-------------------------------
----------------------------
Bab 2: Mayat-mayat Terapung Di Lautan
Tatkala itu Coh Liu-hiang
sudah menurunkan jangkar, sehingga perahu mereka berlabuh di tengah lautan.
Tanpa sungkan Coh Liu-hiang gegares semua hidangan yang telah disiapkan untuk
dirinya. Belum habis sepotong burung dara panggang, betul juga terapung datang
sesosok mayat.
Mayat ini mengenakan jubah
pendek berwarna merah legam, panjangnya sampai ke lutut, usianya baru empat
puluhan, jenggot pendek terpelihara di bawah dagunya, namun ujung matanya belum
memperlihatkan kerut-kerut kulit muka. Telapak tangan kirinya halus, telapak
tangan kanan sebaliknya begitu kasar dan jelek sekali, otot-otot tulangnya
menonjol keluar, hampir satu kali lipat lebih besar daripada telapak tangan
kirinya. Waktu telapak tangannya dipentang, warnanya mirip dengan jubah yang
dipakai.
Mata Li Ang-siu yang bening
terbelalak membundar, katanya kaget, “Orang ini adalah Sat-jiu-suseng (Pelajar
Bertangan Pembunuh) Sebun Jian.”
Coh Liu-hiang menghela nafas,
“Sebun Jian membunuh Cou Yu-cin, namun dia terbunuh pula oleh orang lain.”
“Tapi siapa pula yang
membunuhnya?” tanya Li Ang-siu seperti menggumam. Habis bicara matanya
menjelajahi keadaan tubuh orang, terlihat luka berlubang di tenggorokan Sebun
Jian, darah sudah tersapu bersih oleh air laut, kulit dagingnya berwarna
abu-abu merekah membesar. Li Ang-siu menarik nafas, katanya, “Luka tusukan
pedang.”
Coh Liu-hiang mengiyakan
sambil manggut-manggut.
“Lebar luka pedang ini cuma
satu dim lebih, di dalam Bulim cuma Hay-lam dan Lao-san dua aliran besar ilmu
pedang yang biasa menggunakan pedang setipis dan sesempit seperti ini.”
“Tidak salah,” kata Coh
Liu-hiang mengiyakan.
“Hay-lam dan Lao-san, dua
partai ini berjarak tidak jauh dari sini, tetapi ilmu pedang Lao-san hanya
diajarkan pada murid-murid tosu yang beragama, mengutamakan welas asih dan
berjiwa luhur, jadi Sebun Jian mati tertembus pedang murid Hay-lam-kiam-khek
yang ganas dan telengas, benar-benar peristiwa yang aneh dan membingungkan.”
“Aneh?” Coh Liu-hiang
mengerutkan kening.
“Rasanya Hay-lam-pay tiada
dendam dan tidak ada permusuhan dengan Cu-soa-bun, malah boleh dibilang punya
hubungan yang cukup erat. Delapan tahun yang lalu, Cu-soa-bun diserbu dan
dikepung oleh Bin-lam-chit-kiam, dari tempat ribuan li Hay-lam mengirim anak
buah memberi bantuan, sekarang tokoh kosen Hay-lam-pay membunuh Tianglo
Cu-soa-bun, sungguh membingungkan dan tak bisa dimengerti.”
Coh Liu-hiang menghela nafas,
“Tanpa sebab Cou Yu-cin mampus di tangan Sebun Jian, sebaliknya Sebun Jian
terbunuh pula oleh murid Hay-lam-pay, sebetulnya rahasia apa yang terselip
dalam peristiwa ini?”
Li Ang-siu tertawa manis,
katanya, “Memangnya kau hendak turut campur urusan orang lain?”
“Bukankah tadi kau bilang aku
terlalu malas? Akan kuselesaikan persoalan ini supaya kau bisa membuktikan
apakah aku malas atau seorang cerdik pandai.”
“Kukira peristiwa ini
berlatar-belakang dan berbuntut luas dan panjang, lagi pula amat berbahaya.
Yong-cici sedang sakit, menurut hematku, lebih baik kita tidak melibatkan diri
dalam peristiwa ini.”
“Segala persoalan yang
berbahaya selalu mendorong hasratku untuk menyelesaikannya. Semakin menyangkut
rahasia yang lebih rahasia, pasti nilai benda yang tersangkut-paut pun amat
mahal, memangnya aku hanya berpeluk tangan saja melihat peristiwa ini?”
“Aku tahu kalau kau tidak
berhasil membongkar rahasia ini, pasti kau tidak bisa tidur nyenyak, sejak
dilahirkan kau memang sudah ditakdirkan untuk menjadi tukang mengurus persoalan
orang lain,” Tiba-tiba tawanya semakin lebar, katanya pula, “Tapi persoalan ini
tiada berujung pangkal, seumpama menggagap jarum di laut. Sampai detik ini,
tidak ada satu pun sumber penyelidikan, kau hendak mencampuri urusan ini,
kurasa kau tak akan bisa turun tangan.”
“Coba kau tunggu saja, sumber
penyelidikanku lambat-laun akan semakin banyak,” Setelah meneguk arak, Coh
Liu-hiang mulai menggerogoti paha ayam dan makan-minum dengan lahapnya di atas
geladak.
“Aku kagum melihat seleramu.
Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa makan dengan lahapnya.”
Tanpa terasa kakinya bergeser
ke pinggir, tangannya bersandar pada pagar besi, pandangan matanya mengawasi
permukaan laut di kejauhan sana.
Dilihatnya sesosok mayat lain
terapung di permukaan, seperti terbawa oleh arus ke arah sini. Ternyata mayat
ini adalah seorang Tosu berjubah hijau dengan wajah yang dipenuhi jambang.
Tangan-kakinya telah dingin kaku, tetapi jari-jarinya masih menggenggam
sepotong pedang buntung, badan pedang yang sempit panjang masih memancarkan
cahaya dingin, rambut kepalanya awut-awutan menutupi separoh wajah, batok
kepalanya terbelah dua. Sungguh mengenaskan kematian orang ini, sampai Li
Ang-siu memalingkan muka tak tega melihat keadaannya yang mengerikan.
“Ternyata betul murid
Hay-lam-pay.”
“Kau.... kau kenal dia?”
“Ya, orang ini adalah
Ling-ciu-cu, salah seorang dari Hay-lam-sam-kiam (Tiga Pedang dari
Hay-lam-pay), keganasan ilmu pedangnya di dalam Bulim hanya ada beberapa orang
saja yang bisa menandingi.”
“Sekali tusuk melubangi
tenggorokan orang, tidak nyana batok kepala sendiri pun terbelah menjadi dua oleh
bacokan orang,” Sepintas ia berpaling melihat sebentar, lalu katanya pula,
“Dilihat dari keadaannya, waktu bacokan orang itu meluncur tiba, dia tidak
mampu berkelit lagi, terpaksa ia mengangkat pedang menangkis, tidak dinyana,
bukan saja orang itu mampu membacok putus pedangnya, kekuatannya yang hebat
masih kuasa membelah batok kepalanya pula. Hay-lam-cui-kiam kabarnya terbuat
dari gemblengan besi dingin dari dasar lautan, orang itu mampu membacok
pedangnya hingga putus, ai..... pedang yang tajam! Pedang yang berat!”
“Dari mana kau tahu kalau
lawannya itu menggunakan pedang?”
“Tokoh silat kenamaan yang
menggunakan golok di Bulim zaman ini, siapa yang mampu mendesak Ling-ciu-cu
hingga tidak mampu mengegos lagi... tiada jurus ilmu pedang Hay-lam-kiam-pay
yang tidak menggunakan kekerasan, kalau dia tidak terdesak dan terpaksa, mana
mungkin ia mengangkat pedang untuk menangkis bacokan golok musuh yang mengarah
batok kepalanya?”
“Benar,” Coh Liu-hiang
manggut-manggut. “Perubahan ilmu golok memang tak selincah dan serumit ilmu
pedang umumnya. Bagi orang yang bergaman golok, jika hendak mendesak lawan yang
bersenjatakan pedang hingga tidak mampu berkelit lagi, memang sesukar memanjat
ke langit,” ia tertawa lebar, katanya lebih lanjut, “Tapi kau melupakan
seseorang.”
Biji mata Li Ang-siu bersinar,
katanya tertawa, “Kalau yang kau maksud Bu-ing-sin-to (Golok Sakti Tanpa
Bayangan) Ca Bok-hap, dugaanmu salah besar.”
“Mengapa salah?”
“Ca Bok-hap sebagai tokoh
nomor satu dalam ilmu golok, kecepatan ilmu goloknya tiada wujud, tidak
kelihatan bayangannya. Waktu ia membacok, mungkin Ling-ciu-cu belum sempat tahu
dari arah mana sambaran golok itu datang, terpaksa ia mengangkat pedangnya
untuk menangkis, namun Toa-hong-to merupakan salah satu senjata pusaka dari tiga
belas senjata sejati di kolong langit, rasanya cukup berlebihan untuk membacok
Hay-lam-cui-kiam.”
“Nah, uraianku kan sudah cocok
dengan keadaan?”
“Tapi kau jangan lupa, Ca
Bok-hap malang-melintang tiga puluhan tahun di padang pasir, julukannya 'Soa-mu-ci-ong'
(Raja Padang Pasir), untuk apa dia jauh-jauh meluruk ke sini?”
“Kau bilang tidak mungkin,
sebaliknya aku berpendapat kemungkinan besar ya.”
“Kau ingin bertaruh denganku?”
“Aku tidak mau bertaruh
denganmu, karena jelas kau akan kalah.”
“Boleh kalian bertaruh, siapa
kalah harus mencuci mangkuk-piring selama setengah bulan,” tiba-tiba terdengar
suara menyeletuk dari ruang bawah.
“Setan cilik, memang kau biasa
mengambil keuntungan dari kekalahan orang lain,” semprot Li Ang-siu.
Coh Liu-hiang terlongong
sambil bertopang dagu di pinggir geladak, seolah-olah ia tidak mendengar
percakapan mereka.
“Apa yang sedang kau tunggu?”
tanya Li Ang-siu mendekati. “Apa kau sedang menunggu Ca Bok-hap?”
“Mungkin....”
“Sia-sia saja, Raja Padang
Pasir takkan datang, seumpama kemari, tiada seorang pun yang mampu membunuh
dia.”
“Cou Yu-cin jarang bergaul
dengan Sebun Jian, kenapa Cou Yu-cin dibunuhnya? Ling-ciu-cu tiada dendam
permusuhan dengan Sebun Jian, mengapa Sebun Jian dibunuh? Ca Bok-hap dan
Ling-ciu-cu, yang seorang tinggal di ujung laut, yang lain tinggal di ujung
langit, jelas tiada hubungan antara satu dengan lainnya, kenapa pula
Ling-ciu-cu sampai dibunuh olehnya?” Coh Liu-hiang menghela nafas, katanya
lebih lanjut, “Itu menandakan banyak persoalan dalam peristiwa ini, semuanya
belum bisa ditentukan.”
Kini sudah lewat lohor, sejak
pertama kali menemukan mayat, kira-kira sudah dua jam berselang, di atas
geladak terbaring tiga sosok mayat manusia, ternyata mayat keempat sudah
terapung mendatangi terbawa arus.
Kalau ketiga mayat terdahulu
terapung dan naik-turun mengikuti alunan gelombang, mayat yang ini justru
seperti kantong kulit yang berisi hawa padat, seluruh badannya terapung di
permukaan air. Menghadapi tiga mayat seram terdahulu, Li Ang-siu masih berani
melirik dua tiga kali, tapi begitu melihat mayat yang ini, meski hanya sekilas
saja, seluruh badannya terasa menggigil dan mengkirik bulu kuduknya, serta tak
berani melihatnya lagi.
Awalnya badan mayat ini entah
gemuk atau kurus, Coh Liu-hiang sendiri tidak bisa membedakan, yang terang
mayat ini sekarang sudah melembung besar seperti diisi air, malah sebagian
anggota badannya sudah mulai membusuk. Berapa usia mayat ini, tua atau muda,
Coh Liu-hiang juga sukar menebak, karena rambut dan alis serta bulu badannya
sudah sama rontok dan mengelupas kulitnya. Demikian pula biji matanya mencotot
keluar hampir pecah, seluruh kulitnya sudah berubah warna abu-abu gelap,
sehingga membuat orang mual dan ngeri, menyentuh dengan jari pun Coh Liu-hiang
merasa enggan.
“Racun yang hebat sekali,”
ujar Li Ang-siu. “Biar kuminta Yong-ci naik memeriksanya, sebetulnya racun
macam apakah ini?”
“Racun ini, Yong-yong pun tak
akan mengenalnya,” kata Coh Liu-hiang.
“Kau membual lagi, meski ilmu
silatmu cukup hebat, namun dalam hal Am-gi, belum tentu kau lebih unggul dari
Thiam-ji, bicara soal menyamar dan merias serta kepandaian menggunakan racun,
kau bukan apa-apa dibanding Yong-ci.”
“Tapi orang ini mati bukan
lantaran terkena racun saja.”
“Bukan racun, memangnya gula?”
“Boleh juga dianggap gula....
air gula.”
Li Ang-siu melengak, serunya
heran, “Air gula?”
“Itulah hasil ramuan
Sin-cui-kiong yang dibanggakan, di kalangan kangouw dinamakan Thian-it-sin-cui,
sementara murid-murid Sin-cui-kiong menamakannya Jiong-cui.”
“Memangnya Thian-it-sin-cui
jauh lebih hebat dan lebih beracun daripada segala macam racun yang ada di
kolong langit ini?”
“Sudah tentu, kabarnya bobot
setitik Thian-it-sin-cui sama dengan tiga ratus gantang air biasa, orang biasa
cukup minum setetes saja, kontan jiwanya akan melayang karena seluruh badannya
akan meledak,” kata Coh Liu-hiang menghela nafas, lalu menambahkan,
“Thian-it-sin-cui tidak berbau tidak berwarna, sukar dicoba dan sukar diketahui
kelainannya, maka si raja padang pasir pun tak terhindar dari bokongannya.”
“Jadi... orang ini adalah Ca
Bok-hap?”
“Ehm!” Coh Liu-hiang
manggut-manggut.
“Badannya sudah berubah
sedemikian rupa, dari mana kau bisa mengenalinya?”
“Pakaian yang dikenakannya
meski baju biasa, namun kakinya mengenakan sepatu kulit domba yang tinggi,
terang dia adalah seorang penggembala. Kulit badannya putih halus, sebaliknya
kulit muka kasar, itu karena dia biasa mondar-mandir di padang pasir, di
pinggangnya tergantung gelang baja peranti untuk menggantung golok, namun golok
dan sarungnya sudah hilang, menandakan bahwa senjata yang dia bawa adalah golok
pusaka, maka sudah diambil oleh orang yang mengincarnya.”
“Dari beberapa petunjuk yang
ada ini, aku yakin orang ini pasti si raja padang pasir Bu-ing-sin-to Ca
Bok-hap adanya,” kata Coh Liu-hiang lebih lanjut.
“Kulihat kau memang cocok
menjadi opas, setiap persoalan pembunuhan yang kau usut tentu lebih sempurna
dan lihai daripada si Elang Gundul yang tersohor sebagai opas nomor wahid di
seluruh jagad ini.”
“Masih ada lagi,” kata Coh
Liu-hiang tertawa. “Di atas badannya tergantung sebuah lencana perak, di atas
lencana ini terukir seekor onta bersayap. Kalau aku tidak bisa menebak bahwa
orang ini adalah si raja padang pasir, tentulah aku ini seorang yang sudah
pikun.”
Kembali Li Ang-siu cekikikan
geli, katanya, “Kau memang seorang cerdik yang hebat.” Tetapi segera sirna seri
tawanya, katanya pula dengan mengerut kening, “Soal apa yang menggerakkan hati
si raja padang pasir dan murid-murid Sin-cui-kiong? Terang persoalan ini pasti tidak
kecil artinya, kini si raja padang pasir sudah ajal, jelas.....”
Coh Liu-hiang segera menukas,
“Kau hendak membujuk aku agar berpeluk tangan saja, bukan?”
“Aku tidak ingin membujukmu,
cuma kuharap kau jauh lebih berhati-hati.”
Coh Liu-hiang menengadah
mengawasi segumpal awan yang melintas, katanya tertawa, “Kabarnya murid-murid
Sin-cui-kiong adalah dara ayu jelita yang jarang dicari bandingannya, entah
bagaimana kalau dibandingkan dengan ketiga nona kami?”
Li Ang-siu tertawa getir
sambil menggeleng kepala, “Apa kau tidak bisa bicara yang benar?”
Satu jam sudah berlalu,
suasana lautan tetap hening lelap, tiada pertanda sesuatu gerakan apa pun.
“Kurasa kau tidak perlu
menanti pula,” ujar Li Ang-siu.
“Kalau tidak ada mayat yang
lain, maka persoalan ini berhenti pada utusan dari Sin-cui-kiong. Kalau
orang-orang ini memperebutkan benda mestika, maka benda pusaka itu sudah pasti
jatuh ke tangan utusan Sin-cui-kiong.”
“Kalau ada mayat lainnya
pula?”
“Perduli apa, berapa pun
banyaknya mayat manusia, cukup kita perhatikan dan sadari mayat terakhir
terbunuh oleh siapa, maka sumber penyelidikan sudah berada di tangan kita.”
“Kau yakin tokoh-tokoh kosen
ini mati karena memperebutkan benda pusaka?”
“Manusia mampus lantaran harta
benda, setidaknya orang-orang ini tetap manusia.”
Li Ang-siu melepaskan
pandangan ke arah nan jauh, katanya perlahan, “Benda pusaka yang menarik,
sampai tokoh-tokoh kosen seperti mereka pun ikut berebut, maka barang ini tentu
amat berharga dan mengejutkan,” Lama-kelamaan ia menjadi tertarik oleh
persoalan ini, terbukti dari sorot matanya yang bercahaya.
Song Thiam-ji yang berada di
ruang bawah mendadak bersuara pula, “Kalian tidak tahu kalau Yong-yong punya
seorang bibi misan yang berada di Sin-cui-kiong?”
“Oh, Yong-yong punya seorang
bibi misan yang menjadi murid Sin-cui-kiong? Dua hari ini apakah kesehatannya
sudah lebih baik? Apa masih mengalirkan air liur?”
“Kau ingin dia naik ke atas?”
tanya Li Ang-siu.
“Sudahlah, orang demam pilek
lebih baik tiduran saja.”
Terdengar seorang menyahut
dengan suara lembut, “Tidak menjadi soal, sakitku memang sudah sembuh,
mendengar kata-katamu, aku....”
Terdengar Song Thiam-ji
berseru pula, “Yong-ci jangan kena tipu, dia sudah tahu kau datang, maka
sengaja dia mengeluarkan kata-kata prihatin padamu.”
Suara lembut itu menjawab,
“Seumpama dia memang berkata begitu, asal dia suka mengatakan, aku sudah
senang.” Sesosok bayangan semampai dengan langkah kaki gemulai seenteng asap
melenggok muncul dari tangga kayu dari ruang bawah.
Gadis ini mengenakan jubah
panjang yang longgar dan lemas, kepanjangan sampai terseret di atas geladak dan
menutupi seluruh kakinya, cahaya matahari yang benderang menyinari rambut
panjangnya yang terurai mayang, biji matanya bening, membayangkan senyum
manisnya nan lembut, selintas pandang seolah bidadari dari kahyangan.
“Yong-ci, “ seru Li Ang-siu
membanting kaki, “Angin begini besar, buat apa kau naik ke sini? Awas nanti kau
jatuh sakit lagi dan tidak bisa bangun, kongcu kita yang romantis bisa marah
pada kami.”
“Di atas sini panas dan gerah,
siapa yang tahan menyekap diri di ruang bawah, lagipula aku pun ingin melihat
apakah benar murid Sin-cui-kiong bakal datang.” Tangannya membawa seperangkat
kimono yang lembut halus, dengan perlahan ia melampirkannya ke atas badan Coh
Liu-hiang, lalu katanya lembut, “Cuaca mulai dingin, awas nanti kau pun terkena
demam.”
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya, “Kau selalu memperhatikan orang lain, sebaliknya tidak prihatin
terhadap dirimu sendiri.... asal kau memperhatikan dirimu, masa kau bisa
sakit.”
Li Ang-siu mencibirkan bibir,
lalu katanya, “Memangnya kami yang tidak pernah sakit, tidak pernah
memperhatikan kesehatanmu.”
So Yong-yong menepuk kedua
pipinya, katanya tertawa, “Terlalu banyak bermakan hati, kau bisa cepat
bertambah tua.”
Li Ang-siu memeluknya, katanya
cekikikan, “Aku ini memang kutu busuk yang suka cemburu dan makan hati,
Yong-ci, mengapa kau tetap baik pada diriku?” Tubuh So Yong-yong yang semampai
dan lemah dipeluknya dan diangkat ke atas.
Pada saat itulah mayat kelima
terapung tiba.
***
Kalau dinilai secara
keseluruhan, mayat ini sudah bukan mayat yang lengkap lagi, karena anggota
badan sebelah kiri terbelah dari pundak, seluruh lengan kirinya sudah hilang.
Untung mukanya masih dalam bentuk lengkap, jadi masih jelas kelihatan wajahnya
yang jelita, pembunuh yang telengas itu agaknya tak tega merusak raut wajahnya
yang cantik.
Badannya mengenakan pakaian
dari kain sari panjang, pakaian tanpa potongan dan model, karena begitu saja
dari atas ke bawah sari halus itu membelit badannya, di tengah pinggangnya
mengenakan sabuk tali sutera warna perak, kedua kakinya yang indah mengenakan
sepatu dari bahan yang sama seperti sabuk peraknya.
Pakaian sari yang tinggal
separoh itu berlepotan darah, jika tidak mengenakan sabuk tali perak, tentu
kain sari halus yang melilit tubuh itu sudah hanyut terbawa gelombang laut,
meski demikian badannya sudah hampir telanjang.
Lekas So Yong-yong memalingkan
muka, matanya yang elok sudah berlinang air mata.
Li Ang-siu pun memejamkan mata,
katanya, “Yong-ci, menurutmu apakah dia murid Sin-cui-kiong?”
So Yong-yong manggut-manggut
tanpa bersuara.
“Perempuan secantik ini siapa
tega membunuhnya?” ujar Coh Liu-hiang gegetun.
“Orang yang bertangan keji ini
pun sudah ajal,” kata Li Ang-siu.
“Maksudmu Ca Bok-hap?”
“Sudah tentu Ca Bok-hap,
kecuali dia, siapa pula yang mampu melancarkan serangan golok sedemikian
cepat?”
“Ehm!” kembali Coh Liu-hiang
memanggut.
“Setelah tahu dirinya terkena
racun, menggunakan sisa tenaga yang masih ada, dia membacok lawan, hatinya
dirundung kebencian yang meluap, maka bacokannya itu menghasilkan akibat yang
mengerikan, keji dan berat.”
“Semua uraianmu itu memang
masuk akal,” ujar Coh Liu-hiang.
“Kini sumber penyelidikan yang
kita tunggu sudah putus, kita pun tak perlu bersusah-payah lagi.”
“Memang tiada perkara lagi?”
“Semua orang yang bersangkutan
sudah mati, masih ada perkara lain?”
“Kau yakin dia mati di tangan
Ca Bok-hap?”
“Memangnya bukan?”
“Jangan kau lupa, setelah Ca
Bok-hap mati, Toa-hong-to mungkin jatuh ke tangan orang lain. Dengan
menggunakan Toa-hong-to, orang itu bisa membunuh dia supaya orang lain
menyangka persoalan ini sudah tamat sampai di sini.”
“Ah, benar juga fikiranmu.”
“Kalau dia ingin orang
berpendapat demikian, maka peristiwa ini sudah tentu belum berakhir. Menurut
pendapatku, persoalan ini justru baru dimulai.”
“Kalau begitu, mengapa dia tak
melenyapkan saja mayat-mayat ini, supaya orang tak mampu membedakan dan
mengenali mayat-mayat ini, mana mungkin mengusut persoalan ini pula?”
“Orang-orang ini adalah tokon
kosen ternama di kangouw, boleh dikata adalah pimpinan tertinggi cabang
persilatan. Jika mereka mendadak menghilang bersama, anak murid atau anggota
perguruan mereka masa tidak menyelidiki dan mencari jejak mereka?”
“Oleh karena itu.... “ So
Yong-yong mengerut kening.
"Oleh karena itu dia
harus bertindak sesuai rencana, supaya orang lain menyangka kelima orang ini
saling bunuh, sehingga anak murid dan anggota perguruan sendiri pun kehilangan
sasaran untuk menuntut balas, apa pula yang harus mereka selidiki?"
Li Ang-siu menghela nafas,
katanya, "Tapi pasti tak terfikir olehnya di dunia ini masih ada orang
yang senang mencampuri urusan orang lain."
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya, "Kukira dia memang tak pernah memikirkan hal itu."
"Tapi siapakah si dia
itu? Kemungkinan setiap orang adalah si dia itu... sekarang sumber yang ada pun
sudah terputus, kau hendak menyelidiki, bukankah berarti menggagap jarum di
lautan?"
"Tidak salah," ujar
Coh Liu-hiang. Tiba-tiba badannya mencelat tinggi terus terjun ke laut.
"Apa yang hendak kau
lakukan?" teriak Li Ang-siu.
"Mengambil jarum,"
sahut Coh Liu-hiang sebelum badannya masuk ke air, seperti seekor ikan raksasa,
tahu-tahu badannya sudah hilang ditelan air laut. Permukaan laut ditimpa sinar
matahari keemasan, sama sekali tidak menimbulkan percikan sedikit pun.
"Yong-ci, kau...,"
seru Li Ang-siu sambil membanting kaki. "Mengapa kau membiarkannya?"
"Di dunia ini siapa yang
mampu mencegah setiap kehendaknya?" sahut So Yong-yong.