-------------------------------
----------------------------
Bab 9: Pertempuran Golok & Pedang
“Sejak semula dia segan
bentrok secara berhadapan. Setelah kudesak dan kupaksa, saking kewalahan dan
tak berdaya, barulah dia membawaku ke mari. Dia tahu, di hadapannya sekali-kali
kau takkan berani membocorkan rahasianya.” Setelah merandek sebentar, lalu ia
menggumam: “Hari itu dia minta aku tunggu dua jam, maksudnya tentu bukan
menyelesaikan urusan dalam Kaypang, melainkan supaya pembunuh kejam itu datang
ke mari lebih dulu, menyaru jadi Thian-hong-cap-si liong dan menunggu aku di
jembatan batu itu. Dengan dia sendiri yang mengiringi, bukan saja dia tak perlu
takut aku berhadapan denganmu, dia pun hendak gunakan situasi tempat yang
berbahaya ini untuk menyikat aku, supaya kelak tidak meninggalkan bibit bencana.
Jikalau selamanya aku tak berhasil menemukanmu, sudah tentu dia akan jauh lebih
lega dan hidup ongkang-ongkang kaki.”
“Dia suruh orang menunggumu
dan membunuhmu. Jikalau tak berhasil, lalu dia iringi kau menemui aku, dengan
kehadirannya sudah tentu aku tidak bisa sembarangan bicara.” Mendadak Chiu
Ling-siok tertawa pilu, lalu katanya pula: “Dia sendiri berpendapat
perbuatannya cukup rapi dan hati-hati, siapa tahu Thian maha adil, akhirnya dia
takkan lolos dari pertanggungan-jawab atas perbuatannya.”
“Bahwasanya dia sendiri kukira
belum tentu tega, dia pun kuatir aku akan kembali pula ke sini, maka dia
bocorkan tempat tinggalmu kepada Pek-giok-mo. Dengan pinjam tangan Pek-giok-mo
untuk menyumbat mulutmu, di kala orang lain tahu kejadian ini, segala tanggung
jawab boleh dia timpakan kepada Pek-giok-mo....” Sampai di sini Coh Liu-hiang
tertawa, ujarnya pula: “Tapi tidak terpikir olehnya, bahwa selekas ini aku
sudah menyusul ke mari, permainan caturku itu agaknya tidak sia-sia kujalankan.
Cuma di saat dia sadar akan muslihat permainan caturku itu, kejadian pasti
sudah terlambat.”
Sesaat lamanya Chiu Ling-siok
menepekur, mendadak dia berkata pula: “Thian-hong-cap-si-long, tadi kau ada
menyinggung nama ini?”
“Ya, Apakah Hujin juga kenal
akan orang ini?”
“Meski aku tidak mengenalnya,
dulu sering aku mendengar Jin Jip menyinggung dirinya.”
“Tak kuduga memang ada orang
seperti itu dalam dunia ini, kukira nama Thian-hong-cap-si-long hanyalah nama
palsu yang mereka sebut untuk mengada-ada saja!”
“Lahirnya Jin Jip halus di
luar dan keras batinnya, selamanya jarang dia mau tunduk dan mengagumi orang
lain, namun terhadap Thian-hong-cap-si-long ini dia teramat kagum dan
menghormatinya. Setiap kali menyinggung nama orang, selalu dia memujinya
sebagai orang gagah laksana gemblengan besi baja.”
“Orang seperti itu memangnya
ada hubungan apa dengan Lamkiong Ling? Kenapa Lamkiong Ling meminjam namanya?
... Apa Hujin tahu di mana dia sekarang?”
“Orang ini sudah meninggal
sejak dua puluh tahun yang lalu.”
“Siapa yang membunuhnya?”
“Yang membunuhnya adalah Jin
Jip.”
Tak terasa Coh Liu-hiang
tertegun, katanya tak mengerti: “Jin-lopangcu sedemikian hormat dan
mengaguminya, kenapa pula harus membunuhnya?”
“Thian-hong-cap-si-long
menyeberangi lautan dan mendarat di Tionggoan, maksudnya hendak menjajal
kepandaian dengan tokoh-tokoh Bulim. Waktu itu belum lama Jin Jip memangku
jabatan Kaypang Pangcu, saat kegemilangan dan ketenarannya mencapai puncaknya,
sudah tentu Thian-hong-cap-si-long tidak sia-siakan kesempatan untuk bertanding
sama dia. Tidak lama setelah dia berada di Tionggoan, langsung ia berkirim
surat menantang kepada Jin Jip, di mana dijelaskan tanggal, waktu dan tempat
pertandingan.”
“Thian-hong-cap-si-long itu
memang terlalu takabur. Betapa besar negeri kita dan berapa banyak tokoh-tokoh
silat yang hebat kepandaian silatnya, seumpama harimau mendekam naga
menyembunyikan diri, masa mengandalkan tenaganya seorang bisa malang
melintang?”
“Setelah menerima surat
tantangan Thian-hong-cap-si-long itu, demi nama baik Kaypang, sudah tentu dia
tidak menolak tantangannya, apalagi waktu itu di saat jaya-jayanya, dia memang
ingin juga berkenalan dengan pendekar pedang dari Tang-ni yang aneh dan luar
biasa itu.”
“Betapa hebat dan menakjubkan
pertandingan kala itu tentulah menggetarkan bumi menggoncangkan langit. Sayang
aku terlambat lahir dua puluh tahun, betapa menyenangkan bila bisa menyaksikan
pertandingan besar yang tiada taranya ini.”
“Kalau kau sudah lahir pada
waktu itu, tentu kau akan kecewa, karena pertempuran itu tidak seru dan tidak
menakjubkan.”
“Kenapa begitu? tanya Coh
Liu-hiang melongo.
“Biasanya Jin Jip tidak mau
mengagulkan diri. Setelah menerima surat tantangan, kejadian ini tidak ia
siarkan kepada umum, sampai sekarang tokoh-tokoh Kangouw yang tahu akan peristiwa
ini pun tak banyak. Orang yang mengiringi dia dalam pertandingan itu cuma
Sutouw Tianglo seorang yang kini sudah meninggal, kecuali itu boleh dikata
tiada orang ketiga yang tahu.”
“Di mana tempat pertandingan
ditentukan?”
“Kabarnya tempat itu berada di
Binglam, di sebuah gunung yang tidak begitu terkenal namanya, maksudnya supaya
tidak menimbulkan perhatian sesama kaum persilatan.”
“Kalau demikian,
Thian-hong-cap-si-long yang takabur itu kiranya seorang yang tidak mengejar
nama. Kalau tidak, seumpama Jin-lopangcu menutupi peristiwa itu, tentulah dia
sendiri akan menyiarkan peristiwa besar itu.”
“Di dalam surat tantangannya
itu memang ada dijelaskan, bertanding demi mengukur kepandaian silat bukan
untuk mengejar nama. Waktu Jin Jip dan Sutouw Tianglo tiba di tempat yang
ditentukan, Thian-hong-cap-si-long ternyata sudah menunggu di sana. Tanpa
banyak kata, segera ia turun tangan kepada Jin Jip.”
“Sepatah kata pun tidak
bicara?”
“Menurut cerita Jin Jip
kepadaku, waktu ia tiba di atas gunung, Thian-hong-cap-si-long sedang duduk di
atas batu besar itu, kedua tangannya menyoren sebilah pedang panjang yang sudah
terlolos dari sarungnya. Begitu melihat Jin Jip, segera ia bangkit dan pasang
kuda-kuda menurut ajaran tunggal ilmu pedang dari Tang-ni, mulutnya hanya
berkata dua patah saja.”
“Dua patah kata apa?”
“Hanya berkata ‘marilah.’ lalu
dia tutup mulut. Melihat orang sedemikian angkuh, Jin Jip naik pitam, maka dia
pun malas buka suara.”
“Apakah Jin-lopangcu
menggunakan senjata juga?”
“Jin Jip bersenjata
Pak-kau-pang, senjata tradisi dari leluhur para Pangcu Kaypang yang terdahulu.
Belum sepuluh jurus mereka bertempur, Jin Jip sudah berhasil memukul pedang
panjang di tangan Thian-hong-cap-si long, tongkatnya telak mengenai badannya,
kontan Thian-hong-cap-si-long roboh dengan muntah darah.”
Heran Coh Liu-hiang dibuatnya,
teriaknya: “Thian-hong-cap-si-long meluruk datang dari tempat jauh, membekal
kepandaian yang tiada taranya, masakah tidak begitu becus ilmu pedangnya?”
“Waktu itu Jin Jip pun heran.
Belakangan baru dia tahu, kiranya Jin Jip bukanlah orang pertama yang pernah
bertanding dengan Thian-hong-cap si-long pada hari yang sama. Sebelumnya dia
sudah bertanding dengan orang lain lebih dulu, malah membekal luka dalam yang
amat parah. Jikalau dia mau buka suara, tentu Jin Jip tidak sudi mengambil
keuntungan ini, namun dia justru tak mau bila orang sangka dirinya jerih, maka
dia hanya mengeluarkan kata-kata ’marilah’, sepatah kata pun tidak dia singgung
tentang luka-luka dalamnya. Jin Jip kira orang kelewat angkuh, tidak sudi
banyak bicara dengan orang lain. Luka-luka dalam yang dideritanya memang
teramat parah, ditambah sekali ketukan tongkat Jin Jip di dadanya lagi, manusia
besi pun takkan kuat bertahan. Hari itu juga dia menemui ajalnya. Sebelum ajal,
sepatah kata pun ia tidak mau unjuk kelemahannya, dia pun tidak salahkan
Jin-jip, cuma berkata bahwa dia bisa ajal di medan laga maka tidak sia sialah
perjalanannya ini.”
Bergolak darah Coh Liu-hiang,
katanya menengadah sambil menghela napas: “Sampai ajalnya pun
Thian-hong-cap-si-long tidak mau unjuk kelemahan, tidak mau kehilangan
kepercayaan akan keyakinan diri sendiri. Sudah tahu bahwa jiwanya bakal ajal,
namun dia tetap menghadapi pertandingan secara jantan, memang tidak malu dan
jarang sekali ditemui orang gagah seperti gemblengan baja seperti itu.”
“Mungkin itulah semangat juang
yang paling dibanggakan oleh para Busu di Tang-ni sana???"
“Bagaimana jua, orang seperti
dia patut dipuji dan dibuat bangga, tidaklah heran bila puluh tahun kemudian
Jin-lopangcu masih sedemikian kagum dan mengenangnya.”
“Memang tanggung jawab
kematian Thian-hong-cap-si-long bukan lantaran Jin Jip, namun Jin Jip sendiri
berkata bila waktu itu dia sedikit perhatikan, pastilah bisa mengetahui
luka-luka yang diderita oleh Thian-hong-cap-si-long.”
“Siapakah orangnya yang sudah
melukai berat Thian-hong-cap-si-long sebelum mati di tangan Jin-lopangcu?”
“Selama ini Jin Jip tidak
pernah menyinggung orang itu.”
“Tentulah orang itu pula
seperti Jin-lopangcu, seorang tokoh yang tidak suka menonjolkan nama, sehingga
pertarungannya dengan Thian-hong-cap-si-long dulu sampai kini masih merupakan
rahasia dan tiada orang yang tahu.”
Berhenti sebentar, Coh
Liu-hiang lalu meneruskan: “Dengan kekuatan Lwekangnya orang itu memukul Thian-hong-cap-si-long
sampai terluka berat, betapa tinggi kepandaian silatnya dapatlah dibayangkan!
Setelah terluka parah melawan orang ini, Thian-hong-cap-si-long masih kuat
memburu ke tempat perjanjiannya dengan Jin Jip, tentulah tempat di mana dia
terluka parah itu masih termasuk dalam wilayah Binglam pula, lalu siapakah
tokoh tersembunyi itu? ... Ah..., apakah... ?”
Mendadak Chiu Ling-siok
menyela: “Kuberitahukan cerita ini kepadamu bukan tanpa alasan.”
“Masih ada alasan apa?”
“Sebelum ajalnya, Thian-hong-cap-si-long
berpesan sesuatu kepada Jin Jip. Tapi bagaimana pun, dengan susah payah pernah
kutanyakan kepada Jin Jip, namun dia selalu geleng kepala dan tidak mau
menerangkan.”
“Kenapa Jin-lopangcu begitu
rapat merahasiakan hal itu?”
“Hal itu aku pun tidak tahu,
tapi belakangan dapatlah aku menerka-nerka sebagian.”
”Oh?”
“Setiap kali Jin Jip melihat
Lamkiong Ling, dia selalu teringat kepada Thian-hong-cap-si-long. Karena hal
itu, selalu dia menghela napas dan berdoa serta meneras diri. Belakangan, meski
dia sudah tahu Langkiong Ling mencelakai jiwanya, tapi dia tetap bersikap alim
dan tak mau mengeluarkan kata-kata yang menyinggung Lamkiong Ling. Selalu ia
berkata, memang dialah yang bersalah terhadap Lamkiong Ling. Sampai dewasa,
persoalan apa pula yang pernah dia salah lakukan terhadap Lamkiong Ling, tidak
pernah dia ceritakan.”
Sorot matanya seolah-olah
terpancar keluar dari balik cadar hitamnya. Dengan tajam ia tatap Coh
Liu-hiang, katanya tandas: “Maka kupikir pesan terakhir menjelang ajal
Thian-hong-cap-si-long tentulah mengenai Lamkiong Ling. Jin Jip merasa berdosa
terhadap Thian-hong-cap-si-long, maka terhadap Lamkiong Ling pun ia mengalah
dan memberi hati.”
“Maksudmu bahwa Lamkiong Ling
adalah keturunan Thian-hong-cap-si-long?”
“Ya, begitulah tentunya!”
Coh Liu-hiang berpikir
sebentar, katanya bertepuk tangan: “Benar, Jin-lopangcu tidak mau memberi tahu
persoalan itu, tentulah dia kuatir Lamkiong Ling mengetahui rahasia riwayat
hidupnya sehingga timbul rasa dendam dan keinginan menuntut balas.”
“Terhitung kau bisa menyelami
jerih payah Jin Jip. Waktu itu dia sudah pandang Lamkiong Ling sebagai anak
kandungnya sendiri, sudah tentu dia harus merahasiakan bahwa dirinyalah yang
membunuh ayah kandungnya. Selama hidupnya sepak terjangnya selalu
terang-terangan, namun toh dia menyimpan rahasia yang tidak boleh diketahui
orang lain. Betapa menderita batinnya, dapatlah dibayangkan.”
“Tapi bagaimana pun juga ia
menyimpan rahasia ini, yang mencelakai jiwanya toh tetap Lamkiong Ling juga.
Duapuluh tahun yang lalu secara tidak sengaja dia melakukan kesalahannya itu,
tak nyana duapuluh tahun kemudian dia harus mempertaruhkan jiwa sendiri untuk
menebus dosa-dosa masa lalu.”
“Kalau Thian yang maha kuasa
menghendaki dia memberikan imbalan dengan jiwanya, kukira tidak adillah
keputusan ini.”
“Tapi apa benar Lamkiong Ling
mengetahui persoalan ini? Pembunuh misterius itu apakah benar ada
sangkut-pautnya dengan Thian-hong-cap-si-long? Kalau tidak, dari mana dia
memperoleh pelajaran tunggal Jin-sut dari Tang-ni?”
“Semua rahasia ini menjadi
tanggunganmu untuk membongkarnya satu persatu, segala rahasia yang kuketahui
sudah kuberikan kepadamu, sekarang boleh kau pergi”
Sorot mata Coh Liu-hiang balas
menatap orang, katanya tiba-tiba: “Cayhe masih ingin mohon sesuatu kepada
Hujin.”
“Masih ada persoalan apa?”
“Entah sudikah Hujin membuka
cadar penutup muka supaya Cayhe dapat menikmati wajah Hujin yang rupawan?”
Lama Chiu Ling-siok tenggelam
dalam renungannya, katanya rawan: “Apa benar kau ingin melihat mukaku?”
“Bukan hanya satu dua hari
saja Cayhe mempunyai keinginan ini.”
Hatinya amat tertarik, memang
ingin dia menikmati wajah tercantik sejagat yang dipuja-puja oleh khalayak
ramai, kalau tidak mungkin dia akan menyesal seumur hidupnya.
“Dua puluh tahun mendatang,”
kata Chiu Ling-siok akhirnya, “Kau adalah orang kedua yang pernah melihat
mukaku.”
“Hanya dua orang yang bisa
melihat wajah Hujin?” Coh Liu-hiang menegas dengan heran dan tak mengerti.
“Ya, hanya dua orang. Kau dan
Jin Jip....”
“Kenapa? Orang lain...”
Mendadak Coh Liu-hiang melongo dan tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Selama
hidupnya, entah betapa banyak berbagai persoalan dan kejadian aneh yang pernah
dia alami, namun belum pernah terjadi sesuatu yang bisa bikin hatinya bergetar
dan terkesima.
Cadar hitam itu pelan-pelan
tersingkap. Dalam hati Coh Liu-hiang mengharap bisa menikmati seraut wajah nan
ayu rupawan laksana bidadari. Siapa tahu setelah cadar hitam itu tertanggalkan,
seraut muka yang terpampang di hadapannya ternyata menyerupai wajah setan iblis
yang paling menakutkan.
Di atas mukanya itu, tiada
secuil kulit daging pun yang utuh mengkilap, selembar mukanya tonjol-menonjol
laksana permukaan kawah gunung yang sudah membeku, berlobang-lobang besar
kecil, tiada panca indera yang berbentuk, apa pun tiada, yang ada hanya
daging-daging merah darah yang buruk dan menjijikkan serta lobang-lobang yang
merekah!
“Sekarang kau sudah puas
belum?” tanya Chiu Ling-siok dengan pilu.
“Cayhe... sungguh Cayhe tidak
habis mengerti....”
“Sekarang toh kau sudah tahu,
kenapa hanya Jin Jip dan kau saja yang pernah melihat raut wajahku, karena
sejak lama mukaku ini sudah rusak. Kupikir, tiada perempuan di dalam dunia ini
yang sudi mukanya dilihat orang dengan bentuk yang menakutkan seperti ini,
benar tidak?”
Lagu bicaranya ternyata
sedemikian tenang dan dingin, namun mendengar kata-katanya ini serasa ditusuk
sembilu ulu hati Coh Liu-hiang.
Dia seorang yang tak pernah
tunduk, tanpa sadar sekarang dia tertunduk, katanya tersekat: “Cayhe memang
patut mati, kenapa Cayhe harus paksa Hujin....”
“Kau tidak memaksa, aku
sendiri yang rela memperlihatkan kepadamu.”
Kerlingan matanya masih lembut
dan bersinar terang, sepasang matanya yang menyorot terang ini bukan saja tidak
memperlihatkan rasa haru, takut dan penyesalan, malah menunjukkan sekulum
senyuman manis. Katanya lebih lanjut pelan-pelan: “Cuma sayang kau terlambat
datang, sehingga aku tidak bisa memperlihatkan raut wajahku dua puluh tahun
yang lalu kepada Maling Romantis. Bagimu memang merupakan sesuatu yang
mengecewakan, betapa aku pun tak merasa kecewa?”
“Bagaimanapun perubahan raut
wajah Hujin, keagungan Hujin masih tiada bandingan di seluruh kolong langit.
Cayhe bisa berhadapan dengan keagungan Hujin, sudah terhitung beruntung dan
bahagia selama hidup.”
“Kau tak usah menghiburku,
karena aku tidak sedih dan menderita. Dua puluh tahun sejak raut mukaku ini
dirusak, belakangan ini baru aku betul-betul mengecap kehidupan bahagia nan
sejati.” Mengawasi segumpal mega yang terhembus angin pegunungan, ia berkata
lebih tenang: “Kadangkala aku malah berterima kasih kepada orang yang
menyebabkan raut mukaku rusak ini. Jika bukan karena dia, masa aku bisa
mengecap kehidupan bahagia dan tenang tenteram selama dua puluh tahun ini?”
“Entah siapakah orang yang
setega itu?”
Chiu Ling-siok mengalihkan
sorot matanya, dengan nanar ia tatap Coh Liu-hiang, katanya kalem: “Pernahkah
kau dengar nama Ciok Koan-im?”
“Ciok Koan-im (Koan-im Batu)?”
jerit Coh Liu-hiang.
“Tentu kau pernah dengar nama
itu, memang dia seorang perempuan yang berilmu silat paling tinggi dan berjiwa
sempit serta kejam tiada bandingannya di seluruh jagat ini. Kini mungkin dia
terhitung perempuan tercantik di seluruh dunia!”
“Dia... ada dendam sakit hati
apa dengan Hujin?”
“Tiada dendam sakit hati apa-apa,
paling-paling dia hanya satu kali melihatku.”
“Lalu kenapa dia.....”
Chiu Ling-siok menukas
kata-katanya: “Menurut kabar yang tersiar di kalangan Kangouw, konon dia
mempunyai semacam kaca cermin iblis. Setiap hari ia selalu bertanya kepada kaca
ini: “Siapakah perempuan tercantik di seluruh jagat ini?”
“Apakah kaca itu selalu
menjawab bahwa dia adalah perempuan tercantik di seluruh dunia?”
“Benar, sampai suatu ketika
jawaban kaca iblis ini mendadak berubah, dia mengatakan aku... katanyanya Chiu Ling-siok
adalah perempuan tercantik di kolong langit, dan bencana yang menimpaku dimulai
sejak jawabannya itu.”
Tentunya hal ini menyerupai
dongeng belaka. Dongeng yang tidak menarik, namun mengandung mistik yang tak
bisa diterima oleh kesadaran manusia. Tanpa terasa Coh Liu-hiang sampai
linglung mendengar ini, katanya sesaat kemudian dengan menghela napas: “Oleh
karena itu maka dia lantas mencari Hujin?”
“Setelah ia berhadapan
denganku, ia memandangku tanpa berkedip selama dua jam. Akhirnya mendadak ia bertanya:
‘Chiu Ling-siok, kau ingin aku membunuhmu atau kau sendiri merusak raut
wajahmu?’”
“Pertanyaan ini sungguh amat
menggelikan.”
“Tapi waktu itu sedikit pun
aku tidak merasa geli, terasa kaki tanganku berkeringat dingin, sepatah kata
pun tak kuasa bicara. Dia mengawasiku sekian lamanya pula, lalu tiba-tiba
memutar badannya dan berkata: “Tiga bulan lagi aku akan ke mari pula. Saat itu,
jikalau kulihat mukamu masih sama seperti sekarang ini, biar kubunuh kau.” Di
atas meja dia meninggalkan sebuah botol kecil serta berkata pula: “Kubiarkan
kau pertahankan kecantikanmu selama tiga bulan lagi, tentunya kau cukup tahu
cara bagaimana menggunakan kesempatanmu!”
“Kalau dia sudah pergi, kenapa
Hujin tidak pergi menyembunyikan diri saja?”
“Bila Ciok Koan-im sudah
keluarkan kata-katanya hendak membunuh seseorang, tiada seorang pun yang bisa
lolos dari tangannya. Dengan mata kepalaku sendiri aku saksikan kepandaian
silatnya, waktu itu aku sendiri pun belum ingin mati!”
“Masakah dalam dunia ini ada
orang yang betul-betul ingin mati?”
Pelan-pelan Chiu Ling-siok
memejamkan matanya, ujarnya: “Waktu itu aku masih muda, masih amat berat
meninggalkan kehidupan yang romantis ini. Kupikir, meski aku tidak secantik ini
lagi, tapi masih tetap bisa hidup, toh jauh lebih baik daripada mati.” Ia
membuka mata seperti sedang tertawa-tawa, katanya menyambung: “Kupikir pula,
sedikitnya aku masih mempertahankan tiga bulan kecantikanku, sudah tentu aku
harus sayang dan menggunakan kesempatanku ini. Lalu dalam jangka tiga bulan ini,
apa pula yang harus kulakukan?”
Tak tahan Coh Liu-hiang
menimbrung: “Maka Hujin ingin meninggalkan kesan kecantikan itu di dalam
sanubari setiap insan yang pernah melihatmu, maka Hujin lantas menemui ahli
gambar yang paling terkenal pada jaman itu, Sun Hak-boh.”
Chiu Ling siok melengak,
katanya: “Kau.... kau sudah tahu semua?”
“Cayhe sudah pernah menemui
Sun-siansing!”
“Perbuatanku waktu itu memang
terlalu kasar.... malam di mana ia berhasil menyelesaikan gambar lukisan
diriku, batas waktu tiga bulan pun sudah tiba, Ciok Koan-im biasanya paling
menepati janji dan waktu.”
“Maka pada malam itu juga
Hujin merusak roman muka sendiri?”
“Botol kecil peninggalan Ciok
Koan-im itu berisi obat balur yang bisa membakar kulit, jauh lebih panas dari
bara api,” Sampai di sini lagu suaranya yang tenang kembali bergetar dan haru
pula.
“Karena tidak ingin
Sun-siansing melihat roman muka Hujin yang telah rusak, setelah siuman
maka.....”
“Waktu aku melolohkan cairan
obat itu ke mukaku, aku sudah kehilangan kesadaran, kalau tidak mau dikata
sudah gila, maka... oleh karena itu baru bisa aku melakukan perbuatan yang
terkutuk itu, aku... aku...” Mendadak ia menutup muka dengan kedua tangan
sendiri dan tak bicara lagi.
Coh Liu-hiang menghela napas
panjang, ujarnya: “Sampai sekarang baru Cayhe tahu kenapa Hujin berbuat
sedemikian kejam terhadap Sun-siansing, kenapa pula harus membikin empat gambar
lukisan. Dulu aku masih kabur dan tak tahu serta salah menebak akan maksud
tujuan Hujin.”
“Peduli apa pun maksud
tujuanku, aku melakukan perbuatan serendah itu, kau tak pantas memaafkan aku,
benar tidak?”
Sesaat lamanya Coh Liu-hiang
terbungkam, katanya kemudian dengan suara haru: “Cayhe hanya tahu Jin-hujin
yang sekarang adalah perempuan yang paling lembut, welas asih dan bajik. Soal
bagaimana sepak terjang Chiu Ling siok yang dulu, bukan saja Cayhe tidak tahu,
juga tidak akan ambil perhatian.”
Chiu Ling-siok juga berdiam
lama, katanya kemudian: “Dalam dua puluh tahun ini memang sudah banyak
perubahanku, sudah tentu kau pun bisa menerka siapa yang membuatku berubah.”
“Jin-lopangcu!”
Tidak menjawab, Chiu Ling-siok
malah berkata: “Dalam keadaan gila aku mengorek keluar kedua biji mata Sun
Hak-boh, aku sendiri pun lantas jatuh pingsan. Waktu aku siuman kembali,
seluruh kepalaku sudah diperban, selanjutnya aku hidup dalam kegelapan selama
beberapa bulan. Waktu itu sungguh tak tahu aku betapa aku harus berterima kasih
kepada Siok-sim Taysu. Jikalau bukan karena rawatannya yang telaten, mana bisa
aku hidup sampai sekarang?” Nada suaranya semakin tenang. katanya lebih lanjut:
“Tapi di saat aku melihat sinar matahari, baru aku tahu orang yang selalu
mendampingiku ternyata bukan Siok-sim, namun Jin Jip.”
“Oleh karena itu rasa terima
kasih dan utang budi Hujin lantas ditujukan kepada Jin-lopangcu?”
“Waktu itu bukan saja aku
tidak merasa berterima kasih atau utang budi, malah aku amat membencinya.”
“Membencinya?”
“Waktu aku berhadapan dengan
Jin Jip, kulihat pula raut mukaku. Setelah menyaksikan raut mukaku ini, baru
sadar aku takkan bisa hidup lebih lama lagi, aku sudah kehilangan kecantikan
mukaku, berarti kehilangan jiwa ragaku pula.” Sambil menghela napas, ia
meneruskan: “Waktu itu bukan saja aku teramat sedih, hatiku pun amat marah,
lebih benci pula kenapa Jin Jip justru menemui aku pada saat seperti itu.
Kembali gilaku kumat, kontan aku mengusirnya pergi.”
“Keadaan Hujin waktu itu
sedikit banyak Cayhe bisa merasakan dan memahaminya.”
“Kalau begitu kau pun harus
tahu, manusia seperti Jin Jip kau hajar, takkan gampang mengusirnya pergi. Hari
kedua pagi-pagi, dia datang pula, aku mengusirnya lagi.”
“Tapi hari ketiga dia tetap
datang pula.”
“Setiap hari datang, setiap
hari kuusir dia. Kugunakan kata-kata paling kotor, paling rendah, untuk
memakinya, malah menghajarnya pula, tapi setiap pagi dia tetap mengunjungiku.”
Pelan-pelan ia mengelus
gentong di pelukannya. Meskipun itu merupakan sebuah gentong kecil yang dingin,
tapi seakan-akan membawa hawa hangat tak terbatas yang menghibur hatinya.
“Kau tahu,” demikian ia
melanjutkan pula. “Waktu itu dia sudah menjadi Kaypang Pangcu, sebetulnya tak
perlu peduli terhadap perempuan yang buruk rupa dan kotor seperti aku ini. Dia
bersikap begitu rupa, sekarang kau melihat mukaku ini, tentu kau pun bisa
merasakan, kecuali Jin Jip, kukira tiada laki-laki dalam dunia ini yang sudi
terima dihina dan direndahkan. Kecuali aku ini orang yang betul-betul sudah
ayal, kalau tidak mana bisa hatiku tak terharu dan iba terhadap sikapnya itu?”
“Itulah karena yang dicintai
Jin-lopangcu bukan kecantikanmu yang sudah hilang itu, tapi jiwa dan sukma
Hujin. Dia kan tahu, meski raut muka Hujin sudah berubah, jiwa dan sukma takkan
berubah!”
“Sayang di masa hidupnya Jin
Jip tidak kenal denganmu, kalau tidak pasti dia akan menjadi sahabat
karibmu.... Cuma pengertianmu terhadapnya sih belum cukup, terkaanmu tetap
salah terhadap dia.”
“Oh? Salah?”
“Sebelum peristiwa itu
terjadi, hanya dua kali aku pernah berhadapan dengan Jin Jip, cara bagaimana
dia bisa begitu kepincut terhadapku? Apalagi yang kelihatan cantik waktu itu
hanyalah ragaku, sukma atau jiwaku justru teramat buruk dan kotor.”
“Adakalanya seseorang bisa
juga jatuh cinta pada penglihatan pertama, mencintai sampai ke tulang
sumsumnya.”
Agaknya Chiu Ling-siok tertawa
mendengar kata-kata ini, ujarnya: “Bagaimana pun, itu bukanlah sebab yang
utama. Sebab yang utama adalah karena dia ikut merasakan betapa besar derita
seorang perempuan setelah dia kehilangan kecantikannya. Dia pun tahu, hanyalah
rasa iba dan kasih sayang yang dapat meringankan beban penderitaan ini, maka
dia berkeputusan mengorbankan diri sendiri, untuk mendampingi aku dan
menghiburku seumur hidup!” Kepalanya menengadah, katanya pula: “Sudah
kukatakan, dia adalah orang yang paling bajik di seluruh kolong langit ini.”
“Bagaimanapun, tidak bisa
dikatakan dia mengorbankan diri sendiri.” ujar Coh Liu-hiang. “Meski dia tidak
mempersunting perempuan tercantik di dunia, namun dia memperoleh kehalusannya,
keagungannya, serta isteri yang setia.”
“Terima kasih, terima kasih
akan kata-katamu ini” kata Chiu Ling-siok lembut. “Selamanya kau tidak akan
mengerti, setelah mendengar kata-katamu ini betapa riang gembira hatiku ini.”
“Cayhe malah harus berterima
kasih kepada Hujin, yang telah memberi tahu kejadian masa lalu. Selama hidup
Cayhe, selamanya takkan bisa mendengar cinta asmara yang sedemikian suci murni
dan mengasyikkan.”
“Tahukah kau, kecuali Jin Jip,
bukan saja kau orang kedua yang pernah melihat mukaku ini, kau pula laki-laki
satu-satunya yang amat kukasihi, aku amat berterima kasih!” tatapannya semakin
lembut dan semakin hangat.
Dengan penuh kasih sayang ia
mengelus gentong kecil, perlahan-lahan lalu melanjutkan kata-katanya: “Karena,
meskipun Jin Jip memberikan kehidupan bahagia dan tenteram selama duapuluh
tahun, namun hanya Kau saja yang bisa memberikan ketenangan hati dan keteguhan
iman untuk menghadapi kematianku.”
“Mati?” Coh Liu-hiang
tersentak kaget.
“Setelah Jin Jip meninggal,
tujuan hidupku hanyalah untuk membongkar rahasia pribadi dan kejahatan Lamkiong
Ling. Sekarang cita-citaku sudah tercapai, kau kira aku masih bisa tetap
hidup?”
***
Perjalanan cukup jauh dan
lama. Waktu tiba di Kilam, hati Coh Liu-hiang masih dirundung kesedihan. Dengan
mendelong ia mengawasi badan Jin-hujin melayang-layang jatuh ditelan mega ke
dalam jurang yang tak terukur dalamnya, sedikitpun ia tidak mampu menolong atau
berbuat apa-apa. Walaupun dia melihat dengan jelas, sorot mata Jin-hujin
menjelang ajal adalah sedemikian tenang, sedikitpun tidak memperlihatkan
tekanan derita. Meski dia pun tahu, kematian bagi jiwa Jin-hujin yang sudah
rapuh tidak lebih hanyalah istirahat yang abadi, tapi dia masih merasa amat
pilu dan sedih, sungguh bukan kepalang rasa marah dan gusarnya. Dia bersumpah,
dia harus menemukan Lamkiong Ling. Hampir saja dia hendak segera meluruk kepada
Lamkiong Ling.
Malam sudah larut, tapi di
dalam Hiang-tong pihak Kaypang di Kilam, cahaya lilin masih terpasang
terang-benderang seperti di tengah hari bolong.
Setiba di Kilam sebetulnya
tidak terpikir oleh Coh Liu-hiang untuk segera menemui Lamkiong Ling, maka dia
hanya menemukan seorang murid Kaypang serta menanyakan di mana Lamkiong Ling
sekarang berada.
Di bawah penerangan sinar
lilin yang terang benderang, di atas kursi cendana yang besar itu, bagai patung
duduk seseorang dengan gagahnya, dia bukan lain adalah Lamkiong Ling. Tangannya
sedang menopang dagu, duduk di sana seperti sedang memikirkan sesuatu yang amat
berat mengganjal hatinya, seolah-olah pula sedang menunggu kedatangan
seseorang. Siapakah yang dia tunggu?
Dari wuwungan rumah yang di
luar sana, Coh Liu-hiang sudah melihat dirinya. Pek giok mo pasti sudah pulang
lebih dulu, tentunya dia pun sudah tahu seorang diri Coh Liu-hiang sudah
berhadapan langsung dengan Chiu Ling siok dan bicara.
Lalu kenapa dia tidak segera
menyingkir? Kenapa masih tetap duduk di sana? Apakah ini merupakan sebuah
jebakan? Di dalam pekarangan yang luas itu sudah terpendam tenaga pembunuh yang
tak terhitung banyaknya, tanpa segan-segan Lamkiong Ling menjadikan dirinya
sendiri umpan untuk memancing kedatangan Coh Liu-hiang?
Tapi pekarangan sedemikian
sunyi senyap, tak kelihatan bayangan manusia, tak terlihat adanya jebakan dan
hawa angker, lantai batu hijau mengkilap ditingkah sinar bintang laksana kaca.
Lamkiong Ling mendadak
menengadah, serunya sambil tersenyum: “Apa Coh-heng sudah tiba? Sudah lama
Siaute menunggu di sini.”
Rada kaget Coh Liu-hiang
dibuatnya. Terdengar Lamkiong Ling berkata pula: “Coh-heng tak usah kutlir,
hanya Siaute seorang yang berada di sini, tiada jebakan atau perangkap segala.”
Coh Liu-hiang tertawa besar,
serunya: “Sudah tentu di sini tiada perangkap apa-apa, sudah tentu aku cukup
lega hati, urusan seperti ini tentunya kau tidak suka bikin terkejut lain
orang. Sudah tentu kau tahu lebih baik persoalan ini diselesaikan di antara
kita berdua saja."
Di tengah kumandang
kata-katanya, badannya sudah melayang masuk ke pendopo. Dengan pandangan
berkilat ia tatap Lamkiong-Ling.
Lamkiong Ling-pun balas
menatapnya, sorot matanya setajam pisau, seperti mata serigala, setajam mata
burung elang pula. Lama sekali baru Lamkioug Ling menarik napas, katanya: “Kau
sudah tahu, bukan?”
Coh Liu-hiang manggut-manggut,
ujarnya: “Kau pun sudah tahu bahwa aku sudah tahu, benar tidak?”
Lamkiong Ling manggut-manggut
pula, katanya: “Tapi Siaute masih belum menyingkir, masih menunggu di sini,
tentunya Coh-heng merasa heran, bukan?”
“Kau tidak menyingkir, karena
kau tahu, kau takkan bisa menyingkir ke mana pun!”
“Aku tidak menyingkir lantaran
aku memang tidak mau menyingkir. Kalau tidak, betapa besar dunia ini, ke mana
saja aku toh bisa pergi.”
Coh Liu-hiang menarik kursi
lalu duduk, katanya: “Kalau kau pergi, kau harus meninggalkan segala milikmu,
terombang-ambing dalam hidup di pembuangan. Tapi jika dipaksa untuk
meninggalkan ketenaran nama dan kekuasaan yang kau pegang sekarang, tentulah
jauh lebih menderita daripada kau menghadapi kematian.”
Lamkiong Ling terbahak-bahak,
serunya: “Coh-heng betul-betul seorang sahabatku yang paling karib, kau tahu
segala isi hati dan cita-citaku.” Mendadak ia tarik senyum-tawanya, bentaknya
bengis: “Kalau toh begitu mendalam pengertianmu akan pribadiku, tentunya kau
tahu sampai mati pun aku tidak akan sudi membuang segala itu. Sesuatu yang
kudapat atas jerih payahku dengan memeras keringat dan darah, tiada seorang pun
yang kuasa memaksaku untuk meninggalkanya demikian saja.”
“Tidak bisa tidak, kau harus
membuangnya!”
Lamkiong Ling berjingkrak
bangun, hardiknya beringas: “Kenapa tidak bisa tidak aku harus membuangnya?
Meskipun aku sudah membunuh Jin Jip, tidak lebih karena aku harus menuntut
balas bagi kematian ayahku! Dendam orang tua sedalam lautan, siapa manusia di
dalam Kangouw yang berani mencercah perbuatanku?”
“Jadi kau sudah tahu rahasia
tentang dirimu?”
“Jin Jip sangka dia bisa
merahasiakan terhadapku, apa kau pun menyangka bisa mengelabui diriku?”
Coh Liu-hiang menghela napas
panjang, katanya kalem: “Seandainya perbuatanmu itu hanya untuk menuntut balas
kematian ayahmu, seumpama tiada orang-orang Kangouw yang mengganggu usik
dirimu, tapi murid-murid Kaypang, jika mereka tahu kau membunuh Jin Jip, apakah
mereka masih berdiam diri dan membiarkan kau tetap menjadi Pangcu mereka?”
Bergetar badan Lamkiong Ling,
tiba-tiba badannya melosoh tertunduk pula di atas kursinya, kata-kata Coh
Liu-hiang laksana sebilah pisau menusuk telak ke ulu hatinya.
Seperti mendadak jauh lebih
tua, kepalanya tertunduk, katanya rawan: “Coh Liu-hiang! Coh Liu-hiang! Kenapa
kau menyudutkan diriku demikian rupa? Sebetulnya sedikit pun aku tidak ingin
melukaimu, kau....., kenapa kau suka turut campur urusan orang lain?”
Sesaat Coh Liu-hiang berdiam
diri, katanya tertawa kecut: “Mungkin karena sejak dilahirkan aku sudah
dibekali pembawaan suka mencampuri urusan orang lain.”
"Sejak pertama kali aku
melihatmu, lantas aku berpendapat kau boleh kuangkat sebagai temanku seumur
hidup, kau..... masihkah kau ingat pertama kali kita bertemu di tempat mana?”
“Di kaki gunung Thay-san.
Waktu itu bukan saja Ki-loh-su-hiong berhasil merampok barang kawalan
Siang-gi-piaukiok dari Kim-leng, malah putri dari Cong-piauthau Sa Thian-gi pun
diculiknya. Setelah mendengar kabar buruk ini, tak terkendali timbul sifatku
suka mencampuri urusan orang lain. Cepat aku menyusul ke Thay san, tak kira kau
tiba lebih dulu di tempat itu."
Sorot matanya yang tajam
berkilat lambat laun menjadi tenang dan kalem, katanya pelan: “Waktu aku tiba
di sana, seorang diri dengan mengandalkan sepasang tapak tangan besimu, kau
sudah bikin Ki-loh-su hiong terluka parah. Melihat kepandaian silatmu yang luar
biasa, masih berusia muda dan gagah pula, aku jadi tertarik kepadamu. Waktu itu
bila ada orang bertanya kepadaku, siapakah Enghiong muda nomor satu di selurub
jagat ini, tanpa sangsi aku pasti akan mengatakan kepada mereka, Lamkiong Ling
itulah orangnya.”
“Sejak pertemuan itu, kau dan
aku lantas jadi sahabat karib,” ujar Lamkiong Ling tertawa riang:”Setiap aku
punya waktu senggang, pasti aku bertamu ke atas kapalmu untuk berfoya-foya
selama dua hari, masih ingat tidak waktu aku membuat lukisan So
Yong-yong......”
“Waktu itu adalah hari-hari
terlama sejak kita berkumpul. Dalam lima hari, kita berdua menenggak habis
seluruh arak simpanan di dalam kapalku. Pernah satu kali, karena mabuk aku
terjun ke dalam laut hendak menangkap rembulan, ternyata kau pun ikut terjun ke
air hendak bantu aku. Rembulan akhirnya tak berhasil kita tangkap, diluar
dugaan kita sama-sama menangkap seekor kura-kura laut yang amat besar.”
"Kura-kura itu merupakan
hidangan paling lezat yang pernah kunikmati selama hidup, kau dan aku berlomba
siapa yang makan lebih banyak. Kura-kura sebesar itu ternyata dapat kita
habiskan dalam sehari, tapi karena itu perut kita berontak dan sakit dua
hari."
Kedua orang itu tertawa
gembira dan saling berpandangan seperti sudah melupakan ganjalan hati di antara
mereka. Tapi entah kenapa, lama kelamaan gelak tawa itu semakin lirih dan
akhirnya sirap.
Coh Liu-hiang menggumam;
“Kehidupan beberapa hari itu sungguh nikmat dan menyenangkan, ada kalanya aku
merasa heran kenapa kehidupan gembira selalu terasa begitu pendek.”
“Asal kau tidak merusak
hubungan baik ini, kita tetap masih bisa menikmati kehidupan yang jauh tebih
menyenangkan. Asal kau tidak buka mulut, orang lain pun tidak akan ada yang
tahu.”
Lama Coh Liu-hiang menepekur,
lama sekali ia berpikir, akhirnya berkata sambil menghela napas: “Jikalau mau
berkata ada sesuatu yang dapat menggerakkan hati Coh Liu-hiang, itulah
persahabatan yang kental!”
“Kau . . . kau mau tutup
mulut?”
“Aku tidak akan
mengatakan.......”
“Sahabat ...... memang aku
tahu Coh Liu-hiang memang sahabat kental Lamkiong Ling.”
“Aku tidak akan katakan, tapi
kau harus terima dua syaratku!”
Lamkiong Ling melengak,
tanyanya: “Dua syarat apa?”
“Walau kau harus menuntut
balas terhadap kematian ayahmu, tindakanmu tidak semestinya begitu kejam, tidak
pantas pula kau mencelakai jiwa beberapa orang yang tak berdosa. Aku harap
untuk sementara kau meletakkan jabatan Pangcumu, pergilah cari suatu tempat
menyekap diri dan renungkan segala kesalahanmu selama ini. Kau.... masih muda,
kelak masih bisa bekerja mulai dari permulaan. Mengandalkan bakat dan
kecerdikanmu, kelak tentu banyak yang bisa kau hasilkan.”
Membesi muka Lamkiong Ling,
katanya dengan tertawa menengadah: “Coh Liu-hiang, sahabat baikku! Kau katakan
tidak hendak membunuhku, tapi sebaliknya kau suruh aku bekerja dari permulaan.
Sampai kapan? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun ...” Mendadak ia berjingkrak
bangun, sekujur badannya gemetar keras, katanya serak: “Selama hidup seseorang,
punya berapa kali masa dua puluh tahun? Kenapa kau harus paksa aku mengorbankan
saat-saat terindah selama hidupku ini? Kenapa tidak cekak aos saja kau katakan
hendak membunuhku?”
“Aku hanya ingin kau bertobat
dan menebus dosa atas semua perbuatanmu, hanya ingin kau merubah cara hidup dan
menyesali diri, aku tidak ingin kau mati. Ketahuilah, mati bukan cara terbaik
untuk menebus dosa seseorang.”
“Lalu apa pula syaratmu yang
kedua? Ingin pula aku mendengarkan.”
“Aku hanya ingin tahu dan
sukalah kau memberi tahu kepadaku, siapakah sebetulnya si “dia” itu?”
“Dia?” Lamkiong Ling menegas
dengan mengerutkan alis.
“Ya. dia yang membunuh
Thian-ing-cu dan Song Kang, dia adalah orang yang menyaru jadi
Thian-hong-cap-si-long, orang yang hendak mencabut nyawaku, dia pula orangnya
yang mencuri Thian-it-sin-cui dari Sin-cui-kiong itu.”
Seperti kena setrum kuat,
badan Lamkiong Ling bergetar hebat, seketika ia terkesima dan melongo.
“Jelas kau sudah tahu,
perbuatannya itu tentu bukan hanya ingin membunuh Jin Jip saja, dia pasti
banyak mempunyai rencana jahat lainnya, sekali-kali aku tidak bisa berpeluk
tangan menyaksikan rencana jahat kalian terlaksana, aku harus merintanginya.”
Lamkiong Ling kertak gigi,
katanya sepatah demi sepatah: “Selamanya kau takkan bisa merintangi dia, tiada
seorang pun di dunia ini yang mampu menghalangi maksudnya!”
“Sampai detik ini, kenapa kau
masih merahasiakan dirinya? Tahukah kau, kematian Jin Jip tidak lebih hanyalah
salah satu dari rencana jahatnya, kau tidak lebih hanya diperalat untuk
membunuh Jin Jip saja. Bila tiba waktunya di mana dia memandang perlu, jiwamu
sendiri pun bakal dia bunuh juga."
Mendadak Lamkiong Ling
terkial-kial menggila lagi, serunya: “Dia memperalat aku? Dia pun bisa membunuh
aku?.... Tahukah kau siapa dia?”
“Justru aku tidak tahu siapa
dia, maka kutanya kau.”
“Sangkamu aku sudi mengatakan
kepadamu?”
“Lamkiong Ling! Lamkiong Ling!
Sebetulnya aku pun tidak ingin melukaimu, kenapa kau ingin mendesakku?”
”Kaulah yang memaksaku, bukan
aku memaksamu. Walau aku tidak ingin melukaimu, kalau sudah terpaksa, apa boleh
buat, aku harus turun tangan terhadapmu.”
“Kau pasti takkan bisa turun
tangan karena ilmu silatmu terang bukan tandinganku.”
“Apa benar?” jengek Lamkiong
Ling. Kelihatannya badannya tidak bergerak, namun tahu-tahu tubuhnya melesat
terbang lempang dari atas kursinya. Demikian pula Coh Liu-hiang tidak pernah
bergeming, tapi badannya pun ikut mencelat terbang.
Tapi setiba di tengah udara,
Coh Liu-hiang masih bergaya orang duduk, kursi kayu cendana yang besar dan
berat itu seolah olah lengket dengan kulit badannya. Keduanya beradu di tengah
udara, terdengar dua telapak tangan saling beradu keras beruntun sebanyak tujuh
kali. Dalam tempo sedemikian pendek dan secepat kilat, keduanya sudah adu
pukulan tujuh kali. Tujuh pukulan kemudian, bayangan keduanya terpental balik
pula ke arah datangnya masing masing.
Membawa kursinya dengan enteng
tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, Coh Liu-hiang meluncur balik ke
tempatnya, persis di tempatnya semula tanpa tergeser sedikit pun. Sedemikian
berat dan keras kursi cendana itu, namun tidak menimbulkan suara apa pun beradu
dengan lantai batu hijau.
Sebaliknya Lamkiong Ling
berjumpalitan balik dan meluncur pula ke atas kursinya, namum dia buat kursi
cendana yang berat itu terkeresek mengeluarkan suara, roman mukanya pun berubah
pucat dan bengis.
Walau keduanya tidak menderita
luka-luka, namun tak dapat disangkal sudah menunjukkan perbedaan tingkat
kepandaian silat mereka. Meski pendek gebrak pertarungan adu kepandaian ini,
jelas akibatnya bakal menentukan situasi yang akan datang. Kelihatannya gebrak
sekali ini sedemikian enteng dan singkat saja, namun betapa penting arti
pertarungan ini tidaklah kalah genting dan gawat dari suatu pertempuran mati
hidup yang pernah terjadi pada masa lalu.
“Lamkiong Ling! Masakah kau
masih ingin paksa aku turun tangan terhadapmu?”
Dari merah berubah hijau dan
memucat pula rona wajah Lamkiong Ling, sikapnya kelihatan sedih dan harus
dikasihani, katanya menghela napas dengan menengadah: “Lamkiong Ling! Lamkiong
Ling! Kau berlatih menggembleng diri selama duapuluh tahun, ternyata tak mampu
menghadapi gebrakan serangan musuh?”
Mendadak ia melompat bangun,
bentaknya keras: “Coh Liu-hiang, jangan kau takabur! Kalau Lamkiong Liong hari
ini berani menunggumu di sini, masakah aku tidak punya cara lain untuk
menundukkanmu?” Ditengah hardikannya, sambil mengulapkan tangan, tahu-tahu
seorang laki-laki tinggi besar delapan kaki, dengan telanjang dada dan kepala
pelontos gundul seperti kingkong, beranjak keluar sambil menjinjing sebuah
kursi tinggi di atas pundaknya.
Di bawah penerangan sinar
lilin yang terang benderang, tampak jelas di atas kursi itu duduk pula
seseorang, raut mukanya pucat pias, sepasang biji matanya yang indah tertuju
kosong lempang ke depan.
Berubah pucat muka Coh
Liu-hiang, teriaknya tersirap: “Yong ji, kau.... bagaimana kau bisa berada di
sini?”
So Yong-yong seperti tidak
mendengar pertanyaannya. Ia duduk lemas tanpa bergerak.
Lamkiong Ling tertawa dingin,
ejeknya: “sudah tentu akulah yang mengundang ke mari. Kecuali aku, siapa yang
mampu mengundangnya ke mari?”
“Peristiwa di Hong-ih-ting, di
pinggir Tay-bing-ouw, keempat laki-laki jubah hijau itu jadi orang-orang
utusanmu?”
“Ya, tidak salah!” Lamkiong
Ling mengakui.
“Dari mana kau bisa tahu dia
berada di sana?”
“Bulan purnama di
Tay-bing-ouw, janji pertemuan menjelang magrib! Kalau Bu Hoa sudah memberi
ingat kepadaku, sudah tentu aku harus menengok sendiri. Kalau aku dulu pernah
menggambar lukisannya, kenapa aku tidak bisa mengenalnya?”
“Kau kuatir dia berhasil
mencari tahu seluk-beluk rahasia pihak Sin-cui-kiong, maka kau suruh anak-anak
buahmu turun tangan jahat. Tapi kalau toh kalian sudah turun tangan serapi itu,
dari mana pula kau bisa tahu bila dia belum ajal?”
Lamkiong Ling tersenyum,
ujarnya: “Aku tahu pemuda baju hitam itu menyaksikan dari kejauhan, sengaja
kubiarkan dia untuk membawa kabar kepadamu. Tapi waktu kau ke mari sedikit pun
tidak menunjukkan kesedihan hati. Dari sini dapatlah kusimpulkan bahwa So
Yong-yong hakekatnya belum mati! Oleh karena itu kau pura-pura masuk WC, terus
melarikan diri. Aku tidak mengejarmu, malah mengejar dia! Memang sukar
mengejarmu, tapi lebih gampang meringkus dia!”
“Sebaliknya dia sedikit pun
tidak menaruh curiga terhadapmu, kalau tidak mana mungkin bisa terjatuh ke
tanganmu?”
“Memangnya dia pernah
mencurigai sahabat karib Coh Liu-hiang?”
Tiba-tiba Coh Liu-hiang
seperti teringat sesuatu, bentaknya keras: “Tidak benar! Waktu keempat laki
jubah hijau turun tangan kepadanya, kau sedang menemani aku menemui Jin-hujin,
terang kejadian itu ada orang lain yang merencanakan. Siapa dia? Dari mana pula
dia bisa kenal dengan Yong-ji?”
Berubah pula air muka Lamkiong
Ling, bentaknya bengis: “Kalau aku sudah keluarkan perintahku, memangnya aku
sendiri harus hadir di sana?”
Tanpa menunggu Coh Liu-hiang
bicara kembali, ia membentak: “Turunkan dia!”
Laki-laki besar seperti
kingkong itu melempangkan kedua tangannya di depan dada, pelan-pelan ia
turunkan kursi yang dipanggulnya tadi.
“Kenapa tidak kau pertotonkan
kekuatan kedua tanganmu itu?” kata Lamkiong Ling kepada manusia kingkong itu.
Laki-laki besar itu membuka
lebar mulutnya yang bertaring besar dan menyeringai lucu, kedua tapak tangan
segede kilas itu pelan-pelan terulur ke depan meraih sebuah kursi, pelan-pelan
pula kedua tangannya terangkap mundur dan sedikit gencet, “pletak!”, kursi kayu
cendana yang berat dan besar itu kena digencetnya hancur berkeping-keping.
Lamkiong Ling tertawa besar,
serunya: “Bagus sekali! Sekarang letakkan kedua tapak tanganmu di atas kepala
nona cilik itu. Cuma kau harus hati-hati sedikit, jangan kau gencet kepalanya
sampai pecah.”
Betul juga, pelan-pelan tangan
besar yang cukup untuk memegang kepala So Yong-yong itu lalu sedikit ditarik ke
atas.
Menuding Coh Liu-hiang,
berkata Lamkiong Ling kepada manusia kingkong itu; “Sekarang pentang lebar
matamu, pandang seluruh badannya. Asal jarinya sedikit saja bergerak, lekas kau
gencet remuk batok kepala nona itu.”
Laki-laki kingkong itu
ternyata terloroh-loroh senang, seperti mendapat suatu mainan yang menarik
hatinya, sebaliknya Coh Liu-hiang merasa kaki tangan berkeringat dingin,
katanya sambil menengadah: "Lamkiong Ling! Lamkiong Ling! Tak nyana kau
tega melakukan pebuatan serendah ini. Kau.... tindakanmu ini sungguh membuat
hatiku kecewa.”
Lamkiong Ling melengos,
katanya serak: “Sebetulnya aku tidak ingin berbuat begini, tapi kenapa kau
harus mendesakku begini rupa?”
“Sekarang, kau.... apa
keinginanmu yang sebenarnya?”
“Aku hanya ingin kau tahu So
Yong-yong sudah terjatuh di tanganku. Kalau kau masih ingin dia tetap hidup,
maka jangan sekali-kali ikut campur mengurusi persoalan pribadiku!”
Lama Coh Liu-hiang berpikir,
katanya kemudian: “Jikalau aku tidak hiraukan jiwanya, tetapi mencampuri
urusanmu, bagaimana?”
Lamkiong Ling berpaling,
sahutnya tertawa: “Aku yakin benar Coh Liu-hiang bukan laki-laki yang suka
berbuat senekad itu.”
“Kalau demikian, kau....
maksudmu kau hendak menahan So Yong-yong selamanya di tempatmu ini?”
“Peduli di mana saja, pasti
akan kuusahakan supaya kau tahu bahwa dia masih tetap hidup. Kukira keputusan
ini jauh lebih baik daripada kematiannya, benar tidak?”
“Tapi aku pun masih tetap
hidup. Sehari aku masih bernyawa, jangan harap kau bisa berlega hati.
Seandainya sekarang aku menyetujui saranmu ini, kalian toh tetap akan berusaha
menamatkan jiwaku, benar tidak?”
Lambat-lambat Lamkiong Ling
menarik muka, katanya sepatah demi sepatah: “Itulah persoalan lain, mati
hidupmu tiada hubungannya dengan mati hidupnya. Jikalau kau masih ingin dia
tetap hidup, sekarang juga harus tunduk akan perkataanku.”
“Setelah aku mati, kau pun
akan membunuhnya juga?”
“Kalau kau sudah mampus, mati
atau hidup masih ada hubungan apa dia dengan kau? Tetapi jikalau kau masih
hidup, tentu takkan tega melihat kematiannya lantaran kau, ya?”
“Kukira imbalan syaratmu ini
terlalu tidak adil!”
“Sampai detik ini kau masih
bermimpi memperoleh imbalan syarat yang adil?” seru Lamkiong Ling
terbahak-bahak. "Apalagi, sebelum kau mampus, kau kan masih punya
kesempatan bisa menolongnya keluar dengan selamat.”
Dengan nanar Coh Liu-hiang
mengawasi ke arah muka So Yong-yong, tanpa sadar ujung jarinya mulai gemetar.
Jikalau ada orang bilang ternyata Coh Liu-hiang bisa juga gemetar, mungkin
tiada orang di kolong langit ini yang mau percaya.
“Coh Liu-hiang!” seru Lamkiong
Ling tertawa besar. "Sebenarnya aku cukup memahamimu sampai ke
tulang-tulangmu, aku tahu kau harus tunduk kepadaku, sekarang tiada pilihan
lain lagi bagimu!”
Ujung mata Coh Liu-hiang
seperti mengerling sekilas kepadanya, lalu berkata dengan menghela napas lebih
dulu: “Lamkiong Ling, kalau kau sudah bikin aku kecewa, mungkin suatu ketika
aku pun bisa bikin kau teramat kecewa terhadapku.”
Ketika itu mendadak terdengar
suara sambaran: “serrr!”, selarik bayangan hitam membawa deru angin kencang,
bagai ular jahat tahu-tahu membelit kencang ke leher laki-laki kingkong itu.
Dengan menjerit marah,
laki-laki kingkong itu angkat kedua tangannya. Baru saja tangannya terangkat,
seenteng asap secepat kilat tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah berkelebat ke sana
dan menyambar So Yong-yong seperti elang menyambar anak ayam ke depan sana.
Saking kagetnya, Lamkiong Ling
hendak ikut menubruk maju, tetapi selarik sinar pedang yang tajam berhawa
dingin tahu-tahu laksana bianglala meluncur tiba menghadang di depannya.
Coh Liu-hiang membawa So
Yong-yong ke pojok pendopo sana baru sempat menghela napas lega, gumamnya
tertawa: “Hek-tin-cu, It-tiam-ang, aku berkenalan dengan kalian, sungguh
nasibku menjadi baik.”
Cambuk di tangan Hek-tin-cu
sudah ditariknya sekencang gendewa, dengan kedua tangannya ia menarik setakar
tenaganya, seperti kawanan nelayan di sungai Tiang-kang yang menarik perahunya
menanjak air di selat-selat yang berbahaya, badannya hampir rebah sejajar
dengan lantai, jari-jari tangan dan lengannya yang halus sudah menghijau hitam
dan merongkol otot-ototnya. Walau dia sudah kerahkan setakar kekuatannya
menarik, laki-laki kingkong itu ternyata tidak bisa ditarik roboh. Ujung
cambuknya boleh dikata sudah menjerat kencang masuk ke dalam kulit dagingnya,
sampai kedua biji matanya yang besar itu melotot keluar seperti mata ikan mas,
tapi sedikit pun ia tidak bergeming di tempatnya. Bukan saja tidak ulur tangan
mengendorkan jeratan ujung cambuk di lehernya, dia malah memburu ke arah
Hek-tin-cu, sementara lehernya bersuara keruyukan, katanya sambil tertawa
terkekeh-kekeh: “Anak muda, kau takkan bisa menarikku roboh!”
Bukan saja Hek-tin-cu belum
pernah melihat orang yang bertenaga sedemikian besarnya, dia pun belum pernah
melihat manusia dengan otak setumpul ini, sungguh hatinya terkejut dan heran.
Mendadak ia berseru lantang: “Apa sebaliknya kau mampu menarikku roboh?”
Laki-laki kingkong itu membuka
mulutnya tertawa lebar, betul-betul ia gunakan kekuatan lehernya untuk menarik
cambuk panjang. Kedua pihak sama-sama menggunakan seluruh kekuatannya. “Tas!”,
cambuk panjang itu tiba-tiba putus di tengah-tengah.
Badan Hek-tin-cu menumbuk
tembok, saking kagetnya ia jejak kaki melambung naik ke atas belandar. Tampak
badan laki-laki kingkong sebesar menara itu pelan-pelan roboh terjerembab,
kulit mukanya hitam dan merah ungu, lidahnya sudah terjulur panjang keluar,
demikian pula kedua biji matanya melotot keluar, seolah-olah masih melotot
kepada Hek-tin-cu. Tak tahan Hek-tin-cu dibuatnya, katanya tertawa kecut dengan
bergidik: “Orang yang punya kekuatan luar biasa pada kaki tangannya, kenapa
otaknya selalu tumpul!”
Memandang dari atas belandar,
dilihatnya It-tiam-ang dan Lamkiong Ling sedang berhadapan seperti dua onggok
kayu. Sampai sedemikian jauh belum ada yang bergerak lebih dulu. Mata Lamkiong
Ling tertuju pada ujung pedang di tangan It-tiam-ang, melirik pun tak berani ke
arah lain, tapi kejadian di sekitarnya meski dia tidak melihat pun bisa
mendengar atau membayangkan. Keringat dingin sudah menetes-netes di atas
jidatnya. Mendadak ia berkata dengan keras: “It-tiam-ang, konon kau hanya
membunuh orang karena uang, apa benar?”
Biji mata It-tiam-ang yang
abu-abu dingin membeku seperli biji mata ikan yang sudah mati kaku menatap
kepadanya tanpa bersuara.
“Jikalau kau mau bantu aku
membunuh Coh Liu-hiang, kuberi kau selaksa tail.”
Bergerak ujung mulut It
tiam-ang, katanya sambil tertawa lebar: “Selaksa tail? Apakah Coh Liu-hiang
berharga setinggi itu?”
“Kau bunuh aku, jelas tiada
orang yang sudi membayar kau setinggi itu, benar tidak!”
“Benar, karma manusia seperti
kau ini sepeser pun tak berharga,” jengek It-tiam-ang.
“Kalau demikian, lebih tidak
setimpal kau membunuh aku.”
Terunjuk senyum sinis menghina
di ujung mulut It-tiam-ang, katanya kalem: “Tahukah kau, seumpama lonte
(pelacur), bila dia kebentur tamu yang dia penujui, bolehlah dia layani sekali
secara gratis, kali ini aku membunuhmu pula secara gratis!” Habis kata-katanya,
pedangnya pun bergerak.
Merah jengah muka Hek-tin-cu,
tapi tidak tertahan dia tertawa geli, katanya: “Perumpamaan ini walau kotor dan
kasar, tapi amat tepat sekali.”
Tampak dalam sekejap itu
It-tiam-ang sudah menusuk tujuh kali, ilmu pedangnya teramat brutal dan aneh,
serba istimewa, lengan bagian atas sikut sedikit pun tak bergeming, tapi
bintik-bintik sinar pedangnya laksana hujan gencarnya merangsek pada lawan!
Beruntun Lamkiong Ling tersurut mundur tujuh langkah, serunya dengan gelak tawa
serak: “It-tiam ang, kau kira aku takut padamu?”
“Aku tak suruh kau takut
kepadaku, aku cuma ingin kau mampus!”
“Mungkin kaulah yg mampus,”
damprat Lamkiong Ling. Sekali raih ia tarik sebuah kursi terus dilempar,
berbareng tangan kanan meraba pinggang melolos sepasang Bian-to.
“Sret-sret-sret!”, sinar golok seperti sekuntum salju yang berterbangan di
angkasa, tiga kali goloknya membacok dengan dahsyat. Gerak serangan goloknya
tanpa kembangan atau variasi, tapi cepat, gesit, ganas dan nyata.
Selama hidup dan
malang-melintang, tidak terhitung berapa kali It-tiam-ang menghadapi
lawan-lawan tangguh, sudah tentu ia cukup tahu banyak ilmu silat seperti ini yang
cukup menakutkan. Jikalau kau beranggapan ilmu silat ini tidak enak dipandang
mata, tahu-tahu sejurus sambaran kilatnya sudah menamatkan jiwamu.
Ilmu golok semacam ini
sebenarnya tidak ada sesuatu yang indah dan patut dibanggakan, tiada guna atau
manfaat lainnya selain untuk membunuh orang dan manfaatnya dalam hal ini justru
amat berguna sekali.
Semakin menyala biji mata
It-tiam-ang, serunya tertawa besar: “Tak nyana hari ini aku bisa berhadapan
dengan lawan tangguh seperti kau ini, tak sia sia perjalananku kali ini.”
Sinar golok dan hawa pedang
mendesak mundur dan membuat sesak napas Hek-tin-cu, sekujur badan terasa
dingin. Sudah banyak dia menyaksikan pertempuran tokoh-tokoh kosen, tapi belum
pernah menyaksikan pertempuran seperti kedua orang ini. Seolah-olah pertempuran
ini bukan manusia yang sedang berkelahi, lebih pantas kalau dikatakan dua
serigala kepalaparan sedang berebut mangsa. Setiap jurus, setiap tipu
serangannya, tujuannya mencabut jiwa musuhnya, terang tiada maksud lain kecuali
membunuh musuhnya.
Sinar golok dan pedang saling
sambar dan saling gubat-menggubat serang menyerang. Walau tidak mendengar
benturan kedua senjata, namun hawa membunuh yang bersuhu dingin menguap naik
sehingga Hek-tin-cu yang berada di atas belandar pun terdesak, napas sesak dan
tak kuat bertahan lagi.
Lekas ia melompat tiga tombak
jauhnya, kemudian melayang turun ke lantai. Dilihatnya Coh Liu-Hiang sedang
sibuk mengurut dan melancarkan jalan darah So Yong-Yong, wajah So Yong-Yong
yang pucat tadi lambat laun mulai merah berwarna darah.
Tak tahan Hek-tin-cu memburu
maju dan menepuk pundah Coh Liu-Hiang, ”Tahukah kau orang lain sedang adu jiwa
demi kau?”
“Tahu,” sahut Coh Liu-Hiang.
“Memangnya kau tidak perduli dan turut campur?”
Coh Liu-hiang tertawa-tawa,
ujarnya: “Kalau Tionggoan It-tiam-ang sudah turun tangan, memangnya perlu orang
lain turut campur?”
“Agaknya kau lega sekali,”
olok Hek-tin-cu.
“Masakah ilmu pedang
It-tiam-ang tidak bisa melegakan hatiku?”
Terdengar “Cret!”, It-tiam-ang
melompat miring tujuh langkah, baju atasnya tampak tergores robek terkena
sambaran golok, darah segar sudah merembes membasahi badannya.
Lamkiong Ling tertawa besar,
serunya: “It-tiam-ang, kau masih belum puas?”
“Cis!” It-tiam-ang berludah ke
atas pundaknya yang terluka, tahu-tahu pedangnya sudah menusuk pula.
Seketika berubah pula air muka
Hek-tin-cu, bentaknya bengis:”Sekarang kau masih berlega hati?”
Coh Liu-hiang tertawa getir,
katanya: “Kalau It-tiam-ang sudah turun tangan, siapa yang ikut membantunya,
dia adalah lawannya, apalagi kepandaian silat kedua orang ini sama setingkat
dan sebanding, siapa pun jangan harap bisa melukai lawan.”
“Oleh karena itu kau berpeluk
tangan saja, begitu?”
“Dalam sepuluh jurus
Lamkiong-Ling pasti kena dibikin cedera juga oleh pedang It-tiam-ang, tidak
lebih dari tiga puluh jurus dia pasti minta menghentikan pertempuran. Kalau
belum waktunya, tidak berguna aku ikut mencampuri.”
“Mungkin hatimu sudah tumplek
pada nona cantikmu ini, masa masih perduli dengan mati hidup orang lain?
Sungguh tak nyana olehku, Coh Liu-hiang yang cemerlang namanya ternyata lebih
mementingkan paras cantik daripada persahabatan kental.”
Belum habis kata-katanya,
terdengar “Cret!” sekali lagi. Lamkiong Ling terhuyung mundur, pakaiannya
berlubang, darah pun membasahi pakaiannya. Coh Liu-hiang menyengir sambil
berpaling pada Hek-tin-cu, katanya: “Belum penuh sepuluh jurus malah, benar
tidak?”
Sekian lama Hek-tin-cu
tertunduk, entah apa yang ia renungkan, akhirnya ia tujukan sorot matanya ke
muka So Yong-yong. Sorot matanya yang kelihatan dalam itu seakan-akan timbul
suatu perubahan yang sedemikian rumit. Katanya pelan-pelan, “Dia memang teramat
cantik.”
“Bukan hanya cantik saja.”
“Tapi menurut pendapatku,
perempuan yang lebih cantik dari dia masih banyak jumlahnya.”
“Mungkin dia tidak bisa
terhitung yang tercantik, tapi paling lembut, paling setia, paling pandai
melayani dan perempuan yang paling bisa menyelami hati orang lain. Menurut apa
yang kutahu, mungkin belum pernah ada perempuan yang bisa dibandingkan dia di dalam
dunia ini.”
Pucat muka Hek-tin-cu, agaknya
hendak mengucapkan apa-apa, namun ia tahan sambil mengigit bibir. Tiba-tiba ia
membalikkan badan dan tak sudi melihat mereka lagi. Terdengar Lamkiong Ling
sedang membentak:” Coh Liu-hiang! Marilah kau saja yang perang tanding denganku
untuk menyelesaikan urusan ini. Kau sendiri tadi yang mengatakan hal ini, apa
sekarang kau masih ingat?”
“Sudah tentu masih ingat.”
“Jikalau kau ingin tahu siapa
tokoh misterius itu, lekas kau suruh keparat berdarah dingin ini menghentikan
pertempuran.”
Coh Liu-hiang angkat pundak,
katanya: ”Sayang bukan saja aku tidak bisa turun tangan, aku pun tidak bisa
menyuruhnya berhenti…. Jikalau It-tiam-ang ingin membunuh seseorang, tiada
seorang pun yang kuasa mencegahnya.”
Siapa tahu, mendadak
It-tiam-ang melompat setombak jauhnya, katanya dingin: “Aku sudah berhenti,
karena dia tidak mampu membunuhku, aku pun tidak mampu membunuhnya. Kalau
perkelahian ini diteruskan, tidak ada artinya, biarlah kuserahkan kepadamu.”
“Terima kasih.”
Lama juga It-tiam-ang
menatapnya lekat-lekat, katanya kalem “Tidak perlu terima kasih, asal kau ingat
sejak semula sampai akhir It-tiam-ang tetap sahabatmu.”
Belum habis berkata, badannya
sudah melambung tinggi berjumpalitan ke belakang terus melesat ke luar jendela
dan memghilang entah ke mana.
“Kenapa dia selalu bilang
datang ya datang, mau pergi tinggal pergi.” Baru sekarang Lamkiong Ling
berhasil mengatur nafas, katanya serak: “Coh Liu-Hiang, kalau kau ingin
menyelesaikan persoalan ini, marilah ikut aku!”
Coh Liu-hiang menengok ke arah
So Yong-yong, katanya: ”Ikut kau?”
Hek-tin-cu menyela keras,
katanya: “Coh Liu-hiang saat ini amat berat untuk tinggal pergi, demi perempuan
ini urusan apa pun boleh tidak usah diurus.”
Berputar biji mata Lamkiong Ling,
katanya: “Jikalau kau tidak mau pergi, jangan salahkan aku.”
Sengaja ia putar badan jalan
lambat-lambat, agaknya ia tidak ingin melarikan diri, sebab ia tahu lari bukan
suatu cara terbaik, kalau tidak sejak lama dia sudah menghilang tak karuan
parannya.
Betapa Coh Liu-hiang tidak
bisa membiarkan orang pergi demikian saja, katanya: “Hek-heng, agaknya untuk
sementara aku harus serahkan dia ke dalam pengawasanmu.”
Hek-tin-cu mendongak memandang
ke langit, sahutnya dingin: “Masa kau tidak kuatir?”
“Dia tertotok Hiat-tonya
dengan Jong-jiu-hoat, tapi setelah kuurut tadi sebentar lagi bakal siuman.
Cukup asal Hek-heng beritahu kepadanya, suruh dia selekasnya pulang, urusan
lain tidak perlu dia kuatirkan.”
Sesaat Hek-tin-cu ragu-ragu,
sahutnya kemudian: “Baiklah! Pergilah kau, aku akan suruh dia pulang, tapi aku
tetap akan menunggumu, masih ada pertanyaan yang hendak kuajukan
kepadamu."
Setelah Coh Liu-hiang keluar
mengikuti jejaknya, baru Lamkiong Ling mempercepat langkahnya. Beberapa kejap
mereka berlari-lari kencang, entah berapa jauh perjalanan sudah mereka tempuh,
tiba-tiba Lamkiong Ling berkata: “Agaknya kau lega menyerahkan dia kepada orang
lain?”
“Kenapa aku harus kuatir?”
“Masalah kau tahu bila anak
muda itu tidak akam mecelakai jiwanya?”
“Kau kira karakter dan
martabat orang lain sekejam dan setelengas dirimu?”
“Aku hanya anggap kau ini
orang yang cerdik pandai dan cermat, siapa tahu ada kalanya kau pun bertindak
kurang hati-hati.”
“Memang aku ini serba teliti.
Jikalau pernah terpikir dalam benakku bila Hek-tin-cu punya alasan untuk
mencelakai jiwa Yong-ji, meski sekarang aku terpaksa, sekali-kali tidak akan
kuserahkan Yong-ji kepadanya. Jika kau pikir dengan persoalan ini kau hendak
bikin hatiku tidak tenang sehingga gugup dan kacau, kunasehati kau untuk
membatalkan saja niatmu itu.”
Lamkiong Ling terloroh-loroh
dingin, selanjutnya memang dia tidak banyak kata lagi. Tampak tak jauh di depan
sana bayangan air kemilau dibungkus kabut tebal, tahu-tahu mereka sudah tiba di
Tay-bing-ouw. Di bawah ayoman dahan pohon Liu yang menjuntai turun, sebuah
sampan terikat di sana, di dalamnya ternyata terpasang sebuah pelita yang
bersinar terang. Dari luar jendela kelihatan di sana sudah tersedia sebuah meja
hidangan yang serba komplit.
Setelah Coh Liu-hiang masuk ke
dalam ruangan kapal, Lamkiong Ling menarik galah dan menutul tanggul, sehingga
sampan meluncur ke tengah danau. Kabut tebal, di mana-mana banyak asap seperti
hujan. Mengikuti riak gelombang yang mengalun halus, sampan melaju ke depan
terbawa angin. Di tengah alam semesta yang tak berujung pangkal ini, terkadang
orang akan terpesona tanpa sadar, tak tertahan orang akan berdiri bulu
kuduknya.
Coh Liu-hiang memilih kursi
dan duduk dengan nyaman, namun hatinya sedikit pun tidak merasa nyaman, terasa olehnya
persoalan yang dihadapinya ini makin lama semakin janggal. Kenapa Lamkiong Ling
membawa dirinya ke tempat ini? Pembunuh misterius itu, apakah dia berada di
atas sampan besar ini?
Tapi, kecuali Coh Liu-hiang
dan Lamkiong Ling, jelas di atas sampan tiada orang ketiga! Hal ini Coh
Liu-hiang berani pastikan sesaat setelah dia beranjak ke atas sampan ini.
Hembusan angin malam nan
sepoi-sepoi, menyibak bau harum arak dan masakan, bau daun pohon liu nan wangi,
tapi yang tersedot dalam pernapasan Coh Liu-hiang sebaliknya adalah hawa
membunuh yang amat tebal.
Kini Lamkiong Ling sudah duduk
berhadapan dengan Coh Liu-hiang, katanya sambil mengawasinya: “Tahukah kau
kenapa aku membawamu ke mari?”
“Tentunya kau tidak ingin
membunuhku di sini. Jikalau kau hendak membunuhku, tentunya lebih jauh
meninggalkan air lebih baik.”
“Benar, tiada orang yang mau
membunuh Coh Liu-hiang di dalam air.”
“Apakah si dia yang suruh kau
membawaku ke mari?”
“Benar! Dia beritahu kepadaku,
bila mana aku sendiri tidak bisa menyelesaikan persoalan ini, bawa saja kau ke
mari, biar dia sendiri yang akan menyelesaikan.”
“Kau kira dia akan datang?”
“Tentu akan datang!”
“Pikirmu, setelah dia datang,
lantas bisa menyelesaikan persoalan ini?”
“Jikalau ada seseorang yang
bisa menghadapi Coh Liu-hiang, orang itu adalah si dia itulah!”
“Siapa si dia itu, sungguh aku
tak mengerti dia punya cara penyelesaian apa?”
“Cara yang dia gunakan tiada
orang lain yang dapat menyimpulkan sebelumnya.”
“Agaknya kau terlalu yakin
akan kemampuannya?”
“Di dunia ini, jikalau ada
orang yang dapat kupercayai, orang itu hanya dia saja.”
Coh Liu-hiang pejamkan mata,
katanya pelan-pelan: “Siapakah orang yang demikian itu? Kalau toh dia sudah
tahu membunuh Coh Liu-hiang di atas air jauh lebih sukar daripada di daratan,
kenapa membawaku ke atas sampan ini? Sebetulnya rencana apa yang sedang dia
atur? Sebenarnya dia punya cara apa untuk menghadapi aku? Sungguh aku tak sabar
lagi menunggu, ingin secepatnya aku berhadapan dengan dia.”
Teringat akan kelicikan orang,
perbuatan telengas dan kejahatannya, mau tidak mau Coh Liu-hiang bergidik bulu
romanya. Musuh-musuh yang pernah dia hadapi selama hidupnya, sungguh tiada
seorang pun yang begini menakutkan.
Lamkiong Ling menuangkan dua
cangkir arak, katanya: “Jikalau aku jadi kau, sekarang lebih baik minum-minum
dulu, tidak berguna kau banyak peras otak, apalagi saat-saatmu menikmati arak
toh takkan lama lagi.”
Arak bening berwarna hijau
pupus kelihatan memancarkan cahaya di dalam cangkir emas.
Lamkiong Ling angkat cangkirnya
terus ditenggak habis, katanya menengadah: “Tapi aku berdoa, semoga yang
menemukan rahasia ini bukan kau. Siapa pun dia, jikalau hendak membunuh sahabat
yang dulu pernah menangkap kura-kura besar bersama tentunya bukan sesuatu yang
patut dibuat girang!”
Jari tangan Coh Liu-hiang
menyentuh pun tidak cangkir arak itu, katanya: “Aku pun mengharap kau adalah
Lamkiong Ling yang pernah bantu aku menangkap kura-kura itu.”
Lamkiong Ling tertawa-tawa,
tiba-tiba ia mengerutkan alis, katanya: “Arakmu ....”
"Masih banyak waktu untuk
aku minum arak, sekarang tidak perlu tergesa-gesa!"
Coh Liu-hiang ternyata tidak
tergesa-gesa minum arak, sungguh suatu kejadian luar biasa dan aneh.
“Kau jangan lupa, aku adalah
seorang yang amat teliti.”
“Kedua cangkir arak ini
kutuang dari poci yang sama. Jikalau kau masih kuatir, secangkir arak ini biar
kuhabisi sekalian!” lalu ia raih cangkir di hadapan Coh Liu-hiang dan
ditenggaknya habis. “Agaknya orang yang terlalu teliti meski mungkin bisa
berumur panjang, betapa pun dia harus mengorbankan arak-arak bagus yang
seharusnya dia nikmati. Tidak seharusnya kau curiga arak ini mengandung racun,
tokoh mana di dunia ini yang bisa meracun mati Coh Liu-hiang hanya dengan
permainan arak beracun. Masakah dia bakal menaruh.....” belum lagi kata-kata
“racun” keluar dari mulutnya, air mukanya mendadak berubah hebat. Lengan, jidat
dan lehernya.... otot-otot hijau menonjol keluar semua.
“Kenapa kau?” teriak Coh
Liu-hiang kaget.
“Arak ini....” sahut Lamkiong
Ling bergetar.
“Apa benar arak ini mengandung
racun?” seru Coh Liu-hiang tersirap darahnya, lekas ia memburu maju dan membuka
kelopak mata Lamkiong Ling, namun tak terlihat tanda-tanda keracunan, tapi
sekujur badan Lamkiong Ling semakin panas seperti terbakar.
Melonjak jantung Coh
Liu-hiang, teriaknya kaget: “Thian-it-sin-cui, arak ini ada dicampur dengan
Thian-it-sin-cui!”
Coh Liu-hiang membanting kaki,
katanya: “Sampai sekarang kau masih belum paham? Bahwa dia mencampuri air sakti
itu di dalam arak ini, tujuannya bukan hendak mencelakai jiwaku, namun kaulah
yang menjadi sasaran utama! Dia pun tahu, setiap waktu aku selalu bertindak
hati-hati, sebaliknya kau tidak mungkin bersiaga terhadapnya.”
Coh Liu-hiang menengadah dan
melanjutkan: “Sejak naik ke atas sampan ini, aku sudah merasa di sini diliputi
mara bahaya, numun tak pernah terpikir olehku dengan cara apa dia hendak
mencelakai diriku. Baru sekarang aku paham, ternyata yang dia tuju bukan aku,
sebaliknya jiwamu yang diincarnya.”
“Tapi dia.... kenapa dia harus
membunuhku?” teriak Lamkiong Ling keras.
“Karena, asal kau mati, segala
sumber penyelidikanku bakal putus semuanya. Asal kau sudah ajal, dia tetap
boleh luntang-lantung ke mana dia suka, dan tidak akan ada orang tahu siapa
sebenarnya si “dia” itu.”
Bergetar badan Lamkiong Ling,
agaknya ia amat kaget akan kata-kata ini, matanya mendelong. Kini sekujur
badannya mulai membengkak besar, kulit dagingnya mulai pecah, sampai pun urat
nadi dan jalan darahnya pun merekah. Ujung mata, hidung, sela-sela kuku
jarinya, mulai merembeskan darah segar.
Coh Liu-hiang membentak keras:
“Tanpa kenal kasihan dia turun tangan jahat membunuhmu, kenapa kau masih
bertahan menyimpan rahasianya? Lekas kau katakan siapakah dia sebenarnya,
sekarang kau masih sempat mengatakannya.”
Seperti mata ikan mas biji
mata Lamkiong Ling melotot keluar, gumamnya: “Katamu dia hendak membunuh
aku.... aku masih tidak percaya.... “
“Sudah tentu dia harus
membunuhmu! Kalau tidak, jelas dia tahu aku takkakn minum arak, kenapa dia
menaruh racun dalan arak? Kenapa tidak beritahu kepadamu lebih dahulu bahwa
arak itu beracun?”
Agaknya Lamkiong Ling tidak
memahami kata-katanya seluruhnya, mulutnya tetap menggumam sendiri: “Aku tidak
percaya.... aku tidak percaya....”
Sekali raih, Coh Liu-hiang
mencengkram baju di depan dadanya, teriaknya serak: “Kenapa kau tidak percaya?
Masa kau.... “
Bibir Lamkiong Ling yang sudah
merekah, mendadak ia menampilkan senyum pilu, katanya: “Tahukah kau siapa dia?”
“Siapa? Siapa dia?” desak Coh
Liu-hiang.
Sepatah dengan sepatah
Lamkiong Ling meronta keluarkan kata-katanya: “Itulah suatu rahasia, tiada
seorang pun di kolong langit ini yang tahu akan rahasia ini. Aku.... aku punya
seorang saudara sepupu. Engkoh sepupuku....., si “dia” bukan lain adalah engkoh
sepupuku itu.”
Coh Liu-hiang terlongong di
tempatnya seperti linglung, badannya terhuyung mundur setengah langkah,
bersandar di pinggir meja. Serasa sekujur badan lemas lunglai dan hampir meloso
jatuh. Rada lama kemudian, baru dia bersuara dengan tertawa getir: “Tak heran
kau begitu percaya kepadanya, tak heran kau begitu mendengar petunjuknya.
Tapi..... tapi siapakah engkohmu itu? Sampai detik ini kau masih segan menyebut
namanya?”
Mulut Lamkiong Ling
megap-megap seperti ikan mas yang menghirup napas di permukaan air, mulutnya
penuh digenangi darah segar. Kini lidahnya pun mulai merekah, sepatah kata pun
tak kuasa bicara lagi.
***
Entah beberapa lama Coh
Liu-hiang menjublek duduk di atas kursi. Kini bahan penyelidikannya sudah putus
sama sekali, dia harus mulai dari permulaan pula.
Entah berapa ia sudah
mengalami mara bahaya, entah berapa jerih payahnya yang dia korbankan, baru
diketahui bahwa Cou Yu-cin, Sebun Jian, Ling-ciu-cu dan Ca Bok-hap keluar pintu
setelah masing-masing menerima sepucuk surat. Entah sudah mengalami beberapa kali
kegagalan dan kekecewaan baru berhasil dia selidiki si penulis surat itu
sekaligus membongkar segala rahasia Kay-pang.
Betapa besar kesulitan dan
derita yang dialaminya untuk semua itu, jikalau tidak dibekali kecerdikan dan
keberanian yang luar biasa, boleh dikata takkan ada orang yang kuat bertahan
menghadapi tantangan-tantangan yang hebat dan mengerikan itu. Tapi Lamkiong
Ling sekarang sudah ajal, segala jerih payah dan usahanya selama ini berarti
sia-sia. Karena sampai detik ini ia belum berhasil mengetahui siapakah biang
keladi atau tokoh misterius dalam peristiwa ini.
Fajar sudah menyingsing, kabut
di permukaan danau malah makin tebal.
Coh Liu-hiang menggeliat
sambil menghirup napas segar, gumamnya: “Kini yang kuketahui masih berapa
banyak?” Memang bahan-bahan yang masih berada di benaknya tidak banyak lagi.
Bahan satu-satunya yang ketinggalan yaitu pembunuh misterius adalah saudara
sepupu Lamkiong Ling. Di tangan si “dia” itu masih terdapat Thian-it-sin-cui
yang cukup untuk mencelakai jiwa tiga puluh tiga orang. Tapi siapakah
sebenarnya si “dia” itu?
Dengan Thian-it-sin-cui, dia
sudah membunuh Jin Jip, Ca Bok-hap dan Lamkiong Ling. Sasaran selanjutnya entah
siapa! Tentu tokoh kosen yang berilmu amat tinggi, namanya cukup tenar dan
terpandang sebagai angkatan tertinggi di Bulim pula.
Tokoh itu tentu mempunyai
hubungan yang amat erat dengan si “dia” itu, paling tidak takkan curiga bahwa
si dia bakal mencelakai jiwanya, kalau tidak cara bagaimana si dia dapat
mencampurkan Thian-it-sin-cui ke dalam cawan minumannya?
Coh Liu-hiang memejamkan mata,
mulutnya menggumam: “ Thian-hong-cap-si-long ternyata bukan seorang diri datang
ke Tionggoan, dia masih membawa dua orang putra kandungnya. Setelah dia mati,
seorang anaknya dia titipkan kepada Jin Jip supaya diasuh sampai besar, lalu
seorang anak lainnya? Kepada siapa dia serahkan anaknya yang lain? Siapa pula
yang tahu mengenai keajadian ini?”
Peristiwa itu sudah berlalu
selang duapuluh tahun lamanya, kini boleh dikata sudah tiada sumber yang dapat
dibuat bahan penyelidikan.
Mendadak Coh Liu-hiang
melompat bangun, katanya keras: “Aku sudah tahu. Kalau Thian-hong-cap-si-long
menyerahkan anaknya yang kecil kepada Jin Jip, putra besarnya tentu dia
serahkan kepada tokoh kosen yang bertanding pertama kali dengan dia. Asal aku
bisa menemukan siapa orang ini, tentulah dapat menemukan siapa si “dia”
itu."
Kini Coh Liu-hiang memang
belum tahu siapakah tokoh silat yang bergebrak dengan Thian hong cap-si-long
sebelum Jin Jip, tapi dia sudah tahu:
Pertama: Tingkat kedudukan dan
nama tokoh itu tentu amat tinggi dan tenar, baru Thian-hong-cap-si-long sudi
mencarinya, lalu menghadapi Jin Jip. Tidak banyak tokoh-tokoh silat di kalangan
kangouw yang lebih tinggi tingkatannya dan ketenarannya dari Kaypang Pangcu,
maka kemungkinannya bisa lebih diperkecil.
Kedua: Ilmu silat orang ini
teramat tangguh, maka bisa melukai Thian-hong-cap-si-long.
Ketiga: Watak dan martabat
orang ini tentu seperti Jin Jip, berjiwa besar, lapang dada dan welas asih,
maka dia bersedia menerima anak yatim Thian-hong-cap-si-long, malah menurunkan
ilmu silatnya yang tiada taranya kepada si bocah.
Keempat: Orang ini tentu tidak
suka mengagulkan diri dan membuat sensasi, maka walaupun dia berhasil unggul
dan mengalahkan pendekar pedang (pendekar samurai) tersohor dari Tang-ni
(Jepang), tiada tokoh Kangouw yang tahu akan kejadian besar itu.
Kelima: Tokoh ini tentu
menetap di daerah Binglam atau lingkungan yang tidak jauh dari sana, maka
setelah Thian-hong-cap-si-long terkalahkan dengan luka parah, dia masih sempat
memburu ke tempat pertandingan yang dia janjikan dengan Jin Jip.
Coh Liu-hiang menghela napas
panjang-panjang, ujarnya: “Kini terhitung tidak sedikit hasil analisaku ini.”
Lekas ia memburu keluar, galah
dia samber terus mendorong kapalnya ke tepi. Sekali lompat ia dapat mendarat
dengan enteng. Mendadak derap kuda berlari mendatangi, seseorang membedal
kudanya lari mendatangi. Belum lagi dekat, badannya sudah mencelat tinggi lepas
dari punggung kudanya meluncur hinggap di depannya, siapa dia kalau bukan
Hek-tin-cu si Mutiara Hitam.
“Ternyata kau bisa menemukan
aku,” sambut Coh Liu-hiang: “Mana dia?”
Hek-tin-cu tidak lantas
menjawab. Sesaat ia pandang orang, sahutnya dingin: “Dia memang penurut dan
dengar kata, kini sudah berangkat pulang.” Mendadak matanya melotot, katanya
keras: “Tapi ingin aku tanya kau, sebetulnya di mana ayahku berada? Kenapa
selama ini kau mengulur-ulur waktu tak mau jelaskan tempat tinggalnya?”
Coh Liu-hiang tertunduk,
sahutnya: “Ayahmu sudah.... sudah meninggal dunia.”
Tersentak badan Hek-tin-cu,
serunya serak: “Kau.... apa katamu?”
“Aku sudah mengurus baik-baik
jenazah ayahmu di Ang-giok-gay di Loh-tiong. Di dusun nelayan di pesisir laut
sana, ada seorang bernama Li Tho-cu. Kalau kau pergi ke sana, boleh kau minta
kepadanya untuk mengantarmu ke atas kapalku. Setelah kau bertemu So Yong-yong,
kau akan bertemu dengan jenazah atau pusara ayahmu.”
Hek-tin-cu mendesak maju
menarik lengannya, bentaknya beringas: “Jenazah ayahku kenapa bisa berada di
atas kapalmu? Apakah kau yang mencelakai jiwanya?”
“Seluk-beluk persoalan ini
sulit untuk dijelaskan dalam waktu singkat, tapi Yong-ji akan menjelaskan
sedetailnya kepadamu.... Mengenai pembunuh ayahmu, kini berada di dalam sampan
itu." Belum habis kata-katanya, Hek-tin-cu sudah melesat naik ke atas
sampan.
Jelalatan sorot mata Coh
Liu-hiang, mendadak ia berseru lantang: “Kupinjam kuda saktimu sekali lagi,
kelak pasti akan kukembalikan!” Belum lenyap suaranya, badan sudah melejit naik
mencemplak ke punggung kuda terus dibedal kencang ke arah selatan.
Setelah Coh Liu-hiang berhasil
menemui Ciu Ling-Siok di Ni-san, lalu ia ambil kudanya yang dititipkan di rumah
seorang pemburu langsung kembali ke Kilam, tujuan utamanya adalah menemui
Lamkiong Ling, maka untuk memburu waktu ia belum kembalikan kuda hitam itu
kepada pemiliknya Hek-tin-cu, cuma ia titipkan ke sebuah hotel yang berdekatan.
Waktu ia tiba di Hian-tong Kaypang, kuda yang cerdik ini menjebol kandang
menerjang keluar mencari pemiliknya. Lantaran kuda inilah maka Hek-tin-cu dan
It-tiam-ang baru tahu bahwa Coh Liu-hiang sudah kembali ke Kilam, maka mereka
menyusul tiba pada saatnya dan berhasil menolong So Yong-yong pula.
Mengandalkan kepintaran kuda
ini pula sehingga Coh Liu-hiang dalam waktu yang tersingkat memburu waktu pula
menuju ke Bianglam. Tetapi, setiba di Bianglam, mau tidak mau ia jadi putus asa
dan kecewa dibuatnya.
Kejadian dua puluh tahun yang
lalu orang-orang sudah lupa sama sekali, sedang keluarga besar dari marga Tan
dan Lim yang merupakan simbol kebesaran kaum Bulim di daerah Binglam ini
hakikatnya tidak tahu-menahu siapakah sebenarnya Thian-hong-cap-si-long.
Hari itu Coh Liu-hiang tiba di
Sian-yu yang merupakan kota terbesar dan teramai. Banyak tempat-tempat tamasya
di sini. Hati Coh Liu-hiang sedang masygul dan kesal, maka selera minum dan
makan menjadi kendor, yang diinginkan hanyalah minum dua cangkir teh kental
yang pahit.
Binglam merupakan daerah
penghasil daun teh yang termashur. Di dalam kota Sian-yu banyak terdapat
warung-warung teh, alat-alat untuk minum teh di sini pun jauh berbeda dengan
tempat lain, tampak setiap orang yang duduk di warung teh menikmati minuman
tehnya sambil memejamkan mata, menggunakan cioki yang lebih kecil dari cangkir
arak untuk menikmati atau menilai rasa air teh itu. Orang yang minum teh dengan
cawan besar di sini dalam pandangan masyarakat Binglam tak ubahnya dipandang
sebagai kerbau dungu.
Tidak ketinggalan Coh
Liu-hiang pun minta disediakan Thi-koan-im yang rasanya pahit getir dan wangi.
Kalau ditenggak teh ini memang pahit dan getir. Namun setelah masuk ke perut,
mulut terasa wangi dan semerbak sampai sekian lama tak hilang-hilang.
Setelah menghabiskan dua poci
kecil, rasa masygul dan kesal Coh Liu-hiang sudah semakin sirna dan ketenangan
kembali menggayuti sanubarinya. Dan baru sekarang dia mengerti aturan-aturan
untuk minum teh di sini sedemikian banyaknya, tujuannya adalah untuk menekan
perasan dan melatih kesabaran. Cara atau kepandaian membina dan melatih watak
dan kesabaran ternyata hasil gemblengan dari air teh kental yang pahit getir
dari sepoci-poci kecil ini.
Jauh berlainan dengan warung
arak di tempat lain yang penuh sesak, tentu timbul keributan. Warung teh ini
penuh sesak, namun setiap orang bicara secara bisik-bisik, tindak-tanduk orang
pun amat hati-hati, kuatir mengganggu orang lain.