-------------------------------
----------------------------
Bab 6: Tangisan & Ratapan
Petangnya, hari belum lagi
gelap, Ciok Siu-hun sudah menunggu di tempat yang dijanjikan.
Ia tidak tahu mengapa Coh
Liu-hiang berjanji bertemu dengannya di sini, lebih-lebih tak terpikir olehnya
bahwa dia akan mengadakan janji pertemuan dengan seorang lelaki yang baru
dikenalnya di depan kuburan kakak kandungnya, akan tetapi ia toh datang juga ke
sini.
Ia heran mengapa hari ini
sedemikian lambat datangnya tabir malam. Untung tempat ini sangat sepi,
sepanjang hari juga tiada tampak bayangan orang berlalu di situ, apalagi
sekarang hari sudah hampir gelap.
Ia pandang makam kakaknya,
seharusnya hatinya merasa pilu, merasa sedih, tapi sekarang bilamana teringat
kepada Coh Liu-hiang, hatinya lantas menjadi bahagia, terasa manis urusan lain
sudah terlupakan semua.
Kakinya memang masih sakit,
namun sapu tangan sutera Coh Liu-hiang yang digunakan membalut luka kakinya itu
sudah dibukanya dan disimpannya baik-baik., kini dia memakai sepasang sepatu
baru bersulam bunga.
Padahal kakaknya baru
meninggal beberapa hari yang lalu dan dia telah memakai sepatu bersulam bunga,
tindakan ini sebenarnya tidak pantas bagi orang yang sedang berkabung. Ia pun
merasa dirinya salah, tapi sepatu baru itu toh dipakainya juga. Maklumlah, ia
merasa pandangan Coh Liu-hiang senantiasa tertuju kepada kakinya, ia merasa
bila sekarang dia memakai sepatu baru ini, tentu akan bertambah menarik.
Akhirnya hari mulai gelap,
angin pun meniup santer, Ciok Siu-hun merasa tubuhnya membara luar biasa
panasnya.
"Mengapa belum nampak
muncul? Jangan-jangan dia tidak datang," demikian ia pikir dengan gelisah.
Ia menggigit bibir dan
memandang bulan yang baru menongol, pikirnya, "Bila bulan sudah sebatas
dahan pohon sana dan dia masih belum muncul, akan kutinggal saja."
Tidak lama kemudian bulan
sudah melampaui dahan pohon itu dan dia toh tetap menunggu di situ. Ia menunggu
dengan termenung-menung, saat lain ia jadi mendongkol, pikirnya, "Seumpama
dia datang sebentar lagi juga, takkan kugubris dia."
Hati berpikir begitu, tetapi
ketika bayangan Coh Liu-hiang nampak muncul, maka lupalah segalanya, secepat
terbang ia berlari-lari menyongsong ke sana.
Akhirnya Coh Liu-hiang datang
juga, malahan membawa pengikut yang tidak sedikit. Baru saja Ciok Siu-hun
hendak menyongsong ke sana, mendadak ia urungkan maksudnya.
Dilihatnya Coh Lhi hiang
sedang tersenyum padanya, senyuman yang lembut dan manis.
"Untuk apa kau membawa
orang sebanyak ini?"tanya Ciok Siu-hun, dengan mendongkol lantas ia
berpaling dan melangkah pergi.
Dia berharap Coh Liu-hiang
akan menyusulnya, tapi justru tidak terdengar adanya suara orang berjalan,
tanpa terasa ia mengndurkan langkahnya, ia ingin menoleh, tapi kuatir
ditertawakan orang.
Ia menjadi serba salah, ya
mendongkol, ya gemas, ya duka, ya menyesal. Selagi bingung, tiba-tiba terdengar
orang tertawa di sampingnya, entah sejak kapan Coh Liu-hiang sudah menyusul
tiba dan memandangnya dengan tertawa, tertawa yang menggiurkan, tertawa yang
menggemaskan, seakan-akan perasaannya telah dapat diselami olehnya.
Muka Siu-hun menjadi merah.
Sebelum Coh Liu-hiang menyusul tiba, ia sengaja berhenti menunggu, setelah Coh
Liu-hiang menyusulnya, mendadak ia percepat pula langkahnya dan menerobos lewat
di samping Coh Liu-hiang.
Akan tetapi Coh Liu-hiang
sempat menariknya dan menegur dengan suara lembut, "Akan kemana kau?"
Siu-hun menggigit bibir dan
menjawab dengan mendongkol. "Lepaskan, biarkan kupergi, jika engkau tidak
sudi bertemu dengan aku, untuk apa pula engkau mengganduli diriku?"
"Siapa bilang aku tidak
suka bertemu dengan kau?" tanya Coh Liu-hiang.
"Jika begitu, anggaplah
aku yang tidak suka bertemu dengan kau, nah biarkan kupergi," kata si
nona.
"Kalau kau tidak suka
bertemu denganku, mengapa kau menungguku di sini?" tanya Coh Liu-hiang.
Muka Ciok Siu-hun bertambah
merah, matanya menjadi basah juga, ucapnya sambil membanting kaki, "Ya,
betul, aku memang ingin bertemu dengan kau. Lantaran kau tahu aku pasti
menunggumu di sini, makanya kau membawa penonton sebanyak ini untuk membuktikan
betapa kelihaianmu memikat anak perempuan, dimana-mana kau selalu ditunggu anak
perempuan."
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya, "Sesungguhnya aku pun tidak ingin membawa serta mereka, cuma ada
ada suatu urusan, terpaksa aku harus minta bantuan mereka."
"Urusan apa?" si
nona menjadi heran.
"Kuminta mereka menggali
kuburan ini," tutur Coh Liu-hiang.
"Apa katamu?" teriak
Ciok Siu-hun. "Ap......apa kau sudah gila? Untuk apa kau hendak menggali
kuburan kakakku?"
"Ini bukan kuburan
kakakmu," jawab Coh Liu-hiang. "Bilamana tidak keliru dugaanku, ini
pasti cuma sebuah kuburan kosong belaka."
"Siapa bilang?"
teriak Ciok Siu-hun. "Dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan peti mati
kakakku ditanam di sini......"
"Meski peti mati ditanam
di sini, tapi di dalam peti pasti tiada isinya," ucap Coh Liu-hiang sambil
mengelus tangan si nona dengan pelahan, lalu katanya pula dengan lembut.
"Percayalah, aku pasti tidak berdusta padamu, kalau tidak, tentu aku tidak
akan mengajakmu ke sini. Asalkan kau mau menunggu sebentar, tentu akan terbukti
apa yang kukatakan memang tidak keliru."
**********
Benar juga, setelah digali, di
dalam peti mati memang tiada mayat segala, hanya berisi beberapa potong batu
saja.
Lalu kemana perginya mayat di
dalam peti ini? Apakah benar mayat kesurupan roh dan telah hidup kembali?
Gemetar sekujur badan Ciok
Siu-hun, akhirnya ia tidak tahan dan menangis tergerung-gerung, ratapnya,
"O, Cici, kemana perginya Ciciku? Mengapa Ciciku beruban menjadi
batu?"
Jerit tangis dan ratapan
memilukan itu menggema jauh dan menimbulkan kumandang suara yang seram seperti
tangisan setan dan juga seperti tertawa iblis, segala setan iblis di sekeliling
tanah pekuburan ini seolah-olah. membanjir keluar dalam kegelapan dan mengejek.
Menghadapi suasana yang seram
ini, sekalipun anak murid Kay-pang yang sudah biasa berkecimpung di Kangouw,
juga merasa merinding.
Pelahan Coh Liu-hiang
merangkul bahu Ciok Siu-hun katanya, "Apakah kau pun menyaksikan sendiri
mayat kakakmu dimasukkan ke dalam peti oleh mereka?"
"Ya, kusaksikan sendiri,
kusaksikan dengan jelas." jawab Siu-hun.
"Dan waktu peti mati
ditutup dan dipantek, juga kau saksikan?"
"Waktu......waktu peti
mati ditutup dan dipantek, mestinya aku juga ingin menyaksikan, tapi.....tapi
bibi kuatir aku terlalu berduka, aku dipaksa kembali ke kamar."
"Apakah pamanmu sendiri
yang memantek peti matinya?" tanya Coh Liu-hiang.
Siu-hun mengiyakan sambil
terisak-isak. "Dan sekarang dimana pamanmu?"
"Pada hari kedua setelah
Cici dikubur, paman lantas pergi ke kota."
"Kerja apa di kota?"
"Berbelanja tahun baru
bagi keluarga Sih." tutur Siu-hun.
Tugas belanja jelas adalah
pekerjaan yang enak, di samping dapat pelesir ke kota, juga pasti dapat banyak
kesempatan untuk korupsi. Maka terbeliaklah mata Coh Liu-hiang, tanyanya pula,
"Apakah tugas belanja tahun baru itu selalu jatuh pada diri pamanmu
""
"Tidak, tahun-tahun
sebelumnya paman tidak pernah mendapatkan tugas itu." jawab Siu-hun.
Tersembul senyuman Coh
Liu-hiang yang penuh arti dan sukar diraba, ia berguman, "Tahun-tahun
sebelumnya tidak pernah, tapi tahun ini tugas baik ini mendadak jatuh
padanya......Ehm, menarik, sunguh menarik peristiwa ini.”
Sejenak kemudian, mendadak ia
bertanya pula, "Apakah tugas belanja itu diperolehnya dari
Sih-jikongcu?"
"Betul, justru lantaran
itulah, makanya aku bertambah yakin Cici pasti dicelakai oleh
Sih-jikongcu," kata Siu-hun. "Agaknya dia ingin menebus dosa, maka
sengaja memberikan tugas baik kepada pamanku.7*
Coh Liu-hiang menghela napas,
katanya, "Mungkin bukan untuk menebus dosa, tapi......"
"Tapi apa?" sela
Siu-hun.
"Persoalan ini sangat
rumit, andaikan kukatakan sekarang juga kau takkan paham," kata Coh
Liu-hiang.
"Aku pun tidak perlu
paham, aku cuma ingin tahu kemana perginya mayat Ciciku?" keluh Siu-hun
sambil mencucurkan air mata.
Coh Liu-hiang berpikir
sejenak, katanya kemudian, "Apabila tidak meleset dugaanku, tidak sampai
tiga hari, mayatnya pasti dapat kukembalikan kepadamu."
"Kau...... kau tahu
dimana beradanya mayat Ciciku?" Siu-hun menegas.
"Sampai detik ini, aku
pun hanya menduga-duga saja dan belum pasti"
"Apakah......apakah
mayatnya telah dicuri orang?"
"Ehm, bisa jadi,"
Coh Liu-hiang mengangguk.
"Siapa yang mencuri
mayatnya? Memangnya untuk apa? Kan tiada sesuatu barang berharga yang ikut
dikebumikan bersama Cici, apa gunanya orang itu mencuri mayat Ciciku?"
"Sebaiknya sekarang
jangan kau tanya terlalu banyak," ucap Coh Liu-hiang dengan suara lembut.
"Kuberjanji padamu, dalam waktu tiga hari pasti akan kujelaskan seluruh
persoalannya."
*******
Waktu Coh Liu-hiang pulang
sampai di Ccng-pwe-san-ceng, sementara itu hari pun sudah hampir terang tanah.
Meski Cu Kin-hou belum lagi
bangun, tapi demi mendengar pulangnya Coh Liu-hiang, cepat-cepat ia mengenakan
pakaian dan mendatangi kamar Coh Liu-hiang, begitu berhadapan segera ia pegang
tangan sahabatnya itu dan berkata, "Saudaraku sepanjang hari tak nampak
bayanganmu, sungguh aku sangat cemas. Kemanakah kau sebenarnya? Adakah kau
memperoleh susuatu berita?"
Coh Liu-hiang tertawa, ia
tidak menjawab pertanyaan itu, malah balas bertanya "Bagaimana dengan
Ting-jihiap?"
“Sejak tiba, Ting-loji terus
mendesak padaku sehingga aku menjadi kehilangan akal," tutur Cu Kin-hou.
"Tapi sampai semalam, entah mengapa mendadak, ia mohon diri dan pergi
tanpa bicara apa-apa. Melihat gelagatnya, mungkin terjadi sesuatu di
rumahnya."
Setelah menghela napas, lalu
ia menyambung pula sambil menyengir, "Saudaraku, bukan maksudku
mengharapkan kemalangan orang lain, tapi aku benar-benar berharap terjadi
apa-apa di rumahnya sehingga dia tidak sempat mendesak aku lagi."
“Dan bagaimana dengan
nona?" tanya Coh Liu-hiang pula.
"Dia mau juga menurut
perkataanmu, sepanjang hari dia mengurung diri di dalam kamar, tidak pernah
keluar."
"Dia memang anak yang
baik," ujar Coh Liu-hiang.
"Akan...... akan tetapi,
sebenarnya bagaimanakah urusannya? Apa yang harus kulakukan? Aku kan tidak
dapat mengulur waktu terus menerus terhadap pihak keluarga Ting?"
Cu Kin-hou memegang erat-erat
tangan Coh Liu-hiang, lalu menyambung pula, "Saudaraku yang baik,
betapapun kau harus berdaya upaya bagiku."
“Daya akal sih ada, cuma Jiko
tidak boleh terburu napsu, kukira tidak lebih dari tiga hari urusannya pasti
sudah dapat dipecahkan," kata Coh Liu-hiang.
"Tiga hari, lagi-lagi
tiga hari, memangnya di dalam tiga hari bisa bisa terjadi suatu mukjizat?"
Mestinya Cu Kin-hou ingin tanya lebih jelas, namun Coh Liu-hiang sudah
mengantuk dan terpulas.
Esoknya pagi-pagi, baru saja
Coh Liu-hiang bangun tidur diberitahu bahwa dua orang sedang menunggu di luar.
Seorang anak murid Kay-pang
telah diundang ke kamar tamu Cu Kin-hou dan disuguhi teh. Seorang lagi tidak
mau menjelaskan maksud kedatangannya, malahan tidak mau masuk ke dalam, hanya
menunggu saja di luar pintu.
Coh Liu-hiang mengerut kening
demi mendengar keterangan ini, tanyanya, "Bagaimana macam orang itu?"
Pelayan yang menyampaikan
laporan itu bernama Cu Seng, orang kepercayaan Cu-jiya, dengan sendirinya juga
cekatan dan gesit, ia mengingat-ingat sejenak, lalu menutur, "Wajah orang
itupun biasa saja, cuma gerak-geriknya mencurigakan, bahkan tidak mau bicara
sejujurnya."
"O," heran juga Coh
Liu-hiang.
"Dia mengaku datang dari
jauh,'' tutur Cu Seng pula. "Tapi dari pakaiannya yang rapi dan bersih
itu, hamba yakin dia pasti berdusta, apalagi kedatangannya juga tidak ada
tanda-tanda habis menempuh perjalanan jauh.''
"Menurut pandanganmu,
apakah dia mirip orang terlatih?" tanya Coh Liu-hiang.
"Langkahnya tampak
enteng, gerakannya juga gesit, tampaknya memang memiliki sedikit kepandaian,
tapi jelas bukan orang Kangouw, hamba berani garansi selama hidupnya pasti
tidak pernah menjelajah seratus li di luar Siong-kang-hu."
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya, "Pantas Cu-jiya suka memuji kecerdikanmu, melulu pandanganmu yang
tajam ini sudah jarang ada bandingannya di dunia Kangouw."
"Ah, semua ini kan berkat
ajaran Jiya dan Hiang-swe," ujar Cu Seng dengan hormat.
"Dan dimanakah
Jiya?" tanya Coh Liu-hiang.
"Jiya telah makan obat
penenang pemberian Thio-losiansing dan baru masuk tidur dini hari, maka saat
ini belum lagi mendusin," jawab C u Seng.
"Lalu bagaimana dengan
nona?"'
"Air muka nona tampak
baik baik saja, bahkan juga sudah mau makan, hanya orang dilarang masuk
kamarnya sepanjang hari ia pun menutup diri di kamarnya......." Cu Seng
menghela napas, kemudian menyambung dengan suara tertahan,"Tentunya
Hiang-swe tahu, dahulu nona tidak pernah bersikap begini, tidak pernah menutup
diri di dalam rumah , hamba merasa persoalan ini rada........ rada aneh."
"Sebentar boleh kau
laporkan kepada nona, katakan besok pasti ada kabar dariku, suruh dia jangan gelisah,"
kata Coh Liu-hiang setelah berpikir.
"Apakah Hiang-swe
sekarang akan menemui saudara cilik dari Kay-pang yang telah menunggu cukup
lama itu?" tanya Cu Seng.
"Ya, akan kutemui
dia," kata Coh Liu-hiang.
Jelas si gundul sedang gelisah
karena sudah menunggu sekian lamanya, ketika melihat Coh Liu-hiang, segera ia
menyongsong dan memberi hormat, katanya, "Pekerjaan yang Hiang-swe
serahkan kepada kami itu kini sudah ada hasilnya."
"Cepat juga cara kerja
kalian," puji Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Kemarin, begitu selesai
Hiang-swe memberi pesan, segera Toako menyuruh segenap saudara di seluruh kota
mencari berita di setiap pelosok, maka siang tadi masuklah kabar baik."
Coh Liu-hiang tersenyum dan
menantikan cerita lanjutannya.
Si gundul lantas menyambung,
"Tamu dari daerah utara yang masuk Siong-kang-hu akhir-akhir ini cuma ada
beberapa orang saja, rata-rata adalah saudagar yang sudah berumur, tentu bukan
orang yang hendak dicari Hiang-swe. Hanya dua orang diantaranya yang rada
mencurigakan, yaitu terdiri dari pasangan suami isteri yang masih muda dan juga
cakap, konon putra bangsawan kotaraja yang sedang berbulan madu dengan
isterinya yang baru dinikahinya. Akan tetapi dari gerak-gerik mereka, biarpun
pelayan hotel juga tahu kalau mereka berdusta."
"O, apa dasarnya?"
tanya Coh Liu-hiang.
"Sebab, mereka mengaku
sedang berbulan madu dan ingin pesiar, akan tetapi sepanjang hari mereka
sembunyi di dalam kamar dan tidak berani keluar. Meski dandanan mereka sangat
perlente, namun sangat pelit, sedikitpun tiada tanda-tanda tuan muda yang kaya.
"Apakah dia she
Yap?" tanya Coh Liu-hiang.
"Menurut buku hotel, nama
yang tercatat adalah Li Beng-seng," tutur si gundul. " Tapi nama kan
dapat diubah."
"Betul, apa susahnya
pakai nama palsu," ujar Coh Liu-hiang. "Di hotel mana mereka
tinggal?"
"Hotel Hok-seng di
gerbang timur," kata si gundul. "Baiklah, kalian berangkat dulu dan
tunggu saja di sana, segera aku menyusul," kata Coh Liu-hiang.
Dia masih harus menemui dulu
orang kedua yang telah menunggunya di luar rumah. Yaitu seorang berbaju hijau,
berdiri di bawah pohon dengan seekor kuda pulih, tampaknya agak gelisah karena
sudah menunggu sekian lama.
Coh Liu-hiang tidak kenal dia,
tapi dia kenal Coh Liu-hiang, segera ia menyongsong dan memberi hormat.
"Ada keperluan apa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Ada urusan penting,
majikan mohon bertemu dengan Hiang-swe," jawab si baju hijau.
"Siapakah
majikanmu?" tanya pula Coh Liu-hiang.
"Beliau adalah sahabat
lama Hiang-swe." kata si baju hijau dengan tertawa. "Bila sudah bertemu,
tentu Hiang-swe akan tahu sendiri, kini beliau sedang menunggu di depan sana
dan hamba disuruh mengundang Hiang-swe."
"Kenapa majikanmu tidak
datang sendiri dan sebab apa pula kau tidak boleh menyebutkan namanya,"
tanya Coh Liu-hiang.
Namun si baju hijau tidak mau
bicara apa-apa lagi, ia hanya munduk-munduk sambil tertawa, namun jelas tertawa
palsu, tertawa yang tak bermaksud baik.
Coh Liu-hiang juga lertawa,
dengan lekat-lekat ia pandang si baju hijau, katanya kemudian "Sama sekali
kau tidak mau menjelaskan apa-apa, cara bagaimana kau tahu aku akan ikut pergi
bersamamu?"
"Jika Hiang-swe tidak
ikut pergi kan berarti untuk selamanya engkau takkan tahu siapa siapa
majikanku, untuk ini pasti Hiang-swe akan sangat menyesal,” ujar si baju hijau.
"Bagus, ternyata
majikanmu dapat menyelami ciriku,," kata Coh Liu-hiang sambil tertawa.
"Memang, jika tidak
kutemui dia, mungkin aku takkan enak tidur."
"Majikan juga sudah
bilang, di dunia ini tiada orang yang tak berani ditemui oleh Hiang-swe dan
juga tiada tempat yang tak berani didatangi olehmu," kata si baju hijau
dengan tertawa, sembari melepaskan tali tambatan kuda, ia kebut-kebut debu
diatas pelana lalu berkata pula sambil membungkuk tubuh, "Silakan
Hiang-swe."
"O, kuda ini untukku,
lalu bagaimana dengan kau?" tanya Coh Liu-hiang.
Hamba tidak diperlukan lagi,
kuda ini sanggup membawa Hiang-swe ke sana," kata si baju hijau dengan
tertawa.
Rupanya si baju hijau dapat
menyelami watak Coh Liu-hiang, urusan yang semakin berbahaya dan semakin
misterius, semakin menarik pula bagi Coh Liu-hiang. Terkadang, meski sudah
jelas diketahui di depan adalah perangkap, tapi dia malah sengaja terjun ke
sana.
Begitulah lantas Coh Liu-hiang
berangkat mengikuti kuda putih itu, ketika melintasi jembatan kecil sayup-sayup
dapat didengarnya suara tertawa si baju hijau tadi, suara tertawa vang
mengandung ejekan dan jahat.
Siapakah sebenarnya gerangan
majikan si baju hijau? Jangan-jangan si pemimpin komplotan pembunuh bayaran
ini?
Namun Coh Liu-hiang sangat
bergairah, sama riangnya seperti anak kecil yang sedang main
sembunyi-sembunyian atau kucing-kucingan, terasa permainan ini cukup merangsang
dan menegangkan.
Lari kuda itu sangat kencang,
jelas kuda yang sudah terlatih baik. Coh Liu-hiang tidak memegang tali kendali,
ia membiarkan kuda itu lari sesukanya, ternyata begitu saja ia menyerahkan
nasibnya kepada kuda putih ini, malahan sama sekali tidak merasa kuatir.
Bahkan ia sengaja memejamkan
mata, ia berharap bilamana nanti ia membuka mata, maka akan dilihatnya sesuatu
atau seorang yang menarik. Lama juga kuda itu berlari ke depan, mendadak kuda
itu berhenti, lalu meringkik. Habis itu suasana terasa sunyi senyap, namun ia
tetap tidak membuka matanya.
Sejenak kemudian terdengarlah
suara kresekan pelahan, suara orang berjalan yang sedang menuju kemari.
Langkah orang ini sangat
enteng, sedemikian lirih suara yang ditimbulkannya, meski kakinya menginjak
daun kering, kecuali Coh Liu-hiang, mungkin di dunia ini tiada orang yang mampu
mendengarnya.
Masih berjarak belasan tindak,
terasa oleh Coh Liu-hiang hawa pedang yang tajam, ia tidak terkejut, sebaliknya
malah tertawa dan berkata, "Kiranya kau, sungguh tak tersangka oleh
ku,"
Yang berhadapan dengan Coh
Liu-hiang sekarang ternyata Sih Ih-jin adanya. Berdiri tegak dengan pakaiannya
yang putih mulus melambai-lambai tertiup angin, di belakang punggung Sih Ih-jin
menyandang pedang panjang bersarung kulit hitam, caranya pedang tersandang di
punggungnya itu mempunyai gaya tersendiri, yaitu supaya pedang dapat di lolos
pada waktu yang sesingkat-singkatnya.
Sekarang belum lagi pedang
terlolos sarungnya, namun hawa tajam pedangnya sudah terpancar keluar. Sorot
matanya tiada ubahnya seperti hawa pedangnya, maklum pada hakikatnya ilmu
pedang Sih Ih-jin sudah terlatih sedemikian rupa sehingga pedang dan pribadinya
seolah-olah sudah melebur menjadi satu.
Dengan tenang dan tajam ia
pandang Coh Liu-hiang, jengeknya, "Tentunya sudah kau duga akan diriku
bukan?"
"Betul, seharusnya kuduga
akan dirimu, sampai-sampai Cu-Seng saja dapat melihat pesuruhmu itu bukanlah
oarang yang dari jauh, orang Sih-keh-ceng mendatangi keluarga Cu sudah tentu
tidak mau mengatakan namanya."
"Soalnya pertarungan maut
sudah dekat waktunya, aku tidak ingin mencari perkara lagi dengan keluarga
Cu."
"Tapi di hadapanku
mengapa dia juga menolak untuk mengatakan maksud kedatangannya?"
"Sebab dia kuatir kau
tidak berani ikut datang kemari"
"Tidak berani kemari?
Kenapa tidak berani? Diundang sahabat, betapapun aku pasti akan datang."
"Tapi kemungkinan kau
tidak berani datang, sebab kau sudah bukan lagi sahabatku," ucap Sih
Ih-jin sekata demi sekata dengan melotot.
Coh Liu-hiang meraba-raba
hidungnya, katanya dengan tertawa, "Kan kemarin kita masih bersahabat,
mengapa sekarang sudah bukan lagi?"
"Sebenarnya aku ingin
bersahabat dengan kau, makanya kau kubawa ke ruangan senjataku, siapa tahu
kau...." Tiba-tiba Sih lh-jin menarik muka dan menyambung pula,
"Siapa tahu kau tiada harganya untuk dijadikan kawan."
"O, apa kau kira
aku.....aku telah mencuri pedangmu?"
"Lantaran sudah
kuperlihatkan tempatnya, dengan sendirinya kau sudah tahu jalannya, kalau tidak
masakah kau dapat menggerayanginya?".
Hampir merah hidung
Coh-Liu-hiang tersosok-gosok, ucapnya dengan menyengir, "Jadi....jadi
pedangmu memang benar telah tercuri?"
Sih Ih-jin tidak menjawab, ia
menunduk memandangi baju sendiri yang putih itu, lalu berkata pelahan,
"Baju ini buatan dua tahun yang lalu dan baru hari ini aku memakainya,
sebab baru sekarang kutemukan orang yang harus kubunuh, orang yang pantas kubunuh."
Coh Liu-hiang menghela napas,
katanya, "Dan hari ini setelah aku berkunjung ke tempatmu dan pedangmu
lantas dicuri orang, pantaslah bila engkau mencurigai diriku, akan tetapi bila
kubunuh diri, maka selamanya engkau pun takkan tahu lagi siapa sesungguhnya
pencuri pedangmu itu."
"Siapa lagi kalau bukan
kau sendiri?" kata Sih Ih-jin. "Memangnya aku sengaja memfitnahmu?
Jika aku sudah berniat membunuhmu, kan tidak perlu mencari alasan segala?"
"Dengan sendirinya kau
tidak memfitnahku, tapi ada orang lain lagi yang ingin memfitnah diriku. Dia
mencuri pedangmu, tujuannya supaya kau membunuhku, masakah kau tidak pernah
mendengar akal 'pinjam golok membunuh orang'?"
"Memangnya siapa lagi
yang memfitnah dan ingin membunuhmu?"
"Bicara terus terang, orang
yang ingin mencelakai diriku jumlahnya tidak sedikit." tutur Coh Liu-hiang
sambil tersenyum getir. "Kemarin aku malahan telah kena disergap orang dan
terkena........."
"Kau terluka?" tukas
Sih Ih-jin ragu.
“Terluka kan bukan sesuatu
kebanggaan, kenapa aku harus berdusta?” jawab Coh Liu-hiang dengan gegetun.
"Siapa yang
melukaimu?" tanya Sih Ih-jin.
"Ialah pentolan pembunuh
bayaran yang kucari itu."
Sorot mata Sih Ih-jin yang
tajam menyapu sekejap di tubuh Coh Liu-hiang, lalu bertanya pula, "Terluka
di bagian mana?"
"Punggung," jawab
Coh Liu-hiang.
"Hm, masakah orang
menyerangmu dari belakang dan Coh Hiang-swe kita yang gagah berani sama sekali
tidak tahu?" jengek Sih-Ih-jin.
Memang, hal ini seharusnya
tidak mungkin terjadi atas diri Coh Liu-hiang, akan tetapi kenyataan memang
sudah terjadi. Ia meraba hidung pula dan menjawab, "Waktu kutahu apa yang
terjadi, namun sudah terlambat untuk mengelak."
"Kalau engkau seringkali
disergap orang dan masih hidup sampai sekarang, sungguh perjuangan vang tidak
mudah," kata Sih Ih-jin.
"Cayhe memang tidak
jarang disergap orang, akan tetapi untuk pertama kali inilah aku terluka,"
ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Apakah pedangnya sangat
cepat?"
"Tentu saja cepat, bahkan
cepat luar biasa, selama hidupku ini belum pernah melihat pedang secepat
itu," tutur Coh Liu-hiang dengan gegetun.
Sih Ih-jin berpikir sejenak,
katanya kemudian, "Ada jago pedang secepat itu, ehm, aku jadi ingin
bertemu dengannya.”
Kembali Coh Liu-hiang
tersenyum, senyuman yang aneh dan penuh rahasia, ucapnya pula, "Jika dia
sudah datang ke sini, cepat atau lambat Sih Ih-jin pasti akan bertemu
dengannya."
"Lalu apakah kaukira
maling pencuri pedang ini ialah dia?"
"Dengan sendirinya hal
ini sangatlah mungkin."
"Tapi darimana pula dia
tahu kau pernah berkunjung ke ruangan pedangku dan dari mana diketahuinya
tempat penyimpanan pedangku?" tanya Sih Ih-jin dengan bengis.
"Inilah yang tak dapat
kupahami," jawab Coh Liu-hiang. "Tapi asalkan aku diberi tempo
beberapa hari, kujamin pasti dapat menyelidiki duduk perkaranya hingga
jelas."
"Kau terluka, untung
bagimu........ " Habis berkata, mendadak ia mencemplak ke atas kuda, terus
dilarikan secepat terbang.
Coh Liu-hiang terdiam sejenak,
lalu gumamnya, "Apabila Li Beng-seng betul samaran Yap Seng-lan, barulah
aku benar-benar beruntung.”
*******
Hotel Hok-seng menurut laporan
si gundul itu adalah sebuah hotel tua, kamarnya juga ketinggalan zaman, suami
isteri Li Beng-seng yang dimaksudkan itu tinggal di sebuah kamar terpisah di
bagian belakang.
Waktu Coh Liu-hiang tiba di
sana, dilihatnya kamar mereka itu tertutup rapat, bahkan daun jendela juga
tidak dibuka, meski di siang hari mereka ternyata lebih suka sembunyi di dalam
kamar.
"Mereka tidak
keluar?" tanya Coh Liu-hiang kepada si gundul.
"Tidak, pasti berada di
dalam kamar," tutur si gundul. "Sejak kemarin selalu ada kawan kita
yang mengawasinya."
Coh Liu-hiang lantas menghadap
ke sana dan mendadak berseru, "Aha, mengapa Li-heng juga datang ke sini?
Apakah tinggal di sini?" Sembari bicara ia terus mendekati pintu dan
menggedornya sambil berseru pula, "Buka pintu!"
Segera terdengar suara
kresek-kresek di dalam kamar, suara orang mengenakan baju dengan terburu-buru,
selang agak lama baru terdengar seorang menjawab dengan kemalas-malasan,
"Siapa itu? Kau salah alamat?"
"Aku, Thio-losam"
jawab Coh Liu-hiang dengan nama palsu. "Masa Li-heng tidak kenal lagi
suaraku?"
Selang sejenak pula barulah
pintu itu terbuka sedikit, seraut wajah pucat dengan rambut kusut menongol
keluar, itulah seorang pemuda, dia pandang Coh Liu-hiang dengan heran, lalu
berkata, "Kau siapa? Aku tidak kenal kau."
"Kau tidak kenal padaku,
tapi aku kenal padamu," jawab Coh Liu-hiang tertawa sembari melangkah
maju.
Air muka pemuda itu menjadi
lebih pucat, cepat ia menarik tubuhnya ke dalam, tetapi sebelum pintu sempat
ditutupnya, sebelah kaki Coh Liu-hiang sudah keburu melangkah masuk. ia
mendorong pelahan dan pintu itupun terpentang.
Pemuda itu terdorong hinga
terhuyung-huyung ke belakang, dengan gusar ia berseru, "He, apakah kau
gila? Mau apa kau?"
"Aku mau apa, masa kau
tak tahur?" jawab Coh Liu-hiang denagn tersenyum
Di dalam kamar terdapat pula
sebuah kamar samping yang pintunya tidak tertutup. Sekilas pandang Coh
Liu-hiang melihat tempat tidur terbaring satu orang dan tertutup rapat oleh
selimut, hanya tampak sebagian kepalanya saja dan sedang mengintip. Di depan
tempat tidur ada sepasang sepatu perempuan dan di atas kursi di ujung sana
tertaruh beberapa potong baju dan gaun warna jambon.
Muka si pemuda tadi pucat
pasi, segera ia bermaksud merapatkan pintu kamar samping sana, namun Coh
Liu-hiang keburu menyelinap maju mengadang di depannya, katanya dengan tertawa,
"Kalian sudah kutemukan, untuk apa pula berdusta padaku?"
Si pemuda tampak ketakutan,
tanyanya dengan suara gemetar, "Apakah keluarga Lim yang mengutusmu
kemari?"
"Keluarga Lim?" Coh
Liu-hiang jadi melengak malah.
Mendadak pemuda itu berlutut
di depan Coh Liu-hiang dan memohon dengan sangat, "O, hamba memang pantas
mampus, mohon Toaya suka memberi jalan hidup bagi kami...."
Mendadak perempuan di tempat
tidur tadi melompat turun, memang masih muda dan tampaknya sangat genit, tapi
juga judas, hanya sehelai baju tipis menutupi tubuhnya sehingga hampir tembus
pandang, sampai bagian paha juga remang-remang kelihatan.
Namun sama sekali ia tidak
ambil pusing, ia menerjang ke depan Coh Liu-hiang, dengan bertolak pinggang ia
berteriak, "Jika kau ini utusan keluarga Lim, urusannya jadi lebih mudah
lagi. Boleh kau pulang dan bentahukan si tua Lim, katakan aku sudah pasti akan
ikut Cia cilik dan takkan pulang lagi ke sana. Meski aku membawa sekotak
perhiasan, tapi semua ini adalah pemberiannya Boleh kau pikir, anak gadis
seperti diriku rela hidup bersama dia selama beberapa tahun, kalau kuambil
sedikit hartanya yang bau ini apakah tidak pantas? Hayo coba katakan
........... pantas tidak?"
Dasar perempuan bawel, cara
bicaranya juga seperti berondongan mercon. Seketika Coh Liu-hiang jadi melengak
dan serba runyam.
Sekarang jelas diketahuinya
dia telah salah sasaran. Pemuda ini bukanlah Yap Seng-lan melainkan 'si Cia
cilik' dan nona ini pun sama sekali bukan nona yang diperkirakannya itu.
Tampaknya perempuan ini adalah gundik orang she Lim yang minggat bersama
gendaknya si Cia cilik ini. Mungkin mereka kuatir ditemukan orang suruhan si
tua she Lim, dengan sendirinya mereka tak berani keluar.
Sambil meraba hidung, Coh
Liu-hiang bergumam. "Urusan pribadi memang sukar dicampuri orang luar.
Tapi kalau kalian ingin hidup dengan baik, kalian harus mencari pekerjaan yang
pantas, mana boleh tidur melulu sepanjang hari?"
Muka si Cia cilik menjadi
merah, berulang-ulang dia menyatakan terima kasih atas petuah itu.
Coh Liu-hiang melangkah keluar
kamar, mendadak seperti ingat sesuatu, ia berpaling dan bertanya pula.,
"Jika kalian datang dari kotaraja, apakah kalian tahu seorang yang bernama
Yap Seng-lan?"
"Yap Seng-lan?"
tukas si Cia cilik. "Apakah maksud Toaya si Yap cilik yang suka pegang
peran utama di panggung sandiwara Hu-kui-pan itu?"
Jantung Coh Liu-hiang
berdebar, tapi ia tetap tenang saja dan menjawab, "Ya, betul, memang dia
yang kumaksudkan."
"Dua hari yang lalu baru
saja aku melihat dia." tutur si Cia cilik.
"Dimana?" tanya Coh
Liiu-hiang cepat.
"Dia seperti tinggal di
gang depan sana, nomor berapa hamba tidak jelas, sebab gerak-geriknya kelihatan
mencurigakan, seakan-akan kuatir dilihat orang," tutur si Cia cilik.
Dia hanya bercerita mengenai
orang lain, tapi lupa pada dirinya sendiri yang juga main sembunyi dan takut
dilihat orang.. Habis bicara, waktu dia menengadah, tahu-tahu orang di depannya
sudah menghilang.
*******
Keterangan si Cia cilik itu
membuat Coh Liu-hiang gembira dan juga geli.
Tanpa terduga telah
diperolehnya informasi yang menyenangkan. Dugaannya juga tidak keliru, Yap
Seng-lan ternyata betul sudah sembunyi di kota Siong-kang ini, yang tak
tersangka olehnya ialah Yap Seng-lan itu seorang pemain sandiwara.
Gang yang ditunjuk si Cia
cilik itu cukup panjang, lalu rumah yang manakah Yap Seng-lan bertempat
tinggal? Selagi Coh Liu-hiang merasa bingung, tiba-tiba si gundul menepuk dada
dan menyatakan dalam waktu dua jam pasti dapat diperoleh keterangan yang
positif.
Sementara itu hari sudah
hampir gelap. Coh Liu-hiang masuk ke sebuah rumah makan, habis mengisi perut
barulah pergi mencari Ciok Siu-hun.
Rumah nona Ciok adalah sebuah
rumah kecil yang habis dikapur putih bersih, bahkan daun pintunya juga baru
saja dicat. Saat itu Ciok Siu-hun sedang menggiring ayam kembali ke kandang,
dia memakai baju kasar, rambut juga tidak tersisir rapi, pakai bakiak, meski tak
bersolek, namun cukup menggiurkan.
Coh Liu-hiang tidak lantas
menegurnya, dia berdiri di luar pagar rumah dan mengamat-amatinya sejenak,
habis itu barulah menyapa, "Nona Ciok, nona Siu-hun!"
Si nona terkejut, cepat ia
menoleh, seketika mukanya mejadi merah, tanpa bicara ia terus berlari masuk
rumah, setiba di depan pintu baru dia memberi tanda agar Coh Liu-hiang
menunggunya di situ.
Tidak lama kemudian barulah
Ciok Siu-hun keluar, kini rambutnya sudah tersisir rapi, bajunya juga sudah
ganti, sepatu baru bersulam warna merah itu pun dipakainya lagi.
Dengan tertawa Coh Liu-hiang
memuji, "Sepatumu ini sangat indah."
Tiba-tiba muka Ciok Siu-hun
merah pula, sambil menggigit bibir ia mengomel, "Mau datang kemari,
mengapa tak memberi tahu sebelumnya?"
"Sebenarnya aku akan
datang besok, tapi terpaksa malam ini juga aku harus kemari." tutur Coh
Liu-hiang.
"Sebab apa?" tanya
Ciok Siu-hun.
"Dimana bibimu?"
tanya Coh Liu-hiang
Si nona meliriknya sekejap,
lalu menjawab. “Bibi suka bangun pagi-pagi, maka sore-sore ia pun sudah
tidur."
"Dapatkah kau
keluar?"
"Sudah malam, untuk apa
keluar?" walau demikian ucapnya, namun napasnya lantas memburu dan suara
rada gemetar.
Terguncang juga perasaan Coh
Liu-hiang, tangan si nona lantas dipegangnya. Panas amat tangan yang halus itu.
"Lepaskan," seru
Ciok Siu-hun tertahan. “Bila dilihat bibi, bisa jadi kakimu akan diserampang
patah olehnya."
"Kenapa takut? Dia kan
sudah tidur?" ujar Coh Liu-hiang sambil tertawa.
"Kau..... kau bukan orang
baik-baik, aku tidak mau keluar, mau apa lagi kau?" tanya si nona.
"Jika kau tidak keluar,
aku pun tidak mau pergi," ujar Coh Liu-hiang.
Siu-hun meliriknya pula,
katanya menghela napas menyesal, "Ai, kau benar-benar penggoda
kehidupanku, aku......."
Pada saat itulah mendadak dari
dalam rumah ada seorang berseru, "Siu-hun, apakah ada tamu? Kau bicara
dengan siapa?"
"O, tidak, dengan
anjing." jawab si nona tegang, ia melirik pula sekejap dan tertawa geli
sendiri, dicubitnya tangan Coh Liu-hiang, lalu berbisik, " Bila berhadapan
denganmu, kutahu pasti konyol!"
Mendadak ia berlari keluar.
Memandangi wajah si nona yang manis dengan rambutnya yang terurai, terasa sedap
hati Coh Liu-hiang, terkenang olehnya masa remajanya dahulu, ketika diam-diam
mengadakan pertemuan dengan anak perempuan tetangga di waktu bulan purnama.
Sementara itu Ciok Siu-hun
sudah keluar, tapi hanya berdiri di ambang pintu dan tidak mau mendekat. Coh
Liu-hiang lantas mendekatinya dan merangkulnya serta menggigitnya pelahan.
"Ap..... apa yang kau
lakukan?" omel si nona,
"Barusan bukankah kau
bilang aku ini seekor anjing, kan biasa anjing menggigit orang" ujar Coh
Liu-hiang dengan tertawa.
"Ya, kau bahkan anjing
liar," ujar Ciok Siu-hun sambil menggigit bibir.
Mendadak Coh Liu-hiang
menggonggong menirukan anjing menyalak, Ciok Siu-hun mengikik tawa terus
berlari ke sana serta dikejar oleh Coh Liu-hiang.
Bintang-bintang bertaburan di
langit di antara langit dan bumi, penuh diliputi rasa hangat, angin malam
meniup sepoi-sepoi, siapa bilang kehidupan ini menderita?
Ciok Siu-hun berlari sambil
tertawa, lari dan berlari, akhirnya ia menjatuhkan diri di atas onggokan jerami
di samping gudang sana, dengan napas terengah-engah ia menjerit tertawa,
"Tolong! Ada anjing gila hendak menggigit orang!"
Coh Liu-hiang sengaja
menggonggong satu kali, lalu menubruk maju dan merangkul si nona, katanya
dengan tertawa "Hayo, berteriaklah sesukamu. Tidak mungkin ada orang
menolong kau. Biar kugigit putus dulu hidungmu, habis itu kupingmu, kemudian
kugigit pecah bibirmu....." Siok-hun berkeluh tertahan dan bermaksud
mendorong, namun badan terasa lemas, terpaksa ia membenamkan kepala ke pangkuan
Coh Liu-hiang sambil berkata, "Ampunilah daku! Aku tidak berani lagi lain
kali....." Ia tidak dapat melanjutkan ucapannya karena bibirnya telah
tergigit oleh Coh-liu-hiang.
Sekejap itu sekujur badan
Siu-hun serasa cair dan tenggelam ke bawah, bumi raya ini seperti telah berubah
menjadi danau dan dia tenggelam ke dasar danau.............
Bintang-bintang seolah sedang
berkedip kepada mereka, angin malam seperti lagi tersenyum, sampai padi yang
mengu ning di sawah itu pun menunduk seakan-akan rikuh menyaksikan cumbu rayu
mereka.
Kehidupan ternyata seindah
ini......
Entah sudah berapa lama,
tiba-tiba Coh Liu-hiang berdiri, katanya dengan suara lembut, "Sudah jauh
malam, marilah kita berangkat."
Dengan lemas Ciok Siu-hun
berbaring di onggokan jerami dengan pandangan yang sayu, tanyanya, "Hendak
pergi kemana lagi?"
"Akan kubawa kau pergi
melihat sesuatu, setelah kau lihat tentu kau akan sangat heran dan
terkejut," kata Coh Liu-hiang.
Sudah tentu si nona tidak
menolak. Maka dibawalah si nona itu oleh Coh Liu-hiang dengan menggendongnya.
Siu-hun seperti melayang di awang-awang saja, deretan rumah dan pepohonan
seakan-akan terbang lewat begitu saja di sampingnya.
Untuk pertama kalinya ia
merasakan permainan yang aneh ini, ia merasa asalkan berada bersama Coh
Liu-hiang maka kapan saja dan dimana pun pasti dapat terjadi hal-hal baru dan
menarik.
Tidak lama kemudian mereka
sudah berada di tengah sebuah taman yang luas, diam-diam mereka menyusuri hutan
bambu dan tiba di suatu halaman kecil, tampak sebuah rumah mungil dengan pelita
yang berkedip-kedip.
Di dalam rumah tiada orang,
hanya ada sebuah peti mati. Lilin sudah lumer terbakar, hanya tersisa setitik
api yang bersinar remang-remang sehinggga menambah suasana menjadi lebih sunyi
dan seram.
Pada meja sembahyang ada
sebuah papan yang tertulis nama yang meninggal, yaitu 'Si In'.
"Apakah tempat ini
Si-keh-ceng?" tanya Siu-hun dengna suara rada gemetar.
"Ya," sahut Coh
Liu-hiang.
"Untuk apa kau bawa aku
ke sini?" tanya si nona.
Coh Liu-hiang tidak menjawab,
tapi dia mendorong pintu dan menariknya masuk ke situ. Seketika Siu-hun merasa
tubuhnya kedinginan, katanya "Kau ini memang orang aneh, untuk apa kau
bawa aku kesini?"
Coh Liu-hiang tertawa, tertawa
yang aneh dan penuh tanda tanya, jawabnya, "Supaya kau dapat melihat nona
Si."
Keruan Ciok Siu-hun merinding,
ucapnya dengan parau, "Ti....... tidak, aku tidak mau melihatnya. Lekas
kita pergi....pergi saja."
Tapi bukannya membiarkan si
nona pergi, sebaliknya Coh Liu-hiang malah menariknya ke samping peti mati.
Saking takutnya, hampir saja Siu-hun menjerit, namun suaranya sukar keluar dari
kerongkongan, saking takutnya, sungguh tak terpikir olehnya mengapa Coh
Liu-hiang memperlakukannya secara begini.
Dalam pada itu Coh Liu-hiang
telah mulai membuka tutup peti mati. Lantaran seluruh perhatiannya sedang
tercurah ke dalam peti mati, sehingga Coh Liu-hiang tidak mengetahui ada
seorang sedang mengintainya di luar jendela dengan sorot mata penuh rasa benci.
Mendadak Coh Liu-hiang
memasukkan tangannya ke dalam peti mati untuk meraba muka mayat. Gigi Ciok
Siu-hun sampai gemerutuk saking takutnya, hampir saja ia jatuh pingsan. Baru
sekarang ia tahu Coh Liu-hiang benar-benar telah gila.
Tangan Coh Liu-hiang seperti
mengusap muka mayat dan mengelotok selapis kulit tipis, habis itu ia berpaling
dan berkata kepada si nona, "Coba kemari, apakah kau kenal dia?"
Sudah tentu Ciok Siu-hun tidak
mau, ia menggeleng keras-keras dan berucap, "Ti....... tidak.......
jangan......."
Namun Coh Liu-hiang
membujuknya dengan suara lembut "Jangan takut, cukup kau melihatnya
sekejap saja dan segera kau akan tahu untuk apa kuajak kau ke sini."
Sebenarnya masih diliputi rasa
takut, tapi rasa ingin tahu mendorongnya melangkah maju. Akhirnya Ciok Siu-hun
melongok juga ke dalam peti mati. Tapi hanya sekali pandang saja, mendadak si
nona seperti kesurupan setan, ia menjerit keras-keras.
Ternyata mayat di dalam peti
itu adalah Cici atau kakaknya yang telah meninggal beberapa hari yang lalu dan
menghilang dari peti matinya, ketika kuburannya dibongkar Coh Liu-hiang
kemarin.
Tapi sebelum suara jeritan
Ciok Siu-hun tercetus, Coh Liu-hiang sempat mendekap mulutnya. Pelahan ia
mengelus punggung si nona, sesudah rasa kejutnya tenang kembali barulah ia
berkata dengan suara halus, "Jangan bersuara, agar tidak mengagetkan orang
di sini, tahu?"
Siu-hun mengangguk, setelah
Coh Liu-hiang melepaskan tangannya, air mata si nona lantas bercucuran, katanya
dengan terguguk, "Mengapa mayat Ciciku bisa lari ke sini?"
Mencorong sinar mata Coh
Liu-hiang. ucapnya pelahan. "Soalnya diperlukan mayat seorang untuk
mewakili Si In, kebetulan Cicimu sedang sakit keras, maka pilihannya lantas
jatuh atas diri Cicimu."
"Apakah orang.......
orang ini telah bersekongkol dengan pamanku?" tanya Siu-hun.
"Jelas," ujar Coh
Liu-hiang dengan gegetun. “Tapi maklumlah, siapa di dunia ini yang tidak
kemaruk harta? Maka pamanmu juga tak dapat disalahkan."
Seketika Ciok Siu-hun hanya
melongo, sungguh sukar di bayangkannya bahwa di dunia ini bisa terjadi hal-hal
demikian.
Selang sejenak ia coba
bertanya pula, "Jika isi peti mati ini adalah Ciciku, lalu kemana perginya
Si In?"
Sekata demi sekata Coh
Liu-hiang menjawab, "Bila tidak meleset perkiraanku, selekasnya kau akan
bertemu dengannya."