-------------------------------
----------------------------
Bab 18: Kawan atau Lawan ..?
Laksana kilat menyambar golok
Oh Thi hoa berayun membacok, boleh dikata dia sudah kerahkan setaker tenaganya
untuk melancarkan bacokannya ini, bukan saja cepat serangan inipun ganas,
mungkin jarang orang yang bisa terhindar dari bacokan yang hebat ini. Apa lagi
ditengah malam buta rata. Memangnya dia sengaja hendak membelah batok kepala
orang menjadi dua. Tapi mimpipun dia tidak menduga, memang selamanya dia tidak
akan mengira, bahwa orang yang dia serang ini adalah Coh Liu hiang.
***
Sebetulnya belum tentu Coh Liu
hiang bisa sampai ditempat itu. Untunglah pada detik-detik berbahaya itu mereka
tidak sampai kepergok oleh Ciok koan im, juga tidak sampai konangan murid-murid
Ciok koan im tapi cuma bersua dengan Ki Bu yong.
"….hanya mengandalkan
tenaga kalian bertiga begini saja, sudah lantas hendak lolos dari sini?"
kata-kata ini ternyata diucapkan oleh Ki Bu yong. Seluruh badannya serba putih
laksana salju. Tangannya yang kutung digendong dengan kain sutra berwarna putih
pula, demikian pula kepala sampai mukanya dikerudungi kain putih juga, sehingga
orang hanya bisa melihat potongan badannya yang semampai dan ramping, takkan
terbayang pula akan keburukan wajahnya yang menggiriskan itu.
Coh Liu hiang, Ki Ping yan dan
Setitik Merah bertiga sama membelalakkan mata mengawasinya siapapun tiada yang
berani bertingkah dan bicara lagi, siapapun tiada yang tahu apa yang hendak
orang lakukan. Asal dia berteriak memanggil saudara-saudaranya, mereka bertiga
takkan mungkin bisa lolos lagi. Di luar dugaan Ki Bu yong hanya berdiri diam
mengawasi mereka tanpa bersuara.
"Apa yang kukatakan, kau
sudah dengar?" mendadak Setitik Merah berkata.
"Huh! Ki Bu yong bersuara
dari hidung.
"Kau ikut pergi
tidak?" tanya Setitik Merah pula.
Ki Bu yong tertawa dingin,
ejeknya "Kau sudah tahu bahwa kalian tidak akan mampu lari sendiri, kau
ingin aku ikut menunjuk jalan?"
Sekian lama Setitik Merah
menatapnya lekat-lekat, mendadak dia terloroh-loroh dengan mendongak. Seorang
laki-laki yang selama bertahun-tahun yang tak pernah kelihatan senyum tawanya,
ternyata tiba-tiba bisa tertawa besar sebetulnya suatu kejadian yang amat
mengejutkan orang, cuma sayang loroh tawanya itu bukan saatnya yang tepat.
Jikalau gelak tawanya sampai mengejutkan Ciok koan im, maka tiga jiwa manusia
bakal menjadi imbalan loroh tawanya ini.
Ki Ping yan gusar, semprotnya
"Apa kau hendak menyatakan isi hatimu kepadanya dengan kematianmu? Tapi
kamu tidak perlu demikian, perduli apapun yang dia pikirkan demi kita, perduli
bagaimana pandangannya tentang kita aku tak perlu ambil dihati."
Segera Setitik Merah
menghentikan tawanya katanya tegas "Baik, kalian boleh pergi! Aku tinggal
di sini." menggunakan sisa tenaganya yang sudah lemah itu, ia meronta dan
mendorong ke depan sekuatnya, membebaskan diri dari lipatan kain pinggang itu
terus menggelundung jatuh dari punggung Ki Ping yan.
"Kau…. kenapa kau berbuat
demikian?" Coh Liu hiang kaget dan haru.
"Tanpa aku bebanmu lebih
ringan, harapanpun lebih besar." sahut Setitik Merah.
Coh Liu hiang membanting kaki,
katanya "Tapi mana mungkin aku meninggalkan kau di sini demikian
saja?"
Selama hidup belum pernah aku
anggap jiwa itu berharga, sembarang waktu aku sudah siap untuk mati, ujar
Setitik Merah tawar. Sampai di sini dia tidak banyak berkata lagi, tapi
sikapnya itu tegas dan tandas, seolah-olah dia mau berkata kepada Ki Bu yong
"Sekali kali tidak bakal karena ingin hidup lantas aku menipu kau, jikalau
kau berpikiran secepat ini bukan saja terlalu memandang rendah aku, juga
memandang rendah dirimu sendiri."
Kain kerudung dibagian depan
mata dan hidung Ki Bu yong kelihatannya basah. Gadis berhati kaku dan dingin
seperti dia, memangnya juga bisa menangis dan mengalirkan air mata tiba-tiba
dia merogoh keluar sebuah botol kecil terus dilempar ke arah Coh Liu hiang
katanya serak sambil berpaling muka "Inilah obat pemunahnya, lekas kalian
pergi."
Coh Liu hiang malah menghela
napas, ujarnya "Baru sekarang nona suruh kami berlalu, sudah
terlambat."
"Kenapa terlambat?"
tanya Ki Bu yong tak mengerti.
Watak Ang heng aku cukup
menyelaminya, kalau dia sudah mengatakan tinggal di sini, jelas takkan mau
pergi, kalau dia tidak mau pergi, masakah kami berdua harus pergi begitu
saja?"
"Dia… apa lagi yang dia
inginkan?"
Coh Liu hiang mengelus hidung,
katanya "Dia sudah menyatakan hatinya, kalau nona sudi mempercayai dia,
marilah kau ikut kami, jikalau dia sudah tahu bila nona sedikitpun tidak
menaruh curiga pula kepada kami, tentu diapun mau pergi.!"
"Aku…. aku tak bisa
pergi." bukan saja suaranya gemetar, badannyapun bergidik merinding.
"Apa pula yang patut nona
kenang dan berarti di sini?" tanya Coh Liu hiang.
Ki Bu yong tidak menjawab,
agaknya dia sudah tak mampu bicara lagi.
Pada saat itulah mendadak
terdengar seorang membentak "Kalian berempat, satupun jangan harap bisa
lolos!"
Seorang gadis berpakaian serba
ungu entah kapan ternyata sudah berdiri serambi sana sedang mengawasi mereka
dengan mata melotot. Betapapun tabah ketenangan Coh Liu hiang dan Ki Ping yan,
tak urung berubah air mata mereka.
"Sumoay, kau…." Ki
Bu yong pun berteriak kaget.
"Siapa sudi menjadi
Sumoaymu", tukas gadis itu, "kau budak tak tahu malu ini, biasanya
kau pura-pura jadi gadis suci, siapa tahu begitu melihat laki-laki lantas
sinting dan lupa diri, memangnya kau lupa bagaimana sikap guru kita
kepadamu?"
Ki Bu yong malah tenang dan
sabar, katanya tawar "Tapi kaupun jangan lupa, Suhu sekarang tak di
sini."
Gadis baju ungu itu semakin
naik pitam semprotnya "Memangnya kenapa kalau Suhu tidak ada, kau kira
dengan kekuatan kita puluhan bersaudara tidak mampu membereskan kalian
berempat?" dimana tangannya menekan sebuah tombol dinding, maka
terdengarlah suara bel yang berbunyi nyaring.
Coh Liu hiang tahu begitu
suara bel berbunyi, semua anak murid Ciok koan im, akan segera meluruh datang
seluruhnya, kepandaian silat gadis-gadis itu semuanya tidak lemah, apalagi
terang sekali mereka masing-masing mendapat ajaran ilmu tunggal Ciok koan im
yang berlainan satu dengan yang lain, jadi pembawaan ajaran mereka berlainan
dan berbeda, dengan hanya kekuatan mereka berempat, sekaligus harus menghadapi
setiap banyak musuh, sungguh dia rada sangsi bisa menang. Apalagi Ki Ping yan
dan Setitik Merah tak mampu mengerahkan tenaga, jangan kata berkelahi
mengerahkan senjatapun tak mampu.
Baru sekarang Ki Ping yan
sadar untuk menelan obat pemunah itu, tanyanya berbisik "Berapa lama
khasiat obat ini baru bekerja?"
"Paling lama satu jam,
kalau cepat setengah jam sudah menunjukkan hasilnya." demikian sahut Ki Bu
yong.
Ki Ping yan menghela napas dan
geleng-geleng kepala, sebentar lagi bala bantuan musuh bakal berdatangan,
umpama tenaganya bisa pulih dalam setengah jam, juga takkan berarti lagi.
Diapun berikan sisa sebutir obat itu kepada Setitik Merah. Setitik Merah tidak
menolak, cuma harus disayangkan meski kedua tokoh silat lihay setingkat mereka
pada jaman ini, meski sudah menelan obat pemunah, paling-paling hanya menunggu
waktu pasrah nasib digorok lehernya oleh orang lain.
Suara bel terus berbunyi Gadis
baju ungu segera membentak beringas "Kalau sekarang kalian terima menyerah
dan mau diborgol, mungkin jiwa kalian dapat diampuni, kalau tidak…"
Ki Ping yan mencibir bibir dan
mengancam "Sepatah kata lagi kau bicara, kubunuh kau lebih dulu."
Membesi hijau muka gadis baju
ungu ini, tapi dia benar-benar tak berani banyak bertingkah kali ini.
Mendadak Ki Ping yan berkata
"Coh Liu hiang hari ini kau tetap tak mau membunuh orang?"
Coh Liu hiang geleng-geleng
kepala, sahutnya tersenyum "Kalau aku mau bunuh orang sejak lama sudah
kulakukan, kenapa harus diperpanjang sampai hari ini."
"Tapi jikalau hari ini
kau tidak membunuh orang, jiwamu sendiri yang akan dibunuh orang."
"Umpama benar hari ini
aku harus membunuh orang, akhirnya akupun bakal terbunuh juga disini."
Bahwa Coh Liu hiang sudah mengeluarkan kata-kata yang menandakan dia patah
semangat, maka dapatlah dibayangkan betapa genting situasi didepan mata ini Ki
Ping yan cukup tahu, bahwasanya satu persen harapan untuk menang mereka tidak
akan bisa memperolehnya.
Mendadak Setitik Merah berkata
"Akulah yang membuat kau celaka!" kata-katanya memang dia tujukan
kepada orang tertentu, tapi siapapun yang mendengar sama tahu kepada siapa dia
bicara.
Sesaat lamanya, akhirnya Ki
Ping yan berkata "Tak enggan-enggannya kau berani mengorbankan jiwamu,
memangnya aku tidak berkorban?"
"Baik sekali." ujar
Setitik Merah keduanya tidak banyak bicara lagi sampaipun saling pandangpun
mereka tidak pernah, tapi dengan cara demikianlah seolah-olah mereka sedang
pasrahkan jiwa sendiri kepada temannya.
Betapa banyak Coh Liu hiang
pernah melihat dan menghadapi persahabatan laki-laki dan perempuan, atau
hubungan asmara muda-mudi yang beraneka ragamnya, tapi belum pernah terpikir
dalam benaknya, bahwa dalam jagat ini ada juga dua orang seperti mereka ini.
Ikatan persahabatan yang aneh
seperti ini maka terjalin dalam suasana yang dingin dan tegang ini, tapi
didalam situasi yang diliputi bahaya dan jiwa bakal melayang sewaktu-waktu,
kelihatannya cukup menusuk hati dan besar sekali reaksinya, jauh lebih mengetuk
sanubari orang lain.
Mendadak dua gadis
berlari-lari mendatangi dari ujung serambi panjang sana. Ternyata keduanya
sama-sama telanjang bulat, malah badan mereka masih basah oleh butiran-butiran
air, terang keduanya adalah gadis-gadis yang sedang mandi tadi. Terang tadi mereka
sudah tertutuk Hiat tonya oleh Coh Liu hiang, kenapa sekarang bisa lari secepat
itu laksana mengejar angin.
Sudah tentu gadis baju ungu
itu kaget dan keheranan pula, ia bertanya "Meski panggilan bel peringatan
amat genting, tapi kalian toh harus berpakaian dulu!"
Belum habis kata-katanya kedua
gadis telanjang ini sudah lari ke depan Coh Liu hiang, menghadapi badan gadis
remaja yang padat dan montok semampai ini tiga laki-laki jadi kebingungan
sendiri dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tak nyana begitu tiba
dari dekat kedua gadis ini tanpa bersuara lantas tersungkur roboh, seolah-olah
ada sebuah tangan besar yang tak kelihatan, mendadak memapak mereka dengan
sekali pukulan yang mematikan.
Sudah tentu perubahan ini
bukan saja membuat gadis ungu kaget dan berubah roman mukanya, Coh Liu hiang
bertigapun melongo, kelihatannya dari kaki sampai kepala keadaan mereka tetap
utuh tak kurang satu apapun.
Segera Ki Bu yong melangkah
maju membalik badan mereka, bagian depan merekapun tetap utuh tak kelihatan
luka-luka atau ada noda darah, cuma kulit muka mereka sama-sama berubah hitam
semu ungu, sejalur dara segar mengalir keluar dari ujung mulut mereka.
Waktu leher mereka diperiksa,
sampai bekas-bekas jalur merah yang melingkari leher mereka. Tiba-tiba Ki Bu
yong bergidik sambil menyurut mundur, teriaknya tertahan "Apa mungkin
mereka mati tercekik lehernya?"
"Agaknya memang begitulah
kejadiannya." ujar Coh Liu hiang menghela napas.
"Kalau sudah dicekik
mati, bagaimana masih bisa lari kemari?: tanya Ki Ping yan.
"Cara cekikan dan tenaga
yang digunakan orang itu secara pas-pasan saja, mungkin memang sudah
diperhitungkan, sengaja membuatnya berlari sampai di sini baru putus napasnya,
demikian Coh Liu hiang menerangkan, seperti tiba-tiba ingat apa-apa sembari
bicara segera ia berjongkok, dibukanya jari-jari seorang gadis itu tergenggam
kencang dari sela-sela jari itu ditariknya secarik kertas warna hijau pupus.
"Siapa yang mencekik mati
mereka?" tanya Ki Bu yong, "Kenapa mereka dibiarkan lari
kemari?"
Mata Coh Liu hiang menatap
tulisan didalam kertas itu kulit daging muka seperti berkerut kejang, sesaat
kemudian, baru dia menghela napas panjang, katanya "Itulah karena orang
itu ingin mengantar mayat mereka kepadaku."
"Mengantar mayat
kepadamu?" teriak Ki Bu yong. "Kau…kau…"
Dengan tertawa getir Coh Liu
hiang angsurkan kertas hijau itu kepadanya. Tampak kertas itu tertulis:
Disampaikan kepada Maling
Romantis.
Persembahan hormat Burung
Kenari.
Walau tidak melihat apa yang
tertulis didalam kertas itu, tapi gadis baju ungu sudah merinding dan berdiri
bulu kuduknya saking seram dan ketakutan, badannya basah oleh keringat dingin,
mendadak dia putar tubuh dan berlari lintang-pukang seperti dikejar setan,
mulutpun berkaok-kaok kalap "Tolong!.. Tolong..!" tiba-tiba
jeritannya terhenti begitu saja, disusul badannya tergertak keras berhenti
sebentar lalu terhuyung mundur dan mundur terus.
Kembali Coh Liu hiang dan
lain-lain menjadi tegang dan berkeringat, tampak kaki orang selangkah demi
selangkah sempoyongan mundur dengan teratur, terus mundur sampai di hadapan Coh
Liu hiang lagi, sejak permulaan tidak pernah berpaling muka.
Terasa dingin telapak tangan
Ki Bu yong tak tahan dia menjerit dengan suara sember "Kau…" baru
sepatah kata tiba-tiba dilihatnya gadis baju ungu roboh terlentang. Tampak
selebar mukanya berlepotan darah, dan tepat ditengah mata di atas hidungnya,
menancap sebatang pedang kecil yang diukir dari batu pualam hijau pula, di atas
batang pedang mini inipun melekat secarik kertas Dimana tertulis juga
kata-kata:
Dipersembahkan kepada Maling
Romantis Persembahan hormat Burung Kenari
Semua beradu pandang, tiada
seorangpun yang buka suara. Pualam sedemikian tipis adalah gelas dan gampang
putus, sebaliknya tulang hidung cukup keras, tapi si Burung Kenari ternyata
mampu menyerang orang dengan pedang pualam ini tepat mengenai tulang hidungnya
sampai menemui ajalnya, betapa mengejutkan kekuatan timpukan ini.
Coh Liu hiang segera berseru
lantang "Berulang kali saudara memberi hadiah, kenapa tidak sudi muncul?"
mulut berkata seenteng kecapung badannya tiba-tiba sudah melayang ke depan
sana.
Ki Bu yong dan lain-lainnya di
belakangnya, waktu mereka memutar ke serambi panjang lainnya, berdiri di sana
tanpa bergerak, seperti orang pikun yang kaget dan ketakutan.
Dimulai dari ujung kakinya
setiap dua langkah menggeletak sesosok mayat seorang gadis, serambi panjang
yang puluhan tombak ini ternyata berderet mayat-mayat ini yang bergelimpangan.
Puluhan mayat itu berderet seperti ditata rapi, seolah hendak berpameran,
betapa seram dan menakutkan pemandangan yang mengerikan ini, siapapun yang
melihatnya pasti berdiri bulu kuduk dan merinding.
Bagaimana juga Ki Bu yong
adalah kaum hawa, mayat-mayat gadis yang meninggal inipun semula adalah
teman-temannya, terasa olehnya kedua kaki menjadi lemas lunglai, tahu-tahu dia
meloso jatuh dan pingsan.
Tak tahan lagi hampir saja Ki
Ping yan pun hendak muntah-muntah, meskipun wataknya keras berdarah dingin,
tapi selama hidupnya tak pernah dilihatnya mayat-mayat orang demikian banyak.
Sampaipun Setitik Merah yang selamanya tidak pernah memberi ampun jiwa
musuh-musuhnya yang diincarnya, tak terasa diapun berdiri menjablek.
Entah berapa lama kemudian
pelan-pelan baru Coh Liu hiang sadar dari lamunannya, katanya menarik napas
panjang "Telengas benar burung kenari itu."
Ki Ping yan pun menggumam
sendiri "Dia tahu kau tak mau membunuh orang, maka dia wakili kau
membereskan mereka cuma… yang dia bunuh terlalu banyak."
Jelas cara kematian
gadis-gadis itu satu sama lain berbeda-beda, ada yang lehernya terdapat
bekas-bekas jalur merah, terang tercekik mati, ada yang badannya hancur
terbacok oleh golok, ada pula yang batok kepalanya lemas lunglai, menjurus ke
arah yang tak mungkin terjadi bagi seorang hidup ternyata tulang lehernya remuk
dipeluntir, ada pula yang menyemburkan darah dari mulutnya, terang dipukul dari
serangan berat, ada pula yang dipotong lidahnya, ada pula yang dikorek biji
matanya.
Agaknya membunuh orang
menjadikan suatu kenikmatan baik si Burung kenari sebagai karya seni yang
menyenangkan, ternyata sekaligus dia gunakan berbagai cara yang berbeda-beda
untuk membunuh para gadis-gadis ini. Pada setiap mayat gadis-gadis ini semua
diberikan secarik kertas yang bunyinya satu sama lain tak beda.
Dihaturkan Kepada Maling Romantis,
Persembahan hormat, Burung kenari.
"Burung kenari, burung
kenari…." Ki Ping yan menggumam lagi, "Siapa nyana iblis laknat
pembunuh manusia yang kejam ini menggunakan nama yang begitu molek."
Coh Liu hiang menghela napas,
ujarnya "Coba kau perhatikan setiap muka mereka."
Ki Ping yan gelengkan kepala,
sahutnya, "Aku tidak suka mengawasi perempuan, yang hidup saja tidak suka,
apa lagi yang sudah mati."
"Tapi kalau ini kau lihat
dengan seksama maka akan kau temukan walau cara kematian mereka berbeda, tapi
ada pula titik persamaannya diantara korban-korban ini."
Tak tertahankan Ki Ping yan
benar melirikkan matanya, seketika berubah air mukanya teriaknya
"Benar-benar mayat gadis ini semuanya sudah tidak punya bulu alis."
"Sebetulnya mereka punya
alis, cuma kini sudah dicukur pelintas seluruhnya.
Begidik seram Ki Ping yan yang
dibuatnya katanya "Masakah sebelum dia membunuh korban-korban ini, satu
persatu dia cukuri dulu alis mereka?"
"Mungkin disinilah
pertanda khas bagi si burung kenari setiap kali dia membunuh orang agaknya
bukan saja membunuh orang sebagai hobynya, sekaligus diapun ingin banyak orang
tahu, bahwa korban-korban ini adalah karyanya."
"Tapi kali ini dia bunuh
gadis-gadis ini lantaran kau, jelek-jelek sudah memberi bantuan kepadamu, benar
tidak?"
"Em..!" Coh Liu
hiang mengerut alis.
"Kenapa dia mau membantu
kesulitanmu? Kau kenal dia?"
"Tidak kenal!"
"Tentunya tak mungkin dia
kemari membunuh orang tanpa sebab, setelah membunuh orang lantas tinggal
pergi?"
"Sudah tentu dalam
kejadian tentu ada sebab-sebabnya."
"Sebab apa?"
"Sampai detik ini, boleh
dikata aku sendiri belum bisa meraba tujuannya tapi aku percaya peduli
tujuannya baik atau tidak, tak mungkin dia pergi begitu saja dengan
korban-korbannya ini."
"Kau kira... tak lama lagi
dia bakal muncul?"
"Bukan mustahil setiap
detik setiap saat dia sedang menunggu kedatanganku, cuma kita tidak melihatnya
saja."
"Merinding bulu kuduk Ki
Ping-yan, tak tahan dia menghela napas untuk menghilangkan rasa seram hatinya,
ujarnya "Manusia seperti itu aku malah mengharap semoga jangan sampai
melihatnya," mendadak dia tertawa geli sendiri. "Tapi bagaimana juga
sekarang seluruh murid-murid Ciok koan-im sudah ajal, kita boleh keluar dengan
berlenggang." selamanya diapun tidak pernah membayangkan, bahaya besar
dari tebasan golok yang mematikan sedang menunggu di luar.
Penunjuk jalannya adalah Ki
Bu-yong. Bukan lantaran dia kuatir Coh Liu-hiang bertiga bakal tersesat didalam
lembah membingungkan ini, dia cuma ingin selekasnya meninggalkan tempat yang
diliputi baunya darah. Dengan pandangan mendelong hampa dia beranjak
pelan-pelan sekujur badannya seolah-olah sudah membeku, maklumlah seluruh
kawan-kawannya sudah ajal seluruhnya cuma dia seorang saja yang masih
ketinggalan hidup.
Mungkin karena bukan kematian
teman-temannya itu dia bersedih, sebaliknya merasa menyesal dan terketuk
sanubarinya karena jiwanya sendiri masih hidup, seolah-olah dia dibayangi
perasaan, seharusnya dirinya pun sudah mampus ditempat ini. Yang mengintil di
belakangnya adalah Setitik Merah, Ki Ping-yan, Coh Liu-hiang berjalan paling
belakang, bahwa mereka bisa keluar sampai di sini, sungguh patut dibuat girang.
Tapi entah kenapa, perhatian hati mereka tetap tertekan, amat prihatin.
Pada saat itulah, tiba-tiba
tampak sinar golok berkelebat langsung membacok ke batok kepala Ki Bu-yong.
Sedikitpun Ki Bu-yong seperti tidak menyadari ancaman maut ini, bukan saja
tidak berkelit, langkahnya tetap beranjak ke depan. Saking kagetnya tanpa
berpikir panjang Setitik Merah segera menubruk maju sekali raih ia menariknya
sekuat tenaganya.
Betapa cepat dan gerakan
refleks dari reaksi Setitik Merah, jelas sudah dapat menjagoi di seluruh
Tionggoan, tapi betapa cepatnya pula bacokan golok itu sungguh tak bisa
digambarkan dengan kata-kata apapun. Akhirnya Setitik Merah terlambat
bertindak. Terpaksa ia tarik Ki Bu-yong jatuh ke tanah, dirinya, terus menubruk
ke atas badannya, dengan badan sendiri melindungi badan Ki Bu-yong secara
refleks pula sebelah tangannya memapak ke arah datangnya bacokan golok.
Maka terdengar
"Cras!", darah seperti anak panah muncrat kemana-mana. Kontan lengan
kiri terbacok putus.
Saking kejutnya Ki Ping-yan
dan Coh Liu-hiang serempak menerjang maju. Tampak tajam golok laksana kilat
berkilauan menyambar, kembali menyerang kearah mereka. Hebat sekali gerakan Coh
Liu-hiang, sedikit melegot dan berkelebat, tahu-tahu dia sudah menyusup ke
dalam lingkaran sinar golok lawan, sekali sanggah dan puntir lengan orang dia
berusaha merebut golok musuh. Betapa cepat dan hebat jurus rangsakannya,
sungguh amat lincah, tepat, sungguh sudah mencapai puncak kesempurnaan latihan
ilmu silatnya.
Ki Ping-yan menegakkan telapak
tangan bagai golok, tahu-tahu sudah mengancam tenggorokan orang terus dibabat.
Dengan kerja sama Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan, rapatnya tiada setitik lobang
sejurus serempak dari dua tokoh silat hebat ini, mungkin tiada seorang tokoh
betapa lihaynya dalam kolong langit ini yang mampu menghindari diri.
Sekali bacokannya berhasil
melukai orang, baru saja dia lontarkan serangan susulannya, mendadak terasa
sampukan angin menerjang dari sebelah muka, tahu-tahu seseorang menyelinap ke
dalam pelukan dadanya, betapa hebat dan berbahayanya serangan orang ini,
betul-betul jarang dia temukan selama hidup.
Di kolong langit ini, siapa
pula yang mampu menundukkan Oh Thi-hoa dalam satu gebrakan saja?
Berkelebat pikiran Oh Thi-hoa,
teriaknya tertahan "Ulat busuk!"
Teriakan "Ulat
busuk"-nya ini, sudah tentu bikin Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan amat
kaget, "kelontang" golok ditangan Coh Liu-hiang jatuh di atas tanah.
Tebasan tapak tangan Ki Ping-yan juga segera ditariknya balik mentah-mentah,
bergetar suaranya "Sian oh, kaukah?"
"Siapa lagi kecuali aku
si pembawa sebal ini." sahut Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan
banting-banting kaki, berbareng mereka lepas tangan Oh Thi-hoa segera berdiri
dengan menghela napas lega "Jago Mampus, Ulat busuk, hebat benar kalian,
tapi jika aku tidak kehabisan tenaga sampai hampir mati, kalianpun jangan harap
bisa berhasil begini cepat."
Coh Liu-hiang sama Ki Ping-yan
merasa tertekan perasaannya, mereka tetap bungkam.
"Kalian tak sampai
membunuh aku, seharusnya berterima kasih kepada Thian-te atau langit dan bumi,
kenapa malah...." mendadak diapun merasakan suasana yang prihatin, baru
sekarang pula ia teringat akan tebasan goloknya tadi, maka seri tawanya menjadi
kaku dan meringis, batuk-batuk dua kali dengan tergagap dia bertanya
"Barusan.... barusan..... barusan.... mulutnya menerocos
"barusan" seperti tambur yang dipukul bertalu-talu.
"Barusan kau benar-benar
sudah membuat celaka." sahut Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa memencet hidungnya,
tanyanya lirih "Siapa yang terluka?"
Belum Oh Thi-hoa menjawab,
percikan api berkelebat, Liu Yan-hwi sudah menyalakan obor, tanpa dijelaskan
oleh Coh Liu-hiang Oh Thi-hoapun sudah melihat siapakah yang terluka.
Tampak dibawah genangan darah
yang beketes-ketes seorang gadis serba putih duduk ditangah dengan pandangan
mendelong seperti patung tak bergerak, badannya belepotan darah tapi yang
terluka bukan dia.
Seorang laki-laki berpakaian
serba hitam yang bertubuh jangkung, berkulit legam, sekeras baja dan sedingin
es, pelan-pelan sedang merangkak bangun dari genangan darah, luka-luka pada
lengan kirinya masih mengucurkan darah, tapi kulit mukanya yang pucat dingin tidak
menunjukkan perasaan hatinya, badannya tetap tegak selempang tombak, agaknya
umpama kedua kakinya yang terbacok putus, diapun takkan roboh.
Mengawasi orang ini, tak tahu
Oh Thi-hoa apa yang harus dia katakan? Setitik Merahpun balas mengawasi dia,
mendadak tersenyum dan memuji "Hmm golok bagus!"
Jikalau dia mengomel dan
mencaci kaki, betapapun kotor dan kasar caci makinya, Oh Thi-hoa akan merasa
lega hatinya, tapi pujian ini seketika membuat selebar muka Oh Thi-hoa merah
padam.
Berkata Setitik Merah pelan-pelan
"Kau tak perlu sedih, kejadian ini tak bisa salahkan kau, kalau aku adalah
kau, sama juga akan membacok kutung lenganmu."
Karena dia tak salahkan Oh
Thi-hoa, Oh Thi-hoa semakin merasa sedih dan mendelu, sudah tentu kesalahan
bukan terletak pada Oh Thi-hoa, tapi sekarang Oh Thi-hoa justru merasa bahwa
dirinya teramat berdosa.
Tiba-tiba Ki Ping-yan
mendekati serta menepuk pundaknya, katanya "Tahukan kau siapa dia?"
"Aku hanya tau dia
seorang laki-laki sejati, orang gagah, seorang ksatria yang jarang ditemukan
dalam jagat ini." sahut Oh Thi-hoa menghela napas.
"Dia inilah Setitik
Merah", Ki Ping-yan memperkenalkan.
"Setitik Merah dari
Tionggoan?" OH Thi-hoa menegas dengan kesima.
"Ya!"
Seketika Oh Thi-hoa membanting
kaki, serunya "Aku patut mati! patut mati!" melihat kutungan tangan
yang menggeletak di atas pasir, serasa ingin menangis tergerung-gerung dia,
karena tangan yang kutung ini bukan tangan sembarangan, pedang tercepat nomor
satu di seluruh Tionggoan, dan tangan inilah yang menegakkan ketenaran itu.
Berapa banyak pula tangan-tangan seperti ada di dunia ini? Namun tangan ini
sekarang sudah tertebas kutung olehnya, apa pula yang dapat menggantinya?
Dengan apa pula ia dapat menebus kesalahannya ini?
Mendadak Oh Thi-hoa jemput
golok di atas pasir itu, sekali ayun dia terus membacok ke lengannya sendiri.
Untung Ki Ping-yan cukup sebat
menarik lengannya, katanya "Tak perlu kau berbuat demikian."
"Lepas tanganmu, kau tak
perlu ikut campur." bentak Oh Thi-hoa sember.
"Tahukah kau bukankah kau
berhutang sebuah lengan kepadanya, akupun berhutang sebelah kaki juga, tapi
tidak perlu tergesa-gesa menebus hutang kita itu sekarang juga, kelak bila dia
memerlukan baru kita bayar hutang ini, bukan kita lebih baik?"
Coh Liu-hiang manggut-manggut,
ujarnya "Piutang ini, semoga kalian bisa menebusnya dengan segera."
Setitik Merah tiba-tiba
menyeletuk "Ini bukan hutang, kalianpun tak perlu bayar." lalu
dijemputnya tangan kutungnya itu, sesaat lamanya dia awasi, mendadak tertawa,
katanya "Yang terang tangan ini sudah berlalu banyak membunuh jiwa
manusia, biarlah dia istirahat" habis berkata demikian badannya pun
tiba-tiba tersungkur jatuh.
Pipop kongcu kembali berkumpul
dengan Coh Liu-hiang, sementara Ki Ping-yan bersua pula dengan Ciok tho, sudah
tentu pertemuan yang cukup menggembirakan, sudah tentu mereka saling
menceritakan pengalaman selama ini sejak berpisah.
Waktu itu mereka sudah
meninggalkan lembah sesat yang membingungkan itu, Ki Bu-yong duduk disamping
Setitik Merah yang masih pingsan kehabisan tenaga dan terlalu banyak
mengeluarkan darah, dengan mendelong dia awasi terus muka orang, seperti baru
pertama kali ini dia pernah melihatnya.
Sudah lama Oh Thi-hoa tidak
membuka mulut, baru sekarang tak tertahankan dia menyeletuk lebih dulu
"Burung kenari, siapakah dia sebetulnya? Sungguh kejam dan culas."
Berkata Pipop kongcu "Dia
suka membunuh orang, kenapa tidak sekalian dia bunuh Ciok koan-im pula?"
"Mungkin kebetulan dia
tidak bertemu dengan Ciok koan-im." timbrung Ki Ping-yan. "Atau
mungkin sengaja dia tinggalkan Ciok koan-im supaya dibunuh oleh Coh
Liu-hiang."
"Bagaimana pula Ciok
koan-im bisa kebetulan tak ada di sarangnya?" tanya Pipop kongcu.
Ki Ping-yan melirik kepada Ki
Bu-yong katanya "Menurut apa yang dikatakan nona Ki ini, bahwasanya Ciok
koan-im memang jarang berada di sini, terutama belakangan ini, kehadirannya di
sini lebih jarang dari tidak kehadirannya."
Berkerut alis Pipop kongcu,
tanyanya "Lalu biasanya ia sering berada dimana?"
Sudah tentu tiada orang yang
bisa menjawab pertanyaan ini.
"Kenapa kau tidak
bicara?" tanya Pipop Kongcu pula. Kali ini kata-katanya ditujukan kepada
Coh Liu-hiang, baru sekarang semua orang melihat, Coh Liu-hiang sedang duduk
bersimpuh dengan memejamkan mata, seperti paderi tua yang sedang semedi, entah apa
pula yang sedang dia pikirkan? Maka terdengar mulutnya komat-kamit, seperti
paderi yang sedang membaca mantra "Hoa san chit kiam.... Ui san si keh...
Hongbu Ko.... Ciok koan-im." Semua orang heran dan tak mengerti apa yang
sedang dikatakan? tapi tampak rona wajahnya lambat laun memancarkan cahaya
terang.
Tak tahan Pipop kongcu
mendorongnya pelan-pelan, katanya "Kau tau dimana Ciok koan-im?"
Akhirnya Coh Liu-hiang membuka
mata, sinar terang mencorong dari biji matanya, katanya tertawa. "Ciok
koan-im? siapa itu Ciok koan-im?"
Pipop kongcu tertegun, katanya
tertawa geli "Apa sih yang kau pikirkan, sampai kau jadi linglung begini,
sampai nama Ciok koan-im pun kau lupakan?"
"Ada Ciok koan-im berarti
tiada Ciok koan-im, tiada Ciok koan-im berarti ada Ciok koan-im pula....,
selamanya belum pernah kuingat cara bagaimana aku harus melupakannya?"
Kaget dan geli Pipop kongcu,
tanyanya pula "Apa-apaan ucapanmu ini? Aku tidak paham."
"Memangnya kau tidak akan
tahu, inilah rahasia alam!."
"Beritahukan padaku
"
Coh Liu-hiang geleng-geleng
kepala ujarnya "Rahasia Thian tak boleh dibocorkan, tidak bisa kukatakan,
tak bisa kukatakan!"
"Apa kau ini sedang
mengigau? Mendadak ingin jadi Hwesio."
"Memangnya mendadak aku
teringat pada seorang Hwesio."
"Siapa?" tanya Pipop
Kongcu.
Coh Liu-hiang mandah tersenyum
tanpa menjawab.
Pipop Kongcu lantas melirik
kepada Oh Thi-hoa, katanya tertawa "Omonganmu memang tidak salah, ada
kalanya orang ini memang amat menyebalkan."
"Dimana sekarang Ki loh
ci sing berada?" mendadak Coh Liu-hiang
menyeletuk.
"Sebenarnya sudah
kuberikan kepadanya, tapi dia kembalikan kepadaku lagi!" kata Oh Thi-hoa.
"Jikalau kau benar-benar
sudah tahu rahasia Ki Loh ci sing ini, apa pula yang hendak kau lakukan?"
tanya Coh Liu-hiang.
"Kalau aku sudah berjanji
kepada permaisuri sudah tentu aku akan memberikan kepadanya."
"Baik sekali, mari
sekarang juga kita mencarinya," ujar Coh Liu-hiang.
"Tapi... tapi bagaimana
dengan Ciok koan-im?"
"Kita tidak perlu
mencarinya lagi" ujar Coh Liu-hiang tersenyum.
Saking marah serasa hampir
meledak perut Pipop kongcu, namun tak tahan dia tertawa geli katanya menggigit
bibir "Kau ini sebenarnya sedang bertingkah apa?"
"Kau ikut saja, nanti kau
akan paham!"
Liu Yang hwi batuk-batuk
kering, lalu berkata "Kami bersaudara sudah puluhan tahun tak penah
kembali ke Hoa san, sekarang kalau Coh heng hendak menyelesaikan urusan lain,
kami berdua ingin.... ingin minta diri saja."
Sikap Coh Liu-hiang mendadak
berubah serius katanya "Sekarang kalian masih belum boleh pergi."
"Apakah Coh heng ada
petunjuk apa?" tanya Liu Yan-hwi.
Lama juga Coh Liu-hiang
menepekur tiba-tiba tertawa lalu berkata "Kalian ikut saja nanti kalianpun
akan paham."
Liu Yan-hwi ragu-ragu
sebentar, katanya "Cayhepun hanya mohon sesuatu hal kepada Coh heng."
"Liu heng ada permintaan
apa?"
"Cayhe sendiri sih tidak
menjadi soal, tapi ada beberapa urusan yang mana Hong bu Toako sekali-kali
tidak mau mengatakan, sampai disinggungpun tidak boleh....."
"Tapi bila aku menyakan
hal-hal itu kalian tidak bisa untuk membeberkannya bukan?"
"Ya, begitulah oleh
karena itu Cayhe hanya minta Coh heng."
"Kau minta supaya jangan
menanyakan hal-hal itu bukan?"
Liu Yan-hwi tertunduk diam
sebentar, sahutnya "Jikalau Coh heng suka menerima permintaan ini Cayhe
berdua sungguh amat berterima kasih."
"Adakah aku pernah
menanyakan apa-apa?"
"Apapun belum sempat
ditanyakan."
"Kalau sekarang tidak
kutanyakan, kelak masakah aku bakal bertanya?"
Liu Yan-hwi termenung sahutnya
kemudian "Benar kalau sekarang Coh heng tidak bertanya, kelak tentunya
juga takkan bertanya."
"Baiklah kalau kau sudah
paham!"
"Tapi persoalan
ini," tiba-tiba Liu Yan-hwi berkata pula "Coh heng seharusnya
bertanya kenapa pula kau tidak mau bertanya?"
"Karena apa yang perlu
kutanyakan sudah kuketahui."
Pipop tak tahan lagi, segera
ia menyeletuk "Apa yang harus kau tanyakan? Apa pula yang sudah kau
ketahui? Minta ampun sukalah kau tidak berteka-teki?"
Belum Coh Liu-hiang menjawab,
tiba-tiba terdengar suara kelentingan unta dari kejauhan. Suara kelentingan
yang terputus-putus di bawa angin ke pekarangannya begitu dingin menawankan
hati, begitu lengang. Tapi dalam pendengaran Coh Liu-hiang dan lain, justeru
terasa begitu merdu mengasyikkan sekali dari pada suara musik apapun yang
pernah mereka dengar dalam dunia ini.
Seketika berkobar semangat Oh
Thi-hoa, Liu Yan-hwi dan lain-lain, sampaipun Pipop kongcu jadi lupa mengajukan
pertanyaannya lagi yang belum terjawab.
Dengan memejamkan mata dia
tengah tumplek perhatian untuk mendengarkan suara kelentingan itu, ujung
mulutnya mengulum senyum maniak, matanya bergairah "Tahukah kau suara apa
itu?"
Oh Thi-hoa tetawa ujarnya
"Dalam padang pasir ini, seumpama aku ini seorang desa yang belum pernah
melihat kota, tapi suara seperti itu sekali dengar aku lantas tahu..... itulah
kelentingan, benar tidak?"
Pipop kongcu malah geleng
kepalanya, ujarnya "Itu bukan suara kelentingan unta."
"Bukan kelentingan unta?
Lalu suara apa?" tanya Oh Thi-hoa tertegun.
"Dalam pendengaran
kupingku suara itu hampir mirip dengan tetesan air yang dituang ke dalam
cangkir suara daging yang dipanggang di atas api unggun....."
Apa yang diuraikan Pipop
kongcu memang tak salah, di padang pasir, suara yang sumbang ini, ada kalanya
justru melambangkan air jernih, makanan lezat dan kehangatan, karena
penggembala padang pasir, kebanyakan bersifat royal, suka menerima tamu dan
terbuka tangan, meskipun kemah mereka buciok atau sederhana, tapi di sana
diliputi kehangatan yang simpatik terhadap sesama teman nan jauh di rantau.
Mereka selamanya tidak pernah menolak kedatangan seorang pelancong yang
kelaparan, tidak segan-segan menolong kafilah yang kesasar atau menemui
kesulitan.
Agaknya kali ini dugaan Pipop
kongcu salah dan meleset, waktu mereka memburu ke arah datangnya suara, kafilah
yang terdiri dari rombongan besar unta itu sudah berhenti, semua ada puluhan
unta yang melingkar jadi sebuah bundaran besar, beberapa orang diantara mereka
sudah mulai kerja mendirikan kemah.
Begitu banyak orang dan unta
namun suasana bening lelap, tiada satupun pekerja-pekerja itu yang ribut
bersuara, tak terdengar pula gelak tawa riang gembira beberapa laki-laki yang
bertugas jaga dibagian luar kalangan malah sudah melihat kedatangan rombongan
lain, merekapun tidak menunjukkan sikap gembira atau hendak menyambut
kedatangan mereka, tidak bersikap tegang bermusuhan siap pasang panah, melolos
golok atau sikap yang bermusuhan.
Masih jauh Ki Ping-yan lantas
menghentikan langkahnya, katanya dengan suara berat "Menurut hematku,
lebih baik kita tak usah kesana."
"Kenapa?" tanya
Pipop kongcu.
"Melihat gelagatnya
rombongan ini terang bukan rombongan kafilah biasa."
"Benar Oh Thi-hoa ikut
memberikan suara. Mereka lebih mirip sepasukan tentara yang berdisiplin keras,
apakah mereka ini pasukan ronda dari anak buah pembesar pemberontak dari negeri
Kui je!"
"Mereka bukan orang Kui
je!" kata Pipop kongcu tegas.
"Kau berani
memastikan?" tanya Oh Thi-hoa.
Pipop kongcu tertawa sahutnya
"Di padang pasir yang berbeda-beda sedikitnya ada puluhan kelompok, dalam
pandangan kalian mungkin orang-orang ini lumayan, tapi sekilas pandang saja aku
lantas dapat melihat adanya perbedaan dari mereka."
"Menurut
pendapatmu?" Coh Liu-hiang menimbrung. "Mereka orang-orang apa?"
"Umpamakan saja mereka
adalah kawan rampok, kitapun tak perlu gentar terhadap diri mereka bukan?"
ujar Pipop kongcu."
"Benar" ujar Oh
Thi-hoa, paling kita hanya ingin beli beberapa kantong air dan beberapa unta
saja kepada mereka, jikalau mereka tidak aturan dan tidak mau jual, boleh kita
merebutnya saja."
Ki Ping-yan menjengek dingin
"Enak saja kau bicara."
"Memangnya gampang
dilaksanakan, apa sukarnya?"
"Kau tidak melihat gaya
mereka memegang golok? Langkah kakinya? Kau tidak melihat dalam sekejap mata
saja, mereka sudah berhasil mendirikan kemah-kemah itu? Dimana-mana membagi
diri untuk berjaga dengan teratur segala serba beres dan berdisiplin, unta atau
kuda tiada yang brengsek."
"Aku kan tidak buta,
kenapa tidak melihatnya." sahut Oh Thi-hoa tertawa.
"Kalau kau sudah
melihatnya seharusnya kau tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah
berpengalaman di medan laga serdadu pilihan yang sudah tergembleng matang,
memangnya kau samakan mereka rombongan perampok yang kasar-kasar dan rendahan
itu? Pihak kita hanya ada delapan orang, malah tiga orang diantaranya sudah
cacat, paling dua orang diantara kami harus membagi diri untuk melindungi
mereka...." Dengan mata melotot dia awasi Oh Thi-hoa lalu menyambung
"Maka yang benar-benar bisa turun tangan dipihak kita hitung-hitung hanya
tiga orang saja dengan tiga kekuatan orang hendak merebut unta didalam
rombongan serdadu yang sudah gemblengan dalam pengalaman tempur di medan laga,
coba katakan, apa kau yakin benar pasti berhasil?"
Oh Thi-hoa mengelus hidung,
sahutnya "Memang tak begitu besar paling tidak lima enam puluh persen aku
yakin!"
"Dengan hanya keyakinan
lima enam puluh persen kau lantas ingin menyerempet bahaya?" sentak Ki
Ping-yan mendelik.
"Hanya dengan keyakinan
sepuluh prosenpun aku sudah pernah mencoba melakukan sesuatu, kenyataan orang
tiada yang berhasil memenggal kepalaku ini" ujar Oh Thi-hoa tertawa-tawa.
"Itu karena nasibmu
baik," Jengek Ki Ping-yan, "Tapi sekarang bukan saatnya kita
mencoba-coba mempertaruhkan nasib itu."
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya "Tidak salah, kekuatan pihak kita sudah teramat lemah, apa yang
harus kita kerjakan masih banyak lagi, sekali-kali jangan sampai terjadi
diantara kita yang jatuh menjadi korban pula. Oleh karena itu kalau hal ini ada
sedikit bahayanya, kita tak usah melakukannya."
Ki Ping-yan masih muring-muring
"Kalau dalam keadaan biasa, umpama kau hendak mengadu kepalamu dengan batu
pasti tanda orang perduli tapi sekarang jiwamu amat besar gunanya, kalau hanya
karena beberapa ekor unta dan beberapa kantong arak kau lantas hendak adu jiwa,
umpama kau sendiri mereka tak menjadi soal, aku malah merasa eman-eman."
"Apa lagi umpama kita
berhasil dengan tujuan mereka pasti akan selalu mengejar dan menguntit jejak
kita." Coh Liu-hiang menambahkan "Musuh kita sudah cukup banyak,
kalau ketambahan rombongan orang-orang ini mempersulit kita, wah, sukar
dibayangkan lagi."
"Jadi menurut pikiran
kalian, bagaimana juga rombongan orang-orang ini sekali-kali tidak boleh
diganggu, begitu?" tanya Oh Thi-hoa dengan kecut.
"Ya, begitulah,"
sahut Ki Ping-yan.
Berputar biji mata Oh Thi-hoa
"Tapi jikalau mereka yang mencari gara-gara kepada kita, bagaimana?"
Memang pada ujung mata Coh
Liu-hiang sudah melihat lima enam orang diantara rombongan itu sudah
berlari-lari menuju ke arah mereka, dalam hati diam-diam ia menarik napas,
namun lahirnya dia masih tersenyum-senyum, katanya tandas "Umpama benar
mereka hendak cari perkara kepada kita, kita pun harus mengalah saja."
Yang mendatang ada lima orang,
masing-masing mengenakan mantel lebar dan tebal untuk menahan angin, kepala
mereka digubat kain panjang warna biru, kulit mereka kelihatan hitam legam
bersinar karena biasa ditengah teriknya matahari, sehingga kelihatannya begitu
kasar sekasar pasir di bawah kaki mereka, namun mata mereka, justru berkilat
tajam laksana mata elang, tulang-tulang pipi mereka menonjol keluar jari-jari
menggenggam erat gagang golok masing-masing, begitu teguh dan tenang tak
tergoyahkan sekokoh batu.
Pakaian yang mereka pakai
serba besar longgar gedubrahan, tapi gerak-gerik mereka amat cekatan, dengan
mendelong Coh Liu-hiang dan lain-lain mengawasi mereka, kejap lain mereka sudah
tiba di hadapan mereka.
Orang yang terdepan adalah
laki-laki cambang bauk yang lebat warna kehijauan, biji matanya yang berkilat
terang, memancarkan warna kehijauan seperti mata dracula satu persatu dia
menyapu pandang ke muka mereka akhirnya berhenti pada tatapan muka Coh
Liu-hiang. Umpama ada ratusan orang yang mengenakan pakaian seragam yang sama,
dia tidak perlu memandang dua kali dengan tepat dia akan tahu siapa yang jadi
pimpinan diantara mereka.
Coh Liu-hiang menyambut
kedatangan mereka dengan tersenyum, mulutnya merocos panjang lebar, apa yang
dia ucapkan adalah basa-basi yang sering digunakan kaum kafilah yang sering
bertemu ditengah jalan, ucapan-ucapan menyapa dan saling tanya keselamatan satu
sama lain sudah ia pelajari dengan giat dan cukup yakin bahasa latihannya sudah
cukup baik dan kini tibalah saatnya untuk dia praktekkan.
Tak nyana orang dihadapannya
ini seperti tidak paham apa yang dia ucapkan, sekian saat orang melotot pula
kepadanya, tiba-tiba berkata "Kalian darimana? Hendak kemana?"
Sontoloyo, orang justru fasih
menggunakan bahasa orang-orang Han.
Coh Liu-hiang hanya meringis
kecut, katanya "Cayhe beramai datang dari Thio keh gou, semula kami
bermaksud dagang ke sini, tak nyana tak tahu jalan tak faham bahasa dan adat
istiadat di sini, bukan saja unta dan tunggangan hilang, malah diantara kami
ada yang terluka, oleh karena itu...." sampai di sini dia menyadari bahwa
yang dikatakan amat meragukan, jelas sukar dipercaya oleh orang lain.
Mereka berdelapan, ada laki
ada perempuan, ada yang buruk ada yang ganteng, tapi bagi siapapun yang
melihatnya, tiada satupun yang akan mau percaya bahwa mereka adalah kafilah
yang berdagang ditengah gurun pasir.
Coh Liu hiang menghela napas
katanya pula "Bicara terus terang, Cayhe beramai adalah kaum persilatan
dari Tionggoan, kedatangan kami kemari adalah untuk mencari tiga orang teman
kami yang hilang, siapa tahu terjadi banyak peristiwa yang di luar dugaan barusan
kami kebentur pula kejadian yang menyulitkan." kali ini dia bicara
sejujurnya, tak nyana laki-laki itu masih mengawasinya dengan sikap dingin,
sepatah kata omongannya masih tidak mau percaya.
Sorot matanya yang tajam
kembali menyapu satu persatu muka mereka, lalu berkata dengan kereng.
"Persoalan sulit apa yang barusan kalian hadapi?"
"Cukup panjang untuk
menjelaskan, dan lagi terang tiada sangkut pautnya dengan kalian.... "
sahut Coh Liu-hiang.
"Dari mana kau tahu bila
tiada sangkut pautnya dengan aku? Ribuan li malang melintang ditengah padang
pasir ini, apapun yang terjadi, kapan saja dan siapa saja, bukan mustahil ada
hubungannya dengan kami!"
"Oh.... entah kalian ini
siapa? Dari...."
Laki-laki jambang bauk segera
membentak "Sekarang aku sedang tanya kepadamu, bukan waktumu bertanya
kepadaku."
Coh Liu-hiang tahu bahwa
laki-laki sulit dilayani, tak tahan jari-jarinya mengelus-elus hidung inilah
penyakitnya. Oh Thi-hoa sampai ketularan olehnya.
Si jambang bauk hijau
tiba-tiba menuding Setitik Merah dan Ki Bu-yong sentaknya bengis "Belum
lama kedua orang ini terluka, siapa yang melukai mereka?"
Oh Thi-hoa tak tahan lagi,
katanya keras "Tangannya tertebas kutung oleh aku yang kurang
hati-hati."
Jambang bauk hijau menyeringai
"Matamu masih genap dan normal, cara bagaimana bisa tidak hati-hati
memotong lengannya? Anak-anak umur 3 tahunpun takkan mau percaya kepada
ucapanmu."
Oh Thi-hoa naik pitam,
semprotnya! "Perduli kau percaya tidak? Asal apa yang kukatakan adalah
sejujurnya, terserah kau tidak mau percaya."
"Jawaban kalian sendiri
satu sama lain tidak cocok dan simpang siur, masakah kita harus percaya begitu
saja?" mendadak si jambang bauk menggelap tangan, bentaknya "Hayo
geledah badan mereka!" setelah bentakan serempak empat orang laki-laki di
belakangnya segera menubruk maju bersama.
Muka Oh Thi-hoa sudah
menghijau saking gusar, serunya terloroh-loroh menggeledah "Kau hendak
menggeledah badanku? Hehe selama hidup belum pernah ada orang berani
menggeledah badanku mesti dia orang tuaku sendiri!"
Tiba-tiba Coh Liu-hiang
menggenggam jarinya dengan keras, katanya tersenyum "Kejadian apapun pasti
akan terjadi untuk pertama kali."
"Kau mandah dilakukan
semena-mena?" seru Oh Thi-hoa dengan suara serak.
Coh Liu-hiang hanya
tertawa-tawa siapapun tak bicara lagi. Mengikuti pandangan matanya baru
sekarang Oh Thi-hoa melihat disaat mereka bicara itulah, puluhan laki-laki
sudah mengepung mereka.
Mendadak Oh Thi-hoapun unjuk
tawa lebar katanya "Jikalau Coh Liu-hiang bisa tahan sabar, kenapa juga
aku tidak?"
Ki Ping-yan ikut tertawa,
katanya "Si bocah akhirnya tumbuh dewasa juga, sungguh suatu hal yang
harus dibuat girang."
Berbareng mereka bertiga
menepuk-nepuk pakaian, lalu membentang kedua tangan, katanya bersamaan dengan
tertawa "Silahkan kalian menggeledah!" lalu Coh Liu-hiang menambahkan
"Cayhe bukan saja tidak membawa apa-apa, malah dikata kantong kosong,
setelah kalian menggeledah aku, tentu bikin kecewa saja."
Tak nyana ke empat laki-laki
yang maju mendekat tadi berdiri diam di tempatnya, tangan si jambang baukpun
masih terangkat tinggi, selama ini belum diturunkan. Baru saja Coh Liu-hiang
merasa heran, si jambang bauk mendadak berkata "Apa benar kantong tuan
kosong? Masakah sebutir mutiarapun tiada?"
Mendengar pertanyaan ini,
seketika bersinar biji mata Coh Liu-hiang. Demikian pula Oh Thi-hoa, segera
turunkan kedua tangannya serta mendengar orang menyinggung mutiara segala,
seketika teringat olehnya bahwa Ki loh ci sing masih berada dalam kantong
bajunya, katanya keras "Sebetulnya kalian mau menggeledah tidak? Memangnya
apa maksud kalian?"
Si jambang bauk tiba-tiba
tergelak tawa, serunya "Umpama nyali Siaujin setinggi langit, juga tidak
berani bertingkah di hadapan Maling Romantis!"