Maling Romantis (Xue Hai Piao Xiang) Bab 3: Thian-it-sin-cui

Maling Romantis (Xue Hai Piao Xiang) Bab 3: Thian-it-sin-cui
Maling Romantis
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 3: Thian-it-sin-cui
So Yong-yong berdua mengeluarkan kain layar yang lebar untuk menutupi kelima mayat manusia tersebut. Baru sekarang Song Thiam-ji berani menongolkan kepala. Tangan kanannya tampak menjinjing sebuah lampion berbentuk bagus, sementara tangan kirinya membawa sekeranjang buah-buahan.

Sinar bintang mulai pasang aksi berkerlap-kerlip di tengah angkasa raya, air laut kelihatan mengeluarkan cahaya gemerlapan seperti lembaran kain sutera yang mengkilap. Dengan nyaman dan segar mereka duduk berjajar menikmati hembusan angin sepoi-sepoi, namun dalam sanubari mereka sedikit pun tidak merasa nyaman dan tenteram, siapa pun tidak akan merasa segar dan nyaman bila di sampingnya rebah lima sosok mayat manusia.

Lama sudah Coh Liu-hiang pergi. Jauh di permukaan laut sana, tampak setitik sinar kerlap-kerlip laksana bintang di tengah lautan, segera Li Ang-siu berseri tawa dan berkata, “Aku hanya berharap jangan sampai dia dijala orang karena dianggap ikan raksasa!”
Song Thiam-ji cekikikan, ujarnya: “Kalau ada orang anggap manusia sebagai ikan, tentu orang itu termasuk saudara tuamu.” Belum habis ia bicara, tiba-tiba ia berjingkrak bangun seraya menjerit-jerit, kaki mencak-mencak berlompatan sedang kedua tangan mencakar sana garuk sini, tahu-tahu sebuah benda meluncur jatuh dari lengan bajunya, kiranya itulah seekor ikan.

Li Ang-siu seketika bertepuk tangan dan tertawa besar, serunya: “Bagus, bagus sekali, akhirnya ada orang yang melampiaskan kedongkolanku!”

Entah kapan ternyata Coh Liu-hiang tahu-tahu sudah berdiri di sana, tangannya menjinjing eekor ikan, sebetulnya tangan kanan pun menjepit seekor ikan yang lain namun tahu-tahu sudah masuk ke dalam baju Song Thiam-ji. Saking kaget dan ketakutan, selebar muka Song Thiam-ji sampai pucat pias, sambil banting-banting kaki segera ia memburu hendak mencubitnya.

Coh Liu-hiang tertawa tergelak-gelak, katanya: “Barusan aku melihat seorang yang selalu ingin kau temui, kalau sampai sakit kau mencubit aku, aku tidak akan omong lagi.”
Song Thiam-ji mencubit lengannya lalu memeluk lehernya, tanyanya: “Siapa dia, lekas katakan.”

Coh Liu-hiang mengedipkan matanya, sorot matanya laksana bintang-bintang berkelap-kelip.
Katanya tertawa: “Siapa orang yang paling ingin kau temui? Dalam kolong langit ini petikan harpa siapa paling bagus? Seni lukis siapa paling baik? Syair siapa yang dapat membuat orang kehilangan semangat? Masakan siapa pula yang lezat dan tiada bandingannya di seluruh dunia?”

Belum habis ia berkata, Li Ang-siu sudah menyeletuk seraya bertepuk: “Aku tahu sudah yang kau maksudkan adalah Biau-ceng Bu-hoa itulah.”

Song Thiam-ji tarik tangan Coh Liu-hiang, katanya: “Apa benar kau melihatanya? Di mana dia sekarang?”

“Seorang diri dia duduk di atas sebuah sampan, seperti membaca mantera seperti sedang membaca syair, waktu mendadak aku menongol keluar dari dalam air, air mukanya itu sayang kalian tidak akan pernah melihatnya!”

“Kau kenal dia?” tanya Song Thiam-ji.

“Aku hanya tiga kali bertemu dengan dia, pertama kali, tiga hari tiga malam dia menemani aku minum arak, kedua kali bermain catur lima hari lima malam, dan terakhirnya dia berdebat tentang ajaran Buddha selama tujuh hari tujuh malam dengan aku.” Setelah meneguk air tomat, lalu ia menambahkan. “Tentang ajaran Budha sudah tentu aku tidak ungkulan melawan dia, tapi minum arak dia bukan tandinganku.”

“Bagaimana permainan catur kalian?” tak tahan Li Ang-siu bertanya.

“Bisa kukatakan seri alias sama kuat. Tapi hwesio itu justru tidak mengakui keputusan ini!”

“Kecuali minum arak dan berkelahi, mungkin apa pun kau tidak akan ungkulan melawan orang,” olok Li Ang-siu.

“Omong kosong, paling tidak soal makan aku jauh lebih kuat dari dia,” kata Coh Liu-hiang sungguh-sungguh.

Saking gelinya, Li Ang-siu terloroh-loroh sambil memeluk pinggang.

Sebaliknya Song Thiam-ji menarik-narik lengan bajunya, tanyanya mendesak: “Kenapa tidak kau undang dia untuk mampir ke mari?”

“Semula dia mau, tapi baru saja kukatakan ada beberapa gadis cantik yang ingin bertemu dengan dia, tiba-tiba berubah sikapnya seperti kelinci yang mendadak kena panah, lari terbirit-birit.”

“Dia kan sudah menjadi Hwesio, kenapa pula harus takut terhadap perempuan?” kata Thiam-ji gemas sambil memonyongkan mulut.

“Justru karena dia seorang Hwesio baru dia takut, kalau bukan Hwesio tentu dia tidak takut.” Coh Liu-hiang menjelaskan.

“Kalau dia bukan Hwesio,” sela Li Ang-siu. “Kutanggung dia akan lari datang lebih cepat dari lari seekor kelinci.”

So Yong-yong tertawa lembut, timbrungnya: “Kabarnya orang itu adalah Hwesio kenamaan dalam kalangan Buddha, bukan saja syair, tulis, gambar seni sastra serba pandai, malah silatnya pun termasuk golongan tokoh kosen.”

“Memangnya tokoh kosen belaka,” sela Coh Liu-hiang. “Malah boleh dikata merupakan salah satu murid dari Siau-lim yang paling menonjol dan paling pintar, sayang dia… sungguh dia terlalu pintar, keahliannya terlalu luas dan banyak, namanya pun amat besar dan harum. Maka Thian-ouw taysu dari Siau-lim-si dalam mencantumkan nama-nama calon pengganti Ciangbunjin mendatang, ternyata memilih Bu-siang yang segalanya tidak ungkulan melawan dia.” Demikian tutur Coh Liu-hiang.

Tiba-tiba Coh Liu-hiang bertepuk tangan dan berkata: “Sungguh tak nyana, Li Ang-siu ternyata kenalan intim Bu-hoa yang tahu segala seluk beluk.”

“Sudah tentu dia tidak akan punya sangkut paut dengan peristiwa ini.” Demikian sela So Yong-yong. “Adakah kau melihat orang lain pula?”

“Mayat-mayat ini terbawa arus dari arah timur, setiap perahu di sebelah timur sana sudah kuperiksa semua. Kecuali Bu-hoa, hanya sebuah perahu lain termasuk milik kaum persilatan.”

“Siapa dia?” tanya So Yong-yong.

“Di atas perahu itu terdapat Su-toa_hu-hoat dari Kay-pang, Su-toa tianglo dan Pangcu mereka yang baru. Tahukah kau Jin-lo-pangcu tahun yang lalu sudah meninggal? Coba kau terka siapakah pejabat Pangcu yang baru?”

“Siapa?” balas tanya So Yong-yong.

“Coba kau terka dulu. Dia adalah teman baikku, takaran araknya hampir sama dengan aku, demikian pula takaran nasinya setanding, suatu ketika, malah pernah dia menggambar lukisan untuk kau!”

“Ah, mungkinkah Lamkiong Ling?”

“Benar dia!”

“Kalau dia terpilih menjadi Kaypang Pangcu, maka suasana dan kehidupan kaum persilatan tentu berubah, tidak melulu memupuk kebijaksanaan dan kesetiaan, tidak pula mengutamakan perbedaan tua muda, kini sudah mulai mementingkan pambek dan kecerdikan dan watak, sungguh suatu hal yang harus dibuat girang.”

Li Ang-siu tiba-tiba menyeletuk: “Sudah tentu Lamkiong Ling tidak akan punya sangkut paut dengan peristiwa ini, maka....”

“Maka aku sudah kehabisan akal” tukas Coh Liu-hiang tertawa getir.

“Lebih baik lagi kalau kau kehabisan akal” ujar So Yong-yong. “Aku sendiri pun tidak ingin merepotkan diri.”

Coh Liu-hiang melotot ke arah layar terbentang itu, katanya: “Coba kalian pikir, adakah persamaan di antara kelima orang ini, umpamanya....”

“Umpamanya mereka semua adalah manusia....” tukas Li Ang-siu.

Coh Liu-hiang tertawa getir pula, ujarnya: “Kecuali persamaan ini memangnya tidak ada persamaan yang lain? Coba kau pikir sedikit cermat.”

So Yong-yong bangkit sembari berseri tawa: “Kalian ingin berpikir, marilah dipikir di ruang bawah saja, aku hendak menyeduh air teh kental, semalam suntuk kalian berpikir pun tak menjadi soal. Tapi siapa pun kularang duduk di sini makan angin.”

Kamar-kamar di bagian ruang bawah dibangun serba mewah dan serasi, tiada sejengkal pun tempat kosong yang percuma, tiada sesuatu benda yang menyolok pandangan, segalanya serba cocok serasi dan semarak, barang-barang di sini serba antik.

Tepat di bawah tangga adalah sebuah kamar tidur yang dipajang serba mewah dan sedap dipandang, pelan-pelan sinar lampu menyoroti segala pelosok kamar, kamar bawah yang semula gelap lambat laun menjadi terang. Coh Liu-hiang yang berjalan paling depan mendadak menghentikan langkahnya, seolah-olah kakinya mendadak terpaku di atas lantai tak bergeming lagi. Di dalam ruang bawah ini ternyata sudah ada seseorang, seorang perempuan.

Tampak orang itu membelakangi pintu, duduk di atas kursi yang biasa senang diduduki Coh Liu-hiang. Dilihat dari bayangan orang dari arah belakang, tampak sanggul kepalanya serta sebuah tangan, tangan yang putih halus dan indah sekali.

Tatkala itu tangannya memegang sebuah cangkir, isi cangkir adalah arak yang biasanya suka diminum Coh Liu-hiang. Agaknya sedikit pun orang itu tidak merasa sungkan.

Coh Liu-hiang, So Yong-yong, Li Ang-siu dan Song Thiam-ji berempat sama berdiri melongo di atas lantai papan, mulut terbuka, suara tertelan dalam tenggorokan. Kapan perempuan ini masuk, sedikit pun mereka tidak tahu. Mungkin dia masuk di saat Coh Liu-hiang terjun ke laut tadi, namun gerak-geriknya dapat mengelabui So Yong-yong, Li Ang-siu dan Song Thiam-ji, mungkin tidak rendah kepandaiannya!

Terdengar suara nan merdu dingin berkata pelan-pelan: “Apakah maling sakti Coh Liu-hiang yang masuk?”

“Benar, apakah Cayhe salah memasuki rumah orang?” sahut Coh Liu-hiang.

“Kau tidak salah jalan, memang ini tempatmu.” kata perempuan itu dingin.

“Kalau toh ini tempatku sendiri, kenapa nona duduk di tempatku itu?”

“Karena aku senang duduk di sini.”

“Tepat benar alasanmu, sungguh tepat.”

“Selain itu kudengar Coh Liu-hiang selamanya tidak pernah menampik kehadiran perempuan.” Tiba-tiba ia menggeser kursi dan berputar balik menghadap ke arah Coh Liu-hiang, sinar lilin tepat menyinari wajahnya.

Kalau dalam dunia ini ada wajah perempuan yang bisa membuat laki-laki menghentikan napasnya, itulah wajah perempuan ini, demikian pula bila kerlingan perempuan dalam dunia ini mendebarkan jantung laki-laki, tak lain kerlingan perempuan ini juga, kini kedua biji mata yang pandai mengerling itu sedang menatap muka Coh Liu-hiang, katanya aleman:

“Sekarang sudah cukup belum alasanku itu?”

“Ya, alasan itu mendadak berubah menjadi cukup dan baik,” ujar Coh Liu-hiang tersendat.

Sorot matanya perlahan berkisar dari raut muka nan cantik menurun ke bawah, kini ia mendapati orang mengenakan jubah panjang dari sari putih, dia pun melihat orang mengenakan sabuk tali lembut warna perak.

“Sekarang kau sudah tahu aku datang dari mana?” ujar perempuan itu dengan kalem.

“Lebih baik kalau aku tidak tahu.”

“Mengapa?”

“Di dunia ini anak perempuan yang tidak sudi kukenal hanya anak murid Sin-cui-kiong.”

Mendadak perempuan itu berdiri, memutar badan dan mengangkat poci perak dari atas rak serta menuangkan secawan penuh. Coh Liu-hiang menghela nafas dengan rasa rawan, katanya, “Ingin kutahu maksud kedatanganmu, kecuali minum arak, adakah urusan lain lagi?” Sembari bicara ia maju mendekat serta menarik kursi lalu duduk.

Perempuan itu berpaling, katanya sepatah demi sepatah sambil menatap mukanya, “Angkuh, tidak sopan, dingin kaku, tapi ada satu dua titik terang yang membuat nona kecil kepincut padamu.... ternyata sesuai benar keadaanmu dengan berita yang kudengar.”

“Terima kasih... entah ada tidak kabar di Kangouw mengenai kepribadianku yang lain?”

“Tentang apa?”

“Kalau ada perempuan asing yang menyelundup masuk ke kamarku, duduk di kursiku, minum arakku lagi, sering kulempar dia ke dalam laut. Terutama bila perempuan itu menganggap dirinya amat cantik, padahal dia tidak cantik.” Dengan nyaman ia menggeliat menjulurkan kaki dan tangan seolah sudah siap untuk menikmati sikap galak perempuan ini yang marah-marah.

Seketika memutih selebar muka perempuan itu saking marahnya, tangan yang memegang cawan pun gemetar. Lekas Li Ang-siu memburu maju dan merampas cawan emas itu dari tangannya, katanya sambil tertawa manis, “Kalau nona hendak membanting cawan, biar kuganti dulu dengan cawan besi.”

Rona wajah perempuan itu berubah dari putih menghijau lalu merah padam, tiba-tiba ia malah mengunjuk tawa lebar bak bunga mekar, katanya, “Bagus sekali, kalian memang amat lucu dan menyenangkan, tetapi suasana berkelakar sudah berlalu.”

“O, jadi kau sudah siap menangis?” olok Coh Liu-hiang pula.

“Kalau tidak kau kembalikan barang itu, mungkin hendak menangis pun kau tidak bisa,” jengek perempuan itu.

“Kembalikan barang itu? Memangnya aku pernah meminjam sesuatu kepadamu?”

“Sudah tentu kau tidak meminjam. Siapa yang tidak tahu di kolong langit ini, Coh Liu-hiang tidak pernah meminjam sesuatu barang dari orang lain,” ejek perempuan itu dingin. “Kau mencurinya!”

“Mencuri?” seru Coh Liu-hiang mengerutkan kening. “Barang apa yang kucuri darimu?”

“Thian-it-sin-cui!” sahut perempuan itu lantang.

Mendadak biji mata Coh Liu-hiang melotot besar, teriaknya, “Apa katamu?”

Kembali perempuan itu berseru perlahan, “Thian-it-sin-cui!”

“Memangnya Thian-it-sin-cui istana kalian dicuri orang?”

“Dari tempat ribuan li kususul ke mari, memangnya aku menipu dan main-main denganmu?”

Seketika terpancar rasa senang dari sorot mata Coh Liu-hiang, gumamnya, “Bagus, bagus sekali, persoalan ini menjadi menarik sekali. Entah berapa banyak Thian-it-sin-cui yang dicuri orang?”

“Tidak banyak, hanya beberapa tetes saja, tapi cukup membuat tiga puluhan jago kosen mampus secara konyol tanpa diketahui sebab-musababnya. Tepatnya bisa tiga puluh tujuh.”

So Yong-yong menghembuskan nafas, katanya, “Jadi kau anggap barang kalian yang hilang itu dicuri olehnya?”

“Selain maling sakti Coh Liu-hiang, siapa yang mampu mengusik sebatang rumput atau seonggok kayu di Sin-cui-kiong?”

“Terima kasih atas pujianmu! Kutegaskan bahwa aku tidak pernah melakukan hal itu, pasti kau tak akan percaya.”

“Bisakah kau membuatku percaya?”

“Mungkin... mungkin bisa!” mendadak ia mencelat bangun terus menarik tangan si nona, katanya, “Paling baik kubawa kau melihat sesuatu, kutanggung beberapa benda itu cukup untuk menarik perhatianmu.... menarik sekali.”

Perempuan yang dingin dan kaku itu, entah mengapa, membiarkan saja tangannya digenggam dan ditarik.

Kata So Yong-yong sambil menghela nafas, “Kalau dia ingin menarik tangan seorang nona, mungkin tidak ada yang mampu menolaknya.”

Song Thiam-ji berkedip-kedip, katanya, “Kalau murid Sin-cui-kiong terdiri dari kaum pria, tentunya akan lebih baik.”

“Perempuan pun tidak menjadi soal,” sela Li Ang-siu. “kalau wajah mereka rada jelek.”

“Lebih baik pula kalau muka mereka sepeti setan,” kelakar Song Thiam-ji.

***

Waktu kain layar tersingkap, mayat-mayat itu di bawah sorot bintang-bintang di langit kelihatan seram dan mengerikan.

“Kau periksa mereka lebih dulu, tentu mereka sudah kau kenal?” ujar Coh Liu-hiang.

Dengan nanar gadis itu mengawasi pundak kiri yang terbelah, sekian lama ia menjublek seperti patung kayu, sedikit pun tidak memperlihatkan perubahan pada mimik wajahnya, katanya, “Dia bukan anak murid Sin-cui-kiong.”

Kembali Coh Liu-hiang terkejut, katanya keras, “Bukan?”

“Selama hidup belum pernah kulihat dirinya.”

Bertaut alis Coh Liu-hiang, sejenak dia berfikir, lalu katanya perlahan, “Semula kukira anak murid Sin-cui-kiong kalian yang mencurinya, prasangkaku adalah dia, tapi sekarang....”

“Sekarang kau masih merasa amat lucu?”

“Kalau dia bukan murid Sin-cui-kiong, mengapa dia berdandan seperti itu? Tentu dia melakukannya bukan atas kemauan sendiri, tapi si 'dia' yang menyuruhnya menyamar, dia ingin memancing orang agar salah menerka.”

“Salah terka apa?” tanya si gadis.

“Dia ingin supaya orang menyangka bahwa Ca Bok-hap mati di tangan perempuan ini, dan perempuan ini pun mampus di tangan Ca Bok-hap, maka segalanya tamat sampai di sini, dia tidak ingin orang menyelidiki peristiwa ini lebih lanjut........... namun perempuan ini yang menjadi kambing hitamnya.”

“Kau bisa berkata begitu jelas, tentu kau sudah tahu siapa si 'dia' yang kau maksud,” kata perempuan itu dingin.

Coh Liu-hiang menghela nafas, katanya, “Semoga aku bisa mengetahuinya.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar