-------------------------------
----------------------------
Bab 3: Keluarga Konyol
Dengan kuat Thio Kan-cay
mengelus jenggot sendiri sambil berjalan mondar-mandir. Tabib sakti yang
terkenal telah banyak menolong orang dari renggutan elmaut kini juga bingung
kehabisan akal.
Setelah merenung sejenak,
kemudian Coh Liu-hiang bertanya, "Apakah dia masih tidur?"
"Ya, bahkan sangat
nyenyak tidurnya," jawab Cu-jiya dengan sedih.
Coh Liu-hiang berbangkit,
katanya, "Jiko, bila kau percaya padaku, serahkan saja urusan ini
kepadaku."
Thio Kan-cay menghela napas,
ucapnya, ''Memang, kalau di dunia ini masih ada orang yang dapat menyelesaikan
persoalan ini, maka dia pasti Coh Hiang-swe adanya. Jika Cu-jiya tidak percaya
padamu, memangnya siapa yang dapat dipercaya pula.”
Sementara hari sudah terang.
Sang surya yang baru menyingsing memancarkan cahaya yang gemilang, wajah si
nona tertampak pucat ditimpa sinar matahari pagi itu, sepasang matanya
kelihatan penuh garis-garis merah.
Jelas itulah wajah Cu Beng-cu,
jelas pula mata Cu Beng-cu. Akan telapi apa anak dara ini benar-benar Cu
Beng-cu? Untuk ini Coh Liu hiang sendiri pun tidak tahu dan tidak dapat
menjawabnya.
Bahkan ia pun tidak tahu
bagjumana cara memanggilnya jika menyebutnya 'Cu Beng-cu', jelas dia mempunyai
pikiran dan arwah Si In.
Jika memanggil dia 'Si In',
terang dia ini adalah Cu Beng-cu.
Nona ini menunduk, katanya
kepada Coh Liu-hiang sambil menggigit bibir, "Setelah kau membuktikannya
ke sana, tentunya kau percaya pada ucapanku, bukan?"
"Ya, memang kau tidak
berdusta," jawab Coh Liu-hiang dengan gegetun.
"Jika demikian, mengapa
aku tidak kau bebaskan?"
"Tentu saja aku dapat
membebaskanmu, tapi dapatkah kau pulang ke sana?"
"Mengapa aku tidak dapat
pulang?" tanya si nona.
"Sebab dengan keadaanmu
sekarang, sepulangmu ke sana, apakah orang lain akan tetap menganggap kau
sebagai Si In?"
Seketika nona itu mencucurkan
air mata, ucapnya dengan sedih, "O, Tuhan, mengapa aku berubah menjadi
begini? O, apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Kalau aku sudah mau
percaya pada ucapanmu, sepantasnya kaupun harus percaya pada perkataanku,"
ujar Coh Liu-hiang dengan suara lembut. Pokoknya, biar perasaanmu itu siapa
adanya, yang jelas tubuhmu adalah Cu Beng-cu, puteri Cu Kin-hou.!'
Si nona memukul tempat tidur
dan berkata dengan parau, "Tetapi.....tetapi aku bukan Cu Beng-cu, aku pun
tidak kenal siapa Cu Kin-hou, mana boleh aku mengakui dia sebagai ayah?".
"Tapi sekarang Si
Hau-liam mungkin juga takkan mengakui kau sebagai puterinyi," ucap Coh
Liu-hiang. "Bahkan Yap Seng-lan mungkin juga tidak kenal kau lagi,
lebih-lebih takkan membelikan padamu pupur buatan Po-hiang-cay ."
Tubuh si nona bergetar,
tanyanya dengan tergagap, "Dar....darimana kau tahu namanya?" Coh
Liu-hiang tertawa, katanya, "Cara bagaimana kau kenal dia?"
Nona itu menunduk, tuturnya
kemudian "Itulah kejadian yang sudah lama sekali, aku pun tidak tahu,
mengapa aku bisa di....."
Ia merandek sejenak, mendadak
ia mengangkat kepala dan berseru, "Tapi apapun juga urusan ini sudah lalu,
sekarang aku tidak lagi kenal Yap Seng-lan, aku hanya tahu, aku ini bakal menantu
keluarga Sih."
Coh Liu-hiang menghela napas.
di sinilah letak kesulitan persoalan ini. Ia tahu Cu-jiya telah mengikat tali
perjodohao Cu Beng-cu dengan putera kedua keluarga Ting. Seumpama Cu-jiya dan
Si Hau-liam dapat menyelesaikan urusan dengan damai, seumpama anak perempuan
ini mau mengakui mereka sebagai ayah, tapi tak mungkin dia menjadi istri dua
lelaki sekaligus.
Pada saat itulah mendadak
terdengar suara '"blang" yang keras di luar, menyusul terdengar pula
suara gemuruh ramai, seperti suara botol dibanting dan kaleng dilempar, ada
batu pula yang jatuh di atap dan suara hancurnya genting, berbareng terseling
pula suara orang membentak dan memaki.
Coh Liu-hiang mengerut kening,
ia heran ada orang berani mengacau ke Ceng-pwe-san-ceng. Segera terdengar pula
suara nyaring seorang berteriak dengan tajam, "Cu Kin-hou, hayo kembalikan
anak perempuanku!" .
Seketika terbeliak mata anak
dara itu, serunya girang. "He, ibuku datang, dia sudah tahu aku berada di
sini, sekarang kalian masih belum mau melepaskan diriku?"
"Kedatangannya ke sini
pasti bukan untuk mencarimu," kata Coh Liu-hiang
"Habis mcncari siapa
kalau bukan diriku?" ujar si nona.
Belum lagi Coh Liu-hiang
menjawab, suara Hoa Kim-kiong terdengar berkumandang pula, "Anak
perempuanku mati gara-gara perbuatan kau bangsat tua she Cu ini, kau tahu dia
sakit, kau sengaja mengundang seluruh tabib temama dan disembunyikan di
rumahmu, sehingga penyakit anak perempuanku sukar untuk disembuhkan, kalau
tidak. mustahil dia bisa mati. Untuk itu kau harus mengganti jiwa anak
perempuanku."
Anak dara itu sudah hampir
menerjang keluar, seketika ia melenggong setelah mendengar suara Hoa Kim-klong
itu.
"Nah, kau dengar sendiri,
tentu sekarang kau tahu untuk apa dia datang kemari?" kata Coh Liu-hiang.
Selangkah demi selangkah anak
dara itu kembali ke tempat tidur, ucapnya dengan suara gemetar, "Jadi ibu
juga bilang aku telah mati, masakah aku benar-benar telah......telah mati?''
"Sudah tentu kau tidak
mati," kata Coh Liu-hiang. "Cuma urusan ini memang teramat aneh,
kalau diceritakan pasti sukar dipercaya oleh siapa pun, bahkan ibumu sendiri
takkan percaya. jika sekarang kau keluar, tentu pula dia takkan mengakui kau
sebagai anak perempuannya."
Si nona termangu sejenak, lalu
menjatuhkan diri di tempat tidur, teriaknya dengan suara serak sambil memukuli
ranjang. "O, lalu bagaimana aku ini, bagaimana......?"
Dengan suara halus Coh
Liu-hiang menghibumya, "Jika kau percaya sepenuhnya kepadaku, bisa jadi
aku ada akal dapat memecahkan urusanmu ini."
Si nona mendekap mukanya di
ranjang dan menangis sekian lama, tiba-tiba ia menengadah dan menatap Coh
Liu-hiang lekat-lekat, katanya kemudian, "Apakah kau...... kau benar-benar
Coh Hiang-swe?"
Coh Liu-hiang tertanva getir
jawabnya, "Terkadang aku memang berharap bukan Coh Liu-hiang, namun
rupanya aku sudah ditakdirkan harus menjadi Coh Liu-hiang, mau atau tidak
mau."
Anak dara itu menatapnya
tajam-tajam, katanya pula "Baiklah, aku akan tinggal tiga hari disini,
lewat tiga hari, jika kau masih belum memecahkan persoalan ini, terpaksa aku
akan mati saja, mati akan lebih baik daripada hidup seperti ini."
Coh liu-hiang pikir untuk
sementara ini dirinya lebih baik jangan bertemu dengan Hoa Kim-kiong, maka ia
ambil keputusan akan tidur dulu sekenyang-kenyangnya, kalau semangat sudah
pulih, malam nanti tentu dapat bekerja lebih baik.
Agaknya dalam hati Coh
Liu-hiang sudah terancang banyak tindakan yang akan dilakukannya, cuma belum
dia ceritakan kepada orang lain.
Waktu dia bangun tidur,
sementara itu hari sudah gelap. Entah sudah berapa kali Cu-jiya datang
menjenguknya, melihat Coh Liu-hiang sudah mendusin. ia kegirangan dan segera
memegang tangannya serta berkata, ''O, saudaraku, nyenyak benar tidurmu,
tahukah kau betapa tersiksa batinku selama seharian ini? Sungguh aku bisa botak
memikirkan urusan ini." Sesudah berhenti sejenak, lalu menyambung pula,
"Tahukah kau, perempuan bawel she Hoa itu telah kemari? Dia malah membawa
rombongan buaya dan sengaja mengacau ke sini, bahkan dia menuntut aku mengganti
jiwa anak perempuannya."
"Lalu cara bagaimana kau
mengenyahkan dia?" tanya Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Menghadapi perempuan
judas begitu, akupun kehabisan akal," ujar Cu Kin-hou dengan gemas.
"Jika kulukai dia, tentu aku akan ditertawakan kawan-kawan Kangouw."
"Memang betul, justru dia
tahu Jiko tidak nanti main kasar padanya, makanya berani datang kemari,"
kata Coh Liu-hiang.
"Ya, terpaksa
kulampiaskan rasa dongkolku kepada kawanan buaya yang di bawa kemari itu,
melihat begundalnya ku robohkan semua barulah dia rada jeri. Akan tetapi waktu
mau pergi dia masih menggerutu, katanya besok akan datang pula."
Cu Kin-hou memegang tangan Coh
Liu-hiang dan melanjutkan, "Saudara yang baik, betapapun malam nanti kau
harus pergi sekali lagi ke Si keh-ceng, berilah hajaran setimpal kepada macan
betina itu. Sebab bila dia besok benar-benar datang lagi, wah, sungguh aku
tidak sanggup melayaninya."
Cu Kin-hou sendiri tak suka
bergebrak dengpn Hoa Kim-kiong, maka Coh Liu-hiang yang disuruh pergi ke sana,
meski Coh Liu-hiang sudah banyak menelan pil pahit urusan demikian, betapapun
permintaan Cu Kin-hou ini membuatnya serba susah dan tak dapat menolak.
Cu Kin-hou sendiri juga merasa
tidak enak hati, segera ia berkata pula, "Aku pun tahu urusan ini sangat
memusingkan kepala, syukur di dunia ini masih ada seorang yang dapat
membereskan persoalan ini, orang itu tak lain dan tak bukan ialah kau, Coh
Hiang-swe."
Kata-kata sanjungan demikian
sudah banyak juga didengar oleh Coh Liu-hiang, ia menghela napas, gumamnya,
"Sayang Oh cilik (maksudnya Oh Thi-hoa, kawan karibnya) tidak datang,
kalau dia hadir, dia orang yang paling tepat disuruh menghadapi perempuan judas
seperti Hoa Kim-kiong."
"Apakah......apakah kau
tidak mau pergi?" tanya Cu Kin-hou kuatir.
''Jangan kuatir, Jiko, tentu
aku ada akal untuk membuat dia tak berani datang lagi besok," kata Coh
Liu-hiang.
Cu Kin-hou lega mendengar
janji Coh Liu-hiang itu, tiba-tiba ia berkata pula sambil berkerut kening,
"Masih ada urusan lain juga perlu minta bantuanmu. Ketika Hoa Kim-kiong
baru saja pergi, segera tempatku ini kedatangan tamu pula."
''O, siapa dia? Masa di dunia
ini ada orang yang lebih sukar dilayani daripada Hoa Kim-kiong?"
"Tentunya kau tahu
Ting-si-siang-hiap (dua pendekar she Ting) dari Jit-seng-tong?" tutur Cu
Kin-hou. "Nah, yang datang tadi adalah Ting-loji dari kedua pendekar
terkenal itu."
"Bukankah
Ting-si-siang-hiap adalah sahabat baik Jiko sendiri?" kata Coh Liu-hiang.
"Betul. bukan cuma
sahabat haik saja, bahkan juga bakal besanku," kata Cu Kin-hou,
"Karena itu di sini pula letak persoalannya yang ruwet."
" O, Jangan-jangan
kedatangannya untuk berunding tentang pernikahan putera puteri kalian?"
"Memang begitulah,"
ucap Cu Kin-hou. "Soalnya bulan yang lalu kami sudah berunding dengan
baik, kami akan melangsungkan pernikahan Beng-cu dengan Ting Ju-hong,
kedatangan Ting-loji justru untuk urusan ini."
"Bulan yang lalu bukankah
Beng-cu sudah jatuh sakit^ tanya Coh Liu-hiang.
"Justru lantaran dia
jatuh sakit, maka kupikir hendak menikahkan dia supaya sakitnya bisa lekas sembuh,
bila nanti berkumpul dengan suaminya, siapa tahu sekarang terjadi persoalan
yang rumit ini." Setelah menggeleng, lalu ia menyambung pula. "Kalau
sekarang kusetujui upacara nikah dilanjutkan bulan ini, lalu apakah......
apakah Beng-cu mau diboyong ke sana?. Sebaliknya jika aku tak setuju lalu
dengan alasan apa aku harus menolaknya? Ai, rasanya aku benar-benar mati
kutu."
Coh Liu-hiang merasa bingung
juga, ia meraba-raba hidung sendiri dan bergumam, "Entah Hoa Kim-kiong
juga sudah menetapkan hari nikah puterinya dengan putera kedua Sih Ih-jin atau
belum?"
Pada saat itulah seorang
centeng muncul dengan tergesa-gesa, setelah memberi hormat ia berkata,
"Hamba disuruh Ting-jihiap untuk bertanya pada Loya apakah Coh Hiang-swe
sudah mendusin? Jika sudah. beliau ingin datang kemari untuk menyuguh arak
kepada Coh Hiang-swe, kalau belum mendusin, maka Loya diharap kembali ke depan
dulu."
"Aha, kabarnya kedua Ting
bersaudara juga ahli minum arak," kata Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Tapi Thio Kan-cay tidak suka minum karena ingin menjaga kesehatan, dengan
sendirinyo Ting-loji tiada teman minum dan merasa kesal.."
"Betul, makanya lekas kau
mengawani aku ke sana untuk melayani dia," kata Cu Kin-hou.
"Ah, masa Jiko ingin aku
pergi ke Si-keh-ceng dalam kadaan mabuk?'' kata Coh Liu-hiang dengan tertawa.
Di dunia Kangouw ada cerita
tentang 'Ciu Kay' (pengemis tukang minum arak) dan 'Ciu Sian' (dewa peminum),
katanya samakin banyak arak yang ditenggak, semakin tinggi pula ilmu silatnya.
Bagi Coh Liu-hiang dongeng demikian
sangat menggelikan. Sebab ia tahu, seorang kalau terlalu banyak minum arak,
mungkin nyalinya akan bertambah besar dan tenaga juga tambah kuat, akan tetapi
daya reaksinya pasti juga akan lamban.
Padahal pertarungan antara
tokoh silat terkemuka seringkali ditentukan dalam sekejap saja, jika daya
reaksi seorang lebih lamban, maka dia pasti kalah.
Sebab itulah meski Coh
Liu-hiaog suka minum arak, tapi dia minum dengan melihat waktu dan tempat.
Apabila dia harus menghadapi musuh tangguh, maka pertama-tama yang dia jaga
adalah jernihnya pikiran.
Anehnya di dunia Kangouw
justru ada orang bilang semakin banyak Coh Hiang-swe menenggak arak, semakin
tinggi pula ilmu silatnya.
Coh Liu-hiang meduga cerita
itu pasti datang dari orang yang justru tidak minum arak, sebab orang yang
tidak minum arak mengira kaum peminum adalah manusia super, bangun tubuhnya
tentn berbeda daripada orang biasa. Padahal baik dia ahli minum, kaum pengemis
atau pendekar, mereka pun orang biasa, jika terlalu banyak menenggak arak, otak
mereka pun bisa berubah linglung.
Sekarang Coh Liu-hiang tidak
mau minum arak, soalnya bukan karena dia merasa Hoa Kim-kiong sukar dihadapi,
yang menjadi pertimbangannya justru Sih Po-po, si sinting yang aneh itu. Ia
merasa si sinting itu rada-rada misterius dan tidak boleh di remehkan.
******
Menjelang tengah malam,
kembali Coh Liu-hiang sudah berkunjung pula ke Si-keh-ceng Sekali ini dia sudah
hapal jalannya,, langsung dia menuju ke taman belakang, di sana suasana sunyi,
hanya rumah kecil di tengah rumpun bambu itu saja yang masih ada cahaya lampu.
Diam-diam Coh liu-hiang
ragu-ragu apakah jenazah Si In masih berada di situ?
Dengan enteng sekali Coh
Liu-hiang melayang ke atas tu mah kecil itu, dengan gerakan 'Cu-liam-to-kua'
(kerai mutiara bergelantungan), kakinya menggantol pada emper, tubuhnya terus
menjulur ke bawah untuk mengintip. Dilihatnya jenazah Si In sudah dipindah
keluar, seorang anak perempuan berbaju hijau muda sedang berbenah perabotan di
dalam rumah, dari dandanannya, nampaknya anak perempuan itu seorang pelayan
atau babu.
Cantik juga babu muda ini, dia
lagi sibuk membenahi tempat tidur, matanya selalu melirik meja rias, dimana
masih terdapat beberapa macam barang bersolek seperii pupur dan gincu.
Sejenak kemudian dia mendekati
meja rias, lebih dahulu dia celingukan, habis mendadak ia sambar sekotak gincu,
terus dimasukkan ke dalam baju. Selang sejenak, ia memandang cermin kuningan,
lalu menggerak-gerakkan pinggulnya, sambil berlenggang-lenggok, lalu tertawa
cekikikan sendiri.
Coh Liu-hiang merasa geli juga
melihal kelakuan babu genit itu.
Pada saat itulah mendadak
seorang membentak dengan suara tertahan, ''Nah, sekali ini kau tak dapat lari
lagi!" Menyusul dari pojok sana sesosok bayangan orang lantas melompat
keluar.
Terkejut juga Coh Liu-hiang
dibuatya, ia pikir lihai benar mata orang ini sehingga bisa mengelahui tempat
sembunyinya.
Di luar dugaan, orang ini sama
sekali tidak memandang ke arahnya, tapi terus menerjang ke dalam rumah. Kiranya
seorang pemuda yang memakai baju berkabung warna putih.
Agaknyn si babu muda juga
terkejut, tapi begitu menoleh dan mengenali pemuda itu, ia tertawa sambil
menepuk dada semdiri dan berkata, "Ai, kiranya Siaukongcu (tuan muda),
bikin kaget saja."
Baru sekarang juga Coh
Liu-hiang dapat melihat jelas tuan muda perkampungan keluarga Si ini bermuka
putih bersih dan agak tembam, biasanya orang yang bermuka gemuk begini tentu
karena makan kenyang dan tidur cukup.
Meski berpakaian berkabung,
namun di bagian dalam jelas kelihatan bajunya yang berwama hijau, air mukanya
juga tiada tanda-tanda berduka cita sedikitpun. Sebaliknya dia malah
cengar-cengir terhadap babu muda itu dan berkata, "Apa yang kau takuti?
Aku kan tidak dapat makan orang, paling-paling hanya merah bibirmu saja akan
kucicipi bagaimana rasanya."
Budak itu tertawa dan
menjawab, "Ah, hari ini orang kan tidak memakai gincu?"
"Masa. aku tidak
percaya?" kata Si-siaucengcu, Si Toan-cong, dengan tetap cengar-cengir.
"Tidak memakai gincu mengapa bibirmu semerah ini? Coba kucicipi."
Sembari bicara ia terus mendekat dan sebelah tangan merangkul pinggang si babu.
"He, besar amat nyalimu," seru si budak dengan suara tertahan
"Hayo, lekas lepaskan aku......aku akan menjerit lho!"
"Menjeritlah!'' kata Si
Toan-cong, tampak napasnya sudah terengah-engah. "Masa aku takut, aku kan
tak mencuri barang!"
Si babu mengerling genit,
omelnya dengan berlagak marah, "Bagus, rupanya main ancam dan ingin
memerasku. Huh, cuma sekotak gincu begini, jika mau, entah berapa banyak orang
akan memberi padaku "
"Baik, baik, aku yang
memberi," cepat Si Toan-cong membujuk, "Eng-ji yang molek, asalkan
kau menuruti kehendaku akan kuborong seluruh pupur dan gincu keluaran
Po-hiang-cay untukmu."
Babu yang bernama Eng-ji itu
menggigit bibir jawabnya kemudian, "Ah aku tidak berani, jangan-jangan
nyonya muda akan membeset kulitku nanti."
Tidak, jangan kuatir......
macan betina itu tak mungkin tahu." sambil bicara ia terus mendesak maju
dan tubuh kedua orang itu lantas bertindihan di tempat tidur.
"O, tidak, jangan
sekarang, jangan......jangan di sini," terdengar suara Eng-ji rada
ngos-ngosan. "Kemarin......kemarin Ji-siocia baru......"
Belum habis ucapannya,
mendadak mulutnya seperti tersumbat oleh sesuatu.
Kemudian terdengar napas Si
Toan-cong yang memburu, ucapnya dengan suara tertahan, "Sek......sekarang
saja, besok mungkin tiada kesempatan lagi. Macan betina itu selalu mengawasi
diriku...... O, Eng-ji molek, asalkan kau menuruti kehendakku sekali ini,
sekali saja, dan segala apapun akan kuberikan kepadamu.""
Ya dongkol, ya geli, Coh
Liu-hiang menyaksikan tontonan cuma-cuma ini, bila ingat pada wajah
Si-siaunaynay yang luar biasa itu, memang tidak perlu heran jika sang tuan muda
suka menggerayangi babu sendiri.
Memang begitulah kehidupan
nyata di sekeliling kita ini. Hampir tidak ada lelaki yang polos dan jujur,
hanya lelaki yang miskin saja yang sok prihatin, Jika ada cukup uang dan diberi
kesempatan, lelaki mana yang tidak suka main perempuan.
Dalam kehidupan suami isteri
juga begitu, makin ketat pengawasan sang isteri, semakin besar hasrat sang
suami untuk 'mencuri makan'. Semua lelaki di dunia ini sama, maka Si-siau
cengcu ini juga tidak dapat disalahkan.
Hanya saja kelakuan Si
Toan-cong sekarang memang rada ngawur, baik waktu maupun tempatnya. Meski Coh
Liu-hiang tidak suka ikut campur urusan pribadi begituan, sekarang mau tak mau
meski bertindak.
Sementara itu ranjang tampak
berguncang keras, paha yang putih mulus tampak menggelantung di tepi ranjang.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang
mengetuk jendela dan mendesis,
"Sssst. awas ada
orang!"
Belum Habis keempat kata
terucapkan, kedua orang yang lagi bergumul di tempat tidur seketika melonjak
bangun seperti kucing terinjak ekomya.
Tubuh Si Toan-cong tampak
meringkuk di pojok ranjang dengan gemetar. Tampaknya Eng-ji malah lebih tabah,
sambil memakai baju bertanya, "Siapa itu? Apakah ingin mencuri ya?"
Segera Si Toan-cong
menyambung, "Betul, pasti pencuri, akan kupanggil orang
menangkapnya." Sambil bicara ia terus hendak mengeluyur pergi.
Namun Coh Liu-hiang sudah
menyelinap masuk dan mengadang jalan lolosnya. Dengan sendirinya Si Toan-cong
terkejut, sama sekali tidak tersangka olehnya ada orang bisa bergerak begitu
cepat. Dengan tergagap ia bertanya, "Sia......siapa kau? Besar amat
nyalimu, berani mencuri di sini? Lekas kau lari mencawat ekor, untuk itu
Siau-cengcumu masih dapat mengampuni jiwamu.".
Rupanya Si Toan-cong menjadi
tabah karena melihat yang mengadangnya itu adalah seorang yang tidak
dikenalnya.
Dengan tertawa Coh Liu-hiang
lantas berkata, "Lebih dahulu hendaklah kau tahu tiga hal. Pertama, tidak
nanti aku lari. Kedua, kau bukan tandinganku. Ketiga, aku pun tidak takut kau
akan berteriak memanggil orang."
Sama sekali Coh Liu-hiang
tidak perlu menggunakan sesuatu gerakan mengancam, sebab ia tahu pemuda bangor
macam Si Toan-cong cukup ditundukkan dengan beberapa patah kata gertakan saja.
Benar juga, wajah Si Toan-cong
lantas pucat, ucapnya dengan tergagap, "Ap......apa kehendakmu?"
"Aku justru ingin tanya
kepadamu apa kehendakmu? Apakah ingin kupanggilkan binimu atau membawaku pergi
mencari Liangma?"
Si Toan-cong melengak bingung,
lalu tanyanya. "Mencari Liang-ma?" "Betul, boleh kau pilih satu
diantara dua ini," jawab Coh Liu-hiang.
Pilihan demikian sama dengan
orang ditanya lebih suka makan Ang-sio-bak atau lebih suka makan tahi. Tentu
saja hati Si Toan-cong lantas tenang kembali, tidak kebat-kebit lagi seperti
tadi.
Ia kuatir Coh Liu-hiang
berubah pikiran, maka cepat mengangguk dan berkata, "Baik, akan kubawa kau
mencari Liang-ma."
Di suatu ruangan samping sana,
kini sudah diubah menjadi tempat Layon. Liang-ma tampak berduduk di samping
dengan kepala tertunduk, agaknya sedang mengantuk. Cahaya lilin yang redup
menyinari peti mati yang dipelitur kuning dengan hiasan kelambu putih, suasana
tampak rawan.Si toan-cong membawa Coh Liu-hiang mengitari jalan kecil dan
akhimya tiba di ruangan layon ini. Dalam hati ia tidak habis pikir untuk apakah
orang yang tak dikenal ini mencari Liang-ma?
Dilihatnya Coh Liu-hiang
mendekati sambil berdehem pelahan. Orang tua itu berjingkat kaget, hampir saja
terguling bersama kursinya. Tapi setelah dia mengenali orang yang berdiri di
depannya, matanya yang bendul merah karena terlalu banyak menangis itu seketika
menampilkan rasa terhibur. Katanya. "Kiranya kau lagi, Betapapun kau masih
punya Liang-sim (hati nurani yang baik), tak percumalah Siocia berkorban
bagimu......"
Menyinggung sang Siocia,
seketika ia tersendat-sendat dan tak sanggup melanjutkan pula.
Coh Liu-hiang menghela napas,
katanya, "Yang tidak mengenalmu tentu akan mengira kau ibunya nona In.”
Dengan terguguk-guguk Liang-ma
berkata. "Meski In-ji bukan anakku, tapi kuasuh sejak kecil, aku sendiri
sebatangkara, tiada sanak tak punya kadang, hanya In-ji satu-satunya orang yang
paling rapat denganku. Sekarang dia telah meninggal, aku menjadi
.....menjadi......"
Pilu juga hati Coh Liu-hiang,
sementara itu diam-diam Si Toan-cong telah mengeluyur pergi tapi ia pura-pura
tidak tahu.
Liang-ma mengusap air matanya
dan berkata pula, "Kau sudi kemari, betapapun kau sudah memperlihatkan
hatimu yang baik, sekarang lebih baik silakan pergi saja, kalau kepergok Hujin
lagi, mungkin bisa......"
"Kau ingin bertemu lagi
dengan nona In atau tidak?" tanya Coh Liu-hiang tiba-tiba.
Liang-ma mengangkat kepalanya
dan memandang Coh Liu-hing dengan melongo, ucapnya kemudian. "Tapi…..
tapi, dia kan sudah meninggal?"
"Jika kau masih ingin
bertemu dengannya, aku juga ada akal," kata Coh Liu-hiang.
"Kau......kau ada
akal?" Liang-ma menegas dengan terkesiap, "Masa......masakah kau
mampu mengundang rohnya?"'
"Sekarang tidak perlu kau
tanya, pokoknya lohor besok jika kau mau menungguku di dekat jembatan
Siu-ya-kio, tentu aku dapat berusaha membawa nona In untuk bertemu
denganmu."
Liang-ma termenung sejenak,
gumamnya, "Lohor besok di Sio-ya-kio, masa engkau..........."
Pada saat itulah
sekonyong-konyong seorang berseru, "Bocah brengsek, kemarin telah kuampuni
jiwamu, sekarang kau berani datang lagi!"
Tanpa berpaling juga Coh
Liu-hiang tahu yang bicara ini pasti Hoa Kim-kiong adanya. Sama sekali ia tidak
terkejut, sebab ia memang lagi menantikan kedatangan nyonya rumah itu.
Terlihat Hoa-Kim-kiong dan
Si-siaunaynay sekarang telah berganti pakaian ketat, malahan di belakang mereka
mengikut pula belasan pelayan yang juga berbaju ringkas kencang, semuanya
membawa busur dan menyandang pedang, gerak-gerik mereka sangat gesit.
Dengan tertawa Coh Liu-hiang
tertawa, "Sudah lama kudengar 'barisan putri' Hujin sangat perkasa,
tampaknya memang luar biasa dan tidak bemama kosong."
Hoa Kim-kiong
mendengus,"Hm, tidak perlu kau menyanjung, aku cuma ingin tanya padamu,
sesungguhnva kau ini Coh Liu-hiang atau bukan?"
"Coh Liu-hiang? Apa aku
kelihatan mirip Coh Liu-hiang?" tanya Coh Liu-hiang dengan tertawa.
Dengan wajah kaku membesi
Si-siaunaynay ikut bicara dengan suara bengis. "Aku tidak perduli kau ini
Coh harum atau Coh busuk, yang jelas kau berani datang kemari, maka kami akan
bikin kau tak bisa pergi."
"Wah, wah, gagah benar,
galak benar, pantas Si-siaucengcu takut padamu melebihi harimau," ucap Coh
Liu-hiang sambil menggeleng.
Sekonyong-konyong Si Toan-cong
melongok dari luar jendela dan berteriak, "Kami suami isteri selalu
hormat-menghormati seperti tetamu, kau keparat jangan coba-coba mengadu domba
dan memecah belah."
"Sudahlah, tidak perlu
mengoceh urusan tetek-bengek," bentak Hoa Kim-kiong, "Aku cuma ingin
tanya, kamu ingin ingin mampus atau ingin hidup?"
“Hidupku terasa sangat
menyenangkan, dengan sendirinya aku ingin hidup,"jawab Coh Liu-hiang.
“Jika kau ingin hidup, nah,
lekas bertekuk lutut menyerah, akan kami tanyai asal-usulmu, habis itu mungkin
takkan ku bunuh kau, bisa jadi malah akan memberi keuntungan kepadamu."
Hoa Kim-kiong sengaja
mengucapkan 'keuntungan' dengan nada yang lembut dan menarik, namun Coh
Liu-Hiang seperti tidak paham maksudnya, dengan tak acuh ia malah bertanya,
"Dan kalau aku ingin mati saja?"
"Itu jauh lebih
mudah," seru Hoa Kim-kiong dengan gusar dan mendongkol "Sekali aku
memberi tanda, serentak akan hujan panah dan kaupun akan berubah menjadi
landak."
"Wah, bisa mati di bawah
bunga, jadi setan juga tak sia-sia, apalagi menjadi landak kukira bukan
soal," kata Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Baik, kau sendiri yang
cari penyakit dan jangan menyesalkan diriku, " kata Hoa Kim-kiong, sekali
ia angkat tangan, segera ia mendahului pentang busur. Serentak belasan anggota
barisan puteri juga menarik busur, melihat gaya mereka, jelas anak-anak
perempuan itu sudah terlatih baik dalam hal membidikkan panah, apalagi 'panah
mitraliur' yang sambar menyambar secara berturut-nirut, sekalipun dapat
menghindari panah pertama juga sukar mengelakkan panah kedua, belum lagi panah
ketiga dan keempat serta masih banyak lagi.
Siapa tahu, pada saat itu juga
mendadak bayangan Coh Liu-hiang berkelebat, terdengar suara jerit kaget
berturut-turut, entah bagaimana, tahu-tahu belasan busur sudah berpindah ke
tangan Coh Liu-hiang, sebaliknya belasan anak dara itu tampak berdiri mematung
tanpa bergerak, agaknya Hiat-to mereka telah tertutuk semua.
Meski Hoa Kim-kiong dan
Si-siaunaynay sebelumnya sudah tahu bahwa 'bocah bagus' ini memang punya
kemampuan tapi mereka pun tidak menduga cara turun tangannya bisa sedemikiao
cepatnya. Serentak mereka saling mengedip, sebuah busur dan dua pedang segera
menyerang seceepat kilat.
Hari ini tampaknya Coh
Liu-hiang sengaja hendak memberi rasa kepada mereka, maka kini ia tak
sungkan-sungkan seperti kemarin, sekali berputar, entah dengan gerakan apa,
tahu-tahu pergelangan tangan Si-siaunaynay sudah terpegang olehnya, sekalian
pedang lawan terus disodorkan ke depan, "trang", seketika busur Hoa
Kim kiong tertebas putus.
Lalu Coh Liu-hiang menyurut
mundur, ia memberi hormat sambil berkata "Maaf mengganggu si cantik,
soalnya terpaksa, harap maaf."
Muka Si-siaunaynay nampak
pucat, namun dia memang puteri tokoh ternama, dia dapat menilai lawan dan
melihat gelagat, kini disadarinya 'bocah bagus' ini memang bukan lawan empuk,
mendadak ia membuang pedangnya terus berlari keluar ia jewer kuping dan seret
Si Toan-cong ke dalam rumah sambil memaki, " Kau keparat, bini sendiri dilabrak
orang, kau cuma berdiri menonton, caramu ini apakah dapat dianggap seoraog
lelaki? Hayo lekas hajar orang itu untuk membalas dendamku."