-------------------------------
----------------------------
Bab 12: Siasat
Cara tempur seperti ini, sudah
tentu kedua pihak harus bergerak teramat cepat, ganas dan keji, sedikit meleng
atau serangannya meleset setengah mili umpamanya, senjata lawan pasti akan
segera menerjang masuk ke dalam titik kelemahan ini.
Akan tetapi cara serang
menyerang mereka memang cukup seru dan menarik, namun keadaan mereka sudah
runyam benar. Baju yang dipakai kedua orang ini sudah sama tak karuan, sekujur
badan, kepala, rambut dan alis penuh pasir, laksana dua setan gentayangan yang
baru nongol keluar dari liang pasir. Untunglah Coh Liu-hiang tahu benar senjata
yang digunakan Ki Ping-yan, kalau tidak sungguh sukar dia membedakan yang mana
Ki Ping-yan dari kedua orang berpasir ini.
Tampak pundak kiri Ki Ping-yan
dibalut kencang dengan sobekan kain baju, darah masih kelihatan merembes
keluar, terang bahwa pundaknya cidera oleh tusukan pedang. Tapi kedua orang
sedang bertempur begitu sengit, cara bagaimana dia sempat membalut luka-lukanya
dulu? Memangnya setelah lawan melukainya, lantas memberi peluang dan menunggu
dia membalut luka-lukanya baru melanjutkan pertempuran pula.
Mereka sudah berkelahi sekian
lamanya, memangnya masing-masing sudah timbul rasa simpatik terhadap musuh
sendiri, maka setelah salah seorang terluka, seorang yang lain tidak merangsak
terus memanfaatkan kesempatan yang ada. Tapi jurus-jurus permainan mereka
terang merupakan serangan ganas yang mematikan, perkelahian adu jiwa,
seolah-olah tiada maksud membiarkan musuhnya hidup, serangannya tak mengenal
kasihan.
Sungguh heran dan tak habis
mengerti Coh Liu-hiang menghadapi tontonan pertempuran yang lucu ini, ia tahu
sementara Ki Ping-yan masih kuat bertahan, ia sadar bila dirinya ikut turun
tangan, Ki Ping-yan pasti akan marah.
Tapi setelah menyaksikan
sekian lamanya, terasa pula oleh Coh Liu-hiang bahwa jurus permainan pedang
lawan Ki Ping-yan itu seperti sudah dikenalnya.
Gerak pedang orang ini laksana
putaran angin, betapa cepat jurus serangannya, sungguh sukar dibayangkan, tapi
lengan bagian sikut ke atas sedikitpun tidak bergeming, jadi setiap jurus tipu
serangannya dilancarkan hanya dengan kekuatan pergelangan tangan saja.
Orang yang mampu memainkan
ilmu pedang semacam ini setahu Coh Liu-hiang cuma satu saja dikolong langit
ini, yaitu Tionggoan It-tiam-ang. Tapi ilmu pedang yang disaksikan sekarang
sedikit banyak rada berbeda dengan kepandaian It-tiam-ang. Secara
keseluruhannya ilmu pedang ini lebih mantap, tenang dan rapat, tapi tidak
seganas dan sekeji tusukan pedang It-tiam-ang yang telak mengincar tenggorokan musuh.
Hati Coh Liu-hiang sedang
menimang-nimang, entah apa hubungan orang ini dengan It-tiam-ang, Setitik Merah
dari Tionggoan itu, agaknya kalau bukan saudara seperguruan, tentu keduanya
punya sangkut paut yang dekat dan erat.
Kebetulan sekilas terlihat
oleh Coh Liu-hiang pancaran sorot mata orang ini. Itulah sepasang biji mata
yang dingin seperti es, buas laksana serigala, memutih merah seperti salju di
puncak gunung, teguh kukuh laksana gunung. Mata seperti itu kecuali Setitik
Merah dari Tionggoan tiada orang lain lagi.
Sungguh kaget, girang pula
hati Coh Liu-hiang, tak tertahan hampir saja dia bersorak memanggil. Tiba-tiba
dilihatnya pedang panjang It-tiam-ang menusuk lurus mengarah dada, lekas kedua
tangan Ki Ping-yan ditekan turun, sepasang potlot bajanya bersilang menyongsong
serangan lawan, inilah jurus Cap-ci-bong-bun atau palang melintang menutup
pintu. Cuma biasanya kalau orang lain meluncurkan jurus ini tujuannya khusus
hanya bertahan dan melindungi badan, lain dengan Ki Ping-yan, disamping bertahan
rapat, diapun bisa balas menyerang, laksana gunting tajam, kedua potlot
menggunting senjata lawan.
Kombinasi permainan antara
menjaga diri sekaligus menyerang ini sungguh amat hebat dan menakjubkan.
Tapi begitu Coh Liu-hiang
melihat dia melancarkan jurus ini, seketika mencelos dingin hati dan sekujur
badannya.
Ternyata Setitik Merah memang
sengaja pancing dirinya menggunakan jurus ini, soalnya permainan pedangnya jauh
berlainan dengan semua perguruan ilmu pedang dari aliran manapun, pedang
menyerang mengandalkan kekuatan pergelangan, sudah tentu gerak perubahan dan
variasinya jauh lebih banyak dan cepat.
Sebaliknya jurus Ki Ping-yan
ini disamping menyerang mengandung pertahanan, sudah tentu kekuatan
pertahanannya sedikit banyak terganggu, bila menghadapi musuh lain serangan
lawan akan kehabisan tenaga dan berhenti sampai titik yang tertentu saja, maka
dengan mudah bisa saja dia mengunci senjata lawan dengan kedua potlotnya.
Tapi lengan Setitik Merah
masih mengandung kekuatan yang tak terukur besarnya, kalau tenaga pergelangan
terkuras habis, gampang saja ia kerahkan kekuatan lengannya untuk melandasi
serangan itu lebih lanjut, begitu pedangnya menyendal disurung maju, sebelum Ki
Ping-yan berhasil mengunci pedangnya, ujung pedangnya tentu sudah menusuk
tenggorokan Ki Ping-yan.
Hebat memang Setitik Merah
dari Tionggoan, tadi berulang kali dia sudah menyaksikan Ki Ping-yan
menggunakan jurus ini, dalam hati sudah berhasil mencapai suatu pikiran cara
memecahkannya, kini kembali dia pancing lawan menggunakan jurus ini lagi.
Sebagai penonton yang lebih
jelas, paham dan tahu benar jalan liku-liku permainan pedang Setitik Merah,
sudah tentu Coh Liu-hiang paling jelas. Meskipun hatinya melonjak kaget, tapi
dia tak mampu berbuat apa-apa.
Serangan pedang It-tiam-ang
laksana terjangan angin puyuh, dalam kolong langit ini siapa mampu
menghadapinya? Siapa tahu tepat pada saat itu juga pedang panjang Setitik Merah
tiba-tiba menggores sebuah lingkaran membundar, tahu-tahu berputar diantara
batang potlot Ki Ping-yan, "Sret" entah bagaimana pedang ini menukik
turun mengiris ke paha Ki Ping-yan malah.
Terang tusukan pedangnya itu
bakal berhasil, kenapa berubah ditengah jalan? Meski hati Coh Liu-hiang
bersorak girang, tapi terkejut pula. Selamanya Setitik Merah takkan
menyia-nyiakan kesempatan setiap lubang, kenapa kali ini berubah begitu bodoh?
Tujuan Ki Ping-yan melulu
hanya melukai atau membekuk musuh, tak pernah terpikir persoalan lain dalam
benaknya, sehingga ia sendiri tak menyadari keanehan perubahan yang dilakukan
lawannya, kalau musuh menggunakan cara sebodoh ini, justru kesempatan paling
baik bagi dirinya.
Begitu kedua potlotnya
terkembang, dengan jurus Tok-coa-jut-hiat " Ular racun keluar liang"
maka terdengar dua kali suara " Trap, trap," Jiah-kin-hiat dikedua
pundak Setitik Merah tertutuk telak, kontan badannya terjengkang roboh.
Setelah berjuang sekian lama
menghabiskan segala kemampuan dan tenaganya, baru sekarang Ki Ping-yan berhasil
merobohkan lawan, saking senangnya dia terloroh-loroh.
Tapi sepasang biji mata orang
yang dingin membeku itu masih menatap mukanya dengan kaku, sedikitpun tidak
kentara rasa penyesalan atau mengakui kekalahan ini, dari sorot matanya
sikapnya malah tetap angkuh dan jumawa.
Ki Ping-yan tertawa, ujarnya :
"Ilmu pedangmu memang jarang bandingannya dikolong langit, tapi jurus tadi
kau lancarkan dengan gerakan yang salah, siapapun bila dia melancarkan jurus
serangan seperti itu dia harus mengaku kalah, kau…." mendadak kata-katanya
seperti tersumbat didalam tenggorokannya, rona mukanyapun berubah seketika.
Tiba-tiba dilihatnya di ujung
pedang lawan yang runcing tipis itu, tertancap seekor kalajengking.
Ditengah gurun pasir dan
berhawa panas, Kalajengking begitu besar dan beracun jahat, siapapun bila
sampai tersengat sekali saja mungkin jiwanya takkan tertolong lagi, jadi tadi
Setitik Merah melihat seekor Kalajengking merambat di pahanya, barulah ditengah
jalan dia merubah gerakan pedangnya, gerakan bodoh permainan Setitik Merah ini
ternyata telah berhasil menolong jiwanya.
Pucat pias lalu merah padam
muka Ki Ping-yan, mulutnya terkancing.
Sudah tentu Coh Liu-hiangpun
sudah melihat hal ini, tanpa terasa mencelos pula hatinya. Setitik Merah memang
tidak malu sebagai laki-laki sejati, ksatria yang patut dipuji akan kebesaran
jiwa dan keluhuran hatinya, tapi memangnya Ki Ping-yan tidak begitu? Apakah
lantaran kekalahan yang memalukan ini dia lantas hendak bunuh Setitik Merah
untuk menutup mulutnya?
Ingin Coh Liu-hiang
menyaksikan lebih lanjut kejadian seterusnya, apa yang akan dilakukan oleh Ki
Ping-yan, maka diam-diam ia meremas beberapa batu kerikil, jikalau Ki Ping-yan
hendak bertindak keji terhadap Setitik Merah, diapun takkan berpeluk tangan
menonton saja.
Setelah melongo sekian saat,
terdengar Ki Ping-yan berkata pelan-pelan: "Kenapa kau berbuat demikian,
memangnya kau tak ingin membunuhku?"
Badan Setitik Merah tak bisa
bergerak, namun mulutnya masih bebas bicara, katanya dingin : "Aku hendak
membunuhmu, maka jiwamu takkan kubiarkan mampus dimulut kalajengking."
Ki Ping-yan menengadah dan
terloroh-loroh panjang, serunya: "Bagus! Bagus! Bagus!" Beruntun dia
mengucapkan " Bagus!" tujuh delapan kali, mendadak ia cungkil pedang
lawan terus diraihnya, sekali ayun ia tebaskan pedang itu ke arah pahanya.
Secara keras kepala dia tak sudi
menerima kemurahan ini, secara langsung dia hendak tebas paha sendiri untuk
dikembalikan kepada Setitik Merah. Begitu besar tekadnya, sehingga sorot mata
Setitik Merah yang membeku dingin itu menyorotkan cahaya aneh, tak tahan
mulutpun menjerit kaget: "Gila kau!"
"Trang!" ditengah
jeritannya, segulung angin yang keras menerpa datang dengan telak memukul jatuh
pedang ditangan Ki Ping-yan.
Kembang api muncrat
kemana-mana, pedang ditangan Ki Ping-yan terpental lepas dari cekalannya.
Dengan muka berubah, lekas Ki
Ping-yan menyurut mundur delapan kaki, kedua batang potlotnya yang dia rangkap
dalam cekalan pada tangan kiri, segera dibagi ke kanan kiri pula, mulut segera
membentak beringas: "Siapa itu?"
Terdengar seseorang berkata
dengan kalem: "Watak dan adat kalian berdua memang terlalu aseran."
Ditengah kumandangnya gelak tawa, sesosok bayangan orang melambung ke angkasa
meluncur datang, sigap sekali. Sekali raih ia jemput pedang panjang itu
sekaligus membuka totokan jalan darah Setitik Merah. Kontan Ki Ping-yan
membanting kaki serta berseru penuh kegusaran: "Akhirnya kau datang
juga!"
Ternyata Setitik Merahpun
berseru keras : "Akhirnya kau datang juga!"
Kedua orang mengucapkan
kata-kata yang sama, cuma kalau Ki Ping-yan mengucapkan kata-kata ini adalah jamak,
karena sejak semula dia sudah menduga cepat atau lambat Coh Liu-hiang pasti
akan menyusul datang, gegetun dan gemas pula lantaran kedatangan Coh Liu-hiang
begini kebetulan.
Namun kenapa Setitik Merah
juga mengucapkan kata-kata yang sama? Memangnya dia juga tahu bahwa Coh
Liu-hiang sudah berada disekitar daerah pertempuran? Masakah diapun sudah
memperhitungkan bahwa Coh Liu-hiang pasti akan menyusul tiba?
Disaat Coh Liu-hiang merasa
heran, Ki ping-yan sudah berseru tertahan. Kau kenal orang ini? hampir pada
waktu yang sama Setitik Merahpun berteriak: "Kau kenal orang ini?"
Coh Liu-hiang tertawa,
ujarnya: "Kalian berdua aku kenal semuanya, malah masing-masing adalah
sahabat baikku, maka kaupun tak perlu bersedih hati karena merasa berhutang
budi kepadanya, yang terang kelak masih banyak kesempatan jiwanya bakal digorok
oleh orang lain, bolehlah kau berusaha menolong jiwanya saja."
Sudah tentu kata-katanya ini
ditujukan pada Ki Ping-yan.
Lama juga Ki Ping-yan berdiam
diri memikirkan kata-kata ini, akhirnya mendengus .
"Tapi cara bagaimana pula
kau bisa sampai ditempat ini?" Tanya Coh Liu-hiang, kata-kata ini dia
tujukan kepada Setitik Merah.
Tak nyana mendengar pertanyaan
ini Setitik Merah malah semakin keheranan, serunya tak mengerti: "Kenapa
kemari? Bukankah kau yang mencari dan mengundangku?"
Balasan pertanyaan ini lebih
mengejutkan Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan. Setelah mengelus hidung berkata Coh
Liu-hiang : "Aku yang mencari dan mengundang kau kemari? Untuk apa aku
undang kau kemari?"
"Sudah tentu kau
mengundangku untuk membunuh Kui-je-ong itu." sahut Setitik Merah.
Mendengar kata-kata ini,
kembali Coh Liu-hiang merasa prihatin dan urusan semakin ganjil, karena dia
merasakan kejadian ini bukan hanya merupakan salah paham, dibalik persoalan ini
tentu ada latar belakang dan muslihat keji.
Segera ia menghampiri sebuah
batu cadas lalu duduk, katanya: "Persoalan ini mempunyai seluk beluk dan
liku-liku, marilah silahkan kalian duduk saja, mari kita bicarakan kejadian ini
perlahan-lahan." Dengan tertawa menunggu reaksi orang ia menambahkan :
"Aku tahu kau tidak suka bicara, biarlah aku yang bertanya padamu."
Muka Setitik Merah yang kaku
dingin itu sudah berubah, katanya: "Lika-liku? Menanyai aku?……..memangnya
aku…………"
"Tahan dulu gejolak
hatimu, coba kutanya siapa yang mencarimu, dikatakan bahwa aku mengundangmu
untuk membunuh Kui-je-ong itu?"
"Setelah aku berpisah
dengan kau hari itu?" Demikian Setitik Merah yang biasanya tak suka banyak
bicara mulai dengan pengalamannya.
"Terasa bahwa Tionggoan
sudah tiada arti dan tiada sesuatu yang kubuat kenangan abadi, memang sejak
lama aku sudah dengar betapa luas dan kebesaran alam yang menyenangkan
kehidupan di padang pasir ini, maka aku berkeputusan menempuh perjalanan keluar
dari perbatasan."
Coh Liu-hiang tahu orang ini
berhati tinggi dan jumawa, setelah dua kali dikalahkan dalam adu pedang, tak
urung menjadi kecewa dan dingin hati, maka terpikir olehnya kelana keluar
perbatasan untuk mengecap kehidupan baru. Walau hati berpikir demikian,
mulutnya malah berkata : "Kalau begitu, jadi kau lebih dulu menempuh
perjalanan keluar perbatasan ini daripada aku?"
"Tapi beberapa lama
kemudian, ditengah jalan kudapati seseorang yang selalu memperhatikan
gerak-gerik dan jejakku, kemanapun aku pergi dia selalu menguntit di
belakangku.
"Jikalau orang mengincar
sesuatu atas dirimu, anggap saja orang pasti ketiban pulung, mungkin matanya
picak, entah orang macam apakah dia?" Perlu dimaklumi keahlian dan
kebolehan Coh Liu-hiang adalah betapapun persoalan yang dihadapi amat sulit dan
berbahaya, dia masih bisa berlaku tenang, mantap dan wajar.
Tapi ia tahu orang lain belum
tentu bisa berlaku seperti dirinya, maka begitu melihat roman muka Setitik
Merah semakin tegang, maka sengaja dia ucapkan kata-katanya tadi supaya rasa
tegang yang merasuki hati Setitik Merah menjadi kendur, menyusul dia lantas
mengajukan pertanyaan yang pertama.
Betul juga tanpa merasa
Setitik Merah tertawa geli, katanya: "Orang itu memang bukan manusia
biasa, sedikitpun tidak menunjukkan gejala-gejala yang luar biasa, seumpama kau
pernah melihatnya berulang kali, belum tentu kau bisa mengingatnya selalu,
karena orang macam demikian dimana dan kapan saja kaupun bisa melihatnya."
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: "Semakin biasa raut muka seseorang, semakin leluasa dia melakukan
kejahatan, bila mana aku hendak mencari pion-pion untuk melaksanakan tipu
dayaku, akupun bisa mencari orang-orang seperti ini."
"Waktu itu sebetulnya aku
tidak mau terlibat banyak urusan, tapi dua hari setelah dia menguntit aku,
akhirnya aku tak tahan lagi, baru saja aku hendak menghadapinya dan tanya apa
maksudnya menguntit aku, siapa tahu dia malah mencariku lebih dulu."
"Oh!"
Dia bertanya kepadaku:
"Apakah tuan ini adalah Setitik Merah dari Tionggoan?" dalam waktu
dekat aku belum bisa menangkap apa maksud tujuannya, terpaksa hanya
manggut-manggut saja, maka dia lantas memperkenalkan diri sebagai teman baikmu,
sengaja memburu kemari untuk mencari aku."
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya: "dia lantas mengatakan bahwa aku minta kau kemari untuk membunuh
Kui-je-ong?"
"Benar", katanya:
"Kui-je-ong mengganas menindas rakyat, sudah lama Coh Liu-hiang bermaksud
melenyapkan dia, tapi dalam waktu dekat ini dia tak dapat meluangkan waktu,
maka dia ingin mohon bantuanmu!"
"Kau lantas percaya
begitu saja?"
"Sebetulnya akupun tidak
segera percaya akan obrolannya, tapi dia ada mengucapkan beberapa patah
kata-kata yang mau tidak mau aku harus percaya kepadanya."
"Apa yang dia
katakan?"
Sebentar Setitik Merah
berpikir, lalu katanya perlahan: "Katanya Si Maling Sakti pandang tuan
sebagai sahabat karibnya, kalau tidak diapun takkan minta bantuanmu, apalagi
seorang laki-laki sejati harus bisa membedakan antara dendam dan budi, masakah
tuan lupa budi kebaikannya yang tidak membunuh jiwamu?"
Coh Liu-hiang tertawa getir,
katanya: "Kau pikir benarkah aku bisa dan sampai hati mengucapkan
kata-kata seperti itu?"
"Justru aku tahu kau
takkan mungkin membeber kejadian macam itu kepada khalayak ramai, maka aku
berpendapat bahwa kata-kata itu mungkin saja kau yang mengucapkan, kalau tidak
darimana orang ini bisa tahu?"
"Benar." kata Coh
Liu-hiang dengan hati mendelu. "Dalam kolong langit ini, cuma beberapa
orang saja yang tahu akan kejadian itu, juga tiada orang tahu tanpa berkelahi,
kau dan aku takkan berkenalan dan bersahabat dan kini sudah jadi kawan
baik."
"Sampai akupun tidak
tahu," timbrung Ki Ping-yan dingin.
"Apalagi pekerjaanku
memang membunuh orang, jikalau dia ingin supaya aku membunuh orang, sebetulnya
bisa saja membayarku dengan uang mas atau perak, kecuali dia sudah tahu bila
aku sudah ganti obyek, tapi…….."
"Tapi dalam kolong langit
ini cuma beberapa orang saja yang tahu bahwa kau kini sudah ganti obyek".
"Begitulah!"
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: "Jikalau aku menjadi kau, mungkin akupun akan percaya omongan
itu."
Tiba-tiba Ki Ping-yan
menyentak: "Sebetulnya ada berapa orang yang tahu akan hubungan
kalian?"
"Hitung-hitung hanya
Lamkiong Ling, Bu Hoa, Yong-ji dan Mutiara Hitam."
"Tapi Lamkiong Ling dan
Bu Hoa sudah mati, Yong-ji tak mungkin melakukan hal ini, maka……….."
kata-katanya terhenti, dengan nanar ia awasi Coh Liu-hiang.
Coh Liu-hiang menghirup napas
panjang, katanya: "Kemudian hanya Mutiara hitam, ia kah yang menjadi biang
keladi di belakang layar yang kendalikan pemberontakan dinegeri Kui-je?"
Berkata Ki Ping-yan kalem:
"Kitakan sudah tahu didalam pemberontakan negeri Kui-je itu ada orang
bangsa Han yang ikut bekerja, tapi betapa gampang seorang Han untuk dapat
melakukan pekerjaan besar ini di negeri orang, kecuali jika orang Han ini
memang sudah memiliki kekuasaan besar di sana, kalau tidak seumpama dia
berhasil baik dengan aksi pemberontakannya itu, sekali-kali dia takkan bisa
bercokol di negeri ini." Sampai di sini kembali ia berhenti, karena
siapakah orang ini, tanpa dia katakan orang lainpun bisa menduganya.
Hanya putra raja padang pasir
saja yang mampu mengerahkan suatu pemberontakan besar-besaran seperti ini, hal
ini jelas dan dapat dimengerti, sampaipun Setitik Merahpun sudah bisa
menduganya.
Sesaat Coh Liu-hiang merenung,
katanya kemudian: "Dimana orang itu sekarang?"
"Setelah orang itu
menemani aku sampai di luar perbatasan lalu berpisah dengan aku," tutur
Setitik Merah lebih lanjut," Katanya hendak berputar mencari kau, tapi
sepanjang jalan aku lantas disambut dan diantar oleh utusan Kui-je sampai di
sini."
"Disini siapa pula yang
pernah kau temui?" tanya Coh Liu-hiang.
"Aku bertemu dua orang
pembesar tinggi dari Kui-je, agaknya kedudukan mereka amat tinggi dan berkuasa,
sejak Kui-je-ong terusir dari negerinya, kedua orang inilah yang pegang tampuk
pimpinan tertinggi negeri ini."
"Tapi masih ada seorang
bangsa Han, bukan?"
"Benar, tapi yang terang
orang itu pasti bukan Mutiara hitam."
"Siapa dia? bagaimana
bentuk dan tampang mukanya?"
"Orang itu bernama
Gi-kiok-han, konon adalah seorang tokoh kenamaan yang pandai ilmu silat dan
satria, malah otaknya cerdik dan banyak akalnya, di depan pandanganku tidak
lebih hanya musang berbulu ayam, sikap dan polahnya tengik dan
menyebalkan."
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: "Justru lantaran dia tak suka orang lain mendekati dirinya, maka
sengaja dia bertingkah seperti itu, supaya orang tidak membongkar kedoknya,
maka polah dan tingkahnya yang menyebalkan itu malah sebagai kedoknya yang
utama."
"Benar," timbrung Ki
Ping-yan pula, "Jikalau orang lain marah dan tak sudi melihat tampangnya,
sudah tentu orang sukar melihat apakah dirinya samaran atau tulen."
"Perkemahan mereka
semalam sudah pindah ke lain tempat bukan?"
Kini Setitik Merah dan Ki
Ping-yan menjawab bersama: "Benar!"
"Mereka pindah
kemana?" tanya Coh Liu-hiang.
"Konon tidak jauh dari
sini, ada sebuah penginapan ditengah padang pasir, disanalah hotel gelap yang
didirikan oleh begal besar di gurun pasir, Pan-thian-hong, agaknya mereka ada
sekongkol dengan Pan-thian-hong ini, kini mereka menuju kesana."
Coh Liu-hiang merenung
sebentar, katanya: "Dalam dua tiga hari ini, kukira mereka takkan
meninggalkan tempat itu, ya bukan?"
"Benar, sekarang kita
bisa luruk kesana dan gorok leher mereka," kata Setitik Merah.
"Bunuh mereka sih
gampang," sela Ki Ping-yan, "Tapi jikalau ketiga orang itu bukan
pentolannya, bunuh mereka bukankah malah membabat rumput mengejutkan
ular."
"Apalagi mereka jelas
sudah tahu, begitu kau bertemu dengan aku maka urusan bakal dibuat terang, tapi
mereka masih melegakan hati meluruk kemari. Itulah karena mereka mempunyai
pegangan dan latar belakang yang cukup membuat kita gentar."
"Maksudmu mereka punya
pegangan sesuatu untuk mengancam atau menggertak kita!"
"Benar, karena aku masih
ada tiga teman yang kini terjatuh ke tangan mereka," kata Coh Liu-hiang
tertawa getir, lalu menyambung: "Kedatanganku kali ini adalah untuk
mencari ketiga temanku itu, tak nyana secara serampangan di sini aku mendapat
berita tentang jejak mereka, tapi lebih baik kalau aku tak tahu akan hal ini,
setelah tahu gerak-gerikku mau tak mau harus hati-hati."
Ki Ping-yan berkata dingin:
"Bukan mustahil orang itu mengundang saudara ini kemari tujuannya untuk
memberi tahu kepadamu secara tidak langsung mengenai persoalan ini, sekaligus
memberi peringatan kepada kau, dengan sendirinya mau tak mau harus bertindak
ragu-ragu dan kuatir itu, berarti mereka lebih leluasa dan berani
bertindak."
Kata Coh Liu-hiang:
"Kalau mereka hendak memperingati aku, kenapa tidak suruh Yong-ji menulis
surat kepadaku, kenapa harus memeras keringat dan menguras tenaga yang tiada
gunanya ini?"
Lama Ki Ping-yan termenung,
sahutnya: "Omonganmu memang tidak salah, sungguh akupun tidak mengerti,
kenapa mereka harus berbuat demikian, mereka toh sudah tahu bila kalian berdua
beradu muka, bualannya tentu terbongkar, bukankah sia-sia belaka usaha
mereka."
Mungkin karena mereka tidak
menduga aku bakal melindungi Kui-je-ong, dua tiga hari yang lalu kita
sendiripun takkan pernah berpikir hendak melindungi Kui-je-ong bukan?" Coh
Liu-hiang utarakan pikirannya.
Ki Ping-yan berpikir-pikir,
mulutnya tak bersuara lagi.
Berkata Coh Liu-hiang lebih
lanjut: "Pepatah ada bilang, naga sakti takkan ungkulan melawan ular
setempat. Jikalau musuh mendapatkan keuntungan mengenai cuaca, keadaan bumi dan
berbagai syarat yang lebih baik, tapi kitapun memiliki keunggulan yang tak
mereka dapatkan, yaitu….."
Tak tahan Ki ping-yan menukas:
"Yaitu mereka tidak kenal siapa kita, sebaliknya kita tahu betul seluk
beluk mereka."
"Tepat" ujar Coh
Liu-hiang: "Justru mereka tidak tahu siapa kita, maka mereka salah sangka.
Kini kita bisa menggunakan titik kelemahan mereka ini, jikalau harus menunggu
kedatangan Mutiara hitam tentu sudah terlambat!"
"Jadi maksudmu sebelum
Mutiara hitam tiba, kita pergi ke penginapan ditengah padang pasir itu untuk
menyelidiki dan mencari berita?"
"Ya, begitulah
maksudku."
Berkilauan biji mata Setitik
Merah, katanya: "Sekarang juga berangkat?"
"Tempo berjalan amat
cepat, kalau mau berangkat tentunya lebih cepat lebih baik, cuma…."
Coh Liu-hiang geleng-geleng
sambil menghela napas, katanya lebih lanjut: "Kini bukan saja kita harus
menghadapi mereka, kitapun harus melawan Ciok-kwan-im, berarti kita menghadapi
musuh dari dua muka, jikalau sedikit lalai, kita bisa tergencet dari dua
sasaran, jikalau sampai terjebak dan kalah tentu konyol."
Sebagai sahabat lamanya, jalan
pikiran Ki Ping-yan juga sama, mendengar kata-katanya ini ia manggut-manggut,
Setitik Merah sebaliknya mengajukan pertanyaan: "Maksudmu….."
Walau mereka tidak kenal siapa
kami, tapi mendadak dua orang asing tiba-tiba berkunjung ke tempat pangkalan
mereka, mau tak mau harus lebih hati-hati, bukan mustahil kita bakal dihadapi
sebagai kambing gemuk, tapi jikalau kedua orang itu adalah…."
Tak sabar Setitik Merah
menukas pula: "Jikalau kedua orang itu adalah temanku, masakah mereka
berani turun tangan?"
"Tapi sepak terjang
Setitik Merah dari Tionggoan selama ini tetap sendiri, hal ini diketahui
siapapun, memangnya ditengah gurun pasir yang tak pernah dihuni orang mendadak
bersua dengan kedua sahabat baiknya?"
Lama Setitik Merah berpikir,
katanya: "Seumpama dimanapun tempat keramaian yang penuh sesak, akupun
takkan bisa kebetulan bersua dengan setengah temanku, "tawar dan dingin ucapannya,
seolah-olah ia hendak melimpahkan kesunyian sanubarinya.
Sekilas Ki Ping-yan melirik
padanya, katanya tiba-tiba: "Semakin sedikit punya teman semakin baik,
seumpama tiada punya teman juga tak perlu dibuat sedih!"
Setitik Merah balas melirik
kepadanya, sorot matanya menampilkan senyuman hatinya.
Berkata Coh Liu-hiang sambil
bertepuk tangan: "Tapi kalian sama-sama punya watak yang aneh, cepat atau
lambat harus mengikat persahabatan, laripun takkan berpisah lagi, "ia
pegang pundak kedua orang serta menambahkan dengan suara prihatin: "Kini
kami tidak bisa kesana secara terang-terangan, juga tak mungkin menyamar
sebagai teman karib, cara yang paling sempurna hanya….." suaranya semakin
lirih dan akhirnya tak terdengar.
****
Lohor! Seluas mayapada tersorot
di bawah pancaran sinar matahari yang terik. Di bawah terik matahari yang
membakar kulit ini, tampak serombongan unta sedang berjalan pelan-pelan.
Unta yang biasanya dijuluki
kapal pasir ini, kinipun sudah keletihan dan hampir tak kuasa berjalan lagi,
orang-orang yang bercokol di punggung unta lebih-lebih mengenaskan lagi, mereka
sudah kempas kempis menunggu saatnya untuk mangkat menghadap raja akhirat.
Tampak bibir orang-orang ini
sudah sama pecah, biji matanya diliputi genangan darah, badannya seperti sudah
kejang dan pikiranpun sudah setengah sadar, dalam benak mereka hanya terpikir
satu huruf saja "Air……air…………air…….."
Tiba-tiba tampak dikejauhan
perpaduan langit dan pasir di depan sana, asap api mengepul ke angkasa, roman
muka orang-orang ini seketika mengunjuk rasa kegirangan yang luar biasa. Tempat
dimana ada asap api, tentu terdapat air pula? Dengan bersorak kegirangan,
orang-orang itu sudah siap berlomba-lomba mati-matian memburu kesana.
Tak nyana seorang kakek tua
sepertinya pemimpin rombongan mereka tiba-tiba berteriak-teriak: "Jangan!
jangan kesana, tempat itu tak boleh didatangi manusia." Meski suaranya
rendah serak tapi syukur masih punya kewibawaan yang cukup menundukkan
orang-orang itu. Serempak setiap orang menghentikan langkahnya, dengan
pandangan meminta belas kasihan dan cemas-cemas harap mereka berpaling muka
kepada si kakek tua.
Kulit muka si kakek yang sudah
kerut kemerut diliputi bayangan ketakutan, katanya sember: "Tahukah kalian
tempat apakah itu?"
Semua sama geleng-geleng kepala.
Kata salah seorang: "Persetan tempat apa itu, asal disana ada
air……….."
"Agaknya air mempunyai
pengaruh yang amat besar bagi mereka, seketika terbangkit semangat mereka,
tenggorokan mereka seperti mengeluarkan suara kerak kerok, tiba-tiba terdengar
jerit dan lengking seram seperti binatang buas yang meregang jiwa:
"Air……air…….air…."
Dengan ujung lidahnya si kakek
menjilat bibirnya, tapi lama sekali lidahnya menjilat-jilat bibirnya tetap
kering dan pecah serasa perih. Lantaran lidahnya sendiripun sudah kering sekali
dan hampir pecah pula. Katanya menghela napas: "Air…..air, memang ada air
ditempat itu, tapi ada pula golok baja senjata pembunuh manusia, sekarang
kalian masih punya kesempatan untuk hidup, bila tiba di sana jiwa kalian bakal
segera melayang dengan mengenaskan."
Semua orang saling pandang,
tanya mereka: "Ke….kenapa?"
"Karena tempat itu adalah
sarang Pan-thian-hong."
Mendengar
"Pan-thian-hong" disebut oleh si kakek tua kontan ada dua orang
terperosok jatuh dari atas unta, begitu terjungkal di atas pasir mereka tak
kuasa bergerak pula.
Sekonyong-konyong seorang
menjerit serak dengan nekad: "Aku tidak perduli, aku tetap akan kesana,
lebih baik aku dibunuh daripada menderita dan mampus pelan-pelan dengan siksaan
semacam ini." Sekuat sisa tenaganya ia gebrak unta tunggangannya
mencongklang lari ke arah sana, muka semua orang seketika mengunjuk rasa
ketakutan dan membayangkan adegan seram yang bakal menimpa semua yang takkan
kembali lagi.
Ditengah deburan angin
berpasir, tiba-tiba muncul bayangan tiga sosok orang, seorang bertubuh kurus
tinggi, berbaju hitam, bermuka kaku seperti patung kayu, tangannya menyeret dua
utas tali panjang seperti menarik anjing dia seret dua orang lainnya, kedua
orang yang terbelenggu tali adalah seorang laki-laki kurus lancip, namun
mukanya yang jelek ini membuat setiap orang yang melihatnya merasa mual.
Seorang tawanan yang lainpun
tidak lebih bagus, karena dia seorang bungkuk, tangan kedua orang ini sama
terbelenggu kencang, langkahnya sempoyongan jatuh bangun terseret di
belakangnya.
Sikap laki-laki baju hitam ini
amat angkuh dan membusungkan dada, langkahnya enteng, padang pasir yang
terserang hujan badai berpasir ini dipandang sebagai tanah datar berumput
layaknya.
Pelancong atau para pedagang
yang sudah putus asa kehabisan air itu seketika sama-sama melongo melihat
ketiga orang ini, entah siapa diantara mereka, tiba-tiba berteriak keras:
"Pan-thian-hong………..Pan-thian-hong…."
Siapa pula orang yang berkuasa
ditengah padang pasir yang menyeret manusia bagai binatang kalau bukan
Pan-thian-hong dan anak buahnya, saking ketakutan sekejap mata saja orang-orang
ini sudah lari terbirit-birit tak diketahui pula bayangannya.
Si bongkok itu malah menghela
napas, katanya tertawa getir: "Tak nyana orang-orang itu begitu ketakutan
terhadap Pan-thian-hong, lebih baik mati kering dan kehausan daripada pergi ke
tempat itu!"
Si burik menanggapi:
"kalau begitu, tempat itu tentu amat berbahaya," suara orang ini
ternyata mirip benar dengan suara Ki Ping-yan.
Ternyata untuk menyelidiki
keadaan pihak musuh, supaya tidak dicurigai, terpaksa Coh Liu-hiang dan Ki
Ping-yan menyamar menjadi tawanan Setitik Merah, cuma seutas tambang masakah
bisa membelenggu mereka, seumpama samaran mereka ketahuan musuh, mereka tetap
bisa membebaskan diri dengan leluasa, bukankah cara ini jauh lebih baik
daripada menyaru sebagai teman Setitik Merah.
Sesaat kemudian berkata pula
Coh Liu-hiang: "Aku masih membawa setengah kantong air, lekaslah kau
berikan kepada mereka."
Memang hebat orang ini,
menyaru jadi naga seperti naga, menyamar jadi harimau persis harimau, bersolek
jadi seorang bungkuk sungguh tindak tanduknya mirip benar, kalau tidak melihat
dengan mata kepalanya sendiri, mimpipun Setitik Merah tak mau percaya, sungguh
sukar dibayangkan si Maling kampium yang bermuka ganteng dan romantis ini dalam
jangka setengah jam bisa berubah sedemikian rupa.
Ki Ping-yan malah tersenyum,
katanya: "Ada kakek tua itu sebagai penunjuk jalan, orang-orang itu pasti
takkan mati kehausan."
"Kau kenal kakek tua itu?"
tanya Coh Liu-hiang.
"Orang ini boleh
terhitung serigala padang pasir, kepandaian lain sih tak punya, tapi entah
sudah berapa lama dan berapa kali dia bolak balik di gurun pasir, hidup
seolah-olah bisa mencium dimana ada bahaya dan dimana bisa selamat, bila kaum
pelancong atau pedagang bisa mengundang dia sebagai penunjuk jalan, seumpama
mendapat cahaya dibadan sendiri." Tertawa geli, ia melanjutkan:
"Sepuluh tahun yang lalu aku pernah bertemu dengan orang ini, waktu itu
tabungannya cukup untuk hidup anak cucunya sampai beberapa turunan dengan
senang, kukira sejak lama dia sudah cuci tangan hidup dirumah mengenyam hari
tua, siapa tahu sampai sekarang dia masih melakukan pekerjaan itu, agaknya dia
masih anggap pekerjaan ini masih tetap segar dan menarik hatinya."
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya: "Seumpama kuda jempolan yang bisa lari ribuan li, mana mau dia
tunduk ditengah jalan, orang macam demikian bila kau ingin dia hidup senang di
rumahnya, malah terasa badan letih dan perasaan seperti disiksa."
Dua li sebelah depan,
tiba-tiba kelihatan sebuah bukit batu yang menjulang tinggi ke angkasa, memang
tidak setinggi gunung umumnya, tapi ditengah padang pasir yang serba kering tak
berujung pangkal ini kelihatannya amat menyolok mata.
Bentuk batu-batu aneh di atas
gunung laksana gigi serigala atau taring harimau, tandus menguning tak
kelihatan rumput tumbuh di sini.
Selintas pandang, jelas
keadaan di sana terlalu bahaya, penginapan padang pasir yang didirikan
Pan-thian-hong memang dibangun membelakangi bukit batu ini.
Meski bukit batu ini bisa
melindungi dari pusaran angin pasir, tapi bangunan penginapan juga tetap
dibangun dengan kokoh kuat, dinding di sekelilingnya disanggah pilar besar dari
dahan pohon besar yang cukup dipeluk dua orang, sepertiga dari batang pohon itu
terpendam didalam tanah, dindingnya terbuat dari batu gunung, maka dapatlah
dibayangkan kekuatannya takkan kalah dari dinding baja, jikalau ada orang
terkurung didalamnya untuk lolos keluar laksana mendaki langit sukarnya.
Memang tidak kecil bangunan
rumah ini, tapi pintu dan jendelanya kecil dan sempit, kain gordyn yang
dipasang diambang pintu kelihatan mengkilat laksana berminyak, seperti lebih
berat dari lempengan besi bobotnya.
Tak ada nama atau papan
pengenal, cuma di atas dinding yang menghadap keluar ditulis huruf dengan tinta
hitam berbunyi: "air jernih di padang pasir, ranjang kering, api unggun
hangat."
Bagi para pelancong ditengah
padang pasir, ke delapan huruf-huruf ini sungguh sepuluh kali lipat lebih
menarik dari kata-kata manis lainnya yang sering dicantumkan di hotel-hotel
atau restoran manapun untuk menarik para pengunjung.
Dibalik kain gordyn tebal ini
adalah sebuah ruangan yang sedang, empat lima meja tersebar diberbagai pojokan
dan ditengah dengan dua puluhan kursi.
Terlihat dimeja pojokan sana,
tujuh delapan laki-laki besar sedang merubung meja dan main kartu, dimeja kasir
sebelah kiri duduk seorang tua kecil bermuka tepos, berjenggot kambing, bentuk
mukanya segi tiga, dua biji matanya seperti mata tikus merem melek seperti sedang
ngantuk, mulutnya mengulum pipa cangklong, apinya sudah lama padam, suara gaduh
dari orang-orang yang sedang berjudi serasa hampir merontokkan atap rumah,
namun dia tetap duduk tenang seperti tak mendengar sama sekali.
Tiba-tiba terdengar derap kaki
unta berlari mendatangi, tak lama kemudian seseorang menerjang masuk dengan
teriakan serak: "Air……air……." Ciangkui atau kasir pemilik rumah makan
ini masih tetap duduk ngantuk diam saja, laki-laki yang berjudi itupun tiada
yang berpaling, dengan langkah sempoyongan orang ini memburu ke meja kasir dan
serunya dengan sember: "Ciang……Ciangkui apa kau menjual air, aku punya
uang perak."
Mata si Ciangkui masih
terpejam, tapi mulutnya sudah tertawa lebar, katanya: "Kalau punya perak
memangnya kuatir kami tidak mau menjual air? Bagi pedagang seperti kita setiap
pengunjung berarti keuntungan, masakah kami bisa menolak?"
Orang itu kegirangan, serunya:
"Ya……baik……" mulutnya sudah kekeringan, saking girang mulutpun bicara
tak terang, sebelah tangannya repot merogoh kantong mengeluarkan uang perak,
"Klotak" ia lempar uang peraknya di atas meja di depan kasir yang
bernilai dua puluh tail.
Baru sekarang Ciangkui
menggerakkan kelopak matanya, tapi matanya membuka sedikit saja lalu terpejam
lagi.
Orang itu kaget, serunya:
"Tidak……tidak cukup?"
Ciangkui menghela napas, pelan
ia geleng kepala.
Sambil kertak gigi orang itu
kembali keluarkan dua puluh tail perak.
Ciangkui menghela napas pula,
tetap geleng-geleng.
Sudah melotot biji mata orang
itu serasa hendak menyemburkan api, tapi sekilas matanya melirik ke arah
gerombolan laki-laki yang sedang berjudi itu, sikapnya kembali lemas, terpaksa
ia tekan perasaannya dan merogoh kantong pula. Sambil merogoh kantong tangan
sebelah menyeka keringat, Ciangkui masih tetap menghela napas panjang pendek,
keruan kejut bukan kepalang orang ini, serunya: "Se…….seratus enam puluh
tail perak…..masih tidak cukup?"
Ciangkui menyengir tawa,
ujarnya: "Kalau tuan hendak membeli air seratus enam puluh tail, sudah
tentu boleh juga."
Girang orang itu, "baik,
secukupnya ini saja."
Ciangkui batuk-batuk sekali,
lalu berseru: "Lo-ban berikan kepada tuan ini air seharga seratus enam
puluh tail perak."
Lo-ban yang dipanggil ini
sedang jadi bandar, perak di depannya sudah bertumpuk, "Plak" ia
banting kartunya di atas meja, ternyata jeblok (sepuluh).
Bagi bandar pegang kartu
jeblok, dapatlah dibayangkan akibatnya, saking murka ia raih kedua lembar kartu
itu terus dijejalkan ke dalam mulut dan dikunyah hancur, sambil kecap-kecap,
mulutnya mengumpat caci: "Kau cucu kura-kura ini, kunyuk, kelinci modar,
sundel, siapa suruh kau kemari, bikin tuan besarmu kalah main dan kehabisan
uang, kalau sebentar tidak kugecek remuk perutmu, sungguh penasaran
hatiku."
Entah memaki kartu atau memaki
orang dan entah ditujukan kepada siapa, namun bagi orang yang merasa kena
makian ini diam-diam saja, sesaat kemudian pelan-pelan toh terpaksa dia membawa
sebuah ceret.
Ceret yang cukup besar dan
terlalu berat, keruan orang itu kegirangan, serunya: "Terima
kasih…….terima kasih," sekali raih dia rebut ceret itu dan terus menuang
kemulut yang terbuka lebar, betul juga setetes air dingin menetes ke lidahnya
dan airpun tiada lagi. Tidak kecil ceret ini, tapi isinya cuma setetes air.
Keruan bergetar badan orang ini, katanya gemetar: "Ce….ceret ini tak
berisi air."
Lo-ban mendelikkan matanya,
katanya bengis: "Siapa bilang tak ada air, bukankah yang barusan kau
tenggak itu air? Kita orang berdagang mencari uang halal, buat apa harus main
nakal, memangnya kau sendiri yang sudah bosan hidup."
Sungguh kaget dan gusar pula
orang ini, teriaknya serak: "Tapi airnya cuma setetes."
Sahut Lo-ban: "Uangmu
cuma seratus enam puluh tail perak, memang cuma bisa membeli setetes air,
berapa yang kau inginkan?"
Tak tahan lagi orang itu
berjingkrak sambil berteriak-teriak: "Setetes air berharga seratus enam
puluh tail perak, terhitung orang dagang macam apa kalian ini?"
"Sudah tentu berdagang
secara halal, cuma hitung dagang cara kita selama tiga tahun ini jika kau
merasa terlalu mahal siapa suruh kau kemari?" mendadak ia rebut ceret itu
lalu tertawa menyeringai: "Bukan mustahil dalam ceret ini masih ada air,
nanti kuberikan kepada kau," mulut bicara sementara jari-jari tangannya
yang gede-gede itu menggencet dan meremas.
Ceret yang terbuat dari tembaga
itu seketika teremas dan tergencet menjadi bundar seperti bolang-baling, orang
itu hanya mengawasi dengan mulut melongo mana berani bercuit lagi.
Di sebelah sana, Ciangkui
malah terkekeh-kekeh, katanya: "Tuan ini kalau merasa airnya terlalu
sedikit boleh kau tambah uang beli lagi?"
Tergagap mulut orang itu:
"Aku…..aku sudah tak punya uang lagi."
"Tak punya uang perak,
barang lainpun boleh kau tukar dengan air," ujar si Ciangkui.
Orang itu kertak gigi, putar
tubuh terus lari keluar, tak nyana belum lagi kakinya melangkah ke pintu,
tahu-tahu badannya tergantung naik dijinjing seseorang, sebelah tangan orang
itu merogoh ke dalam kantong bajunya. Tangan yang ditarik keluar ini
menggenggam sebuah dompet domba yang berisi penuh dan sesak.
Terdengar suara Lo-ban tertawa
nyaring: "Tak nyana keparat ini masih punya simpanan begini banyak."
Orang itu ketakutan, serunya
gemetar: "Aku………aku tak mau beli lagi."
Mendelik mata Lo-ban,
dampratnya gusar: "Untuk apa kau kemari kalau tidak mau beli air?
Memangnya boleh sembarangan kau keluar masuk ditempat kita ini?"
Sesaat lamanya orang itu
terlongong, lalu katanya dengan air mata bercucuran: "Kalau demikian,
baiklah lekas kau keluarkan airnya!"
Lo-ban terbahak-bahak,
serunya: "Kantongmu sekarang sudah kosong melompong, mana tuan besarmu
sudi kasih air padamu. Mengelindinglah keluar dan minum air kencing sana,"
berbareng kedua tangan terayun ia lempar badan orang ke arah luar pintu,
"Brak" badan seberat puluhan kati itu melayang keluar menerjang kain
gordyn tebal itu dan terlempar keluar pintu.
Lo-ban bertepuk tangan, sambil
tertawa besar, serunya: "Kesurga ada jalan kau tak mau kesana, akhirat
tiada pintu kau malah kemari, memangnya matamu picak?"
Belum habis kata-katanya,
kembali terdengar " brak" kain gordyn keterjang sesuatu, tahu-tahu
orang yang dilempar keluar tadi melayang masuk pula dan "Blang" tepat
jatuh di atas meja.
Keruan Lo-ban kaget dibuatnya,
seketika ia tersurut mundur tiga langkah, serunya: "Hei! Tak nyana tuan
ini seorang ahli yang menyembunyikan diri, pandai main silat agaknya."
Ciangkui menjengek dingin,
jengeknya: "Jangan katakan orang lain picak, justru kau sendiri yang buta
melek, orang yang pandai masih berada di luar!"