Peristiwa Burung Kenari (Hua Mei Niao) Bab 7. Si Burung Kenari ternyata ....

Peristiwa Burung Kenari (Hua Mei Niao) Bab 7. Si Burung Kenari ternyata ....
Peristiwa Burung Kenari
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 7. Si Burung Kenari ternyata ....

Itulah sebuah rumah mungil yang dipajang dengan indahnya, kain paris menutupi jendela, kain gordyn melambai tertiup angin, bau wangi memenuhi ruangan menyegarkan napas seolah-olah di situ adalah sebuah kamar seorang perawan. Tapi didalam pandangan Oh Thi-hoa tempat ini tak ubahnya sebagai penjara yang paling mewah belaka.

Nona Ping mondar-mandir dan tak mau berhenti didalam rumah, pinggangnya yang ramping seperti menggeliat dengan indahnya, dadanya yang padat montok seolah-olah hendak meledak menjebol kain sutra yang membungkusnya, sampaipun sulaman kembang dibagian dalamnyapun kelihatan samar-samar, adanya seorang gadis ayu dengan dandanan merangsang mondar-mandir di hadapanmu, sungguh merupakan rejeki besar bagi seorang laki-laki yang memperoleh tontonan gratis.

Tapi sekarang sedikitpun Oh Thi-hoa tidak merasa sedan beruntung dan terpesona, kalau semula dia ingin mencubit pinggul orang yang bulat itu, sekarang ingin rasanya dia memberi persen bogem mentah diujung hidungnya yang mancung itu. Gemas sekali hatinya. Lalu sekali pukul lagi bikin rontok seluruh giginya supaya kelak dia tidak berani membual dan ngapusi orang lagi, sayang sekali hatinya hanya bisa marah tanpa dapat berbuat apa-apa, karena kaki tangannya terikat sedemikian kencang. Bahwa orang tidak pukul rontok giginya sendiri sudah merupakan suatu keberuntungan.

Terasa lenggang nonaPing semakin lama semakin genit, gemulai dan mempesonakan sampai pandangan matanya mendelik dan kepala pusing, tak tahan dia menjerit: “Apakah pantatmu tumbuh bisul? Kenapa tidak kau duduk saja?”

Ternyata nonaPing betul-betul menghampiri ke depannya dan duduk.

Oh Thi-hoa tidak duga orang mau begitu dengar katanya, sesaat dia melongo katanya pula lebih keras: “Akukan bukan bapakmu, kenapa kau begitu penurut?”
Bukan saja tidak marah, nonaPing malah tertawa lebar, ujarnya: “Apakah kau berpendapat jiwamu bakal segera mampus, maka kau lekas naik pitam, sebetulnya kau tidak perlu marah-marah karena aku jelas takkan membunuh kau.”

Berputar biji mata Oh Thi-hoa, katanya: “Kalau kau tidak membunuhku, kenapa tidak lekas kau bebaskan aku?”

“Asal Coh Liu-hiang itu sudah mampus, segera aku membebaskan kalian.”
Berkerut alis Oh Thi-hoa. Dengan tersenyum nonaPing segera menambahkan: “Bukan saja melepas kau, ke empat nona-nona itupun akan kami bebaskan seluruhnya, oleh karena itu lekaslah kau berdoa kepada Thian supaya Coh Liu-hiang lekas mati, semakin cepat dia mati semakin cepat kalian dibebaskan.”

“Kalau demikian mungkin selama hidupku aku bakal terbelenggu seperti ini dan kau akan meladeniku pula.”

“O?” nonaPing bersuara heran.

Oh Thi-hoa melotot, teriaknya: “Ketahuilah selamanya Coh Liu-hiang takkan mudah terbunuh, sekarang segera kau bebaskan aku, terhitung kau cerdik, kalau tidak bila dia sudah kemari, he he…”

“Aduh!” nonaPing terpingkel-pingkel. “Begitu menakutkan! Kalau kau menakut-nakuti aku, jantungku serasa hendak melonjak keluar.”

Oh Thi-hoa menyeringai, jengeknya: “Sekarang tentu kau tidak perlu takut, namun bila dia sudah berada disini…”

Sekonyong-konyong di luar terdengar ada seseorang memanggil lirih: “Nona Ping.”
“Masuk…” sahut nonaPing , “kau sudah memberi laporan kepada Siau-hujin? Apa yang dipesan oleh Hujin?”

Yang masuk ternyata kacung cilik baju hitam itu, sahutnya menjura: “Siau-hujin hanya tertawa -tawa saja, sepatahpun tidak memberi pesan apa-apa.

Nona Ping melerok kepada Oh Thi-hoa, tanyanya pula: “Apa kaupun ada melihat Coh Liu-hiang itu?”

Kacung cilik itu menyeringai tawa, sahutnya: “Sudah tentu melihat dia, memang laki-laki ganteng yang gagah, sedikitnya jauh lebih cakap dari yang ini, jauh lebih pintar pula.”

Oh Thi-hoa mendengus, jengeknya: “Kau bocah ini tahu kentut.”

Nona Ping tertawa cekikikan, katanya: “Justru karena bocah cilik tidak tahu urusan, maka apa yang dia ucapkan pasti jujur.”

Kacung cilik itu tiba-tiba berkata pula: “Sering aku mendengar cerita orang katanya betapa lihai dan hebat Coh Liu-hiang yang digelari Maling Romantis itu, tapi menurut apa yang sudah kulihat tadi, kecuali perawakannya gagah bermuka ganteng saja, yang lain-lain sih biasa saja, belum lama setelah aku masuk ke ruang dalam, dengan jelas kulihat sendiri dia ditendang terjungkal oleh Siau cengcu, rebah di tanah, bergerakpun tidak bisa.”

Oh Thi-hoa gusar serunya: “Mungkin kau melihat setan disiang hari bolong.”
Kacung cilik berbaju hijau ternyata tertawa peringisan katanya: “Jika kau anggap aku sedang membual, lebih baik jangan kau percaya.”

Oh Thi-hoa melongo sesaat lamanya, akhirnya tak tahan ia berseru: “Walau aku tidak percaya, tapi tidak menjadi soal mendengar obrolanmu, yang terang dalam keadaan begini aku memang amat iseng.”

“Kalau kau sedang iseng, sebaliknya aku sedang repot.” kata kacung cilik itu tertawa. Aku tidak punya waktu untuk bercerita kepada kau, mulutnya bicara, badannya sudah berputar keluar.

Keruan Oh Thi-hoa jengkel dan gemes, tenggorokkannya terasa getir, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Tak kira, tak lama kemudian kacung cilik itu berlari balik cuma menongolkan kepalanya saja diambang pintu, katanya mengawasi dirinya: “Kalau kau ingin tahu bagaimana keadaan temanmu sekarang aku sih punya cara yang baik.”

“Cara apa?” tanya Oh Thi-hoa tak tahan lagi.

“Jikalau kau suka memberi hadiah kepadaku, begitu hatiku senang, bukan mustahil segera ku ajak kau ngobrol.”
“Hadiah apa yang kau inginkan dari aku?”

Berputar biji mata kacung cilik ini, katanya: “Yang lain aku tidak mau, aku hanya suka kotak perak didalam kantongmu itu.”

Oh Thi-hoa tertawa dingin katanya: “Liu Bu-bi ternyata tidak melupakan benda ini, kenapa tidak dia sendiri yang mengambilnya kemari?”

“Memangnya nyonya muda perlu turun tangan sendiri? Umpama aku saja sekarang jangan kata aku hanya ingin minta sesuatu barangmu saja, seandainya harus menelanjangi seluruh pakaianmu, kaupun hanya bisa melotot saja kepadaku.”

Ternyata biji mata Oh Thi-hoa betul-betul melotot besar seperti bundar telur, dampratnya gusar: “Kau… kau berani?”

“Kenapa aku tidak berani, cuma aku ini seorang kacung dari keluarga Li ini, selamanya harus pegang tata tertib, sekali-kali aku tak sudi sembarangan ambil barang milik orang lain tanpa ijin, kecuali secara sukarela orang itu memberi kepadaku.”

Nona Ping tertawa lebar katanya: “Kau jangan kuatir, Oh Thi-hoa biasanya terbuka tangan dia bukan orang kikir, sekali-kali dia tidak akan merasa berat memberikan barang yang kau inginkan, apalagi hanya mulutnya saja yang terkancing, sebetulnya hatinya sudah gugup setengah mati, jikalau kau tidak segera memberitahu keadaan Coh Liu-hiang yang sebenarnya, bukan mustahil dia bisa mampus karena kau bikin marah.”

Walau amarah Oh Thi-hoa sudah berkobar tapi memang dia amat ingin besar tahu keadaan Coh Liu-hiang meski apa yang dia dengar dari penuturan mulut bocah kecil ini tidak seratus persen boleh dipercaya, namun masih mending dari pada tak tahu sama sekali, terpaksa dalam hati dia menghela napas, mulutnya segera terpentang lebar, serunya lantang: “Benar, Oh Toaya biasanya amat royal, apa yang diinginkan orang kalau dia punya dengan suka hati dia memberikan, nah boleh kau ambil sendiri.”

“Kacung cilik itu sudah memburu maju sambil merogoh keluar kotak perak Bau-hi-li-hoa-ting itu, katanya tertawa gembira: “Kau sendiri yang memberi kepadaku dengan sukarela, aku tak memaksa kau lho, benar tidak?”

“Ya, terhitung aku situa bangka ini, kesandung oleh anak kecil, anggap saja hari ini aku terlalu sial.” gumam Oh Thi-hoa uring-uringan.

“Apakah kau merasa sial? Kalau dibandingkan dengan temanmu yang satu itu, kau malah terhitung beruntung.”

“Dia… bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Oh Thi-hoa gelisah.

“Setelah ditendang roboh oleh Siau-chengcu, nyonya muda segera menubruk maju sambil menusukkan pedangnya, ternyata Coh Liu-hiang si Maling Romantis yang kenamaan itu, berkelitpun sudah tidak mampu lagi.”

Walau Oh Thi-hoa tidak percaya obrolan seorang bocah, namun mendengar cerita ini tak urung dia menjerit kaget, kacung cilik itu malah cekikikan geli, katanya dengan kalem: “Tapi kelima Cianpwe justru berpendapat nyonya muda tidak pantas membunuhnya, serempak mereka turun tangan menghalangi dan menangkis pedang nona muda…”

Sampai disini tak terasa Oh Thi-hoa menarik napas, katanya lagi: “Agaknya kelima orang itu memang tidak malu sebagai tokoh-tokoh kosen ahli pedang yang sudah kenamaan.”

“Apa sekarang sudah mau percaya bahwa apa yang kukatakan tidak membual lagi?” tanya kacung cilik itu.

“Belum lagi Oh Thi-hoa buka suara lagi, nonaPing sudah mendahului: “Sudah tentu dia percaya karena seseorang bila mendengar kabar gembira tentu lebih mudah untuk mempercayainya.”

“Kalau demikian,” ujar si kacung cilik, “kalau cerita kulanjutkan mungkin sepatah katapun tak mau dipercayainya.”

“O, Coba kau teruskan ceritamu!” desak nonaPing ikut merasa heran.

“Karena kalau ceritaku kulanjutkan, maka tiada sepatah katapun yang merupakan kabar gembira.”

“Apakah… apakah kelima Cianpwe itu akhirnya merubah haluan?” tanya Oh Thi-hoa gemetar.

“Walau kelima orang-orang tua itu ada sedikit belajar keimanan, betapapun mereka belum pikun, untuk masih bisa membedakan untung rugi dan berat ringan sesuatu persoalan. Setelah Siau cengcu ketengahkan pengertian yang mendalam perihal kesetiaan dan persahabatan, akhirnya kelima orang itu satu persatu mengundurkan diri.”

Meski Oh Thi-hoa tidak percaya ucapannya, mau tak mau dia harus percaya juga akhirnya, tanyanya pula tak sabaran: “Belakangan bagaimana?”

“Belakangan aku mengundurkan diri.” sahut kacung cilik itu.

Karuan Oh Thi-hoa berjingkrak gusar. teriaknya: “Kau tinggal pergi? Kenapa kau pergi darisana ?”

“Karena aku takut melihat orang mati, kulihat ujung pedang nyonya muda sudah menusuk ke dalam dadanya, maka secara diam-diam aku lantas mengeluyur keluar, tapi cepat atau lambat suatu ketika kau pasti akan percaya, hakekatnya aku tak perlu membual untuk menggertak atau menakuti aku.”

Terasa oleh Oh Thi-hoa seluruh badannya menjadi kejang, keringat gemerobyos membasahi seluruh badan.

Berkata pula kacung cilik itu dengan tertawa: “Namun setelah aku pergi, bukan mustahil mendadak bisa muncul seseorang yang menolong jiwanya, sudah lama aku dengar katanya teman Coh Liu-hiang tersebar di seluruh kolong langit, apa benar?”

“Sudah tentu ada orang yang akan menolongnya.” seru Oh Thi-hoa penuh keyakinan. Pasti ada orang yang datang menolongnya, sudah tentu…” beruntun berulang kali dia ucapkan kata-katanya ini, karena dia kuatir dia sendiripun tidak percaya maka sengaja dia ulangi dua tiga kali untuk memperteguh keyakinannya. Celaka adalah setelah tujuh delapan kali dia ulangi kata-katanya, hatinya masih belum mau percaya juga.

“Coba kau pikir” kata kacung cilik itu pula :” Siapa yang akan menolong dia?”

“Siapa saja bisa saja menolong dia, karena terlalu banyak untuk disebut satu persatu yang terang orang mau menolongnya.” kata Oh Thi-hoa sengit.

“O! coba kau sebut saja dua tiga orang diantaranya.”

“Umpamanya, umpamanya, Setitik Merah dari Tionggoan, Bau li tok hing Cay locianpwe, Thian-hong Taysu, haha, tentunya kau kenal nama-nama beberapa orang ini?” meski sedapat mungkin dia menghibur diri dengan mulut nyerocos. tapi dia sendiri tahu bahwa orang-orang yang dia sebut namanya tadi takkan mungkin meluruk kemari dan lagi umpama benar mereka menyusul datang, belum tentu mereka mampu menolong jiwa Coh Liu-hiang.

Biji mata kacung cilik itu kembali berputar katanya: “Benar, agaknya tadi aku seperti melihat berkelebatnya bayangan seorang Hwesio tua, kalau tidak salah memang Thian-hong Taysu.”

“Apa benar kau melihatnya?” seru Oh Thi-hoa kegirangan.

“Em! Tapi setelah kutegasi, baru aku tahu ternyata dia bukan seorang Hweshio, tapi adalah seorang laki-laki botak.”

Sudah tentu serasa orang yang kebakaran jenggot gusar dan gelisah, Oh Thi-hoa gusar lagi karena permainan bocah cilik ini.

Kacung cilik malah cekikikan katanya: “Kau jangan marah, bukan sengaja aku hendak membuat kau marah, soalnya kau sendiri suka mengapusi dirimu sendiri, terpaksa akupun ikut bantu kau menipumu juga.

“Kau kira bualanmu pantas dibuat girang ya?” damprat Oh Thi-hoa meronta-ronta, “Ketahuilah jikalau kalian benar sudah membunuh Coh Liu-hiang didalam waktu setengah bulan seluruh Yong cui-san-cheng ini bakal dibumi hanguskan dan diratakan dengan tanah", belum habis dia bicara, dari dalam rumah mendadak kumandang suara desingan yang nyaring, seolah-olah barang besi apa yang dipukul dengan gencar.

Setelah didengarkan dengan seksama, suara gaduh ini seperti kumandang dari dalam bumi.

Kacung cilik itu segera mengawasi nonaPing dengan tertawa, katanya: “Apakah macan betina itu sedang main gila lagi?”

Nona Ping menghela napas, katanya: “Dia sedang memanggil orang, bila aku tidak segera turun ke bawah, maka dia akan memukul terus takkan berhenti, sampai orang lain budek dan dongkol setengah mati.”

“Kenapa tidak beri hajaran kepadanya supaya orang lain tahu akan tata tertib di sini, pasti dia akan tunduk dan menyerah mentah-mentah,” kacung itu mengusulkan.

“Sejak mula aku sudah hendak unjuk gigi kepada mereka, namun nyonya muda justru bersikap ramah-tamah terhadap mereka, untung orang she Coh itu sekarang sudah tamat terhitung akupun boleh terbebas dari kesulitan.”

Bila mata Oh Thi-hoa kembali melotot besar, serunya: “Apakah yang kau bicarakan adalah nona Soh dan lain-lain?”

Mengerling biji mata nonaPing , tiba-tiba dia tertawa dengan berkata; “Bukan kau ingin menjenguk mereka? Baik, sekarang juga kubawa kau kepada mereka, kulihat kau dengan macan betina itu memang pasangan yang setimpal.”

Lalu dia menghampiri sebuah pigura yang dari lukisan cat kuno serta menurunkannya, maka tampaklah di belakangnya sebuah dinding merekah ke bawah dengan pintu yang cukup untuk turun seseorang ke bawah, undak-undakan batu. Kejap lain mereka sudah tiba di sebuah sel atau kamar tahanan di bawah tanah yang beruji besi.

Begitu Oh Thi-hoa tiba di ruangan bawah, sorot matanya seketika melihat tiga ekor kura-kura.

Ketiga ekor kura-kura besar itu merupakan lukisan dari tinta bak hitam yang melekat pada dinding tembok putih yang berhadapan dengan pintu masuk, yang paling besar ternyata digambar besar dari sebuah meja bundar. Lucu sekali bahwa kepala kura-kura itu ternyata berjenggot dan berkaca-mata, dan yang lain digambar rada kecilan, pada kedua sisi masing-masing ada dilukis tiga baris huruf-huruf pengenal yang berbunyi: “Gambar Li Giok-ham dan gambar Liu Bu-bi. Dibawahnya tertanda Li Ang siu dari Tionggoan dan Song Thiam-ji dari King-nam.
Tak jauh dari gambar ketiga kura-kura ini, tertulis pula sepasang syair tampilan, masing-masing berbunyi: “Anaknya Linglung, babaknya pikun.” “Mantunya gendeng, sekeluarga serba gila.”

Kalau Oh Thi-hoa saat itu tidak sedang masgul dan gundah pikiran, mungkin ia sudah tertawa terpingkal-pingkal. Maka setelah maju lebih lanjut, maka dia melihat empat orang. Empat orang gadis muda yang rupawan laksana bidadari.
Yang terlihat oleh Oh Thi-hoa lebih dulu adalah gadis yang berambut kepalanya dikuncir dua, kulit mukanya bersemu abu-abu dengan bulat seperti kuaci, dikombinasi dengan sepasang mata yang jeli, lincah dan membundar besar.

Tatkala itu gadis ini sedang memukulkan sebuah baskom tembaga pada terali besi tak henti-hentinya sehingga mengeluarkan suara kelontangan yang gaduh.

Gadis yang di sebelahnya berpakaian celana panjang warna merah menyala seperti api yang sedang membara, namun kulit badannya sedemikian halus, dua orang yang lain sedang duduk berhadapan dipojokkansana main catur. Kalau di sebelah sini sedang ribut dengan suara baskom tembaga yang diadu terali besi, serasa bumi hampir ambruk, di sebelahsana keadaan justru tenang-tenang tanpa mengeluarkan suara.

Gadis yang di sebelah kiri lemah lembut pendiam, rambutnya yang diikal dengan alis lentik dan bulu mata yang panjang lebat, kerlingan mata yang jernih, selintas pandang bak bidadari yang turun dari kahyangan, sudah lama tidak dikotori oleh kehidupan duniawi.

Sebaliknya gadis yang duduk di sebelah kanan laksana kembang Tho yang mekar di musim semi, namun sedingin tonggak salju di musim dingin pula, roman mukanya yang pucat dengan sepasang biji mata bening setenang gelombang lautan teduh yang mengalun pelan-pelan.

Oh Thi-hoa menghirup napas panjang berulang kali, mulutnya lantas menggumam: “Akhirnya aku berhasil bertemu dengan mereka, namun sayang sekarang segalanya sudah terlambat.”

Gadis berkuncir begitu melihat kedatangan nonaPing seketika tertawa besar, serunya: “Perempuan bodoh, memangnya kedua kakimu sudah buntung? Baru sekarang kau kemari, tidak mendengar panggilanku?”

Nona Ping tersenyum saja, sahutnya: “Aku bukan perempuan bodoh, logatmu sukar ku tangkap.”
“Apa kau tidak mengerti? Kau tidak mengerti kenapa aku menamakan kau perempuan goblok?” seru gadis itu tertawa besar.

Mimik wajah gadis ini serba aneh dan kaya akan perbuatan yang berlainan, baru saja mukanya masih berseri tawa, tahu-tahu sudah menarik muka dan merengut jelek, serunya: “Kutanya kau, apakah keluarga majikanmu sudah mampus seluruhnya? Sampai ini waktu belum lagi dia membereskan persoalan kita?” logat perkataannya mengandung aksen orang selatan, lama kelamaan nonaPing baru paham apa yang dikatakan, tapi belum lagi dia memberi tanggapan, gadis baju merah itu sudah melotot kepada Oh Thi-hoa, teriaknya: “Oh.. Oh.. bukankah kau she Oh?”

“Benar.” sahut Oh Thi-hoa tertawa getir, “Aku memang Oh Thi-hoa, tak nyana kau masih ingat kepadaku.”

Baru saja dia menyebut namanya sendiri, gadis lemah lembut itu segera tinggalkan biji-biji caturnya memburu ke depan terali besi, dengan melotot mereka awasi dirinya.

Oh Thi-hoa menghela napas, ujarnya: “Aku pun tahu kau bernama Soh Yong-yong, kau ini Li Ang-siu dan kau Song Thiam-ji dulu waktu aku melihat kalian, kalian masih kanak-kanak tak nyana sekarang sudah tumbuh besar.

Li Ang-siu tertawa lebar sahutnya: “Setiap orang tentunya bisa tumbuh dewasa benar tidak?”

“Sejak lama aku ingin menjenguk kalian, sayang waktu sekarang ini kurang tepat, tempat ini terlalu buruk.”

Nona Ping menurunkan dirinya di depan terali besi, katanya tertawa: “Kalian sesama sahabat lama bertemu, silahkan ngobrol sepuas hati.” mulut bicara sementara ujung kakinya menutul ke atas lantai, papan batu di bawah Oh Thi-hoa tiba-tiba menjeplak terbalik turun dan naik lagi, kontan badan Oh Thi-hoa terjeblos terus terguling-guling didalam terali besi.

Lekas Li Ang siu dan Soh Thiam-ji memburu maju memapaknya duduk, kejap lain tali urat kerbau yang membelenggu seluruh badannya sudah diputuskan seperti burung berkicau kedua orang ini lantas menghujani pertanyaan: “Bagaimana kau bisa datang kemari?”

“Aku sendiripun ingin tanya kalian, kenapa bisa berada di sini?” balas bertanya Oh Thi-hoa.

Song Thiam-ji segera berebut bicara. “Kami tamasya ke gurun pasir naik kuda dan…” dengan logat orang selatan dia nyerocos tidak henti hentinya, tiba-tiba berhenti lalu menambahkan: “Apa yang kukatakan mungkin kau tidak mengerti, biar dia saja yang cerita.”

Li Ang-siu segera angkat bicara: “Cerita panjang kuperpendek saja, yang jelas kita sudah bertamasya ke gurun pasir, tak lama kita segera pulang mencari Coh Liu-hiang, namun ditengah jalan kami kesampok dengan Li Giok-ham, Liu Bu-Bi suami istri!”

“Kalian kenal kedua suami istri itu?” tanya Oh Thi-hoa.

“Siapa kenal mereka! Kebetulan hari itu kami mampir ke Kwi-gi-lau sekaligus mencari Siau-ceng-san untuk cari kabar, kebetulan merekapun berada disana .”

Diam-diam Oh Thi-hoa membatin: “Kemungkinan mereka bukan kebetulan berada disana , yang terang mereka sengaja sedang menunggu kedatangan mereka.”

“Semula kami merasa kedua suami istri ini memang sopan santun dan cerdik lagi, katanya mereka keturunan dari keluarga besar persilatan lagi, sehingga sedikitpun kami tak pernah curiga dan siaga akan muslihatnya.”

Sampai di sini dia berhenti mengawasi Oh Thi-hoa lekat-lekat, tanyanya: “Jikalau kau tahu martabat mereka, apa kaupun bisa curiga dan siaga akan perangkap mereka?”

“Tidak, soalnya kita tidak secerdik dan seteliti Coh Liu-hiang.”

“Dan karena itulah, dia ajak kami seperjalanan maka kamipun terima permintaannya. Tak nyana secara diam-diam mereka sudah memberi obat bius didalam air teh yang kami minum, waktu kami siuman, tahu-tahu sudah diantar ke tempat ini, sungguh aku tidak habis berpikir sebagai putra keturunan dari keluarga besar persilatan yang kenamaan, ternyata sudi melakukan perbuatan yang hina dan serendah ini.”

“Kalau aku, akupun takkan menduga.”

“Lebih aneh lagi,” demikian tutur Li Ang-siu lebih lanjut, “Sampai detik ini, kami masih belum tahu tujuan dan maksud mereka, karena kami terkurung disini tidak pernah kami melihat cecongornya lagi.” jarinya menuding Song Thiam-ji lalu meneruskan: “Meskipun setan cilik ini setiap hari pentang bacot memaki kalang kabut, setiap hari membikin ribut, namun apapun yang dia maki, penghuni perkampungan di sini seolah-olah sudah mampus seluruhnya, tiada satupun yang mau muncul kecuali saat-saat tertentu, saking dongkol maka kami menggambar tiga ekor kura-kura di atas dinding, tak nyana mereka betul-betul menjadi kura-kura yang selalu menyembunyikan kepalanya tak mau muncul menemui kami.” menghela napas. “Coba pikir, apakah maksud mereka sebenarnya?”

Oh Thi-hoa merasa getir ternggorokannya, dia kebingungan tak tahu apa yang harus dia bicarakan.

Mendadak Soh Yong-yong angkat bicara: “Bukankah kau sudah bertemu dengan Coh Liu-hiang?” dengan tajam dia menatap mukanya, terasa Oh Thi-hoa kerlingan mata orang yang lembut dan hangat, mendadak begitu terang cemerlang, sehingga orang yang dipandangnya takkan bisa berbohong lagi dihadapannya.

Terpaksa Oh Thi-hoa mengangguk sahutnya: “Ya, aku memang sudah bertemu sama dia.”
“Lalu dimanakah dia sekarang?”

Oh Thi-hoa menundukkan kepala melengos dari tatapan sorot mata orang, sahutnya tersendat: “Aku… aku kurang jelas.”

Soh Yong-yong maju ke depannya, katanya tandas: “Kau pasti tahu, kuharap kau jangan kelabui kami, apapun yang terjadi atas dirinya, kuharap kau suka memberi tahu kepada kami, karena kami punya hak untuk mengetahui.” semula tutur katanya begitu lebut dan merdu mengasyikkan, namun lama kelamaan nadanya sudah mengandung kekuatiran, melengking dan gelisah, seolah-olah dia sudah mendapat firasat jelek.

Akan tetapi betapa Oh Thi-hoa akan tega menceritakan kabar buruk yang menimpa diri Coh Liu-hiang kepada mereka. Sayang sekali Oh Thi-hoa bukan seorang yang pandai menyembunyikan perasaan hati dan bisa menekan emosi, meski sepatah katapun dia tidak berbincang, namun rona muka Soh Yong-yong lambat-laun semakin pucat, kaki tangan dan bibirnyapun gemetar.

Agaknya seperti kehilangan keseimbangan badan, badannya tak kuat berdiri lagi, mendadak dia meloso jatuh, dengan menjerit bersama Song Thiam-ji dan Li Ang-siu berebut maju memapahnya. Tepat pada saat itu pula, terdengar gerungan lirih tertahan, mendadak Mutiara hitam sudah memburu datang dan sedang mencekik leher Oh Thi-hoa, kulit mukanya pucat tak berdarah, dengusnya sambil melotot: “Sebetulnya apa yang terjadi dan apa pula yang dia alami? Tidak kau katakan biar aku bunuh kau lebih dulu.”

Tersipu-sipu Soh Yong-yong meronta bangun, serunya gemetar: “Lepaskan dia, lepaskan dia… sekali-kali dia tidak punya maksud jahat.” “Tapi kenapa dia tidak mau bicara?” sentak Mutiara hitam. “Apa sih yang ingin dia sembunyikan untuk mengelabui kita?”

Air mata bercucuran membasahi pipi Soh Yong-yong, katanya pilu: “Aku tahu kenapa dia tidak mau membuka mulut, karena dia kuatir kita sedih.” habis kata-katanya tangisnya pun pecah sesenggukan. Li Ang-sui, Song Thiam-ji dan Mutiara hitam sama berdiri memjublek, ketiganya sama mendelong awasi muka Oh Thi-hoa.
Melihat rona muka dan sorot mata mereka, sungguh serasa ditusuk jarum ulu hati Oh Thi-hoa, sampai detik ini, baru dia benar-benar merasakan dan memahami betapa kecut perasaan seorang sedih hati.”

Sekonyong-konyong bayangan seseorang seperti terbang menerjang ruang penjara di bawah tanah ini. Orang ini ternyata bukan lain adalah Li Giok-ham.
Begitu melihat orang ini, biji mata Li Ang-siu dan Song Thiam-ji seketika menyala seperti hendak menyemburkan api. Teriak Li Ang-siu dengan lantang: “Kau keparat busuk ini, berani kau kemari menemui kami?”

Song Thiam-ji menjerit-jerit dengan suara gemetar: “Kau apakan Coh Liu-hiang sekarang?”

Mutiara hitam membentak bengis: “Lebih lekas kau bunuh aku, kalau tidak cepat atau lambat aku pasti akan membunuhmu.”

“Bangsat kurcaci.” Oh Thi-hoa tidak mau ketinggalan memaki juga, “Berani kau berduel menentukan hidup mati dengan aku?”

Empat orang serempak pentang mulut memaki dengan suara keras dan ribut, namun Li Giok-ham ternyata seperti tunduk mendengar. Tampak rona mukanya pucat, lebih sedih dan harus dikasihani, lebih menakutkan, biji matanya digenangi warna darah, seluruh badan gemetar.

Setelah melihat tegas badannya, Oh Thi-hoa berempat malah melongo dan terheran-heran, disaat mereka bertanya-tanya tak habis mengerti, mendadak Liu Bu-bi ikut memburu datang. Bukan saja tindak tanduknya kelihatan amat duka, juga kelihatan gugup dan ketakutan. Langsung dia memburu ke depan Li Giok-ham, dengan kencang dia peluk badan orang, serunya setengah meratap gemetar: “Akulah yang membuat gara-gara ini, akulah yang membuat kau celaka.”
Li Giok-ham tidak bersuara, matanya lurus mendelong, tangannya pelan-pelan mengelus rambur Liu Bu-bi, sorot matanya penuh diliputi kepedihan, juga diliputi kasin sayang.

Mendadak Liu Bu-bi lepaskan pelukannya sambil putar badan, tengah merogoh sebatang badik yang kemilau terus menghujam keulu hatinya sendiri. Seperti orang gila yang kalap dengan kencang Li Giok-ham menubruk maju serta berteriak serak: “Mana boleh kau berbuat nekad ini, lepaskan tanganmu!”

Air mata sudah bercucuran dimuka Liu Bu-bi, serunya sesenggukan: “Sudah lama aku memberikan beban yang berlarut-larut kepadamu, aku mohon padamu, biarlah aku mati saja, setelah aku mati orang akan memaafkan segala kesalahan kita.”
Li Giok-ham membanting kaki, katanya: “Coba kau pikir, setelah kau mati apakah aku masih bisa hidup?”

Bergetar sekujur badan Liu Bu-bi, klontang, badik di tangannya terjatuh di atas lantai, maka mereka lantas berpelukan dan bertangisan dengan keras.
Sungguh Oh Thi-hoa berlima terpaku dan melongo di tempatnya melihat pertunjukan aneh, ganjil dan memilukan ini. Tiada satupun yang tahu apa sebab kedua suami istri ini sekarang berubah begitu mengenaskan, begitu konyol? Memangnya mereka sedang bermain sandiwara pula?

Ditengah sengguk tangisnya, terdengar Liu Bu-bi berkata pula: “Sebetulnya memang aku tega berpisah dengan kau, namun diriku, mana aku tega membiarkan kau ikut sengsara dan tersiksa bersamaku?”

Berkata Li Giok-ham lembut: “Sejak kedatanganmu, setiap hari setiap waktu aku hidup dalam kesenangan, mana boleh kau katakan aku menderita malah?”
“Kalau begitu, marilah tinggal pergi saja. Ke tempat nan jauh mencari suatu tempat yang damai dan tentram, disana kita menetap, siapapun tak perlu kita temui.”
“Tapi kau…”
“Mungkin aku masih bertahan hidup beberapa bulan lagi, setelah beberapa bulan ini.”

Li Giok-ham menukas ucapannya, katanya lembut: “Apapun yang terjadi aku tidak akan berpeluk tangan membiarkan kau mati, aku ingin kau hidup abadi.”
“Tapi sekarang….”
“Sekarang kita belum putus harapan, paling tidaklima orang itu masih berada ditangan kita.”

Mendengar percakapan mereka semakin bingung dan pening kepala Oh Thi-hoa.

Kenapa Liu Bu-bi ingin bunuh diri? Kenapa mereka?”

Mendadak Li Giok-ham menghardik keras: “Berdiri di tempatmu, berani selangkah kau maju, akan kutamatkan jiwa mereka.” entah sejak kapan kotak perak berisi Bau-hi-li-hoa-ting sudah berada di tangannya dan tertuju ke arah Oh Thi-hoa, tangan yang lain dengan kencang menarik Liu Bu-bi, seolah-olah kuatir kehilangan dirinya.

Dari undakan batu terdengar seseorang menghela napas, ujarnya: “Sampai detik ini, kalian masih belum kapok dan menyudahi persoalan ini? Buat apa pula kalian harus menyiksa diri?”

Ternyata suara ini keluar dari mulut Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang ternyata belum mati. Siapakah yang menolong jiwanya?

Sudah tentu bukan kepalang senang Oh Thi-hoa dan Soh Yong-yong berempat.

Serempak mereka berteriak: “Coh Liu-hiang, kaukah ini?” mereka tidak perlu jawaban, karena mereka benar-benar sudah melihat Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang masih berdiri di undakan batu terbawah, memang dia tidak maju lebih lanjut, karena dia cukup tahu betapa hebat perbawa sambitan dari Bau hi li hoa ting ditangan Li Giok-ham itu.

Sekarang Oh Thi-hoa berlima sama berhimpitan didalam kamar tahanan itu, mereka sama-sama terbidik oleh sambaran Bau hi li hoa ting itu.
Hakekatnya mereka tak sampai dan tak mungkin berkelit dari incaran Bau hi li hoa ting ini.

Oh Thi-hoa berjingkrak sambil bersorak kegirangan: “Ulat busuk, ternyata kau memang tidak mampus, aku tahu kau memang tak bisa mati, memangnya siapa yang bisa membunuh mu?”

Meski senang tertawa namun Coh Liu-hiang menjawab dengan menghela napas: “Tapi kalau kali ini tiada orang yang menolong aku, jiwa ku ini terang sudah direnggut oleh mereka.”
“Benar ada orang menolong kau? Siapa?”
“Kau takkan bisa menerkanya.”

“Sudah terang kau tidak akan menerka karena aku sendiripun tidak menyangka, bahwa orang yang menolong aku justru adalah Li Koan-hu Li-locianpwe.”

Oh Thi-hoa melongo pula teriaknya: “Anaknya ingin mencabut jiwamu, masakah bapaknya bakal menolong kau malah?”

“Hakekatnya dia tidak tahu seluk-beluk persoalan ini, sekali-kali tak pernah terpikir olehnya hendak mencabut jiwaku, semua peristiwa ini tak lain tak bukan adalah rencana dan kehendak Li-kongcu suami istri sendiri.”
“Tapi, tokoh-tokoh macam Swe It-hang itu bukankah mereka benar-benar datang karena undangan dan pesan Li Koan-hu sendiri?”
“Yang terang Li-kongcu ini memalsukan tulisan ayahnya dan memanggil mereka di luar tahu bapaknya, kalau anaknya bicara mewakili ayahnya, sudah tentu orang lain takkan curiga.”
“Memangnya kenapa Li Koan-hu sendiri tidak menyangkal dan membongkar muslihatnya ini?” tanya Oh Thi-hoa.
“Karena sejak tujuh tahun yang lalu, Li-locianpwe tersesat jalan didalam latihan ilmunya sehingga darah macet dan badan cacat, sejak itu beliau tak bisa bicara lagi.”

Semakin keheranan Oh Thi-hoa mendengar cerita ini, katanya: “Kalau badannya sudah cacat dan tak bisa bergerak, cara bagaimana bisa menolong kau?”

Selama hidup Li locianpwe jujur ksatria dan mengutamakan keadilan dan kebenaran secara gamblang dia mengawasi suatu peristiwa sesat di depan mata, celaka orang justru meminjam atau memalsu namanya, betapa pedih, marah sanubarinya melihat perbuatan putranya yang terkutuk ini, mungkin kaupun takkan dapat membayangkan keadaannya pada waktu itu, namun dia justru hanya bisa mengawasi dengan mendelong tanpa mampu mencegah atau berbuat apa-apa, bergerakpun tidak bisa.

“Mungkinkah karena amarahnya itu, sehingga hawa murninya yang tersumbat dalam latihannya dulu tiba-tiba jebol oleh arus kemarahan yang di luar batas itu?”
“Ya, begitulah terjadinya.”
“Tanpa kau jelaskan, aku sudah mengerti apa yang terjadi selanjutnya.”
“O, Ya?”

“Waktu Liu Bu-bi acungkan pedang hendak membunuh kau, mendadak dilihatnya Li-locianpwe tiba-tiba bisa bergerak dan bicara sudah tentu kejutnya bukan main, seseorang bila tahu tipu muslihat dan perbuatan jahatnya sudah konangan dan terbongkar rahasianya, siapapun akan ketakutan.”
“Tidak salah.”

“Waktu dia nekad hendak membunuh kau, kelima Cianpwe itu tentunya tak membiarkan maksudnya terlaksana, tatkala itu mungkin Li Giok-ham sendiri sudah lemas ketakutan maka segera dia ngacir ke tempat ini.”
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: “Rekaanmu memang sembilan puluh persen benar, hebat benar otakmu memang sudah lebih cerdik. Tapi kalau kau pun bisa menemukan tempat ini, kenapa tidak kau bawa tua bangka yang tertipu itu kemari juga?”
“Urusanku sendiri, sudah tentu harus kubereskan sendiri pula.”
“Kau mampu membereskan?”

“Aku sendiri tidak tahu apa benar dalam dunia ini ada urusan yang tak bisa dibereskan, sedikitnya sampai detik ini aku belum pernah menghadapinya.”
Sebetulnya soal ini boleh kelak dibicarakan pelan-pelan, tapi mereka justru nyerocos tidak henti-hentinya, seolah-olah sudah lupa dimana mereka bicara dan kapan mereka mengobrol. Seolah-olah tidak sadar bahwa Li Giok-ham dan Liu Bu-bi sedang berdiri disana . Song Thiam-ji dan Li Ang-siu dan lain-lain sedang mengawasi dengan pandangan heran.

Dan yang membuat Soh Yong-yong berempat amat duka dan mendelu, bukan saja Coh Liu-hiang tidak ajak mereka bicara, sampaipun melirikpun tidak ke arah mereka, selama ini cuma sibuk bicara dengan Oh Thi-hoa.

Diantara mereka berempat hanya Soh Yon-yong seorang saja yang dapat meraba maksud hati Coh Liu-hiang, dia tahu mereka sedang memancing perhatian Li Giok-ham dengan percakapan ini. Asal perhatian Li Giok-ham rada terpencar dan sedikit lena, maka Coh Liu-hiang akan berusaha dan mendapat kesempatan untuk turun tangan merebut alat rahasia di tangannya itu, betapa cepat Coh Liu-hiang turun tangan, Soh Yong-yong cukup yakin dia pasti akan berhasil.

Apa boleh buat, ternyata tanpa berkedip pandangan Li Giok-ham masih menatap Coh Liu-hiang, tangannya masih kencang memegangi Bau hi li hoa ting itu. Apapun yang dikatakan Coh Liu-hiang seolah-olah tidak dia dengar, namun sedikit tangan Coh Liu-hiang bergerak, maka Bau hi li hoa ting di tangannya itu segera akan memberondong keluar.

Diam-diam Soh Yong-yong mengucurkan keringat dingin dan berdiri bulu kuduknya, hatinya tegang dan seram, karena dia maklum untuk merebut Bau hi li hoa ting ditangan Li Giok-ham itu, usaha Coh Liu-hiang akan berat, laksana mencabut gigi dimulut harimau.

Mendadak Li Giok-ham menghardik bengis: “Sudah selesai percakapan kalian?”
“Apa kaupun ingin bicara?” tukah Oh Thi-hoa. “Bagus, biar aku tanya kau dulu, bahwasanya Coh Liu-hiang ada permusuhan apa dengan kau? Kenapa kau hendak mencelakai jiwanya?”

Li Giok-ham menarik napas panjang, katanya: “Selamanya aku tak bermusuhan tiada dendam kepadanya, bahwa aku harus membunuh dia, karena terdesak keadaan dan..”
“Kau ini sedang bicara? Atau sedang kentut?”

Ternyata Li Giok-ham tidak marah, ujarnya menghela napas: “Banyak persoalannya, aku percaya kau pasti takkan bisa mengerti.”

“Banyak persoalan semula memang sukar kupikirkan penjelasannya, tapi lambat laun sekarang aku sudah mendapatkan gambarannya yang terang.”
“O” Coba kau terangkan !” kata Li Giok-ham.
“Yang membuatnya bingung dan masih tak mengerti adalah kalau toh kalian sudah melepas aku kenapa pula ingin membunuh aku?”

“Belakangan baru aku mengerti” kata Coh Liu-hiang lebih lanjut dengan tertawa. “Karena akhirnya aku sadar hakekatnya selama ini kau sendiri tidak pernah menolong aku!”

“Kau… ” Liu Bu-bi ragu-ragu, “Masakah kau sudah lupa didalam lembah sesat tempat kediaman Ciok Koan im itu?”

Mendengar ucapan orang, Coh Liu-hiang lebih yakin, “Tidak salah.” tukasnya: “Hari itu memang kenyataan kau membunuh banyak orang, tapi tujuanmu bukan untuk menolong aku, karena waktu itu akupun sudah mengejar keluar, kau tidak bunuh mereka, aku tetap bisa lolos!”

Liu Bu-bi menjengek dingin: “Kalau kau tidak sudi terima budi pertolongan, akupun tidak bisa memaksa kau.”
“Walau kau tidak pernah menolong aku, aku tetap berterima kasih kepadamu karena bila kau tidak turun tangan, Kui-je-ong ayah beranak, Oh Thi-hoa dan KiPing -yan mungkin sudah benar benar mati oleh arak Ciok Koan-im.”
“Ternyata kau belum melupakan peristiwa itu sungguh harus dipuji.” olok Liu Bu-bi.
“Sungguh tentu aku tidak akan lupa, karena selama ini aku sedang heran, setelah bertemu dengan Soh Yong-yong ditengah jalan, baru kalian menyusup ke padang pasir, bagaimana mungkin begitu tiba di gurun pasir, dengan mudah kau lantas dapat menemukan tempat kediaman Ciok-Koan-im di lembah sesat itu? Bukan saja letak lembah sesat itu tersembunyi penuh dipasangi jebakan dan alat-alat rahasia, jarang diinjak manusia luar lagi, jalanan didalam lembahpun simpang siur gampang menyesatkan, namun kalian berlenggang dengan mudah pergi datang seperti berjalan di tanah datar bagai di dalam rumahnya sendiri, bukankah hal ini amat mengherankan?”
Oh Thi-hoa angkat pundaknya, timbrungnya: “Benar, mendengar uraianmu ini, akupun ikut heran juga.”
“Dan lagi,” kata Coh Liu-hiang lebih lanjut: “Kepandaian Ciok-koan-im menggunakan racun amat pandai, arak beracun buatannya sudah tentu orang tidak tahu, ramuan racun apa saja dan tak bisa memunahkannya, maka setelah dia melihat Oh Thi-hoa rebutan arak beracun dan menenggaknya habis dengan Ki Ping-yan, segera dia berlalu, karena dia beranggapan dalam dunia ini tiada seorang tokoh siapapun yang mampu menawarkan arak beracunnya itu, maka tanpa sangsi dia tinggal pergi.”
Lalu dengan tajam dia menatap Liu Bu-bi, katanya kalem: “Tapi seenak kau membubuhi obat kepada si pasien yang sudah kau ketahui penyakitnya saja kau memunahkan kadar racun yang mengeram dalam tubuh teman temanku itu, bukankah hal ini jauh lebih mengherankan?”
“Benar.” kata Oh Thi-hoa angkat kedua tangan. “Kalau dia tidak tahu kadar racun apa yang tercampur dalam arak Ciok-koan-im, cara bagaimana dia bisa mengobati kami berempat dengan mudahnya?”
Jari-jari Liu Bu-bi yang putih halus dan runcing itu sedang meremas ujung bajunya, katanya: “Kedua kejadian itu, apakah kaupun sudah dapat memecahkannya?”
Coh Liu-hiang tertawa tawar, katanya: “Meskipun kedua kejadian ini sulit diterangkan, namun kalian sendiri yang meninggalkan gejala-gejala yang kurang sempurna dan teliti, kalau bukan lantaran kedua peristiwa itu, mungkin selamanya aku tidak akan menebak tepat asal-usulmu yang sebenarnya.”
Jari-jari Liu Bu-bi yang putih menjadi semakin putih dan pucat karena tenaga meremas ujung bajunya terlalu keras, malah kedua lengannya itu tampak gemetar semakin keras, katanya: “Kau… sekarang kau sudah tahu siapa sebenarnya aku ini?”
“Ingin aku bertanya dulu kepadamu, seseorang bila dia belum pernah berada didalam lembah kediaman Ciok-koan-im itu, apakah dia bisa pergi datang seenaknya?”
Liu Bu-bi menggigit bibir, sahutnya kemudian: “Tidak bisa.”
“Seseorang bila dia tidak tahu racun macam apa yang ditaruh dalam arak Ciok-koan-im itu, mungkinkah dia bisa menawarkan kadar racunnya?”
“Tidak mungkin.”
“Jikalau bukan orang kepercayaan Ciok-koan-im yang terdekat, terang tak mungkin bisa tahu jalan rahasia keluar masuk dari lembah sesat itu, maka diapun takkan tahu dosis racun yang tercampur didalam arak itu, benar tidak?”
Mendadak Liu Bu-bi tertawa terloroh-loroh. Agaknya dia sudah tidak bisa kendalikan emosinya sendiri, seperti orang linglung dia terloroh-loroh terus tak berhenti.
Akhirnya Oh Thi-hoa bertanya: “Dia… memangnya siapakah dia sebenarnya?”
Coh Liu-hiang menghirup hawa segar, katanya sepatah demi sepatah: “Masakah kau belum paham bahwa dia adalah murid kesayangan Ciok-koan-im?”
Liu Bu-bi ternyata adalah murid didik Ciok-koan-im. Sudah tentu penjelasan ini membikin Oh Thi-hoa terperanjat.
Sebaliknya, rona muka Li Giok-ham berubah hebat, bentaknya beringas: “Jikalau dia benar muridnya Ciok-koan-im, kenapa sesama saudara seperguruannya dia bunuh seluruhnya?”
Coh Liu-hiang tertawa dingin, ejeknya: “Kalau Ciok-koan-im sudah berangan-angan hendak menjadi ratu dinegri Kui-je, kalau dia membawa para muridnya yang sekian banyak jumlahnya, bukankah terlalu berabe dan membebani pundaknya?”
“Kau… kau kira Ciok-koan-im yang menghendaki dia membunuh semua saudara seperguruannya itu?”
“Ya, begitulah kejadiannya.” Sahut Coh Liu-hiang.
“Lantaran orang-orang itu tidak pernah menyangka dia bakal turun tangan secara keji, maka mereka tiada satupun yang siaga, kalau tidak dengan tenaganya seorang, masakah dia dalam waktu sesingkat itu bisa membunuh sedemikan banyak orang?”
“Kalau demikian, jadi kau beranggapan lantaran dia murid didik kepercayaan Ciok-koan-im, maka dia bermaksud membunuhmu?”
“Kecuali itu, agaknya sulit mencari alasan lain untuk menjelaskan persoalan ini.”
“Lalu bagaimana dengan aku?” tanya Li Giok-ham.
“Mungkin kaupun tertipu oleh dia, kau diperalat tanpa kau sadari. Kemungkinan dia adalah utusan Ciok-koan-im yang dipendam di Kanglam, maka dia sudi menikah dengan kau dengan embel-embel nyonya muda dari Yong-cui-san-cheng sebagai tameng, paling baik untuk menyembunyikan diri.”
Tanya Li Giok-ham: “Kalau benar dia komplotan Ciok-koan-im yang setia, kenapa pula dia mau menolong Oh Thi-hoa dan lain-lain dari keracunan arak itu?”
“Karena waktu itu aku sudah membunuh Ciok-koan-im, melihat gelagat jelek dan tidak menguntungkan dirinya, maka terpaksa dia menolongnya, maksudnya dia supaya kelak dia bisa mengatur jalan mundur, yang terang kalau Oh Thi-hoa dan lain-lain mampus toh tiada manfaatnya bagi dirinya.”
Li Giok-ham mendadak tertawa gelak-gelak! Nada tawanya mengandung penasaran dan gusar, seolah banyak penasaran yang tidak lampias. “Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang, kau memang terlalu pintar, namun sayang kau keblinger oleh kepintaranmu sendiri.”
“Memangnya uraianku barusan salah?”
“Sudah tentu apa yang kau uraikan tidak salah, apa yang diketahui oleh Coh Liu-hiang yang serba pintar masakah bisa salah? Sekarang apapun yang kau katakan yang terang sudah tiada hubungannya sama sekali.”
Sorot matanya seolah-olah hendak menyemburkan api, suaranya mirip gerungan gusar: “Karena sekarang kau jelas akan mati kalau tidak segera aku bunuh kalian.”
“Apa kau sudah gila?” seru Oh Thi-hoa kaget.
“Benar, memang aku sudah gila tapi bila kau menjadi aku, kau akan lebih gila lagi.” jari-jarinya gemetar sembarang waktu tombol kotak Bau hi li hoa ting itu kemungkinan tersentuh, kalau orang lain masakah berani adu mulut dan menyindirnya dengan pedas.
Tapi Oh Thi-hoa justru tidak peduli, teriaknya: “Sampai detik ini kau masih ingin melindungi dia?”
“Sudah tentu.” sahut Li Giok-ham kalap.
“Sampai detik ini, kau masih belum percaya bila binimu ini adalah murid kepercayaan Ciok-koan-im?”
Sebetulnya Liu Bu-bi sudah tunduk kepala, tiba-tiba dia angkat kepala dan berseru beringas: “Benar, memang aku adalah murid Ciok-koan-im tapi sejak mula aku tidak pernah mengelabui dan merahasiakan diriku kepadanya!”
Oh Thi-hoa melongo, katanya menatap Li Giok-ham: “Jadi kau sudah tahu bila dia adalah murid Ciok-koan-im yang dipendam di Kang-lam sebagai mata-mata, namun kau tetap mempersunting dia sebagai istrimu, kecuali dia memangnya perempuan dalam dunia ini sudah mampus seluruhnya?” Dengan kencang Liu Bu-bi pegang tangan Li Giok-ham, dia tidak membiarkan orang bicara lagi. Namun tangannya sudah gemetar, katanya: “Segala caci maki yang paling kotor dan keji sudah kalian lontarkan kepada kami, bolehkah beri kesempatan untuk aku bicara, secara terbuka.”
“Cayhe sedang pasang kuping.” ujar Coh Liu-hiang tersenyum.
“Diantara murid-murid yang dididik Ciok-koan-im, hanya aku dan Ki Bu-yong yang dipungutnya sejak kecil, jadi kami tumbuh dewasa disampingnya, kami berdua sama-sama anak yatim piatu, malah siapa-siapa nama ayah bunda kamipun tak tahu, semula beliau ada memberi nama kepadaku, setelah aku berada di sini, baru aku merubah she Liu dan bernama Bu-bi.”
“Jadi nama Ki Bu-yong juga dirubah setelah roman mukanya itu dirusak?” tanya Coh Liu-hiang.
“Benar, semula dia bernama Bu-su “tiada maksud” dan aku bernama Bu-gi “tak terkenang”.”
Coh Liu-hiang menghela napas gumannya: “Bu-su, Bu-gi, Bu-hoa… ai!”
“Walau dia ingin supaya kami Bu-su, Bu-gi, betapapun kami ini manusia yang berdarah daging, setiap orang setelah menanjak dewasa pasti dia akan terkenang ayah bundanya. Sudah tentu kamipun tidak ketinggalan apa boleh buat beliau setuju merahasiakan dan tak mau mencari tahu siapa ayah bunda kami sesungguhnya, setiap kali kami menyinggung hal ini, dia lantas marah dan uring-uringan.”
“Bagaimana tindakannya terhadap para murid didiknya, aku sedikit pernah menyaksikannya.” ujar Coh Liu-hiang.
“Tapi dia terlalu baik terhadap aku dan Ki Bu-yong, cuma watak Ki Bu-yong lebih pendiam dan suka menyendiri, berhati keras lagi. Sudah tentu sifatnya yang lugu itu tidak bisa mengambil hati gurunya, aku sebaliknya lebih…”
Dengan tertawa dingin, Oh Thi-hoa menukas: “Kau lebih pintar menepuk pantatnya minta aleman, hal ini tak perlu kau jelaskan karena aku sudah tahu.”
Bahwasanya Liu Bu-bi tidak hiraukan ocehannya, katanya lebih lanjut: “Dalam pandangan orang lain, Ciok-koan-im seolah-olah benar-benar dibuat dari ukiran-ukiran batu, namun justru ia seorang manusia, orang yang punya darah dan daging, maka iapun memiliki sifat sifat lemah dari manusia umumnya.”
“O?” Coh Liu-hiang bersuara heran.
“Adakalanya, diapun merasa hambar, risau dan rawan, kesepian dan tersiksa dalam keadaan seperti itu, maka diapun meminjam arak untuk melampiaskan kedukaan hatinya, malah sering minum sampai mabuk dan tak sadarkan diri.”
Oh Thi-hoa tertawa geli, ujarnya: “Tak nyana Ciok-koan-im ternyata punya hobby yang sama dengan aku.”
“Lantaran hubunganku lebih dekat sama dia, maka sering dia minta aku menemani dia minum arak, pada suatu hari diapun mabuk-mabuk lagi, dalam mabuknya itu dia membuka sebuah rahasia kepada diriku.”
“Rahasia apa?” tanya Coh Liu-hiang.
“Hari itu semalam suntuk kami minum arak, menjelang pagi saking mabuk kepalanya sudah lemas, matanyapun menjublek, tiba-tiba dia memberitahu kepadaku, ayah bunda Ki Bu-yong adalah dia yang membunuhnya.”
Terkesima Coh Liu-hiang dibuatnya, katanya: “Apakah karena dia hendak menerima Ki Bu-yong sebagai muridnya, maka dia bunuh kedua orang tuanya?”
“Ya, memang begitulah.” sahut Liu Bu-bi karena amat terpengaruh oleh perasaannya, suaranya sampai serak, setelah merenung sekian lamanya lalu dia meneruskan: “Mendengar ucapannya, sudah tentu kejutku bukan main, takut lagi, waktu itu terpikir olehku, kalau ayah bunda Ki Bu-yong dibunuh oleh dia, apakah ayah bundakupun dibunuhnya juga?”
Sampai di sini Oh Thi-hoa ikut tegang dan ketarik, tanyanya: “Kenapa tidak kau tanya dia, waktu dia masih mabuk?”
“Sudah tentu kutanyakan, namun dia bilang, riwayat hidupku berlainan dengan Ki Bu-yong, aku adalah bayi buangan, dia sendiripun tidak tahu siapa ayah bundaku, waktu kutanya dia lagi, mendadak dia merangkulku dan menangis gerung-gerung, dikatakan dia seorang diri sebatang kara, tiada sanak tiada kadang, maka sejak kecil dia pandang aku sebagai anak kandungnya sendiri.”
“Karena tangisnya itu maka kau lantas percaya begitu saja?” timbrung Oh Thi-hoa pula.
Liu Bu-bi kucek-kucek matanya, katanya: “Meski aku tak percaya namun sulit aku mencari bukti, sudah tentu akupun tidak berani membocorkan rahasia ini kepada Ki Bu-yong karena bila hal ini kuberitahu kepada dia, berarti aku mencelakai jiwanya.”
“Benar, ujar Coh Liu-hiang, jikalau Ciok-koan-im tahu Ki Bu-yong sudah tahu akan rahasia ini, dia pasti tak akan membiarkan muridnya itu hidup lebih lama.”
“Sejak malam itu, lahirnya aku tetap seperti dulu, namun batinku sudah jauh berubah tak mungkin aku bergaul intim dengan dia seperti dulu.” sampai disini Liu Bu-bi menghela napas, lalu melanjutkan: “Perubahan Ki Bu-yong justru lebih besar dan menyolok dari aku, begitu usianya menanjak dewasa semakin lama sikapnya semakin dingin dan menjauhi Ciok-koan-im. Seumpama sekuntum kembang yang tumbuh ditengah udara, kelihatannya selalu dingin, begitu agung, sedih dan menawan hati, begitu cantik lagi. Meski aku ini seorang perempuan sampai akupun merasakan dia teramat cantik, begitu rupawan sampai sanubariku tak berani menyentuhnya, sudah tentu tidak berani aku membuka tabir rahasia itu.”
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya: “Sayang sekali kita tidak bisa menikmati roman mukanya yang cantik itu.”
“Memang kasihan, takdir memang sudah tentukan nasib seseorang… aku sungguh tidak pernah menduga bahwa Ciok-koan-im merusak wajahnya nan ayu itu!”
“Kau juga tahu bila Ciok-koan-im lah yang merusak wajahnya?” tanya Oh Thi-hoa.
“Aku tahu.” sahutnya kertak gigi: “Setelah tahu akan kejadian ini maka aku insaf akupun tak bisa lama-lama berada disamping Ciok-koan-im, meskipun berulang kali dia sudah berpesan wanti-wanti kepadaku, katanya dia takkan menggunakan kekerasan terhadapku, tapi dalam pandanganku, ia sudah berubah seperti ular beracun, cukup selintas pandang saja, aku sudah tidak tahan lagi.”
Bercahaya sorot mata Coh Liu-hiang, katanya: “Memangnya kau melarikan diri?”
“Aku bukan lari, kalau aku ingin lari, maka jiwaku takkan hidup sampai sekarang.”
“Jadi kau….”
“Aku cuma bilang, aku sekarang sudah dewasa, sudah tiba waktunya keluar melihat dunia dan cari pengalaman, sejak melihat dunia dan tumbuh dewasa ditengah gurun pasir yang serba gersang dan tersembunyi dalam lembah sesat itu, bagaimana keadaan dunia luar sedikitpun tidak tahu, maka aku mohon beliau suka memberi kesempatan aku keluar.”
“Apa yang dia katakan?” tanya Coh Liu-hiang.
“Dia tidak berkata apa-apa, dia cuma tanya aku, kapan aku akan pergi?”
“Bagaimana jawabmu?”
“Waktu itu aku sudah tidak sabar lagi, seharipun rasanya sudah tidak betah lagi tinggal disana, maka segera aku jawab: lebih baik besok pagi.”
“Apa dia terus menerima dan memberi ijin kepadamu begitu saja?”
“Mendengar permohonanku, lama dia termenung, mendadak berkata: Baik, malam ini aku adakan perjamuan untuk memperingati keberangkatanmu. Aku sendiri tidak duga begitu lekas dan gampang dia mau melulusi permintaanku, keruan bukan kepalang senang hatiku.”
“Ku kira terlalu pagi kau merasa senang.” ujar Coh Liu-hiang.
“Malam itu juga dia betul-betul menyiapkan sebuah perjamuan untuk mengantar kepergianku, aku betapapun diasuh dan dibesarkan dia, teringat besok juga akan berpisah, hatiku merasa berat dan sedih juga, teringat orang begitu gampang memberi ijin dirinya untuk pergi, tak urung hati amat haru dan terima kasih sekali. Maka malam itu aku temani dia minum arak sebanyak-banyaknya.”
Mendengar sampai di sini, lapat-lapat Oh Thi-hoa sudah meraba tujuan jahat dari kata-katanya itu, mau tidak mau dia ikut tegang juga bagi keselamatannya, tak tahan dia bertanya pula: “Bagaimana keesokan harinya?”
Muka Liu Bu-bi tidak menunjukkan perasaan hatinya, katanya tawar: “Hari kedua, dia mengantar aku sampai di mulut lembah, dia lepas aku pergi.”
Oh Thi-hoa melongo, katanya: “Begitu saja dia mau melepas kau pergi?”
Kembali Liu Bu-bi menepekur rada lama, meski rona mukanya tidak menunjukkan mimik hatinya, namun kulit mukanya begitu pucat seperti mayat hidup, sorot matanya justru memancarkan kebencian yang berlimpah-limpah katanya dengan tegas: “Begitulah dia melepaskan aku pergi, karena sebelumnya dia sudah perhitungkan aku pasti akan kembali lagi.”
“Kembali, harus kembali lagi?” tanya Oh Thi-hoa.
“Belum lima ratus li aku menempuh perjalanan, segera terasa perutku sakit sekali seperti disayat sayat, seolah-olah banyak ular-ular kecil menggerogoti perutku.”

Seketika merinding sekujur badan Oh Thi-hoa, katanya: “Arak… arak itu beracun?”
Liu Bu-bi kertak gigi, sahutnya mendesis: “Benar. dalam arak ada racun, maka dia sudah perhitungkan, aku pasti akan merangkak balik, minta pengampunan dan obat pemunahnya, kalau tidak aku akan mampus ditengah gurun pasir, tanpa ada orang yang mengubur mayatku.”

Oh Thi-hoa seketika naik pitam, serunya: “Kalau dia sudah melulusi permintaanmu dan mengantar kau pergi, kenapa dia mencampur racun dalam arak itu?”
“Karena dia ingin supaya aku tahu akan kelihaiannya, supaya selama hayatku tidak berani membangkang dan durhaka kepadanya, supaya aku berlutut dan menyembah mohon ampun kepadanya… karena dia amat suka melihat orang menyembah dan meratap diujung kakinya.”

Oh Thi-hoa menarik napas panjang, gumamnya: “Untung manusia sekeji itu kini sudah mampus.”

Berkata Liu Bu-bi lebih lanjut: “Meski rencananya rapi, perbuatannya keji tapi dia lupa akan satu hal.”
“Lupa apanya?”, tanya Oh Thi-hoa.
“Dia lupa diwaktu dia mabuk, banyak rahasia yang pernah dia beritahu kepadaku.”
“Dia memberitahu cara memunahkan racunnya kepadamu?” “Aku ini muridnya sudah tentu aku ikut mempelajari, cara menggunakan racun dan cara memunahkannya, kalau tidak mungkin kau pun takkan hidup sampai sekarang.”

Oh Thi-hoa menyengir sambil mengelus hidungnya tanpa bicara lagi.
Maka berkatalah Coh Liu-hiang: “Tapi racun yang dia gunakan terhadap kau pastilah kadar racun yang belum pernah dia turunkan kepadamu, hakikatnya kau sendiri tak tahu racun apa yang dia taruh dalam arak yang kau minum, cara bagaimana kau bisa memunahkannya?”

“Aku mengerti akan hal ini, tapi pernah ia memberitahu kepadaku daun gania bukan saja dapat membuat seseorang terperosok ke dunia nista, ada kalanyapun dia ada manfaatnya untuk mencegah rasa sakit, karena dia bisa bikin manusia matirasa, dan tenggelam dalam kenikmatan hakikatnya orang yang sudah menggunakan obat ini, akan lupa dirinya, maka sejak mula, diam-diam aku sudah mencuri sekotak ganja itu, yang kubuat menjadi bubuk putih yang halus jadi sudah lama aku selalu siaga bila diriku diracun olehnya.”

“Tapi bila seseorang setiap hari selalu tenggelam dalam pati rasa dan lupa daratan betapa kehidupannya tidak seperti mati?”

“Sudah tentu aku tahu menggunakan obat ganja untuk mencegah sakit, sama seseorang yang sudah ketagihan, candu, dan tak mungkin bisa memutus kebiasaannya itu. Tapi waktu itu sungguh aku tidak kuat lagi, menahan derita apalagi meski mati, aku bersumpah tidak sudi kembali, mohon ampun kepadanya apalagi menjadi budaknya seumur hidup.”

“Maka kau lantas diperbudak oleh obat-obat ganja itu?” kata Coh Liu-hiang.
Liu Bu-bi tunduk diam, malu rasanya bila orang lain melihat mukanya. Karena derita membuat kulit dagingnya kejang berkerut kemerut.

Tampak Soh Yon-yong, Li Ang-siu, Song Thiam-ji bercucuran air mata, demikian juga muka Mutiara hitam menampilkan rasa pedih dan duka. Memang sesama perempuan kadang kala sukar menjadi sahabat karib, tapi betapa pun perempuan merasa iba dan simpatik terhadap sesama jenisnya, karena mereka berpendapat asal dia perempuan, maka dia patut dikasihani.

Soh Yong-yong menghela napas, katanya: “Selama beberapa tahun ini hidupmu tentu menderita.”
“Kalau demikian,” kata Oh Thi-hoa, “Malam itu waktu didalam penginapan kau menjerit dan merintih menahan kesakitan, lantaran kadar racun dalam tubuhmu kumat, jadi bukan pura-pura belaka?”
“Dulu setiap kali penyakitku ini kumat, cukup asal aku menelan sedikit bubuk obat ganja, rasa sakitku segera lenyap. Tapi belakangan ini, meski aku menelan dua lipat obat bubuk itu lebih banyak, rasa sakitnya tidak hilang dan obat itu sudah tak manjur lagi.”
“Ya, bukan lantaran obat bubuk ganja itu sudah kehilangan khasiatnya, adalah karena ragamu sudah mulai kebal dan tak mempan terhadap obat bubuk itu lagi, seumpama seseorang yang sudah kumat arak, semakin lama arak yang kau minum semakin banyak.”

“Sedikitpun tidak salah.” tukas Oh Thi-hoa. “Dulu cukup dua cangkir saja arak tertuang ke dalam perutku, badan terasa enteng seperti hendak terbang, segala kerisauan hati terlupakan semua, tapi sekarang umpama menghabiskan tiga sampai lima kati arak yang paling keraspun, rasanya seperti belum minum.”

Tak tahan Coh Liu-hiang tertawa-tawa, dia tahu bagi seorang penggemar arak, bila ada kesempatan pasti suka mengagulkan diri akan takaran minumnya yang luar biasa, terdengar Oh Thi-hoa berkata pula: “Kalau malam itu benar kau memang sedang kumat penyakitmu, lalu siapakah yang membokong kami dengan Bau hi li hoa ting?”

Liu Bu-bi berdiam lagi, lalu sahutnya tawar: “Aku juga!”

Oh Thi-hoa melongo, katanya: “Jelas kudengar suaramu yang sedang sedang sekarat didalam kamar, mana mungkin kau bisa keluar membokong kami? Kau… tentunya kau tidak menggunakan ilmu sesat bukan?”

“Obat ganja itu sudah tidak begitu manjur seperti dulu untuk mencegah sakit, tapi masa kerjanyapun tidak terlalu lama, begitu mendengar suara kalian sudah keluar dari pekarangan, segera kusuruh seorang pelayanku pura-pura merintih seperti aku, setiap orang bila merintih kesakitan suaranya tentu berubah, umpama kalian merasakan perbedaan suaraku itu, toh tidak akan curiga.”

“Lalu kau buang alat Bau hi li hoa ting didalam hutan, maksudmu supaya tidak konangan oleh kami?” tanya Oh Thi-hoa.

Liu Bu-bi mengangguk sambil mengiakan.
“Bahwasanya kalianpun tidak pergi mencari Cianpwe tujuh jari itu, karena dalam dunia ini hakikatnya tak pernah ada seorang seperti yang kau sebutkan itu?”

Liu Bu-bi tertawa, katanya: “Bukan saja tiada orang seperti itu, sampaipun paman Hiong yang kusebut itupun embel-embel saja.”
“Kalian sengaja bilang hendak mencari orang, karena kalian sudah merogoh kantong mengeluarkan dua puluh laksa tahil perak untuk membeli seorang pembunuh, diwaktu dia melakukan pembunuhan, kalian kebetulan tiada ditempat, kalau tidak kalianpun tidak perlu mencari dia.”
“Ya, memang begitulah kejadiannya.”

“Siapa tahu pembunuh itu justru teringkus oleh Coh Liu-hiang, kuatir dia membocorkan rahasia, maka kalian lantas membunuhnya.”
“Sedikitpun tidak salah.”

Mengawasi Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa tertawa getir, katanya: “Baru sekarang aku benar-benar sadar dan kagum pada kau, segala ramalanmu ternyata cocok seluruhnya.”

Muka Liu Bu-bi seketika menampilkan rasa heran, tanyanya: “Kejadian itu, apakah sebelumnya sudah kau ketahui?”
“Tapi sulit aku mengerti kenapa kau hendak membunuh aku?” ujar Coh Liu-hiang. “Kalau kau bukan membalas dendam bagi kematian Ciok-koan-im, memangnya karena apa?”
Kembali Liu Bu-bi berdiam diri cukup lama, sahutnya kemudian: “Aku demi diriku sendiri.”
“Kau sendiri?” seru Coh Liu-hiang melengak.
“Apakah kau sendiri ada permusuhan dengan aku?”
“Aku tidak punya dendam tiada permusuhan dengan kau, tapi bila kau tidak mati, maka akulah yang mampus.”
“Kenapa?” semakin tak mengerti Coh Liu-hiang dibuatnya.

“Beberapa tahun belakangan ini, penyakitku semakin sering kumat, malah jaraknya semakin dekat, maka obat ganja yang kuperlukanpun semakin banyak, sekotak yang kubawa keluar itu sudah habis, jadi aku harus membeli di kalangan Kang-ouw. betapa sulit mendapatkan bahan-bahan yang kuperlukan ini, aku insaf kalau keadaan berlarut semakin lama, meski aku tidak mati lantaran racun Ciok-koan-im, akhirnya aku akan mampus karena terlalu banyak makan obat ganja serta keracunan pula.”

“Ya, memang begitulah akhirnya.” kata Coh Liu-hiang.

“Aku sendiri menderita dan tersiksa sih tidak menjadi soal, tapi… tapi aku tidak tega menyeret dia ikut tersiksa, karena penyakitku ini, untuk mencari obat ganja, entah berapa banyak uang yang sudah dia keluarkan, betapa dia ikut menderita.”

Muka Li Giok-ham pucat lesi, katanya kertak gigi: “Tak usah kau bicarakan hal itu lagi.”

“Urusan sudah terlanjur sedemikian jauh.” demikian kata Liu Bu-bi: “Aku harus membeber semua kejadian ini…”

“Memang harus dan pantas kau beber seluruhnya” timbrung Oh Thi-hoa.

“Menurut apa yang ku tahu, selama hidup Ciok-koan-im dia hanya takut terhadap seseorang, dia pernah bilang, orang ini boleh dikata adalah musuh bebuyutannya yang selalu merupakan lawan mematikan dari segala kemampuannya, seluruh kepandaiannya takkan mempan dan tak berguna sepeserpun untuk menghadapi orang yang satu ini!”

“Oh!” Oh Thi-hoa bersuara dalam tenggorokan: “Apa benar dalam dunia ini ada tokoh macam itu? Siapa dia?”

Liu Bu-bi tidak menjawab pertanyaan, katanya lebih lanjut: “Maka aku lantas berpikir, kemungkinan orang ini bisa memunahkan racun Ciok-koan-im yang mengeram dalam badanku.”

“Ya, diwaktu kau tahu dirimu sudah keracunan, seharusnya kau langsung pergi mencari dia.” kata Oh Thi-hoa.

“Mesti sudah lama keinginanku mencari dia tapi selama itu aku tidak berani.”

“Apa yang kau takuti?”

“Karena bukan saja dia merupakan tokoh kosen yang berkepandaian silat paling tinggi diseluruh jagat ini, diapun orang yang amat menakutkan, wataknya sukar diraba, senang marah tidak menentu, bukan saja tidak mau membedakan benar salah, diapun tidak peduli jahat dan bajik, asal dia senang, apapun dapat dia lakukan, membunuh jiwa seseorang dalam pandangannya seperti memites seekor semut belaka!.”

“Orang sebrutal ini, aku toh ingin menempurnya.” kata Oh Thi-hoa.

Liu Bu-bi melerok kepadanya, sorot matanya menunjukkan penghinaan, seperti berkata: “Mengandalkan kepandaianmu Oh Thi-hoa saja, meski selaksa jumlahnya juga jangan harap kuat melawannya.” tapi dia tidak utarakan isi hatinya, katanya kemudian dengan menghela napas: “Walau aku takut menemui dia, namun keadaan semakin mendesak aku untuk pergi kesana.”

Tak tahan Oh Thi-hoa menyela lagi: “Sebetulnya kau sudah berhasil menemui dia belum?”
“Sudah!”
“Apa dia mampu mengobati penyakitmu?”
“Sudah tentu dia bisa, cuma dia mengajukan syarat.”
“Syarat apa?”
“Syaratnya sepele saja, dia minta sesuatu benda dari aku.”

Oh Thi-hoa mulai tegang, lapat-lapat dia sudah meraba syarat apa yang diminta oleh orang aneh itu. Tapi tak tahan dia bertanya juga: “Barang apa yang dia minta?”

“Yang diminta adalah batok kepala Coh Liu-hiang.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar