Maling Romantis (Xue Hai Piao Xiang) Bab 5: Perjudian

Maling Romantis (Xue Hai Piao Xiang) Bab 5: Perjudian
Maling Romantis
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 5: Perjudian
Thio Siau-lim bergerak seperti tiba-tiba terjaga dari impiannya, gumamnya: "Eh, ada orang ya? Siapa itu?"

Perempuan pembunuh itu amat kaget seperti kuatir mengejutkan orang di luar jendela itu. Namun ia tidak bersuara, waktu berpaling kelihatan ia mengulum senyum geli, ternyata kedoknya sudah hilang, sinar rembulan menyoroti mukanya, ternyata memang cantik mempesona.

Thio Siau-lim sengaja pentang lebar-lebar kedua matanya, dia pun tak bersuara.

Perempuan itu unjuk senyum lebar dan manis mesra, menatapnya pula dengan pandangan menarik, jari-jari tangannya yang runcing halus pelan-pelan sudah merambati kancing bajunya di depan dada, satu-persatu dia membuka pakaiannya.

“Kau.... kau ini....” Thio-Siao-lim melenggong.

Lekas perempuan itu angkat jari di depan mulutnya, menyuruhnya jangan bersuara, dengan gemulai pinggangnya meliuk gontai, pakaian ketat yang membungkus tubuhnya seketika melorot jatuh ke bawah. Kecuali pakaian hitam itu, bagian dalamnya kosong plontos tanpa secarik benang pun jua.

Cahaya rembulan seketika menyoroti seluruh badannya yang montok telanjang laksana gading.

Serasa sesak napasnya Thio-Siau-lim, di saat ia terlongong, tiba-tiba terasa badan yang padat kenyal, licin, dingin dan lembut laksana ular tahu-tahu menyusup masuk ke dalam kemulnya.

Bau badannya mambawa harum sabun cendana yang semerbak, agaknya dia baru saja mandi. Harum sabun yang wangi sedap baunya, tapi anehnya, waktu bau wangi ini teruar dari badannya, cukup membuat nafsu birahi seorang laki-laki sirna tanpa diketahui ke mana perginya.

Badannya yang licin dan berminyak bagai ular sudah membelit badan Thio-Siau-lim.

Thio-siau-lim menggumam melongo: “Tengah malam buta rata, memdadak ada seorang gadis cantik membuka polos pakaiannya, menyusup ke dalam kemul, cerita macam ini mungkin seorang pengarang cerita porno yang paling brutal pun takkan bisa menuliskannya seperti ini?”

Gadis itu rebah di pinggir telinganya, katanya berbisik sambil cekikikan geli: “Seorang laki-laki ketiban rejeki sebesar ini, memangnya masih belum puas?”

“Apa kau ini siluman rase? Atau setan?”

“Ya, memang aku ini siluman rase, aku hendak mencekikmu sampai mati.”

Mendadak gemetar sekujur badan Thio-Siau-lim, katanya: “Bicara terus terang, hatiku takut setengah mati!”

Gadis itu pelan-pelan mengelusnya, katanya tertawa genit: “Jangan takut, seumpama rase menjadi siluman, dia tetap mempunyai ekor, coba kau raba pinggangku, apa ada ekornya tidak?” ia tarik tangan orang.....

“La.....lu, siapa kau sebenarnya?”

“Leng-kongcu kuatir kau kesepian, sengaja mengutus aku ke mari untuk menemani kau, sekarang kau boleh lega hatilah?”

“Leng-kongcu memang baik hati, kau tidak kalah baiknya, apa pun yang kau inginkan pasti kuberikan.”

“Aneh, biasanya Leng-kongcu bersikap dingin kaku, kenapa terhadap kau sebaliknya? Memangnya....ada sesuatu permintaan apa-apa terhadapmu?”

“Em...”

Gadis itu merapatkan badannya, reaksinya sungguh amat mendebarkan jantung, katanya: “Orang baik, katakan kepadaku apakah yang sedang kau rundingkan dengan dia?”

“Ai....”

Meliuk-liuk pinggang si gadis, katannya berbisik: “Malam ini agaknya Leng-kongcu amat sibuk, apakah terjadi sesuatu?... Tiga orang Tiang-lo yang bertempat tinggal di rumah Ciangbunjin itu kenapa tidak tampak bayangannya?”

Agaknya gadis itu jadi uring-uringan, katanya aleman sambil mendorong dada orang: “Diajak bicara diam saja. Baik! Aku tidak mau hiraukan kau lagi.”

“Sekarang bukan saatnya untuk bicara.”

“Tapi sekarang kau harus....” belum lenyap suaranya, mendadak si gadis rasakan seluruh badan kejang linu, kaki tangannya tak mampu bergerak lagi. Baru sekarang dia betul-betul kaget, teriaknya tertawa: “Kau.... apa yang kau lakukan?”

Tiba-tiba Thio-Siau-lim bangun berduduk, katanya sambil berseri tawa mengawasinya: “Kau beritahu aku dulu, siapa kau? Setelah itu baru kejelaskan tentang diriku.”

“Bukankah tadi sudah kuberitahu, Leng-kongcu yang suruh aku ke mari?”

“Orang yang diutus Leng-kongcu mana mungkin merambat turun dari atas genteng.”

Biji mata yang indah itu kini menyorotkan rasa ketakutan. Serunya: “Kau.... jadi kau sudah melihatnya tadi?”

“Harus disayangkan, tak sengaja aku tadi melihatnya.”

“Kau, kenapa tadi kau tidak bersuara?”

“Kau kan tidak suruh aku bicara? Apalagi aku hanya tidak senang rahasiaku diselidiki orang, tetapi gadis jelita hendak buka baju telanjang di hadapanku, memangnya amat kebetulan malah bagiku.”

“Kau...... kau bangsat bangor ini,” maki si gadis mendesis gusar.

“Sekarang, tibalah saatnya kau mengaku terus terang.”

Gadis itu melototkan matanya, suaranya serak saking gusarnya: “Ingin rasanya kubunuh kau!”

“Tidak mau bicara?”

Berkeriut gigi si gadis, “Kalau tidak kau bunuh aku, kelak pasti akan menyesal.”

“Baik, kau tidak mau bicara, orang lain pasti bisa memaksamu bicara.” mendadak ia gulung tubuh orang dengan kemul kapas itu terus berteriak-teriak keras: “Tangkap maling.... tangkap mata-mata!”

Keruan pucat pias selembar muka si gadis, sungguh mimpi pun ia tidak menyangka orang tega hati memperlakukan dirinya sekeji ini.

Serempak para laki-laki di luar pintu segera menerjang masuk, bentaknya bersama, “Mana mata-matanya?”

Thio Siau-lim menunjuk gadis di atas ranjang itu, katanya, “Itu di sana! Lekas bawa ke tempat Leng-kongcu untuk dikorek asal-usulnya.”

Kaget dan girang para laki-laki itu, segera mereka menjinjing gulungan selimut kapas itu beramai-ramai.

Badan si gadis tidak bisa bergerak, tapi mulutnya masih mencaci-maki, “Kau binatang! Kau anjing! Kau... akan mati tanpa liang kubur!”

Perlahan-lahan Thio Siau-lim menggaruk hidungnya, katanya menggumam, “Ada orang yang mengatakan aku ini hidung belang, aku masih bisa menerimanya. Tapi kalau ada orang yang menganggap aku pikun, terpaksa aku harus memberi hajaran padanya.”

***

Liu-yap-to masih tergeletak di lantai, Thio Siau-lim pun menjemputnya dan ditimang serta diawasi, katanya sambil mengerutkan kening, “Jadi perempuan itu orang Thian-sing-pang, bagaimana mungkin orang Thian-sing-pang bisa berada di sini?”

Sesaat lamanya ia menerawang, lalu mengenakan pakaian dan menyelipkan Liu-yap-to itu di pinggangnya, sedikit pundaknya terangkat, tahu-tahu badannya sudah meluncur keluar dari lubang genteng.

Sesaat lamanya ia mendekam di atas genteng, setelah meneliti keadaan sekelilingnya, mulutnya menggumam sendiri, “Dia datang dari sebelah timur, jadi Thian-sing-pang berada di sebelah timur.” Segera ia kembangkan ginkangnya, melompat dari wuwungan ke wuwungan yang lain, seakan mega mengambang di bawah kakinya, angin malam yang dingin menghembus lewat membasahi mukanya.

Bentuk wuwungan rumah itu berbeda satu dengan yang lain, demikian pula penghuni rumah-rumah di bawah, juga terdiri dari orang-orang yang berlainan sifat dan kesenangannya, dengan aneka ragam kehidupannya pula, namun siapa yang dapat membandingi keaneka-ragaman hidupnya?

Malam semakin larut, tabir malam makin pekat, suasana dalam rumah-rumah itu pun mulai terjatuh dalam kegelapan, kadang kala terdengar jerit tangis orok yang terjaga di tengah malam, atau suara senda-gurau suami-isteri yang sedang bemain cinta di atas ranjang.....

Kecuali suara riang gembira, ada kalanya terdengar juga suara caci-maki dari mulut yang penasaran. Suara kucing menubruk tikus, suara ngorok laki-laki gendut yang tidur nyenyak, serta suara dadu yang jatuh ke dalam mangkuk dengan suara kelontang yang nyaring.

Di waktu malam, berjalan di atas wuwungan rumah orang merupakan suatu kesenangan yang lain daripada yang lain, terasa keunggulan yang tidak mungkin dibandingi orang lain, perasaan seperti inilah yang paling ia sukai.

Tiba-tiba dilihatnya cahaya lampu yang menyorot terang di pekarangan depan sana, namun di tempat gelap di mana sorot lampu tidak mampu mencapainya, seakan-akan tampak kemilau sinar golok dan bayangan orang yang sedang mendekam di sana.

Mendadak Thio Siau-lim menghentikan larinya, gumamnya, “Mungkin di sinilah tempatnya!” Sebat sekali ia menyembunyikan diri di balik wuwungan, sesaat lamanya ia meneliti keadaan sekitarnya, dilihatnya seseorang berjalan keluar dari dalam rumah, katanya setelah berludah, “Apa Sam-kohnio sudah kembali?”

Laki-laki tegap di tempat gelap di pojok sana segera menyahut, “Belum kelihatan!”

Orang itu menggeliat, katanya ragu-ragu, “Aneh, mungkin terjadi sesuatu?”

“Mengandalkan kecerdikan Sam-moay, kuyakin tidak akan terjadi apa-apa.”

Mendadak Thio Siau-lim melemparkan Liu-yap-to itu ke bawah seraya membentak, “Sam-moay-mu sudah terjatuh ke tangan Pang kita, kalian tunggu saja akibatnya!”

Dari dalam rumah beruntun melesat bayangan orang, laksana pedang yang disambitkan. Ia mengenakan pakaian ketat warna hitam, tangannya menggenggam sebatang pedang yang kemilau memancarkan cahaya hijau.

Melihat gerakan tubuh orang, kembali Thio Siau-lim dibuat terkejut, batinnya, “Kepandaian orang ini agaknya lebih tinggi dari Chit-sing-toh-hun Cou Yu-cin. Dari mana Thian-sing-pang mempunyai tokoh kosen tersembunyi seperti dia ini?”

Seenteng daun, secepat kilat ia melesat pergi, bayangan hitam itu pun mengejar dengan kencang dan ketat di belakangnya. Sengaja ia memperlambat larinya sambil berpaling ke belakang.

Dilihatnya raut muka orang yang seperti mayat hidup, sepasang matanya sipit laksana bintang kejora yang menyorot terang, sekilas pandang lebih menakutkan dari kilauan pedangnya.

Baru saja Thio Siau-lim menghentikan langkahnya, laki-laki berbaju hitam itu segera menyusul tiba, di mana pedangnya menari-nari beterbangan. “Sret! Sret! Sret!”, beruntun beberapa kali. Dalam sekejap ia sudah menusuk tiga kali.

Tiga tusukan pedang itu bukan saja cepat lagi tepat, sasaran yang dituju pun tak lepas dari tempat-tempat mematikan di badan Thio Siau-lim. Ilmu pedangnya memang belum boleh dikatakan sudah mencapai puncak kesempurnaannya, namun serangannya ganas dan telengas, jarang ada tandingan soal kekejiannya. Sorot matanya memancarkan kebencian, kekejaman dan sinar buas seperti serigala kelaparan, seakan-akan kesenangannya yang terbesar dalam hidup ini adalah membunuh orang, tujuan hidupnya pun juga demi membunuh orang.

Gaya permainan pedangnya pun amat aneh, sikutnya ke atas, posisinya seperti tidak pernah bergerak, kelihatannya ia cuma mengandalkan kekuatan pergelangan tangannya untuk menusukkan pedang. Bila tiba saatnya, selamanya tak pernah menyia-nyiakan sedikit pun tenaganya.

Melihat raut wajah orang yang seperti mayat hidup, menyaksikan gaya serangan pedangnya yang aneh dan lucu, mendadak tergerak hati Thio Siau-lim, teringat olehnya seseorang.

***

Dengan cepat dan cara yang aneh sekali, pergelangan tangan orang itu bergerak dengan gesit dan enteng. Sinar pedang seperti percikan kembang api, siapa pun tidak bisa melihat gerak perubahannya.

Sekilat pandang, beruntun ia menusuk tiga belas kali, sementara Thio Siau-lim sudah melampaui empat wuwungan rumah, sinar pedang laksana ular jahat yang membelit badannya, namun sejauh itu tidak berhasil menyentuh ujung bajunya.

Itulah gaya gerakan pedang yang lebih cepat dari sambaran kilat, namun gerakan badan yang jauh lebih cepat pula dari kilat dipamerkan oleh Thio Siau-lim. Waktu tusukan keempat belas dilancarkan, mendadak tersendat dan berhenti satu kaki di depan tenggorokannya.

Gerak tusukan pedang itu boleh dikata teramat cepat lagi tepat, namun berhentinya pun amat wajar dan enteng, badan pedang bergeser sedikit pun tidak. Gerakan tubuh Thio Siau-lim yang meluncur secepat kilat pun mendadak berhenti. Kedua orang berdiri berhadapan, seakan sama-sama sudah membeku.

Terpancar sorot aneh dari biji mata laki-laki baju hitam ini, katanya tegas: “Kau bukan murid Cu-soa-bun.” Lagu suaranya pun ganjil dan lain daripada yang lain, dingin, rendah, berat, serak, pendek, kedengarannya seperti bukan kata-kata yang keluar dari tenggorokan manusia, walaupun suaranya rendah datar, namun membawa daya kekuatan yang menusuk sanubari orang, sehingga orang sulit melupakan setiap patah kata yang pernah dia ucapkan.

Thio Siau-lim tertawa, katanya: “Dari mana kau tahu kalau aku bukan murid Cu-soa-bun?”

“Murid Cu-soa-bun tiada seorang pun yang bisa meluputkan diri dari tiga belas tusukan pedangku.”

“Sudah tentu kau pun bukan orang Thian-sing-pang.”

“Tidak salah!” sahut laki-laki baju hitam itu.

Lenyap suaranya, pedangnya yang berhenti di tengah jalan mendadak menusuk datang pula. Betapa cepat tusukan ini sungguh luar biasa. Begitu pedangny amenusuk, jarang dapat dicari orang yang mampu meluputkan diri dari tusukan pedang yang hanya berjarak satu kaki saja.

Tapi hebat memang kepandaian Thio Siau-lim. Sebelum pedang orang bergerak, tahu-tahu ia sudah berkelebat mundur tiga kaki, walau orang hendak menusuk tenggorokan Thio Siau-lim, sedikit pun ia tidak jadi marah, malah katanya sambil tertawa: “Kalau kau toh bukan murid Thian-sing-pang, aku pun bukan murid Cu-soa-bun, kau dan aku boleh dikata selamanya tidak saling kenal, kenapa kau harus membunuh aku?”

Ucapannya belum cukup tiga puluh kata, namun dilancarkan dengan cepat sekali, tapi laki-laki baju hitam sudah menusukkan tiga puluh enam serangan pedangnya pula, gaya serangannya lebih ganas dan lebih keji. Biasanya dia tidak suka banyak bicara, karena sebelum ia bicara, pedang di tangannya sudah memberikan jawaban yang cekak-aos. Mati! Itulah jawaban yang biasa ia berikan kepada orang.

“ilmu pedang kilat, ilmu pedang yang ganas keji, memang tidak malu dijuluki pedang cepat nomor satu dari Tionggoan.... hebat memang pedang menyapu sukma tanpa bayangan, Setitik Merah dari Tionggoan.”

Tiiada jawaban, setelah tiga puluh enam tusukan, tiga puluh enam tusukan melanda pula mengancam tenggorokannya.

Selama itu Thio Siau-lim tidak pernah balas menyerang, mukanya mengulum senyum simpul, katanya: “Kalau ingin pinjam tangan membunuh orang, carilah It-tiam-ang (Setitik Merah).... kabar di Kangouw, asal ada orang yang mau mengeluarkan harga tinggi, seumpama teman baik atau darah daging sendiri pun kau akan membunuhnya, apa benar kabar yang kudengar ini?” habis kata-katanya ini, tiga puluh enam tusukan pedang yang ketiga kalinya sudah dilontarkan pula.

Kata Thio Siau-lim menghela napas: “Sudah lama kudengar perihal sepak terjangmu, sayang kau tidak mau buka suara, sebetulnya ingin aku mengobrol denganmu, bukankah mengobrol lebih nikmat dan aman daripada mengayun golok mempertaruhkan jiwa menimbulkan banjir darah.”

Pedang panjang It-tiam-ang mendadak berhenti pula, sorot matanya yang tajam menyedot sukma orang kembali menatap Thio Siau-lim, mendadak ia menyeringai tawa menunjukkan barisan giginya yang putih, katanya: “Maling romantis suka menagih sukma, malam hari suka meninggalkan bau harum... jadi kau ini Coh Liu-hiang!”

Kali ini ganti Thio Siau-lim yang melengak kaget, katanya tertawa geli: “Siapa yang kau maksud Coh Liu-hiang itu?”

“Kecuali maling romantis Coh Liu-hiang yang mampu meluputkan diri dari seratus empat puluh empat tusukan pedangku tanpa membalas, masih tetap tersenyum lagi, kukira sukar dicari orang kedua di kolong langit ini.”

“Terkaanmu memang benar,” Thio Siau-lim tertawa besar. “Memang aku tidak senang menggunakan kekerasan, bunuh-membunuh mengalirkan darah merupakan perbuatan goblok manusia yang utama.”

Berkilat sorot mata It-tiam-ang, tanyanya: “Selamanya kau tidak pernah membunuh orang?”

“Kau tidak percaya?”

“Kau belum pernah membunuh orang, dari mana kau bisa tahu betapa nikmatnya membunuh orang?”

“Selamanya kau belum pernah terbunuh, tentunya belum pernah merasakan betapa derita jiwa seseorang yang dibunuh. Kalau seseorang membangun kesenangan hati sendiri di atas kesengsaraan orang lain, orang macam itu kukira tidak berguna lagi.”

Kembali terpancar percikan api yang menyala dari biji mata It-tiam-ang. Belum lagi ia bersuara, tiba-tiba terdengar seseorang membentak: “It-tiam-ang, hayo serang! Kenapa kau tidak turun tangan?”

Ternyata baru sekarang murid-murid Thian-sing-pang menyusul tiba, empat-lima orang berdiri di atas wuwungan empat tombak jauhnya, hanya seorang laki-laki kekar yang melompat maju berdiri lebih dekat, serunya sambil banting kaki: “Kami keluar uang mengundangmu untuk membunuh, bukan mengundangmu untuk putar bacot melulu.”

It-tiam-ang melirik pun tidak ke arah orang itu, malah Thio Siau-lim yang unjuk senyum, katanya: “Mengandalkan ilmu pedangnya yang hebat ini, entah berapa uang perakmu untuk membeli sekali tusukan pedangnya?”

Laki-laki tegap berbaju sutera itu tertawa dingin, jengeknya: “Keluar dua ketip perak saja sudah terlalu banyak. Orang suka mengagulkan bagaimana lihaynya It-tiam-ang. Siapa tahu kiranya dia hanyalah seorang lemah yang tidak berani bertindak.”

Baru saja kata-kata “lemah” diucapkan, sinar pedang mendadak berkelebat, belum lagi mengeluarkan suara jeritannya, laki-laki itu sudah terjungkal jatuh. Thian-toh-hiat di tenggorokannya berlubang dalam mengeluarkan setitik darah.

Cuma setitik darah segar.

Di bawah penerangan sinar bintang, tampak kulit daging mukanya berkerut-kerut kejang, selebar mukanya dihiasi butiran keringat sebesar biji kacang. Meski sudah kerahkan setaker tenaganya, suaranya tak terdengar pula dari lehernya, namun terdengar deru napasnya yang ngos-ngosan seperti binatang hendak disembelih.

It-tiam-ang, setitik merah yang teramat lihay, sampai membunuh orang pun tak sudi mengeluarkan banyak tenaga, kebetulan telah menusuk tempat yang mematikan, sekali tusuk kebetulan menamatkan jiwa orang, setengah mili pun pedang itu tidak menusuknya lebih dalam.

Pelan-pelan ujung pedang It-tiam-ang terjulur turun ke bawah, di ujung pedangnya pun terdapat setitik darah, dengan sinar sorot matanya menatap titik darah itu, tanpa angkat kepala, katanya kalem: “Orang yang hidup, tiada seorang pun yang bisa memakiku sebagai orang lemah.”

Deru napas yang ngos-ngosan itu lama-kelamaan semakin lemah, raut muka murid Thian-sing-pang itu sudah pucat tak berdarah lagi, akhirnya napas pun berhenti.

Kata Thio Siau-lim sambil menengadah dan menghela napas: “Bagus benar, membunuh orang tanpa kelihatan darah, setitik merah di ujung pedang.” Pelan-pelan ia merogoh keluar secarik sapu tangan sutera putih, lalu ditutupkan di atas muka laki-laki itu.

Baru sekarang para murid Thian-sing-pang berkaok mencaci-maki: “It-tiam-ang, kau biasanya mengutamakan keadilan dan kesetiaan, kenapa hari ini.......”

It-tiam-ang segera menukas dengan kasar: “Aku hanya menjual pedang, bukan orang. Siapa pun, bila menghina aku, maka dia harus mati!”

Murid-murid Thian-sing-pang banting kaki dan mendamprat: “Kita sewa kau untuk membunuh orang, kenapa kau tidak berani turun tangan kepadanya?”

Sekilas It-tiam-ang melirik kepada Thio Siau-lim, katanya kalem: “Kalian minta aku untuk menghadapi Cu-soa-bun saja, orang ini sebaliknya bukan murid Cu-soa-bun.”

“Sret,” pedang tersaung kembali ke dalam serangkanya, sigap sekali ia melompat turun ke bawah terus tinggal pergi.

Sungguh gusar dan kaget murid-murid Thian-sing-pang, mendadak seseorang membentak: “Orang inilah yang semalam sekongkol dengan Leng Chiu-hun, orang ini pula yang tadi dicari oleh Sam-kohnio.”

“Benar,” sahut Thio Siau-lim. “Kalau sekarang kalian hnedak menyusul dia, lekas kalian susul ke Kwi-gi-tong.....” belum lenyap suaranya, tiba-tiba tubuhnya telah berkelebat. Waktu para murid Thian-sing-pang menubruk datang, bayangannya sudah jauh puluhan tombak.

Lima belas lentera yang terbuat dari tembaga, oleh tangan seorang ahli disusun sedemikian rupa menyerupai bentuk budur, sebelah atapnya ditutup oleh kap lampu yang terbuat dari tembaga bundar berlobang-lobang pula, maka sorot lampu terkumpul pada satu sasaran lobang sehingga memancarkan cahaya terang yang menyolok mata.

Lampu yang berbentuk aneh ini sebetulnya ditaruh di atas meja judi yang beralas kain beludru warna hijau, namun meja judi yang panjang, lebar dan besar itu kini digunakan sebagai tempat kompres oleh Leng Chiu-hun. Ternyata gadis yang digulung kemul kapas oleh Thio Siau-lim itu terikat kencang di atas meja kompres itu. Sorot lampu yang terang itu tertuju ke mukanya yang pucat dan cantik itu.

Kedua matanya melotot lebar, kelopak matanya membesar bundar, semangatnya runtuh dan loyo seolah-olah dalam keadaan tidak sadar, terdengar mulutnya sedang komat-kamit menggumam: “Aku she Sim, bernama San-koh...., aku she Sim..... bernama San-koh..... aku murid Thian-sing-pang..... aku murid Thian-sing-pang....”

Leng Chiu-hun bercokol di atas kursi besar di pinggir meja judi itu, mukanya kaku dan membeku, sedikit pun tidak menunjukkan perasaan, cuma sorot matanya membayangkan senyum ejek yang keji.

Baru saja Thio Siau-lim melangkah masuk, segera ia menggeleng kepala dan katanya sambil menghela napas: “Serigala betina yang licik ini agaknya telah berubah menjadi domba yang j inak. Apa sekarang dia sudah mau buka mulut?”

Leng Chiu-hun tertawa tawar, ujarnya: “Perempuan yang lahirnya keras dan kukuh, bahwasanya tekadnya melempem dan tak punya pendirian, seseorang bila ingin perempuan menyimpan rahasianya, tentunya laki-laki itu sudah pikun.”

“Urusan yang berbahaya seperti ini memang tidak cocok dilaksanakan oleh kaum hawa, di dalam dapur atau di pinggir ranjang barulah tempat yang cocok bagi mereka. Sayangnya perempuan yang pintar justru tidak paham akan teori ini.”

“Thio-heng masih ingin bertanya apa kepadanya?” tanya Leng Chiu-hun sambil tertawa sadis, matanya melirik kepada Thio Siau-lim, katanya pula: “Seumpama sekarang kau bertanya dulu dia mempunyai berapa gendak, pasti dia akan menjelaskannya.”

Thio Siau-lim batuk-batuk kering, ia maju mendekat serta membungkuk mengawasi Sim San-koh, katanya: “Apa kau masih kenal aku?”

Dengan lemah dan lesu Sim San-koh membuka kelopak matanya, mendadak ia tertawa cekikikan, sahutnya: “Tentu aku masih kenal kau, kau adalah seorang kekasihku, yang paling memberi kenikmatan kepadaku, tapi kau adalah seorang bajingan, seekor binatang......”

Leng Chiu-hun tertawa terbahak-bahak, serunya: “Bisa dimaki sebagai binatang oleh perempuan seperti ini, Thio-heng tentunya kau memang seorang ahli yang jempolan dalam bidang itu. “Binatang” di mulut perempuan ada kalanya mempunyai makna yang jauh lebih berarti.”

Dengan tertawa kecut Thio Siau-lim meraba hidungnya, tanyanya pula: “Kenapa kau hendak menyelidiki rahasiaku?”

Sim San-koh menjawab: “Karena gerak-gerikmu waktu mencari Leng Chiu-hun amat mencurigakan, entah rahasia apa yang sedang kalian rundingkan?”

“Memangnya sepak-terjangku ini ada sangkut-pautnya dengan fihak Thian-sing-pang kalian?”

“Tentu ada sangkut-pautnya. Kali ini Thian-sing-pang meluruk ke Kilam, tujuannya memang hendak mencari Cu-soa-bun. Leng Chiu-hun justru seorang murid Cu-soa-bun yang mempunyai kekuasaan penting.”

Leng Chiu-hun terkekeh tawa, selanya: “Cu-soa-bun biasanya tiada bermusuhan dengan Thian-sing-pang, kenapa Thian-sing-pang hendak cari gara-gara?”

Sim San-koh menjelaskan: “Karena Thian-sing-pang Pangcu, Chit-sing-toh-hun Cou Yu-cin mendadak hilang. Sebelum berangkat, dia pernah berkata hendak mencari Sat-jiu-suseng Sebun Jian dari Cu-soa-bun.”

Berkilat mata Thio Siau-lim, tanyanya: “Tahukah kau untuk apa dia mencari Sebun Jian?”

“Tidak tahu.”

“Apa Cou Yu-cin biasanya ada ikatan persahabatan dengan Sebun Jian?”

“Selamanya tiada hubungan sama sekali.”

“Tahukah kau bahwa Sebun Jian sekarang sudah menghilang?”

“Tidak tahu.”

Semakin kencang kerut alis Thio Siau-lim, agaknya dia sedang memeras otak memikirkan persoalan pelik ini.

Mendadak Leng Chiu-hun membentak bengis: “Peristiwa ngeri yang terjadi di dalam perguruan kita, apa ada sangkut-pautnya dengan Thian-sing-pang?”

“Peristiwa berdarah apa? Sedikit pun aku tidak tahu.”

Leng Chiu-hun mengerling ke arah Thio Siau-lim. Kata Thio Siau-lim: “Sebelum Cou Yu-cin keluar pintu, apakah dia pernah menerima sepucuk surat?”

Sim San-koh berpikir sebentar, sahutnya: “Ya, tidak salah!”

Bersinar mata Thio Siau-lim, tanyanya, “Tahukah kau di mana surat itu sekarang?”

Kembali Sim San-koh berfikir, baru akhirnya menjawab, “Ciangbunjin menyerahkannya pada Ji-suhengku.”

“Siapa suhengmu?”

“Thian-jiang-sing Song Kang.”

“Di mana dia sekarang?”

“Di di Jiciu mencari derma untuk membayar It-tiam-ang, malam ini dia akan pulang.”

“Tionggoan It-tiam-ang?” seru Leng Chiu-hun terkejut dan tersirap darahnya. “Apakah pembunuh bayaran yang berdarah dingin itu? Mengapa Thian-sing-pang sudi membayar mahal padanya?”

Sim San-koh tertawa kaku, sahutnya, “Karena kami harus menghadapi Cu-soa-bun. Jika terbukti kalian membunuh Ciangbunjin kami, maka tugasnya adalah membunuh kalian satu per satu sampai habis.”

Raut wajah Leng Chiu-hun yang pucat itu sudah memutih tak berdarah, jari-jarinya yang runcing halus tak henti-hentinya menggosok gagang golok di pinggangnya, tanyanya, “Berapa upah yang kalian berikan padanya?”

“Satu laksa tail untuk setiap kepala orang yang dibunuhnya, ditambah seribu tail bila berhasil membunuhmu, Leng Chiu-hun, nilainya adalah lima ribu tail.”

Leng Chiu-hun terloroh-loroh seperti orang sinting, katanya keras, “Bagus, baru sekarang aku tahu jiwaku dinilai lebih mahal daripada orang lain, tapi lima ribu tail bukanlah jumlah yang banyak, aku malah bisa membayar dia selaksa tail.... dua laksa tail.....”

“It-tiam-ang biasanya mengutamakan kesetiaan dan dapat dipercaya. Kalau dia sudah menerima kontrak, biarpun kau berani membayar sepuluh kali lipat dari upah yang kami berikan, dia tak akan sudi menerimanya.”

Tawa Leng Chiu-hun tiba-tiba berhenti, jarinya menggenggam kencang gagang goloknya, matanya tertuju keluar jendela, seakan takut It-tiam-ang yang serba misterius dan menakutkan itu akan menerjang masuk.

Dengan linglung Sim San-koh tertawa memandang Thio Siau-lim, katanya, “Sebetulnya siapa namamu? Sesungguhnya nama Thian-jiang-sing itu lebih cocok digunakan olehmu. Ji-suhengku meski bergelar Thian-jiang-sing, badannya tidak sekekar dan sekuat dirimu.”

Thio Siau-lim mengulurkan jari menotok Hiat-to tidurnya, katanya menggumam, “Anak perempuan tidak boleh banyak bicara. Kalau menjadi perempuan cerewet, mungkin kau tidak akan laku kawin. Anak perempuan yang tidak laku kawin, aku tidak sudi melihatnya. Di dunia ini kalau tiada perempuan yang tidak laku kawin, persoalan buruk tentu tak akan sebanyak ini.”

***

Sim San-koh akhirnya tertidur dengan nyenyak.

Mata Leng Chiu-hun masih menatap keluar jendela, tampak mulutnya komat-kamit menggumam, “Tionggoan It-tiam-ang, sampai di manakah kecepatan pedangnya? Benarkah dia sejahat dan keji seperti yang tersiar? Memangnya dia benar-benar......”

“Leng-heng tak perlu banyak fikiran,” tukas Thio Siau-lim. “Yang terang segera kau akan berhadapan dengannya.”

Tiba-tiba Leng Chiu-hun berjingkrak bangun seperti disengat kala, tanyanya, “Segera dia akan datang?”

“Kalau dia ingin datang, tentunya sudah datang.”

Jari-jari Leng Chiu-hun yang menggenggam gagang golok makin memutih kencang, mendadak ia menggebrak meja, teriaknya keras, “Baik, biarkan dia datang! Seumpama maling sakti Coh Liu-hiang yang datang juga belum tentu aku gentar terhadapnya, mengapa aku harus jeri menghadapi Tionggoan It-tiam-ang?”

Thio Siau-lim tersenyum simpul, “Apakah Coh Liu-hiang lebih menakutkan daripada Tionggoan It-tiam-ang?”

“Di kolong langit ini, siapa pula yang lebih menakutkan daripada Coh Liu-hiang?”

“Menurut apa yang kutahu, bahwasanya dia adalah seorang yang bijaksana, bajik dan baik hatinya, mungkin di dunia ini tiada orang yang lebih baik kecuali dia.”

“Sungguh menggelikan..... belum pernah kudengar kata-kata lucu yang menggelikan seperti ini. Seumpama Coh Liu-hiang mendengar ucapanmu itu, mungkin giginya akan copot saking gelinya.”

Thio Siau-lim menghela nafas, katanya sambil tertawa getir, “Manusia memang aneh, ada kalanya lebih percaya pada obrolan orang yang berbohong dan tidak percaya pada omongan yang jujur.”

Sekonyong-konyong genteng di atas ruang pendopo itu berderak.

Gelak tawa Leng Chiu-hun seketika sirap, seluruh badannya mengejang tegang, badannya lalu melenting ke pinggir jendela, serunya lantang, “Sahabat di luar, silakan masuk!”

Sementara Thio Siau-lim perlahan-lahan membuka pintu dan berjalan keluar, katanya tertawa, “Kalau kalian ke mari hendak berkelahi, silakan mencarinya. Jikalau ingin mengadu untung, aku malah mau melayani.”

Di luar gelap gulita, hanya disinari bintang-bintang yang berkerlap-kerlip, terlihat di atap rumah berjajar bayangan orang yang berkumpul menjadi satu, sedang merundingkan sesuatu. Lalu melompat turun lima orang laki-laki, seorang lagi masih tetap berdiri di pinggir atap sambil bergendong tangan, sikapnya acuh seperti tidak terjadi apa-apa, namun sepasang matanya laksana mata serigala yang memancarkan sinar terang di kegelapan malam. Thio Siau-lim melihat jelas, orang itu adalah Tionggoan It-tiam-ang.

Salah seorang laki-laki yang turun lebih dulu berbaju kencang, mukanya bercambang, ukuran badannya yang kurus kering tidak setimpal dengan jenggot kasarnya. Di antara kelima orang itu, memang ginkangnya jauh lebih tinggi. Begitu menginjak bumi, dengan tajam segera ia menatap Thio Siau-lim, katanya bersoja, “Apakah tuan majikan rumah ini?” Terlihat telapak tangannya terangkap di luar, tapi jari tengah dan jari manisnya masing-masing mengenakan tiga cincin baja yang berwarna emas hitam.

Thio Siau-lim tertawa, sapanya, “Apakah tuan Thian-jiang-sing Song Kang?”

“Ya,” sahut laki-laki berjenggot kasar itu.

Thio Siau-lim lalu menyingkir ke samping, katanya tertawa, “Tuan rumah sudah menunggu di dalam, silakan!”

Leng Chiu-hun kembali duduk di atas kursi besar di pinggir meja judi itu. Golok panjang berkilauan sudah terlolos, ujungnya mengancam tenggorokan Sim San-koh. Dengan dingin ia menyambut kedatangan Song Kang, katanya sinis, “Sungguh kebetulan kedatangan Song-jisiansing. Aku berhasil menangkap seorang maling perempuan. Kalau Song-jisiansing ada minat, silakan tampil ke depan untuk mengorek keterangannya bersamaku.”

Song Kang berdiri membelakangi pintu, raut wajahnya yang bundar membeku sudah mekar menjadi warna abu-abu, harus maju melabrak orang ataukah bertindak menurut gelagat, sedikit pun ia tidak bisa mengambil keputusan.

Leng Chiu-hun terkekeh, serunya, “Song-jisiansing, apakah pakaianmu terlalu sempit? Menahan nafas sampai mukamu merah padam begitu. Kau harus mencari tukang jahit, bolehkah Cayhe kenalkan seorang tukang jahit yang pandai pada Song-jisiansing?”

Murid-murid Thian-sing-pang menjadi beringas gusar, serempak mereka menyerbu masuk. Tiba-tiba Song Kang membalikkan telapak tangannya, ia pukul keluar pintu seorang yang menerjang paling depan hingga jungkir balik. Seolah tidak terjadi apa-apa, lekas ia merangkap tangan dan berkata dengan tawa yang dipaksakan, “Ini... kukira telah terjadi salah faham.”

“Salah faham?” Leng Chiu-hun mengangkat alisnya.

“Orang yang terancam di bawah golok Leng-kongcu itu adalah Sumoay-ku.”

“Wah, aku bertindak kurang hormat malah, kalau Sumoaymu mau memberitahu asal-usulnya, mana berani Cayhe bertindak kurang ajar.” Mulut bicara sungkan, namun ujung goloknya tetap mengancam leher Sim San-koh, sedikit pun tidak bermaksud membebaskan tawanannya.

Kelihatan betapa prihatin dan gugup Song Kang, katanya dengan tertawa dipaksakan: “Kalau saudara sudi membebaskan Sumoayku, Thian-sing-pang akan berterimakasih dan berhutang budi.”

“Hubungan antara laki-perempuan, jika kelewat batas memang sukar mengelabui mata orang lain,” Leng Chiu-hun tertawa lebar.

Akhirnya berubah juga air muka Song Kang, bentaknya, “Apa katamu?”

“Aku berkata, demi Sumoaymu yang romantis ini, sampai suheng sendiri sudah dilupakan,” demikian olok Leng Chiu-hun.

Semakin merah padam raut muka Song Kang, katanya tersendat, “Sumoayku.... Suhengku.....”

Leng Chiu-hun mendadak berjingkrak berdiri, bentaknya bengis, “Seorang laki-laki harus bicara terus terang. Biar aku jelaskan padamu, persetan mati hidup Cou Yu-cin atau ke mana dia pergi, Cu-soa-bun tidak pernah tahu-menahu. Tentang Sumoaymu ini... kau ingin membawanya pulang, kukira tidak sedemikian gampang.”

Song Kang mengepalkan tangannya, katanya gemetar, “Kau..... apa keinginanmu?”

“Kalau kau ingin perempuan ini pulang dalam keadaan hidup, kau harus bersumpah dan melarang orang Thian-sing-pang selamanya memasuki wilayah Kilam. Demikian juga dengan temanmu di atap itu, tentu kau pun harus mengajaknya kembali.”

Belum lenyap suaranya, tiba-tiba kesiur angin keras menyambar, sesosok bayangan orang melesat masuk lewat jendela sebelah kiri terus terbang keluar lewat jendela kanan. Kejadian itu berlangsung secepat kilat. Terdengar suara “Tring!” yang nyaring, hampir saja golok di tangan Leng Chiu-hun dijentik lepas oleh orang itu.

Waktu semua orang berpaling, tampak Setitik Merah dari Tionggoan sudah berdiri di atap sebelah kanan. Tanpa bersuara, tindakannya itu sudah memberi jawaban singkat dan paling gampang serta mudah difahami. “Kalau aku ingin datang atau pergi, tiada seorang pun yang mampu mengekang diriku.”

Keruan berubah muka Leng Chiu-hun. Dasar licik, segera dia berganti sikap, katanya tertawa, “Asal saudara tidak mencampuri urusan Thian-sing-pang, sembarang waktu ingin berada di Kilam, murid-murid Cu-soa-bun kami akan menyambutmu dengan pesta kebesaran.”

Kini Song Kang tak tahan lagi, bentaknya, “It-tiam-ang, kau sudah membunuh seorang murid kami, bukan hanya aku tidak mencari perhitungan padamu, malah kumaki mereka, terhadap bapakku sendiri pun Song Kang tidak pernah sesungkan ini. Tapi barusan kau jelas bisa membebaskan Sam-moay, namun kau tidak turun tangan, kau.....”

Setitik Merah menyahut dingin, “Selamanya aku hanya membunuh, tak tahu cara bagaimana menolong orang.”

Sorot matanya lebih dingin dari pisau tajam. Song Kang hanya melirik sekilas, kata-kata selanjutnya seakan tersumbat di mulutnya. Beberapa saat kemudian, barulah dia dapat berkata dengan tersendat, “Kalau demikian.... mengapa kau tidak membunuhnya?”

“Aku membunuh orang tidak pernah dengan cara membokong, kau suruh dia keluar, biar kubunuh dia untukmu.”

“Cuma, sebelum Cayhe keluar, batok kepala Sumoaymu ini tentu sudah berpisah dengan badan kasarnya,” ancam Leng Chiu-hun menyeringai dingin.

Dengan mendongkol Song Kang membanting kaki, katanya serak, “Baiklah, kuturuti keinginanmu. Sejak kini Thian-sing-pang tidak akan menginjak daerah Kilam.“ Orang seperti Song Kang memang tiada duanya, kedudukannya tinggi di Kangouw maupun di dalam Pang sendiri. Kalau ingin hidup dan berkecimpung di kalangan Kangouw, setiap patah kata harus sekokoh gunung, selamanya tidak boleh diubah.

Leng Chiu-hun mengunjuk tawa lebar, katanya, “Bila sudah demikian....”

Tiba-tiba seseorang menyeletuk sambil tertawa berseri, “Jangan kau lupa, Leng-heng, aku pun punya bagian atas diri nona itu.”

Sigap sekali Song Kang membalikkan badan, dilihatnya Thio Siau-lim sedang melangkah masuk sambil tertawa lebar. Sepasang matanya seperti menyemburkan api, bentaknya murka, “Kau ini barang apa? Mau ikut campur?”

“Aku bukan barang,” ujar Thio Siau-lim tetap dengan tertawa. “Aku manusia.”

Sambil menggerung Song Kang melontarkan kepalan, cincin di jarinya seketika memancarkan sinar dingin, untuk membunuh orang segampang membalikkan telapak tangan, namun di mana kepalannya melayang, tahu-tahu hanya mengenai tempat kosong karena orang di depannya tiba-tiba hilang.

Waktu ia menoleh, dilihatnya Thio Siau-lim sedang cengar-cengir di bawah emper rumah rumah sana, katanya, “Sudah Cayhe katakan, berkelahi aku tidak suka.”

Sungguh gusar dan kaget Song Kang dibuatnya, beruntun ia memberi tanda lambaian tangan pada It-tiam-ang, tapi It-tiam-ang seolah tidak melihat, terpaksa Song Kang berseru, “Ang-heng, kau... memangnya belum tiba saatnya kau bertindak?”

It-tiam-ang berpaling ke arah Thio Siau-lim sebentar, sahutnya, “Semua manusia di kolong langit ini dapat kubunuh, tapi dia.... kau suruh orang lain saja yang lebih lihai dariku!” Dari atap rumah ia melemparkan buntalan uang perak, tanpa berpaling terus tinggal pergi.

Song Kang melongo dan menjublek di tempat, sungguh mimpi pun tak terpikirkan olehnya Tionggoan It-tiam-ang yang membunuh manusia seperti membabat rumput hari ini terbentur batu, ada orang yang tidak mampu dan tidak mau dibunuhnya.

Thio Siau-lim berdiri diam sambil menggendong tangan, pakaiannya melambai tertiup angin, katanya dengan tetap tersenyum, “Sebetulnya syaratku jauh lebih gampang dari yang diajukan oleh Leng-kongcu.”

Akhirnya Song Kang kewalahan dan membanting kaki, serunya, “Apa keinginanmu? Lekas katakan!”

“Asal kau berikan surat Suhengmu yang diserahkan padamu sebelum dia pergi, hanya kubaca sebentar, bukan saja segera kuantar Sumoaymu keluar, malah akan kusewakan tandu dan kubunyikan petasan untuk membuang hawa busuknya.”

Keruan Song Kang melengak, katanya, “Jadi syaratmu hanya ingin melihat surat itu?”

“Ya, setelah kubaca, segera kukembalikan.”

Lama Song Kang menepekur, lalu katanya perlahan, “Surat itu sudah kubakar, tapi apa yang tertulis dalam surat itu, aku pernah membacanya, entah ada sangkut-paut apa surat itu denganmu? Mengapa kau ingin melihatnya?”

“Tidak perlu kau tahu apa maksudku hendak membaca surat itu. Cuma aku ingin tahu apakah kau tidak ingin Sumoaymu yang genit ini kembali ke dalam pelukanmu?”

Song Kang mempertimbangkan, sekilas ia mengawasi raut muka sang Sumoay yang kelihatan pucat di bawah sorotan sinar lampu, seketika bergolak darah dalam rongga dadanya. Tanpa menghiraukan segalanya, segera ia berteriak keras, “Baik, akan kukatakan. Sebetulnya surat itu tidak mengandung rahasia apa-apa, namun.....” Mendadak mulutnya menjerit seram, badannya pun tersungkur beberapa kaki dan roboh terjerembab.

Murid-murid Thian-sing-pang seketika terpekik kaget dan menjadi gaduh. Sedikit pun tidak terlihat luka di atas badannya, namun sejalur darah merembes keluar dari tulang punggung ruas ketujuh.

Berubah air muka Leng Chiu-hun, serunya, “Inilah orang kedua yang mati lantaran surat itu. Thio-heng, kau....” Waktu ia berpaling, Thio Siau-lim yang tadi berdiri di emper rumah itu sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.

***

Waktu Song Kang roboh sambil melolong seram, di ujung tembok nan jauh sana berkelebat sesosok bayangan hitam terus menghilang. Seorang pun tidak ada yang melihatnya, tapi mana bisa lepas dari sepasang mata Thio Siau-lim nan jeli.

Sebat sekali badannya segera melambung tinggi beberapa tombak, terus mengejar dengan kencang, siapa sangka bayangan hitam itu tahu-tahu sudah puluhan tombak jauhnya. Betapa tinggi ginkangnya, kaum persilatan sama mengetahui, namun ginkang bayangan hitam ini pun ternyata tidak lemah.

Dua sosok bayangan, satu di depan, yang lain mengejar di belakang, melesat terbang di atas kota Kilam yang malam itu terasa panas kering, laksana dua layang-layang yang terikat pada seutas benang. Sekejap saja keduanya sudah melampaui tembok kota langsung menuju ke arah yang jauh di mana diliputi kabut tebal yang pekat, tahu-tahu mereka sudah sampai di pesisir Tay-bing-ouw, danau kenamaan yang amat indah dan menakjubkan pemandangannya.

Lambat-laun Thio Siau-lim berhasil memperpendek jarak di antara mereka, terang dalam sekejap ia akan dapat menyandak bayangan hitam itu. Memang di kolong langit ini, perduli dia siapa, ginkangnya betapa pun pasti satu tingkat lebih rendah dari ilmu mengentengkan tubuhnya.

“Sahabat, hentikan saja langkahmu,” seru Thio Siau-lim tertawa. “Aku berjanji tidak akan melukai seujung rambutmu. Tapi kalau kau ingin terjun ke air, terang kau akan menderita malah.”

Bayangan hitam itu bergelak tertawa seperti burung hantu, katanya, “Coh Liu-hiang, akhirnya aku dapat mengetahuimu juga!” Di tengah suaranya, tahu-tahu suatu benda meluncur di udara dan meledak menghamburkan asap tebal berwarna ungu berbau aneh. Seketika seluruh badannya tertelan dalam asap tebal itu, tak ketinggalan Thio Siau-lim sendiri pun tertelan di dalamnya.

Terasa asap tebal itu seperti sesuatu benda yang menindih seluruh badan Thio Siau-lim, bukan saja pandangan mata menjadi kabur, gerak-geriknya yang lincah pun menjadi sukar dikembangkan pula. Waktu ia berhasil menerobos keluar dari kepungan kabut tebal itu sambil menahan nafas, dirinya sudah berada di pinggir danau, bayangan itu pun sudah menghilang, tampak air danau yang tenang itu beriak membundar lentur, semakin lebar dan akhirnya sirna.

Dengan mendelong Thio Siau-lim mengawasi riak air yang membundar lentur itu, mulutnya menggumam, “Apakah itu Jinsut yang misterius dari kalangan persilatan di Tang-ni (Jepang)? Mengapa belum pernah kudengar kaum persilatan Tionggoan ada yang mahir menggunakan ilmu yang mendekati aliran sesat ini?”

Menurut cerita orang kuno, Jinsut adalah semacam ilmu yang dapat menghilangkan badan kasar sendiri secara tiba-tiba di hadapan musuh. Untuk mempelajari ilmu ini hingga sempurna, orang harus putus hubungan dengan cinta asmara, mempersembahkan jiwa raga sendiri sebagai taruhan untuk mencapai pelajaran Jinsut yang paling tinggi. Betapa berat derita dan sengsara dalam proses pelajaran ini, tak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Seumpama kaum persilatan di Tang-ni sendiri, tokoh yang pandai menggunakan Jinsut ini dipandang sebagai tokoh misterius laksana dedemit.

Sesaat lamanya Thio Siau-lim menjublek di tempatnya, katanya sambil tertawa kecut, “Orang ini pandai menggunakan Jinsut, memiliki ginkang yang hebat pula, hari ini Coh Liu-hiang benar-benar terbentur batu, sayang belum bisa kuketahui siapa dia sebenarnya.”

Mendadak didengarnya seseorang berkata dengan dingin, “Coh Liu-hiang, cabut senjatamu!” Suaranya serak-serak basah, berbareng sesosok bayangan hitam lalu melangkah keluar dari tengah kabut di pinggir danau itu, dia bukan lain Tionggoan It-tiam-ang.

“Mengapa kau pun berada di sini?” tanya Thio Siau-lim tertegun.

“Aku mengikuti jejakmu, sekarang baru bertemu di sini, tentunya kau tak akan membuatku kecewa, bukan?”

Thio Siau-lim mengusap hidungnya, ujarnya, “Sejak tadi kau menguntitku? Mengapa?”

“Hanya untuk menghunjamkan pedangku ini ke tenggorokanmu.”

Keruan Thio Siau-lim melengak, tanyanya, “Kau hendak membunuhku?”

“Mungkin akulah yang akan kau bunuh,” sahut It-tiam-ang sinis.

“Kau tahu, selamanya aku tidak membunuh orang, apalagi kau……”

“Kau tidak membunuhku, biarlah aku yang membunuhmu.”

“Tapi tadi kau sudah bilang tidak…..”

“Aku tidak mau membunuhmu lantaran orang lain, aku ingin membunuhmu lantaran aku sendiri.”

“Mengapa?”

“Bisa berduel dengan Coh Liu-hiang merupakan peristiwa yang membesarkan hatiku.”

Thio Siau-lim menggelengkan kepalanya, katanya sambil menggendong tangan, “Sayang aku tiada berminat untuk berkelahi, maafkanlah.”

“Kau mau tidak mau harus bertanding denganku!” bentak It-tiam-ang. Di tengah alunan suaranya yang bergema di udara itu, sinar pedangnya laksana bianglala menusuk, namun Thio Siau-lim tetap menggendong tangan, tanpa bergerak sedikit pun, tahu-tahu sinar pedang sudah berhenti setengah dim di depan lehernya.

Sinar pedang yang kemilau membuat kedua alisnya kelihatan memucat. Kala menyilang di lehernya, tampak jakunnya tergetar diancam oleh sinar pedang yang berhawa dingin, namun sikap dan air mukanya tetap tidak berubah, semangatnya seolah terbuat dari besi baja. It-tiam-ang segera mendorong ujung pedangnya setengah dim ke depan, ujung pedang sedikit pun tidak bergeser dari sasarannya, pergelangan tangannya seakan terbuat dari besi murni. Suaranya serak mengancam, “Kau kira aku tidak berani membunuhmu?”

Ujung pedang sudah hampir menempel di lehernya, namun sedikit pun ketenangan Thio Siau-lim tidak tergoyahkan, katanya tertawa tawar, “Sudah tentu bukannya kau tidak berani, cuma tak sudi.”

“Aku bertekad hendak membunuhmu, mengapa tak sudi?”

“Membunuh dengan cara seperti ini, kesenangan apa pula yang dapat kau peroleh?”

Ujung pedang tiba-tiba bergetar, tangan It-tiam-ang yang sekokoh batu ternyata sudah bergeming, bentaknya dengan suara parau, “Kau betul-betul begitu yakin?” Mendadak pedangnya menusuk maju.

Dari kepala sampai kaki Thio Siau-lim tidak terlihat bergerak, walau ujung pedang menyerempet lewat lehernya, tusukan pedang ini kemungkinan bisa menembus tenggorokannya.

Raut muka It-tiam-ang tetap dingin seperti es, namun kulit dagingnya mulai berkerut mengejang, selebar mukanya tiba-tiba berkerut aneh, katanya, “Kau…. kau benar-benar tidak sudi bertarung denganku?” Suaranya gemetar.

“Sungguh mohon dimaafkan!” sahut Thio Siau-lim menghela nafas.

“Bagus!” seru It-tiam-ang menengadah seraya tertawa panjang. Nada tawanya rawan dan pedih, pedang diputar balik terus menusuk ke arah tenggorokannya sendiri.

Sudah tentu perbuatan nekad It-tiam-ang ini amat mengejutkan Thio Siau-lim, segera telapak tangannya menebas tegak hendak merampas pedang orang, namun secepat kilat pergelangan tangan It-tiam-ang bergerak lincah, ujung pedang tetap tertahan mengarah ke tenggorokannya. Sementara itu Thio Siau-lim mulai mengembangkan ilmu Khong-jiu-jip-pek-to, dengan keras berusaha hendak merebut senjata orang.

Di bawah penerangan cahaya bintang yang berkerlap-kerlip, tampak sinar pedang berkelebatan, bayangan orang pun timbul tenggelam dengan gerakan cepat dan gesit serta lincah sekali. Betapa pun kedua orang ini sudah turun tangan, namun gerak-gerik keduanya sama cepat dan jauh berbeda dari pertarungan adu silat umumnya, karena yang seorang berusaha untuk bunuh diri, yang lain berusaha menolong dan menggagalkan usaha orang untuk mencari jalan pendek.

Pertempuran semacam ini sungguh belum pernah terjadi sejak zaman dahulu. Dalam sekejap saja puluhan jurus sudah berlalu. Mendadak terdengar suara “Creng!”, kumandang suara kecapi dari tengah danau. Petikan demi petikan mengalun turun naik bergema di tengah udara nan sunyi lengang, namun serasa mengandung suasana penasaran dan kebencian, seumpama negara yang sedang menghadapi keruntuhan, rasa marah dan cinta sukar terbendung, seolah-olah terhina dan tak terlampiaskan gejolak hatinya.

Begitu alunan suara kecapi berkumandang di udara, alam semesta serasa diliputi rasa rawan yang dibakar oleh nafsu membunuh, bintang-bintang di angkasa raya seakan redup dan tenggelam, panorama alam dan keindahan danau Tay-bing-ouw menjadi kuncup dan tak berkesan pula.

Dasar watak dan hati Thio Siau-lim selalu lapang dan terbuka, seorang yang jujur dan polos, tidak menjadi soal bagi dirinya ketika mendengar alunan suara kecapi yang mengandung daya tarik yang luar biasa itu. Tapi riwayat hidup It-tiam-ang berbeda jauh, sejak kecil ia hidup menderita dan berkelana di Kangouw seraya mengecap kesengsaraan dan kenistaan. Ia memang berhati keji, fikirannya pun sempit dan selalu dihinggapi oleh rasa penasaran akan ketidakadilan, kalau tidak mana mungkin dia menjadi seorang pembunuh bayaran, membunuh orang sebagai hobi.

Tatkala itu alunan suara harpa sudah berkumandang di telinganya, seketika darah mendidih dan badan terasa panas membakar, ternyata ia sukar mengendalikan diri lagi, mendadak ia bersuit panjang dan nyaring sambil menengadah, pedangnya bergerak terbalik pula menusuk ke arah Thio Siau-lim.

Tusukan ini amat cepat dan ganas, tidak sempat Thio Siau-lim berpikir, secara refleks badannya bergerak mengegos diri, cuaca memang remang-remang, namun jelas kelihatan sepasang matanya It-tiam-ang merah telah berdarah, gerak-geriknya membabi-buta seperti kesetanan. Waktu tusukan kedua It-tiam-ang dilancarkan, tak bisa lagi Thio siau-lim berkelit pula, kalau dulu ia masih tetap bersikap tenang, tapi kini ia menghadapi lawan yang betul-betul sudah kehilangan kesadarannya. Petikan harpa semakin cepat, gerak sambaran pedang It-tiam-ang ikut menjadi cepat, seolah-olah gerak-gerik dan jalan pikirannya sudah terkendali dan dibelenggu oleh suara petikan harpa itu, sehingga ia tidak punya pedoman dan kontrol atas dirinya sendiri lagi.

Keruan Thio Siau-lim tersirap darahnya, bukan ia kuatir pedang It-tiam-ang akan melukai dirinya, adalah ia tahu kalau pertempuran cara seperti ini berlangsung lebih lama lagi, It-tiam-ang pasti akan bisa melukai atau membunuh dirinya.

Cahaya pedang sudah menjadi tabir berkilat terang yang membungkus seluruh badan Thio Siau-lim, sinar pedang yang merabu seperti gila ini terang takkan dapat dikendalikan atau ditundukkan oleh siapa pun juga.

Thio Siau-lim mendadak berseru lantang: “Apa kau berani ikut aku ke bawah?” di tengah gema suaranya, tiba-tiba badannya melambung tinggi berjumpalitan di tengah udara terus terjun ke dalam danau.

Tanpa ragu-ragu sedikit pun, It-tiam-ang meniru perbuatannya ikut terjun ke dalam air. Tapi di dalam air jauh berbeda dengan daratan, waktu It-tiam-ang menusukkan pedangnya, paling-paling hanya menimbulkan riak gelombang air yang berbuih, sukar dia melukai lawannya pula.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar