-------------------------------
----------------------------
Bab 16, Lolos dari maut ... Tamat
Dengan lirikan ujung matanya
Coh Liu-hiang mencegah Oh Thi-hoa, maksudnya supaya orang tidak ceroboh.
Tapi Oh Thi-hoa tidak tahan
sabar, bentaknya: “Tapi mati hidupmu sekarang, tergenggam dalam tangan kami.”
“O? Apa ya?” jengek laki-laki
jubah hitam. Sorot matanya yang dingin mengandung penghinaan.
Oh Thi-hoa murka, dampratnya:
“Kau tak percaya aku bisa menjagalmu?”
Dari kepala sampai ke kaki,
laki-laki kurus jubah hitam mengawasinya dengan memicingkan mata, jengeknya:
“Kalian berdua saja?”
“Memangnya kau kira tidak
cukup?” damprat Oh Thi-hoa pula.
“Kalian hendak satu lawan
satu? Atau kalian maju bersama?”
Sekilas Oh Thi-hoa melirik
kepada Coh Liu-hiang, serunya bengis: “Menghadapi kau durjana ini, memangnya
perlu menepati aturan Kang-ouw segala?”
Tiba-tiba laki-laki jubah
hitam menghela napas panjang, ujarnya: “Sayang… sayang…”
“Sayang?” Oh Thi-hoa mendelik.
“Kalau dalam keadaan biasa,
kalian boleh makan kenyang dulu tiga hari, menghimpun semangat, mengumpulkan
tenaga sehingga kondisi badan segar bugar, lalu memilih dua macam senjata yang
cocok selera baru bergebrak dengan aku, mungkin masih kuat melawan lima ratus
jurus, tapi hari ini…”
“Hari ini kenapa?” bentak Oh
Thi-hoa pula.
“Hari ini sorot mata kalian guram,
langkah kaki mengambang, jelas kalian sudah kehabisan setengah tenaga, dan lagi
kurang tidur, perut kosong lagi, sepuluh tingkat kepandaian silat kalian, kini
paling hanya tinggal empat tingkat belaka.” lalu di geleng-geleng kepalanya,
sambungnya menghela napas: “Dalam keadaan serba kritis seperti ini, kalian
hendak bergebrak dengan aku, sungguh merupakan tindakan yang kurang pintar.”
Tiba-tiba Oh Thi-hoa bergelak
tawa, serunya: “Kau hendak menggertak kami? Kau kira kami takut?”
“Memang kalian tidak takut,
tapi aku merasa kecewa malah.”
“Kecewa?”
Laki-laki jubah hitam menatap
pedang di tangannya, katanya kalem: “Sepuluh tahun yang lalu, aku bertamasya
keluar perbatasan, di sana aku pernah bertemu dengan Bu-bing kiam khek, di
pinggir Thiam ji di puncak Tiang pek-san dia melawanku bertanding selama dua
hari dua malam.” biji matanya yang kelabu memancarkan cahaya terang seperti
nyala api, lalu melanjutkan: “Pertempuran kali ini sungguh menyenangkan dan
memuaskan hati, selama hidup takkan pernah kulupakan, sayang sekali sejak
pertempuran kali itu, sampai sekarang aku tak pernah kebentur lagi dengan lawan
tangguh yang benar-benar mencocoki seleraku.”
“Kalau demikian, memangnya kau
ini sudah tiada tandingan dikolong langit?”
Laki-laki kurus jubah hitam tak
hiraukan ocehan Oh Thi-hoa, katanya menyambung: “Kiansu “ahli pedang” tiada
tandingannya betapa sunyi perasaan hatinya, mungkin sukar membayangkannya,
selama sepuluh tahun ini, setiap waktu setiap saat tiada pernah aku berhenti
usaha untuk mencari seorang lawan tangguh…” sorot matanya lalu menatap Coh
Liu-hiang, sambungnya: “Sampai akhirnya aku dengar orang bilang tentang
dirimu.”
Coh Liu-hiang tertawa baru
sekarang dia membuka mulut: “Kalau begitu tuan memang ada maksud mencari aku
sebagai lawanmu?”
“Sudah lama aku mendengar
kisah petualanganmu, semula aku kira hanya orang-orang Kang-ouw saja yang suka
usil mulut mengagulkan dirimu setinggi langit, tapi hari ini kulihat kau, baru
aku tahu ternyata memang sejak kau dilahirkan sudah belajar silat.”
“Ah, terlalu memuji.” Coh
Liu-hiang merendah.
“Pertama kali aku melihatmu,
lantas kudapati kepintaran, ketenanganmu jarang ada orang dapat menandingi,
bisa bertempur dengan orang seperti kau memang merupakan kejadian yang
menggemparkan, sayang sekali sekarang…”
“Sekarang kenapa?” tanya Coh
Liu-hiang tetap kalem dan tersenyum.
“Mengandalkan kondisimu
sekarang, jikalau satu lawan satu, mungkin kau masih kuat menyambut dua ratus
seranganku tapi kalau ketambahan dia, didalam seratus jurus aku pasti dapat
menamatkan riwayatmu.”
Oh Thi-hoa berjingkrak gusar
seperti kebakaran jenggot, raungnya: “Aku seorang diri juga bisa tamatkan
jiwamu.”
“Ilmu silatmu, di kalangan
Kangouw boleh terhitung kelas satu, tapi hari ini semangat dan tenaga kalian
sudah luluh, dengan gabungan dua orang bukan saja tidak akan bermanfaat
kerja-sama kalian, malah masing-masing harus menguatirkan keselamatan dan
saling tolong-menolong, tanpa mengambil keuntungan yang setimpal, lebih celaka
lagi…”
“Apapun yang kau katakan,”
tukas Oh Thi-hoa tertawa lebar “hari ini aku hendak melabrakmu bersama, andai
lidahmu pecah saking banyak ngoceh, jangan harap kami bisa kau tipu
mentah-mentah.”
Laki-laki kurus jubah hitam
kembali menghela napas, katanya: “Ribuan laksa emas dapat diperoleh, panglima
gagah sukar dicari, Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang dengan cara begini saja aku
membunuhmu, sungguh terlalu merendahkan derajatmu, sayang, sayang!”
“Kalau demikian, apakah tuan
tidak bisa tidak membunuhku?”
“Kalau orang seperti macammu
hidup di dunia fana ini, aku sendiripun takkan bisa tidur nyenyak dan makan
dengan tentram…” tiba-tiba matanya memancarkan nafsu membunuh, katanya dingin:
“Tapi kalau hari ini kalian kuat melawan seratuslima puluh jurus, aku tak akan
membunuhmu.” dimana hembusan angin berlalu, tiba-tiba pedang di tangannya sudah
bergerak!
Nafsu membunuh sebetulnya
hanya terlontar dari sorot matanya, tapi begitu gerakan pedangnya dimulai alam
semesta sekonyong-konyong seperti diliputi hawa kematian.
“Kalau dapat melawan
seratuslima puluh jurus, aku tak akan membunuhmu.” mendengar ucapan orang ini
Oh Thi-hoa sudah hampir bergelak tawa. Sungguh tak pernah terpikir dalam
benaknya, dalam dunia ini ada manusia secongkak dan seangkuh ini.
Tapi sekarang tawanya tak bisa
terdengar. Entah kenapa tahu-tahu tanpa disadarinya dia sudah tersedot seperti
disihir saja sama kekuatan hawa kematian ini, terasa tak dapat terkendali lagi
sanubarinya mengucurkan keringat dingin.
Hawa pedang Swe It hang memang
sangat tajam dan hebat, namun toh belum bisa membuat hatinya kaget, soalnya
hawa pedang Swe It hang itu merupakan suatu yang mati, hanya bisa mengetuk
kalbu saja, tak bisa melukai badan lawan, sebaliknya laki-laki kurus jubah
hitam ini sudah bisa melebur nafsu membunuh dengan hawa pedang terbayang
menjadi satu, lebih hebat lagi karena hawa membunuh itu ternyata hidup.
Meski pedangnya belum
bergerak, tapi hawa membunuh ini sudah mulai merangsang, bergerak menerjang dan
memasuki setiap lobang indra. Terasa oleh Oh Thi-hoa hawa membunuh ini telah
memasuki ke dalam matanya, menerjang masuk ke dalam telinga, menyusup ke
hidung, meresap ke dalam lengan bajunya.. semua badan seakan-akan sudah
telanjang bulat, terkepung oleh hawa membunuh ini, belum lagi bergebrak dirinya
sudah terdesak di bawah angin, apalagi dia sudah tidak tahu cara bagaimana dia
harus turun tangan.
Ujung pedang laki-laki kurus
jubah hitam terjungkit ke bawah, bukan saja gaya menyerang juga bukan sikap
membela diri, semua badannya dari atas sampai ke bawah dapat dikata merupakan
lobang besar yang merupakan sasaran empuk untuk diserang. Tapi karena terlalu
banyak sasaran yang harus diserangnya, maka Oh Thi-hoa lebih kebingungan dan
tak tahu cara bagaimana dia harus mulai turun tangan, karena dia sendiri tidak
bisa meraba bagaimana perubahan gerakan pedang laki-laki kurus jubah hitam
selanjutnya.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang juga
menghela napas, ujarnya: “Sayang… sayang…”
Laki-laki kurus jubah hitam
menatapnya dengan pandangan dingin.
“Tuan juga membikin aku amat
kecewa.” ujarnya tertawa.
Akhirnya laki-laki kurus jubah
hitam tidak tahan bertanya juga: “Kecewa?”
“Kukira betapa tinggi ilmu
pedang tuan yang sebenarnya, melihatgaya kuda-kudamu ini, boleh dikata gerakan
tuan banyak menunjukkan lobang kelemahan yang fatal sekali akibatnya, terlalu
lucu dan menggelikan.”
“Kalau demikian, kenapa tidak
segera kau turun tangan?”
“Terus terang Cayhe rada tidak
tega untuk turun tangan.”
“Mungkin karena jurus
permulaanku ini terlalu banyak mengunjukkan titik kelemahan, maka kau jadi
tidak tahu cara bagaimana kau harus turun tangan bukan?” ujar laki-laki kurus
dengan nada sinis, “jikalau kau satu lawan satu dengan aku, masih bisa kau
mengandal Ginkangmu yang tinggi untuk menjajal dan menyelami jalan permainan
ilmu pedangku, tapi sekarang kau harus berusaha melindungi temanmu, soalnya
sejurus kau gagal, pedangku pasti sudah tembus menghujam tenggorokannya.”
Sudah tentu Coh Liu-hiang
sendiripun tahu akan keadaan gawat dan kepepet ini, soalnya dia lihat sikap Oh
Thi-hoa rada kurang normal seperti kehilangan semangat, maka dia mencari akal
berusaha menenangkan hatinya. Dia tahu omongan kadang kala bisa membuat
seseorang menjadi tentram dalam ketegangan.
Pandangan laki-laki kurus
jubah hitam laksana kilat, katanya dengan tertawa dingin: “Maksud hatimu akupun
sudah tahu, kalau dalam keadaan biasa, mungkin diapun takkan sampai begini,
tetapi sekarangpun hatinya bingung, tenaganya loyo, semangat dan kondisi
badannya sama-sama lemah, kalau tidak mau dikatakan hampir lumpuh, maka hawa
pedangku bisa menyusup ke dalam badannya, sekarang badaniahnya memang tak
kelihatan terluka, tapi semangatnya sudah terkekang dan tersedot oleh kekuatan
hawa pedangku, tak ubahnya seperti mayat hidup.”
Memang kedua mata Oh Thi-hoa
mendelong memandang lempeng ke depan, keringat gemerobyos membasahi kepala,
golok di tangannya itu seakan-akan menjadi ribuan kati beratnya, walau ia sudah
kerahkan semua kekuatannya namun ujung goloknyapun tak kuasa diangkatnya.
Oh Thi-hoa yang sudah
gemblengan dimedan laga kenapa bisa berubah begitu mengenaskan? Sekonyong-konyong
Coh Liu-hiang diresapi pikiran aneh, seakan-akan yang dihadapinya sekarang
bukannya seorang manusia, sebatang pedang, tapi adalah segulung hawa membunuh
yang aneh dan gaib.
Gumpalan hawa membunuh ini
hasil dari persatuan bentuk manusia aneh dan sebatang pedang iblis, orang dan
pedang laksana dwi tunggal dapat dikata sudah menjadi begitu kuat ampuh dan tak
terpecahkan, tak terkalahkan. Orang ini sudah menjadi setan pedang sementara
pedang itu sudah merupakan sukma dari manusia.
Diam-diam Coh Liu-hiang
menghela napas, dia tahu dengan kondisi badannya sekarang menghadapi pedang
iblis ditangan orang, bukan saja merupakan sikap yang pintar, malah merupakan
malapetaka.
Dikala seseorang sedang
kelaparan, keletihan, bukan saja kulit dagingnya takkan kuat, semangatnyapun
akan lumpuh, bayangkan momok sudah timbul dalam benaknya, demikian juga ancaman
dari luar akan segera menyusup ke dalam. Pertempuran melawan Induk Air dalam
air itu boleh dikata sudah menguras habis seluruh semangat dan kekuatan lahir
batinnya, sekarang memang sesungguhnya dia sudah tak mampu lagi memecahkan
gumpalan hawa membunuh ini.
Biji mata lelaki kurus jubah
hitam yang kelabu kaku mati itu tiba-tiba menyorotkan sinar hijau seperti bara
yang mulai menyala, umpama Coh Liu-hiang adalah besi baja, lama kelamaan diapun
akan mencair luluh.
Satu-satunya harapan, semoga
Nikoh jubah hijau itu tiba-tiba bangkit kemarahannya dan berkobar dendamnya,
maka dengan gencetan dua orang dari dua posisi yang berlawanan, mungkin dia
masih mempunyai harapan, apa boleh buat Nikoh jubah hijau, kelihatannya sudah
lumpuh dan tak bersemangat lagi karena kematian teman hidupnya itu, dia
mendekam di atas mayat teman hidupnya itu, tenaga untuk berdiri pun tak kuat
lagi.
Sekonyong-konyong sinar pedang
menjulang ke atas, berputar satu lingkaran. Berkata lelaki kurus jubah hitam:
“Sungguh tak nyana kalian jauh lebih tak becus dari apa yang kubayangkan
semula, agaknya hanya sedikit angkat tangan saja aku sudah bisa membunuh
jiwamu.”
Coh Liu-hiang menatap ujung pedang
ditangan lawan, baru saja dia siap melejit ke atas, tapi sekonyong-konyong
pedang lelaki kurus jubah hitam tiba-tiba menjadi tabir cahaya yang menyilaukan
memutus segala jalan mundurnya. Ujung pedang menderu membelah angin, melengking
tajam laksana suitan.
Sebetulnya Coh Liu-hiang cukup
mampu untuk memecahkan gerakan pedang ini, apa boleh buat saat ini dia sudah
kehabisan tenaga, kekuatan tidak memadai dengan keinginan hatinya.
Pada saat yang kritis itulah
sekonyong-konyong seseorang menghardik keras: “Berhenti!” begitu hardikan ini
kumandang, lengking pedangpun berhenti, gerakan pedang laksana siluman ular
itupun tiba-tiba tak bergeming lagi, dari kejauhan ujung pedang menuding atau
mengancam di depan muka Coh Liu-hiang.
Laki-laki kurus jubah hitam
berkata dingin: “Aku hanya ingin tahu siapa gerangan yang berani menyuruh aku
berhenti, tiada maksudku yang lain, tentunya kau tahu pedangku ini setiap saat
dapat mencabut nyawamu menuruti keinginan hatiku.”
Seakan-akan Coh Liu-hiang tak
mendengar ucapannya, mata orang hanya mengawasi ke belakangnya, berkata: “Kau
tidak melihatku, karena begitu kau bergerak, aku akan mencabut jiwamu.” suara
ini nyaring merdu dan lembut, namun membawa daya ancaman dan hawa membunuh yang
tajam dan kuat, sehingga orang yang di ancamnya mau tak mau percaya akan
ucapannya.
Laki-laki kurus jubah hitam
menatap Coh Liu-hiang, dilihatnya Coh Liu-hiang menampilkan rasa kaget, heran
serta kesenangan, katanya tersenyum: “Lebih baik kau percaya apa yang
dikatakannya, aku berani tanggung dia pasti tidak sedang berkelakar.”
“Jikalau aku tidak percaya?”
laki-laki jubah hitam menyeringai dingin.
“Kalau kau melihat apa yang
dipegang tangannya, tidak bisa tidak kau akan percaya.”
Sorot mata laki-laki kurus
jubah hitam yang menyala tadi kembali menjadi kelabu, katanya sepatah demi
sepatah: “Perduli apapun yang berada di tangannya, aku tetap bisa membunuhmu
sembarang waktu.”
“Kenapa tidak kau lihat dulu
apa sebenarnya yang berada di tangannya?” debat Coh Liu-hiang dengan sikap
tenang dan kalem.
Harus dimaklumi, tatkala itu
seluruh kekuatan hawa pedang dari pengerahan tenaga murninya sudah terpusatkan
di batang pedangnya, asal dia berpaling kepala itu berarti pemusatan kekuatan
dan konsentrasinya terganggu, maka Coh Liu-hiang akan memperoleh kesempatan
yang paling baik. Tak nyana lelaki kurus jubah hitam ini seperti dapat meraba
pikirannya, katanya dingin: “Kau ingin aku berpaling kukira tak begitu
gampang.”
“Jadi kau tidak mau
berpaling?”
“Sekarang seluruh badanmu
sudah terjaring didalam hawa pedangku, umpama kura-kura di gentong, ikan dalam
jala, jikalau aku tidak mau berpaling maka kaupun takkan punya kesempatan untuk
memperpanjang hidup, andaikata dua puluh tujuh batang Bau hi li ho ting di
tangannya serempak menancap di badanku, tusukan pedangku tetap dapat menamatkan
jiwamu.”
Coh Liu-hiang tertawa,
ujarnya: “Ternyata kau sudah menebak apa yang berada di tangannya.”
“Jikalau dia tak memegangi Bau
hi li hoa ting, memangnya dia berani mengancam begitu rupa terhadapku?”
Tiba-tiba Coh Liu-hiang
tertawa riang, katanya: “Tapi jikalau tangannya kosong, dia hanya menggertakmu
saja, apa kau tak terlalu penasaran ditipu mentah-mentah?”
Berubah rona muka lelaki jubah
hitam, katanya: “Apakah tangannya kosong, tanpa berpaling akupun sudah tahu.”
“O? Jadi belakang kepalamu
juga tumbuh mata?”
Bengis sorot mata lelaki jubah
hitam sentaknya: “Tusukan pedangku akan dapat menjajal apakah tangannya itu
benar-benar kosong.”
“Jikalau tangannya benar-benar
pegang Bau hi li hoa ting, tusukanmu ini bukankah membawa malapetaka bagi
dirimu pula? Dua puluh tujuh batang Li-ho-ting sekaligus menyerang dari
belakang, kau yakin dapat meluputkan diri?”
“Bisa gugur bersama Maling
Romantis kukira merupakan transaksi dagang yang cukup adil juga.”
“Bagus sekali.” ujar Coh
Liu-hiang tersenyum: “Kalau begitu silahkan kau turun tangan! Mungkin tusukanmu
belum tentu dapat menamatkan jiwaku, bukankah terlalu besar derita kerugianmu?”
Kembali berubah roman muka
laki-laki jubah hitam, katanya: “Kalau aku tak ingin turun tangan?”
“Kalau kau tak turun tangan,
mungkin dia pun takkan turun tangan, jikalau kau ingin menyingkir, silahkan
berlalu tiada orang yang akan menarik dan menahanmu.”
Jelalatan sorot mata lelaki
jubah hitam, katanya kurang percaya: “Darimana aku tahu kalau dia…”
“Asal kau pergi, aku berani
tanggung dia pasti tidak akan turun tangan.”
“Dengan apa kau bertanggung
jawab? Kenapa aku harus percaya akan obrolanmu?”
“Kalau kau tidak percaya hanya
turun tanganlah keputusannya, jikalau kau tak ingin turun tangan, terpaksa
harus percaya kepada ku, memangnya masih ada peluang bagimu untuk
tawar-menawar?”
Dengan tatapan tajam,
laki-laki jubah hitam mengawasi Coh Liu-hiang lama sekali, tiba-tiba dia
tertawa besar, katanya: “Kalau Maling Romantis sampai tidak kupercayai, manusia
siapa lagi yang dapat kupercaya dalam dunia ini, baik, hari ini kita selesaikan
urusan sampai di sini saja, kelak masih banyak kesempatan.”
“Kelak bila kau berhadapan
dengan aku lagi, lebih baik kau berdaya memasang mata di belakang kepalamu.”
“Kuharap kau baik-baik menjaga
kesehatan, kumpulkan semangat dan tenagamu, didalam jangka tiga bulan, semoga
jarang sakit atau terluka, kalau tidak kau akan terlalu mengecewakan aku.”
mulut bicara kakinyapun melangkah lebar, sejak langkah pertama tidak pernah dia
berpaling, tampak jubah hitamnya melambai, dia sudah menghilang dari pandangan
mata.
Baru saja orang berlalu, Soh
Yong-yong yang semula berdiri di belakangnya segera meloso jatuh dengan lemas,
roman mukanya sudah pucat pias tak kelihatan warna darah, keringat dingin
gemerobyos, membasahi semua badannya. Tangannya kosong melompong, mana ada Bau
hi li hoa ting segala.
Tesipu-sipu Coh Liu-hiang
memburu maju memapahnya berdiri, katanya lembut: “Tepat sekali kedatanganmu
sungguh baik sekali!”
Bibir Soh Yong-yong masih
gemetar, suaranyapun tak mampu dia katakan.
“Sebetulnya kau tidak perlu
begini takut.”
Soh Yong-yong gigit bibirnya
sebentar, katanya: “Apapun tidak kutakuti, aku hanya takut bila dia berpaling
ke belakang.”
“Karena asal kau sudah kemari,
kau bawa tidak Bau hi li hoa ting bukan menjadi soal lagi, persoalan sama
saja.”
“Kenapa begitu?” tanya Soh
Yong-yong.
“Tadi dia bukan sedang
membual, umpama kata tanganmu benar membawa Bau hi li hoa ting, asal dia berani
turun tangan, dia tetap bisa membunuhku lebih dulu, waktu itu aku memang sudah
terbelenggu didalam lingkungan hawa pedangnya, tapi akupun yakin dia takkan
berani turun tangan, juga takkan berani berpaling ke belakang, karena orang
macam dia pasti pandang jiwanya terlalu tinggi, sekali kali dia takkan berani
mempertaruhkan jiwanya untuk menghadapi teka-teki ini.”
“Tapi kenapa dia tidak berani
berpaling?”
“Dia tidak berani berpaling
lantaran takut kalau dirinya tertipu, orang macam dia kalau tahu dirinya
tertipu orang lain, mungkin bisa gila saking dongkol dan marah.”
“Kalau mau dia berpaling dulu
baru turun tangankan belum terlambat?”
“Kalau dia berpaling ke
belakang, maka dia takkan bisa turun tangan lagi.”
“Kenapa?”
“Jikalau kau benar-benar
membawa Bau hi li hoa ting, begitu berpaling, kau akan punya kesempatan membuat
tamat riwayatnya.”
“Tapi aku…”
“Tapi tanganmu kosong, bila
dia berpaling tahu bahwa dirinya ditipu mentah-mentah, ingin memusatkan
kekuatan hawa pedangnya lagi sesulit memanjat langit.”
“Kenapa begitu?” tanya Soh
Yong-yong tak mengerti.
“Dia tahu aku sudah laksana
api yang hampir kehabisan minyak, yakin dirinya pasti akan menang, maka dia
kuasa menekanku dengan perbawa hawa pedangnya, tapi bila dia tahu dirinya
ditipu, perbawa hawa pedangnya akan menjadi lumpuh, maka perbawaku malah akan
balas menekan dia, tatkala itu siapa menang siapa asor sukar diramalkan, orang
macam dia masakah mau bertanding dengan orang bila dia tidak yakin akan menang?
Maka sudah kuperhitungkan dia pasti rela tinggal pergi saja, berpalingpun tidak
sudi.”
Sampai di sini Coh Liu-hiang
tersenyum: “Tokoh kelas wahid bertanding umpama dua pasukan besar sedang
berhadapan, sikap dan perbawa sekali-kali tidak boleh kelelap oleh kekuatan
lawan, meski persenjataan pihak sendiri kalah kuat bila perbawa dan semangat
tempur kita lebih berkobar, lawan besarpun akan dapat kita tundukkan. Agaknya
dia mengerti juga akan teori ini, maka tahu situasi yang menyudutkan dirinya
serba tidak menguntungkan, maka dia rela tinggal pergi saja.”
Soh Yong-yong tertawa manis,
katanya memuji: “Justru karena kau Maling Romantis juga paham akan teori
strategis perang ini, maka setiap kali kau dengan keadaan yang lemah dapat
mengalahkan yang kuat, dari bahaya menjadi selamat dan ketiban rejeki.”
“Terlalu dipuji, terlalu
dipuji, tapi kalau kau tidak menyusul tiba tepat pada saatnya, akupun belum
sempat berdoa untuk keselamatanku sendiri.”
“Tapi kau memang terlalu
tabah, melihat sikapmu yang tenang dan adem-ayem tadi sampai akupun hampir
merasa aku memang memegangi Bau hi li hoa ting.”
“Kelihatannya aku memang
tenang, tabah dan adem-ayem, sebetulnya hatikupun tegang setengah mati, memang
dengan semangat dan kondisi badanku hari ini bertempur sama dia sedikitpun aku
tidak punya keyakinan dapat mengalahkan dia.”
Soh Yong-yong menatapnya
lekat-lekat, sorot matanya mengandung kekuatiran dan duka, katanya: “Dalam
keadaanmu yang normal seperti biasa, berapa persen keyakinanmu dapat melawan
dia?”
Coh Liu-hiang berdiam
sebentar, katanya tersenyum: “Waktu aku bergebrak dengan Ciok-koan-im,
sedikitpun aku tak punya keyakinan akan diriku, tapi aku tetap masih berhasil
mengalahkan dia.”
Tatkala itu Nikoh jubah hijau
perlahan merangkak berdiri dari atas mayat yang terselubung kain gordyn, Coh
Liu-hiang selalu memperhatikan gerak-gerik orang, cuma dia cukup tahu perempuan
disaat sedih pilu tentu tak suka diganggu orang lain, maka dia diam saja tak
mengajaknya bicara, supaya orang bisa tenang melampiaskan duka citanya melalui
sesenggukkan tangisnya! Bila perempuan sedang menangis sesambatan, ada orang
mendekati dan menghiburnya, maka dia tak akan habis-habis menangis sampai dia
sendiri kecapaian.
Nikoh jubah hijau sudah
menghentikan tangisnya, kulit mukanya yang pucat tepos kehitaman rada bengkak,
pelan-pelan dia membalik badan menghadapi Coh Liu-hiang, tiba-tiba berkata,
katanya: “Aku ingin memohon sesuatu kepadamu.”
Coh Liu-hiang melengak kaget,
tapi segera dia menjawab: “Silahkan berkata.”
“Aku tahu kalian tentu amat
keheranan, tak tahu siapa sebenarnya si dia itu? Kenapa menyembunyikan diri tak
mau dilihat orang?”
“Setiap orang punya rahasianya
sendiri-sendiri, siapapun tiada hak mencampurinya.”
Nikoh jubah hijau
manggut-manggut, katanya pelan-pelan: “Sekarang aku hanya mohon kepadamu,
selamanya jangan kau selidiki rahasia ini, selamanya jangan kau singkap kain
gordyn ini, selamanya jangan sampai ada orang lain yang melihatnya.”
Tanpa pikir Coh Liu-hiang
menjawab: “Cayhe boleh berjanji diantara teman-temanku pasti tidak ada
seorangpun yang suka mengorek-ngorek rahasia orang lain.”
Nikoh jubah hijau menarik
napas panjang yang melegakan hati, kepalanya mendongak mengawasi angkasa raya,
lama dia terlongong, akhirnya berkata pula dengan kalem: “Kau adalah Kuncu,
maka aku berani berpesan kepadamu, setelah aku wafat, harap kau segera
perabukan jenasah kami, lalu taburkan abu kami berdua ke dalam aliran sungai
yang mengalir ke dalam Sin cui kiong itu.” ujung mulutnya mengulum senyum,
katanya menyambung: “Dengan demikian dimasa hidup kami tak bisa kembali ke Sin
cui kiong, setelah wafat akhirnya dapat kembali ke haribaannya pula.” air muka
yang semula kaku bengkak, diliputi penderitaan, kini dihiasi senyum mekar,
senyuman yang kelihatan aneh, penuh arti tapi juga mengiriskan.
Coh Liu-hiang sampai bergidik
melihat roman muka orang, katanya: “Taysu apa kau…”
Nikoh jubah hijau ulapkan
tangannya menukas omongannya: “Aku dengan kau sebelum ini masih asing dan tidak
saling kenal, bertemu pertama kali lantas aku berpesan kepadamu, karena aku
percaya kau adalah lelaki sejati, selama hidupku memang takkan bisa membalas
baktimu tapi setelah ajal dialam baka aku pasti akan berdoa dan memberkati kau
sehat panjang umur.”
Kalau orang lain yang
mengucapkan janji ini, mungkin hanya omong kosong belaka, tapi diucapkan dari
mulut orang yang sudah sengsara hidup dan menjelang ajal ini, ternyata membawa
kekuatan misterius yang meresap ke sanubari, sehingga orang yang mendengar
betul-betul merasakan dirinya sedang mengadakan transaksi dengan sebuah sukma.
Coh Liu-hiang tidak bicara
lagi, karena dia tahu tekad dan keputusannya siapapun tidak bisa mengubahnya
lagi. Maka dilihatnya Nikoh jubah hijau merangkap kedua telapak tangan di depan
dada, badan setengah membungkuk membacakan mantra dan dia lalu pelan-pelan
membalik badan.
Coh Liu-hiang tidak melihat
orang melakukan gerakan apa-apa, tahu-tahu badannya sudah roboh. Roboh menindih
mayat yang tersembunyi didalam kain gordyn itu.
Coh Liu-hiang menghirup napas
panjang, segera dia menjura dalam.
Sebaliknya air mata Soh
Yong-yong berlinang, katanya sambil mengulap mata: “Agaknya Taysu inipun
seorang romantis.”
Tiba-tiba terdengar Oh Thi-hoa
menarik napas panjang, teriaknya tertahan: “Eh! Kapan kau datang? Mana dia?”
kau yang dimaksud sudah tentu adalah Soh Yong-yong, sedang dia sudah tentu
adalah lelaki kurus jubah hitam.
“Kau tidak melihatnya?” tanya
Soh Yong-yong keheranan.
“Aku.. aku…” Oh Thi-hoa
gelagapan. Keringat gemerobyos di atas kepalanya, suaranya sember: “Apakah yang
telah terjadi? Kenapa aku tiba-tiba bermimpi?”
Coh Liu-hiang berkata pelan-pelan:
“Lantaran kau sedang mimpi, maka aku tidak berani mengusik kau, sekarang
setelah siuman dari mimpi, dapatlah kau lupakan segala impianmu itu.”
Maklumlah sukma Oh Thi-hoa
tadi sudah terbelenggu atau tersedot oleh kekuatan hawa pedang lelaki kurus
jubah hitam itu, berarti raganya sudah kosong melompong tinggal badan kasarnya
saja, sisanyapun tidak banyak lagi, jikalau sampai terganggu, begitu hawa
murninya sontak berontak dan nyeleweng, kemungkinan darahnya bakal putar balik
sehingga Cay-hwe-jip-mo. Jikalau dia tidak melupakan peristiwa ini, kelak bila
bertanding dengan orang, tentu dirinya kehilangan keyakinan akan dirinya
sendiri, bagi seorang persilatan bila kehilangan kepercayaan kepada diri
sendiri, sisanyapun takkan banyak lagi. Betapapun Oh Thi-hoa juga tahu akan hal
ini, serta merta keringat dingin gemerobyos lagi membasahi seluruh badan.
Lama Coh Liu-hiang menatap
lekat-lekat, kemudian baru bersuara dengan lembut: “Sekarang kau sudah lupa
semuanya?”
Lama juga Oh Thi-hoa
menepekur, tiba-tiba dia bergelak tawa dengan mendongak, sahutnya: “Aku sudah
lupa.”
Dengan dahan-dahan pohon dan
dedaunannya Coh Liu-hiang menutupi kedua jenasah itu lalu menyulut api
membakarnya.
Semua rahasia segera akan ikut
lenyap menjadi abu.
Oh Thi-hoa terus mengawasi
jenasah yang tertutup rapat oleh kain gordyn itu, tak tahan mulutnya mengoceh
lagi: “Siapakah sebenarnya orang ini? Apakah dia sumoay Taysu ini? Ataukah
kekasihnya? Lantaran roman mukanya dirusak, maka dia menyembunyikan diri malu
dilihat orang?”
Soh Yong-yong seperti mau
mengatakan sesuatu, namun dia urung bicara. Tadi waktu mau berlalu sedikit
meningkap ujung kain gordyn, seakan-akan dia sudah melihat tangan orang itu.
Tapi kelihatannya bukan tangan manusia, tapi lebih serupa dengan cakar binatang,
karena jari-jarinya penuh ditumbuhi bulu lebat dengan kuku-kuku jari yang
runcing panjang.
Memangnya binatang sakti yang
dicinta oleh Nikoh jubah hijau ini? Antara cinta dan dosa, ada kalanya memang
hanya terpaut satu garis saja.
Tapi bukan saja Soh Yong-yong
tak berani mengatakan, malah berpikir atau membayangkanpun tak berani lagi.
Apalagi bukan mustahil di atas tangan orang bisa tumbuh bulu.
Api mulai menyala dan berkobar
semakin besar. Rahasia itu sudah lenyap ditelan kobaran api, selamanya lenyap dari
alam semesta ini.
Namun dalam hati Soh Yong-yong
akan tenggelam sebuah teka-teki.
Setitik Merah dan Ki Bu-yong
sudah pergi lagi entah kemana. Tiada orang yang bisa menahan mereka, karena
mereka memang lahir dan tumbuh didalam pengasingan, maka merekapun harus hidup
sebatang kara. Hanya kehidupan menyendiri yang paling mereka gemari.
Yang menghibur dan melegakan
hati Coh Liu-hiang adalah bahwa kedua orang yang semula sebatang kara dan
tumbuh didalam kesunyian ini akhirnya bisa hidup terangkap menjadi satu.
Cay Tok-hing berkukuh ingin
mengantar keberangkatan mereka, karena selama hidup Cay Tok-hing diapun selalu
sebatang kara, hanya dia saja yang betul-betul dapat menyelami jiwa orang
sebatangkara adakalanya juga dilembari oleh hari yang panas dan membara akan
kehidupan.
Bagaimana dengan Ui Loh-ce?
Dia bertekad akan menemukan jenasah Hiong-niocu di sepanjang aliran sungai itu,
persahabatan mereka takkan luntur meski mengalami bencana besar dan tergembleng
dalam penderitaan hidup, sampai mati takkan berubah.
Abu jenasah Nikoh jubah hijau
berdua diserahkan kepada Ui Loh-ce, karena Coh Liu-hiang tahu diapun seorang
yang dapat dipercaya, siapapun bila bisa bersahabat dengan orang seperti Ui
Loh-ce sungguh merupakan satu hal yang menguntungkan.
Song Thiam-ji selalu merengut
dan bersungut-sungut, mulut mengomel panjang pendek karena jatuh semaput
sehingga dia tak bisa mengikuti keramaian ini, maka selama ini hanya murung dan
masgul.
Soh Yong-yong lantas
menghiburnya: “Walau kau kehilangan kesempatan melihat banyak keramaian ini,
tapi banyak urusan lebih beruntung bila kau tak mengetahui atau melihatnya
malah.”
Di sebelahnya Li Ang siu
sebaliknya sedang menjelaskan pengalamannya dalam perjalanan ke sini: “Ditengah
jalan racun dalam badan Liu Bu-bi mendadak kumat dia tak kuat berjalan, maka Li
Giok-ham menemani dia, sekarang mereka menginap dirumah seorang tukang kayu di
bawah gunung.”
Sudah tentu Coh Liu-hiang tahu
bahwa Liu Bu-bi hakekatnya bukan sedang sakit, tapi lantaran takut, dia tahu
bila rahasia dirinya terbongkar masakah dia berani berhadapan dengan Coh
Liu-hiang.
Li Ang siu kesima, katanya
merinding: “Maksudmu bahwa Liu Bu-bi hakekatnya tak pernah keracunan, dia
memancingmu masuk ke dalam Sin cui kiong, tujuannya untuk menuntut balas bagi
kematian Ciok koan im?”
“Ya, begitulah menurut
rekaanku.”
“Kalau demikian dia pasti
takkan berani menetap dirumah tukang kayu itu, buat apa kita menyusul kesana
untuk mendatangi tempat kosong?”
“Bukan kita saja yang tertipu
olehnya, Li Giok-ham sendiripun ditipunya mentah-mentah, betapapun aku akan
menemukan dia.”
Cepat sekali mereka sudah tiba
ke tempat tujuan, tampak di bawah bukit dalam sebidang hutan yang rindang
terdapat sebuah gubuk, seorang tukang pencari kayu yang berusia tak muda lagi,
namun otot badannya kelihatan merongkol, dengan kekar, badan bagian atas
telanjang sedang membelah kayu bakar di depan halaman rumahnya. Walau orang ini
tak pernah belajar silat tapi setiap kali kampaknya terayun selalu membawagaya
ayunan yang indah, sebatang bongkol kayu yang besar sekalipun dibelahnya dengan
sekali bacokan kampaknya.
Melihat orang selincahnya
mengerjakan kampaknya, diam diam Coh Liu-hiang merasa kagum dan simpatik.
“Walau berhasil melatih ilmu silat sampai tingkat tertinggi sehingga tiada
tandingannya dikolong langit, apa pula gunanya dan masakah patut dibanggakan,
tokoh nomor satu yang ahli menggunakan senjata kampaknya memangnya mampu
dibandingkan seorang tukang kayu yang rajin bekerja?”
Li Ang-siu maju mendekati,
sapanya dengan tertawa: “Harap tanya Toako ini, apakah kedua teman kami itu
masih berada didalam?”
Roman muka tukang kayu ini tak
menampilkan perasaan apa-apa, malah melirikpun tidak kepadanya, dia hanya
manggut-manggut sambil mengayunkan kampaknya, sebongkah kayu besar dibelahnya
lagi hanya sekali ayunan kampak.
Setelah mengucapkan terima
kasin Li Ang-siu lantas memberi kedipan mata kepada Coh Liu-hiang, lalu mereka
langsung menuju ke pintu, belum lagi mereka memasuki pintu, Li Giok-ham sudah
kelihatan didalam.
Gubuk kayu ini serba sederhana,
kalau tidak mau dikatakan serba kekurangan, didalam hanya ada sebuah meja
persegi, seorang diri Li Giok-ham sedang duduk menyanding meja sambil minum
arak, air mukanya pucat kekuningan agaknya kurang tidur, secangkir demi
secangkir tak putus-putusnya dia tenggak habis araknya. Cahaya dalam rumah agak
guram meski siang hari bolong, suasana dalam rumah seperti ditengah malam
terang bulan.
Setelah mereka melangkah
masuk, Li Giok-ham hanya sekilas angkat kepala, segera sibuk lagi dengan
araknya seolah-olah mereka selama ini tak kenal. Coh Liu-hiang langsung duduk
dihadapannya, lama sekali baru dia bertanya: “Mana Li-hujin?”
Cukup lama baru Li Giok-ham
mengerti maksud pertanyaannya, tiba-tiba dia tertawa, katanya berbisik: “Dia
sedang tidur, jangan kalian ribut sehingga dia bangun.”
Baru sekarang Coh Liu-hiang
sempat perhatikan di atas dipan memang tidur celentang seseorang, cuma seluruh
badannya tertutup kemul, sampai mukanyapun tak kelihatan.
Begitu melangkah masuk Oh
Thi-hoa tidak tahan lagi lantas menyambar botol arak.
Tak kira sekali raih Li
Giok-ham lantas merebutnya kembali, katanya: “Araknya tinggal sedikit, aku
sendiri hendak minum, kenapa tidak kau beli sendiri?”
Oh Thi-hoa melongo, hampir dia
tidak percaya akan pendengaran dan pandangannya sendiri bahwa putra hartawan
besar seperti Li Giok-ham yang dulu royal dan suka berfoya-foya kini duduk di
depannya, sebaliknya sikap Li Giok-ham acuh tak acuh seperti tiada orang lain
di sekelilingnya, menuang sendiri, minum sendiri, perduli orang lain anggap dirinya
macam manusia apa, sedikitpun dia tidak ambil perhatian.
Sesaat kemudian Coh Liu-hiang
baru buka suara lagi: “Sungguh harus disesalkan, sampai sekarang kami baru
sempat pulang, dan lagi tidak berhasil mendapatkan obat pemunah racun untuk
mengobati istrimu.”
“O?” pendek dan dingin sekali
Li Giok-ham.
Coh Liu-hiang menambahkan
dengan suara kereng: “Soalnya istrimu sebetulnya tak pernah keracunan, Induk
Air sendiri yang beritahu akan hal ini kepadaku.”
Dia kira Li Giok-ham pasti
tercengang kalau tidak terkejut mendengar keterangannya, siapa tahu sedikitpun
Li Giok-ham tak memberi reaksi apa-apa, sesaat kemudian baru dia tertawa,
katanya: “Dia sedang sakit, Baik sekali kalau begitu, baik sekali…”
Tiba-tiba terlihat oleh Coh
Liu-hiang mimik tawa orang aneh dan ganjil, dikata tertawa adalah lebih tepat
kalau dikatakan sedang menangis, dalam waktu dekat sukar dia meraba apa
sebetulnya yang dimaksud dengan ucapan Li Giok-ham, entah harus menegurnya,
turun tangan secara kekerasan bila perlu? Atau peristiwa itu disudahi begini
saja, selanjutnya tak perlu disinggung lagi.
Memang Coh Liu-hiang berjiwa
besar, lapang dada dan luhur budi, bila dia menerima kebaikan orang, meski
hanya setetes air pasti akan dibalasnya, tapi belum pernah dia menaruh dendam
kepada seseorang apalagi ganjalan hatinya sudah hilang tak luka tak dirugikan,
perguruan Ciok-koan-im boleh dikata sudah putus turunan, buat apa dia harus
menindas seorang perempuan lemah lagi setelah dipikir bolak-balik akhirnya dia
bangkit berdiri, katanya: “Tugas Cayhe sudah berakhir sekarang juga aku mohon
diri, selanjutnya,” belum habis dia berkata, tiba-tiba Li Ang-siu berkata
keras: “Tidak bisa, betapapun aku ingin tanya biar jelas apa sebenarnya
hubungan mereka…” mulut bicara kakipun memburu masuk, langsung dia singkap
kemul yang menutupi orang tidur itu, seketika ucapannya terputus seperti
lehenya tiba-tiba dicekik orang, dengan menjublek dia awasi orang yang rebah di
atas dipan.
Liu Bu-bi memang sedang rebah
di atas dipan tapi roman mukanya pucat menguning seperti kertas emas, kedua
matanya terpejam, daging dikulit mukanya sudah kering dan tak kelihatan lagi
bekas-bekasnya yang ketinggalan hanya kulit pembungkus tulang.
Perempuan cantik rupawan bak
bidadari ini kini sudah berubah sama dengan tengkorak, terang tinggal raganya
saja yang sudah tak bersukma lagi, tampak beberapa ekor semut diantara lobang
hidung dan telinganya merayap keluar masuk.
“Waaahhh!” tak tertahan
akhirnya Li Ang-siu menjerit ngeri sambil berlari keluar menutup muka, Soh
Yong-yong dan lain-lain lekas berpaling muka tak tega mengawasi lebih lama, Oh
Thi-hoa terbelalak, katanya mendesis: “Dia… dia sudah mati.”
Li Giok-ham geleng-geleng
kepala, katanya tertawa lirih: “Dia tak mati, cuma tidurnya amat nyenyak,
jangan kalian ribut di sini nanti membuatnya bangun.”
Betapapun ceroboh dan bodoh Oh
Thi-hoa sudah maklum bahwa Li Giok-ham sipintar ini terlalu keblinger dalam
permainan asmaranya, kejadian sudah berlarut sedemikian jauh, tapi dia tetap
menolak mengakui bahwa istrinya tercinta sudah wafat, maklumlah lantaran dia
tidak kuat mengalami pukulan batin dan penderitaan ini.
Mengawasi senyuman ganjil muka
orang, tak terasa air mata Oh Thi-hoa bercucuran.
Sinar lentera amat guram,
maklumlah warung arak ini memang merupakan sebuah bangunan kotor sederhana.
Perut mereka sudah
keroncongan, tapi setelah mengalami peristiwa yang memilukan ini, siapa yang
ada selera menangsel perut?
Biji mata Li Ang-siu masih
merah bendul, mulutnya menggumam sendiri: “Tak kukira dia mencari jalan pendek,
sungguh aku tidak mengira…”
“Mungkin dia bukan bunuh
diri.” timbrung Soh Yong-yong. “Tapi memang benar keracunan dan tidak tertolong
lagi.”
“Tapi aku yakin Induk Air
takkan membual, karena dia toh sudah bertekad untuk gugur, buat apa pula dia
ngapusi orang lagi?” demikian debat Li Ang-siu.
“Mungkin karena Liu Bu-bi
sendiri selama ini mengira dirinya memang keracunan, maka hatinya selalu
tertekan dan was-was, serba curiga dan takut akan bayangan sendiri, maka
sugesti itu memang ada kalanya bisa membunuh diri sendiri.” demikian Soh
Yong-yong coba menganalisa dengan pendapatnya.
Li Ang-siu menghela napas
ujarnya: “Dibilang bagaimanapun, Liu Bu-bi tak pernah ngapusi kita…”
Song Thiam-ji menyeletuk:
“Coba kalian pikir, apakah Li Giok-ham akan terus menunggunya disana mengira
dia akan bangun? Dia… dia sungguh kasihan.” tak tertahan airmata meleleh
membasahi pipi.
Soh Yong-yong berkata lembut:
“Betapapun mendalamnya derita dan kepedihan setelah berselang lama, lambat laun
akan terlupakan juga, kalau tidak, mungkin manusia yang hidup dalam dunia akan
tinggal separo saja.”
Apa yang dikatakan ini memang
benar, betapapun besar kepedihan dan mendalam duka cita seseorang, setelah
kejadian lama berselang, kesan-kesan itu akan semakin luntur dan terlupakan
sama sekali. “LUPA” memang salah satu syarat kehidupan bagi manusia umumnya.
Tiba-tiba Oh Thi-hoa tepuk
pundak Coh Liu-hiang dengan keras, katanya: “Tugasmu sudah selesai, kaupun
berhasil mengalahkan Sin cui kiong-cu yang tiada tandingannya diseluruh kolong
langit, memangnya ada persoalan apa pula yang tidak bisa meriangkan kalbumu?
Kenapa duduk bersungut-sungut saja, arakpun tak mau minum?”
Coh Liu-hiang hanya tertawa
getir, tidak bersuara.
“Aku tahu kau merasa salah
karena menduga Liu Bu-bi yang tidak-tidak, maka hatinya merasa menyesal dan
bersedih, tapi, hal ini tak bisa menyalahkan kau, apapun yang telah terjadi,
kematiannya toh bukan lantaran kau.”
Soh Yong-yong menghela napas,
katanya: “Bagaimana juga perjalanan kita kali ini terhitung dengan lancar dan
sukses besar, yang harus dibuat sayang hanyalah kepergian Hek-toaci “Mutiara
Hitam” sungguh tak kukira dia membawa adat sendiri yang kaku dan eksentrik,
tanpa pamit dia tinggal pergi.”
Coh Liu-hiang menarik napas
panjang, dia angkat cangkir terus diteguknya secangkir arak penuh.
Oh Thi-hoa segera tertawa
lebar, katanya: “Bagaimana juga urusan yang tak menyenangkan akhirnya berlalu,
sekarang kita harus pikirkan urusan-urusan yang menyenangkan, melakukan apa-apa
yang menggembirakan, aku…” kata-katanya tiba-tiba putus seperti mulutnya
tiba-tiba tersumbat, matanyapun mendelong lurus.
Seorang gadis berpakaian hijau
dengan langkah gemulai mendatangi sambil membawa nampan dari kayu, tubuhnya
langsing tindak tanduknya luwes, meski tak terlalu jelek, tapi juga tak amat cantik
cuma roman mukanya selalu dialasi sikap yang galak dan suci tak boleh
dilanggar, “Blang” poci arak di atas nampan dengan keras dia banting di depan
Oh Thi-hoa, tanpa melirik segera dia berpaling, maka melangkah kembali, tetap
dengan langkah lenggang gemulai.
Melihat kelakuan Oh Thi-hoa
yang lucu seperti kehilangan semangat tak bertahan Coh Liu-hiang tertawa geli,
katanya: "Apa kau ingin kembali menetap ditempat ini?”
Oh Thi-hoa kucek-kucek hidung,
lama dia menjublek, tiba-tiba dilihatnya sepasang biji mata yang membundar
besar sedang menatapnya tanpa berkedip dibalik pintusana .
Tiba-tiba Oh Thi-hoa bergelak
tawa dengan menengadah, serunya: “sekali kesalahan telah terjadi, orang harus
bertanggung jawab, jika kau dengan cara yang sama dapat menipuku dua kali, itu
berarti kesalahanku sendiri, coba kau pikir memangnya aku bakal kena tipu
sekali lagi?”.
TAMAT