-------------------------------
----------------------------
Bab 7. Si Burung Kenari ternyata ....
Itulah sebuah rumah mungil
yang dipajang dengan indahnya, kain paris menutupi jendela, kain gordyn
melambai tertiup angin, bau wangi memenuhi ruangan menyegarkan napas
seolah-olah di situ adalah sebuah kamar seorang perawan. Tapi didalam pandangan
Oh Thi-hoa tempat ini tak ubahnya sebagai penjara yang paling mewah belaka.
Nona Ping mondar-mandir dan
tak mau berhenti didalam rumah, pinggangnya yang ramping seperti menggeliat
dengan indahnya, dadanya yang padat montok seolah-olah hendak meledak menjebol
kain sutra yang membungkusnya, sampaipun sulaman kembang dibagian dalamnyapun
kelihatan samar-samar, adanya seorang gadis ayu dengan dandanan merangsang
mondar-mandir di hadapanmu, sungguh merupakan rejeki besar bagi seorang
laki-laki yang memperoleh tontonan gratis.
Tapi sekarang sedikitpun Oh
Thi-hoa tidak merasa sedan beruntung dan terpesona, kalau semula dia ingin
mencubit pinggul orang yang bulat itu, sekarang ingin rasanya dia memberi
persen bogem mentah diujung hidungnya yang mancung itu. Gemas sekali hatinya.
Lalu sekali pukul lagi bikin rontok seluruh giginya supaya kelak dia tidak
berani membual dan ngapusi orang lagi, sayang sekali hatinya hanya bisa marah
tanpa dapat berbuat apa-apa, karena kaki tangannya terikat sedemikian kencang.
Bahwa orang tidak pukul rontok giginya sendiri sudah merupakan suatu
keberuntungan.
Terasa lenggang nonaPing
semakin lama semakin genit, gemulai dan mempesonakan sampai pandangan matanya
mendelik dan kepala pusing, tak tahan dia menjerit: “Apakah pantatmu tumbuh
bisul? Kenapa tidak kau duduk saja?”
Ternyata nonaPing betul-betul
menghampiri ke depannya dan duduk.
Oh Thi-hoa tidak duga orang
mau begitu dengar katanya, sesaat dia melongo katanya pula lebih keras: “Akukan
bukan bapakmu, kenapa kau begitu penurut?”
Bukan saja tidak marah,
nonaPing malah tertawa lebar, ujarnya: “Apakah kau berpendapat jiwamu bakal
segera mampus, maka kau lekas naik pitam, sebetulnya kau tidak perlu
marah-marah karena aku jelas takkan membunuh kau.”
Berputar biji mata Oh Thi-hoa,
katanya: “Kalau kau tidak membunuhku, kenapa tidak lekas kau bebaskan aku?”
“Asal Coh Liu-hiang itu sudah
mampus, segera aku membebaskan kalian.”
Berkerut alis Oh Thi-hoa.
Dengan tersenyum nonaPing segera menambahkan: “Bukan saja melepas kau, ke empat
nona-nona itupun akan kami bebaskan seluruhnya, oleh karena itu lekaslah kau
berdoa kepada Thian supaya Coh Liu-hiang lekas mati, semakin cepat dia mati
semakin cepat kalian dibebaskan.”
“Kalau demikian mungkin selama
hidupku aku bakal terbelenggu seperti ini dan kau akan meladeniku pula.”
“O?” nonaPing bersuara heran.
Oh Thi-hoa melotot, teriaknya:
“Ketahuilah selamanya Coh Liu-hiang takkan mudah terbunuh, sekarang segera kau
bebaskan aku, terhitung kau cerdik, kalau tidak bila dia sudah kemari, he he…”
“Aduh!” nonaPing
terpingkel-pingkel. “Begitu menakutkan! Kalau kau menakut-nakuti aku, jantungku
serasa hendak melonjak keluar.”
Oh Thi-hoa menyeringai,
jengeknya: “Sekarang tentu kau tidak perlu takut, namun bila dia sudah berada
disini…”
Sekonyong-konyong di luar
terdengar ada seseorang memanggil lirih: “Nona Ping.”
“Masuk…” sahut nonaPing , “kau
sudah memberi laporan kepada Siau-hujin? Apa yang dipesan oleh Hujin?”
Yang masuk ternyata kacung
cilik baju hitam itu, sahutnya menjura: “Siau-hujin hanya tertawa -tawa saja,
sepatahpun tidak memberi pesan apa-apa.
Nona Ping melerok kepada Oh
Thi-hoa, tanyanya pula: “Apa kaupun ada melihat Coh Liu-hiang itu?”
Kacung cilik itu menyeringai
tawa, sahutnya: “Sudah tentu melihat dia, memang laki-laki ganteng yang gagah,
sedikitnya jauh lebih cakap dari yang ini, jauh lebih pintar pula.”
Oh Thi-hoa mendengus,
jengeknya: “Kau bocah ini tahu kentut.”
Nona Ping tertawa cekikikan,
katanya: “Justru karena bocah cilik tidak tahu urusan, maka apa yang dia
ucapkan pasti jujur.”
Kacung cilik itu tiba-tiba
berkata pula: “Sering aku mendengar cerita orang katanya betapa lihai dan hebat
Coh Liu-hiang yang digelari Maling Romantis itu, tapi menurut apa yang sudah
kulihat tadi, kecuali perawakannya gagah bermuka ganteng saja, yang lain-lain
sih biasa saja, belum lama setelah aku masuk ke ruang dalam, dengan jelas
kulihat sendiri dia ditendang terjungkal oleh Siau cengcu, rebah di tanah,
bergerakpun tidak bisa.”
Oh Thi-hoa gusar serunya:
“Mungkin kau melihat setan disiang hari bolong.”
Kacung cilik berbaju hijau
ternyata tertawa peringisan katanya: “Jika kau anggap aku sedang membual, lebih
baik jangan kau percaya.”
Oh Thi-hoa melongo sesaat
lamanya, akhirnya tak tahan ia berseru: “Walau aku tidak percaya, tapi tidak
menjadi soal mendengar obrolanmu, yang terang dalam keadaan begini aku memang
amat iseng.”
“Kalau kau sedang iseng,
sebaliknya aku sedang repot.” kata kacung cilik itu tertawa. Aku tidak punya
waktu untuk bercerita kepada kau, mulutnya bicara, badannya sudah berputar
keluar.
Keruan Oh Thi-hoa jengkel dan
gemes, tenggorokkannya terasa getir, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Tak kira, tak lama kemudian
kacung cilik itu berlari balik cuma menongolkan kepalanya saja diambang pintu, katanya
mengawasi dirinya: “Kalau kau ingin tahu bagaimana keadaan temanmu sekarang aku
sih punya cara yang baik.”
“Cara apa?” tanya Oh Thi-hoa
tak tahan lagi.
“Jikalau kau suka memberi
hadiah kepadaku, begitu hatiku senang, bukan mustahil segera ku ajak kau
ngobrol.”
“Hadiah apa yang kau inginkan
dari aku?”
Berputar biji mata kacung
cilik ini, katanya: “Yang lain aku tidak mau, aku hanya suka kotak perak
didalam kantongmu itu.”
Oh Thi-hoa tertawa dingin
katanya: “Liu Bu-bi ternyata tidak melupakan benda ini, kenapa tidak dia
sendiri yang mengambilnya kemari?”
“Memangnya nyonya muda perlu
turun tangan sendiri? Umpama aku saja sekarang jangan kata aku hanya ingin
minta sesuatu barangmu saja, seandainya harus menelanjangi seluruh pakaianmu,
kaupun hanya bisa melotot saja kepadaku.”
Ternyata biji mata Oh Thi-hoa
betul-betul melotot besar seperti bundar telur, dampratnya gusar: “Kau… kau
berani?”
“Kenapa aku tidak berani, cuma
aku ini seorang kacung dari keluarga Li ini, selamanya harus pegang tata
tertib, sekali-kali aku tak sudi sembarangan ambil barang milik orang lain
tanpa ijin, kecuali secara sukarela orang itu memberi kepadaku.”
Nona Ping tertawa lebar
katanya: “Kau jangan kuatir, Oh Thi-hoa biasanya terbuka tangan dia bukan orang
kikir, sekali-kali dia tidak akan merasa berat memberikan barang yang kau
inginkan, apalagi hanya mulutnya saja yang terkancing, sebetulnya hatinya sudah
gugup setengah mati, jikalau kau tidak segera memberitahu keadaan Coh Liu-hiang
yang sebenarnya, bukan mustahil dia bisa mampus karena kau bikin marah.”
Walau amarah Oh Thi-hoa sudah
berkobar tapi memang dia amat ingin besar tahu keadaan Coh Liu-hiang meski apa
yang dia dengar dari penuturan mulut bocah kecil ini tidak seratus persen boleh
dipercaya, namun masih mending dari pada tak tahu sama sekali, terpaksa dalam
hati dia menghela napas, mulutnya segera terpentang lebar, serunya lantang:
“Benar, Oh Toaya biasanya amat royal, apa yang diinginkan orang kalau dia punya
dengan suka hati dia memberikan, nah boleh kau ambil sendiri.”
“Kacung cilik itu sudah
memburu maju sambil merogoh keluar kotak perak Bau-hi-li-hoa-ting itu, katanya
tertawa gembira: “Kau sendiri yang memberi kepadaku dengan sukarela, aku tak
memaksa kau lho, benar tidak?”
“Ya, terhitung aku situa
bangka ini, kesandung oleh anak kecil, anggap saja hari ini aku terlalu sial.”
gumam Oh Thi-hoa uring-uringan.
“Apakah kau merasa sial? Kalau
dibandingkan dengan temanmu yang satu itu, kau malah terhitung beruntung.”
“Dia… bagaimana keadaannya
sekarang?” tanya Oh Thi-hoa gelisah.
“Setelah ditendang roboh oleh
Siau-chengcu, nyonya muda segera menubruk maju sambil menusukkan pedangnya,
ternyata Coh Liu-hiang si Maling Romantis yang kenamaan itu, berkelitpun sudah
tidak mampu lagi.”
Walau Oh Thi-hoa tidak percaya
obrolan seorang bocah, namun mendengar cerita ini tak urung dia menjerit kaget,
kacung cilik itu malah cekikikan geli, katanya dengan kalem: “Tapi kelima
Cianpwe justru berpendapat nyonya muda tidak pantas membunuhnya, serempak
mereka turun tangan menghalangi dan menangkis pedang nona muda…”
Sampai disini tak terasa Oh
Thi-hoa menarik napas, katanya lagi: “Agaknya kelima orang itu memang tidak
malu sebagai tokoh-tokoh kosen ahli pedang yang sudah kenamaan.”
“Apa sekarang sudah mau
percaya bahwa apa yang kukatakan tidak membual lagi?” tanya kacung cilik itu.
“Belum lagi Oh Thi-hoa buka
suara lagi, nonaPing sudah mendahului: “Sudah tentu dia percaya karena
seseorang bila mendengar kabar gembira tentu lebih mudah untuk mempercayainya.”
“Kalau demikian,” ujar si
kacung cilik, “kalau cerita kulanjutkan mungkin sepatah katapun tak mau
dipercayainya.”
“O, Coba kau teruskan
ceritamu!” desak nonaPing ikut merasa heran.
“Karena kalau ceritaku
kulanjutkan, maka tiada sepatah katapun yang merupakan kabar gembira.”
“Apakah… apakah kelima Cianpwe
itu akhirnya merubah haluan?” tanya Oh Thi-hoa gemetar.
“Walau kelima orang-orang tua
itu ada sedikit belajar keimanan, betapapun mereka belum pikun, untuk masih
bisa membedakan untung rugi dan berat ringan sesuatu persoalan. Setelah Siau
cengcu ketengahkan pengertian yang mendalam perihal kesetiaan dan persahabatan,
akhirnya kelima orang itu satu persatu mengundurkan diri.”
Meski Oh Thi-hoa tidak percaya
ucapannya, mau tak mau dia harus percaya juga akhirnya, tanyanya pula tak
sabaran: “Belakangan bagaimana?”
“Belakangan aku mengundurkan
diri.” sahut kacung cilik itu.
Karuan Oh Thi-hoa berjingkrak
gusar. teriaknya: “Kau tinggal pergi? Kenapa kau pergi darisana ?”
“Karena aku takut melihat
orang mati, kulihat ujung pedang nyonya muda sudah menusuk ke dalam dadanya,
maka secara diam-diam aku lantas mengeluyur keluar, tapi cepat atau lambat
suatu ketika kau pasti akan percaya, hakekatnya aku tak perlu membual untuk
menggertak atau menakuti aku.”
Terasa oleh Oh Thi-hoa seluruh
badannya menjadi kejang, keringat gemerobyos membasahi seluruh badan.
Berkata pula kacung cilik itu
dengan tertawa: “Namun setelah aku pergi, bukan mustahil mendadak bisa muncul
seseorang yang menolong jiwanya, sudah lama aku dengar katanya teman Coh Liu-hiang
tersebar di seluruh kolong langit, apa benar?”
“Sudah tentu ada orang yang
akan menolongnya.” seru Oh Thi-hoa penuh keyakinan. Pasti ada orang yang datang
menolongnya, sudah tentu…” beruntun berulang kali dia ucapkan kata-katanya ini,
karena dia kuatir dia sendiripun tidak percaya maka sengaja dia ulangi dua tiga
kali untuk memperteguh keyakinannya. Celaka adalah setelah tujuh delapan kali
dia ulangi kata-katanya, hatinya masih belum mau percaya juga.
“Coba kau pikir” kata kacung
cilik itu pula :” Siapa yang akan menolong dia?”
“Siapa saja bisa saja menolong
dia, karena terlalu banyak untuk disebut satu persatu yang terang orang mau
menolongnya.” kata Oh Thi-hoa sengit.
“O! coba kau sebut saja dua
tiga orang diantaranya.”
“Umpamanya, umpamanya, Setitik
Merah dari Tionggoan, Bau li tok hing Cay locianpwe, Thian-hong Taysu, haha,
tentunya kau kenal nama-nama beberapa orang ini?” meski sedapat mungkin dia
menghibur diri dengan mulut nyerocos. tapi dia sendiri tahu bahwa orang-orang
yang dia sebut namanya tadi takkan mungkin meluruk kemari dan lagi umpama benar
mereka menyusul datang, belum tentu mereka mampu menolong jiwa Coh Liu-hiang.
Biji mata kacung cilik itu
kembali berputar katanya: “Benar, agaknya tadi aku seperti melihat
berkelebatnya bayangan seorang Hwesio tua, kalau tidak salah memang Thian-hong
Taysu.”
“Apa benar kau melihatnya?”
seru Oh Thi-hoa kegirangan.
“Em! Tapi setelah kutegasi,
baru aku tahu ternyata dia bukan seorang Hweshio, tapi adalah seorang laki-laki
botak.”
Sudah tentu serasa orang yang
kebakaran jenggot gusar dan gelisah, Oh Thi-hoa gusar lagi karena permainan
bocah cilik ini.
Kacung cilik malah cekikikan
katanya: “Kau jangan marah, bukan sengaja aku hendak membuat kau marah, soalnya
kau sendiri suka mengapusi dirimu sendiri, terpaksa akupun ikut bantu kau
menipumu juga.
“Kau kira bualanmu pantas
dibuat girang ya?” damprat Oh Thi-hoa meronta-ronta, “Ketahuilah jikalau kalian
benar sudah membunuh Coh Liu-hiang didalam waktu setengah bulan seluruh Yong
cui-san-cheng ini bakal dibumi hanguskan dan diratakan dengan tanah",
belum habis dia bicara, dari dalam rumah mendadak kumandang suara desingan yang
nyaring, seolah-olah barang besi apa yang dipukul dengan gencar.
Setelah didengarkan dengan
seksama, suara gaduh ini seperti kumandang dari dalam bumi.
Kacung cilik itu segera
mengawasi nonaPing dengan tertawa, katanya: “Apakah macan betina itu sedang
main gila lagi?”
Nona Ping menghela napas,
katanya: “Dia sedang memanggil orang, bila aku tidak segera turun ke bawah,
maka dia akan memukul terus takkan berhenti, sampai orang lain budek dan
dongkol setengah mati.”
“Kenapa tidak beri hajaran
kepadanya supaya orang lain tahu akan tata tertib di sini, pasti dia akan
tunduk dan menyerah mentah-mentah,” kacung itu mengusulkan.
“Sejak mula aku sudah hendak
unjuk gigi kepada mereka, namun nyonya muda justru bersikap ramah-tamah
terhadap mereka, untung orang she Coh itu sekarang sudah tamat terhitung akupun
boleh terbebas dari kesulitan.”
Bila mata Oh Thi-hoa kembali
melotot besar, serunya: “Apakah yang kau bicarakan adalah nona Soh dan
lain-lain?”
Mengerling biji mata nonaPing
, tiba-tiba dia tertawa dengan berkata; “Bukan kau ingin menjenguk mereka?
Baik, sekarang juga kubawa kau kepada mereka, kulihat kau dengan macan betina
itu memang pasangan yang setimpal.”
Lalu dia menghampiri sebuah
pigura yang dari lukisan cat kuno serta menurunkannya, maka tampaklah di
belakangnya sebuah dinding merekah ke bawah dengan pintu yang cukup untuk turun
seseorang ke bawah, undak-undakan batu. Kejap lain mereka sudah tiba di sebuah
sel atau kamar tahanan di bawah tanah yang beruji besi.
Begitu Oh Thi-hoa tiba di
ruangan bawah, sorot matanya seketika melihat tiga ekor kura-kura.
Ketiga ekor kura-kura besar
itu merupakan lukisan dari tinta bak hitam yang melekat pada dinding tembok
putih yang berhadapan dengan pintu masuk, yang paling besar ternyata digambar
besar dari sebuah meja bundar. Lucu sekali bahwa kepala kura-kura itu ternyata
berjenggot dan berkaca-mata, dan yang lain digambar rada kecilan, pada kedua
sisi masing-masing ada dilukis tiga baris huruf-huruf pengenal yang berbunyi:
“Gambar Li Giok-ham dan gambar Liu Bu-bi. Dibawahnya tertanda Li Ang siu dari
Tionggoan dan Song Thiam-ji dari King-nam.
Tak jauh dari gambar ketiga
kura-kura ini, tertulis pula sepasang syair tampilan, masing-masing berbunyi:
“Anaknya Linglung, babaknya pikun.” “Mantunya gendeng, sekeluarga serba gila.”
Kalau Oh Thi-hoa saat itu
tidak sedang masgul dan gundah pikiran, mungkin ia sudah tertawa
terpingkal-pingkal. Maka setelah maju lebih lanjut, maka dia melihat empat
orang. Empat orang gadis muda yang rupawan laksana bidadari.
Yang terlihat oleh Oh Thi-hoa
lebih dulu adalah gadis yang berambut kepalanya dikuncir dua, kulit mukanya
bersemu abu-abu dengan bulat seperti kuaci, dikombinasi dengan sepasang mata
yang jeli, lincah dan membundar besar.
Tatkala itu gadis ini sedang
memukulkan sebuah baskom tembaga pada terali besi tak henti-hentinya sehingga
mengeluarkan suara kelontangan yang gaduh.
Gadis yang di sebelahnya
berpakaian celana panjang warna merah menyala seperti api yang sedang membara,
namun kulit badannya sedemikian halus, dua orang yang lain sedang duduk
berhadapan dipojokkansana main catur. Kalau di sebelah sini sedang ribut dengan
suara baskom tembaga yang diadu terali besi, serasa bumi hampir ambruk, di
sebelahsana keadaan justru tenang-tenang tanpa mengeluarkan suara.
Gadis yang di sebelah kiri
lemah lembut pendiam, rambutnya yang diikal dengan alis lentik dan bulu mata
yang panjang lebat, kerlingan mata yang jernih, selintas pandang bak bidadari
yang turun dari kahyangan, sudah lama tidak dikotori oleh kehidupan duniawi.
Sebaliknya gadis yang duduk di
sebelah kanan laksana kembang Tho yang mekar di musim semi, namun sedingin
tonggak salju di musim dingin pula, roman mukanya yang pucat dengan sepasang
biji mata bening setenang gelombang lautan teduh yang mengalun pelan-pelan.
Oh Thi-hoa menghirup napas
panjang berulang kali, mulutnya lantas menggumam: “Akhirnya aku berhasil
bertemu dengan mereka, namun sayang sekarang segalanya sudah terlambat.”
Gadis berkuncir begitu melihat
kedatangan nonaPing seketika tertawa besar, serunya: “Perempuan bodoh,
memangnya kedua kakimu sudah buntung? Baru sekarang kau kemari, tidak mendengar
panggilanku?”
Nona Ping tersenyum saja,
sahutnya: “Aku bukan perempuan bodoh, logatmu sukar ku tangkap.”
“Apa kau tidak mengerti? Kau
tidak mengerti kenapa aku menamakan kau perempuan goblok?” seru gadis itu
tertawa besar.
Mimik wajah gadis ini serba
aneh dan kaya akan perbuatan yang berlainan, baru saja mukanya masih berseri
tawa, tahu-tahu sudah menarik muka dan merengut jelek, serunya: “Kutanya kau,
apakah keluarga majikanmu sudah mampus seluruhnya? Sampai ini waktu belum lagi
dia membereskan persoalan kita?” logat perkataannya mengandung aksen orang
selatan, lama kelamaan nonaPing baru paham apa yang dikatakan, tapi belum lagi
dia memberi tanggapan, gadis baju merah itu sudah melotot kepada Oh Thi-hoa,
teriaknya: “Oh.. Oh.. bukankah kau she Oh?”
“Benar.” sahut Oh Thi-hoa
tertawa getir, “Aku memang Oh Thi-hoa, tak nyana kau masih ingat kepadaku.”
Baru saja dia menyebut namanya
sendiri, gadis lemah lembut itu segera tinggalkan biji-biji caturnya memburu ke
depan terali besi, dengan melotot mereka awasi dirinya.
Oh Thi-hoa menghela napas,
ujarnya: “Aku pun tahu kau bernama Soh Yong-yong, kau ini Li Ang-siu dan kau
Song Thiam-ji dulu waktu aku melihat kalian, kalian masih kanak-kanak tak nyana
sekarang sudah tumbuh besar.
Li Ang-siu tertawa lebar
sahutnya: “Setiap orang tentunya bisa tumbuh dewasa benar tidak?”
“Sejak lama aku ingin
menjenguk kalian, sayang waktu sekarang ini kurang tepat, tempat ini terlalu
buruk.”
Nona Ping menurunkan dirinya
di depan terali besi, katanya tertawa: “Kalian sesama sahabat lama bertemu,
silahkan ngobrol sepuas hati.” mulut bicara sementara ujung kakinya menutul ke
atas lantai, papan batu di bawah Oh Thi-hoa tiba-tiba menjeplak terbalik turun
dan naik lagi, kontan badan Oh Thi-hoa terjeblos terus terguling-guling didalam
terali besi.
Lekas Li Ang siu dan Soh
Thiam-ji memburu maju memapaknya duduk, kejap lain tali urat kerbau yang
membelenggu seluruh badannya sudah diputuskan seperti burung berkicau kedua
orang ini lantas menghujani pertanyaan: “Bagaimana kau bisa datang kemari?”
“Aku sendiripun ingin tanya
kalian, kenapa bisa berada di sini?” balas bertanya Oh Thi-hoa.
Song Thiam-ji segera berebut
bicara. “Kami tamasya ke gurun pasir naik kuda dan…” dengan logat orang selatan
dia nyerocos tidak henti hentinya, tiba-tiba berhenti lalu menambahkan: “Apa
yang kukatakan mungkin kau tidak mengerti, biar dia saja yang cerita.”
Li Ang-siu segera angkat
bicara: “Cerita panjang kuperpendek saja, yang jelas kita sudah bertamasya ke
gurun pasir, tak lama kita segera pulang mencari Coh Liu-hiang, namun ditengah
jalan kami kesampok dengan Li Giok-ham, Liu Bu-Bi suami istri!”
“Kalian kenal kedua suami
istri itu?” tanya Oh Thi-hoa.
“Siapa kenal mereka! Kebetulan
hari itu kami mampir ke Kwi-gi-lau sekaligus mencari Siau-ceng-san untuk cari
kabar, kebetulan merekapun berada disana .”
Diam-diam Oh Thi-hoa membatin:
“Kemungkinan mereka bukan kebetulan berada disana , yang terang mereka sengaja
sedang menunggu kedatangan mereka.”
“Semula kami merasa kedua
suami istri ini memang sopan santun dan cerdik lagi, katanya mereka keturunan
dari keluarga besar persilatan lagi, sehingga sedikitpun kami tak pernah curiga
dan siaga akan muslihatnya.”
Sampai di sini dia berhenti
mengawasi Oh Thi-hoa lekat-lekat, tanyanya: “Jikalau kau tahu martabat mereka,
apa kaupun bisa curiga dan siaga akan perangkap mereka?”
“Tidak, soalnya kita tidak
secerdik dan seteliti Coh Liu-hiang.”
“Dan karena itulah, dia ajak
kami seperjalanan maka kamipun terima permintaannya. Tak nyana secara diam-diam
mereka sudah memberi obat bius didalam air teh yang kami minum, waktu kami
siuman, tahu-tahu sudah diantar ke tempat ini, sungguh aku tidak habis berpikir
sebagai putra keturunan dari keluarga besar persilatan yang kenamaan, ternyata
sudi melakukan perbuatan yang hina dan serendah ini.”
“Kalau aku, akupun takkan
menduga.”
“Lebih aneh lagi,” demikian
tutur Li Ang-siu lebih lanjut, “Sampai detik ini, kami masih belum tahu tujuan
dan maksud mereka, karena kami terkurung disini tidak pernah kami melihat
cecongornya lagi.” jarinya menuding Song Thiam-ji lalu meneruskan: “Meskipun
setan cilik ini setiap hari pentang bacot memaki kalang kabut, setiap hari
membikin ribut, namun apapun yang dia maki, penghuni perkampungan di sini
seolah-olah sudah mampus seluruhnya, tiada satupun yang mau muncul kecuali saat-saat
tertentu, saking dongkol maka kami menggambar tiga ekor kura-kura di atas
dinding, tak nyana mereka betul-betul menjadi kura-kura yang selalu
menyembunyikan kepalanya tak mau muncul menemui kami.” menghela napas. “Coba
pikir, apakah maksud mereka sebenarnya?”
Oh Thi-hoa merasa getir
ternggorokannya, dia kebingungan tak tahu apa yang harus dia bicarakan.
Mendadak Soh Yong-yong angkat
bicara: “Bukankah kau sudah bertemu dengan Coh Liu-hiang?” dengan tajam dia
menatap mukanya, terasa Oh Thi-hoa kerlingan mata orang yang lembut dan hangat,
mendadak begitu terang cemerlang, sehingga orang yang dipandangnya takkan bisa
berbohong lagi dihadapannya.
Terpaksa Oh Thi-hoa mengangguk
sahutnya: “Ya, aku memang sudah bertemu sama dia.”
“Lalu dimanakah dia sekarang?”
Oh Thi-hoa menundukkan kepala
melengos dari tatapan sorot mata orang, sahutnya tersendat: “Aku… aku kurang
jelas.”
Soh Yong-yong maju ke
depannya, katanya tandas: “Kau pasti tahu, kuharap kau jangan kelabui kami,
apapun yang terjadi atas dirinya, kuharap kau suka memberi tahu kepada kami,
karena kami punya hak untuk mengetahui.” semula tutur katanya begitu lebut dan
merdu mengasyikkan, namun lama kelamaan nadanya sudah mengandung kekuatiran,
melengking dan gelisah, seolah-olah dia sudah mendapat firasat jelek.
Akan tetapi betapa Oh Thi-hoa
akan tega menceritakan kabar buruk yang menimpa diri Coh Liu-hiang kepada
mereka. Sayang sekali Oh Thi-hoa bukan seorang yang pandai menyembunyikan
perasaan hati dan bisa menekan emosi, meski sepatah katapun dia tidak
berbincang, namun rona muka Soh Yong-yong lambat-laun semakin pucat, kaki
tangan dan bibirnyapun gemetar.
Agaknya seperti kehilangan
keseimbangan badan, badannya tak kuat berdiri lagi, mendadak dia meloso jatuh,
dengan menjerit bersama Song Thiam-ji dan Li Ang-siu berebut maju memapahnya.
Tepat pada saat itu pula, terdengar gerungan lirih tertahan, mendadak Mutiara
hitam sudah memburu datang dan sedang mencekik leher Oh Thi-hoa, kulit mukanya
pucat tak berdarah, dengusnya sambil melotot: “Sebetulnya apa yang terjadi dan
apa pula yang dia alami? Tidak kau katakan biar aku bunuh kau lebih dulu.”
Tersipu-sipu Soh Yong-yong
meronta bangun, serunya gemetar: “Lepaskan dia, lepaskan dia… sekali-kali dia
tidak punya maksud jahat.” “Tapi kenapa dia tidak mau bicara?” sentak Mutiara
hitam. “Apa sih yang ingin dia sembunyikan untuk mengelabui kita?”
Air mata bercucuran membasahi
pipi Soh Yong-yong, katanya pilu: “Aku tahu kenapa dia tidak mau membuka mulut,
karena dia kuatir kita sedih.” habis kata-katanya tangisnya pun pecah
sesenggukan. Li Ang-sui, Song Thiam-ji dan Mutiara hitam sama berdiri
memjublek, ketiganya sama mendelong awasi muka Oh Thi-hoa.
Melihat rona muka dan sorot
mata mereka, sungguh serasa ditusuk jarum ulu hati Oh Thi-hoa, sampai detik
ini, baru dia benar-benar merasakan dan memahami betapa kecut perasaan seorang
sedih hati.”
Sekonyong-konyong bayangan
seseorang seperti terbang menerjang ruang penjara di bawah tanah ini. Orang ini
ternyata bukan lain adalah Li Giok-ham.
Begitu melihat orang ini, biji
mata Li Ang-siu dan Song Thiam-ji seketika menyala seperti hendak menyemburkan
api. Teriak Li Ang-siu dengan lantang: “Kau keparat busuk ini, berani kau
kemari menemui kami?”
Song Thiam-ji menjerit-jerit
dengan suara gemetar: “Kau apakan Coh Liu-hiang sekarang?”
Mutiara hitam membentak
bengis: “Lebih lekas kau bunuh aku, kalau tidak cepat atau lambat aku pasti
akan membunuhmu.”
“Bangsat kurcaci.” Oh Thi-hoa
tidak mau ketinggalan memaki juga, “Berani kau berduel menentukan hidup mati
dengan aku?”
Empat orang serempak pentang
mulut memaki dengan suara keras dan ribut, namun Li Giok-ham ternyata seperti
tunduk mendengar. Tampak rona mukanya pucat, lebih sedih dan harus dikasihani,
lebih menakutkan, biji matanya digenangi warna darah, seluruh badan gemetar.
Setelah melihat tegas
badannya, Oh Thi-hoa berempat malah melongo dan terheran-heran, disaat mereka
bertanya-tanya tak habis mengerti, mendadak Liu Bu-bi ikut memburu datang.
Bukan saja tindak tanduknya kelihatan amat duka, juga kelihatan gugup dan
ketakutan. Langsung dia memburu ke depan Li Giok-ham, dengan kencang dia peluk
badan orang, serunya setengah meratap gemetar: “Akulah yang membuat gara-gara
ini, akulah yang membuat kau celaka.”
Li Giok-ham tidak bersuara,
matanya lurus mendelong, tangannya pelan-pelan mengelus rambur Liu Bu-bi, sorot
matanya penuh diliputi kepedihan, juga diliputi kasin sayang.
Mendadak Liu Bu-bi lepaskan
pelukannya sambil putar badan, tengah merogoh sebatang badik yang kemilau terus
menghujam keulu hatinya sendiri. Seperti orang gila yang kalap dengan kencang
Li Giok-ham menubruk maju serta berteriak serak: “Mana boleh kau berbuat nekad
ini, lepaskan tanganmu!”
Air mata sudah bercucuran
dimuka Liu Bu-bi, serunya sesenggukan: “Sudah lama aku memberikan beban yang berlarut-larut
kepadamu, aku mohon padamu, biarlah aku mati saja, setelah aku mati orang akan
memaafkan segala kesalahan kita.”
Li Giok-ham membanting kaki,
katanya: “Coba kau pikir, setelah kau mati apakah aku masih bisa hidup?”
Bergetar sekujur badan Liu
Bu-bi, klontang, badik di tangannya terjatuh di atas lantai, maka mereka lantas
berpelukan dan bertangisan dengan keras.
Sungguh Oh Thi-hoa berlima
terpaku dan melongo di tempatnya melihat pertunjukan aneh, ganjil dan memilukan
ini. Tiada satupun yang tahu apa sebab kedua suami istri ini sekarang berubah
begitu mengenaskan, begitu konyol? Memangnya mereka sedang bermain sandiwara
pula?
Ditengah sengguk tangisnya,
terdengar Liu Bu-bi berkata pula: “Sebetulnya memang aku tega berpisah dengan
kau, namun diriku, mana aku tega membiarkan kau ikut sengsara dan tersiksa
bersamaku?”
Berkata Li Giok-ham lembut:
“Sejak kedatanganmu, setiap hari setiap waktu aku hidup dalam kesenangan, mana
boleh kau katakan aku menderita malah?”
“Kalau begitu, marilah tinggal
pergi saja. Ke tempat nan jauh mencari suatu tempat yang damai dan tentram,
disana kita menetap, siapapun tak perlu kita temui.”
“Tapi kau…”
“Mungkin aku masih bertahan
hidup beberapa bulan lagi, setelah beberapa bulan ini.”
Li Giok-ham menukas ucapannya,
katanya lembut: “Apapun yang terjadi aku tidak akan berpeluk tangan membiarkan
kau mati, aku ingin kau hidup abadi.”
“Tapi sekarang….”
“Sekarang kita belum putus
harapan, paling tidaklima orang itu masih berada ditangan kita.”
Mendengar percakapan mereka
semakin bingung dan pening kepala Oh Thi-hoa.
Kenapa Liu Bu-bi ingin bunuh
diri? Kenapa mereka?”
Mendadak Li Giok-ham
menghardik keras: “Berdiri di tempatmu, berani selangkah kau maju, akan
kutamatkan jiwa mereka.” entah sejak kapan kotak perak berisi Bau-hi-li-hoa-ting
sudah berada di tangannya dan tertuju ke arah Oh Thi-hoa, tangan yang lain
dengan kencang menarik Liu Bu-bi, seolah-olah kuatir kehilangan dirinya.
Dari undakan batu terdengar
seseorang menghela napas, ujarnya: “Sampai detik ini, kalian masih belum kapok
dan menyudahi persoalan ini? Buat apa pula kalian harus menyiksa diri?”
Ternyata suara ini keluar dari
mulut Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang ternyata belum mati. Siapakah yang menolong
jiwanya?
Sudah tentu bukan kepalang
senang Oh Thi-hoa dan Soh Yong-yong berempat.
Serempak mereka berteriak:
“Coh Liu-hiang, kaukah ini?” mereka tidak perlu jawaban, karena mereka
benar-benar sudah melihat Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang masih berdiri di undakan
batu terbawah, memang dia tidak maju lebih lanjut, karena dia cukup tahu betapa
hebat perbawa sambitan dari Bau hi li hoa ting ditangan Li Giok-ham itu.
Sekarang Oh Thi-hoa berlima
sama berhimpitan didalam kamar tahanan itu, mereka sama-sama terbidik oleh
sambaran Bau hi li hoa ting itu.
Hakekatnya mereka tak sampai
dan tak mungkin berkelit dari incaran Bau hi li hoa ting ini.
Oh Thi-hoa berjingkrak sambil
bersorak kegirangan: “Ulat busuk, ternyata kau memang tidak mampus, aku tahu
kau memang tak bisa mati, memangnya siapa yang bisa membunuh mu?”
Meski senang tertawa namun Coh
Liu-hiang menjawab dengan menghela napas: “Tapi kalau kali ini tiada orang yang
menolong aku, jiwa ku ini terang sudah direnggut oleh mereka.”
“Benar ada orang menolong kau?
Siapa?”
“Kau takkan bisa menerkanya.”
“Sudah terang kau tidak akan
menerka karena aku sendiripun tidak menyangka, bahwa orang yang menolong aku
justru adalah Li Koan-hu Li-locianpwe.”
Oh Thi-hoa melongo pula
teriaknya: “Anaknya ingin mencabut jiwamu, masakah bapaknya bakal menolong kau
malah?”
“Hakekatnya dia tidak tahu
seluk-beluk persoalan ini, sekali-kali tak pernah terpikir olehnya hendak
mencabut jiwaku, semua peristiwa ini tak lain tak bukan adalah rencana dan
kehendak Li-kongcu suami istri sendiri.”
“Tapi, tokoh-tokoh macam Swe
It-hang itu bukankah mereka benar-benar datang karena undangan dan pesan Li
Koan-hu sendiri?”
“Yang terang Li-kongcu ini
memalsukan tulisan ayahnya dan memanggil mereka di luar tahu bapaknya, kalau
anaknya bicara mewakili ayahnya, sudah tentu orang lain takkan curiga.”
“Memangnya kenapa Li Koan-hu
sendiri tidak menyangkal dan membongkar muslihatnya ini?” tanya Oh Thi-hoa.
“Karena sejak tujuh tahun yang
lalu, Li-locianpwe tersesat jalan didalam latihan ilmunya sehingga darah macet
dan badan cacat, sejak itu beliau tak bisa bicara lagi.”
Semakin keheranan Oh Thi-hoa
mendengar cerita ini, katanya: “Kalau badannya sudah cacat dan tak bisa
bergerak, cara bagaimana bisa menolong kau?”
Selama hidup Li locianpwe
jujur ksatria dan mengutamakan keadilan dan kebenaran secara gamblang dia mengawasi
suatu peristiwa sesat di depan mata, celaka orang justru meminjam atau memalsu
namanya, betapa pedih, marah sanubarinya melihat perbuatan putranya yang
terkutuk ini, mungkin kaupun takkan dapat membayangkan keadaannya pada waktu
itu, namun dia justru hanya bisa mengawasi dengan mendelong tanpa mampu
mencegah atau berbuat apa-apa, bergerakpun tidak bisa.
“Mungkinkah karena amarahnya
itu, sehingga hawa murninya yang tersumbat dalam latihannya dulu tiba-tiba
jebol oleh arus kemarahan yang di luar batas itu?”
“Ya, begitulah terjadinya.”
“Tanpa kau jelaskan, aku sudah
mengerti apa yang terjadi selanjutnya.”
“O, Ya?”
“Waktu Liu Bu-bi acungkan
pedang hendak membunuh kau, mendadak dilihatnya Li-locianpwe tiba-tiba bisa
bergerak dan bicara sudah tentu kejutnya bukan main, seseorang bila tahu tipu
muslihat dan perbuatan jahatnya sudah konangan dan terbongkar rahasianya,
siapapun akan ketakutan.”
“Tidak salah.”
“Waktu dia nekad hendak
membunuh kau, kelima Cianpwe itu tentunya tak membiarkan maksudnya terlaksana,
tatkala itu mungkin Li Giok-ham sendiri sudah lemas ketakutan maka segera dia
ngacir ke tempat ini.”
Coh Liu-hiang tersenyum,
katanya: “Rekaanmu memang sembilan puluh persen benar, hebat benar otakmu
memang sudah lebih cerdik. Tapi kalau kau pun bisa menemukan tempat ini, kenapa
tidak kau bawa tua bangka yang tertipu itu kemari juga?”
“Urusanku sendiri, sudah tentu
harus kubereskan sendiri pula.”
“Kau mampu membereskan?”
“Aku sendiri tidak tahu apa
benar dalam dunia ini ada urusan yang tak bisa dibereskan, sedikitnya sampai
detik ini aku belum pernah menghadapinya.”
Sebetulnya soal ini boleh
kelak dibicarakan pelan-pelan, tapi mereka justru nyerocos tidak
henti-hentinya, seolah-olah sudah lupa dimana mereka bicara dan kapan mereka
mengobrol. Seolah-olah tidak sadar bahwa Li Giok-ham dan Liu Bu-bi sedang
berdiri disana . Song Thiam-ji dan Li Ang-siu dan lain-lain sedang mengawasi
dengan pandangan heran.
Dan yang membuat Soh Yong-yong
berempat amat duka dan mendelu, bukan saja Coh Liu-hiang tidak ajak mereka
bicara, sampaipun melirikpun tidak ke arah mereka, selama ini cuma sibuk bicara
dengan Oh Thi-hoa.
Diantara mereka berempat hanya
Soh Yon-yong seorang saja yang dapat meraba maksud hati Coh Liu-hiang, dia tahu
mereka sedang memancing perhatian Li Giok-ham dengan percakapan ini. Asal
perhatian Li Giok-ham rada terpencar dan sedikit lena, maka Coh Liu-hiang akan
berusaha dan mendapat kesempatan untuk turun tangan merebut alat rahasia di
tangannya itu, betapa cepat Coh Liu-hiang turun tangan, Soh Yong-yong cukup
yakin dia pasti akan berhasil.
Apa boleh buat, ternyata tanpa
berkedip pandangan Li Giok-ham masih menatap Coh Liu-hiang, tangannya masih
kencang memegangi Bau hi li hoa ting itu. Apapun yang dikatakan Coh Liu-hiang
seolah-olah tidak dia dengar, namun sedikit tangan Coh Liu-hiang bergerak, maka
Bau hi li hoa ting di tangannya itu segera akan memberondong keluar.
Diam-diam Soh Yong-yong
mengucurkan keringat dingin dan berdiri bulu kuduknya, hatinya tegang dan
seram, karena dia maklum untuk merebut Bau hi li hoa ting ditangan Li Giok-ham
itu, usaha Coh Liu-hiang akan berat, laksana mencabut gigi dimulut harimau.
Mendadak Li Giok-ham
menghardik bengis: “Sudah selesai percakapan kalian?”
“Apa kaupun ingin bicara?”
tukah Oh Thi-hoa. “Bagus, biar aku tanya kau dulu, bahwasanya Coh Liu-hiang ada
permusuhan apa dengan kau? Kenapa kau hendak mencelakai jiwanya?”
Li Giok-ham menarik napas
panjang, katanya: “Selamanya aku tak bermusuhan tiada dendam kepadanya, bahwa
aku harus membunuh dia, karena terdesak keadaan dan..”
“Kau ini sedang bicara? Atau
sedang kentut?”
Ternyata Li Giok-ham tidak
marah, ujarnya menghela napas: “Banyak persoalannya, aku percaya kau pasti
takkan bisa mengerti.”
“Banyak persoalan semula
memang sukar kupikirkan penjelasannya, tapi lambat laun sekarang aku sudah
mendapatkan gambarannya yang terang.”
“O” Coba kau terangkan !” kata
Li Giok-ham.
“Yang membuatnya bingung dan
masih tak mengerti adalah kalau toh kalian sudah melepas aku kenapa pula ingin
membunuh aku?”
“Belakangan baru aku mengerti”
kata Coh Liu-hiang lebih lanjut dengan tertawa. “Karena akhirnya aku sadar
hakekatnya selama ini kau sendiri tidak pernah menolong aku!”
“Kau… ” Liu Bu-bi ragu-ragu,
“Masakah kau sudah lupa didalam lembah sesat tempat kediaman Ciok Koan im itu?”
Mendengar ucapan orang, Coh
Liu-hiang lebih yakin, “Tidak salah.” tukasnya: “Hari itu memang kenyataan kau
membunuh banyak orang, tapi tujuanmu bukan untuk menolong aku, karena waktu itu
akupun sudah mengejar keluar, kau tidak bunuh mereka, aku tetap bisa lolos!”
Liu Bu-bi menjengek dingin:
“Kalau kau tidak sudi terima budi pertolongan, akupun tidak bisa memaksa kau.”
“Walau kau tidak pernah
menolong aku, aku tetap berterima kasih kepadamu karena bila kau tidak turun
tangan, Kui-je-ong ayah beranak, Oh Thi-hoa dan KiPing -yan mungkin sudah benar
benar mati oleh arak Ciok Koan-im.”
“Ternyata kau belum melupakan
peristiwa itu sungguh harus dipuji.” olok Liu Bu-bi.
“Sungguh tentu aku tidak akan
lupa, karena selama ini aku sedang heran, setelah bertemu dengan Soh Yong-yong
ditengah jalan, baru kalian menyusup ke padang pasir, bagaimana mungkin begitu
tiba di gurun pasir, dengan mudah kau lantas dapat menemukan tempat kediaman
Ciok-Koan-im di lembah sesat itu? Bukan saja letak lembah sesat itu tersembunyi
penuh dipasangi jebakan dan alat-alat rahasia, jarang diinjak manusia luar
lagi, jalanan didalam lembahpun simpang siur gampang menyesatkan, namun kalian
berlenggang dengan mudah pergi datang seperti berjalan di tanah datar bagai di
dalam rumahnya sendiri, bukankah hal ini amat mengherankan?”
Oh Thi-hoa angkat pundaknya,
timbrungnya: “Benar, mendengar uraianmu ini, akupun ikut heran juga.”
“Dan lagi,” kata Coh Liu-hiang
lebih lanjut: “Kepandaian Ciok-koan-im menggunakan racun amat pandai, arak
beracun buatannya sudah tentu orang tidak tahu, ramuan racun apa saja dan tak
bisa memunahkannya, maka setelah dia melihat Oh Thi-hoa rebutan arak beracun
dan menenggaknya habis dengan Ki Ping-yan, segera dia berlalu, karena dia
beranggapan dalam dunia ini tiada seorang tokoh siapapun yang mampu menawarkan
arak beracunnya itu, maka tanpa sangsi dia tinggal pergi.”
Lalu dengan tajam dia menatap
Liu Bu-bi, katanya kalem: “Tapi seenak kau membubuhi obat kepada si pasien yang
sudah kau ketahui penyakitnya saja kau memunahkan kadar racun yang mengeram
dalam tubuh teman temanku itu, bukankah hal ini jauh lebih mengherankan?”
“Benar.” kata Oh Thi-hoa
angkat kedua tangan. “Kalau dia tidak tahu kadar racun apa yang tercampur dalam
arak Ciok-koan-im, cara bagaimana dia bisa mengobati kami berempat dengan
mudahnya?”
Jari-jari Liu Bu-bi yang putih
halus dan runcing itu sedang meremas ujung bajunya, katanya: “Kedua kejadian
itu, apakah kaupun sudah dapat memecahkannya?”
Coh Liu-hiang tertawa tawar,
katanya: “Meskipun kedua kejadian ini sulit diterangkan, namun kalian sendiri
yang meninggalkan gejala-gejala yang kurang sempurna dan teliti, kalau bukan
lantaran kedua peristiwa itu, mungkin selamanya aku tidak akan menebak tepat
asal-usulmu yang sebenarnya.”
Jari-jari Liu Bu-bi yang putih
menjadi semakin putih dan pucat karena tenaga meremas ujung bajunya terlalu
keras, malah kedua lengannya itu tampak gemetar semakin keras, katanya: “Kau…
sekarang kau sudah tahu siapa sebenarnya aku ini?”
“Ingin aku bertanya dulu
kepadamu, seseorang bila dia belum pernah berada didalam lembah kediaman
Ciok-koan-im itu, apakah dia bisa pergi datang seenaknya?”
Liu Bu-bi menggigit bibir,
sahutnya kemudian: “Tidak bisa.”
“Seseorang bila dia tidak tahu
racun macam apa yang ditaruh dalam arak Ciok-koan-im itu, mungkinkah dia bisa
menawarkan kadar racunnya?”
“Tidak mungkin.”
“Jikalau bukan orang
kepercayaan Ciok-koan-im yang terdekat, terang tak mungkin bisa tahu jalan
rahasia keluar masuk dari lembah sesat itu, maka diapun takkan tahu dosis racun
yang tercampur didalam arak itu, benar tidak?”
Mendadak Liu Bu-bi tertawa
terloroh-loroh. Agaknya dia sudah tidak bisa kendalikan emosinya sendiri,
seperti orang linglung dia terloroh-loroh terus tak berhenti.
Akhirnya Oh Thi-hoa bertanya:
“Dia… memangnya siapakah dia sebenarnya?”
Coh Liu-hiang menghirup hawa
segar, katanya sepatah demi sepatah: “Masakah kau belum paham bahwa dia adalah
murid kesayangan Ciok-koan-im?”
Liu Bu-bi ternyata adalah
murid didik Ciok-koan-im. Sudah tentu penjelasan ini membikin Oh Thi-hoa terperanjat.
Sebaliknya, rona muka Li
Giok-ham berubah hebat, bentaknya beringas: “Jikalau dia benar muridnya
Ciok-koan-im, kenapa sesama saudara seperguruannya dia bunuh seluruhnya?”
Coh Liu-hiang tertawa dingin,
ejeknya: “Kalau Ciok-koan-im sudah berangan-angan hendak menjadi ratu dinegri
Kui-je, kalau dia membawa para muridnya yang sekian banyak jumlahnya, bukankah
terlalu berabe dan membebani pundaknya?”
“Kau… kau kira Ciok-koan-im
yang menghendaki dia membunuh semua saudara seperguruannya itu?”
“Ya, begitulah kejadiannya.”
Sahut Coh Liu-hiang.
“Lantaran orang-orang itu
tidak pernah menyangka dia bakal turun tangan secara keji, maka mereka tiada
satupun yang siaga, kalau tidak dengan tenaganya seorang, masakah dia dalam
waktu sesingkat itu bisa membunuh sedemikan banyak orang?”
“Kalau demikian, jadi kau
beranggapan lantaran dia murid didik kepercayaan Ciok-koan-im, maka dia
bermaksud membunuhmu?”
“Kecuali itu, agaknya sulit
mencari alasan lain untuk menjelaskan persoalan ini.”
“Lalu bagaimana dengan aku?”
tanya Li Giok-ham.
“Mungkin kaupun tertipu oleh
dia, kau diperalat tanpa kau sadari. Kemungkinan dia adalah utusan Ciok-koan-im
yang dipendam di Kanglam, maka dia sudi menikah dengan kau dengan embel-embel
nyonya muda dari Yong-cui-san-cheng sebagai tameng, paling baik untuk
menyembunyikan diri.”
Tanya Li Giok-ham: “Kalau
benar dia komplotan Ciok-koan-im yang setia, kenapa pula dia mau menolong Oh
Thi-hoa dan lain-lain dari keracunan arak itu?”
“Karena waktu itu aku sudah
membunuh Ciok-koan-im, melihat gelagat jelek dan tidak menguntungkan dirinya,
maka terpaksa dia menolongnya, maksudnya dia supaya kelak dia bisa mengatur
jalan mundur, yang terang kalau Oh Thi-hoa dan lain-lain mampus toh tiada
manfaatnya bagi dirinya.”
Li Giok-ham mendadak tertawa
gelak-gelak! Nada tawanya mengandung penasaran dan gusar, seolah banyak
penasaran yang tidak lampias. “Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang, kau memang terlalu
pintar, namun sayang kau keblinger oleh kepintaranmu sendiri.”
“Memangnya uraianku barusan
salah?”
“Sudah tentu apa yang kau
uraikan tidak salah, apa yang diketahui oleh Coh Liu-hiang yang serba pintar
masakah bisa salah? Sekarang apapun yang kau katakan yang terang sudah tiada
hubungannya sama sekali.”
Sorot matanya seolah-olah
hendak menyemburkan api, suaranya mirip gerungan gusar: “Karena sekarang kau
jelas akan mati kalau tidak segera aku bunuh kalian.”
“Apa kau sudah gila?” seru Oh
Thi-hoa kaget.
“Benar, memang aku sudah gila
tapi bila kau menjadi aku, kau akan lebih gila lagi.” jari-jarinya gemetar
sembarang waktu tombol kotak Bau hi li hoa ting itu kemungkinan tersentuh,
kalau orang lain masakah berani adu mulut dan menyindirnya dengan pedas.
Tapi Oh Thi-hoa justru tidak
peduli, teriaknya: “Sampai detik ini kau masih ingin melindungi dia?”
“Sudah tentu.” sahut Li Giok-ham
kalap.
“Sampai detik ini, kau masih
belum percaya bila binimu ini adalah murid kepercayaan Ciok-koan-im?”
Sebetulnya Liu Bu-bi sudah
tunduk kepala, tiba-tiba dia angkat kepala dan berseru beringas: “Benar, memang
aku adalah murid Ciok-koan-im tapi sejak mula aku tidak pernah mengelabui dan
merahasiakan diriku kepadanya!”
Oh Thi-hoa melongo, katanya
menatap Li Giok-ham: “Jadi kau sudah tahu bila dia adalah murid Ciok-koan-im
yang dipendam di Kang-lam sebagai mata-mata, namun kau tetap mempersunting dia
sebagai istrimu, kecuali dia memangnya perempuan dalam dunia ini sudah mampus
seluruhnya?” Dengan kencang Liu Bu-bi pegang tangan Li Giok-ham, dia tidak
membiarkan orang bicara lagi. Namun tangannya sudah gemetar, katanya: “Segala
caci maki yang paling kotor dan keji sudah kalian lontarkan kepada kami,
bolehkah beri kesempatan untuk aku bicara, secara terbuka.”
“Cayhe sedang pasang kuping.”
ujar Coh Liu-hiang tersenyum.
“Diantara murid-murid yang
dididik Ciok-koan-im, hanya aku dan Ki Bu-yong yang dipungutnya sejak kecil,
jadi kami tumbuh dewasa disampingnya, kami berdua sama-sama anak yatim piatu,
malah siapa-siapa nama ayah bunda kamipun tak tahu, semula beliau ada memberi
nama kepadaku, setelah aku berada di sini, baru aku merubah she Liu dan bernama
Bu-bi.”
“Jadi nama Ki Bu-yong juga
dirubah setelah roman mukanya itu dirusak?” tanya Coh Liu-hiang.
“Benar, semula dia bernama
Bu-su “tiada maksud” dan aku bernama Bu-gi “tak terkenang”.”
Coh Liu-hiang menghela napas
gumannya: “Bu-su, Bu-gi, Bu-hoa… ai!”
“Walau dia ingin supaya kami
Bu-su, Bu-gi, betapapun kami ini manusia yang berdarah daging, setiap orang
setelah menanjak dewasa pasti dia akan terkenang ayah bundanya. Sudah tentu
kamipun tidak ketinggalan apa boleh buat beliau setuju merahasiakan dan tak mau
mencari tahu siapa ayah bunda kami sesungguhnya, setiap kali kami menyinggung
hal ini, dia lantas marah dan uring-uringan.”
“Bagaimana tindakannya
terhadap para murid didiknya, aku sedikit pernah menyaksikannya.” ujar Coh
Liu-hiang.
“Tapi dia terlalu baik
terhadap aku dan Ki Bu-yong, cuma watak Ki Bu-yong lebih pendiam dan suka
menyendiri, berhati keras lagi. Sudah tentu sifatnya yang lugu itu tidak bisa
mengambil hati gurunya, aku sebaliknya lebih…”
Dengan tertawa dingin, Oh
Thi-hoa menukas: “Kau lebih pintar menepuk pantatnya minta aleman, hal ini tak
perlu kau jelaskan karena aku sudah tahu.”
Bahwasanya Liu Bu-bi tidak
hiraukan ocehannya, katanya lebih lanjut: “Dalam pandangan orang lain,
Ciok-koan-im seolah-olah benar-benar dibuat dari ukiran-ukiran batu, namun
justru ia seorang manusia, orang yang punya darah dan daging, maka iapun
memiliki sifat sifat lemah dari manusia umumnya.”
“O?” Coh Liu-hiang bersuara
heran.
“Adakalanya, diapun merasa
hambar, risau dan rawan, kesepian dan tersiksa dalam keadaan seperti itu, maka
diapun meminjam arak untuk melampiaskan kedukaan hatinya, malah sering minum
sampai mabuk dan tak sadarkan diri.”
Oh Thi-hoa tertawa geli,
ujarnya: “Tak nyana Ciok-koan-im ternyata punya hobby yang sama dengan aku.”
“Lantaran hubunganku lebih
dekat sama dia, maka sering dia minta aku menemani dia minum arak, pada suatu
hari diapun mabuk-mabuk lagi, dalam mabuknya itu dia membuka sebuah rahasia
kepada diriku.”
“Rahasia apa?” tanya Coh
Liu-hiang.
“Hari itu semalam suntuk kami
minum arak, menjelang pagi saking mabuk kepalanya sudah lemas, matanyapun
menjublek, tiba-tiba dia memberitahu kepadaku, ayah bunda Ki Bu-yong adalah dia
yang membunuhnya.”
Terkesima Coh Liu-hiang
dibuatnya, katanya: “Apakah karena dia hendak menerima Ki Bu-yong sebagai
muridnya, maka dia bunuh kedua orang tuanya?”
“Ya, memang begitulah.” sahut
Liu Bu-bi karena amat terpengaruh oleh perasaannya, suaranya sampai serak,
setelah merenung sekian lamanya lalu dia meneruskan: “Mendengar ucapannya,
sudah tentu kejutku bukan main, takut lagi, waktu itu terpikir olehku, kalau
ayah bunda Ki Bu-yong dibunuh oleh dia, apakah ayah bundakupun dibunuhnya
juga?”
Sampai di sini Oh Thi-hoa ikut
tegang dan ketarik, tanyanya: “Kenapa tidak kau tanya dia, waktu dia masih
mabuk?”
“Sudah tentu kutanyakan, namun
dia bilang, riwayat hidupku berlainan dengan Ki Bu-yong, aku adalah bayi
buangan, dia sendiripun tidak tahu siapa ayah bundaku, waktu kutanya dia lagi,
mendadak dia merangkulku dan menangis gerung-gerung, dikatakan dia seorang diri
sebatang kara, tiada sanak tiada kadang, maka sejak kecil dia pandang aku
sebagai anak kandungnya sendiri.”
“Karena tangisnya itu maka kau
lantas percaya begitu saja?” timbrung Oh Thi-hoa pula.
Liu Bu-bi kucek-kucek matanya,
katanya: “Meski aku tak percaya namun sulit aku mencari bukti, sudah tentu
akupun tidak berani membocorkan rahasia ini kepada Ki Bu-yong karena bila hal
ini kuberitahu kepada dia, berarti aku mencelakai jiwanya.”
“Benar, ujar Coh Liu-hiang,
jikalau Ciok-koan-im tahu Ki Bu-yong sudah tahu akan rahasia ini, dia pasti tak
akan membiarkan muridnya itu hidup lebih lama.”
“Sejak malam itu, lahirnya aku
tetap seperti dulu, namun batinku sudah jauh berubah tak mungkin aku bergaul
intim dengan dia seperti dulu.” sampai disini Liu Bu-bi menghela napas, lalu
melanjutkan: “Perubahan Ki Bu-yong justru lebih besar dan menyolok dari aku,
begitu usianya menanjak dewasa semakin lama sikapnya semakin dingin dan
menjauhi Ciok-koan-im. Seumpama sekuntum kembang yang tumbuh ditengah udara,
kelihatannya selalu dingin, begitu agung, sedih dan menawan hati, begitu cantik
lagi. Meski aku ini seorang perempuan sampai akupun merasakan dia teramat
cantik, begitu rupawan sampai sanubariku tak berani menyentuhnya, sudah tentu
tidak berani aku membuka tabir rahasia itu.”
Oh Thi-hoa menghela napas,
katanya: “Sayang sekali kita tidak bisa menikmati roman mukanya yang cantik
itu.”
“Memang kasihan, takdir memang
sudah tentukan nasib seseorang… aku sungguh tidak pernah menduga bahwa
Ciok-koan-im merusak wajahnya nan ayu itu!”
“Kau juga tahu bila
Ciok-koan-im lah yang merusak wajahnya?” tanya Oh Thi-hoa.
“Aku tahu.” sahutnya kertak
gigi: “Setelah tahu akan kejadian ini maka aku insaf akupun tak bisa lama-lama
berada disamping Ciok-koan-im, meskipun berulang kali dia sudah berpesan wanti-wanti
kepadaku, katanya dia takkan menggunakan kekerasan terhadapku, tapi dalam
pandanganku, ia sudah berubah seperti ular beracun, cukup selintas pandang
saja, aku sudah tidak tahan lagi.”
Bercahaya sorot mata Coh
Liu-hiang, katanya: “Memangnya kau melarikan diri?”
“Aku bukan lari, kalau aku
ingin lari, maka jiwaku takkan hidup sampai sekarang.”
“Jadi kau….”
“Aku cuma bilang, aku sekarang
sudah dewasa, sudah tiba waktunya keluar melihat dunia dan cari pengalaman,
sejak melihat dunia dan tumbuh dewasa ditengah gurun pasir yang serba gersang
dan tersembunyi dalam lembah sesat itu, bagaimana keadaan dunia luar sedikitpun
tidak tahu, maka aku mohon beliau suka memberi kesempatan aku keluar.”
“Apa yang dia katakan?” tanya
Coh Liu-hiang.
“Dia tidak berkata apa-apa,
dia cuma tanya aku, kapan aku akan pergi?”
“Bagaimana jawabmu?”
“Waktu itu aku sudah tidak
sabar lagi, seharipun rasanya sudah tidak betah lagi tinggal disana, maka
segera aku jawab: lebih baik besok pagi.”
“Apa dia terus menerima dan
memberi ijin kepadamu begitu saja?”
“Mendengar permohonanku, lama
dia termenung, mendadak berkata: Baik, malam ini aku adakan perjamuan untuk
memperingati keberangkatanmu. Aku sendiri tidak duga begitu lekas dan gampang
dia mau melulusi permintaanku, keruan bukan kepalang senang hatiku.”
“Ku kira terlalu pagi kau
merasa senang.” ujar Coh Liu-hiang.
“Malam itu juga dia
betul-betul menyiapkan sebuah perjamuan untuk mengantar kepergianku, aku
betapapun diasuh dan dibesarkan dia, teringat besok juga akan berpisah, hatiku
merasa berat dan sedih juga, teringat orang begitu gampang memberi ijin dirinya
untuk pergi, tak urung hati amat haru dan terima kasih sekali. Maka malam itu
aku temani dia minum arak sebanyak-banyaknya.”
Mendengar sampai di sini,
lapat-lapat Oh Thi-hoa sudah meraba tujuan jahat dari kata-katanya itu, mau
tidak mau dia ikut tegang juga bagi keselamatannya, tak tahan dia bertanya
pula: “Bagaimana keesokan harinya?”
Muka Liu Bu-bi tidak
menunjukkan perasaan hatinya, katanya tawar: “Hari kedua, dia mengantar aku
sampai di mulut lembah, dia lepas aku pergi.”
Oh Thi-hoa melongo, katanya:
“Begitu saja dia mau melepas kau pergi?”
Kembali Liu Bu-bi menepekur
rada lama, meski rona mukanya tidak menunjukkan mimik hatinya, namun kulit
mukanya begitu pucat seperti mayat hidup, sorot matanya justru memancarkan
kebencian yang berlimpah-limpah katanya dengan tegas: “Begitulah dia melepaskan
aku pergi, karena sebelumnya dia sudah perhitungkan aku pasti akan kembali
lagi.”
“Kembali, harus kembali lagi?”
tanya Oh Thi-hoa.
“Belum lima ratus li aku
menempuh perjalanan, segera terasa perutku sakit sekali seperti disayat sayat,
seolah-olah banyak ular-ular kecil menggerogoti perutku.”
Seketika merinding sekujur
badan Oh Thi-hoa, katanya: “Arak… arak itu beracun?”
Liu Bu-bi kertak gigi,
sahutnya mendesis: “Benar. dalam arak ada racun, maka dia sudah perhitungkan,
aku pasti akan merangkak balik, minta pengampunan dan obat pemunahnya, kalau
tidak aku akan mampus ditengah gurun pasir, tanpa ada orang yang mengubur
mayatku.”
Oh Thi-hoa seketika naik
pitam, serunya: “Kalau dia sudah melulusi permintaanmu dan mengantar kau pergi,
kenapa dia mencampur racun dalam arak itu?”
“Karena dia ingin supaya aku
tahu akan kelihaiannya, supaya selama hayatku tidak berani membangkang dan
durhaka kepadanya, supaya aku berlutut dan menyembah mohon ampun kepadanya…
karena dia amat suka melihat orang menyembah dan meratap diujung kakinya.”
Oh Thi-hoa menarik napas
panjang, gumamnya: “Untung manusia sekeji itu kini sudah mampus.”
Berkata Liu Bu-bi lebih lanjut:
“Meski rencananya rapi, perbuatannya keji tapi dia lupa akan satu hal.”
“Lupa apanya?”, tanya Oh
Thi-hoa.
“Dia lupa diwaktu dia mabuk,
banyak rahasia yang pernah dia beritahu kepadaku.”
“Dia memberitahu cara
memunahkan racunnya kepadamu?” “Aku ini muridnya sudah tentu aku ikut
mempelajari, cara menggunakan racun dan cara memunahkannya, kalau tidak mungkin
kau pun takkan hidup sampai sekarang.”
Oh Thi-hoa menyengir sambil
mengelus hidungnya tanpa bicara lagi.
Maka berkatalah Coh Liu-hiang:
“Tapi racun yang dia gunakan terhadap kau pastilah kadar racun yang belum
pernah dia turunkan kepadamu, hakikatnya kau sendiri tak tahu racun apa yang
dia taruh dalam arak yang kau minum, cara bagaimana kau bisa memunahkannya?”
“Aku mengerti akan hal ini,
tapi pernah ia memberitahu kepadaku daun gania bukan saja dapat membuat
seseorang terperosok ke dunia nista, ada kalanyapun dia ada manfaatnya untuk
mencegah rasa sakit, karena dia bisa bikin manusia matirasa, dan tenggelam
dalam kenikmatan hakikatnya orang yang sudah menggunakan obat ini, akan lupa
dirinya, maka sejak mula, diam-diam aku sudah mencuri sekotak ganja itu, yang
kubuat menjadi bubuk putih yang halus jadi sudah lama aku selalu siaga bila
diriku diracun olehnya.”
“Tapi bila seseorang setiap
hari selalu tenggelam dalam pati rasa dan lupa daratan betapa kehidupannya
tidak seperti mati?”
“Sudah tentu aku tahu
menggunakan obat ganja untuk mencegah sakit, sama seseorang yang sudah
ketagihan, candu, dan tak mungkin bisa memutus kebiasaannya itu. Tapi waktu itu
sungguh aku tidak kuat lagi, menahan derita apalagi meski mati, aku bersumpah
tidak sudi kembali, mohon ampun kepadanya apalagi menjadi budaknya seumur
hidup.”
“Maka kau lantas diperbudak
oleh obat-obat ganja itu?” kata Coh Liu-hiang.
Liu Bu-bi tunduk diam, malu
rasanya bila orang lain melihat mukanya. Karena derita membuat kulit dagingnya
kejang berkerut kemerut.
Tampak Soh Yon-yong, Li
Ang-siu, Song Thiam-ji bercucuran air mata, demikian juga muka Mutiara hitam
menampilkan rasa pedih dan duka. Memang sesama perempuan kadang kala sukar
menjadi sahabat karib, tapi betapa pun perempuan merasa iba dan simpatik
terhadap sesama jenisnya, karena mereka berpendapat asal dia perempuan, maka
dia patut dikasihani.
Soh Yong-yong menghela napas,
katanya: “Selama beberapa tahun ini hidupmu tentu menderita.”
“Kalau demikian,” kata Oh
Thi-hoa, “Malam itu waktu didalam penginapan kau menjerit dan merintih menahan
kesakitan, lantaran kadar racun dalam tubuhmu kumat, jadi bukan pura-pura
belaka?”
“Dulu setiap kali penyakitku
ini kumat, cukup asal aku menelan sedikit bubuk obat ganja, rasa sakitku segera
lenyap. Tapi belakangan ini, meski aku menelan dua lipat obat bubuk itu lebih
banyak, rasa sakitnya tidak hilang dan obat itu sudah tak manjur lagi.”
“Ya, bukan lantaran obat bubuk
ganja itu sudah kehilangan khasiatnya, adalah karena ragamu sudah mulai kebal
dan tak mempan terhadap obat bubuk itu lagi, seumpama seseorang yang sudah
kumat arak, semakin lama arak yang kau minum semakin banyak.”
“Sedikitpun tidak salah.” tukas
Oh Thi-hoa. “Dulu cukup dua cangkir saja arak tertuang ke dalam perutku, badan
terasa enteng seperti hendak terbang, segala kerisauan hati terlupakan semua,
tapi sekarang umpama menghabiskan tiga sampai lima kati arak yang paling
keraspun, rasanya seperti belum minum.”
Tak tahan Coh Liu-hiang
tertawa-tawa, dia tahu bagi seorang penggemar arak, bila ada kesempatan pasti
suka mengagulkan diri akan takaran minumnya yang luar biasa, terdengar Oh
Thi-hoa berkata pula: “Kalau malam itu benar kau memang sedang kumat
penyakitmu, lalu siapakah yang membokong kami dengan Bau hi li hoa ting?”
Liu Bu-bi berdiam lagi, lalu
sahutnya tawar: “Aku juga!”
Oh Thi-hoa melongo, katanya:
“Jelas kudengar suaramu yang sedang sedang sekarat didalam kamar, mana mungkin
kau bisa keluar membokong kami? Kau… tentunya kau tidak menggunakan ilmu sesat
bukan?”
“Obat ganja itu sudah tidak
begitu manjur seperti dulu untuk mencegah sakit, tapi masa kerjanyapun tidak
terlalu lama, begitu mendengar suara kalian sudah keluar dari pekarangan,
segera kusuruh seorang pelayanku pura-pura merintih seperti aku, setiap orang
bila merintih kesakitan suaranya tentu berubah, umpama kalian merasakan
perbedaan suaraku itu, toh tidak akan curiga.”
“Lalu kau buang alat Bau hi li
hoa ting didalam hutan, maksudmu supaya tidak konangan oleh kami?” tanya Oh
Thi-hoa.
Liu Bu-bi mengangguk sambil
mengiakan.
“Bahwasanya kalianpun tidak
pergi mencari Cianpwe tujuh jari itu, karena dalam dunia ini hakikatnya tak
pernah ada seorang seperti yang kau sebutkan itu?”
Liu Bu-bi tertawa, katanya:
“Bukan saja tiada orang seperti itu, sampaipun paman Hiong yang kusebut itupun
embel-embel saja.”
“Kalian sengaja bilang hendak
mencari orang, karena kalian sudah merogoh kantong mengeluarkan dua puluh laksa
tahil perak untuk membeli seorang pembunuh, diwaktu dia melakukan pembunuhan,
kalian kebetulan tiada ditempat, kalau tidak kalianpun tidak perlu mencari
dia.”
“Ya, memang begitulah
kejadiannya.”
“Siapa tahu pembunuh itu
justru teringkus oleh Coh Liu-hiang, kuatir dia membocorkan rahasia, maka
kalian lantas membunuhnya.”
“Sedikitpun tidak salah.”
Mengawasi Coh Liu-hiang, Oh
Thi-hoa tertawa getir, katanya: “Baru sekarang aku benar-benar sadar dan kagum
pada kau, segala ramalanmu ternyata cocok seluruhnya.”
Muka Liu Bu-bi seketika
menampilkan rasa heran, tanyanya: “Kejadian itu, apakah sebelumnya sudah kau
ketahui?”
“Tapi sulit aku mengerti
kenapa kau hendak membunuh aku?” ujar Coh Liu-hiang. “Kalau kau bukan membalas
dendam bagi kematian Ciok-koan-im, memangnya karena apa?”
Kembali Liu Bu-bi berdiam diri
cukup lama, sahutnya kemudian: “Aku demi diriku sendiri.”
“Kau sendiri?” seru Coh
Liu-hiang melengak.
“Apakah kau sendiri ada
permusuhan dengan aku?”
“Aku tidak punya dendam tiada
permusuhan dengan kau, tapi bila kau tidak mati, maka akulah yang mampus.”
“Kenapa?” semakin tak mengerti
Coh Liu-hiang dibuatnya.
“Beberapa tahun belakangan
ini, penyakitku semakin sering kumat, malah jaraknya semakin dekat, maka obat
ganja yang kuperlukanpun semakin banyak, sekotak yang kubawa keluar itu sudah
habis, jadi aku harus membeli di kalangan Kang-ouw. betapa sulit mendapatkan
bahan-bahan yang kuperlukan ini, aku insaf kalau keadaan berlarut semakin lama,
meski aku tidak mati lantaran racun Ciok-koan-im, akhirnya aku akan mampus karena
terlalu banyak makan obat ganja serta keracunan pula.”
“Ya, memang begitulah
akhirnya.” kata Coh Liu-hiang.
“Aku sendiri menderita dan
tersiksa sih tidak menjadi soal, tapi… tapi aku tidak tega menyeret dia ikut
tersiksa, karena penyakitku ini, untuk mencari obat ganja, entah berapa banyak
uang yang sudah dia keluarkan, betapa dia ikut menderita.”
Muka Li Giok-ham pucat lesi,
katanya kertak gigi: “Tak usah kau bicarakan hal itu lagi.”
“Urusan sudah terlanjur
sedemikian jauh.” demikian kata Liu Bu-bi: “Aku harus membeber semua kejadian
ini…”
“Memang harus dan pantas kau
beber seluruhnya” timbrung Oh Thi-hoa.
“Menurut apa yang ku tahu,
selama hidup Ciok-koan-im dia hanya takut terhadap seseorang, dia pernah
bilang, orang ini boleh dikata adalah musuh bebuyutannya yang selalu merupakan
lawan mematikan dari segala kemampuannya, seluruh kepandaiannya takkan mempan
dan tak berguna sepeserpun untuk menghadapi orang yang satu ini!”
“Oh!” Oh Thi-hoa bersuara
dalam tenggorokan: “Apa benar dalam dunia ini ada tokoh macam itu? Siapa dia?”
Liu Bu-bi tidak menjawab
pertanyaan, katanya lebih lanjut: “Maka aku lantas berpikir, kemungkinan orang
ini bisa memunahkan racun Ciok-koan-im yang mengeram dalam badanku.”
“Ya, diwaktu kau tahu dirimu
sudah keracunan, seharusnya kau langsung pergi mencari dia.” kata Oh Thi-hoa.
“Mesti sudah lama keinginanku
mencari dia tapi selama itu aku tidak berani.”
“Apa yang kau takuti?”
“Karena bukan saja dia
merupakan tokoh kosen yang berkepandaian silat paling tinggi diseluruh jagat
ini, diapun orang yang amat menakutkan, wataknya sukar diraba, senang marah
tidak menentu, bukan saja tidak mau membedakan benar salah, diapun tidak peduli
jahat dan bajik, asal dia senang, apapun dapat dia lakukan, membunuh jiwa
seseorang dalam pandangannya seperti memites seekor semut belaka!.”
“Orang sebrutal ini, aku toh
ingin menempurnya.” kata Oh Thi-hoa.
Liu Bu-bi melerok kepadanya,
sorot matanya menunjukkan penghinaan, seperti berkata: “Mengandalkan
kepandaianmu Oh Thi-hoa saja, meski selaksa jumlahnya juga jangan harap kuat
melawannya.” tapi dia tidak utarakan isi hatinya, katanya kemudian dengan
menghela napas: “Walau aku takut menemui dia, namun keadaan semakin mendesak
aku untuk pergi kesana.”
Tak tahan Oh Thi-hoa menyela
lagi: “Sebetulnya kau sudah berhasil menemui dia belum?”
“Sudah!”
“Apa dia mampu mengobati
penyakitmu?”
“Sudah tentu dia bisa, cuma
dia mengajukan syarat.”
“Syarat apa?”
“Syaratnya sepele saja, dia
minta sesuatu benda dari aku.”
Oh Thi-hoa mulai tegang,
lapat-lapat dia sudah meraba syarat apa yang diminta oleh orang aneh itu. Tapi
tak tahan dia bertanya juga: “Barang apa yang dia minta?”
“Yang diminta adalah batok
kepala Coh Liu-hiang.”