-------------------------------
----------------------------
Bab 4. Jurus Pedang yang dahsyat
Fajar tahu-tahu sudah
menyingsing tanpa terasa oleh siapapun. Karena semua orang hendak menempuh
perjalanan, begitu terang tanah mereka lantas berangkat, karena kedua belah
pihak sama-sama harus tidur, maka Coh Liu-hiang berdua tidak bisa naik dalam
satu kereta dengan Li Giok-ham suami istri.
Tapi bagaimana mungkin Oh
Thi-hoa bisa pulas? Begitu kereta mulai jalan, dia lantas mendelik kepada Coh
Liu-hiang, tanyanya: “Kenapa kau tak beri kesempatan aku bicara?"
"Sebetulnya ada persoalan
apa yang ingin kau sembunyikan di hadapan mereka?”
“Aku harus mengelabui siapa?”
“Kau kira mereka tidak dapat
meraba maksudmu?” Mereka sengaja tidak mau naik sekereta dengan kita, maksudnya
supaya kau bisa bicara kasak-kusuk dengan aku.”
“Darimana kau tahu bila
kebalikannya justru mereka sendiri yang ingin kasak-kusuk di belakang kita?”
“Memangnya mereka punya
persoalan apa harus kasak-kusuk di belakang kita?”
“Memangnya tiada persoalan
apa-apa yang harus dibicarakan, cuma mereka sedang mereka-reka berapa sih yang
sudah kuketahui?”
“Apanya yang sudah kau
ketahui?”
“Tahu akan muslihat yang
mereka perankan secara diam-diam.”
Hampir saja Oh Thi-hoa
berjingkrak, serunya gusar: “Mereka pandang kau sebagai sahabat baik, bukan
saja mentraktir kau makan minum, malah mengundangmu pergi ke rumahnya, ada
orang hendak mencelakai jiwamu, mereka membunuhnya, sekarang kau malah menuduh
mereka sedang merencanakan tipu muslihat hendak menjebak kau, kutanya kau, apa
sih yang mereka incar akan dirimu? Apa yang diinginkan dari kau?”
“Tiada apa-apa yang diinginkan
dari aku, kecuali jiwaku saja.”
Oh Thi-hoa melotot sekian
lamanya, tiba-tiba dia tertawa besar, katanya geleng-geleng kepala: “Kulihat
otakmu belakangan ini rada sinting, asal orang menatapmu lebih lama, kau lantas
mengira orang punya maksud apa-apa terhadap kau.”
“Kalau begitu sekarang kutanya
kau, jikalau Yong-cui-san-ceng kenapa mereka sendiri keluar bertamasya sejauh
ini? Lalu kebetulan bertemu dengan kita, apakah benar di dunia ini ada kejadian
yang begitu kebetulan?”
“Umpama kata mereka memang
sengaja keluar hendak mencari kau, toh juga maksud baik mereka.”
“Kalau bermaksud baik, kenapa
tidak dijelaskan?”
Oh Thi-hoa mulai mempermainkan
hidungnya, katanya mengerut kening: “Jadi kau mengira bahwa Yong-ji bertiga
kena diculik mereka?”
Coh Liu-hiang manggut-manggut,
katanya: “Masih ada, aku mendadak jatuh sakit, tiada orang lain yang tahu,
kenapa pembunuh bisa mendadak datang?”
“Mungkin secara diam-diam
mereka memang sudah menyelidiki keadaan kita, bukan mustahil pula pelayan hotel
yang memberi kisikan kepada mereka.” debat Oh Thi-hoa.
“Ya, memang ada kemungkinan,
namun, begitu mereka pulang, baru saja tiba di pekarangan, lantas membunuh
pembunuh itu, dan lagi di pekarangan rada terang oleh cahaya lentera dari kamar
lain, sebaliknya kamarku gelap gulita, jikalau mereka sebelumnya memang sudah
tahu bila pembunuh itu berada didalam kamarku, hakekatnya bayangan orang pun
tidak terlihat.”
Alis Oh Thi-hoa bertaut
semakin kencang, katanya: “Jikalau pembunuh itu dibayar mereka, kenapa mereka
harus membunuhnya?”
“Sudah tentu untuk menutup
mulutnya.”
“Tapi orang yang memancing
keluar adalah Burung Kenari, apakah Burung Kenari sekomplotan dengan mereka?”
“Tentunya kau sudah tahu bahwa
Burung Kenari hanyalah nama samaran orang lain belaka.”
“Ya, aku sudah tahu.”
“Nah masakah kau tidak tahu
bukan mustahil mereka itulah yang menyamar dengan nama Burung Kenari?”
Oh Thi-hoa melongo, katanya
kemudian: “Sepak terjang Burung Kenari walau serba misterius, tapi terhadap
kita dia tidak bermaksud jahat, jikalau kau mau bilang Liu Bu-bi berusaha
mencelakai kau, kukira mereka pasti bukan satu komplotan.”
“Kenapa tidak mungkin? Dulu
sudah kukatakan, Burung Kenari berbuat demikian itu memang dia sengaja hendak
menanam budi kepadaku, supaya aku membalas budi baiknya.”
“Kalau dia hendak mencelakakan
kau, apa pula yang dia tuntut dari kau untuk membalas kebaikannya?”
“Kau melihat Burung kenari
tapi tidak segera turun tangan melabraknya bukan?”
“Sudah tentu aku takkan
membunuhnya.”
“Nah disitulah titik balik
persoalannya, apa yang dilakukan Burung Kenari dulu akan diri kita, adalah
supaya kita selanjutnya tidak akan membunuhnya… umpama kau, aku sudah yakin
bahwa Liu Bu-bi adalah alias Burung Kenari, andaikata aku tahu dia hendak
mencelakai aku, karena dia pernah menanam budi kepadaku maka sebelum dia
berusaha mencelakai aku, siang-siang dia sudah membuka jalan mundurnya
sendiri.”
“Kenapa kau harus curiga bahwa
Liu Bu-bi pasti Burung Kenari adanya?”
“Dalam seluk-beluk persoalan
ini tentu saja banyak sebab-sebabnya.”
Mendadak Oh Thi-hoa
meninggikan suaranya: “Tapi orang yang menggunakan Bau-hi-li-hoa-ting paling
tidak bukan mereka.”
“Kenapa bukan mereka?”
“Karena waktu itu, jelas
mereka berada di dalam kamar tidurnya.”
“Apa kau melihat mereka dengan
mata kepala sendiri?”
Oh Thi-hoa melengak pula,
“Meski tidak melihat dengan jelas kita toh mendengar percakapan mereka.”
“Kau tidak mendengar
percakapan mereka hanya mendengar suara rintihan, suara jeritan kesakitan
dibarengi gerakan meronta bukan?”
“Ya.” “Setiap orang dikala
sedang merintih dan menjerit-jerit kesakitan, suaranya bisa berubah lantaran
rasa kesakitan itu, oleh karena itu umpama kau mendengar suara mereka rada
ganjil, rada berlainan, kaupun takkan ambil perhatian, benar tidak?”
Kembali Oh Thi-hoa melongo
dibuatnya, katanya: “Apakah waktu itu mereka sudah tak berada didalam rumah,
jadi suara itu suara orang lain yang bersandiwara?”
“Memangnya tidak mungkin?”
Coh Liu-hiang menarik napas panjang,
mulutnya terkancing.
“Karena sejak mula kau selalu
beranggapan bahwa mereka berada di dalam kamarnya maka tidak pernah kau
bayangkan suara yang kau dengar itu adalah suara orang lain, kesalahan ini bisa
saja dialami siapa saja tanpa disadari.”
“Bukan saja Liu Bu-bi pintar,
malah tindak tanduk dalam langkah-langkah rencananya teramat teliti dan
cermat”, kata Coh Liu-hiang lebih jauh. “Tentunya dia tahu untuk mencelakai
jiwaku bukan persoalan gampang, oleh karena itu setiap kali sebelum dia turun tangan,
pasti sebelumnya sudah mencari jalan mundurnya, supaya kita tidak pernah curiga
kepada mereka.”
Dengan gemas dan jengkel Oh
Thi-hoa kucek-kucek hidungnya, gumannya: “Tapi aku masih kurang mengerti juga
susah percaya.”
“Bahwasanya aku sendiripun tidak
paham seluruhnya, cuma gambaran persoalannya kira-kira sudah dapat
kubayangkan.”
“Coba kau beri penjelasan
lebih terperinci!”
“Untuk suatu sebab, entah
sebab apa Li Giok-ham suami istri bertekad mencari dan menemukan aku tapi waktu
mereka menemukan kapalku, aku sudah tak berada disana waktu mereka mengundurkan
diri kebetulan Yong ji dan lain-lain pulang.”
“Cara bagaimana mereka bisa
kesampok dengan Yong-ji dan lain-lain?”
“Yong-ji bertiga hendak
mencari aku, sudah tentu mereka harus pulang dulu, orang seperti mereka setiap
berjalan di jalanan sudah tentu amat menarik perhatian orang banyak, benar
tidak?”
“Em! Lalu?”
“Keluarga Li merupakan
golongan persilatan yang punya wibawa dan besar kekuasaannya di daerah Kanglam,
sudah tentu kaki tangan dan mata-mata mereka tersebar diberbagai pelosok, sudah
tentu dengan gampang mereka mencari tahu hubungan dengan Yong-ji begitu,
setelah mengetahui jejak mereka, sudah tentu segera meluruk datang.”
“Em! Lalu?”
“Orang seperti Liu Bu-bi,
sudah tentu gampang sekali mengikat persahabatan dengan Yong-ji beramai Yong-ji
sendiri mungkin tak banyak kata, tapi Thiam-ji seperti kau, seorang yang jujur
polos dan spontan.”
“Hm! Kau ini mengagulkan aku,
atau sedang mengejek aku?”
Coh Liu-hiang tidak perhatikan
kata-katanya, katanya lebih lanjut: “Untuk mengorek keterangan diriku dari
mulut Thiam-ji, bagi Liu Bu-bi tentunya bukan soal yang sulit.”
“Mungkin dia beranggapan kau
masih tinggal dipadang pasir, maka diapun meluruk ke gurun pasir mencarimu.”
“Dia hanya punya sedikit
sumber berita ini, lalu menyusul kepadang pasir adu untung.”
“Tapi kenapa Yong-ji bertiga
ikut ikut mereka, kenapa malah menetap di Yong-cui-san-cheng?”
“Mungkin mereka diapusi, atau
mungkin pula diculik setelah diingusi, atau mungkin,”
Sampai di sini dia tidak
meneruskan kata-katanya, rona mukanya menampilkan rasa kuatir yang tak
terhingga.
“Apa kau mau bilang bahwa
Yong-ji bertiga hakekatnya tidak berada di Yong cui-san-ceng, malah bukan
mustahil sudah dicelakai oleh Liu Bu-bi dan suaminya?”
“Sudah tentu ada kemungkinan
ini, untungnya Liu Bu-bi bukan seorang culas yang doyan membunuh orang, yang
dia hadapi hanya aku seorang, dan lagi bila dia hendak menanam budi dulu
kepadaku, untuk mencari jalan mundurnya, kukira belum sampai hati membunuh mereka.”
Lama Oh Thi-hoa menepekur,
katanya mendadak: “Tapi diperhitungkan dari waktunya begitu dia tiba dipadang
pasir lantas menemukan tempat itu?”
“Ya, memang begitu.”
Sebagai seorang putra hartawan
besar dari kaum persilatan di Kanglam, bagaimana Li Giok-ham bisa begitu apal
mengenai seluk-beluk di padang pasir, apalagi tempat tinggal Ciok-koan-im
adalah sedemikian tersembunyi, cara bagaimana mereka begitu cepat dan leluasa
menemukan tempat itu?”
“Sekarang masih ada dua
pertanyaan yang belum mampu kujawab dan kupecahkan, satu diantaranya adalah
soal yang kau ajukan ini.”
“Lalu persoalan yang satunya
lagi apa?”
“Sungguh aku tidak habis
mengerti kenapa kedua suami istri itu begitu getol menginginkan jiwaku.”
Oh Thi-hoa mengerut kening dan
tenggelam dalam pemikiran, katanya kemudian: “Sekarang, terang mereka sudah
tahu bahwa kau sudah mulai curiga terhadap mereka, tentunya merekapun sudah
tahu semalam kau hanya pura-pura sakit saja, bukankah kedudukan mu sekarang
tidak lebih berbahaya?”
Coh Liu-hiang tertawa tawar,
katanya: “Tapi kalau aku belum membongkar kedok mereka, sudah tentu merekapun
tidak akan membongkar kecurigaanku, sekarang mereka sudah tahu bila aku curiga
terhadap mereka, maka sepanjang jalan ini, selanjutnya mereka tidak akan berani
sembarang bertindak atau bertindak lagi.”
“Apa mereka akan menunggu
sesudah kau tiba di Yong-cui-san-ceng baru akan turun tangan?”
“Agaknya hanya jalan inilah
yang harus mereka tempuh.”
“Kalau hal ini benar, pasti
mereka sudah mempersiapkan berbagai macam cara untuk berusaha menghadapi kau
dengan wibawa dan kekuasaan keluarga Li di kalangan Kangouw, tentunya rencana
kerjanya kali ini amat sempurna.”
“Ya, akupun maklum akan hal
ini.”
“Kalau kau sudah tahu, kau
tetap hendak antar kematian kesana?”
“Urusan sudah terlanjur sejauh
ini, apa bisa aku tidak kesana?”
“Ya, sudah tentu kau tidak
bisa berpeluk tangan membiarkan Yong-ji bertiga berada dibelenggu mereka, akan
tetapi…”
Coh Liu-hiang tiba-tiba
tertawa, tukasnya: “Kau pun tidak perlu kuatir, meski perjalanan kita kali ini
amat berbahaya, paling sedikit tidak akan menghadapi bokongan seperti
Bau-shi-li-ting lagi.”
“Dari mana kau bisa tahu?”
“Dengan wibawa dan ketenaran
keluarga Li di Bulim, kalau mereka hendak membokong dan mencelakai jiwaku,
pasti dilakukan ditempat lain, memperalat orang lain untuk mempertaruhkan
jiwanya. Setiba di Yong cui sanceng, semua cara rendah dan kotor itu, masakah
mereka berani melakukan? Memang mereka berani mempertaruhkan ketenaran nama
baik dan gengsi Yong ci san cheng hanya untuk melakukan perbuatan yang jahat
ini?”
“Benar, mereka tidak
mempergunakan senjata rahasia pribadinya, namun menggunakan Bau hi-li hoa-ting,
umpama kuatir membikin kotor dan merendahkan derajat Yong cui-san-cheng,
jikalau kau mampus oleh Bau hi-li hoa-ting itu, orang lain takkan tahu bahwa
kematianmu lantaran perbuatan jahat anak murid keluarga Li”
“Nah, jadi sekarang kau sudah
paham?”
“Tak heran sekali gagal orang
itu lantas membuang alat senjata rahasia yang amat berharga itu, kiranya memang
dia takut bila kau mengetahui kalau alat itu berada ditangan mereka.”
“Sebetulnya sejak mula kau
sudah tahu akan hal ini, kecuali anak murid dari keluarga Li. Siapa pula yang
dapat memperoleh alat senjata rahasia yang amat berharga ini?”
“Kecuali anak murid hartawan
besar yang paling kaya di seluruh bilangan Kanglam ini, siapa pula yang mampu
sekali jreng membayar dua puluh ribu tail perak bagi seorang pembunuh untuk
jiwamu?”
“Harus disayangkan, tidak
berhasil mencuri ayam, mereka malah kehilangan segenggam beras.”
Oh Thi-hoa tertawa besar,
katanya: “Tapi kalau aku tentu memilih dua puluh ribu tail perak itu.”
Mereka tertawa riang saling
berpandangan, seolah-olah sudah merupakan situasi dan keadaan bahaya yang
selalu mengintai mereka, terlupakan pula oleh mereka bila jiwa mereka mampus di
Yong-cui-san-cheng, uang perak dan alat rahasia itu, bakal terjatuh kembali
ketangan orang.
Hakekatnya didalam benak kedua
orang ini selamanya tidak pernah terpikir soal mara bahaya segala.
Gunung itu dinamakan Hou-kiu atau
harimau mendekam, semula dinamakan Hay yong san, letaknya di luarkota Soh-ciu
sejak jaman dahulu kala, banyak maha raja pada dinasti kerajaan yang terdahulu
sama dimakamkan di sini. Gunung ini tidak begitu tinggi, namun penuh dilembari
catatan sejarah, dan dongeng-dongeng indah yang tersebar luas di kalangan
rakyat jelata. Sejak lama sekali gunung ini sudah menjadikan tempat pesiar bagi
para pelancongan.
Ternyata tanpa kurang suatu
apa, dengan selamat Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa sampai di Ko-soh. Mereka tidak
mengitari tembokkota namun terus menerobos masuk begitu saja dan melewatinya.
Li Giok-ham dan Liu Bu-bi masih bersikap wajar bicara dan kelakar, siapapun
takkan tahu bahwa hati kedua belah pihak ada mengandung ganjalan-ganjelan serba
rumit.
Apakah Coh Liu-hiang keliru
perhitungan? Setiba dikota yang terkenal karena keindahan alamnya ini, mau
tidak mau akan timbul perasaan hangat dan nyaman dalam sanubari setiap
pengunjung, siapa pula yang punya pikiran hendak membunuh orang?
Sepanjang jalan-jalan raya
yang lebar dan bersih itu, di mana-mana seolah-olah dipenuhi oleh kemolekan
gadis-gadis rupawan, rambut mereka yang panjang dikepang bergoyang gontai
tertiup angin, setiap kali beradu pandang selalu mereka melontarkan senyuman
manis dan mekar.
Mata Oh Thi-hoa sampai
mendelong kesima, mendadak dia tertawa lebar, katanya: “Adakah kalian pernah
menyadari akan sesuatu hal yang lucu? Orang di sini ternyata semuanya sama
tidak suka pakai sepatu”
Tampak sekian banyak
orang-orang yang hilir mudik dijalan raya yang ramai ini memang jarang ada
orang yang bersepatu, malah ada yang bertelanjang kaki, kebanyakan mengenakan
sandal rumput, tiada yang bersepatu dengan hak tinggi, terutama kaum wanitanya,
langkah mereka jadi begitu halus gemulai membuat hati orang seperti
dikili-kili.
Kembali Oh Thi-hoa tertawa,
katanya: “Tahukah kalian kenapa mereka sama tidak suka pakai sepatu? Sebabnya
akupun sudah bisa menjawab.”
Li Giok Ham bertanya:
“Kenapa?” “Karena kaki-kaki mereka terutama kaum wanitanya tumbuh jauh lebih
baik dari kaki-kaki orang daerah lain, kalau kaki yang baik itu tidak
dipertontonkan kepada orang, bukankah menyia-nyiakan karunia Thian?”
Memang kaki gadiskota Soh-ciu
ini bukan saja bagus, malah sejak lahir mereka seperti memang sudah diberikan
perbawaan. Terutama di luar kota, sering kita bisa lihat banyak sekali
gadis-gadis yang membawa keranjang berisi kembang kenanga, dengan langkah
enteng dan lincah mereka mengejar kereta-kereta yang berlalu lalang, melompat
naik turun dengan gesit dan ringan, terdengar pula suara kata-katanya yang
menggunakan bahasa daerah, semerdu itu suara mereka, siapa yang tega untuk
tidak membelinya beberapa kuntum?
Tujuh Li di luarkota , itulah
Hoa-kiu-san. Tapi baru saja keluar pintukota , dari kejauhan sudah tampak tanah
pegunungan yang memanjang berwarna hijau permai dan megah, laksana seekor
harimau yang sedang mendekam siap menerkam mangsanya, sikapnya garang dan
galak, kepala terangkat ekor bergoyang dengan angkernya.
Waktu melewatikota Ko-soh
mereka jalan kaki, setiba di luarkota kembali mereka naik ke atas kereta. Oh
Thi-hoa membuka tutup jendela, mengawasi para gadis -adis desa yang lincah dan
juga serta ayu-ayu tak tahan dia berkata kepada Coh Liu-hiang: “Badan dara-dara
ayu ini sungguh amat ringan dan cekatan sungguh calon-calon berbakat untuk
belajar silat, jikalau mereka meyakinkan ilmu ginkangnya kutanggung mereka
pasti tidak akan lebih rendah dari kau.”
“Memang sejak kecil mereka
sudah biasa melakukan. Seolah-olah sudah dilatihnya dengan matang, entah berapa
kali mereka lompat naik turun kereta setiap harinya, sudah tentu cara ini jauh
lebih sederhana dan leluasa dari latihan Ginkang.”
Tengah dia bicara, tahu-tahu
seorang nona kecil yang mengenakan baju hijau dengan sepatu rumput, rambutnya
terkuncir besar mengkilat, lompat naik ke atas kereta di tangannya memegang
kelompok-kelompok kembang kenanga yang dibuat membundar seperti bola, katanya
dengan seri tawa manis: “Kembang kenanga yang harum semerbak, Kongcu ya
silahkan membeli beberapa kuntum.”
Mengawasi tangan kecil mungil
dan jari yang runcing-runcing itu Oh Thi-hoa tak tahan tertawa lebar, katanya:
“Apakah kembangnya yang harum? Atau tanganmu yang harum?” Merah muka nona kecil
ini, katanya dengan bibir cemberut, “Sudah tentu kembangnya yang harum, tidak percaya
silahkan Kongcu-ya menciumnya.
Dengan bergelak tawa Oh
Thi-hoa segera ulur tangan hendak menerima kembang itu, tak nyana Coh Liu-hiang
merebutnya lebih dulu, katanya tertawa, “Kembang harum dan baik pasti banyak
durinya, apakah kembang ini ada durinya? Jangan nanti menusuk hidungku lho.”
Nona kecil itu cekikikan,
katanya: “Kongcu-ya ini pintar berkelakar, mana ada kembang kenanga yang
berduri di dunia ini?”
“Kalau demikian, baiklah aku
beli beberapa kuntum, ujar Coh Liu-hiang. “Cuma sayang meski kembang ini indah,
tiada orang yang mau memakainya, apa boleh buat, beberapa kuntum kembang ini
kuhadiahkan kepada nona saja.” mendadak bola kembang itu diangsurkan ke depan
muka nona kecil itu.
Seketika berubah rona muka
nona kecil ini, tahu-tahu badannya melejit ke atas terus bersalto sekali dan
melompat jauh setombak lebih.
Oh Thi-hoa mengerut alis,
katanya mengomel: “Nah, coba lihat, kau hidung belang ini bikin nona kecil itu
ketakutan sedemikian rupa.”
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: “Jikalau aku tidak bikin dia kaget ketakutan pergi, maka ia pasti akan
merenggut jiwaku.”
“Apa katamu?” teriak Oh
Thi-hoa tersirap.
Coh Liu-hiang tidak menjawab,
pelan-pelan dia mengelopak demi kelopak bola kembang kenanga itu, akhirnya
tepat ditengah tengah bundaran kelompok kembang itu, tampak menongol keluar
sepuluhan batang ujung jarum hitam kecil yang mengkilap.
“Jarum beracun?” teriak Oh
Thi-hoa.
“Kalau aku tidak merebutnya
segera, cukup asal jari-jari kecilnya itu melempar bola kembang ini, apakah
jiwamu dan jiwaku masih bisa hidup sampai sekarang?”
Lama Oh Thi-hoa terkesima
dengan mulut melongo, setelah menyeka keringat tak tahan dia bertanya: “Kali
ini cara bagaimana kau bisa tahu akan muslihat musuh?”
“Nona-nona kecil itu sejak
kecil sudah biasa menjual kembang dijalan raya ini, dari sini dapatlah
dibayangkan bahwa mereka adalah anak-anak orang golongan miskin, siang hari
menjual kembang, malam hari harus membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, mana
mereka bisa mempunyai tangan sehalus dan seputih seperti jari-jarinya yang
runcing terpelihara begitu baik?”
Oh Thi-hoa masih melongo
sekian lamanya pula, katanya tertawa getir: “Sepasang mata telingamu ini memang
terlalu luar biasa.”
“Masih ada nona-nona kecil ini
dilahirkan di sini dan dibesarkan di sini pula, lalu darimana mereka bisa
bicara dengan logatkota yang begitu fasih, begitu dengar dia bicara, aku lantas
tahu akan keganjilan ini.”
“Agaknya kabar yang tersiar di
kalangan Kang-ouw memang tidak salah. Sesuai dengan julukannya sebagai Maling
Romantis, Coh Liu-hiang memang seorang cerdik pandai," lalu dia
menambahkan dengan suara pelan: "Menurut kau apakah nona cilik ini adalah
utusan yang diperalat oleh mereka suami istri?”
Coh Liu-hiang membungkus
jarum-jarum hitam itu dengan sebuah sapu tangan, katanya: “Setiba ditempat ini,
masakah mungkin ada orang lain, kalau kali ini berhasil, bukan saja mereka bisa
mungkir pura-pura tak tahu, kalau tidak berhasilpun tidak menjadi soal.”
“Agaknya tempat yang harus
kita tuju hari ini bukan Hu-kiu “Harimau mendekam” tapi adalah Hu-hiat “sarang
harimau”.
“Kalau tidak masuk ke sarang
harimau, masakah kau bisa mengambil anak harimau?”
“Bukan harimau jantan lho,
tapi harimau betina.”
Setiba di depan pintu gunung
tepat di Hui-kiu, semua orang turun dari kereta, sikap Li Giok-ham suami istri
tetap wajar dan bicara seperti biasa, bersenda gurau pula, seolah-olah tiada
pernah terjadi apa-apa sepanjang jalan ini.
Apakah nona kecil itu tiada
sangkut pautnya dengan mereka? Apakah rekaan Coh Liu-hiang kali ini meleset?
xxx
Di depan pintu gunung, ada
terdapat sebuah pasar kecil, sungai kecil berliku-liku melalui pasar kecil yang
ramai ini, ditempat dermaga yang tepat terletak di pusat pasar itu berhenti
beberapa perahu pesiar, dari dalam perahu-perahu pesiar itu terdengar suara
cekikikan tawa genit beberapa orang perempuan.
Setelah memasuki pintu
pesanggrahan besar, di sini banyak kaum gelandangan dan kuli-kuli serta
berbagai macam kaum jembel, begitu melihat ada tamu-tamu datang lantas merubung
maju minta sedekah, ada pula yang dari kejauhan sudah menjura dan unjuk tawa
berseri menyapa: “Li-kongcu sudah pulang? Hujin baik-baik saja?”
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa
sekilas bertemu pandang hari mereka membatin: “Entah dalam rombongan pengemis
ini adakah anggota Kaypang?”
Tatkala itu mereka sudah tiba
di Jian jin-sek “batu ribuan orang” yang terkenal itu. Tampak sebidang batu
besar yang dapat diduduki ribuan orang, selepas mata memandang, bukan saja
tidak kelihatan ujungnya, sampaipun sebatang rumputpun tidak kelihatan, diujung
utara batu datar ini malah terdapat sebuah panggung batu.
Terdengar Liu Bu-bi sedang
berkisah: “Menurut tradisi sejak jaman dulu, kabarnya watu Go-ong membangun
kuburan di sini menggunakan ribuan tukang batu, setelah kuburan selesai
dibangun, kuatir tukang-tukang batu itu membocorkan alat-alat rahasia yang
terpendam didalam kuburan ini. Go-ong perintahkan mengubur hidup-hidup ribuan
tukang batu itu di bawah batu besar ini, oleh karena itu maka tempat ini
dinamakan Jian jin-sek.”
Peristiwa kejam pada jaman
dulu itu, ternyata diceritakan dengan nada riang dan lincah dari mulut Liu
Bu-bi, seolah-olah cerita itu sendiri sedikitpun tidak berbau darah.
Tak tahan Oh Thi-hoa bertanya:
“Apa pula gunanya panggung batu itu?”
“Itulah tempat berkotbah bagi
padri agung sejak jaman dinasti Tong yang dipimpin oleh Liang-pin.”
Langkah kaki Liu Bu-bi
selincah dan semerdu suaranya, angin pegunungan menghembus dari belakang batu,
rambutnya tertiup melambai lambai, pakaiannya pun dihembus menari-nari,
sehingga sekilas pandang dirinya laksana bidadari yang turun dari kahyangan.
Oh Thi-hoa terlalu asyik
mendengarkan, memandangnya terpesona pula, dalam hati dia membatin dengan
gegetun: “Secantik bidadari ini, apa benar dia sebagai seorang pembunuh yang
kejam?”
Tak lama kemudian merekapun
tiba di Kiam-ti “telaga pedang”. Di sini tampak pepehonan tumbuh subur
menghijau dan permai. Sebuah jembatan kayu laksana pelangi menjulang naik terus
melintang ke seberang sebelahsana , air telaga jernih dan bening kehijauan
terasa rada dingin, titik-titik buih berkembang di permukaan air.”
Berdiri di pinggir empang
terasa oleh Coh Liu-hiang bau harum nan dingin merangsang hidung, ditengah
bayang-bayang warna kehijauan nan bening di dalam air empang seolah-olah
mengandung hawa membunuh yang tebal.
Coh Liu-hiang tersenyum,
katanya: “Pujangga terkenal dinasti Tong Liu Siu gim, menilai air di sini
sebagai sumber air nomor lima di seluruh jagat, di luar tahunya bahwa air di
sini pun besar manfaatnya buat merendam pedang, banyak tokoh-tokoh pedang masa
lalu suka mencuci dan merendam pedangnya di sini, kini tempat inipun sudah
diberi nama lain oleh jago pedang nomor satu di seluruh jagat Li-locianpwe,
memang nama Kiam-ti amat serasi dan sesuai pula dengan situasi dan keadaannya.”
“Khabarnya nama inipun
mempunyai asal-usulnya sendiri.” sela Liu Bu-bi.
“O? Bagaimana ceritanya?”
tanya Coh Liu-hiang.
“Khabarnya kuburan yang dibuat
Go-ong itu tepat berada di telaga kecil ini, waktu beliau meninggal, tiga puluh
batang pedang mestika ikut masuk liang kubur, sampai Ho yang-kiam yang turun
temurun sebagai penegak negara itupun termasuk diantaranya, oleh karena itu
tempat ini dinamakan juga Kiam-ti.”
Coh Liu-hiang tersenyum
ujarnya: “Jikalau aku bisa terkubur disini, berdampingan bersama kejayaan Go-ong
dulu, kiranya tidak sia-sia perjalanku sejauh ini kemari!”
Tidak berubah sikap dan mimik
Liu Bu-bi, katanya tertawa berseri: “Coh-heng sudah tahu bahwa air telaga di
sini sebagai sumber air nomorlima di dunia, tahukah bahwa sumber air nomor tiga
di dunia inipun berada di sini?”
Setelah mengelilingi Kiam-ti,
di depan rada jauh sedikit mereka telah menemukan sebuah sumur batu yang besar
sekali, permukaan sumur lebar beberapa tombak, di pinggir sumur dibangun sebuah
gardu yang dikelilingi pagar kayu yang berlika-liku segi enam.
Coh Liu-hiang tertawa,
ujarnya: “Tentunya inilah Lou-ih-teh-kin sumber air nomor tiga di dunia itu,
dulu Li locianpwe ada mengundang tokoh-tokoh pedang terkenal di seluruh jagat
di sini menikmati air teh dan mencuci pedang serta menilai ilmu pedang
masing-masing. Sikap terjang dan kebesaran wibawa para Cianpwe yang terdahulu,
sungguh merupakan cambuk dan tauladan bagi generasi muda seperti kita.”
Sekonyong-konyong terdengar
seseorang menghela napas panjang katanya: “Namun harus disayangkan gunung dan
air tetap abadi, para manusianya justru sudah tak lengkap lagi.”
Waktu itu magrib sudah
menjelang, tabir malam mualai mendatang, cahaya matahari menguning guram sudah
mulai terbenam, bayangan harimau mendekam di puncak menara nan tinggi, seekor
elang sedang terbang berputar sehingga pemandangan alam nan permai itu terasa
menjadi tawar dan dingin.
Demikian pula helaan napas
yang rawan dan mendelu itu, terasa amat patah semangat dan serba gegetun.
Tampak segulung asap tengah
bergulung keluar dan mengepul baik ke udara dari gardu enam persegi itu. Gardu
gunung nan dingin dan sepi, tampak duduk seorang kakek tua beruban dengan
pakaian orang suci dan bersanggul kepala seperti kaum sastrawan. Seorang diri
duduk didalam gardu menikmati minuman tehnya.
Kesunyian yang mencekam
dirinya agaknya mirip benar dengan elang yang sedang berputar-putar di puncak
menara di atas gunungsana .
Bercahaya biji mata Coh
Liu-hiang, katanya: “Apakah Lo siansing dulu juga salah satu orang yang hadir
didalam pertemuan besar menikmati teh dan menilai ilmu pedang di sini itu?”
Orang tua beruban kembali
menghela napas ujarnya: “Benar, cuma harus disayangkan para sahabat itu banyak
yang sudah wafat, ketinggalan Losiu yang selalu kejangkitan penyakit, masih gelandangan
di dunia fana ini, bila ingin mencari orang untuk menemani Losiu menikmati teh
dan menilai ilmu pedang disinipun tak terlaksana lagi.”
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa
beradu pandang, seketika berdiri bulu roma mereka, hati pun mencelos dingin. Tokoh-tokoh
pedang yang dulu pernah ikut menjajal pedang di sini tiada satupun yang tak
mempunyai kepandaian pedang yang tiada taranya, jika sampai sekarang belum
meninggal tentunya ilmu pedangnya sudah sempurna dan tak ada bandingannya.
Apakah kakek tua ini kebetulan
hari ini iseng mengunjungi tempat lama yang penuh kenangan pahit getir, atau
sengaja diundang kemari untuk menunggu didalam gardu itu? besar kemungkinan
bukan secara kebetulan, memangnya siapa yang sedang dia tunggu?
Oh Thi-hoa segera tampil bertanya:
“Entah siapakah nama mulia Lo-siansing?”
Kakek tua tak berpaling, namun
pelan-pelan dia menjawab: “Losiu Swe Ie-hang.”
Terkesiap darah Coh Liu-hiang
serunya: “Apakah Jay sing ih-su Swe-locianpwe yang dulu pernah membacok putus
nyawa Kwe-thian-sing dan terkenal dengan julukan It-kiam-tang-sam-san, “pedang
tunggal menggertakan tiga gunung” itu?”
Mendadak kakek tua itu
berdiri, menengadah tertawa panjang daun-daun pohon dimusim rontok disekeliling
gardu seketika bergetar rontok berhamburan seperti kembang salju melayang
layang jatuh. Sehabis tertawa panjang berkata dengan lantang: “Coh Liu-hiang
memang luar biasa, Losiu baru saja menyeduh teh baru, kenapa tuan tidak kemari
sama-sama menikmati teh wangi ini?”
Tanpa berpaling namun dia
sudah tahu bahwa yang datang ternyata adalah Coh Liu-hiang jelas bahwa sejak
lama dia sudah mendapat kabar dari Li Giok-ham dan menunggu kedatangan Coh
Liu-hiang ditempat ini.
Waktu Coh Liu-hiang dan Oh
Thi-hoa berpaling, Li Giok-ham suami istri entah sejak kapan sudah menghilang
secara diam-diam, tanpa diketahui kemana perginya.
Diam-diam Coh Liu-hiang
menghela napas namun dia unjuk senyum, katanya: “Menikmati minuman teh boleh
kuiringi, jikalau hendak jajal pedang, Cayhe terus terang….”
Swe It-hang mendadak berpaling
dengan mata mendelik, serunya bengis: “Terus terang kenapa? Meski usia Losiu
sudah lanjut, namun pedang masih belum loyo!” maka terdengar “Sreng” seperti
pekik naga mengalun diangkasa, tahu-tahu kakek tua ini sudah mencekal sebatang
pedang panjang warna putih sebening air. Coh Liu-hiang yang berdiri beberapa
tombak jauhnya masih merasakan hawa pedang yang dingin mengiris kulitnya.
“Pedang bagus!” tak tertahan
Oh Thi-hoa berseru memuji.
“Sudah tentu pedang bagus”
ujar Swe It-hang bangga dan angkuh, sorot matanya lebih tajam dari cahaya
pedangnya, katanya melotot kepada Coh Liu-hiang: “Sudah tigapuluh tahun pedang
Losiu ini tidak pernah meninggalkan sarungnya, hari ini demi kau dia melihat
dunia pula, boleh kau merasa bangga karenanya.”
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: “Pedang ternama keluar dari sarungnya, selamanya pantang kembali
dengan kosong. Apakah hari ini Cianpwe sudah bertekad hendak memenggal kepala
Cayhe?”
Beringas muka Swe It-hang,
serunya lantang: “Angkatan pendekar sebagai kaum persilatan memangnya harus
berani ajal di bawah pedang, memangnya kau takut mati?”
Sesaat berdiam diri, akhirnya
Coh Liu-hiang berkata: “Kalau Cianpwe berkukuh hendak memberi pengajaran, Cayhe
terpaksa harus melayani tapi semoga Cianpwe suka memberi penjelasan tentang
satu soal, dengan kewibawaan dan gengsi Cianpwe tentunya tidak akan
menyembunyikan persoalan ini.”
“Soal urusan apa?” tanya Swe
It-hang.
“Selamanya Cayhe tidak
bermusuhan, tiada sakit hati dengan Cianpwe, sebaliknya Cianpwe berkukuh hendak
menamatkan jiwa Cayhe, apakah mendapat pesan atau diperintah orang lain?”
Bertaut alis tebal Swe
It-hang, sahutnya: “Memang tidak salah, tapi jikalau lawanku bukan Coh
Liu-hiang si Maling Romantis, Losiu pun tidak sudah turun tangan.”
Coh Liu-hiang tertawa tawar,
katanya: “Kalau Cayhe bertanya lebih lanjut dari siapa Cianpwe mendapat
perintah ini, tentunya Cianpwe malu mengatakannya, tapi meski Cianpwe tak mau
menerangkan, Cayhe pun sudah dapat meraba tujuh delapan puluh prosen.”
“Bagus sekali, kalau begitu
hayolah keluarkan senjatamu!”
“Baiklah,” sahut Coh Liu-hiang
belum lagi suaranya lenyap, tiba-tiba badannya melambung tinggi ke angkasa,
melejit ke arah sepucuk pohon yang tinggi dan besar disampingsana , sekali raih
dengan ringan dia memetik setangkai dahan pohon.
Swe It-hang dijuluki Jay-sing
“memetik bintang” betapa tinggi ilmu Ginkangnya dapatlah dibayangkan dari nama
gelarnya ini, tapi melihatgaya lompatan Coh Liu-hiang ini seketika berubah
hebat rona mukanya.
Tampak dengan ringan tanpa
mengeluarkan suara Coh Liu-hiang sudah jumpalitan balik menancapkan kakinya
ditempat semula, dahan pohon itu dia kutungi sepanjang lima kaki di ujung dahan
pohon itu masih terdapat tiga lima lembar daun pupus dengan melintangkan dahan
di depan dada segera ia memberi gaya penghormatan kepada angkatan yang lebih
tua, katanya: “Silahkan Cianpwe.”
Bertaut alis Swe It-hang,
tanyanya: “Itukah senjatamu?”
“Ya”
Swe Ih-hang gusar, dampratnya:
“Anak muda terlalu pongah dan takabur, umpama Li Koan-hu sendiripun tak berani bersikap
kurang ajar seperti kau ini terhadap Lohu.”
“Sedikitpun Cayhe tidak
takabur dan memandang rendah segala.”
“Memangnya apa maksudmu?”
“Asal dipakainya dengan betul,
segala benda di dalam mayapada nan luas ini, semua adalah alat senjata yang
dapat melukai orang, tergantung siapa pemakai dan cara bagaimana
menggunakannya, umpama senjata sakti mandraguna peninggalan jaman kono, kalau
si pemakainya tidak becus juga tidak akan bisa melukai orang. Cianpwe seorang
kosen, mengapa tidak paham akan pengertian ini?” kata-katanya diucapkan secara
wajar, enteng dan tawar namun maknanya betul-betul mengandung sindiran pedas
yang menusuk perasaan.
Diam-diam Oh Thi-hoa bersorak
geli dalam hari, dia tahu inilah salah satu strategi perang Coh Liu-hiang
didalam menghadapi musuhnya, jikalau musuh terlalu tangguh, maka Coh Liu-hiang
pasti menumpas kewibawaan dan menekan ketabahan hatinya lebih dulu.
Apalagi pedang ditangan Swe
It-hang itu, terang adalah senjata sakti yang dapat mengiris besi seperti
mengiris sayur, jikalau Coh Liu-hiang menggunakan senjata tajam yang terbuat
dari logam melawannya, terang takkan kuat melawan ketajaman pedang lawan.
Kini dia menggunakan dahan
pohon yang lemas untuk melawan musuh, yang diambilnya adalah cara lemas
mengatasi kekerasan umpama tidak dapat merenggut keuntungan paling tidak
dirinyapun tidak terlalu besar.
Baru sekarang Oh Thi-hoa
betul-betul menyadari kecerdikan Coh Liu-hiang didalam menghadapi musuh, memang
jarang dan tidak mungkin ditandingi orang lalu, hampir tak tahan dia ingin
membujuk kepada Swe It-hang: “Kenapa kau begitu getol ingin bertanding dengan
Ulat busuk? Jay sing ih-su julukanmu ini tidak gampang kau peroleh, kenapa kau
harus mempertaruhkan gengsi dan nama baikmu yang bakal runtuh ini?”
Asap yang mengepul dari wedang
teh didalam gardu sudah menguap hilang ditelan angin pegunungan.
Swe It-hang tidak banyak
bicara lagi, selangkah demi selangkah dia berjalan keluar, langkah kakinya
mantap dan amat pelan, hanya dua langkah kakinya beranjak Oh Thi-hoa sudah
dibikin kaget dan melongo.
Oh Thi-hoa sendiri sering
berkelahi dan suka melabrak musuhnya mati-matian, sejak kecil sampai setua ini
wataknya belum pernah berubah, selama hidupnya setiap kali bertarung dengan
lawan, hampir dikata dianggapnya seperti dirinya makan nasi dan minum air
seperti layaknya kehidupan manusia umumnya.
Selama sepuluh tahun
belakangan ini, boleh dikata musuh macam apapun pernah dihadapinya, sudah bukan
mustahil bila diantara sekian banyak musuh-musuhnya terdapat pula tokoh-tokoh
ahli pedang yang kenamaan.
Diantara tokoh-tokoh pedang
itu termasuk ahli pedangnya ada pula yang enteng dan cepat laksana kilat
menyambar, ada pula yang amat ganas dan keji. Tapi peduli siapapun setelahgaya
pedang dan jurus serangannya dilancarkan baru menjadikan ancaman yang fatal
bagi musuhnya.
Tapi Swe It-hang yang
dilihatnya sekarang bukan saja pedang panjangnya belum bergerak menyerang,
sampaipun badaniahnya seolah sudah diasah menjadi senjata golok, seluruh
badannya dari ujung kaki sampai atas kepala lapat-lapat mengeluarkan hawa
membunuh yang bisa mengecilkan nyali musuhnya.
Sebagai orang di luar kalangan
yang tiada sangkut paut dengan pertempuran adu jiwa ini Oh Thi hoa sudah
merasakan ancaman berat ini, apalagi Coh Liu-hiang yang berhadapan secara
langsung. Siapa akan menduga kakek tua sebagai sastrawan yang alim dan welas
asih dengan gelaran si suci memetik bintang ini, didalam waktu sesingkat ini
bisa berubah begitu kejam dan menakutkan.
Hembusan angin pegunungan yang
menderu keras membuat pakaian sucinya yang longgar itu melambai-lambai,
berbunyi nyaring, langkah kakinya tak berhenti terus melangkah ke depan tapi
orang lain justru tidak merasakan bahwa badannya sedang bergerak.
Soalnya dia sudah himpun
seluruh semangat, kekuatan dan jiwanya ke dalam segulung hawa pedang yang
merupakan tumpuhan ilmu pedangnya, orang lalu cuma merasakan hawa pedangnya
seperti menyesakkan napas sehingga seolah-olah sudah melupakan kehadiran badan
kasarnya.
Badaniahnya sudah menyatu
dengan hawa pedang dan bersatu padu, memenuhi mayapada diantara bumi dan
langit, oleh karena itu disaat dia bergerak, seperti tak bergerak, waktu tak
bergerak seolah-olah sedang bergerak.
Akhirnya Oh Thi-hoa
betul-betul menemukan kebesaran pambek seorang Cianpwe kosen ahli pedang ini,
betul-betul tak terjangkau oleh nalar dan pemikiran siapapun. Semula dia
berniat membujuk dan menasehati Swe It-hang sekarang mau tidak mau hatinya
gundah dan menguatirkan keselamatan Coh Liu-hiang malah.
Dia sendiri tidak habis
mengerti dengan cara bagaimana baru dia bisa menggempur dan memecahkan
perpaduan hawa pedang yang kokoh itu.
Hembusan angin gunung cukup
deras, tapi seluruh mayapada dan isinya seolah-olah sudah membeku jadi satu.
Terasa oleh Oh Thi hoa
keringat dingin sebesar kacang setetes demi setetes mengalir keluar, seluruh
penghuni jagat dalam sekejap ini seolah-olah berhenti bergerak dan mati rasa
sampai sang waktu seolah-olahpun berhenti. Terasa seolah-olah ada sepasang
tangan yang tidak kelihatan, sedang mencekik lehernya. Napasnya hampir sesak dan
berhenti sama sekali.
Sukar dia membayangkan betapa
tersiksa keadaan Coh Liu-hiang pada saat itu, tapi pada saat itu mendadak Coh
Liu-hiang melejit tinggi ke tengah angkasa laksana burung bangau raksasa
melambung tinggi. Siapapun takkan menyangka di bawah tekanan tenaga musuh yang
begitu hebat, dia masih kuasa melambung ke angkasa, siapapun takkan menduga
kekuatan dan daya luncur lompatannya itu ternyata begitu cepat laksana samberan
anak panah.
Sekokoh batu gunung Swe
It-hang berdiri di tempatnya tak tergoyahkan, cuma pedang di tangannya itu
sesenti demi sesenti terangkat naik, pedangnya itu seolah-olah diganduli bobot
laksaan kati, kelihatannya begitu berat dan lamban sekali.
Tapi dengan jelas Oh Thi-hoa
masih bisa mengikuti gerak pedang orang ternyata dia telah mengikuti
gerak-gerik badan Coh Liu-hiang selincah naga menari diangkasa, namun ujung
pedang orang selalu mengincar badan Coh Liu-hiang dalam jarak dua dim saja.
peduli kemanapun Coh Liu-hiang meluncur turun, terang takkan lolos dari ancaman
tusukan pedang lawan.
Tapi akhirnya Coh Liu-hiang
meluncur turun dan tancap kaki di tanah. Waktu melesat tinggi tadi badannya
meluncur laksana anak panah, begitu tiba di atas langit, bergerak seperti
kecapung menunggang bola api, berputar dan menari-nari, perubahannya tak
terhitung banyaknya, dan tak mungkin ditiru serta tak bisa ditandingi.
Pedang Swe It-hang sudah siap
bergerak menyerang. Pada saat itulah dahan pohon ditangan Coh Liu-hiang
mendadak bergeming bergerak membundar, beberapa daun di ujung dahan itu,
mendadak meninggalkan dahannya dan meluncur ke arah muka Swe It-hang.
Swe It-hang bersuit panjang,
pedang berubah menjadi tabir cahaya yang rapat dan seperti gugusan gunung
membundar.
Tampak oleh Oh Thi-hoa cahaya
pedang orang sudah menelan Coh Liu-hiang bulat-bulat, beberapa lembar daun itu,
sudah tertekan hancur lebur oleh kekuatan hawa peang yang tajam dan dahsyat
itu, lenyap tanpa bekas.
Akan tetapi begitu cahaya
pedang kuncup, pedang ditangan Swe It-hang tahu-tahu sudah menjuntai turun
lunglai, rona mukanya kaku tidak menunjukkan mimik perasaan, seluruh kulit
badannya seolah-olah didalam sekejap itu sudah membeku dan dingin.
Kalau dia diibaratkan sebuah
golok, maka dia sekarang sudah berubah sebagai golok kayu, berubah tak
bersinar, dan kelam, ketajaman dan kewibawaan hawa pedangnya pun sudah sirna
tak berbekas lagi.
Waktu dia melirik ke arah Coh
Liu-hiang, tampak orang sudah meluncur turun dan hinggap satu tombak di hadapan
Swe It-hang, dahan pohon di tangannya sudah gundul dan terbeset kulit pohonnya
karena ketajaman hawa pedang itu.
Bukan saja Oh Thi-hoa tidak
tahu orang bagaimana Coh Liu-hiang lolos dan menyelamatkan diri dari kepungan
cahaya pedang musuh yang dilandasi hawa pedangnya, diapun tak tahu bagaimana
kesudahan dari akhir pertempuran kedua orang ini, entah siapa menang dan pihak
mana kalah.
Entah berapa lama akhirnya Coh
Liu-hiang membungkuk badan katanya: “Ilmu pedang Cianpwe tiada taranya, selama
hidup belum pernah melihatnya.”
Dengan hambar Swe It-hang
mengawasinya, mulutnya menggumam: “Bagus, bagus, bagus sekali…” beruntun dia
berkata tiga kali, pedang saktinya itu tiba-tiba berubah jadi selarik bianglala
yang melesat terbang ke tengah udara laksana kilat menyambar dicuaca menjelang
gelap ini, terus meluncur ke arah Kiam-ti. Sesaat kemudian, terdengar “Plung”.
Maka sejak ini Kiam-ti ketambahan sebatang pedang tajam luar biasa yang sakti.
Dengan hampa Swe It-hang
melepas pedangnya ke tempat nan jauh disana , seluruh badannya seolah sudah
luluh, jiwa dan sukmanya seolah-olah sudah ikut pedangnya itu kecemplung ke
telaga pedang.
Tak urung terunjuk rasa
prihatin dan mendelu pada muka Coh Liu-hiang katanya menghela napas: “Cayhe
mengambil keuntungan meski untung berhasil lolos dari pedang Cianpwe, tapi aku
sendiri belum bisa menang, buat apa Cianpwe…”
“Kau tak usah bilang lagi.”
Coh Liu-hiang mengiakan dengan
tunduk kepala.
Lama Swe It-hang menatapnya
pula lekat-lekat, tanpa bicara sepatah katapun tiba-tiba dia putar badan terus
melangkah lebar turun gunung.
Coh Liu-hiang geleng-geleng
kepala, ujarnya menghela napas: “Memang tidak malu orang ini diagulkan sebagai
Enghiong, cuma harus disayangkan, orang seperti ini semakin lama semakin jarang
di Kang-ouw.”
Tanya Oh Thi-hoa: “Ucapannya
terakhir, Apakah maksudnya? Apa kau benar-benar paham?”
“Dia memberitahu kepadaku,
demi membalas budi kebaikan Li Koan-hu, umpama dia harus mempertaruhkan jiwa
raga sendiripun tak menjadi soal, oleh karena itu meski dia tak tahu kenapa Li
Koan-hu ingin membunuh aku, tidak bisa tidak dia turun tangan.”
“Kalau demikian jadi dia
mendapat pesan Li Koan-hu mencegatmu di sini?”
“Tentu saja demikian.”
“Tapi kenapa Li Koan-hu hendak
membunuh kau?”
“Seorang tua demi anak dan
menantunya, urusan apapun bisa saja dia lakukan.”
“Tadi cara bagaimana kau mengalahkan
dia? Bukan saja aku tidak melihat jelas, kupikirpun takkan terpecahkan.”
“Ilmu pedang orang ini memang
sudah mencapai taraf yang tiada taranya, boleh dikata dia sudah membuat pedang
yang berwujud itu menjadi abstrak “tidak berwujud” seluruh tubuhku sudah
terkurung, hampir bernapaspun tak bisa lagi.”
“Aku yang berada di luar
kalangan saja serasa sesak, apalagi kau?”
“Kalau aku tidak cari akal
untuk menjebol keluar dari kurungan hawa pedangnya lebih dulu, pasti pasrah dan
menyerah untuk dipenggal kepalaku saja oleh karena itu aku terpaksa harus
menyerempet bahaya, disaat dua ganti napas, mendadak aku melejit ke atas”
Dengan tertawa getir ia melanjutkan: “Tentunya kau sudah tahu, menghadapi tokoh
kosen seperti Swe It-hang, bukan saja sedang menghadapi bahaya, bila sekali
seranganmu gagal berarti kau mengantar jiwamu!”
“Memangnya gerakan menyerang
dengan cara terapung di udara ini, hanya bisa dilancarkan bila yang kuat
menyerang yang lemah, karena sekali kau gagal, berarti kau kejeblos ke jalan buntu,
maka waktu aku melihat kau menggunakan jurus seranganmu ini hampir saja
mencolot keluar.”
“Begitu badanku terapung
ditengah udara, maka lebih jelas aku melihat pusat dari kekuatan hawa murninya
yang kokoh dan tak tergoyahkan, oleh karena itu terlebih dulu aku gunakan
daun-daun dari dahan pohon di tanganku untuk memancing gerakannya sehingga
pemusatan hawa pedangnya itu buyar.”
“Teorimu ini aku tak bisa
menerimanya.”
“Soalnya waktu itu dia sudah
kembangkan seluruh kekuatan dan kemahirannya dalam mengendalikan hawa pedang
itu, umpama air gentong yang luber atau anak panah yang sudah dipentang
busurnya tinggal membidikkan saja cukup tersentuh sedikit saja, maka anak panah
itu harus dilepaskan.”
“Em, ya, perumpamaan ini
memang tepat.”
“Nah, itulah teori yang
kupakai.”
“Teori apa? Aku masih belum
paham.”
“Dengan kekuatan tenaga dalam,
aku sambitkan daun pohon itu, hawa pedangnya sudah penuh sesak, begitu
tersentuh oleh sesuatu benda dari luar, seketika menimbulkan reaksi yang hebat
luar biasa. Celaka adalah begitu hawa pedang itu bekerja, tak mungkin
dikendalikan lagi, bukan saja beberapa daun pohon itu hancur lebur seluruhnya,
umpama badan seseorang pun pasti luluh tak berbekas lagi.”
“Begitu lihaynya.”
“Tapi begitu hawa pedang itu
bergolak dan bekerja maka tampaklah titik lobang kelemahannya.”
“Kenapa?”
“Karena seluruh tumpuan
kekuatannya terpusatkan pada titik itu, dengan sendirinya lantas menunjukkan
kekosongannya maka aku tak sia-siakan kesempatan ini, dengan ujung dahan pohon
di tanganku itu aku berhasil sedikit menutul kepalanya.” sampai di sini Coh
Liu-hiang tertawa panjang, katanya pula kemudian: “Namun demikian aku, toh
terkena juga oleh tutulan tenaga hawa pedang yang dahsyat itu, sehingga
terpental jauh beberapa tombak.”
Oh Thi hoa menyela keringat
katanya tertawa lebar: “Akan tetapi, apapun yang terjadi kenyataan sejurus kau
dapat mengalahkan dia.”
“Sejurus ini amat enteng dan
gampang dikatakan, bahwasanya amat sukar dilaksanakan, apalagi walau ujung
dahan kayu itu berhasil menutul kepalanya sekali-kali takkan mampu melukai dia,
maka sebetulnya dia tidak perlu mengaku kalah.”
“Kalau demikian, bila waktu
itu dia tidak kalah dan melabrakmu lebih lanjut, bukankah jiwamu bakal amblas?”
“Itupun belum tentu.”
“Kenapa belum tentu?”
“Karena tindakanku itu sudah
membikin hawa pedangnya pecah tercerai berai, kalau dia berusaha memusatkan
hawa pedangnya lagi dalam waktu sesingkat itu, akupun tidak akan memberi
kesempatan kepadanya, maka dia merangsek lebih lanjut, kita masing-masing harus
berkelahi mengandal kematangan permainan jurus silat masing-masing.”
“Darimana kau tahu bila
permainan jurus tipu-tipu silatnya tidak ungkulan melawan kau?”
“Kalau membicarakan kehebatan
jurus tipu-tipu silat yang terlihai, dalam kolong langit ini, mungkin tiada
seorangpun yang bisa menandingi Ciok-koan-im.
Oh Thi-hoa kedip-kedip mata,
tanyanya tiba-tiba: “Jikalau Swe It-hang melawan Ciok-koan-im bagaimana?”
“Ciok-koan-im pasti akan
menang.”
“Berdasar apa kau berani
berkata demikian?”
“Karena Swe It-hang sendiri
belum bisa mengendalikan hawa pedangnya itu sedemikian rupa dan senyawa dengan
raganya, dapat dimainkan sesuka hatinya, diapun belum mampu melebur hawa
pedangnya itu ke dalam permainan jurus tipu-tipu ilmu pedangnya.”
“Kalau dia berhasil melebur hawa
pedang itu ke dalam jurus tipu perubahan ilmu pedangnya?”
“Maka kepandaiannya takkan
menemui tandingan dikolong langit.”
“Aku mengharap dalam dunia ini
ada seseorang seperti itu, supaya kaupun merasakan pahit getirnya, selamanya
kau selalu menang perang, jikalau kalah sekali, mungkin kepandaian silatmu baru
bisa mencapai taraf yang tiada taranya.”
Sebetulnya Oh Thi-hoa
berkelakar dengan ucapan ini, tak nyana Coh Liu-hiang justru menanggapi dengan
serius: “Ya, memang begitulah, disitulah letak teori ilmu silat yang paling
mendalam, harus disayangkan selama hidup ini aku paling gemar menyerempet
bahaya, setiap kali berhadapan dengan musuh tangguh, tanpa kusadari secara
reflek aku menggunakan jurus permainan yang menyerempet bahaya pula. bila aku
kalah maka jiwaku tanggung mampus, oleh karena itu walau aku tahu akan
kelemahanku ini, namun tetap aku main untung-untungan menyerempet bahaya untuk
menempuh kemenangan.”
Oh Thi-hoa malah melongo,
katanya: “Sebetulnya tujuanmu bukan melulu ingin menang dan lagi bila kau tidak
menggunakan cara yang menyerempet bahaya, jelas kaupun bakal mampus karena bila
kau tidak membunuh atau melukai musuh, sebaliknya musuh bakal menamatkan
riwayatmu.”
“Maka cepat atau lambat, akan
datang suatu hari, aku pasti akan mampus ditangan orang lain.”
“Tapi kaupun tidak perlu
kuatir, orang yang dapat membunuh kau, kukira sampai detik ini belum lagi
lahir!”