Rahasia Ciok Kwan Im (Da Sha Mo) Bab 15: Sarang rahasia Ciok Kwan Im

Rahasia Ciok Kwan Im (Da Sha Mo) Bab 15: Sarang rahasia Ciok Kwan Im
Rahasia Ciok Kwan Im
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 15: Sarang rahasia Ciok Kwan Im

"Tidak nyana otak Oh ya bisa selekas ini sadar dan pikiran menjadi jernih. Tidak salah, memang itulah tujuan kita. Paduka raja terusir dari istananya, hidup dan kekuasaannya terhitung sudah ludes, memangnya kita selama hidup harus tetap menghamba kepadanya ditempat setan seperti ini, lebih baik berusaha menggasak harta sebanyak ini untuk modal datang ke tempat lain yang lebih makmur."

"Masuk akal, masuk akal. Tapi masakah tidak kalian pikirkan, bahwa harta itu untuk barter dengan Ciok koan im, bukan mustahil sebentar sudah datang, masakah dia berpeluk tangan saja membiarkan kalian semua membawanya pergi?"

"Apakah Oh ya berpendapat ditempat inikah alamat pertemuan dengan Ciok koan im itu?"

"O, masa bukan di sini?"

"Lima puluh li ke arah barat barulah tempat perjanjian itu, benar tidak?"

"Masa kita belum sampai?"

Busu itu tertawa, katanya "Waktu berangkat memang betul kita menuju ke arah barat, tapi sepuluh li kemudian arah yang kita tempuh sudah berubah, Ditengah gurun pasir seluas ini, sedikit kau keliru menentukan arah, tujuannya menjadi banyak bedanya, tempat ini sedikitnya terpaut tiga sampai dua puluh li dari tempat yang dijanjikan itu.

OH Thi hoa tertawa ujarnya "Tak heran setelah menempuh jalan sepuluh li tadi, kalian lantas minta aku istirahat, jadi waktu itu kalian pada bermaksud mencekoki arak obat itu kepadaku."

"Ya, karena Oh ya tidak mau istirahat, terpaksa kami sengaja membuat salah arahnya, Oh ya anggap kami ini kuda tua yang sudah tahu jalan ditengah padang pasir, dengan hati tentram dan tanpa curiga mengikuti petunjuk dan perjalanan ini, maka kau sendiripun tak pernah memperhatikan arah lagi." tertawa senang lalu si Busu menambahkan lagi "Tapi Oh ya tidak perlu menyesal banyak orang sering kesasar ditengah padang pasir."

Seorang Busu yang lain segera menimbrung dengan olok-olok "Lain kali bila Oh ya hendak menitis hidup kembali, lebih baik kau pilih dan tentukan arahnya lebih dulu, jangan sampai sudah menitis ke kandungan, ternyata masuk ke kandang babi, tentu hidupmu bakal penasaran." tak pernah terpikir olehnya bahwa dirinya pandai humor dan mengeluarkan kata-kata yang lucu ini, semakin bicara, hati semakin senang dan semakin lucu, tak tahan dia sendiri malah terbahak-bahak sendiri.

"Sekarang kalian sudah siap hendak membunuh aku?" tanya Oh Thi hoa.

"Kalau Oh ya tidak dihabisi jiwanya, bila kadar racun dalam badanmu sudah punah tentu kau akan mengudak kita…. ya, apa boleh buat, harap Oh ya suka memaafkan tindakan kita yang terpaksa ini."

Oh Thi hoa memicingkan mata, katanya tertawa "Tapi siapa diantara kalian yang berani turun tangan?"

"Siapa saja diantara kami bertiga yang turun tangan sama saja." sahut seorang Busu.

"Kau kira aku ini betul-betul sudah tak punya tenaga? Jangan kalian hendak membunuh aku malah kugorok leher kalian lho." sikap Oh Thi hoa semakin adem-ayem.

Sebetulnya ketiga busu itu sudah melangkah maju bersama, mendengar ancaman ini mendadak mereka berhenti, betapa hebat dan kelihaian kepandaian Oh Thi hoa mereka cukup tahu dan sudah pernah merasakan sendiri.

Berkata Oh Thi hoa tertawa "Bukan mustahil kadar racun dalam arak itu tidak selihai yang kalian bayangkan, bukan mustahil arak ini tidak akan banyak manfaatnya untuk seorang lelaki seperti berguna untuk melumpuhkan seorang perempuan, benar tidak?"

Ketiga Busu itu jadi beradu pandang, batinnya "Benar, bukan mustahil dia masih membekal sedikit tenaga, kalau tidak masakah dia masih mampu bicara dan tertawa begitu riang gembira?"

"Baiklah, sekarang siapa diantara kalian yang berani turun tangan, silahkan maju!" tantang OH Thi hoa malah.

Kembali ketiga Busu berpandangan, tiada seorangpun yang berani tampil ke muka.
"Menurut pendapatku." ujar Oh Thi hoa tertawa lebar. "Lebih baik lekas kalian bawa harta benda itu dan melarikan diri sipat kuping saja"

Seorang busu tiba-tiba berkata "Jikalau orang ini masih punya tenaga, masakah dia sudi membiarkan kita membawa harta benda itu pergi?"
"Benar." Teman-temannya bertepuk kegirangan. "Tentu dia sedang menggertak kita."

Orang ketiga bergelak tawa, serunya "Kau ingin aku turun tangan, biarlah aku lakukan!"

"Sret" dari pinggangnya ia loloskan golok sabit, sekali golok yang kemilau itu sudah terangkat ke atas, agaknya dia benar-benar hendak menabas kutung batok kepala orang seperti membela semangka.

Walau Oh Thi hoa masih tertawa, tapi tawanya sudah dipaksakan, mendadak ia berkata pula "Untuk seorang diri memang harta benda itu cukup untuk foya-foya seumur hidup, tapi kalau dibagi tiga… hehe. Masakah kalian tidak merasa terlalu sedikit bagiannya nanti?"

selama hidup pernah dia melakukan perbuatan adu domba, kini dalam keadaan gawat, terpaksa dia gunakan akalnya, harapannya ketiga orang sudah saling gasak dan membunuh sendiri sebelum dirinya ajal.

Tak nyana Busu itu malah terloroh-loroh serunya "Seumpama kita masing-masing ingin melalap sendiri harta sebanyak itu, sekali-kali tidak akan saling bunuh lebih dulu di hadapanmu, sehingga kau punya kesempatan melarikan diri, kukira tiada manusia setolol itu dalam dunia ini."

Busu yang lain terkekeh kekeh pula, katanya "Agaknya Oh ya sudah terlalu kenyang mendengar dongeng."

Dengan tertawa mengira orang ketiga sudah ayun goloknya pula membacok, serunya "Tertawalah kau, jikalau sekarang kau masih mampu berseri tawa, sungguh aku kagum kepadamu!" mendadak suaranya tersendat seperti tenggorokannya tersumbat sehingga napasnya sesak golokpun teracung tinggi ditengah udara tak mampu diayunkan ke bawah.

Karuan temannya mengerutkan alis, katanya "Melongo apa kau, hati tidak tega?"
"Kapal….." seru Busu itu terkesima "Aku melihat sebuah kapal."
"Kapal?" Busu yang lain tertawa geli, padang pasir masa ada kapal, mungkin matamu ….. mimik tawanya tiba-tiba menjadi kaku, matanyapun melotot kesima.

Orang ketiga seketika menginsapi keadaan yang ganjil ini, waktu ia berpaling seketika ia menjerit kaget "Kapal… di sana memang ada sebuah kapal yang sedang laju ke arah kita.

Ketiga Busu seketika pucat pias dan menampilkan rasa ketakutan, mulut terbuka, lidah melelet badan kaku tak mampu bergerak.

Kejut dan girang hati Oh Thi hoa, batinnya "Mungkin tiga orang ini melihat setan, jikalau kapal bisa melaju di padang pasir, bukankah orangpun bisa naik kuda ditengah lautan?" Tapi waktu ia berpaling kesana, seketika iapun terkejut melongo.

Ditengah debu pasir yang membumbung tinggi ke tengah angkasa, betul juga dilihatnya sebuah kapal sedang meluncur secepat angin ke arah sini. Sebetulnya kapal ini melaju mengikuti arah angin, tapi semakin dekat semakin lambat, ditengah suara pekik burung elang riuh rendah, akhirnya kapal itu semakin lambat dan akhirnya berhenti tak jauh di depan mereka.

Debu pasir yang berterbangan ditengah udara lambat laun hilang terhembus angin, di ujung kapal pelan-pelan muncul sesosok bayangan putih kaki tangan, badan dan raut mukanya tersembunyi didalam pakaiannya yang serba putih dan tutup muka yang putih pula, sampai matanya pun tidak kelihatan.

Sekilas ketiga busu saling pandang, pelan-pelan kaki mereka menggeser mundur, raut muka mereka dihiasi butiran-butiran keringat sebesar kacang, dengan menarik kendali onta, mereka hendak melarikan diri.

Tiba-tiba orang serba putih itu tertawa dingin, jengeknya "Aku sudah tiba disini, kalian masih ingin lari?" suaranya merdu nyaring, ternyata dia seorang perempuan.

Walau matanya tertutup, tapi gerak gerik orang lain ternyata tak bisa mengelabuhi dirinya, seketika gemetar sekujur badan ketiga Busu itu, tali kendali yang baru saja terangkat tiba-tiba meluncur jatuh pula. Seru salah seorang busu itu "Kau ….. siapakah kau sebetulnya?"

Tanpa hiraukan pertanyaan orang serba putih berkata "Memangnya aku sedang heran, kenapa kalian tidak menepati janji, baru sekarang aku tahu, ternyata kalian bertiga inilah yang membuat gara-gara." Tanpa kelihatan badannya bergerak, badannya tahu-tahu sudah melayang turun dari ujung kapal, bentaknya bengis, "Tapi barang yang sudah menjadi hak milikku masih berani kalian hendak mengangkanginya?"

Ketiga Busu itu sudah kaget dan ketakutan melihat ilmu Ginkang orang yang begitu tinggi, sesaat lamanya baru kuasa bersuara dengan tergagap "Siaujin sih tidak…tidak bermaksud jahat."

"Koan im Posat sudah tentu punya ribuan mata ribuan tangan, berani kalian mengelabuhi aku?" jengek orang serba putih itu.

Tak tertahan Oh Thi hoa menyeletuk sambil menghela napas "Ciok koan im, Ciok koan im, tak nyana akhirnya aku bisa bertemu dengan kau, Cuma dalam keadaanku seperti ini bertemu dengan kau sungguh menyebalkan dan memakan semangatku."

"Memangnya kenapa dalam keadaan seperti ini?" tanya orang serba putih "Memangnya kau ingin coba kepandaian dengan aku?"

"Benar, memang aku punya maksud demikian."

"Kukira masih terpaut jauh sekali kau ini, sampaipun budak-budak yang tak becus seperti merekapun dapat menipu dan mengingusi kau, Oh Thi hoa yang tenar dan punya nama besar ternyata hanya begini saja, sungguh amat mengecewakan aku", sambil bicara sekarang dia sudah berhadapan dengan Oh Thi hoa.

Ketiga busu itu segera saling memberi tanda, cepat sekali tangan mereka terbalik mencabut golok bagai baling-baling yang berputar kencang ketiga bilah golok mereka serempak membacok ke arah orang serba putih dari belakang.

Orang serba putih mandah menggendong tangan tanpa berpaling kepala pula, seolah-olah tidak menyadari bahwa jiwanya terancam mara bahaya, tapi begitu ketiga bilah golok hampir saja, mengenai badannya kesepuluh jari jarinya mendadak menyentil dari dalam lengan bajunya.

"Trang benturan keras menusuk kuping, sinar golok laksana bianglala serentak terbang menjulang ke angkasa. Hakekatnya ketiga Busu ini tidak melihat jelas cara bagaimana musuh turun tangan, tahu-tahu pergelangan tangan tergetar separoh badannya seketika kesemutan, golok ditangan mereka berbareng mencelat lepas dari cekalannya.

Saking kaget dan ketakutan ketiga Busu serasa copot arwahnya, mana sempat hiraukan harta benda lagi, tanpa berani berpaling ke arah si orang serba putih, putar badan segera mereka berlomba lari cepat, sipat kuping. Sebetulnya mereka tidak pernah latihan ilmu Ginkang, tapi disaat genting yang bakal menentukan hidup mati jiwa mereka, ternyata lari mereka tidak kalah cepat dari seorang juara lari yang dapat menandingi kecepatan kuda, kira-kira sepuluh tombak kemudian, baru golok-golok mereka melayang jatuh dari tengah udara.

Pelan-pelan saja orang serba putih melambaikan tangan, ketiga batang golok itu diraihnya katanya tawar, "Golok ini milik kalian nih kukembalikan kepadamu!" dia tetap tidak berpaling, tangannya terayun balik ke belakang ternyata ketiga bilah golok ini seperti tumbuh mata, dalam sekejap mata, masing-masing mengejar pemiliknya sendiri. Maka terdengarlah tiga lolong jeritan yang menyayangkan hati darah muncrat ke tengah udara laksana kembang api, ketiga batang golok itu tahu-tahu sudah menusuk tembus ke ulu hati mereka, seperti paku raksasa ke tiganya terpantek di tanah.

Oh Thi hoa tertawa ewa, katanya "Manusia mati lantaran harta burung mampus karena makanan, tapi kenapa harus begini jadinya…?
"Kau sudah ketakutan?" cemooh orang serba putih.
"Aku takut apa?" seketika melotot mata Oh Thi hoa.
"Sudah tentu kau takut aku membunuhmu."
"Apa kau lihat tampangku ini seperti orang yang takut mati?"

"Kulihat lahirmu memang sedang unjuk gagah, tampangmu seperti Eng hiong, namun harinya sudah kebat-kebit dan ketakutan setengah mati." tanpa menunggu reaksi Oh Thi hoa tiba-tiba berputar badan dan bertepuk tangan, dari atap kapal setan itu segera melompat turun beberapa laki-laki seluruh muatan di atas onta dibongkar ke atas kapal.

"Hai! Jangan kau lupa barang-barang itu kubawa kemari untuk barter dengan Ki loh ci sing itu."

"Kau ingin bawa Ki loh ci sing itu pulang?" tanya orang serba putih membalik badan menghadapinya lagi.

"Sudah tentu harus kubawa pulang."

"Dengan anggapan apa kau kira aku tidak akan membunuhmu?"

"Umpama harus mampus di sini akupun akan membawa Ki loh ci sing kembali."

"Aneh kalau begitu, seorang yang sudah ajal jiwanya mana bisa membawa pulang sesuatu?"

Terbelalak besar biji mata Oh Thi hoa, mulutnya tidak banyak kata lagi.

Disaat Oh Thi hoa menunggu ajal, mimpipun tidak pernah terpikir olehnya bahwa Coh Liu hiang dan Ki Ping yan sedang mengintip ke arah dirinya tak jauh dari tempatnya. Coh Liu hiang dan Ki Ping yan ternyata berada dalam kapal setan puluhan tombak disampingnya itu.

Dari sebuah kapal yang lain mereka di pindah ke kapal yang ini, lantaran Ciok koan im ingin memberi service secara istimewa kepada mereka, maka mereka masih tetap hidup sampai sekarang, Cuma mereka sejauh ini belum pernah melihat Ciok koan im.

Oh Thi hoa sendiripun menyangka bahwa orang serba putih ini adalah Ciok koan im pribadi, di luar tahunya bahwa dia bukan lain hanya salah seorang muridnya saja, sudah lama Ciok koan im berlalu. Jejaknya memang serba rahasia dan tersembunyi, bukan saja pergi datang tak menentu, malah selamanya tiada orang yang tahu darimana dan kemana arah datang dan perginya.

Kini Coh Liu hiang dan Ki Ping yan berada didalam kapal setan ini, malah sedang duduk diambang pintu yang tertutup kerai, dari tempat mereka dengan jelas mereka bisa melihat keluar ke arah Oh Thi hoa.

Namun mereka cukup tahu diri, sudah tentu mereka tak berani bersuara dan tak bisa bergerak, karena mereka tahu keadaan Oh Thi hoa saat ini tak mungkin kuat menolong mereka, apa lagi orang serba putih itu pernah memberi peringatan "Jikalau kalian bersuara minta tolong, sedikitpun tiada gunanya, tidak lebih kalian malah bikin kematian Oh Thi hoa lebih cepat saja, karena itu kuanjurkan kalian lebih baik tutup mulut saja."

Bahwasanya hal ini tidak perlu disinggung Coh Liu hiang berdua sudah cukup tahu diri. Tapi mereka tidak bisa tutup mulut terus terusan. Melihat keadaan Oh Thi hoa, sungguh hati mereka merasa mendelu dan patah semangat.

Tak tahan Coh Liu hiang buka mulut lebih dulu "Dilihat gelagatnya, mungkin dia dibikin celaka lagi oleh arak keparat itu."
"Kalau dia tidak mampus lantaran arak, barulah merupakan hal yang aneh." Jengek Ki Ping yan.
"Tapi dia baik dan harus dipuji." timbrung Setitik Merah. "Dia tidak takut mati."
"Apa, tidak takut mati lantas baik?" cemooh Ki Ping yan pula. "Orang pikun selamanya memang tidak takut mati."

Setitik Merah balas mendebat "Betapapun orang yang tidak takut mati jauh lebih baik dari yang takut mampus."

Coh Liu hiang tersenyum, ujarnya "Kalian berdebat apa, kali ini aku tanggung dia takkan mati."

"Mengandalkan apa au begitu yakin bahwa orang tidak akan membunuhnya?" tanya Ki Ping yan. Kata-kata ini hampir dia ucapkan bersama, pertanyaan si orang serba putih kepada Oh Thi hoa, bukan saja pertanyaan yang sama, malah nadanya pun hampir mirip.

"Jikalau dia membunuhnya, lalu siapa yang dia suruh untuk membawa pulang Ki loh ci sing itu?" kata Coh Liu hiang.

Maka mendengar orang serba putih itu berkata demikian kembali ia menambahkan dengan tertawa "kau sudah dengar? Orang mati mana bisa membawa pulang suatu barang"
"Darimana kau bisa tahu bahwa dia hendak suruh Oh Thi hoa membawa pulang Ki loh ci sing?" tanya Ki ping yan
Coh Liu hiang tersenyum ujarnya "Jikalau tiada orang yang membawa pulang Ki loh ci sing, cara bagaimana bisa menipu raja dogol itu membuka rahasianya?"

Meski hati Ki Pinig yan masih kurang percaya omongan Coh Liu hiang, mau tidak mau dia harus percaya juga, karena saat dimana dilihatnya orang serba putih itu sedang melangkah balik kearah kapal.

Oh Thi hoa masih tetap hidup.

Coh Liu hiang menghela napas, ujarnya "Semoga saja raja dogol itu jangan membocorkan rahasia itu, kalau tidak bukan saja jiwanya sendiri bakal berkorban, mungkin Oh Thi hoa juga mampus mengiringinya."

"Kenapa begitu?" tanya Ki Ping yan.

"Sekarang Ciok koan im sendiri mungkin sudah insaf dirinya takkan mungkin memaksa raja dogol itu membeberkan rahasia ini, tapi dia beranggapan bukan mustahil raja dogol itu kemungkinan bisa minta bantuan kepada Oh Thi hoa, jikalau sekarang dia anggap Oh Thi hoa cukup berguna untuk mencapai keinginannya, sudah tentu dia takkan membunuhnya."

Ki Ping yan bungkam, namun dalam hati ia berdo'a "Semoga raja dogol itu jangan membocorkan rahasianya sendiri."

Orang serba putih itu pergi, kapal setan itupun berlalu.

Baru sekarang hati Oh Thi hoa benar-benar mulai takut. Sungguh dia sendiripun tak pernah menduga bahwa dirinya masih bisa bertahan hidup. Sebetulnya tiada alasan, kenapa Ciok koan im tak membunuhnya. Tapi kenyataan Ciok koan im memang tak mengganggu usik seujung rambutnya, bukan saja tidak membunuhnya, malah Ki lo ci sing itu benar-benar diberikan kepada dirinya, apa benar Ciok koan im seorang yang benar-benar dapat dipercaya dan bisa pegang janji!

Bagaimanapun Oh Thi hoa tidak mau percaya, tapi mau tidak mau dia harus percaya karena kenyataan sudah di buktikan sendiri.
Malam semakin berlarut hawa dingin semakin dingin hampir membeku badan, saking kedinginan gemetar sekujur badan Oh Thi hoa.

Sekarang kadar racun dalam tubuhnya pelan-pelan punah, meski lambat laun dia sudah dapat bergerak, tapi sekujur badannya masih lemas lunglai, untapun sudah digebah pergi ketakutan. Oh Thi hoa insaf walau dalam keadaan biasa dirinya jangan harap bisa menempuh perjalanan lima puluh li ditengah gurun pasir ini, apa lagi kini dalam keadaan lumpuh sama sekali.

Kalau hari terang tanah, disaat dia punya kekuatan apa dia kuat berjalan masih merupakan tanda tanya besar, apa lagi kini malam sudah larut hawa begini dingin lwekangnya boleh dikata sudah mogok tak mau bekerja sama sekali.

Ki Loh ci sing berada didalam kantong bajunya, betapapun dia tidak bisa menempuh bahaya. Tapi belakangan sungguh tak tahu lagi dia kedinginan, dengan merangkak segera ia mencari ranting kering di semak-semak sekelilingnya, ditemukan sebuah tempat di sela-sela batu yang tersembunyi untuk berteduh, di sini dia menyalakan api unggun.

Ada manfaatnya pula berada ditengah gurun pasir yaitu gampang sekali untuk membuat api, karena tetumbuhan yang hidup ditengah gurun pasir ini, tentu kering dan gampang termakan api, seorang diri Oh Thi hoa menggumam "Mungkin disinilah satu-satunya tempat berteduh paling baik." kata-katanya tiba-tiba terhenti, pelan-pelan bangkit melangkah maju lalu jongkok lagi, pandangan lurus mengawasi sebuah batu di depannya, umpama yang dia hadapi dan yang dia pandangi ini adalah seorang perempuan cantik yang telanjang bulat diapun takkan begitu tertarik dan perhatian.

Tapi batu itu tidak lebih hanya batu cadas yang sudah terkikis halus oleh desingan pasir dengan tempaan panas dingin, tiada sesuatu yang istimewa dari bentuk batu ini. Tapi sinar api berkelap-kelip, sorot matanya pun bercahaya terang.

Ternyata di atas batu cadas yang licin dan sedikit berdebu ini ada berlepotan bahan-bahan hitam dan kuning, terdapat pula beberapa tetes lem karet yang sudah membeku kering kelihatannya adalah lem kulit sapi yang bermutu paling baik. Sebetulnya apa yang dia lihat atau ketemukan ini bukannya barang-barang yang luar biasa dan harus dibuat aneh, tapi ditengah padang pasir, di suatu pojok tempat yang tersembunyi ini, ditemukan barang-barang yang tak mungkin bisa ada di situ, disitulah letak keanehannya.

Apa lagi, betapapun Oh thi hoa seorang kawakan Kang ouw, meski dia sendiri tidak pernah belajar ilmu tata rias, namun dia cukup tahu bahwa bahan-bahan dan lem itu adalah bahan-bahan vital untuk merias muka.

Siapa orangnya yang berada ditempat seperti ini, untuk merias diri berubah bentuk? Ia tahu Coh Liu hiang selalu membawa bahan-bahan seperti ini.

Oh Thi hoa menghirup napas panjang, katanya seorang diri "Ternyata Ulat busuk pernah berada di sini, kenapa pula dia harus merias diri menyaru ke bentuk muka lain? Dari warna bahan yang digunakan ini kuning dan hitam, mungkinkah dia ketakutan dikejar-kejar perempuan, maka dia menyaru seorang yang bermuka buruk menakutkan?" berpikir sampai di sini, tak urung dia tertawa geli sendiri.
Tapi urusan sedikitpun tidak mengerikan, Coh Liu hiang pasti sedang menghadapi mara bahaya, kalau tidak apa perlunya dia menyamar dan ganti rupa, apa lagi setelah menyamar, jejaknya lantas menghilang dan tiada beritanya.

Oh Thi hoa mengerut kening, dia dorong batu ini, sedikitpun tak bergeming tapi dia tidak putus asa, kembali dia mendorong ke batu-batu lain di sekitarnya, suatu ketika ia berhasil angkat sebuah batu, pasir di bawah batu amat empuk dan longgar sehingga dia mengeduk dengan jarinya, tak lama kemudian berhasil dikeduknya keluar sebuah bungkusan besar yang membuatnya amat bergirang dan kejut sekali.

Didalam buntalan ini terdapat sebuah handuk ada diukir satu huruf "Ki", botol kecil terbuat dari kayu, waktu dia buka tutupnya terenduslah bau harum yang merangsang hidung "Maling Romantis meninggalkan bau harum ditengah malam "Coh Liu hiang biasanya memang selalu membawa bahan-bahan wangi seperti ini.

Kecuali itu masih ada sebutir mutiara hitam sepasang Boan koan pit, sebungkus mas dan berlian, serenteng kunci, sebuah pipa rokok yang terbuat dari batu pualam, sebatang pisau perak. Kan lebih aneh lagi didalam bungkusan ini terdapat pula sepatu perempuan peranti tidur berwarna merah jingga yang bersulam sepasang teratai, sebuah kutang "BH" warna merah lombok yang tersulam masing-masing sekuntum kembang seruni pada kanan kirinya.

Oh Thi hoa tersenyum geli. "Botol kayu kecil mutiara hitam dan handuk ini sudah tentu adalah milik Ulat busuk, tapi huruf "Ki" yang tersulam di ujungnya ini siapa? Mungkin…. mungkinkah nama kecil dari tuan putri yang romantis itu….Ha! Ulat busuk memang pintar dan lihai dengan sedikit permainan pat-gu-li-pat, dengan mudah dia sudah mendapatkan barang tanda matanya."

Sepasang Boan koan pit itu berkilauan ditimpah sinar api, sepasang potlot baja ini bukan saja jauh lebih berat bobotnya dari senjata jenis yang pernah dilihatnya, di kalangan Kang ouw, malah buatnyapun lebih halus dan mungil.

Kembali Oh Thi hoa menggumam "Boan koan pit pipa rokok, kunci, pisau perak dan sebungkus berlian ini tentu adalah milik Jago Mampus, dia ini memang brengsek seperti nyonya galak, sampai gantungan kuncipun dibawa-bawa kemari, memangnya takut setelah dia pergi orang lain bakal menggerayangi kamar dan menguras habis harta miliknya! Hehehe! Agaknya dia harus diberi julukan lain yang lebih serasi, yaitu si Brengsek yang kikir!"

Selamanya dia sendiri tidak pernah bawa kunci, maka begitu melihat orang membawa serenteng kunci jadi merasa geli, terpikir olehnya bahwa Coh Liu hiang akhirnya berhasil menemukan Ki Ping yan, hatinya sungguh senang. Bertepuk tangan, katanya pula tertawa "Kalau kedua orang ini sudah kumpul jadi satu, langit ambrukpun bisa mereka sanggah dan atasi, kenapa aku harus kuatir bagi mereka?"

"Tapi sepatu tidur dan kutang ini milik siapa lagi? Oh Thi hoa mengerut kening "Memangnya Ulat busuk berhasil mendapat kekasih baru? Walau demikian masakah dia sudi minta pakaian dalam orang. Ulat busuk ini masakah sudah berubah sedemikian cabul?" diangkatnya kutang itu serta diciumnya, lalu melelet-lelet lidah, katanya tertawa geli "Wangi benar!"

Tiba-tiba ia merasa bau wangi seperti ini sudah amat dikenalnya benar, segera terpikir olehnya dengan malam itu, waktu dirinya menggusur dua bidadari dari rumah Ki Ping yan itu. Ternyata Ki Ping yan selalu membawa bawa pakaian dalam gundik kesayangannya kemanapun dia pergi, mungkin untuk menghibur hati, tak tertahan Oh Thi hoa terloroh-loroh, katanya "Ternyata Ki siau sing teman kita yang buruk rupa ini adalah seorang laki-laki romantis!"

Tiba-tiba didengarnya seorang berkata "Romantis lebih baik dari pada tidak punya rasa cinta, benar tidak?"

Romantis lebih baik dari pada tak punya rasa asmara, betapa indah dan mesra kata-kata seperti ini, apa lagi kata-kata ini diucapkan oleh suara yang merdu nyaring seperti kicauan burung bukankah jauh lebih menarik dan serasa menyedot sukmanya.

Tapi dalam keadaan sekarang ditempat ini pula Oh Thi hoa mendengar kata-kata ini bukan kepalang kagetnya, teriaknya tertahan "Siapa?"

Suara orang serba putih tadi juga merdu genit dan aleman, tapi begitu turun tangan jiwa manusia direnggutnya dengan kejam, maka dalam pendengaran Oh Thi hoa, suaranya yang merdu ini jadi lebih jelek dan menusuk kuping dari suara gembreng bobrok.

Suara yang merdu nyaring berkata pula "Oh to enghiong yang bernama besar dan kenamaan, kenapa hari ini menjadi begini penakut dan bernyali kecil?" seiring dengan kata-kata ini dari balik gundukan batu di sana muncullah bayangan orang, dai bukan lain adalah Pipop kongcu.

Oh Thi hoa menghela napas lega, katanya getir "Ternyata kau, tidak dirumah kau memetik harpamu, buat apa kau lari ke tempat seperti ini?"

"Tanpa didengar seorang ahli musik yang benar-benar bisa menikmati petikan harpaku, buat apa aku harus buang-buang tenaga."

"Tanpa memetik harpa apa kau tiada punya urusan lain?"

Pipop kongcu melotot kepadanya, katanya "Jangan kau kira aku terlalu iseng lalu kelayapan kemari, waktu seperti ini memangnya aku tidak ingin tidur dirumah saja. Tapi permaisuri bilang kepadaku: "Oh-congsu itu meski punya kepandaian tinggi tapi otaknya dogol dan sederhana, bukan mustahil bakal ditipu orang, lebih baik lekas kau susul dia untuk mengawasi dan bila perlu menolongnya!" oleh karena itu aku lantas susul kemari.

Jikalau tidak kena tipu mentah-mentah mungkin Oh Thi hoa tidak akan marah, tapi dia benar-benar ditipu dengan konyol, mendengar olok-olok ini rasanya seperti dikorek boroknya yang sudah mulai sembuh. Belum lagi Pipop kongcu bicara habis raut mukanya sudah merah padam, otot merongkol di lehernya katanya dengan suara keras "

"Kalau aku ini dogol, memangnya kau ini apa? Bantal sulaman?"

"Tidak perlu kau marah-marah dan unjuk perbawa di hadapanku, kan bukan aku yang bilang demikian, kalau tidak terima boleh kau buat perhitungan kepada orang yang mengatakannya?" tiba-tiba ia tertawa manis, katanya pula "Mungkin begitu kau berhadapan sama dia, mulutmu sudah terkancing tak kuasa bicara lagi."

Saking gusar napas Oh Thi hoa sampai memburu, benar-benar tak mampu bicara lagi.
"Tapi aku langsung menuju ke arah barat, jejak kalian tidak kutemukan dengan menempuh jarak jauh ditengah malam buta rata yang dingin ini aku berputar mengelilingi daerah seluas ini, kebetulan kulihat sinar api di sini. Aku kuatir orang lain yang berada di sini, maka kusuruh orang-orangku menunggu ditempat yang rada jauh seorang diri diam-diam aku merunduk kemari."

"Tidak perlu kau memberi penjelasan kepadaku, yang terang aku sudah tahu bahwa kau punya penyakit seperti itu, tiap kali selalu kau merunduk-runduk untuk menemui orang."

Pipop kongcu naik pitam katanya keras "Tidak perlu kau mengumbar adatmu di hadapanku memangnya aku pernah berbuat sesuatu kesalahan terhadap kau?"

"Hm.." OH Thi hoa menggeram.

Lama juga Pipop kongcu melototinya, tiba-tiba wajahnya dihiasi senyuman manis, katanya halus "Seumpama aku tidak jadi nikah sama kau, masakah ketemu lantas kau marah-marah kepadaku!"

Merah pula selebar muka Oh Thi hoa, otot merongkol pula di lehernya.

"Semakin galak sikapmu ini, semakin membuktikan kau diam-diam mencintai aku oleh karena itu baru kau naik pitam lantaran aku tak kawin dengan kau, maka kau merasa jelus dan iri hati terhadap Ulat busuk temanmu itu."

Oh Thi hoa balas pelototi, mendadak ia bergelak tawa, serunya "Perempuan seperti kau ini, jikalau benar-benar kawin dengan aku, orang akan heran kalau aku tidak bikin mati karena jengkel."

Pipop kongcu mencibir bibir katanya "Tak bisa makan anggur, lantas bilang anggur itu kecut, sungguh tak tahu malu."

Kisah anggur kecut, memang adalah dongeng yang amat disenangi oleh rakyat negeri Kui je, hakekatnya Oh Thi hoa tidak tahu kisah ini, maka diapun tidak marah, cuma dia ingin ceritakan pengalamannya untuk mengembalikan Ki loh ci sing itu, kini niatnya batal, sebetulnya ingin dia segera berlalu, niatnya inipun dia urungkan.

Pipop kongcupun tidak banyak tanya namun diapun tidak berlalu malah mencari tempat duduk di atas sebuah batu, dari dalam bajunya dirogohnya keluar sebuah botol perak berisi arak dengan tutup botol sebagai cangkir dia minum seorang diri, mulutnya mengoceh sendiri "Hawa sedingin ini, kalau tidak minum arak menghangatkan badan untuk menghilangkan rasa dingin, mungkin bisa mati kaku."

Oh Thi hoa sendiripun sedang menggerutu seorang diri "Jikalau ada orang hendak bikin aku marah karena arak, sekarang begitu mengendus bau arak, kepalaku lantas terasa pening." mulut berkata demikian hakekatnya sedikitpun kepalanya tidak pening hati terasa keri seperti dikili-kili, cacing dalam perutnya sedang bergelak dan mau berontak. Tapi baru saja dirinya perang mulut sama orang, masakah enak minta arak kepadanya? Terpaksa Oh Thi hoa menahan diri melirikpun tidak kesana.

Sebaliknya bukan saja cara minum Pipop kongcu sengaja dibikin-bikin begitu rupa, malah mulutnya sering mengoceh pula "Baik sekali arak ini, sekali tenggak saja seluruh badannya terasa hangat."

Tak tahan lagi Oh Thi hoa segera berseru keras "Anak perempuan minum arak sampai kecap-kecap begini keras, begini rakus kau ini, sungguh tak punya aturan."

Pipop kongcu tersenyum, katanya "Memangnya aku sengaja melanggar aturan, dengan demikian baru aku bisa bikin orang yang punya aturan jengkel sampai mati."

Mendadak darah terasa mendidih di kepalanya, memang hampir saja Oh Thi hoa dibikin marah sekali, waktu matanya mengerling tiba-tiba dilihatnya sapu tangan yang berhuruf "Ki" itu, seketika bersinar sorot matanya, dijemputnya sapu tangan itu lalu di beber di bawah cahaya api, mulutnya pun menggumam "Secarik kain si kumal ini, rasanya cocok untuk membersihkan ingus saja."

Belum habis dia bicara, tiba-tiba Pipop kongcu sudah berjingkrak berdiri serta menubruk maju, bentaknya keras "Kau…. dari mana kau peroleh sapu tangan ini?"

Oh Thi hoa tertawa berseri, sahutnya "Ku temukan!"

"Lekas…. lekas kembalikan kepadaku." suara Pipop kongcu gemetar.

"Kembalikan kau? Kenapa aku harus kembalikan kepadamu. memangnya milikmu?"

Merah muka Pipop kongcu, sahutnya tergagap "Ya… kalau milikku bagaimana?"

"Aneh kalau begitu!" "Apanya yang aneh?"

"Jelas sekali aku dengar Ulat busuk itu berkata "Kuntilanak itu suka main romantis, dikiranya aku sudi menyimpan secarik kain kumal seperti ini!"
Memangnya kau ini kuntilanak yang dia maksudkan itu?"

"Kentut!" damprat Pipop kongcu marah-marah sampai biji matanya merah, "Kau…. kau bukan manusia!" saking jengkel ia membanting-banting kakinya.

"Kenapa kau marah-marah kepadaku, toh bukan aku yang bilang demikian, kalau kau tidak terima kau cari orang yang bicara."

Oh Thi hoa bergelak tawa lalu menambahkan "Mungkin begitu kau berhadapan dengan orang itu, bicarapun mulutmu takkan bisa!"

Mendadak Pipop kongcu menjatuhkan diri ke atas pasir, pecah tangisnya gerung-gerung. Tingkah laku orang yang tak pernah diduganya ini membuat oh Thi hoa melongo malah, tujuannya semula hendak bikin orang marah saja, melihat orang benar-benar begitu sedih, terpaksa Oh Thi hoa maju mendekati katanya tertawa "Sudah jangan kau terlalu bersedih, aku cuma ngapusi kau saja."
Pipop kongcu sibuk dengan tangisnya, bujukan kata orang tidak dihiraukan sama sekali.

"Memang akulah yang terlalu, aku patut mampus, bahwasanya Ulat busuk tidak pernah mengatakan kau ini seperti kuntilanak, semua itu adalah karangan bualanku yang keparat ini."

Dengan sesengukan berkata Pipop kongcu "Tapi… kenapa barang yang kuberikan kepadanya sembarangan dibuang?"

"Itulah karena…." hampir saja lidah Oh Thi hoa putus baru berakhir dia ceritakan persoalan itu. Setelah menghela napas, dia menambahkan "Sekarang, terserah bagaimana kau hendak makipun tak jadi soal, cuma kumohon jangan kau menangis lagi!"

Pipop kongcu kucek mata, katanya "Kalau kau mengakui bahwa dirimu keparat istimewa aku takkan nangis lagi."

"Bukankah tadi sudah ku akui… ai…!"
Kata Pipop kongcu setelah gigit bibir "Kalau sudah mengaku kenapa menghela napas panjang pendek, memangnya kau tak rela?"

Oh Thi hoa elus-elus hidung, gumamnya "Secara suka rela aku mau mengakui aku ini keparat istimewa, sudah cukup belum…. ai! celaka memang aku ini seorang laki-laki, kalau laki-laki memaki perempuan lantas dia ikut keparat, seumpama perempuan memaki laki-laki dogol atau telur busuk juga tidak menjadi soal, karena perempuan pandai menangis, kepandaian seperti ini, laki-laki manapun tak ada yang bisa pandai."

"Apa katamu?" damprat Pipop kongcu, mendelik, "Coba katakan sekali lagi!"
"Aku… kukatakan laki-laki semua adalah bedebah, perempuan adalah…. adalah orang baik."

"Lumayan juga ucapanmu ini." ujar Pipop kongcu tertawa. Lalu ia sesalkan botol araknya ke tangan Oh Thi hoa, tapi disaat sorot matanya bentrok dengan setumpukan barang-barang, seketika kunci seri tawanya, roman mukanya tegang kaku.

Oh Thi hoa sedang melongo tawa dan menggumam "Jikalau mengakui dirinya sendiri sebagai bedebah lantas diberi arak, setiap hari kuakui sekalipun tak menjadi soal" baru saja dia hendak menuang arak ke dalam botol ke dalam perutnya, tiba-tiba Pipop kongcu merebut balik botol arak itu, serunya "Aku sudah merubah niatku semula, arak ini sekali-kali takkan kuberikan kepadamu."

"Kau… apakah perubahanmu tidak terlalu mendadak?"
"Barang-barang ini semua adalah milik Ulat busuk bukan?"
"Sepatu tidur dan kutang itu milik Jago Mampus, sekali-kali jangan kau cemburu kepadanya, sekali jelas, arak takkan bisa kuminum lagi."

"Bukan begitu maksudku." katanya Pipop kongcu menghela napas, "Coba kau pikir barang-barang ini biasanya selalu digembol di atas badan Ulat busuk, tapi sekarang dia pendam di sini……………"

"Itulah lantaran dia menyamar dan menyaru, jikalau barang ini dia bawa, kuatir membocorkan asal usulnya."

"Tapi coba kau pikir lagi, kalau barang-barang ini dia simpan di atas badannya, cara bagaimana bisa tahu? Kecuali dia menginsyapi bahwa… perjalanannya kali ini kemungkinan bisa ditawan oleh musuh."

Berubah roman muka Oh Thi hoa. "Benar memang aku tak boleh minum lagi, jikalau mereka sudah pada tahu perjalanan yang ditempuh ini teramat bahaya, sekali-kali Jago Mampus takkan sudi mengeluarkan barang-barang pribadinya yang dia rahasiakan kepada orang lain yang ditinggal di sini."

"Ya, memang begitulah"

Oh Thi hoa menepuk-nepuk batok kepalanya, katanya "Perempuan memang lebih cermat dari laki-laki, persoalan begini penting kenapa tidak pernah terpikir olehku."

"Bukan lantaran perempuan lebih cermat dari laki-laki, soalnya terhadap orang yang dia sukai, biasanya perempuan jauh lebih prihatin dari keadaan diri sendiri."

Tiba-tiba Oh Thi hoa mencelat bangun dikeluarkan Ki loh ci sing lalu diserahkan ke tangan Pipop kongcu, katanya "Inilah Ki loh ci sing lekas kau bawa pulang!"
"Kau mau kemana?"
"Aku harus menemukan ulat busuk lebih dahulu."
"Tapi kau sudah berjanji kepada Permaisuri untuk membawa pulang barang ini."

"Benar, malah banyak persoalan pula yang pernah kujanjikan kepadanya tapi setelah aku tahu Ulat busuk dan Jago Mampus mengalami bahaya, urusan setinggi langit juga harus ku sampingkan dulu."
"Kalau toh kita sudah tahu bahwa dia sedang menghadapi bahaya, memangnya aku bisa tentram tinggal pulang?"
"Jadi kau hendak ikut aku?" tanya Oh Thi hoa melongo.
"Sudah tentu!"
"Lalu…. bagaimana dengan Ki loh ci sing ini?"
"Kau sendiri sudah bilang, urusan sebesar langitpun boleh dikesampingkan dulu, benar tidak?"

Sebentar Oh Thi hoa menepekur, baru saja dia hendak mengangguk, lekas geleng-geleng pula, katanya "Tidak mungkin aku tak bisa bawa kau!"
"Kenapa?"
"Kalau perjalanan kali ini amat berbahaya, kau sebaliknya gadis besar putri raja yang suka aleman tak pernah kerja berat, kalau sampai terjadi………"

"Jangan kau lupa, di sini adalah gurun pasir, di sini aku jauh lebih berguna dari pada kau." tukas Pipop kongcu. "Dan lagi, seumpama benar kau tak mau bawa aku pergi, aku toh bisa mengintil di belakangmu."

Kembali Oh Thi hoa mengelus-elus bidangnya katanya tertawa getir "Tiada perempuan terasa sepi dingin, sebaliknya setelah ada perempuan, anjing dan itikpun tak merasa tentram, ucapan ini memang sedikitpun tak salah.

Di sana adalah lautan cadas, besar kecil berserakan dengan bentuk dan model yang warna warni pula, yang besar menjulang tinggi laksana menembus langit mengarungi mega, paling kecilpun ada puluhan tombak, dengan corak seperti binatang-binatang purba yang liar dan buas, sedang mendekam diam-diam saja menunggu mangsanya untuk ditelan. Di sini bukan saja seolah-olah sudah tercapai ujung dari gurun pasir, hampir terasa ujung dunia yang berpadu dengan sengit, kalau perjalanan dilanjutkan ke depan, kau akan terjungkal jatuh ke dalam jurang yang tak terhitung dalamnya.

Waktu fajar menyingsing kapal setan itupun sudah berlabuh ditempat ini, melepas pandang dari jendela, tampak puncak-puncak gunung berjajar dan tersebar luas tak berujung pangkal kalau diteruskan ke depan, kapal setan ini bakal menerjang dinding-dinding gunung.

Walau biasanya Coh Liu hiang berlaku tabah dan tenang tak urung hatinya terkejut juga tampak sebuah puncak batu gunung yang aneh dan menjulang tinggi ditelan mega, tahu-tahu laksana mulut binatang purba ukuran raksasa menubruk dari depan menyongsong ke arah mereka.

Siapa tahu tiba-tiba kapal ini membelok dengan angler dan pelan-pelan menyusup ke dalam celah-celah batu itu. Coh Liu hiang menghela napas katanya dalam hati "Sungguh suatu daerah yang berbahaya mungkin disinilah pusat pangkalan Ciok koan im." sedang pikirannya bekerja, tiba-tiba hatinya melonjak kaget kegirangan. Terasa kapal semakin lambat dan akhirnya berhenti dilekukan sebuah batu besar.

Maka terdengar orang serba putih itu berkata "Kaki kalian masih mampu bergerak tidak?"

Dengan terdorong Coh Liu hiang masih mengawasinya, mulut tidak bicara.
Orang serba putih itu menjadi gusar, dampratnya "Apa kau ingin aku korek keluar biji matamu?"

Baru sekarang Coh Liu hiang tertawa, ujarnya "Supaya orang mengira nona adalah Ciok hujin, maka sejak tadi nona mengenakan kerudung, tapi sekarang kalau Cayhe sudah tahu bahwa nona bukan Ciok hujin, kenapa nona tidak lekas buka kerudung?"

Orang serba putih tiba-tiba terkial-kial, nada tawanya kedengaran begitu perih "apakah engkau ingin melihat wajahku?"

"Sudah lama kami dengar bahwa setiap murid Ciok hujin semuanya cantik-cantik laksana bidadari, jikalau nona sudi memperlihatkan wajahmu yang rupawan, meskipun mampus, terhitung setimpallah sepasang mataku ini."

Diam-diam Ki Ping yan sedang membatin "Agaknya dia sedang menggunakan ketampanannya hendak menipu orang, tapi bagaimanapun manis dan pandai tutur katamu, memangnya dia bakal melepaskan kau?"

Terdengar nona serba putih itu terkial-kial seperti orang kesurupan setan serunya "Cantik rupawan…. baik, biar kuberi kesempatan kepadamu melihat rupaku yang cantik rupawan ini!" pelan pelan jari-jari tangannya menanggalkan kerudung yang menutupi kepala dan raut wajahnya, senyuman Coh Liu hiang seketika membeku kaku.

Masakah itu raut muka manusia, boleh dibilang mirip wajah gembong iblis yang ganas. Takkan pernah terpikir oleh Coh Liu hiang gadis yang punya perawakan langsing padat menggiurkan ini, ternyata memiliki seraut wajah yang seram, bengis dan begitu menakutkan.

Tiba-tiba terlintas dalam ingatannya, akan wajah Jin hujin Chi Ling siok itu, bukankah muka orang mirip seperti ini jadinya, apakah lantaran jelus menghadapi kecantikan gadis ini, maka Ciok koan im lantas merusak wajahnya.

Didengarnya gadis itu berkata dengan tertawa menyeringai "Sekarang kau sudah melihat jelas? Memang matamu cukup beruntung maka selanjutnya kau harus selalu ingat Ki Buyong adalah perempuan yang paling jelek di seluruh jagat raya ini, tiada orang yang akan bisa menandingi keburukannya."

Tapi Coh Liu hiang malah tersenyum, ujarnya "Buruk atau cantik wajah seseorang tergantung penilaian manusia, kalau wajah nona tidak cantik molek masakah mukamu dibikin cacat sedemikian rupa, jikalau nona semula memang rupawan, apa pula halangannya bila mukamu memang sudah rusak…. karena meski orang lain bisa merusak wajah nona, namun keagungan dan keluwesan nona akan tetap abadi, siapapun takkan kuasa merusaknya."

Sesaat Ki Buyong termenung mendadak ia memaki pula dengan "Turun… turun di sini tiada tempat untuk kau banyak mulut."

Setelah menjura Coh Liu hiang segera beranjak turun. Setitik Merah mengikuti di belakangnya. Waktu tiba di hadapan Ki Buyong mendadak Setitik Merah menghentikan langkahnya, katanya "Kau tidak jelek kau amat cantik." meski dia hanya mengucapkan enam patah kata, tapi enam patah kata yang keluar dari mulut seperti dirinya, sungguh jauh lebih kuat dan punya pengaruh lebih besar dari sanjung puji orang lain.

Agaknya Ki Bu-yong sendiripun tidak menyangka, orang yang biasanya jarang mau mengeluarkan sepatah kata ini, hari ini mendadak melontarkan kata-kata seperti itu, sekilas tampak badannya bergetar, tanyanya tergagap "Kau… apa katamu?

Setitik Merah tak mau banyak kata lagi, dengan langkah lebar dia memburu ke belakang Coh Liu hiang yang sudah tiba di bawah. Dengan terlongong Ki Bu-yong mengawasinya, kerlingan mata nan dingin dan bekuk tak berperasaan itu, kini menampilkan gelombang perubahan yang tak pernah terjadi selama ini.

Diantara puncak-puncak batu itu, ternyata ada sebuah jalan kecil yang berliku-liku berputar kian kemari, amat rumit dan bisa menyesatkan. Yang menggusur Coh Liu hiang bertiga adalah seorang laki-laki besar, tanyanya kepada Ki Bu Yong sambil menjura "Apakah sekarang juga kita ikat mata mereka?"

Ki Bu yong kembali bersikap dingin dan keren, katanya dingin "Tak perlu banyak urusan lembah rahasia dengan jalanan setan seperti ini seumpama aku bawa mereka mondar mandir beberapa kali, merekapun takkan bisa membedakan arah, dalam kolong langit ini, siapa pun bila dia berada di sini, jangan harap dia bisa keluar sendiri dengan tetap hidup, beberapa patah kata-katanya yang terakhir sudah tentu dia tujukan kepada Coh Liu hiang.

"Masa benar?" ujar Coh Liu hiang tertawa. "Kalau kau ingin keluar dari sini, kecuali kau digotong keluar!" jengek Ki Bu-yong dingin.

Sebetulnya lapat-lapat Coh Li hiang sudah dapat merasakan dari keadaan puncak-puncak batu di sekelilingnya, disamping tumbuh secara alamiah, ditata dan dilengkapi pula dengan tenaga manusia, diantaranya jalanan yang liku-liku dan berputar ini, terasa mengandung sesuatu rahasia barisan yang serba rumit perubahannya, seakan-akan mirip Pat tin toh ciptaan Cukat Liang, disampingnya ditambal oleh penataan dari buah karya otak manusia, terutama mementingkan situasi alamiah yang serba berbahaya, sungguh suatu proyek besar karya gabungan tenaga manusia dan kekuatan alam.

Hembusan angin keras menggulung pasir kuning bergulung-gulung di celah-celah selat yang sempit itu, menambah suasana yang seram semakin menakutkan, dua puncak gunung jajar berdiri, langit dan bumi seolah olah menempel jadi satu.
Berjalan ditengah selat sempit itu, yang kelihatan hanya pasir kuning melulu, sampai langitpun tak kelihatan lagi.

Coh Liu hiang menghela napas, katanya "Tempat yang amat berbahaya, bahwasanya Ciok hujin tidak perlu memeras keringat mengerahkan tenaga besar-besaran untuk membuat bentuk barisan sesukar dan serumit ini."

"Apa tempat seperti ini sudah terhitung berbahaya? Tempat yang betul-betul berbahaya belum lagi kalian lihat dan alami sendiri lho!" goda Ki Bu yong.

"Di mana?" tanya Coh Liu hiang.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar