Rahasia Ciok Kwan Im (Da Sha Mo) Bab 13: Tertangkap

Rahasia Ciok Kwan Im (Da Sha Mo) Bab 13: Tertangkap
Rahasia Ciok Kwan Im
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 13: Tertangkap

Waktu Lo-ban menegasi dilihatnya orang itu duduk mematung dengan mata mendelong di atas meja, saking ketakutannya mata terkesima dan mulut tak kuasa berteriak, baru sekarang Lo-ban sadar orang ini dilempar balik oleh seseorang di luar pintu. Cuma kalau orang di luar dapat menyanggah serta melemparkannya balik, jatuh duduk tanpa kurang suatu apa di atas meja, kehebatan ini sungguh amat mengejutkan. Sekian lama Lo-ban tertegun, kembali ia menyurut mundur dua langkah kemudian lalu menggembor sekerasnya: "Bocah keparat di luar lekas masuk………"

Belum sampai ia keluarkan kata-kata "antar kematian", tiba-tiba suaranya tersendat didalam tenggorokan, karena dari luar menerobos seseorang, cuma sekali mata orang itu melotot padanya, seketika ia rasakan bulu kuduknya mengkirik dan dingin sekujur badannya, mulutpun tak berani sesumbar lagi.

Kalau di luar masih amat panas dan terik, sebaliknya suasana didalam rumah seketika dingin mencekam perasaan. Di bawah cahaya remang-remang tampak raut wajah orang itu pucat lesi, sedikitpun tidak menunjukkan perasaan hatinya, seolah-olah peristiwa besar apapun takkan bisa meluluhkan hatinya.

Sepasang mata itu justru teramat tajam dan menakutkan, dingin dan kaku menggiriskan pula, sejak orang ini melangkah masuk hawa dalam rumah seakan-akan membeku secara mendadak, orang-orang yang sedang judi dan berkaok-kaok seketika sirap, biji mata Ciangkuipun terpentang lebar, semua hadirin sama merasa badannya dilingkupi hawa dingin, namun mereka sendiri tak habis mengerti, kenapa hati sendiri kebat-kebit, apa sih yang ditakuti?

Tampak orang ini melangkah lebar masuk ke dalam rumah, bahwasanya seperti tidak melihat kehadiran orang lain didalam rumah ini, tangannya menggandeng dua utas tali, sekali tarik dari luar tersungkur masuk dua sosok tubuh manusia, seorang bungkuk dan seorang kurus burikan, begitu tersungkur jatuh sesaat tak mampu berdiri, dengan napas ngos-ngosan.

Lo-ban menghirup napas panjang, sapanya lebih dulu membuka kesunyian: "Sa…..sahabat kemari mau apa?" meski membesarkan hati, tapi entah kenapa suaranya serasa gemetar dan sumbang.

Laki-laki baju hitam itu menyahut: "Disini tempat apa?"

Lo-ban melengak, sahutnya: "Kita…..kita membuka penginapan."

Laki-laki baju hitam sudah duduk di sebuah kursi, "Brak" ia gebrak meja, katanya: "Kalau penginapan, kenapa tidak lekas siapkan minuman?"

Mengerling biji mata Lo-ban, tampak tujuh delapan laki-laki teman judinya sama mengawasi dirinya, dalam hati ia berpikir: "Aku takut apa? Kau bocah ini seorang diri, apa sih yang perlu ditakuti?" karena pikirannya ini, nyalinya tambah besar, jengeknya dingin: "Peraturan di sini selamanya mengutamakan bayar dimuka, mau minum kau harus keluarkan dulu uangmu."

Tak nyana laki-laki baju hitam menyeringai dingin: "Tidak punya uang."

Lo-ban melengak pula, ingin sebetulnya dia keluarkan kata-kata kasar, tiba-tiba dilihatnya sepasang mata laki-laki itu sedang melotot kepadanya, seketika seperti membeku darahnya, sepatah katapun tak kuasa dikatakan lagi.

Di sana Ciangkui tiba-tiba batuk pelan-pelan, katanya tertawa: "Kalau tuan tamu ini mau minum, kenapa tidak lekas kau suguhkan air teh."

Lo-ban yang galak itu ternyata menurut saja dengan tertunduk ia menuang air teh dan disuguhkan.

Laki-laki yang dilempar ke atas meja kembali melongo heran dan tak mengerti, secara diam-diam hatinyapun sedang bersorak kegirangan: "Kiranya kawanan perampok ini masih tahu takut kepada orang yang lebih galak."

Cepat sekali air teh disuguhkan, tanpa sungkan laki-laki baju hitam segera angkat cangkir terus ditenggak habis, tapi air teh yang masuk kedalam mulutnya tiba-tiba ia semprotkan ke muka Lo-ban, dampratnya gusar: "Air teh seperti ini mana bisa diminum, ganti secangkir air lagi."

Badan Lo-ban setinggi tujuh kaki dan kekar itu ternyata terjengkang jatuh karena semprotan air teh dimukanya, terasa selebar mukanya sakit pedas, tak tahan ia berjingkrak bangun dengan murka, dengan menghardik seperti geledek, segera ia menubruk maju.

Teman-temannya yang lain melihat dia berani turun tangan, beramai-ramai merekapun meluruk maju, sambil menggerakkan kaki tangan seraya bersorak sorai, ada yang mengambil kursi, ada yang menyingsing lengan.

Kedua tangan laki-laki hitam itu menekan meja, tiba-tiba ia menyedot napas, entah bagaimana terjadi tahu-tahu meja dan kursi yang didudukinya ikut terseret ke samping beberapa kaki. Sebetulnya Lo-ban sudah mengincar dengan tepat, siapa duga tubrukannya mengenai tempat kosong, celaka malah nubruk seorang temannya yang kebetulan berdiri di sebelah sana, kebetulan pula laki-laki ini sedang angkat kursi mengepruk "Brak" untung badan Lo-ban sedang tersungkur sehingga badannya melenceng dan cepat menggelengkan kepalanya, kalau tidak tentu batok kepalanya terkepruk pecah. Namun demikian toh dirasakan punggung dan pundaknya sakit luar biasa, dengan murka ia berjingkrak bangun seraya mencaci: "Siau-ui, kau anak anjing ini, memang sudah gila?"

Dimaki secara kasar, merah padam muka Siau-ui, serunya: "Siapa suruh kau main tubruk, memangnya kau picak, kau sendiri anak anjing."

Memang dalam permainan judi tadi, orang she Ui ini selalu menang, maka Lo-ban merasa iri kepadanya, kini setengah badannya terasa kaku ngilu, lebih berkobar lagi amarahnya, dampratnya sambil mencak-mencak: "Biar tuan besarmu tahu siapa keturunan anjing yang tulen."

Ditengah suara caci maki kedua orang itu sudah bergumul dan berhantam keras lawan keras, kepalan dibalas pukulan, tendangan dibalas sepakan, suasana menjadi ramai dengan suara gedebukan, keduanya memukul dengan sekuatnya dan tak berusaha berkelit, maka dalam sekejap saja keduanya sudah babak belur dan keluar kecap dari hidungnya, laki-laki baju hitam itu malah menonton mereka berkelahi, matanya tak pernah berkedip.

Ciangkui itu kini menarik muka dan merengut tak bersuara. Tujuh laki-laki yang menonton disamping ada yang merupakan kenalan baik Lo-ban dan ada pula yang suka menjilat kepada laki-laki she Ui, mereka sama tepuk tangan dan berjingkrak memberi semangat dan dorongan kepada kedua orang yang sedang pukul memukul ini.

Tiba-tiba laki-laki baju hitam kembali menggebrak meja, dampratnya: "Siapa suruh kalian anjing gigit anjing?"

Baru sekarang Lo-ban dan Siau-ui sama sadar, keduanya tertegun dan menghentikan serangan, berdiri saling pandang sebentar, amarah Lo-ban agaknya belum terlampias, dampratnya dengan murka: "Biar tuanmu adu jiwa dengan kau."

Seperti orang kesetanan ia menubruk membabi buta, tahu-tahu badan laki-laki baju hitam mengkeret, kembali bersama meja dan kursi melesat ke samping beberapa kaki, Lo-ban kembali menubruk tempat kosong. Kali ini orang lain sudah kapok, tiada seorangpun yang berani membantu, tampak Lo-ban tubruk sana hantam sini, main tendang dan terkam, namun ujung baju orangpun tak mampu disentuhnya.

Mengelap meja dan memindahkan kursi agaknya sudah menjadi keahlian laki-laki baju hitam ini, kemana badannya bergerak, meja dan kursi segera meluncur ke arah yang dikehendakinya. Ruangan ini sebetulnya tidak begitu besar, apalagi terdapat meja kursi lainnya pula, tapi justru dia bisa bergerak secara pas-pasan, bergerak leluasa diantara celah meja dan kursi-kursi, tanpa menyentuhnya sedikitpun.

Biji mata Lo-ban sudah membara, mukanyapun sudah membengkak, keringat sudah membasahi selebar mukanya, makinya sambil berjingkrak murka: "Kau keparat, kalau berani berdirilah dan lawan tuan besar berkelahi, kalau kepandaianmu hanya menyingkir saja, kau bukan manusia, kau binatang!"

Laki-laki baju hitam terkekeh dingin, jengeknya: "Memangnya tampangmu setimpal bergebrak dengan aku."

Lo-ban semakin murka, dampratnya: "Kalau pandaimu mengolok-olok saja, kau memang binatang."

Tiba-tiba melotot biji mata laki-laki baju hitam, sorot dingin terpancar dari biji matanya, ancamnya sepatah demi sepatah: "Kau ingin aku turun tangan?"

"Aku……..aku……." tersendat mulut Lo-ban dengan muka pucat. Tadi dia begitu beringas, tapi karena dipelototi mata lelaki baju hitam, terasa kedua kaki menjadi lemas lunglai, lekas ia putar tubuh memburu kehadapan rombongan laki-laki lainnya, dampratnya mencak-mencak: "Kalian anak kura-kura, melihat keramaian apa? memangnya tangan kalian sudah kutung semua?"

Karena dampratan ini mereka jadi rikuh dan tak enak hati berpeluk tangan.
Tampak laki-laki baju hitam pelan-pelan menanggalkan sebilah pedang yang panjang dan tipis, sarungnya berkulit hitam legam, pedang panjang laksana ular beracun ini diletakkannya di atas meja. Pelan-pelan ia mengelusnya seraya menjengek dingin: "Pedang ini tak sembarangan keluar dari sarangnya, sekali keluar harus melihat darah, kalau keluar jiwa pasti melayang," mulutnya seperti menggumam, namun bagi pendengarnya serasa mendirikan bulu roma dan menciutkan nyali mereka, saling pandang tiada yang berani mendahului turun tangan.

Ciangkui itu tiba-tiba menghela napas, katanya: "Kalau tidak berani turun tangan, tidak lekas ngacir saja, buat apa berdiri di situ membuat malu saja." Semua laki-laki itu sama menundukkan kepala, keringat dingin berketes-ketes membasahi badan. Tertawa besar Ciangkui mengawasi laki-laki baju hitam, serunya memuji: "Sahabat, hebat kepandaianmu, memang sengaja kau hendak bikin gara-gara disini?"

Melirikpun tidak laki-laki baju hitam itu kepadanya, mulutnya mendehem saja.
Kembali Ciangkui tertawa besar, katanya: "Bagus, kawan berani kemari, tentunya kami tidak akan bikin saudara kecewa."

Di atas meja kasir ada kelintingan kecil, segera ia mengangkatnya serta digoyang-goyang. Begitu suara kelintingan kumandang, tujuh delapan jendela persegi satu kaki di sekeliling dinding serempak terbuka, di luar jendela kelihatan bayangan orang, disusul setiap jendela menongol keluar ujung anak panah yang runcing mengkilap tertuju ke arah laki-laki baju hitam, terang anak panah sudah terpasang di atas busur dan terpentang tinggal melepas saja.
Laki-laki pelancong yang dilempar keluar masuk tadi, disaat orang sedang berkelahi, secara diam-diam ia meraih sebuah ceret berisi air teh terus diteguknya sepuas-puasnya, kini sedang menentramkan napasnya yang tersengal-sengal, mau tak mau ia merasa kuatir pula bagi keselamatan laki-laki baju hitam itu.

Sebaliknya laki-laki baju hitam tetap bercokol di atas kursinya dengan sikap tenang tak gentar sedikitpun, panah yang sudah terpasang di atas busurnya tertuju padanya, bahwasanya dianggap tidak melihatnya sama sekali, cuma mulutnya menyungging senyuman dingin. Terdengar dari luar seseorang bergelak tawa, katanya: "Sahabat, besar benar nyalimu, memangnya kau tidak takut mati?" suara tawanya laksana genta bertalu-talu, membuat orang yang mendengarnya serasa pecah kupingnya, sebuah pintu di belakang ruangan tiba-tiba terbuka, dari luar melangkah lebar seseorang.

Tampak orang ini berperawakan tinggi kekar, kira-kira sembilan kaki, selebar mukanya tumbuh cabang bauk, pintu itu tidak besar namun tidak kecil, orang itu harus membungkuk badan baru bisa melangkah masuk.

Baju bagian atas laki-laki ini terbuka lebar, tampak dadanya yang kekar dan tumbuh bulu-bulu lebat hitam, tangannya menjinjing sebilah golok emas bergelang sembilan berpunggung tebal, panjangnya lima kaki, paling tidak ada empat lima puluh kati. Orang seperti ini dengan senjata yang luar biasa pula, sungguh mengejutkan nyali setiap orang yang menghadapinya.

Laki-laki baju hitam cuma meliriknya dengan tawar, jengeknya:"Kau ini Pan-thian-hong?"

Laki-laki cambang bauk tergelak-gelak pula, serunya: "Bocah, bagus ternyata kau tahu disini ada Pan-thian-hong, jadi kau memang sengaja hendak cari gara-gara, baik tuan besarmu biar memberi hajaran kepadamu saja!"

Ditengah berkumandangnya gelak tawa, Kim-pwe-to yang beratnya lima puluh kati itu terayun tinggi terus membacok dengan dahsyat, tajam golok sampai mengeluarkan deru angin keras, sementara gelangnya berbunyi kerontangan, begitu keras dan hebat perbawanya sampai semua hadirin serasa pekak telinganya, terbang arwahnya.

Demikian pula laki-laki baju hitam agaknya tersedot semangatnya oleh perbawa golok yang hebat ini, dengan mata mendelong ia awasi golok besar itu membacok turun mengarah batok kepalanya tanpa bergerak sedikitpun. Serempak semua hadirin sama unjuk rasa senang, mereka kira sekali bacokan golok besar ini, pasti mampu membelah badan laki-laki baju hitam itu menjadi dua potongan. Maka terdengarlah " Prak" golok emas telak sekali mengenai sasarannya.

Meja kayu yang terbuat dari kayu tebal dan berat bobotnya itu ternyata terbelah menjadi dua potong, namun laki-laki baju hitam justru tetap duduk ditempatnya tanpa kurang suatu apapun dan masih segar bugar. Jelas semua orang melihat dia tidak bergeming dari tempat duduknya, tapi entah mengapa bacokan golok itu ternyata tidak mengenai dirinya. Semua hadirin seketika melongo keheranan dan saling pandang. Lo-ban mendadak terkekeh-kekeh serunya: "Masakah kalian tidak melihat? Ji-ko sengaja berbelas kasihan, cuma sengaja main gertak sambal belaka untuk menakuti bocah ini, lalu membabat kutung bagian batok kepalanya."

Semua laki-laki yang hadir sama bersorak senang, seru mereka: "Benar, bacokan Ji-ko selanjutnya tak usah menaruh belas kasihan lagi, ya bukan!"

Laki-laki cambang bauk menyeka keringat di atas jidatnya, sungguh dia sendiripun keheranan sendiri kenapa bacokan goloknya tahu-tahu mengenai tempat kosong, terpaksa ia unjuk tawa kering, katanya: "Adik-adik boleh lihat, bacokan Ji-ko kedua kalinya biar kucabut jiwanya."

Laki-laki baju hitam tiba-tiba menjengek dingin: "Ilmu golok seperti permainanmu, paling-paling hanya bisa untuk membelah kayu dan menebang pohon, jikalau ingin membunuh orang……..hehehe! Masih jauh sekali!"

Merah padam muka laki-laki bercambang bauk, serunya dengan gusar: "Ilmu golok yang bagaimana baru bisa membunuh orang?"

Laki-laki baju hitam pelan-pelan mengelus sarung pedangnya, sahutnya kalem: "Ilmu golok yang bisa membunuh orang seperti ini," ditengah ucapannya semua orang seperti melihat pedang panjangnya itu terlolos keluar dari sarungnya, sekali berkelebat belum lagi kata-katanya terucap habis, pedang runcing panjang laksana ular berbisa itu seperti masih tetap berada didalam sarungnya tak bergerak.

Sementara laki-laki bercambang baukpun masih berdiri tegak di tempatnya, cuma kulit mukanya mulai kerut kemerut dan mengejang, sepasang matanya pelan-pelan melotot seperti biji mata ikan mas.

Melirikpun tidak sudi, berkata laki-laki baju hitam: "Sekarang kau sudah paham belum?"

Laki-laki cambang bauk menyahut sumbang: "Aku………aku sudah paham……….." belum selesai kata-katanya, tiba-tiba terdengar suara gemerantang golok berpunggung tebal di tangannya tiba-tiba jatuh kerontangan disusul tubuh kekar dan tinggi dari laki-laki cambang bauk ini, tumbang seperti pohon yang kehilangan tunjangan akar-akarnya. Tak terlihat sedikitpun luka-luka pada sekujur badannya, cuma tenggorokannya saja kelihatan Setitik Merah darah. Luka-luka yang mencabut nyawanya ternyata hanya setitik darah saja.

Semua hadirin sama membuka mulut dan tak kuasa bersuara, matapun terkesima mana mampu bicara lagi. Sesaat kemudian satu persatu mata mereka melirik ke arah ujung panah yang masih nongol dari balik jendela. Ujung panah sama masih tertuju ke arah batok kepala dan dada laki-laki baju hitam, tapi melirikpun dia ogah, tangannya masih mengelus pedang di pangkuannya.

Lo-ban menyurut mundur selangkah demi selangkah, tak tahan dia berteriak ketakutan dengan suara gemetar: "Ma……masih tidak lekas lepas panah?"

Entah sejak kapan Ciangkui sekarang sudah keluar dari balik meja kasirnya, tiba-tiba ia renggut tengkuk orang, sekaligus tangannya yang lain bekerja pulang pergi menampar mukanya puluhan kali. Serasa hampir semaput Lo-ban dibuatnya, serunya penasaran: "Lo-toa,………..kenapa kau pukul aku?"

Si Ciangkui murka, dampratnya: "Kalau tidak menghajarmu siapa yang harus dipukul? Apa saja yang kau katakan barusan?"

"Aku…….aku cuma minta para saudara lepas panah!"

Ciangkui tertawa dingin, jengeknya: "Kau ingin supaya mereka lepas panah, tahukah kau bila panah dilepas siapa yang akan mampus?"

"Sudah tentu bocah keparat itu."

Belum habis kata-katanya si Ciangkui kembali layangkan tangannya menggampar beberapa kali pula ke pipinya, bentaknya murka: "Tampangmu juga berani memanggilnya bocah, tahukah kau siapa sahabat ini?"

"Dia…………….dia siapa?" Lo-ban terkesiap.

Ciangkui tidak hiraukan pertanyaannya, dengan langkah cepat dia menghampiri ke depan laki-laki baju hitam, dengan laku hormat dia menjura, seraya unjuk seri tawa, sapanya: "Para saudara tidak tahu bila Setitik Merah dari Tionggoan sudah berkunjung ke tempat kami yang jorok ini, maaf kami tak menyambut selayaknya, harap tuan suka mengampuni dosa-dosa mereka."

Orang ini betul-betul serigala bangkotan yang licin dan licik, terlebih dahulu dia hajar Lo-ban habis-habisan, membuktikan bahwa saudara-saudaranya ini memang tidak tahu dan mengenal Setitik Merah. Baru dia memohon maaf kepada Setitik Merah. Ini pula yang dinamakan tingkah laku seorang kawakan Kangouw. Kaum persilatan yang suka kelana di Kangouw biasanya memang mengutamakan perbuatan tengik seperti itu, dia kira setelah mendengar dan melihat tindakannya, orang tentu menjadi sungkan dan sekedar basa-basi selayaknya.

Siapa nyana Setitik Merah justru tidak perduli segala tingkah dan perilakunya yang tengik ini. Meski seorang kawakan Kangouw yang cukup berpengalaman, cara apapun yang digunakan bila berhadapan dengannya boleh dikata sia-sia belaka. Menggerakkan kelopak matapun Setitik Merah tidak sudi, suaranya tetap dingin kaku: "Teh ini tidak bisa diminum, ganti yang lain."

Si ciangkui tertegun sebentar, tetap unjuk seri tawa, sahutnya:

"Ya,ya,ya air teh ini tak bisa diminum biar saudaraku ganti yang lain."
Setelah seseorang mengganti dengan air teh dalam ceret yang lain, dengan kedua tangan sendiri dia angsurkan ke depan orang, siapa tahu Setitik Merah meraih cangkir terus dibanting ke atas lantai: "Teh ini kurang baik, ganti ceret yang lain."

Seketika berubah rona muka semua laki-laki yang hadir, sebaliknya si Ciangkui masih bersikap hormat, roman mukanya tetap berseri tawa, katanya: "Ya,ya,ya ganti dengan ceret yang lain."

Benar juga dia ganti dengan air teh dari ceret yang lain, kembali ia angsurkan dengan kedua tangannya, pikirnya: "Seumpama kau memang ingin membuat keributan kali ini, tentu kau takkan ada alasan main-main lagi."

Tak nyana mengendusnya saja tidak, Setitik Merah kembali membanting hancur cangkir teh itu, bentaknya: "Teh ini tetap tak bisa kuminum."

Sungguh sabar luar biasa si Ciangkui ini, tak segan-segannya dia mengganti sendiri secangkir air teh yang lain pula, pikirnya: "Ingin aku melihat apakah kau tetap akan membantingnya?"

Memang keterlaluan, sekaligus secara beruntun Setitik Merah sudah membanting hancur delapan cangkir, sikapnya tetap kaku dan dingin. Kini hadirin sudah menyadari bahwa dia memang sengaja hendak cari gara-gara menimbulkan keonaran, keringat dingin sebesar kacang sama menghiasi jidat setiap hadirin.

Meski muka si Ciangkui masih mengulum senyuman, tapi hatinya sudah tak sabar lagi, tanyanya: "Air teh yang bagaimana baru tuan mau meminumnya?"

"Air teh yang tidak bau, tentu boleh kuminum," sahutnya.

Ciangkui tertawa kering, katanya: "Masakah air teh ini bau?"

"Hm!"

"Setegukpun saudara tidak mencicipinya darimana bisa tahu bila teh ini bau?"

"Karena tangan orang di sini semuanya berbau."

Sekilas biji mata Ciangkui mengerling ke arah pedang panjang yang ditopang di atas pangkuan Setitik Merah, katanya terloroh-loroh: "Apa betul tangan manusia-manusia ini berbau? Cayhe jadi ingin mengendusnya," pelan-pelan ia menghampiri terus menarik tangan Lo-ban, ujung kakinya tiba-tiba menyungkit golok emas terus diraihnya, sekali ayun ia membacok.

Lo-ban melolong sekeras-kerasnya, kontan jatuh semaput.

Dengan membawa kutungan tangan Lo-ban yang berlepotan darah, si Ciangkui betul-betul mendekatkan ke depan hidungnya untuk dicium satu persatu, roman mukanya berseri tawa, seperti orang menikmati sesuatu yang memikat hatinya: "Kedua tangan ini sebetulnya sih tak begitu bau, cuma mengandung bau anyir darah."

Agaknya dia merasa kata-kata yang dia ucapkan ini adalah banyolan yang menggelikan, belum selesai kata-katanya, badannya sudah bergoyang karena loroh tawanya yang keras. Tapi kecuali dirinya siapa pula yang bisa tertawa. Bahwasanya dia sendiri heran betapa dia sendiripun bisa tertawa.

Dengan mendelik matanya menatap kepada Setitik Merah, batinnya: "Membunuh orang cukup menganggukkan kepala, seumpama kau memang ingin cari gara-gara, apa yang kulakukan kiranya sudah cukup keterlaluan?"

Jikalau orang lain, meski hati sedang dirundung kepedihan atau sedang marah besar, setelah melihat adegan seram tadi mestinya amarahnya sedikit banyak tentu sudah terlampiaskan, seorang bila bisa menahan diri sampai sedemikian jauh, apa pula yang dapat dilakukan orang lain. Sampaipun si Burik dan si bungkuk dalam hati merasa kasihan dan menarik napas, mereka heran kenapa orang yang berjanji dengan Setitik Merah untuk bertemu ditempat ini belum juga kunjung tiba?

Apa boleh buat, hati Setitik Merah seperti dibuat dari besi baja, apapun yang dia katakan, apapun yang dia lakukan, dia bisa anggap tidak melihat dan tidak mendengar, sikapnya tetap kaku tak bergerak.

Lama kelamaan si Ciangkui tak bisa tertawa lagi, setelah dua kali tertawa kering, dia maju menghampiri dan menuang secangkir air teh dengan kedua tangannya, ia haturkan kepada Setitik Merah, katanya: "Selama dua puluh tahun Cayhe tidak pernah menyuguh air teh kepada siapapun dengan kedua tanganku ini, maka kedua tanganku ini tentu tidak bau, jikalau saudara suka memberi muka kepada Cayhe, sungguh Cayhe teramat terima kasih."

Setitik Merah melirikpun tidak ke arahnya, matanya malah mengawasi cangkir ditangan orang, katanya pelan-pelan: "Jadi kau inilah Pan-thian-hong!"

Ciangkui tertawa dibuat-buat, sahutnya: "Ah, julukan yan tak berarti, bikin kotor pendengaran saja."

"Tak heran kau bisa hidup sampai sekarang, orang seperti tampangmu ini kiranya Pan-thian-hong itu, sungguh tak kentara."

"Di hadapan seorang sahabat, sebetulnya Cayhe tak bisa dianggap Pan-thian-hong, hanya boleh dipandang seekor ulat….haha! Cuma seekor ulat belaka, buat apa saudara harus berurusan dengan seekor ulat."

"Benar, kau memang seekor ulat, tanganmu itu lebih busuk dari mereka."

Kulit muka Pan-thian-hong yang kuning itu seketika berubah pucat, suaranya mulai gemetar: "Saudara, kau…..sebetulnya kau ingin."

Tiba-tiba terdengar tawa cekikikan nyaring dari luar pintu, seorang berkata dengan suara merdu: "Kiranya tangan Pan-thian-hong juga berbau busuk, ingin aku menciumnya malah, tahu-tahu seorang gadis muda berusia belasan tahun bermata bening, bergigi putih rata, rambutnya dikepang menjadi dua, pakaiannya serba merah, dengan gemulai melangkah masuk.

Hujan pasir ditengah gurun sering terjadi, orang-orang yang memasuki rumah selalu berlepotan lumpur berpasir, tapi badan gadis jelita ini sedikitpun tidak kotor.

Hawa membunuh memuncak didalam rumah ini, darah berceceran, mayat menggeletak tak diurus. Tapi tawa gadis jelita ini begitu manis begitu riang seolah-olah dia baru saja keluar dari taman kembang yang subur semerbak memasuki kamar tidurnya sendiri, laki-laki kasar yang memenuhi ruangan ini seolah-olah adalah kacung atau pesuruh di rumahnya.

Pada saat seperti ini, ditempat seperti ini pula, tiba-tiba muncul seorang gadis jelita seberani ini, pandangan semua orang secara tak sadar sama mendelong mengawasinya, mulut terbuka lebar tak bersuara.

Tampak sambil berseri tawa, gadis jelita itu langsung menghampiri ke depan Pan-thian-hong, katanya sambil melerok: "Apa tanganmu benar-benar busuk?"

Pertanyaan ini sungguh jenaka dan bikin orang jengkel dan geli pula, sesaat lamanya Pan-thian-hong sendiri megap-megap tak mampu menjawab: "Nona……….Cayhe………"

"Kelihatannya kedua tanganmu ini putih bersih, mana bisa berbau busuk? Aku tidak percaya…………" pelan-pelan ia raih kedua tangan Pan-thian-hong. Gadis jelita secantik ini, tawa nan merdu, masakah Pan-thian-hong tega menolak tangannya diperiksa?

Setitik Merah tetap tak menunjukkan perubahan mukanya, cuma sekilas biji matanya melirik kepada si Burik dan Si Bungkuk, seperti bertanya: "Kalian lihat orang macam apa sebenarnya gadis ini?"

Si Bungkuk dan si Burik beradu pandang, dalam hati masing-masing sama teringat akan Ciok-kwan-im. Jikalau gadis ini bukan Ciok-kwan-im tentu dia punya hubungan erat dengan Ciok-kwan-im. Orang mendadak muncul ditempat ini, apakah tujuannya?

Sekonyong-konyong tampak selarik sinar perak berkelebat, disusul jeritan keras yang memekakkan telinga. Tampak Pan-thian-hong sempoyongan mundur tiga langkah, kontan badannya tumbang celentang seperti pohon roboh.

Tahu-tahu tangan gadis baju merah itu telah mencekal sebuah pisau yang berkilauan, ujung pisau masih berlepotan darah, cara bagaimana orang menggerakkan pisau peraknya tiada seorangpun yang melihat jelas.

Terdengar gadis baju merah cekikikan pula, katanya: "Tangan ini sebetulnya sih tidak bau, cuma sedikit berbau darah."

Laki-laki yang lain serempak menggembor seperti kesetanan, berbareng menubruk maju.

Jelalatan biji mata gadis baju merah, jari-jarinya mengkili-kili pipi sendiri sambil menggoda jenaka: "Kalian mau apa, begini banyak laki-laki hendak menganiaya anak perempuan, tidak tahu malu?" mulut bicara sementara pisau di tangannya bekerja dengan tangkas, dua laki-laki yang menubruk duluan seketika menjerit dan roboh tak bernyawa lagi, tenggorokannya berlubang dan darahpun bercucuran.

anak gadis semuda ini, bersikap aleman, halus dan jenaka, ditengah senda guraunya beruntun menamatkan jiwa dua laki-laki kasar, yang lain mana berani banyak tingkah pula.

Mengawasi darah yang muncrat kemana-mana itu, si gadis baju merah menghela napas, ujarnya menawan hati: "Tak heran Setitik Merah dari Tionggoan menggetarkan dunia, baru sekarang aku tahu membunuh orang tak kelihatan darah, hanya setitik darah di ujung pedang! "Gampang" kata-kata ini diucapkan, tapi untuk melakukannya sungguh tak mudah."

Biji matanya mengerling ke arah Setitik Merah, katanya pula: "Coba lihat, hanya sedikit menggunakan tenaga, darah mereka sudah berceceran sedemikian banyak, sungguh memualkan, dibanding caramu jauh sekali bedanya."

Dengan dingin Setitik Merah mengawasinya, katanya dingin: "Peduli siapa, membunuh orang tiada seninya dan enak dipandang mata."

Gadis baju merah cekikikan pula, ujarnya: "Cuma kau, orang lain membunuh orang ya membunuh orang, kau membunuh orang sebagai buah karya yang tiada bandingannya."

Siau-ui sedang menyurut mundur, diam-diam ia memberi isyarat ke jendela, maksudnya supaya mereka melepas anak panah, tak nyana kerlingan mata gadis baju merah tiba-tiba tertuju ke arahnya, teriaknya nyaring: "Aduh! Coba kalian lihat jahat tidak orang ini, dia ingin orang lain memanah mati diriku."

Seketika dingin tengkuk dan kaki tangan Siau-ui, kakinya tak bergerak lagi.

Gadis baju merah malah menghela napas, ujarnya lembut: "Sayang panah-panah itu takkan bisa memanah mati orang, tidak percaya coba kau lihat." langkahnya ringan menghampiri jendela, dengan kedua jarinya ia jepit pelan-pelan sebatang anak panah, panah itu dengan gampang terjepit diantara jari-jarinya, sekali potes patah menjadi dua.

Semua laki-laki kasar itu semakin ketakutan, bernapaspun tak berani keras-keras.

"Apa kalian heran?" ujar gadis baju merah.

"Sebenarnya tak perlu dibuat heran, orang hidup baru bisa main panah, orang mati mana bisa lepaskan panah?"

Bergetar suara Siau-ui: "Kau……….kau bunuh mereka?"

"Coba kau pikir, bila ada orang hidup mengacungkan panah kepadaku, apa aku bisa masuk kemari? Nyaliku kecil, tak punya kepandaian seperti Setitik Merah ini."

Serasa lemas kaki Siau-ui, seketika ia melorot jatuh dengan lunglai.

Tak tahan Setitik Merah bertanya: "Dari mana kau tahu namaku?"

"Kenapa aku tak tahu namamu, kau adalah orang yang paling kukagumi, apalagi kedatanganku sekarang tujuannya adalah menyambut kau."

Berkerut alis Setitik Merah, "Menyambut aku?"

"Bukankah kau ada janji bertemu dengan orang di sini?"

"Ehm!"

"Kini mereka sedang sibuk urusan penting maka tak bisa kemari dan suruh aku membawa kau kepada mereka. Sekarang aku sudah datang, kaupun perlu segera berangkat."

"Berangkat…….." Setitik Merah ragu-ragu.

"Kau tak mau berangkat? Memangnya hendak bunuh habis orang-orang ini? Sungguh kebetulan malah, selamanya aku mengharap bisa melihat kau membunuh orang."

Tanpa banyak bicara Setitik Merah tarik kedua utas tali yang membelit orang, terus ditariknya si Bungkuk dan si Burik, tiba-tiba berkerut alisnya, katanya: "Kau tangkap kedua orang sebagai gandengan anjing mainan, kenapa tidak kau pilih yang bagus dan cantik? Manusia seburuk ini, aku sebal melihatnya, memalukan saja, lebih baik aku kirim mereka pulang ke asalnya saja," dimana tangannya terayun, pisau perak di tangannya menyambar ke tenggorokan si Burik dan si Bungkuk, "Creng" sarung pedang hitam laksana ular sakti tahu-tahu menangkis pisau perak itu.

"Lho! Kau merasa sayang bikin mereka mampus?"

"Orang yang ingin kubunuh, tak perlu orang lain mewakili aku turun tangan."

"Kau kira aku suka berebut membunuh orang dengan kau?"

"Urusan membunuh orang, tiada orang yang bisa berebut dengan aku, tiada orang yang berani."

"Legakan hatimu, orang seperti ini kubunuh dia malah mengotori tanganku!"

Begitu gadis baju merah ini mengatakan hendak menjemput Setitik Merah si Bungkuk lantas tahu urusan rada ganjil. Katanya pemimpin pemberontak negeri Kui - je dengan Go kiok-kan itu hendak menunggu kedatangan Setitik Merah di penginapan padang pasir satu satunya ini, kenapa mendadak merubah rencana? Kenapa pula mereka suruh gadis jelita baju merah ini membawa Setitik Merah entah kemana.

Gerak-gerik gadis baju merah ini serba misterius, jelas mempunyai asal usul yang luar biasa, orang seperti dia, masakah sudi mendapat perintah dari pemberontak negeri Kui-je? Memangnya dalam hal ini mereka ada intrik dengan Ciok-koan-im?

Hati si Bungkuk dan si burik bertanya tanya tak tenang tapi tak masuk ke sarang harimau, mana bisa menangkap anak harimau urusan sudah terlanjur, sedemikian jauh, memangnya mereka masih punya pilihan lain?

Begitu mereka tiba di luar kembali mereka dibikin tercengang. Di luar pintu ternyata berlabuh sebuah kapal. Di atas padang pasir nan luas penuh misterius dan serba menakutkan ini perduli terjadi peristiwa besar yang mengejutkan mereka takkan terkejut dan heran, tapi sungguh mimpipun mereka tidak menyangka di sini mereka bakal melihat sebuah kapal.

Letak penginapan padang pasir ini boleh dikata ditengah atau di pusat gurun pasir, dari mana datangnya kapal?

Tapak kapal ini panjang dan siur, haluan dan buritan kapal sama dihias dan diperlengkapi dengan alat-alat luar biasa, ruang-ruang kapal yang luas dihiasi sebagai perabot yang mewah sampaipun kerai pintupun terdiri dari untaian mutiara.

Jadi gadis baju merah tadi keluar dari kapal ini langsung masuk ke dalam rumah, tak heran badannya kelihatan begitu bersih, namun cara bagaimana kapal ini bisa melaju sampai ke tempat ini? Sungguh luar biasa dan susah dibayangkan.

"Kenapa melongo?" seru gadis baju merah, "silahkan naik ke atas kapal!"
Berkilat biji mata Setitik Merah, namun mulutnya bungkam.

"Ehm!" Setitik Merah mendehem sebagai jawaban.

"Setelah kau ikut aku naik ke atas kapal segera kau akan tahu."

Kalau orang lain perhatikan bagian atas perahu, justru si Bongkok sedang perhatikan atas atau dasar kapal. Tampak kapal ini di bawahnya, di atas dua papan panjang yang sempit, papan bambu besar yang disisir licin dan kuat.
Setiba di atas kapal, kembali ia dapati kapal ini kebanyakan dibangun dari belahan-belahan bambu kuning, demikian dinding ruang kapal, dek dan dasarnya, maka bentuk kapal ini sempit panjang dan bobotnya tentu amat ringan.

Dari bawah memang tidak kelihatan, tapi setiba di atas dan didalam kapal, maka siapapun bisa lihat puluhan ekor burung-burung elang yang kokoh kekar dan bersayap lebar sama bertengger di atas dek kapal.

Dua anak laki-laki berpakaian serba merah pula, sedang memberi makan dengan daging-daging segar begitu mereka naik ke atas kapal, salah satu anak laki-laki itu terus menanggalkan sebuah cambuk panjang, "Tar" ia lecutkan cambuknya ke tengah udara.

Rombongan elang segera pentang sayap terbang ke angkasa, puluhan utas rantai kemilau yang lembut sebanyak jumlah elang-elang itu segera terbawa terbang, rantai lembut itu kini terikat di atas kapal, maka kapal segera bergerak dan melaju dengan tenang di atas pasir lembut seperti meluncur di atas salju, mulai lambat, lalu lambat laun cepat laksana terbang orang-orang yang di atas kapal seolah-olah naik awan ikut tertiup angin.

Bungkuk dan Burik beradu pandang sekali, hati mereka diam-diam memuji dan kagum akan cara pembuatan kapal ini yang begini rapi dan serba praktis.
Maklumlah elang punya tenaga besar dan kuat bertahan lama kala seekor kambing besarpun mampu mereka sambar dan di bawa terbang ke angkasa, kini puluhan ekor kerja sama menyeret sebuah kapal yang terbuat dari bambu meluncur di permukaan pasir yang datar licin sudah tentu bukan persoalan sulit.

Dan lagi elang punya kesabaran yang tak dimiliki binatang lain, ada kalanya untuk menunggu ajal seseorang baru memakan bangkainya dia kuat bertahan beberapa hari terbang berputar-putar diangkasa. Maka tenaga elang dipakai sebagai tenaga penggerak sebuah kapal ringan, tak perlu kuatir burung-burung elang ini tidak bakal mogok ditengah jalan, asal saja dalam waktu-waktu tertentu mereka diberi makan kenyang.

"Coba kau katakan, untuk menempuh perjalanan di gurun pasir, kendaraan apa yang bisa laju lebih cepat, lebih nyaman dari kapal ini?"

Kembali Setitik Merah mendehem saja.

"Dan lagi bila kau tidak mau dilihat orang bila kau duduk didalam kapal ini, tanggung tak perlu takut, diketahui jejakmu oleh orang lain, selamanya takkan ada orang bisa menemukan jejak kapal ini, memang ada sementara orang pernah melihat kapal ini sedang melaju ditengah gurun pasir secepat angin puyuh, tentulah kabur atau melihat setan!"

Terdengar seorang menanggapi dari dalam ruangan sambil tertawa: "Oleh karena itu orang-orang yang mengembara di padang pasir sama menamakan kapal ini kapal setan!"

Suara ini kalem dan tenang, seorang menyingkap kerai berjalan keluar, tapi baru setengah badannya menongol keluar, lekas sekali mengkeret masuk, katanya terbawa: "Di luar angin amat besar kenapa Ang heng tidak masuk saja?"

Bentuk muka orang ini segi-tiga berwarna kuning seperti malam, namun panca inderanya seperti hendak saling tumbuh menjadi satu bagian, beberapa utas jenggot terpelihara di bawah janggutnya, tampaknya seperti keledai bermata tikus, muka yang sebegini jelek, siapapun takkan menyangka suara yang lembut dan berisi ternyata keluar dari mulut orang seperti ini.

Bungkuk dan Burik kembali beradu pandang batin mereka: "Mungkin orang ini adalah Go kiok kan yang terkenal itu. Setitik Merah bilang tampangnya menyebalkan, sedikitpun tidak salah."

Orang-orang lainnya yang berada dalam kamar tampangnya jauh lebih bagus. Kedua orang ini sama berpakaian perlente, bermuka lebar, beralis tebal, biji mata mundur besar, sikapnya gagah dan berwibawa selintas pandang, orang akan tahu bahwa orang-orang seperti ini sudah biasa memegang tampuk pimpinan dan punya kekuatan besar.

Seorang lagi sebaliknya, belum buka suara sudah tertawa lebih dulu rona mukanya welas asih dan sopan santun, bentuk badannyapun biasa dan gagah serta royal, kelihatan seperti seorang pedagang yang maju dalam usahanya.
Kedua orang ini sama mengenakan pakaian ala bangsa Han, tapi rambutnya kuning keriting, biji matanya cekung dan berhidung tinggi terang mereka inilah pembesar negeri Kui-je yang berontak itu.

Bahwa mereka sudah berada di sini, kenapa tadi dikatakan: "Lantaran ada urusan penting tak datang?" Memangnya mereka hendak memancing Setitik Merah naik ke atas kapal?

Begitu melihat Setitik Merah kedua orang segera menjura, sapanya: "Cong-su orang gagah banyak capai!"

Laki-laki seperti pedagang besar itu selanjutnya menambahkan dengan tertawa: "Cayhe kuatir Congsu mengalami sesuatu di luar dugaan, tapi Bin ciangkun amat mengagumkan ilmu pedang Congsu tak perlu dikuatirkan, Haha! agaknya pandangan Bin Ciangkun memang lebih tajam."

Sambil mengelus jenggot kambingnya Go Kiok kan menyela bicara: "Ang siangkong sejak lama berdiam dalam istana, tidak tahu urusan kasar sudah tentu tak tahu mengandalkan kepandaian Ang-heng tidak sulit mengambil batok kepala orang ditengah pasukannya."

Bin Ciangkun tertawa besar menggebrak meja katanya: "Semoga Ang congsu jangan salah sasaran memenggal batok kepalaku." bahasa Han-nya cukup fasih maklumlah negeri Kui-je yang termasuk dalam bilangan Tiongkok bagi mereka yang menduduki pangkat tinggi, masakah boleh tidak fasih menggunakan bahasa Han?

Dingin tatapan Setitik Merah katanya tiba-tiba "Kalian toh sudah datang, kenapa tidak masuk ke dalam penginapan itu bertemu dengan aku?"

Go-kiok-kan tertawa, ujarnya: Bicara didalam penginapan kurang leluasa, apalagi, Pan-thian hong masih punya hubungan erat dengan Bin-ciangkun."

Bin-ciangkun tertawa besar, sombongnya "Bicara terus terang, Pan thian hong dulu adalah seorang panglima bawahanku, setelah jadi perampok, dia masih bantu aku mengerjakan banyak urusan, kalau Congsu sedang mencari gara-gara kepadanya, aku masuk kesana bukankah keadaan bakal runyam?"

Setitik Merah malah mendengus. "Bahwa perampok adalah sekongkol dengan ciangkun, apa pula yang bisa dikatakan."

Gadis baju merah itu cekikikan pula, timbrungnya "Tahukah kau, ransum yang diperoleh Bin-ciangkun dalam pergerakannya kali ini kebanyakan atas bantuan Pan-thian-hong yang meminjam sana sini."

Si Bungkuk diam-diam membatin "Kiranya begitu, pergerakan besar kalian sekarang sudah berhasil, mungkin diapun akan minta bantuan dan balas jasanya, oleh karena itu kalian lantas membunuhnya untuk tutup mulutnya."

Setitik Merah melotot kepada gadis baju merah, katanya rendah "Siapa pula kau perempuan ini, kenapa kalian suruh dia….."

Go-kiok-kan sedang menukar kata-katanya "Apakah isteriku ini berbuat salah kepada Ang heng?"

Tak terasa Setitik Merah melengak, tanyanya "Dia….dia isterimu?"

Gadis baju merah cekikikan pula, katanya "Kau berani? Waktu aku menikah sama dia memang banyak orang keheranan, semua bilang sekuntum bunga mekar tertancap di atas gundukan…. Di atas gundukan……" akhirnya ia tak tega mengatakan "Kotoran sapi. saking geli tawanya sampai terpingkal-pingkal dan memeluk perut.

Sebaliknya, sikap Go Kiok-kan tetap biasa, katanya tersenyum "Tentunya tugas Ang heng sudah mencapai sukses yang menggirangkan, entah dimana batok kepala raja lalim itu?"

"Batok kepalanya masih berada di atas lehernya." sahut Setitik Merah.

Berobah roman muka Bin-ciangkun dan Ang siangkong, sekilas mereka beradu pandang lalu tanyanya "Kenapa Congsu belum berhasil membunuhnya?"

"Hm..!" Setitik Merah hanya menggerung saja.

Memangnya raja lalim itu sudah lari menyembunyikan diri? tanya Go Kiok-kan.

"Em!" kembali Setitik Merah hanya mendehem saja.

Bin ciangkun dan Ang siangkong berdiri sambil menghela napas, sebaliknya Go Kiok-kan mandah tertawa tawar, katanya "Gagal pun tak menjadi soal, cepat atau lambat batok kepalanya itukan bakal dikutungi oleh Ang heng." lalu dia melirik kepada si Bungkuk, tanyanya "Entah siapa pula kedua orang ini?"

Si Bungkuk menjawab lebih dulu "Bahwasanya kami tiada sangkut paut dengan raja lalim itu, kami cuma undangan saja, entah kemana sekarang raja lalim itu menyembunyikan diri."

Go Kiok-kan tersenyum tawar, katanya "Ang heng menawan mereka, apakah kau hendak mengompes keterangan mereka?"

"Em!"

"Kenapa Congsu tidak tanya kepada mereka saat itu juga?"

"Aku hanya bisa membunuh orang, mengompes keterangan aku tidak bisa."

Go Kiok-kan berkata: "Cayhe sebaliknya bisa membunuh orang, mengompes keterangan sih cukup mampu." pelan-pelan dia menghampiri kedua orang buruk rupa ini, katanya sambil membungkuk badan "Siapa nama besar kalian berdua?"

"Kau tak perlu tanya." ujar si Burik, "Kami orang-orang keroco yang tak punya nama." ikatan tali dikedua tangannya memang amat kencang, sudah tentu banyak pura-pura untuk dilihatkan kepada orang lain mengandalkan kekuatan lwekang mereka sembarang waktu bisa kerahkan tenaga untuk memutus tali-tali pengikat itu. Tujuan mereka untuk menyelidiki keadaan musuh kini apa yang mereka inginkan sudah tak perlu dihiraukan lagi, si Burik sudah siap-siap hendak beraksi, cuma si Bungkuk sejauh itu tidak mulai, terpaksa dia menunggu dengan hati kurang sabar.

Go Kiok kan berkata pula tetap tersenyum "Kedua orang ini tiada hubungan apa-apa dengan raja lalim itu, tiada punya dendam dan sakit hati dengan kita menurut pendapat Cayhe, lebih baik melepas mereka pulang saja."

"Orang sudah kuserahkan kepadamu, terserah bagaimana putusanmu" sahut Setitik Merah.

"Kalau demikian biar Cayhe membuka belenggu mereka lebih dulu, sembari bicara Go Kiok-kan membungkuk badan hendak membuka ikatan tali, sudah tentu si Bungkuk dan si Burik tak enak bergerak siapa tahu tangan Go Kiok-kan mendadak bergerak secepat angin kanan kiri kerja sama, beruntun menutuk tujuh delapan Hiat-to dibadan mereka. Laki-laki buruk rupa yang kenamaan ini ternyata adalah seorang tokoh Bulim yang berkepandaian tinggi.

"Apa yang kau lakukan?" bentak Setitik Merah.

Baru saja ia hendak memburu maju, terasa ujung tangkai pisau yang runcing dingin sudah mengancam tengkuknya, terdengar gadis baju merah berkata lembut, "Orang sudah kau serahkan kepadanya, biarkan apa yang dia suka lakukan, benar tidak?"

Setitik Merah insaf asal dirinya sedikit bergerak, ujung pisau kecil tajam itu bakal bersarang di lehernya.

Si Bungkuk sebaliknya tetap tenang dan bersabar, katanya dingin "Hebat benar gerakan sahabat ini, cuma menggunakan kepandaian sebaik ini menghadapi dua orang keroco yang terbelenggu, bukankah urusan kecil kau bikin besar?"

Go Kiok-kan berkata dengan lantang "Masakah si Maling Romantis yang kenamaan itu adalah keroco yang tak bernama?"

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar