itu bakal memapak tajam golok dan pasti protol seluruhnya.

Tapi gerak perubahan permainan tipu-tipu serangannya sungguh hebat sekali, pergelangan tangan membalik, tahu-tahu tangannya menukik mencengkeram pipi kiri Oh Thi-hoa. Gerak perubahan serangan ini amat wajar, sedikitpun tidak dipaksakan dan bergerak dengan lancar, tetapi justru karena perubahannya ini terlalu lancar dan seperti mengikuti riilnya, maka Oh Thi-hoa yang sudah gemblengan dan pengalaman dimedan laga, siang-siang sudah memperhitungkan dan menduga akan posisi dan sasaran yang diincarnya. Tahu-tahu sudah menunggu pula serangan jari-jari tangan orang.

Kiu moay sendiri tidak tahu dan menginsafi bahwa pengalaman tempurnya sendiri yang terlalu cetek, perhitungan dan ketegasan mengincar sasaran kurang tepat, maka dia mengira lawan sebelumnya sudah amat apal dan tahu gerak permainan serta perubahan tipu-tipu serangannya, keruan hatinya jadi amat kaget, maka gerak-gerik selanjutnya perubahan serangannya tidak selincah dan seganas semula.

Oh Thi-hoa tertawa lebar, katanya: “Tipunya cepat lihai tapi tidak punya tenaga, ada hati tapi kurang berani, ilmu silat seperti ini juga berani pamer di hadapanku. jikalau aku tidak kenal kasihan terhadap dara-dara ayu secantik kau ini, jari-jari landakmu itu sejak tadi sudah protol seluruhnya.”

“Jari-jari landak” ibarat ini sungguh amat tepat sekali pemakaiannya, hampir saja Coh Liu-hiang terpingkal-pingkal didalam air mendengar banyolah temannya yang satu ini, tapi dia tahu bahwa Oh Thi-hoa kali ini bukannya sedang main-main atau kelakar, yang terang dia memang sengaja hendak membuat lawan gusar, perang batin dengan cara yang dipakainya ini memangnya sudah lazim dipergunakan oleh Kangouw.

Sebagai gadis pingitan yang tidak punya pengalaman Kangouw, sudah tentu dengan gampang Kim-moay ditipunya, saking marah mukanya merah padam, semakin getol keinginannya merobohkan lawan, permainan silatnya jadi kurang mantap dan tak bisa bekerja dengan kepala dingin.

Walau satu lawan empat, sinar golok Oh Thi Hoa tetap berkelebatan kian kemari seperti rangkaian kembang-kembang salju yang beterbangan, dia tetap berada di atas angin.

Sekonyong-konyong terdengar pula sekali keluhan kaget, tampak seorang mencelat mundur pula, maka terdengar Cay Tok Hing berkata dengan gelak tawa:
“Hati-hati sedikit, jikalau lohu tidak ingat usia yang sudah lanjut nanti disangka yang tua menindas si kecil, jari jarimu ini mungkin telah kuketuk jadi untar untar”

“Ha, ha, bagus, bagus sekali !” teriak Oh Thi Hoa tertawa besar. “Golok menabas jari landak pentung mengetuk ular, kini tinggal pedang Ui-loyacu yang akan mengirim cakar ayam”

Ui Loh-ce ternyata berkata dengan kereng dan suara berat: “Usia mereka terlalu muda tak punya pengalaman tempur menghadapi musuh, hati gugup dan gelisah ingin menang lagi kalau diteruskan pasti ada yang terluka atau ajal, sukalah suruh Kiong-cu, kalian keluar saja.”

Coh Liu hiang diam-diam menghela napas, katanya: “Memang orang ini seorang sosiawan sejati yang tak mau merugikan orang lain, jujur tak mau menipu, memang kun cu kiam amat sesuai dengan pribadi dan sepak terjangnya.

Diam-diam hatinya jadi gelisah, karena dia tahu sin cui kiong begitu disegani dan dipandang sebagai puncak persilatan, pastilah bukan bernama kosong belaka, kepandaian silat murid yang bergebrak ini sudah termasuk kelas satu di kalangan Kangouw, Induk Air Im Ki sendiri pasti mempunyai kepandaian silat yang tiada taranya, begitu dia muncul situasi pasti segera berubah, mungkin kawan kawannya bisa celaka daripada selamat.

Tapi kenapa sebegini jauh Induk Air Im Ki bekum kunjung keluar?

Pada saat itulah, tiba-tiba Coh Liu-hiang merasakan air danau yang semula tenang dan tak bergerak itu lambat laun seperti mulai timbul gerakan arus yang berputar, kedua kakinya lapat-lapat sudah mulai merasakan adanya suatu tekanan.
Perasaan sehalus ini kalau orang lain pasti tak gampang disadari, tapi Coh-Liu-hiang bisa bernapas melalui lubang pori-pori di kulitnya sudah tentu perasaan jauh tajam dari segala orang, Cepat dia selulup ke dalam air menyusup ke lobang sebelah kiri dimana terdapat sebuah batu besar yang lain, seluruh badannya meringkel, seolah kulit daging dan tulangnya menyusut kecil, paling tidak satu pertiga lebih kecil dari keadaan badan biasanya.

Selama dirinyamalang melintang berkecimpung didalam Kangouw, bahaya yang diserempet dan dihadapinya selama hidup, dibanding dengan seratus orang biasa jikalau reaksinya tidak cepat serta tepat pula menghadapi segala perubahan entah sudah berapa kali jiwanya melayang. Demikian pula kali ini, reaksi perubahan yang melebihi orang lain ini kembali menolong jiwanya pula.

Tiba-tiba dilihatnya batu besar yang berada di sebelah kanannya tadi kini sudah mulai bergerak, tekanan di kakinya tadi adalah karena batu raksasa ini bergerak dan mendesak air sehingga menimbulkan aliran air yang berputar itu, jikalau tidak cepat dia pindah tempat dan sembunyi ke tempat yang sekarang, kedua batu besar di kanan kirinya itu bakal menggencetnya mampus.

Bahwa batu raksasa ini mulai bergerak terang di bawah dasar danau inipun pasti ada jalan rahasia, rahasia Induk Air Im Ki jelas terletak di dasar danau ini, betapa girang perasaan hati Coh Liu-hiang saat mana, sungguh sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Ternyata kedua batu raksasa itu tidak sampai merapat seluruhnya, di tengahnya masih ketinggalan celah-celah sempit. Dengan miringkan kepala Coh Liu-hiang melongok keluar, tampak serangkaian buih-buih yang bergulung mengalir keluar belakang batu besar, disusul muncullah dua sosok bayangan orang.

Dua orang ini sama mengenakan jubah panjang warna putih, meski berada si dalam air, pakaian yang basah tidak tampak melekat pada kulit badan mereka, malah kelihatan seperti melambai lambai ditiup angin ditengah angkasa.

Coh Liu-hiang sudah mengenal satu diantara kedua orang adalah Kionglam Yan, sorot matanya kelihatan lebih buram, lebih cekung, tapi jauh lebih indah dan cantik. Lambat-lambat tangannya menuntun seorang yang lain beranjak keluar, gerak gerik mereka didalam air hampir sama tenang dan wajar, seperti berjalan gemulai diatas daratan.

Coh Liu-hiang tidak melihat raut wajah seorang yang lain, cuma terasa dia adalah perempuan yang perawakan tinggi besar, Kionglan Yan hanya sepundaknya saja berdiri disampingnya, memangnya orang inikah Induk Air Im Ki yang amat ditakuti dan serba misteri itu.

Tampak Kionglam Yan menggandengnya, tiba-tiba tangan orang yang digandengnya itu diletakkan pada pipinya serta diletakkan ke kepalanya dan digosok gosokkan sekuat-kuatnya, sorot matanya memancarkan napsu birahi yang memuncak. Dengan sebelah tangannya yang lain orang itu mengelus rambut kepalanya, kelihatannya mirip benar dengan sepasang kekasih yang sedang bermesra-mesraan, sekali-sekali tidak mirip hubungan antara murid dan guru yang pantas melakukan adegan-adegan merangsang seperti itu.

Apakah benar Induk Air Im Ki, seorang laki-laki?

Coh Liu-hiang menjadi bingung sendiri, akhirnya Kionglam Yan melepaskan tangan itu, tapi sorot matanya yang diliputi napsu itu masih menatap muka orang itu lekat-lekat.

Kini perlahan-lahan orang itu sudah mulai bergerak menengok ke arah sini, akhirnya Coh Liu-hiang berhasil melihat muka aslinya.

Dia memiliki sepasang mata yang besar, alis yang lentik dan tebal, hidungnya besar dan mancung, bibirnya yang tipis tertutup rapat, menampilkan sorot yang teduh dan watak yang ulet serta tegas.

Itulah raut muka yang jarang terlihat pada muka manusia umumnya, hidungnya yang mancung tegak sehingga kelihatannya dia mempunyai kewibawaan besar yang angker dan seperti menyedot sukma orang, dari sikap dan tindak tanduknya jelas menunjukkan biasanya dia amat angkuh akan kekuasaan dan kebesaran, selamanya tiada orang yang berani melawan dia kecuali Sin Cui Kiong Cu Induk Air Im Ki, orang lain jelas tak akan setimpal mempunyai wajah seperti itu.

Akan tetapi muka ini tak sama dengan wajah seorang perempuan, kalau perawakannya jelas menunjukkan bila dia seorang perempuan, hampir saja Coh Lui hiang menyangka Induk Air Im Ki adalah seorang lelaki.

Dan anehnya dia tak segera mumbul ke atas, keluar dari danau malah perlahan-lahan beranjak ke tengah danau, baru sekarang Coh Lui Hiang melihat ditengah-tengah danau sana , terdapat sebuah batu putih, langsung dia duduk di atas batu putih ini.

Apakah maksud dan tujuannya duduk di atas batu putih itu? Di atas sedang terjadi kekacauan dengan pertempuran sengit, kenapa dia masih enak-enakan duduk dalam air?

Baru saja Coh Lui Hiang merasa aneh, Induk Air Im Ki sudah memberi tanda dengan ulapan tangan kepada Kionglam Yan segera Kionglam Yan-pun memberi gerakan tangan kearah batu di sebelahsana .

Seketika tampak segulung pusaran air yang berarus tinggi timbul dari bawah batu putih itu terus membumbung naik keatas menyerupai tonggak air, badan Im Ki yang besar itu seketika tersanggah naik pelan-pelan.

Permukaan air danau yang semula tenang-tenang itu mendadak menyemprot keluar sebuah tonggak air yang membumbung setinggi tiga tombak ke tengah udara lalu muncrat ke empat penjuru, tepat di pucuk tonggak air mancur ini tampak duduk bersimpuh seorang berpakaian serba putih.

Sinar bintang kelap-kelip, butiran air yang muncrat itupun berkilauan memancarkan sinar. Dipandang dari kejauhan seolah-olah dari dasar danau terbang ke atas Dewi Koan-Im yang berpakaian putih duduk tenang di atas alas berkembang teratai dari kembang-kembang air yang muncrat di sekeliling itu, suasana menjadi hikmat angker, orang tak berani mendongak memandang dengan tajam.

Suara musik yang sayup-sayup sampai dikejauhan itu kini berubah kalem dan gagah.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar