-------------------------------
----------------------------
Bab 2: Misteri dan Teka-teki
Namun dengan gesit sekali Coh
Liu-hiang dapat menyeli nap lewat di bawah tubrukan si nona. Karena telah
telanjur mencengkeram ke depan, mendadak tangan si nona mcmbalik terus
mencengkeram pula Seng-hong-hiat di bagian belakang bahu Coh Liu-hiang,
sedangkan tangan yang lain juga mencengkeram Hiat-to maut di bagian iga.
Perubahan serangannya sangat cepat dan lihai, yang diarah adalah tempat
mematikan. Tapi betapa tinggi ilmu silat Coh Liu-hiang, jelas tak dapat
dibayangkan oleh anak dara yang masih muda belia ini.
Dengan jelas ia merasa jari
sendiri sudah mengenai Hiat-to di tubuh Coh Liu-hiang, asalkan tenaga sudah
tersalur ke ujung jari, pasti Coh Liu-hiang akan tertutuk kaku dan kehilangan
daya perlawanannya.
Tak tahunya, pada saat itu
juga, selicin belut, tahu-tahu Coh Liu-hiang memberosot ke sana terus berputar
ke belakang si anak dara sambil berkata, ;”Silakan nona tidur lagi sebentar.
setelah bangun nanti urusan akan berubah Iebih baik."
Nona itu cuma merasa tangan
Coh Liu-hiang seperti mengusap pelahan di tubuhnya, ucapan yang halus laksana
hembusan angin semilir di musim semi dan tidak terasakan. Menyusul ia lantas
merasakan matanya sepat, rasa ingin tidur segera merangsang dan tak tertahan,
belum lagi ia berdiri tegak segera ia jatuh terpulas.
Sejak tadi Thio Kan-cay
mengikuti gebrakan mereka, baru sekarang ia menghela napas lega, ucapnya,
"Tenang seperti anak perawan, lincah sepcrti kelinci, sungguh tepat sekali
menggambarkan kecepatan Coh Hiang-swe dengan kedua kalimat tersebut"
Coh Liu-hiang tertawa setelah
Cu Kin-hou membaringkan anak dara itu di tempat tidur, baru tiba-tiba ia
bertanya, "Gaya ilmu apa yang digunakannya tadi? Apakah Losiansing dapat
melihatnya?"
Thio Kia-cay berpikir sejenak,
jawabnya kemudian, "Bukankah sebangsa Eng-jiau-kang (ilmu pukulan cakar
elang?"
"Betul, pandangan
Losiansing memang tajam," ujar Coh Liu-hiang. "Yang digunakan memang
betul Eng-jiau-kang terseling gerakan 'Hun-kin-jo-kut-jiu' (ilmu membikin otot
tulang terkilir), bahkan tidak lemah tenaganya."
Sejenak Thio Kan-cay memandang
Cu Kin-hou, katanya dengan pelahan, "Setahuku, di dunia Kangouw jarang ada
perempuan yang mahir Eng-jiau-U-kang begini kecuali......" Dia berdehem
dua kali lalu tidak melanjutkan lagi.
Sebaliknya Cu Kin-hou lantas
berseru dengan beringas, "Ya, aku pun tahu Eng-jiau-kang adalah ilmu silat
keturunan keluarga bininya Si Hau-liam, tapi jelas anak dara ini adalah
putriku, siapa pun tak dapat menyangkal"
“Apakah sebelum ini putrimu
juga pemah meyakinkan ilmu ini?" tanya Thio Kan-cay.
Cu Kin-hou jadi melenggong dan
tak bisa menjawab.
Padahal tanpa jawabannya juga
orang lain tahu. Cu-jiya terkenal dengan ilmu silat kebanggaannya yaitu
'Hui-hoa-jiu' (ilmu pukulan bunga bertaburan).
Hui hoa-jiu adalah ilmu
pukulan yang ruwet gaya perubahannya, halus dan dingin, justru merupakan
kebalikan ilmu pukulan keras sebangsa Eng-jiau-kang. Dengan sendirinya tak
mungkin anak perempuan Cu-jiya disuruh belajar ilmu Eng-jiau-kang?
Meski Thio Kan-cay terkenal
sebagai tabib sakti, tapi sebenamya ia pun tokoh silat terkemuka, konon
'Tan-ci-sin-thong' (ilmu tenaga jari sakti) yang merupakan ilmu kebanggaannya
sudah mencapai puncaknya kesernpurnaan, maka terhadap ilmu silat dari berbagai
golongan dan aliran ia pun cukup paham. Ia merasa simpati melihat wajah Cu
Kin-hou yang cemas dan berduka itu, dengan menyesal ia berkata, "Perasaan
Cu-cengcu sekarang betapapun dapat kupahami, cuma saja, di dunia ini memang
sering timbul hal-hal yang sukar dibayangkan dengan akal dan sukar pula
dipecahkan. Sekarang setelah penstiwa ini terjadi....."
"Meng......mengapa kau
menyuruh aku percaya pada hal-hal yang mustahil inii? Masa kau benar-benar
percaya ada kejadian 'mayat kesurupan roh' segala?' kata Cu Kin-hou dengan
parau.
Lekas Coh Liu-hiang menyela,
"Kukira maksud Thio-losiansing cuma menginginkan Jiko suka berpikir dengan
tenang, agar kita bersama-sama dapat mencari akal untuk menghadapi persoalan
ini."
'"Ucapan Hiang-swe memang
tak salah, asalkan mau, urusan apapun pasti dapai kita pecahkan ujar ,"
Thio Kan--cay.
Cu Kin-hou mengggeleng,
ucapnya dengan murung, "Perasaanku kusut-masai, terserah apa yang kalian
anggap baik."
Setelah terdiam sejenak, lalu
Coh Liu-hiang membuka suara, "Urusan ini memang banyak segi-segi yang
sukar untuk dibayangkan. Sebab apakah mendadak Beng-cu menggunakan ilmu silat
keturunan Kim-kiong Hujin? Soal ini jelas sukar untuk dijawab, tapi kjta tetap
ingin menyelidiki kebenaran apa yang dikatakannya tadi, kita harus tahu apakah
betul-betul anak perempuan Hoa Kim-kiong telah mati?"
Cu Kin-hou membanting kaki
katanya dengan kurang senang. "Jelas-jelas kau tahu Hoa Kim-kiong adalah
besan musuh bebuyutanku (maksudnya Sih Ih-jin), masa kau menghendaki aku pergi
ke Si-keh-ceng untuk menanyai dia?"
“Meski Cu-cengcu tidak dapat
pergi ke sana, Coh Hiang-swe kan dapat pergi?" ujar Thio Kan-cay
"Coh Liu-hiang adalah
sahabat karib Cu-Kin-hou, siapa yang tidak tahu hal ini?" kata Cu-jiya,
"Jika Coh Liu-hiang pergi ke sana, mustahil kalau dia tidak diusir dengan
sapu oleh si perempuan tua itu."
Thio Kan-cay tertawa, katanya
pula, " Tapi Ceng-cu juga jangan lupa bahwa Ginkang Coh Hiang-swe tiada
bandingannya di dunia ini, sekalipun istana raja juga berani di terobosnya
sesuka hati tanpa rintangan, apalagi cuma perkampungan kecil seperti
Si-keh-ceng.."
*****************
Padahal Si-keh-ceng sama
sekali tidak kecil, malahan luas dan kemegahannya tak kalah dibandingkan
Ceng-pwe-san-ceng. Cengcu Si Hau-liam memang bukan orang Kangouw, tapi
istrinya, HoaKim-koing, cukup tenar di dunia persilatan, kepandainnya
'Kim-kiong-gin-tan-thi-eng-jiau' atau gendewa emas berpeluru perak dan cakar
elang besi, terkenal sebagai kungfu kebanggaannya.
Selain itu terkenal juga
sesuatu hal atas diri sang Cengcu, yaitu 'takut bini'. Orang kangouw mungkin
tidak terlalu paham terhadap 'Say-hau-ceng atau perkampungan singa meraung
sebagai gambaran di situ ada istri yang galak, maka setiap orang tentu tahu
siapa yang di maksud.
Yang lucu adalah tidak cuma
sang bapak takut pada bini, penyakit ini juga ternyata menurun kepada anaknya.
Putra Si Hau-liam, Si Toan-cong, bahkan takut pada bininya melebihi takut pada
harimau.
Sebenarnya orang pun tidak
dapat menyalahkan Si Toan-cong yang takut bini itu, sebab setiap orang tahu,
bininya memang bukan sembarang orang, asal-usulnya memang luar biasa. Bahkan
Hoa Kim-kiong, sang mertua perempuan yang terkenal galak dan garang itupun tak
berani mengusik pihak besannya.
Hakikatnya di kalangan Kangouw
juga tiada orang yaing berani mengusik besan keluarga Si ini, sebab besannya
adalah sang pendekar pedang nomor satu di dunia, yaitu Sih Ih-jin, Sih-tayhiap
yang termasyhur itu.
Waktu mudanya Sih ih-jin
terkenal dengan julukan 'Hiat-ih-jin' atau si baju berdarah dan berkecimpung di
dunia Kang¬ouw tanpa kenal kawan atau lawan, siapa pun, bila tidak disukai nya
pasti dilabraknya habis-habisan. cara turun tangannya keji tanpa kenal ampun,
orang yang terbunuh olehnya boleh dikata sukar dihitung jumlahnya.
Setelah menginjak setengah
umur perangainya yang berangasan itu mulai hilang dan akhimya hidup menyepi di
perkampungannya, namun permainan pedangnya tetap maha sakti,.konon selama empat
puluh tahun ini, belum pemah ada seorang pun yang mampu melawan dia dalam
sepuluh jurus.
Sih Ih-jin si pendekar pedang
nomor satu di dunia inilah yang menjadi musuh bebuyutan Cu Kin-hou, dari dulu
hingga sekarang
***********************
Malam sudah larut, suasana di
Si-keh-ceng sunvi senyap, gelap tanpa cahaya lampu.
Daun tetumbuhan di taman
belakang perkampungan itu sama gugur dan layu, musim rontok terasa hampa, semua
serba sendu. Angin malam berhembus dingin, sampai-sampai serumpun seruni
kuning, bunga yang mekar di musim rontok itupun kurang semarak di bawah cahaya
bulan yang remang-remang.
Perasaan Coh-Liu-hiang juga
sangat tertekan. Meski Ginkangnya tiada bandingannya, tetapi setiba di
Si-keh-ceng ini, betapapun ia tidak berani gegabah. ia sedang nonkrong di atas
pohon dan mengamati keadaan sekelilingnya.
Di tengah sayup-sayup desir
angin itu tiba-tiba terdengar suara orang menangis, cepat Coh Liu-hiang
melayang ke sana segesit burung walet, dipandang di suasana malam yang kelam
nampaknya seperti seekor kelelawar.
Di tengah hutan bambu sana ada
beberapa buah rumah kecil, nampak cahaya lampu menembus keluar dari jendela,
suara tangisan sedih itu jelas berkumandang keluar dari rumah ini.
Di pojok ruangan sana ada
sebuah tempat tidur, di samping tempat tidur terletak sebuah meja rias berukir
indah, di sebelahnya ada sebuah rak bunga, tampak asap dupa mengepul dan
terhembus oleh angin malam.
Tampak sesosok tubuh terbaring
di tempat tidur, seorang perempuan tua dengan rambut beruban berlutut di depan
tempat tidur dan sedang menangis dengan sedih, jeias terdengar dia ber gumam,
"O, anak In, kenapa kau meninggal, kenapa anak In....
Hanya memandang sekejap saja
Coh Liu-hiang merasa merinding.
Nyata, putri keluarga Si
memang betul meninggal, suasana kamarnya tertata cocok sebagaimana diuraikan
oleh anak dara di rumah Cu Kin-hou itu. Baju yang dipakainya juga berwarna
merah bersulam burung Hong warna ungu. Anehnya mengapa jenazahnya belum lagi
dimasukkan dalam peti mati? Siapa pula perempuan tua yang menangis sedih di
tepi ranjang ini?
Coh Liu-hiang tahu, perempuan
tua ini pasti bukan Hoa Kim-kiong. Jika demikian apakah dia ini Liang-ma, si mak
inang yang dimaksudkan 'anak dara' itu?
Perempuan tua ini masih terus
mengangis dengan sedih, akhirnya kepalanya terjuntai lemas ke bawah dan
mendekap di atas ranjang, agaknya saking lelahnya dia tertidur tanpa terasa.
Dari kejauhan terdengar suara kentongan ronda malam, ternyata sudah kentongon
keempat.
Timbul juga rasa sedih dalam
hati Coh Liu-hiang, ia pun merasakan suasana yang seram ini, seakan-akan bau
harum asap dupa yang mengepul itupun membawa hawa kematian yang seram dan
misterius.
Dia bersembunyi di balik
jendela yang gelap, ia berdiri termenung sekian lamanya, dilihat suara napas si
perempuan tua yang berat tampaknya benar-benar terpulas dengan nyenyaknya.
Pelahan-lahan Coh Liu-hiang
menerobos jendela masuk ke ruangan itu, betapa ringan langkahnya hingga tanpa
menimbulkan suara, sekalipun perempuan tua itu tidak tertidur juga pasti takkan
mendengar kedatangannya.
Wajah anak yang membujur di
tempat tidur itu pucat kuning. kurus kering, hanya tinggal kulit membungkus
tulang, dapat dibayangkan sebelum ajalnya pasti sudah cukup lama bergelut
melawan penyakit. Mata, alis dan raut wajah anak gadis ini sama sekali tidak
mirip Cu Beng-cu, tapi lapat-lapat kelihatan bahwa pada waktu hidupnya juga
seorang gadis yang cantik.
Akan tetapi sekarang elmaut
telah merenggut jiwanya dan juga telah merenggut kecantikannya itu, elmaut
memang tak kenal kasihan, tidak pemah meninggalkan apapun bagi sasarannya.
Coh Liu-hiang berdiri di
belakang perempuan tua itu dan memandang jenazah di tempat tidur, dipandangnya
sulaman burung Hong di atas bajunya dan teringatlah apa yang diucapkan 'anak
dara' itu, tanpa terasa tangannya berkeringat dingin.
Ia coba mendekati meja rias
itu, dipegang satu kotak pupur, dilihatnya merek kotak pupur itu jelas tertulis
‘buatan Po hiang-cay di Pakkhia', jadi cocok seperti apa yang dikatakan 'anak
dara ' itu. Seketika merinding pula Coh Liu-hiangg, bulu roma sama berdiri,
kotak pupur itupun basah oleh keringat dinginnya
Tiba-tiba terdengar perempuan
tua itu menjerit, "Hai, kalian berani membawa lari anak In hayo
kembalikan!"
Tergetar tangan Coh-Liu-hiang
sehingga kotak pupur yang dipegangnya itu terjatuh. Dilihatnya tangan perempuan
tua yang kurus itu memegang erat baju sutra merah yang dipakai mayat itu,
selang sejenak barulah pelahan-lahan dilepaskannya.
Dahinya yang keriput itu
tampak merembes butiran keringat, tapi kepalanya lantas mendekap lagi diatas
ranjang, lalu napasnya tenang kembali, pelahan-lahan terpulas pula. Selama
hidup Coh Liu-hiang entah sudah berapa banyak mengalami hal-hal yang seram dan
berbahaya, tapi belum pernah dia terkejut seperti sekarang. Dengan sendirinya
bukan lantaran jeri pada si perempuan tua atau takut pada pada mayat di tempat
tidur itu. Sesungguhnya ia pun tidak tahu sebenarnya apa yang ditakutinya.
Yang jelas ia merasa rumah ini
penuh hawa gaib dan penuh misteri, rasanya setiap waktu bisa timbul hal-hal
yang sukar diduga dan sukar untuk dilawan siapa pun.
'Mayat kesurupan roh',
kejadian ini sebenarnya tak mungkin djpercayainya, tapi sekarang, bukti
terpampang di depan mata, mau tak mau ia harus percaya.
Tiba-tiba angin meniup
kencang, tirai kain jendela tersing kap sehingga membuat suasana tambah seram,
cepat Coh Liu-hiang mengusap tangannya yang berkeringat dingin itu pada
bajunya, lalu berjongkok hendak menjemput kotak pupuryang terjatuh tadi.
Ia harus membawa pulang kotak
pupur ini untuk diperli hatkan pada Cu Kin-hou agar sahabatnya itu menarik
kesimpulan sendiri. Maklum, ia sendiri tidak tahu cara bagaimana harus
memberikan keterangan kepada Cu Kin-hou.
Ya, hakikatnya urusan ini
memang sukar untuk dijelaskan.
Akan tetapi baru saja ia
berjongkok, segera dilihatnya sepasang sepatu kain bersulam
Selama hidup Coh-Liu-hiang
entah telah berapa banyak melihat sepatu kain bersulam dengan aneka macam
ragamnya, serta dipakai di kaki berbagai golongan wanita. Selama ini tak
terpikir olehnya bahwa sepasang sepatu begini juga dapat membuatnya terkejut.
Namun ia sekarang benar-benar
terkejut.
Sepatu bersulam ini mirip
muncul dari neraka secara mendadak. Sesungguhnya yang dilihatnya bukanlah
sepasang sepatu melainkan cuma sepasang ujung sepatu. Ujung sepatu yang sangat
bagus, warna hijau, tampaknya seperti dua potong tunas rebung. Bagian sepatu
yang lain tertutup celana yang berwarna merah muda, bagian tepi ujung celana
malahan bersulam benang warna emas, sulaman yang sangat indah.
Sebenarnya sepasang sepatu
yang bagus dan celana yang indah, tapi entah mengapa, tanpa terasa timbul
pikiran Coh Liu-hiang, jangan-jangan di bagian atas kaki itu tidak ada kepalanya.
la jadi ingin melihat ke bagian atas, tapi sebelum ia menengadah,
sekonyong-konyong seseorang telah mendengus. "Jangan bergerak, berjongkok
terus seperti sekarang ini, bagian mana saja dari anggota badanmu bila berani
bergeser sedikit segera kupecahkan batok kepalamu!''
Jelas itulah suara seorang
perempuan, nadanya dingin dan kaku. sedikitpun tiada rasa kelembutan seorang
perempuan. Cukup didengar dari suaranya saja, kalau perempuan begini sudah
mengancam akan menghancurkan kepala seseorang, maka hal ini dapat
dilaksanakannya, tidak mungkin cuma gertakan belaka.
Dengan sendirinya Coh
Liu-hiang tidak berani bergerak. Di depan kaum perempuan, selamanya ia tidak
mau bertindak sesuatu yang mungkin mendatangkan bahaya. Apalagi, bila yang
dihadapinya sekarang bukanlah orang perempuan. tapi setan perempuan.
Terdengar suara itu berkata
pula, "Siapa kau? Kerja apa kau main sembunyi-sembuniy di sini? Lekas
mengaku terus terang! Tapi ingat, hanya mulutmu saja yang boleh bergerak."
Cukup lama juga Coh Liu-hiang
menimbang, ia pikir dalam keadaan begini akan lebih baik jika bicara terus
terang.
Maklum, baik manusia maupun
setan juga akan terkejut bilamana mendengar nama 'Coh Liu-hiang' . Dan kalau
orang sampai terkejut, maka inipun berarti kesempatan baik untuk bertindak
baginya.
Segera ia menjawab,"Aku
Coh Liu-hiang......"
Di luar dugaan, belum lagi
lanjut ucapannya, cepat perempuan itu lalu mengejek, "Hm, Coh Liu-hiang?
He he, jika kau Coh Liu-hiang, maka aku inilah ibumu!"
Terpaksa Coh Liu-hiang hanya
menyengir saja. Biasa, setiap kali kalau dia mengaku bernama Li A-sam atau Tan
A-si maka orang lain pasti akan mencurigai ia ini Coh Liu-hiang adanya,
sebaliknya jika ia mengaku sejujumya, maka orang justru tak percaya, bahkan
menganggap dia sinting dan menggelikan.
Begitulah terdengar perempuan
tadi mengejek pula, "Hm, sebenarnya sejak tadi sudah kuketabui siapa kau
ini, jangan kau harap dapat mengelabui aku."
"Habis siapa diriku kalau
bukan Coh Liu-hiang?" kata Liu-hiang sambil menyengir.
"Kutahu kau pasti binatang
kecil itu, binatang kecil yang pantas mampus," damprat perempuan tadi.
“Sungguh tak pernah kuduga bahwa kau berani datang pula ke sini."
Sekonyong-konyong suaranya
berubah bengis dan penuh rasa murka, katanya pula, 'Tahukah kau cara bagaimana
matinya anak In? Dia justru mati di tanganmu. kau telah membikin celaka dia
selama hidup, kau telah mengakibatkan kematiannya dan belum cukup, sekarang kau
datang ke sini pula untuk apa?"
Karena tidak paham apa maksud
pertanyaan orang, terpaksa Coh Liu-hiang bungkam saja.
Tentu saja perempuan itu
bertambah murka, kembali ia mendamprat, "Jelas kau tahu anak In telah
dijodohkan kepada Jikongcu (putra kedua) Sih-tayhiap, tapi kau tetap berani
memelet dia, memangnya kau kira aku tidak tahu persoalan ini?"
Dengan sendirinya sekarang Coh
Liu-hiang tahu perempuan ini bukan setan melainkan orang, malahan terhitung ibu
Si In, nona yang meninggal itu, ialah Kim-kiong Hujin yang terkenal galak dan
bawel itu.
Padahal selama hidup ini yang
paling membikin pusing kepala Coh Liu-hiang justru adalah perempuan judas dan
cerewet.
Tiba-tiba terdengar suara
seorang ikut bicara, "Apakah keparat ini Yap Seng-lan adanya? Hm, besar
juga nyalinya berani menyusup ke sini?" Suara ini lebih melengking
daripada suara Hoa Kim-kiong, juga lebih tajam.
Maka di depan Coh Liu-hiang
segera muncul pula sepasang kaki yang mengenakan celana wama jambon dengan
sepatu melengkung warna merah tua, di atas ujung sepatu terikat sebuah bola
benang merah.
Biasanya untuk mengetahui
perangai seorang gadis, asalkan melihat sepatu yang dipakainya, maka sebagian
besar sifat nya sudah dapat diterka. Kini sepatu yang dikenakan perempuan ini
justru melengkung mirip dua tangkai lombok merah raksasa
Diam-diam Coh Lhi-hiang
menghela napas, "Sialan!" pikirnya.
Memang jika di dunia ini ada
urusan yang lebih memusingkan daripada bertemu dengan perempuan bawel, maka hal
itu adalah bertemu dengan dua perempuan bawel sekaligus. Dalam keadaan demikian
kalau bisa sungguh Coh Liu-hiang ingin angkat langkah seribu alias kabur saja.
Tapi ia pun tahu peluru perak
Hoa Kim-kiong yang terkenal itu pasti sudah mengincar batok kepalanya, apalagi
perempuan yang datang belakangan dengan celana merah ini, besar kemungkinan
adalah puteri tertua Sih Ih-jin, menantu Si Hau-liam.
Bahwa, ilmu pedang Sih Ih-Jin
tiada tandingannya di dunia ini, maka anak gadisnya pasti bukan tukang cuci
pedang belaka. Sebenarnya bukan Coh Liu-hiang takut pada mereka, soalnya dia
tak mau berkelahi dengan kaum wanita.
Maka terdengar Hoa Kim-kiong
lagi berkata, "Kedatanganmu sangat kebetulan. Siaunaynay (nyonya mantu),
menurut pendapatmu cara bagaimana sebaiknya kita bereskan keparat ini?"
"Pemuda bangor begini,
pintarnya cuma menggoda perempuan baik-baik setiap hari, kukira paling baik
kalau kita kubur dia hidup-hidup," jengek Siau-naynay, sang nyonya mantu.
Mendongkol dan juga geli Coh
Liu-hiang, pantas Si-siau cengcu (tuan muda keluarga Si) takut bini melebihi
takut pada harimau, nyatanya nyonya mantu ini memang galak lagi kasar, tanpa
tanya duduknya perkara segera hendak mengubur orang hidup-hidup.
Terdengar Hoa Kim-kiong
berkata pula. "Terlalu enak baginya jika cuma dipendam hidup-hidup saja,
menurut pendapatku, paling baik kalau kita padamkan lenteranya (maksudnya
butakan matanya)."
"Padamkan lenteranya juga
boleh," ujar Si-siaunaynay tapi ingin kulihat dulu bagaimana macamnya,
dalam hal apakah dia melebihi Loji (tuan muda kedua) keluarga Sih kami sehingga
membikin nona In tergila-gila padanya."
“Ya, betul juga," kata
Hoa Kim-kioog. Lalu ia membentak " He, anak muda, coba angkat
kepalamu!"
Sudah tentu mereka tak perlu
memerintah untuk kedua kalinya, sebab Coh Liu-hiang sendiri ingin tahu
bagaimana corak kedua perempuan mertua dan menantu itu.
Maka terlihatlah sang nyonya
Kim-kiong ini berusia lima puluhan lebih, namun dandanannya waduh, jangan
ditanya, pupur di mukanya kalau dikerok sedikitnya ada dua kati.
Akan tetapi matanya yang
kemilau itu, lirikannya bisa membikin gila setiap lelaki, mungkin sekali dahulu
Si Hau-liam justru terpikat oleh lirikannya yang menggiurkan ini.
Sedangkan si-siaunaynay kita
itu sukar untuk bisa disebut perempuan cantik kalau tidak mau dikatakan seperti
siluman. Mukanya lonjong bak kuda, mulutnya lebar bagai baskom, bahkan hidung
hapir sebesar mangga golek.
Bayangkan, perempuan yang
berwajah luar biasa begini, kalau saja dia bukan puteri Sih-tayhiap yang
pendekar pedang nomor satu di dunia, mustahil dia bisa mendapatkan pasangan
hidup.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang
menaruh simpati kepada Si-siau cengcu itu, sungguh malang nasibnya, punya istri
bawel dan galak saja sudah cukup kasihan, apalagi istrinya lebih mirip se eker
kuda betina.
Beginilah tatkala Coh
Liu-hiang mengamat-amati kedua mertua dan menantu itu, mereka pun mengawasi Coh
Liu-hiang lekat-lekat Mata Hoa Kim-kiong yang kemilau itu seakan meneteskan
air, bahkan mata kuda sang nyonya mantu juga berkilau-kilau, air mukanya yang
garang tadi segera berubah lebih ramah
"Wah, memang benar
seorang pemuda hidung belang, pantas saja nona besar kita terpikat olehnya,"
Jengek Si-siaunaynay kemudian.
Hendaklah maklum bahwa nama
Coh Liu-hiang sudah termasyhur puluhan tahun, setiap orang Kangouw tahu ilmu
pukulannya sangat lihai. Ginkangnya tiada bandingannya, tapi hanya beberapa
orang saja yang pernah melihat wajah asli Coh Liu-hiang.
Dengan sendirinya semua orang
semua berpikir kalau nama Coh Liu-hiang sedemikian tenar dan begitu tinggi
kepandaiannya, dengan sendirinya usianya juga tidak terbilang muda lagi,
malahan ada yang beranggapan dia pasti seorang kakek-kakek.
Maka Coh Liu-hiang hanya
menyengir saja mendengar ucapan antara mertua dan menantu tadi.
Dalam pada itu si nenek
Liang-ma entah sejak kapan telah bangun dari tidurnya, ia pun tampil ke muka,
agaknya ia pun ingin melihat bagaimana bentuk si 'bangor' yang telah berhasil
memikat nona asuhannya.
Kini Coh Liu-hiang dapat
melihat jelas, Liang-ma ini ternyata seorang perempuan tua yang nampaknya welas
asih. Tiba-tiba timbul suatu pikiran dalam benaknya.
Namun pada saat itu juga Hoa
Kim-kiong telah berteriak,
“Apakah nanti kita akan pendam
dia hidup-hidup atau memadamkan lenteranya. yang penting kita sekarang harus
membekuknya lebih dahulu."
Begitu sinar keemasan
berkelebat, gendewa emas yang di pegangnya itu segera menutuk ke Hi-hay-hiat di
bagian perut Coh Liu-hiang, rupanya gendewa ini tidak melulu untuk menjepretkan
peluru perak, tapi kedua ujung gendewa yang melengkung itupun dapat digunakan
menutuk Hiat-to seperti belati. Cara menutuknya jitu, gerakannya cepat,
tampaknya ia pun seorang ahli Tiam-hiat.
Dengan sendirinya sekarang Coh
Liu-hiang tak dapat berlagak pilon, sedikit mengkeret tubuh, segera ia mundur
beberapa langkah ke samping, cara mundumya temyata tidak kalah cepat nya
daripada lawan.
Serangan pertama luput, segera
Hoa Kim-kiong memutar terus menyabet pula dengan gendewanya, sekali ini yang
diarah adalah pinggang Coh Liu-hiang, gendewanya kini telah berubah menjadi
pentung.
Baru sekarang Coh Liu-hiang
tahu Hoa Kim-kiong benar-benar tidak boleh diremehkan, gendewa emasnya
sekaligus ternyata dapat dimainkan sebagai berbagai senjata, pantas orang
Kangouw bilang Kim-kiong Hujin adalah jago wanita utama dunia persilatan daerah
Kanglam.
Sementara itu Coh Liu-hiang
sudah mundur sampai di meja rias dan tak dapat mundur lagi. Sedangkan
serampangan gendewa lawan sudah menyambar tiba. jelas dia tak dapat menghindar
ke kanan atau ke kiri, kalau mundur ke belakang pasti akan menumbuk meja rias.
Malahan serangan Kim-kiong Hujin tampaknya masih membawa daya ikutan lain,
umpama Coh Liu-hiang mundur dan tersandung meja rias, bukan mustahil gendewanya
akan terus menutuk pula.
Di luar dugaan, tiba-tiba Coh
Liu-hiang mengkeret tubuh lagi dan melompat ke atas meja rias, menyusul terus
memberosot ke samping menempel dinding
Melihat betapa gesit dan
lihainya Coh Liu-hiang, baru sekarang air muka Hoa Kim-kiong berubah,
bentaknya, "Keparat, benar juga kau punva kemampuan.'"
"Maling cabul rendah
begini, dengan sendirinya mahir sedikit kepandaian cara mencuri ayam dan
mencilok anjing," jengek Si-siaunaynay.
Berbareng ia meraba bajunya
dan tahu-tahu sudah memegang sebilah pedang pendak yang bersinar gemerlapan,
belum lenyap suaranya, sekaligus ia sudah melancarkan tujuh kali tikaman ke
arah Coh Liu-hiang.
Pedang pandak begini adalah
senjata beladiri kaum wanita di zaman kuno. Si-siaunaynay ini bahkan mahir ilmu
pedang keturunan, begitu menyerang lantas menggunakan tipu serangan tanpa kenal
ampun. Apalagi ruangan ini tidak terlalu besar dan cocok bagi orang yang
bersenjata pendek, kalau saja lawannya bukan Coh Liu-hiang, sekali sudah
terdesak ke pojok pasti sukar menghindarkan tujuh kali serangan sekailgus itu.
Cuma sayang, lawan
Si-siaunaynay sekarang adalah Coh Liu-hiang.
"Ai, seumpama betul aku
ini Yap Seng-lan, masa kalian harus membunuhku secara keji begini?" gumam
Coh Liu-hiang dengan gegetun.
Dia cuma bicara dua-tiga
kalimat saja, tapi di tengah ucapannya itu dia sempat menyelinap ke sana dan
meluncur ke sini, melompat ke atas untuk kemudian hinggap pula ke bawah dan
akhirnya menggeser sampai di ambang plntu.
"Keparat, kau ingin
merat? Memangnya Si Keh-ceng boleh kau buat pergi-datang sesukamu?"
damprat Hoa Kim-kiong.
Cepat juga turun tangannya,
baru habis ucapannya. Mendadak terdengar suara jepretan gendewa berulang-ulang,
peluru sudah berhamburan ke arah Coh Liu-hiang seperti hujan.
Hebatnya, peluru-peluru itu
menyambar dengan cara yang berbeda-beda, ada yang membidik dengan keras, ada
yang lambat, yang terbidik belakangan terkadang datang lebih cepat ke arah
sasarannya, ada yang saling bentur di udara untuk kemudi an mendadak berganti
arah. Ada yang membentur dinding terus mental balik menyerang Coh Liu-hiang.
"Peluru perak bergendewa
emas' Kim-kiong Hujin ini memang lain daripada yang lain, cuma sayang yang
menjadi lawannya ialah Coh Liu-hiang. Entah cara bagaimana, tahu-tahu tubuh Coh
Liu-hiang berputar-putar, secepat terbang terus menerobos pergi ke tengah hujan
peluru itu, sekali berkelebat pula, orangnya sudah berada jauh belasan tombak
di sana.
Kim-kiong Hujin terkesiap,
cepat ia memburu ke depan pintu dan berseru, "He, anak muda, ingin kutanya
padamu, apakah kau benar-benar Coh Liu-hiang?"
Sementara itu Coh Liu-hiang
telah melompat ke pucuk pohon bambu, dengan daya melenting pohon bambu itu ia
melayang pula jauh ke sana sambil memberi tangan ke arah sini, cuma tidak jelas
dia sedang menggapai sebagai tanda selamat tinggal atau menggoyang tangan.
"Selamanya kita tiada
pemusuhan dengan Coh Liu-hiang, mengapa dia bisa datang kemari?" ucap
Si-siaunaynay dengan gemas.
Setelah melenggong sejenak,
Kim-kiong Hujin tertawa. katanya, "Peduli dia Coh Liu-hiang atau bukan,
yang pasti dia tak kan mampu kabur."
"O ya?"
Si-siaunaynay merasa ragu-ragu.
Kim-kiong Hujin lantas
menuding ke sebuah gardu taman di sebelah sana dan berkata pula, ''Jicek (paman
kedua) mestika kalian itu kan belum pulang setelah mengantar kita kesini,
sebelum disuguhi makan enak. kuyakin dia belum mau pergi dan sekarang dia pasti
menunggu di gardu sana."
Tersembul senyuman benci di
ujung mulut Si-siaunaynay, katanya, " Ya, betul, asalkan Po-jicek berada
di gardu sana, betapapun dia pasti tidak dapat kabur, baik dia Coh Liu-hiang
atau bukan."
Memang betul, di gardu taman
yang dimaksudkan itu ada seseorang lagi duduk di undak-undakan batu dan sedang
menengadah memandangi langit, mulutnya tampak berkomat-kamit entah apa yang
diucapkannya.
Tapi bila didengarkan dengan
cermat, aneh, rupanya orang ini sedang menghitung bintang di langit
"Senbu tiga ratus dua
puluh tujuh, seribu tiga ratus dua puluh delapan, seribu tiga ratus
dua......"
Beginilah dia terus menghitung
satu demi satu. Usia orang ini sedikhnya sudah lebih empat puluh, jenggotnya
saja sudah beruban tapi bajunya justru berwarna merah tua yang lebih la yak
dipakai anak muda, malah pakai sulaman lakon 'Lau-hay memancing katak' dalam cerita
Pat-sian (delapan dewa) segala. Sepatunya juga berwrna merah dengan ujung
kepala harimau. Di bawah kerlipan sinar bintang, air mukanya tampaknya juga
merah licin, tapi bila dipandang dengan cermat baru ketahuan bila dia memakai
pupur pemerah pipi.
Tampaknya dia menghitung
bintang dengan penuh perhatian, tangannya juga ikut menuding-nuding sehingga
menimbulkan bunyi gemerincing, kiranya ia pun memakai beberapa gelang yang
berkelintingan.
Sebenamya Coh Liu-hiang ingin
lekas-lekas meninggalkan Si-keh-ceng, ia pun tidak memperhatikan bahwa di gardu
taman ini ada duduk seseorang. Ketika mendengar suara gemerincing itulah baru
dia melirik sekejap ke sana.
Tapi hanya sekali melirik saja
hampir-hampir tertawa geli, jika dalam kaadaan biasa pasti dia akan mendekat ke
sana untuk melihat siapakah orang istimewa ini. Tapi sekarang dia tiada waktu
senggang, begitu kaki menutul tanah, segera ia melayang lewat gardu taman ini,
asalkan dua kali naik turun lagi, dapatlah dia melayang keluar taman ini.
Di luar dugaan, pada saat itu
juga, "serr" mendadak sesosok bayangan orang meluncur keluar dari
gardu tadi dan menghadang di depan Coh Liu-hiang
Bahwasanya Coh Liu-hiang
melayang melintasi gardu untuk kemudian hinggap ke bawah, sebaliknya orang ini
langsung meluncur keluar dari gardu, sudah tentu jaraknya lebih dekat daripada
Coh Liu-hiang, namun gerak tubuhnya jelas luar biasa cepatnya dan cukup
mengejutkan.
Sungguh tak tersangka oleh Coh
Liu-hiang akan bertemu tokoh dengan Ginkang setinggi ini di sini, waktu ia memandang
lebih jelas lagi, kiranya 'tokoh' ini ialah 'si sinting' yang asyik menghitung
bintang tadi.
Dalam keadaan berdiri, kini
terlihat jelas baju yang dipakainya sempit lagi cekak, mirip baju pinjaman
kalau bukam cu rian. Namun rambut dan jenggotnya tersisir dengan kelimis,
malahan pakai minyak rambut segala, ditambah lagi mukanya ber pupur merah,
kalau dipandang sepintas lalu orang akan mengira dia ini pelawak yg baru turun
panggung.
Coh Liu-hiang tercengang juga
melihat si 'jimat' ini ternyata memiliki kungfu yang mengejutkan.
Sebaliknya si 'jimat' juga
mengamat-amati Coh Liu-hiang. tiba-tiba ia mengikik tawa dan berkata,
"Hihi, paman ini datang darimana? Rasanya aku belum pernah melihat
engkau?"
Seorang tua memanggilnya
dengan sebutan 'paman', karuan Coh Liu-hiang jadi serba konyol. Untunglah Hoa
Kim-kiong dan menantunya tidak mengejar tiba. Maka dengan tenang Coh Liu-hiang
menjawab dengan tertawa, "Ah, Losiansing jangan sungkan-sungkan, sebutan
paman tak berani kuterima."
Siapa tahu, baru habis ucapannya.
seketika si 'jinat tertawa terbahak-bahak, ucapnya," Hahaha, kiranya kau
seorang yang dungu. Jelas-jelas usiaku baru dua belas, tapi kau panggil
Losiansing padaku, jika didengar oleh Toakoku, pasti perutnya akan meledak
saking geli."
Kembali Coh liu-hiang
melengak, tanpa sadar ia meraba hidung. katanya kemudian. "Masa kau
baru...... baru dua belas?"
"Betul, tepat dua
belas," jawab si 'jimat' sambil menghitung dengan menekuk jari-jarinya,
"Hari ini usiaku persis genap dua belas, satu hari pun tidak lebih dan
tidak kurang."
"Lantas umur
Toakomu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Haha, kalau umur Toakoku
sih jauh lebih tua daripada aku, bahkan mungkin lebih tua daripadamu
paman," tutur si 'jimat' dengan tertawa.
"Siapa namanya?"
tanya pula Coh Liu-hiang.
"Dia bernama Sih
Ih-jin," jawab si 'jimat'. "Aku sendiri Sih Siau-jin, tapi orang lain
sama memanggilku Sih Po-po... Po-po, Sih Po-po, eh, enak tidak kedengarannya
namaku ini?'"
Bahwa si sinting ini ternyata
adik Sih Ih-jin, si pendekar pedang nomor satu di dunia ini, sungguh sukar
untuk dipercaya, diam-diam Coh Liu-hiang merasa gegetun. Ia pun tidak ingin
banyak cingcong dengan orang sinting begini, dengan tertawa lantas ia menjawab,
"Namamu memang enak didengar, jika nama mu Po-po, maka kau harus menjadi
Po-po kesayangan. Nah biarkan aku pergi dari sini, lain kali pasti akan
kubawakan pemen bagimu."
Sekarang dia malah menyebut
kakek yang sudah berumur empat lima puluhan tahun sebagai 'Po-po kesayangan',
tentu saja ia merasa geli. Maka sambil memberi tangan, berbareng ia terus
melayang ke sana.
Tak tahunya, mendadak Sih
Po-po juga melenting ke atas, berbareng ia melolos pedangnya yang lemas,
"sret-sret-sret", sekaligus ia menusuk tiga kali. Sungguh serangan
yang cepat, jitu lagi keji, betapa lihai ilmu pedangnya ini boleh dikatakan
dapat disejajarkan dengan jago pedang kelas wahid.
Meski Coh Liu-hiang dapat
menghindarkan tiga kali tusukan namun terpaksa ia harus turun lagi ke bawah.
Dilihatnya Sih Po-po berdiri
di depan, dengan tertawa lagi berkata. "Kau telah mengacaukan pekerjaanku,
paman, sebelum kau mengganti rugi, mana boleh kau pergj begitu saja!"
Coh Liu-hiang memandangnya
lekat-lekat, ia sendiri menjadi bingung apakah orang ini sinting atau waras.
Kalau melihat dandanannya dan
cara bicaranya, jelas seorang sinting seratus persen, tapi orang sinting mana
bisa memainkan ilmu pedang selihai ini.
Terpaksa ia menjawab sambil
menyengir, "Pekerjaan apa yang kukacau? Masa pakai ganti rugi
segala?"
Sih Po-po lantas goyang-goyang
pundaknya seperti anak kolokan, ucapnya dengan aleman, "Tadi......tadi aku
lagi menghitung bintang di langit, dengan susah payah bintang-bintang di
sebelah sana sudah selesai kuhitung, tapi paman mendadak datang sehingga
kacau-balau bilangan hitunganku. Nah, kau harus ganti rugi padaku,.
harus."
"Baik, akan kuganti
kerugianmu," ujar Coh Liu-hiang pu la. "Tapi cara bagaimana
membayarnya?" Sembari bicara, secepat terbang ia terus melayang miring ke
sana.
Gerakan ini sudah menggunakan
Ginkang Coh Liu-hiang yang tiada taranya, siapa pula di dunia ini yang mampu
menyusulnya?
Siapa tahu. Sih Po-po
seolah-olah sudah tahu lebih dahulu kalau Coh Liu-hiang akan kabur mendadak,
maka baru saja tubuh Coh Liu-hiang bergerak, serentak gelang emas yang terpakai
di tangan Sih Po-po juga menyambarnya?
Terdengar suara gemerincing
nyaring, empat buah gelang emas memancarkan cahaya emas di udara malam gelap,
secara melingkar gelang-gelang itu terus menyambar ke arah Coh Liu-hiang.
Pandangan Coh Liu-hiang terasa silau oleh cahaya emas terdengar suara
"tring-tring" dua kali, empat gelang saling bentur di udara, habis
itu mendadak menyambar ke muka
Nyata, bukan cuma Ginkangnya
yang sangat tinggi dan lihai pula ilmu pedangmya, bahkan cara menyambitkan
senjata rahasia 'si sinting' inipun sangat hebat, peluru perak Hoa Kim-kiong
boleh dikatakan seperti anak kecil main gundu jika dibandingkan kepandaiannya.
Karena daya melayang Coh
l.iu-hiang ke depan sangat cepat, tampaknya dia akan termakan oleh sambaran
gelang-gelang emas itu. Syukurlah pada detik terakhir sekonyong-konyong
tubuhnya melenting balik ke belakang. berbareng kedua tangannya meraup dan
meraih, sehingga tiga dari empat gelang emas itu tertangkap olehnya, sisa
sebuah gelang emas itupun kena dipukul mencelat oleh ketiga gelang yang
terpegang olehnya.
Gerakan melenting mundur
disertai tangan menangkap senjata rahasia ini mudah diceritakan, tapi praktek
sesungguhnya sangat sukar. Sebab tubuh. mata, waktu dan tempat harus
diperhitungkan secara tepat, sedikitpun tidak boleh meleset.
Bila gerak tangannya kurang
cepat, maka keempat gelang emas tak mungkin tertangkap dan terpukul jatuh pula,
kalau tidak memiliki Ginkang yang maha sakti, sukar juga memunahkan tenaga
sambaran gelang emas itu, umpama dapat menangkapnya juga tangan akan pecab
tergetar.
Apapun juga, setelah Coh
Liu-hiang dapat menangkap gelang-gelang emas itu, tidak urung ia pun terdesak
mundur kembali ke tempatnya semula.
Dilihatnya Sih Po-po lagi
berjingkrak-jingkrak aleman seperti anak kecil dan berkata, "Aku emoh,
paman kan sudah janji akan memberi ganti rugi, mengapa mendadak mau mengeluyur
pergi?, Orang tua masa menipu anak kecil."
Tiba-tiba Coh Liu-hiang merasa
si sinting ini adalah lawan yang paling sukar dilayani, belum pemah ia ketemu
lawan se lihai ini. Meski sudah banyak pengalamannya, seketika ia menjadi mati
kutu dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Dalam pada itu Sih Po-po
berjingkrak-jingkrak pula, ucapnya dengan manja, "Hay, paman, katamu
hendak mengganti rugi padaku, nah, jadi ganti atau tidak?"
"Sudah tentu akan
kuganti," jawab Coh Liu-hiang dengan tertawa, "Tapi cara bagaimana
kubayar ganti ruginya?"
"Mudah sekali,"
sahut Sih Po-po gembira. "Asalkan kau menghitung bintang-bintang di langit
hingga selesai dan urusan pun menjadi beres."
"Bintang sebelah mana? tanya
Coh Liu-hiang sambil meraba hidung.
"Sana," sahut Sih
Po-po sambil menuding.
Di langit hakikatnya tiada
rembulan, melainkan penuh bertaburan bintang, meski seorang mempunyai lima
ratus pasang mata dan seribu tangan juga tidak mampu menghitung seluruh bintang
di langit itu.
Tapi Coh Liu-hiang sengaja
menjawab, "O, maksudmu sebelah sana, baiklah. tanggung beres."
"Tanggung beres
bagaimana? tanya Sih Po-po sambiJ ber kedip-kedip.
"Sebab bintang-bintang
yang di sebelah sana itu baru saja selesai kuhitung, seluruhnya ada dua puluh
sembilan ribu enam ratus tujuh puluh tiga."
''Apa betul? Paman tidak
keliru?" tanya Sih Po-po dengan ragi-ragu.
"Sudah tentu betul, masa
orang tua menipu anak kecil?" jawab Coh Liu-hiang. "Jika kau tidak
percaya boleh kau menghitungnya lagi."
Diam-diam Coh Liu-hiang sudah
ambil keputusan, apabila si sinting ini tidak tertipu olehnya, maka sintingnya
itu pasti cuma pura-pura saja. Meski Coh Liu-hiang tidak sudi berkelahi dengan
orang sinting sungguh-sungguh, terhadap orang sinting palsu pun tentu tidak
perlu sungkan lagi.
Ternyata Sih Po-po lantas
tertawa dan berkata, "Apa betul jumlahnya dua puluh sembilan ribu enam
ratus tujuh puluh tiga? Baiklah akan kuhitung lagi sekali"
Lalu ia benar-benar menengadah
dan mulai menghitung. mulutnya berucap, jarinya bergerak, sambil
manggut-manggut lagi.
Diam-diam Coh Liu-hiang merasa
lega, secepat anak panah ia terus melesat ke sana. Sekali ini Sih Po-po
benar-benar asyik menghitung, sehingga lupa daratan dan tidak memperhatikan kepergian
Coh Liu-hiang.
Baru sekarang Coh l.iu-hiang
percaya benar-benar telah bertemu seorang sinting yang berilmu silat maha
tinggi, ia merasa geli dan juga tercengang.
Kejadian ini sungguh sukar
untuk dibayangkan dan belum lagi ada penyelesaiannya, yaitu perkara 'mayat
kesuruian roh'
Roh Si In seolah-olah benar
telah hidup kembali melalui mayat Cu Beng-cu.
Saat Cu-jiya melihat pupur
yang dibawa pulang oleh Coh Liu-hiang, mau tak mau ia melongo juga dan
berkeringat dingin, sampai lama sekali ia tidak sanggup bicara.
Thio Kan-cay juga melenggong
melihat kotak pupur itu. Ia mengernyitkan kening, tanyanya kemudian.
"Apakah keadaan di sana memang tepat seperti uraiannya?"'
"Ya, sama persis,"
jawab Coh Liu-hiang.
"Nona Si itu benar-benar
mati hari ini?" tanya Thio Kan-cay pula.
"Betul, malah jenazahnya
pun belum masuk peti, pakaiannya juga kulihat dengan jelas, sama seperti
Mendadak Cu-jiya melonjak
bangun dan berteriak, "Aku tak perduli pakaian apa segala? Aku pun tak
pusing anak perempuan keluarga Si mampus atau tidak, yang jelas Beng-cu adalah
puteriku, siapa pun tak dapat merampasnya."
"Akan......akan tetapi.
bagaimana kalau dia tak mengakui kau sebagai ayahnya?" tanya Thio Kan-cay.
"Jika dia berani
menyangkal aku sebagai ayahnya, segera....... segera kubunuh dia!" Cu-jiya
meraung murka
"Kau benar- benar tega
membunuhnya?" ? tanya tabib sakti.
"Melenggong juga Cu-jiya
jawabnva kemudian "Meng...mengapa tidak tega? Aku....Aku..." Ia tidak
sanggup melanjutkan lag karena air matanya bercucuran, tubuhnya yang kekar itu
lantas terkulai lemas di sandaran kursi, seakan-akan tak sanggup tegak lagi.
Thio Kan-cay menghela napas
sambil menggeleng katanya, "Nasib....nasib orang kalau sudah begini, apa
yang dapat dikatakan lagi?"
Sambil mendekap kepalanya, Cu-jiya
berkata dengan sedih. "Apakah kalian menghendaki aku membenarkan Beng-cu
adalah puteri perempuan judas itu? Masa kalian menyuruhku menyerahkan anak
perempuanku sendiri kepada orang lain?"