Rahasia Ciok Kwan Im (Da Sha Mo) Bab 10: Pengantin tertipu

Rahasia Ciok Kwan Im (Da Sha Mo) Bab 10: Pengantin tertipu
Rahasia Ciok Kwan Im
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 10: Pengantin tertipu

Tak sedikit Co Liu-hiang pernah lihat perempuan bernyali besar dan bermuka tebal, tapi seperti putri raja yang ingin lekas-lekas menikah seperti Pipop-kongcu ini belum pernah dilihatnya, katanya dengan menyengir kejut : "Kalau perjodohan ini sudah disetujui oleh kedua belah pihak, kapan saja pernikahan dilangsungkan tak menjadi soal."

Kalau begitu besok saja dilangsungkan, kata Pipop-kongcu dengan mata bersinar.
Dengan langkah lebar Coh Liu-hiang kembali ke perkemahannya, hatinya jengkel dan geli pula mulutnya menggumam : "Sungguh belum pernah kulihat calon pengantin yang begini terburu-buru untuk kawin."

Baru saja kakinya melangkah ke dalam perkemahan, dilihatnya Oh Thi-hoa sedang memeluk guci menuang arak ke dalam mulutnya sekaligus ia habiskan setengah guci arak, katanya tertawa : "Tadi hampir saja bikin aku mati kutu dengan mendelong melihati kau dan dia sepuasnya."

"Bukankah kau biasanya bermuka tebal?" Olok Ki Ping-yan.
Orang lain mengolok dan menggoda aku, tidak menjadi soal, tapi dia…….diapun menggoda aku, coba katakan malu tidak aku ini?

"Kalau sekarang kau sudah takut kepadanya, celakalah hidupmu dikelak kemudian."

"Ya, hidup baru, besok harus kau mulai, pengantin perempuan terburu-buru ingin kawin, dia desak aku supaya tentukan pernikahan besok pagi."

"Apa besok pagi?" Oh Thi-hoa menjerit sambil mencelat bangun.
"Ya, besok pagi!" Coh Liu-hiang menegaskan.

Sekali raih Oh Thi-hoa renggut baju di depan dada Coh Liu-hiang : "Kau……..kau lantas menyanggupi?"
"Sebagai calon menantu raja, cepat atau lambat kau akan menikah, apa bedanya cepat sehari atau lambat seminggu?"

Oh Thi-hoa jumpalitan jatuh keatas ranjang, mulutnya berkaok-kaok : "Celaka dua belas, sedikitpun aku tidak mempersiapkan diri apa tidak menyulitkan aku?"
"Jadi pengantin harus siap apa? Jikalau kau tidak bisa, aku dan Maling Romantis cukup mampu mengajarkan pada kau." Goda Ki Ping-yan tertawa.

Oh Thi-hoa lempar sebuah bantal ke arah orang, dengan kaki telanjang dia mondar-mandir kesana-kemari mencari arak, dan mulutnya muring-muring : "Mana araknya? Arak yang harus mampus ternyata sudah habis? Kalau tidak tenggak dua cangkir lagi untuk menekannya, serasa hampir melonjak keluar jantungku saking tegang."

Coh Liu-hiang mengawasi Ki Ping-yan, katanya : "Coba kau pikir, kenapa mereka begitu terburu nafsu hendak melangsungkan pernikahan besok pagi?"

"Setelah kejadian malam ini, Kui-je-ong seperti burung yang ketakutan dikejar panah, kepada siapapun dia tidak percaya lagi, terpaksa harus lekas mencari menantu untuk menjadi pelindungnya, kalau tidak…………"

Mendadak Oh Thi-hoa menjerit kaget, serunya : "Lekas kalian kemari, coba lihat apa ini?" karena mengobrak abrik kesana kemari, tiba-tiba didapatnya secarik kertas di bawah tindihan botol arak.

Di atas kertas putih itu bertuliskan huruf huruf yang indah berseni.
"Tuan-tuan datang dari jauh, jiwa sendiri belum tentu selamat, kenapa turut campur urusan orang lain? Mumpung hari belum terang tanah, lekas tinggalkan tempat ini, itulah jalan paling tepat, kalau tidak menyesalpun sudah terlambat.
Jikalau kalian sudi mendengar nasehatku, kesempatan lain akan kubuatkan hidangan lezat untuk menjamu kalian panjang umur."
Tertanda Orang di ruang pemujaan

Tak terasa Coh Liu-hiang terlongong mengawasi kertas di tangannya.
"Dua kali meninggalkan surat dengan tulisan yang sama, naga-naganya komplotan Ciok-kwan-im memang sudah sejak lama menyelundup disekitar Kui-je-ong……." Ki Ping-yan utarakan dugaannya.

"Menurut dugaanmu siapa-siapa saja komplotannya?" tanya Oh Thi-hoa.

Siapapun mungkin saja, mungkin para busu, mungkin permaisuri atau gundik-gundiknya, bukan mustahil mereka ayah beranak juga," komentar Ki Ping-yan.
Kesima mata Oh Thi-hoa, katanya kemudian menyengir kecut : "Jangan kalian menjadi gelisah lantaran aku tidak jadi menantu raja, bagi aku tidak jadi soal, memang kemungkinan adalah mereka ayah beranak sendiri."

Coh Liu-hiang tersenyum katanya : "Jikalau hanya huruf hitam diatas kertas ini cukup mampu mengusir kita, seumpama kita tetap bisa hidup, menjadi manusiapun tak ada artinya lagi."

Bercahaya biji mata Oh Thi-hoa, katanya sambil menggosok-gosok tapak tangan: "Nah, kata-kata ini baru mirip ucapan si maling kampium, apapun yang akan terjadi kita harus adu jiwa dengan dia."

"Sekarang," kata Coh liu-hiang dengan prihatin, "Kalau dia sudah pasti hendak mencari kita, maka kita tak perlu tergesa-gesa, biarlah kita tunggu kedatangannya saja disini, besok kau tetap melangsungkan pernikahanmu, tiga hari kemudian tetap kita bekerja menurut rencana Kui-je-ong untuk menukar Ki-loh-ci-sing itu dengan barang-barang yang sudah disiapkan."
Menurut hematmu apa dia betul hendak menukarnya?

"Sudah tentu dia takkan menukarnya."
Oh Thi-hoa menibrung bertanya : "Kalau dia tak mau tukar, kenapa kita harus melakukannya?"

Secara royal Kui-je-ong berikan permata kucing itu pada kau, sebaliknya Ki-loh-ci-sing dipandangnya lebih berharga dari jiwanya sendiri, jelas Ki-loh-ci-sing membekal suatu rahasia yang amat tinggi nilainya, benar tidak?

"Ya, mungkin!" sahut Oh Thi-hoa.

Bahwa Ciok-koan-im mau bertindak demikian tidak lebih karena ingin tahu sampai dimana nilai dari rahasia Ki-loh-ci-sing itu?

Ki Ping-yan tiba-tiba nimbrung : "Kalau Kui-je-ong memandang Ki-loh-ci-sing begitu berharga, kenapa dia tidak ragu menyerahkan kepada Peng-keh-chit-hou untuk membawanya pergi?"

Coh Liu-hiang berpikir sebentar baru menjawab : "Mungkin bukan dibawa pergi, tapi titip kepada Peng-keh-chit-hou untuk membawanya kemari."

Ki Ping-yan mengerutkan keningnya, "Jadi Ki-loh-ci-sing itu semula tak berada ditangan Kui-je-ong? Tapi berada ditangan seseorang yang menetap di Tionggoan? Sekarang Kui-je-ong amat memerlukan barang ini lalu suruh orang untuk mengantarnya kemari?"
Sudah tentu itupun suatu kemungkinan, benar tidak?
"Kalau demikian, urusan tidak besar, barang begitu berharga mana Kui-je-ong sudi titipkan pada orang lain? Kalau toh orang itu sudah menyimpan mestika semahal itu, mana sudi memberikan kepada orang lain pula?" Ki Ping-yan utarakan kesangsiannya.

"Dalam hal ini sudah tentu mengandung suatu rahasia yang tak mungkin diketahui orang luar." Coh Liu-hiang coba menganalisa. "Mungkin hanya Kui-je-ong seorang yang tahu rahasia ini, kita tak perlu menebak-nebak, cuma kupikir," Ia tertawa lalu menyambung: "Bila keadaan memaksa, mungkin Kui-je-ong akan memberitahu sendiri."

Setelah mengalami ketegangan dan keributan semalam suntuk, meski hati masih diganjal urusan-urusan penting, tapi begitu memejamkan mata, tanpa terasa siapapun akan terlelap dalam impian.

Entah berapa lama mereka tertidur, sekonyong-konyong terdengar lambaian pakaian yang terhembus angin, sesosok bayangan orang bagai terbang menerjang masuk kedalam perkemahan, ternyata dia bukan lain rampok budiman dari Tionggoan Sutou Liu-che.

Orang-orang sebangsa Coh Liu-hiang seolah olah selamanya tak pernah tidur sungguh-sungguh.

Ki Ping-yan segera menyambut kedatangan orang dengan jengekan dingin: "Tuan pergi tanpa pamit, kini datang tanpa memberitahu lagi, apa tingkah lakumu tidak terlalu aneh?"

Sambil menyeka keringat Sutou Liu-che unjuk tawa dibuat-buat, katanya: "Cayhe ada urusan perlu kuberitahukan, harap kalian suka maafkan keteledoranku ini."

Lama Ki Ping-yan menatapnya, lambat laun sikapnya mulai lunak.
Oh Thi-hoa malah tertawa, katanya : "Kau punya urusan penting apa, duduklah dan bicara perlahan-lahan."

"Semalam Cayhe pergi tanpa pamit, karena secara diam-diam aku menguntit jejak Sat-jiu-bu-ceng Toh Hoan, sejak pertama kali Cayhe merasa orang ini terlalu licik dan mengandung maksud tertentu, pastilah ada latar belakangnya."

"Tidak malu kau sebagai kawakan Kangouw, pandanganmu memang tepat," puji Oh Thi-hoa.

"Gerak-geriknya seperti amat tergopoh-gopoh dan gelisah sepanjang jalan, aku menguntitnya secara diam-diam, untunglah tidak konangan olehnya, dia terus menuju keutara kira-kira setengah jam perjalanan, terlihat di depan sana terdapat sebuah bukit pasir, dibalik bukit pasir inilah berdiri sebuah perkemahan."

Mencorong pandangan mata Ki Ping-yan, katanya tertawa dingin : "Siapa saja orang-orang yang berada didalam perkemahan itu aku tidak tahu tapi cuma dengan si kera hitam Su-khong seorang, kalau tuan seorang diri hendak main selidik dan mencuri dengar rahasia mereka belum tentu kau bisa pulang dengan nyawa hidup."

Sutou Liu-che menyengir tertawa, ujarnya : "Sudah tentu cayhe tahu dalam perkemahan itu pasti ada jago-jago kosen, masa aku berani sembrono, setelah kulihat Toh Hoan memasuki perkemahan itu, baru saja aku kebingungan apa yang harus aku lakukan, tiba-tiba nampak seekor kuda mencongklang pesat menuju ke arah perkemahan itu, di atas kuda penunggangnya membidikkan sebatang panah melesat masuk ke dalam perkemahan, kuda tak berhenti terus membedal ke arah yang lain dan menghilang."

"Betapa tajam pendengaran Sun-kaucu, sejauh ratusan tombak waktu kuda itu lari mendekati kupingnya pasti sudah mendengarnya, mana mungkin kuda itu bisa mendekat dalam jarak panah dengan perkemahan? Mana dia orang membidikkan panahnya lagi?" demikian jengek Ki Ping-yan lagi.

"Kuda itu agaknya memang keturunan naga, agaknya kakinya terbungkus rapat sehingga tidak menimbulkan suara di atas pasir, tentunya kecepatan lari dan keringanan langkahnya tidak lebih asor dari seorang tokoh kosen yang punya ginkang tinggi."

Sekilas Oh Thi-hoa melirik kepada Coh Liu-hiang, ujarnya tertawa : "Kuda itu mungkin setanding dengan kuda yang kau pinjam dari mutiara hitam."

"Ditengah gurun pasir memang tidak sedikit kuda-kuda jempolan… silahkan tuan lanjutkan ceritanya," kata Coh Liu-hiang.

"Baru saja kuda itu melesat pergi, tiga sosok bayangan orang segera melesat secepat panah keluar dari kemah, mengejar dengan kencang, Cayhe tahu inilah kesempatan terbaik untuk aku bertindak dan menyerempet bahaya, kalau ayal tentu sia-sia kedatanganku."

"Tidak kecil ya nyali tuan," olok Ki Ping-yan sinis.
"Secara diam-diam Cayhe berputar kebelakang perlahan, soalnya di belakang ada beberapa kuda yang terlindungi lingkaran tali, ringkik kuda bisa melenyapkan gerak langkahku."

"Memang tidak malu kau dipandang rampok budiman dari Tionggoan, tindakanmu memang serba perhitungan," kembali Oh Thi-hoa memuji.

Merah muka Sutou Liu-che, katanya pula : "Cayhe mendekam di atas pasir, pelan-pelan aku singkap sedikit ujung kemah dan mengintip ke dalam, tampak kecuali Toh Hoan masih ada dua orang berpakaian sutra emas, bertopi kebesaran dari negeri Kui-je dan seorang Han yang bermuka bengis dan licik."
Ki Ping-yan melirik kepada Coh Liu-hiang, bertaut alis Coh Liu-hiang, katanya: "Apakah pemberontakan yang terjadi dinegeri Kui-je ini ada orang Han yang ikut menjadi kaki tangannya?"

"Ketiga orang ini mencabut panah dari atas meja, diujung panah terdapat lempitan secarik kertas. Orang Kui-je itu membacanya sebentar, mungkin dia tidak bisa baca bahasa Han maka kertas itu dia angsurkan kepada laki-laki tua bermuka bengis kejam itu, minta orang membaca huruf-huruf yang ada di atas kertas."

"Jadi kau tahu juga apa yang tertulis di atas kertas itu, nasibmu cukup baik," timbrung Oh Thi-hoa.

"Cayhe dengar laki-laki tua itu membaca cukup keras: Ki-loh-ci-sing sudah berada di tanganku, kalau kalian ingin mendapatkan benda ini, sediakan lima ribu tail emas, lima ratus butir mutiara, lima puluh pasang gelang pualam, menuju ke barat daya lima puluh li untuk menukarnya, kalau kalian tidak berminat, benda ini akan menjadi milik Kui-je-ong.

Belum selesai Sutou Liu-che membacakan, Coh Liu-hiang bertiga sudah berjingkat berdiri, seru Oh Thi-hoa: "Bocah keparat, sekaligus menawarkan dagangan kepada dua pembeli, apakah Ki-loh-ci-sing ada sangkut pautnya dengan negeri Kui-je…….."

Ki Ping-yan segera menukas, katanya : "Bagaimana reaksi kedua orang Kui-je, setelah mendengar surat yang dibaca itu?"

"Roman muka mereka seketika berubah, pada saat itu pula tiga orang yang mengejar keluar keburu pulang, bukan saja orang-orang dalam kemah tidak menyinggung soal surat itu, secara diam-diam kertas surat itupun disimpannya."

Bagaimana hasilnya dengan pengejaran mereka", tanya Oh Thi-hoa.

"Tidak terkejar, satu diantara ketiga orang itu yang bertubuh kurus seperti kera, mulutnya mengumpat caci, katanya kuda itu pasti kuda setan, kalau tidak meski memejamkan mata pasti diapun bisa menyandaknya."
"Sun-kaucu memang mengagulkan ginkangnya tiada bandingan, kali ini dia terjungkal oleh seekor kuda, sudah tentu hampir edan saking marah," kata Oh Thi-hoa geli.

"Aku tahu orang ini tentu seorang jagoan kosen, disaat hatiku gelisah kuatir jejakku ketahuan, untunglah setelah mereka berunding, Sun-kausu itu membawa tiga temannya termasuk Toh Hoan meluruk kemari!" tutur Sutou Liu-che.

"Kalau tuan tahu mereka kemari membunuh orang, kenapa tidak lekas kau pulang memberi kabar?" desak Ki Ping-yan.

"Cayhe tahu ada kalian bertiga disini, meski jumlah mereka ditambah sepuluh kali lipat jangan harap bisa berhasil, maka aku ingin bertahan sebentar lagi, ingin aku tahu sampai dimana nilainya Ki-loh-ci-sing itu?"

Sutou Liu-che melanjutkan ceritanya, "Setelah ke empat orang ini pergi, kedua orang Kui-je dan seorang Han itu mulai berdebat, seorang bilang harus lekas mempersiapkan barang-barang yang diperlukan untuk menukarnya, pihak lain imbalannya terlalu besar, belum tentu Ki-loh-ci-sing punya nilai begitu tinggi, harus waspada dan bertindak melihat gelagat."

Coh Liu-hiang beradu pandang dengan Ki Ping-yan, mereka tahu bahwa ketiga orang itu terang belum tahu rahasia dari Ki-loh-ci-sing itu, maka mereka curiga dan bimbang kuatir tertipu, kalau tidak ditukar kuatir pula benda mustika itu jatuh ke tangan Kui-je-ong.

Berkata Sutou Liu-che lebih lanjut : "Aku sedang heran, kenapa orang-orang ini begitu besar perhatiannya pada sebutir permata saja, siapa tahu tiba-tiba ada orang menepuk pundakku….," sampai di sini rona mukanya mengunjuk rasa jeri dan heran, agaknya belum hilang rasa takutnya, cepat ia menyeka keringatnya pula, katanya dengan menghela napas : "Cayhe sejak kecil sudah mengembara, ilmu silatku belum termasuk kelas tinggi, bagi seorang pekerja dalam bidangku ini, mata kuping harus tajam luar biasa, siapa tahu orang itu sudah berada di belakangku, bayangannyapun tak kulihat."

Kesima mata Coh Liu-hiang, katanya : "Tak nyana kecuali Sun-khong, masih ada orang kosen berada di sini."

"Waktu itu sungguh bukan kepalang rasa kagetku, waktu aku berpaling bayangan orang itu sudah sepuluh tombak jauhnya, orang sedang melambaikan tangan kepadaku, aku tahu jejakku sudah konangan, terpaksa aku mengeraskan kepala menghampiri……." keringat dingin di kepalanya berketel-ketel, katanya menyambung dengan tertawa getir : "Setelah aku berhadapan dan melihat tegas muka orang ini, baru aku tahu bahwa jiwaku berhasil kurenggut kembali."

"Apa maksudmu?" tanya Ki Ping-yan.
"Untunglah dulu aku pernah bertemu dengan orang ini sekali, kalau tidak sekarang aku takkan bisa pulang bertemu dengan kalian," tutur Sutou Liu-che menghela napas.

"Jadi dia membebaskan kau demikian saja?" tanya Oh Thi-hoa.

"Terus terang, dua tahun yang lalu waktu aku sedang bekerja, secara tak terduga kebentrok dengan orang ini, untung tujuanku waktu itu hendak menolong keluarga seorang janda, maka dia melepaskanku. Watak orang ini amat aneh, asal dia mengampuni kau sekali, meski kau selanjutnya berbuat salah padanya, dia pasti takkan melukai seujung rambutmu."
"Laki-laki benar bocah itu," seru Oh Thi-hoa.
"Apakah orang ini juga diundang oleh kaum pemberontak itu untuk membunuh Kui-je-ong?" kata Ki Ping-yan mengerut kening.
"Ya, begitulah menurut dugaanku." Sahut Sutou Liu-che.

"Siapakah dia sebenarnya?" tanya Ki Ping-yan.

"Cayhe pernah bersumpah berat, matipun takkan menyebut namanya, cuma aku bisa memberitahu, ilmu orang ini amat tinggi dan tak terukur tingkatannya, kalian harus lebih hati-hati."

Tiba-tiba Ki Ping-yan menarik muka, desisnya bengis : "Kalau dia menanam budi kepadamu, kenapa kau kemari memberikan kabar kepada kami?"

"Setahun yang lalu, secara tak sengaja kakakku mendapatkan harta terpendam yang tak ternilai jumlahnya, menurut rencana kami kakak beradik hendak mundur dan mengasingkan diri dari percaturan dunia persilatan, siapa tahu hasil yang amat rahasia ini ternyata diketahui oleh Kaypang Pangcu Lamkiong Ling, bukan saja harta karun yang kami temukan itu dirampas semuanya, kakakkupun menemui ajal dengan badan terbacok hancur, Cayhe tahu siapa pembunuhnya, tapi……..tapi……," ia kucek-kucek matanya yang berkaca-kaca, katanya tawar : "Tapi ilmu silat Cayhe terang bukan tandingan Lamkiong, jikalau peristiwa ini sampai bocor, didalam Kaypang Lamkiong Ling laksana sang surya yang sedang bercokol di puncak cakrawala, siapa orang-orang Kangouw yang mau percaya akan omonganku."

"Benar!" ujar Coh Liu-hiang, "Waktu itu Lamkiong Ling memang membutuhkan dana yang tak terhitung jumlahnya, jikalau harta karun milik siapapun asal dapat direbut, dengan cara kejam atau telengas apapun bisa saja dia lakukan."
Sutou Liu-che menghela napas, ujarnya : "Dendam kesumat sedalam lautan ini, terang aku tiada harapan untuk membalasnya, siapa tahu dengan tenaga seorang diri Coh Liu-hiang si Maling kampium ternyata berhasil membongkar rahasia dan muslihat kejam Lamkiong Ling, secara tidak langsung mewakili aku menuntut balas, dan peristiwa ini cukup menggetarkan dunia, tiada kaum persilatan yang tak tahu, sungguh Cayhe amat berterima kasih dan hutang budi kepada Maling kampium, sayang Coh Liu-hiang selincah naga sakti. Selama ini Cayhe tak berhasil menemukan jejaknya dan menyampaikan sembah salam dan terima kasihku."

Mendadak ia angkat kepala dengan nanar ia awasi Coh Liu-hiang, katanya dengan hormat : "Cayhe tahu Maling kampium suka kelana dan tamasya kemana saja tidak menunjukkan asal usul dan muka aslinya kepada orang lain, tapi Cayhe yakin kedua mataku ini belum lamur, aku masih bisa membedakan orang yang tulen!" sembari bicara segera ia berlutut dan menyembah berulang-ulang.

Lekas Coh Liu-hiang mengangkatnya bangun: "Apakah benar aku ini Coh Liu-hiang adanya, Cayhepun amat haru dan terima kasih akan maksud baikmu."

"Kejadian hari ini, kedua pihak sama-sama tuan penolongku, sungguh Cayhe tiada muka tinggal lama-lama disini, semoga kalian bisa merasakan kegetiran hati Cayhe," kembali ia menjura serta menambahkan: "Cayhe sekarang mohon diri, semoga kelak berjumpa pula………." habis kata-katanya lekas ia putar badan lantas berlalu dengan cepat.

Lama sekali baru Oh Thi-hoa menghela napas dan membuka kesunyian: "Kalau orang lama hidup keluntungan di Kangouw sepuluh tahun, musuhnya sudah tersebar di seluruh penjuru, tapi Coh Liu-hiang justru menanam budi kepada setiap orang yang ditolongnya, kalau demikian betapapun jarang membunuh sesama manusia lebih baik."
Ki Ping-yan malah mengerutkan kening, katanya: "Kalau Sutou Liu-che sudah tahu kalau kau adalah Maling Kampium, tapi dia minta kau waspada menghadapinya, maka dalam pandangannya ilmu silat orang ini tidak lebih asor dari Coh Liu-hiang."

"Benar," timbrung Oh Thi-hoa, "Sekian banyak tahun, yang bisa bertanding dengan Coh Liu-hiang belum pernah kita saksikan, jikalau dia benar-benar datang hari ini, ingin juga aku bermain-main melawannya."

Coh Liu-hiang tertawa geli, katanya: "Jangan kau lupa, hari ini adalah hari pernikahanmu, perduli berapa banyak musuh yang datang, biar aku dan Ki Ping-yan yang menghadapinya, boleh kau masuk dan tidur senikmatnya dalam kamar pengantinmu!"

Oh Thi-hoa mengelus hidung, katanya tertawa: "Jikalau musuh datang terlalu banyak, seharusnya kalian beri kesempatan kepadaku untuk melemaskan tulang-tulangku."

Ki Ping-yan menyengir, katanya: "Kau kan punya istri yang dapat melayanimu sepuasnya, memangnya kau belum merasa letih?"

Baru saja Oh Thi-hoa merenggut sebuah bantal hendak dilempar kesana, tahu-tahu enam-lima orang laki-laki yang membawa baki berisi topi, pakaian dan segala perlengkapannya masuk ke dalam kemah, dengan membungkuk dan salah seorang berkata dengan berseri tawa: "Upacara pernikahan sudah siap, diharap Huma "calon mantu" lekas ganti pakaian siap melangsungkan upacara nikah."

"Cepat benar kerja kaki tangan kalian," puji Coh Liu-hiang terpingkel-pingkel.

Oh Thi-hoa melotot mengawasi topi yang berhias tinggi itu, mendadak ia angkat kedua tangannya ke atas, badanpun roboh rebah di atas ranjang, teriaknya: "Jikalau kalian suruh aku mengenakan topi segede itu, lebih baik kalian persen sekali bacokan saja kepadaku."

Akan tetapi mengenakan topi macam apapun, sudah tentu lebih enak daripada badan ditusuk pisau. Akhirnya Oh Thi-hoa kenakan juga topi kebesaran dan mengenakan pakaian pengantin. Waktu ia coba bercermin tiba-tiba terasa olehnya bahwa tampangnya sebetulnya tidak seburuk seperti yang pernah dibayangkannya sendiri.

Demikian pula mempelai perempuan mengenakan pakaian serba baru, dengan perhiasan serba mewah, secarik kain merah sutra menutupi raut wajahnya.
Mengawasi kain merah sutra itu diam-diam bersorak hati Oh Thi-hoa batinnya : "Hari ini betapapun kau takkan bisa menggodaku lagi."

Kemah yang semula sudah begitu molek dan megah kini kelihatan lebih mewah dan semarak. Selebar muka Kui-je-ong merah bercahaya terang, tapi selama ini permaisurinya tak pernah unjukkan dirinya.

Mungkin karena tiada kehadiran permaisuri maka dalam perkemahan itu tiada tampak bayangan seorang perempuan jua. Setelah mempelai berdua melakukan sembahyang dan sekedar tata tertib pernikahan, segera mereka di usung masuk kedalam kamar pengantin.

Ternyata memang begitulah adat perkawinan dari negeri Kui-je, sederhana dan meriah. Kalau peristiwa ini terjadi dalam negeri mereka, tamu-tamu perempuanpun tak boleh unjuk diri di hadapan umum dan lagi setelah mempelai masuk ke dalam kamar pengantin, mempelai laki-laki harus berjaga-jaga diluar pintu, menunggu para tamu yang berpamitan pulang menghaturkan secangkir arak, memang malam hari di gurun pasir teramat dingin, semua gembala selalu membekal sebotol atau secukupnya arak untuk memanaskan badan.
Di sana setiap laki-laki mempunyai hobby minum, semakin banyak arak yang ditenggak mempelai laki-laki, lebih semarak dan terpandanglah jamuan pernikahan ini, maka sampai akhirnya diantara sepuluh mempelai laki-laki, sepuluh orang semuanya digotong masuk ke dalam kamar pengantin.

Tapi kebiasaan adat pernikahan seperti ini justru mencocoki selera Oh Thi-hoa, kehabisan arak merupakan suatu yang paling dia takuti selama hidupnya, kalau ada yang mencekoki arak padanya, kebetulan malah bagi dirinya.

Tampak empat laki-laki yang telanjang bagian atas badannya menggotong seekor unta panggang masuk ke dalam perkemahan, mencekal sebuah pisau perak, Kui-je-ong mulai bekerja mengiris perut unta panggang ini. Didalam perut unta ternyata berisi seekor kambing panggang, didalam panggang kambing ini kiranya berisi seekor ayam pula.

Inilah perjamuan besar paling mewah dan semarak dalam lingkungan kerabat istana raja yang jarang terjadi di padang pasir, dengan pisau peraknya Kui-je-ong membelek perut ayam panggang, dengan ujung pisaunya dia menyodok keluar sebutir telur ayam yang berlepotan minyak, serunya dengan mengelus jenggot: "Telur ini bisa membawa rejeki, selama ini menurut tradisi hanya tamu-tamu agung saja yang setimpal mencicipinya, hari ini perjamuan pernikahan, keadaan lain dari yang lain, tamu agung siapa saja yang memakan telur yang bisa membawa rejeki ini, bukan saja bakal mendapat berkah dan wahyu, malah yang bakal menjadi pengantin adalah dia pula."

Coh Liu-hiang amat heran dan ketarik akan adat istiadat dan cara-cara yang aneh, dilihatnya Kui-je-ong sedang menghampiri ke arahnya, telur yang membawa rejeki yang tersunduk di ujung pisaunya dia taruh didalam piring Coh Liu-hiang, lalu serunya lantang sambil mengangkat kedua tangan: "Ayolah kita beramai-ramai sama menghaturkan secangkir arak kepada tamu agung kita."

Seruan Kui-je-ong seketika mendapat tepuk tangan yang gegap gempita, semua hadirin bersorak sorai sambil bertepuk tangan, dengan tertawa Coh Liu-hiang mengambil telur di atas piringnya, tiba-tiba dilihatnya ujung pisau perak ditangan Kui-je-ong kelihatan bersemu hitam disinari cahaya api. Tersirap darahnya, namun lahirnya dia berlaku tenang dan wajar, dimana tangannya terayun, berbareng mulutnya terpentang lalu terkatup lagi, orang lain cuma menyangka telur itu sudah terlelap masuk ke dalam perutnya, sebetulnya telur itu sudah menggelundung masuk ke dalam lengan bajunya.

Terdengar Ki Ping-yan berkata dengan menghela napas: "Kejadian dalam dunia ini memang serba aneh, kenyataan Siau Oh hari ini menjadi menantu raja, apakah sebelum ini pernah terpikir olehmu?"

"Kuda liar itu terhitung sudah terbelenggu," ujar Coh Liu-hiang tertawa, "Seharusnya kita ikut gembira, cuma…….malam ini kau harus dua belas kali lebih hati-hati dan waspada, sekali-kali jangan minum sampai mabuk."

Ki Ping-yan mendadak menyengir lebar, katanya : "Coba kau lihat apakah ini?"
Secara diam-diam ia sisipkan segulung kertas yang sudah basah oleh minyak, sehingga tulisannya rada burem, tapi masih jelas dan bisa dibaca dimana tertulis:
"Hari ini adalah hari bahagia pernikahan putrimu, biarlah besok kepalamu kutitipkan sehari lagi di atas badanmu, besok waktu masih mendatangi, biar kupenggal kepalamu, semoga kau memeliharanya secara baik-baik jangan sampai mengecewakan hatiku."

Tanpa terasa Coh Liu-hiang menjublek mengawasi lembaran kertas di tangannya.
Kata Ki Ping-yan yang tertawa getir: "Tutur kata orang ini meski tidak sehalus dan sesopan tulisanmu tapi nada dan pembawaannya amat mirip benar dengan kebiasaanmu, cuma dia menginginkan batok kepala orang lain, boleh dikata rada kejam dari kau."

"Darimana kau dapatkan kertas peringatan ini?" tanya Coh Liu-hiang prihatin.

"Tertancap dibuntut unta panggang itu tadi waktu aku keluar kebetulan kulihat, maka ditengah jalan kusambar lebih dulu," enak saja ia berujar bahwasanya kalau tidak teliti dan seksama terhadap barang sesuatu, mana mungkin didalam keadaan semeriah ini dapat memperhatikan urusan kecil ini. Masakah mungkin bisa diketemukan secara kebetulan?

Untuk kepergok olehmu, jikalau terjatuh ke tangan Ongya, mungkin seketika dia jatuh semaput, bukankah perjamuan ramai ini bakal jadi kacau dan bubar.

"Beruntung Siau Oh melangsungkan pernikahan hari ini, jikalau aku dan kau tak bisa beri peluang kepadanya supaya bisa tenang dan senang serta puas masuk ke kamar pengantinnya, lebih baik cari saja seutas tali gantung diri."

"Seumpama orang itu tidak datang, bahaya yang harus kita hadapi hari ini cukup besar juga, jangan dipandang persoalan ini terlalu sepele, hidangan dan arak hantaran orang lain sekali-kali kita jangan mencicipinya."

Berkilat mata Ki ping-yan, sekian lama ia tatap mata orang, katanya kemudian dengan mengerut kening : "Apakah telur rejeki itu mengandung racun?"

Belum sempat Coh Liu-hiang menjawab, tujuh delapan orang berbondong-bondong mendatangi hendak menghatur arak kepada mereka.

Berkata Ki Ping-yan dengan suara berat : "Lebih baik aku berjaga-jaga di luar, bila kau bisa bebaskan dirimu boleh kau keluar temui aku." Setetes arakpun ia tidak cicipi, terus melangkah dengan langkah tergopoh-gopoh. Sebaliknya Oh Thi-hoa sedang tenggak sebanyak-banyaknya sampai selebar mukanya merah gelap.

Bersahabat dengan kawan seperti Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan, sungguh merupakan suatu keberuntungan bagi nasibnya, bila seseorang mempunyai nasib dan rejeki seperti dirinya, kapan atau saat apapun tak menjadi soal minum sedikit banyak.

Malam semakin larut, bau daging panggang semerbak, gelak tawa dan senda gurau orang-orang masih tetap ramai, namun suasana tegang yang diliputi hawa pembunuhan masih mencekam sanubari orang-orang tertentu ditengah gurun pasir ini.

Badan Ki Ping-yan terbungkus didalam selimut beludru yang tebal, duduk di bawah bayang pohon di pinggir kolam, kepalanya menengadah mengawasi bintang-bintang yang lebat bertebaran ditengah cakrawala, lambat laun sinar bintangpun mulai pudar. Begitu duduk tanpa bergerak, seolah hendak duduk terus sampai kiamat, orang seperti dia memang agaknya tak pernah merasakan kesepian dan letih.

Sekonyong-konyong sebuah botol terlempar datang, terang botol itu hampir memukul kepalanya, seolah-olah tak pernah bergerak, namun botol itu tahu-tahu sudah berada di tangannya. Dengan langkah perlahan Coh Liu-hiang datang menghampiri, katanya sambil menghela napas : "Hawa dingin di sini aneh benar…………" tiba-tiba ia melihat rambut Ki Ping-yan sudah membeku jadi es, katanya pula sambil mengerutkan kening : "Kalau kau tak minum arak, tak mau berdiri jalan mondar-mandir, hanya duduk begini saja, apa kau tak kuatir mati kedinginan?"

"Hawa dingin takkan membekukan aku sampai mati," sahut Ki Ping-yan dingin.

Akhirnya dia membuka tutup botol dan menenggak dua kali, katanya perlahan-lahan : "Hanya dengan duduk tenang tak bergerak di sini, baru aku bisa melihat apakah ada orang luar yang datang, jikalau aku mondar-mandir kian kemari, tak bisa aku kendalikan keadaan keseluruhannya."

"Dalam kolong langit ini, siapa pula yang dapat tahu bahwa kaupun bisa juga rela kedinginan menahan lapar demi sahabat tercinta."

"Aku hanya melakukan urusan yang aku suka, persetan bagaimana pandangan orang lain, apa pula sangkut pautnya dengan diriku?"

Coh Liu-hiang tertawa-tawa, ia tak bicara lagi, ia tahu bila Ki Ping-yan menarik muka dan bicara aseran, perduli apapun yang kau katakan padanya, kau takkan diberi tanggapan.

Sesaat kemudian, Ki Ping-yan sendiri malah yang buka suara : "Bagaimana Siau Oh?"
"Sudah masuk kamar pengantin."
"Digotong masuk?"
"Seperti panggang unta tadi, bedanya cuma perutnya tak ada kambing panggangnya."

Ki Ping-yan tertawa geli, mulutnya menggumam : "Orang yang sembarangan waktu bisa jatuh mabuk memang kadangkala membawa rejeki nomplok."

Coh Liu-hiang rebut botol arak itu, lalu ditenggaknya sekali, katanya : "Adakah sesuatu gerak-gerik yang mencurigakan dibagian luar?"

"Orang yang meninggalkan surat peringatan mungkin sudah berlalu, bahwa orang bisa menancapkan secarik kertas di atas unta panggang di hadapan sekian banyak hadirin, kepandaiannya tentu tidak rendah, ingin aku menghadapinya."

"Kapan kaupun bisa terburu nafsu? Jarang terjadi."

"Memangnya kau kira aku ini mayat hidup!"

"Bagaimana juga orang itu menjadi bagianku, kalian tak boleh bergebrak sama dia."

"Jadi kau takut aku bakal terbunuh oleh dia?"

"Akupun kuatir kau membunuhnya, jikalau orang macam itu sampai mati rasanya sangat disayangkan."

"Hm!" Ki Ping-yan menggeram-geram, Botol arak direbutnya balik lalu ditenggak pula dua kali, tiba-tiba ia bertanya : "Mana telur itu?"

Coh Liu-hiang menggerakkan lengan bajunya, tahu-tahu telur itu sudah berada ditapak tangannya, begitu terhembus angin seketika menjadi beku sekeras batu, kata Coh Liu-hiang : "Pisau perak itu sudah menusuk amblas sedalam setengah dim, tapi hanya ujung pisau sebesar beras saja yang kelihatan menjadi kehitaman, diri sini dapatlah kita bayangkan mungkin telur putihnya tak beracun, racunnya hanya ada ditelur kuning."

Ki Ping-yan sambuti telur itu serta diamat-amatinya dengan seksama, lalu iapun keluarkan sebilah pisau perak kecil, selapis demi selapis ia kikis permukaan telur, lama kelamaan dia dapati sebatang jarum kecil lembut laksana rambut didalam kuning telur. Dengan ujung pisau peraknya, perlahan-lahan ia menjungkitnya keluar, seluruh batang pisau perak itu seketika berubah hitam.

Coh Liu-hiang menghela napas panjang, katanya tertawa : "Perut unta berisi kambing, perut kambing berisi ayam, telur berada didalam perut ayam, didalam putih telur barulah kuning telur, bahwa dia bisa menaruh racun didalam kuning telurnya saja, sungguh buah karya yang lihay."

Ki Ping-yan tertawa, katanya : "Dia menaruh racun ditempat begini rupa, namun bisa ketahuan oleh kau, bukankah kau lebih lihay?" mendadak roman mukanya kelam, sambungnya : "Kui-je-ong sendiri yang menjungkit telur ini dan diberikan kepadamu?"

"Benar!"

Kecuali dia sendiri, sebelum ini mungkin tiada siapapun yang tahu kepada siapa telur ini hendak dia berikan, jadi orang yang menaruh racun…….apakah Kui-je-ong sendiri?

Kalau Kui-je-ong sendiri yang menaruh racun, waktu dia menjungkit telur kenapa harus pakai pisau perak? sebentar ia termenung lalu menambahkan: "Kalau bicara soal kesempatan untuk menaruh racun didalam telur, hanya koki atau tukang masak saja yang mungkin melakukan."

"Terang bukan koki itu."
"Kau sudah menyelidikinya?"
"Ya!" sahut Ki Ping-yan pendek

"Masa kau tahu bila ia tidak berbohong?"
"Aku cukup tahu," cepat jawaban Ki Ping-yan tapi meyakinkan.

Coh Liu-hiang tidak bertanya lebih lanjut, jikalau Ki Ping-yan sudah begitu yakin, sia-sia ia membuang ludah. Kalau jawabannya begitu sederhana, tentulah pertanyaan yang dia ajukan kepada koki teramat jelas dan teliti dan lagi tentu menggunakan suatu cara yang menyudutkan orang yang ditanya, sehingga mau tidak mau harus menjawab dengan jujur. Sudah tentu Coh Liu-hiang cukup tahu akan watak Ki Ping-yan.

Rada lama kemudian Ki Ping-yan bersuara lagi: "Untuk menaruh racun didalam telur seperti ini, belum tentu harus dilakukan oleh seorang koki saja, siapapun bisa turun tangan dikala orang lain tidak waspada, jarum racun dia sambitkan masuk ke dalam telur cuma…….orang itu pasti amat dekat dengan Kui-je-ong dan lagi dia sudah perhitungkan bahwa telur itu bakal diberikan padamu." matanya melotot kepada Coh Liu-hiang berpikir siapakah orang itu?

Lama Coh Liu-hiang berpikir-pikir, katanya tertawa: "Yang terang sekarang takkan bisa disimpulkan, lekaslah kau pergi tidur saja."

"Kau…."

"Kau sudah berjaga setengah malam, sisa setengah malam menjadi giliranku," kata Coh Liu-hiang.

Lewat setengah malam hawa semakin dingin, Coh Liu-hiang pun sudah duduk cukup lama, bergemingpun tidak, kalau Ki Ping-yan bisa duduk seperti itu, tak perlu dibuat heran, bahwa Coh Liu-hiang bisa duduk begitu lama tanpa bergerak, sungguh siapapun takkan pernah menduganya.

Tempat itu amat gelap, api lilin didalam perkemahan kelihatannya seperti berjarak amat jauh, tiada orang yang melihatnya, namun dengan jelas Coh Liu-hiang bisa mengamati setiap orang.

Kini suasana dalam perkemahanpun mulai reda, dua tiga orang saling payang dan papah bergoyang gontai keluar, ada yang nyanyi-nyanyi kecil, ada yang menggerundel.

Suara nyanyian akhirnya berhenti dan sirap, deru angin yang berhembus di gurun pasir berubah laksana nyanyian duka cita yang memilukan hati, membuat orang bergidik seram dan hambar! Tabir malam yang tak berujung pangkal, bintang-bintang bertebaran mulai lenyap, ditengah gurun pasir seluas ini tinggal Coh Liu-hiang seorang saja yang masih segar dan sadar.

Lambat laun sanubarinya memikirkan banyak kejadian, urusan dan banyak orang.
Soh Yong-yong, Song Thiam-ji dan Li Ang-siu dimanakah mereka kini? Sampai detik ini Coh Liu-hiang masih belum berhasil menemukan jejak atau mendapat kabar mereka! Tapi musuh yang berada di sekelilingnya justru semakin banyak, Ciok-koan-im yang misterius dan menakutkan itu, jejaknya tak menentu, gerak-geriknya serba tersembunyi, pembunuh yang tak terukur kepandaian silatnya………apakah dirinya harus terbenam di tengah gurun pasir yang tak kenal kasihan ini?

Coh Liu-hiang tenggak lagi araknya, teringat akan Oh Thi-hoa, serta merta tersungging senyuman kecil di ujung bibirnya, "Bocah itu, sungguh bahagia dan besar rejekinya."

Tiba-tiba ia mendapati seseorang sedang datang ke arahnya, badannya terbungkus oleh selembar kemul besar yang terbuat dari bulu angsa, selintas pandang seperti sebuah kemah kecil sedang bergerak berjalan.
"Siapa?" tegur Coh Liu-hiang.

Tidak menjawab malah terdengar suara cekikikan tawanya. Ternyata pendatang ini adalah Pipop-kongcu, mempelai perempuan membolos keluar dari kamar pengantin.

Senyuman yang tersungging di bibir Coh Liu-hiang seketika membeku, serunya perlahan : "Untuk apa kau kemari?"

Sambil menyeret kemul bulu angsa yang besar itu, Pipop-kongcu melangkah mendatangi, tawanya semakin riang, sahutnya : "Kau boleh datang kemari, memang aku tidak?"

"Tidak pantas kau datang ke tempat ini!"

"Kenapa?" berkedip-kedip biji mata Pipop-kongcu.

Coh Liu-hiang menarik muka, katanya kandas : "Jikalau tak segera kembali ke kamar pengantinmu, biarku………" kata-katanya terputus oleh tawa cekikikan Pipop-kongcu semerdu kelintingan.

Katanya dengan tertawa riang : "Kau…….kau ingin pergi………untuk apa masuk ke kamar pengantin?"

Ke kamar pengantin sudah tentu untuk…….untuk……..suara Coh Liu-hiang yang sirap seketika, sungguh tak tega ia melanjutkan kata-katanya di depan seorang gadis, terpaksa ia gosok-gosok hidung sendiri.

Kata Pipop-kongcu sambil mengerling penuh daya tarik : "Katakanlah, sudah tentu melakukan apa?"

Sungguh Coh Liu-hiang tidak tahu apa yang harus dikatakan, selama hidup boleh dikata belum pernah ia berhadapan dengan gadis secentil dan seberani ini, Pipop-kongcu malah semakin riang melihat sikap kikuk dan malu-malunya, katanya lincah : "Kalau aku masuk kedalam kamar pengantin, jangan kau heran kalau aku dilabrak oleh mempelai perempuan!"

Coh Liu-hiang benar-benar menjublek, katanya tersendat: "Mempelai perempuan?”….memangnya bukan kau?"

"Siapa bilang aku mempelai perempuan?"

"Ta……….tapi jelas sekali………."

"Putri raja kan bukan hanya aku saja dalam negeri Kui-je kita, yang menikah dengan Oh Thi-hoa adalah kakakku! Orang pikun…………

"Kakakmu…….kenapa tidak sejak semula kau jelaskan?"

Bersinar cemerlang bintang kejora biji mata Pipop-kongcu, katanya sambil gigit bibir: "Kenapa harus ku jelaskan, memang sengaja hendak kubuat kau marah-marah, supaya kau gelisah," karena tawa cekikikannya badannya bergetar, dari dalam kemulnya juga terdengar suara berdering yang ramai, waktu dia julurkan sebelah lengannya dari dalam kemul yang membungkus badannya, ternyata tangannya menjinjing dua botol arak. Dengan mengacungkan kedua botol arak ini, dia tertawa riang, serunya : "Pikun kau lekas sambut kedua botol arak ini, jangan sibuk mainkan hidung saja, nanti copot dari mukamu!"

Mengawasi orang perlahan-lahan Coh Liu-hiang berkata: "Kau memang setan kecil yang nakal, lincah dan cerewet, sembari bicara pelan-pelan ia bangkit berdiri seraya ulur sebelah tangannya.

"Kau………apa yang kau inginkan?"

"Coba kau terka?"

"Aku tidak takut, aku tidak takut padamu, aku tidak…………"

seperti hendak mundur tapi tidak bergerak, tiba-tiba mulutnya menjerit lirih, tahu-tahu sebelah tangannya dicekal oleh Coh Liu-hiang, tak kuasa badannya tersungkur masuk ke dalam pelukan Coh Liu-hiang.

Kemul bulu angsa di atas badannya seperti hampir melorot kebawah, pelan-pelan kelihatan pundaknya tampak jelas, kulit badannya yang halus putih merah selicin kain sutera, lambat-lambat pasti kemul itu melorot turun lagi, kembali tampak sepasang bukit tandus yang menjulang, montok dan kenyal. Ternyata badannya telanjang bulat, tak terbungkus selembar benangpun, kemul itu terus melorot ke bawah .

Kembali Coh Liu-hiang terkesima dan mematung di tempatnya, tangannyapun tak bergerak lagi. Terdengar suara Pipop-kongcu bergetar: "Pikun, kau hendak bikin aku kaku kedinginan?" kedua tangannya terpentang mengembangkan kemul bulu angsa itu.

Tampak oleh Coh Liu-hiang bentuk badan polos seorang gadis yang masih perawan dan belum terjamah oleh tangan siapapun jua, begitu sempurna dengan lekak-lekuk yang jelas, sepasang dada yang putih dan menantang, kaki atau sepasang paha yang mempesonakan, lambat laun pandangan Coh Liu-hiang menjadi gelap dan tak terlihat apa-apa lagi. Seluruh badannya tahu-tahu sudah terbungkus masuk ke dalam kemul bulu angsa yang lebar dan besar.

Kedua orang itu sama-sama roboh bergelundungan jatuh di atas selimut tempat duduknya tadi, kemul bulu angsa yang merah menyolok itu kini benar-benar sesuai menjadi fungsinya sebagai kemah mini yang terkecil diseluruh dunia.
Sesuatu sedang bergerak-gerak didalam kemah mini itu, lalu segalanya berhenti.
Cekikikan Pipop-kongcu kembali terdengar dari dalam : "Aku tidak takut padamu, masakan kau malah takut kepadaku?"

Agaknya Coh Liu-hiang menghela napas,, katanya : "Kau memang binal!"

"Pernahkah kau melihat si binal yang begitu cantik dalam dunia ini?"

"Belum pernah."

"Akupun belum pernah melihat si pikun yang gagah mungil dalam dunia ini…….si pikun……pikun…" suaranya semakin lirih dan akhirnya tak terdengar lagi. Tak lama kemudian sebuah botol melayang keluar dari dalam kemah mini, disusul sebuah botol lainnya yang masih berisi setengah arak.

Sesaat kemudian sebuah kaki putih yang halus mulus dan indah terjulur keluar dari dalam kemah dengan gemetar, tapi cepat-cepat menyurut lagi, perlahan-lahan dan pasti terdengar suara napas mulai menderu, semakin cepat dan cepat lagi. Apakah mereka kedinginan? Kenapa seluruh kemah mini itu serasa bergetar?
Sang surya akhirnya merambat naik perlahan-lahan. Sinar surya yang baru saja terbit serasa lembut san hangat seperti dengus napas seorang bayi.

Terdengar suara lagi dari dalam kemah mini.

Itulah suara Coh Liu-hiang : "Agaknya hari sudah terang tanah."

"Belum, belum……umpama sudah terang tanah juga tidak menjadi soal, semua orang disini semalam sudah rebah semua karena terlalu banyak minum arak, mana mereka bisa bangun begini cepat?" kata Pipop-kongcu, suaranya kedengarannya seperti merintih penuh kenikmatan.

Coh Liu-hiang tidak bicara lagi, agaknya dia setuju orang tetap mengeram didalam kemah mini itu.

Tiba-tiba Pipop-kongcu bersuara lagi: "Aku berbuat begini baik kepadamu, tahukah kau apa maksudku?"

"Meskipun aku ini bukan laki-laki yang suka iseng, tapi sungguh tak habis aku mengerti kecuali si gadis mencintai laki-laki itu sampai dia rela menyerahkan dirinya, memangnya masih ada sebab lainnya?"

"sudah tentu aku menyukai kau, tapi jikalau tiada lain tujuan, akupun takkan…..takkan demikian."

"Masih lantaran apa kau?"

Sesaat Pipop-kongcu termenung, lalu menjawab pelan-pelan : "Karena aku takkan menikah sama kau."

"O?" Coh Liu-hiang bersuara heran.

"Bukan saja aku tidak bakal menikah dengan kau, malah kelak……pertemuan kita kelakpun mungkin amat terbatas."
"O?"

"O, o, o,…..," mendadak Pipop-kongcu berteriak sengit : "Memangnya kau bisu dan hanya bisa menjawab "O" saja, memangnya kau tidak punya komentar?"

"Komentar apa yang harus kuberikan?"

"Kau, kau, sedikitnya kau harus tanya kepadaku, kenapa aku tak bisa menikah dengan kau?"

"Kalau kutanyakan, apakah kau sudi menjawab!"

Agaknya Pipop-kongcu tertegun, lama juga berdiam diri, katanya kemudian sambil menghela napas : "Aku takkan jelaskan."

"Justru aku tahu kau takkan menjelaskan maka aku tidak bertanya."

"Kau…….masakan sedikitpun tidak sedih atau mendelu? Seumpama hatimu tidak perih pantasnya kau berujar beberapa kata."

"Sejak semula sudah kuberitahu kau, aku selamanya tak pernah berbohong."

"Kau……….kau bergajul, benar-benar tidak merasa rawan?"

"Bicara terus terang, seumpama kau pasti harus menikah sama aku, apakah aku bakal mempersunting kau, bagi aku masih merupakan tanda tanya?"

"Plak," sekonyong-konyong terdengar suara gamparan keras, sesosok badan orang menerobos keluar dari kemah itu, dari pakaian kelihatannya seperti Coh Liu-hiang………….Eh! Coh Liu-hiang mana bisa memelihara rambut sepanjang itu? Apakah dia Pipop-kongcu yang mengenakan pakaian Coh Liu-hiang?

Bagai terbang kakinya melangkah terbirit-birit, mulutnya masih mencaci maki kalang kabut : "Kau dasar bergajul, laki-laki hidung belang, kau……kau ulat busuk, seumpama seluruh laki-laki dalam dunia ini pada mampus, aku tidak sudi menikah sama kau !"

Suasana masih hening gelap, memang belum ada seorangpun yang bangun.
Dengan tangan terbungkus kemul bulu angsa merah itu, dengan merunduk-runduk Coh Liu-hiang lekas berlari masuk ke dalam kemahnya seperti pencuri yang sedang beroperasi, untung Ki Ping-yan masih tertidur lelap.

Dari kepala sampai kekaki seluruh badannya mengkeret ke dalam selimut, sampai bernapaspun kelihatannya amat susah, lekas Coh Liu-hiang mencari pakaian dan mengenakannya, tapi orang tetap tidur nyenyak tanpa bergerak setengah mati.
Coh Liu-hiang tiba-tiba tertawa, katanya : "Aku tahu sejak tadi kau sudah siuman, tak perlu kau pura-pura tidur, memangnya apa yang barusan kulakukan tidak perlu main sembunyi di depan matamu, toh soal mau sama mau bukan suatu yang memalukan."

Ki Ping-yan tetap memeluk lutut, tanpa memberi reaksi, tidak bergerak!

"Seorang laki-laki yang normal, berhadapan dengan gadis yang ketagihan, ditengah malam buta yang dingin dan sepi ini, coba kau katakan, apa pula salahnya?"

Coh Liu-hiang sendiri jadi bingung, apakah dia sedang memberi penjelasan kepada orang lain atau penjelasan untuk membela perbuatan diri sendiri. Yang terang Ki Ping-yan tetap tidak pedulikan ocehannya.

Coh Liu-hiang membetulkan letak pakaiannya, sambil menghela napas, ujarnya : "Dihitung-hitung, Siau Oh lah yang serba menderita, boleh dikata suatu penipuan perkawinan, calon istrinya itu, ternyata dari kepala sampai ujung kakinya tak pernah berani mengunjukkan diri, aku akan keheranan kalau istrinya itu bukan perempuan jelek."

Mendadak dilihatnya seseorang menerobos masuk, kiranya Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang kira mendengar kata-katanya ini, seumpama tidak berjingkrak marah marah tentulah raut muka Oh Thi-hoa membesi buruk, siapa tahu Oh Thi-hoa justru melangkah maju dengan berseri tawa puas dan terhibur, bukan saja tidak marah, malah kelihatan amat riang.

Coh Liu-hiang sendiri yang melongo marah.

Dilihatnya Oh Thi-hoa tertawa cengar-cengir duduk dihadapannya, cengar-cengir mengawasi dirinya, seperti baru saja dia mendapatkan sekeping uang emas besar dari tanah.

Coh Liu-hiang mendengus hidung, tanyanya memancing : "Kau………apa kau baik-baik?"

"Baik sekali!"

"Kau………sudahkah kau melihat mempelai perempuan!"

"Memangnya kau kira aku menantu pikun? Tanpa melihat istrinya lantas membolos keluar dari kamar pengantin?"

"Jadi kau….kau…….kau tidak marah?"

"Kenapa aku harus marah? Boleh dikata selama hidupku belum pernah hatiku seriang ini."

"Apa kau sudah sadar dari mabuk?"

"Selamanya belum pernah aku sesadar sekarang ini."

Coh Liu-hiang malah menjublek.

"Tentunya kau sudah tahu bahwa istri baruku itu bukan Pipop-kongcu."

"Em!"

"Maka kau pikir, kalau calon istriku semula tak berani unjuk muka didepan umum, tentulah dia bermuka burik, bertampang jelek seperti setan, kalau tidak kenapa dia tak berani unjuk muka……benar tidak?"

Coh Liu-hiang bersungut-sungut: "Ya, mungkin tidak terlalu jelek, cuma…."

"Tak perlu kau ikut prihatin bagi aku, tak perlu membujuk dan menghiburku. Ketahuilah bukan saja istriku tidak jelek, malah berani kukatakan kecantikannya sepuluh kali lipat lebih elok, rupawan dan jelita dari Pipop-kongcu."

Kini Coh Liu-hiang benar-benar melongo, kalau tuan putri yang tua itu begitu cantik, kenapa sebelum ini tidak berani berhadapan muka dengan orang lain? sungguh ia kurang percaya.

"Apa kau tidak percaya?" teriak Oh Thi-hoa keras.

Coh Liu-hiang mengelus hidung, sahutnya tertawa geli: "Ini, mungkin….!"

Oh Thi-hoa berjingkrak berdiri, serunya : "Baik! Kau tidak percaya, mari kuajak kau menemuinya." Belum Coh Liu-hiang sempat buka suara, Oh Thi-hoa sudah menyeretnya. Keadaan di luar masih sunyi senyap, bayangan seorangpun tak kelihatan.

"Sepagi ini, kau lantas menyeretku membuat geger di kamar pengantin, apa tidak lucu?" kata Coh Liu-hiang.

"Ah, saudara sendiri, memangnya ada persoalan apa?"

"Seumpama kau sendiri merasa tiada apa-apa tapi istrimu?"

"Ketahuilah bukan saja istriku itu teramat cantik, malah wataknya baik, sikapnya lemah lembut penuh kasih sayang, pandai meladeni dan………….dan……….sungguh aku tak bisa bilang apa yang harus kupujikan padanya."

Mendengar kata-kata orang, mau tidak mau Coh Liu-hiang ikut girang, katanya tertawa: "Agaknya orang bodoh mempunyai rejekinya sendiri yang lain dan jauh artinya ...", belum habis kata-katanya Oh Thi-hoa sudah menariknya menerobos masuk ke dalam kamar pengantin.

Kamar pengantin yang dimaksud adalah sebuah kemah tersendiri yang baru saja dibangun, keadaan didalam tak ubahnya seperti sebuah istana raja, segala sesuatunya serba baru, mewah dan megah, mungkin baru saja mengalami perjuangan atau kerja berat sampai mempelai perempuan malas bangun, kelihatan masih rebah di atas ranjang, hanya rambutnya saja yang kelihatan terurai di luar kemul yang tebal itu.

Begitu berada didalam kamar Oh Thi-hoa lantas berkaok-kaok: "Ada tamu datang lekaslah bangun! Inilah sahabatku yang paling akrab, seumpama saudara sepupuku, tidak perlu kau malu-malu kucing dihadapannya."

Orang lain setelah menikah tiga bulan, suami istri setiap beradu muka sang istri masih sering menunjukkan rasa malu, tapi Oh Thi-hoa menikah belum setengah hari, tingkah dan sikapnya sudah seperti suami istri lanjut usia.
Sudah tentu Coh Liu-hiang hampir terloroh-loroh geli namun iapun ikut senang bagi perkawinan Oh Thi-hoa kali ini, jikalau mempelai perempuan tidak mencocoki seleranya mana mungkin orang bersikap begitu wajar dan terbuka.

Tapi mempelai perempuan tetap meringkuk dalam kemul, malah tidak bergerak.

Dengan langkah lebar Oh Thi-hoa memburu maju, katanya sambil tertawa : "Cepat atau lambat kau toh pasti akan menemui dia, kenapa…….." kata-katanya mendadak berhenti seperti mulutnya tiba-tiba disumbat sesuatu benda, rona mukanyapun seketika berubah kaku kering.

Darah! Kemul beludru yang masih baru itu tampak berlepotan darah. Dengan tangan gemetar Oh Thi-hoa menyingkap kemul itu dengan sekali hentakan. Jelas kelihatan perempuan yang meringkuk didalam kemul itu ternyata sudah mati.

Serasa terguling jatuh dari atas loteng tinggi, seketika lemas lunglai sekujur badan Oh Thi-hoa.

Lekas Coh Liu-hiang memburu maju, memayang badannya : "Kapan kau meninggalkan kamar ini?"

"Aku………aku……….baru saja keluar mencari kau……….."

"Dalam waktu sesingkat itu ada orang lain masuk dan menurunkan tangan jahat! Siapakah dia? Ada dendam atau permusuhan apa kau dengan dia? Kenapa setengah hari setelah pernikahan dia membunuh…….."

Tiba-tiba Oh Thi-hoa berjingkrak berdiri, teriaknya : "Kau kira dia inikah mempelai perempuannya?"

"Memangnya bukan dia?" Coh Liu-hiang kaget.

"Sudah tentu bukan, siapa perempuan ini seumur hidup aku tak pernah melihatnya."

"Jadi……..jadi, dimana mempelai perempuan yang tulen?"

"Iya! Dimanakah dia? Terang tadi dia masih rebah didalam selimut." Sembari berteriak-teriak ia sibuk mencari kian kemari dan melongok kolong ranjangnya.

Siapa perempuan ini? Bagaimana bisa berada di kamar pengantin ini? Siapa pula pembunuhnya? Kemana sebenarnya mempelai perempuan yang tulen?

Oh Thi-hoa hanya keluar sebentar saja tapi kenyataannya pembunuhan sudah terjadi begitu cepat dan besar didalam kamar pengantinnya! Sungguh seumur hidup Coh Liu-hiangpun belum pernah mengalami peristiwa seaneh ini.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar