Maling Romantis (Xue Hai Piao Xiang) Bab 8: Biarawati Gila

Maling Romantis (Xue Hai Piao Xiang) Bab 8: Biarawati Gila
Maling Romantis
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 8: Biarawati Gila
Tiba-tiba terbuka lebar kedua biji mata Thian-hong-cap-si-long, katanya bengis: “Kalian pasti hendak jalan lewat sini? Apakah hendak menemui Chiu Ling-siok?”

Melonjak jantung Coh Liu-hiang, orang asing ini kiranya pun tahu akan nama Chiu Ling-siok. Dilihatnya Lamkiong Ling mengerutkan alis, katanya: “Chiu Ling-siok..? Apakah maksud Cianpwee adalah Jin-hujin?”

“Hm!” Thian-hong-cap-si-long menjawab dengan geraman.

“Cianpwee kenal sama dia?” tanya Lamkiong Ling pula.

Tiba-tiba Thian-hong-cap-si-long menengadah sambil terbahak-bahak keras, tawa yang mengiriskan bergema dan menggetarkan bumi, sampai daun-daun pohon sama rontok berjatuhan.

Coh Liu-hiang dan Lamkiong Ling saling berpandangan, mereka tidak tahu apa yang menjadi buah tertawaan orang.

Terdengar Thian-hong-cap-si-long berkata sambil tetap tertawa: “Kau tanya aku kenal tidak padanya? Karena dia, aku terima dihina dan dipermainkan oleh Jin Jip. Dengan dendam dan penuh penyesalan aku kembali ke Tang-ni. Aku bersumpah, satu hari Jin Jip masih hidup, aku takkan menginjakkan kakiku di Tionggoan........... Demi kebahagiannya, aku terima sekali pukulan Jin Jip, tanpa membalasnya! Karena dia, sampai sekarang aku masih membujang! Dan sekarang, kau malah tanya aku apakah mengenalnya!”

Coh Liu-hiang melongo, sungguh tak pernah terpikir olehnya, pendekar dari Ih-ho di Tang-ni (Jepang) ini ternyata ada sangkut pautnya dengan permainan asmara antara Jin Jip suami istri, lebih tak terkira pula bahwa laki-laki aneh yang berdarah dingin ini kiranya juga mengenal asmara! Betapa mendalamnya rasa cintanya terhadap Chiu Ling-siok, agaknya tidak kalah tebalnya dari Ca Bok-hap dan lain-lainnya.

Kecuali Ca Bok-hap, Sebun Jian, Cou Yu-cin dan Ling Ciu-cu, orang ini adalah yang kelima. Kelima orang ini sama-sama tergila-gila terhadap satu perempuan, rela hidup menderita selamanya dengan membujang. Cuma kalau Ca Bok-hap berempat sudah menemui ajalnya semua, tinggal orang ini saja yang masih hidup.

Akhirnya gelak tawanya yang menggila berhenti, kata Thian-hong-cap-si-long bengis: “Kini Jin Jip sudah mampus, maka Chiu Ling-siok akhirnya akan menjadi milikku. Kecuali aku, jangan harap siapa pun dalam dunia ini bisa berhadapan dengan dia!”

“Tapi Jin-hujin.........”

“Dia tidak sudi menemui orang lain lagi, pergilah kalian!”

“Cayhe sebagai murid Kaypang sudah sepantasnya menghargai pendapat Jin-hujin, cuma saudara Coh ini,........” sampai di sini ia berhenti serta berpaling kepada Coh Liu-hiang.

“Apa benar dia tidak sudi menemui orang luar, aku perlu dengarkan kata-kata dari mulutnya baru mau percaya!” kata Coh Liu-hiang tegas.

Lamkiong Ling berbisik: “Kalau dia tetap berjaga di balok batu ini, cara bagaimana kita bisa menyebrang ke sana?”

Balok batu ini melintang di permukaan jurang yang puluhan tombak lebarnya, di bawah ada aliran deras lagi, siapa pun sukar terbang menyeberang ke sana. Jikalau hendak melesat lewat di atas kepala Thian-hong-cap-si-long, hasilnya adalah seperseribu.

Berjelalatan biji mata Coh Liu-hiang, katanya kemudian sambil tersenyum: “Bagaimana pun juga, aku harus mencobanya!”

Belum habis kata-katanya, “Sreng!”, tiba-tiba selarik sinar kemilau melesat keluar dari lengan baju Thian-hong-cap-si-long yang lebar dan menyangkut di atas sebatang pohon sebesar lengan di seberang sana. Belum lagi Coh Liu-hiang sempat melihat barang apa yang melesat terbang itu, “Pletak!”, terlempar pula dahan pohon itu yang sudah kutung dan terjatuh ke dalam jurang, gelang perak berkilauan itu tahu-tahu sudah meluncur balik pula menghilang ke dalam lengan bajunya pula.

Memang ada ratusan macam senjata rahasia yang dipakai oleh tokoh-tokoh Bulim di Tionggoan ini, di antara mereka tak terhitung banyaknya merupakan tokoh-tokoh yang termasuk ahli dalam permainan senjata rahasia tunggal sendiri, namun gerak-gerik Thian-hong-cap-si-long ini jauh berlainan dengan kepandaian orang lain, gelang terbang yang kemilau perak itu kelihatannya jauh lebih hebat, aneh dan luar biasa, kelihatannya seperti hidup dan terkendali di waktu terbang berputar.

“Kepandaian dari Ih-ho memang jauh berlainan dari yang lain!” seru Coh Liu-hiang.

Thian-hong-cap-si-long menyeringai dingin, katanya bangga: “Inilah Si Kian Sut, salah satu rahasia dari kepandaian sembilan Jin-sut. Kalau aku tidak kenal belas kasihan, bagaimana kalau batang pohon itu adalah lehermu? Tidak lekas kau enyah dari sini?”

“Si Kian Sut? Menakutkan benar namanya, cuma pohon itu barang mati, manusia tetap hidup, memangnya aku terima mengulurkan leher untuk kau jerat sampai mati?”

“Kau ingin mencoba?” damprat Thian-hong-cap-si-long. Di tengah bentakkannya, selarik sinar kemilau tahu-tahu sudah melesat ke arah Coh Liu-hiang.

Terasa sinar kemilau ini menyilaukan mata, sebuah sinar membundar seperti paruh elang laksana kilat menerjang tiba, daya luncurannya jauh lebih cepat dari apa yang dia bayangkan semula. Tapi sebat sekali ia menggeser kedudukan tujuh kaki ke samping, tak nyana sinar perak itu ternyata seperti hidup, seperti bayangan mengikuti wujudnya, tahu-tahu mengejar tiba pula. Beruntun Coh Liu-hiang bergerak bagai kilat tujuh kali berkelit, namun pandangannya serasa ditutupi bayangan perak yang berkelebat rapat dan kencang, sehingga ia kehabisan akal entah cara bagaimana untuk menyelamatkan diri.

Sekonyong-konyong tiga bintik sinar hitam melesat terbang dari tapak tangan Coh Liu-hiang, dua bintik sinar bintang yang kehitam-hitaman terbang datar ke samping, namun setitik di antaranya telak sekali membentur sinar perak itu hingga mengeluarkan suara nyaring, disusul suara “Creng!” yang lebih keras, cahaya perak yang memenuhi angkasa seketika sirna, paruh elang mematuk itu menjadi sebuah bundaran gelang dan jatuh ke tanah, tapi mendadak mencelat naik dan terbang kembali.

Berubah gusar air muka Thian-hong-cap-si-long, bentaknya: “Bagero, berani kau pecahkan Si Kian Sut ku....... Baik, coba kau lihat pula Tam Sim Sut Ki!” Sekoyong-konyong sebuah tabir kabut tebal warna abu-abu laksana gelombang pasang menerpa datang, di tengah kabut tebal ini lapat-lapat seperti diselingi selarik sinar bintang yang gemerlapan. Lekas Coh Liu-hiang melompat mundur lalu menjejak tanah melambung tinggi ke tengah udara.

“Blum!”, terdengar ledakan dahsyat, bagai pasir menyambar, kabut tebal itu seketika pecah berkembang ke empat penjuru, sebuah pohon besar yang semula berada di belakang Coh Liu-hiang ternyata sudah keterjang hancur dan terbelah di tengah-tengahnya, kedua sisinya lantas tumbang ke kanan kiri, poros pohon ternyata sudah hangus seperti disambar geledek, kebetulan hembusan angin berlalu, daun-daun pohon sama rontok menguning. Sepucuk pohon yang semula tumbuh subur menghijau, dalam sekejap saja sudah kuyu menguning dan layu hangus.

Mau tak mau tersirap darah Coh Liu-hiang melihat kehebatan kepandaian orang, batinnya : “Jin-sut yang dia latih kiranya amat sesat dan ganas sekali.”

Sementara dengan ringan badannya meluncur turun tiga tombak jauhnya di atas jembatan batu, Thian-hong-cap-si-long yang sudah diliputi hawa membunuh dengan mata membara hanya beberapa kaki di hadapannya.

Lamkiong Ling berseru kaget dan kuatir: “Pendekar Ih-ho hebat dan lihay. Coh-heng, kau harus hati-hati!”

“Jin-sut aku sudah menjajalnya,” sahut Coh Liu-hiang tertawa, “Biar sekarang aku jajal pedang peranti pembunuhmu ini!”

Sepatah demi sepatah berkata Thian-hong-cap-si-long: “Kau ingin mencoba Ni Hun It To Jan?”

“Sekarang umpama kau beri aku kesempatan ke seberang sana, aku pun tidak sudi lagi, sekarang kau jauh lebih menarik dari pada Jin-hujin. Setelah aku menjajal Ni Hun It To Jan-mu, masih ingin aku sedikit mengobrol denganmu.”

Thian-hong-cap-si-long menyeringai dingin, katanya: “Ni Hun It To Jan merupakan intisari dari segala ilmu pedang, setiap kali pedang dilolos harus menghirup darah dan menebus nyawa, tiada seorang pun yang kuasa melawannya, setelah kau mencobanya, maka jangan harap kau masih bisa bicara dengan orang lain.” Tanpa berkedip ia tatap Coh Liu-hiang, sorot matanya memancarkan cahaya aneh yang menyesatkan, demikian pula setiap nada suaranya seolah olah mengandung daya sedot yang bisa menyesatkan pikiran orang.

Roman muka Coh Liu-hiang tetap mengulum senyum manis, sekujur badannya dari kepala sampai kaki sudah diliputi kewaspadaan dan kesiapan, matanya justru menatap ke batang pedang atau golok itu.

Panjang golok ini kira-kira lima kaki, sempit panjang seperti pedang. Golok panjang yang aneh, tentu dimainkan pula dengan jurus dan tipu-tipu yang aneh pula. Sekonyong-konyong Thian-hong-cap-si-long meraih goloknya seraya mencelat dan terloloslah goloknya! Sinar goloknya laksana kemilau permukaan air yang ditimpa cahaya rembulan, putih menghijau berhawa dingin, menusuk daging menyusup tulang.

Dengan tangan kiri memegang terbalik sarang golok, tangan kanan mengacungkan golok panjang ke depan setinggi alis, tajam golok mengarah keluar, sembarang waktu goloknya itu bisa bergerak menyapu dan membabat dengan dahsyat. Bagai patung batu, badannya berdiri tegak sekokoh gunung, sorot matanya yang aneh menatap ke muka Coh Liu-hiang. Sinar golok dan sinar matanya seolah-olah sudah membungkus dan mengurung sekujur badan Coh Liu-hiang.

Walau golok lawan belum bergerak, tapi Coh Liu-hiang sudah merasakan hawa membunuh yang merembes keluar dari ujung golok tajam ini, semakin lama semakin tebal. Berdiri ditempatnya, ternyata sedikit pun ia tidak berani terlena dan sembarang bergerak! Ia tahu, sedikit bergerak meski hanya ujung jarinya saja, maka besar kemungkinan titik kelemahannya akan merupakan sasaran empuk bagi lawannya, maka golok musuh yang hebat itu mungkin laksana kilat akan bergerak mengarah ke tempat itu.

Teori ketenangan mengatasi gerakan merupakan intisari yang terutama dari ilmu pedang aliran Tang-ni. “Musuh tidak bergerak aku tak bergeming, musuh bergerak aku bertindak lebih dahulu, tidak bergerak tidak mengapa, sekali serang harus kena sasaran.” Bahwasanya pertempuran tokoh silat kelas tinggi, memang cukup sejurus saja sudah bisa menentukan menang dan kalah.

Coh Liu-hiang merasa butiran keringat sudah mulai merembes membasahi ujung hidungnya, namun seraut muka Thian-hong-cap-si-long yang kuning seperti malam itu seolah-olah seperti mayat hidup yang kaku, tidak menunjukkan suatu perubahan.

Mendadak kedua bakiak kayu itu mencelat jatuh ke dalam jurang, lama dan lama sekali baru terdengar suaranya yang membalik dari kedua bakiak yang kecemplung ke air. Bakiak itu mencelat jatuh ke air karena tertendang oleh kaki Thian-hong-cap-si-long yang menggeser maju sebelah kakinya. Selangkah demi selangkah, Thian-hong-cap-si-long mendesak maju.

Mau tidak mau Coh Liu-hiang harus ikut bergerak, namun ia tidak tahu cara bagaimana dirinya harus bergerak. Telapak kaki Thian-hong-cap-si-long yang telanjang menggesek balok batu yang kasar, selangkah demi selangkah menggeser maju, kulit tapak kakinya sampai tergesek pecah, di permukaan balok batu tertinggal noda darah yang merembes keluar. Tapi sedikit pun ia tidak merasakan sakit. Seluruh pikiran, semangat dan perhatiannya, ia tumplekkan di atas batang goloknya, sedikit pun ia tidak perduli atau tidak merasakan adanya sesuatu yang bergerak di kehidupan mayapada ini. Kalau kakinya menggeser dan badannya bergerak maju, namun batang goloknya tetap teracung ke depan tanpa bergeming sedikit pun.

Pada saat itulah segulung angin kencang tiba-tiba menerjang ke pinggang Coh Liu-hiang. Seluruh perhatian Coh Liu-hiang tertuju pada batang golok lawan, mimpi pun ia tidak menduga orang akan menyerang lebih dulu menggunakan sarung pedangnya. Saking terkejutnya, mau tidak mau secara reflek sebat sekali ia berkelit mundur. Tapi bertepatan dengan itu pula, Thian-hong-cap-si-long melolong keras dan lantang, golok di tangannya melebihi kilat cepatnya, tahu-tahu sudah membabat dan membacok.

Agaknya dia sudah memperhitungkan jalan mundur Coh Liu-hiang, sudah memperhitungkan bahwa Coh Liu-hiang terang takkan bisa mundur lagi, memang serasi benar sambaran senjatanya ini kalau dinamakan pedang peranti pembunuh. Babatan goloknya kelihatan seperti gerakan biasa dan sepele saja, tapi inti sari ilmu pedang, kecerdikan otak di saat menghadapi musuh tangguh, batas tertinggi dari manusia akan ilmu silat yang dipelajarinya, boleh dikata sudah termasuk dan terkandung di dalam sejurus babatan golok panjang ini.

Sorot mata Thian-hong-cap-si-long membara merah. Pakaian yang dikenakan pun tiba-tiba melembung dan melambai-lambai dipenuhi tenaga murni yang merembes keluar dari seluruh pori-pori kulit badannya. Babatan golok ini harus membunuh, betapa pun ia tidak bisa memberikan kelonggaran. Apa benar Ni Hun It To Jan tiada tandingannya di seluruh kolong langit? Di mana sinar golok menyambar, badan Coh Liu-hiang pun terjungkal roboh.... Untuk mundur tidak mungkin, berkelit pun tak bisa, terpaksa ia terjunkan diri ke dalam jurang dari atas balok batu itu. Jiwanya memang tidak mampus oleh babatan golok, namun apakah dia masih bisa bertahan hidup terjatuh ke dalam jurang yang dalam serta aliran air yang demikian derasnya?

Lamkiong Ling terbelalak dan berseru kaget. Siapa sangka, belum lagi suaranya hilang dan mulut sempat terkatup, bayangan Coh Liu-hiang tiba-tiba sudah melesat mumbul ke atas pula.

Kiranya, meski badannya terjungkal ke bawah, namun ujung kakinya masih menyangkut di bibir batu. Begitu sambaran golok lewat, ia lekas kerahkan tenaga pada ujung kakinya dan dengan seenteng burung camar badannya mencelat naik empat tombak, kini badannya menukik menubruk langsung kepada Thian-hong-cap-si-long. Kalau dia sengaja berdiri di atas balok batu, kelihatannya seperti sengaja menempuh bahaya, padahal siang-siang dia sudah memperhitungkan jalan mundurnya. Jauh sebelum bergebrak, dia sudah memperhitungkan setiap macam kemungkinan yang bakal terjadi, maka begitu badannya terjungkal balik, ia serta merta mencelat naik ke atas, bukan saja sudah mengerahkan segala tenaga, kecerdikan dan kehebatan gingkangnya, termasuk pula kepintaran dan pengalaman luasnya dalam menghadapi bahaya dan musuh-musuh tangguh. Meski hanya satu jurus mereka bergebrak, namun pertandingan ini sudah merupakan pertandingan ilmu silat dan kecerdikan otak yang tiada taranya.

Begitu golok membabat Thian-hong-cap-si-long sudah tiada sisa tenaga lagi, pula betapa cepat reaksi Coh Liu-hiang menghadapi serangannya serta tinggi ginkangnya, sungguh jauh berada di luar dugaannya. Di atas balok batu itu memang teramat bahaya, semula Thian-hong-cap-si-long hendak menggunakan keuntungan berbahaya ini, siapa tahu ada untung pasti ada ruginya juga, kini situasi berubah seratus delapan puluh derajat, mau untung malah dia sendiri yang buntung sekarang.

Dengan menukik dari atas ke bawah, serangan Coh Liu-hiang yang hebat ini, terang dia takkan mampu berkelit atau mundur lagi. Maka terdengar “Creng!”, goloknya membacok di atas balok batu, kembang api muncrat, namun Coh Liu-hiang sudah berhasil meraih rambut kepalanya, serunya sambil tertawa panjang: “Tuan masih ingin ke mana....” belum habis kata-katanya, seketika sirap pula gelak tawanya.

Ternyata rambut yang berada di tangannya hanyalah rambut palsu dan pada ujungnya kelihatan pula mengelupas selembar kedok muka yang terbuat dari lilin. Dilihatnya badan Thian-hong-cap-si-long jumpalitan jungkir balik ke bawah jurang dan mendadak “Cring!”, seutas rantai lembut melesat keluar dari lengan bajunya memaku kedinding jurang. Badannya lantas bergelantungan pulang pergi beberapa kali mengikuti daya berat badannya lalu dengan enteng meluncur hinggap di atas tanah, sedikit pun tidak terluka apa-apa, malah kelihatan di antara riak gelombang air sungai yang mengalir deras itu bayangannya berlari bagaikan terbang.

Serunya: “Coh Liu-hiang, sudah kau saksikan Khong Siam Sut dari Ih-ho, bukankah amat hebat dan tiada bandingannya di seluruh jagat?” Belum hilang gema suaranya, bayangannya sudah pergi jauh dan menghilang.

Terpaksa Coh Liu-hiang hanya mengawasi bayangan Thian-hong-cap-si-long pergi dengan pandangan melongo, dikejar pun tak akan tersusul, dirintangi pun tak bisa, lama juga dia mengawasi rambut dan kedok palsu di tangannya. Dilihatnya butiran air setetes demi setetes mengalir jatuh dari balik kedok palsu itu.

Mendadak Coh Liu-hiang tertawa lebar: “Apa pun yang terjadi, aku sudah bikin keringatnya bercucuran................kukira raut mukanya sudah kaku, sampai pun tak bisa mengeluarkan keringat, ternyata kedok ini yang buat gara-gara.”

Baru sekarang Lamkiong Ling memburu datang, katanya tertawa: “Kepandaian silat dari Ih-ho-kok benar-benar ganas dan berbahaya, luar biasa pula, kalau bukan ginkang Coh heng yang tiada bandingannya di seluruh jagat ini, hari ini kukira siapa pun takkan bisa lolos dari babatan golok selihai itu.”

Coh Liu-hiang menatapnya bulat-bulat, tiba-tiba ia tertawa pula: “Kepandaian silatnya memang ajaran dari Ih-ho, tapi dia orang Tionggoan, bukan dari Ih-ho.”

Lamkiong Ling melengak, tanyanya: “Dari mana Coh-heng bisa tahu?”

“Kalau dia betul-betul seorang asing dari Ih-ho, lalu dari mana dia bisa tahu kalau aku bernama Coh Liu-hiang?”

Lamkiong Ling berpikir sejenak, serunya: “Benar, Siaute kan tadi tidak pernah menyinggung nama Coh-heng.”

“Apalagi kalau dia benar-benar datang dari Ih-ho, kita berdua takkan kenal padanya, lalu buat apa dia harus mengenakan kedok muka memalsukan diri?”

“Kalau dia bukan pendekar dari Ih-ho, memangnya siapa dia?”

“Sampai detik ini aku belum bisa meraba siapa dia, tapi aku berani pastikan bahwa dia cukup kenal siapa diriku, demikian pula aku pasti kenal baik dirinya........” Sorot matanya tiba-tiba bercahaya, sambungnya dengan tertawa: “Lingkup persoalan ini tidak begitu luas lagi, karena tokoh-tokoh silat seluruh jagat ini yang betul-betul kenal akan muka asli diriku tidak banyak, apalagi yang mempunyai kepandaian silat setinggi itu, dapatlah dihitung dengan jari.”

“Tapi menurut apa yang Siaute ketahui, tokoh-tokoh silat dari Tionggoan yang pandai menggunakan ilmu Jin-sut dari negeri seberang boleh dikata tiada seorang pun.”

“Jin-sut jelas bukan kepandaian perguruannya. Di saat-saat yang begitu berbahaya, toh dia tidak mau menggunakan ajaran silat perguruannya yang asli, sudah tentu karena dia tahu, sekali dia memperlihatkan kepandaian asli perguruannya, maka pasti dapat kuketahui siapa dia adanya.”

Bersinar pula biji mata Lamkiong Ling, katanya: “Kalau begitu, siapa orang ini, bukankah sudah berada dalam terkaanmu?”

“Rahasia alam tidak boleh bocor, hal ini biar kutunda sementara untuk menyelidikinya lebih lanjut.”
“E, eh, agaknya Coh-heng pandai jual mahal juga kepadaku, ya!” kelakar Lamkiong Ling.

Coh Liu-hiang menggeliatkan badannya, ujarnya: “Bagaimana pun, hari ini akhirnya aku bisa bertemu dengan Jin-hujin, bukan?”

“Kalau Coh-heng tidak bisa menemuinya, mungkin Siaute pun bisa mati saking gugupnya.”

Keduanya tertawa besar sambil berpandangan, lekas mereka menyeberang melalui balok batu dan terus memanjat ke atas, sampai di sini mereka tak perlu memanjat ke atas lagi, terlihat di pinggir sebidang hutan kecil berdiri tegak tiga gubuk bambu berderet. Lamkiong Ling berjalan di depan dan langsung menghampiri sebuah gubuk paling kiri serta berseru lantang: “Teecu Lamkiong Ling sengaja ke mari menyampaikan sembah hormat kepada Hujin.”

Sesaat kemudian terdengar sahutan seseorang dengan pelan-pelan: “Kalau toh kau sudah datang, doronglah pintu itu dan masuklah sendiri.”

Suara ini begitu halus, lembut dan merdu. Mendengar lagu suara yang demikian, dapatlah dibayangkan orang macam apa pula yang bicara.

Tak terasa bergetar perasaan Coh Liu-hiang, terbangkit semangatnya, katanya sambil berbisik: “Hanya mendengar suaranya tanpa melihat orangnya, aku sudah merasa sekujur badan segar dan bergairah.”

Lamkiong Ling tidak hiraukan kata-katanya. Pelan-pelan ia dorong pintu, lalu melangkah masuk dengan tindakan berhati-hati. Berada di tempat ini, Kaypang Pangcu yang berkuasa ini ternyata bertindak begini hati-hati seperti anak sekolah yang terlambat masuk kelas, takut konangan oleh gurunya dan dihukum, bernapas keras-keras pun tak berani.

Pintu gubuk yang terbuat dari anyaman daun nyiur ini semula memang setengah terbuka, dari sela-sela pintu yang terbuka ini mengepul keluar asap dupa, di atas pohon beringin yang besar itu bertengger seekor burung yang tak ketahuan namanya, agaknya sedang tertidur.

Setiba di tempat rindang di bawah lindungan pohon besar itu, agaknya Coh Liu-hiang takut membuat gaduh ketenangan yang lelap ini, maka langkah kakinya dia atur dan berderap dengan enteng seperti kucing.

Maka terdengar pula suara merdu nyaring itu berkata: “Pintu kan sudah terbuka, kenapa kau tidak langsung masuk?”

Burung itu terkejut, bangun dan mengeluarkan suara aneh, maka terpentang lebar daun pintu di depan gubuk paling kiri.

Pandangan pertama yang terlihat oleh Coh Liu-hiang adalah perempuan berambut panjang yang terurai di atas pundaknya, berpakaian serba hitam berlutut kaku di depan sebuah meja pemujaan, begitu tenang dan tak bergerak sedikit pun, seakan-akan sejak dulu kala dia memang sudah berlutut di tempat itu.

Kebetulan dia membelakangi pintu, maka tidak terlihat raut mukanya. Namun demikian hanya mendengar suara merdu dan bening itu tanpa disadari Coh Liu-hiang sudah berdiri terlongong di tempatnya. Belum pernah terpikir olehnya seorang perempuan yang berlutut membelakangi dirinya mempunyai daya tarik yang sedemikian besarnya. Tanpa berpaling, Jin-hujin berkata pelan-pelan: “Lamkiong Ling, siapa yang kau bawa ke mari?”

Cepat-cepat Coh Liu-hiang menjura dan berkata: “Cayhe Coh Liu-hiang, sengaja ke mari mohon bertemu dengan Hujin!”

“Coh Liu-hiang.........” suara Jin-hujin kedengaran datar, sedikit pun tidak merasa heran, kagum atau tertarik. Baru pertama kali ini nama Coh Liu-hiang, ketiga huruf ini, dipandang sedemikian tawar dan sepele, apalagi oleh seorang perempuan, mungkin selama malang melintang dengan ketenarannya yang romantis, baru pertama kali ini mengalami sambutan yang dingin.

Lekas Lamkiong Ling menjura pula, katanya: “Sebetulnya Teecu tidak berani membawa orang luar mengganggu ketenangan Hujin, soalnya Coh-kongcu ini mempunyai sangkut-paut yang mendalam dengan Pang kita, apalagi kedatangannya kali ini menyangkut pula urusan Pang kita.........”

“Persoalan dalam Pang kita tiada sangkut pautnya dengan aku, kenapa harus mencari diriku?”

“Tapi urusan ini justru amat erat hubungannya dengan Hujin.” tukas Coh Liu-hiang tandas.

“Mengenai persoalan apa sih?”

Sekilas Coh Liu-hiang melirik kepada Lamkiong Ling, katanya dengan prihatin: “Sebun Jian, Cou Yu-cin, Ling Ciu-cu dan Ca Bok-hap empat Cianpwee, tentunya Hujin kenal baik dengan mereka, kedatanganku ini kebetulan ada hubungan pula dengan mereka berempat.”

Sambil berbicara, dengan seksama ia awasi reaksi Jin-hujin. Meski tak melihat raut mukanya, namun dapat dilihatnya kedua pundaknya yang datar dan tenang itu seakan-akan mendadak bergerak. Akhirnya pelan-pelan ia bangkit berdiri dan berpaling.

Memang Coh Liu-hiang sedang menunggu orang memutar badan, ingin dia melihat raut wajah orang yang membuat banyak laki-laki tergila-gila padanya. Maka di saat kepala orang bergerak, jantungnya berdetak tambah cepat. Tapi setelah orang berhadapan muka dengan dirinya, seketika Coh Liu-hiang amat kecewa dibuatnya.

Karena muka orang mengenakan cadar yang terbuat dari kain sutera hitam, sampai pun sepasang matanya pun tertutup, agaknya orang sedemikian kikir dan hati-hati memperlihatkan raut wajahnya, supaya orang tidak melihatnya.

Serasa kerlingan tajam mata orang menembus kain sutera hitam itu sedang menatap pada dirinya, menembus raga dan melihat hatinya. Tapi ia tidak tertunduk kerenanya, memang tiada seorang pun di kolong langit ini yang mampu membikin dirinya tertunduk.

Lama dan lama sekali baru Jin-hujin buka suara pula, katanya pelan-pelan dengan tenang: " Benar, memang aku kenal keempat orang itu, tapi hal ini terjadi dua puluh tahun yang lalu, kenapa kau datang ke mari mengganggu aku membawa urusan yang sudah lama kulupakan ini!”

“Tapi belakangan ini Hujin ada pernah menulis surat kepada mereka, bukan?” tanya Coh Liu-hiang.

“Menulis surat?” Jin-hujin menegas dengan hambar.

Dengan nanar, Coh Liu-hiang menatapnya, katanya: “Benar, surat! Dalam surat itu berkata Hujin menghadapi kesulitan, minta mereka lekas datang membantu, kedatangan Cayhe ini justru mohon keterangan, kesulitan apa yang sedang melibatkan Jin-hujin?”

Sesaat Jin-hujin terdiam, katanya tawar: “Aku tidak ingat kapan aku pernah menulis surat semacam itu, mungkin kau salah lihat?”

Seolah-olah mulut Coh Liu-hiang disumbat oleh sesuatu yang pahit getir, sungguh ia tak habis pikir, kenapa Jin-hujin tak mau membeberkan rahasia surat-surat itu. Tapi dia belum putus asa, katanya pula lebih keras: " Jelas sekali Hujin pernah menulis surat itu, hal ini Cayhe takkan salah lihat.”

“Dari mana kau tahu tak salah lihat?” jengek Jin-hujin dingin. “Memangnya kau kenal gaya tulisanku?”

Kembali Coh Liu-hiang melongo dan terkunci mulutnya, sesaat ia terlongong dan tak bersuara pula.

Pelan-pelan Jin-hujin putar badan berlutut pula, katanya: “Lamkiong Ling, waktu keluar tutup sendiri pintunya, maaf aku tidak mengantarkan kalian!”

Pelan-pelan Lamkiong Ling menarik Coh Liu-hiang yang masih menjublek di tempatnya. Katanya: “Kalau Hujin tidak menulis surat itu, tentulah itu tulisan orang lain yang memalsu namanya, marilah kembali!”

“Nama palsu........tidak salah!” gumam Coh Liu-hiang. Tiba-tiba sorot matanya tertuju ke atas meja pemujaan, tanyanya: “Apakah jenazah Jin-lopangcu diperabukan?”

Belum Jin-hujin menjawab, Lamkiong Ling sudah mendahului: “Semua murid Kaypang setelah meninggal harus diperabukan, itulah aturan turun-temurun sejak dahulu.”

Ternyata Jin-hujin mendadak nimbrung: “Kau pun tak perlu menyesal, suamiku almarhum sekian tahun disiksa penyakitnya, rebah di atas ranjang, mendadak meninggal, tidak banyak orang yang bisa berjumpa dengan beliau. Lekaslah kau pergi saja!”

Mendadak bersinar biji mata Coh Liu-hiang, sahutnya: “Terima kasih, Hujin.”

“Tiada sesuatu bantuan yang kuberikan kepadamu, tak perlu kau berterima kasih kepadaku.”

Coh Liu-hiang mengiakan sambil mengundurkan diri, sementara dalam hatinya ia sedang menerawang dua patah kata-kata Jin-hujin yang terakhir. Kedengarannya kata-kata itu biasa dan umum, bahwasannya mengandung arti yang mendalam sekali.

Tanpa banyak bicara mereka kembali melalui jalan semula. Agaknya Lamkiong Ling tahu perasaan Coh Liu-hiang, maka ia tidak mengganggunya, ia iringi orang berjalan pulang. Setiba di Kilam, sudah tengah malam hari ketiga.

Baru sekarang Lamkiong Ling berkata sambil menghela napas: “Pulang pergi sejauh ini tentu bikin Coh-heng letih, Siaute pun amat kecewa sekali!”

“Memang aku sendiri yang suka urusan, malah kau ikut menemani aku pulang pergi, sepantasnya aku traktir kau minum dua tiga cawan arak.”

“Sekali menemani Coh heng minum arak, paling tidak harus mabuk sampai tiga hari, lebih baik Coh-heng ampuni aku kali ini saja.”

Memang Coh Liu-hiang mengharap orang lekas pergi saja, katanya tertawa besar: “Baik, kali ini kuampuni kau. Lekaslah kau pergi, kalau tidak kuseret kau pergi minum arak lho.” Belum habis ia bicara, Lamkiong Ling sudah bersoja dan tinggal pergi sambil tertawa tergelak-gelak.

Begitu Lamkiong Ling menyingkir, lekas Coh Liu-hiang menyusul ke Tay-bing-ouw. Kali ini, tanpa banyak mengeluarkan tenaga, ia berhasil menemukan Mutiara Hitam. Begitu dirinya muncul, biji mata Mutiara Hitam seketika berkilauan, bergegas ia melompat bangun di atas sampannya, tanyanya: “Kau sudah bertemu dengan Chiu Ling-siok?”

“Walau ada orang yang berusaha merintangi perjalananku, akhirnya aku berhasil menemuinya juga.”

“Apa benar dia sedemikian cantiknya?”

“Kenapa kau bersikap seperti perempuan, tidak tanya apa yang telah kubicarakan dengan dia, malah tanya kecantikannya lebih dulu? Sayang dia mengenakan cadar, aku sendiri pun tak melihat raut mukanya.”

Agaknya Mutiara Hitam jauh lebih kecewa dari Coh Liu-hiang, katanya menghela napas: “Apa saja yang ia katakan?”

“Katanya dia tidak ingat kapan dia pernah menulis surat itu.”

“Apakah bukan dia yang menulis surat itu?”

“Kalau dia yang menulis surat itu, pasti dia sudah tahu kalau Sebun jian dan yang lainnya sudah ajal lantaran dia, masakah dia menipuku? Memangnya dia tidak suka bila aku membantu dia membongkar rahasia ini?”

Mutiara Hitam terlongong sekian lamanya, gumamnya: “Tidak salah, memang tiada alasan dia membohongi kau, tapi.........” mendadak ia pegang tangan Coh Liu-hiang, teriaknya: “Katamu dia menggunakan cadar hitam, bukan?”

Coh Liu-hiang mengiakan dengan mengut-manggut.

“Bukan mustahil yang kau temui bukan Chiu Ling-siok? Tapi samaran orang lain?”

“Tidak mungkin orang lain menyamar sebagai dirinya!”

“Kau sendiri tidak melihat raut mukanya, dari mana kau bisa tahu kalau dia bukan tiruan?”

“Mukanya memang tidak kulihat, namun lagu suaranya, gerak-geriknya serta tutur katanya, dalam dunia ini siapa yang mampu meniru dia? Apalagi, bila dia tiruan, tentulah takkan ada orang yang berusaha merintangi aku, supaya aku gagal menemuinya.”

“Kalau demikian, bukankah rahasia ini takkan bisa dibongkar oleh siapa pun?”
“Dalam pandangan Coh Liu-hiang, selamanya tidak pernah ada pengertian ‘takkan bisa’ segala.”

“Dalam matamu ada nama apa? Mungkin hanya ada suka ‘mengagulkan diri’ belaka,” jengek Mutiara Hitam.

Tanpa hiraukan kata-kata dan sikap orang, Coh Liu-hiang celingukan kian ke mari, tanyanya: “Orang yang kupesan kepadamu untuk memperhatikan kedatangannya itu, masakah belum tiba?”

“Sudah pernah datang!”

“Kau sudah melihatnya, di mana dia?”

“Sudah mati!” jawabnya dengan ringan, namun bagi pendengaran Coh Liu-hiang laksana halilintar menyambar kepalanya. Kontan ia berjingkrak sambil mencengkeram pundak Mutiara Hitam, teriaknya: “Apa katamu?”

“Kataku dia sudah terbunuh oleh orang.”

“Kau.........kau melihatnya sendiri? Kau diam saja melihat dia dibunuh orang? Kau.... memangnya kau tidak punya perasaan?” teriak Coh Liu-hiang dengan suara serak.

Pundak Mutiara Hitam hampir saja teremas hancur, namun ia kertakkan gigi menahan sakit, bergeming atau mengeluh pun tidak, sinar matanya berkaca-kaca seperti berlinang air mata, sebaliknya mulutnya masih berkata dengan dingin: “Kalau tidak kulihat, memangnya kenapa? Kau..... kau tidak minta aku melindunginya, apalagi hakekatnya aku tidak kenal dia, mati atau hidupnya apa sangkut pautnya denganku?”

Coh Liu-hiang melotot sekian lamanya, jari-jarinya akhirnya mengendor, badannya bergoyang gontai dan akhirnya mendeprok duduk di tanah. Soh Yong-yong ternyata sudah ajal. Anak perempuan yang begitu pintar, cerdik, lembut dan halus ternyata sudah meninggal. Sungguh dia tak mau percaya, tidak mau percaya bahwa di dunia ini ada orang yang tega membunuh dirinya.

Mata Mutiara Hitam yang bundar besar itu sedang menatap Coh Liu-hiang, katanya sambil menggigit bibir: “Apakah benar perempuan itu begitu penting bagi dirimu?”

Serak suara Coh Liu-hiang: “Selamanya kau tidak akan mengerti betapa penting artinya dia bagiku. Aku rela diriku yang dibacok hancur oleh musuh, sekali-kali tidak akan kuizinkan orang bermain gila terhadap jiwanya.”

Mutiara Hitam tertunduk sekian lamanya, mendadak ia angkat kepala dengan hati bergejolak haru, katanya membanting kaki: “Boleh kau bersedih akan kematiannya, tapi aku takkan ikut pilu karenanya. Kau tiada hak membuatku ikut bersedih terhadap kematian seorang perempuan yang tidak kukenal, benar tidak?”

Coh Liu-hiang melompat bangun, kembali ia meremas pundak orang, serunya: “Benar, tak perlu bersedih karena kematiannya, tapi kau harus jelaskan padaku siapakah yang membunuhnya?”

Naik turun dada Mutiara Hitam, tak lama kemudian baru ia bersuara dengan nada berat: “Kemarin menjelang petang dia sudah tiba, dia berada di atas kapal sana itu, celingak-celinguk, sekali lihat lantas kau tahu dia orang yang kau tunggu, baru saja aku ingin menghampiri...............”

“Tapi kau tidak mendekatinya, benar tidak? Kalau tidak, dia takkan mati!” damprat Coh Liu-hiang bengis.

“Belum lagi aku melangkah ke sana, tahu-tahu datang empat orang menuju kapal itu, keempat orang itu seperti sudah kenal baik dengan dia, mereka menyapa lebih dulu dan berbicara beberapa patah, kelihatannya dia pun melayaninya dengan tersenyum.”

“Bagaimana bentuk atau raut muka keempat orang itu?” segera Coh Liu-hiang mendesak.

“Jarakku dengan mereka cukup jauh, tidak kulihat jelas raut muka mereka, yang terang mereka mengenakan jubah panjang warna hijau mulus, dari kejauhan warnanya itu amat menyolok pandangan.”

“Di kala hendak mencelakai jiwa orang, masih mereka mengenakan pakaian yang menyolok, dalam hal ini pasti ada latar belakangnya yang susah dimengerti.” Jengek Coh Liu-hiang dingin.

“Memang mereka sengaja supaya orang lain hanya memperhatikan pakaian mereka, dengan sendirinya tidak perhatikan raut muka mereka. Sebaliknya pakaian boleh sembarang waktu ditanggalkan dan ganti yang lain.”

”Kalau toh kau tahu akan hal ini, kenapa tidak sengaja kau perhatikan?”

“Belakangan baru kuingat hal ini, toh waktu itu aku bukan dewa, mana tahu kalau mereka hendak membunuh orang? Apalagi kulihat perempuan itu agaknya kenal dengan mereka, sudah tentu aku tidak terlalu ambil perhatian.”

“Cara bagaimana mereka turun tangan?”

“Kelihatannya mereka amat asyk dalam percakapan, maka tidak enak aku mengganggu mereka. Kulihat keempat laki-laki itu agaknya hendak mengajaknya pergi, namun dia geleng kepala menolak, keempat laki-laki itu menggerakkan kaki tangan, bicara setengah harian, dia masih tetap geleng kepala sambil tersenyum, keempat orang itu menjadi kewalahan dan serempak bersoja, agaknya hendak mengundurkan diri.”

“Bagaimana kelanjutannya?” desak Coh Liu-hiang tidak sabar.

“Tidak ada selanjutnya... di saat mereka bersoja itulah, dari lengan baju keempat orang itu berbareng melesat keluar senjata rahasia, begitu banyak senjata rahasia itu, cepat lagi arahnya begitu dekat. Walau perempuan itu meloncat, namun sudah terlambat, terdengar pekik jeritannya, tahu-tahu badannya menerjang beberapa langkah dan tercebur ke dalam air.”

Gemetar suara Coh Liu-hiang: “Senjata rahasia itu.... apa benar mengenai dirinya?”

“Tidak mengenai dia, memangnya mengenai diriku?”

“Kau saksikan dia dibokong orang, masakah.... masakah....”

“Kau sangka aku ini apa? Memangnya aku ini patung kayu? Melihat dia terbokong, sudah tentu aku amat terkejut. Tapi waktu aku memburu datang, keempat laki-laki jubah hijau itu sudah menghilang entah ke mana, air darah masih bergolak dalam danau, namun jenazahnya tidak kelihatan mengambang naik.”

Tak menunggu orang bicara habis, Coh Liu-hiang sudah berkelebat terbang ke atas.

Mengawasi gerak-gerik badannya yang seenteng burung walet, mendadak Mutiara Hitam berkata menghela napas: “Tak nyana orang yang biasanya teguh, gagah dan tenang, adakalanya dia merasa pilu dan haru. Orang yang dapat membuatnya sedih dan gugup, walau dia mati, terhitung punya rejeki dan berbahagialah di alam baka!”

Pagar kayu di pinggir kapal yang patah sudah diperbarui dengan yang baru, air danau di bawahnya teramat tenang, hembusan angin malam membawa bau harum, sinar bintang kelap-kelip seperti kerlingan sang jelita, segala sesuatu tiada sedikit pun tanda-tanda kekerasan dan pembunuhan di sini.

Hampir Coh Liu-hiang tidak bisa membayangkan, di tempat seindah ini ada orang tega membunuh seorang gadis jelita yang begitu rupawan. Ingin dia mencari bekas-bekas senjata rahasia yang menancap di pagar pagar kayu, karena dari senjata rahasia yang mereka gunakan ini kemungkinan dia bisa mencari tahu asal-usul pembunuh itu.

Tapi segala sesuatu yang cacat di sini sudah diperbarui semua dengan sedemikian telitinya. Menghadapi musuh-musuh seperti ini bukan saja perlu bekal kecerdikan, harus pula punya keberanian, namun harus punya nasib yang baik pula. Dengan menggelendot di atas pagar, Coh Liu-hiang mengamati sinar bintang di keremangan angkasa yang berkabut.

Mendadak sebuah sampan terkayuh mendatangi dari tengah danau sana, di atas sampan duduk seorang kakek tua berbaju kasar dengan caping bambu yang rendah. Dia sedang duduk mengisi cangkir minum arak. Waktu tiba di pinggir Hong-ih-tin, beberapa kali ia melirik mengawasi Coh Liu-hiang, mendadak ia tertawa, serunya: “Anak muda, kalau ingin minum arak melampiaskan kepedihan hati, marilah silahkan naik ke sampanku ini menemani Lo-siu minum beberapa cangkir!”

Nelayan tua ini ternyata begitu supel dan senang bergaul. Coh Liu-hiang mengelus hidung. Sekali lompat ia hinggap di atas sampan, selamanya tidak tahu sungkan atau pura-pura, diraihnya cangkir dan poci, sekali tenggak ia habiskan secangkir arak. Katanya sambil mengangsurkan poci arak ke depan si nelayan tua: “Apa lotiang punya simpanan arak yang cukup banyak untuk membakar kepedihan dalam relung hatiku?”

Agaknya nelayan tua sudah biasa menghadapi para remaja yang banyak tingkah, ia angkat sebuah guci di sampingnya, sambil tersenyum sahutnya: “Hawa sejuk, pemandangan seindah ini, kenapa saudara kecil berlinang air mata?”

Coh Liu-hiang terloroh-loroh sambil menengadah, serunya: “Berlinang air mata? Selama hidup orang she Coh tidak tahu bagaimana rasa air mata itu?” Suara tawanya semakin lemah dan akhirnya berhenti. “Tak!”, dengan keras ia turunkan cangkir arak, tak jadi diminumnya.

Dengan mendelong nelayan tua itu mengawasinya sekian lama, mendadak ia menarik napas panjang dan berkata rawan: “Ada yang begitu sedih bagi diriku, seumpama aku betul-betul mati, apa pula halangannya?”

Coh Liu-hiang berjingkrak bangun seraya menarik pundak si nelayan tua, teriaknya: “Yong-yong kau.... benarkah kau?” Tak perduli sampan itu bakal terbalik, sekali jinjing ia peluk orang sekencangnya, serunya bergelak tawa: “Memang aku tahu kau takkan bisa mati, aku tahu takkan ada orang tega membunuhmu.”

So Yong-yong memeluk lehernya, katanya pelan sambil berbisik di pinggir kupingnya: “Turunkan aku, kau tidak malu dilihat orang?”

“Aku kan hanya memeluk kakek tua kerempeng. Meski dilihat orang, apa pula halangannya?” Dengan sebelah tangannya ia pegang hidungnya, serta katanya: “Ada seorang Song Thiam-ji, seorang Li Ang-siu, aku sudah cukup dibuat pusing kepala, tak kira kau malah jauh lebih nakal dari mereka, sengaja kau bikin aku sedemikian gugup dan sedih.”

“Bukan aku hendak membuatmu gelisah, maksudku supaya orang-orang itu betul anggap diriku sudah mampus, maka mereka takkan berjaga-jaga lagi. Coba kau pikir, masakah aku tega membuatmu begitu gugup dan gelisah?”

Pelan-pelan Coh Liu-hiang menurunkannya, tanyanya dengan menatap mukanya: “Adakah mereka melukaimu?”

“Cara kerja keempat orang itu sungguh kejam dan telengas. Untung sebelumnya aku sudah melihat gejala-gejala yang tidak benar, kalau tidak...... kalau tidak mungkin aku tak bisa bertemu denganmu lagi.”

“Terhadap orang sepertimu mereka bisa menurunkan tangan jahat, pantas kalau mereka kupenggal kepalanya, lekas kau beritahu siapa mereka?”

“Mana aku kenal mereka?”

“Tapi kau ada bicara dengan mereka, bukan?”

“Kemarin aku sedang menunggumu di kapal itu, mendadak datang empat orang, salah satunya tanya apakah aku nona So, katanya mereka adalah murid-murid Cu-soa-bun, dikatakan pula bahwa kau yang suruh mereka menjemputku.”

Dia tertawa manis, lalu melanjutkan: “Tapi aku tahu, kau tahu bahwa aku menunggu di sini, sekali-kali tidak mungkin suruh orang lain, kau tahu aku paling benci berhadapan dengan laki-laki asing yang tak kukenal, oleh karena itu timbul rasa curigaku, sudah tentu kutolak permintaan mereka, kulihat pula mereka saling melirik memberi tanda, maka siang-siang aku sudah siap dan waspada.”

“Untunglah kau tahu akan diriku, laki-laki yang tidak akan membuatmu muak dan benci.... tapi kenapa tidak kau bongkar saja kedok mereka waktu itu? Desak mereka untuk menjelaskan!”

“Sepak terjang orang-orang itu sedemikian kejam, rencananya sempurna dan teliti, di belakang mereka pasti ada orang lain, aku sendiri tidak tahu apa aku kuasa menghadapi mereka, maka.....”

“Maka kau pura-pura terkena serangan senjata rahasia mereka, supaya urusan tidak berbuntut panjang.”

“Kau tahu aku paling tidak suka berkelahi dengan orang.”

“Tapi warna darah di dalam air, apa pula yang telah terjadi?”

So Yong-yong cekikikan, ujarnya: “Kebetulan waktu aku lewat di Kilam, kubeli satu kotak yancu untuk Thiam-ji.”

Coh Liu-hiang tertawa besar sambil tepuk tangan, tiba-tiba ia hentikan tawanya serta berkata dengan nada berat: “Tapi tiada orang yang tahu bila kau sedang menungguku di sini, memangnya siapa orang-orang ini? Dari mana tahu kau menungguku di sini? Apakah Hek-tin-cu? Dia pasti bukan orang demikian.”

“Persoalan ini boleh kelak kau pikir lebih lanjut.” ujar So Yong-yong lembut.

“Benar! Sekarang tiba saat nya kutanya hasil dari tugas perjalananmu bagaimana? Sudahkah kau ketahui, biasanya laki-laki siapa saja yang keluar masuk Sin-cui-kiong?”

“Waktu hal ini kutanyakan kepada bibiku, coba kau terka bagaimana jawabannya?”

“Apa yang dia katakan?”

“Katanya: Jangan kata laki-laki, sampai pun ayam jago jangan harap bisa mondar-mandir keluar masuk Sin-cui-kiong.”

Tak tahan Coh Liu-hiang menahan tawanya, katanya mengerut kening: “Jikalau tiada laki-laki keluar masuk Sin-cui-kiong, bagaimana pula si gadis cilik itu bisa hamil? Biasanya bagaimana keadaan hidupnya? Adakah sesuatu barang peninggalannya?”

“Gadis itu bernama Sutouw King, gadis pendiam yang sehari-hari hidup dalam ketenangan, jarang bicara, kecuali biasa iseng memetik harpa, tiada sesuatu hobinya pula, siapa pun takkan percaya dan membayangkan bisa terjadi peristiwa itu.”

“Gadis pendiam yang tak suka bicara, perasaannya biasanya paling subur. Jika sampai dia jatuh cinta terhadap seseorang, sampai mati pun cintanya itu takkan goyah dan luntur, oleh karena itu dia rela dirinya menjadi korban, betapa pun tak mau membocorkan rahasia lelaki itu.”

“Terhadap berbagai tipe wanita, apakah kau tahu sedemikian jelasnya?”

Coh-Liu-hiang mengelus hidungnya, lekas ia menukas: “Apa benar dia tidak meninggalkan sesuatu?”

“Tidak! Boleh dikata perjalananku sia-sia, apa pun tiada yang berhasil kutanyakan.”

“Tapi orang-orang itu kuatir bila kau mendapatkan sesuatu rahasia, maka kau harus dibunuh untuk menutup mulut. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa orang-orang itu punya sesuatu ciri yang merupakan sumber penyelidikan kita di dalam Sin-ciu-kiong, cuma sampai detik ini belum ada orang yang memperhatikan..... tapi kenapa sumber-sumber ini tidak sampai menjadi perhatian orang banyak?”

“Dan kau? Beberapa hari ini..... apa pula hasilmu?” balas tanya So Yong-yong.

Coh Liu-hiang menceritakan dengan jelas sampai sedetil-detilnya, apa yang dia alami selama beberapa hari ini.

Mendengar betapa kejam dan ganasnya serta watak yang menyendiri dari Tionggoan It-tiam-ang, So Yong-yong menggeleng-gelengkan kepala. Mendengar tentang gambar lukisan dan tulisan surat itu, matanya terbelalak. Mendengar bahwa Chiu Ling-siok ternyata adalah istri eks pangcu Kaypang yang terdahulu, dan Coh Liu-hiang sendiri pun pernah menemuinya, tak tahan So Yong-yong pun berteriak tertahan.

Supaya So Yong-yong tidak kuatir dan terlalu tegang, sengaja Coh Liu-hiang hanya ceritakan sepintas saja tentang pertempurannya di batu jembatan di atas jurang yang dalam itu. Tapi So Yong-yong pun sudah terlalu tegang sampai mengepal kencang jari-jarinya.

Katanya gemetar: “Bukan saja ilmu silat orang itu tinggi, malah keji dan telengas pula, banyak akal muslihatnya, kau menghadapi musuh macam itu betul-betul harus waspada dan lebih hati-hati.”

Satu persatu Coh Liu-hiang membuka jari-jarinya yang terkepal itu, katanya lembut dengan tersenyum: “Tahukah kau orang lain sering berkata Coh Liu-hiang adalah manusia yang paling ditakuti di seluruh jagat ini? Seumpama orang itu amat menakutkan, masakah dia bisa menandingi Coh Liu-hiang?”

“Coh Liu-hiang memang teramat tangguh, sayang sanubarinya terlalu bajik dan lemah. Orang lain tega membunuhnya, sebaliknya dia tidak tega melukai orang, coba katakan cara bagaimana aku takkan kuatir?”

Coh Liu-hiang menepuk-nepuk tangnnya, katanya tertawa: “Jangan kuatir untuk membunuh Coh Liu-hiang, bukan soal gampang.”

So Yong-yong unjuk tawa manis, namun alis berkerut pula, katanya: “Coba kau pikir, mungkin tidak orang yang menyamar jadi Thian-hong-cap-si-long adalah orang misterius yang membunuh Thian-jiang-sing Song Kang dan orang yang terjun ke danau itu?”

“Memang dia. Jika terkaanku tidak salah, yang membunuh Ca Bok-hap, Cou Yu-cin, Ling Ciu-cu dan Sebun Jian pun dia, orang yang mencuri Thian-it-sin-cui dari Sin-cui-kiong tentulah dia pula!”

“Begitu besar hasratnya hendak membunuhmu, berusaha pula merintangimu menemui Jin-hujin Chiu Ling siok, sungguh tak nyana Chiu-Ling siok tidak mau bicara apa-apa, bukankah segala usahamu itu sia-sia belaka?”

Mendadak Coh Liu-hiang unjuk senyum lebar, katanya: “Chiu Ling-siok masih mengucapkan beberapa patah kata yang amat penting artinya.”

“Apa katanya?”

“Dengarlah dengan seksama, dia berkata: ‘Kau pun tak perlu menyesal, suamiku almarhum sudah rebah berpenyakitan selama beberapa tahun, lalu mendadak meninggal, orang-orang yang dapat menemui beliau tidak banyak jumlahnya...."

So Yong-yong berpikir sejenak, katanya: “Aku tak bisa meraba beberapa patah kata itu mengandung arti yang amat penting apa?”

“Coba kau pikirkan secara seksama, pasti kau dapat simpulkan.”

Kembali So Yong-yong ulangi beberapa patah kata-kata itu. akhirnya sorot matanya bersinar, katanya: “Aku tahu sekarang, kalau Jin-lopangcu itu sudah lama berpenyakitan di atas ranjang, mana mungkin bisa mati secara mendadak. Murid-murid Kaypang mereka, kalau toh tahu bahwa Pangcu mereka sakit menjelang ajal, sudah sepantasnya selalu menjaganya dan merawatnya, kenapa yang bisa bertemu dengan beliau hanya terbatas beberapa orang saja?”

“Begitulah!” seru Coh Liu-hiang tepuk tangan. “Kedengarannya beberapa patah kata itu biasa saja, namun satu sama lain saling bertentangan. Jin-hujin itu memang berotak cerdik. Coba kau pikir, kenapa dia mengeluarkan kata-kata yang saling bertentangan ini?”

“Apa bukan sedang memberi kisikan kepadamu?”

“Memang begitulah!”

“Tapi ada persoalan apa yang tidak langsung dia utarakan kepadamu? Memangnya persoalan itu dia rahasiakan terhadap Lamkiong Ling? Masakah Lamkiong Ling pun...”

“Meskipun rumit seluk-beluk dan banyak lubang kelemahan serta hubungan satu sama lainnya, tapi sekali-kali kita jangan secepat itu menarik kesimpulan, karena persoalan ini amat penting dan besar artinya, tidaklah sederhana seperti rabaan kita semula!”

“Kalau begitu, jadi kau harus pergi menemui Jin-hujin itu pula?”

“Ya, harus menemui sekali lagi!”

So Yong-yong menggenggam tangannya, katanya lembut: “Tapi kau harus ingat, bahaya untuk kedua kalinya ini tentu lebih besar. Kalau toh mereka tahu kunci rahasia dari semua persoalan ini berada di tangan Jin-hujin, mana mungkin mereka mau memberi kesempatan kepadamu untuk berhadapan sendiri dengan Jin-hujin?”

“Kukira, sementara mereka takkan mengira bahwa aku pergi menemui Jin-hujin lagi, maka perjalananku kali ini lebih cepat lebih baik. Kalau terlambat, bahayanya tentu semakin besar.”

“Sekarang mereka paling baru membokong dan menyergapmu, tapi bila kau sudah hampir membongkar kedok rahasia mereka, pasti mereka bakal menggunakan segala cara untuk menghadapimu.”

“Kalau hendak memancing ikan besar, sudah tentu harus berani memberi umpan yang besar pula.”

“Masa kau.... kau sendiri hendak menjadi umpan itu untuk memancingnya keluar?”

Terasa oleh Coh Liu-hiang jari-jari tangan So Yong-yong yang menggenggam tangannya itu gemetar, maka tangannya yang hangat dan kokoh itu balas menggenggam, katanya tertawa: “Umpan ini memang terlalu besar, betapa pun besar ikan itu takkan bisa menelannva bulat-bulat. Kau tidak usah kuatir, dengarkan saja kataku, lekas kau pulang, kemudian lemparlah botol-botol arakku ke dalam laut biar dingin, suruh pula Thiam-ji menyediakan beberapa ekor ayam, dalam lima hari mendatang pasti aku sudah pulang dan menggasak habis semuanya!”

So Yong-yong menatapnya dengan mata berkaca-kaca, namun biji matanya memancarkan sinar terang dan lembut hangat laksana bintang kejora. Akhirnya ia tertawa lebar dan katanya: “Sudah tentu kau bisa pulang, dalam dunia ini siapa yang mampu merintangimu?”

Di atas dunia ini, tiada sesuatu yang lebih menggairahkan dari pada raut muka seorang jelita dan keyakinannya. Waktu Coh Liu-hiang tiba di atas daratan, terasa tenaganya segar semangat bergairah.

So Yong-yong memang seorang gadis penurut. Gadis jelita yang pintar, ternyata masih dengar kata-katanya, itulah kebahagiaan yang terbesar bagi seorang laki-iaki.

Dengan puas dan senang hati Coh Liu-hiang menggumam seorang diri: “Dunia ini sungguh tiada sesuatu yang menyulitkan diriku....”

Terdengar seseorang menanggapi sambil tertawa: “Tapi apakah kau tidak menyulitkan dunia kehidupan ini?”

Belum hilang suaranya, Bu Hoa tahu-tahu melayang turun. Sikapnya yang agung suci, senyumannya yang welas asih di bawah penerangan sinar bintang, kelihatan demikian memukau seperti dewata dari langit.

Coh Liu-hiang tertawa lebar, serunya: “Kukira hanya aku sendiri si kucing malam ini, tak nyana masih ada orang lain lagi.”

“Masih ada dua.” kata Bu Hoa.

Wuktu Coh Liu-hiang berpaling, dilihatnva seseorang berdiri mematung di dalam Hong-ih-ting sana, pakaian hitamnya kelihatan mengkilat ditimpa sinar bintang, siapa lagi kalau bukan Hek-tin-cu. Entah lantaran apa pemuda yang aneh dan luar biasa itu tetap berdiri di sana, menjublek seperti orarg linglung.

“Malam pertama di Tay-bing-ouw, menyendiri di Hong-ih-ting, Pinceng kira itulah Coh-heng. Waktu aku hendak ke sana, tak kira Coh-heng sudah muncul di sini.”

“Malam sudah selarut ini, tak kira kau masih ada selera pesiar ke tempat ini?”

“Janji main catur dan minum arak tempo hari, setiap waktu tak pernah terlupakan oleh Pinceng, memang sengaja aku ke mari mencari Coh-heng untuk menepati janji.”

Mana ada selera Coh Liu-hiang main catur minum arak segala. Tapi biji matanya berputar, tiba tiba ia mendapat akal, katanya tertawa: “Untuk main catur kita berdua sudah cukup, hendak minum arak perlu ditambah Lamkiong Ling lagi baru menarik.”

“Kalau demikian, tiada halangannya kita gedor rumahnya menjadi tamu tak diundang!”

“Baiklah, kau tunggu di sini sebentar, biar kugugah dulu sahabat yang sudah tertidur di sana itu, sebentar kuiringi kau ke sana!”

Tanpa menunggu jawaban Bu Hoa, badannva sudah berkelebat ke arah Hong-ih-ting, dilihatnya Hek-tin-cu menjublek seperti patung tanpa bergeming, alisnya berkerut dalam seolah-olah ada sesuatu persoalan pelik yang merundung hatinya.

Coh Liu-hiang tertawa, katanya; “Hanya kuda yang tidur sambil berdiri, Hek-heng kenapa meniru kuda?”

Hek-tin-Cu tersentak sadar dan berpaling, sekilas itu terkandung banyak perubahan dari kerlingan matanya, namun suaranya tetap dingin: “Kalau tuan ingin bercanda, lebih baik pergilah kau mencari nelayan tua itu.”

“Tidak jelek pandangan matamu.” puji Coh Liu-hiang.

Hek-tin-cu menengadahkan kepala tanpa hiraukan orang.

Coh Liu-hiang tertawa besar, ujarnya: “Malam ini aku sudah ada janji tak bisa temani kau minum arak, biar dua tiga hari lagi kita berbincang lebih lanjut.”

Mendadak orang mengeluarkan kata-kata yang tiada juntrungannya ini, keruan Hek-tin-cu terheran heran. Baru saja ia hendak umbar adatnya, tiba-tiba Coh Liu-hiang menekan suara dan berbisik dengan cepat: “Bawa kudamu dan tunggu aku di luar pintu selatan. Soal ini menyangkut urusan penting, bisa tidak membongkar rahasia keseluruhannya, tergantung dari kerja sama kita ini.”

Di saat Hek-tin-cu masih terlongong, Coh Liu-hiang sudah putar badan sambil bergelak tawa tinggal pergi.

Ada sementara orang, tanpa tidur tiga hari tiga malam pun tidak apa-apa, tentunya Coh Liu-hiang termasuk di antara orang-orang itu, demikian pula Bu-Hoa dan Lamkiong Ling.

Bahwasanya Bu Hoa tidak perlu mengetuk pintu, hakekatnya Lamkiong Lingpun tidak tidur, kini dia sedang menghadapi araknya minum seorang diri seolah-olah memang sedang menunggu kedatangan mereka. Papan catur dengan biji-bijinya sudah tersedia di atas meja, demikian pula arak dan hidangan gegaresnya sudah siap di atas meja.

Lamkiong Ling tertawa, ujarnya: “Akhirnya, kali ini kita bertiga harus benar-benar menentukan menang kalah. Sebelum rebah tak berkutik, siapa pun dilarang berlalu, entah bagaimana maksud Coh-heng?”

“Kau kan tahu aku ini pemabukan yang takkan pergi sebelum tenggelam dalam air kata-kata, kenapa tidak kau tanya Bu Hoa, malah tanya aku?”

Sembari main catur, dia tenggak araknya dengan lahap, sedemikian asyiknya seumpama dilecut dan dihajar pun dia takkan mau pergi.

“Lamkiong-heng toh tidak tahu betapa asyiknya orang main catur, sungguh suatu hal yang harus disesalkan.”

Lamkiong Ling tersenyum, ujarnya: “Pemain catur harus peras otak, main secara serabutan akan kalah, mana bisa dibanding kenikmatan seorang penonton yang bebas merdeka?”

Sebelum Bu Hoa bicara pula, tiba-tiba dilihatnya Coh Liu-hiang meletakkan sebiji caturnya di garis pinggir paling sudut.

Berkerut alis Bu Hoa, katanya: “Teori catur sejak dulu kala sampai sekarang, Pinceng pernah membacanya semua, belum pernah kulihat cara permainan seperti ini. Daerah bawah yang amat penting ini, apakah Coh-heng tidak perlu menjaganya?”

“Permainan caturku ini teramat menakjubkan. Silahkan kau peras otak memecahkannya, aku berkesempatan untuk menunaikan hajat, di mana tempat hajat yang terdekat, terpaksa Lamkiong-heng harus tolong menunjukkan tempatnya.”

Dengan tersenyum Lamkiong Ling bawa dia ke belakang. Coh Liu-hiang sudah kebelet dan di ujung tanduk, terburu-buru ia berlari masuk, namun lewat lobang angin di sebelah belakang sana ia meluncur keluar. Lobang angin ini kira-kira satu kaki lebarnya, bocah ingusan pun sukar lewat lobang sekecil ini, siapa tahu tulang belulang dan badan Coh Liu-hiang sudah dilatihnya sedemikian rupa sehingga bisa dipasang-surutkan menjadi kecil dan lemas, cara yang ditempuh benar-benar jalan yang tak mungkin dibayangkan orang lain.

Setelah melayang jauh puluhan tombak, barulah Coh Liu-hiang tersenyum geli, batinnya : “Bu Hoa, Bu Hoa, permainan caturku tadi memang busuk dan tak bisa dicium, karena kau harus memecahkan letak kehebatan dari cara permainanku itu, boleh dikata laksana mencari tulang dalam telur.... tapi permainan caturku memang lain dari yang lain. Di saat kalian sangka aku terjeblos ke dalam kakus, mungkin aku sudah tiba di gunung Hi-san.”

Pepohonan rimbun melambai bergoyang menyambut datangnya musim semi. Di luar pintu selatan, memang pemandangan alam di Kilam menyerupai Kanglam, terutama pada malam bulan purnama seperti ini, lebih jelas kentara akan persamaan ini.

Di bawah bayangan dedaunan pohon yang menjuntai turun, tak kelihatan bayangan orang, yang ada hanyalah sepasang biji mata yang bersinar terang kemilau. Bagai asap melayang, Coh Liu-hiang meluncur ke sana dan berbisik: “Mana kudanya?”

“Kau masih sembunyi-sembunyi, sebetulnya hendak ke mana?” tanya Mutiara Hitam.

“Kalau bukan rahasia, masakah aku bisa bertindak sembunyi-sembunyi? Jikalau rahasia, mana boleh kuberitahu kepadamu.”

“Kalau tidak percaya kepadaku, kenapa aku harus percaya kepadamu? Kalau aku tidak percaya kepadamu, buat apa kupinjamkan kuda kepadamu?”

“Hanya perempuan yang suka mencari tahu rahasia orang lain, cuma perempuan biasa menggunakan caranya ini untuk memeras orang. Kenapa kau jadi meniru watak seorang perempuan?”

Mutiara Hitam tercengang. Walau tidak kelihatan perubahan air mukanya di malam nan gelap ini, namun dari sorot matanya yang dingin itu kelihatan terjadi perubahan yang rumit atas pikirannya.

Akhirnya dia bersuit perlahan, derap kuda lantas terdengar lari mendatangi, langkah kakinya sedemikian enteng laksana dahan pohon liu yang tergontai terhembus angin, hampir tak kedengaran tapak kakinya berdentam di atas tanah.

“Aku tahu, sekali-sekali kau tidak akan sudi dianggap sebagai kaum perempuan,” ujar Coh Liu-hiang.

Mutiara Hitam melengos, tiba-tiba ia berpaling pula, tanyanya: “Kapan kau kembalikan kudaku? Di mana aku harus menunggu?”

Coh Liu-hiang mencemplak naik ke atas kuda, sahutnya: “Sekarang kau sudah tidak menghadapi bahaya, pergilah ke kota dan main sesuka hatimu, ingin ke mana pun tak usah kuatir diganggu murid-murid Kaypang. Dalam dua hari ini kudamu kukembalikan, bila aku belum mati lho.” Belum habis kata-katanya, Coh Liu-hiang sudah keprak kudanya membedal ke depan sambil tertawa panjang.

Kuda itu memang sakti dan hebat luar biasa. Coh Liu-hiang mengeluarkan kemahirannya naik kuda, sekencang-kencangnya ia larikan kuda ini, terasa angin menderu di pinggir kupingnya, pepohonan di kedua samping jalan berkelebat mundur ke belakang cepat sekali. Memang kecepatan laksana kilat inilah yang paling disenangi oleh Coh Liu-hiang, bukan lantaran tiada sebab maka Coh Liu-hiang ingin pinjam kuda ini, yaitu karena dia tidak ingin menguras tenaga hanya untuk menempuh perjalanan jauh ini. Tenaga perlu dia pertahankan untuk melakukan sesuatu yang teramat penting artinya.

Waktu kuda Jian-li-kik membawanya tiba di Ni-san, sementara tengah malam sudah berselang, di bawah gunung Coh Liu-hiang mencari rumah pemburu dan titipkan kudanya di sana. Dengan menyongsong terbitnya matahari, langsung ia mendaki ke atas gunung.

Cahaya matahari membuat balok batu yang melintang itu kelihatan sangat mengkilat, tapi kali ini tiada orang yang merintangi jalan Coh Liu-hiang. Kicauan burung nan merdu seolah-olah menyambut kedatangannya, segalanya serba tenang dan tentram. Gubuk-gubuk yang kokoh berderet di sana masih tetap di bawah tingkah sinar matahari, pintu masih setengah terbuka. Melongok ke dalam lewat jendela yang terbuka, keadaan sunyi-senyap tiada sesuatu gerakan.

Segala ketenangan ini tak kelihatan adanya tanda-tanda sesuatu kekerasan terjadi, tetapi terlalu tenang dan sunyi, sehingga hati Cob Liu-hiang merasakan firasat jelek. Tanpa mengetuk pintu, langsung ia menerjang masuk ke dalam.

Ternyata Chiu Ling-siok sudah tidak di tempatnya lagi. Di atas kasur bundar tempat duduknya hanya ketinggalan sebuah tusuk konde hitam terbuat dari gading, bebauan harum masih terendus cukup keras.

Tersirap darah Coh Liu-hiang, serunya: “Jin-hujin.... Jin-hujin.... di mana kau?”

Sudah tentu ia tahu seruannya itu takkan mendapat jawaban. Sembari berteriak-teriak, lekas sekali ia sudah menggeledah ketiga gubuk berderet itu dengan seksama, namun bayangan nyamuk pun tidak ditemukan. Selagi perabot dan benda di dalam gubuk masih tetap pada tempatnya seperti tidak pernah disentuh tangan, tidak terlihat pula adanya tanda-tanda perkelahian di sana.

Tapi Jin-hujin Chiu Ling-siok ke mana perginya? Seperti anjing pelacak yang mengejar buruannya, sekali lagi Coh Liu-hiang mulai mencarinya dengan lebih teliti, dia mengharap Jin-hujin ada meninggalkan sesuatu apa-apa meskipun itu hanya sebuah tanda rahasia, tapi tentulah amat besar artinya.

Tapi setiap sudut setiap tempat tertentu sudah dia periksa dengan teliti, tiada sesuatu tanda-tanda atau tulisan yang memberikan keterangan. Bantal guling tertata rajin di atas ranjang, pakaian pun tertumpuk rapi di dalam lemari, di atas toilet menggeletak tiga batang sisir yang dijajar dan bersih, perabot-perabot rumah tangga berada di tempat masing masing. Semuanya serba beraturan tidak ada satu kesalahan.

Kalau tempat ini mau dikatakan ada sesuatu yang ganjil, yaitu bahwa semua serba rapi, rajin dan beraturan pula seperti hendak sengaja ditata dan diatur sedemikian rupa untuk dipamerkan pada orang.

Dengan kepala terasa berat, Coh Liu-Hiang melangkah keluar, sorot matanya tiba-tiba tertumbuk pada tusuk konde hitam yang menggeletak di atas kasur bundar itu. Kasur ini adalah kasur yg sering dipakai oleh Jin-hujin, di atas kasur ada menggeletak tusuk kondenya, sebetulnya tidak perlu dibuat heran, maka pada waktu datangnya tadi Coh Liu-Hiang sedikit pun tidak menaruh perhatian.

Tapi sekarang setelah ia melihat keadaan rumah yang serba aneh dan ganjil ini, maka sebatang tusuk konde pun terasa terlalu menyolok pemandangan, karena tusuk konde ini melulu tidak diletakkan pada tempat yang sebenarnya, mana bisa berada di kasur bundar ini kalau tidak ada sesuatu maksud tertentu?

Dengan kedua jarinya, pelan pelan Coh Liu-Hiang menjepit tusuk konde ini, tiba-tiba didapatinya ujung tusuk konde ini menunjuk pintu kecil yg menembus ke belakang. Sampai detik ini pintu itu masih tertutup rapat. Tergopoh-gopoh Coh Liu-Hiang melompat ke arah pintu kecil tersebut, terasa daun pintu terkunci atau terpalang dari sebelah luar sana. Sorot matanya seketika memancarkan cahaya terang yang amat menggembirakan hati, tanpa ayal ia mengayunkan kaki menendang jebol dan melompat keluar.

Belakang gunung jauh lebih belukar dan jarang diinjak kaki manusia.

Seperti seekor kucing yang hendak mengincar mangsanya di rumpun semak belukar, tiba-tiba dilihatnya di atas dahan pohon berduri sebelah kiri melambai secuil kain sobekan warna hitam. Kain itu jelas sobekan baju yg dipakai oleh Jin-hujin. Lekas Coh Liu-hiang membelok ke kiri lalu berjalan cepat-cepat dengan hati-hati, sekoyong-koyong didengarnya seringai tawa seram.
Seseorang berkata sambil terloroh-loroh kesenangan: “Kalau kau tidak sudi aku menyentuh seujung jarimu, aku pun tidak mau memaksa, sampai sekarang kenapa tidak kau lekas lompat saja?” Seringai tawa dan kata-kata ini ternyata dikeluarkan oleh pengemis galak dari Bulim, Pek-giok-mo adanya.

Disusul terdengar suara Jin-hujin berkata: “Aku toh bakal mampus, kenapa kau masih begitu tergesa-gesa?”

Pelan-pelan dan hati-hati Coh Liu-hiang menggeremel maju, perawakan tubuh Jin-hujin yang ramping semampai sedang berdiri di ambang jurang, hembusan angin gunung melambaikan pakaiannya, seolah-olah sembarang waktu dia bisa terhembus jatuh ke bawah.

Cadar hitam masih menutupi mukanya, kedua tangannya memeluk sebuah gentong kecil berisi abu Jin-lopangcu, sementara sambil menyeringai sadis Pek-giok-mo menghadang di depannya kira-kira empat kaki jauhnya, gaman yang dia pakai sekarang ganti sebatang Long-gee-pang yang berat dan ganas itu.

Hanya Pek-giok-mo seorang, diam-diam Coh Liu-hiang bersyukur dan lega hati.

Terdengar Pek-giok-mo membentak keras: “Cepat mati lekas menitis pula, kalau kau tahu bakal mati, kenapa ulur-ulur waktu?”

“Nyawa amat berharga, bisa hidup sekejap lagi pun jauh lebih baik.”

Gigi Pek-giok-mo gemeretak, desisnya: “Untuk menuntut balas kepada Jin-lothau, aku sudah menunggu dua puluh tahun! Meski aku tidak bisa membunuhnya dengan tanganku sendiri, melihat abu jeneazahnya tersebar beterbangan dan sekarang dapat memaksamu putus jiwa lagi, terhitung terlampiaslah dendam hatiku selama ini.”

“Aku tahu kau mencariku untuk menuntut balas, tapi cara bagaimana kau bisa menemukan tempat ini?” tanya Chiu Ling-siok.

Pek-giok-mo menyeringai sinis, ujarnya: “Kau kira tempatmu ini amat rahasia?”

“Memang tempat ini amat tersembunyi dan rahasia.”

“Tempat yang begini tersembunyi, siapakah orang yang membawamu ke mari? Bukan mustahil kalau dia tahu bila kau berada di tempat ini?”

Sesaat lamanya Chiu Ling siok berdiam diri, katanya sambil menghela napas panjang:”Ya, sejak lama seharusnya sudah kupikirkan hal ini, cepat atau lambat dia pasti takkan membiarkan aku hidup!”

“Kalau pertanyaanmu sudah habis, apa lagi yang kau tunggu?” bentak Pek-giok-mo.

“Kalau toh kau sudah menunggu dua puluh tahun, kenapa harus ribut dan tak sabar menunggu lagi beberapa kejap?”

Jelalatan mata Pek-giok-mo, katanya menyeringai: “Apakah kau sedang menunggu orang untuk menolongmu? Bukankah kau sedang bermimpi?”

Chiu Ling-siok mendongak, agaknya sedang melihat cuaca, katanya memilukan: “Sampai detik ini memang tiada orang yang akan bisa menolongku .... mati, bagaimana rasa sebenarnya?” Dengan memeluk gentong berisi abu jenazah itu, dia sudah siap menerjunkan diri ke dalam jurang.

Mendadak Coh Liu-hiang keluar seraya membentak: “Pek-giok-mo, walau selamanya aku belum pernah membunuh orang, tapi asal tanganmu bergerak, biar kubunuh kau lebih dulu.”

Long-gee-pang di tangan Pek-giok-mo sudah terangkat, namun seketika itu ia berdiri menjublek dengan mata terbelalak.

Cepat sekali Coh Liu-hiang bertindak tanpa memberi kesempatan orang memutar otak. Di tengah suara bentakannya, bayangan badannya seperti elang menyambar mangsanya, ia jinjing badan Chiu Ling-siok dari pinggir jurang.

Baru sekarang Pek-giok-mo sadar dan gusar, bentaknya: “Orang she Coh! Kenapa kau selalu turut campur urusan orang lain?”

Long-gee-pang yang panjang dan berat itu tahu-tahu sudah melanda datang menyapu ke arah Coh Liu-hiang dah Chiu Ling-siok.

Long-gee- pang adalah gaman panglima perang yang biasa digunakan dalam medan laga. Betapa berat, kuat dan hebat macam senjata ini, jarang terlihat dipakai oleh tokoh-tokoh persilatan pada umumnya. Pek-giok-mo memang dibekali tenaga raksasa pembawaan sejak dilahirkan, senjata yang begitu berat dapat dia mainkan dengan lincah, enteng dan serasi sekali.

Siapa nyana, tidak berkelit atau menyingkir, Coh Liu-hiang justru memapak maju. Waktu menarik dan menjinjing badan orang tadi, Coh Liu-hiang sudah menginsafi bahwa Chiu Ling-siok sudah kehilangan kepandaian silatnya, maka sekali-sekali ia takkan membiarkan orang cidera sedikit pun. Oleh karena itulah maka ia bertindak cepat, tegas dan menempuh bahaya.

Tampak bayangan badannya menekuk dan menggeliat, tahu-tahu badannya sudah menyusup dan menerjang ke dalam sambaran Long-gee-pang yang bergigi-gigi tajam, runcing dan kemilau itu. Secara mendadak ia turun tangan menarik dan menyodok ke sikut Pek-giok-mo.

Maka lengan Pek-giok-mo yang bergerak mengikuti ayunan Long-gee-pang itu serta merta tersentak naik dan tak kuasa mengendalikan diri pula! Tahu-tahu tapak tangan Coh Liu-hiang sudah menepuk ke bawah ketiaknya. Seketika Pek-giok-mo merasakan setengah badannya kesemutan dan kemeng, Long-gee-pang tak kuasa dipegang lagi dan terpental terbang ke tengah udara menembus mega, jatuh ke dalam jurang.

Gerakan menyanggah, menyodok dan menepuk dari Coh Liu-hiang, kalau dikatakan amat biasa dan tiada sesesuatu keistimewaannya, tapi betapa besar bahaya cara serangannya itu serta keanehan gerak tipunya, siapa pun takkan mampu melakukan atau menirunya.

Sungguh mimpi pun Pek-giok-mo tidak pernah berpikir, dalam satu gebrak saja gamannya secara aneh kena dilucuti oleh lawan. Selama puluhan tahun ia malang melintang di Kangouw, belum pernah ia mengalami peristiwa yang memalukan seperti ini, tanpa sadar ia melongo di tempatnya.

Dilihatnya Coh Liu-hiang berdiri di hadapannya dengan adem ayem seperti tidak pernah terjadi apa-apa, katanya tersenyum lucu: “Tidak kau lekas pergi?”

Ternyata ia tidak menyerang lebih jauh, malah memberi kesempatan Pek-giok-mo pergi demikian saja. Lebih tak terpikir oleh Pek-giok-mo, hari ini ia mengalami kejadian yang lebih ganjil ini. Dirinya kejam dan telengas bertangan gapah, sudah tentu takkan pernah terpikir olehnya jiwanya bakal diampuni sedemikian saja. Sesaat lamanya ia kemekmek dan tak tahu entah kaget, girang atau heran. Katanya tersendat: “Kau.... masakah kau.....”

Berkata Coh Liu-hiang tawar: “Asal setiap saat kau berpikir 'kenapa aku belum mampus?', maka selanjutnya kau akan tahu diri cara bagaimana bersikap terhadap sesama manusia!”

Tanpa bicara lagi Pek-giok-mo segera putar tubuh dan lari sipat kuping.

“Klontang!” baru sekarang terdengar gema suara keras dari bawah jurang sana, kiranya baru sekarang Long-gee-pang jatuh menyentuh dasar jurang. Coh Liu-hiang pelan-pelan putar badan menghadapi Chiu Ling-siok dengan tersenyum lebar: “Agaknya cayhe datang terlambat!”

“Betapapun, akhirnya kau datang juga,” ujar Chiu Ling-siok bersyukur menghela napas, lalu sambungnya: “Sekilas pandang aku lantas tahu kau seorang pandai, pasti bisa menangkap arti kata-kataku, maka kau pasti akan memburu datang pula. Maka waktu Pek-giok-mo mencariku, aku berusaha menyembunyikan diri dan perlahan lahan lari ke tempat ini. Mendengar aku ke mari hendak terjun ke bawah jurang, maka ia menunda-nunda turun tangan.”

Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: “Kalau bukan karena keagungan Hujin, mana bisa membuat Pek-giok-mo yang buas bertangan gapah itu jeri menyentuh badan Hujin? Jikalau bukan mendapat petunjuk tusuk konde hujin, mana cayhe bisa memburu ke sini pula?”

Kedua orang lain jenis yang sama pintar dan cerdiknya itu ternyata bertemu di tempat ini secara kebetulan. Berkata Chu Ling-siok sambil tertawa-tawa: “Ketahuilah bahwa apa yang kulakukan ini bukan demi mempertahankan jiwaku sendiri. Tapi jika tidak kubeberkan rahasia yang kupendam dalam relung hatiku, bukankah kematianku terlalu disayangkan?”

“Apakah boleh sekarang Hujin tuturkan rahasia hatimu itu?”

“Kalau sekarang tidak kubeberkan, maka mungkin selamanya tidak akan ada kesempatan lagi, tapi hal ini sangat rumit dan menyangkut persoalan besar yang amat penting artinya, cara bagaimana aku harus memulai ceritaku?”

Tanpa berpikir Coh Liu-Hiang berkata tegas:”Surat! Tentunya dari keempat pucuk surat yang Hujin kirim itu, surat-surat yang diterima oleh Ca Bok-hap, Sebun Jian, Ling Ciu-cu dan Cou Yu-cin bukan tulisan dan kiriman Hujin?”

“Ya ….. Akulah yang membuat celaka jiwa mereka.”

“Kenapa Hujin menulis surat-surat itu, kesulitan apa yang Hujin hadapi?”

“Pernahkah kau dengar cerita Han Sian Te pada jaman kuno dulu. Sebagai raja dia seperti boneka atau golekan yang dikekang dan dipermainkan oleh para mentrinya, bukan saja tidak punya hak kekuasaan dan tak bebas bertindak, malah jiwa sendiri pun tak mampu dipertahankan.”

Tersirap darah Coh Liu-hiang: “Masakah Jin-lopangcu pun.......”

“Keadaan Jin Jip selama tiga tahun belakangan ini, persis benar dengan raja yang harus dikasihani itu. Namanya saja dia sebagai Kaypang Pangcu, apa pun yang harus dia lakukan harus tunduk dan patuh oleh petunjuk seseorang.”

Tak tahan bertanya Coh Liu-hiang: “Terkekang oleh siapa dia?”

“Lamkiong Ling!” sahut Chiu Ling-siok sepatah demi sepatah dengan tandas.

Coh Liu-hiang membanting kaki: “Kiranya memang benar dia, memang dia!”

“Asal mulanya dia seorang anak yatim piatu, sejak kecil dia diasuh dan dirawat serta dididik oleh Jin Jip, diberi pelajaran ilmu silat lagi. Memang bocah itu berotak encer, pintar sekali, apa pun yang diajarkan Jin Jip pasti dapat dia pelajari dengan baik dan sempurna, malah lambat laun jauh mengungguli gurunya.”

“Tapi mengandalkan kepandaian silat tinggi Jin-lopangcu........”

“Meski usianya lanjut, kepandaian Jin Jip tidak mundur, badan pun kekar dan sehat. Tapi tiga tahun belakangan ini, entah mengapa mendadak dia dihinggapi semacam penyakit aneh, bukan saja badan dan kesehatannya semakin lemah dan buruk, malah kaki tangan pun menjadi lumpuh, boleh dikata sudah menyerupai seorang cacat.”

“Orang gagah paling takut menghadapi penyakit, sejak dulu kala memang demikianlah kejadiannya!” ujar Coh Liu-hiang.

“Tapi penyakit ini datang tidak wajar, dan di luar batas nalar.”

“Maksud Hujin, apakah ada orang yang sengaja meracuninya?”

“Ya, begitulah!”

Walau Coh Liu-hiang sudah tahu, namun tak tahan ia bertanya pula: “Siapa?”

“Hanya ada seseorang yang mempunyai kesempatan menaruh racun, yaitu Lamkiong Ling. Sebelum kedok aslinya terbongkar, siapa pun akan beranggapan bahwa dia anak yang paling berbakti terhadap orang tua, bukan saja segala tugas urusan penting dan sulit dalam Pang dia sendiri yang menyelesaikan, sampai pun tempat tinggal, makan tidur Jin Jip pun dia sendiri pula yang meladeninya. Memang demikian telaten dia meladeni segala keperluan Jin Jip, aku malah menganggur. Semula aku amat terharu melihat kebaktiannya, siapa tahu apa yang dia lakukan itu tak lain hanya untuk mencari kesempatan untuk menurunkan tangan kejinya.”

“Tapi lantaran khawatir menimbulkan kecurigaan orang lain, maka dia tidak berani meracuni Jin-lopangcu mati seketika. Betapa telengas dan kejam hatinya, begitu teliti dan cermat cara kerjanya, sampai aku pun kena dikelabui.”

“Yang kena dia kelabui akan kekejamannya memang bukan kau seorang saja. Setelah Jin Jip sadar akan kekejian orang, namun sudah terlambat. Jin Jip sudah tidak mampu berbuat apa-apa atas dirinya, segala apa pun dia harus tunduk akan perintahnya. Bukan saja dia tidak berani membongkar tipu muslihat kejahatannya, malah dia harus pandang muka orang dan mesti menjilat dan mengagulkannya.”

Sampai di sini, kata-kata yang semula tenang datar berubah menjadi gemetar dan tersendat dalam tenggorokan, maka dapatlah dibayangkan kehidupan tertindas dan terkekang serta terhina itu, pastilah diliputi rasa haru dan derita lahir batin yang kelewat batas.

Mendidih darah Coh Liu-hiang mendengar ceritanya ini, katanya marah-marah: “Masakah tiada orang tahu atau perduli akan segala perbuatannya itu?”

“Di hadapan orang lain sikapnya sangat hormat dan patuh terhadap Jin Jip dan aku, siapa yang bisa menembus kedok aslinya yang kejam dan telengas itu?”

“Jin-lopangcu sudah kehilangan tenaga, sudah tentu tidak leluasa membongkar perbuatan jahatnya secara berhadapan. Tapi di saat dia tiada di tempat, kenapa tidak dibongkar saja tipu muslihatnya yang keji itu!”

“Hari-hari belakangan, aku dan Jin Jip boleh dikata sudah dia kurung secara halus, tanpa ijinnya siapa pun dilarang menemui kami. Terhadap orang luar dia katakan Jin Jip sedang sakit keras, tidak boleh diganggu, memangnya siapa yang tak percaya kata-katanya? Semua murid-murid Kaypang sama mengharapkan penyakit Jin Jip lekas sembuh, siapa yang berani datang mengganggunya?”

“Kalau demikian, cara bagaimana Hujin mengirimkan keempat pucuk surat itu?”

“Kuminta Lamkiong Ling mengirimkannya.”

“Lamkiong Ling?” teriak Coh Liu-hiang melengak.

“Untuk mengirim surat kepada Sebun Jian dan Cou Yu-cin tidak sulit, tapi Ling Ciu-cu dan Ca Bok-hap, satu di laut selatan dan yang lain di gurun pasir nan jauh di barat laut sana, kecuali Lamkiong Ling yang bisa memimpin para pengemis di seluruh jagat ini yang bisa mengirim ke sana, siapa pula yang mampu mengirim surat itu tiba pada alamatnya dengan selamat?”

“Benarlah kalau begitu,” seru Coh Liu-hiang bertepuk tangan. “Semula aku heran. Ca Bok-hap, Ling Ciu-cu, Sebun Jian dan Cou Yu-cin bertempat tinggal jauh dekat tidak menentu. Jikalau keempat pucuk suratmu kau kirim bersamaan, Sebun Jian dan Cou Yu-cin seharusnya sudah tiba, sebaliknya Ca Bok-hap dan Ling Ciu-cu mungkin belum menerima suratnya, tapi mereka berempat justru tiba pada saat dan waktu yang bersamaan, bukankah hal ini aneh?”

Coh Liu-hiang menelan ludah, lalu menyambung: “Baru sekarang aku tahu, ternyata Lamkiong Ling sudah memperhitungkan waktunya. Ia sudah memperhitungkan, setelah Ca Bok-hap dan Ling Ciu-cu menerima surat dan berangkat dalam perjalanan, baru dia kirim surat untuk Sebun Jian dan Cou Yu-cin. Persis dan tepat benar perhitungannya akan kedatangan mereka berempat pada waktu yang sama, namun dia bikin mereka mati pada saat yang sama pula.”

Setelah memahami semua seluk-beluk persoalan ini, semakin terasa olehnya betapa teliti dan cermatnya cara kerja Lamkiong Ling sungguh menakutkan.

Chiu Ling-siok menarik napas panjang, katanya pelan-pelan: “Sejak Jin Jip jatuh sakit, laksaan murid kaypang yang tersebar di seluruh pelosok dunia sama menganggap dan memandang Lamkiong Ling sebagai calon tunggal pewarisnya. Cukup sepatah kata Lamkiong Ling, jangan kata hanya untuk mengirim surat, seumpama suruh mereka menempuh gunung berapi dan terjun ke air mendidih pun banyak orang yang berlompatan mendahului terima tugas ini. Betapa besar kekuatan dan kekuasaannya , masakah boleh dibuat permainan?”

“Tapi cara bagaimana dia mau mewakili Hujin mengirimkan surat itu?”

“Akhir-akhir ini, untuk membeli hati orang, pengeluaran teramat besar, tapi untuk mengangkat nama dan mendirikan wibawa di dalam dunia persilatan, masakah dia merasa pelit dan kikir untuk mengeluarkan segala harta benda meski dengan cara gelap?”

“Mungkinkah memang ada tujuannya yang lain?”

“Setelah aku menikah dengan Jin Jip, meski merubah she ganti nama, tapi dia cukup jelas mengenai seluk-belukku, sudah tentu hal ini lantaran Jin Jip yang terlalu percaya kepadanya. Hari ke hari, biaya yang dia keluarkan relatif amat besar jumlahnya, semua tabungan milik Kaypang selama puluhan tahun sudah dikurasnya sampai habis. Suatu hari dia paksa aku untuk mencarikan jalan keluarnya, oleh karena itu terpaksa kutulis keempat pucuk surat itu.”

“Tidak salah, dalam surat Hujin itu tidak dijelaskan kesulitan apa sebenarnya yang Hujin hadapi. Sebaliknya Cou Yu-cin dan Sebun Jian amat gampang mengeruk uang sebanyak mungkin, harta milik pihak Hay-lam-pay pun tidak kecil jumlahnya, apalagi raja gurun pasir, tak perlu dikatakan lagi. Apakah Lamkiong Ling menyangka surat Hujin itu bertujuan untuk pinjam uang pada mereka?”

“Karena dia hendak memperalat aku, maka kesempatan ini pun kugunakan untuk ganti memperalat dia buat mengirimkan suratku itu. Asal dapat bertemu dengan mereka berempat, segala urusan gampang diselesaikan.”

“Tapi kenapa pula Lamkiong Ling mengubah maksudnya semula? Tidak memeras uang mereka, sebaliknya malah mencabut jiwa mereka?”

“Itulah karena seseorang! Sehari setelah surat-surat itu dikirimkan, malamnya datanglah orang itu. Mereka bicara dalam kamar tertutup semalam suntuk, maka urusan lantas berubah seratus delapan puluh derajat!”

Bersinar mata Coh Liu-hiang, tanyanya segera: “Siapa orang itu?”

“Aku sendiri tidak melihatnya.”

Dengan kecewa Coh Liu-hiang menghela napas, katanya: “Kau hanya tahu akan kedatangannya?”

“Demi mengawasi tindak tanduk kami, Lamkiong Ling menetap di gubuk sebelah. Kalau toh kami sudah menjadi ikan dalam jaringnya, maka dia tidak begitu hati-hati terhadap kami, maka segala keadaan dalam gubuknya itu kebanyakan dapat kudengarkan. Meski lwekangku sudah punah, untung kepandaian kupingku masih dapat kupertahankan.”

“Kau dengar apa saja yang mereka bicarakan?”

“Pembicaraan mereka amat lirih, berat dan prihatin. Aku tahu persoalan yang mereka rundingkan pasti sesuatu rahasia yang teramat penting, kadang kala agaknya ada sedikit perdebatan yang cukup sengit, namun tak bisa kudengar persoalan apa yang mereka bicarakan.”

“Sayang kau tidak bisa mendengarkan percakapan mereka, tokoh yang misterius ini bukan mustahil adalah orang di belakang layar yang pegang peranan akan semua peristiwa misterius ini.”

“Tokoh misterius ini, hari kedua pagi-pagi benar lantas pergi. Tak lama kemudian Lamkiong Ling masuk membawa semangkok kuah kolesom, katanya untuk Jin Jip supaya tambah tenaga.”

Berkilat sorot mata Coh Liu-hiang: “Kuah kolesom ini pastilah membawa sesuatu akibat yang fatal?”

“Sudah lama dia tidak berbuat sebaik ini. Aku tahu di balik perbuatannya ini pasti tersembunyi suatu muslihat, tapi aku sudah gunakan tiga macam cara, namun tidak berhasil ketemukan adanya ramuan sesuatu jenis racun dalam kuah itu!”

Chiu Ling-siok menghela napas, lalu meneruskan: “Tentunya kau pun tahu, dulu aku termasuk seorang tokoh yang cukup lihay, termasuk tingkatan kelas satu di Bulim dalam permainan racun. Kalau dalam kuah itu ada dicampur sedikit racun apa pun, perduli dengan cara dari aliran atau golongan mana saja, pastilah dapat kucoba dengan baik. Maka aku berpendapat bahwa kuah kolesom ini tentulah tidak ada apa-apanya yang perlu dikuatirkan.”

“Oleh karena itu, dengan lega hati kau berikan kuah itu untuk diminum Jin-lopangcu?”

“Kalau toh kuah itu benar tiada racun, kenapa aku harus mengabaikan kebaikan Lamkiong Ling? Apalagi saban hari Jin Jip hanya bisa makan bubur, memang dia memerlukan bahan obat-obatan untuk menambah kesehatan dan semangatnya.”

Tiba-tiba tergerak hati Coh Liu-hiang, tanyanya keras: “Setelah minum kuah kolesom itu, apakah seluruh badan Jin-lopangcu menjadi melepuh besar?”

Chiu Ling-siok kaget dan terkesima dibuatnya, tanyanya: “Dari mana kau bisa tahu?”

“Thian-it-sin-cui! Kau tidak berhasil mencoba kadar racun di dalam kuah itu, karena itulah Thian-it-sin-cui.”

Baru sekarang dia lebih yakin dan berkesimpulan lebih jelas bahwa biang keladi dari semua peristiwa pembunuhan ini ternyata adalah orang yang mencuri Thian-it-sin-cui dari Sin-cui-kiong itu. Sudah tentu dia pula yang membunuh Thian-jiang-sin Song Kang dan orang yang menyamar jadi Thian-hong-cap-si-long itu. Meski Lamkiong Ling seorang musuh yang cukup menakutkan, namun kelicinan dan kekejaman orang itu jauh melebihi Lamkiong Ling yang hanya diperalat saja.

Walau sekarang Coh Liu-hiang sudah tahu rahasia Lamkiong Ling, tapi jikalau dia tak berhasil menyelidiki siapa orang itu, maka segala jerih payahnya selama ini berarti sia-sia belaka.

Semakin hebat badan Chiu Ling-siok gemetar, katanya: “Sejak mula aku tidak percaya Lamkiong Ling tega membunuh Jin Jip dengan tangannya sendiri, aku tidak percaya bahwa kuah itu beracun, tapi sekarang..... sekarang......”

Mendadak ia menubruk ke depan Coh Liu-hiang dan berseru dengan suara serak: “Segala persoalan sudah kututurkan kepadamu, dapatkah kau membalaskan dendamku?”

Coh-Liu-hiang menghela napas, ujarnya: “Setelah segala rahasia ini terbongkar, tanpa aku turun tangan, Lamkiong Ling sendiri takkan bisa hidup lebih lama lagi. Tidak heran, tak segan-segan dia gunakan segala cara dan menghabiskan seluruh harta benda, tujuannya hendak merintangi aku menemuimu.”

“Tapi kenapa dia sudi membawamu ke mari?”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar