-------------------------------
----------------------------
Bab 10: Kembang Mekar Harum Semerbak (Tamat)
Tatkala itulah mendatangi dua
laki-laki besar berjubah sutera memasuki warung teh ini sambil mengobrol
panjang pendek. Salah seorang laki-laki bermuka burik, di punggungnya
menggendong sebuah buntalan kain kuning, sembari jalan ia berkata dengan
tertawa: “Bertemu sahabat karib di rantau, sungguh merupakan kesenangan yang
tak terhingga. Hari ini Siaute harus ajak Pang-heng minum sepuasnya!"
Laki-laki yang lain mukanya
penuh ditumbuhi cambang bauk yang kaku, katanya bergelak tawa: “Chi-heng sudah
lama menetap di Binglam ini, apakah hobimu hanya minum teh saja dan tak suka
minum arak lagi?”
“Arak!" seru laki-laki
burik tertawa lebar. “Pang-heng, setiap hari kau sudah biasa minum arak, tapi
hari ini akan kusuguh kepadamu air teh yang lain dari yang lain, boleh dikata
sebagai dewa di antara teh. Bukan Siaute suka membual, air teh seperti ini
mungkin seumur hidup Pang-heng belum pernah merasakannya."
Serta-merta perhatian dan
pandangan semua hadirin dalam warung teh itu tertuju ke arah mereka. Tapi
laki-laki burik ini anggap sekelilingnya seperti tiada orang lain, dari
buntalan kain kuningnya ia keluarkan sebuah bumbung bambu sepanjang satu kaki.
Begitu ia membuka sumbat bumbung, bau harum seketika merangsang setiap hadirin,
seketika semangat terasa segar seperti memabukkan.
Laki-laki cambang bauk itu
bergelak tawa, ujarnya, “Harum benar teh ini! Beberapa tahun tak berjumpa, tak
nyana Chi-heng sekarang menjadi begini kikir."
Dengan hati-hati laki-laki
burik itu menuangkan secomot daun teh, lalu suruh pelayan menyeduhnya dengan
air panas yang paling bening dari sumber asli, barulah dia berpaling dan
berkata tertawa: “Bicara terus terang, walau sudah lama aku menyimpan daun teh
sepeti ini, tapi jikalau tidak bertemu dengan Pang-heng sahabat lamaku, rasanya
Siaute amat sayang untuk meneguknya meski hanya seteguk saja."
Laki laki brewok itu tertawa,
tanyanya: “Kalau Chi-heng begini kikir dan sayang meminumnya, kenapa selalu kau
bawa-bawa ke mana kau pergi?”
“Lantaran daun teh ini adalah
kegemaran seorang tokoh kosen Bulim Cianpwe. Dulu Siaute pernah mendapat budi
pertolongannya, tiada sesuatu yang dapat kubalas, maka selama beberapa tahun
ini dengan susah payah aku berusaha menemukan daun teh ini untuk kuhaturkan kepada
beliau, terhitung sebagai balasan budi kebaikannya dulu. Kalau kuberikan benda
lainnya, tentu beliau tidak mau terima!”
Kata laki-laki brewok: “Entah
siapakah Bulim Cianpwe itu? Begitu patuh dan hormat sikap Chi-heng
terhadapnya?”
Senyuman laki-laki burik itu
semakin pongah, katanya kalem: “Tentunya Pang-heng pernah dengar nama besar
Thian-hong Taysu?”
“Thian-hong Taysu?....” jerit
laki-laki brewok. “Apakah Ciangbunjin Siau-lim-si sekte Selatan, Hong-tiang
Taysu dari Siau-lim-si di Poh-han?”
“Betul, memang beliau adanya!”
sahut laki-laki burik dengan bangga.
Tergerak tiba-tiba hati Coh
Liu-hiang. Tak tahan segera ia maju menghampiri, serunya: “Boan-tian-sing
(bintang bertaburan di langit), aku ini kan teman lamamu, kenapa kau tak undang
aku minum teh?”
Laki-laki burik itu meliriknya
sekilas, seketika ia menarik muka, katanya: “Siapa saudara ini? Cayhe agaknya
amat asing terhadapmu."
Coh-Liu-hiang tersenyum,
ujarnya; “Tujuh tahun yang lalu di lorong Thi-say-cu di Pak-khia, memangnya
Chi-heng sudah melupakan kejadian dulu?”
Belum habis ia berkata,
laki-laki burik itu sudah melonjak bangun, serunya bergetar: “Apakah tuan
adalah........”
Coh Liu-hiang terloroh-loroh,
tukasnya: “Cukup asal kau masih ingat, buat apa kau singgung namaku.”
Tersipu-sipu laki-laki burik
menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, serunya hormat: “Tujuh tahun yang
lalu, jikalau..... berkat pertolongan Kongcu, kalau tidak aku Chi-ma-cu (Chi si
burik) tentu sejak dulu sudah terjungkal oleh Bwe-hoa-kiam Pui Hoan dan
Siang-ciang-hoan-thian (Sepasang Tangan Membalik Langit) Cui Cu-ko. Aku
Chi-ma-cu setiap saat selalu ingat dan ingin membalas budi pertolongan Kongcu
dulu, sungguh amat gegetun karena jejak luhur Kongcu tidak menentu, sungguh
tidak nyana hari ini akhirnya bisa bertemu dengan Kongcu di sini, sungguh aku
ketiban rejeki besar.”
Agaknya laki-laki brewok itu
amat heran dan tergerak hatinya melihat Chi-ma-cu yang terkenal susah dilayani
dan lincah tangan ini sudi berlutut dan bersikap hormat terhadap anak muda ini.
Tapi dia pun seorang kawakan Kangouw, bisa melihat gelagat lagi, lapat-lapat
dia sudah dapat meraba bahwa pemuda ini tidak suka namanya disinggung di depan
umum, sehigga asal-usulnya tidak diketahui orang banyak, maka ia pun tidak
banyak tanya. Lekas ia pun bersoja dan menyapa: “Cayhe Pang Thian-ho, kelak
kemudian harap Kongcu suka memberi petuah!”
Coh Lin-hiang tertawa lebar,
ujarnya: “Nama besar Ya-yu-sin (Malaikat Gelandangan Malam), Cayhe pun pernah
mendengarnya seperti geledek yang menyambar di pinggir telinga.”
Bertiga beruntun mereka
menghabiskan tiga poci air teh kental. Setelah mengobrol ala kadarnya, barulah
Coh Liu-hiang mulai memancing ke persoalan yang dituju. Katanya sambil pandang
Chi-ma-cu dengan serius: “Tadi kudengar Chi-heng menyinggung nama Thian Hong
Taysu, apakah Hweesio yang kenamaan dan menggetarkan dunia persilatan pada
empat puluh tahun yang lalu, dengan pukulan tangan memberantas Pat-ok (delapan
durjana) dan melawan Thian-bun-su-lo seorang diri itu?”
“Ya, memang beliau,” sahut
Chi-ma-cu.
Coh Liu-hiang tersenyum,
ujarnya: “Kabarnya Taysu ini sudah lama mengasingkan diri, tak nyana sampai
sekarang masih punya hobi menikmati daun teh.”
Chi-ma-cu ikut tertawa,
katanya: “Dulu setelah Jip Sin Taysu wafat, seharusnya beliau orang tua yang
mewarisi Ciangbunjin Siau-lim-pay. Tapi beliau orang tua malah menyerahkan
kepada Ji-sutenya Thian Ouw Taysu. Jauh-jauh dia malah hijrah ke Binglam sini,
konon lantaran menyukai daun-daun teh yang nikmat dan enak di sini.”
Cob Liu-hiang menepekur,
katanya: “Sudah berapa lama Thian Hong Taysu pegang tampuk pimpinan Siau-lim-si
di Poh-thian ini?”
“Hitung-hitung sudah lebih
dari dua puluh tahun.”
Mendadak Coh Liu-hiang gebrak
meja, serunya keras: “Tidak salah lagi! Tentu dia! Pasti dia! Seharusnya sudah
kuingat akan dirinya.”
Chi-ma-cu melongo heran,
tanyanya: “Apa Kongcu pun kenal baik dengan beliau?”
Selebar muka Coh Liu-hiang
riang gembira, katanya: “Coba kau katakan, ketenaran nama besar Thian Hong
Taysu, apakah jauh lebih unggul dari Jin-lopangcu dari Kaypang yang terdahulu?”
Chi-ma-cu tidak tahu ke mana
juntrungan pertanyaan ini, katanya hambar: “Beliau orang tua boleh dikatakan
merupakan simbol tertinggi dari seluruh Bulim di jaman ini. Memang ketenaran
Jin-lopangcu amat berkumandang, tapi kalau dibandingkan beliau orang tua,
kukira setingkat lebih rendah.”
“Ilmu silat beliau orang tua
tentunya teramat tinggi dan susah diukur,” kata Coh Liu-hiang pula.
“Betapa tinggi kepandaian
silatnya, mungkin Kongcu sendiri...” Chi-ma-cu merandek, “bukan tandingannya.”
Coh Liu-hiang tertawa: “Beliau
punya latihan yang lebih ampuh dan membekal Lwekang yang tiada taranya, sudah
tentu tak terkatakan tingkat kepandaian silatnya, seumpama pedang pusaka yang
selalu disimpan tak pernah memperlihatkan pancaran sinarnya yang cemerlang!”
Chi-ma-cu pun tertawa,
katanya: “Dalam kalangan Kangouw tersiar kabar bahwa lantaran senang minum teh
maka beliau orang tua terima hijrah ke Binglam ini. Tapi menurut perkiraan
Cayhe, mungkin beliau orang tua tidak suka keramaian dan memegang jabatan
memikul tugas berat lagi, maka beliau tidak mau terima jabatan Ciangbunjin
Siau-lim-pay di Siong-san."
“Itulah benar. Sebelum Jin
Jip, tokoh kosen yang bertanding dengan Thian-hong-cap-si-long, kecuali dia,
siapa lagi? Bahwa Thian-hong-cap-si-long bisa menyerahkan putra sulungnya
kepada beliau, sudah tentu mati pun ia bisa meram dengan tenteram!”
Chi-ma-cu semakin heran
mendengar kata-kata ini, tanyanya memberanikan diri: “Siapa pula
Thian-hong-cap-si-long itu?”
“Itulah seorang yang amat aneh.”
sahut Coh Liu-hiang. “Walaupun berita kematiannya terbenam dalam keramaian,
namun ia berhasil membuat Pangcu dari suatu sindikat terbesar di dunia ini dan
Ciangbunjin dari golongan silat terbesar di Tionggoan, terima mewakili dirinya
mengasuh dan mendidik kedua putra-putranya sampai dewasa.” Tiba-tiba tergerak
hatinya, mendadak ia menjerit tanpa kuasa: “Dia menantang bertanding dengan
Thian-hong Taysu dan Jin-lopangcu, bukan mustahil memang bertujuan menyerahkan
kedua puteranya kepada beliau? Memang dia sendiri pernah mengalami derita hidup
yang menyedihkan hatinya sehingga dia bosan hidup dan mencari jalan pendek,
maka ia harap putra-putranya kelak bisa menonjol dan menjadi manusia besar yang
berguna? Atau sebelumnya dia memang sudah berkeputusan pasrah jiwanya di tangan
Thian-hong Taysu dan Jin-lopangcu, tujuannya supaya kedua orang ini dengan
tekun dan gigih mendidik putra-putranya?”
Semakin bingung Chi-ma-cu
mendengar omongan yang tak kenal juntrungan ini, tak tahan ia menyela pula:
“Kongcu bermaksud Thian-hong-cap-si-long itu, demi.... ia rela korbankan
jiwanya sendiri?”
“Dia tahu dua tokoh kosen
seperti Thian-hong Taysu dan Jin-lopangcu tentulah tidak akan sembarangan mau
menerima dan mendidik anak orang lain. Tapi jiwanya justru ajal di tangan mereka.
Karena terpaksa, mau tidak mau tak bisa menolak lagi....”
“Sungguh patut dibanggakan dan
harus dipuji ayah yang demikian, entah siapakah kedua putranya itu?” tanya
Chi-ma-cu.
“Seorang adalah Lamkiong
Ling,” sahut Coh Liu-hiang.
“Apakah Kaypang Pangcu yang
baru?”
“Benar!”
“Dan seorang lagi?”
“Seorang lagi adalah...
adalah...” Mendadak Coh Liu-hiang mendongak sambil tertawa getir, katanya
setelah menghela napas: “Semoga tebakanku meleset. Dia sudah membunuh sembilan
jiwa orang yang tak berdosa, sasaran selanjutnya....” Mendadak Coh Liu-hiang
berjingkrak berdiri, teriaknya: “Sasaran selanjutnya apa bukan Thian-hong
Taysu?”
“Untuk ini Kongcu tak usah
kuatir,” kata Chi-ma-cu yakin. “Peduli siapa pun orang itu, kalau dia ingin
mencelakai jiwa Thian-hong Taysu, mungkin memang saat ajalnya sendiri sudah
tiba. Meski Thian-hong Taysu sudah lama tidak mencampuri urusan duniawi, namun
ilmu silatnya belum pernah berhenti dilatih.”
Coh Liu-hiang menghela napas,
katanya dengan tertawa kecut: “Kalau kau tahu siapa orang itu, tentu takkan
mengeluarkan kata-kata seperti ini, ‘dia’....”
Tak tahan Chi-ma-cu mengajukan
pertanyaan pula: “Siapakah dia sebetulnya?”
Agaknya Coh Liu-hiang segan
mengatakan siapakah sebenarnya si ‘dia’ itu. Sesaat ia menepekur, tiba-tiba ia
tertawa dan berkata: “Kebetulan aku ada urusan hendak menemui Thian-hong Taysu,
kebetulan bisa membawa sekalian daun tehmu, kau kuatir tidak kalau kuantarkan?”
Bergegas Chi-ma-cu menurunkan
buntalan kuning itu terus diangsurkan ke hadapan Coh Liu-hiang, katanya
tertawa: “Jangan hanya soal daun teh, umpama Chi-ma-cu menyerahkan jiwa
raganya, aku Chi-ma-cu pun tak perlu kuatir.”
Coh Liu-hiang tertawa-tawa.
Belum sempat ia bicara lebih lanjut, mendadak dilihatnya pemilik warung teh ini
menghampiri dirinya dengan sangat tergopoh-gopoh. Ia menjura hormat kepada Coh
Liu-hiang, lalu berkata dengan unjuk seri tawa: “Seorang tamu yang duduk di
meja pojok sebelah sana ingin bicara beberapa patah kata dengan Kongcu, entah
Koncu sudi pindah ke meja sana sebentar?”
Di pojok ruangan sebelah sana
memang ada sebuah meja dengan tiga buah kursi. Seorang berpakaian abu-abu
sedang duduk menghadap pojok dinding, sejak tadi dia memang sudah duduk di
sana, bergerak pun tidak, seperti patung layaknya. Orang ini mengenakan topi
rumput datar sebesar baskom, kini topi besarnya itu dia tanggalkan ke belakang
lehernya, sehingga batok kepalanya tertutup dan tidak terlihat dari belakang,
yang kelihatan hanya gulungan rambutnya yang sudah ubanan.
Sejak datangnya tadi, belum
pernah dia menoleh atau mengamati Coh Liu-hiang dengan jelas. Coh Liu-hiang pun
belum pernah melihat raut mukanya, kenapa pula mendadak orang itu minta Coh
Liu-hiang pindah ke sana untuk bicara?
Karena hati merasa heran, Coh
Liu-hiang jadi tertarik dan ingin ke sana untuk melihat apa sebenarnya yang
diinginkan orang itu. Baru saja kakinya melangkah ke sana, orang itu pun sudah
bangkit dari tempat duduknya walau orang ini tetap tidak mau berpaling,
seolah-olah di belakang punggungnya tumbuh sepasang mata saja.
Tergerak hati Coh Liu-hiang,
sekonyong-konyong ia bergelak tawa, ujarnya: “Apakah tuan ini adalah Sin-eng
Go-lopothau?”
Badan orang itu agaknya rada
tergetar, namun lekas sekali Coh Liu-hiang sudah menghampiri dan duduk di
belakangnya, katanya tertawa besar: “Di kolong langit ini, kecuali Go-lopothau
(opas tua she Go), siapa lagi yang mempunyai ketajaman telinga sesakti ini?”
Orang itu tertawa getir,
katanya: “Di kolong langit ini, memang kenyataan tiada sesuatu yang dapat
mengelabui Coh Liu-hiang si Maling Romantis."
Tampak muka orang ini luar
biasa sekali, tulang pipinya menonjol, dagunya pendek, biji matanya berkilat,
sepasang kupingnya berwarna abu-abu putih, kiranya terbuat dari perak murni.
Kalau tidak tertutup oleh topi rumputnya, sekali pandang saja orang lain akan
tahu bahwa orang ini mengenakan telinga palsu.
Coh Liu-hiang tersenyum,
katanya: “Sejak berpisah di kota raja, tahu-tahu beberapa bulan sudah
berselang, tak nyana suara aku orang she Coh ternyata masih belum terlupakan
oleh Go-lopothau. Yang amat mengherankan, seingatku hari itu Cayhe seperti
tidak mengeluarkan perkataan apa pun, entah dari mana Go-lopothau bisa tahu dan
membedakan suaraku.”
Sin-eng tertawa: “Manusia di
kolong langit ini bukan saja nada suara bicaranya berlainan, sampai pun derap
kakinya waktu berjalan pun berbeda. Coh Liu-hiang si Maling Romantis membekal
Ginkang yang tiada taranya, sudah tentu suara langkah kakinya jauh berlainan
dengan orang lain. Aku si tua kecil ini kalau tidak bisa membedakan langkah
kaki si Raja Maling, sepasang kupingku ini patut kuberikan kepada anjing saja
biar digegares habis.”
“Pek-ih-sin-ji (Kuping Sakti
Baju Putih) ternyata tidak bernama kosong,” Coh Liu-hiang memuji sambil
mengacungkan jempol.
Mendadak ia menekan suara,
lalu berkata dengan pelan-pelan: “ Dari jarak laksaan li Go-lopothau mengejar
sampai di sini, apakah tujuanmu adalah Pek-giok-bi-jin itu?”
Sin-eng segera unjuk tawa
dibuat-buat, sahutnya: “Umpama Losiu punya nyali setinggi langit, sekali-kali
tidak akan berani minta barang yang sudah berada di tangan Maling Budiman!”
Coh Liu-hiang menatapnya
lekat-lekat, “Lalu untuk apa pula tuan ke mari?”
Sin-eng pun menekan suaranya,
sahutnya: “Losiu sedang menguntit jejak Boan-thian-sing Chi-ma-cu itu .......”
Coh Liu-hiang mengerutkan
kening, katanya: “Apakah karena peristiwa di lorong Thi-say-cu tujuh tahun yang
lalu itu?”
Sin-eng tertawa getir pula,
ujarnya : “Semula Losiu tidak tahu bila peristiwa itu ada hubungan dengan
Maling Budiman, kalau tidak sekali-kali aku tidak akan berani mencampuri
persoalan ini. Tentunya kau tahu, seseorang bila dia menerima sesuap nasi dari
jabatan dan tugas yang diberikan pemerintah, selama hidupnya jangan harap kau
bisa bebas dari segala beban pertanggung-jawaban dari tugas yang dipikulnya.
Ada urusan seumpama kau tidak suka mengurusnya, tapi terpaksa dan dipaksa untuk
membereskannya.”
Berkata Coh Liu-hiang dengan
heran : “Peristiwa tujuh tahun yang lalu memang Chi-ma-cu ada salahnya, tapi
Bwe-hoa-kiam dan Siang-ciang-hoan-thian Cui Cu-ho mengandalkan kekuasaannya
menindas orang, perbuatannya patut ditumpas dan diberantas. Apalagi karena
peristiwa itu Chi-ma-cu insaf diri dan selanjutnya mencuci tangan dari
pergaulan Kangouw, jauh-jauh menyingkir ke tempat ini. Ke mana pun ia pergi,
Go-lopothau harus mengejarnya sampai di sini dan hendak memberantasnya?
Janganlah kau mendesak orang sedemikian rupa.”
“Losiu hidup setua ini
memangnya tidak bisa melihat gelagat dan tak tahu urusan ?” ujar Sin-eng
tersenyum. “Sekarang aku sudah tahu bahwa Maling Budiman ada sangkut-pautnya
dengan persoalan ini, masakah aku berani banyak urusan lagi?” Ia menghela nafas
panjang, lalu menambahkan : “Losiu mohon Kongcu bicara di sini sebenarnya masih
ada persoalan lain yang mohon penjelasanmu."
“Masih ada urusan apa?" tanya
Coh Liu-hiang mengerutkan alis.
Sesaat Sin-eng ragu-ragu,
katanya tandas: "Lamkiong Ling, Pangcu dari Kaypang, sepuluhan hari yang
lalu sudah meninggal di Tay-bing-ouw di Kilam, kejadian itu entah apakah Maling
Budiman sudah tahu?”
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya: “Tentunya Go-Lopothau tidak beranggapan akulah yang telah membunuh
Lamkiong Ling, bukan?”
Lekas Sin-eng unjuk tawa pula,
sahutnya : “Mana berani Losiu punya pikiran seperti itu, cuma . . . . . . . . .
"
“Cuma apa ?” Coh Liu-hiang
mendesak.
“Cuma kematian Lamkiong Ling
Pangcu sungguh amat mengerikan. Kabarnya, setelah ajal, badannya dicacah hancur
berkeping-keping oleh orang, maka seluruh anggauta Kaypang semua bersumpah
hendak menemukan si pembunuh.”
Coh Liu-hiang mengerutkan
alis, sudah tentu dia tahu siapa orang yang mencincang badan Lamkiong Ling
sampai berkeping-keping, dia bukan lain adalah Mutiara Hitam yang menuntut
balas bagi kematian ayahnya. Sudah tentu terpikir juga olehnya bahwa murid
Kaypang sampai sekarang belum tahu akan intrik Lamkiong Ling dengan si dia itu
serta rencana jahatnya jangka panjang. Tapi semua persoalan ini dia tidak ingin
diketahui atau dibicarakan dengan orang lain.
Terdengar Sin-eng berkata pula
setelah menghela nafas: “Peristiwa saling bunuh-membunuh di kalangan kangouw
memang tidak pantas losiu tanyakan atau mencampurinya, cuma soalnya Losiu ada
hubungan amat intim beberapa puluh tahun dengan beberapa anak murid Kaypang,
kali ini aku bertemu mereka di tengah jalan.”
“Memangnya anak murid Kaypang
semua menyangka akulah yang turun tangan membunuh Lamkiong Ling?”
“Sekali-kali mereka pun tidak
berani curiga kepadamu, cuma mereka mengatakan Maling Budiman pasti tahu
siapakah biang keladi pembunuh dari Lamkiong Ling, oleh karena itu mereka mohon
kepada Losiu bila bertemu dengan kau mewakili mereka tanyakan hal ini. Peduli
kau Maling Budiman ini tahu atau tidak, cukup asal sepatah katamu saja, seluruh
murid-murid Kay pang pasti tiada yang berani banyak komentar lagi.”
“Peristiwa itu ya memang aku
mengetahuinya,” sahut Coh Liu-hiang dengan mata bersinar.
“Kalau Maling Budiman tahu,
entah sudikah memberi penjelasan?” seru Sin-eng dengan jantung berdebar-debar.
Berkata Coh Liu-hiang dengan
nada berat: “Seumpama aku memberitahu, kau pun takkan bisa berbuat apa-apa,
namun . . . " Mendadak ia bangkit berdiri serta menambahkan: “Tiga hari
lagi, boleh kau menunggu kabarku di taman besar keluarga Lim di Poh-thian.
Sampai saatnya pasti akan kujelaskan siapakah biang keladi dari pembunuhan
Lamkiong Ling dan kuserahkan orangnya kepadamu.”
***
Tanpa kenal lelah Coh
Liu-hiang seharian itu bertunggang di punggung kuda dan membedal kudanya dengan
kencang, langsung menuju Poh-thian.
Maghrib kembali menjelang.
Setelah menitipkan kudanya di tempat yang aman, cuaca petang gelap ini amat
kebetulan malah untuk dirinya sehingga dengan leluasa langsung meluncur ke
Siau-lim-si. Terasa olehnya waktu sudah terlalu banyak terbuang percuma, maka
tidak sempat lagi ia datang secara sewajarnya sebagai tamu, tanpa memberitahu
kedatangannya lagi.
Siau-lim-si di Poh-thian ini
memang tidak sebesar dan seangker Siong-san Siau-lim-si, tapi kuil besar yang
tenggelam dalam tabir malam ini kelihatan angker serta terasa amat seram
seperti raksasa yang bercokol di atas gunung.
Angin malam menghembus sejuk
dan sepoi sepoi basa, sayup-sayup terdengar suara tembang mantra, asap dupa
kelihatan mengepul tinggi. Lapat-lapat terendus bau kayu cendana yang terbakar
harum semerbak, alam diliputi keheningan yang khidmat dan agung, maka terasa
hawa membunuh atau watak kekejian lenyap di sini.
Angin musim rontok menghembus
gundul dedaunan dan menghamburkannya ke atas undakan batu. Pintu besar di ujung
undakan batu di sana terbuka lebar, dari luar pintu di kejauhan samar-samar
kelihatan pepohonan yang tumbuh tinggi besar di tengah pekarangan kelenteng.
Maju lebih jauh ke depan,
itulah ruang pemujaan dan kamar berhala yang besar dan angker. Di tempat ini
setiap orang, pada jam-jam tertentu, boleh keluar masuk dengan leluasa, tapi
pada saat-saat tertentu bukan sembarang orang yang berani sembarang
memasukinya. Nama Siau-lim memang sudah menggetarkan dunia, peduli siapa pun
bila dia tiba di tempat ini, mau tidak mau pasti timbul rasa patuh, hikmah dan
kewaspadaannya. Walau pintu di sini terbuka lebar, tapi siapa pula yang berani
sembarangan melangkah ke tempat seram ini?
Coh Liu-hiang tidak masuk dari
pintu besar, dia langsung melompati pagar tembok. Dalam relung hatinya
lapat-lapat sudah mendapat firasat jelek, terasa meski waktu sesingkat apa pun
tak bisa ditunda-tunda lagi.
Sinar surya yang terakhir
masih memancar dengan cahaya kuning kemerah-merahan redup. Wuwungan rumah yang
berlapis-lapis seperti berlomba mengadu ketinggian. Di bawah pancaran cahaya
sinar matahari yang menguning ini, selayang pandang seperti puncak-puncak
gunung yang bersambung, seolah-olah warna darah sudah bertaburan di puncak
bukit.
Di manakah Thian-hong Taysu?
Bagai burung walet, Coh Liu-hiang meluncur dari satu wuwungan ke wuwungan yang
lain. Diam-diam hatinya bimbang dan bertanya-tanya. Tidak lebih badannya
sedikit lebih merandek, maka terdengarlah seruan sabda Budha: “Omitohud!”
Belum lagi seruan pendek ini
sirap suaranya, di wuwungan rumah yang tinggi ini berturut-turut berkelebat
naik empat sosok bayangan gundul.
Keempat orang ini sama mengenakan
jubah agama warna abu-abu, mengenakan kaos kaki warna putih, rata-rata berusia
empat puluhan, empat raut muka yang angker dan serius, masing-masing memiliki
sepasang biji mata berkilat tajam. Keempat pasang mata yang tajam bersinar ini
semua menatap lekat-lekat ke muka Coh Liu-hiang.
Mau tidak mau Coh Liu-hiang
amat terkejut dibuatnya: “Padri-padri Siau-lim ternyata memang tidak boleh
dipandang rendah!" Hati membatin, sementara lahirnya tetap wajar, katanya
tersenyum simpul: “ Para Taysu, apa sudah makan?”
Pertanyaan yang sudah biasa
dan umum dalam pergaulan, sekedar basa-basi seseorang yang bertemu menjelang
saat-saat waktu makan dengan teman baiknya, kebanyakan sering mengajukan
pertanyaan seperti ini.
Akan tetapi dalam keadaaan dan
di tempat seperti ini, tak urung keempat padri itu sekilas tertegun kemekmek.
Padri tertua yang berdiri di paling kiri segera angkat bicara dengan suara
sangat tajam: “Dua puluh tahun terakhir sudah tidak ada orang Kangouw yang
pernah berpijak di atas wuwungan Siau-lim-si. Sicu (tuan budiman) hari ini
ternyata melanggar kebiasaan ini, tentunya ke mari dengan sesuatu tujuan
tertentu, silahkan kau jelaskan maksud kedatanganmu!”
Coh Liu-hiang tertawa,
ujarnya: ”Maksud kedatanganku, seumpama sudah kujelaskan, tentunya para Taysu
tak mau percaya.”
Beringas muka padri tertua
ini, bentaknya: “Kalau Sicu tidak mau menjelaskan maksud kedatanganmu, jangan
heran kalau pinceng (Padri miskin) beramai akan turun tangan secara gegabah.”
Coh Liu-hiang tertawa getir,
ujarnya: “Selama hidup Cayhe paling pantang bergebrak dengan anak murid
Siau-lim, buat apa para Taysu harus mendesak begini rupa melanggar kebiasaan
lagi.”
Padri tertua itu menjadi
marah, bentaknya: “Kalau Sicu tidak terus terang, silahkan ikut Pinceng turun
ke bawah.” Seiring dengan bentakannya, lengan jubahnya yang gombrong itu
tiba-tiba dikebutkan, melambai enteng laksana awan mengambang, pesat dan kuat
seperti kilat menyambar, langsung menerjang ke tenggorokan Coh Liu-hiang serta
membelitnya.
Sebagai seorang beragama,
tidak enak para padri Siau-lim membawa senjata di kandang sendiri, maka lengan
baju panjang dan gombrong ini sebagai ganti gaman mereka, dalam dunia
persilatan hanya dikenal Lip-in-thi-sia (Lengan Besi Mega Mengalir) adalah
pelajaran tunggal dari Bu-tong-pay, diluar tahu khalayak ramai bahwa kepandaian
kebutan tangan jubah anak murid Siau-lim bukan saja tidak lebih asor dari
kepandaian tunggal Bu-tong-pay itu, malah betapa besar dan kokoh kekuatan
kebutan mungkin lebih unggul dan hebat luar biasa.
Serangan Hwi-siu-kang padri
setengah baya ini bukan saja dapat dibuat menyerang secara kekerasan, dapat
pula diubah secara lebih lunak, tenaga lunaknya malah jauh lebih bermanfaat
karena sekaligus bisa untuk merebut gaman yang dipakai. Sementara kekuatan kerasnya
menggetar putus urat nadi lawannya.
Coh Liu-hiang menghela napas,
katanya: “Murid-murid Siau-lim semua baik dan alim, cuma wataknya saja yang
rada berangasan." Mulut bicara, sementara badannya sudah melambung tinggi
ke udara bagai burung bangau melejit naik ke angkasa. Di kala kata-kata
terakhirnya habis diucapkan, seenteng burung walet badannya sudah melesat empat
tombak jauhnya.
Begitu kebutan lengannya
mengenai tempat kosong, seketika tersirap darah padri setengah baya ini,
serunya: “Sicu, hebat benar Ginkangmu, tak heran kau berani bertingkah dan
mencari gara-gara di Siau-lim-si.”
Serempak keempat padri
bergerak dengan tangkas, masing-masing bergerak menurut posisi masing-masing.
Mereka sudah memperhitungkan, betapa pun jauh lompatan Coh Liu-hiang, tentu
badannya akan meluncur turun dan pinjam wuwungan genteng untuk berpijak. Begitu
kaki menyentuh genteng, berarti orang sudah masuk ke dalam barisan keempat
padri ini.
Di luar tahu mereka, kehebatan
Ginkang Coh Liu-hiang justru lain dari yang lain, ternyata badannya bisa
meluncur terus tanpa mencari tempat berpijak. Badannya laksana ikan dalam air,
sekali meliuk dan melejit pula, tahu-tahu badannya sudah melesat empat tombak
pula ke depan dengan kepala di bawah kaki di atas, langsung ia menukik turun
dan menghilang di bawah emperan yang gelap pekat. Terdengar suaranya
berkumandang dari kejauhan: "Cahye ke mari bukan untuk bertingkah. Setelah
urusan kuselesaikan, pasti aku akan menemui para taysu untuk mohon maaf
sebesar-besarnya."
Keempat padri ini sama
menjublek di tempat, rona muka mereka berubah beberapa kali.
Padri tertua itu bersuara
dengan nada berat: “Hian-hoat segera memberi kabar akan terjadi perubahan.
Hian-thong dan Hian-biau, ikuti jejakku.” Sembari bicara, lekas ia menubruk ke
arah datangnya suara Coh Liu-hiang. Tapi bintang kelap-kelip di angkasa raya,
angin malam menghembus sepoi-sepoi menggerakkan dedaunan pohon, mana kelihatan
bayangan Coh Liu-hiang lagi?
Coh Liu-hiang maklum kalau
saat sekarang dia minta bertemu dengan Thian-hong Taysu, sekali-kali para padri
Siau-lim ini takkan sudi membawa dirinya. Kalau toh dijelaskan takkan menjadi
beres, terpaksa ia main terobos dan bertindak kasar.
Begitu bayangan tubuhnya
menyusup ke tempat gelap, cepat sekali sudah meluncur terbang pula ke depan,
tidak menuju ke tempat lain, kembali dia melesat balik ke wuwungan rumah yang
paling tinggi di mana tadi dirinya berpijak.
Dilihatnya ketiga padri yang
memburunya berkelebat lewat di bawah emper rumah, siapa pun tiada yang menduga
bahwa dia balik ke tempatnya semula, maka melirik pun tidak ke arah sini.
Coh Liu-hiang menunggu kira
kira beberapa menit, maka terdengarlah di berbagai bangunan kelenteng yang luas
dan besar ini suara ketukan Bok-khi yang bersuara datar, rendah dan berat.
Beruntun kelihatan bayangan orang yang gesit dan tangkas berterbangan lompat
dari satu wuwungan dengan lincah sekali.
Naga-naganya Siau-lim-si meski
tempat yang aman tenteram, tapi betapa cepat dan cekatan gerak-gerik mereka
dalam menghadapi perubahan ini serta kewaspadaan yang tinggi, sungguh tidak
malu dipandang sebagai tempat terlarang dan angker bagi kaum persilatan.
Dengan tertawa kecut Coh
Liu-hiang membatin: “Maksudku supaya bisa selekasnya berhadapan dengan
Thian-hong Taysu, siapa tahu dengan adanya keadaan serba tegang dan ribut ini
mungkin tidak leluasa aku bertindak."
Teringat akan keadaan
Thian-hong Taysu yang sungguh amat mendesak dan berbahaya, mau tidak mau
hatinya jadi bingung dan gelisah. Apa boleh buat, sampai detik ini dia sendiri
masih belum tahu di mana letak tempat bersemayam Thian-hong Taysu.
Kini suara Bok-khi sudah
berhenti, suasana kelenteng kuno yang angker ini semakin hening lelap dan seram
menakutkan.
Tapi terasa oleh Coh Liu-hiang
suasana hening dan ketenangan yang luar biasa ini justru lebih berbahaya bagi
dirinya. Kelenteng yang kelihatan dilingkupi ketenangan ini bahwasanya
tersembunyi suatu mara bahaya yang hebat dan mengancam jiwa.
Namun tiada tempo buat dia
untuk banyak berpikir. Sekilas ia pejamkan mata berpikir sebentar, mendadak ia
menerjang keluar dari tempat gelap dan melesat ke sebuah wuwungan kelenteng di
seberang sana.
Pakaiannya melambai melawan
angin, badannya sudah melambung tinggi, seluruh bangunan kelenteng Siau-lim-si
seolah-olah berada di bawah kakinya. Betul juga, jejaknya seketika kelihatan
oleh orang di bawah.
Tampak bayangan orang mulai
bergerak, berkelebat secepat kilat, dari pekarangan luas di berbagai tempat di
bawah sana langsung menubruk ke suatu arah yang sama, cuma pekarangan kecil di
sebelah barat sana sedikit pun tidak memperlihatkan reaksi apa-apa.
Tanpa menunggu kedatangan
mereka, cepat Coh Liu-hiang melesat ke arah sana, serunya sambil tertawa
panjang, “Cang-king-kek, perpustakaan Siau-lim terkenal di seluruh jagat, para
Taysu apakah boleh pinjamkan kepadaku untuk kubaca sekedarnya?”
Begitu lenyap suara tawanya,
cepat sekali luncuran badannya membelok arah, tidak ke arah selatan, malah
menuju ke beberapa gerombolan pohon-pohon besar yang rimbun dengan dedaunannya,
ke sana ia melesat dan menyembunyikan diri. Terdengar sahut-menyahut di bawah
sana berkata: “Ternyata benar orang tu hendak menyatroni ke
Cang-king-kek."
“Awas, hati-hati! Perhatikan
Cang-king-kek!"
Kekayaan buku-buku agama yang
tersimpan di Siau-lim-si memang menjagoi di seluruh dunia. Orang-orang yang
menyerempet bahaya menyelundup masuk ke Siau-lim memang kebanyakan bertujuan
mencuri kitab-kitab pelajaran silat, agama dan lwekang dan buku macam lainnya
yang tak terhitung banyaknya, rata rata buku pusaka yang tak ternilai harganya.
Para padri Siau-lim sudah tentu sama menyangka Coh Liu-hiang meluruk datang
hendak mengincar sesuatu di Cang-king-kek, siapa pula yang tahu dan sadar bahwa
dia sengaja memancing mereka bersuara di timur menggempur di barat, sengaja ia
main petak umpet secara lihai.
Tampak bayangan orang
berkelebat dan berlari-lari menuju ke timur, cepat sekali Coh Liu-hiang sudah
meluncur ke arah barat, arah yang berlawanan.
Kali ini dia tidak meluncur di
atas genteng, tapi menyusuri serambi panjang dari bangunan-bangunan megah itu.
Di balik bayang-bayang pepohonan, semua kamar-kamar yang dilalui tiada
kelihatan sorot api. Di antara keresekan bunyi dedaunan pohon, sayup-sayup
terdengar tembang mantra yang mengalun lirih.
Pekarangan nan sepi tak
kelihatan bayangan manusia, terasa dilingkupi suasana kesunyian yang tak
terkendalikan. Kehidupan para padri di dalam kelenteng kuno yang serba sunyi
ini, entah bagaimana mereka melewatkan hari demi hari dalam kehidupan yang
tawar ini.
Tanpa berlambat-lambat lagi
Coh Liu-hiang terus beranjak maju, sementara dalam hati diam-diam ia menghela
napas. Bagi orang-orang yang tahan hidup dalam kesunyian ini, betapa pun dalam
hati ia menaruh hormat dan salut setinggi-tingginya.
Soalnya Coh Liu-hiang cukup
prihatin, dia sendiri pernah mengalami, tiada sesuatu kesunyian di dalam
kehidupan duniawi seperti ini yang bisa ditahan.
Begitulah, dengan tindakan
cepat, dari satu bangunan ke bangunan lain, dari pekarangan sini lewat ke
pekarangan yang satunya pula, serambi sini, membelok ke sana, kamar-kamar yang
dilewati semua gelap gulita. Lantai papan batu hijau yang kelihatan mengkilap
tersorot sinar bintang-bintang di langit, sepetak demi sepetak meluncur mundur
pesat sekali.
Sekonyong-konyong didengarnya
suara bentakan yang berat: “Sicu harap berhenti!”
Segulung tenaga pukulan yang
membawa deru angin amat dahsyat tahu-tahu sudah merangsek tiba ke mukanya.
Coh Liu-hiang kertak gigi,
tidak berkelit tidak menyingkir, ia pun tidak balas menyerang. Dengan kekerasan
kulit dagingnya, ia mandah digenjot oleh sejurus Pek-poh-sin-kun (Pukulan Sakti
dari Ratusan Langkah) yang cukup ampuh untuk menghancurkan batu gunung
sekalipun.
Tampak badannya bagai dilanda
gelombang pasang yang dahsyat sehingga badannya terpental terbang ke belakang.
Padri beralis putih berjenggot
panjang di hadapannya agaknya merasa di luar dugaan bahwa dengan sekali
pukulannya dengan telak merobohkan lawan. Tapi terasa pandangannya serasa
kabur, pemuda yang digenjotnya terpental terbang itu tahu-tahu melejit bangun
dan terbang kembali ke hadapannya, malah berseri tawa lagi. Bukan saja
gerak-geriknya cekatan dan enteng, pergi datang seperti kilat, lebih hebat lagi
bahwa pukulan sakti dengan jurus Khek-san-bak-gu (Dari Balik Gunung Memukul
Kerbau) dari Siau-lim ternyata sedikit pun tidak melukai anak muda ini.
Keruan si Taysu pengawas
gereja yang punya latihan silat puluhan tahun dengan keyakinan lwekangnya yang
tiada taranya seketika melongo dan menjublek di tempatnya. Dengan mendelong ia
mengawasi Coh Liu-hiang, sesaat lamanya tak kuasa bersuara.
Coh Liu-hiang sengaja mandah
terpukul, tujuannya memang hendak bikin si padri terkesima dan sementara tak
bersuara membuat kaget orang lain. Kalau tidak, betapapun raganya bukan dibuat
dari baja, memangnya ia kuat bertahan dari pukulan beruntun yang sudah cukup
membuatnya kapok ini?
Akhirnya si padri berkata
dengan pelan-pelan: “Sicu memiliki ilmu silat setinggi ini, Loceng belum pernah
menghadapinya, entah dapatkah Sicu memperkenalkan diri?”
Coh Liu-hiang tersenyum,
katanya: “Kalau Cahye perkenalkan namaku, mungkin Taysu akan sangka
kedatanganku ini hendak mencuri buku pusaka di sini.”
Padri alis putih berkata:
“Kalau Sicu hendak mencuri sesuatu di sini, pastilah kau tidak akan datang ke
tempat ini.”
Coh Liu-hiang tertawa,
terpaksa ia perkenalkan diri: “Cahye Coh Liu-hiang!”
Mencelos hati si padri alis
putih, serunya tertahan: “Apakah Maling Romantis Coh Liu-hiang?”
Coh Liu-hiang mengelus hidung,
sahutnya tertawa: “Taysu jauh berpisah dengan duniawi, tak nyana ternyata tahu
juga julukan busuk Cayhe yang memalukan itu?”
Roman muka si padri yang
semula tegang dan membesi sekarang kelihatan mengendor dan unjuk rasa gembira.
Sorot matanya yang berkilat dingin kini terunjuk senyuman riang pula, katanya
kalem: “Walau Loceng sudah lama terasing dari keramaian diunia persilatan tapi
aku punya seorang Sute yang punya pengalaman luas dan pergaulan bebas. Setiap
kali dia datang ke mari, tentu dia bercerita banyak persoalan lucu-lucu, aneh
dan kisah yang menarik. Demikian juga kebesaran serta kepahlawanan Coh
Liu-hiang yang perwira, merupakan kisah-kisah petualangan yang menarik di
antara cerita-cerita yang kudengar.”
“Orang yang Taysu maksudkan
apakah Bu Hoa?” tanya Coh Liu-hiang.
Padri alis putih tersenyum,
ujarnya; “Selama ratusan tahun ini, murid Siau-lim yang punya pergaulan dan
pengalaman luas seperti itu hanya dia seorang.”
“Dia....apakah sekarang dia
berada di sini?” tanya Coh Liu-hiang tak sabar.
“Kedatangan Sicu apakah hendak
mencari dia?”
“Maksud utama kedatangan Cayhe
sebetulnya hendak mohon bertemu dengan Thian-hong Taysu.”
“Ciangbun-suheng sudah lama
tidak menerima tamu orang luar, tapi terhadap Coh-sicu tentunya dia masih suka
menerimanya, cuma sayang kedatangan Sicu sekarang kurang kebetulan.”
“Apakah Thian-hong Taysu
sudah...” tanya Coh Liu-hiang gugup.
Padri alis putih tersenyum
lebar, katanya: “Ciangbun-suheng sudah bebas dari segala kesulitan pikiran yang
mengganggu kehidupan manusia pada umumnya, kini hanya punya hobi suka menikmati
berbagai macam dedaunan teh, sejak kedatangannya dulu sampai sekarang
kesenangannya belum pernah luntur dan berubah. Sekarang dia sedang melihat daun
teh, siapa pun dilarang mengganggunya."
Coh Liu-hiang menghela napas
lega, katanya tertawa lebar berseri: “Jikalau Thian-hong sedang menikmati teh
dengan penilaiannya seorang diri, sekali-kali Cayhe tidak berani mengganggu dan
tidak segugup ini, cukup asal aku bisa bertemu lebih dulu dengan Bu Hoa Suheng
juga sama sajalah.”
“Kalau kedatangan Sicu
kebetulan tidak bisa berhadapan dengan Ciangbun-suheng, maka jangan harap kau
bisa bertemu dengan Bu Hoa pula.”
“Kenapa?” tanya Coh Liu-hiang.
Padri alis putih tersenyum
pula, ujarnya: “Murid Siau-lim kami yang pandai dan pernah menikmati serta
menilai kenikmatan teh dari Tang-ni juga cuma Bu Hoa seorang. Asal dia datang
ke mari, tugas pertama yang dia lakukan ialah menggodok wedang menyeduh teh
bagi Ciangbun-suheng.”
Seketika berubah hebat air
muka Coh Ling-hiang, jeritnya: “Jadi Bu Hoa sekarang sedang bantu Thian-hong
Taysu menggodok wedang menyeduh teh?”
Padri alis putih
manggut-manggut, sahutnya tertawa: “Kalau Coh-sicu ingin bertemu dengan mereka,
mungkin harus tunggu sampai besok pagi.”
Boleh dikata saking gugupnya
Coh Liu-hiang sudah hampir gila, namaun akhirnya dia bisa berlaku tenang,
katanya: “Apakah di pekarangan belakang sana tempat mereka menikmati air teh?”
“Betul!” sahut padri alis
putih manggut.
Tiba-tiba Coh-Liu-hiang
menuding ke belakang padri alis putih, katanya: “Tapi yang mendatangi di
belakang Taysu itu bukankah Bu Hoa?”
“Di mana?” tanya padri alis
putih sambil berpaling.
Begitu dia berpaling, di
belakangnya kosong melompong tak terlihat bayangan seorang pun. Waktu ia
berpaling ke muka pula, Coh-Liu-hiang di hadapannya tahu-tahu sudah lenyap tak
karuan perannya.
Begitu kepala gundul si padri
berpaling, badan Coh Liu-hiang lantas menerjang terbang ke sana. Luncuran
tubuhnya ini sudah ia kerahkan seluruh kekuatannya. Sebelumnya dia sudah incar
dan siapkan tempat injakan kakinya. Begitu ujung kaki menutul bumi, kembali
badannya melesat empat tombak. Belum lagi padri alis putih sempat berpaling,
bayangannya sudah berkelebat puluhan tombak jauhnya. Ginkang Coh Liu-hiang yang
tiada bandingannya di seluruh jagat, setelah dikembangkan di saat yang teramat
genting ini, tempo kecepatannya sungguh luar biasa. Menunggu kepala si padri
berpaling pula, bayangannya sudah menyelinap ke pinggir pagar tembok yang lebih
rendah di belakang sana.
Di belakang pagar tembok yang
rendah ini, terdapat sebuah pekarangan kecil pula, rumput dan pepohonan kembang
tumbuh subur dan terawat baik di sini. Di tengah rumpun bambu di sebelah kiri
sana, terdapat tiga bilangan gubuk pintu terbuka dengan kerai bambu menjuntai
turun. Dari sela-sela kerai yang lembut memandang ke dalam, samar-samar
kelihatan dua sosok bayangan orang sedang duduk bersimpuh berhadapan di atas
lantai.
Suasana di sini sunyi senyap,
angin menghembus dedaunan, bayangan orang di atas kerai jadi bergerak-gerak
turun naik, seolah-olah mereka berdua sedang berada di khayangan.
Orang di sebelah kanan terang
adalah Bu Hoa.
Sebuah anglo kecil yang
terbuat dari tanah merah berada di depannya. Selain sebuah ceret tembaga dan
sebilah kipas, terdapat pula seperangkat peralatan minuman teh yang amat bagus.
Saat itu, tiga buah mangkok kecil sebesar cangkir arak sudah sama diisi penuh
air teh, serangkum bau teh yang semerbak terendus keluar dari celah-celah kerai
bambu, ditambah bebauan kuntum kembang harumnya sungguh memabukkan.
Yang duduk di hadapan Bu Hoa
adalah seorang padri tua yang lanjut usia dengan badan kurus kering, jenggot
dan alisnya sudah memutih. Saat itu dia sedang menerima secangkir air teh dari
tangan Bu Hoa. Sambil pejamkan mata, pelan-pelan ia angkat cangkir teh itu ke
dekat mulutnya hendak ditenggaknya habis.
Sekonyong-konyong Coh
Liu-hiang membentak keras. Secepat anak panah ia menerjang masuk ke balik kerai
bambu seraya berseru: “Air teh ini tak boleh diminum!”
Begitu melihat dirinya,
seketika berubah roman muka Bu Hoa, tapi cepat sekali sikapnya sudah tenang
kembali.
Sebaliknya kulit daging di ujung
mulut Thian-hong Taysu sedikit bergerak pun tidak. Naga-naganya, andaikan dunia
kiamat dan langit jatuh di hadapannya, roman mukanya pun takkan berubah atau
terkejut.
Namun dengan kalem ia
meletakkan cangkir tehnya, pelan-pelan pula membuka matanya yang terpejam.
Dipandang oleh sorot mata yang
tajam ini, Coh Liu-hiang sendiri merasa rikuh dan serba salah malah.
KENANGAN MASA LALU
Berkata Thian-hong Taysu
tawar: “Sicu ke mari main terjang secara gegabah, apakah tidak merasa terlalu
kasar?”
Lekas Coh Liu-hiang menjura,
sahutnya, “Cahye terlalu terburu nafsu, harap Taysu suka maafkan kekasaran
Cayhe!”
Sesaat lamanya Thian-hong
menatapnya lekat-lekat, katanya pula kalem: “Selama duapuluh tahun ini, yang
bisa menerjang masuk ke mari sepanjang jalan ini, Sicu merupakan orang pertama.
Kalau kau mampu ke mari, tentulah bukan orang sembarangan. Silakan duduk dan
minum teh dulu, bagaimana?”
Padri agung dari Siau-lim ini
ternyata latihannya sudah mencapai puncak kesempurnaannya, sedikit pun tidak
timbul amarahnya karena ketenangannya terganggu, mau tidak mau Coh Liu-hiang
merasa kagum dan memuji dalam hati.
Bu Hoa ikut tersenyum,
timbrungnya: “Benar, kalau toh Coh-heng sudah ke mari, kenapa tidak duduk dulu
minum secangkir teh untuk menghilangkan lelah di tengah jalan.”
Thian-hong Taysu tertawa
tawar, katanya: “Ternyata Coh-sicu adanya, tak heran Ginkangmu begitu tinggi,
dalam dunia ini tiada orang kedua yang bisa menandingi.”
“Tidak berani!” sahut Coh
Liu-hiang merendahkan diri.
Berkata Thian-hong Taysu
tertawa: “Walau sudah lama Lo-ceng terpisah dari urusan duniawi, tapi bisa
berhadapan dengan kegagahan dan kehebatan tunas muda jaman ini, sungguh hatiku
teramat gembira. Kuilku yang bobrok ini tiada arak untuk menyambut
kedatanganmu, silahkan Coh-sicu minum teh saja.” Kembali ia angkat cangkir teh
pula.
Lekas Coh Liu-hiang berseru
mencegahnya lagi: “Teh ini tidak boleh diminum.”
“Walau air teh ini belum
termasuk minuman dewata, sudah terhitung kualitas pilihan juga, kenapa tidak
boleh diminum?”
Sekilas mengerling kepada Bu
Hoa, tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa, katanya: “Cayhe terima titipan seorang
sahabat, kini kubawakan daun teh yang terbaru dan pasti luar biasa rasanya, dan
lagi Cayhe yakin benar mengenai penilaian kualitas air teh ini Cayhe pun cukup
ahli. Masakan Taysu tidak sudi mencicipinya lebih dulu?”
Seketika terbuka seri tawa
Thian-hong Taysu, katanya senang: “Kalau demikian, biarlah Lo-ceng tunda minum
yang ini dan rasakan dulu teh yang kau bawa."
Padri tua yang sudah mencapai
puncak kesempurnaan latihan Lwekang dan silatnya ini, menghadapi persoalan apa
pun takkan tergoyahkan imannya, tapi mendengar adanya seduhan air teh dari
seorang ahli, seketika tak terkendali rasa senangnya.
Dalam hati Bu Hoa teramat
gusar, namun sikap dan mimik wajahnya sedikit pun tidak pernah menampilkan
perasan hatinya. Ternyata ia pun tersenyum, katanya: “Tak nyana Coh-heng pun
punya kegemaran ini. Bagus, sungguh bagus!”
Segera ia bangkit berdiri,
tempat menyeduh teh ia berikan pada Coh Liu-hiang, sedang beberapa cangkir teh
yang sudah dia seduh tadi semuanya dia buang keluar perkarangan.
Coh Liu-hiang memandangnya
sekali, katanya tertawa: “Air yang begitu berharga dibuang begitu saja, apa
tidak sayang?”
Dia tidak mengatakan 'teh'
namun menyebut ‘air’, cuma saja tidak secara langsung ia menyebut nama
Thian-it-sin-cui. Namun sikap Bu Hoa tetap tenang dan wajar, sahutnya tertawa:
“Air hasil saringan dari cairan salju murni ini memang cukup berharga, namun
simpanan dalam kuil kami tidak sedikit jumlahnya. Coh-heng kalau punya hasrat
boleh nanti bawa segentong kalau mau pulang!”
Diam-diam Coh Liu-hiang
menghela napas, dengan laku hormat ia bersimpuh dan mulai membuat api menggodok
wedang.
Tiba-tiba Thian-hong Taysu
tertawa tawar, katanya: “Sekarang airnya belum matang, Coh-sicu berkesempatan
mengutarakan maksud kedatanganmu. Menghadapi teh kualitas paling baik adalah
pada saat-saat hati Lo-ceng paling riang. Jikalau Coh-sicu ada persoalan yang
perlu dibicarakan, kinilah saatnya yang terbaik.”
Mendadak terasa oleh Coh
Liu-hiang senyum dikulum padri tua kosen yang tawar ini hakikatnya mengandung
kecerdasan luar biasa yang tak terukur tingginya. Sorot mata yang tenang dan
kalem ini seolah-olah bisa main selidik akan isi hati seseorang yang
dipandangnya.
Perlahan-lahan Coh Liu-hiang
menghela napas, katanya: “Kedatangan Wanpwe hanya ingin mohon Taysu suka
mendongeng.”
“Mendongeng?” Thian-hong Taysu
rada mengerutkan kening.
“Puluhan tahun yang lalu, ada
seorang pendekar samurai bernama Thian-hong-cap-si-long yang datang dari negeri
seberang. Beliau pernah menantang bertanding kepandaian silat dengan para
tokoh-tokoh silat kosen dari Tionggoan, satu di antaranya adalah Jin-lopangcu
dari Kaypang, seorang yang lain entah apa benar Taysu adanya?”
Lama Thian-hong Taysu berdiam
diri, entah sedang menepekur, baru akhirnya ia tarik napas panjang, katanya
prihatin: “Peristiwa dua puluh tahun yang sudah lalu, Lo-ceng sudah hampir
melupakannya,tak nyana hari ini Sicu menyinggung pula peristiwa itu... Benar,
orang kedua yang Sicu maksudkan memang Lo-ceng adanya."
Bersinar biji mata Coh
Liu-hiang, katanya: “Thian-hong-cap-si-long menyeberangi lautan untuk menantang
bertanding, namun tiada minatnya untuk mencapai kemenangan dan tidak mencari
ketenaran, sebaliknya malah pasrah nasib dan terima binasa demikian saja. Kalau
rabaan Wanpwe tidak meleset, apakah dia membekal sesuatu urusan hati yang
menyedihkan?”
Kembali Thian-hong Taysu
menepekur sekian lamanya, sahutnya pelan-pelan : “Rabaanmu tidak meleset,
memang dia punya urusan yang menyedihkan.”
“Jikalau Taysu sudi
menjelaskan, sungguh tak terhingga rasa terima kasih Wanpwe!” Coh Liu-hiang
mohon setulus hati.
Berkilat tajam mata Thian-hong
Taysu. Lama ia tatap Coh Liu-hiang, katanya menghela napas. “Pengalaman lalu
laksana asap mega, sebetulnya Lo-ceng tidak mau menyinggungnya pula. Tapi Sicu
datang dari tempat nan jauh, maksudnya hanya ingin tahu seluk-beluk peristiwa
itu, dalam hal ini persoalan satu sama lain yang bersangkut-paut tentu amat
besar artinya."
Coh Liu-hiang mengangguk,
ujarnya: “Taysu bijaksana dan tahu betapa pentingnya urusan ini. Wanpwe tidak
akan menyimpan rahasia persoalan ini, sangkut-paut urusan ini memang amat
penting dan besar artinya, tapi Wanpwe boleh berjanji dan bersumpah bahwa
Wanpwe bersusah payah hendak membikin terang peristiwa misterius ini
sekali-kali bukan demi kepentingan pribadi atau hendak mencari ketenaran,
terutama bukan untuk maksud kejahatan.”
Thian-hong Taysu tertawa
tawar, ujarnya: “Kalau Sicu punya maksud jahat dan tujuan pribadi, mana mungkin
bisa duduk di tempatku ini?”
Bergetar jantung Coh
Liu-hiang, lekas dia membungkuk hormat dan berkata: “terima kasih akan
kebijaksanaan Taysu dan sukalah memeriksanya.”
Thian-hong Taysu pejamkan
kelopak matanya, katanya pelan-pelan: “Thian-hong-cap-si-long teguh hati dan
perkasa sekali. Sedemikian besar hobinya akan ilmu silat, namun sayang dia pun
seorang yang terlalu romantis. Dua puluh tahun lebih yang lalu, Hoa-san dan
Ui-san dua keluarga besar persilatan terjadi bentrokan hebat sehingga pertarungan
berlangsung sampai bertahun-tahun, dengan akibat yang amat fatal bagi kedua
belah pihak. Terutama pihak Ui-san, akhirnya mengalami kekalahan total dan
habis-habisan, terakhir yang masih bertahan hidup tinggal Li Ki seorang."
Tak tahan Coh Liu-hiang bertanya:
“Apa sangkut-pautnya peristiwa ini dengan Thian-hong-cap-si-long?”
Tutur Thian-hong Taysu lebih
lanjut tanpa hiraukan pertanyaan Coh Liu-hiang: “Demi menyelamatkan diri, nona
Li Ki naik kapal dagang ikut berlayar ke negeri seberang, yaitu Hu-siang. Waktu
itu dia sendiri pun terluka dalam yang cukup parah, ditambah kehidupan di atas
lautan yang serba kekurangan, setiba di Hu-siang-to maka penyakitnya sudah
teramat parah dan sukar disembuhkan lagi.”
“Apakah nona Li Ki ini
akhirnya bertemu dengan Thian-hong-cap-si-long di Hu-siang-to itu?” tanya Coh
Liu-hiang pula.
Thian-hong menghela napas,
katanya: “Begitulah kejadiannya. Diam-diam sejak melihat pertama kalinya,
Thian-hong-cap-si-long pun jatuh cinta kepadanya, sampai beberapa hari tidak bisa
tidur tidak enak makan. Dengan segala jerih payah dan usahanya, lambat laun ia
mengobati dan menyembuhkan nona Li. Sudah tentu mau tidak mau nona Li teramat
haru dan merasa hutang budi akan ketelitian rawatannya yang begitu telaten.
Hari keempat setelah luka-lukannya sembuh, lantas dia menjadi suami isteri
dengan Thian-hong-cap-si-long."
Coh Liu-hiang tersenyum,
ujarnya: “Perjodohan ditentukan takdir dan kehendak Thian. Akad nikah terjadi
di luar lautan, benar-benar merupakan suatu legenda yang menawan hati.”
“Cuma sayang kehidupan yang
mereka kecap bersama tidak terlalu panjang. Setelah nona Li melahirkan dua
orang putera Thian-hong-cap-si-long, suatu ketika mendadak dia tinggal pergi
tanpa pamit, hanya meninggalkan sepucuk surat.”
Coh-Liu-hiang terperanjat,
jeritnya: “Masakah dia kembali ke Tiong-toh pula?”
"Meski hal itu belum
berani dipastikan lagi, kejadian tentu seperti terkaanmu, karena tidak lama
setelah nona Li meninggalkan Thian-hong-cap-si-long, empat orang dari
Hoa-san-cit-kiam yang masih ketinggalan hidup mendadak semua menemui ajalnya
secara mengenaskan. Banyak tersiar kabar simpang siur di kalangan Kang ouw.
Katanya, nona Li Ki, satu-satunva keluarga yang masih hidup dari warga
Ui-san-pay, pulang menuntut balas bagi kematian ayah dan para saudaranva.”
Coh Liu-hiang menepekur,
katanva kemudian: “Kalau demikian, pada waktu di Hu-siang to tentu nona Li ini
pernah mempelajari semacam ilmu kepandaian silat yang tiada taranya, atau
mungkin pula hasil pelajaran dari Thian-hong-cap-si-long!”
"Dalam hal ini terkaanmu
tidak seluruhnya benar,” ujar Thian-hong Taysu. "Sekali-kali
Thian-hong-cap-si-long tidak pernah mengajarkan sejurus ilmu silat kepadanya.
Dia pasti pernah menemukan sesuatu keajaiban yang besar artinya. Mengenai
rejeki besar apa yang dia pernah peroleh, hal itu dia rahasiakan dan mengelabui
Thian-hong-cap-si-long pula.”
“Benar, penemuan nona Li itu
pastilah amat luar biasa anehnya. Kalau tidak di dalam jangka waktu yang begitu
pendek, ilmu silatnya takkan mungkin bisa maju berlipat ganda tingginya,
sekaligus ia berhasil membunuh Hoa-san-su-kiam..... Tapi setelah ia berhasil
menuntut balas, apakah dia tidak kembali ke Tang-ni untuk menengok dan mengasuh
pula kedua putranya?”
“Tidak,” sahut Thian-hong
Taysu. “Waktu itu putranya yang kecil masih merupakan orok kecil yang
memerlukan air tetek ibunya. Betapa pedih dan marah Thian-hong-cap-si-long
waktu itu, maka ia cepat-cepat berlayar pulang ke Tiong-toh dengan membawa
kedua anaknya itu untuk mencari ibunya.”
‘Apakah dalam kalangan Kangouw
wakiu itu tiada mendengar kabar beritanya nona Li itu?” tanya Coh Liu-hiang.
“Justru di situlah letak
keanehannya,” ujar Thian-hong Taysu. "Setelah nona Li itu melakukan
peristiwa besar yang mengejutkan langit menggetarkan bumi itu, ternyata lantas
menghilang entah menyembunyikan diri di mana, seolah-olah ia menghilang dari
permukaan bumi ini. Dengan susah payah Thian-hong-cap-si-long mencarinya selama
setahun lebih tanpa hasil, akhirnya dia putus asa.... Waktu itulah baru dia
datang ke mari.”
"Jadi, begitu tiba di
Tiong-toh, dia tidak lantas menantang bertanding dengan Taysu?” Coh Liu-hiang
menegas.
Thian-hong Taysu menarik napas
panjang, ujarnya: “Dia mendesak dan ribut kepadaku menantang bertanding, aku
berkukuh menampiknya. Belakangan, saking kewalahan, dia main kasar dan membakar
Cang-king-kek. Aku terdesak dan apa boleh buat, terpaksa kuterima tantangannya
untuk mengadu tiga kali pukulan tapak tangan. Siapa tahu... siapa tahu waktu
aku lancarkan pukulan yang ketiga, ternyata dia tidak berkelit dan tidak
menyingkir, tidak lantas menyerang atau melawan pula, karena tak sempat menarik
kembali, sehingga dia terluka parah.”
Coh Liu-hiang tersenyum ewa,
katanya: “Ternyata tidak meleset terkaan Wanpwe. Waktu itu dia sudah putus asa
dan dingin perasaannya, tiada niatnya hidup lebih lama pula, maka dia pikir
hendak menyerahkan kedua putranya kepada dua orang yang cocok dipasrahi, maka
tanpa tanggung-tanggung sengaja dia terima dilukai oleh Thian-hong Taysu.”
Tutur Thian-hong Taysu lebih
lanjut dengan rawan: “Setelah aku melukainya, segera kupapah dia masuk ke
tempat semediku. Siapa tahu, di saat aku mengambil obat, tahu-tahu dia sudah
pergi tanpa pamit, hanya meninggalkan sepucuk surat. Dibeberkannya pengalaman
hidupnya, minta pula kepadaku supaya mau menerima putra sulungnya serta
mendidiknya. Waktu aku menyusul ke tempat yang dia tunjuk dalam suratnya,
pikirku hendak mengembalikan putra sulungnya itu, ternyata di tempat itu aku
bertemu dengan Jin-lopangcu, barulah aku tahu bahwa dia sudah menemui ajal di
tangan Jin-lopangcu.”
Cerita panjang yang merupakan
tragedi yang menyedihkan ini dituturkan oleh seorang padri tua dengan tenang
dan mantap bagaikan sang Budha, lebih terasa merasuk dan mengundang kepiluan
yang menyesakkan napas dan misterius.
Sejak tadi Bu Hoa duduk dengan
tenang di tempatnya, sekalipun tidak kentara perubahan mimik mukanya.
Thian-hong Taysu dan Coh Liu-hiang sejak tadi pun tak berpaling kepadanya,
seolah-olah tiada kehadirannya di tempat itu.
Seolah-olah seorang yang
berada di luar lingkungan dan persoalan yang dibicarakan sedikit pun tiada
sangkut paut dengan dirinya, cerita memilukan yang dikisahkan Thian-hong Taysu
itu seperti tidak pernah mengetuk sanubarinya.
Sesaat keheningan melingkupi
ruang semedi yang kecil ini, disusul suara air bergolak memecah kesunyian.
Dengan laku hati-hati dan
pelan-pelan Coh Liu-hiang mulai menyeduh daun teh yang dia bawa.
Setiap gerak-gerik tangannya
sedemikian hati-hati, waspada dan tepat, memang dia sedang pinjam gerakan yang
lambat dan mantap ini untuk menekan dan mencuci bersih pikiran batinnya yang
sedang kalut dan risau.
Lalu dengan kedua tapak
tangannya ia bimbing secangkir air teh yang masih panas mengepul itu dan
diangsurkan ke hadapan Thian-hong Taysu dengan laku hormat, katanya dengan suara
berat, “Terima kasih, Taysu!”
Dengan kedua tangannya pula
Thian-hong Taysu menerima cangkir teh itu, katanya kalem, “Peristiwa dulu serta
urusan yang ingin kau ketahui, kini sudah tahu belum?”
Coh Liu-hiang mengiakan sambil
manggut-manggut.
Thian-hong Taysu tertawa
tawar, ujarnya, “Bagus sekali, apa yang dapat Lo-ceng uraikan ya hanya sebegitu
saja!”
Ternyata dia tidak tanya
kepada Coh Liu-hiang untuk apa dia ingin tahu peristiwa masa lalu yang
terpendam ini. Mulailah dia menghirup air teh itu dengan laku yang penuh
perhatian dan nikmat sekali. Sekilas itu raut mukanya yang semula kelihatan
serius dan angker seketika mengendur dan luluh. Nampak sorot matanya yang
mengandung kepedihan itu tampak semakin tebal, maka mulailah dia pejamkan
kelopak matanya pelan-pelan, gumamnya, “Secangkir air teh ini memang jauh lebih
nikmat dan baik kualitasnya dari air teh yang terdahulu tadi.”
Lama Coh Liu-hiang mengawasi
raut mukanya serta gerak-geriknya dengan segala perhatiannya, sungguh tak
teraba olehnya bahwasanya padri tua yang punya kedudukan luar biasa ini entah
berapa banyak mengetahui seluk-beluk persoalan yang dia hadapi, tak tertahan ia
bertanya, “Apa tiada sesuatu yang Taysu hendak tanyakan kepada Cayhe?”
Sesaat Thian-hong taysu diam
saja, katanya tawar, “Apakah Jin-lopangcu sudah wafat?”
Matanya tidak terbuka,
seolah-olah pertanyaan ini ia ajukan sambil lalu saja.
Sebaliknya Coh Liu-hiang
menghela nafas panjang, cepat ia mengiakan. Kembali ia suguhkan secangkir air
teh yang sama, katanya, “Apa yang ingin Taysu ketahui, sekarang tentunya sudah
jelas seluruhnya.”
Thian-hong Taysu hanya
manggut-manggut tanpa bersuara lagi.
Perlahan-lahan Coh Liu-hiang
bangkit berdiri, katanya, “Entah bisakah Taysu memberi ijin supaya Wanpwe
berbicara beberapa patah kata dengan Bu Hoa Suheng?”
Sahut Thian-hong Taysu
pelan-pelan, “Persoalan yang perlu dibicarakan memang perlu dikatakan. Pergilah
kalian!”
Baru sekarang Bu Hoa bangkit
berdiri. Sikap dan tindak-tanduknya kelihatan masih sedemikian adem-ayem dan
seperti tidak terjadi apa-apa. Dengan hormat ia menjura kepada Thian-hong
Taysu, tanpa bersuara diam-diam ia mengundurkan diri. Sepatah kata pun ia tak
bersuara.
Waktu badannya sudah hampir
mundur keluar dari kerai bambu, Thian-hong Taysu mendadak pentang mata
memandangnya sekilas. Arti yang terkandung dalam sorot matanya kelihatannya
amat ruwet dan tak dapat dibedakan. Tapi sepatah kata pun dia tak bicara lagi.
***
Malam sudah larut.
Jalan di belakang gunung sini
amat sempit dan memanjang berliku-liku. Di bawah penerangan sinar
bintang-bintang kecil, membayangi dedaunan pohon di kedua pinggir jalan,
seluruh alam semesta seolah-olah sudah tenggelam dalam suasana kepedihan nan
dingin dan kabut yang tebal.
Coh Liu-hiang sedang beranjak
adu pundak dengan Bu Hoa di jalanan sempit dan berliku-liku itu. Sampai detik
ini mereka pun tiada yang bersuara lebih dulu. Begitu sunyi senyap laksana
dalam neraka pegunungan yang gelap gulita ini.
Akhirnya Bu Hoa unjuk
senyuman, katanya, “Meskipun kau tidak langsung membongkar kedokku, tapi aku
tidak menaruh hormat padamu. Itulah karena kau kuatir Thian-hong Taysu bersedih
hati saja, benar tidak?”
Coh Liu-hiang tertawa getir,
katanya, “Menurut pendapatmu, kecuali itu, tiada sebab lainnya? Umpama
persahabatan kita berdua!”
“Persahabatan kita, sampai
sekarang yang masih ketinggalan tidak lebih besar dari kerikil yang menyusup
masuk ke dalam mata belaka.”
“Benar,” ujar Coh Liu-hiang.
“Kalau mata kelilipan kerikil, air mata pasti bercucuran.”
“Tiada halangannya sekarang
kau beritahu kepadaku,” pinta Bu Hoa. “Sebetulnya berapa banyak persoalan yang
sudah kau ketahui?”
Pelan-pelan Coh Liu-hiang
menjawab, “Sudah banyak persoalan yang kuketahui, namun masih banyak pula yang
belum kuketahui.”
“Apa saja yang sudah kau
ketahui?” tanya Bu Hoa tersenyum. “Apa-apa pula yang masih belum kau ketahui
dan pahami?”
“Aku sudah tahu kau adalah
putra sulung Thian-hong-cap-si-long itu, saudara atau engkoh Lamkiong Ling,
tapi dari mana pula kau bisa tahu bahwa Lamkiong Ling adalah adikmu? Terang
Thian-hong Taysu takkan pernah memberitahukan kepadamu.”
“Sebab ini sebetulnya kau bisa
merabanya,” sahut Bu Hoa. “Waktu ayahku almarhum meninggal, aku sudah berumur
tujuh tahun. Memang ada kalanya aku tidak tahu urusan, tapi sedikit banyak
mungkin sudah bisa membedakan sesuatu urusan yang cukup banyak pula, dan yang
penting selamanya aku takkan melupakan kejadian-kejadian yang kuketahui itu.”
“Apa yang kau ketahui mungkin
terlalu banyak,” kata Coh Liu-hiang.
“Tentunya kau pun sudah tahu.
Thian-it-sin-cui, akulah yang mencurinya.”
“Tidak salah,” sahut Coh
Liu-hiang menyengir kecut. “Walau Sin-cui-kiong melarang semua laki-laki keluar
masuk, tapi seorang beribadah yang alim dan beriman tinggi tentulah di luar
batas larangan itu.
Dalam pandangan manusia umumnya,
biasanya mereka pandang orang-orang beribadah atau Hwesio bukan sebagai
laki-laki sejati. Bahwasanya di antara seluk-beluk persoalan ini bukan mustahil
bakal terjadi suatu kelemahan dalam penyakit pandangan atau penilaian, sayang
sekali dan kasihan nona romantis yang masih hijau itu, akhirnya dia harus gugur
dan berkorban demi kau....”
Bu Hoa tetap tersenyum,
katanya, “Seorang perempuan yang belum pernah sentuh badan dengan laki-laki,
selalu takkan kuat dipelet atau dibujuk rayu. Kalau toh dia sendiri merasa rela
dan tenteram dalam menghadapi kematiannya, kenapa pula kau harus merasa sayang
bagi dirinya?”
Coh Liu-hiang menatapnya
nanar, sekian lama baru katanya, “Kau ini memang orang yang aneh. Betapa pun
perbuatan kotor, rendah, serta kata hina dan jahat, bila keluar dari mulutmu,
kau bisa menyetirnya sedemikian halus dan lembut, menggunakan nada yang paling
merdu dan mengasyikkan.”
Tak berubah sikap dan mimik Bu
Hoa, katanya tertawa pula, “Kau sendiri kan juga tahu aku menghabiskan jerih
payah dari cucuran darah dan keringatku mencuri Thian-it-sin-cui, apa maksud
tujuanmu?”
“Karena Jin-lopangcu dan
Thian-hong Taysu tidak akan gampang bisa dibunuh oleh sembarang orang, apalagi
kau menghendaki kematian mereka tidak menunjukkan sesuatu bekas yang mungkin
bisa menimbulkan rasa curiga orang-orang lain atas perbuatan dirimu.”
“Uraianmu amat tepat sekali,”
puji Bu Hoa.
“Orang yang menyamar menjadi
Thian-hong-cap-si-long di jembatan balok kayu itu tentunya kau adanya, demikian
pula yang membunuh Thian-jiang-sing Song Kang dan Thian-ing-cu dari
Lam-hay-pay, orang yang menghilang ke Tay-bing-ouw menggunakan ilmu Jin-sutnya
itu tentulah kau pula adanya,” demikian Coh Liu-hiang membuka tabir rahasia
yang mencurigakan hatinya selama ini.
“Benar,” Bu Hoa pun mengakui
terus terang.
Coh Liu-hiang menghela nafas,
katanya, “Hari itu juga aku melihatmu di Tay-bing-ouw, seharusnya aku sudah
bercuriga atas dirimu. Cuma sayang, seumpama waktu itu aku menaruh curiga
terhadap setiap manusia yang berada di dunia ini, sekali-kali takkan menaruh
curiga terhadap Bu Hoa yang tidak sudi mendengar petikan harpa yang mengandung
nada membunuh ini!”
“Kau tidak usah rawan hati,”
sela Bu Hoa. “Sekali tempo setiap orang pasti pernah melakukan kelalaian.”
“Di dalam Oh-i-am, murid
Siok-sim Taysu yang pikun itu....” ujar Coh Liu-hiang tertawa getir, “Sebelum
ajal sebetulnya dia sudah membongkar rahasia dirimu, sayang dia hanya sempat
mengatakan ‘Bu’ saja lantas putus nafas. Lebih disayangkan pula kesimpulanku
tidak tertuju kepada namamu. Sungguh tidak pernah terpikir olehku, ‘Bu’ yang
dimaksudkan adalah petikan dari pelengkap Bu Hoa.”
“Aku sendiri pun tidak
menyangka sebelum ajal ternyata kesadarannya pulih kembali. Kalau tidak, waktu
aku membunuh Siok-sim Taysu tentu kubereskan dia sekalian.”
“Tapi kenapa kau bunuh
Siok-sim Taysu pula?”
“Setiap orang yang ada sedikit
sangkut-pautnya dengan peristiwa ini, tidak bisa aku membiarkannya hidup lebih
lama lagi,” sahut Bu Hoa tandas. “Kau tahu, setiap tindakan dan perbuatanku
selamanya amat teliti dan cermat, selamanya aku tidak mau main spekulasi atau
menyerempet bahaya.”
“Oleh karena itu, kau pun
ingin membunuhku?” tanya Coh Liu-hiang.
Bu Hoa menghela nafas,
ujarnya, “Sesungguhnya aku mengharap kau tidak terlibat dalam peristiwa ini. Siang-siang
sudah kukatakan kepada Lamkiong Ling, bila di dunia ini ada orang yang bisa
membongkar rahasia kita, orang itu tentulah Coh Liu-hiang.”
“Di Tay-bing-ouw, dalam
Oh-i-am, di atas balok batu jembatan itu,” kata Coh Liu-hiang menghela nafas,
“Beberapa kali kau sudah turun tangan, kau hendak membunuhku, hal ini tidak
perlu kubuat heran. Tapi kenapa pula kau hendak membunuh Yong-ji?”
“Sebelumnya aku sudah menduga
kau tentu akan mengutus dia pergi ke Sin-cui-kiong menyelidiki peristiwa
tercurinya Thian-it-sin-cui dan sebab-musabab kematian gadis pingitan itu, maka
cepat sekali aku sudah berkesimpulan bahwa orang yang kau janjikan untuk
bertemu di Tay-bing-ouw sore hari itu tentulah dirinya. Tentunya kau pun
mengerti, aku ini kan bukan orang bodoh.”
“Seseorang kalau terlalu
pintar seharusnya bukan sesuatu yang patut dibuat girang atau menguntungkan
bagi diri sendiri.”
“Memangnya kau ini seorang
bodoh?” tanya Bu Hoa tersenyum.
Coh Liu-hiang tersenyum,
katanya, “Baru sekarang aku tahu, bahwasanya aku tidak sepintar yang pernah
kubayangkan sendiri, kalau tidak seharusnya sudah lama aku sudah berhasil
dengan usahaku, bila keadaan mendadak dan memang diperlukan, kau pasti akan
membunuh Lamkiong Ling sekalian untuk menutup mulutnya.”
Bu Hoa pun menghela nafas,
ujarnya, “Ternyata aku tidak sepintar apa yang pernah kubayangkan sendiri.
Kusangka, bila Lamkiong Ling mati, segala sumber penyelidikanmu akan terputus
seluruhnya. Persoalan tidak akan merembet ke atas diriku, kalau tidak masakah
aku tega membunuh adik kandungku sendiri?”
“Titik tolak dari kunci
persoalan ini, yang terpenting adalah lantaran dia mengatakan sebelum ajalnya
bahwa kalian adalah bersaudara. Jikalau tidak karena bahan rahasia ini, aku pun
takkan bisa mencarimu ke mari.”
Lama Bu Hoa membungkam. Kabut
di samping gunung semakin tebal. Hembusan angin pegunungan sudah membawa
pertanda bakal menjelangnya musim dingin. Hawa mulai dingin sehingga sekujur
badan terasa hampir membeku.
“Sampai sekarang yang belum
bisa aku pahami betul adalah segala perbuatanmu ini sebetulnya hendak menuntut
balas ataukah untuk merebut kekuasaan? Sebetulnya semua ini maksud dari
nuranimu sendiri ataukah pesan peninggalan ayahmu sebelum beliau wafat?” Secara
blak-blakan Coh Liu-hiang ajukan ganjalan hatinya.
Terangkat alis Bu Hoa,
sahutnya, “Dari mana kau bisa berpikir bahwa ayahku almarhum ada meninggalkan
pesan warisannya?”
“Bahwa kau ikut dibawa ke
Tionggoan, sudah tentu Jin-sut dan ilmu pedang yang kau pelajari adalah hasil
didikan dari ayahmu. Tapi waktu beliau wafat, usiamu masih kecil, sekali-kali
tidak mungkin membekal kepandaian tingkat tinggi yang sedemikian hebat, untuk
ini dengan mudah dapat dimengerti bahwa pasti dia meninggalkan buku pelajaran
ilmu silat tunggalnya kepadamu. Secara rahasia kau menyembunyikannya pula,
sampai pun Thian-hong Taysu tidak tahu dan kena kau kelabui.”
“Ya, tepat terkaanmu,” sahut
Bu Hoa mengakui terus terang.
“Oleh karena itu segera aku
teringat, tanpa pamrih tidak mungkin dia mengorbankan jiwa raganya secara
sia-sia, tujuannya supaya kalian masuk ke dalam perguruan Siau-lim dan Kaypang,
bukan mustahil setelah kalian sama tumbuh dewasa beruntun bisa mewarisi jabatan
aliran ilmu silat dari golongan terbesar dan pimpinan sindikat terbesar pula,
selangkah lebih lanjut yaitu menjagoi atau merajai seluruh dunia persilatan.
Mungkin ini hanya cita-cita impiannya yang ingin dia capai, tapi sayang dia
sudah mati sebelum cita-citanya terlaksana, maka kalianlah yang mewarisi tugas
untuk mencapai cita-citanya ini, kalau tidak masakah dengan rela dia terima
binasa demikian saja.”
Kembali Bu Hoa membungkam
lama, akhirnya tersenyum simpul. Katanya, “Tahukah kau kenapa selama ini aku
menyukaimu? Karena kau punya otak. Sering aku berkata, setiap orang yang kenal
kau dari dekat, peduli dia kawan atau lawan, sama saja merupakan suatu
keberuntungan dan patut dibuat girang.”
“Kalau demikian, jadi
analisaku tepat semuanya?”
“Mungkin analisamu benar,
mungkin pula salah, kelak perlahan-lahan kau akan tahu sendiri...” Mendadak Bu
Hoa menghentikan langkah. Pelan-pelan dia putar badan menghadapi Coh Liu-hiang,
katanya, “Apa pun yang telah terjadi, kau sudah membongkar kedok rahasiaku,
membongkar segala perbuatanku. Apa pula yang kau kehendaki?”
Dengan nanar Coh Liu-hiang
menatapnya dan lama kemudian baru dia menghela nafas, katanya, “Kau tahu aku
selamanya tidak suka membunuh orang, apalagi membunuhmu!”
Bu Hoa tertawa, katanya kalem,
“Tapi kau pun harus tahu, sekarang kau tidak bunuh aku, sebaliknya akulah yang
akan membunuhmu.”
“Benar, asal kau dapat
membunuhku, maka kau bisa bebas dan bersimaharaja di dunia ini secara lalim,
karena orang yang tahu seluk-beluk rahasiamu di dunia ini hanya aku
satu-satunya!”
Bu Hoa berkata pelan-pelan,
“Jadi sekarang kau sedang menunggu aku turun tangan?”
“Meskipun aku tidak
menghendaki, agaknya tiada jalan pilihan lainnya lagi.”
Keduanya tidak banyak bicara
lagi.
Mereka sama tahu, perkataan
yang perlu mereka bicarakan sudah habis.
Angin di atas gunung semakin
keras dan menderu-deru, hujan bayu segera akan meliputi alam semesta ini.
Pakaian dan rambut mereka sama terhembus melambai-lambai, tapi sikap keduanya
masih tegak di tempatnya dengan tenang dan wajar, namun sorot mata keduanya
sudah mencorong terang mengandung hawa membunuh.
Sekonyong-konyong terdengar
ledakan keras disertai kilat menyambar. Dibarengi dengan geledek mengguntur,
air hujan pun seperti dituang dari tengah angkasa. Berbareng dengan guntur
menggelegar dan kilat menyambar ini, kedua kepalan Bu Hoa langsung menjojoh
dengan dahsyat.
Itulah pukulan sakti yang
kenamaan dan menggetarkan dunia persilatan dari Siau-lim-pay, pertama kali
dalam penyerangan dia gunakan ilmu pukulan dari pelajaran perguruannya. Pukulan
yang dahsyat, keras dan kokoh kuat ini diiringi dengan sambaran kilat dan
geledek mengguntur, sungguh hebat pukulannya ini laksana menggetarkan bumi
mengejutkan langit layaknya! Jikalau tidak menghadapinya secara langsung,
mungkin siapa pun takkan percaya bahwa Bu Hoa yang biasanya alim dan lemah
lembut itu ternyata bisa melontarkan jurus pukulan yang begitu dahsyat.
Sebat sekali badan Coh
Liu-hiang berputar, tampak tangannya tegak miring menebas ke urat nadi Bu Hoa,
serangan balasannya ini kelihatan biasa dan enteng sekali, dibanding dengan
kepalan Bu Hoa itu boleh dikata jauh ketinggalan dan bukan apa-apa.
Tapi serangan tapak tangan
yang biasa dan tiada sesuatu yang menakjubkan ini justru telak sekali
mematahkan gaya pukulan Bu Hoa yang lihay itu.
Cepat sekali Bu Hoa kembangkan
kelincahan badannya. Belum lagi suara guntur yang bergema di tengah angkasa
sirap, beruntun dia sudah lontarkan empat jurus pukulan Kiang-hiong-hu-hou
(Menundukkan Naga Mengalahkan Harimau), setiap serangan dahsyat ini merupakan
inti sari pukulan sakti dari Siau-lim-pay yang teramat ampuh.
Namun dengan gampang Coh Liu-hiang
dapat mematahkan semua rangsekan hebat ini, malah di samping mematahkan dia
masih sempat balas menyerang, jauh berkelebihan tenaga serangan balasannya.
Setelah delapan belas jurus
pukulannya dilontarkan, sedikit pun Bu Hoa tidak berhasil menempatkan posisinya
di tempat yang menguntungkan. Kepalan kanan mendadak ia tarik mundur. Waktu ia
sodokkan keluar pula, tiba-tiba terdengar “Ser!,” dari pukulan tahu-tahu ia
rubah menjadi tutukan jari.
Selentikan jarinya ini
merupakan pemusatan tenaga dalamnya yang dilandasi kekuatan Tan-ci sin-thong
(Selentikan Jari Sakti), segulung angin kencang yang menderu pesat sekali
meluncur ke arah Ki-bun dan Ciang-tai, dua hiat-to yang terletak di bawah bahu
kanan.
Tak usah kena tertutuk telak
oleh jari lawan, cukup tersapu oleh samberan anginnya saja setengah badan Coh
Liu-hiang seketika akan linu kemeng tak mampu bergerak, maka dalam kilasan lain
jiwanya pasti akan melayang di bawah tepukan tapak tangan Bu Hoa yang menyusul
datang pula.
Tapi badan Coh Liu-hiang
tiba-tiba doyong ke samping, gerakan miring yang lincah dan seenaknya saja.
Desiran angin tutukan jari yang kuat itu hanya menyapu lewat dari pinggir
pakaiannya saja. Sebaliknya tapak tangan kirinya tahu-tahu sudah menyelonong
tiba di bawah ketiak Bu Hoa.
Maka rangsekan Bu Hoa yang
dahsyat ini terpaksa terhalang oleh gerakannya sendiri untuk bertahan membela
diri, dari menyerang berubah membela diri, tangan kanan tersurut balik,
sementara tangan kiri yang dia tepukkan ke depan sudah berubah menjadi serangan
tapak tangan pula, pinggir tapak tangannya mengiris miring mengarah Ki-ti-hiat
di badan Coh Liu-hiang.
Lekas Coh Liu-hiang
melintangkan kaki ke kiri, badan ikut berputar, sementara sikut kirinya ikut
bergerak menyodok dengan keras.
Terpaksa Bu Hoa harus batalkan
serangannya dan merubah permainan pula. Seketika terlihat bayangan tapak tangan
bergulung-gulung menari turun naik, laksana menari-nari di tengah angin badai.
Itulah Hong-ping-ciang, kepandaian terdahsyat dari aliran Gwakeh Siau-lim-pay.
Sesuai dengan namanya, ilmu
pukulan ini tidak melulu mengutamakan kekuatan Lwekang namun mengutamakan
kelincahan dan kecepatan menempuh kemenangan. Gaya permainannya seperti capung
terbang melawan angin, seperti kupu menari berebutan madu. Gerak-geriknya lincah
disertai variasi perubahan yang menakjubkan sperti main sulapan saja. Serangan
gertakan yang kosong jauh lebih banyak dari pukulan telak yang sesungguhnya.
Tapi setiap kali ia lontarkan
pukulan telak yang sesungguhnya, seketika pula terbendung tak berkutik oleh
tipu permainan Coh Liu-hiang.
Dalam waktu yang begitu
singkat, beruntun Bu Hoat sudah ganti berbagai mainan dari Siau-lim-sin-kun
(Pukulan Sakti Siau-lim-pay), Tan-ci-sin-thong, Hong-ping-ciang, tiga macam
ilmu dahsyat yang dibanggakan dari Siau-lim-si. Ketiga macam ilmu silat ini
masing-masing mencakup perubahan dari dasar kekerasan yang dahsyat, kelincahan
nan meruncing tajam, serta variasi perubahan yang rumit dan susah diselami.
Jalan permainannya satu sama lain jauh berbeda, namun masing-masing merupakan
ilmu silat sejati yang teramat ampuh, kenamaan dan menggetarkan dunia
persilatan.
Sebaliknya jurus permainan
yang digunakan Coh Liu-hiang sebaliknya merupakan ilmu silat paling umum, biasa
dan paling dikenal di kalangan Kangouw, entah berapa banyak mungkin laksaan
kaum persilatan di Kangouw yang mampu memainkan jurus-jurus tipu silat seperti
itu.
Tapi sama-sama jurus tipu yang
rendahan dan umum ini, dalam permainan Coh Liu-hiang justru jauh sekali
perbedaannya. Setiap gerak yang dia permainkan, telak dan persis tanpa tergeser
sepersepuluh mili umpamanya. Setiap gerakan yang dia lancarkan boleh dikata
tiga kali lipat lebih cepat dari tokoh-tokoh silat terlihay mana pun.
Kalau dinilai secara tunggal,
gerak permainannya itu mungkin terlalu tawar dan tiada sesuatu yang
menakjubkan. Tapi kalau dimainkan di saat kedua orang bergebrak, setiap jurus
tipu permainannya justru dia kembangkan secara luar biasa dengan perbawa yang
teramat ampuh pula.
Adakalanya hampir tak terpikir
dalam benak Bu Hoa bahwa jurus tipu permainan ilmu silatnya yang begitu lihay
dan aneh ini bagaimana mungkin bisa dipunahkan sedemikian gampang oleh Coh
Liu-hiang menggunakan jurus tipu yang paling sepele dan umum? Bukan saja
dipunahkan, malah dirinya balas diserang lagi.
Kembali kilat menyambar,
halilintar memekakkan telinga, hujan semakin deras.
Hujan bayu membuat alam
semesta seakan hampir kiamat, di atas gunung belukar ini gelap gulita laksana
di tanah pekuburan.
Bahwasanya mereka sudah tidak
melihat bayangan bentuk badan lawan, tapi mengandalkan ketajaman telinga
mendengarkan deru angin pukulan lawan untuk menghadapi serta mengatasinya. Tapi
hujan bayu sedemikian derasnya, lama-kelamaan deru angin pukulan mereka pun
kelelap tak terdengar pula.
“Dar!” guntur menggelegar
disertai kilat menyambar pula. Secepat kilat itu pula Coh Liu-hiang gerakkan
kakinya berkelit, sementara Bu Hoa melejit melambung ke tengah udara. Puluhan
bintik sinar kelap-kelip seperti sinar bintang yang dingin sederas hujan bayu
ini melesat tiba ke arahnya.
Dalam malam yang begitu gelap,
untuk menghindarkan diri dari serangan senjata rahasia sekencang ini boleh
dikata tak mungkin lagi. Waktu badan Bu Hoa meluncur turun, ujung mulutnya
sudah mengulum senyum sinis.
Tepat di tengah suara guntur
yang menggelegar itulah terdengar Coh Liu-hiang mengeluarkan jerit kaget yang
kelelap. Disusul sinar kilat kembali berkelebat. Tapi bayangan Coh Liu-hiang
pun tak kelihatan lagi.
Di tengah kegelapan, nafas Bu
Hoa memburu turun naik, serunya menggembor, “Coh Liu -hiang, Coh Liu-hiang! Di
mana kau?”
Terdengar seseorang menjawab
dengan suara kalem di belakangnya, “Aku di sini!”
Keruan terkejut Bu Hoa laksana
disengat kala, hampir saja jantungnya melonjak keluar dari rongga dadanya.
Tapi dia tidak perlu membalikkan
badan, dia hanya berdiri kaku dengan tenang. Sesaat kemudian pelan-pelan
kepalanya ditundukkan, katanya penuh kekecewaan, “Bagus sekali, baru hari ini
aku betul mendapatkan bukti bahwa aku memang benar-benar bukan tandinganmu.”
Lagu suaranya sedemikian
datar, wajar dan tenang, seperti baru saja memperoleh bukti tentang suatu
permainan judi yang tidak begitu besar, siapa pun takkan dapat merisaukan bahwa
dia sudah pertaruhkan jiwanya di dalam permainan judi yang sekaligus bakal
menentukan mati hidupnya pula.
Coh Liu-hiang menghela nafas,
ujarnya, “Meski kau sudah kalah, tapi bagaimanapun kekalahan tak perlu dibuat
malu, karena kau sudah membawakan sikap seorang jantan!”
Bu Hoa mengeluarkan tawa yang
pendek, katanya, “Jikalau aku yang menang, jauh lebih jantan lagi, cuma sayang
hal itu selamanya tidak akan ada kesempatan lagi untuk membuktikannya, benar
tidak?”
“Benar, memang kau tiada punya
kesempatan lagi untuk menang.”
“Sebagai pihak yang menang,
sikap kejantananmu ternyata patut dipuji juga, mungkin lantaran kau sudah
terbiasa menjadi pihak yang menang, seolah-olah selamanya kau takkan pernah
punya waktu untuk kalah!”
Coh Liu-hiang berkata dengan
suara berat, “Seorang bila berdiri di pihak yang sejajar dengan musuhnya,
selamanya dia takkan bisa dikalahkan.”
Sekonyong-konyong Bu Hoa
mendongak sambil terkial-kial panjang, gelak tawanya melolong berkumandang di
tengah hujan air yang deras ini seperti gelak tawa orang yang kesurupan setan.
Katanya kemudian, “Apakah aku salah... Jikalau aku berhasil dengan sukses,
siapa pula yang berani mengatakan aku salah...” bunyi guntur yang memekakkan
telinga memutus loroh tawanya yang menggila itu.
Sesaat Coh Liu-hiang berdiam
diri, katanya kalem, “Kenapa kau tidak lari?”
Gelak tawa Bu Hoa menjadi
helaan nafas rawan, sahutnya, “Lari? Apakah aku ini manusia yang patut
melarikan diri? Seseorang bila dia hendak menikmati ajaran ilmu silat yang dia
latih, maka dia harus belajar lebih dulu cara bagaimana untuk menerima
kekalahan...”
Tiba-tiba kembali ia terloroh,
katanya menyeringai, “Betapapun besar kemenangan itu, takkan bisa membuatku
kesenangan sampai lupa diri! Betapapun besarnya kekalahan itu, juga takkan bisa
membuatku lari mencawat ekor seperti anjing liar yang digunduli!”
“Kau memang tidak pernah
membuatku kecewa,” ujar Coh Liu-hiang rawan.
“Sekarang apa yang kau
inginkan atas diriku?”
“Aku hanya bisa membongkar
rahasiamu, tapi tak bisa aku menjatuhkan hukuman kepadamu, karena aku bukan
penegak hukum, bukan malaikat atau dewata, aku tiada hak kekuasaan untuk menjatuhkan
hukuman kepadamu!”
BUNUH DIRI ITU MENEBUS DOSA
“Ap apun yang telah terjadi,
kesimpulanmu ini sungguh harus dipuji dan dibanggakan. Sejak dulu kala, mungkin
tiada seorang pun tokoh kosen dalam Kangouw yang mempunyai jalan pikiran
seperti itu,” Bu Hoa balas memuji.
“Kelak setelah beberapa tahun
berselang, orang yang mempunyai pikiran seperti ini dari hari ke hari akan
bertambah banyak. Kelak masyarakat akan tahu sendiri, kekuatan kasar takkan
bisa menyelesaikan segalanya, tiada seorang pun dalam dunia ini yang punya
kuasa untuk mencabut jiwa orang lain!”
“Ya, itu urusan kelak,
sekarang....”
“Sekarang aku akan serahkan
dirimu kepada orang yang patut menjatuhkan hukuman kepada dirimu.”
“Kau hendak menyerahkan diriku
kepada orang lain?”
“Tidak salah.”
“Kalau toh kau sendiri tak
kuasa menjatuhkan hukuman kepadaku, siapa pula manusia di dunia ini yang
setimpal menjatuhkan hukuman kepadaku?”
“Orang-orang itu meski belum
mempunyai jiwa yang luhur dan bajik, tapi mereka mengerti hukum dan undang-undang.
Siapa pun harus mematuhi hukum dan undang-undang-undang.”
“Apakah kau sendiri selamanya
mematuhi undang-undang itu?” jengek Bu Hoa.
“Yang kami pandang hina
hanyalah undang-undang yang ditegakkan oleh sementara orang yang lalim belaka.
Hukum peraturan seperti itu sudah tentu tidak patut kami hormati atau patuhi.
Tapi budi wening dan keadilan serta kebenaran, siapa pun tak pantas
memandangnya rendah!”
“Coh Liu-hiang! Kau memang
seorang yang aneh betul-betul. Tapi apa pun yang terjadi, jangan harap kau bisa
menyerahkan aku kepada orang-orang macam itu.”
“Kenapa?” Coh Liu-hiang
menegas. “Kau sebenarnya seorang agung, tangan-tangan kotor orang-orang itu
memang tidak seharusnya menyentuh pakaianmu, tapi siapa suruh kau melakukan
kejahatan keluar batas yang berdosa begitu besar. Seumpama maharaja pun kalau
dia melanggar hukum, dia pun patut dijatuhi hukuman seperti rakyat jelata.
Memangnya kau tidak paham akan arti kata-kata ini?”
Bahwasanya Bu Hoa seperti
tidak pernah mendengar kata-katanya ini, dengan tersenyum ia menggumam, “Coh
Liu-hiang, bagaimanapun jangan kau harap jari-jari orang-orang itu bisa
menyentuh seujung jariku saja.” Habis berkata-kata, tahu-tahu badannya
perlahan-lahan meloso roboh.
Halilintar kembali
menggelegar, kilat menyambar berulang kali.
Lekas Coh Liu-hiang memburu
maju memayang badannya. Di tengah sambaran kilat, meski hanya sekilas saja,
namun ia lihat raut mukanya yang ganteng, halus dan alim itu kini sudah berubah
sedemikian kaku dan membesi hijau.
Coh Liu-hiang amat kaget, serunya,
“Bu Hoa, kau... kenapa kau begitu bodoh? Mati.. memangnya bukan cara yang
paling rendah untuk lari dari pertanggung-jawaban?”
Bu Hoa membuka mata, sekuatnya
ia unjuk tawa, sahutnya, “Aku bukan lari dari pertanggungan-jawab, bukan aku
tidak berani menghadapi mereka, tidak lain karena aku tidak sudi tunduk di
hadapan manusia-manusia hina dina itu.”
Tiba-tiba sorot matanya
memancarkan cahaya cemerlang, katanya pula, “Peduli kesalahan apa pun yang
pernah kulakukan, betapa pun aku masih seorag agung yang terpandang, jauh lebih
agung dan terpandang dari kebanyakan orang-orang di dunia ini! Coh Liu-hiang,
apakah kau tidak mengakui akan hal ini?”
Perlahan-lahan kelopak matanya
terpejam.
Selamanya dia takkan bisa
mendengar jawaban Coh Liu-hiang lagi. Kilat menyambar pula, roman mukanya sudah
kembali seperti biasa, tenang tenteram dan sentosa, malah ujung mulutnya
mengulum senyum mekar.
* * *
Di dalam taman kembang nan
luas di lingkungan keluarga besar she Lim di Poh-tian, kembang-kembang sedang
mekar harum semerbak.
Opas kenamaan, Sin-eng
Go-lopothau, bersama seorang Kaypang Tianglo yang berbadan tinggi kurus bermuka
tegang, sedang menunggu di bawah pohon dengan gelisah.
Terdengar Kaypang Tianglo itu
sedang bertanya, “Kau pikir, apakah dia akan datang?”
Sin-eng tersenyum, sahutnya,
“Peduli Coh Liu-hiang itu manusia baik atau jelek, jujur atau jahat, tapi kalau
dia sudah mengatakan hendak datang, dia pasti datang. Siapa pun, urusan apa
pun, jangan harap bisa menghalangi dirinya.”
Terdengar seseorang berkata
kalem di atas pohon, “Benar, peduli Sin-eng ini orang baik atau jelek, jujur
atau jahat, tapi pandangannya terhadap Coh Liu-hiang ternyata memang tidak
meleset.”
Di tengah kata-katanya, Coh
Liu-hiang melayang dari atas pohon, sedikit pun tak bersuara waktu kakinya
menyentuh tanah.
Dengan tersenyum, kembali ia
menambahkan, “Tapi bukankah Sin-eng sudah mendengar bila aku berada di atas
pohon maka sengaja kau mengeluarkan kata-kata ini?”
Sin-eng tertawa besar,
serunya, “Kata-kata Coh Liu-hiang laksana kuda lari dapat dikejar, selalu
menepati janji, hal ini memang sejak lama Siau-loji mengetahuinya!”
Tak tahan berkata Kaypang
Tianglo itu, “Pembunuh itu, apakah Coh Liu-hiang sudah membawanya ke mari?”
Guram raut muka Coh Liu-hiang,
sahutnya sambil menarik nafas panjang, “Dia sudah meninggal!”
“Sudah mati?” teriak Sin-eng
kaget.
“Benar!”
“Dia... cara bagaimana
kematiannya?” tanya Sin-eng.
“Kalau dia sudah mati, peduli
cara bagaimana kematiannya, apakah tidak sama saja?”
“Tapi...”
“Kukatakan dia sudah mati!”
bentak Coh Liu-hiang aseran. “Masakah kau tidak percaya omonganku?”
Sin-eng lekas unjuk tawa
dibuat-buat, ujarnya, “Setiap patah kata Maling Budiman, masa si tua bangka
seperti aku ini tidak mempercayainya, tapi dia... siapakah dia sebenarnya?”
Sesaat Coh Liu-hiang
mempertimbangkan, katanya, “Walau dia amat jahat dan keji, tapi tidak rendah
dan hina dina. Meski dia seorang pembunuh, tapi tidak malu kalau dia disebut
seorang Kuncu sejati. Kini kalau dia sudah mati, buat apa kalian harus tanya siapa
dia. Manusia setelah mati, namanya ikut terkubur!”
Kaypang Tianglo tiba-tiba
menukas, “Tapi di mana jenazahnya? Seumpama dia sudah mampus, murid-murid Pang
kita pun harus...”
“Apa yang hendak kalian
lakukan atas jenazahnya? Jadi kau hendak menghadapi seseorang yang sudah mati,
bukankah jalan pikiran dan niat kalian ini jauh lebih rendah dan hina dina dari
si pembunuh itu?”
Biasanya, menghadapi persoalan
apa pun, selamanya tidak pernah Coh Liu-hiang dipengaruhi emosinya.
Kaypang Tianglo ini belum pernah
menghadapi amarahnya yang begini besar. Seketika ia bungkam dan amat jeri
hatinya.
Berkata Coh Liu-hiang dengan
lantang, “Kuberitahu kepada kalian bahwa dia sudah mati, kematiannya berarti
mencuci segala dosa semasa hidupnya. Jikalau kalian tidak percaya, jikalau
kalian masih belum puas, silakan kalian berdaya upaya sendiri! Tapi jika kalian
berani datang merecoki aku pula, jangan salahkan bila aku bertindak kasar tidak
tahu rasa sungkan lagi!” lenyap suaranya, bayangannya pun sudah menghilang di kejauhan.
Sin eng dan Kaypang Tianglo berdiri menjublek di tempatnya.
Sampai pun Coh Liu-hiang
sendiri tidak tahu dan heran kenapa dirinya hari ini berubah begini
uring-uringan dan marah-marah. Mungkin menghadapi kematian Bu Hoa dia teramat
sedih, pilu dan rawan. Atau mungkin lantaran dia teramat penat.
Apa pun yang telah terjadi,
setelah pengalamannya ini, yang terpikir dalam angan-angannya adalah selekasnya
pulang ke kapalnya, mengerek layar berlayar jauh ke tengah samudera
meninggalkan khalayak ramai yang membosankan ini.
Dia hanya memikirkan, di dalam
pelukan lautan teduh, hembusan angin laut nan hangat di bawah terik sinar
matahari yang keemasan, mengendorkan seluruh urat syaraf dan otot-otot
badannya, rebah dan istirahat dengan nyaman beberapa hari, minum beberapa arak
anggur yang nikmat segar, makan buah-buahan segar dan hidangan lezat masakan
Song Thiam-ji, rebah di samping So Yong-yong dan mendengarkan kisah dongengan
Li Ang-siu yang mempesonakan.
TAMAT