Peristiwa Burung Kenari (Hua Mei Niao) Bab 6. Barisan pedang yang sangat hebat

Peristiwa Burung Kenari (Hua Mei Niao) Bab 6. Barisan pedang yang sangat hebat
Peristiwa Burung Kenari
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 6. Barisan pedang yang sangat hebat

Beberapa orang ini sama mengenakan pakaian serba hitam legam, jubah panjang sutra yang halus dan paling mahal. Jubah sutra hitam yang kemilau sedemikian lemas melambai laksana air beriak, tapi dikala mereka bergerak, riak gelombang seperti gerakan air itu sedikitpun tidak kelihatan, seolah-olah setiap langkah kaki mereka meluncur di permukaan salju yang licin, seenteng kecapung, selicin belut.
Muka mereka bercadar secarik kain hitam pula, sampaipun biji mata merekapun tertutup rapat, tiada seorangpun yang bisa mengenal siapa-siapa saja beberapa orang ini. Setiap gerak-gerik mereka secara reflek menimbulkan wibawa yang tak terasakan, meskipun tiada orang yang tahu asal usul dan siapa sebenarnya orang-orang ini, namun tiada seorangpun yang berani memandang enteng mereka.

Orang pertama berbadan kurus tinggi, berdiri tegak laksana tombak, tangannya menenteng sebilah pedang kuno yang bentuknya aneh kemilau terbuat dari tembaga.
Orang kedua pendek dan kurus, orang ketiga berperawakan tinggi kekar dan berdada lebar berpundak tinggi, kedua orang ini berjalan beriring, kelihatannya amat menyolok bedanya. Pedang ditangan kedua orang ini sama-sama memancarkan cahaya terang, jelas bukan senjata sembarangan, tapi bentuk pedangnya tidak luar biasa, siapapun yang melihatnya pasti dapat menerka bahwa kedua pedang ini pasti punya asal usul yang luar biasa.

Perawakan orang ke empat biasa saja, senjata yang dibawapun Ceng-kong-kiam biasa umpama dia menenteng pedang ke jalan raya, orang lain takkan melirik dua kali kepadanya.

Orang kelima pendek dan tambun, perutnya gendut seperti keong, pedang di tangannya seperti besi bukan emas, setelah ditegasi ternyata hanya sebatang kayu yang dipapas dalam bentuk seperti pedang.

Kelima orang ini beriring masuk tanpa bersuara, tiada menunjukkan gerakan apa-apa. Tapi kehadiran mereka seketika membuat hawa dalam kamar ini bergolak, seolah-olah diliputi hawa membunuh yang tebal mencekam perasaan setiap orang, sehingga bulu kuduk merinding.

Oh Thi-hoa mengkirik seram dan berkuatir bagi keselamatan Coh Liu-hiang, karena sekilas pandang dia sudah tahu, kedudukan tingkat dan kepandaian silat kelima orang ini, pasti takkan ada seorangpun yang lebih rendah dari Swe It-hang.

Tapi Coh Liu-hiang tetap tersenyum simpul katanya sambil menjura kepada kelima orang itu: “Cayhe ada dengar Yong-cui-san-cheng katanya kedatangan beberapa tokoh kosen, aku sudah mendapat firasat hari ini pasti aku akan dapat berkenalan dengan kegagahan para Cianpwe, sungguh harus dibuat girang, siapa tahu para Cianpwe ternyata tidak sudi memperlihatkan muka asli, masing-masing sungguh harus disesalkan sekali.”

Kelima orang serba hitam itu tetap berdiri tidak bergerak tiada yang buka suara.

Kata Coh Liu-hiang pula: “Umpama para Cianpwe segan memperlihatkan muka aslinya, kenapa pula biji matapun harus diselubungi?”

Laki-laki bertubuh tinggi kekar itu tiba-tiba buka suara: “Kaum kita sudah menjiwai ilmu pedang, buat apa harus menggunakan mata?” walau hanya mengucapkan beberapa patah kata saja, namun seluruh bangunan gedung terasa oleng oleh getaran suara yang bergema keras memekak telinga, cangkir dan poci di atas mejapun bergemeretak.

“Cayhe tahu, bagi setiap ahli setiap kali turun tangan tentu mempunyai perhitungan yang matang hakekatnya tidak perlu menggunakan mata, tapi masakah para Cianpwe tidak ingin mengetahui siapakah sebenarnya dan bagaimana tampang musuh yang harus kalian hadapi bersama?”

Kali ini tiada orang yang menjawab. Kelima orang tetap diam tidak memberikan reaksi.

Sesaat kemudian malah Li Giok ham yang bersuara dengan tertawa: “Kelima Cianpwe ini selama hidupnya belum pernah bertanding melawan orang secara gabungan setelah hari ini, merekapun takkan mungkin bergabung melawan musuh, oleh karena itu bukan saja beliau-beliau ini tidak mau memperlihatkan asal usul dirinya kepada kau merekapun tidak perlu tahu siapa dan macam apa tampangmu, kelima Cianpwe ini tidak sedih hanya ingin membuktikan dan melaksanakan keinginan ayah saja.”

“Benar” ujar Liu-hiang sinis,:” akupun tahu kedatangan kelima Cianpwe hari ini, lantaran mereka hutang budi terhadap ayahmu, tapi peristiwa hari ini sebetulnya memang keinginan ayahmu ataukah melulu keinginanmu sendiri?”

Berubah air mata Li Giok-ham, sahutnya: “Sudah tentu atas keinginan ayah.”

Mata Coh Liu-hiang melotot mengawasinya, katanya: “Lalu keinginan ayahmu hanya ingin membuktikan kehebatan ciptaan barisan pedangnya? Atau ingin membunuh aku?”

Pucat muka Li Giok-ham, sesaat lamanya dia mati kutu dan tak mampu menjawab.
Liu Bu-bi tertawa riang selanya: “Apapun yang bakal terjadi, kukira kedua persoalanmu ini tidak bedanya lagi.”

“O? Kenapa tak berbeda?”

Kerlingan mata Liu Bu-bi yang genit mendadak berubah begitu kejam, katanya sepatah demi sepatah sambil melotot: “Karena jikalau barisan pedang ini tak punya kelemahan, maka tuan pasti akan menjadi tumbal dari terciptanya barisan pedang sakti ini.”

“Memangnya bagaimana kalau barisan pedang ini benar-benar ada kelemahannya?”

“Umpama benar barisan pedang ini ada kelemahannya, tapi di bawah permainan kelima Cianpwe ini, kukira tuan takkan mampu menerjang keluar dari barisan.”

Coh Liu-hiang tertawa besar sambil menengadah katanya: “Betul, sekali umpama lobang kelemahan barisan ini seratus banyaknya atau tidak merupakan barisan pedang yang sesungguhnya, dengan gabungan tempur kelima Cianpwe yang kosen ini, mungkin tiada seorangpun di kolong langit ini yang mampu menandinginya.”

“Ya. benar, syukur kalau kau mengerti.” Ujar Liu Bu-bi.

“Kalau begitu kenapa pula kalian harus pakai embel-embel dengan barisan pedang segala, perduli bagaimana keadaannya, kenapa tak dikatakan terus terang saja bahwa jiwaku diinginkan terkubur di sini, bukankah lebih praktis dan gampang.”

“Dalam hal ini jelas harus dibedakan dan memang berbeda.” kata Liu-Bu-bi.

“O, apa bedanya?”

“Kalau kelima Cianpwe ini bergabung menempurmu, meski kau tidak kuat melawan, tapi kau masih mampu melarikan diri, Ginkang tuan tiada bandingan di seluruh dunia, hal ini cukup diketahui orang banyak.”

“Pujian melulu?”

“Tapi begitu barisan pedang ini bergerak, umpama tuan tumbuh sayappun jangan harap bisa meloloskan diri sebelum jiwanya ajal!”

Lama Coh Liu-hiang menepekur, katanya kemudian pelan-pelan: “Sebetulnya ada permusuhan apakah aku dengan kalian suami istri, begitu besar tekad kalian hendak menamatkan jiwaku?”

Berputar biji mata Liu Bu-bi,katanya dingin: “Tadi sudah kami jelaskan, ini bukan keinginan kamu, adalah keinginan ayah mertua.”

Tampak orang tua atau Li Koan-hu itu masih duduk terlongo hampa di tempatnya tanpa bergerak, matanya redup dan menatap pedang dihadapannya dengan tatapan kosong.

Coh Liu-hiang menghela napas, katanya: “Perduli apa benar adalah keinginan beliau? Yang terang toh tiada seorangpun diantara kalian yang bisa mendapatkan penjelasannya.”

Mendadak Oh Thi-hoa menjerit: “Apakah barisan ini harus dibentuk terdiri enam orang? Tapi kenapa yang hadir hanyalima orang?” Liu Bu-bi mengiakan.

Diam diam bersorak hati Oh Thi-hoa, katanya tertawa: “Tentunya kalian tidak pernah membayangkan bila Swe lo-hiang akan tinggal pergi begitu saja tanpa kembali lagi.”

“Swe locianpwe datang atau tidak, tidak menjadi soal.”

“Tidak menjadi soal?” seru Oh Thi-hoa tertegun. “Kenapa tidak menjadi soal? Kalau kurang satu orang barisan… ” Liu Bu-bi menukas kata katanya: “Masakah kau belum pernah dengar, orang luarpun boleh saja menggenapi keadaan?” tanpa menghiraukan Oh Thi-hoa lagi, segera dia membalik menghadapi kelima Cianpwe serta menjura hormat, katanya: “Wanpwe pernah ikut latihan barisan ini, sampai sekarang masih segar dalam ingatanku. Swe locianpwe tidak hadir, terpaksa biar Wanpwe menduduki posisinya, semoga para Cianpwe suka memberi bantuan dan melindungi, tak terhingga rasa terima kasih Wanpwe.”

Laki laki kurus tinggi yang terdepan itu mendadak bersuara: “Kenapa tidak kau suruh suamimu turun tangan?”

Liu Bu-bi melengak, sahutnya tersekat: “Itu…”

Laki laki bertubuh pendek itu menimbrung dengan suara bengis: “Memangnya kau kira bahwa ilmu pedangmu lebih tinggi dari ahli waris keluarga Li?” ditengah sentakannya, pedang di tangannya tahu-tahu berubah menjadi caplok bintik-bintik yang tersebar seperti bintang perak berkembang bertaburan.

Dengan mendelong Liu Bu-bi pandang titik-titik perak itu, badannya sedikitpun tak bergerak bukan saja tak berkelit diapun tak melawan, seolah-olah di sudah tahu bahwa gerakan pedang ini hanya gertakan belaka.

Memang bintik-bintik perak yang bertaburan itu setiba di depan mukanya, secara ajaib tahu-tahu lenyap tak keruan paran.

“Bagaimana?” tanya laki-laki kurus tinggi itu. “Lumayan” sahut laki-laki kurus kecil. “Terima kasih Cianpwe” seru Liu Bu-bi tertawa senang. Tiba-tiba dia berputar menghampiri ke depan Li Koan-hu, katanya menjura dalam: “Mohon ayah mertua suka meminjamkan pedang ini kepada putrimu.”

Dengan tatapan kosong orang tua itu melirik kepadanya, lalu tertunduk pula tak memberikan reaksi apa-apa.

Liu Bu-bi langsung meraih pedang itu, lalu menjura pula katanya: “Terima kasih akan kemurahan kau orang tua.” bicara sendiri dijawab sendiri dengan begitu saja dia terus ambil pedang pusaka di hadapan orang itu.

Kulit daging dimuka orang tua kelihatan berkerut-kerut gemetar, sorot matanya tiba-tiba memancarkan sinar terang laksana bintang menyala namun sepatah katapun tak mampu bersuara.

Oh Thi-hoa mendadak memburu maju berdiri jajar disamping Coh Liu-hiang “Apa keinginanmu?” tanya Coh Liu-hiang.
“Kalau mereka ada enam orang, kenapa kita tidak boleh dua orang?”
“Kenapa harus dua orang?”
“Dua orang tentunya lebih baik daripada seorang diri.”

Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: “Kalau dua orang mati bersama, tentunya lebih baik kalau mati seorang saja.”

Oh Thi-hoa mengepal kencang jari-jarinya, belum dia buka mulut Liu Bu-bi sudah mendahului: “Lebih baik kau dengar nasehatnya! Bila dia seorang diri kemungkinan mempunyai sedikit kesempatan untuk melarikan diri, kalau bersama kau, jangan kata ada harapan, yang terang kalian pasti akan ajal bersama.”

Merah padam muka Oh Thi-hoa, katanya melotot kepada Coh Liu-hiang: “Kau… kau tidak mau bergebrak berdampingan sama aku?”

Coh Liu-hiang genggam tangannya katanya pelan-pelan: “Coba kau pikir lagi lebih seksama, sebentar kau akan paham akan maksudku, mulainya bicara, jari-jarinya bergerak menulis huruf “lari” ditelapak tangan Oh Thi-hoa. Maksudnya adalah menganjurkan Oh Thi-ho mengundurkan diri berusaha menolong Soh Yong-yong dan lainnya.

Karena Li Giok-ham suami istri terang akan tumplek seluruh perhatiannya di dalam kamar ini, yang pasti kedua orang ini tak akan meninggalkan tempat ini sebelum urusan disini selesai, maka tempat-tempat lain dari Yong cui san ceng pasti kosong melompong. Inilah kesempatan paling baik untuk menolong orang.

Akhirnya Oh Thi-hoa menarik napas panjang katanya: “Ya, aku mengerti.”

“Baik sekali, aku tahu selamanya kau tak akan membuat aku kecewa.” sembari bicara kembali jari-jarinya menulis “pergi” di telapak tangan Oh Thi-hoa. Maksudnya ialah setelah Oh Thi-hoa menolong Soh Yong-yong berempat harus meninggalkan tempat ini.

Kembali berubah air muka Oh Thi-hoa katanya: “Tapi kau…”

Lekas Coh Liu-hiang meremas jarinya, katanya dengan tertawa: “Jikalau kau adalah sahabat baikku, maka kau harus beri kesempatan paling baik supaya aku tekun dan bergebrak sepenuh hati, toh kau juga sudah tahu niatku, jikalau ada persoalan lain memberatkan perhatianku, maka kesempatan untuk sedikit menangpun tiada lagi dalam benakku.”

Sebentar Oh Thi-hoa berpikir, akhirnya dia manggut-manggut dengan rasa berat, terasa jari-jari Coh Liu-hiang masih sedemikian tenang dan hangat, begitu teguh dan besar tekadnya sebaiknya tangan sendiri berkeringat dingin.

Tak tahan dia balas menggenggam tangan Coh Liu-hiang kencang, keduanya berhadapan saling pandang sekian lamanya. Akhirnya Coh Liu-hiang membalik badan, katanya kalem: “Cayhe sudah siap, silahkan para Cianpwe mulai!”
Oh Thi-hoa bukan seorang pesimis yang gampang putus asa, dan lagi selamanya dia amat yakin dan menaruh kepercayaan besar terhadap kebolehan ilmu silat Coh Liu-hiang tapi sekarang, entah kenapa tanpa dia sadari biji matanya berkaca-kaca dan berwarna merah.

Kata Liu Bu-bi mengawasi Coh Liu-hiang: “Masakah sampai detik ini kau masih tidak mau menggunakan senjata?”

“Dalam keadaan seperti ini, pakai senjata atau tidakkan sama saja.”

Laki-laki kate gemuk itu mendadak terloroh-loroh, katanya: “Nyali orang ini ternyata tidak kecil.”

“Cianpwe terlalu memuji, sebenarnya nyali Cayhe biasanya amat kecil, setiap kali sebelum bertempur dengan orang, hatiku pasti amat ketakutan, tapi setelah gebrak dimulai, rasa takut seketika sudah terlupakan sama sekali” tapi dengan habis kata-katanya, mendadak laksana kilat ia turun tangan lebih dulu, jarinya terlekuk laksana cakar garuda menyergap dengan jurus Sian-hong-jiang-cu “sepasang naga berebut mutiara”, yang dituju adalah sepasang mata Liu Bu-bi.
Karena tidak menduga duga dan tidak siaga, saking kejutnya Liu Bu-bi menarik diri mundur beberapa langkah.

Tak nyana serangan Coh Liu-hiang ini hanya gertak sambel saja, secepat kilat tangan kirinya ikut bergerak, sementara jari telunjuk dan jari tengah tangan kananya, tahu-tahu sudah menjepit ujung pedang ditangan Liu Bu-bi. Seketika Liu Bu-bi rasakan segulung tenaga dahsyat menerjang datang menggetar seluruh batang pedangnya dengan keras, saking besar tenaga getaran lawan, jari dan lengannya terasa linu kemeng, pedang panjang tak kuasa dicekal lagi, terlepas dan terampas.

Belum lagi dia berdiri tegak didengarnya Coh Liu-hiang berseru lantang: “Terimakasih akan pinjaman pedang ini. Banyak terima kasih, terima kasih.” ditengah gelak tawanya pedang bercahaya kemilau laksana reflek sinar matahari di permukaan air itu tahu-tahu sudah berada di tangannya namun ia tetap memegang ujung pedang itu dengan ketiga jari-jarinya lalu gagang pedang tahu-tahu ia menjojoh kepada laki-laki tinggi yang berdiri di ujung kiri.

Laki-laki kurus tinggi baju hitam itu berseru memuji: “Gerakan tangan yang cepat sekali.” berapa patah katanya saja, bukan saja ia sudah berkelit dari serangan Coh Liu-hiang, malah cahaya pedang di tangannya berkelebat tahu-tahu ia sudah balas menyerang dua jurus.

Saking kaget tadi serasa arwah Liu Bu-bi terbang ke awang-awang, belum lagi rasa kejutnya hilang dan hati belum tenang, berdiri melongo di tempatnya, tahu-tahu barisan pedang di depannya sudah mulai bergerak, Li Giok-ham membanting kaki, segera dia lolos pedang menerjang maju menambal lowongan yang masih kosong.

Maka cahaya pedang mendadak bertaburan saling membelit seperti gugusan gunung terselubung bianglala, angin dingin menyambar tajam berseliweran.

Pedang-pedang itu sudah berubah merupakan tabir cahaya yang menggulung lenyap seluruh bayangan Coh Liu-hiang. Begitu keras sambaran angin yang mendampar keluar dari arena pertempuran sampai Liu Bu-bi terdesak mundur sempoyongan ke pojok dinding, roman mukanya pucat pias tak berdarah, sesaat lamanya, tetes demi tetes air mata meleleh membasahi pipinya.

Coh Liu-hiang menyergap, merebut pedang, melancarkan serangan, Liu Bu-bi terdesak sempoyongan, Li Giok-ham segera merangsek maju maka barisan pedang segera bergerak, semua ini terjadi hampir dalam waktu yang sama.

Jantung Oh Thi-hoa sampai berdetak keras seperti hendak mencotot keluar dari rongga dadanya, melihat pertempuran hebat ini, saking kejut dan girangnya, hampir tak tertahan dia hendak bersorak dan tepuk tangan, tindakan yang dilakukan Coh Liu-hiang ini memang patut diberi pujian dan disoraki.

Menang kalah dari hasil pertempuran dahsyat ini meski belum bisa diketahui, tapi sedikitnya Coh Liu-hiang sudah berhasil merebut inisiatif penyerangan lebih dulu, sehingga didalam waktu dekat barisan ini sukar menunjukkan perbawaannya yang hebat.

Dan lagi pengetahuan dan latihan Li Giok-ham akan barisan pedang ini terang tak sepaham atau lebih mendalam dari Liu Bu-bi, kini dengan dia yang mengganti kedudukan Liu Bu-bi, sedikit banyak barisan ini akan kehilangan sedikit keampuhannya.

Menghadapi suatu pertempuran besar yang begini dahsyat, sungguh Oh Thi-hoa amat berat untuk tinggal pergi, ia tak tega meninggalkan Coh Liu-hiang adu jiwa seorang diri disini. Tapi bagaimana juga dia harus menyingkir karena dia insyaf bila dirinya tidak berlalu pasti Coh Liu-hiang akan terpecah perhatiannya, sudah tentu dia cukup tahu didalam pertempuran sengit yang hebat ini, siapapun bila konsentrasinya terpecah, kemungkinan dia bakal menggunakan tipu dan jurus permainan yang keliru dan sedikit kekeliruan ini cukup menamatkan riwayatnya.

Bagi pertempuran tokoh-tokoh kosen, tinggi rendah dan kuat lemah dari ilmu silat seseorang sudah tentu memegang peranan penting tapi dalam melancarkan serangan dan gerak geriknya kalau tidak diperhitungkan dengan seksama dan tepat unsur ini lebih besar akibatnya untuk menamatkan jiwa sendiri.
Di pojokan kamarsana sebuah jendela yang terpentang lebar-lebar, Oh Thi-hoa kertak gigi, tiba-tiba dia menerjang keluar darisana .

Pepohonan di taman kembang ini amat subur dan lebat, sekelilingnya sunyi sepi tidak kelihatan bayangan seorangpun. yang terdengar hanya desiran angin kencang dari samberan pedang didalam kamar. begitu cepat dan ramai suara terdengar adanya suara benturan keras. Dari sini dapatlah dibayangkan betapa hebat, rapat dan lincah kombinasi permainan ke enam orang, kiranya memang sudah mencapai puncaknya.

Tak tertahan Oh Thi-hoa berpaling ke dalam lewat jendela, tampak samberan sinar pedang yang menjadi tabir kemilau itu semakin lama semakin rapat dan ketat, tak tampak sedikitpun lubang kelemahannya. Sungguh dia tidak habis mengerti, bagaimana Coh Liu-hiang bisa membobol kepungan tabir cahaya kemilau ini, lolos dari kepungan barisan pedang, kakinya jadi sulit bergerak melihat keadaan kawannya yang terkepung begitu mengenaskan. Dalam hati dia berusaha memberi penjelasan kepada diri sendiri: “Perkampungan ini begini luas, untuk menemukan tiga orang, sungguh umpama mencari jarum di lautan, yang terang aku tak mungkin bisa menemukan mereka, lebih baik aku tetap tinggal di sini menemani dia, jikalau memang dia tak kuat melawan, mungkin aku bisa memberi bantuanku.”

Angin pagi menghembus sepoi-sepoi membawa harum kembang, dedaunan pohon bergoyang gontai melambai lambai. Tata tertib dalam perkampungan besar milik keluarga besar persilatan ini agaknya amat keras, di sini terjadi peristiwa besar seperti ini, pasti takkan ada seorangpun yang berani datang melihat keramaian.

Dikejauhansana tampak asap mengepul melalui celah-celah daun pohon, lapat-lapat terendus oleh Oh Thi-hoa bau masakan bubur yang sedap untuk makan pagi, terang di sebelahsana adalah dapur yang sedang menyiapkan hidangan pagi dan kebetulan sudah beres.

Perduli terjadi peristiwa besar apapun, orang-orang penghuni Yong-cui-san-cheng, tiada yang berani merubah tata-tertib yang sudah merupakan kerja mereka sehari-hari. tiada seorangpun yang berani meninggalkan tugas yang harus dia kerjakan.

Oh Thi-hoa geleng-geleng kepala sambil menghirup napas panjang, terasa bau masakan bubur semakin sedap dan merangsang seleranya, baru sekarang ia menyadari bahwa perutnya sudah kelaparan. Kebetulan dalam hatinya timbul suatu pikiran: “Peduli dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang harus tangsel perut.” bukan saja orang-orang penghuni Yong-cui-san-ceng harus makan, maka Soh Yong-yong dan lain-lain pun harus makan pula.

Li Giok-ham suami istri menawan mereka sebagai sandera untuk menekan dan mengancam Coh Liu-hiang, pasti mereka tidak akan dibiarkan kelaparan, paling tidak setiap pagi pasti diberi makan.

Asap dapur itu membumbung tinggi di sebelah belakang paya-paya kembang seruni di sebelah timursana . Oh Thi hoa segera kembangkan Ginkangnya melesat ke arahsana .

Di belakang paya-paya kembang ternyata adalah pagar tembok yang mengelilingi taman bunga ini, dibalik dinding sanapun terdapat beberapa petak pekarangan, di sana banyak dijemur pakaian yang baru saja dicuci, disamping kanan kiri terdapat dua baris bangunan petak-petak rumah, terang disanalah tempat tinggal para kaum hamba dari Yong-cui-san-ceng, tatkala itu kebetulan ada beberapa orang sedang duduk di bawah emperan rumah, mengasah golok menggosok tombak dan membersihkan alat senjata lainnya.

Beberapa laki-laki yang bertelanjang dada sedang bergaya latihan kunthau ditengah pekarangan, mulut mereka sama mengomel, dikatakan pakaian yang terjemur disini terlalu banyak sehingga mengganggu gerak latihan mereka.
Maju lebih jauh, kembali adalah sederetan rumah-rumah atapnya meruncing tinggi, di pucuk dipasangi selubung asap yang tinggi, tiga diantaranya sedang mengeluarkan asap tebal, terang disinilah letak dapur dari keluarga Li yang besar berayatnya ini.

Semula Oh Thi-hoa masih rada tegang, tapi akhirnya dia mengetahui meski banyak orang yang berada dibilangan belakang ini, namun sikap dan tindak tanduk mereka kelihatan malas-malasan dan terlalu iseng.

Maklumlah karena tempat ini adalah dunia mereka, mereka tidak perlu kuatir orang-orang atas datang kemari mengadakan inspeksi, merekapun tidak usah kuatir adanya rampok atau pencuri. Rampok-rampok yang paling goblok di dunia ini, juga tidak bakal mengincar harta milik orang-orang ini, umpama kata benar ada orang yang berani meluruk ke Yong-cui-san-cheng mencari gara-gara, bukan orang-orang kalangan rendah ini yang dijadikan sasaran, oleh karena itu setiap mereka dapat melegakan hati, maka Oh Thi-hoa sendiri berlega hati.

Sebentar dia berhenti dan biji matanya berputar, mendadak diapun tanggalkan pakaiannya, dengan bertelanjang dada diapun menerobos keluar dari gerombolan kembang, terus mencari tempat yang tidak tersorot cahaya matahari dan duduk disana, menggeliat pinggang mengencangkan kaki tangan, dengan napas yang tersengal-sengal, seolah-olah dia amat keletihan sehabis latihan kunthau, luar dalam dan orang-orang disekitarnya ternyata tiada seorangpun yang memperdulikan dirinya.

Tampak dibawah pohon rindang didepan rumah dapur sana, juga duduk berkelompok beberapa orang, malah ada laki-laki ada perempuan, yang laki-laki sedang berusaha menggoda yang perempuan dan diajak bicara, sebaliknya orang-orang perempuan itu anggap sepi dan tidak rewes ocehan mereka.

Burung gagak di seluruh dunia sama-sama hitam, demikian pula kaum hamba di seluruh dunia ini sama pula, meski tata-tertib Yong-cui-san-cheng cukup keras, tapi asal mereka jauh dari pandangan sang majikan, nyali mereka akan menjadi besar, jikalau harus menjaga supaya para budak ini mencari iseng dengan para genduk-genduk itu, tentunya jauh lebih sulit daripada melarang anjing makan tulang.

Diam-diam Oh Thi-hoa tertawa geli, tampak meski paras genduk-genduk itu memang tidak begitu ayu, namun perawakan mereka sih cukup menggiurkan, dua diantaranya malah lebih menonjol, badannya segar montok dan semampai.

Apalagi setelah cahaya matahari meningkah badan mereka, pakaian sutera ketat yang membungkus badan mereka yang berisi itu kelihatannya seperti tembus cahaya dan nampak jelas lekak-lekuk potongan badan mereka. sampai kulit perutnya yang halus merah itu pun seperti kelihatan, keruan para kacung yang biasanya bekerja terlalu berat itu kini sama melotot tak berkedip seperti serigala kelaparan menghadapi mangsanya, air liur berulang kali ditelannya sampai tenggorokannya turun naik.

Tak lama kemudian, mendadak terdengar suara kerontangan bunyi wajan yang dipukul bertalu-talu seperti lazimnya penjual martabak memukul wajan menjajakan dagangannya dari dalam dapur.

Semua laki-laki yang duduk dibawah pohon serempak berdiri, seorang anak muda berseri tawa dan berkata: “Kenapa nasi yang mereka masak semakin lama semakin cepat matang, obrolanku belum lagi selesai.”

Seorang genduk genit segera menimbrung dengan tertawa: “Kalau nasi hari ini sudah kau gares habis, memangnya besok kau tidak kebagian lagi?”

Bersinar biji mata anak muda itu, katanya berbisik: “Besok kau mau tidak…”

Tatkala itu orang lain berbondong-bondong menuju ke pintu dapur, derap langkah mereka yang ramai menelan suara bisik-bisik percakapan mereka. Tampak seorang laki kekar membusungkan dada dengan perut buntak berdiri diambang pintu, kalau badannya tidak berlepotan minyak dan mukanya kotor oleh asap dan hangus lagaknya mirip benar dengan buaya darat, dengan bertolak pinggang, matanya melotot dan menggembor: “Setiap orang ada bagiannya, rebutan apa? Satu-satu berbaris.”

Seorang laki-laki bermuka panjang seperti kepala kuda berseru lancang: “Kami orang orang dari kandang kuda setiap hari belum terang tanah sudah harus bangun merawat binatang, setiap hari bangun paling pagi, maka perut kamipun lapar paling dahulu, Tio-lo toa, sukalah kau memberi bantuan kepada kami dulu.”

Melirikpun tidak kepadanya, seperti anggap tak mendengar Tio-lotoa membalik badan dan keluar pula menenteng tenong tiga susun, katanya: “Nona-nona dari bagian atas sudah datang belum?”

Saking dongkol laki muka kuda itu merah padam mukanya, serunya: “Jelas kau sudah tahu bila Siao cheng cu sudah pulang, nona-nona dari bagian atas ikut makan dari dapur kecil disana, kenapa harus menyiapkan jatah mereka disini?”
Tio lotoa tetap tidak perdulikan dia, malah berkata kepada genduk denok itu: “Nona-nona bagian atas tidak datang, nah menjadi bagian mu malah.”

Dengan langkah gemulai genduk ini menghampiri, dia singkap tutup tenong dan melongok isinya, lalu melorok kepada Tio lotoa, katanya: “Sayurnya rada mending, tapi hanya ada pangsit beberapa butir saja, delapan orang mana bisa cukup?”

“Kalian genduk-genduk ini memang seharian sibuk lagi makan melulu.” comel Tio lotoa tertawa, “memangnya tidak takut perutmu gendut terlalu banyak makan? Nanti tak laku kawin lho!”

Genduk centil itu membanting kaki, katanya: “Bagus ya! Kau berani olok-olok aku, biar nanti ku adukan kepada Cui-hong cici, supaya malam nanti dia menghukum kau menyunggi poci semalam suntuk.”

Lekas Tio lotoa menyingkir, bujukannya: “Sudah, sudah! Nenek moyang kecil, terhitung aku takut kepadamu, biar kutambah satu susun bagaimana?”

Baru genduk centil itu tertawa pula katanya: “Satu susun bolehlah!” lalu dengan menjinjing tenong berisi makanan itu dia tinggal pergi dengan lenggang kangkung, sebelum pergi dia melerok genit sekali kepada Tio lotoa, sudah tentu anak muda itupun tak ketinggalan diberi pelerokan genit.

Beberapa gadis lainnya beramai ramai maju membawa tenong masing-masing dan berlalu, ada yang pantatnya yang berlepotan minyak itu. Kembali laki muka kuda memprotes: “Apa belum tiba giliran kami?”

Hakikatnya Tio lotoa anggap tidak dengar, dengan malas-malas dia menjinjing keluar sesusun tenong pula, seorang perempuan tua yang bermuka burikan segera tampil kemuka, katanya tertawa nyengir: “Bagian nona-nona sudah selesai, aku memang tahu bila giliran kami.” diapun singkap tutup tenong melongok isinya, katanya tertawa: “Orang-orang dibilik kami mengerjakan kerjaan yang kasar, masakah boleh dibanding nona-nona yang halusan itu, lauk-pauk dan nasi sekian ini masakah cukup dimakan? Mohon tambahan nasinya saja.”

Kontan Tio lotoa menarik muka, katanya: “Hanya sekian saja jatah nasi kalian, mau tak mau terserah, kalau seluruh penghuni kampung ini makan menurut takaranmu, bukankah keluarga Li bakal bangkrut?”

Perempuan tua tidak marah, katanya pula unjuk tawa dibuat-buat: “Ya, ya, ya, memang kita makan terlalu banyak, tapi kami ini bukan orang tak punya pikiran, kami berani sudah menyiapkan beberapa banyak kain, untuk membuat jaket bagi para toako dari dapur.”

Tio lotoa mendengus hidung, air mukanya kelihatan rada sabar, cukup mengulapkan tangan dua mangkok besar berisi nasi penuh terus dijejalkan kepelukan perempuan tua itu.

Dari kejauhan Oh Thi-hoa menonton semua kejadian ini, hatinya geli dan dongkol pula, pikirnya: “Seorang koki disinipun begini pongah dan sewenang wenang, jikalau dia menjabat pangkat, rakyat jelata pasti ditindasnya setengah mati.”

Cepat sekali pembagian jatah-jatah makanan itu sudah selesai, paling akhir baru tiba giliran bagian orang-orang kandang kuda, laki-laki muka kuda itu menahan sabar, setelah menerima bagiannya diapun singkap dan memeriksa isi tenongnya. “Bagian istal kuda adalima orang dewasa empat anak kecil, memangnya hanya diberi sepanci bubur cewer dan beberapa keping bakpau saja?”

“Benar, hanya sekian saja bagian kalian!” sahut Tio lotoa.

Saking marah laki-laki muka kuda itu sampai hijau kulit mukanya, dampratnya: “Orang she Tio, kau… terlalu menghina orang!”

“Apa yang kau inginkan?” ejek orang she Tio. “Tidak ingin menerima jatah ini?”

Keruan laki-laki muka kuda mencak-mencak semakin murka, dampratnya: “Lebih baik tuan bersama tidak makan hidanganmu, biar hari ini aku adu jiwa sama kau.” tenong makanan itu segera dia ayun terus dibanting ke arah kepala Tio lotoa.

Tak kira Tio lotoa agaknya pernah latihan silat, sedikit membalik badan berbareng sebelah tangannya menggenjot, disusul sebelah kakinya menendang, bentaknya bengis: “Berani kau membuat gara-gara kepada pihak dapur kami, memangnya kau sudah bosan hidup?”

Digenjot mukanya dan ditendang terjungkal lekas laki-laki muka kuda merangkak maju menerjang maju pula dengan kalap, tapi dari dalam dapur serempak memburu keluar tujuh delapan laki-laki berseragam koki semua, terang sebentar laki-laki muka kuda ini bakal dihajar habis-habisan.

Setelah menunggu sekian lamanya, Oh Thi-hoa belum melihat ada orang yang datang atau mengantar jatah bagi makanan Soh Yong-yong berempat, hatinya sedang gundah, pikirnya: “Apakah mereka tak terkurung didalam perkampungan ini?” Sia-sia saja dia menunggu sekian lamanya, maka timbul niatnya hendak mencari ke lain tempat, namun melihat laki-laki muka kuda itu dianiaya sedemikian rupa, sungguh dongkol dan gemes pula hatinya terhadap para koki yang sewenang-wenang itu.

Dia tahu sekarang bukan saatnya dia mencampuri urusan orang lain, dasar berangasan dia tak tahan juga menerjang maju. Tio lotoa sedang acungkan kepalannya sebesar mangkok itu menghujani tubuh si muka kuda, tiba-tiba dilihatnya seseorang menerjang maju, sekali tampar seorang koki pembantunya dibikin jungkir balik tak bisa bangun. Pembantunya yang lain segera merubung maju mengeroyok, malah ada diantaranya mengacungkan pisau, sudah tentu Oh Thi-hoa tidak pandang mereka sebelah mata. Tanpa mengeluarkan kepandaian sejatinya, namun begitu dia gerak kaki tangannya, empat diantara tujuh koki yang hendak mengeroyok dirinya dia pukul roboh dan ditendang terjungkal.

Keruan pucat muka Tio lotoa, serunya: “Kau… kau bocah ini juga dari bagian istal?”

“Benar” jengek Oh Thi-hoa. “Kau kira orang-orang dari istal boleh dihina?”

Dengan murka Tio lotoa segera merebut pisau terus membacok kepadanya, tak nyana sekali depak Oh Thi-hoa bikin pisaunya mencelat terbang, sekali tendang lagi dia bikin Tio lotoa terpental jauh dan menumpuk teman-temannya.
Lekas laki-laki muka kuda memburu maju terus duduk di atas punggungnya, sekaligus ia tampar dan genjot puluhan kali, Tio lotoa yang tadi sewenang-wenang dan gagah-gagahan kini kaok-kaok minta tolong.

Baru saja Oh Thi-hoa menggasak sisa koko yang lain, sekonyong-konyong didengarnya seseorang menghardik nyaring: “Kalian berani berontak? Harap berhenti!”

Banyak orang yang menghentikan pekerjaan mereka sama menonton di pinggiran, begitu mendengar suara ini, segera beramai-ramai mengeluyur pergi, laki-laki muka kudapun agaknya amat ketakutan, kepalannya yang teracung tinggi berhenti ditengah udara.

Sebetulnya suara hardikan ini amat merdu halus dan tak menakutkan, kedengarannya malah menyegarkan semangat, bukan saja suaranya merdu, orangnyapun cantik.

Tampak gadis remaja ini beralis lentik bermata seperti burung hong, raut mukanya mungil seperti kuaci, meski mukanya bersungut marah, tapi kelihatannya begitu menggiurkan. Dandanan dan pakaiannya tiada bedanya dengan budak-budak perempuan lainnya, paling paling dia lebih cantik dan mungkin budak yang biasa melayani majikan di sini.

Sungguh Oh Thi-hoa tak mengerti, kenapa orang-orang di sini semua begini takut kepadanya. Tak tahan dia melirik dua kali mengamat-amati gadis ini, nona inipun sedang melotot mengawasi dirinya, katanya bengis: “Apa yang terjadi, kenapa kalian berkelahi di sini?”

Oh Thi-hoa melakukan kebiasaannya mengelus hidung dengan tertawa sahutnya: “Kami sih tidak ingin berkelahi, soalnya Tio lotoa terlalu menghina orang istal kami, tak memberi sogokan padanya, dia sengaja mempersulit jatah kami, tak memberi nasi.”

“Nona Ping,” sela Tio lotoa tersipu-sipu. “Sekali-kali jangan kau percaya obrolan dia!”

Nona Ping menarik muka, ejeknya dingin: “Mau dengar tidak pengaduannya adalah urusanku, tidak perlu kau cerewet, memangnya aku sudah tahu kalian, koki-koki masak belakangan terlalu bertingkah dan sewenang-wenang.”

Tio lotoa merengut kecut seketika dia mengkeret mundur tanpa berani banyak cincong lagi.

Dari atas ke bawah dengan cermat nonaPing mengamati Oh Thi-hoa, katanya tawar: “Kepandaianmu boleh juga, kenapa selamanya aku belum pernah melihat kau?”

“Setiap hari aku yang kecil selalu sibuk didalam istal sudah tentu nona takkan pernah melihat aku.”
Tak nyana pengawal dari istal ada juga jagoan yang gagah dan pandai kunthau seperti kau, agaknya kedudukanmu terlalu rendah tak sesuai kecakapanmu.” mendadak dia berpaling melotot kepada laki-laki muka kuda, bentaknya bengis: “Apa benar dia orang dari istal kalian?”

Tertunduk dalam kepala laki-laki muka kuda, diam-diam dia mencuri lirik kepada Oh Thi-hoa. Walau roman muka Oh Thi-hoa masih unjuk senyum lebar, namun diam-diam dia sudah siaga untuk bergebrak dengan sengit. Soalnya dia sudah tahu meski nonaPing ini kelihatannya lemah lembut, namun sorot matanya tajam bercahaya terang seorang tokoh silat luar dalam yang cukup lihai tingkat kepandaiannya, sukar dilayani.

Tak nyana laki-laki muka kuda ternyata manggut-manggut sahutnya sambil unjuk tawa dibuat-buat: “Benar, dia adalah adik misan Siaujin, beberapa hari yang lalu baru datang dari desa membantu pekerjaanku.”

Sorot mata nonaPing kembali tertuju ke muka Oh Thi-hoa, sikapnya mulai sabar dan hilang rasa marahnya, katanya: “Kau boleh kemari membantu kerja, tapi ku larang berkelahi di sini, tahu tidak?”

Oh Thi-hoa lega hati, sahutnya: “Baik, pesan nona tentu kupatuhi.”

Seperti tertawa tidak tertawa nonaPing mengawasi dirinya, katanya kagum: “Melihat gerak gerikmu tadi, kau bekerja di istal memang harus dibuat sayang, dua hari lagi datanglah menemui aku, akan ku usahakan laju pekerjaan yang sesuai dengan dirimu.”

Laki-laki muka kuda segera mendorong Oh Thi-hoa katanya: “Nona Ping bisa bicara langsung kepada Siau-cheng cu dan Hujin, kelak bila nonaPing sudi membimbing kau, terhitung kau mendapat rejeki nomplok.”

“Terima kasih nonaPing ,” segera Oh Thi-hoa unjuk rasa kegirangan. “Dua hari lagi aku pasti menghadap nona Ping.” melihat pinggangnya nonaPing yang ramping dan meliuk seperti gitar serta kakinya yang tinggi semampai, serta kedua jari-jari tangannya yang halus dan runcing-runcing itu, dalam hari memang dia sudah ingin berhadapan dengan nona cilik ini.

Baru sekarang Tio lotoa berkesempatan unjuk muka berseri katanya: “Jarang sekali nonaPing sudi datang kemari, entah ada petunjuk apa?”

Seketika nonaPing menarik muka pula, katanya: “Pekerjaan di istal memang kasar, tapi asal dia termasuk lingkungan dalam perkampungan ini, ransum yang harus kau jatahkan harus sama dan rata, selanjutnya bila kau berani korupsi, awas mangkok nasimu sendiri.”

“Siau… Siaujin tidak berani.” Tio lotoa tersipu.

“Baik, kemarin ada kusuruh kau membuat beberapa nyamikan, sudah kau siapkan belum?” tanya nonaPing lebih lanjut.

Tio lotoa terbelalak kaget, keringat dingin seketika membasahi jidatnya.

Nona Ping mendelik, katanya dingin: “Apa yang terjadi, memangnya jatah kami beberapa saudarapun kau lalap sekalian?”

Kecut muka Tio lotoa katanya meringis: “Siaujin punya nyali sebesar gunungpun takkan berani, bubur lidah ayam udang goreng, pangsit bakar dan lain-lain sesuai pesan nona sebetulnya sudah kubuat, cuma… cuma…”

“Cuma apa?” desak nonaPing .

Tergerak hati Oh Thi-hoa, mendadak dia tertawa dan menimbrung: “Hal ini tak bisa salahkan dia, dia kira kalau toh Siau-cheng-cu sudah pulang, nona pasti akan makan dari rangsum dapur kecil didalam, makan nyamikan yang sudah dia siapkan dia berikan kepada orang lain.”

Seperti menahan geli nona Ping mengawasi Oh Thi-hoa pula, katanya: “Tak kira kau orang ini ternyata berhati mulia, kau bicara membela dia malah.”

Mendadak Oh Thi-hoa menyadari bahwa tampangnya tentu tidak amat jelek, dan lagi punya daya tarik yang luar biasa, kalau tidak nona Ping ini sekali-kali tidak akan mengawasinya dengan sorot mata begini. Karena menurut perasaannya dipandang oleh seorang nona jelita dengan sorot mata begituan, sungguh merupakan suatu hal yang harus dibuat girang, tanpa sadar Oh Thi-hoa merasa dirinya terbang ke awang-awang.

Untunglah dia bukan laki-laki desa yang baru saja keluar kandang, dia masih belum lupa akan tugasnya kemari, biji matanya berputar, kembali dia berkata tertawa: “Apakah koki yang membuat nyamikan, dari dapur kecil didalamsana , tidak lebih pintar dan enak dari koki dari dapur besar ini?”

Kata nona Ping: “Kepandaian masak koki dapur kecil di sana tentu lebih baik dari dapur besar di sini, tapi kokinya adalah orang setempat, masakan yang bisa dibuatnya hanyalah masakan setempat pula, mana dia bisa bikin bubur lidah ayam dan lain-lain masakan dari Kwitang yang luar biasa itu?”

“O, masakan-masakan setempat tidak lebih enak daripada bubur ayam lidah dan udang goreng lain-lain itu?” tanya Oh Thi-hoa pula.

Laki-laki muka kuda jadi tak sabaran melihat petingkah Oh Thi-hoa, dia duga nona Ping pasti takkan sabar dan marah, tak nyana nona Ping sedikitpun tidak bosan tetap sabar, sahutnya tertawa lirih: “Menurut selera kami sudah tentu masakan daerah sini lebih enak tapi ada beberapa tamu undangan majikan justru senang masakan Kwitang, terutama setiap pagi hari hidangan yang kami suguhkan tidak boleh sembarangan, khabarnya orang-orang Kwitang memang demikian, nasi boleh tidak uruskan, namun nyamikan pagi dan malam sekali-kali tidak boleh sembarangan."

Oh Thi-hoa menghela napas, katanya: “Ya, orang yang usianya sudah lanjut, memang sulit dilayani.”

“Kau kira mereka kakek-kakek tua?”

Jantung Oh Thi-hoa sudah mulai berdebar, tapi dia masih bersikap tenang, katanya: “Bukan kakek tua, memangnya nona-nona besar?”

Nona Ping tertawa, sahutnya: “Benar, beberapa nona itu, memang lebih sulit dilayani dari kakek-kakek tua.”

Bagaimana juga Oh Thi-hoa bukan seorang yang bisa menahan perasaan hatinya, meski dia ingin berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa, tapi tak urung alisnya tegak, dan mata bersinar, mulut menyungging senyuman lagi, hatinya melonjak kegirangan.

Untung nona Ping sudah berpaling, matanya melotot kepada Tio lota, katanya: “Oleh karena itu bila hari ini kau tidak keluarkan nyamikan sesuai apa yang kupesan, berarti kau mencari gara-gara kepadaku, aku sendiri malu untuk mempertanggung-jawabkan kepada majikanku.”

Keringat gemerobyos di kepala Tio lotoa, sahutnya meringis ketakutan, sambil banting kaki: “Ini…”

Mendadak Oh Thi-hoa tertawa pula, selanya: “Sebetulnya kau tidak perlu gugup, jikalau kau masuk dapur dan mau cari, aku berani tanggung masih ada sisa nyamikan yang kau simpan.”

“O?” Tio lotoa bersuara kaget dan heran.

“Seorang koki besar kalau membuat beberapa nyamikan yang mencocoki selera mulutnya, bila dia tidak mencuri sedikit untuk dinikmati sendiri, maka hidangan buatannya itu tentu tidak enak.”

“Kenapa?” tanya nonaPing .

“Karena orang yang suka makan, baru pandai masak hidangan yang enak-enak.”

Memang dalam dapur masih ada beberapa macam nyamikan yang disembunyikan.

Nona Ping segera melirik kepada Oh Thi-hoa, katanya: “Tak nyana kau memang cerdik dan pintar.”

“Siaujin sedikitpun tidak pintar.” sahut Oh Thi-hoa. “Bukan saja aku sendiri suka makan, malah akupun pernah jadi tukang masak, kalau tukang masak tidak main korupsi akan masakannya, boleh dikata sesukar anjing dilarang makan tulang.” sembari bicara dia maju menjinjing tenong itu, lalu menambahkan: “Bobot tenong ini tidak ringan, biar Siaujin saja yang membawakan.”

Bersinar biji mata nona Ping , katanya tertawa: “Kalau kau selalu begini sregep, kelak tentu kau mendapat banyak manfaat.”

Setelah orang beranjak, sekilas Oh Thi-hoa memandang kepada laki-laki muka kuda itu dengan sorot mata terima kasih, laki-laki muka kuda itu manggut-manggut, katanya berbisik: “Harus hati-hati, disana kau tidak boleh petingkah lagi, jikalau disana kau perbuat kesalahan, akupun bisa ikut memperoleh getahnya, tahu tidak?”

Setelah keluar dari perkampungan belakang mereka menyusuri jalan liku-liku yang diapit tanaman kembang warna-warni, tak lama kemudian mereka sudah akan tiba di bilangan dalam kembali mereka menyusuri serambi panjang, jendela disini semuanya terukir indah dan mengkilap, suasana sunyi senyap, udara pagi dipenuhi bau kembang yang harum, sinar matahari menyinari kertas jendela yang putih, lantai di sepanjang serambi ini begitu kemilau lebih bersinar dari permukaan kaca.

Mata Oh Thi-hoa melulu mengawasi nonaPing yang jalan di depannya, dalam pandangannya gerak-gerik pinggang yang ramping dan pinggul yang menonjol padat itu jauh lebih menarik daripada pemandangan alam di sekitarnya. Apalagi hembusan angin lalu membawa harum kembang, nonaPing sering berpaling ke belakang unjuk senyuman mekar pula kepadanya, keruan hati Oh Thi-hoa senang bukan main.

Orang-orang yang dicari ubek-ubekan oleh Coh Liu-hiang selama beberapa bulan tak berhasil ditemukan, tak nyana hari ini tanpa banyak mengeluarkan tenaga dirinya bakal menemukan mereka, selanjutnya, dengan membawa Soh Yong-yong, Li Ang-siu, Song Thiam-ji dan Mutiara hitam, berlima bisa cepat memberi bantuan kepada Coh Liu-hiang, dengan kekuatan mereka berenam, masakah tidak mampu bikin Yong-cui-san-ceng ini langit ambruk dan bumi terbalik. “Tatkala itu, masakah ulat busuk tidak akan kagum dan memuji aku?” demikian batin Oh Thi-hoa serasa jantungnya seperti ingin terbang ke awang-awang saking kesenangan.

Kini sorot matanya beralih kepada pinggul nona Ping yang bulat berisi dan ketat terbungkus oleh celananya itu, tidak urung diam-diam dia tertawa geli dan melelet lidah, Pikirnya: “Tatkala itu aku pasti akan mencubit pelan di atas pinggulnya yang bulat ini, gadis romantis ini masakah takkan menubruk ke dalam pelukanku?” bukankah hatinya seperti dikilik-kilik, tangannyapun menjadi gatal, sampai dimana mereka berada dan melewati mana saja, bahwasanya tak pernah dia perhatikan.

Mendadak noaPing berhenti dan berkata: “Sudah sampai, buat apa kau masih jalan kedepan?”

Baru sekarang Oh Thi-hoa tersentak sadar dari lamunannya yang muluk muluk, sahutnya unjuk tawa berseri: “Apakah di sini saja?”

“Em! Tuh didalam rumah.” kata nonaPing .

Tampak kerai bambu bergelantung ke bawah rumah inipun sunyi sepi, dari dalam terendus bau wangi yang menyegarkan badan, entah bau kembang, bau dupa atau bau manusia?

Nona Ping tertawa cekikikan, katanya: “Apa sih yang kau lamunkan, serahkan tenong itu kepadaku!”

Sebelah tangannya menerima tenong dari tangan Oh Thi-hoa seraya mendekatkan mulut berbisik di pinggir kupingnya: “Malam nanti datanglah cari aku, tahu tidak?”

Meski hati Oh Thi-hoa bersorak girang, namun tak urung diapun merasa sayang, karena terpaksa dia harus menyia-nyiakan kebaikan dan tawaran si nona centil ini. Sebetulnya dia hendak main basa basi dulu baru akan turun tangan, siapa tahu…

Siapa tahu nonaPing yang genit ini tahu-tahu turun tangan lebih dulu. Tangan kirinya tiba-tiba melorot turun dari pundak Oh Thi-hoa beruntung dengan gerakan yang cekatan dan mahir sekali menutuk empat Hiat-to dibagian tangan dan ketiak kiri Oh Thi-hoa, sementara tangan kanannya masih memegangi tenong itu tanpa bergerak sedikitpun. Dikala Oh Thi-hoa lepaskan tenong di tangannya tahu-tahu pergelangan tangannyapun terpegang kencang oleh jari-jari runcing halus itu.

Terdengar nona Ping berkata halus merayu: “Pemuda yang romantis meski kau cukup baik dan simpatik terhadapku, terpaksa aku harus mengecewakan harapanmu.” lalu sekali tampar dia bikin Oh Thi-hoa terjungkal roboh tengkurap, lalu duduk di atas pantat Oh Thi-hoa, keruan merasa meledak perut Oh Thi-hoa saking gusar. Sekarang bukan saja dia tidak akan bisa tertawa, malah ingin menangispun air mata tak bisa diperasnya keluar.

Nona Ping lantas menepuk tangan dan berseru lantang: “Anak-anak hayo kemari!”
Dari dalam rumah segera berlari keluar beberapa anak laki-laki.

Berkata nonaPing : “Gotong bajingan ini ke dalam, ikat dengan urat kerbau, salah satu segera pergi memberi laporan kepada Siau-hujin, katakan orang yang suruh aku perhatikan sekarang sudah ketemu dan teringkus.

Kacung kecil berbaju hijau itu mengiakan dan segera berlalu.

Lalu nona Ping berkata kepada kacung cilik yang satunya lagi: “Beritahu kepada Thian-koan-keh, suruh dia pergi ke istal di belakang, hajar Ong sam si muka kuda lima puluh rangketan, lalu gusur pula ke empat Ui-koankeh untuk dihukum dengan tuduhan sekongkol dengan musuh.”

Terasa getir mulut Oh Thi-hoa, serunya: “Kau… memangnya kau sudah tahu siapa aku sebenarnya?”

Nona Ping tersenyum manis, ujarnya: “Masakah Oh Thi-hoa Oh Tayhiap yang kenamaan tidak kenal?”

“Tapi kau…”

“Siau-hujin sudah memperhitungkan kau pasti akan meluruk ke belakang mencari ke empat nona-nona itu, maka dia suruh aku meronda dan memperhatikan orang seperti kau, kupikir saat ini tiba waktunya makan pagi, kemungkinan kau akan mencari sumber penyelidikan dari “makan pagi” ini, karena kecuali ini, hakekatnya kau tak punya kesempatan untuk mendapatkan cerita mengenai teman-temanmu itu.” tertawa cekikikan lalu dia menyambung: “Kalau tidak demikian, masakah aku mau begitu saja lantas percaya kepadamu? Kemungkinan memang semua laki-laki dalam dunia ini mempunyai penyakit dan cacat yang sama, selalu mereka mengira dengan beberapa patah bujuk rayu, gadis yang masih hijau dengan mudah bisa dipeletnya. Di luar tahunya justru perempuan jika mau menipu laki-laki, jauh lebih gampang dari laki-laki menipu perempuan.”

Oh Thi-hoa menghirup napas panjang, mulutnya menggumam: “Seharusnya aku sudah tahu akan pengertian ini sejak tadi, memangnya kenapa aku begitu saja mau percaya akan obrolanmu?”

xxx

Jari-jari Coh Liu-hiang tetap memegangi ujung pedang, sementara gagang pedang dibuat menyerang musuh. Umumnya ujung pedang yang runcing dan tajam sukar dibuat pegangan, bukan saja sukar digenggam kencang, tenagapun sukar dikerahkan, apalagi menyerang dengan gagang pedang sudah tentu jauh tak begitu ganas dan membawa efek yang fatal bagi musuhnya daripada menyerang dengan ujung pedang yang tajam. Dalam kolong langit ini belum pernah ada tokoh pedang yang memutar balik cara pegangannya untuk melawan musuh, kecuali dia sengaja memandang rendah musuhnya, hakikatnya dia tidak pandang sebelah mata musuhnya.

Akan tetapi musuh-musuh yang dihadapi Coh Liu-hiang adalah tokoh-tokoh ahli pedang yang membekal kepandaian tiada taranya, musuh-musuh yang amat menakutkan, dan lagi belum sampai seperminuman teh, barisan ini digerakkan, berulang kali Coh Liu-hiang sudah menghadapi mara bahaya, pernah dua kali pedang-pedang musuh sudah menyerempet lewat di tenggorokannya dan di sisi tulang dadanya, namun dia tetap bersikap tenang serta menggunakan pedang dengan gaya yang sama sejak mula.

Apakah tujuannya? Siapapun tiada yang tahu, kenapa dia gunakan gagang pedang buat menyerang musuh. Memang orang lain tahu bahwa Coh Liu-hiang tidak akan pernah melakukan perbuatan yang tak berarti, tapi tiada seorangpun yang pernah mau memikirkan kemana juntrungan tujuannya, merekapun tiada yang mau bertanya.

Maklumlah dalam keadaan dan saat-saat yang gawat ini, tiada yang mau menggunakan otak untuk memecahkan teka-teki ini, maka merekapun tiada yang sempat bertanya. Yang jelas sekarang adalah saatnya menggunakan pedang.
Gerakan cahaya pedang laksana bianglala seperti kilat menyambar, perubahangaya permainan pedangpun beraneka warnanya, berubah-ubah tak putus-putus sambung menyambung, begitu cepat sehingga tak memberi kesempatan kepada musuh untuk memeras otak mencari akal untuk mengatasi. Maka gerakan perlawanan mau tidak mau harus dilakukan secara reflek dan otomatis.

Mereka kerahkan tenaga, himpun semangat dan pusatkan pikiran dan perhatian semua terpusatkan pada gerakan pedang di tangannya, hati dan permainan pedang mereka sudah senyawa dalam batang pedang yang bentuknya berlainan itu, kini sudah berubah menjadi tunggal, semangat napas, jiwa dan tenaga ke enam orang seolah-olah sudah dilebur menjadi satu. Sehingga gerakan jala cahaya pedang semakin rapat, semakin ketat, lambat laun menyempit dan mengecil. Coh Liu-hiang umpama ikan yang sudah terjaring didalam jala kembali di sini dia terjaring ke dalam lingkaran cahaya pedang.

Lain dengan kejadian-kejadian yang terdahulu hari ini terang ia takkan bisa lolos dan tiada jalan untuk dia keluar.

Dari kejauhan gerakan sinar pedang dengan landasan hawa pedangnya bergulung gulung meninggi turun naik seperti gugusan sebuah bukit yang berubah laksana pandangan khayal didalam mimpi, deru hawa pedang yang keras itu membuat udara seolah-olah bergolak seperti hujan badai sedang menerpa datang. Lama kelamaan udara pagi nan cerah ini menjadi dingin dan dingin seperti es.

Selama mengikuti pertempuran dahsyat ini rona muka Liu Bu-bi berubah beberapa kali, baru sekarang mukanya menampilkan senyuman mekar senang, karena sekarang dia sudah yakin bahwa Coh Liu-hiang sudah takkan mungkin bisa lolos lagi dari barisan pedang yang mandraguna ini. Memang perbawa barisan pedang ini laksana benteng baja yang takkan gugur dan jebol diterjang gugur gunung.

Begitu dahsyat dan hebat benar barisan pedang ini, sampai si orang tua linglung yang tinggal menunggu ajal itupun menunjukkan rasa haru dan bergolak perasaannya, hawa pedang yang menyesakkan napas, agaknya malah membangkitkan gairah jiwa hidupnya yang sedang sekarat. Jari-jari tangannya yang biasanya gemetar dan kurus kering itu, tak henti-hentinya bergerak, terbuka tergenggam lagi begitulah berulang kali, saking terbakar seolah-olah ingin dia melompat bangun dan menggenggam gagang pedangnya, menerjunkan diri didalam adu kekuatan nan sengit ini. Agaknya dia sudah tak tahan lagi duduk menonton tak bergerak.
Takkala itu gulungan sinar pedang sudah semakin sempit, pakaian bagian atas Coh Liu-hiang sudah hancur tersambar tebasan deru angin pedang yang tajam, boleh dikata dia sudah mati kutu dan tak kuat mengerahkan tenaga melawan.
Pada saat itulah, kacung cilik berbaju hijau tiba-tiba menyelinap masuk dari luar menyusuri pinggir tembok, munduk munduk ke dalam mendekati ke belakang Liu Bu-bi, lalu berbisik-bisik entah apa yang dia laporkan kepada nyonya muda ini.

Sekarang Liu Bu-bi tahu, bahwa Oh Thi-hoa di belakang sanapun sudah teringkus. Maka seri tawanya semakin mekar, didalam arus hawa pedang laksana pelangi meluncur tidak putus-putus itu, senyum tawanya kelihatannya begitu sadis dan culas, namun selintas pandang mukanya begitu molek dan agung.

Sekonyong-konyong hawa pedang yang seliweran saling gubat itu mendadak bersatu-padu, tabir cahaya pedang yang memenuhi udara itu kini mendadak berubah menjadi enam utas pelangi yang menyala, bersilang dari kiri kanan atas bawah serempak mengunci ke tengah pada badan Coh Liu-hiang. Perbawa gabungan hawa pedang semula mendesak Coh Liu-hiang sehingga dirinya dipojokan ke suatu yang mematikan. Maka tusukan pedang kembali dilontarkan, sekarang Coh Liu-hiang sudah benar-benar kehabisan tenaga dan putus asa, entah dengan cara apa dan bagaimanapun dia berkelit, dadanya takkan luput dari tembusan ujung pedang.
Memangnya dikolong langit ini sudah pasti takkan ada orang yang mampu meluputkan diri dari tusukan enam ujung pedang sekaligus dari enam penjuru.
Sekonyong-konyong “kelontang” bunyi sesuatu benda keras yang terjatuh ke lantai.

Disusul hawa pedang dan samberan pelangi kemilau itu secara ajaib mendadak sirna tak berbekas. Li Giok-ham dan kelima orang seragam hitam itu seolah-olah membeku kaku ditengah arus dingin yang mengembang keempat penjuru. Demikian juga senyuman manis yang menghias muka Liu Bu-bi secara mendadak ikut membeku kaku.

Tiba-tiba dilihatnya bayangan Coh Liu-hiang berkelebat miring, tahu-tahu pedangnya menyusup di bawah ketiak Li Giok-ham, telapak tangan kiri menekan dada Li Giok-ham, sementara jari-jari tangan kanannya meremas pergelangan tangannya. Pedang Coh Liu-hiang sendiri entah hilang kemana, sebaliknya dengan pedang ditangan Li Giok-ham, dia menekan dan menahan pedang panjang ditangan laki-laki kurus tinggi berbaju hitam itu.

Lebih enak lagi ternyata laki-laki kurus kate yang seragam hitam itu kini kedua tangannya sudah mencekal masing-masing sebatang pedang, entah apa yang terjadi, pedang yang dicekal ujung runcingnya oleh Coh Liu-hiang tadi, kini berada ditangan kiri laki-laki kurus kate ini.

Setiap gerak permainan perubahan barisan pedang ini sudah diperhitungkan begitu seksama, setiap jurus serangannya sudah direncanakan sesuai dengan ajarannya yang merupakan tumpuan otak seorang jenius dalam bidang ini, kerja-sama enam batang pedang seumpama ditembus air hujanpun tidak bisa, demikian rapatnya setitik lobangpun tiada! Maka pedang kurang sebatang pun tak boleh, karena barisan pedang seketika akan menunjukkan lobang, atau mungkin tak bisa digerakkan lagi, tapi jikalau kebanyakan sebatang pedang, barisan inipun tak mungkin bergerak, seperti orang mengumbar ular dibubuhi kaki naga, sia-sia dan tak sesuai dengan kebutuhan.

Kini barisan ini ketambahan sebatang pedang, sudah tentu gerakan tiga batang pedang yang lain menjadi terhalang dan macet karena kehadiran pedang yang satu ini. Kalau toh permainan pedang mereka sudah terbendung maka jurus-jurus selanjutnya sudah tentu tak bisa diteruskan, karena dalam waktu sesingkat itu, tahu-tahu jari-jari tangan Coh Liu-hiang sudah mengancam Hiat-to mematikan didada Li Giok-ham. Demi keselamatan jiwa Li Giok-ham pula terpaksa mereka harus menghentikan permainan.

Tanpa disadari telapak tangan Liu Bu-bi sudah berkeringat dingin. Entah berapa lama kemudian, mendadak Coh Liu-hiang unjuk tawa kepada laki-laki kurus kate baju hitam itu, katanya: “Dua puluh tahun yang lalu Cayhe sudah lama kagum dan mendengar betapa hebat kepandaian Jut-jiu-siang-hoat Yam yan-sin-kiam Ling-locianpwe yang tiada taranya di seluruh dunia. Sungguh tak nyana hari ini aku bisa kumpul bersama di sini dengan Ling-locianpwe malah bertanding pedang lagi, sungguh menggembirakan dan merupakan rejeki besar selama hidupku.”
Laki-laki kate kurus baju hitam mendengus hidung, ujarnya: “Apakah sejak tadi kau memang sudah mengetahui akan diriku?”

Coh Liu-hiang tertawa katanya: “Tadi waktu Cayhe melihat kedatangan Cianpwe berlima hanya mengenal satu orang saja, tapi terang bukan Ling-locianpwe.”

“Siapa yang sudah kau kenali lebih dulu?” tanya laki-laki kurus baju hitam.
Sorot mata Coh Liu-hiang beralih kepada laki-laki baju hitam yang menenteng pedang kayu itu katanya: “Tadi Cayhe hanya mengenal Cianpwe ini pasti Giok-kiam Sim Ciok Siau locianpwe. Keluarga Sian dengan Giok kiamnya, merupakan pedang tunggal yang tiada keduanya di Bulim. Siau Tayhiappun sebagai ahli pedang yang kenamaan di Kangouw, jikalau Tayhiap tidak suka muka aslinya dikenal orang, tentulah kuatir orang dapat melihat asal-usul dirinya, pula dari senjata pedangnya yang khas, oleh karena itu terpaksa harus membikin pedang dari kayu sebagai ganti senjatanya untuk mengelabui pandangan orang lain.

Giok-kiam Siau Ciok termenung sesaat lamanya, akhirnya dia menyingkap kerudung mukanya, katanya: “Benar, aku memang Siau Ciok, kalau kau sudah tahu asal-usulku, tentu kau sudah tahu bagaimana hubunganku dengan Li Koan-hu, soal lain aku tidak perbanyak bicara lagi.” tampak orang ini bermuka persegi dengan dagu lebar berkulit putih bersih, matanya berkilat seperti bintang, walau rambut dan jenggotnya sudah ubanan, ujung mata dan dahinya sudah dihiasi kerut-kerut kemerut, namun lapat-lapat masih menggambarkan kegagahan dan kecakapannya dimasa dulu, cuma setelah menanjak pertengahan umur, kini dia sudah menjadi kaya dan hidup tentram.

Coh Liu-hiang tertawa, katanya: “Oleh karena Cayhe memang sudah tahu betapa intim hubungan para Cianpwe dengan Li-lochengcu, maka Cayhepun sudah menduga, satu diantara kalian berlima tentu adalah Siang-kiam bu-tik-tin koan-tang Ling Hwi-kek Ling-locianpwe yang punya hubungan dekat sebagai adik ipar Li-locianpwe, cuma dalam waktu dekat belum bisa bedakan siapakah sebenarnya diantara kalian.

Ling Hwi-kek bertanya: “Sejak kapan kau dapat mengenali Lohu?”

“Beberapa jurus setelah Cianpwe melancarkan serangan, Cayhe lantas mengetahui yang mana Cianpwe adanya.” sahut Coh Liu-hiang.

“Ilmu pedang yang kugunakan bukan ajaran dari perguruanku sendiri, darimana kau bisa tahu akan diriku?” tanya Ling Hwi-kek pula.

“Memang ilmu pedang yang Cianpwe gunakan bukan ajaran perguruan sendiri, namun tetap masih dimengerti, soalnya selama bertahun-tahun Cianpwe sudah biasa menggunakan Siang kiam “sepasang pedang” hari ini, dipaksa oleh keadaan untuk main dengan pedang tunggal, sedikit banyak gerak-geriknya tentu kurang leluasa.”

Sampai di sini dia berhenti sebentar dengan tertawa lalu meneruskan: “Perduli siapapun, kebiasaan yang sudah berakar dan mendarah daging kepada seseorang selama puluhan tahun, didalam waktu singkat tak mungkin bisa menghapus atau memperbaiki kebiasaan ini demikian pula tangan kiri Cianpwe meski tergenggam kencang dan ikut bergerak mengikuti ajaran pedang tunggal, namun bila menghadapi saat gawat dan tegang, maka jari-jari tangan itu akan mengepal kencang seolah-olah sedang menggenggam sebatang pedang yang tidak kelihatan wujudnya.

Ling Hwi-kek mendengarkan dengan tekun sesaat kemudian dia bertanya: “Sejak permulaan kau sengaja mencekal pedang di ujungnya apakah kau memang sudah siap hendak mengangsurkan gagang pedangmu ini ke dalam tanganku?”

Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: “Benar, Cayhe tahu kalau gagang pedang ini diangsurkan ke tangan Ling Cianpwe, maka tanpa sadar Cianpwe pasti akan menerimanya. Soalnya seluruh perhatian Cianpwe sudah ditumplek pada gerakan pedang tunggal ditangan kiri, maka terhadap kejadian lain, tentu kurang menaruh perhatian atau boleh dikatakan sedikit lena. Oleh karena itu didalam keadaan itu mau tak mau Cianpwe sudah terkendali diri oleh kebiasaan itu sendiri.”

Hal ini gampang dimengerti, umpamanya seseorang yang sudah biasa isap rokok jikalau dia sudah bertekad dan berjanji untuk tidak isap rokok lagi namun bila dia kebentur saat-saat yang tegang urat syarafnya, jikalau segala daya pikirannya dia tumplek pada satu persoalan, kebetulan dihadapannya tersedia rokok maka tanpa dia sadari tangannya akan gatal dan mengambil rokok itu, itulah karena dia sudah dihayati oleh gerakan reflek di luar kesadarannya.

Pada saat itu sudah tentu Coh Liu-hiang sendiri belum tahu akan gerakan reflek diluar kesadaran itu, namun dia cukup tahu bahwa kebiasaan menjadi wajar dan akalnya memang benar dan berhasil dengan baik sekali.

Ling Hwi-kek menarik napas panjang, ujarnya: “Bicara terus terang setelah aku menyambuti pedang ini, aku sendiri masih bingung dan tidak tahu cara bagaimana pedang tahu-tahu sudah tercekal di tanganku.”

“Tapi tentunya Cianpwe cukup tahu, bahwa barisan pedang ini tidak boleh kurang satu pedang, namun juga tidak boleh ketambahan sebatang pedang, kalau tidak gerakan barisan pedang ini bakal kacau dan terhalang serta mati kutu.”

Agaknya hati Ling Hwi-kek amat mendelu dan masgul, diam-diam saja tak bersuara.
Berkata Coh Liu-hiang lebih lanjut: “Kalau gerakan keseluruhan dari barisan pedang ini terhalang, dengan sendirinyagaya dan bendungan barisan pedang ini berubah posisinya. tapi mengandal Lwekang dan kepandaian para Cianpwe sekalian, sudah tentu dengan cepat kesalahan dan kekurangan ini sudah bisa diatasi.”

Laki-laki tua bertubuh tinggi kekar itu menimbrung: “Oleh karena itu kau lantas bertindak menggunakan kesempatan yang amat baik dan singkat ini, kau menyergap dan mengancam Li-siheng, supaya senjata kami tak berani bekerja lebih lanjut untuk menyerang kau.”

Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: “Tindakan Cayhe memang amat terpaksa, bahwasanya sedikitpun Cayhe tiada hasrat hendak mencelakai Li heng.”

Liu Bu-bi menerjang, teriaknya: “Kalau begitu kenapa tidak segera kau lepaskan dia?”

“Kalau Cayhe lepaskan dia, apakah kalian juga mau membebaskan diriku?”
Liu Bu-bi kertak gigi, serunya: “Asal kau tidak melukai dia, aku boleh berjanji kepada mu…”

Sejak tadi Li Giok-ham tunduk lemas dan sayu, sekarang tiba-tiba dia membentak bengis: “Sekali-kali kau tidak boleh berjanji apapun kepadanya, mengapa kau lupa?”

Liu Bu-bi membanting kaki, serunya: “Sedikitpun aku tidak lupa, tapi kau…” masakah aku harus berpeluk tangan membiarkan orang menyakiti kau?”

“Aku mati tidak menjadi soal, meski dia benar menggorok leherku, kaupun jangan melepaskan dia pergi.”

Ternyata air mata Liu Bu-bi bercucuran, katanya dengan pilu: “Aku tahu demi aku, kau tidak segan-segan…” belum habis kata-katanya mendadak Li Giok-ham menggerung kalap seperti benteng ketaton, dengan kepalanya dia menubruk dada Coh Liu-hiang sementara kakinya melayang menendang kemaluannya.
Perubahan yang tak pernah terduga bukan saja Ling Hwe-kek kaget dan berubah mukanya, karena semua hadirin maklum asal tenaga dalam Coh Liu-hiang dikerahkan, maka urat besar yang menembus ke jantung Li Giok-ham bakal tergeser pecah dan hancur, jiwanya pun binasa.

Maka terdengarlah “Blang” Li Giok-ham terhuyung mundur ke belakang, pedang di tangannya mencelat terbang, namun badannya tidak sampai tersungkur jatuh. Malah Coh Liu-hiang tertendang terguling-guling. Kiranya disaat yang amat gawat itu Coh Liu-hiang tidak kerahkan tenaga dalamnya, disaat-saat jiwa sendiri hampir saja terenggut elmaut, ternyata dia masih tidak tega melukai atau menamatkan jiwa orang lain.

Li Giok-ham gentayangan mundur, Coh Liu-hiang roboh terguling, selarik sinar pedang melesat terbang… pada saat itu pula mendadak bayangan Liu Bu-bi melesat maju. Badannya meluncur laksana bintang mengejar rembulan, sigap sekali ditengah udara dia menyambut pedang Li Giok-ham yang mencelat terbang itu, lalu dari atas menukik turun bersama pedang itu terus menusuk ke arah Coh Liu-hiang yang masih terguling di lantai.

Coh Liu-hiang tidak tega melukai orang, celaka adalah dia sendiri terlentang luka tidak ringan, mukanya sudah pucat pias, namun keringat sebesar kacang berketes-ketes membasahi seluruh kepalanya. Dengan mendelong dia awasi tusukan pedang Liu Bu-bi yang bakal memantek badannya di atas lantai dengan dada tembus sampai ke punggung.

“Trang” sekonyong-konyong terdengar benturan keras sehingga keluar api muncrat menyilaukan mata, begitu kerasnya suara benturan senjata keras ini seperti pekikan naga sehingga kuping terasa pekak.

Ternyatalima batang pedang ditangan Li Hwi-kek dan lain-lain serempak terayun ke depan memetakan jaringan sinar mengkilap yang ketat, tahu-tahu tusukan pedang Liu Bu-bi tertahan dan tersanggah ditengah udara. Begitu keras benturan ini sampai badan Liu Bu-bi tertolak mumbul ke tengah udara dan bersalto ke belakang meloncat dengan enteng tancap kaki tak bersuara, tangan yang memegang pedang sudah linu kemeng tak bisa bergerak, namun pedang masih digenggamnya dengan kencang, suaranya gemetar dan ngeri: “Cianpwe… Cianpwe, kenapa kalian menolongnya?”

Suara Siau Ciok bengis dan kereng: “Dia tidak tega melukai jiwa suamimu, sehingga terima tertendang roboh, mana boleh dalam keadaan seperti itu kau hendak membunuh dia, anak didik keluarga Li di Mao kau mana boleh melaksanakan perbuatan serendah dan tak tahu budi seperti ini?”

Liu Bu-bi tertunduk lemas, agaknya diapun terbungkam tak bisa berdebat lagi.

Li Giok-ham mendadak berlutut, ratapnya: “Dia menaruh belas kasihan kepadaku, sudah tentu Wanpwe cukup tahu budi luhurnya ini Wanpwe tidak akan berani melupakannya apapun caranya Wanpwe pasti akan membalas budi kebaikan ini tanpa pamrih.”

“Seenak udelmu kau bicara, kau kira sebagai orang persilatan harus mengutamakan budi pekerti, tegas dalam budi kebaikan dan dendam kesumat.”

“Budi luhurnya terhadap Wanpwe terang akan kubalas ganda, tapi hari ini apapun yang terjadi sekali-kali Wanpwe tak akan membiarkan dia lolos dari sini.”

“Apa-apaan ucapanmu ini?” bentak Siau Ciok mendelik.

Semakin dalam kepala Li Giok-ham tertunduk sahutnya: “Karena betapapun tebal dan mendalam budi luhurnya terhadap Wanpwe, takkan setebal dan sedalam budi luhur orang tua yang mendidik dan membesarkan diriku, jikalau hari ini Wanpwe membiarkan ia pergi karena dia menanam budi terhadap diriku, mungkin ayah bakal menyesal seumur hidup, bukan mustahil aku bakal dikutuknya. Bakti terhadap orang tua memang sukar dilakukan dan memerlukan pengorbanan, namun betapapun Wanpwe harus mengutamakan bakti lebih dulu tentunya para Cianpwe tidak akan membuat Wanpwe tidak berbakti terhadap orang tua bukan?”

Lama Siau Ciok termenung, pelan-pelan sorot matanya tertuju pada Li Koan-hu.

Tampak rona muka si orang tua yang sudah loyo ini, dari pucat pasi kini berobah merah padam, daging di ujung bibirnya tampak gemetar keras, sepasang mata yang sudah hampa mendelong itu, kini menyorotkan kegusaran yang tak terlampias, seolah-olah mirip sepasang obor yang sakti, membakar dan menghidupkan kembali jiwa lapuknya yang tinggal menunggu ajal itu.

Siau Ciok akhirnya menarik napas, katanya sambil menarik sorot matanya: “Bagaimana menurut pendapat kalian?”

Ling Hwi-kek berempat kelihatannya serba susah, tiada satupun yang segera menjawab pertanyaan ini, dengan melirik satu persatu Li Giok-ham pandang mereka, katanya pula: “Wanpwe cukup tahu, dengan gengsi kedudukan dan ketenaran para Cianpwe, sekali-kali tidak akan turun tangan disaat lawan sudah terkalahkan, apalagi membunuhnya. Tapi mengingat hubungan intim para Cianpwe dimasa lalu dengan ayah, tentunya takkan berpeluk tangan dan tega membiarkan beliau memeras diri dalam keadaan yang tersiksa itu.” Kini kepalanya terangkat, katanya lebih lanjut: “Sejak tujuh tahun yang lalu waktu beliau meyakinkan hawa pedang, tak beruntung Cay-hwe-ji-po, selama tujuh tahun ini keadaan lebih sengsara dan tersiksa daripada orang mati, memangnya para Ciapwe begitu tega…”

“Jangan kau banyak cerewet lagi!” sentak Siau Ciok bengis: “Aku hanya ingin tanya kepadamu, umpama kata sekarang kita membunuh Coh Liu-hiang, memangnya manfaat apa yang diperoleh ayahmu?”

“Wanpwe sendiri tidak tahu kenapa ayah begitu getol ingin membunuh jiwa orang ini, aku hanya tahu bahwa perintah dan kehendak orang tua tak boleh dibangkang, jikalau para Cianpwe belum lupa akan…”

“Tidak perlu kau peringatkan aku.” tukas Siau Ciok keras. “Memangnya dulu Li Koan-hu teramat baik terhadapku, umpama aku bisa melakukan perbuatan terkutuk kepada manusia siapa saja dikolong langit ini sekali-kali aku takkan berani berbuat salah terhadapnya!” mulut bicara pelan-pelan dia menarik pedangnya, katanya: “Putusanku sudah tegas, entah bagaimana pendapat kalian?”
Laki-laki bertubuh tinggi kekar menghela napas sahutnya: “Kalau Siao-lo berpendapat demikian, Losiu takkan banyak bicara lagi!”

Ling Hwi-kek berkata: “Dengan Hoan-hu-heng bukan saja kenalan baik, malah masih terhitung famili dekat, maka kedudukan dan keadaanku sendiri sebetulnya jauh lebih menyulitkan daripada kalian, maka… maka… mendadak dia membalikkan badan katanya: “Hari ini perduli kalian mau bunuh Coh Liu-hiang atau membebaskannya pergi, terpaksa aku anggap tidak melihat tak mendengar, lebih baik kalian boleh anggap aku tak hadir di sini.”

Kini empat pedang sudah ditarik mundur. Laki-laki baju hitam yang bertubuh biasa itu agaknya lama sekali peras otaknya, baru sekarang dia bersuara dengan nada berat: “Pendirianku sama dengan Ling-heng.” agaknya orang ini tidak suka bicara cukup beberapa patah katanya saja, dia lantas putar badan menyingkir ke pinggir.

Maka sekarang yang ketinggalan hanyalah laki-laki tinggi besar yang kekar itu, pedangnya masih teracung lurus ke depan, meski pedang tergenggam erat, namun ujung pedangnya kelihatan bergoyang-goyang dan gemetar.
Berkata Siau Ciok mengerut alis: “Aku tahu hubunganmu dengan Li Koan-hu paling mendalam, kenapa kau tidak buka suara?”

Laki-laki tinggi besar serba hitam ini menghela napas, katanya: “Bukan saja hubungan Koan-hu-heng dengan aku amat mendalam malah dia pernah menolong jiwaku, jikalau lantaran diriku sendiri, aku disuruh membunuh Coh Liu-hiang dengan pedangku ini tak menjadi soal, namun sayang…”

“Apa yang kau sayangkan?” tanya Siau Ciok tidak sabar.

“Tentunya Ciok-lo sudah tahu setiap patah dan tindak tandukku, bakal mempengaruhi ribuan anak murid Bu tong-pay kami, mana bisa, mana aku bisa…” suaranya gemetar terang bahwa hatinya amat mendelu dan perasaan hati sedang berada dalam tekanan keadaan.

Namun Siau Ciok segera membentak dengan bengis: “O, jadi kau sedang merisaukan kedudukan Toa-hu-hoatmu di Butong-san, tapi jikalau Li Koan-hu tidak menolong jiwamu, apa kau masih bisa hidup sampai sekarang?”

“Kenapa tidak kau copot saja kedudukan Toa-hu-hoatmu itu demi membalas kebaikannya?”

Ternyata laki-laki tinggi besar dan kekar ini adalah Thi-san Totiang, pelindung pertama dari Bu-tong-san yang sekarang. Diam-diam mencelos hati Coh Liu-hiang, terdengar Siau Ciok sedang berkata pula: “Biar kuberitahu kepadamu, setelah hari ini aku membalas budi kebaikan Li Koan-hu selanjutnya akupun malu untuk mengurus dan mengasuh serta memimpin murid didik dari perguruan Giok-kiam kami, selanjutnya aku akan mengundurkan diri mengasingkan diri di atas gunung, jikalau kau suka menjadi temanku, dengan senang hati aku sambut uluran tanganmu.”

Dada Thi-san Totiang turun naik napasnya memburu keras, keringat bertetesan membasahi bahunya.

Mendadak Coh Liu-hiang menimbrung dengan tertawa: “Kukira Totiang tidak perlu sangsi dan serba salah, lebih baik kau tiru tekad para Tayhiap ini, gunakan diriku sebagai pembalasan kebaikan orang! Apa yang dinamakan “kesetiaan dan keadilan Kang-ouw” sebetulnya banyak ragam artinya, hari ini kau membunuh aku, bukan saja orang lain tidak akan menistamu sebagai seorang yang tak punya rasa cinta kasih dan tidak setia, malah orang akan mengatakan kau tegas memberikan budi kebaikan dan dendam sakit hati, bagi seorang laki-laki sejati yang membalas budi kebaikan orang lain. Sebaliknya jikalau hari ini kau bebaskan aku, kelak kau akan malu jadi manusia.”

Thi-san Totiang membanting kaki, mendadak dia angkat telapak tangan kirinya, terus diayun balik menebas ke pundak kirinya sendiri. “Krak” terdengar tulang patah dan remuk oleh pukulan tangannya sendiri.

Siau Ciok berteriak kaget, serunya: “Kenapa kau berbuat demikian?”

Thi-san Totiang terhuyung mundur, katanya serak dengan tertawa getir: “Kalian sudah melihat, Coh Liu-hiang, kaupun melihat bukan aku tidak sudi merintangi mereka membunuh orang, kenyataan sekarang aku sudah tak mampu menghalangi mereka lagi.”

Bukan saja mula Liu Bu-bi sudah pucat pias tak berdarah, agaknya diapun terkesima saking kaget dan takut.

Kata Thi-san Totiang dengan serak: “Kenapa tidak segera kau bunuh dia? Apa pula yang kau tunggu?”

Tersipu-sipu Liu Bu-bi berlutut di lantai bersama Li Giok-ham keduanya menyembah tiga kali, serunya: “Terima kasih Cianpwe, budi luhur para Cianpwe selama hidup Tecu takkan melupakan.”

Coh Liu-hiang menghela napas pelan-pelan katanya dengan tertawa getir. “Ada orang seperti Thi-san Totiang yang begitu simpatik terhadapku maka terbukti sudah bahwa “jalan kebenaran dan keadilan Kangouw” hakekatnya bukan omong kosong belaka, terhitung kematianku tidak sia-sia, aku mati tidak penasaran, cuma sampai sekarang aku tetap tak mengerti, kenapa kalian ingin benar membunuhku, akupun tahu sekarang kalian terang takkan mau memberi tahu kepadaku, agaknya matipun aku akan jadi setan gentayangan.”

Maka ujung pedang Liu Bu-bi akhirnya terhujam kedada Coh Liu-hiang.

Coh Liu-hiang secara langsung merasakan ujung pedang Liu Bu-bi yang dingin itu sudah menembus ke dalam kulit dagingnya, anehnya dalam keadaan seperti itu, Coh Liu-hiang ternyata malah terlalu terang, sedikitpun tidak merasa takut, sampai sakitpun sudah tak terasakan lagi olehnya, yang terasa hanyalah ujung pedang yang tajam mengkilat itu sedingin es.

Entah mengapa pada detik-detik sebelum ajalnya ini, pikirannya mendadak melayang ke tempat nan jauh disana , di suatu tempat di pucuk utara yang bertanah salju. Terbayang olehnya diwaktu dirinya masih kecil, waktu dia bersuka ria bergulingan dengan Oh Thi-hoa dibukit salju, secara diam-diam Oh Thi-hoa menyusupkan segenggam salju yang dingin itu ke dalam lobang baju di lehernya. Gumpalan salju itu terus melorot turun sampai di dadanya, perasaan diwaktu kecil dulu itu mirip benar dengan keadaan sekarang.

Bila orang mengacungkan gumpalan salju hendak menyusupkan kedalam bajunya, kau akan merasa takut, namun setelah salju yang dingin itu menyentuh dan mengalir di kulit badanmu, kau malah akan merasa suatu siksaan yang menyenangkan, seolah-olah pula kau merasakan terbebaskan dari segala belenggu dan kesulitan, karena sesuatu yang membuatmu merasa takut sudah berlalu.

Lantaran yang betul-betul ditakuti oleh orang, bukan benda itu sendiri, tapi hanyalah bayangan khayalnya saja terhadap kejadian itu, umumnya manusia takut menghadapi kematian, lantaran tiada manusia yang benar-benar memahami arti dari kematian itu, maka timbul berbagai bayangan atau khayal yang menakutkan terhadap kematian sendiri.

Dan kematian itu kini sudah berada di hadapan Coh Liu-hiang. Didalam masa hidupnya yang beraneka ragam, penuh humor dan serba romantis itu, dia sendiri tidak tahu berapa kali dirinya pernah menghadapi detik-detik tegang yang bakal merenggut jiwanya, tapi selama itu dia tak pernah kehilangan keyakinan dan kepercayaan terhadap dirinya sendiri.

Hanya kali ini saja, dia benar-benar sudah tak berdaya sama sekali, ia insyaf dalam keadaan seperti ini ditempat ini pula, sekali-kali takkan terjadi sesuatu keajaiban, pasti takkan ada orang yang bakal menolong dirinya lagi.
Secara langsung terasa olehnya, belum pernah dirinya begitu dekat dengan ajal, begitu dekat seolah-olah dia sudah dapat merasakan serta melihat keganjilan dari bayangan kematian itu, sehingga terasa pula olehnya bahwa “MATI” ternyata juga hanya begini saja, tiada sesuatu yang perlu dibuat takut, maka timbul ingatannya, bahwa bukan saja orang-orang yang takut mati amat kasihan, sesungguhnya amat menggelikan.

Maka setitik harapannya pada saat itu, hanyalah, semoga Oh Thi-hoa sudah membawa Soh Yong-yong dan lain-lain melarikan diri, jikalau sekarang dia tahu bahwa Oh Thi-hoa kenyataannyapun sudah teringkus dan tergenggam jiwanya ditangan mereka, maka perasaan hatinya sebelum ajal ini takkan begitu tenang dan tentram.

Sekilas ini, banyak sekali persoalan yang terbayang dalam benaknya, dia sendiri tidak tahu cara bagaimana didalam waktu yang singkat ini dia bisa teringat banyak persoalan itu. Dia merasa ujung pedang yang dingin itu masih berhenti di dadanya. Agaknya ujung pedang sedang berhenti mogok. Tak tertahan segera dia angkat kepala memandang ke arah Liu Bu-bi. Dilihatnya mata Liu Bu-bipun sedang menatap dirinya, roman mukanya yang cantik pucat itu seakan-akan menampilkan rasa pilu dan sedih, sayang dan kasihan.

Terdengar Li Giok-ham batuk-batuk kecil, katanya: “Coh-heng, terus terang kami merasa amat bersalah terhadap kau, semoga kau suka memaafkan tindakan ini.”
Hampir saja Coh Liu-hiang tak tahan hendak tertawa, masakah seorang pembunuh mohon ampun dan minta maaf kepada korbannya, terasa oleh Coh Liu-hiang ucapannya ini teramat lucu dan ganjil kedengarannya.

Liu Bu-bi segera menambahkan dengan suara rawan: “Kami sendiri tiada niat membunuh kau, sungguh merupakan tindakan terpaksa.” setelah menghela napas, dia pejamkan matanya.

Coh Liu-hiang tahu begitu matanya terpejam, maka ujung pedang segera akan menusuk ulu hatinya dan tamatlah jiwanya.

Tak tahunya pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara gaduh, seperti meja dan cangkir poci dan lain-lain di atas sama jatuh pecah berantakan, selanjutnya didengarnya pula seseorang membentak dengan suara yang dipaksakan: “Ta…. tahan!”

Dalam detik-detik yang menentukan jiwanya ini, sungguh mimpipun Coh Liu-hiang tidak akan pernah membayangkan ada orang bakal menolong jiwanya. Memang mimpipun tak pernah terpikir olehnya, siapakah sebenarnya yang menolong dirinya.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar