-------------------------------
----------------------------
Bab 7: Bayangan Hitam
“Masih kau ingin lari?” jengek
si pemuda baju hitam. Karena berhasil, mana ia mau mengampuni lawannya,
lingkaran cambuknya kembali menggulung tiba.
Tepat pada saat itulah,
sekonyong-konyong selarik sinar pedang laksana kilat melesat masuk dari luar
jendela. Sementara cambuk panjang sudah bergulung-gulung menjadi lingkaran,
tentunya ujung cambuknya tak kelihatan lagi, namun pedang itu justru tepat dan
persis sekali menutul di ujung cambuk, kekuatan gubatan cambuk yang melingkar
seketika punah dan menjadi lemas. Kalau cambuk panjang itu diumpamakan ular,
maka tutulan pedang itu telah sekali menusuk pada tempat kelemahan si ular,
yaitu tujuh dim di bawah lehernya.
Kaget, gusar dan heran pula si
pemuda baju hitam, bentaknya: “Siapa?”
Belum lenyap suaranya, sesosok
tubuh orang tahu-tahu sudah melayang masuk lewat jendela, hinggap di
hadapannya.
Orang ini juga mengenakan
pakaian serba hitam, membungkus perawakan badan yang kurus dan kencang dan
kekar, seperti macan kumbang yang baru saja menerobos keluar dari dalam hutan,
seluruh badannya diliputi kekuatan luar biasa. Tapi seraut wajahnya kelihatan
abu-abu kaku seperti mayat, tidak memperlihatkan perasaan hatinya. Terutama
sepasang matanya tajam dingin menatap orang, siapa pun dalam pandangannya
laksana seekor ikan yang sudah pasrah nasib untuk disembelih olehnya.
Walau si pemuda tidak tahu
bahwa orang yang dihadapi ini adalah pembunuh nomor wahid di Tionggoan,
it-tiam-ang, namun karena pandangan sorot matanya, terasa badan menjadi risi dan
gatal, lekas dia mendengus ke arah Coh Liu-hiang, jengeknya dingin: “Ternyata
kau sudah menyembunyikan pembantu.”
Coh Liu-hiang hanya
meraba-raba bekas luka di mukanya, tersenyum tanpa bersuara.
Terdengar si pemuda baju hitam
mencemooh lagi: “Setelah kalah mengundang bala bantuan, memangnya tokoh-tokoh
Bulim di Tionggoan begini tak becus dan tak tahu malu?”
It-tiam-ang mendadak
menyeringai dingin, jengeknya: “Kau kira dia sudah kalah?”
Si pemuda terloroh dingin,
sambil meludah ujarnya: “Kena sekali lecutanku, memangnya aku yang malah
kalah?”
It-tiam-ang mengerling
kepadanya sekali lagi, sorot pandangannya seperti menghina dan tak pandang
mata. Mendadak ia melangkah maju, menggunakan pedang di tangannya, ia
menjungkit beberapa batangan bambu yang terputus-putus.
Si pemuda baju hitam tidak
tahu permainan apa yang sedang orang lakukan, katanya dingin: “Jadi kau pun
ingin menjajal seperti perbuatannya tadi?” demikian tantangnya.
“Kau periksa dulu, baru buka
mulutmu.” Sekali gerak dan ayun pedangnya, batangan bambu itu sama terbang ke
depan, namun daya luncurannya tidak cepat.
Tak tahan si pemuda ulur
tangan menyambut, dilihatnya batangan bambu tetap tidak berubah bentuknya, cuma
di setiap batangan bambu itu masing-masing menancap bintik-bintik bintang yang
bersinar gelap dingin.
It-tiam-ang balas mencemooh:
“Lantaran bintik-bintik bintang inilah dia terkena lecutan cambukmu, kalau
tidak masakah sekarang kau masih hidup?”
“Kau.... maksudmu demi
menolong jiwaku, maka dia.......”
“Kalau dia tidak berusaha
memukul jatuh senjata rahasia itu, seujung bajunya pun jangan harap kau bisa
menyentuhnya!”
Bergetar badan si pemuda,
batangan bambu di tangannya sama berjatuhan, rona mukanya berubah hijau, lalu
merah dan akhirnya putih, pelan-pelan sorot matanya beralih ke arah Coh
Liu-hiang, katanya gemetar: “Kau.... tadi kau... ke... kenapa tidak kau
katakan?”
“Kan belum tentu senjata
rahasia itu mengincar dirimu.”
“Senjata rahasia ini
disambitkan dari arah belakangku, sudah tentu sasarannya adalah aku.”
“Terkena sekali lecutanmu juga
tidak menjadi soal, kenapa aku harus banyak mulut sehingga kau pedih hati?”
Si pemuda berdiri mematung,
sekian lama ia menjublek di tempatnya, matanya yang bundar besar itu mulai
berlinang air mata, cuma sedapat mungkin ia menahan tetesan air matanya.
Sengaja Coh Liu-hiang tidak
mengawasinya, katanya tertawa: “Ang-heng, apakah kau melihat siapa orang yang
membokong dengan senjata rahasia itu?”
Sahut It-tiam-ang dingin:
“Kalau aku melihatnya, memangnya kubiarkan dia pergi?”
“Aku tahu gerak-gerik orang
itu laksana setan, namun sulit memang melihat jelas siapakah dia sebetulnya. Di
dalam Bulim di Tionggoan sebetulnya tidak banyak tokoh-tokoh lihay seperti dia
itu.”
“Aku tahu siapa dia,” mendadak
si pemuda menyeletuk bicara.
“Kau tahu?” Coh Liu-hiang
tersirap. “Siapa dia?”
Si pemuda tidak bicara lagi,
tangannya merogoh kantong mengeluarkan sepucuk sampul surat, katanya: “Inilah
surat yang ingin kau lihat, ambillah.”
“Terima kasih, terima kasih!”
betapa girangnya hati Coh Liu-hiang.
Si pemuda meletakkan sampul
surat itu di atas meja, tanpa berpaling lagi ia tinggal pergi. Waktu tiba di
luar pintu, kepala tertunduk dan setetes air mata jatuh di atas tanah.
Bebeapa malam dan beberapa
hari sudah Coh Liu-hiang mengimpikan untuk mendapatkan surat itu dengan susah
payah, tak nyana surat yang diharap-harapkan itu kini berada di hadapannya,
sungguh girang sekali hatinya. Jantungnya berdebar-debar, baru saja ia ulurkan
tangan hendak menjemput surat itu, tiba-tiba sinar pedang berkelebat menyontek
sampul surat itu.
Tak urung berubah air muka Coh
Liu-hiang, katanya sambil tertawa getir: “Apa Ang-heng sedang berkelakar
denganku?”
It-tiam-ang meraih sampul
surat itu dari ujung pedangnya, sahutnya dingin: “Kalau kau menginginkan surat
ini, kalahkan dulu pedang di tanganku ini.”
“Sudah kukatakan aku tidak mau
berkelahi denganmu, kenapa kau selalu mendesakku?”
“Kalau kau sudah bergebrak
dengan pemuda itu, kenapa tidak sudi berkelahi denganku?”
“Umpama ingin berkelahi,
biarlah aku membaca surat itu dulu.”
“Setelah bergebrak, kalau aku
mati, boleh kau ambil surat ini. Kalau kau yang mati, surat ini akan kukubur
bersama jazadmu.”
“Baru saja watak kerbau dungu
pergi, kini aku berhadapan dengan watak sapi,” sekonyong-konyong laksana kilat
cepatnya badannya melesat terbang, tangan kiri mencolok biji mata It-tiam-ang,
sementara tangan kanan merebut sampul surat itu.
Cukup memutar setengah
lingkaran badannya, pedang It-tiam-ang sudah menusuk tiga kali pada tiga
sasaran yang berlainan. Selicin belut Coh Liu-hiang membungkukkan badan,
tahu-tahu badannya menerobos lewat dari bawah sinar pedang, tangan kirinya
setengah tergenggam menjojoh lambung It-tiam-ang, tangan kanan tetap bergerak
merebut sampul surat itu. Dia bergerak cepat mendesak maju, betapa berbahaya
gerakan tubuhnya, betapa cepat dan tangkas sekali cara permainannya, sungguh
sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Menghadapi lawan tangguh,
seketika bangkit semangat It-tiam-ang, permainan pedangnya dikembangkan semakin
cepat, lebih ganas dan berbahaya.
Tampak sinar pedang berkelebat
pergi datang amat cepatnya, menjadi tabir cahaya terang, sebentar pedang
berubah laksana puluhan batang pedang, ratusan dan ribuan. Setiap batang pedang
yang berkilauan itu tidak lepas dari incaran ke tempat mematikan di tubuh Coh
Liu-hiang, yang dicecar terutama tenggorokannya.
Namun gerak-gerik Coh
Liu-hiang gesit, keras dan secepat angin lesus berpusar, tujuannya hanya ingin
merebut sampul surat di tangan It-tiam-ang. It-tiam-ang mengerutkan kening,
ternyata ia masukkan sampul surat itu ke dalam kantongnya.
Dengan baju bagian dada
sedikit tersingkap ke kanan, tangan kiri baru saja hendak memasukkan sampul
surat itu ke dalam saku bajunya sebelah kanan, mau tidak mau gerakan pedang di
tangan kanannya rada terganggu dan pancaran sinar pedang yang rapat dan ketat
itu mau tidak mau menjadi sedikit terbuka. Tibalah saatnya sekarang bagi Coh
Liu-hiang memperlihatkan kehebatan kepandaiannya. Mendadak badannya menerjang
masuk, tangan kiri mengunci jalan permainan pedang It-tiam-ang, sementara
tangan kanan mmegang pergelangan tangan It-tiam-ang yang memegang surat. Dalam
sekejap mata, beruntun ia merubah tujuh macam gerakan tangan.
Karena tangan kanan terkunci
dan tak berkutik lagi, It-tiam-ang mundur berulang-ulang, sebaliknya Coh
Liu-hiang seperti bayangan mengikuti wujudnya, dia melibat terus sehingga orang
mati kutu, tahu-tahu pergelangan tangan terasa linu kejang, ternyata urat
nadinya telah tergencet oleh jari-jari Coh Liu-hiang.
Saking girangnya, baru saja
Coh Liu-hiang hendak merebut sampul surat itu, siapa tahu mendadak It-tiam-ang
menjentikkan jarinya, seketika surat itu melayang jauh ke depan sana. Sudah
tentu perubahan yang tak terduga ini membuat Coh Liu-hiang kaget, sebat sekali
ia melejit memburu ke arah sampul surat itu serta meraihnya, setitik sinar
kemilau kembali berkelebat membabat tiba. Betapa pun sinar pedang itu jauh
lebih cepat dari gerakan orang, tahu-tahu sampul surat itu sudah tertusuk di
ujung pedang.
Baru saja ia tarik pedang dan
hendak meraih sampul surat itu, sekonyong-konyong Coh Liu-hiang melejit ke
tengah udara dan mendadak pula berjumpalitan ke belakang, tangkas sekali
tiba-tiba kedua tapak tangannya menepuk, tahu-tahu sampul surat dan ujung
pedang kena tergencet di antara kedua tapak tangannya. Perbuatan ini sudah
tentu jauh lebih hebat, lihay dan menakjubkan.
Gerakan pedang It-tiam-ang
beruntun berubah tujuh variaasi, namun gerak tubuh Coh Liu-hiang pun berubah
tujuh kali, seluruh badannya seenteng daun pohon, bergelantungan di ujung
pedang seperti bendera yang melambai mengikuti gerakan pedang lawan.
Tapi dalam keadaan seperti
itu, sungguh ia tidak berani menjemput sampul surat itu, karena sedikit ia
mengendorkan gencetan tapak tangannya, pedang tajam yang bergerak melebihi
kilat mungkin bakal menembus dadanya.
It-tiam-ang tidak putus asa,
badannya bergerak teramat cepat dan gesit sekali, namun bagaimana pun ia
bergerak dengan berbagai variasi, jangan harap ia bisa melempar Coh Liu-hiang
dari ujung pedangnya. Malah terasa pedangnya semakin bertambah berat, kekuatan
tenaga yang dia kerahkan pun harus berlipat ganda, tanpa terasa sekujur badan
sudah mandi keringat.
Sampai akhirnya pedangnya
sudah tak mampu bergerak lagi, terpaksa ia acungkan miring ke atas udara, berat
badan Coh Liu-hiang serasa ribuan kati, menindih ke atas badannya.
Begitulah, yang satu di udara,
yang lain bercokol di tanah, kedua pihak saling bertahan. Kalau pedang itu
bukan terbuat dari baja murni pilihan, pedang sakti yang tiada bandingnya,
mungkin sejak tadi sudah patah menjadi dua.
Mendadak It-tiam-ang
menghardik keras, sekuat tenaga ia menggentak naik pedangnya, mendadak badan
pun melambung tinggi ke tengah udara, dari ketinggian ia putar ujung pedangnya
ke bawah, terus dihunjamkan ke bumi. Kalau ujung pedang menukik turun dan
menusuk ke bawah, sudah tentu tidak mungkin pula mempertahankan diri di ujung
pedang lawan. Maka terdengarlah: “Pletak!”, Coh Liu-hiang terbang miring dua
tombak terjatuh di atas tanah, kedua tapak tangannya masih menggencet ujung
pedang dan sampul surat itu. Tapi pedang sakti yang terbuat dari baja murni
hasil gemblengan seorang ahli pencipta pedang, biasanya dipandang lebih
berharga dari jiwa It-tiam-ang sendiri, akhirnya patah menjadi dua potong.
Pucat pasi muka It-tiam-ang,
suaranya gemetar: “Bagus, memang ilmu silat hebat, ginkang yang tinggi dan
gerakan badan yang indah!”
Coh Liu-hiang tersenyum,
ujarnya: “Ah, Ang-heng hanya memuji saja!” Belum habis kata-katanya, seri
tawanya mendadak menjadi kaku membeku.
“Tang!” kutungan ujung pedang
di tangannya patah, sedang sampul surat itu pun rontok berhamburan seperti abu
beterbangan, kebetulan angin menghembus masuk dari jendela, seketika cuilan
kertas surat itu terhembus hilang terbawa angin.
Ternyata waktu kedua orang
mengadu kekuatan tenaga dalam tadi, lwekang masing-masing disalurkan
bergelombang untuk saling mempertahankan diri, jangan kata hanya kertas surat
saja, seumpama papan besi atau lembaran baja pun takkan tahan.
It-tiam-ang tertegun, serunya
tergagap: “Ini.... ini......”
Coh Liu-hiang menghela napas,
katanya tertawa getir: “Mungkin memang sudah suratan takdirku, aku tidak
diijinkan melihat surat ini.”
It-tiam-ang melongo sesaat
lagi, katanya: “Su....surat itu apa sangat penting?” sebenarnya ia tahu
pertanyaannya berkelebihan, kalau surat itu tidak penting dan besar artinya,
memangnya buat apa Coh Liu-hiang harus berusaha merebutnya dengan
mempertaruhkan jiwa, memangnya kenapa pula sekian banyak yang mati lantaran
surat itu.
Coh Liu-hiang malah bergelak
tertawa, serunya: “Itu pun tak apa-apa, sebaliknya aku membikin pedangmu
kutung, seharusnya aku minta maaf kepadamu!'
Sesaat lamanya It-tiam-ang
berdiam diri, katanya sambil mendongak: “Selama hidup ini bila aku mencarimu
lagi untuk berkelahi, pedang inilah contohnya.”
“Trap!”, kutungan pedang di
tangannya tahu-tahu sudah menancap di atas belandar.
Pada saat itulah tiba-tiba
terlihat sesosok bayangan orang meluncur masuk, ternyata pemuda baju hitam tadi
itulah. Setelah surat tadi hancur, terpaksa Coh Liu-hiang harus mencarinya
pula, tak nyana orang telah kembali pula, keruan ia berteriak kegirangan:
“Kebetulan kedatangan tuan, ada urusan Cayhe hendak mohon petunjukmu.”
Siapa tahu si pemuda baju
hitam seakan-akan tidak mendengar seruannya, selebar mukanya menunjukkan rasa
gugup dan kuatir. Sambil celingukan kian ke mari, tiba-tiba ia lari ke sana dan
menyelinap masuk ke belakang kerai jendela.
Kwi-gi-tong ini dipajang serba
mewah dan istimewa, di depan setiap jendela dipasang gantungan kerai warna
abu-abu yang tebal, mungkin lantaran perjudian di sini diadakan setiap malam
hari, supaya sinar lampu tidak menyorot keluar.
Waktu itu hari masih pagi,
maka kerai jendela belum ditarik, jadi masih tergulung di samping. Pemuda baju
hitam bertubuh kurus tinggi. Kalau dia sembunyi di sana, tentu jejaknya takkan
ditemukan lagi.
Sekilas Coh Liu-hiang dan
It-tiam-ang saling pandang, hati masing-masing merasa heran dan tak habis
mengerti. Kenapa setelah pergi, si pemuda putar balik? Kenapa pula sedemikian
gugup? Wataknya keras berhati tinggi dan angkuh lagi, memangnya siapa orangnya
yang dapat menakuti dirinya sehingga perlu menyembunyikan diri?
Tak lama kemudian, dari
kejauhan beruntun terdengar suitan bambu, suaranya melengking tinggi dan
pendek, sahut-menyahut, dalam sekejap saja tahu-tahu sudah berada di sekeliling
rumah judi itu. Disusul bau amis yang terbawa angin merangsang hidung. Dari
luar pintu melata masuk dua puluhan ular beraneka warna, berukuran besar kecil
tak merata.
Coh Liu-hiang mengerutkan
kening, sekali lompat ia naik ke atas meja judi dan duduk bersimpuh.
It-tiam-ang mengerutkan alis,
dia malah melambung tinggi duduk di atas belandar, kutungan pedangnya ia cabut
terus dilemparkan ke bawah, seekor ular yang paling besar kontak terpantek di
atas lantai.
Ternyata kekuatan ular itu amat
besar, mungkin karena kesakitan, lidahnya menjulur keluar masuk, badannya
menggelepar-gelepar amat kerasnya, berdentam di atas lantai, sampai ubin batu
yang keras itu pecah dan retak. Tapi tenaga lemparan It-tiam-ang amat keras dan
besar, kutungan pedangnya itu ternyata amblas sampai gagangnya. Meski ular
beracun itu meronta dan menggelepar sekuat tenaganya, betapa pun ia tidak kuasa
membebaskan diri. Sementara ular-ular beracun yang lain terus main terjang, ada
yang menggigit ekornya, ada yang menggigit badannya, sekejap saja seluruh kulit
dagingnya sudah terisap habis sama sekali.
Rasanya mual dan heran pula
It-tiam-ang yang duduk di atas belandar, katanya: “Ular-ular ini rada ganjil,
dari manakah datangnya?”
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: “Mungkin Ang-heng sudah mencari kesulitan sendiri.” Belum habis
kata-katanya, dari luar pintu sudah beranjak masuk tiga orang.
Laki-laki yang di tengah
bertubuh tegap, pakaian yang dipakainya penuh tambalan, sudah tambalan ditambal
lagi entah berapa kali tambalan sehingga kelihatannya tebal namun dicucinya
dengan bersih. Walau pakaian yang dipakainya pakaian pengemis, namun sorot
matanya bercahaya, memancarkan kilat hijau bengis, sikapnya amat garang dan
pongah, seolah-olah tidak pandang sebelah mata kepada siapa pun jua.
Dua orang lain di belakangnya
juga berpakaian serba tambalan, raut mukanya buas dan di atas punggung
masing-masing menggemblok tujuh-delapan karung goni, terang mereka adalah
murid-murid Kaypang yang berkedudukan paling tinggi.
Tata-tertib Kaypang biasanya
amat keras dan ketat dalam mengawasi setiap tindak-tanduk murid-muridnya,
tingkatan satu sama lain dipandang dan dipatuhi dengan hormat. Pengemis tinggi
besar ini tanpa memikul satu karung goni pun, paling hanyalah murid kecil yang
belum masuk jadi anggota Kaypang. Tapi dari sorot mata dan sikap kedua murid
Kaypang berkarung tujuh-delapan itu, kelihatannya malah takut dan segan serta
menghormat kepada laki-laki ini. Bagi pandangan seorang yang kenyang pengalaman
kangouw, sekali pandang saja sudah terasa keadaan aneh dan ganjil ini.
Lebih aneh lagi pengemis ini
bermuka buas, bengis dan sadis, malah sudah sudah tergembleng dalam kehidupan
melarat dan rudin, sering luntang-lantung dalam Bulim, entah dari sudut atau
posisi mana kita menilainya, seharusnya kulit dagingnya hitam dan kasar. Tapi
sekujur badannya justru berkulit putih halus laksana batu jade yang paling
sempurna, seperti kulit perawan pingitan yang tidak pernah keluar rumah dan
merawat badannya dengan baik sampai mengkilap.
Coh Liu-hiang menghela napas
pula, gumamnya: “Kesulitan memang sudah tiba!”
Pengemis tinggi kekar itu
menjelajahkan pandangan matanya yang berkilauan bengis berbentuk segitiga,
akhirnya dengan mendelik ia tatap Coh Liu-hiang, katanya gusar: “Keparat,
berani kau membunuh ular sakti dari Pun-pang, memangnya sudah bosan hidup?”
Baru saja It-tiam-ang hendak
menjawab, Coh Liu-hiang sudah keburu berkata: “Pun-pang? Pun-pang yang tuan
maksudkan, entah Pang yang mana?”
Pengemis besar jahat itu
menyeringai sadis, bentaknya: “Keparat, memangnya kau picak? Masakah
murid-murid Kaypang tidak kau lihat tegas?”
“Murid Kaypang sudah tentu
dapat kubedakan, cuma puluhan tahun yang lalu tuan sudah diusir dari Kaypang,
kenapa hari ini masih berani kau mengagulkan diri sebagai murid Kaypang?”
Berubah air muka pengemis
bertubuh besar itu, mulutnya terpentang lebar terloroh-loroh sambil menengadah,
serunya: “Tak nyana kau bocah pupuk bawang ini pun tahu akan asal-usul tuan
besarmu.”
“Kalau aku tidak tahu,
memangnya siapa yang akan tahu asal-usulmu? Semula kau she Pek, karena
perbuatan jahatmu kelewat batas, kulit badanmu kau rawat sedemikian bersihnya,
maka kawan-kawan di Kangouw sama memanggilmu sebagai Pek-giok-mo-kay, kau masih
merasa bangga dan mengagulkan diri Huruf terakhir dari predikatmu semula lalu
kau buang, mengubah nama sendiri menjadi Pek-giok-mo saja.” Sehafal mengisahkan
asal-usul keluarga sendiri, Coh Liu-hiang membeberkan asal-usul si pengemis
bengis ini.
Bentak Pek-giok-mo dengan
beringas: “Bagus sekali, masih ada apa pula?”
“Sepuluhan tahun yang lalu,
watak kebinatanganmu mendadak kumat, sekaligus kau perkosa dan bunuh tujuh
belas perawan tingting di Hou-khu, Sohciu. Saking marahnya, Jin-lopangcu
berkeputusan menghukum mati dirimu sesuai dengan dosa-dosamu, ternyata kau
cukup pintar dan tahu diri, siang-siang kau sudah lari dan sembunyi, karena
tidak berhasil membekukmu, terpaksa dia mengumumkan pengusiranmu dari anggota
Kaypang.”
“Benar, benar sekali,”
Pek-giok-mo menyeringai sadis. “Cuma sekarang Jin-lothau sudah mampus, Pangcu
baru tidak sekolot dan sepicik dia. Dia tahu kalau kita hendak angkat diri dan
mengembang-luaskan kekuasaan, dia perlu bantuan sepasang tanganku ini. Meski
Locu tidak sudi menelan pengalaman pahit yang lalu, namun melihat maksud
baiknya, terpaksa aku turuti saja kemauannya.”
Perbuatan kotor dan hina di
masa lalu yang dia lakukan dikorek dan dibeberkan di hadapan umum, bukan saja
dia tidak merasa sedih dan marah, malah bersikap senang dan bangga. Jikalau
manusia ini bukannya sudah terlalu bejat, masakah dia bertebal muka dan tidak
tahu malu?
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: “Biasanya Lamkiong Ling mengutamakan welas-asih dan bajik serta
bijaksana, namun apa yang dia lakukan untuk hal ini kukira kurang bijaksana dan
kurang cermat.”
Belum lagi Pek-giok-mo buka
suara, murid-murid Kaypang tujuh kantong itu sudah sama-sama membentak dengan
bengis: “Putusan dan anugerah Pangcu kita, siapa yang berani sembarangan
mengkritiknya di dunia ini?”
“Orang lain tidak berani,
mungkin hanya aku yang berani.”
“Kau terhitung barang apa?”
damprat murid Kaypang yang lain.
“Di mana-mana kenapa ada orang
bertanya aku ini barang apa? Jelas aku bukan barang, aku ini manusia, malah
kalau dipandang mata mungkin rada tampan dan gagah, masakah hanya sedikit perbedaan
ini kalian tidak tahu?”
Pek-giok-mo menyeringai
dingin, jengeknya: “Kalau begitu aku ingin tahu siapakah orang ini, berani
bicara begini congkak di hadapanku, memangnya sudah bosan hidup?”
Coh Liu-hiang bersikap kalem,
ia anggap kata-kata orang sebagai kentut belaka, ujarnya tersenyum: “Siapa
bilang aku bosan hidup? Justru aku sedang hidup senang dan bergairah, arak baik
di dunia ini cukup kuminum seumur hidup, apalagi ada seorang teman seperti
Lamkiong Ling yang sering mengundang makan-minum.”
Berubah muka murid-murid
Kaypang kantong tujuh, tanyanya: “Kau kenal dengan Lamkiong Pangcu kita?”
“Walau aku ingin berkata tidak
kenal, apa boleh buat, selama hidup ini aku paling pantang membual.”
Mata sipit segitiga
Pek-giok-mo kembali mengamat-amatinya dari atas ke bawah, seakan-akan dia ingin
tahu apakah orang sedang mengagulkan diri belaka, sebaliknya seorang murid
kantong tujuh menyeletuk dingin: “Bukan mustahil dia sedang mengulur waktu
menunggu bantuan sehingga bocah keparat itu berkesempatan lari.”
“Mampukah bocah keparat itu
lolos, sebelumnya aku sudah pendam seorang pembunuh yang akan menggorok
lehernya, jangan harap seorang pun di ruangan ini bisa hidup!” demikian
Pek-giok-mo menyeringai seram.
Coh Liu-hiang tersenyum,
ujarnya: “Kalau Lamkiong Ling melihat sikap bicaramu sekasar ini terhadapku,
mungkin dia bisa marah-marah.”
Pek-giok-mo terloroh-loroh,
“Kalau demikian, biarlah aku membuatnya marah sekalian.” Kembali mulutnya
mengeluarkan suitan bambu, dua puluh ekor ular itu kembali angkat kepala
pentang mulut dan menjulurkan lidahnya, serempak mereka menerjang ke arah Coh
Liu-hiang.
Coh Liu-hiang tertawa besar,
serunya: “Walau biasanya aku tidak suka membunuh orang, tapi membunuh ular-ular
jahat seperti ini selamanya aku tidak pakai pantangan.” Di tengah gelak
tawanya, ular-ular itu sudah melesat terbang menerjang ke arah dirinya.
It-tiam-ang yang berada di atas belandar memang ingin menonton permainannya,
namun melihat kehebatan ular-ular itu, mau tidak mau ia merasa kuatir juga.
Baru sekarang Coh Liu-hiang
turun tangan, cepat sekali kedua tangannya bekerja, sekali raih ia pencet tujuh
dim di bawah kepala ular terus dibanting ke lantai, ular itu tak bisa bergerak
lagi. Begitulah, seperti orang sedang bermain sulap saja, kalau tangan kiri
memencet tangan kanan melempar. Begitulah, kanan kiri ganti-berganti memencet
dan melempar, setiap pencet tujuh dim di bawah leher, dan begitu dilempar
melayanglah si ular itu. Dalam sekejap saja dua puluhan ekor ular besar kecil
yang galak-galak itu sudah dia lempar semua, tiada satu pun yang ketinggalan
hidup.
Betapa telak cengkeraman dan
persis tenaga pencetannya, serta kecekatan gerak tangannya sungguh amat
menakjubkan. Sampai pun It-tiam-ang yang biasanya mengagulkan kecepatan gerak
pedangnya mau tidak mau merasa takjub dan melongo.
Mengawasi bangkai-bangkai ular
itu, Coh Liu-hiang malah menghela napas, gumamnya: “Musim semi sudah dekat,
saat paling tepat untuk menikmati sop ular. Sayang Song Thiam-ji tak berada di
sini, kalau tidak dia bisa memasakkan hidangan lezat bagiku.”
Otot di atas kepala
Pek-giok-mo merongkol keluar, sorot matanya hampir menyemburkan bara api.
Maklumlah, kawanan ular itu merupakan piaraannya selama puluhan tahun yang
sudah menghabiskan jerih-payahnya untuk mencari di lembah pegunungan dan di
rawa-rawa, lalu diberi makan berbagai macam obat-obatan serta dilatihnya pula
dengan susah-payah. Setelah berhasil, ia pikir hendak malang-melintang di
kalangan Kangouw mengandalkan binatang berbisa ini, siapa tahu orang cukup
menggerakkan tangan pergi-datang, ular-ular piaraannya kena dibunuh semuanya,
malah hendak dibuat sop ular segala. Saking murka, sesaat Pek-giok-mo menjublek
di tempatnya, seluruh tulang-tulang di badannya mendadak berbunyi gemeretak,
dengan gigi berkeriut ia tatap Coh Liu-hiang, setapak demi setapak ia mendesak
maju.
“Eh, eh, aneh, kenapa dalam
perutmu seperti ada orang mengocok dadu? Tapi kulihat tampangmu yang buas
menyebalkan ini, dadu yang kau lempar tentulah berjumlah satu dua tiga.” Mulut
Coh Liu-hiang mengejek tawa namun ia pun tahu kepandaian Pek-giok-mo tidak
boleh dipandang ringan, apalagi sekarang orangnya sudah menghimpun seluruh
kekuatannya, sekali turun tangan tentu bukan kepalang dahsyatnya.
Dengan waspada matanya
mengawasi tangan Pek-giok-mo, tampak tapak tangan Pek-giok-mo yang putih halus
itu kini samar-samar seperti mengepulkan hawa hijau.
Tiba-tiba It-tiam-ang berseru
memperingatkan: “Tapak tangannya beracun, hati-hatilah kau!”
“Jangan kau kuatir,” sahut Coh
Liu-hiang. “Rasanya takkan bisa membinasakan aku.”
Pek-giok-mo menyeringai,
desisnya: “Siapa bilang tak bisa membinasakanmu?”
Di saat perang tanding bakal
berlangsung itulah, sekonyong-konyong seorang berseru mencegah: “Tahan!”
Di tengah bergeraknya bayangan
orang, di tengah sinar redup, satu orang melangkah cepat ke dalam ruangan,
tampak orang itu beralis lancip tegak, berbadan kekar tegap dengan dada lapang,
pakaiannya seperangkat jubah hijau, namun terdapat dua-tiga tambalan juga.
Walau raut mukanya tampan dan
mengulum senyum, tapi tanpa marah sudah menunjukkan wibawanya. Di tengah
alisnya lapat-lapat menunjukkan perbawa yang menciutkan nyali orang yang
dihadapinya, sikapnya tenang dan mantap, tidak patut dimiliki orang yang baru
berusia seperti dirinya ini. Melihat kedatangan orang ini, murid-murid Kaypang
itu segera menyurut mundur dan berdiri tegak menundukkan kepala, tanpa berani
bersuara pula, sampai Pek-giok-mo pun mundur ke samping, kedua tangannya
diluruskan turun.
Belum pernah It-tiam-ang
melihat orang ini, namun ia bisa meraba pasti dia adalah Liong-thau Pangcu
Lamkiong Ling, pejabat Pangcu Kaypang yang baru.
Coh Liu-hiang tertawa lebar,
serunya: “Kebetulan kau datang, Lamkiong-heng. Kalau barusan aku keburu menjadi
santapan ular-ular jahat itu, kelak tentu kau kehilangan teman untuk minum
arak.”
Lamkiong Ling merangkap tangan
menjura, katanya: “Untung Siaute masih keburu datang, kalau tidak ketiga
muridku yang buta melek ini mungkin sudah menjadi sop manusia bikinan Coh-heng
sendiri.”
“Kau sudah menjadi Pangcu,
kenapa omongan menjadi tidak genah itu?”
“Bicara dengan orang seperti
kau, Coh-heng, kalau pakai urusan sopan-santun segala, memangnya kelak Coh-heng
sudi menjadi teman minum arakku? Tapi bagaimana pun perbuatan kasar murid-murid
Pang kita, sukalah kalian memaafkan.” Mendadak ia menarik muka keren lalu
berputar menghadapi ketiga murid Kaypang berkantung tujuh itu, dampratnya
bengis: “Usia kalian tidak kecil lagi, kenapa bekerja begini ceroboh, tidak
tanya dulu siapa yang kau hadapi, lantas berani turun tangan, memangnya kalian
sudah lupa tata-tertib Pang kita?”
Lagaknya kata-kata ini tidak
ditujukan kepada Pek-giok-mo, namun jelas dampratan ini menyangkut diri
Pek-giok-mo pula. Pek-giok-mo tertawa-tawa, ujarnya: “Pangcu tak usah menuding
Hwesio memakinya kepala gundul, mereka sih belum turun tangan, akulah yang
sudah bertindak.”
Lamkiong Ling membalik
menghadapinya, katanya dengan nada berat: “Kalau begitu ingin Puncoh bertanya
kepada Pek-susiok, kenapa tidak tanya lebih dulu lantas sembarangan turun
tangan, memangnya Pek-susiok ingin keluar lagi dari Pang kita?”
Meski ia hargai Pek-giok-mo
sebagai 'Susiok', tapi pengemis galak dari Sohciu ini seketika mengkeret dan
tertunduk karena ditatap begitu rupa, senyum tawanya sirna, katanya meringis:
“Kita sedang mengejar bocah keparat itu, melihat...... mereka berada di sini,
tentulah kami sangka merekalah yang menyembunyikan bocah keparat itu!”
“Sudahkah tanya kepada mereka
berdua?” desak Lamkiong Ling.
“Tidak..... belum!”
Lamkiong Ling gusar,
dampratnya: “Kalau belum kau tanya, dari mana kau tahu kalau mereka yang
menyembunyikan orang? Orang itu jahat dan amat berbahaya, siapa pun takkan
memberi ampun kepadanya, memangnya kedua orang ini sudi melindunginya?”
Tertunduk dalam kepala
Pek-giok-mo, tak berani bercuit lagi.
Lamkiong Ling tertawa dingin,
katanya lebih lanjut: “Apalagi Tionggoan It-tiam-ang dan Maling Romantis Coh
Liu-hiang berada di sini, siapakah manusia di kolong langit ini yang ke mari,
pastilah harus sopan-santun dan kenal adat, mengandal apa pula kalian berani
bertingkah dan begitu pongah di sini?”
Memang tidak malu Lamkiong
Ling seusia itu sudah menjabat Pangcu dari suatu perserikatan pengemis terbesar
di seluruh kolong langit, beberapa patah kata-katanya yang sederhana bukan saja
memaki dan menyalahkan terhadap murid-murid Kaypang sendiri, sekaligus ia
memperkenalkan asal-usul Coh Liu-hiang dan It-tiam-ang. Walau dia mendamprat
anak-buahnya sendiri, namun sedikit pun tidak menurunkan derajat dan pamor
pihak Kaypang mereka.
Lebih penting lagi dengan mulutnya
ia menggambarkan pemuda baju hitam itu sebagai durjana jahat yang berdosa
besar, maksudnya supaya Coh Liu-hiang dan It-tiam-ang tidak melindunginya lagi.
Sebaliknya Coh Liu-hiang
diam-diam sedang heran, “Pemuda itu dari gurun pasir nan jauh, mana mungkin
baru saja memasuki Tionggoan lantas melakukan sesuatu terhadap murid-murid
Kaypang, malah naga-naganya perbuatan itu tidak kepalang tanggung.”
Setelah tahu orang yang mereka
hadapi adalah Maling Romantis Coh Liu-hiang yang terkenal di seluruh jagad ini,
seketika murid-murid Kaypang itu melongo terkesima.
Pek-giok-mo tertawa lebar
menengadah: “Kiranya tuan ini adalah Coh Liu-hiang. Aku Pek-giok-mo hari ini
kecundang di tangan Maling Romantis, tidak perlu dibuat malu. Kini Pangcu sudah
berada di sini, tidak perlu aku banyak ribut lagi...... selamat bertemu di lain
kesempatan!” dengan penuh kebencian ia pelototi Coh Liu-hiang, lalu tinggal
pergi tanpa menoleh lagi.
Pelan-pelan Lamkiong Ling
menghela napas, ujarnya: “Walau belakangan ini sepak-terjang orang ini sudah
berubah, namun jiwa dan wataknya masih sempit dan kasar, tindak-tanduknya masih
berangasan, maka harap Coh-heng tidak berkecil hati.”
“Kalau orang lain tidak
menyalahkan aku saja sudah puas hatiku, masakah aku harus salahkan orang lain?”
“Tak nyana Coh-heng dan
Ang-heng berdua bisa berada di sini, biasanya memang Siaute tak pernah menetap
lama di kota ini, namun sering datang ke mari, bolehlah terhitung sebagai tuan
rumah juga, sebentar kuharap kalian suka iringi aku minum sepuasnya.”
Selanjutnya ia tidak singgung
pula soal si pemuda baju hitam tadi.
Sudah tentu Coh Liu-hiang pun
kebenaran malah, katanya tertawa besar: “Setahun penuh kalian selalu minta
sedekah sesuap nasi, apakah juga minta arak kepada orang? Baik, peduli dari
mana arak kalian dapatkan, ada orang traktir aku makan-minum, selamanya aku
tidak buang kesempatan baik ini. Ang-heng, jangan kau buang kesempatan baik
ini, maklumlah arak yang tak usah keluar duit, rasanya memang jauh berlainan
sekali.”
It-tiam-ang tetap bercokol di
atas belandar tidak mau turun, sahutnya dingin: “Selamanya aku tidak pernah
minum arak.”
“Wah, hidangan lezat yang
menimbulkan selera, masakah disia-siakan? Memangnya kau tidak merasa lapar?”
“Arak bikin tangan gemetar,
hati lemah, untuk membunuh orang jadi kurang cepat.”
Coh Liu-hiang menghela napas,
“Kalau lantaran untuk membunuh orang lantas pantang minum arak, boleh dikata
seperti kuatir mencret-mencret lantas tak mau makan nasi, bukan saja pikiran
brutal malah boleh dikata tidak kenal kasihan terhadap mulut dan perut sendiri.
Ang-heng, kau......”
Mendadak dilihatnya dua murid
Kaypang muncul dari pintu belakang, terus menjura kepada Lamkiong Ling, kata
orang yang di sebelah kiri: “Rumah belakang sudah kami periksa dengan para
Tianglo, namun tak terlihat jejak orang jahat itu.”
Berputar biji mata Lamkiong
Ling, katanya sambil soja kepada Coh Liu-hiang: “Kalau demikian, harap Coh-heng
suka menyerahkan orang itu kepada kami.”
Coh Liu-hiang berkedip-kedip,
tanyanya: “Siapakah orang yang kau katakan?”
“Terus terang Siaute sendiri
belum jelas asal-usulnya, cuma gerak-geriknya enteng dan gesit, ilmu silatnya
tinggi. Dua hari yang lalu di Tio-koan-tin pernah melukai puluhan murid-murid
Pang kami, mencuri beberapa benda penting kami pula, tadi melukai Song-huhoat
lagi, maka Pang kami sekali-kali tidak akan melepaskannya demikian saja.”
“O..... ada orang demikian?
Kejadian begitu?”
“Apa benar Coh-heng tidak tahu
akan orang ini?” tanya Lamkiong Ling kereng.
“Seumpama aku mengincar
sesuatu milik orang lain, takkan bekerja di atas kepala orang-orang Kaypang
kalian.”
“Begitu lebih baik .........”
ujar Lamkiong Ling tersenyum. Membarengi kata-katanya, sekonyong-konyong dari
lengan bajunya melesat terbang dua batang pedang pendek. Kedua batang pedang
pendek Lamkiong Ling ini sekaligus bisa digunakan sebagai penotok jalan darah
seperti Boan-koan-pit atau Hun-cui-coh dan delapan macam senjata tajam lainnya.
“Jit-gi-pat-bak, ki-liong-cap-sha-cek” memang boleh dibilang sebagai kepandaian
tunggal yang tiada bandingannya di dalam bulim, sampai pun kepandaian silat
Jin-lopangcu, eks Pangcu terdahulu yang sudah ajal pun, agaknya masih setingkat
lebih rendah.
Dua batang pedang pendeknya
melesat seperti kilat menyambar, langsung menerjang kerai jendela dari kain
beludru sebelah bawahnya. It-tiam-ang duduk di atas memandang ke bawah, jelas
sekali pandangannya, dilihatnya di bawah kain kerai yang menjuntai turun itu
terdapat ujung sepatu kulit hitam yang menonjol keluar.
“Blus! Crap!” kedua batang
pedang pendek itu tembus masuk ke dalam sepatu panjang berat itu, seolah-olah
memantek kedua sepatu itu di atas lantai. Senyuman lebar Lamkiong Ling masih
terkulum pada ujung mulutnya, katanya pelan-pelan: “Sampai pada detik ini, tuan
masih tidak mau keluar?”
Kain gordin itu tetap tak
bergerak dan tak terdengar reaksi apa-apa. Sekaligus Lamkiong Ling melirik
kepada Coh Liu-hiang, dilihatnya sikap Coh Liu-hiang tenang-tenang saja seperti
apa pun tak diketahui olehnya, akhirnya Lamkiong Ling menjengek tawa dingin:
“Baiklah!”
Sedikit ia ulapkan tangan,
kedua murid Kaypang yang barusan masuk segera meloloskan golok di pinggang,
menerjang ke depan dengan langkah lebar, golok terayun membacok bersama ke arah
kerai jendela.
Walau sifat It-tiam-ang kaku
dingin dan tak berperasaan, tak urung berdetak juga jantungnya. Seumpama pemuda
baju hitam itu ayal, paling tidak kedua kakinya pasti cacat atau terkutung.
Di mana golok-golok itu
menyambar, kerai jendela pun melayang berjatuhan, namun tak terlihat darah
muncrat. Jendelanya terbuka, angin menghembus masuk, sehingga kerai bagian atas
yang masih tergantung terhembus bergoyang-goyang, namun tak terlihat bayangan
manusia, ternyata kedua sepatu hitam panjang di belakang kerai itu kosong
melompong tanpa diketahui ke mana si pemakainya.
Coh Liu-hiang tertawa besar,
katanya: “Kerai sebagus itu dibacok kutung menjadi dua, sepasang sepatu kulit
kerbau semahal ini dilubangi dua tusukan pedang, Lamkiong-heng tidak merasa
sayang?”
Sedikit berubah air muka
Lamkiong Ling, katanya dingin: “Kerai putus bisa dijahit kembali, sepatu bolong
bisa ditambal. Kalau orangnya merat, murid-murid Kaypang kami pun bisa
mengejarnya.”
Murid berkantung delapan itu
berubah mukanya, selanya: “Memangnya bangsat itu lari dengan berkaki
telanjang?”
“Siapa yang tugas jaga di luar
jendela?” tanya Lamkiong Ling dengan kereng.
“Para saudara dari
Thiam-koh-bio di Kilan,” sahut murid kantong delapan itu.
“Bawa mereka dan serahkan
kepada Kongsun-huhoat,” bentak Lamkiong Ling. “Jatuhi hukuman sesuai peraturan
rumah tangga.”
“Baik!” sahut murid kantong
delapan sambil menjura. Sebat sekali badannya menerobos keluar melalui jendela,
lalu terdengar suara hardikan di luar jendela.
Lamkiong Ling putar badan
sambil unjuk tawa dipaksa kepada Coh Liu-hiang, katanya bersoja: “Siaute masih
ada urusan, hari ini biarlah kita berpisah dulu.”
“Baru saja kau membangkitkan
selera minumku, memangnya kenapa tergesa-gesa mau pergi?” Coh Liu-hiang coba
menahannya.
“Ketagihan arak Coh Liu-hiang,
di kolong langit ini siapa yang bisa selalu melunasinya? Dalam dua hari
mendatang Siaute pasti mengundangmu. Harap Ang-heng ini pun jangan menolak
undanganku.”
Di mana tangannya terangkat
dan sedikit sentak, kedua pedang pendek itu mencelat naik terus terbang kembali
ke tangannya. Ternyata pada gagang kedua pedang terikat seutas rantai lembut
yang terbuat dari platina.
Dengan terburu-buru Lamkiong
Ling mengundurkan diri, maka terdengar pula suara ribut-ribut di luar jendela,
suara suitan saling bersahut-sahutan pula, semakin lama makin menjauh dan
akhirnya tak terdengar pula.
Berkata Coh Liu-hiang dengan
prihatin: “Lamkiong Ling memang seorang berbakat dan seorang pemimpin yang
lihay, di bawah kekuasaannya Kaypang ternyata sehari demi sehari semakin kuat
dan kokoh..... mungkin memang rada terlalu kuat.”
Baru sekarang It-tiam-ang
melompat turun, biji matanya jelalatan, katanya: “Menurutmu, apakah pemuda tadi
benar sudah pergi?”
Coh Liu-hiang tertawa:
“Memangnya jendela di sini hanya satu?”
Terdengar seseorang berkata
dengan dingin: “Cuma sayang Lamkiong Ling itu tidak berpandangan setajam Coh
Liu-hiang.” Sembari bicara, tahu-tahu pemuda baju hitam tadi sudah nongol
keluar dari daun jendela yang lain, kaus kakinya yang putih bersih kelihatan
berlepotan debu.
Baru sekarang It-tiam-ang
sadar bahwa sepatu kulitnya memang sengaja ditonjolkan keluar sedikit, orang
membuka sepatu dan lolos keluar jendela, lalu dari bawah emperan merayap ke
jendela yang lain serta menyembunyikan diri di belakang kain gordin jendela
yang lain. Semuda ini usia pemuda itu, namun kecerdikannya luar biasa, dapat
dia gunakan titik lemah dari watak manusia untuk mengambil keuntungan. Tepat
sekali perhitungannya bahwa Lamkiong Ling pasti menyangka dirinya sudah
melarikan diri, maka dia segan memeriksa tempat yang lain.
Tampak si pemuda baju hitam
menghampiri ke depan Coh Liu-hiang. Sesaat lamanya ia melotot kepadanya, lalu
mendadak berkata dengan keras, “Lamkiong Ling itu adalah teman baikmu, aku
sebaliknya belum pernah kenal atau bertemu denganmu, kau tidak bantu dia malah
membantu aku, sebenarnya apa maksudmu?”
Rasa curiga si pemuda ternyata
sedemikian tebal. Orang lain membantunya, bukan saja tidak terunjuk rasa terima
kasihnya, malah dia curiga orang ada gejala-gejala yang tidak menguntungkan
dirinya.
“Aku bantu kau dan tidak bantu
dia karena dia seorang pengemis yang rudin sekali, sebaliknya kau ini punya
uang, maka perlu aku menjilat pantatmu.”
Sesaat lamanya si pemuda masih
melotot kepada Coh Liu-hiang, akhirnya ujung mulutnya mengulum senyum, namun ia
tahan sehingga dirinya tidak tertawa, katanya tetap dingin: “Meski kau sudah
bantu aku, sekali-kali aku tak sudi menerima budi kebaikanmu ini.”
Coh Liu-hiang juga menahan
tawa, ujarnya: “Siapa yang bantu kau? Apa perlu orang lain membantumu? Apalagi
orang-orang seperti murid-murid Kaypang itu masalah terpandang dalam matamu?”
“Kau kira aku takut kepada
mereka?” damprat si pemuda gusar.
“Sudah tentu kau tidak takut.
Kalau kau sembunyi di belakang jendela, tak lebih hanya ingin mempermainkan
mereka saja.”
Saking marahnya, merah padam
muka si pemuda, kakinya melangkah mendekat seraya membentak bengis: “Jangan kau
kira lantaran sudah membantuku, lantas boleh sembarangan mengejek dan
mempermainkan aku, aku......” belum habis kata-katanya, tiba-tiba ia mencelat
setinggi-tingginya. Kiranya tanpa ia sadari kakinya yang telanjang itu
menginjak bangkai ular, saking kaget dan jijiknya ia mencelat naik ke atas
meja, hampir saja ia menubruk ke dalam pelukan Coh Liu-hiang.
Coh Liu-hiang tertawa besar,
katanya: “Kau ini orang gagah yang tidak takut langit dan bumi, kiranya hanya
takut kepada ular.” Baru sekarang pula ia sadari sikap gugup dan ketakutan si p
emuda yang berlari kembali tadi lantaran takut dikejar ular, jadi bukan karena
takut menghadapi kepandaian murid-murid Kaypang. Pemuda kaku dingin ini takut
ular, sungguh membuat orang sukar percaya.
Merah muka si pemuda, katanya
dengan napas memburu: “Bukan aku takut, aku hanya jijik... sesuatu yang lunak
dan licin berbau lagi, aku amat membencinya, memangnya kau kira hal itu
menggelikan?”
“Tidak, tidak menggelikan!”
ujar Coh Liu-hiang mengeraskan muka. “Kalau setiap perempuan takut ular, kenapa
laki-laki tidak boleh takut? Kenapa laki-laki harus sedikit rada takut terhadap
barang-barang seperti ini?”
Mendengar kata-katanya ini,
sorot mata It-tiam-ang yang dingin kaku itu mengunjuk rasa geli yang tertahan,
sebaliknya selebar muka si pemuda merah jengah.
Pada saat itulah, terdengar
seseorang menjengek dingin: “Maling romantis yang terkenal di seluruh dunia
ternyata bukan saja pandai berkelakar, dia pun pintar membual.”
Entah kapan seseorang berdiri
menggelendot di depan pintu, dia bukan lain Pek-giok-mo adanya, tangannya
menjinjing kantong kain abu-abu, entah apa isinya? Keruan berubah air muka si
pemuda baju hitam, lahirnya Coh Liu-hiang bersikap tenang namun jantungnya
berdebar keras, katanya tawar: “Bukankah tadi dia tak berada di sini?”
“Pangcu kami sudah
memperhitungkan pasti dia masih berada di sini,” Pek-giok-mo menyeringai
dingin. “Cuma memberi muka kepada kau si Maling Romantis ini, maka sementara
dia menyingkir pergi. Kini setelah dia undurkan diri, kau....”
Pemuda baju hitam tiba-tiba
berkata lantang: “Tidak usah kalian pandang mukanya, aku tiada sangkut-pautnya
dengan dia.”
“Kalau demikian, kau mau
keluar sendiri, atau tunggu kami yang meluruk masuk?”
Tanpa menunggu orang habis
bicara, pemuda baju hitam itu sudah melompat terbang keluar jendela, disusul
terdengar suara bentakan dan keluhan, lalu terdengar pula derap langkah ramai
saling kejar dan tak lama kemudian menghilang.
“Kalian punya pangcu seperti
Lamkiong Ling, benar-benar mendapat rejeki setinggi gunung. Pemuda itu berbuat
salah terhadap Lamkiong Ling, memang sebal dan setimpal memperoleh
ganjarannya!”
“Yang berbuat salah terhadap
aku, Pek-giok-mo, belum tentu dia bernasib baik.” Mendadak Pek-giok-mo
mengeluarkan senjata warna hitam legam dengan bentuk yang aneh dari dalam
kantongnya, bentaknya: “Jembatan jangan disamakan dengan jalan, meski kau kenal
baik dengan Lamkiong Ling, Pek-giok-mo sebaliknya tidak kenal siapa kau, kau
berbuat salah terhadapku terhitung hari kematianmu sudah tiba hari ini.”
“Kenapa banyak orang yang
ingin aku mati, kalau aku mati apa sih manfaatnya bagi kalian?” kata Coh
Liu-hiang angkat pundak.
“Banyak sekali manfaatnya!”
Pek-giok-mo menyeringai sadis. Tiba-tiba gaman aneh di tangannya teracung ke
depan. It-tiam-ang mandah berpeluk tangan menonton saja, dilihatnya senjata itu
mirip ganco atau gantolan, seperti cakar, bagian gagangnya diberi gelangan
untuk melindungi jari-jari tangan sendiri dengan batangan berwarna hitam
seperti Long-gee-pang, penuh ditumbuhi duri-duri bengkok ke belakang, sementara
ujung paling depan adalah cakar-cakar setan yang dapat dikembang dan ditarik
mingkup, jari-jari cakarnya hitam mengkilap, terang sudah dilumuri racun jahat.
Selama It-tiam-ang
malang-melintang di Kang-ouw, sudah ratusan kali gebrak dengan berbagai musuh,
namun belum pernah dilihatnya senjata seaneh ini, dia pun tak mengerti manfaat
atau kegunaan daripada senjata aneh macam ini.
Bagi setiap tokoh silat adalah
jamak setiap melihat semacam senjata aneh yang baru seperti pula anak kecil
yang melihat barang mainan baru, tertarik dan merasa aneh pula. Demikian pula
It-tiam-ang tidak ketinggalan mempunyai rasa yang sama. Dia pun ingin melihat
bahwasanya gaman seaneh ini punya permainan jurus-jurus yang aneh pula, ingin
pula dia melihat cara bagaimana Coh Liu-hiang memunahkan kepandaian lawan.
Terdengar Coh Liu-hiang
berkata: “Alat mainan untuk menangkap ularmu ini juga hendak kau gunakan untuk
menghadapi manusia?”
Pek-giok-mo terloroh-loroh,
serunya: “Jit-hun-gi-jian-ku ini bukan saja bisa menangkap ular, juga bisa
mencengkeram sukmamu, biar hari ini kau coba jajal.” Sambil berkata, beruntun
dia sudah melancarkan tujuh-delapan jurus serangan, memang jurus permainannya
aneh dan lucu, lihay lagi, tiba-tiba menutul enteng mendadak menyerampang
keras, adakalanya dimainkan lincah mengandung perubahan yang aneh-aneh, tapi
mendadak menyerang dengan kekuatan besar untuk merobohkan musuh.
Pengemis buas dari Kosoh ini
ternyata memang sudah tekun berlatih menggembleng ilmu permainan senjatanya
yang luar biasa ini, tipu-tipu serangan yang lemas dan keras saling berganti
dengan leluasa dan cepat ini, sungguh sukar dihadapi oleh siapa pun, tapi kalau
dia sendiri belum bisa mengendalikan kekuatan dari permainannya sendiri, betapa
pun dia takkan mampu melancarkan tipu-tipu yang luar biasa seperti itu.
Gerak badan Coh Liu-hiang
berubah dan berubah lagi, agaknya memang ingin melihat sampai di mana dan
berapa hebatnya permainan lawan. Betapa pun hebat dan gencar perubahan serangan
Jit-gi-jian lawan, dalam waktu dekat ia mandah berkelit saja tanpa balas
menyerang.
Maklumlah hobinya memang
bermain silat, hobinya ini boleh dikata jauh melebihi orang lain. Melihat
sebuah senjata berbentuk aneh, rasa tertariknya puluhan kali lipat melebihi
It-tiam-ang. Di seluruh kolong langit ini, entah berapa banyak senjata-senjata
aneh yang pernah dilihatnya, bukan saja pernah melihat, dia pun sudah bisa
mematahkan cara-cara serangan lawan, kini mendadak ia kebentur dengan
Jit-gi-gian yang lain dari yang lain pula, sudah tentu ia tidak mau melepaskan
kesempatan untuk menjajalnya. Sebelum dia paham seluruh permainan Jit-gi-gian
serta tipu-tipu perubahannya, boleh dikata dia enggan turun tangan serta
menghentikan serangan Pek-giok-mo. Tapi karena keisengannya ini, beberapa kali
ia menghadapi serangan berbahaya musuh yang hampir saja menamatkan jiwanya.
Namun ada kalanya sengaja ia tunjuk titik kelemahan diri sendiri, memancing
serangan lawan memperlihatkan jurus-jurus tunggalnya.
Cakar-cakar berbisa yang
mengkilap itu, beberapa kali sudah menyerempet kain pakaiannya, sampai pun
It-tiam-ang ikut kaget dan mengucurkan keringat dingin.
Karena dapat mendesak lawan
dan berada di atas angin, lebih bergairah dan bersemangat Pek-giok-mo, tipu
demi tipu mematikan dari jurus-jurus tunggal ilmu Jit-gi-jiannya dia kembangkan
tak habis-habisnya. Coh Liu-hiang didesak dan dirabanya sampai berulang-ulang.
Mendadak Coh Liu-hiang malah
bergelak tertawa: “Kiranya permainan Jit-gi-jian-mu ini paling hanya begini
saja. Untuk menangkap ular memang bisa kau gunakan, hendak menangkap orang
masih jauh sekali!”
Pek-giok-mo membentak: “Jurus
permainan Jit-gi-jianku ini selama hidupmu jangan harap kau bisa melihatnya
dengan sempurna.” Pengemis buas yang licik dan licin ini agaknya dapat meraba
maksud tujuan Coh Liu-hiang.
Dia tahu, sebelum Coh
Liu-hiang melihat seluruh jurus-jurus tipu permainan Jit-gi-jiannya ini, dia
takkan turun tangan balas menyerang. Kata-katanya ini memang hendak menyudutkan
Coh Liu-hiang. Kalau Coh Liu-hiang tidak balas menyerang, maka dengan lebih
leluasa dia bisa melancarkan tipu-tipu keji ilmu Jit-gi-jiannya. Apalagi
Jit-gi-jian yang dia yakinkan ini masih mempunyai tipu-tipu keji yang dahsyat
dan lihay yang masih belum sempat dia kembangkan, tujuannya adalah hendak
menyudutkan Coh Liu-hiang pada posisi yang kepepet dan tak mungkin bisa berbuat
banyak, barulah saat itu sekali serang dia bikin Coh Liu-hiang mampus oleh
cengkraman cakar senjatanya yang beracun.
Jelas Coh Liu-hiang tahu akan
hal ini namun dia justru membakar hati orang dan memancingnya: “Sejak tadi kau
sudah kehabisan akal dan hampir putus asa, aku tak percaya kau ini punya
kemampuan lain apa lagi.” Sembari bicara kakinya menyurut mundur ke sudut yang
mematikan ke pojok ruangan. Memang nyalinya teramat besar, tanpa ragu-ragu ia
gunakan jiwanya sendiri sebagai pertaruhan hanya untuk melihat gerak perubahan
dari ilmu Jit-gi-jian keseluruhannya serta variasi perubahannya.
Sungguh pertaruhannya teramat
besar It-tiam ang tidak habis pikir bahwa dalam dunia ini ada orang yang
menggunakan pertaruhan jiwa sebagai permainan bercanda belaka, ia tak tahu
membedakan apakah ini perbuatan bodoh atau pintar?
Memancing ikan, memang
permainan orang-orang pintar, tapi kalau diri sendiri dijadikan umpan untuk
mengail ikan bolehlah diartikan terbalik bahwa ikanlah yang berbalik memancing
dirinya.
Coh Liu-hiang sedang menunggu
kesempatan supaya Pek-giok mo terpancing, demikian pula Pek-giok mo sedang
menunggu Coh Liu-hiang terkait. Begitu Coh Liu-hiang sendiri mundur ke sudut
yang mematikan, tiba-tiba Pek-giok-mo menyeringai tawa, serunya: “Jurus-jurus
hebat mematikan Lohu akan kau lihat setelah kau sudah ajal.”
Dalam sekejap saja dia sudah
menyerang lagi tujuh jurus, satu persatu bisa dihindari oleh Coh Liu hiang
dengan mudah tampak Jit-gi-jian musuh mendadak meluncur lempang dari tengah,
menyerang ke mukanya. Coh Liu hiang mengkeretkan badan mundur satu kaki, dia
sudah perhitungkan tepat posisi kedatangan Jit-gi-jian jelas takan bisa
mencapai dirinya, serunya tertawa besar: “Kalau kau tidak........"
Baru sampai di sini
kata-katanya, tiba-tiba didengarnya “Sret!”, cakar setan yang hitam legam
terkembang itu tiba-tiba melenting copot dari badannya terus mencengkeram ke
dadanya. Ternyata pada batang Jit-gi-jian ini di dalamnya ada dipasang pegas
yang mempunyai daya pental yang amat keras, cukup asal Pek goik mo menekan
tombol di gagang yang dipegangnya, jari-jari cakar setan itu lantas mencelat
keluar mencengkeram ke arah sasarannya.
Jari-jari cakar setan ini
disambung oleh seutas rantai lembut empat kaki panjangnya, maka Jit-gi-jian
yang semula hanya panjang tiga kaki enam dim, mendadak berobah sepanjang tujuh
kaki enam dim, jarak yang semula tak bisa dicapai kini dengan mudah dicapainya.
Kini Coh Liu hiang sudah tidak
mungkin bisa mundur lagi. Ia insyaf, asal kulit badannya sedikit tergores atau
lecet oleh jari-jari cakar setan lawan, maka jiwanya takan hidup lebih dari
satu jam.
Sebagai tokoh kosen yang
berkepandaian silat tinggi, dengan seksama It-tiam-ang menonton pertempuran
ini, sudah tentu ia jauh lebih terang dari orang yang sedang bertempur sendiri.
Begitu dia melihat serangan Pek giok mo terakhir ini, serta merta ia menghela
napas. Posisi Coh Liu hiang terang sudah kepepet dan tidak mungkin mundur pula,
untuk berkelit lagi pun tiada peluang pula. Kalau jari-jari cakar setan ini
tidak dilumuri racun, mungkin dengan gerakan Hun-kong-coh-ing (menyibak cahaya menangkap
bayangan) dia bisa menangkap cakar setan lawan, tapi jari-jari cakar setan ini
amat beracun, boleh dikata disentuh pun cukup membahayakan jiwa orang.
Mau tidak mau Coh Liu hiang
menjadi kaget pula, namun meski hati mencelos ia tidak menjadi gugup karenanya,
di saat-saat menghadapi bahaya antara mati dan hidup, toh terpikir juga oleh
otaknya yang cerdik cara untuk mematahkan serangan mematikan ini.
Tampak pundaknya sedikit
bergerak, tahu-tahu tangannya sudah mencekal sesuatu, kebetulan cakar setan
sudah menyelonong tiba di depan dadanya, secara refleks langsung ia angsurkan
benda dalam cekalannya masuk ke tengah jari-jari cakar setan itu.
“Trap!”, jari-jari cakar setan
segera mengatup kencang dan ditarik mundur pula, benda yang tercengkeram di dalam
jari-jari cakarnya yang hitam legam itu dibanting pun takkan terlepas, setelah
ditegasi kiranya hanyalah segulung gambar lukisan.
Maklumlah, sesuai dengan
julukan Maling Romantis, betapa cepat gerakan tangan Coh Liu-hiang tiada
bandingannya di seluruh kolong langit, kalau dia ingin sesuatu dari kantong
dalam baju orang segampang dia membalikkan tapak tangannya sendiri, apalagi
merogoh keluar barang miliknya sendiri. Oleh karena itu maka dalam saat yang
kritis di saat jiwanya terancam elmaut itulah ia merogoh keluar gulungan gambar
itu serta disesapkan ke tengah jari-jari cakar setan. Betapa cepat daya
luncuran cengkeraman cakar setan itu, kalau orang lain yang menghadapi, belum
lagi gulungan gambar dirogoh keluar mungkin dadanya sudah berlobang besar dan
jantungnya tersedot keluar.
Meskipun gulungan gambar itu
amat penting artinya, namun menghadapi saat saat penentuan mati hidup jiwanya
sendiri, betapa pun tingginya nilai sesuatu benda miliknya , bolehlah dibuang
atau dikorbankan untuk menebus jiwanya.
Mimpi pun Pek-giok-mo tidak
pernah terpikir akan akal licik lawan, sekali serangannya luput seketika
berubah air mukanya, sebat sekali ia sudah mundur tujuh kaki, agaknya jeri bila
Coh Liu-hiang merangsek dan mencecar dirinya malah. Siapa tahu Coh Liu-hiang
sedikitpun tak bergeming dari tempatnya berdiri, cuma katanya tersenyum lebar:
“Walau kau ingin mencabut nyawaku, aku sebaliknya tidak ingin menamatkan
jiwamu, kini kemampuan aslimu sudah kau tunjukkan, lebih baik kau serahkan saja
barang yang tercengkeram dalam cakar setanmu itu, lalu lekaslah enyah dari
sini!”
Memang Pek-giok-mo tidak tahu
barang apa yang tercengkeram di dalam cakar setannya, tapi sesuatu benda yang
tersimpan dan dikeluarkan dari kantong badan lawan tentulah sesuatu yang
bernilai tinggi. Maka kata-kata Coh Liu-hiang menggerakkan hatinya, katanya
dingin: “Maksudmu supaya aku mengembalikan gulungan kertasmu ini?”
Coh Liu Hiang tertawa,
oloknya, “Cakar setan yang peranti mencabut nyawa orang, kini hanya berhasil
merenggut segulung kertas, memangnya kau tidak merasa malu ?”
Pek-giok-mo tertawa besar,
ujarnya, “Kalau toh hanya segulung kertas bobrok, kenapa kau harus minta supaya
aku mengembalikan kepadamu?”
Mau tidak mau gugup juga hati
Coh Liu-hiang, batinnya : “Keparat ini memang licik dan banyak akalnya.” Di
mulut ia menyahut tawar, “Kalau kau ingin memilikinya, boleh kuberikan kepadamu
untuk membesut air matamu, atau bolehlah untuk menyeka ingusmu saja.”
Pek-giok-mo menyeringai tawa
dingin, katanya: “Yang harus mengalirkan air mata sekarang mungkin malah kau
sendiri.” Lalu ia mundur lagi beberapa langkah, pelan-pelan ia keluarkan
gulungan gambar itu lalu dibentangkan setengah halaman. Hanya sekilas pandang
saja, rona mukanya tiba-tiba mengunjuk perasaan yang aneh dan lucu, tiba-tiba pula
ia bergelak tertawa.
Melihat mimik tawa orang yang
aneh, bertanya Coh Liu-hiang dengan heran: “Apa yang kau tertawakan?”
“Untuk apa kau menyimpan
gambar lukisan bini Jin Jip di dalam kantongmu? Kulihat usiamu masih muda,
memangnya kau sedang terserang penyakit rindu sepihak kepada bini Jin-lothau?”
Sungguh girang dan kaget bukan
kepalang hati Coh Liu-hiang mendengar kata-kata Pek-giok-mo setelah orang
melihat gambar lukisan itu. Jawaban teka-teki yang selama ini dicarinya
ubek-ubekan tidak ketemu, kiranya sekarang didengarnya dengan tanpa
mengeluarkan banyak tenaga. Saking kegirangan, tanpa sadar ia berteriak: “Jadi
Chiu Ling-siok ternyata menikah dengan Kaypang Pangcu yang terdahulu. Memang
kedudukannya mulia dan diagungkan, namanya jauh lebih suci dan terpandang, jauh
lebih tinggi dibandingkan Sebun Jian dan lain-lain.”
Melihat mimik muka serta
tingkah lakunya, Pek-giok-mo pun kelihatan heran dan tak mengerti, katanya:
“Chiu Ling-siok?.... siapa Chiu Ling-siok itu?”
“Bukankah kau tadi berkata
bahwa dia istri Jin Jip Jin-lopangcu dari Kaypang?”
“Istri Jin Jip itu she Yap,
bernama Yap Siok-tin....”
Coh Liu-hiang melengak kaget
pula, teriaknya: “Lalu lukisan gambar itu...”
“Yang dilukis di atas gambar
ini adalah Yap Siok-tin, kau sendiri sudah menyimpan gambar lukisannya,
memangnya belum tahu nama aslinya?”
Baru sekarang Coh Liu-hiang
dibikin paham: “Tak heran tiada orang Kang-ouw yang tahu di mana jejak Chiu
Ling-siok, ternyata dia sudah mengubah nama dan menikah dengan Kaypang Pangcu.
Ai, betapa buruk dan tercela nama perempuan siluman ini dulu, kalau ingin
menikah dengan tokoh kosen yang kenamaan di kalangan Kangouw, sudah tentu harus
merubah she dan berganti nama, untuk hal ini seharusnya sejak mula sudah harus
kupikirkan."
Tiba-tiba Pek-giok-mo berubah
beringas, serunya bengis: “Jikalau kau maki Jin-lothau, kau maki delapan belas
keturunannya pun tak menjadi soal, tapi istrinya adalah seorang perempuan suci
yang welas asih dan luhur budi serta bijaksana, sampai pun aku Pek-giok-mo
harus tunduk dan kagum kepadanya. Jikalau kau berani omong dengan perkataan
kotor mengenai dirinya pula, murid-murid Kaypang sebanyak laksaan anggota pasti
tak seorang pun yang sudi mengampuni jiwamu."
Coh Liu-hiang maklum, setelah
Chiu Ling-siok menikah dengan orang, tentu dia sudah cuci tangan membina diri,
kembali menjadi manusia baik-baik. Biasanya memang dia sendiri amat simpatik
dan mengagumi orang seperti ini, sudah tentu dia pun takkan membeber sepak
terjangnya dulu yang memalukan, sorot matanya berputar, tiba-tiba ia berkata:
“Entah di mana sekarang Jin-hujin berada?”
“Kulihat kau begitu kepincut
sampai lupa daratan, memangnya kau sudah berkeputusan rela menikah dengan
seorang janda? Tapi ketahuilah, dia adalah seorang suci yang patuh akan adat
istiadat, kau ini kodok buruk jangan harap bisa merasakan daging burung
bangau.”
Kembali berputar biji mata Coh
Liu-hiang, katanya kalem: “Jin Jip mengusirmu dari perguruan Kaypang sehingga
kau harus sembunyi ke barat mengumpet ke timur, selama puluhan tahun belum pernah
kau mengecap kesenangan hidup pula, memangnya kau tidak membencinya malah?”
“Dia orang sudah mampus. Kalau
membencinya, memangnya bisa berbuat apa?” dengus Pek Giok-mo dengan penuh
kebencian.
“Walau dia sudah mati, namun
istrinya toh masih hidup?”
Dengan keki Pek-giok-mo
pelototi Coh Liu-hiang. Jari-jari tangannya mencabuti jenggot di bawah dagunya
yang sudah hampir habis dicabuti olehnya sendiri, sorot matanya yang semula
galak dan bengis lambat laun menunjukkan senyuman tawa lebar, katanya pelan-pelan:
“Walau kata-katamu ini keterlaluan, tapi justru mencocoki seleraku.”
Coh Liu-hiang tersenyum,
ujarnya: “Terhadap siapa bicara apa, pengertian ini cukup kupahami!”
Pek-giok-mo terkial-kial,
serunya: “Tak heran orang lain suka bilang Coh Liu-hiang adalah bajul buntung
yang jahat dan paling mungil, sampai pun aku kini lambat laun sudah mulai
tertarik dan menyukaimu.”
“Lalu di manakah istrinya
sekarang berada?” desak Coh Liu-hiang lebih lanjut.
“Sayang, aku sendiri pun tidak
tahu.”
Sebentar saja Coh Liu-hiang
melenggong, lalu ia bersoja dan berkata: “Selamat bertemu lain kesempatan!”
lalu ia berjalan keluar tinggal pergi.
Seru Pek-giok-mo keras: “Meski
aku tidak tahu, namun ada orang lain yang tahu.”
Seketika Coh Liu-hiang
menghentikan langkahnya dan bertanya sambil membalikkan badan: “Siapa?”
“Memangnya kau tidak bisa
memikirkannya?”
“Mungkin Lamkiong Ling
sebetulnya bisa memberitahu kepadaku, tapi sekarang belum tentu.”
“Orang lain punya sebutir
mutiara, kau hendak memintanya dengan mulut kosong, sudah tentu dia tidak sudi
memberikan kepadamu. Tapi kalau kau suka menukarnya dengan benda lain yang
lebih mahal dari mutiara, masa dia tidak sudi memberikan kepadamu?”
Coh Liu-hiang diam sebentar,
tanyanya: “Dengan apa aku harus menukarnya?”
“Asal-usul pemuda baju hitam
itulah.”
***
Coh Liu-Hiang mengikuti jejak
Pek-giok-mo, sementara It-tiam-ang menguntit di belakang Coh Liu-hiang,
seolah-olah mereka pandang wuwungan rumah penduduk sebagai jalan raya yang
lebar dan rata, mereka berlompatan terbang di atas rumah orang.
Waktu itu malam sudah larut,
di seluruh pelosok kota sudah tak terlihat lagi adanya sinar api yang menyorot
keluar dari dalam rumah.
Sembari berjalan, berkata
Pek-giok-mo dengan suara rendah berat: “Dengan kau Coh Liu-hiang, kau sendiri
yang mengikuti jejakku lho, bukan aku yang membawamu ke mari."
“Aku tahu akan maksudmu,”
sahut Coh Liu-hiang.
“Baiklah kalau kau tahu.”
“It-tiam-amg,” ganti Coh
Liu-hiang berseru ke belakang. “Kau dengar, kau sendiri yang ikut di
belakangku, bukan aku yang membawa ke mari lho.”
Tapi tiada jawaban dari
belakang.
Waktu Coh liu-hiang berpaling,
entah kapan bayangan It-tiam-ang sudah pergi tanpa meninggalkan bekas. Tak
tahan lagi Coh Liu-hiang mengelus-ngelus hidungnya, gumamnya tertawa getir: “Kalau
kau tidak suka dia datang, dia datang. Kalau kau tidak mau dia pergi, dia malah
tinggal pergi. Siapa bila bersahabat dengan orang macam demikian, tentulah
kepalanya sendiri dibikin pusing."
Terdengar Pek-giok-mo berkata:
“Rumah di depan yang terlihat sinar lampu menyorot keluar itu, itulah
Hiang-tong (markas cabang) penting dari Kaypang. Sekarang aku mau pergi, jangan
kau mengikuti jejakku. Kalau kau sendiri yang menemukan tempat itu, tiada
sangkut pautnya dengan diriku."
“Bahwasanya aku tidak melihat
dirimu, ke mana kau hendak pergi aku pun tidak tahu!”
“Bagus.”
Sekali mendekam terus
menerjang turun, dari tempat gelap sana segera terdengar seseorang membentak
dengan kereng: “Naik ke langit masuk ke bumi!”
“Si pengemis tidak mau
datang,” Pek-giok-mo segera menyambung. Disusul suara berbisik-bisik sekian
lama, lalu terdengar pertanyaan pula : “Di mana bocah itu?”
“Ruang pendopo.”
"Akhirnya pangcu berhasil
membekuk dia?"
"Agaknya dia sendiri yang
ke mari, malah duduk dengan angkuh dan gagah-gagahan, entah kenapa pangcu malah
bersikap sungkan dan ramah-tamah kepadanya.”
Coh Liu-hiang mendekam di atas
genteng rumah di seberang sana. Dilihatnya Pek-giok-mo mendorong pintu lalu
menyelinap masuk. Di dalam rumah ada lampu, namun jendelanya tertutup rapat,
yang terlihat hanya bayangan orang yang mondar-mandir. Bagaimana keadaan di
dalam, tidak jelas.
Sekeliling rumah dijaga ketat
dan masih banyak lagi penjaga-penjaga gelap yang tersembunyi, ada kalanya yang
terlihat hanyalah sinar golok mereka yang mencorong mengkilap di tempat gelap,
terdengar pula suara bisikan percakapan mereka.
Laksana asap entengnya Coh
Liu-hiang menggerakkan badannya berputar satu lingkaran, kini ia tiba di
belakang rumah. Mendadak ia batuk-batuk kering dua kali, dari tempat gelap
segera terdengar orang membentak dengan suara lirih : “Naik ke langit masuk ke
bumi.”
“Si pengemis tidak mau
datang,” sahut Coh Liu-hiang menirukan Pek-giok-mo tadi.
Orang itu lantas berdiri dan
keluar dari tempat gelap. Setelah jelas akan diri Coh Liu-hiang, ia segera
bertanya : “Siapa kau ?”
“Peminta beras,” sahut Coh
Liu-hiang. Tahu tahu tangan kanannya sudah menutuk Hiat-to orang itu, berbareng
tangan kiri meraih badan orang terus dijinjing ke belakang dan direbahkan di
atas pohon, katanya pelan-pelan: “Aku ini bukan manusia, aku ini siluman rase,
kau tahu tidak?”
Sorot mata orang itu
menunjukkan rasa takut dan kaget. Ingin mengangguk, badan tak bisa bergerak,
terpaksa biji matanya berkedip-kedip.
***
Seenteng asap Coh Liu-hiang
melayang turun lalu menuju ke sebuah jendela yang tersorot cahaya lampu dari
dalam. Setelah membuat lobang kecil, ia dekatkan matanya untuk mengintip ke
dalam. Tampak di tengah ruangan besar di dalam sana berjajar dua meja cendana,
kedua sisi masing-masing diduduki dua pengemis ubanan, karung yang digendong
tebal dan bertumpuk-tumpuk, tentunya semua berjumlah sembilan karung. Tentulah
mereka adalah Tianglo dan Hu-hoat dari Kaypang.
Pek-giok-mo dengan congkaknya
duduk jaga di tempat teratas, roman mukanya tetap mengunjuk sifat pongah dan
kekerasan hatinya.
Di sebelah atasnya lagi adalah
Lamkiong Ling, Pangcu Kaypang yang baru. Pemuda baju hitam itu ternyata juga
hadir di dalam ruangan ini, dia duduk berhadapan dengan Lamkiong Ling.
Begitu banyak tokoh-tokoh Bulim
yang mengelilingi dirinya, ternyata sedikit pun dia tak menunjukkan rasa takut,
mata besarnya terpentang lebar mengawasi Lamkiong Ling, lagaknya seolah dia
siap berdiri dan ajak berkelahi dengan siapa pun.
Terdengar Lamkiong Ling tengah
berkata dengan suara kereng: “Tuan melukai murid-murid Kaypang kami, melukai
pula Tianglo Hu-hoat kita, mungkin hanya merupakan salah paham belaka, Puncoh
tidak akan mengulur panjang persoalan ini. Cuma ingin tanya, keperluan apa tuan
datang ke mari dari tempat jauh?”
Pemuda baju hitam itu melotot
kepadanya, sahutnya dingin: “Sudah berapa kali kau ajukan pertanyaan yang sama
ini, kalau aku sudi menjawab, memangnya harus tunggu sampai sekarang?”
Lamkiong Ling ternyata kelewat
sabar, katanya kalem: “Sebetulnya kau ada tujuan apa memusuhi Kaypang kami?
Kalau kau mau menjelaskan, mungkin Puncoh bisa mewakili laksaan murid Kypang
kita memberikan segala fasilitas akan keperluanmu.”
“Kalau aku ingin batok
kepalamu, apa kau suka memberikan?”
Akhirnya Lamkiong Ling berkata
bengis: “Jangan kau lupa, saat ini dan di tempat ini, sembarang waktu aku bisa
mencabut jiwamu, tapi aku hanya ingin tanya maksud kedatanganmu, kau tidak mau
jelaskan, bukankah kau tidak tahu diri?”
Tidak kalah ketusnya si pemuda
baju hitam menjawab: “Sampai sekarang aku masih tetap duduk di tempat ini,
memang aku tidak tahu diri. Kalau kukatakan asal-usulku, berarti maksudmu sudah
tercapai, masakah aku bisa duduk ongkang-ongkang kaki di sini?”
Mendengar sampai di sini,
diam-diam Coh Liu-hiang tertawa geli: “Kelihatannya pemuda ini keras kepala dan
angkuh lagi, seperti tidak tahu apa-apa, siapa tahu kiranya dia jauh lebih
cerdik dan cekatan dari orang lain, agaknya Lomkiong Ling hari ini kebentur
lawan tangguh."
Tampak raut muka Lamkiong Ling
sudah membesi hijau, amarahnya sudah bergolak di rongga dadanya, namun akhirnya
dapat dia kendalikan pula, katanya lembut dengan tertawa lebar: “Kalau Puncoh
ingin membunuhmu, buat apa pula harus tanya asal-usulmu? Masa kau sendiri belum
paham akan pengertian secetek ini?”
“Sudah tentu aku cukup paham,
malah terlalu paham. Kalau toh kau tidak tahu siapa aku, dan tidak tahu berapa
banyak pula orang-orang yang berada di belakangku, lebih tidak tahu pula berapa
banyak rahasia Kaypang kalian yang sudah kuketahui, hatimu sendiri yang main
curiga dan suka meraba-raba, masakah kau bisa berlega hati membunuhku demikian
saja."
“Kalau demikian, bukankah aku
harus menahanmu malah."
“Lebih baik kalau kau tahan
diriku di sini, makan minum di sini, tidur di sini, cuma aku kuatir kalian para
pengemis ini apa mampu menyediakan segala keperluanku?"
Pek-giok-mo tiba-tiba
menyeringai tawa, katanya: “Dengan cara halus tidak mau bicara, boleh gunakan
kekerasan, masakan dia tidak akan bicara?”
“Siapa pun di antara kalian
bila berani menyentuh seujung jariku saja, mungkin jiwa beberapa orang akan
menggeletak di hadapanku. Kalau kalian tidak percaya, silahkan turun tangan
saja.”
Pemuda ini halus dan kasar
serba bisa, pintar mungkir, pandai mengancam dan bisa menggertak lagi, hampir
saja Coh Liu-hiang bersorak senang di luar jendela.
Pada saat itu, mendadak
“Blang!”, jendela di depan seberang Coh Liu-hiang mengintip ini tiba-tiba jebol
berlobang besar. Bagai anak panah, sesosok bayangan orang menerjang masuk.
Sinar pedang orang itu bagai kilat menyambar, kiranya It-tiam-ang.
Melihat It-tiam-ang mendadak
muncul, sungguh kaget dan senang pula hati Coh Liu-hiang, batinnya: “Ternyata
dia tetap menguntit aku, tepat sekali kedatangannya.”
Tampak begitu kaki It-tiam-ang
menyentuh tanah, beruntun pedangnya sudah bergerak tujuh delapan belas kali
tusukan ke arah Su-Toa-Tianglo dan Pek-giok-mo dan lain-lain. Orang-orang ini
merupakan tokoh-tokoh silat kelas tinggi dalam Bulim, namun serangan itu
dilancarkan teramat mendadak. Menghadapi tusukan secepat, ganas dan aneh ini,
mereka pun mencaci.
“It-tiam-ang,” seru Lamkiong
Ling gusar. “Kuhormati kau sebagai Enghiong kenamaan, berani kau bertingkah di
Hiang-oh Kaypang kami?”
“Biasanya aku tidak kenal
sanak kadang, memangnya kau tidak tahu?” jengek It-tiam-ang. Lalu ia menerjang
ke samping pemuda baju hitam dan membentak datar: “Tidak lekas kau pergi!”
Tak nyana si pemuda malah
melotot kepadanya, tanyanya: “Kenapa aku harus pergi ikut kau?”
Sekilas It-tiam-ang melongo,
jengeknya: “Kau tidak mau pergi, biar kubongkar asal-usulmu di hadapan mereka.”
Kini gantian si pemuda yang
tertegun, katanya sambil tertawa dingin: “Baik, terhitung kau menang, ayolah
pergi!”
Tapi saat mana Ji-gi-jiau,
Boan-koan-pit, tongkat bambu hijau, Siang-thi-koay dan tujuh delapan macam
senjata lainnya sudah meluruk bersama ke arah mereka. Setiap hadirin dalam
ruang pendopo ini adalah tokoh-tokoh silat nomor wahid, setiap gaman yang
mereka gunakan rata-rata senjata berat yang ampuh dan hebat kekuatannya, ganas
dan keji pula serangannya. Lekas si pemuda baju hitam merogoh ke dalam bajunya
dan mengeluarkan sebilah senjata, sekali ayun dan gentak ia bikin senjatanya
lempang kaku, kiranya itulah sebatang Bian-to yang terbuat dari baja murni.
“Cret,cret,cret” beruntun ia membacok beberapa kali, gerakan ilmu goloknya amat
keras dan tidak kalah ganasnya, kesiur angin goloknya amat tajam dan deras,
ternyata cara tempurnya menempuh jalan kekerasan juga.
Begitulah, dengan golok dan
pedang mereka bertempur berdampingan, siapa pula yang harus mereka takuti?
namun kalau mereka ingin menerjang keluar dari kepungan, tentulah sesukar
memanjat langit. Beruntun It-tiam-ang tusukkan pedangnya puluhan kali, baru
mendadak ia berseru keras: “Tidak segera kau turun tangan, biar aku berteriak
saja.”
Sudah tentu orang lain tidak
tahu apa maksud kata-katanya dan kepada siapa ditujukan, sebaliknya Coh
Liu-hiang yang mengintip di luar jendela pun tertawa getir, batinnya: “Akhirnya
dia menarikku juga untuk berkecimpung di dalam air basah ini.”
Sejenak ia berpikir, lalu dari
atas ia menjemput puluhan genteng. Begitu jendela dia pukul hancur, beruntun ia
timpukkan genteng seraya berteriak: “Awas, lihat Ngo-tok-thong paku ini!”
Walau hanya pecahan genteng
biasa saja, namun ditimpukkan oleh seorang ahli tentulah jauh sekali faedahnya,
ada yang terbang naik ke tengah udara langsung menerjang ke arah musuh, ada
pula yang berpura-pura menderu menyerampang datar dari bawah, ada pula yang
naik turun menari-nari.
Orang banyak tidak tahu
senjata rahasia macam apakah ini. Namun mendengar Ngo-tok (lima racun), belum
lagi senjata rahasia mengenai dirinya, beramai-ramai mereka sudah lompat
menyingkir, jiwa sendiri lebih penting, tak sempat pula mereka melukai orang
lain.
Maka dengan gampang
It-tiam-ang dan pemuda baju hitam mendapat kesempatan untuk menerjang keluar.
Sebat sekali Lamkiong Ling meluncur menyusuri dinding jendela di belakang sana,
namun suasana sunyi dan keadaan di luar jendela gelap pekat, kurang jelas siapa
penimpuk senjata rahasia ini. Sebat sekali ia lemparkan sebuah kursi keluar,
menyusul dia pun menerjang keluar sambil membentak: “Sahabat, tunggu sebentar!”
Masakah Coh Liu-hiang mau
ayal-ayalan? Belum lagi orang memburu keluar, bayangannya sudah menghilang di
kejauhan sana.
Begitu menerjang keluar bersama,
It-tiam-ang dan pemuda baju hitam terus lari sekencang-kencangnya, ginkang
kedua orang itu agaknya setanding, setelah berlari-lari sekian lamanya, entah
berapa jauhnya sudah, pemuda baju hitam itu tiba-tiba berhenti, katanya
melotot: “Siapa suruh kau menolong aku?” Wataknya memang aneh, mati pun ia
tidak sudi terima kebaikan orang lain.
Kalau orang lain setelah
menempuh bahaya menolong jiwanya lalu mendapat pertanyaan yang kurang ajar
seperti ini, aneh kalau orang itu tidak dibikin semaput saking gusarnya. Tapi
sedikit pun It-tiam-ang tidak menjadi gusar, katanya sambil tertawa meringis:
“Siapa mau tolong kau? Kau mampus atau hidup peduli apa dan tiada sangkut paut
denganku.”
Membelalak besar mata pemuda
baju hitam, katanya heran: “Kau bukan menolongku, memangnya untuk apa kau ke
mari?”
“Tadi aku merusak barang
seorang teman dan kau harus kubawa kepadanya sebagai gantinya.”
Sekilas si pemuda melongo,
akhirnya dia berseru naik darah: “Kau ini sedang kentut apa, aku tidak
mengerti.”
“Kau tidak mengerti,
sebaliknya aku tahu,” terdengar seorang menyela tawa yang kemalas-malasan serta
gerakan tubuh laksana setan gentayangan, di kolong langit ini kecuali si maling
romantis Coh Liu-hiang kiranya takkan bisa dicari keduanya.
Memang kalau Coh Liu-hiang hendak
menguntit seseorang, siapa pun jangan harap bisa menyesatkan dirinya dan lolos
dari pengawasannya. Melihat orang datang, sedikit pun It-tiam-ang tidak
mengunjuk rasa heran, katanya dingin: “Inilah suratmu itu, kini dia kuserahkan
sebagai gantinya.” Bicara pada kata-katanya yang terakhir, bayangannya sudah
berkelebat di tempat kejauhan sana.
Mengawasi bayangan orang, si
pemuda baju hitam geleng-geleng kepala, ujarnya: “Apakah otak orang itu rada
sinting?”
“Cacat orang ini adalah suka
ikut campur urusan orang lain, dia anggap barusan sudah bantu kesulitanku,
siapa tahu justru bikin runyam suatu persoalan besar yang sedang kuselidiki.”
“Persoalan besar apa yang
bikin kau uring-uringan kepadanya?” tanya si pemuda.
“Semula aku hendak gunakan
jamrud untuk menukar mutiara, dia malah menggagalkan kontrak dagangku.”
Dengan mendelong pemuda ini
mengawasinya sekian lama, seolah-olah pada mukanya mendadak tumbuh sekuntum
bunga yang indah, sorot matanya memancarkan rasa heran dan aneh serta tertarik
dan ingin tahu, katanya: “Kukira hanya dia itu yang sinting, siapa tahu kau ini
malah sudah pikun.”
“Itulah yang dinamakan
sependeritaan sepenanggungan, jenis yang cocok satu sama lain.”
“Aku tiada cacat seperti yang
kau katakan, maaf aku ingin pergi,” ujar si pemuda sambil putar badan hendak
tinggal pergi.
Kata Coh Liu-hiang:
“Pertanyaan yang ingin kau ajukan kepadaku tidak kau tanyakan lagi?” kata-kata
ini seumpama gantolan yang menjambretnya kembali, cepat ia putar badan dan
unjuk seri tawa kegirangan, serunya, “Sekarang sudah mau memberi tahu?”
Berkata Coh Liu-hiang tanpa
pikir, “Sudah kulihat sulaman gambar unta terbang di balik mantelmu, maka aku
tahu kau pasti sanak kadang Raja Gurun. Aku pernah bertemu dia, maka kutahu
bila dia sudah masuk ke Tionggoan.”
Bersinar biji mata si pemuda,
teriaknya tertahan, “Kau pernah bertemu dengan ayahku?”
Coh Liu-hiang menghela nafas,
ujarnya, “Kalau kau sudi percaya kepadaku, kesulitan yang kita hadapi bersama
saat ini tidak sukar untuk dibereskan!”
Langsung si pemuda menatap
kedua matanya, sepasang matanya lebih cemerlang dari pancaran sinar bintang
kejora, mendadak roman mukanya bercahaya dan tertawalah si pemuda riang,
katanya, “Baik, aku mempercayaimu.”
Coh Liu-hiang segera duduk
berpunggung wuwungan rumah, di saat bisa duduk dia tak pernah berdiri, kaki
tangan ia julurkan sebebas mungkin, katanya tertawa, “Kalau begitu aku hanya
minta kepadamu menjelaskan apa maksud tulisan dalam surat yang diterima ayahmu
itu?”
“Surat? Bukankah sudah
kuserahkan kepadamu?”
“Mungkin sudah ditakdirkan aku
tidak boleh melihat langsung surat itu, tapi cukup puaslah hatiku asal bisa
mendengar juga.”
“Bagaimana kalau aku tidak
pernah membacanya?”
Coh Liu-hiang menjadi tegas,
katanya, “Kalau kau katakan tidak pernah membaca surat itu, mungkin aku kontan
jatuh semaput.”
“Nah, bolehlah kau semaput
saja.”
“Jadi kau benar-benar tidak
pernah membacanya?” teriak Coh Liu-hiang.
Pemuda baju hitam malah
tertawa geli, sahutnya, “Aku tidak membaca, namun pernah kudengar ayah
membacakan kepadaku.”
Coh Liu-hiang menghembuskan
nafas panjang, gumamnya, “Bisa kau tersenyum semanis ini, umpama aku
benar-benar jatuh semaput dan jiwa sampai melayang pun setimpal juga.”
“Kau dengar, beginilah isi
tulisan surat itu.”
“Nanti sebentar, biar kucuci
dulu kupingku biar bersih.”
Si pemuda tertawa lebar,
katanya, “Tulisan itu berbunyi, ‘Sejak berpisah beberapa tahun ini, semangat
dan kesehatan tuan tentu jauh lebih perkasa dari dulu, sebaliknya aku jauh
lebih layu dan kurus, apalagi sekarang tersekap di tengah mara bahaya, harap
tuan suka mengingat hubungan baik kita dulu, lekaslah datang menolongku. Kalau
tuan tidak datang, terang jiwaku takkan tertolong lagi.’ Tanda tangan surat itu
adalah satu huruf, Siok saja.”
Dengan susah payah, akhirnya
terhitung Coh Liu-hiang sudah melihat surat itu secara tidak langsung, apa yang
tertulis dalam surat itu memang sudah dalam terkaannya, tapi bisa membuktikan
secara kenyataan betapapun dia akan lebih yakin dalam tugas penyelidikannya
lebih lanjut.
Sayang dalam surat itu tidak
dijelaskan kesukaran apa yang sedang dihadapinya? Mau tak mau Coh Liu-hiang
merasa kecewa pula, dengan melongo ia menepekur sekian lamanya, gumamnya,
“Bagaimanapun, kesulitan yang dihadapi Chiu Ling-siok pastilah punya sangkut
paut dengan pihak Kaypang.”
Tukas si pemuda baju hitam,
“Ayah pun berpikir demikian, oleh karena itu aku beranggapan menghilangnya
ayahku pasti ada hubungan dengan Kaypang, kalau tidak buat apa aku mencari
gara-gara kepada pihak Kaypang.”
Kembali Coh Liu-hiang berpikir
sebentar, tanyanya, “Kapan surat itu diterima? Siapa pula yang mengantarnya ke
sana?”
Tutur si pemuda itu dengan
sikap sombong, “Ayahku sebagai pendekar besar di gurun pasir, setiap tahun
jejaknya tidak menentu, maka hubungan dengan berbagai anak buahnya yang tersebar
luas di gurun pasir menggunakan burung dara pos. Meskipun dia dijuluki raja
gurun pasir, namun kekuasaannya menjalar memasuki beberapa propinsi di
pedalaman sini. Satu bulan yang lalu surat itu diterima melalui burung pos di
pangkalan Ling-shia.”
“Lalu siapakah yang membawa
surat ini dan diserahkan pada orang yang mengurus pangkalan dara pos di
Ling-shia? Dari mana pula dia bisa tahu bahwa Raja gurun ada mendirikan
pangkalan burung dara pos yang tersebar luas di gurun pasir, terutama yang
berada di Ling-shia itu?”
“Mungkin tiada orang yang bisa
menjawab pertanyaanmu ini.”
“Kenapa?”
“Karena orang-orang yang
mengurus pangkalan burung dara pos di Ling-shia itu sudah mampus seluruhnya.”
Tersirap darah Coh Liu-hiang,
sekian lama ia menepekur, katanya pula, “Baru satu bulan ayahmu keluar pintu,
dari mana kau bisa tahu kalau dia mendadak menghilang?”
“Sejak perjalanan dari rumah
sampai memasuki Tionggoan, setiap hari ayah pasti ada kabar hubungan dengan
setiap pangkalan burung dara pos yang pernah dia lalui. Tapi sepuluhan hari
yang lalu, surat-surat yang dibawa burung pos mendadak terputus, jikalau tidak
mengalami sesuatu perubahan besar, mana beliau bisa lupa untuk berkirim surat
kepadaku.”
“Maka kau segera berangkat
menyusulnya ke mari?”
“Sudah tentu aku segera
berangkat menuju ke Tionggoan, sepanjang jalan aku mencari tahu pada setiap
pangkalan-pangkalan burung dara, namun tidak kuperoleh kabar berita dari
beliau. Pengurus pangkalan burung dara pos di Ling-shia, semua menggeletak
mampus secara mendadak, barulah aku mulai gelisah dan akhirnya aku meluruk ke
pihak Kaypang.”
“Apa yang pernah kau dengar di
Kaypang?” tanya Coh Liu-hiang dengan tatapan mata bercahaya.
“Apa pun aku tak berhasil
mendapat tahu. Semua orang-orang Kaypang bukan saja tidak tahu siapa ayahku,
jejaknya pun tidak diketahui, malah belakangan ini katanya mereka tidak pernah
menghadapi sesuatu kesulitan apa pun, maka tidak mungkin mereka mengundang
orang luar untuk membantu menyelesaikan sesuatu.”
Dia tatap muka Coh Liu-hiang
serta katanya pula, “Tapi hal-hal ini semakin bikin aku curiga, dapatlah
kurasakan bila lahirnya mereka seperti aman sentosa, pasti di belakang tabir
kesentosaan ini tersembunyi sesuatu rahasia besar. Jelas ayahku ke mari karena
menerima surat dari isteri Pangcu mereka, terang pasti ada ikatan dan hubungan
dengan pihak mereka, mana bisa mereka mengatakan tidak tahu menahu?”
“Bukan mustahil kesulitan
Jin-hujin adalah persoalan pribadinya, bahwasanya dia tidak ingin orang-orang
Kaypang yang lain tahu, maka pertemuannya dengan ayahmu pastilah dilangsungkan
secara rahasia pula.”
“Memang ada kemungkinan
begitu, tapi pernah aku dihadapi dua persoalan aneh. Pertama: tiada seorang pun
anggota Kaypang yang tahu di mana istri Pangcu mereka yang terdahulu berada.
Kedua, tidak boleh kau melupakan bahwa Lopangcu mereka Jin Jip baru saja
menemui ajalnya dalam beberapa waktu belakangan ini. Meski dikatakan beliau
wafat karena terserang penyakit, tapi siapa yang pernah melihatnya sendiri?”
Mendadak Coh Liu-hiang
berjingkrak bangun, katanya dengan nada berat, “Pergi datang ceritamu, hanya
kata-kata inilah yang tepat menusuk ke sasarannya, tapi jangan sekali-kali kau
ucapkan kata-katamu ini kepada orang lain. Kalau tidak mungkin kalangan Kangouw
bakal timbul suatu kegemparan besar. Jabatan Pangcu yang teragung bagi Kaypang
yang terbesar kekuasaan dan anggotanya di seluruh kolong langit ini, siapa pun
ingin mendudukinya, peduli dia anggota Kaypang atau orang dari luar kalangan.”
“Tujuanku hanya menemukan
ayahku, persetan bakal timbul geger atau keonaran di kalangan Kangouw, toh
tiada sangkut-pautnya denganku?”
“Begitu besar hasratmu untuk
mengetahui jejak ayahmu, kenapa mereka tiada seorang pun yang tahu
asal-usulmu?”
“Gampang saja alasannya...
setiap murid Kaypang yang pernah kukompres keterangannya, mereka takkan bisa
membocorkan rahasia pribadiku sedikit pun juga.”
“Agaknya kau sudah pengalaman
dan cukup tenaga melakukan pembunuhan.”
“Kalau aku tidak bunuh mereka,
jiwaku pun akan dibunuh. Memang membunuh orang bukan perbuatan yang patut
dibuat senang, tapi toh lebih baik daripada jiwa sendiri dibunuh orang!”
“Dari mana kau tahu bahwa
Lamkiong Ling hendak membunuhmu? Kenapa tidak langsung kau tanyakan persoalanmu
tadi kepadanya?”
“Sejak melihatnya, aku
mendapat firasat bahwa dia bukan orang baik-baik!”
“Itu hanya perasaanmu sendiri,
alasan ini belum cukup kuat.”
“Bagiku, alasan ini sudah
lebih dari cukup.” Mendadak matanya bersinar dan menatap Coh Liu-hiang nanar,
katanya pula pelan-pelan, “Coba kau pikir, bila kau bertanya kepadanya, apa dia
sudi memberitahu kepadamu?”
“Coba kau pikir... dengan
alasan apa dia tidak mau memberi penjelasan kepadaku?”
“Jikalau dia melakukan sesuatu
yang memalukan, sudah tentu ia tak mau menjelaskan.”
“Kalau begitu, jika dia tidak
mau memberitahu kepadaku, bukankah malah membuktikan bahwa dia memang benar
pernah melakukan sesuatu yang memalukan. Coba kau pikir, adakah orang pikun
seperti itu dalam dunia ini?”
“Jikalau dia beritahu
kepadamu, sudikah kau beritahu kepadaku?”
“Dengan alasan apa pula aku
tidak mau beritahu kepadamu?”
“Maling romantis Coh Liu-hiang
ternyata tidak menyebalkan seperti apa yang pernah kudengar,” tersimpul senyum
dikulum pada raut mukanya yang kaku dingin, bak umpama sungai salju mulai
mencair, seperti hawa nan dingin terhembus angin musim semi yang sejuk membuat
perasaan orang hangat dan sejuk.
Coh Liu-hiang menghela nafas,
ujarnya, “Kalau kau mau sering-sering tertawa-tawa, akan kau dapatkan banyak
orang di dunia ini tidak menyebalkan seperti yang kau bayangkan.”
Seketika si pemuda menarik
muka, katanya dingin, “Banyak orang yang menyebalkan dalam dunia ini, tiada
sangkut-pautnya dengan diriku. Aku hanya tanya kau, sekarang kau pergi tanya
kepada Lamkiong Ling, kapan kau akan memberitahukan kepadaku?”
“Besok pagi... asal bisa
diketahui di mana aku bisa menemuimu...”
“Besok pagi, pergilah kau
tamasya keliling Tay-bing-ouw, akan kau lihat seekor kuda hitam mulus. Asal kau
berkata ‘Bawa aku menemui mutiara hitam’ tiga kali, lalu menarik kupingnya tiga
kali pula, pasti dia akan mengantarmu menemui aku. Ingat, tidak lebih tidak
kurang, hanya boleh tiga kali, jangan terlalu ringan, atau pun teramat berat.”
“Kalau tertarik empat kali dan
rada berat bagaimana?”
“Mungkin dia akan antar kau
terjun ke Tay-bing-ouw mencari mutiara di dalam danau,” mendadak ia melirik
kepada Coh Liu-hiang sambil tersenyum, dengan lincah ia putar badan terus
berlari pergi seenteng asap mengembang.
Coh Liu-hiang awasi bayangan
orang menghilang di balik pepohonan, katanya seorang diri, “Mutiara hitam,
mutiara hitam, orang sering bicara mutiara hitam adalah benda mustika yang
membawa malapetaka bagi pemiliknya, namun semoga kau mutiara hitam ini membawa
rejeki besar bagiku malah, sekarang aku benar-benar membutuhkan nasib baik.”
Coh Liu-hiang menengadah
mengawasi bintang-bintang di angkasa, sesaat lamanya dia menerawang, sinar
bintang yang kelap kelip selalu mendatangkan ketenteraman bagi relung hatinya,
otak jernih, perasaan tentram, biasanya asal dia rebah telentang di atas dek
kepalanya, persoalan rumit apa pun, dengan mudah dapat dia bereskan.
Tapi sinar bintang malam ini
agaknya tidak membawa banyak pengaruh untuk membantu dirinya. Sudah sekian
lamanya ia peras otak, benaknya masih kalut, tak urung ia tersenyum geli,
batinnya, “Memangnya sinar bintang-bintang di sini jauh berbeda dengan sinar
bintang di lautan?”
Akhirnya ia berkeputusan untuk
kembali ke Hiang-tong milik Kaypang itu.
Cahaya lampu dalam ruang
pendopo masih terang benderang. Waktu Coh Liu-hiang meluncur dan melompat
turun, ada orang yang menegurnya dari tempat gelap dengan kata-kata, “Naik ke
langit masuk ke bumi lagi.” Terpaksa Coh Liu-hiang batuk-batuk keras di luar
pintu, lalu bersuara lantang, “Apakah Lamkiong-heng ada di dalam?”
Dari ruang pendopo segera
terdengar sahutan, “Silahkan masuk.”
Meja kursi yang terbalik sudah
ditata rapi kembali, jendela yang dijebol rusak pun sudah diperbaiki, pecahan
genteng di atas lantai pun sudah disapu bersih, ruang pendopo tetap dalam
keadaan biasa seperti tidak pernah terjadi sesuatu di sini. Sebesar ini ruang
pendopo ini, yang hadir hanya Lamkiong Ling seorang yang duduk bertengger
menghadap meja yang sudah tersedia mangkok, sumpit dan beberapa guci arak.
Agaknya Lamkiong Ling memang
sedang menunggu kedatangan Coh Liu-hiang. Melihat Coh Liu-hiang beranjak masuk,
sedikit pun ia tidak heran, cuma lekas ia berdiri dan bersoja, sapanya, “Coh
heng benar-benar menepati janji menagih undangan minum arakku ini. Untung
siaute sudah menyiapkan beberapa guci arak bagus ini, kalau tidak kedatangan
Coh-heng pasti akan kecewa.”
“Kau tahu aku bisa menemukan
tempatmu ini? Sedikit pun kau tidak merasa heran?”
“Bila Coh-heng menagih
undangan minum arak, tiada seorang pun di kolong langit ini yang bisa lari dari
kewajiban ini. Seumpama Siaute sembunyi ke ujung langit dan dapat diketemukan
oleh Coh-heng, tentunya tidak perlu dibuat heran.”
“Benar, hidungku ini biasanya
memang punya penyakit, di mana ada arak bagus, sekali endus aku lantas bisa
menemukannya, apalagi begini banyak Cu-yap-cing yang kugemari,” dengan tertawa
besar ia menempati sebuah kursi. Pandangannya menyapu, lantas ia berkata pula,
“Cuma sayang, ada arak, tiada hidangan lainnya, sehingga kurang selera. Tahukah
kau, bagi aku si tukang gegares ini, boleh dikata sebagai suatu siksaan.”
“Masakan memang sudah ada,
Siaute sudah menyediakan beberapa ekor ayam panggang yang gemuk-gemuk, sebatang
paha babi dan beberapa macam masakan bakso dan ikan.”
“Memangnya semua masakanmu itu
bisa menghilang? Kenapa tidak kulihat?”
“Tentu Coh-heng tidak melihatnya,
karena tadi ada orang datang, semua masakan itu dibuang ke dalam selokan
seluruhnya.”
Coh Liu-hiang mengedipkan
matanya, katanya, “Apakah orang itu punya permusuhan atau dendam kesumat
sedalam lautan denganku?”
“Dia tahu tamu yang Siaute
tunggu adalah Coh-heng, maka dia lantas caci-maki diriku, katanya Siaute hanya
menyediakan masakan murahan begini untuk menyambut kedatangan Coh-heng, apakah
tidak menyiksa lidah si maling romantis.”
“Coh Liu-hiang tidak makan
daging ayam, memangnya cuma minum angin barat laut?”
Terdengar seorang berkata
dengan tertawa: “Duniawi memang serba susah, sehingga jiwa prikemanusiaan
tinggal sisanya saja, kalau setiap hari makan daging babi dan ayam, lalu berapa
banyak binatang berjiwa itu bisa tetap bertahan hidup.” Seseorang melayang
ringan dari belakang pendopo sana, tidak tampak kotoran debu melekat di
badannya, sampai pun senyuman yang menghiasi roman mukanya serasa bersih dan
cemerlang, dia bukan lain adalah Biau-ceng Bu-Hoa.
Coh Liu-hiang tertawa besar,
serunya: “Kiranya kau. Hwesio gundul seperti kau ini tidak kenal barang
berjiwa, memangnya kau menghendaki aku jadi Hwesio seperti kau? Apalagi
seumpama aku jadi Hwesio, tetap aku akan gegares anjing dan celeng, begitu
melihat ikan dan daging tentu menetes air liurku.”
“Daging dan barang berjiwa
adalah makanan orang-orang kotor, memangnya kau tidak ingin ganti selera?”
Coh Liu-hiang girang, katanya:
“Masakah kau sudah turun ke dapur?”
“Main harpa harus ada orang
yang tahu musik, demikian juga hidangan lezat harus disuguhkan kepada tukang
makan yang tahu membedakan rasa. Jika bukan demi kau yang sejak kecil sudah
bisa membedakan baik buruk sesuatu rasa hidangan, buat apa Pinceng harus kena
asap dan kotor oleh debu?”
Lamkiong Ling tertawa,
ujarnya: “Ini memang aneh, dari mana pun Bu Hoa Taysu keluar, kelihatannya
sepuluh kali lipat lebih bersih dariku, agaknya kau memang serba suci dan
bersih!” lalu ia menuang tiga cangkir arak penuh, katanya sambil angkat
cangkir: “Untung arak adalah minuman paling murni dan suci, kalau sampai arak
pun Taysu tidak mau minum, buat apa pula arti arak suguhamnu ini?”
Kata Coh Liu-hiang kepada Bu
Hoa sambil tertawa: “Jikalau tiga orang minum arak bersama, cuma kau seorang
yang tidak mabuk, baru aku betul-betul kagum kepadamu!”
Takaran minum ketiga orang ini
memang sama mengejutkan. Kalau ada orang keempat hadir di antara mereka,
tentulah orang itu akan mengira guci besar itu berisi air jernih dan bukan
arak. Dua guci sebesar itu agaknya habis ditenggak bergantian oleh mereka bertiga,
namun sedikit pun tidak berubah rona muka mereka. Satu sama lain saling loloh
dan seperti berlomba saja tanpa pakai juri.
Mendadak berkata Coh Liu
hiang: “Konon di kalangan Kang-ouw ada seseorang yang takaran minum araknya
dikatakan tiada tandingan di seluruh jagat, minum ribuan cangkir tanpa mabuk.
Pada suatu hari dia minum tiga ratus cawan Ji-wo-thay Kwan-gwa, ternyata masih
mampu berdiri dan berjalan pulang."
“O, apa ada orang demikian?
Siapa dia?” tanya Lamkiong Ling.
"Si raja gurun pasir, Ca
Bok-hap."
Lamkiong Ling hanya tertawa
besar, katanya: “Dikatakan tiga ratus cawan, sebetulnya kalau bisa minum sampai
jumlah ini, sudah cukup hebat. Setiap penggemar arak di kolong langit ini,
tiada seorang pun yang tidak suka mengagulkan takaran minumnya sendiri. Menurut
pandangan Siaute, belum tentu dia bisa lebih unggul minum lebih banyak dari
kita bertiga.”
“Pernahkah kau melihatnya?
Pernahkah kau bersamanya dalam perjamuan?” tanya Coh Liu-hiang dengan tatapan
tajam.
Lamkiong Ling tersenyum,
ujarnya: “Sayang Siaute belum pernah melihatnya, kalau tidak ingin benar aku
mengadu kekuatan minum sama dia.”
Coh Liu-hiang mengelus
hidungnya, katanya menggumam: “Kesempatan itu mungkin sudah tiada lagi.”
“Asal dia belum mati, kelak
pasti masih ada kesempatan.”
Coh Liu-hiang meletakkan
cangkir araknya, katanya sepatah demi sepatah: “Siapa bilang dia belum mati?”
“Hah, jadi dia sudah mati?”
seru Lamkiong Ling terbelalak. "Kapan dia mati? Kenapa tiada orang-orang
Kangouw yang tahu?”
“Dari mana pula kau tahu bila
orang-orang Kangouw tiada yang tahu berita kematiannya?”
Bu Hoa tersenyum, selanya:
“Kaypang paling cepat dan gampang menyadap berita, kalau orang Kangouw ada yang
tahu akan kabar ini, Pangcu dari Kaypang masakah tidak bisa tahu juga?”
“Benar, memang tiada orang
lain yang tahu akan berita ini, karena aku sudah menyembunyikan jenasahnya,
sengaja kurahasiakan supaya orang lain tidak tahu akan berita kematiannya.”
“Kenapa?” tanya Lamkiong Ling
dengan mata melotot.
Berkilat mata Coh Liu-hiang,
katanya kalem: “Pembunuhnya sengaja mengatur rencana dan berusaha mengelabui
orang, tujuannya hendak membuat orang-orang Kangouw sama menyangka mereka
saling bunuh sendiri dan gugur bersama. Jikalau tidak kusembunyikan jenasah
mereka dan berita ini sampai bocor, mungkin si pembunuh lebih enak
ongkang-ongkang kaki menggendong tangan, kenapa aku harus membiarkan dia hidup
tenang dan tenteram?"
Lamkiong Ling manggut-manggut:
“Benar, tindakan Coh-heng membuat sanak kadang atau orang-orang seperguruan
mereka tiada yang tahu bahwa mereka sudah mati, maka tentunya mereka berusaha
mati-matian untuk menyelidiki jejak orang-orang itu, dengan sendirinya si
pembunuh itu pun jangan harap bisa melewatkan kehidupannya dengan tenang dan
aman.”
Bu-Hoa tersenyum, selanya
pula: “Sudah sering Pinceng bilang, bila penjahat kebentur maling romantis,
tentulah semasa hidupnya dulu sudah keliwat takaran dosa-dosanya."
Kata Coh-Lie hiang menatap
Lamkiong Ling, katanya, “Sudikah kau bantu aku mengejar si pembunuh itu?”
“Coh-heng jangan lupa,” ujar
Lamkiong Ling. “Murid-murid Kaypang kami sudah biasa turut campur urusan orang,
memang tidak setenar maling romantis dalam hal ini, tapi kukira terpaut tidak
banyak.”
“Kalau demikian sukalah kau
beri tahu kepadaku, di mana sekarang beradanya isteri Jin-lopangcu?"
Lamkiong Ling melengak heran,
tanyanya, “Adapah Jin-hujin ada sangkut-pautnya dengan persoalan ini?”
“Seluk beluk persoalan ini,
kelak kau pasti akan tahu, sekarang cukup asal kau beritahu di mana Jin-hujin
berada, berarti kau sudah bantu mengatasi kesulitanku.” Matanya menatap tajam
kepada Lamkiong Ling, lalu ia meneruskan sambil tertawa besar, “Kalau kau tidak
sudi memberitahu, mungkin aku akan menganggap kau menyembunyikan si pembunuh.
Jikalau sampai aku cerewet di luaran, kau Kaypang pangcu ini pun mungkin akan
ketiban kesulitan.”
Kata Lamkiong Ling menghela
nafas, “Sejak Jin-lopangcu wafat, Jin-hujin ingin mensucikan diri sebagai murid
Kaypang, sebetulnya Siaute tidak bisa membawa orang luar membikin kaget dan
mengganggu ketenangannya.” Rada merandek, ia pandang Coh Liu-hiang dengan
tertawa, katanya pula, “Tapi terhadap orang lain Siaute tidak takut, berhadapan
dengan Coh-heng aku jadi kewalahan!”
“Jadi kau sudi menerangkan dan
menunjukkan tempatnya?” Coh Liu-hiang menegas.
“Tuduhan menyembunyikan si
pembunuh, mana Siaute berani memikulnya?”
“Di mana Jin-hujin sekarang?”
“Tempat tinggal Jin-hujin amat
rahasia, orang lain takkan mudah menemukannya. Kalau Coh-heng mau menghabiskan
sisa arak ini, biar Siaute membawamu ke sana. Bagaimana?”
"Kalau kau hendak
mempersulit dia, seharusnya mencari akal lain. Suruh dia minum arak, bukankah
kebetulan malah bagi dirinya,” sela Bu Hoa tertawa.
“Memang Bu Hoa lebih tahu akan
kesenangan diriku,” seru Coh Liu-hiang tertawa besar, lalu ia angkat guci serta
ditenggaknya arak masuk ke dalam mulutnya sampai habis, sedikit pun air mukanya
tidak berubah, katanya tertawa pula, “Sekarang boleh berangkat?”
Sedikit ragu-ragu, berkata
Lamkiong Ling, “Entah sukakah Coh-heng tunggu lagi kira-kira satu jam? Siaute
masih ada urusan dalam Pang kita.”
Coh Liu-hiang berpikir
sebentar, tanyanya, “Tempat tujuan kita itu, bisakah ditempuh dua hari pulang
pergi?”
“Dua hari jauh berkecukupan!”
Coh Liu-hiang memandang keluar
jendela, melihat cuaca, lalu katanya, “Baiklah, satu jam kemudian aku datang
lagi,” ia bersihkan mulutnya dengan lengan baju terus melangkah tinggal pergi,
berbareng tangannya menyambar cangkir arak di hadapan Bu Hoa, terdengar gelak
tawanya berkumandang di luar jendela, serunya, “Bu Hoa suka masakan, Lamkiong
senang arak, datang gegares, pergi setelah kenyang. Begitulah kehidupan
manusia, apa pula yang dikejarnya, tidak cukup nasi berkelebihan, hidup senang
berfoya-foya.”
Sampai kata-katanya terakhir,
Coh Liu-hiang sudah pergi jauh, cangkir arak tadi tiba-tiba melayang lambat
dari luar dan tepat jatuh di depan Bu Hoa. Araknya sudah habis, namun di
dalamnya terisi sebuah benda, itulah mainan patung Buddha yang tergantung di
tali sutra di pinggang Bu Hoa.
“Coh Liu-hiang hebat sekali
gerakan tangannya,” seru Lamkiong Ling ternganga.
Bu Hoa sebaliknya menghela
nafas, katanya pelan-pelan, “Jikalau bukan hanya benda yang tidak berarti ini,
masakah pinceng biarkan dia sembarangan ambil. Jikalau dia suka menghindari
kekerasan, jangan suka mengagulkan diri, mungkin hidupnya akan sampai hari
tua!”
Kabut tebal membuat
pemandangan remang-remang di permukaan Tay-bing ouw.
Lama juga Coh Liu-hiang
mondar-mandir di sekeliling Tay-bing ouw. Tiba-tiba didengarnya suara ringkik
kuda, lalu didengarnya pula derap lari kuda mendatangi, kini jelas keadaan
seekor kuda sedang lari mendatangi menyusuri pinggir danau. Meski kabut tebal
dan remang-remang, namun bulu kuda yang hitam mengkilap kelihatan nyata.
“Kuda, oh kuda.” Coh Liu-hiang
memapak ke sana. “Sayang kau sudah milik orang lain, kalau tidak sungguh aku
merasa berat membiarkan orang lain naik di punggungmu.”
Seperti mengerti maksud
kata-katanya, kuda hitam itu manggut-manggut.
Lalu ia berbisik di pinggir
telinganya dan berkata, “Bawa aku menemui Mutiara Hitam,” tiga kali, lalu
menarik kuping kirinya tiga kali pula. Orang lain mungkin tak sabar lagi akan
menariknya empat kali dengan keras, namun Coh Liu-hiang berpendapat bahwasanya
seorang manusia tidak pantas berbuat kasar terhadap binatang, kecuali orang itu
sendiri hampir sama dengan si binatang itu.
Betul juga, segera kuda hitam
itu berlari cepat ke depan membawa jalan. Coh Liu-hiang tidak naik ke
punggungnya. Dari belakang ia mengawasi gerak-gerik si kuda, terasa jauh lebih
menyenangkan daripada ia sendiri naik di punggungnya.
Di pinggir danau yang lebat
ditumbuhi pohon dengan dahan-dahannya yang menjuntai turun itu, tersembunyi
sebuah sampan. Pemuda baju hitam yang menamakan diri Mutiara Hitam itu berada
di atas sampan, agaknya ia sedang melamun menghadapi permukaan danau yang sejuk
dan permai.
Lahirnya kelihatan dia begitu
kaku dingin, apa pun yang terjadi dalam dunia ini seolah-olah tiada masuk
perhatiannya, bahwasanya hatinya jauh lebih berat dibebani berbagai pikiran dan
kesulitan.
Coh Liu-hiang batuk-batuk,
lalu menegur sambil tertawa, “Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Aku sedang pikirkan kau,”
sahutnya tanpa berpaling. Mendadak ia berjingkrak bangkit berhadapan dengan Coh
Liu-hiang, serunya keras, “Ingin aku tahu, apa yang berhasil kau tanyakan?”
“Belum berhasil kutanyakan.”
“Memang aku tahu, dia pasti
takkan menerangkan kepadamu.”
“Walau tidak menerangkan, tapi
dia hendak ajak aku menemuinya.”
“Bagus, kalau kau berangkat,
aku akan mengintil di kejauhan.”
“Kalau kau ingin mengintil
Lamkiong Ling tanpa jejakmu diketahui olehnya, ginkangmu masih jauh
ketinggalan.”
“Seumpama konangan, memangnya
dia bisa berbuat apa terhadapmu?”
“Memang tidak apa-apa, cuma
jangan harap kau bisa menemukan Jin-hujin pula.”
Hek-tin-ciu (Mutiara Hitam)
berpikir sebentar, tanyanya, “Berapa lama kau pergi?”
“Dua hari.”
"Baik, dua hari kemudian
aku tetap menantimu di tempat ini.”
“Dua hari kemudian, menjelang
magrib, akan datang seorang gadis berpakaian warna luntur ke Tay-bing-ouw ini.
Bila saat itu aku belum tiba, harap kau beritahu kepadanya, suruh dia
menungguku!”
“Ada janji dengan kekasih
menjelang magrib, ternyata maling romantis memang serba romantis, sayang aku
tidak kenal siapa perempuan itu, cara bagaimana aku harus wakilkan kau
memberitahu kepadanya?”
“Dia she Soh, sekali kau
bertemu dengan dia pasti akan tahu. Memang tidak sedikit orang yang tamasya di
Tay-bing-ouw, namun jarang ada anak perempuan seperti dia itu.”
“Dia cantik sekali?”
“Hanya cantik saja masih
kurang untuk melukiskan dirinya!”
“Siapa sih sebenarnya, pernah
apamu?”
“Apa pertanyaanmu tidak
keterlaluan?”
Memicing mata Mutiara Hitam,
katanya dingin, “Baik, pergilah kau... tapi kalau dia tidak mau tunggu kau
bagaimana?”
“Kalau dia tidak mau tunggu
aku, biar aku mampus tenggelam di Tay-bing-ouw!”
“Agaknya kau amat yakin.”
“Kalau tidak yakin, yang masih
dimiliki Coh Liu-hiang mungkin hanya mayat busuknya saja,” dia melangkah
beberapa tindak, lalu tiba-tiba berpaling dan bertanya, “Apa kau tidak merasa
nama Hek-tin-cu mu ini tidak seperti nama perempuan?”
“Kalau benar aku ini seorang
perempuan, mungkin sudah kubunuh kau!”
“Kalau kau benar seorang
perempuan, tentulah sikapmu tidak segalak ini terhadapku.”
* * *
Beberapa li di sebelah
tenggara Ki-poh terdapat sebuah gunung bernama Ni-san. Gunung ini tidak begitu
tinggi, namun pemandangan alamnya teramat permai dan indah, segar dipandang
mata. Belum lama Coh Liu-hiang beranjak di atas gunung, ia merasa dirinya
seolah-olah berada di awang-awang.
Mendadak Coh Liu-hiang
berkata, “Berapa lama sudah kita meninggalkan Ki-lam?”
“Kan baru sehari, masakah kau
sudah lupa?” sahut Lamkiong Ling.
“Walau baru saja aku tiba di
sini, kurasa segala tetek-bengek di kota Kilam itu amat membosankan, jikalau
bisa menetap di sini selamanya, orang kasar seperti aku ini mungkin bakal jadi
seorang budiman!”
Sesaat lamanya Lamkiong Ling
berdiam diri, katanya menghela nafas, “Semasa hidup Jin-lopangcu, selalu dia
ingin mengasingkan diri di tempat ini, sayang sekali beliau selalu terlibat
dalam kesibukan Pang kita, sehingga cita-citanya baru terlaksana setelah beliau
wafat!”
“Kau amat kangen kepada
beliau?”
“Beliau adalah orang yang
paling bajik, bijaksana dan penuh cinta kasih sesama manusia. Aku... aku adalah
anak yatim piatu. Tanpa beliau, takkan ada hari ini bagiku!”
“Cukup lama aku kenal kau,
baru pertama kali kudengar kata-katamu ini.”
“Kehidupan di kalangan
Kangouw, yang kuat hidup, yang lemah mampus. tak pernah berhenti perebutan
antara menang dan kalah ini, ada kalanya tiada waktu aku memikirkan sesuatu,
tak berani pula memikirkannya.”
“Ya, kalau terlalu banyak
memikirkan sesuatu, hati akan jadi lemah, dan orang yang berwatak lemah memang
takkan hidup lama di Kangouw.”
Lamkiong Ling hanya
tertawa-tawa tanpa bicara lagi. Tampak sebuah jalanan sempit berliku-liku
merambat di samping gunung dan naik ke puncak, sebelah dinding gunung yang
terjal tinggi, sebelahnya lagi adalah jurang ratusan tombak dalamnya.
Pemandangan di sini tidak kalah indah elok, namun keadaannya justru teramat
berbahaya.
"Apakah Jin-hujin tinggal
di puncak gunung?"
“Jin-hujin cantik rupawan
tiada bandingan dalam jagat ini, masakah dia sudi menetap di tempat yang lebih
rendah dari orang-orang lain?”
“Selamanya aku jarang dibuat
tegang. Setiap kali mendengar cerita romantis tentang Jin-hujin, terpikir pula
segera aku sendiri bakal berhadapan dengan beliau, jantungku ini serasa hampir
melompat keluar!”
Tiba-tiba terdengar suara
aliran air dari kejauhan, di sebelah depan menghadang sebuah jurang sempit, di
bawah jurang adalah sebuah aliran sungai yang mengalir deras, bibir kedua
jurang terpaut sepuluhan tombak, satu sama lain hanya dihubungkan oleh sebuah
balok kayu yang tergandeng oleh alam.
Di atas balok kayu yang cuma
dua kaki lebarnya itu, duduk bersila seseorang, pakaiannya melambai-lambai
tertiup angin, kalau terjatuh ke bawah pasti badan hancur lebur, namun orang
ini memejamkan mata seolah-olah sedang tidur nyenyak.
Dengan duduk bersila, dari
bawah pakaiannya menonjol keluar ujung kakinya, namun sepasang bakiak justru
dia jajar di hadapannya, di atas bakiak ini terletak pula sebatang pedang aneh
yang bersarung warna hitam.
Setelah dekat, baru Coh
Liu-hiang jelas melihat raut mukanya yang kekuning-kuningan, beralis tebal
berhidung elang, walau kedua matanya terpejam, namun terasa hawa membunuh yang
tebal merasuk sanubari orang yang melihatnya. Deru angin yang keras menyingkap
dan menarikan jubah besar kedodoran yang dipakainya, di depan dadanya tampak
disulam dengan benang sutra emas delapan huruf yang berbunyi, ‘Pedang peranti
pembunuh, siapa melawan pasti dia mampus!’
Coh Liu-hiang mengkirik
dibuatnya, katanya perlahan sambil mengawasi Lamkiong Ling, “Siapa sih dia?”
Lamkiong Ling
menggeleng-gelengkan kepala.
“Apa di seberang sana tempat
tinggal Jin hujin?”
Lamkiong Ling manggut-manggut.
Coh Liu-hiang beranjak maju
sambil menjura, katanya, “Sahabat ini sukalah memberi jalan sebentar?”
Orang itu tetap duduk tanpa
bergeming, seolah-olah tidak mendengar suaranya.
Coh Liu-hiang tarik suara,
katanya lebih keras, “Sahabat ini, bolehkah minta jalan, kami hendak ke
seberang sana?” Suaranya lantang bergema di alam pegunungan. Tapi orang itu
tetap diam saja tanpa bergerak.
Coh Liu-hiang meringis kepada
Lamkiong Ling, katanya, “Sayang saudara ini tidak mau buka mulut, seolah-olah dia
mau bilang, ‘Gunung ini aku yang membuka, pohon ini aku yang tanam. Kalau ingin
lewat jalan ini, tinggalkan uang sewamu’," sengaja ia ucapkan kata-katanya
lebih keras untuk memancing reaksi orang itu.
Tiba-tiba kelopak mata orang
itu bergerak, matanya sedikit terbuka seperti sebuah garis lembut saja. Coh
Liu-hiang yang ditatapnya merasa seperti diiris oleh ujung pisau, sungguh
hatinya amat terkejut.
Terdengar orang itu berkata
pelan-pelan, “Betapa besar dunia ini, ke mana saja boleh pergi, kenapa kalian
harus lewat jalan sini?” kata-katanya amat kalem dan pelan, setiap patah
katanya amat jelas, namun kedengarannya kaku dan menusuk kuping, seperti pisau
tajam yang sedang menyisik bambu.
Tergerak hati Coh Liu-hiang,
serunya bertanya, “Nama besar tuan ini?”
“Thian-hong-cap-si-long!”
“Apakah tuan bukan orang
kelahiran Tionggoan?”
“Rumahku berada di Ih-ho-koh
di Tang-ni!”
Berubah air muka Coh Liu-hiang
saking kagetnya, tanyanya, “Jadi kaukah Jin-hiap dari Ih-ho itu?”
Thian-hong-cap-si-long
pejamkan mata, tak bersuara lagi. Dingin perasaan Coh Liu-hiang membayangkan
musuh misterius yang menghilang di tengah kabut di pinggir danau tempo hari,
batinnya, “Mungkinkah orang itu adalah dia ini?”
Dalam pada itu Lamkiong Ling
pun tampil ke muka, seraya menjura, “Ih-ho Jin-hiap, bagai naga sakti tiada
tandingan. Dua puluhan tahun yang lalu, yang pernah muncul dan berkelana di
daerah Bing-ciat itu, apakah bukan Cianpwe?”
“Tidak salah,” sahut
Thian-hong-cap-si-long.
“Untuk kedua kalinya Cianpwee
putar balik pula, sehingga kami angkatan muda bisa menyaksikan kepandaian silat
tunggal dari Ih-ho, sungguh Wanpwe amat beruntung, entah sudah berapa lama
Cianpwe menyeberang lautan datang ke mari pula?”
Berkata Thian-hong-cap-si-long
kalem, “Sepuluh hari yang lalu kutinggalkan perahu mendarat, lima hari yang
lalu aku sudah tiba di sini.”
“Aneh,” sela Coh Liu-hiang,
“Agaknya Cayhe pernah melihat Cianpwe di Tay-bing-ouw?”
Thian-hong-cap-si-long
menyeringai dingin, jengeknya : “Tentulah matamu itu picak.”
Coh Liu-hiang ingin bicara
lagi, lekas Lamkiong Ling mengedipkan mata padanya, katanya tertawa,
“Sebetulnya Wanpwee ingin mohon petunjuk dan pengajaran Cianpwee, apa boleh
buat kami sedang mengurus persoalan penting, semoga Cianpwe sudi memberi jalan
sebentar, sekembalinya nanti pasti Wanpwee mohon pengajaran.”