-------------------------------
----------------------------
Bab 5. Pasangan suami istri yang aneh
Kabut semakin tebal sehingga
tabir malam terasa semakin kelam.
Disongsong datangnya gulita
ini mereka naik ke puncak gunung, melewati Yam yang-sung. Hau-cu-beng,
Toan-liau-nam. Kam-kain-swan. Sik-kiam-sek. Jin-sian-ting dan Sian-jin-tong.
Tapi mereka tidak menemukan
jalan yang langsung menembus ke Yong-ciu-san-cheng. Hampir saja Oh Thi-hoa
sudah curiga bahwa Yong-cui-san-cheng apa benar terletak di Hou-kin-san ini.
Kata Oh Thi-hoa dengan mengerut kening: “Apa kau sendiripun belum pernah
berkunjung ke Yong cui san-cheng?”
“Belum, aku cuma dengar bahwa
Yong cui san-cheng terletak dalam pelukan gunung jauh dariTay ouw, pulau pasir
yang indah permai dengan layar berkembang, asap mengepul ditengah rumpun bambu,
merupakan tempat yang panoramanya terindah di seluruh gunung ini.”
Waktu Oh Thi-hoa hendak
bersuara lagi, tiba-tiba dilihatnya dikejauhansana terangkat tinggi sebuah
lampion perak, bergoyang-goyang terhembus angin, seolah terletak pada suatu
puncak gunung yang tinggi.
“Permainan apa pula itu?” ujar
Oh Thi-hoa mengerut kening.
“Apapun yang akan terjadi
disana kita harus menengok kesana.” ajak Coh Liu-hiang.
Cepat sekali mereka kembangkan
Ginkang melesat ke atas puncak, setelah dekat dilihatnya sebuah menara raksasa,
bercokol tinggi dengan angkernya ditengah hembusan angin gunung yang deras,
menara ini tujuh tingkat setiap tingkatnya terdapat genteng wuwungan yang
miring menjulur keluar.
Lampion merah itu tergantung
di bawah payon genteng, yang paling tinggi, namun suasana sepi lenggang, hanya
pohon cemara yang bergoyang gontai mengeluarkan suara-suara melengking yang
bersahutan, tiada tampak bayangan seorangpun di sini.
Siapakah yang menggantung
lampion itu di atassana , apa tujuannya?
Cahaya lampion laksana darah,
di bawah penerangan cahaya merah darah ini, tampak pada dinding menara, di
bawahnya bertuliskan sebaris huruf-huruf tapi karena tulisan berada di puncak
tertinggi, sehingga tidak begitu jelas dan tak terbaca dari bawah.
“Matamu lebih jeli dari
mataku, apa kau sudah melihat jelas apa yang tertulis di atas itu?”
Agaknya Coh Liu-hiang seperti
memikirkan sesuatu, dia cuma geleng kepala.
“Biar kutengok ke atas sana.”
kata Oh Thi-hoa. Baru saja dia hendak melompat, tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah
menariknya.
“Aku tahu pasti mereka sedang
mengatur tipu daya di sini, tapi kalau kita tidak kesana hati terasa mendelu.”
“Biar aku yang naik” kata Coh
Liu-hiang. Tanpa menunggu jawaban Oh Thi-hoa badannya sudah melambung ke atas,
dia sendiripun tahu bukan mustahil di atassana ada perangkap keji yang menunggu
dirinya, maka gerak-geriknya teramat hati-hati dan waspada.
Sebentar saja tampak badannya
seenteng burung walet sudah mencapai tingkat ke enam, akhirnya dia sudah
melihat jelas tulisan di dinding itu yaitu berbunyi: “Coh Liu-hiang mampus di
sini.” selintas pandang dia sudah membaca tulisan ini, mesti hati amat kaget
namun sedikitpun dia tidak menjadi gugup, tanpa banyak membuang waktu langsung
badannya meluncur turun ke bawah.
Siapa nyana pada saat itu pula
sekonyong-konyong dari puncak menara terkembang sebuah jala raksasa.
Selama ini Oh Thi-hoa
menengadah mengawasi gerak-gerik Coh Liu-hiang, dengan jelas dilihatnya sinar
kemilau dari benang-benang jala itu, seolah-olah terbuat dari kawat-kawat lemas
yang halus, meski bobotnya enteng tapi daya luncurnya ternyata amat pesat.
Disaat Coh Liu-hiang hampir
terbungkus dan terjerat oleh jala besar ini, tak terasa Oh Thi-hoa menjerit
memperingatkan: “Awas!”
Ditengah peringatan Oh Thi-hoa
itu, badan Coh Liu-hiang sudah melorot turun dengan lebih cepat, sehingga jala
yang terkembang itu seolah-olah ketinggalan diatas kepalanya, keruan Oh Thi-hoa
menghela napas lega.
Tak nyana dari tingkat kelima
menara batu ini, sekonyong-konyong laksana kilat menyambar keluar sebatang
sinar perak yang kemilau pula, agaknya seperti tombak arit yang melengkung,
senjata yang jarang terlihat dan dipakai oleh kaum persilatan. ujung tombak
menggantol kedua lutut Coh Liu-hiang.
Sudah tentu bukan kepalang
kaget Coh Liu-hiang, namun dia tetap tenang, sigap sekali sebelah tangannya
menepuk pinggiran wuwungan tingkat kelima, cepat sekali badannya sudah bersalto
mundur ke bawah. Namun demikian setelah dia terhindar dari gantolan musuh,
badannya berarti masuk perangkap jala lebar itu, seketika seperti ikan besar
yang terjaring seluruh badannya bergelimang didalam jala, terus melayang turun
dengan berputar-putar ditengah-tengah udara.
Tapi tombak gantolan itu cepat
sekali terulur keluar pula dan menggantol jala sehingga jala tak sampai jatuh
ke bawah, dengan sendirinya Coh Liu-hiang tergantung ditengah udara dengan
tanpa bisa bergerak didalam jala meski dia sudah kerahkan seluruh kekuatannya,
makin lama benang-benang jala itu malah mengencang dan menjirat kulit
dagingnya.
Selama berdampingan berjuang
danmalang melintang, entah berapa lama Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang mengalami
pertempuran antara mati dan hidup, namun selamanya belum pernah mereka
menghadapi alat senjata serba aneh, perangkap serba licik dan licin seperti
ini.
Reaksinya boleh dikata sudah
amat cepat, namun perubahan yang dihadapinya justru lebih cepat lagi,
hakikatnya Oh Thi-hoa sendiri tidak sempat mengawasi cara bagaimana Coh
Liu-hiang bisa terjaring ke dalam jala musuh. Tampak sinar perak kemilau
bergoyang, tahu tahu Coh Liu-hiang sudah tergantung ditengah udara.
Sekali merogoh tangan
Oh-Thi-hoa lolos pisau pendek didalam slop sepatunya, tahu-tahu badannya sudah
melejit tinggi, sinar pisaunya laksana bianglala terbang mengirim kearah jala
besar itu.
Namun didengarnya Coh Liu-hiang
membentak kepadanya: “Lekas mundur kedua orang ini tak boleh dilawan…” ditengah
bentakannya ini, dari puncak menara tahu-tahu meluncur sesosok bayangan seperti
burung raksasa.
Malam remang-remang sehingga
tak terlihat jelas bentuk mukanya, yang terang orang ini berperawakan tinggi
besar, solah-olah seorang didalam dongeng pada jaman purba dulu.
Terasa pandangan Oh Thi-hoa
tiba-tiba menjadi gelap, seolah-olah menara raksasa ini tiba-tiba runtuh
menindih ke atas kepalanya, ke arah manapun dia berkelit menghindarkan dirinya
tetap terkurung didalam bayangan hitam ini.
Kalau kaum keroco yang
menghadapi situasi segawat ini, saking takutnya mungkin sudah pikirkan
keselamatan diri sendiri dan berusaha lari, jelas dia takkan lari dari tindihan
bayangan raksasa laksana gugur gunung ini.
Betapapun nyali Oh Thi-hoa
memang berlipat ganda lebih besar dari orang lain, bukan saja dia tidak lekas
melorot turun berusaha menyelamatkan diri, dengan mengacungkan pisau di
tangannya, dia malah menerjang naik memapak ke arah bayangan raksasa ini. Cara
tempur dan serangan yang ingin mengadu jiwa dengan musuh seperti ini, biasanya
dipandang perbuatan memalukan bagi seorang tokoh kosen, namun ada kalanya dapat
merubah situasi memutar keadaan merebut inisiatif penyerangan lebih dulu.
Soalnya lawan sudah yakin bila dirinya pasti menang, sudah tentu dia takkan
sudi melayani cara tempur yang nekad ini, akan tetapi bagi siapapun untuk
merubah gerakan jurus permainan silatnya didalam waktu sesingkat itu, jelas
bukan urusan yang mudah dilakukan atau boleh dikata tidak mungkin.
Diluar tahunya bayangan besar
dari makhluk raksasa ini ternyata bergerak sedemikian lincah dan gesit sekali,
mendadak bayangannya berputar, ditengah udara badannya melayang menyingkirlima
kaki jauhnya.
Tepat pada saat itu pula,
tombak gantolan mendadak ditarik mundur, sudah tentu Coh Liu-hiang yang
tergantung ditengah udara dalam jala besar itu seketika melayang jatuh.
Coh Liu-hiang melayang jatuh
sementara Oh Thi-hoa menerjang naik, keruan kedua-duanya saling terjang dengan
kerasnya, untuk pisaunya dapat dia geser ke samping sehingga tidak melukai Coh
Liu-hiang, berpaling seluruh hawa murni yang dia kerahkan, seketika dia
buyarkan, dia rela dirinya keterjang sampai luka-luka, betapapun dia tidak mau
membuat luka Coh Liu-hiang. “Blang” seperti meteor jatuh badan Coh Liu-hiang
menumbuk Oh Thi-hoa dengan dahsyatnya.
Karena tenaga dan hawa
murninya tiba-tiba kuncup, keterjang begitu keras lagi, seketika terasa
kepalanya berat, matanya berkunang-kunang, tanpa kuasa Oh Thi-hoa jatuh
semaput. Lapat-lapat masih terasa olehnya badan Coh Liu-hiang menindih di atas
badannya.
Belum lagi musuh bergerak atau
menyerang, tahu-tahu pihak sendiri telah dipukul roboh dan tak bisa berkutik
lagi.
Sesaat kemudian terdengarlah seseorang
tertawa terpingkal-pingkal, serunya: “Banyak orang bilang betapa hebat dan
lihainya kedua orang ini, ternyata hanya begini saja.” suara orang ini
kedengarannya melengking tajam dan cepat sekali, seperti suara anak kecil yang
lagi menanjak dewasa, tapi setiap patah katanya dapat didengar sampai ketempat
jauh, betapa kuat Lwekangnya, kiranya sudah terlatih beberapa puluh tahun.
Seorang lain segera menjawab:
“Memangnya di kalangan Kangouw banyak kaum keroco yang suka mengagulkan diri,
tapi kedua orang ini terhitung lumayan juga.”
Suara orang ini justru seperti
genta yang ditalu, dan lagi amat perlahan dan lamban, dia bilang sepatah kata,
orang lain sudah berkata tiga empat kata.
Kuping Oh Thi-hoa terasa pekak
waktu dia membuka mata, maka dilihatnya dua orang tinggi pendek berdiri di
depannya.
Umpama orang pendek ini
berjinjit paling hanya seperut orang di sebelahnya, badannya kurus kering
seperti genteng, kepalanya menggunakan topi rumput yang besar sebesar roda
kereta. Seolah-olah mirip benar dengan jamur payung, seluruh badannya yang
kurus itu terselubung oleh bayangan topinya, bahwasanya sukar terlihat raut
mukanya.
Orang yang tinggi ini biji
matanya seperti kelintingan tembaga, pinggangnya kira-kira dua pelukan orang
dewasa, rambut panjang awut-awutan, sebagian di sebelah belakang dikuncir jadi
dua, selintas pandang mirip benar dengan patung penjaga pintu kelenteng
pemujaan.
Pakaian yang dikenakan kedua
orang ini amat mewah kalau tidak mau dikatakan terlalu perlente, jelas tukang
jahitpun seorang ahli yang sudah kenamaan, tapi pakaian perlente ini dipakai
oleh orang-orang dengan perawakan seperti mereka, kelihatannya tidak keruan.
Yang pendek mengenakan jubah
sutra yang baru berwarna menyala, namun dimana-mana berlepotan minyak, terang
kancing pertama, namun dimasukkan ke dalam kancing ketiga.
Orang gede di sebelahnya juga
mengenakan jubah panjang warna merah dengan celana panjang warna biru, sayang
ukuran jubahnya ini paling tidak kurang tiga angka, karena panjangnya kurang
dua kaki, dengan badan sebesar itu mengenakan pakaian ketat dan kependekan
seolah-olah pakaiannya hasil curian saja.
Kedua orang yang aneh dan lucu
ini, kenyataan memiliki kepandaian silat sedemikian tinggi. Oh Thi-hoa hampir
tidak percaya akan pandangan matanya sendiri, tanyanya: “Siapakah namamu?
Kenapa…”
Belum habis pertanyaannya si
pendek itu sudah berteriak: “Masakah aku ini tidak kau kenal?”
“Memangnya Oh Thi-hoa Oh
Tayhiap seperti aku ini kenal orang macam kalian ini?”
Si pendek menghela napas
gumannya: “Tak nyana setelahmalang melintang sekian tahun di Kang-ouw, bocah
keparat ini sia-sia hidup setua ini, masakah aku orang tua inipun tidak
dikenalnya” sembari bicara topi rumput di atas kepalanya ditanggalkan, katanya
menambahkan: “Coba kau lihat biar jelas, siapa aku ini?”
Tampak oleh Oh Thi-hoa kepala
orang ini gundul pelontos tanpa seutas rambutpun dan lagi kepalanya ini satu
lipat lebih besar dari kepala orang biasa. Dengan badan yang kurus punya kepala
sebesar itu, seperti sumpit yang diatasnya menusuk sebuah bakpao, sayang
keadaan Oh Thi-hoa masih lemas dan linu bergerakpun tidak bisa, kalau tidak
melihat tampangnya ini tentu tak tahan dia terpingkal-pingkal geli.
Berkata pula si pendek:
“Sampai sekarang kau masih belum tahu siapa aku ini?”
“Aku hanya tahu bahwa kau ini
adalah si gundul botak saja, memangnya apanya yang perlu dibuat heran?”
Si pendek pun tidak marah,
malah tertawa berseri, katanya: “Kalau gundul lantas tiada apa-apanya?”
“Tidak ada apa-apanya? sudah
tentu tidak punya rambut.”
“Tiada rambut berarti Bu-hoat,
benar tidak?”
Selamanya belum pernah Oh
Thi-hoa berhadapan dengan orang secerewet ini, malas rasanya meladeni bicara
orang.
Si pendek kembali mengenakan
topi rumput besarnya ke atas kepalanya, katanya sambil mendongak: “Dimana
langit kenapa langit tidak kelihatan?” dengan menggunakan topi rumput sebesar
itu mesti kepalanya mendongak, langit memang tidak dilihatnya. Tak tertahan Oh
Thi-hoa tertawa, tapi sekilas otaknya berpikir kulit daging mukanya seketika
kaku dan mengejang secara mendadak.
Si pendek tertawa riang,
ujarnya: “Kini tentu kau sudah tahu siapa aku orang tua ini bukan?”
“Kau…” suara Oh Thi-hoa serak
tersendat. “Apakah kau ini Bo-hoat Bo-thian To Kau-ang?”
Bo hoat Bo-thian berarti tidak
kenal aturan tidak mengenal Thian, To Kau-ang adalah aki jagal anjing.
Si pendek berjingkrak sambil
tepuk tangan serunya: “Kau bocah ini ternyata pengetahuan juga, boleh dididik,
boleh dipelihara!” lalu dia julurkan tangannya menuding si raksasa itu,
katanya: “Kau tahu siapa dia?”
Oh Thi-hoa menghela napas,
katanya getir: “To Kau-ang dan To Hi-po selamanya seperti bandulan tidak pernah
meninggalkan timbangan, tidak ketinggalan bandulan, masakah aku tidak tahu?”
“Benar, dia inilah istriku
tercinta Thian-lote-hong To Hi-po adanya. Aku orang tua ini meski Bo hoat-bo
thian, tapi begitu masuk kedalam Thian-lo-te-hong jangan harap bisa membalikkan
badan lagi.” Thian-lo te hong berarti pencakar langit jalan bumi.
Mahluk raksasa sebesar ini
ternyata adalah seorang perempuan, hal ini sudah amat luar biasa, lebih
menggelikan lagi bahwa perempuan ini ternyata adalah istri manusia kurus
kerempeng yang kering ini, siapapun terpingkal-pingkal dan pecah perutnya.
Tapi Oh Thi-hoa tidak bisa
tertawa lagi, karena dia cukup tahu meski kedua orang ini jenaka dan suka
humor, namun selama seratus tahun mendatang ini dalam kalangan Bulim mereka
adalah salah satu dari empat pasangan suami istri yang berkepandaian amat
tinggi.
Bukan saja kedua orang ini
menggunakan senjata yang jarang dipakai oleh kaum persilatan umumnya, ilmu
silat merekapun luar biasa aneh dan lihai, sepak terjangnya sudah dirubah itu
tangannya. Selamanya tiada orang yang tahu asal-usul perguruan kedua orang ini.
Selamanya tiada orang yang tahu kapan mereka muncul, ada kalanya kedua orang
ini laksana datangnya hujan badai, mendadak lenyap begitu saja, selama dua tiga
puluh tahun belakangan ini sudah tak terdengar pula kabar berita mereka, maka
tiada orang yang tahu kemana mereka pergi dan dimana mereka berada.
Tapi setiap kaum persilatan
sama tahu satu hal, yaitu: Lebih baik kau berdoa terhadap Thian Yang Maha
Kuasa, jangan sekali kali kau berbuat salah terhadap kedua suami-istri ini,
siapapun jikalau berdosa terhadap kedua orang ini, maka selama hidupnya jangan
harap bisa mengecap hari-hari dengan tentram dan sentosa.
Tampak To Kau-ang masih
tertawa cengar-cengir, begitu lebar tawanya dan terpingkal-pingkal sampai
napasnya memburu tersengal-sengal, tapi sekilas Toh Hi Po melirik kepadanya,
seketika dia hentikan tawanya dan tidak berani meringis lagi.
Lebih baik kalau dia tidak
melerok, sekilas melerok dan marah, seluruh pakaian ketat yang membungkus
badannya seolah-olah melembung hampir meledak, tapi Oh Thi-hoa terheran heran
dan tak habis mengerti, kenapa perempuan segede ini mengenakan pakaian ketat sekecil
itu.
Memangnya diluar tahunya dan
tak pernah terpikir oleh Oh Thi-hoa, umumnya perempuan yang kakinya besar suka
mengenakan sepatu kecil, demikian pula perempuan yang tambun suka mengenakan
pakaian ketat dan kecil bila seorang perempuan tinggi menikah dengan suami kate
atau cebol, maka ingin rasanya dia menggergaji saja kedua kakinya menjadi
pendek supaya sejajar dengan suaminya, namun kalau kaki dipotong menjadi cacat
terpaksa pakaiannya saja yang dipotong dua kaki lebih pendek dari ukuran semestinya,
dalam batin akan terasa nyaman dan tentram.
Mendadak Oh Thi-hoa tertawa
dingin, katanya: “Banyak orang bilang betapa lihaynya To Kau-ang suami istri,
ternyata juga cuma begini saja.”
“Aku orang tua tanganpun belum
lagi digerakkan, tahu tahu kau sudah rebah tak berkutik, masakan kau masih
belum terima?” olok To Kau-ang.
Oh Thi-hoa berkata beringas:
“Jikalau kau berani bertanding secara terang terangan melawan aku, dapat kau
mengalahkan sejurus setengah tipu, sudah tentu aku akan tunduk dan menyerah
tanpa pamrih, tapi kau menggunakan tipu daya selicik ini, terhitung perbuatan
Enghiong macam apa?”
To Kau-ang tertawa besar,
katanya: “Ucapanmu ini terlalu ngelantur, siapapun yang bergebrak bila sepihak
dapat merobohkan pihak yang lain, perduli cara apapun yang dia gunakan
merupakan kepandaian yang harus dipuji jikalau aku orang tua dapat sekali
kentut lalu dapat bikin bau mampus sesak napas, sudah sepantasnya kau tunduk
lahir bathin kepadaku.”
Saking dongkol oleh olok-olok
orang yang brutal ini Oh Thi-hoa sampai tak bisa bicara lagi. Mendadak
disadarinya, bukan saja saat mana seluruh badannya linu kemeng, Coh Liu-hiang
yang menindih di atas badannyapun tak bergerak sama sekali, sampai napaspun
sudah berhenti. Saking kagetnya, tak terasa Oh Thi-hoa berteriak melengking:
“Lo… Lo coh, kenapa kau tidak bersuara? Masakah kau.”
“Kembali kau bicara ngelantur
pula.” ejek To Kau-ang setelah terlorok lorok. “Memangnya tadi kau tak melihat
disaat aku mengulurkan tombakku tadi, sekaligus sudah masuk dua Hiat-tonya.”
dengan tertawa dia maju menghampiri sambil menambahkan: “Mungkin turun tanganku
tadi terlalu berat dan cepat, sehingga kau tidak melihatnya dengan jelas,
sekarang…”
Belum kata katanya berakhir,
baru saja dia tiba di hadapan Coh Liu-hiang, sekonyong konyong sepasang tangan
Coh Liu-hiang secepatnya menjulur keluar dari dalam jala.
Sudah tentu mimpipun To
Kau-ang si jagal anjing ini tidak akan pernah menyangka, saking kagetnya, tahu
tahu kedua kakinya sudah terpegang oleh Coh Liu-hiang, sekali sentak kontan
badan si jagal anjing yang kurus tinggi seperti genter ini rebah tak berkutik
lagi.
Taoh Hi-po si nenek nelayan
ini keruan menggerung gusar seperti singa mengamuk, menubruk maju. “Berdiri
ditempatmu!” terdengar Coh Liu-hiang membentak. “Kalau tidak lakimu takkan
hidup lebih lama lagi.”
Benar juga Toh Hi-po tak
berani melangkah setapak lagi, sorot matanya menampilkan rasa prihatin dan
kuatir akan keselamatan suaminya yang cebol kate ini.
Tadi si Jagal anjing sudah
mengumpat caci.
“Anak jadah menggunakan cara
demikian terhitung orang gagah macam apa kau?”
Coh Liu-hiang tertawa,
ujarnya: “Dua orang bergebrak, asal dapat merobohkan lawannya, peduli cara apa
yang digunakan… tadi kau sendiri berkata demikian, memangnya secepat itu kau
sudah lupa?”
Si Jagal anjing melengak, tak
tahan Oh Thi-hoa terbahak bahak, serunya: “Bagus, bagus sekali, itulah yang
dinamakan mengangkat batu mengepruk kaki sendiri, kau kentut dan kau sendiri
yang bau.”
Tak nyana si jagal anjing
malah terpingkal-pingkel juga, katanya: “Baik, baik, baik Coh Liu-hiang
ternyata memang cukup pintar, tak heran banyak orang sama takut kepada kau.”
“Ah, mana berani!” sahut Coh
Liu-hiang. “Tapi ada satu hal yang belum ku mengerti, tadi terang aku sudah
menutuk Hiat-tomu sudah kuperhitungkan didalam satu jam, jangan kata bergerak
kentutpun tidak bisa, cara bagaimana mendadak sekarang kau sudah bisa
bergerak?”
Coh Liu-hiang tersenyum,
ujarnya: “Di saat kau menutuk Hiat-toku, badanku sudah meluncur jatuh.”
“Bukan saja kontan melayang
jatuh, malah kau menumpuk bocah she Oh itu, mana ada kesempatan mengerahkan
hawa murni membebaskan tutukan?”
“Cayhe memangnya belum
mencapai taraf kepandaian untuk mengerahkan hawa murni membuka tutukan Hiat-to
sendiri, tuan terlalu mengagungkan diriku.”
“Memangnya cara apa yang kau
gunakan?”
“Siapa saja disaat Hiat-tonya
tertutuk, pasti masih ada kesempatan meski hanya seper-seratus detik bergerak
benar tidak?”
“Benar, karena meski
Hiat-tonya sudah tertutuk, namun dalam badan masih ada sisa tenaga murni yang
masih mengalir, tapi kesempatan itupun amat singkat dan hanya bergerak sedikit
saja.”
“Tapi bergerak sedikit saja
sudah cukup dan besar sekali manfaatnya.”
Bersinar biji mata si Jagal
anjing, teriaknya: “O, aku paham sekarang, waktu itu begitu kau merasa Khi-hiat-nay-hiat
tertutuk segera kau gerakan sedikit badanmu, sehingga bocah she Oh itu menubruk
badanmu sekaligus membobol kedua Hiat-to yang tertutuk itu.”
“Ya begitulah kejadiannya.”
Kejut dan girang bukan main Oh Thi-hoa serunya tertawa lebar: “Kau tua bangka
ini ternyata punya otak yang pintar juga, patut dibimbing, pantas dididik di
kebun binatang!”
Si jagal anjing menghela
napas, ujarnya: “Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang kau memang setan cerdik, tak
nyana tua bangka seusia enam tujuh puluh tahun seperti aku ini, hari ini
terjungkal ditangan bocah cilik yang masih bau pupuk bawang.”
Nenek nelayan segera melotot
kepada Coh Liu-hiang, suaranya sember: “Sekarang apa pula yang kau inginkan?”
Tatkala itu Oh Thi-hoa sudah
merangkak bangun dari tindihan badan Coh Liu-hiang, serta sedang sibuk membuka
jala besar yang membungkus badan Coh Liu-hiang, Nenek nelayan hanya mendelong
mengawasi saja tanpa memperlihatkan reaksi apa-apa.”
Coh Liu-hiang mencelat bangun
katanya perlahan: “Apa kalian punya permusuhan dengan Cayhe?”
“Tiada!” sahut nenek nelayan.
“Kalau kalian tidak bermusuhan
dengan Cayhe, kenapa kalian bersikap begini terhadap Cayhe?”
Sesaat berdiam diri, akhirnya
nenek nelayan berkata menghela napas: “Kami suami istri selamanya membedakan
tegas dendam kebencian dan budi kebaikan, bahwasanya kamipun tiada niat melukai
kau, cuma…”
“Cuma dulu kalian pernah
mendapat budi kebaikan Li Koan hu maka kalian hendak membekuk aku diantar ke
Yong-cui-san-cheng, benar tidak?”
Belum nenek nelayan bicara,
Jagal anjing sudah terbahak-bahak, serunya: “Benar, aku orang tua sebetulnya
hendak membekuk kau untuk dihaturkan kepada orang sebagai pembalasan budi
kebaikannya dulu, oleh karena itu jikalau sekarang kau hendak membunuh aku
adalah suatu hal yang jamak dan pantas.”
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya: “Jikalau aku tidak ingin bunuh kau?”
“Lebih baik kau bunuh aku
saja, aku ini berjiwa sempit berpandangan cupat, hari ini aku kecundang oleh
kau, umpama kau lepas aku pulang, kelak bukan mustahil masih belum kapok dan
ingin mencari perkara dan membuat kesulitan kepada kau.”
Berubah air muka nenek nelayan
serunya: “Kau… kau bujuk orang membunuhmu malah?”
“Memangnya kenapa, yang terang
aku sudah bosan jadi seorang laki-laki, cepat mati cepat menitis, pada titisan
yang akan datang aku pasti akan jadi perempuan dan kawin sama kau pula, supaya
kaupun mengecap rasanya jadi seorang suami, barulah terhitung seri dan
setanding antara kita berdua.”
Saking marah, hijau membesi
rona muka nenek nelayan, suaranya sumbang: “Berani kau bicara begitu
terhadapku?”
“Seorang laki-laki jikalau
benar-benar sudah menghadapi kematian, kenapa pula dia tidak berani bicara?”
Oh Thi-hoa tertawa geli,
katanya: “Jikalau Coh Liu-hiang membebaskan kau?”
“Kenapa dia harus membebaskan
aku?” teriak jagal anjing.
“Kenapa dia tidak boleh
membebaskan kau?”
“Perbuatanku patut dicela dan
memalukan, merugikan dia lagi, jikalau dia masih mau membebaskan aku, maka dia
seorang gila.”
“Dia bukan orang gila,
sebaliknya adalah seorang Kuncu atau sosiawan, dengan ukuran jiwa seorang
rendah kau menilai dirinya, maka kau kira dia bakal membunuh kau.”
Jagal anjing melengak,
katanya: “Jikalau benar dia tidak membunuh aku sungguh celaka tiga belas.”
Jagal anjing dan nenek nelayan
sudah pergi, lampion merah masih bertengger di puncak menara, kabut tebal sudah
menyelubungi seluruh pelosok puncak bukit, cahaya lampion merah yang terbungkus
kabut tebal kelihatannya seperti darah yang muncrat beterbangan.
Tapi sekelilingnya masih
dilingkupi tabir gelap yang amat pekat tak berujung pangkal, seperti waktu
kedatangan Coh Liu-hiang tadi. Oh Thi-hoa mendelong mengawasi kabut
dihadapannya, seolah-olah ingin dia mengikuti arah kemana kedua suami istri itu
pergi ditelan tabir malam.
Sepasang suami istri yang
serba aneh dan ganjil ini laksana angin berlalu dan menghilang, sejak kini,
mungkin Oh Thi-hoa takkan bisa melihat mereka, takkan mendengar kabar berita
mengenai kedua orang ini.
Akhirnya Oh Thi-hoa berpaling
kepada Coh Liu-hiang, katanya tertawa: “Sejak tadi aku sudah menduga, kau pasti
membebaskan mereka, ternyata dugaanku tidak meleset.”
“Jikalau kau adalah aku,
memangnya kau hendak membunuh mereka?” balas tanya Coh Liu-hiang.
“Sudah tentu tidak akan ku
lakukan.” sahut Oh Thi-hoa tertawa, “sekali-kali aku tidak akan sudi membunuh
laki-laki yang takut bini, karena laki-laki yang takut bini kebanyakan bukan
orang jahat.”
“Kenapa?”
“Laki-laki kalau toh bininya
saja amat ditakuti, memangnya dia masih punya keberanian melakukan kejahatan?”
Coh Liu-hiang ditepuk pundaknya,
katanya lebih lanjut dengan tertawa: “Waktu kau membebaskan si jagal anjing
tadi, adakah kau melihat rona mukanya? Aku melihatnya dengan jelas, bahwasanya
belum pernah selama hidupku melihat rona muka sejelek itu dari seorang tawanan
yang dibebaskan, seolah-olah dia malah lebih senang kau bunuh daripada kau
bebaskan dan tidak sudi pulang, kalau dia pulang entah hukuman dan siksaan apa
yang bakal dia alami, sungguh aku tidak berani membayangkan.”
“Kau anggap dia sedang
tersiksa, sebaliknya dia sendiri justru menganggapnya sebagai suatu
kenikmatan.”
“Kenikmatan? Berlutut
menyunggi piring atau menyanggah poci arak, masakah kau katakan sebagai suatu
kenikmatan?”
“Kenapa tak boleh dianggap
sebagai suatu kenikmatan? Masakah nenek nelayan bakal menyuruh kau menyunggi
poci di atas kepalamu?”
“Sudah tentu tidak.”
“Nah itulah, nenek nelayan
pasti tidak akan suruh kau menyunggi poci, karena dia tidak menyukai kau.”
“Kalau demikian dia menghukum
jagal anjing menyunggi poci, lantaran dia menyukai suaminya?”
“Benar, itulah yang dinamakan
cinta keblinger, semakin besar cintanya semakin ketat dia menjaga suaminya.”
Oh Thi-hoa mendekap kepalanya,
katanya merintih: “Jikalau setiap perempuan mempunyai jiwa eksentrik seperti
dia, lebih baik aku cukur rambut menjadi pendeta saja.”
“Kau berkata demikian karena
kau tidak menyelami hubungan cinta dan ikatan batin kedua suami istri ini.”
“Kau tahu dan menyelami?”
“Kau kira si jagal anjing
benar-benar takut bini?”
“Kenyataan sudah di depan
mata.”
“Kalau begitu ingin aku tanya
kau, kenapa dia mesti takut kepada si dia? Mengapa kau tidak melihat bahwa ilmu
silat jagal anjing lebih tinggi dari bininya?”
Oh Thi-hoa melengak, gumamnya:
“Ya meski gerak-gerik nenek nelayan amat cepat dan aneh, namun Lwekang jagal
anjing terang lebih mendalam, kalau kedua orang ini bertempur, jelas nenek
nelayan bukan tandingan jagal anjing, memangnya kenapa si jagal anjing takut
kepadanya?”
“Biar kujelaskan. Soalnya
jagal anjingpun amat mencintai bini tuanya, seorang laki-laki bila dia tidak mencintai
bininya, pasti takkan takut kepadanya, itulah yang dinamakan lantaran cinta
lantas tumbuh rasa segan, jadi bukan takut.”
“Janggal, janggal, teorimu ini
teramat janggal.” kata Oh Thi-hoa geleng kepala.
“Setiap kau punya bini, kau
akan tahu bahwa teoriku ini tidak janggal.”
Baru saja mereka lolos dari
mara bahaya elmaut yang hampir merenggut nyawa mereka, meski dengan kecerdikan
Coh Liu-hiang, mereka berhasil menang, namun langkah mereka selanjutnya masih
dihadang berbagai malapetaka yang tidak kurang berbahayanya.
Bahwa Li Giok-ham suami istri
bisa mengundang Swe It-hang dan tokoh-tokoh silat setingkat dan selihai si
jagal anjing suami istri, pasti merekapun dapat mengundang tokoh-tokoh lain
yang lebih lihai dan lebih hebat kepandaiannya. Kenyataan membuktikan Coh
Liu-hiang dua kali berhasil memukul mundur kedua musuhnya dengan kepintaran
otaknya, namun betapapun kekuatan dan kecerdikan seseorang ada batasnya,
hakikatnya berapa besar kuat dan berapa kali pula mereka berdua masih dapat
menang dalam gebrakan melawan musuh yang aneka ragam banyaknya ini?
Apalagi Soh Yong-yong, Li
Ang-siu, Song Thian-ji dan Mutiara hitam masih didalam cengkeraman mereka,
seolah-olah seseorang yang tenggorokannya sudah dicekik dan tak berkutik oleh
lawan. Titik kelemahan inilah yang membuat Coh Liu-hiang kewalahan serasa tak
bisa bernapas.
Didalam suasana dan situasi
serba berbahaya yang memerlukan banyak perhatian dan energi ini, namun mereka
masih begini iseng mengobrol soal hubungan suami istri, soal suami yang takut
bini segala, bila ada orang lain mendengar percakapan ini tentu mereka mengira
kedua orang ini rada sinting atau kurang waras otaknya.
Bahwasanya justru mereka tahu
bahwa tugas berat dan mara bahaya yang menunggu mereka masih terlalu banyak,
maka sedapat mungkin mereka berkelakar mencari ketenangan hati untuk
mengendorkan ketegangan semangat yang selalu menarik urat syaraf selama ini,
sudah tentu hal ini merupakan usaha mereka pula untuk mempersiapkan diri dalam
menghadapi muslihat musuh yang lebih berbahaya.
Seseorang bila terlalu tegang
urat syarafnya, umpama pula senar biola atau gitar yang tertarik kencang,
sekali petik dan gesek pasti putus.
Sesaat kemudian mendadak Oh
Thi-hoa berkata pula tertawa: “Umpama nenek nelayan menjewer kuping si jagal
anjing, sampaipun menjinjingnya dibawa lari pulang, akupun takkan merasa heran,
tapi sungguh aku tak pernah menduga bahwa dia membawa si jagal anjing pulang
dengan memasukkannya kedalam jalanya.”
“Oleh karena itulah si jagal
anjing sendiri bilang, begitu Bu-hoat-bu-thian masuk ke dalam Thian lo te hong
selama hidup jangan harap dia bisa berdiri tegak dan bebas kelana.”
“Bagaimana juga mereka adalah
sepasang suami istri serba aneh dan janggal memang menarik dan jenaka sekali.”
"Sebaliknya menurut pandanganku,
Li Giok-ham dan Liu Bu-bi sepasang suami istri muda ini, jauh lebih ganjil dan
lebih jenaka dan menarik dari mereka.”
Fajar sudah menyingsing, alam
semesta diterangi cahaya surya nan cerlang cemerlang, kembang mekar, burung
berkicau, sehingga suara pagi nan sunyi ini terasa tentram dan sentosa.Lima
anak laki-laki sedang sibuk mengulung kerai bambu, mereka sibuk bekerja siap
menyambut tamu.
Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang
adalah tamu-tamu.
Li Giok-ham suami istri
berdiri diambang pintu dengan muka berseri sedang menunggu kedatangan mereka.
Kata Liu Bu-bi setelah mereka berhadapan: “Jalan punya jalan, tanpa sadar
tahu-tahu kita sudah kehilangan bayangan kalian, tabir malam sudah membuat alam
gelap lagi, dicari kemana-manapun sukar ketemu, sungguh membuat kami gugup dan
gelisah sekali.”
Li Giok-ham ikut bicara:
“Siaute baru saja hendak mengutus orang mencari kalian, tak nyana kalian sudah
datang, sungguh amat menggirangkan.”
Ternyata kedua orang ini masih
bisa bermanis-manis muka, sungguh Oh Thi-hoa hampir gila dibuatnya saking
dongkol dan marah, sebaliknya Coh Liu-hiang tetap bersikap wajar, katanya
tersenyum: “Kami amat terpesona oleh panorama menjelang gelap, sungguh tak kira
bikin kalian gelisah saja.”
“Bulan purnama di Hou-kiu
memang merupakan pemandangan lain dari yang lain, untung Coh-heng berdua memang
seorang yang berjiwa seni, kalau tidak masakah begitu asyik tenggelam dalam
panorama indah itu sampai lupa diri?”
Tak tahan Oh Thi-hoa
menimbrung: “Sebetulnya kami bukan seniman yang tergila-gila panorama cuma
semalam kami terpulas di bawah Bou-kiu-ta, disana kami semalam bermimpi amat
indah dan mengasyikkan.”
“Apakah dalam mimpi Oh-heng
bertamasya di Hou-kiu?” tanya Liu Bu-bi tertawa manis. “Tentu amat menyenangkan
sekali.”
“Sebetulnya mimpiku itu tidak
begitu menyenangkan, lebih celaka lagi dalam mimpi itu kami kesampok dengan
beberapa orang yang hendak mencabut nyawa kami, dan yang mengasyikkan adalah
bahwa pembunuh itu adalah orang-orang yang kalian undang kemari.”
“O, kalau begitu tentu amat
menarik.” ujar Liu Bu-bi, “sayang sekali kami kok tak pernah bermimpi seindah
itu, kalau kami bisa bertemu didalam impian itu, bukankah lebih menarik dan
menyenangkan?”
Sementara itu mereka sudah
melalui serambi panjang dan memasuki ruang-ruang pendopo yang setiap pintunya
bergantung kerai bambu dalam lima ruang-ruang pendopo besar besar itu, sebelum
mereka tiba, anak kecil itu sudah menggulung kerai-kerai itu lebih dulu,
setelah mereka lewat kerai diturunkan pula, langkah demi langkah mereka terus
maju dan semakin jauh meninggalkan dunia luar yang penuh dengan debu.
Sepanjang perjalanan biji mata
Oh Thi-hoa berjelalatan, seolah masih ingin bicara panjang lebar, namun Li
Giok-ham sudah bicara lebih dulu: “Sebentar kalian akan bertemu dengan orang
yang ingin kalian temui.”
Oh Thi-hoa melirik kepada Coh
Liu-hiang, selanjutnya dia bungkam tak bersuara, apapun yang perlu dia
utarakan, biarlah bicarakan setelah bertemu dengan Soh Yon-yong dan lain-lain.
Lahirnya Coh Liu-hiang
bersikap tenang mukanya tersenyum simpul, namun hatinya gundah dan tegang.
Tampak anak-anak kecil itu kembali menggulung kerai didepan sebuah pintu yang
menembus ke sebuah kamar, bau harum kayu cendana seketika terhembus keluar dari
dalam kamar menyongsong kedatangan mereka.
Ditengah kepulan asap putih
dari pedupaan dalam kamar, tampak seorang tua berambut uban duduk tenang di
atas dipan. Rona mukanya yang bersih kelihatannya sedemikian kurus dan loyo,
seperti amat letih, demikian pula sorot matanya begitu guram dan pudar, seolah
pandangannya sudah tidak berhayat dan tidak bernanar lagi. Badannya sudah kurus
kering tinggal kulit pembungkus tulang tanpa sukma tak berjiwa, hidupnya ini
tidak lebih hanya sedang menunggu ajal belaka. Namun tepat di depan kakinya
yang bersimpur itu terletak sebilah pedang yang bercahaya terang menyolok mata.
Batang pedang gelap mengkilap,
sebening air danau, sarung pedang yang terletak di sebelahnya penuh dihiasi
batu-batu jambrud dan berlian serta mutiara, namun di bawah pancaran cahaya
pedang, batu-batu permata itu sudah kehilangan kemilaunya yang hidup.
Dengan mendelong tanpa
berkedip orang tua ini terus mengurusi pedang itu, badannya duduk kaku tak
bergerak. Seakan akan gairah hidupnya hanya bergantung dari pedang yang
disandingnya ini. Apakah orang tua inikah yang diwaktu mudanya dulu merupakan
tokoh pedang nomor wahid di seluruh jagat Li Koa-hu adanya?
Tanpa merasa Coh Liu-hiang dan
Oh Thi-hoa menjublek di luar pintu. Hati mereka kaget heran dan mendelu, orang
yang sedemikian kuatnya, kini jiwanya ternyata sudah begini lemah, sudah lapuk.
Jadi bukankah kehidupannya sendiri merupakan tragedi yang menyedihkan?
Yang amat mengejutkan Coh
Liu-hiang adalah bahwa Soh Yon-yong berempat ternyata tak berada di sini, ingin
bertanya tapi Li Giok-ham suami istri sudah melangkah masuk ke dalam.
Berbareng kedua orang ini
menjura hormat, terdengar Li Giok-ham buka suara: “Anak ada membawa dua sahabat
karib dari tempat nan jauh tujuannya cuma ingin bertemu muka dengan kau orang
tua, maka anak terpaksa membawa mereka kemari.”
Orang tua itu tidak angkat
kepala tak bergeming, sampaipun sorot matanyapun tak tertarik.
Berkata Li Giok-ham lebih
lanjut: “Ayah sering menyinggung kedua sahabat anak ini, yang di sebelah kiri
adalah Coh Liu-hiang si Maling Romantis yang kenamaan di seluruh kolong langit,
dan yang sebelah kanan adalah Hou-cu-tiap si kupu-kupu kembang Oh Thi-hoa yang
sejajar dengan Coh Liu-hiang.
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa
hanya berdiri diam, sedikit membungkuk badan tanda hormat, namun mereka tidak
tahu apa yang mesti diucapkan.
Perlahan-lahan Li Giok-ham
beru memutar badan, katanya unjuk tawa berseri: “Belakangan ini mata kuping
ayah rada kurang normal, harap dimaafkan jikalau beliau tidak dapat menyambut
kedatangan kalian.”
“Ah, mana berani.” ujar Coh
Liu-hiang merendah diri.
Oh Thi-hoa justru tak sabaran,
katanya: “Wanpwe tidak berani mengganggu Cianpwee lagi, baiklah kami mohon diri
saja.”
Walau mereka ingin segera
bertemu dengan Soh Yong-yong, ingin menarik Li Giok-ham ketempat lain untuk
menanyakan keadaan mereka, namun mereka segan bersikap kasar dan tidak patut di
hadapan orang tua yang tinggal menunggu ajal ini. Hormat dan menjunjung
peradatan kepada yang lebih tua adalah bagi jiwa pendekar, Coh Liu-hiang pasti
takkan berani melanggar tata tertib ini.
Bibir orang tua tiba-tiba
bergerak, agaknya ingin bicara, namun suaranya tak keluar dari tenggorokannya,
kulit daging mukanya seolah sudah kaku dan mati rasa.
“Sepanjang tahun ayah berdiam
dalam rumah sehingga merasa kesepian, selama ini beliau jarang dikunjungi para
sahabatnya yang lama, bahwa kalian sudi bertandang kemari tidak mau sekedar
duduk didalam melepaskan lelah lagi, maka ayah merasa amat menyesal dan malu
diri.”
Karena kata-kata ini terpaksa
Coh Liu-hiang beradu pandang dengan Oh Thi-hoa, akhirnya mereka menduduki
sebuah kursi. Walau mereka mempunyai keberanian menghadapi sebuah laksaan
pasukan berkuda, tertawa menghina terhadap kerabat kerajaan, namun berhadapan
dengan orang tua yang mendekati ajalnya ini mereka patuh dan tunduk tanpa berani
banyak cingcong lagi.
Li Giok-ham tertawa girang
katanya: “Kalian begini bijaksana, ayah pasti amat terharu dan berterima kasih
sekali.”
Mulut si orang tua kembali
bergerak-gerak, sikapnya seperti amat sedih pilu, tapi juga kelihatan gelisah
dan gugup tak sabaran.
Li Giok-ham mengerut kening
katanya: “Entah ayah ada omongan apa yang ingin disampaikan kepada kalian…”
sembari bicara dia berdiri terus menghadap ke depan si orang tua, membungkuk
badan mendekatkan kuping ke depan mulut ayahnya.
Coh Liu-hiang tidak mendengar
suara si orang tua, cuma dilihatnya Li Giok-ham manggut berulang-ulang sambil
mengiakan. “Ya.., ya… anak mengerti.”
Waktu dia berpaling lagi, raut
mukanya menampilkan rasa pedih dan berat, namun berkata dengan dibuat-buat:
“Sejak beberapa tahun mendatang, ayah cuma punya satu keinginan yang belum
terlaksana, kebetulan hari ini kalian berkunjung kemari, tentunya keinginan
ayah bisa terlaksana, tergantung apakah kalian sudai bantu melaksanakan.”
Coh Liu-hiang menahan gejolak
hatinya, katanya tersenyum: “Entah Cianpwe punya keinginan apa? Wanpwe berdua
jikalau mampu dan kuat melakukan kami siap membantu.”
“Kalau demikian, baiklah
Siaute ajak menghaturkan terima kasih kepada kalian.”
Tak tahan Oh Thi-hoa
menimbrung: “Tapi kami harus menilai dulu apa keinginan Cianpwe itu? Apakah
kita betul-betul dapat membantu?”
Li Giok-ham tertawa ujarnya:
“Hal ini Siaute tentunya cukup paham.”
Oh Thi-hoa tergila-gila
ujarnya pula: “Sudah tentu akupun tahu Cianpwe tentu tidak akan memaksa bila
menghadapi kesulitan.”
Seakan akan Li Giok-ham tidak
memahami ucapannya ini, katanya kalem: “Ayah terkenal lantaran pedang maka
beliau pandang pedang sebagai jiwanya sendiri. Setiap urusan dan persoalan dan
menyangkut dengan pedang beliau selalu ketarik untuk mengetahuinya, oleh karena
itu bukan saja berusaha mendapatkan buku-buku pelajaran ilmu pedang dari jaman
dulu kala, malah beliau pun ada menyelidiki dan menyelami sejarah kehidupan
tokoh-tokoh pedang kenamaan, serta pengalaman tempur mereka yang dahsyat selama
hidup mereka.”
Sekilas Coh Liu-hiang melirik
ke arah orang tua itu, batinnya: “Betapa berat dan jerih payah seorang ahli
pedang menggembleng diri dalam latihannya untuk mencapai puncak kemahirannya,
bukan saja mereka harus mengorbankan harta benda dan kedudukan, malah harus
hidup dalam pengasingan yang sepi dan tawar namun apa pula yang mereka
hasilkan? Tidak lebih hanya nama kosong selama puluhan tahun dalam kalangan
Kangouw melulu.
Li Giok-ham bicara lebih
lanjut: “Dengan jerih payah ayah selama puluhan tahun didalam penyelidikannya,
sudah tentu dalam ajaran silat beliau mendapat kemajuan pesat, yang tiada
taranya, namun dari penyelidikannya ini belum menemukan beberapa persoalan yang
aneh lucu dan menarik hati.”
Wajah Oh Thi-hoa bersikap
kurang simpatik, mau tak mau dia terkena mendengar berita ini tak tahan dia
bertanya: “Persoalan apa?”
“Ayah menemukan unsur-unsur
keluar-biasaan didalam beberapa ajaran ilmu pedang sejak dulu kala itu,
ternyata bukanlah ilmu-ilmu pedang hebat dan digdaya, disitulah letak persoalan
yang dipandang aneh oleh ayah.”
“Artinya… apakah artinya aku
tak mengerti.” ujar Oh Thi-hoa.
“Umpamanya.” Kata Li Giok-ham
lebih lanjut. “Jurus Ban hiau bu hong dari Sip han-toa kiu sek dari ajaran Mo
kau, didalam jurus tersembunyi jurus perubahannya tak terhitung banyaknya
sehingga dari satu berubah ke lain tipu-tipu sampai berjumlah tujuh ratus
sembilan puluh dua jurus, dinilai dari cara geraknya yang enteng seperti
melayang dan aneh, kekerasan dan jurus permainannya yang cepat dan matang,
sesungguhnya masih jauh lebih unggul dari Liang-gi kiam-hoat dari pihak Butong
pay.”
“Ya, akupun pernah dengar
betapa lihai ilmu pedang tunggal pihak Mo Kau, khabarnya sampai sekarang dalam
kolong langit ini, belum ada seorangpun yang mampu bertahan diri menghadapi
sampai tujuh ratus sembilan puluh dua jurus itu.”
“Jangan kata kuat melawan
sampai tujuh ratus sembilan puluh dua jurus penuh, malah mampu melawan tujuh
jurus permulaan ilmu pedangnya saja belum pernah ada. Tapi selama ratusan
tahun, kaum persilatan hanya tahu bahwa Liang-gi-kiam hoat dari Butong pay,
tiada bandingannya di seluruh jagat, maka Biau-biau bu hong dari Siop hun toa
kiu sek itu jarang dikenal lagi oleh khalayak ramai.”
“Mungkin karena jarang kaum
persilatan yang benar-benar menyaksikan ilmu pedang yang lihai itu.” demikian
komentar Oh Thi-hoa.
“Memang tidak banyak orang
yang pernah melihat ilmu pedang itu, lalu berapa banyak pula orang yang pernah
melihat Liang-gi-kiam hoat. Peraturan Bu-tong pay amat ketat dalam memilih calon
murid, dulu waktu jaya-jayanya tidak lebih anggota mereka cuma delapan puluh
satu orang saja, dan lagi ke delapan puluh satu murid-murid Butong itu,
bukannya setiap orang pernah mempelajari dan mahir akan Liang gi-kiam hoat
ini.”
“Ya, akupun tahu bahwa Liang
gi-kiam hoat hanya boleh diajarkan kepada calon yang dipilih oleh ketuanya
sendiri, oleh karena itu, murid-murid Bu-tong yang benar-benar mahir
menggunakan Liang gi kiam hoat paling banyak hanya empatlima orang diantara
sepuluh orang.”
“Akan tetapi pihak Mo Kau
selalu membuka pintu perguruannya lebar-lebar, malah begitu masuk perguruan
lantas boleh meyakinkan ilmu pedang, murid-murid Butong jarang turun gunung,
sebaliknya murid-murid Mo kau malang melintang dan bersimaharaja di Bulim, maka
apapun yang harus dikatakan, tentunya orang-orang yang pernah menyaksikan
Sip-hun-toa-kiu-sek, tentunya beberapa lipat lebih banyak dari orang-orang yang
pernah menyaksikan Liang gi kiam hoat. Akan tetapi Sip hun toa kiu sek justru
tidak begitu terkenal dan disegani seperti Liang gi kiam hoat, apakah
sebabnya?”
Tanpa sadar oh Thi-hoa
mengelus-elus hidung, mulutnya menggumam: “Ya, memang suatu hal yang ganjil.”
“Sudah tentu merupakan suatu
yang ganjil dan aneh, namun ayah sudah berhasil menyelami dan tahu dimana letak
keganjilannya.”
Mendadak Oh Thi-hoa tertawa
gelak-gelak, serunya: “Sekarang akupun sudah tahu!”
“Mohon petunjuk” pinta Li
Giok-ham.
“Soalnya ajaran ilmu pedang
Bau-biau bu-hong dari Sip-hun-kiu-sek amat mendalam dan tinggi, maka
orang-orang yang benar-benar dapat mempelajari inti ilmu pedangnya belum pernah
ada, belum lagi ajaran ilmu pedang mereka matang, lantas malang melintang di
kalangan Kangouw, sudah tentu mereka harus sering menghadapi kegagalan dan
runtuh total, oleh karena itu didalam pandangan umum ilmu pedang mereka ini
jadi tawar dan kurang bermutu.”
“Memang hal ini merupakan
salah satu alasannya, namun bukanlah sebab-sebabnya yang utama.” kata Li
Giok-ham.
“O! Lalu apakah yang
menjadikan sebab yang utama?”
"Soalnya pedang itu
sendiri adalah benda mati, sebaliknya manusia berdarah daging dan punya jiwa,
oleh karena itu seseorang yang menggunakan pedang harus dapat memainkan ilmu
pedang dengan hidup dan senyawa dengan dirinya, barulah betul-betul dapat
menampilkan kehebatan dan intisari ilmu pedang itu.”
“Bukankah apa yang kukatakan
tadi adalah soal ini juga?” tanya Oh Thi-hoa.
Mendadak Coh Liu-hiang
tertawa, katanya: “Bukan ilmu pedang murid-murid Mo-kau tidak matang, adalah
karena hati mereka yang nyeleweng dari kebenaran, sepak terjang mereka keluar
garis dari batas-batas perikemanusiaan, oleh karena itu setiap kali tempur
tidak dapat berkobar dari semangatnya, oleh karena itu pula umpama benar ilmu
pedang mereka lebih tinggi dari orang lain, akhirnya toh terkalahkan juga,
kata-kata sesat takkan dapat mengalahkan yang lurus, sejak dahulu kala
mengambil teori dari kenyataan ini.” lalu dia berputar menghadapi Liu Bu-bi,
katanya lebih lanjut dengan tetap tersenyum: “Apakah kalian suami istri
berpendapat apa yang ku uraikan barusan masih masuk diakal?”
Liu Bu-bi batuk-batuk ringan
dua kali, katanya tertawa: “Benar, dua orang bergebrak, yang ilmu silatnya
tinggi belum tentu menang, seseorang bila dia punya keyakinan menang, ada
kalanya dia benar-benar dapat mengalahkan musuhnya yang lebih tangguh.”
Dengan tatapan tajam Coh
Liu-hiang awasi muka orang, katanya tandas: “Tapi seseorang bila merasa bahwa
apa yang dia lakukan benar, barulah dia punya keyakinan akan menang, benar
tidak?”
Sesaat lamanya Liu Bu-bi
menepekur katanya kemudian dengan tertawa lebar: “Tentunya Coh-siansing sendiri
amat paham akan pengertian ini, karena sejak lama aku sudah dengar bahwa Coh
Liu-hiang si Maling Romantis tidak pernah kalah dalam segala medan laga,
perduli betapapun tinggi dan tangguh kepandaian lawannya, dia tetap punya
keyakinan bahwa dirinya takkan terkalahkan.”
Berkata Coh Liu-hiang dengan
nada berat: “Itulah karena Cayhe percaya apa yang kulakukan, selamanya tidak
pernah merugikan orang lain, kalau tidak umpama ilmu silatku setinggi langit,
entah sudah berapa kali aku dibikin mampus oleh orang.”
Belum Liu Bu-bi sempat bicara,
Li Giok-ham sudah mendahului: “Selama ratusan tahun mendatang entah berapa
banyak peristiwa pertempuran besar dalam Bulim yang kenamaan, sering kali
terjadi yang lemah berhasil menundukkan yang kuat, hal inipun merupakan
peroalan yang dibuat heran pula oleh ayah. Umpamanya, waktu Mokau Kaucu Tokko
Jan menempur Tionggoan Tayhiap Thi Tiong siang di puncak Yam-thang dulu,
sebelum pertempuran itu berlangsung, kaum persilatan sama beranggapan Thi Tiong
siang yang belum genap berusia tiga puluh pasti takkan ungkulan melawan Tokko
Jan yang tinggi ilmu silatnya, mendalam Lwekangnya. Apalagi kepandaian silat
ajaran dari Thi hiat-toa-ki-bun, jelas bukan tandingan dan tidak setinggi
kepandaian orang-orang Mokau, oleh karena itu banyak orang-orang Kang-ouw yakin
bahwa Tokko Jan akhirnya pasti akan menang, malah ada yang berani bertaruh
dengan mengapit satu lawan sepuluh, dipertaruhkan didalam delapan ratus jurus
Tokko Jan mesti berhasil mengalahkan Thi Tiong-siang.”
“Peristiwa itu, aku sendiripun
pernah mendengar.” ujar Oh Thi-hoa.
“Siapa tahu, kedua tokoh
puncak ini ternyata harus bertempur tiga hari tiga malam, belakangan meski Thi
Tiong sian sudah terluka tiga belas tempat di badannya, seluruh pakaiannya
boleh dikata sudah berlepotan darah, akhirnya dengan Siau-thian-sing-ciang lalu
dia berhasil menggetar putus urat nadi Tokko Jan sampai sebelum ajalnya, Tokko
Jan masih belum mau percaya akan kenyataan yang dihadapinya bahwa dirinya
betul-betul sudah kalah.”
Berseri dan bergsirah semangat
Oh Thi-hoa mendengar cerita ini, katanya bertepuk tangan: “Thi Tiong sian Thi
Tayhiap itu memang seorang laki-laki sejati, laki-laki gagah yang tiada
taranya, kelak bila ada kesempatan aku bisa bertemu dengan beliau, apalagi
kalau bisa minum bersama dia tiga hari tiga malam tak sia-sialah perjalananku
selama ini.”
“Tapi yang betul betul membuat
ayah amat heran adalah sejak dulu kala sampai sekarang dalam kalangan Kang-ouw
belum pernah terjadi adanya Kiam-tin “barisan pedang” yang kokoh kuat dan tak
pernah terkalahkan.”
“Barisan pedang?” tanya Oh
Thi-hoa.
“Tidak salah, barisan pedang.
Pak to chit-kiam-tin dari Coan cin-kau, Pat-kwa-kiam-tin dari Butong pay, meski
sudah lama menjagoi dan kenamaan di Kangouw namun bila kebentur seorang tokoh
kosen yang betul-betul berisi, seolah-olah barisan pedang ini menjadi tak
berguna lagi.”
“Benar, sampai sekarang belum
pernah aku dengar ada tokoh kosen yang mana pernah gugur di dalam barisan
pedang.” ujar Oh Thi-hoa.
“Memang tidak sedikit
tokoh-tokoh kosen dalam dunia persilatan ini yang gugur oleh ilmu pedang Butong
pay, namun tiada seorang pun yang pernah gugur didalam Pat-kwa kiam tin, apakah
Oh-heng tidak merasa ganjil dan heran akan kejadian ini?”
“Setelah mendengar uraianmu,
akupun jadi merasa heran. Pat kwa-kiam-tin sedikitnya harus dijalankan oleh
gabungan delapan orang, malah harus sudah dilatihnya dengan matang dan sempurna
betul, setiap gerak-gerik mereka harus bisa kerja sama dengan rapi dan
harmonis, maka menurut teori, menghadapi musuh dengan menggunakan Pat kwa-tin
hasilnya seharusnya jauh lebih gemilang daripada bertempur satu lawan satu.”
“Akan tetapi didalam
menghadapi musuh tangguh Pat-kwa-kiam-tin, ini kebalikannya, tak berguna sama
sekali, memang boleh dikata tiada suatu barisan pedang yang betul-betul dapat
menunjukkan perbawanya yang sejati dalam dunia persilatan, memangnya kenapa hal
ini bisa terjadi?”
“Oh Thi-hoa menepekur, katanya
kemudian: “Itulah kemungkinan karena setiap barisan pedang dari golongan atau
aliran manapun, pasti menunjukkan titik lobang kelemahannya.”
“Umpama benar barisan pedang
itu menunjukkan lobang kelemahan, tapi segala ilmu pedang dalam jagat ini tiada
satu ilmu pedang dari cabang manapun yang tak menunjukkan kelemahannya,
memangnya betapa bisa terjadi ilmu pedang yang dilakukan oleh gabungan tenaga
delapan orang justru tak lebih unggul dari kekuatan ilmu pedang satu orang?”
Tak tertahan, kembali Coh
Liu-hiang mengelus-elus hidung, katanya: “Apakah ayahmu pun sudah memahami akan
seluk-beluk dan sebab musababnya?”
“Sebabnya ialah, meski Pat-kwa
kiam-tin itu memang hebat dan dahsyat, sayangnya didalam murid-murid Butong pay
yang sekian banyaknya itu, justru sulit ditemukan delapan orang yang mempunyai
bobot kepandaian rata, oleh karena itu meski barisan pedang itu sendiri amat
lihai, namun bila pelaku pelakunya tidak mempunyai landasan silat dan Lwekang
yang tinggi dan merata, setiap kali menghadapi tokoh-tokoh sejati, tidak sulit
barisan ini dibikin kocar-kacir. Umpama kata Siaute berhasil mempelajari ilmu
pedang yang tiada taranya sejagat ini, namun kebentur dengan tokoh kosen dari
aliran Lwekeh seperti Coh-heng, terang akupun bakal terjungkal roboh.”
“Ah, Li-heng terlalu merendah
diri.” ujar Coh Liu-hiang tertawa.
“Akan tetapi,” ujar Oh
Thi-hoa, “sedikitnya adalima anak murid Butong pay yang memiliki Lwekang
tinggi.”
“Apakah Li heng maksudkan
Bu-tong Ciangbun dan ke empat Hu-hoatnya?”
“Ya, mereka cukup diagulkan.”
“Umpama kata kelima orang ini
ikut bertempur didalam Pat-kwa kiam-tin, namun toh masih kurang tiga orang
lagi. Jikalau begitu saja mencari tiga orang untuk menggenapi jumlahnya, maka
barisan ini akan menunjukkan banyak kelemahannya.”
“Ya, tidak salah,” ujar Oh
Thi-hoa menghela napas.
“Begitu barisan pedang menunjukkan
kelemahan bila kebentur tokoh silat yang benar-benar tinggi kepandaiannya,
tentu titik kelemahan itu bakal menjadi incaran serangannya, jika salah satu
dari ke delapan orang ini dirangsek dan sulit balas menyerang, seluruh barisan
akan sulit dimainkan dengan lancar dan sempurna, tatkala itu gabungan delapan
orang bakal lebih konyol dan takkan unggul dari kekuatan satu orang.” sampai
disini Li Giok-ham tertawa sambil menelan ludah. “Apalagi ke empat Bu-hoat dari
Butong itu belum tentu mempunyai Lwekang dan kepandaian silat yang sebanding,
belum tentu mereka terhitung tokoh-tokoh yang benar-benar kosen.”
Coh Liu-hiang tertawa, kembali
dia menimbrung: “Dan lagi tokoh-tokoh kosen yang sejati sekali-kali takkan
gampang mau menceburkan diri didalam gabungan barisan pedang, karena setiap
bertempur mereka mengutamakan bertanding secara jujur satu lawan satu, mana
sudi bergabung dengan orang melawan musuh?”
“Benar, memang begitulah
kenyataannya. Menurut tradisi pihak Butong pay turun temurun sejak dulu kala,
tak seorang pun Ciangbunjin mereka yang pernah ikut dalam permainan barisan
pedang, apalagi golongan pedang seperti Bu-tong pay yang amat disegani dan
mempunyai anak didik yang begitu banyak, mereka toh sulit untuk menemukan
delapan orang benar-benar dapat bekerja sama dan setingkat untuk menggerakkan
barisan apalagi partai atau golongan lain?”
“Sudah ngobrol setengah
harian, belum lagi kau jelaskan keinginan bapakmu yang belum terlaksana itu?”
teriak Oh Thi-hoa. “Belum juga kau jelaskan bantuan apa yang mesti kami
lakukan.”
“Setelah ayah berhasil
menyelidiki dan menyelami berbagai barisan pedang sejak jaman dulu sampai masa
kini, beliau berhasil menciptakan barisan pedang. Menurut pandangan beliau,
dalam kolong langit ini, pasti takkan ada manusia manapun meski kepandaian
silatnya setinggi langit dapat memecahkan barisan ilmu pedang ciptaannya itu,
tapi selama puluhan tahun tak bisa dibuktikan. Inipun salah satu hal yang
paling disesalkan beliau.” setelah menghela napas, lalu menambahkan: “Karena untuk
membuktikan hal ini, kami menghadapi dua persoalan yang maha sulit, pertama:
Walaupun beliau sudah mengurangi person dari barisan pedang ini menjadi enam
orang, namun sulit juga untuk mencari enam tokoh-tokoh yang mempunyai Lwekang
sebanding.”
“Entah dalam pandangan beliau,
orang-orang macam apa baru terhitung tokoh kosen yang setaraf untuk melakukan
barisan pedangnya itu? tanya Coh Liu-hiang.
“Lwekang orang ini paling
tidak harus setanding atau setaraf dengan kepandaian para Cian-bun dari tujuh
partai besar masa kini, dan lagi dia harus seorang ahli dalam ilmu pedang,
umapamanya…”
“Umpamanya Swe It hang” tukas
Coh Liu-hiang tawar.
Tanpa berubah air mukanya, Li
Giok-ham menyambung: “Tidak salah, sayang tokoh kosen berkepandaian ilmu pedang
setaraf Swe cinpwe, mencari seorang saja sudah amat sulit, apalagi hendak
sekaligus menemukan enam orang, tentu sulitnya seperti manjat ke langit.”
Berkilat biji mata Coh
Liu-hiang, katanya: “Bagi orang lain memang sesulit memanjat langit untuk
menemukan enam tokoh ahli pedang yang setanding dan setinggi itu, tapi
mengandal gengsi, ketenaran dan kebesaran ayahmu, bukan suatu hal yang mustahil
untuk mengundangnya dengan mudah.”
“Benar, diantara para sahabat
ayah yang sekian banyaknya, memang ada beberapa yang boleh dikatagorikan
sebagai tokoh kosen tingkat atas namun para Cianpwe ini semua bebas seperti
bangau liar yang suka kelana atau sama mengasingkan diri, sukar dicari
jejaknya, oleh karena itu sampai hari ini ayah baru berhasil mengumpulkan enam
orang yang diperlukan.”
Terkesiap darah Oh Thi-hoa,
teriaknya: “Kalau demikian, bukankah keinginan ayahmu sudah terlaksana?”
Li Giok-ham menghela napas,
ujarnya: “Oh-heng jangan lupa, dalam melaksanakan keinginan tadi, masih
kebentur oleh kesulitan kedua.”
“Masih ada kesulitan apalagi?”
Berkata Li Giok-ham
pelan-pelan: “Untuk membuktikan apakah barisan pedang ini benar-benar tiada
kelemahannya, maka diperlukan seseorang untuk memecahkannya, justru orang ini
jauh lebih sulit ditemukan. Karena bukan saja orang ini harus memiliki
kepandaian silat yang tiada taranya, kecerdikan otak yang luar biasa, harus
memiliki rekor tempur yang gemilang lagi, pernah mengalahkan tokoh-tokoh silat
yang berkepandaian tinggi pula,” sampai di sini matanya mengawasi Coh
Liu-hiang, serta menabahkan: “Karena hanya orang seperti itu, baru betul-betul
dapat menguji sampai dimana kesempurnaan barisan pedang ciptaan ayahku itu,
betul tidak? “
Coh Liu-hiang adem ayem,
katanya tersenyum: “Entah dalam pandangan Li heng, orang bagaimana baru
setimpal untuk membuktikan kesempurnaan barisan pedang itu?”
“Setelah Siaute pikir pulang
pergi, dalam dunia ini hanya ada seorang saja”
“Siapa?”
“Coh-heng sendiri.” katanya
sambil menatap Coh Liu-hiang: “Asal Coh-heng sudi turun tangan, maka keinginan
ayah pasti segera bisa terlaksana.”
Sikap Coh Liu-hiang tetap
tenang, katanya kalem: “Apakah aku diberi kesempatan untuk memilih?”
“Tiada!” sambut Li Giok-ham.
Oh Thi-hoa berjingkrak
beringas, serunya dengan terbelalak: “Kau suruh dia bertanding dengan enam
orang yang berkepandaian setaraf Swe Ih-hang, bukankah kau hendak mencabut
jiwanya?”
Li Giok-ham mandah tertawa
saja tak bersuara.
Coh Liu-hiang berkata tertawa
ewa: “Kau tidak usah gugup, jiwaku ini toh kupungut kembali, jikalau mati di
Yong-cui san-cheng, bukankah boleh dikata tepat dan sesuai tempat kuburku?”
Oh Thi-hoa melongo tiba-tiba
dia meraihnya terus diseret ke samping, suaranya serak: “Kau… apa kau yakin dan
punya pegangan?”
“Tidak.”
“Kalau tidak yakin, kenapa kau
suruh aku tak usah gelisah?”
“Urusan sudah terlanjur
sedemikian lanjut, apa gunanya gelisah?”
Berputar biji mata Oh Thi-hoa,
katanya dengan nada berat: “Mari sekarang juga kita terjang keluar bersama,
kukira sekarang masih ada waktu.”
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: “Kukira sudah terlambat.”
Kerai bambu tergulung naik
pula, beberapa orang beriring beranjak masuk.