Maling Romantis (Xue Hai Piao Xiang) Bab 1: Giok-bi-jin

Maling Romantis (Xue Hai Piao Xiang) Bab 1: Giok-bi-jin
Maling Romantis
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 1: Giok-bi-jin
Beberapa baris tulisan huruf-huruf indah yang masih basah tintanya itu tertera di atas selembar kertas yang dibentangkan di atas sebuah meja batu marmer. Sinar lilin menyorot dari sebuah lampion yang dibungkus kain paris merah, membuat kertas berwarna biru muda itu terlihat berwarna ungu muda tertimpa cahaya merah dari lampion, kelihatan aneh dan janggal. Tulisan yang indah dan berseni itu jadi tampak lebih menarik dan merasuk hati. Surat itu tidak dibubuhi tanda tangan pengirimnya, namun mengandung bau dupa wangi, bau dupa yang mengandung seni, dari tulisan surat bukan surat, syair bukan syair itu, siapa pun susah menduga siapakah orang yang mengirimkan surat ini.

Yang menerima surat ini adalah Kim Pian-hoa, anak seorang hartawan terkenal di Pak-khia. Ia sedang duduk di pinggir meja. Raut mukanya yang putih halus dan selalu terpelihara itu terlihat berkerut-kerut seakan mendadak kesakitan lantaran terbacok senjata tajam. Kedua biji matanya melotot mengawasi surat itu, seolah baru saja menerima surat panggilan dari Giam-lo-ong (Raja Akhirat).

Dalam ruang pendopo yang besar itu hadir tiga orang lagi. Seorang adalah laki-laki tua berjubah sutera, berperawakan kekar dan bersikap gagah, namun rambutnya sudah beruban. Ia sedang menggendong kedua tangannya mondar-mandir di ruangan itu. Entah sudah berapa lama atau berapa kali ia berjalan pulang-pergi, seperti tidak merasa letih. Umpama ia berjalan lurus, mungkin jarak yang telah ditempuhnya tidak kurang dari jarak antara Pak-khia dan Thio-kah-gou.

Seorang lagi adalah laki-laki berpakaian serba hitam dengan tulang pipi yang menonjol, bermata elang dan bersikap dingin tenang, tapi terlihat jelas wataknya yang keji dan culas. Ia duduk di samping Kim Pian-hoa. Kedua tangannya sedang mengelus-elus sepasang potlot baja yang ditaruh di atas meja. Jari-jari tangannya kurus kering dan panjang, sendi-sendi tulangnya tampak menonjol seperti rangka besi.

Raut wajah kedua orang ini kaku serius, sepasang mata yang jeli selalu berputar mengawasi sekelilingnya, dari pintu ke arah jendela, dari jendela balik ke arah pintu, begitu tak putus-putusnya dengan perhatian penuh.

Selain kedua orang ini, masih ada seorang tua berkepala gundul berpakaian sederhana, tubuhnya kecil pendek dan kurus, ia duduk di pojok seakan bersemedi dengan memejamkan mata. Tiada tanda istimewa di badan orang ini, tapi kedua daun kupingnya entah kenapa tidak tampak di tempatnya, namun digantikan oleh kuping palsu berwarna putih, entah terbuat dari apa.

Laki-laki tua berjubah sutera menghampiri meja, dijemputnya kertas bertulisan itu, katanya dingin: “Ini terhitung apa? Undangan? Tanda hutang? Dengan mengandalkan secarik kertas tak berharga seperti ini, dengan gampang dia hendak mengambil Giok-bi-jin, satu dari empat benda mestika di kota raja…..” Lalu ia menggebrak meja dengan keras, bentaknya: “Coh Liu-hiang, oh Coh Liu-hiang. Jangan kau memandang remeh para enghiong di kota raja.”

Kim Pian-hoa bersungut-sungut, katanya dengan gemetar dan sangsi: “Kenyataannya dengan hanya mengandalkan secarik kertas yang sama, entah sudah berapa banyak benda mestika yang berhasil dicurinya. Kalau dia mengatakan jam sekian hendak mengambil sesuatu barang, siapa pun jangan harap bisa menggagalkan usahanya.”

“Oh, apa ya?” sela laki-laki baju hitam dengan nada dingin.

Kim Pian-hoa menghela nafas, ujarnya: “Bulan lalu Khu Sian-ho dari Jalan Gulung Tirai juga menerima secarik kertas yang sama, katanya hendak menjemput Kim-liong-pwe milik Khu-ya warisan leluhurnya. Bukan saja Sian-ho menyimpannya di sebuah kamar rahasia, malah mengundang dua orang Si-wi dari istana raja pula, Siang-ciang-hoan-thian (Sepasang Tangan Membalik Langit) Cui Cu-ho dan Bwe-hoa-kiam Pui Hoan untuk berjaga di luar pintu rahasia. Penjagaan sedemikian rapat, seumpama lalat pun tidak akan dapat lolos. Namun setelah lewat jam yang dijanjikan, saat mereka membuka pintu kamar….. aaaiii, Kim-liong-pwe tetap saja hilang.”

Laki-laki baju hitam tertawa dingin, jengeknya, “Ban-lo-piauthau bukanlah Cui Cu-ho, aku Seng-si-poan bukan Pui Hoan, apalagi…. “ ia melirik laki-laki tua gundul di pojok, lalu menyambung dengan perlahan, “Eng-locianpwe yang paling ditakuti oleh kalangan maling dan pencuri di seluruh dunia pun hadir di sini, kami bertiga kalau tidak mampu membekuk Coh Liu-hiang, pasti tidak ada lagi orang yang mampu.”

Baru sekarang laki-laki tua gundul itu membuka matanya, ujarnya, “Cui-heng terlalu mengagulkan diriku. Sejak peristiwa Hun-tai dulu, Lo-si sudah tidak berguna lagi. Orang yang hidupnya mencari nafkah dengan mengandalkan sepasang telinganya, kini telah diprotoli orang, kan sama seperti pengemis kehilangan ular untuk bermain sulap.”

Bila orang pernah mengalami kekalahan yang begitu mengenaskan, apalagi kedua kupingnya pun hilang, pasti ia tidak berani mengungkit-ungkit peristiwa yang memalukan itu. Kalau orang berani mengolok-olok, tentu dia akan menghunus senjata untuk ajak adu jiwa. Tapi laki-laki tua gundul itu bicara sambil tertawa berseri tanpa malu, malah seakan merasa bangga dan senang.

Laki-laki tua berjubah sutera itu adalah Thi-ciang-gin-pian (Pukulan Besi Ruyung Perak), Ban Bu-tik, Cong-piauthau Ban-seng Piaukiok di kota raja. Sambil mengelus jenggotnya, ia tertawa gelak, ujarnya: “Kaum persilatan siapa yang tidak tahu ketajaman telinga Toh Eng yang tiada bandingannya di dunia? Memang saat peristiwa Hun-tai dulu mengalami kekalahan kecil, tapi kekalahan itu malah membawa rezeki besar. Apalagi sejak kau memasang dan menggunakan Pek-ih-sin-hi (Telinga Sakti Baju Putih), ketajaman kupingmu jadi semakin lihai.”

Toh Eng atau si Elang Gundul menggeleng kepalanya, ujarnya tersenyum senang, “Aku sudah tua, sudah tak berguna lagi, kalau bukan karena ingin berkenalan langsung dengan maling paling sakti di antara para pencuri, laki-laki sejati di antara bajingan, tidak sudi aku muncul kembali di Bulim.”

Tiba-tiba Kim Pian-hoa tertawa: “Kabar yang kudengar dari pembicaraan orang di Bulim, katanya cukup asalkan Eng-locianpwe pernah mendengar suara pernafasan seseorang, maka lantas dapat membedakan apakah orang itu laki-laki atau perempuan, berapa usianya, bagaimana asal-usulnya. Peduli siapa pun asalkan suara pernafasannya pernah didengar oleh Eng-locianpwe, selama hidup ia tak akan bisa lolos, ke mana pun ia melarikan diri, Eng-locianpwe pasti akan menemukan dan menangkapnya pula.”

Toh Eng tertawa senang, dengan memicingkan mata ujarnya, “Kabar di kalangan Kangouw seringkali dibumbui dan dibesar-besarkan.”

Terdengar suara kentongan yang terbawa hembusan angin malam, tiba-tiba Seng-si-poan berjingkrak bangun, lalu katanya, “Jam satu tepat!”

Kim Pian-hoa segera berlari ke pojok tembok, dari belakang sebuah pigura bergambar perempuan telanjang, ia menekan sebuah tombol untuk membuka pintu rahasia, dilihatnya kotak kayu cendana berukir indah masih menggeletak di situ, seketika ia menarik nafas dan menghembuskannya dengan lega, katanya tertawa sambil berpaling, “Tak nyana ketenaran nama kalian bertiga benar-benar cukup membuat Coh Liu-hiang jeri dan tidak berani datang.”

Seng-si-poan menengadah, ujarnya sambil bergelak tertawa, “Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang, ternyata kau pun seorang.....”

“Ssstt!” tiba-tiba didengarnya Toh Eng mendesis, segera Seng-si-poan menghentikan tawanya, maka terdengar suara rendah serak yang mengandung daya tarik sedang berkata, “Giok-bi-jin sudah kuambil, Coh Liu-hiang mengucapkan terima kasih!”

Bergegas Ban Bu-tik memburu ke jendela dan memukulnya hingga terbuka, dilihatnya di tempat gelap di kejauhan sana berdiri seseorang, tangannya menggenggam sebuah benda sepanjang tiga kaki, di bawah sinar rembulan, warnanya yang putih kehijauan berkilau memancarkan cahaya terang, mulut orang itu sedang berkata: “Jam dua belas mencuri, jam satu ke mari untuk mengucapkan terima kasih, tata tertib selalu kupatuhi, maaf, maaf!”

Pucat pias wajah Kim Pian-hoa, serunya gemetar: “Kejar, lekas kejar!”

Api lilin berkerlap-kerlip, angin menderu, bayangan orang berkelebatan. Seng-si-poan dan Ban Bu-tik telah melesat keluar lebih dulu.

Toh Eng berkata dengan nada berat: “Apa benda itu betul Giok-bi-jin?”

Kim Pian-hoa membanting kaki: “Aku melihat jelas, tidak salah lagi!” Berbareng dengan bantingan kakinya, badannya sudah meluncur keluar, ternyata kongcu hartawan ini memiliki kepandaian silat yang tidak lemah.

Toh Eng sedikit menggelengkan kepala, ujarnya: “Orang lain gampang kau tipu, tapi aku.... hm!” Dengan nanar ia menatap kotak kayu cendana itu dan berjalan perlahan mendekatinya. Sekonyong-konyong sebuah suara “Breng” yang keras terdengar di belakangnya, begitu keras bunyi suara itu sampai badannya tergetar mencelat. Ternyata Pek-ih-sin-hi atau kuping palsu itu terbuat dari logam campuran perak, daya salurnya teramat hebat, suara yang memekakkan itu terasa menggetar-pecahkan selaput kupingnya. Selamanya ia amat membanggakan sepasang kupingnya ini, sungguh mimpi pun tak terfikir olehnya kalau kuping logamnya ini akan membawa akibat yang amat fatal juga bagi dirinya. Saking terkejutnya, ia berjumpalitan ke tengah udara, berbareng dengan itu sepasang telapak tangannya membalik menghantam ke belakang, tapi bayangan orang tak kelihatan lagi di belakangnya.

Suara itu kembali terdengar di luar jendela, dengan sebat ia menjejakkan kakinya, badannya pun melenting keluar jendela, tiba-tiba terdengar bunyi yang ramai di bawah kakinya, waktu ia menunduk, ternyata kakinya menginjak sepasang gembreng yang besar.

Berobah pucat roman muka Toh Eng, teriaknya: “Celaka!” Seperti orang gila, lekas ia melesat masuk ke dalam pendopo. Dilihatnya kotak kayu cendana itu masih tetap di tempatnya tanpa kurang suatu apa pun, tapi sebuah daun jendela di sebelah sana tampak bergerak tak henti-hentinya.

Seperti patung kayu, Toh Eng menjublek di tempat, mimik mukanya aneh dan lucu, entah sedang menangis atau lagi tertawa, cuma mulutnya bergumam: “Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang, kau benar-benar lihai, tapi kau jangan takabur, suaramu sudah kudengar, akan datang suatu ketika kau akan kutemukan.”

Angin berdesir di belakangnya. Ban Bu-tik, Seng-si-poan dan Kim Pian-hoa beruntun melesat masuk ke dalam pendopo. Dilihatnya tangan Ban Bu-tik menjinjing sebuah patung wanita laksana bidadari yang terbuat dari batu giok, katanya: “Ternyata hanya tipuan belaka, Giok-bi-jin ini ternyata palsu.”

“Meski palsu, paling tidak juga berharga beberapa tahil perak. Itu yang namanya tidak berhasil mencuri ayam malah kehilangan segenggam beras. Begitu tenar dan besar namanya, malam ini toh terjungkal pula di tangan kita.”

Dengan sorot mata pudar Toh Eng tetap mengawasi kotak kayu cendana itu, katanya lirih: “Jika itu palsu, lalu yang tulen ada di mana?”

Berubah pucat wajah Kim Pian-hoa, serunya gemetar: “Sudah tentu.... ada... di dalam... kotak ini..”

Segera ia berlari memburu maju dan membuka kotak itu. Giok-bi-jin yang tersimpan di dalam kotak itu ternyata telah lenyap. Kim Pian-hoa menjerit pilu, lalu roboh pingsan.

Saat Ban Bu-tik memeriksa, di dalam kotak terdapat secarik kertas biru muda berbau wangi, di atasnya ada tulisan indah dan tajam berbunyi: “Pian-hoa Kongcu kehilangan, maling sakti meninggalkan bau harum.”

***

Kini ia tidur tengkurap di dek sebuah kapal. Cahaya matahari pagi bulan lima dengan hangat menerpa tubuhnya yang separuh telanjang, terutama punggungnya yang lebar, sehingga berwarna merah seperti tembaga. Angin laut basah sejuk berhembus sepoi-sepoi menyingkap rambutnya yang panjang halus terurai, kedua tangannya yang berotot terjulur ke depan, jari-jarinya panjang terpelihara dan kuat, serta memegang sebuah patung porselen yang mengkilap halus berkilauan, itulah Pek-giok-bi-jin, patung perempuan cantik terbuat dari batu pualam.

Seolah-olah ia sedang terlelap di tengah samudera raya.

Sebuah kapal dengan tiga tiang layar besar dan tinggi, layar berwarna putih, bentuk kapal panjang menyempit, terbuat dari bahan kayu yang keras dan mengkilap. Siapa pun yang berada di atas kapal ini, pasti hatinya tenang tenteram, merasa hidupnya penuh dengan kemewahan.

Waktu itu permulaan musim panas, sang surya memancarkan cahaya terang benderang, burung camar terbang rendah berputar-putar di sekeliling kapal, terasa semarak dan romantis, diliputi oleh kegembiraan masa muda yang gemilang.

Selayang pandang, samudera raya amat luas tak berujung pangkal, daratan nun jauh di sana terlihat seperti segunduk bayangan abu-abu yang sejajar dengan garis langit dan air. Di sini adalah dunia tersendiri, tak pernah kedatangan tamu-tamu yang membosankan.

Pintu yang menembus ruang bawah selalu terbuka, dari kamar bawah berkumandang suara tawa nyaring merdu. Kemudian seorang gadis cantik muncul dan berjalan di dek kapal. Ia mengenakan pakaian longgar berwarna merah menyala yang sedap dipandang, rambutnya terurai mayang, setiap kakinya melangkah, tampak betis dan telapak kakinya yang indah dan putih halus menggiurkan, terus saja ia menghampiri, dengan perlahan ujung jari kakinya menggelitik telapak kaki orang. Terbersit senyuman mekar di raut mukanya yang elok seakan ratusan macam kembang serempak mekar semerbak dalam waktu yang bersamaan.

Laki-laki itu mengerutkan kakinya, katanya sambil menghela nafas, “Thiam-ji, apa kau tidak bisa diam?” Lagak lagu suaranya rendah, mengandung daya tarik yang luar biasa.

Terdengar suara kikik tawa yang panjang nyaring, “Akhirnya salah juga terkaanmu!”

Dengan malas ia membalikkan badan, cahaya matahari menimpa mukanya, kedua alis tebal memayang, diliputi kekasaran sikap laki-laki yang penuh dengan kejantanan, namun biji matanya yang bening menunjukkan kehalusan hatinya. Hidung yang tegak berdiri membayangkan ketegasan, tegas dalam keputusan dan tindakan. Tapi sekali tertawa, ketegasan hati yang keras itu seketika berubah menjadi halus mesra, sikap dingin itu seketika berubah menjadi simpatik dan halus kasihan.

Ia mengangkat tangannya untuk menutupi cahaya matahari yang menyilaukan matanya, wajahnya dihiasi senyum lebar sambil memicingkan mata, sorot matanya memancarkan kenakalan, penuh humor dan kecerdikan, katanya, “Li Ang-siu, jangan nakal ya, seorang Song Thiam-ji saja sudah cukup membuatku tobat!”

Li Ang-siu tertawa terpingkal sambil memeluk pinggang, katanya menahan tawa, “Kecuali Song Thiam-ji, memangnya orang lain tidak boleh nakal?”

Coh Liu-hiang menepuk papan dek di sebelahnya, katanya, “Baiklah kau duduk di sini dan menemani aku berjemur. Karanglah sebuah cerita untuk kudengar, cerita banyolan yang lucu, dengan akhir cerita yang menggembirakan, tragedi menyedihkan di dunia ini sudah cukup banyak.”

Li Ang-siu menggigit bibir, katanya, “Aku tidak mau duduk, tak mau bercerita, aku pun tak mau berjemur... sungguh tak terfikir olehku, kenapa kau suka berjemur.... “ Lain di mulut lain di hati, katanya tidak mau berjemur, justru dia berjongkok dengan perlahan dan duduk di pinggir orang, malah kedua kakinya terjulur agar tersorot sinar matahari.

“Apa jeleknya berjemur? Seseorang asal bisa meniru sifat matahari, dia pasti takkan melakukan perbuatan yang hina dan memalukan. Siapa pun bila berada di bawah sorotan sinar matahari yang sejuk menyegarkan ini, dia pasti takkan memikirkan sesuatu yang jahat.”

“Aku justru sedang memikirkan hal jahat, “ujar Li Ang-siu sambil mengerling penuh arti.

“Tentu kau sedang mencari akal supaya aku merangkak bangun mengerjakan sesuatu, betul tidak?”

“Kau ini memang setan, segala persoalan tak bisa mengelabuimu,” lamat-lamat suara tawa cekikikannya pun berhenti, lalu katanya pula, “Tapi kau memang harus mengerjakan persoalan ini, sejak pulang dari kotaraja, kau selalu tiduran, bila terus-terusan begini maka kau tentu akan menjadi bajingan.”

Coh Liu-hiang menghela nafas, “Kau ini mirip dengan guru sekolahku waktu kecil, kecuali kau tidak punya jenggot kambing seperti dia.”

Seketika mata Li Ang-siu melotot, Coh Liu-hiang tertawa lebar, katanya pula, “Di kotaraja aku sudah menghadapi tampang-tampang orang yang mengagulkan diri sebagai Enghiong, kecuali si Elang Gundul tua bangka itu yang punya sedikit kepandaian, yang lain gentong nasi belaka. Ban Bu-tik katanya berkepandaian tinggi, sepasang potlotnya menurut kabar bisa menotok dua ratus delapan belas Hiat-to di tubuh orang. Namun ketika aku berkelebat di sampingnya, ia hanya berdiri seperti baru bangun dari mimpi.”

Li Ang-siu membuka mulut, “Siapa yang tidak tahu ginkang Coh-toasiauya tiada bandingannya... tetapi Coh-toasiauya, bualanmu sudah selesai belum?”

“Sudah habis, nona Li ada petunjuk apa?”

“Akan kuajukan beberapa persoalan padamu,” kata Li Ang-siu sambil mengeluarkan sejilid kitab tipis kecil dari lengan bajunya. “Barang yang kau ambil di Kilam tempo hari terjual tiga puluh laksa tail. Untuk membantu keluarga Ong-piauthau Liong-hou piaukiok selaksa tail, pembantu keluarga Tio dan Thio masing-masing disokong lima ribu tail, untuk membantu Ong-siucay melunasi ongkos penguburan seribu tail, membeli kado pernikahan Tio Kok-bing seribu lima ratus tail, untuk menyumbang The......”

Coh Liu-hiang menghela nafas, tukasnya, “Memangnya aku tidak tahu semua itu?”

Li Ang-siu meliriknya, katanya, “Pendek kata, tiga puluh laksa tail itu telah habis dibagikan, lima ribu tail yang kau sedot dari pengeluaranmu sendiri pun telah aku gunakan empat ribu tail untuk keperluan kita.”

Coh Liu-hiang tertawa getir, “Nona, memangnya kau tidak bisa sedikit berhemat?”

“Apa hidupmu belum cukup mewah? Orang-orang usil di kalangan Kangouw mulai membicarakan kejelekanmu, orang tidak tahu, uang yang kau pakai adalah milikmu sendiri, semua bilang kau pura-pura dermawan lantaran memakai uang hasil curian.”

“Persetan dengan omongan orang, perduli apa dengan kita? Hidup manusia di dunia ini apa artinya kalau tidak berfoya-foya, mengapa kita harus hidup menderita? Mengapa kau berubah menjadi sedemikian cupat?”

“Aku tidak menyuruhmu hidup menderita, aku cuma.....”

“Kalian sedang mengobrol tentang apa? Apa tidak lapar?” tiba-tiba berkumandang suara dari ruang bawah.

Li Ang-siu geli mendengar logat orang, katanya tertawa, “Terlalu, memangnya dia tidak bisa bicara dengan logat yang enak didengar orang lain?”

“Kau tidak perlu mencelanya, dengan susah-payah dia memasak buat kita, namun kau tidak mau makan, tak heran kalau dia marah-marah. Orang kalau marah, logat kampung-nya pun akan dibawa serta, “ demikian ujar Coh Liu-hiang. Tampaknya ia tidak bergerak, tahu-tahu sudah menarik tangan Li Ang-siu sembari berbangkit.

Dengan sengaja Li Ang-siu merengek aleman, “Segala urusan selalu kau membela Thiam-ji, maka dia.... “ belum habis bicara, tiba-tiba raut mukanya berubah, serunya tertahan, “Coba lihat, apa itu?”

***

Permukaan laut ditimpa cahaya sang surya, tampak sesosok bayangan orang terapung mendatangi terbawa oleh arus, ternyata sesosok mayat manusia.

Hanya dengan memutar badan, Coh Liu-hiang sudah berada di pinggir dek, sekali raih ia menarik segulung tali terus diikatnya, sekali ayun tali panjang itu melesat seperti anak panah langsung mengarah pada mayat terapung itu, seperti ular hidup saja, tali dengan tepat dan persis menjerat mayat itu.

Mayat ini masih mengenakan pakaian sutera halus yang mahal, pinggangnya menyoren pipa cangklong terbuat dari batu pualam, raut mukanya hitam legam melepuh besar. Dengan perlahan Coh Liu-hiang meletakkan mayat itu di atas dek, katanya sambil menggeleng, “Tak tertolong lagi.”

Sebaliknya Li Ang-siu mengamati kedua tangan mayat itu, tampak jari tengah dan jari manis tangan kiri mayat itu masing-masing terpasang cincin emas hitam mengkilap terbuat dari baja murni. Tangan kanannya tidak mengenakan cincin, tapi ada bekas jalur putih yang menandakan biasanya pada jari tengahnya itu pun mengenakan cincin.

Berkerut alis Li Ang-siu, katanya, “Chit-sing-hwi-hoan (Cincin Terbang Tujuh Bintang), mungkinkah orang Thian-sing-pang?”

“Ya, dari Thian-siang-pang, malah pimpinan tertingginya Chit-sing-toh-hun (Tujuh Bintang Perenggut Nyawa) Cou Yu-cin. Tetapi Thian-sing-pang biasanya bercokol dan berkuasa di daerah Hoan-lam, mengapa dia bisa mati di tempat ini?”

“Badannya tidak terluka, mungkinkah dia mati karam?”

Coh Liu-hiang menggelengkan kepala, perlahan ia menyingkap baju orang, terlihat tulang rusuk ke-lima di dada sebelah kiri, antara Yu-kin-hiat dan Ki-hun-hiat, bercap sebuah telapak tangan warna merah darah.

“Cu-soa-ciang!” seru Li Ang-siu menghela nafas.

“Akhir-akhir ini dari Cu-soa-bun telah muncul beberapa tokoh muda yang lihai, jumlah anak murid kurang lebih tujuh puluhan, namun yang bisa mengalahkan dan membunuh Chit-sing-toh-hun tidak lebih dari tiga orang.”

“Ya, Pang, Nyo, Sebun..... ilmu silat ketiga orang ini mungkin lebih unggul dari Cou Yu-cin.”

“Tapi ada permusuhan apa antara Cu-soa-bun dan Thian-sing-pang?”

Li Ang-siu berfikir, lalu menjawab, “Tiga puluh tujuh tahun yang lalu, Sing-tong Hiangcu dari Thian-sing-pang mempersunting puteri kedua Ciangbunjin Cu-soan-bun waktu itu, Pang Hong. Dua tahun kemudian, nona Pang meninggal dunia. Pang Hong lalu meluruk ke markas Thian-sing-pang untuk mengusut persoalan ini, akhirnya diketahui ternyata nona Pang memang meninggal dunia lantaran sakit keras, tapi hubungan kedua keluarga sejak itu terputus.”

“Masih ada yang lain?”

“Dua puluh enam.... mungkin dua puluh lima tahun yang lalu, Thian-sing-pang pernah merampas barang kawalan yang dilindungi oleh anak murid Cu-soa-bun. Waktu itu kebetulan Pang Hong baru saja wafat setelah sakit tua, fihak Cu-soa-bun sedang sibuk memilih calon Ciangbunjin penggantinya, maka urusan itu tertunda setahun berikutnya. Meski murid Thian-sing-pang yang merampas barang kawalan itu sudah mengaku salah dan meminta maaf, namun barang-barang itu tidak pernah dikembalikan.”

Peristiwa dua puluh lima tahun yang lalu ia tuturkan dengan hafal dan fasih sekali, seolah-olah sedang menceritakan sejarah rumah tangga leluhur sendiri.

Coh Liu-hiang tertawa lebar, katanya, “Ingatanmu memang tidak pernah mengecewakan orang lain..... tetapi semua peristiwa itu sudah berlalu, juga tidak terhitung permusuhan dendam kesumat sedalam lautan, fihak Cu-soa-bun tidak akan menguntit Cou Yu-cin sampai di sini lantaran peristiwa lama itu, lalu turun tangan keji, pasti dalam peristiwa ini ada latar belakang atau ada sebab-musabab yang belum kita ketahui.”

Sekonyong-konyong seorang gadis lain muncul dari ruang bawah, serunya dengan bersungut-sungut, “Kalian sedang mengobrol apa?” Dia pun memakai pakaian lebar yang amat longgar, berwarna kuning seperti bulu angsa, setiap langkah kakinya memperlihatkan pahanya yang halus, betis kakinya yang indah dan kulit kakinya yang putih lembut.

Rambutnya yang panjang hitam legam diikal menjadi dua jalur kuncir, waktu memburu keluar gerak-geriknya lincah, kedua kuncirnya bergoyang-gontai, raut mukanya yang bundar seperti kwaci berwarna abu-abu pudar, dihiasi sepasang biji mata yang jelas perbedaan hitam putihnya, kelihatan amat menawan, cantik dan nakal. Mukanya sedang bersungut mendongkol, tetapi begitu melihat mayat itu, mendadak ia menjerit ketakutan, lalu memutar badan terus lari terbirit-birit masuk kembali ke ruang bawah, larinya malah lebih cepat daripada waktu datangnya tadi.

“Nyali Thiam-ji biasanya besar bila melakukan tugas berat apa pun, tapi setiap kali melihat mayat, takutnya setengah mati, makanya sering kukatakan, siapa yang bisa menundukkan dia, hanya orang mati yang bisa mengekang dirinya.”

Dengan nanar Coh Liu-hiang mengawasi permukaan laut nan jauh di sana, katanya kalem, “Coba tunggu saja, mayat yang terapung lewat di sini kupastikan tidak hanya satu.”

Sebelum Li Ang-siu sempat membuka suara, tiba-tiba dari ruang bawah di balik pintu, terlihat tangan halus putih terjulur keluar mendorong sebuah nampan besar. Nampan besar itu diletakkan di atas dek, di atasnya ada dua ekor burung dara yang dipanggang matang, jeruk kuning teriris merekah, beberapa kerat potongan daging kerbau, separoh ayam goreng, seekor ikan gurame, di samping itu ada pula secawan air tomat kental, dua piring nasi putih, sebotol anggur berwarna merah coklat, botol itu basah oleh butiran-butiran air yang menguap, agaknya baru dikeluarkan dari rendaman es batu.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar