Maling Romantis (Xue Hai Piao Xiang) Bab 9: Pertempuran Golok & Pedang

Maling Romantis (Xue Hai Piao Xiang) Bab 9: Pertempuran Golok & Pedang
Maling Romantis
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 9: Pertempuran Golok & Pedang
“Sejak semula dia segan bentrok secara berhadapan. Setelah kudesak dan kupaksa, saking kewalahan dan tak berdaya, barulah dia membawaku ke mari. Dia tahu, di hadapannya sekali-kali kau takkan berani membocorkan rahasianya.” Setelah merandek sebentar, lalu ia menggumam: “Hari itu dia minta aku tunggu dua jam, maksudnya tentu bukan menyelesaikan urusan dalam Kaypang, melainkan supaya pembunuh kejam itu datang ke mari lebih dulu, menyaru jadi Thian-hong-cap-si liong dan menunggu aku di jembatan batu itu. Dengan dia sendiri yang mengiringi, bukan saja dia tak perlu takut aku berhadapan denganmu, dia pun hendak gunakan situasi tempat yang berbahaya ini untuk menyikat aku, supaya kelak tidak meninggalkan bibit bencana. Jikalau selamanya aku tak berhasil menemukanmu, sudah tentu dia akan jauh lebih lega dan hidup ongkang-ongkang kaki.”

“Dia suruh orang menunggumu dan membunuhmu. Jikalau tak berhasil, lalu dia iringi kau menemui aku, dengan kehadirannya sudah tentu aku tidak bisa sembarangan bicara.” Mendadak Chiu Ling-siok tertawa pilu, lalu katanya pula: “Dia sendiri berpendapat perbuatannya cukup rapi dan hati-hati, siapa tahu Thian maha adil, akhirnya dia takkan lolos dari pertanggungan-jawab atas perbuatannya.”

“Bahwasanya dia sendiri kukira belum tentu tega, dia pun kuatir aku akan kembali pula ke sini, maka dia bocorkan tempat tinggalmu kepada Pek-giok-mo. Dengan pinjam tangan Pek-giok-mo untuk menyumbat mulutmu, di kala orang lain tahu kejadian ini, segala tanggung jawab boleh dia timpakan kepada Pek-giok-mo....” Sampai di sini Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya pula: “Tapi tidak terpikir olehnya, bahwa selekas ini aku sudah menyusul ke mari, permainan caturku itu agaknya tidak sia-sia kujalankan. Cuma di saat dia sadar akan muslihat permainan caturku itu, kejadian pasti sudah terlambat.”

Sesaat lamanya Chiu Ling-siok menepekur, mendadak dia berkata pula: “Thian-hong-cap-si-long, tadi kau ada menyinggung nama ini?”

“Ya, Apakah Hujin juga kenal akan orang ini?”

“Meski aku tidak mengenalnya, dulu sering aku mendengar Jin Jip menyinggung dirinya.”

“Tak kuduga memang ada orang seperti itu dalam dunia ini, kukira nama Thian-hong-cap-si-long hanyalah nama palsu yang mereka sebut untuk mengada-ada saja!”

“Lahirnya Jin Jip halus di luar dan keras batinnya, selamanya jarang dia mau tunduk dan mengagumi orang lain, namun terhadap Thian-hong-cap-si-long ini dia teramat kagum dan menghormatinya. Setiap kali menyinggung nama orang, selalu dia memujinya sebagai orang gagah laksana gemblengan besi baja.”

“Orang seperti itu memangnya ada hubungan apa dengan Lamkiong Ling? Kenapa Lamkiong Ling meminjam namanya? ... Apa Hujin tahu di mana dia sekarang?”

“Orang ini sudah meninggal sejak dua puluh tahun yang lalu.”

“Siapa yang membunuhnya?”

“Yang membunuhnya adalah Jin Jip.”

Tak terasa Coh Liu-hiang tertegun, katanya tak mengerti: “Jin-lopangcu sedemikian hormat dan mengaguminya, kenapa pula harus membunuhnya?”

“Thian-hong-cap-si-long menyeberangi lautan dan mendarat di Tionggoan, maksudnya hendak menjajal kepandaian dengan tokoh-tokoh Bulim. Waktu itu belum lama Jin Jip memangku jabatan Kaypang Pangcu, saat kegemilangan dan ketenarannya mencapai puncaknya, sudah tentu Thian-hong-cap-si-long tidak sia-siakan kesempatan untuk bertanding sama dia. Tidak lama setelah dia berada di Tionggoan, langsung ia berkirim surat menantang kepada Jin Jip, di mana dijelaskan tanggal, waktu dan tempat pertandingan.”

“Thian-hong-cap-si-long itu memang terlalu takabur. Betapa besar negeri kita dan berapa banyak tokoh-tokoh silat yang hebat kepandaian silatnya, seumpama harimau mendekam naga menyembunyikan diri, masa mengandalkan tenaganya seorang bisa malang melintang?”

“Setelah menerima surat tantangan Thian-hong-cap-si-long itu, demi nama baik Kaypang, sudah tentu dia tidak menolak tantangannya, apalagi waktu itu di saat jaya-jayanya, dia memang ingin juga berkenalan dengan pendekar pedang dari Tang-ni yang aneh dan luar biasa itu.”

“Betapa hebat dan menakjubkan pertandingan kala itu tentulah menggetarkan bumi menggoncangkan langit. Sayang aku terlambat lahir dua puluh tahun, betapa menyenangkan bila bisa menyaksikan pertandingan besar yang tiada taranya ini.”

“Kalau kau sudah lahir pada waktu itu, tentu kau akan kecewa, karena pertempuran itu tidak seru dan tidak menakjubkan.”

“Kenapa begitu? tanya Coh Liu-hiang melongo.

“Biasanya Jin Jip tidak mau mengagulkan diri. Setelah menerima surat tantangan, kejadian ini tidak ia siarkan kepada umum, sampai sekarang tokoh-tokoh Kangouw yang tahu akan peristiwa ini pun tak banyak. Orang yang mengiringi dia dalam pertandingan itu cuma Sutouw Tianglo seorang yang kini sudah meninggal, kecuali itu boleh dikata tiada orang ketiga yang tahu.”

“Di mana tempat pertandingan ditentukan?”

“Kabarnya tempat itu berada di Binglam, di sebuah gunung yang tidak begitu terkenal namanya, maksudnya supaya tidak menimbulkan perhatian sesama kaum persilatan.”

“Kalau demikian, Thian-hong-cap-si-long yang takabur itu kiranya seorang yang tidak mengejar nama. Kalau tidak, seumpama Jin-lopangcu menutupi peristiwa itu, tentulah dia sendiri akan menyiarkan peristiwa besar itu.”

“Di dalam surat tantangannya itu memang ada dijelaskan, bertanding demi mengukur kepandaian silat bukan untuk mengejar nama. Waktu Jin Jip dan Sutouw Tianglo tiba di tempat yang ditentukan, Thian-hong-cap-si-long ternyata sudah menunggu di sana. Tanpa banyak kata, segera ia turun tangan kepada Jin Jip.”

“Sepatah kata pun tidak bicara?”

“Menurut cerita Jin Jip kepadaku, waktu ia tiba di atas gunung, Thian-hong-cap-si-long sedang duduk di atas batu besar itu, kedua tangannya menyoren sebilah pedang panjang yang sudah terlolos dari sarungnya. Begitu melihat Jin Jip, segera ia bangkit dan pasang kuda-kuda menurut ajaran tunggal ilmu pedang dari Tang-ni, mulutnya hanya berkata dua patah saja.”

“Dua patah kata apa?”

“Hanya berkata ‘marilah.’ lalu dia tutup mulut. Melihat orang sedemikian angkuh, Jin Jip naik pitam, maka dia pun malas buka suara.”

“Apakah Jin-lopangcu menggunakan senjata juga?”

“Jin Jip bersenjata Pak-kau-pang, senjata tradisi dari leluhur para Pangcu Kaypang yang terdahulu. Belum sepuluh jurus mereka bertempur, Jin Jip sudah berhasil memukul pedang panjang di tangan Thian-hong-cap-si long, tongkatnya telak mengenai badannya, kontan Thian-hong-cap-si-long roboh dengan muntah darah.”

Heran Coh Liu-hiang dibuatnya, teriaknya: “Thian-hong-cap-si-long meluruk datang dari tempat jauh, membekal kepandaian yang tiada taranya, masakah tidak begitu becus ilmu pedangnya?”

“Waktu itu Jin Jip pun heran. Belakangan baru dia tahu, kiranya Jin Jip bukanlah orang pertama yang pernah bertanding dengan Thian-hong-cap si-long pada hari yang sama. Sebelumnya dia sudah bertanding dengan orang lain lebih dulu, malah membekal luka dalam yang amat parah. Jikalau dia mau buka suara, tentu Jin Jip tidak sudi mengambil keuntungan ini, namun dia justru tak mau bila orang sangka dirinya jerih, maka dia hanya mengeluarkan kata-kata ’marilah’, sepatah kata pun tidak dia singgung tentang luka-luka dalamnya. Jin Jip kira orang kelewat angkuh, tidak sudi banyak bicara dengan orang lain. Luka-luka dalam yang dideritanya memang teramat parah, ditambah sekali ketukan tongkat Jin Jip di dadanya lagi, manusia besi pun takkan kuat bertahan. Hari itu juga dia menemui ajalnya. Sebelum ajal, sepatah kata pun ia tidak mau unjuk kelemahannya, dia pun tidak salahkan Jin-jip, cuma berkata bahwa dia bisa ajal di medan laga maka tidak sia sialah perjalanannya ini.”

Bergolak darah Coh Liu-hiang, katanya menengadah sambil menghela napas: “Sampai ajalnya pun Thian-hong-cap-si-long tidak mau unjuk kelemahan, tidak mau kehilangan kepercayaan akan keyakinan diri sendiri. Sudah tahu bahwa jiwanya bakal ajal, namun dia tetap menghadapi pertandingan secara jantan, memang tidak malu dan jarang sekali ditemui orang gagah seperti gemblengan baja seperti itu.”

“Mungkin itulah semangat juang yang paling dibanggakan oleh para Busu di Tang-ni sana???"

“Bagaimana jua, orang seperti dia patut dipuji dan dibuat bangga, tidaklah heran bila puluh tahun kemudian Jin-lopangcu masih sedemikian kagum dan mengenangnya.”

“Memang tanggung jawab kematian Thian-hong-cap-si-long bukan lantaran Jin Jip, namun Jin Jip sendiri berkata bila waktu itu dia sedikit perhatikan, pastilah bisa mengetahui luka-luka yang diderita oleh Thian-hong-cap-si-long.”

“Siapakah orangnya yang sudah melukai berat Thian-hong-cap-si-long sebelum mati di tangan Jin-lopangcu?”

“Selama ini Jin Jip tidak pernah menyinggung orang itu.”

“Tentulah orang itu pula seperti Jin-lopangcu, seorang tokoh yang tidak suka menonjolkan nama, sehingga pertarungannya dengan Thian-hong-cap-si-long dulu sampai kini masih merupakan rahasia dan tiada orang yang tahu.”

Berhenti sebentar, Coh Liu-hiang lalu meneruskan: “Dengan kekuatan Lwekangnya orang itu memukul Thian-hong-cap-si-long sampai terluka berat, betapa tinggi kepandaian silatnya dapatlah dibayangkan! Setelah terluka parah melawan orang ini, Thian-hong-cap-si-long masih kuat memburu ke tempat perjanjiannya dengan Jin Jip, tentulah tempat di mana dia terluka parah itu masih termasuk dalam wilayah Binglam pula, lalu siapakah tokoh tersembunyi itu? ... Ah..., apakah... ?”

Mendadak Chiu Ling-siok menyela: “Kuberitahukan cerita ini kepadamu bukan tanpa alasan.”

“Masih ada alasan apa?”

“Sebelum ajalnya, Thian-hong-cap-si-long berpesan sesuatu kepada Jin Jip. Tapi bagaimana pun, dengan susah payah pernah kutanyakan kepada Jin Jip, namun dia selalu geleng kepala dan tidak mau menerangkan.”

“Kenapa Jin-lopangcu begitu rapat merahasiakan hal itu?”

“Hal itu aku pun tidak tahu, tapi belakangan dapatlah aku menerka-nerka sebagian.”

”Oh?”

“Setiap kali Jin Jip melihat Lamkiong Ling, dia selalu teringat kepada Thian-hong-cap-si-long. Karena hal itu, selalu dia menghela napas dan berdoa serta meneras diri. Belakangan, meski dia sudah tahu Langkiong Ling mencelakai jiwanya, tapi dia tetap bersikap alim dan tak mau mengeluarkan kata-kata yang menyinggung Lamkiong Ling. Selalu ia berkata, memang dialah yang bersalah terhadap Lamkiong Ling. Sampai dewasa, persoalan apa pula yang pernah dia salah lakukan terhadap Lamkiong Ling, tidak pernah dia ceritakan.”

Sorot matanya seolah-olah terpancar keluar dari balik cadar hitamnya. Dengan tajam ia tatap Coh Liu-hiang, katanya tandas: “Maka kupikir pesan terakhir menjelang ajal Thian-hong-cap-si-long tentulah mengenai Lamkiong Ling. Jin Jip merasa berdosa terhadap Thian-hong-cap-si-long, maka terhadap Lamkiong Ling pun ia mengalah dan memberi hati.”

“Maksudmu bahwa Lamkiong Ling adalah keturunan Thian-hong-cap-si-long?”

“Ya, begitulah tentunya!”

Coh Liu-hiang berpikir sebentar, katanya bertepuk tangan: “Benar, Jin-lopangcu tidak mau memberi tahu persoalan itu, tentulah dia kuatir Lamkiong Ling mengetahui rahasia riwayat hidupnya sehingga timbul rasa dendam dan keinginan menuntut balas.”

“Terhitung kau bisa menyelami jerih payah Jin Jip. Waktu itu dia sudah pandang Lamkiong Ling sebagai anak kandungnya sendiri, sudah tentu dia harus merahasiakan bahwa dirinyalah yang membunuh ayah kandungnya. Selama hidupnya sepak terjangnya selalu terang-terangan, namun toh dia menyimpan rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain. Betapa menderita batinnya, dapatlah dibayangkan.”

“Tapi bagaimana pun juga ia menyimpan rahasia ini, yang mencelakai jiwanya toh tetap Lamkiong Ling juga. Duapuluh tahun yang lalu secara tidak sengaja dia melakukan kesalahannya itu, tak nyana duapuluh tahun kemudian dia harus mempertaruhkan jiwa sendiri untuk menebus dosa-dosa masa lalu.”

“Kalau Thian yang maha kuasa menghendaki dia memberikan imbalan dengan jiwanya, kukira tidak adillah keputusan ini.”

“Tapi apa benar Lamkiong Ling mengetahui persoalan ini? Pembunuh misterius itu apakah benar ada sangkut-pautnya dengan Thian-hong-cap-si-long? Kalau tidak, dari mana dia memperoleh pelajaran tunggal Jin-sut dari Tang-ni?”

“Semua rahasia ini menjadi tanggunganmu untuk membongkarnya satu persatu, segala rahasia yang kuketahui sudah kuberikan kepadamu, sekarang boleh kau pergi”

Sorot mata Coh Liu-hiang balas menatap orang, katanya tiba-tiba: “Cayhe masih ingin mohon sesuatu kepada Hujin.”

“Masih ada persoalan apa?”

“Entah sudikah Hujin membuka cadar penutup muka supaya Cayhe dapat menikmati wajah Hujin yang rupawan?”

Lama Chiu Ling-siok tenggelam dalam renungannya, katanya rawan: “Apa benar kau ingin melihat mukaku?”

“Bukan hanya satu dua hari saja Cayhe mempunyai keinginan ini.”

Hatinya amat tertarik, memang ingin dia menikmati wajah tercantik sejagat yang dipuja-puja oleh khalayak ramai, kalau tidak mungkin dia akan menyesal seumur hidupnya.

“Dua puluh tahun mendatang,” kata Chiu Ling-siok akhirnya, “Kau adalah orang kedua yang pernah melihat mukaku.”

“Hanya dua orang yang bisa melihat wajah Hujin?” Coh Liu-hiang menegas dengan heran dan tak mengerti.

“Ya, hanya dua orang. Kau dan Jin Jip....”

“Kenapa? Orang lain...” Mendadak Coh Liu-hiang melongo dan tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Selama hidupnya, entah betapa banyak berbagai persoalan dan kejadian aneh yang pernah dia alami, namun belum pernah terjadi sesuatu yang bisa bikin hatinya bergetar dan terkesima.

Cadar hitam itu pelan-pelan tersingkap. Dalam hati Coh Liu-hiang mengharap bisa menikmati seraut wajah nan ayu rupawan laksana bidadari. Siapa tahu setelah cadar hitam itu tertanggalkan, seraut muka yang terpampang di hadapannya ternyata menyerupai wajah setan iblis yang paling menakutkan.

Di atas mukanya itu, tiada secuil kulit daging pun yang utuh mengkilap, selembar mukanya tonjol-menonjol laksana permukaan kawah gunung yang sudah membeku, berlobang-lobang besar kecil, tiada panca indera yang berbentuk, apa pun tiada, yang ada hanya daging-daging merah darah yang buruk dan menjijikkan serta lobang-lobang yang merekah!

“Sekarang kau sudah puas belum?” tanya Chiu Ling-siok dengan pilu.

“Cayhe... sungguh Cayhe tidak habis mengerti....”

“Sekarang toh kau sudah tahu, kenapa hanya Jin Jip dan kau saja yang pernah melihat raut wajahku, karena sejak lama mukaku ini sudah rusak. Kupikir, tiada perempuan di dalam dunia ini yang sudi mukanya dilihat orang dengan bentuk yang menakutkan seperti ini, benar tidak?”

Lagu bicaranya ternyata sedemikian tenang dan dingin, namun mendengar kata-katanya ini serasa ditusuk sembilu ulu hati Coh Liu-hiang.

Dia seorang yang tak pernah tunduk, tanpa sadar sekarang dia tertunduk, katanya tersekat: “Cayhe memang patut mati, kenapa Cayhe harus paksa Hujin....”

“Kau tidak memaksa, aku sendiri yang rela memperlihatkan kepadamu.”

Kerlingan matanya masih lembut dan bersinar terang, sepasang matanya yang menyorot terang ini bukan saja tidak memperlihatkan rasa haru, takut dan penyesalan, malah menunjukkan sekulum senyuman manis. Katanya lebih lanjut pelan-pelan: “Cuma sayang kau terlambat datang, sehingga aku tidak bisa memperlihatkan raut wajahku dua puluh tahun yang lalu kepada Maling Romantis. Bagimu memang merupakan sesuatu yang mengecewakan, betapa aku pun tak merasa kecewa?”

“Bagaimanapun perubahan raut wajah Hujin, keagungan Hujin masih tiada bandingan di seluruh kolong langit. Cayhe bisa berhadapan dengan keagungan Hujin, sudah terhitung beruntung dan bahagia selama hidup.”

“Kau tak usah menghiburku, karena aku tidak sedih dan menderita. Dua puluh tahun sejak raut mukaku ini dirusak, belakangan ini baru aku betul-betul mengecap kehidupan bahagia nan sejati.” Mengawasi segumpal mega yang terhembus angin pegunungan, ia berkata lebih tenang: “Kadangkala aku malah berterima kasih kepada orang yang menyebabkan raut mukaku rusak ini. Jika bukan karena dia, masa aku bisa mengecap kehidupan bahagia dan tenang tenteram selama dua puluh tahun ini?”

“Entah siapakah orang yang setega itu?”

Chiu Ling-siok mengalihkan sorot matanya, dengan nanar ia tatap Coh Liu-hiang, katanya kalem: “Pernahkah kau dengar nama Ciok Koan-im?”

“Ciok Koan-im (Koan-im Batu)?” jerit Coh Liu-hiang.

“Tentu kau pernah dengar nama itu, memang dia seorang perempuan yang berilmu silat paling tinggi dan berjiwa sempit serta kejam tiada bandingannya di seluruh jagat ini. Kini mungkin dia terhitung perempuan tercantik di seluruh dunia!”

“Dia... ada dendam sakit hati apa dengan Hujin?”

“Tiada dendam sakit hati apa-apa, paling-paling dia hanya satu kali melihatku.”

“Lalu kenapa dia.....”

Chiu Ling-siok menukas kata-katanya: “Menurut kabar yang tersiar di kalangan Kangouw, konon dia mempunyai semacam kaca cermin iblis. Setiap hari ia selalu bertanya kepada kaca ini: “Siapakah perempuan tercantik di seluruh jagat ini?”

“Apakah kaca itu selalu menjawab bahwa dia adalah perempuan tercantik di seluruh dunia?”

“Benar, sampai suatu ketika jawaban kaca iblis ini mendadak berubah, dia mengatakan aku... katanyanya Chiu Ling-siok adalah perempuan tercantik di kolong langit, dan bencana yang menimpaku dimulai sejak jawabannya itu.”

Tentunya hal ini menyerupai dongeng belaka. Dongeng yang tidak menarik, namun mengandung mistik yang tak bisa diterima oleh kesadaran manusia. Tanpa terasa Coh Liu-hiang sampai linglung mendengar ini, katanya sesaat kemudian dengan menghela napas: “Oleh karena itu maka dia lantas mencari Hujin?”

“Setelah ia berhadapan denganku, ia memandangku tanpa berkedip selama dua jam. Akhirnya mendadak ia bertanya: ‘Chiu Ling-siok, kau ingin aku membunuhmu atau kau sendiri merusak raut wajahmu?’”

“Pertanyaan ini sungguh amat menggelikan.”

“Tapi waktu itu sedikit pun aku tidak merasa geli, terasa kaki tanganku berkeringat dingin, sepatah kata pun tak kuasa bicara. Dia mengawasiku sekian lamanya pula, lalu tiba-tiba memutar badannya dan berkata: “Tiga bulan lagi aku akan ke mari pula. Saat itu, jikalau kulihat mukamu masih sama seperti sekarang ini, biar kubunuh kau.” Di atas meja dia meninggalkan sebuah botol kecil serta berkata pula: “Kubiarkan kau pertahankan kecantikanmu selama tiga bulan lagi, tentunya kau cukup tahu cara bagaimana menggunakan kesempatanmu!”

“Kalau dia sudah pergi, kenapa Hujin tidak pergi menyembunyikan diri saja?”

“Bila Ciok Koan-im sudah keluarkan kata-katanya hendak membunuh seseorang, tiada seorang pun yang bisa lolos dari tangannya. Dengan mata kepalaku sendiri aku saksikan kepandaian silatnya, waktu itu aku sendiri pun belum ingin mati!”

“Masakah dalam dunia ini ada orang yang betul-betul ingin mati?”

Pelan-pelan Chiu Ling-siok memejamkan matanya, ujarnya: “Waktu itu aku masih muda, masih amat berat meninggalkan kehidupan yang romantis ini. Kupikir, meski aku tidak secantik ini lagi, tapi masih tetap bisa hidup, toh jauh lebih baik daripada mati.” Ia membuka mata seperti sedang tertawa-tawa, katanya menyambung: “Kupikir pula, sedikitnya aku masih mempertahankan tiga bulan kecantikanku, sudah tentu aku harus sayang dan menggunakan kesempatanku ini. Lalu dalam jangka tiga bulan ini, apa pula yang harus kulakukan?”

Tak tahan Coh Liu-hiang menimbrung: “Maka Hujin ingin meninggalkan kesan kecantikan itu di dalam sanubari setiap insan yang pernah melihatmu, maka Hujin lantas menemui ahli gambar yang paling terkenal pada jaman itu, Sun Hak-boh.”

Chiu Ling siok melengak, katanya: “Kau.... kau sudah tahu semua?”

“Cayhe sudah pernah menemui Sun-siansing!”

“Perbuatanku waktu itu memang terlalu kasar.... malam di mana ia berhasil menyelesaikan gambar lukisan diriku, batas waktu tiga bulan pun sudah tiba, Ciok Koan-im biasanya paling menepati janji dan waktu.”

“Maka pada malam itu juga Hujin merusak roman muka sendiri?”

“Botol kecil peninggalan Ciok Koan-im itu berisi obat balur yang bisa membakar kulit, jauh lebih panas dari bara api,” Sampai di sini lagu suaranya yang tenang kembali bergetar dan haru pula.

“Karena tidak ingin Sun-siansing melihat roman muka Hujin yang telah rusak, setelah siuman maka.....”

“Waktu aku melolohkan cairan obat itu ke mukaku, aku sudah kehilangan kesadaran, kalau tidak mau dikata sudah gila, maka... oleh karena itu baru bisa aku melakukan perbuatan yang terkutuk itu, aku... aku...” Mendadak ia menutup muka dengan kedua tangan sendiri dan tak bicara lagi.

Coh Liu-hiang menghela napas panjang, ujarnya: “Sampai sekarang baru Cayhe tahu kenapa Hujin berbuat sedemikian kejam terhadap Sun-siansing, kenapa pula harus membikin empat gambar lukisan. Dulu aku masih kabur dan tak tahu serta salah menebak akan maksud tujuan Hujin.”

“Peduli apa pun maksud tujuanku, aku melakukan perbuatan serendah itu, kau tak pantas memaafkan aku, benar tidak?”

Sesaat lamanya Coh Liu-hiang terbungkam, katanya kemudian dengan suara haru: “Cayhe hanya tahu Jin-hujin yang sekarang adalah perempuan yang paling lembut, welas asih dan bajik. Soal bagaimana sepak terjang Chiu Ling siok yang dulu, bukan saja Cayhe tidak tahu, juga tidak akan ambil perhatian.”

Chiu Ling-siok juga berdiam lama, katanya kemudian: “Dalam dua puluh tahun ini memang sudah banyak perubahanku, sudah tentu kau pun bisa menerka siapa yang membuatku berubah.”

“Jin-lopangcu!”

Tidak menjawab, Chiu Ling-siok malah berkata: “Dalam keadaan gila aku mengorek keluar kedua biji mata Sun Hak-boh, aku sendiri pun lantas jatuh pingsan. Waktu aku siuman kembali, seluruh kepalaku sudah diperban, selanjutnya aku hidup dalam kegelapan selama beberapa bulan. Waktu itu sungguh tak tahu aku betapa aku harus berterima kasih kepada Siok-sim Taysu. Jikalau bukan karena rawatannya yang telaten, mana bisa aku hidup sampai sekarang?” Nada suaranya semakin tenang. katanya lebih lanjut: “Tapi di saat aku melihat sinar matahari, baru aku tahu orang yang selalu mendampingiku ternyata bukan Siok-sim, namun Jin Jip.”

“Oleh karena itu rasa terima kasih dan utang budi Hujin lantas ditujukan kepada Jin-lopangcu?”

“Waktu itu bukan saja aku tidak merasa berterima kasih atau utang budi, malah aku amat membencinya.”

“Membencinya?”

“Waktu aku berhadapan dengan Jin Jip, kulihat pula raut mukaku. Setelah menyaksikan raut mukaku ini, baru sadar aku takkan bisa hidup lebih lama lagi, aku sudah kehilangan kecantikan mukaku, berarti kehilangan jiwa ragaku pula.” Sambil menghela napas, ia meneruskan: “Waktu itu bukan saja aku teramat sedih, hatiku pun amat marah, lebih benci pula kenapa Jin Jip justru menemui aku pada saat seperti itu. Kembali gilaku kumat, kontan aku mengusirnya pergi.”

“Keadaan Hujin waktu itu sedikit banyak Cayhe bisa merasakan dan memahaminya.”

“Kalau begitu kau pun harus tahu, manusia seperti Jin Jip kau hajar, takkan gampang mengusirnya pergi. Hari kedua pagi-pagi, dia datang pula, aku mengusirnya lagi.”

“Tapi hari ketiga dia tetap datang pula.”

“Setiap hari datang, setiap hari kuusir dia. Kugunakan kata-kata paling kotor, paling rendah, untuk memakinya, malah menghajarnya pula, tapi setiap pagi dia tetap mengunjungiku.”

Pelan-pelan ia mengelus gentong di pelukannya. Meskipun itu merupakan sebuah gentong kecil yang dingin, tapi seakan-akan membawa hawa hangat tak terbatas yang menghibur hatinya.

“Kau tahu,” demikian ia melanjutkan pula. “Waktu itu dia sudah menjadi Kaypang Pangcu, sebetulnya tak perlu peduli terhadap perempuan yang buruk rupa dan kotor seperti aku ini. Dia bersikap begitu rupa, sekarang kau melihat mukaku ini, tentu kau pun bisa merasakan, kecuali Jin Jip, kukira tiada laki-laki dalam dunia ini yang sudi terima dihina dan direndahkan. Kecuali aku ini orang yang betul-betul sudah ayal, kalau tidak mana bisa hatiku tak terharu dan iba terhadap sikapnya itu?”

“Itulah karena yang dicintai Jin-lopangcu bukan kecantikanmu yang sudah hilang itu, tapi jiwa dan sukma Hujin. Dia kan tahu, meski raut muka Hujin sudah berubah, jiwa dan sukma takkan berubah!”

“Sayang di masa hidupnya Jin Jip tidak kenal denganmu, kalau tidak pasti dia akan menjadi sahabat karibmu.... Cuma pengertianmu terhadapnya sih belum cukup, terkaanmu tetap salah terhadap dia.”

“Oh? Salah?”

“Sebelum peristiwa itu terjadi, hanya dua kali aku pernah berhadapan dengan Jin Jip, cara bagaimana dia bisa begitu kepincut terhadapku? Apalagi yang kelihatan cantik waktu itu hanyalah ragaku, sukma atau jiwaku justru teramat buruk dan kotor.”

“Adakalanya seseorang bisa juga jatuh cinta pada penglihatan pertama, mencintai sampai ke tulang sumsumnya.”

Agaknya Chiu Ling-siok tertawa mendengar kata-kata ini, ujarnya: “Bagaimana pun, itu bukanlah sebab yang utama. Sebab yang utama adalah karena dia ikut merasakan betapa besar derita seorang perempuan setelah dia kehilangan kecantikannya. Dia pun tahu, hanyalah rasa iba dan kasih sayang yang dapat meringankan beban penderitaan ini, maka dia berkeputusan mengorbankan diri sendiri, untuk mendampingi aku dan menghiburku seumur hidup!” Kepalanya menengadah, katanya pula: “Sudah kukatakan, dia adalah orang yang paling bajik di seluruh kolong langit ini.”

“Bagaimanapun, tidak bisa dikatakan dia mengorbankan diri sendiri.” ujar Coh Liu-hiang. “Meski dia tidak mempersunting perempuan tercantik di dunia, namun dia memperoleh kehalusannya, keagungannya, serta isteri yang setia.”

“Terima kasih, terima kasih akan kata-katamu ini” kata Chiu Ling-siok lembut. “Selamanya kau tidak akan mengerti, setelah mendengar kata-katamu ini betapa riang gembira hatiku ini.”

“Cayhe malah harus berterima kasih kepada Hujin, yang telah memberi tahu kejadian masa lalu. Selama hidup Cayhe, selamanya takkan bisa mendengar cinta asmara yang sedemikian suci murni dan mengasyikkan.”

“Tahukah kau, kecuali Jin Jip, bukan saja kau orang kedua yang pernah melihat mukaku ini, kau pula laki-laki satu-satunya yang amat kukasihi, aku amat berterima kasih!” tatapannya semakin lembut dan semakin hangat.

Dengan penuh kasih sayang ia mengelus gentong kecil, perlahan-lahan lalu melanjutkan kata-katanya: “Karena, meskipun Jin Jip memberikan kehidupan bahagia dan tenteram selama duapuluh tahun, namun hanya Kau saja yang bisa memberikan ketenangan hati dan keteguhan iman untuk menghadapi kematianku.”

“Mati?” Coh Liu-hiang tersentak kaget.

“Setelah Jin Jip meninggal, tujuan hidupku hanyalah untuk membongkar rahasia pribadi dan kejahatan Lamkiong Ling. Sekarang cita-citaku sudah tercapai, kau kira aku masih bisa tetap hidup?”

***

Perjalanan cukup jauh dan lama. Waktu tiba di Kilam, hati Coh Liu-hiang masih dirundung kesedihan. Dengan mendelong ia mengawasi badan Jin-hujin melayang-layang jatuh ditelan mega ke dalam jurang yang tak terukur dalamnya, sedikitpun ia tidak mampu menolong atau berbuat apa-apa. Walaupun dia melihat dengan jelas, sorot mata Jin-hujin menjelang ajal adalah sedemikian tenang, sedikitpun tidak memperlihatkan tekanan derita. Meski dia pun tahu, kematian bagi jiwa Jin-hujin yang sudah rapuh tidak lebih hanyalah istirahat yang abadi, tapi dia masih merasa amat pilu dan sedih, sungguh bukan kepalang rasa marah dan gusarnya. Dia bersumpah, dia harus menemukan Lamkiong Ling. Hampir saja dia hendak segera meluruk kepada Lamkiong Ling.

Malam sudah larut, tapi di dalam Hiang-tong pihak Kaypang di Kilam, cahaya lilin masih terpasang terang-benderang seperti di tengah hari bolong.

Setiba di Kilam sebetulnya tidak terpikir oleh Coh Liu-hiang untuk segera menemui Lamkiong Ling, maka dia hanya menemukan seorang murid Kaypang serta menanyakan di mana Lamkiong Ling sekarang berada.

Di bawah penerangan sinar lilin yang terang benderang, di atas kursi cendana yang besar itu, bagai patung duduk seseorang dengan gagahnya, dia bukan lain adalah Lamkiong Ling. Tangannya sedang menopang dagu, duduk di sana seperti sedang memikirkan sesuatu yang amat berat mengganjal hatinya, seolah-olah pula sedang menunggu kedatangan seseorang. Siapakah yang dia tunggu?

Dari wuwungan rumah yang di luar sana, Coh Liu-hiang sudah melihat dirinya. Pek giok mo pasti sudah pulang lebih dulu, tentunya dia pun sudah tahu seorang diri Coh Liu-hiang sudah berhadapan langsung dengan Chiu Ling siok dan bicara.

Lalu kenapa dia tidak segera menyingkir? Kenapa masih tetap duduk di sana? Apakah ini merupakan sebuah jebakan? Di dalam pekarangan yang luas itu sudah terpendam tenaga pembunuh yang tak terhitung banyaknya, tanpa segan-segan Lamkiong Ling menjadikan dirinya sendiri umpan untuk memancing kedatangan Coh Liu-hiang?

Tapi pekarangan sedemikian sunyi senyap, tak kelihatan bayangan manusia, tak terlihat adanya jebakan dan hawa angker, lantai batu hijau mengkilap ditingkah sinar bintang laksana kaca.

Lamkiong Ling mendadak menengadah, serunya sambil tersenyum: “Apa Coh-heng sudah tiba? Sudah lama Siaute menunggu di sini.”

Rada kaget Coh Liu-hiang dibuatnya. Terdengar Lamkiong Ling berkata pula: “Coh-heng tak usah kutlir, hanya Siaute seorang yang berada di sini, tiada jebakan atau perangkap segala.”

Coh Liu-hiang tertawa besar, serunya: “Sudah tentu di sini tiada perangkap apa-apa, sudah tentu aku cukup lega hati, urusan seperti ini tentunya kau tidak suka bikin terkejut lain orang. Sudah tentu kau tahu lebih baik persoalan ini diselesaikan di antara kita berdua saja."

Di tengah kumandang kata-katanya, badannya sudah melayang masuk ke pendopo. Dengan pandangan berkilat ia tatap Lamkiong-Ling.

Lamkiong Ling-pun balas menatapnya, sorot matanya setajam pisau, seperti mata serigala, setajam mata burung elang pula. Lama sekali baru Lamkioug Ling menarik napas, katanya: “Kau sudah tahu, bukan?”

Coh Liu-hiang manggut-manggut, ujarnya: “Kau pun sudah tahu bahwa aku sudah tahu, benar tidak?”

Lamkiong Ling manggut-manggut pula, katanya: “Tapi Siaute masih belum menyingkir, masih menunggu di sini, tentunya Coh-heng merasa heran, bukan?”

“Kau tidak menyingkir, karena kau tahu, kau takkan bisa menyingkir ke mana pun!”

“Aku tidak menyingkir lantaran aku memang tidak mau menyingkir. Kalau tidak, betapa besar dunia ini, ke mana saja aku toh bisa pergi.”

Coh Liu-hiang menarik kursi lalu duduk, katanya: “Kalau kau pergi, kau harus meninggalkan segala milikmu, terombang-ambing dalam hidup di pembuangan. Tapi jika dipaksa untuk meninggalkan ketenaran nama dan kekuasaan yang kau pegang sekarang, tentulah jauh lebih menderita daripada kau menghadapi kematian.”

Lamkiong Ling terbahak-bahak, serunya: “Coh-heng betul-betul seorang sahabatku yang paling karib, kau tahu segala isi hati dan cita-citaku.” Mendadak ia tarik senyum-tawanya, bentaknya bengis: “Kalau toh begitu mendalam pengertianmu akan pribadiku, tentunya kau tahu sampai mati pun aku tidak akan sudi membuang segala itu. Sesuatu yang kudapat atas jerih payahku dengan memeras keringat dan darah, tiada seorang pun yang kuasa memaksaku untuk meninggalkanya demikian saja.”

“Tidak bisa tidak, kau harus membuangnya!”

Lamkiong Ling berjingkrak bangun, hardiknya beringas: “Kenapa tidak bisa tidak aku harus membuangnya? Meskipun aku sudah membunuh Jin Jip, tidak lebih karena aku harus menuntut balas bagi kematian ayahku! Dendam orang tua sedalam lautan, siapa manusia di dalam Kangouw yang berani mencercah perbuatanku?”

“Jadi kau sudah tahu rahasia tentang dirimu?”

“Jin Jip sangka dia bisa merahasiakan terhadapku, apa kau pun menyangka bisa mengelabui diriku?”

Coh Liu-hiang menghela napas panjang, katanya kalem: “Seandainya perbuatanmu itu hanya untuk menuntut balas kematian ayahmu, seumpama tiada orang-orang Kangouw yang mengganggu usik dirimu, tapi murid-murid Kaypang, jika mereka tahu kau membunuh Jin Jip, apakah mereka masih berdiam diri dan membiarkan kau tetap menjadi Pangcu mereka?”

Bergetar badan Lamkiong Ling, tiba-tiba badannya melosoh tertunduk pula di atas kursinya, kata-kata Coh Liu-hiang laksana sebilah pisau menusuk telak ke ulu hatinya.

Seperti mendadak jauh lebih tua, kepalanya tertunduk, katanya rawan: “Coh Liu-hiang! Coh Liu-hiang! Kenapa kau menyudutkan diriku demikian rupa? Sebetulnya sedikit pun aku tidak ingin melukaimu, kau....., kenapa kau suka turut campur urusan orang lain?”

Sesaat Coh Liu-hiang berdiam diri, katanya tertawa kecut: “Mungkin karena sejak dilahirkan aku sudah dibekali pembawaan suka mencampuri urusan orang lain.”

"Sejak pertama kali aku melihatmu, lantas aku berpendapat kau boleh kuangkat sebagai temanku seumur hidup, kau..... masihkah kau ingat pertama kali kita bertemu di tempat mana?”

“Di kaki gunung Thay-san. Waktu itu bukan saja Ki-loh-su-hiong berhasil merampok barang kawalan Siang-gi-piaukiok dari Kim-leng, malah putri dari Cong-piauthau Sa Thian-gi pun diculiknya. Setelah mendengar kabar buruk ini, tak terkendali timbul sifatku suka mencampuri urusan orang lain. Cepat aku menyusul ke Thay san, tak kira kau tiba lebih dulu di tempat itu."

Sorot matanya yang tajam berkilat lambat laun menjadi tenang dan kalem, katanya pelan: “Waktu aku tiba di sana, seorang diri dengan mengandalkan sepasang tapak tangan besimu, kau sudah bikin Ki-loh-su hiong terluka parah. Melihat kepandaian silatmu yang luar biasa, masih berusia muda dan gagah pula, aku jadi tertarik kepadamu. Waktu itu bila ada orang bertanya kepadaku, siapakah Enghiong muda nomor satu di selurub jagat ini, tanpa sangsi aku pasti akan mengatakan kepada mereka, Lamkiong Ling itulah orangnya.”

“Sejak pertemuan itu, kau dan aku lantas jadi sahabat karib,” ujar Lamkiong Ling tertawa riang:”Setiap aku punya waktu senggang, pasti aku bertamu ke atas kapalmu untuk berfoya-foya selama dua hari, masih ingat tidak waktu aku membuat lukisan So Yong-yong......”

“Waktu itu adalah hari-hari terlama sejak kita berkumpul. Dalam lima hari, kita berdua menenggak habis seluruh arak simpanan di dalam kapalku. Pernah satu kali, karena mabuk aku terjun ke dalam laut hendak menangkap rembulan, ternyata kau pun ikut terjun ke air hendak bantu aku. Rembulan akhirnya tak berhasil kita tangkap, diluar dugaan kita sama-sama menangkap seekor kura-kura laut yang amat besar.”

"Kura-kura itu merupakan hidangan paling lezat yang pernah kunikmati selama hidup, kau dan aku berlomba siapa yang makan lebih banyak. Kura-kura sebesar itu ternyata dapat kita habiskan dalam sehari, tapi karena itu perut kita berontak dan sakit dua hari."

Kedua orang itu tertawa gembira dan saling berpandangan seperti sudah melupakan ganjalan hati di antara mereka. Tapi entah kenapa, lama kelamaan gelak tawa itu semakin lirih dan akhirnya sirap.

Coh Liu-hiang menggumam; “Kehidupan beberapa hari itu sungguh nikmat dan menyenangkan, ada kalanya aku merasa heran kenapa kehidupan gembira selalu terasa begitu pendek.”

“Asal kau tidak merusak hubungan baik ini, kita tetap masih bisa menikmati kehidupan yang jauh tebih menyenangkan. Asal kau tidak buka mulut, orang lain pun tidak akan ada yang tahu.”

Lama Coh Liu-hiang menepekur, lama sekali ia berpikir, akhirnya berkata sambil menghela napas: “Jikalau mau berkata ada sesuatu yang dapat menggerakkan hati Coh Liu-hiang, itulah persahabatan yang kental!”

“Kau . . . kau mau tutup mulut?”

“Aku tidak akan mengatakan.......”

“Sahabat ...... memang aku tahu Coh Liu-hiang memang sahabat kental Lamkiong Ling.”

“Aku tidak akan katakan, tapi kau harus terima dua syaratku!”

Lamkiong Ling melengak, tanyanya: “Dua syarat apa?”

“Walau kau harus menuntut balas terhadap kematian ayahmu, tindakanmu tidak semestinya begitu kejam, tidak pantas pula kau mencelakai jiwa beberapa orang yang tak berdosa. Aku harap untuk sementara kau meletakkan jabatan Pangcumu, pergilah cari suatu tempat menyekap diri dan renungkan segala kesalahanmu selama ini. Kau.... masih muda, kelak masih bisa bekerja mulai dari permulaan. Mengandalkan bakat dan kecerdikanmu, kelak tentu banyak yang bisa kau hasilkan.”

Membesi muka Lamkiong Ling, katanya dengan tertawa menengadah: “Coh Liu-hiang, sahabat baikku! Kau katakan tidak hendak membunuhku, tapi sebaliknya kau suruh aku bekerja dari permulaan. Sampai kapan? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun ...” Mendadak ia berjingkrak bangun, sekujur badannya gemetar keras, katanya serak: “Selama hidup seseorang, punya berapa kali masa dua puluh tahun? Kenapa kau harus paksa aku mengorbankan saat-saat terindah selama hidupku ini? Kenapa tidak cekak aos saja kau katakan hendak membunuhku?”

“Aku hanya ingin kau bertobat dan menebus dosa atas semua perbuatanmu, hanya ingin kau merubah cara hidup dan menyesali diri, aku tidak ingin kau mati. Ketahuilah, mati bukan cara terbaik untuk menebus dosa seseorang.”

“Lalu apa pula syaratmu yang kedua? Ingin pula aku mendengarkan.”

“Aku hanya ingin tahu dan sukalah kau memberi tahu kepadaku, siapakah sebetulnya si “dia” itu?”

“Dia?” Lamkiong Ling menegas dengan mengerutkan alis.

“Ya. dia yang membunuh Thian-ing-cu dan Song Kang, dia adalah orang yang menyaru jadi Thian-hong-cap-si-long, orang yang hendak mencabut nyawaku, dia pula orangnya yang mencuri Thian-it-sin-cui dari Sin-cui-kiong itu.”

Seperti kena setrum kuat, badan Lamkiong Ling bergetar hebat, seketika ia terkesima dan melongo.

“Jelas kau sudah tahu, perbuatannya itu tentu bukan hanya ingin membunuh Jin Jip saja, dia pasti banyak mempunyai rencana jahat lainnya, sekali-kali aku tidak bisa berpeluk tangan menyaksikan rencana jahat kalian terlaksana, aku harus merintanginya.”

Lamkiong Ling kertak gigi, katanya sepatah demi sepatah: “Selamanya kau takkan bisa merintangi dia, tiada seorang pun di dunia ini yang mampu menghalangi maksudnya!”

“Sampai detik ini, kenapa kau masih merahasiakan dirinya? Tahukah kau, kematian Jin Jip tidak lebih hanyalah salah satu dari rencana jahatnya, kau tidak lebih hanya diperalat untuk membunuh Jin Jip saja. Bila tiba waktunya di mana dia memandang perlu, jiwamu sendiri pun bakal dia bunuh juga."

Mendadak Lamkiong Ling terkial-kial menggila lagi, serunya: “Dia memperalat aku? Dia pun bisa membunuh aku?.... Tahukah kau siapa dia?”

“Justru aku tidak tahu siapa dia, maka kutanya kau.”

“Sangkamu aku sudi mengatakan kepadamu?”

“Lamkiong Ling! Lamkiong Ling! Sebetulnya aku pun tidak ingin melukaimu, kenapa kau ingin mendesakku?”

”Kaulah yang memaksaku, bukan aku memaksamu. Walau aku tidak ingin melukaimu, kalau sudah terpaksa, apa boleh buat, aku harus turun tangan terhadapmu.”

“Kau pasti takkan bisa turun tangan karena ilmu silatmu terang bukan tandinganku.”

“Apa benar?” jengek Lamkiong Ling. Kelihatannya badannya tidak bergerak, namun tahu-tahu tubuhnya melesat terbang lempang dari atas kursinya. Demikian pula Coh Liu-hiang tidak pernah bergeming, tapi badannya pun ikut mencelat terbang.

Tapi setiba di tengah udara, Coh Liu-hiang masih bergaya orang duduk, kursi kayu cendana yang besar dan berat itu seolah olah lengket dengan kulit badannya. Keduanya beradu di tengah udara, terdengar dua telapak tangan saling beradu keras beruntun sebanyak tujuh kali. Dalam tempo sedemikian pendek dan secepat kilat, keduanya sudah adu pukulan tujuh kali. Tujuh pukulan kemudian, bayangan keduanya terpental balik pula ke arah datangnya masing masing.

Membawa kursinya dengan enteng tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, Coh Liu-hiang meluncur balik ke tempatnya, persis di tempatnya semula tanpa tergeser sedikit pun. Sedemikian berat dan keras kursi cendana itu, namun tidak menimbulkan suara apa pun beradu dengan lantai batu hijau.

Sebaliknya Lamkiong Ling berjumpalitan balik dan meluncur pula ke atas kursinya, namum dia buat kursi cendana yang berat itu terkeresek mengeluarkan suara, roman mukanya pun berubah pucat dan bengis.

Walau keduanya tidak menderita luka-luka, namun tak dapat disangkal sudah menunjukkan perbedaan tingkat kepandaian silat mereka. Meski pendek gebrak pertarungan adu kepandaian ini, jelas akibatnya bakal menentukan situasi yang akan datang. Kelihatannya gebrak sekali ini sedemikian enteng dan singkat saja, namun betapa penting arti pertarungan ini tidaklah kalah genting dan gawat dari suatu pertempuran mati hidup yang pernah terjadi pada masa lalu.

“Lamkiong Ling! Masakah kau masih ingin paksa aku turun tangan terhadapmu?”

Dari merah berubah hijau dan memucat pula rona wajah Lamkiong Ling, sikapnya kelihatan sedih dan harus dikasihani, katanya menghela napas dengan menengadah: “Lamkiong Ling! Lamkiong Ling! Kau berlatih menggembleng diri selama duapuluh tahun, ternyata tak mampu menghadapi gebrakan serangan musuh?”

Mendadak ia melompat bangun, bentaknya keras: “Coh Liu-hiang, jangan kau takabur! Kalau Lamkiong Liong hari ini berani menunggumu di sini, masakah aku tidak punya cara lain untuk menundukkanmu?” Ditengah hardikannya, sambil mengulapkan tangan, tahu-tahu seorang laki-laki tinggi besar delapan kaki, dengan telanjang dada dan kepala pelontos gundul seperti kingkong, beranjak keluar sambil menjinjing sebuah kursi tinggi di atas pundaknya.

Di bawah penerangan sinar lilin yang terang benderang, tampak jelas di atas kursi itu duduk pula seseorang, raut mukanya pucat pias, sepasang biji matanya yang indah tertuju kosong lempang ke depan.

Berubah pucat muka Coh Liu-hiang, teriaknya tersirap: “Yong ji, kau.... bagaimana kau bisa berada di sini?”

So Yong-yong seperti tidak mendengar pertanyaannya. Ia duduk lemas tanpa bergerak.

Lamkiong Ling tertawa dingin, ejeknya: “sudah tentu akulah yang mengundang ke mari. Kecuali aku, siapa yang mampu mengundangnya ke mari?”

“Peristiwa di Hong-ih-ting, di pinggir Tay-bing-ouw, keempat laki-laki jubah hijau itu jadi orang-orang utusanmu?”

“Ya, tidak salah!” Lamkiong Ling mengakui.

“Dari mana kau bisa tahu dia berada di sana?”

“Bulan purnama di Tay-bing-ouw, janji pertemuan menjelang magrib! Kalau Bu Hoa sudah memberi ingat kepadaku, sudah tentu aku harus menengok sendiri. Kalau aku dulu pernah menggambar lukisannya, kenapa aku tidak bisa mengenalnya?”

“Kau kuatir dia berhasil mencari tahu seluk-beluk rahasia pihak Sin-cui-kiong, maka kau suruh anak-anak buahmu turun tangan jahat. Tapi kalau toh kalian sudah turun tangan serapi itu, dari mana pula kau bisa tahu bila dia belum ajal?”

Lamkiong Ling tersenyum, ujarnya: “Aku tahu pemuda baju hitam itu menyaksikan dari kejauhan, sengaja kubiarkan dia untuk membawa kabar kepadamu. Tapi waktu kau ke mari sedikit pun tidak menunjukkan kesedihan hati. Dari sini dapatlah kusimpulkan bahwa So Yong-yong hakekatnya belum mati! Oleh karena itu kau pura-pura masuk WC, terus melarikan diri. Aku tidak mengejarmu, malah mengejar dia! Memang sukar mengejarmu, tapi lebih gampang meringkus dia!”

“Sebaliknya dia sedikit pun tidak menaruh curiga terhadapmu, kalau tidak mana mungkin bisa terjatuh ke tanganmu?”

“Memangnya dia pernah mencurigai sahabat karib Coh Liu-hiang?”

Tiba-tiba Coh Liu-hiang seperti teringat sesuatu, bentaknya keras: “Tidak benar! Waktu keempat laki jubah hijau turun tangan kepadanya, kau sedang menemani aku menemui Jin-hujin, terang kejadian itu ada orang lain yang merencanakan. Siapa dia? Dari mana pula dia bisa kenal dengan Yong-ji?”

Berubah pula air muka Lamkiong Ling, bentaknya bengis: “Kalau aku sudah keluarkan perintahku, memangnya aku sendiri harus hadir di sana?”

Tanpa menunggu Coh Liu-hiang bicara kembali, ia membentak: “Turunkan dia!”

Laki-laki besar seperti kingkong itu melempangkan kedua tangannya di depan dada, pelan-pelan ia turunkan kursi yang dipanggulnya tadi.

“Kenapa tidak kau pertotonkan kekuatan kedua tanganmu itu?” kata Lamkiong Ling kepada manusia kingkong itu.

Laki-laki besar itu membuka lebar mulutnya yang bertaring besar dan menyeringai lucu, kedua tapak tangan segede kilas itu pelan-pelan terulur ke depan meraih sebuah kursi, pelan-pelan pula kedua tangannya terangkap mundur dan sedikit gencet, “pletak!”, kursi kayu cendana yang berat dan besar itu kena digencetnya hancur berkeping-keping.

Lamkiong Ling tertawa besar, serunya: “Bagus sekali! Sekarang letakkan kedua tapak tanganmu di atas kepala nona cilik itu. Cuma kau harus hati-hati sedikit, jangan kau gencet kepalanya sampai pecah.”

Betul juga, pelan-pelan tangan besar yang cukup untuk memegang kepala So Yong-yong itu lalu sedikit ditarik ke atas.

Menuding Coh Liu-hiang, berkata Lamkiong Ling kepada manusia kingkong itu; “Sekarang pentang lebar matamu, pandang seluruh badannya. Asal jarinya sedikit saja bergerak, lekas kau gencet remuk batok kepala nona itu.”

Laki-laki kingkong itu ternyata terloroh-loroh senang, seperti mendapat suatu mainan yang menarik hatinya, sebaliknya Coh Liu-hiang merasa kaki tangan berkeringat dingin, katanya sambil menengadah: "Lamkiong Ling! Lamkiong Ling! Tak nyana kau tega melakukan pebuatan serendah ini. Kau.... tindakanmu ini sungguh membuat hatiku kecewa.”

Lamkiong Ling melengos, katanya serak: “Sebetulnya aku tidak ingin berbuat begini, tapi kenapa kau harus mendesakku begini rupa?”

“Sekarang, kau.... apa keinginanmu yang sebenarnya?”

“Aku hanya ingin kau tahu So Yong-yong sudah terjatuh di tanganku. Kalau kau masih ingin dia tetap hidup, maka jangan sekali-kali ikut campur mengurusi persoalan pribadiku!”

Lama Coh Liu-hiang berpikir, katanya kemudian: “Jikalau aku tidak hiraukan jiwanya, tetapi mencampuri urusanmu, bagaimana?”

Lamkiong Ling berpaling, sahutnya tertawa: “Aku yakin benar Coh Liu-hiang bukan laki-laki yang suka berbuat senekad itu.”

“Kalau demikian, kau.... maksudmu kau hendak menahan So Yong-yong selamanya di tempatmu ini?”

“Peduli di mana saja, pasti akan kuusahakan supaya kau tahu bahwa dia masih tetap hidup. Kukira keputusan ini jauh lebih baik daripada kematiannya, benar tidak?”

“Tapi aku pun masih tetap hidup. Sehari aku masih bernyawa, jangan harap kau bisa berlega hati. Seandainya sekarang aku menyetujui saranmu ini, kalian toh tetap akan berusaha menamatkan jiwaku, benar tidak?”

Lambat-lambat Lamkiong Ling menarik muka, katanya sepatah demi sepatah: “Itulah persoalan lain, mati hidupmu tiada hubungannya dengan mati hidupnya. Jikalau kau masih ingin dia tetap hidup, sekarang juga harus tunduk akan perkataanku.”

“Setelah aku mati, kau pun akan membunuhnya juga?”

“Kalau kau sudah mampus, mati atau hidup masih ada hubungan apa dia dengan kau? Tetapi jikalau kau masih hidup, tentu takkan tega melihat kematiannya lantaran kau, ya?”

“Kukira imbalan syaratmu ini terlalu tidak adil!”

“Sampai detik ini kau masih bermimpi memperoleh imbalan syarat yang adil?” seru Lamkiong Ling terbahak-bahak. "Apalagi, sebelum kau mampus, kau kan masih punya kesempatan bisa menolongnya keluar dengan selamat.”

Dengan nanar Coh Liu-hiang mengawasi ke arah muka So Yong-yong, tanpa sadar ujung jarinya mulai gemetar. Jikalau ada orang bilang ternyata Coh Liu-hiang bisa juga gemetar, mungkin tiada orang di kolong langit ini yang mau percaya.

“Coh Liu-hiang!” seru Lamkiong Ling tertawa besar. "Sebenarnya aku cukup memahamimu sampai ke tulang-tulangmu, aku tahu kau harus tunduk kepadaku, sekarang tiada pilihan lain lagi bagimu!”

Ujung mata Coh Liu-hiang seperti mengerling sekilas kepadanya, lalu berkata dengan menghela napas lebih dulu: “Lamkiong Ling, kalau kau sudah bikin aku kecewa, mungkin suatu ketika aku pun bisa bikin kau teramat kecewa terhadapku.”

Ketika itu mendadak terdengar suara sambaran: “serrr!”, selarik bayangan hitam membawa deru angin kencang, bagai ular jahat tahu-tahu membelit kencang ke leher laki-laki kingkong itu.

Dengan menjerit marah, laki-laki kingkong itu angkat kedua tangannya. Baru saja tangannya terangkat, seenteng asap secepat kilat tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah berkelebat ke sana dan menyambar So Yong-yong seperti elang menyambar anak ayam ke depan sana.

Saking kagetnya, Lamkiong Ling hendak ikut menubruk maju, tetapi selarik sinar pedang yang tajam berhawa dingin tahu-tahu laksana bianglala meluncur tiba menghadang di depannya.

Coh Liu-hiang membawa So Yong-yong ke pojok pendopo sana baru sempat menghela napas lega, gumamnya tertawa: “Hek-tin-cu, It-tiam-ang, aku berkenalan dengan kalian, sungguh nasibku menjadi baik.”

Cambuk di tangan Hek-tin-cu sudah ditariknya sekencang gendewa, dengan kedua tangannya ia menarik setakar tenaganya, seperti kawanan nelayan di sungai Tiang-kang yang menarik perahunya menanjak air di selat-selat yang berbahaya, badannya hampir rebah sejajar dengan lantai, jari-jari tangan dan lengannya yang halus sudah menghijau hitam dan merongkol otot-ototnya. Walau dia sudah kerahkan setakar kekuatannya menarik, laki-laki kingkong itu ternyata tidak bisa ditarik roboh. Ujung cambuknya boleh dikata sudah menjerat kencang masuk ke dalam kulit dagingnya, sampai kedua biji matanya yang besar itu melotot keluar seperti mata ikan mas, tapi sedikit pun ia tidak bergeming di tempatnya. Bukan saja tidak ulur tangan mengendorkan jeratan ujung cambuk di lehernya, dia malah memburu ke arah Hek-tin-cu, sementara lehernya bersuara keruyukan, katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh: “Anak muda, kau takkan bisa menarikku roboh!”

Bukan saja Hek-tin-cu belum pernah melihat orang yang bertenaga sedemikian besarnya, dia pun belum pernah melihat manusia dengan otak setumpul ini, sungguh hatinya terkejut dan heran. Mendadak ia berseru lantang: “Apa sebaliknya kau mampu menarikku roboh?”

Laki-laki kingkong itu membuka mulutnya tertawa lebar, betul-betul ia gunakan kekuatan lehernya untuk menarik cambuk panjang. Kedua pihak sama-sama menggunakan seluruh kekuatannya. “Tas!”, cambuk panjang itu tiba-tiba putus di tengah-tengah.

Badan Hek-tin-cu menumbuk tembok, saking kagetnya ia jejak kaki melambung naik ke atas belandar. Tampak badan laki-laki kingkong sebesar menara itu pelan-pelan roboh terjerembab, kulit mukanya hitam dan merah ungu, lidahnya sudah terjulur panjang keluar, demikian pula kedua biji matanya melotot keluar, seolah-olah masih melotot kepada Hek-tin-cu. Tak tahan Hek-tin-cu dibuatnya, katanya tertawa kecut dengan bergidik: “Orang yang punya kekuatan luar biasa pada kaki tangannya, kenapa otaknya selalu tumpul!”

Memandang dari atas belandar, dilihatnya It-tiam-ang dan Lamkiong Ling sedang berhadapan seperti dua onggok kayu. Sampai sedemikian jauh belum ada yang bergerak lebih dulu. Mata Lamkiong Ling tertuju pada ujung pedang di tangan It-tiam-ang, melirik pun tak berani ke arah lain, tapi kejadian di sekitarnya meski dia tidak melihat pun bisa mendengar atau membayangkan. Keringat dingin sudah menetes-netes di atas jidatnya. Mendadak ia berkata dengan keras: “It-tiam-ang, konon kau hanya membunuh orang karena uang, apa benar?”

Biji mata It-tiam-ang yang abu-abu dingin membeku seperli biji mata ikan yang sudah mati kaku menatap kepadanya tanpa bersuara.

“Jikalau kau mau bantu aku membunuh Coh Liu-hiang, kuberi kau selaksa tail.”

Bergerak ujung mulut It tiam-ang, katanya sambil tertawa lebar: “Selaksa tail? Apakah Coh Liu-hiang berharga setinggi itu?”

“Kau bunuh aku, jelas tiada orang yang sudi membayar kau setinggi itu, benar tidak!”

“Benar, karma manusia seperti kau ini sepeser pun tak berharga,” jengek It-tiam-ang.

“Kalau demikian, lebih tidak setimpal kau membunuh aku.”

Terunjuk senyum sinis menghina di ujung mulut It-tiam-ang, katanya kalem: “Tahukah kau, seumpama lonte (pelacur), bila dia kebentur tamu yang dia penujui, bolehlah dia layani sekali secara gratis, kali ini aku membunuhmu pula secara gratis!” Habis kata-katanya, pedangnya pun bergerak.

Merah jengah muka Hek-tin-cu, tapi tidak tertahan dia tertawa geli, katanya: “Perumpamaan ini walau kotor dan kasar, tapi amat tepat sekali.”

Tampak dalam sekejap itu It-tiam-ang sudah menusuk tujuh kali, ilmu pedangnya teramat brutal dan aneh, serba istimewa, lengan bagian atas sikut sedikit pun tak bergeming, tapi bintik-bintik sinar pedangnya laksana hujan gencarnya merangsek pada lawan! Beruntun Lamkiong Ling tersurut mundur tujuh langkah, serunya dengan gelak tawa serak: “It-tiam ang, kau kira aku takut padamu?”

“Aku tak suruh kau takut kepadaku, aku cuma ingin kau mampus!”

“Mungkin kaulah yg mampus,” damprat Lamkiong Ling. Sekali raih ia tarik sebuah kursi terus dilempar, berbareng tangan kanan meraba pinggang melolos sepasang Bian-to. “Sret-sret-sret!”, sinar golok seperti sekuntum salju yang berterbangan di angkasa, tiga kali goloknya membacok dengan dahsyat. Gerak serangan goloknya tanpa kembangan atau variasi, tapi cepat, gesit, ganas dan nyata.

Selama hidup dan malang-melintang, tidak terhitung berapa kali It-tiam-ang menghadapi lawan-lawan tangguh, sudah tentu ia cukup tahu banyak ilmu silat seperti ini yang cukup menakutkan. Jikalau kau beranggapan ilmu silat ini tidak enak dipandang mata, tahu-tahu sejurus sambaran kilatnya sudah menamatkan jiwamu.

Ilmu golok semacam ini sebenarnya tidak ada sesuatu yang indah dan patut dibanggakan, tiada guna atau manfaat lainnya selain untuk membunuh orang dan manfaatnya dalam hal ini justru amat berguna sekali.

Semakin menyala biji mata It-tiam-ang, serunya tertawa besar: “Tak nyana hari ini aku bisa berhadapan dengan lawan tangguh seperti kau ini, tak sia sia perjalananku kali ini.”

Sinar golok dan hawa pedang mendesak mundur dan membuat sesak napas Hek-tin-cu, sekujur badan terasa dingin. Sudah banyak dia menyaksikan pertempuran tokoh-tokoh kosen, tapi belum pernah menyaksikan pertempuran seperti kedua orang ini. Seolah-olah pertempuran ini bukan manusia yang sedang berkelahi, lebih pantas kalau dikatakan dua serigala kepalaparan sedang berebut mangsa. Setiap jurus, setiap tipu serangannya, tujuannya mencabut jiwa musuhnya, terang tiada maksud lain kecuali membunuh musuhnya.

Sinar golok dan pedang saling sambar dan saling gubat-menggubat serang menyerang. Walau tidak mendengar benturan kedua senjata, namun hawa membunuh yang bersuhu dingin menguap naik sehingga Hek-tin-cu yang berada di atas belandar pun terdesak, napas sesak dan tak kuat bertahan lagi.

Lekas ia melompat tiga tombak jauhnya, kemudian melayang turun ke lantai. Dilihatnya Coh Liu-Hiang sedang sibuk mengurut dan melancarkan jalan darah So Yong-Yong, wajah So Yong-Yong yang pucat tadi lambat laun mulai merah berwarna darah.

Tak tahan Hek-tin-cu memburu maju dan menepuk pundah Coh Liu-Hiang, ”Tahukah kau orang lain sedang adu jiwa demi kau?”

“Tahu,” sahut Coh Liu-Hiang. “Memangnya kau tidak perduli dan turut campur?”

Coh Liu-hiang tertawa-tawa, ujarnya: “Kalau Tionggoan It-tiam-ang sudah turun tangan, memangnya perlu orang lain turut campur?”

“Agaknya kau lega sekali,” olok Hek-tin-cu.

“Masakah ilmu pedang It-tiam-ang tidak bisa melegakan hatiku?”

Terdengar “Cret!”, It-tiam-ang melompat miring tujuh langkah, baju atasnya tampak tergores robek terkena sambaran golok, darah segar sudah merembes membasahi badannya.

Lamkiong Ling tertawa besar, serunya: “It-tiam-ang, kau masih belum puas?”

“Cis!” It-tiam-ang berludah ke atas pundaknya yang terluka, tahu-tahu pedangnya sudah menusuk pula.

Seketika berubah pula air muka Hek-tin-cu, bentaknya bengis:”Sekarang kau masih berlega hati?”

Coh Liu-hiang tertawa getir, katanya: “Kalau It-tiam-ang sudah turun tangan, siapa yang ikut membantunya, dia adalah lawannya, apalagi kepandaian silat kedua orang ini sama setingkat dan sebanding, siapa pun jangan harap bisa melukai lawan.”

“Oleh karena itu kau berpeluk tangan saja, begitu?”

“Dalam sepuluh jurus Lamkiong-Ling pasti kena dibikin cedera juga oleh pedang It-tiam-ang, tidak lebih dari tiga puluh jurus dia pasti minta menghentikan pertempuran. Kalau belum waktunya, tidak berguna aku ikut mencampuri.”

“Mungkin hatimu sudah tumplek pada nona cantikmu ini, masa masih perduli dengan mati hidup orang lain? Sungguh tak nyana olehku, Coh Liu-hiang yang cemerlang namanya ternyata lebih mementingkan paras cantik daripada persahabatan kental.”

Belum habis kata-katanya, terdengar “Cret!” sekali lagi. Lamkiong Ling terhuyung mundur, pakaiannya berlubang, darah pun membasahi pakaiannya. Coh Liu-hiang menyengir sambil berpaling pada Hek-tin-cu, katanya: “Belum penuh sepuluh jurus malah, benar tidak?”

Sekian lama Hek-tin-cu tertunduk, entah apa yang ia renungkan, akhirnya ia tujukan sorot matanya ke muka So Yong-yong. Sorot matanya yang kelihatan dalam itu seakan-akan timbul suatu perubahan yang sedemikian rumit. Katanya pelan-pelan, “Dia memang teramat cantik.”

“Bukan hanya cantik saja.”

“Tapi menurut pendapatku, perempuan yang lebih cantik dari dia masih banyak jumlahnya.”

“Mungkin dia tidak bisa terhitung yang tercantik, tapi paling lembut, paling setia, paling pandai melayani dan perempuan yang paling bisa menyelami hati orang lain. Menurut apa yang kutahu, mungkin belum pernah ada perempuan yang bisa dibandingkan dia di dalam dunia ini.”

Pucat muka Hek-tin-cu, agaknya hendak mengucapkan apa-apa, namun ia tahan sambil mengigit bibir. Tiba-tiba ia membalikkan badan dan tak sudi melihat mereka lagi. Terdengar Lamkiong Ling sedang membentak:” Coh Liu-hiang! Marilah kau saja yang perang tanding denganku untuk menyelesaikan urusan ini. Kau sendiri tadi yang mengatakan hal ini, apa sekarang kau masih ingat?”

“Sudah tentu masih ingat.”

“Jikalau kau ingin tahu siapa tokoh misterius itu, lekas kau suruh keparat berdarah dingin ini menghentikan pertempuran.”

Coh Liu-hiang angkat pundak, katanya: ”Sayang bukan saja aku tidak bisa turun tangan, aku pun tidak bisa menyuruhnya berhenti…. Jikalau It-tiam-ang ingin membunuh seseorang, tiada seorang pun yang kuasa mencegahnya.”

Siapa tahu, mendadak It-tiam-ang melompat setombak jauhnya, katanya dingin: “Aku sudah berhenti, karena dia tidak mampu membunuhku, aku pun tidak mampu membunuhnya. Kalau perkelahian ini diteruskan, tidak ada artinya, biarlah kuserahkan kepadamu.”

“Terima kasih.”

Lama juga It-tiam-ang menatapnya lekat-lekat, katanya kalem “Tidak perlu terima kasih, asal kau ingat sejak semula sampai akhir It-tiam-ang tetap sahabatmu.”

Belum habis berkata, badannya sudah melambung tinggi berjumpalitan ke belakang terus melesat ke luar jendela dan memghilang entah ke mana.

“Kenapa dia selalu bilang datang ya datang, mau pergi tinggal pergi.” Baru sekarang Lamkiong Ling berhasil mengatur nafas, katanya serak: “Coh Liu-Hiang, kalau kau ingin menyelesaikan persoalan ini, marilah ikut aku!”

Coh Liu-hiang menengok ke arah So Yong-yong, katanya: ”Ikut kau?”

Hek-tin-cu menyela keras, katanya: “Coh Liu-hiang saat ini amat berat untuk tinggal pergi, demi perempuan ini urusan apa pun boleh tidak usah diurus.”

Berputar biji mata Lamkiong Ling, katanya: “Jikalau kau tidak mau pergi, jangan salahkan aku.”

Sengaja ia putar badan jalan lambat-lambat, agaknya ia tidak ingin melarikan diri, sebab ia tahu lari bukan suatu cara terbaik, kalau tidak sejak lama dia sudah menghilang tak karuan parannya.

Betapa Coh Liu-hiang tidak bisa membiarkan orang pergi demikian saja, katanya: “Hek-heng, agaknya untuk sementara aku harus serahkan dia ke dalam pengawasanmu.”

Hek-tin-cu mendongak memandang ke langit, sahutnya dingin: “Masa kau tidak kuatir?”

“Dia tertotok Hiat-tonya dengan Jong-jiu-hoat, tapi setelah kuurut tadi sebentar lagi bakal siuman. Cukup asal Hek-heng beritahu kepadanya, suruh dia selekasnya pulang, urusan lain tidak perlu dia kuatirkan.”

Sesaat Hek-tin-cu ragu-ragu, sahutnya kemudian: “Baiklah! Pergilah kau, aku akan suruh dia pulang, tapi aku tetap akan menunggumu, masih ada pertanyaan yang hendak kuajukan kepadamu."

Setelah Coh Liu-hiang keluar mengikuti jejaknya, baru Lamkiong Ling mempercepat langkahnya. Beberapa kejap mereka berlari-lari kencang, entah berapa jauh perjalanan sudah mereka tempuh, tiba-tiba Lamkiong Ling berkata: “Agaknya kau lega menyerahkan dia kepada orang lain?”

“Kenapa aku harus kuatir?”

“Masalah kau tahu bila anak muda itu tidak akam mecelakai jiwanya?”

“Kau kira karakter dan martabat orang lain sekejam dan setelengas dirimu?”

“Aku hanya anggap kau ini orang yang cerdik pandai dan cermat, siapa tahu ada kalanya kau pun bertindak kurang hati-hati.”

“Memang aku ini serba teliti. Jikalau pernah terpikir dalam benakku bila Hek-tin-cu punya alasan untuk mencelakai jiwa Yong-ji, meski sekarang aku terpaksa, sekali-kali tidak akan kuserahkan Yong-ji kepadanya. Jika kau pikir dengan persoalan ini kau hendak bikin hatiku tidak tenang sehingga gugup dan kacau, kunasehati kau untuk membatalkan saja niatmu itu.”

Lamkiong Ling terloroh-loroh dingin, selanjutnya memang dia tidak banyak kata lagi. Tampak tak jauh di depan sana bayangan air kemilau dibungkus kabut tebal, tahu-tahu mereka sudah tiba di Tay-bing-ouw. Di bawah ayoman dahan pohon Liu yang menjuntai turun, sebuah sampan terikat di sana, di dalamnya ternyata terpasang sebuah pelita yang bersinar terang. Dari luar jendela kelihatan di sana sudah tersedia sebuah meja hidangan yang serba komplit.

Setelah Coh Liu-hiang masuk ke dalam ruangan kapal, Lamkiong Ling menarik galah dan menutul tanggul, sehingga sampan meluncur ke tengah danau. Kabut tebal, di mana-mana banyak asap seperti hujan. Mengikuti riak gelombang yang mengalun halus, sampan melaju ke depan terbawa angin. Di tengah alam semesta yang tak berujung pangkal ini, terkadang orang akan terpesona tanpa sadar, tak tertahan orang akan berdiri bulu kuduknya.

Coh Liu-hiang memilih kursi dan duduk dengan nyaman, namun hatinya sedikit pun tidak merasa nyaman, terasa olehnya persoalan yang dihadapinya ini makin lama semakin janggal. Kenapa Lamkiong Ling membawa dirinya ke tempat ini? Pembunuh misterius itu, apakah dia berada di atas sampan besar ini?

Tapi, kecuali Coh Liu-hiang dan Lamkiong Ling, jelas di atas sampan tiada orang ketiga! Hal ini Coh Liu-hiang berani pastikan sesaat setelah dia beranjak ke atas sampan ini.

Hembusan angin malam nan sepoi-sepoi, menyibak bau harum arak dan masakan, bau daun pohon liu nan wangi, tapi yang tersedot dalam pernapasan Coh Liu-hiang sebaliknya adalah hawa membunuh yang amat tebal.

Kini Lamkiong Ling sudah duduk berhadapan dengan Coh Liu-hiang, katanya sambil mengawasinya: “Tahukah kau kenapa aku membawamu ke mari?”
“Tentunya kau tidak ingin membunuhku di sini. Jikalau kau hendak membunuhku, tentunya lebih jauh meninggalkan air lebih baik.”

“Benar, tiada orang yang mau membunuh Coh Liu-hiang di dalam air.”

“Apakah si dia yang suruh kau membawaku ke mari?”

“Benar! Dia beritahu kepadaku, bila mana aku sendiri tidak bisa menyelesaikan persoalan ini, bawa saja kau ke mari, biar dia sendiri yang akan menyelesaikan.”

“Kau kira dia akan datang?”

“Tentu akan datang!”

“Pikirmu, setelah dia datang, lantas bisa menyelesaikan persoalan ini?”

“Jikalau ada seseorang yang bisa menghadapi Coh Liu-hiang, orang itu adalah si dia itulah!”

“Siapa si dia itu, sungguh aku tak mengerti dia punya cara penyelesaian apa?”

“Cara yang dia gunakan tiada orang lain yang dapat menyimpulkan sebelumnya.”

“Agaknya kau terlalu yakin akan kemampuannya?”

“Di dunia ini, jikalau ada orang yang dapat kupercayai, orang itu hanya dia saja.”

Coh Liu-hiang pejamkan mata, katanya pelan-pelan: “Siapakah orang yang demikian itu? Kalau toh dia sudah tahu membunuh Coh Liu-hiang di atas air jauh lebih sukar daripada di daratan, kenapa membawaku ke atas sampan ini? Sebetulnya rencana apa yang sedang dia atur? Sebenarnya dia punya cara apa untuk menghadapi aku? Sungguh aku tak sabar lagi menunggu, ingin secepatnya aku berhadapan dengan dia.”

Teringat akan kelicikan orang, perbuatan telengas dan kejahatannya, mau tidak mau Coh Liu-hiang bergidik bulu romanya. Musuh-musuh yang pernah dia hadapi selama hidupnya, sungguh tiada seorang pun yang begini menakutkan.

Lamkiong Ling menuangkan dua cangkir arak, katanya: “Jikalau aku jadi kau, sekarang lebih baik minum-minum dulu, tidak berguna kau banyak peras otak, apalagi saat-saatmu menikmati arak toh takkan lama lagi.”

Arak bening berwarna hijau pupus kelihatan memancarkan cahaya di dalam cangkir emas.

Lamkiong Ling angkat cangkirnya terus ditenggak habis, katanya menengadah: “Tapi aku berdoa, semoga yang menemukan rahasia ini bukan kau. Siapa pun dia, jikalau hendak membunuh sahabat yang dulu pernah menangkap kura-kura besar bersama tentunya bukan sesuatu yang patut dibuat girang!”

Jari tangan Coh Liu-hiang menyentuh pun tidak cangkir arak itu, katanya: “Aku pun mengharap kau adalah Lamkiong Ling yang pernah bantu aku menangkap kura-kura itu.”

Lamkiong Ling tertawa-tawa, tiba-tiba ia mengerutkan alis, katanya: “Arakmu ....”

"Masih banyak waktu untuk aku minum arak, sekarang tidak perlu tergesa-gesa!"

Coh Liu-hiang ternyata tidak tergesa-gesa minum arak, sungguh suatu kejadian luar biasa dan aneh.

“Kau jangan lupa, aku adalah seorang yang amat teliti.”

“Kedua cangkir arak ini kutuang dari poci yang sama. Jikalau kau masih kuatir, secangkir arak ini biar kuhabisi sekalian!” lalu ia raih cangkir di hadapan Coh Liu-hiang dan ditenggaknya habis. “Agaknya orang yang terlalu teliti meski mungkin bisa berumur panjang, betapa pun dia harus mengorbankan arak-arak bagus yang seharusnya dia nikmati. Tidak seharusnya kau curiga arak ini mengandung racun, tokoh mana di dunia ini yang bisa meracun mati Coh Liu-hiang hanya dengan permainan arak beracun. Masakah dia bakal menaruh.....” belum lagi kata-kata “racun” keluar dari mulutnya, air mukanya mendadak berubah hebat. Lengan, jidat dan lehernya.... otot-otot hijau menonjol keluar semua.

“Kenapa kau?” teriak Coh Liu-hiang kaget.

“Arak ini....” sahut Lamkiong Ling bergetar.

“Apa benar arak ini mengandung racun?” seru Coh Liu-hiang tersirap darahnya, lekas ia memburu maju dan membuka kelopak mata Lamkiong Ling, namun tak terlihat tanda-tanda keracunan, tapi sekujur badan Lamkiong Ling semakin panas seperti terbakar.

Melonjak jantung Coh Liu-hiang, teriaknya kaget: “Thian-it-sin-cui, arak ini ada dicampur dengan Thian-it-sin-cui!”

Coh Liu-hiang membanting kaki, katanya: “Sampai sekarang kau masih belum paham? Bahwa dia mencampuri air sakti itu di dalam arak ini, tujuannya bukan hendak mencelakai jiwaku, namun kaulah yang menjadi sasaran utama! Dia pun tahu, setiap waktu aku selalu bertindak hati-hati, sebaliknya kau tidak mungkin bersiaga terhadapnya.”

Coh Liu-hiang menengadah dan melanjutkan: “Sejak naik ke atas sampan ini, aku sudah merasa di sini diliputi mara bahaya, numun tak pernah terpikir olehku dengan cara apa dia hendak mencelakai diriku. Baru sekarang aku paham, ternyata yang dia tuju bukan aku, sebaliknya jiwamu yang diincarnya.”

“Tapi dia.... kenapa dia harus membunuhku?” teriak Lamkiong Ling keras.

“Karena, asal kau mati, segala sumber penyelidikanku bakal putus semuanya. Asal kau sudah ajal, dia tetap boleh luntang-lantung ke mana dia suka, dan tidak akan ada orang tahu siapa sebenarnya si “dia” itu.”

Bergetar badan Lamkiong Ling, agaknya ia amat kaget akan kata-kata ini, matanya mendelong. Kini sekujur badannya mulai membengkak besar, kulit dagingnya mulai pecah, sampai pun urat nadi dan jalan darahnya pun merekah. Ujung mata, hidung, sela-sela kuku jarinya, mulai merembeskan darah segar.

Coh Liu-hiang membentak keras: “Tanpa kenal kasihan dia turun tangan jahat membunuhmu, kenapa kau masih bertahan menyimpan rahasianya? Lekas kau katakan siapakah dia sebenarnya, sekarang kau masih sempat mengatakannya.”

Seperti mata ikan mas biji mata Lamkiong Ling melotot keluar, gumamnya: “Katamu dia hendak membunuh aku.... aku masih tidak percaya.... “

“Sudah tentu dia harus membunuhmu! Kalau tidak, jelas dia tahu aku takkakn minum arak, kenapa dia menaruh racun dalan arak? Kenapa tidak beritahu kepadamu lebih dahulu bahwa arak itu beracun?”

Agaknya Lamkiong Ling tidak memahami kata-katanya seluruhnya, mulutnya tetap menggumam sendiri: “Aku tidak percaya.... aku tidak percaya....”

Sekali raih, Coh Liu-hiang mencengkram baju di depan dadanya, teriaknya serak: “Kenapa kau tidak percaya? Masa kau.... “

Bibir Lamkiong Ling yang sudah merekah, mendadak ia menampilkan senyum pilu, katanya: “Tahukah kau siapa dia?”

“Siapa? Siapa dia?” desak Coh Liu-hiang.

Sepatah dengan sepatah Lamkiong Ling meronta keluarkan kata-katanya: “Itulah suatu rahasia, tiada seorang pun di kolong langit ini yang tahu akan rahasia ini. Aku.... aku punya seorang saudara sepupu. Engkoh sepupuku....., si “dia” bukan lain adalah engkoh sepupuku itu.”

Coh Liu-hiang terlongong di tempatnya seperti linglung, badannya terhuyung mundur setengah langkah, bersandar di pinggir meja. Serasa sekujur badan lemas lunglai dan hampir meloso jatuh. Rada lama kemudian, baru dia bersuara dengan tertawa getir: “Tak heran kau begitu percaya kepadanya, tak heran kau begitu mendengar petunjuknya. Tapi..... tapi siapakah engkohmu itu? Sampai detik ini kau masih segan menyebut namanya?”

Mulut Lamkiong Ling megap-megap seperti ikan mas yang menghirup napas di permukaan air, mulutnya penuh digenangi darah segar. Kini lidahnya pun mulai merekah, sepatah kata pun tak kuasa bicara lagi.

***

Entah beberapa lama Coh Liu-hiang menjublek duduk di atas kursi. Kini bahan penyelidikannya sudah putus sama sekali, dia harus mulai dari permulaan pula.

Entah berapa ia sudah mengalami mara bahaya, entah berapa jerih payahnya yang dia korbankan, baru diketahui bahwa Cou Yu-cin, Sebun Jian, Ling-ciu-cu dan Ca Bok-hap keluar pintu setelah masing-masing menerima sepucuk surat. Entah sudah mengalami beberapa kali kegagalan dan kekecewaan baru berhasil dia selidiki si penulis surat itu sekaligus membongkar segala rahasia Kay-pang.

Betapa besar kesulitan dan derita yang dialaminya untuk semua itu, jikalau tidak dibekali kecerdikan dan keberanian yang luar biasa, boleh dikata takkan ada orang yang kuat bertahan menghadapi tantangan-tantangan yang hebat dan mengerikan itu. Tapi Lamkiong Ling sekarang sudah ajal, segala jerih payah dan usahanya selama ini berarti sia-sia. Karena sampai detik ini ia belum berhasil mengetahui siapakah biang keladi atau tokoh misterius dalam peristiwa ini.

Fajar sudah menyingsing, kabut di permukaan danau malah makin tebal.

Coh Liu-hiang menggeliat sambil menghirup napas segar, gumamnya: “Kini yang kuketahui masih berapa banyak?” Memang bahan-bahan yang masih berada di benaknya tidak banyak lagi. Bahan satu-satunya yang ketinggalan yaitu pembunuh misterius adalah saudara sepupu Lamkiong Ling. Di tangan si “dia” itu masih terdapat Thian-it-sin-cui yang cukup untuk mencelakai jiwa tiga puluh tiga orang. Tapi siapakah sebenarnya si “dia” itu?

Dengan Thian-it-sin-cui, dia sudah membunuh Jin Jip, Ca Bok-hap dan Lamkiong Ling. Sasaran selanjutnya entah siapa! Tentu tokoh kosen yang berilmu amat tinggi, namanya cukup tenar dan terpandang sebagai angkatan tertinggi di Bulim pula.

Tokoh itu tentu mempunyai hubungan yang amat erat dengan si “dia” itu, paling tidak takkan curiga bahwa si dia bakal mencelakai jiwanya, kalau tidak cara bagaimana si dia dapat mencampurkan Thian-it-sin-cui ke dalam cawan minumannya?

Coh Liu-hiang memejamkan mata, mulutnya menggumam: “ Thian-hong-cap-si-long ternyata bukan seorang diri datang ke Tionggoan, dia masih membawa dua orang putra kandungnya. Setelah dia mati, seorang anaknya dia titipkan kepada Jin Jip supaya diasuh sampai besar, lalu seorang anak lainnya? Kepada siapa dia serahkan anaknya yang lain? Siapa pula yang tahu mengenai keajadian ini?”

Peristiwa itu sudah berlalu selang duapuluh tahun lamanya, kini boleh dikata sudah tiada sumber yang dapat dibuat bahan penyelidikan.

Mendadak Coh Liu-hiang melompat bangun, katanya keras: “Aku sudah tahu. Kalau Thian-hong-cap-si-long menyerahkan anaknya yang kecil kepada Jin Jip, putra besarnya tentu dia serahkan kepada tokoh kosen yang bertanding pertama kali dengan dia. Asal aku bisa menemukan siapa orang ini, tentulah dapat menemukan siapa si “dia” itu."

Kini Coh Liu-hiang memang belum tahu siapakah tokoh silat yang bergebrak dengan Thian hong cap-si-long sebelum Jin Jip, tapi dia sudah tahu:

Pertama: Tingkat kedudukan dan nama tokoh itu tentu amat tinggi dan tenar, baru Thian-hong-cap-si-long sudi mencarinya, lalu menghadapi Jin Jip. Tidak banyak tokoh-tokoh silat di kalangan kangouw yang lebih tinggi tingkatannya dan ketenarannya dari Kaypang Pangcu, maka kemungkinannya bisa lebih diperkecil.

Kedua: Ilmu silat orang ini teramat tangguh, maka bisa melukai Thian-hong-cap-si-long.
Ketiga: Watak dan martabat orang ini tentu seperti Jin Jip, berjiwa besar, lapang dada dan welas asih, maka dia bersedia menerima anak yatim Thian-hong-cap-si-long, malah menurunkan ilmu silatnya yang tiada taranya kepada si bocah.

Keempat: Orang ini tentu tidak suka mengagulkan diri dan membuat sensasi, maka walaupun dia berhasil unggul dan mengalahkan pendekar pedang (pendekar samurai) tersohor dari Tang-ni (Jepang), tiada tokoh Kangouw yang tahu akan kejadian besar itu.

Kelima: Tokoh ini tentu menetap di daerah Binglam atau lingkungan yang tidak jauh dari sana, maka setelah Thian-hong-cap-si-long terkalahkan dengan luka parah, dia masih sempat memburu ke tempat pertandingan yang dia janjikan dengan Jin Jip.

Coh Liu-hiang menghela napas panjang-panjang, ujarnya: “Kini terhitung tidak sedikit hasil analisaku ini.”

Lekas ia memburu keluar, galah dia samber terus mendorong kapalnya ke tepi. Sekali lompat ia dapat mendarat dengan enteng. Mendadak derap kuda berlari mendatangi, seseorang membedal kudanya lari mendatangi. Belum lagi dekat, badannya sudah mencelat tinggi lepas dari punggung kudanya meluncur hinggap di depannya, siapa dia kalau bukan Hek-tin-cu si Mutiara Hitam.

“Ternyata kau bisa menemukan aku,” sambut Coh Liu-hiang: “Mana dia?”

Hek-tin-cu tidak lantas menjawab. Sesaat ia pandang orang, sahutnya dingin: “Dia memang penurut dan dengar kata, kini sudah berangkat pulang.” Mendadak matanya melotot, katanya keras: “Tapi ingin aku tanya kau, sebetulnya di mana ayahku berada? Kenapa selama ini kau mengulur-ulur waktu tak mau jelaskan tempat tinggalnya?”

Coh Liu-hiang tertunduk, sahutnya: “Ayahmu sudah.... sudah meninggal dunia.”

Tersentak badan Hek-tin-cu, serunya serak: “Kau.... apa katamu?”

“Aku sudah mengurus baik-baik jenazah ayahmu di Ang-giok-gay di Loh-tiong. Di dusun nelayan di pesisir laut sana, ada seorang bernama Li Tho-cu. Kalau kau pergi ke sana, boleh kau minta kepadanya untuk mengantarmu ke atas kapalku. Setelah kau bertemu So Yong-yong, kau akan bertemu dengan jenazah atau pusara ayahmu.”

Hek-tin-cu mendesak maju menarik lengannya, bentaknya beringas: “Jenazah ayahku kenapa bisa berada di atas kapalmu? Apakah kau yang mencelakai jiwanya?”

“Seluk-beluk persoalan ini sulit untuk dijelaskan dalam waktu singkat, tapi Yong-ji akan menjelaskan sedetailnya kepadamu.... Mengenai pembunuh ayahmu, kini berada di dalam sampan itu." Belum habis kata-katanya, Hek-tin-cu sudah melesat naik ke atas sampan.

Jelalatan sorot mata Coh Liu-hiang, mendadak ia berseru lantang: “Kupinjam kuda saktimu sekali lagi, kelak pasti akan kukembalikan!” Belum lenyap suaranya, badan sudah melejit naik mencemplak ke punggung kuda terus dibedal kencang ke arah selatan.

Setelah Coh Liu-hiang berhasil menemui Ciu Ling-Siok di Ni-san, lalu ia ambil kudanya yang dititipkan di rumah seorang pemburu langsung kembali ke Kilam, tujuan utamanya adalah menemui Lamkiong Ling, maka untuk memburu waktu ia belum kembalikan kuda hitam itu kepada pemiliknya Hek-tin-cu, cuma ia titipkan ke sebuah hotel yang berdekatan. Waktu ia tiba di Hian-tong Kaypang, kuda yang cerdik ini menjebol kandang menerjang keluar mencari pemiliknya. Lantaran kuda inilah maka Hek-tin-cu dan It-tiam-ang baru tahu bahwa Coh Liu-hiang sudah kembali ke Kilam, maka mereka menyusul tiba pada saatnya dan berhasil menolong So Yong-yong pula.

Mengandalkan kepintaran kuda ini pula sehingga Coh Liu-hiang dalam waktu yang tersingkat memburu waktu pula menuju ke Bianglam. Tetapi, setiba di Bianglam, mau tidak mau ia jadi putus asa dan kecewa dibuatnya.

Kejadian dua puluh tahun yang lalu orang-orang sudah lupa sama sekali, sedang keluarga besar dari marga Tan dan Lim yang merupakan simbol kebesaran kaum Bulim di daerah Binglam ini hakikatnya tidak tahu-menahu siapakah sebenarnya Thian-hong-cap-si-long.

Hari itu Coh Liu-hiang tiba di Sian-yu yang merupakan kota terbesar dan teramai. Banyak tempat-tempat tamasya di sini. Hati Coh Liu-hiang sedang masygul dan kesal, maka selera minum dan makan menjadi kendor, yang diinginkan hanyalah minum dua cangkir teh kental yang pahit.

Binglam merupakan daerah penghasil daun teh yang termashur. Di dalam kota Sian-yu banyak terdapat warung-warung teh, alat-alat untuk minum teh di sini pun jauh berbeda dengan tempat lain, tampak setiap orang yang duduk di warung teh menikmati minuman tehnya sambil memejamkan mata, menggunakan cioki yang lebih kecil dari cangkir arak untuk menikmati atau menilai rasa air teh itu. Orang yang minum teh dengan cawan besar di sini dalam pandangan masyarakat Binglam tak ubahnya dipandang sebagai kerbau dungu.

Tidak ketinggalan Coh Liu-hiang pun minta disediakan Thi-koan-im yang rasanya pahit getir dan wangi. Kalau ditenggak teh ini memang pahit dan getir. Namun setelah masuk ke perut, mulut terasa wangi dan semerbak sampai sekian lama tak hilang-hilang.

Setelah menghabiskan dua poci kecil, rasa masygul dan kesal Coh Liu-hiang sudah semakin sirna dan ketenangan kembali menggayuti sanubarinya. Dan baru sekarang dia mengerti aturan-aturan untuk minum teh di sini sedemikian banyaknya, tujuannya adalah untuk menekan perasan dan melatih kesabaran. Cara atau kepandaian membina dan melatih watak dan kesabaran ternyata hasil gemblengan dari air teh kental yang pahit getir dari sepoci-poci kecil ini.

Jauh berlainan dengan warung arak di tempat lain yang penuh sesak, tentu timbul keributan. Warung teh ini penuh sesak, namun setiap orang bicara secara bisik-bisik, tindak-tanduk orang pun amat hati-hati, kuatir mengganggu orang lain.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar