-------------------------------
----------------------------
Bab 13: Tertangkap
Waktu Lo-ban menegasi
dilihatnya orang itu duduk mematung dengan mata mendelong di atas meja, saking
ketakutannya mata terkesima dan mulut tak kuasa berteriak, baru sekarang Lo-ban
sadar orang ini dilempar balik oleh seseorang di luar pintu. Cuma kalau orang
di luar dapat menyanggah serta melemparkannya balik, jatuh duduk tanpa kurang
suatu apa di atas meja, kehebatan ini sungguh amat mengejutkan. Sekian lama
Lo-ban tertegun, kembali ia menyurut mundur dua langkah kemudian lalu menggembor
sekerasnya: "Bocah keparat di luar lekas masuk………"
Belum sampai ia keluarkan
kata-kata "antar kematian", tiba-tiba suaranya tersendat didalam
tenggorokan, karena dari luar menerobos seseorang, cuma sekali mata orang itu
melotot padanya, seketika ia rasakan bulu kuduknya mengkirik dan dingin sekujur
badannya, mulutpun tak berani sesumbar lagi.
Kalau di luar masih amat panas
dan terik, sebaliknya suasana didalam rumah seketika dingin mencekam perasaan.
Di bawah cahaya remang-remang tampak raut wajah orang itu pucat lesi,
sedikitpun tidak menunjukkan perasaan hatinya, seolah-olah peristiwa besar
apapun takkan bisa meluluhkan hatinya.
Sepasang mata itu justru
teramat tajam dan menakutkan, dingin dan kaku menggiriskan pula, sejak orang
ini melangkah masuk hawa dalam rumah seakan-akan membeku secara mendadak,
orang-orang yang sedang judi dan berkaok-kaok seketika sirap, biji mata
Ciangkuipun terpentang lebar, semua hadirin sama merasa badannya dilingkupi
hawa dingin, namun mereka sendiri tak habis mengerti, kenapa hati sendiri
kebat-kebit, apa sih yang ditakuti?
Tampak orang ini melangkah
lebar masuk ke dalam rumah, bahwasanya seperti tidak melihat kehadiran orang
lain didalam rumah ini, tangannya menggandeng dua utas tali, sekali tarik dari
luar tersungkur masuk dua sosok tubuh manusia, seorang bungkuk dan seorang
kurus burikan, begitu tersungkur jatuh sesaat tak mampu berdiri, dengan napas
ngos-ngosan.
Lo-ban menghirup napas
panjang, sapanya lebih dulu membuka kesunyian: "Sa…..sahabat kemari mau
apa?" meski membesarkan hati, tapi entah kenapa suaranya serasa gemetar
dan sumbang.
Laki-laki baju hitam itu
menyahut: "Disini tempat apa?"
Lo-ban melengak, sahutnya:
"Kita…..kita membuka penginapan."
Laki-laki baju hitam sudah
duduk di sebuah kursi, "Brak" ia gebrak meja, katanya: "Kalau
penginapan, kenapa tidak lekas siapkan minuman?"
Mengerling biji mata Lo-ban,
tampak tujuh delapan laki-laki teman judinya sama mengawasi dirinya, dalam hati
ia berpikir: "Aku takut apa? Kau bocah ini seorang diri, apa sih yang perlu
ditakuti?" karena pikirannya ini, nyalinya tambah besar, jengeknya dingin:
"Peraturan di sini selamanya mengutamakan bayar dimuka, mau minum kau
harus keluarkan dulu uangmu."
Tak nyana laki-laki baju hitam
menyeringai dingin: "Tidak punya uang."
Lo-ban melengak pula, ingin
sebetulnya dia keluarkan kata-kata kasar, tiba-tiba dilihatnya sepasang mata
laki-laki itu sedang melotot kepadanya, seketika seperti membeku darahnya,
sepatah katapun tak kuasa dikatakan lagi.
Di sana Ciangkui tiba-tiba
batuk pelan-pelan, katanya tertawa: "Kalau tuan tamu ini mau minum, kenapa
tidak lekas kau suguhkan air teh."
Lo-ban yang galak itu ternyata
menurut saja dengan tertunduk ia menuang air teh dan disuguhkan.
Laki-laki yang dilempar ke
atas meja kembali melongo heran dan tak mengerti, secara diam-diam hatinyapun
sedang bersorak kegirangan: "Kiranya kawanan perampok ini masih tahu takut
kepada orang yang lebih galak."
Cepat sekali air teh
disuguhkan, tanpa sungkan laki-laki baju hitam segera angkat cangkir terus ditenggak
habis, tapi air teh yang masuk kedalam mulutnya tiba-tiba ia semprotkan ke muka
Lo-ban, dampratnya gusar: "Air teh seperti ini mana bisa diminum, ganti
secangkir air lagi."
Badan Lo-ban setinggi tujuh
kaki dan kekar itu ternyata terjengkang jatuh karena semprotan air teh
dimukanya, terasa selebar mukanya sakit pedas, tak tahan ia berjingkrak bangun
dengan murka, dengan menghardik seperti geledek, segera ia menubruk maju.
Teman-temannya yang lain
melihat dia berani turun tangan, beramai-ramai merekapun meluruk maju, sambil
menggerakkan kaki tangan seraya bersorak sorai, ada yang mengambil kursi, ada
yang menyingsing lengan.
Kedua tangan laki-laki hitam
itu menekan meja, tiba-tiba ia menyedot napas, entah bagaimana terjadi
tahu-tahu meja dan kursi yang didudukinya ikut terseret ke samping beberapa
kaki. Sebetulnya Lo-ban sudah mengincar dengan tepat, siapa duga tubrukannya
mengenai tempat kosong, celaka malah nubruk seorang temannya yang kebetulan
berdiri di sebelah sana, kebetulan pula laki-laki ini sedang angkat kursi
mengepruk "Brak" untung badan Lo-ban sedang tersungkur sehingga
badannya melenceng dan cepat menggelengkan kepalanya, kalau tidak tentu batok
kepalanya terkepruk pecah. Namun demikian toh dirasakan punggung dan pundaknya sakit
luar biasa, dengan murka ia berjingkrak bangun seraya mencaci: "Siau-ui,
kau anak anjing ini, memang sudah gila?"
Dimaki secara kasar, merah
padam muka Siau-ui, serunya: "Siapa suruh kau main tubruk, memangnya kau
picak, kau sendiri anak anjing."
Memang dalam permainan judi
tadi, orang she Ui ini selalu menang, maka Lo-ban merasa iri kepadanya, kini
setengah badannya terasa kaku ngilu, lebih berkobar lagi amarahnya, dampratnya
sambil mencak-mencak: "Biar tuan besarmu tahu siapa keturunan anjing yang
tulen."
Ditengah suara caci maki kedua
orang itu sudah bergumul dan berhantam keras lawan keras, kepalan dibalas
pukulan, tendangan dibalas sepakan, suasana menjadi ramai dengan suara
gedebukan, keduanya memukul dengan sekuatnya dan tak berusaha berkelit, maka
dalam sekejap saja keduanya sudah babak belur dan keluar kecap dari hidungnya,
laki-laki baju hitam itu malah menonton mereka berkelahi, matanya tak pernah
berkedip.
Ciangkui itu kini menarik muka
dan merengut tak bersuara. Tujuh laki-laki yang menonton disamping ada yang
merupakan kenalan baik Lo-ban dan ada pula yang suka menjilat kepada laki-laki
she Ui, mereka sama tepuk tangan dan berjingkrak memberi semangat dan dorongan
kepada kedua orang yang sedang pukul memukul ini.
Tiba-tiba laki-laki baju hitam
kembali menggebrak meja, dampratnya: "Siapa suruh kalian anjing gigit
anjing?"
Baru sekarang Lo-ban dan
Siau-ui sama sadar, keduanya tertegun dan menghentikan serangan, berdiri saling
pandang sebentar, amarah Lo-ban agaknya belum terlampias, dampratnya dengan
murka: "Biar tuanmu adu jiwa dengan kau."
Seperti orang kesetanan ia
menubruk membabi buta, tahu-tahu badan laki-laki baju hitam mengkeret, kembali
bersama meja dan kursi melesat ke samping beberapa kaki, Lo-ban kembali
menubruk tempat kosong. Kali ini orang lain sudah kapok, tiada seorangpun yang
berani membantu, tampak Lo-ban tubruk sana hantam sini, main tendang dan
terkam, namun ujung baju orangpun tak mampu disentuhnya.
Mengelap meja dan memindahkan
kursi agaknya sudah menjadi keahlian laki-laki baju hitam ini, kemana badannya
bergerak, meja dan kursi segera meluncur ke arah yang dikehendakinya. Ruangan
ini sebetulnya tidak begitu besar, apalagi terdapat meja kursi lainnya pula,
tapi justru dia bisa bergerak secara pas-pasan, bergerak leluasa diantara celah
meja dan kursi-kursi, tanpa menyentuhnya sedikitpun.
Biji mata Lo-ban sudah
membara, mukanyapun sudah membengkak, keringat sudah membasahi selebar mukanya,
makinya sambil berjingkrak murka: "Kau keparat, kalau berani berdirilah
dan lawan tuan besar berkelahi, kalau kepandaianmu hanya menyingkir saja, kau
bukan manusia, kau binatang!"
Laki-laki baju hitam terkekeh
dingin, jengeknya: "Memangnya tampangmu setimpal bergebrak dengan
aku."
Lo-ban semakin murka,
dampratnya: "Kalau pandaimu mengolok-olok saja, kau memang binatang."
Tiba-tiba melotot biji mata
laki-laki baju hitam, sorot dingin terpancar dari biji matanya, ancamnya
sepatah demi sepatah: "Kau ingin aku turun tangan?"
"Aku……..aku……."
tersendat mulut Lo-ban dengan muka pucat. Tadi dia begitu beringas, tapi karena
dipelototi mata lelaki baju hitam, terasa kedua kaki menjadi lemas lunglai,
lekas ia putar tubuh memburu kehadapan rombongan laki-laki lainnya, dampratnya
mencak-mencak: "Kalian anak kura-kura, melihat keramaian apa? memangnya tangan
kalian sudah kutung semua?"
Karena dampratan ini mereka
jadi rikuh dan tak enak hati berpeluk tangan.
Tampak laki-laki baju hitam
pelan-pelan menanggalkan sebilah pedang yang panjang dan tipis, sarungnya
berkulit hitam legam, pedang panjang laksana ular beracun ini diletakkannya di
atas meja. Pelan-pelan ia mengelusnya seraya menjengek dingin: "Pedang ini
tak sembarangan keluar dari sarangnya, sekali keluar harus melihat darah, kalau
keluar jiwa pasti melayang," mulutnya seperti menggumam, namun bagi
pendengarnya serasa mendirikan bulu roma dan menciutkan nyali mereka, saling
pandang tiada yang berani mendahului turun tangan.
Ciangkui itu tiba-tiba
menghela napas, katanya: "Kalau tidak berani turun tangan, tidak lekas
ngacir saja, buat apa berdiri di situ membuat malu saja." Semua laki-laki
itu sama menundukkan kepala, keringat dingin berketes-ketes membasahi badan.
Tertawa besar Ciangkui mengawasi laki-laki baju hitam, serunya memuji:
"Sahabat, hebat kepandaianmu, memang sengaja kau hendak bikin gara-gara
disini?"
Melirikpun tidak laki-laki
baju hitam itu kepadanya, mulutnya mendehem saja.
Kembali Ciangkui tertawa
besar, katanya: "Bagus, kawan berani kemari, tentunya kami tidak akan
bikin saudara kecewa."
Di atas meja kasir ada
kelintingan kecil, segera ia mengangkatnya serta digoyang-goyang. Begitu suara
kelintingan kumandang, tujuh delapan jendela persegi satu kaki di sekeliling
dinding serempak terbuka, di luar jendela kelihatan bayangan orang, disusul
setiap jendela menongol keluar ujung anak panah yang runcing mengkilap tertuju
ke arah laki-laki baju hitam, terang anak panah sudah terpasang di atas busur
dan terpentang tinggal melepas saja.
Laki-laki pelancong yang
dilempar keluar masuk tadi, disaat orang sedang berkelahi, secara diam-diam ia
meraih sebuah ceret berisi air teh terus diteguknya sepuas-puasnya, kini sedang
menentramkan napasnya yang tersengal-sengal, mau tak mau ia merasa kuatir pula
bagi keselamatan laki-laki baju hitam itu.
Sebaliknya laki-laki baju
hitam tetap bercokol di atas kursinya dengan sikap tenang tak gentar
sedikitpun, panah yang sudah terpasang di atas busurnya tertuju padanya,
bahwasanya dianggap tidak melihatnya sama sekali, cuma mulutnya menyungging
senyuman dingin. Terdengar dari luar seseorang bergelak tawa, katanya:
"Sahabat, besar benar nyalimu, memangnya kau tidak takut mati?" suara
tawanya laksana genta bertalu-talu, membuat orang yang mendengarnya serasa
pecah kupingnya, sebuah pintu di belakang ruangan tiba-tiba terbuka, dari luar
melangkah lebar seseorang.
Tampak orang ini berperawakan
tinggi kekar, kira-kira sembilan kaki, selebar mukanya tumbuh cabang bauk,
pintu itu tidak besar namun tidak kecil, orang itu harus membungkuk badan baru
bisa melangkah masuk.
Baju bagian atas laki-laki ini
terbuka lebar, tampak dadanya yang kekar dan tumbuh bulu-bulu lebat hitam,
tangannya menjinjing sebilah golok emas bergelang sembilan berpunggung tebal,
panjangnya lima kaki, paling tidak ada empat lima puluh kati. Orang seperti ini
dengan senjata yang luar biasa pula, sungguh mengejutkan nyali setiap orang
yang menghadapinya.
Laki-laki baju hitam cuma
meliriknya dengan tawar, jengeknya:"Kau ini Pan-thian-hong?"
Laki-laki cambang bauk
tergelak-gelak pula, serunya: "Bocah, bagus ternyata kau tahu disini ada
Pan-thian-hong, jadi kau memang sengaja hendak cari gara-gara, baik tuan
besarmu biar memberi hajaran kepadamu saja!"
Ditengah berkumandangnya gelak
tawa, Kim-pwe-to yang beratnya lima puluh kati itu terayun tinggi terus
membacok dengan dahsyat, tajam golok sampai mengeluarkan deru angin keras,
sementara gelangnya berbunyi kerontangan, begitu keras dan hebat perbawanya
sampai semua hadirin serasa pekak telinganya, terbang arwahnya.
Demikian pula laki-laki baju
hitam agaknya tersedot semangatnya oleh perbawa golok yang hebat ini, dengan
mata mendelong ia awasi golok besar itu membacok turun mengarah batok kepalanya
tanpa bergerak sedikitpun. Serempak semua hadirin sama unjuk rasa senang,
mereka kira sekali bacokan golok besar ini, pasti mampu membelah badan
laki-laki baju hitam itu menjadi dua potongan. Maka terdengarlah "
Prak" golok emas telak sekali mengenai sasarannya.
Meja kayu yang terbuat dari
kayu tebal dan berat bobotnya itu ternyata terbelah menjadi dua potong, namun
laki-laki baju hitam justru tetap duduk ditempatnya tanpa kurang suatu apapun
dan masih segar bugar. Jelas semua orang melihat dia tidak bergeming dari
tempat duduknya, tapi entah mengapa bacokan golok itu ternyata tidak mengenai
dirinya. Semua hadirin seketika melongo keheranan dan saling pandang. Lo-ban
mendadak terkekeh-kekeh serunya: "Masakah kalian tidak melihat? Ji-ko
sengaja berbelas kasihan, cuma sengaja main gertak sambal belaka untuk menakuti
bocah ini, lalu membabat kutung bagian batok kepalanya."
Semua laki-laki yang hadir
sama bersorak senang, seru mereka: "Benar, bacokan Ji-ko selanjutnya tak
usah menaruh belas kasihan lagi, ya bukan!"
Laki-laki cambang bauk menyeka
keringat di atas jidatnya, sungguh dia sendiripun keheranan sendiri kenapa
bacokan goloknya tahu-tahu mengenai tempat kosong, terpaksa ia unjuk tawa
kering, katanya: "Adik-adik boleh lihat, bacokan Ji-ko kedua kalinya biar
kucabut jiwanya."
Laki-laki baju hitam tiba-tiba
menjengek dingin: "Ilmu golok seperti permainanmu, paling-paling hanya
bisa untuk membelah kayu dan menebang pohon, jikalau ingin membunuh
orang……..hehehe! Masih jauh sekali!"
Merah padam muka laki-laki
bercambang bauk, serunya dengan gusar: "Ilmu golok yang bagaimana baru
bisa membunuh orang?"
Laki-laki baju hitam
pelan-pelan mengelus sarung pedangnya, sahutnya kalem: "Ilmu golok yang
bisa membunuh orang seperti ini," ditengah ucapannya semua orang seperti
melihat pedang panjangnya itu terlolos keluar dari sarungnya, sekali berkelebat
belum lagi kata-katanya terucap habis, pedang runcing panjang laksana ular
berbisa itu seperti masih tetap berada didalam sarungnya tak bergerak.
Sementara laki-laki bercambang
baukpun masih berdiri tegak di tempatnya, cuma kulit mukanya mulai kerut
kemerut dan mengejang, sepasang matanya pelan-pelan melotot seperti biji mata ikan
mas.
Melirikpun tidak sudi, berkata
laki-laki baju hitam: "Sekarang kau sudah paham belum?"
Laki-laki cambang bauk
menyahut sumbang: "Aku………aku sudah paham……….." belum selesai
kata-katanya, tiba-tiba terdengar suara gemerantang golok berpunggung tebal di
tangannya tiba-tiba jatuh kerontangan disusul tubuh kekar dan tinggi dari
laki-laki cambang bauk ini, tumbang seperti pohon yang kehilangan tunjangan
akar-akarnya. Tak terlihat sedikitpun luka-luka pada sekujur badannya, cuma
tenggorokannya saja kelihatan Setitik Merah darah. Luka-luka yang mencabut
nyawanya ternyata hanya setitik darah saja.
Semua hadirin sama membuka
mulut dan tak kuasa bersuara, matapun terkesima mana mampu bicara lagi. Sesaat
kemudian satu persatu mata mereka melirik ke arah ujung panah yang masih nongol
dari balik jendela. Ujung panah sama masih tertuju ke arah batok kepala dan
dada laki-laki baju hitam, tapi melirikpun dia ogah, tangannya masih mengelus
pedang di pangkuannya.
Lo-ban menyurut mundur
selangkah demi selangkah, tak tahan dia berteriak ketakutan dengan suara
gemetar: "Ma……masih tidak lekas lepas panah?"
Entah sejak kapan Ciangkui
sekarang sudah keluar dari balik meja kasirnya, tiba-tiba ia renggut tengkuk
orang, sekaligus tangannya yang lain bekerja pulang pergi menampar mukanya
puluhan kali. Serasa hampir semaput Lo-ban dibuatnya, serunya penasaran:
"Lo-toa,………..kenapa kau pukul aku?"
Si Ciangkui murka, dampratnya:
"Kalau tidak menghajarmu siapa yang harus dipukul? Apa saja yang kau
katakan barusan?"
"Aku…….aku cuma minta
para saudara lepas panah!"
Ciangkui tertawa dingin,
jengeknya: "Kau ingin supaya mereka lepas panah, tahukah kau bila panah
dilepas siapa yang akan mampus?"
"Sudah tentu bocah
keparat itu."
Belum habis kata-katanya si
Ciangkui kembali layangkan tangannya menggampar beberapa kali pula ke pipinya,
bentaknya murka: "Tampangmu juga berani memanggilnya bocah, tahukah kau
siapa sahabat ini?"
"Dia…………….dia
siapa?" Lo-ban terkesiap.
Ciangkui tidak hiraukan
pertanyaannya, dengan langkah cepat dia menghampiri ke depan laki-laki baju
hitam, dengan laku hormat dia menjura, seraya unjuk seri tawa, sapanya:
"Para saudara tidak tahu bila Setitik Merah dari Tionggoan sudah
berkunjung ke tempat kami yang jorok ini, maaf kami tak menyambut selayaknya, harap
tuan suka mengampuni dosa-dosa mereka."
Orang ini betul-betul serigala
bangkotan yang licin dan licik, terlebih dahulu dia hajar Lo-ban habis-habisan,
membuktikan bahwa saudara-saudaranya ini memang tidak tahu dan mengenal Setitik
Merah. Baru dia memohon maaf kepada Setitik Merah. Ini pula yang dinamakan
tingkah laku seorang kawakan Kangouw. Kaum persilatan yang suka kelana di
Kangouw biasanya memang mengutamakan perbuatan tengik seperti itu, dia kira
setelah mendengar dan melihat tindakannya, orang tentu menjadi sungkan dan
sekedar basa-basi selayaknya.
Siapa nyana Setitik Merah
justru tidak perduli segala tingkah dan perilakunya yang tengik ini. Meski
seorang kawakan Kangouw yang cukup berpengalaman, cara apapun yang digunakan
bila berhadapan dengannya boleh dikata sia-sia belaka. Menggerakkan kelopak
matapun Setitik Merah tidak sudi, suaranya tetap dingin kaku: "Teh ini
tidak bisa diminum, ganti yang lain."
Si ciangkui tertegun sebentar,
tetap unjuk seri tawa, sahutnya:
"Ya,ya,ya air teh ini tak
bisa diminum biar saudaraku ganti yang lain."
Setelah seseorang mengganti
dengan air teh dalam ceret yang lain, dengan kedua tangan sendiri dia angsurkan
ke depan orang, siapa tahu Setitik Merah meraih cangkir terus dibanting ke atas
lantai: "Teh ini kurang baik, ganti ceret yang lain."
Seketika berubah rona muka
semua laki-laki yang hadir, sebaliknya si Ciangkui masih bersikap hormat, roman
mukanya tetap berseri tawa, katanya: "Ya,ya,ya ganti dengan ceret yang
lain."
Benar juga dia ganti dengan
air teh dari ceret yang lain, kembali ia angsurkan dengan kedua tangannya,
pikirnya: "Seumpama kau memang ingin membuat keributan kali ini, tentu kau
takkan ada alasan main-main lagi."
Tak nyana mengendusnya saja
tidak, Setitik Merah kembali membanting hancur cangkir teh itu, bentaknya:
"Teh ini tetap tak bisa kuminum."
Sungguh sabar luar biasa si
Ciangkui ini, tak segan-segannya dia mengganti sendiri secangkir air teh yang
lain pula, pikirnya: "Ingin aku melihat apakah kau tetap akan
membantingnya?"
Memang keterlaluan, sekaligus
secara beruntun Setitik Merah sudah membanting hancur delapan cangkir, sikapnya
tetap kaku dan dingin. Kini hadirin sudah menyadari bahwa dia memang sengaja
hendak cari gara-gara menimbulkan keonaran, keringat dingin sebesar kacang sama
menghiasi jidat setiap hadirin.
Meski muka si Ciangkui masih
mengulum senyuman, tapi hatinya sudah tak sabar lagi, tanyanya: "Air teh
yang bagaimana baru tuan mau meminumnya?"
"Air teh yang tidak bau,
tentu boleh kuminum," sahutnya.
Ciangkui tertawa kering, katanya:
"Masakah air teh ini bau?"
"Hm!"
"Setegukpun saudara tidak
mencicipinya darimana bisa tahu bila teh ini bau?"
"Karena tangan orang di
sini semuanya berbau."
Sekilas biji mata Ciangkui
mengerling ke arah pedang panjang yang ditopang di atas pangkuan Setitik Merah,
katanya terloroh-loroh: "Apa betul tangan manusia-manusia ini berbau?
Cayhe jadi ingin mengendusnya," pelan-pelan ia menghampiri terus menarik
tangan Lo-ban, ujung kakinya tiba-tiba menyungkit golok emas terus diraihnya,
sekali ayun ia membacok.
Lo-ban melolong
sekeras-kerasnya, kontan jatuh semaput.
Dengan membawa kutungan tangan
Lo-ban yang berlepotan darah, si Ciangkui betul-betul mendekatkan ke depan
hidungnya untuk dicium satu persatu, roman mukanya berseri tawa, seperti orang
menikmati sesuatu yang memikat hatinya: "Kedua tangan ini sebetulnya sih
tak begitu bau, cuma mengandung bau anyir darah."
Agaknya dia merasa kata-kata
yang dia ucapkan ini adalah banyolan yang menggelikan, belum selesai
kata-katanya, badannya sudah bergoyang karena loroh tawanya yang keras. Tapi
kecuali dirinya siapa pula yang bisa tertawa. Bahwasanya dia sendiri heran
betapa dia sendiripun bisa tertawa.
Dengan mendelik matanya
menatap kepada Setitik Merah, batinnya: "Membunuh orang cukup
menganggukkan kepala, seumpama kau memang ingin cari gara-gara, apa yang
kulakukan kiranya sudah cukup keterlaluan?"
Jikalau orang lain, meski hati
sedang dirundung kepedihan atau sedang marah besar, setelah melihat adegan
seram tadi mestinya amarahnya sedikit banyak tentu sudah terlampiaskan, seorang
bila bisa menahan diri sampai sedemikian jauh, apa pula yang dapat dilakukan
orang lain. Sampaipun si Burik dan si bungkuk dalam hati merasa kasihan dan
menarik napas, mereka heran kenapa orang yang berjanji dengan Setitik Merah
untuk bertemu ditempat ini belum juga kunjung tiba?
Apa boleh buat, hati Setitik
Merah seperti dibuat dari besi baja, apapun yang dia katakan, apapun yang dia
lakukan, dia bisa anggap tidak melihat dan tidak mendengar, sikapnya tetap kaku
tak bergerak.
Lama kelamaan si Ciangkui tak
bisa tertawa lagi, setelah dua kali tertawa kering, dia maju menghampiri dan
menuang secangkir air teh dengan kedua tangannya, ia haturkan kepada Setitik
Merah, katanya: "Selama dua puluh tahun Cayhe tidak pernah menyuguh air
teh kepada siapapun dengan kedua tanganku ini, maka kedua tanganku ini tentu
tidak bau, jikalau saudara suka memberi muka kepada Cayhe, sungguh Cayhe
teramat terima kasih."
Setitik Merah melirikpun tidak
ke arahnya, matanya malah mengawasi cangkir ditangan orang, katanya
pelan-pelan: "Jadi kau inilah Pan-thian-hong!"
Ciangkui tertawa dibuat-buat,
sahutnya: "Ah, julukan yan tak berarti, bikin kotor pendengaran
saja."
"Tak heran kau bisa hidup
sampai sekarang, orang seperti tampangmu ini kiranya Pan-thian-hong itu,
sungguh tak kentara."
"Di hadapan seorang
sahabat, sebetulnya Cayhe tak bisa dianggap Pan-thian-hong, hanya boleh
dipandang seekor ulat….haha! Cuma seekor ulat belaka, buat apa saudara harus
berurusan dengan seekor ulat."
"Benar, kau memang seekor
ulat, tanganmu itu lebih busuk dari mereka."
Kulit muka Pan-thian-hong yang
kuning itu seketika berubah pucat, suaranya mulai gemetar: "Saudara,
kau…..sebetulnya kau ingin."
Tiba-tiba terdengar tawa
cekikikan nyaring dari luar pintu, seorang berkata dengan suara merdu:
"Kiranya tangan Pan-thian-hong juga berbau busuk, ingin aku menciumnya
malah, tahu-tahu seorang gadis muda berusia belasan tahun bermata bening,
bergigi putih rata, rambutnya dikepang menjadi dua, pakaiannya serba merah, dengan
gemulai melangkah masuk.
Hujan pasir ditengah gurun
sering terjadi, orang-orang yang memasuki rumah selalu berlepotan lumpur
berpasir, tapi badan gadis jelita ini sedikitpun tidak kotor.
Hawa membunuh memuncak didalam
rumah ini, darah berceceran, mayat menggeletak tak diurus. Tapi tawa gadis
jelita ini begitu manis begitu riang seolah-olah dia baru saja keluar dari
taman kembang yang subur semerbak memasuki kamar tidurnya sendiri, laki-laki
kasar yang memenuhi ruangan ini seolah-olah adalah kacung atau pesuruh di
rumahnya.
Pada saat seperti ini,
ditempat seperti ini pula, tiba-tiba muncul seorang gadis jelita seberani ini,
pandangan semua orang secara tak sadar sama mendelong mengawasinya, mulut
terbuka lebar tak bersuara.
Tampak sambil berseri tawa,
gadis jelita itu langsung menghampiri ke depan Pan-thian-hong, katanya sambil
melerok: "Apa tanganmu benar-benar busuk?"
Pertanyaan ini sungguh jenaka
dan bikin orang jengkel dan geli pula, sesaat lamanya Pan-thian-hong sendiri
megap-megap tak mampu menjawab: "Nona……….Cayhe………"
"Kelihatannya kedua
tanganmu ini putih bersih, mana bisa berbau busuk? Aku tidak percaya…………"
pelan-pelan ia raih kedua tangan Pan-thian-hong. Gadis jelita secantik ini,
tawa nan merdu, masakah Pan-thian-hong tega menolak tangannya diperiksa?
Setitik Merah tetap tak
menunjukkan perubahan mukanya, cuma sekilas biji matanya melirik kepada si
Burik dan Si Bungkuk, seperti bertanya: "Kalian lihat orang macam apa
sebenarnya gadis ini?"
Si Bungkuk dan si Burik beradu
pandang, dalam hati masing-masing sama teringat akan Ciok-kwan-im. Jikalau
gadis ini bukan Ciok-kwan-im tentu dia punya hubungan erat dengan Ciok-kwan-im.
Orang mendadak muncul ditempat ini, apakah tujuannya?
Sekonyong-konyong tampak
selarik sinar perak berkelebat, disusul jeritan keras yang memekakkan telinga.
Tampak Pan-thian-hong sempoyongan mundur tiga langkah, kontan badannya tumbang
celentang seperti pohon roboh.
Tahu-tahu tangan gadis baju
merah itu telah mencekal sebuah pisau yang berkilauan, ujung pisau masih
berlepotan darah, cara bagaimana orang menggerakkan pisau peraknya tiada
seorangpun yang melihat jelas.
Terdengar gadis baju merah
cekikikan pula, katanya: "Tangan ini sebetulnya sih tidak bau, cuma
sedikit berbau darah."
Laki-laki yang lain serempak
menggembor seperti kesetanan, berbareng menubruk maju.
Jelalatan biji mata gadis baju
merah, jari-jarinya mengkili-kili pipi sendiri sambil menggoda jenaka:
"Kalian mau apa, begini banyak laki-laki hendak menganiaya anak perempuan,
tidak tahu malu?" mulut bicara sementara pisau di tangannya bekerja dengan
tangkas, dua laki-laki yang menubruk duluan seketika menjerit dan roboh tak
bernyawa lagi, tenggorokannya berlubang dan darahpun bercucuran.
anak gadis semuda ini,
bersikap aleman, halus dan jenaka, ditengah senda guraunya beruntun menamatkan
jiwa dua laki-laki kasar, yang lain mana berani banyak tingkah pula.
Mengawasi darah yang muncrat
kemana-mana itu, si gadis baju merah menghela napas, ujarnya menawan hati:
"Tak heran Setitik Merah dari Tionggoan menggetarkan dunia, baru sekarang
aku tahu membunuh orang tak kelihatan darah, hanya setitik darah di ujung
pedang! "Gampang" kata-kata ini diucapkan, tapi untuk melakukannya
sungguh tak mudah."
Biji matanya mengerling ke
arah Setitik Merah, katanya pula: "Coba lihat, hanya sedikit menggunakan
tenaga, darah mereka sudah berceceran sedemikian banyak, sungguh memualkan,
dibanding caramu jauh sekali bedanya."
Dengan dingin Setitik Merah
mengawasinya, katanya dingin: "Peduli siapa, membunuh orang tiada seninya
dan enak dipandang mata."
Gadis baju merah cekikikan
pula, ujarnya: "Cuma kau, orang lain membunuh orang ya membunuh orang, kau
membunuh orang sebagai buah karya yang tiada bandingannya."
Siau-ui sedang menyurut
mundur, diam-diam ia memberi isyarat ke jendela, maksudnya supaya mereka
melepas anak panah, tak nyana kerlingan mata gadis baju merah tiba-tiba tertuju
ke arahnya, teriaknya nyaring: "Aduh! Coba kalian lihat jahat tidak orang
ini, dia ingin orang lain memanah mati diriku."
Seketika dingin tengkuk dan kaki
tangan Siau-ui, kakinya tak bergerak lagi.
Gadis baju merah malah
menghela napas, ujarnya lembut: "Sayang panah-panah itu takkan bisa
memanah mati orang, tidak percaya coba kau lihat." langkahnya ringan
menghampiri jendela, dengan kedua jarinya ia jepit pelan-pelan sebatang anak
panah, panah itu dengan gampang terjepit diantara jari-jarinya, sekali potes
patah menjadi dua.
Semua laki-laki kasar itu
semakin ketakutan, bernapaspun tak berani keras-keras.
"Apa kalian heran?"
ujar gadis baju merah.
"Sebenarnya tak perlu
dibuat heran, orang hidup baru bisa main panah, orang mati mana bisa lepaskan
panah?"
Bergetar suara Siau-ui:
"Kau……….kau bunuh mereka?"
"Coba kau pikir, bila ada
orang hidup mengacungkan panah kepadaku, apa aku bisa masuk kemari? Nyaliku
kecil, tak punya kepandaian seperti Setitik Merah ini."
Serasa lemas kaki Siau-ui,
seketika ia melorot jatuh dengan lunglai.
Tak tahan Setitik Merah
bertanya: "Dari mana kau tahu namaku?"
"Kenapa aku tak tahu
namamu, kau adalah orang yang paling kukagumi, apalagi kedatanganku sekarang
tujuannya adalah menyambut kau."
Berkerut alis Setitik Merah,
"Menyambut aku?"
"Bukankah kau ada janji
bertemu dengan orang di sini?"
"Ehm!"
"Kini mereka sedang sibuk
urusan penting maka tak bisa kemari dan suruh aku membawa kau kepada mereka.
Sekarang aku sudah datang, kaupun perlu segera berangkat."
"Berangkat…….."
Setitik Merah ragu-ragu.
"Kau tak mau berangkat?
Memangnya hendak bunuh habis orang-orang ini? Sungguh kebetulan malah,
selamanya aku mengharap bisa melihat kau membunuh orang."
Tanpa banyak bicara Setitik
Merah tarik kedua utas tali yang membelit orang, terus ditariknya si Bungkuk
dan si Burik, tiba-tiba berkerut alisnya, katanya: "Kau tangkap kedua
orang sebagai gandengan anjing mainan, kenapa tidak kau pilih yang bagus dan
cantik? Manusia seburuk ini, aku sebal melihatnya, memalukan saja, lebih baik
aku kirim mereka pulang ke asalnya saja," dimana tangannya terayun, pisau
perak di tangannya menyambar ke tenggorokan si Burik dan si Bungkuk, "Creng"
sarung pedang hitam laksana ular sakti tahu-tahu menangkis pisau perak itu.
"Lho! Kau merasa sayang
bikin mereka mampus?"
"Orang yang ingin
kubunuh, tak perlu orang lain mewakili aku turun tangan."
"Kau kira aku suka
berebut membunuh orang dengan kau?"
"Urusan membunuh orang,
tiada orang yang bisa berebut dengan aku, tiada orang yang berani."
"Legakan hatimu, orang
seperti ini kubunuh dia malah mengotori tanganku!"
Begitu gadis baju merah ini
mengatakan hendak menjemput Setitik Merah si Bungkuk lantas tahu urusan rada
ganjil. Katanya pemimpin pemberontak negeri Kui - je dengan Go kiok-kan itu
hendak menunggu kedatangan Setitik Merah di penginapan padang pasir satu
satunya ini, kenapa mendadak merubah rencana? Kenapa pula mereka suruh gadis
jelita baju merah ini membawa Setitik Merah entah kemana.
Gerak-gerik gadis baju merah
ini serba misterius, jelas mempunyai asal usul yang luar biasa, orang seperti
dia, masakah sudi mendapat perintah dari pemberontak negeri Kui-je? Memangnya
dalam hal ini mereka ada intrik dengan Ciok-koan-im?
Hati si Bungkuk dan si burik
bertanya tanya tak tenang tapi tak masuk ke sarang harimau, mana bisa menangkap
anak harimau urusan sudah terlanjur, sedemikian jauh, memangnya mereka masih
punya pilihan lain?
Begitu mereka tiba di luar
kembali mereka dibikin tercengang. Di luar pintu ternyata berlabuh sebuah
kapal. Di atas padang pasir nan luas penuh misterius dan serba menakutkan ini
perduli terjadi peristiwa besar yang mengejutkan mereka takkan terkejut dan
heran, tapi sungguh mimpipun mereka tidak menyangka di sini mereka bakal
melihat sebuah kapal.
Letak penginapan padang pasir
ini boleh dikata ditengah atau di pusat gurun pasir, dari mana datangnya kapal?
Tapak kapal ini panjang dan
siur, haluan dan buritan kapal sama dihias dan diperlengkapi dengan alat-alat
luar biasa, ruang-ruang kapal yang luas dihiasi sebagai perabot yang mewah
sampaipun kerai pintupun terdiri dari untaian mutiara.
Jadi gadis baju merah tadi
keluar dari kapal ini langsung masuk ke dalam rumah, tak heran badannya
kelihatan begitu bersih, namun cara bagaimana kapal ini bisa melaju sampai ke
tempat ini? Sungguh luar biasa dan susah dibayangkan.
"Kenapa melongo?"
seru gadis baju merah, "silahkan naik ke atas kapal!"
Berkilat biji mata Setitik
Merah, namun mulutnya bungkam.
"Ehm!" Setitik Merah
mendehem sebagai jawaban.
"Setelah kau ikut aku
naik ke atas kapal segera kau akan tahu."
Kalau orang lain perhatikan
bagian atas perahu, justru si Bongkok sedang perhatikan atas atau dasar kapal.
Tampak kapal ini di bawahnya, di atas dua papan panjang yang sempit, papan
bambu besar yang disisir licin dan kuat.
Setiba di atas kapal, kembali
ia dapati kapal ini kebanyakan dibangun dari belahan-belahan bambu kuning,
demikian dinding ruang kapal, dek dan dasarnya, maka bentuk kapal ini sempit
panjang dan bobotnya tentu amat ringan.
Dari bawah memang tidak
kelihatan, tapi setiba di atas dan didalam kapal, maka siapapun bisa lihat
puluhan ekor burung-burung elang yang kokoh kekar dan bersayap lebar sama
bertengger di atas dek kapal.
Dua anak laki-laki berpakaian
serba merah pula, sedang memberi makan dengan daging-daging segar begitu mereka
naik ke atas kapal, salah satu anak laki-laki itu terus menanggalkan sebuah
cambuk panjang, "Tar" ia lecutkan cambuknya ke tengah udara.
Rombongan elang segera pentang
sayap terbang ke angkasa, puluhan utas rantai kemilau yang lembut sebanyak
jumlah elang-elang itu segera terbawa terbang, rantai lembut itu kini terikat
di atas kapal, maka kapal segera bergerak dan melaju dengan tenang di atas
pasir lembut seperti meluncur di atas salju, mulai lambat, lalu lambat laun
cepat laksana terbang orang-orang yang di atas kapal seolah-olah naik awan ikut
tertiup angin.
Bungkuk dan Burik beradu
pandang sekali, hati mereka diam-diam memuji dan kagum akan cara pembuatan
kapal ini yang begini rapi dan serba praktis.
Maklumlah elang punya tenaga
besar dan kuat bertahan lama kala seekor kambing besarpun mampu mereka sambar
dan di bawa terbang ke angkasa, kini puluhan ekor kerja sama menyeret sebuah
kapal yang terbuat dari bambu meluncur di permukaan pasir yang datar licin
sudah tentu bukan persoalan sulit.
Dan lagi elang punya kesabaran
yang tak dimiliki binatang lain, ada kalanya untuk menunggu ajal seseorang baru
memakan bangkainya dia kuat bertahan beberapa hari terbang berputar-putar
diangkasa. Maka tenaga elang dipakai sebagai tenaga penggerak sebuah kapal
ringan, tak perlu kuatir burung-burung elang ini tidak bakal mogok ditengah
jalan, asal saja dalam waktu-waktu tertentu mereka diberi makan kenyang.
"Coba kau katakan, untuk
menempuh perjalanan di gurun pasir, kendaraan apa yang bisa laju lebih cepat,
lebih nyaman dari kapal ini?"
Kembali Setitik Merah mendehem
saja.
"Dan lagi bila kau tidak
mau dilihat orang bila kau duduk didalam kapal ini, tanggung tak perlu takut,
diketahui jejakmu oleh orang lain, selamanya takkan ada orang bisa menemukan
jejak kapal ini, memang ada sementara orang pernah melihat kapal ini sedang
melaju ditengah gurun pasir secepat angin puyuh, tentulah kabur atau melihat setan!"
Terdengar seorang menanggapi
dari dalam ruangan sambil tertawa: "Oleh karena itu orang-orang yang
mengembara di padang pasir sama menamakan kapal ini kapal setan!"
Suara ini kalem dan tenang,
seorang menyingkap kerai berjalan keluar, tapi baru setengah badannya menongol
keluar, lekas sekali mengkeret masuk, katanya terbawa: "Di luar angin amat
besar kenapa Ang heng tidak masuk saja?"
Bentuk muka orang ini
segi-tiga berwarna kuning seperti malam, namun panca inderanya seperti hendak
saling tumbuh menjadi satu bagian, beberapa utas jenggot terpelihara di bawah
janggutnya, tampaknya seperti keledai bermata tikus, muka yang sebegini jelek,
siapapun takkan menyangka suara yang lembut dan berisi ternyata keluar dari
mulut orang seperti ini.
Bungkuk dan Burik kembali
beradu pandang batin mereka: "Mungkin orang ini adalah Go kiok kan yang
terkenal itu. Setitik Merah bilang tampangnya menyebalkan, sedikitpun tidak
salah."
Orang-orang lainnya yang
berada dalam kamar tampangnya jauh lebih bagus. Kedua orang ini sama berpakaian
perlente, bermuka lebar, beralis tebal, biji mata mundur besar, sikapnya gagah
dan berwibawa selintas pandang, orang akan tahu bahwa orang-orang seperti ini
sudah biasa memegang tampuk pimpinan dan punya kekuatan besar.
Seorang lagi sebaliknya, belum
buka suara sudah tertawa lebih dulu rona mukanya welas asih dan sopan santun,
bentuk badannyapun biasa dan gagah serta royal, kelihatan seperti seorang
pedagang yang maju dalam usahanya.
Kedua orang ini sama
mengenakan pakaian ala bangsa Han, tapi rambutnya kuning keriting, biji matanya
cekung dan berhidung tinggi terang mereka inilah pembesar negeri Kui-je yang
berontak itu.
Bahwa mereka sudah berada di
sini, kenapa tadi dikatakan: "Lantaran ada urusan penting tak
datang?" Memangnya mereka hendak memancing Setitik Merah naik ke atas
kapal?
Begitu melihat Setitik Merah
kedua orang segera menjura, sapanya: "Cong-su orang gagah banyak
capai!"
Laki-laki seperti pedagang
besar itu selanjutnya menambahkan dengan tertawa: "Cayhe kuatir Congsu mengalami
sesuatu di luar dugaan, tapi Bin ciangkun amat mengagumkan ilmu pedang Congsu
tak perlu dikuatirkan, Haha! agaknya pandangan Bin Ciangkun memang lebih
tajam."
Sambil mengelus jenggot
kambingnya Go Kiok kan menyela bicara: "Ang siangkong sejak lama berdiam
dalam istana, tidak tahu urusan kasar sudah tentu tak tahu mengandalkan
kepandaian Ang-heng tidak sulit mengambil batok kepala orang ditengah
pasukannya."
Bin Ciangkun tertawa besar
menggebrak meja katanya: "Semoga Ang congsu jangan salah sasaran memenggal
batok kepalaku." bahasa Han-nya cukup fasih maklumlah negeri Kui-je yang
termasuk dalam bilangan Tiongkok bagi mereka yang menduduki pangkat tinggi,
masakah boleh tidak fasih menggunakan bahasa Han?
Dingin tatapan Setitik Merah
katanya tiba-tiba "Kalian toh sudah datang, kenapa tidak masuk ke dalam
penginapan itu bertemu dengan aku?"
Go-kiok-kan tertawa, ujarnya:
Bicara didalam penginapan kurang leluasa, apalagi, Pan-thian hong masih punya
hubungan erat dengan Bin-ciangkun."
Bin-ciangkun tertawa besar,
sombongnya "Bicara terus terang, Pan thian hong dulu adalah seorang
panglima bawahanku, setelah jadi perampok, dia masih bantu aku mengerjakan
banyak urusan, kalau Congsu sedang mencari gara-gara kepadanya, aku masuk
kesana bukankah keadaan bakal runyam?"
Setitik Merah malah mendengus.
"Bahwa perampok adalah sekongkol dengan ciangkun, apa pula yang bisa
dikatakan."
Gadis baju merah itu cekikikan
pula, timbrungnya "Tahukah kau, ransum yang diperoleh Bin-ciangkun dalam
pergerakannya kali ini kebanyakan atas bantuan Pan-thian-hong yang meminjam
sana sini."
Si Bungkuk diam-diam membatin
"Kiranya begitu, pergerakan besar kalian sekarang sudah berhasil, mungkin
diapun akan minta bantuan dan balas jasanya, oleh karena itu kalian lantas
membunuhnya untuk tutup mulutnya."
Setitik Merah melotot kepada
gadis baju merah, katanya rendah "Siapa pula kau perempuan ini, kenapa
kalian suruh dia….."
Go-kiok-kan sedang menukar
kata-katanya "Apakah isteriku ini berbuat salah kepada Ang heng?"
Tak terasa Setitik Merah
melengak, tanyanya "Dia….dia isterimu?"
Gadis baju merah cekikikan
pula, katanya "Kau berani? Waktu aku menikah sama dia memang banyak orang
keheranan, semua bilang sekuntum bunga mekar tertancap di atas gundukan…. Di
atas gundukan……" akhirnya ia tak tega mengatakan "Kotoran sapi.
saking geli tawanya sampai terpingkal-pingkal dan memeluk perut.
Sebaliknya, sikap Go Kiok-kan
tetap biasa, katanya tersenyum "Tentunya tugas Ang heng sudah mencapai
sukses yang menggirangkan, entah dimana batok kepala raja lalim itu?"
"Batok kepalanya masih
berada di atas lehernya." sahut Setitik Merah.
Berobah roman muka
Bin-ciangkun dan Ang siangkong, sekilas mereka beradu pandang lalu tanyanya
"Kenapa Congsu belum berhasil membunuhnya?"
"Hm..!" Setitik
Merah hanya menggerung saja.
Memangnya raja lalim itu sudah
lari menyembunyikan diri? tanya Go Kiok-kan.
"Em!" kembali
Setitik Merah hanya mendehem saja.
Bin ciangkun dan Ang siangkong
berdiri sambil menghela napas, sebaliknya Go Kiok-kan mandah tertawa tawar,
katanya "Gagal pun tak menjadi soal, cepat atau lambat batok kepalanya
itukan bakal dikutungi oleh Ang heng." lalu dia melirik kepada si Bungkuk,
tanyanya "Entah siapa pula kedua orang ini?"
Si Bungkuk menjawab lebih dulu
"Bahwasanya kami tiada sangkut paut dengan raja lalim itu, kami cuma
undangan saja, entah kemana sekarang raja lalim itu menyembunyikan diri."
Go Kiok-kan tersenyum tawar,
katanya "Ang heng menawan mereka, apakah kau hendak mengompes keterangan
mereka?"
"Em!"
"Kenapa Congsu tidak tanya
kepada mereka saat itu juga?"
"Aku hanya bisa membunuh
orang, mengompes keterangan aku tidak bisa."
Go Kiok-kan berkata:
"Cayhe sebaliknya bisa membunuh orang, mengompes keterangan sih cukup
mampu." pelan-pelan dia menghampiri kedua orang buruk rupa ini, katanya
sambil membungkuk badan "Siapa nama besar kalian berdua?"
"Kau tak perlu
tanya." ujar si Burik, "Kami orang-orang keroco yang tak punya
nama." ikatan tali dikedua tangannya memang amat kencang, sudah tentu
banyak pura-pura untuk dilihatkan kepada orang lain mengandalkan kekuatan
lwekang mereka sembarang waktu bisa kerahkan tenaga untuk memutus tali-tali
pengikat itu. Tujuan mereka untuk menyelidiki keadaan musuh kini apa yang
mereka inginkan sudah tak perlu dihiraukan lagi, si Burik sudah siap-siap
hendak beraksi, cuma si Bungkuk sejauh itu tidak mulai, terpaksa dia menunggu
dengan hati kurang sabar.
Go Kiok kan berkata pula tetap
tersenyum "Kedua orang ini tiada hubungan apa-apa dengan raja lalim itu,
tiada punya dendam dan sakit hati dengan kita menurut pendapat Cayhe, lebih
baik melepas mereka pulang saja."
"Orang sudah kuserahkan
kepadamu, terserah bagaimana putusanmu" sahut Setitik Merah.
"Kalau demikian biar
Cayhe membuka belenggu mereka lebih dulu, sembari bicara Go Kiok-kan membungkuk
badan hendak membuka ikatan tali, sudah tentu si Bungkuk dan si Burik tak enak
bergerak siapa tahu tangan Go Kiok-kan mendadak bergerak secepat angin kanan
kiri kerja sama, beruntun menutuk tujuh delapan Hiat-to dibadan mereka.
Laki-laki buruk rupa yang kenamaan ini ternyata adalah seorang tokoh Bulim yang
berkepandaian tinggi.
"Apa yang kau
lakukan?" bentak Setitik Merah.
Baru saja ia hendak memburu
maju, terasa ujung tangkai pisau yang runcing dingin sudah mengancam
tengkuknya, terdengar gadis baju merah berkata lembut, "Orang sudah kau
serahkan kepadanya, biarkan apa yang dia suka lakukan, benar tidak?"
Setitik Merah insaf asal
dirinya sedikit bergerak, ujung pisau kecil tajam itu bakal bersarang di
lehernya.
Si Bungkuk sebaliknya tetap
tenang dan bersabar, katanya dingin "Hebat benar gerakan sahabat ini, cuma
menggunakan kepandaian sebaik ini menghadapi dua orang keroco yang terbelenggu,
bukankah urusan kecil kau bikin besar?"
Go Kiok-kan berkata dengan
lantang "Masakah si Maling Romantis yang kenamaan itu adalah keroco yang
tak bernama?"