Rahasia Ciok Kwan Im (Da Sha Mo) Bab 1: Hilangnya 3 Gadis Cantik

Rahasia Ciok Kwan Im (Da Sha Mo) Bab 1: Hilangnya 3 Gadis Cantik
Rahasia Ciok Kwan Im
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 1: Hilangnya 3 Gadis Cantik

Jauh di ujung langit di tengah lautan sana, segumpal mega sedang melayang datang pelan-pelan. Kapal, mengalun berlenggang di tengah permainan air laut, sinar matahari bercahaya terang benderang sehingga dek kapal yang bersih mengkilap laksana sebongkah kaca besar.

Lekas Coh Liu-hiang tinggalkan pakaiannya, mencopot sepatu. Dek kapal yang panas seperti membakar telapak kakinya, membuat hatinya terasa seperti dikili-kili dan malas, seolah-olah badannya ingin melayang.

Tak tertahan ia berseru dengan lantang, "Soh Yong-yong, Li Ang-siu, Song Thiam-ji, tidak lekas kalian boyong semua makanan yang paling lezat, biar kutelan seluruh kapal ini."

Tiada sahutan, tiada reaksi, seluruh kapal tenggelam dalam suasana tenang dan sunyi senyap, bahwasanya seorangpun tiada, Soh Yong-yong, Li Ang-siu dan Song Thiam-ji telah menghilang entah kemana.

Rasa hangat dan malas-malas yang mengetuk hati Coh Liu-hiang seketika buyar, dia sudah geledah dan obrak-abrik seluruh pelosok kapal, sampaipun lemari, gentong beraspun sudah dia buka. Namun seujung rambut mereka pun tak diketemukan oleh Coh Liu-hiang.

Kemanakah mereka?

Ada kalanya Li Ang-siu pernah naik ke darat beli pupur atau gincu, Song Thiam-ji ngelayap di pasar beli sayuran setengah hari, namun tiga orang pergi sekaligus belum pernah terjadi selama ini. Memangnya mereka minggat tanpa pamit?

Itu tidak mungkin, selama beberapa tahun ini mereka adalah tritunggal yang merupakan salah satu bagian dari jiwa raga Coh Liu-hiang. Untuk ini, siapapun takkan bisa memisahkan mereka. Lalu kemana mereka, kenapa tak ada di atas kapal? Memangnya mengalami bencana dan kena dicelakai orang?

Kembali Coh Liu hiang menerjang masuk ke bilik-bilik di dalam kamar.
Ia percaya dan yakin akan kepandaian silat mereka sudah cukup berlebihan untuk menghadapi segala perubahan yang mendadak, dan lagi di dalam bilik-bilik setiap sudut kapalnya ini, ia ada pasang berbagai alat-alat rahasia yang hebat dan lain dari yang lain. Semua alat-alat rahasia itu, bisa dalam waktu yang amat singkat membuat seorang musuh seketika kehilangan daya untuk melawan. Ada pula yang membuat musuh jatuh pingsan, ada pula yang dapat membelenggu atau mengunci ke empat kaki tangan orang, ada lagi alat yang bisa membuat seseorang terjungkir ke dalam laut.

Tapi kenyataan semua alat-alat rahasia itu tidak pernah tersentuh, tiada sesuatu benda dan perabot yang morat-marit atau terletak tidak dalam posisi sebenarnya. Dalam lemari makan yang bertabir kain tipis, terdapat tiga ayam panggang, sebotol arak anggur yang paling ia gemari, demikian pula cangkir arak yang paling dia sayangipun sudah diseka dan dibersihkan sampai mengkilap. Di atas ranjang Li Ang-siu tergeletak sejilid buku harian, lembaran buku terbuka tepat pada kejadian impian kejutnya. Demikian pula di atas ranjang Soh Yong-yong terdapat sepasang benang sulaman, sepasang kaos kaki yang belum jadi.
Jelas sekali mereka dengan tenang tanpa tergesa-gesa meninggalkan perahu ini, kecuali di dalam waktu yang amat singkat seseorang bisa sekaligus membekuk dan membuat mereka bertiga tidak berdaya. Tapi tokoh seperti ini, sampai detik ini, dalam ingatan Maling Kampiun belum pernah dilahirkan. Sungguh Coh Liu-hiang tidak habis mengerti.

Semakin dipikir dan diselidiki, semakin sulit dia memahami. Semakin gugup dan risau pula hatinya.

Masgul dan gelisah seperti semua terkurung di kuali panas, tak henti-hentinya dia lari keluar masuk dari bilik ini ke bilik lain, putar kayun dan sibuk setengah mati. Setelah jerih payahnya gagal, terakhir baru dia temukan secara mendadak di atas kursi tempat duduk yang dia sukai, terdapat segunduk pasir kuning yang mengkilap.

Di atas gundukan pasir ini terdapat sebutir mutiara hitam yang cemerlang.
Tempat ini sebetulnya paling gampang ditemukan, namun seseorang kalau sudah terangsang oleh gugup dan gelisah, justru sering mengabaikan atau melalaikan perhatiannya pada tempat yang paling menyolok.

Coh Liu-hiang meremas secomot pasir kuning itu, pasir berjatuhan dari sela-sela jari-jarinya sederas hujan air. Maka dilihatnya pula secarik kertas tertindih di bawah gundukan pasir kuning ini, dimana terdapat dua baris huruf-huruf yang ditulis rapi dan bagus sekali.

"Coh Liu-hiang mencuri kuda di pinggir danau. Hek-cin-cu menculik si cantik di atas lautan".

***

Kini Coh Liu-hiang bercongklang di punggung kuda Hek-cin-cu.

Hari itu ia tiba di sebuah kota kecil di pinggir Ma lian ho.

Matahari amat terik, deru angin membawa tebaran pasir, sebuah kota kecil serba miskin dan kekurangan. Seorang perempuan tua yang berpakaian tidak lengkap sedang menuntun seorang bocah laki-laki yang pucat hijau seperti warna sayur, sedang sembunyi di belakang daun pintu sambil mengintip ke dalam, menunggu sedekah dari tamu-tamu budiman.

Tapi di atas dataran tinggi bertanah kuning yang miskin dan tandus ini, kota kecil ini sudah merupakan tempat yang makmur dan serba mewah, karena di lingkungan ratusan li sekitarnya, hanya disini saja yang ada air jernih.
Oleh karena itu, walau dalam kota ini terdapat beberapa bilangan rumah-rumah tembok, beberapa toko dan rumah makan. Setelah Coh Liu-hiang menempuh perjalanan jauh yang menyulitkan, seolah-olah dia sedang memasuki sebuah sorga di kota kecil ini.

Boleh dikata hampir siang malam ia menempuh perjalanan di atas punggung kudanya, hampir terlupa olehnya betapa lezat dan nikmatnya hidangan dan bau arak, tidur, serta kejadian tempo hari.

Jikalau ia tidak menunggang kuda ini bahwasanya tak mungkin secepat ini ia sudah tiba di kota kecil ini, di sini, pada cuaca terang yang tiada angin puyuh, dari kejauhan dapat kau terawang kemegahan bangunan tembok besar yang melingkar-lingkar di atas gunung gemunung di udara sana.

Hari ini angin berhembus kencang, pasir kuning berterbangan membumbung ke angkasa, pelayan-pelayan toko dan pemilik warung makan di pinggir jalan tak henti-hentinya menyapu bersih debu pasir yang hinggap di atas kue kongpiang atau barang dagangan lainnya.

Cukup semenit saja kau menghentikan pekerjaanmu, kue-kue itu akan terbungkus oleh lapisan debu pasir warna kuning laksana minyak sapi. Kue macam itu, di tempat seperti ini, sudah merupakan makanan paling lezat dan berharga untuk mengenyangkan perut.

Sebuah kereta bobrok ditarik seekor kuda sedang mendatangi dari ujung jalan sana, kusir kereta adalah laki-laki kekar yang tidak sabaran, seakan-akan ia hendak mencambuk dan menghabiskan tenaga kuda yang kurus kering itu supaya kereta berlari lebih kencang lagi.

Tepat pada saat itu, seekor kucing berlari keluar dari sebuah warung arak, agaknya hendak menyebrang jalan. Kebetulan kereta berkuda itu sedang mencongklang pesat mendatangi, terang si kucing takkan bisa terhindar lagi, tergilas atau terinjak mampus.

Pada saat itu pula, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang menerjang keluar pula dari warung arak itu, begitu cepat laksana anak panah meluncur tiba, ia tubruk dan tangkap kucing itu, dengan badan raganya ia lindungi kucing itu dari injakan kaki kuda dan tergilas roda kereta yang berat.

Maka kaki kuda menginjak punggungnya, demikian pula roda kereta menggilas lehernya. Sudah tentu kejadian yang luar biasa ini membuat banyak orang-orang di jalanan menjerit kuatir. Coh Liu-hiang sendiripun berubah air mukanya.
Dengan pertaruhkan jiwa sendiri ini melindungi seekor kucing, apakah dia berotak miring?

Demikian pula kusir kereta melihat keretanya menggilas seseorang, kejutnya bukan kepalang. Lekas ia tarik kendali menghentikan kereta, lompat turun lalu berlari ke belakang, ingin ia memeriksa dan menolong.

Dilihatnya orang itu masih rebah di tanah, sebelah tangannya memeluk kucing itu sembari tawa berseri, katanya lucu, "Pus mungil, lain kali kalau menyebrang jalan harus hati-hati, jaman seperti ini banyak manusia yang buta matanya, kalau kau tergilas mampus oleh keparat seperti itu, memangnya tidak sia-sia dan penasaran?"

Kaki kuda dan roda kereta menginjak dan menggilas badan orang ini, dari atas kepala sampai ke ujung kaki, ternyata tak terlihat sedikit lukapun di atas badan laki-laki ini, hanya baju rombeng yang dipakainya itu tambah berlobang dua tempat.

Sudah tentu kejut dan gusar pula kusir kereta, bentaknya memaki, "Siapa keparat yang kau maksud, jika kau mampus, bapakmu ini harus kena perkara," saking gusar kontan ia layangkan kakinya menendang.

Tangan kanan orang itu masih memeluk kucing, mata melirikpun tidak, cukup tangan kiri sedikit bergerak, entah apa yang terjadi, badan kusir kereta yang tinggi kekar itu tahu-tahu melayang naik ke atas seperti disurung ke atap rumah orang.

Kaget dan geli pula orang-orang yang menonton kejadian lucu di tengah jalan ini, baru sekarang kusir kereta itu tahu takut dan kaget, jikalau orang sedang kerepotan dan mencak-mencak di atap rumah. Orang itu sebaliknya pelan-pelan bangkit terus masuk ke warung arak sambil memeluk kucing manis itu, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa atas dirinya.

Sinar matahari menyoroti selebar mukanya yang kehijauan ditaburi cambang bauk lebat dan kasar, nampak seri tawanya yang kemalas-malasan, sepasang matanya yang besar hitam dan bercahaya.

Tadi badannya bergerak secepat anak panah, gerak-geriknya gesit laksana naga mencari harimau ngamuk, kini langkah kakinya malah bergoyang gontai seperti ogah berjalan, ingin rasanya cepat-cepat ada orang yang menggotong dirinya masuk ke dalam warung arak.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar